input
stringlengths 912
558k
| output
stringlengths 234
2.18k
|
---|---|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/28/PADG/2019
TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pemantauan kegiatan lalu lintas devisa sangat
dibutuhkan untuk mendukung perumusan dan
pelaksanaan kebijakan Bank Indonesia, baik di bidang
moneter, stabilitas sistem keuangan, maupun sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah;
b. bahwa pemantauan kegiatan lalu lintas devisa juga
diperlukan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan
devisa hasil ekspor dan devisa pembayaran impor guna
mendukung optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor
dan perolehan informasi permintaan devisa pembayaran
impor;
c. bahwa pengaturan mengenai cakupan laporan, format
laporan, dan tata cara penyampaian laporan kegiatan lalu
lintas devisa, termasuk penerimaan devisa hasil ekspor
dan devisa pembayaran impor sangat diperlukan guna
penyusunan statistik serta mendukung kebijakan
penerimaan devisa hasil ekspor dan pelaporan devisa
pembayaran impor;
2
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Pemantauan
Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/14/PBI/2019
tentang Devisa Hasil Ekspor dan Devisa Pembayaran
Impor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019
Nomor 229, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6425);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/15/PBI/2019
tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank
dan Nasabah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2019 Nomor 236, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6431);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN
NASABAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing
yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
perbankan dan bank umum syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan
syariah, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia
namun tidak termasuk kantor cabang luar negeri dari
bank yang berkantor pusat di Indonesia, yang memperoleh
persetujuan dari otoritas yang berwenang untuk
melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.
3
2. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disingkat LLD adalah
perpindahan aset dan kewajiban finansial antara
penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan
aset dan kewajiban finansial luar negeri antarpenduduk
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar.
3. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan
lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di
Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk
perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar
negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar.
4. Aset Finansial Luar Negeri Bank yang selanjutnya disebut
AFLN Bank adalah aktiva Bank terhadap bukan Penduduk
baik dalam valuta asing maupun rupiah.
5. Kewajiban Finansial Luar Negeri Bank yang selanjutnya
disebut KFLN Bank adalah pasiva Bank terhadap bukan
Penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah.
6. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank.
7. Laporan LLD adalah laporan atas seluruh kegiatan LLD
yang menimbulkan perubahan AFLN Bank dan/atau
KFLN Bank yang disebabkan oleh transaksi yang
dilakukan oleh Bank yang bersangkutan maupun
Nasabah.
8. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah
pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai kepabeanan.
9. Eksportir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau
badan lainnya yang tidak berbadan hukum yang
melakukan Ekspor.
10. Eksportir Barang Ekspor Sumber Daya Alam yang
selanjutnya disebut Eksportir SDA adalah Eksportir dalam
kegiatan pengusahaan,
pengelolaan, dan/atau
pengolahan sumber daya alam yang mencakup
pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.
11. Devisa Hasil Ekspor yang selanjutnya disingkat DHE
adalah devisa dari hasil kegiatan Ekspor.
4
12. DHE dari Barang Ekspor Sumber Daya Alam yang
selanjutnya disebut DHE SDA adalah DHE yang diperoleh
dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau
pengolahan sumber daya alam yang mencakup
pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah
mengenai devisa hasil ekspor yang diperoleh dari kegiatan
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber
daya alam.
13. DHE dari Barang Ekspor selain Sumber Daya Alam yang
selanjutnya disebut DHE Non-SDA adalah DHE yang
diperoleh dari kegiatan selain kegiatan pengusahaan,
pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam
yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan,
dan perikanan.
14. Rekening Khusus DHE SDA yang selanjutnya disebut
Reksus DHE SDA adalah rekening milik Nasabah di Bank
dalam valuta asing atau rupiah yang digunakan khusus
untuk penerimaan DHE SDA.
15. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam
daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang mengenai kepabeanan.
16. Importir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau
badan lainnya yang tidak berbadan hukum, yang
melakukan Impor.
17. Devisa Pembayaran Impor yang selanjutnya disingkat DPI
adalah devisa yang digunakan untuk membayar Impor.
18. Pemberitahuan Pabean Ekspor yang selanjutnya disingkat
PPE adalah pernyataan yang dibuat oleh perseorangan
atau badan hukum untuk melaksanakan kewajiban
pabean Ekspor dalam bentuk dan syarat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
kepabeanan.
19. Pemberitahuan Pabean Impor yang selanjutnya disingkat
PPI adalah pernyataan yang dibuat oleh perseorangan atau
badan hukum untuk melaksanakan kewajiban pabean
5
Impor dalam bentuk dan syarat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan.
20. Perintah Transfer Dana adalah perintah tidak bersyarat
dari pengirim kepada penyelenggara penerima untuk
membayarkan sejumlah dana tertentu kepada penerima
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
transfer dana.
21. Transfer Dana Keluar atau Outgoing Transfer adalah
transaksi LLD Nasabah berupa transfer dana keluar dalam
valuta asing.
22. Nilai Ekspor adalah nilai Ekspor free on board (FOB) yang
tercantum pada PPE.
23. Dokumen Pendukung DHE adalah dokumen yang
membuktikan kebenaran data dan/atau keterangan
mengenai penerimaan DHE.
24. Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar adalah
dokumen terkait transaksi LLD Nasabah berupa Transfer
Dana Keluar.
25. Rincian Transaksi Ekspor yang selanjutnya disingkat RTE
adalah rincian informasi terkait dengan kegiatan Ekspor.
26. Daftar Penyampaian Dokumen Pendukung DHE yang
selanjutnya disebut DPDP adalah daftar rekapitulasi
Dokumen Pendukung DHE yang disampaikan Bank
kepada Bank Indonesia.
27. Periode Laporan LLD yang selanjutnya disebut PL adalah
periode data dari tanggal 1 sampai dengan akhir bulan
yang bersangkutan.
28. Masa Penyampaian Laporan LLD yang selanjutnya disebut
MPL adalah periode penyampaian Laporan LLD dari
tanggal 1 sampai dengan batas waktu penyampaian
laporan setelah berakhirnya PL.
29. Masa Penyampaian Koreksi Laporan LLD yang selanjutnya
disebut MPKL adalah periode penyampaian koreksi
Laporan LLD dari tanggal 1 sampai dengan batas waktu
penyampaian koreksi Laporan LLD setelah berakhirnya
PL.
6
30. Message Financial Transaction Messaging System yang
selanjutnya disebut Message FTMS adalah kumpulan data
dalam format terstruktur yang dikirim atau diterima oleh
pengguna atau aplikasi.
31. Telegraphic Transfer yang selanjutnya disingkat TT adalah
jenis transfer dana melalui Bank dengan menggunakan
sarana elektronik berdasarkan perintah bayar dari pemilik
dana.
32. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk
hari kerja operasional terbatas.
33. Jam Kerja adalah jam kerja Bank Indonesia setempat
sesuai dengan kedudukan Bank.
BAB II
RUANG LINGKUP LAPORAN LLD
Pasal 2
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan LLD kepada Bank
Indonesia secara lengkap, benar, dan tepat waktu.
(2) Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a.
b.
c.
laporan transaksi;
laporan posisi; dan
laporan pendukung.
(3) Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara bulanan yang meliputi data selama 1
(satu) PL.
Pasal 3
Laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) huruf a meliputi transaksi Bank dan/atau Nasabah yang
memengaruhi AFLN Bank dan/atau KFLN Bank.
Pasal 4
Laporan posisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf b meliputi posisi dan penambahan atau pengurangan
dari setiap rekening AFLN Bank dan/atau KFLN Bank.
7
Pasal 5
(1) Laporan pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) huruf c meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
laporan RTE;
laporan DPDP;
laporan transaksi Reksus DHE SDA;
laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE;
laporan DHE dan DPI; dan
laporan lainnya.
(2) Laporan RTE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a meliputi data dan keterangan tambahan atas laporan
transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan/atau
laporan transaksi Reksus DHE SDA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c yang terkait dengan
kegiatan Ekspor.
(3) Laporan DPDP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b meliputi daftar rekapitulasi Dokumen Pendukung DHE.
(4) Laporan transaksi Reksus DHE SDA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi transaksi
Nasabah yang memengaruhi Reksus DHE SDA milik
Nasabah di Bank.
(5) Laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi
posisi awal dan posisi akhir dari Reksus DHE SDA
dan/atau deposito DHE yang dananya bersumber dari
Reksus DHE SDA milik Nasabah di Bank.
(6) Laporan transaksi DHE dan DPI sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e meliputi transaksi Nasabah berupa
penerimaan DHE dan/atau pembayaran DPI melalui
transaksi non-TT.
Pasal 6
(1) Transaksi Bank dan/atau Nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan transaksi Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (6)
dengan nilai lebih besar dari USD10,000.00 (sepuluh ribu
dolar Amerika Serikat) atau yang nilainya setara dengan
8
itu dilaporkan secara individual per transaksi dan
terperinci, kecuali ditentukan secara khusus.
(2) Transaksi Bank dan/atau Nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan transaksi Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (6)
dengan nilai sampai dengan USD10,000.00 (sepuluh ribu
dolar Amerika Serikat) atau yang nilainya setara dengan
itu dilaporkan secara gabungan dan dikelompokkan
menurut informasi tertentu, kecuali ditentukan secara
khusus.
(3) Dalam hal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memberikan data dan keterangan transaksi secara
individual per transaksi dan terperinci, Bank harus
melaporkan transaksi dimaksud secara individual per
transaksi dan terperinci.
(4) Transaksi Bank dan/atau Nasabah yang ditentukan
secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) meliputi:
a. pengiriman dana antar-Bank di dalam negeri;
b. transaksi yang memengaruhi lebih dari satu rekening
AFLN Bank dan/atau KFLN Bank; dan
c. transaksi tertentu,
dilaporkan secara individual atau gabungan berdasarkan
kaidah khusus.
(5) Perhitungan nilai ekuivalen dolar Amerika Serikat untuk
transaksi dalam valuta selain dolar Amerika Serikat
menggunakan kurs tengah akhir bulan yang diumumkan
Bank Indonesia pada PL sebelumnya.
(6) Untuk valuta yang tidak terdapat dalam daftar kurs akhir
bulan yang diumumkan Bank Indonesia pada PL
sebelumnya, perhitungan nilai ekuivalen dolar Amerika
Serikat untuk transaksi menggunakan kurs Reuters akhir
bulan pada PL sebelumnya.
Pasal 7
(1) Dalam hal terdapat transaksi terkait Ekspor Nasabah pada
laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
9
dan/atau laporan transaksi Reksus DHE SDA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), Bank wajib
menyampaikan laporan RTE sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a berdasarkan informasi dari
Nasabah.
(2) Penyampaian laporan RTE sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilengkapi dengan laporan DPDP dan
Dokumen Pendukung DHE yang disebutkan dalam DPDP
dalam hal sebagai berikut:
a. di dalam PPE tidak terdapat penerimaan DHE;
b. terdapat selisih kurang antara nilai DHE dan nilai
Ekspor;
c.
terdapat penerimaan DHE yang melebihi 3 (tiga)
bulan setelah bulan pendaftaran PPE untuk cara
pembayaran usance letter of credit (usance L/C),
konsinyasi, pembayaran kemudian, dan/atau
documentary collection; atau
d. terdapat penerimaan DHE secara tunai di dalam
negeri.
(3) Penyampaian laporan RTE sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan laporan RTE yang dilengkapi dengan laporan
DPDP dan Dokumen Pendukung DHE sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam MPL setelah
Bank memperoleh informasi dari Nasabah.
(4) Dalam hal laporan RTE tidak dilengkapi dengan laporan
DPDP dan Dokumen Pendukung DHE sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), laporan RTE dimaksud dianggap
tidak benar.
(5) Bank yang menerima pembayaran di muka untuk
transaksi Ekspor wajib menyampaikan laporan RTE
kepada Bank Indonesia dengan rincian informasi atas
penerimaan pembayaran di muka.
(6) Dalam hal Bank telah mendapatkan informasi PPE dari
Nasabah untuk transaksi Ekspor sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), Bank wajib menyampaikan kembali laporan
RTE pada MPL berikutnya dengan informasi yang sama
dengan laporan RTE yang telah disampaikan sebelumnya
10
dan dilengkapi dengan informasi PPE.
Pasal 8
(1) Dalam hal terdapat transaksi terkait Ekspor Nasabah pada
laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dan/atau laporan transaksi Reksus DHE SDA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) melalui
transaksi non-TT, Bank wajib menyampaikan laporan
transaksi DHE dan DPI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf e berdasarkan informasi dari
Nasabah.
(2) Dalam hal terdapat transaksi terkait Impor Nasabah pada
laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
melalui transaksi non-TT, Bank wajib menyampaikan
laporan transaksi DHE dan DPI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e berdasarkan informasi dari
Nasabah.
Pasal 9
(1) Dalam hal tidak terdapat transaksi Bank dan/atau
Nasabah yang memengaruhi AFLN Bank dan/atau KFLN
Bank pada suatu PL tertentu, Bank harus menyampaikan
laporan transaksi nihil kepada Bank Indonesia.
(2) Dalam hal tidak terdapat posisi dan mutasi dari setiap
rekening AFLN Bank dan/atau KFLN Bank sebagai akibat
dari transaksi yang dilakukan oleh Bank dan/atau
Nasabah pada suatu PL tertentu, Bank harus
menyampaikan laporan posisi nihil kepada Bank
Indonesia.
(3) Dalam hal tidak terdapat informasi transaksi terkait
Ekspor Nasabah pada suatu PL tertentu, Bank harus
menyampaikan laporan RTE dan laporan DPDP nihil
kepada Bank Indonesia.
(4) Dalam hal tidak terdapat transaksi Nasabah yang
memengaruhi Reksus DHE SDA milik Nasabah di Bank
pada suatu PL tertentu, Bank harus menyampaikan
laporan transaksi Reksus DHE SDA nihil kepada Bank
11
Indonesia.
(5) Dalam hal tidak terdapat posisi dan mutasi dari setiap
Reksus DHE SDA dan/atau deposito yang dananya
bersumber dari Reksus DHE SDA milik Nasabah di Bank
pada suatu PL tertentu, Bank harus menyampaikan
laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE nihil
kepada Bank Indonesia.
(6) Dalam hal tidak terdapat transaksi penerimaan DHE
dan/atau pengeluaran DPI melalui transaksi non-TT,
Bank harus menyampaikan laporan transaksi DHE dan
DPI nihil kepada Bank Indonesia.
Pasal 10
(1) Laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dinyatakan benar apabila memuat data dan keterangan
kegiatan LLD sesuai dengan:
a. informasi dari Nasabah;
b. Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar dan
surat pernyataan untuk Transfer Dana Keluar;
dan/atau
c. dokumen lainnya.
(2) Laporan posisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dinyatakan benar apabila memuat data dan keterangan
sesuai dengan sistem pelaporan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(3) Laporan pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (1) dinyatakan benar apabila memuat data dan
keterangan sesuai dengan:
a. informasi dari Nasabah;
b. Dokumen Pendukung DHE;
c. Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar dan
surat pernyataan untuk Transfer Dana Keluar;
dan/atau
d. dokumen lainnya.
12
Pasal 11
(1) Bank yang menyampaikan Laporan LLD secara tidak
benar sehingga melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dikenai sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima
puluh ribu rupiah) untuk setiap rincian baris (field) yang
tidak benar, dengan denda paling banyak sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Bank yang terlambat menyampaikan Laporan LLD
sehingga melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk
setiap hari keterlambatan.
(3) Bank yang tidak menyampaikan Laporan LLD sehingga
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda
sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 12
(1) Pengenaan sanksi administratif berupa denda bagi Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan melalui
surat penetapan sanksi administratif berupa denda dari
Bank Indonesia kepada Bank.
(2) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 tidak menggugurkan kewajiban
penyampaian Laporan LLD oleh Bank.
(3) Pembayaran sanksi
administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan dengan
cara mendebit rekening giro Bank di Bank Indonesia.
Pasal 13
(1) Bank yang telah dikenai sanksi administratif berupa
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, dapat
mengajukan pembebasan sanksi administratif berupa
denda.
(2) Bank Indonesia dapat memberikan pembebasan sanksi
administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada
13
ayat (1) dalam hal:
a. Bank menyampaikan surat permohonan pembebasan
pengenaan sanksi administratif berupa denda dengan
mengacu pada contoh sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, yang
disertai dengan bukti pendukung; dan
b. berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Bank tidak
melakukan pelanggaran terhadap pemenuhan
kewajiban penyampaian Laporan LLD oleh Bank.
(3) Permohonan untuk pembebasan sanksi administratif
berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a disampaikan paling lambat akhir bulan berikutnya
setelah bulan diterbitkannya surat penetapan sanksi
administratif berupa denda.
(4) Bank Indonesia melakukan penelitian atas bukti
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
yang disampaikan oleh Bank.
(5) Dalam hal Bank terbukti tidak melakukan pelanggaran
kewajiban penyampaian Laporan LLD, Bank Indonesia
menginformasikan secara tertulis kepada Bank mengenai
pembebasan sanksi administratif berupa denda.
(6) Dalam hal Bank terbukti melakukan pelanggaran
kewajiban penyampaian Laporan LLD, Bank Indonesia
menyampaikan surat penolakan terhadap permohonan
pembebasan sanksi administratif berupa denda kepada
Bank.
(7) Dalam hal berdasarkan penelitian atas bukti pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdapat
koreksi atas nominal sanksi administratif berupa denda
yang telah disampaikan sebelumnya, Bank Indonesia
menyampaikan koreksi tersebut di dalam surat penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Bank Indonesia menyampaikan surat sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling lambat akhir
bulan berikutnya setelah tanggal diterimanya surat
permohonan pembebasan sanksi administratif berupa
14
denda beserta bukti pendukung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a.
Pasal 14
(1) Pembayaran sanksi dengan mendebit rekening giro Bank
di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (3) dilakukan setelah batas waktu pengajuan
permohonan untuk pembebasan sanksi administratif
berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(3) berakhir.
(2) Dalam hal Bank mengajukan permohonan pembebasan
sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) maka pembayaran sanksi dengan
mendebit rekening giro Bank di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dilakukan
setelah terdapat surat penolakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (6).
BAB III
TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN
DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 15
(1) Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
disampaikan kepada Bank Indonesia oleh kantor pusat
bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia dan oleh
kantor cabang yang bertindak sebagai koordinator bagi
bank yang berkedudukan di luar negeri.
(2) Bank wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 setiap bulan secara daring selama
MPL.
(3) Batas akhir MPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
untuk penyampaian:
a. laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3;
b. laporan posisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
c. laporan pendukung berupa:
15
1. laporan RTE sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf a;
2. laporan DPDP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf b;
3. laporan transaksi Reksus DHE SDA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf c; dan
4. laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito
DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) huruf d,
yaitu tanggal 15 bulan MPL pukul 23.59 WIB.
(4) Batas akhir MPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
untuk penyampaian laporan pendukung berupa laporan
transaksi DHE dan DPI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf e yaitu tanggal 5 bulan MPL pukul
23.59 WIB.
(5) Dalam hal hari terakhir penyampaian Laporan LLD secara
daring jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur,
dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, batas akhir MPL tidak berubah kecuali
ditetapkan lain melalui pemberitahuan resmi Bank
Indonesia.
Pasal 16
(1) Dalam hal terdapat gangguan teknis selama MPL yang
menyebabkan Bank tidak dapat menyampaikan Laporan
LLD secara daring, Laporan LLD dapat disampaikan secara
luring selama Jam Kerja dengan memberikan bukti
pendukung terjadinya
gangguan teknis
ditandatangani oleh pejabat setingkat direktur Bank.
(2) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian Laporan LLD
secara daring terjadi gangguan teknis di Bank yang
menyebabkan Bank tidak dapat menyampaikan Laporan
LLD secara daring, penyampaian Laporan LLD diatur
sebagai berikut:
a. untuk gangguan teknis yang baru dapat diatasi pada
hari berikutnya, Bank harus menyampaikan Laporan
yang
16
LLD secara daring pada hari tersebut dengan
memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan
teknis yang ditandatangani oleh setingkat direktur
Bank; dan
b. untuk gangguan teknis yang belum dapat diatasi
pada hari berikutnya, Bank harus menyampaikan
Laporan LLD secara luring pada Hari berikutnya
dalam Jam Kerja dengan memberikan bukti
pendukung terjadinya gangguan teknis yang
ditandatangani oleh setingkat direktur Bank.
(3) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian Laporan LLD
secara daring terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia
yang menyebabkan Bank tidak dapat menyampaikan
Laporan LLD secara daring, penyampaian Laporan LLD
diatur sebagai berikut:
a. untuk gangguan teknis yang baru dapat diatasi pada
hari berikutnya, Bank harus menyampaikan Laporan
LLD secara daring pada hari tersebut; dan
b. untuk gangguan teknis yang belum dapat diatasi
pada hari berikutnya, Bank harus menyampaikan
laporan secara luring pada Hari berikutnya dalam
Jam Kerja.
Pasal 17
Penyampaian Laporan LLD bagi Bank yang melakukan
penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut:
a. sampai dengan 1 (satu) Hari sebelum tanggal operasional
pelaksanaan penggabungan atau peleburan, penyampaian
Laporan LLD tetap dilakukan secara terpisah oleh masing-
masing Bank; dan
b. sejak tanggal operasional Bank hasil penggabungan atau
peleburan, penyampaian Laporan LLD dilakukan oleh
Bank hasil penggabungan atau peleburan.
Pasal 18
(1) Dalam hal Laporan LLD yang telah disampaikan oleh Bank
kepada Bank Indonesia tidak benar dan/atau tidak
17
lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1),
Bank harus menyampaikan koreksi atas Laporan LLD
yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia secara
daring selama MPKL.
(2) Batas akhir MPKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk penyampaian:
a. laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3;
b. laporan posisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
c. laporan pendukung meliputi:
1. laporan RTE sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf a;
2. laporan DPDP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf b;
3. laporan transaksi Reksus DHE SDA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf c; dan
4. laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito
DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) huruf d,
yaitu tanggal 20 bulan MPL pukul 23.59 WIB.
(3) Batas akhir MPKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk penyampaian laporan pendukung berupa laporan
transaksi DHE dan DPI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf e yaitu tanggal 5 bulan MPL pukul
23.59 WIB.
(4) Dalam hal hari terakhir penyampaian koreksi Laporan
LLD secara daring jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu,
hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia, batas akhir MPKL tidak berubah, kecuali
ditetapkan lain melalui pemberitahuan resmi Bank
Indonesia.
(5) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian koreksi
Laporan LLD secara daring terjadi gangguan teknis yang
menyebabkan Bank tidak dapat menyampaikan koreksi
Laporan LLD secara daring, penyampaian koreksi Laporan
LLD diatur sebagai berikut:
18
a. untuk gangguan teknis yang terjadi di Bank, Bank
harus menyampaikan koreksi Laporan LLD secara
luring pada Hari berikutnya dalam Jam Kerja dengan
memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan
teknis yang ditandatangani oleh pejabat setingkat
direktur Bank; dan
b. untuk gangguan teknis yang terjadi di Bank
Indonesia yang belum dapat diatasi sampai dengan
berakhirnya Jam Kerja, Bank harus menyampaikan
koreksi Laporan LLD secara luring pada Hari
berikutnya dalam Jam Kerja.
Pasal 19
Bank harus menyampaikan Laporan LLD dan/atau koreksi
Laporan LLD yang melampaui MPKL secara luring dalam Jam
Kerja.
Pasal 20
(1) Dalam hal terdapat koreksi terhadap Laporan LLD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Bank
harus menyampaikan koreksi tersebut secara lengkap
untuk setiap jenis laporan terkait yang dikoreksi.
(2) Khusus untuk koreksi laporan pendukung berupa laporan
RTE, Bank harus melampirkan Dokumen Pendukung DHE
dalam hal koreksi memerlukan Dokumen Pendukung
DHE.
Pasal 21
(1) Dalam hal Laporan LLD yang telah disampaikan Bank
kepada Bank Indonesia diindikasikan tidak wajar atau
Bank Indonesia memerlukan penjelasan lebih lanjut atas
Laporan LLD, Bank Indonesia dapat meminta klarifikasi
kepada Bank melalui surat dan/atau media lainnya.
(2) Bank harus menyampaikan tanggapan atas permintaan
klarifikasi dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lambat 12 (dua
belas) Hari setelah tanggal permintaan klarifikasi.
19
(3) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
disampaikan dengan koreksi apabila terdapat kesalahan
dalam Laporan LLD.
(4) Koreksi Laporan LLD atas dasar permintaan klarifikasi
Bank Indonesia harus dilakukan secara luring dalam Jam
Kerja.
Pasal 22
(1) Laporan LLD disusun berdasarkan spesifikasi format
laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Laporan LLD terdiri atas beberapa baris (record) dan setiap
baris (record) terdiri atas beberapa rincian baris (field) yang
dinyatakan dalam bentuk sandi dengan format American
Standard Code for Information Interchange (ASCII).
(3) Data atau keterangan dalam Laporan LLD yang belum
dapat diperoleh dari Nasabah dapat diisi dengan sandi
sementara dan harus diganti dengan sandi yang sesuai
data dan/atau keterangan yang sebenarnya sebelum MPL
berakhir.
(4) Dokumen Pendukung DHE yang diperlukan dalam
Laporan LLD disampaikan dalam bentuk salinan digital
(softcopy) dengan format yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 23
(1) Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD yang
disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia harus
melalui tahapan uji pelaporan, yaitu memenuhi
persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas
sebagaimana hasil verifikasi sistem pelaporan Bank
Indonesia.
(2) Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD dinyatakan
telah diterima Bank Indonesia apabila:
a.
telah memenuhi kedua tahapan uji pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b. terdapat keterangan “UJI KUALITAS OK” pada sistem
pelaporan Bank Indonesia.
20
(3) Tanggal penerimaan Laporan LLD dan/atau koreksi
Laporan LLD yaitu tanggal penerimaan berkas (file)
laporan tersebut yang telah memenuhi persyaratan
kuantitas dan persyaratan kualitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Apabila Bank dalam MPL melakukan koreksi atas Laporan
LLD, status penyampaian laporan yang berlaku sesuai
dengan status koreksi laporan yang terakhir disampaikan
oleh Bank kepada Bank Indonesia.
(5) Apabila Bank menyampaikan koreksi:
a. laporan transaksi;
b. laporan posisi; dan/atau
c. laporan pendukung meliputi:
1. laporan RTE;
2. laporan DPDP;
3. laporan transaksi Reksus DHE SDA; dan/atau
4. laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito
DHE,
pada tanggal 16 sampai dengan tanggal 20, dan tidak
memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan
kualitas, Laporan LLD yang dinyatakan diterima Bank
Indonesia yaitu laporan terakhir yang telah memenuhi
persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas.
Pasal 24
(1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD
apabila Laporan LLD disampaikan setelah berakhirnya
MPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) dan
ayat (4) sampai dengan akhir bulan MPL dalam Jam Kerja.
(2) Dalam hal akhir bulan MPL jatuh pada hari Sabtu, hari
Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia, Bank dinyatakan
terlambat menyampaikan Laporan LLD apabila Laporan
LLD disampaikan setelah berakhirnya MPL sampai dengan
Hari berikutnya setelah akhir bulan MPL dalam Jam Kerja.
(3) Batas akhir penyampaian Laporan LLD secara daring bagi
Bank yang terlambat menyampaikan laporan meliputi:
21
a. laporan transaksi;
b. laporan posisi; dan
c. laporan pendukung berupa:
1. laporan RTE;
2. laporan DPDP;
3. laporan transaksi Reksus DHE SDA; dan
4. laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito
DHE,
yaitu tanggal 20 bulan MPL pukul 23.59 WIB.
(4) Batas akhir penyampaian Laporan LLD secara daring
untuk laporan transaksi DHE dan DPI yaitu tanggal 5
bulan MPL pukul 23.59 WIB.
Pasal 25
(1) Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD
apabila sampai dengan Jam Kerja berakhir pada akhir
bulan MPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(1), Bank Indonesia belum menerima Laporan LLD.
(2) Dalam hal akhir bulan MPL jatuh pada hari Sabtu, hari
Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia, Bank dinyatakan tidak
menyampaikan Laporan LLD apabila sampai dengan Jam
Kerja berakhir pada Hari berikutnya, Bank Indonesia
belum menerima Laporan LLD.
(3) Dalam hal Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan
LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Bank tetap wajib menyampaikan Laporan LLD yang belum
disampaikan kepada Bank Indonesia secara luring dalam
Jam Kerja.
Pasal 26
Cakupan laporan, format laporan, dan tata cara penyampaian
laporan, mengacu pada petunjuk teknis pelaporan kegiatan
LLD oleh Bank sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
22
BAB IV
PENGAKSEPAN PERINTAH TRANSFER DANA KELUAR
NASABAH DAN PENATAUSAHAAN DOKUMEN PENDUKUNG
TRANSFER DANA KELUAR
Pasal 27
(1) Dalam hal Nasabah melakukan transaksi LLD berupa
Transfer Dana Keluar dalam valuta asing dengan nilai
setara di atas USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika
Serikat), Nasabah harus menyampaikan Dokumen
Pendukung Transfer Dana Keluar kepada Bank.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
pula bagi Eksportir SDA yang melakukan Transfer Dana
Keluar melalui Reksus DHE SDA.
(3) Bank wajib memastikan kelengkapan Dokumen
Pendukung Transfer Dana Keluar dari Nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebelum melakukan
pengaksepan Perintah Transfer Dana atas transaksi LLD.
(4) Bank hanya dapat melakukan pengaksepan Perintah
Transfer Dana untuk Transfer Dana Keluar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sepanjang dilengkapi
dengan Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar.
(5) Keharusan penyampaian Dokumen Pendukung Transfer
Dana Keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) tidak berlaku untuk:
a. transaksi yang dilakukan oleh Bank untuk
kepentingan Bank itu sendiri; dan
b. transaksi yang bertujuan untuk pemindahan
simpanan oleh Nasabah yang sama di dalam negeri.
(6) Dalam hal bank bertindak selaku Nasabah dari Bank,
transaksi Bank dimaksud dikategorikan sebagai transaksi
Nasabah.
Pasal 28
(1) Nilai Transfer Dana Keluar yang dilakukan Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat
(2) paling banyak sebesar nilai nominal dari Dokumen
23
Pendukung Transfer Dana Keluar dengan toleransi lebih
sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari nilai yang
tercantum pada Dokumen Pendukung Transfer Dana
Keluar.
(2) Perhitungan nilai ekuivalen dolar Amerika Serikat untuk
transaksi dalam mata uang selain dolar Amerika Serikat
menggunakan kurs tengah akhir bulan yang diumumkan
Bank Indonesia pada PL sebelumnya.
(3) Untuk valuta yang tidak terdapat dalam daftar kurs yang
diumumkan Bank Indonesia pada PL sebelumnya,
perhitungan nilai ekuivalen dolar Amerika Serikat
menggunakan kurs akhir bulan Reuters pada PL
sebelumnya.
Pasal 29
(1) Jenis Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat
(2) mengacu pada daftar Dokumen Pendukung Transfer
Dana Keluar pada petunjuk teknis pelaporan kegiatan LLD
oleh Bank sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.
(2) Dalam hal Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar
yang disampaikan tidak tercantum dalam daftar Dokumen
Pendukung Transfer Dana Keluar pada petunjuk teknis
pelaporan kegiatan LLD oleh Bank sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II, Nasabah harus melengkapi
dengan surat pernyataan sebagaimana contoh dalam
Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus ditandatangani oleh:
a. Nasabah yang bersangkutan atau pihak yang diberi
kuasa bagi Nasabah perorangan; atau
b. pihak yang berwenang dari Nasabah bagi Nasabah
yang berbentuk bank dan badan usaha selain bank.
(4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
yang diterima oleh Bank harus diparaf oleh petugas Bank.
(5) Bagi Nasabah yang telah menyampaikan bukti atau
24
dokumen kepada Bank guna pemenuhan ketentuan Bank
Indonesia mengenai transaksi valuta asing terhadap
rupiah antara bank dengan pihak domestik dan ketentuan
Bank Indonesia mengenai transaksi valuta asing terhadap
rupiah antara bank dengan pihak asing, Bank dapat
menggunakan bukti atau dokumen tersebut sebagai
Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar sepanjang
bukti atau dokumen tersebut sama dengan Dokumen
Pendukung Transfer Dana Keluar.
(6) Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau surat pernyataan atas
Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus diterima oleh Bank sebelum pelaksanaan
penyelesaian transaksi.
(7) Nasabah bertanggung jawab atas kebenaran Dokumen
Pendukung Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan surat pernyataan atas Transfer Dana
Keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 30
(1) Bank harus menatausahakan Dokumen Pendukung
Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 ayat (1) dan surat pernyataan atas Transfer Dana
Keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dalam bentuk salinan cetak (hardcopy) dan/atau salinan
digital (softcopy).
(2) Bank harus melaporkan kepada Bank Indonesia mengenai
penyampaian Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan surat
pernyataan atas Transfer Dana Keluar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) yang mengakibatkan
berkurangnya giro Bank di luar negeri.
(3) Tata cara pelaporan kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengacu pada petunjuk teknis
pelaporan kegiatan LLD oleh Bank sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.
25
Pasal 31
(1) Nasabah yang melakukan transaksi LLD berupa Transfer
Dana Keluar harus menyampaikan informasi tujuan
transaksi kepada Bank sesuai dengan sandi tujuan
transaksi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Bank harus mencantumkan informasi tujuan transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Message
FTMS untuk setiap transaksi.
Pasal 32
Bank yang melakukan pengaksepan Perintah Transfer Dana
untuk Transfer Dana Keluar tanpa memastikan kelengkapan
Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dikenai sanksi administratif
berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk
setiap Perintah Transfer Dana.
Pasal 33
(1) Pengenaan sanksi administratif berupa denda bagi Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan melalui
surat penetapan sanksi administratif berupa denda dari
Bank Indonesia kepada Bank.
(2) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 tidak menggugurkan kewajiban
penyampaian Laporan LLD oleh Bank.
(3) Pembayaran sanksi
administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan dengan
cara mendebit rekening giro Bank di Bank Indonesia.
Pasal 34
(1) Bank yang telah dikenai sanksi administratif berupa
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, dapat
mengajukan pembebasan sanksi administratif berupa
denda.
(2) Bank Indonesia dapat memberikan pembebasan sanksi
administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam hal:
26
a. Bank menyampaikan surat permohonan pembebasan
pengenaan sanksi administratif berupa denda dengan
mengacu pada contoh sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I, yang disertai dengan bukti pendukung;
dan
b. berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Bank tidak
melakukan pelanggaran terhadap pemenuhan
kewajiban penyampaian Laporan LLD oleh Bank.
(3) Permohonan untuk pembebasan sanksi administratif
berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a disampaikan paling lambat akhir bulan berikutnya
setelah bulan diterbitkannya surat penetapan sanksi
administratif berupa denda.
(4) Bank Indonesia melakukan penelitian atas bukti
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
yang disampaikan oleh Bank.
(5) Dalam hal Bank terbukti tidak melakukan pelanggaran
kewajiban penyampaian Laporan LLD, Bank Indonesia
menginformasikan secara tertulis kepada Bank mengenai
pembebasan sanksi administratif berupa denda.
(6) Dalam hal Bank terbukti melakukan pelanggaran
kewajiban penyampaian Laporan LLD, Bank Indonesia
menyampaikan surat penolakan terhadap permohonan
pembebasan sanksi administratif berupa denda kepada
Bank.
(7) Dalam hal berdasarkan penelitian atas bukti pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdapat
koreksi atas nominal sanksi administratif berupa denda
yang telah disampaikan sebelumnya, Bank Indonesia
menyampaikan koreksi tersebut di dalam surat penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Bank Indonesia menyampaikan surat sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling lambat akhir
bulan berikutnya setelah tanggal diterimanya surat
permohonan pembebasan sanksi administratif berupa
denda beserta bukti pendukung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a.
27
Pasal 35
(1) Pembayaran sanksi dengan mendebit rekening giro Bank
di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (3) dan dilakukan setelah batas waktu pengajuan
permohonan untuk pembebasan sanksi administratif
berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(3) berakhir.
(2) Dalam hal Bank mengajukan permohonan pembebasan
sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) maka pembayaran sanksi dengan
mendebit rekening giro Bank di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) dilakukan
setelah terdapat surat penolakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (6).
BAB V
PROSEDUR PEROLEHAN DAN VERIFIKASI
TERHADAP INFORMASI DARI NASABAH
Pasal 36
(1) Untuk penyampaian Laporan LLD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Bank harus meminta data, keterangan,
Dokumen Pendukung DHE, dan/atau Dokumen
Pendukung Transfer Dana Keluar kepada Nasabah yang
melakukan kegiatan LLD melalui Bank, baik untuk
kepentingan administrasi pelaporan Bank maupun untuk
memenuhi permintaan Bank Indonesia.
(2) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan data, keterangan, Dokumen Pendukung
DHE, dan/atau Dokumen Pendukung Transfer Dana
Keluar kepada Bank dengan benar sesuai dengan
permintaan Bank.
Pasal 37
(1) Nasabah yang tidak menyampaikan data, keterangan,
dan/atau Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar
dengan benar kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam
28
Pasal 36 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa
teguran tertulis dan/atau denda sebesar 0,25% (nol koma
dua puluh lima persen) dari nilai transaksi dengan
nominal paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) untuk setiap Perintah Transfer Dana.
(2) Bagi Nasabah yang dikenai sanksi administratif berupa
denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sanksi
administratif berupa denda dikenakan dalam mata uang
rupiah dan dihitung dengan menggunakan kurs tengah
Bank Indonesia yang berlaku 1 (satu) Hari sebelum tanggal
pengenaan sanksi administratif berupa denda.
Pasal 38
(1) Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis
dan/atau denda bagi Nasabah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1) dilakukan dengan mengeluarkan
surat penetapan sanksi administratif berupa teguran
tertulis dan/atau denda dari Bank Indonesia kepada
Nasabah.
(2) Pembayaran sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) disetorkan
ke rekening Bank Indonesia.
Pasal 39
(1) Nasabah yang telah dikenai sanksi administratif berupa
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1),
dapat mengajukan pembebasan sanksi administratif
berupa denda.
(2) Bank Indonesia dapat memberikan pembebasan sanksi
administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam hal:
a. Nasabah menyampaikan surat permohonan
pembebasan pengenaan sanksi administratif berupa
denda dengan mengacu pada contoh sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I, yang disertai dengan
bukti pendukung; dan
b. berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Nasabah
29
tidak melakukan pelanggaran terhadap penyampaian
Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar oleh
Nasabah kepada Bank.
(3) Permohonan untuk pembebasan sanksi administratif
berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a disampaikan paling lambat akhir bulan berikutnya
setelah bulan diterbitkannya surat penetapan sanksi
administratif berupa denda.
(4) Bank Indonesia melakukan penelitian atas bukti
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
yang disampaikan oleh Nasabah.
(5) Dalam hal Nasabah terbukti tidak melakukan pelanggaran
penyampaian Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar
oleh Nasabah kepada Bank, Bank Indonesia
menginformasikan secara tertulis kepada Nasabah
mengenai pembebasan sanksi administratif berupa denda.
(6) Dalam hal Nasabah terbukti melakukan pelanggaran
kewajiban penyampaian Dokumen Pendukung Transfer
Dana Keluar oleh Nasabah kepada Bank, Bank Indonesia
menyampaikan surat penolakan terhadap permohonan
pembebasan sanksi administratif berupa denda kepada
Nasabah.
(7) Dalam hal berdasarkan penelitian atas bukti pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdapat
koreksi atas nominal sanksi administratif berupa denda
yang telah disampaikan sebelumnya, Bank Indonesia
menyampaikan koreksi tersebut di dalam surat penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Bank Indonesia menyampaikan surat sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling lambat akhir
bulan berikutnya setelah tanggal diterimanya surat
permohonan pembebasan sanksi administratif berupa
denda beserta bukti pendukung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a.
30
Pasal 40
Bank Indonesia dapat memberitahukan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
kepada:
a. Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal sanksi dikenakan
kepada Nasabah berupa bank atau lembaga keuangan
bukan bank;
b. Kementerian Badan Usaha Milik Negara, dalam hal sanksi
dikenakan kepada Nasabah berupa korporasi Badan
Usaha Milik Negara; dan/atau
c. Bursa Efek Indonesia, dalam hal sanksi dikenakan kepada
Nasabah berupa korporasi publik yang tercatat di Bursa
Efek Indonesia.
Pasal 41
(1) Bank harus melakukan verifikasi terhadap data dan
keterangan yang diperoleh dari Nasabah untuk
memastikan akurasi Laporan LLD.
(2) Untuk transaksi Ekspor, Bank harus melakukan verifikasi
terhadap Dokumen Pendukung DHE untuk memastikan
data dan keterangan yang disampaikan Nasabah sesuai
dengan Dokumen Pendukung DHE.
(3) Bank harus melaporkan dan menyampaikan Dokumen
Pendukung DHE yang diterima dari Nasabah kepada Bank
Indonesia.
(4) Bank harus melakukan verifikasi terhadap kesesuaian
antara perintah Transfer Dana Keluar dengan Dokumen
Pendukung Transfer Dana Keluar yang disampaikan
Nasabah, yang mencakup nama penerima dan nilai
pembayaran.
(5) Bank harus memberikan penjelasan kepada Nasabah
bahwa kebenaran dan/atau kesesuaian Dokumen
Pendukung Transfer Dana Keluar dan surat pernyataan
atas Transfer Dana Keluar merupakan tanggung jawab
Nasabah.
31
Pasal 42
(1) Bank harus memiliki sistem dan prosedur dalam
perolehan data dan keterangan, penatausahaan dokumen
pendukung, serta dalam penyusunan Laporan LLD yang
dituangkan dalam suatu pedoman tertulis.
(2) Bank harus menunjuk petugas dan penanggung jawab
untuk menyusun, memverifikasi, dan menyampaikan
Laporan LLD kepada Bank Indonesia.
(3) Nama petugas dan penanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) termasuk perubahannya harus
disampaikan kepada Bank Indonesia.
BAB VI
PENGAWASAN
Pasal 43
(1) Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan atas
Laporan LLD yang disampaikan Bank.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat:
a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau
dokumen lainnya yang terkait kepada Bank dan/atau
Nasabah; dan/atau
b. melakukan kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(4) Bank dan/atau Nasabah harus memberikan penjelasan,
bukti transaksi, pembukuan, catatan, dan/atau dokumen
lainnya yang terkait guna pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a dalam jangka waktu yang
ditentukan oleh Bank Indonesia.
(5) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat menunjuk
pihak lain untuk melakukan penelitian kebenaran
Laporan LLD.
32
(6) Berdasarkan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan
LLD dengan benar apabila:
a. laporan tidak diisi sesuai dengan informasi dari
Nasabah dan/atau dokumen pendukungnya;
dan/atau
b. Bank tidak dapat menunjukkan penjelasan, bukti,
catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a.
(7) Dalam hal Nasabah tidak dapat memberikan penjelasan,
bukti, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, data,
keterangan, dan/atau dokumen pendukung yang
disampaikan Nasabah kepada Bank dinyatakan tidak
benar.
Pasal 44
(1) Dalam hal berdasarkan pengawasan atas Laporan LLD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) ditemukan
ketidakwajaran dalam Dokumen Pendukung Transfer
Dana Keluar, Bank Indonesia berwenang melakukan hal-
hal sebagai berikut:
a. meminta penjelasan, bukti transaksi, pembukuan,
catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait
kepada Nasabah;
b. melakukan pemeriksaan terhadap Nasabah;
c. menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian
kebenaran Dokumen Pendukung Transfer Dana
Keluar terhadap Nasabah; dan/atau
d. melakukan penelitian lain.
(2) Nasabah harus memberikan penjelasan, bukti transaksi,
pembukuan, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang
terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dalam
jangka waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal Nasabah tidak dapat memberikan penjelasan,
bukti, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait
dengan Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud
33
pada ayat (2) maka Dokumen Pendukung Transfer Dana
Keluar yang disampaikan Nasabah kepada Bank
dinyatakan tidak benar.
Pasal 45
Bank dinyatakan menyampaikan Laporan LLD secara tidak
benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dalam hal:
a. belum memuat data dan keterangan sesuai dengan
informasi dari Nasabah dan/atau dokumen
pendukungnya sampai dengan berakhirnya MPL;
b. tidak memuat data dan keterangan sesuai dengan
informasi dari Nasabah dan/atau dokumen
pendukungnya, karena:
1. baris (record) yang sama disampaikan kepada Bank
Indonesia lebih dari 1 (satu) kali;
2. Bank tidak melaporkan seluruh kegiatan LLD dalam
Laporan LLD; dan/atau
3. alasan lainnya,
yang ditemukan pada kegiatan pengawasan atas Laporan
LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan Pasal 44;
dan/atau
c. Bank tidak dapat memberikan penjelasan, bukti, catatan,
dan/atau dokumen lainnya yang terkait pada saat
kegiatan pengawasan.
BAB VII
PENYAMPAIAN HASIL PENGAWASAN DHE SDA
Pasal 46
(1) Bank Indonesia menyampaikan hasil pengawasan
terhadap Nasabah berupa Eksportir SDA terkait kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) kepada:
a. Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai (DJBC); dan
b. kementerian dan/atau lembaga teknis terkait,
untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing-
masing.
34
(2) Penyampaian hasil pengawasan kepada kementerian
dan/atau lembaga teknis terkait sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b disampaikan sepanjang kementerian
dan/atau lembaga teknis terkait dimaksud memiliki
ketentuan pelaksanaan atas Peraturan Pemerintah
mengenai devisa hasil ekspor dari kegiatan pengusahaan,
pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam.
BAB VIII
KEADAAN KAHAR
Pasal 47
(1) Bank yang mengalami keadaan kahar sehingga
menyebabkan data, keterangan, dan/atau dokumen
pendukung dalam penyusunan Laporan LLD tidak
tersedia, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan
Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Bank yang mengalami keadaan kahar sehingga
menyebabkan terhambatnya penyampaian Laporan LLD,
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD
dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 dan Pasal 18.
(3) Bank yang mengalami keadaan kahar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) harus segera
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada
Bank Indonesia, dengan memberikan penjelasan
mengenai keadaan kahar yang dialami, yang paling sedikit
memuat:
a.
jenis keadaan kahar;
b. dampak terhadap pelaporan; dan
c. perkiraan lamanya keadaan kahar.
(4) Bank dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) melalui kantor pusat Bank, kantor cabang Bank,
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank.
(5) Pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan kahar
yang terjadi selama 1 (satu) PL atau lebih harus
35
disampaikan untuk setiap PL sampai dengan berakhirnya
keadaan kahar.
(6) Pengecualian kewajiban menyampaikan Laporan LLD
untuk PL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) berlaku dalam hal Bank memperoleh persetujuan dari
Bank Indonesia untuk tidak menyampaikan Laporan LLD.
(7) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
wajib menyampaikan Laporan LLD setelah Bank kembali
melakukan kegiatan operasional secara normal.
BAB IX
PENYAMPAIAN LAPORAN LLD SECARA LURING
DAN KORESPONDENSI
Pasal 48
(1) Bagi Bank yang berkedudukan di dalam wilayah Jakarta,
Depok, Bogor, Bekasi, Karawang, penyampaian Laporan
LLD dan/atau koreksi Laporan LLD secara luring serta
korespondensi ditujukan kepada:
Bank Indonesia
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
Grup Pengelolaan dan Pengawasan Laporan LLD & DHE
Divisi Pengelolaan dan Pengawasan Laporan LLD
Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 16
Jl. M.H. Thamrin Nomor 2
Jakarta 10350.
(2) Bagi Bank yang berkedudukan di luar wilayah Jakarta,
Depok, Bogor, Bekasi, Karawang, penyampaian Laporan
LLD dan/atau koreksi Laporan LLD secara luring serta
korespondensi lainnya ditujukan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat sebagaimana
terdapat dalam daftar alamat penyampaian Laporan LLD
Bank berdasarkan kedudukan Bank pada petunjuk teknis
pelaporan kegiatan LLD oleh Bank sebagaiman tercantum
dalam Lampiran II.
(3) Help desk untuk komunikasi melalui media elektronik
yaitu sebagai berikut:
36
a. telepon: (021) 29817410 dan (021) 29818388;
b. faksimili: (021) 3800134; dan/atau
c. surat elektronik (e-mail): [email protected].
(4) Komunikasi terkait sistem informasi dan jaringan
ditujukan kepada Departemen Pengelolaan Sistem
Informasi Bank Indonesia dengan nomor telepon (021)
29818000.
(5) Dalam hal terdapat perubahan:
a. alamat penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi
Laporan LLD secara luring dan korespondensi
lainnya; dan
b. media untuk komunikasi,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(4), Bank Indonesia memberitahukan perubahan tersebut
kepada Bank melalui surat dan/atau media lainnya.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 49
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku, Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
21/16/PADG/2019 perihal Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas
Devisa Bank dan Nasabah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 50
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 2 Januari 2020.
37
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
DESTRY DAMAYANTI
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/28/PADG/2019
TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH
I. UMUM
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Bank
Indonesia memiliki kewenangan untuk meminta data dan keterangan
mengenai Kegiatan LLD yang dilakukan oleh Penduduk, melalui suatu
sistem pemantauan LLD yang efektif. Data dan keterangan yang diperoleh
melalui sistem pemantauan tersebut diperlukan untuk perumusan
kebijakan Bank Indonesia, baik di bidang moneter, stabilitas sistem
keuangan, maupun sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Di
samping itu, data dan keterangan tersebut juga diperlukan untuk
penyusunan statistik, yang meliputi statistik neraca pembayaran
Indonesia, posisi investasi internasional Indonesia, dan statistik lainnya.
Pemanfaatan data dalam sistem pemantauan ini juga digunakan untuk
mendukung pelaksanaan ketentuan mengenai penerimaan DHE.
Sejalan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai devisa hasil ekspor dan devisa pembayaran impor dan
untuk meningkatkan kualitas pemantauan penerimaan DHE melalui
perbankan guna mendukung optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor
dan pemantauan DPI guna mendukung optimalisasi perolehan informasi
permintaan DPI perlu diatur kembali mengenai penyampaian keterangan,
data, dan dokumen pendukung terkait kegiatan LLD oleh Bank.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “lengkap” adalah memuat keterangan dan
data seluruh kegiatan LLD, serta telah memenuhi rincian
cakupan laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “benar” adalah memuat keterangan dan
data kegiatan LLD sesuai dengan informasi dari Nasabah
dan/atau dokumen pendukungnya.
Yang dimaksud dengan “tepat waktu” adalah disampaikan dalam
MPL yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, telah diterima oleh
Bank Indonesia, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Laporan transaksi memuat informasi antara lain:
a. tanggal transaksi;
b. nomor identifikasi transaksi;
c. jenis AFLN Bank dan/atau KFLN Bank;
d. status pelaku transaksi;
e. kategori pelaku transaksi;
f. hubungan keuangan antarpelaku transaksi;
g.
jenis valuta;
h. nilai transaksi; dan
i.
tujuan transaksi.
Jenis AFLN Bank antara lain dalam bentuk kas dalam valuta asing,
simpanan, dan surat berharga.
Jenis KFLN Bank antara lain dalam bentuk simpanan milik bukan
Penduduk, utang luar negeri, dan ekuitas dari bukan Penduduk.
3
Transaksi Bank dan/atau Nasabah yang memengaruhi AFLN Bank
dan/atau KFLN Bank antara lain:
a. penerimaan dari dan/atau pembayaran ke luar negeri baik dalam
rupiah maupun valuta asing;
b. penerimaan dari dan/atau pembayaran kepada bukan Penduduk
di dalam negeri baik dalam rupiah maupun valuta asing;
dan/atau
c. penerimaan dan/atau pembayaran di dalam negeri antar-
Penduduk dalam valuta asing.
Pasal 4
Laporan posisi memuat informasi antara lain:
a. jenis AFLN Bank dan/atau KFLN Bank;
b. negara debitur atau kreditur;
c.
jenis valuta;
d. posisi awal;
e. mutasi debit;
f.
mutasi kredit;
g. mutasi lainnya; dan
h. posisi akhir.
Posisi dan penambahan atau pengurangan dari setiap rekening AFLN
Bank dan/atau KFLN Bank dipengaruhi oleh transaksi yang dilakukan
baik oleh Bank maupun Nasabah.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan RTE memuat informasi antara lain:
a. nomor identifikasi transaksi;
b. identitas penerima DHE;
c. sandi kantor pabean;
d. nomor pendaftaran PPE;
e. tanggal pendaftaran PPE;
f. jenis valuta DHE; dan
g. nilai DHE.
4
Ayat (3)
Laporan DPDP memuat informasi antara lain:
a. sandi kantor pabean;
b. nomor pendaftaran PPE;
c. tanggal pendaftaran PPE; dan
d. nama berkas (file) dokumen pendukung.
Ayat (4)
Laporan transaksi Reksus DHE SDA memuat informasi antara
lain:
a. tanggal transaksi;
b. nomor identifikasi transaksi;
c. jenis Reksus DHE SDA;
d. nomor Reksus DHE SDA;
e. status pelaku transaksi;
f.
kategori pelaku transaksi;
g. hubungan keuangan antarpelaku transaksi;
h. jenis valuta;
i.
j.
Ayat (5)
Laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE memuat
informasi antara lain:
a.
jenis rekening;
b. nomor rekening;
c. identitas pemilik rekening;
d. jenis valuta;
e. posisi awal; dan
f.
posisi akhir.
Ayat (6)
Transaksi non-TT antara lain berupa transaksi letter of credit
(L/C), documentary collection, dan/atau overbooking sistem
internal bank.
Laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) memuat
informasi antara lain:
a. sandi bank;
b. jenis transaksi;
c. metode transaksi;
nilai transaksi; dan
tujuan transaksi.
5
d. nomor identifikasi transaksi;
e. nama Beneficiary/Applicant;
f. NPWP Beneficiary/Applicant;
g. nomor dokumen; dan
h. tanggal transaksi.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Transaksi Bank dan/atau Nasabah yang ditentukan secara
khusus berupa transaksi tertentu antara lain mencakup
transaksi antarbukan Penduduk, transaksi pembayaran kartu
kredit, transaksi jual beli mata uang asing, dan transaksi jual beli
cek pelawat.
Ayat (5)
Contoh:
Untuk data PL bulan Februari 2020 yang dilaporkan pada bulan
Maret 2020, perhitungan nilai ekuivalen dolar Amerika Serikat
untuk transaksi dalam valuta dolar Singapura menggunakan
kurs tengah yang diumumkan Bank Indonesia pada akhir bulan
Januari 2020.
Ayat (6)
Contoh:
Untuk data PL bulan Februari 2020 yang dilaporkan pada bulan
Maret 2020, perhitungan nilai ekuivalen dolar Amerika Serikat
untuk transaksi dalam valuta rupee India menggunakan kurs
Reuters pada akhir bulan Januari 2020.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
6
Ayat (2)
Dokumen Pendukung DHE antara lain dapat berupa dokumen
PPE, usance L/C, faktur penjualan, perjanjian jual beli antara
Eksportir dan Importir, dan surat keterangan tentang
penangguhan pembayaran dari Importir.
Ayat (3)
Contoh:
Nasabah Bank A yaitu PT X melakukan Ekspor dengan cara
pembayaran menggunakan usance L/C dengan jangka waktu 180
(seratus delapan puluh) hari. Selanjutnya, berdasarkan dokumen
PPE diperoleh informasi antara lain tanggal PPE yaitu 14 Maret
2020. PT X menyampaikan informasi PPE beserta dokumen
pendukung yaitu perjanjian penjualan dan usance L/C kepada
Bank A tanggal 27 Maret 2020.
Dalam hal ini, Bank A harus menyampaikan informasi PPE PT X
dalam Laporan RTE bulan Maret 2020 beserta laporan DPDP dan
Dokumen Pendukung DHE pada MPL bulan April 2020.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh:
Nasabah Bank C yaitu PT W menerima pembayaran di muka pada
tanggal 18 Oktober 2020. Atas pembayaran di muka tersebut,
Bank C wajib menyampaikan laporan RTE terkait informasi atas
penerimaan pembayaran di muka Nasabah tersebut untuk PL
bulan Oktober 2020 yang disampaikan pada bulan November
2020, yang berisi nomor identifikasi tertentu, identitas penerima
DHE, dan nilai penerimaan pembayaran di muka.
Ayat (6)
Informasi PPE dari Nasabah antara lain:
a. sandi kantor pabean;
b. nomor pendaftaran PPE;
c. tanggal PPE;
d. nilai PPE; dan
e. jenis valuta PPE.
7
Contoh:
Berdasarkan dokumen PPE yang diterbitkan pada tanggal 20
Januari 2021 yaitu pada saat barang dikirim, PT W memperoleh
informasi PPE dimaksud yang kemudian disampaikan kepada
Bank C pada tanggal 30 Januari 2021 berikut Dokumen
Pendukung DHE berupa perjanjian penjualan.
Dalam hal ini, Bank C wajib menyampaikan informasi PPE PT W
dalam Laporan RTE bulan Januari 2021 beserta laporan DPDP
dan Dokumen Pendukung DHE-nya pada MPL bulan Februari
2021 dengan nomor identifikasi yang sama dengan yang
dicantumkan pada Laporan RTE bulan Oktober 2020.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dokumen lainnya antara lain berupa bukti transfer dan
Message FTMS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
8
Huruf d
Dokumen lainnya antara lain berupa bukti transfer dan
Message FTMS.
Pasal 11
Ayat (1)
Contoh:
Bank A tidak tepat dalam mengisi 3 (tiga) field Laporan LLD
sehingga dinyatakan menyampaikan Laporan LLD secara tidak
benar. Atas penyampaian Laporan LLD tersebut, Bank A dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar Rp150.000,00 (3 field
x Rp50.000,00).
Ayat (2)
Contoh:
Bank A terlambat selama 3 (tiga) hari dalam menyampaikan
Laporan LLD dari batas waktu penyampaian Laporan LLD,
sehingga Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
selama 3 (tiga) hari keterlambatan dan dikenai sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp3.000.000,00 (3 x
Rp1.000.000,00).
Ayat (3)
Contoh:
Bank A tidak menyampaikan Laporan LLD sampai dengan batas
waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia, sehingga Bank A
dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD sehingga dikenai
sanksi denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
9
Ayat (3)
Contoh 1:
Bank Indonesia pada tanggal 10 Juli 2020 menerbitkan surat
penetapan sanksi administratif berupa denda terhadap Bank J
atas pelanggaran kewajiban pelaporan Kegiatan LLD PL bulan
Mei 2020. Dalam hal ini, Bank J dapat menyampaikan
permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa
denda kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 31
Agustus 2020.
Contoh 2:
Bank J sebagaimana dimaksud pada contoh 1 dapat
menyampaikan permohonan untuk pembebasan sanksi
administratif berupa denda kepada Bank Indonesia paling lambat
tanggal 31 Agustus 2020. Apabila Bank J menyampaikan
permohonan pada tanggal 3 September 2020, Bank Indonesia
tidak akan memproses permohonan tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Contoh:
Bank S berkedudukan di Singapura memiliki kantor cabang di
Jakarta, Bali, dan Palembang. Kantor cabang koordinator Bank S
di Indonesia yaitu kantor cabang di Jakarta. Berdasarkan hal
10
tersebut, Laporan LLD disampaikan kepada Bank Indonesia oleh
kantor cabang Bank S di Jakarta.
Ayat (2)
Penyampaian kepada Bank Indonesia secara daring dilakukan
melalui media ekstranet Bank Indonesia dengan menggunakan
akses ke jaringan ekstranet yang diberikan kepada Bank.
Ayat (3)
Contoh:
Untuk kegiatan LLD PL bulan Mei 2020, batas akhir MPL laporan
transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan
RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan
laporan posisi Reksus DHE SDA yaitu pada hari Senin tanggal 15
Juni 2020 pukul 23.59 WIB.
Ayat (4)
Contoh:
Untuk kegiatan LLD PL bulan Mei 2020, batas akhir MPL laporan
pendukung berupa laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi
non-TT) batas akhir MPL yaitu pada hari Jumat tanggal 5 Juni
2020 pukul 23.59 WIB.
Ayat (5)
Contoh:
Untuk Kegiatan LLD PL bulan Februari 2020, batas akhir MPL
laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa
laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA,
dan laporan posisi Reksus DHE SDA yaitu pada hari Minggu
tanggal 15 Maret 2020 pukul 23.59 WIB. Sedangkan, untuk
laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) batas akhir
MPL yaitu pada hari Kamis tanggal 5 Maret 2020 pukul 23.59
WIB.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang
terjadi di Bank Indonesia dan/atau Bank antara lain berupa
gangguan jaringan dan/atau komunikasi, namun tidak termasuk
gangguan pada sistem penyusunan Laporan LLD di Bank.
11
Contoh:
Gangguan teknis di Bank A terjadi pada hari Senin tanggal 3
Februari 2020 pukul 10.10 WIB. Bank A dapat menyampaikan
Laporan LLD PL bulan Januari 2020 secara luring pada tanggal
3 Februari 2020 dalam Jam Kerja dan Bank A tidak perlu
menyampaikan kembali laporan secara daring meskipun
gangguan teknis di Bank A telah dapat diatasi sebelum MPL.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh 1:
Gangguan teknis di Bank A terjadi pada hari Jumat tanggal
15 Mei 2020 dan baru dapat diatasi pada hari Sabtu tanggal
16 Mei 2020 pukul 10.00 WIB. Dalam hal ini, Bank A harus
menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi,
laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE,
laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan
laporan posisi Reksus DHE SDA PL bulan April 2020 secara
daring pada hari berikutnya pada saat gangguan teknis
berakhir, yaitu pada hari Sabtu tanggal 16 Mei 2020 dengan
memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis.
Dengan demikian, Bank A tidak dinyatakan terlambat
menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi,
laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE,
laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan
laporan posisi Reksus DHE SDA.
Contoh 2:
Gangguan teknis di Bank A terjadi pada hari Jumat tanggal
5 Juni 2020 dan baru dapat diatasi pada hari Sabtu tanggal
6 Juni 2020 pukul 10.00 WIB. Dalam hal ini, Bank A harus
menyampaikan laporan pendukung berupa laporan
transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) PL bulan Mei
2020 secara daring pada hari berikutnya pada saat
gangguan teknis berakhir, yaitu hari Sabtu tanggal 6 Juni
2020 dengan memberikan bukti pendukung terjadinya
gangguan teknis. Dengan demikian, Bank A tidak
dinyatakan terlambat menyampaikan laporan transaksi
DHE dan DPI (transaksi non-TT).
12
Huruf b
Contoh 1:
Gangguan teknis di Bank B terjadi pada hari Rabu tanggal
15 April 2020 dan belum dapat diatasi sampai dengan hari
Kamis tanggal 16 April 2020. Dalam hal ini, Bank B
menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi,
laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE,
laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan
laporan posisi Reksus DHE SDA PL bulan Maret 2020 secara
luring pada Hari berikutnya, yaitu hari Jumat tanggal 17
April 2020 dalam Jam Kerja dengan memberikan bukti
pendukung terjadinya gangguan teknis. Dengan demikian,
Bank B tidak dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan
LLD berupa laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan
pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan
transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE
SDA.
Contoh 2:
Gangguan teknis di Bank B terjadi pada hari Jumat tanggal
5 Juni 2020 dan belum dapat diatasi sampai dengan hari
Sabtu tanggal 6 Juni 2020. Dalam hal ini, Bank B
menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi DHE
dan DPI (Non-TT) PL bulan Maret 2020 secara luring pada
Hari berikutnya, yaitu pada hari Senin tanggal 8 Mei 2020
dalam Jam Kerja dengan memberikan bukti pendukung
terjadinya gangguan teknis. Dengan demikian, Bank B tidak
dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD berupa
laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT).
Ayat (3)
Huruf a
Contoh 1:
Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Jumat
tanggal 15 Mei 2020 dan baru dapat diatasi pada hari Sabtu
tanggal 16 Mei 2020 pukul 09.00 WIB. Dalam hal ini, Bank
A menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi,
laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE,
laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan
13
laporan posisi Reksus DHE SDA PL bulan April 2020 secara
daring pada hari berikutnya, yaitu tanggal 16 Mei 2020.
Dengan demikian, Bank A tidak dinyatakan terlambat
menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi,
laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE,
laporan DPDP DHE, laporan transaksi Reksus DHE SDA,
dan laporan posisi Reksus DHE SDA.
Contoh 2:
Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Jumat
tanggal 5 Juni 2020 dan baru dapat diatasi pada hari Sabtu
tanggal 6 Juni 2020 pukul 09.00 WIB. Dalam hal ini, Bank
A menyampaikan laporan LLD berupa laporan transaksi
DHE dan DPI (transaksi non-TT) PL bulan Mei 2020 secara
daring pada hari berikutnya, yaitu tanggal 6 Juni 2020.
Dengan demikian, Bank A tidak dinyatakan terlambat
menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi DHE
dan DPI (transaksi non-TT).
Huruf b
Contoh 1:
Apabila gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari
Jumat tanggal 15 Mei 2020 dan tidak dapat diatasi pada
tanggal 16 Mei 2020 maka Bank A menyampaikan Laporan
LLD berupa laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan
pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan
transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE
SDA PL bulan April 2020 secara luring pada Hari berikutnya,
yaitu hari Senin tanggal 18 Mei 2020 dalam Jam Kerja.
Dengan demikian, Bank A tidak dinyatakan terlambat
menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi,
laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE,
laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan
laporan posisi Reksus DHE SDA.
Contoh 2:
Apabila gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari
Jumat tanggal 5 Juni 2020 tidak dapat diatasi pada tanggal
6 Juni 2020 maka Bank A menyampaikan Laporan LLD
berupa laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT)
14
PL bulan Mei 2020 secara luring pada Hari berikutnya, yaitu
hari Senin tanggal 8 Juni 2020 dalam Jam Kerja. Dengan
demikian, Bank A tidak dinyatakan terlambat
menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi DHE
dan DPI (transaksi non-TT).
Pasal 17
Contoh:
Bank X melakukan penggabungan dengan Bank Y menjadi Bank X
yang mulai operasional pada tanggal 22 Juli 2020. Dalam hal ini,
kewajiban pelaporan bulanan dilakukan sebagai berikut:
a. Bank X dan Bank Y menyampaikan Laporan LLD pada bulan Juli
2020 yang berisi data bulan Juni 2020; dan
b. Bank X menyampaikan Laporan LLD pada bulan Agustus 2020
sebagai berikut:
1. data bulan Juli 2020 dari Bank X sebelum penggabungan
dan dari Bank X hasil penggabungan; dan
2. data Bank Y tanggal 1 sampai dengan 21 Juli 2020.
Pasal 18
Ayat (1)
Koreksi atas Laporan LLD secara daring dapat disampaikan pada
hari Sabtu, hari Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Contoh:
Untuk kegiatan LLD PL bulan April 2020, batas akhir MPKL
laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa
laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA,
dan laporan posisi Reksus DHE SDA yaitu pada hari Rabu tanggal
20 Mei 2020 pukul 23.59 WIB.
Ayat (3)
Contoh:
Untuk kegiatan LLD PL bulan April 2020, batas akhir MPKL
kegiatan LLD berupa laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi
non-TT) yaitu pada hari Selasa tanggal 5 Mei 2020 pukul 23.59
WIB.
15
Ayat (4)
Contoh:
Untuk kegiatan LLD PL bulan Mei 2020, batas akhir MPKL
laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa
laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA,
dan laporan posisi Reksus DHE SDA yaitu pada hari Sabtu
tanggal 20 Juni 2020 pukul 23.59 WIB. Sementara, batas akhir
MPKL laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) yaitu
pada hari Jumat tanggal 5 Juni 2020 pukul 23.59 WIB.
Ayat (5)
Huruf a
Contoh 1:
Gangguan teknis di Bank A terjadi pada hari Jumat tanggal
20 Maret 2020 pukul 11.00 WIB. Dalam hal ini, Bank A
menyampaikan koreksi Laporan LLD berupa laporan
transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa
laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE
SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA PL bulan Februari
2020 secara luring pada Hari berikutnya, yaitu Senin tanggal
23 Maret 2020 dalam Jam Kerja dengan memberikan bukti
pendukung terjadinya gangguan teknis.
Contoh 2:
Gangguan teknis di Bank A terjadi pada hari Jumat tanggal
5 Juni 2020 pukul 11.00 WIB. Dalam hal ini, Bank A
menyampaikan koreksi laporan LLD berupa laporan
transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) PL bulan Mei
2020 secara luring pada Hari berikutnya, yaitu hari Senin
tanggal 8 Juni 2020 dalam Jam Kerja dengan memberikan
bukti pendukung terjadinya gangguan teknis.
Huruf b
Contoh 1:
Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Rabu
tanggal 20 Mei 2020 pukul 15.00 WIB. Dalam hal ini, Bank
B menyampaikan koreksi Laporan LLD berupa laporan
transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa
laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE
SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA PL bulan April
16
2020 secara luring pada Hari berikutnya, yaitu hari Jumat
tanggal 22 Mei 2020 dalam Jam Kerja, mengingat Kamis, 21
Mei 2020 merupakan hari libur nasional.
Contoh 2:
Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Rabu
tanggal 5 Februari 2020 pukul 15.00 WIB. Dalam hal ini,
Bank B menyampaikan koreksi laporan LLD berupa laporan
transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) PL Januari 2020
secara luring pada Hari berikutnya, yaitu hari Kamis tanggal
6 Februari 2020 dalam Jam Kerja.
Pasal 19
Penyampaian secara luring dilakukan melalui media elektronik,
antara lain compact disk (CD), flash disk, atau surat elektronik (e-mail)
melalui Kantor Pusat Bank Indonesia atau Kantor Perwakilan Bank
Indonesia setempat sesuai dengan kedudukan Bank.
Contoh 1:
Bank M telah menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Juni 2020
untuk laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) pada tanggal
5 Juli 2020 sementara untuk laporan transaksi, laporan posisi, dan
laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan
transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA pada
tanggal 15 Juli 2020.
Pada tanggal 22 Juli 2020, Bank M bermaksud melakukan koreksi
terhadap kesalahan pengisian field nilai transaksi pada salah satu
baris (record) di laporan transaksi. Dalam hal ini, Bank M harus
menyampaikan koreksi Laporan LLD secara luring kepada Bank
Indonesia karena telah melampaui MPKL.
Contoh 2:
Bank N telah menyampaikan laporan transaksi DHE dan DPI
(transaksi non-TT) untuk PL bulan Juni 2020 pada tanggal 5 Juli
2020. Pada tanggal 7 Juli 2020, Bank N bermaksud melakukan
koreksi terhadap kesalahan pengisian field nilai transaksi pada salah
satu baris (record) di laporan transaksi. Dalam hal ini, Bank N harus
menyampaikan koreksi laporan transaksi DHE dan DPI secara luring
kepada Bank Indonesia karena telah melampaui MPKL.
17
Pasal 20
Ayat (1)
Contoh 1:
Bank P telah menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan
November 2020, namun masih terdapat kesalahan pada laporan
RTE, yaitu field Nilai PPE pada baris ke-7 dan baris ke-90.
Dalam hal ini, Bank P melakukan koreksi terhadap kesalahan
pengisian field Nilai PPE pada baris ke-7 dan baris ke-90 dalam
laporan RTE bulan November 2020 dan menyampaikan kembali
secara lengkap seluruh file Laporan LLD kepada Bank Indonesia.
Contoh 2:
Bank D telah menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan April
2020, namun masih terdapat kesalahan pada laporan transaksi,
yaitu field nilai transaksi untuk tujuan transaksi pembayaran
pinjaman pada baris ke-76.
Dalam hal ini, Bank D harus melakukan koreksi terhadap
kesalahan pengisian field nilai transaksi pada baris ke-76 dalam
laporan transaksi bulan April 2020 dan menyampaikan kembali
secara lengkap file laporan transaksi dan laporan posisi kepada
Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Contoh:
Bank Indonesia meminta klarifikasi kepada Bank A apabila dalam
laporan transaksi terdapat field status penerima yang diisi
dengan Indonesia untuk tujuan transaksi Impor barang.
Ayat (2)
Contoh:
Bank N telah menyampaikan transaksi PT B dengan nomor pokok
wajib pajak (NPWP) tertentu melalui laporan transaksi bulan
Agustus 2020. Namun berdasarkan basis data (database) yang
dimiliki Bank Indonesia, NPWP tersebut bukan atas nama PT B.
Bank Indonesia meminta klarifikasi kepada Bank N pada tanggal
1 Oktober 2020. Bank N harus menyampaikan tanggapan atas
18
permintaan klarifikasi dari Bank Indonesia paling lambat 12 (dua
belas) Hari setelah tanggal permintaan klarifikasi, yaitu pada
tanggal 19 Oktober 2020.
Ayat (3)
Dalam hal laporan yang diindikasikan tidak wajar tersebut telah
sesuai dengan data dan keterangan yang dimiliki, Bank cukup
memberikan tanggapan tanpa melakukan koreksi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dokumen Pendukung DHE disampaikan dalam bentuk salinan
digital (softcopy) dengan format PDF, JPG, TIFF, BMP, PNG, GIF,
atau file dengan format tersebut yang telah dikompresi.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh 1:
Bank Y telah menyampaikan Laporan LLD berupa laporan
transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan
RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan
laporan posisi Reksus DHE SDA untuk PL bulan Juni 2020 pada
tanggal 6 Juli 2020 yang telah memenuhi persyaratan kuantitas
dan persyaratan kualitas. Pada tanggal 10 Juli 2020, Bank Y
19
menyampaikan koreksi atas Laporan LLD tersebut dan juga telah
memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas.
Selanjutnya, apabila pada tanggal 15 Juli 2020 (akhir MPL) Bank
Y kembali melakukan koreksi dan sampai dengan pukul 23.59
WIB masih belum memenuhi persyaratan kuantitas dan
persyaratan kualitas, status laporan yang berlaku yaitu status
laporan yang disampaikan pada tanggal 15 Juli 2020. Dalam hal
ini, Bank Y dinyatakan belum menyampaikan laporan.
Selanjutnya apabila Bank Y menyampaikan kembali koreksi atas
Laporan LLD tersebut pada tanggal 16 Juli 2020 dan telah
memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas, Bank
Y dinyatakan terlambat menyampaikan laporan.
Contoh 2:
Bank Y telah menyampaikan Laporan LLD berupa laporan
transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) untuk PL bulan Juni
2020 pada tanggal 2 Juli 2020 yang telah memenuhi persyaratan
kuantitas dan persyaratan kualitas. Pada tanggal 4 Juli 2020,
Bank Y menyampaikan koreksi atas Laporan LLD tersebut dan
juga telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan
kualitas.
Selanjutnya, apabila pada tanggal 5 Juli 2020 (akhir MPL) Bank
Y kembali melakukan koreksi dan sampai dengan pukul 23.59
WIB masih belum memenuhi persyaratan kuantitas dan
persyaratan kualitas, status laporan yang berlaku yaitu status
laporan yang disampaikan pada tanggal 5 Juli 2020. Dalam hal
ini, Bank Y dinyatakan belum menyampaikan laporan.
Selanjutnya apabila Bank Y menyampaikan kembali koreksi atas
laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) pada tanggal
6 Juli 2020 dan telah memenuhi persyaratan kuantitas dan
persyaratan
kualitas, Bank Y dinyatakan terlambat
menyampaikan laporan.
Ayat (5)
Contoh:
Bank F telah menyampaikan Laporan LLD berupa laporan
transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan
RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan
laporan posisi Reksus DHE SDA untuk PL bulan Juni 2020 pada
20
tanggal 13 Juli 2020 dan telah memenuhi persyaratan kuantitas
dan persyaratan kualitas. Pada tanggal 17 Juli 2020, Bank F
menyampaikan koreksi atas Laporan LLD yang disampaikan
pada tanggal 13 Juli 2020 dan telah memenuhi persyaratan
kuantitas dan persyaratan kualitas.
Selanjutnya, apabila pada tanggal 20 Juli 2020 (akhir MPKL)
Bank F kembali melakukan koreksi dan sampai dengan pukul
23.59 WIB masih belum memenuhi persyaratan kuantitas dan
kualitas maka Laporan LLD yang dinyatakan diterima Bank
Indonesia yaitu laporan yang disampaikan pada tanggal 17 Juli
2020.
Pasal 24
Ayat (1)
Contoh 1:
Laporan LLD berupa laporan transaksi, laporan posisi, dan
laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan
transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA
Bank A untuk PL bulan Maret 2020 diterima Bank Indonesia
secara daring pada hari Kamis tanggal 16 April 2020. Dengan
demikian Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan
LLD tersebut untuk PL bulan Maret 2020.
Contoh 2:
Laporan LLD berupa laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi
non-TT) Bank A untuk PL bulan Maret 2020 diterima Bank
Indonesia secara luring pada hari Senin tanggal 6 April 2020.
Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD
tersebut untuk PL bulan Maret 2020.
Ayat (2)
Contoh:
Bank A menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan September
2020 pada tanggal 2 November 2020 dalam Jam Kerja. Dengan
demikian Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan
LLD untuk PL bulan September 2020.
21
Ayat (3)
Contoh:
Batas akhir penyampaian Laporan LLD PL bulan Januari 2020
secara daring untuk laporan transaksi, laporan posisi, dan
laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan
transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA
yaitu hari Kamis tanggal 20 Februari 2020 sampai dengan pukul
23.59 WIB.
Ayat (4)
Contoh:
Batas akhir penyampaian Laporan LLD PL bulan Januari 2020
secara daring untuk laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi
non-TT) yaitu hari Rabu tanggal 5 Februari 2020 sampai dengan
pukul 23.59 WIB.
Pasal 25
Ayat (1)
Contoh:
Laporan LLD Bank A untuk PL bulan Maret 2020 tidak diterima
Bank Indonesia sampai dengan hari Selasa tanggal 30 April 2020
dalam Jam Kerja sehingga Bank A dinyatakan tidak
menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Maret 2020.
Ayat (2)
Contoh:
Apabila pada hari Senin tanggal 2 November 2020 sampai dengan
berakhirnya Jam Kerja, Bank Indonesia belum menerima
Laporan LLD Bank A untuk PL bulan September 2020, Bank A
dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan
September 2020.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
22
Pasal 27
Ayat (1)
Dokumen pendukung dapat berupa dokumen yang mendasari
adanya kegiatan transaksi (underlying transaction) Transfer Dana
Keluar dalam valuta asing, antara lain:
a. tagihan dari penjual barang dan jasa di luar negeri;
b. kontrak pinjaman atau dokumen lain yang menunjukkan
adanya kewajiban pembayaran bunga dan/atau pokok
pinjaman;
c. kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan adanya
kewajiban membayar royalti dan kewajiban hak intelektual
lainnya;
d. dokumen rapat umum pemegang saham yang menunjukkan
kewajiban pembagian dividen kepada pemegang saham di
luar negeri;
e.
perjanjian kerja atau dokumen kepegawaian lainnya yang
menunjukkan kewajiban membayar gaji dan penghasilan
lainnya;
f. dokumen likuidasi aset di dalam negeri yang merupakan hak
pihak di luar negeri; dan/atau
g. dokumen pengecualian atau penangguhan kewajiban
penggunaan rupiah untuk transaksi valuta asing di dalam
negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Contoh:
Pada tanggal 19 Agustus 2020, Bank A melakukan transfer
kepada perusahaan Z di Singapura sebesar USD300,000.00
(tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat) atas pembelian
perangkat komputer untuk kepentingan Bank A.
23
Dalam hal ini, transaksi yang dilakukan Bank A tidak
memerlukan Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar.
Huruf b
Contoh:
Pada tanggal 18 September 2020, PT Q memerintahkan
Bank P di Jakarta untuk mentransfer dana sebesar
USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika
Serikat) dari rekening valuta asing milik PT Q untuk untung
rekening valuta asing milik PT Q di Bank S di Surabaya.
Dalam hal ini, transaksi yang dilakukan PT Q tidak
memerlukan Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Contoh:
PT U memerintahkan Bank K di Jakarta untuk membayar kepada
rekening perusahaan induknya yaitu perusahaan V di Singapura
sebesar USD101,000.00 (seratus satu ribu dolar Amerika
Serikat). Berdasarkan perintah Transfer Dana Keluar dari PT U,
diperoleh informasi bahwa pembayaran tersebut merupakan
pembayaran atas pembelian barang dari perusahaan V. Untuk
transaksi ini, PT U menyampaikan fotokopi invoice sebesar
USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) kepada
Bank K.
Selisih lebih antara nilai perintah Transfer Dana Keluar dengan
nilai yang tercantum di fotokopi invoice tidak melebihi 2,5% (dua
koma lima persen) dari nilai yang tercantum di fotokopi invoice.
Dalam hal ini, perintah Transfer Dana Keluar dianggap sesuai
dengan Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar dari sisi nilai
transaksi.
Ayat (2)
Contoh:
Untuk transaksi Transfer Dana Keluar selama bulan Februari
2020, perhitungan nilai ekuivalen dolar Amerika Serikat untuk
transaksi dalam valuta ringgit Malaysia menggunakan kurs
24
tengah yang diumumkan Bank Indonesia pada akhir bulan
Januari 2020.
Ayat (3)
Contoh:
Untuk transaksi Transfer Dana Keluar selama bulan Februari
2020, perhitungan nilai ekuivalen dolar Amerika Serikat untuk
transaksi dalam valuta dirham Uni Emirat Arab menggunakan
kurs Reuters pada akhir bulan Januari 2020.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang dari
Nasabah” adalah:
a. pejabat yang mewakili badan usaha berdasarkan
anggaran dasar;
b. pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan surat
kuasa; atau
c. pejabat yang memiliki kewenangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh:
Pada tanggal 17 dan 18 Juni 2020, PT R membeli valuta asing
masing-masing sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar
Amerika Serikat) dan USD125,000.00 (seratus dua puluh lima
ribu dolar Amerika Serikat) di Bank C untuk menambah saldo
dolar Amerika Serikat dalam rekening valuta asing dengan
mendebit rekening rupiah milik PT R di Bank yang sama. Untuk
transaksi ini, PT R telah memberikan dokumen kepada Bank C
berupa fotokopi invoice dari perusahaan T di Hong Kong untuk
25
pembelian barang dari luar negeri sebesar USD425,000.00
(empat ratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat).
Selanjutnya, pada tanggal 19 Juni 2020 PT R memerintahkan
Bank C untuk melakukan transfer sebesar USD425,000.00
(empat ratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) kepada
perusahaan T.
Untuk transaksi tersebut, Bank C dapat menggunakan dokumen
yang telah disampaikan PT R sebelumnya yakni invoice dari
perusahaan T dalam pemenuhan ketentuan ini.
Ayat (6)
Contoh:
PT J melakukan transaksi LLD berupa Transfer Dana Keluar
melalui Bank D di Jakarta sebesar USD200,000.00 (dua ratus
ribu dolar Amerika Serikat) guna pembayaran pinjaman luar
negeri. Jika tanggal valuta untuk transfer dimaksud yaitu tanggal
18 Desember 2020, Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar
untuk transaksi dimaksud harus diterima Bank D sebelum
pelaksanaan penyelesaian transaksi pada tanggal valuta.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar dan surat
pernyataan atas Transfer Dana Keluar yang diberikan Nasabah
kepada Bank, baik dalam bentuk salinan cetak (hardcopy)
dan/atau salinan digital (softcopy), tidak perlu disampaikan
kepada Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
26
Ayat (2)
Informasi tujuan transaksi Transfer Dana Keluar yang
disampaikan oleh Nasabah kepada Bank dicantumkan Bank
pada field 70 MT103 pada Message FTMS.
Untuk transaksi Ekspor dan Impor, sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai devisa hasil
ekspor dan devisa pembayaran impor, selain tujuan transaksi
informasi yang perlu dicantumkan dalam Message FTMS adalah
nomor invoice dan nilai invoice.
Contoh 1:
PT IK melakukan pengembalian pinjaman dengan jangka waktu
lebih dari satu tahun sebesar USD1.500,000.00 (satu juta lima
ratus ribu dolar Amerika Serikat) pada bulan Februari 2020.
Atas pengembalian pinjaman tersebut, PT IK melakukan
pembayaran melalui transaksi TT pada tanggal 14 Februari 2020
dengan nilai sebesar USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu
dolar Amerika Serikat). PT IK menyampaikan informasi tujuan
transaksi pengembalian pinjaman tersebut dalam Message FTMS
dengan format 2232.
Contoh 2:
PT IK melakukan Impor dengan nilai invoice sebesar
USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) pada
bulan Januari 2020 dengan nomor invoice 123BCD.
Atas Impor tersebut, PT IK melakukan pembayaran melalui
transaksi TT pada tanggal 14 Februari 2020 dengan nilai sebesar
USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan
nomor invoice 123BCD. PT IK menyampaikan informasi Impor
dalam Message FTMS dengan format 2012//123BCD(500000).
Pasal 32
Contoh:
PT A di Jakarta melakukan transaksi sebanyak 3 (tiga) kali pada
tanggal 21 Mei 2020 melalui Bank X tanpa Dokumen Pendukung
Transfer Dana Keluar dan surat pernyataan atas Transfer Dana Keluar
(dalam hal diperlukan), dengan rincian sebagai berikut:
27
a. USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat)
kepada perusahaan B dengan rekening di bank C yang berlokasi
di Singapura;
b. USD230,000.00 (dua ratus tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat)
kepada PT D dengan rekening di bank E yang berlokasi di
Surabaya; dan
c. USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) kepada
perusahaan F dengan rekening di bank G yang berlokasi di
Malaysia.
Bank X mengaksep ketiga Perintah Transfer Dana ini pada
tanggal yang sama dengan mendebit rekening PT A. Dalam hal
ini, Bank X akan dikenai sanksi administratif berupa denda
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), yaitu atas
pelanggaran ketentuan untuk transfer ke perusahaan B dan PT
D. Untuk transfer ke perusahaan F di Malaysia tidak ada
keharusan penyampaian Dokumen Pendukung Transfer Dana
Keluar atau surat pernyataan sehingga tidak dikenai sanksi.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh 1:
Bank Indonesia pada tanggal 10 Juli 2020 menerbitkan surat
penetapan sanksi administratif berupa denda terhadap Bank J
atas pelanggaran kewajiban pelaporan Kegiatan LLD PL bulan
Mei 2020. Dalam hal ini, Bank J dapat menyampaikan
permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa
denda kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 31
Agustus 2020.
28
Contoh 2:
Bank J sebagaimana dimaksud pada contoh 1 dapat
menyampaikan permohonan untuk pembebasan sanksi
administratif berupa denda kepada Bank Indonesia paling lambat
tanggal 31 Agustus 2020. Apabila Bank J menyampaikan
permohonan pada tanggal 3 September 2020, Bank Indonesia
tidak akan memproses permohonan tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Data dan keterangan yang harus diberikan Nasabah antara lain
nilai dan jenis transaksi, tujuan transaksi, pelaku transaksi, dan
negara tujuan atau asal pelaku transaksi.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh 1:
Nasabah H melakukan transaksi Transfer Dana Keluar pada
bulan September 2020 dengan nilai transaksi sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Setelah Bank
29
Indonesia melakukan penelitian kebenaran terhadap Dokumen
Pendukung Transfer Dana Keluar, Dokumen Pendukung Transfer
Dana Keluar yang diberikan Nasabah untuk transaksi tersebut
dinilai tidak memadai.
Apabila kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku 1 (satu) hari
kerja sebelum tanggal pengenaan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp14.000,00 (empat belas ribu rupiah),
perhitungan denda Nasabah H sebesar (0,25% x
USD1,000,000.00 x Rp14.000,00) = Rp35.000.000,00.
Contoh 2:
Nasabah J melakukan transaksi Transfer Dana Keluar pada
bulan Oktober 2020 dengan nilai transaksi sebesar
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Setelah Bank
Indonesia melakukan penelitian kebenaran terhadap Dokumen
Pendukung Transfer Dana Keluar, Dokumen Pendukung Transfer
Dana Keluar yang diberikan Nasabah untuk transaksi tersebut
dinilai tidak memadai.
Apabila kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku 1 (satu) hari
kerja sebelum tanggal pengenaan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp14.000,00 (empat belas ribu rupiah),
perhitungan denda Nasabah J sebesar (0,25% x
USD2,000,000.00 x Rp14.000,00) = Rp70.000.000,00. Mengingat
perhitungan denda tersebut melebihi nilai denda maksimal maka
Nasabah J dikenakan denda maksimal sebesar Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
30
Ayat (3)
Contoh 1:
Bank Indonesia pada tanggal 10 Juli 2020 menerbitkan surat
penetapan sanksi administratif berupa denda terhadap Bank J
atas pelanggaran kewajiban pelaporan Kegiatan LLD PL bulan
Mei 2020. Dalam hal ini, Bank J dapat menyampaikan
permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa
denda kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 31
Agustus 2020.
Contoh 2:
Bank J sebagaimana dimaksud pada Contoh 1 dapat
menyampaikan permohonan untuk pembebasan sanksi
administratif berupa denda kepada Bank Indonesia paling lambat
tanggal 31 Agustus 2020. Apabila Bank J menyampaikan
permohonan pada tanggal 3 September 2020, Bank Indonesia
tidak akan memproses permohonan tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
31
Ayat (4)
Contoh:
PT W memerintahkan Bank L di Jakarta untuk membayar kepada
rekening perusahaan G di Amerika Serikat sebesar
USD202,500.00 (dua ratus dua ribu lima ratus dolar Amerika
Serikat). Berdasarkan perintah Transfer Dana Keluar dari PT W,
diperoleh informasi bahwa pembayaran tersebut merupakan
pembayaran atas pembelian barang dari perusahaan G. Untuk
transaksi ini, PT W menyampaikan fotokopi invoice sebesar
USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) kepada
Bank L. Dalam hal ini, Bank L melakukan verifikasi antara lain
nama penerima dan nilai pembayaran yang tercantum dalam
perintah transfer dengan nama penjual dan nilai kewajiban
membayar yang tercantum dalam invoice.
Mengingat selisih lebih antara nilai perintah Transfer Dana
Keluar dengan nilai yang tercantum di fotokopi invoice tidak
melebihi 2,5% (dua koma lima persen) dari nilai yang tercantum
di fotokopi invoice maka perintah Transfer Dana Keluar dianggap
sesuai dengan Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “dokumen lainnya yang terkait” antara
lain laporan keuangan dan daftar mutasi rekening koran (bank
statement).
32
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Contoh:
Nasabah S yang merupakan Eksportir SDA melakukan transaksi
Transfer Dana Keluar dari Reksus DHE SDA miliknya pada bulan
November 2020 dengan nilai transaksi sebesar USD500,000.00
(lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan tujuan transaksi
untuk pembayaran impor barang. Setelah Bank Indonesia
melakukan penelitian kebenaran terhadap Dokumen Pendukung
Transfer Dana Keluar, Dokumen Pendukung Transfer Dana
Keluar yang diberikan Nasabah untuk transaksi tersebut dinilai
tidak memadai.
Bank Indonesia menginformasikan hasil pengawasan terhadap
Nasabah S kepada:
a. Kementerian Keuangan c.q. DJBC; dan
b. Kementerian dan/atau lembaga teknis terkait,
untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing-
masing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
33
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan kahar” adalah keadaan yang
berada di luar kendali Bank dan secara nyata dialami Bank yang
disebabkan antara lain oleh kebakaran, kerusuhan massa,
pemogokan pekerja, terorisme, bom, perang, sabotase, serta
bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan
oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah
setempat, termasuk Bank Indonesia.
Contoh:
Pada akhir bulan April 2020, tempat kedudukan Bank Y
mengalami gempa bumi yang mengakibatkan Bank Y tidak dapat
menyusun Laporan LLD untuk bulan tersebut karena hilangnya
data. Dalam hal ini, Bank Y dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan Laporan LLD PL bulan April 2020.
Ayat (2)
Contoh:
Pada tanggal 9 Maret 2020 sampai dengan 20 Maret 2019 terjadi
pemogokan seluruh karyawan Bank D yang mengakibatkan Bank
D terhambat menyampaikan Laporan LLD PL bulan Februari
2020. Dalam hal ini, Bank D dapat menyampaikan Laporan LLD
dimaksud melewati batas waktu penyampaian laporan dan Bank
D tidak dikenakan sanksi administratif.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
34
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/28/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH </reg_title>
<set_date> 31 Desember 2019 </set_date>
<effective_date> 2 Januari 2020 </effective_date>
<replaced_reg> '21/16/PADG/2019' </replaced_reg>
<related_reg> '21/15/PBI/2019', '21/14/PBI/2019' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB II Pasal 11', 'BAB II Pasal 12', 'BAB II Pasal 13', 'BAB II Pasal 14', 'BAB IV Pasal 32', 'BAB IV Pasal 33', 'BAB IV Pasal 34', 'BAB IV Pasal 35', 'BAB V Pasal 37', 'BAB V Pasal 38', 'BAB V Pasal 39', 'BAB V Pasal 40' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/7/PADG/2018
TENTANG
KEPESERTAAN OPERASI MONETER
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi tujuan Bank Indonesia yaitu
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank
Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter;
b. bahwa untuk melaksanakan kebijakan moneter, Bank
Indonesia melakukan pengendalian moneter yang salah
satunya dilakukan melalui pelaksanaan operasi moneter,
baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip
syariah;
c. bahwa guna meningkatkan aspek tata kelola, standarisasi,
dan kepatuhan kepesertaan dalam pelaksanaan operasi
moneter, Bank Indonesia memandang perlu untuk
mengatur perizinan dan pengawasan terkait kepesertaan
dalam operasi moneter;
2
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Kepesertaan
Operasi Moneter;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6198);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
KEPESERTAAN OPERASI MONETER.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum
syariah, dan unit usaha syariah.
2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat
BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan.
3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
5. Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang
selanjutnya disebut Pialang Pasar Uang adalah pialang
3
pasar uang rupiah dan valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pialang pasar uang rupiah dan valuta
asing.
6. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai pasar modal, yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama.
7. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter
oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang
dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip
syariah.
8. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya disingkat
OMK adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank
Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan
secara konvensional.
9. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS
adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank
Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah.
10. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT
adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar
valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan
Bank dan/atau pihak lain untuk Operasi Moneter yang
dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip
syariah.
11. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang selanjutnya
disebut OPT Konvensional adalah kegiatan transaksi di
pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan
oleh Bank Indonesia dengan BUK dan/atau pihak lain.
12. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut
OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di pasar uang
berdasarkan prinsip syariah dan/atau pasar valuta asing
yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUS, UUS,
dan/atau pihak lain.
13. Lembaga Perantara adalah Pialang Pasar Uang dan
Perusahaan Efek, yang telah memperoleh izin dari Bank
4
Indonesia sebagai lembaga perantara dalam Operasi
Moneter.
14. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing yang
selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat berharga
dalam valuta asing yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
15. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Untuk
OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi
Repo OPT Konvensional adalah transaksi penjualan surat
berharga oleh peserta OPT Konvensional kepada Bank
Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh
peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang disepakati.
16. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Untuk
OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT
Syariah adalah transaksi penjualan surat berharga oleh
peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia dengan janji
pembelian kembali oleh peserta OPT Syariah sesuai
dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
17. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga Untuk OPT
Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse
Repo OPT Konvensional adalah transaksi pembelian surat
berharga oleh peserta OPT Konvensional
dari Bank
Indonesia, dengan kewajiban penjualan kembali oleh
peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang disepakati.
18. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga Untuk OPT
Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo
OPT Syariah adalah transaksi pembelian surat berharga
oleh peserta OPT Syariah dari Bank Indonesia, dengan
janji penjualan kembali oleh peserta OPT Syariah sesuai
dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
19. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik
yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara
individual sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
5
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen
dana seketika.
20. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
seketika.
21. Sistem Bank Indonesia–Electronic Trading Platform yang
selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah BI-ETP
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi,
penatausahaan surat berharga dan setelmen dana
seketika.
22. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di Bank
Indonesia dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing.
23. Penggabungan adalah penggabungan dari 2 (dua) badan
hukum atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan
berdirinya salah satu badan hukum dan membubarkan
badan hukum lainnya dengan atau tanpa melikuidasi.
24. Peleburan adalah penggabungan dari 2 (dua) badan
hukum atau lebih, dengan cara mendirikan badan hukum
baru dan membubarkan badan hukum tersebut dengan
atau tanpa melikuidasi.
25. Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu badan
hukum.
26. Pemisahan adalah pemisahan usaha dari 1 (satu) bank
menjadi 2 (dua) badan usaha atau lebih, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
27. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas
Jasa Keuangan.
6
BAB II
PERIZINAN PESERTA DAN LEMBAGA PERANTARA DALAM
OPERASI MONETER
Bagian Kesatu
Izin Sebagai Peserta Operasi Moneter dan Lembaga Perantara
Paragraf 1
Izin sebagai Peserta Operasi Moneter
Pasal 2
(1) Peserta Operasi Moneter terdiri atas peserta OPT dan
peserta Standing Facilities.
(2) Peserta OPT dan peserta Standing Facilities sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Bank.
(3) Peserta OPT dapat mengikuti OPT secara langsung
dan/atau tidak langsung melalui Lembaga Perantara.
(4) Dalam hal peserta OPT Konvensional mengikuti lelang
SBBI Valas, peserta OPT Konvensional dapat mengikuti
lelang SBBI Valas untuk kepentingan diri sendiri dan/atau
pihak lain.
Pasal 3
(1) Bank yang akan mengikuti Operasi Moneter wajib
memperoleh izin sebagai peserta Operasi Moneter dari
Bank Indonesia.
(2) Izin sebagai peserta Operasi Moneter sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.
izin sebagai peserta OMK dalam rupiah;
b. izin sebagai peserta OMK dalam valuta asing;
c.
izin sebagai peserta OMS dalam rupiah; dan
d. izin sebagai peserta OMS dalam valuta asing.
Pasal 4
(1) Izin UUS sebagai peserta Operasi Moneter sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) terpisah dari izin BUK
induknya sebagai peserta Operasi Moneter.
7
(2) Pengajuan izin UUS sebagai peserta Operasi Moneter
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan
oleh BUK induknya.
Pasal 5
(1) Bank yang melakukan langkah strategis dan mendasar
yang berdampak pada hubungan operasional Bank
dengan Bank Indonesia di bidang moneter atau Bank baru
yang telah memperoleh izin usaha dari otoritas yang
berwenang, harus memperoleh izin dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Langkah strategis dan mendasar yang berdampak pada
hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia di
bidang moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi kegiatan:
a. aksi korporasi berupa Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan, dan Pemisahan;
b. perubahan status;
c. perubahan nama;
d. pencabutan izin usaha; dan/atau
e.
langkah strategis lainnya.
Paragraf 2
Izin Sebagai Lembaga Perantara
Pasal 6
(1) Pialang Pasar Uang dan/atau Perusahaan Efek yang akan
mengikuti OPT wajib memperoleh izin sebagai Lembaga
Perantara dari Bank Indonesia.
(2) Izin sebagai Lembaga Perantara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berupa:
a. izin sebagai Lembaga Perantara OPT Konvensional dan
OPT Syariah dalam rupiah;
b. izin sebagai Lembaga Perantara OPT Konvensional dan
OPT Syariah dalam valuta asing.
8
Pasal 7
Lembaga Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
hanya dapat mengajukan penawaran transaksi OPT untuk dan
atas nama peserta OPT.
Pasal 8
(1) Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) hanya dapat memperoleh izin sebagai Lembaga
Perantara OPT Konvensional dan OPT Syariah dalam
rupiah.
(2)
Jenis transaksi yang dapat dilakukan oleh Lembaga
Perantara berupa Perusahaan Efek sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. OPT Konvensional, yaitu pada:
1. Transaksi Repo SBN;
2. Transaksi Reverse Repo SBN; dan
3. Transaksi pembelian atau penjualan SBN secara
outright di pasar sekunder; dan
b. OPT Syariah, yaitu pada:
1. Transaksi Repo SBSN;
2. Transaksi Reverse Repo SBSN; dan
3. Transaksi pembelian atau penjualan SBSN secara
outright di pasar sekunder.
Bagian Kedua
Persyaratan untuk Memperoleh Izin bagi Pihak yang Akan
Menjadi Peserta Operasi Moneter dan Lembaga Perantara
Pasal 9
Bank Indonesia menetapkan persyaratan untuk memperoleh
izin bagi pihak yang akan menjadi peserta Operasi Moneter dan
Lembaga Perantara dengan mempertimbangkan:
a. aspek kapasitas;
b. aspek kapabilitas; dan
c. aspek reputasi.
9
Pasal 10
(1) Bank yang akan menjadi peserta Operasi Moneter
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. aspek kelembagaan yang meliputi:
1. surat izin usaha sebagai Bank dari otoritas yang
berwenang;
2. surat izin, persetujuan, atau rekomendasi dari
OJK untuk Bank yang melakukan langkah
strategis dan mendasar;
b. aspek infrastruktur yang meliputi:
1. untuk Operasi Moneter dalam rupiah:
a) memiliki Rekening Giro rupiah di Bank
Indonesia;
b) menjadi peserta Sistem BI-ETP;
c) menjadi peserta BI-SSSS; dan
d) menjadi peserta Sistem BI-RTGS;
2. untuk Operasi Moneter dalam valuta asing:
a) memenuhi persyaratan sebagai peserta
Operasi Moneter dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam angka 1;
b) memiliki Rekening Giro valuta asing di Bank
Indonesia; dan
c) memiliki sarana transaksi Operasi Moneter
valuta asing;
c. aspek kompetensi sumber daya manusia yaitu
berupa:
1. direksi dan pegawai yang bertanggung jawab
dan/atau melaksanakan aktivitas tresuri wajib
memiliki kompetensi yang memadai yang
dibuktikan dengan sertifikat tresuri sesuai dengan
klasifikasi dan tingkatan sertifikasi tresuri; dan
2. direksi dan pegawai yang bertanggung jawab
dan/atau melaksanakan aktivitas tresuri
memahami dan menerapkan kode etik pasar yang
dibuktikan dengan prosedur internal yang wajib
dimiliki oleh Bank; dan
10
d. aspek manajemen risiko yaitu:
1. memiliki prosedur internal Business Continuity
Plan (BCP) terkait transaksi Operasi Moneter
dengan Bank Indonesia atau terkait kegiatan
tresuri Bank; dan
2. memiliki prosedur internal mengenai pemisahan
fungsi antara front office dan back office terkait
kegiatan tresuri Bank.
(2) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c mengacu kepada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai sertifikasi tresuri dan
penerapan kode etik pasar.
(3) Dalam hal pemenuhan persyaratan kepesertaan Operasi
Moneter oleh UUS untuk:
a. aspek infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b angka 2 huruf c);
b. aspek kompetensi sumber daya manusia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c; dan/atau
c. aspek manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d,
merupakan bagian dari BUK induknya maka UUS harus
menyampaikan bukti pendukung pemenuhan persyaratan
kepesertaan Operasi Moneter kepada Bank Indonesia
dengan mencantumkan keterangan bahwa pemenuhan
persyaratan tersebut merupakan bagian dari BUK
induknya.
Pasal 11
(1) Pemenuhan persyaratan aspek infrastruktur untuk
Operasi Moneter dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b angka 1 dinyatakan dalam
bentuk surat persetujuan kepesertaan Sistem BI-ETP, BI-
SSSS, dan Sistem BI-RTGS dari Bank Indonesia dan surat
persetujuan pembukaan Rekening Giro rupiah di Bank
Indonesia.
(2) Pemenuhan persyaratan aspek infrastruktur untuk
Operasi Moneter dalam valuta asing sebagaimana
11
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b angka 2 huruf
b) dinyatakan dalam bentuk surat persetujuan
pembukaan Rekening Giro valuta asing di Bank Indonesia.
(3) Pemenuhan persyaratan aspek infrastruktur untuk
sarana transaksi Operasi Moneter valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b
angka 2 huruf c) dinyatakan dalam bentuk perjanjian
kerja sama yang masih berlaku antara Bank dengan
penyedia sarana dealing system yang digunakan dalam
transaksi Operasi Moneter valuta asing.
Pasal 12
(1) Pialang Pasar Uang dan/atau Perusahaan Efek yang akan
mengikuti OPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. aspek kelembagaan yang meliputi:
1. surat izin usaha dari Bank Indonesia bagi Pialang
Pasar Uang;
2. surat penunjukan sebagai dealer utama dari
Kementerian Keuangan Republik Indonesia bagi
Perusahaan Efek;
b. aspek infrastruktur, meliputi:
1. untuk OPT dalam rupiah, menjadi peserta Sistem
BI-ETP; dan
2. untuk OPT dalam valuta asing, memiliki sarana
transaksi Operasi Moneter valuta asing;
c. aspek kompetensi sumber daya manusia yaitu
berupa:
1. direksi dan pegawai yang bertanggung jawab
dan/atau melaksanakan aktivitas tresuri wajib
memiliki kompetensi yang memadai yang
dibuktikan dengan sertifikat tresuri sesuai dengan
klasifikasi dan tingkatan sertifikasi tresuri; dan
2. direksi dan pegawai yang bertanggung jawab
dan/atau melaksanakan
aktivitas
tresuri
memahami dan menerapkan kode etik pasar yang
dibuktikan dengan prosedur internal yang wajib
12
dimiliki oleh Pialang Pasar Uang dan/atau
Perusahaan Efek; dan
d. aspek manajemen risiko berupa prosedur internal
Business Continuity Plan (BCP) terkait transaksi OPT
dengan Bank Indonesia atau terkait kegiatan tresuri
Pialang Pasar Uang dan/atau Perusahaan Efek.
(2) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai sertifikasi tresuri dan penerapan
kode etik pasar.
Pasal 13
(1) Pemenuhan persyaratan aspek infrastruktur untuk OPT
dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(1) huruf b angka 1 berupa surat persetujuan kepesertaan
dalam Sistem BI-ETP dari Bank Indonesia.
(2) Pemenuhan persyaratan aspek infrastruktur untuk
sarana transaksi OPT valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b angka 2 dinyatakan dalam
bentuk perjanjian kerja sama yang masih berlaku antara
Pialang Pasar Uang dengan penyedia sarana dealing
system yang digunakan dalam transaksi OPT valuta asing.
Pasal 14
(1) Bank Indonesia dapat menunjuk peserta OPT yang
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia untuk mendukung pelaksanaan transaksi
Operasi Moneter.
(2) Penunjukan peserta OPT sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
13
Bagian Ketiga
Tata Cara Perizinan untuk menjadi Peserta Operasi Moneter
dan Lembaga Perantara
Pasal 15
(1) Bank yang akan menjadi peserta Operasi Moneter serta
Pialang Pasar Uang dan/atau Perusahaan Efek yang akan
menjadi Lembaga Perantara mengajukan permohonan izin
kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen
pendukung pemenuhan persyaratan kepesertaan Operasi
Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan/atau
Pasal 12.
(2) Pengajuan permohonan izin untuk menjadi Peserta
Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara
tertulis dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 16
Guna memproses permohonan izin sebagai peserta Operasi
Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan/atau
sebagai Lembaga Perantara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian administratif;
b. analisis kelayakan Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau
Perusahaan Efek yang akan mengikuti Operasi Moneter;
dan/atau
c. melakukan pemeriksaan.
Pasal 17
(1) Penelitian administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 huruf a dilakukan terhadap dokumen yang
disampaikan oleh Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau
Perusahaan Efek yang akan mengikuti Operasi Moneter
yang meliputi:
a. penelitian kelengkapan dokumen; dan
14
b. penelitian kesesuaian dokumen,
terhadap pemenuhan persyaratan kepesertaan dalam
Operasi Moneter.
(2) Analisis kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
huruf b berupa analisis terhadap pemenuhan persyaratan
kepesertaan Operasi Moneter oleh Bank, Pialang Pasar
Uang, dan/atau Perusahaan Efek yang akan mengikuti
Operasi Moneter.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
huruf c dilakukan dengan cara melakukan kunjungan ke
lokasi usaha (on-site visit) Bank, Pialang Pasar Uang,
dan/atau Perusahaan Efek yang akan mengikuti Operasi
Moneter untuk melakukan verifikasi atas kesesuaian
dokumen yang disampaikan dengan persyaratan
kepesertaan Operasi Moneter sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 dan/atau Pasal 12.
Pasal 18
Dalam hal berdasarkan hasil penelitian administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dokumen yang
disampaikan oleh Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau
Perusahaan Efek belum lengkap, Bank Indonesia
menginformasikan secara tertulis kepada pihak tersebut untuk
melengkapi kekurangan dokumen.
Pasal 19
Dalam hal berdasarkan hasil penelitian administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dokumen yang
disampaikan oleh Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau
Perusahaan Efek telah lengkap, Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian kesesuaian dokumen; dan
b. analisis kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2).
Pasal 20
Bank Indonesia memproses permohonan izin kepesertaan
Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau Perusahaan Efek untuk
15
mengikuti Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak
dokumen persyaratan dinyatakan lengkap.
Pasal 21
Berdasarkan hasil penelitian administratif, analisis kelayakan,
dan/atau hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16, Bank Indonesia memutuskan untuk:
a. menyetujui; atau
b. menolak,
permohonan izin kepesertaan Bank, Pialang Pasar Uang,
dan/atau Perusahaan Efek untuk mengikuti Operasi Moneter.
Pasal 22
Persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 huruf a menetapkan:
a. Bank sebagai peserta Operasi Moneter; dan
b. Pialang Pasar Uang dan/atau Perusahaan Efek sebagai
Lembaga Perantara.
Pasal 23
(1) Dalam hal Bank Indonesia menolak permohonan izin
kepesertaan Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau
Perusahaan Efek untuk mengikuti Operasi Moneter maka
pihak tersebut tidak dapat mengikuti Operasi Moneter di
Bank Indonesia.
(2) Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau Perusahaan Efek
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan
permohonan izin untuk mengikuti Operasi Moneter di
Bank Indonesia setelah pihak tersebut dapat memenuhi
persyaratan sebagai peserta Operasi Moneter dan/atau
Lembaga Perantara.
16
Bagian Keempat
Tata Cara Pemberian Izin dan Pencabutan Izin Peserta Operasi
Moneter dan/atau Lembaga Perantara yang Melakukan
Langkah Strategis dan Mendasar
Pasal 24
Dalam hal peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga
Perantara melakukan Penggabungan maka peserta Operasi
Moneter dan/atau Lembaga Perantara yang bukan merupakan
hasil Penggabungan mengajukan permohonan pencabutan izin
kepesertaan dalam Operasi Moneter kepada Bank Indonesia.
Pasal 25
Dalam hal peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga
Perantara melakukan Peleburan:
a. masing-masing peserta Operasi Moneter dan/atau
Lembaga Perantara yang meleburkan diri, mengajukan
permohonan pencabutan izin kepesertaan dalam Operasi
Moneter kepada Bank Indonesia;
b. bagi peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga
Perantara hasil Peleburan mengajukan permohonan izin
kepesertaan dalam Operasi Moneter kepada Bank
Indonesia.
Pasal 26
Dalam hal peserta Operasi Moneter berupa UUS melakukan
Pemisahan:
a. BUS hasil Pemisahan mengajukan permohonan izin
kepesertaan Operasi Moneter kepada Bank Indonesia; dan
b. BUK induk dari UUS yang melakukan Pemisahan
mengajukan permohonan pencabutan izin kepesertaan
Operasi Moneter untuk UUS kepada Bank Indonesia.
Pasal 27
(1) Dalam hal peserta Operasi Moneter berupa Bank yang
melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing melakukan
perubahan status menjadi Bank yang tidak dapat
17
melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing maka Bank
mengajukan permohonan pencabutan izin kepesertaan
Operasi Moneter dalam valuta asing kepada Bank
Indonesia.
(2) Dalam hal Bank yang tidak dapat melakukan kegiatan
usaha dalam valuta asing melakukan perubahan status
menjadi Bank yang dapat melakukan kegiatan usaha
dalam valuta asing maka Bank mengajukan izin
kepesertaan Operasi Moneter dalam valuta asing kepada
Bank Indonesia.
Pasal 28
Dalam hal peserta Operasi Moneter berupa BUK melakukan
perubahan kegiatan usaha (konversi) dari BUK menjadi BUS:
a. BUK mengajukan permohonan pencabutan izin sebagai
peserta OMK dalam rupiah dan/atau valuta asing kepada
Bank Indonesia; dan
b. BUS mengajukan permohonan izin sebagai peserta OMS
dalam rupiah dan/atau valuta asing kepada Bank
Indonesia.
Pasal 29
Tata cara perizinan kepesertaan dalam Operasi Moneter bagi
peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara yang
melakukan langkah strategis dan mendasar mengacu pada tata
cara perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 sampai
dengan Pasal 23.
Pasal 30
(1) Pengajuan permohonan izin bagi peserta Operasi Moneter
dan/atau Lembaga Perantara yang melakukan langkah
strategis dan mendasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 huruf b, Pasal 26 huruf a, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28
huruf b, disampaikan secara tertulis dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.
(2) Pengajuan permohonan pencabutan izin bagi peserta
Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara yang
18
melakukan langkah strategis dan mendasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25 huruf a, Pasal 26 huruf
b, Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28 huruf a disampaikan
secara tertulis dengan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 31
(1) Dalam hal peserta Operasi Moneter melakukan langkah
strategis dan mendasar berupa:
a. perubahan nama;
b. pengambilalihan; dan/atau
c. perubahan kantor cabang bank asing menjadi bank
berbadan hukum Indonesia,
peserta Operasi Moneter tersebut menyampaikan
perubahan data, informasi dan/atau keterangan kepada
Bank Indonesia sebagai pembaruan informasi peserta
Operasi Moneter di Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter
melakukan langkah strategis dan mendasar berupa:
a. perubahan nama; dan/atau
b. pengambilalihan;
maka Lembaga Perantara tersebut menyampaikan
perubahan data, informasi dan/atau keterangan kepada
Bank Indonesia sebagai pembaruan informasi Lembaga
Perantara di Bank Indonesia.
Bagian Kelima
Pencabutan Izin Kepesertaan dalam Operasi Moneter
Pasal 32
(1) Dalam hal peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga
Perantara dicabut izin usahanya oleh otoritas terkait,
peserta dan/atau Lembaga Perantara mengajukan
permohonan pencabutan izin kepesertaan dalam Operasi
Moneter kepada Bank Indonesia.
19
(2) Pengajuan permohonan pencabutan izin kepesertaan dalam
Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 33
(1) Bank dapat mengajukan permohonan pencabutan izin
sebagai peserta Operasi Moneter dalam valuta asing atas
inisiatif sendiri.
(2) Pialang Pasar Uang dan/atau Perusahaan Efek dapat
mengajukan permohonan pencabutan izin sebagai
Lembaga Perantara atas inisiatif sendiri.
Pasal 34
(1) Bagi Bank yang telah dicabut izinnya sebagai peserta
Operasi Moneter dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (1) hanya dapat mengajukan
permohonan izin kembali sebagai peserta Operasi Moneter
dalam valuta asing paling cepat 6 (enam) bulan setelah
tanggal efektif pencabutan izin.
(2) Bagi Pialang Pasar Uang dan/atau Perusahaan Efek yang
telah dicabut izinnya sebagai Lembaga Perantara dalam
Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (2) hanya dapat mengajukan permohonan izin kembali
sebagai Lembaga Perantara paling cepat 6 (enam) bulan
setelah tanggal efektif pencabutan izin.
Bagian Keenam
Pelaporan atas Perubahan Data, Informasi, dan/atau
Keterangan Peserta Operasi Moneter atau Lembaga Perantara
Pasal 35
(1) Peserta Operasi Moneter wajib menyampaikan laporan
kepada Bank Indonesia dalam hal:
a. terdapat perubahan data, informasi, dan/atau
keterangan terkait pemenuhan persyaratan kepesertaan
20
Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1); dan/atau
b. terdapat perubahan data, informasi, dan/atau
keterangan karena peserta Operasi Moneter melakukan
langkah strategis dan mendasar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (1).
(2) Penyampaian data, informasi, dan/atau keterangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan
kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kalender sejak perubahan terjadi.
(3) Penyampaian data, informasi, dan/atau keterangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengacu pada
mekanisme penyampaian informasi sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pelayanan perizinan terpadu terkait hubungan operasional
bank umum dengan Bank Indonesia.
Pasal 36
(1) Lembaga Perantara wajib menyampaikan laporan kepada
Bank Indonesia dalam hal:
a. terdapat perubahan data, informasi, dan/atau
keterangan terkait pemenuhan persyaratan kepesertaan
Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1); dan/atau
b. terdapat perubahan data, informasi, dan/atau
keterangan karena Lembaga Perantara melakukan
langkah strategis dan mendasar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (2).
(2) Penyampaian data, informasi, dan/atau keterangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender
sejak perubahan terjadi.
21
Bagian Ketujuh
Pengawasan Peserta Operasi Moneter dan Lembaga Perantara
Pasal 37
Bank Indonesia melakukan pengawasan kepada peserta
Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara melalui:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
Pasal 38
Guna pelaksanaan pengawasan tidak langsung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 huruf a, peserta Operasi Moneter
dan/atau Lembaga Perantara wajib menyediakan dan
menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan yang
diperlukan oleh Bank Indonesia.
Pasal 39
Dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 huruf b, peserta Operasi Moneter
dan/atau Lembaga Perantara wajib memberikan kepada Bank
Indonesia:
a. dokumen dan/atau data yang diminta;
b.
c. hal lain yang diperlukan dalam pemeriksaan.
BAB III
SANKSI KEPESERTAAN DALAM OPERASI MONETER
Pasal 40
Dalam hal peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga
Perantara tidak menyampaikan perubahan data dan/atau
informasi terkait kepesertaan Operasi Moneter sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 dan/atau Bank
Indonesia menemukan pelanggaran terhadap pemenuhan
persyaratan kepesertaan dalam Operasi Moneter dalam
pengawasan kepada peserta Operasi Moneter dan/atau
informasi dan keterangan yang berkaitan dengan kegiatan
yang diperiksa, baik lisan maupun tertulis; dan/atau
22
Lembaga Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
maka peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara
dikenakan sanksi administratif berupa:
a.
teguran tertulis;
b. pembatasan kepesertaan Operasi Moneter; dan/atau
c. pencabutan izin kepesertaan Operasi Moneter.
Bagian Kesatu
Teguran Tertulis
Pasal 41
(1) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
huruf a dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali kepada
peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara
dengan tembusan kepada otoritas terkait.
(2) Peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara
harus menyampaikan tanggapan atas teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank
Indonesia paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak teguran
tertulis diterima oleh peserta Operasi Moneter dan/atau
Lembaga Perantara.
(3) Penyampaian tanggapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disertai dengan rencana tindak.
Pasal 42
(1) Rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat (3) harus memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia.
(2) Peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara
wajib memenuhi rencana tindak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling lambat 6 (enam) bulan setelah rencana
tindak disetujui oleh Bank Indonesia.
23
Bagian Kedua
Pembatasan Keikutsertaan dalam Operasi Moneter
Pasal 43
Dalam hal peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga
Perantara tidak menyampaikan tanggapan setelah teguran
tertulis ketiga dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 atau tidak memenuhi rencana tindak hingga
batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (2) maka peserta Operasi Moneter dan/atau
Lembaga Perantara dikenakan
sanksi
pembatasan
keikutsertaan dalam Operasi Moneter sebagai berikut:
a. bagi Bank, hanya dapat mengikuti Operasi Moneter pada
instrumen tertentu selama 1 (satu) bulan; dan
b. bagi Lembaga Perantara, dilarang mengikuti OPT selama 1
(satu) bulan.
Bagian Ketiga
Pencabutan Izin Kepesertaan dalam Operasi Moneter
Pasal 44
Bank Indonesia mencabut izin Bank sebagai peserta Operasi
Moneter dan mencabut izin Pialang Pasar Uang dan/atau
Perusahaan Efek sebagai Lembaga Perantara apabila Bank,
Pialang Pasar Uang dan/atau Perusahaan Efek tidak dapat
memenuhi persyaratan kepesertaan Operasi Moneter setelah
jangka waktu pembatasan dan/atau larangan keikutsertaan
dalam Operasi Moneter berakhir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43.
BAB IV
KORESPONDENSI
Pasal 45
(1) Penyampaian terkait:
a. permohonan izin kepesertaan Operasi Moneter bagi
Bank baru yang akan mengikuti Operasi Moneter;
24
b. permohonan izin peserta Operasi Moneter yang
melakukan langkah strategis dan mendasar;
c. permohonan pencabutan izin kepesertaan Operasi
Moneter yang melakukan langkah strategis dan
mendasar;
d. permohonan pencabutan izin sebagai peserta Operasi
Moneter akibat adanya pencabutan izin usaha oleh
otoritas terkait; dan/atau
e. laporan perubahan data, informasi, dan/atau
keterangan karena peserta Operasi Moneter
melakukan langkah strategis dan mendasar,
ditujukan kepada:
Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem
Keuangan,
Jalan M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(2) Penyampaian terkait:
a. permohonan izin kepesertaan Operasi Moneter bagi
Bank dan/atau Pialang Pasar Uang yang telah
mengikuti Operasi Moneter sebelum Peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Operasi Moneter
berlaku;
b. permohonan izin bagi Pialang Pasar Uang dan/atau
Perusahaan Efek yang akan mengikuti Operasi
Moneter;
c. permohonan izin bagi Lembaga Perantara yang
melakukan langkah strategis dan mendasar;
d. permohonan pencabutan izin Lembaga Perantara
yang melakukan langkah strategis dan mendasar;
e. permohonan pencabutan izin sebagai Lembaga
Perantara akibat adanya pencabutan izin usaha oleh
otoritas terkait;
f. permohonan pencabutan izin sebagai peserta Operasi
Moneter dalam valuta asing atas inisiatif peserta
Operasi Moneter;
g. Permohonan pencabutan izin sebagai Lembaga
Perantara atas inisiatif sendiri;
25
h. surat tanggapan dari peserta Operasi Moneter
dan/atau Lembaga Perantara atas teguran tertulis
dari Bank Indonesia disertai rencana tindak;
i.
laporan perubahan data, informasi, dan/atau
keterangan karena Lembaga Perantara melakukan
langkah strategis dan mendasar;
j.
laporan perubahan data, informasi dan/atau
keterangan
terkait pemenuhan persyaratan
kepesertaan sebagai peserta Operasi Moneter selain
akibat dari langkah strategis dan mendasar yang
dilakukan oleh peserta Operasi Moneter; atau
k. laporan perubahan data, informasi dan/atau
keterangan
terkait pemenuhan persyaratan
kepesertaan sebagai Lembaga Perantara,
ditujukan kepada:
Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan
Moneter,
Jalan M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(3) Bagi Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau Perusahaan
Efek yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor
Pusat Bank Indonesia, penyampaian informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat.
(4) Dalam hal terdapat perubahan korespondensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank
Indonesia memberitahukan perubahan tersebut kepada
Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau Perusahaan Efek
melalui surat.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 46
Bank dan/atau Pialang Pasar Uang yang telah mengikuti
Operasi Moneter sebelum Peraturan Bank Indonesia yang
26
mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku, wajib
mengajukan izin kepada Bank Indonesia paling lambat 6
(enam) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai Operasi Moneter berlaku.
Pasal 47
(1) Tata cara perizinan bagi Bank dan Pialang Pasar Uang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 untuk menjadi
peserta Operasi Moneter dan Lembaga Perantara mengacu
pada tata cara perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 sampai dengan Pasal 19 dan Pasal 21 sampai
dengan Pasal 23.
(2) Bank Indonesia memproses perizinan Bank dan/atau
Pialang Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
secara bulanan selama masa transisi.
Pasal 48
(1) Bank dan/atau Pialang Pasar Uang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 yang belum memenuhi
persyaratan kepesertaan Operasi Moneter sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 dan/atau Pasal 12 wajib
menyusun rencana tindak.
(2) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga)
bulan sejak Peraturan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai Operasi Moneter berlaku.
Pasal 49
(1) Rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
ayat (2) harus memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia.
(2) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus diimplementasikan dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan sejak Peraturan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai Operasi Moneter berlaku.
27
Pasal 50
Dalam hal Bank dan/atau Pialang Pasar Uang yang telah
mengikuti Operasi Moneter sebelum Peraturan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku, tidak
memenuhi persyaratan perizinan kepesertaan Operasi Moneter
dalam jangka waktu implementasi rencana tindak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2), Bank dan/atau Pialang
Pasar Uang dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. teguran tertulis;
b. pembatasan kepesertaan dalam Operasi Moneter;
dan/atau
c. larangan keikutsertaan dalam Operasi Moneter sampai
dengan pemenuhan persyaratan yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan/atau Pasal 12
terpenuhi.
Bagian Kesatu
Teguran Tertulis
Pasal 51
Teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf
a dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali kepada Bank dan/atau
Pialang Pasar Uang, dengan tembusan kepada otoritas terkait.
Pasal 52
(1) Bank dan/atau Pialang Pasar Uang harus menyampaikan
tanggapan kepada Bank Indonesia atas teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 paling lambat 5
(lima) hari kerja sejak teguran tertulis diterima.
(2) Penyampaian tanggapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disertai dengan rencana tindak.
Pasal 53
(1) Rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
ayat (2) harus memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia.
(2) Bank dan/atau Pialang Pasar Uang harus memenuhi
28
rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling lambat 6 (enam) bulan setelah rencana tindak
disetujui oleh Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Pembatasan Kepesertaan Operasi Moneter
Pasal 54
Dalam hal Bank dan/atau Pialang Pasar Uang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46, tidak menyampaikan tanggapan
setelah teguran tertulis ketiga dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 atau tidak memenuhi
rencana tindak hingga batas waktu yang ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) maka Bank
dan/atau Pialang Pasar Uang dikenakan sanksi pembatasan
kepesertaan dalam Operasi Moneter sebagai berikut:
a. bagi Bank, hanya dapat mengikuti Operasi Moneter pada
instrumen tertentu selama 1 (satu) bulan; dan
b. bagi Pialang Pasar Uang, dilarang mengikuti OPT selama
1 (satu) bulan.
Bagian Ketiga
Larangan Keikutsertaan dalam Operasi Moneter
Pasal 55
Bank Indonesia melarang keikutsertaan Bank dan/atau
Pialang Pasar Uang dalam Operasi Moneter apabila Bank
dan/atau Pialang Pasar Uang tidak dapat memenuhi
persyaratan kepesertaan Operasi Moneter setelah jangka waktu
pembatasan keikutsertaan
dalam
Operasi Moneter
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 berakhir.
Pasal 56
Dalam hal Bank dan/atau Pialang Pasar Uang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 akan mengikuti Operasi Moneter
kembali, Bank dan/atau Pialang Pasar Uang harus
mengajukan permohonan izin kepesertaan dalam Operasi
29
Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 sampai
dengan Pasal 23.
Pasal 57
(1) Dalam hal Bank dan/atau Pialang Pasar Uang yang telah
mengikuti Operasi Moneter sebelum Peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Operasi Moneter
berlaku,
tidak mengajukan permohonan izin
keikutsertaan dalam Operasi Moneter hingga masa
transisi berakhir, maka Bank dan/atau Pialang Pasar
Uang tidak dapat mengikuti Operasi Moneter.
(2) Dalam hal Bank dan/atau Pialang Pasar Uang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan mengikuti
Operasi Moneter kembali maka Bank dan/atau Pialang
Pasar Uang harus mengajukan permohonan izin
kepesertaan dalam Operasi Moneter dengan tata cara
perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 sampai
dengan Pasal 23.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 58
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku, pengaturan terkait kriteria dan persyaratan
peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter
sebagaimana dimaksud dalam:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/29/DPM
tanggal 29 November 2016 perihal Kriteria dan
Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga
Perantara dalam Operasi Moneter; dan
b. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
19/17/PADG/2017 tanggal 28 Desember 2017
tentang Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga,
Peserta, dan Lembaga Perantara dalam Operasi
Moneter Syariah,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
30
Pasal 59
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 April 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
ERWIN RIJANTO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/7/PADG/2018
TENTANG
KEPESERTAAN OPERASI MONETER
I. UMUM
Dalam melaksanakan kebijakan moneter untuk mencapai tujuan
Bank Indonesia, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter yang
salah satunya melalui pelaksanaan operasi moneter baik secara
konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah.
Bank Indonesia melakukan penguatan kewenangan melalui perizinan
dan pengawasan terkait kepesertaan dalam operasi moneter sejalan dengan
diimplementasikannya pelayanan perizinan secara terpadu terkait
hubungan operasional bank dengan Bank Indonesia di bidang moneter,
bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang
makroprudensial.
Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan aspek tata kelola,
standarisasi, dan kepatuhan kepesertaan dalam pelaksanaan operasi
moneter.
Oleh karena itu Bank Indonesia perlu menetapkan persyaratan dan
perizinan peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
2
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “perubahan status” antara lain:
1. Bank yang baru mendapatkan izin untuk melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing; atau
2. BUK yang melakukan konversi kegiatan usaha menjadi
BUS.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pencabutan izin usaha” adalah
pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham
sendiri.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “langkah strategis lainnya” antara
lain berupa:
1. perubahan kantor cabang bank asing menjadi bank
berbadan hukum Indonesia dan/atau pengalihan aset
dan kewajiban yang bukan merupakan Penggabungan,
Peleburan, atau Pemisahan yang dilakukan
berdasarkan persetujuan otoritas yang berwenang;
2. pembentukan UUS.
3
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Aspek kapasitas merupakan potensi kemampuan peserta Operasi
Moneter dan Lembaga Perantara untuk bertransaksi secara
optimal pada seluruh instrumen Operasi Moneter, yang
dinyatakan dengan kelengkapan dan kekinian sarana atau
prasarana untuk bertransaksi dalam Operasi Moneter.
Huruf b
Aspek kapabilitas merupakan ukuran dari kemampuan peserta
Operasi Moneter dan Lembaga Perantara untuk melaksanakan
transaksi Operasi Moneter dengan Bank Indonesia yang dapat
dinyatakan dari level sertifikasi tresuri yang dimiliki.
Huruf c
Aspek reputasi merupakan ukuran dari tingkat kepercayaan
stakeholder terhadap peserta Operasi Moneter dan Lembaga
Perantara.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Surat izin usaha sebagai Bank dari OJK berlaku bagi
Bank baru dan Bank yang telah mengikuti Operasi
Moneter sebelum PBI Nomor 20/5/PBI/2018 yang
mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku.
Angka 2
Surat izin, persetujuan, atau rekomendasi dari OJK
berlaku bagi Bank yang melakukan langkah strategis
4
dan mendasar yang berdampak pada hubungan
operasional Bank dengan Bank Indonesia di bidang
moneter.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan “aktivitas tresuri” adalah
kegiatan transaksi keuangan secara langsung yaitu
terkait penjualan produk dan/atau pelaksanaan
transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing
beserta derivatifnya.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf d
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Prosedur internal dapat berupa standard operating
procedure, struktur organisasi, dan/atau dokumen lain
yang mengatur substansi pemisahan fungsi antara front
office dan back office terkait kegiatan tresuri Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Perjanjian kerja sama dengan penyedia sarana dealing system
yang digunakan dalam transaksi Operasi Moneter valuta asing
diajukan bersamaan dengan penyampaian permohonan izin
kepesertaan Operasi Moneter valuta asing.
5
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan “aktivitas tresuri” adalah
kegiatan transaksi keuangan secara langsung yaitu
terkait penjualan produk dan/atau pelaksanaan
transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing
beserta derivatifnya.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perjanjian kerja sama dengan penyedia sarana dealing system
yang digunakan dalam transaksi OPT valuta asing diajukan
bersamaan dengan penyampaian permohonan izin sebagai
Lembaga Perantara.
Pasal 14
Ayat (1)
Bank Indonesia dapat menunjuk peserta OPT untuk mendukung
pelaksanaan transaksi Operasi Moneter antara lain sebagai agent
bank dan/atau dealer utama (primary dealer).
Ayat (2)
Cukup jelas.
6
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Yang dimaksud dengan “dokumen persyaratan dinyatakan lengkap”
adalah pemenuhan dokumen pendukung persyaratan kepesertaan
Operasi Moneter termasuk surat persetujuan kepesertaan dalam
Sistem BI-ETP, Sistem BI-RTGS, dan BI-SSSS dari Bank Indonesia
termasuk bukti kepemilikan Rekening Giro rupiah dan/atau Rekening
Giro valuta asing di Bank Indonesia.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
7
Pasal 25
Permohonan izin peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga
Perantara hasil Peleburan akan diproses setelah Bank Indonesia
menerima permohonan pencabutan izin dari masing-masing peserta
Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara yang meleburkan diri.
Pasal 26
Permohonan izin BUS hasil Pemisahan akan diproses setelah Bank
Indonesia menerima permohonan pencabutan izin kepesertaan
Operasi Moneter UUS yang diajukan oleh BUK induknya.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Proses permohonan pencabutan izin BUK sebagai peserta OMK dalam
rupiah dan/atau valuta asing dan perizinan BUS sebagai peserta OMS
dalam rupiah dan/atau valuta asing dilakukan secara bersamaan.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dicabut izin usahanya oleh otoritas terkait”
termasuk juga pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang
saham sendiri.
Yang dimaksud dengan “otoritas terkait” adalah Otoritas Jasa
Keuangan bagi Bank dan Perusahaan Efek, serta Bank Indonesia
bagi Pialang Pasar Uang.
8
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Huruf a
Yang dimaksud dengan “instrumen tertentu” adalah lelang
Reverse Repo SBN 1 (satu) minggu dan Standing Facilities.
9
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Yang dimaksud dengan “Bank dan/atau Pialang Pasar Uang yang telah
mengikuti Operasi Moneter sebelum Peraturan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku” adalah Bank dan/atau
Pialang Pasar Uang sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 18/12/PBI/2016 tentang Operasi Moneter dan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/12/PBI/2014 tentang Operasi
Moneter Syariah.
Yang dimaksud dengan “6 (enam) bulan sejak Peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku” adalah
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “masa transisi” adalah 6 (enam) bulan
sejak Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter berlaku.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
10
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “6 (enam) bulan sejak Peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku”
adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter.
Pasal 50
Yang dimaksud dengan “Bank dan/atau Pialang Pasar Uang yang telah
mengikuti Operasi Moneter sebelum Peraturan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku” adalah Bank dan/atau
Pialang Pasar Uang sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 18/12/PBI/2016 tentang Operasi Moneter dan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/12/PBI/2014 tentang Operasi
Moneter Syariah.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Huruf a
Yang dimaksud dengan “instrumen tertentu” adalah lelang
Reverse Repo SBN 1 (satu) minggu dan Standing Facilities.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
11
Pasal 57
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Bank dan/atau Pialang Pasar Uang yang
telah mengikuti Operasi Moneter sebelum Peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku”
adalah Bank dan/atau Pialang Pasar Uang sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/12/PBI/2016
tentang Operasi Moneter dan Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/12/PBI/2014 tentang Operasi Moneter Syariah.
Yang dimaksud dengan “masa transisi” adalah 6 (enam) bulan
sejak Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/7/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> KEPESERTAAN OPERASI MONETER </reg_title>
<set_date> 30 April 2018 </set_date>
<effective_date> 30 April 2018 </effective_date>
<replaced_reg> '18/29/DPM|SE-BI/2016', '19/17/PADG/2017' </replaced_reg>
<related_reg> '20/5/PBI/2018' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III', 'BAB V Pasal 50', 'BAB V Pasal 54' </penalty_list>
|
1
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/2/PADG/2018
TENTANG
TATA CARA PENGGUNAAN FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menyempurnakan kebijakan
mengenai fasilitas likuiditas intrahari untuk mendukung
terwujudnya penyelenggaraan sistem pembayaran yang
efisien, lancar, aman, dan andal;
b. bahwa agar kebijakan mengenai fasilitas likuiditas
intrahari dapat dilaksanakan dengan optimal maka
diperlukan ketentuan pelaksanaan sebagai pedoman bagi
bank peserta sistem Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement dalam penggunaan fasilitas likuiditas intrahari;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Tata Cara Penggunaan
Fasilitas Likuiditas Intrahari;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga,
dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5762) sebagaimana telah beberapa
kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia
2
Nomor 19/14/PBI/2017 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga,
dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 301, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6169);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG TATA
CARA PENGGUNAAN FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Penyelenggara adalah Bank Indonesia yang
menyelenggarakan sistem dalam kegiatan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
seketika.
2. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan
oleh Bank Indonesia, pemerintah, dan/atau lembaga lain
yang ditatausahakan pada Bank Indonesia-Scripless
Securities Settlement System.
3. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik
yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara
individual.
4. Transaksi dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang
dilakukan oleh peserta dengan Bank Indonesia untuk
kegiatan operasi moneter, operasi moneter syariah,
dan/atau transaksi surat berharga negara untuk dan atas
nama pemerintah, serta transaksi lainnya yang dilakukan
dengan Bank Indonesia.
3
5. Transaksi Pasar Keuangan adalah transaksi Surat
Berharga dan transaksi pinjam meminjam antarpeserta
yang dilakukan secara konvensional atau yang
dipersamakan berdasarkan prinsip syariah dalam
transaksi pasar uang dan/atau transaksi Surat Berharga
di pasar sekunder.
6. Transaksi adalah Transaksi dengan Bank Indonesia dan
Transaksi Pasar Keuangan.
7. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana penatausahaan Transaksi
dan penatausahaan Surat Berharga yang dilakukan
secara elektronik.
8.
Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disingkat
FLI adalah fasilitas pendanaan yang diberikan oleh Bank
Indonesia kepada bank peserta Sistem BI-RTGS baik
secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah
untuk mengatasi kesulitan pendanaan yang terjadi selama
jam operasional Sistem BI-RTGS.
9. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
10. Bank Peserta Sistem BI-RTGS adalah Bank yang telah
memenuhi persyaratan dan memperoleh persetujuan dari
Penyelenggara sebagai peserta Sistem BI-RTGS.
11. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Bank Peserta
Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta
asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk
pelaksanaan setelmen dana.
12. Setelmen Dana adalah proses penyelesaian akhir
transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan
Rekening Setelmen Dana.
4
Pasal 2
(1) Untuk kelancaran Setelmen Dana dalam Sistem BI-RTGS,
Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat menggunakan FLI.
(2) FLI digunakan pada saat dana yang terdapat pada
Rekening Setelmen Dana dalam rupiah milik Bank Peserta
Sistem BI-RTGS tidak mencukupi untuk melakukan
Setelmen Dana.
(3) Penggunaan FLI oleh Bank Peserta Sistem BI-RTGS tidak
dikenakan biaya.
BAB II
PENYEDIAAN SURAT BERHARGA DAN
PERSYARATAN BANK PESERTA SISTEM BI-RTGS
Bagian Kesatu
Penyediaan Surat Berharga untuk Memperoleh FLI
Pasal 3
(1) Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang akan menggunakan
FLI harus menyediakan Surat Berharga dalam rekening
FLI.
(2) Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Surat Berharga diterbitkan oleh Bank Indonesia
dan/atau pemerintah;
b. Surat Berharga tidak sedang menjadi agunan kepada
Bank Indonesia atau pihak lain; dan
c. Surat Berharga dapat ditransaksikan secara
repurchase agreement (repo) dengan Bank Indonesia
dalam lending facility atau financing facility.
(3) Tata cara penyediaan Surat Berharga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui
Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System.
5
Pasal 4
Penetapan harga, haircut, dan perhitungan nilai Surat Berharga
yang tersedia di rekening FLI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai:
a.
b.
kriteria dan persyaratan surat berharga, peserta, dan
lembaga perantara dalam operasi moneter; dan
kriteria dan persyaratan surat berharga, peserta, dan
lembaga perantara dalam operasi moneter syariah.
Pasal 5
(1) Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat memindahkan Surat
Berharga yang tersedia dalam rekening FLI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sebelum batas akhir
periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.
(2) Pemindahan Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam hal:
a. Bank Peserta Sistem BI-RTGS telah melunasi
penggunaan FLI; dan/atau
b.
nilai Surat Berharga yang tetap disediakan dalam
rekening FLI masih mencukupi untuk penggunaan
FLI.
Bagian Kedua
Persyaratan Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang dapat
Menggunakan FLI
Pasal 6
Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang dapat menggunakan FLI
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berstatus aktif dalam kepesertaan Sistem BI-RTGS dan
BI-SSSS; dan
b. memiliki Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2).
6
BAB III
PENGGUNAAN FLI
Pasal 7
(1) Penggunaan FLI dalam Sistem BI-RTGS dilakukan dengan
mekanisme repo atas Surat Berharga milik Bank Peserta
Sistem BI-RTGS yang disediakan pada rekening FLI.
(2) Penggunaan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penggunaan FLI dilakukan sejak Sistem BI-RTGS
dibuka sampai dengan awal periode cut-off warning
Sistem BI-RTGS;
b. penggunaan FLI dilakukan berdasarkan kecukupan
nilai Surat Berharga yang tersedia pada rekening FLI;
c. pencairan dana untuk penggunaan FLI dilakukan
sebesar kebutuhan dana untuk pelaksanaan
Setelmen Dana Bank Peserta Sistem BI-RTGS;
d. Surat Berharga yang ditransaksikan secara repo
memiliki total nilai paling sedikit sebesar pencairan
dana sebagaimana dimaksud dalam huruf c; dan
e. perhitungan nominal atas Surat Berharga yang
ditransaksikan secara repo sebagaimana dimaksud
dalam huruf d mengacu pada kelipatan nilai unit
terkecil Surat Berharga yang ditatausahakan dalam
rekening FLI, dengan pembulatan ke atas.
(3) Mekanisme repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
penatausahaan surat berharga melalui Bank Indonesia-
Scripless Securities Settlement System.
(4) Mekanisme pencairan dana untuk penggunaan FLI
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan
dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana
seketika melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement.
7
BAB IV
PELUNASAN FLI
Bagian Kesatu
Mekanisme Pelunasan FLI
Pasal 8
(1) Bank Peserta Sistem BI-RTGS harus melunasi FLI pada
hari yang sama dengan hari penggunaan FLI sejak Sistem
BI-RTGS dibuka sampai dengan batas akhir periode cut-off
warning Sistem BI-RTGS.
(2) Pelunasan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui BI-SSSS dengan mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui
Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System.
(3) Dalam hal Bank Peserta Sistem BI-RTGS belum melunasi
FLI sampai dengan batas akhir periode cut-off warning
Sistem BI-RTGS, Bank Indonesia mendebit Rekening
Setelmen Dana Bank Peserta Sistem BI-RTGS untuk
melunasi atau mengurangi penggunaan FLI.
Bagian Kedua
FLI yang Tidak Lunas
Pasal 9
(1) Dalam hal pendebitan Rekening Setelmen Dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) belum
mencukupi atau tidak terdapat dana dalam Rekening
Setelmen Dana untuk pelunasan atas penggunaan FLI
maka:
a. FLI yang tidak dapat dilunasi, dinyatakan dan
dikonversi sebagai transaksi lending facility atau
financing facility dengan Bank Indonesia; dan
b. Surat Berharga dalam rekening FLI dipindahkan ke
rekening Bank Indonesia untuk transaksi lending
facility atau financing facility dengan Bank Indonesia.
8
(2) Nilai atas lending facility atau financing facility
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu sebesar nilai
FLI yang tidak dapat dilunasi.
(3) Mekanisme setelmen FLI yang tidak lunas menjadi lending
facility atau financing facility sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan
surat berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/33/DPSP
tanggal 13 November 2015 perihal Tata Cara Penggunaan
Fasilitas Likuiditas Intrahari, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 11
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 2019.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
SUGENG
2
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/2/PADG/2018
TENTANG
TATA CARA PENGGUNAAN FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI
I. UMUM
Untuk mendukung terwujudnya penyelenggaraan sistem pembayaran
yang efisien, lancar, aman, dan andal, Bank Indonesia telah melakukan
penyempurnaan kebijakan mengenai FLI. Kebijakan tersebut antara lain
bahwa FLI disediakan bagi Bank Peserta Sistem BI-RTGS untuk
memperlancar Setelmen Dana khususnya dalam mengatasi permasalahan
likuiditas intrahari (intraday liquidity mismatch).
Sehubungan dengan itu, diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai
tata cara penggunaan FLI, antara lain mengenai mekanisme FLI tidak lunas
yang diberlakukan sebagai transaksi lending facility atau financing facility.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “rekening FLI” adalah rekening Surat
Berharga pada BI-SSSS untuk mencatat Surat Berharga yang
akan digunakan oleh Bank Peserta Sistem BI-RTGS untuk
memperoleh FLI pada Sistem BI-RTGS.
2
Ayat (2)
Huruf a
Surat Berharga yang diterbitkan Bank Indonesia antara lain
sertifikat deposito Bank Indonesia dalam mata uang rupiah.
Surat Berharga yang diterbitkan pemerintah antara lain
surat utang negara dan/atau surat berharga syariah negara
dalam mata uang rupiah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “nilai Surat Berharga” adalah nilai
tunai (cash value) yang ditetapkan sesuai dengan
perhitungan nilai setelmen first leg transaksi lending facility
dan/atau financing facility.
Huruf c
Cukup jelas.
3
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Contoh:
Bank A menyediakan Surat Berharga seri FR0xx di rekening
FLI dengan total nominal sebesar Rp200.000.000,- (dua
ratus juta rupiah). Nominal seri FR0xx per unit yaitu sebesar
Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) dengan nilai Surat Berharga
per unit sebesar Rp950.000,- (sembilan ratus lima puluh
ribu rupiah). Untuk kebutuhan Setelmen Dana di Sistem BI-
RTGS, Bank A membutuhkan FLI sebesar Rp150.000.000,-
(seratus lima puluh juta rupiah). Perhitungan nominal atas
Surat Berharga yang ditransaksikan secara repo untuk FLI
sebagai berikut:
a.
jumlah unit yang dibutuhkan adalah sebesar jumlah FLI
dibagi nilai Surat Berharga per unit:
Rp150.000.000,00 : Rp950.000,00 = 157,89 unit,
sehingga dengan pembulatan ke atas menjadi sejumlah
158 unit seri FR0xx; dan
b.
jadi nominal seri FR0xx yang ditransaksikan secara repo
untuk FLI yaitu 158 x Rp1.000.000,00 =
Rp158.000.000,00.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
4
Huruf b
Perhitungan nominal atas Surat Berharga yang dipindahkan
dari rekening FLI ke rekening Bank Indonesia untuk
transaksi lending facility atau financing facility dengan Bank
Indonesia mengacu pada kelipatan nilai unit terkecil Surat
Berharga yang ditatausahakan dalam rekening FLI, dengan
pembulatan ke atas.
Contoh:
Bank A menyediakan Surat Berharga seri FR0xx di rekening FLI
dengan total nominal sebesar Rp200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah). Nominal seri FR0xx per unit yaitu sebesar
Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) dengan nilai Surat Berharga
per unit sebesar Rp950.000,- (sembilan ratus lima puluh ribu
rupiah). Untuk kebutuhan Setelmen Dana di Sistem BI-RTGS,
Bank A membutuhkan FLI sebesar Rp150.000.000,- (seratus
lima puluh juta rupiah). Sampai dengan akhir periode cut-off
warning Bank A tidak melakukan pelunasan FLI, sehingga pada
awal periode pre cut-off Penyelenggara melakukan pendebitan
untuk pelunasan FLI sesuai saldo Rekening Setelmen Dana
rupiah dalam hal ini sebesar Rp50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah). Dengan demikian FLI yang tidak lunas sebesar
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) diberlakukan menjadi
transaksi lending facility. Sebagai underlying transaksi lending
facility, Penyelenggara memindahkan sebagian seri FR0xx dari
rekening FLI ke rekening Bank Indonesia dengan perhitungan
sebagai berikut:
1.
jumlah unit yang dibutuhkan yaitu sebesar jumlah FLI yang
tidak lunas dibagi nilai Surat Berharga per unit:
Rp100.000.000 : Rp950.000 = 105,26 unit, sehingga dengan
pembulatan ke atas menjadi sejumlah106 unit seri FR0xx;
2.
jadi nominal seri FR0xx dalam rekening FLI yang
dipindahkan ke rekening Bank Indonesia untuk transaksi
lending facility yaitu 106 x Rp1.000.000,- =
Rp106.000.000,-.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
5
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/2/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> TATA CARA PENGGUNAAN FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI </reg_title>
<set_date> 1 Maret 2018 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2019 </effective_date>
<replaced_reg> '17/33/DPSP|SE-BI/2015' </replaced_reg>
<related_reg> '19/14/PBI/2017', '17/18/PBI/2015' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/8/PADG/2019
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/5/PADG/2018
TENTANG
INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk memperkuat kerangka operasi moneter,
Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia
sebagai salah satu instrumen operasi moneter
berdasarkan prinsip syariah;
b. bahwa untuk mendukung pelaksanaan Sukuk Bank
Indonesia perlu dilakukan perluasan underlying asset
berupa sukuk global yang dimiliki Bank Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar
Terbuka;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
2
Republik Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 21/6/PBI/2019 tentang Perubahan
Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6341);
2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar
Terbuka sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/34/PADG/2018 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar
Terbuka;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG
INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA.
.
Pasal I
Ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/34/PADG/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/5/PADG/2018 tentang
Instrumen Operasi Pasar Terbuka diubah sebagai berikut:
3
Ketentuan Pasal 52B ayat (1) huruf a diubah sehingga Pasal
52B berbunyi sebagai berikut:
Pasal 52B
(1) SukBI memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. menggunakan underlying asset berupa SBSN
dan/atau sukuk global;
b. memiliki satuan unit sebesar Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah);
c. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari dan
paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan
dalam jumlah hari kalender, yang dihitung sejak 1
(satu) hari setelah tanggal setelmen sampai dengan
tanggal jatuh waktu;
d. diterbitkan tanpa warkat (scripless) dan
ditatausahakan di BI-SSSS;
e. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia;
f. hanya dapat dibeli oleh BUS dan UUS di pasar
perdana;
g. dapat diperdagangkan (tradable) di pasar sekunder;
h. hanya dapat dimiliki oleh Bank; dan
i. hanya dapat ditransaksikan antar-Bank antara lain
dengan cara pembelian dan/atau penjualan secara
putus (outright), pinjam-meminjam, repurchase
agreement (repo), atau dijadikan agunan.
(2) SukBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
menggunakan akad al-musyarakah al-muntahiyah bi al-
tamlik.
(3) Bank Indonesia menetapkan nisbah bagi hasil SukBI
untuk pemilik SukBI.
(4) SukBI diterbitkan dan ditransaksikan di Sistem BI-ETP.
(5) SukBI yang masih dalam status agunan tidak dapat
diperdagangkan.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
4
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Mei 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
ERWIN RIJANTO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/8/PADG/2019
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/5/PADG/2018
TENTANG
INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA
I. UMUM
Untuk memperkuat kerangka Operasi Moneter, Bank Indonesia
menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen Operasi
Moneter berdasarkan prinsip syariah.
Guna mendukung pelaksanaan Operasi Moneter berdasarkan prinsip
syariah, perlu dilakukan perluasan underlying asset penerbitan SukBI yang
tidak hanya menggunakan SBSN namun juga dengan memasukkan sukuk
global yang dimiliki oleh Bank Indonesia.
Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan ketiga atas Peraturan
Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/5/PADG/2018 tentang Instrumen
Operasi Pasar Terbuka.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 52B
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “sukuk global” adalah sukuk
dalam valuta asing yang lazim diperdagangkan dalam
2
pasar keuangan internasional yang diterbitkan oleh
antara lain pemerintah, lembaga pemerintah, lembaga
supranasional, entitas, atau korporasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
BUK dapat memiliki SukBI melalui transaksi di pasar
sekunder.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “akad al-musyarakah al-muntahiyah
bi al-tamlik” adalah kontrak syirkah 2 (dua) pihak atau lebih
yang diikuti dengan pembelian porsi (hishshah) oleh 1 (satu)
pihak dari pihak lain pada saat akhir kontrak atau jatuh
waktu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/8/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title>
<set_date> 2 Mei 2019 </set_date>
<effective_date> 2 Mei 2019 </effective_date>
<changed_reg> '20/5/PADG/2018' </changed_reg>
<extension_of> '20/34/PADG/2018' </extension_of>
<related_reg> '20/5/PADG/2018', '21/6/PBI/2019', '20/5/PBI/2018', '20/34/PADG/2018' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/9/PADG/2018
TENTANG
STANDING FACILITIES
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi tujuan Bank Indonesia yaitu
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank
Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter;
b. bahwa dalam melaksanakan kebijakan moneter
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Bank Indonesia
melakukan pengendalian moneter yang salah satunya
dilakukan melalui pelaksanaan operasi moneter, baik
secara konvensional maupun berdasarkan prinsip
syariah;
c. bahwa pelaksanaan operasi moneter sebagaimana
dimaksud dalam huruf b dilaksanakan melalui operasi
pasar terbuka dan standing facilities;
d. bahwa dalam melaksanakan operasi moneter melalui
standing facilities sebagaimana dimaksud dalam huruf c,
Bank Indonesia perlu mengatur tata cara pelaksanaan
standing facilities yang dilakukan baik secara
konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan
2
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Standing
Facilities;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6189);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
STANDING FACILITIES.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum
syariah, dan unit usaha syariah.
2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat
BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan.
3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter
oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter, yang
dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip
syariah.
3
6. Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana
rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan
dana rupiah oleh Bank di Bank Indonesia untuk Operasi
Moneter yang dilakukan secara konvensional dan
berdasarkan prinsip syariah.
7. Peserta Standing Facilities adalah Peserta Standing
Facilities Konvensional dan Peserta Standing Facilities
Syariah.
8. Peserta Standing Facilities Konvensional adalah BUK yang
telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta
Operasi Moneter konvensional sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kepesertaan operasi moneter.
9. Peserta Standing Facilities Syariah adalah BUS dan/atau
UUS yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia
sebagai peserta Operasi Moneter yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kepesertaan operasi moneter.
10. Lending Facility adalah penyediaan dana rupiah dari Bank
Indonesia kepada Peserta Standing Facilities Konvensional
untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara
konvensional.
11. Financing Facility adalah penyediaan dana rupiah dari
Bank Indonesia kepada Peserta Standing Facilities Syariah
untuk Operasi Moneter yang dilakukan berdasarkan
prinsip syariah.
12. Deposit Facility adalah penempatan dana rupiah oleh
Peserta Standing Facilities di Bank Indonesia untuk
Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional atau
berdasarkan prinsip syariah.
13. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI
adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang
berjangka waktu pendek.
14. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip
4
syariah dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia dan berjangka waktu pendek.
15. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang
rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat
diperdagangkan hanya antar-BUK.
16. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
adalah surat utang negara dan surat berharga syariah
negara.
17. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang
negara.
18. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat
SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai surat berharga syariah negara.
19. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah Sistem Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
seketika.
20. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah Bank
Indonesia-Scripless Securities Settlement System
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
seketika.
21. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang
selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah Sistem Bank
Indonesia-Electronic Trading Platform sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan
transaksi,
5
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
seketika.
22. Transaksi Repurchase Agreement SBIS yang selanjutnya
disebut Repo SBIS adalah transaksi pemberian pinjaman
oleh Bank Indonesia kepada Peserta Standing Facilities
Syariah dengan agunan SBIS.
23. Biaya Repo SBIS adalah kewajiban membayar (gharamah)
yang ditetapkan Bank Indonesia untuk Repo SBIS karena
Peserta Standing Facilities Syariah tidak menepati jangka
waktu kesepakatan pembelian SBIS.
24. Perjanjian pengagunan SBIS untuk Repo SBIS yang
selanjutnya disebut Perjanjian adalah kesepakatan
tertulis antara Bank Indonesia dengan Peserta Standing
Facilities Syariah yang memuat hak dan kewajiban
masing-masing pihak dalam pengagunan SBIS.
25. Transaksi Repurchase Agreement SBSN untuk Standing
Facilities syariah yang selanjutnya disebut Repo SBSN
adalah transaksi penjualan SBSN oleh Peserta Standing
Facilities Syariah kepada Bank Indonesia dengan janji
pembelian kembali oleh Peserta Standing Facilities Syariah
sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati
untuk Standing Facilities syariah.
26. Margin Repo SBSN adalah tingkat keuntungan dalam
setahun yang disepakati oleh para pihak yang melakukan
transaksi Repo SBSN.
27. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di Bank
Indonesia dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing.
28. Rekening Surat Berharga adalah rekening surat berharga
milik Bank pada BI-SSSS dalam mata uang rupiah
dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank
Indonesia untuk pencatatan kepemilikan dan setelmen
atas transaksi surat berharga, transaksi dengan Bank
Indonesia, dan/atau transaksi pasar keuangan.
29. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan
pengkreditan Rekening Giro di Bank Indonesia melalui
Sistem BI-RTGS untuk penatausahaan.
6
30. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan pendebitan dan
pengkreditan Rekening Surat Berharga untuk
penatausahaan.
31. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat DVP
adalah mekanisme setelmen transaksi dengan cara
Setelmen Surat Berharga dan Setelmen Dana dilakukan
secara bersamaan.
32. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk
hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia.
BAB II
PRINSIP UMUM STANDING FACILITIES
Pasal 2
Standing Facilities merupakan instrumen yang digunakan oleh
Bank Indonesia untuk injeksi likuiditas dan absorpsi likuiditas
rupiah di pasar uang serta menjadi acuan tertinggi dan
terendah bagi pergerakan suku bunga di pasar uang antar-BUK
dengan jangka waktu 1 (satu) Hari Kerja (overnight).
Pasal 3
Standing Facilities terdiri atas:
a. Lending Facility atau Financing Facility; dan
b. Deposit Facility.
Pasal 4
Standing Facilities memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. disediakan oleh Bank Indonesia pada setiap Hari Kerja;
b. dilakukan dengan mekanisme nonlelang;
c. pengajuan transaksi dilakukan melalui Sistem BI-ETP;
d.
jangka waktu:
1. Lending Facility dan Financing Facility adalah 1 (satu)
Hari Kerja (overnight);
2. Deposit Facility:
a) yang dilakukan secara konvensional adalah 1
(satu) Hari Kerja (overnight);
7
b) yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah
paling lama 14 (empat belas) hari kalender
dihitung dari 1 (satu) hari setelah tanggal
setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu;
e. jumlah hari dalam perhitungan:
1. nilai bunga repo dalam Lending Facility;
2. Biaya Repo SBIS atau nilai Margin Repo SBSN dalam
Financing Facility; dan
nilai diskonto atau imbalan dalam Deposit Facility,
dihitung berdasarkan hari kalender.
3.
f.
ditatausahakan pada Rekening Surat Berharga di BI-SSSS.
BAB III
TRANSAKSI LENDING FACILITY DAN FINANCING FACILITY
Bagian Kesatu
Transaksi Lending Facility
Pasal 5
(1) Transaksi Lending Facility dilakukan dengan mekanisme
repurchase agreement (repo) surat berharga yaitu penjualan
surat berharga oleh Peserta Standing Facilities
Konvensional kepada Bank Indonesia dengan kewajiban
pembelian kembali oleh Peserta Standing Facilities
Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang
disepakati.
(2) Transaksi Lending Facility dengan mekanisme repo surat
berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan prinsip sell and buyback.
(3) Dalam hal surat berharga yang di-repo-kan pada transaksi
Lending Facility sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa SBN yang memiliki kupon atau imbalan maka hak
atas penerimaan kupon atau imbalan dimaksud
merupakan milik Peserta Standing Facilities Konvensional.
8
Pasal 6
(1) Surat berharga yang dapat di-repo-kan dalam Transaksi
Lending Facility sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) yaitu:
a. SBI;
b. SDBI; dan
c. SBN.
(2) Surat berharga yang dapat di-repo-kan dalam transaksi
Lending Facility sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
banyak sebesar nilai nominal surat berharga yang dimiliki
Peserta Standing Facilities Konvensional yang tercatat di
Rekening Surat Berharga.
(3) Kriteria dan persyaratan, harga, serta haircut atas SBI,
SDBI, dan SBN yang dapat digunakan dalam transaksi
Lending Facility adalah sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur yang mengatur
mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam
operasi moneter.
Pasal 7
(1) Bank Indonesia mengenakan repo rate atas transaksi
Lending Facility sebesar suku bunga Lending Facility yang
ditetapkan Bank Indonesia.
(2) Nilai bunga repo dihitung berdasarkan metode bunga
dibayar di belakang (simple interest).
Bagian Kedua
Transaksi Financing Facility
Paragraf 1
Mekanisme Transaksi dan Surat Berharga yang digunakan
dalam Financing Facility
Pasal 8
Transaksi Financing Facility dilakukan dengan mekanisme repo
surat berharga berupa:
9
a. SBIS yang dilakukan dengan prinsip collateralized
borrowing; atau
b. SBSN yang dilakukan dengan prinsip sell and buyback.
Pasal 9
(1) Surat berharga yang dapat di-repo-kan dalam transaksi
Financing Facility sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
paling banyak sebesar nilai nominal surat berharga yang
dimiliki Peserta Standing Facilities Syariah yang tercatat di
Rekening Surat Berharga.
(2) Dalam hal SBSN yang di-repo-kan pada transaksi Financing
Facility sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
memiliki kupon atau imbalan maka hak atas penerimaan
kupon atau imbalan dimaksud merupakan milik Peserta
Standing Facilities Syariah.
(3) Kriteria dan persyaratan, harga, serta haircut atas SBIS dan
SBSN yang dapat digunakan dalam transaksi Financing
Facility adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur yang mengatur mengenai kriteria
dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter.
Pasal 10
Bank Indonesia menetapkan tingkat Biaya Repo SBIS dan
Margin Repo SBSN untuk transaksi Financing Facility dengan
mengacu pada suku bunga Lending Facility.
Paragraf 2
Akad dalam Transaksi Financing Facility
Pasal 11
Repo SBIS menggunakan akad qard yang diikuti dengan rahn.
Pasal 12
(1) Repo SBSN menggunakan akad al ba’i atau jual beli yang
disertai dengan janji (al wa’d) oleh Peserta Standing
Facilities Syariah kepada Bank Indonesia untuk membeli
10
kembali SBSN dalam jangka waktu dan harga tertentu yang
disepakati.
(2) Janji (al wa’d) Peserta Standing Facilities Syariah kepada
Bank Indonesia untuk membeli kembali SBSN
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam
dokumen yang terpisah.
Paragraf 3
Dokumen Financing Facility
Pasal 13
(1) Peserta Standing Facilities Syariah mengajukan Repo SBIS
setelah menandatangani Perjanjian dengan Bank
Indonesia.
(2) Peserta Standing Facilities Syariah mengajukan
Repo SBSN setelah menandatangani dokumen janji (wa’d)
untuk membeli kembali surat berharga dalam
Transaksi Repo SBSN dengan Bank Indonesia.
Pasal 14
(1) Penandatanganan Perjanjian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) dan/atau dokumen janji (wa’d)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) diatur
sebagai berikut:
a. bagi Peserta Standing Facilities Syariah yang kantor
pusatnya berkedudukan di Indonesia:
1. Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d)
ditandatangani oleh anggota direksi yang
berwenang; atau
2. dalam hal tidak ditandatangani oleh anggota
direksi yang berwenang maka harus dilengkapi
dengan surat kuasa dari anggota direksi yang
berwenang kepada pejabat penandatangan
Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d);
b. bagi Peserta Standing Facilities Syariah yang kantor
pusatnya berkedudukan di luar negeri:
11
1. Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d)
ditandatangani oleh chief executive officer (CEO);
atau
2. dalam hal tidak ditandatangani oleh CEO maka
harus dilengkapi dengan surat kuasa dari CEO
kepada pejabat penandatangan Perjanjian
dan/atau dokumen janji (wa’d); dan
c.
bagi Peserta Standing Facilities Syariah berupa UUS,
Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d)
ditandatangani oleh pejabat UUS yang diberikan
kuasa oleh anggota direksi BUK.
(2) Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibubuhi meterai cukup dan
dilampirkan dokumen pendukung sesuai persyaratan
Bank Indonesia.
(3) Contoh Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada
Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 15
(1) Peserta Standing Facilities Syariah yang kantor pusatnya
berkedudukan di Indonesia harus menyampaikan
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (2) berupa:
a. fotokopi dari anggaran dasar Peserta Standing
Facilities Syariah atau perubahan terakhir yang
dilegalisir Peserta Standing Facilities Syariah yang
memuat kewenangan direksi untuk mewakili Peserta
Standing Facilities Syariah dan susunan pengurus
Peserta Standing Facilities Syariah terkini; dan
b. fotokopi identitas diri yang masih berlaku berupa
kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor dari anggota
direksi yang berwenang atau pejabat yang diberikan
kuasa untuk menandatangani Perjanjian dan/atau
dokumen janji (wa’d).
12
(2) Dalam hal Peserta Standing Facilities Syariah merupakan
badan hukum perusahaan daerah, anggaran dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa
peraturan daerah dan dilengkapi dokumen yang memuat
kewenangan direksi untuk mewakili Peserta Standing
Facilities Syariah dan susunan pengurus Peserta Standing
Facilities Syariah terkini.
(3) Peserta Standing Facilities Syariah yang kantor pusatnya
berkedudukan di luar negeri harus menyampaikan
dokumen berupa:
a.
fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari kantor
pusat Peserta Standing Facilities Syariah yang
memuat kewenangan CEO untuk mewakili Peserta
Standing Facilities
Syariah, dalam hal
penandatanganan Perjanjian dan/atau dokumen
janji (wa’d) dilakukan oleh CEO; atau
b. fotokopi identitas diri yang masih berlaku berupa KTP
atau paspor dari CEO atau pejabat Peserta Standing
Facilities
Syariah
yang berwenang untuk
menandatangani Perjanjian dan/atau dokumen janji
(wa’d).
(4) Dalam hal penandatanganan Perjanjian dan/atau
dokumen janji (wa’d) tidak dilakukan oleh CEO maka
fotokopi surat kuasa (power of attorney) sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a harus disertai dengan
surat kuasa dari CEO kepada pejabat yang diberikan
wewenang untuk menandatangani Perjanjian dan/atau
dokumen janji (wa’d).
Pasal 16
(1) Penandatanganan Perjanjian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) dibuat dalam rangka 2 (dua) dan
dilakukan sebelum Peserta Standing Facilities Syariah
mengajukan Repo SBIS dengan Bank Indonesia untuk
pertama kali.
(2) Penandatanganan dokumen janji (wa’d) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dilakukan sebelum
13
Peserta Standing Facilities Syariah mengajukan Repo
SBSN dengan Bank Indonesia untuk pertama kali.
(3) Peserta Standing Facilities Syariah harus menyampaikan
perubahan Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan/atau dokumen janji (wa’d) sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dalam hal terdapat perubahan atas:
a. Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d);
b. anggaran dasar Peserta Standing Facilities Syariah
atau peraturan daerah mengenai kewenangan direksi
Peserta Standing Facilities Syariah untuk mewakili
Peserta Standing Facilities Syariah; dan/atau
c. ketentuan internal Peserta Standing Facilities Syariah
yang mengatur mengenai pendelegasian wewenang.
Pasal 17
(1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal
14 dan Pasal 15 disampaikan dengan surat pengantar
yang ditujukan kepada Bank Indonesia dengan alamat
sebagai berikut:
Bank Indonesia - Departemen Pengelolaan Moneter
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
(2) Dalam hal terdapat perubahan alamat surat-menyurat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
memberitahukan melalui surat dan/atau media lain.
Pasal 18
(1) Bank Indonesia memberitahukan kepada Peserta Standing
Facilities Syariah mengenai persetujuan atas pengajuan:
a. Perjanjian sebagai persyaratan pengajuan Repo SBIS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
dan/atau
b. dokumen janji (wa’d) sebagai persyaratan pengajuan
Repo SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (2).
14
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis melalui surat atau Sistem BI-
ETP.
BAB IV
PELAKSANAAN TRANSAKSI LENDING FACILITY DAN
FINANCING FACILITY
Bagian Kesatu
Pengumuman Transaksi Lending Facility dan Financing Facility
Pasal 19
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana transaksi
Lending Facility dan Financing Facility melalui Sistem BI-
ETP dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia paling lambat sebelum window time.
(2) Window time transaksi Lending Facility dan Financing
Facility adalah dari pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul
18.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 20
(1) Pengumuman rencana transaksi Lending Facility dan
Financing Facility sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) memuat informasi:
a. sarana transaksi;
b. window time;
c. jangka waktu repo;
d. repo rate, tingkat Biaya Repo SBIS atau Margin Repo
SBSN;
e. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau
f.
informasi lainnya.
(2) Dalam hal terdapat perubahan:
a. window time sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b; dan/atau
b. repo rate, tingkat Biaya Repo SBIS atau Margin Repo
SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
15
Bank Indonesia mengumumkan melalui Sistem BI-ETP
dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
sebelum window time.
Bagian Kedua
Pengajuan Transaksi Lending Facility dan Financing Facility
Pasal 21
(1) Peserta Standing Facilities mengajukan transaksi Lending
Facility dan Financing Facility kepada Bank Indonesia
melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
(2) Pengajuan transaksi Lending Facility dan Financing Facility
dilakukan dengan mencantumkan nilai nominal, jenis,
dan seri surat berharga yang di-repo-kan.
Pasal 22
(1) Peserta Standing Facilities Syariah hanya dapat
mengajukan Repo SBIS paling banyak sebesar nilai
nominal SBIS yang dimiliki pada 1 (satu) Hari Kerja
sebelum tanggal Repo SBIS.
(2) Bank Indonesia memberikan Repo SBIS kepada Peserta
Standing Facilities Syariah paling banyak sebesar nilai
nominal SBIS yang diagunkan.
(3) Peserta Standing Facilities dapat me-repo-kan SBSN yang
dimiliki kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar
nilai nominal SBSN milik Peserta Standing Facilities yang
tercatat di Rekening Surat Berharga.
Pasal 23
(1) Peserta Standing Facilities bertanggung jawab atas
kebenaran data pengajuan transaksi Lending Facility dan
Financing Facility yang disampaikan kepada Bank
Indonesia.
(2) Peserta Standing Facilities dilarang membatalkan
pengajuan transaksi Lending Facility dan Financing Facility
yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia.
16
Bagian Ketiga
Pengumuman Hasil Transaksi Lending Facility dan Financing
Facility
Pasal 24
Setelah window time sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (2) ditutup, Bank Indonesia mengumumkan hasil
transaksi Lending Facility melalui Sistem BI-ETP dan/atau
sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. secara individual kepada Peserta Standing Facilities
Konvensional, berupa:
1.
nilai transaksi yang diterima;
2. nilai nominal;
3. repo rate;
4.
nilai bunga repo; dan/atau
5. informasi lainnya; dan
b. secara keseluruhan, berupa:
1. nilai nominal yang diterima;
2. repo rate; dan/atau
3. informasi lainnya.
Pasal 25
Setelah window time sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (2) ditutup, Bank Indonesia mengumumkan hasil
transaksi Financing Facility melalui Sistem BI-ETP dan/atau
sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. secara individual kepada Peserta Standing Facilities
Syariah, berupa:
1. nilai transaksi yang diterima;
2. nilai nominal;
3. Biaya Repo SBIS atau nilai Margin Repo SBSN;
4. tingkat Biaya Repo SBIS atau Margin Repo SBSN;
dan/atau
5. informasi lainnya; dan
b. secara keseluruhan, berupa:
17
1. nilai nominal yang diterima;
2. tingkat Biaya Repo SBIS atau Margin Repo SBSN;
dan/atau
3. informasi lainnya.
Bagian Keempat
Setelmen First Leg Transaksi Lending Facility dan Financing
Facility
Pasal 26
Peserta Standing Facilities wajib memiliki jenis, seri surat
berharga, dan nominal yang mencukupi dalam Rekening Surat
Berharga pada saat dilakukan setelmen first leg transaksi
Lending Facility dan Financing Facility.
Pasal 27
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg pada tanggal
transaksi (same day settlement) pada awal periode pre cut-
off Sistem BI-RTGS.
(2) Setelmen first leg sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dengan
mekanisme DVP secara transaksi per transaksi (gross to
gross).
Pasal 28
(1) Setelmen surat berharga dilakukan dengan mendebit
Rekening Surat Berharga sebesar nilai nominal dari surat
berharga yang di-repo-kan.
(2) Setelmen Dana dilakukan dengan mengkredit Rekening
Giro rupiah sebesar nilai setelmen first leg.
(3) Perhitungan nilai setelmen first leg sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur yang mengatur mengenai
kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi
moneter.
18
Pasal 29
(1) Dalam hal Peserta Standing Facilities tidak memiliki jenis,
seri surat berharga, dan nominal di Rekening Surat
Berharga yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban
setelmen sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen
first leg maka BI-SSSS secara otomatis membatalkan
transaksi Lending Facility atau Financing Facility.
(2) Dalam hal pada transaksi Lending Facility atau Financing
Facility terdapat lebih dari 1 (satu) kali kegagalan setelmen
first leg dalam 1 (satu) hari maka untuk perhitungan
sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan
Operasi Moneter, pembatalan transaksi tersebut dihitung
sebanyak 1 (satu) kali.
Bagian Kelima
Setelmen Second Leg Transaksi Lending Facility dan Financing
Facility
Pasal 30
Peserta Standing Facilities wajib memiliki dana di Rekening Giro
rupiah yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen
second leg transaksi Lending Facility dan Financing Facility.
Pasal 31
(1) Pada tanggal jatuh waktu (second leg) transaksi Lending
Facility dan Financing Facility, BI-SSSS secara otomatis
melakukan setelmen second leg sejak Sistem BI-RTGS
dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning
Sistem BI-RTGS.
(2) Setelmen second leg dilakukan melalui Sistem BI-RTGS
dan BI-SSSS dengan mekanisme DVP secara transaksi per
transaksi (gross to gross).
Pasal 32
(1) Setelmen Dana dilakukan dengan cara mendebit Rekening
Giro rupiah sebesar nilai setelmen second leg.
19
(2) Setelmen Surat Berharga dilakukan dengan mengkredit
Rekening Surat Berharga sebesar nilai nominal surat
berharga yang diagunkan dan/atau di-repo-kan.
(3) Perhitungan nilai setelmen second leg sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 adalah sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur yang mengatur
mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam
operasi moneter.
Pasal 33
(1) Dalam hal Peserta Standing Facilities tidak memiliki dana
di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk
memenuhi kewajiban setelmen second leg sampai dengan
sebelum periode cut-off warning BI-RTGS sehingga
mengakibatkan kegagalan setelmen second leg, BI-SSSS
secara otomatis membatalkan transaksi Lending Facility
atau Financing Facility second leg.
(2) Dalam hal terdapat pembatalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pada saat second leg Bank Indonesia
mendebit Rekening Giro rupiah sebesar kewajiban
pembayaran nilai bunga repo, Biaya Repo SBIS, dan/atau
nilai Margin Repo SBSN.
(3) Dalam hal pada transaksi Lending Facility atau Financing
Facility terdapat lebih dari 1 (satu) kali kegagalan setelmen
second leg dalam 1 (satu) hari maka untuk perhitungan
sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan Operasi
Moneter, pembatalan transaksi tersebut dihitung
sebanyak 1 (satu) kali.
20
Bagian Keenam
Kegagalan Setelmen Second Leg Transaksi Lending Facility dan
Financing Facility
Paragraf 1
Kegagalan Setelmen Second Leg Transaksi Lending Facility dan
Financing Facility dengan Surat Berharga yang diterbitkan
Bank Indonesia
Pasal 34
Dalam hal Peserta Standing Facilities gagal memenuhi
kewajiban setelmen second leg transaksi Lending Facility atau
Financing Facility yang dilakukan dengan menggunakan surat
berharga berupa SBI, SBIS, dan/atau SDBI, Bank Indonesia
melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. mendebit Rekening Giro rupiah untuk penyelesaian:
1.
nilai bunga repo untuk transaksi Lending Facility
yang dilakukan dengan menggunakan surat berharga
berupa SBI dan SDBI; dan
2. Biaya Repo SBIS untuk transaksi Financing Facility;
b. melakukan penyelesaian pelunasan sebelum jatuh waktu
(early redemption) secara otomatis melalui BI-SSSS atas
seri SBI, SBIS, dan/atau SDBI yang di-repo-kan; dan/atau
c. dalam hal hasil early redemption sebagaimana dimaksud
pada huruf b tidak mencukupi, Bank Indonesia akan
mendebit Rekening Giro rupiah sebesar kekurangan
kewajiban Peserta Standing Facilities kepada Bank
Indonesia.
Pasal 35
Perhitungan nilai bunga repo, Biaya Repo SBIS, dan pelunasan
surat berharga sebelum jatuh waktu (early redemption)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a dan Pasal 34
huruf b adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan
surat berharga dalam operasi moneter.
21
Pasal 36
(1) Dalam hal Bank Indonesia melakukan early redemption
SBIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf b,
Bank Indonesia membayar imbalan SBIS kepada Peserta
Standing Facilities Syariah sampai dengan tanggal early
redemption SBIS.
(2) Contoh perhitungan pembayaran imbalan SBIS pada saat
early redemption sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Paragraf 2
Kegagalan Setelmen Second Leg Transaksi Lending Facility dan
Financing Facility dengan Surat Berharga yang Diterbitkan
Pemerintah
Pasal 37
(1) Dalam hal Peserta Standing Facilities gagal memenuhi
kewajiban setelmen second leg transaksi Lending Facility
atau Financing Facility yang dilakukan dengan
menggunakan surat berharga berupa SBN, maka
transaksi dimaksud diperlakukan sebagai transaksi
penjualan SBN secara putus (outright) oleh Peserta
Standing Facilities.
(2) Transaksi penjualan SBN secara putus (outright)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dikenakan
terhadap transaksi Lending Facility atau Financing Facility
yang tidak memiliki dana dalam jumlah yang mencukupi.
Pasal 38
Perhitungan harga SBN pada transaksi penjualan SBN secara
putus (outright) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal harga SBN pada transaksi penjualan SBN
secara putus (outright) lebih rendah dari harga SBN pada
transaksi first leg setelah dikurangi haircut maka Rekening
22
Giro rupiah didebit sebesar selisih dimaksud, setelah
dikalikan dengan nilai nominal SBN yang di-repo-kan;
atau
b. dalam hal harga SBN pada transaksi penjualan SBN
secara putus (outright) lebih tinggi dari harga SBN pada
transaksi first leg dikurangi haircut maka Rekening Giro
rupiah dikredit sebesar selisih dimaksud, setelah
dikalikan dengan nilai nominal SBN yang di-repo-kan dan
paling banyak sebesar nilai dari haircut yang ditetapkan
pada saat first leg.
Pasal 39
Perhitungan accrued interest atau accrued imbalan pada
transaksi penjualan SBN secara putus (outright) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan yang
diterima Bank Indonesia setelah transaksi penjualan SBN
secara putus (outright) maka Rekening Giro rupiah akan
dikredit sebesar accrued interest atau accrued imbalan dari
setelmen first leg sampai dengan tanggal transaksi
penjualan SBN secara putus (outright);
b. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan pada
tanggal transaksi penjualan SBN secara putus (outright)
maka Rekening Giro rupiah akan dikredit sebesar accrued
interest atau accrued imbalan dari setelmen first leg
sampai dengan tanggal transaksi penjualan SBN secara
putus (outright); atau
c. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan yang
diterima Bank pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal
transaksi penjualan SBN secara putus (outright) maka
Rekening Giro rupiah akan didebit sebesar accrued interest
atau accrued imbalan yang dibayarkan kepada Bank pada
saat first leg ditambah dengan accrued interest atau
accrued imbalan dari tanggal transaksi penjualan SBN
secara putus (outright) sampai dengan tanggal pembayaran
23
kupon atau imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah
transaksi penjualan SBN secara putus (outright).
Pasal 40
Perhitungan nilai bunga repo atau nilai Margin Repo SBSN
adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan
surat berharga dalam operasi moneter.
Pasal 41
(1) Dalam rangka pemenuhan kewajiban Peserta Standing
Facilities untuk penyelesaian transaksi Lending Facility
dan Financing Facility jatuh waktu sebagai akibat
kegagalan setelmen second leg sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1), Bank Indonesia mengkredit atau
mendebit Rekening Giro rupiah Peserta Standing Facilities
dengan memperhitungkan:
a. accrued interest pada periode repo SBN atau accrued
imbalan pada periode Repo SBSN yang menjadi hak
Peserta Standing Facilities;
b. haircut yang masih menjadi hak Peserta Standing
Facilities; dan
c.
nilai bunga repo atau nilai Margin Repo SBSN yang
harus dibayarkan oleh Peserta Standing Facilities.
(2) Dalam hal terjadi kegagalan setelmen second leg dan
terdapat imbalan yang diterima oleh Peserta Standing
Facilities Syariah maka Bank Indonesia memperhitungkan
pengembalian imbalan yang diterima oleh Peserta
Standing Facilities Syariah.
24
BAB V
DEPOSIT FACILITY
Bagian Kesatu
Prinsip Umum Transaksi Deposit Facility
Pasal 42
(1) Transaksi Deposit Facility sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf b dilakukan dengan cara penempatan dana
rupiah oleh Peserta Standing Facilities secara berjangka di
Bank Indonesia.
(2) Transaksi Deposit Facility sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. tanpa disertai dengan penerbitan surat berharga; dan
b. tidak dapat diperdagangkan, tidak dapat diagunkan,
dan tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu.
(3) Transaksi Deposit Facility yang dilakukan berdasarkan
prinsip syariah dilaksanakan dalam bentuk Fasilitas
Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS).
(4) Transaksi Deposit Facility yang dilakukan berdasarkan
prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
menggunakan akad wadi’ah atau titipan.
Pasal 43
(1) Transaksi Deposit Facility yang dilakukan secara
konvensional dilaksanakan dengan sistem diskonto
dengan tingkat diskonto sebesar suku bunga Deposit
Facility yang ditetapkan Bank Indonesia.
(2) Nilai diskonto transaksi Deposit Facility yang dilakukan
secara konvensional dihitung sebagai berikut:
Nilai diskonto = nilai nominal – nilai tunai
Nilai Nominal × 360
Nilai Tunai =
360 + (Tingkat Diskonto × Jangka Waktu)
25
Pasal 44
(1) Bank Indonesia memberikan imbalan atas transaksi
Deposit Facility yang dilakukan berdasarkan prinsip
syariah.
(2) Tingkat imbalan pada transaksi Deposit Facility yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada tingkat diskonto
Deposit Facility yang dilakukan secara konvensional.
(3) Imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
pada tanggal jatuh waktu transaksi dengan mengkredit
Rekening Giro rupiah dengan perhitungan sebagai berikut:
Imbalan = nilai nominal x
jangka waktu
360
x tingkat imbalan
Bagian Kedua
Pengumuman Pelaksanaan Transaksi Deposit Facility
Pasal 45
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana pelaksanaan
transaksi Deposit Facility melalui Sistem BI-ETP dan/atau
sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia paling
lambat sebelum window time.
(2) Window time transaksi Deposit Facility adalah dari pukul
16.00 WIB sampai dengan pukul 17.30 WIB atau waktu
lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 46
(1) Pengumuman rencana transaksi Deposit Facility
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) memuat
informasi:
a. sarana transaksi;
b. window time;
c. jangka waktu;
d. tingkat diskonto atau tingkat imbalan;
e. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau
f.
informasi lainnya.
26
(2) Dalam hal terdapat perubahan:
a. window time sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b; dan/atau
b. tingkat diskonto atau tingkat imbalan transaksi
Deposit Facility sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d,
Bank Indonesia mengumumkan melalui Sistem BI-ETP
dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
sebelum window time.
Bagian Ketiga
Pengajuan Transaksi Deposit Facility
Pasal 47
(1) Peserta Standing Facilities mengajukan transaksi Deposit
Facility melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat
(2).
(2) Pengajuan transaksi Deposit Facility dilakukan dengan
mencantumkan penawaran nilai nominal transaksi
kepada Bank Indonesia.
(3) Nilai nominal setiap pengajuan transaksi Deposit Facility
paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
selebihnya dengan kelipatan Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
Pasal 48
(1) Peserta Standing Facilities bertanggung jawab atas
kebenaran data pengajuan transaksi Deposit Facility yang
disampaikan kepada Bank Indonesia.
(2) Peserta Standing Facilities dilarang membatalkan
pengajuan transaksi Deposit Facility yang telah
disampaikan kepada Bank Indonesia.
27
Bagian Keempat
Pengumuman Hasil Transaksi Deposit Facility
Pasal 49
Setelah window time sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (2) ditutup, Bank Indonesia mengumumkan hasil
transaksi Deposit Facility yang dilakukan secara konvensional
melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. secara individual kepada Peserta Standing Facilities
Konvensional, berupa:
1. nilai nominal;
2.
nilai tunai;
3. diskonto;
4. tingkat diskonto; dan/atau
5. informasi lainnya; dan
b. secara keseluruhan, berupa:
1. nilai nominal;
2. tingkat diskonto; dan/atau
3. informasi lainnya.
Pasal 50
Setelah window time sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (2) ditutup, Bank Indonesia mengumumkan hasil
transaksi Deposit Facility yang dilakukan berdasarkan prinsip
syariah melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. secara individual kepada Peserta Standing Facilities
Syariah, berupa:
1.
nilai tunai;
2. nilai nominal;
3. imbalan;
4. tingkat imbalan; dan/atau
5. informasi lainnya; dan
b. secara keseluruhan, berupa:
1. nilai nominal;
28
2. tingkat imbalan; dan/atau
3. informasi lainnya.
Bagian Kelima
Setelmen Transaksi Deposit Facility
Pasal 51
Peserta Standing Facilities wajib menyediakan dana di Rekening
Giro rupiah yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban
setelmen transaksi Deposit Facility.
Pasal 52
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen transaksi Deposit
Facility pada tanggal transaksi (same day settlement) pada
awal periode pre cut-off Sistem BI-RTGS.
(2) Setelmen transaksi Deposit Facility dilakukan melalui
Sistem BI-RTGS dengan mekanisme transaksi per
transaksi (gross to gross).
Pasal 53
(1) Setelmen transaksi Deposit Facility sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 dilakukan dengan mendebit
Rekening Giro rupiah sebesar:
a.
nilai tunai transaksi Deposit Facility yang dilakukan
secara konvensional; dan/atau
b.
nilai nominal transaksi Deposit Facility yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
(2) Nilai tunai transaksi Deposit Facility yang dilakukan
secara konvensional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dihitung sebagai berikut:
Nilai Nominal × 360
Nilai Tunai =
360 + (Tingkat Diskonto × Jangka Waktu)
29
Pasal 54
(1) Dalam hal Peserta Standing Facilities tidak memiliki dana
di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk
memenuhi seluruh kewajiban setelmen transaksi Deposit
Facility sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen, BI-
SSSS secara otomatis membatalkan transaksi Deposit
Facility.
(2) Dalam hal pada transaksi Deposit Facility terdapat lebih
dari 1 (satu) kali kegagalan setelmen dalam 1 (satu) hari
maka untuk perhitungan sanksi penghentian sementara
mengikuti kegiatan Operasi Moneter, pembatalan
transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali.
Bagian Keenam
Setelmen Jatuh Waktu Deposit Facility
Pasal 55
(1) Pada tanggal jatuh waktu transaksi Deposit Facility,
setelmen transaksi Deposit Facility dilakukan sejak Sistem
BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off
warning Sistem BI-RTGS.
(2) Bank Indonesia melakukan pelunasan transaksi Deposit
Facility pada tanggal jatuh waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sebesar:
a.
nilai nominal untuk transaksi Deposit Facility yang
dilakukan secara konvensional; atau
b.
nilai nominal dan imbalan untuk transaksi Deposit
Facility yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah,
dengan mengkredit Rekening Giro rupiah.
BAB VI
PERUBAHAN TANGGAL SETELMEN TRANSAKSI STANDING
FACILITIES PADA HARI LIBUR
Pasal 56
(1) Dalam hal setelah terjadinya transaksi, tanggal jatuh
waktu Standing Facilities ditetapkan sebagai hari libur oleh
30
pemerintah, pelaksanaan setelmen dilakukan pada Hari
Kerja berikutnya.
(2) Pelaksanaan setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan tanpa memperhitungkan tambahan nilai
bunga repo, Biaya Repo SBIS, nilai Margin Repo SBSN,
diskonto, dan/atau imbalan atas tambahan jangka waktu
transaksi Standing Facilities.
BAB VII
PELAKSANAAN STANDING FACILITIES DALAM KEADAAN
TIDAK NORMAL DAN/ATAU KEADAAN DARURAT
Pasal 57
Dalam hal terjadi keadaan tidak normal yang mempengaruhi
kelancaran pelaksanaan transaksi dan/atau setelmen Standing
Facilities, prosedur penanganan keadaan tidak normal
dan/atau keadaan darurat mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Sistem
BI-ETP, penyelenggaraan penatausahaan surat berharga
melalui BI-SSSS dan/atau penyelenggaraan setelmen dana
seketika melalui Sistem BI-RTGS.
BAB VIII
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 58
(1) Peserta Standing Facilities yang tidak dapat memenuhi
kewajiban pada saat dilakukan setelmen sehingga
menyebabkan batalnya transaksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (1), Pasal 33 ayat (1) dan/atau Pasal
54 ayat (1) dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol
satu persen) dari nilai transaksi Standing Facilities
yang dinyatakan batal, paling sedikit
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
31
(2) Dalam hal transaksi memiliki second leg, nilai transaksi
yang batal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
yaitu nilai transaksi pada saat first leg.
(3) Bank Indonesia menyampaikan sanksi berupa teguran
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
kepada Peserta Standing Facilities pada 1 (satu) Hari Kerja
setelah terjadinya pembatalan transaksi, dengan
tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b dilakukan dengan
mendebit Rekening Giro rupiah pada 1 (satu) Hari Kerja
setelah terjadinya pembatalan transaksi.
Pasal 59
(1) Atas batalnya transaksi Operasi Moneter yang ketiga kali
dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, selain dikenakan
sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1)
Peserta Standing Facilities juga dikenakan sanksi
penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi
Moneter selama 5 (lima) Hari Kerja berturut-turut.
(2) Sanksi berupa penghentian sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk transaksi
Lending Facility atau Financing Facility yang dilakukan
oleh Peserta Standing Facilities yang berasal dari transaksi
fasilitas likuiditas intrahari yang tidak lunas sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai tata
cara penggunaan fasilitas likuiditas intrahari.
(3) Sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan
Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberlakukan mulai 1 (satu) Hari Kerja setelah diperoleh
informasi adanya pembatalan transaksi Operasi Moneter
yang ketiga kalinya.
(4) Contoh pengenaan sanksi penghentian sementara untuk
mengikuti kegiatan Operasi Moneter tercantum dalam
Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
32
Pasal 60
(1) Dalam hal terjadi pembatalan transaksi Financing Facility
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) yang
menggunakan surat berharga berupa SBSN dengan harga
SBSN pada saat second leg lebih rendah dari harga SBSN
pada saat transaksi first leg, selain dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan/atau
Pasal 59 ayat (1), Peserta Standing Facilities Syariah
dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar
sebesar selisih antara harga pada transaksi first leg dan
harga pada transaksi second leg setelah dikalikan dengan
nominal SBSN yang di-repo-kan.
(2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mendebit
Rekening Giro rupiah pada 1 (satu) Hari Kerja setelah
terjadinya pembatalan transaksi.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 61
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/30/DPM tanggal
29 November 2016 perihal Koridor Suku Bunga (Standing
Facilities);
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/42/DPM tanggal
16 November 2015 perihal Tata Cara Transaksi
Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara
dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Standing Facilities
Syariah,
c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/43/DPM tanggal
16 November 2015 perihal Tata Cara Transaksi Fasilitas
Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah; dan
d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/45/DPM tanggal
16 November 2015 perihal Tata Cara Transaksi
Repurchase Agreement Sertifikat Bank Indonesia Syariah
33
dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Standing Facilities
Syariah.
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 62
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengumuman Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 April 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
ERWIN RIJANTO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/9/PADG/2018
TENTANG
STANDING FACILITIES
I. UMUM
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa
tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah.
Dalam rangka mencapai tujuan dimaksud dan menghadapi tantangan
kondisi makroekonomi, Bank Indonesia melaksanakan pengendalian
moneter melalui pelaksanaan Operasi Moneter. Operasi Moneter salah
satunya dilakukan melalui Standing Facilities, baik secara konvensional
atau berdasarkan prinsip syariah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan “injeksi likuiditas” adalah penambahan
likuiditas rupiah Bank melalui kegiatan Operasi Moneter.
2
Yang dimaksud dengan “absorpsi likuiditas” adalah pengurangan
likuiditas rupiah Bank melalui kegiatan Operasi Moneter.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Mekanisme nonlelang dalam Standing Facilities dilakukan secara
bilateral antara Bank Indonesia dengan Peserta Standing
Facilities.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “prinsip sell and buyback” adalah prinsip
dalam transaksi repo dengan perpindahan kepemilikan Surat
Berharga (transfer of ownership).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
3
Pasal 8
Huruf a
Yang dimaksud dengan “prinsip collateralized borrowing” adalah
prinsip dalam transaksi repo tanpa perpindahan kepemilikan
Surat Berharga (transfer of ownership).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “prinsip sell and buyback” adalah prinsip
dalam transaksi repo dengan perpindahan kepemilikan Surat
Berharga (transfer of ownership).
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan “qard” adalah pinjaman dana tanpa imbalan
dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman
secara sekaligus dalam jangka waktu tertentu.
Yang dimaksud dengan “rahn” adalah penyerahan agunan dari Peserta
Standing Facilities Syariah (rahin) kepada Bank Indonesia (murtahin)
sebagai jaminan untuk mendapatkan qard.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
4
Angka 2
Dalam hal penandatanganan Perjanjian dan/atau
dokumen janji (wa’d) tidak dilakukan oleh CEO maka
surat kuasa dari kantor pusat Peserta Standing Facilities
Syariah memuat hak CEO untuk mengalihkan
kewenangannya atau hak substitusi.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dokumen janji (wa’d) untuk pengajuan Repo SBSN oleh Peserta
Standing Facilities Syariah kepada Bank Indonesia berlaku untuk
transaksi repo SBSN dalam Financing Facility dan repo SBSN
dalam operasi pasar terbuka syariah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pelaksanaan operasi pasar terbuka.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
5
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
6
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
7
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
8
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Yang dimaksud dengan “keadaan tidak normal” adalah situasi atau
kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan
pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi
maupun sarana pendukung yang mempengaruhi kelancaran
penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/9/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> STANDING FACILITIES </reg_title>
<set_date> 30 April 2018 </set_date>
<effective_date> 30 April 2018 </effective_date>
<replaced_reg> '18/30/DPM|SE-BI/2016', '17/43/DPM|SE-BI/2015', '17/45/DPM|SE-BI/2015', '17/42/DPM|SE-BI/2015' </replaced_reg>
<related_reg> '20/5/PBI/2018' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
1
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/12/PADG/2019
TENTANG
PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH
BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap
penyelesaian transaksi yang semakin cepat, perlu
dilakukan percepatan waktu setelmen terhadap
penyelesaian transaksi dalam layanan transfer dana dan
layanan pembayaran reguler pada penyelenggaraan
transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia;
b. bahwa dengan tersedianya layanan jasa sistem
pembayaran yang semakin efektif di masyarakat,
mengakibatkan
layanan transfer dana pada
penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh
Bank Indonesia lebih efisien, sehingga perlu dilakukan
penyesuaian biaya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Penyelenggaraan
Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia;
2
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5704) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
21/8/PBI/2019 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan
Bank Indonesia
Nomor 17/9/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2019 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6355);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING
BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal
adalah kegiatan dalam rangka memproses perhitungan
hak dan kewajiban antarpeserta sistem kliring nasional
Bank Indonesia yang setelmennya dilakukan pada waktu
tertentu.
2. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SKNBI adalah infrastruktur yang digunakan oleh
Bank Indonesia dalam Penyelenggaraan Transfer Dana dan
Kliring Berjadwal untuk memproses data keuangan
elektronik pada layanan transfer dana, layanan kliring
warkat debit, layanan pembayaran reguler, dan layanan
penagihan reguler.
3
3. Penyelenggara SKNBI yang selanjutnya disebut
Penyelenggara adalah Bank Indonesia.
4. Peserta SKNBI yang selanjutnya disebut Peserta adalah
pihak yang telah memenuhi persyaratan dan telah
memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai
Peserta.
5. Layanan Transfer Dana adalah layanan dalam SKNBI yang
memproses pemindahan sejumlah dana antar-Peserta dari
1 (satu) pengirim kepada 1 (satu) penerima.
6. Layanan Kliring Warkat Debit adalah layanan dalam
SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana yang
dilakukan antar-Peserta dari 1 (satu) pengirim tagihan
kepada 1 (satu) penerima tagihan, disertai dengan fisik
warkat debit.
7. Layanan Pembayaran Reguler adalah layanan dalam
SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah dana antar-
Peserta dari 1 (satu) atau beberapa pengirim kepada 1
(satu) atau beberapa penerima.
8. Layanan Penagihan Reguler adalah layanan dalam SKNBI
yang memproses penagihan sejumlah dana antar-Peserta
dari 1 (satu) pengirim tagihan kepada beberapa penerima
tagihan.
9. Data Keuangan Elektronik yang selanjutnya disingkat DKE
adalah data keuangan dalam format elektronik yang
digunakan sebagai dasar perhitungan dalam
penyelenggaraan SKNBI.
10. DKE Transfer Dana adalah DKE yang dibuat berdasarkan
perintah transfer dana dan digunakan sebagai dasar
perhitungan dalam Layanan Transfer Dana.
11. DKE Warkat Debit adalah DKE yang dibuat berdasarkan
perintah transfer debit dan digunakan sebagai dasar
perhitungan dalam Layanan Kliring Warkat Debit.
12. DKE Pembayaran adalah DKE yang dibuat berdasarkan
perintah transfer dana dan digunakan sebagai dasar
perhitungan dalam Layanan Pembayaran Reguler.
4
13. DKE Penagihan adalah DKE yang dibuat berdasarkan
perintah transfer debit dan digunakan sebagai dasar
perhitungan dalam Layanan Penagihan Reguler.
14. Warkat Debit adalah alat pembayaran nontunai yang
diperhitungkan atas beban nasabah atau bank melalui
Layanan Kliring Warkat Debit.
15. Kliring
Penyerahan adalah kegiatan untuk
memperhitungkan DKE Warkat Debit yang disampaikan
oleh Peserta pengirim kepada Peserta penerima melalui
Penyelenggara.
16. Kliring Pengembalian adalah kegiatan untuk
memperhitungkan DKE Warkat Debit yang diperhitungkan
dalam Kliring Penyerahan namun ditolak oleh Peserta
penerima berdasarkan alasan yang ditetapkan oleh
Penyelenggara.
17. Penyerahan Tagihan adalah
kegiatan untuk
memperhitungkan DKE Penagihan yang disampaikan oleh
Peserta pengirim kepada Peserta penerima melalui
Penyelenggara.
18. Pengembalian Tagihan adalah
kegiatan untuk
memperhitungkan DKE Penagihan yang diperhitungkan
dalam Penyerahan Tagihan namun ditolak oleh Peserta
penerima berdasarkan alasan yang ditetapkan oleh
Penyelenggara.
19. Peserta Langsung Utama yang selanjutnya disingkat PLU
adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara
secara langsung dengan menggunakan infrastruktur
SKNBI dan setelmen dana dilakukan ke rekening setelmen
dana Peserta yang bersangkutan.
20. Peserta Langsung Afiliasi yang selanjutnya disingkat PLA
adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara
secara langsung dengan menggunakan infrastruktur
SKNBI Peserta yang bersangkutan dan setelmen dana
dilakukan ke rekening setelmen dana bank pembayar.
21. Peserta Tidak Langsung yang selanjutnya disingkat PTL
adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara
5
secara tidak langsung melalui bank penerus dan setelmen
dana dilakukan ke rekening setelmen dana bank penerus.
22. Bank Pembayar adalah PLU yang ditunjuk oleh PLA untuk
setelmen dana, penyediaan prefund, dan/atau
pembayaran kewajiban lainnya dalam penyelenggaraan
SKNBI.
23. Bank Penerus adalah PLU yang memenuhi persyaratan
dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara
untuk melaksanakan pengiriman DKE, penyediaan
prefund, setelmen dana, dan/atau pembayaran kewajiban
lainnya untuk kepentingan PTL.
24. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan
pengkreditan rekening setelmen dana melalui Sistem BI-
RTGS yang dilakukan berdasarkan perhitungan hak dan
kewajiban masing-masing Peserta yang timbul dalam
penyelenggaraan SKNBI.
25. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta dalam
mata uang Rupiah yang ditatausahakan di Bank
Indonesia.
26. Prefund adalah dana yang disediakan oleh Peserta untuk
memenuhi kewajiban dalam penyelenggaraan SKNBI.
27. Prefund Kredit adalah Prefund yang disediakan untuk
Layanan Transfer Dana dan Layanan Pembayaran Reguler.
28. Prefund Debit adalah Prefund yang disediakan untuk
Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan Penagihan
Reguler.
29. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
termasuk kantor cabang dari bank di luar negeri dan bank
umum syariah termasuk unit usaha syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
30. Sistem Sentral Kliring yang selanjutnya disingkat SSK
adalah infrastruktur SKNBI di Penyelenggara yang
digunakan dalam penyelenggaraan SKNBI.
31. Sistem Peserta Kliring yang selanjutnya disingkat SPK
adalah infrastruktur SKNBI di Peserta yang terhubung
6
dengan SSK yang digunakan oleh Peserta dalam
penyelenggaraan SKNBI.
32. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik
yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara
individual.
33. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi yang
terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan
pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan
komunikasi, aplikasi, maupun sarana pendukung yang
memengaruhi kelancaran penyelenggaraan SKNBI.
34. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi di
luar kekuasaan Penyelenggara dan/atau Peserta yang
menyebabkan kegiatan operasional SKNBI tidak dapat
diselenggarakan yang diakibatkan oleh, tetapi tidak
terbatas pada kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, dan
bencana alam seperti gempa bumi dan banjir yang
dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat setempat
yang berwenang, termasuk Bank Indonesia.
35. Fasilitas Kontingensi adalah fasilitas yang disediakan oleh
Penyelenggara di lokasi Penyelenggara dan kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang dapat
digunakan oleh Peserta apabila terjadi Keadaan Tidak
Normal atau Keadaan Darurat di lokasi kantor Peserta.
36. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri yang
selanjutnya disingkat KPwDN adalah kantor Bank
Indonesia selain kantor pusat Bank Indonesia yang
melaksanakan fungsi sistem pembayaran.
37. Pertukaran Warkat Debit adalah pertukaran fisik Warkat
Debit antar-Peserta di wilayah kliring yang didasarkan
pada DKE Warkat Debit yang telah dikirimkan oleh
Peserta.
38. Wilayah Kliring adalah suatu wilayah yang telah disetujui
oleh Penyelenggara untuk melaksanakan kegiatan
Pertukaran Warkat Debit.
7
39. Wilayah Kliring Otomasi adalah Wilayah Kliring yang
melaksanakan kegiatan Pertukaran Warkat Debit secara
otomasi.
40. Wilayah Kliring Manual adalah Wilayah Kliring yang
melaksanakan kegiatan Pertukaran Warkat Debit secara
manual.
41. Koordinator Pertukaran Warkat Debit yang selanjutnya
disebut Koordinator PWD adalah koordinator Pertukaran
Warkat Debit Bank Indonesia dan koordinator Pertukaran
Warkat Debit selain Bank Indonesia yang melaksanakan
Pertukaran Warkat Debit di suatu Wilayah Kliring.
42. Perwakilan Peserta adalah kantor Peserta di suatu Wilayah
Kliring yang ditunjuk sebagai wakil Peserta untuk
melaksanakan Pertukaran Warkat Debit yang dikliringkan
di Wilayah Kliring tersebut.
43. Bukti Penyerahan Warkat Debit yang selanjutnya disingkat
BPWD adalah dokumen kliring yang digunakan di Wilayah
Kliring Otomasi yang berfungsi sebagai alat kontrol dalam
pelaksanaan kegiatan Pertukaran Warkat Debit.
44. Rincian Warkat Debit yang selanjutnya disingkat RWD
adalah dokumen kliring yang digunakan di Wilayah Kliring
Manual yang berfungsi sebagai alat kontrol dalam
pelaksanaan kegiatan Pertukaran Warkat Debit.
45. Tanda Pengenal Petugas Kliring yang selanjutnya disingkat
TPPK adalah tanda pengenal yang digunakan oleh petugas
kliring dalam kegiatan Pertukaran Warkat Debit.
BAB II
PENYELENGGARA
Pasal 2
Dalam penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal
melalui SKNBI, Penyelenggara paling sedikit melakukan hal
sebagai berikut:
a. menetapkan ketentuan dan prosedur penyelenggaraan
SKNBI;
8
b. menyediakan sarana dan prasarana penyelenggaraan
SKNBI;
c. melaksanakan kegiatan operasional SKNBI;
d. melakukan upaya untuk menjamin keandalan,
ketersediaan, dan keamanan penyelenggaraan SKNBI; dan
e. melakukan pemantauan kepatuhan Peserta dan pihak
selain kantor Bank Indonesia yang melaksanakan
Pertukaran Warkat Debit terhadap ketentuan Bank
Indonesia mengenai penyelenggaraan transfer dana dan
kliring berjadwal oleh Bank Indonesia.
Pasal 3
Sarana dan prasarana penyelenggaraan SKNBI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf b paling sedikit mencakup:
a. perangkat keras dan aplikasi SSK;
b. jaringan komunikasi data yang menghubungkan SPK
dengan SSK;
c. aplikasi SPK dan perubahannya serta pedoman
pengoperasian aplikasi SPK;
d. Fasilitas Kontingensi; dan
e. sarana dan prasarana pendukung lainnya.
Pasal 4
Penyelenggara melaksanakan kegiatan operasional SKNBI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c paling sedikit
mencakup:
a. melakukan kegiatan operasional SKNBI sesuai dengan
waktu yang telah ditetapkan untuk menjaga kelancaran
kegiatan operasional SKNBI;
b. melakukan perhitungan DKE yang dikirim oleh Peserta
dan diterima oleh Penyelenggara;
c. melakukan Setelmen Dana atas DKE yang diproses dalam
penyelenggaraan SKNBI; dan
d. menyediakan data atau informasi DKE yang diproses
dalam penyelenggaraan SKNBI.
9
Pasal 5
Penyelenggara menjamin keandalan, ketersediaan, dan
keamanan penyelenggaraan SKNBI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf d dengan kegiatan paling sedikit
mencakup:
a. melakukan pengelolaan dan pengoperasian SSK;
b. melakukan security audit terhadap SKNBI secara berkala;
c. menyediakan helpdesk untuk menangani masalah
operasional penyelenggaraan SKNBI dan/atau jaringan
komunikasi data yang dihadapi Peserta;
d. memberikan layanan yang berkaitan dengan kepesertaan
dalam penyelenggaraan SKNBI;
e. menetapkan waktu operasional penyelenggaraan SKNBI;
f. menetapkan standar layanan minimum penyelenggaraan
SKNBI;
g. menetapkan dan memberlakukan ketentuan dan prosedur
penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan
Darurat;
h. memberikan pelatihan kepada calon Peserta dan pelatihan
secara berkala kepada Peserta; dan
i. menetapkan status kepesertaan Peserta.
BAB III
KEWAJIBAN PESERTA
Pasal 6
Dalam penyelenggaraan SKNBI, Peserta wajib:
a. menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan
SKNBI;
b. bertanggung jawab atas kebenaran DKE dan seluruh
informasi yang dikirim Peserta kepada Penyelenggara
melalui SKNBI;
c. melaksanakan perjanjian dengan Penyelenggara apabila
diperlukan dalam penyelenggaraan SKNBI;
d. menginformasikan biaya transaksi melalui SKNBI kepada
nasabah secara transparan;
10
e. memberikan data dan informasi terkait penyelenggaraan
SKNBI kepada Bank Indonesia;
f. mematuhi ketentuan yang dikeluarkan oleh asosiasi
sistem pembayaran yang telah disetujui oleh Bank
Indonesia; dan
g. mematuhi ketentuan lain terkait operasional
Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh
Bank Indonesia.
Pasal 7
Kewajiban Peserta untuk menjaga kelancaran dan keamanan
dalam penggunaan SKNBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 huruf a, meliputi kegiatan sebagai berikut:
a. menyusun kebijakan dan prosedur tertulis yang
mendukung sistem kontrol internal yang baik dalam
pelaksanaan operasional SKNBI;
b. melakukan pemeriksaan internal terhadap operasional
SKNBI;
c. melakukan security audit;
d. menyusun kebijakan teknologi informasi terkait dengan
SKNBI yang di-review dan di-update secara reguler;
e. memiliki pedoman business continuity plan dan disaster
recovery plan;
f. menggunakan aplikasi SPK sesuai dengan buku pedoman
penggunaan aplikasi SPK;
g. melakukan pengkinian data atau informasi kepesertaan
dalam hal terdapat perubahan data kepesertaan SKNBI;
h. melakukan pemeliharaan data; dan
i. menjamin SPK utama dan SPK cadangan berfungsi dengan
baik untuk melakukan berbagai aktivitas SKNBI sepanjang
jam operasional SKNBI.
Pasal 8
Penyusunan kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
11
a. kebijakan dan prosedur tertulis dibuat dalam waktu
paling lama 6 (enam) bulan setelah tanggal efektif
kepesertaan di SKNBI;
b. kebijakan dan prosedur tertulis dibuat dalam Bahasa
Indonesia dengan mengacu pada ketentuan terkait dengan
SKNBI yang ditetapkan oleh Penyelenggara dan ketentuan
yang dikeluarkan oleh asosiasi sistem pembayaran terkait
penyelenggaraan SKNBI;
c. penyusunan rincian cakupan minimum materi kebijakan
dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana
tercantum dalam huruf A Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini;
d. dalam hal terdapat perubahan terhadap materi kebijakan
dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf
c dan/atau perubahan ketentuan yang dikeluarkan oleh
Penyelenggara dan/atau asosiasi sistem pembayaran yang
berdampak pada substansi kebijakan dan prosedur
tertulis, Peserta melakukan pengkinian terhadap
kebijakan dan prosedur tertulis dimaksud;
e. pengkinian terhadap kebijakan dan prosedur tertulis
sebagaimana dimaksud dalam huruf d dilakukan dalam
waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah terjadinya
perubahan materi dan ketentuan tersebut; dan
f.
kebijakan dan prosedur tertulis ditetapkan oleh pejabat
yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
internal Peserta dan berlaku sebagai pedoman operasional
SKNBI di Peserta.
Pasal 9
Pemeriksaan internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dilakukan oleh satuan kerja audit internal Peserta; dan
b. dilakukan paling kurang 1 (satu) tahun sekali.
12
Pasal 10
Security audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dilakukan oleh satuan kerja audit internal Peserta
dan/atau auditor eksternal;
b. dilakukan paling sedikit setiap 3 (tiga) tahun sekali
terhitung sejak menjadi Peserta atau dalam hal terjadi
perubahan dalam sistem teknologi informasi internal
Peserta yang terkait dengan SKNBI, security audit
dilakukan paling lama 6 (enam) bulan setelah terjadi
perubahan; dan
c. cakupan security audit paling sedikit mencakup ruang
lingkup sebagaimana tercantum dalam huruf B Lampiran I.
Pasal 11
Penyusunan kebijakan teknologi informasi terkait dengan
SKNBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penyusunan kebijakan teknologi informasi termasuk
melakukan pengkinian dalam hal terdapat perubahan
kebijakan teknologi informasi dan prosedur penggunaan
teknologi informasi;
b. pengkinian kebijakan teknologi informasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dilakukan paling lama 6 (enam)
bulan sejak perubahan kebijakan teknologi informasi; dan
c. pengkinian kebijakan teknologi informasi mengacu pada
ketentuan yang mengatur mengenai manajemen risiko
dalam penggunaan teknologi informasi.
Pasal 12
Pedoman business continuity plan dan disaster recovery plan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf e memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. pedoman business continuity plan paling sedikit memuat
hal sebagai berikut:
13
1. unit kerja sebagai penanggung jawab;
2. mekanisme koordinasi apabila penanggung jawab
terdiri atas beberapa unit;
3. langkah bisnis yang dilakukan untuk menjamin
kegiatan operasional SKNBI tetap berjalan;
4. mekanisme pengujian prosedur business continuity
plan;
5. mekanisme pelaporan dan monitoring; dan
6. petugas operasional, termasuk data nomor telepon
yang dapat dihubungi setiap saat oleh Penyelenggara;
dan
b. pedoman disaster recovery plan paling sedikit memuat hal
sebagai berikut:
1. unit kerja sebagai penanggung jawab;
2. mekanisme koordinasi apabila penanggung jawab
terdiri atas beberapa unit;
3. prosedur terkait penyiapan infrastruktur cadangan
untuk menjamin kegiatan operasional SKNBI tetap
berjalan;
4. mekanisme pelaporan dan monitoring; dan
5. petugas operasional, termasuk data nomor telepon
yang dapat dihubungi setiap saat oleh Penyelenggara.
Pasal 13
Pemeliharaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf
h dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pemeliharaan data dilakukan terhadap data yang
tersimpan dalam media elektronik dan/atau dalam bentuk
hasil olahan komputer SKNBI;
b. data sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus
mendapat pengamanan yang memadai serta terjaga
kerahasiaannya;
c. melakukan pencadangan data sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dalam media eletronik yang berbeda dengan
media elektronik sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
14
d. memastikan data sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan cadangannya sebagaimana dimaksud dalam huruf c
tidak rusak; dan
e. menyimpan seluruh data sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan cadangannya sebagaimana dimaksud dalam
huruf c sesuai dengan ketentuan pengarsipan yang
berlaku di internal Peserta dan masa retensi sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai dokumen perusahaan.
Pasal 14
Untuk menjamin SPK utama dan SPK cadangan berfungsi
dengan baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf i,
Peserta melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. memastikan petugas yang menangani SKNBI memahami
sistem dan prosedur operasional SKNBI yang telah
ditetapkan oleh Penyelenggara dan internal Peserta;
b. menetapkan dan mengelola user dan kewenangan user
yang melakukan operasional SKNBI;
c. menyediakan dan mengelola sistem cadangan untuk
SKNBI di Peserta;
d. menjamin sistem cadangan berfungsi dengan baik;
e. menjamin keamanan dan keandalan jaringan komunikasi
data yang digunakan untuk menghubungkan SPK utama
dan/atau SPK cadangan;
f. melaporkan pengembangan aplikasi internal Peserta yang
terkait SKNBI kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu)
bulan setelah diimplementasikan;
g. melakukan langkah preventif yang diperlukan agar
perangkat keras (hardware) berfungsi dengan baik dan
perangkat lunak (software) yang digunakan dalam SKNBI
dan/atau yang terkait dengan SKNBI bebas dari segala
jenis virus;
h. menjamin integritas database SKNBI yang ada pada SPK
utama dan SPK cadangan serta data cadangan (back-up);
15
i. melakukan instalasi setiap terjadi perubahan aplikasi SPK
utama dan/atau SPK cadangan sesuai dengan buku
pedoman pengoperasian SKNBI;
j. menyimpan dengan baik aplikasi SPK dan perubahannya
serta soft token yang diberikan oleh Penyelenggara; dan
k. melakukan perpanjangan masa aktif soft token sesuai
dengan waktu yang telah ditetapkan oleh Penyelenggara.
Pasal 15
Penetapan dan pengelolaan user sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 huruf b dilakukan dengan memperhatikan paling
sedikit hal sebagai berikut:
a. pengaturan kewenangan user memperhatikan rentang
kendali (span of control) untuk meminimalisasi kesalahan
manusia (human error) dan penyalahgunaan (fraud);
b. pembuatan sampai dengan pengiriman DKE dilakukan
secara berjenjang sesuai dengan tingkat kewenangan
petugas;
c. pengaturan petugas pengganti untuk user sesuai dengan
perannya masing-masing;
d. penetapan dan penatausahaan data user yang mengelola
soft token; dan
e. memastikan keamanan penggunaan dan penyimpanan
soft token.
Pasal 16
Penyediaan dan pengelolaan sistem cadangan untuk SKNBI di
Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c,
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta menyediakan SPK cadangan di lokasi cadangan
dan jaringan komunikasi data cadangan dari lokasi
cadangan Peserta ke Penyelenggara sesuai dengan standar
yang ditetapkan oleh Penyelenggara; dan
b. biaya penyediaan dan penggunaan infrastruktur
sebagaimana dimaksud dalam huruf a menjadi beban
Peserta.
16
Pasal 17
Untuk menjamin sistem cadangan berfungsi dengan baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d, Peserta:
a. mengikuti kegiatan uji coba sistem cadangan sesuai
dengan pemberitahuan dari Penyelenggara;
b. melakukan uji coba koneksi sistem cadangan secara
berkala; dan
c. mengoperasikan sistem cadangan untuk kegiatan
operasional dalam kondisi normal secara berkala.
Pasal 18
(1) Uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
uji coba koneksi dilakukan terhadap SPK cadangan,
jaringan komunikasi data cadangan, dan data
cadangan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun;
b. uji coba koneksi sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dapat dilakukan dengan menggunakan
infrastruktur utama Penyelenggara dengan jadwal
yang ditetapkan oleh Penyelenggara setelah seluruh
layanan SKNBI di Penyelenggara berakhir; dan
c. penggunaan infrastruktur utama Penyelenggara
dilakukan paling lama 1 (satu) jam.
(2) Uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
prosedur sebagai berikut:
a. Peserta menyampaikan permohonan uji coba koneksi
sistem cadangan melalui administrative message
kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari
kerja sebelum pelaksanaan uji coba koneksi sistem
cadangan;
b. Penyelenggara memberitahukan persetujuan uji coba
koneksi sistem cadangan kepada Peserta melalui
administrative message; dan
17
c. Peserta menyampaikan laporan tertulis hasil
pelaksanaan uji coba koneksi sistem cadangan
kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari
kerja setelah pelaksanaan uji coba selesai dilakukan.
Pasal 19
(1) Pengoperasian sistem cadangan untuk kegiatan
operasional dalam kondisi normal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 huruf c dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. penggunaan sistem cadangan dilakukan secara
berkala, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun; dan
b. pengoperasian sistem cadangan dapat mencakup
pengoperasian SPK cadangan dan/atau jaringan
komunikasi data cadangan.
(2) Pengoperasian sistem cadangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
a. Peserta menyampaikan permohonan melalui
administrative message kepada Penyelenggara paling
lambat 1 (satu) hari kerja sebelum menggunakan
sistem cadangan;
b. Penyelenggara memberitahukan persetujuan
penggunaan SPK cadangan dan/atau jaringan
komunikasi data cadangan kepada Peserta melalui
administrative message; dan
c. Peserta menyampaikan laporan tertulis hasil
pengoperasian sistem cadangan kepada
Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah
pelaksanaan pengoperasian sistem cadangan selesai
dilakukan.
Pasal 20
Kegiatan Peserta untuk menjamin keamanan dan keandalan
jaringan komunikasi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 huruf e dilakukan terhadap jaringan komunikasi data yang
menghubungkan SPK utama dan/atau SPK cadangan dengan:
18
a. perangkat komputer Peserta yang digunakan untuk
operasional SKNBI; dan
b. sistem internal Peserta, dalam hal Peserta
menghubungkan SPK utama dan/atau SPK cadangan
dengan sistem internal Peserta.
Pasal 21
Untuk memenuhi tanggung jawab Peserta atas kebenaran DKE
dan seluruh informasi yang dikirim Peserta kepada
Penyelenggara melalui SKNBI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf b, Peserta melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. membuat DKE dan batch DKE sesuai dengan buku
pedoman penggunaan aplikasi SPK;
b. mengirimkan batch DKE sesuai jadwal yang ditetapkan
Penyelenggara; dan
c. menggunakan kode transaksi sesuai kode transaksi yang
ditetapkan oleh Penyelenggara.
BAB IV
PENYELENGGARAAN SKNBI
Bagian Kesatu
Waktu Operasional Penyelenggaraan SKNBI
Paragraf 1
Penetapan dan Perubahan Waktu Operasional SKNBI oleh
Penyelenggara
Pasal 22
(1) Penyelenggara menetapkan waktu operasional SKNBI yang
mencakup:
a. hari operasional;
b. jam operasional;
c. jam layanan; dan
d. periode waktu kegiatan.
19
(2) Waktu operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diubah sewaktu-waktu oleh Penyelenggara
berdasarkan kebijakan Penyelenggara.
Pasal 23
(1) Perubahan waktu operasional berdasarkan kebijakan
Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (2) dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan
sebagai berikut:
a. adanya Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan
Darurat di Penyelenggara dan/atau Peserta;
b. adanya kepentingan Bank Indonesia untuk menjaga
kelancaran sistem pembayaran;
c. adanya permohonan tertulis perpanjangan periode
waktu kegiatan dari Peserta; dan/atau
d. adanya permohonan tertulis perubahan jam Layanan
Kliring Warkat Debit di suatu Wilayah Kliring dari
Koordinator PWD.
(2) Dalam hal terdapat perubahan waktu operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara
memberitahukan perubahan tersebut kepada Peserta
dan/atau Koordinator PWD melalui administrative
message dan/atau sarana lainnya.
Pasal 24
(1) Hari operasional SKNBI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (1) huruf a dilaksanakan pada setiap hari
kerja sesuai yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Jam operasional SKNBI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (1) huruf b dimulai pukul 06.30 waktu
Indonesia barat (WIB) sampai dengan pukul 17.00 waktu
Indonesia barat (WIB).
(3) Penetapan kegiatan dalam periode waktu kegiatan dan jam
layanan tercantum dalam huruf A, huruf B, huruf C, dan
huruf D Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
20
Paragraf 2
Perubahan Waktu Operasional SKNBI Berdasarkan
Permohonan Peserta dan Koordinator PWD
Pasal 25
(1) Peserta dapat mengajukan permohonan perubahan waktu
operasional SKNBI berupa perpanjangan periode waktu
kegiatan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan
diajukan secara tertulis kepada Penyelenggara;
b. permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan
diajukan dalam hal Peserta mengalami Keadaan Tidak
Normal dan/atau Keadaan Darurat;
c. perpanjangan periode waktu kegiatan terdiri atas:
1) perpanjangan periode waktu pengiriman DKE
Transfer Dana, DKE Warkat Debit, DKE
Pembayaran, dan DKE Penagihan; dan
2) perpanjangan periode waktu penambahan
Prefund;
d. perpanjangan periode waktu kegiatan dapat diberikan
berdasarkan persetujuan Penyelenggara untuk setiap
layanan selama 30 (tiga puluh) menit dan dapat
diperpanjang untuk kedua kalinya selama 30 (tiga
puluh) menit;
e. dalam kondisi tertentu yang disetujui oleh
Penyelenggara, Peserta yang telah mengajukan
perpanjangan periode waktu sebagaimana dimaksud
dalam huruf d dapat mengajukan kembali
perpanjangan periode waktu kegiatan;
f. perpanjangan periode waktu kegiatan pengiriman
DKE Transfer Dana, DKE Pembayaran, dan DKE
Penagihan atas permintaan Peserta dikenakan biaya.
(2) Tata cara pengajuan permohonan perpanjangan periode
waktu kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengacu pada butir E.1 Lampiran II.
21
Pasal 26
(1) Koordinator PWD dapat mengajukan permohonan
perubahan waktu operasional SKNBI berupa perubahan
jam Layanan Kliring Warkat Debit di Wilayah Kliring
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. permohonan perubahan jam Layanan Kliring Warkat
Debit di Wilayah Kliring disampaikan secara tertulis
kepada Penyelenggara; dan
b. permohonan perubahan jam Layanan Kliring Warkat
Debit di Wilayah Kliring diajukan dalam hal Peserta
mengalami Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan
Darurat.
(2) Tata cara permohonan perubahan jam Layanan Kliring
Warkat Debit di Wilayah Kliring sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengacu pada butir E.2 Lampiran II.
Paragraf Ketiga
Keikutsertaan Peserta dalam Kegiatan Operasional SKNBI
Pasal 27
(1) Peserta wajib melakukan kegiatan operasional SKNBI
sesuai dengan waktu operasional yang ditetapkan oleh
Penyelenggara.
(2) Peserta dapat mengajukan permohonan tidak ikut serta
dalam kegiatan operasional SKNBI dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. permohonan tidak ikut serta dalam kegiatan
operasional SKNBI disampaikan secara tertulis
kepada Penyelenggara; dan
b. permohonan tidak ikut serta dalam kegiatan
operasional SKNBI diajukan dalam hal Peserta
mengalami kondisi tertentu, Keadaan Tidak Normal,
dan/atau Keadaan Darurat.
(3) Permohonan tidak ikut serta dalam kegiatan operasional
SKNBI dalam kondisi tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b terbatas untuk Layanan Kliring
Warkat Debit.
22
(4) Peserta yang mendapat persetujuan untuk tidak ikut serta
dalam kegiatan operasional SKNBI harus menyelesaikan
hasil DKE untuk kepentingan nasabah dengan mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
standar layanan nasabah dalam pelaksanaan transfer
dana dan kliring berjadwal melalui SKNBI.
(5) Dalam hal KPwDN di Wilayah Kliring tertentu menerapkan
hari operasional sebagai libur fakultatif maka Peserta tidak
dapat melakukan pengiriman DKE Warkat Debit ke
Wilayah Kliring tersebut dan kegiatan Pertukaran Warkat
Debit di wilayah tersebut ditiadakan.
(6) Tata cara pengajuan permohonan tidak ikut serta dalam
kegiatan operasional SKNBI sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mengacu pada huruf F Lampiran II.
Bagian Kedua
Penggunaan Soft Token dalam Penyelenggaraan SKNBI
Pasal 28
(1) Soft token digunakan sebagai salah satu sarana
pengamanan dalam operasional penyelenggaraan SKNBI.
(2) Soft token sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
masa aktif paling lama 2 (dua) tahun setelah tanggal
efektif.
(3) Penggunaan soft token sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) digunakan sesuai ketentuan internal Peserta dan
sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta.
Pasal 29
(1) Peserta mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Penyelenggara untuk mendapatkan penggantian atau
perpanjangan soft token.
(2) Dalam hal Penyelenggara menyetujui penggantian atau
perpanjangan soft token, Penyelenggara memberitahukan
kepada Peserta melalui administrative message atau
sarana lainnya paling lama 15 (lima belas) hari kerja
setelah permohonan diterima secara lengkap.
23
(3) Pengambilan soft token sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan setelah Peserta mendapatkan persetujuan
oleh Penyelenggara.
(4) Tata cara pengajuan permohonan penggantian atau
perpanjangan soft token sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan pengambilan soft token sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) mengacu pada huruf A Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 30
(1) Penghapusan soft token dapat dilakukan atas dasar
inisiatif Penyelenggara atau permintaan Peserta.
(2) Tata cara penghapusan soft token sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengacu pada huruf B Lampiran III.
Pasal 31
Penyelenggara menyampaikan surat pemberitahuan kepada
Peserta mengenai penghapusan soft token sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 paling lama 14 (empat belas) hari
kerja setelah pelaksanaan penghapusan soft token.
BAB V
OPERASIONAL LAYANAN SKNBI
Bagian Kesatu
Operasional Layanan Transfer Dana
Pasal 32
(1) Layanan Transfer Dana memproses perintah transfer dana
yang berasal dari:
a. Peserta kepada Peserta lainnya;
b. Peserta kepada nasabah Peserta lainnya dan
sebaliknya; dan
c. nasabah Peserta kepada nasabah Peserta lainnya.
(2) Batas nilai nominal transfer dana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
24
yang mengatur mengenai batas nilai nominal transaksi
melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI.
Pasal 33
(1) Peserta memproses perintah transfer dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) melalui:
a. pembuatan DKE Transfer Dana dan batch DKE
Transfer Dana di SPK; dan
b. pengiriman batch DKE Transfer Dana ke SSK.
(2) Pembuatan DKE Transfer Dana dan batch DKE Transfer
Dana di SPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilakukan dengan memperhatikan hal sebagai berikut:
a. Peserta wajib mengisi kode transaksi pada DKE
Transfer Dana dengan mengacu pada kode transaksi
sebagaimana dimaksud pada butir A.1 Lampiran IV
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
b. Peserta wajib mengisi kode kota asal dengan kode kota
kantor Peserta yang menerima perintah transfer dana
dari nasabah; dan
c. 1 (satu) batch DKE Transfer Dana paling banyak berisi
200 (dua ratus) transaksi.
(3) Tata cara pemrosesan perintah transfer dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada butir A.2 Lampiran
IV.
Pasal 34
(1) DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 ayat (1) huruf b tidak dapat diubah atau dibatalkan.
(2) DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didukung dengan dana yang cukup oleh Peserta.
(3) Setelmen Dana atas perhitungan DKE Transfer Dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan di
Rekening Setelmen Dana PLU dan/atau Rekening
Setelmen Dana Bank Pembayar.
(4) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan 9 (sembilan) kali dalam 1 (satu) hari operasional.
25
Pasal 35
(1) Selama periode waktu pengiriman DKE Transfer Dana,
Penyelenggara melakukan perhitungan setiap DKE
Transfer Dana yang diterima SSK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b dengan memperhatikan
kecukupan dana yang dimiliki oleh Peserta.
(2) Perhitungan DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terakhir dilakukan setelah batas waktu
penambahan Prefund Kredit berakhir.
(3) Penyelenggara menyediakan informasi hasil perhitungan
DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang dapat diperoleh Peserta melalui SPK.
(4) Tata cara perhitungan DKE Transfer Dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan penyediaan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), mengacu pada butir
A.3 Lampiran IV.
Pasal 36
Peserta penerima wajib meneruskan dana kepada nasabah
penerima berdasarkan DKE Transfer Dana yang diterima dari
Peserta pengirim sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
standar layanan dalam pelaksanaan transfer dana dan kliring
berjadwal melalui melalui SKNBI.
Bagian Kedua
Operasional Layanan Kliring Warkat Debit
Pasal 37
(1) Layanan Kliring Warkat Debit memproses perintah transfer
debit yang berasal dari Warkat Debit.
(2) Layanan Kliring Warkat Debit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam setiap zona yang terdiri atas
Kliring Penyerahan dan Kliring Pengembalian, yang
merupakan satu kesatuan siklus Layanan Kliring Warkat
Debit.
26
(3) Batas nilai nominal Warkat Debit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai batas nilai nominal transaksi
melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI.
Pasal 38
(1) Peserta memproses perintah transfer debit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dalam Kliring
Penyerahan melalui:
a. pembuatan DKE Warkat Debit dan batch DKE Warkat
Debit di SPK; dan
b. pengiriman batch DKE Warkat Debit ke SSK.
(2) Tata cara pemrosesan perintah transfer debit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada butir B.1 Lampiran
IV.
Pasal 39
(1) DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
ayat (1) huruf b tidak dapat diubah atau dibatalkan.
(2) DKE Warkat Debit yang dikirim harus diikuti dengan
penyampaian Warkat Debit kepada Peserta penerima
tagihan di Wilayah Kliring dimana Warkat Debit tersebut
dikliringkan.
(3) DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didukung dengan dana yang cukup oleh Peserta penerima
tagihan.
(4) Setelmen Dana atas perhitungan DKE Warkat Debit
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan ke
Rekening Setelmen Dana masing-masing Peserta.
(5) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) hari operasional
untuk setiap zona.
Pasal 40
(1) Peserta penerima tagihan melakukan verifikasi terhadap
DKE Warkat Debit yang diterima oleh SPK dari SSK pada
Kliring Penyerahan.
27
(2) Berdasarkan hasil verifikasi pada ayat (1), Peserta dapat
melakukan penolakan DKE Warkat Debit yang diterima
melalui Kliring Pengembalian disertai dengan alasan
penolakan DKE Warkat Debit.
(3) Penolakan DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan melalui:
a. pembuatan DKE Warkat Debit dan batch DKE Warkat
Debit di SPK; dan
b. pengiriman batch DKE Warkat Debit ke SSK.
(4) Penolakan DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) harus disertai dengan penyampaian Warkat Debit
melalui Kliring Pengembalian.
(5) Tata cara penolakan dan alasan penolakan DKE Warkat
Debit mengacu pada butir B.2 Lampiran IV.
Pasal 41
(1) Penolakan DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (4) dapat tidak disertai dengan
penyampaian Warkat Debit apabila alasan penolakan
berupa Warkat Debit diduga palsu atau dimanipulasi.
(2) Peserta penerima tagihan wajib melakukan penahanan
Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
lama sampai dengan 1 (satu) hari kerja berikutnya.
(3) Tata cara penolakan Warkat Debit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan penahanan Warkat Debit sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengacu pada butir B.3 Lampiran
IV.
Pasal 42
(1) Penyelenggara melakukan perhitungan DKE Warkat Debit
yang diterima SSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
ayat (1) huruf b dan Pasal 40 ayat (3) huruf b pada setiap
zona dengan memperhatikan kecukupan dana yang
dimiliki oleh Peserta.
(2) Penyelenggara menyediakan informasi hasil perhitungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diperoleh
Peserta melalui SPK.
28
(3) Perhitungan DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pada setiap zona dilakukan setelah batas
waktu penambahan Prefund Debit berakhir.
(4) Tata cara perhitungan DKE Warkat Debit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan penyediaan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada butir
B.4 Lampiran IV.
Pasal 43
Peserta pengirim tagihan wajib meneruskan dana kepada
nasabah sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai standar
layanan dalam pelaksanaan transfer dana dan kliring berjadwal
melalui SKNBI.
Pasal 44
Pembuatan DKE Warkat Debit dan batch DKE Warkat Debit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a dan
Pasal 40 ayat (3) huruf a, dilakukan dengan memperhatikan hal
sebagai berikut:
a. Peserta wajib mengisi kode transaksi pada DKE Warkat
Debit dengan mengacu pada kode transaksi sebagaimana
dimaksud dalam butir B.5 Lampiran IV;
b. Peserta wajib mengisi kode kota asal dengan kode kota
kantor Peserta yang menerima Warkat Debit dari nasabah
yang akan dikliringkan dalam Layanan Kliring Warkat
Debit; dan
c. 1 (satu) batch DKE Warkat Debit paling banyak berisi 200
(dua ratus) transaksi.
Bagian Ketiga
Operasional Layanan Pembayaran Reguler
Pasal 45
(1) Layanan Pembayaran Reguler memproses perintah
transfer dana yang berasal dari:
29
a. 1 (satu) Peserta pengirim kepada 1 (satu) atau lebih
nasabah di Peserta penerima;
b. 1 (satu) atau lebih nasabah di Peserta pengirim
kepada 1 (satu) Peserta penerima;
c. 1 (satu) nasabah di Peserta pengirim kepada 1 (satu)
atau lebih nasabah di Peserta penerima; dan/atau
d. 1 (satu) atau lebih nasabah di Peserta pengirim
kepada 1 (satu) nasabah di Peserta penerima.
(2) Batas nilai nominal transfer dana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai batas nilai nominal transaksi
melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI.
Pasal 46
(1) Peserta memproses perintah transfer dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) melalui:
a. pembuatan DKE Pembayaran dan batch DKE
Pembayaran di SPK; dan
b. pengiriman batch DKE Pembayaran ke SSK.
(2) Pembuatan DKE Pembayaran dan batch DKE Pembayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan
dengan memperhatikan hal sebagai berikut:
a. Peserta wajib mengisi kode transaksi pada DKE
Pembayaran dengan mengacu pada kode transaksi
sebagaimana dimaksud pada butir C.1 Lampiran IV;
b. Peserta wajib mengisi kode kota asal dengan kode kota
kantor Peserta yang menerima perintah transfer dana
dari nasabah; dan
c. 1 (satu) batch DKE Pembayaran paling banyak berisi
10 (sepuluh) DKE Pembayaran; dan
d. 1 (satu) DKE Pembayaran paling banyak berisi 100
(seratus) rincian transaksi.
(3) Tata cara pemrosesan perintah transfer dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada butir C.2 Lampiran
IV.
30
Pasal 47
(1) DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
ayat (1) huruf b tidak dapat diubah atau dibatalkan.
(2) DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didukung dengan dana yang cukup oleh Peserta.
(3) Setelmen Dana atas perhitungan DKE Pembayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan ke
Rekening Setelmen Dana PLU dan/atau Rekening
Setelmen Dana Bank Pembayar.
(4) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan 9 (sembilan) kali dalam 1 (satu) hari operasional.
Pasal 48
(1) Selama periode waktu pengiriman DKE Pembayaran,
Penyelenggara melakukan perhitungan setiap DKE
Pembayaran yang diterima SSK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b dengan memperhatikan
kecukupan dana yang dimiliki oleh Peserta.
(2) Perhitungan DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terakhir dilakukan setelah batas waktu
penambahan Prefund Kredit berakhir.
(3) Penyelenggara menyediakan informasi hasil perhitungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diperoleh
Peserta melalui SPK.
(4) Tata cara perhitungan DKE Pembayaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan penyediaan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), mengacu pada butir
C.3 Lampiran IV.
Pasal 49
Peserta penerima wajib meneruskan dana kepada nasabah
penerima berdasarkan DKE Pembayaran yang diterima dari
Peserta pengirim sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
standar layanan dalam pelaksanaan transfer dana dan kliring
berjadwal melalui SKNBI.
31
Bagian Keempat
Operasional Layanan Penagihan Reguler
Pasal 50
(1) Layanan Penagihan Reguler memproses perintah transfer
debit berupa tagihan dari 1 (satu) nasabah penagih di
Peserta pengirim untuk melakukan pendebitan 1 (satu)
atau beberapa rekening nasabah tertagih di Peserta
penerima.
(2) Perintah transfer debit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan berdasarkan:
a. perjanjian antara Peserta pengirim dengan nasabah
penagih untuk melakukan penagihan dengan
menggunakan Layanan Penagihan Reguler; dan
b. standing instruction dari nasabah tertagih kepada
Peserta penerima untuk melakukan pendebitan
rekening nasabah tertagih, dengan format
sebagaimana tercantum dalam butir D.1 Lampiran IV.
(3) Layanan Penagihan Reguler sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas Penyerahan Tagihan dan Pengembalian
Tagihan yang merupakan satu kesatuan siklus Layanan
Penagihan Reguler.
(4) Batas nilai nominal transfer debit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai batas nilai nominal transaksi
melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI.
Pasal 51
(1) Peserta memproses perintah transfer debit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dalam Penyerahan
Tagihan melalui:
a. pembuatan DKE Penagihan dan batch DKE Penagihan
di SPK berdasarkan standing instruction sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b; dan
b. pengiriman batch DKE Penagihan ke SSK.
32
(2) Tata cara pemrosesan perintah transfer debit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada butir D.2 Lampiran
IV.
Pasal 52
(1) DKE Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (1) huruf b tidak dapat diubah atau dibatalkan.
(2) DKE Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didukung dengan dana yang cukup.
(3) Setelmen Dana atas perhitungan DKE Penagihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan ke
Rekening Setelmen Dana masing-masing Peserta.
(4) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) hari operasional.
Pasal 53
(1) Peserta penerima tagihan melakukan verifikasi terhadap
DKE Penagihan yang diterima oleh SPK dari SSK pada
Penyerahan Tagihan.
(2) Berdasarkan hasil verifikasi pada ayat (1), Peserta dapat
melakukan penolakan DKE Penagihan yang diterima
melalui Pengembalian Tagihan disertai dengan alasan
penolakan DKE Penagihan.
(3) Penolakan DKE Penagihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan melalui:
a. pembuatan DKE Penagihan dan batch DKE Penagihan
di SPK; dan
b. pengiriman batch DKE Penagihan ke SSK.
(4) Tata cara penolakan dan alasan penolakan DKE Penagihan
mengacu pada butir D.3 Lampiran IV.
33
Pasal 54
(1) Penyelenggara melakukan perhitungan DKE Penagihan
yang diterima SSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (1) huruf b dan Pasal 53 ayat (3) huruf b dengan
memperhatikan kecukupan dana yang dimiliki oleh
Peserta.
(2) Penyelenggara menyediakan informasi hasil perhitungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diperoleh
Peserta melalui SPK.
(3) Perhitungan DKE Penagihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan setelah batas waktu penambahan
Prefund Debit berakhir.
(4) Tata cara perhitungan DKE Penagihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan penyediaan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada butir
D.4 Lampiran IV.
Pasal 55
Peserta pengirim tagihan wajib meneruskan dana kepada
nasabah sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai standar
layanan dalam pelaksanaan transfer dana dan kliring berjadwal
melalui SKNBI.
Pasal 56
Pembuatan DKE Penagihan dan batch DKE Penagihan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a dan
Pasal 53 ayat (3) huruf a, dilakukan dengan memperhatikan hal
sebagai berikut:
a. Peserta wajib mengisi kode transaksi pada DKE Penagihan
dengan mengacu pada kode transaksi sebagaimana
dimaksud dalam butir D.5 Lampiran IV;
b. Peserta wajib mengisi kode kota asal dengan kode kota
kantor Peserta yang menerima perintah transfer debit dari
nasabah;
34
c. 1 (satu) batch DKE Penagihan paling banyak berisi 10
(sepuluh) DKE Penagihan; dan
d. 1 (satu) DKE Penagihan paling banyak berisi 100 (seratus)
transaksi.
Bagian Kelima
Penyediaan Informasi dalam Penyelenggaraan SKNBI
Pasal 57
(1) Penyelenggara menyediakan data dalam penyelenggaraan
SKNBI yang dapat diakses oleh setiap Peserta.
(2) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. data individual hasil proses penyelenggaraan SKNBI;
dan
b. data hasil perhitungan setiap layanan SKNBI secara
agregat.
(3) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
data hasil proses penyelenggaraan SKNBI selama 90
(sembilan puluh) hari kalender terakhir.
Pasal 58
(1) Data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf
a terdiri atas data hasil proses pada:
a. Layanan Transfer Dana;
b. Layanan Kliring Warkat Debit;
c. Layanan Pembayaran Reguler; dan
d. Layanan Penagihan Reguler.
(2) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. DKE confirmed outgoing;
b. DKE confirmed incoming;
c. DKE incoming;
d. DKE outgoing;
e. DKE yang di-reject oleh SSK;
f.
status pengiriman DKE; dan
g. laporan hasil perhitungan DKE.
35
(3) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diunduh
melalui SSK sesuai jam layanan SKNBI sebagaimana
dimaksud dalam huruf A, huruf B, huruf C, dan huruf D
Lampiran II.
BAB VI
PENYELENGGARAAN PERTUKARAN WARKAT DEBIT
Bagian Kesatu
Penyelenggara Pertukaran Warkat Debit
Pasal 59
(1) Pertukaran Warkat Debit dalam suatu Wilayah Kliring
diselenggarakan oleh Koordinator PWD.
(2) Kegiatan Pertukaran Warkat Debit dilakukan secara
otomasi atau secara manual.
Pasal 60
Dalam menyelenggarakan Pertukaran Warkat Debit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Koordinator PWD
bertanggungjawab:
a. menyusun kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
pelaksanaan Pertukaran Warkat Debit;
b. menyediakan sarana dan prasarana dalam Pertukaran
Warkat Debit;
c. menjaga kelancaran pelaksanaan Pertukaran Warkat
Debit;
d. mengelola administrasi kepesertaan Pertukaran Warkat
Debit;
e. menyediakan fasilitas penyelesaian permasalahan dalam
proses Pertukaran Warkat Debit; dan
f. menyediakan sarana kontingensi Pertukaran Warkat Debit
pada saat terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat.
36
Pasal 61
Penyusunan kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 huruf a dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. kebijakan dan prosedur tertulis dibuat paling lama 6
(enam) bulan sejak tanggal efektif sebagai Koordinator
PWD;
b. dalam hal terjadi perubahan ketentuan yang dikeluarkan
oleh Penyelenggara yang berdampak pada materi
kebijakan dan prosedur tertulis, Koordinator PWD harus
melakukan pengkinian kebijakan dan prosedur tertulis
paling lama 6 (enam) bulan sejak terjadinya perubahan
ketentuan;
c. kebijakan dan prosedur tertulis dibuat dalam Bahasa
Indonesia; dan
d. penyusunan rincian cakupan minimum materi kebijakan
dan prosedur tertulis dilakukan sesuai dengan pedoman
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 62
Dalam menjaga kelancaran Pertukaran Warkat Debit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf c, Koordinator
PWD di Wilayah Kliring Otomasi melakukan paling kurang:
a. menetapkan jadwal Pertukaran Warkat Debit;
b. menyelenggarakan Pertukaran Warkat Debit sesuai
dengan jadwal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. melakukan upaya untuk menjamin keandalan sistem
penerimaan Warkat Debit dan sistem pilah Warkat Debit;
d. menetapkan langkah yang harus dilakukan apabila terjadi
Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat;
e. melakukan pengujian kualitas magnetic ink character
recognition (MICR) code line pada Warkat Debit dan kartu
batch, dengan tata cara pengujian mengacu pada butir A.1
Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan
37
f. menyediakan fasilitas salinan Warkat Debit yang telah
diproses secara otomasi, dengan tata cara penyediaan
mengacu pada butir A.2 Lampiran VI.
Pasal 63
Dalam menjaga kelancaran Pertukaran Warkat Debit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf c, Koordinator
PWD di Wilayah Kliring Manual melakukan paling kurang:
a. menetapkan jadwal Pertukaran Warkat Debit;
b. menyelenggarakan Pertukaran Warkat Debit sesuai
dengan jadwal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. memantau pelaksanaan Pertukaran Warkat Debit; dan
d. menetapkan langkah yang harus dilakukan apabila terjadi
Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat.
Pasal 64
Penetapan jadwal Pertukaran Warkat Debit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62 huruf a dan Pasal 63 huruf a
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. jadwal Pertukaran Warkat Debit mengacu pada waktu
operasional layanan SKNBI yang ditetapkan oleh
Penyelenggara;
b. jadwal Pertukaran Warkat Debit disampaikan kepada
seluruh Perwakilan Peserta di Wilayah Kliring yang
bersangkutan;
c. Perwakilan Peserta dapat mengajukan permohonan
perubahan jadwal Pertukaran Warkat Debit di suatu
Wilayah Kliring dalam hal mengalami Keadaan Tidak
Normal dan/atau Keadaan Darurat; dan
d. tata cara perubahan jadwal Pertukaran Warkat Debit
sebagaimana dimaksud dalam huruf c mengacu pada
huruf A Lampiran VII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
38
Pasal 65
Dalam mengelola administrasi kepesertaan Pertukaran Warkat
Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf d,
Koordinator PWD melakukan paling kurang:
a. mengadministrasikan data Perwakilan Peserta dan
petugas kliring;
b. menginformasikan penambahan dan/atau perubahan
data Perwakilan Peserta kepada seluruh Perwakilan
Peserta di Wilayah Kliring yang bersangkutan; dan
c. menerbitkan TPPK dengan spesifikasi dan format
sebagaimana dimaksud dalam huruf B Lampiran VII.
Bagian Kedua
Pendaftaran atau Perubahan Perwakilan Peserta
Pasal 66
(1) Peserta harus menunjuk salah satu kantor Peserta di
Wilayah Kliring sebagai Perwakilan Peserta.
(2) Calon Perwakilan Peserta di suatu Wilayah Kliring
mengajukan surat permohonan pendaftaran sebagai
Perwakilan Peserta kepada:
a. Koordinator PWD di Wilayah Kliring Jakarta, bagi
calon Perwakilan Peserta yang berada di wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia; atau
b. Koordinator PWD di Wilayah Kliring yang
bersangkutan, bagi calon Perwakilan Peserta yang
berada di luar wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia.
(3) Perwakilan Peserta melakukan pengambilan TPPK setelah
memperoleh persetujuan sebagai Perwakilan Peserta dari
Koordinator PWD.
(4) Tata cara pendaftaran sebagai Perwakilan Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengambilan
TPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengacu pada
huruf C Lampiran VII.
39
Pasal 67
(1) Peserta dapat melakukan perubahan Perwakilan Peserta
dan/atau petugas kliring di suatu Wilayah Kliring.
(2) Tata cara perubahan Perwakilan Peserta dan/atau petugas
kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
huruf D Lampiran VII.
Bagian Ketiga
Pembukaan dan Penutupan Wilayah Kliring
Pasal 68
(1) Pembukaan Wilayah Kliring yang tidak terdapat KPwDN
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. paling kurang terdapat 4 (empat) kantor dari Peserta
yang berbeda;
b. rata-rata harian jumlah Warkat Debit yang beredar
dalam periode 6 (enam) bulan terakhir berjumlah
paling kurang 30 (tiga puluh) Warkat Debit;
c. terdapat kantor Peserta yang ditunjuk sebagai
Koordinator PWD selain Bank Indonesia; dan
d. kesepakatan tertulis mengenai:
1. pembukaan Wilayah Kliring; dan
2. usulan kantor Peserta yang ditunjuk sebagai
Koordinator PWD selain Bank Indonesia,
dari seluruh kantor Peserta yang mendukung
pembukaan Wilayah Kliring.
(2) Koordinator PWD selain Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. mampu menyediakan sarana dan prasarana dalam
Pertukaran Warkat Debit; dan
b. memperoleh persetujuan dari kantor pusat Peserta
yang bersangkutan untuk ditunjuk
Koordinator PWD selain Bank Indonesia.
sebagai
40
(3) Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d ditandatangani oleh seluruh pemimpin kantor
Peserta yang mendukung pembukaan Wilayah Kliring
tersebut.
Pasal 69
(1) Calon Koordinator PWD selain Bank Indonesia
menyampaikan permohonan rencana pembukaan Wilayah
Kliring yang dilampiri dengan dokumen yang ditetapkan
oleh Penyelenggara.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis kepada:
a. Penyelenggara, untuk pembukaan Wilayah Kliring
yang berada di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia; atau
b. KPwDN, untuk pembukaan Wilayah Kliring yang
berada di luar wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia.
(3) Penyelenggara atau KPwDN memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(4) Berdasarkan persetujuan pembukaan Wilayah Kliring
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kantor Peserta yang
ditetapkan sebagai Koordinator PWD selain Bank
Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. menyampaikan informasi secara tertulis kepada
seluruh Perwakilan Peserta di Wilayah Kliring terkait
dengan pembukaan Wilayah Kliring; dan
b. melaksanakan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60.
(5) Tata cara pengajuan permohonan dan dokumen
pembukaan Wilayah Kliring sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengacu pada butir E.1 Lampiran VII.
41
Pasal 70
(1) Penggantian Koordinator PWD selain Bank Indonesia
dapat dilakukan berdasarkan persetujuan lebih dari 50%
(lima puluh persen) Perwakilan Peserta di Wilayah Kliring
tersebut.
(2) Calon pengganti Koordinator PWD selain Bank Indonesia
menyampaikan permohonan
tertulis
Penyelenggara atau KPwDN apabila calon pengganti
Koordinator PWD selain Bank Indonesia berada di luar
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
(3) Penyelenggara atau KPwDN memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(4) Berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), Koordinator PWD selain Bank Indonesia pengganti
melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. membuat berita acara serah terima hak dan
kewajiban Koordinator PWD selain Bank Indonesia;
b. menyampaikan informasi secara tertulis kepada
seluruh Perwakilan Peserta di Wilayah Kliring terkait
perubahan Koordinator PWD selain Bank Indonesia;
dan
c. melaksanakan
tanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60.
(5) Tata cara penggantian Koordinator PWD selain Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu
pada butir E.2 Lampiran VII.
Pasal 71
(1) Penutupan Wilayah Kliring yang tidak terdapat KPwDN
dapat dilakukan berdasarkan:
a. kebijakan Penyelenggara atau KPwDN; atau
b. kesepakatan tertulis dari seluruh kantor Peserta di
Wilayah Kliring tersebut.
kepada
42
(2) Penutupan Wilayah Kliring sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan permohonan
Koordinator PWD selain Bank Indonesia.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan secara tertulis kepada:
a. Penyelenggara, untuk penutupan Wilayah Kliring
yang berada di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia; atau
b. KPwDN, untuk penutupan Wilayah Kliring yang
berada di luar wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia.
(4) Penyelenggara atau KPwDN memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(5) Tata cara penutupan Wilayah Kliring sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu dalam butir E.3
Lampiran VII.
Bagian Keempat
Bantuan Keuangan dan Iuran Perwakilan Peserta
Pasal 72
(1) Penyelenggara memberikan bantuan keuangan kepada
Koordinator PWD selain Bank Indonesia dalam
pelaksanaan Pertukaran Warkat Debit.
(2) Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan sesuai dengan nilai nominal dan kriteria yang
ditetapkan oleh Penyelenggara.
(3) Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan melalui kantor pusat dari Koordinator PWD
selain Bank Indonesia.
(4) Bantuan keuangan diberikan setiap bulan paling lambat
pada akhir bulan berjalan.
43
(5) Tata cara pemberian bantuan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan nilai nominal serta kriteria
pemberian bantuan keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mengacu pada huruf F Lampiran VII.
Pasal 73
(1) Kantor pusat dari Koordinator PWD selain Bank Indonesia
harus menyampaikan laporan mengenai pendistribusian
bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72
kepada Penyelenggara.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara bulanan paling lambat pada akhir
bulan berikutnya.
Pasal 74
(1) Koordinator PWD selain Bank Indonesia dapat
menetapkan iuran kepada Perwakilan Peserta di Wilayah
Kliring.
(2) Penarikan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan apabila bantuan keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 72 tidak dapat menutup seluruh
biaya operasional dalam Pertukaran Warkat Debit.
(3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan berdasarkan selisih antara biaya operasional
yang dikeluarkan Koordinator PWD selain Bank Indonesia
dengan bantuan keuangan yang diberikan oleh
Penyelenggara.
(4) Besarnya iuran dan perhitungan biaya operasional yang
menjadi dasar penetapan iuran harus disampaikan kepada
dan disetujui oleh seluruh Perwakilan Peserta di Wilayah
Kliring.
Pasal 75
(1) Koordinator PWD selain Bank Indonesia harus
menyampaikan laporan mengenai iuran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 74.
44
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara triwulanan paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja pada bulan berikutnya.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada:
a. seluruh Perwakilan Peserta di Wilayah Kliring yang
bersangkutan; dan
b. Penyelenggara untuk Koordinator PWD selain Bank
Indonesia yang berada di wilayah kantor pusat Bank
Indonesia atau KPwDN untuk Koordinator PWD selain
Bank Indonesia yang berada di wilayah KPwDN.
Bagian Kelima
Warkat Debit, Dokumen Kliring, dan Pencetakannya
Pasal 76
(1) Warkat Debit yang digunakan dalam Pertukaran Warkat
Debit terdiri atas:
a. cek;
b. bilyet giro;
c. nota debit; dan
d. Warkat Debit lainnya yang telah disetujui oleh
Penyelenggara.
(2) Warkat Debit berupa cek sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan/atau bilyet giro sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b harus diserahkan oleh
nasabah penerima atau pihak yang menerima kuasa dari
nasabah penerima kepada Peserta.
(3) Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dikliringkan oleh Peserta ke Wilayah Kliring dimana
Peserta yang menerbitkan Warkat Debit memiliki
Perwakilan Peserta di wilayah tersebut.
(4) Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dicetak di perusahaan percetakan dokumen sekuriti yang
telah memperoleh izin dari otoritas atau lembaga yang
berwenang.
45
(5) Tata cara penulisan dan spesifikasi teknis Warkat Debit
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada huruf
G Lampiran VII.
Pasal 77
(1) Dokumen kliring yang digunakan dalam Pertukaran
Warkat Debit di Wilayah Kliring Otomasi terdiri atas:
a. BPWD Kliring Penyerahan;
b. BPWD Kliring Pengembalian; dan
c. kartu batch.
(2) Dokumen kliring yang digunakan dalam Pertukaran
Warkat Debit di Wilayah Kliring Manual terdiri atas:
a. RWD Kliring Penyerahan; dan
b. RWD Kliring Pengembalian.
(3) Dokumen kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dicetak di perusahaan percetakan dokumen sekuriti
yang telah memperoleh izin dari otoritas atau lembaga
yang berwenang.
(4) Spesifikasi teknis dokumen kliring sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) mengacu pada huruf H Lampiran
VII.
Pasal 78
(1) Peserta mengajukan permohonan tertulis pencetakan
Warkat Debit dan/atau dokumen kliring kepada
Penyelenggara atau KPwDN yang mewilayahi.
(2) Penyelenggara atau KPwDN yang mewilayahi memberikan
persetujuan atau
penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari
kerja setelah surat permohonan diterima secara lengkap
dan benar.
(4) Tata cara pencetakan Warkat Debit dan/atau dokumen
kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
huruf I Lampiran VII.
atas permohonan
46
BAB VII
OPERASIONAL PERTUKARAN WARKAT DEBIT
Bagian Kesatu
Tata Cara Pertukaran Warkat Debit di Wilayah Kliring
Otomasi
Paragraf 1
Kegiatan di Perwakilan Peserta
Pasal 79
(1) Dalam kegiatan Pertukaran Warkat Debit, petugas
Perwakilan Peserta melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. melengkapi informasi magnetic ink character
recognition (MICR) code line pada Warkat Debit dan
dokumen kliring dengan tata cara mengacu pada
huruf B Lampiran VI; dan
b. membubuhkan stempel kliring pada setiap Warkat
Debit dan dokumen kliring serta menyusun bundel
Warkat Debit sesuai dengan urutan yang ditetapkan
oleh Penyelenggara dengan tata cara mengacu pada
butir J.1 Lampiran VII.
(2) Format stempel kliring sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b mengacu pada huruf L Lampiran VII.
Paragraf 2
Kegiatan di Kantor Koordinator PWD
Pasal 80
Dalam kegiatan Pertukaran Warkat Debit di kantor Koordinator
PWD, petugas kliring melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. mencantumkan waktu penyerahan bundel Warkat Debit
pada BPWD Kliring Penyerahan dan/atau BPWD Kliring
Pengembalian; dan
b. menyerahkan bundel Warkat Debit kepada petugas
Koordinator PWD dengan menunjukkan TPPK.
47
Pasal 81
(1) Dalam kegiatan Pertukaran Warkat Debit di kantor
Koordinator PWD, petugas Koordinator PWD melakukan
kegiatan sebagai berikut:
a. meminta petugas kliring menunjukkan TPPK;
b. menerima bundel Warkat Debit dari petugas kliring;
dan
c. memeriksa persyaratan kelengkapan informasi pada
BPWD Kliring Penyerahan dan/atau BPWD Kliring
Pengembalian dan kartu batch.
(2) Dalam hal petugas kliring tidak dapat menunjukkan TPPK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a maka
petugas kliring yang bersangkutan dilarang ikut serta
dalam proses penerimaan dan penyerahan Warkat Debit.
(3) Tata cara pemeriksaan persyaratan kelengkapan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mengacu
pada butir J.2 Lampiran VII.
Pasal 82
(1) Petugas kliring harus hadir untuk menyerahkan dan/atau
menerima Warkat Debit sesuai jadwal Kliring Penyerahan
dan Kliring Pengembalian yang ditetapkan oleh
Koordinator PWD.
(2) Dalam hal petugas kliring tidak dapat menyerahkan
Warkat Debit kepada Koordinator PWD sesuai jadwal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka:
a. petugas Koordinator PWD dapat menolak Warkat
Debit yang diserahkan; dan
b. dalam hal Koordinator PWD menolak Warkat Debit
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, petugas
kliring yang bersangkutan bertanggung jawab untuk
mendistribusikan Warkat Debit kepada Perwakilan
Peserta penerima.
48
Bagian Kedua
Tata Cara Pertukaran Warkat Debit di Wilayah Kliring Manual
Paragraf 1
Kegiatan di Perwakilan Peserta
Pasal 83
(1) Dalam kegiatan Pertukaran Warkat Debit, petugas di
Perwakilan Peserta melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. memilah Warkat Debit berdasarkan Peserta penerima;
dan
b. menyiapkan RWD Kliring Penyerahan dan/atau RWD
Kliring Pengembalian serta membubuhkan stempel
kliring pada setiap Warkat Debit dengan tata cara
sebagaimana dimaksud dalam huruf K Lampiran VII.
(2) Format stempel kliring sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b mengacu pada huruf L Lampiran VII.
Paragraf 2
Kegiatan di Kantor Koordinator PWD
Pasal 84
Dalam kegiatan Pertukaran Warkat Debit di kantor Koordinator
PWD, petugas kliring melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. mencantumkan waktu penyerahan pada RWD Kliring
Penyerahan dan/atau RWD Kliring Pengembalian;
b. menyerahkan kepada petugas kliring penerima:
1. Warkat Debit; dan
2. lembar pertama RWD Kliring Penyerahan dan/atau
RWD Kliring Pengembalian;
c. menerima dari petugas kliring pengirim:
1. Warkat Debit; dan
2. lembar kedua RWD Kliring Penyerahan dan/atau
RWD Kliring Pengembalian; dan
49
d. mencantumkan tanda tangan dan nama jelas petugas
kliring pada lembar pertama RWD Kliring Penyerahan
dan/atau RWD Kliring Pengembalian yang diterima
dan mengembalikannya kepada petugas kliring
pengirim.
Pasal 85
(1) Dalam kegiatan Pertukaran Warkat Debit di kantor
Koordinator PWD, petugas Koordinator PWD melakukan
kegiatan sebagai berikut:
a. meminta petugas kliring menunjukkan TPPK; dan
b. memastikan Pertukaran Warkat Debit dilakukan
sesuai jadwal yang ditetapkan.
(2) Dalam hal petugas kliring tidak dapat menunjukkan TPPK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a maka
petugas kliring yang bersangkutan dilarang ikut serta
dalam proses Pertukaran Warkat Debit.
Pasal 86
(1) Petugas kliring harus hadir pada Kliring Penyerahan dan
Kliring Pengembalian sesuai jadwal yang ditetapkan oleh
Koordinator PWD.
(2) Dalam hal petugas kliring hadir setelah jadwal yang
ditetapkan oleh Koordinator PWD namun tidak melewati
batas waktu 30 (tiga puluh) menit dari jadwal yang telah
ditetapkan maka Pertukaran Warkat Debit dilakukan
sesuai kebijakan Koordinator PWD.
(3) Petugas kliring dinyatakan tidak hadir apabila petugas
kliring tidak hadir sampai dengan 30 (tiga puluh) menit
dari jadwal yang telah ditetapkan oleh Koordinator PWD.
(4) Dalam hal petugas kliring dinyatakan tidak hadir
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka penyelesaian
Pertukaran Warkat Debit dilakukan di luar mekanisme
Pertukaran Warkat Debit.
50
Bagian Ketiga
Penggunaan Perusahaan Jasa Kurir
Paragraf 1
Perusahaan Jasa Kurir
Pasal 87
(1) Peserta atau Perwakilan Peserta dapat menunjuk
perusahaan jasa kurir dalam kegiatan Pertukaran Warkat
Debit di Wilayah Kliring Otomasi.
(2) Perusahaan jasa kurir sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus berbentuk perseroan terbatas dan terdaftar di
instansi yang berwenang sebagai perusahaan jasa kurir.
Pasal 88
Perusahaan jasa kurir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87
dapat melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. menyerahkan bundel Warkat Debit kepada petugas
Koordinator PWD pada Kliring Penyerahan dan Kliring
Pengembalian;
b. menerima BPWD Kliring Penyerahan dan/atau BPWD
Kliring Pengembalian dari petugas Koordinator PWD;
c. menerima Warkat Debit dan laporan hasil proses Warkat
Debit pada Kliring Penyerahan dan Kliring Pengembalian
dari petugas Koordinator PWD;
d. menerima salinan Warkat Debit hasil Kliring Penyerahan
dari petugas Koordinator PWD; dan/atau
e. menerima surat pemberitahuan dan/atau surat yang
bersifat tidak rahasia dari Koordinator PWD.
Pasal 89
(1) Penggunaan perusahaan jasa kurir oleh Perwakilan
Peserta harus mempertimbangkan hal sebagai berikut:
a.
efisiensi, keamanan, dan kecepatan dalam
penyampaian Warkat Debit dengan tidak mengurangi
jam pelayanan kepada nasabah;
51
b. jumlah Perwakilan Peserta lain yang telah dilayani
oleh perusahaan jasa kurir tersebut; dan
c.
kredibilitas perusahaan jasa kurir serta pengurus
perusahaan jasa kurir.
(2) Dalam hal Perwakilan Peserta menggunakan perusahaan
jasa kurir maka kegiatan Pertukaran Warkat Debit harus
dilakukan oleh petugas jasa kurir kecuali terjadi keadaan
darurat dan/atau kondisi tertentu berdasarkan
pertimbangan Koordinator PWD, yang mengakibatkan
perusahaan jasa kurir tidak dapat melakukan
kewajibannya.
(3) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), petugas internal Perwakilan Peserta
menyampaikan surat pemberitahuan kepada Koordinator
PWD.
(4) Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. ditandatangani oleh pemimpin atau pejabat yang
berwenang mewakili Perwakilan Peserta yang
bersangkutan;
b. menyebutkan alasan dan nama petugas yang ditunjuk
untuk melakukan kegiatan Pertukaran Warkat Debit;
dan
c. disampaikan paling lambat pada saat melakukan
kegiatan Pertukaran Warkat Debit dengan
menunjukkan kartu identitas pegawai yang
menggunakan foto.
Paragraf 2
Penggunaan Perusahaan Jasa Kurir
Pasal 90
(1) Penggunaan perusahaan jasa kurir harus didasarkan pada
perjanjian antara Peserta atau Perwakilan Peserta dengan
perusahaan jasa kurir.
(2) Penunjukan atau penggantian perusahaan jasa kurir
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
52
a. Peserta atau Perwakilan Peserta menyampaikan
pemberitahuan kepada Koordinator PWD yang
ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang
berwenang mewakili Perwakilan Peserta yang
bersangkutan;
b. surat pemberitahuan dilampiri dengan fotokopi
perjanjian penunjukan atau penggantian perusahaan
jasa kurir; dan
c. pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sebelum tanggal efektif penggunaan perusahaan jasa
kurir oleh Perwakilan Peserta.
(3) Cakupan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengacu pada huruf M Lampiran VII.
Paragraf 3
Kewajiban Perwakilan Peserta dalam Penggunaan Perusahaan
Jasa Kurir
Pasal 91
(1) Perwakilan Peserta harus mengisi informasi secara
lengkap pada BPWD, kartu batch, dan Warkat Debit,
sebelum bundel Warkat Debit diserahkan kepada petugas
perusahaan jasa kurir.
(2) Perwakilan Peserta bertanggung jawab penuh kepada
Koordinator PWD terhadap segala akibat yang timbul dari
setiap penyimpangan yang dilakukan oleh petugas
perusahaan jasa kurir.
(3) Dalam hal terdapat penyimpangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Perwakilan Peserta melaporkan
penyimpangan secara tertulis kepada Koordinator PWD
dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender
sejak tanggal diketahuinya penyimpangan.
(4) Perwakilan Peserta harus memberikan keterangan terkait
dengan laporan penyimpangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) apabila diminta oleh Koordinator PWD.
53
(5) Koordinator PWD dapat meminta Peserta atau Perwakilan
Peserta untuk mengganti petugas perusahaan jasa kurir
dalam hal petugas jasa kurir melanggar kebijakan dan
prosedur tertulis yang ditetapkan oleh Koordinator PWD.
(6) Dalam hal Peserta atau Perwakilan Peserta tidak
memenuhi permintaan Koordinator PWD sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Koordinator PWD dapat menolak
petugas perusahaan jasa kurir untuk melakukan kegiatan
Pertukaran Warkat Debit.
BAB VIII
BIAYA
Pasal 92
(1) Penyelenggara menetapkan biaya kepada Peserta dalam
penyelenggaraan SKNBI.
(2) Besarnya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
termasuk pajak pertambahan nilai (PPN).
(3) Penyelenggara menetapkan batas maksimal biaya yang
dapat dikenakan oleh Peserta kepada nasabah.
(4) Biaya dalam penggunaan SKNBI tercantum dalam
Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 93
Dalam hal terdapat DKE Transfer Dana untuk treasury single
account yang tidak mengacu pada kode transaksi Layanan
Transfer Dana sebagaimana dimaksud dalam huruf A Lampiran
IV maka DKE Transfer Dana tersebut dikenakan biaya proses
DKE Transfer Dana dan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal.
Pasal 94
(1) Penyelenggara dapat menetapkan kebijakan tertentu
terhadap biaya dalam penyelenggaraan SKNBI apabila
terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat.
54
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
termasuk pajak pertambahan nilai (PPN).
Pasal 95
(1) Peserta dapat mengenakan biaya kepada nasabah paling
banyak:
a. Rp3.500,00 (tiga ribu lima ratus rupiah) per DKE
Transfer Dana, untuk Layanan Transfer Dana;
b. Rp5.000,00 (lima ribu rupiah) per DKE Warkat Debit,
untuk Layanan Kliring Warkat Debit;
c. Rp5.000,00 (lima ribu rupiah) per rincian DKE
Pembayaran, untuk Layanan Pembayaran Reguler;
dan
d. Rp5.000,00 (lima ribu rupiah) per rincian DKE
Penagihan yang dibebankan kepada nasabah tertagih,
untuk Layanan Penagihan Reguler.
(2) Peserta wajib mengumumkan:
a. besarnya biaya penggunaan SKNBI yang ditetapkan
Penyelenggara kepada Peserta; dan
b. besarnya biaya transaksi melalui SKNBI yang
ditetapkan dan dikenakan oleh Peserta kepada
nasabah.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
diletakkan di setiap kantor Peserta pada tempat yang
mudah dilihat oleh nasabah.
(4) Dalam rangka pengumuman biaya transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, Peserta harus
menyampaikan laporan kepada Penyelenggara mengenai
besarnya biaya transaksi melalui SKNBI yang dibebankan
kepada nasabah.
(5) Dalam hal terdapat perubahan biaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, Peserta harus
menyampaikan perubahan biaya kepada Penyelenggara
paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak penyesuaian biaya
transaksi.
55
BAB IX
PENANGANAN KEADAAN TIDAK NORMAL DAN/ATAU
KEADAAN DARURAT
Bagian Kesatu
Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di
Penyelenggara
Paragraf 1
Keadaan Tidak Normal di Penyelenggara
Pasal 96
(1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal di Penyelenggara
yang memengaruhi kelancaran penyelenggaraan SKNBI
atau mengakibatkan operasional SKNBI tidak dapat
diselenggarakan maka berlaku tata cara penanganan
Keadaan Tidak Normal.
(2) Dalam hal Keadaan Tidak Normal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan SKNBI tidak dapat
beroperasi sampai dengan batas waktu yang ditentukan
oleh Penyelenggara maka Penyelenggara menetapkan
kebijakan dan prosedur penanganan Keadaan Tidak
Normal dan memberitahukan kepada Peserta mengenai
hal yang harus dilakukan oleh Peserta.
(3) Tata cara penanganan Keadaan Tidak Normal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada butir A.1 Lampiran IX
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Paragraf 2
Keadaan Darurat di Penyelenggara
Pasal 97
(1) Dalam hal terjadi Keadaan Darurat di Penyelenggara yang
mengakibatkan
diselenggarakan sampai dengan batas waktu yang
ditetapkan oleh Penyelenggara maka Penyelenggara
operasional SKNBI tidak dapat
56
menetapkan kebijakan dan prosedur penanggulangan
Keadaan Darurat.
(2) Tata cara penanganan Keadaan Darurat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada butir A.2 Lampiran IX.
Bagian Kedua
Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta
Pasal 98
(1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat di Peserta yang menyebabkan
terganggunya kelancaran operasional SKNBI maka Peserta
harus memberitahukan keadaan tersebut kepada
Penyelenggara.
(2) Dalam hal Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan
Darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan Peserta tidak dapat melakukan kegiatan
operasional SKNBI dengan menggunakan SPK utama
maka Peserta menggunakan SPK cadangan.
(3) Tata cara penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat di Peserta sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengacu pada huruf B Lampiran IX.
Pasal 99
Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan
Darurat di Peserta, Penyelenggara dapat menetapkan kebijakan
dan prosedur yang diperlukan untuk penyelesaian transaksi
oleh Peserta melalui SKNBI.
Bagian Ketiga
Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di
Koordinator PWD
Pasal 100
(1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat di Koordinator PWD yang menyebabkan
terganggunya penyelenggaraan Pertukaran Warkat Debit
57
maka Koordinator PWD harus memberitahukan keadaan
tersebut kepada Penyelenggara.
(2) Tata cara penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat di Koordinator PWD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada langkah-langkah
yang telah ditetapkan oleh Koordinator PWD dalam
kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61 huruf d.
Bagian Keempat
Penggunaan Fasilitas Kontingensi
Pasal 101
(1) Fasilitas Kontingensi dapat digunakan oleh Peserta selama
jam operasional SKNBI untuk melakukan kegiatan sesuai
dengan periode waktu kegiatan yang masih berlaku.
(2) Penyelenggara dapat menetapkan batas waktu maksimal
dan/atau urutan penggunaan Fasilitas Kontingensi dalam
hal jumlah Peserta yang mengajukan permohonan
penggunaan Fasilitas Kontingensi melebihi kapasitas yang
tersedia.
(3) Peserta membebaskan Penyelenggara dari segala kerugian
yang timbul dan/atau yang akan timbul yang dialami
Peserta sehubungan dengan pelaksanaan Setelmen Dana
melalui Fasilitas Kontingensi.
(4) Fasilitas Kontingensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a.
b.
fasilitas guest bank; dan
fasilitas unggah (upload) DKE.
(5) Penggunaan fasilitas unggah (upload) DKE sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf b hanya dapat digunakan
oleh Peserta berdasarkan kebijakan Penyelenggara.
Pasal 102
(1) Peserta yang akan menggunakan Fasilitas Kontingensi
harus mengajukan permohonan penggunaan Fasilitas
Kontingensi secara tertulis kepada Penyelenggara yang
58
dapat didahului dengan sarana telepon, faksimili,
dan/atau sarana elektronik lainnya.
(2) Untuk Peserta yang berada di wilayah kerja KPwDN,
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan
kepada KPwDN yang menyediakan Fasilitas Kontingensi.
menyampaikan persetujuan atau
(3) Penyelenggara
penolakan penggunaan Fasilitas Kontingensi kepada
Peserta melalui administrative message atau sarana
lainnya.
(4) Tata cara penggunaan Fasilitas Kontingensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada huruf C Lampiran
IX.
BAB X
PEMANTAUAN KEPATUHAN
Pasal 103
(1) Penyelenggara melakukan pemantauan kepatuhan
kepada:
a. Peserta; dan
b. Koordinator PWD,
terhadap ketentuan yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Pemantauan kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
(3) Dalam pemantauan kepatuhan Peserta, Penyelenggara
dapat meminta Peserta untuk melakukan pengujian
terhadap infrastruktur SPK yang digunakan dalam
operasional SKNBI.
(4) Pelaksanaan pemantauan kepatuhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek:
a.
tata kelola;
b. operasional;
c.
infrastruktur;
d. business continuity plan; dan
e. perlindungan konsumen.
59
Bagian Kesatu
Pemantauan Tidak Langsung kepada Peserta dan Koordinator
PWD
Pasal 104
(1) Peserta dan/atau Koordinator PWD wajib menyampaikan:
a. laporan berkala kepada Penyelenggara; dan
b. informasi, data, dan/atau dokumen dalam hal
diminta oleh Penyelenggara.
(2) Selain laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, Peserta dan/atau Koordinator PWD harus
menyampaikan laporan sewaktu-waktu kepada
Penyelenggara.
(3) Penyelenggara melakukan pemantauan secara tidak
langsung kepada Peserta dan/atau Koordinator PWD
melalui penelitian, analisis, dan evaluasi terhadap:
a. laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau laporan sewaktu-waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2); dan/atau
b. informasi, data, dan/atau dokumen yang diperoleh
Penyelenggara.
Pasal 105
(1) Berdasarkan hasil pemantauan tidak langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (3),
Penyelenggara dapat melakukan klarifikasi dan/atau
konfirmasi kepada Peserta dan/atau Koordinator PWD.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil pemantauan tidak langsung
terdapat hal yang perlu ditindaklanjuti oleh Peserta
dan/atau
Koordinator PWD,
Penyelenggara
menyampaikan surat pemberitahuan kepada Peserta
dan/atau Koordinator PWD untuk pemenuhan ketentuan
yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(3) Peserta wajib menindaklanjuti hasil pemantauan tidak
langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
60
(4) Koordinator PWD harus menindaklanjuti hasil
pemantauan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
(5) Penyelenggara dapat melakukan pemantauan langsung
berdasarkan hasil klarifikasi dan/atau konfirmasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kedua
Pemantauan Langsung kepada Peserta dan Koordinator PWD
Pasal 106
(1) Pemantauan secara langsung kepada Peserta dan
Koordinator PWD dilakukan melalui kunjungan ke lokasi
Peserta (onsite visit).
(2) Pemantauan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu
apabila diperlukan.
(3) Penyelenggara dapat menunjuk pihak lain untuk dan atas
nama Penyelenggara melakukan pemantauan langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Petugas yang melakukan pemantauan langsung
dilengkapi dengan surat tugas dari Penyelenggara.
Pasal 107
(1) Dalam pemantauan langsung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 106 ayat (1), Peserta dan/atau Koordinator
PWD wajib memberikan:
a. informasi, data, dan/atau dokumen yang diperlukan
sesuai dengan permintaan petugas Penyelenggara;
b. akses untuk melakukan pemantauan langsung
terhadap sarana fisik dan aplikasi pendukung yang
terkait dengan operasional SKNBI di Peserta;
dan/atau
c. penjelasan atau keterangan kepada petugas yang
melakukan pemantauan langsung kepada Peserta
dan/atau Koordinator PWD.
61
(2) Pada akhir pemantauan langsung, dilakukan exit meeting
untuk menyampaikan dan/atau membahas pokok hasil
pemantauan langsung kepada Peserta dan/atau
Koordinator PWD.
(3) Hasil pemantauan langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada Peserta
dan/atau Koordinator PWD.
(4) Peserta wajib menindaklanjuti hasil pemantauan langsung
dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) Koordinator PWD harus menindaklanjuti hasil
pemantauan langsung dan/atau hal yang perlu
ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Bagian Ketiga
Laporan Berkala dan Laporan Sewaktu-waktu
Pasal 108
(1) Peserta wajib menyampaikan laporan berkala
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) huruf a
berupa laporan hasil penilaian kepatuhan (LHPK) kepada
Penyelenggara.
(2) Koordinator PWD wajib menyampaikan laporan berkala
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) huruf a
berupa laporan triwulanan kepada Penyelenggara.
(3) Tata cara penyampaian laporan berkala sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengacu pada huruf
A Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 109
(1) Peserta dan Koordinator PWD harus menyampaikan
laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 104 ayat (2) berdasarkan:
a. permintaan Penyelenggara; dan/atau
b. inisiatif dari Peserta dan/atau Koordinator PWD.
62
(2) Tata cara penyampaian laporan sewaktu-waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada huruf
B Lampiran X.
BAB XI
TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 110
(1) Penyelenggara mengenakan sanksi administratif kepada
Peserta berupa kewajiban membayar, teguran tertulis,
dan/atau penurunan status kepesertaan.
(2) Pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban
membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mendebit Rekening Setelmen Dana
Peserta atau Rekening Setelmen Dana Bank Penerus atau
Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar.
(3) Penyelenggara menginformasikan pembebanan pengenaan
sanksi administratif berupa kewajiban membayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui surat setelah
pelaksanaan pembebanan sanksi.
Pasal 111
Sanksi administratif berupa kewajiban membayar terkait
penolakan Warkat Debit dan/atau DKE Warkat Debit
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban
membayar kepada Peserta pengirim, Peserta penerima, atau
nasabah dilakukan berdasarkan alasan penolakan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran XI yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
b. Pembebanan sanksi administratif berupa kewajiban
membayar sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. sanksi administratif yang dikenakan kepada nasabah
Peserta dibebankan oleh Penyelenggara dengan cara
melakukan pendebitan Rekening Setelmen Dana
63
Peserta dan Peserta membebankan sanksi
administratif kepada nasabahnya;
2. sanksi administratif yang dikenakan kepada Peserta
dibebankan oleh Penyelenggara dengan cara
melakukan pendebitan Rekening Setelmen Dana
Peserta;
3. Peserta dilarang membebankan biaya pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
angka 2 kepada nasabahnya; dan
4. pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam angka 2 dilakukan paling lama 7
(tujuh) hari kerja pada bulan berikutnya.
Pasal 112
Dalam hal Peserta dikenakan sanksi kewajiban membayar
karena terlambat menyampaikan laporan berkala sesuai batas
waktu, Peserta tetap wajib menyampaikan laporan berkala
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak batas waktu
penyampaian laporan berkala yang ditetapkan oleh
Penyelenggara.
Pasal 113
Dalam hal Penyelenggara mengenakan sanksi administratif
berupa penurunan status kepesertaan, Penyelenggara
menginformasikan kepada:
a. Peserta yang bersangkutan melalui surat;
b. seluruh Peserta melalui fasilitas administrative message
dan/atau sarana lainnya; dan
c. Koordinator PWD yang di wilayah kerjanya terdapat
Perwakilan Peserta, melalui surat atau sarana lainnya.
BAB XII
KORESPONDENSI
Pasal 114
(1) Kegiatan korespondensi terkait penyelenggaraan SKNBI
disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan
64
fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran ditujukan ke
alamat:
Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran
Divisi Kliring dan Transfer Dana
Gedung D Lantai 3
Jalan M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(2) Kegiatan korespondensi terkait pemantauan kepatuhan
Peserta disampaikan kepada satuan kerja yang
melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem
pembayaran ditujukan ke alamat:
Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran
Divisi Kepatuhan dan Informasi Sistem Pembayaran
Gedung D Lantai 3
Jalan M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(3) Dalam hal terjadi perubahan alamat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka Penyelenggara
memberitahukan perubahan tersebut melalui surat yang
dapat didahului dengan sarana faksimili, dan/atau sarana
elektronik lainnya.
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 115
Penyelenggara dapat menetapkan kebijakan atau ketentuan
yang berbeda mengenai penyelenggaraan SKNBI bagi Bank
Indonesia dan lembaga lain yang disetujui Penyelenggara
menjadi Peserta berdasarkan kebutuhan dan karakteristik
tertentu.
65
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 116
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku
maka:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/7/DPSP tanggal
2 Mei 2016 perihal Penyelenggaraan Transfer Dana dan
Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia; dan
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/40/DPSP tanggal
30 Desember 2016 perihal Perubahan atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 18/7/DPSP tanggal 2 Mei 2016
perihal Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring
Berjadwal oleh Bank Indonesia,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 117
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 1 September 2019.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
dengan
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Mei 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
SUGENG
1
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/12/PADG/2019
TENTANG
PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH
BANK INDONESIA
I. UMUM
Bank Indonesia selalu berupaya untuk meningkatkan efisiensi
penyelesaian transaksi di masyarakat melalui penyelenggaraan jasa sistem
pembayaran yang semakin cepat, mudah, dan murah. Untuk itu, Bank
Indonesia membuat kebijakan mempercepat proses Setelmen Dana dan
penurunan biaya dalam Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring
Berjadwal yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia.
Penyelesaian akhir atau Setelmen Dana terhadap hasil perhitungan
kliring Layanan Transfer Dana dan Layanan Pembayaran Reguler
dipercepat menjadi 9 (sembilan) kali per hari. Percepatan Setelmen Dana
tersebut akan meningkatkan kecepatan proses penyelesaian transaksi yang
terjadi di masyarakat.
Biaya yang dikenakan dalam Layanan Transfer Dana diturunkan baik
biaya dari Bank Indonesia kepada Peserta maupun biaya maksimal yang
dikenakan Peserta kepada nasabah. Penurunan biaya tersebut selain akan
memperluas penggunaan transkasi nontunai di masyarakat juga akan
mendorong penyediaan jasa sistem pembayaran di luar Bank Indonesia
menjadi semakin efisien.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
2
Pasal 2
Huruf a
Ketentuan dan prosedur penyelenggaraan SKNBI antara lain
meliputi ketentuan dan prosedur penyelenggaraan SKNBI dalam
keadaan normal, Keadaan Tidak Normal, dan/atau Keadaan
Darurat.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Pemantauan kepatuhan Peserta dilakukan berdasarkan
ketentuan yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer
dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia dan ketentuan
yang mengatur mengenai pelaksanaan transaksi melalui SKNBI
dalam rangka perlindungan kepada nasabah Peserta SKNBI.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
3
Huruf d
Informasi biaya transaksi melalui SKNBI kepada nasabah
dilakukan antara lain melalui pengumuman secara tertulis
mengenai biaya transaksi melalui SKNBI pada tempat yang mudah
terlihat oleh nasabah.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “data dan informasi” antara lain dokumen
asli dan/atau salinan dokumen yang berupa warkat dan/atau
data elektronik terkait dengan pelaksanaan SKNBI.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “ketentuan lain terkait operasional
Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank
Indonesia” antara lain ketentuan mengenai standar layanan
nasabah dalam pelaksanaan transfer dana dan kliring berjadwal
melalui SKNBI dan batas nilai nominal transaksi melalui Sistem
BI-RTGS dan SKNBI.
Pasal 7
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kebijakan dan prosedur tertulis” adalah
aturan tertulis yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di internal Peserta dan
berlaku sebagai pedoman operasional SKNBI di Peserta.
Penyusunan kebijakan dan prosedur tertulis termasuk prosedur
pengamanan penggunaan SKNBI di lingkungan internal Peserta.
Huruf b
Pemeriksaan internal bertujuan memastikan pengendalian intern
telah dilaksanakan sesuai ketentuan untuk menjamin keamanan
dan kelancaran operasional SKNBI. Ruang lingkup pemeriksaan
internal mencakup paling kurang:
1. materi penilaian kepatuhan yang disampaikan oleh
Penyelenggara; dan
2. evaluasi terhadap kebijakan dan prosedur tertulis yang
disusun oleh Peserta.
4
Huruf c
Security audit bertujuan untuk memastikan keamanan dan
keandalan infrastruktur SKNBI di internal Peserta termasuk
keterhubungan (interface) antara SPK dengan sistem internal
Peserta.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Business continuity plan dan disaster recovery plan memuat:
1. prosedur yang dilakukan oleh Peserta dalam hal terjadi
Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat, untuk
memastikan bahwa operasional SKNBI di Peserta tetap dapat
dilakukan; dan/atau
2. upaya lainnya yang perlu dilakukan dalam hal sistem cadangan
tidak dapat digunakan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Pemeriksaan internal bertujuan memastikan pengendalian intern telah
dilaksanakan sesuai ketentuan untuk menjamin keamanan dan
kelancaran operasional SKNBI yang dilakukan oleh Peserta. Ruang
lingkup pemeriksaan paling sedikit mencakup materi penilaian
kepatuhan yang disampaikan oleh Penyelenggara.
5
Pasal 10
Huruf a
Dalam hal security audit dilakukan oleh auditor internal maka
dilengkapi dengan surat pernyataan pimpinan Peserta yang
menyatakan bahwa pelaksanaan security audit dilakukan secara
independen.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Huruf a
Data yang dipelihara antara lain:
1. data transaksi;
2. data dalam aplikasi yang diberikan oleh Penyelenggara; dan
3. ketentuan dan prosedur yang diberikan oleh Penyelenggara.
Huruf b
Pengamanan data antara lain berupa perlindungan dari akses
pihak yang tidak berwenang.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Kegiatan memastikan data dalam media elektronik tidak rusak
antara lain dengan cara melakukan pemeliharaan secara berkala.
Huruf e
Cukup jelas.
6
Pasal 14
Huruf a
Memastikan petugas yang menangani SKNBI memahami sistem
dan prosedur operasional SKNBI dapat dilakukan antara lain
melalui pelatihan secara berkala.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Menjamin integritas database SKNBI yang ada pada SPK utama
dan SPK cadangan serta data cadangan (back-up) termasuk data
cadangan yang disimpan dalam bentuk compact disk (CD), hard
disk, flashdisk, dan/atau media lainnya.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Penyimpanan aplikasi SPK dan perubahannya dilakukan dalam
bentuk compact disk (CD), hard disk, flashdisk, dan/atau media
lainnya.
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
7
Pasal 16
Huruf a
Pemilihan jenis dan lokasi SPK cadangan serta jenis jaringan
komunikasi data cadangan diserahkan kepada Peserta dan
dilakukan berdasarkan pertimbangan antara lain:
a. volume transaksi Peserta dan tingkat urgensi SKNBI bagi
Peserta; dan
b. pengendalian internal guna memitigasi risiko operasional di
Peserta.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Kewajiban menjamin keamanan dan keandalan jaringan komunikasi
data dilakukan untuk menjaga segala kemungkinan yang dapat
merusak SKNBI antara lain kemungkinan pemalsuan, pembobolan
data elektronis, serta perusakan sistem dengan cara mengirimkan
banyak data dan pesan pembayaran dalam sistem.
Pasal 21
Cukup jelas.
8
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “hari operasional” adalah hari yang
ditetapkan oleh Penyelenggara sebagai hari
diselenggarakannya operasional SKNBI.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “jam operasional” adalah jam yang
ditetapkan oleh Penyelenggara sebagai waktu
diselenggarakannya operasional SKNBI pada setiap hari
operasional.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “jam layanan” yaitu jadwal yang
ditetapkan oleh Penyelenggara untuk setiap layanan dalam
SKNBI, misalnya jam Layanan Transfer Dana, jam Layanan
Kliring Warkat Debit, jam Layanan Pembayaran Reguler, dan
jam Layanan Penagihan Reguler.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “periode waktu kegiatan” adalah
jangka waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara untuk
melaksanakan kegiatan operasional setiap layanan dalam
SKNBI, misalnya periode waktu untuk pengiriman DKE dan
periode waktu untuk penyediaan Prefund.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
9
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Perpanjangan periode waktu kegiatan dapat dilakukan karena
adanya kebutuhan perpanjangan periode waktu kegiatan
untuk pengiriman DKE dan/atau penyediaan Prefund dan
berdampak pada operasional SKNBI di beberapa Wilayah
Kliring.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” antara lain
perubahan kebijakan pemerintah yang berdampak pada
penyelesaian transaksi di SKNBI.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” yaitu sebagai
berikut:
10
a. Wilayah Kliring tertentu ditetapkan libur fakultatif dan
Koordinator PWD tetap menyelenggarakan Pertukaran
Warkat Debit; dan/atau
b. kondisi lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Penghapusan soft token atas dasar inisiatif Penyelenggara antara
lain dilakukan dalam hal Peserta telah dihentikan kepesertaannya
dalam penyelenggaraan SKNBI. Penghapusan soft token atas dasar
permintaan Peserta antara lain dilakukan dalam hal mengajukan
penutupan status kepesertaan SKNBI.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Huruf a
Transfer dana yang berasal dari perintah transfer dana
Peserta kepada Peserta lainnya meliputi transaksi selain yang
11
telah ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan Sistem BI-RTGS.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah:
1. nasabah pengirim yang dapat berupa nasabah yang
memiliki rekening dan nasabah yang tidak memiliki
rekening di Peserta pengirim; dan
2. nasabah penerima berupa nasabah yang memiliki
rekening di Peserta penerima.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah:
1. nasabah pengirim yang dapat berupa nasabah yang
memiliki rekening dan nasabah yang tidak memiliki
rekening di Peserta pengirim; dan
2. nasabah penerima berupa nasabah yang memiliki
rekening di Peserta penerima.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kecukupan dana yang dimiliki oleh
Peserta” adalah dana yang berasal dari:
a. dana tunai (cash Prefund) yang disediakan dalam Prefund
Kredit; dan
b. DKE Transfer Dana masuk dari Peserta lainnya yang telah
didukung dengan dana yang dimiliki oleh Peserta lain tersebut
(confirmed incoming DKE Transfer Dana).
Ayat (2)
Cukup jelas.
12
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Peserta penerima tagihan” adalah Peserta
memiliki kewajiban pembayaran sejumlah dana berdasarkan DKE
Warkat Debit yang diterima dari Peserta pengirim.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
13
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kode kota asal” adalah sandi Wilayah
Kliring tempat Warkat Debit dikliringkan.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Peserta pengirim” adalah Peserta yang
memproses perintah transfer dana dari nasabah pengirim dengan
melakukan pengiriman DKE Pembayaran kepada Peserta
penerima.
Yang dimaksud dengan “Peserta penerima” adalah Peserta yang
menerima sejumlah dana berdasarkan DKE Pembayaran yang
disampaikan oleh Peserta pengirim.
Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah nasabah yang memiliki
rekening di Peserta.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kecukupan dana yang dimiliki oleh
Peserta” adalah dana yang berasal dari:
14
a. dana tunai (cash Prefund) yang disediakan dalam Prefund
Kredit; dan
b. DKE Pembayaran masuk dari Peserta lainnya yang telah
didukung dengan dana yang dimiliki oleh Peserta lain tersebut
(confirmed incoming DKE Pembayaran).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Peserta pengirim” adalah Peserta
yang berhak menerima sejumlah dana berdasarkan DKE
Penagihan yang disampaikan kepada Peserta penerima.
Yang dimaksud dengan “Peserta penerima” adalah Peserta
yang memiliki kewajiban pembayaran sejumlah dana
berdasarkan DKE Penagihan yang diterima dari Peserta
pengirim.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
15
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kebijakan dan prosedur tertulis” adalah
aturan tertulis yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di internal Koordinator
PWD dan berlaku sebagai pedoman dalam kegiatan Pertukaran
Warkat Debit.
Huruf b
Penyediaan sarana dan prasarana untuk Wilayah Kliring Otomasi
paling kurang meliputi:
1. mesin penera waktu;
2. telepon;
3. sarana penerimaan Warkat Debit;
16
4. sistem pilah Warkat Debit; dan
5. sarana pengarsipan.
Penyediaan sarana dan prasarana untuk Wilayah Kliring Manual
paling kurang meliputi:
1. mesin penera waktu;
2. telepon;
3. ruangan dan fasilitas pendukung untuk pelaksanaan
Pertukaran Warkat Debit, antara lain berupa meja dan kursi;
4. daftar hadir; dan
5. sarana pengarsipan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Koordinator PWD menyediakan sarana kontingensi Pertukaran
Warkat Debit agar kegiatan Pertukaran Warkat Debit tetap dapat
dilaksanakan, antara lain lokasi cadangan Pertukaran Warkat
Debit dan prosedur Pertukaran Warkat Debit dalam Keadaan
Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat.
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
17
Huruf c
Yang dimaksud dengan “memantau pelaksanaan Pertukaran
Warkat Debit” antara lain melakukan pencatatan dalam hal
terdapat selisih Warkat Debit dengan DKE Warkat Debit.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kantor Peserta” dapat berupa kantor
pusat, kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan/atau
kantor kas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Penyediaan sarana dan prasarana dalam rangka Pertukaran
Warkat Debit antara lain meliputi:
1. lokasi Pertukaran Warkat Debit yang mudah dijangkau
oleh kantor Peserta dan tidak harus berada pada lokasi
18
yang sama dengan lokasi kantor Peserta yang diusulkan
sebagai Koordinator PWD selain Bank Indonesia;
2. ruangan dan peralatan yang diperlukan dalam
Pertukaran Warkat Debit; dan
3. TPPK.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal permohonan pembukaan Wilayah Kliring ditolak,
Penyelenggara atau KPwDN menyampaikan surat pemberitahuan
penolakan disertai dengan keterangan alasan penolakan.
Alasan penolakan permohonan antara lain sebagai berikut:
1. tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
Penyelenggara; dan/atau
2. dokumen permohonan tidak lengkap.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal permohonan penggantian Koordinator PWD selain Bank
Indonesia ditolak, Penyelenggara atau KPwDN menyampaikan
19
surat pemberitahuan penolakan disertai dengan keterangan
alasan penolakan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam hal permohonan penutupan Wilayah Kliring yang tidak
terdapat KPwDN ditolak, Penyelenggara atau KPwDN
menyampaikan surat pemberitahuan penolakan disertai dengan
keterangan alasan penolakan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Biaya operasional antara lain mencakup biaya tenaga kerja serta
biaya penyediaan sarana dan prasarana Pertukaran Warkat Debit.
Ayat (3)
Cukup jelas.
20
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “cek” adalah cek sebagaimana diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang
ditarik baik atas beban nasabah Peserta atau atas beban
Peserta.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bilyet giro” adalah bilyet giro
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai bilyet giro.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “nota debit” adalah Warkat Debit yang
digunakan untuk menagih dana pada Peserta lain untuk
untung nasabah Peserta atau Peserta yang menyampaikan
nota debit tersebut.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
21
Pasal 77
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dokumen kliring” adalah dokumen yang
berfungsi sebagai alat kontrol dalam pelaksanaan Pertukaran
Warkat Debit.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal permohonan pencetakan Warkat Debit ditolak,
Penyelenggara atau KPwDN menyampaikan surat pemberitahuan
penolakan disertai dengan keterangan alasan penolakan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
22
Huruf c
Pemeriksaan dilakukan hanya untuk memeriksa
kelengkapan, bukan untuk memeriksa keabsahan informasi
yang tercantum dalam BPWD Kliring Penyerahan atau BPWD
Kliring Pengembalian. Keabsahan informasi pada BPWD
Kliring Penyerahan atau BPWD Kliring Pengembalian
termasuk kebenaran tanda tangan dan nama yang tercantum
pada BPWD Kliring Penyerahan atau BPWD Kliring
Pengembalian, sepenuhnya menjadi tanggung jawab
Perwakilan Peserta dan bukan merupakan tanggung jawab
Koordinator PWD.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pengembalian RWD Kliring Penyerahan dan RWD Kliring
Pengembalian yang telah dicantumkan tanda tangan dan nama
jelas petugas kliring merupakan bukti penyerahan Warkat Debit.
Pasal 85
Cukup jelas.
23
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kebijakan Koordinator PWD antara lain berupa:
a. tetap mengizinkan petugas kliring melakukan Pertukaran
Warkat Debit di kantor Koordinator PWD; atau
b. meminta petugas kliring menyelesaikan Pertukaran Warkat
Debit secara bilateral antar Peserta.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Risiko dan dampak akibat ketidakhadiran petugas kliring menjadi
tanggung jawab Perwakilan Peserta yang bersangkutan
sepenuhnya.
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bukti terdaftar di instansi yang berwenang sebagai perusahaan
jasa kurir berupa kepemilikan tanda daftar perusahaan yang
masih berlaku.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
24
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Laporan terkait penyimpangan yang dilakukan oleh petugas jasa
kurir mencakup pula langkah penanganan yang telah dilakukan
oleh Perwakilan Peserta.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
25
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Dalam hal permohonan penggunaan Fasilitas Kontingensi ditolak,
Penyelenggara atau KPwDN menyampaikan surat pemberitahuan
penolakan disertai dengan keterangan alasan penolakan.
Pasal 103
Ayat (1)
Huruf a
Pemantauan kepatuhan Peserta terhadap ketentuan yang
mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana dan
kliring berjadwal dilakukan dalam rangka menjaga
kelancaran operasional SKNBI.
Huruf b
Pemantauan kepatuhan Koordinator PWD dilakukan dalam
rangka menjaga kelancaran kegiatan Pertukaran Warkat
Debit.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 104
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Informasi, data, dan/atau dokumen yang diperoleh
Penyelenggara antara lain berasal dari Peserta yang
bersangkutan, sistem Penyelenggara, dan/atau pihak lain.
26
Ayat (2)
Laporan sewaktu-waktu antara lain laporan penyalahgunaan
Warkat Debit dan laporan gangguan operasional SKNBI.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Ayat (1)
Huruf a
Informasi, data, dan/atau dokumen termasuk namun tidak
terbatas pada dokumen asli dan/atau salinan dokumen yang
berupa dokumen operasional, warkat, dan/atau data
elektronik yang terkait dengan pelaksanaan SKNBI sesuai
dengan permintaan petugas Penyelenggara.
Huruf b
Pemantauan langsung terhadap sarana fisik dan aplikasi
pendukung termasuk permintaan pengujian infrastruktur
Peserta yang digunakan dalam operasional SKNBI.
Akses untuk melakukan pemantauan langsung terhadap
sarana fisik dan aplikasi pendukung yang terkait dengan
operasional SKNBI di Peserta antara lain SPK serta interface
dari dan ke sistem internal Peserta.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
27
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 108
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “laporan hasil penilaian kepatuhan
(LHPK)” adalah laporan tahunan hasil penilaian pemeriksaan
internal Peserta untuk periode 1 Januari sampai dengan 31
Desember.
Ayat (2)
Laporan triwulanan memuat informasi jumlah Perwakilan Peserta,
jumlah transaksi, jumlah nominal transaksi, dan jadwal
pelaksanaan Pertukaran Warkat Debit.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 109
Ayat (1)
Huruf a
Laporan yang disampaikan oleh Peserta dan/atau
Koordinator PWD kepada Penyelenggara atas permintaan
Penyelenggara antara lain laporan gangguan SKNBI pada
Peserta atau laporan dalam rangka kegiatan operasional
SKNBI oleh Peserta atau Koordinator PWD.
Huruf b
Laporan yang disampaikan kepada Penyelenggara atas
inisiatif dari Peserta dilakukan dalam hal terdapat kejadian
tertentu antara lain gangguan SKNBI yang dialami Peserta
dan penyalahgunaan atau pemalsuan Warkat Debit.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
28
Pasal 111
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Peserta dilarang membebankan biaya pengenaan sanksi
administratif mengingat alasan penolakan Warkat Debit atau
DKE Warkat Debit tersebut disebabkan oleh kesalahan
Peserta.
Angka 4
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/12/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 31 Mei 2019 </set_date>
<effective_date> 1 September 2019 </effective_date>
<replaced_reg> '18/7/DPSP|SE-BI/2016', '18/40/DPSP|SE-BI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '17/9/PBI/2015', '21/8/PBI/2019' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/ 26/PADG/2019
TENTANG
DEVISA HASIL EKSPOR DAN DEVISA PEMBAYARAN IMPOR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kewajiban penerimaan devisa hasil ekspor melalui
perbankan di Indonesia perlu dipantau kepatuhannya
guna mendukung optimalisasi pemanfaatan devisa hasil
ekspor;
b. bahwa selain devisa hasil ekspor terdapat devisa
pembayaran impor yang perlu dipantau pengeluarannya
karena dapat memengaruhi permintaan devisa secara
nasional dan pasar keuangan di Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Devisa Hasil Ekspor
dan Devisa Pembayaran Impor;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/14/PBI/2019 tentang
Devisa Hasil Ekspor dan Devisa Pembayaran Impor (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 229, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6425);
2
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
DEVISA HASIL EKSPOR DAN DEVISA PEMBAYARAN IMPOR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing
yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
perbankan dan bank umum syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan
syariah, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia
namun tidak termasuk kantor cabang luar negeri dari
bank yang berkantor pusat di Indonesia, yang memperoleh
persetujuan dari otoritas yang berwenang untuk
melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.
2. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah
pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai kepabeanan.
3. Devisa Hasil Ekspor yang selanjutnya disingkat DHE
adalah devisa dari hasil kegiatan Ekspor.
4. Devisa Hasil Ekspor dari Barang Ekspor Sumber Daya
Alam yang selanjutnya disebut DHE SDA adalah DHE yang
diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan,
dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup
pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah
mengenai devisa hasil ekspor yang diperoleh dari kegiatan
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber
daya alam.
5. Devisa Hasil Ekspor dari Barang Ekspor selain Sumber
Daya Alam yang selanjutnya disebut DHE Non-SDA adalah
DHE yang diperoleh dari kegiatan selain kegiatan
3
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber
daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan,
kehutanan, dan perikanan.
6. Ekspor SDA adalah Ekspor dalam kegiatan pengusahaan,
pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam
yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan,
dan perikanan.
7. Ekspor Non-SDA adalah Ekspor dalam kegiatan selain
kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau
pengolahan sumber daya alam yang mencakup
pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.
8. Eksportir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau
badan lainnya yang tidak berbadan hukum, yang
melakukan Ekspor.
9. Eksportir SDA adalah Eksportir dalam kegiatan
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber
daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan,
kehutanan, dan perikanan.
10. Eksportir Non-SDA adalah Eksportir dalam kegiatan selain
kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau
pengolahan sumber daya alam yang mencakup
pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.
11. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam
daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang mengenai kepabeanan.
12. Devisa Pembayaran Impor yang selanjutnya disingkat DPI
adalah devisa yang digunakan untuk membayar Impor.
13. Importir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau
badan lainnya yang tidak berbadan hukum, yang
melakukan Impor.
14. Perusahaan Jasa Titipan yang selanjutnya disingkat PJT
adalah penyelenggara pos yang memperoleh izin usaha
dari instansi terkait untuk melaksanakan layanan surat,
dokumen, dan paket sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pos.
15. Pemberitahuan Pabean Ekspor yang selanjutnya disingkat
PPE adalah pernyataan yang dibuat oleh perseorangan
4
atau badan hukum untuk melaksanakan kewajiban
pabean Ekspor dalam bentuk dan syarat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
kepabeanan.
16. Pemberitahuan Pabean Impor yang selanjutnya disingkat
PPI adalah pernyataan yang dibuat oleh perseorangan atau
badan hukum untuk melaksanakan kewajiban pabean
Impor dalam bentuk dan syarat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan.
17. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank.
18. Rekening Khusus DHE SDA yang selanjutnya disebut
Reksus DHE SDA adalah rekening milik Nasabah di Bank
dalam valuta rupiah atau valuta asing, yang digunakan
khusus untuk penerimaan DHE SDA.
19. Laporan DHE adalah laporan yang menjelaskan informasi
data kepabeanan dan penerimaan DHE yang dilaporkan
oleh Eksportir.
20. Laporan DPI adalah laporan yang menjelaskan informasi
data kepabeanan dan pembayaran DPI yang dilaporkan
oleh Importir.
21. Perintah Transfer Dana adalah perintah tidak bersyarat
dari pengirim kepada penyelenggara penerima untuk
membayarkan sejumlah dana tertentu kepada penerima
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
transfer dana.
22. Transfer Dana Keluar atau Outgoing Transfer adalah
transaksi lalu lintas devisa Nasabah berupa transfer dana
keluar dalam valuta asing.
23. Transfer Dana Masuk atau Incoming Transfer adalah
transaksi lalu lintas devisa Nasabah berupa transfer dana
masuk dalam valuta asing.
24. Nilai Ekspor adalah nilai Ekspor free on board (FOB) yang
tercantum pada PPE.
25. Nilai Impor adalah nilai Impor cost, insurance, and freight
(CIF) yang tercantum pada PPI.
26. Maklon adalah pemberian jasa untuk proses penyelesaian
suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya
5
dilakukan oleh pihak pemberi jasa atau disubkontrakkan,
dan pengguna jasa menetapkan spesifikasi serta
menyediakan bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau
bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian
atau seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi
berada pada pengguna jasa.
27. Nilai Maklon adalah nilai yang diperoleh dari kegiatan
Maklon yang tercantum pada PPE.
28. Pihak yang Tunduk kepada Kontrak Kerja Sama Minyak
dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut Pihak dalam
Kontrak Migas adalah operator dan/atau pemegang
participating interest beserta para penggantinya dari waktu
ke waktu, yang tercatat di otoritas yang berwenang.
29. Pemilik Barang adalah pihak yang melakukan Ekspor atau
Impor melalui PJT.
30. Message Financial Transaction Messaging System yang
selanjutnya disebut Message FTMS adalah kumpulan data
dalam format terstruktur yang dikirim atau diterima oleh
pengguna atau aplikasi.
31. Telegraphic Transfer yang selanjutnya disingkat TT adalah
jenis transfer dana melalui Bank dengan menggunakan
sarana elektronik berdasarkan perintah bayar dari pemilik
dana.
32. Laporan Transaksi Non-Telegraphic Transfer yang
selanjutnya disebut Laporan Transaksi Non-TT adalah
laporan yang disampaikan Bank atas transaksi non-TT.
33. Bulan PPE adalah bulan pendaftaran yang diperoleh dari
informasi tanggal pendaftaran yang tercantum pada PPE.
34. Bulan PPI adalah bulan pendaftaran yang diperoleh dari
informasi tanggal pendaftaran yang tercantum pada PPI.
35. Jasa Perbaikan adalah jasa terkait perbaikan dan/atau
perawatan barang.
36. Operational Leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam
bentuk penyediaan barang modal secara sewa guna usaha
tanpa hak opsi untuk membeli yang digunakan oleh
penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu
tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.
6
37. Financial Leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam
bentuk penyediaan barang modal secara sewa guna usaha
dengan hak opsi untuk membeli yang digunakan oleh
penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu
tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.
38. Netting adalah mekanisme penyelesaian tagihan Eksportir,
Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas
yang dikompensasikan (set-off) dengan kewajiban
Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak
Migas.
39. Usance L/C adalah letter of credit yang mensyaratkan
pembayaran secara berjangka sesuai kesepakatan antara
Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak
Migas dengan pembeli (buyer).
40. Documentary Collection adalah penagihan pembayaran
Ekspor dengan menggunakan jasa bank melalui
pengiriman dokumen terkait Ekspor kepada bank di luar
negeri.
41. Daring adalah suatu kegiatan yang menggunakan fasilitas
jaringan internet.
42. Luring adalah suatu kegiatan yang tidak menggunakan
fasilitas jaringan internet.
43. Sandi Tujuan Transaksi yang selanjutnya disingkat STT
adalah sandi yang digunakan untuk mengidentifikasi
setiap transaksi yang memengaruhi aset finansial luar
negeri dan kewajiban finansial luar negeri Bank.
44. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk
hari kerja operasional terbatas.
7
BAB II
KEWAJIBAN EKSPORTIR
Bagian Kesatu
Kewajiban Eksportir terkait Penerimaan DHE
Pasal 2
(1) Seluruh DHE wajib diterima melalui Bank paling lambat
pada akhir bulan ketiga setelah Bulan PPE.
(2) Dalam hal DHE diterima dalam bentuk uang tunai di
dalam negeri, DHE tersebut wajib disetorkan ke Bank
paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah Bulan PPE.
(3) Eksportir harus menyampaikan kepada Bank Indonesia
dokumen pendukung terkait dengan DHE yang diterima
dalam bentuk uang tunai yang disetorkan ke Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Nilai DHE yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan/atau nilai DHE yang disetor ke Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib sesuai dengan Nilai Ekspor.
(5) DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dapat diterima dalam valuta yang berbeda dengan valuta
yang tercantum pada dokumen PPE.
(6) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) jatuh pada hari libur maka penerimaan
DHE dan/atau penyetoran DHE ke Bank dapat dilakukan
pada Hari berikutnya.
Pasal 3
(1) Dalam hal penerimaan DHE dilakukan melebihi batas
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan
ayat (2), DHE dianggap diterima sesuai batas waktu
apabila:
a. DHE diterima paling lambat 14 (empat belas) hari
kalender setelah jatuh tempo pembayaran Ekspor
yang telah diatur dalam kontrak antara Eksportir dan
buyer; atau
8
b. disebabkan buyer
wanprestasi, pailit, atau
mengalami keadaan kahar.
(2) Dalam hal penerimaan DHE dilakukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Eksportir harus menyampaikan
dokumen pendukung yang memadai.
(3) Dokumen pendukung untuk penerimaan DHE yang
melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling sedikit berupa kontrak antara Eksportir dan
buyer.
Pasal 4
Jatuh tempo pembayaran Ekspor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a diatur sesuai dengan cara
pembayaran yaitu:
a. sesuai dengan tenor yang tercantum, untuk transaksi
Usance L/C;
b. pada waktu bank penerima amanat Documentary
Collection menerima hasil penagihan dari buyer, untuk
transaksi Documentary Collection;
c. pada waktu pembayaran yang disepakati antara Eksportir
dan buyer setelah pengiriman barang, untuk pembayaran
kemudian; dan
d. pada tanggal jatuh tempo pembayaran yang disepakati
antara Eksportir dan penerima barang konsinyasi, untuk
transaksi konsinyasi.
Pasal 5
(1) Dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai Ekspor dengan
selisih paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah), nilai DHE yang diterima dianggap
sesuai dengan Nilai Ekspor sehingga Eksportir tidak perlu
menyampaikan dokumen pendukung.
(2) Dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai Ekspor dengan
selisih melebihi ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah), nilai DHE yang diterima dianggap sesuai
dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir menyampaikan
dokumen pendukung yang memadai.
9
Pasal 6
(1) Dalam hal Ekspor dari hasil Maklon, nilai DHE yang
diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dan ayat (2) wajib sesuai dengan Nilai Maklon.
(2) Dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai Maklon dengan
selisih paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah), nilai DHE yang diterima dianggap
sesuai dengan Nilai Maklon sehingga Eksportir tidak perlu
menyampaikan dokumen pendukung.
(3) Dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai Maklon dengan
selisih melebihi ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah), nilai DHE yang diterima dianggap sesuai
dengan Nilai Maklon apabila Eksportir menyampaikan
dokumen pendukung yang memadai.
Pasal 7
(1) Dalam hal valuta nilai DHE, valuta Nilai Ekspor, dan/atau
valuta Nilai Maklon terdapat dalam kurs yang diumumkan
oleh Bank Indonesia, selisih kurang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 dihitung dengan
mengonversi nilai DHE, Nilai Ekspor, dan/atau Nilai
Maklon ke rupiah dengan menggunakan kurs tengah Bank
Indonesia pada tanggal pendaftaran PPE untuk
selanjutnya dihitung selisihnya.
(2) Dalam hal valuta nilai DHE, valuta Nilai Ekspor, dan/atau
valuta Nilai Maklon tidak terdapat dalam kurs yang
diumumkan Bank Indonesia, selisih kurang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 dihitung dengan cara
sebagai berikut:
a. nilai DHE, Nilai Ekspor, dan/atau Nilai Maklon yang
valutanya tidak terdapat dalam kurs yang
diumumkan Bank Indonesia dikonversikan ke dolar
Amerika Serikat dengan menggunakan kurs Reuters
pada tanggal pendaftaran PPE; dan
b.
hasil konversi nilai DHE, Nilai Ekspor, dan/atau Nilai
Maklon dalam dolar Amerika Serikat sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dikonversikan ke rupiah
10
dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia
pada tanggal pendaftaran PPE, untuk selanjutnya
dihitung selisihnya.
(3) Dalam hal tanggal pendaftaran PPE sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan hari libur,
valuta nilai DHE, valuta Nilai Ekspor, dan/atau valuta
Nilai Maklon menggunakan kurs tengah Bank Indonesia
atau kurs Reuters Hari sebelumnya.
Pasal 8
Dalam hal terdapat perbedaan antara data PPE yang
disampaikan Eksportir dengan data PPE yang diterima Bank
Indonesia dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) maka
Bank Indonesia dapat memutuskan data PPE yang akan
dijadikan acuan dalam pemenuhan ketentuan Bank Indonesia
mengenai devisa hasil ekspor dan devisa pembayaran impor.
Bagian Kedua
Kewajiban Eksportir terkait Pelaporan DHE
Pasal 9
(1) Dalam hal DHE diterima melalui transaksi TT, Eksportir
harus menyampaikan informasi Ekspor kepada buyer
untuk dicantumkan pada Message FTMS oleh bank di luar
negeri.
(2) Informasi Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
terdiri atas:
a. STT dengan kode 1011;
b. nomor invoice; dan
c.
nilai invoice.
(3) Informasi Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dicantumkan oleh bank di luar negeri pada Message FTMS
berdasarkan spesifikasi format yang ditetapkan Bank
Indonesia, yaitu 1011//nomor_invoice(nilai_invoice).
(4) Dalam hal informasi Ekspor sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak dicantumkan dalam Message FTMS sesuai
spesifikasi format sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
11
maka Eksportir harus:
a. menyampaikan koreksi informasi Ekspor kepada
buyer untuk dicantumkan pada koreksi Message
FTMS oleh bank di luar negeri; atau
b. meminta Bank untuk menginformasikan kepada
bank di luar negeri agar melakukan koreksi informasi
Ekspor pada koreksi Message FTMS.
(5) Koreksi informasi Ekspor sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dicantumkan oleh bank di luar negeri pada koreksi
Message FTMS berdasarkan spesifikasi format yang
ditetapkan
Bank
Indonesia,
/id_referensi/1011//nomor_invoice(nilai_invoice).
Pasal 10
(1) Dalam hal DHE diterima melalui transaksi non-TT,
Eksportir harus menyampaikan informasi Ekspor kepada
Bank untuk diteruskan kepada Bank Indonesia melalui
Laporan Transaksi Non-TT.
(2) Informasi Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. nomor letter of credit (L/C);
b. tanggal jatuh tempo pembayaran L/C;
c. nomor invoice;
d.
nilai invoice; dan/atau
e. informasi lainnya.
Pasal 11
(1) Eksportir harus menyampaikan Laporan DHE kepada
Bank Indonesia secara Daring melalui aplikasi yang
disediakan oleh Bank Indonesia dalam hal terdapat:
a. perubahan informasi pada PPE yang memengaruhi
DHE; dan/atau
b. perubahan informasi terkait DHE.
(2) Perubahan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a terdiri atas:
a. perubahan nomor invoice;
b. perubahan nilai invoice;
yaitu
12
c. tanggal jatuh tempo penerimaan DHE; dan/atau
d. informasi lainnya.
(3) Perubahan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdiri atas perubahan:
a. nomor invoice;
b.
nilai DHE; dan/atau
c. informasi lainnya.
(4) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku untuk Nilai Ekspor lebih besar dari ekuivalen
USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat).
(5) Dalam hal terdapat perubahan informasi pada PPE yang
memengaruhi DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, Eksportir harus menyampaikan Laporan DHE ke
Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya
setelah Bulan PPE.
(6) Dalam hal terdapat perubahan informasi terkait DHE
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Eksportir
harus menyampaikan Laporan DHE ke Bank Indonesia
paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah
penerimaan DHE.
(7) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) dan ayat (6) jatuh pada hari libur, penyampaian
Laporan DHE dapat dilakukan pada Hari berikutnya.
Pasal 12
(1) Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung
yang memadai kepada Bank Indonesia secara Daring
melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia
dalam hal:
a. DHE diterima dalam bentuk uang tunai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2);
b. DHE diterima melebihi akhir bulan ketiga setelah
Bulan PPE berdasarkan kontrak antara Eksportir dan
buyer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf a;
c. DHE tidak diterima;
13
d.
selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Ekspor lebih
besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2);
e.
selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Maklon lebih
besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (3);
f. buyer wanprestasi atau mengalami keadaan kahar;
dan/atau
g. buyer pailit.
(2) Dalam hal DHE diterima dalam bentuk uang tunai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Eksportir
harus menyampaikan dokumen pendukung paling sedikit
berupa fotokopi rekening koran yang menunjukkan
penyetoran uang tunai ke Bank dan kuitansi penerimaan
tunai.
(3) Dalam hal DHE diterima melebihi akhir bulan ketiga
setelah Bulan PPE berdasarkan kontrak antara Eksportir
dan buyer, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung
berupa kontrak antara Eksportir dan buyer yang
dilengkapi dengan dokumen sesuai dengan cara
pembayaran sebagai berikut:
a. Usance L/C, berupa fotokopi dokumen L/C, invoice,
bill of lading (B/L), dan/atau dokumen lainnya;
b. Documentary Collection, berupa invoice, B/L,
dan/atau dokumen lainnya;
c. pembayaran kemudian, berupa invoice, B/L,
dan/atau dokumen lainnya; dan/atau
d. konsinyasi, berupa invoice, bukti pengeluaran barang
dari gudang buyer, B/L, dan/atau dokumen lainnya.
(4) Dalam hal DHE tidak diterima sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, Eksportir harus menyampaikan
dokumen pendukung paling sedikit berupa perjanjian
antara Eksportir dengan buyer.
14
(5) Dalam hal selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Ekspor
lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung
sesuai penyebab selisih sebagai berikut:
a.
selisih kurs, diskon atau rabat, biaya administrasi,
dan/atau biaya lainnya terkait perdagangan
internasional berupa:
1.
invoice;
2. Message FTMS atau bukti transfer lainnya dari
Bank; dan/atau
3. nota debet;
b. Financial Leasing berupa:
1.
invoice; dan/atau
2. kesepakatan atau perjanjian sewa guna usaha
dengan hak opsi untuk membeli;
c. Operational Leasing berupa kesepakatan atau
perjanjian sewa guna usaha tanpa hak opsi untuk
membeli;
d. Jasa Perbaikan berupa:
1. kesepakatan atau perjanjian; dan/atau
2.
invoice terkait Jasa Perbaikan barang;
e. perbedaan penilaian harga barang berupa:
1.
invoice;
2. nota kredit;
3. nota debet; dan/atau
4. keterangan dari buyer dan/atau lembaga lain
terkait nilai barang yang diekspor;
f.
perbedaan komposisi, kualitas, dan/atau kuantitas
barang berupa:
1.
invoice;
2. nota kredit;
3. nota debet;
4. certificate of analysis; dan/atau
5. keterangan dari buyer dan/atau lembaga lain
terkait barang yang diekspor.
15
(6) Dalam hal selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Maklon
lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
karena selisih kurs, diskon atau rabat, biaya administrasi,
dan/atau biaya lainnya terkait perdagangan internasional,
Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung
berupa:
a.
invoice;
b. Message FTMS atau bukti transfer lainnya dari Bank;
dan/atau
c. nota debet.
(7) Dalam hal buyer wanprestasi atau mengalami keadaan
kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f,
Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung
paling sedikit berupa keterangan dari buyer dan/atau
lembaga lainnya yang terkait.
(8) Dalam hal buyer pailit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf g, Eksportir harus menyampaikan dokumen
pendukung paling sedikit berupa keterangan pailit dari
instansi atau pihak yang berwenang di negara tempat
kedudukan buyer.
Pasal 13
(1) Dalam hal:
a. DHE diterima melebihi akhir bulan ketiga setelah
Bulan PPE berdasarkan kontrak antara Eksportir dan
buyer; atau
b. DHE tidak diterima,
Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dan ayat
(4) kepada Bank Indonesia secara Daring melalui aplikasi
yang disediakan oleh Bank Indonesia paling lambat
tanggal 5 bulan berikutnya setelah Bulan PPE.
(2) Dalam hal:
a. DHE diterima dalam bentuk uang tunai di dalam
negeri;
16
b.
selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Ekspor lebih
besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah); atau
c.
selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Maklon lebih
besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah),
Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), ayat (5),
dan ayat (6) kepada Bank Indonesia secara Daring melalui
aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia paling
lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah bulan
penerimaan DHE.
(3) Dalam hal buyer wanprestasi, pailit, atau mengalami
keadaan kahar, Eksportir harus menyampaikan dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(7) dan ayat (8) kepada Bank Indonesia secara Daring
melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia
paling lambat:
a. tanggal 5 bulan berikutnya setelah akhir bulan ketiga
setelah Bulan PPE; atau
b. tanggal 5 bulan berikutnya setelah batas waktu
penerimaan DHE sesuai komitmen buyer.
(4) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) jatuh pada hari libur maka
penyampaian dokumen pendukung dapat dilakukan pada
Hari berikutnya.
Pasal 14
(1) Penerimaan nilai DHE yang lebih kecil dari Nilai PPE yang
disebabkan Netting antara tagihan Ekspor dan kewajiban
Eksportir hanya diperbolehkan untuk Netting dengan
pembayaran Impor barang terkait kegiatan Ekspor yang
bersangkutan yang hanya melibatkan 2 (dua) pihak.
(2) Dalam hal transaksi Netting melibatkan lebih dari 2 (dua)
pihak, Netting antara tagihan Ekspor dan kewajiban
Eksportir dalam bentuk Impor barang terkait kegiatan
17
Ekspor yang bersangkutan, hanya diperbolehkan apabila
pihak tersebut berada dalam 1 (satu) grup.
(3) Netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
hanya diperbolehkan dilakukan terhadap Impor bahan
baku untuk menghasilkan barang Ekspor.
(4) Eksportir yang melakukan Netting harus menyampaikan
surat yang memuat:
a. pernyataan bahwa barang yang diimpor digunakan
dalam proses menghasilkan barang Ekspor;
b. daftar pihak buyer atau counterparty yang melakukan
Netting antara tagihan Ekspor dan kewajiban Impor
barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan;
dan
c. pernyataan bahwa buyer atau counterparty berada
dalam 1 (satu) grup dengan Eksportir dalam hal
Netting melibatkan lebih dari 2 (dua) pihak.
(5) Surat pernyataan dan daftar pihak buyer atau
counterparty sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(6) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan
Eksportir setiap terdapat buyer atau counterparty baru.
Pasal 15
(1) Penerimaan DHE yang berasal dari hasil Netting
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat
(2) dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir
menyampaikan Laporan DHE dan bukti transaksi Netting.
(2) Bukti transaksi Netting sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling sedikit berupa Netting agreement dan rincian
tagihan Ekspor dan kewajiban Eksportir.
Pasal 16
(1) Eksportir harus menyampaikan bukti transaksi Netting
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) kepada
Bank Indonesia secara Daring melalui aplikasi yang
18
disediakan oleh Bank Indonesia paling lambat tanggal 5
bulan berikutnya setelah bulan penerimaan DHE.
(2) Eksportir harus menyampaikan surat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) kepada Bank Indonesia
secara Daring melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank
Indonesia paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya
setelah Bulan PPE.
(3) Eksportir harus menyampaikan pengkinian daftar pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf b
kepada Bank Indonesia secara Daring melalui aplikasi
yang disediakan oleh Bank Indonesia paling lambat
tanggal 5 Januari setiap tahun.
(4) Pengkinian daftar pihak sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(5) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) jatuh pada hari libur maka
penyampaian bukti transaksi Netting, surat, dan
pengkinian daftar pihak dapat dilakukan pada Hari
berikutnya.
Pasal 17
Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
disampaikan dalam bentuk salinan digital (softcopy) dengan
format yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 18
(1) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian:
a. Laporan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11;
b. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13;
c. bukti transaksi Netting sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) dan ayat (5);
d. surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2)
dan ayat (5); dan
19
e. pengkinian daftar pihak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (3) dan ayat (5),
terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia atau di
Eksportir yang menyebabkan Eksportir tidak dapat
menyampaikan secara Daring melalui aplikasi yang
disediakan oleh Bank Indonesia, penyampaian dilakukan
secara Daring pada Hari berikutnya apabila gangguan
teknis telah dapat diatasi dengan dilengkapi bukti
pendukung dari instansi yang berwenang yang
menjelaskan terjadinya gangguan teknis.
(2) Dalam hal gangguan teknis belum dapat diatasi pada Hari
berikutnya, penyampaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara Luring dengan menggunakan
media elektronik berupa compact disk, flash disk, surat
elektronik, atau media elektronik lainnya kepada Bank
Indonesia dengan dilengkapi pemberitahuan secara
tertulis disertai bukti pendukung dari instansi yang
berwenang yang menjelaskan terjadinya gangguan teknis.
Pasal 19
(1) Dalam hal terdapat perubahan data PPE, Eksportir harus
melakukan pembetulan PPE.
(2) Eksportir melakukan pembetulan PPE sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada DJBC.
Bagian Ketiga
Pemilik Barang dan Pihak dalam Kontrak Migas
Pasal 20
(1) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, kewajiban
Eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dan ayat (2) berlaku terhadap Pemilik Barang.
(2) PJT harus menyampaikan informasi terkait PPE kepada
Pemilik Barang.
(3) Dalam hal Ekspor berupa minyak dan gas bumi,
kewajiban Eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) dan ayat (2) berlaku terhadap Eksportir
20
dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas.
BAB III
REKENING KHUSUS DHE SDA
Bagian Kesatu
Kewajiban Eksportir SDA
Pasal 21
(1) Dalam hal penerimaan DHE sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) berasal dari Ekspor SDA, DHE
tersebut wajib diterima melalui Bank pada Reksus DHE
SDA.
(2) Dalam hal DHE SDA diterima dalam bentuk uang tunai di
dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2), DHE SDA tersebut wajib disetorkan ke Bank pada
Reksus DHE SDA.
(3) Eksportir harus menyampaikan kepada Bank Indonesia
dokumen pendukung terkait dengan DHE SDA yang
diterima dalam bentuk uang tunai yang disetorkan ke
Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Nilai DHE yang diterima pada Reksus DHE SDA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau nilai DHE
yang disetor ke Bank pada Reksus DHE SDA sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib sesuai dengan Nilai Ekspor.
(5) Dalam hal Ekspor berasal dari hasil Maklon, nilai DHE
yang diterima pada Reksus DHE SDA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau nilai DHE yang disetor
ke Bank pada Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib sesuai dengan Nilai Maklon.
Pasal 22
Ketentuan mengenai jenis barang Ekspor SDA mengacu pada
Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan barang
Ekspor sumber daya alam dengan kewajiban memasukkan
devisa hasil ekspor ke dalam sistem keuangan Indonesia.
21
Pasal 23
(1) Untuk memenuhi kewajiban penerimaan DHE SDA
melalui Bank pada Reksus DHE SDA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), Eksportir
harus melakukan pembukaan Reksus DHE SDA pada
Bank.
(2) Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berbentuk rekening giro, tabungan, atau rekening lainnya
yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi.
(3) Eksportir dapat membuka lebih dari 1 (satu) Reksus DHE
SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada 1 (satu)
Bank atau lebih.
(4) Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
a. pembukaan rekening yang baru oleh Eksportir untuk
menampung penerimaan DHE SDA; atau
b. pengalihfungsian rekening yang telah dimiliki
Eksportir menjadi Reksus DHE SDA.
(5) Dalam hal Eksportir melakukan pengalihfungsian
rekening yang telah dimiliki menjadi Reksus DHE SDA
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, dana yang
terdapat pada rekening yang telah dimiliki Eksportir
tersebut harus dikosongkan terlebih dahulu.
Pasal 24
(1) Pada saat mengajukan permohonan pembukaan Reksus
DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1),
Eksportir SDA harus menyampaikan dokumen
pendukung kepada Bank sebagai berikut:
a. dokumen yang dapat menunjukkan Ekspor atas hasil
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan
sumber daya alam; dan
b. surat pernyataan terkait Ekspor atas hasil kegiatan
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan
sumber daya alam.
(2) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b disusun dengan mengacu pada contoh
22
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 25
(1) Eksportir SDA dapat menempatkan dana dari Reksus DHE
SDA ke dalam deposito DHE SDA.
(2) Penempatan dana ke dalam deposito DHE SDA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
(1) Transfer Dana Masuk pada Reksus DHE SDA hanya dapat
berasal dari:
a. DHE SDA milik Eksportir SDA yang sama;
b. dana dari pencairan deposito dan/atau pembayaran
bunga deposito yang dananya bersumber dari Reksus
DHE SDA milik Eksportir SDA yang sama; dan
c. dana yang berasal dari Reksus DHE SDA lain milik
Eksportir SDA yang sama, baik di Bank lain maupun
di Bank yang sama.
(2) Dalam hal terdapat Transfer Dana Masuk ke Reksus DHE
SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir
harus menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank
yang dapat membuktikan bahwa dana masuk tersebut
merupakan DHE SDA.
(3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa
dokumen PPE, invoice, dan/atau rekening koran dari
Reksus DHE SDA.
(4) Transfer Dana Masuk yang berasal dari DHE SDA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
dengan mekanisme:
a. transfer langsung ke Reksus DHE SDA; atau
b. transfer terlebih dahulu melalui rekening milik
Eksportir SDA selain Reksus DHE SDA.
(5) Dalam hal terdapat Transfer Dana Masuk ke Reksus DHE
SDA selain dari sumber sebagaimana dimaksud pada ayat
23
(1), Eksportir SDA harus memindahkan dana dimaksud
keluar dari Reksus DHE SDA.
Pasal 27
(1) DHE SDA yang ditempatkan dalam Reksus DHE SDA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat
(2) digunakan oleh Eksportir untuk Transfer Dana Keluar
guna pembayaran:
a. bea keluar dan pungutan lain di bidang Ekspor;
b. pinjaman;
c.
Impor;
d. keuntungan atau dividen; dan/atau
e. keperluan lain dari penanam modal sebagaimana
dimaksud
penanaman modal.
(2) Dalam hal Eksportir SDA melakukan Transfer Dana
Keluar dari Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam valuta asing dengan nilai di atas
jumlah tertentu (threshold), Eksportir SDA harus
menyampaikan dokumen pendukung Transfer Dana
Keluar kepada Bank.
(3) Dokumen pendukung Transfer Dana Keluar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat berupa dokumen yang
mendasari adanya kegiatan transaksi (underlying
transaction) Transfer Dana Keluar dalam valuta asing,
yaitu:
a. tagihan dari penjual barang dan jasa di luar negeri;
b. kontrak pinjaman atau dokumen lain yang
menunjukkan adanya kewajiban pembayaran bunga
dan/atau pokok pinjaman;
c. kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan
adanya kewajiban membayar royalti dan kewajiban
hak intelektual lainnya;
d. dokumen rapat umum pemegang saham yang
menunjukkan kewajiban pembagian dividen kepada
pemegang saham di luar negeri;
dalam Undang-Undang mengenai
24
e.
perjanjian kerja atau dokumen kepegawaian lainnya
yang menunjukkan kewajiban membayar gaji dan
penghasilan lainnya;
f. dokumen likuidasi aset di dalam negeri yang
merupakan hak pihak di luar negeri; dan/atau
g. dokumen pengecualian atau penangguhan kewajiban
penggunaan rupiah untuk transaksi valuta asing di
dalam negeri.
Pasal 28
Eksportir SDA harus menyampaikan informasi kepada Bank
untuk setiap Transfer Dana Masuk dan/atau Transfer Dana
Keluar melalui Reksus DHE SDA, yang paling sedikit meliputi
informasi:
a. nilai transaksi;
b. tujuan transaksi;
c. pelaku transaksi;
d. hubungan keuangan antarpelaku transaksi; dan
e. peruntukan transaksi.
Pasal 29
Dalam hal Ekspor berupa minyak dan gas bumi, kewajiban
penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1) dan ayat (2) berlaku terhadap Eksportir SDA dan/atau
Pihak dalam Kontrak Migas.
Pasal 30
Dalam hal Ekspor SDA dilakukan melalui PJT, ketentuan bagi
Eksportir SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
dan ayat (2), berlaku terhadap Pemilik Barang sebagaimana
tercantum dalam lembar lanjutan PPE.
25
Bagian Kedua
Kewajiban Bank terhadap Reksus DHE SDA
Pasal 31
(1) Bank harus memastikan Nasabah yang melakukan
pembukaan Reksus DHE SDA merupakan Eksportir SDA.
(2) Bank harus memberikan penanda khusus (flag) untuk
setiap Reksus DHE SDA di sistem internal Bank.
Pasal 32
(1) Bank wajib memastikan dana yang ditempatkan ke dalam
deposito sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1)
berasal dari DHE SDA.
(2) Bank harus memberikan penanda khusus (flag) untuk
setiap deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 33
Bank harus memastikan Transfer Dana Masuk pada Reksus
DHE SDA hanya berasal dari sumber sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (1).
Pasal 34
(1) Bank hanya dapat melakukan pengaksepan Perintah
Transfer Dana untuk Transfer Dana Keluar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) sepanjang dilengkapi
dengan dokumen pendukung Transfer Dana Keluar.
(2) Dokumen pendukung Transfer Dana Keluar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) harus diterima sebelum
pelaksanaan transaksi Transfer Dana Keluar.
(3) Bank harus meneruskan informasi kepada Bank
Indonesia mengenai penyampaian dokumen pendukung
Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (3).
Pasal 35
Bank harus meneruskan informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 kepada Bank Indonesia.
26
Pasal 36
Ketentuan mengenai mekanisme pengaksepan Perintah
Transfer Dana, batasan tertentu (threshold), dan penyampaian
dokumen pendukung Transfer Dana Keluar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 35 mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pemantauan kegiatan lalu lintas devisa Bank dan Nasabah.
BAB IV
KEWAJIBAN IMPORTIR
Pasal 37
(1) DPI wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterima Bank Indonesia paling lambat akhir bulan ketiga
setelah Bulan PPI.
Pasal 38
Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2)
terdiri atas:
a. informasi Impor pada DPI yang dibayarkan melalui
transaksi TT;
b. informasi Impor pada DPI yang dibayarkan melalui
transaksi non-TT;
c. perubahan informasi pada PPI yang memengaruhi DPI;
d. perubahan informasi pada DPI; dan/atau
e. informasi DPI yang tidak melalui Bank.
Pasal 39
(1) Informasi Impor pada DPI yang dibayar melalui tansaksi
TT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a terdiri
atas:
a. STT dengan kode 2012;
b. nomor invoice; dan
c.
nilai invoice.
(2) Importir harus menyampaikan informasi Impor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank sesuai
27
format yang ditetapkan Bank Indonesia untuk
dicantumkan pada
Message
2012//nomor_invoice(nilai_invoice).
(3) Importir menyampaikan informasi Impor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Bank pada saat
melakukan pengeluaran DPI.
Pasal 40
(1) Dalam hal Impor dibayar melalui transaksi non-TT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf b, Importir
harus menyampaikan informasi Impor kepada Bank untuk
diteruskan kepada Bank Indonesia melalui Laporan
Transaksi Non-TT.
(2) Informasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. nomor L/C;
b. tanggal jatuh tempo pembayaran L/C;
c. nomor invoice;
d.
nilai invoice; dan/atau
e. informasi lainnya.
Pasal 41
(1) Dalam hal terdapat perubahan informasi pada PPI yang
memengaruhi DPI, Laporan DPI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 huruf c terdiri atas:
a. nomor invoice;
b.
nilai invoice;
c. tanggal jatuh tempo pengeluaran DPI; dan/atau
d. informasi lainnya.
(2) Dalam hal terdapat perubahan informasi pada DPI,
Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf
d terdiri atas:
a. nomor invoice;
b.
nilai DPI; dan/atau
c. informasi lainnya. .
(3) Dalam hal terdapat pengeluaran DPI yang dilakukan tidak
melalui Bank, Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam
FTMS,
yaitu
28
Pasal 38 huruf e memuat informasi antara lain nomor
invoice, tanggal invoice, nilai DPI, dan nama lembaga
penyelenggara transfer dana bukan bank.
(4) Laporan DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) disampaikan oleh Importir kepada Bank
Indonesia secara Daring melalui aplikasi yang disediakan
oleh Bank Indonesia.
Pasal 42
(1) Penyampaian Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 huruf c, huruf d, dan huruf e berlaku untuk Nilai
Impor lebih besar dari ekuivalen USD10,000.00 (sepuluh
ribu dolar Amerika Serikat).
(2) Importir harus menyampaikan Laporan DPI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 huruf c, huruf d, dan huruf e
paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah Bulan
PPI dan/atau bulan pengeluaran DPI.
(3) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) jatuh pada hari libur maka penyampaian Laporan DPI
dapat dilakukan pada Hari berikutnya.
Pasal 43
(1) Dalam hal terdapat perubahan data PPI, Importir harus
melakukan perubahan data PPI.
(2) Perubahan data PPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada DJBC.
Pasal 44
(1) Nilai DPI yang dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (1) wajib sesuai dengan Nilai Impor.
(2) Dalam hal selisih lebih nilai DPI dengan Nilai Impor paling
banyak 5% (lima persen) dari Nilai Impor, nilai DPI
dianggap sesuai dengan Nilai Impor, sehingga Importir
tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung.
(3) Dalam hal nilai DPI lebih besar dari Nilai Impor dengan
selisih melebihi 5% (lima persen) dari Nilai Impor maka
nilai DPI dianggap sesuai dengan Nilai Impor apabila
29
Importir menyampaikan dokumen pendukung yang
memadai.
Pasal 45
(1) Dalam hal valuta nilai DPI sama dengan valuta Nilai Impor,
persentase selisih lebih sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 dihitung dalam valuta tersebut.
(2) Dalam hal valuta nilai DPI berbeda dengan valuta Nilai
Impor, persentase selisih lebih sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 dihitung dengan mengonversi nilai DPI dan
Nilai Impor ke rupiah dengan menggunakan kurs tengah
Bank Indonesia pada tanggal pendaftaran PPI.
(3) Dalam hal valuta nilai DPI dan/atau valuta Nilai Impor
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terdapat dalam
kurs yang diumumkan Bank Indonesia, persentase selisih
lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dihitung
dengan cara sebagai berikut:
a. nilai DPI dan/atau Nilai Impor yang valutanya tidak
terdapat dalam kurs yang diumumkan Bank
Indonesia dikonversikan ke dolar Amerika Serikat
dengan menggunakan kurs Reuters pada tanggal
pendaftaran PPI; dan
b. persentase selisih lebih dihitung dari hasil konversi
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Pasal 46
(1) Importir harus menyampaikan dokumen pendukung yang
memadai kepada Bank Indonesia secara Daring melalui
aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia dalam hal:
a. pengeluaran DPI dalam bentuk uang tunai;
b. pengeluaran DPI melebihi akhir bulan ketiga setelah
Bulan PPI;
c. pengeluaran DPI tidak melalui Bank;
d. DPI tidak dibayar; dan/atau
e.
selisih lebih nilai DPI dengan Nilai Impor lebih besar
dari 5% (lima persen) dari Nilai Impor.
30
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disampaikan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya
setelah Bulan PPI dalam hal:
a. pengeluaran DPI melebihi akhir bulan ketiga setelah
Bulan PPI; dan/atau
b. DPI tidak dibayar.
(3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disampaikan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya
setelah bulan pengeluaran DPI dalam hal:
a. pengeluaran DPI dalam bentuk uang tunai;
b. pengeluaran DPI tidak melalui Bank; dan/atau
c.
selisih lebih nilai DPI dengan Nilai Impor lebih besar
dari 5% (lima persen) dari Nilai Impor.
(4) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) jatuh pada hari libur maka penyampaian
dokumen pendukung dapat dilakukan pada Hari
berikutnya.
Pasal 47
(1) Dalam hal pengeluaran DPI dalam bentuk uang tunai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf a,
Importir harus menyampaikan dokumen pendukung
paling sedikit berupa fotokopi bukti pembayaran Impor
secara tunai.
(2) Dalam hal pengeluaran DPI melebihi akhir bulan ketiga
setelah Bulan PPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
ayat (1) huruf b, Importir harus menyampaikan dokumen
pendukung berupa kontrak antara Importir dan seller
yang dilengkapi dengan dokumen sesuai dengan cara
pembayaran sebagai berikut:
a. Usance L/C, berupa fotokopi dokumen, invoice, B/L,
dan/atau dokumen lainnya;
b. Documentary Collection, berupa invoice, B/L,
dan/atau dokumen lainnya;
c. pembayaran kemudian, berupa invoice, B/L,
dan/atau dokumen lainnya; dan/atau
31
d. konsinyasi, berupa invoice, bukti pengeluaran barang
dari gudang Importir, B/L, dan/atau dokumen
lainnya.
(3) Dalam hal pengeluaran DPI tidak melalui Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c,
Importir harus menyampaikan dokumen pendukung
paling sedikit berupa fotokopi bukti pembayaran Impor
melalui lembaga penyelenggara transfer dana bukan bank.
(4) Dalam hal DPI tidak dibayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 ayat (1) huruf d, Importir harus
menyampaikan dokumen pendukung berupa kontrak
antara Importir dengan seller atau counterparty.
(5) Dalam hal selisih lebih nilai DPI dengan Nilai Impor lebih
besar dari 5% (lima persen) dari Nilai Impor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf e, Importir harus
menyampaikan dokumen pendukung paling sedikit
berupa kontrak antara Importir dengan seller atau
counterparty.
Pasal 48
Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
ayat (1) disampaikan dalam bentuk salinan digital (softcopy)
dengan format yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 49
(1) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian:
a. Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42;
dan/atau
b. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46,
terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia atau di Importir
yang menyebabkan Importir tidak dapat menyampaikan
secara Daring melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank
Indonesia, penyampaian dilakukan secara Daring pada
Hari berikutnya apabila gangguan teknis telah dapat
diatasi dengan dilengkapi bukti pendukung dari instansi
32
yang berwenang yang menjelaskan terjadinya gangguan
teknis.
(2) Dalam hal gangguan teknis belum dapat diatasi pada Hari
berikutnya, penyampaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara Luring dengan menggunakan
media elektronik berupa compact disk, flash disk, surat
elektronik, atau media elektronik lainnya kepada Bank
Indonesia dengan dilengkapi pemberitahuan secara
tertulis disertai bukti pendukung dari instansi yang
berwenang yang menjelaskan terjadinya gangguan teknis.
Pasal 50
(1) Dalam hal Importir merupakan PJT, ketentuan mengenai
Importir berlaku terhadap Pemilik Barang.
(2) PJT harus menyampaikan informasi terkait PPI kepada
Pemilik Barang.
BAB V
KEWAJIBAN BANK
Bagian Kesatu
Kewajiban Bank terhadap Devisa Hasil Ekspor
Pasal 51
(1) Bank hanya dapat melakukan pengkreditan penerimaan
DHE pada rekening Eksportir apabila Message FTMS
untuk seluruh penerimaan DHE melalui transaksi TT telah
dilengkapi informasi Ekspor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3).
(2) Dalam hal terdapat Message FTMS untuk penerimaan
DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak
dilengkapi informasi Ekspor, Bank harus segera:
a. menginformasikan kepada Eksportir; dan
b. meminta bank pengirim untuk melakukan koreksi
informasi Ekspor pada Message FTMS.
33
Pasal 52
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan Transaksi Non-TT
yang dilengkapi informasi Ekspor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) secara Daring kepada Bank
Indonesia.
(2) Laporan Transaksi Non-TT sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. sandi Bank;
b.
jenis transaksi;
c. metode transaksi;
d. nomor identifikasi;
e. nama applicant (pemohon);
f. nama beneficiary (penerima);
g. nomor pokok wajib pajak (NPWP) beneficiary
(penerima);
h. nomor dokumen berupa nomor L/C, nomor invoice,
atau nomor dokumen lainnya;
tanggal Transfer Dana Masuk;
valuta Transfer Dana Masuk;
i.
j.
k. nilai Transfer Dana Masuk atau nilai DHE;
l.
tanggal jatuh tempo pembayaran;
m. nomor rekening;
n. jenis rekening; dan
o. dokumen lainnya.
(3) Penyampaian Laporan Transaksi Non-TT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lambat
tanggal 5 bulan berikutnya setelah:
a. Bulan PPE, dalam hal tanggal jatuh tempo
pembayaran Ekspor melebihi akhir bulan ketiga
setelah Bulan PPE; dan/atau
b. bulan penerimaan DHE, dalam hal penerimaan DHE
telah dilakukan.
(4) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) jatuh pada hari libur, penyampaian Laporan Transaksi
Non-TT dapat dilakukan pada Hari berikutnya.
(5) Tata cara penyampaian Laporan Transaksi Non-TT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
34
(4) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas
devisa bank dan nasabah.
Bagian Kedua
Kewajiban Bank terhadap Devisa Pembayaran Impor
Pasal 53
(1) Bank hanya dapat melakukan akseptasi transfer dana DPI
dan mengirimkan Message FTMS untuk pengeluaran DPI
melalui transaksi TT apabila Perintah Transfer Dana telah
dilengkapi dengan informasi Impor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2).
(2) Dalam hal terdapat Perintah Transfer Dana yang tidak
dilengkapi informasi Impor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank harus meminta Importir untuk melengkapi
informasi Impor pada Perintah Transfer Dana.
Pasal 54
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan Transaksi Non-TT
yang dilengkapi informasi Impor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (1) secara Daring kepada Bank
Indonesia.
(2) Laporan Transaksi Non-TT sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. sandi Bank;
b.
jenis transaksi;
c. metode transaksi;
d. nomor identifikasi;
e. nama applicant (pemohon);
f. nama beneficiary (penerima);
g. NPWP applicant (pemohon);
h. nomor dokumen berupa nomor L/C, nomor invoice,
atau nomor dokumen lainnya;
tanggal Transfer Dana Keluar;
valuta Transfer Dana Keluar;
i.
j.
k. nilai Transfer Dana Keluar;
35
l.
tanggal jatuh tempo pembayaran;
m. nomor rekening;
n. jenis rekening; dan
o. dokumen lainnya.
(3) Penyampaian Laporan Transaksi Non-TT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lambat
tanggal 5 bulan berikutnya setelah:
a. Bulan PPI, dalam hal tanggal jatuh tempo
pembayaran Impor melebihi akhir bulan ketiga
setelah Bulan PPI; dan/atau
b. bulan pengeluaran DPI, dalam hal pengeluaran DPI
telah dilakukan.
(4) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) jatuh pada hari libur, penyampaian Laporan Transaksi
Non-TT dapat dilakukan pada Hari berikutnya.
(5) Tata cara penyampaian Laporan Transaksi Non-TT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(4) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas
devisa bank dan nasabah.
BAB VI
PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Tata Cara Pengawasan
Pasal 55
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan
kepada Eksportir, Importir, Pemilik Barang, Pihak dalam
Kontrak Migas, dan Bank.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat:
36
a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau
dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan
instansi terkait; dan
b. melakukan kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(4) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk
melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b.
(5) Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus:
a. menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau
keterangan yang diperoleh dari Bank Indonesia dan
hasil pemeriksaan; dan
b. menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia.
Pasal 56
Dalam pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a, Bank Indonesia melakukan
pemantauan terhadap kepatuhan atas pelaksanaan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai devisa hasil ekspor
dan devisa pembayaran impor.
Pasal 57
(1) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b
dalam hal diperlukan.
(2) Dalam pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), petugas pemeriksa yang ditugaskan oleh
Bank Indonesia dilengkapi dengan surat penugasan.
(3) Surat penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling sedikit memuat:
a. tujuan pemeriksaan; dan
b. objek pemeriksaan.
(4) Objek pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b meliputi:
a. penelitian atas kebenaran serta keakuratan:
1. Laporan DHE;
37
2. Laporan DPI;
3. Laporan Transaksi Non-TT;
4. dokumen pendukung; dan/atau
5. dokumen terkait Ekspor atau Impor; dan
b. kepatuhan terhadap ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai devisa hasil ekspor dan devisa
pembayaran impor.
Bagian Kedua
Tata Cara Pengawasan terhadap Eksportir SDA
Pasal 58
(1) Bank Indonesia dapat menyampaikan surat pemantauan
kepada Eksportir SDA terkait kewajiban penerimaan DHE
SDA yang belum dipenuhi.
(2) Eksportir SDA harus menindaklanjuti dan/atau
memberikan tanggapan atas surat pemantauan dalam
batas waktu yang tercantum dalam surat pemantauan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk membuktikan
pemenuhan kewajiban
penerimaan DHE SDA
sebagaimana diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(3) Dalam hal Ekspor SDA dilakukan oleh PJT, surat
pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
disampaikan kepada Pemilik Barang atas Ekspor SDA.
(4) Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, surat
pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Eksportir SDA dan/atau Pihak dalam
Kontrak Migas.
Bagian Ketiga
Tata Cara Penyampaian Hasil Pengawasan
terhadap Eksportir DHE SDA
Pasal 59
(1) Bank Indonesia menyampaikan hasil pengawasan
terhadap Eksportir SDA, Pemilik Barang atas Ekspor SDA,
38
dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas kepada:
a. Kementerian Keuangan c.q. DJBC; dan
b. kementerian dan/atau lembaga teknis terkait,
untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing-
masing.
(2) Penyampaian hasil pengawasan DHE SDA paling sedikit
memuat informasi:
a. nama Eksportir SDA, Pemilik Barang atas Ekspor
SDA, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas;
b. NPWP;
c. sandi kantor pabean;
d. nomor PPE;
e.
f.
tanggal PPE;
valuta Ekspor;
g. Nilai Ekspor;
h. valuta DHE;
i. nilai DHE; dan
j.
tanggal DHE.
(3) Penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dilakukan sepanjang kementerian
dan/atau lembaga teknis terkait telah mengatur
ketentuan pelaksanaan atas Peraturan Pemerintah yang
mengatur mengenai devisa hasil ekspor dari kegiatan
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber
daya alam.
(4) Penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dilakukan secara Daring.
(5) Penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberitahukan melalui surat kepada
Eksportir SDA, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam
Kontrak Migas.
Pasal 60
Bank Indonesia menyampaikan informasi terkini penerimaan
DHE SDA terhadap hasil pengawasan yang telah disampaikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 kepada:
a. Kementerian Keuangan c.q. DJBC; dan
39
b. kementerian dan/atau lembaga teknis terkait,
untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing-
masing.
Bagian Keempat
Tindak Lanjut Hasil Pengawasan DHE SDA
Pasal 61
Pengenaan sanksi oleh otoritas yang berwenang sebagai tindak
lanjut dari penyampaian hasil pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 tidak menggugurkan kewajiban
penerimaan DHE SDA melalui Bank pada Reksus DHE SDA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 62
Pengawasan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 terhadap pemenuhan ketentuan DHE SDA dilakukan
sampai dengan penyampaian hasil pengawasan kepada
Kementerian Keuangan c.q. DJBC dan kementerian dan/atau
lembaga teknis terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
Pasal 63
(1) Dalam hal Eksportir SDA menerima informasi
penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (5), Eksportir SDA tetap wajib
memenuhi kewajiban penerimaan DHE SDA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2).
(2) Untuk memenuhi kewajiban penerimaan DHE SDA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir SDA
menyampaikan:
a. informasi Ekspor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 untuk penerimaan DHE SDA melalui
transaksi TT;
b. informasi Ekspor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 untuk penerimaan DHE SDA melalui
transaksi non-TT;
c. Laporan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
40
ayat (1) huruf a dalam hal terdapat perubahan
informasi pada PPE yang memengaruhi DHE;
dan/atau
d. Laporan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) huruf b dalam hal terdapat perubahan
informasi terkait DHE.
(3) Eksportir SDA menyampaikan dokumen pendukung ke
otoritas yang berwenang apabila terdapat bukti baru
setelah menerima informasi penyampaian hasil
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB VII
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Bagian Kesatu
Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif
kepada Eksportir Non-SDA
Pasal 64
(1) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis melalui aplikasi yang disediakan oleh
Bank Indonesia dan/atau melalui surat yang ditujukan
kepada alamat sebagaimana tercantum dalam nomor
identitas kepabeanan (NIK) atau nomor induk berusaha
(NIB) kepada Eksportir Non-SDA yang melakukan
pelanggaran terhadap kewajiban penerimaan DHE Non-
SDA.
(2) Eksportir Non-SDA wajib menindaklanjuti teguran tertulis
dalam batas waktu yang tercantum dalam teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang membuktikan
pemenuhan kewajiban penerimaan DHE Non-SDA.
(3) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis kedua melalui aplikasi yang disediakan
oleh Bank Indonesia dan/atau alamat sebagaimana
tercantum dalam NIK atau NIB kepada Eksportir Non-SDA
apabila Eksportir Non-SDA belum memenuhi kewajiban
41
penerimaan DHE Non-SDA sesuai dengan Nilai Ekspor
atau Nilai Maklon:
a. sampai dengan batas waktu yang tercantum dalam
teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
atau
b. sampai dengan batas waktu penerimaan DHE dalam
dokumen pendukung yang disampaikan kepada Bank
Indonesia setelah pengenaan sanksi teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Eksportir Non-SDA wajib menindaklanjuti dalam batas
waktu sebagaimana tercantum dalam teguran tertulis
kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
membuktikan pemenuhan kewajiban penerimaan DHE
Non-SDA sesuai dengan Nilai Ekspor atau Nilai Maklon.
(5) Dalam hal Ekspor Non-SDA dilakukan oleh PJT, sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (4) dikenakan kepada Pemilik Barang.
Pasal 65
(1) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa
penangguhan atas pelayanan Ekspor sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai kepabeanan kepada Eksportir Non-
SDA apabila Eksportir Non-SDA belum memenuhi
kewajiban penerimaan DHE Non-SDA sesuai dengan Nilai
Ekspor atau Nilai Maklon:
a. sampai dengan batas waktu yang tercantum dalam
teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 ayat (3); atau
b. sampai dengan batas waktu penerimaan DHE dalam
dokumen pendukung yang disampaikan kepada Bank
Indonesia setelah pengenaan sanksi teguran tertulis
kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat
(3).
(2) Pelaksanaan penangguhan atas pelayanan Ekspor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
DJBC atas dasar permintaan Bank Indonesia.
42
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
melalui alamat sebagaimana tercantum dalam NIK atau
NIB.
(4) Dalam hal Ekspor Non-SDA dilakukan oleh PJT, sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenakan kepada Pemilik Barang.
Pasal 66
(1) Eksportir Non-SDA hanya dapat dibebaskan dari sanksi
penangguhan atas pelayanan Ekspor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) setelah menyampaikan
surat permohonan yang disertai dengan bukti pemenuhan
kewajiban penerimaan DHE Non-SDA sesuai dengan Nilai
Ekspor atau Nilai Maklon.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Dalam hal diperlukan, guna pemenuhan kewajiban DHE
Non-SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia dapat meminta Eksportir Non-SDA untuk
menyampaikan:
a. Laporan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) huruf a dalam hal terdapat perubahan
informasi pada PPE yang memengaruhi DHE;
b. Laporan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) huruf b dalam hal terdapat perubahan
informasi terkait DHE; dan/atau
c. dokumen pendukung yang memadai,
secara Daring melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank
Indonesia.
(4) Dalam hal Ekspor Non-SDA dilakukan melalui PJT,
pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh
Pemilik Barang.
(5) Bank Indonesia hanya dapat menerima bukti pemenuhan
kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud pada
43
ayat (1) paling lama 1 (satu) tahun setelah bulan
pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor.
(6) Dalam hal DHE, Laporan DHE, dan/atau dokumen
pendukung diterima melebihi batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Bank Indonesia tidak memproses
pengajuan pembebasan penangguhan atas pelayanan
Ekspor.
(7) Bank Indonesia dapat menginformasikan Eksportir Non-
SDA yang telah dikenai sanksi penangguhan atas
pelayanan Ekspor setelah berakhirnya batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada otoritas
terkait.
Bagian Kedua
Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif terhadap
Eksportir SDA
Pasal 67
Tata cara pengenaan sanksi terhadap Eksportir SDA, Pemilik
Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas yang tidak
memenuhi kewajiban terkait penerimaan dan penggunaan DHE
SDA sebagaimana diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah
yang mengatur mengenai devisa hasil ekspor dari kegiatan
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya
alam dan peraturan pelaksanaannya.
Bagian Ketiga
Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif terhadap Importir
Pasal 68
(1) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis melalui aplikasi yang disediakan oleh
Bank Indonesia dan/atau melalui surat yang ditujukan
kepada alamat sebagaimana tercantum dalam NIK atau
NIB kepada Importir yang melakukan pelanggaran
44
terhadap kewajiban pelaporan DPI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 44 ayat (1).
(2) Importir wajib menindaklanjuti teguran tertulis dalam
batas waktu yang tercantum dalam teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang membuktikan
pemenuhan kewajiban pelaporan DPI.
(3) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis kedua melalui aplikasi yang disediakan
oleh Bank Indonesia dan/atau alamat sebagaimana
tercantum dalam NIK atau NIB kepada Importir yang
belum memenuhi kewajiban pelaporan DPI:
a. sampai dengan batas waktu yang tercantum dalam
teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
atau
b. sampai dengan batas waktu penerimaan DPI dalam
dokumen pendukung yang disampaikan kepada Bank
Indonesia setelah pengenaan sanksi teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Importir wajib menindaklanjuti dalam batas waktu yang
tercantum dalam teguran tertulis kedua sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) yang membuktikan pemenuhan
kewajiban pelaporan DPI.
(5) Dalam hal Importir merupakan PJT, sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(4) dikenakan kepada Pemilik Barang.
Pasal 69
(1) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa
penangguhan atas pelayanan Impor sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai kepabeanan kepada Importir apabila
Importir belum memenuhi kewajiban pelaporan DPI:
a. sampai dengan batas waktu yang tercantum dalam
teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 68 ayat (3); atau
b. sampai dengan batas waktu pelaporan DPI yang
disampaikan kepada Bank Indonesia setelah
45
pengenaan sanksi teguran tertulis kedua
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3).
(2) Pelaksanaan penangguhan atas pelayanan Impor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
DJBC atas dasar permintaan Bank Indonesia.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
melalui alamat sebagaimana tercantum dalam NIK atau
NIB.
(4) Dalam hal Importir merupakan PJT, sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan kepada
Pemilik Barang.
Pasal 70
(1) Importir hanya dapat dibebaskan dari sanksi
penangguhan atas pelayanan Impor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) setelah menyampaikan
surat permohonan yang disertai dengan bukti pemenuhan
kewajiban pelaporan DPI sesuai dengan Nilai Impor.
(2) Surat Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Dalam hal diperlukan, guna pemenuhan kewajiban
pelaporan DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia dapat meminta Importir untuk menyampaikan
dokumen pendukung yang memadai secara Daring melalui
aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Impor dilakukan melalui PJT, pembebasan
sanksi penangguhan atas pelayanan Impor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pemilik Barang.
(5) Bank Indonesia hanya dapat menerima bukti pemenuhan
kewajiban pelaporan DPI sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lama 1 (satu) tahun setelah bulan
pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Impor.
(6) Dalam hal Laporan DPI dan/atau dokumen pendukung
diterima melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud
46
pada ayat (5), Bank Indonesia tidak memproses pengajuan
pembebasan penangguhan atas pelayanan Impor.
(7) Bank Indonesia dapat menginformasikan Importir yang
telah dikenai sanksi penangguhan atas pelayanan Impor
setelah berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) kepada otoritas terkait.
BAB VIII
TATA CARA PELAPORAN, KORESPONDENSI, DAN HELPDESK
Pasal 71
(1) Bank Indonesia menyampaikan username dan password
kepada Eksportir, Importir, Pemilik Barang, atau Pihak
dalam Kontrak Migas melalui surat sesuai alamat yang
tercantum pada NIK atau NIB.
(2) Eksportir, Importir, Pemilik Barang, atau Pihak dalam
Kontrak Migas menyampaikan Laporan DHE, Laporan
DPI, dan/atau dokumen pendukung kepada Bank
Indonesia secara Daring melalui aplikasi yang disediakan
oleh Bank Indonesia pada laman pelaporan:
https://www.bi.go.id/simodis.
(3) Penyampaian surat-menyurat dan komunikasi dengan
Bank Indonesia terkait pelaksanaan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini ditujukan kepada:
Bank Indonesia
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt. 16
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
Helpdesk: (021) 131, E-mail: [email protected].
(4) Dalam hal terjadi perubahan laman pelaporan, alamat
surat-menyurat, dan komunikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3), Bank Indonesia
memberitahukan melalui surat dan/atau media lainnya.
47
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 72
(1) Tata cara pengenaan sanksi bagi Eksportir Non-SDA yang
melanggar kewajiban DHE yang:
a. belum dikenai sanksi; atau
b. telah dikenai sanksi administratif berupa denda dan
belum memenuhi kewajiban penerimaan DHE,
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil
Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015 tentang Perubahan
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014
tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan
Devisa Utang Luar Negeri, mengacu pada ketentuan tata
cara pengenaan sanksi sebagaimana diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Tata cara pembebasan sanksi penangguhan atas
pelayanan Ekspor bagi Eksportir Non-SDA yang telah
dikenai sanksi penangguhan pelayanan Ekspor
berdasarkan
Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor
dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/23/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan
Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar
Negeri mengacu pada ketentuan tata cara pembebasan
sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor sebagaimana
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
48
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 73
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/9/DSta tanggal
26 Mei 2014 perihal Penerimaan Devisa Hasil Ekspor,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali ketentuan
terkait pelaporan penerimaan DHE dinyatakan masih
tetap berlaku sampai dengan DHE Non-SDA yang diterima
pada tanggal 31 Desember 2019; dan
b. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
21/15/PADG/2019 tentang Penerimaan Devisa Hasil
Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan,
dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku, kecuali ketentuan terkait
penyampaian informasi dan laporan penerimaan DHE SDA
dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan DHE SDA
yang diterima pada tanggal 31 Desember 2020.
Pasal 74
Ketentuan mengenai tata cara penyampaian informasi dan
laporan terkait penerimaan DHE dan pengeluaran DPI mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2020.
Pasal 75
Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif
kepada Importir mulai berlaku untuk PPI yang diterbitkan
sejak tanggal 1 Januari 2021.
Pasal 76
Ketentuan mengenai tata cara penyampaian informasi dan
laporan terkait penerimaan DHE SDA mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 2021.
49
Pasal 77
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
DESTRY DAMAYANTI
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/26/PADG/2019
TENTANG
DEVISA HASIL EKSPOR DAN DEVISA PEMBAYARAN IMPOR
I. UMUM
Pembangunan ekonomi nasional membutuhkan sumber dana yang
memadai dan berkesinambungan, baik yang berasal dari dalam negeri
maupun luar negeri. Salah satu sumber pasokan devisa yang relatif stabil
dan berkesinambungan berasal dari DHE yang penting untuk mendukung
stabilitas nilai rupiah dan makroekonomi secara keseluruhan. Sumber
pengeluaran DPI yang relatif stabil juga menjadi salah satu upaya dalam
mendukung stabilitas nilai rupiah dan makroekonomi secara keseluruhan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya tidak seluruh DHE
ditempatkan pada perbankan Indonesia atau masuk ke Indonesia.
Demikian halnya dengan laporan terkait pembayaran Impor yang belum
dilakukan secara optimal. Oleh karena itu, diperlukan penguatan
mekanisme pengaturan, termasuk pelaporan penerimaan DHE yang lebih
efisien serta pengaturan mekanisme pelaporan DPI secara lebih optimal.
Pengaturan ini tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang
berlaku selama ini, yaitu setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki
dan menggunakan devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Kewajiban untuk menerima DHE melalui Bank tidak termasuk
kewajiban menyimpan dalam jangka waktu tertentu dan/atau
mengonversi ke dalam rupiah.
Contoh:
PT PD menerima DHE sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar
Amerika Serikat) melalui Bank pada tanggal 5 Januari 2020.
Dalam hal ini, PT PD bebas menggunakan atau mentransfer
seluruh DHE yang diterima melalui Bank tersebut tanpa harus
menyimpan dalam jangka waktu tertentu dan/atau harus
dikonversikan terlebih dahulu ke dalam mata uang rupiah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “diterima dalam bentuk uang tunai”
adalah penerimaan DHE dalam bentuk pembayaran uang kertas
dan/atau uang logam.
Contoh:
PT AK menerima DHE secara tunai sebesar USD50,000.00 (lima
puluh ribu dolar Amerika Serikat) yang dibawa perwakilan buyer
dari luar negeri ke Indonesia. PT AK wajib menyetorkan uang
tunai dimaksud ke Bank paling lambat pada akhir bulan ketiga
setelah Bulan PPE.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh:
Dalam dokumen PPE, Nilai Ekspor PT AB tercantum sebesar
USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). PT AB
dapat menerima DHE tersebut melalui Bank dalam valuta selain
dolar Amerika Serikat, antara lain euro, yen, dan/atau renminbi.
3
Ayat (6)
Contoh:
PT DT melakukan Ekspor barang ke pihak B di Amerika Serikat
dengan Bulan PPE Februari 2020. PT DT wajib menerima DHE
melalui Bank paling lambat tanggal 31 Mei 2020. Mengingat
tanggal 31 Mei 2020 merupakan hari Minggu maka penerimaan
DHE dapat dilakukan pada tanggal 1 Juni 2020.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Kontrak antara Eksportir dan buyer antara lain mengatur
cara pembayaran berupa Usance L/C, konsinyasi,
pembayaran kemudian, dan Documentary Collection.
Contoh:
PT TB menandatangani kontrak jual beli dengan pihak SM di
Amerika Serikat dengan kesepakatan bahwa jangka waktu
pembayaran adalah 180 (seratus delapan puluh) hari setelah
tanggal pengiriman barang. Pengiriman barang dilakukan
pada tanggal 6 Januari 2020. PT TB wajib menerima DHE
melalui Bank paling lambat pada tanggal 18 Juli 2020, yaitu
180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal pengiriman
barang ditambah 14 (empat belas) hari kalender.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “keadaan kahar” adalah keadaan
yang menyebabkan Eksportir menerima DHE melebihi akhir
bulan ketiga setelah Bulan PPE, yang disebabkan antara lain
oleh kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang,
sabotase, pemogokan buruh, kegagalan sistem yang
digunakan dalam bertransaksi, serta bencana alam seperti
gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau
pejabat dari instansi terkait di daerah setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal jangka waktu pembayaran dalam kontrak
digantungkan pada tanggal pengiriman maka dokumen
4
pendukung yang memadai berupa kontrak antara Eksportir dan
buyer dan bukti pengiriman.
Dalam hal jangka waktu pembayaran melebihi akhir bulan ketiga
setelah Bulan PPE disebabkan buyer mengalami keadaan kahar
maka dokumen pendukung yang memadai antara lain berupa
keterangan dari instansi/lembaga lainnya yang terkait di negara
tempat kedudukan buyer.
Pasal 4
Huruf a
Contoh:
PT MA menandatangani kontrak jual beli dengan pihak B di
Australia dengan cara pembayaran Usance L/C dengan tenor
pembayaran dilakukan 90 (sembilan puluh) hari setelah tanggal
pengiriman barang. PT MA melakukan Ekspor dengan tanggal
pendaftaran PPE 31 Januari 2020. Pengiriman barang dilakukan
pada tanggal 1 Februari 2020 maka tanggal jatuh tempo
pembayaran Ekspor adalah tanggal 1 Mei 2020, yaitu 90
(sembilan puluh) hari setelah tanggal pengiriman barang.
Huruf b
Contoh:
PT MA menandatangani kontrak jual beli dengan pihak B di
Australia. PT MA melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020. PT
MA memercayakan ke Bank ABC dan selanjutnya Bank ABC
memercayakan ke bank XYZ di Australia untuk menagih buyer.
Bank XYZ menerima hasil penagihan Ekspor dari pihak B pada
tanggal 1 Mei 2020. Dalam hal ini jatuh tempo pembayaran
Ekspor adalah tanggal 1 Mei 2020.
Huruf c
Contoh:
PT MA menandatangani kontrak jual beli dengan pihak B di
Australia dengan kesepakatan bahwa pembayaran dilakukan 90
(sembilan puluh) hari setelah tanggal pengiriman barang. PT MA
melakukan Ekspor dengan tanggal pendaftaran PPE 31 Januari
2020. Pengiriman barang dilakukan pada tanggal 1 Februari 2020
maka tanggal jatuh tempo pembayaran Ekspor adalah tanggal 1
5
Mei 2020, yaitu 90 (sembilan puluh) hari setelah tanggal
pengiriman barang.
Huruf d
Contoh:
PT MA menandatangani kontrak jual beli konsinyasi dengan
pihak B di Australia dengan kesepakatan bahwa pembayaran
dilakukan 2 (dua) hari setelah barang terjual. PT MA mengirimkan
barang ke pihak B pada bulan Januari 2020. Pihak B
menginformasikan bahwa barang baru terjual pada tanggal 15
Mei 2020. Dalam hal ini, tanggal jatuh tempo pembayaran Ekspor
adalah tanggal 17 Mei 2020, yaitu 2 (dua) hari setelah barang
terjual.
Pasal 5
Ayat (1)
Contoh:
PT ABC melakukan Ekspor dengan Nilai Ekspor sebesar
Rp900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah). Atas Ekspor ini,
PT ABC menerima DHE sebesar Rp885.000.000,00 (delapan ratus
delapan puluh lima juta rupiah) sehingga terdapat selisih kurang
antara nilai DHE dan Nilai Ekspor sebesar Rp15.000.000,00 (lima
belas juta rupiah). Dalam hal ini, nilai DHE yang diterima PT ABC
dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor sehingga PT ABC tidak perlu
menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia.
Ayat (2)
Selisih nilai DHE dengan Nilai Ekspor lebih besar dari ekuivalen
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) antara lain disebabkan
Jasa Perbaikan, Operational Leasing, atau Financial Leasing,
perbedaan harga barang, perbedaan kualitas barang, perbedaan
komposisi barang, perbedaan kuantitas barang, selisih kurs,
diskon/rabat, biaya administrasi, dan/atau biaya lainnya terkait
perdagangan internasional.
Contoh:
PT BCD melakukan Ekspor dengan Nilai Ekspor sebesar
Rp975.000.000,00 (sembilan ratus tujuh puluh lima juta rupiah).
Atas Ekspor ini, PT BCD menerima DHE sebesar
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) setelah dipotong
6
klaim buyer atas perbedaan kualitas barang. Selisih kurang
antara nilai DHE dan Nilai Ekspor adalah Rp175.000.000,00
(seratus tujuh puluh lima juta rupiah). Dalam hal ini, nilai DHE
yang diterima PT BCD dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor
apabila PT BCD menyampaikan dokumen pendukung yang
memadai kepada Bank Indonesia.
Pasal 6
Ayat (1)
Contoh:
PT KS melakukan Ekspor dari hasil Maklon dengan nilai free on
board sebesar USD375,000.00 (tiga ratus tujuh puluh lima ribu
dolar Amerika Serikat) dan Nilai Maklon sebesar USD125,000.00
(seratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Dalam hal
ini, nilai DHE yang wajib diterima oleh PT KS adalah
USD125,000.00 (seratus dua puluh lima ribu dolar Amerika
Serikat) sesuai Nilai Maklon.
Ayat (2)
Contoh:
PT AN melakukan Ekspor dari hasil Maklon dengan Nilai Maklon
sebesar Rp900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah). Atas
Ekspor ini, PT AN menerima DHE sebesar Rp885.000.000,00
(delapan ratus delapan puluh lima juta rupiah) sehingga selisih
kurang antara nilai DHE dan Nilai Maklon adalah
Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Dalam hal ini, nilai
DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Maklon sehingga
PT AN tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung kepada
Bank Indonesia.
Ayat (3)
Selisih nilai DHE dengan Nilai Maklon lebih besar dari ekuivalen
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) antara lain disebabkan
selisih kurs, diskon/rabat, biaya administrasi, dan biaya lainnya
terkait perdagangan internasional.
Contoh:
PT JG melakukan Ekspor dari hasil Maklon dengan Nilai Maklon
sebesar Rp975.000.000,00 (sembilan ratus tujuh puluh lima juta
rupiah). Atas Ekspor ini, PT JG menerima DHE sebesar
7
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) karena terdapat
selisih kurs dan setelah dipotong diskon dan biaya administrasi.
Selisih kurang antara nilai DHE dan Nilai Maklon adalah
Rp175.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima juta rupiah). Dalam
hal ini, nilai DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai
Maklon apabila PT JG menyampaikan dokumen pendukung yang
memadai.
Pasal 7
Ayat (1)
Contoh 1:
PT MA melakukan Ekspor pada tanggal 15 Januari 2020 dengan
Nilai Ekspor USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika
Serikat). Nilai DHE yang diterima melalui Bank sebesar
USD490,000.00 (empat ratus sembilan puluh ribu dolar Amerika
Serikat). Kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 15 Januari
2020 adalah Rp14.000,00/USD. Selisih kurang antara nilai DHE
dengan Nilai Ekspor adalah sebesar ((USD500,000.00 –
USD490,000.00) X Rp14.000,00/USD) = Rp140.000.000,00
(seratus empat puluh juta rupiah).
Contoh 2:
PT FP melakukan Ekspor dari hasil Maklon pada tanggal 17
Januari 2020 dengan Nilai Maklon USD500,000.00 (lima ratus
ribu dolar Amerika Serikat). Nilai DHE yang diterima melalui Bank
sebesar USD490,000.00 (empat ratus sembilan puluh ribu dolar
Amerika Serikat). Kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 17
Januari 2020 adalah Rp14.000,00/USD. Selisih kurang antara
nilai DHE dengan Nilai Maklon adalah sebesar ((USD500,000.00
– USD490,000.00) x Rp14.000,00/USD) = Rp140.000.000,00
(seratus empat puluh juta rupiah).
Contoh 3:
PT A melakukan Ekspor pada tanggal 24 Januari 2020 dengan
Nilai Ekspor USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika
Serikat). Nilai DHE yang diterima melalui Bank sebesar
EUR425,000.00 (empat ratus dua puluh lima ribu euro). Kurs
tengah Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari 2020 adalah
Rp14.000,00/USD dan Rp16.000,00/EUR. Selisih kurang antara
8
nilai DHE dengan Nilai Ekspor adalah sebesar ((USD500,000.00 x
Rp14.000,00/USD) – (EUR425,000.00 x Rp16.000,00/EUR) =
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Ayat (2)
Contoh:
PT A melakukan Ekspor pada tanggal 21 Januari 2020 sebesar
USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Nilai DHE
yang diterima sebesar INR34,000,000.00 (tiga puluh empat juta
rupee India). Pada tanggal 21 Januari 2020, kurs Reuters adalah
USD0.0145/INR dan kurs tengah Bank Indonesia adalah
Rp14.000,00/USD. Selisih kurang antara nilai DHE dengan Nilai
Ekspor adalah sebesar (USD500,000.00 x Rp14.000,00/USD) –
((INR34,000,000.00 x USD0.0145/INR) x Rp14.000,00/USD) =
Rp98.000.000,00 (sembilan puluh delapan juta rupiah).
Ayat (3)
Contoh:
PT MA melakukan Ekspor dengan tanggal pendaftaran PPE 19
Januari 2020 dan Nilai Ekspor USD500,000.00 (lima ratus ribu
dolar Amerika Serikat). Nilai DHE yang diterima melalui Bank
sebesar USD490,000.00 (empat ratus sembilan puluh ribu dolar
Amerika Serikat). Mengingat tanggal 19 Januari 2020 merupakan
hari Minggu maka perhitungan selisih kurang nilai DHE dengan
Nilai Ekspor menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada Hari
sebelumnya, yaitu hari Jumat tanggal 17 Januari 2020.
Pasal 8
Contoh:
PT ES melakukan Ekspor ke pihak F yang berada di Amerika Serikat
dengan Nilai Ekspor yang tercantum pada dokumen PPE yang diterima
Bank Indonesia dari DJBC sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu
dolar Amerika Serikat).
Eksportir menyampaikan kepada Bank Indonesia data PPE dengan
Nilai Ekspor sebesar USD450,000.00 (empat ratus lima puluh ribu
dolar Amerika Serikat) dan menyampaikan dokumen pendukung
antara lain invoice, packing list, dan bill of lading (B/L).
Dari perbedaan data Nilai Ekspor dimaksud, Bank Indonesia dapat
memutuskan data PPE yang akan dijadikan acuan dalam pemenuhan
9
ketentuan berdasarkan hasil penelitian dan analisis dokumen yang
telah disampaikan.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dicantumkan pada Message FTMS”
antara lain dicantumkan pada field 70 MT103 dan/atau field 79
MT199 pada message SWIFT.
Ayat (2)
Contoh:
PT AA melakukan Ekspor dengan nomor invoice No.123ABC
sebesar USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar
Amerika Serikat). Pada saat melakukan penagihan, PT AA harus
menyampaikan informasi Ekspor yaitu STT 1011, nomor invoice
123ABC, dan nilai invoice sebesar USD1,500,000.00 (satu juta
lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) kepada buyer. Selanjutnya,
buyer meneruskan informasi Ekspor dimaksud untuk
dicantumkan pada Message FTMS oleh bank di luar negeri.
Ayat (3)
Contoh 1:
PT DW melakukan Ekspor dengan nilai Ekspor sebesar
USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat) sesuai
dengan tagihan pada invoice No.TB0123INV/I-2020. Pada saat
melakukan penagihan, Eksportir menyampaikan informasi
Ekspor kepada buyer di luar negeri berupa informasi STT, nomor
invoice, dan nilai invoice untuk disampaikan ke bank di luar negeri
agar dicantumkan pada Message FTMS, yaitu field 70 MT103
SWIFT, pada saat pembayaran Ekspor dengan format yang
ditetapkan Bank Indonesia,
yaitu 1011//TB0123INV/I-
2020(300000).
Contoh 2:
PT HS melakukan Ekspor pada bulan Mei 2020 (sesuai dengan
tanggal Ekspor di dokumen PPE) dengan total tagihan sebesar
USD1,200,000,00 (satu juta dua ratus ribu dolar Amerika Serikat)
dan penagihan dilakukan dengan rincian invoice sebagai berikut:
a.
b.
invoice nomor 123ABC;
invoice nomor 234ABC;
10
c.
d.
e.
f.
invoice nomor 345ABC;
invoice nomor 456ABC;
invoice nomor 567ABC; dan
invoice nomor 678ABC,
masing-masing dengan nilai sebesar USD200,000.00 (dua ratus
ribu dolar Amerika Serikat).
Pada saat melakukan penagihan, PT HS harus menyampaikan
informasi Ekspor yaitu STT, nomor invoice, dan nilai invoice ke
buyer dengan format yang ditetapkan Bank Indonesia, yaitu
1011//123ABC(200000)234ABC(200000)345ABC(200000)456AB
C(200000)567ABC(200000)678ABC.
Selanjutnya, buyer menginformasikan kepada bank di luar negeri
untuk mencantumkan informasi Ekspor dimaksud pada Message
FTMS, yaitu field 70 MT103 SWIFT.
Dalam hal terdapat keterbatasan karakter pada field 70 MT103,
informasi Ekspor dituliskan pada field 70 MT103 dan field 79
MT199, dengan cara penulisan sebagai berikut:
a. field 70 MT103
1011//123ABC(200000)234ABC(200000)345ABC(200000)4
56ABC(200000)567ABC(200000)+
b. field 79 MT199
+/1011//678ABC(200000)
Ayat (4)
Huruf a
Contoh:
PT YN melakukan Ekspor dengan Nilai Ekspor sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan
tanggal PPE 15 Mei 2020 sebagaimana tercantum pada
dokumen PPE nomor 123123. PT YN melakukan penagihan
kepada buyer sesuai dengan nomor invoice DEF123 sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Metode
pembayaran menggunakan transaksi TT.
Pada saat melakukan penagihan, PT YN menyampaikan
informasi Ekspor kepada buyer berupa STT dan nomor
invoice namun tidak dilengkapi dengan nilai invoice. Hal ini
menyebabkan buyer pada saat melakukan pembayaran
hanya mencantumkan STT dan nomor invoice pada Message
11
FTMS. Pada saat buyer melakukan pembayaran, buyer salah
mencantumkan format informasi Ekspor pada Message
FTMS, yaitu 1011//DEF123. Atas hal tersebut, PT YN
menyampaikan koreksi informasi Ekspor kepada buyer
untuk dicantumkan pada koreksi Message FTMS oleh bank
di luar negeri.
Huruf b
Contoh:
PT YN melakukan Ekspor dengan Nilai Ekspor sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan
tanggal PPE 15 Mei 2020 sebagaimana tercantum pada
dokumen PPE nomor 123123. PT YN melakukan penagihan
kepada buyer sesuai dengan nomor invoice DEF123 sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Metode
pembayaran menggunakan transaksi TT.
Pada saat melakukan penagihan, PT YN menyampaikan
informasi Ekspor kepada buyer berupa STT dan nomor
invoice namun tidak dilengkapi nilai
invoice. Hal ini
menyebabkan buyer pada saat melakukan pembayaran
hanya mencantumkan STT dan nomor invoice pada Message
FTMS. Pada saat buyer melakukan pembayaran, buyer salah
mencantumkan format informasi Ekspor pada Message
FTMS, yaitu 1011//DEF123. Atas hal tersebut, PT YN harus
meminta Bank untuk menginformasikan kepada bank di luar
negeri agar melakukan koreksi informasi Ekspor pada
koreksi Message FTMS.
Ayat (5)
Contoh:
Dalam hal terdapat kesalahan informasi Ekspor yang sebelumnya
dicantumkan 1011//DEF123 pada Message FTMS field 70 MT103
dengan referensi transaksi pada field 20 yaitu IC12789, maka
informasi Ekspor dikoreksi menjadi /IC12789/1011//DEF123
(1000000) dan disampaikan melalui koreksi Message FTMS pada
field 79 MT199.
12
Pasal 10
Ayat (1)
Transaksi Non-TT dilakukan antara lain melalui L/C,
Documentary Collection, dan/atau overbooking pada sistem
internal bank.
Ayat (2)
Contoh 1:
PT A melakukan Ekspor dengan Nilai Ekspor sebesar
USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika
Serikat) dengan tanggal pendaftaran PPE 15 April 2020
sebagaimana tercantum pada dokumen PPE nomor 012345.
Penagihan dilakukan kepada pihak B selaku buyer sesuai dengan
nomor invoice 123ABC sebesar USD1,500,000.00 (satu juta lima
ratus ribu dolar Amerika Serikat). PT A menggunakan Bank KLM
di Indonesia, sementara pihak B menggunakan bank KLM di
Amerika Serikat. Metode pembayaran melalui overbooking pada
sistem internal bank. PT A harus menyampaikan informasi
Ekspor yang terdiri atas nomor invoice dan nilai invoice kepada
Bank KLM di Indonesia untuk diteruskan kepada Bank Indonesia
melalui Laporan Transaksi Non-TT.
Contoh 2:
PT A melakukan Ekspor dengan Nilai Ekspor sebesar
USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika
Serikat) dengan tanggal pendaftaran PPE 15 April 2020
sebagaimana tercantum pada dokumen PPE nomor 012345.
Pembayaran dilakukan melalui transaksi sight L/C. Pada saat
penagihan, PT A harus menyampaikan informasi Ekspor berupa
nomor L/C dan nilai invoice kepada Bank untuk diteruskan
kepada Bank Indonesia melalui Laporan Transaksi Non-TT.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
13
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
PT A melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 ke pihak
B yang berada di Amerika Serikat dengan Nilai Ekspor
USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan
nomor invoice DEF123 yang tercantum di PPE. Pembayaran
disepakati melalui transaksi TT. Pada saat penagihan, PT A
melakukan perubahan nomor invoice dari DEF123 menjadi
DEF456.
Eksportir harus menyampaikan Laporan DHE berupa
perubahan informasi nomor invoice dari DEF123 menjadi
DEF456 kepada Bank Indonesia.
Huruf b
Contoh:
PT A melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 ke pihak
B yang berada di Amerika Serikat dengan nilai Ekspor
USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan
nomor invoice DEF123 yang tercantum di PPE. Pembayaran
disepakati melalui transaksi TT. Pada saat penagihan, PT A
menerbitkan invoice final dengan nomor yang sama yaitu
DEF123 namun dengan nilai USD490,000.00 (empat ratus
sembilan puluh ribu dolar Amerika Serikat) karena terdapat
perubahan kualitas barang.
Eksportir harus menyampaikan Laporan DHE berupa
perubahan informasi nilai invoice dari USD500,000.00 (lima
ratus ribu dolar Amerika Serikat) menjadi USD490,000.00
(empat ratus sembilan puluh ribu dolar Amerika Serikat)
kepada Bank Indonesia.
Huruf c
Contoh:
PT A melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 ke pihak
B yang berada di Amerika Serikat dengan nilai Ekspor
USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan
nomor invoice DEF123 yang tercantum di PPE. Pembayaran
disepakati melalui transaksi TT dan dilakukan 180 (seratus
delapan puluh) hari setelah tanggal pengiriman barang.
14
Pengiriman barang dilakukan pada tanggal 4 Januari 2020
sehingga jatuh tempo pembayaran ekspor adalah tanggal 2
Juli 2020 dan jatuh tempo penerimaan DHE adalah tanggal
16 Juli 2020. PT A menyampaikan Laporan DHE kepada
Bank Indonesia berupa perubahan informasi tanggal jatuh
tempo penerimaan DHE.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Contoh:
PT YN melakukan Ekspor kepada perusahaan YY dengan
Nilai Ekspor sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat) dengan tanggal PPE 15 Mei 2020 dan nomor
invoice DEF123 yang tercantum di PPE. PT YN melakukan
penagihan kepada buyer sesuai dengan nomor invoice
DEF123 sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika
Serikat). Pada saat melakukan pembayaran, Perusahaan YY
melakukan kesalahan penyampaian informasi nomor invoice
yaitu DEF1233 dengan nilai USD1,000,000.00 (satu juta
dolar Amerika Serikat).
Dalam hal ini, PT YN harus menyampaikan Laporan DHE
kepada Bank Indonesia berupa perubahan nomor invoice
dari DEF1233 menjadi DEF123.
Huruf b:
Contoh:
PT AD melakukan Ekspor pada bulan Februari 2020 dengan
total Nilai Ekspor sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu
dolar Amerika Serikat), yang terdiri dari:
a. PPE 123123 dengan nomor invoice ABC12345 senilai
USD350,000.00 (tiga ratus lima puluh ribu dolar
Amerika Serikat); dan
b. PPE 124124 dengan nomor invoice BCD23456 senilai
USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika
Serikat).
Pada saat penagihan, PT AD telah menyampaikan informasi
Ekspor kepada buyer berupa STT, nomor invoice, dan nilai
15
invoice. Pada saat pembayaran, terdapat perbedaan alokasi
nilai antara Nilai Ekspor dengan nilai DHE pada informasi
Ekspor yang tercantum pada Message FTMS dari buyer yang
mencerminkan alokasi sebagai berikut:
a.
invoice ABC12345 senilai USD400,000.00 (empat ratus
ribu dolar Amerika Serikat); dan
b.
invoice BCD23456 senilai USD100,000.00 (seratus ribu
dolar Amerika Serikat).
PT AD harus menyampaikan Laporan DHE kepada Bank
Indonesia berupa perubahan informasi alokasi DHE, yaitu:
a.
invoice ABC12345 senilai USD400,000.00 (empat ratus
ribu dolar Amerika Serikat) menjadi invoice ABC12345
senilai USD350,000.00 (tiga ratus lima puluh ribu dolar
Amerika Serikat); dan
b.
invoice BCD23456 senilai USD100,000.00 (seratus ribu
dolar Amerika Serikat) menjadi invoice BCD23456
senilai USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar
Amerika Serikat).
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
PT EY melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 dengan Nilai
Ekspor sebesar USD9,500.00 (sembilan ribu lima ratus dolar
Amerika Serikat). Dalam hal terdapat perubahan informasi pada
PPE yang memengaruhi DHE, PT EY tidak harus menyampaikan
Laporan DHE atas perubahan dimaksud.
Ayat (5)
Contoh:
PT A melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 ke pihak B yang
berada di Amerika Serikat dengan Nilai Ekspor USD500,000.00
(lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan nomor invoice DEF123
yang tercantum di PPE. Pembayaran disepakati melalui transaksi
TT. Pada saat penagihan, PT A melakukan perubahan nomor
invoice dari DEF123 menjadi DEF456 dan menyampaikan
informasi Ekspor ke buyer berupa STT, nomor invoice yang telah
diubah, dan nilai invoice.
16
Eksportir harus menyampaikan Laporan DHE kepada Bank
Indonesia berupa perubahan informasi nomor invoice dari
DEF123 menjadi DEF456 paling lama tanggal 5 bulan berikutnya
setelah Bulan PPE, yaitu tanggal 5 Februari 2020.
Ayat (6)
Contoh:
PT A melakukan Ekspor pada bulan Februari 2020. Nilai Ekspor
sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat)
terdiri atas:
a.
b.
invoice ABC12345 senilai USD350,000.00 (tiga ratus lima
puluh ribu dolar Amerika Serikat); dan
invoice BCD23456 senilai USD150,000.00 (seratus lima
puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Pembayaran disepakati melalui transaksi TT yang dibayarkan
pada tanggal 15 Februari 2020. Namun, terdapat perbedaan
alokasi nilai DHE antara Nilai Ekspor dengan Message FTMS,
yaitu:
a.
invoice ABC12345 senilai USD400,000.00 (empat ratus ribu
dolar Amerika Serikat); dan
b.
invoice BCD23456 senilai USD100,000.00 (seratus ribu dolar
Amerika Serikat).
Dalam hal ini, PT A harus menyampaikan Laporan DHE kepada
Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah
bulan penerimaan DHE, yaitu tanggal 5 Maret 2020.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
PT AK melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 kepada pihak
B sebagai buyer di luar negeri. PT AK menerima DHE secara tunai
pada tanggal 20 Februari 2020 sebesar USD50,000.00 (lima
puluh ribu dolar Amerika Serikat) yang dibawa perwakilan buyer
dari luar negeri ke Indonesia. Dalam hal ini PT AK wajib
17
menyetorkan DHE yang diterima secara tunai ke Bank dan harus
menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia
berupa fotokopi rekening koran dan kuitansi penerimaan tunai.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
PT AS melakukan Ekspor pada Januari 2020 namun tidak
terdapat penerimaan DHE karena barang Ekspor merupakan
pengembalian barang pameran, sesuai perjanjian PT AS dengan
buyer dan/atau counterparty. PT AS menyampaikan dokumen
pendukung kepada Bank Indonesia berupa perjanjian
pengembalian barang.
Ayat (5)
Huruf a
Contoh:
PT AW melakukan Ekspor pada tanggal 31 Januari 2020
dengan Nilai Ekspor USD170,000.00 (seratus tujuh puluh
ribu dolar Amerika Serikat). DHE yang diterima sebesar
USD160,000.00 (seratus enam puluh ribu dolar Amerika
Serikat) setelah dipotong biaya administrasi dan rabat
dengan total sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar
Amerika Serikat). Kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal
31 Januari 2020 adalah Rp14.000,00/USD sehingga selisih
kurang antara nilai DHE dan Nilai Ekspor dalam rupiah
adalah sebesar (USD170,000.00 – USD160,000.00) x
Rp14.000,00/USD = Rp140.000.000,00 (seratus empat
puluh juta rupiah). Dalam hal ini, penerimaan DHE dianggap
sesuai dengan Nilai Ekspor apabila PT AW menyampaikan
dokumen pendukung yang dapat membuktikan adanya
biaya administrasi dan rabat kepada Bank Indonesia.
Huruf b
Contoh:
PT RA melakukan Ekspor pada tanggal 31 Januari 2020
dengan Nilai Ekspor sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu
dolar Amerika Serikat). DHE yang diterima sebesar
USD22,000.00 (dua puluh dua ribu dolar Amerika Serikat)
18
disebabkan barang yang diekspor adalah untuk Financial
Leasing. Kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 31
Januari 2020 adalah Rp14.000,00/USD sehingga selisih
kurang antara nilai DHE dan Nilai Ekspor dalam rupiah
adalah sebesar (USD300,000.00 – USD22,000.00) x
Rp14.000,00/USD = Rp3.892.000.000,00 (tiga milyar
delapan ratus sembilan puluh dua juta rupiah). Dalam hal
ini, penerimaan DHE dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor
apabila PT RA menyampaikan dokumen pendukung kepada
Bank Indonesia yang dapat membuktikan adanya
kesepakatan atau perjanjian sewa guna dengan hak opsi
untuk membeli.
Huruf c
PT PJ melakukan Ekspor pada tanggal 31 Januari 2020
dengan Nilai Ekspor sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu
dolar Amerika Serikat). DHE yang diterima sebesar
USD22,000.00 (dua puluh dua ribu dolar Amerika Serikat)
disebabkan barang yang diekspor adalah untuk Operational
Leasing. Kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 31
Januari 2020 adalah Rp14.000,00/USD sehingga selisih
kurang antara nilai DHE dan Nilai Ekspor dalam rupiah
adalah sebesar (USD300,000.00 – USD22,000.00) x
Rp14.000,00/USD = Rp3.892.000.000,00 (tiga milyar
delapan ratus sembilan puluh dua juta rupiah). Dalam hal
ini, penerimaan DHE dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor
apabila PT PJ menyampaikan dokumen pendukung kepada
Bank Indonesia yang dapat membuktikan adanya
kesepakatan atau perjanjian sewa guna tanpa hak opsi
untuk membeli.
Huruf d
PT AA melakukan Ekspor pada tanggal 31 Januari 2020
dengan Nilai Ekspor sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu
dolar Amerika Serikat). DHE yang diterima sebesar
USD22,000.00 (dua puluh dua ribu dolar Amerika Serikat)
disebabkan barang yang diekspor merupakan barang yang
hanya melalui proses perbaikan oleh PT AA. Kurs tengah
Bank Indonesia pada tanggal 31 Januari 2020 adalah
19
Rp14.000,00/USD sehingga selisih kurang antara nilai DHE
dan Nilai Ekspor dalam rupiah adalah sebesar
(USD300,000.00 – USD22,000.00) x Rp14.000,00/USD =
Rp3.892.000.000,00 (tiga milyar delapan ratus sembilan
puluh dua juta rupiah). Dalam hal ini, penerimaan DHE
dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila PT AA
menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank
Indonesia yang dapat membuktikan adanya kesepakatan
atau perjanjian Jasa Perbaikan barang.
Huruf e
Contoh:
PT SM melakukan Ekspor pada tanggal 31 Januari 2020
dengan Nilai Ekspor USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar
Amerika Serikat). DHE diterima sebesar USD480,000.00
(empat ratus delapan puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Dengan demikian, terdapat selisih sebesar USD20,000.00
(dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Selisih dimaksud
berasal dari perbedaan penilaian harga barang pada saat
Ekspor dengan harga pada saat barang diterima. Kurs
tengah Bank Indonesia pada tanggal 31 Januari 2020 adalah
Rp14.000,00/USD sehingga selisih kurang antara nilai DHE
dan Nilai Ekspor dalam rupiah adalah sebesar
(USD500,000.00 – USD480,000.00) x Rp14.000,00/USD =
Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).
Dalam hal ini, penerimaan DHE dianggap sesuai dengan
Nilai Ekspor apabila PT SM menyampaikan dokumen
pendukung yang dapat membuktikan perbedaan penilaian
harga barang kepada Bank Indonesia.
Huruf f
Contoh:
PT TB melakukan Ekspor pada tanggal 31 Januari 2020
dengan Nilai Ekspor sebesar USD550,000.00 (lima ratus lima
puluh ribu dolar Amerika Serikat). DHE yang diterima
sebesar USD540,000.00 (lima ratus empat puluh ribu dolar
Amerika Serikat). Dengan demikian terdapat selisih sebesar
USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Selisih
dimaksud berasal dari perbedaan komposisi dan kualitas
20
barang pada saat Ekspor dengan harga pada saat barang
diterima. Kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 31
Januari 2020 adalah Rp14.000,00/USD sehingga selisih
kurang antara nilai DHE dan Nilai Ekspor dalam rupiah
adalah sebesar (USD550,000.00 – USD540,000.00) x
Rp14.000,00/USD = Rp140.000.000,00 (seratus empat
puluh juta rupiah). Dalam hal ini, penerimaan DHE dianggap
sesuai dengan Nilai Ekspor apabila PT TB menyampaikan
dokumen pendukung kepada Bank Indonesia yang dapat
membuktikan perbedaan komposisi dan kualitas barang.
Ayat (6)
Contoh:
PT AW melakukan Ekspor berasal dari hasil Maklon pada tanggal
31 Januari 2020 dengan Nilai Maklon sebesar USD170,000.00
(seratus tujuh puluh ribu dolar Amerika Serikat). DHE yang
diterima sebesar USD160,000.00 (seratus enam puluh ribu dolar
Amerika Serikat) setelah dipotong biaya administrasi dan rabat
dengan total sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika
Serikat). Kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 31 Januari
2020 adalah Rp14.000,00/USD sehingga selisih kurang antara
nilai DHE dan Nilai Ekspor dalam rupiah adalah sebesar
(USD170,000.00 – USD160,000.00) x Rp14.000,00/USD =
Rp140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah). Dalam hal
ini, penerimaan DHE dianggap sesuai dengan Nilai Maklon
apabila PT AW menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank
Indonesia berupa invoice yang dapat membuktikan adanya biaya
administrasi dan rabat.
Ayat (7)
Contoh:
PT MA melakukan Ekspor kepada pihak B di Hong Kong pada
bulan Januari 2020. Pada bulan Februari 2020, pihak B
menyampaikan kepada PT MA mengenai terjadinya keadaan
kahar. PT MA harus meminta kepada pihak B untuk
menyampaikan dokumen pendukung yang dapat membuktikan
terjadinya keadaan kahar untuk selanjutnya disampaikan kepada
Bank Indonesia.
21
Ayat (8)
Contoh:
PT RD melakukan Ekspor kepada pihak C di Singapura pada
bulan Maret 2020. Pada bulan April 2019, pihak C mengalami
pailit. PT RD harus meminta kepada pihak C untuk
menyampaikan dokumen pendukung yang dapat membuktikan
pihak C mengalami pailit berupa surat penetapan pailit dari
otoritas berwenang untuk selanjutnya disampaikan kepada Bank
Indonesia.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Contoh:
PT MA menandatangani kontrak jual beli dengan pihak B di
Australia dengan kesepakatan bahwa pembayaran dilakukan
180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal pengiriman
barang atau B/L. PT MA melakukan Ekspor pada bulan
Januari 2020 kepada pihak B. PT MA menyampaikan
dokumen pendukung kepada Bank Indonesia berupa
kontrak jual beli paling lambat tanggal 5 Februari 2020.
Huruf b
Contoh:
PT AS melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 namun
tidak terdapat penerimaan DHE karena merupakan
pengembalian barang pameran. PT AS harus menyampaikan
dokumen pendukung kepada Bank Indonesia yang dapat
membuktikan tidak ada penerimaan DHE paling lambat
tanggal 5 Februari 2020.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
PT AK melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 kepada
pihak B sebagai buyer di luar negeri. PT AK menerima DHE
secara tunai pada tanggal 20 Februari 2020 sebesar
USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) yang
dibawa perwakilan buyer dari luar negeri ke Indonesia.
22
Dalam hal ini, PT AK wajib menyetorkan DHE yang diterima
secara tunai ke Bank dan harus menyampaikan dokumen
pendukung kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5
Maret 2020.
Huruf b
Contoh:
PT AK melakukan Ekspor pada tanggal 10 Januari 2020
dengan Nilai Ekspor USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar
Amerika Serikat). PT AK menerima DHE pada tanggal 23
Maret 2020 sebesar USD450,000.00 (empat ratus lima puluh
ribu dolar Amerika Serikat). Kurs tengah Bank Indonesia
pada tanggal 10 Januari 2020 sebesar Rp14.000,00/USD,
sehingga terdapat selisih kurang nilai DHE dengan Nilai
Ekspor lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) yang dikarenakan perbedaan taksiran
harga barang. Dalam hal ini, PT AK harus menyampaikan
dokumen pendukung kepada Bank Indonesia paling sedikit
berupa bukti yang menjelaskan perbedaan taksiran harga
barang paling lambat pada tanggal 5 April 2020.
Huruf c
Contoh:
PT AK melakukan Ekspor dari hasil Maklon pada tanggal 10
Januari 2020 dengan Nilai Maklon USD300,000.00 (tiga
ratus ribu dolar Amerika Serikat). PT AK menerima DHE
pada tanggal 23 Maret 2020 sebesar USD290,000.00 (dua
ratus sembilan puluh ribu dolar Amerika Serikat) dengan
kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 10 Januari 2020
sebesar Rp14.000,00/USD, sehingga terdapat selisih kurang
nilai DHE dengan Nilai Maklon lebih besar dari ekuivalen
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang dikarenakan
biaya perdagangan internasional. Dalam hal ini PT AK harus
menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank
Indonesia paling sedikit berupa bukti yang menjelaskan
biaya perdagangan internasional paling lambat pada tanggal
5 April 2020.
23
Ayat (3)
Huruf a
Contoh 1:
PT A melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 kepada
pihak B di Jepang. Pada bulan Maret 2020, pihak B
menyampaikan penjelasan kepada PT A bahwa terjadi
permasalahan keuangan sehingga menyebabkan
wanprestasi. Pihak B memberikan komitmen pembayaran
Ekspor pada bulan Juni 2020. Dalam hal ini, PT A harus
menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank
Indonesia berupa surat komitmen dari pihak B paling lambat
pada tanggal 5 Mei 2020.
Contoh 2:
PT A melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 kepada
pihak B di Jepang dengan komitmen pembayaran Ekspor
pada bulan Juni 2020. Pada bulan Maret 2020, pihak B
menyampaikan penjelasan kepada PT A bahwa terjadi
permasalahan keuangan sehingga menyebabkan
wanprestasi. Dalam hal ini, PT A harus menyampaikan
dokumen pendukung kepada Bank Indonesia berupa surat
komitmen dari pihak B paling lambat pada tanggal 5 April
2020.
Huruf b
Contoh:
PT MA menandatangani kontrak jual beli dengan pihak B di
Australia dengan kesepakatan bahwa pembayaran dilakukan
180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal pengiriman
barang atau B/L. PT MA melakukan Ekspor pada bulan
Januari 2020 kepada pihak B. PT MA telah menyampaikan
dokumen pendukung kepada Bank Indonesia berupa
kontrak jual beli pada tanggal 5 Februari 2020 dengan
informasi bahwa DHE diterima pada tanggal 30 Juni 2020.
Pada tanggal 15 Juni 2020, pihak B menyampaikan
penjelasan kepada PT MA bahwa terjadi permasalahan
keuangan sehingga menyebabkan pihak B wanprestasi dan
berkomitmen untuk melakukan pembayaran Ekspor pada
tanggal 31 Desember 2020. Dalam hal ini, PT MA harus
24
menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank
Indonesia berupa surat komitmen dari pihak B paling lambat
pada tanggal 5 Juli 2020.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Contoh:
Pada bulan Maret 2020, PT A mencatat kewajiban terhadap pihak
B di Malaysia berupa pinjaman sebesar USD700,000.00 (tujuh
ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan Impor bahan baku untuk
keperluan Ekspor sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat). Pada bulan yang sama, PT A mencatat tagihan
Ekspor kepada pihak B tersebut sebesar USD1,250,000.00 (satu
juta dua ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Semua kewajiban dan tagihan di atas jatuh tempo pada bulan Mei
2020 dan kedua pihak telah menyepakati penyelesaiannya
dilakukan secara Netting, dimana hanya selisih dari kewajiban
dan tagihan tersebut yang akan dibayarkan.
Nilai kewajiban yang boleh dilakukan Netting dengan tagihan
Ekspor yaitu sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika
Serikat) untuk Impor bahan baku, sementara pinjaman sebesar
USD700,000.00 (tujuh ratus ribu dolar Amerika Serikat) tidak
boleh dilakukan Netting. Dalam hal ini, PT A wajib menerima sisa
tagihan Ekspor sebesar USD250,000.00 (dua ratus lima puluh
ribu dolar Amerika Serikat).
Ayat (2)
Pihak dalam transaksi Netting dianggap berada dalam 1 (satu)
grup apabila pihak dimaksud adalah badan hukum atau badan
lain yang memiliki hubungan berdasarkan kepemilikan dan/atau
pemegang saham yang sama.
Contoh:
Grup A yang berkedudukan di Hong Kong memiliki 3 (tiga) anak
perusahaan, yaitu pihak B di Malaysia, pihak C di Singapura, dan
PT D di Indonesia yang bergerak di bidang produk elektronik.
Seluruh tagihan dan kewajiban Ekspor dan Impor grup tersebut
25
diselesaikan secara Netting yang dikoordinasikan oleh grup A
sebagai induk.
Pada bulan Mei 2020, PT D mencatat kewajiban berupa pinjaman
sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) dari
grup A dan Impor bahan baku dari pihak B di Malaysia sebesar
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat).
Pada bulan Juni 2020, PT D mencatat tagihan Ekspor kepada
pihak C dan grup A masing-masing sebesar USD1,000,000.00
(satu juta dolar Amerika Serikat) dan USD2,500,000.00 (dua juta
lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Semua kewajiban dan
tagihan di atas jatuh tempo pada bulan Juli 2020.
Nilai kewajiban yang boleh dilakukan Netting dengan tagihan
Ekspor adalah hanya sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar
Amerika Serikat) untuk Impor bahan baku, sementara pinjaman
sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) tidak
boleh dilakukan Netting. Dalam hal ini, PT D wajib menerima sisa
tagihan Ekspor sebesar USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus
ribu dolar Amerika Serikat) melalui Bank, yaitu selisih antara
total tagihan Ekspor sebesar USD3,500,000.00 (tiga juta lima
ratus ribu dolar Amerika Serikat) dikurangi kewajiban Impor
barang sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika
Serikat).
Ayat (3)
Contoh Impor bahan baku untuk menghasilkan barang Ekspor
antara lain Impor kancing baju, kain, dan benang untuk
memproduksi baju yang diekspor.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
26
Pasal 16
Ayat (1)
Contoh:
PT AP melakukan transaksi Netting dengan pihak B di Jerman. PT
AP melakukan Ekspor ke pihak B pada bulan Januari 2020.
Transaksi Netting dilaksanakan pada bulan Februari 2020 dan
penerimaan DHE atas hasil Netting diterima pada bulan Maret
2020. Dalam hal ini, PT AP harus menyampaikan bukti transaksi
Netting kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 5 April
2020.
Ayat (2)
Contoh:
PT AP melakukan kontrak kesepakatan Netting yang baru dengan
pihak B di Jerman pada bulan Januari 2020. PT AP melakukan
Impor bahan baku dari pihak B pada bulan Januari 2020. PT AP
melakukan Ekspor pertama kali ke pihak B pada bulan Februari
2020. Dalam hal ini, mengingat pihak B merupakan counterparty
baru, PT AP harus menyampaikan surat pernyataan Netting yang
berisi keterkaitan barang yang diimpor digunakan untuk proses
menghasilkan barang Ekspor yang bersangkutan dan daftar
pihak yang terkait Netting kepada Bank Indonesia paling lambat
pada tanggal 5 Maret 2020.
Ayat (3)
Contoh:
PT AP memiliki kontrak kesepakatan Netting masing-masing
dengan pihak B di Jerman mulai Januari 2020, pihak C di Jepang
mulai Maret 2020, dan pihak D di Thailand mulai Agustus 2020,
yang semuanya masih berlaku hingga 2021. Dalam hal ini, PT AP
harus menyampaikan pengkinian daftar pihak buyer atau
counterparty Netting yang berisi pihak B, C, dan D kepada Bank
Indonesia paling lambat pada tanggal 5 Januari 2021.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
27
Pasal 17
Dokumen pendukung yang disampaikan kepada Bank Indonesia
dalam bentuk salinan digital (softcopy) dengan format berupa PDF,
JPG, BMP, PNG, atau GIF.
Pasal 18
Ayat (1)
PT HS harus menyampaikan Laporan DHE dan dokumen
pendukung pada tanggal 5 Maret 2020. Pada tanggal 5 Maret
2020 terjadi gangguan teknis berupa pemadaman listrik secara
menyeluruh di daerah tempat PT HS beroperasi. PT HS
menyampaikan Laporan DHE dan dokumen pendukung pada
tanggal 6 Maret 2020 serta bukti pendukung berupa surat
pemberitahuan dari PLN secara Daring kepada Bank Indonesia
apabila gangguan teknis telah dapat diatasi.
Ayat (2)
PT HS harus menyampaikan Laporan DHE dan dokumen
pendukung pada tanggal 5 Maret 2020. Pada tanggal 5 Maret
2020 terjadi gangguan teknis berupa pemadaman listrik secara
menyeluruh di daerah tempat PT HS beroperasi yang berlanjut
sampai dengan tanggal 6 Maret 2020. PT HS menyampaikan
Laporan DHE dan dokumen pendukung pada tanggal 6 Maret
2020 serta bukti pendukung berupa surat pemberitahuan dari
PLN menggunakan media berupa flash disk kepada Bank
Indonesia secara Luring.
Pasal 19
Ayat (1)
Contoh:
PT AK melakukan Ekspor pada tanggal 10 Januari 2020 dengan
Nilai Ekspor USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika
Serikat). Karena terdapat barang yang tidak lolos quality control,
Nilai Ekspor berubah menjadi USD450,000.00 (empat ratus lima
puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas perubahan tersebut, PT
AK harus melakukan pembetulan PPE.
Ayat (2)
Cukup jelas.
28
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
PJT mengisi lembar lanjutan khusus PJT secara akurat sesuai
dengan ketentuan kepabeanan yang berlaku serta menyampaikan
informasi terkait PPE dan akses pelaporan DHE kepada Pemilik
Barang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
DHE SDA diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan,
dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup
pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.
Sumber daya alam pertambangan merupakan sumber daya alam
pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai pertambangan mineral dan batubara serta Undang-
Undang mengenai minyak dan gas bumi.
Sumber daya alam perkebunan merupakan sumber daya alam
perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai perkebunan.
Sumber daya alam kehutanan merupakan sumber daya alam
kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai kehutanan.
Sumber daya alam perikanan merupakan sumber daya alam
perikanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai perikanan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “diterima dalam bentuk uang tunai”
adalah penerimaan DHE SDA dalam bentuk pembayaran uang
kertas dan/atau uang logam di dalam negeri.
Ayat (3)
Contoh:
PT AK menerima DHE SDA secara tunai sebesar USD50,000.00
(lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) yang dibawa perwakilan
29
buyer dari luar negeri ke Indonesia. PT AK menyetorkan uang
dimaksud ke Bank pada Reksus DHE SDA dan menyampaikan
dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rekening lainnya dapat berupa produk simpanan lainnya dari
Bank yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi.
Ayat (3)
Contoh:
PT V merupakan Eksportir batubara, berencana membuka
rekening baru yang khusus untuk menampung DHE SDA-nya di
Bank P. Dalam hal ini, PT V diperbolehkan untuk memiliki lebih
dari 1 (satu) Reksus DHE SDA, baik di Bank P maupun Bank lain.
Ayat (4)
Contoh:
PT W merupakan Eksportir timah, telah memiliki rekening giro di
Bank R yang digunakan untuk menampung semua penerimaan,
termasuk Ekspor timah. Untuk memenuhi ketentuan, PT W
dapat:
a. membuka rekening baru yang diperuntukkan sebagai
Reksus DHE SDA; atau
b. menggunakan rekening giro di Bank R sebagai Reksus DHE
SDA sehingga penerimaan selain dari DHE SDA tidak
diperbolehkan menggunakan rekening giro ini.
Ayat (5)
Cukup jelas.
30
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Dokumen yang dapat menunjukkan Ekspor atas hasil
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber
daya alam dapat berupa dokumen PPE, surat izin Ekspor
dari instansi terkait, dan kontrak penjualan Ekspor.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Contoh:
PT A pada tanggal 30 Januari 2020 menerima DHE SDA pada
Reksus DHE SDA di Bank J di Jakarta sebesar USD125,000.00
(seratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Pada tanggal
31 Januari 2020, PT A menempatkan dana dari Reksus DHE SDA
ke deposito DHE SDA sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar
Amerika Serikat) di Bank yang sama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Contoh:
PT D melakukan Ekspor sumber daya alam pada tanggal 7
Januari 2020 kepada pihak K sebagai buyer di Singapura
senilai USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika
Serikat). Pembayaran pertama oleh buyer melalui bank E di
Singapura sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar
Amerika Serikat) diterima PT D melalui Bank F di Jakarta
pada tanggal 14 Februari 2020.
Pembayaran kedua oleh buyer melalui bank E di Singapura
sebesar USD400,000.00 (empat ratus ribu dolar Amerika
31
Serikat) diterima PT D melalui Bank F di Jakarta pada
tanggal 25 Maret 2020.
Dalam hal ini, penerimaan DHE SDA pada tanggal 14
Februari 2020 dan 25 Maret 2020 wajib dilakukan melalui
Reksus DHE SDA.
Huruf b
Contoh:
PT I pada tanggal 7 Januari 2020 memiliki Reksus DHE SDA
di Bank J di Jakarta dengan saldo sebesar USD125,000.00
(seratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Pada
tanggal yang sama PT I membuka deposito senilai
USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan
jangka waktu 1 (satu) bulan dengan bunga 3% (tiga persen)
per tahun di bank yang sama, yang dananya bersumber dari
Reksus DHE SDA. Pada saat pencairan, yaitu tanggal 7
Februari 2020, nilai pokok deposito dan bunganya masing-
masing sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika
Serikat) dan USD250.00 (dua ratus lima puluh dolar Amerika
Serikat), dapat dimasukkan kembali ke Reksus DHE SDA.
Huruf c
Contoh:
PT K memiliki 2 (dua) Reksus DHE SDA, yaitu di Bank J di
Jakarta dan Bank L di Bandung dengan saldo akhir bulan
Januari 2020 masing-masing sebesar USD150,000.00
(seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dan
USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Dalam hal ini, perpindahan dana antar-Reksus DHE SDA
milik perusahaan K di Bank J dan Bank L diperbolehkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
32
Huruf b
Contoh:
PT L memiliki 2 (dua) rekening di Bank C, yaitu rekening
umum yang dapat menampung semua Transfer Dana Masuk
dan Reksus DHE SDA. Pada tanggal 9 Maret 2020, PT L
menerima DHE SDA sebesar USD350,000.00 (tiga ratus lima
puluh ribu dolar Amerika Serikat) di rekening umum atas
Ekspor SDA yang dilakukan pada bulan Februari 2020.
Untuk memenuhi ketentuan, PT L harus memindahkan dana
sebesar USD350,000.00 (tiga ratus lima puluh ribu dolar
Amerika Serikat) tersebut dari rekening umum ke Reksus
DHE SDA, dengan disertai dokumen pendukung yang dapat
membuktikan dana masuk tersebut berasal dari DHE SDA.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Contoh 1:
Dalam kontrak kerja sama minyak bumi, PT A berperan sebagai
operator, sementara PT B dan PT C berperan sebagai participating
interest. Untuk setiap Ekspor minyak bumi, PPE diterbitkan atas nama
masing-masing PT sesuai dengan hasil lifting-nya. Dalam hal ini,
kewajiban penerimaan DHE SDA menjadi tanggung jawab PT A, PT B,
dan PT C, selaku Eksportir.
Contoh 2:
Dalam kontrak kerja sama gas bumi, PT A berperan sebagai operator,
sementara PT B dan PT C berperan sebagai participating interest.
Untuk setiap Ekspor gas bumi yang merupakan hasil joint lifting ketiga
PT tersebut, PPE diterbitkan atas nama PT A. Dalam hal ini, kewajiban
penerimaan DHE SDA menjadi tanggung jawab PT A selaku Eksportir
33
sekaligus Pihak dalam Kontrak Migas, serta PT B dan PT C selaku
Pihak dalam Kontrak Migas.
Contoh 3:
Dalam kontrak kerja sama gas bumi, PT A berperan sebagai operator,
sementara PT B dan PT C berperan sebagai participating interest.
Untuk setiap Ekspor gas bumi yang merupakan hasil joint lifting ketiga
PT tersebut, PPE diterbitkan atas nama PT D selaku Eksportir yang
tidak memiliki hak atas hasil lifting. Dalam hal ini, kewajiban
penerimaan DHE SDA menjadi tanggung jawab PT A, PT B, dan PT C,
selaku Pihak dalam Kontrak Migas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Bank memastikan Nasabah yang akan melakukan pembukaan
Reksus DHE SDA merupakan Eksportir SDA berdasarkan
dokumen pendukung yang disampaikan oleh Eksportir SDA pada
saat mengajukan permohonan pembukaan Reksus DHE SDA.
Ayat (2)
Penanda khusus (flag) dapat diberikan antara lain pada nama
rekening atau nomor rekening.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
34
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
PT MA melakukan Impor barang pada bulan Januari 2020. PT MA
melaporkan DPI dan diterima Bank Indonesia paling lambat pada
tanggal 30 April 2020.
Pasal 38
Huruf a
Contoh:
PT CR melakukan pembayaran Impor sebesar USD2,000,000.00
(dua juta dolar Amerika Serikat) sesuai tagihan pada invoice
nomor INV-12345. PT CR menyampaikan informasi Impor kepada
Bank berupa STT, nomor invoice, dan nilai invoice atas transaksi
TT yang dilakukan untuk dicantumkan Bank pada Message
FTMS.
Huruf b
Transaksi non-TT terkait pembayaran Impor antara lain transaksi
L/C, Documentary Collection, dan/atau overbooking pada sistem
internal bank.
Contoh 1:
PT DN melakukan pembayaran Impor sebesar USD2,000,000.00
(dua juta dolar Amerika Serikat) sesuai tagihan pada nomor
invoice INV-12345. Pembayaran Impor dilakukan melalui L/C
dengan nomor AB1234SN. Tanggal jatuh tempo pembayaran L/C
adalah 180 (seratus delapan puluh) hari setelah pengapalan. PT
DN menyampaikan informasi Impor kepada Bank berupa STT,
nomor L/C, tanggal jatuh tempo pembayaran L/C, dan invoice.
Contoh 2:
PT EM melakukan pembayaran Impor sebesar USD2,000,000.00
(dua juta dolar Amerika Serikat) sesuai tagihan pada invoice
nomor INV-12345. Selanjutnya, PT EM melakukan pembayaran
35
Impor melalui Bank QWE untuk overbooking ke rekening penjual
di luar negeri yang juga menggunakan Bank QWE. Bank QWE
melakukan overbooking setelah PT EM menyampaikan informasi
Impor berupa STT, nomor invoice, dan nilai invoice.
Huruf c
Contoh:
PT AP melakukan Impor pada bulan Januari 2020 dengan nomor
invoice 123456-INV dan nilai invoice sebesar USD500,000.00
(lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Pada saat PT AP
membayar Impor, penjual di luar negeri mengubah nomor invoice
menjadi 123456a-INV sehingga informasi Impor yang
disampaikan pada Bank berbeda nomor invoice-nya. PT AP
menyampaikan Laporan DPI kepada Bank Indonesia yang
memuat perubahan informasi pada PPI yang memengaruhi DPI
berupa perubahan nomor invoice.
Huruf d
Perubahan informasi pada DPI antara lain berupa perubahan
alokasi pada saat pembayaran Impor.
Contoh:
PT MC melakukan 2 (dua) kali Impor pada bulan Januari dan
Februari 2020 dengan total Nilai Impor USD1,000,000.00 (satu
juta dolar Amerika Serikat), masing-masing dengan nomor invoice
123456-INV sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar
Amerika Serikat) dan 345678-INV sebesar USD700,000.00 (tujuh
ratus ribu dolar Amerika Serikat). PT MC melakukan pembayaran
Impor sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat)
pada bulan Maret 2020 dan menyampaikan informasi Impor
kepada Bank berupa STT, nomor invoice, dan nilai invoice dengan
benar. Terdapat kesalahan alokasi pembayaran dengan nomor
invoice 123456-INV sebesar USD700,000.00 (tujuh ratus ribu
dolar Amerika Serikat) dan 345678-INV sebesar USD300,000.00
(tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat) yang dicantumkan pada
Message FTMS. PT MC menyampaikan Laporan DPI kepada Bank
Indonesia yang memuat perubahan informasi pada DPI berupa
penyesuaian alokasi DPI.
36
Huruf e
Yang dimaksud dengan “informasi DPI yang tidak melalui Bank”
adalah pembayaran Impor yang dilakukan tidak melalui Bank,
antara lain melalui lembaga penyelenggara transfer dana bukan
bank.
Contoh:
PT TG melakukan melakukan Impor untuk pembelian bahan
baku pada tanggal 31 Maret 2020 sebesar USD200,000.00 (dua
ratus ribu dolar Amerika Serikat). Atas Impor tersebut, PT TG
melakukan pembayaran melalui lembaga penyelenggara transfer
dana bukan bank CBA atas tagihan dari penjual di luar negeri
dengan nomor invoice 456xyz tanggal invoice 27 Maret 2020
sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat).
PT TG menyampaikan Laporan DPI kepada Bank Indonesia yang
memuat informasi DPI yang tidak melalui Bank berupa nomor
invoice 456xyz, tanggal invoice 27 Maret 2020, dan nilai DPI
sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat)
dengan nama lembaga penyelenggara transfer dana bukan bank
CBA.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Informasi Impor dicantumkan pada field 70 MT103 pada message
SWIFT. Dalam hal terdapat informasi Impor yang tidak dapat
dicantumkan pada field 70 MT103, antara lain karena
keterbatasan jumlah karakter, informasi Impor tersebut
dicantumkan pada field 79 MT199.
Contoh 1:
PT HS melakukan Impor pada bulan Mei 2020 (sesuai dengan
tanggal Impor di dokumen PPI) dengan nomor invoice 123ABC
sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dan
pembayaran dilakukan melalui transaksi TT di Bank.
Pada saat melakukan pembayaran, PT HS menyampaikan
informasi Impor yaitu STT, nomor invoice, dan nilai invoice ke
37
Bank dengan format yang ditetapkan Bank Indonesia, yaitu
2012//123ABC(2000000).
Selanjutnya, Bank mencantumkan informasi Impor sesuai format
yang ditetapkan Bank Indonesia pada Message FTMS pada field
70 MT103.
Contoh 2:
PT HS melakukan Impor pada bulan Mei 2020 (sesuai dengan
tanggal Impor di dokumen PPI) dengan total tagihan sebesar
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dan
pembayaran dilakukan melalui transaksi TT di Bank, dengan
rincian invoice sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
invoice nomor 123ABC;
invoice nomor 234ABC;
invoice nomor 345ABC;
invoice nomor 456ABC; dan
invoice nomor 567ABC,
masing-masing dengan nilai sebesar USD400,000.00 (empat
ratus ribu dolar Amerika Serikat).
Pada saat melakukan pembayaran, PT HS menyampaikan
informasi Impor yaitu STT, nomor invoice, dan nilai invoice ke
Bank dengan format yang ditetapkan Bank Indonesia, yaitu
2012//123ABC(400000)234ABC(400000)345ABC(400000)456AB
C(400000)567ABC(400000).
Selanjutnya, Bank mencantumkan informasi Impor sesuai format
yang ditetapkan Bank Indonesia pada Message FTMS, yaitu field
70 MT103.
Dalam hal terdapat keterbatasan karakter pada field 70 MT103,
informasi Impor dicantumkan pada field 70 MT103 dan field 79
MT199, dengan cara penulisan sebagai berikut:
a. field 70 MT103
2012//123ABC(400000)234ABC(400000)345ABC(400000)4
56ABC(400000)+
b. field 79 MT199
+/2012//567ABC(400000)
Ayat (3)
Cukup jelas.
38
Pasal 40
Ayat (1)
Transaksi non-TT dilakukan antara lain melalui L/C,
Documentary Collection, dan/atau overbooking pada sistem
internal Bank.
Ayat (2)
Contoh:
PT HH melakukan Impor pada bulan Mei 2020 (sesuai dengan
tanggal Impor di dokumen PPI) dengan nomor invoice 123ABC
sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dan
pembayaran dilakukan melalui transaksi L/C.
Pada saat melakukan pembayaran, PT HH menyampaikan
informasi Impor yaitu nomor L/C, tanggal jatuh tempo
pembayaran L/C, nomor invoice, dan nilai invoice ke Bank.
Selanjutnya, Bank melaporkan informasi Impor pada Laporan
Transaksi Non-TT kepada Bank Indonesia.
Pasal 41
Ayat (1)
Perubahan informasi PPI yang memengaruhi DPI disebabkan
antara lain perbedaan nomor invoice.
Contoh 1:
PT IK melakukan Impor pada tanggal 1 April 2020 dengan nilai
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat).
Terkait dengan Impor tersebut, invoice yang tercantum pada
dokumen PPI adalah nomor invoice 456DEF dan tanggal 1 April
2020 dengan nilai USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika
Serikat).
Selanjutnya, PT IK menerima tagihan dari penjual di luar negeri
terkait Impor tersebut dengan nomor invoice FI456DEF dan
tanggal invoice 30 April 2020 dengan nilai USD1,030,000.00 (satu
juta tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat) karena perubahan
harga barang internasional.
Dalam hal ini, PT IK menyampaikan Laporan DPI kepada Bank
Indonesia terkait perubahan informasi pada PPI yang
memengaruhi DPI, yaitu nomor invoice FI456DEF dengan nilai
39
USD1,030,000.00 (satu juta tiga puluh ribu dolar Amerika
Serikat).
Contoh 2:
PT AP melakukan Impor pada bulan Januari 2020 dengan nomor
invoice 123456-INV dan nilai invoice sebesar USD500,000.00
(lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). PT AP tidak melakukan
pembayaran Impor karena Impor tersebut merupakan
pengembalian atas barang yang sebelumnya diekspor. PT AP
menyampaikan Laporan DPI kepada Bank Indonesia yang
memuat perubahan informasi pada PPI yang memengaruhi DPI
berupa perubahan nilai invoice.
Ayat (2)
Contoh 1:
PT AD melakukan transfer dana DPI melalui transaksi TT dengan
nilai sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat)
untuk Impor yang terdiri dari 4 (empat) invoice, yaitu:
a.
b.
c.
d.
invoice nomor 123ABC;
invoice nomor 234ABC;
invoice nomor 345ABC; dan
invoice nomor 456ABC.
Atas pembayaran tersebut, PT AD memerinci DPI sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) untuk
dialokasikan ke masing-masing invoice sebesar USD250,000.00
(dua ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Namun demikian, setelah melakukan komunikasi dengan penjual
di luar negeri, terdapat perubahan harga pada masing-masing
invoice menjadi sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar
Amerika Serikat). Oleh karena itu, PT AD mengalokasikan DPI
tersebut menjadi 5 (lima) invoice. Invoice yang ditambahkan yaitu
invoice nomor 567ABC sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu
dolar Amerika Serikat).
Dalam hal ini, PT AD menyampaikan Laporan DPI kepada Bank
Indonesia terkait perubahan informasi pada DPI.
Contoh 2:
PT AY melakukan transfer dana DPI melalui transaksi TT dengan
nilai sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat)
untuk Impor yang terdiri dari 2 (dua) invoice, yaitu invoice 123ABC
40
sebesar USD750,000.00 (tujuh ratus lima puluh ribu dolar
Amerika Serikat) dan invoice 345ABC sebesar USD250,000.00
(dua ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Setelah melakukan komunikasi dengan penjual di luar negeri,
terdapat perubahan harga untuk invoice 123ABC menjadi sebesar
USD725,000.00 (tujuh ratus dua puluh lima ribu dolar Amerika
Serikat) dan invoice 345ABC menjadi USD225,000.00 (dua ratus
dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Oleh karena itu, PT
AY mengalokasikan DPI tersebut sesuai dengan kesepakatan
harga terakhir.
Dalam hal ini, PT AY menyampaikan Laporan DPI kepada Bank
Indonesia terkait perubahan informasi pada DPI.
Ayat (3)
Contoh:
PT AAD melakukan melakukan Impor untuk pembelian gandum
pada tanggal 31 Januari 2020 sebesar USD300,000.00 (tiga ratus
ribu dolar Amerika Serikat). Atas impor tersebut, PT AAD
melakukan pembayaran melalui lembaga penyelenggara transfer
dana bukan bank EY atas tagihan dari penjual di luar negeri
dengan nomor invoice 123ABC dan tanggal invoice 28 Januari
2020 sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika
Serikat).
PT AAD menyampaikan Laporan DPI berupa informasi DPI yang
tidak melalui Bank yang terdiri dari nomor invoice 123ABC,
tanggal invoice 28 Januari 2020, dan nilai DPI sebesar
USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan
nama lembaga penyelenggara transfer dana bukan bank EY.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Contoh:
PT KW melakukan Impor pada bulan Januari 2020 dengan rincian
sebagai berikut:
a. nomor invoice 123456-INV dengan Nilai Impor sebesar
USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat);
41
b. nomor invoice 345678-INV dengan Nilai Impor sebesar
USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat); dan
c. nomor invoice 567890-INV dengan Nilai Impor sebesar
USD9,500.00 (sembilan ribu lima ratus dolar Amerika
Serikat).
Pada saat PT KW melakukan pengeluaran DPI dengan total
sebesar USD400,000.00 (empat ratus ribu dolar Amerika Serikat),
yaitu untuk invoice 123456-INV dan invoice 345678-INV, terdapat
perubahan nomor invoice yang disebabkan adanya perubahan
harga internasional, yaitu menjadi:
a. nomor invoice 123456-INV dengan nilai sebesar
USD295,000.00 (dua ratus sembilan puluh lima ribu dolar
Amerika Serikat);
b. nomor invoice 345678-INV dengan nilai sebesar
USD96,000.00 (sembilan puluh enam ribu dolar Amerika
Serikat); dan
c. nomor invoice 567890-INV dengan nilai sebesar
USD9,000.00 (sembilan ribu dolar Amerika Serikat).
Penyampaian Laporan DPI yang memengaruhi DPI berlaku untuk
Nilai Impor lebih besar dari ekuivalen USD10,000.00 (sepuluh
ribu dolar Amerika Serikat) sehingga PT KW hanya perlu
menyampaikan Laporan DPI yang memengaruhi perubahan nilai
invoice 123456-INV dan invoice 345678-INV.
Ayat (2)
Contoh 1:
PT AP melakukan Impor pada bulan Januari 2020 dengan nomor
invoice 123456-INV dan nilai invoice sebesar USD500,000.00
(lima ratus ribu dolar Amerika Serikat).
PT AP tidak melakukan pembayaran Impor karena Impor tersebut
merupakan pengembalian atas barang yang sebelumnya
diekspor. PT AP melakukan perubahan informasi pada PPI yang
memengaruhi DPI berupa perubahan nilai invoice. PT AP
menyampaikan Laporan DPI kepada Bank Indonesia terkait
perubahan nilai invoice paling lambat tanggal 5 Februari 2020.
Contoh 2:
PT AD melakukan transfer dana DPI melalui transaksi TT dengan
nilai sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat)
42
pada tanggal 10 Januari 2020 untuk Impor yang terdiri atas 4
(empat) invoice, yaitu:
a.
b.
c.
d.
invoice nomor 123ABC;
invoice nomor 234ABC;
invoice nomor 345ABC; dan
invoice nomor 456ABC.
Atas pembayaran tersebut, PT AD memerinci DPI sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) untuk
dialokasikan ke masing-masing invoice sebesar USD250,000.00
(dua ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Namun demikian, setelah melakukan komunikasi dengan penjual
di luar negeri, terdapat perubahan harga pada masing-masing
invoice menjadi sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar
Amerika Serikat). Oleh karena itu, PT AD mengalokasikan DPI
tersebut menjadi 5 (lima) invoice. Invoice yang ditambahkan yaitu
invoice nomor 567ABC sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu
dolar Amerika Serikat).
Dalam hal ini, PT AD menyampaikan Laporan DPI kepada Bank
Indonesia terkait perubahan nomor invoice paling lambat tanggal
5 Februari 2020.
Ayat (3)
Contoh:
PT TB melakukan Impor pada bulan Maret 2020 dengan nomor
invoice 123456-INV dan nilai invoice sebesar USD500,000.00
(lima ratus ribu dolar Amerika Serikat).
PT TB tidak melakukan pembayaran Impor karena Impor tersebut
merupakan pengembalian atas barang yang sebelumnya
diekspor. PT TB melakukan perubahan informasi pada PPI yang
memengaruhi DPI berupa perubahan nilai invoice. PT TB
menyampaikan Laporan DPI kepada Bank Indonesia terkait
perubahan nilai invoice paling lambat tanggal 5 April 2020.
Mengingat tanggal 5 April 2020 merupakan hari libur maka
penyampaian Laporan DPI atas perubahan nilai invoice dapat
dilakukan pada tanggal 6 April 2020.
43
Pasal 43
Ayat (1)
Contoh:
PT O melakukan Impor barang sebanyak 1.000 (seribu) unit
dengan harga USD100.00 (seratus dolar Amerika Serikat) per unit
sehingga total Nilai Impor adalah USD100,000.00 (seratus ribu
dolar Amerika Serikat).
Pada saat melakukan pendaftaran Impor di sistem kepabeanan,
PT O melakukan kesalahan input pada kuantitas barang.
Kuantitas barang yang seharusnya 1.000 (seribu) unit tercatat
10.000 (sepuluh ribu) unit, sehingga nilai Impor di dokumen PPI
menjadi sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika
Serikat).
Atas kesalahan tersebut, PT O harus melakukan perubahan data
PPI kepada DJBC.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
PT MP melakukan Impor dengan nilai sebesar USD5,000,000.00
(lima juta dolar Amerika Serikat). Atas Impor tersebut, PT MP
melakukan pembayaran sebesar USD5,050,000.00 (lima juta lima
puluh ribu dolar Amerika Serikat) karena adanya biaya
administrasi pembelian sebesar USD50,000.00 (lima puluh ribu
dolar Amerika Serikat) sehingga terdapat selisih lebih nilai DPI
dari Nilai Impor sebesar 1% (satu persen) dengan perhitungan
(USD5,050,000.00 - USD5,000,000.00) / USD5,000,000.00) x
100% = 1%.
Dalam hal ini, PT MP tidak perlu menyampaikan dokumen
pendukung karena selisih lebih nilai DPI dengan Nilai Impor tidak
melebihi 5% (lima persen).
44
Ayat (3)
Contoh:
PT RF melakukan Impor dengan Nilai Impor sebesar
USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Atas
Impor ini, PT RF melakukan pengeluaran DPI sebesar
USD215,000.00 (dua ratus lima belas ribu dolar Amerika Serikat)
karena terdapat perubahan harga internasional. Dalam hal ini,
terdapat selisih lebih sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari
Nilai Impor, dengan perhitungan ((USD215,000.00 -
USD200,000.00) / USD200,000.00) x 100% = 7,5%), sehingga
Importir harus menyampaikan dokumen pendukung yang
memadai.
Pasal 45
Ayat (1)
Contoh:
PT GR melakukan Impor dengan Nilai Impor sebesar
USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Atas
Impor ini, PT GR melakukan pengeluaran DPI sebesar
USD205,000.00 (dua ratus lima ribu dolar Amerika Serikat).
Dalam hal ini, terdapat selisih lebih sebesar USD5,000.00 (lima
ribu dolar Amerika Serikat) atau 2,5% (dua koma lima persen) dari
Nilai Impor, dengan perhitungan:
(USD205,000.00 - USD200,000.00) / USD200,000.00 x 100% =
2,5%.
Ayat (2)
Contoh:
PT TH melakukan Impor pada tanggal 11 Maret 2020 dengan Nilai
Impor sebesar USD1.000,000.00 (satu juta dolar Amerika
Serikat). Nilai DPI dibayarkan melalui Bank sebesar
EUR900,000.00 (sembilan ratus ribu euro). Kurs tengah Bank
Indonesia pada tanggal 11 Maret 2020 adalah Rp14.000,00/USD
dan Rp16.000,00/EUR. Selisih lebih antara nilai DPI dengan Nilai
Impor adalah sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah) atau sebesar 2,9% (dua koma sembilan persen) dari Nilai
Impor, dengan perhitungan:
45
((EUR900,000.00 x Rp16.000,00/EUR) – (USD1,000,000.00 x
Rp14.000,00/USD))/ (USD1,000,000.00 x Rp14.000,00/USD) x
100% = 2,9%.
Ayat (3)
Contoh:
PT JB melakukan Impor pada tanggal 26 Maret 2020 dengan Nilai
Impor sebesar USD600,000.00 (enam ratus ribu dolar Amerika
Serikat). Nilai DPI yang dibayarkan melalui Bank sebesar
INR45,000,000.00 (empat puluh lima juta rupee India). Pada
tanggal 26 Maret 2020, kurs Reuters adalah USD0.0142/INR.
Selisih lebih antara nilai DPI dengan Nilai Impor adalah sebesar
USD39,000.00 (tiga puluh sembilan ribu dolar Amerika Serikat)
atau 6,5% (enam koma lima persen) dari Nilai Impor, dengan
perhitungan:
((INR45,000,000.00 x USD0.0142/INR) – USD600.000,00)/
USD600.000,00 x 100% = 6,5%.
Pasal 46
Ayat (1)
Huruf a
Contoh:
PT M melakukan Impor dari Singapura untuk pembelian
bahan baku produksi dengan nilai sebesar SGD100,000.00
(seratus ribu dolar Singapura) secara tunai.
Atas Impor tersebut, PT M menyampaikan dokumen
pendukung kepada Bank Indonesia.
Huruf b
Contoh:
PT N melakukan Impor sebesar USD200,000.00 (dua ratus
ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 20 Januari 2020
dengan kesepakatan pembayaran dilakukan 120 (seratus
dua puluh) hari setelah barang Impor diterima, yaitu pada
tanggal 20 Mei 2020. Dalam hal ini, DPI akan dibayar
melebihi akhir bulan ketiga setelah Bulan PPI.
Atas Impor tersebut, PT N menyampaikan dokumen
pendukung kepada Bank Indonesia.
46
Huruf c
Contoh:
PT S melakukan Impor pembelian bahan baku sebesar
USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) yang
pembayarannya dilakukan melalui lembaga penyelenggara
transfer dana bukan bank.
Atas Impor tersebut, PT S menyampaikan dokumen
pendukung kepada Bank Indonesia.
Huruf d
Contoh:
PT S melakukan Impor terkait pengembalian atas barang
yang diekspor kepada pihak A sehingga tidak ada
pembayaran atas Impor tersebut.
Atas Impor tersebut, PT S menyampaikan dokumen
pendukung kepada Bank Indonesia.
Huruf e
Selisih lebih nilai DPI dengan Nilai Impor lebih besar dari 5%
(lima persen) dari Nilai Impor antara lain disebabkan adanya
perbedaan taksiran harga barang karena penggunaan harga
internasional, perbedaan kualitas, perbedaan kuantitas, dan
Netting.
Contoh:
PT S melakukan Impor pembelian bahan baku sebesar
USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). PT S
melakukan pembayaran atas Impor sebesar USD220,000.00
(dua ratus dua puluh ribu dolar Amerika Serikat) yang
disebabkan adanya perbedaan taksiran harga barang.
Atas Impor tersebut, PT S menyampaikan dokumen
pendukung kepada Bank Indonesia.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
PT SM melakukan Impor sebesar USD200,000.00 (dua ratus
ribu dolar Amerika Serikat) dengan tanggal pendaftaran PPI
2 Februari 2020 dan kesepakatan pembayaran dilakukan
120 (seratus dua puluh) hari setelah barang Impor diterima.
Barang diterima PT SM pada tanggal 8 Februari 2020. Dalam
47
hal ini, pengeluaran DPI dilakukan pada tanggal 9 Juni 2020
sehingga melebihi akhir bulan ketiga setelah Bulan PPI.
Atas Impor tersebut, PT SM harus menyampaikan dokumen
pendukung kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5
Maret 2020.
Huruf b
Contoh:
PT AK melakukan Impor sebesar USD300,000.00 (tiga ratus
ribu dolar Amerika Serikat) dengan tanggal pendaftaran PPI
27 April 2020. DPI atas impor ini tidak dibayar karena
merupakan Impor atas barang contoh.
Atas Impor tersebut, PT AK harus menyampaikan dokumen
pendukung kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5
Mei 2020.
Ayat (3)
Huruf a
Contoh:
PT CAP merupakan suatu lembaga riset yang membutuhkan
bahan reaktan yang diproduksi di Jerman. PT CAP membeli
bahan reaktan tersebut dari penjual di Jerman dengan
transaksi pembayaran secara tunai sebesar EUR50,000.00
(lima puluh ribu euro) pada tanggal 27 Januari 2021. Bahan
reaktan masuk ke Indonesia dengan PPI yang terbit pada
tanggal 3 Februari 2021.
Atas Impor tersebut, PT CAP menyampaikan dokumen
pendukung kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5
Februari 2021.
Huruf b
Contoh:
PT HH melakukan Impor sebesar USD300,000.00 (tiga ratus
ribu dolar Amerika Serikat) dengan tanggal pendaftaran PPI
27 April 2020. DPI atas Impor ini dibayar sebesar
USD295,000.00 (dua ratus sembilan puluh lima ribu dolar
Amerika Serikat) pada tanggal 28 April 2020 melalui
penyelenggara transfer dana bukan bank XZ.
48
Atas Impor tersebut, PT HH menyampaikan dokumen
pendukung kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5
Mei 2020.
Huruf c
Contoh:
PT AW melakukan Impor sebesar USD200,000.00 (dua ratus
ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 20 Juni 2020. DPI
atas Impor ini dibayar sebesar USD220,000.00 (dua ratus
dua puluh ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 25 Juni
2020 sehingga terdapat selisih antara nilai DPI dan Nilai
Impor sebesar 10% (sepuluh persen), dengan perhitungan:
(USD220,000.00 - USD200,000.00) / USD200,000.00 = 10%
Atas Impor tersebut, PT AW menyampaikan dokumen
pendukung kepada Bank Indonesia paling lambat pada
tanggal 5 Juli 2020.
Pasal 47
Ayat (1)
Contoh:
PT CAP merupakan suatu lembaga riset yang membutuhkan
bahan reaktan yang diproduksi di Jerman. PT CAP membeli
bahan reaktan tersebut yang dibayar secara tunai sebesar
EUR50,000.00 (lima puluh ribu euro) di Jerman. PT CAP harus
menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia
berupa kuitansi pembayaran.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
PT MA melakukan Impor dari pihak B di Australia dengan
cara pembayaran Usance L/C. Pembayaran dilakukan 180
(seratus delapan puluh) hari setelah tanggal pengiriman
barang. Pengiriman barang dilakukan tanggal 1 Februari
2020 dengan PPI tanggal 2 Maret 2020. Mengingat
pembayaran Impor melebihi akhir bulan ketiga setelah Bulan
PPI, PT MA menyampaikan dokumen pendukung kepada
Bank Indonesia berupa kontrak Importir dan seller,
dokumen L/C, invoice, dan B/L.
49
Huruf b
Contoh:
PT MA menandatangani kontrak jual beli dengan pihak B di
Australia dengan jatuh tempo pembayaran 180 (seratus
delapan puluh) hari. PT MA mengimpor barang dari pihak B
pada bulan Januari 2020. Pihak B meminta bank di luar
negeri dan memercayakan ke Bank X untuk menagih PT MA.
PT MA membayar Impor kepada Bank X sesuai dengan jatuh
tempo pada kontrak jual beli dengan pihak B, yaitu bulan
Juli 2020.
PT MA menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank
Indonesia berupa kontrak Importir dan seller, invoice, dan
B/L.
Huruf c
Contoh:
PT MA menandatangani kontrak jual beli dengan pihak B di
Australia dengan kesepakatan pembayaran dilakukan 180
(seratus delapan puluh) hari setelah tanggal pengiriman
barang atau B/L. Pihak B mengirim barang pada tanggal 1
Februari 2020. PT MA menerima barang dan melakukan
pendaftaran Impor pada akhir Februari 2020. Berdasarkan
kontrak jual beli dengan pihak B, PT MA membayar Impor ke
pihak B paling lambat tanggal 30 Juli 2020. PT MA
menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank
Indonesia berupa kontrak Importir dan seller, dan B/L.
Huruf d
Jatuh tempo pengeluaran DPI untuk transaksi konsinyasi
adalah tanggal jatuh tempo pembayaran oleh pembeli (buyer)
kepada penerima barang konsinyasi setelah barang
konsinyasi terjual oleh penerima barang konsinyasi.
Contoh:
PT MA menandatangani kontrak jual beli konsinyasi dengan
pihak B di Australia dengan kesepakatan bahwa pembayaran
dilakukan setelah barang terjual. PT MA mengimpor barang
ke pihak B di Australia pada bulan Januari 2020. PT MA
menginformasikan bahwa barang baru terjual pada tanggal
15 Mei 2020 dengan disertai bukti pengeluaran barang dari
50
gudang PT MA dan baru dibayar oleh pembeli barang pada
tanggal 17 Mei 2020. PT MA melakukan pembayaran Impor
ke pihak B pada bulan Mei 2020.
PT MA menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank
Indonesia berupa kontrak Importir dan seller dan bukti
pengeluaran barang dari gudang PT MA.
Ayat (3)
Contoh:
PT S melakukan Impor pembelian bahan baku sebesar
USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) yang
pembayarannya dilakukan melalui lembaga penyelenggara
transfer dana bukan bank.
Atas Impor tersebut, PT S menyampaikan dokumen pendukung
kepada Bank Indonesia antara lain berupa bukti pembayaran
yang dilakukan melalui lembaga penyelenggara transfer dana
bukan bank.
Ayat (4)
Contoh:
PT S melakukan Impor terkait pengembalian atas barang yang
diekspor kepada pihak A sehingga tidak ada pembayaran atas
Impor tersebut sesuai dengan kontrak.
Atas Impor tersebut, PT S menyampaikan dokumen pendukung
kepada Bank Indonesia berupa kontrak mengenai kesepakatan
pengembalian barang antara PT S dan pihak A.
Ayat (5)
Contoh:
PT RF melakukan Impor dengan Nilai Impor sebesar
USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Atas
Impor ini, terdapat pengeluaran DPI sebesar USD215,000.00 (dua
ratus lima belas ribu dolar Amerika Serikat) sesuai dengan invoice
dari seller yang disebabkan perbedaan taksiran harga. Dalam hal
ini, terdapat selisih lebih sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen)
dari Nilai Impor, dengan perhitungan:
(USD215,000.00 - USD200,000.00) / USD200,000.00 x 100% =
7,5%.
51
Atas Impor tersebut, PT RF menyampaikan dokumen pendukung
kepada Bank Indonesia berupa kontrak antara Importir dengan
seller dan invoice.
Pasal 48
Dokumen pendukung yang disampaikan kepada Bank Indonesia
dalam bentuk salinan digital (softcopy) dengan format berupa PDF,
JPG, BMP, PNG, atau GIF.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
PJT mengisi data Pemilik Barang secara akurat sesuai dengan
ketentuan kepabeanan yang berlaku serta menyampaikan
informasi terkait PPI dan akses pelaporan DPI kepada Pemilik
Barang.
Pasal 51
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penerimaan DHE” antara lain
penerimaan devisa yang telah dilengkapi STT dengan kode 1011.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “segera” adalah dilakukan pada
kesempatan pertama setelah keadaan memungkinkan bagi Bank.
Contoh:
PT SN melakukan Ekspor dengan Nilai Ekspor sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan
tanggal PPE 15 Mei 2020 sebagaimana tercantum pada dokumen
PPE nomor 123123 dan nomor invoice DEF123. Metode
pembayaran menggunakan transaksi TT. Pada saat melakukan
penagihan, PT SN menyampaikan informasi Ekspor kepada buyer
berupa STT dan nomor invoice. Hal ini menyebabkan buyer pada
52
saat melakukan pembayaran hanya mencantumkan STT dan
nomor invoice pada Message FTMS, yaitu 1011//DEF123.
Bank menyampaikan kepada PT SN bahwa Message FTMS tidak
lengkap dan meminta bank di luar negeri untuk melakukan
koreksi informasi Ekspor pada Message FTMS.
Pasal 52
Ayat (1)
Transaksi Non-TT antara lain transaksi L/C, Documentary
Collection, dan/atau overbooking pada sistem internal bank.
Informasi Ekspor antara lain nomor L/C, tanggal jatuh tempo
pembayaran L/C, dan nomor invoice.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Contoh:
PT NA melakukan Ekspor sebesar USD200,000.00 (dua ratus
ribu dolar Amerika Serikat). Pembayaran dilakukan melalui
L/C pada Bank FAS dengan jatuh tempo pembayaran Ekspor
pada tanggal 28 Juli 2020. PPE atas Ekspor tersebut terbit
pada tanggal 28 Maret 2020. Bank FAS harus
menyampaikan Laporan Transaksi Non-TT kepada Bank
Indonesia paling lambat pada tanggal 5 April 2020.
Huruf b
Contoh:
PT N melakukan Ekspor sebesar USD200,000.00 (dua ratus
ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 28 Maret 2020.
Pembayaran atas Ekspor tersebut dilakukan melalui L/C
pada Bank FAS pada bulan April 2020. Bank FAS harus
menyampaikan Laporan Transaksi Non-TT kepada Bank
Indonesia paling lambat pada tanggal 5 Mei 2020.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
53
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
PT IK melakukan Impor dengan nilai invoice sebesar
USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) pada
bulan Januari 2020 dengan nomor invoice 123BCD.
Atas Impor tersebut, PT IK melakukan pembayaran melalui
transaksi TT pada tanggal 14 Februari 2020 dengan nilai sebesar
USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan
nomor invoice 123BCD. PT IK menyampaikan informasi Impor
pada Perintah Transfer Dana dengan format 123BCD(500000).
Karena informasi tersebut tidak lengkap, Bank meminta kepada
PT IK untuk melengkapi informasi Impor pada Perintah Transfer
Dana menjadi 2012//123BCD(500000).
Pasal 54
Ayat (1)
Transaksi non-TT antara lain transaksi L/C, Documentary
Collection, dan/atau overbooking pada sistem internal bank.
Informasi Impor antara lain nomor L/C, tanggal jatuh tempo
pembayaran L/C, dan nomor invoice.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Contoh:
PT YY melakukan Impor sebesar USD200,000.00 (dua ratus
ribu dolar Amerika Serikat) dengan pembayaran dilakukan
melalui L/C pada Bank FAS dengan tanggal jatuh tempo
pembayaran pada tanggal 28 Juli 2020. PPI atas Impor
tersebut terbit pada tanggal 28 Maret 2020. Bank FAS harus
menyampaikan Laporan Transaksi Non-TT kepada Bank
Indonesia paling lambat tanggal 5 April 2020.
54
Huruf b
Contoh:
PT YY melakukan Impor sebesar USD200,000.00 (dua ratus
ribu dolar Amerika Serikat). PPI atas Impor tersebut terbit
pada tanggal 28 Maret 2020. Pembayaran atas Impor
tersebut dilakukan melalui L/C pada Bank FAS pada bulan
April 2020. Bank FAS harus menyampaikan Laporan
Transaksi Non-TT kepada Bank Indonesia paling lambat
tanggal 5 Mei 2020.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia antara lain
auditor independen yang memiliki sertifikasi dan kompetensi di
bidang keuangan, perdagangan internasional, dan/atau teknologi
informasi.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
55
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Contoh 1:
PT TB melakukan Ekspor Non-SDA pada tanggal 11 Maret 2020
dengan Nilai Ekspor sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu
dolar Amerika Serikat). Sampai dengan tanggal 30 Juni 2020, PT
TB hanya menerima DHE sebesar USD400,000.00 (empat ratus
ribu dolar Amerika Serikat) sehingga terdapat selisih kurang nilai
DHE dengan Nilai Ekspor yang lebih besar dari Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan PT TB tidak menyampaikan
dokumen pendukung yang memadai. Atas hal tersebut, Bank
Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis pada bulan Juli 2020.
Contoh 2:
PT BA melakukan Ekspor Non-SDA pada tanggal 11 Maret 2020
dengan Nilai Ekspor sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu
dolar Amerika Serikat) dan Nilai Maklon sebesar USD100,000.00
(seratus ribu dolar Amerika Serikat). Sampai dengan tanggal 30
Juni 2020, PT BA hanya menerima DHE sebesar USD50,000.00
(lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) sehingga terdapat selisih
kurang nilai DHE dengan Nilai Maklon yang lebih besar dari
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan PT BA tidak
56
menyampaikan dokumen pendukung yang memadai. Atas hal
tersebut, Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis pada bulan Juli 2020.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Contoh:
PT TB tidak menindaklanjuti pemenuhan kewajiban
penerimaan DHE Non-SDA sesuai dengan Nilai Ekspor atau
Nilai Maklon sampai dengan batas waktu teguran tertulis,
yaitu tanggal 10 Agustus 2020. Berdasarkan hal tersebut,
Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis kedua pada bulan Agustus 2020.
Huruf b
Contoh:
PT TB tidak menindaklanjuti pemenuhan kewajiban
penerimaan DHE Non-SDA sesuai dengan Nilai Ekspor atau
Nilai Maklon sampai dengan batas waktu penerimaan DHE
dalam dokumen pendukung yang disampaikan kepada Bank
Indonesia setelah pengenaan sanksi berupa teguran tertulis,
yaitu pada tanggal 5 September 2020. Berdasarkan hal
tersebut, Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis kedua pada bulan September 2020.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Huruf a
Contoh:
PT TB tidak menindaklanjuti pemenuhan kewajiban
penerimaan DHE Non-SDA sesuai dengan Nilai Ekspor atau
Nilai Maklon sampai dengan batas waktu teguran tertulis
kedua, yaitu tanggal 18 September 2020. Berdasarkan hal
57
tersebut, Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif
berupa penangguhan atas pelayanan Ekspor pada tanggal 25
September 2020.
Huruf b
Contoh:
PT TB tidak menindaklanjuti pemenuhan kewajiban
penerimaan DHE Non-SDA sesuai dengan Nilai Ekspor atau
Nilai Maklon sampai dengan batas waktu penerimaan DHE
dalam dokumen pendukung yang disampaikan kepada Bank
Indonesia setelah pengenaan sanksi berupa teguran tertulis
kedua, yaitu pada tanggal 5 Oktober 2020. Berdasarkan hal
tersebut, Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif
berupa penangguhan atas pelayanan Ekspor pada bulan
Oktober 2020.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Pelaksanaan pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan
Ekspor dilakukan oleh DJBC atas dasar permintaan Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “bulan pengenaan sanksi penangguhan
atas pelayanan Ekspor” adalah bulan diterbitkannya surat
58
pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor oleh
Bank Indonesia.
Contoh:
Surat pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor
dari Bank Indonesia kepada PT TB diterbitkan pada tanggal 25
September 2020, sehingga bulan pengenaan sanksi penangguhan
atas pelayanan Ekspor adalah bulan September 2020.
Ayat (6)
Contoh 1:
Surat pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor
dari Bank Indonesia kepada PT TB diterbitkan pada tanggal 25
September 2020, sehingga bulan pengenaan sanksi penangguhan
atas pelayanan Ekspor PT TB adalah bulan September 2020.
Pembebasan penangguhan atas pelayanan Ekspor PT TB hanya
dapat dilakukan apabila PT TB menyampaikan bukti pemenuhan
kewajiban penerimaan DHE sesuai dengan Nilai Ekspor dan
diterima Bank Indonesia paling lambat tanggal 30 September
2021.
Apabila bukti pemenuhan kewajiban penerimaan DHE diterima
Bank Indonesia setelah tanggal 30 September 2021, Bank
Indonesia tidak memproses pengajuan pembebasan penangguhan
atas pelayanan Ekspor PT TB.
Contoh 2:
Surat pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor
dari Bank Indonesia kepada PT BA diterbitkan pada tanggal 25
September 2020, sehingga bulan pengenaan sanksi penangguhan
atas pelayanan Ekspor PT BA adalah bulan September 2020.
Pembebasan penangguhan atas pelayanan Ekspor PT BA hanya
dapat dilakukan apabila PT BA menyampaikan bukti pemenuhan
kewajiban penerimaan DHE sesuai dengan Nilai Maklon dan
diterima Bank Indonesia paling lambat tanggal 30 September
2021.
Apabila bukti pemenuhan kewajiban penerimaan DHE diterima
Bank Indonesia setelah tanggal 30 September 2021, Bank
Indonesia tidak memproses pengajuan pembebasan penangguhan
atas pelayanan Ekspor PT BA.
59
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “otoritas terkait” adalah kementerian atau
lembaga yang memiliki kewenangan perizinan terkait Ekspor.
Informasi yang disampaikan kepada otoritas terkait antara lain
NPWP, nama Eksportir, dan bulan pengenaan sanksi
penangguhan atas pelayanan Ekspor.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Contoh 1:
PT TD melakukan Impor pada tanggal 11 Maret 2021 dengan Nilai
Impor sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika
Serikat). Sampai dengan tanggal 30 Juni 2021, PT TD tidak
melaporkan DPI dan tidak menyampaikan dokumen pendukung
yang memadai kepada Bank Indonesia. Berdasarkan hal tersebut,
Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis pada bulan Juli 2021.
Contoh 2:
PT DR melakukan Impor pada tanggal 11 Maret 2021 dengan Nilai
Impor sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika
Serikat). Sampai dengan tanggal 30 Juni 2021, PT DR melaporkan
DPI sebesar USD550,000.00 (lima ratus lima puluh ribu dolar
Amerika Serikat) sehingga terdapat selisih lebih nilai DPI dengan
Nilai Impor sebesar 10% (sepuluh persen) dari Nilai Impor dan
tidak menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada
Bank Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, Bank Indonesia
mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis pada
bulan Juli 2021.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
PT TD tidak menindaklanjuti kewajiban pelaporan DPI sampai
dengan batas waktu teguran tertulis, yaitu tanggal 10 Agustus
60
2021. Berdasarkan hal tersebut, Bank Indonesia mengenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua pada bulan
Agustus 2021.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Pelaksanaan pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan
Impor dilakukan oleh DJBC atas dasar permintaan Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “bulan pengenaan sanksi penangguhan
atas pelayanan Impor” adalah bulan diterbitkannya surat
pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Impor oleh Bank
Indonesia.
Contoh:
Surat pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Impor dari
Bank Indonesia diterbitkan pada tanggal 25 September 2021,
sehingga bulan pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan
Impor adalah bulan September 2021.
Ayat (6)
Contoh:
Surat pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Impor dari
Bank Indonesia kepada PT TD diterbitkan pada tanggal 25
61
September 2021, sehingga bulan pengenaan sanksi penangguhan
atas pelayanan Impor adalah bulan September 2021.
Pembebasan penangguhan atas pelayanan Impor PT TD hanya
dapat dilakukan apabila PT TD menyampaikan bukti pemenuhan
kewajiban pelaporan DPI dan diterima Bank Indonesia paling
lambat pada tanggal 30 September 2022.
Apabila bukti pemenuhan kewajiban pelaporan DPI diterima Bank
Indonesia setelah tanggal 30 September 2022, Bank Indonesia
tidak memproses pengajuan pembebasan penangguhan atas
pelayanan Impor PT TD.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “otoritas terkait” adalah kementerian atau
lembaga yang memiliki kewenangan perizinan terkait Impor.
Informasi yang disampaikan kepada otoritas terkait antara lain
NPWP, nama Importir, dan bulan pengenaan sanksi penangguhan
atas pelayanan Impor.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/26/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> DEVISA HASIL EKSPOR DAN DEVISA PEMBAYARAN IMPOR </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2019 </set_date>
<effective_date> 23 Desember 2019 </effective_date>
<replaced_reg> '21/15/PADG/2019 | kecuali ketentuan terkait pelaporan penerimaan DHE dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan DHE Non-SDA yang diterima pada tanggal 31 Desember 2019', '16/9/DSta|SE-BI/2014 | kecuali ketentuan terkait penyampaian informasi dan laporan penerimaan DHE SDA dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan DHE SDA yang diterima pada tanggal 31 Desember 2020' </replaced_reg>
<related_reg> '21/14/PBI/2019' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII', 'BAB IX' </penalty_list>
|
2
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/24/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/4/PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAUSAHAAN
SURAT BERHARGA MELALUI BANK INDONESIA-SCRIPLESS SECURITIES
SETTLEMENT SYSTEM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa
untuk
segera memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih lancar,
aman, efisien, dan andal, diperlukan percepatan
pemberlakuan ketentuan mengenai pelaksanaan setelmen
atas transaksi surat berharga antarpeserta Bank
Indonesia-Scripless Securities Settlement System;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur tentang Perubahan atas Peraturan
Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/4/PADG/2018
tentang Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga
Melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System;
2
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga,
dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5762) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 20/11/PBI/2018 tentang Perubahan Ketiga
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015
tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat
Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 186, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6256);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/4/PADG/2018 TENTANG
PENYELENGGARAAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA
MELALUI BANK INDONESIA-SCRIPLESS SECURITIES
SETTLEMENT SYSTEM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/4/PADG/2018 tentang Penyelenggaraan
Penatausahaan Surat Berharga Melalui Bank Indonesia-
Scripless Securities Settlement System diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah
infrastruktur yang digunakan sebagai sarana
penatausahaan transaksi dan penatausahaan surat
berharga yang dilakukan secara elektronik.
3
2. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform
yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah
infrastruktur yang digunakan sebagai sarana
transaksi yang dilakukan secara elektronik.
3. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah
infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer
dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika
per transaksi secara individual.
4. Sistem Informasi BI-SSSS yang selanjutnya disingkat
SI BI-SSSS adalah sistem yang disediakan oleh Bank
Indonesia bagi sub-registry sebagai sarana pelaporan
dan rekonsiliasi data BI-SSSS terkait penatausahaan
individual nasabah.
5. Penatausahaan adalah kegiatan yang mencakup
pencatatan kepemilikan, kliring, dan setelmen, serta
pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan
pelunasan pokok/nominal atas hasil transaksi surat
berharga dan hasil transaksi tanpa surat berharga.
6. Transaksi adalah transaksi dengan Bank Indonesia
dan transaksi pasar keuangan.
7. Transaksi dengan Bank Indonesia adalah transaksi
yang dilakukan oleh peserta dengan Bank Indonesia
untuk kegiatan operasi moneter, transaksi surat
berharga negara untuk dan atas nama pemerintah,
dan/atau transaksi lainnya yang dilakukan dengan
Bank Indonesia.
8. Transaksi Pasar Keuangan adalah transaksi surat
berharga dan transaksi pinjam meminjam
antarpeserta secara konvensional atau yang
dipersamakan berdasarkan prinsip syariah dalam
transaksi pasar uang dan/atau transaksi surat
berharga di pasar sekunder.
9. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian
moneter yang dilakukan secara konvensional dan
berdasarkan prinsip syariah.
4
10. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya
disingkat FLI adalah fasilitas pendanaan yang
diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank peserta
Sistem BI-RTGS baik secara konvensional maupun
berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi
kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam
operasional Sistem BI-RTGS.
11. Surat Berharga adalah surat berharga yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia, pemerintah,
dan/atau lembaga lain, yang ditatausahakan pada
BI-SSSS.
12. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat
SBN adalah surat utang negara dan surat berharga
syariah negara.
13. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
surat utang negara.
14. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai surat berharga syariah negara.
15. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SBI adalah Surat Berharga dalam mata uang rupiah
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek.
16. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah Surat Berharga dalam mata
uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek
yang dapat diperdagangkan hanya antarbank.
17. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah Surat Berharga berdasarkan
prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata
uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
5
18. Penyelenggara BI-SSSS yang selanjutnya disebut
Penyelenggara adalah Bank Indonesia dalam
kedudukan sebagai pihak yang menyelenggarakan
BI-SSSS.
19. Peserta BI-SSSS yang selanjutnya disebut Peserta
adalah pihak yang memenuhi persyaratan dan telah
memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai
peserta dalam penyelenggaraan BI-SSSS.
20. Central Registry adalah Bank Indonesia yang
melakukan fungsi Penatausahaan bagi kepentingan
Peserta.
21. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang
memenuhi persyaratan dan disetujui oleh
Penyelenggara sebagai Peserta BI-SSSS, untuk
melakukan fungsi Penatausahaan bagi kepentingan
nasabah.
22. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri dan bank umum syariah
termasuk unit usaha syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
23. Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa
penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan
efek serta jasa lainnya, termasuk menerima dividen,
bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi
efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi
nasabahnya.
24. Dealer Utama adalah Bank dan/atau perusahaan
efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai
dealer utama.
25. Setelmen adalah proses penyelesaian akhir transaksi
keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan
rekening setelmen dana, rekening surat berharga,
dan/atau rekening lainnya di Bank Indonesia.
6
26. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan pendebitan
dan pengkreditan rekening surat berharga dalam
rangka Penatausahaan.
27. Setelmen Dana adalah proses penyelesaian akhir
transaksi keuangan melalui pendebitan dan
pengkreditan rekening setelmen dana.
28. Rekening Surat Berharga adalah rekening Peserta
dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang
ditatausahakan di Bank Indonesia dalam rangka
pencatatan kepemilikan dan Setelmen atas transaksi
Surat Berharga, Transaksi dengan Bank Indonesia,
dan/atau Transaksi Pasar Keuangan.
29. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta
pada Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah
dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank
Indonesia untuk pelaksanaan Setelmen Dana.
30. Bank Pembayar adalah peserta Sistem BI-RTGS yang
ditunjuk
sebagai
pembayaran dan penerimaan dana oleh Peserta lain.
31. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi
yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau
kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak,
jaringan komunikasi, aplikasi maupun sarana
pendukung BI-SSSS yang mempengaruhi kelancaran
penyelenggaraan BI-SSSS.
32. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi
di luar kekuasaan Penyelenggara dan/atau Peserta
yang menyebabkan kegiatan operasional BI-SSSS
tidak dapat diselenggarakan yang diakibatkan oleh
kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, serta
bencana alam seperti gempa bumi dan banjir,
dan/atau sebab lain, yang dinyatakan oleh pihak
penguasa atau pejabat yang berwenang setempat,
termasuk Bank Indonesia.
pihak untuk melakukan
7
33. Fasilitas Guest Bank adalah fasilitas BI-SSSS di lokasi
Penyelenggara dan Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Dalam Negeri (KPwDN) yang disediakan oleh
Penyelenggara untuk Peserta sebagai cadangan
dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat yang menyebabkan Peserta tidak
dapat menggunakan BI-SSSS di lokasi Peserta.
34. BI-SSSS Central Node yang selanjutnya disebut SCN
adalah sistem di Penyelenggara yang menyediakan
fungsi untuk pelaksanaan kegiatan Penatausahaan
dan fungsi pendukung lain dalam rangka
penyelenggaraan BI-SSSS.
35. BI-SSSS Participant Platform yang selanjutnya disebut
SPP adalah BI-SSSS di Peserta yang terhubung
dengan SCN, yang digunakan Peserta untuk
melakukan kegiatan terkait Penatausahaan dan
fungsi pendukung lainnya.
36. Digital Certificate adalah suatu sertifikat dalam
bentuk file terproteksi yang memuat identitas pemilik
sertifikat, kunci enkripsi untuk melakukan verifikasi
tanda tangan digital pemilik, dan periode validitas
sertifikat, yang dihasilkan oleh infrastruktur kunci
publik Bank Indonesia.
2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
(1) Kegiatan Penatausahaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf f mencakup:
a. melakukan pencatatan penerbitan dan
kepemilikan Surat Berharga atas hasil Setelmen;
b. menyediakan data dan informasi terkait
pencatatan penerbitan dan kepemilikan Surat
Berharga;
8
c. melakukan Setelmen atas transaksi Surat
Berharga, Transaksi dengan Bank Indonesia,
dan Transaksi Pasar Keuangan di pasar perdana
maupun di pasar sekunder;
d. melakukan Setelmen atas pengenaan sanksi
administratif berupa kewajiban membayar
kepada peserta Operasi Moneter;
e. melakukan pembatalan Setelmen second leg atas
transaksi antar-Peserta di pasar sekunder yang
belum jatuh waktu;
f. melakukan pembatalan Setelmen second leg atas
perpanjangan (roll over) otomatis oleh sistem;
g. melakukan pemblokiran Surat Berharga atas
permintaan lembaga pengawas;
h. melakukan pembayaran kupon/bunga atau
imbalan dan pelunasan pokok/nominal atas
Surat Berharga dan instrumen yang
ditatausahakan di BI-SSSS kepada Peserta
pemilik Surat Berharga dan Sub-Registry; dan
i.
mendebit Rekening Setelmen Dana Peserta yang
memiliki fungsi sebagai penerbit dalam rangka
melakukan pembayaran kupon/bunga atau
imbalan dan pelunasan pokok/nominal
sebagaimana dimaksud dalam huruf h.
(2) Setelmen atas transaksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara:
a. mendebit atau mengkredit Rekening Setelmen
Dana Peserta atau Bank Pembayar; dan/atau
b. mendebit atau mengkredit Rekening Surat
Berharga Peserta.
(3) Pembatalan Setelmen second leg sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan
berdasarkan:
a. permintaan salah satu Peserta yang bertransaksi
atas dasar kuasa pembatalan dari Peserta lawan
transaksi;
9
b. keputusan lembaga pengawas yang berwenang
yang mengakibatkan Setelmen second leg harus
dibatalkan; dan/atau
c. keputusan lembaga arbitrase dan/atau
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap, yang mengakibatkan Setelmen second leg
harus dibatalkan.
(4) Pembatalan Setelmen second leg sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan dalam hal:
a. Surat Berharga yang ditransaksikan memasuki
batas waktu Surat Berharga dapat
ditransaksikan; dan
b. Peserta tidak melakukan pembatalan Setelmen
second leg.
3. Ketentuan Bagian Keenam Bab IV diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Bagian Keenam
Penatausahaan Transaksi Operasi Moneter
Paragraf 1
Penatausahaan Transaksi Operasi Moneter untuk
Absorpsi Likuiditas
Pasal 126
Setelmen atas transaksi Operasi Moneter untuk absorpsi
likuiditas di pasar uang terdiri atas:
a. Setelmen atas transaksi penerbitan Surat Berharga
oleh Bank Indonesia;
b. Setelmen atas transaksi penempatan dana; dan
c. Setelmen atas transaksi pasar sekunder.
Pasal 127
(1) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi Operasi
Moneter untuk absorpsi likuiditas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 126 dilakukan secara DvP.
10
(2) Pelaksanaan Setelmen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan urutan instruksi
Setelmen.
(3) Setelmen tidak dapat dilakukan selama saldo
Rekening Setelmen Dana dan/atau saldo Rekening
Surat Berharga tidak mencukupi sampai dengan
batas waktu Setelmen atas transaksi Operasi Moneter
atau awal periode cut-off warning BI-SSSS.
Pasal 128
Pelaksanaan Setelmen jatuh waktu atas transaksi Operasi
Moneter mulai dilakukan pada awal hari yang meliputi:
a. Setelmen jatuh waktu untuk pelunasan Surat
Berharga dan penempatan dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 126 huruf a dan huruf b; dan
b. Setelmen second leg transaksi di pasar sekunder
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf c.
Pasal 129
Setelmen atas transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 126 dan Pasal 128, dilakukan dengan mekanisme
Setelmen sebagaimana tercantum dalam Lampiran X.
Paragraf 2
Penatausahaan Transaksi Operasi Moneter untuk Injeksi
Likuiditas
Pasal 130
(1) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi Operasi
Moneter untuk injeksi likuiditas di pasar uang
dilakukan secara DvP.
(2) Pelaksanaan Setelmen dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan urutan instruksi Setelmen.
11
(3) Setelmen tidak dapat dilakukan selama saldo
Rekening Setelmen Dana dan/atau saldo Rekening
Surat Berharga tidak mencukupi sampai dengan
batas waktu Setelmen transaksi Operasi Moneter
atau awal periode cut-off warning BI-SSSS.
Pasal 131
Pelaksanaan Setelmen jatuh waktu atas transaksi Operasi
Moneter mulai dilakukan pada awal hari.
Pasal 132
Setelmen atas transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 130 dan Pasal 131, dilakukan dengan mekanisme
Setelmen sebagaimana tercantum dalam Lampiran X.
Paragraf 3
Pelaksanaan Pembebanan atas Pengenaan Sanksi
Administratif Kewajiban Membayar untuk Operasi Moneter
Pasal 133
Penyelenggara mendebit Rekening Setelmen Dana Peserta
atau Bank Pembayar untuk pembebanan atas pengenaan
sanksi administratif berupa kewajiban membayar sesuai
dengan ketentuan yang mengatur mengenai operasi
moneter.
4. Ketentuan Pasal 177 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 177
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku:
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/31/DPSP
tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan
Penatausahaan Surat Berharga melalui Bank
Indonesia-Scripless Securities Settlement System; dan
12
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/20/DPSP
tanggal 23 September 2016 perihal Perubahan atas
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/31/DPSP
tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan
Penatausahaan Surat Berharga melalui Bank
Indonesia-Scripless Securities Settlement System,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali:
a. ketentuan mengenai kepesertaan sebagaimana
dimaksud dalam butir III.F.2.g. dinyatakan berlaku
sampai dengan tanggal 31 Mei 2018;
b. ketentuan mengenai setelmen sebagaimana dimaksud
dalam butir IV.D.3.a.2) dan butir IV.D.3.a.3) dinyatakan
masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Oktober
2018; dan
c. ketentuan mengenai penatausahaan surat berharga
dalam rangka FLI sebagaimana dimaksud dalam butir
IV.H dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan
tanggal 31 Desember 2018.
5. Ketentuan Pasal 178 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 178
(1) Ketentuan mengenai kewajiban Sub-Registry untuk
mengelola dan melaporkan data nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 huruf g khusus informasi
berupa prinsip usaha mulai berlaku pada tanggal 1
Juni 2018.
(2) Ketentuan mengenai
Setelmen
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 ayat (4) sampai dengan ayat
(7), Pasal 95 ayat (8), Pasal 98 ayat (8), Pasal 102 ayat
(2), dan Pasal 119 ayat (6), mulai berlaku pada tanggal
1 November 2018.
(3) Ketentuan mengenai Penatausahaan Surat Berharga
untuk FLI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141
sampai dengan Pasal 144, mulai berlaku pada tanggal
1 Januari 2019.
13
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
SUGENG
2
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/24/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/4/PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN
PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA MELALUI BANK INDONESIA-
SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM
I. UMUM
Bahwa Bank Indonesia telah melakukan penyempurnaan Sistem BI-
RTGS dan BI-SSSS untuk mendukung perubahan kebijakan larangan queue
bersamaan dengan kegiatan penggantian infrastruktur yang digunakan
untuk Sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan Sistem BI-ETP.
Sehubungan dengan hal tersebut, untuk segera mewujudkan
penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih lancar, aman, efisien, dan
andal maka diperlukan percepatan pemberlakuan ketentuan mengenai
pelaksanaan Setelmen atas transaksi Surat Berharga antar-Peserta.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
2
Angka 2
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “batas waktu Surat
Berharga dapat ditransaksikan” adalah batas
waktu Surat Berharga untuk ditransaksikan oleh
Peserta sesuai dengan term and condition untuk
masing-masing Surat Berharga.
Huruf b
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 126
Yang dimaksud dengan “absorpsi” adalah pengurangan
likuiditas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai operasi moneter.
Huruf a
Setelmen transaksi penerbitan Surat Berharga antara lain
SBI, SBIS, dan SDBI.
Huruf b
Setelmen transaksi penempatan dana antara lain term
deposit, deposit facility, dan Fasilitas Simpanan Bank
Indonesia Syariah (FASBIS).
Huruf c
Setelmen transaksi pasar sekunder antara lain reverse
repo SBN dan outright jual SBN oleh Bank Indonesia.
Pasal 127
Cukup jelas.
3
Pasal 128
Huruf a
Setelmen transaksi pelunasan antara lain untuk SBI,
SBIS, SDBI, term deposit, deposit facility, dan FASBIS.
Huruf b
Setelmen transaksi second leg di pasar sekunder antara
lain untuk reverse repo SBN.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Ayat (1)
Setelmen atas transaksi Operasi Moneter untuk injeksi
likuiditas antara lain Setelmen transaksi repo dengan
Bank Indonesia, outright beli SBN oleh Bank Indonesia,
lending facility, dan financing facility.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 177
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 178
Cukup jelas.
4
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/24/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/4/PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA MELALUI BANK INDONESIA-SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM </reg_title>
<set_date> 31 Oktober 2018 </set_date>
<effective_date> 31 Oktober 2018 </effective_date>
<changed_reg> '20/4/PADG/2018' </changed_reg>
<replaced_reg> '17/31/DPSP|SE-BI/2015 | kecuali: a. ketentuan mengenai kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam butir III.F.2.g. dinyatakan berlaku sampai dengan tanggal 31 Mei 2018; b. ketentuan mengenai setelmen sebagaimana dimaksud dalam butir IV.D.3.a.2) dan butir IV.D.3.a.3) dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Oktober 2018; dan c. ketentuan mengenai penatausahaan surat berharga dalam rangka FLI sebagaimana dimaksud dalam butir IV.H dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2018', '18/20/DPSP|SE-BI/2016 | kecuali: a. ketentuan mengenai kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam butir III.F.2.g. dinyatakan berlaku sampai dengan tanggal 31 Mei 2018; b. ketentuan mengenai setelmen sebagaimana dimaksud dalam butir IV.D.3.a.2) dan butir IV.D.3.a.3) dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Oktober 2018; dan c. ketentuan mengenai penatausahaan surat berharga dalam rangka FLI sebagaimana dimaksud dalam butir IV.H dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2018' </replaced_reg>
<related_reg> '17/18/PBI/2015', '20/11/PBI/2018' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 2 Pasal 6 Ayat 1 Huruf d', 'Pasal I Angka 3 Bab IV Bagian Keenam Paragraf 3 Pasal 133' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/17/PADG/2018
TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN
PIHAK ASING
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendorong pasar keuangan yang likuid dan
efisien diperlukan pengembangan pasar valuta asing
domestik secara menyeluruh, dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian
bertransaksi;
dalam
b. bahwa dalam upaya pengembangan pasar valuta asing
domestik diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai
transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank
dengan pihak asing terkait dengan penggunaan kontrak
dalam bertransaksi, variasi instrumen, underlying
transaksi, dan penyelesaian transaksi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak
Asing;
2
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/19/PBI/2016 tentang
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan
Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5927);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA
BANK DENGAN PIHAK ASING.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
serta bank umum syariah dan unit usaha syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
namun tidak termasuk kantor bank umum dan bank
umum syariah berbadan hukum Indonesia yang
beroperasi di luar negeri.
2. Pihak Asing adalah:
a. warga negara asing;
b. badan hukum asing atau lembaga asing lainnya;
c. warga negara Indonesia yang memiliki status
penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan
tidak berdomisili di Indonesia;
d. kantor Bank di luar negeri dari Bank yang berkantor
pusat di Indonesia; atau
e. kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan
yang berbadan hukum Indonesia.
3
3. Warga Negara Asing adalah orang yang memiliki
kewarganegaraan selain Indonesia, termasuk yang
memiliki izin menetap atau izin tinggal di Indonesia.
4. Badan Hukum Asing atau Lembaga Asing lainnya adalah
badan hukum atau lembaga asing yang didirikan di luar
negeri, namun tidak termasuk:
a. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri;
b. perusahaan penanaman modal asing (PMA); atau
c. badan hukum asing atau lembaga asing yang
memiliki kegiatan yang bersifat nirlaba meliputi
ASEAN Secretary, World Bank, Asian Development
Bank, dan lembaga asing lainnya yang memenuhi
kriteria sebagai lembaga multilateral yang bersifat
nirlaba.
5. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi
penjualan dan pembelian valuta asing terhadap rupiah.
6. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah
transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian
pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai
tukar valuta asing terhadap rupiah, gabungan turunan
dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah dan suku
bunga (valuta asing dan rupiah), atau gabungan
antarturunan dari nilai tukar valuta asing terhadap
rupiah.
7. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari
pembelian atau penjualan valuta asing terhadap rupiah.
8. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli valuta asing
terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan 2
(dua) hari kerja setelah tanggal transaksi, termasuk
transaksi dengan penyerahan dana pada hari yang sama
(today) atau dengan penyerahan dana 1 (satu) hari kerja
setelah tanggal transaksi (tomorrow).
9. Transaksi Forward adalah transaksi jual atau beli valuta
asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan
dalam waktu lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal
transaksi.
4
10. Transaksi Swap adalah transaksi jual atau beli valuta
asing terhadap rupiah dengan cara pembelian secara tunai
atau berjangka dengan penjualan kembali secara
berjangka atau penjualan secara tunai atau berjangka
dengan pembelian kembali secara berjangka, yang
dilakukan secara simultan dengan pihak yang sama pada
tanggal transaksi.
11. Transaksi Option adalah transaksi jual atau beli valuta
asing terhadap rupiah yang didasari suatu perjanjian yang
memberikan hak kepada pembeli untuk membeli (call
option) atau menjual (put option) pada tanggal tertentu
dalam periode perjanjian transaksi.
12. Transaksi Cross Currency Swap adalah transaksi antara 2
(dua) pihak untuk melakukan pertukaran serangkaian
pembayaran bunga (interest payment) dalam mata uang
berbeda yang dilakukan dengan atau tanpa pertukaran
pokok (principal) dalam jangka waktu tertentu.
13. Call Spread Option adalah gabungan beli call option dan
jual call option yang dilakukan secara simultan dalam 1
(satu) kontrak transaksi dengan strike price yang berbeda
dan nominal yang sama.
14. Transfer Rupiah adalah pemindahan sejumlah dana
rupiah yang ditujukan kepada penerima dana untuk
kepentingan Bank maupun nasabah Bank, baik melalui
setoran tunai maupun pemindahbukuan antarrekening
pada Bank yang sama atau Bank yang berbeda, yang
menyebabkan bertambahnya saldo rekening rupiah
penerima dana.
5
BAB II
TRANSAKSI
Bagian Kesatu
Kontrak
Pasal 2
Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah dengan Pihak Asing atas dasar suatu kontrak.
Pasal 3
(1) Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
berupa:
a. konfirmasi tertulis berupa kontrak Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah yang lazim digunakan oleh
pelaku pasar dan/atau diterbitkan oleh asosiasi
terkait; dan/atau
b. konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya
transaksi.
(2) Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
paling sedikit berisi:
a. nomor kontrak;
b. tanggal transaksi dan tanggal valuta;
c. nilai nominal transaksi;
d. nama counterparty;
e. mata uang (denominasi); dan
f. rekening bank koresponden.
(3) Kontrak yang digunakan oleh pelaku pasar dalam
melakukan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah dapat berupa perjanjian induk derivatif Indonesia
sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
6
Pasal 4
(1) Dalam hal kontrak yang digunakan Bank dalam Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) mencantumkan penggunaan acuan
kurs dalam penyelesaian transaksi pada saat jatuh waktu,
Bank harus mengacu pada kurs Jakarta Interbank Spot
Dollar Rate (JISDOR).
(2) JISDOR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
sebagai berikut:
a. Bank Indonesia menerbitkan JISDOR setiap hari
kerja melalui situs web Bank Indonesia dan/atau
media lainnya; dan
b. penggunaan JISDOR berlaku untuk transaksi dolar
Amerika Serikat terhadap rupiah.
Bagian Kedua
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
Pasal 5
(1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi
transaksi pembelian dan penjualan dalam denominasi
seluruh valuta asing terhadap rupiah.
(2) Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah dengan Pihak Asing, Bank wajib menggunakan
kuotasi harga atau kurs valuta asing terhadap rupiah yang
ditetapkan oleh Bank.
Pasal 6
(1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi:
a. Transaksi Spot; dan
b. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah.
(2) Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a.
transaksi derivatif yang standar (plain vanilla), dalam
bentuk forward, swap, option, dan cross currency
swap; dan
7
b.
transaksi structured product valuta asing terhadap
rupiah berupa Call Spread Option.
Pasal 7
(1) Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf a dan transaksi derivatif yang standar (plain
vanilla) sebagaimana dimaksud daam Pasal 6 ayat (2)
huruf a yang dilakukan Bank dengan Pihak Asing di atas
jumlah tertentu (threshold) wajib memiliki Underlying
Transaksi.
(2) Transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah
berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2) huruf b wajib memiliki Underlying
Transaksi.
Pasal 8
Pembelian dan penjualan valuta asing terhadap rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat dilakukan
untuk:
a.
jenis valuta asing yang sama dengan yang tercantum
dalam dokumen Underlying Transaksi; atau
b.
jenis valuta asing yang berbeda dengan dokumen
Underlying Transaksi apabila disertai dengan dokumen
yang dapat menjelaskan alasan perbedaan tersebut.
Pasal 9
(1) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Pihak Asing
kepada Bank tanpa Underlying Transaksi hanya dapat
dilakukan paling banyak:
a. sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar
Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per
Pihak Asing melalui Transaksi Spot; dan
b. sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika
Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Pihak
Asing maupun per posisi (outstanding) per Bank
melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah yang standar (plain vanilla) melalui Transaksi
8
Forward, Option, Swap, dan Cross Currency Swap
(CCS).
(2) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Pihak Asing
kepada Bank dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. perhitungan 1 (satu) bulan didasarkan pada bulan
kalender, yaitu sejak tanggal permulaan bulan
kalender sampai dengan tanggal berakhirnya bulan
kalender.
b. perhitungan nominal transaksi didasarkan pada
tanggal transaksi (transaction date).
c. perhitungan nominal transaksi pembelian valuta
asing terhadap rupiah didasarkan pada jenis
transaksi.
d. perhitungan nominal transaksi didasarkan pada
akumulasi seluruh transaksi dalam 1 (satu) bulan
kalender yang dilakukan oleh masing-masing Pihak
Asing secara individual baik secara tunai maupun
non-tunai dalam bentuk simpanan valuta asing.
e. jumlah nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah melalui rekening gabungan (joint account)
yang dimiliki lebih dari 1 (satu) Pihak Asing dihitung
per rekening gabungan (joint account).
(3) Penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh Pihak Asing
kepada Bank tanpa Underlying Transaksi hanya dapat
dilakukan paling banyak:
a. sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika
Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Pihak
Asing melalui Transaksi Forward; dan
b. sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika
Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Pihak
Asing maupun per posisi (outstanding) per Bank
melalui Transaksi Option, Swap, dan Cross Currency
Swap.
9
BAB III
UNDERLYING TRANSAKSI
Pasal 10
Underlying Transaksi meliputi seluruh kegiatan:
a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri;
dan/atau
b. investasi berupa foreign direct investment, portfolio
investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di
dalam dan di luar negeri.
Pasal 11
(1) Underlying Transaksi berupa investasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 huruf b termasuk fasilitas
pemberian kredit antarnasabah (intercompany loan) yang
telah ditarik sepanjang merupakan kredit yang diberikan
oleh Pihak Asing kepada nasabah di dalam negeri.
(2) Dalam hal fasilitas pemberian kredit antarnasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ditarik maka
tidak dapat digunakan sebagai Underlying Transaksi.
(3) Nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan
Underlying Transaksi berupa pemberian
kredit
antarnasabah (intercompany loan) baik dalam bentuk
tunai maupun barang yang telah ditarik, paling banyak
sama dengan nominal kredit yang telah ditarik.
(4) Jatuh waktu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
dengan Underlying Transaksi berupa pemberian kredit
antarnasabah (intercompany loan) yang telah ditarik
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), paling lama sama
dengan jatuh waktu pelunasan kredit yang ditarik
tersebut.
(5) Jangka waktu Underlying Transaksi berupa pemberian
kredit antarnasabah (intercompany loan) yang telah ditarik
paling singkat 1 (satu) bulan dengan jangka waktu
pengembalian kredit antarnasabah (intercompany loan)
paling singkat 1 (satu) bulan sejak tanggal penarikan dana
kredit.
10
Pasal 12
(1) Khusus untuk penjualan valuta asing terhadap rupiah
melalui Transaksi Forward oleh Pihak Asing kepada Bank
dan untuk Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki
Pihak Asing, Underlying Transaksi juga meliputi
kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar
negeri.
(2) Nominal Transaksi Forward sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling banyak sebesar saldo dan/atau jumlah
kepemilikan dana valuta asing Pihak Asing di dalam negeri
dan/atau di luar negeri.
(3) Transfer Rupiah ke rekening Pihak Asing dengan
Underlying Transaksi berupa kepemilikan dana valuta
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
Transfer Rupiah yang berasal dari penjualan valuta asing
terhadap rupiah melalui Transaksi Spot.
(4) Dalam hal dana valuta asing ditempatkan pada instrumen
yang memiliki tanggal jatuh, jatuh waktu penjualan valuta
asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward paling
lama sama dengan jatuh waktu penempatan dana.
(5) Dalam hal dana valuta asing ditempatkan pada instrumen
yang tidak memiliki tanggal jatuh waktu, jatuh waktu
penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi
Forward tidak dibatasi.
(6) Dalam hal kepemilikan dana valuta asing berupa
instrumen yang tidak memiliki tanggal jatuh waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), saldo rekening
valuta asing pada instrumen tersebut paling kurang sama
dengan nominal penjualan valuta asing terhadap rupiah
melalui Transaksi Forward untuk sepanjang waktu
Transaksi Forward dimaksud.
11
Pasal 13
(1) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Pihak Asing
kepada Bank melalui Transaksi Spot di atas jumlah
tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf a dilarang melebihi nominal Underlying
Transaksi.
(2) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dalam
kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat)
maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi
dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam
kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat).
Pasal 14
(1) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Pihak Asing
melalui transaksi derivatif yang standar (plain vanilla)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dan
penjualan valuta asing terhadap rupiah oleh Pihak Asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) melalui
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah di atas
jumlah tertentu (threshold) dilarang melebihi nominal
Underlying Transaksi.
(2) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dalam
kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika
Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying
Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas
dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar
Amerika Serikat).
Pasal 15
(1) Underlying Transaksi atas Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah berupa investasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf b wajib memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a.
terdapat realisasi investasi; dan
12
b. nilai Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah untuk investasi paling banyak sebesar nilai
realisasi investasi yang tercantum dalam dokumen
Underlying Transaksi.
(2) Realisasi investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a.
telah terjadi aliran dana dari Pihak Asing untuk
penyelesaian transaksi kegiatan investasi dimaksud;
dan
b. jangka waktu Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah paling lama sama dengan sisa
jangka waktu Underlying Transaksi.
(3) Dalam hal realisasi investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) masih dalam proses maka wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. Pihak Asing yang bersangkutan telah tercatat sebagai
investor atas investasi dimaksud;
b. telah terjadi aliran dana dari Pihak Asing atas
rencana investasi dimaksud; dan
c. jangka waktu Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah paling lama sama dengan sisa
jangka waktu Underlying Transaksi.
BAB IV
PENYELESAIAN TRANSAKSI
Pasal 16
(1) Penyelesaian Transaksi Spot sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a wajib dilakukan dengan
pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of
fund).
(2) Pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of
fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sebagai berikut:
a. secara riil atas nilai pokok masing-masing transaksi
jual dan/atau transaksi beli yang disepakati pada
awal transaksi tersebut;
13
b. didukung oleh tersedianya sejumlah dana riil yang
cukup untuk membiayai transaksi dimaksud (good
fund) dan bukan didasarkan pada aspek pencatatan
dalam pembukuan (akuntansi); dan
c. dana pokok tersebut digunakan untuk proses
penyelesaian Transaksi Spot pada tanggal valuta dan
tercatat pada sistem treasury Bank, yang dapat
dibuktikan dari urutan waktu penyelesaian
transaksi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku
pula untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah yang standar (plain vanilla) dengan nominal paling
banyak sebesar jumlah tertentu (threshold).
(4) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b yang dapat
dilakukan secara netting hanya berlaku untuk
perpanjangan transaksi (roll over), percepatan
penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind) sepanjang didukung
dengan dokumen Underlying Transaksi.
(5) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 17
(1) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap rupiah oleh
Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Forward dengan
nominal transaksi paling banyak sebesar jumlah tertentu
(threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3)
huruf a wajib dilakukan pemindahan dana pokok secara
penuh (full movement of fund).
(2) Pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of
fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai
berikut:
14
a. dilakukan pada saat jatuh waktu Transaksi Forward
jual;
b. dilakukan pada saat berakhirnya kontrak
perpanjangan transaksi (roll over) atau kontrak
percepatan penyelesaian transaksi (early termination)
dalam hal sebelum berakhirnya kontrak Transaksi
Forward jual awal dilakukan perpanjangan transaksi
(roll over) atau percepatan penyelesaian transaksi
(early termination); dan
c.
paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold)
tidak dapat dilakukan melalui pengakhiran transaksi
(unwind) karena tidak terdapat pemindahan dana
pokok secara penuh (full movement of fund).
(3) Perpanjangan transaksi (roll over) atau percepatan
penyelesaian transaksi (early termination) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dilakukan
sepanjang didukung oleh Underlying Transaksi dari
Transaksi Forward jual awal.
(4) Penyelesaian transaksi secara netting atas perpanjangan
transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi
(early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind)
tidak dapat dilakukan untuk Transaksi Forward jual
valuta asing terhadap rupiah oleh Pihak Asing kepada
Bank dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa
kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar
negeri.
(5) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
15
BAB V
TRANSAKSI STRUCTURED PRODUCT
Bagian Kesatu
Transaksi Call Spread Option
Pasal 18
(1) Bank dilarang melakukan transaksi structured product
valuta asing terhadap rupiah.
(2) Larangan transaksi structured product sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk structured
product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread
Option.
(3) Bank yang melakukan transaksi structured product valuta
asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option dengan
Pihak Asing wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki Underlying Transaksi;
b. nominal transaksi tidak melebihi nominal Underlying
Transaksi; dan
c.
jangka waktu transaksi tidak melebihi jangka waktu
Underlying Transaksi.
(4) Transaksi Call Spread Option valuta asing terhadap rupiah
merupakan satu kesatuan transaksi yang dilakukan
secara simultan sehingga perhitungan nominal transaksi
tidak dihitung 2 (dua) kali.
(5) Transaksi Spot yang dilakukan dalam rangka transaksi
structured product valuta asing terhadap rupiah berupa
Call Spread Option dapat menggunakan Underlying
Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option
awal.
(6) Contoh transaksi structured product valuta asing terhadap
rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
16
Bagian Kedua
Dynamic Hedging
Pasal 19
(1) Transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah
berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (2) wajib dilakukan secara dynamic hedging.
(2) Dynamic hedging dilakukan untuk memastikan pelaku
transaksi Call Spread Option tidak terekspos pada risiko
nilai tukar akibat kurs pasar melampaui kisaran kurs Call
Spread Option awal.
(3) Dynamic hedging wajib dilakukan dengan persyaratan
sebagai berikut:
a. kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurs
transaksi Call Spread Option awal;
b. kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran kurs
transaksi Call Spread Option awal;
c. menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan
belum jatuh waktu;
d. nominal tidak bersifat kumulatif;
e. memiliki jangka waktu paling singkat 6 (enam) bulan
untuk transaksi Call Spread Option awal yang
memiliki sisa jatuh waktu 6 (enam) bulan atau lebih;
f.
mengikuti sisa jatuh waktu transaksi Call Spread
Option awal untuk transaksi Call Spread Option awal
yang memiliki sisa jatuh waktu kurang dari 6 (enam)
bulan; dan
g. dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja apabila
kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread
Option awal.
17
BAB VI
PENGATURAN UNDERLYING TRANSAKSI DAN TRANSAKSI
VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH UNTUK KEPENTINGAN
PENGAMPUNAN PAJAK
Pasal 20
(1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank
dengan Pihak Asing dapat dilakukan dengan Underlying
Transaksi berupa investasi dan/atau transaksi yang
dilakukan untuk kepentingan pelaksanaan kebijakan
Pemerintah terkait perpajakan yaitu berupa kebijakan
pengampunan pajak.
(2) Underlying Transaksi berupa kebijakan pengampunan
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat
digunakan untuk kepentingan Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah adalah yang mengakibatkan adanya
pengalihan harta ke wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia atau repatriasi dana dan didukung oleh
dokumen repatriasi dana dalam rangka pengampunan
pajak.
(3) Dokumen repatriasi dana
untuk kepentingan
pengampunan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
digunakan sebagai Underlying Transaksi paling singkat 3
(tiga) tahun sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
pengampunan pajak (dalam masa periode kewajiban
menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri).
(4) Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana
untuk kepentingan pengampunan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) hanya dapat digunakan 1 (satu)
kali pada saat terjadinya konversi dana masuk yaitu dari
valuta asing ke rupiah dan 1 (satu) kali pada saat
terjadinya konversi dana keluar yaitu dari rupiah ke valuta
asing.
(5) Dalam hal wajib pajak menggunakan dokumen repatriasi
dana untuk kepentingan pengampunan pajak sebagai
Underlying Transaksi pada saat dilakukan konversi dana
18
keluar sebelum periode kewajiban menginvestasikan dana
repatriasi di dalam negeri berakhir maka hasil konversi
tersebut hanya dapat diinvestasikan dalam mata uang
valuta asing hingga periode kewajiban menginvestasikan
dana repatriasi di dalam negeri berakhir.
(6) Wajib pajak dapat melakukan konversi dana keluar
dilakukan secara bertahap dengan menggunakan
Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana
untuk kepentingan pengampunan pajak dengan tidak
melampaui nominal Underlying Transaksi dana repatriasi.
Pasal 21
(1) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi berupa
repatriasi dana untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah oleh wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (2) tidak berlaku untuk perpanjangan
transaksi (roll over) atau pengakhiran transaksi (unwind)
untuk kepentingan penyelesaian Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah terkait lindung nilai.
(2) Dalam hal dilakukan percepatan penyelesaian transaksi
(early termination) atas Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah yang menggunakan Underlying
Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk
kepentingan pengampunan pajak maka hasil konversi
dana keluar yaitu dari rupiah ke valuta asing tersebut
hanya dapat diinvestasikan dalam mata uang valuta asing
hingga berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan
dana repatriasi di dalam negeri.
(3) Dalam hal dilakukan pengakhiran transaksi (unwind)
terhadap Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah menggunakan Underlying Transaksi berupa
dokumen repatriasi dana
untuk kepentingan
pengampunan pajak maka wajib pajak dapat
menggunakan dokumen repatriasi dana untuk
kepentingan pengampunan pajak yang sama paling
banyak 1 (satu) kali untuk Transaksi Valuta Asing
19
Terhadap Rupiah dalam masa periode kewajiban
menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri.
Pasal 22
(1) Dokumen Underlying Transaksi berupa dokumen
repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) diatur
sebagai berikut:
a. pada Bank gateway awal, dokumen Underlying
Transaksi berupa surat keterangan pengampunan
pajak (SKPP) untuk kepentingan pengalihan harta
dalam menampung dana wajib pajak yang dialihkan;
dan
b. pada Bank gateway tujuan, dokumen Underlying
Transaksi dapat berupa surat keterangan mengenai
riwayat investasi.
(2) Penyampaian dokumen
Underlying
Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan
dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis
bermeterai cukup yang ditandatangani oleh wajib pajak
atau pernyataan tertulis yang autentik dari wajib pajak
yang memuat informasi mengenai:
a. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying
Transaksi;
b. penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya
digunakan untuk pembelian valuta asing terhadap
rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying
Transaksi untuk kepentingan pengampunan pajak
dalam sistem perbankan di Indonesia; dan
c. hanya digunakan paling banyak 1 (satu) kali di
seluruh sistem perbankan di Indonesia untuk tujuan
konversi dana keluar.
(3) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk kepentingan
kebijakan pemerintah terkait pengampunan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam
20
Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
BAB VII
CERUKAN INTRAHARI RUPIAH DAN VALUTA ASING
Pasal 23
Persyaratan cerukan intrahari dalam rupiah atau valuta asing
yang didukung oleh dokumen yang autentik yang
menunjukkan konfirmasi akan adanya dana masuk ke
rekening bersangkutan pada hari yang sama diatur sebagai
berikut:
a. cerukan intrahari diberikan kepada penerima dana yang
tercantum dalam dokumen konfirmasi dan dilaksanakan
pada tanggal valuta (value date) yang tercantum dalam
konfirmasi dimaksud;
b.
nilai dana yang akan diterima yang tercantum pada
dokumen konfirmasi dimaksud, ditambah dengan saldo
rekening penerima dana paling sedikit sama dengan nilai
transaksi pembayaran yang dilaksanakan;
c. transaksi pembayaran dilakukan setelah dokumen
konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b diterima
terlebih dahulu; dan
d. penerimaan dana sebagaimana tercantum dalam
dokumen konfirmasi harus direalisasikan pada tanggal
valuta (value date).
BAB VIII
TRANSFER RUPIAH KEPADA PIHAK ASING
Pasal 24
(1) Bank dapat melakukan Transfer Rupiah ke rekening yang
dimiliki Pihak Asing dan/atau yang dimiliki secara
gabungan (joint account) antara Pihak Asing dengan bukan
Pihak Asing pada Bank di dalam negeri dengan nominal di
atas ekuivalen USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika
21
Serikat) per hari per Pihak Asing sepanjang didukung
Underlying Transaksi.
(2) Bank penerima Transfer Rupiah yang ditujukan kepada
Pihak Asing wajib melakukan verifikasi terhadap status
pihak penerima dana rupiah dan dokumen Underlying
Transaksi.
(3) Perhitungan nilai ekuivalen valuta asing ke dalam nilai
rupiah untuk nominal Transfer Rupiah ke rekening yang
dimiliki Pihak Asing dan/atau yang dimiliki secara
gabungan (joint account) menggunakan kurs JISDOR.
BAB IX
DOKUMEN TRANSAKSI
Bagian Kesatu
Jenis Dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah
Pasal 25
(1) Bank wajib memastikan Pihak Asing memiliki Underlying
Transaksi yang dibuktikan dengan penyampaian dokumen
Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dan
dokumen pendukung untuk:
a. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah di atas
jumlah tertentu (threshold); atau
b.
transaksi structured product valuta asing terhadap
rupiah berupa Call Spread Option.
(2) Bank harus memastikan kebenaran dan kewajaran atas
dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah.
(3) Untuk memastikan kebenaran dan kewajaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank dapat
meminta kepada Pihak Asing untuk menunjukkan
dokumen asli dalam hal diperlukan.
(4) Bank harus menerapkan prosedur dan sistem
pengendalian dokumen untuk memastikan agar:
22
a. dokumen yang telah digunakan Pihak Asing sebagai
Underlying Transaksi dari Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah tertentu dapat digunakan untuk
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang lain
sepanjang tidak melampaui nominal Underlying
Transaksi;
b. dalam hal terdapat beberapa jenis dokumen
Underlying Transaksi pada satu rangkaian aktivitas
ekonomi maka yang digunakan sebagai dokumen
untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
adalah salah satu dari dokumen Underlying
Transaksi tersebut; dan
c. dalam hal Pihak Asing telah melakukan pembelian
valuta asing terhadap rupiah dengan menggunakan
salah satu dokumen Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud dalam huruf b maka Pihak
Asing tidak dapat melakukan pembelian valuta asing
terhadap rupiah dengan menggunakan dokumen
Underlying Transaksi lainnya yang berasal dari satu
rangkaian kegiatan ekonomi yang sama.
Pasal 26
(1) Dokumen Underlying Transaksi dapat berupa:
a. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final;
atau
b. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat
perkiraan.
(2) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan
dokumen yang menunjukkan bukti perdagangan barang
dan jasa dan/atau kegiatan investasi di dalam dan di luar
negeri dengan jumlah nominal yang tidak berubah.
(3) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan
dokumen yang menunjukkan perkiraan besarnya rencana
penerimaan atau kebutuhan pembayaran perdagangan
23
barang dan jasa atau kegiatan investasi di dalam negeri
dan di luar negeri.
(4) Dalam hal Pihak Asing menggunakan dokumen Underlying
Transaksi yang bersifat perkiraan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b berupa proyeksi arus kas, Bank
harus menilai kewajaran melalui:
a. dokumen tambahan;
b. data historis paling singkat 1 (satu) tahun
sebelumnya; dan
c.
track record Pihak Asing.
(5) Rincian dokumen Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tercantum
dalam Lampiran V dan Lampiran VI yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 27
Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang
dikecualikan dari kewajiban penggunaan rupiah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kewajiban penggunaan rupiah di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dapat dijadikan sebagai dokumen
Underlying Transaksi dengan melampirkan fotokopi
persetujuan pengecualian kewajiban penggunaan rupiah dari
Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Penyampaian Dokumen
Pasal 28
(1) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing
terhadap rupiah melalui Transaksi Spot dengan nilai
nominal di atas USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar
Amerika Serikat) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf a, transaksi wajib dilengkapi dengan
dokumen berupa:
24
a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final
maupun berupa perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis
yang autentik dari Pihak Asing yang memuat
informasi mengenai:
1) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf
a;
2) penggunaan dokumen Underlying Transaksi
hanya untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal
Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di
Indonesia; dan
3) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan
tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal
dokumen Underlying Transaksi berupa
perkiraan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a.
(2) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk
pembelian valuta asing terhadap rupiah di atas jumlah
tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 29
(1) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing
melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar jumlah
tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf a, transaksi wajib dilengkapi dengan
dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang
autentik dari Pihak Asing memuat informasi bahwa
pembelian valuta asing terhadap rupiah tidak melebihi
USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika
Serikat) per bulan per Pihak Asing dalam sistem
perbankan di Indonesia.
25
(2) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk
pembelian valuta asing terhadap rupiah paling banyak
sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VIII
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 30
(1) Dalam hal Pihak Asing melakukan Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla)
dengan nilai nominal di atas jumlah tertentu (threshold)
sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (1) huruf b dan Pasal
9 ayat (3) huruf b dan transaksi structured product valuta
asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option,
transaksi wajib dilengkapi dokumen berupa:
a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final
maupun berupa perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis
yang autentik dari Pihak Asing yang berisi informasi
mengenai:
1) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf
a;
2) penggunaan dokumen Underlying Transaksi
hanya digunakan untuk pembelian valuta asing
terhadap rupiah paling banyak sebesar nominal
Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di
Indonesia;
3) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan
tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal
dokumen Underlying Transaksi berupa
perkiraan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a; dan
4) sumber, jumlah, dan waktu penerimaan valuta
asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi
berupa perkiraan penjualan valuta asing
26
terhadap rupiah sebagaimana dimaksud dalam
huruf a.
(2) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk
pembelian valuta asing terhadap rupiah di atas jumlah
tertentu (threshold) sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) huruf b tercantum dalam Lampiran IX yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk penjualan
valuta asing terhadap rupiah di atas jumlah tertentu
(threshold) sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
huruf b tercantum dalam Lampiran X yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 31
(1) Dalam hal Pihak Asing melakukan Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot, dokumen
Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung
dilampirkan untuk setiap transaksi pada tanggal
transaksi.
(2) Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dan/atau
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dapat diterima pada tanggal transaksi maka
dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen
pendukung wajib diterima oleh Bank paling lambat pada
tanggal valuta (value date).
(3) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing
terhadap rupiah melalui Transaksi Spot paling banyak
sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a secara bertahap
sehingga melebihi jumlah tertentu (threshold) dalam 1
(satu) bulan yang sama maka dokumen Underlying
Transaksi disampaikan untuk pembelian valuta asing
terhadap rupiah yang melebihi jumlah tertentu (threshold).
27
Pasal 32
(1) Dalam hal Pihak Asing melakukan Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla)
dan transaksi structured product valuta asing terhadap
rupiah berupa Call Spread Option, dokumen Underlying
Transaksi dan/atau dokumen pendukung dilampirkan
untuk setiap transaksi pada tanggal transaksi.
(2) Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dan/atau
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dapat diterima pada tanggal transaksi maka
dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen
pendukung wajib diterima oleh Bank paling lambat pada 5
(lima) hari kerja setelah tanggal transaksi.
(3) Dalam hal Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki
jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal
transaksi maka penyampaian dokumen Underlying
Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dilakukan paling
lambat pada tanggal jatuh waktu.
(4) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing
terhadap rupiah melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah secara bertahap sehingga melebihi
jumlah tertentu (threshold) dalam 1 (satu) bulan yang
sama maka dokumen Underlying Transaksi disampaikan
untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah yang
melebihi jumlah tertentu (threshold).
Pasal 33
(1) Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan
dokumen pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu
(threshold) yang akan diselesaikan secara netting wajib
diterima oleh Bank paling lambat pada:
a. tanggal valuta (value date), dalam hal pengakhiran
transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Spot;
28
b. 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, dalam
hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan
penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah;
atau
c. tanggal jatuh waktu, dalam hal perpanjangan
transaksi (roll over), percepatan penyelesaian
transaksi (early termination), dan pengakhiran
transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang
memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja
setelah tanggal transaksi.
(2) Dokumen pendukung untuk pembelian valuta asing
terhadap rupiah melalui Transaksi Derivatif paling banyak
sebesar jumlah tertentu (threshold) yang akan diselesaikan
secara netting mengacu pada dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b.
(3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa pernyataan tertulis yang autentik untuk
pembelian derivatif valuta asing terhadap rupiah paling
banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) yang akan
diselesaikan secara netting dapat menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk penjualan
derivatif valuta asing terhadap rupiah paling banyak
sebesar jumlah tertentu (threshold) yang akan diselesaikan
secara netting tercantum dalam Lampiran XII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
29
Pasal 34
(1) Bank dapat meminta dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b dan Pasal 30
ayat (1) huruf b secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun kalender apabila:
a. dokumen Underlying Transaksi bersifat final; dan
b. Bank telah mengetahui track record Pihak Asing
dengan baik.
(2) Bank yang melakukan fungsi kustodian dapat menerima
dokumen pendukung dari Pihak Asing paling sedikit 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun kalender apabila Pihak
Asing memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Dalam hal Bank tidak melakukan fungsi kustodian,
dokumen pendukung dapat diterima paling sedikit 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) bulan kalender apabila Pihak Asing
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(4) Pihak Asing yang melakukan pembelian valuta asing
terhadap rupiah melalui Transaksi Spot paling banyak
sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a per bulan,
dokumen pendukung disampaikan paling sedikit 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) bulan kalender.
(5) Penyampaian dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dilakukan
pada transaksi pertama.
Pasal 35
Dalam hal terdapat jenis dokumen selain sebagaimana
tercantum dalam Lampiran V dan Lampiran VI, Bank dapat:
a. mengajukan terlebih dahulu jenis dokumen tersebut
kepada Indonesia Foreign Exchange Market Committee
(IFEMC) untuk dikonsultasikan kepada Bank Indonesia;
atau
b. mengajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia, cq.
Departemen Pengembangan Pasar Keuangan.
30
BAB X
PELAPORAN
Pasal 36
(1) Bank menyampaikan laporan Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah, termasuk transaksi structured product
valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option,
melalui sistem pelaporan Bank Indonesia, yaitu laporan
harian bank umum (LHBU).
(2) Mekanisme pelaporan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah mengacu kepada ketentuan yang mengatur
mengenai laporan harian bank umum (LHBU).
BAB XI
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 37
(1) Bank dapat dikenakan sanksi berupa teguran tertulis
maupun kewajiban membayar.
(2) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar
maka besarnya kewajiban yaitu 1% (satu persen) dari nilai
nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap
pelanggaran dengan jumlah sanksi paling sedikit
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Bank Indonesia
dengan cara mendebet rekening giro rupiah Bank yang
bersangkutan di Bank Indonesia.
Pasal 38
Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi mengenai
pengenaan sanksi berupa teguran tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) kepada otoritas perbankan.
31
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/35/DPPK
tanggal 13 Desember 2016 perihal Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 40
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Agustus 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
DODY BUDI WALUYO
TTD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/17/PADG/2018
TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN
PIHAK ASING
I. UMUM
Dalam rangka melaksanakan tugas Bank Indonesia untuk mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah, diperlukan upaya mempercepat
tercapainya pasar keuangan yang likuid dan efisien, yang pada akhirnya
dapat mendukung kegiatan ekonomi nasional. Untuk mencapai pasar
keuangan yang likuid dan efisien salah satunya diperlukan upaya
pengembangan pasar valuta asing domestik yang dilakukan secara
komprehensif dan menyeluruh.
Untuk mendukung pelaksanaan pengembangan pasar valuta asing
domestik tersebut Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank
Indonesia No. 18/19/PBI/2016 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap
Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing. Sebagai pedoman implementasi
ketentuan tersebut diperlukan peraturan yang mengatur pelaksanaan
kegiatan dan transaksi valuta asing di pasar domestik.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
2
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi
antara lain berupa dealing conversation atau print out dari
Society
of Worldwide Interbank Financial
Telecommunication (SWIFT).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penggunaan kontrak merupakan tanggung jawab masing-
masing pihak yang melakukan transaksi.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “JISDOR” adalah representasi harga spot
dolar Amerika Serikat (USD) terhadap rupiah dari transaksi
antar-Bank di pasar domestik termasuk transaksi Bank dengan
bank di luar negeri, yang dilaporkan Bank melalui sistem
monitoring
transaksi
(SISMONTAVAR).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Contoh:
Bank A dapat melakukan transaksi mata uang selain USD
terhadap rupiah, antara lain euro terhadap rupiah, yen terhadap
rupiah, atau poundsterling terhadap rupiah.
Ayat (2)
Contoh:
Bank A melakukan Transaksi Spot USD/IDR dengan Pihak Asing
B. Dalam hal ini, Bank A wajib menggunakan kuotasi harga
valuta asing
terhadap rupiah
3
USD/IDR yang ditetapkan oleh Bank A dan bukan berasal dari
Pihak Asing B.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Perhitungan jumlah tertentu (threshold) kewajiban Underlying
Transaksi untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah,
selain USD terhadap rupiah (misalnya yen terhadap rupiah, euro
terhadap rupiah) adalah sebagai berikut:
(𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑏𝑒𝑙𝑖 𝑈𝑆𝐷+𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑗𝑢𝑎𝑙 𝑈𝑆𝐷)
2
(𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑏𝑒𝑙𝑖 𝑛𝑜𝑛 𝑈𝑆𝐷+𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑗𝑢𝑎𝑙 𝑛𝑜𝑛 𝑈𝑆𝐷)
2
x threshold dalam USD
Keterangan: Kurs pada rumus yaitu valuta asing terhadap
rupiah.
Kurs merupakan kurs penutupan Bank Indonesia pada 1 (satu)
hari kerja sebelumnya (H-1) yang tersedia pada sistem laporan
harian bank umum (LHBU).
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
Jika pada bulan November 2018, Pihak Asing hanya
melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah tanpa
Underlying Transaksi 1 (satu) kali pada tanggal 25
November 2018 sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu
dolar Amerika Serikat) maka hal tersebut diperhitungkan
sebagai jumlah paling banyak yang telah digunakan dalam
4
bulan November 2018. Pihak Asing hanya dapat kembali
menggunakan jumlah paling banyak sebesar ekuivalen
USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat)
tersebut selama periode Desember 2018.
Huruf b
Contoh:
Pada tanggal 11 November 2018, Pihak Asing melakukan
pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi
Spot beli sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika
Serikat). Kemudian, Pihak Asing kembali melakukan
Transaksi Spot beli valuta asing terhadap rupiah pada
tanggal 30 November 2018 sebesar USD10,000.00 (sepuluh
ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan transaksi
pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Pihak Asing
sampai dengan tanggal 30 November 2018 adalah sebesar
USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat).
Huruf c
Contoh:
Pada tanggal 11 November 2018, Pihak Asing A melakukan
pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi
Spot sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika
Serikat). Kemudian Pihak Asing A melakukan pembelian
valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward
pada tanggal 17 November 2018 sebesar USD20,000.00
(dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 18
November 2018, Pihak Asing A kembali melakukan
pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi
Spot sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika
Serikat) dan melalui Transaksi Option sebesar
USD40,000.00 (empat puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Perhitungan transaksi pembelian valuta asing terhadap
rupiah oleh Pihak Asing A pada akhir bulan November 2018
adalah sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar
Amerika Serikat) melalui Transaksi Spot dan sebesar
USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika Serikat)
melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
yaitu forward dan option.
5
Huruf d
Contoh:
Pihak Asing X melakukan pembelian valuta asing terhadap
rupiah di Bank Y secara tunai sebesar USD5,000.00 (lima
ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 11 November 2018.
Kemudian, pada tanggal 15 November 2018 Pihak Asing X
melakukan konversi simpanan rupiah menjadi simpanan
valuta asing dalam dolar Amerika Serikat di Bank Y sebesar
USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat).
Perhitungan kumulatif transaksi yang dilakukan oleh Pihak
Asing X dalam periode bulan November 2018 adalah sebesar
USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat).
Huruf e
Contoh:
Pihak Asing A dan B memiliki joint account. Pada tanggal 10
November 2018, Pihak Asing A melakukan Transaksi Spot
pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui joint
account sebesar USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar
Amerika Serikat). Atas transaksi tersebut Pihak Asing A
wajib menyampaikan dokumen pendukung paling lambat
pada tanggal 12 November 2018. Pada tanggal 24 November
2018, Pihak Asing B melakukan Transaksi Spot pembelian
valuta asing terhadap rupiah melalui joint account sebesar
USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas
pembelian valuta asing tersebut, Pihak Asing B wajib
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan
dokumen pendukung paling lambat pada tanggal 26
November 2018. Hal ini disebabkan jumlah pembelian
valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan melalui joint
account pada bulan November 2018 telah melebihi threshold
USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat),
yaitu sebesar USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika
Serikat).
Ayat (3)
Cukup jelas.
6
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh 1:
Pada tanggal 18 Januari 2019, Pihak Asing di luar negeri
berencana memberikan kredit kepada PT A sebesar
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) dimana sumber
rupiah tersebut diperoleh dari hasil penjualan valuta asing
terhadap rupiah. Dalam pelaksanaannya, realisasi penarikan
kredit oleh PT A adalah sebesar Rp140.000.000.000,00 (seratus
empat puluh miliar rupiah). Sehingga, pembelian derivatif valuta
asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward untuk
kepentingan lindung nilai kredit tersebut oleh pihak kreditur
yaitu Pihak Asing di luar negeri, paling banyak dilakukan sebesar
ekuivalen Rp140.000.000.000,00 (seratus empat puluh miliar
rupiah).
Contoh 2:
Pada tanggal 10 Januari 2019, C Ltd. yang merupakan Pihak
Asing memberikan kredit dalam bentuk barang modal ekuivalen
sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) kepada
PT B yang merupakan perusahaan afiliasi dari C Ltd.
Pada tanggal 1 Februari 2019, PT B melakukan penarikan kredit
dari C Ltd. dalam bentuk barang senilai Rp50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah).
Atas penarikan kredit ini, C Ltd. melakukan pembelian valuta
asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward paling banyak
sebesar ekuivalen Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah).
7
Ayat (4)
Contoh:
Pada tanggal 2 Januari 2019, Z Ltd. sebagai head office (Pihak
Asing) dari PT A memberikan kredit dalam mata uang rupiah
kepada PT A sebesar Rp14.000.000.000,00 (empat belas miliar
rupiah). Nominal tersebut diperoleh melalui penjualan valuta
asing terhadap rupiah dan jatuh waktu pelunasan kredit pada
tanggal 30 Juni 2019. Z Ltd. dapat melakukan pembelian valuta
asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward untuk
kepentingan lindung nilai kredit tersebut paling banyak sebesar
ekuivalen Rp14.000.000.000,00 (empat belas miliar rupiah)
dengan jatuh waktu Transaksi Forward paling lama sama
dengan tanggal pelunasan kredit yaitu tanggal 30 Juni 2019.
Ayat (5)
Contoh:
Perusahaan B Ltd. melakukan pembelian USD terhadap IDR
melalui transaksi spot sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat) kepada Bank X untuk repatriasi hasil pinjaman
kepada anak perusahaan di Indonesia dengan dokumen
Underlying Transaksi berupa perjanjian pemberian kredit
antarnasabah dan bukti penarikan dana antara lain berupa
SWIFT message MT103. Dokumen Underlying Transaksi berupa
perjanjian pemberian kredit antarnasabah tersebut harus
memiliki jangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan jangka
waktu pengembalian kredit paling singkat 1 (satu) bulan sejak
tanggal penarikan dana kredit yang dibuktikan antara lain
dengan SWIFT message MT103.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Perusahaan A Ltd. yang merupakan Pihak Asing memiliki
deposito valuta asing di Bank X sebesar USD10,000,000.00
(sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Berdasarkan Underlying
Transaksi berupa deposito valuta asing tersebut, Perusahaan A
8
Ltd. dapat melakukan penjualan valuta asing terhadap rupiah
melalui Transaksi
Forward paling banyak sebesar
USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat).
Ayat (3)
Contoh:
Perusahaan B Ltd. yang merupakan Pihak Asing memiliki deposit
on-call valuta asing di Bank X senilai USD15,000,000.00 (lima
belas juta dolar Amerika Serikat). Atas Underlying Transaksi
berupa deposit on-call valuta asing ini, Perusahaan B Ltd. dapat
menerima Transfer Rupiah ke rekening Perusahaan B Ltd. paling
banyak sebesar ekuivalen USD15,000,000.00 (lima belas juta
dolar Amerika Serikat) yang berasal dari hasil penjualan deposit
on-call valuta asing dan memperoleh rupiah melalui Transaksi
Spot.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan instrumen yang memiliki tanggal jatuh
waktu antara lain berupa deposito dan/atau Negotiable
Certificate of Deposit (NCD).
Contoh:
Perusahaan A Ltd. memiliki NCD dalam valuta asing yang akan
jatuh waktu pada tanggal 31 Maret 2019. Atas kepemilikan NCD
dalam valuta asing tersebut, Perusahaan A Ltd. dapat
melakukan penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui
Transaksi Forward dengan jatuh waktu paling lama tanggal 31
Maret 2019.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan instrumen yang tidak memiliki tanggal
jatuh waktu antara lain berupa tabungan atau giro.
Contoh:
Pada tanggal 2 Januari 2019, A Ltd. memiliki rekening valuta
asing dalam bentuk giro sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh
juta dolar Amerika Serikat). Atas kepemilikan dana valuta asing
tersebut, pada tanggal 2 Januari 2019, A Ltd. melakukan
penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi
Forward sebesar USD14,000,000.00 (empat belas juta dolar
Amerika Serikat) yang jatuh waktu pada tanggal 2 Februari 2019
9
dan sebesar USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika Serikat)
yang jatuh waktu pada tanggal 2 Juni 2019.
Ayat (6)
Contoh:
Pada tanggal 5 Februari 2019, B Ltd. memiliki tabungan dalam
valuta asing sebesar USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika
Serikat). Pada tanggal yang sama, B Ltd. melakukan penjualan
valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward sebesar
USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika Serikat) dengan
jangka waktu 1 (satu) bulan. B Ltd. harus memiliki saldo
tabungan valuta asing dengan jumlah tidak kurang dari
USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika Serikat) selama 1
(satu) bulan ke depan sampai dengan Transaksi Forward
tersebut jatuh waktu.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh 1:
Perusahaan A memiliki kewajiban kepada vendor di luar negeri
sebesar USD73,500.00 (tujuh puluh tiga ribu lima ratus dolar
Amerika Serikat). Atas dasar Underlying Transaksi dimaksud,
Perusahaan A dapat melakukan Transaksi Spot beli sebesar
USD75,000.00 (tujuh puluh lima ribu dolar Amerika Serikat).
Contoh 2:
Perusahaan B memiliki kewajiban kepada vendor di luar negeri
sebesar USD61,000.00 (enam puluh satu ribu dolar Amerika
Serikat). Atas dasar Underlying Transaksi dimaksud, Perusahaan
B dapat melakukan Transaksi Spot beli sebesar USD65,000.00
(enam puluh lima ribu dolar Amerika Serikat).
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
10
Ayat (2)
Contoh:
Perusahaan B memiliki utang dalam valuta asing dengan
nominal sebesar USD1,432,500.00 (satu juta empat ratus tiga
puluh dua ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Perusahaan B
dapat melakukan untuk kepentingan lindung nilai kredit
tersebut dengan melakukan Transaksi Forward beli sebesar
USD1,440,000.00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu dolar
Amerika Serikat).
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh 1:
Pihak otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) akan
menyelenggarakan Initial Public Offering (IPO) saham PT JKL
dengan tanggal penawaran 17 sampai dengan 21 November
2018 dan tanggal penyetoran dana tunai tanggal 25
November 2018.
Pada tanggal penawaran, para investor dipersyaratkan
untuk membuktikan komitmen berupa jaminan aset saham
yang tercatat pada underwriter IPO atau penyetoran dana
rupiah sebesar nilai penawaran yang diajukan.
Berdasarkan informasi IPO tersebut, pada tanggal 21
November 2018 Pihak Asing memasukkan penawaran
saham PT JKL sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah). Selanjutnya pada tanggal 22 November
2018, Pihak Asing melakukan Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah dengan Bank yaitu Transaksi
11
Forward jual USD/IDR Bank kepada Pihak Asing sebesar
ekuivalen Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) dengan tujuan Pihak Asing dapat memperoleh dana
rupiah pada tanggal 25 November 2018 untuk keperluan
penyetoran dana pada underwriter IPO. Dalam hal ini,
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
dilakukan pada tanggal 22 November 2018 dengan tanggal
jatuh waktu tanggal 25 November 2018, dimana tanggal
jatuh waktu tersebut merupakan tanggal penyelesaian
transaksi pembelian saham tersebut.
Contoh 2:
Pihak Asing melakukan pembelian obligasi negara tenor 5
(lima) tahun sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah) pada tanggal transaksi 10 November 2018
dengan tanggal penyelesaian transaksi pembelian obligasi
negara pada 13 November 2018 dan akan dimiliki sampai
dengan tanggal 10 Desember 2018. Atas kepemilikan
obligasi negara tersebut, Pihak Asing berencana untuk
melakukan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah. Bank dapat memenuhi kebutuhan Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Pihak Asing
atas pembelian obligasi negara tersebut melalui Transaksi
Swap jual USD/IDR Bank kepada Pihak Asing (Bank beli
USD/IDR pada first leg dan jual USD/IDR pada second leg)
sebesar ekuivalen Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah). Dalam hal ini, transaksi dapat dilakukan pada
tanggal 11 November 2018 dengan tanggal valuta (first leg)
pada 13 November 2018 dan tanggal jatuh waktu (second
leg) pada 10 Desember 2018 yang akan digunakan untuk
repatriasi. Dana rupiah yang diperoleh pada tanggal 13
November 2018 dipergunakan untuk melakukan
penyelesaian transaksi obligasi negara tersebut.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
12
Ayat (2)
Contoh:
Pihak Asing melakukan transaksi pembelian spot USD/IDR
dengan Bank B sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat) pada kurs spot USD/IDR 13.500,00. Pada
tanggal valuta, Pihak Asing wajib melakukan penyerahan dana
rupiah melalui pemindahan dana pokok secara penuh (full
movement of fund) sebesar Rp13.500.000.000,00 (tiga belas
miliar lima ratus juta rupiah) secara riil pada saat proses
penyelesaian transaksi tersebut dilakukan dan tercatat pada
sistem treasury Bank, yang dapat dibuktikan berdasarkan
urutan waktu penyelesaian transaksi. Bank B wajib melakukan
penyerahan dana USD melalui pemindahan dana pokok secara
penuh (full movement of fund) sebesar USD1,000,000.00 (satu
juta dolar Amerika Serikat) secara riil pada saat proses
penyelesaian transaksi tersebut dilakukan dan tercatat pada
sistem treasury Bank, yang dapat dibuktikan berdasarkan
urutan waktu penyelesaian transaksi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
A Ltd. yang merupakan Pihak Asing melakukan Transaksi
Forward jual dengan tenor 1 (satu) bulan sebesar
USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) pada
tanggal 15 Januari 2019 kepada Bank C dengan forward rate
USD/IDR 13.500,00. Atas transaksi tersebut, A Ltd.
13
menggunakan simpanan valuta asing pada Bank sebagai
Underlying Transaksi.
Setelah transaksi berjalan 2 (dua) minggu, nilai tukar rupiah
melemah hingga mencapai kurs spot USD/IDR 13.800,00, A Ltd.
ingin melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas transaksi
tersebut dengan penyelesaian secara netting. Penyelesaian
secara netting atas transaksi tersebut tidak dapat dilakukan,
melainkan secara pemindahan dana pokok secara penuh (full
movement of fund).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Contoh:
Pihak Asing A melakukan transaksi Call Spread Option
dengan Bank B sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar
Amerika Serikat) dengan tenor 2 (dua) tahun maka
transaksi dimaksud wajib memiliki Underlying Transaksi
paling sedikit sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar
Amerika Serikat).
Huruf b
Contoh:
X Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option valuta asing
terhadap rupiah dengan menggunakan Underlying
Transaksi berupa obligasi sebesar USD100,000.00 (seratus
ribu dolar Amerika Serikat) maka transaksi Call Spread
Option dapat dilakukan sepanjang tidak melebihi nominal
Underlying Transaksi, yaitu sebesar USD100,000.00
(seratus ribu dolar Amerika Serikat).
14
Huruf c
Contoh:
C Ltd. memiliki Underlying Transaksi berupa pinjaman
dengan jangka waktu 2 (dua) tahun maka transaksi Call
Spread Option dapat dilakukan paling lama 2 (dua) tahun.
Ayat (4)
Contoh:
Z Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option sebesar
USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat).
Meskipun transaksi Call Spread Option merupakan gabungan
dari 2 (dua) transaksi Call Option (beli dan jual) maka nominal
tetap dihitung sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar
Amerika Serikat) dan bukan USD400,000.00 (empat ratus ribu
dolar Amerika Serikat).
Ayat (5)
Contoh 1:
Pihak Asing A melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR
dengan tenor 1 (satu) tahun dengan nominal sebesar
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan strike
price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar
USD/IDR 15.000,00, dengan Underlying Transaksi berupa
pinjaman sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika
Serikat). Pada saat transaksi Call Spread Option jatuh waktu,
kurs pasar berada pada level USD/IDR 14.000,00 sehingga Pihak
Asing A melakukan eksekusi (exercise) transaksi Call Spread
Option dan melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah
melalui Transaksi Spot pada kurs pasar yaitu sebesar USD/IDR
13.500,00, dengan nominal sebesar USD2,000,000.00 (dua juta
dolar Amerika Serikat).
Contoh 2:
Pihak Asing X melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR
dengan tenor 1 (satu) tahun dengan nominal sebesar
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat), dengan strike
price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00, dan strike price 2 sebesar
USD/IDR 15.000,00, dengan Underlying Transaksi berupa
pinjaman sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika
Serikat). Pada saat transaksi Call Spread Option jatuh waktu,
15
kurs pasar berada pada level USD/IDR 13.300,00 dan Pihak
Asing X tidak melakukan eksekusi (exercise) transaksi Call
Spread Option tersebut dan melakukan pembelian valuta asing
terhadap rupiah melalui Transaksi Spot beli pada kurs pasar
yaitu USD/IDR 13.300,00 dengan nominal sebesar
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Pihak Asing
X dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan
Underlying Transaksi Call Spread Option awal berupa pinjaman
untuk melakukan Transaksi Spot dimaksud.
Contoh 3:
X Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR dengan
tenor 1 (satu) tahun, nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga
juta dolar Amerika Serikat), dengan strike price 1 sebesar
USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR
14.500,00, dan Underlying Transaksi berupa pinjaman sebesar
USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat). Pada saat
transaksi Call Spread Option jatuh waktu, kurs pasar melemah
dan berada pada level USD/IDR 14.600,00. X Ltd. dapat
melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui
Transaksi Spot pada kurs USD/IDR 13.600,00 yaitu dari
perhitungan Rp14.600,00-(Rp14.500,00-Rp13.500,00) dengan
nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika
Serikat). X Ltd. dapat menggunakan Underlying Transaksi yang
sama dengan Underlying Transaksi Call Spread Option awal
berupa pinjaman untuk melakukan Transaksi Spot dimaksud.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Perusahaan A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option
dengan Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR
13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00,
dengan tenor 3 (tiga) tahun dengan Underlying Transaksi
16
berupa pinjaman. Apabila pada tahun ke 2 (dua) A Ltd. menilai
bahwa nilai tukar rupiah akan lebih besar strike price 2 sebesar
USD/IDR 15.000,00, maka A Ltd. melakukan transaksi Call
Spread Option berikutnya (dynamic hedging) dengan strike price
3 sama dengan strike price 2 transaksi Call Spread Option awal
sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar
USD/IDR 16.000,00.
Ayat (3)
Huruf a
Contoh:
A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank
B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan
strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan tenor 3
(tiga) tahun dengan Underlying Transaksi berupa pinjaman.
Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar rupiah
ditransaksikan mencapai USD/IDR 15.100,00 sehingga
melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR 15.000,00 maka A
Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya
dengan strike price 3 sebesar USD/IDR 14.500,00 dan strike
price 4 sebesar USD/IDR 16.500,00 (overlap). Hal tersebut
bukan merupakan dynamic hedging karena terjadi overlap
yaitu strike price 3 transaksi Call Spread Option untuk
kepentingan dynamic hedging lebih rendah daripada strike
price 2 transaksi Call Spread Option awal, sehingga
transaksi tersebut dianggap sebagai kontrak Call Spread
Option yang berbeda dan tidak dapat menggunakan
Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call
Spread Option awal.
Huruf b
Contoh:
X Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option dengan
Bank C dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00
dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dengan tenor
4 (empat) tahun dengan Underlying Transaksi berupa
pinjaman. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar rupiah
ditransaksikan mencapai USD/IDR 15.500,00 sehingga
melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR 15.000,00 maka A
17
Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya
dengan strike price 3 sebesar USD/IDR 15.500,00 dan strike
price 4 sebesar USD/IDR 16.500,00 (gap). Hal tersebut
bukan merupakan dynamic hedging karena terjadi gap yaitu
strike price 3 transaksi Call Spread Option untuk
kepentingan dynamic hedging lebih tinggi daripada strike
price 2 transaksi Call Spread Option awal, sehingga
transaksi tersebut dianggap sebagai kontrak Call Spread
Option yang berbeda dan tidak dapat menggunakan
Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call
Spread Option awal.
Huruf c
Contoh:
A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank
B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan
strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan tenor 3
(tiga) tahun dengan Underlying Transaksi berupa obligasi.
Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar rupiah mencapai
USD/IDR 15.500,00 sehingga melampaui strike price 2 yaitu
USD/IDR 15.000,00, maka A Ltd. melakukan transaksi Call
Spread Option berikutnya dengan strike price 3 sebesar
USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR
16.000,00. Hal tersebut merupakan dynamic hedging dan
menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan
transaksi Call Spread Option awal.
Huruf d
Contoh:
Pada tanggal 1 Februari 2019, A Ltd. melakukan transaksi
lindung nilai atas kewajiban valuta asing yang dimilikinya
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat)
melalui Call Spread Option dengan strike price 1 sebesar
USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR
14.200,00 dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu
juta dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 1 Agustus 2019,
nilai tukar rupiah melemah menjadi sebesar USD/IDR
14.300,00 sehingga A Ltd. melakukan dynamic hedging
dengan melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya
18
pada strike price 3 sebesar USD/IDR 14.200,00 dan strike
price 4 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan nominal
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat).
Nominal transaksi Call Spread Option tersebut dihitung
bukan kumulatif namun mengacu kepada nominal
transaksi Call Spread Option awal sebesar USD1,000,000.00
(satu juta dolar Amerika Serikat).
Huruf e
Contoh:
Pada tanggal 1 Februari 2019, Pihak Asing B melakukan
transaksi lindung nilai atas investasi yang dimilikinya
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat)
melalui Call Spread Option dengan strike price 1 sebesar
USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR
14.000,00 dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu
juta dolar Amerika Serikat), dengan jangka waktu selama 2
(dua) tahun. Pada tanggal 1 April 2019, nilai tukar rupiah
melemah menjadi sebesar USD/IDR 14.100,00 sehingga
Pihak Asing B wajib melakukan dynamic hedging dengan
melakukan pembelian Call Spread Option pada strike price 3
sebesar USD/IDR 14.000,00 dan strike price 4 sebesar
USD/IDR 15.000,00, dengan
nominal
sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan
jangka waktu minimal sampai dengan 1 Oktober 2019 atau
paling singkat 6 (enam) bulan dari tanggal 1 April 2019.
Huruf f
Contoh:
Pada tanggal 1 Maret 2019, Pihak Asing C melakukan
transaksi Call Spread Option sebesar USD2,000,000.00 (dua
juta dolar Amerika Serikat) dengan strike price 1 sebesar
USD/IDR 14.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR
15.000,00 dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan atau tanggal
1 Juni 2019. Pada tanggal 10 April 2019, nilai tukar rupiah
melemah menjadi sebesar USD/IDR 15.200,00. Atas dasar
hal tersebut Pihak Asing C melakukan dynamic hedging
dengan melakukan transaksi Call Spread Option yang kedua
pada strike price 3 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike
19
price 4 sebesar USD/IDR 16.000,00 dengan jangka waktu
paling lama sampai dengan jatuh waktu transaksi Call
Spread Option awal, yaitu pada tanggal 1 Juni 2019.
Huruf g
Yang dimaksud dengan kurs pasar adalah kurs penutupan
Bank Indonesia hari yang sama dalam LHBU yaitu setelah
pukul 16.00 WIB atau acuan kurs lain yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
Contoh:
Pada tanggal 1 Januari 2019, Y Ltd. melakukan transaksi
Call Spread Option dengan Bank Z dengan strike price 1
sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar
USD/IDR 15.000,00 dengan tenor 3 (tiga) tahun dengan
Underlying Transaksi berupa utang. Apabila pada tanggal 1
September 2019 kurs pasar yaitu kurs penutupan Bank
Indonesia hari yang sama dalam LHBU melampaui strike
price 2 yaitu sebesar USD/IDR 15.200,00 maka Y Ltd. wajib
melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya
(dynamic hedging) dengan strike price 3 sebesar USD/IDR
15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.500,00
(dynamic hedging) paling lambat pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya yaitu pada tanggal 2 September 2019.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan
pajak yang dapat digunakan sebagai Underlying Transaksi pada
saat wajib pajak melakukan lindung nilai terhadap investasi
dana repatriasi di pasar domestik, antara lain investasi saham,
obligasi, dan penempatan dana pada Bank.
Contoh 1:
Wajib pajak A yang merupakan Pihak Asing melakukan deklarasi
dana sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika
Serikat) dan repatriasi dana valuta asing dalam rangka kebijakan
pengampunan pajak sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta
20
dolar Amerika Serikat) maka wajib pajak A dapat menggunakan
bukti repatriasi dana sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta
dolar Amerika Serikat) sebagai Underlying Transaksi dalam
melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah.
Contoh 2:
Wajib pajak B yang merupakan Pihak Asing melakukan
repatriasi dana valuta asing untuk kepentingan pengampunan
pajak sebesar USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika
Serikat). Dana valuta asing tersebut kemudian dijual untuk
memperoleh rupiah atau konversi dari valuta asing ke Rupiah
untuk diinvestasikan sebesar ekuivalen USD40,000,000.00
(empat puluh juta dolar Amerika Serikat) pada surat berharga
negara, USD40,000,000.00 (empat puluh juta dolar Amerika
Serikat) pada saham, dan USD20,000,000.00 (dua puluh juta
dolar Amerika Serikat) pada deposito rupiah. Wajib pajak B
kemudian melakukan lindung nilai terhadap investasi dimaksud
melalui Transaksi Forward beli sebesar USD100,000,000.00
(seratus juta dolar Amerika Serikat). Wajib pajak B
menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi
dana untuk kepentingan pengampunan pajak.
Ayat (3)
Contoh:
Wajib pajak C melakukan repatriasi dana untuk kepentingan
pengampunan pajak sebesar ekuivalen Rp500.000.000.000,00
(lima ratus miliar rupiah). Dana yang direpatriasi tersebut
diinvestasikan dalam portofolio saham selama 4 (empat) tahun.
Bukti dokumen repatriasi dana untuk kepentingan
pengampunan pajak tersebut dapat dijadikan dokumen
Underlying Transaksi, dalam masa periode kewajiban
menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri yaitu selama 4
(empat) tahun.
Ayat (4)
Contoh 1, dokumen disampaikan 1 (satu) kali pada saat
konversi:
Wajib pajak D melakukan repatriasi dana valuta asing untuk
kepentingan pengampunan pajak sebesar USD10,000,000.00
(sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Dana valuta asing tersebut
21
kemudian dijual untuk memperoleh rupiah untuk diinvestasikan
dalam aset rupiah ekuivalen sebesar USD10,000,000.00
(sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Wajib pajak D hanya bisa
menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi
dana untuk kepentingan pengampunan pajak 1 (satu) kali, yaitu
pada saat wajib pajak D melakukan konversi dana keluar
sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat).
Contoh 2, penggunaan dokumen di akhir periode pengampunan
pajak:
Wajib pajak E melakukan repatriasi dana pengampunan pajak
dan melakukan konversi dana masuk (valuta asing ke rupiah)
sebesar USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika
Serikat). Dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana
repatriasi
di dalam negeri, dana repatriasi tersebut
diinvestasikan atau ditempatkan dalam aset rupiah. Dengan
demikian, wajib pajak E dapat menggunakan Underlying
Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan
pengampunan pajak untuk melakukan konversi dana keluar
(rupiah ke valuta asing) sebesar ekuivalen USD15,000,000.00
(lima belas juta dolar Amerika Serikat) dari hasil likuidasi aset
rupiah pada akhir periode kewajiban menginvestasikan dana
repatriasi di dalam negeri.
Ayat (5)
Contoh penggunaan dokumen dalam masa periode kebijakan
pengampunan pajak:
Pada tanggal 1 Desember 2016, wajib pajak F melakukan
repatriasi dana dengan melakukan konversi dari valuta asing ke
rupiah sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika
Serikat) dan dilakukan investasi pada aset rupiah. Pada tanggal
1 Juni 2017, sebelum berakhirnya periode kewajiban
menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri, dana tersebut
dikonversi dari rupiah ke valuta asing dengan menggunakan
Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk
kepentingan pengampunan pajak. Selanjutnya, wajib pajak F
hanya dapat melakukan investasi dalam mata uang valuta asing
di pasar keuangan domestik sejak 1 Juni 2017 hingga
22
berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana
repatriasi di dalam negeri.
Ayat (6)
Contoh pembelian secara bertahap:
Pada tanggal 1 Desember 2016, wajib pajak F melakukan
repatriasi dana dengan melakukan konversi dari valuta asing ke
rupiah sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar
Amerika Serikat) dan dilakukan investasi pada aset rupiah. Pada
tanggal 1 Maret 2017, sebelum berakhirnya periode kewajiban
menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri, dana tersebut
dikonversi sebagian dari rupiah ke valuta asing sebesar
ekuivalen USD20,000,000 (dua puluh juta dolar Amerika
Serikat) dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa
dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan
pajak, maka wajib pajak F hanya bisa melakukan investasi dana
tersebut dalam mata uang asing.
Pada tanggal 1 Desember 2017, wajib pajak F kembali
melakukan konversi sebagian dari rupiah ke valuta asing sebesar
ekuivalen USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika
Serikat) maka wajib pajak dapat menggunakan Underlying
Transaksi berupa dokumen repatriasi dana kepentingan
pengampunan pajak yang sama, namun wajib pajak F hanya
bisa melakukan investasi dana tersebut dalam mata uang asing.
Pada tanggal 1 Desember 2018, wajib pajak F kembali
melakukan konversi sebagian dari rupiah ke valuta asing sebesar
ekuivalen USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika
Serikat) maka wajib pajak dapat kembali menggunakan
Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk
kepentingan pengampunan pajak yang sama, dan hanya dapat
diinvestasikan dalam mata uang asing hingga berakhirnya
periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam
negeri.
23
Pasal 21
Ayat (1)
Contoh 1, perpanjangan transaksi lindung nilai (roll over):
Pada tanggal 1 Desember 2016, wajib pajak G melakukan
Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar USD10,000,000.00
(sepuluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor selama 1
(satu) tahun dan jatuh waktu tanggal 1 Desember 2017, dengan
menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi
dana untuk kepentingan pengampunan pajak. Pada saat
Transaksi Forward tersebut akan jatuh waktu, wajib pajak G
melakukan perpanjangan transaksi (roll over) selama 1 (satu)
tahun dan jatuh waktu pada tanggal 1 Desember 2018. Wajib
pajak G melakukan Transaksi Swap beli USD/IDR (sell buy)
kepada Bank yang sama sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh
juta dolar Amerika Serikat). Atas perpanjangan transaksi (roll
over) tersebut, wajib pajak G tidak wajib menyerahkan dokumen
Underlying Transaksi baru.
Contoh 2, pengakhiran transaksi lindung nilai (unwind):
Pada tanggal 2 Januari 2017, wajib pajak H melakukan
Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00
(dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan)
bulan dan jatuh waktu tanggal 2 Oktober 2017, dengan
menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi
dana untuk kepentingan pengampunan pajak. Pada bulan ke-6
(enam) yaitu tanggal 2 Juli 2017, wajib pajak H melakukan
pengakhiran transaksi (unwind) atas Transaksi Forward
dimaksud. Wajib pajak H melakukan Transaksi Spot jual
USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar
Amerika Serikat) dengan Bank yang sama. Atas pengakhiran
transaksi (unwind) tersebut, wajib pajak H tidak wajib
menyerahkan dokumen Underlying Transaksi baru.
Ayat (2)
Contoh:
Pada tanggal 2 Januari 2017, wajib pajak AA melakukan
Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00
(dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan)
bulan dan jatuh waktu tanggal 2 Oktober 2017, dengan
24
menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi
dana untuk kepentingan pengampunan pajak. Pada bulan ke-6
(enam) yaitu tanggal 2 Juli 2017, wajib pajak AA melakukan
percepatan penyelesaian transaksi (early termination) atas
Transaksi Forward dimaksud. Wajib pajak AA melakukan
Transaksi Swap jual USD/IDR (buy sell) kepada Bank yang sama
sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika
Serikat). Atas percepatan penyelesaian transaksi (early
termination) tersebut, wajib pajak AA tidak wajib menyerahkan
dokumen Underlying Transaksi baru. Namun demikian, dana
valuta asing hasil konversi sebesar USD20,000,000.00 (dua
puluh juta dolar Amerika Serikat) tersebut hanya dapat
diinvestasikan dalam instrumen valuta asing di pasar keuangan
domestik sejak 2 Juli 2017 hingga berakhirnya periode
kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri.
Ayat (3)
Contoh:
Pada tanggal 2 Januari 2017, wajib pajak X melakukan
Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00
(dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan)
bulan dan jatuh waktu tanggal 2 Oktober 2017, dengan
menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi
dana untuk kepentingan pengampunan pajak. Pada bulan ke-6
(enam) yaitu tanggal 2 Juli 2017, wajib pajak X melakukan
pengakhiran transaksi (unwind) atas Transaksi Forward
dimaksud. Wajib pajak X hanya dapat kembali menggunakan
Underlying Transaksi yang sama sebanyak 1 (satu) kali untuk
melakukan transaksi valuta asing terhadap rupiah.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Yang dimaksud dengan “Cerukan (overdraft)” adalah saldo negatif
pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada
akhir hari.
25
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Pihak Asing A yang memiliki rekening pada Bank C melakukan
penjualan USD/IDR melalui Transaksi Spot sebesar
USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika
Serikat) dengan Bank X. Pihak Asing A melakukan transfer USD
ke Bank X dan Bank X melakukan Transfer Rupiah ke rekening
Pihak Asing A pada Bank C. Atas penambahan rupiah pada
rekening Pihak Asing tersebut, Bank C wajib melakukan
verifikasi terhadap status penerima dana yaitu Pihak Asing A dan
dokumen Underlying Transaksi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kriteria kebenaran paling sedikit berupa:
a. dokumen tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, antara lain tidak bertentangan
dengan kewajiban penggunaan rupiah; dan
b. dokumen dikeluarkan oleh perusahaan atau instansi yang
dapat dipastikan keberadaannya.
Kriteria kewajaran paling sedikit berupa:
a. dokumen telah sesuai dengan market practice yang berlaku
secara umum;
b. transaksi yang dilakukan sesuai dengan dokumen
Underlying Transaksi; dan
c. transaksi yang dilakukan Pihak Asing sesuai dengan data
historis yang dimiliki oleh Bank dan/atau kebutuhan
Nasabah.
26
Ayat (3)
Penelitian kebenaran dokumen oleh Bank dilakukan secara
sampling.
Contoh 1:
A Ltd. melakukan pembelian USD/IDR melalui Transaksi Spot
kepada Bank B sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat) untuk pengembalian dana investasi dengan
dokumen Underlying Transaksi berupa kepemilikan investasi di
Indonesia. Atas dokumen kepemilikan investasi tersebut Bank B
harus melakukan:
a. menilai kesesuaian transaksi dengan data historis yang
dimiliki oleh Bank atau dengan kebutuhan Nasabah; dan
b.
jika diperlukan mencari informasi mengenai penerbit
dokumen Underlying Transaksi untuk memastikan
keberadaan perusahaan tersebut melalui email, internet,
atau media lain yang terpercaya.
Berdasarkan data historis Bank, kebutuhan Pihak Asing A rata-
rata sebesar USD500,000.00 per transaksi. Untuk memastikan
kebenaran dan kewajaran kebutuhan Pihak Asing A, maka Bank
dapat meminta dokumen asli kepada Pihak Asing A.
Contoh 2:
N Ltd. melakukan Transaksi Spot sebesar USD10,000,000.00
(sepuluh juta dolar Amerika Serikat) dengan Bank M pada bulan
Januari 2019 dengan beberapa dokumen invoice. Selain itu, pada
bulan Febuari 2019, N Ltd. melakukan Transaksi Forward
sebesar USD7,000,000.00 (tujuh juta dolar Amerika Serikat)
dengan Bank M. Untuk memastikan kebenaran dan kewajaran,
Bank M meminta N Ltd. menunjukan dokumen asli secara
sampling untuk Transaksi Spot tersebut.
Ayat (4)
Huruf a
Contoh:
Pada bulan Januari 2019, Pihak Asing X melakukan
pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi
Forward sebesar USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus
ribu dolar Amerika Serikat) kepada Bank A. Atas transaksi
tersebut, Pihak Asing X menyerahkan dokumen Underlying
27
Transaksi berupa hasil investasi di pasar saham sebesar
ekuivalen USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika
Serikat) yang diterimanya di Indonesia. Transaksi dilakukan
di kantor cabang Bank A di Jakarta.
Pada bulan Februari 2019, Pihak Asing X kembali
berencana untuk melakukan pembelian valuta asing
terhadap rupiah melalui Transaksi Forward dengan
Underlying Transaksi yang sama melalui kantor cabang
Bank A di Surabaya. Pihak Asing X dapat melakukan
Transaksi Forward beli sebesar USD500,000.00 (lima ratus
ribu dolar Amerika Serikat) karena Transaksi Forward
tersebut tidak melebihi nominal Underlying Transaksi.
Huruf b
Contoh:
Pada bulan Januari 2019, Y Ltd. sebagai Pihak Asing
melakukan ekspansi pabrik dengan melakukan impor
barang modal. Pada bulan Februari 2019, Y Ltd.
memperoleh invoice dari eksportir di luar negeri. Y Ltd.
dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah
sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika
Serikat) melalui Transaksi Forward dengan menggunakan
salah satu dokumen Underlying Transaksi yaitu berupa
purchase order atau invoice.
Huruf c
Contoh:
Pada tanggal 2 Maret 2019, Pihak Asing Z melakukan impor
minyak kelapa sawit dan menerbitkan purchase order
kepada eksportir A di Indonesia. Pada tanggal 3 Maret 2019,
Pihak Asing Z melakukan pembelian valuta asing terhadap
rupiah sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar
Amerika Serikat) melalui Transaksi Forward dengan
menggunakan dokumen Underlying Transaksi berupa
purchase order. Atas impor tersebut, pada tanggal 15 Maret
2019 Pihak Asing Z memperoleh invoice dari eksportir di
luar negeri. Atas invoice dimaksud, Pihak Asing Z tidak
dapat melakukan pembelian valuta asing karena
sebelumnya telah melakukan pembelian dengan
28
menggunakan dokumen Underlying Transaksi berupa
purchase order yang berasal dari kegiatan ekonomi yang
sama.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final atas kegiatan
perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri dapat
berupa fotokopi invoice, list of invoices, atau fotokopi tax invoice.
Dalam hal dokumen Underlying Transaksi berupa list of invoices,
Bank harus memastikan ketersediaan seluruh invoice yang
terdapat dalam list of invoices.
Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final atas kegiatan
investasi berupa foreign direct investment, portfolio investment,
pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar
negeri, antara lain berupa bukti konfirmasi penjualan dan
pembelian surat berharga, bukti perjanjian kredit, atau bukti
pendukung keikutsertaan Pihak Asing dalam tender dan
penyediaan jaminan/bank garansi dalam mata uang rupiah.
Ayat (3)
Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan atas
kegiatan perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar
negeri antara lain berupa proyeksi arus kas yang dikeluarkan
oleh Pihak Asing untuk tujuan pembayaran biaya operasional
dari representative office Badan Hukum Asing.
Dalam hal Underlying Transaksi adalah kegiatan investasi di
dalam dan di luar negeri yang berupa perkiraan maka dokumen
Underlying Transaksi antara lain Memorandum of Understanding
dan/atau Agreement untuk pembelian dan penjualan aset di
dalam negeri untuk kepentingan merger dan/atau akuisisi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan
dokumen estimasi mengenai dividen yang akan diterima.
29
Ayat (4)
Huruf a
Dokumen tambahan untuk dokumen Underlying Transaksi
yang bersifat perkiraan antara lain berupa invoice,
perjanjian kerja, kontrak kerjasama, nota kesepahaman,
atau dokumen lain yang sejenis.
Dalam hal dokumen tambahan berupa invoice,
penyampaiannya dilakukan setelah invoice diterbitkan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penilaian kewajaran melalui track record dilakukan dengan
kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan
untuk memastikan transaksi sesuai dengan profil,
karakteristik, dan/atau pola transaksi Pihak Asing.
Contoh 1:
N Ltd. melakukan pembelian USD terhadap IDR melalui
Transaksi Spot sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar
Amerika Serikat) kepada Bank M dengan Underlying
Transaksi berupa proyeksi arus kas dengan selisih bersih
sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat).
Atas dasar hal tersebut, Bank M harus memastikan
kewajaran nilai pembelian USD terhadap IDR melalui
Transaksi Spot tersebut dengan melihat data historis selama
1 (satu) tahun ke belakang untuk menilai kesesuaian
transaksi tersebut dengan data transaksi yang ada.
Contoh 2:
H Ltd. melakukan pembelian USD terhadap IDR melalui
Transaksi Spot sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu
dolar Amerika Serikat) kepada Bank O pada tanggal 1
Agustus 2019 dan Transaksi Spot sebesar USD600,000.00
(enam ratus ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 1
September 2019, dengan menyampaikan dokumen
Underlying Transaksi berupa proyeksi arus kas. Bank O
harus memastikan kewajaran transaksi tersebut dengan
melihat data historis selama 1 (satu) tahun ke belakang
untuk menilai kesesuaian transaksi tersebut dengan total
30
pembelian sebesar USD1,100,000.00 (satu juta seratus ribu
dolar Amerika Serikat)
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pernyataan tertulis yang autentik dapat berupa surat
elektronik resmi (official email), SWIFT message, negative
confirmation, atau sistem business internet banking.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Pernyataan tertulis yang autentik dapat berupa surat elektronik
resmi (official email), SWIFT message, negative confirmation, atau
sistem business internet banking.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pernyataan tertulis yang autentik dapat berupa surat
elektronik resmi (official email), SWIFT message, negative
confirmation, atau sistem business internet banking.
Ayat (2)
Cukup jelas.
31
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Pada tanggal 10 November 2018, Pihak Asing melakukan
pembelian valuta asing terhadap rupiah sebesar USD10,000.00
(sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian pada tanggal 14
November 2018, Pihak Asing yang sama melakukan pembelian
valuta asing terhadap rupiah sebesar USD15,000.00 (lima belas
ribu dolar Amerika Serikat). Selanjutnya pada tanggal 19
November 2018, Pihak Asing kembali melakukan pembelian
valuta asing terhadap rupiah sebesar USD60,000.00 (enam
puluh ribu dolar Amerika Serikat) maka transaksi pembelian
yang dilakukan pada tanggal 19 November 2018 tersebut telah
melampaui USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika
Serikat). Dengan demikian untuk pembelian yang dilakukan
pada tanggal 19 November 2018 tersebut, Pihak Asing
menyediakan dokumen Underlying Transaksi sebesar
USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Pihak Asing akan melakukan investasi penyertaan langsung dan
akan melakukan Transaksi Forward jual USD/IDR dengan Bank
sebesar USD30,000,000.00 (tiga puluh juta dolar Amerika
Serikat) pada tanggal 18 November 2018 dengan tenor 3 (tiga)
bulan. Pada saat Transaksi Forward dilakukan, Bank wajib
memastikan bahwa Pihak Asing menyampaikan dokumen
32
Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat
pada tanggal 25 November 2018 atau 5 (lima) hari kerja sejak
tanggal transaksi. Penyampaian dokumen Underlying Transaksi
dan/atau dokumen pendukung tersebut berlaku untuk
penyelesaian transaksi baik secara netting maupun diselesaikan
dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of
fund).
Ayat (3)
Contoh:
C Ltd. melakukan Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) pada tanggal
10 Desember 2018 dengan tenor 4 (empat) hari atau dengan
jatuh waktu tanggal 14 Desember 2018. C Ltd. wajib
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen
pendukung paling lambat tanggal 14 Desember 2018.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh:
Pihak Asing melakukan Transaksi Forward beli USD/IDR
sebesar USD800,000.00 (delapan ratus ribu dolar Amerika
Serikat) pada tanggal 19 November 2018 dengan tenor 1
(satu) bulan atau dengan jatuh waktu tanggal 19 Desember
2018 dan tidak wajib menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi. Pada tanggal 16 Desember 2018, Pihak Asing
bermaksud untuk melakukan unwind transaksi dan
diselesaikan secara netting melalui Transaksi Forward jual
dengan jangka waktu 3 (tiga) hari atau jatuh waktunya
sama dengan jatuh waktu forward awal yaitu tanggal 19
Desember 2018. Bank wajib memastikan Pihak Asing untuk
33
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi atas
forward beli USD/IDR sebesar USD800,000.00 (delapan
ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan dokumen pendukung
paling lambat pada tanggal jatuh waktu Transaksi Forward
yaitu tanggal 19 Desember 2018. Dalam hal Bank tidak
menerima dokumen Underlying Transaksi dan dokumen
pendukung dari Pihak Asing, penyelesaian Transaksi
Forward beli dan Forward jual dilakukan dengan
pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of
fund).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Contoh:
Pihak Asing ABC Ltd. melakukan penjualan valuta asing
terhadap rupiah kepada Bank X yang merupakan bank
kustodian pada tanggal 13 November 2018 sebesar
USD1,200,000.00 (satu juta dua ratus ribu dolar Amerika
Serikat). Atas transaksi ini, Bank X wajib memastikan ABC Ltd.
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen
pendukung berupa pernyataan tertulis yang autentik. Pada
tanggal 19 Desember 2018 ABC Ltd. melakukan penjualan valuta
asing terhadap rupiah kepada Bank X sebesar USD1,500,000.00
(satu juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Atas penjualan
ini, Bank X wajib memastikan ABC Ltd. menyampaikan
dokumen Underlying Transaksi. Pada tanggal 20 Januari 2019,
ABC Ltd. kembali melakukan penjualan valuta asing terhadap
rupiah kepada Bank X sebesar USD1,300,000.00 (satu juta tiga
ratus ribu dolar Amerika Serikat). Atas penjualan ini, Bank X
34
wajib memastikan ABC Ltd. menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi dan dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis
yang autentik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
Pihak Asing C melakukan pembelian valuta asing terhadap
rupiah melalui Transaksi Spot kepada Bank Y pada tanggal 19
November 2018 sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar
Amerika Serikat). Atas pembelian ini Bank Y wajib memastikan
Pihak Asing C menyampaikan dokumen berupa pernyataan
tertulis yang autentik. Pada tanggal 26 November 2018, Pihak
Asing C melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah
melalui Transaksi Spot kepada Bank Y sebesar USD5,000.00
(lima ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini, Pihak Asing
C tidak wajib menyampaikan dokumen berupa pernyataan
tertulis yang autentik. Pada tanggal 16 Desember 2018 Pihak
Asing C melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah
melalui Transaksi Spot kepada Bank Y sebesar USD20,000.00
(dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini, Bank
Y wajib memastikan Pihak Asing C menyampaikan dokumen
berupa pernyataan tertulis yang autentik.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
35
Ayat (2)
Contoh:
Pada tanggal 5 September 2018, Pihak Asing melakukan
pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot
sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika Serikat)
di Bank A. Atas pembelian valuta asing terhadap rupiah tanggal
5 September 2018, Bank A tidak meminta Pihak Asing untuk
memberikan dokumen Underlying Transaksi, dan dengan
demikian terdapat pelanggaran yang melebihi threshold sebesar
USD35,000.00 (tiga puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Atas
pelanggaran tersebut, Bank A dikenakan sanksi berupa teguran
tertulis dan kewajiban membayar yang dihitung dari nilai
nominal sebesar Rp4.900.000,00 (empat juta sembilan ratus
ribu rupiah) yang diperoleh dari perhitungan USD35,000.00 x
1% x Rp14.000,00 (kurs JISDOR pada tanggal 15 September
2018). Namun demikian, mengingat minimal sanksi yang harus
dibayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) maka
Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/17/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING </reg_title>
<set_date> 15 Agustus 2018 </set_date>
<effective_date> 15 Agustus 2018 </effective_date>
<replaced_reg> '18/35/DPPK|SE-BI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '18/19/PBI/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/10/PADG/2017
TENTANG
GERBANG PEMBAYARAN NASIONAL (NATIONAL PAYMENT GATEWAY)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menetapkan kebijakan
gerbang pembayaran nasional (national payment gateway)
melalui interkoneksi switching untuk mewujudkan
interoperabilitas sistem pembayaran nasional
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
mengenai gerbang pembayaran nasional (national payment
gateway);
b. bahwa agar kebijakan Bank Indonesia yang telah
dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai
gerbang pembayaran nasional (national payment gateway)
dapat terlaksana dengan baik dan terstruktur untuk
mencapai tujuan yang diharapkan maka diperlukan
ketentuan pelaksanaan sebagai
pedoman
penyelenggaraan bagi para pihak yang berada dalam
ekosistem gerbang pembayaran nasional (national
payment gateway);
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Gerbang Pembayaran
Nasional (National Payment Gateway);
2
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016
tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi
Pembayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 236, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5945);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/8/PBI/2017 tentang
Gerbang Pembayaran Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 134, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6081);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
GERBANG PEMBAYARAN NASIONAL (NATIONAL PAYMENT
GATEWAY).
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Gerbang Pembayaran Nasional
(National Payment
Gateway) yang selanjutnya disingkat GPN (NPG) adalah
sistem yang terdiri atas standar, switching, dan services
yang dibangun melalui seperangkat aturan dan
mekanisme (arrangement) untuk mengintegrasikan
berbagai instrumen dan kanal pembayaran secara
nasional.
2. Standar adalah spesifikasi teknis dan operasional yang
dibakukan.
3. Switching adalah switching sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
4. Services adalah layanan yang disediakan untuk memenuhi
kebutuhan industri sistem pembayaran ritel.
3
5. Lembaga Standar adalah lembaga yang menyusun dan
mengelola Standar dalam GPN (NPG).
Switching
6. Lembaga
menyelenggarakan Switching dalam GPN (NPG).
7. Lembaga Services adalah lembaga yang mengelola fungsi
Services dalam GPN (NPG).
8. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan dan bank
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
9. Lembaga Selain Bank adalah badan usaha bukan Bank
yang berbadan hukum dan didirikan berdasarkan hukum
Indonesia.
10. Penerbit adalah penerbit sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat
pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik.
11. Acquirer adalah acquirer sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat
pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik.
12. Penyelenggara Payment Gateway adalah penyelenggara
payment gateway sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
13. Anjungan Tunai Mandiri (Automated Teller Machine) yang
selanjutnya disingkat ATM adalah mesin yang dipakai
untuk kartu ATM dan/atau kartu debet sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai alat pembayaran dengan
menggunakan kartu.
adalah lembaga yang
4
BAB II
HUBUNGAN ANTARA PENYELENGGARA GPN (NPG) DENGAN
PIHAK YANG TERHUBUNG DENGAN GPN (NPG)
Pasal 2
(1) Penyelenggara GPN (NPG) meliputi:
a. Lembaga Standar;
b. Lembaga Switching; dan
c. Lembaga Services.
(2) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) meliputi:
a. Penerbit;
b. Acquirer;
c. Penyelenggara Payment Gateway; dan
d. pihak lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terdiri atas bank umum, bank
umum syariah, dan Lembaga Selain Bank.
(4) Bank perkreditan rakyat dan bank pembiayaan rakyat
syariah dapat terhubung dengan GPN (NPG) melalui bank
umum atau bank umum syariah.
Pasal 3
(1) Penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) melaksanakan fungsi, tugas, dan
kewajibannya dengan saling bersinergi dan bekerja sama
dengan penyelenggara GPN (NPG) lainnya untuk
mewujudkan interkoneksi dan interoperabilitas sistem
pembayaran nasional.
(2) Sinergi dan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam suatu mekanisme (arrangement)
antarpenyelenggara GPN (NPG).
(3) Mekanisme (arrangement) antarpenyelenggara GPN (NPG)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterapkan dan
diselaraskan oleh pihak yang terhubung dengan GPN
(NPG).
5
BAB III
LEMBAGA STANDAR
Bagian Kesatu
Permohonan Penetapan Lembaga Standar
Pasal 4
(1) Pihak yang akan melakukan kegiatan sebagai Lembaga
Standar harus mengajukan permohonan penetapan
sebagai Lembaga Standar secara tertulis dalam bahasa
Indonesia kepada Bank Indonesia disertai dengan
dokumen pendukung pemenuhan kriteria.
(2) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit:
a. merupakan representasi dari
pembayaran nasional;
industri sistem
b. berbadan hukum Indonesia; dan
c. memiliki kompetensi untuk menyusun,
mengembangkan, dan mengelola Standar dalam
rangka interkoneksi dan interoperabilitas berbagai
instrumen dan kanal pembayaran.
(3) Pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibuktikan dengan dokumen sesuai jenis dan materi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Kedua
Pemrosesan Penetapan Lembaga Standar
Pasal 5
(1) Dalam rangka memproses permohonan penetapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Bank
Indonesia melakukan:
a. penelitian administratif;
b. analisis kelayakan pihak yang mengajukan; dan
6
c. pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan,
dalam hal diperlukan.
(2) Penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dilakukan terhadap dokumen yang
disampaikan oleh pihak yang mengajukan, meliputi:
a. penelitian kelengkapan dokumen; dan
b. penelitian kebenaran dokumen dan kesesuaian
dokumen.
(3) Analisis kelayakan pihak yang mengajukan permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa
analisis dokumen terhadap pemenuhan kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) mengacu
pada aspek:
a.
rekam jejak;
b. kapasitas dan kapabilitas;
c. kesiapan operasional; dan
d. kecukupan manajemen risiko.
(4) Pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dilakukan dengan cara kunjungan ke lokasi terkait
penyelenggaraan (on site visit) untuk melakukan verifikasi
atas kebenaran dokumen dan kesesuaian dokumen yang
diajukan serta memastikan kesiapan operasional.
Pasal 6
(1) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
huruf a terdapat dokumen yang tidak lengkap, Bank
Indonesia menginformasikan secara tertulis kepada pihak
yang mengajukan permohonan untuk melengkapi
kekurangan dokumen.
(2) Dalam hal dokumen yang disampaikan telah lengkap,
Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian kebenaran dokumen dan kesesuaian
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2) huruf b; dan
7
b. analisis kelayakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (3).
(3) Apabila berdasarkan hasil penelitian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a terdapat dokumen yang
tidak benar dan/atau dokumen yang tidak sesuai, Bank
Indonesia menginformasikan secara tertulis kepada pihak
yang mengajukan permohonan untuk memperbaiki
dokumen yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak
sesuai.
(4) Pihak yang mengajukan permohonan harus melengkapi,
memperbaiki, dan/atau menyesuaikan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3)
serta menyampaikan kembali kepada Bank Indonesia
dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima)
hari kerja sejak pemberitahuan tertulis disampaikan oleh
Bank Indonesia.
(5) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) pihak yang mengajukan
permohonan belum menyampaikan dokumen yang telah
dilengkapi, diperbaiki, dan/atau disesuaikan maka pihak
yang mengajukan permohonan dinyatakan telah
membatalkan permohonannya.
Pasal 7
(1) Dalam hal dokumen permohonan dinyatakan telah
lengkap, benar, dan sesuai dengan kriteria, Bank
Indonesia dapat melakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4).
(2) Berdasarkan hasil penelitian administratif, analisis
kelayakan, dan/atau hasil pemeriksaan terhadap pihak
yang mengajukan permohonan, Bank Indonesia
memutuskan untuk:
a. menyetujui; atau
b. menolak,
permohonan penetapan yang diajukan.
8
(3) Pihak yang memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan sebagai
Lembaga Standar.
(4) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Bank
Indonesia.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Fungsi Lembaga Standar
Pasal 8
(1) Lembaga Standar memiliki fungsi:
a. menyusun Standar;
b. mengembangkan Standar; dan
c. mengelola Standar,
untuk interkoneksi dan interoperabilitas instrumen
pembayaran, kanal pembayaran, dan Switching, serta
security.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan huruf b, Lembaga Standar
mempertimbangkan masukan dari industri.
(3) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Lembaga Standar dapat bekerja sama dengan
pihak lain.
(4) Dalam hal Lembaga Standar melakukan kerja sama
dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
tanggung jawab atas penyusunan, pengembangan, dan
pengelolaan Standar tetap berada pada Lembaga Standar.
Pasal 9
(1) Untuk melindungi kepentingan publik, kepemilikan atas
Standar yang telah disusun dan dikembangkan oleh
Lembaga Standar berada pada Bank Indonesia.
(2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Lembaga Standar mengalihkan Standar
yang telah disusun dan/atau dikembangkan kepada Bank
Indonesia.
9
(3) Pengalihan Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan cara penyerahan melalui berita acara
serah terima.
(4) Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
oleh Bank Indonesia sebagai Standar GPN (NPG).
(5) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal berita
acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 10
Penetapan Lembaga Standar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (4) dan penetapan Standar GPN (NPG)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) diumumkan oleh
Bank Indonesia.
Pasal 11
(1) Bank Indonesia menyerahkan Standar GPN (NPG) kepada
Lembaga Standar untuk dikelola.
(2) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan berita acara serah terima pengelolaan.
Pasal 12
(1) Lembaga Standar bertanggung jawab untuk memastikan
keamanan dan keandalan teknologi informasi yang
digunakan dalam penyusunan, pengembangan, dan
pengelolaan Standar GPN (NPG).
(2) Lembaga Standar wajib menjaga kerahasiaan data dan
informasi terkait penyusunan, pengembangan, dan
pengelolaan Standar GPN (NPG).
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga
berlaku dalam hal Lembaga Standar melakukan kerja
sama penyusunan, pengembangan, dan pengelolaan
Standar GPN (NPG) dengan pihak lain.
Pasal 13
(1) Lembaga Standar harus menyusun dan menyampaikan
rencana kerja awal penyusunan, pengembangan, dan
10
pengelolaan Standar secara tertulis kepada Bank
Indonesia.
(2) Rencana kerja awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah
memperoleh penetapan sebagai Lembaga Standar dari
Bank Indonesia.
(3) Rencana kerja awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memuat:
a.
rencana penyusunan dan/atau pengembangan
Standar;
b.
c.
rencana pengelolaan Standar;
rencana kesiapan organisasi; dan
d. konsep kerja sama Lembaga Standar dengan pihak
lain terkait penyusunan, pengembangan, dan
pengelolaan Standar, dalam hal rencana
penyusunan, pengembangan, dan pengelolaan
Standar akan dilakukan bekerja sama dengan pihak
lain.
(4) Bank Indonesia berwenang meminta Lembaga Standar
untuk melakukan penyesuaian terhadap rencana kerja
awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Format rencana kerja awal penyusunan, pengembangan,
dan pengelolaan Standar tercantum dalam Lampiran I.
Pasal 14
(1) Lembaga Standar harus meminta persetujuan Bank
Indonesia atas hal yang bersifat strategis dalam
melaksanakan fungsi dan tugasnya.
(2) Hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mencakup:
a. perencanaan dan pengembangan Standar;
b. penetapan persyaratan, prosedur pelaksanaan, dan
kategori pihak yang disertifikasi, termasuk apabila
terdapat perubahan;
c. kerja sama dengan pihak lain dalam pelaksanaan
fungsi penyusunan, pengembangan, dan pengelolaan
Standar;
11
d. penetapan jenis dan besarnya biaya yang digunakan
dalam kegiatan penyusunan, pengembangan, dan
pengelolaan Standar; dan
e. hal lain yang dianggap strategis oleh Bank Indonesia.
(3) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Lembaga Standar harus mengajukan
permohonan tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
melampirkan dokumen sesuai jenis dan materi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.
(4) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Bank Indonesia berwenang untuk:
a. menyetujui; atau
b. menolak,
permohonan yang diajukan.
(5) Persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara
tertulis oleh Bank Indonesia kepada Lembaga Standar.
BAB IV
LEMBAGA SWITCHING
Bagian Kesatu
Permohonan Persetujuan Lembaga Switching
Pasal 15
(1) Pihak yang akan melakukan kegiatan sebagai Lembaga
Switching harus mengajukan permohonan persetujuan
sebagai Lembaga Switching secara tertulis dalam bahasa
Indonesia kepada Bank Indonesia disertai dengan
dokumen pendukung pemenuhan persyaratan.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit:
a.
telah memperoleh izin sebagai penyelenggara
Switching sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran;
12
b.
telah melaksanakan pemrosesan transaksi
pembayaran secara domestik dengan menggunakan
infrastruktur yang dimiliki di Indonesia;
c. memenuhi kepemilikan saham paling sedikit 80%
(delapan puluh persen) sahamnya dimiliki oleh warga
negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia;
d. mampu dan memiliki kapasitas untuk melaksanakan
fungsi Switching di GPN (NPG); dan
e. memiliki modal disetor paling sedikit sebesar
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(3) Dalam hal pihak yang akan melakukan kegiatan sebagai
Lembaga Switching dimiliki oleh badan hukum berbentuk
perseroan terbuka maka perhitungan kepemilikan saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c hanya
dilakukan terhadap kepemilikan saham dengan
persentase sebesar 5% (lima persen) atau lebih.
(4) Dalam hal Lembaga Switching akan memperluas
penyelenggaraan kegiatan untuk instrumen lainnya maka
harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d.
(5) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dibuktikan dengan dokumen sesuai jenis dan
materi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.
Pasal 16
(1) Perhitungan kepemilikan saham Lembaga Switching
meliputi kepemilikan secara langsung maupun secara
tidak langsung sesuai dengan penilaian Bank Indonesia.
(2) Penilaian Bank Indonesia atas kepemilikan saham tidak
langsung dapat dilakukan sampai dengan pemegang
saham akhir (ultimate shareholder/beneficial owner).
(3) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
dengan mempertimbangkan hal sebagai berikut:
a. manajemen risiko;
b. penerapan ketentuan anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme; dan
13
c. hasil evaluasi atas penyelenggaraan jasa sistem
pembayaran.
Bagian Kedua
Pemrosesan Persetujuan Lembaga Switching
Pasal 17
(1) Dalam rangka memproses permohonan persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Bank
Indonesia melakukan:
a. penelitian administratif;
b. analisis kelayakan pihak yang mengajukan; dan
c. pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan,
dalam hal diperlukan.
(2) Penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dilakukan terhadap dokumen yang
disampaikan oleh pihak yang mengajukan meliputi:
a. penelitian kelengkapan dokumen; dan
b. penelitian kebenaran dokumen dan kesesuaian
dokumen.
(3) Analisis kelayakan pihak yang mengajukan permohonan
sebagai Lembaga Switching sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b berupa analisis dokumen terhadap
pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (2) mengacu pada aspek:
a.
rekam jejak;
b. keamanan dan keandalan sistem;
c. kapasitas dan kapabilitas;
d. kesiapan operasional; dan
e. kecukupan manajemen risiko.
(4) Pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dilakukan dengan cara kunjungan ke lokasi terkait
penyelenggaraan (on site visit) untuk melakukan verifikasi
atas kebenaran dokumen dan kesesuaian dokumen yang
diajukan serta memastikan kesiapan operasional.
14
Pasal 18
(1) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
huruf a terdapat dokumen yang tidak lengkap, Bank
Indonesia mengembalikan surat dan seluruh dokumen
permohonan kepada pihak yang mengajukan.
(2) Dalam hal dokumen yang disampaikan telah lengkap,
Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian kebenaran dokumen dan kesesuaian
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2) huruf b; dan
b. analisis kelayakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (3).
(3) Apabila berdasarkan hasil penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b terdapat
dokumen yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak
sesuai, Bank Indonesia menginformasikan secara tertulis
kepada pihak yang mengajukan permohonan untuk
memperbaiki dokumen yang tidak benar dan/atau
dokumen yang tidak sesuai.
(4) Pihak yang mengajukan permohonan harus memperbaiki
dan/atau menyesuaikan dokumen
sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) serta menyampaikan kembali
kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lama
45 (empat puluh lima) hari kerja sejak pemberitahuan
tertulis disampaikan oleh Bank Indonesia.
(5) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) pihak yang mengajukan
permohonan belum menyampaikan dokumen yang telah
diperbaiki dan/atau disesuaikan maka pihak yang
mengajukan permohonan dinyatakan telah membatalkan
permohonannya.
Pasal 19
(1) Pihak yang telah membatalkan permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) dapat mengajukan
permohonan kembali setelah jangka waktu 180 (seratus
15
delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan
persetujuan dinyatakan batal.
(2) Dalam hal dokumen permohonan dinyatakan telah benar
dan sesuai dengan persyaratan, Bank Indonesia dapat
melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (4).
(3) Berdasarkan hasil penelitian administratif, analisis
kelayakan, dan/atau hasil pemeriksaan terhadap pihak
yang mengajukan permohonan, Bank Indonesia
memutuskan untuk:
a. menyetujui; atau
b. menolak,
permohonan persetujuan yang diajukan.
(4) Pihak yang memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a ditetapkan sebagai
Lembaga Switching.
(5) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
disampaikan secara tertulis oleh Bank Indonesia kepada
Lembaga Switching.
Pasal 20
(1) Lembaga Switching yang telah memperoleh persetujuan
Bank Indonesia wajib tetap memenuhi persentase
kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 ayat (2) huruf c.
(2) Dalam hal terdapat perubahan modal dan/atau
penggantian susunan pemegang saham maka Lembaga
Switching harus meminta persetujuan Bank Indonesia.
(3) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Lembaga Switching harus mengajukan
permohonan persetujuan dengan melampirkan dokumen
sesuai jenis dan materi sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I.
(4) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Bank Indonesia berwenang untuk:
a. menyetujui; atau
b. menolak,
16
permohonan yang diajukan.
(5) Persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara
tertulis oleh Bank Indonesia kepada Lembaga Switching.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Fungsi Lembaga Switching
Pasal 21
(1) Lembaga Switching berfungsi dan bertugas untuk
memproses data transaksi pembayaran secara domestik
untuk interkoneksi dan interoperabilitas.
(2) Setiap Lembaga Switching wajib melakukan interkoneksi
dengan paling sedikit 2 (dua) Lembaga Switching lainnya.
(3) Interkoneksi Lembaga Switching dengan Lembaga
Switching lainnya dilakukan dengan memperhatikan
efisiensi dan efektivitas interkoneksi serta kesesuaian
service level agreement (SLA) dan standar antar-Lembaga
Switching.
(4) Lembaga Switching harus menerima koneksi dari Pihak
yang terhubung dengan GPN (NPG) dengan
memperhatikan efisiensi dan efektivitas koneksi serta
kapasitas Lembaga Switching.
Pasal 22
(1) Lembaga Switching wajib:
a. mematuhi service level agreement (SLA) Lembaga
Switching yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. menerapkan Standar yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia dan dikelola oleh Lembaga Standar; dan
c.
terhubung dan memberikan akses data transaksi
pembayaran dan kegiatan operasionalnya kepada
Lembaga Services.
(2) Service level agreement (SLA) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a paling sedikit meliputi:
a. ketersediaan sistem (system availability);
b. keamanan transaksi (security);
17
c. keandalan dan pemulihan (reliability and recovery);
d. penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan
transaksi (dispute resolution);
e. kepastian penyelesaian akhir (settlement finality); dan
f. aspek lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Pemberian akses data transaksi pembayaran kepada
Lembaga Services sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c paling sedikit berupa:
a. akses data terkait hasil perhitungan transaksi untuk
instrumen pembayaran kartu ATM dan/atau kartu
debet antaranggota dalam Lembaga Switching yang
sama; dan/atau
b. akses data lainnya terkait kegiatan operasional
Lembaga Switching.
Pasal 23
(1) Lembaga Switching dapat melakukan kerja sama dengan
penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) dengan
terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia.
(2) Dalam melakukan kerja sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Lembaga Switching harus memastikan
pemenuhan persyaratan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pemrosesan transaksi pembayaran oleh penyelenggara
Switching di luar GPN (NPG).
(3) Selain pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), kerja sama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila:
a. penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) mampu
melakukan pemrosesan transaksi secara domestik;
dan
b.
transaksi yang diproses merupakan transaksi dari
produk dan/atau menggunakan merek dari
penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) tersebut.
18
(4) Lembaga Switching dapat melakukan kerja sama paling
banyak dengan 2 (dua) penyelenggara Switching di luar
GPN (NPG).
(5) Penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) dapat
melakukan kerja sama paling banyak dengan 2 (dua)
Lembaga Switching.
Pasal 24
(1) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1), Lembaga Switching harus
mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia dengan melampirkan dokumen sesuai dengan
jenis dan materi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.
(2) Permohonan persetujuan kerja sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat informasi paling sedikit
mengenai:
a. bentuk kerja sama yang akan diselenggarakan
termasuk dasar pertimbangan dilakukan kerja sama;
dan
b. periode berlangsungnya kerja sama.
(3) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan paling lambat 45 (empat puluh lima)
hari kerja sebelum dilakukan kerja sama.
Pasal 25
(1) Dalam rangka memproses permohonan persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Bank
Indonesia melakukan:
a. penelitian administratif;
b. analisis kelayakan kerja sama; dan
c. pemeriksaan terkait dengan penyelenggaraan kerja
sama, dalam hal diperlukan.
(2) Penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a meliputi:
a. penelitian kelengkapan dokumen; dan
b. penelitian kebenaran dokumen dan kesesuaian
dokumen.
19
(3) Analisis kelayakan kerja sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b berupa analisis dokumen untuk
menilai kelayakan kerja sama yang akan dilakukan, paling
sedikit mencakup:
a. penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) memiliki
komitmen untuk berkontribusi terhadap peningkatan
kapasitas dan kapabilitas penyelenggaraan GPN
(NPG); dan
b. kinerja Lembaga Switching dan penyelenggara
Switching di luar GPN (NPG).
(4) Pemeriksaan terkait dengan penyelenggaraan kerja sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan
dengan cara kunjungan ke lokasi terkait penyelenggaraan
kerja sama (on site visit) untuk melakukan verifikasi atas
kebenaran dokumen dan kesesuaian dokumen yang
diajukan serta memastikan kesiapan operasional kerja
sama.
Pasal 26
(1) Dalam memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1), Bank Indonesia juga
mempertimbangkan kontribusi penyelenggara Switching
di luar GPN (NPG) terhadap peningkatan kapasitas dan
kapabilitas penyelenggaraan GPN (NPG).
(2) Kontribusi penyelenggara Switching sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa pencegahan fraud,
manajemen risiko, dan mitigasi risiko.
(3) Selain pencegahan fraud, manajemen risiko, dan mitigasi
risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kontribusi
penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) juga dapat
berupa alih teknologi dalam rangka peningkatan
keamanan, kapasitas, dan kapabilitas serta inovasi
produk.
20
Pasal 27
(1) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2)
huruf a terdapat dokumen yang tidak lengkap, Bank
Indonesia mengembalikan surat dan seluruh dokumen
permohonan kepada Lembaga Switching.
(2) Dalam hal dokumen yang disampaikan telah lengkap,
Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian kebenaran dokumen dan kesesuaian
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (2) huruf b; dan
b. analisis kelayakan kerja sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3).
(3) Apabila berdasarkan hasil penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b terdapat
dokumen yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak
sesuai, Bank Indonesia menginformasikan secara tertulis
kepada pihak yang mengajukan permohonan untuk
memperbaiki dokumen yang tidak benar dan/atau
dokumen yang tidak sesuai.
(4) Lembaga Switching harus memperbaiki dan/atau
menyesuaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) serta menyampaikan kembali kepada Bank
Indonesia dalam jangka waktu paling lama 45 (empat
puluh lima) hari kerja sejak pemberitahuan tertulis
disampaikan oleh Bank Indonesia.
(5) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) Lembaga Switching belum
menyampaikan dokumen yang telah diperbaiki dan/atau
disesuaikan maka Lembaga Switching dinyatakan telah
membatalkan permohonannya.
Pasal 28
(1) Lembaga Switching yang telah membatalkan permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5) dapat
mengajukan permohonan kembali setelah jangka waktu
21
180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal
permohonan persetujuan dinyatakan batal.
(2) Dalam hal dokumen permohonan dinyatakan telah benar
dan sesuai dengan persyaratan, Bank Indonesia dapat
melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (4).
(4) Berdasarkan hasil penelitian administratif, analisis
kelayakan, dan/atau hasil pemeriksaan, Bank Indonesia
memutuskan untuk:
a. menyetujui; atau
b. menolak,
permohonan kerja sama yang diajukan.
(5) Persetujuan atau penolakan permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara tertulis oleh
Bank Indonesia kepada Lembaga Switching.
BAB V
LEMBAGA SERVICES
Bagian Kesatu
Permohonan Penetapan Lembaga Services
Pasal 29
(1) Pihak yang akan melakukan kegiatan sebagai Lembaga
Services harus mengajukan permohonan penetapan
sebagai Lembaga Services secara tertulis dalam bahasa
Indonesia kepada Bank Indonesia disertai dengan
dokumen pendukung pemenuhan kriteria.
(2) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit:
a. berbadan hukum Indonesia berbentuk perseroan
terbatas;
b. mampu dan memiliki kapasitas untuk melaksanakan
fungsi Services di GPN (NPG); dan
22
c. sahamnya dimiliki bersama oleh:
1. Lembaga Switching; dan
2. Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha
(BUKU) 4 (empat) yang mayoritas sahamnya
dimiliki warga negara Indonesia dan/atau badan
hukum Indonesia, dalam bentuk kepemilikan
tidak langsung.
(3) Dalam hal Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha
(BUKU) 4 (empat) sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c angka 2 dimiliki oleh badan hukum berbentuk
perseroan terbuka maka perhitungan kepemilikan saham
hanya dilakukan terhadap kepemilikan saham dengan
persentase sebesar 5% (lima persen) atau lebih.
(4) Pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibuktikan dengan dokumen sesuai jenis dan materi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.
Bagian Kedua
Pemrosesan Penetapan Lembaga Services
Pasal 30
(1) Dalam rangka memproses permohonan penetapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), Bank
Indonesia melakukan:
a. penelitian administratif;
b. analisis kelayakan pihak yang mengajukan; dan
c. pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan,
dalam hal diperlukan.
(2) Penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dilakukan terhadap dokumen yang
disampaikan oleh pihak yang mengajukan meliputi:
a. penelitian kelengkapan dokumen; dan
b. penelitian kebenaran dokumen dan kesesuaian
dokumen.
(3) Analisis kelayakan pihak yang akan mengajukan
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
berupa analisis dokumen terhadap pemenuhan kriteria
23
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) pada
aspek:
a.
b.
legalitas dan profil perusahaan;
rekam jejak;
c. kapasitas dan kapabilitas;
d. kesiapan operasional; dan
e. kecukupan manajemen risiko.
(4) Pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dilakukan dengan cara kunjungan ke lokasi terkait
penyelenggaraan (on site visit) untuk melakukan verifikasi
atas kebenaran dokumen dan kesesuaian dokumen yang
diajukan serta memastikan kesiapan operasional.
Pasal 31
(1) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2)
huruf a terdapat dokumen yang tidak lengkap, Bank
Indonesia menginformasikan secara tertulis kepada pihak
yang mengajukan permohonan untuk melengkapi
kekurangan dokumen.
(2) Dalam hal dokumen yang disampaikan telah lengkap,
Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian kebenaran dokumen dan kesesuaian
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (2) huruf b; dan
b. analisis kelayakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (3).
(3) Apabila berdasarkan hasil penelitian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a terdapat dokumen yang
tidak benar dan/atau dokumen yang tidak sesuai, Bank
Indonesia menginformasikan secara tertulis kepada pihak
yang mengajukan permohonan untuk memperbaiki
dokumen yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak
sesuai.
24
(4) Pihak yang mengajukan permohonan harus melengkapi,
memperbaiki, dan/atau menyesuaikan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3)
serta menyampaikan kembali kepada Bank Indonesia
dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima)
hari kerja sejak pemberitahuan tertulis disampaikan oleh
Bank Indonesia.
(5) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) pihak yang mengajukan
permohonan belum menyampaikan dokumen yang telah
dilengkapi, diperbaiki, dan/atau disesuaikan maka pihak
yang mengajukan permohonan dinyatakan telah
membatalkan permohonannya.
Pasal 32
(1) Dalam hal dokumen permohonan dinyatakan telah
lengkap, benar, dan sesuai dengan kriteria, Bank
Indonesia dapat melakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4).
(2) Berdasarkan hasil penelitian administratif, analisis
kelayakan, dan/atau hasil pemeriksaan terhadap pihak
yang mengajukan permohonan, Bank Indonesia
memutuskan untuk:
a. menyetujui; atau
b. menolak
permohonan penetapan yang diajukan.
(3) Pihak yang memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan sebagai
Lembaga Services.
(4) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Bank
Indonesia.
25
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Tugas Lembaga Services
Pasal 33
(1) Lembaga Services harus menyusun dan menyampaikan
rencana kerja awal Lembaga Services secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
(2) Rencana kerja awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah
memperoleh penetapan sebagai Lembaga Services dari
Bank Indonesia.
(3) Rencana kerja awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memuat:
a.
b.
rencana pelaksanaan tugas services;
c.
rencana ketentuan service level agreement (SLA) bagi
pihak yang terhubung dengan GPN (NPG); dan
rencana kesiapan organisasi.
(4) Bank Indonesia berwenang meminta Lembaga Services
untuk melakukan penyesuaian terhadap rencana kerja
awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Format rencana kerja awal Lembaga Services mengacu
pada Lampiran I.
Pasal 34
(1) Lembaga Services wajib mematuhi standar dan service
level agreement (SLA) Lembaga Services yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(2) Service level agreement (SLA) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. ketersediaan sistem (system availability);
b. keamanan transaksi (security);
c. keandalan dan pemulihan (reliability and recovery);
d. penyelesaian perselisihan transaksi
resolution);
e. kepastian penyelesaian akhir (finality of settlement);
dan
f. aspek lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(dispute
26
Pasal 35
(1) Lembaga Services harus meminta persetujuan Bank
Indonesia atas hal yang bersifat strategis dalam
melaksanakan tugasnya.
(2) Hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mencakup:
a. perubahan modal Lembaga Services;
b. perubahan pengurus;
c. perubahan susunan pemegang saham;
d. kegiatan terkait pelaksanaan tugas sebagai Lembaga
Services; dan
e. hal lain yang dianggap strategis oleh Bank Indonesia.
(3) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Lembaga Services harus mengajukan
permohonan tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
melampirkan dokumen sesuai jenis dan materi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.
(4) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Bank Indonesia berwenang untuk:
a. menyetujui; atau
b. menolak,
permohonan yang diajukan
(5) Persetujuan atau penolakan permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara tertulis oleh
Bank Indonesia kepada Lembaga Services.
Pasal 36
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, Lembaga Services dapat
mengelola dana yang diperoleh dari setiap transaksi yang
diproses melalui Lembaga Services.
(2) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas
Lembaga Services.
(3) Lembaga Services harus menetapkan peraturan mengenai
kegiatan operasional harian Lembaga Services.
27
Pasal 37
Dalam hal Lembaga Services memperoleh laba dari kegiatan
usahanya maka laba tersebut:
a. disetorkan kepada pemegang saham sesuai yang
tercantum dalam anggaran dasar;
b. dicadangkan dan dikelola oleh Lembaga Services untuk
peningkatan teknologi, infrastruktur, dan sumber daya
manusia yang terkait dengan peningkatan layanan
penyelenggaraan GPN (NPG); dan/atau
c. didistribusikan kepada pihak yang terhubung dengan GPN
(NPG).
BAB VI
PIHAK YANG TERHUBUNG DENGAN GPN (NPG)
Pasal 38
(1) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib terhubung dengan
GPN (NPG) dengan cara menjadi anggota pada paling
sedikit 2 (dua) Lembaga Switching.
(2) Kewajiban terhubung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku untuk masing-masing instrumen dan/atau
kanal pembayaran.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan untuk instrumen yang dapat saling
interoperabilitas tanpa melalui Lembaga Switching.
(4) Instrumen yang dapat saling interoperabilitas tanpa
melalui Lembaga Switching sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) berupa:
a. uang elektronik chip-based; dan
b.
instrumen lainnya yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 39
(1) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) berupa Penerbit
harus meningkatkan penerbitan instrumen pembayaran
yang diproses melalui GPN (NPG).
28
(2) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) berupa Acquirer
harus meningkatkan akseptasi transaksi pembayaran
melalui GPN (NPG).
(3) Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
memastikan bahwa seluruh merchant mematuhi
ketentuan mengenai GPN (NPG) yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
BAB VII
PENYELENGGARAAN GPN (NPG)
Bagian Kesatu
Branding Nasional
Pasal 40
(1) Branding nasional merupakan seperangkat aturan terkait:
a.
logo nasional;
b. perluasan akseptasi nasional; dan
c. pemrosesan domestik.
(2) Logo nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a ditetapkan, dimiliki, dan dikelola oleh Bank Indonesia.
Pasal 41
(1) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) wajib
mencantumkan logo nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a pada setiap instrumen
yang diterbitkan dan kanal pembayaran yang digunakan
dalam transaksi pembayaran domestik melalui GPN (NPG).
(2) Instrumen yang digunakan dalam transaksi pembayaran
domestik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kartu ATM dan/atau kartu debet;
b. kartu kredit;
c. uang elektronik; dan
d.
instrumen pembayaran lainnya.
29
(3) Kanal pembayaran yang digunakan dalam transaksi
pembayaran domestik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. ATM;
b. EDC;
c. agen;
d. payment gateway; dan
e. kanal pembayaran lainnya.
Pasal 42
(1) Pencantuman logo nasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (1) pada instrumen dan kanal pembayaran
harus dicantumkan secara jelas di tempat yang mudah
terlihat.
(2) Logo nasional hanya dapat dicantumkan dengan logo lain
sepanjang logo lain dimaksud dimiliki oleh Lembaga
Switching, Penerbit, dan/atau pihak lain, yang disetujui
oleh Bank Indonesia.
(3) Tata cara pencantuman logo nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 43
(1) Pencantuman logo nasional untuk instrumen kartu ATM
dan/atau kartu debet dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a.
sejak tanggal 1 Januari 2018, Penerbit wajib mulai
menerbitkan kartu ATM dan/atau kartu debet berlogo
nasional; dan
b.
sejak tanggal 1 Januari 2022, Penerbit wajib
memastikan seluruh nasabah yang memiliki kartu
ATM dan/atau kartu debet harus memiliki paling
sedikit 1 (satu) kartu ATM dan/atau kartu debet
berlogo nasional.
(2) Penerbit menyampaikan rencana tindak (action plan)
mengenai penerbitan kartu ATM dan/atau kartu debet
berlogo nasional.
30
Pasal 44
(1) Dalam hal kanal pembayaran berupa situs web atau
aplikasi maka pencantuman logo sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 ayat (3) wajib dicantumkan dalam situs
web atau aplikasi dimaksud secara jelas di tempat yang
mudah terlihat.
(2) Pihak yang menyediakan kanal pembayaran wajib
menyediakan terminal yang dapat menerima dan
memproses instrumen yang memiliki logo nasional.
Bagian Kedua
Skema Harga
Pasal 45
(1) Penyelenggara GPN (NPG) dan pihak yang terhubung
dengan GPN (NPG) wajib mematuhi kebijakan skema
harga.
(2) Kebijakan skema harga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan mempertimbangkan prinsip sebagai
berikut:
a. mendorong perluasan akseptasi, efisiensi, kompetisi,
layanan, dan inovasi;
b. didasarkan pada aspek cost of recovery ditambah
margin yang wajar, risiko, dan kenyamanan; dan
c. penetapan besaran dan struktur tarif dan bea.
(3) Kebijakan skema harga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang digunakan oleh penyelenggara GPN (NPG),
penyelenggara Switching yang bekerja sama dengan
Lembaga Switching, dan pihak yang terhubung dengan
GPN (NPG) berupa:
a. sharing infrastructure;
b.
terminal usage fee (TUF); atau
c. merchant discount rate (MDR).
(4) Kebijakan skema harga yang diterapkan untuk kerja sama
antara Lembaga Switching dan penyelenggara Switching di
luar GPN (NPG) ditetapkan sesuai dengan kontribusi
31
penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3).
(5) Kebijakan skema harga diberlakukan terhadap instrumen
yang diterbitkan oleh Penerbit domestik dan diproses
secara domestik untuk instrumen:
a. berlogo nasional;
b. private label; dan
c. berlogo internasional.
(6) Penerapan kebijakan skema harga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(7) Bank Indonesia dapat mengevaluasi dan mengubah
kebijakan skema harga dengan memperhatikan
perkembangan penerapan prinsip sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
BAB VIII
LAPORAN
Pasal 46
(1) Setiap penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) wajib menyampaikan laporan
kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.
laporan berkala; dan
b.
laporan insidental.
Pasal 47
(1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
ayat (2) huruf a untuk Lembaga Standar meliputi:
a.
laporan triwulanan yang paling sedikit memuat data
dan informasi terkait pelaksanaan pengelolaan
Standar GPN (NPG); dan
32
b.
laporan tahunan yang paling sedikit memuat
informasi mengenai:
1.
rencana kerja dan target 1 (satu) tahun ke
depan, termasuk dalam hal terdapat rencana
pengembangan Standar;
2.
3.
realisasi rencana kerja tahun sebelumnya;
laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir; dan
4. evaluasi kesesuaian Standar GPN (NPG) dengan
perkembangan teknologi dan kebutuhan
industri.
(2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 ayat (2) huruf b untuk Lembaga Standar terdiri atas:
a.
laporan perubahan modal dan/atau susunan
pemegang saham serta perubahan susunan
pengurus Lembaga Standar;
b.
c.
laporan perubahan data dan informasi pada dokumen
yang disampaikan pada saat mengajukan
permohonan penetapan kepada Bank Indonesia; dan
laporan lainnya yang diminta oleh Bank Indonesia.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan dengan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 48
(1) Laporan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 ayat (1) huruf a wajib disampaikan paling lambat pada
akhir bulan berikutnya setelah periode laporan berakhir.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
ayat (1) huruf b wajib disampaikan paling lambat pada
tanggal 31 Maret tahun berikutnya.
(3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
ayat (2) wajib disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari
kerja terhitung sejak terjadinya kejadian atau perubahan
yang wajib dilaporkan.
33
Pasal 49
(1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
ayat (2) huruf a untuk Lembaga Switching merupakan
laporan berkala bagi penyelenggara switching
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran, dengan menambahkan informasi
mengenai kegiatan operasional Lembaga Switching.
(2) Informasi mengenai kegiatan operasional Lembaga
Switching sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan dengan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran III.
(3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
ayat (2) huruf b untuk Lembaga Switching merupakan
laporan insidental bagi penyelenggara switching
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran.
(4) Jenis, format, dan tata cara penyampaian laporan berkala
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan laporan
insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
Pasal 50
(1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
ayat (2) huruf a untuk Lembaga Services meliputi:
a. laporan triwulanan yang paling sedikit memuat data
dan informasi terkait penyelesaian akhir dan kejadian
fraud dalam operasional Lembaga Services;
b. laporan tahunan yang paling sedikit memuat
informasi mengenai:
1.
rencana kerja dan target 1 (satu) tahun ke
depan, termasuk dalam hal terdapat rencana
pelaksanaan kegiatan Services;
2.
3.
realisasi rencana kerja tahun sebelumnya; dan
laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir.
34
c.
laporan hasil audit sistem informasi dari auditor
independen yang dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali
dalam setahun dengan cakupan audit paling sedikit
memuat:
1. kerahasiaan data (confidentiality);
2.
integritas sistem dan data (integrity);
3. otentikasi sistem dan data (authentication);
4. pencegahan terjadinya penyangkalan transaksi
yang telah dilakukan (non-repudiation); dan
5. ketersediaan sistem (availability),
atas penyelenggaraan kegiatan operasional Lembaga
Services.
(2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
ayat (2) huruf b untuk Lembaga Services terdiri atas:
a.
b.
c.
d.
laporan gangguan dalam Lembaga Services dan
tindak lanjut yang telah dilakukan;
laporan perubahan susunan pengurus Lembaga
Services;
laporan terjadinya keadaan kahar
penyelenggaraan Services;
atas
e.
laporan perubahan data dan informasi pada dokumen
yang disampaikan pada saat mengajukan
permohonan penetapan kepada Bank Indonesia; dan
laporan lainnya yang diminta oleh Bank Indonesia.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan dengan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran III.
Pasal 51
(1) Laporan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 ayat (1) huruf a wajib disampaikan paling lambat pada
akhir bulan berikutnya setelah periode laporan berakhir.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (1) huruf b wajib disampaikan paling lambat pada
tanggal 31 Maret tahun berikutnya.
35
(3) Laporan hasil audit sistem informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf c wajib
disampaikan paling lambat pada tanggal 31 Maret tahun
berikutnya.
(4) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (2) wajib disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari
kerja terhitung sejak terjadinya kejadian atau perubahan
yang wajib dilaporkan.
BAB IX
PENGAWASAN
Pasal 52
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
penyelenggara GPN (NPG) yang meliputi:
a. pengawasan langsung; dan
b. pengawasan tidak langsung.
(2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia melakukan
pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a terhadap pihak yang melakukan kerja sama
dengan penyelenggara GPN (NPG).
(3) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan
atas nama Bank Indonesia untuk melaksanakan
pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a.
(4) Dalam rangka pengawasan langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, penyelenggara GPN (NPG)
wajib memberikan kepada pengawas atau pihak lain yang
ditugaskan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), mencakup:
a. dokumen, data, informasi, dan/atau laporan yang
diminta;
b. keterangan dan/atau penjelasan baik lisan maupun
tertulis; dan/atau
c. akses terhadap sistem informasi.
36
(5) Dalam rangka pengawasan tidak langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, penyelenggara GPN (NPG)
wajib menyampaikan dokumen, data, informasi, laporan,
keterangan, dan/atau penjelasan kepada Bank Indonesia.
(6) Dokumen, data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau
penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
disampaikan melalui pelaporan, pertemuan langsung,
dan/atau sarana komunikasi lain yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(7) Penyelenggara GPN (NPG) wajib bertanggung jawab atas
kebenaran dokumen, data,
informasi,
laporan,
keterangan, dan/atau penjelasan yang diberikan kepada
Bank Indonesia.
(8) Pihak yang ditugaskan melakukan pengawasan langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib:
a. menyampaikan seluruh dokumen, data, informasi,
laporan, keterangan, dan/atau penjelasan yang
diperoleh dari hasil pengawasan langsung kepada
Bank Indonesia; dan
b. menjaga kerahasiaan dokumen, data, informasi,
laporan, keterangan, dan/atau penjelasan yang
diperoleh dari hasil pengawasan langsung.
Pasal 53
(1) Dalam hal hasil pengawasan Bank Indonesia
menunjukkan bahwa penyelenggara GPN (NPG)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak dapat
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara
memadai, Bank Indonesia dapat:
a. meminta penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) untuk:
1. melakukan atau tidak melakukan sesuatu; dan
2. menghentikan sementara sebagian atau seluruh
kegiatan; dan
b. mencabut penetapan atau persetujuan yang telah
diberikan kepada penyelenggara GPN (NPG)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
37
(2) Penyelenggara GPN (NPG) yang telah dicabut penetapan
atau persetujuannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b harus menghentikan segala hubungan dan
memutuskan seluruh koneksinya dengan penyelenggara
GPN (NPG) dan pihak yang terhubung dengan GPN (NPG).
BAB X
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 54
(1) Dalam mengenakan sanksi administratif kepada
penyelenggara GPN (NPG) dan pihak yang terhubung
dengan GPN (NPG), Bank Indonesia mempertimbangkan:
a.
tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran; dan
b. akibat yang ditimbulkan terhadap:
1. aspek kelancaran dan keamanan
penyelenggaraan GPN (NPG);
2. aspek perlindungan konsumen;
3. aspek anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme; dan/atau
4. aspek lainnya
sehubungan dengan
penyelenggaraan GPN (NPG).
(2) Dalam mengenakan sanksi administratif berupa denda
kepada penyelenggara GPN (NPG) dan pihak yang
terhubung dengan GPN (NPG), berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. hanya dikenakan terhadap pelanggaran kewajiban
penyampaian laporan secara online kepada Bank
Indonesia; dan
b. penetapan besarnya nominal dan tata cara
pengenaan denda dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyampaian laporan secara online kepada Bank
Indonesia.
38
BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 55
(1) Penyampaian permohonan dan/atau laporan berupa:
a. permohonan
penetapan
b.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
rencana kerja awal Lembaga Standar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13;
c. permohonan persetujuan Lembaga Standar atas hal-
hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14;
d. permohonan
e.
penetapan
Lembaga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; dan
laporan oleh Lembaga Standar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47,
disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Departemen
Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran (DKSP),
dengan alamat Kompleks Perkantoran Bank Indonesia,
Gedung D, Lantai 5, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta
10350.
(2) Penyampaian permohonan dan/atau laporan berupa:
a. permohonan persetujuan Lembaga Switching
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
b. permohonan persetujuan kerjasama Lembaga
Switching dengan penyelenggara Switching di luar
GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
c.
rencana kerja awal Lembaga Services sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33;
d. permohonan persetujuan Lembaga Services atas hal-
hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35;
e. permohonan persetujuan pencantuman logo nasional
pada instrumen yang diterbitkan oleh Penerbit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42;
f.
laporan oleh Lembaga Switching dalam Pasal 49; dan
Services
Lembaga Standar
39
g.
laporan oleh Lembaga Services sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50,
disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Departemen
Surveilans Sistem Keuangan (DSSK), dengan alamat
Kompleks Perkantoran Bank Indonesia, Gedung D Lantai
9, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350.
(3) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank
Indonesia akan memberitahukan melalui surat atau media
lainnya.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) berupa bank umum
dan bank umum syariah harus telah terkoneksi ke 1 (satu)
Lembaga Switching dan mampu melakukan pemrosesan
transaksi pembayaran domestik melalui GPN (NPG) untuk
instrumen kartu ATM dan/atau kartu debet paling lambat 31
Desember 2017.
Pasal 57
(1) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) berupa Lembaga
Selain Bank, yang sebelum ketentuan ini berlaku sedang
dalam proses perizinan dan kemudian memperoleh izin
dari Bank Indonesia sebagai Penerbit, Acquirer, dan/atau
Penyelenggara Payment Gateway harus terkoneksi dengan
1 (satu) Lembaga Switching paling lambat 1 (satu) tahun
sejak memperoleh izin dari Bank Indonesia.
(2) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) berupa Lembaga
Selain Bank, yang sebelum ketentuan ini berlaku sedang
dalam proses perizinan dan kemudian memperoleh izin
dari Bank Indonesia sebagai Penerbit, Acquirer, dan/atau
Penyelenggara Payment Gateway harus terkoneksi dengan
2 (dua) Lembaga Switching paling lambat 2 (dua) tahun
sejak memperoleh izin dari Bank Indonesia.
40
Pasal 58
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 September 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/ 10 /PADG/2017
TENTANG
GERBANG PEMBAYARAN NASIONAL (NATIONAL PAYMENT GATEWAY)
I. UMUM
Inisiasi GPN (NPG) bertujuan untuk mewujudkan sistem pembayaran
nasional yang lancar, aman, efisien, dan andal dalam membangun
ketahanan, pengembangan, serta meningkatkan daya saing. Interkoneksi
dan interoperabilitas dalam GPN (NPG) akan menjadi katalis untuk
mengakselerasi transaksi nontunai di Indonesia.
Implementasi GPN (NPG) terdiri atas fungsi standar, switching, dan
services yang dibangun melalui seperangkat aturan dan mekanisme
(arrangement) untuk mengintegrasikan berbagai instrumen dan kanal
pembayaran secara nasional. Fungsi tersebut akan dijalankan oleh
penyelenggara GPN (NPG) yang bersinergi dengan pihak yang terhubung
dengan GPN (NPG) sehingga dapat tercapai interkoneksi dan
interoperabilitas dalam ekosistem sistem pembayaran nasional.
GPN (NPG) menata dan mengoptimalkan infrastruktur yang telah ada,
menyusun struktur dan fungsi kelembagaan agar tercipta suatu
mekanisme sistem pembayaran nasional yang mampu memproses seluruh
transaksi pembayaran ritel domestik secara interkoneksi dan
interoperabilitas.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
2
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Masukan dari industri dimaksudkan agar Standar yang disusun
oleh Lembaga Standar mampu mengakomodir kebutuhan
industri sehingga dapat diimplementasikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
3
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Dalam memastikan unsur keamanan dan keandalan teknologi
informasi, Lembaga Standar mengacu pada international best
practice.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kewajiban menjaga kerahasiaan data dan informasi oleh pihak
lain dibuktikan dengan adanya klausul kerahasiaan data dan
informasi dalam perjanjian kerja sama dengan pihak lain.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Termasuk dalam hal penyusunan Standar akan dilakukan
dengan bekerja sama dengan pihak lain.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
4
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pemrosesan transaksi pembayaran
secara domestik” antara lain tahapan otorisasi, kliring, dan
penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.
Termasuk telah melaksanakan pemrosesan transaksi
pembayaran secara domestik yaitu telah melaksanakan
pemrosesan transaksi pembayaran secara domestik paling
sedikit untuk satu instrumen pembayaran.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
5
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam memperhatikan efisiensi dan efektivitas interkoneksi,
Lembaga Switching dapat memertimbangkan kelayakan bisnis
dengan Lembaga Switching lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyelenggara Switching di luar GPN
(NPG)” adalah pihak yang telah memperoleh izin sebagai
penyelenggara switching berdasarkan ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran dan/atau prinsipal berdasarkan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan
menggunakan kartu, namun bukan merupakan Lembaga
Switching.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
6
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan kerja sama paling banyak dengan 2 (dua)
penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) adalah kerja sama
yang dilakukan dalam memproses transaksi pembayaran secara
domestik.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan kerja sama paling banyak dengan 2 (dua)
Lembaga Switching adalah kerja sama yang dilakukan dalam
memproses transaksi pembayaran secara domestik.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan analisis kinerja antara lain:
a. kepatuhan Lembaga Switching dan penyelenggara
Switching terhadap peraturan perundang-undangan
dan/atau kebijakan Bank Indonesia di bidang sistem
pembayaran;
b. penerapan manajemen risiko antara lain risiko
operasional dan risiko setelmen;
c. kinerja finansial; dan /atau
d.
Ayat (4)
Cukup jelas.
tata kelola yang baik dalam penyelenggaraan Switching.
7
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kontribusi penyelenggara Switching di
luar GPN (NPG) terhadap peningkatan kapasitas dan kapabilitas
penyelenggaraan GPN (NPG)” antara lain perluasan akseptasi
dan/atau alih teknologi.
Kontribusi penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) antara lain
dibuktikan dengan pemaparan bentuk kontribusi yang diberikan
yang dimuat dalam perjanjian kerja sama antara Lembaga
Switching dan penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) yang
disetujui oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Rekam jejak dilakukan antara lain terhadap pengurus
dan/atau pemilik Lembaga Services.
8
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Rencana kesiapan organsisasi paling sedikit mencakup
pemenuhan struktur organisasi dan sumber daya manusia,
serta kebijakan dan prosedur tertulis untuk mendukung
pemenuhan tugas sebagai Lembaga Services.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
9
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “mendukung pelaksanaan fungsi
Services” antara lain untuk memperluas akseptasi masyarakat
dan pengembangan penyelenggaraan GPN (NPG).
Ayat (3)
Termasuk penetapan peraturan mengenai kegiatan operasional
Lembaga Services antara lain peraturan mengenai kegiatan kliring
dan penyelesaian transaksi dan ketentuan mengenai biaya yang
dibebankan kepada pihak yang terhubung dengan GPN (NPG).
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Peningkatan akseptasi transaksi pembayaran melalui GPN (NPG)
antara lain dilakukan dengan cara menambah dan memperluas
cakupan merchant yang menerima instrumen pembayaran untuk
diproses melalui GPN (NPG).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
10
Ayat (2)
Termasuk dalam mengelola logo nasional antara lain
mendistribusikan, menyimpan, dan mengadministrasikan logo
nasional.
Pasal 41
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kewajiban mencantumkan logo nasional
pada setiap instrumen yang diterbitkan adalah Penerbit wajib
mencantumkan logo nasional pada setiap instrumen yang
diterbitkan dan digunakan hanya untuk transaksi domestik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pencantuman logo nasional pada kanal pembayaran
dimaksudkan untuk memastikan akseptasi penggunaan
instrumen.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Persetujuan Bank Indonesia diberikan untuk Penerbit yang
pertama kali mencantumkan logo nasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk dalam menerima dan memproses instrumen yang
memiliki logo nasional antara lain menerima dan memproses
11
instrumen private label yang telah diterbitkan oleh pihak yang
terhubung dengan GPN (NPG).
Untuk dapat memproses instrumen private label, sistem terkait
instrumen private label perlu disesuaikan dengan prinsip
interkoneksi dan interoperabilitas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “sharing infrastructure” adalah biaya
investasi sebagai pengganti atas biaya infrastruktur yang
telah dikeluarkan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “terminal usage fee” adalah biaya
yang dibayarkan Penerbit kepada penyedia infrastruktur
(Acquirer) atas penggunaan terminal.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “merchant discount rate (MDR)”
adalah tarif yang dikenakan kepada merchant oleh bank.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
12
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “laporan lainnya” antara lain laporan
insiden dan laporan perubahan personel pada level tertentu
yang bertanggungjawab melakukan pengelolaan Standar
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Contoh laporan triwulanan yaitu laporan untuk triwulan pertama
(periode Januari sampai dengan Maret 2018) disampaikan paling
lambat tanggal 30 April 2018.
Ayat (2)
Contoh laporan tahunan yaitu laporan periode tahun 2017
disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret 2018.
Ayat (3)
Contoh laporan insidental yaitu laporan untuk kejadian yang
terjadi pada tanggal 1 Desember 2017 disampaikan paling lambat
tanggal 15 Desember 2017.
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kegiatan operasional Lembaga Switching”
adalah kegiatan yang terkait dengan penyelenggaraan Lembaga
Switching termasuk transaksi pembayaran antaranggota,
transaksi pembayaran antar-Lembaga Switching, dan data
spesifik untuk keperluan analisis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
13
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pemeriksaan audit sistem informasi dari auditor independen
dilakukan oleh auditor internal setiap tahun dan auditor
eksternal setiap 3 (tiga) tahun sekali.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “laporan lainnya yang diminta oleh
Bank Indonesia” antara lain laporan terjadinya kejadian
kritis, penyalahgunaan, dan/atau kejahatan dalam
penyelenggaraan teknologi informasi yang dapat
mengganggu operasional Lembaga Services.
Ayat (3)
Cukup jelas.
14
Pasal 51
Ayat (1)
Contoh laporan triwulanan yaitu laporan untuk triwulan pertama
(periode Januari sampai dengan Maret 2018) disampaikan paling
lambat tanggal 30 April 2018.
Ayat (2)
Contoh laporan tahunan yaitu laporan untuk periode tahun 2017
wajib disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret 2018.
Ayat (3)
Contoh laporan hasil audit sistem informasi untuk periode tahun
2017 wajib disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret 2018.
Ayat (4)
Contoh laporan insidental untuk kejadian yang terjadi pada
tanggal 1 Desember 2017 wajib disampaikan paling lambat
tanggal 15 Desember 2017.
Pasal 52
Ayat (1)
Pengawasan bertujuan untuk:
a. menilai kepatuhan Penyelenggara GPN (NPG) terhadap
peraturan perundang-undangan di bidang sistem
pembayaran; dan
b. memastikan penyelenggaraan GPN (NPG) dilakukan sesuai
dengan tujuan kebijakan GPN (NPG) yaitu melalui
interkoneksi Switching untuk mewujudkan interoperabilitas
sistem pembayaran nasional.
Ayat (2)
Untuk memastikan pelaksanaan pengawasan langsung oleh Bank
Indonesia terhadap pihak yang melakukan kerja sama dengan
Penyelenggara GPN (NPG) maka dalam perjanjian kerja sama
antara Penyelenggara GPN (NPG) dengan pihak dimaksud,
dicantumkan klausul kesediaan pihak yang bekerja sama
tersebut untuk dilakukan pengawasan langsung oleh Bank
Indonesia dalam hal diperlukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
15
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “akses terhadap sistem informasi”
antara lain akses terhadap aplikasi, database, dan sistem
pelaporan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 19/10/PADG/2017 </reg_id>
<reg_title> GERBANG PEMBAYARAN NASIONAL (NATIONAL PAYMENT GATEWAY) </reg_title>
<set_date> 20 September 2017 </set_date>
<effective_date> 20 September 2017 </effective_date>
<related_reg> '18/40/PBI/2016', '19/8/PBI/2017' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/38/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/9/PADG/2017 TENTANG LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG
YANG MELAKUKAN KEGIATAN TERKAIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI
PASAR UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mencapai pasar keuangan yang likuid dan
efisien dibutuhkan pengembangan instrumen pasar uang
berupa surat berharga komersial yang dapat
ditransaksikan oleh pelaku pasar uang;
b. bahwa dalam upaya untuk lebih meningkatkan peran
lembaga pendukung pasar uang dalam menciptakan
pasar surat berharga komersial yang likuid dan efisien
serta memiliki tata kelola yang baik, diperlukan
penyempurnaan terhadap tugas, persyaratan, dokumen
pendaftaran, pengungkapan informasi terkait hubungan
afiliasi, penyampaian dan pemrosesan permohonan
pendaftaran, dan tata cara pelaporan serta pengenaan
sanksi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
2
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan
atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
19/9/PADG/2017 tentang Lembaga Pendukung Pasar
Uang yang Melakukan Kegiatan Terkait Surat Berharga
Komersial di Pasar Uang;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016
tentang Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5909);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang
Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di
Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6100);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 19/9/PADG/2017 TENTANG LEMBAGA
PENDUKUNG PASAR UANG YANG MELAKUKAN KEGIATAN
TERKAIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 19/9/PADG/2017 tentang Lembaga
Pendukung Pasar Uang yang Melakukan Kegiatan Terkait Surat
Berharga Komersial di Pasar Uang diubah sebagai berikut:
1. Di antara angka 14 dan angka 15 Pasal 1 disisipkan 4
(empat) angka, yakni angka 14A, 14B, 14C, dan 14D
sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, yang
dimaksud dengan:
1. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang
bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam-
3
meminjam, atau pendanaan berjangka pendek
sampai dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang
rupiah dan valuta asing, yang berperan dalam
transmisi kebijakan moneter, pencapaian stabilitas
sistem keuangan, serta kelancaran sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
2. Bank adalah bank umum yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri.
3. Korporasi Non-Bank adalah badan hukum yang
berbentuk perseroan terbatas selain Bank.
4.
Instrumen Pasar Uang adalah instrumen yang
ditransaksikan di Pasar Uang, yang meliputi
instrumen yang diterbitkan dengan jangka waktu
sampai dengan 1 (satu) tahun, sertifikat deposito, dan
instrumen lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,
termasuk yang berdasarkan prinsip syariah.
5. Surat Berharga Komersial adalah surat berharga yang
diterbitkan oleh Korporasi Non-Bank berbentuk surat
sanggup (promissory note) dan berjangka waktu
sampai dengan 1 (satu) tahun yang terdaftar di Bank
Indonesia.
6. Pelaku Pasar Uang yang selanjutnya disebut Pelaku
Pasar adalah pihak yang melakukan kegiatan
penerbitan Instrumen Pasar Uang dan/atau
melakukan transaksi di Pasar Uang.
7. Penerbit Surat Berharga Komersial adalah pihak yang
memenuhi persyaratan untuk menerbitkan Surat
Berharga Komersial.
8. Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial adalah
Pelaku Pasar yang melakukan transaksi Surat
Berharga Komersial.
9. Lembaga Pendukung Pasar Uang adalah pihak yang
memberikan jasa terkait penerbitan Instrumen Pasar
Uang, perantara pelaksanaan transaksi, penyelesaian
4
transaksi, dan/atau penatausahaan Instrumen Pasar
Uang dan transaksi di Pasar Uang, dan pihak lainnya
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
10. Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang
yang memberikan jasa dalam penerbitan Surat
Berharga Komersial.
11. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang
yang memberikan jasa perantara pelaksanaan
transaksi Surat Berharga Komersial.
12. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial
adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang
memberikan jasa penatausahaan dan penyelesaian
transaksi Surat Berharga Komersial.
13. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai pasar modal.
14. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta
Asing yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang
adalah perusahaan pialang sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai perusahaan pialang pasar uang rupiah dan
valuta asing.
14A.Lembaga Pemeringkat adalah Lembaga Pendukung
Penerbitan Surat Berharga Komersial, yang
melakukan penilaian terhadap peringkat kredit dari
Surat Berharga Komersial termasuk penjaminan atau
penanggungan yang dapat memengaruhi peringkat
kredit dari Surat Berharga Komersial.
14B.Konsultan Hukum adalah Lembaga Pendukung
Penerbitan Surat Berharga Komersial, yang
melakukan kegiatan uji tuntas aspek hukum (legal
due diligence) atas Korporasi Non-Bank yang akan
menerbitkan Surat Berharga Komersial.
5
14C.Akuntan Publik adalah Lembaga Pendukung
Penerbitan Surat Berharga Komersial, yang
melakukan kegiatan uji tuntas aspek keuangan
(financial due diligence) atas Korporasi Non-Bank
yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial.
14D.Notaris adalah Lembaga Pendukung Penerbitan Surat
Berharga Komersial yang membuat akta autentik
atau dokumen lain yang berkaitan dengan
jabatannya dalam penerbitan Surat Berharga
Komersial.
15. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang
selanjutnya disingkat LPP adalah pihak yang
menyelenggarakan kegiatan kustodian sentral
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai pasar modal.
2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 3
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial terdiri atas:
a. Bank atau Perusahaan Efek yang bertindak sebagai
penata laksana (arranger) penerbitan;
b. Lembaga Pemeringkat;
c. Konsultan Hukum;
d. Akuntan Publik;
e. Notaris; dan
f. lembaga lainnya yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia,
yang terdaftar di Bank Indonesia.
6
3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
Penata laksana (arranger) penerbitan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf a memiliki tugas:
a. membantu Penerbit Surat Berharga Komersial dalam
proses penerbitan Surat Berharga Komersial,
meliputi:
1. persiapan dokumen penerbitan;
2. persiapan struktur penawaran, dokumen
penawaran, dan dokumen pembelian;
3. persiapan jadwal waktu penerbitan;
4. penentuan target investor;
5. pemasaran; dan
6. pelaksanaan distribusi,
b. melakukan koordinasi dengan seluruh lembaga dan
profesi pendukung yang terlibat; dan
c. melakukan tugas lain yang diperlukan untuk
menatalaksanakan penerbitan Surat Berharga
Komersial.
4. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
(1) Konsultan Hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf c memiliki tugas menyusun opini
hukum atas:
a. aspek hukum dari Korporasi Non-Bank yang
mengajukan pendaftaran penerbitan Surat
Berharga Komersial; dan
b. hal lain yang terkait dengan rencana penerbitan
Surat Berharga Komersial.
(2) Cakupan uji tuntas dari aspek hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan
7
Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan
dan transaksi surat berharga komersial.
5. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf d memiliki tugas:
a. melakukan pemeriksaan laporan keuangan dan
memberikan pendapat terhadap laporan keuangan
pada calon Penerbit Surat Berharga Komersial atau
Penerbit Surat Berharga Komersial; dan/atau
b. mempersiapkan hal-hal lain yang diperlukan terkait
penerbitan Surat Berharga Komersial.
6. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 8
Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e
memiliki tugas:
a. membuat akta autentik sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
jabatan notaris atau berdasarkan Undang-Undang
lainnya; dan
b. melakukan tugas lain yang berkaitan dengan
jabatannya dalam penerbitan Surat Berharga
Komersial.
7. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 10
(1) Bank atau Perusahaan Efek yang mendaftar di Bank
Indonesia sebagai penata laksana (arranger)
penerbitan Surat Berharga Komersial sebagaimana
8
dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, harus mengajukan
surat permohonan kepada Bank Indonesia
sebagaimana contoh dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilengkapi dokumen pendukung:
a. terkait keabsahan aspek kelembagaan:
1. informasi perusahaan;
2. daftar nama direksi dan dewan komisaris;
3. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan
oleh instansi yang berwenang, berikut
perubahan terakhirnya yang telah
memperoleh persetujuan dari instansi yang
berwenang atau telah diterbitkan surat
penerimaan pemberitahuan perubahan
anggaran dasar dari instansi yang
berwenang; dan
4. fotokopi surat persetujuan izin kegiatan
usaha penata laksana (arranger) penerbitan
surat berharga.
b.
terkait kemampuan penata laksana (arranger)
penerbitan:
1. prosedur operasi standar dalam kegiatan
sebagai penata laksana (arranger)
penerbitan;
2. dokumen yang memuat pedoman perilaku
(code of conduct);
3. dokumen yang menjelaskan rekam jejak
(track record) Bank atau Perusahaan Efek
sebagai penata laksana (arranger)
penerbitan surat berharga selama 3 (tiga)
tahun terakhir atau dari masa pendirian
apabila beroperasi kurang dari 3 (tiga)
tahun;
4. surat pernyataan bermeterai cukup terkait
komitmen untuk:
9
a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penerbitan
dan transaksi
surat
berharga
komersial di pasar uang sepanjang
terdaftar di Bank Indonesia;
b) memberikan jasa untuk penerbitan
Surat Berharga Komersial yang
didaftarkan di Bank Indonesia; dan
c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko dalam pemberian
jasa terkait penerbitan Surat Berharga
Komersial,
sebagaimana contoh dalam Lampiran III
yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini.
8. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11
(1) Lembaga Pemeringkat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf b harus mengajukan surat permohonan
pendaftaran kepada Bank Indonesia sebagaimana
contoh dalam Lampiran I.
(2) Surat permohonan pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dokumen
pendukung sebagai berikut:
a. terkait keabsahan aspek kelembagaan:
1. informasi perusahaan;
2. daftar nama direksi dan dewan komisaris
serta riwayat hidup dari masing-masing
anggota direksi dan dewan komisaris yang
ditandatangani oleh yang bersangkutan;
3. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan
oleh instansi yang berwenang, berikut
perubahan terakhirnya yang telah
10
memperoleh persetujuan dari instansi yang
berwenang atau telah diterbitkan surat
penerimaan pemberitahuan perubahan
anggaran dasar dari instansi yang
berwenang;
4. izin usaha dari otoritas yang berwenang:
a) untuk
pemeringkat
Lembaga Pemeringkat
Indonesia, izin dapat bertindak sebagai
lembaga
yang
dikeluarkan oleh otoritas yang
berwenang di Indonesia;
b) untuk Lembaga Pemeringkat asing,
izin dapat bertindak sebagai lembaga
pemeringkat yang dikeluarkan oleh
otoritas yang berwenang di negara
tempat kedudukan
Pemeringkat asing; dan
Lembaga
5. data pemegang saham, meliputi:
a) orang-perseorangan; dan/atau
b) badan hukum.
b. terkait kemampuan Lembaga Pemeringkat:
1. struktur organisasi Lembaga Pemeringkat
yang memperlihatkan adanya fungsi
pemeringkatan, riset, pemasaran, dan
kepatuhan;
2. data pegawai yang bertugas di fungsi
pemeringkatan surat berharga;
3. dokumen yang menjelaskan prosedur dan
metodologi pemeringkatan;
4. daftar pemeringkatan yang telah
dipublikasikan paling kurang 2 (dua) tahun
terakhir;
5. dokumen evaluasi terhadap studi terjadinya
default (default study);
6. dokumen yang menjelaskan bahwa
Lembaga Pemeringkat memiliki komite
pemeringkat;
11
7. surat pernyataan bermeterai cukup terkait
komitmen manajemen untuk:
a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penerbitan
dan transaksi
surat
berharga
komersial di pasar uang sepanjang
terdaftar di Bank Indonesia;
b) memberikan jasa untuk penerbitan
Surat Berharga Komersial yang
didaftarkan di Bank Indonesia; dan
c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko dalam pemberian
jasa terkait penerbitan Surat Berharga
Komersial,
sebagaimana contoh dalam Lampiran III.
9. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 12
(1) Konsultan Hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf c harus mengajukan surat permohonan
pendaftaran kepada Bank Indonesia sebagaimana
contoh dalam Lampiran I.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilengkapi dokumen pendukung:
a.
terkait keabsahan individual profesi sebagai
Konsultan Hukum:
1. fotokopi kartu tanda penduduk;
2. pas photo terbaru dengan ukuran 4x6
berwarna sejumlah satu lembar;
3. fotokopi izin advokat berdasarkan Undang-
Undang yang mengatur mengenai advokat;
4. fotokopi kartu keanggotaan dalam
himpunan konsultan hukum di pasar
keuangan;
12
5. fotokopi bukti terdaftar sebagai Konsultan
Hukum dari otoritas yang berwenang di
pasar keuangan;
6. dokumen yang menyatakan bahwa
Konsultan Hukum merupakan rekan
(partner) dari kantor konsultan hukum dan
mengajukan permohonan untuk terdaftar di
Bank Indonesia;
7. informasi kantor konsultan hukum dengan
dilengkapi dokumen pendukung yang
menjelaskan kantor konsultan hukum,
yaitu:
a)
fotokopi dari akta pendirian yang telah
disahkan oleh instansi yang
berwenang, berikut perubahan
terakhirnya yang telah memperoleh
persetujuan dari instansi yang
berwenang atau telah diterbitkan surat
penerimaan terkait pemberitahuan
perubahan anggaran dasar dari
instansi yang berwenang;
b) surat keterangan domisili;
c) surat perjanjian kerja sama antara
kantor konsultan hukum dengan
kantor konsultan hukum lain yang
memiliki Konsultan Hukum yang telah
terdaftar di Bank Indonesia,
diperlukan dalam hal:
1) kantor konsultan hukum hanya
akan memiliki 1 (satu) orang
rekan
(partner)
Hukum; atau
2) kantor konsultan hukum yang
memiliki lebih dari 1 (satu) orang
rekan Konsultan Hukum namun
dalam perkembangannya hanya
Konsultan
13
memiliki 1 (satu) orang rekan
(partner) Konsultan Hukum; dan
d) struktur organisasi kantor konsultan
hukum.
b. terkait kemampuan Konsultan Hukum:
1. fotokopi sertifikat pendidikan profesi dari
perhimpunan konsultan hukum di pasar
keuangan;
2. dokumen yang menjelaskan pendidikan
berkelanjutan yang telah diikuti dalam 1
(satu) tahun terakhir yang berhubungan
dengan profesi konsultan hukum;
3. dokumen yang menjelaskan kegiatan yang
pernah dilakukan di bidang pasar keuangan
dalam 1 (satu) tahun terakhir;
4. surat pernyataan bermeterai cukup yang
menyatakan bahwa Konsultan Hukum:
a) tidak pernah melakukan perbuatan
tercela dan/atau dihukum karena
terbukti melakukan tindak pidana di
bidang keuangan;
b) sanggup untuk mengikuti program
pendidikan berkelanjutan yang
relevan; dan
c) memahami dan mampu melakukan
pekerjaan sesuai dengan kode etik dan
standar profesi,
sebagaimana contoh dalam Lampiran II
yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini.
5. surat pernyataan bermeterai cukup terkait
komitmen untuk:
a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penerbitan
dan transaksi
surat
berharga
14
komersial di pasar uang sepanjang
terdaftar di Bank Indonesia;
b) memberikan jasa untuk penerbitan
Surat Berharga Komersial yang
didaftarkan di Bank Indonesia;
c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko dalam pemberian
jasa terkait penerbitan Surat Berharga
Komersial;
d) melaksanakan kegiatan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan
peraturan lain yang terkait; dan
e) memiliki sarana dan prasarana yang
mendukung kegiatan
Konsultan
Hukum terkait Surat Berharga
Komersial,
sebagaimana contoh dalam Lampiran III.
(3) Dalam hal informasi kantor konsultan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 7
telah tercatat di Bank Indonesia, Konsultan Hukum
tidak perlu menyerahkan dokumen pendukung yang
menjelaskan kantor konsultan hukum kecuali dalam
hal terdapat perubahan data.
10. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13
(1) Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 huruf d, harus mengajukan surat permohonan
pendaftaran kepada Bank Indonesia sebagaimana
contoh dalam Lampiran I.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilengkapi dokumen pendukung:
a.
terkait keabsahan individual profesi sebagai
Akuntan Publik:
1. fotokopi kartu tanda penduduk;
15
2. fotokopi surat keputusan dari Menteri
Keuangan mengenai pemberian surat izin
akuntan publik;
3. fotokopi keanggotaan asosiasi profesi
akuntan publik;
4. pas photo terbaru dengan ukuran 4x6
berwarna sejumlah satu lembar;
5. surat rekomendasi untuk melakukan
kegiatan di pasar keuangan dari asosiasi
profesi akuntan publik;
6. fotokopi bukti terdaftar sebagai akuntan
publik dari otoritas yang berwenang di
pasar keuangan;
7. dokumen yang menyatakan bahwa Akuntan
Publik merupakan rekan (partner) dari
kantor akuntan publik dan mengajukan
permohonan pendaftaran kepada Bank
Indonesia;
8.
informasi kantor akuntan publik dengan
dilengkapi dokumen pendukung yang
menjelaskan kantor akuntan publik,
meliputi:
a)
fotokopi dari akta pendirian yang telah
disahkan oleh instansi yang
berwenang, berikut perubahan
terakhirnya yang telah memperoleh
persetujuan dari instansi yang
berwenang atau telah diterbitkan surat
penerimaan terkait pemberitahuan
perubahan anggaran dasar dari
instansi yang berwenang;
b) fotokopi surat izin usaha kantor
akuntan publik
Keuangan;
dari Menteri
c)
fotokopi surat persetujuan dari Menteri
Keuangan mengenai pencantuman
nama kantor akuntan publik asing
16
(KAPA), apabila kantor akuntan publik
bekerjasama dengan KAPA;
d) fotokopi surat persetujuan dari Menteri
Keuangan mengenai pencantuman
nama organisasi audit Indonesia (OAI)
dan/atau organisasi audit asing (OAA),
apabila kantor akuntan publik
bekerjasama dengan OAI atau OAA;
e) struktur organisasi kantor akuntan
publik; dan
f) dokumen yang menjelaskan bahwa
dalam melakukan pemeriksaan,
kantor akuntan publik menerapkan
paling tidak 2 (dua) jenjang
pengendalian.
b. terkait kemampuan Akuntan Publik:
1. fotokopi bukti telah mengikuti pendidikan
mengenai pasar keuangan;
2. surat pernyataan bermeterai cukup yang
menjelaskan bahwa Akuntan Publik:
a) tidak pernah melakukan perbuatan
tercela dan/atau dihukum karena
terbukti melakukan tindak pidana di
bidang keuangan;
b) sanggup untuk mengikuti program
pendidikan berkelanjutan yang
relevan; dan
c) memahami dan mampu melakukan
pekerjaan sesuai dengan kode etik dan
standar profesi,
sebagaimana contoh dalam Lampiran II;
3. surat pernyataan bermeterai cukup terkait
komitmen untuk:
a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penerbitan
dan transaksi Surat Berharga
17
Komersial di Pasar Uang sepanjang
terdaftar di Bank Indonesia;
b) memberikan jasa untuk penerbitan
Surat Berharga Komersial yang
didaftarkan di Bank Indonesia;
c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko dalam pemberian
jasa terkait penerbitan Surat Berharga
Komersial;
sebagaimana contoh dalam Lampiran III.
c. terkait kantor akuntan publik:
1. surat pernyataan bermeterai cukup yang
menjelaskan kantor akuntan publik
memiliki dan menaati standar pengendalian
mutu bagi kantor akuntan publik yang
memberikan jasa audit;
2. surat pernyataan bermeterai cukup yang
ditandatangani oleh pimpinan kantor
akuntan publik yang menyatakan bahwa
pimpinan kantor akuntan publik
bertanggungjawab atas pelaksanaan
pedoman pengendalian mutu yang berlaku
pada kantor akuntan publik yang
bersangkutan,
sebagaimana contoh dalam Lampiran III.
(3) Dalam hal informasi kantor akuntan publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 8
telah tercatat di Bank Indonesia, Akuntan Publik
tidak perlu menyerahkan dokumen pendukung yang
menjelaskan kantor akuntan publik kecuali dalam
hal terdapat perubahan data.
18
11. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
(1) Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf
e, harus mengajukan surat permohonan pendaftaran
kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam
Lampiran I.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilengkapi dokumen pendukung:
a. terkait keabsahan Notaris:
1. fotokopi kartu tanda penduduk;
2. fotokopi surat keputusan pengangkatan
sebagai notaris dari instansi terkait;
3. fotokopi berita acara sumpah notaris yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang;
4. fotokopi bukti keanggotaan ikatan notaris
Indonesia;
5. fotokopi bukti terdaftar sebagai notaris di
pasar keuangan dari otoritas yang
berwenang di pasar keuangan; dan
6. pas photo terbaru dengan ukuran 4x6
berwarna sejumlah satu lembar,
b. terkait kemampuan Notaris:
1. fotokopi bukti telah mengikuti pendidikan
mengenai pasar keuangan;
2. surat pernyataan bermeterai cukup yang
menjelaskan bahwa Notaris:
a) tidak pernah melakukan perbuatan
tercela dan/atau dihukum karena
terbukti melakukan tindak pidana di
bidang keuangan; dan
b) sanggup untuk mengikuti program
pendidikan berkelanjutan yang
relevan,
sebagaimana contoh dalam Lampiran II.
19
3. surat pernyataan bermeterai cukup terkait
komitmen untuk:
a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penerbitan
dan transaksi
surat
berharga
komersial di pasar uang sepanjang
terdaftar di Bank Indonesia;
b) memberikan jasa untuk penerbitan
Surat Berharga Komersial yang
didaftarkan di Bank Indonesia; dan
c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko dalam pemberian
jasa terkait penerbitan Surat Berharga
Komersial,
sebagaimana contoh dalam Lampiran III.
12. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1) Dalam hal Notaris berhalangan maka harus
menunjuk notaris pengganti.
(2) Penunjukan notaris pengganti harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai jabatan notaris.
13. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memiliki tugas
melakukan kegiatan sebagai perantara dalam transaksi
Surat Berharga Komersial.
20
14. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
(1) Perusahaan Efek atau Perusahaan Pialang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, harus
mengajukan surat permohonan pendaftaran kepada
Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran
I.
(2) Surat permohonan pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen
pendukung:
a. terkait keabsahan aspek kelembagaan:
1. informasi perusahaan;
2. daftar nama direksi dan dewan komisaris;
3. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan
oleh instansi yang berwenang, berikut
perubahan terakhirnya yang telah
memperoleh persetujuan dari instansi yang
berwenang atau telah diterbitkan surat
penerimaan pemberitahuan perubahan
anggaran dasar dari instansi yang
berwenang;
4. fotokopi surat persetujuan izin kegiatan
usaha sebagai perantara pelaksanaan
transaksi dari otoritas yang berwenang di
sektor keuangan.
b.
terkait kemampuan Lembaga Pendukung
Transaksi Surat Berharga Komersial:
1. prosedur operasi standar dalam kegiatan
sebagai Lembaga Pendukung Transaksi
Surat Berharga Komersial;
2. surat pernyataan bermeterai cukup terkait
komitmen untuk:
a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penerbitan
dan transaksi
surat
berharga
21
komersial di pasar uang sepanjang
terdaftar di Bank Indonesia;
b) memberikan jasa untuk perantara
pelaksanaan transaksi Surat Berharga
Komersial yang didaftarkan di Bank
Indonesia;
c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko dalam pemberian
jasa terkait pelaksanaan transaksi
Surat Berharga Komersial; dan
d) menerapkan
standar
etika
bertransaksi sesuai dengan pedoman
perilaku (code of conduct),
sebagaimana contoh dalam Lampiran III.
15. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 memiliki tugas:
a. mewakili kepentingan nasabah yang merupakan
investor atau pemilik Surat Berharga Komersial
dalam kegiatan penitipan kolektif Surat Berharga
Komersial;
b. meminta kepada investor Surat Berharga Komersial
guna memberikan kuasa kepada Bank Indonesia
untuk mendapatkan data penyelesaian transaksi dan
posisi kepemilikan Surat Berharga Komersial; dan
c. tugas lain yang diperlukan untuk menatausahakan
dan menyelesaikan transaksi Surat Berharga
Komersial.
22
16. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 21
(1) Bank yang melaksanakan kegiatan kustodian atau
Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19, harus mengajukan surat permohonan
pendaftaran kepada Bank Indonesia sebagaimana
contoh dalam Lampiran I.
(2) Surat permohonan pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen
pendukung:
a. terkait keabsahan aspek kelembagaan:
1. informasi perusahaan;
2. daftar nama direksi dan dewan komisaris;
3. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan
oleh instansi yang berwenang, berikut
perubahan terakhirnya yang telah
memperoleh persetujuan dari instansi yang
berwenang atau telah diterbitkan surat
penerimaan pemberitahuan perubahan
anggaran dasar dari instansi yang
berwenang; dan
4. fotokopi surat persetujuan izin kegiatan
usaha Bank sebagai kustodian dari otoritas
yang berwenang bagi Bank atau dokumen
yang menerangkan bahwa Perusahaan Efek
dapat melakukan administrasi rekening
efek nasabah.
b.
terkait kemampuan Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi
Surat Berharga Komersial:
1. prosedur operasi standar dalam kegiatan
sebagai
Lembaga
Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi
Surat Berharga Komersial; dan
23
2. surat pernyataan bermeterai cukup terkait
komitmen untuk:
a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penerbitan
dan transaksi
surat
berharga
b) memberikan
komersial di pasar uang sepanjang
terdaftar di Bank Indonesia;
jasa
untuk
penatausahaan dan penyelesaian
transaksi Surat Berharga Komersial
yang didaftarkan di Bank Indonesia;
dan
c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko dalam pemberian
jasa terkait penatausahaan dan
penyelesaian transaksi Surat Berharga
Komersial,
sebagaimana contoh dalam Lampiran III.
17. Ketentuan Pasal 23 dihapus.
18. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
(1) Pengajuan permohonan untuk terdaftar di Bank
Indonesia sebagai:
a. Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3;
b. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16; dan/atau
c. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat
Berharga
Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19,
24
ditujukan kepada:
Departemen Pengembangan Pasar Keuangan
Bank Indonesia
Gedung C Lantai 5
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
Surat elektronik: [email protected]
(2) Bank atau Perusahaan Efek yang mengajukan
permohonan pendaftaran lebih dari 1 (satu) Lembaga
Pendukung Pasar Uang dapat:
a. mengajukan permohonan dalam 1 (satu) surat
permohonan yang di dalamnya mencantumkan
pilihan lembaga pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1); dan
b. menyerahkan 1 (satu) set dokumen pendukung
untuk keperluan permohonan pendaftaran
seluruh Lembaga Pendukung Pasar Uang dalam
hal terdapat persyaratan dokumen pendukung
yang sama antara persyaratan pendaftaran 1
(satu) Lembaga Pendukung Pasar Uang dengan
persyaratan Lembaga Pendukung Pasar Uang
yang lain.
(3) Dalam hal Bank atau Perusahaan Efek telah terdaftar
di Bank Indonesia sebagai salah satu Lembaga
Pendukung Pasar Uang dan akan mendaftar sebagai
Lembaga Pendukung Pasar Uang lain, Bank atau
Perusahaan Efek tersebut cukup menyampaikan
dokumen pendukung tambahan yang dipersyaratkan
kecuali terdapat perubahan data.
19. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan untuk terdaftar di Bank
Indonesia sebagai:
25
a. Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3;
b. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16; dan
c. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga
Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19.
(2) Untuk memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
melakukan:
a. penelaahan administratif atas seluruh dokumen
yang dipersyaratkan; dan
b. dalam hal diperlukan, meminta klarifikasi
kepada pihak yang mengajukan permohonan
pendaftaran.
20. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 29
(1) Bank Indonesia dapat mencabut status terdaftar
sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) dalam
hal:
a. izin usaha atau izin profesi yang relevan dicabut
oleh otoritas yang berwenang;
b. Lembaga Pendukung Pasar Uang sudah tidak
memenuhi ketentuan terkait kegiatan usaha dari
otoritas yang berwenang;
c. terdapat putusan badan peradilan terkait
dengan kegiatan usaha Lembaga Pendukung
Pasar Uang yang melakukan kegiatan terkait
Surat Berharga Komersial di Pasar Uang;
d. terdapat permintaan dari otoritas yang
berwenang;
26
e.
telah dikenakan sanksi penghentian sementara
kegiatan di pasar Surat Berharga Komersial
sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana diatur di
dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai Penerbitan dan Transaksi Surat
Berharga Komersial di Pasar Uang;
f.
berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia
menunjukkan adanya permasalahan yang
mempengaruhi kemampuan Lembaga
Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat
Berharga Komersial, atau Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi
Surat Berharga Komersial dalam melakukan
kegiatan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai
Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga
Komersial di Pasar Uang; dan/atau
g. terdapat permintaan dari lembaga atau individu
profesi yang bersangkutan.
(2) Pencabutan status terdaftar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban yang
harus dipenuhi oleh Lembaga Pendukung Penerbitan
Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung
Transaksi Surat Berharga Komersial, dan/atau
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial.
21. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
(1) Dalam hal terjadi aksi korporasi berupa
penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan dari
Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan
kegiatan terkait Surat Berharga Komersial maka:
27
a. apabila pihak yang menjadi surviving entity telah
terdaftar di Bank Indonesia sebagai 1 (satu) atau
beberapa Lembaga Pendukung Pasar Uang yang
melakukan kegiatan terkait Surat Berharga
Komersial, surviving entity dimaksud tidak perlu
melakukan pendaftaran ulang namun harus
menyampaikan dokumen terkini setelah
terjadinya penggabungan, peleburan, atau
pengambilalihan;
b. apabila pihak yang menjadi non-surviving entity
merupakan pihak terdaftar di Bank Indonesia
sebagai Lembaga Pendukung Pasar Uang, Bank
Indonesia mencabut status terdaftar; atau
c. apabila pihak yang menjadi surviving entity
belum terdaftar di Bank Indonesia sebagai
Lembaga Pendukung Pasar Uang yang
melakukan kegiatan terkait Surat Berharga
Komersial dan ingin terdaftar di Bank Indonesia,
surviving entity harus mengajukan pendaftaran
kepada Bank Indonesia.
(2) Pencabutan persetujuan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak
menghapuskan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat
Berharga Komersial, dan/atau Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat
Berharga Komersial.
22. Di antara Pasal 31 dan Pasal 32 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 31A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31A
Dalam hal terdapat Bank atau Perusahaan Efek yang
terdaftar di Bank Indonesia sebagai lebih dari 1 (satu)
Lembaga Pendukung Pasar Uang, penyampaian laporan
nontransaksional cukup disampaikan 1 (satu) kali guna
28
memenuhi seluruh kewajibannya sebagai Lembaga
Pendukung Pasar Uang.
23. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
(1) Penyampaian laporan secara berkala sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a dilakukan
untuk laporan yang terkait dengan aspek
kemampuan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat
Berharga Komersial dalam menjalankan fungsinya.
(2) Laporan secara berkala sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. laporan peningkatan mutu, yang memuat
kegiatan peningkatan pengetahuan dan
kompetensi Lembaga Pendukung Penerbitan
Surat Berharga Komersial yang diselenggarakan
oleh Bank Indonesia, otoritas terkait, dan/atau
asosiasi profesi yang bersangkutan; dan
b. laporan kegiatan pemberian jasa penerbitan
Surat Berharga Komersial, yang memuat jasa
yang diberikan terkait penerbitan Surat
Berharga Komersial.
(3) Apabila dalam 1 (satu) kantor terdapat beberapa
Konsultan Hukum atau Akuntan Publik yang
terdaftar di Bank Indonesia maka laporan berkala
cukup disampaikan dalam 1 (satu) laporan yang
mencakup seluruh Konsultan Hukum atau Akuntan
Publik yang terdaftar di Bank Indonesia.
(4) Laporan berkala disampaikan dengan format
sebagaimana contoh dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
29
24. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
(1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial wajib menyampaikan laporan insidental
dalam hal terdapat perubahan data pendukung
terkait aspek kelembagaan dan aspek kemampuan
dalam menjalankan fungsinya.
(2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memuat perubahan data dan/atau informasi
sebagai berikut:
a. untuk Bank atau Perusahaan Efek:
1. data dan/atau informasi lembaga, paling
sedikit mengenai nama, alamat kantor
korespondensi
korespondensi;
dan/atau
2. akta pendirian; dan/atau
3.
kontak
izin usaha atau surat persetujuan dari
otoritas berwenang yang diberikan kepada
Bank atau Perusahaan Efek untuk
melakukan kegiatan yang terkait dengan
penata laksana (arranger) surat berharga.
b. untuk Konsultan Hukum:
1. perubahan data dan/atau informasi kantor
konsultan hukum, paling sedikit mengenai
nama kantor konsultan hukum, alamat
kantor korespondensi dan/atau kontak
korespondensi;
2. dalam hal Konsultan Hukum pindah ke
kantor konsultan hukum lain:
a) Konsultan Hukum menyampaikan
laporan mengenai data dan/atau
informasi kantor konsultan hukum;
b) apabila kantor konsultan hukum baru
sudah memiliki rekan (partner) yang
terdaftar di Bank Indonesia maka
30
Konsultan Hukum tidak perlu
menyerahkan dokumen terkait kantor
konsultan hukum kepada Bank
Indonesia; atau
c)
apabila kantor konsultan hukum baru
belum memiliki rekan (partner) yang
terdaftar di Bank Indonesia maka
Konsultan Hukum harus
menyerahkan dokumen terkait kantor
konsultan hukum kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a angka
6 dan angka 7;
3. perubahan perjanjian kerja sama dengan
kantor konsultan hukum lain;
sebagai
4. pemberhentian
advokat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai advokat;
dan/atau
5. perubahan keanggotaan di himpunan
konsultan hukum di pasar keuangan.
c. untuk Akuntan Publik:
1. perubahan data dan/atau informasi kantor
akuntan publik;
2. dalam hal Akuntan Publik pindah ke kantor
akuntan publik lain:
a) Akuntan Publik menyampaikan
laporan mengenai data dan/atau
informasi kantor akuntan publik;
b) apabila kantor akuntan publik baru
sudah memiliki rekan (partner) yang
terdaftar di Bank Indonesia maka
Akuntan Publik tidak perlu
menyerahkan dokumen terkait kantor
akuntan
publik
Indonesia; atau
kepada Bank
31
c)
apabila kantor akuntan publik baru
belum memiliki rekan (partner) yang
terdaftar di Bank Indonesia maka
Akuntan Publik harus menyerahkan
dokumen terkait kantor akuntan
publik kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (2) huruf a angka 7 dan angka
8:
d. untuk Notaris:
1. perubahan data dan/atau informasi kantor
notaris; dan/atau
2. pemberhentian dari jabatan
Notaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai jabatan
notaris.
25. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36
(1) Penyampaian laporan insidental kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
sejak terdapat perubahan secara formal.
(2) Dalam hal terdapat beberapa Konsultan Hukum atau
Akuntan Publik dalam 1 (satu) kantor yang terdaftar
di Bank Indonesia maka penyampaian laporan
insidental cukup dilakukan dalam 1 (satu) laporan
yang mencakup seluruh Konsultan Hukum atau
Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia.
(3) Laporan insidental disampaikan dengan format
sebagaimana contoh dalam Lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
32
26. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 48
Penyampaian surat pengenaan sanksi teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dapat
ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang,
instansi, asosiasi, dan/atau lembaga profesi yang terkait.
27. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 50
(1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang mendapatkan sanksi penghentian
sementara pemberian jasa dalam penerbitan Surat
Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49 ayat (1) sebanyak 3 (tiga) kali, dikenakan
sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung
Penerbitan Surat Berharga Komersial yang terdaftar
di Bank Indonesia.
(2) Cara penghitungan sanksi dikeluarkan dari daftar
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia
sebagaimana contoh dalam Lampiran VII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Penyampaian surat pengenaan sanksi dikeluarkan
dari daftar Lembaga Pendukung Penerbitan Surat
Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat ditembuskan kepada otoritas lain yang
berwenang, instansi, asosiasi, dan/atau lembaga
profesi yang terkait.
33
28. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 51
(1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang melakukan pelanggaran atas
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25,
Pasal 37 ayat (5), dan Pasal 37 ayat (6) Peraturan
Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang
Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial
di Pasar Uang yang berdampak signifikan dan/atau
menimbulkan kerugian, dikenakan sanksi berupa
penghentian sementara pemberian jasa dalam
penerbitan Surat Berharga Komersial selama 1 (satu)
bulan sejak surat penghentian sementara
disampaikan.
(2) Penyampaian surat pengenaan sanksi penghentian
sementara pemberian jasa dalam penerbitan Surat
Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat ditembuskan kepada otoritas lain yang
berwenang, instansi, asosiasi, dan/atau lembaga
profesi yang terkait.
29. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 54
Penyampaian surat pengenaan sanksi teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dapat
ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang
dan/atau asosiasi yang terkait.
34
30. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 56
(1) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial yang mendapatkan sanksi penghentian
sementara pemberian jasa perantara pelaksanaan
transaksi Surat Berharga Komersial sebanyak 3 (tiga)
kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)
dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung
Transaksi Surat Berharga Komersial yang terdaftar di
Bank Indonesia.
(2) Cara penghitungan sanksi dikeluarkan dari daftar
Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia
sebagaimana contoh dalam Lampiran VII.
(3) Penyampaian surat pengenaan sanksi dikeluarkan
dari daftar Lembaga Pendukung Transaksi Surat
Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat ditembuskan kepada otoritas lain yang
berwenang dan/atau asosiasi yang terkait.
31. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 59
Penyampaian surat pengenaan sanksi teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dapat
ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang,
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dan/atau
asosiasi yang terkait.
35
32. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 60
(1) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial
yang menerima sanksi administratif berupa teguran
tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6
(enam) bulan, dikenakan sanksi penghentian
sementara penerimaan penatausahaan Surat
Berharga Komersial dari nasabah baru selama 1
(satu) bulan sejak surat teguran tertulis terakhir
disampaikan.
(2) Cara penghitungan sanksi penghentian sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana
contoh dalam Lampiran VI yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(3) Penyampaian surat pengenaan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat ditembuskan kepada
otoritas lain yang berwenang, Kustodian Sentral Efek
Indonesia (KSEI), dan/atau asosiasi terkait.
33. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 61
(1) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial
yang mendapatkan sanksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 ayat (1) sebanyak 3 (tiga) kali
dikenakan sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga
Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang terdaftar di
Bank Indonesia.
(2) Cara penghitungan sanksi dikeluarkan dari daftar
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
36
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial
yang terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana contoh
dalam Lampiran VII.
(3) Penyampaian surat pengenaan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat ditembuskan kepada
otoritas lain yang berwenang, Kustodian Sentral Efek
Indonesia (KSEI), dan/atau asosiasi yang terkait.
34. Lampiran I sampai dengan Lampiran VII diubah sehingga
menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I sampai
dengan Lampiran VII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
DODY BUDI WALUYO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/38/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/9/PADG/2017 TENTANG LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG
YANG MELAKUKAN KEGIATAN TERKAIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI
PASAR UANG
I. UMUM
Untuk mewujudkan pengembangan pasar uang yang likuid dan
efisien, Bank Indonesia selaku otoritas di pasar uang mengatur,
memberikan persetujuan terdaftar, mengembangkan dan mengawasi
Lembaga Pendukung Pasar Uang yang akan terlibat dalam proses
penerbitan Surat Berharga Komersial.
Untuk meningkatkan kelancaran dan kemudahan proses penerbitan
Surat Berharga Komersial, dilakukan penyempurnaan peraturan
pelaksanaan yang berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan bagi Lembaga
Pendukung Pasar Uang yang akan terlibat dalam proses penerbitan Surat
Berharga Komersial sebelum melakukan kegiatan penerbitan Surat
Berharga Komersial, transaksi Surat Berharga Komersial, serta
penatausahaan dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial,
yang terdiri dari aspek tugas, persyaratan, dokumen pendaftaran,
pengungkapan informasi terkait hubungan afiliasi, penyampaian dan
pemrosesan permohonan pendaftaran, dan tata cara pelaporan serta
pengenaan sanksi.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 3
Bank, Perusahaan Efek, Lembaga Pemeringkat, Konsultan
Hukum, Akuntan Publik, Notaris, dan lembaga lainnya yang
ditetapkan Bank Indonesia dapat menjadi Lembaga
Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial sepanjang
telah memenuhi persyaratan dan mendapatkan persetujuan
pendaftaran di Bank Indonesia.
Angka 3
Pasal 4
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Dokumen pembelian Surat Berharga Komersial
mencantumkan klausul bahwa nasabah menyetujui
untuk memberikan data nasabah dan transaksi
yang dilakukan kepada Bank Indonesia.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
3
Huruf c
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Mempersiapkan hal-hal lain yang diperlukan terkait
penerbitan Surat Berharga Komersial misalnya kegiatan
memeriksa penjelasan ikhtisar data keuangan penting
yang dicantumkan dalam dokumen memorandum
informasi.
Angka 6
Pasal 8
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Informasi perusahaan paling sedikit meliputi
nama, alamat kantor pusat, dan kontak
korespondensi.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
4
Angka 4
Yang dimaksud dengan “izin kegiatan usaha
penata laksana (arranger)” adalah izin usaha
yang relevan dengan penerbitan surat
berharga.
Huruf b
Angka 1
Dokumen operasi standar disiapkan untuk
mengantisipasi kegiatan penata laksana
(arranger) penerbitan
Surat Berharga
Komersial.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Surat pernyataan ditandatangani oleh pejabat
yang memiliki kuasa untuk menandatangani
dokumen berdasarkan akta pendirian.
Angka 8
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Informasi perusahaan paling sedikit meliputi
nama perusahaan, alamat kantor, dan kontak
korespondensi;
Angka 2
Daftar riwayat hidup paling kurang berisi:
1. data diri dilengkapi dengan pasfoto
terbaru ukuran 4 x 6 dan fotokopi kartu
tanda identitas, contohnya kartu tanda
penduduk atau paspor;
2. riwayat pendidikan dan sertifikasi; dan
5
3. daftar pengalaman paling kurang selama
2 (dua) tahun terakhir.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Yang dimaksud “izin usaha” adalah izin usaha
untuk dapat bertindak sebagai Lembaga
Pemeringkat yang melakukan kegiatan
penilaian terhadap Korporasi-Non Bank yang
akan menerbitkan surat berharga dan surat
berharga yang akan diterbitkan.
Angka 5
Huruf a)
Data orang-perseorangan paling kurang
meliputi nama dan besarnya kepemilikan
saham.
Huruf b)
Data badan hukum paling kurang
meliputi nama badan hukum, bidang
usaha, dan besarnya kepemilikan saham.
Huruf b
Angka 1
Struktur organisasi Lembaga Pemeringkat
harus menggambarkan independensi dalam
proses pemeringkatan.
Angka 2
Data pegawai disusun dalam bentuk daftar
yang berisi informasi mengenai:
1. nama pegawai;
2. jabatan;
3. pendidikan terakhir; dan
4.
sertifikasi (jika ada).
Dokumen data pegawai sebagaimana
dimaksud di atas harus ditandatangani oleh
pejabat yang berwenang serta dilampirkan
fotokopi identitas pegawai dan fotokopi kartu
6
tanda penduduk atau paspor yang masih
berlaku.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Adanya komite pemeringkat dimaksudkan
untuk memastikan adanya proses
pemeringkatan yang independen, objektif, dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Angka 7
Surat pernyataan ditandatangani oleh pejabat
yang memiliki
kewenangan
menandatangani dokumen berdasarkan akta
pendirian.
Angka 9
Pasal 12
Ayat (1)
Surat permohonan pendaftaran diajukan oleh Konsultan
Hukum secara individual.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Yang dimaksud dengan “pasar keuangan”
adalah pasar uang dan pasar modal.
untuk
7
Contoh himpunan konsultan hukum di pasar
keuangan adalah himpunan konsultan hukum
pasar modal.
Angka 5
Yang dimaksud dengan “pasar keuangan”
adalah pasar uang dan pasar modal.
Angka 6
Dokumen ditandatangani pejabat yang
memiliki kewenangan untuk menandatangani
dokumen berdasarkan akta pendirian.
Angka 7
Informasi kantor konsultan hukum paling
kurang berisi informasi nama, alamat, dan
kontak korespondensi.
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Kantor konsultan hukum harus
melakukan kerja sama dengan
kantor konsultan hukum lain yang
memiliki rekan (partner) Konsultan
Hukum yang merupakan anggota
perhimpunan konsultan hukum di
pasar keuangan.
Huruf d)
Struktur organisasi kantor konsultan
hukum memperlihatkan pimpinan,
susunan rekan (partner), pengawas
menengah, dan staf pelaksana.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “pendidikan
berkelanjutan” adalah pendidikan yang relevan
8
dengan profesi konsultan hukum khususnya
terkait dengan pasar keuangan.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Surat pernyataan bermeterai cukup
ditandatangani Konsultan Hukum yang
mengajukan permohonan pendaftaran kepada
Bank Indonesia.
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Yang dimaksud dengan “program
pendidikan berkelanjutan yang
relevan” adalah program pendidikan
terkait dengan bidang keuangan yang
diikuti oleh Konsultan Hukum.
Huruf c)
Cukup jelas.
Angka 5
Surat pernyataan bermeterai cukup
ditandatangani pejabat kantor konsultan
hukum yang memiliki kewenangan untuk
menandatangani dokumen berdasarkan akta
pendirian.
Ayat (3)
Dalam hal informasi kantor konsultan hukum telah
tercatat di Bank Indonesia maka dokumen pendukung
yang menjelaskan kantor konsultan hukum dapat
digantikan dengan surat pernyataan yang menerangkan
bahwa informasi kantor konsultan hukum telah
disampaikan kepada Bank Indonesia.
9
Angka 10
Pasal 13
Ayat (1)
Surat permohonan pendaftaran diajukan oleh Akuntan
Publik secara individual.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Informasi kantor akuntan publik paling kurang
berisi informasi nama, alamat dan kontak
korespondensi.
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Cukup jelas.
Huruf d)
Cukup jelas.
Huruf e)
Struktur organisasi kantor akuntan
publik memperlihatkan susunan
10
pimpinan, susunan rekan (partner),
dan staf pelaksana.
Huruf f)
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Surat pernyataan bermeterai cukup
ditandatangani Akuntan
Publik
yang
mengajukan permohonan pendaftaran kepada
Bank Indonesia.
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Yang dimaksud dengan “program
pendidikan berkelanjutan yang
relevan” adalah program pendidikan
terkait dengan bidang keuangan yang
diikuti oleh Akuntan Publik.
Contoh pendidikan di bidang
keuangan antara lain pendidikan
pasar uang rupiah dan valuta asing,
serta pendidikan standar akuntansi
keuangan.
Huruf c)
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf c
Dokumen ditandatangani pejabat kantor akuntan
publik yang memiliki kewenangan untuk
menandatangani dokumen berdasarkan akta
pendirian.
Ayat (3)
Dalam hal informasi kantor akuntan publik telah
tercatat di Bank Indonesia maka dokumen pendukung
11
yang menjelaskan kantor akuntan publik dapat
digantikan dengan surat pernyataan yang menerangkan
bahwa informasi kantor akuntan publik telah
disampaikan kepada Bank Indonesia.
Angka 11
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “pendidikan mengenai
pasar keuangan” adalah pelatihan yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia, otoritas
terkait, dan/atau asosiasi profesi yang
bersangkutan, baik dalam bentuk sertifikasi
maupun bentuk pendidikan lainnya.
Angka 2
Surat penyataan bermeterai cukup
ditandatangani Notaris yang mengajukan
permohonan pendaftaran kepada Bank
Indonesia.
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Yang dimaksud dengan “program
pendidikan berkelanjutan yang
relevan” adalah program pendidikan
terkait dengan bidang keuangan yang
diikuti oleh Notaris.
Angka 3
Surat pernyataan bermeterai cukup
ditandatangani Notaris yang mengajukan
12
permohonan pendaftaran kepada Bank
Indonesia.
Angka 12
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “berhalangan” adalah Notaris
tidak dapat melakukan tugasnya untuk sementara,
misalnya disebabkan cuti, sakit, atau halangan lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 17
Contoh transaksi Surat Berharga Komersial yang dilakukan
dengan menggunakan jasa perantara antara lain transaksi
jual beli.
Angka 14
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Informasi perusahaan paling sedikit meliputi
nama, alamat kantor pusat, dan kontak
korespondensi.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
13
Angka 2
Surat pernyataan
bermeterai cukup
ditandatangani oleh pejabat yang memiliki
kewenangan untuk menandatangani dokumen
berdasarkan akta pendirian.
Angka 15
Pasal 20
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kegiatan penitipan kolektif
Surat Berharga Komersial” adalah kegiatan yang
meliputi penyelesaian transaksi Surat Berharga
Komersial, penatausahaan kepemilikan Surat Berharga
Komersial, penyajian laporan jasa kustodian yang
diberikan kepada nasabah, dan kegiatan lain yang
terkait dengan penatausahaan dan penyelesaian
transaksi Surat Berharga Komersial.
Huruf b
Permintaan kepada investor Surat Berharga Komersial,
sekurang-kurangnya dilakukan bersamaan dengan
proses administrasi pembukaan rekening efek investor
atau melalui mekanisme lain, contohnya bersamaan
dengan perintah atau instruksi penyelesaian transaksi.
Huruf c
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Informasi perusahaan paling sedikit meliputi
nama, alamat kantor pusat, dan kontak
korespondensi.
14
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Dokumen untuk Perusahaan Efek dapat
berupa fotokopi dokumen pengaturan dari
otoritas yang berwenang serta fotokopi
dokumen pemenuhan pengaturan dimaksud.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Surat pernyataan
bermeterai cukup
ditandatangani oleh pejabat yang memiliki
kewenangan untuk menandatangani dokumen
berdasarkan akta pendirian.
Angka 17
Pasal 23
Dihapus.
Angka 18
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bank dapat menjadi Lembaga Pendukung Penerbitan
Surat Berharga Komersial serta Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat
Berharga Komersial.
Perusahaan Efek dapat menjadi Lembaga Pendukung
Penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga
Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, serta
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial.
Ayat (3)
Cukup jelas.
15
Angka 19
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Permintaan klarifikasi dapat berupa permintaan
tambahan dokumen dan/atau tambahan informasi
lainnya. Permintaan klarifikasi dimaksud dapat
dilakukan dalam bentuk surat, pertemuan tatap
muka, dan/atau bentuk lainnya.
Angka 20
Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a
Izin yang relevan meliputi:
1. bagi Bank atau Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan sebagai penata laksana
(arranger), berupa izin kegiatan usaha penata
laksana (arranger) penerbitan surat berharga.
2. bagi Lembaga Pemeringkat, berupa izin
kegiatan usaha pemeringkatan.
3. bagi Konsultan Hukum, berupa izin advokat,
keanggotaan dalam himpunan konsultan
hukum di pasar keuangan, atau tanda
terdaftar sebagai konsultan hukum dari
otoritas yang berwenang di pasar keuangan.
4. bagi Akuntan Publik, berupa izin akuntan
publik, keanggotaan di organisasi profesi, atau
tanda terdaftar sebagai akuntan publik dari
otoritas yang berwenang di pasar keuangan.
5. bagi Notaris, berupa izin sebagai notaris atau
keanggotaan di organisasi profesi.
16
6. bagi Perusahaan Efek sebagai Lembaga
Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial, berupa kegiatan usaha sebagai
perantara pelaksanaan transaksi.
7. bagi Perusahaan Pialang sebagai Lembaga
Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial, berupa izin kegiatan usaha sebagai
Perusahaan Pialang.
8. bagi Bank yang melakukan kegiatan kustodian
dan Perusahaan Efek sebagai Lembaga
Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial, berupa
izin kegiatan usaha Bank sebagai kustodian
dari otoritas yang berwenang atau izin
Perusahaan
Efek
yang
dapat
mengadministrasikan rekening efek nasabah
dari otoritas yang berwenang.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 30
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
17
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pihak surviving entity yang ingin terdaftar sebagai
Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan
kegiatan terkait Surat Berharga Komersial
mengajukan permohonan pendaftaran kepada Bank
Indonesia dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 31A
Bank dimungkinkan terdaftar di Bank Indonesia sebagai
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial
serta Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial.
Perusahaan Efek dimungkinkan terdaftar di Bank Indonesia
sebagai Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial, serta Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial.
Angka 23
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Laporan peningkatan mutu diutamakan berupa
peningkatan pengetahuan dan kompetensi yang
terkait dengan bidang keuangan.
Huruf b
Jasa yang diberikan terkait penerbitan Surat
Berharga Komersial mencakup jasa yang diberikan
18
sehubungan dengan persiapan penerbitan Surat
Berharga Komersial maupun yang diberikan pasca
penerbitan Surat Berharga Komersial kepada
Penerbit Surat Berharga Komersial.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “insidental” adalah penyampaian
laporan perubahan data pendukung dilakukan sewaktu-
waktu segera setelah terjadinya perubahan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Penyampaian laporan perubahan data
dan/atau informasi kantor konsultan hukum
dilakukan dalam hal Konsultan Hukum masih
berada di kantor konsultan kukum yang sama
namun terdapat perubahan informasi
mengenai kantor konsultan hukum tersebut.
Angka 2
Yang dimaksud “pindah ke kantor konsultan
hukum lain” adalah termasuk mendirikan
kantor konsultan hukum baru.
Angka 3
Pelaporan perubahan perjanjian kerja sama
dengan kantor konsultan hukum lain terutama
dilakukan oleh kantor konsultan hukum yang
hanya memiliki 1 (satu) rekan terdaftar di
himpunan konsultan hukum di pasar
keuangan.
19
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Penyampaian laporan perubahan data
dan/atau informasi kantor akuntan publik
dilakukan dalam hal Akuntan Publik masih
berada di kantor akuntan publik yang sama
namun terdapat perubahan informasi
mengenai kantor akuntan publik tersebut.
Contoh perubahan data dan/atau informasi
kantor akuntan publik antara lain perubahan
akta pendirian, nama, alamat dan/atau kontak
korespondensi.
Perubahan akta
pendirian
termasuk
perubahan daftar nama rekan (partner) akibat
adanya Akuntan Publik yang tidak
memperpanjang izin.
Angka 2
Yang dimaksud “pindah ke kantor akuntan
publik lain” adalah termasuk mendirikan
kantor akuntan publik baru.
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Salah satu perubahan akta pendirian
kantor akuntan publik disebabkan
adanya perubahan daftar nama
rekan (partner) pada 1 (satu) kantor
akuntan publik akibat adanya
Akuntan Publik
yang tidak
memperpanjang izin sebagai akuntan
publik ke otoritas terkait.
20
Huruf d
Angka 1
Perubahan data dan/atau informasi kantor
notaris antara lain perubahan alamat kantor
dan/atau kontak korespondensi.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 36
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 48
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 50
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 51
Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 54
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 56
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 59
Cukup jelas.
21
Angka 32
Pasal 60
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 61
Cukup jelas.
Angka 34
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/38/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/9/PADG/2017 TENTANG LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG YANG MELAKUKAN KEGIATAN TERKAIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG </reg_title>
<set_date> 20 Desember 2018 </set_date>
<effective_date> 20 Desember 2018 </effective_date>
<changed_reg> '19/9/PADG/2017' </changed_reg>
<related_reg> '18/11/PBI/2016', '19/9/PBI/2017' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 26 Pasal 48', 'Pasal I Angka 27 Pasal 50 Ayat 1', 'Pasal I Angka 27 Pasal 50 Ayat 2', 'Pasal I Angka 27 Pasal 50 Ayat 3', 'Pasal I Angka 28 Pasal 51 Ayat 1', 'Pasal I Angka 28 Pasal 51 Ayat 2', 'Pasal I Angka 29 Pasal 54', 'Pasal I Angka 30 Pasal 56 Ayat 1', 'Pasal I Angka 30 Pasal 56 Ayat 2', 'Pasal I Angka 30 Pasal 56 Ayat 3', 'Pasal I Angka 31 Pasal 59', 'Pasal I Angka 32 Pasal 60 Ayat 1', 'Pasal I Angka 32 Pasal 60 Ayat 2', 'Pasal I Angka 32 Pasal 60 Ayat 3', 'Pasal I Angka 33 Pasal 61 Ayat 1', 'Pasal I Angka 33 Pasal 61 Ayat 2', 'Pasal I Angka 33 Pasal 61 Ayat 3' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/1/PADG/2018
TENTANG
PENERBITAN DAN TRANSAKSI
SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mencapai pasar keuangan yang likuid dan
efisien dibutuhkan pengembangan instrumen pasar uang
yang dapat ditransaksikan oleh pelaku pasar uang;
b. bahwa surat berharga komersial merupakan instrumen
pasar uang yang perlu dikembangkan untuk memberikan
fleksibilitas pengelolaan likuiditas pelaku pasar uang dan
mendorong pembiayaan ekonomi nasional;
c. bahwa untuk menciptakan pasar surat berharga komersial
yang teratur dan efisien diperlukan pengaturan penerbitan
dan transaksi surat berharga komersial di pasar uang;
d. bahwa pengaturan penerbitan dan transaksi surat
berharga komersial di pasar uang akan memberikan
pedoman bagi pelaku pasar dengan memperhatikan aspek
tata kelola yang baik, mekanisme transaksi yang aman
dan efisien, dan prinsip kehati-hatian;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Penerbitan
dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016
tentang Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5909);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang
Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di
Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6100);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PENERBITAN DAN TRANSAKSI SURAT BERHARGA
KOMERSIAL DI PASAR UANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri.
2. Korporasi Non-Bank adalah badan hukum yang berbentuk
perseroan terbatas selain Bank.
3. Surat Berharga Komersial yang selanjutnya disingkat SBK
adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Korporasi
Non-Bank berbentuk surat sanggup (promissory note) dan
berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun yang
terdaftar di Bank Indonesia.
4. Penerbit Surat Berharga Komersial yang selanjutnya
disebut Penerbit SBK adalah pihak yang memenuhi
persyaratan untuk menerbitkan SBK.
5. Pelaku Pasar Uang yang selanjutnya disebut Pelaku Pasar
adalah pihak yang melakukan kegiatan penerbitan
Instrumen Pasar Uang dan/atau melakukan transaksi di
Pasar Uang.
6. Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang
selanjutnya disebut Pelaku Transaksi SBK adalah Pelaku
Pasar yang melakukan transaksi SBK.
7. Lembaga Pendukung Pasar Uang adalah pihak yang
memberikan jasa terkait penerbitan Instrumen Pasar
Uang, perantara pelaksanaan transaksi, penyelesaian
transaksi dan/atau penatausahaan Instrumen Pasar Uang
dan transaksi di Pasar Uang, dan pihak lainnya yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
8. Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang selanjutnya disebut Lembaga Pendukung
Penerbitan SBK adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang
yang memberikan jasa dalam penerbitan SBK.
9. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang selanjutnya disebut Lembaga Pendukung Transaksi
SBK adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang
memberikan jasa perantara pelaksanaan transaksi SBK.
10. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang selanjutnya
disebut Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi SBK adalah Lembaga Pendukung
Pasar Uang yang memberikan jasa penatausahaan dan
penyelesaian transaksi SBK.
11. Konsultan Hukum adalah Lembaga Pendukung
Penerbitan SBK yang terdaftar di Bank Indonesia, yang
memiliki tugas menyusun opini hukum atas kondisi atau
keadaan suatu perusahaan dalam penerbitan SBK.
12. Notaris adalah Lembaga Pendukung Penerbitan SBK yang
terdaftar di Bank Indonesia, yang memiliki tugas
melakukan penyusunan dokumen hukum dan
legalitasnya serta melakukan tugas lain yang berkaitan
dengan jabatannya dalam penerbitan SBK.
13. Akuntan Publik adalah Lembaga Pendukung Penerbitan
SBK yang terdaftar di Bank Indonesia, yang memiliki tugas
melakukan pemeriksaan laporan keuangan, memberikan
pendapat terhadap laporan keuangan calon penerbit atau
Penerbit SBK, dan mempersiapkan hal lain yang
diperlukan dalam penerbitan SBK.
14. Lembaga Pemeringkat adalah Lembaga Pendukung
Penerbitan SBK yang terdaftar di Bank Indonesia, yang
memiliki tugas melakukan penilaian terhadap peringkat
kredit dari SBK termasuk penjaminan atau penanggungan
yang dapat memengaruhi peringkat kredit dari SBK.
15. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai pasar modal.
16. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah
perusahaan pialang sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing.
17. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang selanjutnya
disingkat LPP adalah pihak yang menyelenggarakan
kegiatan kustodian sentral sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal.
18. PT Kustodian Sentral Efek Indonesia yang selanjutnya
disingkat KSEI adalah pihak yang telah memperoleh izin
usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai LPP.
BAB II
PERSYARATAN PENERBIT DAN INSTRUMEN SBK
Pasal 2
(1) Pihak yang dapat menerbitkan SBK yaitu Korporasi Non-
Bank yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
tercatat sebagai emiten saham pada Bursa Efek
Indonesia atau pernah menerbitkan obligasi
dan/atau sukuk yang dicatat di Bursa Efek Indonesia
dalam 5 (lima) tahun terakhir sampai dengan tanggal
pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan SBK;
atau
b. tidak tercatat sebagai emiten atau perusahaan publik
namun memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. telah beroperasi paling singkat 3 (tiga) tahun
atau kurang dari 3 (tiga) tahun sepanjang
memiliki penjaminan atau penanggungan;
paling
2. memiliki
ekuitas
sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
dan
3. menghasilkan laba bersih untuk 1 (satu) tahun
terakhir.
(2) Korporasi Non-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki laporan keuangan yang memperoleh
pendapat wajar tanpa modifikasian (WTM) secara
berturut-turut dari Akuntan Publik untuk periode 3
(tiga) tahun terakhir atau sejak Korporasi Non-Bank
beroperasi untuk Korporasi Non-Bank yang
beroperasi kurang dari 3 (tiga) tahun;
b.
tidak pernah mengalami kondisi gagal bayar selama 3
(tiga) tahun terakhir sampai dengan tanggal
pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan SBK
atau tidak pernah mengalami kondisi gagal bayar
untuk Korporasi Non-Bank yang beroperasi kurang
dari 3 (tiga) tahun;
c. Korporasi Non-Bank yang pernah mengalami gagal
bayar dapat menerbitkan SBK paling singkat 3 (tiga)
tahun setelah tanggal pernyataan penyelesaian gagal
bayar sepanjang penyelesaian dilakukan secara
wajar;
d. memiliki manajemen dengan rekam jejak yang baik;
e. memiliki pedoman penerapan prinsip kehati-hatian
dan manajemen risiko; dan
f. memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan
Bank Indonesia.
(3) Persyaratan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, huruf b angka 1, dan huruf b angka 2,
serta ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c, dihitung
menggunakan tanggal yang sama untuk tahun yang
berbeda.
(4) Contoh perhitungan jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 3
Korporasi Non-Bank yang beroperasi kurang dari 3 (tiga) tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b angka 1
harus mencantumkan penjaminan atau penanggungan dalam
bukti penerbitan kolektif SBK.
Pasal 4
(1) SBK harus memiliki tenor 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6
(enam) bulan, 9 (sembilan) bulan, atau 12 (dua belas)
bulan.
(2) Perhitungan tenor SBK sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur sebagai berikut:
a. tenor dihitung mulai dari tanggal penerbitan SBK
sampai dengan tanggal jatuh tempo SBK;
b. perhitungan 1 (satu) bulan tenor sama dengan 30
(tiga puluh) hari kalender;
c. dalam hal SBK memiliki jumlah hari kalender bukan
kelipatan 30 (tiga puluh) hari, dilakukan pembulatan
tenor:
1. ke bawah (rounded down) apabila kelebihan hari
kalender kurang dari 15 (lima belas) hari
kalender; atau
2. ke atas (rounded up) apabila kekurangan hari
kalender kurang dari 15 (lima belas) hari
kalender; dan
d.
jumlah hari maksimum untuk SBK tenor 12 (dua
belas) bulan yaitu sebesar 365 (tiga ratus enam puluh
lima) hari kalender.
(3) Contoh perhitungan tenor sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tercantum dalam Lampiran I.
Pasal 5
(1) SBK harus memiliki peringkat instrumen yang diterbitkan
oleh Lembaga Pemeringkat, dengan batasan minimum
tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Peringkat instrumen SBK yang akan diterbitkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling rendah berada
pada peringkat jangka pendek:
a.
di level idA3, F3(idn), atau level yang setara dalam hal
peringkat merupakan peringkat nasional; dan/atau
b.
di level A-3, F3, P-3, atau level yang setara dalam hal
peringkat merupakan peringkat internasional,
yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemeringkat.
(3) Dalam hal terdapat 2 (dua) peringkat jangka pendek
dengan nilai peringkat yang berbeda, pemenuhan
terhadap persyaratan peringkat instrumen menggunakan
peringkat tertinggi.
(4) Contoh pemenuhan persyaratan peringkat instrumen SBK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
BAB III
PENDAFTARAN PENERBITAN SBK
Bagian Kesatu
Pendaftaran Penerbitan SBK
untuk Memperoleh Status Terdaftar
Pasal 6
(1) SBK yang akan diterbitkan wajib memperoleh persetujuan
pendaftaran penerbitan SBK dari Bank Indonesia.
(2) Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK
mengajukan permohonan pendaftaran penerbitan SBK
kepada Bank Indonesia dengan memilih di antara 2 (dua)
jenis mekanisme penerbitan sebagai berikut yaitu:
a. penerbitan secara tunggal atau individual; atau
b. penerbitan secara berkelanjutan.
(3) Pendaftaran penerbitan SBK secara tunggal atau
individual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
berlaku untuk 1 (satu) kali penerbitan SBK oleh Penerbit
SBK.
(4) Pendaftaran penerbitan SBK secara berkelanjutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berlaku
untuk periode 1 (satu) tahun sejak tanggal persetujuan
pendaftaran penerbitan SBK dari Bank Indonesia.
(5) Dalam 1 (satu) kali penerbitan, baik melalui penerbitan
secara tunggal atau individual maupun melalui penerbitan
secara berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), SBK yang diterbitkan dapat terdiri atas beberapa seri
SBK.
(6) Contoh penerapan pelaksanaan penerbitan SBK pada
masing-masing mekanisme penerbitan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) tercantum
dalam Lampiran II.
Pasal 7
(1) Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK,
mengajukan surat permohonan pendaftaran penerbitan
SBK yang dilengkapi dengan dokumen pendukung yang
merupakan pemenuhan:
a. persyaratan kriteria penerbit SBK;
b. persyaratan kriteria instrumen SBK; dan
c. persyaratan pemenuhan ketentuan mengenai
keterbukaan informasi Penerbit SBK.
(2) Contoh surat permohonan pendaftaran penerbitan SBK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Dokumen dalam pengajuan permohonan pendaftaran
penerbitan SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan dalam bentuk:
a. hardcopy; dan
b. softcopy atas scan dokumen dalam format pdf.
Pasal 8
(1) Dokumen pendukung pemenuhan persyaratan kriteria
penerbit SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) huruf a yaitu sebagai berikut:
a. dokumen yang memuat informasi Korporasi Non-
Bank yang ditandatangani oleh anggota direksi
dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan
sesuai anggaran dasar Korporasi Non-Bank dan/atau
ketentuan internal Korporasi Non-Bank;
b. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh
instansi yang berwenang, berikut perubahan
anggaran dasar terakhir yang telah memperoleh
persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah
diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan
perubahan anggaran dasar dari instansi yang
berwenang;
c. laporan keuangan tahunan Korporasi Non-Bank
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Dalam hal pengajuan pendaftaran kurang dari 4
(empat) bulan sejak tanggal laporan keuangan
tahunan maka menggunakan:
a) laporan keuangan tahunan pada tahun
terakhir yang paling rendah bersifat
unaudited dan laporan keuangan tahunan
periode 3 (tiga) tahun sebelumnya yang
telah diaudit oleh Akuntan Publik dan
memperoleh pendapat
wajar tanpa
modifikasian (WTM) secara berturut-turut,
bagi Korporasi Non-Bank yang beroperasi
paling singkat 3 (tiga) tahun; atau
b) laporan keuangan tahunan pada tahun
terakhir yang paling rendah bersifat
unaudited dan laporan keuangan tahunan
periode sebelumnya sejak berdirinya
Korporasi Non-Bank yang telah diaudit oleh
Akuntan Publik dan memperoleh pendapat
WTM secara berturut-turut, bagi Korporasi
Non-Bank yang beroperasi kurang dari 3
(tiga) tahun;
2. dalam hal pengajuan pendaftaran lebih dari 4
(empat) bulan sejak tanggal laporan keuangan
tahunan maka menggunakan:
a)
laporan keuangan tahunan periode 3 (tiga)
tahun terakhir yang telah diaudit oleh
Akuntan Publik dan memperoleh pendapat
WTM secara berturut-turut, bagi Korporasi
Non-Bank yang beroperasi paling singkat 3
(tiga) tahun; atau
b)
laporan keuangan tahunan periode sejak
berdirinya Korporasi Non-Bank yang telah
diaudit oleh Akuntan Publik dan
memperoleh pendapat WTM secara
berturut-turut, bagi Korporasi Non-Bank
yang beroperasi kurang dari 3 (tiga) tahun;
d. surat pernyataan oleh Korporasi Non-Bank yang
menyatakan bahwa:
1. Korporasi Non-Bank tidak pernah mengalami
gagal bayar selama 3 (tiga) tahun terakhir
sampai dengan tanggal pengajuan permohonan
pendaftaran penerbitan SBK atau tidak pernah
mengalami kondisi gagal bayar untuk Korporasi
Non-Bank yang beroperasi kurang dari 3 (tiga)
tahun; dan
2. dalam hal Korporasi Non-Bank mengalami gagal
bayar maka Korporasi Non-Bank telah
melakukan penyelesaian gagal bayar secara
wajar paling singkat 3 (tiga) tahun sebelum
tanggal pengajuan permohonan pendaftaran
penerbitan SBK,
disertai dengan data penyelesaian gagal bayar, dan
ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau pihak
lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran
dasar Korporasi Non-Bank dan/atau ketentuan
internal Korporasi Non-Bank;
e. dokumen berupa:
1. dokumen yang memuat informasi mengenai
riwayat hidup; dan
2. surat pernyataan pribadi bermaterai cukup yang
menyatakan tidak pernah melakukan tindakan
tercela di bidang perbankan dan keuangan, tidak
sedang menjalani proses hukum sebagai
tersangka dengan ancaman hukuman di atas 5
(lima) tahun, dan tidak pernah dihukum atas
tindak pidana di bidang perbankan, keuangan,
dan/atau pencucian uang berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap,
oleh masing-masing anggota dewan komisaris dan
direksi Korporasi Non-Bank;
f. opini hukum dari Konsultan Hukum; dan
g. surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen
Korporasi Non-Bank untuk:
1. memenuhi ketentuan yang diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia tentang Penerbitan
dan Transaksi SBK di Pasar Uang beserta
peraturan pelaksanaannya; dan
2. menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko dalam penerbitan SBK,
yang ditandatangani oleh anggota direksi yang
memiliki kewenangan sesuai anggaran dasar
Korporasi Non-Bank.
(2) Dalam hal Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan
SBK merupakan Korporasi Non-Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, Korporasi Non-
Bank harus menyampaikan tambahan dokumen
pendukung untuk pemenuhan persyaratan penerbit SBK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) sebagai
berikut:
a. surat pernyataan Korporasi Non-Bank yang
menyatakan bahwa saham beserta kode saham
Korporasi Non-Bank tercatat di Bursa Efek Indonesia
yang disertai dengan dokumen pendukung dan
ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau pihak
lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran
dasar Korporasi Non-Bank dan/atau ketentuan
internal Korporasi Non-Bank, dalam hal Korporasi
Non-Bank merupakan emiten saham yang tercatat
pada Bursa Efek Indonesia; dan/atau
b. fotokopi surat pernyataan efektif yang dikeluarkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan atas penerbitan obligasi
dan/atau sukuk yang pernah dilakukan dalam 5
(lima) tahun terakhir dan fotokopi sertifikat
pencatatan obligasi dan/atau sukuk pada saat
tercatat di Bursa Efek Indonesia, dalam hal Korporasi
Non-Bank merupakan emiten yang pernah
menerbitkan obligasi dan/atau sukuk yang dicatat di
Bursa Efek Indonesia.
(3) Contoh dokumen informasi Korporasi Non-Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tercantum
dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Contoh pemenuhan terkait kondisi gagal bayar dan surat
pernyataannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d tercantum dalam Lampiran II.
(5) Contoh surat pernyataan komitmen manajemen Korporasi
Non-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g
tercantum dalam Lampiran IV.
Pasal 9
(1) Opini hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) huruf f merupakan opini hukum yang diberikan oleh
Konsultan Hukum atas aspek hukum terkait Korporasi
Non-Bank yang digunakan untuk kepentingan
pendaftaran penerbitan SBK.
(2) Dalam menyusun opini hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Konsultan Hukum melakukan uji tuntas
atas aspek hukum terhadap Korporasi Non-Bank yang
mengajukan pendaftaran penerbitan SBK yaitu:
a. Korporasi Non-Bank yang mengajukan pendaftaran
penerbitan SBK; dan
b. anak perusahaan dari Korporasi Non-Bank
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dalam hal:
1.
kepemilikan saham Korporasi Non-Bank
sebesar 50% (lima puluh persen) atau lebih dan
anak perusahaan tersebut memberikan
kontribusi pendapatan yang signifikan; atau
2.
kepemilikan saham Korporasi Non-Bank
sebesar 50% (lima puluh persen) atau lebih dan
anak perusahaan tersebut yang menjalankan
kegiatan usaha yang penting bagi
kelangsungan usaha Korporasi Non-Bank.
(3) Dalam menyusun uji tuntas atas aspek hukum kepada
Korporasi Non-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, Konsultan Hukum melakukan uji tuntas atas
aspek hukum terhadap:
a. akta pendirian dan perubahan:
1. seluruh ketentuan anggaran dasar terakhir,
untuk Korporasi Non-Bank yang sahamnya
tercatat pada Bursa Efek Indonesia atau pernah
menerbitkan obligasi dan/atau sukuk yang
dicatatkan di Bursa Efek Indonesia dalam 5
(lima) tahun terakhir sampai dengan tanggal
pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan
SBK; atau
2. anggaran dasar perusahaan dalam 3 (tiga) tahun
terakhir atau sejak berdirinya jika kurang dari 3
(tiga) tahun untuk Korporasi Non-Bank yang
tidak termasuk dalam angka 1;
b. izin dan persetujuan material yang berhubungan
langsung dengan kegiatan usaha utama yang
memberikan kontribusi signifikan terhadap
kelangsungan usaha Korporasi Non-Bank;
c. penelaahan atas pemenuhan persyaratan penerbit
sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai SBK;
d. status penjaminan atau penanggungan untuk:
1. Korporasi Non-Bank yang dipersyaratkan
memiliki penjaminan atau penanggungan dalam
penerbitan SBK; dan
2. Korporasi Non-Bank yang tidak dipersyaratkan
namun memiliki
penanggungan dalam penerbitan SBK;
e. perikatan material yang masih berlaku yang dianggap
dapat memberikan dampak negatif kepada
pelaksanaan penerbitan SBK;
f. aset material Korporasi Non-Bank yang secara
langsung digunakan untuk pelaksanaan kegiatan
usaha utama Korporasi Non-Bank; dan
g. perkara, sengketa, atau klaim yang timbul yang
melibatkan Korporasi Non-Bank, anggota direksi,
dan/atau dewan komisaris Korporasi Non-Bank yang
secara material dapat memengaruhi keadaan
keuangan dan kelangsungan usaha Korporasi Non-
Bank.
(4) Dalam menyusun uji tuntas atas aspek hukum kepada
anak perusahaan atas Korporasi Non-Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, Konsultan Hukum
melakukan uji tuntas untuk memastikan keabsahan
kepemilikan saham Korporasi Non-Bank di anak
perusahaan dan memeriksa aspek hukum kegiatan usaha
utama anak perusahaan.
penjaminan atau
(5) Dalam hal penerbitan SBK menggunakan penjaminan
atau penanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf d angka 1, Konsultan Hukum melakukan uji tuntas
atas penjamin atau penanggung dan keabsahan aspek
penjaminan atau penanggungan.
(6) Dalam hal penerbitan SBK menggunakan penjaminan
atau penanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf d angka 2, Konsultan Hukum melakukan uji tuntas
atas keabsahan aspek penjaminan atau penanggungan.
(7) Asosiasi profesi konsultan hukum dapat menyusun
standar profesi konsultan hukum yang relevan mengenai
materi uji tuntas atas aspek hukum sebagai pedoman bagi
Konsultan Hukum sehubungan dengan penerbitan SBK.
Pasal 10
(1) Dokumen pendukung yang merupakan pemenuhan
persyaratan kriteria instrumen SBK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b yaitu sebagai
berikut:
a. dokumen yang memuat informasi atas struktur
penawaran SBK yang ditandatangani oleh anggota
direksi dan/atau pihak lain yang memiliki
kewenangan sesuai anggaran dasar Korporasi Non-
Bank dan/atau ketentuan internal Korporasi Non-
Bank:
1. bagi pengajuan permohonan pendaftaran
penerbitan secara tunggal atau individual
berupa individual term sheet, yang memuat
paling sedikit informasi atas:
a) nama Penerbit SBK;
b) tipe instrumen;
c) mekanisme penerbitan;
d) nama SBK;
e) denominasi mata uang;
f)
tenor penerbitan;
g) perlakuan bunga;
h) tingkat diskonto;
i)
nominal penerbitan;
j) minimum nominal pembelian;
k) minimum nominal pemindahbukuan;
l)
bentuk instrumen;
m) penatausaha sentral instrumen;
n) peringkat instrumen;
o) penjaminan atau penanggungan;
p) periode penawaran;
q) tanggal penetapan nominal penerbitan;
r) tanggal pembayaran;
s) tanggal distribusi; dan
t)
informasi lainnya;
2. bagi pengajuan permohonan pendaftaran
penerbitan secara berkelanjutan:
a) agreggate term sheet yang menunjukkan
struktur penawaran SBK selama periode
terdaftar, yang memuat paling sedikit
informasi atas:
1) nama Penerbit SBK;
2) tipe instrumen;
3) mekanisme penerbitan;
4) nama SBK;
5) denominasi mata uang;
6) perlakuan bunga;
7) nominal penerbitan selama terdaftar;
8) minimum nominal pembelian;
9) minimum nominal pemindahbukuan;
10) bentuk instrumen;
11) penatausaha sentral instrumen; dan
12) informasi lainnya; dan
b)
individual term sheet
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a angka 1, yang
menunjukkan struktur penawaran SBK
tahap kesatu;
b. dokumen yang memuat informasi atas rencana
penggunaan dana hasil penerbitan SBK yang
ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau pihak
lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran
dasar Korporasi Non-Bank dan/atau ketentuan
internal Korporasi Non-Bank:
1. bagi pengajuan permohonan pendaftaran
penerbitan secara individual berupa rencana
penggunaan dana hasil penerbitan SBK;
2. bagi pengajuan permohonan pendaftaran
penerbitan secara berkelanjutan:
a) rencana penggunaan dana hasil penerbitan
SBK selama periode terdaftar; dan
b) rencana penggunaan dana hasil penerbitan
SBK tahap kesatu;
c.
fotokopi sertifikat peringkat dan fotokopi surat
pemeringkatan SBK yang akan diterbitkan, yang
dikeluarkan oleh Lembaga Pemeringkat; dan
d. bukti penerbitan kolektif awal atas SBK yang sedang
diajukan pendaftarannya.
(2) Dalam hal tanggal pengajuan permohonan pendaftaran
penerbitan SBK oleh Korporasi Non-Bank kepada Bank
Indonesia lebih dari 3 (tiga) bulan sejak tanggal penetapan
pemberian peringkat SBK sebagaimana tercantum dalam
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
Korporasi Non-Bank harus menyertakan dokumen
pendaftaran tambahan.
(3) Dokumen pendaftaran tambahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berupa surat penegasan dari Lembaga
Pemeringkat bahwa peringkat yang sama masih berlaku
untuk SBK yang sedang diajukan pendaftarannya.
(4) Contoh dokumen individual term sheet dan aggregate term
sheet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
tercantum dalam Lampiran III.
Pasal 11
(1) Dokumen pendukung yang merupakan pemenuhan
persyaratan
keterbukaan
informasi
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c yaitu sebagai
berikut:
a. memorandum informasi SBK yang akan diterbitkan;
b. dokumen yang memuat informasi yang lebih rinci
yang menjelaskan informasi yang bersifat prakiraan
yang dituangkan dalam memorandum informasi,
yang ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau
pihak lain yang memiliki kewenangan sesuai
anggaran dasar Korporasi Non-Bank dan/atau
ketentuan internal Korporasi Non-Bank;
c. surat pernyataan Korporasi Non-Bank bermaterai
cukup yang menyatakan bahwa:
1. seluruh informasi maupun fakta material telah
diungkapkan dalam memorandum informasi;
dan
2. seluruh informasi dalam dokumen pendaftaran
penerbitan SBK,
adalah benar, bersifat tidak menyesatkan, dan dapat
dipertanggungjawabkan, yang ditandatangani oleh
anggota direksi dan/atau pihak lain yang memiliki
kewenangan sesuai anggaran dasar Korporasi Non-
Bank dan/atau ketentuan internal Korporasi Non-
Bank; dan
d. surat kuasa dari Korporasi Non-Bank kepada Bank
Indonesia terkait persetujuan pemberian data posisi
kepemilikan investor atas SBK yang akan
diterbitkannya kepada Bank Indonesia, sebanyak 2
(dua) rangkap yang ditandatangani oleh anggota
direksi dan/atau pihak lain yang memiliki
kewenangan sesuai anggaran dasar Korporasi Non-
Bank dan/atau ketentuan internal Korporasi Non-
Bank.
(2) Contoh dokumen yang memuat informasi yang lebih rinci
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, tercantum
dalam Lampiran III.
(3) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, tercantum dalam Lampiran IV; dan
(4) Contoh surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d tercantum dalam Lampiran V yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Bagian Kedua
Pendaftaran Penerbitan SBK
Tahap Lanjutan
Pasal 12
(1) Penerbit SBK yang telah mendapatkan persetujuan dari
Bank Indonesia untuk menerbitkan SBK secara
berkelanjutan dan akan melakukan penerbitan SBK tahap
lanjutan harus mengajukan surat permohonan
pendaftaran penerbitan SBK tahap lanjutan kepada Bank
Indonesia sebagaimana contoh tercantum dalam
Lampiran IV.
(2) Dokumen dalam pengajuan permohonan pendaftaran
penerbitan SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan dalam bentuk:
a. hardcopy; dan
b. softcopy atas scan dokumen dalam format pdf.
(3) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sebagai berikut:
a. surat pernyataan dari Penerbit SBK bahwa Penerbit
SBK tidak pernah mengalami gagal bayar terhitung
sejak tanggal pengajuan permohonan pendaftaran
penerbitan Surat Berharga Komersial sebelumnya
sampai dengan tanggal pengajuan pendaftaran
penerbitan SBK tahap lanjutan kepada Bank
Indonesia yang ditandatangani oleh anggota direksi
dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan
sesuai anggaran dasar Korporasi Non-Bank dan/atau
ketentuan internal Korporasi Non-Bank,
sebagaimana contoh tercantum dalam Lampiran IV;
b. dokumen yang memuat informasi atas rencana
penerbitan SBK tahap lanjutan yang sedang diajukan
pendaftarannya (individual term sheet) yang
ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau pihak
lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran
dasar Korporasi Non-Bank dan/atau ketentuan
internal Korporasi Non-Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sebagaimana contoh
tercantum dalam Lampiran III.
c. dokumen yang memuat informasi atas rencana
penggunaan dana SBK yang ditandatangani oleh
anggota direksi dan/atau pihak lain yang memiliki
kewenangan sesuai anggaran dasar Korporasi Non-
Bank dan/atau ketentuan internal Korporasi Non-
Bank, paling sedikit memuat:
1. rencana penggunaan dana SBK tahap lanjutan
yang sedang diajukan pendaftarannya; dan
2. ada tidaknya perubahan terhadap rencana
penggunaan dana semula ketika terdaftar dalam
penerbitan
SBK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf b angka 2 huruf a), yang disertai dengan
alasan perubahannya,
d. dokumen terkait peringkat SBK berupa:
1. fotokopi sertifikat peringkat dan fotokopi surat
pemeringkatan SBK yang dikeluarkan oleh
Lembaga Pemeringkat pertama kali ketika
pengajuan pendaftaran penerbitan secara
berkelanjutan untuk periode berkelanjutan yang
sama, apabila tanggal pengajuan pendaftaran
penerbitan SBK tahap lanjutan dilakukan
kurang dari 3 (tiga) bulan setelah tanggal
peringkat SBK pertama kali diterbitkan; atau
2. surat penegasan dari Lembaga Pemeringkat
bahwa peringkat SBK sebagaimana tertera
dalam sertifikat peringkat dan surat
pemeringkatan masih berlaku untuk SBK yang
sedang diajukan pendaftarannya, apabila
tanggal pengajuan pendaftaran penerbitan SBK
tahap lanjutan dilakukan lebih dari 3 (tiga) bulan
secara berkelanjutan
setelah tanggal peringkat SBK pertama kali
diterbitkan atau ditegaskan terakhir kali;
e. memorandum informasi SBK yang akan diterbitkan
pada tahap lanjutan yang sedang diajukan
pendaftarannya;
f. dokumen yang memuat informasi atas perubahan
dan/atau tambahan informasi dalam memorandum
informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf e yang
ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau pihak
lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran
dasar Korporasi Non-Bank dan/atau ketentuan
internal Korporasi Non-Bank, apabila terdapat
perubahan dan/atau tambahan informasi;
g. surat pernyataan Penerbit SBK bermaterai cukup
yang menyatakan bahwa:
1.
total dana yang dihimpun sampai dengan
penghimpunan dana pada penerbitan SBK tahap
lanjutan yang sedang diajukan pendaftarannya,
secara kumulatif tidak akan melebihi total dana
yang tercantum dalam dokumen persetujuan
pendaftaran penerbitan
berkelanjutan;
SBK
secara
2. seluruh informasi maupun fakta material telah
diungkapkan dalam memorandum informasi,
dan seluruh informasi dalam dokumen
pendaftaran penerbitan SBK adalah benar,
bersifat tidak menyesatkan, dan dapat
dipertanggungjawabkan; dan
3. telah memenuhi seluruh persyaratan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia mengenai
penerbitan dan transaksi SBK di Pasar Uang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1),
yang ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau
pihak lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran
dasar Korporasi Non-Bank, sebagaimana contoh yang
tercantum dalam Lampiran IV.
(4) Cakupan atas perubahan dan/atau tambahan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f meliputi
informasi yang tergolong ke dalam informasi maupun fakta
material.
BAB IV
MEMORANDUM INFORMASI SBK
Pasal 13
(1) Memorandum informasi SBK untuk penerbitan individual
dan penerbitan berkelanjutan tahap kesatu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a serta
memorandum informasi SBK untuk penerbitan
berkelanjutan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (3) huruf e, disusun menggunakan
kaidah penulisan yang memberikan kemudahan bagi
calon investor dan/atau investor SBK dalam membaca dan
memahami informasi dalam memorandum informasi SBK.
(2) Format dan tata cara penyusunan memorandum informasi
SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum
dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Kesatu
Memorandum Informasi SBK pada Penerbitan SBK Secara
Tunggal atau Individual
Pasal 14
Memorandum informasi SBK disusun sebagai berikut:
a. halaman depan;
b. daftar isi;
c. bagian I mengenai struktur penawaran SBK dan rencana
penggunaan dana;
d. bagian II mengenai syarat dan kondisi;
e. bagian III yang terdiri atas:
1. bab I mengenai informasi terkait Penerbit SBK; dan
2. bab II mengenai informasi terkait pembelian dan
pemesanan SBK;
f. bagian IV yang merupakan pernyataan Penerbit SBK
terkait pengungkapan seluruh informasi maupun fakta
material dalam memorandum informasi dan kebenaran isi
memorandum informasi.
Pasal 15
(1) Halaman depan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
huruf a memuat informasi utama yang perlu diketahui
oleh calon investor SBK sehubungan dengan penerbitan
SBK.
(2) Informasi di halaman depan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit harus memuat informasi mengenai:
a. ringkasan atas detil penerbitan SBK, yang mencakup:
1. timeline penerbitan, meliputi:
a) tanggal persetujuan pendaftaran penerbitan
SBK oleh Bank Indonesia;
b) periode penawaran;
c) tanggal penetapan nominal;
d) tanggal pembayaran; dan
e)
tanggal distribusi SBK;
2. uraian singkat mengenai SBK yang akan
diterbitkan, meliputi:
a) tipe instrumen;
b) nama SBK;
c) bentuk instrumen;
d) nominal penerbitan;
e) tenor penerbitan;
f)
tingkat diskonto;
g) tanggal pelunasan; dan
h) informasi terkait penjaminan
atau
penanggungan, apabila menggunakan
penjaminan atau penanggungan;
b. ringkasan atas Penerbit SBK meliputi:
1. nama lengkap Korporasi Non-Bank;
2. alamat Korporasi Non-Bank;
3. nomor telepon/faksimili;
4. laman Korporasi Non-Bank; dan
5. kegiatan usaha utama;
c. peringkat instrumen SBK dan pengungkapan
Lembaga Pemeringkat yang memberi peringkat
tersebut;
d. nama penata laksana penerbitan (arranger) dan
pengungkapan kata ‘terafiliasi’ apabila penata
laksana penerbitan merupakan pihak yang terafiliasi
dengan Penerbit SBK;
e. tempat dan tanggal penerbitan memorandum
informasi;
f.
pernyataan dalam huruf cetak besar yang langsung
dapat menarik perhatian calon investor SBK, berupa
“BANK INDONESIA TIDAK MEMBERIKAN PENILAIAN
ATAS KEUNGGULAN ATAU KELEMAHAN SURAT
BERHARGA KOMERSIAL YANG DITERBITKAN.
PEMENUHAN KEWAJIBAN PENERBIT SURAT
BERHARGA KOMERSIAL SEPENUHNYA MENJADI
TANGGUNG JAWAB PENERBIT SURAT BERHARGA
KOMERSIAL. RISIKO INVESTASI SURAT BERHARGA
KOMERSIAL MENJADI TANGGUNG JAWAB
INVESTOR.”;
g. tanggung jawab Penerbit SBK atas kebenaran isi
memorandum informasi SBK yang dituangkan dalam
pernyataan dalam huruf cetak besar yang langsung
dapat menarik perhatian calon investor SBK, berupa
“PENERBIT BERTANGGUNG JAWAB SEPENUHNYA
ATAS KEBENARAN SELURUH INFORMASI ATAU
FAKTA MATERIAL SERTA INFORMASI LAINNYA
YANG TERCANTUM DALAM MEMORANDUM
INFORMASI INI.”;
h. penegasan bahwa memorandum informasi dan
dokumen pendukungnya merupakan satu kesatuan
serta perlu dibaca dan ditelaah secara bersama,
apabila menggunakan dokumen lain selain
memorandum informasi dalam proses penawaran
yang diakui oleh Penerbit SBK;
i. pengungkapan bahwa pendapat hukum (opini
hukum) telah dilakukan dengan mencantumkan
nama Konsultan Hukum yang digunakan;
j.
penegasan bahwa informasi yang bersifat prakiraan
mengandung unsur ketidakpastian, yang dapat
mengakibatkan hasil sebenarnya berbeda dari yang
telah diprakirakan;
k. penegasan bahwa setiap investor yang berminat
membeli SBK wajib melakukan analisis tersendiri
dalam mengambil keputusan berinvestasi di pasar
SBK; dan
l.
pernyataan singkat terkait kemungkinan faktor risiko
investasi SBK.
Pasal 16
Bagian I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c
memuat informasi berupa:
a. struktur penawaran SBK; dan
b. rencana penggunaan dana.
Pasal 17
Struktur penawaran SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 huruf a paling sedikit memuat informasi sebagai berikut:
a. nama Penerbit;
b. tipe instrumen;
c. mekanisme penerbitan;
d. nama SBK;
e. denominasi mata uang;
f.
tenor penerbitan;
g. perlakuan bunga;
h. tingkat diskonto;
i.
nominal penerbitan;
j. minimum nominal pembelian;
k. minimum nominal pemindahbukuan;
l.
bentuk instrumen;
m. penatausaha sentral instrumen;
n. peringkat instrumen;
o. penjaminan atau penanggungan;
p. periode penawaran;
q. tanggal penetapan nominal penerbitan;
r. tanggal pembayaran;
s. tanggal distribusi; dan
t.
informasi lainnya.
Pasal 18
Rencana penggunaan dana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 huruf b paling sedikit memuat informasi mengenai
tujuan penggunaan jangka pendek dana hasil penerbitan SBK
disertai dengan penjelasannya.
Pasal 19
Bagian II mengenai syarat dan kondisi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 huruf d paling sedikit memuat informasi
sebagai berikut:
a. perhitungan harga dan tingkat diskonto;
b. mekanisme penyelesaian dari Penerbit SBK apabila terjadi
keterlambatan distribusi SBK maupun pembayaran
kewajiban pelunasan;
c. tanggung jawab dan mekanisme penyelesaian dari
Penerbit SBK apabila terjadi kegagalan distribusi SBK
maupun pelunasan;
d. perpajakan;
e. hukum Indonesia sebagai hukum yang mengatur;
f. mekanisme penyelesaian sengketa di Indonesia; dan
g. pemberitahuan kepada calon investor yang melakukan
pembelian SBK di pasar perdana maupun pembelian
dan/atau penjualan SBK di pasar sekunder menyetujui
untuk memberikan data dan/atau informasi:
1. kepemilikan atas SBK; dan
2. transaksi dan penyelesaian transaksi SBK yang
dilakukan;
kepada Bank Indonesia.
Pasal 20
Bagian III - bab I mengenai informasi terkait Penerbit SBK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e terdiri atas
subbab:
a. informasi mengenai Korporasi Non-Bank;
b. kegiatan usaha dan prospek usaha;
c.
risiko usaha;
d. kondisi keuangan Korporasi Non-Bank;
e.
f. opini hukum dari Konsultan Hukum.
Pasal 21
(1) Informasi mengenai Korporasi Non-Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 huruf a paling sedikit memuat
informasi sebagai berikut:
a. pendirian Korporasi Non-Bank, yang paling sedikit
meliputi:
1. nama lengkap Korporasi Non-Bank, waktu
pendirian dan lingkup usaha beserta
perubahannya, berdasarkan akta pendirian
berikut perubahan anggaran dasar terakhir; dan
2. penjelasan terkait dokumen hukum lainnya yang
menyatakan keabsahan Korporasi Non-Bank
dan lingkup usaha yang dijalankan Korporasi
Non-Bank;
b. struktur organisasi Korporasi Non-Bank yang
menggambarkan keseluruhan fungsi utama
Korporasi Non-Bank dalam menjalankan kegiatan
usahanya;
c.
daftar jajaran manajemen Korporasi Non-Bank yang
terdiri atas dewan komisaris dan direksi, yang disertai
dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman
kerja;
d. perkembangan kepemilikan saham pengendali
Korporasi Non-Bank dan perubahannya dalam 3 (tiga)
tahun terakhir;
rating rationale atas SBK yang akan diterbitkan; dan
e. penjabaran atas entitas anak perusahaan yang
memiliki hubungan signifikan dengan Korporasi Non-
Bank yang meliputi:
1. nama anak perusahaan;
2. tanggal berdiri anak perusahaan;
3.
jenis usaha yang dijalankan anak perusahaan;
dan
4. hubungan anak perusahaan dengan Korporasi
Non-Bank.
(2) Hubungan signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e merupakan hubungan yang dapat memengaruhi
kinerja Korporasi Non-Bank melalui:
a. kepemilikan Korporasi Non-Bank terhadap anak
perusahaan yaitu sebesar 50% (lima puluh persen)
atau lebih pada anak perusahaan dan anak
perusahaan tersebut memberikan kontribusi
pendapatan yang signifikan bagi kelangsungan usaha
Korporasi Non-Bank; atau
b. kepemilikan Korporasi Non-Bank terhadap anak
perusahaan adalah sebesar 50% (lima puluh persen)
atau lebih pada anak perusahaan dan anak
perusahaan tersebut menjalankan kegiatan usaha
yang penting bagi kelangsungan usaha Korporasi
Non-Bank.
(3) Dalam hal Korporasi Non-Bank yang beroperasi kurang
dari 3 (tiga) tahun dan dipersyaratkan harus memiliki
penjaminan atau penanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, informasi harus turut
mencakup informasi mengenai penjamin atau
penanggung.
(4) Informasi mengenai penjamin atau penanggung
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit
memuat informasi:
a. nama penjamin atau penanggung;
b. kegiatan usaha dan legalitas penjamin atau
penanggung; dan
c. uraian singkat kapabilitas dari penjamin atau
penanggung dalam melakukan penjaminan atau
penanggungan.
Pasal 22
Informasi mengenai kegiatan usaha dan prospek usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b paling sedikit
memuat informasi sebagai berikut:
a. penjelasan mengenai kegiatan usaha yang dijalankan oleh
Korporasi Non-Bank saat ini, diikuti dengan penjelasan
mengenai lingkup usaha saat Korporasi Non-Bank berdiri
dan perkembangannya dalam 1 (satu) tahun terakhir;
b. penjelasan mengenai produk utama Korporasi Non-Bank
dan proses produksi atau bisnis, paling sedikit
menyangkut:
1. produk utama Korporasi Non-Bank dan lokasi
kegiatan operasi utama Korporasi Non-Bank
dilakukan;
2. proses produksi, sistem distribusi, dan pemasaran;
dan
3.
c.
sifat musiman dari kegiatan usaha Korporasi Non-
Bank yang memengaruhi pendapatan penjualan; dan
analisis mengenai strategi usaha dan prospek usaha
jangka pendek mempertimbangkan kondisi ekonomi
domestik dan global yang relevan.
Pasal 23
Informasi mengenai risiko usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 huruf c paling sedikit memuat informasi sebagai
berikut:
a. pengungkapan risiko usaha yang memiliki dampak
signifikan terhadap kelangsungan usaha Korporasi Non-
Bank;
b. cakupan risiko usaha sebagaimana dimaksud pada huruf
a meliputi risiko usaha yang bersumber dari:
1. faktor ekonomi makro; dan
2. faktor ekonomi mikro.
c. perikatan yang berpotensi mengakibatkan pada
peningkatan atau penurunan yang signifikan pada kondisi
keuangan Korporasi Non-Bank;
d. informasi mengenai perkara, sengketa, atau klaim yang
timbul yang melibatkan Korporasi Non-Bank dan secara
material dapat memengaruhi keadaan keuangan dan
kelangsungan usaha Korporasi Non-Bank, apabila ada;
dan
e.
risiko investasi SBK.
Pasal 24
(1) Informasi mengenai kondisi keuangan Korporasi Non-
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d
paling sedikit memuat informasi sebagai berikut:
a. ikhtisar data keuangan penting;
b. peristiwa gagal bayar;
c. pernyataan utang; dan
d. kejadian penting setelah tanggal laporan keuangan
tahunan audited terakhir.
(2) Ikhtisar data keuangan penting sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a perlu disusun dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. disajikan secara tahunan,
1. untuk 3 (tiga) tahun terakhir, untuk Penerbit
SBK yang telah beroperasi lebih dari 3 (tiga)
tahun;
2. sejak beroperasinya Korporasi Non-Bank, untuk
Penerbit SBK yang beroperasi kurang dari 3 (tiga)
tahun.
b. bersumber dari laporan keuangan tahunan, paling
sedikit:
1. laporan posisi keuangan pada akhir periode;
2. laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif
lain selama periode;
3. laporan arus kas selama periode; dan
4. laporan perubahan ekuitas selama periode; dan
c.
disajikan bersama dengan rasio keuangan yang dapat
memberikan gambaran risiko jangka pendek dan
risiko jangka panjang.
(3) Rasio keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c meliputi:
a. profitability yang meliputi:
1. return on assets (%); dan
2. return on equity (%);
b. margin analysis yang meliputi:
1. operating margin (%); dan
2. net operating profit after tax;
c. asset turnover yang meliputi:
1.
inventory turnover;
2. average inventory period (days);
3. account receivable turnover;
4. average receivable collection period (days);
5. payables turnover; dan
6. payables payment period (days);
d.
liquidity (short term) yang meliputi:
1. current ratio;
2. quick ratio;
3. cash ratio;
4. net cash flow from operations (CFO) to current
liabilities;
5. free cash flow to current liabilities (termasuk all
investing cash flow);
6. free cash flow to current liabilities (hanya
termasuk PPE Capex);
levered free cash flow margin (%); dan
8. unlevered free cash flow margin (%);
7.
e. solvency (long term) yang meliputi:
1.
2.
total debt/equity; dan
total debt/EBITDA.
(4) Penggunaan rasio keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) disesuaikan dengan sektor usaha yang dijalankan
oleh Korporasi Non-Bank sebagai Penerbit SBK.
(5) Ikhtisar data keuangan penting sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus disertai dengan analisis pembahasan
oleh manajemen yang menjelaskan kondisi keuangan
Korporasi Non-Bank berdasarkan laporan keuangan,
dengan penjelasan paling sedikit mencakup:
a. peningkatan pendapatan yang disebabkan oleh
adanya kenaikan harga jual produk secara signifikan;
b. peningkatan atau penurunan pendapatan yang
disebabkan oleh peristiwa luar biasa dan cenderung
tidak berulang;
c. peningkatan utang secara material untuk
kepentingan investasi jangka pendek maupun jangka
panjang, yang berhubungan langsung atau tidak
langsung dengan kegiatan usaha Korporasi Non-Bank
dalam menghasilkan produk utama;
d. perikatan yang berpengaruh signifikan pada
pendapatan dan/atau beban Korporasi Non-Bank
dalam 2 (dua) tahun ke depan; dan
e. perikatan atau komitmen atau kontijensi yang telah
terjadi dan belum terealisasi, namun akan
memengaruhi pendapatan dan/atau beban Korporasi
Non-Bank secara signifikan dalam menjalankan
kegiatan operasi dalam 2 (dua) tahun ke depan.
(6) Informasi terkait peristiwa gagal bayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat:
a. tidak pernah terjadinya peristiwa gagal bayar; dan
b. terjadinya peristiwa gagal bayar yang pernah dialami
termasuk penyelesaiannya,
oleh Penerbit SBK.
(7) Informasi terkait pernyataan utang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit memuat
informasi atas:
a. posisi utang jangka panjang dan jangka pendek pada
tanggal laporan keuangan tahunan terakhir;
b. pengungkapan posisi utang jangka panjang dan
jangka pendek berdasarkan mata uang; dan
c. pengungkapan atas perjanjian (covenant) yang timbul
dari pengikatan utang dan implementasi atas
terpenuhinya perjanjian (covenant) tersebut.
(8) Informasi terkait kejadian penting setelah tanggal laporan
keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit oleh
Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d paling sedikit memuat informasi maupun fakta
material yang terjadi setelah tanggal laporan keuangan
tahunan terakhir yang telah diaudit oleh Akuntan Publik
sampai dengan tanggal pengajuan pendaftaran SBK.
Pasal 25
(1) Informasi terkait rating rationale sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 huruf e paling sedikit memuat informasi
atas analisis Lembaga Pemeringkat dalam menilai
peringkat SBK.
(2) Informasi terkait opini hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 huruf f memuat informasi mengenai opini
hukum yang dilakukan oleh Konsultan Hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Pasal 26
Bagian III - bab II mengenai informasi terkait pembelian dan
pemesanan SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf
e terdiri atas subbab:
a. Lembaga Pendukung Pasar Uang (LPPU) dan lembaga lain
yang terlibat di pasar SBK dalam proses penerbitan SBK;
b. perolehan informasi bagi calon investor SBK; dan
c. prosedur pemesanan SBK.
Pasal 27
(1) Subbab mengenai Lembaga Pendukung Pasar Uang (LPPU)
di pasar SBK dan lembaga lain yang terlibat dalam proses
penerbitan SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
huruf a paling sedikit memuat informasi sebagai berikut:
a. penata laksana penerbitan (arranger) yang
digunakan;
b. Konsultan Hukum yang digunakan;
c. Akuntan Publik yang digunakan;
d. Notaris yang digunakan;
e. Lembaga Pemeringkat yang melakukan penilaian
peringkat SBK yang diterbitkan; dan
f.
lembaga lain yang terlibat, meliputi:
1) agen pembayar SBK; dan
2) agen pemantau, apabila menggunakan agen
pemantau.
(2) Pengungkapan informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memuat informasi terkait ada tidaknya
hubungan afiliasi dengan Penerbit SBK.
(3) Pengklasifikasian hubungan afiliasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai lembaga pendukung
pasar uang yang melakukan kegiatan terkait SBK di pasar
uang.
Pasal 28
(1) Subbab mengenai perolehan informasi bagi calon investor
SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b
memuat informasi mengenai cara calon investor SBK
dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam
pengambilan keputusan berinvestasi SBK.
(2) Subbab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit meliputi:
a. informasi mengenai media dan mekanisme perolehan
informasi; dan
b. pihak yang dapat dihubungi.
Pasal 29
(1) Subbab mengenai prosedur pemesanan SBK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 huruf c memuat informasi
mengenai prosedur pemesanan SBK bagi calon investor
yang berminat.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat:
a. prosedur pemesanan SBK; dan
b. pihak yang dapat dihubungi untuk melakukan
pemesanan.
Pasal 30
Bagian IV yang merupakan pernyataan Penerbit SBK terkait
pengungkapan seluruh informasi maupun fakta material dalam
memorandum informasi dan kebenaran isi memorandum
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf f,
memuat informasi berupa:
a. nama pihak yang mewakili Penerbit SBK atas isi dalam
memorandum informasi SBK;
b. pernyataan Penerbit SBK bahwa:
1. seluruh informasi maupun fakta material telah
diungkapkan dalam memorandum informasi SBK;
dan
2. informasi yang terkandung dalam memorandum
informasi SBK adalah benar dan bersifat tidak
menyesatkan; dan
c. penandatanganan oleh pihak sebagaimana dimaksud
dalam huruf a.
Bagian Kedua
Memorandum Informasi SBK pada Penerbitan SBK Secara
Berkelanjutan
Pasal 31
Memorandum informasi SBK pada penerbitan SBK secara
berkelanjutan disusun sebagai berikut:
a. halaman depan;
b. daftar isi;
c. bagian I mengenai struktur penawaran SBK dan rencana
penggunaan dana;
d. bagian II mengenai syarat dan kondisi;
e. bagian III yang terdiri atas:
1. bab I mengenai informasi terkait Penerbit SBK; dan
2. bab II mengenai informasi terkait pembelian dan
pemesanan SBK; dan
f. bagian IV yang merupakan pernyataan Penerbit SBK
terkait pengungkapan seluruh informasi maupun fakta
material dalam memorandum informasi dan kebenaran isi
memorandum informasi.
Pasal 32
(1) Halaman depan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
huruf a memuat informasi utama yang perlu diketahui
oleh calon investor SBK sehubungan dengan penerbitan
SBK.
(2) Informasi di halaman depan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit harus memuat informasi mengenai:
a. informasi yang menarik perhatian calon investor SBK,
yang menerangkan:
1. bahwa penerbitan SBK yang dilakukan adalah
dalam bentuk mekanisme penerbitan secara
berkelanjutan; dan
2. tahapan penerbitan SBK yang dilakukan dalam
penerbitan secara berkelanjutan;
b. ringkasan atas detil penerbitan SBK, yang mencakup:
1. timeline penerbitan, meliputi:
a) tanggal persetujuan pendaftaran penerbitan
SBK oleh Bank Indonesia;
b) periode penawaran tahap kesatu;
c) tanggal penetapan nominal tahap kesatu;
d) tanggal pembayaran tahap kesatu;
e) tanggal distribusi tahap kesatu; dan
f)
tanggal
berakhirnya
pendaftaran penerbitan;
2. uraian singkat mengenai SBK yang akan
diterbitkan, meliputi:
a) tipe instrumen;
b) nama SBK;
c) bentuk instrumen;
d) nominal penerbitan SBK pada tahap kesatu;
persetujuan
e) nominal penerbitan yang akan dihimpun
selama periode terdaftar dalam penerbitan
secara berkelanjutan;
f) tenor penerbitan pada tahap kesatu;
g)
tingkat diskonto SBK yang diterbitkan pada
tahap kesatu;
h) tanggal pelunasan SBK yang diterbitkan
pada tahap kesatu; dan
i)
informasi mengenai penjaminan atau
penanggungan pada penerbitan SBK tahap
kesatu, apabila memiliki penjaminan atau
penanggungan;
c. ringkasan atas Penerbit SBK, meliputi:
1. nama lengkap Korporasi Non-Bank;
2. alamat Korporasi Non-Bank;
3. nomor telepon/faksimili;
4. laman Korporasi Non-Bank; dan
5. kegiatan usaha utama;
d. peringkat instrumen SBK atas SBK yang diterbitkan
pada tahap kesatu dan pengungkapan Lembaga
Pemeringkat yang memberi peringkat tersebut;
e. nama penata laksana penerbitan (arranger) dan
pengungkapan kata ‘terafiliasi’ dalam hal penata
laksana penerbitan merupakan pihak yang terafiliasi
dengan Penerbit SBK;
f.
tempat dan tanggal penerbitan memorandum
informasi;
g. pernyataan dalam huruf cetak besar yang langsung
dapat menarik perhatian calon investor SBK, berupa
“BANK INDONESIA TIDAK MEMBERIKAN PENILAIAN
ATAS KEUNGGULAN ATAU KELEMAHAN SURAT
BERHARGA KOMERSIAL YANG DITERBITKAN.
PEMENUHAN KEWAJIBAN PENERBIT SURAT
BERHARGA KOMERSIAL SEPENUHNYA MENJADI
TANGGUNG JAWAB PENERBIT SURAT BERHARGA
KOMERSIAL. RISIKO INVESTASI SURAT BERHARGA
KOMERSIAL MENJADI TANGGUNG JAWAB
INVESTOR.”; dan
h. tanggung jawab Penerbit SBK atas kebenaran isi
memorandum informasi SBK yang dituangkan dalam
pernyataan dalam huruf cetak besar yang langsung
dapat menarik perhatian calon investor SBK, berupa
“PENERBIT BERTANGGUNG JAWAB SEPENUHNYA
ATAS KEBENARAN SELURUH INFORMASI ATAU
FAKTA MATERIAL SERTA INFORMASI LAINNYA
YANG TERCANTUM DALAM MEMORANDUM
INFORMASI INI.”;
i.
penegasan bahwa memorandum informasi dan
dokumen pendukungnya merupakan satu kesatuan
serta perlu dibaca dan ditelaah secara bersama,
dalam hal menggunakan dokumen lain selain
memorandum informasi dalam proses penawaran
yang diakui oleh Penerbit SBK;
j. pengungkapan bahwa pendapat hukum (opini
hukum) telah dilakukan dengan mencantumkan
nama Konsultan Hukum yang digunakan;
k. penegasan bahwa informasi yang bersifat prakiraan
mengandung unsur ketidakpastian, yang dapat
mengakibatkan hasil sebenarnya berbeda dari yang
telah diprakirakan;
l.
penegasan bahwa setiap investor yang berminat
membeli SBK wajib melakukan analisis tersendiri
dalam mengambil keputusan berinvestasi di pasar
SBK; dan
m. pernyataan singkat terkait kemungkinan faktor risiko
investasi SBK.
Pasal 33
Bagian I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf c
memuat informasi berupa:
a. struktur penawaran SBK dan rencana penggunaan dana
selama periode terdaftar di Bank Indonesia; dan
b. struktur penawaran SBK dan rencana penggunaan dana
pada tahap kesatu dalam penerbitan secara
berkelanjutan.
Pasal 34
(1) Struktur penawaran SBK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 huruf a paling sedikit memuat informasi sebagai
berikut:
a. nama Penerbit;
b. tipe instrumen;
c. mekanisme penerbitan;
d. nama SBK;
e. denominasi mata uang;
f. perlakuan bunga;
g. nominal penerbitan selama terdaftar;
h. minimum nominal pembelian;
i. minimum nominal pemindahbukuan;
j.
bentuk instrumen;
k. penatausaha sentral instrumen; dan
l.
informasi lainnya.
(2)
Struktur penawaran SBK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 huruf b paling sedikit memuat informasi sebagai
berikut:
a. nama Penerbit;
b. tipe instrumen;
c. mekanisme penerbitan;
d. nama SBK;
e. denominasi mata uang;
f.
tenor penerbitan;
g. perlakuan bunga;
h. tingkat diskonto;
i.
nominal penerbitan;
j. minimum nominal pembelian;
k. minimum nominal pemindahbukuan;
l.
bentuk instrumen;
m. penatausaha sentral instrumen;
n. peringkat instrumen;
o. penjaminan atau penanggungan;
p. periode penawaran;
q. tanggal penetapan nominal penerbitan;
r. tanggal pembayaran;
s. tanggal distribusi; dan
t.
informasi lainnya.
(3) Rencana penggunaan dana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 paling sedikit memuat informasi mengenai tujuan
penggunaan jangka pendek dana hasil penerbitan SBK:
a. rencana penggunaan dana selama periode terdaftar;
dan
b. rencana penggunaan dana untuk tahap kesatu,
disertai dengan penjelasannya.
Pasal 35
Bagian II mengenai syarat dan kondisi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 huruf d paling sedikit memuat informasi
sebagai berikut:
a. perhitungan harga dan tingkat diskonto;
b. mekanisme penyelesaian dari Penerbit SBK apabila terjadi
keterlambatan distribusi SBK maupun pembayaran
kewajiban pelunasan;
c. tanggung jawab dan mekanisme penyelesaian dari
Penerbit SBK apabila terjadi kegagalan distribusi SBK
maupun pelunasan;
d. perpajakan;
e. hukum Indonesia sebagai hukum yang mengatur;
f. mekanisme penyelesaian sengketa di Indonesia; dan
g. pemberitahuan kepada calon investor yang melakukan
pembelian SBK di pasar perdana maupun pembelian
dan/atau penjualan SBK di pasar sekunder menyetujui
untuk memberikan data dan/atau informasi:
1. kepemilikan atas SBK; dan
2. transaksi dan penyelesaian transaksi SBK yang
dilakukan;
kepada Bank Indonesia.
Pasal 36
Bagian III - bab I mengenai informasi terkait Penerbit SBK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf e terdiri atas
subbab:
a. informasi mengenai Korporasi Non-Bank;
b. kegiatan usaha dan prospek usaha;
c. risiko usaha;
d. kondisi keuangan Korporasi Non-Bank;
e.
rating rationale atas SBK yang akan diterbitkan; dan
f. opini hukum dari Konsultan Hukum.
Pasal 37
(1) Informasi mengenai Korporasi Non-Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 huruf a paling sedikit harus
memuat informasi sebagai berikut:
a. pendirian Korporasi Non-Bank, yang paling sedikit
meliputi:
1. nama lengkap Korporasi Non-Bank, waktu
pendirian dan lingkup usaha beserta
perubahannya, berdasarkan akta pendirian
berikut perubahan anggaran dasar terakhir; dan
2. penjelasan terkait dokumen hukum lainnya yang
menyatakan keabsahan Korporasi Non-Bank
dan lingkup usaha yang dijalankan Korporasi
Non-Bank;
b. struktur organisasi Korporasi Non-Bank yang
menggambarkan keseluruhan fungsi utama
Korporasi Non-Bank dalam menjalankan kegiatan
usahanya;
c.
daftar jajaran manajemen Korporasi Non-Bank yang
terdiri atas dewan komisaris dan direksi, yang disertai
dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman
kerja;
d. perkembangan kepemilikan saham pengendali
Korporasi Non-Bank dan perubahannya dalam 3 (tiga)
tahun terakhir;
e. penjabaran atas entitas anak perusahaan yang
memiliki hubungan signifikan dengan Korporasi Non-
Bank, yang meliputi:
1. nama anak perusahaan;
2. tanggal berdiri anak perusahaan;
3.
jenis usaha yang dijalankan anak perusahaan;
dan
4. hubungan anak perusahaan dengan Korporasi
Non-Bank.
(2) Hubungan signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e merupakan hubungan yang dapat memengaruhi
kinerja Korporasi Non-Bank melalui:
a. kepemilikan Korporasi Non-Bank terhadap anak
perusahaan adalah sebesar 50% (lima puluh persen)
atau lebih pada anak perusahaan dan anak
perusahaan tersebut memberikan kontribusi
pendapatan yang signifikan bagi kelangsungan usaha
Korporasi Non-Bank; atau
b. kepemilikan saham Korporasi Non-Bank sebesar 50%
(lima puluh persen) atau lebih pada anak perusahaan
dan anak perusahaan tersebut menjalankan kegiatan
usaha yang penting bagi kelangsungan usaha
Korporasi Non-Bank.
(3) Dalam hal Korporasi Non-Bank yang beroperasi kurang
dari 3 (tiga) tahun dan dipersyaratkan harus memiliki
penjaminan atau penanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, informasi harus turut
mencakup informasi mengenai penjamin atau
penanggung.
(4) Informasi mengenai penjamin atau penanggung
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit
memuat informasi:
a. nama penjamin atau penanggung;
b. kegiatan usaha dan legalitas penjamin atau
penanggung; dan
c. uraian singkat kapabilitas dari penjamin atau
penanggung dalam melakukan penjaminan atau
penanggungan.
Pasal 38
Informasi mengenai kegiatan usaha dan prospek usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b paling sedikit
memuat informasi sebagai berikut:
a. penjelasan mengenai kegiatan usaha yang dijalankan oleh
Korporasi Non-Bank saat ini, diikuti dengan penjelasan
mengenai lingkup usaha ketika
berdiri dan
perkembangannya dalam 1 (satu) tahun terakhir;
b. penjelasan mengenai produk utama Korporasi Non-Bank
dan proses produksi atau bisnis, paling sedikit
menyangkut:
1. produk utama Korporasi Non-Bank dan lokasi
kegiatan operasi utama Korporasi Non-Bank
dilakukan;
2. proses produksi, sistem distribusi dan pemasaran;
dan
3.
sifat musiman dari kegiatan usaha Korporasi Non-
Bank yang memengaruhi pendapatan penjualan; dan
c. analisis mengenai strategi usaha dan prospek usaha
jangka pendek mempertimbangkan kondisi ekonomi
domestik dan global yang relevan.
Pasal 39
Informasi mengenai risiko usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 huruf c paling sedikit memuat informasi sebagai
berikut:
a. pengungkapan risiko usaha yang memiliki dampak
signifikan terhadap kelangsungan usaha Korporasi Non-
Bank;
b. cakupan risiko usaha sebagaimana dimaksud pada huruf
a meliputi risiko usaha yang bersumber dari:
1. faktor ekonomi makro; dan
2. faktor ekonomi mikro;
c. perikatan yang berpotensi mengakibatkan pada
peningkatan atau penurunan yang signifikan pada kondisi
keuangan Korporasi Non-Bank;
d. informasi mengenai perkara, sengketa, atau klaim yang
timbul yang melibatkan Korporasi Non-Bank dan secara
material dapat memengaruhi keadaan keuangan dan
kelangsungan usaha Korporasi Non-Bank, apabila ada;
dan
e.
risiko investasi SBK.
Pasal 40
(1) Informasi mengenai kondisi keuangan Korporasi Non-
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf d
paling sedikit harus memuat informasi sebagai berikut:
a. ikhtisar data keuangan penting;
b. peristiwa gagal bayar;
c. pernyataan utang; dan
d. kejadian penting setelah tanggal laporan keuangan
tahunan audited terakhir.
(2) Ikhtisar data keuangan penting sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a perlu disusun dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. disajikan secara tahunan,
1. untuk 3 (tiga) tahun terakhir, untuk Korporasi
Non-Bank yang telah beroperasi lebih dari 3
(tiga) tahun; atau
2. sejak beroperasinya Korporasi Non-Bank, untuk
Korporasi Non-Bank yang beroperasi kurang dari
3 (tiga) tahun;
b. bersumber dari laporan keuangan tahunan, paling
sedikit berupa:
1. laporan posisi keuangan pada akhir periode;
2. laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif
lain selama periode;
3. laporan arus kas selama periode; dan
4. laporan perubahan ekuitas selama periode; dan
c.
disajikan bersama dengan rasio keuangan yang dapat
memberikan gambaran risiko jangka pendek dan
risiko jangka panjang;
(3) Rasio keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c meliputi:
a. Profitability yang meliputi:
1. Return on assets (%); dan
2. Return on equity (%),
b. Margin analysis yang meliputi:
1. Operating margin (%); dan
2. Net operating profit after tax,
c. Asset Turnover yang meliputi:
1.
Inventory turnover;
2. Average inventory period (days);
3. Account receivable turnover;
4. Average receivable collection period (days);
5. Payables turnover; dan
6. Payables payment period (days);
d. Liquidity (short term) yang meliputi:
1. Current ratio;
2. Quick ratio;
3. Cash ratio;
4. Net Cash Flow from Operations (CFO) to current
liabilities;
5. Free cash flow to current liabilities (termasuk all
investing cash flow);
6. Free cash flow to current liabilities (hanya
termasuk PPE Capex);
7. Levered Free Cash Flow Margin (%); dan
8. Unlevered Free Cash Flow Margin (%),
e. Solvency (long term) yang meliputi:
1. Total Debt/Equity; dan
2. Total Debt/EBITDA.
(4) Penggunaan rasio keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) disesuaikan dengan sektor usaha yang dijalankan
oleh Korporasi Non-Bank sebagai Penerbit SBK.
(5) Ikhtisar data keuangan penting sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus disertai dengan analisis pembahasan
oleh manajemen yang menjelaskan kondisi keuangan
Korporasi Non-Bank berdasarkan laporan keuangan,
dengan penjelasan paling sedikit mencakup:
a. peningkatan pendapatan yang disebabkan oleh
adanya kenaikan harga jual produk secara signifikan;
b. peningkatan atau penurunan pendapatan yang
disebabkan oleh peristiwa luar biasa dan cenderung
tidak berulang;
c. peningkatan utang secara material untuk
kepentingan investasi jangka pendek maupun jangka
panjang, yang berhubungan langsung atau tidak
langsung dengan kegiatan usaha Korporasi Non-Bank
dalam menghasilkan produk utama;
d. perikatan yang berpengaruh signifikan pada
pendapatan dan/atau beban Korporasi Non-Bank
dalam 2 (dua) tahun ke depan; dan
e. perikatan atau komitmen atau kontijensi yang telah
terjadi dan belum terealisasi, namun akan
memengaruhi pendapatan dan/atau beban Korporasi
Non-Bank secara signifikan dalam menjalankan
kegiatan operasi dalam 2 (dua) tahun ke depan.
(6) Informasi terkait peristiwa gagal bayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat:
a. tidak pernah terjadinya peristiwa gagal bayar; dan
b. terjadinya peristiwa gagal bayar yang pernah dialami
termasuk penyelesaiannya,
oleh Penerbit SBK.
(7) Informasi terkait pernyataan utang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit harus
memuat informasi atas:
a. posisi utang jangka panjang dan jangka pendek pada
tanggal laporan keuangan tahunan terakhir;
b. pengungkapan posisi utang jangka panjang dan
jangka pendek berdasarkan mata uang; dan
c. pengungkapan atas perjanjian (covenant) yang timbul
dari pengikatan utang dan implementasi atas
terpenuhinya perjanjian (covenant) tersebut.
(8) Informasi terkait kejadian penting setelah tanggal laporan
keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit oleh
Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d paling sedikit memuat informasi maupun fakta
material yang terjadi setelah tanggal laporan keuangan
tahunan terakhir yang telah diaudit oleh Akuntan Publik
sampai dengan tanggal pengajuan pendaftaran SBK.
Pasal 41
(1) Informasi terkait rating rationale sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 huruf e paling sedikit memuat informasi
atas analisis Lembaga Pemeringkat dalam menilai
peringkat SBK.
(2) Informasi terkait opini hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 huruf f memuat informasi mengenai opini
hukum yang dilakukan oleh Konsultan Hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Pasal 42
Bagian III - bab II mengenai informasi terkait pembelian dan
pemesanan SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf
e terdiri atas subbab:
a. Lembaga Pendukung Pasar Uang (LPPU) dan lembaga lain
yang terlibat di pasar SBK dalam proses penerbitan SBK;
b. perolehan informasi bagi calon investor SBK; dan
c. prosedur pemesanan SBK.
Pasal 43
(1) Subbab mengenai Lembaga Pendukung Pasar Uang (LPPU)
di pasar SBK dan lembaga lain yang terlibat dalam proses
penerbitan SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
huruf a paling sedikit memuat informasi sebagai berikut:
a. penata laksana penerbitan (arranger) yang
digunakan;
b. Konsultan Hukum yang digunakan;
c. Akuntan Publik yang digunakan;
d. Notaris yang digunakan;
e. Lembaga Pemeringkat yang melakukan penilaian
peringkat SBK yang diterbitkan; dan
f.
lembaga lain yang terlibat, meliputi
1) agen pembayar SBK; dan
2) agen pemantau, apabila menggunakan agen
pemantau.
(2) Pengungkapan informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memuat informasi terkait ada tidaknya
hubungan afiliasi dengan Penerbit SBK.
(3) Pengklasifikasian hubungan afiliasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai lembaga pendukung
pasar uang yang melakukan kegiatan terkait SBK di pasar
uang.
Pasal 44
(1) Subbab mengenai perolehan informasi bagi calon investor
SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf b
memuat informasi mengenai cara calon investor SBK
dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam
pengambilan keputusan berinvestasi SBK.
(2) Subbab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit meliputi:
a. informasi mengenai media dan mekanisme perolehan
informasi; dan
b. pihak yang dapat dihubungi.
Pasal 45
(1) Subbab mengenai prosedur pemesanan SBK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 huruf c memuat informasi
mengenai prosedur pemesanan SBK bagi calon investor
yang berminat.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat:
a. prosedur pemesanan SBK; dan
b. pihak yang dapat dihubungi untuk melakukan
pemesanan.
Pasal 46
Bagian IV yang merupakan pernyataan Penerbit SBK terkait
pengungkapan seluruh informasi maupun fakta material dalam
memorandum informasi dan kebenaran isi memorandum
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf f,
memuat informasi berupa:
a. nama pihak yang mewakili Penerbit SBK atas isi dalam
memorandum informasi SBK;
b. pernyataan Penerbit SBK bahwa:
1. seluruh informasi maupun fakta material telah
diungkapkan dalam memorandum informasi SBK;
dan
2. informasi yang terkandung dalam memorandum
informasi SBK adalah benar dan bersifat tidak
menyesatkan.
c. penandatanganan oleh pihak sebagaimana dimaksud
dalam huruf a.
Bagian Ketiga
Memorandum Informasi SBK pada Tahap Lanjutan Penerbitan
SBK Secara Berkelanjutan
Pasal 47
Memorandum informasi SBK pada tahap lanjutan dalam
penerbitan SBK secara berkelanjutan memuat informasi yang
sama dengan memorandum informasi SBK pada tahap pertama
penerbitan secara berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31, yang dilengkapi dengan pengkinian informasi
terhadap isi memorandum informasi SBK sebelumnya.
Pasal 48
Memorandum informasi SBK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 disusun dengan kandungan informasi dan urutan
sebagai berikut:
a. halaman depan;
b. daftar isi;
c. daftar tabel atas pengkinian informasi;
d. bagian I mengenai struktur penawaran SBK dan rencana
penggunaan dana;
e. bagian II mengenai syarat dan kondisi;
f. bagian III yang terdiri atas:
1. bab I mengenai informasi terkait Penerbit SBK;
2. bab II mengenai informasi terkait pembelian dan
pemesanan SBK; dan
3. bab III mengenai pengkinian informasi dalam
memorandum informasi SBK; dan
g. bagian IV yang merupakan pernyataan Penerbit SBK
terkait pengungkapan seluruh informasi maupun fakta
material dalam memorandum informasi dan kebenaran isi
memorandum informasi.
Pasal 49
Cakupan informasi pada:
a. halaman depan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
huruf a;
b. bagian II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf e;
dan
c. bagian IV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf g,
memuat informasi yang sama dengan informasi pada
memorandum informasi SBK pada penerbitan secara
berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
Pasal 50
(1) Cakupan informasi Bagian I sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 huruf d terdiri atas:
a. struktur penawaran SBK dan rencana penggunaan
dana selama periode terdaftar di Bank Indonesia;
b. struktur penawaran SBK dan rencana penggunaan
dana pada tahap yang sedang dilakukan dalam
penerbitan secara berkelanjutan; dan
c. struktur penawaran SBK dan rencana penggunaan
dana pada tahap sebelumnya dalam penerbitan
secara berkelanjutan.
(2) Struktur penawaran SBK sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a memuat informasi yang sama dengan
struktur penawaran SBK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (1).
(3) Struktur penawaran SBK sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dan huruf c memuat informasi yang sama
dengan struktur penawaran SBK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (2) untuk masing-masing tahapan
penerbitan.
Pasal 51
(1) Bagian III – bab III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
huruf f angka 3 meliputi pengkinian informasi atas
informasi yang tergolong ke dalam informasi maupun fakta
material.
(2) Informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam bab dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang mengatur
mengenai keterbukaan informasi pascapenerbitan Surat
Berharga Komersial.
BAB V
PEMROSESAN PERMOHONAN PENDAFTARAN PENERBITAN
SBK
Bagian Kesatu
Pemrosesan Permohonan Pendaftaran Penerbitan SBK untuk
Memperoleh Status Terdaftar
Pasal 52
(1) Bank Indonesia akan memproses permohonan
pendaftaran penerbitan SBK sepanjang Korporasi Non-
Bank yang mengajukan permohonan pendaftaran
penerbitan SBK:
a. sedang tidak dalam pengenaan sanksi tidak dapat
menerbitkan SBK selama 1 (satu) tahun ke depan dari
Bank Indonesia; dan
b. telah memenuhi seluruh kewajiban pada Bank
Indonesia.
(2) Bank Indonesia memberikan persetujuan permohonan
pendaftaran penerbitan SBK secara tertulis paling lambat
15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak surat
permohonan dan dokumen pendukung diterima secara
lengkap dan sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 53
(1) Bank Indonesia melakukan penelaahan terhadap
dokumen yang diajukan terhadap pemenuhan kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(2) Dalam melakukan penelaahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta klarifikasi
dan/atau tambahan dokumen dan/atau informasi kepada
Korporasi Non-Bank yang mengajukan permohonan
pendaftaran penerbitan SBK dalam bentuk:
a.
surat;
b. pertemuan tatap muka; dan/atau
c. bentuk lainnya.
(3) Dalam hal terdapat permintaan klarifikasi dan/atau
tambahan dokumen dan/atau informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Korporasi Non-Bank harus
menyampaikan tanggapan klarifikasi dan/atau tambahan
dokumen dan/atau informasi dimaksud paling lambat
pada batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Korporasi Non-Bank tidak menyampaikan
tanggapan klarifikasi dan/atau tambahan dokumen
dan/atau informasi pada batas waktu yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka pengajuan
permohonan pendaftaran penerbitan SBK dianggap batal.
Pasal 54
(1) Persetujuan pendaftaran penerbitan SBK oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
diberikan dengan mempertimbangkan hasil penelaahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53.
(2) Persetujuan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk penerbitan secara tunggal atau individual
dituangkan dalam surat persetujuan pendaftaran
penerbitan, yang memuat informasi paling sedikit:
a. nominal maksimum penerbitan SBK yang
diperbolehkan;
b. batas waktu pelaksanaan distribusi SBK; dan
c. nama SBK.
(3) Persetujuan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk penerbitan secara berkelanjutan
dituangkan dalam surat persetujuan pendaftaran
penerbitan, yang memuat informasi paling sedikit:
a. nominal maksimum penerbitan SBK yang
diperbolehkan selama periode terdaftar;
b. batas waktu pelaksanaan distribusi SBK;
c. periode status terdaftar; dan
d. nama SBK.
Bagian Kedua
Pemrosesan Permohonan Pendaftaran Penerbitan
SBK Tahap Lanjutan
Pasal 55
(1) Bank Indonesia akan memproses permohonan
pendaftaran penerbitan SBK tahap lanjutan dalam
penerbitan secara berkelanjutan sepanjang Korporasi
Non-Bank yang mengajukan permohonan pendaftaran
penerbitan SBK:
a. sedang tidak dalam pengenaan sanksi tidak dapat
menerbitkan SBK selama 1 (satu) tahun ke depan dari
Bank Indonesia; dan
b. telah memenuhi seluruh kewajiban pada Bank
Indonesia.
(2) Bank Indonesia memberikan persetujuan atas
permohonan pendaftaran penerbitan SBK tahap lanjutan
secara tertulis paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
terhitung sejak surat permohonan dan dokumen
pendukung diterima secara lengkap dan sesuai dengan
yang dipersyaratkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 56
Bank Indonesia melakukan penelaahan terhadap dokumen
yang diajukan atas pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7.
Pasal 57
(1) Persetujuan pendaftaran penerbitan SBK tahap lanjutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) diberikan
dalam hal:
a.
hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
56 menunjukkan bahwa dokumen yang disampaikan
Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK
telah lengkap dan sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan
b. Penerbit SBK telah memenuhi seluruh ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan
dan transaksi SBK di pasar uang.
(2) Persetujuan pendaftaran penerbitan SBK tahap lanjutan
oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam surat persetujuan pendaftaran
penerbitan, yang memuat informasi paling sedikit:
a. nominal maksimum penerbitan SBK yang
diperbolehkan;
b. batas waktu pelaksanaan distribusi SBK; dan
nama SBK.
BAB VI
PENAWARAN SBK DAN AKSES TERHADAP KETERBUKAAN
INFORMASI PENERBITAN SBK
Bagian Kesatu
Penawaran SBK
Pasal 58
Setelah memperoleh persetujuan pendaftaran penerbitan SBK
dari Bank Indonesia, Penerbit SBK dapat melakukan:
a. penawaran kepada calon investor SBK; dan
b. pengajuan permohonan pendaftaran penatausahaan SBK
kepada LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Pasal 59
(1) Penerbit SBK dan/atau penata laksana penerbitan
(arranger) harus melakukan penawaran SBK kepada calon
investor atau investor SBK secara bertanggung jawab dan
memiliki tata kelola yang baik.
(2) Penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit berupa penyampaian informasi kepada calon
investor.
(3) Penyampaian informasi kepada
calon investor
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit
memuat informasi mengenai:
a. memorandum informasi SBK;
b. hak dan kewajiban investor SBK;
c.
biaya, manfaat, dan risiko yang timbul atas
pemesanan dan pembelian SBK;
d. jadwal penawaran SBK; dan
e. syarat dan kondisi terkait pembelian SBK.
Pasal 60
Dalam melakukan penawaran dan penerbitan SBK, Penerbit
SBK harus menerapkan paling sedikit:
a. aspek penetapan nominal SBK;
b. aspek pembayaran pembelian SBK; dan
c. aspek distribusi SBK.
Pasal 61
(1) Penerapan aspek penetapan nominal SBK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 huruf a meliputi:
a. penetapan nominal SBK yang diterbitkan, dilakukan
paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah berakhirnya
masa penawaran;
b. penetapan nominal SBK yang diterbitkan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, paling besar
adalah sejumlah nominal SBK yang tertera di dalam
surat persetujuan pendaftaran penerbitan SBK dari
Bank Indonesia; dan
c. dalam hal total nominal permintaan SBK oleh investor
melebihi dari nominal SBK yang ditawarkan oleh
Penerbit SBK, Penerbit SBK dan/atau Lembaga
Pendukung Pasar Uang yang berperan sebagai penata
laksana (arranger) penerbitan SBK melakukan
pengalokasian SBK kepada investor sehingga nominal
SBK yang diterbitkan tidak melebihi nominal SBK
sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
(2) Penetapan nominal SBK sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik
dan unsur keadilan bagi investor.
Pasal 62
Penerapan aspek pembayaran pembelian SBK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 huruf b yaitu penetapan rekening
pada Bank yang ditunjuk oleh Penerbit SBK untuk menerima
pembayaran pembelian SBK.
Pasal 63
Penerapan aspek distribusi SBK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60 huruf c meliputi:
a. distribusi SBK kepada investor SBK dilakukan paling
lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal penetapan
nominal SBK yang diterbitkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 huruf a dan paling lambat 25 (dua puluh
lima) hari kerja sejak tanggal persetujuan pendaftaran
penerbitan SBK; dan
b. distribusi SBK sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dianggap telah terjadi apabila SBK telah tercatat secara
elektronik di KSEI.
Pasal 64
(1) Dalam hal terjadi keterlambatan distribusi SBK, Penerbit
SBK harus membayar denda keterlambatan kepada
investor SBK sesuai dengan mekanisme pembayaran
denda keterlambatan yang ditetapkan oleh Penerbit SBK.
(2) Mekanisme pembayaran denda keterlambatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
mekanisme penyelesaian yang tercantum dalam
memorandum informasi SBK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf b atau Pasal 35 huruf b.
Pasal 65
(1) Dalam hal terjadi pembatalan penawaran SBK oleh
Penerbit SBK dan pembayaran dana telah dilakukan oleh
investor SBK, Penerbit SBK melakukan pengembalian
dana kepada investor SBK.
(2) Pengembalian dana kepada investor SBK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan mekanisme
pengembalian dana yang tercantum dalam memorandum
informasi SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
huruf c atau Pasal 35 huruf c yang ditetapkan oleh
Penerbit SBK.
(3) Pengembalian dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus disertai dengan pembayaran denda, apabila
pengembalian dana dilakukan melebihi tanggal distribusi
SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf a.
Bagian Kedua
Laporan Hasil Penawaran SBK
Pasal 66
(1) Penerbit SBK harus menyampaikan hasil penawaran SBK
kepada Bank Indonesia.
(2) Dokumen dalam penyampaian hasil penawaran SBK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam
bentuk:
a. hardcopy; dan
b. softcopy:
1. dalam format excel dan scan dokumen dalam
format pdf untuk dokumen rekapitulasi hasil
penawaran; dan
2. scan dokumen dalam format pdf untuk dokumen
lainnya.
(3) Hasil penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan melalui surat penyampaian hasil penawaran
yang disertai dengan dokumen pendukung paling sedikit
mencakup:
a. rekapitulasi hasil penawaran SBK;
b. salinan memorandum informasi dan/atau dokumen
lainnya yang digunakan dalam penawaran; dan
c. surat pernyataan Penerbit SBK yang menerangkan
bahwa memorandum informasi dan/atau dokumen
lainnya yang diserahkan kepada calon investor SBK
dalam rangka penawaran sama dengan memorandum
informasi dan/atau dokumen lainnya yang telah
disampaikan kepada Bank Indonesia ketika
mengajukan permohonan pendaftaran penerbitan
SBK.
(4) Contoh surat penyampaian hasil penawaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran VII
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(5) Contoh rekapitulasi hasil penawaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a tercantum dalam
Lampiran VII.
(6) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf c tercantum dalam Lampiran IV.
Pasal 67
(1) Penyampaian hasil penawaran SBK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 dilakukan paling lambat 25 (dua
puluh lima) hari kerja setelah disetujuinya pendaftaran
penerbitan SBK oleh Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Penerbit SBK tidak menyampaikan hasil
penawaran SBK kepada Bank Indonesia dan tidak
melakukan distribusi SBK dalam waktu 25 (dua puluh
lima) hari kerja setelah disetujuinya pendaftaran
penerbitan SBK maka persetujuan pendaftaran penerbitan
SBK menjadi batal.
Bagian Ketiga
Penundaan Penawaran SBK
Pasal 68
(1) Penundaan penawaran SBK dalam penerbitan secara
individual hanya dapat dilakukan sebanyak 1 (satu) kali.
(2) Penundaan penawaran SBK dalam penerbitan secara
berkelanjutan hanya dapat dilakukan sebanyak 1 (satu)
kali pada setiap tahapan penerbitan SBK.
(3) Jangka waktu penundaan penawaran paling lama
dilakukan 1 (satu) bulan dari tanggal distribusi SBK yang
tercantum pada surat persetujuan pendaftaran penerbitan
SBK sebelumnya.
Pasal 69
(1) Penerbit SBK dapat melakukan penundaan penawaran
SBK dengan terlebih dahulu menyampaikan rencana
penundaan dimaksud kepada Bank Indonesia.
(2) Penyampaian rencana penundaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sebelum batas waktu penyampaian laporan hasil
penawaran SBK oleh Penerbit SBK kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67.
(3) Penyampaian rencana penundaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan informasi
paling sedikit alasan penundaan penawaran penerbitan
SBK.
(4) Contoh penyampaian informasi terkait rencana
penundaan penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tercantum dalam Lampiran IV.
(5) Dokumen dalam penyampaian rencana penundaan
penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan dalam bentuk:
a. hardcopy; dan
b. softcopy atas scan dokumen dalam format pdf.
Pasal 70
(1) Bank Indonesia menyampaikan surat kepada Penerbit
SBK atas rencana penundaan penawaran SBK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 yang memuat
informasi batas waktu distribusi SBK yang baru.
(2) Penyampaian surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditembuskan kepada LPP yang ditunjuk oleh Bank
Indonesia.
(3) Apabila Penerbit SBK tidak melakukan distribusi SBK
dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
persetujuan pendaftaran penerbitan SBK menjadi batal.
Pasal 71
(1) Pascapenyampaian rencana penundaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69, Penerbit SBK harus
menyampaikan hasil penawaran SBK paling lambat pada
batas waktu distribusi SBK yang baru sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1).
(2) Contoh penyampaian hasil penawaran dengan mekanisme
penundaan penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tercantum dalam Lampiran VII.
Bagian Keempat
Akses Terhadap Keterbukaan Informasi Terkait
Penerbitan SBK
Pasal 72
(1) Penerbit SBK wajib mengungkapkan peringkat SBK yang
diterbitkan kepada investor dan/atau calon investor SBK,
setelah memperoleh persetujuan pendaftaran penerbitan
SBK dari Bank Indonesia.
(2) Pengungkapan peringkat SBK sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan paling lambat sejak tanggal
dilakukannya penawaran SBK.
(3) Penerbit SBK harus memastikan pengungkapan peringkat
SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
melalui laman Penerbit SBK, laman Lembaga Pemeringkat
yang melakukan penilaian peringkat SBK yang
diterbitkan, dan media lainnya.
Pasal 73
(1) Dalam melakukan penawaran SBK, Penerbit dan/atau
Lembaga Pendukung Pasar Uang yang berperan sebagai
penata laksana (arranger) penerbitan SBK harus
memberikan kemudahan kepada calon investor SBK
untuk mengakses memorandum informasi dan/atau
dokumen lainnya terkait Penerbit SBK maupun SBK.
(2) Calon investor SBK dapat meminta memorandum
informasi dan/atau dokumen lainnya kepada Penerbit
SBK dan/atau Lembaga Pendukung Pasar Uang yang
berperan sebagai penata laksana (arranger) penerbitan
SBK.
(3) Penerbit SBK dan Lembaga Pendukung Pasar Uang yang
berperan sebagai penata laksana (arranger) penerbitan
SBK harus memastikan bahwa calon investor SBK telah
membaca memorandum informasi dan/atau dokumen
lainnya yang berkaitan dengan keterbukaan informasi
sebelum menyatakan pemesanan SBK.
BAB VII
PENERBITAN DAN PENATAUSAHAAN SBK
Bagian Kesatu
Penatausahaan SBK
Pasal 74
Penatausahaan dan penyelesaian transaksi SBK dilaksanakan
oleh KSEI sebagai LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Pasal 75
Penatausahaan dan penyelesaian transaksi SBK oleh LPP yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74 dilakukan dengan mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan terkait LPP atau ketentuan yang
diterbitkan oleh LPP.
Bagian Kedua
Bukti Penerbitan Kolektif dan Bukti Kepemilikan SBK
Pasal 76
(1) Penerbit SBK harus menerbitkan bukti penerbitan kolektif
SBK yang diterbitkannya.
(2) Bukti penerbitan kolektif SBK sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilengkapi oleh Penerbit SBK dengan
akta pernyataan penerbitan.
(3) Bukti kepemilikan SBK adalah pencatatan secara
elektronik di KSEI.
Pasal 77
(1) Penerbitan bukti penerbitan kolektif SBK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76 harus dilakukan segera setelah
Penerbit SBK menerima pembayaran atas pemesanan SBK
dari seluruh investor SBK.
(2) Dalam hal Penerbit SBK menerbitkan beberapa seri SBK
dalam 1 (satu) tahap penerbitan SBK, maka bukti
penerbitan kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dibuat untuk masing-masing seri SBK yang
diterbitkan.
Pasal 78
(1) Bukti penerbitan kolektif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76 disusun sesuai dengan persyaratan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 174 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang.
(2) Dalam hal SBK diterbitkan dengan disertai oleh adanya
penjaminan atau penanggungan:
a. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf
b angka 1; atau
b. sebagai tambahan fitur penjaminan atau
penanggungan selain yang diatur dalam Pasal 2 ayat
(1) huruf b angka 1,
bukti penerbitan kolektif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memuat penjaminan atau penanggungan
dimaksud.
(3) Format bukti penerbitan kolektif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran V.
Pasal 79
Bukti penerbitan kolektif SBK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76 dapat ditandatangani di hadapan Notaris.
Pasal 80
(1) Bukti penerbitan kolektif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76 harus disampaikan oleh Penerbit SBK kepada
Bank Indonesia atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum
tanggal distribusi SBK.
(2) Bank Indonesia atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia akan menyimpan bukti penerbitan kolektif SBK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 81
Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas atau
instansi lainnya dalam hal terjadi kondisi tertentu terkait
pelaksanaan penerbitan dan transaksi SBK.
BAB VIII
KETERBUKAAN INFORMASI PASCA-PENERBITAN SBK
Pasal 82
(1) Penerbit SBK wajib mengungkapkan informasi maupun
fakta material kepada investor SBK dan/atau calon
investor SBK dalam hal terdapat perubahan informasi
maupun fakta material terkait kondisi Penerbit SBK
pascapenerbitan SBK.
(2) Dalam hal Penerbit SBK terdaftar dalam penerbitan SBK
secara berkelanjutan, selain mengungkapkan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit SBK harus
mengungkapkan kepada investor SBK dan/atau calon
investor SBK informasi atas realisasi penerbitan SBK
secara berkelanjutan.
Pasal 83
(1) Perubahan informasi maupun fakta material sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) dapat berupa
pengkinian informasi maupun fakta material yang
terdapat dalam memorandum informasi dan/atau
dokumen lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66
ayat (3) huruf b serta penambahan informasi maupun
fakta material baru.
(2) Informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 82 ayat (1) mencakup:
a. pengkinian atas kondisi keuangan Penerbit SBK
berupa laporan keuangan terkini;
b. perubahan dalam kegiatan usaha Penerbit SBK;
c.
investasi maupun pembiayaan yang dilakukan oleh
Penerbit SBK dalam jumlah material;
d. perubahan dalam pencatatan saham Penerbit SBK
yang diakibatkan aktivitas seperti pemecahan atau
penggabungan saham;
e. perubahan status Penerbit SBK dari perusahaan
tertutup menjadi perusahaan terbuka;
f. perubahan dewan komisaris dan/atau direksi
Penerbit SBK;
g. perkara hukum yang dialami oleh Penerbit SBK,
dewan komisaris, dan/atau direksi Penerbit SBK;
h. penggantian Lembaga Pendukung Penerbitan SBK
yang digunakan oleh Penerbit SBK, khusus untuk
penerbitan secara berkelanjutan;
i. perubahan atas metode yang digunakan Penerbit SBK
dalam penyusunan laporan keuangan;
j.
hasil pengawasan khusus dari otoritas terkait;
k. transaksi secara material yang dilakukan oleh
Penerbit SBK yang memiliki nilai paling kurang 20%
(dua puluh persen) dari ekuitas;
l. perubahan peringkat SBK yang telah diterbitkan dan
belum jatuh tempo; dan
m. informasi maupun fakta material lainnya.
Pasal 84
Pengungkapan informasi maupun fakta material sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 82 harus memenuhi prinsip
keterbukaan informasi yang meliputi adanya kelengkapan,
kecukupan, objektivitas, kejelasan, dan kemudahan untuk
dimengerti.
Pasal 85
Pengungkapan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
82 dilakukan paling lambat:
a. 1 (satu) bulan sejak tanggal laporan keuangan, untuk
laporan keuangan tahunan unaudited;
b. 4 (empat) bulan sejak tanggal laporan keuangan, untuk
laporan keuangan tahunan audited;
c. 2 (dua) hari kerja setelah terjadinya kejadian atau
peristiwa yang dikategorikan sebagai informasi maupun
fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat
(2), diluar laporan keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 83 ayat (2) huruf a; dan/atau
d. 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya status terdaftar
penerbitan secara berkelanjutan, untuk informasi realisasi
penerbitan selama terdaftar dalam penerbitan SBK secara
berkelanjutan.
Pasal 86
(1) Pengungkapan informasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 82 harus dilakukan melalui sarana yang
memudahkan akses informasi oleh investor SBK dan/atau
calon investor SBK.
(2) Pengungkapan informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit dilakukan melalui laman Penerbit
SBK.
Pasal 87
Penerbit SBK wajib melaporkan pengungkapan keterbukaan
informasi pascapenerbitan SBK yang telah dilakukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 kepada Bank
Indonesia.
BAB IX
TRANSAKSI SBK DI PASAR SEKUNDER
Pasal 88
(1) Transaksi SBK di pasar sekunder harus memiliki sebuah
kode unik transaksi.
(2) Ketentuan lebih lanjut atas kode unik transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada:
a. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan harian bank umum, untuk Bank sebagai
pelapor transaksi SBK; dan
b. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pelaporan transaksi oleh Non-Bank, untuk
Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan Bank
yang melaksanakan kegiatan kustodian sebagai
pelapor transaksi SBK.
Pasal 89
Dengan melakukan transaksi SBK, Pelaku Transaksi SBK
dianggap telah menyetujui untuk memberikan akses kepada
Bank Indonesia atas detil data transaksi, penyelesaian
transaksi, dan posisi kepemilikan SBK.
Pasal 90
(1) Perhitungan harga transaksi SBK menggunakan konvensi
perhitungan hari (day-count convention) yaitu Actual/360.
(2) Contoh perhitungan harga transaksi SBK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I.
Pasal 91
(1) Penentuan harga dalam transaksi SBK dapat mengacu
pada suku bunga acuan yang berlaku secara umum di
pasar uang.
(2) Suku bunga acuan yang berlaku umum di pasar uang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) untuk mata
uang rupiah;
b. London Interbank Offered Rate (LIBOR) untuk mata
uang valuta asing; dan/atau
c. suku bunga acuan lainnya yang lazim digunakan.
Pasal 92
Penyelesaian transaksi SBK di pasar sekunder harus dilakukan
paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah transaksi (T+3).
Pasal 93
(1) Pelaksanaan transaksi SBK di pasar sekunder dapat
dilakukan dengan menggunakan sarana pelaksanaan
transaksi yang lazim digunakan di pasar uang.
(2) Pelaku transaksi
harus menggunakan sarana
pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang aman dan handal.
Pasal 94
(1) Pelaku Transaksi SBK dan Lembaga Pendukung Transaksi
SBK harus mendukung pembentukan harga secara
transparan dan kredibel.
(2) Dukungan dalam pembentukan harga secara transparan
dan kredibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling sedikit melalui:
a. pelaporan transaksi SBK kepada Bank Indonesia; dan
b. adanya prosedur operasi standar yang memuat tata
cara pelaksanan kegiatan sebagai Lembaga
Pendukung Transaksi SBK, dalam hal Lembaga
Pendukung Transaksi SBK memperantarai transaksi
SBK.
BAB X
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Jenis Laporan oleh Penerbit SBK
Pasal 95
Pascapelaksanaan penerbitan SBK, Penerbit SBK wajib
menyampaikan:
a. laporan secara berkala; dan/atau
b. laporan secara insidentil,
kepada Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Laporan Secara Berkala oleh Penerbit SBK
Pasal 96
Laporan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95
huruf a terdiri atas:
a. laporan realisasi penerbitan;
b. laporan perubahan informasi maupun fakta material, yang
meliputi perubahan informasi maupun fakta material,
dan/atau tidak ada perubahan informasi maupun fakta
material; dan
c. data posisi kepemilikan investor atas SBK yang
diterbitkan.
Pasal 97
(1) Laporan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 96 huruf a disampaikan kepada Bank Indonesia
pertama kali pada tanggal 5 di bulan setelah bulan
penerbitan SBK dilakukan.
(2) Laporan secara berkala berikutnya disampaikan setiap
tanggal 5 setiap bulannya.
(3) Penyampaian laporan secara berkala sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan sampai dengan SBK
yang diterbitkan jatuh tempo.
(4) Contoh penerapan pemenuhan kewajiban penyampaian
laporan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 96 tercantum dalam Lampiran VII.
Paragraf 1
Laporan Realisasi Penerbitan
Pasal 98
Penerbit SBK wajib menyampaikan laporan realisasi penerbitan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf a setiap
dilakukannya penerbitan SBK.
Pasal 99
(1) Laporan realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 96 huruf a memuat informasi mengenai:
a.
realisasi distribusi SBK; dan
b. penggunaan dana hasil penerbitan.
(2) Contoh surat penyampaian dan laporan realisasi
penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran VII.
Pasal 100
(1) Laporan realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 99 harus disampaikan kepada Bank
Indonesia pada periode laporan terdekat sejak timbulnya
kewajiban pelaporan bagi Penerbit SBK kepada Bank
Indonesia.
(2) Contoh penerapan penyampaian pelaporan secara berkala
sesuai dengan cakupan informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran VII.
Paragraf 2
Laporan Perubahan Informasi maupun Fakta Material
Pasal 101
(1) Laporan perubahan informasi maupun fakta material
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf b
disampaikan dalam hal terjadi dan/atau tidak terjadi
perubahan informasi maupun fakta material.
(2) Informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah informasi maupun fakta material
sebagai berikut:
a. pengkinian atas kondisi keuangan Penerbit SBK
berupa laporan keuangan terkini;
b. perubahan dalam kegiatan usaha Penerbit SBK;
c.
investasi maupun pembiayaan yang dilakukan oleh
Penerbit SBK dalam jumlah material;
d. perubahan dalam pencatatan saham Penerbit SBK
yang diakibatkan aktivitas seperti pemecahan atau
penggabungan saham;
e. perubahan status Penerbit SBK dari perusahaan
tertutup menjadi perusahaan terbuka;
f. perubahan dewan komisaris dan/atau direksi
Penerbit SBK;
g. perkara hukum yang dialami oleh Penerbit SBK,
dewan komisaris dan/atau direksi Penerbit SBK;
h. penggantian Lembaga Pendukung Penerbitan SBK
yang digunakan oleh Penerbit SBK, khusus untuk
penerbitan secara berkelanjutan;
i. perubahan atas metode yang digunakan Penerbit SBK
dalam penyusunan laporan keuangan;
j.
hasil pengawasan khusus dari otoritas terkait;
k. transaksi secara material yang dilakukan oleh
Penerbit SBK yang memiliki nilai paling sedikit 20%
(dua puluh persen) dari ekuitas;
l. perubahan peringkat SBK yang telah diterbitkan dan
belum jatuh tempo; dan
m. informasi maupun fakta material lainnya.
Bagian Ketiga
Laporan Insidentil oleh Penerbit SBK
Pasal 102
Laporan secara insidentil sebagaimana dimaksud dalam Pasal
95 huruf b terdiri atas:
a. laporan perubahan informasi maupun fakta material yang
signifikan; dan
b.
laporan realisasi penerbitan berkelanjutan.
Paragraf 1
Laporan Perubahan Informasi Maupun Fakta Material yang
Signifikan
Pasal 103
Informasi maupun fakta material yang signifikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 102 huruf a merupakan informasi
maupun fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83
ayat (2) yang memuat:
a. pengkinian atas kondisi keuangan Penerbit SBK berupa
laporan keuangan terkini;
b. perubahan dalam kegiatan usaha Penerbit SBK;
c. perubahan status Penerbit SBK dari perusahaan tertutup
menjadi perusahaan terbuka;
d. perubahan dewan komisaris dan/atau direksi Penerbit
SBK;
e. perkara hukum yang dialami oleh Penerbit SBK, dewan
komisaris, dan/atau direksi Penerbit SBK;
hasil pengawasan khusus dari otoritas terkait;
f.
g. transaksi secara material yang dilakukan oleh Penerbit
SBK, bila transaksi memiliki nilai paling sedikit 40%
(empat puluh persen) dari ekuitas;
h. perubahan peringkat SBK yang telah diterbitkan dan
belum jatuh tempo; dan
i.
informasi maupun fakta material yang signifikan lainnya.
Pasal 104
(1) Laporan secara insidentil sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 95 huruf b disampaikan paling lambat 2 (dua) hari
kerja setelah terjadinya kejadian atau peristiwa yang
dikategorikan sebagai informasi maupun fakta material
yang signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103.
(2) Khusus untuk pengkinian atas kondisi keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) huruf a,
batas waktu penyampaian laporan insidentil sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 95 huruf b berlaku sama dengan
batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 85 huruf a dan huruf b.
(3) Contoh penyampaian laporan insidentil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VII.
Paragraf 2
Laporan Realisasi Penerbitan Berkelanjutan
Pasal 105
(1) Penerbit SBK wajib menyampaikan laporan realisasi
penerbitan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 102 huruf b setelah berakhirnya status terdaftar di
Bank Indonesia.
(2) Laporan realisasi penerbitan berkelanjutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 102 huruf b memuat informasi
mengenai:
a. tercapai tidaknya pemenuhan penghimpunan dana
melalui penerbitan SBK secara berkelanjutan sesuai
dengan jumlah nominal yang tercantum dalam surat
persetujuan pendaftaran penerbitan SBK; dan
b. alasan tidak tercapainya target penghimpunan dana
bila jumlah total dana yang dihimpun kurang dari
jumlah nominal yang tercantum dalam surat
persetujuan pendaftaran penerbitan SBK.
(3) Contoh laporan realisasi penerbitan berkelanjutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran VII.
Bagian Keempat
Penyampaian Laporan oleh Penerbit SBK kepada Bank
Indonesia
Pasal 106
(1) Dokumen dalam penyampaian laporan secara berkala
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 dan dokumen
dalam penyampaian laporan secara insidentil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 disampaikan
dalam bentuk:
a. hardcopy; dan
b. softcopy:
1. dalam format excel dan scan dokumen dalam
format pdf untuk rekapitulasi realisasi distribusi
SBK; dan
2. scan dokumen dalam format pdf untuk dokumen
lainnya.
(2) Implementasi dari pelaporan data posisi kepemilikan
investor atas SBK yang diterbitkan oleh Penerbit SBK
tercakup dalam laporan penatausahaan dan penyelesaian
transaksi SBK oleh KSEI selaku LPP SBK kepada Bank
Indonesia.
Pasal 107
(1) Dalam hal Bank Indonesia memerlukan tambahan
informasi atas laporan secara berkala dan/atau laporan
secara insidentil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95,
Bank Indonesia akan meminta kepada Penerbit SBK untuk
menyampaikan tambahan informasi tersebut kepada
Bank Indonesia.
(2) Permintaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan secara tertulis melalui surat atau
media lainnya.
(3) Penerbit SBK wajib menyampaikan tambahan informasi
yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
lambat pada batas waktu pemenuhan permintaan yang
ditentukan Bank Indonesia sejak tanggal permintaan
tambahan informasi dari Bank Indonesia.
Pasal 108
Penyampaian laporan perubahan informasi maupun fakta
material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 dan Pasal
103 harus disertai dengan dokumen pendukung berupa:
a. fotokopi dokumen yang membuktikan terjadinya kejadian
atau peristiwa yang dikategorikan sebagai informasi
maupun fakta material sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 101 dan Pasal 103; dan
b. bukti pengungkapan informasi maupun fakta material
yang dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101
dan Pasal 103 kepada investor dan/atau calon investor
SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1).
Bagian Kelima
Pelaporan Transaksi SBK
Pasal 109
(1) Pelaku Transaksi SBK wajib menyampaikan laporan
transaksi SBK kepada Bank Indonesia.
(2) Pelaku Transaksi SBK sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. nasabah yang berperan sebagai investor SBK; dan
b. Bank dan Perusahaan Efek yang berperan dalam
perdagangan SBK.
(3) Pelaporan transaksi SBK oleh Pelaku Transaksi SBK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan
melalui:
a. Bank, apabila transaksi SBK dilakukan dengan Bank;
b. Lembaga Pendukung Transaksi SBK, apabila
transaksi SBK dilakukan dengan perantara Lembaga
Pendukung Transaksi SBK; dan/atau
c. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi SBK, apabila transaksi SBK
dilakukan oleh nasabah secara langsung tanpa
melibatkan Bank/atau Perusahaan Efek.
Pasal 110
(1) Pelaku Transaksi SBK berupa Bank dan Perusahaan Efek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) huruf b
wajib melaporkan kepada Bank Indonesia mengenai
informasi transaksi SBK yang dilakukan.
(2) Bank, Lembaga Pendukung Transaksi SBK, dan/atau
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi SBK yang terlibat dalam transaksi SBK nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) huruf a
wajib melaporkan kepada Bank Indonesia mengenai
informasi transaksi SBK yang dilakukan oleh nasabah
tersebut.
Pasal 111
Laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109
ayat (1) paling sedikit memuat informasi:
a. tanggal dilakukannya transaksi;
b. kode unik transaksi;
c. nama pelaku transaksi;
d. jenis pelaku transaksi;
e. nama, jenis, dan/atau kode SBK yang ditransaksikan;
f.
jenis transaksi;
g. nominal transaksi;
h. yield saat ditransaksikan; dan
i.
tenor transaksi, bila transaksi merupakan transaksi repo
atau reverse repo.
Pasal 112
(1) Pelaporan transaksi SBK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 109 ayat (1) dilakukan melalui sistem pelaporan
Bank Indonesia.
(2) Detil informasi pelaporan dan tata cara penyampaian
pelaporan transaksi SBK melalui sistem pelaporan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merujuk
pada:
a. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan harian bank umum, untuk Bank sebagai
pelapor transaksi SBK; dan
b. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pelaporan transaksi oleh Non-Bank, untuk
Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan Bank
yang melaksanakan kegiatan kustodian sebagai
pelapor transaksi SBK.
Bagian Ketiga
Pelaporan Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi SBK
oleh LPP
Pasal 113
(1) KSEI menyampaikan laporan penatausahaan dan
penyelesaian transaksi SBK kepada Bank Indonesia secara
berkala.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan KSEIselaku LPP SBK.
(3) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian antara Bank
Indonesia dengan KSEI.
BAB XI
KORESPONDENSI
Pasal 114
(1) Pengajuan atau penyampaian hal sebagai berikut:
a. pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan SBK
dan dokumen pendukung ke Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf
a;
b. pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan SBK
tahap lanjutan dan dokumen pendukungnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf
a;
c. penyampaian hasil penawaran SBK dalam bentuk
hardcopy sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat
(2) huruf a;
d. penyampaian rencana penundaan penawaran SBK
dalam bentuk hardcopy sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 ayat (5) huruf a; dan
e. penyampaian laporan dalam bentuk hardcopy
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1)
huruf a,
kepada Bank Indonesia ditujukan kepada:
Departemen Pengembangan Pasar Keuangan
Bank Indonesia
Gedung C Lantai 5
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(2) Penyampaian:
a. surat permohonan pendaftaran penerbitan SBK dan
dokumen pendukung
ke Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf
b;
b. surat permohonan pendaftaran penerbitan SBK
tahap lanjutan dan dokumen pendukungnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf
b;
c. dokumen hasil penawaran SBK dalam bentuk
softcopy sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat
(2) huruf b;
d. dokumen dalam penyampaian rencana penundaan
penawaran dalam bentuk softcopy sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (5) huruf b;
e. dokumen dalam penyampaian laporan dalam bentuk
softcopy sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106
ayat (1) huruf b,
disampaikan ke alamat email [email protected] atau
sarana elektronik lainnya yang ditentukan oleh Bank
Indonesia.
BAB XI
PENGAWASAN
Pasal 115
Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap penerbitan
dan transaksi SBK.
Pasal 116
(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115
dilakukan terhadap:
a. Penerbit SBK; dan
b. Pelaku Transaksi SBK yang berperan dalam
perdagangan di pasar SBK.
(2) Pelaku Transaksi SBK yang berperan dalam perdagangan
di pasar SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, terdiri atas Bank dan Perusahaan Efek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) huruf b.
Pasal 117
(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115
meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(2) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk
melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b.
(3) Pihak yang ditugaskan melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib menjaga
kerahasiaan data, informasi, dan keterangan yang
diperoleh dari hasil pemeriksaan.
Pasal 118
Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 115, Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas
lain yang berwenang, instansi, dan/atau lembaga profesi
terkait.
Pasal 119
(1) Seluruh pihak yang diawasi oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 wajib
menyediakan dan menyampaikan data, informasi,
dan/atau keterangan yang diperlukan oleh Bank
Indonesia.
(2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
bertanggung jawab atas kebenaran data, informasi,
dan/atau keterangan yang disampaikan kepada Bank
Indonesia.
BAB XII
PENGENAAN SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi bagi Penerbit SBK
Pasal 120
Sanksi bagi Penerbit SBK dapat berupa:
a. sanksi teguran tertulis; dan/atau
b. sanksi tidak dapat menerbitkan SBK selama 1 (satu) tahun
ke depan.
Pasal 121
(1) Penerbit SBK yang melakukan pelanggaran atas kewajiban
untuk:
a. memenuhi ketentuan mengenai prinsip keterbukaan
serta pencantuman informasi yang benar dan tidak
menyesatkan pada dokumen memorandum informasi
dan/atau dokumen lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi
SBK di Pasar Uang; dan/atau
b. mencantumkan informasi yang benar dan tidak
menyesatkan pada dokumen pendaftaran penerbitan
SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017
tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Penerbit SBK yang mencantumkan informasi maupun
fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan
Pasal 29 Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di
Pasar Uang yang tidak benar dan menyesatkan dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(3) Dalam hal informasi yang tercantum dalam dokumen
memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya serta
dokumen pendaftaran penerbitan SBK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diketahui tidak benar dan
menyesatkan setelah persetujuan pendaftaran diberikan,
Bank Indonesia tetap dapat mengenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis terhadap Penerbit
SBK.
(4) Penerbit SBK yang tidak mencantumkan perubahan
informasi maupun fakta material dalam memorandum
informasi dan/atau dokumen lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia
Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi
SBK di Pasar Uang, dikenakan sanksi berupa teguran
tertulis.
Pasal 122
Penerbit SBK yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang
Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang, dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Pasal 123
(1) Penerbit SBK yang tidak melaporkan:
a.
realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (2) huruf a Peraturan Bank Indonesia
Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan
Transaksi SBK di Pasar Uang;
b. perubahan informasi maupun fakta material
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf
b Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017
tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang;
c.
realisasi penerbitan berkelanjutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan
dan Transaksi SBK di Pasar Uang; dan/atau
d. perubahan informasi maupun fakta material yang
signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017
tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Penerbit SBK yang tidak memenuhi kewajiban
menyampaikan data posisi kepemilikan investor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan
Transaksi SBK di Pasar Uang, dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(3) Penerbit SBK yang tidak menyampaikan tambahan
informasi yang diminta oleh Bank Indonesia atas laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan
Transaksi SBK di Pasar Uang, dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(4) Penerbit SBK yang tidak menyampaikan laporan kepada
Bank Indonesia dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari
kerja sejak penyampaian teguran tertulis atas pelanggaran
kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dikenakan sanksi
teguran tertulis berikutnya.
(5) Pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak menghilangkan
kewajiban Penerbit SBK untuk menyampaikan laporan
kepada Bank Indonesia.
Pasal 124
(1) Penerbit SBK yang tidak menyediakan data, informasi,
dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 ayat (5) Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di
Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(2) Penerbit SBK yang tidak menyediakan data, informasi,
dan/atau keterangan secara benar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6) Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan
Transaksi SBK di Pasar Uang, dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
Pasal 125
(1) Penerbit SBK yang telah menerima sanksi administratif
berupa teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 121 sampai dengan Pasal 124
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, dikenakan sanksi
tidak dapat menerbitkan SBK selama 1 (satu) tahun ke
depan.
(2) Penghitungan sanksi tidak dapat menerbitkan SBK selama
1 (satu) tahun ke depan sebagaimana contoh dalam
Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 126
Penerbit SBK yang mendapatkan sanksi administratif berupa
teguran tertulis, tetap harus memenuhi kewajiban yang diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017
tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang dan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 127
Dalam hal Penerbit SBK melakukan pelanggaran atas
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 12,
Pasal 14, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 37 ayat (5), dan/atau Pasal
37 ayat (6) Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017
tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang yang
berdampak signifikan dan/atau menimbulkan kerugian, Bank
Indonesia mengenakan sanksi kepada Penerbit SBK berupa
larangan penerbitan SBK selama 1 (satu) tahun dari tanggal
pengenaan sanksi.
Pasal 128
(1) Penyampaian surat pengenaan sanksi teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 sampai dengan
Pasal 124, ditembuskan kepada otoritas atau instansi lain
yang berwenang.
(2) Penyampaian surat pengenaan sanksi tidak dapat
menerbitkan SBK selama 1 (satu) tahun ke depan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dan Pasal 126,
ditembuskan kepada otoritas atau instansi lain yang
berwenang.
Bagian Kedua
Sanksi bagi Pelaku Transaksi SBK
Pasal 129
Sanksi bagi Pelaku Transaksi SBK adalah sanksi teguran
tertulis.
Pasal 130
(1) Pelaku Transaksi SBK yang berperan dalam perdagangan
SBK yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang
Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang, dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Pelaku Transaksi SBK yang berperan dalam perdagangan
SBK yang tidak menyediakan data, informasi, dan/atau
keterangan secara benar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (5) dan/atau ayat (6) Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan
Transaksi SBK di Pasar Uang, dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(3) Pelaku Transaksi SBK yang berperan dalam perdagangan
SBK yang tidak menyampaikan data, informasi, dan/atau
keterangan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu
20 (dua puluh) hari kerja sejak penyampaian teguran
tertulis atas pelanggaran ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dikenakan sanksi teguran tertulis
berikutnya.
(4) Pelaku Transaksi SBK yang berperan dalam perdagangan
SBK yang tidak terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di
Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(5) Pelaku Transaksi SBK yang berperan dalam perdagangan
SBK yang mendapatkan sanksi administratif berupa
teguran tertulis, tetap harus memenuhi kewajiban yang
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di
Pasar Uang dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Ketiga
Sanksi atas Pelanggaran terkait Laporan Transaksi SBK
Pasal 131
(1) Sanksi bagi Pelaku Transaksi SBK berupa Bank dan
Perusahaan Efek, Lembaga Pendukung Transaksi SBK,
serta Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian SBK atas pelanggaran terkait laporan
transaksi SBK mengacu pada:
a. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan harian bank umum, untuk Bank sebagai
pelapor transaksi SBK; dan/atau
b. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pelaporan transaksi oleh Non-Bank, untuk
Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan Bank
yang melaksanakan kegiatan kustodian sebagai
pelapor transaksi SBK.
Pasal 132
Pengenaan sanksi atas pelanggaran terhadap kewajiban
melaporkan informasi mengenai transaksi SBK yang dilakukan
kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang
Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang, mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem
pelaporan Bank Indonesia yaitu:
a. mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan harian bank umum bagi Bank sebagai
pelapor transaksi SBK;
b. mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pelaporan transaksi oleh Non-Bank, bagi
Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan Bank yang
melaksanakan kegiatan kustodian sebagai pelapor
transaksi SBK.
Pasal 133
Pengenaan sanksi tidak dapat menerbitkan SBK selama 1
(satu) tahun ke depan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125
tidak menghilangkan kewajiban bagi Penerbit SBK untuk
menyelesaikan seluruh kewajiban kepada investor SBK.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 134
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
PERRY WARJIYO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/1/PADG/20182017
TENTANG
PENERBITAN DAN TRANSAKSI
SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG
I. UMUM
Guna meningkatkan efektivitas kebijakan moneter, makroprudensial,
stabilitas sistem keuangan, serta kelancaran sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah, perlu dilakukan pengembangan pasar uang yang
likuid, dalam, dan efisien. Salah satu elemen utama pengembangan pasar
uang adalah pengembangan instrumen pasar uang yang mampu
mendorong tersedianya variasi instrumen bagi pelaku pasar.
Terkait hal tersebut, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi
Surat Berharga Komersial di Pasar Uang yang menjadi landasan hukum
bagi pelaku pasar, termasuk Lembaga Pendukung Pasar Uang. Dalam
ketentuan tersebut, Bank Indonesia selaku otoritas di pasar uang
mengatur, memberikan persetujuan terdaftar, serta mengembangkan dan
mengawasi Lembaga Pendukung Pasar Uang yang akan terlibat dalam
proses penerbitan SBK.
Guna implementasi ketentuan tersebut, Bank Indonesia menetapkan
peraturan pelaksanaan yang berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan bagi
Penerbit SBK dan Lembaga Pendukung Pasar Uang yang akan terlibat
dalam proses pendaftaran dan penawaran SBK, transaksi SBK, serta
penatausahaan dan penyelesaian
transaksi
Surat
Berharga
Komersial. Selain itu, dalam ketentuan ini juga diatur lebih lanjut terkait
pelaporan dan pengawasan atas penerbitan dan transaksi SBK.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal Korporasi Non-Bank belum memiliki laporan
keuangan tahunan dengan pendapat wajar tanpa
modifikasian (WTM) dari Akuntan Publik, Korporasi Non-
Bank tidak memenuhi persyaratan untuk dapat menerbitkan
SBK.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “gagal bayar” adalah kondisi tidak
terpenuhinya kewajiban finansial Korporasi Non-Bank yang
akan menerbitkan SBK terhadap kreditur pada saat jatuh
tempo yang nilainya lebih besar dari 0,5% (nol koma lima
persen) dari modal disetor.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penyelesaian gagal bayar sepanjang
penyelesaian dilakukan secara wajar” adalah penyelesaian
utang yang disepakati oleh para pihak yang telah lunas
seluruhnya yang dapat berupa pelunasan utang Korporasi
Non-Bank yang diselesaikan melalui restrukturisasi utang.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “rekam jejak yang baik” adalah tidak
pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan dan
keuangan, tidak sedang menjalani proses hukum sebagai
tersangka dengan ancaman hukuman di atas 5 (lima) tahun,
dan tidak pernah dihukum atas tindak pidana di bidang
perbankan, keuangan, dan/atau pencucian uang
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Korporasi Non-Bank yang beroperasi lebih dari 3 (tiga) tahun namun
memiliki fitur penjaminan atau penanggungan dalam SBK yang
diterbitkannya, harus turut mencantumkan penjaminan atau
penjaminan dalam bukti penerbitan kolektif SBK.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal penerbitan” adalah tanggal
dilakukannya distribusi SBK secara elektronik oleh LPP yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam memilih mekanisme pendaftaran penerbitan SBK,
Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK harus
memperhatikan kewajiban yang menyertai mekanisme
pendaftaran penerbitan SBK yang dipilihnya, antara lain
kewajiban pelaporan kepada Bank Indonesia dan keterbukaan
informasi kepada investor dan/atau calon investor SBK.
Pilihan mekanisme penerbitan harus dicantumkan dalam surat
permohonan pendaftaran penerbitan SBK.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam penerbitan secara berkelanjutan, Penerbit SBK melakukan
penerbitan secara bertahap dengan total nominal sesuai yang
direncanakan.
Ayat (5)
Seri SBK yang diterbitkan dalam 1 (satu) tanggal penerbitan dapat
memiliki tenor yang berbeda.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penyampaian melalui sarana elektronik lainnya dilakukan
bersamaan dengan penyampaian hardcopy.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Informasi Korporasi Non-Bank paling sedikit meliputi nama,
alamat kantor pusat, kontak korespondensi, laman
Korporasi Non-Bank serta nama daftar nama direksi dan
dewan komisaris Korporasi Non-Bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Laporan keuangan disusun berdasarkan standar akuntansi
keuangan (SAK) yang berlaku yakni SAK di Indonesia.
Laporan keuangan tahunan terdiri atas:
1. laporan posisi keuangan pada akhir periode;
2. laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain
selama periode;
3. laporan arus kas selama periode;
4. laporan perubahan ekuitas selama periode; dan
5. catatan atas laporan keuangan.
Huruf d
Data penyelesaian gagal bayar antara lain berupa:
1. bukti pelunasan atas pinjaman atau kredit;
2. surat pernyataan dari kreditur bahwa pinjaman atau
kredit menjadi lunas dalam bentuk akta notarial;
dan/atau
3. putusan pengadilan.
Huruf e
Termasuk informasi dalam riwayat hidup paling sedikit
berupa nama, jabatan dan fungsi di dalam organisasi
Korporasi Non-Bank, kewarganegaraan, latar belakang
pendidikan, dan pengalaman kerja sebelumnya dalam 10
(sepuluh) tahun terakhir.
Surat pernyataan yang dibuat oleh masing-masing anggota
dewan komisaris dan direksi merupakan pemenuhan
persyaratan bahwa manajemen Korporasi Non-Bank
memiliki rekam jejak yang baik.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Penerapan prinsip kehati-hatian paling sedikit mencakup
pelaksanaan:
1.
transparansi dan keterbukaan informasi;
2. perlindungan konsumen; dan
3. mekanisme penyelesaian sengketa.
Yang dimaksud dengan “penerapan manajemen risiko”
antara lain berupa identifikasi, pengukuran, pemantauan,
dan pengendalian risiko.
Manajemen risiko dilakukan terhadap risiko kredit yang
berpotensi menyebabkan tidak terbayarnya SBK dan risiko
usaha yang berpotensi mengganggu kelangsungan usaha
dari Penerbit SBK sehingga memengaruhi kemampuan
Penerbit SBK dalam melakukan pembayaran SBK.
Ayat (2)
Huruf a
Dokumen pendukung antara lain berupa screenshot nama
Korporasi Non-Bank di laman (website) Bursa Efek Indonesia
sebagai bagian dari daftar nama Korporasi Non-Bank tercatat
di Bursa Efek Indonesia.
Huruf b
Dalam hal Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK
telah terdaftar sebagai emiten obligasi dan/atau sukuk di
Otoritas Jasa Keuangan lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima)
tahun terakhir, dokumen yang harus disampaikan yaitu
fotokopi dokumen pernyataan efektif yang terakhir kali,
disertai dengan fotokopi sertifikat pencatatan obligasi pada
saat tercatat di Bursa Efek Indonesia yang melekat pada
penerbitan obligasi dan/atau sukuk yang dilakukan pada
periode terdaftar atas pernyataan efektif yang disampaikan
tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Kontribusi pendapatan yang signifikan dari anak
perusahaan kepada Korporasi Non-Bank dapat berupa
aliran kas pendapatan secara regular dari anak
perusahaan kepada Korporasi Non-Bank atau setoran
dividen yang signifikan dari anak perusahaan ke
Korporasi Non-Bank.
Angka 2
Kegiatan usaha anak perusahaan yang penting bagi
kelangsungan usaha Korporasi Non-Bank dapat berupa
anak perusahaan merupakan pemasok tunggal dalam
usaha Korporasi Non-Bank atau anak perusahaan
merupakan satu-satunya penyedia jasa pengolahan
dalam proses produksi kegiatan usaha Korporasi Non-
Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Informasi mengenai
tingkat diskonto,
periode
penawaran, tanggal penetapan nominal penerbitan,
tanggal pembayaran dan tanggal distribusi SBK, bersifat
sementara bergantung pada persetujuan pendaftaran
penerbitan oleh Bank Indonesia.
Nominal penerbitan merupakan batas atas jumlah dana
yang dapat dihimpun melalui penerbitan SBK.
Dalam hal Penerbit SBK akan menerbitkan beberapa
seri SBK dalam 1 (satu) penerbitan, nominal penerbitan
merupakan batas atas jumlah dana yang dapat
dihimpun dari seluruh seri SBK dimaksud.
Informasi atas penjaminan atau penanggungan paling
sedikit berupa ada tidaknya penjaminan atau
penanggungan, pihak yang menjadi penjamin atau
penanggung, apabila terdapat penjaminan atau
penanggungan.
Informasi lainnya yaitu informasi lain yang dianggap
penting untuk diungkapkan yang dapat berupa
penggunaan agen pemantau.
Penamaan SBK yang diterbitkan dengan mekanisme
penerbitan secara individual dilakukan dengan struktur
penulisan “SBK” (spasi) tahap angka romawi (spasi)
nama Penerbit SBK (spasi) tahun diterbitkannya SBK.
Contoh penamaan SBK yaitu “SBK I PT XYZ 2017”.
Angka 2
Informasi yang tercantum didalam dokumen aggregate
term sheet yaitu informasi terkait rencana penerbitan
selama periode berlakunya pendaftaran penerbitan
secara berkelanjutan yakni 1 (satu) tahun sejak
disetujuinya pendaftaran penerbitan SBK oleh Bank
Indonesia.
Nominal penerbitan selama terdaftar merupakan batas
atas jumlah dana yang dapat dihimpun melalui
penerbitan SBK secara berkelanjutan selama 1 (satu)
tahun sejak disetujui pendaftaran penerbitan SBK oleh
Bank Indonesia.
Penamaan SBK yang diterbitkan dengan mekanisme
penerbitan secara berkelanjutan dilakukan dengan
struktur penulisan “SBK” (spasi) tahap angka romawi
yang menunjukkan urutan penerbitan berkelanjutan
dalam 1 (satu) tahun (spasi) nama Penerbit SBK (spasi)
tahun diterbitkannya SBK (spasi) seri, apabila terdapat
lebih dari 1 seri dalam 1 tahap penerbitan.
Contoh :
PT. XYZ telah memperoleh persetujuan pendaftaran
penerbitan SBK secara berkelanjutan untuk pertama
kali dari Bank Indonesia yang berlaku selama 1 (satu)
tahun. Dalam masa 1 (satu) tahun, PT XYZ akan
menerbitkan SBK pada tahap kesatu di tahun 2017
dengan 3 (tiga) seri yaitu seri A dengan tenor 3 (tiga)
bulan, seri B dengan tenor 6 (enam) bulan, dan seri C
dengan tenor 12 (dua belas) bulan. Penamaan SBK
sebagai berikut:
1. SBK Berkelanjutan I PT XYZ tahap I 2017 seri A;
2. SBK Berkelanjutan I PT XYZ tahap I 2017 seri B; dan
3. SBK Berkelanjutan I PT XYZ tahap I 2017 seri C.
Setelah melewati jangka waktu 1 (satu) tahun, PT XYZ
kembali mengajukan permohonan pendaftaran
penerbitan SBK secara berkelanjutan kedua kepada
Bank Indonesia dan mendapatkan persetujuan
pendaftaran penerbitan SBK secara berkelanjutan.
Dalam masa 1 (satu) tahun, PT XYZ akan menerbitkan
SBK pada tahap kesatu di tahun 2018 dengan 3 (tiga)
seri yaitu seri A dengan tenor 3 bulan, seri B dengan
tenor 6 bulan, dan seri C dengan tenor 12 bulan.
Penamaan SBK sebagai berikut:
1. SBK Berkelanjutan II PT XYZ tahap I 2018 seri A;
2. SBK Berkelanjutan II PT XYZ tahap I 2018 seri B;
dan
3. SBK Berkelanjutan II PT XYZ tahap I 2018 seri C.
Huruf b
Termasuk dalam rencana penggunaan dana hasil penerbitan
SBK yaitu informasi terkait satu atau beberapa pihak yang
akan menikmati secara langsung manfaat dana tersebut
(beneficial owner).
Dalam hal pihak yang akan menikmati secara langsung
manfaat dana tersebut (beneficial owner) selama periode
terdaftar terdiri atas lebih dari 1 (satu) pihak, maka informasi
rencana penggunaan dana hasil penerbitan SBK tahap
kesatu memuat secara khusus pihak yang menjadi beneficial
owner atas dana hasil penerbitan SBK di tahap kesatu
tersebut.
Huruf c
Sertifikat peringkat merupakan dokumen yang memuat
informasi mengenai peringkat SBK, sementara surat
pemeringkatan merupakan dokumen yang menjelaskan hasil
analisis Lembaga Pemeringkat terhadap pemeringkatan yang
dilakukan terhadap SBK yang sedang diajukan
pendaftarannya.
Sertifikat peringkat dan surat
pemeringkatan dapat berupa satu dokumen.
Huruf d
Bukti penerbitan kolektif awal dimaksudkan untuk
memastikan unsur pemenuhan surat sanggup, pada saat
beberapa informasi di dalamnya masih bersifat sementara
karena belum adanya persetujuan pendaftaran penerbitan
SBK dari Bank Indonesia dan belum dilakukannya
pembayaran SBK oleh investor. Informasi yang masih
bersifat sementara yaitu:
1. nominal penerbitan;
2.
tanggal penerbitan; dan
3. nama pemegang SBK ketika penerbitan.
Apabila dalam pengajuan pendaftaran terdapat 3 (tiga) seri
SBK yang akan diterbitkan, bukti penerbitan kolektif dibuat
untuk masing-masing seri tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Surat penegasan ini diperlukan untuk memastikan tidak terjadi
perubahan peringkat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Memorandum informasi merupakan dokumen penawaran
yang digunakan oleh Korporasi Non-Bank yang akan
menerbitkan SBK kepada calon investor SBK.
Beberapa informasi dalam memorandum informasi yang
disampaikan sebagai dokumen pendukung pendaftaran ke
Bank Indonesia dapat bersifat tentatif mengingat penawaran
awal belum dilakukan oleh Korporasi Non-Bank yang akan
menerbitkan SBK.
Informasi dalam memorandum informasi harus bersifat final
ketika Penerbit SBK menyampaikan laporan hasil penawaran
kepada Bank Indonesia.
Huruf b
Informasi yang lebih rinci antara lain berupa asumsi yang
digunakan dalam menyusun prakiraan.
Contoh asumsi yang digunakan dalam menyusun prakiraan
yaitu asumsi yang digunakan dalam menganalisis prospek
usaha yang tercantum dalam memorandum informasi SBK.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pendaftaran penerbitan SBK tahap
lanjutan adalah pendaftaran penerbitan SBK tahap kedua, ketiga
dan seterusnya dalam penerbitan secara berkelanjutan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penyampaian melalui sarana elektronik lainnya dilakukan
bersamaan dengan penyampaian hardcopy.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “gagal bayar” adalah kondisi tidak
terpenuhinya kewajiban finansial Korporasi Non-Bank yang
akan menerbitkan SBK terhadap kreditur pada saat jatuh
tempo yang nilainya lebih besar dari 0,5% (nol koma lima
persen) dari modal disetor.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk informasi dalam rencana penggunaan dana hasil
penerbitan SBK yaitu informasi terkait pihak yang akan
menikmati secara langsung manfaat dana tersebut
(beneficial owner).
Huruf d
Angka 1
Sertifikat peringkat merupakan dokumen yang memuat
informasi mengenai peringkat SBK, sementara surat
pemeringkatan merupakan dokumen yang menjelaskan
hasil analisis Lembaga Pemeringkat terhadap
pemeringkatan yang dilakukan terhadap SBK yang
sedang diajukan pendaftarannya. Sertifikat peringkat
dan surat pemeringkatan dapat berupa satu dokumen.
Angka 2
Surat penegasan dari Lembaga Pemeringkat
dimungkinkan diperlukan dalam penerbitan SBK tahap
lanjutan seperti tahap kesatu, kedua, dan seterusnya
dalam penerbitan secara berkelanjutan.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “perubahan dan/atau tambahan
informasi” adalah perubahan dan/atau tambahan informasi
terhadap memorandum informasi yang disampaikan terakhir
kali kepada Bank Indonesia, dan dituangkan dalam
memorandum informasi SBK yang akan diterbitkan pada
tahap lanjutan yang sedang diajukan pendaftarannya.
Dengan demikian, memorandum informasi SBK untuk
penerbitan SBK tahap lanjutan dalam penerbitan secara
berkelanjutan menggunakan memorandum informasi pada
penerbitan tahap sebelumnya yang dilengkapi dengan
informasi tambahan apabila ada.
Huruf g
Sehubungan dengan informasi mengenai total dana,
informasi total dana yang dihimpun meliputi:
1. jumlah dana yang telah dihimpun dalam penerbitan
SBK secara berkelanjutan; dan
2. jumlah dana yang akan dihimpun dalam penerbitan
SBK yang sedang diajukan permohonan pendaftaran
penerbitannya.
Sehubungan dengan surat pernyataan Penerbit SBK terkait
pemenuhan seluruh persyaratan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia mengenai penerbitan SBK, Penerbit SBK harus
melakukan penilaian secara aktif terhadap pemenuhan
persyaratan dimaksud.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Saat memorandum informasi disampaikan kepada Bank
Indonesia sebagai dokumen pendukung pengajuan
pendaftaran SBK, informasi periode penawaran, tanggal
penetapan nominal, tanggal pembayaran dan tanggal
distribusi SBK dapat bersifat sementara. Namun
demikian informasi tersebut sudah harus bersifat final
saat memorandum informasi menjadi dokumen
penawaran kepada calon investor SBK.
Angka 2
Dalam hal SBK yang diterbitkan terdiri atas beberapa
seri SBK, maka informasi yang disampaikan merupakan
informasi untuk keseluruhan seri SBK yang dilengkapi
dengan detil pada masing-masing seri SBK yang
diterbitkan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Ada tidaknya hubungan afiliasi antara arranger dengan
Penerbit SBK mengacu pada kriteria hubungan afiliasi yang
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai lembaga pendukung pasar uang yang melakukan
kegiatan terkait SBK di pasar uang.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Faktor risiko investasi SBK antara lain risiko tidak likuidnya
pasar SBK.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Nominal penerbitan merupakan besaran yang bersifat final. Nominal
penerbitan tersebut berfungsi sebagai ceiling atas jumlah dana yang
dihimpun melalui penerbitan SBK.
Informasi atas penjaminan atau penanggungan paling sedikit berupa
ada tidaknya penjaminan atau penanggungan, pihak yang menjadi
penjamin atau penanggung, apabila terdapat penjaminan atau
penanggungan.
Informasi lainnya yaitu informasi diluar informasi yang telah
disebutkan dan dianggap penting untuk diungkapkan yang dapat
berupa penggunaan agen pemantau.
Dalam hal SBK yang diterbitkan terdiri atas beberapa seri SBK, maka
informasi yang disampaikan merupakan informasi untuk keseluruhan
seri SBK yang dilengkapi dengan detil pada masing-masing seri SBK
yang diterbitkan.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan “tujuan penggunaan jangka pendek” antara
lain untuk modal kerja, pembiayaan aset jangka pendek, atau sebagai
dana talangan sementara (bridge financing) sebelum melakukan
pendanaan jangka panjang.
Pasal 19
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Informasi mengenai mekanisme penyelesaian turut mencakup
besaran denda.
Contoh:
Apabila Penerbit SBK melakukan distribusi SBK pada tanggal 26
Februari 2018 melebihi tanggal distribusi SBK yang seharusnya
dilakukan yakni tanggal 24 Februari 2018, Penerbit SBK harus
membayar denda atas keterlambatan dimaksud sesuai dengan
mekanisme penyelesaian sebagaimana tercantum dalam
memorandum informasi SBK.
Huruf c
Informasi mengenai mekanisme penyelesaian turut mencakup
besaran denda.
Kegagalan distribusi SBK dapat disebabkan antara lain oleh:
1. intensi Penerbit SBK untuk membatalkan penawaran
penerbitan SBK; atau
2. tidak adanya intensi Penerbit SBK untuk membatalkan
penawaran penerbitan SBK namun distribusi tidak dapat
dilakukan.
Contoh tidak dapat dilakukannya distribusi SBK yaitu
terlewatinya tanggal distribusi melebihi tanggal distribusi terakhir
sebagaimana tercantum dalam surat persetujuan pendaftaran
penerbitan SBK atau sebab lain yang menyebabkan proses
distribusi SBK di LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia tidak
dapat dilakukan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Contoh pemberitahuan kepada calon investor sebagai berikut:
Dengan melakukan pembelian SBK di pasar perdana dan/atau
penjualan dan/atau pembelian SBK di pasar sekunder, investor
dan/atau pelaku transaksi SBK menyetujui untuk memberikan
data dan/atau informasi kepemilikan atas SBK dan/atau
transaksi dan penyelesaian transaksi SBK yang dilakukan oleh
investor dan/atau pelaku transaksi SBK kepada Bank Indonesia.
Pasal 20
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “rating rationale” adalah isi atas surat
pemeringkatan SBK yang akan diterbitkan, yang menjelaskan
hasil analisis Lembaga Pemeringkat terhadap pemeringkatan
yang dilakukan terhadap SBK yang sedang diajukan
pendaftarannya.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “opini hukum” adalah opini hukum dari
Konsultan Hukum yang melakukan uji tuntas atas aspek hukum
terhadap Non-Bank yang akan menerbitkan SBK.
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “dokumen hukum lainnya”
antara lain perizinan/persetujuan yang dikeluarkan
oleh kementerian terkait.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pengendali” adalah pihak yang
memiliki saham Korporasi Non-Bank baik langsung maupun
tidak langsung,
a. dengan jumlah lebih dari 50% (lima puluh persen) dari
seluruh saham; atau
b. dengan jumlah kurang dari atau sama dengan 50%
(lima puluh persen) dari seluruh saham,
yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan Korporasi
Non-Bank baik secara langsung maupun tidak langsung.
Huruf e
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Penjelasan mengenai hubungan yang dimiliki antara
anak perusahaan dengan Penerbit SBK turut mencakup
uraian singkat atas hubungan tersebut.
Ayat (2)
Huruf a
Kontribusi pendapatan yang signifikan dari anak
perusahaan kepada Korporasi Non-Bank dapat berupa aliran
kas pendapatan secara regular dari anak perusahaan kepada
Korporasi Non-Bank atau setoran dividen yang signifikan
dari anak perusahaan ke Korporasi Non-Bank.
Huruf b
Kegiatan usaha anak perusahaan yang penting bagi
kelangsungan usaha Penerbit SBK dapat berupa yakni anak
perusahaan merupakan pemasok tunggal dalam usaha
Penerbit SBK atau anak perusahaan merupakan satu-
satunya penyedia jasa pengolahan dalam proses produksi
kegiatan usaha Penerbit SBK.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Legalitas dari penjamin atau penanggung meliputi aspek
hukum penjamin atau penanggung, keabsahan penjaminan
atau penanggungan, hubungan antara penjamin atau
penanggung dan Penerbit SBK apabila relevan, dan aspek
legal lain yang relevan dengan kegiatan penjaminan atau
penanggungan.
Huruf c
Kapabilitas dari penjamin atau penanggung dapat dilihat
dari peringkat kredit maupun indikator lain yang setara.
Dalam hal diperlukan, uraian singkat kapabilitas dapat
dilengkapi dengan data keuangan dari penjamin atau
penanggung.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Termasuk dalam proses produksi, sistem distribusi, dan
pemasaran yaitu dalam hal terdapat ketergantungan
yang cukup besar terhadap pemasok tertentu atau
kelompok konsumen tertentu.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “jangka pendek” adalah periode 2
(dua) tahun ke depan.
Analisis mengenai strategi usaha dan prospek usaha jangka
pendek merupakan prakiraan yang perlu didukung dengan
analisis yang objektif.
Pasal 23
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Contoh faktor ekonomi makro yakni suku bunga, nilai tukar,
harga komoditas global dan kebijakan Pemerintah.
Angka 2
Contoh faktor ekonomi mikro yakni pasokan bahan baku dan
persaingan usaha.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang termasuk sebagai risiko investasi SBK yaitu risiko terhadap
tidak likuidnya pasar SBK, penurunan harga SBK dan lain
sebagainya.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Informasi peristiwa gagal bayar meliputi penyelesaian gagal
bayar, apabila kasus gagal bayar telah diselesaikan.
Dalam hal Korporasi Non-Bank tidak pernah mengalami
gagal bayar, perlu dijelaskan bahwa Korporasi Non-Bank
tidak pernah mengalami gagal bayar.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Laporan keuangan tahunan terakhir adalah laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik
dan laporan keuangan tahunan unaudited apabila
dipersyaratkan.
Huruf b
Laporan keuangan tahunan terakhir adalah laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik
dan laporan keuangan tahunan unaudited apabila
dipersyaratkan.
Laporan keuangan tahunan merupakan dokumen yang sama
dengan laporan keuangan tahunan sebagai dokumen yang
diajukan oleh Penerbit SBK dalam pendaftaran penerbitan
SBK ke Bank Indonesia.
Huruf c
Penyajian rasio keuangan mengikuti periode penyajian
ikhtisar data keuangan penting yang dipersyaratkan.
Ayat (3)
Huruf a
Return on assets (%) merupakan rasio antara pendapatan
bersih terhadap aset.
Return on equity (%) merupakan rasio antara pendapatan
bersih terhadap ekuitas.
Huruf b
Operating margin (%) merupakan rasio antara laba usaha
terhadap penjualan.
Net operating profit after tax merupakan laba usaha netto
setelah pajak.
Huruf c
Inventory turnover merupakan perputaran persediaan yang
merupakan rasio dari harga pokok persediaan dan rata-rata
periode persediaan.
Average inventory period (days) merupakan periode
perputaran persediaan dalam 1 (satu) tahun.
Account receivable turnover merupakan perputaran piutang
yang merupakan rasio dari penjualan terhadap piutang.
Average receivable collection period (days) merupakan periode
perputaran piutang dalam 1 (satu) tahun.
Payables turnover merupakan perputaran utang usaha yang
merupakan rasio dari pembelian terhadap utang usaha.
Payables payment period (days) merupakan periode
perputaran utang usaha dalam 1 (satu) tahun.
Huruf d
Current ratio merupakan rasio antara aktiva lancar terhadap
kewajiban lancar.
Quick ratio merupakan rasio antara aktiva lancar terhadap
kewajiban lancar.
Cash ratio merupakan rasio antara kas korporasi (dan setara
kas) terhadap kewajiban lancar.
Net Cash Flow from Operations (CFO) to current liabilities
merupakan rasio antara arus kas netto yang diperoleh dari
kegiatan operasional terhadap kewajiban lancar.
Free cash flow to current liabilities (termasuk all investing
cash flow) merupakan rasio antara arus kas bebas yang telah
memperhitungkan kas dari kegiatan investasi terhadap
kewajiban lancar.
Free cash flow to current liabilities (hanya termasuk PPE
Capex) merupakan rasio antara arus kas bebas yang telah
memperhitungkan kas yang dipergunakan untuk atau
diperoleh dari capital expenditure terhadap kewajiban lancar.
Levered Free Cash Flow Margin (%) merupakan rasio antara
arus kas bebas yang memperhitungkan kewajiban finansial
atas utang terhadap penjualan.
Unlevered Free Cash Flow Margin (%) merupakan rasio antara
arus kas bebas yang belum memperhitungkan kewajiban
finansial atas utang terhadap penjualan.
Huruf e
Total Debt/Equity merupakan rasio antara utang terhadap
ekuitas.
Total Debt/EBITDA merupakan rasio antara utang terhadap
pendapatan pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi,
dan amortisasi.
Ayat (4)
Dalam sektor industri jasa, tidak dikenal rasio inventory turnover,
sehingga rasio ini tidak relevan untuk digunakan.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh investasi yang berhubungan langsung dengan
kegiatan usaha Korporasi Non-Bank dalam menghasilkan
barang dan jasa antara lain investasi mesin produksi dan
investasi pembangunan pabrik. Sementara contoh investasi
yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha
Korporasi Non-Bank dalam menghasilkan barang dan jasa
antara lain investasi pada Research and Development (R&D),
dan investasi pada kendaraan untuk sistem distribusi.
Huruf d
Contoh perikatan yang berpengaruh signifikan pada
pendapatan dan/atau beban Korporasi Non-Bank yaitu
kontrak kesepakatan harga jual produk dengan perusahaan
pembeli untuk 10 (sepuluh) tahun ke depan, dan
kesepakatan harga beli bahan baku dengan perusahaan
supplier selama 5 (lima) tahun ke depan. Kedua kontrak
dimaksud berpengaruh signifikan pada pendapatan
dan/atau beban Korporasi Non-Bank.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “gagal bayar” adalah kondisi tidak
terpenuhinya kewajiban finansial Korporasi Non-Bank yang akan
menerbitkan SBK terhadap kreditur pada saat jatuh tempo yang
nilainya lebih besar dari 0,5% (nol koma lima persen) dari modal
disetor.
Ayat (7)
Huruf a
Laporan keuangan tahunan terakhir adalah laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik
dan laporan keuangan tahunan unaudited apabila
dipersyaratkan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan “informasi maupun fakta material” adalah
informasi maupun fakta mengenai kondisi Korporasi Non-Bank
yang akan menerbitkan SBK, yang bersifat material meliputi
peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat memengaruhi harga
SBK, memengaruhi kemampuan Penerbit SBK dalam membayar
kewajiban Penerbit SBK, dan/atau memengaruhi pengambilan
keputusan oleh investor maupun calon investor SBK serta pihak
lain yang berkepentingan atas informasi tersebut.
Informasi maupun fakta material dapat berupa informasi dari
kejadian, peristiwa, atau fakta yang bersifat transaksional
maupun non-transaksional.
Suatu kejadian, peristiwa, atau fakta transaksional dianggap
material apabila memiliki nilai paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari nilai ekuitas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Apabila menggunakan lebih dari 1 (satu) lembaga penata
laksana penerbitan (arranger) maka menyebutkan seluruh
arranger yang digunakan.
Kegiatan arranger dapat mencakup berbagai kegiatan dalam
penerbitan meliputi kegiatan dari mulai persiapan
penerbitan, penjualan sampai dengan distribusi atau
kegiatan yang lebih khusus dalam penerbitan misalnya
penjualan SBK.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “agen pembayar SBK” adalah pihak
yang menjadi agen pembayar pada saat pemesanan SBK
dan/atau pascapenerbitan SBK.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Informasi terkait pengambilan keputusan SBK antara lain
meliputi:
1. informasi mengenai Penerbit SBK yang tercantum dalam
memorandum informasi; dan
2. informasi mengenai perdagangan SBK sehubungan dengan
potensi investor melakukan penjualan sebelum SBK jatuh
tempo.
Dalam hal calon investor memerlukan klarifikasi dan/atau
informasi tambahan atas informasi di atas, calon investor
mengetahui mekanisme untuk meminta klarifikasi dan/atau
informasi tambahan dimaksud.
Calon investor dapat menggunakan sumber informasi lain dalam
pengambilan keputusan untuk berinvestasi SBK selain dari
informasi yang disediakan oleh Penerbit SBK maupun penata
laksana (arranger) penerbitan SBK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Huruf a
Nama pihak yang mewakili Penerbit SBK atas isi dalam
memorandum informasi SBK dapat terdiri atas anggota direksi
Penerbit SBK dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan
sesuai anggaran dasar Penerbit SBK dan/atau ketentuan internal
Penerbit SBK.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “tahapan” adalah tahap kesatu,
kedua, ketiga dan seterusnya dalam periode terdaftar.
Contoh: PT XYZ memperoleh persetujuan pendaftaran
penerbitan SBK secara berkelanjutan dari Bank
Indonesia terhitung tanggal 2 Februari 2018 sampai
dengan tanggal 1 Februari 2019. Tahap kesatu, kedua,
ketiga dilakukan dalam kurun waktu tersebut.
Huruf b
Angka 1
Pengungkapan tanggal persetujuan pendaftaran
penerbitan dan tanggal berakhirnya tanggal
persetujuan pendaftaran penerbitan dimaksud sesuai
dengan yang tertera dalam surat persetujuan
pendaftaran yang disampaikan oleh Bank Indonesia
kepada Penerbit SBK.
Saat memorandum informasi disampaikan kepada Bank
Indonesia sebagai dokumen pendukung pengajuan
pendaftaran SBK, informasi periode penawaran, tanggal
penetapan nominal, tanggal pembayaran dan tanggal
distribusi SBK dapat bersifat sementara. Informasi
tersebut sudah harus bersifat final saat memorandum
informasi menjadi dokumen penawaran kepada calon
investor SBK.
Angka 2
Dalam hal SBK yang diterbitkan terdiri atas beberapa
seri SBK, maka informasi yang disampaikan merupakan
informasi untuk keseluruhan seri SBK yang dilengkapi
dengan detil pada masing-masing seri SBK yang
diterbitkan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Ada tidaknya hubungan afiliasi antara arranger dengan
Penerbit SBK mengacu pada kriteria hubungan afiliasi yang
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai lembaga pendukung pasar uang yang melakukan
kegiatan terkait SBK di pasar uang.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Faktor risiko investasi SBK antara lain risiko tidak likuidnya
pasar SBK.
Pasal 33
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tujuan penggunaan jangka pendek”
antara lain untuk modal kerja, pembiayaan aset jangka pendek,
atau sebagai dana talangan sementara (bridge financing) sebelum
melakukan pendanaan jangka panjang.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Nominal penerbitan merupakan besaran yang bersifat final.
Nominal penerbitan tersebut berfungsi sebagai ceiling atas jumlah
dana yang dihimpun melalui penerbitan SBK.
Ayat (2)
Dalam hal SBK yang diterbitkan terdiri atas beberapa seri SBK,
maka informasi yang disampaikan merupakan informasi untuk
keseluruhan seri SBK yang dilengkapi dengan detil pada masing-
masing seri SBK yang diterbitkan.
Nominal penerbitan pada tahap kesatu merupakan besaran yang
bersifat final. Nominal penerbitan tersebut berfungsi sebagai
ceiling atas jumlah dana yang dihimpun melalui penerbitan SBK
pada tahap kesatu.
Informasi atas penjaminan atau penanggungan paling sedikit
berupa ada tidaknya penjaminan atau penanggungan, pihak yang
menjadi penjamin atau penanggung, apabila terdapat penjaminan
atau penanggungan.
Informasi lainnya merupakan informasi di luar informasi yang
telah disebutkan dan dianggap penting untuk diungkapkan yang
dapat berupa penggunaan agen pemantau.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 35
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Contoh pemberitahuan kepada calon investor sebagai berikut:
Dengan melakukan pembelian SBK di pasar perdana dan/atau
penjualan dan/atau pembelian SBK di pasar sekunder, investor
dan/atau pelaku transaksi SBK menyetujui untuk memberikan
data dan/atau informasi kepemilikan atas SBK dan/atau
transaksi dan penyelesaian transaksi SBK yang dilakukan oleh
investor dan/atau pelaku transaksi SBK kepada Bank Indonesia.
Pasal 36
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “rating rationale” adalah isi atas surat
pemeringkatan SBK yang akan diterbitkan, yang menjelaskan
hasil analisis Lembaga Pemeringkat terhadap pemeringkatan
yang dilakukan terhadap SBK yang sedang diajukan
pendaftarannya.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “opini hukum” adalah opini hukum dari
Konsultan Hukum yang melakukan uji tuntas atas aspek hukum
atas Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK
Pasal 37
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “dokumen hukum lainnya”
antara lain persetujuan kementerian.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pengendali” adalah pihak yang
memiliki saham Korporasi Non-Bank baik langsung maupun
tidak langsung,
a. dengan jumlah lebih dari 50% (lima puluh persen) dari
seluruh saham; atau
b. dengan jumlah kurang dari atau sama dengan 50%
(lima puluh persen) dari seluruh saham,
yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan Korporasi
Non-Bank baik secara langsung maupun tidak langsung.
Huruf e
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Penjelasan mengenai hubungan yang dimiliki antara
anak perusahaan dengan Penerbit SBK turut mencakup
uraian singkat atas hubungan tersebut.
Ayat (2)
Huruf a
Kontribusi pendapatan yang signifikan dari anak
perusahaan kepada Korporasi Non-Bank dapat berupa aliran
kas pendapatan secara regular dari anak perusahaan kepada
Korporasi Non-Bank atau setoran dividen yang signifikan
dari anak perusahaan ke Korporasi Non-Bank, dan lain
sebagainya.
Huruf b
Kegiatan usaha anak perusahaan yang penting bagi
kelangsungan usaha Korporasi Non-Bank dapat berupa anak
perusahaan merupakan pemasok tunggal dalam usaha
Korporasi Non-Bank atau anak perusahaan merupakan
satu-satunya penyedia jasa pengolahan dalam proses
produksi kegiatan usaha Penerbit SBK, dan lain sebagainya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Legalitas dari penjamin atau penanggung meliputi aspek
hukum penjamin atau penanggung, keabsahan penjaminan
atau penanggungan, hubungan antara penjamin atau
penanggung dan Penerbit SBK apabila relevan, dan aspek
legal lain yang relevan dengan kegiatan penjaminan atau
penanggungan.
Huruf c
Kapabilitas dari penjamin atau penanggung dapat dilihat
dari peringkat kredit maupun indikator lain yang setara.
Dalam hal diperlukan, uraian singkat kapabilitas dapat
dilengkapi dengan data keuangan dari penjamin atau
penanggung.
Pasal 38
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Termasuk di dalamnya bila terdapat adanya ketergantungan
yang cukup besar terhadap pemasok tertentu atau kelompok
konsumen tertentu.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “jangka pendek” adalah periode 2 (dua)
tahun ke depan.
Analisis ini merupakan prakiraan, sehingga perlu didukung
dengan analisis yang objektif.
Pasal 39
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Contoh faktor ekonomi makro yaitu suku bunga, nilai tukar,
harga komoditas global dan kebijakan Pemerintah.
Angka 2
Contoh faktor ekonomi mikro yaitu pasokan bahan baku dan
persaingan usaha.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang termasuk dengan “risiko investasi SBK” antara lain risiko
terhadap tidak likuidnya pasar SBK, dan penurunan harga SBK.
Pasal 40
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Informasi peristiwa gagal bayar meliputi penyelesaian gagal
bayar, apabila kasus gagal bayar telah diselesaikan.
Dalam hal Korporasi Non-Bank tidak pernah mengalami
gagal bayar, maka perlu dijelaskan didalam bagian ini bahwa
Korporasi Non-Bank tidak pernah mengalami gagal bayar.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Laporan keuangan tahunan terakhir adalah laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik
dan laporan keuangan tahunan unaudited apabila
dipersyaratkan.
Huruf b
Laporan keuangan tahunan terakhir adalah laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik
dan laporan keuangan tahunan unaudited apabila
dipersyaratkan.
Laporan keuangan tahunan merupakan dokumen yang sama
dengan laporan keuangan tahunan sebagai dokumen yang
diajukan oleh Penerbit SBK dalam pendaftaran penerbitan
SBK ke Bank Indonesia.
Huruf c
Penyajian rasio keuangan mengikuti periode penyajian
ikhtisar data keuangan penting yang dipersyaratkan.
Ayat (3)
Huruf a
Return on assets (%) merupakan rasio antara pendapatan
bersih terhadap aset.
Return on equity (%) merupakan rasio antara pendapatan
bersih terhadap ekuitas.
Huruf b
Operating margin (%) merupakan rasio antara laba usaha
terhadap penjualan.
Net operating profit after tax merupakan laba usaha netto
setelah pajak.
Huruf c
Inventory turnover merupakan perputaran persediaan yang
merupakan rasio dari harga pokok persediaan dan rata-rata
periode persediaan.
Average inventory period (days) merupakan periode
perputaran persediaan dalam 1 (satu) tahun.
Account receivable turnover merupakan perputaran piutang
yang merupakan rasio dari penjualan terhadap piutang.
Average receivable collection period (days) merupakan periode
perputaran piutang dalam 1 (satu) tahun.
Payables turnover merupakan perputaran utang usaha yang
merupakan rasio dari pembelian terhadap utang usaha.
Payables payment period (days) merupakan periode
perputaran utang usaha dalam 1 (satu) tahun.
Huruf d
Current ratio merupakan rasio antara aktiva lancar terhadap
kewajiban lancar.
Quick ratio merupakan rasio antara aktiva lancar terhadap
kewajiban lancar.
Cash ratio merupakan rasio antara kas korporasi (dan setara
kas) terhadap kewajiban lancar.
Net Cash Flow from Operations (CFO) to current liabilities
merupakan rasio antara arus kas netto yang diperoleh dari
kegiatan operasional terhadap kewajiban lancar.
Free cash flow to current liabilities (termasuk all investing
cash flow) merupakan rasio antara arus kas bebas yang telah
memperhitungkan kas dari kegiatan investasi terhadap
kewajiban lancar.
Free cash flow to current liabilities (hanya termasuk PPE
Capex) merupakan rasio antara arus kas bebas yang telah
memperhitungkan kas yang dipergunakan untuk atau
diperoleh dari capital expenditure terhadap kewajiban lancar.
Levered Free Cash Flow Margin (%) merupakan rasio antara
arus kas bebas yang memperhitungkan kewajiban finansial
atas utang terhadap penjualan.
Unlevered Free Cash Flow Margin (%) merupakan rasio antara
arus kas bebas yang belum memperhitungkan kewajiban
finansial atas utang terhadap penjualan.
Huruf e
Total Debt/Equity merupakan rasio antara utang terhadap
ekuitas.
Total Debt/EBITDA merupakan rasio antara utang terhadap
pendapatan pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi,
dan amortisasi.
Ayat (4)
Dalam sektor industri jasa, tidak dikenal rasio inventory turnover,
sehingga rasio ini tidak relevan untuk digunakan.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh investasi yang berhubungan langsung dengan
kegiatan usaha Korporasi Non-Bank dalam menghasilkan
produk barang dan jasa yaitu investasi mesin produksi,
investasi pembangunan pabrik, dan lain sebagainya.
Contoh investasi yang tidak berhubungan dengan kegiatan
usaha Korporasi Non-Bank dalam menghasilkan produk
barang dan jasa yaitu investasi pada Research and
Development (R&D), investasi pada kendaraan untuk sistem
distribusi dan lain sebagainya.
Huruf d
Contoh perikatan yang berpengaruh signifikan pada
pendapatan dan/atau beban Korporasi Non-Bank adalah
kontrak kesepakatan harga jual produk dengan perusahaan
pembeli untuk 10 (sepuluh) tahun ke depan, kesepakatan
harga beli bahan baku dengan perusahaan supplier selama 5
(lima) tahun ke depan, dan lain sebagainya.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “gagal bayar” adalah kondisi tidak
terpenuhinya kewajiban finansial Korporasi Non-Bank yang akan
menerbitkan SBK terhadap kreditur pada saat jatuh tempo yang
nilainya lebih besar dari 0,5% (nol koma lima persen) dari modal
disetor.
Ayat (7)
Huruf a
Laporan keuangan tahunan terakhir adalah laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik
dan laporan keuangan tahunan unaudited apabila
dipersyaratkan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan “informasi maupun fakta material” adalah
informasi maupun fakta mengenai kondisi Korporasi Non-Bank,
yang bersifat material meliputi peristiwa, kejadian, atau fakta
yang dapat memengaruhi harga SBK, memengaruhi kemampuan
Korporasi Non-Bank dalam membayar kewajiban Korporasi Non-
Bank, dan/atau memengaruhi pengambilan keputusan oleh
investor maupun calon investor SBK serta pihak lain yang
berkepentingan atas informasi tersebut.
Informasi maupun fakta material dapat berupa informasi dari
kejadian, peristiwa, atau fakta yang bersifat transaksional
maupun non-transaksional.
Suatu kejadian, peristiwa, atau fakta transaksional dianggap
material apabila memiliki nilai paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari nilai ekuitas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Huruf a
Apabila menggunakan lebih dari 1 lembaga penata laksana
penerbitan (arranger) maka menyebutkan seluruh arranger
yang digunakan.
Kegiatan arranger dapat mencakup berbagai kegiatan dalam
penerbitan meliputi kegiatan dari mulai persiapan
penerbitan, penjualan, dan distribusi atau kegiatan yang
lebih khusus dalam penerbitan misalnya penjualan SBK.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “agen pembayar SBK” adalah pihak
yang menjadi agen pembayar pada saat pemesanan SBK
dan/atau pascapenerbitan SBK.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Informasi terkait pengambilan keputusan SBK antara lain
meliputi:
1. informasi mengenai Penerbit SBK yang tercantum dalam
memorandum informasi; dan
2. informasi mengenai perdagangan SBK sehubungan dengan
potensi investor melakukan penjualan sebelum SBK jatuh
tempo.
Dalam hal calon investor memerlukan klarifikasi dan/atau
informasi tambahan atas informasi di atas, calon investor
mengetahui mekanisme untuk meminta klarifikasi dan/atau
informasi tambahan dimaksud.
Calon investor dapat menggunakan sumber informasi lain dalam
pengambilan keputusan untuk berinvestasi SBK selain dari
informasi yang disediakan oleh Penerbit SBK maupun penata
laksana (arranger) penerbitan SBK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Huruf a
Nama pihak yang mewakili Penerbit SBK atas isi dalam
memorandum informasi SBK dapat terdiri atas anggota direksi
Penerbit SBK dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan
sesuai anggaran dasar Penerbit SBK dan/atau ketentuan internal
Penerbit SBK.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Daftar tabel pengkinian informasi memuat referensi halaman
dan/atau bab dan/atau subbab yang diperbarui.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh struktur penawaran SBK dan rencana penggunaan
dana pada tahap yang sedang dilakukan dalam penerbitan
secara berkelanjutan yaitu informasi struktur penawaran
SBK dan rencana penggunaan dana yang terkait dengan
penerbitan SBK tahap ketiga bagi Korporasi Non-Bank yang
akan menerbitkan SBK tahap ketiga.
Huruf c
Contoh struktur penawaran SBK dan rencana penggunaan
dana pada tahap sebelumnya dalam penerbitan secara
berkelanjutan yaitu informasi struktur penawaran SBK dan
rencana penggunaan dana atas penerbitan SBK tahap kedua
dan informasi atas penerbitan SBK tahap kesatu bagi
Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK tahap
ketiga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengkinian informasi adalah pengkinian
informasi terhadap informasi di dalam memorandum informasi
pada penerbitan SBK pertama kali setelah terdaftar dan/atau
informasi lain yang tergolong ke dalam informasi maupun fakta
material.
Penulisan dalam bab ini meliputi:
a. informasi yang tercantum pada memorandum informasi
sebelumnya; dan
b. informasi yang diperbarui terhadap informasi sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Salah satu contoh pemenuhan kewajiban kepada Bank Indonesia
yaitu pemenuhan kewajiban terkait pelaporan Penerbit SBK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “periode status terdaftar” adalah periode
1 (satu) tahun sejak tanggal persetujuan pendaftaran penerbitan
SBK oleh Bank Indonesia.
Pasal 55
Ayat (1)
Salah satu contoh pemenuhan kewajiban kepada Bank Indonesia
yaitu pemenuhan kewajiban terkait pelaporan Penerbit SBK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemenuhan ketentuan Bank Indonesia antara lain
pemenuhan terhadap kewajiban pelaporan sebagai Penerbit
SBK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 58
Huruf a
Penawaran meliputi kegiatan pemasaran, pemesanan, penetapan
nominal, pembayaran dan distribusi.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Hak dan kewajiban investor SBK antara lain:
1. hak untuk mendapatkan informasi terkait status
terdaftar Penerbit SBK di Bank Indonesia dan pihak
yang melakukan penawaran SBK di Bank Indonesia;
2. hak untuk memperoleh informasi melalui dokumen
memorandum informasi, dokumen penawaran lain
dan/atau penjelasannya yang paling sedikit mencakup
media dan mekanisme untuk mendapatkan informasi
terkait penerbitan SBK, syarat dan kondisi pemesanan
serta hal – hal lain yang relevan dengan proses
penawaran;
3. hak untuk memiliki waktu membaca dan menganalisis
informasi dalam pengambilan keputusan berinvestasi;
dan/atau
4. kewajiban investor untuk melakukan pembayaran
setelah dilakukan penetapan nominal dan
pengalokasian SBK oleh Penerbit SBK dan/atau
penatalaksana (arranger).
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Jadwal penawaran SBK antara lain meliputi periode
penawaran, tanggal penetapan nominal penerbitan, tanggal
pembayaran, dan tanggal distribusi SBK.
Huruf d
Syarat dan kondisi terkait pembelian SBK antara lain
meliputi perlakuan pajak, mekanisme pembayaran
keterlambatan distribusi, dan mekanisme penyelesaian
sengketa.
Pasal 60
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penetapan nominal SBK” adalah
penetapan jumlah SBK yang akan diterbitkan terhadap jumlah,
yang bersumber dari penawaran yang masuk dari seluruh calon
investor SBK termasuk jumlah nominal yang dialokasikan untuk
setiap investor.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pembayaran SBK” adalah pembayaran
yang dilakukan oleh calon investor SBK kepada Penerbit SBK
untuk pembelian SBK.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “distribusi SBK” adalah pencatatan SBK
secara elektronik di LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Pencatatan dimaksud sampai dengan pencatatan level investor
SBK.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bentuk tata kelola yang baik antara lain dokumentasi terhadap
seluruh data pemesanan (tidak ada data pemesanan yang tidak
terdokumentasi) dan seluruh proses mulai dari pemesanan
sampai dengan penetapan nominal terdokumentasi dengan baik.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penyampaian melalui sarana elektronik lainnya dilakukan
bersamaan dengan penyampaian hardcopy.
Ayat (3)
Huruf a
Informasi rekapitulasi hasil penawaran meliputi periode
penawaran dan informasi penawaran yang dilakukan oleh
setiap investor.
Huruf b
Memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya yang
digunakan dalam penawaran merupakan memorandum
informasi dan/atau dokumen lainnya yang diberikan kepada
calon investor SBK.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Penundaan penawaran SBK dan pelaksanaan penawaran SBK
yang baru harus tetap dalam periode status terdaftar yang telah
disetujui oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Contoh:
Korporasi Non-Bank A berencana melakukan penerbitan SBK
sebanyak 7 (tujuh) tahap yakni tahap kesatu, kedua sampai
dengan tahap ketujuh selama periode terdaftar penerbitan SBK
secara berkelanjutan.
Dengan demikian, Korporasi Non-Bank A dapat melakukan
penundaan penawaran di setiap tahapan penerbitan yakni tahap
kesatu, tahap kedua sampai dengan tahap ketujuh.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “jangka waktu penundaan penawaran”
adalah jangka waktu antara tanggal distribusi SBK yang lama
yang tercantum pada surat persetujuan pendaftaran penerbitan
SBK sebelumnya dengan tanggal distribusi SBK yang baru akibat
penundaan penawaran.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penyampaian melalui sarana elektronik lainnya dilakukan
bersamaan dengan penyampaian hardcopy.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tanggal dilakukannya penawaran adalah
tanggal dimulainya masa penawaran.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 73
Ayat (1)
Salah satu sarana yang dapat digunakan untuk memudahkan
akses informasi oleh calon investor SBK adalah laman (website)
korporasi dari Penerbit SBK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Akta pernyataan penerbitan merupakan pernyataan yang dibuat
dalam akta notarial, antara lain memuat bahwa:
a. Penerbit SBK benar merupakan Penerbit SBK sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penerbitan dan transaksi SBK;
b. Penerbit SBK telah memenuhi persyaratan yang diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penerbitan dan transaksi SBK; dan
c. SBK akan dicatat dan ditatausahakan secara elektronik di
LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 77
Ayat (1)
Dalam hal terdapat pembatalan dari investor sehingga tidak
terjadi pembayaran, maka nominal pembatalan dimaksud tidak
termasuk dalam perhitungan nominal penerbitan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia” antara lain KSEI.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 81
Pelaksanaan penerbitan dan transaksi mencakup proses dari mulai
persiapan penerbitan, pendaftaran, distribusi, penatausahaan,
transaksi hingga pelunasan.
Kondisi tertentu antara lain keterlambatan pelunasan SBK.
Pasal 82
Ayat (1)
Pelaksanaan penerbitan SBK dianggap terjadi ketika dilakukan
distribusi SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh
Akuntan Publik (audited) belum tersedia, maka mencakup
laporan keuangan tahunan unaudited sampai akhirnya
tersedia laporan keuangan tahunan audited.
Huruf b
Yang termasuk dalam perubahan dalam kegiatan usaha
antara lain:
1. penutupan satu unit usaha;
2. penggabungan usaha;
3. pemisahan usaha; dan
4. peleburan usaha.
Huruf c
Yang termasuk dalam investasi atau pembiayaan dalam
jumlah yang material antara lain pembelian saham
perusahaan lain, buyback dan penjualan surat berharga.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang termasuk dalam perubahan atas metode antara lain
perubahan tahun buku, perubahan standar akuntansi
termasuk valuta dari laporan keuangan.
Huruf j
Yang termasuk dalam hasil pengawasan khusus antara lain
adanya status pengawasan khusus yang dikenakan otoritas,
pembatasan izin usaha dan lain sebagainya.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Ayat (1)
Akses informasi bertujuan untuk memastikan investor SBK
dan/atau calon investor SBK memperoleh informasi yang cukup
tentang SBK beserta kondisi Penerbit SBK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Ayat (1)
Kode unik transaksi merupakan sebuah angka yang secara unik
membedakan suatu transaksi SBK dengan transaksi SBK lainnya.
Kode unik transaksi dapat diciptakan dan disepakati antar Pelaku
Transaksi SBK dan/atau Lembaga Pendukung Transaksi SBK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Contoh 1:
Korporasi Non-Bank A sepakat untuk menjual SBK kepada Korporasi
Non-Bank B sebesar Rp 5.000.000.000,00 pada tanggal 18 Juni 2018.
Mengingat penyelesaian transaksi dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari
kerja dan tanggal 19, 20 dan 21 Juni 2018 merupakan hari kerja maka
penyelesaian transaksi dilakukan paling lambat pada tanggal 21 Juni
2018.
Contoh 2:
Korporasi Non-Bank C sepakat untuk menjual SBK kepada Korporasi
Non-Bank D sebesar Rp 3.000.000.000,00 pada tanggal 20 Juli 2018.
Mengingat penyelesaian transaksi dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari
kerja dan tanggal 21, 22 dan 23 Juli 2018 merupakan hari Sabtu,
Minggu, dan hari libur nasional, maka penyelesaian transaksi
dilakukan paling lambat pada tanggal 26 Juli 2018.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Prosedur operasi standar ini merupakan dokumen
pendukung dalam pengajuan pendaftaran Lembaga
Pendukung Transaksi SBK sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai lembaga
pendukung pasar uang yang melakukan kegiatan terkait
SBK di pasar uang.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Informasi maupun fakta material yang signifikan termasuk yang
dilaporkan dalam laporan secara berkala.
Huruf c
Implementasi dari pelaporan data posisi kepemilikan investor atas
SBK yang diterbitkan oleh Penerbit SBK tercakup dalam laporan
penatausahaan dan penyelesaian transaksi SBK oleh KSEI selaku
LPP SBK kepada Bank Indonesia.
Pasal 97
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penerbitan SBK” adalah terjadinya
distribusi SBK dari Penerbit SBK kepada investor SBK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 98
Penerbitan SBK meliputi penerbitan yang dilakukan dalam mekanisme
penerbitan secara individual maupun penerbitan secara
berkelanjutan.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penyampaian melalui sarana elektronik lainnya dilakukan
bersamaan dengan penyampaian hardcopy.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Bukti pengungkapan informasi maupun fakta material kepada
investor dan/atau calon investor dapat berupa pengungkapan
informasi maupun fakta material melalui laman Penerbit SBK
yang dibuktikan dengan screenshot informasi dimaksud dalam
laman Penerbit SBK.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pelaku transaksi mencakup pembeli dan penjual.
Huruf d
Jenis pelaku diantaranya memuat informasi status pelaku
transaksi dalam hal status pelaku transaksi merupakan entitas
domestik atau asing serta kategori pelaku transaksi dalam hal
pelaku transaksi merupakan bank, Perusahaan Efek, dana
pensiun dan lain sebagainya.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan jenis transaksi adalah transaksi jual beli
SBK, yang dapat dilakukan secara jual beli putus (outright) atau
jual/beli dengan janji dibeli/dijual kembali (repo/reverse repo).
Huruf g
Nominal transaksi merujuk pada nominal transaksi SBK yang
ditransaksikan.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 112
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pelaporan transaksi oleh Bank dilakukan dalam kapasitas
Bank sebagai pelaku transaksi.
Huruf b
Pelaporan transaksi oleh Perusahaan Efek dilakukan dalam
kapasitas Perusahaan Efek sebagai:
a. pelaku transaksi;
b. Lembaga Pendukung Transaksi SBK; dan/atau
c. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi SBK.
Pelaporan transaksi oleh Perusahaan Pialang dilakukan
dalam kapasitas Perusahaan Pialang sebagai Lembaga
Pendukung Transaksi SBK.
Pelaporan transaksi oleh Bank yang melaksanakan kegiatan
kustodian dilakukan dalam kapasitas Bank sebagai Lembaga
Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi
SBK.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Ayat (1)
Dalam hal Penerbit SBK yang telah mendapatkan persetujuan
pendaftaran penerbitan SBK secara berkelanjutan mendapatkan
sanksi tidak dapat menerbitan SBK 1 (satu) tahun ke depan
sebelum berakhirnya periode terdaftar, Penerbit SBK tidak dapat
menerbitkan SBK pada tahap lanjutan penerbitan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/1/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PENERBITAN DAN TRANSAKSI SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG </reg_title>
<set_date> 2 Januari 2018 </set_date>
<effective_date> 2 Januari 2018 </effective_date>
<related_reg> '19/9/PBI/2017', '18/11/PBI/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/11/PADG/2017
TENTANG
PENYELESAIAN TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA
DAN THAILAND MENGGUNAKAN RUPIAH DAN BAHT MELALUI BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah diperlukan upaya untuk memitigasi risiko
terjadinya fluktuasi rupiah melalui suatu kerja sama
antara Bank Indonesia dengan bank sentral atau otoritas
moneter negara lain terkait dengan penyelesaian
transaksi perdagangan bilateral;
b. bahwa Bank Indonesia dan Bank of Thailand telah
menyepakati pembentukan kerangka kerja sama untuk
mendorong penyelesaian transaksi perdagangan bilateral
dalam rupiah dan baht melalui kegiatan dan transaksi
keuangan yang dapat dilakukan oleh bank;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang
Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral antara
Indonesia dan Thailand Menggunakan Rupiah dan Baht
Melalui Bank;
2
Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/11/PBI/2017 tentang
Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral Menggunakan
Mata Uang Lokal (Local Currency Settlement) Melalui Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
213, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6127);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PENYELESAIAN TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL
ANTARA INDONESIA DAN THAILAND MENGGUNAKAN
RUPIAH DAN BAHT MELALUI BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
serta bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
2. Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral
Menggunakan Rupiah dan Baht (Local Currency
Settlement) yang selanjutnya disebut LCS Rupiah dan
Baht adalah penyelesaian transaksi perdagangan
bilateral yang dilakukan oleh pelaku usaha di Indonesia
dan di Thailand dengan menggunakan rupiah dan baht.
3. Bank yang Ditunjuk Untuk Melaksanakan Transaksi
Mata Uang (Appointed Cross Currency Dealer Bank) yang
selanjutnya disebut Bank ACCD adalah bank yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia bersama Bank of Thailand
guna melakukan kegiatan dan transaksi keuangan
3
tertentu untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah
dan Baht.
4. Bank ACCD Indonesia adalah Bank ACCD di Indonesia.
5. Bank ACCD Thailand adalah Bank ACCD di Thailand.
6. Rekening Special Purpose Non-Resident Account Rupiah
yang selanjutnya disebut SNA Rupiah adalah rekening
khusus milik Bank ACCD Thailand dalam rupiah yang
dibuka pada Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan
pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht.
7. Rekening Sub-Special Purpose Non-Resident Account
Rupiah yang selanjutnya disebut Sub-SNA Rupiah adalah
rekening khusus milik importir/eksportir Thailand dalam
rupiah yang dibuka pada Bank ACCD Thailand untuk
kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht.
8. Rekening Special Purpose Non-Resident Account Baht yang
selanjutnya disebut SNA Baht adalah rekening khusus
milik Bank ACCD Indonesia dalam baht yang dibuka
pada Bank ACCD Thailand untuk kepentingan
pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht.
9. Rekening Sub Special Purpose Non-Resident Account Baht
yang selanjutnya disebut Sub-SNA Baht adalah rekening
khusus milik importir/eksportir Indonesia dalam baht
yang dibuka pada Bank ACCD Indonesia untuk
kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht.
10. Underlying Transaksi adalah seluruh kegiatan
perdagangan barang dan jasa antara Indonesia dan
Thailand, termasuk kegiatan pembiayaan perdagangan
untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht.
11. Pembiayaan Perdagangan adalah pembiayaan yang
diberikan Bank ACCD kepada importir/eksportir di
Indonesia dan Thailand untuk kepentingan pelaksanaan
perdagangan bilateral.
12. Eksportir adalah eksportir sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perdagangan.
13. Importir adalah importir sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perdagangan.
14. Hari adalah hari kerja.
4
BAB II
PENUNJUKAN BANK ACCD
Pasal 2
(1) Bank Indonesia bersama Bank of Thailand menunjuk
bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD
Thailand.
(2) Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan penetapan Bank ACCD Indonesia dan Bank
ACCD Thailand secara efektif dapat mulai melakukan
kegiatan operasional dan transaksi keuangan tertentu
untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht.
(3) Penunjukan sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank
ACCD Thailand sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria:
a. kondisi kesehatan bank;
b. kemampuan bank dalam memfasilitasi perdagangan
antara Indonesia dan Thailand;
c. kemampuan bank dalam menjalin hubungan bisnis
dengan perbankan di Indonesia dan di Thailand;
d. akses jaringan kantor bank di negara asal (home
country) yaitu Indonesia atau Thailand; dan/atau
e.
kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
bersama Bank of Thailand.
(4) Bank Indonesia bersama Bank of Thailand melakukan
evaluasi dengan mempertimbangkan perkembangan
bisnis Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand
untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht
serta kepatuhan Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD
Thailand terkait ketentuan yang mengatur mengenai LCS
Rupiah dan Baht.
(5) Bank Indonesia bersama Bank of Thailand dapat
mengakhiri penunjukan bank sebagai Bank ACCD
Indonesia dan Bank ACCD Thailand.
5
Pasal 3
(1) Untuk kepentingan penunjukan bank sebagai Bank
ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Bank Indonesia
bersama Bank of Thailand melakukan persiapan
penunjukan bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan
Bank ACCD Thailand:
a. meminta calon Bank ACCD Indonesia untuk
mengajukan surat permohonan kepada Bank
Indonesia dan Bank of Thailand;
b. menerima permohonan dari calon Bank ACCD
Indonesia dan calon Bank ACCD Thailand;
c. melakukan pemrosesan permohonan dari calon
Bank ACCD Indonesia dan calon Bank ACCD
Thailand melalui koordinasi dengan Bank of
Thailand;
d. persetujuan penunjukan Bank sebagai Bank ACCD
Indonesia dan bank sebagai Bank ACCD Thailand;
dan/atau
e. kegiatan persiapan lainnya terkait penunjukan bank
sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD
Thailand.
(2) Penyampaian surat permohonan dari calon Bank ACCD
Indonesia kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur sebagai berikut:
a. memuat pernyataan minat dan kesiapan untuk
menjadi Bank ACCD Indonesia serta usulan calon
mitra Bank ACCD Indonesia di Thailand; dan
b. melampirkan surat permohonan dari calon mitra
Bank ACCD Indonesia di Thailand kepada Bank
Indonesia,
sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Surat permohonan dari calon Bank ACCD Indonesia
kepada Bank of Thailand sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a disampaikan kepada Bank of Thailand
6
melalui calon mitra Bank ACCD Indonesia di Thailand
sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran I.
(4) Surat permohonan dari calon Bank ACCD Thailand
kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b yaitu sebagaimana contoh yang
tercantum dalam Lampiran I.
Pasal 4
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi terhadap Bank
ACCD Indonesia berkoordinasi dengan Bank of Thailand.
(2) Evaluasi terhadap Bank ACCD Thailand dilakukan oleh
Bank of Thailand berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mempertimbangkan perkembangan bisnis Bank
ACCD Indonesia untuk kepentingan pelaksanaan LCS
Rupiah dan Baht serta kepatuhan Bank ACCD Indonesia
terkait ketentuan yang mengatur mengenai LCS Rupiah
dan Baht.
BAB III
KEGIATAN DAN TRANSAKSI KEUANGAN BANK ACCD
Bagian Kesatu
Pembukaan SNA Rupiah dan SNA Baht
Pasal 5
(1) Bank ACCD Indonesia dapat menerima pembukaan SNA
Rupiah dari Bank ACCD Thailand yang merupakan mitra
dari Bank ACCD Indonesia.
(2) Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat menerima permintaan pembukaan 1
(satu) SNA Rupiah dari setiap Bank ACCD Thailand yang
merupakan mitra dari Bank ACCD Indonesia.
(3) Bank ACCD Indonesia memberikan bunga pada SNA
Rupiah milik Bank ACCD Thailand.
7
(4) Pemberian bunga pada SNA Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan
kebijakan masing-masing Bank ACCD Indonesia.
Pasal 6
(1) Bank ACCD Indonesia membuka SNA Baht pada Bank
ACCD Thailand yang merupakan mitra dari Bank ACCD
Indonesia.
(2) Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat membuka 1 (satu) SNA Baht pada setiap
Bank ACCD Thailand yang merupakan mitra dari Bank
ACCD Indonesia.
(3) Bank ACCD Indonesia menerima bunga atas SNA Baht
pada Bank ACCD Thailand sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(4) Pemberian bunga pada SNA Baht sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan kebijakan masing-
masing Bank ACCD Thailand.
Pasal 7
(1) Saldo setiap SNA Rupiah milik Bank ACCD Thailand
pada Bank ACCD Indonesia dibatasi paling banyak
sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar
rupiah) pada akhir Hari.
(2) Bank ACCD Indonesia wajib memastikan saldo SNA
Rupiah tidak melebihi jumlah nominal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pada akhir Hari.
(3) Saldo SNA Rupiah dapat melebihi jumlah nominal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada akhir Hari
sepanjang Bank ACCD Indonesia menerima dokumen
dari Bank ACCD Thailand yang membuktikan bahwa
kelebihan saldo SNA Rupiah tersebut akan digunakan
untuk membayar kewajiban perdagangan bilateral antara
Indonesia dan Thailand atau investasi pada aset
keuangan dalam rupiah pada Hari berikutnya.
8
Pasal 8
(1) Bank ACCD Indonesia wajib memelihara saldo setiap SNA
Baht pada Bank ACCD Thailand paling banyak sebesar
THB1,000,000,000.00 (satu miliar baht Thailand) pada
akhir Hari.
(2) Dalam hal saldo SNA Baht pada akhir Hari melebihi
jumlah nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
maka kelebihan saldo SNA Baht harus dijual kepada
Bank of Thailand dengan nilai tukar khusus yang
ditetapkan oleh Bank of Thailand.
(3) Saldo SNA Baht dapat melebihi jumlah nominal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada akhir Hari
apabila memperoleh persetujuan dari Bank of Thailand.
(4) Untuk memperoleh persetujuan dari Bank of Thailand
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank ACCD
Indonesia harus menyampaikan permohonan beserta
dokumen pendukung kepada Bank of Thailand melalui
Bank ACCD Thailand yang merupakan mitra dari Bank
ACCD Indonesia.
(5) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) menjelaskan bahwa kelebihan saldo SNA Baht akan
digunakan untuk membayar kewajiban perdagangan
bilateral antara Indonesia dan Thailand atau melakukan
investasi pada aset keuangan dalam baht pada Hari
berikutnya.
(6) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diterima oleh Bank of Thailand paling lambat pada pukul
16.30 waktu Bangkok, Thailand pada Hari terjadinya
kelebihan saldo SNA Baht.
9
Bagian Kedua
Pembukaan Sub-SNA Baht dan Sub-SNA Rupiah
Paragraf 1
Pembukaan Rekening Sub-SNA Baht
Pasal 9
Bank ACCD Indonesia menerima pembukaan rekening Sub-
SNA Baht bagi Importir/Eksportir Indonesia untuk
kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht.
Pasal 10
(1) Bank ACCD Indonesia memberikan bunga untuk Sub-
SNA Baht.
(2) Pemberian bunga pada Sub-SNA Baht sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan
kebijakan masing-masing Bank ACCD Indonesia.
Paragraf 2
Penambahan dan Pengurangan Saldo Rekening Sub-SNA Baht
Pasal 11
(1) Penambahan saldo rekening Sub-SNA Baht milik
Importir/Eksportir Indonesia hanya bersumber dari:
a. penerimaan devisa hasil ekspor dalam baht dari
importir di Thailand;
b. pembelian baht terhadap rupiah atau valuta asing
melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau
swap untuk penyelesaian Underlying Transaksi;
c. penerimaan bunga atas saldo rekening Sub-SNA
Baht; dan/atau
d. penerimaan atas pencairan dana dari Pembiayaan
Perdagangan
dalam baht
yang diterima
Importir/Eksportir Indonesia dari Bank ACCD
Indonesia.
(2) Pengurangan saldo rekening Sub-SNA Baht milik
Importir/Eksportir Indonesia hanya dilakukan untuk:
10
a. pembayaran impor barang dan jasa dalam baht
kepada eksportir di Thailand;
b. penjualan baht terhadap rupiah atau valuta asing
melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau
swap dari devisa hasil ekspor dalam baht;
c. pelunasan Pembiayaan Perdagangan dalam baht
yang diterima Importir/Eksportir Indonesia dari
Bank ACCD Indonesia; dan/atau
d.
transfer baht untuk kepentingan investasi Eksportir
Indonesia pada aset keuangan dalam baht di
Thailand.
Paragraf 3
Pembukaan Rekening Sub-SNA Rupiah
Pasal 12
Bank ACCD Thailand menerima pembukaan rekening Sub-
SNA Rupiah bagi
kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht.
Pasal 13
(1) Bank ACCD Thailand memberikan bunga untuk Sub-SNA
Rupiah.
(2) Pemberian bunga pada Sub-SNA Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan
kebijakan masing-masing Bank ACCD Thailand.
Paragraf 4
Penambahan dan Pengurangan Saldo Rekening Sub-SNA
Rupiah
Pasal 14
(1) Penambahan saldo rekening Sub-SNA Rupiah milik
importir/eksportir Thailand hanya bersumber dari:
a. penerimaan devisa hasil ekspor dalam rupiah dari
Importir di Indonesia;
importir/eksportir Thailand untuk
11
b. pembelian rupiah terhadap baht atau valuta asing
melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau
swap untuk penyelesaian Underlying Transaksi;
c. penerimaan bunga atas saldo rekening Sub-SNA
Rupiah; dan/atau
d. penerimaan atas pencairan dana dari Pembiayaan
Perdagangan dalam rupiah yang diterima
importir/eksportir Thailand dari Bank ACCD
Thailand.
(2) Pengurangan saldo rekening Sub-SNA Rupiah milik
importir/eksportir Thailand hanya dilakukan untuk:
a. pembayaran impor barang dan jasa dalam rupiah
kepada Eksportir di Indonesia;
b. penjualan rupiah terhadap baht atau valuta asing
melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau
swap dari devisa hasil ekspor dalam rupiah;
c. pelunasan Pembiayaan Perdagangan dalam rupiah
yang diterima importir/eksportir Thailand dari Bank
ACCD Thailand; dan/atau
d. transfer rupiah untuk kepentingan investasi
eksportir Thailand pada aset keuangan dalam rupiah
di Indonesia.
Bagian Ketiga
Transaksi Rupiah dan Valuta Asing Terhadap Baht
Paragraf 1
Transaksi Baht Antar Bank ACCD
Pasal 15
(1) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah
atau valuta asing terhadap baht untuk transaksi tod,
tom, spot, forward, dan/atau swap dengan Bank ACCD
Indonesia dan/atau Bank ACCD Thailand untuk
pengelolaan likuiditas tanpa Underlying Transaksi.
(2) Bank ACCD Indonesia dapat melaksanakan transaksi
baht atau valuta asing terhadap rupiah untuk transaksi
12
tod, tom, spot, forward, dan/atau swap dengan Bank
ACCD Thailand untuk keperluan pengelolaan likuiditas
Bank ACCD Thailand tanpa Underlying Transaksi.
Paragraf 2
Transaksi Baht Bank ACCD Indonesia dengan Importir/
Eksportir Indonesia
Pasal 16
(1) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah
atau valuta asing terhadap
baht dengan
Importir/Eksportir Indonesia yang didukung oleh
Underlying Transaksi.
(2) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah
atau valuta asing terhadap baht dengan non-Bank ACCD
Indonesia yang bertindak untuk kepentingan
Importir/Eksportir
Underlying Transaksi.
Indonesia
dengan
didukung
(3) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan melalui transaksi:
a.
b.
tod;
tom;
c. spot;
d. forward; dan/atau
e. swap.
(4) Nominal dan jangka waktu transaksi rupiah atau valuta
asing terhadap baht sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilarang melebihi nominal Underlying Transaksi dan
dilarang melebihi jangka waktu Underlying Transaksi.
(5) Importir/Eksportir Indonesia dapat melakukan transaksi
rupiah atau valuta asing terhadap baht sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dengan menggunakan Underlying
Transaksi dalam denominasi mata uang selain baht.
13
Paragraf 3
Squaring Position
Pasal 17
(1) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah
atau valuta asing terhadap baht berupa transaksi tod,
tom, spot, forward, dan/atau swap untuk pelaksanaan
squaring position dengan Bank ACCD Indonesia, Bank
ACCD Thailand, atau non-Bank ACCD Thailand.
(2) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan squaring position
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas transaksi
rupiah atau valuta asing terhadap baht yang dilakukan
dengan Importir/Eksportir Indonesia dan/atau non-Bank
ACCD Indonesia dengan cara:
a. secara neto (net basis) atau secara gross (gross basis)
dengan Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD
Thailand tanpa Underlying Transaksi; atau
b. secara gross (gross basis) dengan non-Bank ACCD
Thailand dengan didukung oleh
Transaksi.
Pasal 18
(1) Bank ACCD Indonesia dapat melaksanakan transaksi
baht atau valuta asing terhadap rupiah berupa transaksi
tod,
tom, spot, forward, dan/atau swap untuk
pelaksanaan squaring position dari Bank ACCD Thailand.
(2) Bank ACCD Indonesia dapat melaksanakan transaksi
untuk pelaksanaan squaring position dari Bank ACCD
Thailand sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas
transaksi baht atau valuta asing terhadap rupiah yang
dilakukan dengan importir/eksportir Thailand dan/ atau
non-Bank ACCD Thailand secara neto (net basis) atau
secara gross (gross basis) tanpa Underlying Transaksi.
Underlying
14
Bagian Keempat
Penyelesaian Transaksi
Pasal 19
(1) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap
baht yang dilakukan Bank ACCD Indonesia dengan
Importir/Eksportir Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) dan non-Bank ACCD Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), dapat
dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh
atau secara netting.
(2) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap
baht secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya berlaku untuk:
a. perpanjangan transaksi (rollover);
b. percepatan penyelesaian transaksi (early
termination); dan/atau
c. pengakhiran transaksi (unwind/cancel up).
(3) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan
penyelesaian transaksi (early termination), dan/atau
pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh
Importir/Eksportir Indonesia dan non-Bank ACCD
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
dilakukan dengan Bank ACCD Indonesia yang sama
sesuai dengan kontrak transaksi awal dan wajib disertai
dengan dokumen pendukung.
(4) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 20
(1) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap
baht yang dilakukan antara Bank ACCD Indonesia
dengan Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD
Thailand sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1),
15
dapat dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara
penuh atau secara netting.
(2) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap
baht secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya berlaku untuk:
a. perpanjangan transaksi (rollover);
b. percepatan penyelesaian transaksi (early
termination); dan/atau
c. pengakhiran transaksi (unwind/cancel up).
(3) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan
penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan tanpa
Underlying Transaksi.
(4) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan
penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh Bank ACCD
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
dilakukan dengan Bank ACCD yang sama sesuai dengan
kontrak transaksi awal.
(5) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 21
(1) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap
baht yang dilakukan antara Bank ACCD Indonesia
dengan:
a. Bank ACCD Indonesia;
b. Bank ACCD Thailand; atau
c. non-Bank ACCD Thailand,
untuk pelaksanaan squaring position sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dapat dilakukan
dengan pemindahan dana pokok secara penuh atau
secara netting.
16
(2) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap
baht secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya berlaku untuk:
a. perpanjangan transaksi (rollover);
b. percepatan penyelesaian transaksi (early
termination); dan/atau
c. pengakhiran transaksi (unwind/cancel up).
(3) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan
penyelesaian transaksi (early termination) dan
pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh Bank ACCD
Indonesia dengan:
a. Bank ACCD Indonesia atau Bank ACCD Thailand,
dilakukan tanpa dokumen pendukung; atau
b. non-Bank ACCD Thailand, dilakukan dengan
dokumen pendukung.
(4) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan
penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh Bank ACCD
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
dilakukan dengan Bank ACCD atau non-Bank ACCD
Thailand yang sama sesuai kontrak transaksi awal.
(5) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Kelima
Pembiayaan Perdagangan
Pasal 22
(1) Bank ACCD Indonesia dapat memberikan fasilitas
Pembiayaan Perdagangan
dalam
Importir/Eksportir Indonesia yang melakukan
perdagangan dengan Thailand.
baht kepada
17
(2) Pembiayaan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diberikan dalam berbagai jenis Pembiayaan
Perdagangan yang lazim dilakukan.
(3) Penyediaan dana dalam baht untuk Pembiayaan
Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a.
transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht
melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau
swap dengan Bank ACCD Indonesia lainnya
dan/atau Bank ACCD Thailand; dan/atau
b. pinjaman langsung (direct borrowing) dalam baht
dari Bank ACCD Indonesia lainnya dan/atau Bank
ACCD Thailand.
Pasal 23
(1) Pembiayaan Perdagangan yang diberikan dalam baht
dapat menggunakan dokumen Underlying Transaksi
dalam denominasi mata uang selain baht.
(2) Nominal dokumen Underlying Transaksi selain dalam
baht sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dinyatakan dalam ekuivalen baht.
Pasal 24
(1) Jumlah nominal pinjaman langsung (direct borrowing)
dalam baht sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(3) huruf b, dilarang melebihi jumlah nominal Underlying
Transaksi.
(2) Jangka waktu pinjaman langsung (direct borrowing)
dalam baht sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(3) huruf b, dilarang melebihi jangka waktu 1 (satu)
tahun dan dilarang melebihi jangka waktu Underlying
Transaksi berupa Pembiayaan Perdagangan.
18
Pasal 25
(1) Untuk kepentingan pemberian fasilitas Pembiayaan
Perdagangan dalam rupiah oleh Bank ACCD Thailand
kepada importir/eksportir di Thailand, Bank ACCD
Indonesia dapat melaksanakan:
a.
transaksi baht atau valuta asing terhadap rupiah
melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau
swap dengan Bank ACCD Thailand; dan/atau
b. penempatan dalam rupiah pada Bank ACCD
Thailand.
(2) Jumlah nominal penempatan dalam rupiah oleh Bank
ACCD Indonesia kepada Bank ACCD Thailand
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilarang
melebihi jumlah nominal Underlying Transaksi berupa
Pembiayaan Perdagangan.
(3) Jangka waktu penempatan dalam rupiah yang dilakukan
oleh Bank ACCD Indonesia kepada Bank ACCD Thailand
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilarang
melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun dan dilarang
melebihi jangka waktu Underlying Transaksi berupa
Pembiayaan Perdagangan.
Bagian Keenam
Pengelolaan SNA Baht dan SNA Rupiah
Pasal 26
(1) Untuk kepentingan pemenuhan saldo SNA Baht, Bank
ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah atau
valuta asing terhadap baht melalui transaksi tod, tom,
spot, forward, dan/atau swap dengan Bank ACCD
Indonesia lainnya atau Bank ACCD Thailand.
(2) Dalam hal Bank ACCD Thailand melakukan pemenuhan
saldo SNA Rupiah, Bank ACCD Indonesia dapat
melaksanakan transaksi baht atau valuta asing terhadap
rupiah melalui transaksi tod, tom, spot, forward,
dan/atau swap dengan Bank ACCD Thailand.
19
Pasal 27
(1) Untuk kepentingan pengelolaan saldo SNA Baht, Bank
ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi yang
meliputi:
a.
b.
investasi pada aset keuangan dalam baht di
Thailand;
transaksi swap baht terhadap rupiah atau valuta
asing dengan Bank ACCD Indonesia lainnya atau
dengan Bank ACCD Thailand; dan/atau
c. konversi dari baht ke rupiah atau valuta asing
lainnya melalui transaksi tod, tom, spot, dan/atau
forward.
(2) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilarang dalam bentuk penempatan pada bank di
Thailand berupa deposito dan tabungan.
(3) Dalam hal Bank ACCD Indonesia melakukan investasi
pada aset keuangan dalam baht di Thailand, pokok dan
hasil dari investasi tersebut dapat ditransfer kembali ke
SNA Baht.
(4) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
disertai dengan dokumen pendukung.
Bagian Ketujuh
Pengelolaan Sub-SNA Baht dan Sub-SNA Rupiah
Paragraf 1
Pengelolaan Sub-SNA Baht
Pasal 28
(1) Untuk kepentingan pengelolaan saldo Sub-SNA Baht,
Eksportir Indonesia dapat melakukan investasi pada aset
keuangan dalam baht di Thailand.
(2) Pokok dan hasil investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dapat ditransfer kembali ke Sub-SNA Baht
milik Eksportir Indonesia.
(3) Importir Indonesia tidak dapat melakukan investasi atas
saldo Sub-SNA Baht.
20
(4) Bank ACCD Indonesia dilarang melaksanakan perintah
investasi atas saldo Sub-SNA Baht milik Importir
Indonesia.
(5) Bank ACCD Indonesia wajib memastikan pelaksanaan
investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung
oleh dokumen pendukung.
(6) Investasi
yang dilakukan Eksportir Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dalam
bentuk penempatan pada bank di Thailand berupa
deposito dan tabungan.
Paragraf 2
Pengelolaan Sub-SNA Rupiah
Pasal 29
(1) Untuk kepentingan pengelolaan saldo Sub-SNA Rupiah,
eksportir Thailand dapat melakukan investasi pada aset
keuangan dalam rupiah di Indonesia.
(2) Pokok dan hasil investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dapat ditransfer kembali ke Sub-SNA
Rupiah milik eksportir Thailand.
(3) Importir Thailand tidak dapat melakukan investasi atas
saldo Sub-SNA Rupiah.
(4) Bank ACCD Thailand tidak dapat melaksanakan perintah
investasi atas saldo Sub-SNA Rupiah milik importir
Thailand.
(5) Investasi yang dilakukan eksportir Thailand sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dalam bentuk
penempatan pada Bank di Indonesia berupa deposito dan
tabungan.
Pasal 30
(1) Posisi gross transaksi swap baht terhadap rupiah atau
valuta asing yang dilakukan antara Bank ACCD
Indonesia dengan Bank ACCD Indonesia lainnya atau
Bank ACCD Thailand
dilarang
melebihi
21
THB1,000,000,000.00 (satu miliar baht Thailand) untuk
setiap SNA Baht.
(2) Posisi gross transaksi swap rupiah terhadap baht atau
valuta asing yang dilakukan antara Bank ACCD Thailand
dengan Bank ACCD Thailand lainnya atau Bank ACCD
Indonesia tidak dapat melebihi Rp400.000.000.000,00
(empat ratus miliar rupiah) untuk setiap SNA Rupiah.
Bagian Kedelapan
Larangan Penarikan dan Penyetoran Sub-SNA Baht dan Sub-
SNA Rupiah Secara Tunai
Pasal 31
(1) Importir/Eksportir di Indonesia tidak dapat melakukan
penyetoran dan penarikan dalam baht secara tunai pada
Sub-SNA Baht.
(2) Bank ACCD Indonesia dilarang melaksanakan perintah
penyetoran dan penarikan dalam baht secara tunai pada
Sub-SNA Baht sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 32
(1) Importir/eksportir di Thailand tidak dapat melakukan
penyetoran dan penarikan dalam rupiah secara tunai
pada Sub-SNA Rupiah.
(2) Bank ACCD Thailand tidak dapat melaksanakan perintah
penyetoran dan penarikan dalam rupiah secara tunai
pada Sub-SNA Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Bagian Kesembilan
Transfer Dana
Pasal 33
Transfer baht dapat dilakukan sebagai berikut:
a. antara Bank ACCD Indonesia dengan Bank ACCD
Indonesia lainnya atau Bank ACCD Thailand yang
berasal dari:
22
1. transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht
melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau
swap; dan
2. pinjaman langsung (direct borrowing) untuk
kepentingan Pembiayaan Perdagangan;
b. antara SNA Baht milik Bank ACCD Indonesia dengan
rekening non-SNA Baht milik Bank ACCD Indonesia atau
antara SNA Baht milik Bank ACCD Indonesia dengan
rekening non-SNA Baht milik non-Bank ACCD Indonesia,
untuk penyelesaian Underlying Transaksi;
c. antara SNA Baht milik Bank ACCD Indonesia dengan
rekening baht milik Bank ACCD Thailand dan rekening
baht milik non-Bank ACCD Thailand, untuk penyelesaian
Underlying Transaksi;
d. antara SNA Baht milik Bank ACCD Indonesia dengan
rekening baht milik importir/eksportir Thailand, untuk
penyelesaian Underlying Transaksi; dan
e. antara SNA Baht milik Bank ACCD Indonesia dengan
rekening baht milik bank di Thailand atau perusahaan di
Thailand, untuk penyelesaian investasi pada aset
keuangan dalam baht di Thailand.
Pasal 34
Transfer rupiah dapat dilakukan sebagai berikut:
a. antara Bank ACCD Thailand dengan Bank ACCD
Thailand lainnya atau Bank ACCD Indonesia yang
berasal dari:
1. transaksi baht atau valuta asing terhadap rupiah
melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau
swap; dan
2. pinjaman langsung (direct borrowing) untuk
kepentingan Pembiayaan Perdagangan;
b. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Thailand dengan
rekening non-SNA Rupiah milik Bank ACCD Thailand
atau antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Thailand
dengan rekening non-SNA Rupiah milik non-Bank ACCD
Thailand, untuk penyelesaian Underlying Transaksi;
23
c. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Thailand dengan
rekening rupiah milik Bank ACCD Indonesia dan non-
Bank ACCD Indonesia, untuk penyelesaian Underlying
Transaksi;
d. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Thailand dengan
rekening rupiah milik Importir/Eksportir Indonesia,
untuk penyelesaian Underlying Transaksi; dan/atau
e. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Thailand dengan
rekening non-SNA Rupiah milik non-Bank ACCD
Indonesia atau perusahaan Indonesia,
penyelesaian investasi pada aset keuangan dalam rupiah
di Indonesia.
Pasal 35
Untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht, Bank
ACCD Indonesia dan non-Bank ACCD Indonesia yang
menerima dana rupiah dari bank ACCD Thailand atau dari
Bank ACCD Indonesia yang ditujukan kepada rekening rupiah
milik non-Bank ACCD Thailand dapat menggunakan
Underlying Transaksi berupa perdagangan barang dan jasa
antara Indonesia dan Thailand.
Bagian Kesepuluh
Kuotasi Harga
Pasal 36
(1) Bank ACCD Indonesia wajib menerbitkan dan
menampilkan kuotasi harga baht terhadap rupiah pada
sarana penyedia informasi.
(2) Dalam melakukan transaksi baht terhadap rupiah, Bank
ACCD Indonesia wajib menggunakan kuotasi harga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penetapan kuotasi harga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus merefleksikan harga wajar yang terjadi di
pasar valuta asing.
untuk
24
Bagian Kesebelas
Posisi Terbuka Transaksi Baht
Pasal 37
(1) Bank ACCD Indonesia dapat memiliki posisi terbuka
transaksi baht terhadap rupiah dan/atau valuta asing
paling banyak sebesar THB200,000,000.00 (dua ratus
juta baht Thailand), pada akhir Hari untuk setiap SNA
Baht.
(2) Posisi terbuka transaksi baht terhadap rupiah dan/atau
valuta asing merupakan selisih bersih antara pembelian
dan penjualan baht terhadap rupiah dan/atau valuta
asing secara outright dari transaksi tod, tom, spot,
dan/atau forward.
(3) Contoh perhitungan posisi terbuka baht terhadap rupiah
dan/atau valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran V yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Kedua Belas
Larangan Melakukan Transaksi Non-Deliverable Forward
Pasal 38
(1) Bank ACCD Indonesia tidak dapat melakukan dan/atau
memfasilitasi transaksi non-deliverable forward (NDF)
rupiah atau valuta asing terhadap baht.
(2) Bank ACCD Thailand tidak dapat melakukan dan/atau
memfasilitasi transaksi non-deliverable forward (NDF)
baht atau valuta asing terhadap rupiah.
25
BAB IV
DOKUMEN UNDERLYING TRANSAKSI
Pasal 39
(1) Dokumen Underlying Transaksi dapat berupa:
a. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final
(firm commitment); atau
b. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat
perkiraan (anticipatory basis).
(2) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm
commitment) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a merupakan dokumen yang menunjukkan bukti
perdagangan barang dan jasa antara Importir/Eksportir
Indonesia dan importir/eksportir Thailand.
(3) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan
(anticipatory basis) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b merupakan dokumen perkiraan yang terkait
dengan rencana penerimaan atau kebutuhan
pembayaran perdagangan barang dan jasa antara
Importir/Eksportir Indonesia dengan importir/eksportir
Thailand.
(4) Perhitungan Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan
(anticipatory basis) sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
merupakan rencana kebutuhan penerimaan atau
pembayaran perdagangan barang dan jasa paling lama 1
(satu) tahun.
(5) Jangka waktu transaksi dengan menggunakan
Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) tidak dapat melebihi 1 (satu) tahun sejak tanggal
transaksi dan tidak dapat melebihi nominal perkiraan
kebutuhan penerimaan atau pembayaran perdagangan
barang dan jasa.
(6) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan
(anticipatory basis) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dapat dihitung secara gross (gross basis) atau
secara neto (net basis).
26
(7) Rincian dokumen Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VI
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 40
(1) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht melalui
transaksi tod, tom, spot, dan/atau swap yang dilakukan
antara Bank ACCD Indonesia dan non-Bank ACCD
Indonesia yang bertindak untuk kepentingan
Importir/Eksportir Indonesia, wajib didukung oleh
dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm
commitment).
(2) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht melalui
transaksi forward yang dilakukan antara Bank ACCD
Indonesia dan non-Bank ACCD Indonesia yang bertindak
untuk kepentingan Importir/Eksportir Indonesia, wajib
didukung dengan dokumen Underlying Transaksi yang
bersifat final (firm commitment) atau dokumen Underlying
Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis).
Pasal 41
(1) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht melalui
transaksi tod, tom, spot, dan/atau swap yang dilakukan
antara Bank ACCD Indonesia dan Importir/Eksportir
Indonesia, wajib didukung oleh dokumen Underlying
Transaksi yang bersifat final (firm commitment).
(2) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht melalui
transaksi forward yang dilakukan antara Bank ACCD
Indonesia dan Importir/Eksportir Indonesia, wajib
didukung dengan dokumen Underlying Transaksi yang
bersifat final (firm commitment) atau dokumen Underlying
Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis).
Pasal 42
(1) Perpanjangan transaksi (rollover) atas transaksi rupiah
atau valuta asing terhadap baht yang dilakukan Bank
27
ACCD Indonesia dengan Importir/Eksportir dan non-
Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (2) huruf a, wajib disertai dengan dokumen
pendukung yang menjelaskan perubahan jangka waktu
penyelesaian transaksi.
(2) Percepatan penyelesaian transaksi (early termination) atas
transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht yang
dilakukan Bank ACCD Indonesia dengan
Importir/Eksportir Indonesia dan non-Bank ACCD
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2)
huruf b, wajib disertai dengan dokumen pendukung yang
menjelaskan bahwa perusahaan di Thailand atau di
Indonesia melakukan percepatan penyelesaian transaksi.
(3) Pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) atas transaksi
rupiah atau valuta asing terhadap baht yang dilakukan
Bank ACCD Indonesia dengan Importir/Eksportir
Indonesia dan non-Bank ACCD Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, wajib disertai
dengan dokumen pendukung yang menjelaskan bahwa
perusahaan di Thailand atau di Indonesia telah
membatalkan ekspor dan/atau impor atau telah terjadi
perubahan nominal Underlying Transaksi.
Pasal 43
(1) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen
Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment)
dan/atau yang bersifat perkiraan (anticipatory basis)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) pada
tanggal transaksi.
(2) Dalam hal Bank ACCD Indonesia menerima dokumen
Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory
basis) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank ACCD
Indonesia wajib meminta dokumen Underlying Transaksi
yang bersifat final (firm commitment) pada tanggal jatuh
waktu.
(3) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen
pendukung perpanjangan transaksi (rollover)
28
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) pada
tanggal perpanjangan transaksi (rollover) dilakukan.
(4) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen
pendukung percepatan penyelesaian transaksi (early
termination) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat
(2) pada tanggal percepatan penyelesaian transaksi (early
termination) dilakukan.
(5) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen
pendukung pengakhiran transaksi (unwind/cancel up)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) pada
tanggal pengakhiran transaksi (unwind/cancel up)
dilakukan.
Pasal 44
(1) Pembiayaan Perdagangan yang diberikan oleh Bank
ACCD Indonesia wajib didukung oleh dokumen
Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment)
dari Importir/Eksportir Indonesia.
(2) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen
Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada saat
pengajuan Pembiayaan Perdagangan.
Pasal 45
Untuk kepentingan kegiatan investasi pada aset keuangan
dalam baht, Bank ACCD Indonesia wajib memastikan
Eksportir Indonesia menyampaikan dokumen pendukung
pada saat penyelesaian investasi dilakukan.
BAB V
PENGAKHIRAN PENUNJUKAN BANK ACCD INDONESIA
Pasal 46
(1) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia
berkoordinasi dengan Bank of Thailand dapat mengakhiri
29
penunjukan bank sebagai Bank ACCD Indonesia
dan/atau Bank ACCD Thailand.
(2) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis
pengakhiran penunjukan bank sebagai Bank ACCD
Indonesia dan/atau Bank ACCD Thailand.
(3) Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand yang
telah menerima surat pemberitahuan pengakhiran
penunjukan sebagai Bank ACCD, tidak dapat melakukan
kegiatan dan transaksi keuangan untuk kepentingan
pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht.
(4) Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand yang
telah menerima surat pemberitahuan pengakhiran
penunjukan sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank
ACCD Thailand, harus segera memberitahukan kepada
nasabahnya mengenai:
a. penghentian kegiatan bank sebagai Bank ACCD; dan
b. mekanisme penyelesaian hak dan kewajiban
nasabah terkait:
1. penutupan SNA Rupiah, SNA Baht, Sub-SNA
Rupiah, dan/atau Sub-SNA Baht;
2. pelunasan Pembiayaan Perdagangan; dan
3. hal lain terkait transaksi Bank dengan nasabah
untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah
dan Baht.
(5) Bank ACCD harus memiliki mekanisme untuk
penyelesaian hak dan kewajiban kepada nasabah terkait
dengan transaksi yang dilakukan untuk kepentingan
pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf b.
BAB VI
PELAPORAN
Pasal 47
(1) Bank ACCD Indonesia wajib menyusun dan
menyampaikan laporan untuk kepentingan LCS Rupiah
30
dan Baht kepada Bank Indonesia secara benar, lengkap,
dan tepat waktu.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
formulir:
a. transaksi valuta asing;
b. posisi terbuka transaksi mata uang negara mitra;
c. posisi saldo SNA mitra;
d. transfer dana;
e. posisi saldo dan mutasi sub-SNA mitra; dan
f.
posisi Pembiayaan Perdagangan.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan data selama 1 (satu) periode laporan yaitu
dari tanggal 1 sampai dengan akhir bulan yang
bersangkutan.
(4) Penyusunan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengacu pada Lampiran VII yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 48
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2)
disusun dan digabungkan dalam 1 (satu) berkas
sebagaimana format pada Lampiran VII.
(2) Dalam hal tidak terdapat transaksi dan/atau posisi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) dalam 1
(satu) periode laporan maka laporan tersebut tetap
disampaikan berupa header.
Pasal 49
(1) Dalam hal terdapat kesalahan laporan yang telah
disampaikan oleh Bank ACCD Indonesia kepada Bank
Indonesia, Bank ACCD Indonesia wajib menyampaikan
koreksi atas kesalahan laporan dimaksud.
(2) Koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan dalam 1 (satu) berkas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1).
31
Pasal 50
(1) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 dan/atau koreksi laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 dilakukan secara offline
kepada Bank Indonesia dengan menggunakan media
surat elektronik kepada [email protected].
(2) Dalam hal terdapat perubahan alamat surat elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
akan menginformasikan perubahan alamat tersebut
melalui surat dan/atau media lainnya.
Pasal 51
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49 disampaikan kepada Bank Indonesia paling
lambat tanggal 14 pada bulan berikutnya.
(2) Dalam hal tanggal 14 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur
nasional yang ditetapkan oleh pemerintah maka laporan
dan/atau koreksi laporan disampaikan pada Hari kerja
berikutnya.
(3) Penyampaian laporan dan/atau koreksi laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
dilakukan paling lambat pada pukul 16.00 WIB.
(4) Dalam hal terdapat kesalahan pada laporan Bank ACCD
Indonesia setelah batas waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), Bank ACCD Indonesia tetap
harus menyampaikan koreksi laporan.
(5) Dalam hal Bank ACCD Indonesia mengalami gangguan
teknis dalam menyampaikan laporan dan/atau koreksi
laporan pada tanggal berakhirnya penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka
laporan dan/atau koreksi laporan disampaikan pada Hari
kerja berikutnya setelah gangguan teknis dapat diatasi.
(6) Dalam hal Bank ACCD Indonesia mengalami gangguan
teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Bank ACCD
Indonesia harus segera menyampaikan pemberitahuan
32
secara tertulis kepada Bank Indonesia disertai dengan
bukti pendukung.
(7) Bank ACCD Indonesia dinyatakan telah menyampaikan
laporan dan/atau koreksi laporan pada tanggal
diterimanya laporan dan/atau koreksi laporan setelah
memperoleh notifikasi dari Bank Indonesia melalui surat
elektronik.
Pasal 52
(1) Dalam hal Bank ACCD Indonesia mengalami keadaan
memaksa (force majeure) sehingga mengakibatkan tidak
tersedianya data selama 1 (satu) periode laporan,
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan/atau koreksi
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 untuk
periode laporan tersebut.
(2) Bank ACCD Indonesia yang mengalami keadaan
memaksa (force majeure) sehingga menyebabkan
terhambatnya penyampaian laporan dan/atau koreksi
laporan untuk 1 (satu) periode laporan, dikecualikan dari
kewajiban menyampaikan laporan dan/atau koreksi
laporan untuk periode laporan tersebut dalam batas
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1).
(3) Bank ACCD Indonesia yang mengalami keadaan
memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan
setelah Bank ACCD Indonesia kembali melakukan
kegiatan operasional secara normal.
(4) Dalam hal Bank ACCD Indonesia mengalami keadaan
memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), Bank ACCD Indonesia harus segera
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada
Bank Indonesia disertai dengan bukti pendukung.
Pasal 53
(1) Bank ACCD Indonesia dianggap menyampaikan laporan
dan/atau koreksi laporan secara tidak lengkap apabila
33
Bank ACCD Indonesia tidak menyampaikan seluruh
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan/atau
koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51.
(2) Bank ACCD Indonesia dianggap tidak menyampaikan
laporan dan/atau koreksi laporan apabila Bank
Indonesia belum menerima laporan dan/atau koreksi
laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51.
BAB VII
KORESPONDENSI
Pasal 54
(1) Penyampaian surat menyurat dan komunikasi dengan
Bank Indonesia terkait pelaksanaan LCS Rupiah dan
Baht disampaikan oleh Bank ACCD Indonesia kepada
Bank Indonesia dan dialamatkan kepada Departemen
Pengembangan Pasar Keuangan, Gedung C, Lantai 5,
Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350.
(2) Dalam hal terdapat perubahan alamat korespondensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
akan menginformasikan perubahan alamat tersebut
melalui surat dan/atau media lainnya.
BAB VIII
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 55
(1) Bank Indonesia mengenakan sanksi berupa teguran
tertulis kepada Bank ACCD Indonesia yang melanggar
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai
penyelesaian transaksi
perdagangan bilateral
menggunakan mata uang lokal (local currency settlement)
melalui bank.
34
(2) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan melalui surat dengan tembusan kepada
otoritas terkait.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 2 Januari 2018.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan
penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 November 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
PERRY WARJIYO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/11/PADG/2017
TENTANG
PENYELESAIAN TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA
DAN THAILAND MENGGUNAKAN RUPIAH DAN BAHT MELALUI BANK
I. UMUM
Bank Indonesia dan Bank of Thailand telah memiliki kesepakatan
guna mendorong penggunaan mata uang lokal untuk penyelesaian
transaksi perdagangan bilateral antara Indonesia dan Thailand. Hal
tersebut merupakan bagian dari upaya untuk mengurangi ketergantungan
pada mata uang tertentu yang diharapkan dapat mendukung pelaksanaan
tugas Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar.
Guna mendukung pelaksanaan kesepakatan tersebut, Bank
Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/11/PBI/2017 tentang Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral
Menggunakan Mata Uang Lokal (Local Currency Settlement) Melalui Bank.
Sebagai pedoman pelaksanaan ketentuan tersebut diperlukan
peraturan yang mengatur pelaksanaan kegiatan dan transaksi keuangan
melalui skema LCS Rupiah dan Baht antara lain mencakup pembukaan
rekening khusus dalam rupiah dan baht, pelaksanaan transaksi rupiah
atau valuta asing terhadap baht, dan pemberian fasilitas Pembiayaan
Perdagangan dalam rupiah dan baht.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Persetujuan penunjukan bank sebagai Bank ACCD
Indonesia dan Bank ACCD Thailand antara lain terkait
dengan:
1. mitra Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand
atau mitra pengganti; dan/atau
2. penyampaian informasi penunjukan bank sebagai
Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Surat permohonan kepada Bank of Thailand disampaikan dalam
bahasa Inggris.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
3
Pasal 4
Ayat (1)
Dalam melakukan evaluasi terhadap Bank ACCD Indonesia,
Bank Indonesia dapat meminta masukan dan informasi dari
Bank of Thailand.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pertimbangan mengenai perkembangan bisnis Bank ACCD
Indonesia untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht
serta kepatuhan Bank ACCD Indonesia terkait ketentuan yang
mengatur mengenai LCS Rupiah dan Baht antara lain diperoleh
berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia dan/atau hasil koordinasi antara Bank Indonesia
dengan otoritas terkait lainnya.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Bank A dan Bank B adalah Bank ACCD Indonesia. Bank A
bermitra dengan Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand
dan Bank B bermitra dengan Bank Y yang merupakan Bank
ACCD Thailand. Bank A hanya dapat menerima permintaan
pembukaan 1 (satu) SNA Rupiah dari Bank ACCD Thailand yang
merupakan mitra Bank A (dalam contoh ini Bank X). Bank B
hanya dapat menerima permintaan pembukaan 1 (satu) SNA
Rupiah dari Bank ACCD Thailand yang merupakan mitra Bank
B (dalam contoh ini Bank Y).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
4
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Bank A dan Bank B adalah Bank ACCD Indonesia. Bank A
bermitra dengan Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand
dan Bank B bermitra dengan Bank Y yang merupakan Bank
ACCD Thailand. Bank A hanya dapat membuka 1 (satu) SNA
Baht pada Bank ACCD Thailand yang merupakan mitra Bank A
(dalam contoh ini Bank X). Bank B hanya dapat membuka 1
(satu) SNA Baht pada Bank ACCD Thailand yang merupakan
mitra Bank B (dalam contoh ini Bank Y).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand memiliki SNA
Rupiah pada Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia.
Pada tanggal 1 Februari 2018, SNA Rupiah milik Bank X
tersebut
menerima
transfer
rupiah
sebesar
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) untuk
eksportir Thailand atas penjualan barang kepada Importir
Indonesia. Jumlah saldo SNA Rupiah Bank X tersebut
berpotensi melebihi Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar
rupiah) pada akhir Hari. Oleh karena itu, Bank A harus
menginformasikan kepada Bank X untuk mengurangi saldo SNA
Rupiah hingga jumlahnya paling banyak sebesar
Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah) pada akhir
Hari.
5
Ayat (3)
Contoh:
Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand memiliki SNA
Rupiah pada Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia
Pada tanggal 1 Februari 2018, Bank X memiliki saldo SNA
Rupiah sebesar Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar
rupiah) pada akhir Hari. Bank X harus memberikan dokumen
kepada Bank A yang menjelaskan bahwa kelebihan saldo SNA
Rupiah sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah)
tersebut akan digunakan untuk membayar kewajiban impor
kepada Eksportir di Indonesia atau investasi pada aset
keuangan dalam rupiah pada Hari berikutnya.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Permohonan beserta dokumen pendukung disampaikan melalui
Bank ACCD Thailand yang merupakan mitra dari Bank ACCD
Indonesia
dimana saldo SNA Baht melebihi
THB1,000,000,000.00 (satu miliar baht Thailand) pada akhir
Hari.
Contoh:
Pada tanggal 1 Maret 2018, Bank A yang merupakan Bank
ACCD Indonesia memiliki saldo SNA Baht pada Bank X yang
merupakan Bank ACCD Thailand sebesar THB1,200,000,000.00
(satu miliar dua ratus juta baht Thailand) pada akhir Hari. Oleh
karena itu, Bank A harus mengajukan permohonan beserta
dokumen pendukung kepada Bank of Thailand melalui Bank X
yang menjelaskan bahwa kelebihan saldo SNA Baht tersebut
sebesar THB200,000,000.00 (dua ratus juta baht Thailand) akan
digunakan untuk membayar kewajiban impor kepada eksportir
6
di Thailand atau melakukan investasi pada aset keuangan dalam
baht pada Hari berikutnya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Contoh:
Rekening Sub-SNA Baht milik PT X yang merupakan
Eksportir Indonesia bertambah sebesar THB10,000,000.00
(sepuluh juta baht Thailand) karena menerima hasil
penjualan barang kepada importir Thailand.
Huruf b
Contoh:
Importir Indonesia melakukan transaksi spot beli THB/IDR
sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand)
dengan Bank ACCD Indonesia untuk pembayaran impor
kepada eksportir Thailand. Berdasarkan transaksi tersebut,
Sub-SNA Baht milik Importir Indonesia bertambah sebesar
THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand).
Huruf c
Contoh:
Rekening Sub-SNA Baht milik PT X yang merupakan
Eksportir Indonesia bertambah sebesar THB10,000.00
(sepuluh ribu baht Thailand) karena memperoleh bunga
dari rata-rata saldo Sub-SNA Baht.
7
Huruf d
Contoh:
Rekening Sub-SNA Baht milik PT Y yang merupakan
Eksportir Indonesia bertambah sebesar THB1,000,000.00
(satu juta baht Thailand) karena menerima pencairan dana
dari fasilitas Pembiayaan Perdagangan yang diberikan oleh
Bank ACCD Indonesia.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
Rekening Sub-SNA Baht milik PT A yang merupakan
Importir Indonesia berkurang sebesar THB10,000,000.00
(sepuluh juta baht Thailand) karena digunakan untuk
membayar pembelian barang kepada eksportir Thailand.
Huruf b
Contoh:
Eksportir Indonesia melakukan transaksi spot jual
THB/IDR sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht
Thailand) dengan Bank ACCD Indonesia untuk
mengkonversi devisa hasil ekspor dalam baht. Berdasarkan
transaksi tersebut, Sub-SNA Baht milik Eksportir Indonesia
berkurang sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht
Thailand).
Huruf c
Contoh:
Rekening Sub-SNA Baht milik PT Y yang merupakan
Importir Indonesia berkurang sebesar THB1,000,000.00
(satu juta baht Thailand) karena digunakan untuk melunasi
fasilitas Pembiayaan Perdagangan yang diberikan oleh Bank
ACCD Indonesia.
Huruf d
Contoh:
PT D yang merupakan Eksportir Indonesia melakukan
pembelian surat berharga atau obligasi pemerintah
Thailand sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht
Thailand). Berdasarkan transaksi tersebut, rekening Sub-
8
SNA Baht milik PT D berkurang sebesar THB10,000,000.00
(sepuluh juta baht Thailand).
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Contoh:
Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan X Ltd yang
merupakan eksportir Thailand bertambah sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) karena menerima
hasil penjualan barang kepada Importir Indonesia.
Huruf b
Contoh:
Importir Thailand melakukan transaksi spot beli IDR/THB
sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dengan
Bank ACCD Thailand untuk pembayaran impor kepada
Eksportir Indonesia. Berdasarkan transaksi tersebut, Sub-
SNA Rupiah milik importir Thailand bertambah sebesar
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Huruf c
Contoh:
Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan X Ltd yang
merupakan eksportir Thailand bertambah sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) karena memperoleh
bunga dari rata-rata saldo Sub-SNA Rupiah.
Huruf d
Contoh:
Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan Y Ltd yang
merupakan eksportir Thailand bertambah sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) karena menerima
9
pencairan dana dari fasilitas Pembiayaan Perdagangan yang
diberikan oleh Bank ACCD Thailand.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan X Ltd yang
merupakan importir Thailand berkurang
sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) karena digunakan
untuk membayar pembelian barang kepada Eksportir
Indonesia.
Huruf b
Contoh:
Eksportir Thailand melakukan transaksi spot jual IDR/THB
sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dengan
Bank ACCD Thailand untuk mengkonversi devisa hasil
ekspor dalam rupiah. Berdasarkan transaksi tersebut, Sub-
SNA Rupiah milik eksportir Thailand berkurang sebesar
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Huruf c
Contoh:
Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan Y Ltd yang
merupakan importir Thailand berkurang
sebesar
Rp100.000.000.00 (seratus juta rupiah) karena digunakan
untuk melunasi fasilitas Pembiayaan Perdagangan yang
diberikan oleh Bank ACCD Thailand.
Huruf d
Contoh:
Perusahaan X Ltd yang merupakan eksportir Thailand
melakukan pembelian surat berharga atau obligasi
pemerintah Indonesia sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah). Berdasarkan transaksi tersebut, rekening
Sub-SNA Rupiah milik perusahaan X Ltd berkurang sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 15
Cukup jelas.
10
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “non-Bank ACCD Indonesia” adalah
Bank di Indonesia yang bukan merupakan Bank ACCD.
Contoh:
Bank B yang merupakan non-Bank ACCD Indonesia melakukan
pembelian THB/IDR melalui transaksi
spot
sebesar
THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand) kepada Bank C
yang merupakan Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan
Importir A di Indonesia yang akan melakukan pembayaran
pembelian barang kepada eksportir di Thailand. Pembelian
THB/IDR oleh Bank B tersebut didukung oleh Underlying
Transaksi dari Importir A.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
Importir B di Indonesia sesuai kontrak penjualan (sales contract)
memiliki kewajiban kepada eksportir di Thailand yang akan
jatuh waktu 1 (satu) bulan sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh
juta baht Thailand). Berdasarkan Underlying Transaksi tersebut,
Importir B melakukan transaksi pembelian THB/IDR melalui
transaksi forward paling banyak sebesar THB10,000,000.00
(sepuluh juta baht Thailand) dengan jangka waktu paling lama 1
(satu) bulan.
Ayat (5)
Contoh:
Importir C di Indonesia bermaksud untuk melunasi tagihan dari
eksportir X di Thailand sebesar USD100,000.00 (seratus ribu
dolar Amerika Serikat) atau ekuivalen sebesar THB3,326,000.00
(tiga juta tiga ratus dua puluh enam ribu baht Thailand) dengan
kurs USD/THB sebesar 33.26. Berdasarkan tagihan tersebut,
Importir C dapat melakukan pembelian THB/IDR melalui
transaksi spot sebesar THB3,326,000.00 (tiga juta tiga ratus dua
puluh enam ribu baht Thailand).
11
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “squaring position” adalah transaksi yang
dilakukan Bank ACCD Indonesia untuk menihilkan posisi
terbuka yang timbul dari transaksi sebelumnya.
Yang dimaksud dengan “non-Bank ACCD Thailand” adalah bank
di Thailand yang bukan merupakan Bank ACCD.
Contoh:
Importir A di Indonesia melakukan transaksi forward beli
THB/IDR sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht
Thailand) kepada Bank B yang merupakan Bank ACCD
Indonesia. Berdasarkan transaksi dengan Importir A tersebut,
Bank B dapat melakukan squaring position dengan Bank X yang
merupakan Bank ACCD Thailand berupa transaksi forward beli
THB/IDR sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht
Thailand) tanpa Underlying Transaksi.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
Importir A di Indonesia melakukan pembelian THB/IDR
kepada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia
melalui transaksi spot sebesar THB100,000,000.00 (seratus
juta baht Thailand). Kemudian, Eksportir B di Indonesia
melakukan penjualan THB/IDR melalui transaksi spot
sebesar THB70,000,000.00 (tujuh puluh juta baht Thailand)
kepada Bank B. Berdasarkan transaksi tersebut, Bank B
dapat melakukan squaring position secara net basis dengan
melakukan pembelian THB/IDR kepada Bank ACCD
Thailand lainnya sebesar THB30,000,000.00 (tiga puluh
juta baht Thailand) yang merupakan selisih dari
THB100,000,000.00 – THB70,000,000.00.
Huruf b
Contoh:
Importir C di Indonesia melakukan transaksi spot beli
THB/IDR kepada Bank Y yang merupakan Bank ACCD
Indonesia melalui transaksi spot sebesar THB10,000,000.00
(sepuluh juta baht Thailand). Eksportir B juga melakukan
12
penjualan THB/IDR melalui transaksi spot sebesar
THB7,000,000.00 (tujuh juta baht Thailand) kepada Bank
Y. Berdasarkan transaksi tersebut, Bank Y dapat
melakukan squaring position secara gross basis dengan
melakukan transaksi spot
THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand) dan
transaksi spot jual THB/IDR sebesar THB7,000,000.00
(tujuh juta baht Thailand) dengan non-Bank ACCD
Thailand disertai dengan Underlying Transaksi.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Importir A di Thailand melakukan pembelian IDR/THB kepada
Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand melalui transaksi
spot sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kemudian, Eksportir B di Thailand melakukan penjualan
IDR/THB melalui transaksi spot sebesar Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah) kepada Bank X. Berdasarkan transaksi
tersebut, Bank X dapat melakukan squaring position secara net
basis dengan melakukan pembelian IDR/THB kepada Bank
ACCD Indonesia dengan melakukan transaksi spot sebesar
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) yang merupakan
selisih dari Rp1.000.000.000,00 – Rp600.000.000,00.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “netting” adalah penyelesaian transaksi
yang dilakukan tanpa pemindahan dana pokok secara penuh
sehingga yang bergerak hanya sejumlah dana yang merupakan
hasil perhitungan nominal transaksi (notional) dengan selisih
kurs.
Ayat (2)
Cukup jelas.
beli THB/IDR sebesar
13
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” adalah dokumen
di luar Underlying Transaksi yang membuktikan terjadinya
perpanjangan transaksi (rollover), percepatan penyelesaian
transaksi (early termination), dan/atau pengakhiran transaksi
(unwind/cancel up).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “netting” adalah penyelesaian transaksi
yang dilakukan tanpa pemindahan dana pokok secara penuh
sehingga yang bergerak hanya sejumlah dana yang merupakan
hasil perhitungan nominal transaksi (notional) dengan selisih
kurs.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “Bank ACCD yang sama sesuai dengan
kontrak transaksi awal” adalah Bank ACCD Indonesia dan/atau
Bank ACCD Thailand.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
14
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “Bank ACCD yang sama sesuai dengan
kontrak transaksi awal” adalah Bank ACCD Indonesia dan/atau
Bank ACCD Thailand.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “jenis Pembiayaan Perdagangan yang
lazim dilakukan” antara lain letter of credit (L/C), standby L/C,
trust receipt, atau letter of guarantee.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Contoh:
Importir C di Indonesia melakukan pembelian barang sebesar
USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) dari
eksportir X di Thailand. Importir C membuka letter of credit di
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia untuk melunasi
tagihan dari eksportir X di Thailand sebesar USD100,000.00
(seratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalen sebesar
THB3,326,000.00 (tiga juta tiga ratus dua puluh enam ribu baht
Thailand) dengan kurs USD/THB sebesar 33.26. Berdasarkan
tagihan tersebut, Importir C dapat melakukan pembelian
THB/IDR melalui transaksi spot sebesar THB3,326,000.00 (tiga
juta tiga ratus dua puluh enam ribu baht Thailand).
Ayat (2)
Cukup jelas.
15
Pasal 24
Ayat (1)
Contoh:
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia bermaksud
untuk memberikan fasilitas Pembiayaan Perdagangan kepada
Importir B di Indonesia sebesar THB100,000,000.00 (seratus
juta baht Thailand). Bank A dapat melakukan pinjaman
langsung kepada Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand
paling banyak sebesar THB100,000,000.00 (seratus juta baht
Thailand). Dalam hal ini, Underlying Transaksi berupa fasilitas
Pembiayaan Perdagangan.
Ayat (2)
Contoh:
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia memberikan
fasilitas Pembiayaan Perdagangan kepada Importir D di
Indonesia sebesar THB20,000,000.00 (dua puluh juta baht
Thailand) dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan yang sumber
dananya didanai oleh pinjaman langsung (direct borrowing) dari
Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand. Pinjaman
langsung yang dilakukan antara Bank A kepada Bank X paling
lama sama dengan jangka waktu Pembiayaan Perdagangan yaitu
3 (tiga) bulan.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand bermaksud
memberikan fasilitas Pembiayaan Perdagangan kepada importir
Y di Thailand sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah). Berdasarkan Underlying Transaksi tersebut, Bank X
melakukan pinjaman langsung dalam rupiah kepada Bank B
yang merupakan
Bank ACCD Indonesia sebesar
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Dalam hal ini,
Bank B melakukan penempatan dalam rupiah kepada Bank X
16
paling banyak sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
Rupiah).
Ayat (3)
Contoh:
Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand melakukan
fasilitas Pembiayaan Perdagangan kepada importir Y di Thailand
sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) dengan
jangka waktu 5 (lima) bulan. Berdasarkan Underlying Transaksi
tersebut, Bank X melakukan pinjaman langsung dalam rupiah
kepada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia sebesar
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) dengan tenor 5
(lima) bulan. Dengan demikian, penempatan dalam rupiah yang
dilakukan oleh Bank B kepada Bank X paling lama sama dengan
jangka waktu Pembiayaan Perdagangan yaitu 5 (lima) bulan.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Contoh:
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia membeli
obligasi pemerintah/surat berharga negara Thailand
sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand)
sehingga dapat mengurangi saldo SNA Baht pada akhir
Hari.
Huruf b
Contoh:
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan
transaksi swap THB/IDR atau THB/USD sebesar
THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand) dengan
Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia atau
dengan Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand
sehingga mengurangi saldo SNA Baht.
17
Huruf c
Contoh:
Bank C yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan
konversi baht ke rupiah sebesar THB10,000,000.00
(sepuluh juta baht Thailand) melalui transaksi spot
sehingga mengurangi jumlah saldo SNA Baht.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan
investasi pada surat berharga negara Thailand sebesar
THB300,000,000.00 (tiga ratus juta baht Thailand) dengan
kupon 3% (tiga persen) per tahun. Berdasarkan investasi
tersebut, pada saat jatuh waktu pembayaran kupon Bank A
menerima kupon sebesar THB2,250,000.00 (dua juta dua ratus
lima puluh ribu baht Thailand). Penerimaan kupon tersebut
dapat ditransfer ke rekening SNA Baht milik Bank A.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain bukti
investasi atau kepemilikan aset keuangan dalam baht di
Thailand.
Pasal 28
Ayat (1)
Contoh:
Eksportir A di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Baht sebesar
THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand) yang dananya
berasal dari devisa hasil ekspor. Berdasarkan saldo SNA Baht
tersebut, Eksportir A dapat melakukan pembelian saham di
Thailand sebesar THB50,000,000.00 (lima puluh juta baht
Thailand).
Ayat (2)
Contoh:
Eksportir B di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Baht sebesar
THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand) yang dananya
berasal dari devisa hasil ekspor. Berdasarkan saldo Sub-SNA
18
Baht tersebut, Eksportir B dapat melakukan pembelian saham
di Thailand sebesar THB50,000,000.00 (lima puluh juta baht
Thailand). 6 (enam) bulan kemudian, Eksportir B bermaksud
untuk menjual saham. Dana hasil penjualan saham tidak dapat
ditransfer kembali ke Sub-SNA Baht pada Bank ACCD
Indonesia.
Ayat (3)
Contoh:
Importir C di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Baht sebesar
THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand) yang dananya
berasal dari pembelian THB/IDR melalui transaksi spot untuk
pembayaran kewajiban kepada eksportir di Thailand.
Berdasarkan saldo SNA Baht tersebut, Importir C tidak dapat
menggunakan dana tersebut untuk melakukan investasi di
Thailand mengingat dana tersebut ditujukan untuk membayar
kewajiban kepada eksportir di Thailand.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh:
Eksportir A di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Baht pada
Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia sebesar
THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand) yang dananya
berasal dari devisa hasil ekspor. Eksportir A melakukan
pembelian saham di Thailand sebesar THB50,000,000.00 (lima
puluh juta baht Thailand). Berdasarkan kegiatan investasi
tersebut, Bank B wajib memastikan Eksportir A menyampaikan
dokumen pendukung antara lain berupa bukti konfirmasi
pembelian saham.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Contoh:
Eksportir X di Thailand memiliki saldo Sub-SNA Rupiah sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang dananya berasal
19
dari devisa hasil ekspor. Berdasarkan saldo Sub-SNA Rupiah
tersebut, Eksportir X dapat melakukan pembelian saham di
Indonesia sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Ayat (2)
Contoh:
Eksportir X di Thailand memiliki saldo Sub-SNA Rupiah sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang dananya berasal
dari devisa hasil ekspor. Berdasarkan saldo Sub-SNA Rupiah
tersebut, eksportir X dapat melakukan pembelian saham di
Indonesia sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 6
(enam) bulan kemudian, eksportir X bermaksud untuk menjual
saham. Dana hasil penjualan saham tersebut tidak dapat
ditransfer kembali ke Sub-SNA Rupiah eksportir X pada Bank
ACCD Thailand.
Ayat (3)
Contoh:
Importir X di Thailand memiliki saldo Sub-SNA Rupiah sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang dananya berasal
dari pembelian IDR/THB melalui transaksi spot untuk
pembayaran kewajiban kepada Eksportir di Indonesia.
Berdasarkan saldo Sub-SNA Rupiah tersebut, importir X tidak
dapat menggunakan dana tersebut untuk melakukan investasi
di Indonesia mengingat dana tersebut ditujukan untuk
membayar kewajiban kepada Eksportir di Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Contoh:
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan
transaksi swap beli THB/IDR sebesar THB100,000,000.00
(seratus juta baht Thailand) dengan Bank B yang merupakan
Bank ACCD Indonesia. Bank A kemudian melakukan transaksi
swap jual THB/IDR sebesar THB50,000,000.00 (lima puluh juta
20
baht Thailand) dengan Bank X yang merupakan Bank ACCD
Thailand. Dengan demikian, Bank A memiliki posisi gross
transaksi swap sebesar THB150,000,000.00 (seratus lima puluh
juta baht Thailand).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Yang dimaksud dengan “non-SNA Baht” adalah rekening baht pada
bank di Thailand.
Huruf a
Contoh:
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan
transaksi spot beli THB/IDR sebesar THB100,000,000.00
(seratus juta baht Thailand) dengan Bank B yang
merupakan Bank ACCD Indonesia. Berdasarkan transaksi
tersebut, Bank B dapat melakukan transfer baht kepada
Bank A paling banyak sebesar THB100,000,000.00 (seratus
juta baht Thailand).
Huruf b
Contoh 1:
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan
transfer baht sebesar THB1,000,000.00 (satu juta baht
Thailand) dari rekening SNA Baht milik Bank A ke rekening
baht lainnya (non-SNA Baht) milik Bank B yang merupakan
Bank ACCD Indonesia.
Contoh 2:
Bank C yang merupakan non-Bank ACCD Indonesia
melakukan transaksi spot
beli THB/IDR sebesar
THB500,000.00 (lima ratus ribu baht Thailand) dengan
Bank D yang merupakan Bank ACCD Indonesia untuk
21
kepentingan nasabahnya yang merupakan Importir
Indonesia dengan Underlying Transaksi berupa invoice
pembelian barang dari Thailand. Berdasarkan transaksi
tersebut Bank D dapat melakukan transfer dari rekening
SNA Baht milik Bank D ke rekening baht milik Bank C pada
bank di Thailand (non-SNA Baht) sebesar THB500,000.00
(lima ratus ribu baht Thailand).
Huruf c
Contoh:
Importir A di Indonesia yang memiliki Sub-SNA Baht pada
Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia akan
melakukan pembayaran kewajiban atas pembelian barang
dari eksportir X di Thailand yang memiliki rekening baht
pada Bank Y yang merupakan Bank ACCD Thailand
sebesar THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand).
Berdasarkan transaksi Importir A tersebut, Bank B akan
melakukan:
1. pendebitan Sub-SNA Baht Importir A pada Bank B
sebesar THB100,000,000.00 (seratus juta baht
Thailand); dan
2. meminta Bank Y untuk mendebit SNA Baht milik Bank
B pada Bank Y sebesar THB100,000,000.00 (seratus
juta baht Thailand) untuk selanjutnya ditransfer
kepada rekening baht milik eksportir X pada non-Bank
ACCD di Thailand.
Huruf d
Contoh:
Importir C di Indonesia yang memiliki Sub-SNA Baht pada
Bank D yang merupakan Bank ACCD Indonesia akan
melakukan pembayaran kewajiban atas pembelian barang
dari eksportir Y di Thailand sebesar THB200,000,000.00
(dua ratus juta baht Thailand). Berdasarkan transaksi
Importir C, Bank D akan melakukan:
1. pendebitan Sub-SNA Baht milik Importir C pada Bank
D sebesar THB200,000,000.00 (dua ratus juta baht
Thailand); dan
22
2. mentransfer baht dari SNA Baht milik Bank Y pada
Bank ACCD Thailand sebesar THB200,000,000.00 (dua
ratus juta baht Thailand) kepada rekening baht milik
eksportir Y pada Bank ACCD di Thailand.
Huruf e
Contoh:
Eksportir E di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Baht
sebesar THB400,000,000.00 (empat ratus juta baht
Thailand) yang diperoleh dari devisa hasil ekspor pada Bank
F yang merupakan Bank ACCD Indonesia. Eksportir E
melalui perusahaan sekuritas di Thailand bermaksud
melakukan investasi atas sebagian dana tersebut dalam
bentuk obligasi di Thailand sebesar THB200,000,000.00
(dua ratus juta baht Thailand). Berdasarkan perintah
Eksportir E, Bank F akan melakukan:
1. pendebitan Sub-SNA Baht milik Eksportir E pada Bank
F sebesar THB200,000,000.00 (dua ratus juta baht
Thailand); dan
2. transfer baht dari SNA Baht milik Bank F pada Bank
ACCD Thailand kepada rekening baht milik
perusahaan sekuritas pada bank di Thailand untuk
penyelesaian pembelian obligasi oleh Eksportir E
sebesar THB200,000,000.00 (dua ratus juta baht
Thailand).
Pasal 34
Yang dimaksud dengan “non-SNA Rupiah” adalah rekening rupiah
pada Bank di Indonesia.
Huruf a
Contoh:
Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand melakukan
transaksi spot beli IDR/THB sebesar Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah) dengan Bank A yang merupakan
Bank ACCD Indonesia. Berdasarkan transaksi tersebut,
Bank A dapat melakukan transfer rupiah kepada Bank X
sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
23
Huruf b
Contoh 1:
Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand melakukan
transfer rupiah sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah) dari rekening SNA Rupiah milik Bank X ke
rekening rupiah lainnya (non-SNA Rupiah) milik Bank Y
yang merupakan Bank ACCD Thailand.
Contoh 2:
Bank X yang merupakan non-Bank ACCD Thailand
melakukan transaksi spot
beli IDR/THB sebesar
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dengan Bank Y
yang merupakan Bank ACCD Thailand untuk kepentingan
nasabahnya yang merupakan importir Thailand dengan
Underlying Transaksi berupa invoice pembelian barang dari
Indonesia. Berdasarkan transaksi tersebut, Bank Y dapat
melakukan transfer dari rekening SNA Rupiah milik Bank Y
ke rekening rupiah (non-SNA Rupiah) milik Bank X pada
Bank di Indonesia sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah).
Huruf c
Contoh:
Importir X di Thailand yang memiliki Sub-SNA Rupiah pada
Bank Y yang merupakan Bank ACCD Thailand yang akan
melakukan pembayaran kewajiban atas pembelian barang
dari Eksportir A di Indonesia yang memiliki rekening rupiah
pada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia
sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Bank Y
memiliki rekening SNA Rupiah pada Bank B. Berdasarkan
transaksi importir X tersebut, Bank Y akan melakukan:
1. pendebitan Sub-SNA Rupiah importir X pada Bank Y
sebesar Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah); dan
2. meminta Bank B untuk mendebit SNA Rupiah milik
Bank Y pada Bank B sebesar Rp1.000.000.000,00
(satu miliar
rupiah) untuk selanjutnya
dipindahbukukan kepada rekening rupiah milik
Eksportir A pada Bank B.
24
Huruf d
Contoh:
Importir X di Thailand yang memiliki Sub-SNA Rupiah pada
Bank Y yang merupakan Bank ACCD Thailand akan
melakukan pembayaran kewajiban atas pembelian barang
dari Eksportir A di Indonesia sebesar Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah). Berdasarkan transaksi importir X,
Bank Y akan melakukan:
1. pendebitan Sub-SNA Rupiah milik importir X pada
Bank Y sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah); dan
2. mentransfer rupiah dari SNA Rupiah milik Bank Y
pada Bank ACCD Indonesia sebesar Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) ke rekening rupiah milik
Eksportir A pada Bank ACCD di Indonesia.
Huruf e
Contoh:
Eksportir X di Thailand memiliki saldo Sub-SNA Rupiah
sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) pada
Bank Y yang merupakan Bank ACCD Thailand yang
diperoleh dari devisa hasil ekspor. Eksportir X melalui
perusahaan sekuritas di Indonesia bermaksud melakukan
investasi atas sebagian dana tersebut dalam bentuk obligasi
di Indonesia sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah). Berdasarkan perintah eksportir X, Bank Y akan
melakukan:
1. pendebitan Sub-SNA Rupiah milik eksportir X pada
Bank Y sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah); dan
2. transfer rupiah dari SNA Rupiah milik Bank Y pada
Bank ACCD Indonesia ke rekening rupiah milik
perusahaan sekuritas pada Bank di Indonesia untuk
penyelesaian pembelian obligasi oleh eksportir X
sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
25
Pasal 35
Contoh 1:
Importir D di Indonesia melakukan transaksi spot beli THB/IDR
kepada Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia sebesar
THB100,000.00 (seratus ribu baht Thailand) untuk pembayaran
impor barang kepada eksportir Thailand dengan Underlying
Transaksi berupa invoice. Atas posisi tersebut Bank A melakukan
squaring position dengan Bank Z yang merupakan non-Bank ACCD
Thailand berupa transaksi spot
beli THB/IDR sebesar
THB100,000.00 (seratus ribu baht Thailand) dengan kurs THB/IDR
sebesar 396. Pada saat jatuh waktu, Bank A akan mentransfer dana
rupiah sebesar Rp39.600.000,00 (tiga puluh sembilan juta enam
ratus ribu rupiah) kepada rekening rupiah milik Bank Z pada Bank di
Indonesia dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa invoice
pembelian barang oleh Importir D.
Contoh 2:
Bank Z yang merupakan non-Bank ACCD Thailand melakukan
transaksi spot beli IDR/THB sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah) dengan Bank Y yang merupakan Bank ACCD Thailand
untuk kepentingan importir X di Thailand dalam rangka pembayaran
impor barang kepada Eksportir Indonesia dengan Underlying
Transaksi berupa invoice. Pada saat jatuh waktu, Bank Y akan
melakukan transfer dana rupiah sebesar Rp400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah) ke rekening rupiah milik Bank Z pada Bank di
Indonesia dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa invoice
pembelian barang oleh importir X.
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sarana penyedia informasi” antara lain
Reuters.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
26
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Yang dimaksud dengan “transaksi non-deliverable forward” adalah
transaksi derivatif forward yang penyelesaian transaksinya dilakukan
tanpa pemindahan dana pokok secara penuh melainkan hanya
pemindahan sejumlah dana yang merupakan hasil perhitungan
nominal transaksi dengan selisih kurs.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Contoh:
Pada tanggal 1 Agustus 2018, Perusahaan A di Indonesia yang
memiliki aktivitas impor dan ekspor melakukan transaksi
forward beli THB/IDR dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan
sebesar THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand) untuk
membayar impor pembelian barang dari Thailand. Pada tanggal
1 Agustus 2018, perusahaan A juga melakukan transaksi
forward jual THB/IDR dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan
sebesar THB20,000,000.00 (dua puluh juta baht Thailand)
untuk menjual devisa hasil ekspor ke Thailand. Berdasarkan
masing-masing transaksi tersebut, perusahaan A harus
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi sebagai berikut:
1. dokumen perkiraan pembayaran impor sebesar
THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand); dan
27
2. dokumen perkiraan penerimaan ekspor sebesar
THB20,000,000.00 (dua puluh juta baht Thailand).
Perusahaan A dapat pula melakukan transaksi lain untuk
memenuhi kebutuhan pembayaran impor dan penjualan devisa
hasil ekspor dengan melakukan transaksi bersih secara neto (net
basis) berupa forward beli sebesar THB80,000,000.00 (delapan
puluh juta baht Thailand) dengan menyampaikan dokumen
Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis)
yang menunjukkan net pembayaran neto impor sebesar
THB80,000,000.00 (delapan puluh juta baht Thailand).
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Contoh:
Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi spot THB/IDR
dengan non-Bank ACCD Indonesia. Transaksi ini dilakukan
untuk memenuhi kepentingan Importir di Indonesia. Non-Bank
ACCD Indonesia wajib menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi antara lain letter of credit atau invoice yang
menunjukkan transaksi perdagangan barang dan jasa antara
Indonesia dan Thailand.
Ayat (2)
Contoh:
Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi forward THB/IDR
dengan non-Bank ACCD Indonesia. Transaksi ini dilakukan
untuk memenuhi kepentingan Importir di Indonesia. Dalam hal
ini, non-Bank ACCD Indonesia wajib menyampaikan dokumen
Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) atas
transaksi yang dilakukan non-Bank ACCD Indonesia dengan
Importir Indonesia antara lain letter of credit atau invoice yang
menunjukkan transaksi perdagangan barang dan jasa antara
Indonesia dan Thailand, atau dokumen Underlying Transaksi
yang bersifat perkiraan (anticipatory basis) dari Importir
Indonesia antara lain berupa perkiraan pembayaran impor
paling lama 1 (satu) tahun.
28
Pasal 41
Ayat (1)
Contoh:
Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi spot THB/IDR
dengan Importir Indonesia. Bank ACCD Indonesia wajib
meminta kepada Importir Indonesia untuk menyampaikan
dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm
commitment) atas impor barang yang dilakukan Importir antara
lain letter of credit atau invoice yang menunjukkan transaksi
perdagangan barang dan jasa antara Indonesia dan Thailand.
Ayat (2)
Contoh:
Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi forward THB/IDR
dengan Importir Indonesia. Bank ACCD Indonesia wajib
meminta kepada Importir Indonesia untuk menyampaikan
dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm
commitment) atas impor barang antara lain letter of credit atau
invoice yang menunjukkan transaksi perdagangan barang dan
jasa antara Indonesia dan Thailand atau dokumen Underlying
Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis) antara lain
perkiraan pembayaran impor paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 42
Ayat (1)
Contoh:
Importir A di Indonesia melakukan transaksi forward beli
THB/IDR dengan Bank B yang merupakan Bank ACCD
Indonesia dengan jangka waktu 1 (satu) bulan. Pada 2 (dua) hari
sebelum transaksi forward jatuh waktu, Importir A melakukan
rollover transaksi forward tersebut. Bank B wajib meminta
dokumen pendukung kepada Importir A yang menjelaskan
penundaan waktu pembayaran kepada eksportir di Thailand.
Ayat (2)
Contoh:
Importir C di Indonesia melakukan transaksi forward beli
THB/IDR dengan Bank D yang merupakan Bank ACCD
Indonesia dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan. Pada 2 (dua)
29
bulan sebelum transaksi forward jatuh waktu, Importir C
melakukan early termination transaksi forward tersebut. Bank D
wajib meminta dokumen pendukung kepada Importir C yang
menjelaskan percepatan penyelesaian transaksi kepada
eksportir di Thailand.
Ayat (3)
Contoh:
Importir A di Indonesia melakukan transaksi spot beli THB/IDR
dengan Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia untuk
pembayaran kewajiban kepada eksportir di Thailand. Pada saat
jatuh waktu, Importir A memberitahukan Bank B bahwa terjadi
pembatalan pembelian barang sehingga Importir A melakukan
pengakhiran transaksi spot. Berdasarkan pengakhiran transaksi
tersebut Bank B wajib meminta dokumen pendukung kepada
Importir yang menunjukkan pembatalan pembelian barang
kepada eksportir Thailand.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain bukti
konfirmasi pembelian aset keuangan dalam baht di Thailand.
Contoh:
Eksportir A di Indonesia melakukan investasi pada obligasi korporasi
di Thailand sebesar THB200,000,000.00 (dua ratus juta baht
Thailand) dengan sumber dana berasal dari devisa hasil ekspor.
Berdasarkan kegiatan investasi tersebut, Eksportir A wajib
menyerahkan dokumen Underlying Transaksi kepada Bank ACCD
Indonesia antara lain berupa bukti konfirmasi pembelian obligasi
korporasi.
30
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “transaksi valuta asing” adalah data
transaksi rupiah dan valuta asing terhadap baht yang
dilakukan oleh Bank ACCD Indonesia dengan Bank ACCD
lainnya, non-Bank ACCD, dan/atau Importir/Eksportir
Indonesia, untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan
Baht.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “posisi terbuka mata uang negara
mitra” adalah data posisi terbuka transaksi baht terhadap
rupiah dan valuta asing pada akhir Hari.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “posisi saldo SNA mitra” adalah
data saldo akhir Hari dan total mutasi harian dari SNA
mitra.
Yang dimaksud dengan “SNA mitra” adalah rekening
khusus milik Bank ACCD Indonesia dalam baht yang
dibuka pada Bank ACCD Thailand untuk kepentingan
pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “transfer dana” adalah data
transaksi transfer dana dari dan/atau ke SNA mitra.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “posisi saldo dan mutasi sub-SNA
mitra” adalah saldo akhir Hari dan rincian mutasi harian
dari sub-SNA mitra.
Yang dimaksud dengan “sub-SNA mitra” adalah rekening
khusus milik Importir/Eksportir Indonesia dalam baht yang
dibuka pada Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan
pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht.
31
Huruf f
Yang dimaksud dengan “posisi Pembiayaan Perdagangan”
adalah data posisi (outstanding amount) harian Pembiayaan
Perdagangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Bank ACCD Indonesia telah menyampaikan laporan untuk
bulan November 2018, namun terdapat kesalahan pengisian
pada salah satu baris formulir posisi Pembiayaan Perdagangan.
Berdasarkan hal tersebut, Bank ACCD Indonesia harus
menyampaikan kembali seluruh informasi dalam formulir posisi
Pembiayaan Perdagangan yang mencakup baris yang telah
dikoreksi dan baris lainnya yang tidak dikoreksi.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
32
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan ”gangguan teknis” adalah gangguan
yang menyebabkan Bank ACCD Indonesia tidak dapat
menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan kepada Bank
Indonesia antara lain karena gangguan pada sistem di intern
Bank ACCD Indonesia dan gangguan jaringan telekomunikasi.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)”
adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan Bank ACCD
Indonesia tidak dapat menyusun dan menyampaikan laporan
dan/atau koreksi laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan
massa, terorisme, bom, perang, sabotase, serta bencana alam
seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh pejabat
dari instansi terkait di daerah setempat.
Contoh 1:
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia mengalami
bencana alam sehingga menyebabkan force majeure sepanjang
bulan September 2018 sehingga Bank A tidak dapat melaporkan
transaksi yang dilakukan selama bulan September 2018. Bank A
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan untuk
periode pelaporan bulan Oktober 2018.
Contoh 2:
Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia mengalami
kerusakan sistem pada tanggal 10 sampai dengan tanggal 14
September 2018 sehingga menyebabkan force majeure. Sistem
Bank B kembali normal pada tanggal 21 September 2018.
Berdasarkan kondisi tersebut, Bank B tidak dapat melaporkan
transaksi pada periode force majeure selama 5 (lima) Hari. Bank
B tetap diwajibkan untuk menyampaikan laporan untuk periode
pelaporan bulan Oktober 2018 tanpa data transaksi pada
33
periode force majeure yaitu tanggal 10 sampai dengan 14
September 2018.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 19/11/PADG/2017 </reg_id>
<reg_title> PENYELESAIAN TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA DAN THAILAND MENGGUNAKAN RUPIAH DAN BAHT MELALUI BANK </reg_title>
<set_date> 20 November 2017 </set_date>
<effective_date> 2 Januari 2018 </effective_date>
<related_reg> '19/11/PBI/2017' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/11/PADG/2018
TENTANG
RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS
MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. Bank Indonesia telah menerbitkan peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai rasio intermediasi
makroprudensial dan penyangga likuiditas
makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank
umum syariah, dan unit usaha syariah;
b. bahwa peraturan mengenai rasio intermediasi
makroprudensial dan penyangga likuiditas
makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank
umum syariah, dan unit usaha syariah, perlu didukung
dengan peraturan pelaksanaan yang mengatur hal teknis
mengenai mekanisme pelaksanaan ketentuan rasio
intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas
makroprudensial;
2
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Rasio Intermediasi
Makroprudensial
dan Penyangga Likuiditas
Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank
Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah;
Mengingat
:
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tentang
Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga
Likuiditas Makroprudensial
Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6194);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG RASIO
INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA
LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM
KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA
SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat
BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
bagi Bank Umum
3
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
4. Bank adalah BUK, BUS, dan UUS.
5. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas
Jasa Keuangan.
6. Dana Pihak Ketiga yang selanjutnya disingkat DPK adalah
kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk
dalam rupiah dan/atau valuta asing.
7. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut
Rekening Giro Rupiah adalah rekening giro dalam mata
uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di
Bank Indonesia.
8. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
9. Rasio Intermediasi Makroprudensial yang selanjutnya
disingkat RIM adalah rasio hasil perbandingan antara:
a. kredit yang diberikan dalam rupiah dan valuta asing;
dan
b. surat berharga korporasi dalam rupiah dan valuta
asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang
dimiliki BUK,
terhadap:
a. DPK BUK dalam bentuk giro, tabungan, dan
simpanan berjangka/deposito dalam rupiah dan
valuta asing, tidak termasuk dana antarbank; dan
b. surat berharga dalam rupiah dan valuta asing yang
memenuhi persyaratan tertentu, yang diterbitkan
oleh BUK untuk memperoleh sumber pendanaan.
4
10. Rasio Intermediasi Makroprudensial Syariah yang
selanjutnya disebut RIM Syariah adalah rasio hasil
perbandingan antara:
a. Pembiayaan yang diberikan dalam rupiah dan valuta
asing; dan
b. surat berharga syariah korporasi dalam rupiah dan
valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu,
yang dimiliki BUS atau UUS,
terhadap:
a. DPK BUS atau DPK UUS dalam bentuk dana
simpanan wadiah dan dana investasi tidak terikat
dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana
antarbank; dan
b. surat berharga syariah dalam rupiah dan valuta asing
yang memenuhi persyaratan tertentu, yang
diterbitkan oleh BUS atau UUS untuk memperoleh
sumber pendanaan.
11. Giro atas pemenuhan RIM yang selanjutnya disebut Giro
RIM adalah saldo giro dalam Rekening Giro Rupiah di
Bank Indonesia yang wajib dipelihara oleh BUK untuk
pemenuhan RIM.
12. Giro atas pemenuhan RIM Syariah yang selanjutnya
disebut Giro RIM Syariah adalah saldo giro dalam
Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia yang wajib
dipelihara oleh BUS atau UUS untuk pemenuhan RIM
Syariah.
13. Target RIM adalah kisaran RIM yang dibatasi oleh batas
bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia untuk perhitungan Giro RIM.
14. Target RIM Syariah adalah kisaran RIM Syariah yang
dibatasi oleh batas bawah dan batas atas yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia untuk perhitungan Giro RIM Syariah.
15. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang
selanjutnya disebut KPMM adalah rasio hasil
perbandingan antara modal terhadap aset tertimbang
menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
OJK yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan
5
modal minimum bank umum konvensional dan bank
umum syariah.
16. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia untuk perhitungan RIM atau RIM Syariah.
17. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter pengali
yang digunakan dalam pemenuhan:
a. Giro RIM bagi BUK yang memiliki RIM kurang dari
batas bawah Target RIM; atau
b. Giro RIM Syariah bagi BUS dan UUS yang memiliki
RIM Syariah kurang dari batas bawah Target RIM
Syariah.
18. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali yang
digunakan dalam pemenuhan:
a. Giro RIM bagi BUK yang memiliki RIM lebih dari batas
atas Target RIM; atau
b. Giro RIM Syariah bagi BUS dan UUS yang memiliki
RIM Syariah lebih dari batas atas Target RIM Syariah.
19. Penyangga Likuiditas Makroprudensial yang selanjutnya
disingkat PLM adalah cadangan likuiditas minimum dalam
rupiah yang wajib dipelihara oleh BUK dalam bentuk surat
berharga yang memenuhi persyaratan tertentu, yang
besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar
persentase tertentu dari DPK BUK dalam rupiah.
20. Penyangga Likuiditas Makroprudensial Syariah yang
selanjutnya disebut PLM Syariah adalah cadangan
likuiditas minimum dalam rupiah yang wajib dipelihara
oleh BUS dalam bentuk surat berharga syariah yang
memenuhi persyaratan tertentu, yang besarnya
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase
tertentu dari DPK BUS dalam rupiah.
21. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disebut
JIBOR adalah Jakarta Interbank Offered Rate
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai suku bunga penawaran
antarbank.
22. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI
adalah Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
6
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai operasi moneter.
23. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai operasi moneter syariah.
24. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah Sertifikat Deposito Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai operasi moneter.
25. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
adalah surat berharga yang terdiri atas surat utang negara
dalam mata uang rupiah dan surat berharga syariah
negara dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia.
26. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang
negara, dalam mata uang rupiah.
27. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat
SBSN adalah surat berharga syariah negara atau sukuk
negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara,
dalam mata uang rupiah.
28. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang
selanjutnya disebut PUAS adalah pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pasar uang antarbank berdasarkan prinsip
syariah.
29. Sertifikat Investasi Mudarabah Antarbank yang
selanjutnya disingkat SIMA adalah sertifikat investasi
mudarabah antarbank sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
sertifikat investasi mudarabah antarbank.
7
30. Tingkat Indikasi Imbalan SIMA adalah rata-rata
tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA dalam rupiah
yang terjadi di PUAS pada pasar perdana.
31. Laporan Berkala Bank Umum yang selanjutnya disingkat
LBBU adalah laporan berkala bank umum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai laporan berkala bank umum.
32. Laporan Berkala Bank Umum bagi BUS dan UUS yang
selanjutnya disebut LBBUS adalah laporan berkala bank
umum bagi BUS dan UUS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan berkala bank umum.
33. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disingkat
LHBU adalah laporan harian bank umum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai laporan harian bank umum.
34. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah Bank
Indonesia-Scripless Securities Settlement System
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan
penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS.
BAB II
KEWAJIBAN PEMENUHAN GIRO RIM DAN GIRO RIM
SYARIAH
Pasal 2
(1) BUK wajib memenuhi Giro RIM yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) BUS dan UUS wajib memenuhi Giro RIM Syariah yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek
tetap wajib memenuhi Giro RIM.
(4) BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek
syariah tetap wajib memenuhi Giro RIM Syariah.
8
Bagian Kesatu
Tata Cara Pemenuhan Kewajiban Giro RIM
Paragraf 1
Besaran dan Parameter Giro RIM
Pasal 3
(1) Giro RIM ditetapkan sebesar hasil perkalian antara
Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif
Atas, selisih antara RIM dan Target RIM, serta DPK BUK
dalam rupiah.
(2) Dalam hal RIM lebih besar dari batas atas Target RIM,
pemenuhan Giro RIM sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memperhatikan KPMM BUK dan KPMM Insentif.
(3) Giro RIM dipenuhi dengan membandingkan posisi saldo
Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia setiap akhir
hari selama 2 (dua) periode laporan terhadap Giro RIM
yang dihitung menggunakan rata-rata harian jumlah DPK
BUK dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya.
(4) Pemenuhan Giro RIM didasarkan pada DPK BUK dalam
rupiah dengan periode laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur sebagai berikut:
a. Giro RIM untuk periode laporan sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 menggunakan
rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah
dalam periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai
dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan
b. Giro RIM untuk periode laporan sejak tanggal 16
sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUK
dalam rupiah dalam periode laporan sejak tanggal 16
sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak
9
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
sebelumnya.
Pasal 4
Besaran dan parameter yang digunakan dalam pemenuhan
Giro RIM ditetapkan sebagai berikut:
a. batas bawah Target RIM sebesar 80% (delapan puluh
persen);
b. batas atas Target RIM sebesar 92% (sembilan puluh dua
persen);
c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen);
d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma satu);
dan
e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua).
Paragraf 2
Sumber Data dan Nilai yang Digunakan
Pasal 5
(1) Perhitungan RIM menggunakan sumber data dan nilai
sebagai berikut:
a.
kredit;
b. DPK BUK;
c. surat berharga korporasi yang dimiliki BUK; dan
d. surat berharga yang diterbitkan oleh BUK,
dalam rupiah dan valuta asing.
(2) Data kredit dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a diperoleh dari pos kredit
yang diberikan kepada pihak ketiga bukan bank dalam
Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode
Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya
dalam LBBU.
(3) Data DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperoleh
dari pos giro, pos tabungan, dan pos simpanan berjangka
dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir
10
Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya dalam LBBU.
(4) Data surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam
rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c dan data surat berharga yang diterbitkan oleh
BUK dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d diperoleh dari:
a. saldo total harga perolehan surat berharga korporasi
yang dimiliki BUK dan saldo total nilai nominal surat
berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam laporan
surat berharga sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, posisi 2
(dua) periode laporan sebelumnya yang disampaikan
BUK kepada Bank Indonesia secara bulanan; atau
b. saldo total harga perolehan surat berharga korporasi
yang dimiliki dan saldo total nilai nominal surat
berharga yang diterbitkan dalam laporan surat
berharga BUK yang diperoleh dari laporan bulanan
bank umum atau sistem aplikasi laporan lainnya,
dalam hal Bank Indonesia telah menginformasikan
kepada BUK mengenai penghentian kewajiban
penyampaian laporan surat berharga melalui surat
dan/atau penyempurnaan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 6
(1) Data DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan Giro RIM
diperoleh dari rata-rata DPK BUK dalam rupiah untuk
seluruh kantor dari BUK yang bersangkutan di Indonesia
dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan
Valuta Asing dalam LBBU.
(2) DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan Giro RIM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban
dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik
kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri
atas:
11
a.
giro;
b. tabungan;
c. simpanan berjangka/deposito; dan
d. kewajiban lainnya.
Pasal 7
(1) Data KPMM dalam pemenuhan Giro RIM diatur sebagai
berikut:
a. KPMM yang digunakan yaitu KPMM triwulanan dari
BUK yang bersangkutan; dan
b. KPMM triwulanan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a menggunakan posisi akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember dengan rincian sebagai
berikut:
1. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan
untuk pemenuhan Giro RIM untuk bulan Juni,
Juli, dan Agustus pada tahun yang sama;
2. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan
untuk pemenuhan Giro RIM untuk bulan
September, Oktober, dan November pada tahun
yang sama;
3. KPMM pada posisi akhir bulan September
digunakan untuk pemenuhan Giro RIM untuk
bulan Desember pada tahun yang sama serta
bulan Januari dan Februari pada tahun
berikutnya; dan
4. KPMM pada posisi akhir bulan Desember
digunakan untuk pemenuhan Giro RIM untuk
bulan Maret, April, dan Mei pada tahun
berikutnya.
(2) KPMM BUK untuk pemenuhan Giro RIM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yaitu KPMM triwulanan hasil
olahan sistem aplikasi yang diterima Bank Indonesia dari
OJK.
(3) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan
KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan hasil
12
perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUK maka yang
berlaku yaitu KPMM yang diterima Bank Indonesia dari
OJK.
Paragraf 3
Kriteria dan Batas Maksimum Surat Berharga
Pasal 8
(1) Kriteria surat berharga korporasi yang dimiliki BUK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c,
yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM diatur
sebagai berikut:
a. surat berharga korporasi dalam bentuk obligasi
korporasi dan/atau sukuk korporasi;
b. surat berharga korporasi diterbitkan oleh korporasi
bukan Bank dan oleh penduduk;
c. surat berharga korporasi ditawarkan kepada publik
melalui penawaran umum (public offering);
d. surat berharga korporasi memiliki peringkat yang
diterbitkan lembaga pemeringkat dengan peringkat
paling rendah setara dengan peringkat investasi; dan
e. surat berharga korporasi ditatausahakan di lembaga
yang berwenang memberikan layanan jasa
penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek.
(2) Lembaga pemeringkat dan peringkat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga
pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai
dengan ketentuan OJK.
(3) Bank Indonesia menetapkan batas maksimum surat
berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam rupiah dan
valuta asing yang digunakan dalam perhitungan RIM.
(4) Batas maksimum surat berharga korporasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar 100% (seratus
persen) dari surat berharga korporasi yang dimiliki BUK
dalam rupiah dan valuta asing.
13
Pasal 9
(1) Kriteria surat berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam
rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf d, yang digunakan sebagai dasar
perhitungan RIM diatur sebagai berikut:
a. surat berharga dalam bentuk medium term notes
(MTN), floating rate notes (FRN), dan/atau obligasi
selain obligasi subordinasi;
b. surat berharga dimiliki bukan Bank baik penduduk
dan bukan penduduk;
c. surat berharga ditawarkan kepada publik melalui
penawaran umum (public offering);
d. surat berharga memiliki peringkat yang diterbitkan
lembaga pemeringkat dengan peringkat paling rendah
setara dengan peringkat investasi; dan
e. surat berharga ditatausahakan di lembaga yang
berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan
dan penyelesaian transaksi efek.
(2) Lembaga pemeringkat dan peringkat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga
pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai
dengan ketentuan OJK.
Paragraf 4
Perhitungan RIM dan Pemenuhan Giro RIM
Pasal 10
(1) RIM merupakan persentase yang dihitung dari
perbandingan antara penjumlahan kredit dalam rupiah
dan valuta asing dan surat berharga korporasi yang
dimiliki BUK dalam rupiah dan valuta asing terhadap
penjumlahan DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing dan
surat berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam rupiah
dan valuta asing.
(2) Dalam hal RIM berada dalam kisaran Target RIM maka
Giro RIM ditetapkan sebesar 0% (nol persen) dari DPK BUK
dalam rupiah.
14
(3) Dalam hal RIM tidak berada dalam kisaran Target RIM
maka Giro RIM ditetapkan sebagai berikut:
a. dalam hal RIM lebih kecil dari batas bawah Target
RIM maka Giro RIM ditetapkan sebesar hasil
perkalian antara Parameter Disinsentif Bawah, selisih
antara batas bawah Target RIM dan RIM, serta DPK
BUK dalam rupiah;
b. dalam hal RIM lebih besar dari batas atas Target RIM
dan KPMM BUK lebih kecil dari KPMM Insentif maka
Giro RIM ditetapkan sebesar hasil perkalian antara
Parameter Disinsentif Atas, selisih antara RIM dan
batas atas Target RIM, serta DPK BUK dalam rupiah;
atau
c. dalam hal RIM lebih besar dari batas atas Target RIM
dan KPMM BUK sama atau lebih besar dari KPMM
Insentif maka Giro RIM ditetapkan sebesar 0% (nol
persen) dari DPK BUK dalam rupiah.
Bagian Kedua
Tata Cara Pemenuhan Kewajiban Giro RIM Syariah
Paragraf 1
Besaran dan Parameter Giro RIM Syariah
Pasal 11
(1) Giro RIM Syariah ditetapkan sebesar hasil perkalian
antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter
Disinsentif Atas, selisih antara RIM Syariah dan Target
RIM Syariah, serta DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS
dalam rupiah.
(2) Dalam hal RIM Syariah lebih besar dari batas atas Target
RIM Syariah, pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memperhatikan KPMM BUS atau
KPMM BUK yang menjadi induk UUS, dan KPMM Insentif.
(3) Giro RIM Syariah dipenuhi dengan membandingkan posisi
saldo Rekening Giro Rupiah BUS atau saldo Rekening Giro
Rupiah UUS di Bank Indonesia setiap akhir hari selama 2
15
(dua) periode laporan terhadap Giro RIM Syariah yang
dihitung menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS
dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah selama 2 (dua)
periode laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya.
(4) Pemenuhan Giro RIM Syariah didasarkan pada DPK BUS
dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah dengan periode
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
sebagai berikut:
a. Giro RIM Syariah untuk periode laporan sejak tanggal
1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 menggunakan
rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah atau
DPK UUS dalam rupiah, dalam periode laporan sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
bulan sebelumnya; dan
b. Giro RIM Syariah untuk periode laporan sejak tanggal
16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan
sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS
dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah, dalam
periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan
tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya.
Pasal 12
Besaran dan parameter yang digunakan dalam pemenuhan
Giro RIM Syariah ditetapkan sebagai berikut:
a. batas bawah Target RIM Syariah sebesar 80% (delapan
puluh persen);
b. batas atas Target RIM Syariah sebesar 92% (sembilan
puluh dua persen);
c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen);
d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma satu);
dan
e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua).
16
Paragraf 2
Sumber Data dan Nilai yang Digunakan
Pasal 13
(1) Perhitungan RIM Syariah menggunakan sumber data dan
nilai sebagai berikut:
a. Pembiayaan;
b. DPK BUS atau DPK UUS;
c. surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS
atau UUS; dan
d. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS
atau UUS,
dalam rupiah dan valuta asing.
(2) Data Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperoleh
dari pos piutang, pos pembiayaan, dan pos ijarah dalam
Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode
Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya
dalam LBBUS.
(3) Data DPK BUS atau DPK UUS dalam rupiah dan valuta
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
diperoleh dari pos dana simpanan wadiah dan pos dana
investasi tidak terikat dalam Formulir 2 Neraca Mingguan
Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat)
periode laporan sebelumnya dalam LBBUS.
(4) Data surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS
atau surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS
dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dan data surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh BUS atau surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh UUS dalam rupiah dan valuta asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diperoleh
dari:
a. saldo total harga perolehan surat berharga syariah
korporasi yang dimiliki BUS atau surat berharga
syariah korporasi yang dimiliki UUS dan saldo total
nilai nominal surat berharga syariah yang diterbitkan
17
oleh BUS atau surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh UUS dalam laporan surat berharga
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2
(dua) periode laporan sebelumnya yang disampaikan
BUS atau UUS kepada Bank Indonesia secara
bulanan; atau
b. saldo total harga perolehan surat berharga syariah
korporasi yang dimiliki dan saldo total nilai nominal
surat berharga syariah yang diterbitkan dalam
laporan surat berharga BUS atau UUS yang diperoleh
dari laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan
atau sistem aplikasi laporan lainnya, dalam hal Bank
Indonesia telah menginformasikan kepada BUS dan
UUS mengenai penghentian kewajiban penyampaian
laporan surat berharga melalui surat dan/atau
penyempurnaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini.
Pasal 14
(1) Data DPK BUS dalam rupiah atau data DPK UUS dalam
rupiah untuk pemenuhan Giro RIM Syariah diperoleh dari
rata-rata DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam
rupiah untuk seluruh kantor dari BUS dan UUS yang
bersangkutan di Indonesia dalam Formulir 1 Laporan
Dana Pihak Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam
LBBUS.
(2) DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah
untuk pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban dalam rupiah
kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk
maupun bukan penduduk, yang terdiri atas:
a. dana simpanan wadiah;
b. dana investasi tidak terikat; dan
c. kewajiban lainnya.
18
Pasal 15
(1) Data KPMM dalam pemenuhan Giro RIM Syariah diatur
sebagai berikut:
a. KPMM yang digunakan yaitu KPMM triwulanan dari
BUS atau KPMM triwulanan dari BUK yang menjadi
induk UUS yang bersangkutan; dan
b. KPMM triwulanan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a menggunakan posisi akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember dengan rincian sebagai
berikut:
1. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan
untuk pemenuhan Giro RIM Syariah untuk
bulan Juni, Juli, dan Agustus pada tahun yang
sama;
2. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan
untuk pemenuhan Giro RIM Syariah untuk
bulan September, Oktober, dan November pada
tahun yang sama;
3. KPMM pada posisi akhir bulan September
digunakan untuk pemenuhan Giro RIM Syariah
untuk bulan Desember pada tahun yang sama
serta bulan Januari dan Februari pada tahun
berikutnya; dan
4. KPMM pada posisi akhir bulan Desember
digunakan untuk pemenuhan Giro RIM Syariah
untuk bulan Maret, April, dan Mei pada tahun
berikutnya.
(2) KPMM BUS atau KPMM BUK yang menjadi induk UUS
untuk pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yaitu KPMM triwulanan hasil
olahan sistem aplikasi yang diterima Bank Indonesia dari
OJK.
(3) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan
KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan hasil
perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUS atau BUK
19
yang menjadi induk UUS maka yang berlaku yaitu KPMM
yang diterima Bank Indonesia dari OJK.
Paragraf 3
Kriteria dan Batas Maksimum Surat Berharga Syariah
Pasal 16
(1) Kriteria surat berharga syariah korporasi yang dimiliki
BUS atau surat berharga syariah korporasi yang dimiliki
UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf
c, yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM Syariah
diatur sebagai berikut:
a. surat berharga syariah korporasi dalam bentuk
sukuk korporasi;
b. surat berharga syariah korporasi diterbitkan oleh
korporasi bukan Bank dan oleh penduduk;
c. surat berharga syariah korporasi ditawarkan kepada
publik melalui penawaran umum (public offering);
d. surat berharga syariah korporasi memiliki peringkat
yang diterbitkan lembaga pemeringkat dengan
peringkat paling rendah setara dengan peringkat
investasi; dan
e. surat berharga syariah korporasi ditatausahakan di
lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa
penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek.
(2) Lembaga pemeringkat dan peringkat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga
pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai
dengan ketentuan OJK.
(3) Bank Indonesia menetapkan batas maksimum surat
berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dalam
rupiah dan valuta asing atau surat berharga syariah
korporasi yang dimiliki UUS dalam rupiah dan valuta
asing yang digunakan dalam perhitungan RIM Syariah.
(4) Batas maksimum surat berharga syariah korporasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar
100% (seratus persen) dari surat berharga syariah
20
korporasi yang dimiliki BUS dalam rupiah dan valuta asing
atau surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS
dalam rupiah dan valuta asing.
Pasal 17
(1) Kriteria surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS
dalam rupiah dan valuta asing atau surat berharga syariah
yang diterbitkan oleh UUS dalam rupiah dan valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf d,
yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM diatur
berikut:
a. surat berharga syariah dalam bentuk medium term
notes (MTN) syariah dan/atau sukuk selain sukuk
subordinasi;
b. surat berharga syariah dimiliki bukan Bank baik
penduduk dan bukan penduduk;
c. surat berharga syariah ditawarkan kepada publik
melalui penawaran umum (public offering);
d. surat berharga syariah memiliki peringkat yang
diterbitkan lembaga pemeringkat dengan peringkat
paling rendah setara dengan peringkat investasi; dan
e. surat berharga ditatausahakan di lembaga yang
berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan
dan penyelesaian transaksi efek.
(2) Lembaga pemeringkat dan peringkat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga
pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai
dengan ketentuan OJK.
Paragraf 4
Perhitungan RIM Syariah dan Pemenuhan Giro RIM Syariah
Pasal 18
(1) RIM Syariah bagi BUS dan UUS merupakan persentase
yang dihitung dari:
a. bagi BUS, perbandingan antara penjumlahan
Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing dan surat
21
berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dalam
rupiah dan valuta asing terhadap penjumlahan DPK
BUS dalam rupiah dan valuta asing dan surat
berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS dalam
rupiah dan valuta asing; dan
b. bagi UUS, perbandingan antara penjumlahan
Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing dan surat
berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS dalam
rupiah dan valuta asing terhadap penjumlahan DPK
UUS dalam rupiah dan valuta asing dan surat
berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS dalam
rupiah dan valuta asing.
(2) Dalam hal RIM Syariah berada dalam kisaran Target RIM
Syariah maka Giro RIM Syariah ditetapkan sebesar 0%
(nol persen) dari DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS
dalam rupiah.
(3) Dalam hal RIM Syariah tidak berada dalam kisaran Target
RIM Syariah maka Giro RIM Syariah ditetapkan sebagai
berikut:
a. dalam hal RIM Syariah lebih kecil dari batas bawah
Target RIM Syariah maka Giro RIM Syariah
ditetapkan sebesar hasil perkalian antara Parameter
Disinsentif Bawah, selisih antara batas bawah Target
RIM Syariah dan RIM Syariah, serta DPK BUS dalam
rupiah atau DPK UUS dalam rupiah;
b. dalam hal RIM Syariah lebih besar dari batas atas
Target RIM Syariah dan KPMM BUS atau KPMM BUK
yang menjadi induk UUS lebih kecil dari KPMM
Insentif maka Giro RIM Syariah ditetapkan sebesar
hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Atas,
selisih antara RIM Syariah dan batas atas Target RIM
Syariah, serta DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS
dalam rupiah; atau
c. dalam hal RIM Syariah lebih besar dari batas atas
Target RIM Syariah dan KPMM BUS atau KPMM BUK
yang menjadi induk UUS sama atau lebih besar dari
KPMM Insentif maka Giro RIM Syariah ditetapkan
22
sebesar 0% (nol persen) dari DPK BUS dalam rupiah
atau DPK UUS dalam rupiah.
Bagian Ketiga
Pemberian Kelonggaran atas Pemenuhan Giro RIM atau Giro
RIM Syariah
Pasal 19
(1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas
pemenuhan ketentuan Giro RIM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 atau Giro RIM Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 terhadap:
a. BUK yang sedang dikenakan pembatasan kegiatan
usaha oleh OJK terkait dengan penyaluran kredit dan
penghimpunan dana; dan
b. BUS atau UUS yang sedang dikenakan pembatasan
kegiatan usaha oleh OJK terkait dengan penyaluran
Pembiayaan dan penghimpunan dana.
(2) Pemberian kelonggaran atas pemenuhan ketentuan Giro
RIM atau Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa kelonggaran atas perubahan Target RIM
atau Target RIM Syariah.
(3) Pemberian kelonggaran atas pemenuhan ketentuan Giro
RIM atau Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan atas permintaan Bank secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
(4) Penyampaian permintaan pemberian kelonggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
bersamaan dengan permintaan rekomendasi kepada OJK.
(5) Penyampaian permintaan pemberian kelonggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada
Bank Indonesia dengan disertai dokumen pendukung
berupa:
a.
fotokopi surat atau keputusan pembatasan kegiatan
usaha oleh OJK terkait dengan penyaluran kredit dan
penghimpunan dana bagi BUK atau penyaluran
23
Pembiayaan dan penghimpunan dana bagi BUS dan
UUS; dan
b. fotokopi surat permohonan rekomendasi kepada OJK.
(6) Bank menyampaikan kepada Bank Indonesia atas hasil
rekomendasi OJK mengenai pemberian kelonggaran atas
perubahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(7) Persetujuan atau penolakan atas permintaan kelonggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan setelah
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat
(6) diterima oleh Bank Indonesia.
(8) Permintaan kelonggaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) disampaikan Bank kepada Bank Indonesia dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada
Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H.
Thamrin No. 2, Jakarta 10350; atau
b. bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah
kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada
Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H.
Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan tembusan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat.
Bagian Keempat
Tata Cara Penyampaian Laporan Surat Berharga
Pasal 20
(1) BUK wajib menyampaikan laporan surat berharga
korporasi yang dimiliki BUK yang memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan surat berharga
yang diterbitkan oleh BUK yang memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 kepada Bank
Indonesia setiap bulan.
(2) BUS dan UUS wajib menyampaikan laporan surat
berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dan surat
berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS yang
Target RIM atau Target RIM Syariah
24
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
serta surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS
dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS
yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 kepada Bank Indonesia setiap bulan.
(3) Penyampaian laporan surat berharga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menggunakan format
laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I.
(4) Bank tetap diwajibkan menyampaikan laporan surat
berharga, dalam hal:
a. Bank tidak memiliki surat berharga korporasi atau
memiliki surat berharga korporasi namun tidak
memenuhi kriteria; atau
b. Bank tidak menerbitkan surat berharga atau
menerbitkan surat berharga namun tidak memenuhi
kriteria,
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I dengan isi laporan nihil.
Pasal 21
(1) Laporan surat berharga Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) wajib disampaikan
kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari
kerja setelah berakhirnya bulan laporan.
(2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
apabila menyampaikan laporan setelah batas waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), sampai dengan 5 (lima) hari kerja berikutnya.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila
belum menyampaikan laporan sampai dengan
berakhirnya batas waktu keterlambatan penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Bank dapat melakukan koreksi atas laporan yang telah
disampaikan kepada Bank Indonesia.
25
Pasal 22
(1) Laporan surat berharga Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) atau koreksi laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4)
disampaikan melalui surat elektronik kepada Bank
Indonesia yaitu:
a. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q.
Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM,
Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350; atau
b. bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah
kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q.
Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM,
Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat,
dengan alamat surat elektronik sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Bank harus menyampaikan secara tertulis mengenai
nama petugas dan penanggung jawab yang ditunjuk
untuk menyusun dan menyampaikan laporan surat
berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
dan ayat (2) serta alamat surat elektronik pengirim laporan
termasuk jika terdapat perubahannya, kepada Bank
Indonesia dengan alamat:
a. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q.
Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM,
Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350; atau
b. bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah
kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q.
Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM,
26
Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat.
(3) Dalam hal penyampaian laporan melalui surat elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dilakukan, Bank menyampaikan laporan dalam bentuk
salinan lunak (soft copy) dan salinan keras (hard copy)
kepada Bank Indonesia dengan alamat:
a. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q.
Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM,
Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350; atau
b. bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah
kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q.
Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM,
Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat.
(4) Batas waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) mengikuti ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21.
(5) Bank Indonesia dapat mengubah tata cara penyampaian
laporan atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan menghentikan kewajiban penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
dan ayat (2) dalam hal Bank Indonesia memperoleh data
surat berharga Bank dari laporan bulanan bank umum,
laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan, atau
sistem aplikasi laporan lainnya.
(6) Perubahan tata cara penyampaian dan penghentian
kewajiban penyampaian laporan surat berharga
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diinformasikan oleh
Bank Indonesia kepada Bank.
27
Pasal 23
Data surat berharga korporasi yang dimiliki Bank dan data
surat berharga yang diterbitkan oleh Bank dalam laporan surat
berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, pertama kali
dilaporkan kepada Bank Indonesia untuk posisi bulan:
a. Mei 2018, untuk surat berharga korporasi yang dimiliki
BUK dalam rupiah dan valuta asing dan surat berharga
yang diterbitkan oleh BUK dalam rupiah dan valuta asing;
dan
b. Agustus 2018, untuk surat berharga syariah korporasi
yang dimiliki BUS dalam rupiah dan valuta asing dan
surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS dalam
rupiah dan valuta asing, serta surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh BUS dalam rupiah dan valuta asing dan
surat berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS dalam
rupiah dan valuta asing.
Bagian Kelima
Evaluasi Kebijakan RIM dan RIM Syariah
Pasal 24
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi kebijakan RIM dan
RIM Syariah secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali
dalam setiap 6 (enam) bulan.
(2) Evaluasi kebijakan RIM dan RIM Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap sumber data
untuk pemenuhan Giro RIM dan Giro RIM Syariah,
besaran dan parameter RIM dan RIM Syariah, kriteria
surat berharga, batas maksimum surat berharga
korporasi yang dimiliki Bank, waktu pemberlakuan RIM
dan RIM Syariah, dan/atau hal lain terkait kebijakan RIM
dan RIM Syariah.
(3) Hasil evaluasi kebijakan RIM dan RIM Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penetapan:
a. tidak terdapat perubahan kebijakan; atau
b. terdapat perubahan kebijakan.
28
(4) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) berupa penetapan tidak terdapat perubahan
kebijakan maka Bank Indonesia mengeluarkan
pengumuman di laman (situs web) Bank Indonesia.
(5) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) berupa penetapan terdapat perubahan kebijakan
maka Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur mengenai perubahan yang dilakukan.
BAB III
TATA CARA PEMENUHAN PLM DAN PLM SYARIAH
Pasal 25
(1) BUK wajib memenuhi PLM yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) BUS wajib memenuhi PLM Syariah yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(3) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek
tetap wajib memenuhi PLM.
(4) BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek
syariah tetap wajib memenuhi PLM Syariah.
Bagian Kesatu
Tata Cara Pemenuhan PLM
Paragraf 1
Besaran Persentase, Jenis, Sumber Data, Nilai Surat Berharga
yang Digunakan, dan Periode Pemenuhan
Pasal 26
(1) PLM ditetapkan sebesar 4% (empat persen) dari DPK BUK
dalam rupiah.
(2) Bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah DPK BUK dalam
rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
DPK UUS dalam rupiah.
(3) PLM dipenuhi dalam bentuk:
a. surat berharga dalam rupiah yang dimiliki BUK dan
dapat digunakan dalam operasi moneter; dan
29
b. surat berharga syariah dalam rupiah yang dimiliki
UUS dan dapat digunakan dalam operasi moneter
syariah, bagi BUK yang memiliki UUS.
Pasal 27
(1) Data DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan PLM
diperoleh dari rata-rata DPK BUK dalam rupiah untuk
seluruh kantor BUK yang bersangkutan di Indonesia
dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan
Valuta Asing dalam LBBU.
(2) Bagi BUK yang memiliki UUS, data DPK dalam rupiah
untuk pemenuhan PLM diatur sebagai berikut:
a. diperoleh dari rata-rata DPK BUK dalam rupiah
untuk seluruh kantor dari BUK yang bersangkutan di
Indonesia dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak
Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam LBBU; dan
b. diperoleh dari rata-rata DPK UUS dalam rupiah
untuk seluruh kantor dari UUS yang bersangkutan di
Indonesia dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak
Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam LBBUS.
(3) DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan PLM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban
dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik
kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri
atas:
a.
giro;
b. tabungan;
c. simpanan berjangka/deposito; dan
d. kewajiban lainnya.
(4) Bagi BUK yang memiliki UUS, DPK UUS dalam rupiah
untuk pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak
ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun
bukan penduduk, yang terdiri atas:
a. dana simpanan wadiah;
b. dana investasi tidak terikat; dan
c. kewajiban lainnya.
30
Pasal 28
(1) Jenis surat berharga yang diperhitungkan dalam
pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (3) yaitu:
a. SBI untuk seluruh jangka waktu;
b. SBIS untuk seluruh jangka waktu;
c. SDBI untuk seluruh jangka waktu; dan/atau
d. SBN yang terdiri atas:
1. SUN berupa obligasi negara dan/atau surat
perbendaharaan negara, untuk seluruh jenis
dan jangka waktu, tidak termasuk SUN yang
tidak dapat diperdagangkan (non-tradable);
dan/atau
2. SBSN berupa SBSN jangka panjang dan/atau
SBSN jangka pendek untuk seluruh jenis dan
jangka waktu, tidak termasuk SBSN yang tidak
dapat diperdagangkan (non-tradable).
(2) SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN yang dapat
diperhitungkan dalam pemenuhan PLM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yaitu SBI, SBIS, SDBI, dan/atau
SBN yang dimiliki BUK yang tercatat pada rekening surat
berharga BUK di BI-SSSS, dalam:
a. depository account
(Rekening DEPO) dengan
subrekening available for sale (AVAI), not available for
sale (NAVL), dan available waiting for reselling
(AWAS);
b.
intraday liquidity facility account (Rekening ILF)
dengan subrekening AVAI; dan
c. failure to settle account (Rekening FtS) dengan
subrekening AVAI,
namun tidak termasuk SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN
yang dimiliki BUK yang tercatat pada rekening surat
berharga sub-registry.
(3) Penetapan jumlah SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN yang
dimiliki BUK dilakukan berdasarkan data yang tercatat
pada rekening surat berharga BUK di BI-SSSS
31
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada posisi akhir
hari yaitu pada saat cut off time BI-SSSS.
(4) Nilai SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN yang digunakan
dalam perhitungan PLM menggunakan harga yang
tercantum di BI-SSSS.
(5) Bagi BUK yang memiliki UUS, SBI, SBIS, SDBI, dan/atau
SBN yang dapat diperhitungkan dalam pemenuhan PLM
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
termasuk SBIS dan/atau SBSN milik UUS yang tercatat
pada rekening surat berharga UUS di BI-SSSS, namun
tidak termasuk SBIS dan/atau SBSN yang dimiliki UUS
yang tercatat pada rekening surat berharga sub-registry.
Pasal 29
(1) Pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
dihitung dengan membandingkan jumlah SBI, SBIS, SDBI,
dan/atau SBN yang dimiliki BUK yang tercatat pada
rekening surat berharga BUK di BI-SSSS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) setiap akhir hari selama
2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah
DPK BUK dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan
pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya.
(2) Bagi BUK yang memiliki UUS, pemenuhan PLM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
memperhitungkan:
a. SBIS dan/atau SBSN milik UUS yang tercatat pada
rekening surat berharga UUS di BI-SSSS; dan
b. rata-rata harian jumlah DPK UUS dalam rupiah.
Paragraf 2
Penggunaan Surat Berharga dalam Transaksi Repo
Pasal 30
(1) Dalam kondisi tertentu, surat berharga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dapat digunakan dalam
transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam operasi
pasar terbuka.
32
(2) Bank Indonesia memperhitungkan surat berharga yang
digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut:
a. hanya terhadap transaksi repo yang dilakukan
setelah kewajiban pemenuhan PLM berlaku; dan
b. bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah surat berharga
yang digunakan dalam transaksi repo termasuk surat
berharga yang digunakan dalam transaksi repo oleh
UUS dalam operasi pasar terbuka syariah.
(3) Perhitungan surat berharga yang digunakan dalam
transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Bank Indonesia melalui sistem aplikasi di
Bank Indonesia.
(4) Penggunaan surat berharga BUK dalam transaksi repo
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling
banyak sebesar 2% (dua persen) dari DPK BUK dalam
rupiah.
(5) Bank Indonesia dapat mengubah besaran persentase
penggunaan surat berharga yang dapat digunakan dalam
transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Bagian Kedua
Tata Cara Pemenuhan PLM Syariah
Paragraf 1
Besaran Persentase, Jenis, Sumber Data, Nilai Surat Berharga
Syariah yang Digunakan, dan Periode Pemenuhan
Pasal 31
(1) PLM Syariah ditetapkan sebesar 4% (empat persen) dari
DPK BUS dalam rupiah.
(2) PLM Syariah dipenuhi dalam bentuk surat berharga
syariah dalam rupiah yang dimiliki BUS dan dapat
digunakan dalam operasi moneter syariah.
33
Pasal 32
(1) Data DPK BUS dalam rupiah untuk pemenuhan PLM
Syariah diperoleh dari rata-rata DPK BUS dalam rupiah
untuk seluruh kantor BUS yang bersangkutan di
Indonesia dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga
Rupiah dan Valuta Asing dalam LBBUS.
(2) DPK BUS dalam rupiah untuk pemenuhan PLM Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban
dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik
kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri
atas:
a. dana simpanan wadiah;
b. dana investasi tidak terikat; dan
c. kewajiban lainnya.
Pasal 33
(1) Jenis surat berharga syariah yang diperhitungkan dalam
pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (2) yaitu:
a. SBIS untuk seluruh jangka waktu; dan/atau
b. SBSN yang terdiri atas:
1. SBSN jangka panjang; dan/atau
2. SBSN jangka pendek,
untuk seluruh jenis dan jangka waktu, tidak
termasuk SBSN yang tidak dapat diperdagangkan
(non-tradable).
(2) SBIS dan/atau SBSN yang dapat diperhitungkan dalam
pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yaitu SBIS dan/atau SBSN yang dimiliki BUS yang
tercatat pada rekening surat berharga BUS di BI-SSSS
yaitu dalam:
a. Rekening DEPO dengan subrekening AVAI, NAVL,
dan AWAS;
b. Rekening ILF dengan subrekening AVAI; dan
c. Rekening FtS dengan subrekening AVAI,
34
namun tidak termasuk SBIS dan/atau SBSN yang dimiliki
BUS yang tercatat pada rekening surat berharga sub-
registry.
(3) Penetapan jumlah SBIS dan/atau SBSN yang dimiliki BUS
dilakukan berdasarkan data yang tercatat pada rekening
surat berharga BUS di BI-SSSS sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) pada posisi akhir hari yaitu pada saat cut off
time BI-SSSS.
(4) Nilai SBIS dan/atau SBSN yang digunakan dalam
perhitungan PLM Syariah menggunakan harga yang
tercantum di BI-SSSS.
Pasal 34
Pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 dihitung dengan membandingkan jumlah SBIS dan/atau
SBSN yang dimiliki BUS yang tercatat pada rekening surat
berharga BUS di BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 ayat (2) setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan
terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah
selama 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya.
Paragraf 2
Penggunaan Surat Berharga Syariah dalam Transaksi Repo
Pasal 35
(1) Dalam kondisi tertentu, surat berharga syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dapat
digunakan dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia
dalam operasi pasar terbuka syariah.
(2) Bank Indonesia hanya memperhitungkan surat berharga
syariah yang digunakan dalam transaksi repo
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap transaksi
repo yang dilakukan setelah kewajiban pemenuhan PLM
Syariah berlaku.
(3) Perhitungan surat berharga syariah yang digunakan
dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
35
dilakukan oleh Bank Indonesia melalui sistem aplikasi di
Bank Indonesia.
(4) Penggunaan surat berharga BUS dalam transaksi repo
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling
banyak sebesar 2% (dua persen) dari DPK BUS dalam
rupiah.
(5) Bank Indonesia dapat mengubah besaran persentase
penggunaan surat berharga syariah yang dapat digunakan
dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat
(4).
Bagian Ketiga
Evaluasi Kebijakan PLM dan PLM Syariah
Pasal 36
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi kebijakan PLM dan
PLM Syariah secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali
dalam setiap 6 (enam) bulan.
(2) Evaluasi kebijakan PLM dan PLM Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap besaran
persentase PLM dan PLM Syariah, jenis surat berharga
untuk pemenuhan PLM dan PLM Syariah, sumber data
untuk pemenuhan PLM dan PLM Syariah, besaran
persentase surat berharga yang dapat digunakan dalam
transaksi repo kepada Bank Indonesia, waktu
pemberlakuan PLM dan PLM Syariah, dan/atau hal lain
terkait kebijakan PLM dan PLM Syariah.
(3) Hasil evaluasi kebijakan PLM dan PLM Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penetapan:
a. tidak terdapat perubahan kebijakan; atau
b. terdapat perubahan kebijakan.
(4) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) berupa penetapan tidak terdapat perubahan
kebijakan maka Bank Indonesia mengeluarkan
pengumuman di laman (situs web) Bank Indonesia.
(5) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) berupa penetapan terdapat perubahan
36
kebijakan maka Bank Indonesia menerbitkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur mengenai perubahan yang
dilakukan.
BAB IV
TATA CARA PEMENUHAN GIRO RIM, GIRO RIM SYARIAH,
PLM, DAN PLM SYARIAH UNTUK PENGGABUNGAN ATAU
PELEBURAN BUK ATAU BUS, PERUBAHAN KEGIATAN
USAHA BUK MENJADI BUS, DAN PEMISAHAN UUS MENJADI
BUS
Bagian Kesatu
BUK yang Melakukan Penggabungan atau Peleburan
Pasal 37
Pemenuhan Giro RIM bagi BUK yang melakukan penggabungan
atau peleburan diatur sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
1. pemenuhan Giro RIM dihitung untuk masing-masing
BUK dengan cara pemenuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10; dan
2. data KPMM yang digunakan yaitu data KPMM
triwulanan masing-masing BUK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan sampai
dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah BUK
hasil penggabungan atau peleburan tersedia, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
1. pemenuhan Giro RIM hanya dihitung untuk BUK
hasil penggabungan atau peleburan dengan
menggunakan data gabungan BUK yang melakukan
penggabungan atau peleburan sampai dengan data
BUK hasil penggabungan atau peleburan tersedia;
37
2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam angka
1 meliputi data untuk perhitungan RIM berupa kredit
BUK, DPK BUK, saldo surat berharga korporasi yang
dimiliki BUK, dan saldo surat berharga yang
diterbitkan oleh BUK, dalam rupiah dan valuta asing,
serta data untuk pemenuhan Giro RIM berupa KPMM
BUK, DPK BUK dalam rupiah, dan saldo Rekening
Giro Rupiah BUK;
3. pemenuhan Giro RIM BUK hasil penggabungan atau
peleburan dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10;
4. data KPMM yang digunakan untuk pemenuhan Giro
RIM diperoleh dari BUK yang melakukan
penggabungan atau peleburan berdasarkan hasil
perhitungan yang dilakukan oleh BUK atas
penggabungan data yang digunakan dalam
perhitungan KPMM masing-masing BUK sebelum
tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau
peleburan;
5. data KPMM yang diperoleh dari BUK sebagaimana
dimaksud dalam angka 4 digunakan sampai dengan
tersedianya data KPMM triwulanan BUK hasil
penggabungan atau peleburan
dimaksud dalam Pasal 7;
sebagaimana
6. BUK menyampaikan hasil perhitungan KPMM
sebagaimana dimaksud dalam angka 4 kepada Bank
Indonesia paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum
tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau
peleburan; dan
7. penyampaian hasil perhitungan KPMM sebagaimana
dimaksud dalam angka 6 disampaikan kepada Bank
Indonesia dengan alamat:
a) bagi BUK yang berkantor pusat di wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan
Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan
38
LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350; atau
b) bagi BUK yang berkantor pusat selain di wilayah
kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan
kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan
Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan
LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat;
c. pada saat data DPK dalam rupiah BUK hasil
penggabungan atau peleburan tersedia, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
1. pemenuhan Giro RIM dihitung untuk BUK hasil
penggabungan atau peleburan dengan cara
pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10;
2. khusus data:
a) surat berharga korporasi yang dimiliki; dan
b) surat berharga yang diterbitkan,
yang digunakan dalam perhitungan RIM untuk
pemenuhan Giro RIM, menggunakan data gabungan
BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan
sampai dengan tersedianya data BUK hasil
penggabungan atau peleburan; dan
3. data KPMM yang digunakan yaitu data KPMM
sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 4
sampai dengan tersedianya data KPMM triwulanan
BUK hasil penggabungan atau peleburan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
d. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan
KPMM yang diterima oleh Bank Indonesia dari OJK dengan
hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUK
sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 4 dan huruf
c angka 3 maka yang berlaku yaitu KPMM yang diterima
Bank Indonesia dari OJK.
39
Pasal 38
Pemenuhan PLM bagi BUK yang melakukan penggabungan
atau peleburan diatur sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan maka
pemenuhan PLM dihitung untuk masing-masing BUK
dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan sampai
dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah BUK
hasil penggabungan atau peleburan tersedia, pemenuhan
PLM diatur sebagai berikut:
1. pemenuhan PLM hanya dihitung untuk BUK hasil
penggabungan atau peleburan dengan menggunakan
data gabungan BUK yang melakukan penggabungan
atau peleburan sampai dengan data BUK hasil
penggabungan atau peleburan tersedia;
2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam angka
1 terdiri atas:
a) bagi BUK, meliputi data:
1) saldo rekening SBI, SDBI, dan/atau SBN
BUK hasil penggabungan atau peleburan;
2) penggabungan data DPK BUK dalam rupiah
dari BUK yang melakukan penggabungan
atau peleburan; dan
3) saldo Rekening Giro Rupiah BUK hasil
penggabungan atau peleburan; dan
b) bagi BUK yang memiliki UUS, meliputi data:
1) saldo rekening SBI, SBIS, SDBI, dan/atau
SBN BUK hasil penggabungan atau
peleburan;
2) penggabungan data DPK BUK dalam rupiah
dari BUK yang melakukan penggabungan
atau peleburan; dan
3) saldo Rekening Giro Rupiah BUK hasil
penggabungan atau peleburan; dan
40
3. pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 dihitung dengan membandingkan jumlah
SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN milik BUK hasil
penggabungan atau peleburan yang tercatat pada
rekening surat berharga BUK di BI-SSSS terhadap
rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah dari
BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan;
dan
c. pada saat data DPK dalam rupiah BUK hasil
penggabungan atau peleburan tersedia maka pemenuhan
PLM dihitung untuk BUK hasil penggabungan atau
peleburan dengan cara pemenuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29.
Bagian Kedua
BUS yang Melakukan Penggabungan atau Peleburan
Pasal 39
Pemenuhan Giro RIM Syariah bagi BUS yang melakukan
penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk
masing-masing BUS dengan cara pemenuhan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; dan
2. data KPMM yang digunakan yaitu KPMM triwulanan
masing-masing BUS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan sampai
dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah BUS
hasil penggabungan atau peleburan tersedia, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
1. pemenuhan Giro RIM Syariah hanya dihitung untuk
BUS hasil penggabungan atau peleburan dengan
menggunakan data gabungan BUS yang melakukan
41
penggabungan atau peleburan sampai dengan data
BUS hasil penggabungan atau peleburan tersedia;
2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam angka
1 meliputi data untuk perhitungan RIM Syariah
berupa Pembiayaan BUS, DPK BUS, saldo surat
berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS, dan
saldo surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
BUS, dalam rupiah dan valuta asing, serta data untuk
pemenuhan Giro RIM Syariah berupa KPMM BUS,
DPK BUS dalam rupiah, dan saldo Rekening Giro
Rupiah BUS;
3. pemenuhan Giro RIM Syariah untuk BUS hasil
penggabungan atau peleburan dilakukan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18;
4. data KPMM yang digunakan untuk pemenuhan Giro
RIM Syariah diperoleh dari BUS yang melakukan
penggabungan atau peleburan berdasarkan hasil
perhitungan yang dilakukan oleh BUS atas
penggabungan data yang digunakan dalam
perhitungan KPMM masing-masing BUS sebelum
tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau
peleburan;
5. data KPMM yang diperoleh dari BUS sebagaimana
dimaksud dalam angka 4 digunakan sampai dengan
tersedianya data KPMM triwulanan BUS hasil
penggabungan atau peleburan
dimaksud dalam Pasal 15;
sebagaimana
6. BUS menyampaikan hasil perhitungan KPMM
sebagaimana dimaksud dalam angka 4 kepada Bank
Indonesia paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum
tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau
peleburan; dan
7. penyampaian hasil perhitungan KPMM sebagaimana
dimaksud dalam angka 6 disampaikan kepada Bank
Indonesia dengan alamat:
42
a) bagi BUS yang berkantor pusat di wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan
Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan
LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350; atau
b) bagi BUS yang berkantor pusat selain di wilayah
kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan
kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan
Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan
LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat;
c. pada saat data DPK dalam rupiah BUS hasil
penggabungan atau peleburan tersedia, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk BUS
hasil penggabungan atau peleburan dengan cara
pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18;
2. khusus data:
a) surat berharga syariah korporasi yang dimiliki;
dan
b) surat berharga syariah yang diterbitkan,
yang digunakan dalam perhitungan RIM Syariah
untuk pemenuhan Giro RIM Syariah, menggunakan
data gabungan BUS yang melakukan penggabungan
atau peleburan sampai dengan tersedianya data BUS
hasil penggabungan atau peleburan; dan
3. data KPMM yang digunakan yaitu data KPMM
sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 4
sampai dengan tersedianya data KPMM triwulanan
BUS hasil penggabungan atau peleburan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; dan
d. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan
KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK dengan
hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUS
sebagimana dimaksud dalam huruf b angka 4 dan huruf c
43
angka 3 maka yang berlaku yaitu KPMM yang diterima
Bank Indonesia dari OJK.
Pasal 40
Pemenuhan PLM Syariah bagi BUS yang melakukan
penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan maka
pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk masing-masing
BUS dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan sampai
dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah BUS
hasil penggabungan atau peleburan tersedia, pemenuhan
PLM Syariah diatur sebagai berikut:
1. pemenuhan PLM Syariah hanya dihitung untuk BUS
hasil penggabungan atau peleburan dengan
menggunakan data gabungan BUS yang melakukan
penggabungan atau peleburan sampai dengan data
BUS hasil penggabungan atau peleburan tersedia;
2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam angka
1 meliputi data:
a) saldo rekening SBIS dan/atau SBSN BUS hasil
penggabungan atau peleburan;
b) penggabungan data DPK BUS dalam rupiah dari
BUS yang melakukan penggabungan atau
peleburan; dan
c) saldo Rekening Giro Rupiah BUS hasil
penggabungan atau peleburan;
3. pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 dihitung dengan membandingkan
jumlah SBIS dan/atau SBSN milik BUS hasil
penggabungan atau peleburan yang tercatat pada
rekening surat berharga BUS di BI-SSSS terhadap
rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah dari
44
BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan;
dan
c. pada saat data DPK dalam rupiah BUS hasil
penggabungan atau peleburan tersedia maka pemenuhan
PLM Syariah dihitung untuk BUS hasil penggabungan
atau peleburan dengan cara pemenuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34.
Bagian Ketiga
Perubahan Kegiatan Usaha BUK Menjadi BUS
Pasal 41
(1) BUK yang melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi
BUS harus memenuhi Giro RIM dan PLM sampai dengan
1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan
kegiatan usaha BUS.
(2) BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK harus
memenuhi Giro RIM Syariah dan PLM Syariah sejak
tanggal efektif pelaksanaan kegiatan usaha BUS.
(3) Pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah bagi BUS
hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan menggunakan
data saat bank belum melaksanakan kegiatan usaha
sebagai BUS sampai dengan 1 (satu) hari sebelum data
DPK dalam rupiah BUS hasil perubahan kegiatan usaha
dari BUK tersedia.
(4) Pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. perhitungan RIM Syariah menggunakan:
1. data Pembiayaan yang diperoleh dari data kredit
BUK dalam pos kredit yang diberikan kepada
pihak ketiga bukan bank dalam rupiah dan
valuta asing dalam Formulir 2 Neraca Mingguan
Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya dalam
LBBU;
45
2. data DPK yang diperoleh dari data DPK BUK
dalam rupiah dan valuta asing dalam pos giro,
pos tabungan, dan pos simpanan berjangka
dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada
Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya dalam
LBBU;
3. data surat berharga syariah korporasi yang
dimiliki yang diperoleh dari data surat berharga
korporasi yang dimiliki BUK dalam rupiah dan
valuta asing dalam saldo total harga perolehan
surat berharga korporasi yang dimiliki BUK
dalam laporan surat berharga sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua)
periode laporan sebelumnya yang disampaikan
BUK kepada Bank Indonesia secara bulanan;
dan
4. data surat berharga yang diterbitkan yang
diperoleh dari data surat berharga yang
diterbitkan oleh BUK dalam rupiah dan valuta
asing yang diperoleh dari saldo total nilai
nominal surat berharga yang diterbitkan oleh
BUK dalam laporan surat berharga sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua)
periode laporan sebelumnya yang disampaikan
BUK kepada Bank Indonesia secara bulanan;
dan
b. pemenuhan Giro RIM Syariah menggunakan:
1. data rata-rata harian jumlah DPK yang diperoleh
dari data rata-rata DPK BUK dalam rupiah
dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga
Rupiah dan Valuta Asing dalam 2 (dua) periode
laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya dalam LBBU; dan
2. data KPMM yang diperoleh dari data KPMM
triwulanan BUK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7.
46
(5) Pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. data rata-rata harian jumlah DPK yang diperoleh dari
data rata-rata DPK BUK dalam rupiah dalam
Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan
Valuta Asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBU;
dan
b. data SBIS dan/atau SBSN milik BUS yang tercatat
pada rekening surat berharga BUS di BI-SSSS setiap
akhir hari dalam 2 (dua) periode laporan.
(6) Pada saat data DPK dalam rupiah BUS hasil perubahan
kegiatan usaha dari BUK tersedia, pemenuhan Giro RIM
Syariah dan PLM Syariah bagi BUS hasil perubahan
kegiatan usaha dari BUK berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. pemenuhan Giro RIM Syariah diatur sebagai berikut:
1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk
BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK
dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18;
2. khusus data:
a) surat berharga syariah korporasi yang
dimiliki; dan
b) surat berharga syariah yang diterbitkan,
yang digunakan dalam perhitungan RIM Syariah
untuk pemenuhan Giro RIM Syariah
menggunakan data BUK sampai dengan
tersedianya data BUS hasil perubahan kegiatan
usaha dari BUK; dan
3. data KPMM yang digunakan yaitu data KPMM
triwulanan BUK sampai dengan tersedianya data
KPMM triwulanan BUS hasil perubahan kegiatan
usaha dari BUK; dan
b. pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk BUS hasil
perubahan kegiatan usaha dari BUK dengan cara
pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
47
Bagian Keempat
BUK yang Melakukan Pemisahan UUS Menjadi BUS
Pasal 42
Dalam hal BUK yang memiliki UUS melakukan pemisahan UUS
menjadi BUS maka pemenuhan Giro RIM Syariah diatur
sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan pemisahan, berlaku ketentuan sebagai
berikut:
1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk UUS
dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18; dan
2. data KPMM yang digunakan yaitu KPMM triwulanan
BUK yang menjadi induk UUS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan pemisahan sampai dengan 1 (satu) hari
sebelum data DPK dalam rupiah BUS hasil pemisahan
UUS dari BUK tersedia, berlaku ketentuan sebagai
berikut:
1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk BUS
hasil pemisahan UUS dari BUK dengan data UUS
sampai dengan data BUS hasil pemisahan UUS dari
BUK tersedia;
2. data UUS sebagaimana dimaksud dalam angka 1
meliputi data untuk perhitungan RIM Syariah berupa
Pembiayaan UUS, DPK UUS, saldo surat berharga
syariah korporasi yang dimiliki UUS, dan saldo surat
berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS, dalam
rupiah dan valuta asing, serta data untuk
pemenuhan Giro RIM Syariah berupa KPMM BUK
yang menjadi induk UUS, DPK UUS dalam rupiah,
dan saldo Rekening Giro Rupiah UUS;
3. pemenuhan Giro RIM Syariah untuk BUS hasil
pemisahan UUS dari BUK dilakukan sesuai dengan
48
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18;
dan
4. data KPMM sebagaimana dimaksud dalam angka 2
yaitu KPMM triwulanan BUK yang menjadi induk
UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
c. pada saat data DPK dalam rupiah BUS hasil pemisahan
UUS dari BUK tersedia, berlaku ketentuan sebagai
berikut:
1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk BUS
hasil pemisahan UUS dari BUK dengan cara
pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18;
2. khusus data:
a) surat berharga syariah korporasi yang dimiliki;
dan
b) surat berharga syariah yang diterbitkan,
yang digunakan dalam perhitungan RIM Syariah
untuk pemenuhan Giro RIM Syariah menggunakan
data UUS sampai dengan tersedianya data BUS hasil
pemisahan UUS dari BUK; dan
3. data KPMM yang digunakan yaitu data KPMM
triwulanan BUK yang menjadi induk UUS
sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 4
sampai dengan tersedianya data KPMM triwulanan
BUS hasil pemisahan UUS dari BUK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15; dan
d. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan
KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK dengan
hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUK yang
melakukan pemisahan UUS menjadi BUS maka yang
berlaku yaitu KPMM yang diterima Bank Indonesia dari
OJK.
Pasal 43
(1) Pemenuhan PLM Syariah bagi BUK yang melakukan
pemisahan UUS menjadi BUS dihitung untuk BUS hasil
pemisahan UUS dari BUK sejak 1 (satu) tahun setelah
tanggal efektif pelaksanaan pemisahan UUS menjadi BUS.
49
(2) Pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk BUS hasil
pemisahan UUS dari BUK sesuai dengan cara pemenuhan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dengan
menggunakan data BUS hasil pemisahan UUS dari BUK.
BAB V
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 44
Sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar dikenakan
bagi:
a. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM dan
PLM;
b. BUS yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM
Syariah dan PLM Syariah;
c. UUS yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM
Syariah; dan/atau
d. Bank yang melanggar kewajiban penyampaian laporan
surat berharga untuk pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM
Syariah.
Pasal 45
(1) BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar hasil perkalian antara
kekurangan Giro RIM, 125% (seratus dua puluh lima
persen) dari suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari
(overnight) dari JIBOR dalam rupiah pada hari terjadinya
pelanggaran, dan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh),
untuk setiap hari pelanggaran.
(2) BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan PLM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar hasil perkalian antara
kekurangan PLM, 125% (seratus dua puluh lima persen)
dari suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari (overnight) dari
JIBOR dalam rupiah pada hari terjadinya pelanggaran,
50
dan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk setiap
hari pelanggaran.
Pasal 46
(1) BUS yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar hasil perkalian
antara kekurangan Giro RIM Syariah, 125% (seratus dua
puluh lima persen) dari Tingkat Indikasi Imbalan SIMA
pada hari terjadinya pelanggaran, dan 1/360 (satu per tiga
ratus enam puluh), untuk setiap hari pelanggaran.
(2) BUS yang melanggar kewajiban pemenuhan PLM Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar hasil perkalian antara
kekurangan PLM Syariah, 125% (seratus dua puluh lima
persen) dari Tingkat Indikasi Imbalan SIMA pada hari
terjadinya pelanggaran, dan 1/360 (satu per tiga ratus
enam puluh), untuk setiap hari pelanggaran.
(3) Dalam hal data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
tersedia, pengenaan sanksi dihitung berdasarkan rata-
rata tingkat imbalan deposito investasi mudarabah
berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan,
pada bulan sebelumnya dari seluruh BUS atau UUS.
Pasal 47
(1) UUS yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar hasil perkalian
antara kekurangan Giro RIM Syariah, 125% (seratus dua
puluh lima persen) dari Tingkat Indikasi Imbalan SIMA
pada hari terjadinya pelanggaran, dan 1/360 (satu per tiga
ratus enam puluh), untuk setiap hari pelanggaran.
(2) Dalam hal data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia,
pengenaan sanksi dihitung berdasarkan rata-rata tingkat
imbalan deposito investasi mudarabah berjangka waktu 1
51
(satu) bulan sebelum didistribusikan, pada bulan
sebelumnya dari seluruh BUS atau UUS.
Pasal 48
(1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan surat
berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2)
dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban
membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per
hari keterlambatan.
(2) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan surat
berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3)
dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban
membayar sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah).
(3) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak menghilangkan kewajiban Bank untuk
menyampaikan laporan surat berharga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20.
Pasal 49
(1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal
48 dilaksanakan dengan mendebit Rekening Giro Rupiah
Bank di Bank Indonesia.
(2) Pendebitan Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. untuk pelanggaran pemenuhan Giro RIM, Giro RIM
Syariah, PLM, dan/atau PLM Syariah, paling lambat
3 (tiga) hari kerja setelah tanggal terjadinya
pelanggaran; dan
b. untuk pelanggaran penyampaian laporan surat
berharga, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
setelah tanggal terjadinya pelanggaran.
(3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan
atau kelebihan dalam pendebitan Rekening Giro Rupiah
Bank di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
52
(1), Bank Indonesia dapat mendebit atau mengkredit
Rekening Giro Bank tersebut sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai sistem Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement.
(4) Apabila pada saat pendebitan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank
Indonesia tidak mencukupi maka seluruh sanksi
kewajiban membayar tersebut diperhitungkan sebagai
kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh Bank
kepada Bank Indonesia.
(5) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank
Indonesia tidak mencukupi untuk pendebitan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a maka atas
kekurangan tersebut juga dikenakan sanksi dengan
perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45,
Pasal 46, dan Pasal 47.
BAB VI
CONTOH PEMENUHAN GIRO RIM, GIRO RIM SYARIAH, PLM,
DAN PLM SYARIAH
Pasal 50
(1) Contoh pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan
PLM Syariah, serta sanksi kewajiban membayar tercantum
dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Contoh pemenuhan Giro RIM dan PLM bagi BUK yang
melakukan penggabungan tercantum dalam Lampiran IV
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
53
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 51
Pelanggaran atas ketentuan mengenai kewajiban pemenuhan
giro wajib minimum sekunder, kewajiban pemenuhan giro
wajib minimum loan to funding ratio, dan/atau kewajiban
penyampaian laporan surat berharga sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
19/4/PADG/2017 tanggal 28 April 2017 tentang Giro Wajib
Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi
Bank Umum Konvensional, yang terjadi sebelum berlakunya
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 19/4/PADG/2017 tanggal 28 April 2017
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan
Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 52
Ketentuan Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 35
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 19/4/PADG/2017 tanggal 28 April 2017
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan
Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku mulai laporan posisi bulan Mei 2018.
54
Pasal 53
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Mei 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
ERWIN RIJANTO
1
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/11/PADG/2018
TENTANG
RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS
MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik, khususnya
terhadap risiko kredit dan risiko likuiditas, Bank Indonesia telah
mengeluarkan kebijakan makroprudensial melalui instrumen yang berbasis
intermediasi dan likuiditas yang bersifat countercyclical dan dinamis
terhadap perubahan siklus perekonomian. Terkait dengan hal tersebut,
Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/4/PBI/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan
Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional,
Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah. Sehubungan dengan hal di
atas, perlu ditetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Rasio
Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial
bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha
Syariah yang mengatur hal-hal teknis mengenai mekanisme pelaksanaan
ketentuan rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas
makroprudensial.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK
di Bank Indonesia setiap akhir hari” adalah posisi saldo Rekening
Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia saat tutup sistem pada
sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Surat berharga korporasi yang dimiliki BUK merupakan
surat berharga yang tercatat pada sisi aset BUK.
Huruf d
Surat berharga yang diterbitkan oleh BUK merupakan surat
berharga yang tercatat pada sisi kewajiban BUK.
3
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “giro” adalah komponen giro yang
tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tabungan” adalah komponen
tabungan yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK
BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala
bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito”
adalah komponen simpanan berjangka yang tercantum
dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
4
Pasal 7
Ayat (1)
Contoh penggunaan sumber data dan nilai untuk perhitungan
RIM dan pemenuhan Giro RIM yaitu sebagai berikut:
a. RIM dan Giro RIM untuk periode laporan tanggal 1
September 2018 sampai dengan tanggal 15 September 2018
didasarkan pada:
1. RIM:
a)
nilai kredit dalam rupiah dan valuta asing dan DPK
BUK dalam rupiah dan valuta asing pada akhir
periode laporan tanggal 8 Agustus 2018 sampai
dengan tanggal 15 Agustus 2018; dan
b)
nilai surat berharga korporasi yang dimiliki BUK
dalam rupiah dan valuta asing dan surat berharga
yang diterbitkan oleh BUK dalam rupiah dan valuta
asing pada posisi tanggal 31 Juli 2018; dan
2. Giro RIM:
a) DPK BUK dalam rupiah dalam periode laporan
sejak tanggal 1 Agustus 2018 sampai dengan
tanggal 7 Agustus 2018 dan periode laporan sejak
tanggal 8 Agustus 2018 sampai dengan tanggal 15
Agustus 2018; dan/atau
b) KPMM yang digunakan yaitu KPMM BUK pada
posisi akhir bulan Juni 2018.
b. RIM dan Giro RIM untuk periode laporan tanggal 16
September 2018 sampai dengan tanggal 30 September 2018
didasarkan pada:
1. RIM:
a)
nilai kredit dalam rupiah dan valuta asing dan DPK
BUK dalam rupiah dan valuta asing pada akhir
periode laporan tanggal 24 Agustus 2018 sampai
dengan tanggal 31 Agustus 2018; dan
b)
nilai surat berharga korporasi yang dimiliki BUK
dalam rupiah dan valuta asing dan surat berhaga
yang diterbitkan oleh BUK dalam rupiah dan valuta
asing pada posisi tanggal 31 Juli 2018; dan
5
2. Giro RIM:
a) DPK BUK dalam rupiah dalam periode laporan
sejak tanggal 16 Agustus 2018 sampai dengan
tanggal 23 Agustus 2018 dan periode laporan sejak
tanggal 24 Agustus 2018 sampai dengan tanggal 31
Agustus 2018; dan/atau
b) KPMM yang digunakan yaitu KPMM BUK pada
posisi akhir bulan Juni 2018.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan
hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau
berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik
Republik Indonesia di luar negeri, sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan bulanan bank umum.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam hal surat berharga korporasi yang dimiliki BUK untuk
jenis mata uang yang sama memiliki lebih dari satu peringkat
maka Bank Indonesia mengakui peringkat surat berharga
korporasi yang dimiliki BUK dari lembaga pemeringkat
dengan peringkat paling rendah setara dengan peringkat
investasi.
6
Contoh:
Surat berharga korporasi dalam rupiah PT X yang dimiliki
Bank A memiliki lebih dari satu peringkat dengan rincian
sebagai berikut:
1. Lembaga pemeringkat P memberikan peringkat surat
berharga korporasi PT X dengan peringkat investasi;
2. Lembaga pemeringkat Q memberikan peringkat surat
berharga korporasi PT X dengan peringkat di bawah
peringkat investasi; dan
3. Lembaga pemeringkat R memberikan peringkat surat
berharga korporasi PT X dengan peringkat di bawah
peringkat investasi.
Untuk perhitungan RIM, Bank Indonesia mengakui surat
berharga korporasi PT X yang dimiliki Bank A karena telah
memiliki peringkat investasi yang dikeluarkan oleh lembaga
pemeringkat P.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang
memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian
transaksi efek” adalah Kustodian Sentral Efek Indonesia atau
lembaga berwenang lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam menetapkan batas maksimum surat berharga korporasi
yang dimiliki BUK, Bank Indonesia mempertimbangkan antara
lain jumlah kredit yang diberikan BUK dan ketersediaan surat
berharga korporasi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
7
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan
hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau
berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik
Republik Indonesia di luar negeri, sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan bulanan bank umum.
Yang dimaksud dengan “bukan penduduk” adalah orang,
badan hukum, atau badan lainnya, yang tidak berdomisili
atau berencana berdomisili di Indonesia kurang dari 1 (satu)
tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik negara lain
di Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan bulanan bank
umum.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam hal surat berharga yang diterbitkan oleh BUK untuk
jenis mata uang yang sama memiliki lebih dari satu peringkat
maka Bank Indonesia mengakui peringkat surat berharga
yang diterbitkan oleh BUK dari lembaga pemeringkat dengan
peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi.
Contoh:
Surat berharga yang diterbitkan dalam rupiah oleh Bank A
memiliki lebih dari satu peringkat dengan rincian sebagai
berikut:
1. Lembaga pemeringkat P memberikan peringkat surat
berharga yang diterbitkan Bank A dengan peringkat
investasi;
2. Lembaga pemeringkat Q memberikan peringkat surat
berharga yang diterbitkan Bank A dengan peringkat di
bawah peringkat investasi; dan
3. Lembaga pemeringkat R memberikan peringkat surat
berharga yang diterbitkan Bank A dengan peringkat di
bawah peringkat investasi.
8
Untuk perhitungan RIM, Bank Indonesia mengakui surat
berharga yang diterbitkan oleh Bank A karena telah memiliki
peringkat investasi yang dikeluarkan oleh lembaga
pemeringkat P.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang
memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian
transaksi efek” adalah Kustodian Sentral Efek Indonesia atau
lembaga berwenang lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Rumus perhitungan RIM sebagai berikut:
RIM =
Keterangan:
-
-
-
-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Rumus pemenuhan Giro RIM dalam hal RIM lebih kecil dari
batas bawah Target RIM adalah sebagai berikut:
Giro RIM = Parameter Disinsentif Bawah x (batas bawah
Target RIM - RIM) x DPK BUK dalam rupiah
Huruf b
Rumus pemenuhan Giro RIM dalam hal RIM lebih besar dari
batas atas Target RIM dan KPMM BUK lebih kecil dari KPMM
Insentif adalah sebagai berikut:
(kredit + surat berharga korporasi yang dimiliki)
(DPK + surat berharga yang diterbitkan)
x 100%
kredit berupa kredit dalam rupiah dan valuta asing;
DPK berupa DPK dalam rupiah dan valuta asing;
surat berharga korporasi yang dimiliki berupa surat
berharga korporasi dalam rupiah dan valuta asing; dan
surat berharga yang diterbitkan berupa surat berharga yang
diterbitkan dalam rupiah dan valuta asing.
9
Giro RIM = Parameter Disinsentif Atas x (RIM - batas atas
Target RIM) x DPK BUK dalam rupiah
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK
di Bank Indonesia setiap akhir hari” adalah posisi saldo Rekening
Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia saat tutup sistem pada
sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS atau
UUS merupakan surat berharga yang tercatat pada sisi aset
BUS atau UUS.
Huruf d
Surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS atau UUS
merupakan surat berharga yang tercatat pada sisi kewajiban
BUS atau UUS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
10
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah
dana simpanan wadiah yang tercantum dalam penjelasan
komponen DPK BUS dalam rupiah dan DPK UUS dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat” adalah
komponen dana investasi tidak terikat yang tercantum dalam
penjelasan komponen DPK BUS dalam rupiah dan DPK UUS
dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUS dalam
rupiah dan DPK UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan berkala bank umum.
Pasal 15
Ayat (1)
Contoh penggunaan sumber data dan nilai untuk perhitungan
RIM Syariah dan pemenuhan Giro RIM Syariah yaitu sebagai
berikut:
11
a. RIM Syariah dan Giro RIM Syariah untuk periode laporan
tanggal 1 November 2018 sampai dengan tanggal 15
November 2018 didasarkan pada:
1. RIM Syariah:
a)
nilai Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing
dan DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing atau
DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing pada
akhir periode laporan tanggal 8 Oktober 2018
sampai dengan tanggal 15 Oktober 2018; dan
b)
nilai surat berharga syariah korporasi yang dimiliki
BUS dalam rupiah dan valuta asing dan surat
berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS dalam
rupiah dan valuta asing pada posisi tanggal 30
September 2018; atau
c)
nilai surat berharga syariah korporasi yang dimiliki
UUS dalam rupiah dan valuta asing dan surat
berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS dalam
rupiah dan valuta asing pada posisi tanggal 30
September 2018; dan
2. Giro RIM Syariah:
a) DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam
rupiah dalam periode laporan sejak tanggal 1
Oktober 2018 sampai dengan tanggal 7 Oktober
2018 dan periode laporan sejak tanggal 8 Oktober
2018 sampai dengan tanggal 15 Oktober 2018;
dan/atau
b) KPMM yang digunakan yaitu KPMM BUS atau
KPMM BUK yang menjadi induk UUS pada posisi
akhir bulan Juni 2018.
b. RIM Syariah dan Giro RIM Syariah untuk periode laporan
tanggal 16 November 2018 sampai dengan tanggal 30
November 2018 didasarkan pada:
1. RIM Syariah:
a)
nilai Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing
dan DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing atau
DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing pada
12
akhir periode laporan tanggal 24 Oktober 2018
sampai dengan tanggal 31 Oktober 2018; dan
b)
nilai surat berharga syariah korporasi yang dimiliki
BUS dalam rupiah dan valuta asing dan surat
berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS dalam
rupiah dan valuta asing pada posisi tanggal 30
September 2018; atau
c)
nilai surat berharga syariah korporasi yang dimiliki
UUS dalam rupiah dan valuta asing dan surat
berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS dalam
rupiah dan valuta asing pada posisi tanggal 30
September 2018; dan
2. Giro RIM Syariah:
a) DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam
rupiah dalam periode laporan sejak tanggal 16
Oktober 2018 sampai dengan tanggal 23 Oktober
2018 dan periode laporan sejak tanggal 24 Oktober
2018 sampai dengan tanggal 31 Oktober 2018;
dan/atau
b) KPMM yang digunakan yaitu KPMM BUS atau
KPMM BUK yang menjadi induk UUS pada posisi
akhir bulan Juni 2018.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan
hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau
berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik
Republik Indonesia di luar negeri, sebagaimana dimaksud
13
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam hal surat berharga syariah yang dimiliki BUS atau
surat berharga syariah yang dimiliki UUS untuk jenis mata
uang yang sama memiliki lebih dari satu peringkat maka
Bank Indonesia mengakui peringkat surat berharga syariah
yang dimiliki BUS atau surat berharga syariah yang dimiliki
UUS dari lembaga pemeringkat dengan peringkat paling
rendah setara dengan peringkat investasi.
Contoh:
Surat berharga syariah korporasi dalam rupiah PT Y yang
dimiliki BUS B memiliki lebih dari satu peringkat dengan
rincian sebagai berikut:
1. Lembaga pemeringkat P memberikan peringkat surat
berharga syariah korporasi PT Y dengan peringkat
investasi;
2. Lembaga pemeringkat Q memberikan peringkat surat
berharga syariah korporasi PT Y dengan peringkat di
bawah peringkat investasi; dan
3. Lembaga pemeringkat R memberikan peringkat surat
berharga syariah korporasi PT Y dengan peringkat di
bawah peringkat investasi.
Untuk perhitungan RIM Syariah, Bank Indonesia mengakui
surat berharga syariah korporasi PT Y yang dimiliki BUS B
karena telah memiliki peringkat investasi yang dikeluarkan
oleh lembaga pemeringkat P.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang
memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian
transaksi efek” adalah Kustodian Sentral Efek Indonesia atau
lembaga berwenang lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
14
Ayat (3)
Dalam menetapkan batas maksimum surat berharga syariah
korporasi yang dimiliki BUS atau surat berharga syariah
korporasi yang dimiliki UUS, Bank Indonesia mempertimbangkan
antara lain jumlah Pembiayaan yang diberikan oleh BUS atau
UUS, dan ketersediaan surat berharga syariah korporasi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan
hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau
berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik
Republik Indonesia di luar negeri, sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan.
Yang dimaksud dengan “bukan penduduk” adalah orang,
badan hukum, atau badan lainnya, yang tidak berdomisili
atau berencana berdomisili di Indonesia kurang dari 1 (satu)
tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik negara lain
di Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan stabilitas
moneter dan sistem keuangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam hal surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS
atau UUS untuk jenis mata uang yang sama memiliki lebih
dari satu peringkat maka Bank Indonesia mengakui
peringkat surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS
atau UUS dari lembaga pemeringkat dengan peringkat paling
rendah setara dengan peringkat investasi.
15
Contoh:
Surat berharga syariah yang diterbitkan dalam rupiah oleh
BUS B memiliki lebih dari satu peringkat dengan rincian
sebagai berikut:
1. Lembaga pemeringkat P memberikan peringkat surat
berharga syariah yang diterbitkan BUS B dengan
peringkat investasi;
2. Lembaga pemeringkat Q memberikan peringkat surat
berharga syariah yang diterbitkan BUS B dengan
peringkat di bawah peringkat investasi; dan
3. Lembaga pemeringkat R memberikan peringkat surat
berharga syariah yang diterbitkan BUS B dengan
peringkat di bawah peringkat investasi.
Untuk perhitungan RIM, Bank Indonesia mengakui surat
berharga yang diterbitkan oleh BUS B karena telah memiliki
peringkat investasi yang dikeluarkan oleh lembaga
pemeringkat P.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang
memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian
transaksi efek” adalah Kustodian Sentral Efek Indonesia atau
lembaga berwenang lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Rumus perhitungan RIM Syariah sebagai berikut:
RIM Syariah =
(Pembiayaan + surat berharga syariah korporasi yang dimiliki)
(DPK + surat berharga syariah yang diterbitkan)
Keterangan:
-
-
x100%
Pembiayaan berupa Pembiayaan dalam rupiah dan valuta
asing;
DPK berupa DPK dalam rupiah dan valuta asing;
16
-
surat berharga syariah korporasi yang dimiliki berupa surat
berharga syariah korporasi dalam rupiah dan valuta asing;
dan
-
surat berharga syariah yang diterbitkan berupa surat
berharga syariah yang diterbitkan dalam rupiah dan valuta
asing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Rumus perhitungan Giro RIM Syariah dalam hal RIM Syariah
lebih kecil dari batas bawah Target RIM Syariah adalah
sebagai berikut:
Giro RIM Syariah = Parameter Disinsentif Bawah x (batas
bawah Target RIM Syariah – RIM
Syariah) x DPK BUS dalam rupiah atau
DPK UUS dalam rupiah
Huruf b
Rumus perhitungan Giro RIM Syariah dalam hal RIM Syariah
lebih besar dari batas atas Target RIM Syariah dan KPMM
BUS atau KPMM BUK yang menjadi induk UUS lebih kecil
dari KPMM Insentif adalah sebagai berikut:
Giro RIM Syariah = Parameter Disinsentif Atas x (RIM
Syariah – batas atas Target RIM Syariah)
x DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS
dalam rupiah
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
17
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Hasil rekomendasi OJK dapat berupa persetujuan atau penolakan
atas permintaan Bank.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Koreksi laporan dapat dilakukan atas inisiatif Bank atau
permintaan dari Bank Indonesia.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
18
Ayat (6)
Informasi kepada Bank mengenai penyesuaian tata cara
penyampaian laporan dan penghentian kewajiban penyampaian
laporan dilakukan melalui surat dan/atau penyempurnaan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia
yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi,
moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi
perekonomian global.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
19
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “giro” adalah komponen giro yang
tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tabungan” adalah komponen
tabungan yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK
BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala
bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito”
adalah komponen simpanan berjangka yang tercantum
dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah
dana simpanan wadiah yang tercantum dalam penjelasan
komponen DPK UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan berkala bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat” adalah
komponen dana investasi tidak terikat yang tercantum dalam
penjelasan komponen DPK UUS dalam rupiah sebagaimana
20
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen DPK UUS dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Angka 1
Yang dimaksud dengan “obligasi negara” adalah SUN
yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan
dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga
secara diskonto.
Yang dimaksud dengan “surat perbendaharaan negara”
adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12
(dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara
diskonto.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “SBSN jangka panjang” adalah
surat berharga syariah negara yang berjangka waktu
lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran
imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto.
Yang dimaksud dengan “SBSN jangka pendek” adalah
surat berharga syariah negara yang berjangka waktu
sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan
21
pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara
diskonto.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Depository Account (Rekening
DEPO)” adalah rekening untuk mencatat kepemilikan surat
berharga dan/atau instrumen keuangan lainnya atas hasil
setelmen transaksi.
Yang dimaksud dengan “subrekening available for sale
(AVAI)” adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen
seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya.
Yang dimaksud dengan “subrekening not available for sale
(NAVL)” adalah subrekening yang digunakan untuk mencatat
surat berharga dengan tujuan untuk dimiliki sampai dengan
jatuh waktu (hold to maturity).
Yang dimaksud dengan “subrekening available waiting for
reselling (AWAS)” adalah subrekening yang digunakan untuk
mencatat surat berharga yang dimiliki dengan tujuan untuk
dijual kembali dalam waktu dekat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “intraday liquidity facility account
(Rekening ILF)” adalah rekening untuk mencatat surat
berharga yang akan digunakan peserta sistem Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement untuk memperoleh
fasilitas likuiditas intrahari dalam sistem Bank Indonesia-
Real Time Gross Settlement.
Yang dimaksud dengan “subrekening available for sale
(AVAI)” adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen
seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “failure to settle account (Rekening
FtS)” adalah rekening untuk mencatat surat berharga yang
digunakan peserta BI-SSSS untuk prefund sistem kliring
nasional Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “subrekening available for sale
(AVAI)” adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen
seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya.
22
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
PLM BUK X pada tanggal 1 Agustus 2018 yang dihitung pada
tanggal 2 Agustus 2018 menggunakan data dan nilai surat
berharga di BI-SSSS yaitu harga SBI dan SDBI pada tanggal 1
Agustus 2018, nilai nominal SBIS, dan harga SBN pada tanggal
31 Juli 2018.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Rumus pemenuhan PLM sebagai berikut:
PLM =
Jumlah SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN yang dimiliki BUK
setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan
Rata − rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah
selama 2 (dua) periode laporan
pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya
Perhitungan pemenuhan PLM didasarkan pada DPK BUK dalam
rupiah dengan periode laporan sebagai berikut:
a. PLM untuk periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUK
dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 1 sampai
dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai
dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan
b. PLM untuk periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan
tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai
dengan tanggal akhir bulan menggunakan rata-rata harian
jumlah DPK BUK dalam rupiah selama periode laporan sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan
sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
sebelumnya.
x100%
23
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “transaksi repo kepada Bank Indonesia”
adalah transaksi repurchase agreement (repo) sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai operasi moneter.
Yang dimaksud dengan “operasi pasar terbuka” adalah operasi
pasar terbuka sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter.
Ayat (2)
Huruf a
Surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo yang
diperhitungkan Bank Indonesia dalam pemenuhan PLM
yaitu surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo
pada operasi moneter dalam bentuk operasi pasar terbuka
yang dilaksanakan Bank Indonesia sejak tanggal 16 Juli
2018.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
24
Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah dana
simpanan wadiah yang tercantum dalam penjelasan komponen
DPK BUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat” adalah
komponen dana investasi tidak terikat yang tercantum dalam
penjelasan komponen DPK BUS dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah kewajiban
lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang tercantum dalam
penjelasan komponen DPK BUS dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan berkala bank umum.
Pasal 33
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “SBSN jangka panjang” adalah
surat berharga syariah negara yang berjangka waktu
lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran
imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “SBSN jangka pendek” adalah
surat berharga syariah negara yang berjangka waktu
sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan
pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara
diskonto.
25
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Rekening DEPO” adalah rekening
untuk mencatat kepemilikan surat berharga dan/atau
instrumen keuangan lainnya atas hasil setelmen transaksi.
Yang dimaksud dengan “subrekening AVAI” adalah
subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh
transaksi surat berharga dan instrumen lainnya.
Yang dimaksud dengan “subrekening NAVL” adalah
subrekening yang digunakan untuk mencatat surat berharga
dengan tujuan untuk dimiliki sampai dengan jatuh waktu
(hold to maturity).
Yang dimaksud dengan “subrekening AWAS” adalah
subrekening yang digunakan untuk mencatat surat berharga
yang dimiliki dengan tujuan untuk dijual kembali dalam
waktu dekat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Rekening ILF” adalah rekening
untuk mencatat surat berharga yang akan digunakan
peserta sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
untuk memperoleh fasilitas likuiditas intrahari dalam sistem
Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
Yang dimaksud dengan “subrekening AVAI” adalah
subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh
transaksi surat berharga dan instrumen lainnya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Rekening FtS” adalah rekening
untuk mencatat surat berharga yang digunakan peserta BI-
SSSS untuk prefund sistem kliring nasional Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “subrekening AVAI” adalah
subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh
transaksi surat berharga dan instrumen lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
26
Ayat (4)
Contoh:
PLM Syariah BUS Y pada tanggal 1 November 2018 yang dihitung
pada tanggal 2 November 2018 menggunakan data dan nilai surat
berharga di BI-SSSS yaitu nilai nominal SBIS dan harga SBSN
pada tanggal 31 Oktober 2018.
Pasal 34
Rumus pemenuhan PLM Syariah sebagai berikut:
PLM Syariah =
Jumlah SBIS dan/atau SBSN yang dimiliki BUS
setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan
Rata − rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah
selama 2 (dua)periode laporan
pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya
Perhitungan pemenuhan PLM Syariah didasarkan pada DPK BUS
dalam rupiah dengan periode laporan sebagai berikut:
a. PLM Syariah untuk periode laporan sejak tanggal 1 sampai
dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai
dengan tanggal 15 menggunakan rata-rata harian jumlah DPK
BUS dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 1 sampai
dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai
dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan
b. PLM Syariah untuk periode laporan sejak tanggal 16 sampai
dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai
dengan tanggal akhir bulan menggunakan rata-rata harian
jumlah DPK BUS dalam rupiah selama periode laporan sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “transaksi repo kepada Bank Indonesia”
adalah transaksi repurchase agreement (repo) sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai operasi moneter.
x100%
27
Yang dimaksud dengan “operasi pasar terbuka syariah” adalah
operasi pasar terbuka syariah sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi
moneter.
Ayat (2)
Surat berharga syariah yang digunakan dalam transaksi repo
yang diperhitungkan Bank Indonesia dalam pemenuhan PLM
Syariah yaitu surat berharga syariah yang digunakan dalam
transaksi repo pada operasi moneter syariah dalam bentuk
operasi pasar terbuka syariah yang dilaksanakan Bank Indonesia
sejak tanggal 1 Oktober 2018.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia
yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi,
moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi
perekonomian global.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
28
Pasal 37
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUK hasil penggabungan atau
peleburan.
Huruf b
Rumus RIM untuk BUK hasil penggabungan atau peleburan:
RIM =
(kredit + surat berharga korporasi yang dimiliki )
(DPK BUK + surat berharga yang diterbitkan)
Keterangan:
-
x 100%
kredit berupa kredit dalam rupiah dan valuta asing dengan
data yang diperoleh dari penjumlahan kredit BUK yang
melakukan penggabungan atau peleburan yang didasarkan
pada pos kredit yang diberikan kepada pihak ketiga bukan
bank dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir
Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya dalam LBBU;
- DPK BUK berupa DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing
dengan data yang diperoleh dari penjumlahan DPK BUK
dalam rupiah dan valuta asing dari BUK yang melakukan
penggabungan atau peleburan yang didasarkan pada pos
giro, pos tabungan, dan pos simpanan berjangka dalam
Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode
Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya
dalam LBBU;
-
surat berharga korporasi yang dimiliki berupa surat
berharga korporasi dalam rupiah dan valuta asing dengan
data yang diperoleh dari penjumlahan saldo pada pos total
harga perolehan dalam laporan surat berharga sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan
sebelumnya untuk BUK yang melakukan penggabungan
atau peleburan; dan
-
surat berharga yang diterbitkan berupa surat berharga yang
diterbitkan dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang
diperoleh dari penjumlahan saldo pada pos total nominal
dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam
29
Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya untuk
BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan.
Huruf c
Rumus RIM untuk BUK hasil penggabungan atau peleburan:
RIM =
(kredit + surat berharga korporasi yang dimiliki )
(DPK + surat berharga yang diterbitkan )
Keterangan:
-
x 100%
kredit berupa kredit dalam rupiah dan valuta asing dengan
data yang diperoleh dari kredit BUK hasil penggabungan
atau peleburan yang didasarkan pada pos kredit yang
diberikan kepada pihak ketiga bukan bank dalam Formulir 2
Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan
pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBU;
- DPK BUK berupa DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing
dengan data yang diperoleh dari DPK BUK hasil
penggabungan atau peleburan yang didasarkan pada pos
giro, pos tabungan, dan pos simpanan berjangka dalam
Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode
Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya
dalam LBBU;
-
surat berharga korporasi yang dimiliki berupa surat
berharga korporasi dalam rupiah dan valuta asing dengan
data yang diperoleh dari penjumlahan saldo pada pos total
harga perolehan dalam laporan surat berharga sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan
sebelumnya dari BUK yang melakukan penggabungan atau
peleburan sampai dengan tersedia data surat berharga
korporasi yang dimiliki BUK hasil penggabungan atau
peleburan yaitu setelah 2 (dua) periode laporan surat
berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
disampaikan kepada Bank Indonesia; dan
-
surat berharga yang diterbitkan berupa surat berharga yang
diterbitkan dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang
diperoleh dari penjumlahan saldo pada pos total nominal
dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya dari
30
BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan sampai
dengan tersedia data surat berharga yang diterbitkan BUK
hasil penggabungan atau peleburan yaitu setelah 2 (dua)
periode laporan surat berharga sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I yang disampaikan kepada Bank Indonesia.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 38
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUK hasil penggabungan atau
peleburan.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Huruf a)
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Saldo Rekening Giro Rupiah digunakan dalam hal
terjadi pelanggaran pemenuhan PLM.
Huruf b)
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Saldo Rekening Giro Rupiah digunakan dalam hal
terjadi pelanggaran pemenuhan PLM.
Angka 3
Bagi BUK yang memiliki UUS maka jumlah DPK BUK dalam
rupiah termasuk DPK UUS dalam rupiah.
31
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 39
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUS hasil penggabungan atau
peleburan.
Huruf b
Rumus RIM Syariah untuk BUS hasil penggabungan atau
peleburan:
RIM Syariah =
(Pembiayaan + surat berharga syariah korporasi yang dimiliki)
(DPK BUS + surat berharga syariah yang diterbitkan )
x 100%
Keterangan:
-
Pembiayaan berupa Pembiayaan dalam rupiah dan valuta
asing dengan data yang diperoleh dari penjumlahan
Pembiayaan BUS yang melakukan penggabungan atau
peleburan yang didasarkan pada pos piutang, pos
pembiayaan, dan pos ijarah dalam Formulir 2 Neraca
Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBUS;
- DPK BUS berupa DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing
dengan data yang diperoleh dari penjumlahan DPK BUS
dalam rupiah dan valuta asing dari BUS yang melakukan
penggabungan atau peleburan yang didasarkan pada pos
dana simpanan wadiah dan pos dana investasi tidak terikat
dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir
Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya dalam LBBUS.
-
surat berharga syariah korporasi yang dimiliki berupa surat
berharga syariah korporasi dalam rupiah dan valuta asing
dengan data yang diperoleh dari penjumlahan saldo pada pos
total harga perolehan dalam laporan surat berharga
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua)
32
periode laporan sebelumnya untuk BUS yang melakukan
penggabungan atau peleburan; dan
-
surat berharga syariah yang diterbitkan berupa surat
berharga syariah yang diterbitkan dalam rupiah dan valuta
asing dengan data yang diperoleh dari penjumlahan saldo
pada pos total nominal dalam laporan surat berharga
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua)
periode laporan sebelumnya untuk BUS yang melakukan
penggabungan atau peleburan.
Huruf c
Rumus RIM Syariah untuk BUS hasil penggabungan atau
peleburan:
RIM Syariah =
(Pembiayaan + surat berharga syariah korporasi yang dimiliki)
(DPK BUS + surat berharga syariah yang diterbitkan)
x 100%
Keterangan:
-
Pembiayaan berupa Pembiayaan dalam rupiah dan valuta
asing dengan data yang diperoleh dari Pembiayaan BUS hasil
penggabungan atau peleburan yang didasarkan pada pos
piutang, pos pembiayaan, dan pos ijarah dalam Formulir 2
Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan
pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBUS;
- DPK BUS berupa DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing
dengan data yang diperoleh dari DPK BUS hasil
penggabungan atau peleburan yang didasarkan pada pos
dana simpanan wadiah dan pos dana investasi tidak terikat
dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir
Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya dalam LBBUS;
-
surat berharga syariah korporasi yang dimiliki berupa surat
berharga syariah korporasi yang dimiliki dalam rupiah dan
valuta asing dengan data yang diperoleh dari penjumlahan
saldo pada pos total harga perolehan dalam laporan surat
berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2
(dua) periode laporan sebelumnya dari BUS yang melakukan
penggabungan atau peleburan sampai dengan tersedia data
33
surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS hasil
penggabungan atau peleburan yaitu setelah 2 (dua) periode
laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang disampaikan kepada Bank Indonesia; dan
-
surat berharga syariah yang diterbitkan berupa surat
berharga syariah yang diterbitkan dalam rupiah dan valuta
asing dengan data yang diperoleh dari penjumlahan saldo
pada pos total nominal dalam laporan surat berharga
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua)
periode laporan sebelumnya dari BUS yang melakukan
penggabungan atau peleburan sampai dengan tersedia data
surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS hasil
penggabungan atau peleburan yaitu setelah 2 (dua) periode
laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang disampaikan kepada Bank Indonesia.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 40
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUS hasil penggabungan atau
peleburan.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Saldo Rekening Giro Rupiah digunakan dalam hal
terjadi pelanggaran pemenuhan PLM Syariah.
Angka 3
Cukup jelas.
34
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUK melakukan perubahan kegiatan
usaha menjadi BUS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 42
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUS hasil pemisahan UUS dari BUK.
Huruf b
Rumus RIM Syariah untuk BUS hasil pemisahan:
RIM Syariah =
(
Pembiayaan UUS + surat berharga syariah
korporasi yang dimiliki UUS
Keterangan:
-
)
(DPK UUS + surat berharga syariah yang diterbitkan UUS)
x100%
Pembiayaan UUS berupa Pembiayaan UUS dalam rupiah dan
valuta asing dengan data yang diperoleh dari Pembiayaan
UUS yang didasarkan pada pos piutang, pos pembiayaan,
dan pos ijarah dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada
Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode
laporan sebelumnya dalam LBBUS;
35
- DPK UUS berupa DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing
dengan data yang diperoleh dari DPK UUS dalam rupiah dan
valuta asing yang didasarkan pada pos dana simpanan
wadiah dan pos dana investasi tidak terikat dalam Formulir
2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan
pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBUS;
-
surat berharga syariah korporasi yang dimiliki berupa surat
berharga syariah korporasi dalam rupiah dan valuta asing
dengan data yang diperoleh dari saldo surat berharga syariah
korporasi yang dimiliki UUS pada pos total harga perolehan
dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya; dan
-
surat berharga syariah yang diterbitkan berupa surat
berharga syariah yang diterbitkan dalam rupiah dan valuta
asing dengan data yang diperoleh dari saldo surat berharga
yang diterbitkan oleh UUS pada pos total nominal dalam
laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya.
Dalam pemenuhan Giro RIM Syariah pada 1 hari kerja sebelum
tanggal efektif pelaksanaan Pemisahan, saldo Rekening Giro
Rupiah UUS yaitu saldo Rekening Giro Rupiah UUS termasuk
saldo Rekening Giro Rupiah UUS yang pindah ke saldo Rekening
Giro Rupiah BUS.
Huruf c
Rumus RIM Syariah untuk BUS hasil pemisahan:
RIM Syariah =
(
Pembiayaan BUS + surat berharga syariah
korporasi yang dimiliki
Keterangan:
-
)
(DPK BUS + surat berharga syariah yang diterbitkan)
x100%
Pembiayaan BUS berupa Pembiayaan BUS dalam rupiah dan
valuta asing dengan data yang diperoleh dari Pembiayaan
BUS hasil pemisahan yang didasarkan pada pos piutang, pos
pembiayaan, dan pos ijarah dalam Formulir 2 Neraca
Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBUS;
36
- DPK BUS berupa DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing
dengan data yang diperoleh dari DPK BUS hasil pemisahan
yang didasarkan pada pos dana simpanan wadiah dan pos
dana investasi tidak terikat dalam Formulir 2 Neraca
Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBUS;
-
surat berharga syariah korporasi yang dimiliki berupa surat
berharga syariah korporasi dalam rupiah dan valuta asing
dengan data yang diperoleh dari saldo surat berharga syariah
korporasi yang dimiliki UUS pada pos total harga perolehan
dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya sampai
dengan data surat berharga syariah korporasi yang dimiliki
BUS hasil pemisahan tersedia, yaitu setelah 2 (dua) periode
laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang disampaikan kepada Bank Indonesia; dan
-
surat berharga syariah yang diterbitkan berupa surat
berharga syariah yang diterbitkan dalam rupiah dan valuta
asing dengan data yang diperoleh dari saldo surat berharga
syariah yang diterbitkan oleh UUS pada pos total nominal
dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya sampai
dengan data surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
BUS hasil pemisahan tersedia, yaitu setelah 2 (dua) periode
laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang disampaikan kepada Bank Indonesia.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUS hasil pemisahan UUS dari BUK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
37
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran
pemenuhan Giro RIM yang wajib dipenuhi, dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
= Kekurangan Giro RIM yang wajib dipenuhi x 125% x suku bunga JIBOR
𝑜𝑣𝑒𝑟𝑛𝑖𝑔ℎ𝑡 dalam rupiah x 1/360
Perhitungan suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari (overnight)
dari JIBOR dalam rupiah mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga penawaran
antarbank.
Ayat (2)
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran
pemenuhan PLM yang wajib dipenuhi, dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
= Kekurangan PLM yang wajib dipenuhi x 125% x suku bunga JIBOR
𝑜𝑣𝑒𝑟𝑛𝑖𝑔ℎ𝑡 dalam rupiah x 1/360
Perhitungan suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari (overnight)
dari JIBOR dalam rupiah mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga penawaran
antarbank.
Pasal 46
Ayat (1)
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran
pemenuhan Giro RIM Syariah yang wajib dipenuhi, dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
= Kekurangan Giro RIM Syariah yang wajib dipenuhi x 125% x
Tingkat Indikasi Imbalan SIMA x 1/360
38
Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan SIMA yang digunakan
yaitu rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA pada
pasar perdana yang diperoleh dari LHBU
Ayat (2)
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran PLM
Syariah yang wajib dipenuhi, dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
= Kekurangan PLM RIM Syariah yang wajib dipenuhi x 125% x
Tingkat Indikasi Imbalan SIMA x 1/360
Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan SIMA yang digunakan
yaitu rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA pada
pasar perdana yang diperoleh dari LHBU.
Ayat (3)
Data mengenai tingkat imbalan deposito investasi mudarabah
berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan yang
digunakan yaitu rata-rata tingkat imbalan deposito mudarabah
berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan, yang
tercatat pada LHBU.
Pasal 47
Ayat (1)
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran
pemenuhan Giro RIM Syariah yang wajib dipenuhi dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
= Kekurangan Giro RIM Syariah yang wajib dipenuhi x 125% x
Tingkat Indikasi Imbalan SIMA x 1/360
Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan SIMA yang digunakan
yaitu rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA pada
pasar perdana yang diperoleh dari LHBU.
Ayat (2)
Data mengenai tingkat imbalan deposito investasi mudarabah
berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan yang
digunakan yaitu rata-rata tingkat imbalan deposito mudarabah
berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan yang
tercatat pada LHBU.
39
Pasal 48
Ayat (1)
Contoh perhitungan pengenaan sanksi kewajiban membayar atas
keterlambatan penyampaian laporan surat berharga:
Bank A terlambat menyampaikan laporan surat berharga selama
2 (dua) hari kerja dan di antara 2 (dua) hari kerja tersebut
terdapat hari Sabtu dan hari Minggu dan/atau hari libur
nasional.
Atas pelanggaran tersebut, Bank A dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Dalam hal
ini, sanksi kewajiban membayar tidak dikenakan pada hari Sabtu
dan hari Minggu dan/atau hari libur nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/11/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 31 Mei 2018 </set_date>
<effective_date> 31 Mei 2018 </effective_date>
<replaced_reg> '19/4/PADG/2017 | Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 35' </replaced_reg>
<related_reg> '20/4/PBI/2018' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/6/PADG/2019
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR
TERBUKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam pelaksanaan operasi moneter perlu
didukung oleh sistem lelang operasi moneter valuta asing
yang lebih efisien melalui penyempurnaan sistem otomasi
lelang operasi moneter valuta asing;
b. bahwa dengan adanya penyempurnaan sistem otomasi
lelang moneter valuta asing sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, Bank Indonesia perlu mengatur tata cara
pelaksanaan lelang operasi pasar terbuka valuta asing;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar
Terbuka;
2
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/14/PBI/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi
Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6278);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG
PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan
Operasi Pasar Terbuka yang telah beberapa kali diubah dengan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur:
a. Nomor 20/29/PADG/2018 tentang Perubahan Atas
Peraturan Anggota
Dewan Gubernur Nomor
20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar
Terbuka;
b. Nomor 20/35/PADG/2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar
Terbuka,
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 125 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
3
Pasal 125
Bank Indonesia menyampaikan persetujuan pendaftaran
untuk mengikuti lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing kepada Peserta OPT
Konvensional dan Lembaga Perantara melalui surat yang
memuat informasi sebagai berikut:
a. nama Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga
Perantara;
b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Konvensional;
c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT
Konvensional dan/atau Lembaga Perantara;
d. Standard Settlement Instruction Peserta OPT
Konvensional;
e. tanggal efektif untuk mengikuti lelang Transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing; dan
informasi lainnya apabila diperlukan.
f.
2. Ketentuan Pasal 128 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga
Pasal 128 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 128
(1) Pengajuan penawaran Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing untuk lelang dengan
metode harga tetap (fixed rate tender) meliputi
informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. penawaran nilai nominal; dan
b. tingkat bunga sesuai dengan yang diumumkan
oleh Bank Indonesia,
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing.
(2) Pengajuan penawaran Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing untuk lelang dengan
metode harga beragam (variable rate tender) meliputi
informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. penawaran nilai nominal; dan
b. tingkat bunga,
4
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing.
(3) Pengajuan penawaran nilai nominal dari Peserta OPT
Konvensional
paling
sedikit
sebesar
USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat)
dan selebihnya dengan kelipatan sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat).
(4) Dalam hal lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan
metode harga beragam (variable rate tender),
pengajuan setiap penawaran tingkat bunga dilakukan
dengan kelipatan 1 (satu) bps (basis point) atau 0,01%
(nol koma nol satu persen).
3. Ketentuan Pasal 129 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 129
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara
dapat melakukan koreksi untuk setiap penawaran
yang diajukan dalam window time Transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) dan
ayat (2) kecuali:
a. bagi Peserta OPT Konvensional tidak dapat
melakukan koreksi terhadap jangka waktu; dan
b. bagi Lembaga Perantara tidak dapat melakukan
koreksi
Konvensional dan jangka waktu.
(2) Koreksi penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memenuhi persyaratan pengajuan
penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128
ayat (3) dan ayat (4).
terhadap nama Peserta OPT
5
4. Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 133
Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi
Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing
setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang
oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. secara individual kepada pemenang lelang melalui
sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing
dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, yang memuat informasi berupa:
1. jangka waktu;
2. nilai nominal yang dimenangkan;
3. tingkat bunga yang dimenangkan;
4. nominal bunga Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing; dan
5. informasi lainnya apabila diperlukan;
b. secara keseluruhan kepada semua Peserta OPT
Konvensional dan Lembaga Perantara melalui
sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing,
Sistem LHBU, dan/atau sarana lain yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia, yang memuat informasi
berupa:
1. nilai nominal penawaran yang dimenangkan;
2.
tingkat bunga Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing, apabila
Transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing dilakukan dengan metode
harga tetap (fixed rate tender);
3.
rata-rata tertimbang tingkat bunga Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing,
apabila Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing dilakukan
dengan metode harga beragam (variable rate
tender); dan
4. informasi lainnya apabila diperlukan.
6
5. Ketentuan Pasal 137 ayat (6) diubah sehingga Pasal 137
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 137
(1) Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan Early
Redemption Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing paling cepat 3 (tiga)
hari setelah setelmen hasil lelang Transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang
akan dilakukan Early Redemption.
(2) Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan Early
Redemption pada setiap Hari Kerja, kecuali pada hari
pelaksanaan lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing dengan jangka
waktu melebihi overnight.
(3) Pengajuan Early Redemption sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan dari pukul 08.00 WIB sampai
dengan pukul 11.00 WIB.
(4) Pengajuan Early Redemption Transaksi Term Deposit
OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan
melalui sarana dealing system yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(5) Pengajuan Early Redemption Transaksi Term Deposit
OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan
paling sedikit sebesar USD1,000,000.00 (satu juta
dolar Amerika Serikat) dengan kelipatan sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat).
(6) Pengajuan Early Redemption Transaksi Term Deposit
OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk Transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing yang ditransaksikan melalui
sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta
asing harus disertai informasi referensi transaksi
pada saat pengajuan lelang Transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing;
atau
7
b. untuk Transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing yang ditransaksikan secara
manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268
ayat (1) huruf c harus disertai informasi tanggal
lelang dan informasi waktu transaksi lelang yang
akan dilakukan Early Redemption (waktu
Greenwich Mean Time/GMT).
(7) Pengajuan Early Redemption Transaksi Term Deposit
OPT Konvensional dalam valuta asing, baik
keseluruhan atau sebagian, dilakukan untuk nilai
nominal penuh yang tercantum dalam setiap deal
ticket.
6. Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 151
Bank Indonesia menyampaikan persetujuan pendaftaran
untuk mengikuti Transaksi Swap secara lelang kepada
Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melalui
surat, yang memuat informasi sebagai berikut:
a. nama Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga
Perantara;
b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Konvensional;
c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT
Konvensional dan/atau Lembaga Perantara;
d. Standard Settlement Instruction Peserta OPT
Konvensional;
e. tanggal efektif untuk mengikuti Transaksi Swap
secara lelang; dan
f.
informasi lainnya apabila diperlukan.
7. Ketentuan Pasal 154 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga
Pasal 154 berbunyi sebagai berikut:
8
Pasal 154
(1) Pengajuan penawaran Transaksi Swap secara lelang
dengan metode harga tetap (fixed rate tender) meliputi
informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. penawaran nilai nominal; dan
b. premi swap sesuai dengan yang diumumkan oleh
Bank Indonesia,
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Swap
secara lelang.
(2) Pengajuan penawaran Transaksi Swap secara lelang
dengan metode harga beragam (variable rate tender)
memuat informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. penawaran nilai nominal; dan
b. premi swap,
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Swap
secara lelang.
(3) Pengajuan penawaran nilai nominal dari Peserta OPT
Konvensional
paling
sedikit
sebesar
USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat)
dan paling banyak sebesar USD50,000,000.00 (lima
puluh juta dolar Amerika Serikat), dengan kelipatan
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika
Serikat).
(4) Dalam hal lelang Transaksi Swap dilakukan dengan
metode harga beragam (variable rate tender),
pengajuan setiap penawaran premi swap paling
sedikit sebesar Rp1,00 (satu rupiah) dan selebihnya
dengan kelipatan sebesar Rp1,00 (satu rupiah).
8. Ketentuan Pasal 155 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 155
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara
dapat melakukan koreksi untuk setiap penawaran
yang diajukan dalam window time Transaksi Swap
9
secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
154 ayat (1) dan ayat (2), kecuali:
a. bagi Peserta OPT Konvensional tidak dapat
melakukan koreksi terhadap jangka waktu; dan
b. bagi Lembaga Perantara tidak dapat melakukan
koreksi terhadap nama Peserta OPT
Konvensional dan jangka waktu.
(2) Koreksi penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memenuhi persyaratan pengajuan
penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154
ayat (3) dan ayat (4).
9. Ketentuan Pasal 159 huruf c dihapus sehingga Pasal 159
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 159
Bank Indonesia mengumumkan hasil Transaksi Swap
secara lelang setelah dilakukan proses penetapan
pemenang lelang oleh Bank Indonesia, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. secara individual kepada masing-masing pemenang
lelang melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter
valuta asing dan/atau sarana lain yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia, berupa:
1. jangka waktu;
2. nilai nominal yang dimenangkan;
3. kurs spot;
4. kurs forward;
5. premi swap yang dimenangkan; dan
6. informasi lainnya apabila diperlukan.
b. secara keseluruhan kepada semua Peserta OPT
Konvensional dan Lembaga Perantara melalui sistem
otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem
LHBU, dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia, berupa:
1.
nilai nominal Transaksi Swap
dimenangkan;
yang
10
2. premi swap per jangka waktu, apabila Transaksi
Swap dilakukan dengan metode harga tetap
(fixed rate tender);
3. rata-rata tertimbang (weighted average) premi
swap per jangka waktu, apabila Transaksi Swap
dilakukan dengan metode harga beragam
(variable rate tender); dan
4. informasi lainnya apabila diperlukan.
c. Peserta OPT Konvensional yang telah memenangkan
penawaran tidak dapat melakukan pengakhiran
Transaksi Swap secara lelang sebelum jatuh waktu
(early termination).
10. Ketentuan Pasal 252 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 252
Bank Indonesia menyampaikan persetujuan pendaftaran
untuk mengikuti lelang Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing kepada Peserta OPT Syariah
dan Lembaga Perantara melalui surat yang memuat
informasi sebagai berikut:
a. nama Peserta OPT Syariah dan/atau Lembaga
Perantara;
b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Syariah;
c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT
Syariah dan/atau Lembaga Perantara;
d. Standard Settlement Instruction Peserta OPT Syariah;
e. tanggal efektif untuk mengikuti lelang Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing; dan
informasi lainnya apabila diperlukan.
f.
11. Ketentuan Pasal 255 ayat (1) diubah sehingga Pasal 255
berbunyi sebagai berikut:
11
Pasal 255
(1) Pengajuan penawaran Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing memuat informasi
penawaran nilai nominal untuk masing-masing
jangka waktu Transaksi Term Deposit OPT Syariah
dalam valuta asing.
(2) Pengajuan penawaran nilai nominal dari Peserta OPT
Syariah paling sedikit sebesar USD5,000,000.00 (lima
juta dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan
kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat).
12. Ketentuan Pasal 256 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 256
(1) Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara dapat
melakukan koreksi untuk setiap penawaran yang
diajukan dalam window time Transaksi Term Deposit
OPT Syariah dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 255 ayat (1), kecuali:
a. bagi Peserta OPT Syariah tidak dapat melakukan
koreksi terhadap jangka waktu; dan
b. bagi Lembaga Perantara tidak dapat melakukan
koreksi terhadap nama Peserta OPT Syariah dan
jangka waktu.
(2) Koreksi penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memenuhi persyaratan pengajuan
penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255
ayat (2).
13. Ketentuan Pasal 260 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 260
Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi
Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing setelah
12
dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank
Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. secara individual kepada pemenang lelang melalui
sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing
dan/atau sarana lain, yang memuat informasi
berupa:
1. jangka waktu;
2. nilai nominal yang dimenangkan;
3. tingkat imbalan;
4. nominal imbalan Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing; dan
5. informasi lainnya apabila diperlukan;
b. secara keseluruhan kepada semua Peserta OPT
Syariah dan Lembaga Perantara melalui sistem
otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem
LHBU, dan/atau sarana lain, yang memuat informasi
berupa:
1. nilai nominal penawaran yang dimenangkan;
2. tingkat imbalan Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing; dan
3. informasi lainnya apabila diperlukan.
14. Ketentuan Pasal 264 ayat (6) diubah sehingga Pasal 264
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 264
(1) Peserta OPT Syariah dapat mengajukan Early
Redemption Transaksi Term Deposit OPT Syariah
dalam valuta asing paling cepat 3 (tiga) hari setelah
setelmen hasil lelang Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing yang akan dilakukan
Early Redemption.
(2) Peserta OPT Syariah dapat mengajukan Early
Redemption pada setiap hari kerja, kecuali pada hari
pelaksanaan lelang Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing dengan jangka waktu
melebihi overnight.
13
(3) Pengajuan Early Redemption sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan dari pukul 08.00 WIB sampai
dengan pukul 11.00 WIB.
(4) Pengajuan Early Redemption Transaksi Term Deposit
OPT Syariah dalam valuta asing dilakukan melalui
sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(5) Pengajuan Early Redemption Transaksi Term Deposit
OPT Syariah dalam valuta asing dilakukan paling
sedikit sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat) dengan kelipatan sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat).
(6) Pengajuan Early Redemption Transaksi Term Deposit
OPT Syariah dalam valuta asing dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. untuk Transaksi Term Deposit OPT Syariah
dalam valuta asing yang ditransaksikan melalui
sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta
asing harus disertai dengan informasi referensi
transaksi pada saat pengajuan lelang Transaksi
Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing;
atau
b. untuk Transaksi Term Deposit OPT Syariah
dalam valuta asing yang ditransaksikan secara
manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277
ayat (1) huruf c harus disertai informasi tanggal
lelang dan informasi waktu transaksi lelang yang
akan dilakukan Early Redemption (waktu
Greenwich Mean Time/GMT).
(7) Pengajuan Early Redemption Transaksi Term Deposit
OPT Syariah dalam valuta asing, baik keseluruhan
atau sebagian, dilakukan untuk nilai nominal penuh
yang tercantum dalam setiap deal ticket.
14
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 April 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
ERWIN RIJANTO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/6/PADG/2019
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR
TERBUKA
I. UMUM
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur bahwa tujuan Bank
Indonesia adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Untuk mendukung pelaksanaan operasi moneter tersebut perlu
didukung oleh sistem lelang operasi moneter valuta asing yang lebih efisien
melalui penyempurnaan sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing
terhadap instrumen Transaksi Term Deposit OPT Konvensional, Transaksi
Swap, dan Transaksi Term Deposit OPT Syariah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 125
Cukup jelas.
2
Angka 2
Pasal 128
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 129
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 133
Cukup Jelas
Angka 5
Pasal 137
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 151
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 154
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 155
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 159
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 252
Cukup jelas.
3
Angka 11
Pasal 255
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 256
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 260
Cukup jelas
Angka 14
Pasal 264
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/6/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title>
<set_date> 9 April 2019 </set_date>
<effective_date> 9 April 2019 </effective_date>
<changed_reg> '20/6/PADG/2018' </changed_reg>
<extension_of> '20/29/PADG/2018', '20/35/PADG/2018' </extension_of>
<related_reg> '20/14/PBI/2018', '20/5/PBI/2018' </related_reg>
|
2
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/22/PADG/2019
TENTANG
RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS
MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Peraturan Bank Indonesia mengenai rasio
intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas
makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank
umum syariah, dan unit usaha syariah, perlu didukung
dengan peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai
mekanisme pelaksanaan dan hal teknis terkait rasio
intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas
makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank
umum syariah, dan unit usaha syariah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur tentang Rasio Intermediasi
Makroprudensial dan Penyangga
Likuiditas
Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank
Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tentang
Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas
2
Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum
Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2018 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6194) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/12/PBI/2019
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/4/PBI/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial
dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum
Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 226,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6422);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG RASIO
INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA
LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM
KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA
SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat
BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai perbankan, termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah.
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai perbankan syariah.
3
4. Bank adalah BUK, BUS, dan UUS.
5. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
6. Dana Pihak Ketiga yang selanjutnya disingkat DPK adalah
kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk
dalam rupiah dan/atau valuta asing.
7. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut
Rekening Giro Rupiah adalah rekening giro dalam mata
uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai rekening giro di Bank Indonesia.
8. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah.
9. Rasio Intermediasi Makroprudensial yang selanjutnya
disingkat RIM adalah rasio hasil perbandingan antara:
a. kredit yang diberikan dalam rupiah dan valuta asing;
dan
b. surat berharga korporasi dalam rupiah dan valuta
asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang
dimiliki BUK,
terhadap:
a. DPK BUK dalam bentuk giro, tabungan, dan
simpanan berjangka/deposito dalam rupiah dan
valuta asing, tidak termasuk dana antarbank;
b. surat berharga dalam rupiah dan valuta asing yang
memenuhi persyaratan tertentu, yang diterbitkan oleh
BUK untuk memperoleh sumber pendanaan; dan
c. pinjaman yang diterima dalam rupiah dan valuta
asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang
diterima oleh BUK untuk memperoleh sumber
pendanaan.
10. Rasio Intermediasi Makroprudensial Syariah yang
selanjutnya disebut RIM Syariah adalah rasio hasil
perbandingan antara:
a. Pembiayaan yang diberikan dalam rupiah dan valuta
asing; dan
4
b. surat berharga syariah korporasi dalam rupiah dan
valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu,
yang dimiliki BUS atau UUS,
terhadap:
a. DPK BUS atau DPK UUS dalam bentuk dana
simpanan wadiah dan dana investasi tidak terikat
dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana
antarbank;
b. surat berharga syariah dalam rupiah dan valuta asing
yang memenuhi persyaratan tertentu, yang
diterbitkan oleh BUS atau UUS untuk memperoleh
sumber pendanaan; dan
c. pembiayaan yang diterima dalam rupiah dan valuta
asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang
diterima oleh BUS atau UUS untuk memperoleh
sumber pendanaan.
11. Giro atas pemenuhan RIM yang selanjutnya disebut Giro
RIM adalah saldo giro dalam Rekening Giro Rupiah di
Bank Indonesia yang wajib dipelihara oleh BUK untuk
pemenuhan RIM.
12. Giro atas pemenuhan RIM Syariah yang selanjutnya
disebut Giro RIM Syariah adalah saldo giro dalam
Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia yang wajib
dipelihara oleh BUS atau UUS untuk pemenuhan RIM
Syariah.
13. Target RIM adalah kisaran RIM yang dibatasi oleh batas
bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia untuk perhitungan Giro RIM.
14. Target RIM Syariah adalah kisaran RIM Syariah yang
dibatasi oleh batas bawah dan batas atas yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia untuk perhitungan Giro RIM Syariah.
15. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang
selanjutnya disebut KPMM adalah rasio hasil
perbandingan antara modal terhadap aset tertimbang
menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
OJK mengenai kewajiban penyediaan modal minimum
bank umum konvensional dan bank umum syariah.
5
16. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia untuk perhitungan RIM atau RIM Syariah.
17. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter pengali
yang digunakan dalam pemenuhan:
a. Giro RIM bagi BUK yang memiliki RIM kurang dari
batas bawah Target RIM; atau
b. Giro RIM Syariah bagi BUS dan UUS yang memiliki
RIM Syariah kurang dari batas bawah Target RIM
Syariah.
18. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali yang
digunakan dalam pemenuhan:
a. Giro RIM bagi BUK yang memiliki RIM lebih dari batas
atas Target RIM; atau
b. Giro RIM Syariah bagi BUS dan UUS yang memiliki
RIM Syariah lebih dari batas atas Target RIM Syariah.
19. Penyangga Likuiditas Makroprudensial yang selanjutnya
disingkat PLM adalah cadangan likuiditas minimum dalam
rupiah yang wajib dipelihara oleh BUK dalam bentuk surat
berharga yang memenuhi persyaratan tertentu, yang
besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar
persentase tertentu dari DPK BUK dalam rupiah.
20. Penyangga Likuiditas Makroprudensial Syariah yang
selanjutnya disebut PLM Syariah adalah cadangan
likuiditas minimum dalam rupiah yang wajib dipelihara
oleh BUS dalam bentuk surat berharga syariah yang
memenuhi persyaratan tertentu, yang besarnya
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase
tertentu dari DPK BUS dalam rupiah.
21. Indonesia Overnight Index Average yang selanjutnya
disebut IndONIA adalah Indonesia Overnight Index Average
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai Indonesia Overnight Index Average dan Jakarta
Interbank Offered Rate.
22. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI
adalah Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai operasi
moneter.
6
23. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai operasi moneter.
24. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah Sertifikat Deposito Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai operasi moneter.
25. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SukBI
adalah Sukuk Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai operasi
moneter, dalam mata uang rupiah.
26. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
adalah surat berharga yang terdiri atas surat utang negara
dalam mata uang rupiah dan surat berharga syariah
negara dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia.
27. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai surat utang negara, dalam
mata uang rupiah.
28. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat
SBSN adalah surat berharga syariah negara atau sukuk
negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai surat berharga syariah negara, dalam mata
uang rupiah.
29. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang
selanjutnya disebut PUAS adalah pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah.
30. Sertifikat Investasi Mudarabah Antarbank yang
selanjutnya disingkat SIMA adalah sertifikat investasi
mudarabah antarbank sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai sertifikat investasi
mudarabah antarbank.
7
31. Tingkat Indikasi Imbalan SIMA adalah rata-rata
tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA dalam rupiah
yang terjadi di PUAS pada pasar perdana.
32. Laporan Bulanan Bank Umum yang selanjutnya disebut
LBU adalah laporan bulanan bank umum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
laporan bulanan bank umum.
33. Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang
selanjutnya disebut LSMK BUS UUS adalah laporan
stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank
umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan
bank umum syariah dan unit usaha syariah.
34. Laporan Berkala Bank Umum yang selanjutnya disingkat
LBBU adalah laporan berkala bank umum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
laporan berkala bank umum.
35. Laporan Berkala Bank Umum bagi BUS dan UUS yang
selanjutnya disebut LBBUS adalah laporan berkala bank
umum bagi BUS dan UUS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank
umum.
36. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disingkat
LHBU adalah laporan harian bank umum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
laporan harian bank umum.
37. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah Bank
Indonesia-Scripless Securities Settlement System
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga
melalui BI-SSSS.
8
BAB II
KEWAJIBAN GIRO RIM DAN GIRO RIM SYARIAH
Pasal 2
(1) BUK wajib memenuhi Giro RIM yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) BUS dan UUS wajib memenuhi Giro RIM Syariah yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek
tetap wajib memenuhi Giro RIM.
(4) BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek
syariah tetap wajib memenuhi Giro RIM Syariah.
Bagian Kesatu
Tata Cara Pemenuhan Kewajiban Giro RIM
Paragraf 1
Besaran dan Parameter Giro RIM
Pasal 3
(1) Giro RIM ditetapkan sebesar hasil perkalian antara
Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif
Atas, selisih antara RIM dan Target RIM, serta DPK BUK
dalam rupiah.
(2) Dalam hal RIM lebih besar dari batas atas Target RIM,
pemenuhan Giro RIM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memperhatikan KPMM BUK dan KPMM Insentif.
(3) Dalam hal RIM lebih kecil dari batas bawah Target RIM,
pemenuhan Giro RIM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memperhatikan KPMM BUK, KPMM Insentif, dan rasio
kredit bermasalah BUK secara bruto.
(4) Penghitungan rasio kredit bermasalah BUK secara bruto
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan
persentase dari hasil penjumlahan kredit kepada pihak
ketiga bukan bank dengan kualitas kurang lancar,
diragukan, dan macet, dibandingkan dengan total kredit
kepada pihak ketiga bukan bank.
9
(5) Giro RIM dipenuhi dengan membandingkan posisi saldo
Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia setiap akhir
hari selama 2 (dua) periode laporan terhadap Giro RIM
yang dihitung menggunakan rata-rata harian jumlah DPK
BUK dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya.
(6) Pemenuhan Giro RIM didasarkan pada DPK BUK dalam
rupiah dengan periode laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) diatur sebagai berikut:
a. Giro RIM untuk tanggal 1 sampai dengan tanggal 15
menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUK
dalam rupiah dalam periode laporan sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan
sebelumnya; dan
b. Giro RIM untuk tanggal 16 sampai dengan tanggal
akhir bulan menggunakan rata-rata harian jumlah
DPK BUK dalam rupiah dalam periode laporan sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode
laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir
bulan sebelumnya.
Pasal 4
Besaran dan parameter yang digunakan dalam pemenuhan
Giro RIM ditetapkan sebagai berikut:
a. batas bawah Target RIM sebesar 84% (delapan puluh
empat persen);
b. batas atas Target RIM sebesar 94% (sembilan puluh empat
persen);
c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen);
d. Parameter Disinsentif Bawah ditetapkan sebagai berikut:
1. sebesar 0 (nol), jika Bank memiliki:
a)
rasio kredit bermasalah secara bruto lebih besar
dari atau sama dengan 5% (lima persen); atau
b) KPMM lebih kecil dari atau sama dengan KPMM
Insentif;
10
2. sebesar 0,1 (nol koma satu), jika Bank memiliki:
a)
rasio kredit bermasalah secara bruto lebih kecil
dari 5% (lima persen); dan
b) KPMM lebih besar dari KPMM Insentif dan lebih
kecil dari atau sama dengan 19% (sembilan belas
persen); dan
3. sebesar 0,15 (nol koma satu lima), jika Bank memiliki:
a)
rasio kredit bermasalah secara bruto lebih kecil
dari 5% (lima persen); dan
b) KPMM lebih besar dari 19% (sembilan belas
persen); dan
e. Parameter Disinsentif Atas ditetapkan sebagai berikut:
1. sebesar 0 (nol), jika Bank memiliki KPMM lebih besar
dari atau sama dengan KPMM Insentif; atau
2. sebesar 0,2 (nol koma dua), jika Bank memiliki KPMM
lebih kecil dari KPMM Insentif.
Paragraf 2
Sumber Data dan Nilai yang Digunakan
Pasal 5
(1) Perhitungan RIM menggunakan sumber data dan nilai
sebagai berikut:
a. kredit;
b. DPK BUK;
c. surat berharga korporasi yang dimiliki BUK;
d. surat berharga yang diterbitkan oleh BUK; dan
e. pinjaman yang diterima oleh BUK,
dalam rupiah dan valuta asing.
(2) Data kredit dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a diperoleh dari pos kredit
yang diberikan kepada pihak ketiga bukan bank dalam
Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode
Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya
dalam LBBU.
(3) Data DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperoleh
11
dari pos giro, pos tabungan, dan pos simpanan berjangka
dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir
Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya dalam LBBU.
(4) Data surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam
rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c dan data surat berharga yang diterbitkan oleh
BUK dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d diperoleh dari:
a. saldo total harga perolehan surat berharga korporasi
yang dimiliki BUK dan saldo total nilai nominal surat
berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam laporan
surat berharga sebagaimana format yang tercantum
dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini, posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya yang
disampaikan BUK kepada Bank Indonesia secara
bulanan; atau
b. saldo total harga perolehan surat berharga korporasi
yang dimiliki dan saldo total nilai nominal surat
berharga yang diterbitkan dalam laporan surat
berharga BUK yang diperoleh dari laporan bulanan
bank umum atau sistem aplikasi laporan lainnya,
dalam hal Bank Indonesia telah menginformasikan
kepada BUK mengenai penghentian kewajiban
penyampaian laporan surat berharga melalui surat
dan/atau penyempurnaan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(5) Data pinjaman yang diterima oleh BUK dalam rupiah dan
valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
diatur sebagai berikut:
a. bagi BUK, diperoleh dari saldo total jumlah bulan
laporan pinjaman yang diterima dalam Formulir 32
Daftar Rincian Pinjaman yang Diterima, posisi 2 (dua)
periode laporan sebelumnya dalam LBU; dan
b. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri, diperoleh dari:
12
1. saldo total jumlah bulan laporan pinjaman yang
diterima sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
dan
2. saldo total jumlah bulan laporan yang diperoleh
dari laporan pinjaman yang diterima dari kantor
pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama
yang melakukan kegiatan operasional di luar
negeri, sebagaimana format yang tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini, posisi 2 (dua) periode laporan
sebelumnya yang disampaikan kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri kepada
Bank Indonesia secara bulanan.
(6) Saldo total jumlah bulan laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) huruf b angka 2) diperoleh dari LBU atau
sistem aplikasi laporan lainnya, dalam hal Bank Indonesia
telah menginformasikan kepada BUK mengenai
penghentian kewajiban penyampaian laporan pinjaman
yang diterima melalui surat dan/atau penyempurnaan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(7) Rincian sumber data untuk pinjaman yang diterima
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam
Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 6
(1) Untuk pemenuhan Giro RIM, data DPK BUK dalam rupiah
diperoleh dari rata-rata DPK BUK dalam rupiah untuk
seluruh kantor dari BUK yang bersangkutan di Indonesia
dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan
Valuta Asing dalam LBBU.
(2) DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga
bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan
penduduk, yang terdiri atas:
13
a.
giro;
b. tabungan;
c. simpanan berjangka/deposito; dan
d. kewajiban lainnya.
Pasal 7
(1) Untuk pemenuhan Giro RIM, penghitungan rasio kredit
bermasalah secara bruto menggunakan nilai kredit
bermasalah dan nilai total kredit dalam Formulir 11 Daftar
Rincian Kredit yang Diberikan posisi 2 (dua) periode
laporan sebelumnya dalam LBU.
(2) Bagi BUK yang memiliki UUS, penghitungan rasio kredit
bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara terpisah dengan penghitungan rasio
pembiayaan bermasalah bagi UUS.
(3) Rincian sumber data untuk penghitungan rasio kredit
bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 8
(1) Data KPMM dalam pemenuhan Giro RIM diatur sebagai
berikut:
a. KPMM yang digunakan yaitu KPMM triwulanan dari
BUK yang bersangkutan; dan
b. KPMM triwulanan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a menggunakan posisi akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember dengan rincian sebagai
berikut:
1. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan
untuk pemenuhan Giro RIM untuk bulan Juni,
Juli, dan Agustus pada tahun yang sama;
2. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan
untuk pemenuhan Giro RIM untuk bulan
September, Oktober, dan November pada tahun
yang sama;
14
3. KPMM pada posisi akhir bulan September
digunakan untuk pemenuhan Giro RIM untuk
bulan Desember pada tahun yang sama serta
bulan Januari dan Februari pada tahun
berikutnya; dan
4. KPMM pada posisi akhir bulan Desember
digunakan untuk pemenuhan Giro RIM untuk
bulan Maret, April, dan Mei pada tahun
berikutnya.
(2) KPMM BUK untuk pemenuhan Giro RIM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yaitu KPMM triwulanan hasil
olahan sistem aplikasi yang diterima Bank Indonesia dari
OJK.
(3) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan
KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan hasil
perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUK maka yang
berlaku yaitu KPMM yang diterima Bank Indonesia dari
OJK.
Paragraf 3
Kriteria dan Batas Maksimum Surat Berharga
Pasal 9
(1) Kriteria surat berharga korporasi yang dimiliki BUK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c,
yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM diatur
sebagai berikut:
a. surat berharga korporasi dalam bentuk obligasi
korporasi dan/atau sukuk korporasi;
b. surat berharga korporasi diterbitkan oleh korporasi
bukan Bank dan oleh penduduk;
c. surat berharga korporasi ditawarkan kepada publik
melalui penawaran umum;
d. surat berharga korporasi memiliki peringkat yang
diterbitkan lembaga pemeringkat dengan peringkat
paling rendah setara dengan peringkat investasi; dan
15
e. surat berharga korporasi ditatausahakan di lembaga
yang berwenang memberikan layanan jasa
penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek.
(2) Dalam hal peringkat surat berharga korporasi yang
dimiliki oleh BUK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d memiliki lebih dari satu peringkat untuk jenis
mata uang yang sama maka peringkat yang diakui yaitu
yang berasal dari lembaga pemeringkat yang memberikan
peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi.
(3) Lembaga pemeringkat dan peringkat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga pemeringkat
dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai dengan
ketentuan OJK.
(4) Bank Indonesia menetapkan batas maksimum surat
berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam rupiah dan
valuta asing yang digunakan dalam perhitungan RIM.
(5) Dalam menetapkan batas maksimum surat berharga
korporasi yang dimiliki BUK sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), Bank Indonesia mempertimbangkan paling sedikit
jumlah kredit yang diberikan BUK dan ketersediaan surat
berharga korporasi.
(6) Batas maksimum surat berharga korporasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) ditetapkan sebesar 100% (seratus
persen) dari surat berharga korporasi yang dimiliki BUK
dalam rupiah dan valuta asing.
Pasal 10
(1) Kriteria surat berharga yang diterbitkan oleh BUK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d,
yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM diatur
sebagai berikut:
a. surat berharga dalam bentuk medium term notes
(MTN), floating rate notes (FRN), dan/atau obligasi
selain obligasi subordinasi;
b. surat berharga dimiliki bukan Bank baik penduduk
dan bukan penduduk;
16
c. surat berharga ditawarkan kepada publik melalui
penawaran umum;
d. surat berharga memiliki peringkat yang diterbitkan
lembaga pemeringkat dengan peringkat paling rendah
setara dengan peringkat investasi; dan
e. surat berharga ditatausahakan di lembaga yang
berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan
dan penyelesaian transaksi efek.
(2) Dalam hal peringkat surat berharga korporasi yang
diterbitkan oleh BUK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d memiliki lebih dari satu peringkat untuk jenis
mata uang yang sama maka peringkat yang diakui yaitu
yang berasal dari lembaga pemeringkat yang memberikan
peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi.
(3) Lembaga pemeringkat dan peringkat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga pemeringkat
dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai dengan
ketentuan OJK.
Pasal 11
(1) Kriteria pinjaman yang diterima BUK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e, yang digunakan
sebagai dasar perhitungan RIM diatur sebagai berikut:
a. pinjaman yang diterima berbentuk pinjaman bilateral
dan/atau pinjaman sindikasi;
b. pinjaman yang diterima tidak berupa pinjaman
subordinasi, dana kelolaan, kewajiban sewa
pembiayaan , dan/atau giro bersaldo kredit;
c. pinjaman yang diterima tidak termasuk pinjaman
dari Bank dalam negeri;
d. pinjaman yang diterima memiliki sisa jangka waktu
paling singkat 1 (satu) tahun; dan
e. pinjaman yang diterima dilakukan berdasarkan
perjanjian.
(2) Bagi BUK yang merupakan kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri, kriteria pinjaman yang
diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
17
pinjaman yang diterima dari kantor pusat dan/atau
kantor cabang dari bank yang sama yang melakukan
kegiatan operasional di luar negeri.
(3) Pinjaman yang diterima dari kantor pusat dan/atau
kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan
operasional di luar negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak berupa pinjaman yang diterima sebagai
komponen modal.
Paragraf 4
Perhitungan RIM dan Pemenuhan Giro RIM
Pasal 12
(1) RIM merupakan persentase yang dihitung dari
perbandingan antara penjumlahan kredit dalam rupiah
dan valuta asing dan surat berharga korporasi yang
dimiliki BUK dalam rupiah dan valuta asing terhadap
penjumlahan DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing,
surat berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam rupiah
dan valuta asing, dan pinjaman yang diterima oleh BUK
dalam rupiah dan valuta asing.
(2) Dalam hal RIM berada dalam kisaran Target RIM maka
Giro RIM ditetapkan sebesar 0% (nol persen) dari DPK BUK
dalam rupiah.
(3) Dalam hal RIM tidak berada dalam kisaran Target RIM
maka Giro RIM ditetapkan sebagai berikut:
a. dalam hal RIM lebih kecil dari batas bawah Target RIM
maka Giro RIM ditetapkan sebesar hasil perkalian
antara Parameter Disinsentif Bawah, selisih antara
batas bawah Target RIM dan RIM, serta DPK BUK
dalam rupiah; atau
b. dalam hal RIM lebih besar dari batas atas Target RIM
maka Giro RIM ditetapkan sebesar hasil perkalian
antara Parameter Disinsentif Atas, selisih antara RIM
dan batas atas Target RIM, serta DPK BUK dalam
rupiah.
18
(4) Contoh pemenuhan Giro RIM tercantum dalam Lampiran
V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Kedua
Tata Cara Pemenuhan Kewajiban Giro RIM Syariah
Paragraf 1
Besaran dan Parameter Giro RIM Syariah
Pasal 13
(1) Giro RIM Syariah ditetapkan sebesar hasil perkalian
antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter
Disinsentif Atas, selisih antara RIM Syariah dan Target RIM
Syariah, serta DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS
dalam rupiah.
(2) Dalam hal RIM Syariah lebih besar dari batas atas Target
RIM Syariah, pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memperhatikan KPMM BUS atau
KPMM BUK yang menjadi induk UUS, dan KPMM Insentif.
(3) Dalam hal RIM Syariah lebih kecil dari batas bawah Target
RIM Syariah, pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memperhatikan KPMM BUS atau
KPMM BUK yang menjadi induk UUS, KPMM Insentif, dan
rasio Pembiayaan bermasalah BUS secara bruto atau rasio
Pembiayaan bermasalah UUS secara bruto.
(4) Penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah BUS secara
bruto atau rasio Pembiayaan bermasalah UUS secara
bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan
persentase dari hasil penjumlahan Pembiayaan kepada
pihak ketiga bukan bank dengan kualitas kurang lancar,
diragukan, dan macet, dibandingkan dengan total
Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank.
(5) Giro RIM Syariah dipenuhi dengan membandingkan posisi
saldo Rekening Giro Rupiah BUS atau saldo Rekening Giro
Rupiah UUS di Bank Indonesia setiap akhir hari selama 2
(dua) periode laporan terhadap Giro RIM Syariah yang
19
dihitung menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS
dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah selama 2 (dua)
periode laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya.
(6) Pemenuhan Giro RIM Syariah didasarkan pada DPK BUS
dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah dengan periode
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
sebagai berikut:
a. Giro RIM Syariah untuk tanggal 1 sampai dengan
tanggal 15 menggunakan rata-rata harian jumlah DPK
BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah,
dalam periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai
dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan
b. Giro RIM Syariah untuk tanggal 16 sampai dengan
tanggal akhir bulan menggunakan rata-rata harian
jumlah DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam
rupiah, dalam periode laporan sejak tanggal 16
sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
sebelumnya.
Pasal 14
Besaran dan parameter yang digunakan dalam pemenuhan
Giro RIM Syariah ditetapkan sebagai berikut:
a. batas bawah Target RIM Syariah sebesar 84% (delapan
puluh empat persen);
b. batas atas Target RIM Syariah sebesar 94% (sembilan
puluh empat persen);
c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen);
d. Parameter Disinsentif Bawah ditetapkan sebagai berikut:
1. sebesar 0 (nol), jika Bank memiliki:
a)
rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto lebih
besar dari atau sama dengan 5% (lima persen);
atau
b) KPMM lebih kecil dari atau sama dengan KPMM
Insentif;
20
2. sebesar 0,1 (nol koma satu), jika Bank memiliki:
a)
rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto lebih
kecil dari 5% (lima persen); dan
b) KPMM lebih besar dari KPMM Insentif dan lebih
kecil dari atau sama dengan 19% (sembilan belas
persen); dan
3. sebesar 0,15 (nol koma satu lima), jika Bank memiliki:
a)
rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto lebih
kecil dari 5% (lima persen); dan
b) KPMM lebih besar dari 19% (sembilan belas
persen); dan
e. Parameter Disinsentif Atas ditetapkan sebagai berikut:
1. sebesar 0 (nol), jika Bank memiliki KPMM lebih besar
dari atau sama dengan KPMM Insentif; atau
2. sebesar 0,2 (nol koma dua), jika Bank memiliki KPMM
lebih kecil dari KPMM Insentif.
Paragraf 2
Sumber Data dan Nilai yang Digunakan
Pasal 15
(1) Perhitungan RIM Syariah menggunakan sumber data dan
nilai sebagai berikut:
a. Pembiayaan;
b. DPK BUS atau DPK UUS;
c. surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS
atau UUS;
d. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS
atau UUS; dan
e. pembiayaan yang diterima oleh BUS atau UUS,
dalam rupiah dan valuta asing.
(2) Data Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperoleh
dari pos piutang, pos pembiayaan, dan pos ijarah dalam
Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode
Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya
dalam LBBUS.
21
(3) Data DPK BUS atau DPK UUS dalam rupiah dan valuta
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
diperoleh dari pos dana simpanan wadiah dan pos dana
investasi tidak terikat dalam Formulir 2 Neraca Mingguan
Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat)
periode laporan sebelumnya dalam LBBUS.
(4) Data surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS
atau surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS
dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dan data surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh BUS atau surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh UUS dalam rupiah dan valuta asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diperoleh
dari:
a. saldo total harga perolehan surat berharga syariah
korporasi yang dimiliki BUS atau surat berharga
syariah korporasi yang dimiliki UUS dan saldo total
nilai nominal surat berharga syariah yang diterbitkan
oleh BUS atau surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh UUS dalam laporan surat berharga
sebagaimana format yang tercantum dalam Lampiran
I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya yang
disampaikan BUS atau UUS kepada Bank Indonesia
secara bulanan; atau
b. saldo total harga perolehan surat berharga syariah
korporasi yang dimiliki dan saldo total nilai nominal
surat berharga syariah yang diterbitkan dalam
laporan surat berharga BUS atau UUS yang diperoleh
dari laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan
atau sistem aplikasi laporan lainnya, dalam hal Bank
Indonesia telah menginformasikan kepada BUS dan
UUS mengenai penghentian kewajiban penyampaian
laporan surat berharga melalui surat dan/atau
penyempurnaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini.
22
(5) Data pembiayaan yang diterima oleh BUS atau UUS dalam
rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf e diperoleh dari:
a. bagi BUS atau UUS, diperoleh dari saldo total jumlah
bulan laporan pembiayaan yang diterima dalam
Formulir 36 Daftar Rincian Pembiayaan Diterima
posisi 2 (dua) periode sebelumnya dalam LSMK BUS
UUS; dan
b. bagi UUS dari kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri, diperoleh dari:
1. saldo total jumlah bulan laporan pembiayaan
yang diterima sebagaimana dimaksud dalam
huruf a; dan
2. saldo total jumlah bulan laporan yang diperoleh
dari laporan pembiayaan yang diterima dari
kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang
sama yang melakukan kegiatan operasional di
luar negeri, untuk data pembiayaan yang diterima
bagi UUS dari kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri, sebagaimana format
yang tercantum dalam Lampiran II posisi 2 (dua)
periode laporan sebelumnya yang disampaikan
UUS dari kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri kepada Bank
Indonesia secara bulanan.
(6) Saldo total jumlah bulan laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) huruf b angka 2) diperoleh dari LSMK BUS
UUS atau sistem aplikasi laporan lainnya, dalam hal Bank
Indonesia telah menginformasikan kepada UUS dari
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
mengenai penghentian kewajiban penyampaian laporan
pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau
kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan
operasional di luar negeri melalui surat dan/atau
penyempurnaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
23
(7) Rincian sumber data untuk pembiayaan yang diterima
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam
Lampiran III.
Pasal 16
(1) Untuk pemenuhan Giro RIM Syariah, data DPK BUS dalam
rupiah atau data DPK UUS dalam rupiah diperoleh dari
rata-rata DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam
rupiah untuk seluruh kantor dari BUS dan UUS yang
bersangkutan di Indonesia dalam Formulir 1 Laporan
Dana Pihak Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam LBBUS.
(2) DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban
dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik
kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri
atas:
a. dana simpanan wadiah;
b. dana investasi tidak terikat; dan
c. kewajiban lainnya.
Pasal 17
(1) Untuk pemenuhan Giro RIM Syariah, penghitungan rasio
Pembiayaan bermasalah secara bruto menggunakan nilai
Pembiayaan bermasalah dan nilai total Pembiayaan
diperoleh dari LSMK BUS UUS dalam:
a. Formulir 10 Rincian Piutang Murabahah;
b. Formulir 11 Rincian Piutang Istishna’;
c. Formulir 12 Rincian Piutang Qardh;
d. Formulir 13 Rincian Pembiayaan Bagi Hasil; dan
e. Formulir 14 Rincian Pembiayaan Sewa,
posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya.
(2) Rincian sumber data untuk penghitungan rasio
Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tercantum dalam Lampiran IV.
24
Pasal 18
(1) Data KPMM dalam pemenuhan Giro RIM Syariah diatur
sebagai berikut:
a. KPMM yang digunakan yaitu KPMM triwulanan dari
BUS atau KPMM triwulanan dari BUK yang menjadi
induk UUS yang bersangkutan; dan
b. KPMM triwulanan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a menggunakan posisi akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember dengan rincian sebagai
berikut:
1. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan
untuk pemenuhan Giro RIM Syariah untuk
bulan Juni, Juli, dan Agustus pada tahun yang
sama;
2. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan
untuk pemenuhan Giro RIM Syariah untuk
bulan September, Oktober, dan November pada
tahun yang sama;
3. KPMM pada posisi akhir bulan September
digunakan untuk pemenuhan Giro RIM Syariah
untuk bulan Desember pada tahun yang sama
serta bulan Januari dan Februari pada tahun
berikutnya; dan
4. KPMM pada posisi akhir bulan Desember
digunakan untuk pemenuhan Giro RIM Syariah
untuk bulan Maret, April, dan Mei pada tahun
berikutnya.
(2) KPMM BUS atau KPMM BUK yang menjadi induk UUS
untuk pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yaitu KPMM triwulanan hasil
olahan sistem aplikasi yang diterima Bank Indonesia dari
OJK.
(3) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan
KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan hasil
perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUS atau BUK
25
yang menjadi induk UUS maka yang berlaku yaitu KPMM
yang diterima Bank Indonesia dari OJK.
Paragraf 3
Kriteria dan Batas Maksimum Surat Berharga Syariah
Pasal 19
(1) Kriteria surat berharga syariah korporasi yang dimiliki
BUS atau surat berharga syariah korporasi yang dimiliki
UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf
c, yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM Syariah
diatur sebagai berikut:
a. surat berharga syariah korporasi dalam bentuk sukuk
korporasi;
b. surat berharga syariah korporasi diterbitkan oleh
korporasi bukan Bank dan oleh penduduk;
c. surat berharga syariah korporasi ditawarkan kepada
publik melalui penawaran umum;
d. surat berharga syariah korporasi memiliki peringkat
yang diterbitkan lembaga pemeringkat dengan
peringkat paling rendah setara dengan peringkat
investasi; dan
e. surat berharga syariah korporasi ditatausahakan di
lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa
penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek.
(2) Dalam hal peringkat surat berharga syariah korporasi yang
dimiliki oleh BUS atau UUS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d memiliki lebih dari satu peringkat untuk
jenis mata uang yang sama maka peringkat yang diakui
yaitu yang berasal dari lembaga pemeringkat yang
memberikan peringkat paling rendah setara dengan
peringkat investasi.
(3) Lembaga pemeringkat dan peringkat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga pemeringkat
dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai dengan
ketentuan OJK.
26
(4) Bank Indonesia menetapkan batas maksimum surat
berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dalam
rupiah dan valuta asing atau surat berharga syariah
korporasi yang dimiliki UUS dalam rupiah dan valuta asing
yang digunakan dalam perhitungan RIM Syariah.
(5) Dalam menetapkan batas maksimum surat berharga
syariah korporasi yang dimiliki BUS atau UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank Indonesia
mempertimbangkan paling sedikit jumlah pembiayaan
yang diberikan BUS atau UUS dan ketersediaan surat
berharga syariah korporasi.
(6) Batas maksimum surat berharga syariah korporasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan sebesar
100% (seratus persen) dari surat berharga syariah
korporasi yang dimiliki BUS dalam rupiah dan valuta asing
atau surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS
dalam rupiah dan valuta asing.
Pasal 20
(1) Kriteria surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS
dalam rupiah dan valuta asing atau surat berharga syariah
yang diterbitkan oleh UUS dalam rupiah dan valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf d,
yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM Syariah
diatur berikut:
a. surat berharga syariah dalam bentuk medium term
notes (MTN) syariah dan/atau sukuk selain sukuk
subordinasi;
b. surat berharga syariah dimiliki bukan Bank baik
penduduk dan bukan penduduk;
c. surat berharga syariah ditawarkan kepada publik
melalui penawaran umum ;
d. surat berharga syariah memiliki peringkat yang
diterbitkan lembaga pemeringkat dengan peringkat
paling rendah setara dengan peringkat investasi; dan
27
e. surat berharga syariah ditatausahakan di lembaga
yang berwenang memberikan layanan jasa
penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek.
(2) Dalam hal peringkat surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh BUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d memiliki lebih dari satu peringkat untuk jenis
mata uang yang sama maka peringkat yang diakui yaitu
yang berasal dari lembaga pemeringkat yang memberikan
peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi.
(3) Lembaga pemeringkat dan peringkat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga pemeringkat
dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai dengan
ketentuan OJK.
Pasal 21
(1) Kriteria pembiayaan yang diterima oleh BUS atau UUS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf e,
yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM Syariah
diatur sebagai berikut:
a. pembiayaan yang diterima berbentuk pembiayaan
bilateral dan/atau pembiayaan sindikasi;
b. pembiayaan yang diterima tidak berupa pembiayaan
subordinasi dan/atau dana kelolaan;
c. pembiayaan yang diterima
pembiayaan dari Bank dalam negeri;
tidak termasuk
d. pembiayaan yang diterima memiliki sisa jangka
waktu paling singkat 1 (satu) tahun; dan
e. pembiayaan yang diterima dilakukan berdasarkan
perjanjian.
(2) Bagi UUS dari kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri, kriteria pembiayaan yang
diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau
kantor cabang dari bank yang sama yang melakukan
kegiatan operasional di luar negeri.
(3) Pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau
kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan
28
operasional di luar negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak berupa pembiayaan yang diterima sebagai
komponen modal.
Paragraf 4
Perhitungan RIM Syariah dan Pemenuhan Giro RIM Syariah
Pasal 22
(1) RIM Syariah bagi BUS dan UUS merupakan persentase
yang dihitung dari:
a. bagi BUS, perbandingan antara penjumlahan
Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing dan surat
berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dalam
rupiah dan valuta asing terhadap penjumlahan DPK
BUS dalam rupiah dan valuta asing, surat berharga
syariah yang diterbitkan oleh BUS dalam rupiah dan
valuta asing, dan pembiayaan yang diterima oleh BUS
dalam rupiah dan valuta asing; dan
b. bagi UUS, perbandingan antara penjumlahan
Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing dan surat
berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS dalam
rupiah dan valuta asing terhadap penjumlahan DPK
UUS dalam rupiah dan valuta asing, surat berharga
syariah yang diterbitkan oleh UUS dalam rupiah dan
valuta asing, dan pembiayaan yang diterima oleh UUS
dalam rupiah dan valuta asing.
(2) Dalam hal RIM Syariah berada dalam kisaran Target RIM
Syariah maka Giro RIM Syariah ditetapkan sebesar 0% (nol
persen) dari DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam
rupiah.
(3) Dalam hal RIM Syariah tidak berada dalam kisaran Target
RIM Syariah maka Giro RIM Syariah ditetapkan sebagai
berikut:
a. dalam hal RIM Syariah lebih kecil dari batas bawah
Target RIM Syariah maka Giro RIM Syariah ditetapkan
sebesar hasil perkalian antara Parameter Disinsentif
Bawah, selisih antara batas bawah Target RIM Syariah
29
dan RIM Syariah, serta DPK BUS dalam rupiah atau
DPK UUS dalam rupiah; atau
b. dalam hal RIM Syariah lebih besar dari batas atas
Target RIM Syariah maka Giro RIM Syariah ditetapkan
sebesar hasil perkalian antara Parameter Disinsentif
Atas, selisih antara RIM Syariah dan batas atas Target
RIM Syariah, serta DPK BUS dalam rupiah atau DPK
UUS dalam rupiah.
(4) Contoh pemenuhan Giro RIM Syariah tercantum dalam
Lampiran V.
Bagian Ketiga
Pemberian Kelonggaran atas Pemenuhan Giro RIM atau Giro
RIM Syariah
Pasal 23
(1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas
pemenuhan ketentuan Giro RIM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 atau Giro RIM Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 terhadap:
a. BUK yang sedang dikenakan pembatasan kegiatan
usaha oleh OJK terkait dengan penyaluran kredit dan
penghimpunan dana; dan
b. BUS atau UUS yang sedang dikenakan pembatasan
kegiatan usaha oleh OJK terkait dengan penyaluran
Pembiayaan dan penghimpunan dana.
(2) Pemberian kelonggaran atas pemenuhan ketentuan Giro
RIM atau Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa kelonggaran atas perubahan Target RIM
atau Target RIM Syariah.
(3) Pemberian kelonggaran atas pemenuhan ketentuan Giro
RIM atau Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan atas permintaan Bank secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
(4) Penyampaian permintaan pemberian kelonggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
bersamaan dengan permintaan rekomendasi kepada OJK.
30
(5) Penyampaian permintaan pemberian kelonggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada
Bank Indonesia dengan disertai dokumen pendukung
berupa:
a. fotokopi surat atau keputusan pembatasan kegiatan
usaha oleh OJK terkait dengan penyaluran kredit dan
penghimpunan dana bagi BUK atau penyaluran
Pembiayaan dan penghimpunan dana bagi BUS dan
UUS; dan
b. fotokopi surat permohonan rekomendasi kepada OJK.
(6) Bank menyampaikan kepada Bank Indonesia atas hasil
rekomendasi OJK mengenai pemberian kelonggaran atas
perubahan Target RIM atau Target RIM Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(7) Persetujuan atau penolakan atas permintaan kelonggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan setelah
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat
(6) diterima oleh Bank Indonesia.
(8) Permintaan kelonggaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) disampaikan Bank kepada Bank Indonesia dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada
Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H.
Thamrin No. 2, Jakarta 10350; atau
b. bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah
kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada
Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H.
Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan tembusan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat.
Bagian Keempat
Tata Cara Penyampaian Laporan Surat Berharga
Pasal 24
(1) BUK wajib menyampaikan laporan surat berharga
korporasi yang dimiliki BUK yang memenuhi kriteria
31
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan surat berharga
yang diterbitkan oleh BUK yang memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 kepada Bank
Indonesia setiap bulan.
(2) BUS dan UUS wajib menyampaikan laporan surat
berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dan surat
berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS yang
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
serta surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS
dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS
yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 kepada Bank Indonesia setiap bulan.
(3) Penyampaian laporan surat berharga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menggunakan format
laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I.
(4) Bank tetap diwajibkan menyampaikan laporan surat
berharga, dalam hal:
a. Bank tidak memiliki surat berharga korporasi atau
memiliki surat berharga korporasi namun tidak
memenuhi kriteria; atau
b. Bank tidak menerbitkan surat berharga atau
menerbitkan surat berharga namun tidak memenuhi
kriteria,
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I dengan isi laporan nihil.
Pasal 25
(1) BUK yang merupakan kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri wajib menyampaikan laporan
pinjaman yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor
cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan
operasional di luar negeri yang memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 kepada Bank
Indonesia setiap bulan.
(2) UUS dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri wajib menyampaikan laporan pembiayaan yang
32
diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank
yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar
negeri yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 kepada Bank Indonesia setiap bulan.
(3) Penyampaian laporan pinjaman
yang diterima
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan laporan
pembiayaan yang diterima sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.
(4) Kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), tetap berlaku bagi BUK yang
merupakan kantor cabang dari bank yang berkedudukan
di luar negeri dan UUS dari kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri yang:
a. tidak memperoleh pinjaman yang diterima atau
pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau
kantor cabang bank yang sama yang melakukan
kegiatan operasional di luar negeri; atau
b. memperoleh pinjaman yang diterima atau pembiayaan
yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor
cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan
operasional di luar negeri namun tidak memenuhi
kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan
21,
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II dengan isi laporan nihil.
Pasal 26
(1) Laporan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24, laporan pinjaman yang diterima sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), dan laporan
pembiayaan yang diterima sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (2) wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah
berakhirnya bulan laporan.
(2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
apabila menyampaikan laporan setelah batas waktu
33
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), sampai dengan 5 (lima) hari kerja berikutnya.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila
belum menyampaikan laporan sampai dengan berakhirnya
batas waktu keterlambatan penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Bank dapat melakukan koreksi atas laporan yang telah
disampaikan kepada Bank Indonesia.
Pasal 27
(1) Laporan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24, laporan pinjaman yang diterima sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan laporan pembiayaan
yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(2) dan koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (4) disampaikan melalui surat elektronik
kepada Bank Indonesia yaitu:
a. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q.
Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM,
Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350; atau
b. bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah
kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q.
Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM,
Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat,
dengan alamat surat elektronik sebagaimana tercantum
dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Bank harus menyampaikan secara tertulis mengenai nama
petugas dan penanggung jawab yang ditunjuk untuk
menyusun dan menyampaikan laporan surat berharga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, laporan pinjaman
yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
34
(1) dan laporan pembiayaan yang diterima sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) serta alamat surat
elektronik pengirim laporan termasuk jika terdapat
perubahannya kepada Bank Indonesia dengan alamat:
a. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q.
Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM,
Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350; atau
b. bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah
kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q.
Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM,
Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat.
(3) Dalam hal penyampaian laporan melalui surat elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dilakukan, Bank menyampaikan laporan dalam bentuk
salinan lunak (soft copy) dan salinan keras (hard copy)
kepada Bank Indonesia dengan alamat:
a. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q.
Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM,
Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350; atau
b. bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah
kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q.
Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM,
Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat.
(4) Batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26.
35
(5) Dalam hal Bank Indonesia memperoleh data surat
berharga Bank, data pinjaman yang diterima Bank,
dan/atau data pembiayaan yang diterima Bank dari LBU,
LSMK BUS UUS, atau sistem aplikasi laporan lainnya,
Bank Indonesia dapat mengubah tata cara penyampaian
laporan dan menghentikan kewajiban penyampaian
laporan melalui surat elektronik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(6) Perubahan tata cara penyampaian laporan dan
penghentian kewajiban penyampaian laporan melalui
surat elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
diinformasikan oleh Bank Indonesia kepada Bank melalui
surat.
Bagian Kelima
Evaluasi Kebijakan RIM dan RIM Syariah
Pasal 28
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi kebijakan RIM dan
RIM Syariah secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali
dalam setiap 6 (enam) bulan.
(2) Evaluasi kebijakan RIM dan RIM Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap sumber data
untuk pemenuhan Giro RIM dan Giro RIM Syariah,
besaran dan parameter RIM dan RIM Syariah, kriteria
surat berharga, batas maksimum surat berharga korporasi
yang dimiliki Bank, waktu pemberlakuan RIM dan RIM
Syariah, dan/atau hal lain terkait kebijakan RIM dan RIM
Syariah.
(3) Hasil evaluasi kebijakan RIM dan RIM Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penetapan:
a. tidak terdapat perubahan kebijakan; atau
b. terdapat perubahan kebijakan.
(4) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) berupa penetapan tidak terdapat perubahan kebijakan
maka Bank Indonesia mengeluarkan pengumuman di
laman (situs web) Bank Indonesia.
36
(5) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) berupa penetapan terdapat perubahan kebijakan maka
Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur mengenai perubahan yang dilakukan.
BAB III
TATA CARA PEMENUHAN PLM DAN PLM SYARIAH
Pasal 29
(1) BUK wajib memenuhi PLM yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) BUS wajib memenuhi PLM Syariah yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(3) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek
tetap wajib memenuhi PLM.
(4) BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek
syariah tetap wajib memenuhi PLM Syariah.
Bagian Kesatu
Tata Cara Pemenuhan PLM
Paragraf 1
Besaran Persentase, Jenis, Sumber Data, Nilai Surat Berharga
yang Digunakan, dan Periode Pemenuhan
Pasal 30
(1) PLM ditetapkan sebesar 4% (empat persen) dari DPK BUK
dalam rupiah.
(2) Bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah DPK BUK dalam
rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
DPK UUS dalam rupiah.
(3) PLM dipenuhi dalam bentuk:
a. surat berharga dalam rupiah yang dimiliki BUK dan
dapat digunakan dalam operasi moneter; dan
b. surat berharga syariah dalam rupiah yang dimiliki
UUS dan dapat digunakan dalam operasi moneter
syariah, bagi BUK yang memiliki UUS.
37
(4) Contoh pemenuhan PLM tercantum dalam Lampiran V.
Pasal 31
(1) Data DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan PLM
diperoleh dari rata-rata DPK BUK dalam rupiah untuk
seluruh kantor BUK yang bersangkutan di Indonesia
dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan
Valuta Asing dalam LBBU.
(2) Bagi BUK yang memiliki UUS, data DPK dalam rupiah
untuk pemenuhan PLM diatur sebagai berikut:
a. diperoleh dari rata-rata DPK BUK dalam rupiah untuk
seluruh kantor dari BUK yang bersangkutan di
Indonesia dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak
Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam LBBU; dan
b. diperoleh dari rata-rata DPK UUS dalam rupiah untuk
seluruh kantor dari UUS yang bersangkutan di
Indonesia dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak
Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam LBBUS.
(3) DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan PLM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban
dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik
kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri
atas:
a.
giro;
b. tabungan;
c. simpanan berjangka/deposito; dan
d. kewajiban lainnya.
(4) Bagi BUK yang memiliki UUS, DPK UUS dalam rupiah
untuk pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak
ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan
penduduk, yang terdiri atas:
a. dana simpanan wadiah;
b. dana investasi tidak terikat; dan
c. kewajiban lainnya.
38
Pasal 32
(1) Jenis surat berharga yang diperhitungkan dalam
pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (3) yaitu:
a. SBI untuk seluruh jangka waktu;
b. SBIS untuk seluruh jangka waktu;
c. SDBI untuk seluruh jangka waktu;
d. SukBI untuk seluruh jangka waktu; dan/atau
e. SBN yang terdiri atas:
1. SUN berupa obligasi negara dan/atau surat
perbendaharaan negara, untuk seluruh jenis
dan jangka waktu, tidak termasuk SUN yang
tidak dapat diperdagangkan; dan/atau
2. SBSN berupa SBSN jangka panjang dan/atau
SBSN jangka pendek untuk seluruh jenis dan
jangka waktu, tidak termasuk SBSN yang tidak
dapat diperdagangkan.
(2) SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang dapat
diperhitungkan dalam pemenuhan PLM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yaitu SBI, SBIS, SDBI, SukBI,
dan/atau SBN yang dimiliki BUK yang tercatat pada
rekening surat berharga BUK di BI-SSSS, dalam:
a. Depository Account (Rekening DEPO) dengan
subrekening available for sale (AVAI), not available for
sale (NAVL), dan available waiting for reselling (AWAS);
b. intraday liquidity facility account (Rekening ILF)
dengan subrekening AVAI; dan
c. failure to settle account (Rekening FtS) dengan
subrekening AVAI,
namun tidak termasuk SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau
SBN yang dimiliki BUK yang tercatat pada rekening surat
berharga sub-registry.
(3) Penetapan jumlah SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN
yang dimiliki BUK dilakukan berdasarkan data yang
tercatat pada rekening surat berharga BUK di BI-SSSS
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada posisi akhir
hari yaitu pada saat cut off time BI-SSSS.
39
(4) Nilai SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang
digunakan dalam perhitungan PLM menggunakan harga
yang tercantum di BI-SSSS.
(5) Bagi BUK yang memiliki UUS, SBI, SBIS, SDBI, SukBI,
dan/atau SBN yang dapat diperhitungkan dalam
pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) termasuk SBIS, SukBI, dan/atau SBSN milik UUS
yang tercatat pada rekening surat berharga UUS di BI-
SSSS, namun tidak termasuk SBIS, SukBI, dan/atau
SBSN yang dimiliki UUS yang tercatat pada rekening surat
berharga sub-registry.
Pasal 33
(1) Pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
dihitung dengan membandingkan jumlah SBI, SBIS, SDBI,
SukBI, dan/atau SBN yang dimiliki BUK yang tercatat
pada rekening surat berharga BUK di BI-SSSS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) setiap
akhir hari selama 2 (dua) periode laporan terhadap rata-
rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama 2 (dua)
periode laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya.
(2) Bagi BUK yang memiliki UUS, pemenuhan PLM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
memperhitungkan:
a. SBIS, SukBI, dan/atau SBSN milik UUS yang tercatat
pada rekening surat berharga UUS di BI-SSSS; dan
b. rata-rata harian jumlah DPK UUS dalam rupiah.
(3) Pemenuhan PLM didasarkan pada DPK BUK dalam rupiah
dengan periode laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur sebagai berikut:
a. PLM untuk tanggal 1 sampai dengan tanggal 15
menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUK
dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan
sebelumnya; dan
40
b. PLM untuk tanggal 16 sampai dengan tanggal akhir
bulan menggunakan rata-rata harian jumlah DPK
BUK dalam rupiah selama periode laporan sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode
laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir
bulan sebelumnya.
Paragraf 2
Penggunaan Surat Berharga dalam Transaksi Repo
Pasal 34
(1) Dalam kondisi tertentu, surat berharga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dapat digunakan dalam
transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam operasi pasar
terbuka.
(2) Bank Indonesia memperhitungkan surat berharga yang
digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut:
a. hanya terhadap transaksi repo yang dilakukan setelah
kewajiban pemenuhan PLM berlaku; dan
b. bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah surat berharga
yang digunakan dalam transaksi repo termasuk surat
berharga yang digunakan dalam transaksi repo oleh
UUS dalam operasi pasar terbuka syariah.
(3) Perhitungan surat berharga yang digunakan dalam
transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Bank Indonesia melalui sistem aplikasi di
Bank Indonesia.
(4) Penggunaan surat berharga BUK dalam transaksi repo
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling
banyak 4% (empat persen) dari DPK BUK dalam rupiah.
(5) Bank Indonesia dapat mengubah besaran persentase
penggunaan surat berharga yang dapat digunakan dalam
transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
41
Bagian Kedua
Tata Cara Pemenuhan PLM Syariah
Paragraf 1
Besaran Persentase, Jenis, Sumber Data, Nilai Surat Berharga
Syariah yang Digunakan, dan Periode Pemenuhan
Pasal 35
(1) PLM Syariah ditetapkan sebesar 4% (empat persen) dari
DPK BUS dalam rupiah.
(2) PLM Syariah dipenuhi dalam bentuk surat berharga
syariah dalam rupiah yang dimiliki BUS dan dapat
digunakan dalam operasi moneter syariah.
(3) Contoh pemenuhan PLM Syariah tercantum dalam
Lampiran V.
Pasal 36
(1) Data DPK BUS dalam rupiah untuk pemenuhan PLM
Syariah diperoleh dari rata-rata DPK BUS dalam rupiah
untuk seluruh kantor BUS yang bersangkutan di
Indonesia dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga
Rupiah dan Valuta Asing dalam LBBUS.
(2) DPK BUS dalam rupiah untuk pemenuhan PLM Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban
dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik
kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri
atas:
a. dana simpanan wadiah;
b. dana investasi tidak terikat; dan
c. kewajiban lainnya.
Pasal 37
(1) Jenis surat berharga syariah yang diperhitungkan dalam
pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (2) yaitu:
a. SBIS untuk seluruh jangka waktu;
b. SukBI untuk seluruh jangka waktu; dan/atau
42
c. SBSN yang terdiri atas:
1. SBSN jangka panjang; dan/atau
2. SBSN jangka pendek,
untuk seluruh jenis dan jangka waktu, tidak termasuk
SBSN yang tidak dapat diperdagangkan.
(2) SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang dapat diperhitungkan
dalam pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yaitu SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang
dimiliki BUS yang tercatat pada rekening surat berharga
BUS di BI-SSSS yaitu dalam:
a. Rekening DEPO dengan subrekening AVAI, NAVL, dan
AWAS;
b. Rekening ILF dengan subrekening AVAI; dan
c. Rekening FtS dengan subrekening AVAI,
namun tidak termasuk SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang
dimiliki BUS yang tercatat pada rekening surat berharga
sub-registry.
(3) Penetapan jumlah SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang
dimiliki BUS dilakukan berdasarkan data yang tercatat
pada rekening surat berharga BUS di BI-SSSS
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada posisi akhir
hari yaitu pada saat cut off time BI-SSSS.
(4) Nilai SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang digunakan dalam
perhitungan PLM Syariah menggunakan harga yang
tercantum di BI-SSSS.
Pasal 38
(1) Pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 dihitung dengan membandingkan jumlah SBIS,
SukBI, dan/atau SBSN yang dimiliki BUS yang tercatat
pada rekening surat berharga BUS di BI-SSSS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) setiap
akhir hari selama 2 (dua) periode laporan terhadap rata-
rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah selama 2 (dua)
periode laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya.
43
(2) Pemenuhan PLM Syariah didasarkan pada DPK BUS
dalam rupiah dengan periode laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. PLM Syariah untuk tanggal 1 sampai dengan tanggal
15 menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS
dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan
sebelumnya; dan
b. PLM Syariah untuk tanggal 16 sampai dengan tanggal
akhir bulan menggunakan rata-rata harian jumlah
DPK BUS dalam rupiah selama periode laporan sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode
laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir
bulan sebelumnya.
Paragraf 2
Penggunaan Surat Berharga Syariah dalam Transaksi Repo
Pasal 39
(1) Dalam kondisi tertentu, surat berharga syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dapat
digunakan dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia
dalam operasi pasar terbuka syariah.
(2) Bank Indonesia hanya memperhitungkan surat berharga
syariah yang digunakan dalam transaksi repo
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap transaksi
repo yang dilakukan setelah kewajiban pemenuhan PLM
Syariah berlaku.
(3) Perhitungan surat berharga syariah yang digunakan dalam
transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Bank Indonesia melalui sistem aplikasi di
Bank Indonesia.
(4) Penggunaan surat berharga syariah dalam transaksi repo
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling
banyak 4% (empat persen) dari DPK BUS dalam rupiah.
44
(5) Bank Indonesia dapat mengubah besaran persentase
penggunaan surat berharga syariah yang dapat digunakan
dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat
(4).
Bagian Ketiga
Evaluasi Kebijakan PLM dan PLM Syariah
Pasal 40
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi kebijakan PLM dan
PLM Syariah secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali
dalam setiap 6 (enam) bulan.
(2) Evaluasi kebijakan PLM dan PLM Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap besaran
persentase PLM dan PLM Syariah, jenis surat berharga
untuk pemenuhan PLM dan PLM Syariah, sumber data
untuk pemenuhan PLM dan PLM Syariah, besaran
persentase surat berharga yang dapat digunakan dalam
transaksi repo kepada Bank Indonesia, waktu
pemberlakuan PLM dan PLM Syariah, dan/atau hal lain
terkait kebijakan PLM dan PLM Syariah.
(3) Hasil evaluasi kebijakan PLM dan PLM Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penetapan:
a. tidak terdapat perubahan kebijakan; atau
b. terdapat perubahan kebijakan.
(4) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) berupa penetapan tidak terdapat perubahan kebijakan
maka Bank Indonesia mengeluarkan pengumuman di
laman (situs web) Bank Indonesia.
(5) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) berupa penetapan terdapat perubahan kebijakan maka
Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur mengenai perubahan yang dilakukan.
45
BAB IV
TATA CARA PEMENUHAN GIRO RIM, GIRO RIM SYARIAH,
PLM, DAN PLM SYARIAH UNTUK PENGGABUNGAN ATAU
PELEBURAN BUK ATAU BUS, PERUBAHAN KEGIATAN
USAHA BUK MENJADI BUS, DAN PEMISAHAN UUS MENJADI
BUS
Bagian Kesatu
BUK yang Melakukan Penggabungan atau Peleburan
Pasal 41
(1) Pemenuhan Giro RIM bagi BUK yang melakukan
penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal
efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan,
berlaku ketentuan sebagai berikut:
1. pemenuhan Giro RIM dihitung untuk masing-
masing BUK dengan cara pemenuhan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; dan
2. data KPMM yang digunakan yaitu data KPMM
triwulanan masing-masing BUK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
1. pemenuhan Giro RIM hanya dihitung untuk BUK
hasil penggabungan atau peleburan dengan
menggunakan data gabungan BUK yang
melakukan penggabungan atau peleburan
sampai dengan data BUK hasil penggabungan
atau peleburan tersedia;
2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 meliputi data untuk perhitungan RIM
berupa kredit BUK, DPK BUK, saldo surat
berharga korporasi yang dimiliki BUK, saldo
surat berharga yang diterbitkan oleh BUK, dan
pinjaman yang diterima BUK, dalam rupiah dan
46
valuta asing, serta data untuk pemenuhan Giro
RIM berupa kredit yang digunakan dalam
perhitungan rasio kredit bermasalah, KPMM
BUK, DPK BUK dalam rupiah, dan saldo
Rekening Giro Rupiah BUK;
3. pemenuhan Giro RIM BUK hasil penggabungan
atau peleburan dilakukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12;
4. data KPMM yang digunakan untuk pemenuhan
Giro RIM diperoleh dari BUK yang melakukan
penggabungan atau peleburan berdasarkan
hasil perhitungan yang dilakukan oleh BUK atas
penggabungan data yang digunakan dalam
perhitungan KPMM masing-masing BUK
sebelum tanggal efektif pelaksanaan
penggabungan atau peleburan;
5. data KPMM yang diperoleh dari BUK
sebagaimana dimaksud dalam angka 4
digunakan sampai dengan tersedianya data
KPMM triwulanan BUK hasil penggabungan atau
peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8;
6. BUK menyampaikan hasil perhitungan KPMM
sebagaimana dimaksud dalam angka 4 kepada
Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) hari kerja
sebelum tanggal efektif pelaksanaan
penggabungan atau peleburan; dan
7. penyampaian hasil perhitungan KPMM
sebagaimana dimaksud dalam angka 6
disampaikan kepada Bank Indonesia dengan
alamat:
a) bagi BUK yang berkantor pusat di wilayah
kerja kantor pusat Bank Indonesia
ditujukan kepada Departemen Pengelolaan
dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi
Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan
47
GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta
10350; atau
b) bagi BUK yang berkantor pusat selain di
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia
ditujukan kepada Departemen Pengelolaan
dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi
Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan
GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta
10350, dengan tembusan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat;
c. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil
perhitungan KPMM yang diterima oleh Bank
Indonesia dari OJK dengan hasil perhitungan KPMM
yang dilakukan oleh BUK sebagaimana dimaksud
dalam huruf b angka 4 maka yang berlaku yaitu
KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK.
(2) Contoh pemenuhan Giro RIM bagi BUK yang melakukan
penggabungan tercantum dalam Lampiran VII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 42
(1) Pemenuhan PLM bagi BUK yang melakukan penggabungan
atau peleburan diatur sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal
efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan
maka pemenuhan PLM dihitung untuk masing-
masing BUK dengan cara pemenuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan sampai
dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah
BUK hasil penggabungan atau peleburan tersedia,
pemenuhan PLM diatur sebagai berikut:
1. pemenuhan PLM hanya dihitung untuk BUK
hasil penggabungan atau peleburan dengan
menggunakan data gabungan BUK yang
48
melakukan penggabungan atau peleburan
sampai dengan data BUK hasil penggabungan
atau peleburan tersedia;
2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 terdiri atas:
a) bagi BUK, meliputi data:
1) saldo rekening SBI, SDBI, SukBI,
dan/atau SBN BUK hasil
penggabungan atau peleburan;
2) penggabungan data DPK BUK dalam
rupiah dari BUK yang melakukan
penggabungan atau peleburan; dan
3) saldo Rekening Giro Rupiah BUK hasil
penggabungan atau peleburan; dan
b) bagi BUK yang memiliki UUS, meliputi data:
1)
saldo rekening SBI, SBIS, SDBI, SukBI,
dan/atau SBN BUK hasil
penggabungan atau peleburan;
2) penggabungan data DPK BUK dalam
rupiah dari BUK yang melakukan
penggabungan atau peleburan; dan
3)
saldo Rekening Giro Rupiah BUK hasil
penggabungan atau peleburan; dan
3. pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 dihitung dengan membandingkan
jumlah SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN
milik BUK hasil penggabungan atau peleburan
yang tercatat pada rekening surat berharga BUK
di BI-SSSS terhadap rata-rata harian jumlah
DPK BUK dalam rupiah dari BUK yang
melakukan penggabungan atau peleburan; dan
c. pada saat data DPK dalam rupiah BUK hasil
penggabungan atau peleburan tersedia maka
pemenuhan PLM dihitung untuk BUK hasil
penggabungan atau peleburan dengan cara
pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
49
(2) Contoh pemenuhan PLM bagi BUK yang melakukan
penggabungan tercantum dalam Lampiran VII.
Bagian Kedua
BUS yang Melakukan Penggabungan atau Peleburan
Pasal 43
(1) Pemenuhan Giro RIM Syariah bagi BUS yang melakukan
penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal
efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan,
berlaku ketentuan sebagai berikut:
1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk
masing-masing BUS dengan cara pemenuhan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
2. data KPMM yang digunakan yaitu KPMM
triwulanan masing-masing BUS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
1. pemenuhan Giro RIM Syariah hanya dihitung
untuk BUS hasil penggabungan atau peleburan
dengan menggunakan data gabungan BUS yang
melakukan penggabungan atau peleburan
sampai dengan data BUS hasil penggabungan
atau peleburan tersedia;
2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 meliputi data untuk perhitungan RIM
Syariah berupa Pembiayaan BUS, DPK BUS,
saldo surat berharga syariah korporasi yang
dimiliki BUS, saldo surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh BUS, dan pembiayaan yang
diterima BUS, dalam rupiah dan valuta asing,
serta data untuk pemenuhan Giro RIM Syariah
berupa Pembiayaan yang digunakan dalam
perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah,
50
KPMM BUS, DPK BUS dalam rupiah, dan saldo
Rekening Giro Rupiah BUS;
3. pemenuhan Giro RIM Syariah untuk BUS hasil
penggabungan atau peleburan dilakukan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22;
4. data KPMM yang digunakan untuk pemenuhan
Giro RIM Syariah diperoleh dari BUS yang
melakukan penggabungan atau peleburan
berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan
oleh BUS atas penggabungan data yang
digunakan dalam perhitungan KPMM masing-
masing BUS sebelum tanggal efektif pelaksanaan
penggabungan atau peleburan;
5. data KPMM yang diperoleh dari BUS
sebagaimana dimaksud dalam angka 4
digunakan sampai dengan tersedianya data
KPMM triwulanan BUS hasil penggabungan atau
peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18;
6. BUS menyampaikan hasil perhitungan KPMM
sebagaimana dimaksud dalam angka 4 kepada
Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) hari kerja
sebelum tanggal efektif pelaksanaan
penggabungan atau peleburan; dan
7. penyampaian hasil perhitungan KPMM
sebagaimana dimaksud dalam angka 6
disampaikan kepada Bank Indonesia dengan
alamat:
a) bagi BUS yang berkantor pusat di wilayah
kerja kantor pusat Bank Indonesia
ditujukan kepada Departemen Pengelolaan
dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi
Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan
GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta
10350; atau
51
b) bagi BUS yang berkantor pusat selain di
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia
ditujukan kepada Departemen Pengelolaan
dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi
Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan
GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta
10350, dengan tembusan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat;
c. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil
perhitungan KPMM yang diterima Bank Indonesia
dari OJK dengan hasil perhitungan KPMM yang
dilakukan oleh BUS sebagaimana dimaksud dalam
huruf b angka 4 maka yang berlaku yaitu KPMM yang
diterima Bank Indonesia dari OJK.
(2) Contoh pemenuhan Giro RIM Syariah bagi BUS yang
melakukan penggabungan tercantum dalam Lampiran VII.
Pasal 44
(1) Pemenuhan PLM Syariah bagi BUS yang melakukan
penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal
efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan
maka pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk
masing-masing BUS dengan cara pemenuhan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan sampai
dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah
BUS hasil penggabungan atau peleburan tersedia,
pemenuhan PLM Syariah diatur sebagai berikut:
1. pemenuhan PLM Syariah hanya dihitung untuk
BUS hasil penggabungan atau peleburan dengan
menggunakan data gabungan BUS yang
melakukan penggabungan atau peleburan
sampai dengan data BUS hasil penggabungan
atau peleburan tersedia;
52
2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 meliputi data:
a) saldo rekening SBIS, SukBI, dan/atau
SBSN BUS hasil penggabungan atau
peleburan;
b) penggabungan data DPK BUS dalam rupiah
dari BUS yang melakukan penggabungan
atau peleburan; dan
c) saldo Rekening Giro Rupiah BUS hasil
penggabungan atau peleburan;
3. pemenuhan PLM Syariah sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 dihitung dengan
membandingkan jumlah SBIS, SukBI, dan/atau
SBSN milik BUS hasil penggabungan atau
peleburan yang tercatat pada rekening surat
berharga BUS di BI-SSSS terhadap rata-rata
harian jumlah DPK BUS dalam rupiah dari BUS
yang melakukan penggabungan atau peleburan;
dan
c. pada saat data DPK dalam rupiah BUS hasil
penggabungan atau peleburan tersedia maka
pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk BUS hasil
penggabungan atau peleburan dengan cara
pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
(2) Contoh pemenuhan PLM Syariah bagi BUS yang
melakukan penggabungan tercantum dalam Lampiran VII.
Bagian Ketiga
Perubahan Kegiatan Usaha BUK menjadi BUS
Pasal 45
(1) BUK yang melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi
BUS harus memenuhi Giro RIM dan PLM sampai dengan 1
(satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan
kegiatan usaha BUS.
53
(2) BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK harus
memenuhi Giro RIM Syariah dan PLM Syariah sejak
tanggal efektif pelaksanaan kegiatan usaha BUS.
(3) Pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah bagi BUS
hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan menggunakan
data saat BUK belum melaksanakan kegiatan usaha
sebagai BUS sampai dengan 1 (satu) hari sebelum data
BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK tersedia,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. perhitungan RIM Syariah menggunakan data
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
b. pemenuhan Giro RIM Syariah menggunakan data
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7 dan
Pasal 8;
c. Pemenuhan PLM Syariah dilakukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30;
(4) Pemenuhan Giro RIM Syariah bagi BUS hasil perubahan
kegiatan usaha dari BUK dilakukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22.
(5) Pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk BUS hasil
perubahan kegiatan usaha dari BUK dengan cara
pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
(6) Rincian sumber data untuk pemenuhan Giro RIM Syariah
dan PLM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tercantum dalam lampiran VIII yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Bagian Keempat
BUK yang Melakukan Pemisahan UUS Menjadi BUS
Pasal 46
(1) Dalam hal BUK yang memiliki UUS melakukan pemisahan
UUS menjadi BUS maka pemenuhan Giro RIM Syariah
diatur sebagai berikut:
54
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal
efektif pelaksanaan pemisahan, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk
UUS dengan cara pemenuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22; dan
2. data KPMM yang digunakan yaitu KPMM
triwulanan BUK yang menjadi induk UUS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan pemisahan sampai dengan 1 (satu) hari
sebelum data BUS hasil pemisahan UUS dari BUK
tersedia, berlaku ketentuan sebagai berikut:
1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk
BUS hasil pemisahan UUS dari BUK dengan data
UUS sampai dengan data BUS hasil pemisahan
UUS dari BUK tersedia;
2. data UUS sebagaimana dimaksud dalam angka
1 meliputi data untuk perhitungan RIM Syariah
berupa Pembiayaan UUS, DPK UUS, saldo surat
berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS,
saldo surat berharga syariah yang diterbitkan
oleh UUS, dan pembiayaan yang diterima UUS,
dalam rupiah dan valuta asing, serta data untuk
pemenuhan Giro RIM Syariah berupa
Pembiayaan UUS yang digunakan dalam
perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah,
KPMM BUK yang menjadi induk UUS, DPK UUS
dalam rupiah, dan saldo Rekening Giro Rupiah
UUS;
3. pemenuhan Giro RIM Syariah untuk BUS hasil
pemisahan UUS dari BUK dilakukan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22; dan
4. data KPMM sebagaimana dimaksud dalam
angka 2 yaitu KPMM triwulanan BUK yang
55
menjadi induk UUS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8;
c. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil
perhitungan KPMM yang diterima Bank Indonesia
dari OJK dengan hasil perhitungan KPMM yang
dilakukan oleh BUK yang melakukan pemisahan UUS
menjadi BUS maka yang berlaku yaitu KPMM yang
diterima Bank Indonesia dari OJK.
(2) Contoh pemenuhan Giro RIM Syariah dalam hal BUK
melakukan pemisahan UUS menjadi BUS tercantum
dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 47
(1) Pemenuhan PLM Syariah bagi BUK yang melakukan
pemisahan UUS menjadi BUS dihitung untuk BUS hasil
pemisahan UUS dari BUK sejak 1 (satu) tahun setelah
tanggal efektif pelaksanaan pemisahan UUS menjadi BUS.
(2) Pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk BUS hasil
pemisahan UUS dari BUK sesuai dengan cara pemenuhan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dengan
menggunakan data BUS hasil pemisahan UUS dari BUK.
(3) Contoh pemenuhan PLM Syariah dalam hal BUK
melakukan pemisahan UUS menjadi BUS tercantum
dalam Lampiran IX.
BAB V
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 48
(1) Bank yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia mengenai rasio intermediasi makroprudensial
dan penyangga likuiditas makroprudensial bagi bank
umum konvensional, bank umum syariah dan unit usaha
syariah dikenai sanksi teguran tertulis dan kewajiban
membayar.
56
(2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mendebit
Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia.
(3) Pendebitan Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. untuk pelanggaran pemenuhan Giro RIM, Giro RIM
Syariah, PLM, dan PLM Syariah, paling lambat 3 (tiga)
hari kerja setelah tanggal terjadinya pelanggaran; dan
b. untuk pelanggaran penyampaian laporan surat
berharga, laporan pinjaman yang diterima, dan
laporan pembiayaan yang diterima, paling lambat 14
(empat belas) hari kerja setelah tanggal terjadinya
pelanggaran.
(4) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan
atau kelebihan dalam pendebitan Rekening Giro Rupiah
Bank di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Bank Indonesia dapat mendebit atau mengkredit
Rekening Giro Rupiah Bank tersebut sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
(5) Dalam hal pada saat pendebitan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank
Indonesia tidak mencukupi maka seluruh sanksi
kewajiban membayar tersebut diperhitungkan sebagai
kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh Bank
kepada Bank Indonesia.
(6) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank
Indonesia tidak mencukupi untuk pendebitan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a maka atas
kekurangan tersebut juga dikenakan sanksi dengan
perhitungan sebagaimana mengacu pada Peraturan Bank
Indonesia mengenai rasio intermediasi makroprudensial
dan penyangga likuiditas makroprudensial bagi bank
umum konvensional, bank umum syariah dan unit usaha
syariah.
57
(7) Contoh perhitungan sanksi kewajiban membayar
tercantum dalam Lampiran V.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49
Pelanggaran atas ketentuan mengenai kewajiban pemenuhan
giro wajib minimum sekunder, kewajiban pemenuhan giro
wajib minimum loan to funding ratio, dan/atau kewajiban
penyampaian laporan surat berharga sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
19/4/PADG/2017 tanggal 28 April 2017 tentang Giro Wajib
Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi
Bank Umum Konvensional, yang terjadi sebelum berlakunya
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, dikenai sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 19/4/PADG/2017 tanggal 28 April 2017
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan
Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku, Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/11/PADG/2018 tanggal 31 Mei 2018 tentang Rasio
Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas
Makroprudensial Bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana diubah beberapa
kali terakhir dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur
Nomor 21/5/PADG/2019 tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/11/PADG/2018 tentang
Rasio
Intermediasi
Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial
58
bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit
Usaha Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 51
(1) Ketentuan mengenai perhitungan RIM dan RIM Syariah
yang menambahkan unsur pinjaman yang diterima atau
pembiayaan yang diterima mulai berlaku pada tanggal 2
Desember 2019.
(2) Ketentuan mengenai Parameter Disinsentif Bawah mulai
berlaku pada tanggal 2 Desember 2019.
Pasal 52
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal.28 November 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
ERWIN RIJANTO
1
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/22/PADG/2019
TENTANG
RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS
MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Bank Indonesia telah melakukan penyempurnaan ketentuan Bank
Indonesia mengenai rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga
likuiditas makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank umum
syariah, dan unit usaha syariah. Penyempurnaan dimaksud dilakukan
dengan cara melakukan perubahan kisaran batas bawah dan batas atas
yang digunakan dalam pemenuhan RIM dan RIM Syariah, penambahan
komponen sumber pendanaan bank yaitu pinjaman yang diterima atau
pembiayaan yang diterima, dan perubahan besaran parameter disinsentif
dan kriteria prudensial batas bawah berupa rasio kredit bermasalah dan
rasio pembiayaan bermasalah serta KPMM.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan
Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional,
Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
2
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Rumus penghitungan rasio kredit bermasalah BUK secara bruto
yaitu sebagai berikut:
jumlah kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank
total kredit kepada pihak ketiga bukan bank
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK
di Bank Indonesia setiap akhir hari” adalah posisi saldo Rekening
Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia saat tutup sistem pada
sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam rupiah
dan valuta asing merupakan surat berharga yang tercatat
pada sisi aset BUK.
x 100%
3
Huruf d
Surat berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam rupiah dan
valuta asing merupakan surat berharga yang tercatat pada
sisi kewajiban BUK sebagai sumber pendanaan.
Huruf e
Pinjaman yang diterima oleh BUK dalam rupiah dan valuta
asing merupakan pinjaman yang diterima yang tercatat pada
sisi kewajiban BUK sebagai sumber pendanaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “giro” adalah komponen giro yang
tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tabungan” adalah komponen
tabungan yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK
BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum.
4
Huruf c
Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito”
adalah komponen simpanan berjangka yang tercantum
dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai laporan berkala bank umum.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan
hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau
berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik
Republik Indonesia di luar negeri, sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan bulanan
bank umum.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
5
Huruf e
Lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa
penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek meliputi
Kustodian Sentral Efek Indonesia atau lembaga berwenang
lainnya yang berkedudukan di dalam maupun di luar negeri.
Ayat (2)
Contoh:
Surat berharga korporasi dalam rupiah PT X yang dimiliki Bank
A memiliki lebih dari satu peringkat dengan rincian sebagai
berikut:
1. Lembaga pemeringkat P memberikan peringkat surat
berharga korporasi PT X dengan peringkat investasi;
2. Lembaga pemeringkat Q memberikan peringkat surat
berharga korporasi PT X dengan peringkat di bawah
peringkat investasi; dan
3. Lembaga pemeringkat R memberikan peringkat surat
berharga korporasi PT X dengan peringkat di bawah
peringkat investasi.
Untuk perhitungan RIM, Bank Indonesia mengakui surat
berharga korporasi PT X yang dimiliki Bank A karena telah
memiliki peringkat investasi yang dikeluarkan oleh lembaga
pemeringkat P.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
6
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan
hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau
berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik
Republik Indonesia di luar negeri, sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan bulanan
bank umum.
Yang dimaksud dengan “bukan penduduk” adalah orang,
badan hukum, atau badan lainnya, yang tidak berdomisili
atau berencana berdomisili di Indonesia kurang dari 1 (satu)
tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik negara lain
di Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai laporan bulanan bank umum.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa
penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek meliputi
Kustodian Sentral Efek Indonesia atau lembaga berwenang
lainnya yang berkedudukan di dalam maupun di luar negeri.
Ayat (2)
Contoh:
Surat berharga yang diterbitkan dalam rupiah oleh Bank A
memiliki lebih dari satu peringkat dengan rincian sebagai berikut:
1. Lembaga pemeringkat P memberikan peringkat surat
berharga yang diterbitkan Bank A dengan peringkat
investasi;
2. Lembaga pemeringkat Q memberikan peringkat surat
berharga yang diterbitkan Bank A dengan peringkat di bawah
peringkat investasi; dan
3. Lembaga pemeringkat R memberikan peringkat surat
berharga yang diterbitkan Bank A dengan peringkat di bawah
peringkat investasi.
7
Untuk perhitungan RIM, Bank Indonesia mengakui surat
berharga yang diterbitkan oleh Bank A karena telah memiliki
peringkat investasi yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat
P.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Contoh:
Bank ABC merupakan bank yang berkedudukan di Amerika Serikat
dan memiliki kantor cabang di Indonesia (Bank ABC Indonesia) dan
di Singapura (Bank ABC Singapura). Dalam hal Bank ABC Indonesia
menerima pinjaman dari Bank ABC atau dari Bank ABC Singapura
maka pinjaman tersebut diperhitungkan dalam perhitungan RIM
Bank ABC Indonesia sepanjang memenuhi kriteria pinjaman yang
diterima yang ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini dan bukan merupakan komponen modal.
Pasal 12
Ayat (1)
Rumus perhitungan RIM yaitu sebagai berikut:
RIM =
Keterangan:
-
(kredit + surat berharga korporasi yang dimiliki)
(DPK + surat berharga yang diterbitkan + pinjaman yang diterima)
kredit berupa kredit dalam rupiah dan valuta asing;
- DPK berupa DPK dalam rupiah dan valuta asing;
-
-
-
Ayat (2)
Cukup jelas.
surat berharga korporasi yang dimiliki berupa surat
berharga korporasi dalam rupiah dan valuta asing;
surat berharga yang diterbitkan berupa surat berharga yang
diterbitkan dalam rupiah dan valuta asing; dan
pinjaman yang diterima berupa pinjaman yang diterima
dalam rupiah dan valuta asing.
x 100%
8
Ayat (3)
Huruf a
Rumus pemenuhan Giro RIM dalam hal RIM lebih kecil dari
batas bawah Target RIM yaitu sebagai berikut:
Giro RIM = Parameter Disinsentif Bawah x (batas bawah Target RIM - RIM) x DPK
BUK dalam rupiah
Huruf b
Rumus pemenuhan Giro RIM dalam hal RIM lebih besar dari
batas atas Target RIM yaitu sebagai berikut:
Giro RIM =
Parameter Disinsentif Atas x (RIM – batas atas Target RIM) x DPK
BUK dalam rupiah
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Rumus penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah BUS secara
bruto atau rasio Pembiayaan bermasalah UUS secara bruto yaitu
sebagai berikut:
jumlah Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank
total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS
atau saldo Rekening Giro Rupiah UUS di Bank Indonesia setiap
akhir hari” adalah posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS atau
saldo Rekening Giro Rupiah UUS di Bank Indonesia saat tutup
sistem pada sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
x 100%
9
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS atau
UUS dalam rupiah dan valuta asing merupakan surat
berharga yang tercatat pada sisi aset BUS atau UUS.
Huruf d
Surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS atau UUS
dalam rupiah dan valuta asing merupakan surat berharga
yang tercatat pada sisi kewajiban BUS atau UUS sebagai
sumber pendanaan.
Huruf e
Pembiayaan yang diterima oleh BUS atau UUS dalam rupiah
dan valuta asing merupakan pembiayaan yang diterima yang
tercatat pada sisi kewajiban BUS atau UUS sebagai sumber
pendanaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
10
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah
dana simpanan wadiah yang tercantum dalam penjelasan
komponen DPK BUS dalam rupiah dan DPK UUS dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat” adalah
komponen dana investasi tidak terikat yang tercantum dalam
penjelasan komponen DPK BUS dalam rupiah dan DPK UUS
dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUS dalam
rupiah dan DPK UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala
bank umum.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan
hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau
berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik
Republik Indonesia di luar negeri, sebagaimana dimaksud
11
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan
stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank
umum syariah dan unit usaha syariah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa
penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek meliputi
Kustodian Sentral Efek Indonesia atau lembaga berwenang
lainnya yang berkedudukan di dalam maupun di luar negeri.
Ayat (2)
Contoh:
Surat berharga syariah korporasi dalam rupiah PT Y yang dimiliki
BUS B memiliki lebih dari satu peringkat dengan rincian sebagai
berikut:
1. Lembaga pemeringkat P memberikan peringkat surat
berharga syariah korporasi PT Y dengan peringkat investasi;
2. Lembaga pemeringkat Q memberikan peringkat surat
berharga syariah korporasi PT Y dengan peringkat di bawah
peringkat investasi; dan
3. Lembaga pemeringkat R memberikan peringkat surat
berharga syariah korporasi PT Y dengan peringkat di bawah
peringkat investasi.
Untuk perhitungan RIM Syariah, Bank Indonesia mengakui surat
berharga syariah korporasi PT Y yang dimiliki BUS B karena telah
memiliki peringkat investasi yang dikeluarkan oleh lembaga
pemeringkat P.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas
12
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan
hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau
berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik
Republik Indonesia di luar negeri, sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan
stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank
umum syariah dan unit usaha syariah.
Yang dimaksud dengan “bukan penduduk” adalah orang,
badan hukum, atau badan lainnya, yang tidak berdomisili
atau berencana berdomisili di Indonesia kurang dari 1 (satu)
tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik negara lain
di Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai laporan stabilitas moneter dan sistem
keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha
syariah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa
penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek” meliputi
Kustodian Sentral Efek Indonesia atau lembaga berwenang
lainnya yang berkedudukan di dalam maupun di luar negeri.
Ayat (2)
Contoh:
Surat berharga syariah yang diterbitkan dalam rupiah oleh BUS
B memiliki lebih dari satu peringkat dengan rincian sebagai
berikut:
13
1. Lembaga pemeringkat P memberikan peringkat surat
berharga syariah yang diterbitkan BUS B dengan peringkat
investasi;
2. Lembaga pemeringkat Q memberikan peringkat surat
berharga syariah yang diterbitkan BUS B dengan peringkat
di bawah peringkat investasi; dan
3. Lembaga pemeringkat R memberikan peringkat surat
berharga syariah yang diterbitkan BUS B dengan peringkat
di bawah peringkat investasi.
Untuk perhitungan RIM, Bank Indonesia mengakui surat
berharga yang diterbitkan oleh BUS B karena telah memiliki
peringkat investasi yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat
P.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Contoh:
Bank ABC merupakan bank yang berkedudukan di Amerika Serikat
dan memiliki kantor cabang di Indonesia (Bank ABC Indonesia) dan di
Singapura (Bank ABC Singapura). Bank ABC Indonesia memiliki UUS
yaitu UUS ABC Indonesia. Dalam hal UUS ABC Indonesia menerima
pembiayaan dari Bank ABC atau dari Bank ABC Singapura maka
pembiayaan tersebut diperhitungkan dalam perhitungan RIM Syariah
UUS ABC Indonesia sepanjang memenuhi kriteria pembiayaan yang
diterima yang ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini dan bukan merupakan komponen modal.
Pasal 22
Ayat (1)
Rumus perhitungan RIM Syariah yaitu sebagai berikut:
(Pembiayaan + surat berharga syariah korporasi yang dimiliki)
(DPK + surat berharga syariah yang diterbitkan + pembiayaan yang diterima)
Keterangan:
-
-
x100%
Pembiayaan berupa Pembiayaan dalam rupiah dan valuta
asing;
DPK berupa DPK dalam rupiah dan valuta asing;
14
-
-
surat berharga syariah korporasi yang dimiliki berupa surat
berharga syariah korporasi dalam rupiah dan valuta asing;
surat berharga syariah yang diterbitkan berupa surat
berharga syariah yang diterbitkan dalam rupiah dan valuta
asing; dan
-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Rumus perhitungan Giro RIM Syariah dalam hal RIM Syariah
lebih kecil dari batas bawah Target RIM Syariah yaitu sebagai
berikut:
Giro RIM Syariah = Parameter Disinsentif Bawah x (batas bawah Target RIM Syariah
– RIM Syariah) x DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam
rupiah
Huruf b
Rumus perhitungan Giro RIM Syariah dalam hal RIM Syariah
lebih besar dari batas atas Target RIM Syariah yaitu sebagai
berikut:
Giro RIM Syariah = Parameter Disinsentif Atas x (RIM Syariah – batas atas Target
RIM Syariah) x DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam
rupiah
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
pembiayaan yang diterima berupa pembiayaan yang diterima
dalam rupiah dan valuta asing.
15
Ayat (6)
Hasil rekomendasi OJK dapat berupa persetujuan atau penolakan
atas permintaan Bank.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Koreksi laporan dapat dilakukan atas inisiatif Bank atau
permintaan dari Bank Indonesia.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia
yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi,
moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi
perekonomian global.
16
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “giro” adalah komponen giro yang
tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tabungan” adalah komponen
tabungan yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK
BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito”
adalah komponen simpanan berjangka yang tercantum
dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai laporan berkala bank umum.
17
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai laporan berkala bank umum.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah
dana simpanan wadiah yang tercantum dalam penjelasan
komponen DPK UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala
bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat” adalah
komponen dana investasi tidak terikat yang tercantum dalam
penjelasan komponen DPK UUS dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
laporan berkala bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen DPK UUS dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai laporan berkala bank umum.
Pasal 32
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
18
Huruf e
Angka 1
Yang dimaksud dengan “obligasi negara” adalah SUN
yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan
dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga
secara diskonto.
Yang dimaksud dengan “surat perbendaharaan negara”
adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12
(dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara
diskonto.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “SBSN jangka panjang” adalah
surat berharga syariah negara yang berjangka waktu
lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran
imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto.
Yang dimaksud dengan “SBSN jangka pendek” adalah
surat berharga syariah negara yang berjangka waktu
sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan
pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara
diskonto.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Depository Account (Rekening
DEPO)” adalah rekening untuk mencatat kepemilikan surat
berharga dan/atau instrumen keuangan lainnya atas hasil
setelmen transaksi.
Yang dimaksud dengan “subrekening available for sale
(AVAI)” adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen
seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya.
Yang dimaksud dengan “subrekening not available for sale
(NAVL)” adalah subrekening yang digunakan untuk mencatat
surat berharga dengan tujuan untuk dimiliki sampai dengan
jatuh waktu (hold to maturity).
Yang dimaksud dengan “subrekening available waiting for
reselling (AWAS)” adalah subrekening yang digunakan untuk
mencatat surat berharga yang dimiliki dengan tujuan untuk
dijual kembali dalam waktu dekat.
19
Huruf b
Yang dimaksud dengan “intraday liquidity facility account
(Rekening ILF)” adalah rekening untuk mencatat surat
berharga yang akan digunakan peserta sistem Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement untuk memperoleh
fasilitas likuiditas intrahari dalam sistem Bank Indonesia-
Real Time Gross Settlement.
Yang dimaksud dengan “subrekening available for sale
(AVAI)” adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen
seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “failure to settle account (Rekening
FtS)” adalah rekening untuk mencatat surat berharga yang
digunakan peserta BI-SSSS untuk prefund sistem kliring
nasional Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “subrekening available for sale
(AVAI)” adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen
seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
PLM BUK X pada tanggal 1 Agustus 2019 yang dihitung pada
tanggal 2 Agustus 2019 menggunakan data dan nilai surat
berharga di BI-SSSS yaitu harga SBI dan SDBI pada tanggal 1
Agustus 2019, nilai nominal SBIS, dan harga SBN pada tanggal
31 Juli 2019.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 33
Rumus pemenuhan PLM yaitu sebagai berikut:
PLM =
(Jumlah SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang dimiliki BUK
setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan)
(Rata − rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah
selama 2 (dua) periode laporan
pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya)
x100%
20
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “transaksi repo kepada Bank Indonesia”
adalah transaksi repurchase agreement (repo) sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai operasi
moneter.
Yang dimaksud dengan “operasi pasar terbuka” adalah operasi
pasar terbuka sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai operasi moneter.
Ayat (2)
Huruf a
Surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo yang
diperhitungkan Bank Indonesia dalam pemenuhan PLM
yaitu surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo
pada operasi moneter dalam bentuk operasi pasar terbuka
yang dilaksanakan Bank Indonesia sejak tanggal 16 Juli
2018.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah
dana simpanan wadiah yang tercantum dalam penjelasan
komponen DPK BUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud
21
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala
bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat” adalah
komponen dana investasi tidak terikat yang tercantum dalam
penjelasan komponen DPK BUS dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
laporan berkala bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUS dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai laporan berkala bank umum.
Pasal 37
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan “SBSN jangka panjang” adalah
surat berharga syariah negara yang berjangka waktu
lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran
imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “SBSN jangka pendek” adalah
surat berharga syariah negara yang berjangka waktu
sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan
pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara
diskonto.
22
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Rekening DEPO” adalah rekening
untuk mencatat kepemilikan surat berharga dan/atau
instrumen keuangan lainnya atas hasil setelmen transaksi.
Yang dimaksud dengan “subrekening AVAI” adalah
subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh
transaksi surat berharga dan instrumen lainnya.
Yang dimaksud dengan “subrekening NAVL” adalah
subrekening yang digunakan untuk mencatat surat berharga
dengan tujuan untuk dimiliki sampai dengan jatuh waktu
(hold to maturity).
Yang dimaksud dengan “subrekening AWAS” adalah
subrekening yang digunakan untuk mencatat surat berharga
yang dimiliki dengan tujuan untuk dijual kembali dalam
waktu dekat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Rekening ILF” adalah rekening
untuk mencatat surat berharga yang akan digunakan
peserta sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
untuk memperoleh fasilitas likuiditas intrahari dalam sistem
Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
Yang dimaksud dengan “subrekening AVAI” adalah
subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh
transaksi surat berharga dan instrumen lainnya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Rekening FtS” adalah rekening
untuk mencatat surat berharga yang digunakan peserta BI-
SSSS untuk prefund sistem kliring nasional Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “subrekening AVAI” adalah
subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh
transaksi surat berharga dan instrumen lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
23
Ayat (4)
Contoh:
PLM Syariah BUS Y pada tanggal 1 November 2019 yang dihitung
pada tanggal 4 November 2019 menggunakan data dan nilai surat
berharga di BI-SSSS yaitu harga SukBI pada tanggal 1 November
2019, serta nilai nominal SBIS dan harga SBSN pada tanggal 31
Oktober 2019.
Pasal 38
Rumus pemenuhan PLM Syariah yaitu sebagai berikut:
PLM Syariah =
(Jumlah SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang dimiliki BUS
setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan)
(Rata − rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah
selama 2 (dua)periode laporan
pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya)
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “transaksi repo kepada Bank Indonesia”
adalah transaksi repurchase agreement (repo) sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai operasi
moneter.
Yang dimaksud dengan “operasi pasar terbuka syariah” adalah
operasi pasar terbuka syariah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai operasi moneter.
Ayat (2)
Surat berharga syariah yang digunakan dalam transaksi repo
yang diperhitungkan Bank Indonesia dalam pemenuhan PLM
Syariah yaitu surat berharga syariah yang digunakan dalam
transaksi repo pada operasi moneter syariah dalam bentuk
operasi pasar terbuka syariah yang dilaksanakan Bank Indonesia
sejak tanggal 1 Oktober 2018.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
x100%
24
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia
yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi,
moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi
perekonomian global.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUK hasil penggabungan atau
peleburan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUK hasil penggabungan atau
peleburan.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
25
Angka 2
Huruf a)
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Saldo Rekening Giro Rupiah digunakan
dalam hal terjadi pelanggaran pemenuhan
PLM.
Huruf b)
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Saldo Rekening Giro Rupiah digunakan
dalam hal terjadi pelanggaran pemenuhan
PLM.
Angka 3
Bagi BUK yang memiliki UUS maka jumlah DPK BUK
dalam rupiah termasuk DPK UUS dalam rupiah.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUS hasil penggabungan atau
peleburan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
26
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUS hasil penggabungan atau
peleburan.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Saldo Rekening Giro Rupiah digunakan dalam hal
terjadi pelanggaran pemenuhan PLM Syariah.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUK melakukan perubahan kegiatan
usaha menjadi BUS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
27
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUS hasil pemisahan UUS dari
BUK.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUS hasil pemisahan UUS dari BUK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
28
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/22/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 28 November 2019 </set_date>
<effective_date> 28 November 2019 </effective_date>
<replaced_reg> '20/11/PADG/2018', '21/5/PADG/2019' </replaced_reg>
<related_reg> '21/12/PBI/2019', '20/4/PBI/2018' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/4/PADG/2019
TENTANG
PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BERUPA UTANG LUAR NEGERI
DAN TRANSAKSI PARTISIPASI RISIKO
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa penyampaian informasi mengenai utang luar negeri
dan transaksi partisipasi risiko sangat dibutuhkan
terutama untuk melengkapi penyusunan statistik Neraca
Pembayaran Indonesia,
statistik
Internasional Indonesia, dan statistik Utang Luar Negeri
Indonesia;
b. bahwa mekanisme pelaporan kegiatan lalu lintas devisa
berupa utang luar negeri perlu disempurnakan guna
meningkatkan kualitas data dan keterangan yang
disampaikan;
c. bahwa pengaturan pelaporan kegiatan lalu lintas devisa
perlu didukung ketentuan pelaksanaan sebagai pedoman
bagi penduduk dalam pelaporan kegiatan lalu lintas devisa
berupa utang luar negeri dan transaksi partisipasi risiko;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Pelaporan
Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Utang Luar Negeri dan
Transaksi Partisipasi Risiko;
Posisi Investasi
2
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014
tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan
Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 98, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5534) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/23/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan
Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar
Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 374, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5814);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/1/PBI/2019 tentang
Utang Luar Negeri dan Kewajiban Valas Lainnya dari Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor
2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6297);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/2/PBI/2019 tentang
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6298);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BERUPA
UTANG LUAR NEGERI DAN TRANSAKSI PARTISIPASI RISIKO.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disingkat LLD adalah
lalu lintas devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang-
3
Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan
sistem nilai tukar.1
2. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu
lintas devisa dan sistem nilai tukar.
3. Valuta Asing adalah valuta yang berdenominasi selain
mata uang rupiah.
4. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah
utang Penduduk kepada bukan Penduduk dalam Valuta
Asing dan/atau rupiah, termasuk di dalamnya
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
5. Transaksi Partisipasi Risiko yang selanjutnya disingkat
TPR adalah transaksi pengalihan risiko atas individual
kredit dan/atau fasilitas lainnya berdasarkan perjanjian
induk transaksi partisipasi risiko (master risk participation
agreement).
6. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan
bank umum syariah serta unit usaha syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
7. Pelapor adalah Penduduk yang melakukan kegiatan LLD
berupa ULN dan/atau TPR.
8. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk
hari kerja operasional terbatas.
9. Jam Kerja adalah jam kerja Kantor Pusat Bank Indonesia,
yaitu pukul 07.10 WIB sampai dengan pukul 16.15 WIB.
BAB II
PELAPOR, JENIS LAPORAN, KOREKSI LAPORAN,
DAN FORMAT LAPORAN
Pasal 2
(1) Pelapor wajib menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR
kepada Bank Indonesia secara lengkap, benar, dan tepat
waktu.
4
(2) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. lembaga keuangan:
1. Bank;
2.
lembaga keuangan bukan Bank;
b. badan usaha bukan lembaga keuangan;
c. badan lainnya;
d. perseorangan.
Pasal 3
(1) Laporan ULN dan/atau TPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi:
a.
b.
laporan data pokok ULN dan/atau TPR;
laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR yang
berisi:
1. rencana penarikan dan/atau pembayaran ULN
dan/atau TPR;
2.
3.
c.
realisasi penarikan dan/atau pembayaran ULN
dan/atau TPR; dan
posisi dan perubahan ULN dan/atau TPR;
dan/atau
laporan rencana ULN baru dan/atau perubahannya.
(2) Berdasarkan instrumennya, ULN dan/atau TPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. ULN dan/atau TPR berdasarkan perjanjian pinjaman
(loan agreement);
b. ULN berdasarkan surat utang (debt securities);
c. ULN berdasarkan utang dagang (trade credit); dan
d. ULN lainnya.
(3) Laporan data pokok TPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan data rekapitulasi TPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya disampaikan oleh
Pelapor berupa Bank.
(4) Laporan rencana ULN baru dan/atau perubahannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya
disampaikan oleh Pelapor berupa lembaga keuangan
bukan Bank, badan usaha bukan lembaga keuangan, dan
badan lainnya.
5
(5) Bagi Pelapor berupa Bank, ULN yang dilaporkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencakup
pinjaman antar-Bank (interbank call money), deposito,
giro, dan tabungan.
(6) Pelapor yang melakukan kegiatan LLD berupa ULN
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib
menyampaikan:
a. laporan data pokok ULN dan/atau TPR, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a;
b. laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR yang
berisi:
1.
realisasi pembayaran ULN dan/atau TPR,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
angka 2; dan
2.
posisi dan perubahan ULN dan/atau TPR,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
angka 3.
(7) Pelapor yang melakukan kegiatan LLD berupa ULN
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d
wajib menyampaikan:
a. laporan data pokok ULN dan/atau TPR, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a;
b. laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR yang
berisi realisasi pembayaran ULN dan/atau TPR,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka
2.
(8) Selain laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pelapor harus menyampaikan profil dan/atau keterangan
mengenai Pelapor dan setiap perubahannya.
Pasal 4
(1) Dalam hal terdapat kesalahan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang telah disampaikan
kepada Bank Indonesia, Pelapor harus menyampaikan
koreksi atas kesalahan laporan dimaksud secara lengkap.
6
(2) Koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
terakhir diterima oleh Bank Indonesia merupakan laporan
pengganti atas laporan yang telah diterima sebelumnya.
Pasal 5
(1) Format laporan ULN dan/atau TPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Dalam hal tidak terdapat rencana ULN baru dan/atau
perubahannya selama 1 (satu) periode laporan maka
Pelapor menyampaikan laporan nihil untuk periode
laporan tersebut.
(3) Penyampaian laporan nihil sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan oleh Pelapor yang memiliki nilai posisi
ULN pada akhir tahun sebelumnya yang tercatat di Bank
Indonesia.
BAB III
TATA CARA PELAPORAN
Pasal 6
(1) Bagi Pelapor berupa Bank, laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 disampaikan kepada Bank
Indonesia oleh:
a. kantor pusat bagi Bank yang berkantor pusat di
Indonesia; atau
b. kantor cabang, yang bertindak sebagai koordinator,
bagi bank yang berkedudukan di luar negeri.
(2) Bagi Pelapor berupa lembaga keuangan bukan Bank,
badan usaha bukan lembaga keuangan, dan badan
lainnya, laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
disampaikan kepada Bank Indonesia oleh kantor pusat
Pelapor yang bersangkutan.
(3) Bagi Pelapor perseorangan, laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 disampaikan kepada Bank
7
Indonesia oleh perseorangan yang bersangkutan atau
pihak yang diberi kuasa.
Pasal 7
(1) Pelapor selain Bank yang baru pertama kali
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 harus mengajukan surat permohonan kepada
Bank Indonesia untuk memperoleh sandi Pelapor yang
ditandatangani oleh pimpinan perusahaan dengan
melampirkan informasi nomor pokok wajib pajak (NPWP)
dan fotokopi anggaran dasar.
(2) Dalam hal Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa perseorangan, surat permohonan ditandatangani
oleh yang bersangkutan dengan melampirkan informasi
NPWP.
(3) Format surat permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(4) Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan secara
tertulis kepada Pelapor mengenai sandi Pelapor.
(5) Pelapor yang telah menerima sandi Pelapor dari Bank
Indonesia menyampaikan laporan dengan menggunakan
sandi Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Pasal 8
(1) Pelapor menunjuk penanggung jawab atau memberikan
kuasa kepada pihak lain untuk menyusun, memverifikasi,
dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3.
(2) Penunjukan penanggung jawab atau pemberian kuasa
kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan surat penunjukan atau surat kuasa
yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dengan
contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
8
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Surat penunjukan atau surat kuasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bank
Indonesia bersamaan dengan penyampaian surat
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1).
(4) Pelapor harus selalu melakukan pengkinian nama
penanggung jawab yang ditunjuk atau pihak yang diberi
kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 9
(1) Pelapor harus menyampaikan laporan data pokok ULN
dan/atau TPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf a untuk setiap instrumen ULN dan/atau TPR
baru, termasuk apabila terjadi perubahan ULN dan/atau
TPR karena reorganisasi.
(2) Laporan data pokok ULN dan/atau TPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen
pendukung.
Pasal 10
(1) Bagi Pelapor berupa Bank, lembaga keuangan bukan
Bank, badan usaha bukan lembaga keuangan, dan badan
lainnya, laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) disampaikan untuk seluruh ULN dan/atau TPR
tanpa batasan nilai minimum ULN dan/atau TPR.
(2) Bagi Pelapor berupa perseorangan, laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) disampaikan untuk ULN
dengan nilai paling sedikit USD200,000.00 (dua ratus ribu
dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya.
(3) Bagi Pelapor berupa perseorangan yang memiliki beberapa
ULN dengan nilai posisi kurang dari USD200,000.00 (dua
ratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya untuk
setiap ULN, laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) disampaikan apabila jumlah keseluruhan posisi
9
ULN tersebut telah mencapai USD200,000.00 (dua ratus
ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya.
(4) ULN berdasarkan utang dagang (trade credit) dan/atau
ULN lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2) huruf c dan huruf d dengan nilai setiap ULN di bawah
USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat)
atau ekuivalennya, dapat dilaporkan secara gabungan
dalam hal ULN dimaksud memiliki kesamaan jenis ULN,
valuta, nama pemberi pinjaman, dan negara pemberi
pinjaman.
(5) Perhitungan nilai ekuivalen USD200,000.00 (dua ratus
ribu dolar Amerika Serikat) sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) untuk ULN dalam valuta
selain USD menggunakan kurs tengah akhir bulan yang
diumumkan Bank Indonesia untuk periode data
sebelumnya, yang dapat dilihat pada laman Bank
Indonesia dengan alamat http://www.bi.go.id.
(6) Dalam hal valuta tidak terdapat dalam daftar kurs tengah
akhir bulan yang diumumkan Bank Indonesia untuk
periode data sebelumnya, perhitungan nilai ekuivalen
USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat)
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menggunakan kurs
Reuters akhir bulan untuk periode data sebelumnya.
Pasal 11
Untuk ULN dan/atau TPR standstill, Pelapor harus
menyampaikan dokumen pendukung dan/atau penjelasan
tertulis yang menjelaskan penyebab belum dibayarnya ULN
dan/atau TPR.
Pasal 12
Pelapor menyampaikan dokumen pendukung dan/atau
penjelasan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dalam bentuk softcopy dengan format PDF, JPG, TIFF, BMP,
PNG, atau GIF.
10
Pasal 13
(1) Bagi Pelapor yang melakukan penggabungan atau
peleburan, penyampaian laporan dilakukan oleh Pelapor
yang menerima penggabungan atau Pelapor hasil
peleburan.
(2) Dalam hal Pelapor yang menerima penggabungan atau
Pelapor hasil peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) belum memiliki sandi Pelapor, Pelapor tersebut harus
mengajukan surat permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1).
BAB IV
MEDIA PENYAMPAIAN LAPORAN
Pasal 14
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, koreksi
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dan
dokumen pendukung dan/atau penjelasan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 disampaikan
kepada Bank Indonesia secara online melalui laman
pelaporan di Bank Indonesia dengan alamat
https://www.bi.go.id/lkpbuv2.
(2) Dalam hal terdapat perubahan alamat penyampaian
laporan, koreksi laporan, dan dokumen pendukung
dan/atau penjelasan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis
perubahan alamat tersebut.
(3) Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, koreksi laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, dan dokumen pendukung dan/atau
penjelasan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dilakukan secara offline maka laporan, koreksi laporan,
dan dokumen pendukung dan/atau penjelasan tertulis
dapat disampaikan dengan menggunakan media
attachment surat elektronik (e-mail), compact disc (CD),
flash disk, dan/atau media elektronik lainnya.
11
Pasal 15
(1) Penyampaian:
a. surat permohonan berikut NPWP dan fotokopi
anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1);
b. surat penunjukkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2); dan
c. surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (2),
ditujukan kepada:
Bank Indonesia
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 16
Jl. M.H. Thamrin No.2
Jakarta 10350
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan
alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau melalui
surat elektronik (e-mail) dengan alamat: [email protected].
(3) Dalam hal terdapat perubahan alamat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia
memberitahukan secara tertulis perubahan alamat
tersebut.
BAB V
BATAS WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN
DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 16
(1) Laporan data pokok ULN dan/atau TPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan laporan data
rekapitulasi ULN dan/atau TPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, wajib disampaikan secara
bulanan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
(2) Laporan data pokok ULN dan/atau TPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan untuk pertama kali
paling lambat tanggal 15 pada Jam Kerja setelah bulan
12
ditandatanganinya, diterbitkannya, atau diakuinya ULN
dan/atau TPR, termasuk apabila terjadi perubahan ULN
dan/atau TPR karena reorganisasi.
(3) Laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan untuk
pertama kali paling lambat tanggal 15 setelah bulan
ditandatanganinya, diterbitkannya, atau diakuinya ULN
dan/atau TPR.
(4) Laporan rencana ULN baru dan/atau perubahannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c
selama tahun berjalan disampaikan sebagai berikut:
a.
rencana ULN baru disampaikan setiap awal tahun,
paling lambat tanggal 15 Maret; dan
b. perubahan rencana ULN baru disampaikan paling
lambat tanggal 15 Juni.
Pasal 17
(1) Dalam hal hari terakhir penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 jatuh pada hari
Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia maka penyampaian
laporan dimaksud dapat dilakukan pada Hari berikutnya.
(2) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian laporan terjadi
gangguan teknis yang menyebabkan Pelapor tidak dapat
menyampaikan laporan secara online maka laporan
disampaikan secara offline pada Hari berikutnya.
(3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta
Pelapor untuk menyampaikan kembali laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara online apabila
gangguan teknis telah dapat diatasi.
Pasal 18
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 yang
disampaikan secara online dinyatakan diterima oleh Bank
Indonesia, dalam hal:
a. softcopy seluruh laporan berhasil diunggah;
b. lolos validasi sistem; dan
13
c. Pelapor melakukan konfirmasi atas laporan yang
disampaikan,
yang dibuktikan dengan adanya tanda terima dari sistem
Bank Indonesia.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 yang
disampaikan secara offline dinyatakan diterima oleh Bank
Indonesia dalam hal softcopy seluruh laporan telah
diterima oleh petugas di Bank Indonesia, yang dibuktikan
dengan adanya tanda terima dari petugas Bank Indonesia.
Pasal 19
(1) Koreksi atas laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 harus disampaikan paling lambat tanggal 20 pada bulan
penyampaian laporan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal hari terakhir penyampaian koreksi laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari
Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia maka penyampaian
koreksi laporan dimaksud dapat disampaikan pada Hari
berikutnya.
(3) Dalam hal terjadi gangguan teknis pada hari terakhir yang
menyebabkan Pelapor tidak dapat menyampaikan koreksi
laporan secara online maka koreksi laporan disampaikan
secara offline pada Hari berikutnya.
(4) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta
Pelapor untuk menyampaikan kembali koreksi laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara online apabila
gangguan teknis telah dapat diatasi.
(5) Koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
disampaikan secara online dinyatakan diterima oleh Bank
Indonesia, dalam hal:
a. softcopy seluruh koreksi laporan berhasil diunggah;
b. lolos validasi sistem; dan
c. Pelapor melakukan konfirmasi atas laporan yang
disampaikan,
yang dibuktikan dengan adanya tanda terima dari sistem
Bank Indonesia.
14
(6) Koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
disampaikan secara offline dinyatakan diterima Bank
Indonesia dalam hal softcopy seluruh koreksi laporan telah
diterima oleh petugas di Bank Indonesia yang dibuktikan
dengan adanya tanda terima dari petugas Bank Indonesia.
Pasal 20
(1) Masa keterlambatan penyampaian laporan data pokok
ULN dan/atau TPR serta data rekapitulasi ULN dan/atau
TPR yaitu masa setelah berakhirnya batas waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (1) sampai dengan akhir bulan penyampaian
laporan yang bersangkutan.
(2) Masa keterlambatan penyampaian laporan rencana ULN
baru dan/atau perubahannya yaitu masa setelah
berakhirnya batas waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) sampai
dengan akhir bulan penyampaian laporan yang
bersangkutan.
(3) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
apabila Pelapor menyampaikan laporan dalam masa
keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 21
(1) Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila
sampai dengan batas akhir masa keterlambatan
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia belum menerima
laporan dari Pelapor.
(2) Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap harus
menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia.
15
BAB VI
PENGAWASAN
Pasal 22
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
kegiatan LLD dalam bentuk ULN dan/atau TPR yang
dilakukan oleh Pelapor.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dengan cara:
a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau
dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan
pihak instansi terkait; dan/atau
b. kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(4) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf a paling lama 15 (lima belas) Hari sejak tanggal
surat permintaan dari Bank Indonesia.
(5) Dalam hal Pelapor tidak memberikan penjelasan, bukti,
catatan, dan/atau dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) maka bagi Pelapor:
a. yang telah menyampaikan laporan, laporan ULN
dan/atau TPR yang disampaikan dinyatakan tidak
benar; dan
b. yang belum menyampaikan laporan ULN dan/atau
TPR, dinyatakan tidak menyampaikan laporan.
(6) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain
untuk melakukan penelitian kebenaran laporan.
16
Pasal 23
(1) Apabila berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pelapor diketahui
melakukan kegiatan LLD berupa ULN dan/atau TPR maka
Pelapor harus menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR
berdasarkan permintaan dari Bank Indonesia melalui
surat.
(2) Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila
Pelapor belum menyampaikan laporan yang diminta Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejak 3
(tiga) bulan setelah diketahui melakukan kegiatan LLD
berupa ULN dan/atau TPR.
BAB VII
SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Sanksi Atas Laporan yang Tidak Benar, Terlambat,
dan Tidak Disampaikan
Pasal 24
Pelapor yang:
a. menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b
secara tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1), yang tidak ditindaklanjuti dengan penyampaian
koreksi sampai dengan batas waktu yang ditetapkan Bank
Indonesia;
b. terlambat menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3); dan/atau
c.
tidak menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan Pasal
22 ayat (5) huruf b, dan Pasal 23 ayat (2),
dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis.
17
Bagian Kedua
Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif
Pasal 25
(1) Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 untuk laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan
huruf b, mulai diberlakukan bagi Pelapor baru setelah 3
(tiga) kali masa pelaporan sejak penyampaian laporan
yang pertama.
(2) Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 untuk laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan
huruf b, mulai diberlakukan bagi Pelapor yang belum
menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia sejak 3
(tiga) bulan setelah diketahui melakukan kegiatan LLD
dalam bentuk ULN dan/atau TPR.
(3) Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 untuk laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c
mulai diberlakukan bagi Pelapor baru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) setelah 1 (satu) kali masa
pelaporan sejak penyampaian laporan yang pertama.
(4) Pelapor yang sedang dalam proses pailit atau yang sudah
tidak beroperasi dapat mengajukan permohonan kepada
Bank Indonesia untuk tidak dikenai sanksi administratif
berupa teguran tertulis dengan menyampaikan bukti
pendukung.
(5) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 tidak
dikenai kepada Pelapor yang terlambat atau tidak
menyampaikan laporan yang disebabkan adanya
gangguan teknis di Bank Indonesia.
Pasal 26
(1) Pemberitahuan kepada otoritas atau instansi yang
berwenang, dan/atau perusahaan induk dari Pelapor
mengenai pengenaan sanksi dilakukan dalam hal Pelapor
18
telah 3 (tiga) kali mendapatkan teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c karena
tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b dalam 1 (satu)
tahun pelaporan.
(2) Pemberitahuan kepada kreditur mengenai pengenaan
sanksi dilakukan dalam hal Pelapor telah 4 (empat) kali
mendapatkan teguran tertulis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 huruf c karena tidak menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf a dan huruf b dalam 1 (satu) tahun pelaporan.
(3) Dalam hal perusahaan induk sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan kreditur sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah pihak yang sama maka pemberitahuan
hanya diberikan kepada perusahaan induk.
(4) Pemberitahuan kepada otoritas atau instansi yang
berwenang, kreditur, dan/atau perusahaan induk
mengenai pengenaan sanksi dilakukan dalam hal Pelapor
telah 2 (dua) kali mendapatkan teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c karena
tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dalam 1 (satu) tahun
pelaporan.
BAB VIII
KEADAAN MEMAKSA
Pasal 27
(1) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sehingga
menyebabkan keterangan dan data untuk penyusunan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak
tersedia, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sehingga menyebabkan
terhambatnya penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, dikecualikan dari kewajiban
19
menyampaikan laporan dalam batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16.
(3) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), harus segera
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada
Bank Indonesia, dengan memberikan penjelasan
mengenai keadaan memaksa yang dialami yang paling
kurang memuat:
a.
jenis keadaan memaksa dengan melampirkan
dokumen pendukung dan/atau surat keterangan dari
instansi terkait di daerah setempat; dan
b. dampak terhadap pelaporan.
(4) Pelapor dapat menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis mengenai keadaan memaksa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) melalui kantor pusat Pelapor,
kantor cabang Pelapor, atau pihak lain yang ditunjuk
Pelapor.
(5) Pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan
memaksa yang terjadi selama 1 (satu) periode laporan atau
lebih harus disampaikan untuk setiap periode laporan
sampai dengan berakhirnya keadaan memaksa.
(6) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) berlaku dalam hal Pelapor memperoleh
persetujuan dari Bank Indonesia.
(7) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
harus menyampaikan laporan setelah Pelapor kembali
melakukan kegiatan operasional secara normal.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 28
Dalam hal Pelapor sedang dalam proses pailit atau sudah tidak
beroperasi, Pelapor tetap wajib menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 kepada Bank Indonesia.
20
Pasal 29
Laporan ULN dan/atau TPR yang memuat data dan keterangan
individual Pelapor yang disampaikan kepada Bank Indonesia
bersifat rahasia, kecuali secara tegas dinyatakan lain dalam
Undang-Undang.
Pasal 30
Dalam hal terdapat permasalahan yang timbul dalam
pelaporan kegiatan LLD berupa ULN dan/atau TPR yang
berdampak strategis, Bank Indonesia dapat mengambil
kebijakan tertentu dengan tetap memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
perundang-undangan.
peraturan
BAB X
KORESPONDENSI
Pasal 31
(1) Penyampaian surat, pertanyaan, dokumen pendukung,
dan/atau informasi lainnya berkaitan dengan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini ditujukan kepada:
Bank Indonesia
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 16
Jl. M.H. Thamrin No.2
Jakarta 10350
Telepon
:
Faksimili
E-mail
021-29814075, 021-29814077, 021-29814136,
021-29814657, 021-29815870, 021-29815875,
021-29817606, 021-29813665, 021-29814556,
021-29815174, 29815874
: 021-2311936
: [email protected]
(2) Dalam hal terjadi perubahan alamat korespondensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
memberitahukan secara tertulis.
21
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/16/DInt tanggal
29 April 2013 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas
Devisa berupa Realisasi dan Posisi Utang Luar Negeri; dan
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/4/DSta tanggal 6
Maret 2015 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa
berupa Rencana Utang Luar Negeri dan Perubahan
Rencana Utang Luar Negeri,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 33
(1) Kewajiban penyampaian laporan ULN dan/atau TPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan
huruf b mulai berlaku sejak periode data bulan Maret
2019 yang disampaikan pada bulan April 2019.
(2) Batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (4) dan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 untuk laporan ULN dan/atau TPR berupa
rencana ULN baru mulai berlaku untuk pelaporan data
rencana ULN baru tahun 2019 yang disampaikan paling
lambat tanggal 15 Maret 2019.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 untuk
laporan ULN dan/atau TPR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b mulai berlaku sejak
periode data bulan Maret 2019 yang disampaikan pada
bulan April 2019.
Pasal 34
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 1 Maret 2019.
22
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Februari 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
MIRZA ADITYASWARA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/4/PADG/2019
TENTANG
PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BERUPA UTANG LUAR NEGERI
DAN TRANSAKSI PARTISIPASI RISIKO
I. UMUM
Untuk pelaksanaan kebijakan moneter, sesuai amanat Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009, Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan yang mengatur aliran
modal. Salah satu jenis aliran modal yang diatur yaitu TPR yang dilakukan
oleh Bank.
Pelaporan kegiatan LLD saat ini hanya mencakup pelaporan kegiatan
LLD berupa ULN dan pelaporan kegiatan LLD selain ULN, namun belum
mencakup TPR yang dilakukan Bank. Mengingat TPR memiliki
karakteristik yang sama dengan ULN maka pelaporan kegiatan LLD berupa
ULN perlu disesuaikan, yaitu dengan menambahkan TPR dalam cakupan
pelaporan tersebut. Selain digunakan untuk memantau kepatuhan Bank
atas ketentuan Bank Indonesia yang mengatur aliran modal, keterangan
dan data mengenai TPR ini selanjutnya digunakan untuk penyusunan
statistik, terutama statistik Neraca Pembayaran, statistik Posisi Investasi
Internasional Indonesia, dan statistik Utang Luar Negeri Indonesia.
Selain itu, berdasarkan hasil evaluasi serta masukan Pelapor,
mekanisme pelaporan kegiatan LLD saat ini perlu disempurnakan, untuk
mengakomodasi tambahan cakupan laporan berupa TPR serta hal teknis
lainnya, seperti penyesuaian waktu penyampaian rencana ULN baru.
2
Dengan penyempurnaan pelaporan kegiatan LLD ini maka Pelapor
diharapkan berperan aktif untuk menyampaikan laporan kegiatan LLD
berupa ULN dan TPR kepada Bank Indonesia secara lengkap, akurat, dan
tepat waktu.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.1
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “secara lengkap” adalah laporan yang
memenuhi rincian cakupan laporan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Yang dimaksud dengan “secara benar” adalah laporan yang
memuat data sesuai dengan fakta sebenarnya.
Yang dimaksud dengan “secara tepat waktu” adalah laporan yang
disampaikan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Huruf a
Lembaga keuangan berdasarkan kepemilikannya dapat
berupa badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, atau badan usaha milik swasta.
Badan usaha milik negara yaitu badan usaha sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai badan usaha milik
negara.
Badan usaha milik daerah yaitu badan usaha sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai badan usaha milik
daerah.
Badan usaha milik swasta yaitu badan usaha yang tidak
termasuk dalam pengertian badan usaha milik negara dan
badan usaha milik daerah yang berkedudukan di Indonesia,
3
baik yang berbentuk badan hukum Indonesia maupun asing
dan yang tidak berbentuk badan hukum.
Huruf b
Badan usaha bukan lembaga keuangan berdasarkan
kepemilikannya dapat berupa badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik swasta.
Badan usaha milik negara yaitu badan usaha sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai badan usaha milik
negara.
Badan usaha milik daerah yaitu badan usaha sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai badan usaha milik
daerah.
Badan usaha milik swasta yaitu badan usaha yang tidak
termasuk dalam pengertian badan usaha milik negara dan
badan usaha milik daerah yang berkedudukan di Indonesia,
baik yang berbentuk badan hukum Indonesia maupun asing
dan yang tidak berbentuk badan hukum.
Huruf c
Badan lainnya yaitu badan yang bukan merupakan badan
usaha, baik berbentuk badan hukum maupun tidak
berbentuk badan hukum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “perseorangan” adalah orang yang
bertindak atas namanya sendiri.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Data pokok ULN dan/atau TPR merupakan data dan
keterangan mengenai profil ULN dan/atau TPR yang
disampaikan, termasuk dalam hal terdapat ULN dan/atau
TPR baru dan/atau perubahannya, yang didasarkan pada
dokumen perjanjian pinjaman (loan agreement) dan/atau
dokumen pendukung lain. Data pokok ULN dan/atau TPR
memuat informasi antara lain jenis ULN dan/atau TPR, nilai
4
dan valuta komitmen ULN dan/atau TPR, serta hubungan
dengan kreditur.
Huruf b
Angka 1
Data dan keterangan mengenai rencana penarikan
dan/atau pembayaran ULN dan/atau TPR, antara lain
berupa informasi mengenai tanggal rencana penarikan
ULN dan/atau TPR dan nilai rencana pembayaran ULN
dan/atau TPR.
Angka 2
Data dan keterangan mengenai realisasi penarikan
dan/atau pembayaran ULN dan/atau TPR, antara lain
berupa informasi mengenai tanggal realisasi penarikan
ULN dan/atau TPR dan nilai realisasi pembayaran ULN
dan/atau TPR.
Angka 3
Posisi ULN dan/atau TPR mencakup posisi dan
perubahan untuk setiap jenis ULN dan/atau TPR dan
akumulasi tunggakan bunga.
Huruf c
Data dan keterangan mengenai rencana ULN baru dan/atau
perubahannya meliputi rencana perolehan ULN selama 1
(satu) tahun dan/atau 1 (satu) semester ke depan, antara
lain berupa jenis ULN, waktu masuk pasar, nilai nominal
ULN, dan hubungan dengan kreditur.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perjanjian pinjaman (loan
agreement)” adalah perjanjian tertulis yang berisi syarat dan
kondisi pinjaman yang antara lain mengatur besarnya nilai
komitmen, suku bunga, dan jangka waktu.
Huruf b
Surat utang (debt securities) antara lain berupa letter of credit
(L/C) impor yang diakseptasi oleh Bank (banker’s
acceptance), obligasi, commercial papers (CP), promissory
notes (PN), medium term notes (MTN), dan floating rate notes
(FRN).
5
Huruf c
Yang dimaksud dengan “utang dagang (trade credit)” adalah
utang pembeli Penduduk kepada penjual bukan Penduduk
atas pembelian barang atau jasa, termasuk pembayaran di
muka yang diterima penjual Penduduk dari pembeli bukan
Penduduk untuk barang atau jasa yang belum diserahkan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “ULN lainnya” adalah ULN selain
ULN dan/atau TPR berdasarkan pinjaman (loan agreement),
ULN berdasarkan surat utang (debt securities), dan ULN
berdasarkan utang dagang (trade credit), seperti utang
dividen dan utang royalti.
Ayat (3)
Contoh:
Perusahaan J di Jakarta menerima utang berdasarkan perjanjian
pinjaman dengan Bank K pada tanggal 12 Juni 2018 sebesar
USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat), dengan
bunga 3,5% (tiga koma lima persen) per tahun dan jatuh waktu
di 31 Desember 2025. Posisi utang perusahaan J pada akhir
Desember 2019 sebesar USD250,000.00 (dua ratus lima puluh
ribu dolar Amerika Serikat). Di akhir bulan Desember 2019, Bank
K sebagai grantor melakukan TPR dengan induknya bank S di
Singapura
sebagai participant dengan utang senilai
USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) dialihkan
ke bank S, dengan suku bunga dan jatuh waktu yang sama
dengan suku bunga dan jatuh waktu sebelumnya. Dalam hal ini,
Bank K wajib menyampaikan laporan data pokok TPR dan data
rekapitulasi TPR sejak disepakatinya pengalihan risiko sampai
dengan utang senilai USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar
Amerika Serikat) telah lunas dibayar.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
6
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Yang termasuk dalam profil Pelapor antara lain data kepemilikan
Pelapor.
Pasal 4
Ayat (1)
Contoh:
Perusahaan A telah menyampaikan laporan data rekapitulasi
ULN berupa realisasi penarikan dan posisi ULN untuk periode
data bulan Januari 2020, namun terdapat kesalahan dalam
pengisian nilai realisasi penarikan. Dalam hal ini, perusahaan A
harus menyampaikan kembali seluruh laporan data rekapitulasi
ULN berupa realisasi penarikan dan posisi ULN, yang meliputi
data yang dikoreksi maupun data yang tidak dikoreksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “laporan nihil” adalah laporan tanpa
adanya record data yang disampaikan.
Ayat (3)
Contoh:
Perusahaan N memiliki nilai posisi ULN di bulan Desember 2018
sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat)
yang tercatat di Bank Indonesia dan tidak memiliki rencana ULN
baru untuk tahun 2019. Dalam hal ini, perusahaan N
menyampaikan laporan nihil untuk tahun 2019.
Pasal 6
Cukup jelas.
7
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat,
surat elektronik (e-mail), atau media lainnya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang” adalah
a. pimpinan perusahaan atau pejabat yang berwenang
mewakili perusahaan, bagi Pelapor berupa lembaga
keuangan, badan usaha bukan lembaga keuangan, dan
badan lainnya; dan
b. perseorangan yang bersangkutan, bagi Pelapor berupa
perseorangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Perubahan ULN dan/atau TPR karena reorganisasi dalam bentuk:
a. Debt rescheduling yaitu kesepakatan antara debitur dengan
kreditur, umumnya berupa penundaan pembayaran utang
dan pemberlakuan jangka waktu baru atas utang, melalui
perubahan syarat dari kontrak. Perubahan syarat dari
kontrak meliputi 1 (satu) atau lebih dari elemen berikut:
8
1. perpanjangan periode pembayaran;
2. pengurangan suku bunga;
3. penambahan masa tenggang (grace period) untuk
pembayaran pokok;
4. penetapan kurs tertentu yang lebih menguntungkan;
atau
5. pengaturan kembali jadwal pembayaran tunggakan
utang.
Pengertian debt rescheduling berlaku terhadap utang dengan
instrumen, nilai pokok yang diperjanjikan atau komitmen,
serta kreditur yang sama.
b. Debt refinancing yaitu penggantian instrumen utang lama,
termasuk tunggakannya, dengan instrumen utang yang
baru. Debt refinancing ini memiliki karakteristik berikut:
1. penggantian:
a) instrumen utang yang sama, seperti utang
berdasarkan perjanjian pinjaman lama dengan
utang berdasarkan perjanjian pinjaman baru; atau
b) instrumen utang yang berbeda, seperti utang
berdasarkan perjanjian dengan obligasi;
2. umumnya dengan nilai pokok yang diperjanjikan
(komitmen) berbeda dan dapat mencakup fasilitas dana
tambahan;
3. pihak kreditur yang dapat berbeda dengan utang lama;
c. Debt forgiveness yaitu pembatalan atau pembebasan
pembayaran seluruh atau sebagian kewajiban utang,
termasuk tunggakan bunga oleh debitur, berdasarkan
kesepakatan antara kreditur dengan debitur;
d. Debt conversion yaitu pertukaran instrumen utang,
umumnya dengan diskon, dengan selain instrumen utang
atau dengan penyediaan sejumlah dana untuk membiayai
proyek atau kebijakan tertentu. Contoh debt conversion
adalah debt-for-equity swaps dan debt-for-real estate swap;
dan
e. Debt assumption yaitu kesepakatan 3 (tiga) pihak antara
kreditur, debitur lama, dan debitur baru pada saat debitur
9
baru menanggung atau mengambil alih utang debitur lama
kepada kreditur.
Ayat (2)
Dokumen pendukung berupa dokumen perjanjian pinjaman (loan
agreement), faktur penjualan (invoice), dan/atau bukti
pendukung lain ULN dan/atau TPR.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh:
Perusahaan A melakukan 3 (tiga) kali penarikan ULN dalam
bentuk utang dagang pada tanggal 5 Februari 2020 masing-
masing sebesar SGD230,000.00 (dua ratus tiga puluh ribu dolar
Singapura), SGD240,000.00 (dua ratus empat puluh ribu dolar
Singapura), dan SGD225,000.00 (dua ratus dua puluh lima ribu
dolar Singapura). Ketiga ULN tersebut memiliki kesamaan dalam
jenis ULN, valuta, nama pemberi pinjaman, dan negara pemberi
pinjaman. Untuk menentukan kemungkinan ketiga ULN tersebut
dapat dilaporkan secara gabungan, perusahaan A harus
mengonversi ULN-nya ke dalam valuta USD dengan
menggunakan kurs tengah akhir bulan Januari 2020, yang
diumumkan Bank Indonesia.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan “ULN dan/atau TPR standstill” adalah ULN
dan/atau TPR yang telah jatuh waktu namun belum ada informasi
10
mengenai pelunasan dan/atau reorganisasi ULN dan/atau TPR oleh
debitur.
Contoh:
Perusahaan L menandatangani ULN berdasarkan perjanjian pinjaman
pada tanggal 1 Januari 2019 dan jatuh waktu pada tanggal 31
Desember 2021. Dalam hal ini, perusahaan L harus menyampaikan
dokumen pendukung apabila sampai dengan tanggal 31 Desember
2021, ULN dimaksud belum lunas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat,
surat elektronik (e-mail), atau media lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat,
surat elektronik (e-mail), atau media lainnya.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
11
Ayat (2)
Contoh:
Perusahaan D menandatangani ULN berdasarkan perjanjian
pinjaman pada bulan Maret 2020. Dalam hal ini, perusahaan D
menyampaikan laporan data pokok ULN paling lambat tanggal 15
April 2020 pada Jam Kerja setelah bulan ditandatanganinya ULN.
Ayat (3)
Contoh:
Perusahaan E menandatangani ULN berdasarkan perjanjian
pinjaman pada bulan Maret 2020. Dalam hal ini, perusahaan E
menyampaikan laporan data rekapitulasi ULN paling lambat
tanggal 15 April 2020 setelah bulan ditandatanganinya ULN.
Ayat (4)
Contoh:
Pada awal tahun 2021, Perusahaan M memiliki rencana
penarikan ULN berdasarkan perjanjian pinjaman masing-masing
sebesar USD600,000.00 (enam ratus ribu dolar Amerika Serikat)
dan USD700.000.00 (tujuh ratus ribu dolar Amerika Serikat).
Dalam hal ini perusahaan M wajib menyampaikan laporan
rencana ULN baru paling lambat tanggal 15 Maret 2021 dan
laporan perubahan rencana ULN baru paling lambat tanggal 15
Juni 2021.
Pasal 17
Ayat (1)
Contoh:
Untuk laporan data rekapitulasi ULN bulan Mei 2019, hari
terakhir penyampaian laporan yaitu hari Sabtu tanggal 15 Juni
2019. Oleh karena itu, batas waktu penyampaian laporan jatuh
pada hari Senin tanggal 17 Juni 2019.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang
terjadi di Bank Indonesia, antara lain gangguan jaringan
dan/atau komunikasi.
Yang dimaksud dengan “secara offline” adalah menyampaikan
laporan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan media
12
elektronik antara lain compact disk (CD), flash disk, atau surat
elektronik (e-mail), yang disampaikan pada Jam Kerja.
Contoh:
Gangguan teknis jaringan di Bank Indonesia terjadi pada hari
Senin tanggal 15 Juli 2019 yang merupakan hari terakhir
penyampaian laporan data pokok ULN dan/atau TPR dan laporan
data rekapitulasi ULN dan/atau TPR. Laporan dimaksud
disampaikan secara offline pada hari Selasa tanggal 16 Juli 2019
pada Jam Kerja.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tanda terima dari petugas Bank Indonesia antara lain berupa
konfirmasi penerimaan laporan melalui surat elektronik (e-mail).
Pasal 19
Ayat (1)
Contoh 1:
Perusahaan K melaporkan pembayaran pokok tunai ULN-nya
senilai USD135,000.00 (seratus tiga puluh lima ribu dolar
Amerika Serikat) dalam laporan data rekapitulasi ULN dan/atau
TPR pada hari Senin tanggal 12 Agustus 2019. Mengingat nilai
sebenarnya adalah USD125,000.00 (seratus dua puluh lima ribu
dolar Amerika Serikat), perusahaan K menyampaikan koreksi
laporan secara online pada hari Rabu tanggal 14 Agustus 2019.
Jika masih ditemukan kesalahan, perusahaan K dapat
menyampaikan koreksi laporan secara online paling lambat hari
Selasa tanggal 20 Agustus 2019.
Contoh 2:
Perusahaan G melaporkan rencana penerbitan surat utang
senilai USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dalam
laporan rencana ULN baru dan/atau perubahannya pada hari
Jumat tanggal 15 Maret 2019. Mengingat nilai sebenarnya adalah
13
USD1,100,000.00 (satu juta seratus ribu dolar Amerika Serikat),
perusahaan G menyampaikan koreksi laporan secara online pada
hari Senin tanggal 18 Maret 2019. Jika masih ditemukan
kesalahan, perusahaan G dapat menyampaikan koreksi laporan
secara online paling lambat hari Rabu tanggal 20 Maret 2019.
Ayat (2)
Contoh 1:
Untuk laporan data pokok ULN dan/atau TPR dan laporan data
rekapitulasi ULN dan/atau TPR bulan Juni 2019, hari terakhir
penyampaian koreksi laporan yaitu hari Sabtu tanggal 20 Juli
2019. Oleh karena itu, batas waktu penyampaian koreksi laporan
jatuh pada hari Senin tanggal 22 Juli 2019.
Contoh 2:
Untuk laporan perubahan rencana ULN tahun 2020, hari terakhir
penyampaian koreksi laporan adalah hari Sabtu tanggal 20 Juni
2020. Oleh karena itu, batas waktu penyampaian koreksi laporan
jatuh pada hari Senin tanggal 22 Juni 2020.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang
terjadi di Bank Indonesia, antara lain gangguan jaringan
dan/atau komunikasi.
Yang dimaksud dengan “secara offline” adalah menyampaikan
laporan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan media
elektronik antara lain compact disk (CD), flash disk, atau surat
elektronik (e-mail), yang disampaikan pada Jam Kerja.
Contoh:
Gangguan teknis jaringan di Bank Indonesia terjadi pada hari
Senin tanggal 20 Juli 2020 yang merupakan hari terakhir
penyampaian koreksi laporan ULN. Koreksi laporan dimaksud
disampaikan secara offline pada hari Selasa tanggal 21Juli 2020
pada Jam Kerja.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
14
Ayat (6)
Tanda terima dari petugas Bank Indonesia antara lain berupa
konfirmasi penerimaan laporan melalui surat elektrkonik (e-mail).
Pasal 20
Ayat (1)
Contoh:
Laporan data rekapitulasi ULN bulan Juni 2019 wajib
disampaikan paling lambat tanggal 15 Juli 2019. Masa
keterlambatan penyampaian laporan dimaksud yaitu tanggal 16
Juli 2019 sampai dengan tanggal 31 Juli 2019.
Ayat (2)
Contoh:
Laporan rencana ULN baru tahun 2019 wajib disampaikan paling
lambat tanggal 15 Maret 2019. Masa keterlambatan penyampaian
laporan dimaksud yaitu tanggal 16 Maret 2019 sampai dengan
tanggal 31 Maret 2019.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Contoh:
Apabila sampai dengan 30 September 2019, Pelapor belum
menyampaikan laporan data rekapitulasi ULN bulan Agustus
2019 maka Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan laporan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui penelitian
atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor.
15
Huruf b
Pemeriksaan dilakukan untuk meneliti kebenaran laporan
yang disampaikan Pelapor dan/atau untuk mengonfirmasi
kebenaran informasi yang diterima oleh Bank Indonesia
berdasarkan hasil pengawasan tidak langsung, termasuk
informasi mengenai Pelapor yang belum menyampaikan
laporan ULN dan/atau TPR.
Ayat (3)
Huruf a
Termasuk sebagai dokumen pendukung yang berkaitan
dengan laporan ULN dan/atau TPR antara lain laporan
keuangan dan daftar mutasi rekening koran (bank
statement).
Yang dimaksud dengan “instansi terkait” adalah lembaga,
kementerian, atau otoritas yang memiliki kewenangan
mengatur Pelapor, antara lain Otoritas Jasa Keuangan bagi
Bank dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara bagi
korporasi berupa badan usaha milik negara.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia, perusahaan M
diketahui memiliki posisi ULN pada bulan Desember 2019.
Selanjutnya, Bank Indonesia mengirimkan surat kepada
perusahaan tersebut untuk menyampaikan laporan data pokok
ULN dan/atau TPR dan laporan data rekapitulasi ULN dan/atau
16
TPR kepada Bank Indonesia, yang mencakup data bulan
Desember 2019, Januari, dan Februari 2020. Dalam hal
perusahaan M belum menyampaikan laporan sampai dengan
bulan Maret 2020 perusahaan M dinyatakan tidak
menyampaikan laporan.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pelapor baru” adalah:
a. Pelapor yang baru pertama kali menyampaikan laporan ULN
dan/atau TPR sejak mulai diberlakukannya ketentuan ini;
Contoh:
Perusahaan A menyampaikan laporan data pokok ULN
dan/atau TPR dan laporan data rekapitulasi ULN dan/atau
TPR pertama kali kepada Bank Indonesia pada bulan Juli
2019 untuk pelaporan data bulan Juni 2019.
Perusahaan A terlambat menyampaikan laporan data pokok
ULN dan/atau TPR dan laporan data rekapitulasi ULN
dan/atau TPR untuk periode penyampaian laporan bulan
Agustus 2019, September 2019, Oktober 2019, dan
November 2019. Bank Indonesia mengenakan sanksi
teguran tertulis untuk periode penyampaian laporan bulan
November 2019, untuk pelaporan data bulan Oktober 2019.
b. Pelapor yang kembali melakukan kegiatan LLD dalam
bentuk ULN dan/atau TPR setelah sebelumnya
menginformasikan sudah tidak melakukan kegiatan LLD
dalam bentuk ULN dan/atau TPR dengan jangka waktu
paling singkat 1 (satu) tahun;
Contoh:
Perusahaan B telah menginformasikan kepada Bank
Indonesia bahwa di bulan Maret 2018 perusahaan dimaksud
sudah tidak memiliki ULN dan/atau TPR. Perusahaan B
kembali menarik ULN pada bulan Juli 2019. Perusahaan B
menyampaikan laporan data pokok ULN dan/atau TPR dan
17
laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR pertama kali
pada bulan Agustus 2019.
Perusahaan B tidak menyampaikan laporan data pokok ULN
dan/atau TPR dan laporan data rekapitulasi ULN dan/atau
TPR untuk periode penyampaian laporan bulan September
2019, Oktober 2019, November 2019, dan Desember 2019.
Bank Indonesia mengenakan sanksi teguran tertulis untuk
periode penyampaian laporan bulan Desember 2019, untuk
pelaporan data bulan November 2019.
c. Pelapor yang baru pertama kali menyampaikan laporan ULN
dan/atau TPR setelah diketahui melakukan kegiatan LLD
dalam bentuk ULN dan/atau TPR berdasarkan hasil
pengawasan Bank Indonesia.
Contoh:
Berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia, perusahaan
C diketahui memiliki ULN sehingga wajib menyampaikan
laporan kepada Bank Indonesia. Selanjutnya, perusahaan C
menyampaikan laporan data pokok ULN dan/atau TPR dan
laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR pertama kali
pada bulan September 2019.
Perusahaan C tidak menyampaikan laporan data pokok ULN
dan/atau TPR dan laporan data rekapitulasi ULN dan/atau
TPR untuk periode penyampaian laporan bulan Oktober
2019, November 2019, Desember 2019, dan Januari 2020.
Bank Indonesia mengenakan sanksi teguran tertulis kepada
perusahaan C untuk periode penyampaian laporan bulan
Januari 2020, untuk pelaporan data bulan Desember 2019.
Ayat (2)
Contoh:
Berdasarkan pengawasan Bank Indonesia, perusahaan D
diketahui melakukan kegiatan LLD berupa ULN pada bulan
September 2019 dan belum menyampaikan laporan data pokok
ULN dan/atau TPR serta laporan data rekapitulasi ULN dan/atau
TPR kepada Bank Indonesia.
Perusahaan D wajib menyampaikan laporan dimaksud paling
lambat bulan Desember 2019. Laporan yang disampaikan
mencakup data sejak diketahuinya kegiatan LLD berupa ULN oleh
18
Bank Indonesia, yaitu bulan September 2019, Oktober 2019, dan
November 2019. Dalam hal perusahaan D tidak menyampaikan
laporan data pokok ULN dan/atau TPR serta laporan data
rekapitulasi ULN dan/atau TPR sampai dengan bulan Desember
2019 maka Bank Indonesia akan mengenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis kepada perusahaan D.
Ayat (3)
Contoh:
Perusahaan E, sebagai pelapor baru, untuk pertama kalinya
menyampaikan laporan rencana ULN baru pada tanggal 12 Maret
2020. Dalam hal ini, perusahaan E baru dapat dikenai sanksi
pada saat penyampaian laporan rencana ULN baru untuk data
tahun 2021, yang disampaikan paling lambat tanggal 15 Maret
2021.
Ayat (4)
Bukti pendukung yang dimaksud antara lain surat permohonan
pengajuan kepailitan ke pengadilan atau surat pencabutan izin
dari kementerian terkait.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang
terjadi di Bank Indonesia, antara lain gangguan jaringan
dan/atau komunikasi.
Pasal 26
Ayat (1)
Contoh:
Bank F telah dikenai 3 (tiga) kali sanksi administratif teguran
tertulis oleh Bank Indonesia karena tidak menyampaikan laporan
ULN dan/atau TPR, yaitu untuk pelaporan data bulan Mei 2019,
Juli 2019, dan Desember 2019. Mengingat Bank F dikenai sanksi
sebanyak 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) tahun, yaitu tahun 2019
maka Bank Indonesia memberitahukan pengenaan sanksi
administratif teguran tertulis dimaksud secara tertulis kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
19
Ayat (2)
Contoh:
Perusahaan G telah dikenai 4 (empat) kali sanksi administratif
teguran tertulis oleh Bank Indonesia karena tidak menyampaikan
laporan ULN dan/atau TPR, yaitu untuk pelaporan data bulan
Juni 2019, Juli 2019, Oktober 2019, dan Desember 2019.
Mengingat Perusahaan G dikenai sanksi sebanyak 4 (empat) kali
dalam 1 (satu) tahun, yaitu tahun 2019 maka Bank Indonesia
memberitahukan pengenaan sanksi administratif teguran tertulis
dimaksud secara tertulis kepada kreditur.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
Perusahaan H telah dikenai sanksi administratif berupa teguran
tertulis sebanyak 2 (dua) kali karena tidak menyampaikan
laporan rencana ULN baru dan/atau perubahannya pada masa
pelaporan yang berakhir Maret 2019 dan Juni 2019. Mengingat
Perusahaan H dikenai sanksi sebanyak 2 (dua) kali dalam 1 (satu)
tahun, yaitu tahun 2019 maka Bank Indonesia memberitahukan
secara tertulis pengenaan sanksi administratif teguran tertulis
dimaksud kepada otoritas atau instansi yang berwenang,
kreditur, dan/atau perusahaan induk.
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” adalah keadaan
yang berada di luar kendali Pelapor serta secara nyata
menyebabkan Pelapor
tidak dapat menyusun dan
menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR yang disebabkan
antara lain kebakaran, kerusuhan massa, pemogokan pekerja,
terorisme, perang, sabotase, serangan virus komputer melalui
jaringan (cyber attack), serta bencana alam seperti gempa bumi
dan banjir, sesuai dengan dokumen pendukung dan/atau
dibenarkan oleh pejabat dari instansi terkait di daerah setempat,
termasuk Bank Indonesia.
20
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat,
surat elektronik (e-mail), atau media lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Yang dimaksud dengan “Undang-Undang” adalah Undang-Undang
yang mewajibkan pengungkapan data dan keterangan yang bersifat
rahasia.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat,
surat elektronik (e-mail), atau media lainnya.
Pasal 32
Cukup jelas.
21
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bagi Pelapor yang telah menyampaikan laporan ULN dan/atau
TPR berupa rencana ULN baru untuk periode data tahun 2019
sebelum berlakunya Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini
dianggap telah menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR
berupa rencana ULN baru.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/4/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BERUPA UTANG LUAR NEGERI DAN TRANSAKSI PARTISIPASI RISIKO </reg_title>
<set_date> 28 Februari 2019 </set_date>
<effective_date> 1 Maret 2019 </effective_date>
<replaced_reg> '17/4/DSta|SE-BI/2015', '15/16/DInt|SE-BI/2013' </replaced_reg>
<related_reg> '21/2/PBI/2019', '16/10/PBI/2014', '21/1/PBI/2019', '17/23/PBI/2015' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/9/PADG/2017
TENTANG
LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG YANG MELAKUKAN KEGIATAN
TERKAIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mencapai pasar keuangan yang likuid dan
efisien dibutuhkan pengembangan instrumen pasar uang
yang dapat ditransaksikan oleh pelaku pasar uang;
b. bahwa tersedianya instrumen pasar uang berupa surat
berharga komersial juga memberikan fleksibilitas
pengelolaan likuiditas pelaku pasar uang dan mendorong
pembiayaan ekonomi nasional;
c. bahwa pengaturan surat berharga komersial di pasar
uang perlu memperhatikan aspek tata kelola yang baik,
mekanisme transaksi yang aman dan efisien, serta
memperhatikan prinsip kehati-hatian dan didukung
pengawasan yang efektif;
d. bahwa lembaga pendukung pasar uang memiliki peran
dalam menciptakan pasar surat berharga komersial yang
likuid dan efisien serta memiliki tata kelola yang baik;
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
e. bahwa
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur
tentang Lembaga Pendukung Pasar Uang yang
Melakukan Kegiatan Terkait Surat Berharga Komersial di
Pasar Uang;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016
tentang Pasar Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 148, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5909);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017
tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga
Komersial di Pasar Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 164, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6100);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG YANG MELAKUKAN
KEGIATAN TERKAIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI
PASAR UANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang
bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam-
meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai
dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang rupiah dan
valuta asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan
moneter, pencapaian stabilitas sistem keuangan, serta
kelancaran sistem pembayaran dan pengelolaan uang
rupiah.
2. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
3. Korporasi Non-Bank adalah badan hukum yang
berbentuk perseroan terbatas selain Bank.
4.
Instrumen Pasar Uang adalah instrumen yang
ditransaksikan di Pasar Uang, yang meliputi instrumen
yang diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 1
(satu) tahun, sertifikat deposito, dan instrumen lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia, termasuk yang
berdasarkan prinsip syariah.
5. Surat Berharga Komersial adalah surat berharga yang
diterbitkan oleh Korporasi Non-Bank berbentuk surat
sanggup (promissory note) dan berjangka waktu sampai
dengan 1 (satu) tahun yang terdaftar di Bank Indonesia.
6. Pelaku Pasar Uang yang selanjutnya disebut Pelaku
Pasar adalah pihak yang melakukan kegiatan penerbitan
Instrumen Pasar Uang dan/atau melakukan transaksi di
Pasar Uang.
7. Penerbit Surat Berharga Komersial adalah pihak yang
memenuhi persyaratan untuk menerbitkan Surat
Berharga Komersial.
8. Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial adalah
Pelaku Pasar yang melakukan transaksi Surat Berharga
Komersial.
9. Lembaga Pendukung Pasar Uang adalah pihak yang
memberikan jasa terkait penerbitan Instrumen Pasar
Uang, perantara pelaksanaan transaksi, penyelesaian
transaksi, dan/atau penatausahaan Instrumen Pasar
Uang dan transaksi di Pasar Uang, dan pihak lainnya
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
10. Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang
memberikan jasa dalam penerbitan Surat Berharga
Komersial.
11. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang
memberikan jasa perantara pelaksanaan transaksi Surat
Berharga Komersial.
12. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial adalah Lembaga
Pendukung Pasar Uang yang memberikan jasa
penatausahaan dan penyelesaian transaksi Surat
Berharga Komersial.
13. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai pasar modal.
14. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah
perusahaan pialang sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing.
15. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang
selanjutnya disingkat LPP adalah pihak yang
menyelenggarakan kegiatan kustodian sentral
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai pasar modal.
BAB II
TUGAS, PERSYARATAN, DAN DOKUMEN PENDAFTARAN
Pasal 2
(1) Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan
kegiatan terkait Surat Berharga Komersial di Pasar Uang
terdiri atas:
a. Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial;
b. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial; dan
c. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial.
(2) Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan
kegiatan terkait Surat Berharga Komersial di Pasar Uang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terdaftar di
Bank Indonesia.
Bagian Kesatu
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial
Pasal 3
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial
terdiri atas:
a. Bank atau Perusahaan Efek yang bertindak sebagai
penata laksana (arranger) penerbitan;
lembaga pemeringkat;
b.
c. konsultan hukum;
d. akuntan publik;
e. notaris; dan
f.
lembaga lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Paragraf Kesatu
Tugas Lembaga Pendukung Penerbitan
Surat Berharga Komersial
Pasal 4
Penata laksana (arranger) penerbitan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf a memiliki tugas:
a. membantu calon Penerbit atau Penerbit dalam proses
penerbitan Surat Berharga Komersial, meliputi:
1) mempersiapkan dokumen penerbitan;
2) struktur penawaran;
3)
jadwal waktu penerbitan;
4) penentuan target investor;
5) pemasaran; dan
6) distribusi Surat Berharga Komersial.
b. melakukan koordinasi dengan seluruh lembaga dan
profesi pendukung yang terlibat; dan
c. melakukan tugas lain yang diperlukan dalam rangka
menatalaksanakan penerbitan Surat Berharga Komersial.
Pasal 5
(1) Lembaga pemeringkat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf b memiliki tugas:
a. memberikan penilaian pemeringkatan (credit rating)
terhadap Korporasi Non-Bank yang akan
menerbitkan Surat Berharga Komersial dan Surat
Berharga Komersial yang diterbitkan; dan
b. melakukan tugas lain yang diperlukan dalam rangka
penerbitan Surat Berharga Komersial.
(2) Dalam hal penerbitan Surat Berharga Komersial disertai
dengan penjaminan, lembaga pemeringkat memberikan
penilaian pemeringkatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dengan mempertimbangkan kapabilitas pihak
yang memberikan penjaminan.
Pasal 6
Konsultan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf c memiliki tugas menyusun opini hukum atas kondisi
atau keadaan suatu perusahaan, terkait:
a. ketaatan perusahaan terhadap ketentuan anggaran
dasarnya dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam menjalankan kegiatan usahanya;
b. perikatan yang dapat mempengaruhi kemampuan
membayar korporasi;
c. aset material yang dimiliki oleh korporasi; dan
d. hal penting lainnya yang terkait dengan rencana
penerbitan Surat Berharga Komersial.
Pasal 7
Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d
memiliki tugas:
a. melakukan pemeriksaan laporan keuangan;
b. memberikan pendapat terhadap laporan keuangan calon
Penerbit atau Penerbit Surat Berharga Komersial; dan
c. mempersiapkan hal-hal lain yang diperlukan dalam
penerbitan Surat Berharga Komersial.
Pasal 8
Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e
memiliki tugas:
a. melakukan penyusunan dokumen hukum dan
legalitasnya; dan
b. melakukan tugas lain yang berkaitan dengan jabatannya
dalam rencana penerbitan Surat Berharga Komersial.
Paragraf Kedua
Persyaratan bagi Penata Laksana (Arranger) Penerbitan
Surat Berharga Komersial
Pasal 9
Penata laksana (arranger) Penerbitan terdiri atas:
a. Bank; dan
b. Perusahaan Efek.
Pasal 10
(1) Bank atau Perusahaan Efek yang akan menjadi penata
laksana (arranger) penerbitan yang terdaftar di Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a,
harus mengajukan surat permohonan kepada Bank
Indonesia, sebagaimana contoh dalam Lampiran I yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dokumen pendukung:
a.
terkait keabsahan aspek kelembagaan:
1. untuk Bank:
a)
fotokopi akta pendirian yang telah
disahkan oleh instansi yang berwenang,
berikut perubahannya
memperoleh persetujuan dari instansi yang
berwenang atau telah diterbitkan surat
pemberitahuan perubahan anggaran dasar
dari instansi yang berwenang; dan
yang telah
b)
fotokopi surat persetujuan izin kegiatan
usaha bank umum sebagai penata laksana
(arranger) penerbitan Surat Berharga
Komersial dari otoritas yang berwenang;
2. untuk Perusahaan Efek:
a)
fotokopi akta pendirian yang telah
disahkan oleh instansi yang berwenang,
berikut perubahannya
memperoleh persetujuan dari instansi yang
berwenang atau telah diterbitkan surat
pemberitahuan perubahan anggaran dasar
dari instansi yang berwenang;
b)
fotokopi surat persetujuan izin kegiatan
usaha terkait penata laksana (arranger)
penerbitan Surat Berharga Komersial yang
diberikan oleh otoritas yang berwenang;
dan
c)
fotokopi surat persetujuan izin sebagai
wakil Perusahaan Efek dari otoritas yang
berwenang;
b.
terkait kemampuan penata laksana (arranger)
penerbitan:
1.
informasi perusahaan, paling sedikit meliputi
nama, alamat kantor pusat dan kontak
korespondensi, serta daftar nama direksi dan
dewan komisaris perusahaan serta keahlian;
2. prosedur operasi standar dalam kegiatan
sebagai penata laksana (arranger) penerbitan;
3. dokumen yang memuat pedoman perilaku (code
of conduct);
4. dokumen yang menjelaskan rekam jejak (track
record) orang perseorangan yang bertindak
mewakili penata laksana (arranger) penerbitan
surat berharga selama 3 (tiga) tahun terakhir;
5. dokumen yang menjelaskan rekam jejak (track
record) Perusahaan Efek atau Bank sebagai
yang telah
penata laksana (arranger) penerbitan surat
berharga selama 3 (tiga) tahun terakhir;
6. surat pernyataan yang bermeterai cukup terkait
komitmen manajemen untuk:
a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penerbitan dan
transaksi Surat Berharga Komersial di
Pasar Uang sepanjang terdaftar di Bank
Indonesia;
b) memberikan jasa untuk Penerbitan Surat
Berharga Komersial yang didaftarkan di
Bank Indonesia; dan
c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko dalam pemberian jasa
terkait
penerbitan Surat Berharga
Komersial yang ditransaksikan di Pasar
Uang,
sebagaimana contoh dalam Lampiran III yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Khusus untuk Perusahaan Efek, selain memenuhi
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga
harus menyampaikan dokumen berupa surat pernyataan
yang bermeterai cukup yang ditandatangani oleh wakil
Perusahaan Efek yang bersangkutan yang menjelaskan
bahwa orang perseorangan sebagai wakil Perusahaan
Efek bekerja hanya pada 1 (satu) Perusahaan Efek,
sebagaimana contoh dalam Lampiran II yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
Paragraf Ketiga
Persyaratan bagi Lembaga Pemeringkat
Pasal 11
(1) Lembaga pemeringkat yang akan menjadi
lembaga
pemeringkat Surat Berharga Komersial yang terdaftar di
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf b, harus mengajukan surat permohonan kepada
Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran I.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dokumen pendukung sebagai berikut:
a.
terkait keabsahan aspek kelembagaan:
1.
izin usaha dari otoritas yang berwenang:
a) untuk lembaga pemeringkat Indonesia, izin
dapat bertindak sebagai
pemeringkat yang melakukan kegiatan
penilaian terhadap calon Penerbit dan
instrumen yang akan diterbitkan dari
otoritas yang berwenang;
b) untuk lembaga pemeringkat asing, izin
dapat bertindak sebagai
pemeringkat yang melakukan kegiatan
penilaian terhadap calon Penerbit dan
instrumen yang akan diterbitkan dari
otoritas yang berwenang;
2.
fotokopi akta pendirian yang telah disahkan
oleh instansi yang berwenang, berikut
perubahannya
lembaga
lembaga
yang telah memperoleh
persetujuan dari instansi yang berwenang atau
telah diterbitkan surat pemberitahuan
perubahan anggaran dasar dari instansi yang
berwenang;
3.
fotokopi dokumen nomor pokok wajib pajak
(NPWP) perseroan atau dokumen pajak dari
negara domisili untuk lembaga pemeringkat
asing;
4.
identitas lembaga pemeringkat yang meliputi
antara lain nama, alamat, dan logo;
5. struktur organisasi lembaga pemeringkat Surat
Berharga Komersial yang memisahkan bagian
yang berfungsi sebagai pemeringkatan, riset,
pemasaran dan kepatuhan;
6. data anggota direksi, dewan komisaris, pejabat
satu tingkat di bawah direksi, dan analis baik
yang memiliki maupun yang tidak memiliki
pengalaman dalam bidang keuangan dan
pemeringkatan surat berharga atau keahlian di
bidang pemeringkatan surat berharga, meliputi:
a) daftar nama;
b) daftar riwayat hidup yang telah
ditandatangani oleh yang bersangkutan;
fotokopi ijazah pendidikan formal terakhir;
c)
d)
e)
fotokopi sertifikat keahlian di bidang
pemeringkatan surat berharga (jika ada);
fotokopi kartu tanda penduduk atau
paspor yang masih berlaku;
f) pasfoto terbaru ukuran 4 x 6 sebanyak 2
(dua) lembar;
g)
fotokopi dokumen nomor pokok wajib
pajak (NPWP) atau dokumen pajak dari
negara domisili untuk lembaga
pemeringkat asing bagi anggota direksi,
dewan komisaris, pejabat satu tingkat di
bawah direksi, dan analis, yang diwajibkan
mempunyai nomor pokok wajib pajak
berdasarkan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan;
7. data pemegang saham, meliputi:
a. orang-perseorangan:
1) daftar riwayat hidup; dan
2)
fotokopi kartu tanda penduduk atau
paspor yang masih berlaku;
b. badan hukum:
1) daftar nama badan hukum, alamat
dan bidang usaha;
fotokopi
2)
akta
pendirian
perseroan/badan hukum yang telah
disahkan oleh instansi yang
berwenang, berikut perubahannya;
3)
fotokopi dokumen nomor pokok wajib
pajak (NPWP) atau dokumen pajak
dari negara domisili untuk badan
hukum asing;
4) keterangan mengenai pihak yang
mengendalikan pemegang saham baik
langsung maupun tidak langsung,
meliputi nama dan bentuk
pengendalian;
5) data anggota
komisaris,
direksi,
dewan
dan/atau pengurus,
meliputi:
a) daftar riwayat hidup yang telah
ditandatangani
bersangkutan; dan
b) kartu tanda penduduk atau
paspor;
6) daftar pemegang saham;
8. dokumen sistem pengendalian mutu;
b.
terkait kemampuan lembaga pemeringkat:
1. dokumen yang menjelaskan rekam jejak (track
record) orang perseorangan yang bertindak
sebagai analis pemeringkatan dalam 3 (tiga)
tahun terakhir;
2. dokumen yang menjelaskan prosedur dan
metodologi pemeringkatan;
3. dokumen yang menerangkan jangka waktu
operasional
menjalankan kegiatan operasional paling
kurang 1 (satu) tahun;
4. dokumen yang menerangkan
lembaga
pemeringkat telah mempublikasikan paling
kurang 2 (dua) hasil pemeringkatan;
5. dokumen pengaturan prosedur operasi standar
terkait kebijakan penyebaran informasi;
lembaga pemeringkat telah
oleh yang
6. dokumen yang menjelaskan rekam jejak (track
record) lembaga pemeringkat dalam 3 (tiga)
tahun terakhir;
7. dokumen evaluasi terhadap studi terjadinya
default (default study);
8. dokumen yang menjelaskan bahwa lembaga
pemeringkat memiliki komite pemeringkat
untuk memastikan adanya proses
pemeringkatan yang independen, objektif, dan
dapat dipertanggungjawabkan;
9. surat pernyataan yang bermeterai cukup terkait
komitmen manajemen untuk:
a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penerbitan dan
transaksi Surat Berharga Komersial di
Pasar Uang sepanjang terdaftar di Bank
Indonesia;
b) memberikan jasa untuk Penerbitan Surat
Berharga Komersial yang didaftarkan di
Bank Indonesia; dan
c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko dalam pemberian jasa
terkait
penerbitan Surat Berharga
Komersial yang ditransaksikan di Pasar
Uang,
sebagaimana contoh dalam Lampiran III.
Paragraf Keempat
Persyaratan bagi Konsultan Hukum
Pasal 12
(1) Konsultan hukum yang akan menjadi konsultan hukum
yang terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf c, harus mengajukan surat
permohonan kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh
dalam Lampiran I.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dokumen pendukung:
a.
fotokopi kartu tanda penduduk;
terkait keabsahan individual profesi sebagai
konsultan hukum:
1.
2.
3.
fotokopi dokumen nomor pokok wajib pajak
(NPWP) atas nama konsultan hukum yang
bersangkutan;
fotokopi
ijazah dengan latar belakang
pendidikan tinggi hukum paling kurang strata
1;
4.
fotokopi bukti terdaftar sebagai konsultan
hukum dari otoritas yang berwenang di pasar
keuangan;
5. dokumen yang menjelaskan pendidikan
berkelanjutan yang telah diikuti dalam 1 (satu)
tahun terakhir yang berhubungan dengan
profesi konsultan hukum;
6. dokumen yang menyatakan konsultan hukum
merupakan partner dari kantor konsultan
hukum;
7. surat keterangan dari kantor konsultan hukum
yang menjelaskan bahwa partner dari kantor
konsultan hukum tersebut mengajukan
permohonan untuk terdaftar di Bank Indonesia;
8. dokumen yang menjelaskan kantor konsultan
hukum sebagaimana dimaksud pada angka 6:
a)
fotokopi anggaran dasar atau akta
pendirian badan usaha dari kantor
konsultan hukum;
b)
c)
fotokopi dokumen nomor pokok wajib
pajak atas nama kantor konsultan hukum;
surat keterangan domisili;
d) dokumen yang membuktikan bahwa
kantor konsultan hukum memiliki partner
yang merupakan anggota perhimpunan
konsultan hukum di pasar keuangan;
e)
surat pernyataan bermeterai cukup yang
ditandatangani oleh pimpinan kantor
konsultan hukum yang menyatakan bahwa
kantor
konsultan
hukum akan
melaksanakan kegiatan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan
peraturan lain yang terkait sebagaimana
contoh dalam Lampiran II;
f)
surat perjanjian kerja sama antara kantor
konsultan
hukum dengan
kantor
konsultan hukum lain yang memiliki
konsultan hukum pasar keuangan apabila
konsultan hukum yang menjadi partner
berhalangan untuk melaksanakan
tugasnya, bagi kantor konsultan hukum
yang hanya memiliki 1 (satu) orang partner
konsultan hukum pasar keuangan;
g) struktur organisasi kantor konsultan
hukum yang meliputi pimpinan, susunan
partner, pengawas menengah, dan staf
pelaksana; dan
h) surat pernyataan yang bermeterai cukup
bahwa kantor konsultan hukum memiliki
sarana dan prasarana yang mendukung
kegiatan, kode etik, serta standar profesi
sebagaimana contoh dalam Lampiran II;
b.
terkait kemampuan konsultan hukum:
1.
fotokopi
2.
3.
izin advokat berdasarkan Undang-
Undang yang mengatur mengenai advokat;
fotokopi kartu keanggotaan dalam himpunan
konsultan hukum di pasar keuangan;
fotokopi sertifikat pendidikan profesi dari
perhimpunan konsultan hukum di pasar
keuangan;
4. dokumen yang menjelaskan kegiatan yang
pernah dilakukan di bidang pasar keuangan;
5. surat pernyataan bermeterai cukup yang
menyatakan bahwa konsultan hukum tidak
pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau
dihukum karena terbukti melakukan tindak
pidana di bidang keuangan sebagaimana contoh
dalam Lampiran II;
6. surat pernyataan bermeterai cukup yang
menyatakan kesanggupan untuk mengikuti
program pendidikan berkelanjutan yang relevan
di bidang pasar keuangan sebagaimana contoh
dalam Lampiran II; dan
7. surat pernyataan yang bermeterai cukup terkait
komitmen manajemen untuk:
a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penerbitan dan
transaksi Surat Berharga Komersial di
Pasar Uang sepanjang terdaftar di Bank
Indonesia;
b) memberikan jasa untuk Penerbitan Surat
Berharga Komersial yang didaftarkan di
Bank Indonesia; dan
c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko dalam pemberian jasa
terkait
penerbitan Surat Berharga
Komersial yang ditransaksikan di Pasar
Uang,
sebagaimana contoh dalam Lampiran III.
Paragraf Kelima
Persyaratan bagi Akuntan Publik
Pasal 13
(1) Akuntan publik yang akan menjadi akuntan publik yang
terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf d, harus mengajukan surat
permohonan kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh
dalam Lampiran I.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dokumen pendukung:
a.
fotokopi kartu tanda penduduk;
terkait keabsahan individual profesi sebagai akuntan
publik:
1.
2.
3.
fotokopi dokumen nomor pokok wajib pajak
atas nama akuntan publik yang bersangkutan;
fotokopi surat keputusan dari Menteri
Keuangan mengenai pemberian surat izin
akuntan publik;
4.
fotokopi keanggotaan asosiasi profesi akuntan
publik;
5. surat rekomendasi untuk melakukan kegiatan
di pasar keuangan dari asosiasi profesi akuntan
publik;
6.
fotokopi bukti terdaftar sebagai akuntan publik
dari otoritas yang berwenang di pasar
keuangan;
7. dokumen yang menyatakan bahwa akuntan
publik merupakan rekan dari kantor akuntan
publik;
8. dokumen terkait kantor akuntan publik,
meliputi:
a)
fotokopi anggaran dasar atau akta
pendirian badan usaha dari kantor
akuntan publik;
b)
c)
fotokopi dokumen nomor pokok wajib
pajak atas nama kantor akuntan publik;
fotokopi surat izin usaha kantor akuntan
publik dari Menteri Keuangan;
d) daftar nama rekan yang tergabung dalam
kantor akuntan publik;
e)
fotokopi surat persetujuan dari Menteri
Keuangan mengenai pencantuman nama
kantor akuntan publik asing (KAPA),
apabila
kantor
akuntan
publik
bekerjasama dengan kantor akuntan
publik asing (KAPA);
f)
fotokopi surat persetujuan dari Menteri
Keuangan mengenai pencantuman nama
organisasi audit Indonesia (OAI) dan/atau
organisasi audit asing (OAA), apabila
kantor akuntan publik bekerjasama
dengan organisasi audit Indonesia (OAI)
atau organisasi audit asing (OAA); dan
g) surat keterangan dari kantor akuntan
publik yang menjelaskan bahwa rekan dari
kantor akuntan publik tersebut
mengajukan permohonan untuk terdaftar
di Bank Indonesia;
b.
terkait kemampuan akuntan publik:
1. surat pernyataan bermeterai cukup yang
menyebutkan
bahwa
akuntan
memahami dan mampu melakukan pekerjaan
sesuai dengan kode etik dan standar profesi
sebagaimana contoh dalam Lampiran II;
2.
fotokopi bukti telah mengikuti pelatihan
mengenai pasar keuangan (jika ada);
3. surat pernyataan bermeterai cukup yang
menjelaskan bahwa tidak pernah melakukan
perbuatan tercela dan/atau dihukum karena
terbukti melakukan tindak pidana di bidang
keuangan sebagaimana contoh dalam Lampiran
II;
4. surat pernyataan yang bermeterai cukup terkait
komitmen untuk:
a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penerbitan dan
transaksi Surat Berharga Komersial di
Pasar Uang sepanjang terdaftar di Bank
Indonesia;
publik
b) memberikan jasa untuk Penerbitan Surat
Berharga Komersial yang didaftarkan di
Bank Indonesia;
c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko dalam pemberian jasa
terkait
penerbitan Surat Berharga
Komersial yang ditransaksikan di Pasar
Uang,
sebagaimana contoh dalam Lampiran III;
5. dokumen terkait kantor akuntan publik,
meliputi:
a) surat pernyataan bermeterai cukup yang
menjelaskan kantor akuntan publik
memiliki dan menaati
standar
pengendalian mutu bagi kantor akuntan
publik yang memberikan jasa audit
sebagaimana contoh dalam Lampiran II;
b) surat pernyataan bermeterai cukup yang
ditandatangani oleh pimpinan kantor
akuntan publik yang menyatakan bahwa
pimpinan
kantor
akuntan
publik
bertanggungjawab atas pelaksanaan
pedoman pengendalian mutu yang berlaku
pada kantor akuntan publik yang
bersangkutan sebagaimana contoh dalam
Lampiran II;
c)
struktur organisasi kantor akuntan publik
yang meliputi susunan pimpinan, susunan
rekan, dan staf pelaksana; dan
d) dokumen yang menjelaskan bahwa dalam
melakukan pemeriksaan, kantor akuntan
publik menerapkan paling tidak 2 (dua)
jenjang pengendalian.
Paragraf Keenam
Persyaratan bagi Notaris
Pasal 14
(1) Notaris yang akan menjadi notaris yang terdaftar di Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e,
harus mengajukan surat permohonan kepada Bank
Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran I.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dokumen pendukung:
a.
terkait keabsahan notaris:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
fotokopi kartu tanda penduduk;
fotokopi dokumen nomor pokok wajib pajak
atas nama notaris yang bersangkutan;
fotokopi surat keputusan pengangkatan sebagai
notaris dari instansi terkait;
fotokopi berita acara sumpah notaris yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang;
fotokopi bukti keanggotaan ikatan notaris
Indonesia;
fotokopi bukti terdaftar sebagai notaris di pasar
keuangan dari otoritas yang berwenang di pasar
keuangan;
b.
terkait kemampuan notaris:
1.
fotokopi dokumen yang menjelaskan pendidikan
berkelanjutan yang telah diikuti dalam 1 (satu)
tahun terakhir yang berhubungan dengan
profesi notaris bidang pasar keuangan;
2. surat pernyataan bermeterai cukup mengenai
kesanggupan secara terus menerus mengikuti
program pendidikan profesi lanjutan di bidang
kenotariatan dan peraturan perundang-
undangan di bidang Pasar keuangan
sebagaimana contoh dalam Lampiran II;
3. surat pernyataan bermeterai cukup bahwa yang
bersangkutan tidak pernah melakukan
perbuatan tercela dan/atau dihukum karena
terbukti melakukan tindak pidana di bidang
keuangan sebagaimana contoh dalam Lampiran
II; dan
4. surat pernyataan yang bermeterai cukup terkait
komitmen untuk:
a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penerbitan dan
transaksi Surat Berharga Komersial di
Pasar Uang sepanjang terdaftar di Bank
Indonesia;
b) memberikan jasa untuk Penerbitan Surat
Berharga Komersial yang didaftarkan di
Bank Indonesia;
c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko dalam pemberian jasa
terkait
penerbitan Surat Berharga
Komersial yang ditransaksikan di Pasar
Uang,
sebagaimana contoh dalam Lampiran III.
Pasal 15
(1) Dalam hal notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 berhalangan maka dapat digantikan oleh notaris
pengganti.
(2) Notaris pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14.
Bagian Kedua
Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
Pasal 16
Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
terdiri atas:
a. Perusahaan Efek; dan
b. Perusahaan Pialang.
Paragraf Kesatu
Tugas Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial
Pasal 17
Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memiliki tugas
melakukan kegiatan sebagai perantara jual dan/atau beli
dalam transaksi Surat Berharga Komersial.
Paragraf Kedua
Persyaratan Lembaga Pendukung Transaksi
Surat Berharga Komersial
Pasal 18
(1) Perusahaan Efek atau Perusahaan Pialang yang akan
menjadi Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16, harus mengajukan surat
permohonan kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh
dalam Lampiran I.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen pendukung:
a.
terkait keabsahan aspek kelembagaan:
1.
fotokopi akta pendirian yang telah disahkan
oleh instansi yang berwenang, berikut
perubahannya
yang telah memperoleh
persetujuan dari instansi yang berwenang atau
telah diterbitkan surat pemberitahuan
perubahan anggaran dasar dari instansi yang
berwenang;
2. dokumen yang menjelaskan
informasi
perusahaan, paling kurang meliputi nama,
alamat kantor pusat,
dan kontak
korespondensi, serta daftar nama direksi dan
dewan komisaris; dan
3.
fotokopi bukti izin usaha melakukan kegiatan
sebagai perantara pelaksanaan transaksi dari
otoritas yang berwenang di sektor keuangan;
b.
terkait kemampuan Lembaga Pendukung Transaksi
Surat Berharga Komersial:
1. dokumen
yang menjelaskan
pengendalian mutu;
2. prosedur operasi standar dalam kegiatan
sebagai
memuat tata cara bekerja;
3. dokumen yang memuat pedoman perilaku (code
of conduct); dan
4. surat pernyataan yang bermeterai cukup terkait
komitmen manajemen untuk:
a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penerbitan dan
transaksi Surat Berharga Komersial di
Pasar Uang sepanjang terdaftar di Bank
Indonesia;
b) memberikan jasa untuk Penerbitan Surat
Berharga Komersial yang didaftarkan di
Bank Indonesia; dan
c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko dalam pemberian jasa
terkait
penerbitan Surat Berharga
Komersial yang ditransaksikan di Pasar
Uang,
sebagaimana contoh dalam Lampiran III.
Bagian Ketiga
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial
Pasal 19
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial terdiri atas:
a. Bank yang melaksanakan kegiatan kustodian; dan
lembaga pendukung transaksi yang
pedoman
b. Perusahaan Efek.
Paragraf Kesatu
Tugas Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial
Pasal 20
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 memiliki tugas:
a. mewakili kepentingan nasabah yang merupakan investor
(pemilik Surat Berharga Komersial) dalam proses
penitipan kolektif sejak penyelesaian transaksi Surat
Berharga Komersial hingga penyajian laporan atas
seluruh aktivitasnya sebagai kustodian;
b. meminta kepada investor Surat Berharga Komersial
untuk memberikan kuasa kepada Bank Indonesia untuk
mendapatkan data penyelesaian transaksi dan posisi
kepemilikan Surat Berharga Komersial; dan
c.
tugas lain yang diperlukan dalam rangka
menatausahakan dan menyelesaikan transaksi Surat
Berharga Komersial.
Paragraf Kedua
Persyaratan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial
Pasal 21
(1) Bank yang melaksanakan kegiatan kustodian atau
Perusahaan Efek yang akan menjadi Lembaga
Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi
Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, harus
mengajukan surat permohonan kepada Bank Indonesia
sebagaimana contoh dalam Lampiran I.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen pendukung:
a.
terkait keabsahan aspek kelembagaan:
1. dokumen yang menjelaskan
informasi
perusahaan, paling kurang meliputi nama,
alamat kantor pusat,
dan kontak
korespondensi, serta daftar nama direksi dan
dewan komisaris;
2.
fotokopi akta pendirian yang telah disahkan
oleh instansi yang berwenang, berikut
perubahannya
yang telah memperoleh
persetujuan dari instansi yang berwenang atau
telah diterbitkan surat penerimaan
pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari
instansi yang berwenang;
3.
fotokopi surat persetujuan izin kegiatan usaha
bank sebagai kustodian dari otoritas yang
berwenang bagi Bank atau fotokopi izin
Perusahaan
Efek
yang
dapat
mengadministrasikan rekening efek nasabah
dari otoritas yang berwenang bagi Perusahaan
Efek;
b.
terkait
kemampuan Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat
Berharga Komersial:
1. dokumen
yang menjelaskan
pengendalian mutu;
2. prosedur operasi standar dalam kegiatan
sebagai Lembaga Pendukung Penatausahaan
dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga
Komersial yang memuat tata cara bekerja;
3. dokumen yang memuat pedoman perilaku (code
of conduct); dan
4. surat pernyataan yang bermeterai cukup terkait
komitmen manajemen untuk:
a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penerbitan dan
pedoman
transaksi Surat Berharga Komersial di
Pasar Uang sepanjang terdaftar di Bank
Indonesia;
b) memberikan jasa untuk penatausahaan
dan penyelesaian transaksi Surat Berharga
Komersial yang didaftarkan di Bank
Indonesia; dan
c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko dalam pemberian jasa
terkait
penerbitan Surat Berharga
Komersial yang ditransaksikan di Pasar
Uang,
sebagaimana contoh dalam Lampiran III.
BAB III
PENGUNGKAPAN INFORMASI TERKAIT HUBUNGAN AFILIASI
Pasal 22
(1) Dalam hal Lembaga Pendukung Penerbitan Surat
Berharga Komersial merupakan pihak yang terafiliasi
dengan Penerbit Surat Berharga Komersial dan/atau
pihak lain yang terlibat dalam penerbitan Surat Berharga
Komersial, Lembaga Pendukung Penerbitan Surat
Berharga Komersial harus menyampaikan informasi
mengenai hubungan afiliasi tersebut di dalam
memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya.
(2) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan memiliki hubungan afiliasi dengan calon
Penerbit Surat Berharga Komersial apabila:
a. memiliki saham pada korporasi calon Penerbit Surat
Berharga Komersial;
b. memiliki pemegang saham yang sama dengan calon
Penerbit Surat Berharga Komersial; dan/atau
c. merupakan anak perusahaan dari calon Penerbit
Surat Berharga Komersial.
Pasal 23
Dalam hal Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial memiliki hubungan afiliasi dengan calon Penerbit
Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Penerbitan
Surat Berharga Komersial harus menyampaikan surat
pernyataan bermeterai cukup yang menjelaskan hal tersebut
pada saat proses permohonan penerbitan, sebagaimana
contoh dalam Lampiran II.
BAB IV
PEMROSESAN PERMOHONAN PENDAFTARAN
LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG YANG MELAKUKAN
KEGIATAN TERKAIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL
DI PASAR UANG
Pasal 24
Pengajuan permohonan untuk terdaftar di Bank Indonesia
sebagai:
a. Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
b. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16; dan
c. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19,
ditujukan kepada:
Departemen Pengembangan Pasar Keuangan
Bank Indonesia
Gedung C Lantai 5
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
Surat elektronik: [email protected]
Pasal 25
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan untuk terdaftar di Bank Indonesia
sebagai:
a. Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
b. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16;
dan
c. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
(2) Pemberian persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. melakukan penelaahan administratif atas seluruh
dokumen yang dipersyaratkan; dan
b. mempertimbangkan aspek independen, objektif, dan
profesional dari calon Lembaga Pendukung
Penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga
Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial,
dan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial.
Pasal 26
(1) Persetujuan atas permohonan untuk terdaftar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) diberikan
dalam hal:
a. hasil penelaahan administratif
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a
menunjukkan bahwa dokumen yang disampaikan
pemohon telah lengkap, benar, dan sesuai dengan
kriteria yang diatur oleh Bank Indonesia; dan
b. hasil klarifikasi lanjutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b menunjukkan
kebenaran sesuai dengan dokumen yang diajukan
dan/atau tidak terdapat permasalahan berdasarkan
informasi dari otoritas yang berwenang.
(2) Permohonan untuk terdaftar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1) ditolak dalam hal:
a. hasil penelaahan administratif
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a
sebagaimana
menunjukkan bahwa dokumen yang disampaikan
pemohon tidak benar dan/atau tidak sesuai
terhadap kriteria yang diatur dengan yang
dipersyaratkan oleh Bank Indonesia; dan
b. hasil klarifikasi lanjutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b tidak menunjukkan
kebenaran dan kesesuaian dengan dokumen yang
diajukan dan/atau terdapat permasalahan
berdasarkan informasi dari otoritas pengawas
lembaga keuangan yang berwenang.
Pasal 27
Dalam rangka pemberian persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Bank Indonesia dapat
meminta tambahan dokumen atau informasi dalam hal
diperlukan.
Pasal 28
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan untuk terdaftar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1) paling lambat 20 (dua puluh) hari
kerja sejak surat permohonan dan dokumen pendukung
diterima oleh Bank Indonesia secara lengkap.
(2) Penyampaian persetujuan atau penolakan oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis melalui surat.
(3) Bank Indonesia mempublikasikan daftar Lembaga
Pendukung Pasar Uang yang telah memperoleh
persetujuan untuk melakukan kegiatan terkait Surat
Berharga Komersial di Pasar Uang dalam website Bank
Indonesia dan/atau sarana elektronik lainnya.
Pasal 29
Bank Indonesia dapat mencabut persetujuan atas
permohonan untuk terdaftar sebagaimana diatur dalam Pasal
25 ayat (1) dalam hal:
a.
b.
izin usaha atau keanggotaan profesi dicabut oleh otoritas
yang berwenang;
terdapat putusan badan peradilan terkait dengan
kegiatan usaha Lembaga Pendukung Pasar Uang yang
melakukan kegiatan terkait Surat Berharga Komersial di
Pasar Uang;
c.
d.
terdapat rekomendasi dari otoritas yang berwenang;
telah dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan
di pasar Surat Berharga Komersial sebanyak 3 (tiga) kali
sebagaimana diatur di dalam Peraturan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai Penerbitan dan Transaksi Surat
Berharga Komersial di Pasar Uang;
e. berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia
menunjukkan adanya permasalahan yang mempengaruhi
kemampuan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat
Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi
Surat Berharga Komersial, dan Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat
Berharga Komersial dalam melakukan kegiatan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai Penerbitan dan Transaksi Surat
Berharga Komersial di Pasar Uang; dan/atau
f.
terdapat permintaan dari lembaga atau individu profesi
yang bersangkutan dengan persetujuan dari otoritas
pengawas yang berwenang.
Pasal 30
(1) Dalam hal terjadi aksi korporasi berupa penggabungan,
peleburan, atau pengambilalihan dari Lembaga
Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial,
Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial, dan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang
telah terdaftar di Bank Indonesia, Bank Indonesia
mencabut persetujuan yang sudah diberikan.
(2) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat
Berharga Komersial, dan Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat
Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat mengajukan permohonan untuk terdaftar kembali
dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Pencabutan persetujuan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban
yang harus dipenuhi oleh Lembaga Pendukung
Penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga
Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, dan
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial.
BAB V
TATA CARA PELAPORAN LEMBAGA PENDUKUNG
PASAR UANG YANG MELAKUKAN KEGIATAN TERKAIT
SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG
Pasal 31
(1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat
Berharga Komersial,
serta Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat
Berharga Komersial yang telah terdaftar di Bank
Indonesia wajib menyampaikan laporan nontransaksional
kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan nontransaksional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia secara
tertulis dan melalui sarana elektronik.
(3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditujukan kepada:
Departemen Pengembangan Pasar Keuangan
Bank Indonesia
Gedung C Lantai 5
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
Surat elektronik: [email protected]
(4) Dalam hal terdapat perubahan alamat dan surat
elektronik penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) Bank Indonesia memberitahukan secara
tertulis melalui surat.
Bagian Kesatu
Laporan Lembaga Pendukung Penerbitan
Surat Berharga Komersial
Pasal 32
(1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial
wajib menyampaikan
laporan
nontransaksional kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) secara:
a. berkala; dan
b.
insidental
(2) Periode pelaporan berkala sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a adalah dari tanggal 1 April sampai
dengan tanggal 31 Maret tahun berikutnya.
(3) Penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat pada hari
kerja terakhir di bulan April.
Pasal 33
(1) Penyampaian laporan secara berkala sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a dilakukan
untuk laporan yang terkait dengan aspek kemampuan
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial dalam menjalankan fungsinya.
(2) Laporan secara berkala sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a.
laporan peningkatan mutu, yang memuat kegiatan
peningkatan pengetahuan dan kompetensi Lembaga
Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial
terkait pasar keuangan yang diselenggarakan oleh
Bank Indonesia, otoritas terkait, dan/atau asosiasi
profesi yang bersangkutan; dan
b.
laporan kegiatan pemberian jasa penerbitan Surat
Berharga Komersial, yang memuat jasa yang
diberikan terkait penerbitan Surat Berharga
Komersial.
(3) Laporan berkala disampaikan
dengan format
sebagaimana contoh dalam Lampiran IV yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
Pasal 34
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial
dianggap tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), dalam hal Lembaga
Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial tidak
menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia sampai
dengan batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (3).
Pasal 35
(1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial wajib menyampaikan laporan insidental dalam
hal terdapat perubahan data pendukung terkait aspek
kelembagaan dan aspek kemampuan dalam menjalankan
fungsinya.
(2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat perubahan data dan/atau informasi terkait
dokumen yang disampaikan pada saat pendaftaran.
Pasal 36
(1) Penyampaian laporan insidental kepada Bank Indonesia
dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
sejak terdapat perubahan secara formal.
(2) Laporan insidental disampaikan dengan format
sebagaimana contoh dalam Lampiran V yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 37
Dalam hal sampai dengan batas waktu yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), Lembaga
Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial tidak
menyampaikan laporan
insidental
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) maka Lembaga
Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial
dianggap tidak menyampaikan laporan insidental kepada
Bank Indonesia.
Pasal 38
(1) Dalam hal Bank Indonesia memerlukan informasi
tambahan atas laporan berkala sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (1) dan laporan insidental
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), Lembaga
Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial wajib
menyampaikan informasi tambahan tersebut kepada
Bank Indonesia.
(2) Penyampaian informasi tambahan kepada Bank
Indonesia dilakukan sesuai jangka waktu yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia secara tertulis melalui
surat.
(3) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang tidak menyampaikan informasi tambahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam batas waktu
yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dianggap tidak menyampaikan informasi tambahan.
Bagian Kedua
Laporan Lembaga Pendukung Transaksi
Surat Berharga Komersial
Pasal 39
(1) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
wajib menyampaikan laporan nontransaksional berupa
laporan insidental kepada Bank Indonesia dalam hal
terdapat perubahan data pendukung terkait aspek
kelembagaan dan aspek kemampuan dalam menjalankan
fungsinya.
(2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat perubahan data dan/atau informasi terkait
dokumen yang disampaikan pada saat pendaftaran.
Pasal 40
(1) Penyampaian laporan insidental kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1)
dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
sejak terdapat perubahan secara formal.
(2) Laporan insidental disampaikan dengan format
sebagaimana contoh dalam Lampiran V.
(3) Dalam hal sampai dengan batas waktu yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga
Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial tidak
menyampaikan laporan insidental
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) maka Lembaga
Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
dianggap tidak menyampaikan laporan insidental.
Pasal 41
(1) Dalam hal Bank Indonesia memerlukan informasi
tambahan atas laporan insidental sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39 ayat (1), Lembaga Pendukung Transaksi
Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan informasi
tambahan tersebut kepada Bank Indonesia.
(2) Penyampaian informasi tambahan kepada Bank
Indonesia dilakukan sesuai jangka waktu penyampaian
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia secara tertulis
melalui surat.
(3) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang
tidak menyampaikan informasi tambahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam batas waktu
yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dianggap tidak menyampaikan informasi tambahan
kepada Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Laporan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial
Pasal 42
(1) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial wajib
menyampaikan laporan nontransaksional berupa laporan
insidental kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat
perubahan data pendukung terkait aspek kelembagaan
dan aspek kemampuan dalam menjalankan fungsinya.
(2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat perubahan data dan/atau informasi terkait
dokumen yang disampaikan pada saat pendaftaran.
Pasal 43
(1) Penyampaian laporan insidental kepada Bank Indonesia
dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
sejak terdapat perubahan secara formal.
(2) Laporan insidental disampaikan dengan format
sebagaimana contoh dalam Lampiran V.
(3) Dalam hal sampai dengan batas waktu yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga
Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi
Surat Berharga Komersial tidak menyampaikan laporan
insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1)
maka Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial
dianggap tidak menyampaikan laporan insidental kepada
Bank Indonesia.
Pasal 44
(1) Dalam hal Bank Indonesia memerlukan informasi
tambahan atas laporan insidental sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (1), Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat
Berharga Komersial wajib menyampaikan informasi
tambahan tersebut kepada Bank Indonesia.
(2) Penyampaian informasi tambahan kepada Bank
Indonesia dilakukan sesuai jangka waktu yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia secara tertulis melalui
surat.
(3) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak
menyampaikan informasi tambahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam batas waktu yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dianggap tidak menyampaikan informasi tambahan
kepada Bank Indonesia.
BAB VI
PENGAWASAN
Pasal 45
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat
Berharga Komersial,
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat
Berharga Komersial.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
serta Lembaga Pendukung
b. pemeriksaan.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi
dengan otoritas lain yang berwenang dan/atau lembaga
profesi terkait.
(4) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat
menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
Pasal 46
(1) Dalam rangka pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b, Lembaga Pendukung
Penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga
Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, serta
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial wajib menyediakan
dan menyampaikan data,
informasi, dan/atau
keterangan yang diperlukan oleh Bank Indonesia.
(2) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat
Berharga Komersial,
serta Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat
Berharga Komersial wajib bertanggung jawab atas
kebenaran data, informasi, dan/atau keterangan yang
disampaikan kepada Bank Indonesia.
BAB VII
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi bagi Lembaga Pendukung Penerbitan
Surat Berharga Komersial di Pasar Uang
Pasal 47
(1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang tidak menyampaikan laporan berkala
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan
Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang tidak menyediakan data, informasi,
dan/atau keterangan secara benar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5) dan/atau Pasal 37 ayat
(6) Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017
tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga
Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(3) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang tidak menyampaikan laporan dalam hal
terdapat perubahan data pendukung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 Peraturan Bank Indonesia
Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi
Surat Berharga Komersial di Pasar Uang, dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(4) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang tidak menyampaikan tambahan informasi
yang diminta oleh Bank Indonesia atas laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan
Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(5) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang tidak menyampaikan laporan kepada
Bank Indonesia dalam 20 (dua puluh) hari kerja sejak
dikenakan teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (4) dikenakan sanksi teguran
tertulis berikutnya.
(6) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang memberikan jasa penerbitan atas Surat
Berharga Komersial yang tidak terdaftar di Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017
tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga
Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(7) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang memberikan pendapat dan keterangan
yang tidak objektif, tidak independen serta memberikan
pendapat dan keterangan yang menyesatkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan
Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(8) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian
dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat
Berharga Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
Pasal 48
Penyampaian surat pengenaan sanksi
teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ditembuskan kepada
otoritas lain yang berwenang, instansi, asosiasi, dan/atau
lembaga profesi yang terkait.
Pasal 49
(1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang mendapatkan sanksi administratif berupa
teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan, dikenakan sanksi penghentian sementara
pemberian jasa dalam penerbitan Surat Berharga
Komersial selama 1 (satu) bulan sejak surat teguran
tertulis terakhir disampaikan.
(2) Cara penghitungan sanksi penghentian sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagaimana
contoh dalam Lampiran VI yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 50
(1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang mendapatkan sanksi penghentian
sementara pemberian jasa dalam penerbitan Surat
Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49 ayat (1) sebanyak 3 (tiga) kali, dikenakan sanksi
dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Penerbitan
Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank
Indonesia.
(2) Cara penghitungan sanksi dikeluarkan dari daftar
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana
contoh dalam Lampiran VII yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(3) Penyampaian surat pengenaan sanksi dikeluarkan dari
daftar Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang,
instansi, asosiasi, dan/atau lembaga profesi yang terkait.
Pasal 51
(1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang melakukan pelanggaran atas kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 37 ayat (5)
dan Pasal 37 ayat (6) Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat
Berharga Komersial di Pasar Uang yang berdampak
signifikan dan/atau menimbulkan kerugian, dikenakan
sanksi berupa penghentian sementara pemberian jasa
dalam penerbitan Surat Berharga Komersial selama 1
(satu) bulan sejak surat penghentian sementara
disampaikan.
(2) Penyampaian surat pengenaan sanksi penghentian
sementara pemberian jasa dalam penerbitan Surat
Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang,
instansi, asosiasi, dan/atau lembaga profesi yang terkait.
Pasal 52
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial
yang mendapatkan sanksi administratif berupa teguran
tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan
penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 dan Pasal 51, tetap harus memenuhi kewajiban yang
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat
Berharga Komersial di Pasar Uang.
Bagian Kedua
Sanksi bagi Lembaga Pendukung Transaksi
Surat Berharga Komersial
Pasal 53
(1) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang tidak menyediakan data, informasi, dan/atau
keterangan secara benar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (5) dan/atau Pasal 37 ayat (6) Peraturan
Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang
Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di
Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(2) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang tidak menyampaikan laporan dalam hal terdapat
perubahan data pendukung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat
Berharga Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(3) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang tidak menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja
sejak penyampaian teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi
teguran tertulis berikutnya.
(4) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang memberikan jasa perantara pelaksanaan transaksi
Surat Berharga Komersial yang tidak terdaftar di Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017
tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga
Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(5) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017
tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga
Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
Pasal 54
Penyampaian surat pengenaan sanksi
teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ditembuskan kepada
otoritas lain yang berwenang dan/atau asosiasi yang terkait.
Pasal 55
(1) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang menerima sanksi administratif berupa teguran
tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6
(enam) bulan dikenakan sanksi penghentian sementara
pemberian jasa perantara pelaksanaan transaksi Surat
Berharga Komersial selama 1 (satu) bulan sejak surat
teguran tertulis terakhir disampaikan.
(2) Cara penghitungan sanksi penghentian sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana
contoh dalam Lampiran VI.
Pasal 56
(1) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang mendapatkan sanksi penghentian sementara
pemberian jasa perantara pelaksanaan Transaksi Surat
Berharga Komersial sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dikeluarkan dari daftar
Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang terdaftar di Bank Indonesia.
(2) Cara penghitungan sanksi dikeluarkan dari daftar
Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana contoh
dalam Lampiran VII.
(3) Penyampaian surat pengenaan sanksi dikeluarkan dari
daftar Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang
dan/atau asosiasi yang terkait.
Pasal 57
Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang mendapatkan sanksi administratif berupa teguran
tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan
penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
55, tetap harus memenuhi kewajiban yang diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang
Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar
Uang.
Bagian Ketiga
Sanksi bagi Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial
Pasal 58
(1) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak
menyediakan data, informasi, dan/atau keterangan
secara benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(5) dan/atau Pasal 37 ayat (6) Peraturan Bank Indonesia
Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi
Surat Berharga Komersial di Pasar Uang, dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak
menyampaikan laporan dalam hal terdapat perubahan
data pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017
tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga
Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(3) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak
menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dalam
jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi teguran
tertulis berikutnya.
(4) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak
menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan
Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Pasal 59
Penyampaian surat pengenaan sanksi
teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ditembuskan kepada
otoritas lain yang berwenang, Kustodian Sentral Efek
Indonesia (KSEI), dan/atau asosiasi yang terkait.
Pasal 60
(1) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang menerima
sanksi administratif berupa teguran tertulis sebanyak 3
(tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, dikenakan
sanksi penghentian sementara penerimaan
penatausahaan Surat Berharga Komersial dari nasabah
baru selama 1 (satu) bulan sejak surat teguran tertulis
terakhir disampaikan.
(2) Cara penghitungan sanksi penghentian sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana
contoh dalam Lampiran VI.
(3) Penyampaian surat pengenaan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada otoritas lain
yang berwenang, Kustodian Sentral Efek Indonesia
(KSEI), dan/atau asosiasi terkait.
Pasal 61
(1) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang mendapatkan
sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1)
sebanyak 3 (tiga) kali dikenakan sanksi dikeluarkan dari
daftar Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang
terdaftar di Bank Indonesia.
(2) Cara penghitungan sanksi dikeluarkan dari daftar
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang terdaftar di
Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran VII.
(3) Penyampaian surat pengenaan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada otoritas lain
yang berwenang, Kustodian Sentral Efek Indonesia
(KSEI), dan/atau asosiasi yang terkait.
Pasal 62
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang mendapatkan
sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 dan penghentian sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60,
tetap harus
memenuhi kewajiban yang diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan
Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 63
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 4 September 2017.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 September 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
PERRY WARJIYO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/9/PADG/2017
TENTANG
LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG YANG MELAKUKAN KEGIATAN
TERKAIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG
I. UMUM
Dalam rangka meningkatkan efektivitas kebijakan moneter,
makroprudensial, stabilitas sistem keuangan, kelancaran sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah,
pengembangan pasar uang yang likuid, dalam, dan efisien. Salah satu
elemen utama pengembangan pasar uang adalah pengembangan
instrumen pasar uang yang mampu mendorong tersedianya variasi bagi
pelaku pasar.
Terkait hal tersebut, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi
Surat Berharga Komersial di Pasar Uang. Dalam ketentuan tersebut, Bank
Indonesia selaku otoritas di pasar uang mengatur, memberikan
persetujuan terdaftar, mengembangkan dan mengawasi Lembaga
Pendukung Pasar Uang yang akan terlibat dalam proses penerbitan Surat
Berharga Komersial. Ketentuan tersebut merupakan landasan hukum bagi
pelaku pasar, termasuk Lembaga Pendukung Pasar Uang.
Dalam rangka implementasi ketentuan tersebut, Bank Indonesia
menetapkan peraturan pelaksanaan yang berfungsi sebagai pedoman
pelaksanaan bagi Lembaga Pendukung Pasar Uang yang akan terlibat
dalam proses penerbitan Surat Berharga Komersial sebelum melakukan
kegiatan penerbitan Surat Berharga Komersial, transaksi Surat Berharga
perlu dilakukan
Komersial, serta penatausahaan dan penyelesaian transaksi Surat
Berharga Komersial, yang terdiri dari aspek proses pendaftaran, pelaporan
dan pengawasan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Hal yang dipertimbangkan dalam pemberian peringkat
antara lain kemampuan Penerbit Surat Berharga Komersial
untuk melakukan pembayaran kewajiban secara tepat
waktu.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Aset material adalah aset yang memiliki nilai perolehan atau nilai
pasar yang sangat signifikan dibandingkan dengan total aset yang
dimiliki perusahaan.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “dokumen yang memuat
pedoman perilaku” adalah dokumen yang memuat
perilaku yang diperbolehkan dan yang tidak
diperbolehkan dalam melakukan berbagai tahapan
proses penerbitan surat berharga.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Yang dimaksud dengan “pasar keuangan” adalah pasar
uang dan pasar modal.
Angka 5
Yang dimaksud dengan
“pendidikan yang
berkelanjutan” adalah pendidikan yang relevan yang
harus diikuti oleh konsultan hukum yang sudah
terdaftar di pasar keuangan setiap tahun.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “pendidikan berkelanjutan”
adalah pendidikan yang relevan yang harus diikuti oleh
notaris yang sudah terdaftar di pasar keuangan setiap
tahun.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dokumen lainnya” adalah surat
pernyataan yang disampaikan Lembaga Pendukung Penerbitan
Surat Berharga Komersial kepada Bank Indonesia pada saat
pengajuan permohonan pendaftaran untuk mengungkapkan
adanya
hubungan
Penerbitan Surat Berharga Komersial dengan calon Penerbit
Surat Berharga Komersial.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
afiliasi antara Lembaga Pendukung
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud “laporan nontransaksional” adalah laporan
selain transaksi Surat Berharga Komersial yang wajib dilaporkan
oleh Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial,
Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, dan
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi
Surat Berharga Komersial.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “insidental” adalah penyampaian
laporan perubahan data pendukung dilakukan sewaktu-
sewaktu segera setelah terjadinya perubahan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Jasa yang diberikan terkait penerbitan Surat Berharga
Komersial mencakup jasa yang diberikan sehubungan
dengan persiapan penerbitan Surat Berharga Komersial
maupun yang diberikan pascapenerbitan Surat Berharga
Komersial kepada Penerbit Surat Berharga Komersial.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “insidental” adalah penyampaian laporan
perubahan data pendukung dilakukan sewaktu-sewaktu segera
setelah terjadinya perubahan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “perubahan data dan/atau informasi
terkait dokumen yang disampaikan pada saat pendaftaran”
meliputi:
a.
informasi kelembagaan, seperti perubahan kepengurusan
perusahaan, lokasi kantor, dan kepemilikan;
b. penambahan atau pengurangan izin usaha atau izin
prinsip;
c. pedoman internal;
d. perubahan prosedur operasi standar; dan/atau
e. pencabutan izin keanggotaan asosiasi profesi.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “insidental” adalah penyampaian laporan
perubahan data pendukung dilakukan sewaktu-sewaktu
segera setelah terjadinya perubahan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “perubahan data dan/atau informasi
terkait dokumen yang disampaikan pada saat pendaftaran”
meliputi:
a. informasi kelembagaan, seperti perubahan kepengurusan
perusahaan, lokasi kantor, dan kepemilikan;
b. penambahan atau pengurangan izin usaha atau izin prinsip;
c. pedoman internal; dan/atau
d. perubahan prosedur operasi standar.
Pasal 40
Ayat (1)
Contoh penyampaian laporan yang terkait perubahan data
pendukung dalam 14 (empat belas) hari kerja sejak terdapat
perubahan secara formal:
1. Perubahan prosedur operasi standar dilaporkan setelah
penetapan diberlakukannya prosedur tersebut;
2. Perubahan kepengurusan dilaporkan setelah AD/ART
disahkan oleh instansi yang berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “perubahan data dan/atau informasi
terkait dokumen yang disampaikan pada saat pendaftaran”
meliputi:
a.
informasi kelembagaan, seperti perubahan kepengurusan
perusahaan, lokasi kantor, dan kepemilikan;
b. penambahan atau pengurangan izin usaha atau izin
prinsip;
c. pedoman internal; dan/atau
d. perubahan prosedur operasi standar.
Pasal 43
Ayat (1)
Contoh penyampaian laporan yang terkait perubahan data
pendukung dalam 14 (empat belas) hari kerja sejak terdapat
perubahan secara formal:
1. Perubahan prosedur operasi standar dilaporkan setelah
penetapan diberlakukannya prosedur tersebut;
2. Perubahan kepengurusan dilaporkan setelah AD/ART
disahkan oleh instansi yang berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Lembaga profesi terkait seperti Himpunan Konsultan Hukum
Pasar Modal (HKHPM), Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI)
atau Ikatan Notaris Indonesia (INI).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 19/9/PADG/2017 </reg_id>
<reg_title> LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG YANG MELAKUKAN KEGIATAN TERKAIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG </reg_title>
<set_date> 4 September 2017 </set_date>
<effective_date> 4 September 2017 </effective_date>
<related_reg> '19/9/PBI/2017', '18/11/PBI/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/1/PADG/2019
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR
19/6/PADG/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI
BANK UMUM KONVENSIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menerbitkan perubahan
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pinjaman likuiditas jangka pendek bagi bank umum
konvensional dengan menambah jenis agunan berkualitas
tinggi berupa Sukuk Bank Indonesia;
b. bahwa perubahan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam huruf a perlu didukung dengan
peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai
mekanisme dan hal teknis terkait Sukuk Bank Indonesia
sebagai agunan pinjaman likuiditas jangka pendek;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
2
19/6/PADG/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka
Pendek bagi Bank Umum Konvensional;
Mengingat
: 1.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/3/PBI/2017 tentang
Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek Bagi Bank Umum
Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2017 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6044) sebagaimana telah
diubah oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/16/PBI/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/3/PBI/2017 tentang Pinjaman
Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor
251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6281);
2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
19/6/PADG/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka
Pendek bagi Bank Umum Konvensional;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 19/6/PADG/2017 TENTANG PINJAMAN
LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM
KONVENSIONAL.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 19/6/PADG/2017 tentang Pinjaman
Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah dan ditambahkan 1 (satu) angka
baru, yakni angka 20 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai
berikut:
3
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai Bank Indonesia.
2. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
3. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disebut
Bank adalah bank umum yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan, tidak termasuk kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah, tidak termasuk unit usaha
syariah dari kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
5. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat
GWM adalah giro wajib minimum dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib
minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank
umum konvensional, bank umum syariah, dan unit
usaha syariah.
6. Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek adalah keadaan
yang dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya
arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan
dengan arus dana keluar dalam rupiah yang dapat
membuat Bank tidak dapat memenuhi kewajiban
GWM.
4
7. Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek yang selanjutnya
disingkat PLJP adalah pinjaman dari Bank Indonesia
kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas
Jangka Pendek yang dialami oleh Bank.
8.
Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SBI adalah Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai operasi moneter.
9.
Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia
Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi
moneter.
10. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah Sertifikat Deposito Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi
moneter.
11. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan
utang dalam mata uang rupiah yang dijamin
pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara
Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai surat utang negara.
12. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN, atau yang dapat disebut Sukuk
Negara adalah surat berharga negara yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai
bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN,
dalam mata uang rupiah, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
surat berharga syariah negara.
13. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat
SBN adalah SUN dan SBSN.
5
14. Aset Kredit adalah aset Bank berupa kredit
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan, tidak termasuk
kredit dalam valuta asing.
15. Aset Pembiayaan adalah aset Bank berupa
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah,
tidak termasuk pembiayaan dalam valuta asing.
16. Obligasi Korporasi adalah surat utang yang
diterbitkan oleh korporasi selain Bank yang
mengajukan permohonan PLJP, dalam mata uang
rupiah, dan ditatausahakan di Kustodian Sentral
Efek Indonesia (KSEI), termasuk obligasi yang
diterbitkan oleh pemerintah daerah.
17. Sukuk Korporasi adalah surat utang yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah oleh korporasi selain
Bank yang mengajukan permohonan PLJP, dalam
mata uang rupiah, dan ditatausahakan di KSEI,
termasuk sukuk yang diterbitkan oleh pemerintah
daerah.
18. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah
Sistem BI-RTGS sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan setelmen dana melalui Sistem BI-
RTGS.
19. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah
BI-SSSS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS.
20. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut
SukBI adalah Sukuk Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai operasi moneter.
6
2. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diubah
sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) PLJP harus dijamin dengan agunan berkualitas tinggi
berupa:
a. SBI;
b. SBIS yang dicatat dalam pembukuan UUS dari
Bank;
c. SDBI;
d. SukBI, termasuk SukBI yang dicatat dalam
pembukuan UUS dari Bank;
e. SBN, termasuk SBSN yang dicatat dalam
pembukuan UUS dari Bank;
f.
Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi,
termasuk Sukuk Korporasi yang dicatat dalam
pembukuan UUS dari Bank;
g. Aset Kredit; dan/atau
h. Aset Pembiayaan dengan akad mudharabah,
akad musyarakah, dan/atau akad ijarah nonjasa
yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank.
(2) Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f hanya
dapat dijadikan agunan PLJP dalam hal pada saat
permohonan:
a. Bank tidak memiliki SBI, SBIS, SDBI, SukBI,
dan/atau SBN; atau
b. Bank memiliki SBI, SBIS, SDBI, SukBI,
dan/atau SBN namun nilainya tidak mencukupi
untuk menjadi agunan PLJP.
(3) Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf g dan huruf h hanya
dapat dijadikan agunan PLJP dalam hal pada saat
permohonan:
a. Bank tidak memiliki SBI, SBIS, SDBI, SukBI,
SBN, Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk
Korporasi; atau
7
b. Bank memiliki SBI, SBIS, SDBI, SukBI, SBN,
Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi,
namun nilainya tidak mencukupi untuk menjadi
agunan PLJP.
(4) Agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus berada dalam kondisi:
a. bebas dari segala perikatan, sengketa, dan
sitaan; dan
b. tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau
Bank Indonesia.
(5) Bank tidak dapat memperjualbelikan dan/atau
menjaminkan kembali agunan PLJP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang masih dalam status
sebagai agunan PLJP.
3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank dapat
digunakan sebagai agunan PLJP dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. SBIS, SukBI, dan SBSN yang dicatat dalam
pembukuan UUS dari Bank hanya dapat diajukan
sebagai agunan setelah seluruh SBI, SDBI, SukBI,
dan SBN Bank yang memenuhi persyaratan sebagai
agunan PLJP telah diajukan sebagai agunan;
b. Sukuk Korporasi yang dicatat dalam pembukuan
UUS dari Bank hanya dapat diajukan sebagai agunan
dalam hal:
1. seluruh SBIS, SukBI, dan SBSN yang dicatat
dalam pembukuan UUS dari Bank yang
memenuhi persyaratan sebagai agunan PLJP
telah diajukan sebagai agunan; dan
8
2. seluruh Obligasi Korporasi dan Sukuk Korporasi
Bank yang memenuhi persyaratan sebagai
agunan PLJP telah diajukan sebagai agunan;
c. Aset Pembiayaan yang dicatat dalam pembukuan
UUS dari Bank hanya dapat diajukan sebagai agunan
dalam hal:
1. seluruh Sukuk Korporasi yang dicatat dalam
pembukuan UUS dari Bank yang memenuhi
persyaratan sebagai agunan PLJP telah diajukan
sebagai agunan; dan
2. seluruh Aset Kredit Bank yang memenuhi
persyaratan sebagai agunan PLJP telah diajukan
sebagai agunan.
4. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
Agunan PLJP berupa SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau
SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
a sampai dengan huruf e harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 110
(seratus sepuluh) hari kalender sejak tanggal
penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP;
dan
b. khusus untuk agunan berupa SBN dipersyaratkan
dapat diperdagangkan.
5. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) diubah sehingga Pasal 7
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Agunan PLJP berupa Obligasi Korporasi dan/atau
Sukuk Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) huruf f harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
9
a. memiliki peringkat paling rendah 3 (tiga)
peringkat (notch) teratas pada 1 (satu) tahun
terakhir berdasarkan hasil penilaian lembaga
pemeringkat yang diakui oleh OJK sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan yang mengatur
mengenai lembaga pemeringkat;
aktif diperdagangkan
b.
yaitu pernah
diperdagangkan dalam 30 (tiga puluh) hari
kalender terakhir; dan
c. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 180
(seratus delapan puluh) hari kalender sejak
tanggal penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJP.
(2) Contoh peringkat dari lembaga pemeringkat yang
diakui oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
6. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 8
Agunan PLJP berupa Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf g dan huruf h harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a.
kolektibilitas tergolong lancar selama 12 (dua belas)
bulan terakhir berturut-turut;
b. bukan merupakan kredit dan/atau pembiayaan
konsumsi kecuali kredit pemilikan rumah dan/atau
pembiayaan pemilikan rumah;
c. dijamin dengan agunan tanah dan bangunan
dan/atau tanah dengan nilai paling rendah 110%
(seratus sepuluh persen) dari plafon kredit dan/atau
plafon pembiayaan;
10
d. bukan merupakan kredit dan/atau pembiayaan
kepada pihak terkait Bank;
e.
f.
tidak pernah direstrukturisasi dalam waktu 3 (tiga)
tahun terakhir;
sisa jangka waktu jatuh waktu kredit dan/atau
pembiayaan paling singkat 9 (sembilan) bulan sejak
tanggal penandatanganan perjanjian pemberian
PLJP;
g. baki debet kredit atau saldo pokok pembiayaan tidak
melebihi batas maksimum pemberian kredit atau
penyaluran dana pada saat diberikan dan tidak
melebihi plafon kredit atau pembiayaan;
h. memiliki perjanjian kredit dan/atau akad
pembiayaan serta pengikatan agunan yang
mempunyai kekuatan hukum;
i.
telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau
audit oleh kantor akuntan publik terhadap Bank
paling lama 1 (satu) tahun terakhir;
j. dalam perjanjian kredit dan/atau akad pembiayaan
antara Bank dan debitur atau nasabah tercantum
klausul bahwa kredit dan/atau pembiayaan dapat
dialihkan kepada pihak lain; dan
k. telah tercantum dalam laporan daftar Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan terkini yang disampaikan
secara berkala kepada Bank Indonesia.
7. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 10
Pengikatan agunan PLJP dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai
berikut:
a. pengikatan agunan berupa surat berharga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
a sampai dengan huruf f dilakukan dengan akta
gadai; dan
11
b. pengikatan agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf g dan huruf h dilakukan dengan akta
fidusia.
8. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) diubah sehingga Pasal 11
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Nilai agunan PLJP berupa SBI, SBIS, SDBI, SukBI,
dan SBN ditetapkan sebagai berikut:
a.
nilai agunan berupa SBI ditetapkan sebesar
100% (seratus persen) dari plafon PLJP yang
dihitung berdasarkan nilai jual SBI;
b.
nilai agunan berupa SBIS ditetapkan sebesar
100% (seratus persen) dari plafon PLJP yang
dihitung berdasarkan nilai nominal SBIS;
c.
nilai agunan berupa SDBI ditetapkan sebesar
100% (seratus persen) dari plafon PLJP yang
dihitung berdasarkan nilai jual SDBI;
d.
nilai agunan berupa SukBI ditetapkan sebesar
100% (seratus persen) dari plafon PLJP yang
dihitung berdasarkan nilai jual SukBI; dan
e.
nilai agunan berupa SBN ditetapkan sebagai
berikut:
1.
nilai agunan berupa SUN ditetapkan paling
rendah sebesar 105% (seratus lima persen)
dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan
nilai pasar SUN; dan
2.
nilai agunan berupa SBSN ditetapkan
paling rendah sebesar 106,5% (seratus
enam koma lima persen) dari plafon PLJP
yang dihitung berdasarkan nilai pasar
SBSN.
(2) Nilai agunan PLJP berupa Obligasi Korporasi
dan/atau Sukuk Korporasi ditetapkan sebagai
berikut:
12
a. 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon
PLJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi
dan/atau Sukuk Korporasi yang diterbitkan oleh
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau
dijamin oleh pemerintah pusat, dengan
peringkat teratas berdasarkan penilaian lembaga
pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang
dihitung berdasarkan nilai pasar dari Obligasi
Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi;
b. 135% (seratus tiga puluh lima persen) dari plafon
PLJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi
dan/atau Sukuk Korporasi yang diterbitkan oleh
selain BUMN dan/atau dijamin oleh pemerintah
pusat, dengan peringkat teratas berdasarkan
penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh
OJK, yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari
Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi;
c. 140% (seratus empat puluh persen) dari plafon
PLJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi
dan/atau Sukuk Korporasi, dengan peringkat
ke-2 teratas berdasarkan penilaian lembaga
pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang
dihitung berdasarkan nilai pasar dari Obligasi
Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi; dan
d. 145% (seratus empat puluh lima persen) dari
plafon PLJP yang dijamin dengan Obligasi
Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi, dengan
peringkat ke-3 teratas berdasarkan penilaian
lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK,
yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari
Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi.
(3) Nilai agunan PLJP berupa Aset Kredit atau Aset
Pembiayaan ditetapkan paling rendah sebesar 200%
(dua ratus persen) dari plafon PLJP yang dijamin
dengan Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dan
dihitung berdasarkan baki debet Aset Kredit atau
saldo pokok Aset Pembiayaan.
13
9. Ketentuan Pasal 12 ayat (2) diubah sehingga Pasal 12
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Cara perhitungan nilai agunan PLJP berupa surat
berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(1) dan ayat (2) ditetapkan sebagai berikut:
a. pada saat permohonan PLJP, nilai surat
berharga yang digunakan yaitu nilai pada posisi
2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan
PLJP;
b. pada saat permohonan perpanjangan jangka
waktu PLJP, nilai surat berharga yang
digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari
kerja sebelum tanggal permohonan
perpanjangan jangka waktu PLJP;
c. pada saat permohonan penambahan plafon
PLJP, nilai surat berharga yang digunakan yaitu
nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum
tanggal permohonan penambahan plafon PLJP;
d. pada saat permohonan penurunan plafon PLJP,
nilai surat berharga yang digunakan yaitu nilai
pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal
permohonan penurunan plafon PLJP;
e. pada saat penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan
PLJP, nilai surat berharga yang digunakan yaitu
nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum
tanggal penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan
PLJP; dan
f. pada saat penandatanganan akta perubahan
perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan
pengikatan agunan PLJP, nilai surat berharga
yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua)
hari kerja sebelum tanggal penandatanganan
14
akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan
akta perubahan pengikatan agunan PLJP.
(2) Nilai surat berharga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dihitung dengan menggunakan data sebagai
berikut:
a. untuk surat berharga berupa SBI, SDBI, dan
SukBI menggunakan data nilai jual yang
tercantum dalam BI-SSSS sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai operasi moneter;
b. untuk surat berharga berupa SBIS
menggunakan data nilai nominal yang
tercantum dalam BI-SSSS sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai operasi moneter;
c. untuk surat berharga berupa SBN
menggunakan data nilai pasar yang tercantum
dalam BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai operasi moneter; dan
d. untuk surat berharga berupa Obligasi Korporasi
dan/atau Sukuk Korporasi menggunakan nilai
pasar yang tercantum dalam harga publikasi
terakhir yang tersedia pada lembaga yang
melakukan penilaian harga efek yang diakui oleh
OJK.
(3) Cara perhitungan nilai agunan PLJP berupa Aset
Kredit atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut:
a. pada saat permohonan PLJP, nilai baki debet
Aset Kredit atau saldo pokok Aset Pembiayaan
yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua)
hari kerja sebelum tanggal permohonan PLJP;
b. pada saat permohonan perpanjangan jangka
waktu PLJP, nilai baki debet Aset Kredit atau
saldo pokok Aset Pembiayaan yang digunakan
yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum
15
tanggal permohonan perpanjangan jangka waktu
PLJP;
c. pada saat penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan
PLJP, nilai baki debet Aset Kredit atau saldo
pokok Aset Pembiayaan yang digunakan yaitu
nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum
tanggal penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan
PLJP; dan
d. pada saat penandatanganan akta perubahan
perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan
pengikatan agunan PLJP, nilai baki debet Aset
Kredit atau saldo pokok Aset Pembiayaan yang
digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari
kerja sebelum tanggal penandatanganan akta
perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta
perubahan pengikatan agunan PLJP.
(4) Nilai baki debet Aset Kredit atau saldo pokok Aset
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dihitung dengan menggunakan data yang tercantum
dalam catatan pembukuan Bank.
10. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
Dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (3) terdiri atas:
a. surat pernyataan yang ditandatangani oleh direksi
Bank yang berwenang, yang memuat hal sebagai
berikut:
1. pernyataan mengenai Bank mengalami
Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang
disertai dengan:
a) penjelasan mengenai penyebab Kesulitan
Likuiditas Jangka Pendek; dan
16
b) upaya yang telah dilakukan untuk
mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek;
2. pernyataan mengenai seluruh aset yang menjadi
agunan PLJP:
a) berada dalam kondisi bebas dari segala
perikatan, sengketa, dan sitaan;
b) tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain
atau Bank Indonesia;
c) memenuhi seluruh persyaratan sebagai
agunan PLJP sesuai dengan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini; dan
d) tidak akan diperjualbelikan dan/atau
dijaminkan kembali kepada pihak lain
selama masih dalam status sebagai agunan
PLJP;
3. pernyataan mengenai kesanggupan Bank untuk
membayar kewajiban PLJP; dan
4. pernyataan mengenai kebenaran data dan/atau
dokumen yang disampaikan dan kesanggupan
Bank untuk menyampaikan data dan/atau
dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia,
dengan contoh sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini;
b. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk
mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling
sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30
(tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan
PLJP dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini;
17
c.
daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJP
berupa:
1. SBI, SBIS, SDBI, SukBI, SBN, Obligasi Korporasi
dan/atau Sukuk Korporasi dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan
2. Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dengan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran
IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
d. daftar rekapitulasi Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel
pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik
yang dikeluarkan dan/atau ditandatangani oleh
kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan
atau audit, dalam hal terdapat agunan PLJP berupa
Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan;
e. surat persetujuan dari pihak yang berwenang sesuai
dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga
Bank dan ketentuan peraturan perundang-
undangan, mengenai permohonan PLJP dan/atau
penggunaan aset Bank sebagai agunan PLJP;
f. dokumen anggaran dasar atau anggaran rumah
tangga Bank termasuk perubahannya;
g.
daftar seluruh surat berharga yang dimiliki dengan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII
dan disertai bukti kepemilikannya; dan
h. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
18
11. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 23
Mekanisme pengagunan agunan PLJP berupa surat
berharga dilakukan sebagai berikut:
a. untuk surat berharga berupa SBI, SBIS, SDBI, SukBI,
dan/atau SBN:
1. Bank melakukan pengagunan surat berharga
pada BI-SSSS paling lambat 1 (satu) hari kerja
setelah surat persetujuan PLJP diterima oleh
Bank, dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Bank sebagai pemberi agunan dan Bank
Indonesia sebagai penerima agunan
melakukan pengagunan surat berharga
pada BI-SSSS dengan mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan penatausahaan
surat berharga melalui BI-SSSS; dan
b) dalam hal Bank menggunakan surat
berharga yang dicatat dalam pembukuan
UUS dari Bank maka pengagunan
dilakukan oleh UUS dengan Bank Indonesia
sebagai penerima agunan;
2. pengagunan surat berharga sebagaimana
dimaksud pada angka 1, dilakukan untuk
jangka waktu pengagunan paling singkat 30 (tiga
puluh) hari kalender;
3. pengagunan surat berharga sebagaimana
dimaksud pada angka 2 dapat diperpanjang
sesuai dengan kebutuhan sampai dengan
tanggal penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJP;
4. pengagunan surat berharga setelah
penandatanganan akta perjanjian pemberian
PLJP dilakukan untuk jangka waktu
19
pengagunan paling singkat 110 (seratus
sepuluh) hari kalender;
5. untuk penambahan dan/atau penggantian
agunan yang dilakukan pada saat periode
pemberian PLJP atau perpanjangan jangka
waktu PLJP, jangka waktu pengagunan
sebagaimana dimaksud pada angka 4 dikurangi
dengan jumlah hari kalender PLJP berjalan; dan
6. jangka waktu pengagunan sebagaimana
dimaksud pada angka 4 dan angka 5 dapat
diperpanjang apabila diperlukan;
b. untuk surat berharga berupa Obligasi Korporasi
dan/atau Sukuk Korporasi:
1. Bank melakukan pemindahbukuan Obligasi
Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi ke
rekening efek Bank Indonesia di KSEI segera
setelah Bank menyampaikan daftar surat
berharga sesuai dengan tata cara yang
ditetapkan KSEI; dan
2. dalam hal Bank menggunakan surat berharga
yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank
maka pemindahbukuan Sukuk Korporasi ke
rekening efek Bank Indonesia di KSEI dilakukan
oleh UUS dengan Bank Indonesia sebagai
penerima agunan; dan
c. dalam hal terjadi pelunasan PLJP maka agunan PLJP
berupa:
1. SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan SBN pada BI-SSSS
dilepas (release) paling lama 1 (satu) hari kerja
setelah PLJP dilunasi; dan
2. Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi
pada rekening efek Bank Indonesia di KSEI
dipindahbukukan ke rekening efek Bank di KSEI
paling lama 1 (satu) hari kerja setelah PLJP
dilunasi.
20
12. Ketentuan Pasal 40 ayat (9) diubah sehingga Pasal 40
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
(1) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan
jangka waktu PLJP kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
melalui surat dengan contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini.
(3) Surat permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani
oleh direksi Bank dan diketahui oleh dewan komisaris
Bank yang berwenang.
(4) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi
dengan dokumen yang dipersyaratkan Bank
Indonesia.
(5) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP
diajukan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen
Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No.
2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q.
Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK,
atau Kantor OJK yang terkait.
(6) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat.
(7) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan
jangka waktu PLJP pada setiap hari kerja sampai
dengan pukul 12.00 WIB, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. permohonan diajukan paling lambat 3 (tiga) hari
kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJP berjalan
apabila tidak terdapat penggantian dan/atau
21
penambahan agunan atau terdapat penggantian
dan/atau penambahan agunan hanya berupa
surat berharga; atau
b. permohonan diajukan paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJP
berjalan apabila terdapat penggantian dan/atau
penambahan agunan berupa Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan.
(8) Bank Indonesia akan memproses permohonan
perpanjangan jangka waktu PLJP setelah dokumen
permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP
diterima secara lengkap.
(9) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi
dengan dokumen sebagai berikut:
a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan
untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek paling sedikit berupa proyeksi arus kas
paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak
tanggal permohonan perpanjangan jangka waktu
PLJP dengan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran VII;
b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJP
berupa:
1. SBI, SBIS, SDBI, SukBI, SBN, Obligasi
Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi
dengan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran VIII; dan
2. Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan
dengan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IX;
c.
daftar rekapitulasi Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan yang telah menjadi objek atau
sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor
akuntan publik yang dikeluarkan atau
ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang
melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal
22
terdapat penggantian dan/atau penambahan
agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan;
d. daftar seluruh surat berharga yang dimiliki
dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VIII dan disertai
kepemilikannya; dan
bukti
e. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
13. Ketentuan Pasal 41 ayat (5) diubah sehingga Pasal 41
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41
(1) Untuk keperluan perpanjangan jangka waktu PLJP,
Bank tetap dapat menggunakan agunan PLJP pada
periode PLJP sebelumnya sepanjang masih
memenuhi persyaratan dan kecukupan jumlah
agunan PLJP.
(2) Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan jangka
waktu PLJP, Bank harus memastikan agunan PLJP
mencukupi plafon PLJP dengan memperhatikan
persyaratan dan nilai agunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8, Pasal 11, dan
Pasal 12.
(3) Persyaratan sisa jangka waktu bagi agunan yang baru
ditambahkan paling singkat memiliki jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan
Pasal 7 ayat (1) huruf c dikurangi dengan jangka
waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJP sampai dengan jatuh waktu PLJP
berjalan.
(4) Bank harus menambah jumlah agunan yang
diserahkan untuk menjamin perpanjangan jangka
waktu PLJP dalam hal diketahui bahwa:
a. terdapat aset yang lebih prioritas untuk menjadi
agunan PLJP dengan memperhatikan
23
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) dan ayat (4); dan/atau
b.
nilai agunan yang telah dijaminkan tidak lagi
mencukupi plafon PLJP.
(5) Dalam hal terjadi perpanjangan jangka waktu PLJP
dan terdapat agunan PLJP berupa SBI, SBIS, SDBI,
SukBI, dan/atau SBN yang diagunkan kembali maka
jangka waktu pengagunan surat berharga pada BI-
SSSS dapat diperpanjang apabila diperlukan.
14. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
Dokumen permohonan penambahan plafon PLJP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (5) meliputi:
a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk
mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling
sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30
(tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan
penambahan plafon
PLJP
dengan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII;
b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJP
berupa:
1. SBI, SBIS, SDBI, SukBI, SBN, Obligasi Korporasi
dan/atau Sukuk Korporasi dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII;
dan
2. Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dengan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran
IX;
c.
daftar rekapitulasi Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel
pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik
yang dikeluarkan dan/atau ditandatangani oleh
kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan
atau audit, dalam hal terdapat penggantian dan/atau
format
24
penambahan agunan berupa Aset Kredit dan/atau
Aset Pembiayaan;
d. daftar seluruh surat berharga yang dimiliki dengan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII
dan disertai bukti kepemilikannya; dan
e. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
15. Ketentuan Pasal 65 ayat (2) diubah sehingga Pasal 65
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 65
(1) Bank Indonesia mengembalikan agunan PLJP kepada
Bank setelah kewajiban PLJP dilunasi.
(2) Mekanisme pengembalian agunan PLJP kepada Bank
diatur sebagai berikut:
a. untuk agunan berupa SBI, SBIS, SDBI, SukBI,
dan SBN dilakukan dengan mekanisme
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c
angka 1;
b. untuk agunan berupa Obligasi Korporasi
dan/atau Sukuk Korporasi dilakukan dengan
mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 huruf c angka 2; dan
c. untuk agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan dilakukan dengan mekanisme
sesuai ketentuan
undangan,
setelah tanggal surat pemberitahuan lunas dari Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64.
16. Ketentuan Pasal 68 ayat (2) diubah sehingga Pasal 68
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 68
(1) Bank Indonesia akan melakukan proses eksekusi
agunan berupa surat berharga mulai hari kerja ke-1
setelah tanggal jatuh waktu PLJP.
peraturan perundang-
25
(2) Eksekusi agunan berupa SBI, SBIS, SDBI, dan/atau
SukBI dilakukan dengan cara mencairkan SBI, SBIS,
SDBI, dan/atau SukBI sebelum jatuh waktu (early
redemption) menggunakan nilai surat berharga pada
posisi tanggal jatuh waktu PLJP.
(3) Eksekusi agunan berupa SBN, Obligasi Korporasi,
dan/atau Sukuk Korporasi dilakukan melalui
penjualan agunan oleh pialang, dengan pengaturan
sebagai berikut:
a. calon pembeli agunan dapat merupakan bank
dan/atau pihak lain;
b. window time penjualan SBN, Obligasi Korporasi,
dan/atau Sukuk Korporasi dapat dilakukan
antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul
16.00 WIB;
c. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan
Moneter akan mengumumkan rencana
penjualan SBN, Obligasi Korporasi, dan/atau
Sukuk Korporasi kepada pialang;
d.
transaksi dilakukan melalui sarana Reuters
Monitoring Dealing System (RMDS) atau sarana
lainnya;
e. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan
Moneter akan mengumumkan pemenang kepada
pialang dan melakukan konfirmasi kepada
pialang yang penawarannya dimenangkan;
f. pialang yang penawarannya dimenangkan
menginformasikan kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Pengelolaan Moneter antara lain hal
sebagai berikut:
1. sub-registry bagi calon pembeli agunan
selain bank yang penawarannya diterima
untuk pelaksanaan setelmen SBN;
2. lembaga kustodian untuk calon pembeli
agunan yang penawarannya diterima untuk
pelaksanaan setelmen Obligasi Korporasi
dan/atau Sukuk Korporasi; dan
26
3. bank pembayar bagi calon pembeli agunan
selain bank yang penawarannya diterima
untuk pelaksanaan setelmen dana;
g. calon pembeli yang penawarannya diterima yang
merupakan bank dan bank pembayar yang
ditunjuk wajib menyediakan dana di rekening
giro Bank di Bank Indonesia;
h. Bank Indonesia melakukan setelmen paling
lambat pada 5 (lima) hari kerja (T+5) setelah
pengumuman dengan mendebit rekening giro
bank atau bank pembayar yang ditunjuk bagi
calon pembeli agunan selain bank;
i. Bank Indonesia melakukan setelmen surat
berharga setelah pendebitan saldo rekening giro
bank atau bank pembayar yang ditunjuk bagi
calon pembeli agunan selain bank sebagaimana
dimaksud pada huruf h berhasil dilaksanakan;
j. dalam hal surat berharga berupa Obligasi
Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi, Bank
Indonesia melakukan pemindahbukuan surat
berharga tersebut ke rekening efek yang ditunjuk
oleh pembeli surat berharga di KSEI;
k. dalam hal agunan berupa SBN tidak terjual dan
saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank
Indonesia tidak mencukupi kewajiban PLJP
sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pengikatan agunan SBN, Bank Indonesia
memperpanjang jangka waktu pengikatan
pengagunan SBN sampai dengan Bank dapat
melunasi pokok PLJP ditambah bunga PLJP dan
biaya terkait dengan pemberian PLJP; dan
l. dalam hal terdapat pembayaran kupon dari
Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi,
Bank Indonesia meneruskan pembayaran
tersebut ke rekening giro Bank yang ada di Bank
Indonesia.
27
17. Lampiran II, Lampiran VII, Lampiran VIII, dan Lampiran
XIV diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II, Lampiran VII, Lampiran VIII, dan
Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Januari 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
ERWIN RIJANTO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/1/PADG/2019
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/6/PADG/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA
PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL
I. UMUM
Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/16/PBI/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/3/PBI/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank
Umum Konvensional yang mengatur mengenai penambahan jenis agunan
berkualitas tinggi berupa SukBI.
Sebagai pelaksanaan ketentuan tersebut, perlu dilakukan perubahan
atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/6/PADG/2017 tentang
Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional yang
mengatur mengenai mekanisme dan hal teknis terkait SukBI sebagai
agunan PLJP.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
2
Angka 2
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “akad mudharabah” adalah
akad kerja sama suatu usaha antara pihak
pertama (malik, shahibul mal, atau Bank) yang
menyediakan seluruh modal dan pihak kedua
(‘amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak
selaku pengelola dana dengan membagi
keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan
yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian
ditanggung sepenuhnya oleh Bank kecuali jika
pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja,
lalai, atau menyalahi perjanjian.
Yang dimaksud dengan “akad musyarakah” adalah
akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing
pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan
bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
sesuai dengan porsi dana masing-masing.
3
Yang dimaksud dengan “akad ijarah nonjasa”
adalah akad penyediaan dana dalam rangka
memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu
barang berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan barang itu
sendiri atau dengan opsi pemindahan kepemilikan
barang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “1 (satu) tahun terakhir”
adalah 1 (satu) tahun sebelum tanggal pengajuan
permohonan PLJP.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “30 (tiga puluh) hari
kalender terakhir” adalah 30 (tiga puluh) hari
kalender sampai dengan 1 (satu) hari sebelum
tanggal pengajuan permohonan PLJP.
4
Contoh:
Dalam hal Bank mengajukan PLJP pada tanggal 25
Juli 2017, perhitungan 30 (tiga puluh) hari
kalender terakhir Obligasi Korporasi dan/atau
Sukuk Korporasi aktif diperdagangkan yaitu sejak
tanggal 25 Juni 2017 sampai dengan 24 Juli 2017.
Yang dimaksud dengan “diperdagangkan” adalah
diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia atau di
luar bursa (over the counter).
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 8
Dalam hal terdapat perbedaaan informasi mengenai hal yang
menjadi persyaratan Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan
yang disampaikan oleh Bank dengan informasi yang dimiliki
Bank Indonesia maka yang digunakan adalah informasi yang
dimiliki Bank Indonesia.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kolektibilitas tergolong
lancar” adalah kualitas tergolong lancar
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank
umum atau ketentuan yang mengatur mengenai
penilaian kualitas aset bank umum syariah dan
unit usaha syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Nilai agunan yang digunakan yaitu nilai pasar
berdasarkan hasil penilai independen paling lama
2 (dua) tahun terakhir sebelum tanggal
permohonan PLJP.
5
Huruf d
Yang dimaksud dengan "pihak terkait" adalah
pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan yang mengatur mengenai batas
maksimum pemberian kredit bank umum atau
batas maksimum penyaluran dana yang berlaku
bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “restrukturisasi” adalah
restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan yang mengatur mengenai penilaian
kualitas aset bank umum atau ketentuan yang
mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank
umum syariah dan unit usaha syariah.
Jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir dihitung
sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal
permohonan PLJP.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Batas maksimum pemberian kredit atau
penyaluran dana mengacu pada ketentuan yang
mengatur mengenai batas maksimum pemberian
kredit.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan ”kantor akuntan publik”
adalah kantor akuntan publik yang telah
tercantum dalam daftar kantor akuntan publik
yang diakui oleh OJK.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
6
Angka 7
Pasal 10
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 11
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Untuk saat ini, lembaga yang melakukan penilaian
harga efek yang diakui OJK yaitu Penilai Harga
Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 19
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
7
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Surat persetujuan disampaikan apabila diatur dalam
anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank
dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening
surat berharga pada BI-SSSS di Bank Indonesia
dan/atau the central depository and book entry
settlement system (C-BEST) di KSEI.
Huruf h
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 23
Huruf a
Pengagunan surat berharga milik Bank yang sedang
ditransaksikan dengan pihak lain dilakukan segera
setelah transaksi dengan pihak lain tersebut jatuh
waktu.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “yang berwenang” adalah
direksi dan dewan komisaris yang berwenang sesuai
8
dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga
Bank.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Bukti kepemilikan antara lain berupa print out
rekening surat berharga pada BI-SSSS di Bank
Indonesia dan/atau C-BEST di KSEI.
Huruf e
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Bank A menandatangani perjanjian PLJP pada tanggal
3 Juli 2017 dengan periode PLJP 14 (empat belas) hari
9
kalender. Aktivasi PLJP dilakukan pada tanggal 10 Juli
2017 dan jatuh waktu pada tanggal 24 Juli 2017.
Bank A mengajukan permohonan perpanjangan jangka
waktu PLJP selama 14 (empat belas) hari dari tanggal
24 Juli 2017 sampai dengan jatuh waktu tanggal 7
Agustus 2017. Akta perubahan perjanjian pemberian
PLJP ditandatangani pada tanggal 24 Juli 2017.
Sehubungan terdapat agunan PLJP periode sebelumnya
yang tidak lagi memenuhi persyaratan maka Bank
mengajukan tambahan agunan surat berharga berupa
SBI, SUN, dan Obligasi Korporasi dengan rincian
sebagai berikut:
Sisa
Jenis
No
Agunan
Jangka
Waktu
(hari
kalender)
1 SBI
2 SUN
3 Obligasi
Korporasi
120 hari
100 hari
150 hari
Persyaratan
Sisa Jangka
Waktu
Paling
Singkat
(hari
kalender)
110-22 = 88
hari
110-22 = 88
hari
180-22 =
158 hari
Diterima
Diterima
Tidak
diterima
Keterangan:
Jangka waktu mulai dari penandatanganan akta
perjanjian pemberian PLJP sampai dengan jatuh waktu
PLJP berjalan = 22 hari (dari 3 Juli 2017 sampai dengan
24 Juli 2017).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Status
10
Angka 14
Pasal 49
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening
surat berharga pada BI-SSSS di Bank Indonesia
dan/atau C-BEST di KSEI.
Huruf e
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 65
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pengumuman kepada pialang dilakukan melalui
sarana dealing system atau sarana lainnya.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
11
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Angka 17
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/1/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/6/PADG/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title>
<set_date> 17 Januari 2019 </set_date>
<effective_date> 17 Januari 2019 </effective_date>
<changed_reg> '19/6/PADG/2017' </changed_reg>
<related_reg> '19/6/PADG/2017', '19/3/PBI/2017', '20/16/PBI/2018' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/2/PADG/2019
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/8/PADG/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA
PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menerbitkan perubahan
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah bagi bank
umum syariah dengan menambah jenis agunan
berkualitas tinggi berupa Sukuk Bank Indonesia;
b. bahwa perubahan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam huruf a perlu didukung dengan
peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai
mekanisme dan hal teknis terkait Sukuk Bank Indonesia
sebagai agunan pembiayaan likuiditas jangka pendek
syariah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur
Nomor
19/8/PADG/2017 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka
Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah;
2
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/4/PBI/2017 tentang
Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah Bagi Bank
Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2017 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6045) sebagaimana telah
diubah oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/17/PBI/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/4/PBI/2017 tentang Pembiayaan
Likuiditas Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 264, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6290);
2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur
Nomor
19/8/PADG/2017 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka
Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 19/8/PADG/2017
PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI
BANK UMUM SYARIAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 19/8/PADG/2017 tentang Pembiayaan
Likuiditas Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah dan ditambahkan 1 (satu) angka
baru, yakni angka 13 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang
dimaksud dengan:
TENTANG
3
1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai Bank Indonesia.
2. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut Bank
adalah bank umum syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
4. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat
GWM adalah giro wajib minimum dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib
minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank
umum konvensional, bank umum syariah, dan unit
usaha syariah.
5. Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek adalah keadaan
yang dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya
arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan
dengan arus dana keluar dalam rupiah yang dapat
membuat Bank tidak dapat memenuhi kewajiban
GWM.
6. Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah yang
selanjutnya disingkat PLJPS adalah pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia
kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas
Jangka Pendek yang dialami oleh Bank.
7.
Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia
Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi
moneter.
4
8. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN, atau yang dapat disebut Sukuk
Negara adalah surat berharga negara yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai
bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN,
dalam mata uang rupiah, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
surat berharga syariah negara.
9. Aset Pembiayaan adalah aset Bank berupa
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah,
tidak termasuk pembiayaan dalam valuta asing.
10. Sukuk Korporasi adalah surat utang yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah oleh korporasi selain
Bank yang mengajukan permohonan PLJPS, dalam
mata uang rupiah, dan ditatausahakan di KSEI,
termasuk sukuk yang diterbitkan oleh pemerintah
daerah.
11. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah
Sistem BI-RTGS sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan setelmen dana melalui Sistem BI-
RTGS.
12. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah
BI-SSSS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS.
13. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut
SukBI adalah Sukuk Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai operasi moneter.
5
2. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diubah
sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) PLJPS harus dijamin dengan agunan berkualitas
tinggi berupa:
a. SBIS;
b. SukBI;
c. SBSN;
d. Sukuk Korporasi; dan/atau
e. Aset Pembiayaan.
(2) Sukuk Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d hanya dapat dijadikan agunan PLJPS
dalam hal pada saat permohonan:
a. Bank tidak memiliki SBIS, SukBI, dan/atau
SBSN; atau
b. Bank memiliki SBIS, SukBI, dan/atau SBSN
namun nilainya tidak mencukupi untuk menjadi
agunan PLJPS.
(3) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf e hanya dapat dijadikan agunan PLJPS
dalam hal pada saat permohonan:
a. Bank tidak memiliki SBIS, SukBI, SBSN,
dan/atau Sukuk Korporasi; atau
b. Bank memiliki SBIS, SukBI, SBSN, dan/atau
Sukuk Korporasi, namun nilainya tidak
mencukupi untuk menjadi agunan PLJPS.
(4) Agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus berada dalam kondisi:
a. bebas dari segala perikatan, sengketa, dan
sitaan; dan
b.
tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau
Bank Indonesia.
(5) Bank tidak dapat memperjualbelikan dan/atau
menjaminkan kembali agunan PLJPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang masih dalam status
sebagai agunan PLJPS.
6
3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
Agunan PLJPS berupa SBIS, SukBI, dan/atau SBSN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf c harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 110
(seratus sepuluh) hari kalender sejak tanggal
penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS;
dan
b. khusus untuk agunan berupa SBSN dipersyaratkan
dapat diperdagangkan.
4. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) diubah sehingga Pasal 6
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Agunan PLJPS berupa Sukuk Korporasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki peringkat paling rendah 3 (tiga)
peringkat (notch) teratas pada 1 (satu) tahun
terakhir berdasarkan hasil penilaian lembaga
pemeringkat yang diakui oleh OJK sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan yang mengatur
mengenai lembaga pemeringkat;
b.
aktif diperdagangkan yaitu pernah
diperdagangkan dalam 30 (tiga puluh) hari
kalender terakhir; dan
c. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 180
(seratus delapan puluh) hari kalender sejak
tanggal penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJPS.
7
(2) Contoh peringkat dari lembaga pemeringkat yang
diakui oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
5. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
Agunan PLJPS berupa Aset Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a.
merupakan pembiayaan dengan akad mudharabah,
akad musyarakah, dan/atau akad ijarah nonjasa;
b.
c.
d.
kolektibilitas tergolong lancar selama 12 (dua belas)
bulan terakhir berturut-turut;
bukan merupakan pembiayaan konsumsi kecuali
pembiayaan pemilikan rumah;
dijamin dengan agunan tanah dan bangunan
dan/atau tanah dengan nilai paling rendah 110%
(seratus sepuluh persen) dari plafon pembiayaan;
e.
f.
g.
bukan merupakan pembiayaan kepada pihak terkait
Bank;
tidak pernah direstrukturisasi dalam waktu 3 (tiga)
tahun terakhir;
sisa jangka waktu jatuh waktu pembiayaan paling
singkat 9 (sembilan) bulan sejak tanggal
penandatanganan perjanjian pemberian PLJPS;
h.
saldo pokok pembiayaan tidak melebihi batas
maksimum penyaluran dana pada saat diberikan
dan tidak melebihi plafon pembiayaan;
i.
j.
memiliki akad pembiayaan serta pengikatan agunan
yang mempunyai kekuatan hukum;
telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau
audit oleh kantor akuntan publik terhadap Bank
paling lama 1 (satu) tahun terakhir;
8
k.
dalam akad pembiayaan antara Bank dan nasabah
tercantum klausul bahwa pembiayaan dapat
dialihkan kepada pihak lain; dan
l.
telah tercantum dalam laporan daftar Aset
Pembiayaan terkini yang disampaikan secara
berkala kepada Bank Indonesia.
6. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 9
Pengikatan agunan PLJPS dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai
berikut:
a. pengikatan agunan berupa surat berharga syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
a sampai dengan huruf d dilakukan dengan akta
gadai; dan
b. pengikatan agunan berupa Aset Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
e dilakukan dengan akta fidusia.
7. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) diubah sehingga Pasal 10
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
(1) Nilai agunan PLJPS berupa SBIS, SukBI, dan SBSN
ditetapkan sebagai berikut:
a.
nilai agunan berupa SBIS ditetapkan sebesar
100% (seratus persen) dari plafon PLJPS yang
dihitung berdasarkan nilai nominal SBIS;
b.
nilai agunan berupa SukBI ditetapkan sebesar
100% (seratus persen) dari plafon PLJPS yang
dihitung berdasarkan nilai jual SukBI; dan
c.
nilai agunan berupa SBSN ditetapkan paling
rendah sebesar 106,5% (seratus enam koma lima
9
persen) dari plafon PLJPS yang dihitung
berdasarkan nilai pasar SBSN.
(2) Nilai agunan PLJPS berupa Sukuk Korporasi
ditetapkan sebagai berikut:
a. 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon
PLJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi
yang diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dan/atau dijamin oleh pemerintah
pusat, dengan peringkat teratas berdasarkan
penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh
OJK, yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari
Sukuk Korporasi;
b. 135% (seratus tiga puluh lima persen) dari plafon
PLJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi
yang diterbitkan oleh selain BUMN dan/atau
dijamin selain oleh pemerintah pusat, dengan
peringkat teratas berdasarkan penilaian lembaga
pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang
dihitung berdasarkan nilai pasar dari Sukuk
Korporasi;
c. 140% (seratus empat puluh persen) dari plafon
PLJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi,
dengan peringkat ke-2 teratas berdasarkan
penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh
OJK, yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari
Sukuk Korporasi; dan
d. 145% (seratus empat puluh lima persen) dari
plafon PLJPS yang dijamin dengan Sukuk
Korporasi, dengan peringkat ke-3 teratas
berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat
yang diakui oleh OJK, yang dihitung
berdasarkan nilai pasar dari Sukuk Korporasi.
(3) Nilai agunan PLJPS berupa Aset Pembiayaan
ditetapkan paling rendah sebesar 200% (dua ratus
persen) dari plafon PLJPS yang dijamin dengan Aset
Pembiayaan dan dihitung berdasarkan saldo pokok
Aset Pembiayaan.
10
8. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) diubah sehingga Pasal 11
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Cara perhitungan nilai agunan PLJPS berupa surat
berharga syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan sebagai berikut:
a. pada saat permohonan PLJPS, nilai surat
berharga syariah yang digunakan yaitu nilai
pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal
permohonan PLJPS;
b. pada saat permohonan perpanjangan jangka
waktu PLJPS, nilai surat berharga syariah yang
digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari
kerja sebelum tanggal permohonan
perpanjangan jangka waktu PLJPS;
c. pada saat permohonan penambahan plafon
PLJPS, nilai surat berharga syariah yang
digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari
kerja sebelum tanggal permohonan penambahan
plafon PLJPS;
d. pada saat permohonan penurunan plafon PLJPS,
nilai surat berharga syariah yang digunakan
yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum
tanggal permohonan penurunan plafon PLJPS;
e. pada saat penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan
PLJPS, nilai surat berharga syariah yang
digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari
kerja sebelum tanggal penandatanganan akta
perjanjian pemberian PLJPS dan akta
pengikatan agunan PLJPS; dan
f. pada saat penandatanganan akta perubahan
perjanjian pemberian PLJPS dan akta
perubahan pengikatan agunan PLJPS, nilai
surat berharga syariah yang digunakan yaitu
11
nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum
tanggal penandatanganan akta perubahan
perjanjian pemberian PLJPS dan akta
perubahan pengikatan agunan PLJPS.
(2) Nilai surat berharga syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan data
sebagai berikut:
a. untuk surat berharga syariah berupa SBIS
menggunakan data nilai nominal yang tercantum
dalam BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai operasi moneter;
b. untuk surat berharga syariah berupa SukBI
menggunakan data nilai jual yang tercantum
dalam BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai operasi moneter;
c. untuk surat berharga syariah berupa SBSN
menggunakan data nilai pasar yang tercantum
dalam BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai operasi moneter; dan
d. untuk surat berharga syariah berupa Sukuk
Korporasi menggunakan nilai pasar yang
tercantum dalam harga publikasi terakhir yang
tersedia pada lembaga yang melakukan penilaian
harga efek yang diakui oleh OJK.
(3) Cara perhitungan nilai agunan PLJPS berupa Aset
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (3) ditetapkan sebagai berikut:
a. pada saat permohonan PLJPS, nilai saldo pokok
Aset Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai
pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal
permohonan PLJPS;
b. pada saat permohonan perpanjangan jangka
waktu PLJPS, nilai saldo pokok Aset Pembiayaan
yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua)
12
hari kerja sebelum tanggal permohonan
perpanjangan jangka waktu PLJPS;
c. pada saat penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan
PLJPS, nilai saldo pokok Aset Pembiayaan yang
digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari
kerja sebelum tanggal penandatanganan akta
perjanjian pemberian PLJPS dan akta
pengikatan agunan PLJPS; dan
d. pada saat penandatanganan akta perubahan
perjanjian pemberian PLJPS dan akta
perubahan pengikatan agunan PLJPS, nilai
saldo pokok Aset Pembiayaan yang digunakan
yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum
tanggal penandatanganan akta perubahan
perjanjian pemberian PLJPS dan akta
perubahan pengikatan agunan PLJPS.
(4) Nilai saldo pokok Aset Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dihitung dengan
menggunakan data yang tercantum dalam catatan
pembukuan Bank.
9. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
Dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (3) terdiri atas:
a. surat pernyataan yang ditandatangani oleh direksi
Bank yang berwenang, yang memuat hal sebagai
berikut:
1. pernyataan mengenai Bank mengalami
Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang
disertai dengan:
a) penjelasan mengenai penyebab Kesulitan
Likuiditas Jangka Pendek; dan
13
b) upaya yang telah dilakukan untuk
mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek;
2. pernyataan mengenai seluruh aset yang menjadi
agunan PLJPS:
a) berada dalam kondisi bebas dari segala
perikatan, sengketa, dan sitaan;
b) tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain
atau Bank Indonesia;
c) memenuhi seluruh persyaratan sebagai
agunan PLJPS sesuai dengan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini; dan
d) tidak akan diperjualbelikan dan/atau
dijaminkan kembali kepada pihak lain
selama masih dalam status sebagai agunan
PLJPS;
3. pernyataan mengenai kesanggupan Bank untuk
membayar kewajiban PLJPS; dan
4. pernyataan mengenai kebenaran data dan/atau
dokumen yang disampaikan dan kesanggupan
Bank untuk menyampaikan data dan/atau
dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia,
dengan contoh sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini;
b. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk
mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling
sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30
(tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan
PLJPS dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini;
c.
daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS
berupa:
14
1. SBIS, SukBI, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi
dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini; dan
2. Aset Pembiayaan dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini;
d. daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan yang telah
menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit
oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan
dan/atau ditandatangani oleh kantor akuntan publik
yang melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal
terdapat agunan PLJPS berupa Aset Pembiayaan;
e. surat persetujuan dari pihak yang berwenang sesuai
dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga
Bank dan ketentuan peraturan perundang-
undangan, mengenai permohonan PLJPS dan/atau
penggunaan aset Bank sebagai agunan PLJPS;
f. dokumen anggaran dasar atau anggaran rumah
tangga Bank termasuk perubahannya;
daftar seluruh surat berharga syariah yang dimiliki
dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VIII dan disertai bukti kepemilikannya; dan
h. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
g.
10. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
Mekanisme pengagunan agunan PLJPS berupa surat
berharga syariah dilakukan sebagai berikut:
a. untuk surat berharga syariah berupa SBIS, SukBI,
dan/atau SBSN:
1. Bank sebagai pemberi agunan dan Bank
Indonesia sebagai penerima agunan melakukan
15
pengagunan surat berharga syariah pada BI-
SSSS paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah
surat persetujuan PLJPS diterima oleh Bank
dengan mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan penatausahaan surat berharga
melalui Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System;
2. pengagunan surat berharga
syariah
sebagaimana dimaksud pada angka 1, dilakukan
untuk jangka waktu pengagunan paling singkat
30 (tiga puluh) hari kalender;
3. pengagunan surat berharga
syariah
sebagaimana dimaksud pada angka 2 dapat
diperpanjang sesuai dengan kebutuhan sampai
dengan tanggal
perjanjian pemberian PLJPS;
4. pengagunan surat berharga syariah setelah
penandatanganan akta perjanjian pemberian
PLJPS
dilakukan untuk jangka waktu
pengagunan paling singkat 110 (seratus
sepuluh) hari kalender;
5. untuk penambahan dan/atau penggantian
agunan yang dilakukan pada saat periode
pemberian PLJPS atau perpanjangan jangka
waktu PLJPS, jangka waktu pengagunan
sebagaimana dimaksud pada angka 4 dikurangi
dengan jumlah hari kalender PLJPS berjalan;
dan
6. jangka waktu pengagunan sebagaimana
dimaksud pada angka 4 dan angka 5 dapat
diperpanjang apabila diperlukan;
b. untuk surat berharga syariah berupa Sukuk
Korporasi, Bank melakukan pemindahbukuan Sukuk
Korporasi ke rekening efek Bank Indonesia di KSEI
segera setelah Bank menyampaikan daftar surat
penandatanganan akta
16
berharga syariah sesuai dengan tata cara yang
ditetapkan KSEI; dan
c. dalam hal terjadi pelunasan PLJPS maka agunan
PLJPS berupa:
1. SBIS, SukBI, dan SBSN pada BI-SSSS dilepas
(release) paling lama 1 (satu) hari kerja setelah
PLJPS dilunasi; dan
2. Sukuk Korporasi pada rekening efek Bank
Indonesia di KSEI dipindahbukukan ke rekening
efek Bank di KSEI paling lama 1 (satu) hari kerja
setelah PLJPS dilunasi.
11. Ketentuan Pasal 39 ayat (9) diubah sehingga Pasal 39
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 39
(1) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan
jangka waktu PLJPS kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
melalui surat dengan contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini.
(3) Surat permohonan perpanjangan jangka waktu
PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditandatangani oleh direksi Bank dan diketahui oleh
dewan komisaris Bank yang berwenang.
(4) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi
dengan dokumen yang dipersyaratkan Bank
Indonesia.
(5) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS
diajukan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen
Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No.
2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q.
17
Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional
OJK, atau Kantor OJK yang terkait.
(6) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat.
(7) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan
jangka waktu PLJPS pada setiap hari kerja sampai
dengan pukul 12.00 WIB, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. permohonan diajukan paling lambat 3 (tiga) hari
kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJPS
berjalan apabila tidak terdapat penggantian
dan/atau penambahan agunan atau terdapat
penggantian dan/atau penambahan agunan
hanya berupa surat berharga syariah; atau
b. permohonan diajukan paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJPS
berjalan apabila terdapat penggantian dan/atau
penambahan agunan berupa Aset Pembiayaan.
(8) Bank Indonesia akan memproses permohonan
perpanjangan jangka waktu PLJPS setelah dokumen
permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS
diterima secara lengkap.
(9) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi
dengan dokumen sebagai berikut:
a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan
untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek paling sedikit berupa proyeksi arus kas
paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak
tanggal permohonan perpanjangan jangka waktu
PLJPS dengan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran VII;
b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS
berupa:
18
1. SBIS, SukBI, SBSN, dan/atau Sukuk
Korporasi dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VIII; dan
2. Aset Pembiayaan
dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran
IX;
c.
daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan yang telah
menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau
audit oleh kantor akuntan publik yang
dikeluarkan atau ditandatangani oleh kantor
akuntan publik yang melakukan pemeriksaan
atau audit, dalam hal terdapat penggantian
dan/atau penambahan agunan berupa Aset
Pembiayaan;
d. daftar seluruh surat berharga syariah yang
dimiliki dengan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran VIII dan disertai bukti
kepemilikannya; dan
e. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
12. Ketentuan Pasal 40 ayat (5) diubah sehingga Pasal 40
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
(1) Untuk keperluan perpanjangan jangka waktu PLJPS,
Bank tetap dapat menggunakan agunan PLJPS pada
periode PLJPS sebelumnya sepanjang masih
memenuhi persyaratan dan kecukupan jumlah
agunan PLJPS.
(2) Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan jangka
waktu PLJPS, Bank harus memastikan agunan
PLJPS mencukupi plafon PLJPS dengan
memperhatikan persyaratan dan nilai agunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan
Pasal 7, Pasal 10, dan Pasal 11.
(3) Persyaratan sisa jangka waktu bagi agunan yang baru
ditambahkan paling singkat memiliki jangka waktu
19
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dan
Pasal 6 ayat (1) huruf c dikurangi dengan jangka
waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJPS sampai dengan jatuh waktu PLJPS
berjalan.
(4) Bank harus menambah jumlah agunan yang
diserahkan untuk menjamin perpanjangan jangka
waktu PLJPS dalam hal diketahui bahwa:
a. terdapat aset yang lebih prioritas untuk menjadi
agunan PLJPS dengan memperhatikan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) dan ayat (4); dan/atau
b.
nilai agunan yang telah dijaminkan tidak lagi
mencukupi plafon PLJPS.
(5) Dalam hal terjadi perpanjangan jangka waktu PLJPS
dan terdapat agunan PLJPS berupa SBIS, SukBI,
dan/atau SBSN yang diagunkan kembali maka
jangka waktu pengagunan surat berharga syariah
pada BI-SSSS dapat diperpanjang apabila diperlukan.
13. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 48
Dokumen permohonan penambahan plafon PLJPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (5) meliputi:
a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk
mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling
sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30
(tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan
penambahan plafon PLJPS dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII;
b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS
berupa:
1. SBIS, SukBI, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi
dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VIII; dan
20
2. Aset Pembiayaan dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IX;
c.
daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan yang telah
menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit
oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan atau
ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang
melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal
terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan
berupa Aset Pembiayaan;
d. daftar seluruh surat berharga syariah yang dimiliki
dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VIII dan disertai bukti kepemilikannya; dan
e. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
14. Ketentuan Pasal 64 ayat (2) diubah sehingga Pasal 64
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 64
(1) Bank Indonesia mengembalikan agunan PLJPS
kepada Bank setelah kewajiban PLJPS dilunasi.
(2) Mekanisme pengembalian agunan PLJPS kepada
Bank diatur sebagai berikut:
a. untuk agunan berupa SBIS, SukBI, dan SBSN
dilakukan dengan mekanisme sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 huruf c angka 1;
b. untuk agunan berupa Sukuk Korporasi
dilakukan dengan mekanisme sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 huruf c angka 2; dan
c. untuk agunan berupa Aset Pembiayaan
dilakukan dengan mekanisme sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan,
setelah tanggal surat pemberitahuan lunas dari
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63.
21
15. Ketentuan Pasal 68 ayat (2) diubah sehingga Pasal 68
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 68
(1) Bank Indonesia akan melakukan proses eksekusi
agunan berupa surat berharga syariah mulai hari
kerja ke-1 setelah tanggal jatuh waktu PLJPS.
(2) Eksekusi agunan berupa SBIS dan/atau SukBI
dilakukan dengan cara mencairkan SBIS dan/atau
SukBI sebelum jatuh waktu (early redemption)
menggunakan nilai surat berharga syariah pada
posisi tanggal jatuh waktu PLJPS.
(3) Eksekusi agunan berupa SBSN dan Sukuk Korporasi
dilakukan melalui penjualan agunan oleh pialang,
dengan pengaturan sebagai berikut:
a. calon pembeli agunan dapat merupakan bank
dan/atau pihak lain;
b. window time penjualan SBSN dan Sukuk
Korporasi dapat dilakukan antara pukul 08.00
WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB;
c. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan
Moneter akan mengumumkan rencana
penjualan SBSN dan/atau Sukuk Korporasi
kepada pialang;
d.
transaksi dilakukan melalui sarana Reuters
Monitoring Dealing System (RMDS) atau sarana
lainnya;
e. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan
Moneter akan mengumumkan pemenang kepada
pialang dan melakukan konfirmasi kepada
pialang yang penawarannya dimenangkan;
f. pialang yang penawarannya dimenangkan
menginformasikan kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Pengelolaan Moneter antara lain hal
sebagai berikut:
22
1. sub-registry bagi calon pembeli agunan
selain bank yang penawarannya diterima
untuk pelaksanaan setelmen SBSN;
2. lembaga kustodian untuk calon pembeli
agunan yang penawarannya diterima untuk
pelaksanaan setelmen Sukuk Korporasi;
dan
3. bank pembayar bagi calon pembeli agunan
selain bank yang penawarannya diterima
untuk pelaksanaan setelmen dana;
g. calon pembeli yang penawarannya diterima yang
merupakan bank dan bank pembayar yang
ditunjuk wajib menyediakan dana di rekening
giro Bank di Bank Indonesia;
h. Bank Indonesia melakukan setelmen paling
lambat pada 5 (lima) hari kerja (T+5) setelah
pengumuman dengan mendebit rekening giro
bank atau bank pembayar yang ditunjuk bagi
calon pembeli agunan selain bank;
i. Bank Indonesia melakukan setelmen surat
berharga syariah setelah pendebitan saldo
rekening giro bank atau bank pembayar yang
ditunjuk bagi calon pembeli agunan selain bank
sebagaimana dimaksud pada huruf h berhasil
dilaksanakan;
j. dalam hal surat berharga syariah berupa Sukuk
Korporasi,
Bank Indonesia melakukan
pemindahbukuan surat berharga syariah
tersebut ke rekening efek yang ditunjuk oleh
pembeli surat berharga syariah di KSEI;
k. dalam hal agunan berupa SBSN tidak terjual dan
saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank
Indonesia tidak mencukupi kewajiban PLJPS
sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pengikatan agunan SBSN, Bank Indonesia
memperpanjang jangka waktu pengikatan
pengagunan SBSN sampai dengan Bank dapat
23
melunasi pokok PLJPS ditambah bagi hasil
PLJPS, kewajiban membayar (gharamah
maliyah) dan biaya terkait dengan pemberian
PLJPS; dan
l. dalam hal terdapat pembayaran kupon dari
Sukuk Korporasi, Bank Indonesia meneruskan
pembayaran tersebut ke rekening giro Bank yang
ada di Bank Indonesia.
16. Lampiran II, Lampiran VII, Lampiran VIII, dan Lampiran
XIV diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II, Lampiran VII, Lampiran VIII, dan
Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Januari 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
DODY BUDI WALUYO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/2/PADG/2019
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/8/PADG/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA
PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH
I. UMUM
Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/17/PBI/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/4/PBI/2017 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah
bagi Bank Umum Syariah, yang mengatur mengenai penambahan jenis
agunan berkualitas tinggi berupa SukBI.
Sebagai pelaksanaan ketentuan tersebut, perlu dilakukan perubahan
atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/8/PADG/2017 tentang
Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah
yang mengatur mengenai mekanisme dan hal teknis terkait SukBI sebagai
agunan PLJPS.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
2
Angka 2
Pasal 4
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “1 (satu) tahun terakhir”
adalah 1 (satu) tahun sebelum tanggal pengajuan
permohonan PLJPS.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “30 (tiga puluh) hari
kalender terakhir” adalah 30 (tiga puluh) hari
kalender sampai dengan 1 (satu) hari sebelum
tanggal pengajuan permohonan PLJPS.
Contoh:
Dalam hal Bank mengajukan PLJPS pada tanggal
25 Juli 2017, perhitungan 30 (tiga puluh) hari
kalender terakhir Sukuk Korporasi aktif
diperdagangkan yaitu sejak tanggal 25 Juni 2017
sampai dengan 24 Juli 2017.
Yang dimaksud dengan “diperdagangkan” adalah
diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia atau di
luar bursa (over the counter).
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
3
Angka 5
Pasal 7
Dalam hal terdapat perbedaaan informasi mengenai hal yang
menjadi persyaratan Aset Pembiayaan yang disampaikan
oleh Bank dengan informasi yang dimiliki Bank Indonesia
maka yang digunakan adalah informasi yang dimiliki Bank
Indonesia.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “akad mudharabah” adalah
akad kerja sama suatu usaha antara pihak
pertama (malik, shahibul mal, atau Bank) yang
menyediakan seluruh modal dan pihak kedua
(‘amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak
selaku pengelola dana dengan membagi
keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan
yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian
ditanggung sepenuhnya oleh Bank kecuali jika
pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja,
lalai, atau menyalahi perjanjian.
Yang dimaksud dengan “akad musyarakah” adalah
akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing
pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan
bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
sesuai dengan porsi dana masing-masing.
Yang dimaksud dengan “akad ijarah nonjasa”
adalah akad penyediaan dana untuk memindahkan
hak guna atau manfaat dari suatu barang
berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri atau
dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kolektibilitas tergolong
lancar” adalah kualitas tergolong lancar
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur
4
mengenai penilaian kualitas aset bank umum
syariah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Nilai agunan yang digunakan yaitu nilai pasar
berdasarkan hasil penilai independen paling lama
2 (dua) tahun terakhir sebelum tanggal
permohonan PLJPS.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "pihak terkait" adalah
pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai batas maksimum penyaluran
dana yang berlaku bagi bank umum syariah.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “restrukturisasi” adalah
restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank
umum syariah.
Jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir dihitung
sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal
permohonan PLJPS.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Batas maksimum penyaluran dana mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai batas maksimum penyaluran
dana yang berlaku bagi bank umum syariah.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan ”kantor akuntan publik”
adalah kantor akuntan publik yang telah
5
tercantum dalam daftar kantor akuntan publik
yang diakui oleh OJK.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 10
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Untuk saat ini, lembaga yang melakukan penilaian
harga efek yang diakui OJK yaitu Penilai Harga
Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
6
Angka 9
Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan paling sedikit
memuat:
1. nama debitur;
2. Nomor Induk Kependudukan (NIK);
3. tempat lahir;
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
5. Nomor Debitur Identification Number (DIN);
6. alamat dan nomor telepon;
7. nomor akad pembiayaan;
8. nomor rekening;
9. skim/akad;
10. jenis pembiayaan;
11. nomor asuransi pembiayaan dan nilai tertanggung
(apabila ada);
12. jangka waktu (yyyy/mm/dd);
13. plafon pembiayaan (Rpjuta); dan
14. saldo pokok pembiayaan.
Huruf e
Surat persetujuan disampaikan apabila diatur dalam
anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank
dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening
surat berharga syariah pada BI-SSSS di Bank Indonesia
dan/atau the central depository and book entry
settlement system (C-BEST) di KSEI.
7
Huruf h
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 22
Huruf a
Pengagunan surat berharga syariah milik Bank yang
sedang ditransaksikan dengan pihak lain dilakukan
segera setelah transaksi dengan pihak lain tersebut
jatuh waktu.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “yang berwenang” adalah
direksi dan dewan komisaris yang berwenang sesuai
dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga
Bank.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
8
Ayat (9)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Bukti kepemilikan antara lain berupa print out
rekening surat berharga syariah pada BI-SSSS di
Bank Indonesia dan/atau C-BEST di KSEI.
Huruf e
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Bank A menandatangani perjanjian PLJPS pada tanggal
3 Juli 2017 dengan periode PLJPS 14 (empat belas) hari
kalender. Aktivasi PLJPS dilakukan pada tanggal 10 Juli
2017 dan jatuh waktu pada tanggal 24 Juli 2017.
Bank A mengajukan permohonan perpanjangan jangka
waktu PLJPS selama 14 (empat belas) hari dari tanggal
24 Juli 2017 sampai dengan jatuh waktu tanggal 7
Agustus 2017. Akta perubahan perjanjian pemberian
PLJPS ditandatangani pada tanggal 24 Juli 2017.
Sehubungan terdapat agunan PLJPS periode
sebelumnya yang tidak lagi memenuhi persyaratan
maka Bank mengajukan tambahan agunan surat
berharga syariah berupa SBIS, SBSN, dan Sukuk
Korporasi dengan rincian sebagai berikut:
9
Sisa
Jenis
No
Agunan
1 SBIS
2 SBSN
3 Sukuk
Korporasi
Jangka
Waktu
(hari
kalender)
Persyaratan
Sisa Jangka
Waktu Paling
Singkat
(hari kalender)
120 hari 110-22 = 88
hari
100 hari 110-22 = 88
hari
150 hari 180-22 = 158
hari
Diterima
Diterima
Tidak
diterima
Keterangan:
Jangka waktu mulai dari penandatanganan akta
perjanjian pemberian PLJPS sampai dengan jatuh
waktu PLJPS berjalan = 22 hari (dari 3 Juli 2017 sampai
dengan 24 Juli 2017).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 48
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening
surat berharga syariah pada BI-SSSS di Bank Indonesia
dan/atau C-BEST di KSEI.
Huruf e
Cukup jelas.
Status
10
Angka 14
Pasal 64
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pengumuman kepada pialang dilakukan melalui
sarana dealing system atau sarana lainnya.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
11
Angka 16
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/2/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/8/PADG/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH </reg_title>
<set_date> 21 Januari 2019 </set_date>
<effective_date> 21 Januari 2019 </effective_date>
<changed_reg> '19/8/PADG/2017' </changed_reg>
<related_reg> '20/17/PBI/2018', '19/8/PADG/2017', '19/4/PBI/2017' </related_reg>
|
1
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/3/PADG/2017
TENTANG
TATA CARA PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka penerbitan Surat Berharga Negara
oleh Pemerintah yang terdiri atas Surat Utang Negara dan
Surat Berharga Syariah Negara, Bank Indonesia
melaksanakan kegiatan penatausahaan dan berperan
sebagai agen pembayar serta agen lelang;
b. bahwa agar kegiatan penatausahaan dan pelaksanaan
peran sebagai agen pembayar serta agen lelang dapat
dilaksanakan secara tertib, efisien, efektif, dan
transparan, ketentuan mengenai tata cara penatausahaan
Surat Berharga Negara senantiasa perlu disempurnakan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Tata Cara
Penatausahaan Surat Berharga Negara;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008
tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4888) sebagaimana telah diubah beberapa kali,
2
terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/19/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008
tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
274, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5763);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015
tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat
Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 18/6/PBI/2016 tentang Perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015
tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat
Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 77, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5877);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG TATA
CARA PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Penatausahaan Surat Berharga Negara yang selanjutnya
disebut Penatausahaan SBN adalah kegiatan yang
mencakup pencatatan kepemilikan, kliring, dan Setelmen
serta pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau
pelunasan pokok/nilai nominal SBN.
2. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
3
adalah SUN dan SBSN.
3. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan
utang dalam mata uang Rupiah maupun dalam valuta
asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh
Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa
berlakunya.
4. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat
SBSN atau dapat disebut Sukuk Negara adalah SBN yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti
atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam
mata uang Rupiah maupun valuta asing.
5. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
6. Dealer Utama adalah Bank dan/atau perusahaan efek
yang ditunjuk oleh Menteri sebagai dealer utama
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri yang
mengatur mengenai dealer utama.
7. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai perbankan
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha
syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
8. Peserta BI-SSSS adalah pihak yang memenuhi persyaratan
dan telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia
untuk menjadi peserta dalam penyelenggaraan BI-SSSS.
9. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan
SBN untuk pertama kali.
10. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan SBN yang
telah dijual di Pasar Perdana.
11. Lelang SBN adalah penjualan SBN di Pasar Perdana
domestik oleh Pemerintah yang dilakukan dengan
mekanisme lelang.
12. Lelang SBN Tambahan (greenshoe option) yang selanjutnya
disebut Lelang SBN Tambahan adalah penjualan SBN di
Pasar Perdana dalam mata uang Rupiah dengan cara
lelang yang dilaksanakan pada 1 (satu) hari kerja setelah
4
tanggal pelaksanaan Lelang SBN.
13. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang
selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah infrastruktur yang
digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi dan
penatausahaan surat berharga yang dilakukan secara
elektronik.
14. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik
yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara
individual.
15. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan
fungsi penatausahaan bagi kepentingan Peserta BI-SSSS.
16. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang
memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Penyelenggara,
sebagai Peserta BI-SSSS untuk melakukan fungsi
penatausahaan bagi kepentingan nasabah.
17. Kliring adalah proses perhitungan dan penetapan hak dan
kewajiban yang timbul dari transaksi surat berharga.
18. Setelmen adalah proses penyelesaian akhir transaksi
keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan Rekening
Setelmen Dana, Rekening Surat Berharga, dan/atau
rekening lainnya di Bank Indonesia.
19. Lelang Pembelian Kembali SBN yang selanjutnya disebut
Lelang Buyback adalah pembelian kembali SBN di Pasar
Sekunder oleh Pemerintah sebelum jatuh tempo dengan
cara tunai dan/atau dengan cara penukaran (debt
switching), dalam suatu masa penawaran yang telah
ditentukan dan diumumkan sebelumnya.
20. Fasilitas Peminjaman SUN adalah fasilitas yang diberikan
oleh Menteri kepada Dealer Utama untuk melakukan
peminjaman SUN sesuai tata cara yang ditetapkan dalam
Peraturan Menteri yang mengatur mengenai dealer utama.
21. Transaksi SBN Secara Langsung adalah penjualan SBN di
Pasar Perdana atau pembelian kembali SBN di Pasar
Sekunder yang dilakukan oleh Pemerintah dengan Dealer
Utama, Bank Indonesia, atau Lembaga Penjamin
5
Simpanan secara langsung melalui fasilitas dealing room
pada Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
22. Private Placement adalah kegiatan penjualan SBN di Pasar
Perdana dalam negeri yang dilakukan oleh Pemerintah
kepada pihak yang disetujui oleh Pemerintah, dengan
ketentuan dan persyaratan SBN sesuai kesepakatan.
23. Bookbuilding adalah kegiatan penjualan SBN di Pasar
Perdana dalam negeri yang dilakukan oleh Pemerintah
kepada pihak yang disetujui oleh Pemerintah, melalui agen
penjual yang disetujui oleh Pemerintah.
24. Bank Pembayar adalah peserta Sistem BI-RTGS yang
ditunjuk sebagai pihak untuk melakukan pembayaran
dan penerimaan dana oleh Peserta BI-SSSS.
25. Rekening Surat Berharga adalah rekening Peserta BI-SSSS
dalam mata uang Rupiah dan/atau valuta asing yang
ditatausahakan di Bank Indonesia dalam rangka pencatatan
kepemilikan dan Setelmen atas transaksi SBN, transaksi
dengan Bank Indonesia, dan/atau transaksi pasar keuangan.
26. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta Sistem
BI-RTGS dalam mata uang Rupiah dan/atau valuta asing
yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk
pelaksanaan Setelmen dana.
27. Rekening Giro adalah rekening giro sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai rekening giro di Bank Indonesia.
28. Bank Koresponden Bank Indonesia adalah:
a. New York (Federal Reserve Bank of New York) untuk
SUN valuta asing dalam denominasi Dolar Amerika
Serikat (USD); atau
b. Frankfurt (The Deutsche Bundesbank) untuk SUN
valuta asing dalam denominasi Euro (EUR).
6
BAB II
TATA CARA PENATAUSAHAAN SBN
Pasal 2
(1) Bank Indonesia melakukan Penatausahaan SBN.
(2) Penatausahaan SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk transaksi SBN di Pasar Perdana dan
transaksi SBN di Pasar Sekunder.
Pasal 3
Dalam rangka pelaksanaan Penatausahaan SBN sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Central Registry melakukan
pencatatan atas SBN sesuai dengan ketentuan dan persyaratan
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan
Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri.
Bagian Kesatu
Kliring SBN
Pasal 4
(1) Bank Indonesia melaksanakan Kliring SBN.
(2) Bank Indonesia dapat bekerja sama dengan pihak lain
dan/atau menunjuk pihak lain dalam pelaksanaan
Kliring SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Kerja sama dan/atau penunjukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam bentuk perjanjian.
Bagian Kedua
Setelmen SBN
Pasal 5
(1) Central Registry melaksanakan Setelmen atas:
a. hasil Lelang SBN dan Lelang SBN Tambahan yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia;
b.
c.
transaksi SBN dengan Pemerintah yang
diselenggarakan di luar Bank Indonesia; dan/atau
transaksi SBN di Pasar Sekunder.
7
(2) Pelaksanaan Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan terhadap:
a. SBN dalam Rupiah; dan
b. SBN dalam valuta asing di pasar domestik.
(3) Pelaksanaan Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan berdasarkan:
a. surat dari Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan
dan Risiko untuk dan atas nama Menteri mengenai
keputusan hasil lelang, untuk hasil Lelang SBN atau
Lelang SBN dan Lelang SBN Tambahan, yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia;
b. surat dari Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan
dan Risiko untuk dan atas nama Menteri mengenai
hasil transaksi SBN dengan Pemerintah, untuk
transaksi
SBN dengan Pemerintah yang
diselenggarakan di luar Bank Indonesia; dan
c.
instruksi Setelmen dari Peserta BI-SSSS, untuk
transaksi SBN di Pasar Sekunder.
Pasal 6
(1) Pelaksanaan Setelmen dilakukan pada tanggal Setelmen.
(2) Tanggal Setelmen untuk hasil Lelang SBN dan Lelang SBN
Tambahan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan
transaksi SBN dengan Pemerintah yang diselenggarakan
di luar Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf b, ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan
atas nama Menteri.
(3) Tanggal Setelmen untuk transaksi SBN di Pasar Sekunder
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c.
ditetapkan oleh pihak yang melakukan transaksi.
(4) Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3), meliputi:
a. Setelmen dana; dan
b. Setelmen surat berharga.
(5) Setelmen hanya dapat dilakukan apabila:
8
a. Pembeli dan/atau Bank Pembayar memiliki
kecukupan dana pada Rekening Setelmen Dana; dan
b. Penjual dan/atau Sub-Registry memiliki kecukupan
nominal untuk seri SBN yang ditransaksikan, pada
Rekening Surat Berharga.
Pasal 7
(1) Setelmen SBN untuk kepentingan nasabah dilakukan oleh
Sub-Registry berdasarkan persetujuan Central Registry.
(2) Tata cara pemberian persetujuan Central Registry
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui
BI-SSSS.
(3) Penjual atau pembeli yang tidak memiliki Rekening Surat
Berharga harus menunjuk Sub-Registry untuk melakukan
Setelmen SBN.
Pasal 8
(1) Dalam hal penjual, pembeli, dan/atau Sub-Registry tidak
memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia, penjual,
pembeli, dan/atau Sub-Registry harus menunjuk Bank
Pembayar untuk pelaksanaan Setelmen dana atas
transaksi SBN.
(2) Tata cara penunjukan Bank Pembayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS.
(3) Dalam hal SBN yang ditransaksikan adalah SBN dalam
valuta asing dengan denominasi Euro, penjual, pembeli,
dan/atau Sub-Registry menunjuk Bank Indonesia sebagai
Bank Pembayar untuk pelaksanaan Setelmen dana atas
transaksi SBN.
(4) Surat penunjukan Bank Indonesia sebagai Bank
Pembayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengacu
pada format sebagaimana tercantum dalam Lampiran
9
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 9
(1) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi SBN dalam Rupiah
untuk Lelang SBN dan Lelang SBN Tambahan yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan transaksi
SBN dengan Pemerintah yang diselenggarakan di luar
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) huruf b, meliputi Setelmen:
a. hasil Lelang SBN dan Lelang SBN Tambahan dalam
Rupiah yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia;
b. hasil penjualan SBN dalam Rupiah dengan cara
Private Placement;
c. hasil penjualan SBN dalam Rupiah dengan cara
Bookbuilding;
d. hasil penjualan SBN dalam Rupiah yang dijual
kepada investor ritel;
e. hasil Transaksi SBN Secara Langsung dalam Rupiah;
f. hasil Lelang Buyback SBN dalam Rupiah yang
diselenggarakan di luar Bank Indonesia; dan
g. Fasilitas Peminjaman SUN dalam Rupiah.
(2) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi SBN dalam valuta
asing di pasar domestik untuk Lelang SBN dan Lelang SBN
Tambahan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan
transaksi SBN dengan Pemerintah yang diselenggarakan
di luar Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf b, meliputi Setelmen:
a. hasil Lelang SBN dalam valuta asing yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia;
b. hasil penjualan SBN dalam valuta asing dengan cara
Private Placement;
c. hasil penjualan SBN dalam valuta asing dengan cara
Bookbuilding;
10
d. hasil transaksi SUN secara langsung dalam valuta
asing; dan
e. hasil Lelang Buyback SBN dalam valuta asing yang
diselenggarakan di luar Bank Indonesia.
(3) Setelmen atas transaksi SBN antarpeserta di Pasar
Sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf c dilakukan melalui BI-SSSS sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS.
Bagian Ketiga
Setelmen atas Transaksi SBN dalam Rupiah
Paragraf 1
Setelmen Hasil Lelang SBN dan Lelang SBN Tambahan
dalam Rupiah yang Diselenggarakan oleh Bank Indonesia
Pasal 10
Setelmen hasil Lelang SBN dan Lelang SBN Tambahan dalam
Rupiah yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, dilakukan
oleh Central Registry dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Setelmen dana dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dengan
mendebit Rekening Giro Rupiah pembeli dan/atau Bank
Pembayar serta mengkredit Rekening Giro Rupiah
Pemerintah di Bank Indonesia sebesar nilai Setelmen;
b. Setelmen surat berharga dilakukan dengan mengkredit
Rekening Surat Berharga pembeli dan/atau Sub-Registry
sebesar nilai nominal seri SBN dalam Rupiah yang
dinyatakan menang; dan
c. dalam hal dana pada Rekening Giro Rupiah pembeli
dan/atau Bank Pembayar tidak mencukupi untuk
Setelmen sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi
SBN yaitu pada awal periode cut-off warning BI-SSSS maka
Setelmen hasil Lelang SBN dan/atau Lelang SBN
Tambahan dalam Rupiah dinyatakan gagal.
11
Paragraf 2
Setelmen Hasil Penjualan SBN dalam Rupiah
dengan Cara Private Placement
Pasal 11
Setelmen hasil penjualan SBN dalam Rupiah dengan cara
Private Placement, dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Setelmen dana dilakukan dengan mekanisme sebagai
berikut:
1. Central Registry melakukan Setelmen dana melalui
Sistem BI-RTGS dengan mendebit Rekening Giro
Rupiah pembeli dan/atau Bank Pembayar serta
mengkredit Rekening Giro Pemerintah di Bank
Indonesia; atau
2. pembeli atau Bank Pembayar melakukan transfer dana
melalui Sistem BI-RTGS ke Rekening Giro Pemerintah
di Bank Indonesia,
sebesar nilai Setelmen;
b. dalam hal Setelmen dana yang dilakukan telah berhasil,
Central Registry melakukan Setelmen surat berharga
dengan mengkredit Rekening Surat Berharga pembeli
dan/atau Sub-Registry sebesar nilai nominal SBN; dan
c. dalam hal dana pada Rekening Giro Rupiah pembeli
dan/atau Bank Pembayar tidak mencukupi, atau pembeli
tidak melakukan transfer dana sampai dengan batas
waktu Setelmen transaksi SBN yaitu pada awal periode
cut-off warning BI-SSSS maka Setelmen hasil penjualan
SBN dengan cara Private Placement tidak dilakukan.
Paragraf 3
Setelmen Hasil Penjualan SBN dalam Rupiah
dengan Cara Bookbuilding
Pasal 12
Setelmen hasil penjualan SBN dalam Rupiah dengan cara
Bookbuilding, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
12
a. Setelmen dana dilakukan dengan mekanisme sebagai
berikut:
1. Central Registry melakukan Setelmen dana melalui
Sistem BI-RTGS dengan mendebit Rekening Giro
Rupiah pembeli dan/atau Bank Pembayar serta
mengkredit Rekening Giro Pemerintah di Bank
Indonesia; atau
2. pembeli atau Bank Pembayar melakukan transfer
dana melalui Sistem BI-RTGS ke Rekening Giro
Pemerintah di Bank Indonesia,
sebesar total nilai Setelmen;
b. dalam hal Setelmen dana yang dilakukan telah berhasil,
Central Registry melakukan Setelmen surat berharga dengan
mengkredit Rekening Surat Berharga pembeli dan/atau Sub-
Registry sebesar total nilai nominal hasil penjualan SBN; dan
c. dalam hal dana pada Rekening Giro Rupiah pembeli
dan/atau Bank Pembayar tidak mencukupi untuk
pelaksanaan Setelmen, atau pembeli tidak melakukan
transfer dana sampai dengan batas waktu Setelmen
transaksi SBN yaitu pada awal periode cut-off warning BI-
SSSS maka Setelmen penjualan SBN dengan cara
Bookbuilding tidak dilakukan.
Paragraf 4
Setelmen Hasil Penjualan SBN dalam Rupiah
yang Dijual kepada Investor Ritel
Pasal 13
Setelmen hasil penjualan SBN dalam Rupiah yang dijual
kepada investor ritel, dilakukan oleh Central Registry dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Setelmen dana dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dengan
mendebit Rekening Giro Rupiah Bank Pembayar dan
mengkredit Rekening Giro Rupiah Pemerintah di Bank
Indonesia sebesar nilai Setelmen;
b. dalam hal Setelmen dana yang dilakukan telah berhasil,
Setelmen surat berharga dilakukan dengan mengkredit
13
Rekening Surat Berharga Sub-Registry sebesar nilai
penjatahan; dan
c. dalam hal dana pada Rekening Giro Rupiah Bank Pembayar
tidak mencukupi sampai dengan batas waktu Setelmen
transaksi SBN yaitu pada awal periode cut-off warning BI-
SSSS maka Setelmen atas transaksi SBN yang dijual
kepada investor ritel tidak dilakukan.
Paragraf 5
Setelmen Hasil Transaksi SBN Secara Langsung dalam Rupiah
Pasal 14
Setelmen hasil Transaksi SBN Secara Langsung dalam Rupiah,
meliputi Setelmen atas:
a. penjualan SBN dalam Rupiah di Pasar Perdana secara
langsung; dan
b. pembelian kembali SBN dalam Rupiah di Pasar Sekunder
secara langsung.
Pasal 15
Setelmen atas penjualan SBN dalam Rupiah di Pasar Perdana
secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf
a, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Setelmen dana dilakukan dengan mekanisme sebagai
berikut:
1. Central Registry melakukan Setelmen dana melalui
Sistem BI-RTGS dengan mendebit Rekening Giro
Rupiah pembeli dan/atau Bank Pembayar serta
mengkredit Rekening Giro Pemerintah di Bank
Indonesia; atau
2. pembeli atau Bank Pembayar melakukan transfer
dana melalui Sistem BI-RTGS ke Rekening Giro
Pemerintah di Bank Indonesia,
sebesar nilai Setelmen;
b. dalam hal Setelmen dana yang dilakukan telah berhasil,
Central Registry melakukan Setelmen surat berharga
dengan mengkredit Rekening Surat Berharga pembeli
14
dan/atau Sub-Registry sebesar nilai nominal penjualan
SBN; dan
c. dalam hal dana pada Rekening Giro Rupiah pembeli
dan/atau Bank Pembayar tidak mencukupi sampai
dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu pada
awal periode cut-off warning BI-SSSS, Setelmen transaksi
SBN dalam Rupiah di Pasar Perdana secara langsung
dinyatakan gagal.
Pasal 16
Setelmen atas pembelian kembali SBN dalam Rupiah di Pasar
Sekunder secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 huruf b, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Central Registry melakukan pendebitan Rekening Surat
Berharga penjual dan/atau Sub-Registry sebesar nilai
nominal seri SBN dalam Rupiah yang dibeli kembali oleh
Pemerintah;
b. Central Registry melakukan pelunasan sebelum jatuh
tempo (early redemption) atas seri SBN dalam Rupiah yang
dibeli kembali oleh Pemerintah;
c. Central Registry melakukan Setelmen dana melalui Sistem
BI-RTGS, dengan mendebit Rekening Giro Rupiah
Pemerintah dan mengkredit Rekening Giro Rupiah penjual
dan/atau Bank Pembayar di Bank Indonesia sebesar nilai
Setelmen; dan
d. dalam hal Rekening Surat Berharga penjual atau Sub-
Registry tidak mencukupi untuk Setelmen surat berharga
sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu
pada awal periode cut-off warning BI-SSSS, Setelmen
pembelian kembali SBN dalam Rupiah di Pasar Sekunder
secara langsung dinyatakan gagal.
15
Paragraf 6
Setelmen Hasil Lelang Buyback SBN dalam Rupiah
yang Diselenggarakan di Luar Bank Indonesia
Pasal 17
Setelmen hasil Lelang Buyback SBN dalam Rupiah yang
diselenggarakan di luar Bank Indonesia meliputi Setelmen atas:
a. Lelang Buyback SBN secara tunai; dan
b. Lelang Buyback SBN secara penukaran (debt switching).
Pasal 18
Pelaksanaan Setelmen hasil Lelang Buyback SBN secara tunai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Central Registry melakukan pendebitan Rekening Surat
Berharga penjual dan/atau Sub-Registry sebesar nilai
nominal seri SBN dalam Rupiah yang dibeli kembali oleh
Pemerintah;
b. Central Registry melakukan pelunasan sebelum jatuh
tempo (early redemption) atas seri SBN dalam Rupiah yang
dibeli kembali oleh Pemerintah;
c. Central Registry melakukan Setelmen dana melalui Sistem
BI-RTGS, dengan mendebit Rekening Giro Rupiah
Pemerintah dan mengkredit Rekening Giro Rupiah penjual
atau Bank Pembayar di Bank Indonesia sebesar nilai
Setelmen; dan
d. dalam hal Rekening Surat Berharga penjual atau Sub-
Registry tidak mencukupi untuk Setelmen surat berharga
sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu
pada awal periode cut-off warning BI-SSSS, Setelmen hasil
Lelang Buyback SBN secara tunai dinyatakan gagal.
Pasal 19
(1) Pelaksanaan Setelmen hasil Lelang Buyback SBN secara
penukaran (debt switching) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 huruf b, dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
16
a. Central Registry melakukan pendebitan Rekening Surat
Berharga penjual dan/atau Sub-Registry di Bank
Indonesia sebesar nominal seri SBN dalam Rupiah yang
dibeli kembali oleh Pemerintah;
b. Central Registry melakukan pelunasan sebelum jatuh
tempo (early redemption) atas seri SBN dalam Rupiah
yang dibeli kembali oleh Pemerintah; dan
c. Central Registry melakukan pengkreditan Rekening
Surat Berharga penjual dan/atau Sub-Registry
sebesar nominal seri SBN penukar dalam Rupiah.
(2) Pelaksanaan Lelang Buyback SBN secara penukaran (debt
switching) dapat menyebabkan terjadi selisih nilai
Setelmen dana.
(3) Penyelesaian selisih nilai Setelmen dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas beban Pemerintah
atau atas beban penjual, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. dalam hal terjadi selisih nilai Setelmen dana atas
beban Pemerintah, Central Registry melakukan
Setelmen dana melalui Sistem BI-RTGS dengan
mendebit Rekening Giro Rupiah Pemerintah dan
mengkredit Rekening Giro Rupiah penjual dan/atau
Bank Pembayar di Bank Indonesia sebesar selisih nilai
Setelmen dana; dan
b. dalam hal terjadi selisih nilai Setelmen dana atas
beban penjual, Central Registry melakukan Setelmen
dana dengan mendebit Rekening Giro Rupiah penjual
dan/atau Bank Pembayar dan mengkredit Rekening
Giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia sebesar
selisih nilai Setelmen dana.
(4) Setelmen hasil Lelang Buyback SBN secara penukaran
(debt switching) dinyatakan gagal apabila:
a. Rekening Surat Berharga penjual atau Sub-Registry
tidak mencukupi untuk Setelmen surat berharga; atau
b. Rekening Setelmen Dana penjual atau Bank Pembayar
tidak mencukupi,
17
sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu
pada awal periode cut-off warning BI-SSSS.
Paragraf 7
Setelmen Fasilitas Peminjaman SUN dalam Rupiah
Pasal 20
(1) Setelmen Fasilitas Peminjaman SUN dalam Rupiah
meliputi proses:
a. pemberian Fasilitas Peminjaman SUN; dan
b. pengembalian Fasilitas Peminjaman SUN.
(2) Jangka waktu Fasilitas Peminjaman SUN dapat
diperpanjang berdasarkan persetujuan dari Direktur
Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan
atas nama Menteri.
Pasal 21
(1) Setelmen pemberian Fasilitas Peminjaman SUN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a,
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Central Registry melakukan Setelmen dana atas biaya
peminjaman (lending fee) SUN melalui Sistem BI-
RTGS dengan mendebit Rekening Giro Dealer Utama
atau Bank Pembayar dan mengkredit Rekening Giro
Pemerintah di Bank Indonesia, sebesar biaya
peminjaman (lending fee) SUN;
b. dalam hal Setelmen dana atas biaya peminjaman
(lending fee) SUN sebagaimana dimaksud dalam
huruf a yang dilakukan telah berhasil, Central
Registry melakukan Setelmen atas:
1. SUN yang dijaminkan oleh Dealer Utama atau
Sub-Registry; dan
2. SUN yang dipinjamkan oleh Pemerintah;
c. Setelmen sebagaimana dimaksud dalam huruf b
dilakukan dengan cara securities lending and
borrowing; dan
18
d. Central Registry melakukan kegiatan penerbitan SUN
yang dipinjamkan.
(2) Setelmen transaksi dengan cara securities lending and
borrowing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga
melalui BI-SSSS.
Pasal 22
Setelmen pengembalian Fasilitas Peminjaman SUN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b,
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dilakukan pada saat jatuh waktu peminjaman SUN;
b. Central Registry mendebit Rekening Surat Berharga Dealer
Utama atau Sub-Registry dan mengkredit Rekening Surat
Berharga Pemerintah sebesar nilai nominal seri SUN yang
dipinjamkan;
c. Central Registry mendebit Rekening Surat Berharga
Pemerintah dan mengkredit Rekening Surat Berharga
Dealer Utama atau Sub-Registry sebesar nilai nominal seri
SUN yang dijaminkan;
d. dalam hal Setelmen sebagaimana dimaksud dalam huruf
b dan huruf c yang dilakukan telah berhasil, Central
Registry melakukan pelunasan sebelum jatuh waktu (early
redemption) atas seri SUN yang dipinjamkan, sebesar nilai
nominal seri SUN yang dikembalikan;
e. dalam hal Setelmen sebagaimana dimaksud dalam huruf
b dan huruf c tidak berhasil dilakukan maka Setelmen
pengembalian SUN yang dipinjamkan dinyatakan gagal;
dan
f. dalam hal Setelmen pengembalian SUN yang dipinjamkan
dinyatakan gagal maka Setelmen penyelesaian kewajiban
dilakukan sesuai dengan surat Direktur Jenderal
Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko.
19
Pasal 23
Perpanjangan jangka waktu Fasilitas Peminjaman SUN
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Setelmen dana atas pembayaran biaya peminjaman
(lending fee) SUN dilakukan sesuai prosedur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 huruf a; dan
b. dalam hal Setelmen dana atas biaya peminjaman (lending
fee) SUN sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang
dilakukan telah berhasil, Central Registry melakukan
perpanjangan jangka waktu Fasilitas Peminjaman SUN.
Bagian Keempat
Setelmen atas Transaksi SBN dalam Valuta Asing
di Pasar Domestik
Paragraf 1
Setelmen Hasil Lelang SBN dalam Valuta Asing
yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia
Pasal 24
(1) Setelmen hasil Lelang SBN dalam valuta asing yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia, dilakukan oleh
Central Registry dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Setelmen dana dilakukan dengan mendebit Rekening
Setelmen Dana pembeli dan/atau Bank Pembayar
dan mengkredit Rekening Giro valuta asing
Pemerintah di Bank Indonesia, sebesar nilai
Setelmen;
b. Setelmen surat berharga dilakukan dengan
mengkredit Rekening Surat Berharga pembeli
dan/atau Sub-Registry sebesar nilai nominal seri
SBN; dan
c. dalam hal dana pada Rekening Setelmen Dana
pembeli dan/atau Bank Pembayar tidak mencukupi
sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN
yaitu pada cut-off warning BI-SSSS maka Setelmen
hasil Lelang SBN dalam valuta asing dinyatakan
20
gagal.
(2) Pembeli atau Bank Pembayar harus menyediakan dana
yang cukup dalam valuta asing pada Rekening Setelmen
Dana untuk keperluan Setelmen dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan cara pembeli atau Bank Pembayar
mentransfer dana dan telah efektif pada rekening giro
Bank Indonesia di Bank Koresponden Bank Indonesia, 1
(satu) hari kerja sebelum tanggal Setelmen SBN dalam
valuta asing.
(4) Pembeli atau Bank Pembayar harus mengirimkan
informasi pelaksanaan transfer dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Operasional Tresuri dan Pinjaman - Divisi
Penyelesaian Transaksi Devisa, melalui sarana SWIFT
dengan menggunakan MT299.
(5) Pengiriman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dilakukan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja
sebelum tanggal Setelmen pukul 14.00 WIB.
(6)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling
sedikit memuat:
a.
tanggal valuta;
b. mata uang dan nominal;
c. nomor Rekening Setelmen Dana di Bank Indonesia; dan
d. nama Bank Koresponden Bank Indonesia.
Paragraf 2
Setelmen Hasil Penjualan SBN dalam Valuta Asing
dengan cara Private Placement
Pasal 25
(1) Setelmen hasil Penjualan SBN dalam valuta asing dengan
cara Private Placement, dilakukan oleh Central Registry
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Setelmen dana dilakukan dengan mendebit Rekening
Setelmen Dana pembeli dan/atau Bank Pembayar
21
dan mengkredit Rekening Giro valuta asing
Pemerintah di Bank Indonesia sebesar total nilai
Setelmen;
b. Setelmen surat berharga dilakukan dengan
mengkredit Rekening Surat Berharga pembeli
dan/atau Sub-Registry sebesar total nilai nominal
hasil penjualan seri SBN dalam valuta asing dengan
cara Private Placement; dan
c. dalam hal dana pada Rekening Setelmen Dana
pembeli dan/atau Bank Pembayar tidak mencukupi
sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN
yaitu pada awal periode cut-off warning BI-SSSS maka
Setelmen hasil penjualan SBN dalam valuta asing
dengan cara Private Placement tidak dilakukan.
(2) Pembeli atau Bank Pembayar harus menyediakan dana
yang cukup dalam valuta asing pada Rekening Setelmen
Dana untuk keperluan Setelmen dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan cara pembeli atau Bank Pembayar
mentransfer dana dan telah efektif pada rekening giro
Bank Indonesia di Bank Koresponden Bank Indonesia, 1
(satu) hari kerja sebelum tanggal Setelmen SBN dalam
valuta asing.
(4) Pembeli atau Bank Pembayar harus mengirimkan
informasi pelaksanaan transfer dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Operasional Tresuri dan Pinjaman - Divisi
Penyelesaian Transaksi Devisa, melalui sarana SWIFT
dengan menggunakan MT299.
(5) Pengiriman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dilakukan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja
sebelum tanggal Setelmen pukul 14.00 WIB.
(6)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling
sedikit memuat:
a.
tanggal valuta;
b. mata uang dan nominal;
22
c. nomor Rekening Setelmen Dana di Bank Indonesia;
dan
d. nama Bank Koresponden Bank Indonesia.
Paragraf 3
Setelmen Hasil Penjualan SBN dalam Valuta Asing
dengan cara Bookbuilding
Pasal 26
(1) Setelmen hasil Penjualan SBN dalam valuta asing dengan
cara Bookbuilding, dilakukan oleh Central Registry dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Setelmen dana dilakukan dengan mendebit Rekening
Setelmen Dana pembeli dan/atau Bank Pembayar
dan mengkredit Rekening Giro valuta asing
Pemerintah di Bank Indonesia sebesar total nilai
Setelmen;
b. Setelmen surat berharga dilakukan dengan
mengkredit Rekening Surat Berharga pembeli
dan/atau Sub-Registry sebesar total nilai nominal
hasil penjualan SBN; dan
c. dalam hal dana pada Rekening Setelmen Dana
pembeli dan/atau Bank Pembayar tidak mencukupi
sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN
yaitu pada awal periode cut-off warning BI-SSSS maka
Setelmen hasil penjualan SBN dalam valuta asing
dengan cara Bookbuilding tidak dilakukan.
(2) Pembeli atau Bank Pembayar harus menyediakan dana
yang cukup dalam valuta asing pada Rekening Setelmen
Dana untuk keperluan Setelmen dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan cara pembeli atau Bank Pembayar
mentransfer dana dan telah efektif pada rekening giro
Bank Indonesia di Bank Koresponden Bank Indonesia, 1
(satu) hari kerja sebelum tanggal Setelmen SBN dalam
valuta asing.
23
(4) Pembeli atau Bank Pembayar harus mengirimkan
informasi pelaksanaan transfer dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Operasional Tresuri dan Pinjaman - Divisi
Penyelesaian Transaksi Devisa, melalui sarana SWIFT
dengan menggunakan MT299.
(5) Pengiriman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dilakukan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja
sebelum tanggal Setelmen pukul 14.00 WIB.
(6)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling
sedikit memuat:
a.
tanggal valuta;
b. mata uang dan nominal;
c. nomor Rekening Setelmen Dana di Bank Indonesia; dan
d. nama Bank Koresponden Bank Indonesia.
Paragraf 4
Setelmen Hasil Transaksi SUN secara Langsung
dalam Valuta Asing
Pasal 27
Setelmen hasil transaksi SUN secara langsung dalam valuta
asing, meliputi Setelmen atas:
a. penjualan SUN dalam valuta asing di Pasar Perdana secara
langsung; dan
b. pembelian kembali SUN dalam valuta asing di Pasar
Sekunder secara langsung.
Pasal 28
(1) Setelmen atas penjualan SUN dalam valuta asing di Pasar
Perdana secara langsung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 huruf a, dilakukan oleh Central Registry dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Setelmen dana dilakukan dengan mendebit Rekening
Setelmen Dana pembeli dan/atau Bank Pembayar
dan mengkredit Rekening Giro valuta asing
24
Pemerintah di Bank Indonesia sebesar nilai Setelmen;
b. Setelmen surat berharga dilakukan dengan
mengkredit Rekening Surat Berharga pembeli
dan/atau Sub-Registry sebesar nilai nominal
penjualan SUN; dan
c. dalam hal dana pada Rekening Setelmen Dana
pembeli dan/atau Bank Pembayar tidak mencukupi
sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN
yaitu pada awal periode cut-off warning BI-SSSS,
Setelmen atas transaksi penjualan SUN secara
langsung dalam valuta asing dinyatakan gagal.
(2) Pembeli atau Bank Pembayar harus menyediakan dana
yang cukup dalam valuta asing pada Rekening Setelmen
Dana untuk keperluan Setelmen dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan cara pembeli atau Bank Pembayar
mentransfer dana dan telah efektif pada rekening giro
Bank Indonesia di Bank Koresponden Bank Indonesia, 1
(satu) hari kerja sebelum tanggal Setelmen SUN dalam
valuta asing.
(4) Pembeli atau Bank Pembayar harus mengirimkan
informasi pelaksanaan transfer dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Operasional Tresuri dan Pinjaman - Divisi
Penyelesaian Transaksi Devisa, melalui sarana SWIFT
dengan menggunakan MT299.
(5) Pengiriman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dilakukan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja
sebelum tanggal Setelmen pukul 14.00 WIB.
(6)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling
kurang memuat:
a.
tanggal valuta;
b. mata uang dan nominal;
c. nomor Rekening Setelmen Dana di Bank Indonesia; dan
d. nama Bank Koresponden Bank Indonesia.
25
Pasal 29
Setelmen atas pembelian kembali SUN dalam valuta asing di
Pasar Sekunder secara langsung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 huruf b, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Central Registry melakukan pendebitan Rekening Surat
Berharga penjual dan/atau Sub-registry sebesar nilai
nominal seri SUN dalam valuta asing yang dibeli kembali
oleh Pemerintah;
b. Central Registry melakukan pelunasan sebelum jatuh
tempo (early redemption) atas seri SUN dalam valuta asing
yang dibeli kembali oleh Pemerintah;
c. Central Registry melakukan Setelmen dana dengan
mendebit Rekening Giro valuta asing Pemerintah dan
mengkredit Rekening Setelmen Dana penjual dan/atau
Bank Pembayar di Bank Indonesia sebesar nilai Setelmen;
dan
d. dalam hal Rekening Surat Berharga penjual atau Sub-
registry tidak mencukupi untuk Setelmen surat berharga
sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu
pada awal periode cut-off warning BI-SSSS, Setelmen
pembelian kembali SUN dalam valuta asing di Pasar
Sekunder secara langsung dinyatakan gagal.
Paragraf 5
Setelmen Hasil Lelang Buyback SBN dalam Valuta Asing
yang Diselenggarakan di Luar Bank Indonesia
Pasal 30
Setelmen hasil Lelang Buyback SBN dalam valuta asing yang
diselenggarakan di luar Bank Indonesia meliputi Setelmen atas:
a. Lelang Buyback SBN secara tunai; atau
b. Lelang Buyback SBN secara penukaran (debt switching).
Pasal 31
Pelaksanaan Setelmen hasil Lelang Buyback SBN secara tunai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a, dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
26
a. Central Registry melakukan pendebitan Rekening Surat
Berharga penjual dan/atau Sub-Registry sebesar nilai
nominal seri SBN dalam valuta asing yang dibeli kembali
oleh Pemerintah;
b. Central Registry melakukan pelunasan sebelum jatuh
tempo (early redemption) atas seri SBN dalam valuta asing
yang dibeli kembali oleh Pemerintah;
c. Central Registry melakukan Setelmen dana dengan
mendebit Rekening Giro valuta asing Pemerintah dan
mengkredit Rekening Setelmen Dana penjual atau Bank
Pembayar di Bank Indonesia sebesar nilai Setelmen; dan
d. dalam hal Rekening Surat Berharga penjual atau Sub-
Registry tidak mencukupi untuk Setelmen surat berharga
sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu
pada awal periode cut-off warning BI-SSSS, Setelmen hasil
Lelang Buyback SBN secara tunai dinyatakan gagal.
Pasal 32
(1) Pelaksanaan Setelmen hasil Lelang Buyback SBN secara
penukaran (debt switching) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 huruf b, dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Central Registry melakukan pendebitan Rekening Surat
Berharga penjual dan/atau Sub-Registry di Bank
Indonesia sebesar nominal seri SBN dalam valuta asing
yang dibeli kembali oleh Pemerintah;
b. Central Registry melakukan pelunasan sebelum jatuh
tempo (early redemption) atas seri SBN dalam valuta
asing yang dibeli kembali oleh Pemerintah; dan
c. Central Registry melakukan pengkreditan Rekening
Surat Berharga penjual dan/atau Sub-Registry
sebesar nominal seri SBN penukar dalam valuta asing.
(2) Pelaksanaan Lelang Buyback SBN secara penukaran (debt
switching) dapat menyebabkan terjadi selisih nilai
Setelmen dana.
(3) Penyelesaian selisih nilai Setelmen dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas beban Pemerintah
27
atau atas beban penjual, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. dalam hal terjadi selisih nilai Setelmen dana atas
beban Pemerintah, Central Registry melakukan
Setelmen dana dengan mendebit Rekening Giro
valuta asing Pemerintah dan mengkredit Rekening
Setelmen Dana penjual dan/atau Bank Pembayar di
Bank Indonesia sebesar selisih nilai Setelmen dana;
dan
b. dalam hal terjadi selisih nilai Setelmen dana atas
beban penjual, Central Registry melakukan Setelmen
dana dengan mendebit Rekening Setelmen Dana
penjual dan/atau Bank Pembayar dan mengkredit
Rekening Giro valuta asing Pemerintah di Bank
Indonesia sebesar selisih nilai Setelmen dana.
(4) Setelmen hasil Lelang Buyback SBN secara penukaran
(debt switching) dinyatakan gagal apabila:
a. Rekening Surat Berharga penjual atau Sub-Registry
tidak mencukupi untuk Setelmen surat berharga;
atau
b. Rekening Setelmen Dana penjual atau Bank
Pembayar tidak mencukupi,
sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu
pada awal periode cut-off warning BI-SSSS.
Bagian Kelima
Pencatatan Kepemilikan SBN
Pasal 33
(1) Central Registry melaksanakan pencatatan kepemilikan
SBN.
(2) Tata cara pencatatan kepemilikan SBN sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS.
28
Pasal 34
(1) Pencatatan kepemilikan SBN atas nama nasabah secara
individual dilakukan oleh Sub-Registry berdasarkan
persetujuan Central Registry.
(2) Pencatatan kepemilikan SBN atas nama nasabah secara
individual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam sistem internal Sub-Registry pada tanggal yang
sama dengan tanggal pelaksanaan Setelmen SBN.
(3) Tata cara pemberian persetujuan Central Registry
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui
BI-SSSS.
Bagian Keenam
Pembayaran Bunga (Kupon)/Imbalan dan/atau
Pelunasan Pokok/Nominal SBN
Pasal 35
(1) Central Registry melaksanakan pembayaran bunga
(kupon)/imbalan SBN pada tanggal pembayaran bunga
(kupon)/imbalan SBN.
(2) Central Registry melaksanakan pelunasan pokok/nominal
SBN pada tanggal jatuh tempo SBN.
(3) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung
berdasarkan posisi kepemilikan SBN pada tanggal batas
waktu penetapan penerima sesuai dengan ketentuan dan
persyaratan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama
Menteri.
Pasal 36
(1) Pembayaran bunga (kupon)/imbalan SBN dalam Rupiah
dilakukan oleh Central Registry dengan mendebit Rekening
Giro Rupiah Pemerintah dan mengkredit Rekening Giro
Rupiah pemilik SBN dalam Rupiah dan/atau Bank
29
Pembayar sebesar nilai bunga (kupon)/imbalan SBN dalam
Rupiah.
(2) Pelunasan pokok/nominal SBN dalam Rupiah dilakukan
oleh Central Registry dengan mendebit Rekening Giro
Rupiah Pemerintah dan mengkredit Rekening Giro Rupiah
pemilik SBN dalam Rupiah dan/atau Bank Pembayar
sebesar nilai pokok/nominal SBN dalam Rupiah.
Pasal 37
(1) Pembayaran bunga (kupon)/imbalan SBN dalam valuta
asing dilakukan oleh Central Registry dengan mendebit
Rekening Giro valuta asing Pemerintah dan mengkredit
Rekening Setelmen Dana dalam valuta asing pemilik SBN
dalam valuta asing dan/atau Bank Pembayar sebesar nilai
bunga (kupon)/imbalan SBN dalam valuta asing.
(2) Kegiatan pelunasan pokok/nominal SBN dilakukan oleh
Central Registry dengan mendebit Rekening Giro valuta
asing Pemerintah dan mengkredit Rekening Setelmen Dana
dalam valuta asing pemilik SBN dalam valuta asing
dan/atau Bank Pembayar sebesar nilai pokok/nominal
SBN dalam valuta asing.
(3) Dalam hal Bank Indonesia bertindak sebagai Bank
Pembayar untuk SBN dalam valuta asing dengan
denominasi Euro, Bank Indonesia akan meneruskan
pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau pelunasan
pokok/nilai nominal ke rekening bank koresponden pemilik
SBN dalam valuta asing dan/atau Sub-Registry.
Pasal 38
(1) Sub-Registry harus meneruskan pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37 kepada nasabah
pemilik SBN pada tanggal yang sama dengan tanggal
pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau pelunasan
pokok/nominal SBN oleh Central Registry.
(2) Sub-Registry
meneruskan pembayaran bunga
(kupon)/imbalan dan/atau pelunasan pokok/nominal SBN
30
valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
dengan menggunakan tanggal valuta pembayaran bunga
(kupon)/imbalan dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal
SBN dalam valuta asing yang dilakukan oleh Central
Registry.
BAB III
PENYEDIAAN DATA, INFORMASI, DAN PELAPORAN
Pasal 39
(1) Central Registry menyediakan data dan/atau informasi
pencatatan kepemilikan SBN kepada:
a. pemilik SBN yang ditatausahakan oleh Central Registry;
dan
b. Sub-Registry.
(2) Tata cara penyediaan data dan/atau informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui
BI-SSSS.
Pasal 40
(1) Central Registry menyampaikan laporan Penatausahaan
SBN kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Pengelolaan
Pembiayaan dan Risiko.
(2) Sub-Registry menyampaikan laporan pencatatan
kepemilikan SBN atas nama nasabah kepada Central
Registry.
(3) Tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga
melalui BI-SSSS.
31
BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 41
(1) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal di Bank Indonesia
pada pelaksanaan Setelmen SBN maka Central Registry
akan mengumumkan kepada Peserta BI-SSSS melalui BI-
SSSS dan/atau sarana komunikasi lain yang digunakan
Bank Indonesia.
(2) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal di Bank Indonesia
dan/atau di Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan
dan Risiko yang mempengaruhi kelancaran pelaksanaan
Setelmen Lelang SBN dan/atau Lelang SBN Tambahan
maka Central Registry akan mengumumkan keputusan
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko
untuk dan atas nama Menteri terhadap pelaksanaan
Setelmen tersebut melalui BI-SSSS dan/atau sarana
komunikasi lain yang digunakan Bank Indonesia.
(3) Keadaan tidak normal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) terjadi dalam hal terdapat situasi atau kondisi
yang mengakibatkan adanya gangguan atau kerusakan
pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan
komunikasi, aplikasi, maupun sarana pendukung
teknologi informasi.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/32/DPSP
tanggal 13 November 2015 perihal Tata Cara Lelang Surat
Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat
Berharga Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
18/36/DPSP tanggal 16 Desember 2016 perihal Perubahan
atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/32/DPSP tanggal
32
13 November 2015 perihal Tata Cara Lelang Surat Berharga
Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga
Negara, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 43
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Maret 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
SUGENG
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 19/3/PADG/2017 </reg_id>
<reg_title> TATA CARA PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA </reg_title>
<set_date> 30 Maret 2017 </set_date>
<effective_date> 30 Maret 2017 </effective_date>
<replaced_reg> '17/32/DPSP|SE-BI/2015', '18/36/DPSP|SE-BI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '17/19/PBI/2015', '17/18/PBI/2015', '10/13/PBI/2008', '18/6/PBI/2016' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/37/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/9/PADG/2018 TENTANG STANDING FACILITIES
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk memperkuat kerangka operasi moneter,
Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia
sebagai salah satu instrumen operasi moneter
berdasarkan prinsip syariah;
b. bahwa Sukuk Bank Indonesia telah ditetapkan sebagai
salah satu surat berharga yang dapat digunakan dalam
standing facilities;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas
Peraturan
Anggota
Dewan Gubernur Nomor
20/9/PADG/2018 tentang Standing Facilities;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6189) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
2
20/14/PBI/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi
Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6278);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/9/PADG/2018 TENTANG STANDING
FACILITIES.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/9/PADG/2018 tentang Standing Facilities
diubah sebagai berikut:
1. Di antara angka 14 dan angka 15 Pasal 1 disisipkan 1
(satu) angka, yakni angka 14A dan di antara angka 24 dan
angka 25 disisipkan 2 (dua) angka, yakni angka 24A dan
angka 24B, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang
dimaksud dengan:
1.
Bank adalah bank umum konvensional, bank
umum syariah, dan unit usaha syariah.
2.
Bank Umum Konvensional yang selanjutnya
disingkat BUK adalah bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan.
3.
Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat
BUS adalah bank umum yang menjalankan
kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah
3
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
4.
Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
5.
Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian
moneter, yang dilakukan secara konvensional dan
berdasarkan prinsip syariah.
6. Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana
rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank dan
penempatan dana rupiah oleh Bank di Bank
Indonesia untuk Operasi Moneter yang dilakukan
secara konvensional dan berdasarkan prinsip
syariah.
7.
Peserta Standing Facilities adalah Peserta Standing
Facilities Konvensional dan Peserta Standing
Facilities Syariah.
8.
Peserta Standing Facilities Konvensional adalah BUK
yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia
sebagai peserta Operasi Moneter konvensional
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan
operasi moneter.
9.
Peserta Standing Facilities Syariah adalah BUS
dan/atau UUS yang telah memperoleh izin dari
Bank Indonesia sebagai peserta Operasi Moneter
yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan
operasi moneter.
10. Lending Facility adalah penyediaan dana rupiah dari
Bank Indonesia kepada Peserta Standing Facilities
Konvensional untuk Operasi Moneter yang
dilakukan secara konvensional.
4
11. Financing Facility adalah penyediaan dana rupiah
dari Bank Indonesia kepada Peserta Standing
Facilities Syariah untuk Operasi Moneter yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
12. Deposit Facility adalah penempatan dana rupiah
oleh Peserta Standing Facilities di Bank Indonesia
untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.
13. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata
uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
14. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan
prinsip syariah dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia dan berjangka
waktu pendek.
14A. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut
SukBI adalah sukuk yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia dengan menggunakan underlying asset
berupa surat berharga berdasarkan prinsip syariah
milik Bank Indonesia.
15. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata
uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek
yang dapat diperdagangkan hanya antar-BUK.
16. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat
SBN adalah surat utang negara dan surat berharga
syariah negara.
17. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
surat utang negara.
18. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN adalah surat berharga syariah
negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-
5
Undang yang mengatur mengenai surat berharga
syariah negara.
19. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah
Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia
yang
mengatur
mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
20. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah
Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
21. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform
yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah
Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia
yang
mengatur mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
22. Transaksi Repurchase Agreement SBIS yang
selanjutnya disebut Repo SBIS adalah transaksi
pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada
Peserta Standing Facilities Syariah dengan agunan
SBIS.
23. Biaya Repo SBIS adalah kewajiban membayar
(gharamah) yang ditetapkan Bank Indonesia untuk
Repo SBIS karena Peserta Standing Facilities Syariah
tidak menepati jangka waktu kesepakatan
pembelian SBIS.
24. Perjanjian pengagunan SBIS untuk Repo SBIS yang
selanjutnya disebut Perjanjian adalah kesepakatan
tertulis antara Bank Indonesia dengan Peserta
Standing Facilities Syariah yang memuat hak dan
6
kewajiban masing-masing pihak dalam pengagunan
SBIS.
24A. Transaksi Repurchase Agreement SukBI yang
selanjutnya disebut Repo SukBI adalah transaksi
penjualan SukBI oleh Peserta Standing Facilities
kepada Bank Indonesia dengan janji pembelian
kembali oleh Peserta Standing Facilities sesuai
dengan harga dan jangka waktu yang disepakati
untuk Standing Facilities.
24B. Margin Repo SukBI adalah tingkat keuntungan
dalam setahun yang disepakati oleh para pihak yang
melakukan Repo SukBI.
25. Transaksi Repurchase Agreement SBSN untuk
Standing Facilities syariah yang selanjutnya disebut
Repo SBSN adalah transaksi penjualan SBSN oleh
Peserta Standing Facilities Syariah kepada Bank
Indonesia dengan janji pembelian kembali oleh
Peserta Standing Facilities Syariah sesuai dengan
harga dan jangka waktu yang disepakati untuk
Standing Facilities syariah.
26. Margin Repo SBSN adalah tingkat keuntungan
dalam setahun yang disepakati oleh para pihak yang
melakukan transaksi Repo SBSN.
27. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di
Bank Indonesia dalam mata uang rupiah dan/atau
valuta asing.
28. Rekening Surat Berharga adalah rekening surat
berharga milik Bank pada BI-SSSS dalam mata
uang rupiah dan/atau valuta asing yang
ditatausahakan di Bank Indonesia untuk
pencatatan kepemilikan dan setelmen atas transaksi
surat berharga, transaksi dengan Bank Indonesia,
dan/atau transaksi pasar keuangan.
29. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan
pengkreditan Rekening Giro di Bank Indonesia
melalui Sistem BI-RTGS untuk penatausahaan.
7
30. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan
pendebitan dan pengkreditan Rekening Surat
Berharga untuk penatausahaan.
31. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat
DVP adalah mekanisme setelmen transaksi dengan
cara Setelmen Surat Berharga dan Setelmen Dana
dilakukan secara bersamaan.
32. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia,
termasuk hari kerja operasional terbatas Bank
Indonesia.
2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
Standing Facilities memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. disediakan oleh Bank Indonesia pada setiap Hari
Kerja;
b. dilakukan dengan mekanisme nonlelang;
c. pengajuan transaksi dilakukan melalui Sistem BI-
ETP;
d. jangka waktu:
1. Lending Facility dan Financing Facility yaitu 1
(satu) Hari Kerja (overnight);
2. Deposit Facility:
a) yang dilakukan secara konvensional yaitu 1
(satu) Hari Kerja (overnight);
b) yang dilakukan berdasarkan prinsip
syariah yaitu paling lama 14 (empat belas)
hari kalender dihitung dari 1 (satu) hari
setelah tanggal setelmen sampai dengan
tanggal jatuh waktu;
e. jumlah hari dalam perhitungan:
1. nilai bunga repo dalam Lending Facility;
2. Biaya Repo SBIS, nilai Margin Repo SukBI, atau
nilai Margin Repo SBSN dalam Financing Facility;
dan
8
3.
nilai diskonto atau imbalan dalam Deposit
Facility,
dihitung berdasarkan hari kalender;
f. ditatausahakan pada Rekening Surat Berharga di BI-
SSSS.
3. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3) diubah sehingga
Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Surat berharga yang dapat di-repo-kan dalam
Transaksi Lending Facility sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu:
a. SBI;
b. SDBI;
c. SukBI; dan
d. SBN.
(2) Surat berharga yang dapat di-repo-kan dalam
transaksi Lending Facility sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling banyak sebesar nilai nominal
surat berharga yang dimiliki Peserta Standing
Facilities Konvensional yang tercatat di Rekening
Surat Berharga.
(3) Kriteria dan persyaratan, harga, serta haircut atas
SBI, SDBI, SukBI, dan SBN yang dapat digunakan
dalam transaksi Lending Facility yaitu sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur
yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan
surat berharga dalam operasi moneter.
4. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 8
Transaksi Financing Facility dilakukan dengan mekanisme
repo surat berharga berupa:
9
a. SBIS yang dilakukan dengan prinsip collateralized
borrowing;
b. SukBI yang dilakukan dengan prinsip sell and
buyback; atau
c. SBSN yang dilakukan dengan prinsip sell and
buyback.
5. Ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga
Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Surat berharga yang dapat di-repo-kan dalam
transaksi Financing Facility sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 paling banyak sebesar nilai nominal
surat berharga yang dimiliki Peserta Standing
Facilities Syariah yang tercatat di Rekening Surat
Berharga.
(2) Dalam hal SBSN yang di-repo-kan pada transaksi
Financing Facility sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf c memiliki kupon atau imbalan maka
hak atas penerimaan kupon atau imbalan dimaksud
merupakan milik Peserta Standing Facilities Syariah.
(3) Kriteria dan persyaratan, harga, serta haircut atas
SBIS, SukBI, dan SBSN yang dapat digunakan dalam
transaksi Financing Facility yaitu sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur
yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan
surat berharga dalam operasi moneter.
6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 10
Bank Indonesia menetapkan tingkat Biaya Repo SBIS,
Margin Repo SukBI, dan Margin Repo SBSN untuk
transaksi Financing Facility dengan mengacu pada suku
bunga Lending Facility.
10
7. Di antara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 11A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11A
(1) Repo SukBI menggunakan akad al ba’i atau jual beli
yang disertai dengan janji (al wa’d) oleh Peserta
Standing Facilities Syariah kepada Bank Indonesia
untuk membeli kembali SukBI dalam jangka waktu
dan harga tertentu yang disepakati.
(2) Janji (al wa’d) Peserta Standing Facilities Syariah
kepada Bank Indonesia untuk membeli kembali
SukBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dicantumkan dalam dokumen yang terpisah.
8. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 13 disisipkan 1 (satu)
ayat, yakni ayat (1A) sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Peserta Standing Facilities Syariah mengajukan Repo
SBIS setelah menandatangani Perjanjian dengan
Bank Indonesia.
(1A) Peserta Standing Facilities Syariah mengajukan Repo
SukBI setelah menandatangani dokumen janji (wa’d)
untuk membeli kembali surat berharga dalam
Transaksi Repo SukBI dengan Bank Indonesia.
(2) Peserta Standing Facilities Syariah mengajukan Repo
SBSN setelah menandatangani dokumen janji (wa’d)
untuk membeli kembali surat berharga dalam
Transaksi Repo SBSN dengan Bank Indonesia.
9. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
(1) Penandatanganan Perjanjian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) dan/atau dokumen janji
11
(wa’d) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(1A) dan ayat (2) diatur sebagai berikut:
a. bagi Peserta Standing Facilities Syariah yang
kantor pusatnya berkedudukan di Indonesia:
1. Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d)
ditandatangani oleh anggota direksi yang
berwenang; atau
2. dalam hal tidak ditandatangani oleh
anggota direksi yang berwenang maka
harus dilengkapi dengan surat kuasa dari
anggota direksi yang berwenang kepada
pejabat penandatangan Perjanjian
dan/atau dokumen janji (wa’d);
b. bagi Peserta Standing Facilities Syariah yang
kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri:
1. Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d)
ditandatangani oleh chief executive officer
(CEO); atau
2. dalam hal tidak ditandatangani oleh CEO
maka harus dilengkapi dengan surat kuasa
dari CEO kepada pejabat penandatangan
Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d);
dan
c. bagi Peserta Standing Facilities Syariah berupa
UUS, Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d)
ditandatangani oleh pejabat UUS yang diberikan
kuasa oleh anggota direksi BUK.
(2) Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibubuhi
meterai cukup dan dilampirkan dokumen pendukung
sesuai persyaratan Bank Indonesia.
(3) Contoh Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada
Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
12
10. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
(1) Penandatanganan Perjanjian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) dibuat dalam rangkap 2 (dua)
dan dilakukan sebelum Peserta Standing Facilities
Syariah mengajukan Repo SBIS dengan Bank
Indonesia untuk pertama kali.
(2) Penandatanganan dokumen janji (wa’d) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1A) dilakukan
sebelum Peserta Standing Facilities Syariah
mengajukan Repo SukBI dengan Bank Indonesia
untuk pertama kali.
(3) Penandatanganan dokumen janji (wa’d) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dilakukan sebelum
Peserta Standing Facilities Syariah mengajukan Repo
SBSN dengan Bank Indonesia untuk pertama kali.
(4) Peserta Standing Facilities
Syariah harus
menyampaikan perubahan Perjanjian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau dokumen janji
(wa’d) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) dalam hal terdapat perubahan atas:
a. Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d);
b. anggaran dasar Peserta Standing Facilities
Syariah atau peraturan daerah mengenai
kewenangan direksi Peserta Standing Facilities
Syariah untuk mewakili Peserta Standing
Facilities Syariah; dan/atau
c. ketentuan internal Peserta Standing Facilities
Syariah yang mengatur mengenai pendelegasian
wewenang.
13
11. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) diubah sehingga Pasal 18
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Bank Indonesia memberitahukan kepada Peserta
Standing Facilities Syariah mengenai persetujuan
atas pengajuan:
a. Perjanjian sebagai persyaratan pengajuan Repo
SBIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1);
b. dokumen janji (wa’d) sebagai persyaratan
pengajuan Repo SukBI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1A); dan/atau
c. dokumen janji (wa’d) sebagai persyaratan
pengajuan Repo SBSN sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2).
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis melalui surat atau
Sistem BI-ETP.
12. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
(1) Pengumuman rencana transaksi Lending Facility dan
Financing Facility sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) memuat informasi:
a. sarana transaksi;
b. window time;
c. jangka waktu repo;
d. repo rate, tingkat Biaya Repo SBIS, Margin Repo
SukBI, atau Margin Repo SBSN;
e. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau
f.
informasi lainnya.
(2) Dalam hal terdapat perubahan:
a. window time sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b; dan/atau
14
b. repo rate, tingkat Biaya Repo SBIS, Margin Repo
SukBI, atau Margin Repo SBSN sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d,
Bank Indonesia mengumumkan melalui Sistem BI-
ETP dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia sebelum window time.
13. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 22 disisipkan 1 (satu)
ayat, yakni ayat (2A) sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Peserta Standing Facilities Syariah hanya dapat
mengajukan Repo SBIS paling banyak sebesar nilai
nominal SBIS yang dimiliki pada 1 (satu) Hari Kerja
sebelum tanggal Repo SBIS.
(2) Bank Indonesia memberikan Repo SBIS kepada
Peserta Standing Facilities Syariah paling banyak
sebesar nilai nominal SBIS yang diagunkan.
(2A) Peserta Standing Facilities dapat me-repo-kan SukBI
yang dimiliki kepada Bank Indonesia paling banyak
sebesar nilai nominal SukBI milik Peserta Standing
Facilities yang tercatat di Rekening Surat Berharga.
(3) Peserta Standing Facilities dapat me-repo-kan SBSN
yang dimiliki kepada Bank Indonesia paling banyak
sebesar nilai nominal SBSN milik Peserta Standing
Facilities yang tercatat di Rekening Surat Berharga.
14. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
Setelah window time sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (2) ditutup, Bank Indonesia mengumumkan hasil
transaksi Financing Facility melalui Sistem BI-ETP
dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
dengan ketentuan sebagai berikut:
15
a. secara individual kepada Peserta Standing Facilities
Syariah, berupa:
1. nilai transaksi yang diterima;
2. nilai nominal;
3. Biaya Repo SBIS, nilai Margin Repo SukBI, atau
nilai Margin Repo SBSN;
4. tingkat Biaya Repo SBIS, Margin Repo SukBI,
atau Margin Repo SBSN; dan/atau
5. informasi lainnya; dan
b. secara keseluruhan, berupa:
1. nilai nominal yang diterima;
2. tingkat Biaya Repo SBIS, Margin Repo SukBI,
atau Margin Repo SBSN; dan/atau
3. informasi lainnya.
15. Ketentuan Pasal 33 ayat (2) diubah sehingga Pasal 33
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
(1) Dalam hal Peserta Standing Facilities tidak memiliki
dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi
untuk memenuhi kewajiban setelmen second leg
sampai dengan sebelum periode cut-off warning BI-
RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen
second leg, BI-SSSS secara otomatis membatalkan
transaksi Lending Facility atau Financing Facility
second leg.
(2) Dalam hal terdapat pembatalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pada saat second leg Bank
Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah sebesar
kewajiban pembayaran nilai bunga repo, Biaya Repo
SBIS, nilai Margin Repo SukBI, dan/atau nilai
Margin Repo SBSN.
(3) Dalam hal pada transaksi Lending Facility atau
Financing Facility terdapat lebih dari 1 (satu) kali
kegagalan setelmen second leg dalam 1 (satu) hari
maka untuk perhitungan sanksi penghentian
16
sementara mengikuti kegiatan Operasi Moneter,
pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1
(satu) kali.
16. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 34
Dalam hal Peserta Standing Facilities gagal memenuhi
kewajiban setelmen second leg transaksi Lending Facility
atau Financing Facility yang dilakukan dengan
menggunakan surat berharga berupa SBI, SBIS, SukBI,
dan/atau SDBI, Bank Indonesia melakukan hal-hal
sebagai berikut:
a. mendebit Rekening Giro rupiah untuk penyelesaian:
1.
nilai bunga repo untuk transaksi Lending Facility
yang dilakukan dengan menggunakan surat
berharga berupa SBI, SukBI, dan SDBI; dan
2. Biaya Repo SBIS untuk transaksi Financing
Facility;
3. nilai Margin Repo SukBI untuk transaksi
Financing Facility;
b. melakukan penyelesaian pelunasan sebelum jatuh
waktu (early redemption) secara otomatis melalui BI-
SSSS atas seri SBI, SBIS, SukBI, dan/atau SDBI,
yang di-repo-kan; dan/atau
c. dalam hal hasil early redemption sebagaimana
dimaksud pada huruf b tidak mencukupi, Bank
Indonesia akan mendebit Rekening Giro rupiah
sebesar kekurangan kewajiban Peserta Standing
Facilities kepada Bank Indonesia.
17
17. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
Perhitungan nilai bunga repo, Biaya Repo SBIS, nilai
Margin Repo SukBI, dan pelunasan surat berharga
sebelum jatuh waktu (early redemption) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf a, huruf b, dan huruf c
yaitu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan
persyaratan surat berharga dalam operasi moneter.
18. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36
(1) Dalam hal Bank Indonesia melakukan early
redemption SBIS dan/atau SukBI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf b, Bank Indonesia
membayar imbalan SBIS dan/atau imbalan SukBI
kepada Peserta Standing Facilities Syariah sampai
dengan tanggal early redemption SBIS dan/atau
SukBI.
(2) Contoh perhitungan pembayaran imbalan SBIS
dan/atau imbalan SukBI pada saat early redemption
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum
dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
19. Ketentuan Pasal 56 ayat (2) diubah sehingga Pasal 56
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 56
(1) Dalam hal setelah terjadinya transaksi, tanggal jatuh
waktu Standing Facilities ditetapkan sebagai hari
18
libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen
dilakukan pada Hari Kerja berikutnya.
(2) Pelaksanaan setelmen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan tanpa memperhitungkan
tambahan nilai bunga repo, Biaya Repo SBIS, nilai
Margin SukBI, nilai Margin Repo SBSN, diskonto,
dan/atau imbalan atas tambahan jangka waktu
transaksi Standing Facilities.
20. Lampiran II dan Lampiran III diubah sehingga menjadi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan Lampiran
III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
ERWIN RIJANTO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/37/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/9/PADG/2018 TENTANG STANDING FACILITIES
I. UMUM
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa
tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah.
Untuk memperkuat kerangka Operasi Moneter, Bank Indonesia
menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen Operasi
Moneter berdasarkan prinsip syariah dan Sukuk Bank Indonesia telah
ditetapkan sebagai salah satu surat berharga yang dapat digunakan dalam
Standing Facilities. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/9/PADG/2018 tentang
Standing Facilities.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Mekanisme nonlelang dalam Standing Facilities
dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia
dengan Peserta Standing Facilities.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 8
Huruf a
Yang dimaksud dengan “prinsip
collateralized
borrowing” adalah prinsip dalam transaksi repo tanpa
perpindahan kepemilikan surat berharga (transfer of
ownership).
3
Huruf b
Yang dimaksud dengan “prinsip sell and buyback”
adalah prinsip dalam transaksi repo dengan
perpindahan kepemilikan surat berharga (transfer of
ownership).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “prinsip sell and buyback”
adalah prinsip dalam transaksi repo dengan
perpindahan kepemilikan surat berharga (transfer of
ownership).
Angka 5
Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 10
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 11A
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 13
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
4
Angka 2
Dalam hal penandatanganan Perjanjian
dan/atau dokumen janji (wa’d) tidak
dilakukan oleh CEO maka surat kuasa
dari kantor pusat Peserta Standing
Facilities Syariah memuat hak CEO untuk
mengalihkan kewenangannya atau hak
substitusi.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dokumen janji (wa’d) untuk pengajuan Repo SukBI
oleh Peserta Standing Facilities Syariah kepada Bank
Indonesia berlaku untuk Repo SukBI dalam Financing
Facility dan Repo SukBI dalam OPT Syariah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan
operasi pasar terbuka.
Ayat (3)
Dokumen janji (wa’d) untuk pengajuan Repo SBSN oleh
Peserta Standing Facilities Syariah kepada Bank
Indonesia berlaku untuk Repo SBSN dalam Financing
Facility dan Repo SBSN dalam OPT Syariah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan
operasi pasar terbuka.
Ayat (4)
Cukup jelas.
5
Angka 11
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 20
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 33
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 34
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 35
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 36
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 56
Cukup jelas.
6
Angka 20
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/37/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/9/PADG/2018 TENTANG STANDING FACILITIES </reg_title>
<set_date> 20 Desember 2018 </set_date>
<effective_date> 20 Desember 2018 </effective_date>
<changed_reg> '20/9/PADG/2018' </changed_reg>
<related_reg> '20/14/PBI/2018', '20/5/PBI/2018' </related_reg>
|
- 1 -
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 9/15/PBI/2007
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DALAM PENGGUNAAN
TEKNOLOGI INFORMASI OLEH BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa perkembangan Teknologi Informasi memungkinkan
Bank memanfaatkannya
untuk meningkatkan
efisiensi
kegiatan operasional dan mutu pelayanan Bank kepada
nasabah;
b. bahwa penggunaan Teknologi Informasi dalam kegiatan
operasional Bank juga dapat meningkatkan risiko yang
dihadapi Bank;
c. bahwa dengan meningkatnya risiko yang dihadapi, Bank
perlu menerapkan manajemen risiko secara efektif;
d. bahwa Teknologi Informasi merupakan aset yang berharga
bagi Bank sehingga pengelolaannya bukan hanya
merupakan tanggung jawab unit
Teknologi Informasi namun juga
menggunakannya;
kerja penyelenggara
seluruh pihak yang
e. bahwa …
- 2 -
e. bahwa dalam rangka implementasi Basel II diperlukan
infrastruktur Teknologi Informasi yang memadai;
f. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c,
e, perlu
huruf
ditetapkan
huruf d dan
ketentuan yang mengatur
Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi
Informasi oleh Bank Umum dalam Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843);
3.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang
Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum (Lembaran
Negara Tahun 2003 Nomor 56; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4292);
MEMUTUSKAN: …
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN
MANAJEMEN RISIKO DALAM PENGGUNAAN
TEKNOLOGI INFORMASI OLEH BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank
asing.
2. Teknologi Informasi adalah teknologi terkait sarana komputer,
telekomunikasi dan sarana elektronis lainnya yang digunakan dalam
pengolahan data keuangan dan atau pelayanan jasa perbankan.
3. Layanan Perbankan Melalui Media Elektronik atau selanjutnya disebut
Electronic Banking adalah layanan yang memungkinkan nasabah Bank
untuk memperoleh
informasi, melakukan komunikasi, dan melakukan
transaksi perbankan melalui media elektronik antara lain ATM, phone
banking, electronic fund transfer, internet banking, mobile phone.
4. Rencana Strategis Teknologi Informasi (Information Technology Strategic
Plan) adalah dokumen yang menggambarkan visi dan misi Teknologi
Informasi Bank, strategi yang mendukung visi dan misi tersebut dan
prinsip-prinsip utama yang menjadi acuan dalam penggunaan Teknologi
Informasi …
- 4 -
Informasi untuk memenuhi kebutuhan bisnis dan mendukung rencana
strategis jangka panjang.
5. Pusat Data (Data Center) adalah fasilitas utama pemrosesan data Bank yang
terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak untuk mendukung kegiatan
operasional Bank secara berkesinambungan.
6. Database adalah
sekumpulan data komprehensif dan
disusun secara
sistematis, dapat diakses oleh pengguna sesuai wewenang masing-masing,
dan dikelola oleh database administrator.
7. Disaster Recovery Center (DRC) adalah fasilitas pengganti pada saat Pusat
Data (Data Center) mengalami gangguan atau tidak dapat berfungsi antara
lain karena tidak adanya aliran listrik ke ruang komputer, kebakaran,
ledakan atau kerusakan pada komputer, yang digunakan sementara waktu
selama
dilakukannya pemulihan Pusat Data Bank untuk menjaga
kelangsungan kegiatan usaha (business continuity).
8. Business Continuity Plan (BCP) adalah kebijakan dan prosedur yang
memuat rangkaian kegiatan yang terencana dan terkoordinir mengenai
langkah-langkah pengurangan risiko, penanganan dampak
gangguan/bencana dan proses pemulihan agar kegiatan operasional Bank
dan pelayanan kepada nasabah tetap dapat berjalan.
Transaksi Berbasis Teknologi
9. Pemrosesan
adalah
kegiatan berupa
penambahan, perubahan, penghapusan, dan/atau otorisasi data yang
dilakukan pada sistem aplikasi yang digunakan untuk memproses transaksi.
10. Komisaris :
a. bagi Bank berbentuk hukum perseroan terbatas adalah dewan
komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi …
- 5 -
b. bagi Bank berbentuk hukum perusahaan daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c.
bagi Bank berbentuk hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang bank asing adalah pejabat yang ditunjuk kantor
pusat bank asing untuk melakukan fungsi pengawasan.
11. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk hukum perseroan terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum perusahaan daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang Nomor 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang bank asing adalah pimpinan kantor cabang bank
asing.
BAB II
RUANG LINGKUP MANAJEMEN RISIKO
TEKNOLOGI INFORMASI
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif dalam penggunaan
Teknologi Informasi.
(2) Penerapan …
- 6 -
(2) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
kurang mencakup:
a.
b.
c.
pengawasan aktif dewan Komisaris dan Direksi;
kecukupan kebijakan dan prosedur penggunaan Teknologi Informasi;
d.
kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan
pengendalian risiko penggunaan Teknologi Informasi; dan
sistem pengendalian intern atas penggunaan Teknologi Informasi.
(3) Penerapan manajemen risiko harus dilakukan secara terintegrasi dalam
setiap tahapan penggunaan Teknologi Informasi sejak proses perencanaan,
pengadaan, pengembangan, operasional, pemeliharaan hingga penghentian
dan penghapusan sumber daya Teknologi Informasi.
Pasal 3
Penerapan manajemen risiko dalam penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib disesuaikan dengan tujuan,
kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha Bank.
BAB III
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DALAM PENGGUNAAN
TEKNOLOGI INFORMASI
Bagian Pertama
Pengawasan Aktif Dewan Komisaris dan Direksi
Pasal 4
Bank wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang jelas pada setiap
jenjang jabatan yang terkait dengan penggunaan Teknologi Informasi.
Pasal 5 …
- 7 -
Pasal 5
Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 bagi
dewan Komisaris paling kurang mencakup:
a. mengarahkan, memantau dan mengevaluasi Rencana Strategis Teknologi
Informasi dan kebijakan Bank terkait penggunaan Teknologi Informasi;
b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas penerapan manajemen
risiko dalam penggunaan Teknologi Informasi.
Pasal 6
Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 bagi
Direksi paling kurang mencakup:
a. menetapkan Rencana Strategis Teknologi Informasi dan kebijakan Bank
terkait penggunaan Teknologi Informasi;
b. memastikan bahwa :
1. Teknologi Informasi yang digunakan Bank dapat mendukung
perkembangan usaha, pencapaian tujuan bisnis Bank dan kelangsungan
pelayanan kepada nasabah;
2. terdapat upaya peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang
terkait dengan penggunaan Teknologi Informasi;
3. penerapan proses manajemen risiko dalam penggunaan Teknologi
Informasi dilaksanakan secara memadai dan efektif;
tersedianya kebijakan dan
4.
prosedur
Teknologi
Informasi
yang
memadai dan dikomunikasikan serta diterapkan secara efektif baik
pada satuan kerja penyelenggara maupun pengguna Teknologi
Informasi;
5. terdapat …
- 8 -
5.
terdapat sistem pengukuran kinerja proses penyelenggaraan Teknologi
Informasi yang paling kurang dapat:
a) mendukung proses pemantauan terhadap implementasi strategi;
b) mendukung penyelesaian proyek;
c) mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya manusia dan
investasi pada infrastruktur;
d) meningkatkan
kinerja proses penyelenggaraan
Teknologi
Informasi dan kualitas layanan penyampaian hasil proses kepada
pengguna.
Pasal 7
(1) Bank wajib memiliki Komite Pengarah Teknologi Informasi (Information
Technology Steering Committe).
(2) Komite Pengarah Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab memberikan rekomendasi kepada Direksi yang paling
kurang terkait dengan:
a. Rencana Strategis Teknologi Informasi (Information Technology
Strategic Plan) yang searah dengan rencana strategis kegiatan usaha
Bank;
b.
c.
d.
kesesuaian proyek-proyek Teknologi Informasi yang disetujui dengan
Rencana Strategis Teknologi Informasi;
kesesuaian antara pelaksanaan proyek-proyek Teknologi Informasi
dengan rencana proyek yang disepakati (project charter);
kesesuaian Teknologi Informasi dengan kebutuhan sistem informasi
manajemen dan kebutuhan kegiatan usaha Bank;
e. efektivitas …
- 9 -
e.
f.
efektivitas langkah-langkah meminimalkan risiko atas investasi Bank
pada sektor Teknologi Informasi agar investasi tersebut memberikan
kontribusi terhadap tercapainya tujuan bisnis Bank;
atas kinerja Teknologi Informasi
pemantauan
peningkatannya;
g. upaya penyelesaian berbagai masalah terkait
yang
Teknologi Informasi,
tidak dapat diselesaikan oleh satuan kerja pengguna dan
penyelenggara, secara efektif, efisien dan tepat waktu.
(3) Komite Pengarah Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling kurang beranggotakan:
a.
b.
c. pejabat tertinggi
d.
direktur yang membawahi satuan kerja Teknologi Informasi;
direktur yang membawahi satuan kerja Manajemen Risiko;
yang membawahi satuan kerja
Teknologi Informasi;
pejabat tertinggi yang membawahi satuan kerja pengguna utama
Teknologi Informasi.
Bagian Kedua
Kecukupan Kebijakan dan Prosedur Penggunaan
Teknologi Informasi di Bank
Pasal 8
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur penggunaan Teknologi
Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b.
(2) Kebijakan dan prosedur penggunaan Teknologi Informasi paling kurang
meliputi aspek-aspek sebagai berikut :
a. Manajemen …
penyelenggara
dan upaya
- 10 -
a. Manajemen;
b. Pengembangan dan pengadaan;
c.
d. Jaringan komunikasi;
e. Pengamanan informasi;
f.
g. End user computing;
h.
i.
Operasional Teknologi Informasi;
Business Continuity Plan;
Electronic Banking; dan
Penggunaan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi.
(3) Bank wajib menetapkan limit risiko yang dapat ditoleransi untuk dapat
memastikan aspek-aspek terkait Teknologi Informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat berjalan dengan optimal.
Pasal 9
(1) Bank wajib memiliki Rencana Strategis Teknologi Informasi (Information
Technology Strategic Plan) yang mendukung rencana strategis kegiatan
usaha Bank.
(2) Rencana Strategis Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dijabarkan dalam Rencana Bisnis Bank.
Bagian Ketiga
Proses Manajemen Risiko Terkait Teknologi Informasi
Pasal 10
(1) Bank wajib melakukan proses manajemen
risiko yang mencakup
identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian atas risiko terkait
penggunaan Teknologi Informasi.
(2) Proses …
- 11 -
(2) Proses manajemen risiko dilakukan terhadap aspek-aspek terkait Teknologi
Informasi yang paling kurang mencakup pengembangan dan pengadaan
Teknologi Informasi, operasional
Teknologi Informasi, jaringan
komunikasi, pengamanan informasi, Business Continuity Plan, end user
computing, Electronic Banking, dan penggunaan pihak penyedia jasa
Teknologi Informasi.
(3) Dalam hal Bank menggunakan jasa pihak lain untuk menyelenggarakan
Teknologi Informasi, Bank wajib memastikan bahwa pihak penyedia jasa
Teknologi
kurang sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 11
Dalam melakukan pengembangan dan pengadaan Teknologi Informasi Bank
wajib melakukan langkah-langkah pengendalian untuk menghasilkan sistem dan
data yang terjaga kerahasiaan dan integritasnya serta mendukung pencapaian
tujuan Bank, antara lain mencakup:
a. menetapkan dan menerapkan prosedur dan metodologi pengembangan dan
pengadaan Teknologi Informasi secara konsisten;
b. menerapkan manajemen proyek dalam pengembangan sistem;
c. melakukan testing yang memadai pada saat pengembangan dan pengadaan
suatu
memastikan keakuratan
sistem
sesuai kebutuhan
pengguna serta kesesuaian satu sistem dengan sistem yang lain;
d. melakukan dokumentasi sistem yang dikembangkan dan pemeliharaannya;
e. memiliki manajemen perubahan sistem aplikasi.
Pasal 12 …
Informasi menerapkan juga manajemen risiko yang paling
sistem, termasuk uji coba bersama satuan kerja pengguna, untuk
dan berfungsinya
- 12 -
Pasal 12
(1) Bank wajib mengidentifikasi dan memantau serta mengendalikan risiko
yang terdapat pada aktivitas operasional Teknologi Informasi, pada jaringan
komunikasi serta pada end user computing untuk memastikan efektifitas,
efisiensi dan keamanan aktivitas tersebut antara lain dengan :
a. menerapkan pengendalian fisik dan lingkungan terhadap fasilitas Pusat
Data (Data Center) dan Disaster Recovery Center;
b. menerapkan pengendalian hak akses
kewenangan yang ditetapkan;
secara memadai sesuai
c. menerapkan pengendalian pada saat
informasi;
input, proses, dan output dari
d. memperhatikan risiko yang mungkin timbul dari ketergantungan Bank
terhadap penggunaan jaringan komunikasi;
e. memastikan aspek desain dan pengoperasian dalam implementasi
jaringan komunikasi sesuai dengan kebutuhan;
f. melakukan pemantauan kegiatan operasional Teknologi Informasi
termasuk adanya audit trail;
g. melakukan pemantauan penggunaan aplikasi yang dikembangkan atau
diadakan oleh satuan kerja di luar satuan kerja Teknologi Informasi.
(2) Bagi Bank yang memiliki unit usaha yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, wajib memiliki sistem yang dapat
menghasilkan laporan yang terpisah bagi kegiatan usaha Bank berdasarkan
prinsip syariah.
Pasal 13 …
- 13 -
Pasal 13
(1) Bank wajib memastikan Business Continuity Plan dan Disaster Recovery
Plan dapat
dilaksanakan secara efektif agar kegiatan usaha Bank tetap
berjalan saat terjadi gangguan yang signifikan pada sarana Teknologi
Informasi yang digunakan Bank.
(2) Bank wajib melakukan uji coba atas Business Continuity Plan dan Disaster
Recovery Plan terhadap seluruh sistem/aplikasi dan infrastruktur yang
kritikal sesuai hasil Business Impact Analysis, paling kurang sekali dalam
1 (satu) tahun dengan melibatkan end user (end to end).
(3) Bank wajib melakukan pengkinian Business Continuity Plan dan Disaster
Recovery Plan.
Pasal 14
Bank wajib memastikan pengamanan informasi dilaksanakan secara efektif
dengan memperhatikan paling kurang hal-hal sebagai berikut:
a. pengamanan informasi ditujukan agar informasi yang dikelola terjaga
kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity) dan ketersediaannya
(availability) secara efektif dan efisien dengan memperhatikan
kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku;
b. pengamanan informasi dilakukan terhadap aspek teknologi, sumber
daya manusia dan proses dalam penggunaan Teknologi Informasi;
c. pengamanan informasi mencakup pengelolaan aset bank yang terkait
dengan informasi, kebijakan sumber daya manusia, pengamanan fisik,
pengamanan akses, pengamanan operasional, dan aspek penggunaan
Teknologi Informasi lainnya;
d. adanya …
- 14 -
d. adanya manajemen penanganan insiden dalam pengamanan informasi;
dan
e. pengamanan informasi diterapkan berdasarkan hasil penilaian terhadap
risiko
(risk assessment) pada informasi yang dimiliki Bank.
Bagian Keempat
Sistem Pengendalian dan Audit Intern atas Penyelenggaraan Teknologi Informasi
Pasal 15
(1) Bank wajib melaksanakan sistem pengendalian intern
terhadap semua aspek penggunaan Teknologi Informasi.
secara efektif
(2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
kurang mencakup:
a. pengawasan oleh manajemen dan adanya budaya pengendalian;
b.
identifikasi dan penilaian risiko;
c. kegiatan pengendalian dan pemisahan fungsi;
d.
sistem informasi, sistem akuntansi dan sistem komunikasi;
e. kegiatan pemantauan dan koreksi penyimpangan, yang dilakukan oleh
satuan kerja operasional, satuan kerja audit intern maupun pihak
lainnya.
(3) Sistem informasi, sistem akuntansi dan sistem komunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf d harus didukung oleh teknologi, sumber daya
manusia dan struktur organisasi Bank yang memadai.
(4) Kegiatan pemantauan dan tindakan koreksi penyimpangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf e paling kurang meliputi:
a.
kegiatan pemantauan secara terus menerus;
b. pelaksanaan fungsi audit intern yang efektif dan menyeluruh;
c. perbaikan …
- 15 -
c. perbaikan terhadap penyimpangan baik yang diidentifikasi oleh satuan
kerja operasional, satuan kerja audit intern maupun pihak lainnya.
Pasal 16
(1) Pelaksanaan fungsi audit intern Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (4) huruf b memperhatikan kepatuhan terhadap
ketentuan yang berlaku.
(2) Dalam hal
terdapat keterbatasan kemampuan
Teknologi Informasi maka pelaksanaan fungsi audit
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh auditor ekstern.
(3) Pelaksanaan audit intern wajib dilakukan secara berkala.
Pasal 17
(1) Pedoman audit intern yang dimiliki Bank wajib mencakup audit
terhadap penggunaan Teknologi
Informasi
sendiri atau oleh pihak penyedia jasa Teknologi Informasi.
(2) Bank wajib menyampaikan hasil audit intern terhadap Teknologi Informasi
sebagai bagian dari laporan pelaksanaan dan pokok-pokok hasil audit intern
sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai
pelaksanaan fungsi audit intern.
(3) Bank wajib melakukan kaji ulang atas fungsi audit intern atas penggunaan
Teknologi Informasi paling kurang setiap 3 (tiga) tahun sekali.
(4) Kaji ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menggunakan jasa
pihak ekstern yang independen.
intern
baik yang diselenggarakan
satuan kerja audit intern
intern sebagaimana
penerapan standar
(5) Hasil …
- 16 -
(5) Hasil kaji ulang disertai saran perbaikan dilaporkan kepada Bank Indonesia
sebagai bagian dari laporan kaji ulang sebagaimana diatur dalam ketentuan
mengenai penerapan standar pelaksanaan fungsi audit intern.
BAB IV
PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH PIHAK
PENYEDIA JASA TEKNOLOGI INFORMASI
Bagian Pertama
Umum
Pasal 18
(1) Bank dapat menyelenggarakan Teknologi
Informasi sendiri
menggunakan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi.
(2) Penggunaan pihak penyedia jasa
dan/atau
Teknologi Informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan sepanjang Bank dan pihak
penyedia jasa Teknologi Informasi memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. bagi Bank:
1) Bank tetap bertanggung jawab atas penerapan manajemen risiko;
2) Bank mampu untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan
kegiatan Bank yang diselenggarakan oleh pihak penyedia jasa
Teknologi Informasi;
3) pemilihan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi dilakukan
oleh Bank berdasarkan cost and benefit analysis dan melibatkan
satuan kerja penyelenggara Teknologi Informasi Bank;
4) Bank wajib memantau dan mengevaluasi kehandalan pihak
penyedia jasa secara berkala baik yang menyangkut kinerja,
reputasi penyedia jasa dan kelangsungan penyediaan layanan;
5) Bank …
- 17 -
5) Bank tetap memberikan akses kepada auditor intern, ekstern dan
Bank Indonesia untuk memperoleh data dan informasi setiap kali
dibutuhkan;
6) Bank memberikan akses kepada Bank
Indonesia terhadap
database secara tepat waktu baik untuk data terkini maupun
untuk data yang telah lalu.
b. bagi pihak penyedia jasa Teknologi Informasi:
1)
pihak penyedia jasa harus menerapkan prinsip pengendalian
Teknologi Informasi (IT control) secara
memadai yang
2)
dibuktikan dengan hasil audit yang dilakukan pihak independen;
pihak penyedia jasa harus menyediakan akses bagi
auditor
intern Bank, auditor ekstern yang ditunjuk oleh Bank, dan auditor
Bank Indonesia untuk memperoleh data dan informasi yang
diperlukan secara tepat waktu setiap kali dibutuhkan;
3) pihak penyedia jasa harus menyatakan tidak berkeberatan bila
Bank Indonesia hendak melakukan pemeriksaan terhadap
kegiatan penyediaan jasa tersebut;
4) sebagai pihak terafiliasi, pihak penyedia jasa harus menjamin
keamanan seluruh informasi termasuk rahasia Bank
pribadi nasabah;
5) pihak penyedia jasa hanya dapat melakukan subkontrak sebagian
kegiatannya berdasarkan persetujuan Bank yang dibuktikan
dengan dokumen tertulis;
6) pihak penyedia
jasa harus melaporkan kepada Bank setiap
kejadian kritis yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan
yang signifikan dan/atau mengganggu kelancaran operasional
Bank;
7) pihak …
dan data
- 18 -
7) pihak penyedia jasa harus menyampaikan secara berkala hasil
audit Teknologi Informasi yang dilakukan auditor independen
terhadap penyelenggaraan Pusat Data (Data Center), Disaster
Recovery
Center dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis
Teknologi, kepada Bank Indonesia melalui Bank yang
bersangkutan;
8) pihak penyedia jasa harus menyediakan Disaster Recovery Plan
yang teruji dan memadai; dan
9) pihak penyedia jasa
penghentian perjanjian sebelum
perjanjian (early termination).
(3) Penggunaan pihak penyedia
harus bersedia untuk kemungkinan
berakhirnya jangka waktu
jasa Teknologi Informasi oleh Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada perjanjian
tertulis yang paling kurang memuat
kesediaan pihak penyedia jasa
Teknologi Informasi untuk menyelenggarakan dan atau melakukan hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b.
(4) Dalam hal pihak penyedia jasa Teknologi Informasi merupakan pihak
terkait dengan Bank, Bank tetap wajib melakukan proses seleksi dan
transaksi dengan pihak penyedia jasa dengan memperhatikan prinsip kehati-
hatian, manajemen risiko dan didasarkan pada hubungan kerja sama secara
wajar (arm’s length principle).
(5) Dalam hal terdapat kondisi sebagai berikut:
a. memburuknya kinerja penyelenggaraan Teknologi Informasi oleh
pihak penyedia jasa Teknologi Informasi yang dapat berdampak
signifikan pada kegiatan usaha Bank;
b.
pihak penyedia jasa Teknologi Informasi menjadi tidak solvabel, atau
dalam proses menuju likuidasi, atau dipailitkan oleh pengadilan;
c. terdapat …
- 19 -
c.
terdapat pelanggaran oleh pihak penyedia jasa terhadap ketentuan
rahasia Bank dan kewajiban merahasiakan data pribadi nasabah;
dan/atau
d. terdapat kondisi yang menyebabkan Bank
tidak dapat menyediakan
data yang diperlukan dalam rangka pengawasan oleh Bank Indonesia;
maka Bank wajib melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. melaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) hari kerja
setelah kondisi tersebut diatas diketahui oleh Bank;
b. memutuskan tindak lanjut yang akan
permasalahan termasuk penghentian penggunaan jasa
diperlukan;
diambil untuk mengatasi
apabila
c. melaporkan kepada Bank Indonesia segera setelah Bank
menghentikan penggunaan jasa sebelum berakhirnya jangka waktu
perjanjian.
(6) Dalam hal penggunaan penyedia jasa atau rencana penggunaan penyedia
jasa menyebabkan atau diindikasikan akan menyebabkan kesulitan
pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia maka Bank Indonesia dapat:
a. memerintahkan Bank untuk menghentikan penggunaan jasa Teknologi
Informasi sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian; atau.
b. menolak rencana penggunaan pihak penyedia jasa yang diajukan oleh
Bank.
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Pusat Data (Data Center) dan/atau Disaster Recovery Center
Pasal 19
(1) Pusat
Data
(Data
Center) dan/atau Disaster Recovery Center
diselenggarakan di dalam negeri.
(2) Dalam…
- 20 -
(2) Dalam hal Bank akan menyelenggarakan Pusat Data (Data Center) dan/atau
Disaster Recovery Center di luar negeri, Bank harus mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari Bank Indonesia dengan memenuhi persyaratan tertentu.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan apabila
Bank memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum pada Pasal 18 ayat (2)
sampai dengan ayat (4) serta persyaratan tambahan sebagai berikut:
a. Bank menyampaikan hasil analisis country risk;
b. Bank memastikan penyelenggaraan Pusat Data (Data Center) dan/atau
Disaster Recovery Center di luar negeri tidak mengurangi efektifitas
pengawasan Bank Indonesia;
c. Bank memastikan bahwa informasi mengenai rahasia Bank hanya
dapat diungkapkan sepanjang memenuhi ketentuan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia;
d. Bank memastikan bahwa perjanjian tertulis dengan penyedia jasa juga
memuat klausula choice of law;
e. Apabila Bank merupakan kantor cabang bank asing atau Bank yang
dimiliki lembaga keuangan asing maka Bank wajib menyampaikan:
1) Surat Pernyataan dari otoritas pengawas lembaga keuangan di
luar negeri bahwa pihak penyedia jasa merupakan cakupan
pengawasannya;
2) Surat Pernyataan tidak keberatan dari otoritas pengawas lembaga
keuangan di luar negeri bahwa Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan terhadap pihak penyedia jasa;
3) Surat Pernyataan bahwa Bank akan menyampaikan secara berkala
hasil penilaian yang dilakukan kantor bank di luar negeri atas
penerapan manajemen risiko pada pihak penyedia jasa.
f. Permohonan …
- 21 -
f. Permohonan persetujuan yang diajukan Bank harus memuat pula hal-
hal sebagai berikut:
1) Manfaat bagi Bank lebih besar daripada beban yang ditanggung
oleh Bank;
2) Rencana Bank untuk meningkatkan kemampuan sumber daya
manusia Bank baik yang berkaitan dengan penyelenggaraan
Teknologi Informasi maupun transaksi bisnis atau produk yang
ditawarkan.
Bagian Ketiga
Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi oleh Pihak Penyedia Jasa
Pasal 20
(1) Penyelenggaraan pemrosesan transaksi oleh pihak penyedia jasa
dapat dilakukan sepanjang memenuhi prinsip kehati-hatian.
hanya
(2) Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi oleh
pihak penyedia jasa di dalam negeri hanya dapat dilakukan sepanjang
memenuhi persyaratan pada pasal 18 ayat (2) sampai dengan ayat (4);
(3) Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi oleh
pihak penyedia jasa di luar negeri hanya dapat
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
dilakukan sepanjang
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan apabila
bank memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (2)
sampai dengan ayat (4) dan pada Pasal 19 ayat (3) serta persyaratan
tambahan sebagai berikut:
a. Memperhatikan aspek perlindungan kepada nasabah;
b. Aktivitas …
- 22 -
b.
Aktivitas yang pemrosesannya diserahkan kepada
pihak penyedia
jasa di luar negeri tidak merupakan aktivitas inherent banking
functions;
c. Dokumen pendukung administrasi
keuangan atas transaksi yang
dilakukan di kantor Bank di Indonesia wajib dipelihara di kantor Bank
di Indonesia.
d. Rencana Bisnis Bank menunjukkan adanya upaya untuk meningkatkan
peran Bank bagi perkembangan perekonomian Indonesia.
Pasal 21
(1) Rencana penggunaan pihak penyedia jasa dalam penyelenggaraan Pusat
Data
(Data Center), Disaster Recovery Center dan/atau Pemrosesan
Transaksi Berbasis Teknologi wajib telah dimuat dalam Rencana Strategis
Teknologi Informasi dan Rencana Bisnis Bank.
(2) Bank wajib melaporkan rencana penggunaan pihak penyedia jasa dalam
penyelenggaraan Pusat Data (Data Center), Disaster Recovery Center
dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi di dalam negeri kepada
Bank Indonesia paling lambat 2 (dua ) bulan sebelum penyelenggaraan
kegiatan oleh pihak penyedia jasa tersebut efektif dioperasikan.
(3) Dalam hal terdapat rencana menyerahkan penyelenggaraan Pusat Data
(Data Center), Disaster Recovery Center dan/atau Pemrosesan Transaksi
Berbasis Teknologi kepada pihak penyedia jasa di luar negeri, Bank wajib
menyampaikan permohonan persetujuan paling lambat 4 (empat ) bulan
sebelum penyelenggaraan kegiatan oleh pihak penyedia jasa tersebut efektif
dioperasikan.
(4) Realisasi …
- 23 -
(4) Realisasi rencana penyelenggaraan Pusat Data (Data Center), Disaster
Recovery Center dan/atau Pemrosesan Transaksi
Berbasis Teknologi oleh
pihak penyedia jasa wajib dilaporkan paling lambat 1 (satu) bulan sejak
kegiatan tersebut efektif dioperasikan.
(5) Penyampaian rencana dan realisasi rencana sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) dilaksanakan dengan menggunakan format
Laporan Perubahan Mendasar.
(6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diberikan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap.
BAB V
ELECTRONIC BANKING
Pasal 22
(1) Bank yang menyelenggarakan kegiatan Electronic Banking wajib
memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
(2) Bank harus memberikan edukasi kepada nasabah mengenai produk
Electronic Banking dan pengamanannya secara berkesinambungan.
Pasal 23
(1) Setiap rencana penerbitan produk Electronic Banking baru harus dimuat
dalam Rencana Bisnis Bank.
(2) Setiap rencana penerbitan
produk Electronic Banking yang bersifat
transaksional wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat
2 (dua) bulan sebelum produk tersebut diterbitkan.
(3) Pelaporan …
- 24 -
(3) Pelaporan rencana produk Electronic Banking sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak berlaku bagi produk Electronic Banking sepanjang terdapat
ketentuan Bank Indonesia yang secara khusus mengatur persyaratan
persetujuan produk tersebut.
(4) Laporan rencana penerbitan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib dilengkapi dengan hal-hal sebagai berikut:
a. bukti-bukti kesiapan untuk menyelenggarakan Electronic Banking
yang paling kurang memuat:
1) struktur organisasi yang mendukung termasuk pengawasan dari
pihak manajemen;
2) kebijakan, sistem, prosedur dan kewenangan dalam penerbitan
produk Electronic Banking;
3) kesiapan infrastruktur Teknologi Informasi untuk mendukung
produk Electronic Banking;
4) hasil analisis dan identifikasi risiko terhadap risiko yang melekat
pada produk Electronic Banking;
5) kesiapan penerapan manajemen risiko khususnya pengendalian
pengamanan (security control) untuk memastikan terpenuhinya
prinsip
kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity),
keaslian (authentication), non repudiation dan ketersediaan
(availability);
6) hasil analisis aspek hukum;
7) uraian sistem informasi akuntansi;
8) program perlindungan dan edukasi nasabah.
b.
hasil analisis bisnis mengenai proyeksi produk baru 1 (satu) tahun
kedepan.
(5) Penyampaian …
- 25 -
(5) Penyampaian pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2)
harus
dilengkapi dengan hasil pemeriksaan dari pihak independen untuk
memberikan pendapat atas karakteristik produk dan kecukupan pengamanan
sistem Teknologi Informasi terkait produk serta kepatuhan terhadap
ketentuan dan atau praktek-praktek yang berlaku di dunia internasional.
(6) Dalam hal Teknologi Informasi yang digunakan dalam menyelenggarakan
kegiatan Electronic Banking dilakukan oleh pihak penyedia jasa maka
berlaku pula ketentuan sebagaimana diatur
dalam Bab IV mengenai
penyelenggaraan Teknologi Informasi oleh pihak penyedia jasa Teknologi
Informasi.
(7) Realisasi rencana penerbitan produk Electronic Banking wajib dilaporkan
paling lambat 1 (satu) bulan sejak rencana dilaksanakan dengan
menggunakan format Laporan Perubahan Mendasar Teknologi Informasi.
BAB VI
PELAPORAN
Bagian Pertama
Laporan Penggunaan Teknologi Informasi
Pasal 24
(1) Bank wajib menyampaikan
kembali Laporan Penggunaan Teknologi
Informasi paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini.
(2) Bank wajib menyampaikan Laporan Tahunan Penggunaan Teknologi
Informasi paling lambat 1 (satu) bulan sejak akhir tahun pelaporan;
(3) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk pertama
kalinya disampaikan pada Januari 2009 untuk laporan tahun 2008.
Bagian …
- 26 -
Bagian Kedua
Laporan Perubahan Mendasar
Pasal 25
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan Rencana Perubahan Mendasar
Teknologi Informasi paling lambat 2 (dua) bulan sebelum perubahan
tersebut efektif dioperasikan;
(2) Bank wajib menyampaikan
Laporan Realisasi Rencana Perubahan
Mendasar Teknologi Informasi paling lambat 1 (satu) bulan sejak perubahan
tersebut efektif dioperasikan.
(3) Produk dan/atau aktivitas baru yang telah dilaporkan dalam Laporan
Realisasi Rencana Perubahan Mendasar Teknologi Informasi tidak perlu
dilaporkan dalam Laporan Produk dan Aktivitas Baru sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai manajemen risiko bank umum.
Bagian Ketiga
Laporan Lain
Pasal 26
(1) Bank wajib menyampaikan hasil audit Teknologi Informasi yang dilakukan
pihak independen terhadap Pusat Data (Data Center) dan/atau Disaster
Recovery Center dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi yang
penyelenggaraannya dilakukan oleh pihak penyedia jasa sebagaimana
dimaksud dalam pasal 18 ayat (2) huruf b angka 7 paling lambat 2 (dua)
bulan setelah audit selesai dilakukan.
(2) Bank wajib menyampaikan hasil penilaian penerapan manajemen risiko
pada pihak penyedia jasa di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal
19 ayat (3) huruf e angka 3 paling lambat 1 (satu) bulan setelah akhir
periode penilaian risiko.
(3) Bank …
- 27 -
(3) Bank wajib melaporkan kejadian kritis, penyalahgunaan, dan/atau kejahatan
dalam penyelenggaraaan Teknologi Informasi yang dapat dan/atau telah
mengakibatkan kerugian keuangan yang signifikan dan/atau mengganggu
kelancaran operasional bank.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disampaikan sesegera
mungkin melalui e-mail atau telepon yang diikuti dengan laporan tertulis
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kejadian kritis dan/atau
penyalahgunaan/kejahatan diketahui.
(5) Laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan bagian
dari Laporan kondisi
yang berpotensi menimbulkan
kerugian
yang
signifikan terhadap kondisi keuangan bank sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan tentang penerapan manajemen risiko bagi Bank Umum.
Bagian Keempat
Format dan Alamat Penyampaian Laporan
Pasal 27
Format dan petunjuk penyusunan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24, Pasal 25 dan Pasal 26 diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 28
Permohonan persetujuan penggunaan penyedia jasa di luar negeri sebagaimana
dimaksud pada Pasal 19 dan Pasal 20 serta penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25 dan Pasal 26 dialamatkan kepada:
a. Direktorat Pengawasan Bank, Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta 10350, bagi
Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia;
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
BAB VII …
- 28 -
BAB VII
LAIN-LAIN
Pasal 29
(1) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan atau meminta Bank untuk
melakukan pemeriksaan terhadap
Teknologi Informasi.
aspek-aspek
terkait penggunaan
(2) Bank wajib menyediakan akses kepada Bank Indonesia untuk dapat
melakukan pemeriksaan pada
seluruh aspek
terkait
penyelenggaraan
Teknologi Informasi baik yang diselenggarakan sendiri maupun yang
diselenggarakan oleh pihak lain.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 30
Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan pelaksanaan terkait lainnya dapat
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain berupa:
a.
teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan peringkat faktor manajemen
dalam penilaian tingkat kesehatan;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. pencantuman anggota pengurus dalam daftar tidak lulus melalui mekanisme
uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test).
Pasal 31 …
- 29 -
Pasal 31
Bank yang tidak memenuhi ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 23 ayat (2) dan ayat (7), Pasal 24
dan Pasal 25 Peraturan Bank Indonesia ini dikenakan sanksi sesuai Pasal 52
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah
dengan Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
a. kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
keterlambatan per laporan;
b. kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per
laporan, bagi Bank yang belum menyampaikan laporan setelah 1 (satu)
bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan.
Pasal 32
Bank yang menyampaikan laporan yang tidak sesuai dengan kondisi Bank yang
sebenarnya dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) setelah Bank diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh
Bank Indonesia dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja untuk setiap teguran
dan Bank tidak memperbaiki laporan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja
setelah surat teguran terakhir.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33
Bank yang telah memiliki kebijakan, prosedur dalam penggunaan Teknologi
Informasi dan pedoman manajemen risiko penggunaan Teknologi Informasi
wajib menyesuaikan dan menyempurnakannya paling lambat 12 (dua belas)
bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 34 …
- 30 -
Pasal 34
Bank yang telah menggunakan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, wajib menyesuaikan perjanjian yang
telah dibuat dengan ketentuan Peraturan Bank Indonesia ini paling lambat 12
(dua belas) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 35
(1) Bank yang sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini telah
menyerahkan penyelenggaraan Pusat Data (Data Center), Disaster
Recovery Center dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi kepada
pihak penyedia jasa di luar negeri wajib menyampaikan permohonan
persetujuan ulang untuk menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan
Bank Indonesia ini paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Dalam hal Bank tidak memperoleh persetujuan
dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Bank wajib menyampaikan
laporan action plan kepada Bank Indonesia.
(3) Action plan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan paling
lambat 3 (tiga) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berakhir atau setelah permohonan Bank tidak disetujui.
Pasal 36
Bank yang belum memiliki Komite Pengarah Teknologi Informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 wajib membentuk atau menyesuaikan komite tersebut
dengan
ketentuan
dalam Peraturan Bank
Indonesia
ini
paling
(dua belas) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB X …
lambat 12
- 31 -
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penerapan Manajemen
Risiko dalam
Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 38
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/164/KEP/DIR dan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/9/UPPB masing-masing tanggal
31 Maret 1995 tentang Penggunaan Teknologi Sistem Informasi oleh Bank;
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/175/KEP/DIR dan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/14/UPPB tanggal 22 Desember
1998 tentang Penyempurnaan Teknologi Sistem Informasi Bank dalam
Menghadapi tahun 2000;
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/11/PBI/1999 tanggal 22 Desember 1999
tentang Fasilitas Khusus Dalam Rangka Mengatasi Kesulitan Pendanaan
Jangka Pendek bagi Bank Umum yang disebabkan Masalah Komputer
tahun 2000;
d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/18/DPNP tanggal 20 April 2004
tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank
melalui Internet (Internet Banking);
dinyatakan tidak berlaku bagi Bank Umum.
Pasal 39 …
- 32 -
Pasal 39
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Maret 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 November 2007
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA
MIRANDA S. GOELTOM
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 144
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 9/15/PBI/2007 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DALAM PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 30 November 2007 </set_date>
<effective_date> 31 Maret 2008 </effective_date>
<replaced_reg> '27/164/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995', '27/9/UPPB|SE-BI/1995', '31/175/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '31/14/UPPB|SE-BI/1998', '1/11/PBI/1999', '6/18/DPNP|SE-BI/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '5/8/PBI/2003' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/ 6 /PBI/2013
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dinamika perekonomian global telah berdampak
pada kondisi stabilitas moneter dan pasar keuangan
domestik;
b. bahwa perkembangan kondisi moneter dan pasar
keuangan domestik perlu disikapi secara tepat agar
dapat mendukung ketahanan ekonomi nasional;
c. bahwa ketentuan mengenai pinjaman luar negeri bank
perlu disesuaikan dengan perkembangan perbankan
dan pasar keuangan domestik dengan mengedepankan
prinsip kehati-hatian;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
melakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman
Luar Negeri Bank;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana…
- 2 -
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3844);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG
PINJAMAN LUAR NEGERI BANK.
Pasal I
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar
Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4467)
sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan Peraturan Bank
Indonesia:
a. Nomor 10/20/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 146,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4905);
b. Nomor…
- 3 -
b. Nomor 13/7/PBI/2011 tentang Perubahan Kedua Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 14,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5193);
diubah sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 3B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3B
(1) Kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian PLN Jangka
Pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A, dikecualikan
terhadap:
a. PLN Jangka Pendek dari pemegang saham pengendali dalam rangka
mengatasi kesulitan likuiditas Bank;
b. PLN Jangka Pendek dari pemegang saham pengendali dalam rangka
penyaluran kredit ke sektor riil;
c. Dana Usaha kantor cabang Bank asing di Indonesia sampai dengan
paling tinggi 100% (seratus perseratus) dari Dana Usaha yang
dinyatakan (declared Dana Usaha);
d. giro, tabungan, dan deposito milik perwakilan negara asing serta
lembaga internasional, termasuk anggota stafnya;
e. giro milik Bukan Penduduk yang digunakan untuk kegiatan
investasi di Indonesia yang meliputi penyertaan langsung,
pembelian saham, pembelian obligasi korporasi Indonesia,
dan/atau pembelian Surat Berharga Negara (SBN);
f. giro milik Bukan Penduduk yang menampung dana hasil penjualan
kembali (divestasi) atas penyertaan langsung, pembelian saham,
pembelian obligasi korporasi Indonesia, dan/atau pembelian Surat
Berharga Negara (SBN).
(2) PLN Jangka Pendek yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus didukung dengan bukti-bukti yang memadai dan
ditatausahakan oleh Bank.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar…
- 4 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal
30 Agustus 2013
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Agustus 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 147
DKEM
- 5 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/
/PBI/2013
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK
I. UMUM
Dinamika perekonomian global terkini telah berdampak terhadap
perkembangan dan kondisi pasar keuangan domestik, sehingga perlu
disikapi secara tepat agar stabilitas pasar keuangan domestik dan
ketahanan ekonomi nasional tetap terjaga.
Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan
mengenai PLN Jangka Pendek berupa penambahan pengecualian atas
PLN Jangka Pendek tanpa mengurangi prinsip kehati-hatian Bank
dalam mengelola PLN.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 3B
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemegang saham
pengendali” adalah pemegang saham pengendali
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Bank Umum dan
Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.
Yang dimaksud dengan “kesulitan likuiditas” adalah
kesulitan memenuhi kewajiban jangka pendek karena
arus dana masuk lebih kecil dibandingkan dengan
arus dana keluar (mismatch) baik valuta asing
maupun rupiah.
Huruf b…
-2- - 6 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penyaluran kredit ke sektor
riil” adalah pemberian pinjaman kepada debitur
entitas Indonesia dalam rangka mendukung atau
mengembangkan usaha di Indonesia.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Giro, tabungan, dan deposito milik perwakilan negara
asing digunakan untuk pembiayaan operasional,
bersifat sementara, jumlahnya tidak signifikan, dan
penempatan dana tidak untuk memperoleh
keuntungan.
Perwakilan pemerintah daerah negara asing yang
mewakili secara resmi pemerintah daerah negara
asing tersebut dalam melakukan tugasnya dianggap
sebagai perwakilan negara asing.
Yang dimaksud dengan “lembaga internasional”
adalah lembaga internasional yang kegiatannya
bersifat nirlaba, seperti IMF dan IDB.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Hasil penjualan kembali (divestasi) meliputi pokok
dan imbal hasil.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bukti pendukung yang memadai”
adalah:
a. untuk pinjaman pemegang saham pengendali dalam
rangka mengatasi kesulitan likuiditas Bank antara lain
berupa laporan proyeksi arus kas dan laporan posisi
likuiditas.
b. untuk pinjaman pemegang saham pengendali dalam
rangka penyaluran kredit ke sektor riil antara lain
berupa analisa pemberian kredit Bank, bukti mutasi
penerimaan dana dan realisasi kredit.
c. untuk…
-3-
- 7 -
c. untuk penempatan Dana Usaha dari kantor pusat Bank
asing pada kantor cabangnya di Indonesia antara lain
berupa bukti penempatan atau transfer dan laporan
keuangan Bank.
d. untuk giro, tabungan dan deposito milik perwakilan
negara asing serta lembaga internasional termasuk
anggota stafnya paling kurang berupa fotokopi identitas
pemilik rekening.
e. untuk penyertaan langsung paling kurang meliputi
bukti penyertaan lengkap termasuk nominal, identitas
penyetor, dan identitas penerima penyertaan.
f. untuk pembelian surat-surat berharga paling kurang
meliputi bukti pembelian saham atau obligasi yang
tercatat di lembaga kustodian atau bursa efek.
g. untuk pembelian SBN paling kurang telah tercatat pada
BI-Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS).
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5442
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 15/6/PBI/2013 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK </reg_title>
<set_date> 30 Agustus 2013 </set_date>
<effective_date> 30 Agustus 2013 </effective_date>
<issued_date> 30 Agustus 2013 </issued_date>
<changed_reg> '7/1/PBI/2005' </changed_reg>
<extension_of> '10/20/PBI/2008', '13/7/PBI/2011' </extension_of>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 12/ 4 /PBI/2010
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG LOGAM RUPIAH
PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2010
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi di
masyarakat perlu didukung dengan ketersediaan uang
rupiah yang memadai dan mudah dikenali ciri-ciri
keasliannya;
b. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah oleh Bank
Indonesia ditujukan untuk menyediakan uang tunai di
masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah (legal
tender), sehingga diharapkan dapat memperlancar kegiatan
transaksi ekonomi di masyarakat;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran dan
Pengedaran Uang Logam Rupiah Pecahan 1.000 (Seribu)
Tahun Emisi 2010;
Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana
telah ...
-2-
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang
Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta
Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4388) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/10/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4762);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG LOGAM
RUPIAH PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN
EMISI 2010.
Pasal 1 ...
-3-
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 1.000
(seribu) tahun emisi 2010 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 2
Macam uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis uang
logam yang terbuat dari bahan nickel plated steel.
Pasal 3
Harga uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai
nominal sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah).
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2010 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 sebagai berikut:
1. Warna
Bagian muka dan bagian belakang uang rupiah dicetak dengan warna putih
keperakan (silvery white).
2. Gambar
a. bagian muka
1) angka nominal “1000”;
2) pada bagian atas angka nominal “1000” terdapat gambar Lambang
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila dan
tulisan “BANK INDONESIA”, dan pada bagian bawah angka
nominal “1000” terdapat tulisan “RUPIAH”;
b. bagian ...
-4-
b. bagian belakang
1) gambar angklung dengan latar belakang gambar Gedung Sate dan
pada bagian atas dicantumkan tulisan “ANGKLUNG”;
2) pada bagian bawah gambar angklung terdapat angka tahun emisi
“2010”;
3) pada bagian tepi uang rupiah terdapat relief titik-titik bulat
melingkar;
c. bagian sisi pada uang rupiah tidak bergerigi (polos).
3. Bahan
Logam uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
a. terbuat dari nickel plated steel;
b. diameter uang rupiah 24,15 ± 0,10 mm;
c. tebal sisi uang rupiah 1,60 ± 0,10 mm;
d. berat uang rupiah 4,5 ± 0,18 gram.
Pasal 5
Uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan
mulai tanggal 1 April 2010.
Pasal 6
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan ...
-5-
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Maret 2010
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Maret 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 47
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/4/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG LOGAM RUPIAH PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2010 </reg_title>
<set_date> 1 Maret 2010 </set_date>
<effective_date> 1 Maret 2010 </effective_date>
<issued_date> 1 Maret 2010 </issued_date>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '6/14/PBI/2004', '9/10/PBI/2007', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/1/PBI/2005
TENTANG
PINJAMAN LUAR NEGERI BANK
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pinjaman luar negeri merupakan salah satu faktor
penting
yang
mempengaruhi kemantapan
pembayaran dan kestabilan moneter;
b. bahwa penerimaan pinjaman luar negeri bank
perlu
dilakukan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian,
kepentingan perekonomian nasional dan upaya menjaga
kepercayaan dunia internasional;
c. bahwa ketentuan tentang
disesuaikan dengan perkembangan
perekonomian nasional;
neraca
pinjaman luar negeri perlu
perbankan dan
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c dipandang perlu untuk
mengatur kembali ketentuan tentang pinjaman luar negeri
bank dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik
Indonesia
Tahun
1992
Nomor …
- 2 -
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan
:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PINJAMAN LUAR NEGERI BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor …
- 3 -
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabangnya di luar
negeri dan kantor cabang bank asing di Indonesia.
2. Pinjaman Luar Negeri Bank yang untuk selanjutnya disebut PLN adalah
semua bentuk pinjaman atau kewajiban Bank kepada bukan penduduk dalam
valuta asing maupun rupiah dan surat berharga dalam valuta asing yang
diterbitkan oleh Bank.
3. Bukan Penduduk adalah orang, badan hukum atau badan lainnya yang tidak
berdomisili di Indonesia atau berdomisili di Indonesia kurang dari 1 (satu)
tahun dan kegiatan utamanya tidak di Indonesia.
4. PLN Jangka Pendek adalah PLN dengan jangka waktu sampai dengan 1
(satu) tahun, serta giro, deposito, tabungan atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
5. PLN Jangka Panjang adalah PLN dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu)
tahun.
6. Modal Bank adalah:
a. modal inti dan modal pelengkap bagi Bank yang berkantor pusat di
Indonesia; atau
b. dana bersih kantor pusat dan kantor lainnya di luar negeri (Net Head
Office Fund) bagi kantor cabang bank asing,
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
7. Dana Usaha adalah dana bersih kantor pusat Bank Asing pada kantor
cabangnya di Indonesia yang merupakan komponen modal untuk kantor
cabang bank asing sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
tentang Persyaratan dan Tatacara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang
Pembantu dan Kantor Perwakilan dari Bank Asing.
Pasal 2 …
- 4 -
Pasal 2
(1) Bank dapat menerima PLN baik yang berjangka pendek maupun berjangka
panjang.
(2) Dalam melakukan penerimaan PLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.
Pasal 3
PLN Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat berupa :
a. pinjaman baik dalam rupiah maupun valuta asing dari Bukan Penduduk yang
dilakukan berdasarkan perjanjian pinjaman (loan agreement);
b. surat berharga baik dalam rupiah maupun valuta asing yang diterbitkan di
pasar keuangan internasional;
c. surat berharga baik dalam rupiah maupun valuta asing yang dijual secara over
the counter (OTC) kepada Bukan Penduduk;
d. surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan di pasar keuangan dalam
negeri;
e. surat berharga dalam valuta asing yang dijual secara OTC kepada penduduk;
f. kewajiban dalam bentuk giro, deposito, tabungan, call money dan kewajiban
lainnya kepada Bukan Penduduk baik dalam rupiah maupun valuta asing;
g. bentuk kewajiban dan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam huruf a
sampai dengan huruf f berdasarkan prinsip syariah.
BAB II …
- 5 -
BAB II
PLN JANGKA PENDEK
Pasal 4
Bank wajib membatasi posisi saldo harian PLN Jangka Pendek paling tinggi 30%
(tiga puluh perseratus) dari Modal Bank.
Pasal 5
(1) Kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian PLN Jangka Pendek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikecualikan terhadap:
a. PLN Jangka Pendek dari pemegang saham pengendali dalam rangka
mengatasi kesulitan likuiditas Bank;
b. Dana Usaha kantor cabang bank asing di Indonesia sampai dengan
setinggi-tingginya 100% (seratus perseratus) dari Dana Usaha yang
dinyatakan (declared Dana Usaha);
c. giro, tabungan dan deposito milik perwakilan negara asing serta lembaga
internasional, termasuk anggota stafnya;
d. giro milik Bukan Penduduk yang digunakan untuk kegiatan investasi di
Indonesia.
(2) PLN Jangka Pendek yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib didukung dengan bukti-bukti yang memadai dan bukti tersebut wajib
ditatausahakan oleh Bank.
Pasal 6
(1) Kantor cabang bank asing wajib menetapkan jumlah declared Dana Usaha
yang akan berlaku sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun sejak tanggal
ditetapkan dan menyampaikannya kepada Bank Indonesia cq. Direktorat
Pengawasan …
- 6 -
Pengawasan Bank terkait atau Kantor Bank Indonesia setempat dengan
tembusan kepada Direktorat Luar Negeri.
(2) Kantor cabang bank asing wajib memelihara posisi harian Dana Usaha
sekurang-kurangnya 90% (sembilan puluh perseratus) dari jumlah declared
Dana Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Kantor cabang bank asing dapat memelihara posisi harian Dana Usaha lebih
dari 100% (seratus perseratus) dari declared Dana Usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dengan ketentuan jumlah kelebihan Dana Usaha
tersebut diperhitungkan sebagai PLN Jangka Pendek Bank.
Pasal 7
(1) Apabila masa berlaku declared Dana Usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 telah berakhir, kantor cabang bank asing wajib menyampaikan
declared Dana Usaha yang baru kepada Bank Indonesia cq. Direktorat
Pengawasan Bank terkait atau Kantor Bank Indonesia setempat dengan
tembusan kepada Direktorat Luar Negeri, baik terdapat perubahan maupun
tidak terdapat perubahan jumlah declared Dana Usaha.
(2) Kantor cabang bank asing dapat melakukan penambahan jumlah declared
Dana Usaha sebelum masa berlakunya berakhir dengan mengajukan
permohonan penambahan declared Dana Usaha kepada Bank Indonesia cq.
Direktorat Pengawasan Bank terkait atau Kantor Bank Indonesia setempat
dengan tembusan kepada Direktorat Luar Negeri dengan menyebutkan alasan
dan tujuan dilakukan penambahan.
(3) Persetujuan penambahan jumlah declared Dana Usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diberikan Bank Indonesia dengan memperhatikan
kebutuhan Bank dan kondisi moneter dalam negeri.
BAB III …
- 7 -
BAB III
PLN JANGKA PANJANG
Pasal 8
(1) Bank yang akan masuk pasar untuk memperoleh PLN Jangka Panjang wajib
terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
(2) Bank hanya dapat menerima PLN Jangka Panjang setinggi-tingginya sebesar
rencana jumlah PLN Jangka Panjang yang telah memperoleh persetujuan dari
Bank Indonesia.
(3) Rencana masuk
pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicantumkan dalam rencana bisnis Bank.
Pasal 9
(1) Bank yang akan masuk pasar wajib menyampaikan permohonan persetujuan
rencana masuk pasar secara lengkap selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
sebelum masuk pasar dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh
pada Lampiran 1 Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Permohonan persetujuan masuk pasar untuk PLN dalam bentuk Pinjaman
Sub Ordinasi (Sub Ordinated Loan/SOL) yang
rekomendasi pengawas Bank dapat diajukan sewaktu-waktu oleh Bank.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan
kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Luar Negeri dengan tembusan kepada
Direktorat Pengawasan Bank terkait atau Kantor Bank Indonesia setempat.
Pasal 10
Bank Indonesia memberikan persetujuan masuk
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
pasar setelah
a. rencana …
dilakukan atas dasar
- 8 -
a. rencana PLN Jangka Panjang telah dicantumkan dalam rencana bisnis Bank;
b. terms and conditions pinjaman;
c. kondisi pasar keuangan dalam negeri dan luar negeri;
d. kondisi moneter dalam negeri; dan
e. profil risiko Bank.
Pasal 11
(1) Persetujuan masuk pasar yang diberikan oleh Bank Indonesia berlaku untuk
jangka waktu selama 3 (tiga) bulan sejak tanggal persetujuan masuk pasar
diberikan.
(2) Dalam hal sampai dengan lewatnya jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Bank belum masuk pasar dan Bank tetap berencana masuk
pasar, maka Bank wajib mengajukan kembali permohonan persetujuan masuk
pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Pasal 12
(1) Bank wajib menyampaikan laporan masuk pasar selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja setelah masuk pasar sebagaimana contoh pada Lampiran 2
Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan terms and conditions pinjaman pada saat
sebelum dan sesudah masuk pasar, Bank wajib menjelaskan penyebab
perbedaan tersebut dalam laporan masuk pasar secara memadai.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada Bank
Indonesia cq. Direktorat Luar Negeri dengan tembusan kepada Direktorat
Pengawasan Bank terkait atau Kantor Bank Indonesia setempat.
Pasal 13 …
- 9 -
Pasal 13
Dalam rangka mempertimbangkan Debt Sustainability Analysis (DSA),
keseimbangan Neraca Pembayaran, kestabilan kondisi moneter dan kecukupan
cadangan devisa, Bank Indonesia dapat menetapkan pagu PLN Jangka Panjang
untuk individu Bank.
BAB IV
SANKSI
Pasal 14
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu perseratus) per
tahun dari jumlah kelebihan per hari.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu perseratus) per
tahun dari jumlah kekurangan per hari.
(3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 2%0 (dua perseribu) dari
jumlah pinjaman yang diterima.
(4) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 2%0 (dua perseribu) dari
kelebihan jumlah yang telah disetujui oleh Bank Indonesia.
(5) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) per hari kerja dan setinggi-tingginya Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah).
(6) Apabila …
- 10 -
(6) Apabila menurut Bank Indonesia terdapat perubahan yang mendasar
berkaitan dengan terms and conditions sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (2) dan Bank tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai,
maka Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi administratif berupa:
a. surat teguran; dan atau
b. larangan melakukan PLN untuk jangka waktu tertentu.
Pasal 15
(1) Dalam rangka pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14,
Bank Indonesia akan memberitahukan kepada Bank secara tertulis dengan
menyebutkan :
a. bentuk pelanggaran;
b. besarnya sanksi kewajiban membayar; dan
c. perhitungan besarnya kewajiban membayar.
(2) Bank diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan atas pengenaan
kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank
Indonesia.
(3) Dalam hal sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) Bank tidak menyampaikan tanggapan atau tanggapan yang
disampaikan Bank tidak dapat diterima oleh Bank Indonesia, maka Bank
Indonesia akan mengenakan sanksi dengan mendebet saldo rekening giro
rupiah Bank yang ada di Bank Indonesia.
BAB V …
- 11 -
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
Surat berharga dalam valuta asing yang telah diterbitkan Bank di pasar keuangan
dalam negeri sebelum mulai berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini
dikecualikan dari ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini sampai dengan
saat jatuh tempo surat berharga yang bersangkutan.
Pasal 17
PLN yang dijamin dengan Letter Of Guarantee (LOG) dari pemegang saham
Bukan Penduduk yang diterima oleh Bank sebelum mulai berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini dikecualikan dari ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia
ini sampai dengan berakhirnya masa berlaku LOG tersebut.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini tidak berlaku untuk kewajiban
Bank dalam rangka perdagangan internasional sepanjang kewajiban tersebut
didukung oleh bukti-bukti transaksi yang mendasarinya (underlying transaction)
secara memadai.
Pasal 19
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 29/192/KEP/DIR tanggal 26
Maret 1997 tentang Pedoman Penerimaan Pinjaman Komersial Luar Negeri
Bank;
b. Surat …
- 12 -
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/186/KEP/DIR tanggal 21
Januari 1998 tentang Perubahan Pasal 13 Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 29/192/KEP/DIR tanggal 26 Maret 1997 tentang Pedoman
Penerimaan Pinjaman Komersial Luar Negeri Bank;
c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 29/55/ULN tanggal 26 Maret 1997
perihal Pedoman Penerimaan Pinjaman Komersial Luar Negeri Bank;
d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 30/40/ULN tanggal 21 Januari 1998
perihal Perubahan Pasal 13 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
29/192/KEP/DIR tanggal 26 Maret 1997 tentang Pedoman Penerimaan
Pinjaman Komersial Luar Negeri Bank,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 20
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal 10 Januari 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 3
DPNP/DLN
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/1/PBI/2005
TENTANG
PINJAMAN LUAR NEGERI BANK
UMUM
Sebagai salah satu sumber pendanaan Bank, Pinjaman Luar Negeri (PLN)
dalam pertumbuhan usaha perbankan dan
memiliki peranan penting
perekonomian nasional. Namun demikian, arus dana pinjaman yang terlalu besar
dan tidak terpelihara dengan baik, terutama yang berjangka pendek, dapat
mempengaruhi fluktuasi nilai tukar, kemantapan neraca pembayaran dan
kestabilan moneter. Oleh sebab itu, PLN perlu diatur dengan seksama agar
pelaksanaannya tidak menimbulkan dampak yang buruk terhadap kestabilan
moneter.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia, salah satu tugas Bank Indonesia adalah
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Kebijakan moneter tersebut
terutama dilakukan melalui sistem perbankan sehingga Bank Indonesia perlu
menetapkan ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian guna
menciptakan suatu sistem perbankan yang sehat.
PLN yang dikelola Bank tanpa memperhatikan prinsip kehati-hatian dapat
mempengaruhi kemampuan Bank untuk membayar kembali pinjaman, yang pada
gilirannya akan mempengaruhi kepercayaan dunia internasional terhadap sektor
perbankan dan negara pada umumnya, sehingga memberikan dampak buruk
terhadap kestabilan moneter.
Pengalaman …
- 2 -
Pengalaman menunjukkan bahwa pengaturan PLN Bank selama ini cukup
efektif dalam memantau pertumbuhan PLN Bank. Namun demikian, karena
tuntutan perkembangan tatanan perkonomian dan sistem perbankan di Indonesia
serta diperlukannya upaya untuk memulihkan dan menjaga kepercayaan pasar
keuangan
internasional, mendorong pengembangan
iklim investasi dan
perdagangan internasional serta untuk mengantisipasi excessive borrowing oleh
perbankan, maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan pinjaman
luar negeri Bank sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b sampai dengan huruf e
Surat berharga dapat berupa Bond, Commercial Paper, Promissory
Notes, Medium Term Notes (MTN), Floating Rate Notes (FRN),
Negotiable Certificate Deposit (NCD) dan bentuk surat berharga
lainnya.
Huruf f …
- 3 -
Huruf f
Yang dimaksud dengan kewajiban lainnya adalah kewajiban lain
yang dicatat dalam neraca (on balance sheet).
Giro, deposito dan tabungan diperhitungkan sebagai PLN jangka
pendek tanpa memperhatikan jangka waktunya.
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pemegang saham pengendali adalah
pemegang saham pengendali sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Umum dan Bank
Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan
Prinsip Syariah.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Kegiatan investasi dapat berupa penyertaan langsung atau
pembelian surat-surat berharga.
Ayat (2) …
- 4 -
Ayat ( 2)
Yang dimaksud dengan bukti pendukung yang memadai antara
lain:
a. untuk pinjaman pemegang saham pengendali dalam rangka
mengatasi kesulitan likuiditas Bank
berupa laporan arus kas.
sekurang-kurangnya
b. untuk penempatan Dana Usaha dari kantor pusat bank asing
pada kantor cabangnya di Indonesia sekurang-kurangnya
meliputi bukti penempatan/transfer dan laporan keuangan
Bank.
c. untuk giro, tabungan dan deposito milik perwakilan negara
asing serta lembaga internasional termasuk anggota stafnya
sekurang-kurangnya berupa copy identitas pemilik rekening.
d. untuk penyertaan langsung sekurang-kurangnya meliputi bukti
penyertaan lengkap termasuk nominal, identitas penyetor dan
identitas penerima penyertaan.
e. untuk
pembelian surat-surat berharga sekurang-kurangnya
meliputi bukti setoran ke perusahaan pialang pasar modal,
surat perjanjian dengan perusahaan pialang pasar modal,
laporan rekening pada perusahaan pialang pasar modal, bukti
pembelian saham/obligasi.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8 …
- 5 -
Pasal 8
Ayat (1)
Pengertian masuk pasar dibedakan untuk masing-masing jenis
instrumen PLN Jangka Panjang sebagai berikut:
a. untuk perjanjian pinjaman adalah pada saat perjanjian pinjaman
ditandatangani.
b. untuk surat berharga yang diterbitkan di bursa adalah pada saat
dilakukan penawaran resmi di pasar (public expose).
c. untuk surat berharga melalui private placement antara lain
dalam bentuk MTN, FRN atau Credit Link Notes (CLN) adalah
pada saat surat berharga diterbitkan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Rencana bisnis adalah rencana bisnis sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia tentang Rencana Bisnis Bank Umum.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan permohonan persetujuan secara lengkap
adalah termasuk perubahan-perubahan rencana masuk pasar apabila
ada.
Ayat (2)
Yang
dapat mengajukan
pengawasan
sewaktu-waktu
adalah Bank dalam
dalam ketentuan Bank Indonesia tentang
Pengawasan dan Penetapan Status Bank.
khusus (special surveillance) sebagaimana diatur
Tindak Lanjut
Ayat (3) …
- 6 -
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Huruf a
dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank sekurang-
kurangnya adalah jumlah rencana PLN Jangka Panjang.
Yang
Huruf b
Terms and conditions meliputi antara lain bentuk pinjaman, tingkat
bunga, currency, maturity profile, dan biaya-biaya terkait.
Huruf c
Kondisi pasar keuangan dalam dan luar negeri meliputi antara lain
perkembangan pasar keuangan, sovereign rating, dan
kecenderungan tingkat bunga pasar.
Huruf d
Kondisi moneter dalam negeri meliputi antara lain komposisi
pinjaman secara nasional, supply valuta asing yang berasal dari
pinjaman luar negeri serta kecenderungan tingkat bunga dan kurs.
Huruf e
Profil risiko Bank mencakup tingkat dan trend seluruh eksposur
risiko yang melekat pada Bank seperti risiko kredit, risiko likuiditas
dan risiko
Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12 …
pasar sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
- 7 -
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan perbedaan terms and conditions pinjaman
antara lain dalam hal terdapat perubahan mengenai bentuk
pinjaman, currency, jumlah pinjaman, suku bunga, maturity profile,
biaya-biaya lain, debt covenants.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Dalam hal dilakukan perpanjangan/pembaharuan terhadap surat berharga
yang telah jatuh tempo, maka berlaku ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18 …
- 8 -
Pasal 18
Yang dimaksud dengan kewajiban Bank dalam rangka perdagangan
internasional meliputi antara lain L/C, usance L/C, red clause L/C, stand
by L/C, dan lainnya yang sejenis.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4467
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/1/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PINJAMAN LUAR NEGERI BANK </reg_title>
<set_date> 10 Januari 2005 </set_date>
<effective_date> 10 Januari 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '30/186/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '29/55/ULN|SE-BI/1997', '30/40/ULN|SE-BI/1998', '29/192/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 12 /PBI/2012
TENTANG
LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka efektivitas pelaksanaan tugas
Bank Indonesia di bidang moneter, perbankan, dan
sistem pembayaran diperlukan dukungan informasi
secara mingguan, bulanan, triwulanan, dan tahunan
yang tersedia secara tepat waktu, benar, dan
lengkap;
b. bahwa untuk memperoleh informasi yang tepat
waktu dan lengkap, diperlukan penyesuaian batas
waktu penyampaian laporan, penyesuaian periode
laporan, dan penambahan beberapa laporan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk
menyempurnakan kembali ketentuan mengenai
laporan kantor pusat bank umum dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun . . .
- 2 -
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN
KANTOR PUSAT BANK UMUM.
BAB I . . .
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
2. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah UUS
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Bank Pelapor adalah kantor Bank yang meliputi kantor pusat
Bank, kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri,
dan UUS.
4. Laporan Kantor Pusat Bank Umum, yang selanjutnya disebut
Laporan, adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh
Bank Pelapor secara mingguan, bulanan, triwulanan, dan/atau
tahunan kepada Bank Indonesia melalui sistem laporan kantor
pusat bank umum.
5. Sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum, yang selanjutnya
disebut Sistem LKPBU, adalah sistem penerimaan Laporan
(capturing) yang berbasis web melalui jaringan ekstranet.
6. Penyampaian Laporan secara On-Line, yang selanjutnya disebut
On-Line, adalah penyampaian data secara langsung melalui
jaringan komunikasi data ke Bank Indonesia.
7. Penyampaian . . .
- 4 -
7. Penyampaian Laporan secara Off-Line, yang selanjutnya disebut
Off-Line, adalah penyampaian rekaman data dalam media
perekaman data elektronik kepada Bank Indonesia.
8. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang mewilayahi
Bank Pelapor.
Pasal 2
Bank Pelapor wajib menyusun dan menyampaikan Laporan kepada
Bank Indonesia secara tepat waktu, benar, dan lengkap.
Pasal 3
(1) Bank Pelapor harus menunjuk Person In-Charge (PIC) Laporan.
(2) PIC yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilaporkan kepada Bank Indonesia secara On-Line.
(3) Penunjukan PIC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mengurangi dan/atau menghilangkan tanggung jawab Direksi
Bank atau pimpinan kantor cabang dari bank yang berkedudukan
di luar negeri atau Kepala UUS.
(4) Dalam hal terjadi perubahan PIC, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank Pelapor harus melaporkan perubahan dimaksud
secara On-Line.
Pasal 4
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:
a. proyeksi arus kas;
b. kegiatan kustodian;
c. Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN);
d. penyelenggaraan . . .
- 5 -
d. penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan
Kartu (APMK) dan uang elektronik, yang terdiri dari:
1.
2.
e.
laporan penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu (APMK) dan uang elektronik bulanan;
laporan penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu (APMK) dan uang elektronik triwulanan;
remittance Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dan Tenaga
Kerja Asing (TKA) di Indonesia;
f. mutasi rekening pemerintah;
g. aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non Bank, yang terdiri
dari:
1. bancassurance;
2.
reksadana;
3. produk keuangan luar negeri;
h. transaksi perbankan melalui delivery channel e-banking;
i.
structured products;
j. pejabat eksekutif;
k.
jaringan kantor;
l.
laporan keuangan publikasi bank, yang terdiri dari:
1.
2.
laporan keuangan publikasi bulanan;
laporan keuangan publikasi triwulanan;
m. penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah;
n. tenaga kerja perbankan.
BAB II
PENYUSUNAN LAPORAN
Pasal 5
Penyusunan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan
secara:
a. mingguan . . .
- 6 -
a. mingguan;
b. bulanan;
c.
d.
triwulanan;
tahunan.
Pasal 6
Laporan yang disusun secara mingguan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf a adalah laporan proyeksi arus kas.
Pasal 7
Laporan yang disusun secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf b terdiri dari laporan:
a. kegiatan kustodian;
b. Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN);
c. penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan
Kartu (APMK) dan uang elektronik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf d angka 1;
d. remittance Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dan Tenaga
Kerja Asing (TKA) di Indonesia;
e. mutasi rekening pemerintah;
f. aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non Bank berupa
produk keuangan luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf g angka 3;
g.
transaksi perbankan melalui delivery channel e-banking;
h. structured products berupa data:
1) outstanding transaksi structured products;
2)
i. pejabat eksekutif;
j. jaringan . . .
transaksi structured products yang bermasalah;
- 7 -
j.
k.
jaringan kantor; dan
laporan keuangan publikasi bank sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf l angka 1.
Pasal 8
Laporan yang disusun secara triwulanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf c terdiri dari laporan:
a. penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan
Kartu (APMK) dan uang elektronik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf d angka 2;
b. aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf g angka 1 dan angka 2;
c.
laporan keuangan publikasi bank sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf l angka 2; dan
d. penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah.
Pasal 9
Laporan yang disusun secara tahunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf d adalah laporan tenaga kerja perbankan.
BAB III
PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 10
Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan yang disusun secara
mingguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 pada hari Jumat
setiap minggunya.
Pasal 11 . . .
- 8 -
Pasal 11
Bank Pelapor wajib menyampaikan:
a. Laporan yang disusun secara bulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf g, huruf h,
huruf i, dan huruf j paling lambat 5 (lima) Hari Kerja pada awal
bulan Laporan berikutnya.
b. Laporan yang disusun secara bulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf c dan huruf f paling lambat tanggal 15 pada
bulan Laporan berikutnya.
c. Laporan yang disusun secara bulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf k paling lambat 5 (lima) Hari Kerja pada awal
2 (dua) bulan Laporan berikutnya.
Pasal 12
Bank Pelapor wajib menyampaikan:
a. Laporan yang disusun secara triwulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 huruf d paling lambat 5 (lima) Hari Kerja pada awal
bulan Januari, April, Juli, dan Oktober.
b. Laporan yang disusun secara triwulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 huruf a dan huruf b paling lambat tanggal 15 pada
bulan Januari, April, Juli, dan Oktober.
c. Laporan yang disusun secara triwulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 huruf c untuk posisi akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember masing-masing paling lambat tanggal 15
pada bulan Mei, Agustus, November, dan April.
Pasal 13 . . .
- 9 -
Pasal 13
Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan yang disusun secara
tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 paling lambat tanggal
15 Februari tahun berikutnya.
Pasal 14
(1) Bank Pelapor yang tidak memiliki data sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 tetap wajib menyampaikan form header paling
lambat sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13.
(2) Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan:
a. kegiatan kustodian;
b. kegiatan APMK dan uang elektronik;
c. aktivitas bancassurance;
d. aktivitas sebagai agen penjual efek reksadana;
e. aktivitas keagenan produk keuangan luar negeri;
f.
transaksi perbankan melalui delivery channel e- banking;
dan/atau
g. kegiatan structured product,
tidak wajib menyampaikan form header untuk kegiatan dan
aktivitas pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f,
dan/atau huruf g di atas.
Pasal 15
Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan yang dibuktikan
dengan tanda terima dari Sistem LKPBU.
Pasal 16 . . .
- 10 -
Pasal 16
(1) Dalam hal ditemukan kesalahan data pada Laporan yang telah
disampaikan kepada Bank Indonesia, Bank Pelapor wajib
melakukan koreksi atas kesalahan tersebut.
(2) Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lambat sesuai batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan
Pasal 13.
(3) Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan koreksi Laporan
yang dibuktikan dengan tanda terima dari Sistem LKPBU.
Pasal 17
(1) Dalam hal tanggal akhir penyampaian Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
huruf b, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, dan Pasal 13 jatuh
pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur maka Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan disampaikan pada Hari Kerja
berikutnya.
(2) Dalam hal tanggal penyampaian Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 jatuh pada
hari libur, maka Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
disampaikan pada Hari Kerja sebelumnya.
Pasal 18
(1) Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan apabila Bank Indonesia
menerima . . .
- 11 -
menerima Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13.
(2) Bank Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan,
form header dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tetap wajib menyampaikan Laporan, form header
dan/atau koreksi Laporan yang belum disampaikan.
BAB IV
PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 19
(1) Bank Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan melalui Sistem LKPBU secara On-Line.
(2) Sistem LKPBU secara On-Line sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan untuk penyampaian Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan sampai dengan akhir bulan periode penyampaian
Laporan.
(3) Khusus untuk Laporan proyeksi arus kas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf a, Sistem LKPBU secara On-Line sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk penyampaian Laporan,
form header, dan/atau koreksi Laporan sampai dengan 2 (dua) Hari
Kerja setelah hari Jumat.
(4) Dalam hal penyampaian Laporan, form header dan/atau koreksi
Laporan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3), penyampaian Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan dilakukan secara Off-Line.
Pasal 20 . . .
- 12 -
Pasal 20
(1) Dalam hal Bank Pelapor atau Bank Indonesia mengalami gangguan
teknis pada batas waktu penyampaian Laporan, form header, atau
koreksi Laporan, Bank Pelapor harus menyampaikan Laporan,
form header, dan/atau koreksi Laporan secara Off-Line.
(2) Dalam hal Bank Pelapor mengalami gangguan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Pelapor wajib segera menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia yang
ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang pada hari yang sama
setelah terjadinya gangguan teknis.
(3) Dalam hal Bank Indonesia mengalami gangguan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
memberitahukan kepada Bank Pelapor terjadinya gangguan
tersebut secara tertulis dan/atau dengan menggunakan sarana
lain.
(4) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terjadi pada batas waktu penyampaian Laporan, form header atau
koreksi Laporan, Bank Pelapor harus menyampaikan Laporan,
form header, dan/atau koreksi Laporan paling lambat Hari Kerja
berikutnya secara Off-Line.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian Laporan
atau koreksi Laporan secara Off-Line sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 21
(1) Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 20
ayat (1) . . .
- 13 -
ayat (1), tidak berlaku bagi Bank Pelapor yang mengalami keadaan
memaksa (force majeure).
(2) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan,
form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib segera memberitahukan secara tertulis kepada
Bank Indonesia disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya
keadaan memaksa (force majeure) yang ditandatangani oleh Pejabat
Bank Pelapor yang berwenang.
(3) Bank Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah
keadaan memaksa (force majeure) dapat diatasi.
BAB V
S A N K S I
Pasal 22
(1) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan atau
form header setelah batas waktu penyampaian Laporan atau
form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja
keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh
juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form.
(2) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan atau
form header setelah batas waktu penyampaian Laporan atau
form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja
keterlambatan . . .
- 14 -
keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp15.000.000,00 (lima
belas juta rupiah) untuk setiap form.
Pasal 23
Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan setelah
batas waktu penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (2) namun masih dalam periode On-Line
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk
setiap form per Hari Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar
Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form.
Pasal 24
Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan melebihi periode
On-Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)
untuk setiap item data dan paling banyak sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) untuk setiap form.
Pasal 25
Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
Pasal 23, dan/atau Pasal 24, Bank Pelapor dikenakan sanksi berupa
teguran tertulis dalam hal Bank Pelapor belum menyampaikan Laporan,
form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 16 ayat (2) sampai
periode penyampaian Laporan berikutnya.
Pasal 26 . . .
- 15 -
Pasal 26
Bank Pelapor yang tidak menyampaikan pemberitahuan tertulis perihal
gangguan teknis dan/atau perihal keadaan memaksa (force majeure)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 21 ayat (2)
dikenakan sanksi teguran tertulis.
Pasal 27
Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 dilakukan oleh Bank Indonesia dengan
cara mendebet rekening giro rupiah Bank Pelapor pada Bank Indonesia.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 29
(1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/3/PBI/2008 tentang
Laporan Kantor Pusat Bank Umum;
b. Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 44 ayat (2), Pasal 47
ayat (4), Pasal 49 ayat (2), Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3),
Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 57 ayat (3), Pasal 59
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3),
Pasal 64 . . .
- 16 -
Pasal 64 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2)
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang
Bank Umum Syariah;
c. Pasal 15 ayat (2), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (2),
Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 28 ayat (1), Pasal 30, Pasal 32 ayat (2), Pasal 34 ayat (2),
Pasal 35, Pasal 37 ayat (2), Pasal 38, Pasal 39 Peraturan
Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha
Syariah;
d. Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 36 Peraturan
Bank Indonesia Nomor 11/26/PBI/2009 tentang
Prinsip Kehati-hatian dalam Melaksanakan Kegiatan
Structured Product bagi Bank Umum; dan
e. Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/9/PBI/2010
tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Melaksanakan
Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri oleh Bank
Umum,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 30
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
1 November 2012.
Agar . . .
- 17 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 15 Oktober 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 15 Oktober 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 190
DPNP/DASP/DSM/DInt
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/12/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 15 Oktober 2012 </set_date>
<effective_date> 1 November 2012 </effective_date>
<issued_date> 15 Oktober 2012 </issued_date>
<replaced_reg> '11/26/PBI/2009 | Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 36', '11/10/PBI/2009 | Pasal 15 ayat (2), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (2), Pasal 24 ayat (2) dan (3), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1), Pasal 30, Pasal 32 ayat (2), Pasal 34 ayat (2), Pasal 35, Pasal 37 ayat (2), Pasal 38, Pasal 39', '10/3/PBI/2008', '11/3/PBI/2009 | Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 44 ayat (2), Pasal 47 ayat (4), Pasal 49 ayat (2), Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 57 ayat (3), Pasal 59 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 64 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2)', '12/9/PBI/2010 | Pasal 19' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 14 / 2 /PBI/ 2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/11/PBI/2009
TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN
DENGAN MENGGUNAKAN KARTU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa aspek kehati-hatian dan aspek perlindungan
konsumen dalam praktek penyelenggaraan kegiatan
alat pembayaran dengan menggunakan kartu perlu
lebih diperhatikan;
b.
bahwa praktek pemberian kartu kredit oleh
penyelenggara alat pembayaran dengan
menggunakan kartu belum sepenuhnya
memperhatikan manajemen risiko pemberian kredit;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
melakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu;
Mengingat …
-2-
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Transfer Dana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204);
MEMUTUSKAN …
-3-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
11/11/PBI/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN
KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN
MENGGUNAKAN KARTU.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5000), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 10 diubah, dan ditambah 1 (satu) angka
yakni angka 15, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor
cabang bank asing di Indonesia, dan Bank Umum Syariah dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
2. Lembaga Selain Bank adalah badan usaha bukan Bank yang
berbadan hukum dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia.
3. Alat …
-4-
3. Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, yang selanjutnya
disebut APMK, adalah alat pembayaran yang berupa kartu
kredit, kartu automated teller machine (ATM) dan/atau kartu
debet.
4. Kartu Kredit adalah APMK yang dapat digunakan untuk
melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu
kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau
untuk melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban
pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh
acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban
untuk melakukan pembayaran pada waktu yang disepakati
baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge card) ataupun
dengan pembayaran secara angsuran.
5. Kartu ATM adalah APMK yang dapat digunakan untuk
melakukan penarikan tunai dan/atau pemindahan dana
dimana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan
mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada
Bank atau Lembaga Selain Bank yang berwenang untuk
menghimpun dana sesuai ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
6. Kartu Debet adalah APMK yang dapat digunakan untuk
melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu
kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan, dimana
kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan
mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada
Bank atau Lembaga Selain Bank yang berwenang untuk
menghimpun dana sesuai ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
7. Pemegang Kartu adalah pengguna yang sah dari APMK.
8. Prinsipal …
-5-
8. Prinsipal adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang
bertanggung jawab atas pengelolaan sistem dan/atau jaringan
antar anggotanya, baik yang berperan sebagai penerbit
dan/atau acquirer, dalam transaksi APMK yang kerjasama
dengan anggotanya didasarkan atas suatu perjanjian tertulis.
9. Penerbit adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang
menerbitkan APMK.
10. Acquirer adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang:
a. melakukan kerjasama dengan pedagang sehingga pedagang
mampu memproses transaksi dari APMK yang diterbitkan
oleh pihak selain Acquirer yang bersangkutan; dan
b. bertanggung jawab atas penyelesaian pembayaran kepada
pedagang.
11. Pedagang (Merchant) adalah penjual barang dan/atau jasa yang
menerima pembayaran dari transaksi penggunaan Kartu Kredit
dan/atau Kartu Debet.
12. Perusahaan Switching adalah perusahaan yang menyediakan
jasa switching atau routing atas transaksi elektronik yang
menggunakan APMK melalui terminal seperti ATM atau
Electronic Data Captured (EDC) dalam rangka memperoleh
otorisasi dari Penerbit.
13. Penyelenggara Kliring adalah Bank atau Lembaga Selain Bank
yang melakukan perhitungan hak dan kewajiban keuangan
masing-masing Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka
transaksi APMK.
14. Penyelenggara Penyelesaian Akhir adalah Bank atau Lembaga
Selain Bank yang melakukan dan bertanggungjawab terhadap
penyelesaian akhir atas hak dan kewajiban keuangan masing-
masing Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka transaksi
APMK …
-6-
APMK berdasarkan hasil perhitungan dari Penyelenggara
Kliring.
15. Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain
yang selanjutnya disebut Alih Daya adalah penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penyedia
jasa melalui perjanjian pemborongan pekerjaan dan/atau
melalui perjanjian penyediaan jasa tenaga kerja.
2. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang telah memperoleh izin
dari Bank Indonesia hanya dapat bekerjasama dengan
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir lainnya yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia.
(2) Rencana dan realisasi kerjasama antar Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan rencana
dan realisasi kerjasama antar Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
3. Ketentuan …
-7-
3. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Dalam hal Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir bekerjasama
dengan pihak lain yang menyediakan jasa penunjang di bidang
sistem dan teknologi informasi dalam penyelenggaraan APMK,
maka Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib:
a. memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai prinsip kehati-hatian bagi Bank umum yang
melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada pihak lain;
b. memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penerapan manajemen risiko dalam penggunaan
teknologi informasi oleh Bank umum;
c. memiliki bukti mengenai keandalan dan keamanan sistem
yang digunakan oleh pihak lain, yang antara lain
dibuktikan dengan:
1. hasil audit teknologi informasi dari auditor independen;
dan
2. hasil sertifikasi yang dilakukan oleh Prinsipal, jika
dipersyaratkan oleh Prinsipal.
d. mensyaratkan kepada pihak lain untuk menjaga
kerahasiaan data dan informasi;
e. melaporkan rencana dan realisasi kerjasama dengan pihak
lain kepada Bank Indonesia.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku pula
bagi Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring,
dan/atau …
-8-
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang berasal dari
Lembaga Selain Bank.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan rencana
dan realisasi kerjasama Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
4. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Penyelenggaraan Kartu Kredit oleh Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir yang berupa Bank wajib menerapkan
manajemen risiko sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai manajemen risiko.
(2) Penyelenggaraan Kartu Kredit oleh Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir yang berupa Lembaga Selain Bank
mengacu pada ketentuan manajemen risiko untuk Lembaga
Selain Bank.
(3) Dalam hal belum terdapat ketentuan yang mengatur mengenai
manajemen risiko untuk Lembaga Selain Bank sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (2), maka penerapan manajemen
risiko bagi Lembaga Selain Bank tunduk pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko.
5. Diantara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni
Pasal 15A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal …
-9-
Pasal 15A
(1) Dalam menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud
pada Pasal 15, Penerbit Kartu Kredit wajib menerapkan
manajemen risiko kredit dengan memperhatikan paling kurang
hal-hal sebagai berikut:
a. batas minimum usia calon Pemegang Kartu;
b. batas minimum pendapatan calon Pemegang Kartu;
c. batas maksimum plafon kredit yang dapat diberikan
kepada Pemegang Kartu;
d. batas maksimum jumlah Penerbit yang dapat memberikan
fasilitas Kartu Kredit; dan
e. batas minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu.
(2) Dalam rangka penerapan manajemen risiko kredit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c
dan huruf d, Penerbit Kartu Kredit wajib melakukan
pembaruan data Pemegang Kartu.
(3) Dalam hal Pemegang Kartu mempunyai pendapatan tertentu
tiap bulan di atas batas minimum pendapatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, Penerbit dapat memberikan
plafon kredit dan jumlah Kartu Kredit sesuai dengan analisis
risiko Penerbit.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula
untuk pemberian fasilitas Kartu Kredit yang dijamin:
a. oleh pihak lain, termasuk perusahaan atau korporasi
Pemegang Kartu; dan/atau
b. simpanan Pemegang Kartu pada Penerbit.
(5) Batas minimum usia calon Pemegang Kartu, batas minimum
pendapatan calon Pemegang Kartu, batas maksimum plafon
kredit, batas maksimum jumlah Penerbit Kartu Kredit, batas
minimum …
-10-
minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dan tata cara
pembaruan data Pemegang Kartu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
6. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Penerbit Kartu Kredit wajib memberikan informasi secara
tertulis kepada Pemegang Kartu paling kurang meliputi:
a. prosedur dan tata cara penggunaan Kartu Kredit;
b. hal-hal penting yang harus diperhatikan oleh Pemegang
Kartu dalam penggunaan Kartu Kredit dan konsekuensi
atau risiko yang mungkin timbul dari penggunaaan Kartu
Kredit;
c. hak dan kewajiban Pemegang Kartu;
d. tata cara pengajuan pengaduan atas Kartu Kredit yang
diberikan dan perkiraan lamanya waktu penanganan
pengaduan tersebut;
e. pola, tata cara dan komponen yang dijadikan dasar
penghitungan bunga, biaya (fee) dan denda Kartu Kredit;
jenis biaya (fee) dan denda yang dikenakan;
f.
g. prosedur dan tata cara pengakhiran dan/atau penutupan
fasilitas Kartu Kredit; dan
h. ringkasan transaksi Pemegang Kartu Kredit, berdasarkan
permohonan dan/atau persetujuan Pemegang Kartu Kredit.
(2) Dalam …
-11-
(2) Dalam hal terjadi perubahan atas informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penerbit Kartu Kredit wajib
menyampaikan perubahan informasi tersebut secara tertulis
kepada Pemegang Kartu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
informasi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
7. Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni
Pasal 16A dan Pasal 16B, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16A
(1) Penerbit Kartu Kredit wajib menyampaikan lembar tagihan
kepada Pemegang Kartu secara benar, akurat, dan tepat
waktu.
(2) Penerbit wajib memberitahukan kelonggaran waktu
pembayaran apabila tanggal jatuh tempo pembayaran
bertepatan dengan hari libur.
(3) Penerbit dilarang mengenakan denda kepada Pemegang Kartu
yang melakukan pembayaran tagihan utang Kartu Kredit pada
kelonggaran waktu pembayaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu penyampaian
lembar tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
kelonggaran waktu pembayaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal …
-12-
Pasal 16B
(1) Penerbit wajib mencantumkan informasi dalam lembar tagihan
yang disampaikan kepada Pemegang Kartu, paling kurang
mencakup:
a. besarnya tagihan;
b. besarnya batas minimum pembayaran oleh Pemegang
Kartu;
c. penjelasan informasi rincian bunga dan denda, jika ada;
d. plafon kredit dan sisa plafon kredit;
e. tanggal transaksi;
f.
tanggal pembukuan (posting);
g. besarnya nilai transaksi dalam valuta asing dan lawan
rupiahnya, serta informasi nilai tukar, untuk transaksi
yang dilakukan di luar negeri;
h. tanggal cetak tagihan;
i.
tanggal jatuh tempo pembayaran;
j. kelonggaran waktu pembayaran apabila tanggal jatuh
tempo pembayaran bertepatan dengan hari libur;
k. besarnya persentase bunga per bulan dan persentase
efektif bunga per tahun (annualized percentage rate) atas
transaksi pembelian barang atau jasa, dan penarikan
tunai;
l. nominal bunga yang dikenakan;
m. besarnya biaya-biaya; dan
n. besarnya denda atas keterlambatan pembayaran oleh
Pemegang Kartu, jika ada.
(2) Dalam hal terjadi perubahan atas informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penerbit Kartu Kredit wajib
menyampaikan …
-13-
menyampaikan perubahan informasi tersebut secara tertulis
kepada Pemegang Kartu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
informasi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
8. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Dalam memberikan kredit yang merupakan fasilitas Kartu
Kredit, Penerbit Kartu Kredit yang berupa Bank wajib
menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan perkreditan
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kewajiban penyusunan dan pelaksanaan
kebijaksanaan perkreditan bank bagi Bank umum.
(2) Penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan
dalam pemberian kredit yang merupakan fasilitas Kartu Kredit
oleh Penerbit Kartu Kredit yang berupa Lembaga Selain Bank,
wajib dilakukan dengan mengacu pada ketentuan penyusunan
dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan Lembaga Selain
Bank.
(3) Dalam hal belum terdapat ketentuan yang mengatur mengenai
kewajiban penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan
perkreditan bagi Lembaga Selain Bank, maka pemberian kredit
atas fasilitas Kartu Kredit oleh Lembaga Selain Bank mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur kewajiban
penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan.
(4) Penilaian kualitas kredit Kartu Kredit oleh Penerbit Kartu
Kredit yang berupa Bank wajib dilakukan dengan mengikuti
ketentuan …
-14-
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian
kualitas kredit Bank umum.
(5) Penilaian kualitas kredit Kartu Kredit oleh Penerbit Kartu
Kredit yang berupa Lembaga Selain Bank wajib dilakukan
dengan mengikuti ketentuan yang mengatur mengenai
penilaian kualitas kredit Lembaga Selain Bank.
(6) Dalam hal belum terdapat ketentuan yang mengatur
mengenai penilaian kualitas kredit Kartu Kredit bagi Lembaga
Selain Bank, maka penilaian kualitas kredit Kartu Kredit bagi
Lembaga Selain Bank mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Penilaian kualitas kredit
Kartu Kredit.
(7) Penghitungan bunga yang timbul atas transaksi Kartu Kredit
wajib dilakukan oleh Penerbit Kartu Kredit dengan
memperhatikan paling kurang hal-hal sebagai berikut:
a. untuk transaksi pembelanjaan, bunga dibebankan apabila
Pemegang Kartu tidak melakukan pembayaran, melakukan
pembayaran tidak penuh, atau melakukan pembayaran
penuh setelah tanggal jatuh tempo pembayaran;
b. untuk transaksi tarik tunai, bunga dibebankan apabila
Pemegang Kartu tidak melakukan pembayaran, melakukan
pembayaran tidak penuh, atau melakukan pembayaran
penuh baik sebelum atau setelah tanggal jatuh tempo;
c. penghitungan hari bunga atas utang Kartu Kredit
didasarkan dan dimulai dari tanggal pembukuan (posting)
Penerbit;
d. biaya dan denda, serta bunga terutang dilarang digunakan
sebagai komponen penghitungan bunga;
e. penetapan …
-15-
e. penetapan bunga harian didasarkan pada perhitungan
jumlah hari kalender dalam setahun dan ditetapkan selama
365 (tiga ratus enam puluh lima) hari.
9. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni
Pasal 17A dan Pasal 17B, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17A
(1) Bank Indonesia menetapkan batas maksimum suku bunga
Kartu Kredit dan wajib dipatuhi oleh Penerbit Kartu Kredit.
(2) Bank Indonesia mengumumkan batas maksimum suku bunga
Kartu Kredit paling kurang 20 (dua puluh) hari kerja sebelum
diberlakukan secara efektif.
(3) Penetapan batas maksimum suku bunga Kartu Kredit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk transaksi
pembelanjaan dan transaksi tarik tunai menggunakan Kartu
Kredit.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan batas maksimum
suku bunga Kartu Kredit diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 17B
(1) Dalam melakukan penagihan Kartu Kredit, Penerbit wajib
mematuhi pokok-pokok etika penagihan utang Kartu Kredit.
(2) Penerbit Kartu Kredit wajib menjamin bahwa penagihan utang
Kartu Kredit, baik yang dilakukan oleh Penerbit Kartu Kredit
sendiri atau menggunakan penyedia jasa penagihan, dilakukan
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam …
-16-
(3) Dalam hal penagihan utang Kartu Kredit menggunakan jasa
pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penerbit wajib
menjamin bahwa:
a. kualitas pelaksanaan penagihannya sama dengan jika
dilakukan sendiri oleh Penerbit;
b. pelaksanaan penagihan utang Kartu Kredit hanya untuk
utang Kartu Kredit dengan kualitas tertentu.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pokok-pokok etika penagihan
utang Kartu Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
kualitas utang Kartu Kredit yang penagihannya dapat
dialihkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
10. Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Kartu Kredit dilarang digunakan di luar peruntukan sebagai
alat pembayaran.
(2) Penerbit dan Acquirer wajib menjaga agar Kartu Kredit tidak
digunakan diluar peruntukan sebagai alat pembayaran.
(3) Penerbit Kartu Kredit dilarang memberikan fitur tambahan
melalui Kartu Kredit yang tujuannya untuk membayar
angsuran fasilitas kredit lainnya.
(4) Penerbit Kartu Kredit dilarang memberikan fasilitas yang
mempunyai dampak tambahan biaya kepada Pemegang Kartu
dan/atau memberikan fasilitas lain di luar fungsi utama Kartu
Kredit, tanpa persetujuan tertulis dari Pemegang Kartu.
11. Ketentuan …
-17-
11. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Dalam hal Penerbit melakukan kerja sama dengan pihak lain
yang menyediakan jasa penunjang dalam penyelenggaraan
APMK, maka Penerbit wajib:
a. memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai prinsip kehati-hatian bagi Bank yang melakukan
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak
lain;
b. melaporkan rencana dan realisasi kerjasama dengan pihak
lain yang menyediakan jasa penunjang dalam
penyelenggaraan APMK kepada Bank Indonesia; dan
c. mensyaratkan kepada pihak lain yang menyediakan jasa
penunjang dalam penyelenggaraan APMK untuk menjaga
kerahasiaan data dan informasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan rencana
dan realisasi kerjasama Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir dengan pihak lain yang menyediakan jasa penunjang
dalam penyelenggaraan APMK sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
12. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
Setiap perbuatan yang mempunyai tujuan pembayaran atau
pemenuhan kewajiban yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan menggunakan Kartu Kredit, Kartu ATM
dan/atau Kartu Debet, wajib menggunakan rupiah.
13. Di …
-18-
13. Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni
Pasal 29A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29A
(1) Dalam rangka peningkatan keamanan transaksi, Penerbit
wajib mengimplementasikan transaction alert kepada Pemegang
Kartu untuk transaksi dengan kriteria tertentu.
(2) Transaction alert sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan melalui teknologi layanan pesan singkat (short
message service).
(3) Transaction alert dapat dilakukan melalui sarana lain di luar
layanan pesan singkat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sesuai dengan permintaan Pemegang Kartu.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai transaction alert diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
14. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
Penyelenggaraan kegiatan APMK oleh Bank Umum Syariah, Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah, atau unit usaha syariah tunduk
kepada Peraturan Bank Indonesia ini dengan tetap mengacu pada
prinsip syariah yang berlaku.
15. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
(1) Prinsipal, Penerbit, dan/atau Acquirer wajib menyediakan
sistem yang dapat dikoneksikan dengan sistem APMK yang
lain.
(2) Ketentuan …
-19-
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penyediaan sistem
yang dapat dikoneksikan dengan sistem APMK yang lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
16. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
(1) Dalam hal terdapat perubahan data dan/atau informasi pada
dokumen-dokumen yang disampaikan pada saat mengajukan
permohonan izin kepada Bank Indonesia, maka Prinsipal,
Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK wajib melaporkan
perubahan tersebut secara tertulis kepada Bank Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan
perubahan atas nama, alamat dan/atau informasi pada
dokumen tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
17. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni
Pasal 36A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36A
(1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan pembatasan
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK.
(2) Dalam rangka pembatasan Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir APMK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia berwenang menutup dan membuka kembali
kesempatan …
Penyelenggara Kliring dan/atau
-20-
kesempatan pengajuan permohonan izin sebagai Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK.
(3) Pembatasan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan pada
pertimbangan antara lain faktor efisiensi, mendukung
kebijakan nasional, menjaga kepentingan publik, serta
menjaga pertumbuhan industri dan persaingan usaha yang
sehat.
18. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
Bank atau Lembaga Selain Bank yang menyelenggarakan kegiatan
APMK tanpa izin Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 9 ayat
(2), dikenakan sanksi administratif, berupa:
a. penghentian kegiatan APMK, bagi Bank; atau
b. penghentian kegiatan APMK oleh instansi yang berwenang
berdasarkan permintaan Bank Indonesia, bagi Lembaga Selain
Bank.
19. Ketentuan Pasal 38, diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang melanggar ketentuan
dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13,
Pasal 14, Pasal 15, Pasal 15A, Pasal 16, Pasal 16A, Pasal 16B,
Pasal …
-21-
Pasal 17, Pasal 17A, Pasal 17B, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 21,
Pasal 22, Pasal 23, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 29,
Pasal 29A, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 56,
Pasal 57, Pasal 58, Pasal 58B dikenakan sanksi administratif
berupa:
a. teguran;
b. denda;
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan
APMK; dan/atau
d. pencabutan izin penyelenggaraan kegiatan APMK.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
20. Pasal 39 dihapus.
21. Pasal 40 dihapus.
22. Pasal 41 dihapus.
23. Pasal 42 dihapus.
24. Pasal 43 dihapus.
25. Pasal 44 dihapus.
26. Pasal 45 dihapus.
27. Pasal 46 dihapus.
28. Pasal …
-22-
28. Pasal 47 dihapus.
29. Pasal 48 dihapus.
30. Pasal 49 dihapus.
31. Pasal 50 dihapus.
32. Pasal 51 dihapus.
33. Pasal 52 dihapus.
34. Pasal 53 dihapus.
35. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 54
(1) Selain dalam rangka penerapan sanksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38, Bank Indonesia berwenang:
a. meminta Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK
untuk melakukan dan/atau tidak melakukan kegiatan
tertentu;
b. menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring,
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK;
c. membatalkan izin penyelenggaraan kegiatan APMK sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring,
dan/atau …
-23-
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK yang
telah diberikan; atau
d. mencabut izin penyelenggaraan kegiatan APMK yang telah
diberikan kepada Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir APMK.
(2) Pelaksanaan kewenangan Bank Indonesia untuk
melaksanakan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada kondisi antara lain:
a. hasil pengawasan Bank Indonesia yang menunjukkan
bahwa Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring,
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK tidak
dapat menyelenggarakan kegiatan APMK dengan baik;
b. terdapat permintaan pihak yang berwajib kepada Bank
Indonesia untuk menghentikan sementara kegiatan
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring,
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK, dalam
rangka mendukung proses hukum yang berlaku;
c. terdapat rekomendasi dari otoritas pengawas yang
berwenang antara lain mengenai memburuknya kondisi
keuangan dan/atau lemahnya manajemen risiko Bank
atau Lembaga Selain Bank;
d. terdapat permintaan tertulis atau rekomendasi dari otoritas
pengawas yang berwenang kepada Bank Indonesia untuk
menghentikan sementara kegiatan Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir APMK;
e. otoritas pengawas yang berwenang telah mencabut izin
usaha dan/atau menghentikan kegiatan usaha Bank atau
Lembaga …
-24-
Lembaga Selain Bank yang melakukan kegiatan sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring,
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK; atau
f. adanya permohonan pembatalan dan/atau pencabutan izin
yang diajukan sendiri oleh Bank atau Lembaga Selain Bank
yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan kewenangan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
36. Di antara Pasal 58 dan Pasal 59 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni
Pasal 58A dan Pasal 58B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 58A
Kewajiban penerapan minimum usia calon Pemegang Kartu,
minimum pendapatan calon Pemegang Kartu, batas maksimum
plafon kredit, batas maksimum perolehan Kartu Kredit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A, dan penerapan
maksimum suku bunga Kartu Kredit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17A, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013.
Pasal 58B
(1) Penerbit wajib melakukan penyesuaian kepada Pemegang
Kartu dalam rangka memenuhi ketentuan penerapan
manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A.
(2) Pelaksanaan penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan tenggat waktu paling lama 2 (dua) tahun
terhitung sejak tanggal 1 Januari 2013.
(3) Penerbit Kartu Kredit wajib bekerjasama dengan Penerbit
lainnya dalam menyelesaikan permasalahan Pemegang Kartu
yang memiliki Kartu Kredit melebihi batas maksimum jumlah
Penerbit dan/atau batas maksimum jumlah plafon kredit yang
diperkenankan.
(4) Dalam …
-25-
(4) Dalam rangka penyelesaian permasalahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Penerbit dapat mewajibkan kepada
Pemegang Kartu untuk menyelesaikan kewajibannya.
(5) Dalam rangka penyesuaian untuk memenuhi persyaratan
batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit dan
Pemegang Kartu dapat berkonsultasi kepada Bank Indonesia.
(6) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan penyesuaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelaksanaan
konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 6 Januari 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 6 Januari 201211
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDDIN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 11
DASP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 14 / 2 /PBI/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/11/PBI/2009
TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN
DENGAN MENGGUNAKAN KARTU
I. UMUM
Setelah lebih dari dua tahun sejak Peraturan Bank Indonesia
mengenai penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu (APMK) terakhir diubah pada tahun 2009,
ketentuan tersebut dipandang perlu untuk disempurnakan kembali.
Penyempurnaan tersebut diperlukan dalam rangka mendorong
pertumbuhan yang lebih sehat dalam transaksi pembayaran dengan
menggunakan kartu dan menekan seminimal mungkin keluhan dari
para pengguna jasa APMK.
Dalam penggunaan Kartu Kredit, upaya penyempurnaan itu
diperlukan karena pengaturan mengenai manajeman risiko kredit yang
harus diacu oleh Penerbit dalam pemberian Kartu Kredit dipandang
masih bersifat umum, sehingga masih terdapat praktek pemberian
Kartu Kredit yang dilakukan dengan kurang tepat sasaran. Sementara
itu pula praktek di industri Kartu Kredit masih terdapat
ketidakseragaman dan ketidakterbukaan dalam menetapkan
penghitungan seperti komponen bunga, denda dan biaya, sehingga
dalam beberapa tahun terakhir telah menimbulkan banyaknya keluhan
dan …
-2-
dan pengaduan dari para pemegang Kartu Kredit. Keluhan dari para
pengguna Kartu Kredit juga muncul karena masih adanya praktek
penagihan utang Kartu Kredit yang tidak dilakukan dengan
sebagaimana mestinya.
Sebagai alat pembayaran yang dananya bersumber dari kredit
atau pembiayaan, Bank Indonesia memandang perlu untuk mengatur
lebih tegas atas persyaratan dalam perolehan Kartu Kredit dan batas
maksimum suku bunga yang wajar yang dapat dikenakan kepada
pengguna Kartu Kredit. Persyaratan batas minimum usia dan batas
minimum pendapatan bagi calon pemegang Kartu Kredit diperlukan
agar Pemegang Kartu Kredit bijak dalam menggunakan kartu sesuai
dengan kemampuan bayarnya.
Disamping itu, dalam rangka peningkatan kenyamanan dalam
penggunaan Kartu Kredit sebagai alat pembayaran dan meningkatkan
aspek perlindungan kepada para pemegang Kartu Kredit, penggunaan
Kartu Kredit akan ditingkatkan keamanan dan kenyamanannya.
Apabila setiap Penerbit mematuhi peraturan yang telah digariskan
serta para Pemegang Kartu memaklumi batasan dan mematuhi
persyaratan yang telah ditetapkan, diyakini pertumbuhan Kartu Kredit
akan tumbuh sehat yang secara keseluruhan akan dapat membantu
dan memelihara sistem pembayaran yang aman dan efisien.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka …
-3-
Angka 2
Pasal 12
Ayat (1)
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang
bekerjasama dalam pasal ini adalah Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang beroperasi di
wilayah Republik Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pihak lain yang menyediakan
jasa penunjang di bidang sistem dan teknologi informasi
dalam penyelenggaraan APMK, antara lain perusahaan
penyedia jasa seperti Perusahaan Switching,
perusahaan personalisasi, perusahaan pencetakan
kartu, dan/atau perusahaan yang menyediakan sarana
pemrosesan transaksi APMK.
Kerjasama Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir
dengan pihak lain yang menyediakan jasa penunjang di
bidang sistem dan teknologi informasi dalam
penyelenggaraan APMK, diperlakukan sebagai
penyerahan …
-4-
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir kepada
pihak lain yang dikenal sebagai kegiatan Alih Daya.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cakupan laporan rencana dan realisasi kerjasama
dengan pihak lain, termasuk informasi mengenai
Alih Daya yang bermasalah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”manajemen risiko” dalam ayat
ini antara lain manajemen risiko likuiditas, manajemen
risiko kredit, manajemen risiko operasional dan
manajemen risiko dalam penggunaan teknologi
informasi. Dalam penerapan manajemen risiko tersebut
Penerbit …
-5-
Penerbit atau Acquirer diharuskan juga memiliki
kesiapan finansial untuk memenuhi kewajiban
pembayaran yang mungkin timbul dalam hal terjadi
kejahatan Kartu Kredit.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 15A
Ayat (1)
Persyaratan batas minimum usia, batas minimum
pendapatan, batas maksimum plafon kredit, batas
maksimum jumlah Penerbit yang dapat memberikan
fasilitas Kartu Kredit, dimaksudkan agar Pemegang
Kartu bijak menggunakan Kartu Kredit sebagai alat
pembayaran yang dananya bersumber dari kredit serta
penggunaannya sesuai dengan kemampuan bayar.
Batas minimum usia calon Pemegang Kartu dibuktikan
dengan dokumen identitas resmi, seperti Kartu Tanda
Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), atau
paspor.
Batas minimum pendapatan calon Pemegang Kartu
harus dibuktikan dengan dokumen resmi yang
menunjukkan batas minimum pendapatan yang
bersangkutan dan dimintakan pada saat calon
Pemegang Kartu mengajukan aplikasi.
Yang …
-6-
Yang dimaksud dengan “minimum pendapatan” adalah
pendapatan setelah dikurangi kewajiban antara lain
pajak, dan pembayaran utang kepada pemberi
pekerjaan (take home pay).
Termasuk sebagai dokumen resmi seperti slip gaji,
bukti setoran pajak, atau dokumen lainnya yang
menunjukkan pendapatan.
Ayat (2)
Pada saat pembaruan data Pemegang Kartu, Penerbit
antara lain meminta dokumen resmi yang
menunjukkan pendapatan Pemegang Kartu yang
bersangkutan.
Ayat (3)
Pemegang Kartu Kredit yang mempunyai pendapatan di
atas nilai tertentu dipandang telah mempunyai
kemampuan pembayaran atas tagihan utang Kartu
Kredit sehingga pemberian batasan plafon kredit dan
jumlah Kartu Kredit diserahkan kepada analisis
Penerbit (risk appetite Penerbit).
Ayat (4)
Dalam pengertian Kartu Kredit yang dijamin oleh
perusahaan atau korporasi Pemegang Kartu tidak
termasuk Kartu Kredit yang diberikan Penerbit kepada
dan dibayar oleh perusahaan (corporate card).
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat …
-7-
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud “secara tertulis” adalah penyampaian
informasi kepada setiap calon Pemegang Kartu
dan/atau Pemegang Kartu yang berupa tulisan atau
ilustrasi dengan media tertentu berupa media publik
seperti brosur, leaflet, surat kabar dan/atau website,
atau dengan media individual seperti welcome pack,
lembar tagihan atau sarana pemberitahuan lainnya.
Butir-butir informasi yang wajib disampaikan oleh
Penerbit disesuaikan dengan peruntukan yang dapat
disampaikan secara umum melalui media publik
dan/atau secara khusus kepada masing-masing
individual Pemegang Kartu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 16A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “menyampaikan lembar tagihan
kepada Pemegang Kartu” adalah penyampaian lembar
tagihan kepada Pemegang Kartu pada alamat
sebagaimana …
-8-
sebagaimana diperjanjikan pada saat permohonan atau
perubahannya yang telah dikonfirmasikan kepada
Penerbit.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kelonggaran waktu
pembayaran” adalah tambahan hari setelah tanggal
jatuh tempo pembayaran tagihan Kartu Kredit (grace
days) apabila tanggal jatuh tempo tersebut bertepatan
dengan hari libur. Dengan demikian Pemegang Kartu
mempunyai tambahan kelonggaran waktu untuk
pembayaran tagihan Kartu Kredit. Adanya tambahan
kelonggaran waktu tersebut tidak mengubah periode
tanggal cetak tagihan sampai dengan tanggal jatuh
tempo (grace period).
Yang dimaksud dengan “hari libur” adalah hari libur
nasional dan/atau hari dimana Penerbit tidak
melakukan kegiatan operasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 16B
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf …
-9-
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Tanggal pembukuan (posting) merupakan tanggal
riil Penerbit melakukan pembayaran kepada
penyelenggara ATM atas transaksi tarik tunai,
atau kepada Acquirer atas transaksi
pembelanjaan Pemegang Kartu.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perubahan informasi disampaikan kepada individual
Pemegang Kartu.
Ayat …
-10-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Untuk kepentingan internal, Penerbit Kartu Kredit
dapat melakukan penilaian kualitas kredit yang lebih
hati-hati (prudent) daripada ketentuan Bank Indonesia
atau ketentuan otoritas yang berwenang terhadap
Lembaga Selain Bank. Namun demikian untuk
kepentingan pelaporan kepada Bank Indonesia,
penilaian kualitas kredit didasarkan pada ketentuan
Bank Indonesia mengenai penilaian kualitas kredit oleh
Bank umum.
Ayat (7)
Huruf a
Pengertian “melakukan pembayaran tidak penuh”
adalah melakukan pembayaran kurang dari
minimum …
-11-
minimum pembayaran, sebesar minimum
pembayaran, atau lebih dari minimum
pembayaran namun kurang dari total tagihan
utang Kartu Kredit.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Tanggal pembukuan (posting) merupakan tanggal
riil Penerbit melakukan pembayaran kepada
penyelenggara ATM atas transaksi tarik tunai,
atau kepada Acquirer atas transaksi
pembelanjaan Pemegang Kartu.
Huruf d
Biaya, denda dan bunga terutang tidak
diperkenankan sebagai komponen perhitungan
bunga karena komponen tersebut bukan
merupakan transaksi yang dilakukan Pemegang
Kartu.
Termasuk dalam komponen biaya antara lain
biaya administrasi, biaya bea materai, biaya cetak
tagihan, biaya upgrade jenis dan/atau limit Kartu
Kredit, iuran tahunan (annual fee), serta biaya-
biaya lainnya. Sedangkan komponen denda
antara lain denda keterlambatan pembayaran
(late payment charge), denda penggunaan yang
melebihi batas plafon kredit (over limit) dan
denda-denda lainnya.
Bunga …
-12-
Bunga terutang adalah bunga dari pokok
transaksi sebelumnya yang belum terlunasi oleh
Pemegang Kartu.
Huruf e
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 17A
Ayat (1)
Batas maksimum suku bunga Kartu Kredit ditetapkan
dengan mempertimbangkan antara lain:
a. indikator perekonomian seperti BI rate;
b. struktur biaya Kartu Kredit yang meliputi biaya
dana (cost of fund), biaya operasional dan
pengelolaan risiko kredit oleh Penerbit (risk
premium); dan/atau
c. praktek suku bunga yang dikenakan oleh Penerbit.
Penetapan batas maksimum suku bunga Kartu Kredit
oleh Bank Indonesia dapat disesuaikan apabila terjadi
perubahan atas dasar pertimbangan tersebut di atas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat …
-13-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 18
Ayat (1)
Fungsi Kartu Kredit sebagai alat pembayaran, yaitu
untuk transaksi pembelanjaan (purchase) di Pedagang
(merchant) atau untuk transaksi tarik tunai (cash
advance).
Yang dimaksud dengan penggunaan Kartu Kredit di
luar fungsi Kartu Kredit sebagai alat pembayaran,
misalnya untuk penyaluran fasilitas kredit lain
dan/atau untuk membayar angsuran kredit lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud “fasilitas kredit lainnya” adalah fasilitas
kredit di luar skema Kartu Kredit, baik yang diberikan
Penerbit yang bersangkutan maupun pemberi kredit
lainnya, seperti perusahaan pembiayaan, perbankan,
dan/atau lembaga keuangan lainnya.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “fasilitas yang mempunyai
dampak tambahan biaya” dalam pasal ini antara lain
adalah …
-14-
adalah program asuransi dan pemberian Kartu Kredit
tambahan.
Yang dimaksud dengan “fasilitas lain diluar fungsi
utama Kartu Kredit” antara lain adalah tagihan rutin
atas transaksi yang bersifat terus-menerus (tagihan
listrik, air, telepon), dan/atau memperlakukan
kelebihan pembayaran tagihan Kartu Kredit sebagai
tabungan yang diperlakukan seperti simpanan biasa
sehingga dapat digunakan untuk bertransaksi di luar
transaksi Kartu Kredit misalnya transaksi transfer dana
antar Bank.
Yang dimaksud dengan “persetujuan tertulis dari
Pemegang Kartu” adalah persetujuan yang diberikan
oleh Pemegang Kartu melalui media komunikasi yang
khusus dibangun oleh Penerbit Kartu Kredit untuk
komunikasi Penerbit Kartu Kredit dengan nasabahnya
termasuk e-mail, faksimili, atau telepon yang kemudian
dituangkan dalam catatan resmi Penerbit Kartu Kredit
yang bersangkutan baik dalam bentuk transkrip atau
media elektronik.
Angka 11
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pihak lain yang menyediakan
jasa penunjang dalam penyelenggaraan APMK, seperti
perusahaan jasa pengiriman dokumen, agen pemasaran
(sales agent) atau jasa penagihan (debt collection).
Kerjasama …
-15-
Kerjasama Penerbit dengan pihak lain tersebut
diperlakukan sebagai penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan dari Penerbit kepada pihak lain
yang dikenal sebagai kegiatan Alih Daya.
Huruf a
Kewajiban Penerbit untuk mematuhi ketentuan
Bank Indonesia mengenai prinsip kehati-hatian
bagi Bank umum yang melakukan penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak
lain, berlaku bagi Penerbit yang berasal dari Bank
dan yang berasal dari Lembaga Selain Bank.
Huruf b
Dalam cakupan laporan rencana dan realisasi
kerjasama dengan pihak lain, termasuk informasi
mengenai Alih Daya yang bermasalah.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 25
Kewajiban penggunaan rupiah dalam kegiatan APMK sejalan
dengan kewajiban penggunaan rupiah di dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diamanatkan
dalam Undang-Undang tentang Mata Uang.
Termasuk dalam pengertian “setiap perbuatan yang
mempunyai tujuan pembayaran atau pemenuhan
kewajiban” antara lain berupa pembayaran tagihan Kartu
Kredit …
-16-
Kredit, penarikan dana melalui ATM, transfer dana melalui
ATM, dan transaksi pembelanjaan di Pedagang
menggunakan Kartu Kredit, Kartu ATM dan/atau Kartu
Debet.
Angka 13
Pasal 29A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “transaction alert” adalah pesan
yang disampaikan Penerbit kepada Pemegang Kartu
Kredit mengenai transaksi Kartu Kredit yang perlu
diketahui oleh Pemegang Kartu Kredit untuk
memastikan bahwa transaksi tersebut benar-benar
dilakukan oleh Pemegang Kartu yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sarana lain dapat berupa e-mail atau telepon.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 30
Yang dimaksud dengan “unit usaha syariah” adalah unit
usaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
Perbankan Syariah.
Penyesuaian prinsip syariah dalam penyelenggaraan
kegiatan APMK oleh Bank Umum Syariah, Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah, atau unit usaha syariah misalnya berupa
penyesuaian …
-17-
penyesuaian penyaluran pembiayaan, penghitungan iuran
keanggotaan (membership fee) dan denda, penggantian biaya
yang telah dikeluarkan Penerbit (ta’widh), serta penggunaan
dan penyebutan istilah.
Angka 15
Pasal 32
Ayat (1)
Kewajiban penyediaan sistem yang dapat dikoneksikan
dengan sistem APMK yang lain antara lain
dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dalam
kegiatan APMK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 33
Ayat (1)
Perubahan data dan/atau informasi pada dokumen-
dokumen perizinan, seperti perubahan nama,
perubahan alamat kantor, perubahan pengurus (direksi
dan/atau dewan komisaris), dan perubahan dokumen
lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 36A
Ayat (1)
Penetapan …
-18-
Penetapan kebijakan pembatasan antara lain meliputi
pembatasan terhadap permohonan izin baru sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, atau
pembatasan wilayah operasional tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 37
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 38
Cukup jelas.
Angka 20
Cukup jelas.
Angka 21
Cukup jelas.
Angka 22
Cukup jelas.
Angka 23
Cukup jelas.
Angka …
-19-
Angka 24
Cukup jelas.
Angka 25
Cukup jelas.
Angka 26
Cukup jelas.
Angka 27
Cukup jelas.
Angka 28
Cukup jelas.
Angka 29
Cukup jelas.
Angka 30
Cukup jelas.
Angka 31
Cukup jelas.
Angka 32
Cukup jelas.
Angka …
-20-
Angka 33
Cukup jelas.
Angka 34
Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 54
Cukup jelas.
Angka 36
Pasal 58A
Cukup jelas.
Pasal 58B
Ayat (1)
Penyesuaian kepada Pemegang Kartu dilakukan oleh
Penerbit jika Pemegang Kartu tidak memenuhi
ketentuan penerapan manajemen risiko, seperti
Pemegang Kartu yang memiliki pendapatan di bawah
batas minimum pendapatan yang ditetapkan, memiliki
plafon kredit melebihi batas yang ditetapkan dan/atau
memiliki fasilitas Kartu Kredit melebihi jumlah
maksimum Penerbit yang diperkenankan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat …
-21-
Ayat (3)
Kerja sama yang dilakukan antara lain dapat berupa
kesepakatan untuk mengurangi jumlah Penerbit yang
memberikan fasilitas Kartu Kredit dan/atau
mengurangi jumlah plafon kredit yang diberikan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5275
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/2/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/11/PBI/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU </reg_title>
<set_date> 6 Januari 2012 </set_date>
<effective_date> 6 Januari 2012 </effective_date>
<issued_date> 6 Januari 2012 </issued_date>
<changed_reg> '11/11/PBI/2009' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '3/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 18 Pasal 37', 'Pasal I Angka 19 Pasal 38' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/14 /PBI/2000
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
1/3/PBI/1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KLIRING LOKAL DAN
PENYELESAIAN AKHIR TRANSAKSI PEMBAYARAN ANTAR BANK
ATAS HASIL KLIRING LOKAL
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a bahwa masih terdapat Peserta Kliring yang belum dapat
memenuhi spesifikasi teknis Warkat dan Dokumen Kliring
sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan karena perusahaan
percetakan dokumen sekuriti mengalami kesulitan memenuhi
permintaan cetak warkat dan dokumen kliring;
b. bahwa Warkat dan Dokumen Kliring yang telah dicetak
memerlukan pula waktu untuk didistribusikan oleh masing-
masing kantor pusat Peserta Kliring ke kantor lainnya di
seluruh Indonesia;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang
perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan
Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran
Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/4/PBI/2000 tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
1/3/PBI/1999 Tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan
Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas
Hasil Kliring Lokal ;
Mengingat ...
Mengingat : 1. Undang-undang
Nomor 7 Tahun
1992
tentang
Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen
Perusahaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 18,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3674);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN
BANK INDONESIA
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 1/3/PBI/1999 TENTANG
PENYELENGGARAAN KLIRING LOKAL DAN
PENYELESAIAN AKHIR TRANSAKSI PEMBAYARAN
ANTAR BANK ATAS HASIL KLIRING LOKAL.
Pasal I
Ketentuan dalam Pasal 40 Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang
Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran
Antar Bank atas Hasil Kliring Lokal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3873)
sebagaimana …
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/4/PBI/2000
tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang
Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran
Antar Bank atas Hasil Kliring Lokal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3927) diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 40
Peserta wajib memenuhi spesifikasi teknis Warkat dan Dokumen Kliring
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan mencetak Warkat dan
Dokumen Kliring pada perusahaan percetakan dokumen sekuriti sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) yang digunakan dalam kegiatan Kliring
Lokal, selambat-lambatnya tanggal 2 Januari 2001.”
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Juni 2000
GUBERNUR BANK INDONESIA,
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 88
DASP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/14/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 1/3/PBI/1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KLIRING LOKAL DAN PENYELESAIAN AKHIR TRANSAKSI PEMBAYARAN ANTAR BANK ATAS HASIL KLIRING LOKAL </reg_title>
<set_date> 9 Juni 2000 </set_date>
<effective_date> 9 Juni 2000 </effective_date>
<changed_reg> '1/3/PBI/1999' </changed_reg>
<extension_of> '2/4/PBI/2000' </extension_of>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '8/UU/1997', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/6/PBI/2003
TENTANG
SURAT KREDIT BERDOKUMEN DALAM NEGERI
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperlancar transaksi perdagangan
dalam negeri perlu diambil langkah-langkah untuk mendukung
pengembangan cara pembayarannya;
b. bahwa pengembangan cara pembayaran tersebut dapat
dilakukan melalui upaya penyeragaman ketentuan
yang
mengatur hubungan antara bank dengan pihak yang terkait
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian;
c. bahwa dengan semakin terbukanya perekonomian Indonesia,
mengakibatkan transaksi perdagangan Indonesia tidak dapat
terlepas dari transaksi perdagangan internasional yang
pembayarannya menggunakan valuta asing;
d. bahwa ketentuan tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam
Negeri yang berlaku saat ini
perlu
disesuaikan
kebutuhan para pihak yang bertransaksi
serta disesuaikan
dengan perkembangan transaksi perdagangan di dalam negeri;
e. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk menetapkan
kembali ketentuan tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam
Negeri dalam Peraturan Bank Indonesia;
dengan
Mengingat …
- 2 -
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor
10
Tahun
1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SURAT KREDIT
BERDOKUMEN DALAM NEGERI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) atau lazim dikenal sebagai
"Letter of Credit" (L/C) Dalam Negeri adalah setiap janji tertulis berdasarkan
permintaan tertulis Pemohon (Applicant) yang mengikat Bank Pembuka (Issuing
Bank) untuk:
a. melakukan …
- 3 -
a. melakukan pembayaran kepada Penerima atau ordernya, atau mengaksep dan
membayar wesel yang ditarik oleh Penerima;
b. memberi kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran kepada
Penerima atau ordernya, atau mengaksep dan membayar wesel yang ditarik
oleh Penerima; atau
c. memberi kuasa kepada bank lain untuk menegosiasi wesel yang ditarik oleh
Penerima,
atas penyerahan dokumen, sepanjang persyaratan dan kondisi SKBDN dipenuhi.
2. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998.
3. Bank Pembuka (Issuing Bank) adalah Bank yang menerbitkan SKBDN atas
permintaan Pemohon (Applicant).
4. Bank Penerus (Advising Bank) adalah Bank yang meneruskan SKBDN kepada
Penerima (Beneficiary).
5. Bank Tertunjuk (Nominated Bank)
adalah Bank yang diberi kuasa
untuk
melakukan pembayaran atas unjuk, melakukan akseptasi wesel atau melakukan
Negosiasi (Negotiation).
6. Bank Pengkonfirmasi (Confirming Bank) adalah Bank yang mengkonfirmasi
SKBDN dengan mengikatkan diri untuk membayar, mengaksep atau mengambil
alih wesel yang ditarik atas SKBDN tersebut.
7. Bank Penegosiasi (Negotiating Bank) adalah Bank yang melakukan Negosiasi
(Negotiation).
8. Bank Pembayar
(Paying Bank) adalah Bank
yang melakukan
pembayaran
kepada Penerima (Beneficiary) atas penyerahan dokumen yang telah disyaratkan
dalam SKBDN.
9. Bank …
- 4 -
9. Bank Peremburs
(Reimbursing Bank) adalah Bank yang ditunjuk oleh Bank
Pembuka untuk melakukan penggantian pembayaran (reimbursement) kepada
Bank Pembayar.
10.
Bank Pengirim (Remitting Bank) adalah Bank yang mengirimkan dokumen yang
disyaratkan dalam SKBDN kepada Bank Pembuka.
11. Bank Pentransfer (Transferring Bank) adalah Bank yang atas permintaan
Penerima (Beneficiary) melaksanakan pengalihan SKBDN, baik sebagian maupun
seluruhnya kepada satu atau beberapa pihak lainnya.
12. Bank Tertarik adalah Bank yang berkewajiban untuk melakukan pembayaran atas
wesel yang ditarik padanya.
13.
14.
Bank Pengaksep (Accepting Bank) adalah Bank yang melakukan akseptasi atas
wesel SKBDN.
Negosiasi (Negotiation) adalah pengambilalihan wesel dan atau dokumen oleh
Bank dengan disertai pembayaran.
15. Pemohon (Applicant) adalah orang atau badan usaha yang mengajukan
permohonan untuk membuka SKBDN pada Bank.
16. Penerima (Beneficiary) adalah orang atau badan usaha yang disebut dalam wesel,
SKBDN atau surat perjanjian lainnya yang terkait dengan SKBDN tersebut
sebagai pihak yang berhak menerima pembayaran.
17. Janji Tertulis adalah janji Bank yang dapat dilakukan dengan surat, teleks, swift,
maupun sarana lainnya menurut kelaziman dalam praktik perbankan.
18. Hari Kerja Perbankan adalah hari kerja Bank yang dimulai dari hari Senin sampai
dengan hari Jumat kecuali hari libur nasional dan hari libur khusus yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 2 …
- 5 -
Pasal 2
(1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini hanya berlaku bagi penerbitan
SKBDN dalam hal Bank, Pemohon, dan Penerima berkedudukan di dalam negeri.
(2) Dalam hal SKBDN dibuka dalam valuta asing, Bank Peremburs dapat
berkedudukan di luar negeri.
(3) SKBDN hanya dilakukan untuk transaksi perdagangan barang.
(4) Dalam hal transaksi perdagangan barang tersebut
terkait dengan
transaksi
perdagangan jasa yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, nilai barang harus
lebih besar dari nilai jasa.
Pasal 3
Transaksi perdagangan barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) hanya
dapat dilakukan dengan batasan sebagai berikut:
a. Perpindahan barang dilakukan di dalam negeri.
b. Perpindahan barang dilakukan dari dalam negeri ke luar negeri sepanjang SKBDN
diterbitkan atas dasar L/C (master L/C) dan non L/C untuk tujuan ekspor.
Pasal 4
(1) SKBDN diterbitkan dalam mata uang Rupiah.
(2) SKBDN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterbitkan dalam valuta
asing sepanjang SKBDN terkait dengan transaksi perdagangan internasional.
Pasal 5 …
- 6 -
Pasal 5
(1) Setiap penerbitan SKBDN dan perubahannya harus tunduk pada ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) SKBDN hanya dapat diterbitkan dengan kondisi tidak dapat diubah dan
tidak
dapat ditarik kembali atau tidak dapat dibatalkan tanpa persetujuan dari Bank
Pembuka, Bank Pengkonfirmasi jika ada dan Penerima.
(3) Jangka waktu SKBDN dan jangka waktu penundaan pembayaran SKBDN
ditetapkan sesuai dengan kesepakatan antara Pemohon dan Bank Pembuka.
(4) Dalam menerbitkan SKBDN, Bank dapat menetapkan sendiri besarnya jaminan
dan atau setoran tunai dengan mempertimbangkan bonafiditas Pemohon.
(5) Dalam hal SKBDN sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diterbitkan dengan
syarat pembayaran dimuka (red clause), Bank wajib menetapkan setoran tunai
yang memadai dengan memperhatikan besarnya uang muka yang ditarik.
(6) SKBDN harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan apabila tidak dapat dihindari
dapat dibuat dalam bahasa Inggris.
Pasal 6
(1) Permohonan penerbitan SKBDN hanya dapat dilakukan secara tertulis oleh
Pemohon atau kuasanya.
(2) Bank hanya dapat menerima permohonan penerbitan SKBDN apabila dalam
permohonan tersebut sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
a. nama jelas dan alamat Pemohon;
b. nama jelas dan alamat Penerima;
c. nilai …
- 7 -
c. nilai SKBDN;
d. syarat pembayaran atas unjuk, akseptasi atau Negosiasi ;
e. rincian dokumen, seperti dokumen pengangkutan barang dan atau dokumen
lainnya yang dibutuhkan;
f. tanggal terakhir pengajuan dokumen;
g. tempat penyerahan dokumen untuk pembayaran atas unjuk, akseptasi atau
Negosiasi;
h. tanggal penerbitan dan tanggal jatuh tempo SKBDN;
i. media penerbitan SKBDN : surat, teleks, swift atau sarana lainnya;
j. uraian barang;
k. tanggal terakhir pengiriman barang;
l. tempat tujuan pengiriman barang;
m. pernyataan tunduk pada syarat-syarat umum Bank untuk penerbitan SKBDN.
Pasal 7
Setiap permohonan penerbitan SKBDN, SKBDN itu sendiri, permohonan perubahan
SKBDN, dan perubahan SKBDN itu sendiri, harus:
a. tertulis secara lengkap dan benar;
b. menyebutkan secara tepat dokumen yang menjadi dasar pelaksanaan pembayaran,
akseptasi atau Negosiasi.
Pasal 8
(1) Syarat pembayaran SKBDN dilakukan atas dasar kesepakatan Pemohon dan Bank
Pembuka serta harus dinyatakan secara jelas dalam SKBDN yang bersangkutan.
(2) Dalam …
- 8 -
(2) Dalam SKBDN wajib dicantumkan persyaratan pembayaran atas unjuk (sight),
akseptasi (acceptance) atau Negosiasi (Negotiation).
(3) Pihak tertarik wesel dalam rangka SKBDN hanya Bank.
Pasal 9
(1) SKBDN merupakan kontrak yang terpisah dari kontrak penjualan atau kontrak
lainnya yang menjadi dasar dari penerbitan SKBDN.
(2) Dalam pelaksanaan SKBDN, Bank hanya berurusan dengan dokumen dan bukan
dengan barang dan atau jasa atau pelaksanaan lainnya.
BAB II
KEWAJIBAN BANK
Pasal 10
(1) Bank Pembuka wajib mencantumkan dalam SKBDN :
a. hal-hal sebagaimana tercantum dalam pasal 6 ayat (2) huruf a sampai dengan
huruf l.
b. nama "Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri".
(2) SKBDN merupakan jaminan dari Bank Pembuka sepanjang dokumen yang
diserahkan kepada Bank Tertunjuk atau kepada Bank Pembuka
dengan persyaratan dan kondisi SKBDN :
a. apabila SKBDN mensyaratkan pembayaran atas unjuk - untuk membayar atas
unjuk;
telah sesuai
b. apabila …
- 9 -
b. apabila SKBDN mensyaratkan akseptasi :
1. oleh Bank Pembuka - untuk mengaksep wesel yang ditarik oleh Penerima
pada Bank Pembuka dan membayar wesel pada saat jatuh tempo; atau
2. oleh Bank Tertarik lainnya - untuk mengaksep dan membayar pada saat
jatuh tempo wesel yang ditarik oleh Penerima pada Bank Pembuka dalam
hal Bank Tertarik yang disebutkan dalam SKBDN tidak mengaksep wesel
yang ditarik padanya, atau untuk membayar wesel yang telah diaksep oleh
Bank Tertarik tetapi tidak dibayar oleh Bank Tertarik pada saat jatuh
tempo;
c.
apabila SKBDN mensyaratkan Negosiasi - untuk membayar tanpa hak regres
kepada penarik atau pemegang yang sah dari wesel yang ditarik oleh
Penerima dan atau dokumen yang diserahkan atas dasar SKBDN tersebut.
(3) Dalam hal Bank Pembuka menghendaki agar penggantian pembayaran kepada
Bank Pembayar, Bank Pengaksep atau Bank Penegosiasi dapat ditagih kepada
Bank Peremburs maka Bank Pembuka wajib memberikan instruksi atau
memberikan kuasa kepada Bank Peremburs dalam waktu yang wajar untuk
membayar tagihan penggantian pembayaran tersebut.
(4) Bank Pembuka dilarang meminta kepada Bank Pembayar, Bank Pengaksep atau
Bank Penegosiasi untuk memberikan suatu pernyataan kepada Bank Peremburs
bahwa dokumen telah sesuai dengan persyaratan dan kondisi SKBDN.
(5) Bank Pembuka wajib melakukan penggantian pembayaran apabila penggantian
pembayaran tidak diterima oleh Bank Pembayar, Bank Pengaksep atau Bank
Penegosiasi dari Bank Peremburs.
(6) Bank Pembuka bertanggung jawab kepada Bank Pembayar, Bank Pengaksep atau
Bank Penegosiasi atas kerugian bunga jika penggantian pembayaran tidak
dilaksanakan …
- 10 -
dilaksanakan oleh Bank Peremburs pada penagihan pertama, atau dengan cara lain
yang tercantum dalam SKBDN, atau yang telah disepakati bersama.
Pasal 11
(1) Bank Pengkonfirmasi memberikan konfirmasi terhadap SKBDN atas dasar
permintaan Bank Pembuka.
(2) Konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan jaminan dari Bank
Pengkonfirmasi, dan juga jaminan dari Bank Pembuka, sepanjang dokumen yang
diserahkan kepada Bank Pengkonfirmasi atau Bank Tertunjuk lain sesuai dengan
persyaratan dan kondisi SKBDN.
(3) Jaminan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yaitu :
a. apabila SKBDN mensyaratkan pembayaran atas unjuk - untuk membayar atas
unjuk;
b. apabila SKBDN mensyaratkan akseptasi:
1. oleh Bank Pengkonfirmasi - untuk mengaksep wesel yang ditarik oleh
Penerima pada Bank Pengkonfirmasi dan membayar wesel pada saat jatuh
tempo; atau
2. oleh Bank Tertarik lainnya - untuk mengaksep dan membayar pada saat
jatuh tempo wesel yang ditarik oleh Penerima pada Bank Pengkonfirmasi
dalam hal Bank Tertarik yang disebutkan dalam SKBDN tidak mengaksep
wesel yang ditarik
padanya, atau untuk membayar wesel yang telah
diaksep oleh Bank Tertarik tetapi tidak dibayar oleh Bank Tertarik pada
saat jatuh tempo;
c. apabila …
- 11 -
c. apabila SKBDN mensyaratkan Negosiasi - untuk melakukan Negosiasi tanpa
hak regres
kepada penarik
oleh Penerima dan atau dokumen yang diserahkan berdasarkan SKBDN.
Pasal 12
(1) Bank Pembuka dapat mengirimkan SKBDN atau mengirimkan
perubahan
SKBDN kepada Bank Penerus dengan menggunakan surat, teleks, swift, maupun
sarana lainnya menurut kelaziman dalam praktik perbankan.
(2) Pengiriman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat bersifat operatif atau
tidak operatif.
(3) Dalam hal penerusan dilakukan dengan sarana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) telah dinyatakan sebagai instrumen yang operatif, maka surat konfirmasi tidak
diperlukan lagi.
(4) Dalam hal penerusan dilakukan dengan sarana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak dinyatakan sebagai instrumen yang operatif, maka Bank Pembuka wajib
menyampaikan pada kesempatan pertama surat konfirmasi yang merupakan
instrumen operatif.
(5) Dalam meneruskan perubahan SKBDN Bank Pembuka wajib menggunakan jasa
Bank Penerus yang sama dengan yang meneruskan SKBDN yang pertama kali
diterbitkan.
Pasal 13
SKBDN dapat diteruskan kepada Penerima melalui Bank Penerus tanpa mengikat Bank
Penerus dengan ketentuan sebagai berikut :
a. apabila …
atau pemegang yang sah dari wesel yang ditarik
- 12 -
a. apabila Bank Penerus memilih untuk meneruskan SKBDN kepada Penerima maka
Bank Penerus harus mengambil langkah-langkah yang memadai untuk memeriksa
keabsahan SKBDN yang bersangkutan terlebih dahulu;
b. apabila Bank Penerus memilih tidak meneruskan SKBDN maka Bank Penerus wajib
segera memberitahukan kepada Bank Pembuka;
c. apabila Bank Penerus tidak dapat memastikan keabsahan SKBDN maka Bank
Penerus wajib segera memberitahukan kepada Bank Pembuka, dan apabila Bank
Penerus tetap akan meneruskan SKBDN kepada Penerima maka
wajib disertai
dengan pemberitahuan bahwa Bank Penerus tidak dapat memastikan keabsahan
SKBDN.
Pasal 14
(1) Bank Penerus dapat meneruskan
SKBDN kepada Penerima tanpa menambahkan
konfirmasi kecuali Bank Pembuka menentukan lain dalam permintaan atau kuasa
untuk penambahan konfirmasi.
(2) Jika Bank lain diminta atau diberi kuasa oleh Bank Pembuka untuk menambah
konfirmasi atas SKBDN tetapi Bank yang
diminta
tidak bersedia, maka
penolakan wajib segera diberitahukan kepada Bank Pembuka.
Pasal 15
(1) Bank Pembuka terikat pada setiap perubahan yang dibuat sejak perubahan
dilakukan.
(2) Bank …
- 13 -
(2) Bank Pengkonfirmasi dapat meneruskan perubahan SKBDN dengan atau tanpa
menambah konfirmasi.
(3) Dalam hal Bank Pengkonfirmasi menambahkan konfirmasi atas perubahan
SKBDN maka Bank Pengkonfirmasi terikat
tanggal penerusan perubahan SKBDN kepada Penerima.
(4) Dalam hal Bank Pengkonfirmasi meneruskan
perubahan SKBDN kepada
Penerima tanpa menambah konfirmasi maka Bank Pengkonfirmasi wajib segera
memberitahukan kepada Bank Pembuka dan Penerima.
(5) Penerima dilarang memberikan persetujuan sebagian (partial acceptance) atas
perubahan SKBDN yang termuat dalam satu penerusan perubahan SKBDN.
(6) Perubahan SKBDN mulai berlaku sejak Penerima memberikan persetujuan
tertulis atas perubahan tersebut kepada Bank Penerus.
(7) Dalam hal Penerima
lalai menyampaikan persetujuan tertulis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (6) maka penyerahan dokumen kepada Bank Pembuka atau
Bank Tertunjuk yang
sesuai dengan
syarat-syarat
SKBDN
perubahannya dianggap sebagai persetujuan perubahan SKBDN oleh Penerima.
(8) Perubahan SKBDN sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) berlaku efektif sejak
tanggal penyerahan dokumen.
Pasal 16
(1) Dalam SKBDN wajib dinyatakan Bank Tertunjuk.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila dalam
SKBDN dinyatakan bahwa :
termasuk
pada perubahan SKBDN sejak
a. pembayaran …
- 14 -
a. pembayaran atas unjuk, akseptasi, dan Negosiasi hanya dapat dilakukan pada
Bank Pembuka;
b. SKBDN dapat dinegosiasi pada setiap Bank.
(3)
Penerimaan dan penerusan dokumen oleh Bank Tertunjuk tidak mengakibatkan
Bank Tertunjuk berkewajiban untuk membayar, mengaksep, atau menegosiasi
kecuali Bank Tertunjuk memberitahukan secara tegas persetujuannya kepada
Bank Pembuka dan Penerima.
(4) Dalam hal Bank Tertunjuk setuju menjadi Bank Pengkonfirmasi maka Bank
Tertunjuk wajib melaksanakan kuasa
menegosiasi.
untuk membayar, mengaksep
atau
Pasal 17
(1) Bank yang menerima instruksi tidak lengkap atau tidak jelas dari Bank Pembuka
untuk meneruskan, mengkonfirmasi atau mengubah
SKBDN
dapat
menyampaikan instruksi tersebut kepada Penerima hanya sebagai informasi dan
tanpa tanggung jawab.
(2) Bank penerima instruksi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib
memberitahukan kepada Bank Pembuka atas tindakan yang telah dilakukan, dan
Bank Pembuka wajib segera memberikan informasi yang diperlukan.
(3) Bank penerima instruksi hanya akan meneruskan, mengkonfirmasi atau mengubah
SKBDN apabila informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah diterima
secara lengkap dan jelas serta Bank penerima instruksi bersedia melaksanakan
instruksi dimaksud.
BAB III …
- 15 -
BAB III
PEMERIKSAAN DOKUMEN
Pasal 18
(1) Bank Pembuka, Bank Pengkonfirmasi jika ada, atau Bank Tertunjuk yang
bertindak atas namanya sendiri :
a. wajib memeriksa semua dokumen yang disyaratkan dalam SKBDN untuk
memastikan kesesuaian antara dokumen dengan persyaratan dan kondisi
SKBDN, sesuai dengan standar praktik perbankan;
b. memiliki waktu maksimal 7 (tujuh) Hari Kerja Perbankan setelah tanggal
penerimaan dokumen untuk melakukan pemeriksaan dan menentukan
pengambilalihan atau penolakan dokumen.
(2) Dalam hal Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memutuskan untuk
menolak dokumen, maka penolakan tersebut harus diberitahukan secara tertulis
kepada pengirim dokumen selambat-lambatnya 7 (tujuh) Hari Kerja Perbankan
setelah tanggal penerimaan dokumen.
(3) Dalam hal Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memberitahukan
secara tertulis setelah melampaui 7 (tujuh) Hari Kerja Perbankan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka Bank yang bersangkutan dianggap menerima
dokumen.
(4) Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak perlu memeriksa dokumen yang
tidak disyaratkan dalam SKBDN, dan harus mengembalikan dokumen tersebut
kepada pengirimnya atau meneruskannya kepada pihak yang berkepentingan
tanpa tanggung jawab apapun.
(5) Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menerima
dokumen yang melewati batas waktu berakhirnya SKBDN.
penyerahan
Pasal 19 …
- 16 -
Pasal 19
(1) SKBDN dapat mensyaratkan dokumen pengangkutan barang.
(2) Dalam hal SKBDN mensyaratkan adanya dokumen pengangkutan barang, maka
wajib dicantumkan batas waktu penyerahan dokumen yang dihitung dari tanggal
pengiriman barang.
(3) Dalam hal SKBDN tidak mencantumkan batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), Bank dapat menolak dokumen yang diajukan melampaui 21 (dua
puluh satu) hari kalender setelah tanggal pengiriman barang.
(4) Dokumen pengangkutan barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-
kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Nama dan alamat pengirim barang;
b. Nama dan alamat penerima barang;
c. Nama dan alamat perusahaan pengangkut atau agen perusahaan pengangkut;
d. Nomor surat izin usaha perusahaan pengangkut atau
pengangkut;
agen
perusahaan
e. Uraian barang: marka dan nomor, jumlah colli, jenis pembungkus, berat bruto
dan ukuran (dapat disesuaikan dengan persyaratan SKBDN);
f. Tanggal barang diterima untuk diangkut serta jenis sarana angkutan;
g. Tempat tujuan pengiriman barang;
h. Tempat asal (tempat muat) barang;
i. Jumlah lembar asli;
j. Tanda tangan dan nama jelas penanggung jawab perusahaan pengangkut atau
agen yang ditunjuk;
k. Nomor dan tanggal SKBDN.
(5) Dalam …
- 17 -
(5) Dalam format dokumen pengangkutan barang wajib dicantumkan pernyataan ada
atau tidak ada asuransi pengangkutan barang.
(6) Dalam hal SKBDN dilengkapi dengan dokumen asuransi pengangkutan barang
(cargo insurance) maka asuransi tersebut dapat dilakukan dengan kondisi banker's
clause atas nama Bank Pembuka.
(7) Bank dapat menolak dokumen asuransi pengangkutan barang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (5) apabila :
a. nilai pertanggungannya lebih rendah dari nilai SKBDN atau nilai wesel; dan
atau
b. tanggal penerbitan dokumen asuransi pengangkutan barang yang melampaui
tanggal penerbitan dokumen pengangkutan barang.
Pasal 20
(1) Bank Pembuka atau Bank Pengkonfirmasi jika ada, wajib mengambil
alih
dokumen dan melakukan penggantian pembayaran kepada Bank Tertunjuk yang
sudah membayar, mengaksep atau menegosiasi dokumen
persyaratan dan kondisi SKBDN.
yang sesuai dengan
(2) Bank Pembuka atau Bank Pengkonfirmasi jika ada, atau Bank Tertunjuk yang
menerima dokumen wajib menentukan kesesuaian dokumen dengan persyaratan
dan kondisi SKBDN.
(3) Apabila terdapat ketidaksesuaian antara dokumen dengan persyaratan dan kondisi
SKBDN:
a. Bank Pembuka, Bank Pengkonfirmasi jika ada, atau Bank Tertunjuk dapat
menolak untuk mengambil alih dokumen;
b. Bank …
- 18 -
b. Bank Pembuka dapat menghubungi Pemohon untuk meminta persetujuan atas
penyimpangan dokumen dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1) huruf b.
(4) Dalam hal dilakukan penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a,
Bank Pembuka,
Bank Pengkonfirmasi
jika ada, atau Bank Tertunjuk wajib
menyebutkan penyimpangan yang menjadi dasar penolakan dokumen dan
menentukan pilihan untuk menahan dokumen untuk kepentingan pengirim atau
mengembalikan dokumen kepada pengirim.
(5) Dalam hal terjadi penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a maka
Bank Pembuka atau Bank Pengkonfirmasi jika ada, berhak untuk menagih
kembali setiap pembayaran yang telah dilakukan kepada Bank Pengirim beserta
bunga.
(6) Dalam hal Bank Pengirim memberitahukan kepada Bank Pembuka atau Bank
Pengkonfirmasi jika ada bahwa :
a. terdapat penyimpangan di dalam dokumen; atau
b. Bank Pengirim telah membayar, mengaksep
atau menegosiasi dengan
persyaratan (under reserve) atau atas suatu jaminan (letter of indemnity)
sehubungan dengan penyimpangan itu;
maka Bank Pembuka atau Bank Pengkonfirmasi jika ada wajib melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini.
(7) Persyaratan atau jaminan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) huruf b hanya
berlaku bagi hubungan antara Bank Pengirim dengan pihak-pihak kepada siapa
persyaratan tersebut telah dibuat, atau dari siapa, atau atas nama siapa, jaminan
tersebut diperoleh.
BAB IV …
- 19 -
BAB IV
PENGALIHAN SKBDN
Pasal 21
(1) SKBDN yang dapat dialihkan (transferable SKBDN) adalah SKBDN dimana
Penerima pertama berhak untuk mengajukan permohonan kepada Bank Penerus
yang membayar, mengaksep atau menegosiasi untuk mengalihkan SKBDN
tersebut, baik seluruhnya maupun sebagian kepada satu atau beberapa pihak
Penerima kedua.
(2) SKBDN hanya dapat dialihkan jika di dalamnya secara tegas dicantumkan kata
“dapat dialihkan” atau
diperkenankan.
“transferable” sedangkan
istilah
lainnya
tidak
(3) Bank Pentransfer berkewajiban untuk melaksanakan pengalihan SKBDN apabila
secara tegas disetujui oleh Bank Pentransfer.
(4) SKBDN hanya dapat dialihkan satu kali kepada Penerima kedua.
(5) Pengalihan sebagian nilai SKBDN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
dilakukan secara terpisah sepanjang pengiriman barang atau penarikan sebagian
tidak dilarang dalam SKBDN.
(6) SKBDN hanya dapat dialihkan sesuai dengan persyaratan dan kondisi yang
dinyatakan dalam SKBDN asli (original SKBDN), dengan pengecualian :
a. nilai SKBDN;
b. harga satuan;
c. tanggal jatuh tempo;
d. tanggal terakhir pengajuan dokumen;
e. jangka waktu pengangkutan;
salah satu atau semua batasan–batasan tersebut dapat dikurangi atau diperpendek.
(7) Prosentase …
- 20 -
(7) Prosentase penutupan asuransi yang harus dilaksanakan dapat ditingkatkan
nilainya untuk mencapai jumlah pertanggungan yang ditentukan dalam SKBDN
asli (original SKBDN).
(8) Nama dan alamat Penerima pertama dapat diganti dengan nama dan alamat
Pemohon, kecuali SKBDN asli (original SKBDN) mewajibkan nama Pemohon
secara khusus dicantumkan dalam setiap dokumen selain dari faktur.
(9) Bank dapat menerima faktur dan wesel yang telah diubah oleh Penerima pertama
berdasarkan faktur dan wesel dari Penerima kedua sepanjang nilainya tidak
melebihi nilai SKBDN asli (original SKBDN).
(10) Bank Pentransfer berhak menyerahkan kepada Bank Pembuka dokumen yang
diterima atas dasar SKBDN asli (original SKBDN) termasuk faktur dan wesel
Penerima kedua tanpa tanggung jawab apabila Penerima
pertama
lalai
menyerahkan faktur dan weselnya sendiri yang telah diubah berdasarkan faktur
dan wesel dari Penerima kedua.
BAB V
HAL-HAL DI LUAR TANGGUNG JAWAB BANK
Pasal 22
Dalam melakukan pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat
(1), Bank Pembuka, Bank Pengkonfirmasi jika ada atau Bank Tertunjuk dibebaskan
dari tanggung jawab terhadap:
a.
bentuk, kecukupan, keaslian, pemalsuan atau akibat hukum dari dokumen apapun,
atau atas kondisi umum dan atau khusus yang disebutkan dalam dokumen atau
yang ditambahkan di dalamnya;
b.
uraian, jumlah, berat, mutu, kondisi, pengepakan, penyerahan, nilai atau adanya
barang-barang yang tercantum dalam dokumen;
c. itikad …
- 21 -
c.
itikad baik atau tindakan-tindakan dan atau kelalaian, kesanggupan melunasi
pembayaran, kinerja atau bonafiditas dari pengirim, pengangkutan, forwarder,
penerima atau penanggung dari barang-barang atau siapapun;
d.
akibat yang timbul karena keterlambatan dan atau hilangnya berita, surat atau
dokumen dalam perjalanan, atau atas kelambatan, cacat, kesalahan lainnya yang
timbul dalam penerusan melalui telekomunikasi;
e. kesalahan penafsiran istilah teknis.
Pasal 23
(1) Bank yang menggunakan jasa-jasa Bank lain dalam rangka melaksanakan
instruksi Pemohon, membebankan biaya dan risiko kepada Pemohon.
(2) Bank pemberi instruksi tidak bertanggung jawab apabila Bank penerima instruksi
tidak melaksanakan instruksi yang diberikan walaupun Bank pemberi instruksi itu
sendiri yang memilih Bank penerima instruksi.
(3) Pihak yang memberikan instruksi wajib menanggung seluruh biaya yang menjadi
beban penerima instruksi yang berkaitan dengan pelaksanaan instruksi.
(4) Dalam hal SKBDN menyebutkan bahwa biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dibebankan kepada pihak selain pemberi instruksi dan biaya tersebut tidak
dapat ditagih maka pemberi instruksi wajib membayar biaya yang timbul.
BAB VI
KETENTUAN LAIN - LAIN
Pasal 24
SKBDN yang diterbitkan atas
dasar master L/C dari
back to back L/C tunduk pada Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 25 …
luar negeri dalam rangka
- 22 -
Pasal 25
SKBDN tidak dapat dijadikan master untuk membuka L/C ke luar negeri.
Pasal 26
Tagihan SKBDN berjangka dapat dijadikan agunan untuk menerbitkan L/C ke luar
negeri sepanjang wesel yang diterbitkan atas dasar SKBDN tersebut sudah diaksep oleh
Bank Pengaksep.
BAB VII
KETENTUAN PELAPORAN
Pasal 27
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan Bulanan SKBDN secara lengkap dan benar
setiap bulan menurut format sebagaimana tercantum dalam lampiran 1 dan
lampiran 2.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan oleh Kantor
Pusat Bank kepada Bank Indonesia c.q Direktorat Luar Negeri-Bagian Kerjasama
Ekonomi dan Perdagangan Internasional Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia selambat-lambatnya pada akhir bulan laporan berikutnya.
(4) Dalam hal akhir bulan tersebut bukan merupakan hari kerja maka laporan wajib
disampaikan pada hari kerja berikutnya.
(5) Bank …
- 23 -
(5) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila laporan disampaikan
melampaui batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3).
Pasal 28
(1) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27
ayat (5) akan dikenakan sanksi administrasi berupa kewajiban membayar sebesar
Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per-hari yang dihitung sejak 1 (satu) hari
setelah berakhirnya periode penyampaian laporan sampai dengan tanggal
diterimanya laporan oleh Bank Indonesia maksimal sebesar Rp.2.000.000,00 (dua
juta rupiah).
(2) Pembebanan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan cara mendebet rekening giro bank pelapor di Bank Indonesia.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
(1) SKBDN yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetap
berlaku sampai dengan jangka waktu SKBDN tersebut berakhir.
(2) Perpanjangan dan atau perubahan SKBDN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib mengikuti ketentuan Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Kewajiban penyampaian laporan bulanan SKBDN sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 Surat Keputusan Direksi
Bank
Indonesia Nomor
30/56/KEP/DIR
tanggal 12 Agustus 1997 tetap berlaku sampai dengan periode laporan SKBDN
bulan Mei 2003.
BAB IX …
- 24 -
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
(1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 29/150/KEP/DIR tanggal 31
Desember 1996 tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri;
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/195/KEP/DIR tanggal 4
Februari 1998 tentang perubahan atas pasal 3 ayat (3) Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 29/150/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1996
tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri;
dinyatakan tidak berlaku.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka pasal 2 Surat Keputusan
Direksi
Bank Indonesia Nomor 30/56/KEP/DIR tanggal 12 Agustus 1997
Tentang Laporan Penerbitan dan Posisi Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri,
Diskonto Wesel Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri dan Diskonto Wesel
Ekspor dan Hubungan Koresponden Bank dengan Bank di Luar Negeri yang
mengatur mengenai laporan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri dinyatakan
tidak berlaku sejak periode laporan SKBDN bulan Juni 2003.
(3) Selain pasal 2, ketentuan lain dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 30/56/KEP/DIR tanggal 12 Agustus 1997 Tentang Laporan Penerbitan dan
Posisi Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri, Diskonto Wesel Surat Kredit
Berdokumen Dalam Negeri dan Diskonto Wesel Ekspor
dan Hubungan
Koresponden Bank dengan Bank di Luar Negeri dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan PBI ini.
Pasal 31 …
- 25 -
Pasal 31
(1) Ketentuan penyampaian laporan bulanan SKBDN sebagaimana dimaksud dalam
pasal 27 ayat (1) berlaku sejak periode laporan bulan Juni 2003.
(2) Ketentuan sanksi administrasi dalam rangka pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 28 berlaku sejak periode laporan bulan Oktober 2003.
Pasal 32
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 2 Mei 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 51
DLN
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/6/PBI/2003
TENTANG
SURAT KREDIT BERDOKUMEN DALAM NEGERI
UMUM
Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi setelah terkena imbas krisis
moneter dan ekonomi, perlu diambil langkah-langkah yang dapat mendorong kembali
pergerakan sektor riil. Salah satu upaya yang dapat menggerakkan perekonomian
nasional adalah dengan menerapkan kebijakan yang dapat membantu kelancaran bagi
dunia usaha dalam melakukan proses produksi. Sementara itu, sejalan dengan
perkembangan perekonomian dunia dirasa perlu untuk menata kembali kebijakan dan
ketentuan Bank Indonesia antara lain dengan melakukan penyempurnaan ketentuan
Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN).
Pada prinsipnya, penyempurnaan ketentuan SKBDN disesuaikan dengan kondisi
perekonomian saat ini dimana transaksi perdagangan barang dalam valuta asing,
khususnya untuk transaksi barang yang terkait langsung dengan kegiatan perdagangan
internasional, sangat dibutuhkan oleh pelaku usaha. Dengan diijinkannya penerbitan
SKBDN dalam valuta asing diharapkan akan menjadi stimulus bagi sektor riil dalam
memanfaatkan dan memperoleh potensi perekonomian yang pada gilirannya mampu
menggerakkan kembali roda perekonomian
nasional.
Namun
demikian
batasan pengaturan transaksi SKBDN dalam valuta asing tetap perlu diperhatikan
agar …
- 2 -
agar tidak mendorong penggunaan transaksi valuta asing di dalam negeri serta tidak
berbenturan dengan kebijakan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan impor
barang dari luar negeri. Dengan demikian penyempurnaan ketentuan SKBDN dalam
pengaturannya tetap berpedoman pada prinsip kehati-hatian baik dari sisi materi
pengaturan itu sendiri ataupun dari sisi praktik perbankan (banking practice).
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Kantor cabang Bank diperlakukan sebagai Bank lain termasuk kantor
dengan status dibawah kantor cabang untuk bank asing.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 3
Huruf a
Dalam hal perpindahan barang menyangkut kawasan berikat dalam
wilayah Indonesia, maka
dilakukan
dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf b…
tetap memperhatikan
- 3 -
Huruf b
Cara pembayaran dengan non L/C adalah cara-cara pembayaran yang
lazim digunakan dalam penyelesaian transaski perdagangan internasional
yakni antara lain dan namun tidak terbatas pada:
(i)
pembayaran di muka;
(ii) perhitungan kemudian (open account);
(iii) wesel inkaso (collection); dan
(iv)
konsinyasi (consignment).
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang
termasuk SKBDN terkait dengan
transaksi
perdagangan
internasional antara lain adalah :
a. SKBDN diterbitkan untuk pembelian barang di dalam negeri yang
tidak mengandung bahan impor tetapi terkait dengan produksi untuk
tujuan ekspor; atau
b. SKBDN diterbitkan untuk pembelian barang di dalam negeri yang
mengandung komponen impor baik untuk keperluan perdagangan
dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) …
- 4 -
Ayat (3)
Jangka waktu berlakunya SKBDN adalah periode berlakunya SKBDN
yang dihitung sejak tanggal diterbitkannya SKBDN sampai dengan
berakhirnya SKBDN.
Jangka waktu
penundaan pembayaran
dilaksanakannya pembayaran SKBDN.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Setoran tunai untuk penerbitan SKBDN dengan syarat pembayaran
dimuka (red clause) diperlukan mengingat pembayaran dengan cara ini
mensyaratkan pembayaran sebelum realisasi pengiriman barang. Dengan
setoran tunai tersebut, dapat dihindari resiko Penerima tidak mengirimkan
barang kepada Pemohon meskipun pembayaran sebagian/seluruhnya telah
diterima Penerima.
Ayat (6)
SKBDN dapat diterbitkan dalam bahasa Inggris dalam kondisi yang tidak
dapat dihindari seperti penerbitan SKBDN dengan menggunakan sarana
swift message type (mt) 700.
Nama “Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri” tetap dicantumkan
dalam SKBDN yang diterbitkan dalam bahasa Inggris.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kuasanya adalah pihak yang ditunjuk untuk
mengurus penerbitan SKBDN kepada Bank Pembuka.
Ayat (2) …
adalah
jangka
waktu
- 5 -
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Para pihak dapat menyepakati pembayaran
kombinasi dengan kondisi atas unjuk dan akseptasi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan SKBDN sebagai kontrak yang terpisah adalah
bahwa Bank dalam melaksanakan SKBDN tidak terikat pada
kontrak
penjualan atau kontrak lainnya yang menjadi dasar penerbitan SKBDN
walaupun ada referensi terhadap kontrak tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
secara campuran
atau
- 6 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan jangka waktu yang wajar adalah jangka waktu
berdasarkan kelaziman dalam praktik perbankan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan SKBDN operatif adalah SKBDN yang langsung
dapat dilaksanakan karena tidak memerlukan perintah lebih lanjut dari
Bank Pembuka.
Yang …
- 7 -
Yang dimaksud dengan SKBDN non operatif
belum dapat dilaksanakan karena masih memerlukan
(konfirmasi) lebih lanjut dari Bank Pembuka.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)…
adalah SKBDN yang
perintah
- 8 -
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18 …
- 9 -
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 20 …
- 10 -
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6) …
- 11 -
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Ayat (10)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25 …
- 12 -
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Bank pengaksep wesel SKBDN dapat berupa Bank Pembuka, Bank Tertunjuk,
atau Bank Pengkonfirmasi.
Pasal 27
Ayat (1)
Kewajiban penyampaian laporan berlaku bagi semua Bank termasuk
Bank yang tidak mempunyai transaksi SKBDN atau nihil.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29 …
- 13 -
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4289
Lampiran PBI No. 5/6/PBI/2003 Tgl. 2 Mei 2003
Lampiran 1
LAPORAN TRANSAKSI SKBDN
Bank
Bulan
SKBDN Rupiah
URAIAN
(2)
(3)
:
:
SKBDN Valuta Asing
Jumlah Dalam Jumlah Dalam Dalam
(4)
(5)
Total SKBDN
Dalam
(satuan) Juta Rp. (satuan) Valuta Asal Juta Rp. Juta Rp.
(1)
I. PENERBITAN SKBDN :
1. Sight
2. Usance
II. SKBDN yang dibatalkan
III. Realisasi SKBDN
IV. SKBDN yang belum direalisasi
(6 = 2 + 5)
Lampiran PBI No. 5/6/PBI/2003 Tgl. 2 Mei 2003
--------------------------------------------
Penjelasan Lampiran 1
Petunjuk Pengisian Laporan Penerbitan SKBDN
I.
Penerbitan SKBDN adalah penerbitan SKBDN berdasarkan jangka waktu
pembayaran SKBDN (sight atau usance ) yang dihitung secara kumulatif
sejak awal tahun (bulan Januari) sampai dengan akhir bulan laporan.
Metode perhitungan kumulatif tersebut di cut off secara tahunan, sehingga
setiap awal tahun data yang dilaporkan adalah data penerbitan pada bulan
Januari tahun yang bersangkutan.
II.
SKBDN yang dibatalkan adalah SKBDN yang tidak jadi direalisasi,
dihitung secara kumulatif sejak awal tahun (bulan Januari) sampai dengan
akhir bulan laporan. Metode perhitungan kumulatif tersebut di cut off
secara tahunan, sehingga setiap awal tahun data yang dilaporkan adalah
data SKBDN yang dibatalkan pada bulan Januari tahun yang bersangkutan.
III.
Realisasi SKBDN adalah SKBDN yang kewajiban pembayarannya sudah
dilaksanakan oleh Bank, dihitung secara kumulatif sejak awal tahun (bulan
Januari) sampai dengan akhir bulan laporan. Metode perhitungan kumulatif
tersebut di cut off secara tahunan, sehingga setiap awal tahun data yang
dilaporkan adalah data realisasi SKBDN pada bulan Januari tahun yang
bersangkutan.
IV.
SKBDN yang belum direalisasi adalah SKBDN yang belum jatuh tempo
pembayarannya dan masih menjadi kewajiban Bank, dihitung sejak awal
tahun (bulan Januari) sampai dengan akhir bulan laporan.Metode
perhitungan kumulatif tersebut di cut off secara tahunan, sehingga setiap
awal tahun data yang dilaporkan adalah data SKBDN yang belum
direalisasi pada bulan Januari tahun yang bersangkutan.
Lampiran PBI No. 5/6/PBI/2003 Tgl. 2 Mei 2003
--------------------------------------------
Lanj. Penjelasan Lampiran 1
Kolom 1 :
Kolom 2 :
Kolom 3 :
Kolom 4 :
Kolom 5 :
Diisi dengan jumlah SKBDN Rupiah dalam satuan.
Diisi dengan nilai SKBDN Rupiah dalam jutaan Rupiah.
Diisi dengan jumlah SKBDN Valuta Asing dalam satuan.
Diisi dengan nilai SKBDN Valuta Asing dalam valuta asal (original
currency ).
Diisi dengan nilai SKBDN Valuta Asing yang telah dikonversikan ke dalam
valuta Rupiah dengan menggunakan kurs tengah (kurs transaksi jual
ditambah kurs transaksi beli Bank Indonesia dibagi dua) pada akhir bulan
laporan.
Kolom 6 : Diisi dengan penjumlahan dari kolom 2 dan 5.
Lampiran PBI No. 5/6/PBI/2003 Tgl. 2 Mei 2003
Lampiran 2
LAPORAN PENGAMBILALIHAN "WESEL SKBDN"
Bank :
Bulan :
SKBDN Rupiah
URAIAN
(2)
(3)
SKBDN Valuta Asing
(4)
Total
Jumlah Dalam Jumlah Dalam Dalam Dalam
(satuan) Juta Rp. (satuan) Valuta Asal Juta Rp. Juta Rp.
(1)
I. "Wesel SKBDN" yang
diambil alih oleh bank pelapor
dari Penerima.
II "Wesel SKBDN" yang
diambil alih oleh bank pelapor
dari Bank lain.
(5) (6 = 2 + 5)
Catatan:
Wesel SKBDN adalah wesel yang diterbitkan oleh Penerima dalam rangka SKBDN
Lampiran PBI No.5/6/PBI/2003 Tgl. 2 Mei 2003
------------------------------------------
Penjelasan Lampiran 2
Petunjuk Pengisian Laporan Pengambilalihan Wesel SKBDN
Kolom 1 :
Kolom 2 :
Kolom 3 :
Kolom 4 :
Kolom 5 :
Diisi dengan jumlah wesel SKBDN Rupiah dalam satuan.
Diisi dengan nilai wesel SKBDN Rupiah dalam jutaan Rupiah.
Diisi dengan jumlah wesel SKBDN Valuta Asing dalam satuan.
Diisi dengan nilai wesel SKBDN Valuta Asing dalam valuta asal (original
currency ).
Diisi dengan nilai wesel SKBDN Valuta Asing yang telah dikonversikan ke
dalam valuta Rupiah dengan menggunakan kurs tengah (kurs transaksi jual
ditambah kurs transaksi beli Bank Indonesia dibagi dua) pada akhir bulan
laporan.
Kolom 6 : Diisi dengan penjumlahan dari kolom 2 dan 5.
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/6/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> SURAT KREDIT BERDOKUMEN DALAM NEGERI </reg_title>
<set_date> 2 Mei 2003 </set_date>
<effective_date> 2 Mei 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '30/56/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997 | Pasal 2', '30/195/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '29/150/KEP/DIR|SKDIR-BI/1996' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII Pasal 28' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 11/ 32 /PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO
ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung kelancaran penyelesaian
transaksi dan meningkatkan pelayanan kepada
Pemegang Rekening Giro dalam rangka penarikan
Rekening Giro Valas, perlu diatur penggunaan sarana
elektronik dalam penarikan Rekening Giro Valas
tersebut;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, dipandang perlu untuk
melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro
Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 7/48/PBI/2005 dalam Peraturan
Bank Indonesia;
Mengingat …
-2-
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
MEMUTUSKAN …
-3-
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG
HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK
INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000
tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 205, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4025) yang telah beberapa kali
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia:
a. Nomor 3/11/PBI/2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4108);
b. Nomor 6/16/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4391);
c. Nomor 7/48/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4570);
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal …
-4-
Pasal 17
(1) Penarikan Rekening Giro Valas yang dimiliki oleh instansi pemerintah
dilakukan dengan menggunakan sarana sebagai berikut:
a.
sarana penarikan yang distandardisasi dan diterbitkan oleh
Pemegang Rekening Giro atau oleh instansi pemerintah yang
berwenang;
b.
c.
sarana penarikan yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank
Indonesia; atau
sarana elektronik yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Sarana penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus
memperoleh persetujuan Bank Indonesia dan memuat paling sedikit
hal-hal sebagai berikut:
a.
perintah bayar;
b. nomor Rekening Giro Valas dan nama Rekening Giro Valas
yang didebet di Bank Indonesia;
c.
nomor rekening dan nama rekening yang dikredit di Bank
Indonesia atau di Bank Umum;
d. nilai nominal dalam angka dan huruf; dan
e.
tempat dan tanggal penarikan.
(3) Sarana penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus
memenuhi spesifikasi sebagai berikut:
a. kertas standar sesuai ketentuan intern Pemegang Rekening Giro
atau instansi pemerintah yang berwenang; dan
b.
terdapat logo atau identitas dari Pemegang Rekening Giro atau
instansi pemerintah yang berwenang.
(4) Ketentuan …
-5-
(4) Ketentuan mengenai sarana penarikan yang distandardisasi dan
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dan prosedur pemberian persetujuan atas sarana penarikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
2. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Penarikan atas Rekening Giro Valas oleh Pemegang Rekening Giro
bukan instansi pemerintah dilakukan melalui pemindahbukuan dengan
menggunakan sarana sebagai berikut:
a. SWIFT (Society For Worldwide Interbank Financial
Telecommunication);
b. Teleks;
c. Sarana elektronik lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
atau
d. Sarana penarikan yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai sarana penarikan lain yang distandardisasi dan
diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
d diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar …
-6-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 September 2009
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 September 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
EGARA REPUBLIK INDONESIA TAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 138
DASPLEMBARAN
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 11/ 32 /PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO
ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah yang
berwenang” adalah instansi yang membawahi Pemegang
Rekening Giro.
Sarana penarikan dalam huruf ini antara lain Surat Perintah
Pencairan Dana (SP2D).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sarana penarikan yang
distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank Indonesia” adalah
sarana penarikan yang disediakan oleh Bank Indonesia
untuk digunakan oleh Pemegang Rekening Giro dalam
kondisi dimana Pemegang Rekening Giro atau instansi
pemerintah yang berwenang tidak menetapkan sarana
penarikan …
-2-
penarikan yang distandardisasi atau sarana penarikan yang
telah distandardisasi oleh Pemegang Rekening Giro atau
instansi pemerintah yang berwenang tersebut tidak tepat
digunakan untuk transaksi penarikan tertentu.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sarana elektronik” adalah suatu
fasilitas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan
memanfaatkan teknologi komputer guna melakukan
pemindahan dana dari satu Rekening Giro ke rekening
lainnya di Bank Indonesia atau ke rekening di Bank lainnya
di luar Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “SWIFT (Society For Worldwide
Interbank Financial Telecommunication)” adalah suatu
jaringan internasional untuk keperluan pemindahan dana
dan atau pertukaran berita dengan menggunakan teknologi
komputer antar bank dan lembaga-lembaga keuangan
bukan bank yang menjadi anggotanya.
Hasil …
-3-
Hasil olahan komputer dari SWIFT yang digunakan untuk
sarana penarikan Rekening Giro Valas harus memuat
informasi yang diperlukan dalam pemindahan dana
(payment order).
Huruf b
Hasil olahan komputer dari teleks yang digunakan untuk
penarikan Rekening Giro Valas harus memuat informasi
yang diperlukan dalam pemindahan dana (payment order).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sarana elektronik” adalah suatu
fasilitas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan
memanfaatkan teknologi komputer guna melakukan
pemindahan dana dari satu Rekening Giro ke rekening
lainnya di Bank Indonesia atau ke rekening di Bank lainnya
di luar Bank Indonesia.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5057
DASP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/32/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN </reg_title>
<set_date> 30 September 2009 </set_date>
<effective_date> 30 September 2009 </effective_date>
<issued_date> 30 September 2009 </issued_date>
<changed_reg> '2/24/PBI/2000' </changed_reg>
<extension_of> '3/11/PBI/2001', '6/16/PBI/2004', '7/48/PBI/2005' </extension_of>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '23/UU/1999', '1/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '6/UU/2009' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 9/4/PBI/2007
TENTANG
PENCABUTAN BEBERAPA SURAT KEPUTUSAN DIREKSI
BANK INDONESIA DAN SURAT EDARAN BANK INDONESIA
MENGENAI PRINSIP KEHATI-HATIAN PERBANKAN
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas pengawasan
bank, Bank Indonesia telah mengeluarkan berbagai
ketentuan yang menyangkut prinsip kehati-hatian;
b. bahwa ketentuan kehati-hatian tersebut antara lain disusun
dengan mengacu kepada best practices dan standar
internasional;
c. bahwa beberapa ketentuan sudah tidak sejalan dengan
ketentuan terkini yang berlaku;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam butir a, butir b dan butir c di atas, perlu diatur
ketentuan tentang pencabutan beberapa ketentuan yang
sudah tidak sejalan dengan ketentuan terkini yang berlaku
dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31 …
- 2 -
Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENCABUTAN BEBERAPA SURAT KEPUTUSAN DIREKSI
BANK INDONESIA DAN SURAT EDARAN BANK
INDONESIA MENGENAI PRINSIP KEHATI-HATIAN
PERBANKAN.
Pasal 1
Mencabut dan menyatakan tidak berlaku :
1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 1/1-KEP.DIR tanggal
13 Djanuari 1969 tentang Tabungan Berhadiah 1969;
2. Surat …
- 3 -
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 22/63/KEP/DIR tanggal
1 Desember 1989 tentang Penyelenggaraan Tabungan;
3. Surat Edaran No. 22/133/UPG tanggal 1 Desember 1989 perihal
Penyelenggaraan Tabungan;
4. Surat Edaran No. 30/1/UPPB tanggal 24 April 1997 perihal Cara
Penyampaian Laporan Mengenai Debitur Yang Menerima Pinjaman Luar
Negeri Dan Aplikan Yang Memperoleh Garansi Bank Dalam Rangka
Pemenuhan Kewajiban Luar Negeri;
5. Surat Edaran Nomor 30/4/UPPB tanggal 7 Mei 1997 perihal Penyesuaian
Laporan Perkreditan Bank Umum Dalam Rangka Pelaporan Kredit Ekspor;
6. Surat Edaran No. 30/09/UPPB tanggal 10 Oktober 1997 perihal Penilaian
Tingkat Kesehatan Permodalan Bagi Bank Umum Devisa;
7. Surat Edaran No. 30/12/UPPB tanggal 12 Nopember 1997 perihal
Pemanfaatan Dana dari Fasilitas Bank Indonesia;
8. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/274A/KEP/DIR tanggal
11 Maret 1998 tentang Penegasan atas Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 30/266/KEP/DIR tanggal 27 Februari 1998 tentang
Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian yang menyangkut Kewajiban Antar
Bank, Pengambilalihan Tagihan, Suku Bunga Simpanan dan Penyediaan
Dana;
9. Surat Edaran No. 30/21/UPPB tanggal 11 Maret 1998 perihal Penegasan
kembali Pemberlakuan Ketentuan-ketentuan Bank Indonesia terhadap
Kantor Bank Asing;
10. Surat Edaran No. 31/04/UPPB tanggal 29 Mei 1998 perihal Penjaminan atas
Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank;
11. Surat Edaran No. 31/17/UPPB tanggal 31 Desember 1998 perihal Posisi
Devisa Neto Bank Umum;
12. Surat …
- 4 -
12. Surat Edaran No. 31/19/UPPB tanggal 31 Desember 1998 perihal
Pembentukan Tim Investigasi Penyimpangan di Bidang Perbankan; dan
13. Surat Edaran No. 32/1/UPPB tanggal 12 Mei 1999 perihal Bank Umum.
Pasal 2
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal: 26 Maret 2007
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 50
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 9/4/PBI/2007 </reg_id>
<reg_title> PENCABUTAN BEBERAPA SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA DAN SURAT EDARAN BANK INDONESIA MENGENAI PRINSIP KEHATI-HATIAN PERBANKAN </reg_title>
<set_date> 26 Maret 2007 </set_date>
<effective_date> 26 Maret 2007 </effective_date>
<replaced_reg> '30/21/UPPB|SE-BI/1997', '31/04/UPPB|SE-BI/1998', '30/274A/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '30/1/UPPB|SE-BI/1997', '31/19/UPPB|SE-BI/1998', '30/09/UPPB|SE-BI/1997', '30/4/UPPB|SE-BI/1997', '22/133/UPG|SE-BI/1989', '31/17/UPPB|SE-BI/1998', '32/1/UPPB|SE-BI/1999', '30/266/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '30/12/UPPB|SE-BI/1998', '22/63/KEP/DIR|SKDIR-BI/1989', '1/1-KEP.DIR|SKDIR-BI/1969' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/ 27 /PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/10/PBI/2006
TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK
PASCA BENCANA ALAM
DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
DAN DAERAH SEKITARNYA DI PROPINSI JAWA TENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kinerja perbankan dan kondisi perekonomian di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah
sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah masih belum
sepenuhnya pulih sejak terjadinya gempa tanggal
27 Mei 2006;
b. bahwa kondisi perbankan saat ini sedang dalam proses
pemulihan terkait dampak krisis ekonomi global;
c. bahwa salah satu upaya untuk mendukung pemulihan
kinerja perbankan dan kondisi perekonomian di daerah
tersebut adalah dengan memberikan perlakuan khusus
dalam penetapan kualitas terhadap kredit bank dengan
jumlah tertentu dan kredit yang direstrukturisasi.
d. bahwa . . .
- 2 -
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c dipandang perlu
untuk mengubah beberapa ketentuan dalam PBI
No. 8/10/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus terhadap
Kredit Bank Pasca Bencana Alam di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Daerah Sekitarnya di Propinsi
Jawa Tengah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang . . .
- 3 -
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
8/10/PBI/2006 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS
TERHADAP KREDIT BANK PASCA BENCANA ALAM DI
PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN
DAERAH SEKITARNYA DI PROPINSI JAWA TENGAH.
Pasal I
Ketentuan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/10/PBI/2006
tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank Pasca Bencana Alam di Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4626) diubah dan menambah
1 (satu) ayat yakni ayat (4), sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan Kredit Bagi Bank Perkreditan
Rakyat yang direstrukturisasi ditetapkan Lancar terhitung sejak
restrukturisasi sampai dengan akhir Desember 2010.
(2) Pelaksanaan . . .
- 4 -
(2) Pelaksanaan restrukturisasi Kredit Bagi Bank Umum dan Kredit Bagi Bank
Perkreditan Rakyat dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku.
(3) Restrukturisasi Kredit Bagi Bank Umum dan Kredit Bagi Bank Perkreditan
Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan baik terhadap
kredit yang telah maupun yang akan diberikan pada saat berlakunya
ketentuan ini.
(4) Khusus untuk kredit yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA)
secara bertahap sebagai berikut:
a. paling kurang sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah kredit yang
belum tertagih, pada akhir Desember 2009;
b. paling kurang sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah kredit
yang belum tertagih, pada akhir Juni 2010; dan
c. paling kurang sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kredit yang
belum tertagih, pada akhir Desember 2010.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan . . .
- 5 -
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2009
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
MIRANDA S. GOELTOM
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 105
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/ 27 /PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/10/PBI/2006
TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK
PASCA BENCANA ALAM
DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
DAN DAERAH SEKITARNYA DI PROPINSI JAWA TENGAH
UMUM
Sebagaimana dimaklumi peristiwa bencana alam yang melanda Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah
telah memberikan dampak yang mengganggu perekonomian Indonesia,
khususnya di daerah yang terkena bencana dimaksud. Saat ini kinerja perbankan
dan kondisi perekonomian di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah
sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah masih belum sepenuhnya pulih sejak
terjadinya gempa tanggal 27 Mei 2006 tersebut. Selain itu kondisi perbankan saat
ini juga sedang dalam proses pemulihan terkait dampak krisis ekonomi global.
Sehubungan dengan itu maka Bank Indonesia memandang perlu untuk
memberikan perpanjangan masa berlaku perlakuan khusus terhadap kredit Bank
berupa kelonggaran dalam penetapan kualitas penyediaan dana dan kredit serta
penyediaan dana dan pemberian kredit baru kepada debitur yang terkena dampak
bencana alam dimaksud.
PASAL . . .
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kredit yang direstrukturisasi adalah kredit
yang telah direstrukturisasi oleh Bank karena debitur mengalami
permasalahan akibat dampak bencana alam tanggal 27 Mei 2006,
sehingga kualitas kredit debitur menurun.
Pelaksanaan restrukturisasi kredit bagi BPR dilakukan dengan
penyelamatan kredit. Bentuk penyelamatan kredit dapat berupa
penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali
(reconditioning), atau penataan kembali (restructuring), sebagaimana
diatur dalam ketentuan tentang Kualitas Aktiva Produktif dan
Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Pembentukan PPA dapat dilakukan secara bertahap atau
sekaligus pada akhir Desember 2009.
Huruf b
Pembentukan PPA dapat dilakukan secara bertahap atau
sekaligus pada akhir Juni 2010.
Huruf c . . .
- 3 -
Huruf c
Pembentukan PPA dapat dilakukan secara bertahap atau
sekaligus pada akhir Desember 2010.
Pasal II
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
- 4 -
5031
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/27/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/10/PBI/2006 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN DAERAH SEKITARNYA DI PROPINSI JAWA TENGAH </reg_title>
<set_date> 1 Juli 2009 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2009 </effective_date>
<issued_date> 1 Juli 2009 </issued_date>
<changed_reg> '8/10/PBI/2006' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/5/PBI/2005
TENTANG
PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT
BANK UMUM PASCABENCANA NASIONAL
DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
DAN KABUPATEN NIAS, PROPINSI SUMATERA UTARA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dengan terjadinya bencana nasional di Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias,
Propinsi Sumatera Utara, perlu dilakukan berbagai upaya
untuk mendukung pemulihan kondisi perekonomian;
b. bahwa salah satu upaya untuk mendukung pemulihan
kondisi perekonomian adalah dengan memberikan
perlakuan khusus terhadap kredit bank umum;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b dipandang perlu untuk
menetapkan ketentuan mengenai
perlakuan khusus
terhadap kredit bank umum pascabencana nasional di
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten
Nias, Propinsi Sumatera Utara dalam suatu Peraturan
Bank Indonesia;
Mengingat: ...
- 2 -
Mengingat:
1.
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK
INDONESIA TENTANG
PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK
UMUM PASCABENCANA NASIONAL DI PROPINSI
NANGGROE ACEH
DARUSSALAM DAN
KABUPATEN NIAS, PROPINSI SUMATERA UTARA.
Pasal 1 ...
- 3 -
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank
asing.
2. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga,
termasuk:
a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah
yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka anjak piutang;
c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
Pasal 2
(1) Penggolongan kualitas Kredit atau penyediaan dana lain dari Bank bagi
nasabah debitur dengan plafon keseluruhan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) hanya didasarkan pada ketepatan
pembayaran pokok dan bunga.
(2) Tata cara penggolongan kualitas Kredit atau penyediaan dana lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku.
(3) Plafon Kredit atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku ...
sebesar
- 4 -
(1) berlaku baik untuk debitur individual maupun debitur grup dan untuk
seluruh fasilitas yang diterima dari 1 (satu) Bank.
(4) Penggolongan kualitas Kredit atau penyediaan dana lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Kredit atau penyediaan dana lain yang
telah maupun yang akan disalurkan pada saat berlakunya ketentuan ini.
(5) Penggolongan kualitas Kredit atau penyediaan dana lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk Kredit atau penyediaan dana
lain yang disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau
lokasi usaha di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan atau Kabupaten
Nias, Propinsi Sumatera Utara.
Pasal 3
(1) Kualitas Kredit yang direstrukturisasi digolongkan lancar terhitung sejak
restrukturisasi sampai dengan akhir Januari 2008.
restrukturisasi kredit mengacu
(2) Pelaksanaan
Indonesia yang berlaku.
(3) Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
baik terhadap Kredit yang telah maupun yang akan diberikan pada saat
berlakunya ketentuan ini.
Pasal 4
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 hanya berlaku untuk Kredit
yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.
disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha
di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan atau Kabupaten Nias, Propinsi
Sumatera Utara; dan
b. telah ...
kepada ketentuan
Bank
- 5 -
b.
telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan
atau bunga Kredit yang disebabkan dampak dari bencana nasional di
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan atau Kabupaten Nias, Propinsi
Sumatera Utara.
Pasal 5
Penggolongan kualitas Kredit yang direstrukturisasi setelah jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan berdasarkan ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku.
Pasal 6
Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku juga bagi Bank Umum
konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
dan Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah untuk penyediaan dana yang
mencakup pembiayaan (mudharabah atau musyarakah), piutang (murabahah,
salam atau istishna), sewa (ijarah), pinjaman (qardh), dan penyediaan dana lain.
Pasal 7
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan ...
- 6 -
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Januari 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 15
DPNP/DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/5/PBI/2005
TENTANG
PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT
BANK UMUM PASCABENCANA NASIONAL
DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
DAN KABUPATEN NIAS, PROPINSI SUMATERA UTARA
UMUM
Sebagaimana dimaklumi peristiwa bencana nasional di Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 26
Desember 2004 diperkirakan akan memberikan dampak terhadap perekonomian
Indonesia khususnya di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten
Nias, Propinsi Sumatera Utara. Nasabah debitur yang terkena dampak bencana
tersebut diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam melunasi kewajibannya
sesuai dengan perjanjian kredit.
Sehubungan dengan itu maka Bank Indonesia memandang perlu untuk
memberikan perlakuan khusus terhadap kredit bank umum berupa kelonggaran
dalam penilaian kualitas kredit dan penyediaan dana, dalam rangka memberikan
kesempatan bagi nasabah debitur untuk melakukan perbaikan usaha guna
mendukung pemulihan perekonomian di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dan Kabupaten Nias, Propinsi Sumatera Utara.
PASAL ...
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat 1
Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan
jaminan dan pembukaan letter of credit.
Ayat 2
Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai
Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum dan Kualitas Aktiva
Produktif bagi Bank Umum Syariah.
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Restrukturisasi Kredit dapat dilakukan terhadap seluruh Kredit yang
diberikan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) ...
- 3 -
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai
Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum dan Kualitas Aktiva Produktif
bagi Bank Umum Syariah.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan jaminan
dan pembukaan letter of credit.
Pasal 7
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4474
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/5/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCABENCANA NASIONAL DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS, PROPINSI SUMATERA UTARA </reg_title>
<set_date> 20 Januari 2005 </set_date>
<effective_date> 20 Januari 2005 </effective_date>
<related_reg> '3/UU/2004', '7/UU/1992', '23/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 22/3/PBI/2020
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/3/PBI/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH
DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM
SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mencapai dan memelihara stabilitas nilai
rupiah, Bank Indonesia menerapkan bauran kebijakan
moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah;
b. bahwa sebagai bagian dari bauran kebijakan Bank
Indonesia dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan
sistem keuangan, perlu diberikan insentif pemenuhan giro
wajib minimum untuk kebijakan makroprudensial;
c. bahwa Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/3/PBI/2018
tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta
Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum
Syariah, dan Unit Usaha Syariah perlu disesuaikan untuk
memberikan ruang bagi pemberian insentif pemenuhan
giro wajib minimum untuk kebijakan makroprudensial;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
- 2 -
Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/3/PBI/2018 tentang
Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing
bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan
Unit Usaha Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/3/PBI/2018 tentang
Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi
Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit
Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6193);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/3/PBI/2018
TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN
VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK
UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH.
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/3/PBI/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah
dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum
Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2018 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6193) diubah sebagai berikut:
1. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 3A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3A
(1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas
kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib
dipenuhi secara harian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a kepada BUK untuk
kebijakan makroprudensial.
(2) Ketentuan pemberian kelonggaran atas kewajiban
pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi
secara harian untuk kebijakan makroprudensial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia mengenai
insentif bagi bank untuk kebijakan makroprudensial.
2. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 12A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12A
(1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas
kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib
dipenuhi secara harian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a kepada BUS dan UUS
untuk kebijakan makroprudensial.
(2) Ketentuan pemberian kelonggaran atas kewajiban
pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi
secara harian untuk kebijakan makroprudensial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
- 4 -
sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia mengenai
insentif bagi bank untuk kebijakan makroprudensial.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Maret 2020...
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 Maret 2020…
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 81…
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 22/3/PBI/2020
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/3/PBI/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH
DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM
SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Guna mempertahankan stabilitas ekonomi dan mendorong
momentum pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia terus memperkuat
bauran kebijakan moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah. Sejalan dengan perkembangan pasar keuangan
dan perekonomian, Bank Indonesia memandang perlu untuk memberikan
insentif berupa kelonggaran pemenuhan giro wajib minimum untuk
kebijakan makroprudensial.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 3A
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 12A
Cukup jelas.
- 2 -
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6483…
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 22/3/PBI/2020 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/3/PBI/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 24 Maret 2020 </set_date>
<effective_date> 26 Maret 2020 </effective_date>
<issued_date> 26 Maret 2020 </issued_date>
<changed_reg> '20/3/PBI/2018' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '20/3/PBI/2018' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 9/8/PBI/2007
TENTANG
PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING
DAN PROGRAM ALIH PENGETAHUAN
DI SEKTOR PERBANKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dengan semakin terbukanya kesempatan bagi pihak
asing untuk melakukan investasi di sektor perbankan
nasional, membawa konsekuensi terhadap meningkatnya
pemanfaatan tenaga kerja asing oleh bank;
b. bahwa pemanfaatan tenaga kerja asing tersebut juga dalam
rangka untuk memenuhi kekurangan tenaga ahli di bidang-
bidang tertentu yang terus berkembang di sektor perbankan;
c. bahwa pemanfaatan tenaga kerja asing oleh perbankan harus
dapat meningkatkan kemampuan tenaga kerja Indonesia
melalui alih pengetahuan (transfer of knowledge);
d. bahwa sehubungan dengan pertimbangan pada huruf a, huruf
b, dan huruf c, perlu untuk menetapkan ketentuan tentang
pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan program alih
pengetahuan di sektor perbankan dalam Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4357);
3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING DAN PROGRAM
ALIH PENGETAHUAN DI SEKTOR PERBANKAN.
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk Kantor Cabang Bank
Asing.
2. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri yang secara langsung atau tidak langsung
bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan dan
mempunyai alamat serta tempat kedudukan di Indonesia.
3. Tenaga Kerja Asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan
maksud bekerja di wilayah Republik Indonesia.
4. Tenaga Kerja Indonesia adalah tenaga kerja warga negara Indonesia.
5. Kualifikasi Keahlian adalah pemenuhan persyaratan suatu keahlian di
bidang tertentu yang didapatkan dari pendidikan dan pengalaman kerja.
6. Komisaris :
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur tentang
Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur tentang
Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur tentang Perkoperasian.
7. Direksi …
- 4 -
7. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur tentang
Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur tentang
Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur tentang Perkoperasian.
8. Pimpinan Kantor Cabang Bank Asing adalah pemimpin kantor cabang dan
pejabat satu tingkat di bawah pemimpin Kantor Cabang Bank Asing.
9. Pemimpin Kantor Perwakilan adalah pejabat yang diangkat oleh kantor
pusat bank asing untuk memimpin kantor perwakilannya di Indonesia.
10. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggungjawab langsung kepada
Direksi atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional
perusahaan atau bank.
11. Tenaga Ahli/Konsultan adalah perorangan yang memiliki pengetahuan
teknis tertentu dengan standar Kualifikasi Keahlian yang memadai.
12. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi
pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan, termasuk Bank, dengan cara
apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung.
13. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum, orang perseorangan
dan/atau kelompok usaha yang:
a. memiliki saham perusahaan atau Bank sebesar 25% (dua puluh lima
perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan
mempunyai hak suara; atau
b. memiliki …
- 5 -
b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari 25% (dua puluh lima
perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak
suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan
Pengendalian perusahaan atau Bank, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Pasal 2
(1) Bank dapat memanfaatkan Tenaga Kerja Asing dalam menjalankan kegiatan
usahanya dengan memenuhi ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing oleh Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib mempertimbangkan ketersediaan Tenaga Kerja Indonesia.
Pasal 3
Bank hanya dapat memanfaatkan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 untuk jabatan-jabatan sebagai berikut atau yang setara:
a. Komisaris dan Direksi;
b. Pejabat Eksekutif; dan/atau
c. Tenaga Ahli/Konsultan.
Pasal 4
(1) Bank hanya dapat memanfaatkan Tenaga Kerja Asing pada bidang-bidang
tugas tertentu yang rinciannya akan ditetapkan dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
(2) Pemanfaatan …
- 6 -
(2) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing pada bidang-bidang tugas selain bidang
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah
mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
(3) Persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan
sebagai dasar rekomendasi penggunaan Tenaga Kerja Asing oleh Bank
kepada instansi yang menangani bidang ketenagakerjaan.
(4) Persyaratan dan tata cara permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 5
Bank dilarang memanfaatkan Tenaga Kerja Asing pada bidang-bidang tugas
sebagai berikut:
a. Personalia; dan
b. Kepatuhan.
BAB II
PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING OLEH BANK
Pasal 6
(1) Bank wajib menyampaikan rencana pemanfaatan Tenaga Kerja Asing
kepada Bank Indonesia.
(2) Rencana pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank.
(3) Perubahan terhadap rencana pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam perubahan Rencana Bisnis
Bank.
(4) Pemanfaatan …
- 7 -
(4) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing di luar rencana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Bank Indonesia dan
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a.
dalam hal pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dilakukan sebelum
penyampaian perubahan Rencana Bisnis Bank, maka Bank wajib
melaporkan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dimaksud dalam
perubahan Rencana Bisnis Bank.
b. dalam hal pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dilakukan setelah
penyampaian perubahan Rencana Bisnis Bank, maka Bank wajib
melaporkan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dimaksud dalam
Laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank.
Pasal 7
Bank wajib meminta persetujuan dari Bank Indonesia sebelum mengangkat
Tenaga Kerja Asing untuk menduduki jabatan sebagai Komisaris, Direksi
dan/atau Pejabat Eksekutif.
Pasal 8
Tenaga Kerja Asing sebagai Komisaris dan Direksi wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a.
lulus penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test); dan
b. memiliki pengetahuan mengenai Indonesia, terutama mengenai ekonomi,
budaya, dan bahasa Indonesia.
Pasal 9 …
- 8 -
Pasal 9
(1) Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat Eksekutif wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. memiliki pengalaman dan keahlian sesuai bidang tugas yang akan
ditempati;
tidak merangkap jabatan pada Bank, perusahaan, atau lembaga lain; dan
c. mampu menggunakan bahasa Indonesia secara memadai;
b.
(2) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
jabatan eksekutif yang akan ditempati berada 1 (satu) tingkat di bawah
Direktur;
b. hanya diperkenankan untuk jabatan yang berada di kantor pusat Bank;
c. mempertimbangkan ketersediaan Tenaga Kerja Indonesia untuk bidang
dan keahlian yang dibutuhkan; dan
d.
jangka waktu pemanfaatan setiap Tenaga Kerja Asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat
diperpanjang 1 (satu) kali paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 10
Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia pengangkatan Tenaga Kerja
Asing sebagai Tenaga Ahli/Konsultan.
Pasal 11
Tenaga Kerja Asing sebagai Tenaga Ahli/Konsultan wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. memenuhi …
- 9 -
a. memenuhi persyaratan Kualifikasi Keahlian;
b.
tidak merangkap jabatan pada Bank, perusahaan, atau lembaga lain;
c. mempertimbangkan ketersediaan Tenaga Kerja Indonesia untuk bidang dan
keahlian yang dibutuhkan; dan
d.
jangka waktu pemanfaatan setiap Tenaga Kerja Asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang
1 (satu) kali paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 12
(1) Bank yang 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih sahamnya dimiliki
oleh warga negara asing dan atau badan hukum asing dapat memanfaatkan
Tenaga Kerja Asing untuk jabatan:
a. Komisaris;
b. Direksi;
c. Pejabat Eksekutif; dan/atau
d. Tenaga Ahli/Konsultan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Bank
yang berbentuk Kantor Cabang Bank Asing.
(3) 50% (lima puluh perseratus) atau lebih dari anggota Komisaris sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib berkewarganegaraan Indonesia.
(4) Mayoritas anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
wajib berkewarganegaraan Indonesia.
(5) Mayoritas Pejabat Eksekutif di kantor pusat Bank wajib
berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 13 …
- 10 -
Pasal 13
(1) Bank yang kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) sahamnya
dimiliki oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing, hanya dapat
menggunakan Tenaga Kerja Asing untuk jabatan Tenaga Ahli/Konsultan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Bank
yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. kepemilikan warga negara asing dan/atau badan hukum asing terhadap
bank kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus), namun warga negara
asing dan/atau badan hukum asing dimaksud merupakan Pemegang
Saham Pengendali Bank; atau
b.
terdapat unsur Pengendalian dari warga negara asing dan/atau badan
hukum asing terhadap Bank.
(3) Bank yang memenuhi kriteria pengecualian sesuai ayat (2) dapat
menggunakan Tenaga Kerja Asing untuk jabatan Komisaris, Direksi,
dan/atau Tenaga Ahli/Konsultan.
Pasal 14
(1) Kantor Cabang Bank Asing hanya dapat menggunakan Tenaga Kerja Asing
untuk jabatan:
a. Pimpinan Kantor Cabang; dan/atau
b. Tenaga Ahli/Konsultan.
(2) Diantara anggota Pimpinan Kantor Cabang Bank Asing sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya terdapat 1 (satu) orang
pejabat yang berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 15 …
- 11 -
Pasal 15
Kantor Perwakilan Bank Asing hanya dapat menggunakan Tenaga Kerja Asing
untuk jabatan:
a. Pemimpin Kantor Perwakilan; dan/atau
b. Tenaga Ahli/Konsultan.
Pasal 16
Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing untuk jabatan selain yang diperkenankan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 hanya dapat
dipertimbangkan untuk kasus-kasus tertentu dengan persetujuan Bank Indonesia.
BAB III
KEWAJIBAN ALIH PENGETAHUAN
Pasal 17
(1) Bank wajib menjamin terjadinya alih pengetahuan (transfer of knowledge)
dalam pemanfaatan Tenaga Kerja Asing.
(2) Kewajiban alih pengetahuan dalam pemanfaatan Tenaga Kerja Asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Bank yang memanfaatkan
Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat Eksekutif dan/atau Tenaga
Ahli/Konsultan.
(3) Kewajiban alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui :
a. penunjukan 2 (dua) orang tenaga pendamping untuk 1 (satu) orang
Tenaga Kerja Asing;
b. pendidikan …
- 12 -
b. pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga pendamping sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki
oleh Tenaga Kerja Asing; dan
c. pelaksanaan pelatihan atau pengajaran oleh Tenaga Kerja Asing dalam
jangka waktu tertentu terutama kepada pegawai Bank,
pelajar/mahasiswa, dan/atau masyarakat umum.
Pasal 18
Bank wajib melaporkan hasil pelaksanaan kewajiban alih pengetahuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 pada setiap akhir tahun dalam Laporan
Realisasi Rencana Bisnis Bank.
BAB IV
PERMOHONAN PERSETUJUAN DAN PELAPORAN ATAS
PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING OLEH BANK
Pasal 19
(1) Permohonan persetujuan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagai
Komisaris dan Direksi dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia mengenai kepengurusan Bank.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Bank
Indonesia sebelum Bank menyampaikan permohonan izin menggunakan
Tenaga Kerja Asing kepada instansi yang menangani bidang
ketenagakerjaan.
Pasal 20 …
- 13 -
Pasal 20
(1) Permohonan persetujuan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat
Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diajukan oleh Bank kepada
Bank Indonesia c.q. Direktorat Pengawasan Bank terkait bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah Jabodetabek, atau Kantor Bank Indonesia
setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jabodetabek,
disertai dengan dokumen-dokumen sebagai berikut:
a. 1 (satu) buah pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4x6;
b. fotocopy paspor;
c.
riwayat hidup;
d. fotocopy surat keterangan pengalaman kerja dari perusahaan
sebelumnya dan sertifikat keahlian/profesi/pendidikan/pelatihan;
e. fotocopy konsep kontrak kerja atau surat penugasan dari Bank; dan
f. contoh tanda tangan dan paraf.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Bank
Indonesia sebelum Bank menyampaikan permohonan izin menggunakan
Tenaga Kerja Asing kepada instansi yang menangani bidang
ketenagakerjaan.
(3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. apabila diperlukan wawancara terhadap calon Pejabat Eksekutif.
(4) Persetujuan atau penolakan atas pengajuan Pejabat Eksekutif diberikan
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dokumen permohonan diterima
secara lengkap.
(5) Pengangkatan …
- 14 -
(5) Pengangkatan Pejabat Eksekutif wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank
Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal
pengangkatan efektif, dilampiri dengan:
a. fotocopy kontrak kerja;
b. fotocopy Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal
Tetap (KITAP) yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang; dan
c. fotocopy surat izin mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
Pasal 21
Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagai Tenaga Ahli/Konsultan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia c.q.
Direktorat Pengawasan Bank terkait bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah
Jabodetabek, atau Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor
pusat di luar wilayah Jabodetabek, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah
pengangkatan, disertai dengan:
a. 1 (satu) buah pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4x6;
b. fotocopy paspor;
c.
riwayat hidup;
d. fotocopy kontrak kerja;
e. contoh tanda tangan dan paraf;
f. fotocopy bukti/keterangan tentang Kualifikasi Keahlian;
g. fotocopy Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal
Tetap (KITAP) yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang; dan
h. fotocopy surat izin mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang dikeluarkan
oleh instansi yang berwenang.
Pasal 22 …
- 15 -
Pasal 22
(1) Bank wajib menyampaikan laporan realisasi pemanfaatan Tenaga Kerja
Asing kepada Bank Indonesia 1 (satu) kali dalam setahun.
(2) Laporan realisasi pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dicantumkan dalam Laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank
setiap akhir tahun.
BAB V
SANKSI
Pasal 23
(1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2), Pasal 3, Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal
8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15,
Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), dan
Pasal 22 dalam Peraturan Bank Indonesia ini dikenakan sanksi administratif
sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998.
(2) Bank yang tidak menyampaikan laporan dalam waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) dan Pasal 21 dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
keterlambatan dengan maksimum kewajiban membayar sebesar Rp
30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(3) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan
kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan.
BAB VI …
- 16 -
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 24
Semua ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Komisaris, Direksi,
dan Pejabat Eksekutif Bank sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank
Indonesia ini tetap berlaku bagi Tenaga Kerja Asing.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25
(1) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing oleh Bank yang telah dilakukan sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan telah memenuhi
ketentuan sesuai Peraturan Bank Indonesia ini sampai dengan berakhirnya
kontrak atau masa jabatan Tenaga Kerja Asing tersebut dengan jangka
waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia
ini.
(2) Rencana Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) untuk pertama kalinya dicantumkan dalam Rencana Bisnis
Bank tahun 2008.
(3) Bank yang melakukan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing pada periode waktu
sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini sampai dengan tanggal
penyampaian Rencana Bisnis Bank tahun 2008 tidak perlu menyampaikan
Rencana Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1).
BAB VIII …
- 17 -
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 27
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
1. Pasal 21 Peraturan Bank Indonesia No. 2/27/PBI/2000 tanggal 15 Desember
2000 tentang Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
2. Pasal 26 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia No. 2/27/PBI/2000 tanggal 15
Desember 2000 tentang Bank Umum dinyatakan tidak berlaku bagi
pengangkatan Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat Eksekutif;
3. Pasal 22 Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober
2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan
Prinsip Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan
4. Pasal 34 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tanggal 14
Oktober 2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
berdasarkan Prinsip Syariah, dinyatakan tidak berlaku bagi pengangkatan
Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat Eksekutif.
Pasal 28
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar …
- 18 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Juni 2007
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 76
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 9/8/PBI/2007
TENTANG
PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING
DAN PROGRAM ALIH PENGETAHUAN
DI SEKTOR PERBANKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UMUM
Perbankan Indonesia dewasa ini dituntut untuk melakukan penguatan
permodalan antara lain untuk meningkatkan daya saing dalam menghadapi era
globalisasi. Dalam memperkuat struktur permodalan tersebut, bank antara lain
menggunakan sumber dana asing. Masuknya investasi asing tersebut pada
gilirannya dapat membawa konsekuensi semakin meningkatnya pemanfaatan
Tenaga Kerja Asing dalam kegiatan operasional Bank.
Sementara itu, persaingan yang semakin ketat juga mendorong bank-bank
untuk selalu melakukan inovasi di bidang teknologi, produk dan jasa bank yang
tidak jarang memerlukan keahlian tertentu yang belum sepenuhnya dapat diisi
oleh Tenaga Kerja Indonesia.
Oleh karena itu, selain untuk mengisi kelangkaan tenaga ahli Indonesia
pada bidang-bidang tertentu, pemanfaatan tenaga asing tersebut harus mendorong
terciptanya alih pengetahuan (transfer of knowledge) kepada tenaga kerja
Indonesia.
Untuk …
- 2 -
Untuk itu pemanfaatan Tenaga Kerja Asing tersebut harus diatur lebih
lanjut sehingga dapat mendukung upaya menciptakan sistem perbankan yang
sehat dan tidak merugikan kepentingan nasional.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Pada Kantor Cabang Bank Asing, yang disetarakan dengan Direksi
adalah pimpinan kantor cabang, sedangkan pada Kantor Perwakilan
Bank Asing adalah pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Tenaga Kerja Asing sebagai Tenaga Ahli/Konsultan tidak
menduduki jabatan struktural pada Bank dan tidak mempunyai
wewenang untuk membuat keputusan operasional Bank.
Pasal 4 …
- 3 -
Pasal 4
Ayat (1)
Bidang-bidang tugas tertentu yang dibuka untuk Tenaga Kerja Asing
tersebut akan direkomendasikan kepada instansi yang menangani
bidang ketenagakerjaan agar dapat dimuat dalam ketentuan di bidang
ketenagakerjaan yang mengatur tentang Tenaga Kerja Asing.
Ayat (2)
Pada dasarnya Tenaga Kerja Asing hanya dapat menduduki jabatan
pada bidang tugas tertentu yang telah dirinci dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Persetujuan Bank Indonesia hanya diberikan dengan
mempertimbangkan kebutuhan dan kondisi Bank secara kasus
perkasus serta bersifat sementara.
Yang dimaksud dengan bidang tugas dalam ayat ini tidak termasuk
bidang tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Peraturan Bank
Indonesia ini.
Ayat (3)
Pemberian rekomendasi Tenaga Kerja Asing kepada instansi yang
menangani bidang ketenagakerjaan merupakan salah satu bentuk
koordinasi antar instansi dalam rangka penanganan Tenaga Kerja
Asing.
Persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat ini
tidak serta merta menyebabkan Tenaga Kerja Asing dapat menduduki
jabatan pada bidang tersebut sebelum adanya izin dari instansi yang
menangani bidang ketenagakerjaan.
Ayat (4) …
- 4 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tata cara penyusunan dan penyampaian rencana pemanfaatan Tenaga
Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat ini mengikuti
ketentuan Bank Indonesia mengenai Rencana Bisnis Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Huruf a
Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan sesuai dengan
Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and Proper Test).
Huruf b …
- 5 -
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Pemenuhan persyaratan ini antara lain dilakukan dengan
menyampaikan surat keterangan mengenai pengalaman kerja
dan sertifikat keahlian/profesi/pendidikan/pelatihan;
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pemenuhan persyaratan kemampuan berbahasa Indonesia yang
memadai dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu)
tahun setelah yang bersangkutan menduduki jabatan tersebut.
Ayat (2)
Huruf a
Pemenuhan persyaratan ini dapat dilakukan dengan
menyampaikan struktur organisasi Bank.
Huruf b
Bagi Kantor Cabang Bank Asing, yang dimaksud dengan kantor
pusat Bank adalah kantor cabang yang menjadi induk
operasional Bank tersebut di Indonesia.
Huruf c
Pemenuhan persyaratan ini dilakukan Bank antara lain dengan
menyampaikan penjelasan mengenai dasar pertimbangan Bank
untuk menggunakan Tenaga Kerja Asing dan menyampaikan
bukti …
- 6 -
bukti tentang upaya-upaya yang telah dilakukan Bank dalam
mencari Tenaga Kerja Indonesia yang dibutuhkan, sebelum
akhirnya memutuskan untuk menggunakan Tenaga Kerja
Asing.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Huruf a
Pemenuhan persyaratan ini antara lain dilakukan dengan
menyampaikan surat keterangan mengenai pengalaman kerja dan/atau
sertifikat keahlian.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pemenuhan persyaratan ini dilakukan Bank antara lain dengan
menyampaikan penjelasan mengenai dasar pertimbangan Bank untuk
menggunakan Tenaga Kerja Asing dan menyampaikan bukti tentang
upaya-upaya yang telah dilakukan Bank dalam mencari Tenaga Kerja
Indonesia yang dibutuhkan, sebelum akhirnya memutuskan untuk
menggunakan Tenaga Kerja Asing.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 12 …
- 7 -
Pasal 12
Ayat (1)
Kepemilikan saham bank 25% (dua puluh lima perseratus) tersebut
merupakan saham yang tercatat dalam administrasi Bank Indonesia.
Dalam hal terdapat kepemilikan saham Bank oleh warga negara asing
dan atau badan hukum asing yang diperoleh melalui pembelian di
bursa efek dan tidak dicatatkan dalam administrasi Bank Indonesia,
maka kepemilikan asing pada Bank dimaksud belum dapat diakui
oleh Bank Indonesia sampai dengan diperbaruinya catatan Bank
Indonesia berdasarkan laporan dari Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh
perseratus).
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh
perseratus).
Pemenuhan persyaratan ini dapat dilakukan dengan menyampaikan
daftar Pejabat Eksekutif di kantor pusat Bank beserta komposisinya.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 8 -
Ayat (2)
Warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang dinyatakan
Bank sebagai Pemegang Saham Pengendali atau melakukan
Pengendalian harus telah diakui oleh Bank Indonesia dan dicatat
dalam administrasi Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan kasus-kasus tertentu antara lain adalah :
a.
kondisi apabila Tenaga Kerja Asing tidak digunakan maka bank akan
menghadapi risiko kerugian yang cukup signifikan;
b. Tenaga Kerja Indonesia yang ada dinilai tidak memenuhi syarat
keahlian yang dibutuhkan; dan
c.
pemanfaatan Tenaga Kerja Asing tersebut bersifat sementara dengan
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Dalam hal diperlukan
perpanjangan jangka waktu, wajib memperoleh persetujuan Bank
Indonesia terlebih dahulu.
Pasal 17…
- 9 -
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Pendampingan Tenaga Kerja Asing lebih dititikberatkan
pada alih teknologi dan alih keahlian agar tenaga kerja
pendamping memiliki kemampuan yang dibutuhkan,
sehingga pada waktunya diharapkan dapat menggantikan
Tenaga Kerja Asing yang didampinginya.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pelaksanaan kewajiban pelatihan/pengajaran oleh Tenaga
Kerja Asing akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 18
Cukup Jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Ketentuan Bank Indonesia mengenai kepengurusan Bank antara lain
adalah ketentuan tentang:
a. Bank …
- 10 -
a. Bank Umum;
b. Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah;
c. Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi
Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan
Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum
Konvensional;
d. Persyaratan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor
Cabang Pembantu dan Kantor Perwakilan dari Bank yang
Berkedudukan di Luar Negeri;
e. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test);
dan/atau
f. Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan surat penugasan pada huruf d adalah surat
penugasan kerja dari kantor pusat dari Kantor Cabang Bank Asing
atau Kantor Perwakilan dalam hal terdapat pemanfaatan Tenaga
Kerja Asing sesuai Pasal 16.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
- 11 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ketentuan Bank Indonesia mengenai Komisaris, Direksi, dan Pejabat
Eksekutif Bank antara lain berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia
tentang:
a. Bank Umum;
b. Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah;
c. Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank
Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip
Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional;
d. Persyaratan …
- 12 -
d. Peryaratan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang
Pembantu dan Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di
Luar Negeri;
e. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test); dan/atau
f.
Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4732
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 9/8/PBI/2007 </reg_id>
<reg_title> PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING DAN PROGRAM ALIH PENGETAHUAN DI SEKTOR PERBANKAN </reg_title>
<set_date> 13 Juni 2007 </set_date>
<effective_date> 13 Juni 2007 </effective_date>
<replaced_reg> '6/24/PBI/2004 | Pasal 22', '6/24/PBI/2004 | Pasal 34 ayat (1)', '2/27/PBI/2000 | Pasal 21', '2/27/PBI/2000 | Pasal 26 ayat (1)' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '13/UU/2003', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/5/PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG
POSISI DEVISA NETO BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mendukung kebijakan
moneter dan stabilitas sistem keuangan diperlukan
percepatan pendalaman pasar keuangan;
b. bahwa salah satu upaya untuk percepatan
pendalaman pasar keuangan adalah melalui
peningkatan fleksibilitas transaksi dan likuiditas
pasar valuta asing domestik dengan tetap
memperhatikan penerapan prinsip kehati-hatian
dalam perbankan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
melakukan perubahan keempat atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang
Posisi Devisa Neto Bank Umum;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
menjadi ...
-2-
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA
NETO BANK UMUM.
Pasal I
Ketentuan Pasal 3 dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4307) sebagaimana telah diubah
beberapa kali dengan Peraturan Bank Indonesia:
a. Nomor 6/20/PBI/2004 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 61,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4395);
b. Nomor 7/37/PBI/2005 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto
Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4538);
Nomor...
-3-
c. Nomor 12/10/PBI/2010 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto
Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5140);
dihapus.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembar
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Mei 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Juni 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 115
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/5/PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG
POSISI DEVISA NETO BANK UMUM
I. UMUM
Dinamika perekonomian saat ini dan ke depan memunculkan
sejumlah tantangan yang membutuhkan kestabilan moneter dan
sistem keuangan yang kokoh guna menjaga kesinambungan
pertumbuhan ekonomi.
Salah satu upaya untuk memperkokoh kestabilan moneter
dan sistem keuangan adalah pendalaman pasar keuangan,
termasuk pendalaman pasar valuta asing domestik. Pendalaman
pasar valuta asing domestik dilakukan antara lain dengan
memberikan ruang gerak yang memadai bagi perbankan untuk
mengelola eksposur valuta asing dengan tetap berpedoman pada
prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang handal, sehingga
dapat tercipta likuiditas dan efisiensi pasar valuta asing domestik
yang sehat. Dalam kerangka tersebut, dilakukan penyempurnaan
atas ketentuan mengenai Posisi Devisa Neto Bank Umum
khususnya terkait dengan pengaturan kewajiban pemeliharaan
Posisi Devisa Neto setiap 30 (tiga puluh) menit. Langkah kebijakan
tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi
perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5700
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/5/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 29 Mei 2015 </set_date>
<effective_date> 1 Juni 2015 </effective_date>
<issued_date> 1 Juni 2015 </issued_date>
<changed_reg> '5/13/PBI/2003' </changed_reg>
<extension_of> '6/20/PBI/2004', '12/10/PBI/2010', '7/37/PBI/2005' </extension_of>
<related_reg> '21/UU/2011', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 5/ 14 /PBI/2003
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN DANA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
UNTUK PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
BANK PERKREDITAN RAKYAT
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja dan
mengembangkan industri Bank Perkreditan Rakyat yang sehat
diperlukan sumber daya manusia yang profesional;
b. bahwa untuk membentuk sumber daya manusia yang
profesional, Bank Perkreditan Rakyat wajib meningkatkan
pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan sumber daya
manusia melalui pendidikan dan pelatihan yang
berkesinambungan;
c. bahwa untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan sumber
daya manusia Bank Perkreditan Rakyat, diperlukan biaya dan
persiapan yang baik dan terencana;
kewajiban penyediaan dana pendidikan dan pelatihan untuk
pengembangan sumber daya manusia Bank Perkreditan Rakyat
dalam Peraturan Bank Indonesia;
BI 100 PBI(M4B)-107-10-2001-DJP
BANK INDONESIA
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992. tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN
PENYEDIAAN DANA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
UNTUK PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
BANK PERKREDITAN RAKYAT.
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan
1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR, adalah BPR
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun
1998 yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional maupun
berdasarkan Prinsip Syariah;
BI 100 PBI(A48) - 107-10-2001-DUP
BANK INDONESIA
0
0
-3-
2. Sumber Daya Manusia adalah
a. anggota direksi dan komisaris BPR;
b. dewan pengawas syariah; dan
c. pegawai BPR;
3. Direksi :
a. bagi BPR berbentuk hukum Perseran Terbatas adalah Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Persoroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian;
4. Komisaris:
a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian;
81 100 PBI(A4B)- 107-10-2001-DP
BANK INDONESIA
-4-
5. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang keanggotaannya
direkomendasikan oleh Dewan Syariah Nasional dan ditempatkan pada BPR
yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; dengan tugas
dan kewenangan yang diatur oleh Dewan Syariah Nasional;
6. Dana Pendidikan dan Pelatihan adalah dana yang disediakan oleh BPR
untuk pengembangan Sumber Daya. Manusia melalui peningkatan
pengetahuan dan ketrampilan di bidang perbankan antara lain operasional,
pemasaran dan manajemen BPR.
Pasal 2
(1) BPR wajib menyediakan Dana Pendidikan dan Pelatihan.
(2) Dana Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 5% (lima perseratus) dari realisasi
biaya Sumber Daya Manusia tahun sebelumnya.
Pasal 3
(1) Pemenuhan kewajiban penyediaan Dana Pendidikan dan Pelatihan
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan secara bertahap
yaitu
a. sekurang-kurangnya 3%6 (tiga perseratus) selama tahun 2004;
b. Sekurang-kurangnya 5% (lima perseratus) selama tahun 2005 dan
seterusnya.
(2) Dalam hal BPR telah memenuhi kewajiban penyediaan Dana Pendidikan
dan Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (D), namun belum
mencukupi untuk mengikutsertakan Sumber Daya Manusia dalam
81 100PBI(A4B) - 107-10 -.2001- DUP
BANK INDONESIA 9
pendidikan dan pelatihan, maka BPR wajib meningkatkan Dana
Pendidikan dan Pelatihan selingga dapat mnengikutsertakan sekurang-
kurangnya 1 (satu) orang dalam pendidikan dan pelatihan.
Pasal 4
(1) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan yang dibiayai dengan Dana
Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat
dilakukan dengan cara
a. dilaksanakan oleh BPR sendiri;
b. ikut serta pada pendidikan yang dilakukan oleh BPR lain,
. bersama-sama dengan BPR lain menyelenggarakan pendidikan;, atau
d. mengirim Sumber Daya Manusia untuk mengikuti pendidikan yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan perbankan.
(2) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai kemampuanl
pengetahuan di bidang perbankan baik yang berasal dari intem maupun
ekstem BPR.
(3) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh tenaga pengajar yang telah berpengalaman di bidang
perbankan dan atau bidang keuangan lainnya.
Pasal 5
(1) Direksi wajib menyusun rencana pendidikan dan pelatihan tabunan dengan
memperhatikan azas prioritas dan pemerataan pengetahuan dan ketrampilan
Sumber Daya Manusia.
8100PaI (AAB) - 107-10-2001- DJP
BANK INDONESIA
(2) Rencana pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memperoleh persetujuan dewan komisaris atau badan pengawas BPR.
(3) Rencana pendidikan dan pelatihan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(I) dilaporkan kepada Bank Indonesia dalam laporan Rencana Kerja
Tahunan.
Pasal 6
BPR yang sampai dengan akhir tahun berjalan belum merealisasikan seluruh
Dana Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
wajib menambahkan sisa Dana Pendidikan dan Pelatihan yang belum
direalisasikan tersebut ke. dalam Dana Pendidikan dan Pelatihan tabun
berikutnya.
Pasal 7
Realisasi rencana Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5
ayat (1) dilaporkan kepada Bank Indonesia dalam laporan pelaksanaan rencana
kerja oleh Dewan Komisaris.
Pasal 8
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 7, disampaikan
kepada Bank Indonesia dengan aturan sebagai berikut:
a. Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat, dengan alamat JI. M.H.
Thamrin Nomor 2, Jakarta 10010 bagi BPR konvensional yang berada di
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia
81 100PBI (MIE) - 107-10-2001-DJP
0
b. Biro Perbankan Syariah, dengan alamat Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta
10010 bagi BPR syariah yang berada di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia; atau
c. Kantor Bank Indonesia setempat bagi BPR yang berada di luar wilayah kerja
Kantor Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b.
Pasal 9
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 6 dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 52
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Pasal 10
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2004.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Juli 2003
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 90
DPBPR/BPS
8100PBI (A48)-107-10-2001-DJP
BANK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/ 14 /PBI/2003
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN DANA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
UNTUK PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
BANK PERKREDITAN RAKYAT
UMUM
Sumber Daya Manusia memiliki peran yang sangat penting bagi
peningkatan kinerja dan pengembangan industri Bank Perkreditan Rakyat,
Sehingga perlu dipersiapkan dengan baik dan terencana melalui pendidikan dan
pelatihan secara berkesinambungan.
Pengembangan Sumber Daya Manusia perbankan untuk menjadi tenaga
yang profesional melalui pendidikan yang berkesinambungan memerlukan
waktu yang panjang dan biaya yang besar, schingga setiap bank wajib
menyediakan dana untuk maksud tersebut.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Dana Pendidikan dan Pelatihan meliputi biaya
BI 100 PBI (MIB)- 107-10-2001-DP
BANK INDONESIA
a. Penyelenggaraan
b. Homorarium pengajar
c. Uang saku;
d. Transportasi dan akomodasi;
Materi pendidikan, alat tulis kantor, fotokopi, dan
f. Lainnya yang lazim dikeluarkan untuk menunjang kelancaran
penyelenggaran pendidikan dan pelatihan.
Ayat (2)
Biaya Sumber Daya Manusia adalah biaya yang dikeluarkan untuk
tenaga kerja yang terdiri dari
a. gaji dan upah beserta tunjangan-tunjangan yang dibayarkan
kepada direksi/pengurus harian dan pegawai BPR baik yang
berstatus tetap maupun tidak tetap, sebelum dikurangi dengan
pajak penghasilan dan potongan-potongan lain; dan
b. honorarium komisaris/dewan pengawas/dewan pengawas
syarial.
Pasal 3
Ayat (1)
Pemenuhan penyediaan dana Pendidikan dan Latihan
diperhitungkan dari realisasi biaya pendidikan dan latihan tahun
berjalan.
Contoh:
a. Biaya Sumber Daya Mamusia tahun 2003 sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
81 100 PBI (A4B)-107-10.2001-DJP
BANK INDONESIA
b. BPR wajib menyediakan dana pendidikan dan pelatihan tahun
2004 sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah);
c. Realisasi biaya pendidikan dan latihan pada tahun 2004
sebesar Rp2.700.000,00 juta (dua juta tujuh ratus ribu
rupiah),
maka BPR wajib menambahkan kekurangan realisasi sebesar
Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) pada penyediaan dana
pendidikan dan latihan tahun 2005.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Tenaga pengajar yang telah berpengalaman di bidang perbankan
dan atau bidang keuangan lainnya ditandai antara lain dengan latar
belakang pendidikan dan pengalaman kerja terkait.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
B1 100 PBI (MB)- 10r-10-2001-DJP
BANK INDONESIA
-4-
Ayat (3)
Laporan rencana kerja tahunan adalah sebagaimana dimaksud
dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/60/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Rencana Kerja dan
Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja Bank Perkreditan Rakyat dan
perubahannya.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Laporan pelaksanaan rencana kerja oleh Dewan Komisaris adalah
sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 31/60/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Rencana Kerja dan
Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja Bank Perkreditan Rakyat dan
perubahannya.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas..
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4308
DPBPR/BPS
81100 PBI(48)- 107-10 .2001-DUP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/14/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN DANA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN UNTUK PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 23 Juli 2003 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2004 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 9' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/ 4 /PBI/2009
TENTANG
TRANSAKSI USD REPURCHASE AGREEMENT BANK
KEPADA BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah menjaga dan memelihara
kestabilan nilai rupiah;
b. bahwa krisis keuangan global berdampak terhadap kondisi
likuiditas valuta asing di pasar domestik yang berpotensi
mengganggu stabilitas nilai tukar rupiah;
c. bahwa dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, salah
satu upaya Bank Indonesia adalah mendorong tersedianya
pasokan valuta asing di pasar domestik melalui transaksi USD
repurchase agreement;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur
ketentuan mengenai transaksi USD repurchase agreement bank
kepada Bank Indonesia dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana …
-2-
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4901) sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3844);
M E M U T U S K A N
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI
USD REPURCHASE AGREEMENT BANK KEPADA BANK
INDONESIA.
Pasal 1 …
-3-
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia.
2. USD Repurchase Agreement yang selanjutnya disebut USD Repo adalah
transaksi penjualan bersyarat surat berharga dalam mata uang USD oleh bank
kepada Bank Indonesia dengan kewajiban membeli kembali sesuai harga dan
jangka waktu yang disepakati.
3. Surat Berharga adalah global bond yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia.
4. Repo Rate adalah tingkat bunga yang dikenakan kepada bank terhadap dana USD
dalam rangka USD repo.
5. Haircut adalah faktor pengurang nilai surat berharga dalam USD repo yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam bentuk persentase.
6. Tenor adalah jangka waktu USD repo.
7. Window Time adalah waktu yang disediakan bagi bank untuk mengajukan USD
repo kepada Bank Indonesia.
8. Kustodian adalah bank atau lembaga keuangan yang ditunjuk oleh Bank
Indonesia untuk menyelenggarakan penatausahaan kegiatan yang terkait dengan
aktivitas pengelolaan surat berharga.
9. Bank Koresponden adalah bank tempat pemeliharaan rekening giro dalam rangka
pembayaran dan/atau penerimaan dana ke atau dari bank, counterpart dan
kustodian.
10. Tanggal Transaksi adalah tanggal kesepakatan USD repo bank kepada Bank
Indonesia.
11. Tanggal Valuta adalah tanggal penyelesaian transaksi yang dihitung dari tanggal
transaksi ditambah 3 (tiga) hari kerja.
12. Tanggal …
-4-
12. Tanggal Jatuh Tempo adalah tanggal berakhirnya USD repo.
13. Nilai Pembelian Kembali adalah nilai nominal pembelian kembali surat berharga
oleh bank yaitu nilai nominal USD repo ditambah dengan nilai nominal dari repo
rate.
Pasal 2
(1) Bank Indonesia membuka window USD Repo pada hari kerja paling lambat pada
pukul 13.00 WIB.
(2) Bank Indonesia mengumumkan harga pasar Surat Berharga, Repo Rate, Haircut
dan Tenor pada saat pembukaan window sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melalui Reuters.
(3) Dalam hal terdapat gangguan terhadap Reuters, pengumuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menggunakan sarana komunikasi lainnya.
Pasal 3
(1) Bank dapat mengajukan USD Repo kepada Bank Indonesia apabila memenuhi
persyaratan paling kurang memiliki Peringkat Komposit 3 (PK-3) dan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai posisi devisa neto.
(2) Pengajuan USD Repo kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara bilateral antara Bank dengan Bank Indonesia melalui sarana
Reuters Monitoring Dealing System (RMDS).
Pasal 4
(1) Surat Berharga yang dapat di-repo-kan kepada Bank Indonesia memiliki sisa
jangka waktu paling singkat melebihi jangka waktu Tenor.
(2) Sisa jangka waktu Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
singkat 1 (satu) hari kerja setelah Tanggal Jatuh Tempo.
Pasal 5 …
-5-
Pasal 5
(1) Bank mengajukan USD Repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
dengan mencantumkan nilai total nominal Surat Berharga yang di-repo-kan
dengan perincian untuk masing-masing Surat Berharga sebagai berikut:
a. identitas Surat Berharga;
b. nominal Surat Berharga;
c. sisa jangka waktu Surat Berharga; dan
d. nomor rekening Bank pada Bank Koresponden dan Kustodian.
(2) Dalam hal Surat Berharga yang di-repo-kan oleh Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) lebih dari 1 (satu) seri, maka pencantuman diurutkan dimulai dari
sisa jangka waktu yang paling mendekati maturity date dari total keseluruhan
Surat Berharga yang di-repo-kan oleh Bank.
(3) Harga pasar Surat Berharga mengacu pada harga marked to market yang berlaku
di pasar keuangan internasional.
(4) Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan milik Bank
yang mengajukan USD Repo.
Pasal 6
Bank bertanggungjawab atas kebenaran data pengajuan USD Repo sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 7
(1) Bank melakukan pengajuan USD Repo kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) melalui window pada pukul 14.00 WIB sampai
dengan pukul 15.00 WIB.
(2) Bank hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pengajuan dalam window
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada hari yang sama.
Pasal 8 …
-6-
Pasal 8
(1) Bank Indonesia melakukan pemrosesan terhadap pengajuan USD Repo
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
(2) Bank Indonesia menetapkan Bank penjual Surat Berharga yang menerima USD
Repo.
(3) Bank Indonesia menetapkan nominal USD yang diperoleh Bank penjual Surat
Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Bank Indonesia menyampaikan informasi penetapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) melalui sarana RMDS paling lambat pukul 16.30 WIB
pada Tanggal Transaksi.
Pasal 9
Bank penjual Surat Berharga yang menerima USD Repo wajib mempergunakan
nominal USD yang diperoleh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) untuk
memenuhi kebutuhan likuiditas USD Bank.
Pasal 10
(1) Masa berlaku USD Repo dimulai pada Tanggal Valuta dan berakhir pada
Tanggal Jatuh Tempo.
(2) Bank wajib mengirimkan Surat Berharga ke rekening Bank Indonesia pada
Kustodian yang ditunjuk oleh Bank Indonesia pada Tanggal Valuta.
(3) Bank Indonesia akan mengirimkan dana USD sesuai dengan USD Repo ke
rekening Bank pada Bank Koresponden yang ditunjuk oleh Bank pada Tanggal
Valuta.
Pasal 11 …
-7-
Pasal 11
(1) Pada Tanggal Jatuh Tempo, Bank membeli kembali Surat Berharga sebesar Nilai
Pembelian Kembali.
(2) Atas pembelian Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib
mengirimkan dana USD sebesar Nilai Pembelian Kembali ke rekening Bank
Indonesia pada Bank Koresponden yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(3) Pada Tanggal Jatuh Tempo Bank Indonesia akan mengirimkan Surat Berharga
kepada Bank yang bersangkutan.
(4) Bank harus menyampaikan konfirmasi pengiriman dana USD ke rekening Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 2 (dua) hari kerja
sebelum Tanggal Jatuh Tempo.
Pasal 12
Kupon Surat Berharga dalam periode USD Repo merupakan hak Bank penjual Surat
Berharga.
Pasal 13
(1) Tenor ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Jangka waktu Tenor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu)
bulan.
Pasal 14
Repo Rate ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar Singapore Interbank Offered Rate
(SIBOR) pada tanggal transaksi ditambah sejumlah margin.
Pasal 15
Haircut ditetapkan berdasarkan jangka waktu Surat Berharga.
Pasal 16 …
-8-
Pasal 16
(1) Dalam hal Bank tidak dapat membayar dana USD pada saat Tanggal Jatuh
Tempo sebesar Nilai Pembelian Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2), maka Bank Indonesia dapat menjual Surat Berharga Bank sesuai dengan
harga yang berlaku di pasar.
(2) Dalam hal nilai Surat Berharga Bank pada saat USD Repo jatuh tempo
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi Nilai Pembelian Kembali,
maka Bank Indonesia akan membebankan kekurangan pembayaran dana pada
rekening giro valuta asing Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia.
(3) Dalam hal dana pada rekening giro valuta asing Bank di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atas tidak mencukupi maka Bank
Indonesia akan membebankan kekurangan pembayaran dana pada rekening giro
rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia.
(4) Pembebanan pembayaran rekening giro valuta asing dan/atau rupiah Bank di
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) di atas
dilakukan setelah Tanggal Jatuh Tempo.
(5) Bank dikenakan tambahan kewajiban membayar sebesar Jakarta Onshore Dollar
Offer Rate (JODOR) dikalikan jangka waktu sejak Tanggal Jatuh Tempo sampai
dengan tanggal pelunasan kewajiban USD Repo.
(6) Dalam hal JODOR sebagaimana dimaksud pada ayat (5) lebih kecil daripada
SIBOR, maka tambahan kewajiban membayar dihitung berdasarkan SIBOR.
(7) Dalam hal hasil penjualan Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melebihi kewajiban membayar yang telah disepakati dalam USD Repo dan
kewajiban Bank lainnya, akan dikembalikan kepada Bank yang bersangkutan.
Pasal 17 …
-9-
Pasal 17
(1) Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu melakukan early termination terhadap
kesepakatan USD Repo apabila Bank yang bersangkutan mengalami penurunan
Peringkat Komposit di bawah persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1).
(2) Dalam hal terjadi early termination sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
Bank melakukan pembelian kembali Surat Berharga tersebut mengikuti
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(3) Dalam hal Bank tidak dapat membayar pembelian kembali Surat Berharga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka Bank Indonesia dapat menjual Surat
Berharga Bank mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(1) dan ayat (7).
(4) Dalam hal nilai Surat Berharga Bank pada saat USD Repo jatuh tempo
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencukupi Nilai Pembelian Kembali,
maka pembelian kembali Surat Berharga tersebut mengikuti ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6).
Pasal 18
Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu meniadakan window transaksi USD Repo Bank
kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan
pengumuman melalui Reuters atau sarana komunikasi lainnya paling lambat pukul
13.00 WIB.
Pasal 19
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Dalam …
-10-
(2) Dalam hal Bank tidak mengirimkan Surat Berharga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2), USD Repo dengan Bank yang bersangkutan dinyatakan
batal.
(3) Bank yang tidak mengirimkan Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), tidak termasuk karena settlement failure, dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 10/00 (satu per seribu) dari nilai nominal
transaksi yang dinyatakan batal atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) per transaksi.
(4) Bank yang tidak dapat melakukan pembayaran atas pembelian Surat Berharga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dikenakan sanksi berupa teguran
tertulis.
Pasal 20 …
-11-
Pasal 20
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Januari 2009.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Januari 2009.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 30
DPD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/ 4 /PBI/2009
TENTANG
TRANSAKSI USD REPURCHASE AGREEMENT BANK
KEPADA BANK INDONESIA
I. UMUM
Perkembangan perekonomian global memberikan pengaruh yang cukup
signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut,
Bank Indonesia berupaya untuk mengurangi dampak dari krisis keuangan global
terhadap pasar keuangan domestik. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Bank
Indonesia adalah menambah pasokan valuta asing di pasar keuangan domestik
dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah. Tercapainya kondisi likuiditas valuta
asing yang cukup di pasar keuangan domestik akan memberikan dorongan positif
terhadap pergerakan nilai tukar rupiah.
Upaya penambahan likuiditas valuta asing di pasar keuangan domestik
dilakukan melalui USD Repo. Langkah kebijakan tersebut diharapkan dapat
membantu pengelolaan likuiditas valuta asing sekaligus meningkatkan
kepercayaan pelaku pasar khususnya Bank sehingga memberikan kontribusi positif
bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 …
-2-
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sarana komunikasi lainnya antara lain sistem Laporan Harian Bank
Umum (LHBU) dan Bloomberg.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Contoh:
Pada tanggal 1 Juni 2009, Bank Indonesia mengumumkan USD Repo dengan
Tenor 1 bulan dimana Tanggal Valuta pada 4 Juni 2009, dan Tanggal Jatuh
Tempo pada 1 Juli 2009.
Bank A, Bank B, dan Bank C mengajukan USD Repo kepada Bank Indonesia
dengan sisa jangka waktu Surat Berharga sebagai berikut:
a. Surat Berharga Bank A memiliki sisa jangka waktu 15 hari dengan
maturity date pada tanggal 16 Juni 2009,
b. Surat Berharga Bank B memiliki sisa jangka waktu 30 hari dengan
maturity date pada tanggal 1 Juli 2009,
c. Surat Berharga Bank C memiliki sisa jangka waktu 31 hari dengan
maturity date pada tanggal 2 Juli 2009,
maka hanya Surat Berharga Bank C yang dapat di-repo-kan kepada Bank
Indonesia.
Pasal 5 …
-3-
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “identitas Surat Berharga”, yaitu:
1. identitas sesuai dengan Committee on Uniform Securities
Identification Procedures (CUSIP) dan/atau International
Securities Identification Number (ISIN);
2. kupon; dan
3. maturity date.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bank Indonesia menggunakan informasi harga pasar Surat Berharga
yang diperoleh dari Clearstream pada 1 (satu) hari kerja sebelum
Tanggal Transaksi. Dalam hal informasi harga pasar (marked to market)
Surat Berharga tidak dapat diperoleh dari Clearstream, maka akan
digunakan Bloomberg price atau informasi harga pasar dari pihak
lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Clearstream merupakan salah satu Kustodian Surat Berharga
Ayat (4) …
-4-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bank Indonesia menginformasikan:
a. besaran nominal jumlah USD yang diterima Bank penjual Surat
Berharga;
b. identitas Surat Berharga yang diterima Bank Indonesia;
c. informasi terkait Standar Instruksi Penyelesaian Transaksi
(Standard Settlement Instruction); dan/atau
d. informasi yang terkait lainnya,
Pasal 9 …
-5-
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “kebutuhan likuiditas” antara lain kebutuhan untuk
memenuhi permintaan nasabah dan/atau kebutuhan untuk membayar utang.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Konfirmasi dapat dikirimkan dalam bentuk swift message kepada Bank
Indonesia yang mencantumkan informasi Tanggal Jatuh Tempo, Nilai
Pembelian Kembali, identitas Surat Berharga, dan Standar Instruksi
Penyelesaian Transaksi (Standard Settlement Instruction) dalam USD
Repo yang telah disepakati.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14 …
-6-
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “margin” adalah tambahan tingkat bunga yang
besarnya disesuaikan dengan kondisi pasar keuangan.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pembebanan kekurangan pembayaran dana USD kepada rekening giro
rupiah Bank dilakukan dengan menggunakan Kurs Transaksi Jual Bank
Indonesia pada hari yang bersangkutan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Jangka waktu tambahan kewajiban membayar dihitung sejak Tanggal
Jatuh Tempo sampai dengan tanggal pelunasan kewajiban USD Repo
namun tidak termasuk tanggal pelunasan.
Ayat (6)
JODOR dan SIBOR yang digunakan adalah suku bunga pada tanggal
pelunasan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 17 …
-7-
Pasal 17
Ayat (1)
Early termination merupakan proses mempercepat Tanggal Jatuh
Tempo USD Repo oleh Bank Indonesia. Pemberitahuan early
termination akan dilakukan secara bilateral kepada Bank yang
bersangkutan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Sarana komunikasi lainnya antara lain sistem Laporan Harian Bank Umum
(LHBU) dan Bloomberg.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”settlement failure” adalah tidak terjadinya
penyelesaian transaksi pada tanggal valuta yang disebabkan oleh faktor-
faktor teknis misalnya kesalahan pencantuman rekening, tanggal valuta,
dan lain sebagainya.
Ayat (4) …
-8-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4979
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/4/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI USD REPURCHASE AGREEMENT BANK KEPADA BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 30 Januari 2009 </set_date>
<effective_date> 30 Januari 2009 </effective_date>
<issued_date> 30 Januari 2009 </issued_date>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 19' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/24/PBI/2005
TENTANG
FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM BERDASARKAN
PRINSIP SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung kelancaran sistem pembayaran di Indonesia,
Bank Indonesia telah mengimplementasikan Sistem Bank Indonesia -
Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) dan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia;
b. bahwa untuk menghindari terjadinya kemacetan pembayaran
(gridlock) dalam Sistem BI-RTGS, yang
dapat membahayakan
stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia perlu menyediakan
Fasilitas Likuiditas Intrahari kepada Bank Umum Berdasarkan Prinsip
Syariah sebagai peserta Sistem BI-RTGS;
c. bahwa untuk mengantisipasi kemungkinan kegagalan Bank dalam
memenuhi kewajibannya
sebagai
peserta dalam Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia, Bank Indonesia juga memandang perlu
untuk menyediakan
Fasilitas Likuiditas Intrahari
khusus
untuk
penyelesaian akhir kliring debet kepada Bank Umum Berdasarkan
Prinsip Syariah selain untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam
huruf b;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, huruf b dan huruf c, dipandang perlu untuk menyusun ketentuan
mengenai Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan
Prinsip Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat …
2
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/3/PBI/2003 tentang Fasilitas
Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 13, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4261) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/23/PBI/2005 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4520);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/18/PBI/2005 tentang Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4516);
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/2/PBI/2004 tentang
Bank
Indonesia-Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 15,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4363);
6. Peraturan …
3
6. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/8/PBI/2004 tentang
Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement System (BI-RTGS) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 28, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4373).
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS
LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM BERDASARKAN
PRINSIP SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, termasuk yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan
berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan.
2. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja di kantor
pusat bank umum yang melakukan kegiatan secara konvensional, yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah, atau unit
kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor
induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah.
3. Sistem …
4
3. Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut
dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Bank Indonesia
- Real Time Gross Settlement.
4. Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut
BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan penatausahaan surat
berharga secara elektronik
Indonesia yang mengatur mengenai Bank Indonesia - Scripless Securities
Settlement System.
5. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SKNBI adalah
suatu sistem kliring yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Peraturanan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia.
6. Kliring Debet adalah kegiatan SKNBI untuk transfer debet sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Bank Indonesia
Nasional Bank Indonesia.
7. Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah yang
selanjutnya disebut FLIS adalah fasilitas pendanaan yang disediakan Bank
Indonesia kepada Bank dalam kedudukan sebagai peserta Sistem BI-RTGS dan
SKNBI, yang harus dilunasi pada hari yang sama dengan hari penggunaan.
8. FLIS dalam rangka RTGS bagi Bank yang selanjutnya disebut FLIS-RTGS adalah
FLIS untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank yang terjadi selama jam
operasional Sistem BI-RTGS.
9. FLIS dalam rangka Kliring bagi Bank yang selanjutnya disebut FLIS-Kliring
adalah FLIS untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank yang terjadi pada saat
penyelesaian akhir atas hasil Kliring Debet.
10. Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah yang selanjutnya disebut
FPJPS adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam
Peraturan …
yang mengatur mengenai Sistem Kliring
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank
5
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Fasilitas Pembiayaan Jangka
Pendek Bagi Bank Syariah.
11. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SWBI adalah bukti
penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai SWBI.
12. Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah yang selanjutnya disebut
PUAS adalah pasar uang antarbank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai PUAS.
13. Mudharabah adalah perjanjian antara pemilik dana dan pengelola dana untuk suatu
kegiatan usaha, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak
berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
Pasal 2
(1) Bank dapat memperoleh FLIS baik dalam bentuk FLIS-RTGS maupun FLIS-
Kliring setelah menandatangani Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLIS dan
menyampaikan dokumen pendukung yang dipersyaratkan kepada Bank Indonesia.
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(2) FLIS
yang
diterima oleh Bank
menggunakan prinsip Mudharabah.
Pasal 3
Bank dapat menggunakan FLIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) jika
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. memiliki SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan pemerintah
berdasarkan prinsip syariah yang dapat diagunkan;
b. tidak sedang dikenakan sanksi penangguhan sebagai peserta BI-RTGS, dan atau
Peserta BI-SSSS, dan atau penghentian sebagai peserta SKNBI; dan
c. tidak….
6
c. tidak sedang dikenakan sanksi tidak dapat memperoleh FPJPS.
Pasal 4
Bank Indonesia berwenang untuk menolak atau menghentikan penggunaan FLIS
dalam hal Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Pasal 5
(1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, harus bebas dari sitaan, tidak
sedang digadaikan, atau dipertanggungkan secara apapun juga baik kepada orang
atau pihak lain maupun kepada Bank Indonesia, serta tidak tersangkut dalam suatu
perkara atau sengketa.
(2) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, tidak dapat diperjualbelikan dan
atau dijaminkan kembali oleh Bank.
(3) Perhitungan nilai SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan
pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dapat diagunkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf (a) tunduk pada ketentuan tentang agunan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah yang berlaku.
(4) Nilai maksimum FLIS yang dapat digunakan Bank adalah sebesar nilai agunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah dipindahkan Bank ke rekening
agunan surat berharga pada sarana BI-SSSS.
Pasal 6
(1) Pengagunan SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan pemerintah
berdasarkan prinsip syariah yang dapat diagunkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf a dalam rangka penggunaan FLIS-RTGS dan atau FLIS-Kliring
dilakukan melalui sarana BI-SSSS yang diatur sebagai berikut:
a. untuk …
7
a. Untuk FLIS-RTGS, Bank harus memindahkan surat berharga ke rekening
agunan FLIS-RTGS pada sarana BI-SSSS selama jam operasional Sistem BI-
RTGS pada saat Bank menilai adanya kebutuhan FLIS untuk kelancaran
transaksi di Sistem BI-RTGS (self asessment); dan
b. Untuk FLIS-Kliring, Bank harus memindahkan surat berharga ke rekening
agunan FLIS-Kliring pada sarana BI-SSSS
dalam rangka penyediaan
pendanaan awal (prefund) sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.
(2) SWBI, surat berharga dan atau tagihan lainnya yang telah dipindahkan ke
rekening agunan FLIS-Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak
dapat digunakan sebagai agunan FLIS-RTGS.
Pasal 7
(1) Penggunaan FLIS RTGS dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening giro
Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melakukan transaksi
keluar (outgoing transaction) sepanjang nilai agunan FLIS yang tersedia di
rekening agunan FLIS-RTGS dan FLIS-Kliring mencukupi.
(2) Penggunaan FLIS Kliring dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening giro
Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban
Bank atas penyelesaian akhir kliring debet sepanjang nilai agunan FLIS yang
tersedia di rekening agunan FLIS-RTGS dan FLIS-Kliring mencukupi.
(3) Dalam hal nilai agunan FLIS-Kliring tidak cukup untuk menutup kewajiban penyelesaian
akhir Kliring Debet sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) maka nilai agunan
FLIS-RTGS yang tersedia di rekening agunan FLIS-RTGS secara otomatis digunakan
untuk menutup kewajiban penyelesaian akhir Kliring Debet.
Pasal …
8
Pasal 8
Bank Indonesia dapat membatasi jenis-jenis transaksi yang diperkenankan untuk
menggunakan FLIS.
Pasal 9
Bank Indonesia memperoleh imbalan atas setiap FLIS yang digunakan oleh Bank
Syariah.
Pasal 10
(1) Pelunasan FLIS dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS setiap terdapat
transaksi masuk (incoming transaction) yang mengkredit rekening giro Rupiah
Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia sampai dengan batas waktu pelunasan
FLIS.
(2) Bank wajib melunasi FLIS sampai batas waktu pelunasan FLIS yang ditetapkan
Bank Indonesia.
(3) Dalam hal Bank Syariah tidak melunasi nilai FLIS sampai dengan batas waktu
pelunasan FLIS yang ditetapkan maka terhadap nilai FLIS yang tidak dapat
dilunasi tersebut diberlakukan sebagai FPJPS.
Pasal 11
(1) Bank dapat memindahkan kembali SWBI, surat berharga, dan atau tagihan lainnya
dari rekening agunan ke rekening perdagangan dalam hal :
a. FLIS telah dilunasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10;
b. surat berharga yang telah dipindahkan ke rekening agunan tidak sedang
digunakan sebagai agunan FLI.
(2) Khusus pemindahan kembali SWBI, surat berharga, dan atau tagihan lainnya dari
rekening agunan ke rekening perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk …
9
untuk kepentingan FLIS-Kliring tunduk pada Peraturan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.
Pasal 12
Dalam hal FLIS diberlakukan sebagai FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (2) maka:
a. Bank tunduk pada Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Fasilitas
Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah yang berlaku; dan
b. agunan FLIS diberlakukan sebagai agunan FPJPS.
Pasal 13
(1) Dalam hal Bank Syariah tidak dapat melunasi FLIS karena kegagalan Sistem BI-
RTGS dan atau BI-SSSS maka pelunasan FLIS dilakukan secara otomatis jika
terdapat transaksi masuk (incoming transaction) oleh Sistem BI-RTGS segera
setelah sistem BI-RTGS dan atau BI-SSSS berfungsi kembali.
(2) Dalam hal terjadi gangguan dimaksud, Bank Peserta BI-RTGS tetap wajib melunasi
FLIS sesuai batas waktu yang ditetapkan.
Pasal 14
Bank peserta kliring yang berada di wilayah Kliring yang belum menerapkan SKNBI
dapat menggunakan FLIS-RTGS untuk penyelesaian akhir kliring yang terjadi sebelum
cut off warning Sistem BI-RTGS
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian FLIS diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal …
10
Pasal 16
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 3 Agustus 2005.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Agustus 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 71
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/24/PBI/2005
TENTANG
FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI
BAGI BANK SYARIAH
UMUM
Implementasi Sistem BI-RTGS adalah dalam rangka menunjang kelancaran
sistem pembayaran di Indonesia khususnya penyelesaian transaksi antarbank. Dengan
Sistem BI-RTGS, penyelesaian transaksi pembayaran diselesaikan satu demi satu
secara seketika (real time), yang memungkinkan dapat terjadi kesulitan pendanaan
akibat terjadinya ketidaksesuaian antara waktu dan atau nilai transaksi yang dikirim
(outgoing transaction) dengan transaksi yang diterima (incoming transaction). Apabila
kesulitan yang dialami oleh Bank atau beberapa Bank tersebut tidak segera diatasi
dikhawatirkan dapat menyebabkan kemacetan pembayaran (gridlock) yang dapat
menimbulkan ketidakstabilan sistem keuangan secara keseluruhan.
Untuk mengatasi timbulnya kemacetan dalam sistem pembayaran di atas maka
Bank Indonesia memandang perlu untuk menyediakan fasilitas pendanaan untuk jangka
waktu yang sangat pendek berdasarkan prinsip syariah selama waktu operasional
Sistem BI-RTGS dalam bentuk FLIS-RTGS yang wajib dilunasi oleh Bank pada akhir
hari yang sama.
Disamping itu untuk mengantisipasi kemungkinan kegagalan Bank dalam
memenuhi kewajibannya sebagai peserta dalam SKNBI, Bank Indonesia juga
memandang perlu untuk menyediakan fasilitas pendanaan untuk jangka waktu yang
sangat pendek berdasarkan prinsip syariah selama waktu operasional berupa FLIS-
Kliring yang wajib dilunasi pada akhir hari yang sama.
Pemberian …
2
Pemberian FLIS ini sejalan dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia untuk
menjaga kelancaran sistem pembayaran sebagaimana ditetapkan dalam pasal 15
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
SWBI, surat berharga, dan atau tagihan lainnya yang diagunkan adalah
yang dimiliki oleh Bank pengguna FLIS dan tercatat dalam sarana BI-
SSSS.
Huruf b
Kriteria pengenaan sanksi penangguhan (suspend) tunduk pada Peraturan
Bank Indonesia tentang Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement dan
atau Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Indonesia – Scripless
Securities Settlement System yang berlaku dan atau Peraturan Bank
Indonesia tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal…
3
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan pendanaan awal (prefund) adalah
penyediaan dana dan atau surat berharga oleh Bank peserta SKNBI
pada awal hari sebelum kegiatan Kliring Debet dimulai. Dalam
ketentuan ini, penyediaan pendanaan awal yang diatur adalah
dalam bentuk surat berharga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penggunaan FLIS-RTGS dilakukan secara
otomatis” adalah bahwa nilai atas pengagunan surat berharga yang telah
dilakukan Bank langsung digunakan untuk menutup ketidakcukupan
saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia.
Ayat …
4
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Dalam hal Bank masih menggunakan sebagian atau seluruh FLIS yang
disetujui Bank Indonesia maka Sistem BI-RTGS secara otomatis
menggunakan dana yang
transaction) untuk terlebih dahulu melunasi FLIS.
Proses penggunaan dan pelunasan FLIS berlangsung terus sampai dengan
batas akhir waktu pelunasan FLIS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal…
berasal dari transaksi masuk (incoming
5
Pasal 12
Dalam hal FLIS diberlakukan sebagai FPJPS maka Bank tidak perlu mengajukan
surat pengajuan FPJPS secara tertulis atas pengalihan FLIS yang tidak dapat
dilunasi menjadi FPJPS.
Apabila Bank sedang menggunakan dan melakukan perpanjangan FPJPS maka
nilai FLIS dimaksud akan disatukan dengan nilai FPJPS yang sedang digunakan
Bank dan jumlah hari penggunaan FPJPS yang sudah digunakan Bank.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-RTGS adalah kegagalan
RTGS Central Computer (RCC) sehingga seluruh Bank Peserta BI-RTGS
dan/atau Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari terminal
RTGS (RT) ke RCC.
Gangguan pada salah satu atau beberapa RT dan/atau gangguan pada
jaringan RTGS yang mengakibatkan satu atau beberapa Bank Peserta BI-
RTGS tidak dapat mengirimkan transaksi ke RCC, tidak dianggap sebagai
kegagalan Sistem BI-RTGS.
Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-SSSS adalah kegagalan
SSSS Central Computer (SCC) pada sarana BI-SSSS sehingga seluruh
Bank dan/atau Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari
SSSS System Terminal (ST) ke SCC.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal …
6
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Pokok-pokok ketentuan yang akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia
meliputi antara lain:
1. Tata cara penyampaian Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLIS;
2. Tata cara perhitungan dan pengenaan imbalan atas penggunaan FLIS;
3. Tata cara pemindahan surat berharga dari rekening perdagangan ke rekening
agunan dan sebaliknya;
4. Batas akhir waktu penggunaan dan pelunasan FLIS.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005
NOMOR 4521
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/24/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 3 Agustus 2005 </set_date>
<effective_date> 3 Agustus 2005 </effective_date>
<related_reg> '5/3/PBI/2003', '23/UU/1999', '6/8/PBI/2004', '3/UU/2004', '7/18/PBI/2005', '7/23/PBI/2005', '6/2/PBI/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/11/PBI/2016
TENTANG
PASAR UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah;
b. bahwa untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai
Rupiah, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter, makroprudensial, sistem
pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah, yang perlu
didukung antara lain oleh pasar keuangan yang efisien;
c. bahwa untuk mencapai pasar keuangan yang efisien,
antara lain dibutuhkan pasar uang yang likuid dan
dalam;
d. bahwa pasar uang yang likuid dan dalam dapat
meningkatkan fleksibilitas dan kelancaran pengelolaan
dana pelaku pasar, sehingga diperlukan peran Bank
Indonesia untuk mengatur, memberikan perizinan,
mengembangkan, dan mengawasi pasar uang;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pasar Uang. abcdefghuijkklmnopwgagagagagaggaagaga
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PASAR UANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang
bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam-
meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai
dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang Rupiah dan
valuta asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan
moneter, pencapaian stabilitas sistem keuangan, dan
kelancaran sistem pembayaran.
2. Pelaku Pasar Uang yang selanjutnya disebut Pelaku
Pasar adalah pihak yang melakukan kegiatan penerbitan
Instrumen Pasar Uang dan/atau melakukan transaksi di
Pasar Uang.
- 3 -
3. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan
di luar negeri, dan Bank Umum Syariah termasuk Unit
Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.
4. Perusahaan Efek adalah pihak sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar
modal.
5. Nasabah adalah Pelaku Pasar yang menggunakan jasa
pihak lain.
6. Lembaga Pendukung Pasar Uang adalah pihak yang
dapat memberikan jasa terkait penerbitan Instrumen
Pasar Uang, perantara pelaksanaan transaksi,
penyelesaian transaksi, penatausahaan instrumen dan
transaksi di Pasar Uang, dan pihak lainnya yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
7.
Instrumen Pasar Uang adalah instrumen yang
ditransaksikan di Pasar Uang, yang meliputi instrumen
yang diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 1
(satu) tahun, sertifikat deposito, dan instrumen lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia, termasuk yang
berdasarkan prinsip syariah.
8. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah
Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
perusahaan pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing.
Pasal 2
Bank Indonesia melakukan pengaturan, perizinan,
pengembangan, dan pengawasan Pasar Uang dalam rangka:
a. meningkatkan efektivitas kebijakan moneter;
b. mencegah dan mengurangi risiko sistemik;
c. meningkatkan efisiensi Pasar Uang;
d. meningkatkan fungsi intermediasi yang berdaya tahan;
dan
- 4 -
e. mengembangkan pasar keuangan.
BAB II
PELAKU PASAR DAN LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG
Pasal 3
(1) Pelaku Pasar terdiri atas:
a. Bank;
b. Perusahaan Efek; dan
c. Nasabah.
(2) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
antara lain terdiri atas:
a. Bank;
b. Perusahaan Efek;
c.
korporasi;
d. orang perseorangan; dan
e. bukan penduduk.
(3) Pelaku Pasar berupa Bank dan Perusahaan Efek
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf
b dapat melakukan kegiatan di Pasar Uang untuk
kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
Nasabah.
(4) Bank dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) melakukan kegiatan di Pasar Uang secara
langsung tanpa melalui Lembaga Pendukung Pasar
Uang.
(5) Pelaku Pasar berupa Nasabah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c melakukan kegiatan di Pasar Uang
hanya untuk kepentingan sendiri.
(6) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam
melakukan kegiatan di Pasar Uang harus melalui
Lembaga Pendukung Pasar Uang.
Pasal 4
(1) Lembaga Pendukung Pasar Uang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (6) meliputi:
a. Bank;
- 5 -
b. Perusahaan Efek;
c. Perusahaan Pialang; dan
d. lembaga lainnya yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Bank dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan huruf b dapat bertindak antara lain
sebagai agen penerbit, agen penjual, penatausahaan dan
penyelesaian transaksi.
(3) Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dapat bertindak sebagai perantara transaksi
Nasabah di Pasar Uang.
BAB III
KEGIATAN DI PASAR UANG
Pasal 5
(1) Kegiatan di Pasar Uang meliputi:
a. penerbitan Instrumen Pasar Uang; dan/atau
b. transaksi di Pasar Uang.
(2) Transaksi di Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b tidak termasuk transaksi antar-Nasabah
yang dilakukan tanpa melalui Lembaga Pendukung
Pasar Uang.
Pasal 6
Jenis transaksi di Pasar Uang terdiri atas:
a. transaksi jual-beli Instrumen Pasar Uang;
b. transaksi pinjam-meminjam atau pendanaan selain
kredit dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu)
tahun, yang meliputi:
1. transaksi pinjam-meminjam atau pendanaan
dengan menggunakan agunan (secured); atau
2. transaksi pinjam-meminjam atau pendanaan tanpa
menggunakan agunan (unsecured); dan
c. transaksi derivatif suku bunga Rupiah untuk semua
jangka waktu.
- 6 -
BAB IV
INSTRUMEN PASAR UANG
Pasal 7
(1) Bank Indonesia menetapkan persyaratan Instrumen
Pasar Uang.
(2) Instrumen Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memenuhi persyaratan paling kurang:
a. scripless; dan
b. terdapat keterbukaan informasi rating.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikecualikan untuk instrumen moneter Bank Indonesia
dan Instrumen Pasar Uang yang diatur dalam Undang-
Undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai masing-masing
Instrumen Pasar Uang diatur dengan ketentuan Bank
Indonesia.
BAB V
PERIZINAN PENERBITAN INSTRUMEN PASAR UANG
Pasal 8
(1) Pelaku Pasar yang akan menerbitkan Instrumen Pasar
Uang wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia.
(2) Pelaku Pasar yang dapat menerbitkan Instrumen Pasar
Uang yaitu:
a. Bank;
b. Perusahaan Efek; dan
c. Nasabah berupa Bank, Perusahaan Efek, dan
korporasi.
(3) Pelaku Pasar berupa Nasabah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c hanya dapat melakukan penerbitan
Instrumen Pasar Uang melalui Lembaga Pendukung
Pasar Uang berupa Bank dan Perusahaan Efek.
(4) Lembaga Pendukung Pasar Uang dilarang memberikan
jasa terkait penerbitan Instrumen Pasar Uang yang
- 7 -
dilakukan oleh Nasabah orang perseorangan dan
Nasabah bukan penduduk.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan
mekanisme pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan ketentuan Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Lembaga Pendukung Pasar Uang berupa Bank dan
Perusahaan Efek wajib memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
(2) Lembaga Pendukung Pasar Uang berupa Perusahaan
Pialang yang menjadi perantara transaksi Nasabah di
Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3) wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan
mekanisme pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan ketentuan Bank
Indonesia.
Pasal 10
Pelaku Pasar wajib menyampaikan salinan izin penerbitan
instrumen pasar uang kepada Bank Indonesia dalam hal
terdapat otoritas lain yang mewajibkan Pelaku Pasar untuk
memperoleh izin penerbitan Instrumen Pasar Uang.
BAB VI
HARGA ACUAN
Pasal 11
(1) Bank Indonesia menetapkan harga acuan berupa suku
bunga penawaran antarbank.
(2) Dalam menetapkan suku bunga penawaran antarbank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
menetapkan bank kontributor.
(3) Harga acuan berupa suku bunga penawaran antarbank
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai suku bunga penawaran antarbank.
- 8 -
Pasal 12
Dalam melakukan transaksi Instrumen Pasar Uang, Pelaku
Pasar dapat mengacu pada suku bunga penawaran
antarbank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
BAB VII
PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN MANAJEMEN RISIKO DI
PASAR UANG
Pasal 13
(1) Pelaku Pasar yang menerbitkan Instrumen Pasar Uang
dan/atau melakukan transaksi di Pasar Uang wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian.
(2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mencakup paling kurang:
a.
etika bertransaksi dan market code of conduct atau
pedoman lain yang sejenis;
b. transparansi dan keterbukaan informasi;
c. perlindungan konsumen; dan
d. mekanisme penyelesaian sengketa (dispute
resolution).
(3) Pelaku Pasar yang menerbitkan Instrumen Pasar Uang,
selain menerapkan prinsip kehati-hatian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), juga mempertimbangkan risiko
sistemik Pelaku Pasar yang menerbitkan Instrumen
Pasar Uang terhadap industri Pelaku Pasar.
(4) Dalam menerapkan prinsip kehati-hatian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan mempertimbangkan risiko
sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelaku
Pasar mengacu pada ketentuan yang dikeluarkan oleh
otoritas yang berwenang dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 14
(1) Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pegawai atau
staf Pelaku Pasar yang melakukan aktivitas treasury
- 9 -
wajib memiliki sertifikasi treasury dari lembaga yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban sertifikasi
treasury sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia.
Pasal 15
(1) Dalam melakukan transaksi di Pasar Uang, Pelaku Pasar
wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif.
(2) Bank yang melakukan transaksi di Pasar Uang wajib
menerapkan manajemen risiko sebagaimana diatur
dalam ketentuan yang mengatur mengenai penerapan
manajemen risiko bank umum.
(3) Perusahaan Efek yang melakukan transaksi di Pasar
Uang wajib menerapkan manajemen risiko sebagaimana
diatur oleh otoritas yang berwenang.
Pasal 16
Kewajiban penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 dan kewajiban penerapan
manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
dikecualikan bagi Pelaku Pasar berupa Nasabah orang-
perseorangan dan Nasabah bukan penduduk.
BAB VIII
INFRASTRUKTUR PASAR UANG
Pasal 17
(1) Bank Indonesia menetapkan infrastruktur Pasar Uang.
(2) Infrastruktur Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. sarana pelaksanaan transaksi;
b. sarana penyelesaian dana;
c. sarana penyelesaian Instrumen Pasar Uang;
d. sarana penatausahaan Instrumen Pasar Uang; dan
e. sarana pengelolaan data dan informasi Pasar Uang.
- 10 -
(3) Sarana pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a menggunakan sistem Bank
Indonesia Electronic Trading Platform (BI-ETP) atau
sarana pelaksanaan transaksi lainnya yang lazim
digunakan di Pasar Uang.
(4) Sarana penyelesaian dana sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b untuk Rupiah di luar pemindahbukuan
(overbooking) menggunakan sistem pembayaran yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia.
(5) Sarana penyelesaian Instrumen Pasar Uang dan
penatausahaan Instrumen Pasar Uang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d
menggunakan Bank Indonesia Scripless Securities
Settlement System (BI-SSSS) atau sarana penyelesaian
dan penatausahaan instrumen lainnya yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(6) Sarana pengelolaan data dan informasi Pasar Uang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dilakukan
melalui sistem pelaporan transaksi Bank Indonesia atau
sistem lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 18
(1) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk
melaksanakan fungsi:
a. penyelesaian transaksi;
b. penatausahaan Instrumen Pasar Uang; dan/atau
c. pelaksanaan kliring transaksi di Pasar Uang.
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara
lain terdiri atas:
a. lembaga penyimpanan dan penyelesaian; dan
b. lembaga kliring dan penjaminan.
(3) Lembaga penyimpanan dan penyelesaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a melakukan kegiatan
penatausahaan Instrumen Pasar Uang dan penyelesaian
transaksi di Pasar Uang.
- 11 -
(4) Lembaga kliring dan penjaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b bertindak sebagai penyelenggara
kliring dan penjaminan transaksi di Pasar Uang.
(5) Lembaga penyimpanan dan penyelesaian yang ditunjuk
oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) wajib menatausahakan Instrumen Pasar Uang yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2).
(6) Pelaksanaan kliring transaksi di Pasar Uang dilakukan
oleh Bank Indonesia atau lembaga kliring yang ditunjuk
oleh Bank Indonesia.
Pasal 19
(1) Bank Indonesia mengatur mekanisme penyelesaian
transaksi di Pasar Uang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme
penyelesaian transaksi di Pasar Uang diatur dengan
ketentuan Bank Indonesia.
BAB IX
PELAPORAN
Pasal 20
(1) Pelaku Pasar berupa Bank dan Perusahaan Efek serta
Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan
transaksi di Pasar Uang wajib melaporkan data dan
informasi transaksi kepada Bank Indonesia melalui
sistem pelaporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
ketentuan Bank Indonesia.
- 12 -
BAB X
PENGAWASAN PASAR UANG
Pasal 21
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
kegiatan di Pasar Uang.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi
dengan otoritas lain yang berwenang.
(3) Pengawasan terhadap kegiatan di Pasar Uang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
Pasal 22
(1) Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, Pelaku Pasar dan Lembaga Pendukung
Pasar Uang wajib menyediakan dan menyampaikan data,
informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan oleh
Bank Indonesia.
(2) Pelaku Pasar wajib bertanggung jawab atas kebenaran
data, informasi, dan/atau keterangan yang disampaikan
kepada Bank Indonesia.
Pasal 23
(1) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk
melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (3) huruf b.
(2) Pihak yang ditugaskan melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga
kerahasiaan data, informasi, dan keterangan yang
diperoleh dari hasil pemeriksaaan.
- 13 -
BAB XI
SANKSI
Pasal 24
(1) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif atas
setiap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap Pelaku
Pasar dan Lembaga Pendukung Pasar Uang.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berupa:
a. teguran tertulis;
b. kewajiban membayar;
c. penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang;
d. pencabutan izin usaha di Pasar Uang; dan/atau
e. pembatasan dan/atau larangan kegiatan dalam
sistem pembayaran.
(3) Pelaku Pasar dan/atau Lembaga Pendukung Pasar Uang
yang melanggar ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2), Pasal
8 ayat (4), dan Pasal 22 dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(4) Lembaga penyimpanan dan penyelesaian yang ditunjuk
oleh Bank Indonesia yang melanggar ketentuan dalam
Pasal 18 ayat (5) dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(5) Pihak yang ditugaskan oleh Bank Indonesia untuk
melakukan pemeriksaan yang melanggar Pasal 23 ayat
(2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
(6) Setiap Pelaku Pasar dan Lembaga Pendukung Pasar
Uang yang dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tetap wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 22.
(7) Bank Indonesia menyampaikan informasi mengenai
pengenaan sanksi terhadap Pelaku Pasar, Lembaga
Pendukung Pasar Uang, lembaga penyimpanan dan
penyelesaian yang ditunjuk oleh Bank Indonesia, dan
- 14 -
pihak yang ditugaskan oleh Bank Indonesia untuk
melakukan pemeriksaan, kepada:
a. Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal sanksi
dikenakan kepada Pelaku Pasar, Lembaga
Pendukung Pasar Uang, dan lembaga penyimpanan
dan penyelesaian yang ditunjuk oleh Bank
Indonesia yang berada di bawah pengawasan
Otoritas Jasa Keuangan;
b. Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara,
dalam hal sanksi dikenakan kepada Nasabah
berupa korporasi Badan Usaha Milik Negara;
c. Bursa Efek Indonesia, dalam hal sanksi dikenakan
bagi Nasabah berupa korporasi publik yang tercatat
di Bursa Efek Indonesia; dan/atau
d.
Instansi yang berwenang, dalam hal sanksi
dikenakan kepada pihak yang ditugaskan oleh Bank
Indonesia untuk melakukan pemeriksaan.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25
Instrumen Pasar Uang yang telah diterbitkan, ditransaksikan,
dan/atau menjadi agunan (collateral) dan/atau underlying
transaksi di Pasar Uang sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini yang tidak memenuhi persyaratan Instrumen
Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2),
masih dapat ditransaksikan hingga jatuh waktu.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
21/55/KEP/DIR tanggal 27 Oktober 1988 tentang Pasar
Uang dan Penempatan Dana Antar Bank; dan
- 15 -
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 21/32/UPG tanggal
27 Oktober 1988 perihal Pasar Uang dan Penempatan
Dana Antar Bank,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 27
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31
Agustus 2016.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Juli 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juli 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR
148
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/11/PBI/2016
TENTANG
PASAR UANG
I. UMUM
Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,
Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter melalui Pasar Uang
baik Rupiah maupun valuta asing. Untuk meningkatkan efektivitas
kebijakan moneter, makroprudensial, sistem pembayaran dan
pengelolaan uang Rupiah yang dilakukan oleh Bank Indonesia,
diperlukan pendalaman pasar keuangan guna mencapai pasar uang
domestik yang efisien, likuid, dan dalam.
Pasar uang yang efisien, likuid, dan dalam tidak hanya akan
mendukung efektivitas kebijakan moneter, makroprudensial, sistem
pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah, tapi juga dapat memberikan
fleksibilitas bagi Pelaku Pasar dalam rangka pengelolaan dana, baik
untuk kegiatan pendanaan, investasi, maupun kegiatan ekonomi lainnya.
Oleh karena itu, Bank Indonesia perlu mempercepat proses pendalaman
Pasar Uang melalui pengaturan, perizinan, pengembangan, dan
pengawasan yang komprehensif terhadap berbagai transaksi dan
instrumen di Pasar Uang.
Pengaturan Pasar Uang juga dilakukan dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan mengenai perbendaharaan negara terkait
penggunaan instrumen Surat Utang Negara sebagai instrumen moneter
melalui operasi moneter yang dilakukan antara lain dengan transaksi
repurchase agreement (repo). Ahh..................................................ahahahah
- 2 -
Pengaturan Pasar Uang dimaksudkan untuk memberikan landasan
hukum sehingga dapat menjadi pedoman dan memberikan kepastian
hukum bagi Pelaku Pasar dalam bertransaksi di Pasar Uang.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “korporasi” adalah badan usaha
selain Bank dan Perusahaan Efek.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “bukan penduduk” adalah orang,
badan hukum atau badan lainnya yang tidak berdomisili di
Indonesia atau berdomisili di Indonesia kurang dari 1 (satu)
tahun dan kegiatan utamanya tidak di Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 3 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Transaksi jual-beli Instrumen Pasar Uang misalnya transaksi
jual-beli sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit) dan
commercial paper berbentuk scripless.
Huruf b
Angka 1
Transaksi pinjam-meminjam atau pendanaan dengan
menggunakan Instrumen Pasar Uang, Instrumen Pasar
Uang berdasarkan prinsip syariah, dan instrumen
keuangan lainnya sebagai agunan antara lain transaksi
repurchase agreement (repo) dengan agunan (collateral)
dan/atau underlying Sertifikat Bank Indonesia (SBI),
Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI), Surat Berharga
Negara (SBN), Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan
obligasi korporasi.
Transaksi repurchase agreement (repo) mencakup transaksi
jual-beli Instrumen Pasar Uang dengan janji beli atau jual
kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan
dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun
(secured short-term borrowing and lending).
Angka 2
Transaksi pinjam-meminjam tanpa menggunakan
Instrumen Pasar Uang dan instrumen keuangan lain
sebagai agunan antara lain transaksi di Pasar Uang Antar
Bank (PUAB) dan Pasar Uang Antar Bank berdasarkan
prinsip syariah (PUAS).
- 4 -
Pasar Uang Antar Bank (PUAB) mencakup kegiatan pinjam-
meminjam dana dalam Rupiah atau valuta asing antara
satu Bank dan Bank lainnya dengan tenor sampai dengan
1 (satu) tahun, tanpa menggunakan Instrumen Pasar Uang
sebagai agunan (collateral) dan/atau underlying (unsecured
interbank short-term borrowing/lending) antara lain berupa
interbank call money.
Huruf c
Contoh transaksi derivatif suku bunga Rupiah adalah transaksi
derivatif interest rate swap Rupiah dengan tenor 3 (tiga) tahun.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “scripless” adalah pencatatan
kepemilikan surat berharga yang dilakukan tanpa warkat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “keterbukaan informasi rating”
dapat berupa pengumuman rating pada saat penerbitan
Instrumen Pasar Uang atau informasi bahwa perusahaan
memiliki atau tidak memiliki rating.
Rating merupakan peringkat yang dikeluarkan oleh
lembaga pemeringkat di dalam atau luar negeri sesuai
ketentuan otoritas perbankan, atau ketentuan lain yang
ditetapkan Bank Indonesia.
Ayat (3)
Instrumen moneter Bank Indonesia antara lain Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI).
Contoh Instrumen Pasar Uang yang sudah diatur dalam
Undang-Undang antara lain surat perbendaharaan negara dan
wesel ekspor.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 8
Ayat (1)
Contoh Instrumen Pasar Uang antara lain sertifikat deposito,
commercial paper, banker’s acceptance, promissory note, dan
instrumen lain dengan tenor sampai dengan 1 (satu) tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengaturan, pemberian izin, dan pengawasan Perusahaan
Pialang mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai
perusahaan pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Suku bunga penawaran antarbank yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia antara lain Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan yang
berlaku” antara lain Undang-Undang mengenai perlindungan
konsumen, arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, serta
pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pegawai atau staf Pelaku Pasar yang
melakukan aktivitas treasury” adalah pegawai atau staf Pelaku
Pasar yang melaksanakan fungsi di front office yaitu penjualan
(sales), pelaksanaan transaksi (trader), dan/atau manajemen.
Sertifikasi treasury ditujukan untuk standardisasi kompetensi
treasury, meningkatkan daya saing treasury, dan menegakkan
etika bertransaksi dalam rangka meningkatkan peran serta
kontribusi profesi treasury di pasar keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “lembaga penyimpanan dan
penyelesaian” antara lain adalah PT. Kustodian Sentral
Efek Indonesia (KSEI).
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Contoh mekanisme penyelesaian transaksi di Pasar Uang
adalah:
a. Delivery versus payment (DVP) untuk transaksi jual-beli
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) di pasar sekunder.
b. Free of payment untuk transaksi pengagunan surat
berharga dilakukan tanpa penyerahan surat-surat berharga
(pledge).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Pemeriksaan oleh pihak lain dilakukan untuk dan atas nama
Bank Indonesia.
Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia antara lain
akuntan publik dan penilai publik.
Dalam menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan,
Bank Indonesia mengeluarkan surat perintah kerja dan
menetapkan terms of reference.
Ayat (2)
Kewajiban merahasiakan data, informasi, dan keterangan yang
diperoleh dari pemeriksaan berlaku untuk seluruh komisaris,
direksi, manajer, tenaga ahli, staf pengawas, dan staf
pendukung lainnya yang terkait dengan pemeriksaan.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5909
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/11/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PASAR UANG </reg_title>
<set_date> 28 Juli 2016 </set_date>
<effective_date> 31 Agustus 2016 </effective_date>
<issued_date> 29 Juli 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '21/32/UPG|SE-BI/1988', '21/55/KEP/DIR|SK-DIR/1988' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
- 1 -
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/ 12 /PBI/2013
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan
yang sehat dan mampu berkembang serta bersaing
secara nasional maupun internasional, maka bank perlu
meningkatkan kemampuan untuk menyerap risiko yang
disebabkan oleh kondisi krisis dan/atau pertumbuhan
kredit perbankan yang berlebihan;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan kemampuan bank
untuk menyerap risiko, diperlukan peningkatan kualitas
dan kuantitas permodalan bank sesuai dengan standar
internasional;
c. bahwa peningkatan kualitas modal dilakukan melalui
penyesuaian persyaratan komponen dan instrumen
modal bank, serta penyesuaian rasio-rasio permodalan;
d. bahwa dalam rangka meningkatkan kuantitas modal,
bank perlu membentuk tambahan modal di atas
persyaratan penyediaan modal minimum sesuai profil
risiko yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila
terjadi krisis keuangan dan ekonomi yang dapat
mengganggu stabilitas sistem keuangan;
e. bahwa ...
- 2 -
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia
tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
Umum;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN
PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM.
BAB I ...
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional.
2. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah
direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah
direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah
pemimpin kantor cabang.
3. Dewan Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah
dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perkoperasian;
d. bagi ...
- 4 -
d. bagi kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri
adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi
pengawasan.
4. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki
dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak
langsung, baik di dalam maupun di luar negeri, yang melakukan
kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri dari:
a. Perusahaan Subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan Anak
dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh persen);
b. Perusahaan Partisipasi (participation company) adalah Perusahaan
Anak dengan kepemilikan Bank sebesar 50% (lima puluh persen)
atau kurang, namun Bank memiliki Pengendalian terhadap
perusahaan;
c. Perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh
persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) yang memenuhi
persyaratan yaitu:
1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada Perusahaan
Anak adalah masing-masing sama besar; dan
2) masing-masing pemilik melakukan Pengendalian secara
bersama terhadap Perusahaan Anak;
d. Entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan yang
berlaku wajib dikonsolidasikan,
namun tidak termasuk perusahaan asuransi dan perusahaan yang
dimiliki dalam rangka restrukturisasi kredit.
5. Pengendalian adalah pengendalian sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi dan publikasi
laporan Bank.
6. Capital Equivalency Maintained Assets yang selanjutnya disingkat
CEMA adalah alokasi dana usaha kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri yang wajib ditempatkan pada aset
keuangan dalam jumlah dan persyaratan tertentu.
7. Internal ...
- 5 -
7. Internal Capital Adequacy Assessment Process yang selanjutnya
disingkat ICAAP adalah proses yang dilakukan Bank untuk
menetapkan kecukupan modal sesuai dengan profil risiko Bank, dan
penetapan strategi untuk memelihara tingkat permodalan.
8. Supervisory Review and Evaluation Process yang selanjutnya disingkat
SREP adalah proses kaji ulang yang dilakukan oleh Bank Indonesia atas
hasil ICAAP Bank.
9. Capital Conservation Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai
penyangga (buffer) apabila terjadi kerugian pada periode krisis.
10. Countercyclical Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai
penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi
pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi
mengganggu stabilitas sistem keuangan.
11. Capital Surcharge untuk Domestic Systemically Important Bank (D-SIB)
adalah tambahan modal yang berfungsi untuk mengurangi dampak
negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian apabila
terjadi kegagalan Bank yang berdampak sistemik melalui peningkatan
kemampuan Bank dalam menyerap kerugian.
12. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan atau pihak
lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank.
13. Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening
administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara
keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga
option.
14. Risiko Operasional adalah risiko akibat ketidakcukupan dan/atau
tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan
sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional Bank.
15. Trading ...
- 6 -
15. Trading Book adalah seluruh posisi instrumen keuangan dalam neraca
dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif yang dimiliki
Bank dengan tujuan untuk:
a. diperdagangkan dan dapat dipindahtangankan dengan bebas atau
dapat dilindung nilai secara keseluruhan, baik dari transaksi
untuk kepentingan sendiri (proprietary positions), atas permintaan
nasabah maupun kegiatan perantaraan (brokering), dan dalam
rangka pembentukan pasar (market making), yang meliputi:
1) posisi yang dimiliki untuk dijual kembali dalam jangka pendek;
2) posisi yang dimiliki untuk tujuan memperoleh keuntungan
jangka pendek secara aktual dan/atau potensi dari pergerakan
harga (price movement); atau
3) posisi yang dimiliki untuk tujuan mempertahankan
keuntungan arbitrase (locking in arbitrage profits);
b. lindung nilai atas posisi lainnya dalam Trading Book.
16. Banking Book adalah semua posisi lainnya yang tidak termasuk dalam
Trading Book.
Pasal 2
(1) Bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko.
(2) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung dengan menggunakan rasio Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM).
(3) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan paling rendah sebagai berikut:
a. 8% (delapan persen) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)
untuk Bank dengan profil risiko peringkat 1 (satu);
b. 9% (sembilan persen) sampai dengan kurang dari 10% (sepuluh persen)
dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 2 (dua);
c. 10% (sepuluh persen) sampai dengan kurang dari 11% (sebelas
persen) dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 3
(tiga); atau
d. 11% ...
- 7 -
d. 11% (sebelas persen) sampai dengan 14% (empat belas persen) dari
ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 4 (empat) atau
peringkat 5 (lima).
(4) Bank Indonesia berwenang menetapkan modal minimum lebih besar
dari modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam hal
Bank Indonesia menilai Bank menghadapi potensi kerugian yang
membutuhkan modal lebih besar.
(5) Kewajiban pemenuhan modal mínimum sesuai profil risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. Pemenuhan modal mínimum posisi bulan Maret sampai dengan
bulan Agustus didasarkan pada peringkat profil risiko posisi bulan
Desember tahun sebelumnya;
b. Pemenuhan modal mínimum posisi bulan September sampai
dengan bulan Februari tahun berikutnya didasarkan pada
peringkat profil risiko posisi bulan Juni;
c. Dalam hal terjadi perubahan peringkat profil risiko di antara
periode penilaian profil risiko, maka pemenuhan modal minimum
didasarkan pada peringkat profil risiko terakhir.
Pasal 3
(1) Selain kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib membentuk
tambahan modal sebagai penyangga (buffer) sesuai dengan kriteria
yang diatur dalam ketentuan ini.
(2) Tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. Capital Conservation Buffer;
b. Countercyclical Buffer; dan/atau
c. Capital Surcharge untuk D-SIB.
(3) Besarnya tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur sebagai berikut:
a. Capital Conservation Buffer ditetapkan sebesar 2,5% (dua koma
lima persen) dari ATMR;
b. Countercyclical ...
- 8 -
b. Countercyclical Buffer ditetapkan dalam kisaran sebesar 0% (nol
persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR;
c. Capital Surcharge untuk D-SIB ditetapkan dalam kisaran sebesar
1% (satu persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari
ATMR.
(4) Penetapan besarnya persentase Countercyclical Buffer sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan oleh Bank Indonesia.
(5) Bank Indonesia dapat menetapkan besarnya kisaran persentase
Countercyclical Buffer yang berbeda dari kisaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b sesuai dengan perkembangan kondisi
makroekonomi.
(6) Penetapan besarnya persentase Capital Surcharge untuk D-SIB
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan oleh otoritas
yang berwenang.
(7) Otoritas yang berwenang dapat menetapkan persentase Capital
Surcharge untuk D-SIB yang lebih besar dari kisaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf c.
(8) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dipenuhi dengan komponen modal inti utama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a.
(9) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
diperhitungkan setelah komponen modal inti utama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a dialokasikan untuk
memenuhi kewajiban penyediaan:
a. modal inti utama minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (3);
b. modal inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2); dan
c. modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3).
Pasal 4 ...
- 9 -
Pasal 4
(1) Kewajiban pembentukan Capital Conservation Buffer sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a berlaku bagi Bank yang
tergolong sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4.
(2) Kewajiban pembentukan Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b berlaku bagi seluruh Bank.
(3) Kewajiban pembentukan Capital Surcharge untuk D-SIB sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c berlaku bagi Bank yang
ditetapkan berdampak sistemik.
Pasal 5
Penetapan Bank yang berdampak sistemik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) dilakukan oleh otoritas yang berwenang sesuai ketentuan
yang berlaku.
Pasal 6
(1) Kewajiban Bank untuk membentuk tambahan modal berupa Capital
Conservation Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
huruf a berlaku secara bertahap mulai tanggal 1 Januari 2016.
(2) Pembentukan Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dipenuhi secara bertahap sebagai berikut:
a. sebesar 0,625% (nol koma enam ratus dua puluh lima persen) dari
ATMR mulai tanggal 1 Januari 2016;
b. sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari ATMR
mulai tanggal 1 Januari 2017;
c. sebesar 1,875% (satu koma delapan ratus tujuh puluh lima persen)
dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2018; dan
d. sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1
Januari 2019.
(3) Kewajiban ...
- 10 -
(3) Kewajiban Bank untuk membentuk tambahan modal berupa
Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
huruf b mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016.
(4) Berdasarkan penilaian Bank Indonesia atas kondisi makroekonomi
Indonesia, Bank Indonesia dapat menetapkan pemberlakuan
Countercyclical Buffer lebih cepat dari waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
(5) Kewajiban Bank untuk membentuk Capital Surcharge untuk D-SIB
bagi Bank yang ditetapkan berdampak sistemik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 2016.
(6) Metode perhitungan dan tata cara pembentukan Capital Surcharge
untuk D-SIB akan diatur lebih lanjut oleh otoritas yang berwenang.
Pasal 7
Dalam hal Bank memiliki dan/atau melakukan Pengendalian terhadap
Perusahaan Anak, kewajiban penyediaan modal minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan kewajiban pembentukan tambahan modal
sebagai penyangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 berlaku bagi
Bank baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan
Perusahaan Anak.
Pasal 8
(1) Bank dilarang melakukan distribusi laba apabila distribusi laba
dimaksud mengakibatkan kondisi permodalan Bank tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik secara
individual maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
(2) Bank ...
- 11 -
(2) Bank dikenakan pembatasan distribusi laba apabila distribusi laba
dimaksud mengakibatkan kondisi permodalan Bank tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 baik secara
individual maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
(3) Pembatasan distribusi laba sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
BAB II
MODAL
Bagian Pertama
Umum
Pasal 9
(1) Modal bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia terdiri atas:
a. modal inti (Tier 1) yang meliputi:
1. modal inti utama (Common Equity Tier 1);
2. modal inti tambahan (Additional Tier 1); dan
b. modal pelengkap (Tier 2).
(2) Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhitungkan
faktor-faktor yang menjadi pengurang modal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 dan Pasal 22.
(3) Dalam perhitungan modal secara konsolidasi, komponen modal
Perusahaan Anak yang dapat diperhitungkan sebagai modal inti
utama, modal inti tambahan, dan modal pelengkap harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. memenuhi persyaratan yang berlaku untuk masing-masing
komponen modal sebagaimana diterapkan bagi Bank secara
individual; dan
b. khusus ...
- 12 -
b. khusus untuk modal inti tambahan dan modal pelengkap, jika
diterbitkan oleh Perusahaan Anak bukan Bank selain memenuhi
persyaratan pada huruf a, harus memiliki fitur untuk dikonversi
menjadi saham biasa atau mekanisme write down apabila Bank
secara konsolidasi berpotensi terganggu kelangsungan usahanya
(point of non viability) yang dinyatakan secara jelas dalam
dokumentasi penerbitan.
Pasal 10
(1) Modal bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
terdiri atas:
a. dana usaha;
b. laba ditahan dan laba tahun lalu setelah dikeluarkan pengaruh
faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2);
c. laba tahun berjalan setelah dikeluarkan pengaruh faktor-faktor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2);
d. cadangan umum;
e. saldo surplus revaluasi aset tetap;
f. pendapatan komprehensif lainnya berupa potensi keuntungan
yang berasal dari peningkatan nilai wajar aset keuangan yang
diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual;
g. cadangan tujuan; dan
h. cadangan umum penyisihan penghapusan aset (PPA) atas aset
produktif dengan perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 ayat (1) huruf c.
(2) Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhitungkan
faktor-faktor yang menjadi pengurang modal sebagaimana diatur
dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b, Pasal 17, dan Pasal 22.
(3) Perhitungan dana usaha sebagai komponen modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan sebagai berikut:
a. Dalam ...
- 13 -
a. Dalam hal posisi dana usaha yang sebenarnya (actual dana usaha)
lebih besar dari dana usaha yang dinyatakan (declared dana
usaha), maka yang diperhitungkan adalah dana usaha yang
dinyatakan.
b. Dalam hal posisi dana usaha yang sebenarnya lebih kecil dari dana
usaha yang dinyatakan, maka yang diperhitungkan adalah dana
usaha yang sebenarnya.
c. Dalam hal posisi dana usaha yang sebenarnya negatif, maka
jumlah tersebut merupakan faktor pengurang komponen modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kedua
Modal Inti
Pasal 11
(1) Modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a
terdiri atas:
a. modal inti utama (Common Equity Tier 1) yang mencakup:
1. modal disetor;
2. cadangan tambahan modal (disclosed reserve); dan
b. modal inti tambahan (Additional Tier 1).
(2) Bank wajib menyediakan modal inti paling rendah sebesar 6% (enam
persen) dari ATMR baik secara individual maupun secara konsolidasi
dengan Perusahaan Anak.
(3) Bank wajib menyediakan modal inti utama paling rendah sebesar 4,5%
(empat koma lima persen) dari ATMR baik secara individual maupun
secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
Pasal 12
Instrumen modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
huruf a angka 1 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. bersifat ...
- 14 -
b. bersifat permanen;
c. tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi sebelum likuidasi
maupun pada saat likuidasi;
d. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan dan tidak dapat
diakumulasikan antar periode;
e. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak;
f. memiliki karakteristik pembayaran dividen atau imbal hasil sebagai
berikut:
1. berasal dari saldo laba dan/atau laba tahun berjalan;
2. tidak memiliki nilai yang pasti dan tidak terkait dengan nilai yang
dibayarkan atas instrumen modal; dan
3. tidak memiliki fitur preferensi; dan
g. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara
langsung atau tidak langsung.
Pasal 13
Pembelian kembali saham (treasury stock) yang telah diakui sebagai
komponen modal disetor hanya dapat dilakukan dengan memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan;
b. untuk tujuan tertentu;
c. dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
d. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan
e. tidak menyebabkan penurunan modal di bawah persyaratan minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7.
Pasal 14
(1) Cadangan tambahan modal (disclosed reserve) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a angka 2 terdiri atas:
a. faktor penambah, yaitu:
1. agio;
2. modal ...
- 15 -
2. modal sumbangan;
3. cadangan umum;
4. laba tahun-tahun lalu;
5. laba tahun berjalan;
6. selisih lebih penjabaran laporan keuangan;
7. dana setoran modal, yang memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a) telah disetor penuh untuk tujuan penambahan modal,
namun belum didukung dengan kelengkapan persyaratan
untuk dapat digolongkan sebagai modal disetor seperti
pelaksanaan rapat umum pemegang saham maupun
pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang;
b) ditempatkan pada rekening khusus (escrow account) yang
tidak diberikan imbal hasil;
c) tidak boleh ditarik kembali oleh pemegang saham/calon
pemegang saham dan tersedia untuk menyerap kerugian;
dan
d) penggunaan dana harus dengan persetujuan Bank
Indonesia;
8. waran yang diterbitkan sebagai insentif kepada pemegang
saham Bank yang diakui sebesar 50% (lima puluh persen) dari
nilai wajar dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a)
instrumen yang mendasari adalah saham biasa;
b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk selain saham; dan
c) nilai yang diperhitungkan adalah nilai wajar dari waran
pada tanggal penerbitannya;
9. opsi saham (stock option) yang diterbitkan melalui program
kompensasi pegawai/manajemen berbasis saham (employee/
management stock option) yang diakui sebesar 50% (lima puluh
persen), dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a)
instrumen yang mendasari adalah saham biasa;
b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk selain saham; dan
c) nilai ...
- 16 -
c) nilai yang diperhitungkan adalah nilai wajar dari stock
option pada tanggal pemberian kompensasi;
10. pendapatan komprehensif lainnya berupa potensi keuntungan
yang berasal dari peningkatan nilai wajar aset keuangan yang
diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual; dan
11. saldo surplus revaluasi aset tetap.
b. faktor pengurang, yaitu:
1. disagio;
2. rugi tahun-tahun lalu;
3. rugi tahun berjalan;
4. selisih kurang penjabaran laporan keuangan;
5. pendapatan komprehensif lainnya berupa potensi kerugian
yang berasal dari penurunan nilai wajar aset keuangan yang
diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual;
6. selisih kurang antara Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) atas
aset produktif dan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)
atas aset produktif.
7. selisih kurang antara jumlah penyesuaian terhadap hasil
valuasi dari instrumen keuangan dalam Trading Book dan
jumlah penyesuaian berdasarkan standar akuntansi keuangan
yang berlaku; dan
8. PPA non produktif.
(2) Dalam perhitungan laba rugi tahun-tahun lalu dan/atau tahun
berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 4 dan
angka 5 harus dikeluarkan dari pengaruh faktor-faktor sebagai
berikut:
a. peningkatan atau penurunan nilai wajar atas kewajiban keuangan;
dan/atau
b. keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi (gain
on sale).
Pasal 15 ...
- 17 -
Pasal 15
(1) Instrumen modal inti tambahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 11
ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. tidak memiliki jangka waktu dan tidak terdapat persyaratan yang
mewajibkan pelunasan oleh Bank di masa mendatang;
c. tidak memiliki fitur step-up;
d. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau
mekanisme write down apabila Bank berpotensi terganggu
kelangsungan usahanya (point of non viability) yang dinyatakan
secara jelas dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian;
e. bersifat subordinasi pada saat likuidasi, yang secara jelas
dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian;
f. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan dan tidak dapat
diakumulasikan antar periode;
g. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan
Anak;
h. tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau imbal hasil yang
sensitif terhadap risiko kredit;
i. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima) tahun setelah
instrumen modal diterbitkan; dan
2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya
dapat dieksekusi atas persetujuan Bank Indonesia.
j.
tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau Perusahaan Anak;
k. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara
langsung maupun tidak langsung;
l.
tidak memiliki fitur yang menghambat proses penambahan modal
di masa mendatang; dan
m. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk
diperhitungkan sebagai komponen modal.
(2) Eksekusi ...
- 18 -
(2) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf i angka 1 dan angka 2 hanya dapat dilakukan oleh Bank
sepanjang:
a. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia;
b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan
Pasal 7; dan
c. digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai kualitas
sama atau lebih baik.
Pasal 16
(1) Dalam perhitungan rasio KPMM secara konsolidasi, kepentingan
minoritas (minority interest) diperhitungkan sebagai modal inti utama
kecuali terdapat bagian dari kepentingan minoritas yang tidak sesuai
dengan persyaratan komponen modal inti utama.
(2) Kepentingan minoritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperhitungkan dalam modal inti utama secara konsolidasi apabila
kepemilikan Bank pada Perusahaan Anak lebih dari 50% (lima puluh
persen) dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Perusahaan Anak berupa Bank;
b. terdapat keterkaitan/afiliasi antara pemegang saham bukan
pengendali pada Perusahaan Anak (minority interest) dengan Bank;
dan
c. terdapat komitmen dari pemegang saham bukan pengendali pada
Perusahaan Anak (minority interest) untuk mendukung modal
kelompok usaha Bank yang dinyatakan dalam surat pernyataan
atau keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Perusahaan Anak.
Pasal 17 ...
- 19 -
Pasal 17
(1) Modal inti utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
a angka 1 diperhitungkan dengan faktor pengurang berupa:
a. perhitungan pajak tangguhan (deferred tax);
b. goodwill;
c. aset tidak berwujud lainnya;
d. seluruh penyertaan Bank yang meliputi:
1. penyertaan Bank kepada Perusahaan Anak kecuali penyertaan
modal sementara Bank kepada Perusahaan Anak dalam rangka
restrukturisasi kredit;
2. penyertaan kepada perusahaan atau badan hukum dengan
kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai
dengan 50% (lima puluh persen) namun Bank tidak memiliki
Pengendalian; dan
3. penyertaan kepada perusahaan asuransi;
e. kekurangan modal (shortfall) dari pemenuhan tingkat rasio
solvabilitas minimum (Risk Based Capital/RBC minimum) pada
perusahaan asuransi yang dimiliki dan dikendalikan oleh Bank;
f. eksposur sekuritisasi; dan
g. faktor pengurang modal inti utama lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22.
(2) faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dan huruf e tidak diperhitungkan lagi dalam ATMR untuk Risiko
Kredit.
Bagian Ketiga
Modal Pelengkap
Pasal 18
Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b
hanya dapat diperhitungkan paling tinggi sebesar 100% (seratus persen)
dari modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a.
Pasal 19 ...
- 20 -
Pasal 19
(1) Instrumen modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. memiliki jangka waktu 5 (lima) tahun atau lebih dan hanya dapat
dilunasi setelah memperoleh persetujuan Bank Indonesia;
c. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau
mekanisme write down apabila Bank berpotensi terganggu
kelangsungan usahanya (point of non viability) yang dinyatakan
secara jelas dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian;
d. bersifat subordinasi yang dinyatakan dalam dokumentasi
penerbitan/perjanjian;
e. pembayaran pokok dan/atau imbal hasil ditangguhkan dan
diakumulasikan antar periode (cummulative) apabila pembayaran
dimaksud dapat menyebabkan rasio KPMM secara individual atau
secara konsolidasi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7;
f. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan
Anak;
g. tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau imbal hasil yang
sensitif terhadap risiko kredit;
h. tidak memiliki fitur step-up;
i. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima) tahun setelah
instrumen modal diterbitkan; dan
2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya
dapat dieksekusi atas persetujuan Bank Indonesia;
j. tidak memiliki persyaratan percepatan pembayaran bunga atau
pokok yang dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan;
k. tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau Perusahaan Anak;
l. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara
langsung maupun tidak langsung; dan
m. telah ...
- 21 -
m. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk
diperhitungkan sebagai komponen modal.
(2) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf i angka 1 dan angka 2 hanya dapat dilakukan oleh Bank
sepanjang:
a. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan
b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal
7 atau digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai:
1. kualitas sama atau lebih baik; dan
2. dalam jumlah yang sama atau jumlah yang berbeda sepanjang
tidak melebihi batasan modal pelengkap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18.
(3) Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai modal pelengkap adalah
jumlah modal pelengkap dikurangi amortisasi yang dihitung dengan
menggunakan metode garis lurus.
(4) Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan untuk sisa
jangka waktu instrumen 5 (lima) tahun terakhir.
(5) Dalam hal terdapat opsi beli (call option), maka jangka waktu sampai
Bank dapat mengeksekusi opsi beli (call option) tersebut merupakan
sisa jangka waktu instrumen tersebut.
Pasal 20
(1) Modal pelengkap meliputi:
a. instrumen modal dalam bentuk saham atau dalam bentuk lainnya
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19;
b. agio atau disagio yang berasal dari penerbitan instrumen modal
yang tergolong sebagai modal pelengkap;
c. cadangan umum PPA atas aset produktif yang wajib dihitung
dengan jumlah paling tinggi sebesar 1,25% (satu koma dua puluh
lima persen) dari ATMR untuk Risiko Kredit; dan
d. cadangan tujuan.
(2) Selisih ...
- 22 -
(2) Selisih lebih cadangan umum yang wajib dihitung dari batasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat diperhitungkan
sebagai faktor pengurang perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit.
Pasal 21
Bagian dari modal pelengkap yang telah dibentuk cadangan pelunasan
(sinking fund) tidak diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap,
apabila Bank:
a. telah menetapkan untuk menyisihkan dan mengelola dana cadangan
pelunasan (sinking fund) tersebut secara khusus; dan
b. telah mempublikasikan pembentukan cadangan pelunasan (sinking
fund) tersebut, termasuk dalam Rapat Umum Pemegang Obligasi
(RUPO).
Pasal 22
(1) Faktor-faktor yang menjadi pengurang modal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 10 ayat (2) mencakup:
a. pembelian kembali instrumen modal yang telah diakui sebagai
komponen permodalan Bank; dan
b. penempatan dana pada instrumen utang Bank lain yang diakui
sebagai komponen modal oleh Bank lain tersebut (Bank penerbit).
(2) Seluruh faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b tidak diperhitungkan lagi dalam ATMR untuk Risiko Kredit.
Pasal 23
Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (3), Bank wajib menyampaikan data pendukung untuk
komponen modal inti tambahan dan modal pelengkap, yang menunjukkan
bahwa komponen modal Perusahaan Anak yang diperhitungkan telah
memenuhi seluruh persyaratan sebagai komponen modal.
Bagian ...
- 23 -
Bagian Keempat
Capital Equivalency Maintained Assets (CEMA)
Pasal 24
(1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib
memenuhi CEMA minimum.
(2) CEMA minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
sebesar 8% (delapan persen) dari total kewajiban bank pada setiap
bulan dan paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun
rupiah).
(3) Pemenuhan CEMA minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Sampai dengan posisi bulan November 2017, CEMA minimum
ditetapkan sebesar 8% (delapan persen) dari total kewajiban bank
pada setiap bulan;
b. Mulai posisi bulan Desember 2017, CEMA minimum ditetapkan 8%
(delapan persen) dari total kewajiban bank pada setiap bulan dan
paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun
rupiah).
Pasal 25
(1) CEMA minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) wajib
dipenuhi dari dana usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1) huruf a.
(2) Dana usaha yang dimiliki kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri harus memenuhi KPMM sesuai profil
risiko dan CEMA minimum.
(3) CEMA minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2)
dihitung setiap bulan.
(4) CEMA minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) wajib
dipenuhi dan ditempatkan paling lambat tanggal 6 bulan berikutnya.
Pasal 26 ...
- 24 -
Pasal 26
(1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib
menetapkan aset keuangan yang digunakan untuk memenuhi CEMA
minimum.
(2) Aset keuangan yang telah ditetapkan untuk memenuhi CEMA
minimum tidak dapat dipertukarkan sampai dengan periode
pemenuhan CEMA minimum berikutnya.
(3) Aset keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi
syarat dan dapat diperhitungkan sebagai CEMA adalah:
a. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia dan dimaksudkan untuk dimiliki hingga jatuh tempo;
b. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank lain yang berbadan
hukum Indonesia dan memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. tidak bersifat ekuitas;
2. memiliki peringkat investasi; dan
3. tidak dimaksudkan untuk tujuan diperdagangkan (trading);
dan/atau
c. surat berharga yang diterbitkan oleh korporasi berbadan hukum
Indonesia dan memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. tidak bersifat ekuitas;
2. memiliki peringkat surat berharga paling kurang A+ atau yang
setara;
3. tidak dimaksudkan untuk tujuan trading; dan
4. porsi surat berharga korporasi paling banyak sebesar 20% (dua
puluh persen) dari total CEMA minimum.
(4) Aset keuangan yang digunakan sebagai CEMA harus bebas dari klaim
pihak manapun.
(5) Perhitungan aset keuangan yang digunakan untuk memenuhi CEMA
minimum dilakukan sebagai berikut:
a. untuk aset keuangan yang telah dimiliki oleh Bank dihitung
berdasarkan nilai tercatat aset keuangan pada posisi akhir bulan
laporan;
b. untuk ...
- 25 -
b. untuk aset keuangan yang dibeli setelah posisi akhir bulan laporan
dihitung berdasarkan nilai tercatat aset keuangan pada posisi
pembelian aset keuangan.
BAB III
ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO (ATMR)
Bagian Pertama
Umum
Pasal 27
ATMR yang digunakan dalam perhitungan modal minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan perhitungan pembentukan
tambahan modal sebagai penyangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (3) terdiri atas:
a. ATMR untuk Risiko Kredit;
b. ATMR untuk Risiko Operasional; dan
c. ATMR untuk Risiko Pasar.
Pasal 28
(1) Setiap Bank wajib memperhitungkan ATMR untuk Risiko Kredit dan
ATMR untuk Risiko Operasional.
(2) Selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank yang memenuhi kriteria tertentu wajib pula memperhitungkan
ATMR untuk Risiko Pasar.
Pasal 29
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) adalah:
a. Bank yang secara individual memenuhi salah satu kriteria sebagai
berikut:
1. Bank ...
- 26 -
1. Bank dengan total aset sebesar Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh
triliun rupiah) atau lebih;
2. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan
posisi instrumen keuangan berupa surat berharga dan/atau
transaksi derivatif dalam Trading Book sebesar
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih;
3. Bank yang tidak melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing
dengan posisi instrumen keuangan berupa surat berharga
dan/atau transaksi derivatif suku bunga dalam Trading Book
sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau
lebih;
dan/atau;
b. Bank yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi
salah satu kriteria sebagai berikut:
1. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing yang
secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memiliki posisi
instrumen keuangan berupa surat berharga termasuk instrumen
keuangan yang terekspos risiko ekuitas dan/atau transaksi
derivatif dalam Trading Book dan/atau instrumen keuangan yang
terekspos risiko komoditas dalam Trading Book dan Banking Book
sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih;
2. Bank yang tidak melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing
namun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memiliki
posisi instrumen keuangan berupa surat berharga termasuk
instrumen keuangan yang terekspos risiko ekuitas dan/atau
transaksi derivatif dalam Trading Book dan/atau instrumen
keuangan yang terekspos risiko komoditas dalam Trading Book dan
Banking Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar
rupiah) atau lebih.
c. Bank yang memiliki jaringan kantor dan/atau Perusahaan Anak di
negara lain maupun kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri.
Pasal 30 ...
- 27 -
Pasal 30
Aset keuangan yang pada saat pengakuan awal ditetapkan sebagai aset
keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi dan
kredit yang diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan dikecualikan
dari cakupan Trading Book.
Pasal 31
Surat berharga dalam Trading Book hanya mencakup surat berharga yang
diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan.
Pasal 32
Bank yang setelah melakukan merger, konsolidasi atau akuisisi
memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, paling
kurang pada 3 (tiga) periode pelaporan bulanan dalam 6 (enam) bulan
pertama setelah merger, konsolidasi atau akuisisi dinyatakan efektif, wajib
memperhitungkan Risiko Pasar dalam perhitungan rasio KPMM sejak
bulan ke-7 (tujuh) setelah merger, konsolidasi atau akuisisi dinyatakan
efektif.
Pasal 33
Bank yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 dan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 wajib
tetap memperhitungkan Risiko Pasar dalam kewajiban penyediaan modal
minimum walaupun selanjutnya Bank tidak lagi memenuhi kriteria
tertentu dimaksud.
Bagian Kedua
Risiko Kredit
Pasal 34
(1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit, Bank menggunakan:
a. Pendekatan ...
- 28 -
a. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau
b. Pendekatan berdasarkan Internal Rating (Internal Rating based
Approach).
(2) Bank yang menggunakan pendekatan berdasarkan Internal Rating
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memperoleh
persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Risiko Operasional
Pasal 35
(1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional, Bank
menggunakan:
a. Pendekatan Indikator Dasar (Basic Indicator Approach);
b. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau
c. Pendekatan yang lebih kompleks (Advanced Measurement
Approach).
(2) Bank yang mengggunakan pendekatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dan huruf c wajib memperoleh persetujuan terlebih
dahulu dari Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Risiko Pasar
Pasal 36
(1) Risiko Pasar yang wajib diperhitungkan oleh Bank secara individual
dan secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak adalah:
a. risiko suku bunga; dan/atau
b. risiko nilai tukar.
(2) Bank secara konsolidasi, wajib memperhitungkan risiko ekuitas
dan/atau risiko komoditas selain Risiko Pasar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki ...
- 29 -
a. memiliki Perusahaan Anak yang terekspos risiko ekuitas dan/atau
risiko komoditas; dan
b. secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b.
Pasal 37
(1) Bank wajib melakukan valuasi secara harian terhadap posisi Trading
Book secara akurat.
(2) Dalam melakukan valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
wajib memiliki kebijakan dan prosedur valuasi, termasuk memiliki
sistem informasi manajemen dan pengendalian proses valuasi yang
memadai dan terintegrasi dengan sistem manajemen risiko.
(3) Kebijakan dan prosedur valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib berlandaskan pada prinsip kehati-hatian.
Pasal 38
(1) Proses valuasi wajib dilakukan berdasarkan nilai wajar.
(2) Terhadap instrumen keuangan yang diperdagangkan secara aktif,
proses valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
menggunakan harga transaksi yang terjadi (close out prices) atau
kuotasi harga pasar dari sumber yang independen.
(3) Valuasi terhadap instrumen keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) menggunakan:
a. bid price untuk aset yang dimiliki atau kewajiban yang akan
diterbitkan; dan/atau
b. ask price untuk aset yang akan diperoleh atau kewajiban yang
dimiliki.
(4) Dalam hal harga pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
tersedia, Bank dapat menetapkan nilai wajar dengan menggunakan
suatu model atau teknik penilaian berlandaskan prinsip kehati-hatian.
Pasal 39 ...
- 30 -
Pasal 39
(1) Bank wajib melakukan verifikasi terhadap proses dan hasil valuasi.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling
kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan oleh pihak yang tidak ikut
dalam pelaksanaan valuasi.
(3) Bank wajib menyesuaikan hasil valuasi berdasarkan hasil verifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 40
Bank wajib segera melakukan penyesuaian terhadap hasil valuasi yang
belum mencerminkan nilai wajar dalam hal:
a. terjadi perubahan kondisi ekonomi yang signifikan;
b. harga instrumen keuangan yang dijadikan acuan adalah harga yang
terjadi dari transaksi yang dipaksakan, likuidasi yang dipaksakan,
atau penjualan akibat kesulitan keuangan;
c. instrumen keuangan sudah mendekati jatuh tempo; dan/atau
d. harga yang dijadikan acuan tidak wajar karena kondisi lainnya.
Pasal 41
(1) Selain penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, Bank
wajib melakukan penyesuaian terhadap valuasi atas posisi yang
kurang likuid dengan mempertimbangkan faktor-faktor tertentu.
(2) Dalam hal dilakukan penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bank wajib memperhitungkan dampak penyesuaian sebagai faktor
pengurang modal inti utama dalam perhitungan rasio KPMM.
Pasal 42
(1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Pasar, Bank menggunakan
pendekatan:
a. Metode Standar (Standard Method); dan/atau
b. Model Internal (Internal Model).
(2) Bank ...
- 31 -
(2) Bank yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29, wajib terlebih dahulu menggunakan Metode Standar dalam
memperhitungkan Risiko Pasar.
(3) Bank yang menggunakan pendekatan Model Internal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memperoleh persetujuan
terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
BAB IV
Internal Capital Adequacy Asessment Process (ICAAP) dan
Supervisory Review and Evaluation Process (SREP)
Bagian Pertama
Cakupan Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP)
Pasal 43
(1) Dalam memenuhi kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil
risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik secara invidual
maupun konsolidasi dengan Perusahaan Anak, Bank wajib memiliki
ICAAP yang disesuaikan dengan ukuran, karakteristik, dan
kompleksitas usaha Bank.
(2) ICAAP paling kurang mencakup:
a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;
b. penilaian kecukupan modal;
c. pemantauan dan pelaporan; dan
d. pengendalian internal.
(3) Bank wajib mendokumentasikan ICAAP.
Bagian Kedua
Supervisory Review and Evaluation Process (SREP)
Pasal 44
(1) Bank Indonesia melakukan SREP.
(2) Berdasarkan ...
- 32 -
(2) Berdasarkan hasil SREP, Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk
memperbaiki ICAAP.
Pasal 45
(1) Dalam hal terdapat perbedaan hasil perhitungan modal sesuai profil
risiko antara hasil self assessment Bank dengan hasil SREP, maka
perhitungan modal yang berlaku adalah hasil SREP.
(2) Dalam hal Bank Indonesia menilai modal yang dimiliki Bank tidak
memenuhi modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 baik secara individual maupun konsolidasi dengan
Perusahaan Anak, maka Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk:
a. menambah modal agar memenuhi KPMM sesuai profil risiko;
b. memperbaiki kualitas proses manajemen risiko; dan/atau
c. menurunkan eksposur risiko.
Pasal 46
Dalam hal Bank Indonesia menilai terdapat kecenderungan penurunan
modal Bank yang berpotensi menyebabkan modal Bank berada di bawah
KPMM sesuai profil risiko, Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk
melakukan antara lain:
a. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
b. pembatasan pembukaan jaringan kantor; dan/atau
c. pembatasan distribusi modal.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 47
(1) Bank yang memenuhi kewajiban untuk melakukan perhitungan
KPMM secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib
menyampaikan laporan perhitungan KPMM secara konsolidasi.
(2) Bank ...
- 33 -
(2) Bank yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 wajib menyampaikan laporan perhitungan KPMM dengan
memperhitungkan Risiko Pasar.
(3) Penyusunan dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) wajib mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia
mengenai laporan berkala bank umum.
(4) Laporan yang terkait dengan Model Internal secara triwulanan untuk
pertama kali disusun pada akhir triwulan setelah Model Internal
digunakan untuk perhitungan rasio KPMM.
Pasal 48
(1) Bank wajib menyampaikan laporan perhitungan KPMM sesuai profil
risiko kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan
dengan penyampaian hasil self assessment Tingkat Kesehatan Bank.
Pasal 49
(1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib
menyampaikan laporan pemenuhan CEMA.
(2) Laporan pemenuhan CEMA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling kurang memuat informasi mengenai:
a. rata-rata total kewajiban secara mingguan sebagaimana dimaksud
pada Pasal 24 ayat (2);
b. jumlah alokasi dana usaha dalam bentuk CEMA;
c. jenis aset dan pemenuhan kriteria aset keuangan CEMA;
d. nilai tercatat masing-masing aset keuangan CEMA; dan
e. maturity date aset keuangan CEMA.
Pasal 50
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) disusun
setiap bulan dan wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling
lambat tanggal 8 pada bulan berikutnya.
(2) Dalam ...
- 34 -
(2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) jatuh pada hari Sabtu, Minggu, dan/atau hari libur
nasional, maka laporan pemenuhan CEMA disampaikan pada hari
kerja berikutnya.
Pasal 51
(1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) apabila
laporan diterima oleh Bank Indonesia setelah batas waktu
penyampaian laporan sampai dengan paling lama 5 (lima) hari setelah
batas waktu penyampaian laporan.
(2) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) apabila
laporan belum diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan batas
waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tetap wajib menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1).
Pasal 52
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat
(1) disampaikan kepada:
a. Departemen Pengawasan Bank, Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta 10350,
bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia; atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia.
BAB VI ...
- 35 -
BAB VI
LAIN-LAIN
Pasal 53
Bank dilarang melakukan perdagangan atas aset keuangan dalam
kelompok tersedia untuk dijual, yang dilakukan dengan pola menyerupai
perdagangan atas aset keuangan dalam kelompok diperdagangkan:
a. dalam jumlah yang signifikan; dan/atau
b. dalam frekuensi yang tinggi.
BAB VII
SANKSI
Pasal 54
Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal
3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12,
Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal
22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29,
Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal
37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47,
Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 dikenakan sanksi administratif,
antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. larangan transfer laba bagi kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri;
c. larangan melakukan ekspansi kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
e. larangan pembukaan jaringan kantor;
f. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau
g. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham Bank dalam daftar
orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus Bank.
Pasal 55 ...
- 36 -
Pasal 55
Bank yang melanggar ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan yang
berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum.
Pasal 56
(1) Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Bank yang
dinyatakan:
a. terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan;
b. tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena
dinyatakan tidak menyampaikan laporan, maka sanksi kewajiban
membayar karena terlambat menyampaikan laporan tidak
diberlakukan.
Pasal 57
Selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54, Bank yang tidak memenuhi KPMM sesuai profil risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik secara individual maupun
secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak diwajibkan melakukan
langkah-langkah atau tindakan pengawasan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai tindak lanjut pengawasan dan
penetapan status Bank.
Pasal 58
Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk mengelompokkan
pembelian ...
- 37 -
pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok tersedia untuk
dijual, selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat
pembinaan oleh Bank Indonesia.
Pasal 59
Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
untuk kedua kalinya, dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan
untuk mengelompokkan pembelian aset keuangan berikutnya dalam
kelompok tersedia untuk dijual selama 1 (satu) tahun terhitung sejak
tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Bank Indonesia.
Pasal 60
Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
lebih dari dua kali, dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk
mengelompokkan pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok
tersedia untuk dijual selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal
dikeluarkan surat pembinaan oleh Bank Indonesia.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 61
(1) Pemenuhan rasio modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) sampai dengan 31 Desember 2014, masih menggunakan
komponen modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
(2) Pemenuhan ...
- 38 -
(2) Pemenuhan rasio modal inti utama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (3) sampai dengan 31 Desember 2014, masih
menggunakan komponen modal inti sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 dan Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Bank Umum.
Pasal 62
Instrumen modal sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Bank Umum yang tidak memiliki jangka waktu dan diterbitkan sebelum
tanggal 1 Januari 2014, namun tidak lagi memenuhi kriteria komponen
modal sesuai ketentuan ini dapat tetap diakui sebagai komponen modal
sampai dengan tanggal 31 Desember 2018.
Pasal 63
Instrumen modal sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Bank Umum yang memiliki jangka waktu dan diterbitkan sebelum tanggal
1 Januari 2014, namun tidak lagi memenuhi kriteria komponen modal
sesuai ketentuan ini dapat tetap diakui sebagai komponen modal sampai
dengan jatuh tempo dan tidak dapat diperpanjang jangka waktunya.
Pasal 64
Instrumen modal yang diterbitkan sejak 1 Januari 2014 harus sudah
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 66 ...
- 39 -
Pasal 66
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/6/DPNP tanggal 18 Februari
2011 perihal Pedoman Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko
untuk Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar;
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/3/DPNP tanggal 27 Januari 2009
perihal Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Risiko
Operasional dengan Menggunakan Pendekatan Indikator Dasar (PID);
3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/31/DPNP tanggal 12 Desember
2007 perihal Pedoman Penggunaan Model Internal dalam Perhitungan
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan
Memperhitungkan Risiko Pasar;
4. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP tanggal 18 Desember
2007 perihal Pedoman Penggunaan Metode Standar dalam
Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
dengan Memperhitungkan Risiko Pasar;
5. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/21/DPNP tanggal 18 Juli
2012 tentang Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
9/33/DPNP tanggal 18 Desember 2007 perihal Pedoman Penggunaan
Metode Standar dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar;
6. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/37/DPNP tanggal 27
Desember 2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sesuai
Profil Risiko dan Pemenuhan Capital Equivalency Maintained Assets
(CEMA),
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 67
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, peraturan
pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 tentang
Kewajiban ...
- 40 -
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 261, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5369) masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 68
(1) Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank
Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 261, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5369) masih berlaku sampai dengan 31 Desember 2014, kecuali Pasal 7
ayat (1) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Pada tanggal 1 Januari 2015, Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 261,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5369) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 69
Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini selain Pasal 11 ayat (2),
Pasal 11 ayat (3), dan Pasal 64 mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2015.
Pasal 70
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2014.
Agar ...
- 41 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Desember 2013
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Desember 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 223
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/ 12 /PBI/2013
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
I. UMUM
Pengalaman krisis keuangan dan ekonomi yang terjadi di berbagai negara
pada beberapa tahun belakangan menunjukkan bahwa kejatuhan Bank antara
lain disebabkan oleh tidak memadainya kualitas dan kuantitas permodalan
Bank untuk mengantisipasi risiko yang dihadapi. Dalam rangka meningkatkan
kualitas dan kuantitas modal Bank sehingga Bank lebih mampu menyerap
potensi kerugian baik akibat krisis keuangan dan ekonomi maupun karena
pertumbuhan kredit yang berlebihan, persyaratan komponen dan instrumen
modal serta perhitungan kecukupan modal Bank perlu disesuaikan dengan
standar internasional yang berlaku. Standar Internasional yang menjadi acuan
adalah “Global Regulatory Framework for More Resilient Banks and Banking
System“ yang lebih dikenal dengan Basel III.
Untuk meningkatkan kualitas permodalan Bank, komponen dan
persyaratan instrumen modal disesuaikan mengacu pada standar
internasional yang berlaku. Komponen modal inti (Tier 1) Bank terutama
harus didominasi oleh instrumen modal berkualitas tinggi, yaitu saham
biasa (common stocks) dan saldo laba yang merupakan bagian dari modal inti
utama atau Common Equity Tier 1.
Komponen modal inti lainnya yaitu modal inti tambahan (Additional Tier
1) ditingkatkan kualitasnya menjadi hanya dapat berupa instrumen keuangan
yang bersifat subordinasi dengan pembayaran dividen atau imbal hasil
bersifat non kumulatif serta memenuhi kriteria tertentu. Komponen modal inti
tambahan merupakan penyempurnaan dari komponen modal inovatif yang
sebelumnya merupakan bagian dari modal inti Bank.
Sejalan ...
- 43 -
Sejalan dengan peningkatan kualitas modal inti, komponen dan
persyaratan instrumen modal pelengkap (Tier 2) juga ikut disesuaikan, antara
lain dengan menghapuskan kategori Upper Tier 2 dan Lower Tier 2.
Komponen modal pelengkap tambahan (Tier 3) yang sebelumnya dapat
diterbitkan hanya untuk perhitungan modal untuk risiko pasar, dengan
berlakunya Basel III menjadi dihapuskan. Untuk memastikan kualitas atau
tingkat permodalan Bank memadai, dilakukan penyempurnaan rasio-rasio
permodalan yang meliputi rasio modal inti dan rasio modal inti utama.
Bank diwajibkan untuk membentuk tambahan modal berupa Capital
Conservation Buffer dan Countercyclical Buffer, dan Bank yang dianggap
berpotensi sistemik wajib membentuk tambahan modal berupa Capital
Surcharge. Tujuan pembentukan tambahan modal tersebut adalah sebagai
penyangga untuk menyerap risiko yang disebabkan oleh kondisi krisis
dan/atau pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan. Kewajiban
pembentukan tambahan modal diterapkan secara bertahap sejak tahun
2016 untuk memberikan waktu yang cukup kepada Bank dalam
membentuk tambahan modal tersebut.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka perlu pengaturan
kembali terhadap ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum Bank Umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "profil risiko" adalah profil risiko Bank
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
penilaian tingkat kesehatan Bank Umum.
Ayat (2) ...
- 44 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "rasio KPMM" adalah perbandingan
antara modal Bank dengan Aset Tertimbang Menurut Risiko
(ATMR).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Pembentukan tambahan modal selain modal minimum
sebagaimana dimaksud dalam ayat ini berfungsi sebagai
penyangga apabila terjadi krisis keuangan dan ekonomi yang
dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud "otoritas yang berwenang" antara lain mengacu
pada ketentuan dalam UU Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur Protokol Koordinasi.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9) ...
- 45 -
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Pengelompokan BUKU mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor
berdasarkan modal inti Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ketentuan yang berlaku antara lain mengacu pada ketentuan dalam
UU Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur Protokol Koordinasi.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "distribusi laba" antara lain berupa
pembayaran dividen dan pembayaran bonus kepada pengurus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) ...
- 46 -
Ayat (3)
Penentuan batasan distribusi
laba antara lain
mempertimbangkan faktor-faktor berupa besarnya kekurangan
pemenuhan tambahan modal, kondisi keuangan Bank, proyeksi
kemampuan Bank untuk meningkatkan modal, dan trend
ekspansi bisnis Bank.
Pasal 9
Cukup Jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "dana usaha" adalah penempatan
yang berasal dari kantor pusat bank pada kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri setelah
dikurangi dengan penempatan yang berasal dari kantor
cabang bank tersebut pada:
- kantor pusat;
- kantor-kantor bank yang bersangkutan di luar negeri;
dan
- kantor lainnya seperti sister company dari bank yang
berkedudukan di luar negeri,
yang telah dinyatakan sebagai dana usaha (declared dana
usaha) dan harus selalu tercatat setiap waktu di Indonesia
selama kantor cabang bank tersebut beroperasi di
Indonesia. Dana usaha tidak termasuk komponen dalam
rekening antar kantor yang bukan merupakan dana bersih
seperti kewajiban bunga dan kewajiban lainnya serta
tagihan bunga dan tagihan lainnya.
Yang dimaksud dengan "penempatan" mencakup penempatan
pada seluruh aset keuangan sesuai standar akuntansi yang
berlaku.
Huruf b ...
- 47 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “laba ditahan” adalah saldo laba
bersih setelah dikurangi pajak yang oleh kantor pusatnya
diputuskan untuk ditahan di kantor cabangnya di
Indonesia.
Yang dimaksud dengan “laba tahun lalu” adalah seluruh
laba bersih tahun-tahun yang lalu setelah dikurangi pajak,
dan belum ditetapkan penggunaannya oleh kantor pusat.
Dalam hal bank mempunyai saldo rugi tahun-tahun lalu,
maka seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang
modal.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "laba tahun berjalan" adalah laba
yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah
dikurangi taksiran pajak.
Dalam hal pada tahun buku berjalan bank mengalami
kerugian, maka seluruh kerugian tersebut menjadi faktor
pengurang modal.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "cadangan umum" adalah cadangan
yang dibentuk dari penyisihan saldo laba setelah dikurangi
pajak, dan mendapat persetujuan kantor pusatnya sebagai
cadangan umum.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "saldo surplus revaluasi aset tetap"
adalah selisih penilaian kembali aset tetap milik Bank.
Pengakuan surplus revaluasi aset tetap mengacu pada
standar akuntansi yang berlaku mengenai aset tetap.
Huruf f
Pengertian "aset keuangan yang diklasifikasikan dalam
kelompok tersedia untuk dijual" mengacu pada standar
akuntansi yang berlaku mengenai instrumen keuangan.
Huruf g ...
- 48 -
Huruf g
Yang dimaksud dengan "cadangan tujuan" adalah cadangan
yang dibentuk dari penyisihan saldo laba setelah dikurangi
pajak untuk tujuan tertentu dan telah mendapat
persetujuan kantor pusatnya.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Penetapan jumlah dana usaha yang dinyatakan mengacu
kepada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai
pinjaman luar negeri.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Yang termasuk modal disetor adalah saham biasa
(common stocks) sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan dan standar akuntansi keuangan mengenai
instrumen keuangan.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf b
Yang termasuk komponen modal inti tambahan meliputi
antara lain:
a. instrumen utang yang memiliki karakteristik modal,
bersifat subordinasi, tidak memiliki jangka waktu, dan
pembayaran imbal hasil tidak dapat diakumulasikan
(perpetual non cumulative subordinated debt);
b. saham preferen non kumulatif (perpetual non
cummulative preference shares) baik dengan atau tanpa
fitur opsi beli (call option);
c. instrumen ...
- 49 -
c. instrumen hybrid yang tidak memiliki jangka waktu dan
pembayaran imbal hasil tidak dapat diakumulasikan
(perpetual dan non cummulative); dan
d. agio atau disagio yang berasal dari penerbitan
instrumen yang tergolong sebagai modal inti tambahan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank
atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang
diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau
Perusahaan Anak, misalnya premi/fee dalam rangka
penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b ...
- 50 -
Huruf b
Tujuan tertentu untuk melakukan pembelian kembali saham
yang telah diakui sebagai komponen modal disetor yaitu sebagai
persediaan saham dalam rangka program employee/
management stock option atau menghindari upaya take over.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan yang
berlaku" antara lain Undang-Undang mengenai Perseroan
Terbatas dan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang
pasar modal.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Yang dimaksud dengan "agio" adalah selisih lebih
setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat
penerbitan saham karena harga pasar saham lebih
tinggi dari nilai nominal.
Angka 2
Yang dimaksud dengan "modal sumbangan" adalah
modal yang diperoleh kembali dari sumbangan saham
Bank tersebut termasuk selisih antara nilai yang
tercatat dengan harga jual apabila saham tersebut
dijual.
Angka 3 ...
- 51 -
Angka 3
Yang dimaksud dengan "cadangan umum" adalah
cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba
setelah dikurangi pajak, dan mendapat persetujuan
rapat umum pemegang saham (RUPS) atau rapat
anggota sebagai cadangan umum.
Angka 4
Laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak
mencakup:
a. laba tahun lalu, yaitu seluruh laba bersih tahun-
tahun yang lalu setelah dikurangi pajak, dan belum
ditetapkan penggunaannya oleh RUPS atau rapat
anggota; dan
b. laba ditahan (retained earnings) yaitu saldo laba
bersih setelah dikurangi pajak yang oleh RUPS atau
rapat anggota diputuskan untuk tidak dibagikan.
Angka 5
Yang dimaksud dengan "laba tahun berjalan" adalah
laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah
dikurangi taksiran pajak.
Angka 6
Yang dimaksud dengan "selisih lebih penjabaran
laporan keuangan" adalah selisih kurs yang timbul
dari penjabaran laporan keuangan kantor cabang Bank
dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri sebagaimana
diatur dalam standar akuntansi keuangan yang
berlaku mengenai penjabaran laporan keuangan dalam
mata uang asing.
Angka 7
Apabila berdasarkan penelitian Bank Indonesia, calon
pemegang saham Bank atau dana setoran modal
diketahui tidak memenuhi syarat sebagai pemegang
saham atau sebagai modal maka dana tersebut tidak
dapat diakui sebagai komponen modal.
Angka 8 ...
- 52 -
Angka 8
Yang dimaksud dengan "waran" adalah efek yang
diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi hak
kepada pemegang efek untuk memesan saham dari
perusahaan tersebut pada harga dan jangka waktu
tertentu.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Pengertian “aset keuangan yang diklasifikasikan dalam
kelompok tersedia untuk dijual” mengacu pada standar
akuntansi yang berlaku mengenai
keuangan.
instrumen
Angka 11
Yang dimaksud dengan "saldo surplus revaluasi aset
tetap" adalah selisih penilaian kembali aset tetap milik
Bank.
Pengakuan saldo surplus revaluasi aset tetap
mengikuti standar akuntansi yang berlaku mengenai
aset tetap.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan "disagio" adalah selisih kurang
setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat
penerbitan saham karena harga pasar saham lebih
rendah dari nilai nominal.
Angka 2
Yang dimaksud dengan "rugi tahun-tahun lalu” adalah
seluruh rugi yang dibukukan Bank pada tahun-tahun
yang lalu.
Angka 3
Yang dimaksud dengan "rugi tahun berjalan" adalah
seluruh rugi yang dibukukan Bank dalam tahun buku
berjalan.
Angka 4 ...
- 53 -
Angka 4
Yang dimaksud dengan "selisih kurang penjabaran
laporan keuangan" adalah selisih kurs yang timbul
dari penjabaran laporan keuangan kantor cabang Bank
dan atau Perusahaan Anak di luar negeri sebagaimana
diatur dalam standar akuntansi keuangan yang
berlaku mengenai penjabaran laporan keuangan dalam
mata uang asing.
Angka 5
Pengertian "aset keuangan yang diklasifikasikan dalam
kelompok tersedia untuk dijual" mengacu pada standar
akuntansi yang berlaku mengenai
keuangan.
instrumen
Angka 6
Yang dimaksud dengan "selisih kurang antara PPA atas
aset produktif dan cadangan kerugian penurunan nilai
aset keuangan atas aset produktif" adalah selisih
kurang antara total PPA (cadangan umum dan
cadangan khusus atas seluruh aset produktif) yang
wajib dibentuk sesuai ketentuan Bank Indonesia
dengan total cadangan kerugian penurunan nilai aset
keuangan (impairment) atas seluruh aset produktif
(secara individu dan secara kolektif) sesuai standar
akuntansi keuangan yang berlaku.
Angka 7
Selisih kurang ini timbul karena jumlah penyesuaian
terhadap hasil valuasi (mark to market) dari instrumen
keuangan dalam Trading Book yang
mempertimbangkan berbagai faktor-faktor tertentu
antara lain karena posisi yang kurang likuid melebihi
jumlah penyesuaian yang dipersyaratkan sesuai
standar akuntansi keuangan yang berlaku mengenai
pengukuran instrumen keuangan, khususnya
instrumen ...
- 54 -
instrumen keuangan yang diukur berdasarkan nilai
wajar.
Sesuai Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI)
yang berlaku, penyesuaian terhadap hasil valuasi
instrumen keuangan akan langsung mengurangi atau
menambah nilai tercatat instrumen keuangan.
Angka 8
PPA non produktif adalah cadangan yang wajib
dibentuk untuk aset non produktif sesuai ketentuan
Bank Indonesia mengenai penilaian kualitas aset Bank
Umum.
Ayat (2)
Huruf a
Hal ini terjadi apabila Bank menetapkan untuk mengukur
kewajiban keuangan pada nilai wajar melalui laba rugi (fair
value option) sesuai standar akuntansi keuangan yang
berlaku.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "keuntungan atas penjualan aset
dalam transaksi sekuritisasi (gain on sale)" adalah
keuntungan yang diperoleh Bank sebagai kreditur asal
(originator) atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi
yang bersumber dari kapitalisasi pendapatan masa
mendatang (expected future margin) atau kapitalisasi
pendapatan dari penyediaan jasa (servicing income).
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c ...
- 55 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan "fitur step-up" adalah fitur yang
menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga atau imbal hasil
apabila opsi beli tidak dieksekusi pada jangka waktu yang
telah ditetapkan.
Huruf d
Bank Indonesia berwenang untuk menetapkan kondisi di
mana Bank dinyatakan terganggu kelangsungan usahanya
(point of non viability) dan memerintahkan Bank untuk
mengkonversi instrumen modal inti tambahan ke saham
biasa atau melakukan write down.
Termasuk dalam mekanisme write down antara lain
pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai kewajiban
pada saat opsi beli dieksekusi, atau pengurangan sebagian
atau seluruh pembayaran imbal hasil.
Dalam dokumentasi penerbitan wajib terdapat klausul yang
menyatakan bahwa instrumen modal inti tambahan dapat
dikonversi menjadi saham biasa atau dilakukan write down
apabila terdapat perintah dari Bank Indonesia.
Huruf e
Instrumen modal inti tambahan bersifat subordinasi
terhadap antara lain deposan, kreditur, dan pemegang
instrumen yang memenuhi kriteria modal pelengkap.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh
Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun
jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan
melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi/fee
dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau
Perusahaan Anak.
Huruf h ...
- 56 -
Huruf h
Yang dimaksud dengan "dividen atau imbal hasil yang sensitif
terhadap risiko kredit" adalah tingkat dividen atau imbal hasil
yang ditetapkan berdasarkan peringkat atau tingkat risiko kredit
Bank penerbit.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Fitur yang menghambat proses penambahan modal di masa
mendatang yaitu antara lain persyaratan yang mewajibkan
Bank untuk memberikan kompensasi kepada investor
apabila Bank menerbitkan instrumen modal baru dengan
harga yang lebih rendah.
Huruf m
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "kualitas sama atau lebih baik"
adalah instrumen modal yang paling kurang memenuhi
persyaratan sebagai komponen modal inti tambahan.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan "kepentingan minoritas" adalah kepentingan
bukan pengendali sebagaimana dimaksud dalam standar akuntansi
yang berlaku.
Pasal 17 ...
- 57 -
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Pajak tangguhan dikurangkan sebesar 100% baik atas
perhitungan pajak tangguhan pada tahun-tahun lalu
maupun pada tahun berjalan.
Pajak tangguhan merupakan transaksi yang timbul sebagai
akibat penerapan PSAK mengenai akuntansi pajak
penghasilan.
Dalam perhitungan KPMM secara individual, pajak
tangguhan yang dikeluarkan sebesar selisih lebih dari aset
pajak tangguhan dikurangi kewajiban pajak tangguhan.
Jika terjadi selisih kurang maka perhitungan pajak
tangguhan yang akan dikeluarkan adalah nihil.
Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi, aset pajak
tangguhan satu perusahaan tidak boleh saling hapus
dengan kewajiban pajak tangguhan perusahaan lain dalam
kelompok usaha bank.
Oleh karena itu, pengaruh pajak tangguhan dalam
perhitungan KPMM secara konsolidasi harus dihitung dan
dikeluarkan secara terpisah untuk masing-masing entitas.
Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan dari
perhitungan modal inti utama, maka aset pajak tangguhan
tidak diperhitungkan dalam perhitungan ATMR.
Huruf b
Pengertian goodwill mengacu pada standar akuntansi
keuangan yang berlaku.
Goodwill diperhitungkan sebagai faktor pengurang baik
dalam perhitungan modal minimum Bank secara individual
maupun secara konsolidasi.
Huruf c
Pengertian aset tidak berwujud mengacu kepada standar
akuntansi keuangan yang berlaku.
Termasuk ...
- 58 -
Termasuk sebagai aset tidak berwujud lainnya antara lain
copy right, hak paten, dan hak milik intelektual (intellectual
property right) lainnya termasuk aplikasi piranti lunak
(software) yang dikembangkan oleh Bank.
Huruf d
Nilai penyertaan yang diperhitungkan adalah nilai buku
yang tercatat di neraca.
Huruf e
Kekurangan modal (shortfall) diperhitungkan sebagai faktor
pengurang hanya dalam perhitungan rasio KPMM secara
konsolidasi.
Kekurangan modal (shortfall) perusahaan asuransi dari RBC
minimum diperhitungkan apabila perusahaan dimaksud
tidak dapat memenuhi RBC minimum sampai dengan
jangka waktu yang ditetapkan oleh otoritas pengawas yang
berwenang.
Huruf f
Perlakuan terhadap eksposur sekuritisasi sebagai
pengurang modal atau diperhitungkan sebagai ATMR
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai
sekuritisasi aset.
Yang dimaksud dengan "eksposur sekuritisasi" adalah
kredit pendukung (credit enhancement), fasilitas likuiditas
(liquidity support), dan efek beragun aset (asset backed
securities).
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a ...
- 59 -
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Bank Indonesia berwenang untuk menetapkan kondisi di
mana Bank dinyatakan terganggu kelangsungan usahanya
(point of non viability) dan memerintahkan Bank untuk
mengkonversi instrumen modal pelengkap ke saham biasa
atau melakukan write down.
Termasuk dalam mekanisme write down antara lain
pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai kewajiban
pada saat opsi beli dieksekusi, atau pengurangan sebagian
atau seluruh pembayaran imbal hasil.
Dalam dokumentasi penerbitan wajib terdapat klausul yang
menyatakan bahwa instrumen modal pelengkap dapat
dikonversi menjadi saham biasa atau dilakukan write down
apabila terdapat perintah dari Bank Indonesia.
Huruf d
Instrumen modal pelengkap bersifat subordinasi terhadap
antara lain deposan dan kreditur.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh
Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun
jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan
melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi/fee
dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau
Perusahaan Anak.
Huruf g ...
- 60 -
Huruf g
Yang dimaksud dengan "dividen atau imbal hasil yang
sensitif terhadap risiko kredit" adalah tingkat dividen atau
imbal hasil yang ditetapkan berdasarkan peringkat atau
tingkat risiko kredit Bank penerbit.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "fitur step-up" adalah fitur yang
menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga atau imbal hasil
apabila opsi beli tidak dieksekusi pada jangka waktu yang
telah ditetapkan.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan "kualitas sama atau lebih baik"
adalah instrumen modal yang paling kurang
memenuhi persyaratan sebagai komponen modal
pelengkap.
Angka 2
Batasan modal pelengkap diperhitungkan dengan
memperhatikan seluruh instrumen modal pelengkap
yang tersedia.
Contoh ...
- 61 -
Contoh "jumlah yang berbeda" adalah sebagai berikut:
Misalnya modal pelengkap yang dieksekusi adalah
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), namun
pada saat penggantian, modal inti Bank mengalami
perubahan sehingga batasan modal pelengkap menjadi
paling tinggi sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah).
Dengan kondisi ini, maka Bank dapat menggantikan
modal pelengkap sebesar Rp400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "metode garis lurus" adalah perhitungan
amortisasi secara prorata.
Ayat (4)
Amortisasi dihitung berdasarkan nilai instrumen modal yang
telah memperhitungkan pengurangan dari cadangan pelunasan
(sinking fund).
Ayat (5)
Contoh ilustrasi pelaksanaan amortisasi:
1. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka
waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli pada akhir
tahun kelima.
Dalam kondisi ini, Bank wajib mulai menghitung amortisasi
sejak tahun pertama.
Apabila pada akhir tahun kelima, Bank tidak mengeksekusi
opsi beli tersebut maka mulai awal tahun keenam obligasi
subordinasi tersebut dapat diperhitungkan kembali dalam
perhitungan KPMM dengan memperhatikan batasan yang
dipersyaratkan,
termasuk
memperhitungkan amortisasi.
2. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka
waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli setelah
lewat tahun kelima.
Dalam ...
kewajiban untuk
- 62 -
Dalam kondisi ini maka sisa jangka waktu instrumen
tersebut pada awal penerbitan adalah 5 (lima) tahun.
Amortisasi wajib mulai diperhitungkan oleh Bank sejak
tahun pertama.
Setelah lewat tahun kelima sampai dengan jatuh tempo,
Bank tidak dapat memperhitungkan kembali obligasi
subordinasi tersebut sebagai modal pelengkap meskipun
Bank belum mengeksekusi opsi beli tersebut.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Contoh "instrumen modal dalam bentuk saham atau dalam
bentuk lainnya yang memenuhi persyaratan" adalah:
1. saham preferen (yang memberikan hak kepada
pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari
pemegang saham klasifikasi lain) secara kumulatif
(cummulative preference share);
2. instrumen utang yang memiliki karakteristik modal,
bersifat subordinasi, bersifat kumulatif dan memenuhi
seluruh persyaratan untuk dapat diperhitungkan
sebagai komponen modal pelengkap (cummulative
subordinated debt); dan
3. instrumen utang yang memiliki karakteristik seperti
modal yang secara otomatis tanpa persyaratan dapat
dikonversi menjadi saham setelah memperoleh
persetujuan Bank Indonesia (mandatory convertible
bond).
Kondisi dan nilai konversi harus ditetapkan pada saat
penerbitan yang besarnya sejalan dengan kondisi pasar.
Huruf b ...
- 63 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan "agio" adalah selisih lebih setoran
modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan
instrumen modal pelengkap karena harga pasar instrumen
modal lebih tinggi dari nilai nominal.
Yang dimaksud dengan "disagio" adalah selisih kurang
setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat
penerbitan instrumen modal pelengkap karena harga pasar
instrumen modal lebih rendah dari nilai nominal.
Huruf c
Pembentukan cadangan umum PPA atas aset produktif
yang wajib dibentuk mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia mengenai kualitas aset Bank Umum.
Contoh:
Cadangan umum PPA atas aset produktif yang wajib
dibentuk sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)
dan ATMR Bank untuk Risiko Kredit sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Cadangan umum PPA atas aset produktif yang dapat
diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap paling
tinggi 1,25% dari Rp1.000.000.000,00 yaitu sebesar
Rp12.500.000, (dua belas juta lima ratus ribu rupiah).
Dalam hal ini terdapat kelebihan cadangan umum sebesar
Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) yang tidak
dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "cadangan tujuan" adalah cadangan
yang dibentuk dari penyisihan saldo laba setelah dikurangi
pajak untuk tujuan tertentu dan telah mendapat
persetujuan RUPS atau rapat anggota.
Ayat (2) ...
- 64 -
Ayat (2)
Kelebihan cadangan umum PPA atas aset produktif sesuai contoh
pada penjelasan ayat (1) huruf c yaitu sebesar Rp2.500.000,00 (dua
juta lima ratus ribu rupiah) menjadi faktor pengurang perhitungan
ATMR untuk Risiko Kredit.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Pembelian kembali instrumen modal inti utama, modal inti
tambahan, atau modal pelengkap yang telah diakui sebagai
komponen permodalan Bank menjadi faktor pengurang
masing-masing komponen modal yang bersangkutan.
Contoh 1:
Termasuk dalam pembelian kembali instrumen modal yang
harus dikurangkan dari modal inti utama adalah antara
lain pembelian kembali instrumen modal yang telah
diterbitkan Bank, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Contoh 2:
Termasuk dalam pembelian kembali instrumen modal yang
harus dikurangkan dari modal inti tambahan adalah antara
lain eksekusi opsi beli (call option).
Huruf b
Penempatan dana pada instrumen utang yang telah diakui
sebagai komponen modal Bank lain menjadi faktor
pengurang modal bagi Bank yang melakukan penempatan
dana pada komponen modal yang memiliki kualitas sama
dan/atau lebih baik.
Contoh 1 ...
- 65 -
Contoh 1:
Bank A memiliki komponen modal pelengkap sebesar
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank
B yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B
sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
Dalam kondisi ini, maka modal pelengkap Bank A akan
dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A
dari Bank B yaitu:
Rp100.000.000.000,00 - Rp20.000.000.000,00 =
Rp80.000.000.000,00
Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah)
tersebut di atas selanjutnya diakui sebagai modal pelengkap
dengan memperhatikan batasan modal pelengkap yang
diperkenankan.
Contoh 2:
Bank A memiliki komponen modal pelengkap sebesar
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan modal
inti utama sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah).
Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank
B yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B
sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
Dalam kondisi ini, maka modal pelengkap Bank A akan
dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A
dari Bank B yaitu:
Rp10.000.000.000,00 - Rp20.000.000.000,00 =
(Rp10.000.000.000,00)
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) tersebut di
atas selanjutnya akan dikurangkan terhadap modal inti
utama Bank A.
Contoh 3 ...
- 66 -
Contoh 3:
Bank A hanya memiliki komponen modal inti utama sebesar
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dan tidak
memiliki komponen modal lainnya.
Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank
B yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B
sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
Dalam kondisi ini, maka modal inti utama Bank A akan
dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A
dari Bank B yaitu:
Rp100.000.000.000,00 - Rp20.000.000.000,00 =
Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "total kewajiban bank" adalah total
kewajiban dikurangi dengan seluruh kewajiban antar kantor
(kantor pusat dan kantor cabang lainnya di luar negeri).
Total kewajiban bank yang dijadikan dasar penetapan CEMA
minimum dihitung berdasarkan rata-rata kewajiban bank secara
mingguan dalam bulan yang bersangkutan.
Contoh:
Rata-rata total kewajiban posisi akhir minggu I, minggu II,
minggu III, dan minggu IV masing-masing sebesar Rp10 triliun,
Rp15 triliun, Rp10 triliun, dan Rp20 triliun. Oleh karena itu,
rata-rata total kewajiban = ((Rp10 triliun+ Rp15 triliun +Rp10
triliun + Rp20 triliun) : 4 ) = Rp13,75 triliun.
Perhitungan ...
- 67 -
Perhitungan CEMA berdasarkan rata-rata total kewajiban adalah
sebesar 8% x Rp13,75 triliun = Rp1,1 triliun.
Dengan demikian, minimum CEMA yang wajib dipelihara adalah
yang terbesar antara Rp1 triliun dengan Rp1,1 triliun, yaitu
Rp1,1 triliun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
CEMA minimum untuk posisi bulan Maret 20xx sebesar Rp.1,1
triliun wajib ditempatkan pada instrumen keuangan yang
memenuhi persyaratan paling lambat pada tanggal 6 April 20xx.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Contoh surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia antara lain meliputi:
1. Surat Utang Negara (SUN) sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan mengenai Surat
Utang Negara; dan
2. Surat ...
- 68 -
2. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
mengenai Surat Berharga Syariah Negara.
Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia tersebut dan yang dimaksudkan untuk dimiliki
hingga jatuh tempo yakni:
1. Surat berharga yang dikategorikan sebagai "dimiliki
hingga jatuh tempo"; atau
2. Surat berharga yang dikategorikan sebagai "tersedia
untuk dijual" yang didukung komitmen dari Bank
untuk:
- memiliki surat berharga dimaksud hingga jatuh
tempo; dan
- menggunakan surat berharga tersebut hanya untuk
mengantisipasi dampak permasalahan pada
perekonomian dan sistem keuangan global yang
mengganggu kantor cabang di Indonesia, dan/atau
stabilitas sistem keuangan dan sistem perbankan di
Indonesia,
yang dituangkan dalam surat pernyataan.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan "tidak bersifat ekuitas" adalah
surat berharga yang tidak diperhitungkan sebagai
komponen modal oleh Bank penerbit.
Angka 2
Yang dimaksud dengan "peringkat investasi" adalah
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang
diakui Bank Indonesia.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf c ...
- 69 -
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan bebas dari klaim antara lain bebas dari
gugatan, tuntutan, pengakuan, dan penguasaan, serta tidak
sedang dijaminkan kepada pihak lain atau disita oleh pihak yang
berwenang.
Contoh:
Aset keuangan yang digunakan sebagai CEMA tidak dapat
dilakukan repurchase agreement (repo) kepada pihak lain.
Bebas dari klaim dibuktikan antara lain dengan surat
pernyataan dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "nilai tercatat aset keuangan" adalah
nilai aset keuangan di neraca setelah dikurangi dengan
cadangan kerugian penurunan nilai.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Perlakuan pengakuan dan pengukuran mengacu pada standar
akuntansi keuangan yang berlaku mengenai instrumen keuangan.
Pasal 31 ...
- 70 -
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Contoh 1:
Sebelum melakukan merger atau konsolidasi, Bank A dan Bank B
tidak memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar.
Selama 6 (enam) bulan setelah merger atau konsolidasi dinyatakan
efektif, pada bulan pertama, ketiga, dan keempat, Bank hasil merger
atau konsolidasi
tersebut memenuhi kriteria untuk
memperhitungkan Risiko Pasar.
Dengan demikian, Bank hasil merger atau konsolidasi tersebut wajib
memperhitungkan Risiko Pasar sejak bulan ke-7 (tujuh).
Contoh 2:
Bank A tidak memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko
Pasar. Selanjutnya, Bank A mengakuisisi perusahaan keuangan X
sehingga Bank A melakukan konsolidasi terhadap perusahaan X.
Selama 6 (enam) bulan setelah melakukan akuisisi perusahaan X
dinyatakan efektif, pada bulan kedua, keempat, dan keenam, Bank
secara konsolidasi dengan perusahaan X tersebut memenuhi kriteria
untuk memperhitungkan Risiko Pasar.
Dengan demikian, Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak
X tersebut wajib memperhitungkan Risiko Pasar sejak bulan ke-7
(tujuh).
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36 ...
- 71 -
Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "risiko suku bunga" adalah risiko
kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan dari
posisi Trading Book yang disebabkan oleh perubahan suku
bunga.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "risiko nilai tukar" adalah risiko
kerugian akibat perubahan nilai posisi Trading Book dan
Banking Book yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar
valuta asing termasuk perubahan harga emas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "risiko ekuitas" adalah risiko kerugian
akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading
Book yang disebabkan oleh perubahan harga saham.
Yang dimaksud dengan "risiko komoditas" adalah risiko kerugian
akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading
Book dan Banking Book yang disebabkan oleh perubahan harga
komoditas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kebijakan dan prosedur valuasi tersebut meliputi antara lain
penetapan tanggung jawab yang jelas dari berbagai pihak yang
terlibat dalam penetapan valuasi, sumber informasi pasar, dan
proses kaji ulang terhadap kelayakan valuasi, frekuensi valuasi
(secara harian), penetapan waktu untuk valuasi akhir hari
(closing price), prosedur pelaksanaan dan penyampaian hasil
verifikasi baik secara berkala maupun insidental, serta prosedur
penyesuaian valuasi.
Sistem ...
- 72 -
Sistem informasi manajemen dan pengendalian proses valuasi
paling kurang mencakup pendokumentasian kebijakan dan
prosedur valuasi yang telah ditetapkan serta alur pelaporan
(reporting lines) yang jelas bagi satuan kerja yang bertanggung
jawab terhadap proses valuasi dan verifikasi.
Ayat (3)
Kebijakan dan prosedur valuasi yang berlandaskan pada prinsip
kehati-hatian antara lain melakukan valuasi dengan
memperhatikan penerapan aspek-aspek manajemen risiko dan
prosedur valuasi yang wajar.
Pasal 38
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "nilai wajar" adalah nilai dimana suatu
aset dapat dipertukarkan atau suatu kewajiban diselesaikan
antara pihak yang memahami dan berkeinginan untuk
melakukan transaksi wajar (arms's length transaction).
Pengertian ini sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang
berlaku.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "instrumen keuangan yang
diperdagangkan secara aktif" adalah apabila harga instrumen
keuangan tersedia sewaktu-waktu dan dapat diperoleh secara
rutin di bursa, pedagang efek (dealer), perantara efek (broker),
atau agen lainnya, serta harga tersebut merupakan harga yang
terjadi dari transaksi aktual yang dilakukan secara wajar (arm's
length basis).
Harga transaksi yang terjadi atau kuotasi harga pasar dari
sumber yang independen antara lain meliputi harga di bursa
(exchange prices), harga pada layar dealer (screen prices), atau
kuotasi yang paling konservatif yang diberikan oleh paling
kurang 2 (dua) broker dan/atau market maker yang memiliki
reputasi baik, yang minimal salah satunya adalah pihak
independen.
Penggunaan ...
- 73 -
Penggunaan sumber yang independen dilakukan secara
konsisten kecuali harga yang diperoleh tidak mencerminkan
nilai wajar.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "bid price" adalah harga beli yang
dikuotasikan oleh sumber yang independen.
Huruf b
Yang dimaksud "ask price (offer price)" adalah harga jual
yang dikuotasikan oleh sumber yang independen.
Ayat (4)
Termasuk model atau teknik penilaian antara lain:
a. penggunaan harga yang timbul dari transaksi yang terjadi
dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir;
b. penggunaan harga pasar dari instrumen lain yang memiliki
karakteristik (paling kurang jangka waktu, tingkat
bunga/kupon, peringkat, dan golongan penerbit) yang
serupa;
c. analisis arus kas yang didiskonto (discounted cash flow);
d. model penetapan harga opsi (option pricing models); atau
e. model atau teknik penilaian yang secara umum telah
digunakan oleh pelaku pasar dalam menetapkan harga
instrumen.
Penerapan prinsip kehati-hatian dalam penggunaan model atau
teknik penilaian antara lain memperhatikan pemisahan tugas
dan kompetensi pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan
dan penggunaan model, dan memastikan dilakukan kaji ulang
akurasi model atau teknik penilaian oleh fungsi yang
independen, serta prosedur dan dokumentasi pengembangan
dan perubahan model atau teknik penilaian.
Pasal 39 ...
- 74 -
Pasal 39
Ayat (1)
Verifikasi dilakukan untuk memastikan keakuratan penyusunan
laporan laba rugi.
Verifikasi terhadap proses dan hasil valuasi paling kurang
dilakukan terhadap kewajaran harga pasar maupun informasi
yang digunakan sebagai input dalam model atau teknik
penilaian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyesuaian dilaksanakan terhadap nilai instrumen keuangan
dalam neraca dan laporan laba rugi.
Pasal 40
Penyesuaian hasil valuasi dilakukan berdasarkan pemantauan
harian maupun hasil verifikasi oleh pihak yang tidak ikut dalam
pelaksanaan valuasi.
Sebagai contoh, valuasi yang belum mencerminkan nilai wajar dapat
terjadi pada valuasi dengan menggunakan model atau teknik
penilaian.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "perubahan kondisi ekonomi yang
signifikan" antara lain perubahan kurva imbal hasil (yield curve)
secara signifikan diluar ekspektasi pasar.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Faktor sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo
diperhitungkan mengingat semakin mendekati jatuh tempo, nilai
instrumen keuangan semakin mendekati nilai nominal.
Huruf d
Kondisi lainnya mencakup antara lain:
a. kemungkinan ...
- 75 -
a. kemungkinan kerugian potensial yang timbul karena pihak
lawan tidak dapat memenuhi kewajibannya (unearned credit
spreads).
b. kemungkinan perhitungan biaya atau penalti yang timbul
karena pelunasan lebih awal sebelum jatuh tempo (early
termination).
c. terjadinya mismatch arus kas yang menyebabkan harga
dapat dipengaruhi oleh perhitungan biaya untuk meminjam
dan menginvestasikan dana (investing and funding costs).
d. terjadi kondisi tertentu yang mengakibatkan ketidakpastian
dalam model valuasi misalnya ketidakmampuan menangkap
perubahan dalam kondisi tidak normal.
Pasal 41
Ayat (1)
Faktor-faktor tertentu mencakup antara lain rata-rata dan
volatilitas volume perdagangan, rata-rata volatilitas dari rentang
kuotasi penawaran dan permintaan (bid/ask spreads), dan
ketersediaan kuotasi pasar.
Ayat (2)
Penyesuaian tidak akan mengurangi nilai instrumen keuangan
dalam neraca dan tidak mempengaruhi laporan laba rugi.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bank yang baru memenuhi kriteria untuk memperhitungkan
Risiko Pasar, maka perhitungan Risiko Pasar wajib dimulai
dengan menggunakan Metode Standar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 43 ...
- 76 -
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi meliputi
antara lain memahami sifat dan tingkat risiko yang
dihadapi Bank, menilai kecukupan kualitas manajemen
risiko, dan mengaitkan tingkat risiko dengan kecukupan
modal yang dimiliki Bank.
Huruf b
Penilaian kecukupan modal meliputi antara lain proses
yang mengaitkan tingkat risiko dengan tingkat kecukupan
modal Bank dengan mempertimbangkan strategi dan
rencana bisnis Bank.
Huruf c
Pemantauan dan pelaporan meliputi antara lain sistem
pemantauan dan pelaporan eksposur risiko serta dampak
perubahan profil risiko terhadap kebutuhan modal Bank.
Huruf d
Pengendalian internal meliputi antara lain kecukupan
pengendalian internal dan kaji ulang.
Kaji ulang dilakukan oleh pihak internal Bank yang
memiliki kompetensi memadai dan independen terhadap
proses penetapan kecukupan modal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46 ...
- 77 -
Pasal 46
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "pembatasan distribusi modal" antara
lain berupa pembatasan atau penundaan pembayaran bonus
dan/atau dividen.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar antara
lain mencakup laporan posisi yang diperhitungkan dalam Risiko
Pasar, laporan perhitungan rasio KPMM, laporan perhitungan
value at risk dan beban modal, laporan back testing, serta
laporan stress testing.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
Apabila Bank A telah memperoleh persetujuan untuk
menggunakan Model Internal untuk memperhitungkan Risiko
Pasar pada bulan November 2012, maka laporan yang terkait
dengan Model Internal wajib disusun untuk pertama kalinya
pada akhir bulan Desember 2012.
Pasal 48
Ayat (1)
Profil risiko didasarkan pada hasil self assessment Bank.
Laporan ...
- 78 -
Laporan perhitungan KPMM sesuai profil risiko mencakup
antara lain:
- strategi pengelolaan modal;
-
identifikasi dan pengukuran risiko material; dan
- penilaian kecukupan modal;
Ayat (2)
Penyampaian dan batas waktu penyampaian hasil self
assessment Tingkat Kesehatan Bank mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan bank
umum.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "nilai tercatat" adalah nilai aset
keuangan di neraca setelah dikurangi dengan cadangan
kerugian penurunan nilai.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52 ...
- 79 -
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Yang dimaksud dengan "jumlah yang signifikan" adalah signifikan
terhadap total aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63 ...
- 80 -
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5469
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 15/12/PBI/2013 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 12 Desember 2013 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2014 </effective_date>
<issued_date> 12 Desember 2013 </issued_date>
<replaced_reg> '14/18/PBI/2012' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/ 25 /PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/8/PBI/2003 TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dengan semakin kompleksnya produk dan aktivitas
Bank maka risiko yang dihadapi Bank akan semakin
meningkat;
b. bahwa peningkatan risiko yang dihadapi Bank perlu
diimbangi dengan kualitas penerapan manajemen risiko
yang memadai;
c. bahwa transparansi merupakan salah satu aspek yang perlu
diperhatikan dalam pengendalian risiko yang dihadapi
Bank;
d. bahwa peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko
akan mendukung efektivitas kerangka pengawasan bank
berbasis risiko;
e. bahwa . . .
- 2 -
e. bahwa sehubungan dengan hal-hal sebagaimana dimaksud
pada huruf a sampai dengan huruf d, maka dipandang perlu
untuk mengatur kembali penerapan manajemen risiko bagi
bank umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN . . .
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
5/8/PBI/2003 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN
RISIKO BAGI BANK UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003
tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4292) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk
kantor cabang bank asing, dan Bank Umum Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
2. Bank Umum Konvensional adalah Bank Umum Konvensional
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
3. Bank . . .
- 4 -
3. Bank Umum Syariah adalah Bank Umum Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
4. Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa
(events) tertentu.
5. Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang
digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan
mengendalikan Risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha Bank.
6. Risiko Kredit adalah Risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak
lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank.
7. Risiko Pasar adalah Risiko pada posisi neraca dan rekening
administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara
keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk Risiko perubahan harga
option.
8. Risiko Likuiditas adalah Risiko akibat ketidakmampuan Bank untuk
memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus
kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan,
tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan Bank.
9. Risiko Operasional adalah Risiko akibat ketidakcukupan dan/atau
tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan
sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional Bank.
10. Risiko Kepatuhan adalah Risiko akibat Bank tidak mematuhi dan/atau
tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan
yang berlaku.
11. Risiko Hukum adalah Risiko akibat tuntutan hukum dan/atau
kelemahan aspek yuridis.
12. Risiko . . .
- 5 -
12. Risiko Reputasi adalah Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan
stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadap Bank.
13. Risiko Stratejik adalah Risiko akibat ketidaktepatan dalam
pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta
kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
14. Direksi:
a.
bagi Bank berbentuk Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perseroan terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perusahaan Daerah;
c.
bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang bank asing adalah pimpinan kantor cabang
bank asing.
15. Dewan Komisaris:
a.
bagi Bank berbentuk Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perseroan terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perusahaan Daerah;
c.
bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perkoperasian.
16. Perusahaan . . .
- 6 -
16. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki
dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak
langsung, baik di dalam maupun di luar negeri yang melakukan
kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri dari:
a. Perusahaan Subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan
Anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh
perseratus);
b. Perusahaan Partisipasi (participation company) adalah
Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank 50% (lima puluh
perseratus) atau kurang, namun Bank memiliki Pengendalian
terhadap perusahaan;
c. Perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh
perseratus) sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) yang
memenuhi persyaratan yaitu:
i.
kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada Perusahaan
Anak adalah masing-masing sama besar; dan
ii. masing-masing pemilik melakukan Pengendalian secara
bersama terhadap Perusahaan Anak;
d. Entitas lain yang berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan yang
berlaku wajib dikonsolidasikan.
2. Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif, baik untuk
Bank secara individual maupun untuk Bank secara konsolidasi dengan
Perusahaan Anak.
(2) Penerapan . . .
- 7 -
(2) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling kurang mencakup:
a.
pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;
b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit manajemen
risiko;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian Risiko, serta sistem informasi Manajemen Risiko;
dan
d.
sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
3. Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mencakup:
a. Risiko Kredit;
b. Risiko Pasar;
c. Risiko Likuiditas;
d. Risiko Operasional;
e. Risiko Hukum;
f. Risiko Reputasi;
g. Risiko Stratejik; dan
h. Risiko Kepatuhan;
(2) Bank Umum Konvensional wajib menerapkan Manajemen Risiko
untuk seluruh Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Bank Umum Syariah wajib menerapkan Manajemen Risiko paling
kurang untuk 4 (empat) jenis Risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d.
4. Penjelasan . . .
- 8 -
4. Penjelasan Pasal 8 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
5. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur secara tertulis untuk
mengelola risiko yang melekat pada produk atau aktivitas baru Bank.
(2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
kurang mencakup:
a.
b.
sistem dan prosedur (standard operating procedures) dan
kewenangan dalam pengelolaan produk atau aktivitas baru;
identifikasi seluruh Risiko yang melekat pada produk atau
aktivitas baru baik yang terkait dengan Bank maupun nasabah;
c. masa uji coba metode pengukuran dan pemantauan Risiko
terhadap produk atau aktivitas baru;
d.
e.
f.
sistem informasi akuntansi untuk produk atau aktivitas baru;
analisa aspek hukum untuk produk atau aktivitas baru; dan
transparansi informasi kepada nasabah.
(3) Produk atau aktivitas Bank merupakan suatu produk baru atau
aktivitas baru apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.
b.
tidak pernah diterbitkan atau dilakukan sebelumnya oleh Bank;
atau
telah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh Bank
namun dilakukan pengembangan yang mengubah atau
meningkatkan eksposur Risiko tertentu pada Bank.
6. Diantara . . .
- 9 -
6. Diantara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 20 A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20 A
Bank dilarang menugaskan atau menyetujui pengurus dan/atau pegawai
Bank untuk memasarkan produk atau melaksanakan aktivitas yang bukan
merupakan produk atau aktivitas Bank dengan menggunakan sarana atau
fasilitas Bank.
7. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
Bank wajib menerapkan transparansi informasi produk atau aktivitas Bank
kepada nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf f,
baik secara tertulis maupun lisan.
8. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Bank wajib menyampaikan laporan profil Risiko kepada Bank
Indonesia.
(2) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
disampaikan oleh satuan kerja Manajemen Risiko, wajib memuat
substansi yang sama dengan laporan profil Risiko yang disampaikan
oleh satuan kerja Manajemen Risiko kepada Direktur Utama dan
Komite Manajemen Risiko.
(3) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara triwulanan untuk posisi bulan Maret, Juni,
September, dan Desember.
(4) Laporan . . .
- 10 -
(4) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah akhir
bulan laporan.
(5) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Bank
menyampaikan laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diluar jangka waktu yang ditetapkan.
9. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
(1) Bank wajib menyampaikan laporan produk atau aktivitas baru kepada
Bank Indonesia, yang terdiri dari:
a. Laporan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas
baru; dan
b. Laporan realisasi penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas
baru.
(2) Laporan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib
disampaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum penerbitan
atau pelaksanaan produk atau aktivitas baru.
(3) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib
disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah produk atau
aktivitas baru dilakukan.
(4) Selain memenuhi ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru
yang memenuhi kriteria dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a wajib
dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank.
(5) Berdasarkan . . .
- 11 -
(5) Berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, Bank Indonesia dapat melarang Bank untuk
menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas baru yang
direncanakan.
(6) Dalam hal di kemudian hari berdasarkan evaluasi Bank Indonesia,
produk yang diterbitkan atau aktivitas yang dilaksanakan memenuhi
kondisi sebagai berikut:
a.
tidak sesuai dengan rencana penerbitan produk atau aktivitas
baru yang dilaporkan kepada Bank Indonesia;
b. berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap
kondisi keuangan Bank; dan/atau
c.
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk menghentikan
penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas dimaksud.
(7) Laporan rencana dan realisasi atas penerbitan produk atau pelaksanaan
aktivitas tertentu dapat diatur secara tersendiri dalam Surat Edaran.
10. Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
(1) Bank wajib menyampaikan laporan lain kepada Bank Indonesia selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dalam hal terdapat kondisi
yang berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap
kondisi keuangan Bank.
(2) Bank . . .
- 12 -
(2) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan lain yang
terkait dengan penerapan Manajemen Risiko dan/atau terkait dengan
penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas tertentu secara berkala
atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
(3) Format dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur tersendiri dalam Surat Edaran.
11. Ketentuan Pasal 29 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24,
Pasal 25, dan Pasal 26 wajib disampaikan kepada Bank Indonesia dengan
alamat:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta
10350 bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia.
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
12. Ketentuan Pasal 33 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
(1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25 ayat (1) huruf b dan
ayat (7), dan Pasal 26 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan per
laporan.
(2) Bank . . .
- 13 -
(2) Bank yang belum menyampaikan laporan atau menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25
ayat (1) huruf b, dan ayat (7), dan Pasal 26 ayat (2) setelah 1 (satu)
bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah)
per laporan.
(3) Bank yang belum menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25 ayat (1) huruf b dan
ayat (7), dan Pasal 26 ayat (2) dan telah dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap wajib
menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia.
(4) Bank yang tidak menyampaikan laporan rencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(5) Bank yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25 ayat (1) huruf b dan ayat (7),
dan Pasal 26 ayat (2) namun dinilai tidak lengkap secara signifikan
atau tidak dilampiri dengan dokumen dan informasi yang material
sesuai dengan format yang ditentukan, dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) setelah
Bank diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia dengan
tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja untuk setiap teguran dan Bank
tidak memperbaiki laporan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja
setelah surat teguran terakhir.
13. Ketentuan . . .
- 14 -
13. Ketentuan Pasal 34 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34
Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan pelaksanaan terkait lainnya
dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Pasal 58
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, antara
lain berupa:
a.
teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan Bank;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, dan/atau pemegang
saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus
dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan
administrasi Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku; dan/atau
e. pemberhentian pengurus Bank.
14. Ketentuan pasal 35 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Manajemen Risiko bagi
Bank diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Bank wajib
menyesuaikan pedoman operasional yang terkait dengan penerapan
Manajemen Risiko.
(3) Pengaturan . . .
- 15 -
(3) Pengaturan mengenai Manajemen Risiko untuk seluruh Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan penetapan
penilaian peringkat Risiko bagi Bank Umum Konvensional yang
dikategorikan dalam 5 (lima) peringkat sebagaimana dimaksud dalam
penjelasan Pasal 8 huruf d Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak
tanggal 1 Juli 2010.
(4) Pengaturan mengenai Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) PBI No.5/8/PBI/2003 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, serta penetapan
penilaian peringkat Risiko Bank Umum Konvensional yang
dikategorikan dalam 3 (tiga) peringkat sebagaimana dimaksud dalam
penjelasan Pasal 8 huruf d PBI No.5/8/PBI/2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum tetap berlaku sampai dengan
tanggal 30 Juni 2010.
15. Diantara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35A
(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 25, dan
Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3) tidak berlaku bagi Bank Umum Syariah.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, pengaturan dalam
ketentuan pelaksanaan yang terkait dengan Manajemen Risiko yang
bertentangan dengan pengaturan dalam Peraturan Bank Indonesia ini
dinyatakan tidak berlaku dan wajib mengikuti pengaturan dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal II
. . .
- 16 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2009
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA
MIRANDA S. GOELTOM
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 103
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/25/PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/8/PBI/2003 TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM
UMUM
Era globalisasi dan semakin terintegrasinya pasar keuangan menyebabkan
produk dan aktivitas yang ditawarkan perbankan menjadi semakin kompleks dan
bervariasi. Hal ini mengakibatkan eksposur risiko yang ditanggung Bank dari
penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitas menjadi semakin tinggi.
Peningkatan risiko yang ditanggung oleh Bank, harus diimbangi dengan
pengendalian risiko yang memadai. Untuk mengendalikan risiko dimaksud Bank
perlu meningkatkan kualitas penerapan manajemen risiko.
Upaya peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko dimaksud tidak
hanya ditujukan bagi kepentingan Bank tetapi juga bagi kepentingan nasabah.
Salah satu aspek penting dalam melindungi kepentingan nasabah dan dalam
rangka pengendalian risiko adalah transparansi informasi terkait produk atau
aktivitas Bank.
Melalui peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko, Bank
diharapkan dapat mengukur dan mengendalikan risiko yang dihadapi dalam
melakukan kegiatan usahanya dengan lebih baik.
Selanjutnya . . .
- 2 -
Selanjutnya peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko yang
dilakukan perbankan akan mendukung efektivitas kerangka pengawasan bank
berbasis risiko yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Termasuk dalam cakupan penerapan Manajemen Risiko adalah
penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Teroris yang sebelumnya dikenal dengan prinsip mengenal nasabah
(Know Your Customer/KYC).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk dalam kelompok Risiko Kredit adalah Risiko
konsentrasi kredit.
Risiko . . .
- 3 -
Risiko konsentrasi kredit merupakan Risiko yang timbul akibat
terkonsentrasinya penyediaan dana kepada 1 (satu) pihak atau
sekelompok pihak, industri, sektor, dan/atau area geografis
tertentu yang berpotensi menimbulkan kerugian cukup besar
yang dapat mengancam kelangsungan usaha Bank.
Huruf b
Risiko Pasar meliputi antara lain Risiko suku bunga, Risiko nilai
tukar, Risiko komoditas, dan Risiko ekuitas.
Risiko suku bunga adalah Risiko akibat perubahan harga
instrumen keuangan dari posisi Trading book atau akibat
perubahan nilai ekonomis dari posisi Banking Book, yang
disebabkan oleh perubahan suku bunga.
Dalam kategori Risiko suku bunga termasuk pula Risiko suku
bunga dari posisi Banking Book yang antara lain meliputi
repricing risk, yield curve risk, basis risk, dan optionality risk.
Risiko Nilai Tukar adalah risiko akibat perubahan nilai posisi
Trading Book dan Banking Book yang disebabkan oleh
perubahan nilai tukar valuta asing atau perubahan harga emas.
Risiko Komoditas adalah Risiko akibat perubahan harga
instrumen keuangan dari posisi Trading Book dan Banking Book
yang disebabkan oleh perubahan harga komoditas.
Risiko Ekuitas adalah Risiko akibat perubahan harga instrumen
keuangan dari posisi Trading Book yang disebabkan oleh
perubahan harga saham.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d . . .
- 4 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Risiko ini timbul antara lain karena ketiadaan peraturan
perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan
perikatan, seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak atau
pengikatan agunan yang tidak sempurna.
Huruf f
Risiko ini timbul antara lain karena adanya pemberitaan media
dan/atau rumor mengenai bank yang bersifat negatif, serta
adanya strategi komunikasi bank yang kurang efektif.
Huruf g
Risiko ini timbul antara lain karena bank menetapkan strategi
yang kurang sejalan dengan visi dan misi bank, melakukan
analisis lingkungan stratejik yang tidak komprehensif, dan/atau
terdapat ketidaksesuaian rencana stratejik (strategic plan) antar
level stratejik. Selain itu Risiko Stratejik juga timbul karena
kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis
mencakup kegagalan dalam mengantisipasi perubahan teknologi,
perubahan kondisi ekonomi makro, dinamika kompetisi di pasar,
dan perubahan kebijakan otoritas terkait.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
. . .
- 5 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Kebijakan Manajemen Risiko ditetapkan antara lain dengan cara menyusun
strategi manajemen risiko untuk memastikan bahwa:
1. Bank tetap mempertahankan eksposur Risiko sesuai dengan kebijakan
dan prosedur intern Bank dan peraturan perundang-undangan serta
ketentuan lain yang berlaku; dan
2. Bank dikelola oleh sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan,
pengalaman dan keahlian di bidang Manajemen Risiko sesuai dengan
kompleksitas usaha Bank.
Penyusunan strategi Manajemen Risiko dilakukan dengan
mempertimbangkan kondisi keuangan Bank, organisasi Bank, dan Risiko
yang timbul sebagai akibat perubahan faktor eksternal dan faktor internal.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Toleransi Risiko merupakan potensi kerugian yang dapat diserap oleh
permodalan Bank.
Huruf d
Penetapan penilaian peringkat Risiko merupakan dasar bagi Bank
untuk mengkategorikan peringkat Risiko Bank.
Peringkat
. . .
- 6 -
Peringkat Risiko bagi Bank Umum Konvensional dikategorikan
menjadi 5 (lima) peringkat, yaitu 1 (Low), 2 (Low to Moderate),
3 (Moderate), 4 (Moderate to High), dan 5 (High).
Peringkat Risiko bagi Bank Umum Syariah dikategorikan menjadi
3 (tiga) peringkat, yaitu 1 (Low), 2 (Moderate), dan 3 (High).
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan produk Bank adalah instrumen keuangan yang
diterbitkan oleh Bank.
Yang dimaksud dengan aktivitas Bank adalah jasa yang disediakan
oleh Bank kepada nasabah, antara lain jasa keagenan dan/atau
kustodian.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Masa uji coba dimaksudkan untuk memastikan bahwa metode
pengukuran dan pemantauan Risiko telah teruji.
Huruf d . . .
- 7 -
Huruf d
Sistem informasi akuntansi paling kurang menggambarkan profil
Risiko dan tingkat keuntungan maupun kerugian untuk produk
atau aktivitas baru secara akurat.
Huruf e
Analisa aspek hukum mencakup kemungkinan adanya Risiko
Hukum yang ditimbulkan oleh produk atau aktivitas baru serta
kesesuaian dengan ketentuan dan perundang-undangan yang
berlaku.
Huruf f
Dalam menerapkan transparansi informasi kepada nasabah,
aspek-aspek yang perlu diperhatikan oleh Bank paling kurang
adalah:
1.
informasi yang disampaikan lengkap, benar, dan tidak
menyesatkan nasabah;
2.
informasi yang berimbang antara potensi manfaat yang
mungkin diperoleh dengan Risiko yang mungkin timbul
bagi nasabah; dan
3.
informasi yang disampaikan tidak menyamarkan,
mengurangi, atau menutupi hal-hal yang penting terkait
dengan Risiko yang mungkin timbul.
Ayat (3)
Huruf a
Termasuk dalam kriteria tidak pernah diterbitkan atau dilakukan
sebelumnya adalah produk atau aktivitas yang telah diterbitkan
atau dilakukan oleh Bank lain, namun belum pernah diterbitkan
atau dilakukan oleh Bank yang bersangkutan.
Huruf b . . .
- 8 -
Huruf b
Perubahan eksposur Risiko dalam pengaturan ini tidak mencakup
perubahan eksposur Risiko yang terkait produk atau aktivitas
konvensional seperti giro, tabungan, deposito, kredit, produk
derivatif yang bersifat plain vanilla, dan aktivitas kustodian.
Pasal 20A
Termasuk dalam kategori tindakan menyetujui adalah mengetahui namun
tidak melarang atau membiarkan terjadinya pemasaran produk atau
aktivitas yang bukan merupakan produk atau aktivitas Bank dengan
menggunakan sarana atau fasilitas Bank oleh pengurus dan/atau pegawai.
Pasal 21
Cakupan transparansi informasi yang perlu diungkapkan kepada nasabah
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi
produk bank, termasuk prosedur, skim, dan materi yang perlu diungkapkan,
seperti karakteristik produk atau aktivitas, Risiko, serta hak dan kewajiban
nasabah.
Pasal 24
Ayat (1)
Laporan profil Risiko memuat antara lain informasi tentang tingkat
dan trend seluruh eksposur Risiko.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
. . .
- 9 -
Ayat (3)
Laporan profil Risiko disajikan secara komparatif dengan posisi
triwulan sebelumnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Produk atau aktivitas baru yang wajib dilaporkan mencakup seluruh
produk atau aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (3).
Laporan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru
paling kurang memuat hal-hal yang ditetapkan pada Pasal 20 ayat (2).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru
dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank untuk tahun yang sama
dengan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru.
Ayat (5) . . .
- 10 -
Ayat (5)
Evaluasi Bank Indonesia mencakup antara lain aspek kesiapan Bank,
penerapan Manajemen Risiko, transparansi informasi produk, dan
perlindungan nasabah.
Ayat (6)
Huruf a
Ketidaksesuaian tersebut meliputi antara lain prosedur, skim,
karakteristik produk atau aktivitas, Risiko, serta hak dan
kewajiban nasabah.
Huruf b
Kondisi yang berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan
terhadap kondisi keuangan Bank antara lain dapat disebabkan
oleh Risiko Reputasi dan Risiko Pasar dari penerbitan produk
atau pelaksanaan aktivitas Bank.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan terkait penerapan Manajemen Risiko meliputi antara lain
Laporan Proyeksi Arus Kas dan Laporan Profil Maturitas dalam
rangka Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas.
Laporan . . .
- 11 -
Laporan terkait aktivitas tertentu meliputi antara lain laporan
pelaksanaan keagenan reksadana dan/atau laporan pelaksanaan
kegiatan bancassurance.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hari adalah hari kerja.
Ayat (2)
Bank yang telah dikenakan sanksi kewajiban membayar dalam ayat
ini tidak dikenakan sanksi keterlambatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Bank yang telah dikenakan sanksi kewajiban membayar dalam ayat
ini tidak dikenakan sanksi keterlambatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Pasal 34 . . .
- 12 -
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 35A
Cukup Jelas.
Pasal II
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
5029
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/25/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/8/PBI/2003 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 1 Juli 2009 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2009 </effective_date>
<issued_date> 1 Juli 2009 </issued_date>
<changed_reg> '5/8/PBI/2003' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 12 Pasal 33', 'Pasal I Angka 13 Pasal 34' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/17/PBI/2015
TENTANG
SURAT BERHARGA BANK INDONESIA DALAM VALUTA ASING
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung pelaksanaan kebijakan
moneter khususnya stabilisasi nilai tukar Rupiah,
diperlukan cadangan devisa;
b. bahwa dalam rangka memperkuat cadangan devisa, Bank
Indonesia menerbitkan surat berharga Bank Indonesia
dalam valuta asing;
c. bahwa melalui penerbitan surat berharga Bank Indonesia
dalam valuta asing juga diharapkan dapat mendukung
pendalaman pasar keuangan domestik;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Surat
Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
- 2 -
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SURAT BERHARGA
BANK INDONESIA DALAM VALUTA ASING.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan
telah memperoleh izin dari otoritas yang berwenang
untuk melakukan kegiatan usaha perbankan dalam
valuta asing.
2. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing yang
selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat berharga
dalam valuta asing yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
3. Peserta Lelang adalah pihak yang dapat melakukan
transaksi lelang SBBI Valas dengan Bank Indonesia.
4. Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding)
adalah pengajuan penawaran pembelian dengan
mencantumkan volume dan tingkat diskonto yang
diinginkan penawar.
5. Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Noncompetitive
Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan
mencantumkan volume tanpa tingkat diskonto yang
diinginkan penawar.
- 3 -
6. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan
SBBI Valas untuk pertama kali.
7. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan SBBI Valas
yang telah dijual di Pasar Perdana.
8. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai BI-SSSS.
BAB II
TUJUAN PENERBITAN SBBI VALAS
Pasal 2
Bank Indonesia menerbitkan SBBI Valas dalam rangka
penguatan cadangan devisa dan pendalaman pasar keuangan,
guna mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah.
BAB III
KARAKTERISTIK SBBI VALAS
Pasal 3
(1) SBBI Valas memiliki karakteristik antara lain sebagai
berikut:
a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan
dalam jumlah hari dan dihitung sejak 1 (satu) hari
sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal
jatuh waktu;
b. diterbitkan dalam valuta asing;
c. diterbitkan tanpa warkat (scripless);
d. dapat diperdagangkan (tradable); dan
e. diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem
diskonto.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai karakteristik SBBI Valas
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
- 4 -
BAB IV
MEKANISME PENERBITAN, PESERTA, KEPEMILIKAN, DAN
PELAKSANAAN LELANG
Pasal 4
Penerbitan SBBI Valas di Pasar Perdana dilakukan melalui
mekanisme lelang atau nonlelang.
Pasal 5
(1) Peserta Lelang terdiri atas Bank dan/atau pihak lain
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Peserta Lelang dapat mengikuti transaksi lelang SBBI
Valas untuk kepentingan diri sendiri dan/atau pihak
lain.
(3) Bank Indonesia menetapkan persyaratan bagi Peserta
Lelang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Peserta Lelang diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 6
Penduduk dan/atau bukan penduduk dapat memiliki SBBI
Valas di Pasar Perdana melalui pengajuan pembelian SBBI
Valas kepada Peserta Lelang yang telah ditunjuk oleh Bank
Indonesia atau di Pasar Sekunder melalui mekanisme pasar.
Pasal 7
(1) Peserta Lelang mengajukan penawaran lelang melalui
sarana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Peserta Lelang bertanggung jawab atas kebenaran data
penawaran yang diajukan.
(3) Peserta Lelang yang telah mengajukan penawaran tidak
dapat membatalkan penawaran.
(4) Peserta Lelang harus memenuhi tata cara pengajuan
penawaran dan persyaratan dalam pelaksanaan transaksi
SBBI Valas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(5) Dalam hal Peserta Lelang tidak memenuhi tata cara
pengajuan penawaran dan persyaratan sebagaimana
- 5 -
dimaksud pada ayat (4), penawaran yang telah diajukan
akan ditolak dan/atau tidak akan diproses oleh Bank
Indonesia.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pengajuan
penawaran lelang SBBI Valas diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 8
(1) Bank Indonesia melaksanakan lelang SBBI Valas di Pasar
Perdana dengan menggunakan sarana yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(2) Peserta Lelang SBBI Valas di Pasar Perdana dapat
melakukan penawaran pembelian dalam lelang SBBI
Valas dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif
(Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian
Nonkompetitif (Noncompetitive Bidding).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan
lelang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB V
PENATAUSAHAAN SBBI VALAS
Pasal 9
(1) Bank Indonesia melakukan penatausahaan SBBI Valas
atas transaksi penerbitan SBBI Valas di Pasar Perdana
dan transaksi SBBI Valas di Pasar Sekunder.
(2) Penatausahaan SBBI Valas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menggunakan BI-SSSS atau sarana lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Sistem penatausahaan yang dikelola Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup sistem
pencatatan kepemilikan dan penyelesaian transaksi SBBI
Valas.
(4) Sistem pencatatan kepemilikan SBBI Valas sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan tanpa warkat
(scripless).
- 6 -
(5) Catatan kepemilikan SBBI Valas di BI-SSSS atau sarana
lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia merupakan
bukti kepemilikan yang sah.
(6) Bank Indonesia dapat menunjuk atau bekerjasama
dengan pihak lain dalam pelaksanaan penatausahaan
SBBI Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(7) Dalam hal pihak lain yang ditunjuk dalam pelaksanaan
penatausahaan SBBI Valas sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) tidak dapat memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia atau menghentikan
kegiatan usahanya, Bank Indonesia berwenang mencabut
penunjukan yang telah ditetapkan.
Pasal 10
(1) Peserta Lelang harus memiliki rekening giro valuta asing
di Bank Indonesia dan/atau di pihak lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Peserta Lelang harus memiliki rekening surat berharga di
BI-SSSS dan/atau di pihak lain yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(3) Peserta Lelang wajib menyediakan dana yang cukup di
rekening giro valuta asing dan/atau SBBI Valas yang
cukup di rekening surat berharga di Bank Indonesia
dan/atau di pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia
untuk penyelesaian kewajiban pada waktu penyelesaian
transaksi.
(4) Dalam hal Peserta Lelang tidak memenuhi kewajiban
penyediaan dana dan/atau SBBI Valas sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), transaksi yang bersangkutan
dinyatakan batal.
Pasal 11
Dalam rangka penyelesaian transaksi SBBI Valas, Bank
Indonesia berwenang untuk melakukan pendebetan rekening
giro valuta asing dan/atau surat berharga di Bank Indonesia.
- 7 -
Pasal 12
(1) Bank Indonesia melunasi SBBI Valas pada saat jatuh
waktu sebesar nilai nominal.
(2) Bank Indonesia dapat melunasi SBBI Valas sebelum
jatuh waktu dengan persetujuan pemilik SBBI Valas.
(3) Pelunasan SBBI Valas dilakukan oleh Bank Indonesia
berdasarkan posisi kepemilikan SBBI Valas yang tercatat
di BI-SSSS atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
BAB VI
SANKSI
Pasal 13
(1) Peserta Lelang yang transaksinya dinyatakan batal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4)
dikenakan sanksi administratif berupa:
a.
teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:
1. suku bunga Fed Fund yang berlaku pada
tanggal penyelesaian transaksi ditambah 200
(dua ratus) basis point dikalikan nominal
transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus
enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban
pembayaran dalam valuta Dolar Amerika
Serikat, paling sedikit sebesar ekuivalen
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak sebesar
ekuivalen
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); atau
2. suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral
atau otoritas moneter di negara valuta yang
bersangkutan (official rate) yang berlaku pada
tanggal penyelesaian transaksi ditambah 200
(dua ratus) basis point dikalikan nominal
transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus
enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban
pembayaran dalam valuta asing non-Dolar
- 8 -
Amerika Serikat, paling sedikit sebesar
ekuivalen Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak sebesar ekuivalen
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Dalam hal Peserta Lelang dikenakan pembatalan
transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4)
sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut selain dikenakan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta
Lelang juga dikenakan sanksi berupa penghentian
sementara mengikuti lelang SBBI Valas untuk 2 (dua)
lelang SBBI Valas berikutnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut Peraturan Bank Indonesia ini diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 15
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 9 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 264
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/17/PBI/2015
TENTANG
SURAT BERHARGA BANK INDONESIA DALAM VALUTA ASING
I. UMUM
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, Bank Indonesia memiliki tujuan
untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah.
Sehubungan dengan tujuan dimaksud, Bank Indonesia
melaksanakan tugas antara lain menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter. Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas Bank
Indonesia terkait kebijakan moneter diperlukan penguatan cadangan
devisa yang antara lain dilakukan melalui penerbitan SBBI Valas. SBBI
Valas tersebut memiliki karakteristik antara lain dapat diperdagangkan
(tradable) dan berjangka pendek. Selain itu, penerbitan SBBI Valas
diharapkan pula dapat mendukung pendalaman pasar keuangan,
khususnya pada pasar valas domestik antara lain melalui pembentukan
suku bunga acuan (reference rate) untuk surat berharga valas berjangka
pendek, perluasan cakupan investor, dan sebagai alternatif instrumen
investasi di pasar valas domestik.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
- 2 -
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah
diterbitkan tanpa adanya fisik SBBI Valas, dan bukti
kepemilikan bagi pemegang SBBI Valas berupa pencatatan
elektronis.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan hukum,
atau badan lainnya, yang berdomisili di Indonesia paling kurang 1
(satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik
Indonesia di luar negeri.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 3 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “membatalkan penawaran” adalah
Peserta Lelang menarik kembali penawaran yang telah diajukan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5753
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/17/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> SURAT BERHARGA BANK INDONESIA DALAM VALUTA ASING </reg_title>
<set_date> 10 November 2015 </set_date>
<effective_date> 10 November 2015 </effective_date>
<issued_date> 10 November 2015 </issued_date>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/ 20 /PBI/2009
TENTANG
TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PERKREDITAN
RAKYAT DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa upaya penyehatan terhadap Bank Perkreditan
Rakyat merupakan kegiatan yang berkelanjutan dalam
rangka mendorong tumbuhnya industri Bank Perkreditan
Rakyat yang sehat;
b. bahwa sebagai bagian dari upaya penyehatan, Bank
Perkreditan Rakyat yang mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya ditetapkan oleh
Bank Indonesia dalam status pengawasan khusus;
c. bahwa dalam rangka penyehatan Bank Perkreditan Rakyat
dalam status pengawasan khusus, diperlukan pengaturan
yang memberikan landasan bagi penyehatan Bank
Perkreditan Rakyat;
d. bahwa …
- 2 -
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu diatur kembali
ketentuan tentang tindak lanjut penanganan terhadap Bank
Perkreditan Rakyat dalam status pengawasan khusus;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang- …
- 3 -
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4963);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TINDAK
LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK
PERKREDITAN RAKYAT DALAM STATUS
PENGAWASAN KHUSUS.
BAB I …
- 4 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional;
2. Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut LPS, adalah badan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4963);
3. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, yang selanjutnya disebut
dengan Rasio KPMM, adalah perbandingan antara modal bank terhadap
aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
Perkreditan Rakyat;
4. Cash …
- 5 -
4. Cash Ratio, yang selanjutnya disebut dengan CR, adalah perbandingan
antara alat likuid terhadap hutang lancar sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan
Bank Perkreditan Rakyat.
BAB II
BPR DALAM PENGAWASAN KHUSUS
Pasal 2
(1) Dalam hal Bank Indonesia menilai suatu BPR mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya maka BPR tersebut ditetapkan
dalam status pengawasan khusus.
(2) Bank Indonesia menetapkan BPR dalam status pengawasan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi 1 (satu) atau lebih
kriteria sebagai berikut:
a. Rasio KPMM kurang dari 4% (empat persen);
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga
persen).
(3) Bank Indonesia memberitahukan mengenai penetapan BPR dalam status
pengawasan khusus kepada BPR yang bersangkutan.
Pasal 3 …
- 6 -
Pasal 3
Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank
Indonesia dapat memerintahkan BPR dan/atau pemegang saham BPR untuk
melakukan tindakan antara lain:
a. menambah modal,
b. menghapusbukukan kredit yang tergolong macet dan memperhitungkan
kerugian BPR dengan modalnya,
c. mengganti anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris BPR,
d. melakukan merger atau konsolidasi dengan BPR lain,
e. menjual BPR kepada pembeli yang bersedia mengambilalih seluruh
kewajiban BPR,
f. menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan BPR kepada
pihak lain,
g. menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban BPR kepada pihak
lain, dan/atau
h. menghentikan kegiatan usaha tertentu dalam waktu yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
Pasal 4 …
- 7 -
Pasal 4
BPR yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) wajib:
a. menyampaikan rencana tindak (action plan) penyehatan BPR yang realistis
sesuai dengan permasalahan yang dihadapi paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sejak BPR ditetapkan dalam status pengawasan khusus yang
ditandatangani oleh Direksi, Dewan Komisaris dan Pemegang Saham
Pengendali BPR;
b. melaksanakan action plan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud
pada huruf b paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan action
plan;
d. melakukan penyesuaian action plan yang disampaikan sebagaimana
dimaksud pada huruf a atas permintaan Bank Indonesia.
Pasal 5
(1) Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai BPR yang
ditetapkan dalam status pengawasan khusus.
(2) Pemberitahuan kepada LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
dengan keterangan mengenai kondisi BPR yang bersangkutan.
BAB III …
- 8 -
BAB III
LARANGAN PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA
Pasal 6
(1) BPR dalam status pengawasan khusus yang memiliki rasio KPMM sama
dengan atau kurang dari 0% (nol persen) dan/atau CR rata-rata selama 6
(enam) bulan terakhir sama dengan atau kurang dari 1% (satu persen),
dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana.
(2) Larangan penghimpunan dan penyaluran dana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku sejak tanggal penetapan larangan sampai dengan BPR
keluar dari status pengawasan khusus.
Pasal 7
(1) Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Bank Indonesia dapat menempatkan petugas Bank Indonesia untuk
melakukan pemantauan secara langsung terhadap kegiatan operasional
BPR.
(2) Penempatan petugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak mengurangi tanggungjawab pengurus dan/atau pemegang saham BPR
terhadap kegiatan operasional dan kewajiban BPR.
BAB IV …
- 9 -
BAB IV
JANGKA WAKTU
Pasal 8
(1) Jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ditetapkan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal
penetapan BPR dalam status pengawasan khusus dari Bank Indonesia.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk waktu
yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk melakukan penelitian terhadap
upaya-upaya perbaikan yang telah dilakukan oleh BPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, apabila waktu yang digunakan untuk penelitian
melampaui batas waktu pengawasan khusus.
(3) Dalam hal jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka jangka waktu
pengawasan khusus tersebut jatuh pada hari kerja berikutnya.
BAB V
PENAMBAHAN MODAL DAN PENCAIRAN SETORAN MODAL
PADA ESCROW ACCOUNT
Pasal 9
(1) Penambahan modal yang dilakukan oleh BPR dalam status pengawasan
khusus wajib ditempatkan dalam escrow account di Bank Umum.
(2) Bank …
- 10 -
(2) Bank Indonesia melakukan penelitian atas penambahan modal BPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memastikan bahwa
penambahan modal tersebut telah sesuai dengan ketentuan permodalan
yang berlaku.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian Bank Indonesia penambahan modal
BPR tidak memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) maka penambahan modal tersebut tidak dapat diperhitungkan
sebagai dana setoran modal.
(4) BPR dalam status pengawasan khusus yang telah melakukan penambahan
modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat melakukan
pencairan dana dalam escrow account dengan persetujuan Bank Indonesia.
(5) Bank Indonesia memberikan persetujuan atas permohonan pencairan dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah Bank Indonesia melakukan
penelitian atas dana setoran modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
BAB VI
PERPANJANGAN JANGKA WAKTU
Pasal 10
(1) Jangka waktu status pengawasan khusus BPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling
lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berakhirnya jangka waktu
status pengawasan khusus.
(2) BPR …
- 11 -
(2) BPR dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu status
pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat
BPR telah meningkatkan:
a.
rasio KPMM paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh lima persen)
dari selisih untuk mencapai rasio KPMM 4% (empat persen) dan rasio
KPMM lebih dari 0% (nol persen); dan/atau
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar
75% (tujuh puluh lima persen) dari selisih untuk mencapai CR 3%
(tiga persen) dan CR lebih dari 1% (satu persen).
(3) BPR yang tidak memenuhi ayat (2) namun sumber dana setoran modalnya
berasal dari APBD dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka
waktu status pengawasan khusus disertai dengan komitmen pemegang
saham untuk menambah setoran modal sehingga meningkatkan rasio
KPMM menjadi paling kurang 4% (empat persen) dan CR rata-rata selama
6 (enam) bulan terakhir paling kurang 3% (tiga persen).
(4) Permohonan perpanjangan jangka waktu status pengawasan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan kepada
Bank Indonesia paling lambat dalam batas waktu 150 (seratus lima puluh)
hari sejak BPR ditetapkan dalam pengawasan khusus.
(5) Apabila BPR menyampaikan permohonan melewati batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka dianggap tidak mengajukan
permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus.
(6) Dalam …
- 12 -
(6) Dalam hal batas waktu 150 (seratus lima puluh) hari sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka penyampaian
permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus dilakukan
pada hari kerja berikutnya.
(7) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus setelah melakukan
penelitian atas permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).
BAB VII
BPR DIKELUARKAN DARI STATUS PENGAWASAN KHUSUS
Pasal 11
(1) Bank Indonesia menetapkan BPR dikeluarkan dari status pengawasan
khusus apabila memenuhi kriteria:
a. Rasio KPMM paling kurang sebesar 4% (empat persen), dan
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 3%
(tiga persen).
(2) Bank Indonesia memberitahukan kepada BPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bahwa:
a. BPR tersebut dikeluarkan dari status pengawasan khusus Bank
Indonesia, dan
b. larangan …
- 13 -
b.
larangan melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana
bagi BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dicabut.
(3) Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai BPR yang
dikeluarkan dari status pengawasan khusus.
BAB VIII
PEMBERITAHUAN KEPADA LPS DAN PENCABUTAN IZIN USAHA
Pasal 12
(1) Selama jangka waktu status pengawasan khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 atau Pasal 10 ayat (1), Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat
memberitahukan kepada LPS dan meminta LPS untuk memberikan
keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPR, dalam hal BPR
yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. BPR memiliki rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol
persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir sama
dengan atau kurang dari 1% (satu persen); dan
b. berdasarkan penilaian Bank Indonesia, BPR tidak mampu
meningkatkan rasio KPMM menjadi paling kurang sebesar 4% (empat
persen) dan CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang
sebesar 3% (tiga persen).
(2) Pada …
- 14 -
(2) Pada saat berakhirnya jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 10 ayat (1), Bank Indonesia
memberitahukan kepada LPS dan meminta LPS untuk memberikan
keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPR yang memenuhi
kriteria:
a. Rasio KPMM kurang dari 4% (empat persen); dan/atau
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga
persen).
Pasal 13
Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap BPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Bank Indonesia mencabut izin usaha
BPR yang bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan dari LPS.
Pasal 14
(1) Bank Indonesia memberitahukan keputusan pencabutan izin usaha BPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 kepada BPR yang bersangkutan dan
LPS.
(2) Penyelesaian lebih lanjut BPR yang telah dicabut izin usahanya oleh Bank
Indonesia dilakukan oleh LPS sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
BAB IX …
- 15 -
BAB IX
PENGUMUMAN
Pasal 15
(1) Bank Indonesia mengumumkan BPR yang ditetapkan:
a. dalam status pengawasan khusus;
b. dikeluarkan dari status pengawasan khusus;
pada hari yang sama dengan tanggal penetapan.
(2) Bank Indonesia mengumumkan penetapan BPR yang:
a. dilarang melakukan penghimpunan dan penyaluran dana;
b. diperkenankan kembali melakukan penghimpunan dan penyaluran
dana;
pada hari yang sama dengan tanggal penetapan.
(3) BPR wajib mengumumkan larangan penghimpunan dan penyaluran dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) pada hari yang sama dengan
tanggal penetapan larangan.
(4) Bank Indonesia mengumumkan keputusan pencabutan izin usaha BPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 kepada masyarakat.
(5) Tatacara pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB X …
- 16 -
BAB X
PELAPORAN
Pasal 16
(1) BPR dalam status pengawasan khusus wajib menyampaikan laporan neraca
harian secara mingguan kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan pada hari
kerja pertama minggu berikutnya.
BAB XI
SANKSI
Pasal 17
(1) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, dan/atau pegawai BPR dalam status
pengawasan khusus yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) dapat dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998.
(2) BPR dalam status pengawasan khusus yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 15 ayat (3) dan/atau
Pasal 16 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
a. teguran …
- 17 -
a.
teguran tertulis; dan/atau
b. pencantuman anggota pengurus dan/atau pemegang saham dalam
daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam
penilaian kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 18
(1) Tindak lanjut penanganan terhadap BPR yang telah ditetapkan dalam status
pengawasan khusus sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini
dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Jangka waktu pengawasan khusus yang telah dilalui oleh BPR yang telah
ditetapkan dalam status pengawasan khusus sebelum Peraturan Bank
Indonesia ini berlaku, diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu
pengawasan khusus sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
ini.
(3) Larangan penghimpunan dan penyaluran dana bagi BPR dalam pengawasan
khusus yang ditetapkan sebelum Peraturan Bank Indonesia ini, tetap
berlaku sampai dengan BPR keluar dari status pengawasan khusus.
BAB XIII …
- 18 -
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank
Indonesia No.7/34/PBI/2005 tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank
Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan Khusus, beserta ketentuan
pelaksanaannya dinyatakan tidak berlaku bagi BPR yang melakukan kegiatan
usaha secara konvensional.
Pasal 20
Peraturan Bank Indonesia ini tidak diberlakukan bagi Bank Perkreditan Rakyat
eks Badan Kredit Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun
1929 Nomor 357 dan Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9.
Pasal 21
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2009.
Agar …
- 19 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Juni 2009
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
MIRANDA S. GOELTOM
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Juni 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 81
DKBU
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/ 20 /PBI/2009
TENTANG
TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PERKREDITAN
RAKYAT DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS
UMUM
Dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri
BPR, diperlukan upaya penyehatan terhadap BPR yang bersifat sistematis dan
berkelanjutan guna mendorong tumbuhnya industri BPR yang sehat.
Agar upaya penyehatan terhadap BPR yang mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya dapat dilakukan secara optimal maka
diperlukan upaya tindak lanjut yang sesuai dengan kemampuan BPR, komitmen
pemilik dan alternatif peluang yang dimiliki.
Menyadari pentingnya upaya tindak lanjut yang tepat sasaran maka
diperlukan suatu ketentuan yang dapat memberikan pedoman sekaligus
memberikan ruang bagi penanganan BPR dalam status pengawasan khusus,
dengan tetap memperhatikan aspek transparansi dan akuntabilitas guna
melindungi kepentingan publik.
Dengan …
- 2 -
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963),
penyelesaian bank yang telah ditetapkan dalam status pengawasan khusus serta
dinyatakan tidak dapat disehatkan lagi oleh Bank Indonesia dilakukan oleh
Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.
Sehubungan dengan hal tersebut perlu diatur kembali ketentuan tentang
tindak lanjut penanganan terhadap BPR dalam status pengawasan khusus dalam
suatu Peraturan Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Penilaian Bank Indonesia dilakukan berdasarkan penelitian yang
mendalam atas laporan dan pemeriksaan.
Ayat (2) …
- 3 -
Ayat (2)
Huruf a
Rasio KPMM dihitung berdasarkan laporan dan/atau
pemeriksaan terakhir.
Huruf b
CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir dihitung
berdasarkan posisi laporan bulanan BPR selama 6 (enam) bulan
terakhir.
Ayat (3)
Pemberitahuan mengenai penetapan status BPR dalam pengawasan
khusus dilakukan melalui surat yang dapat disampaikan secara
langsung dalam pertemuan dengan pengurus dan/atau pemegang
saham BPR, atau disampaikan secara tidak langsung melalui pos atau
sarana lain.
Pasal 3
Pelaksanaan perintah Bank Indonesia didasarkan atas ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 37 dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Pasal 4 …
- 4 -
Pasal 4
Huruf a
Yang dimaksud action plan yang realistis adalah telah
mempertimbangkan kemampuan BPR untuk melakukan penyehatan
terutama perbaikan permodalan dan/atau likuiditas sehingga dapat
dikeluarkan dari status pengawasan khusus.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam hal batas waktu penyampaian laporan pelaksanaan action plan
yaitu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan action plan
tersebut melampaui batas akhir jangka waktu pengawasan khusus
maka laporan dimaksud wajib disampaikan paling lambat pada
tanggal berakhirnya jangka waktu status pengawasan khusus.
Huruf d
Permintaan penyesuaian action plan oleh Bank Indonesia dilakukan
antara lain apabila menurut penilaian Bank Indonesia langkah-langkah
dan/atau target waktu penyelesaian yang disusun BPR tidak sesuai
dengan perkembangan kondisi BPR sehingga action plan BPR
menjadi tidak realistis dan berpotensi tidak mencapai target.
Pasal 5 …
- 5 -
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kegiatan penghimpunan dana yang dilarang
adalah penghimpunan dana dalam bentuk tabungan dan/atau deposito
yang sumber dananya berasal dari :
a. Fresh money, berupa setoran tunai dan/atau melalui transfer ke
rekening BPR di bank lain, kecuali untuk angsuran/pelunasan
kredit;
b. Pemindahbukuan selain dari :
1) akun tabungan dan/atau deposito atas nama yang sama,
2) akun biaya dalam rangka pembayaran gaji pengurus dan
karyawan BPR yang bersangkutan ke akun tabungan.
Yang dimaksud dengan kegiatan penyaluran dana yang dilarang
adalah penyaluran kredit baru, termasuk komitmen penyaluran kredit
yang belum direalisasikan, kecuali dalam rangka restrukturisasi kredit.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7…
- 6 -
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Upaya perbaikan yang dilakukan oleh BPR antara lain berupa
penambahan modal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penambahan modal adalah dana setoran
modal dari pemilik/calon pemilik yang ditempatkan dalam bentuk
deposito pada Bank Umum di Indonesia, atas nama “Dewan Gubernur
Bank Indonesia qq BPR yang bersangkutan” dengan mencantumkan
keterangan “Pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat
persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia”.
Ayat (2) …
- 7 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penambahan modal telah sesuai dengan
ketentuan permodalan yang berlaku adalah:
a. Sumber dana setoran modal tidak berasal dari pinjaman dan
tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang.
b. Bagi calon pemegang saham, yang bersangkutan telah memenuhi
persyaratan administratif, antara lain tidak tercantum dalam
Daftar Tidak Lulus dan Daftar Kredit Macet.
c. Bagi calon pemegang saham pengendali, yang bersangkutan
telah lulus penilaian kemampuan dan kepatutan (Fit & Proper
Test).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 10 …
- 8 -
Pasal 10
Ayat (1)
Permohonan perpanjangan jangka waktu status pengawasan khusus
disertai dengan alasan yang mendukung dan action plan yang telah
disesuaikan dengan adanya perpanjangan jangka waktu pengawasan
khusus.
Ayat (2)
Contoh:
Untuk dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu status
pengawasan khusus:
1. BPR yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus dengan
rasio KPMM 1%, wajib meningkatkan rasio KPMM sebesar
75% x (4%-1%) atau sama dengan 2,25%, sehingga menjadi
3,25% pada waktu mengajukan permohonan perpanjangan
jangka waktu pengawasan khusus.
2. BPR yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus dengan
rasio KPMM -14%, wajib meningkatkan rasio KPMM paling
kurang sebesar 75% x [4%-(-14%)] atau sama dengan 13,5%
sehingga menjadi -0,5%. Karena BPR wajib meningkatkan rasio
KPMM lebih besar 0% maka BPR wajib meningkatkan rasio
KPMM lebih dari 14% pada waktu mengajukan permohonan
perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus.
Ayat (3) …
- 9 -
Ayat (3)
Bentuk komitmen antara lain berupa surat dari pemegang saham
(gubernur/walikota/bupati) kepada Bank Indonesia yang menyatakan
akan menambah modal disetor sesuai action plan paling lambat
sampai dengan berakhirnya jangka waktu perpanjangan yang
diberikan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan disampaikan kepada Bank Indonesia adalah
permohonan perpanjangan status pengawasan khusus telah diterima
Bank Indonesia yang dibuktikan dengan tanda terima apabila
disampaikan langsung kepada Bank Indonesia atau tanggal stempel
pos apabila dikirimkan melalui pos.
Dalam hal permohonan perpanjangan status pengawasan khusus
disampaikan melalui pos, BPR dalam status pengawasan khusus wajib
pula mengirimkan surat beserta dokumen terkait melalui faksimili
kepada Bank Indonesia pada hari yang sama.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 11 …
- 10 -
Pasal 11
Ayat (1)
Penetapan BPR dikeluarkan dari status pengawasan khusus dilakukan
tanpa menunggu penyelesaian proses hukum.
Yang termasuk dalam proses hukum adalah proses yang dilakukan
dalam rangka memenuhi persyaratan sesuai ketentuan perundang-
undangan yang berlaku antara lain dalam rangka penambahan modal
disetor, merger, konsolidasi, dan/atau akuisisi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Apabila pelaksanaan action plan BPR dinilai tidak sesuai, tidak
terdapat perbaikan kondisi keuangan dan/atau kondisi keuangan
semakin memburuk maka Bank Indonesia setelah memberikan surat
pembinaan kepada BPR, meminta kepada LPS untuk memutuskan
menyelamatkan atau tidak menyelamatkan.
Ayat (2) …
- 11 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyelesaian yang dilakukan oleh LPS meliputi antara lain
pembayaran klaim penjaminan simpanan dan likuidasi.
Pasal 15
Pengumuman dilakukan pada papan pengumuman di kantor BPR. Dalam
hal dianggap perlu, selain pengumuman di kantor BPR, dapat pula
dilakukan pengumuman pada kantor kelurahan/kecamatan tempat
kedudukan BPR yang bersangkutan dan/atau melalui media massa setempat
antara lain media cetak dan/atau media elektronik.
Pasal 16 …
- 12 -
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal batas waktu penyampaian laporan neraca harian secara
mingguan yaitu paling lambat pada hari kerja pertama minggu
berikutnya melampaui batas akhir jangka waktu pengawasan khusus
maka laporan dimaksud wajib disampaikan paling lambat 1 (satu) hari
kerja setelah berakhirnya jangka waktu status pengawasan khusus.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20…
- 13 -
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
5012
DKBU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/20/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS </reg_title>
<set_date> 4 Juni 2009 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2009 </effective_date>
<issued_date> 4 Juni 2009 </issued_date>
<replaced_reg> '7/34/PBI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '24/UU/2004', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2009', '3/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/2/PBI/2014
TENTANG
JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN
TAHUN 2013
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa salah satu tugas Bank Indonesia adalah
melakukan pemusnahan terhadap uang Rupiah
yang ditarik dari peredaran;
b. bahwa jumlah dan nilai nominal uang Rupiah yang
ditarik dari peredaran yang dimusnahkan oleh
Bank Indonesia ditempatkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia secara periodik setiap
1 (satu) tahun sekali;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah yang
Dimusnahkan Tahun 2013;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843),
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang . . .
-2-
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG JUMLAH
DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG
DIMUSNAHKAN TAHUN 2013.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang Rupiah adalah Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
2. Uang Rupiah Tidak Layak Edar adalah Uang Rupiah yang terdiri atas
Uang Rupiah lusuh, Uang Rupiah cacat, dan Uang Rupiah rusak.
3. Pemusnahan adalah suatu rangkaian kegiatan meracik, melebur,
atau cara lain memusnahkan Uang Rupiah sehingga tidak
menyerupai Uang Rupiah.
BAB II
PEMUSNAHAN UANG RUPIAH
Pasal 2
(1) Bank Indonesia melaksanakan Pemusnahan terhadap:
a. Uang Rupiah Tidak Layak Edar;
b. Uang Rupiah yang masih layak edar yang dengan pertimbangan
tertentu tidak lagi mempunyai manfaat ekonomis dan/atau
kurang diminati oleh masyarakat; dan/atau
c. Uang . . .
-3-
c. Uang Rupiah yang sudah tidak berlaku yaitu Uang Rupiah yang
dicabut dan ditarik dari peredaran.
(2) Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam suatu berita acara.
Pasal 3
Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Uang Rupiah kertas diracik dengan menggunakan mesin yang
memiliki fungsi untuk meracik Uang Rupiah kertas atau dengan cara
lain sehingga tidak menyerupai Uang Rupiah kertas;
b. Uang Rupiah logam dilebur atau dengan cara lain sehingga tidak
menyerupai Uang Rupiah logam.
BAB III
PENEMPATAN JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH
YANG DIMUSNAHKAN DALAM LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 4
(1) Jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia secara
periodik setiap 1 (satu) tahun sekali.
(2) Informasi jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan
oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
jenis pecahan, jumlah bilyet atau keping, dan nilai nominal.
(3) Informasi jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk periode tanggal
1 Januari 2013 sampai dengan 31 Desember 2013 tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Bank Indonesia ini.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 5
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
-4-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 14 Februari 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 14 Februari 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 35
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/2/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2013 </reg_title>
<set_date> 14 Februari 2014 </set_date>
<effective_date> 14 Februari 2014 </effective_date>
<issued_date> 14 Februari 2014 </issued_date>
<related_reg> '7/UU/2011', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 3/ 5 /PBI/2001
TENTANG
PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA
NOMOR 31/32/KEP/DIR TANGGAL 29 MEI 1998 TENTANG
PENJAMINAN ATAS SIMPANAN PIHAK KETIGA
DAN PASAR UANG ANTAR BANK
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dengan memperhatikan perkembangan keadaan
ekonomi dan kondisi moneter saat ini maka diperlukan
penyesuaian terhadap periode pengumuman penetapan
maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam Rupiah
maupun valuta asing sebagaimana diatur dalam Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/32/KEP/DIR
Tanggal 29 Mei 1998 Tentang Penjaminan Atas Simpanan
Pihak Ketiga Dan Pasar Uang Antar Bank;
b. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
menetapkan Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 31/32/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1998
tentang Penjaminan Atas Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar
Uang Antar Bank dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
-2-
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843);
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/32/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1998 tentang Penjaminan
Atas Simpanan Pihak Ketiga Dan Pasar Uang Antar Bank;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR
31/32/KEP/DIR TANGGAL 29 MEI 1998 TENTANG
PENJAMINAN ATAS SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN
PASAR UANG ANTAR BANK.
-3-
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 31/32/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1998 tentang Penjaminan Atas Simpanan
Pihak Ketiga Dan Pasar Uang Antar Bank sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga Pasal 2 seluruhnya berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 2
(1) Dalam rangka Program Penjaminan, Pemerintah tidak menjamin
Simpanan Pihak Ketiga yang diterima dengan suku bunga lebih tinggi dari
batas maksimum suku bunga yang ditetapkan.
(2) Maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebesar rata-rata suku
bunga Deposito Berjangka dalam Rupiah dari bank-bank anggota JIBOR
yang dipilih oleh Bank Indonesia menurut jangka waktu tertentu selama 1
(satu) bulan sebelumnya ditambah marjin sebesar 300 (tiga ratus) basis
point.
(3) Maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebesar rata-rata suku
bunga Deposito Berjangka dalam valuta asing dari bank-bank anggota
JIBOR yang dipilih oleh Bank Indonesia menurut jangka waktu tertentu
selama 1 (satu) bulan sebelumnya ditambah marjin sebesar 100 (seratus)
basis point.”
2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga Pasal 6 seluruhnya berbunyi sebagai
-4-
berikut:
“Pasal 6
(1) Maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam Rupiah dan valuta
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), akan diumumkan
secara rutin setiap bulan oleh Bank Indonesia pada 2 (dua) hari kerja
sebelum awal bulan periode penjaminan berlaku dan berlaku selama 1
(satu) bulan.
(2) Dalam hal dipandang perlu, Bank Indonesia dapat membuat pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pada hari lainnya.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diketahui
melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) atau Kantor Bank Indonesia
setempat.”
3. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga Pasal 9 seluruhnya berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 9
(1) Maksimum suku bunga PUAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(2), akan diumumkan secara rutin setiap bulan oleh Bank Indonesia pada
2 (dua) hari kerja sebelum awal bulan periode penjaminan berlaku dan
berlaku selama 1 (satu) bulan.
(2) Dalam hal dipandang perlu, Bank Indonesia dapat membuat pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pada hari lainnya.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diketahui
-5-
melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) atau Kantor Bank Indonesia
setempat.”
Pasal II
Pengumuman maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dan PUAB secara
bulanan pertama kali dilakukan pada 29 Maret 2001 dan berlaku selama 1 (satu)
bulan berikutnya.
Pasal III
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 22 Maret 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 23
DPNP
-6-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 3/ 5 /PBI/2001
TENTANG
PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR
31/32/KEP/DIR TANGGAL 29 MEI 1998 TENTANG PENJAMINAN ATAS
SIMPANAN PIHAK KETIGA
DAN PASAR UANG ANTAR BANK
I. UMUM
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank
Indonesia dan dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor
179/KMK.017/2000 tanggal 26 Mei 2000 tentang Syarat dan Tata Cara dan
Ketentuan Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran
Bank Umum maka pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah sepenuhnya
dilaksanakan oleh Pemerintah.
Namun demikian dalam hal penetapan maksimum suku bunga Simpanan
Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank yang dijamin oleh Pemerintah sampai
saat ini masih dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa penetapan maksimum suku bunga penjaminan tersebut sampai
saat ini merupakan kebijakan yang dapat mempengaruhi kegiatan moneter.
Dalam rangka mengurangi pengaruh penetapan maksimum suku bunga yang
dijamin Pemerintah terhadap kebijakan moneter maka dianggap perlu untuk
-7-
mengubah periode pengumuman maksimum suku bunga penjaminan tersebut dari
mingguan menjadi bulanan.
II.
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 2
Pasal 6
Ayat (1)
Pengumuman melalui Pusat Informasi Pasar Uang
dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja
sebelum awal bulan untuk memberikan kesempatan
kepada Bank dalam menyebarkan informasi
maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga kepada
seluruh cabang-cabangnya.
Contoh:
PASAL DEMI PASAL
-8-
Tanggal 1 April 2001 jatuh pada hari Senin.
Bank Indonesia akan mengumumkan maksimum suku
bunga Simpanan Pihak Ketiga melalui Pusat
Informasi Pasar Uang (PIPU) selambat-lambatnya 2
(dua) hari kerja sebelum Hari Senin tanggal 1 April
2001 tersebut yaitu pada hari Kamis tanggal 29
Maret 2001.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 9
Ayat (1)
Pengumuman melalui Pusat Informasi Pasar Uang
dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja
sebelum awal bulan untuk memberikan kesempatan
kepada Bank dalam menyebarkan informasi
maksimum suku bunga PUAB kepada seluruh cabang-
cabangnya.
Contoh:
Tanggal 1 April 2001 jatuh pada hari Senin.
Bank Indonesia akan mengumumkan maksimum suku
-9-
bunga PUAB melalui Pusat Informasi Pasar Uang
(PIPU) selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja
sebelum Hari Senin tanggal 1 April 2001 tersebut
yaitu pada hari Kamis tanggal 29 Maret 2001.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
Pasal III
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4082
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 3/5/PBI/2001 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/32/KEP/DIR TANGGAL 29 MEI 1998 TENTANG PENJAMINAN ATAS SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK </reg_title>
<set_date> 22 Maret 2001 </set_date>
<effective_date> 22 Maret 2001 </effective_date>
<changed_reg> '31/32/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '31/32/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 11/ 8 /PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/42/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN
UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2005
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah
ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat
sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender);
b. bahwa untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada
desain uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh
ribu) sebagai legal tender di Negara Kesatuan Republik
Indonesia, diperlukan penyempurnaan desain uang
rupiah antara lain mengenai penandatanganan pada
uang, penempatan letak tahun pengeluaran atau tahun
emisi, dan tahun pencetakan uang;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu
untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang
Kertas Rupiah Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu)
Tahun Emisi 2005;
Mengingat . . .
-2-
Mengingat
: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004
tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4762);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 7/42/PBI/2005 TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG
KERTAS . . .
-3-
KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH
RIBU) TAHUN EMISI 2005.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/42/PBI/2005
tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 50.000 (Lima
Puluh Ribu) Tahun Emisi 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 102) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 adalah:
1. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
biru;
2. Gambar
a. bagian muka
1) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah
Rai dan dibawahnya dicantumkan tulisan “I GUSTI NGURAH
RAI”;
2) pada sebelah kiri gambar utama dengan arah vertikal terdapat
gambar ornamen daerah Bali berwarna biru yang akan memendar
hijau di bawah sinar ultra violet;
3) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan
tersebut terdapat tulisan “LIMA PULUH RIBU RUPIAH”;
4) pada . . .
-4-
4) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan
pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka
nominal “50000”;
5) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal “50000”
terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan
ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
6) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi
panjang berbentuk ornamen daerah Bali yang dapat dilihat dari
sudut pandang tertentu;
7) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila;
8) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam
bidang segi empat yang dicetak dengan tinta khusus (optically
variable ink) yang akan berubah warna dari magenta menjadi hijau
apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;
9) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun
pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan tahun
pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan
Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan
tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan
“DEPUTI GUBERNUR”;
10) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen daerah Bali;
11) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca
pembesar terdapat:
a) pada sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal
“50000” berupa tulisan ”BI”;
b) pada . . .
-5-
b) pada sebelah kiri gambar utama berupa tulisan ”BI” sebagai
latar belakang ornamen daerah Bali;
c) di tepi kiri ornamen daerah Bali berupa tulisan ”BI” dan di tepi
kanan ornamen daerah Bali berupa angka nominal ”50000”
yang keduanya membentuk garis vertikal;
d) pada sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berbentuk
kotak-kotak dengan kombinasi tulisan ”BI” dan ”BI50000”
yang tersusun horizontal dan tulisan ”BANKINDONESIA” dan
”BI50000” yang tersusun diagonal;
e) pada sebelah kanan gambar utama berupa tulisan ”BI” yang
membentuk warna dasar dan gambar relief daerah Bali;
f) di tepi kiri atas dan bawah serta di tepi kanan atas dan bawah
berupa logo BI yang membentuk pola dasar uang;
12) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan ”BANKINDONESIA50000” yang berbentuk
lengkungan dengan warna dan ukuran teks yang berbeda.
b. bagian belakang
1) gambar utama berupa gambar Danau Beratan, Bedugul, Bali;
2) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
3) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN
YANG SAH DENGAN NILAI LIMA PULUH RIBU RUPIAH”;
4) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah
kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “50000”;
5) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra
violet . . .
-6-
violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK
INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan
memendar oranye di bawah sinar ultra violet;
6) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya
akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
7) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “50000”
terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP” dan
angka tahun pengeluaran atau tahun emisi “2005”;
8) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar
siluet penari Bali yang akan memendar hijau kekuningan di bawah
sinar ultra violet;
9) di bagian kiri bawah gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat
mata berupa angka nominal “50000” dalam kotak persegi panjang
yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet;
10) di tepi kiri dan kanan bagian tengah uang, terdapat gambar ornamen
daerah Bali yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet;
11) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca
pembesar terdapat:
a) di tepi kiri atas dan bawah serta tepi kanan atas dan bawah
berbentuk kotak-kotak berupa tulisan “BI” yang tersusun
horizontal serta tulisan “BI50000” dan “BANKINDONESIA”
yang tersusun diagonal;
b) di tepi kiri gambar utama berupa tulisan “BANKINDONESIA”
yang membentuk garis vertikal;
c) pada bagian kiri atas gambar utama berupa tulisan ”BI” yang
membentuk ornamen daerah Bali;
d) pada sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka
nominal “50000” berupa tulisan ”BI”;
12) miniteks . . .
-7-
12) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa angka nominal ”50000” yang berbentuk garis melengkung
dengan ukuran teks yang berbeda.
3. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
a. terbuat dari serat kapas;
b. ukuran panjang 149 mm dan lebar 65 mm;
c. warna biru muda;
d. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
e. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan
electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Bali;
f. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan “BI50000”
berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong sebagian serta akan
berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat dari sudut
pandang berbeda.
2. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 5 A,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5 A
Uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih
tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar . . .
-8-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Maret 2009.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Maret 2009.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 45
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/8/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/42/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 </reg_title>
<set_date> 3 Maret 2009 </set_date>
<effective_date> 3 Maret 2009 </effective_date>
<issued_date> 3 Maret 2009 </issued_date>
<changed_reg> '7/42/PBI/2005' </changed_reg>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/14/PBI/2004', '23/UU/1999', '9/10/PBI/2007', '6/UU/2009' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/39/PBI/2005
TENTANG
PEMBERIAN BANTUAN TEKNIS
DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL DAN
MENENGAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa usaha mikro, kecil dan menengah mampu
bertahan dalam kondisi krisis ekonomi dan memiliki
peran yang strategis dalam struktur perekonomian
nasional sehingga perlu didukung dalam
pengembangannya;
b. bahwa untuk pengembangan usaha mikro, kecil dan
menengah diperlukan bantuan teknis;
c. bahwa dalam rangka mendukung pengembangan
usaha mikro, kecil dan menengah, maka Bank
Indonesia menganggap perlu untuk terus berperan
dalam pemberian bantuan teknis;
d. bahwa mengingat terdapat kebutuhan
ada, dipandang
untuk
menyesuaikan dengan perkembangan dan kondisi
yang
penyesuaian terhadap perkembangan tersebut;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf
d, dipandang perlu untuk melakukan penyempurnaan
atas ketentuan tentang pemberian bantuan teknis
dalam …..
perlu untuk melakukan
-2 -
dalam rangka pengembangan usaha mikro dan kecil
dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-undang
Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 No. 31, Tambahan Lembaran Negara No.
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 No. 182, Tambahan
Lembaran Negara No. 3790);
2. Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 3 tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 2004 No. 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia No. 3/2/PBI/2001 tanggal 4
Januari 2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
No. 3, Tambahan Lembaran Negara No. 4072);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PEMBERIAN BANTUAN TEKNIS
RANGKA
DALAM
PENGEMBANGAN USAHA MIKRO,
KECIL DAN MENENGAH.
BAB I …..
-3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksudkan dengan :
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 tahun 1998.
2. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang selanjutnya disebut UMKM
adalah usaha-usaha yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan
Warga Negara Indonesia, secara individu atau tergabung dalam
koperasi dan memiliki hasil penjualan secara individu paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) per tahun.
b. Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan
memenuhi kriteria sebagai berikut :
1) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha; atau
2) memiliki hasil penjualan tahunan paling
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
banyak
Rp
3) milik Warga Negara Indonesia;
4) berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung
maupun tidak langsung dengan usaha Menengah atau usaha
Besar;
5) berbentuk …..
-4 -
5) berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan
hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk
koperasi;
c. Usaha Menengah adalah usaha dengan kriteria sebagai berikut :
1) memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) sampai dengan paling
banyak Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah), tidak termasuk tanah
dan bangunan tempat usaha;
2) milik warga negara Indonesia;
3) berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik
langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar;
4) berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak
berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan hukum,
3. Lembaga Pelatih adalah lembaga yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman untuk memberikan pelatihan dalam rangka pengembangan
UMKM.
4. Lembaga Pembiayaan UMKM adalah lembaga yang dimiliki oleh
Pemerintah yang berbentuk non bank dan mempunyai tugas dalam
menyediakan/ memberikan pembiayaan melalui Bank bagi UMKM.
5. Lembaga Penyedia Jasa yang selanjutnya disebut LPJ adalah lembaga
yang telah mampu dan berpengalaman dalam menyediakan jasa
pendampingan dan atau pembinaan di bidang selain keuangan kepada
UMKM.
BAB II …..
-5 -
BAB II
TUJUAN DAN BENTUK BANTUAN TEKNIS
Pasal 2
(1) Tujuan pemberian Bantuan Teknis oleh Bank Indonesia adalah
membantu pengembangan UMKM.
(2) Bantuan Teknis diberikan dalam bentuk :
a. pelatihan; dan atau
b. penyediaan informasi.
BAB III
PELATIHAN
Pasal 3
(1) Penerima pelatihan adalah :
a. Bank;
b. Lembaga Pembiayaan UMKM;
c. LPJ.
(2) Penerima pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
sekurang-kurangnya memenuhi standar kualifikasi sebagai berikut :
a. berbentuk badan hukum dan/ atau telah terdaftar pada instansi
pemerintah dan/ atau dibentuk oleh instansi pemerintah paling
singkat selama 1 (satu) tahun;
b. mempunyai pengalaman dalam membina UMKM paling singkat 1
(satu) tahun antara lain di bidang jasa manajemen, marketing, hukum
dan teknis produksi;
c. mempunyai perangkat organisasi yang memadai, paling sedikit
memiliki pengurus dan konsultan serta alamat kantor yang jelas; dan
-6 -
d. mempunyai komitmen dalam membina UMKM.
(3) Pegawai negeri sipil yang
mendampingi
menerima pelatihan.
Pasal 4
(1) Topik pelatihan yang diberikan kepada Bank dan Lembaga Pembiayaan
UMKM adalah:
a. strategi pengembangan UMKM;
b. survei potensi pengembangan usaha mikro dan kecil dengan metode
Rapid Rural Appraisal (RRA);
c. analisis pemberian kredit UMKM;
d. penanganan kredit UMKM bermasalah;
e. pemberian kredit secara kelompok dengan Pola Pengembangan
Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK).
(2) Topik pelatihan yang diberikan kepada LPJ adalah aspek keuangan yang
meliputi aspek-aspek penyusunan kelayakan usaha (proposal kredit);
(3) Bank Indonesia dapat memberikan topik pelatihan yang lain sesuai
dengan perkembangan kebutuhan peserta pelatihan sepanjang terkait
dengan pengembangan UMKM.
Pasal 5
(1) Pelatihan dilakukan dalam rangka pelaksanaan :
a. program Bank Indonesia; atau
b. program kerjasama Bank
bertugas/ terlibat langsung
dalam
dan membina UMKM secara selektif juga dapat (3) Pegawai …..
Indonesia dengan
Departemen
Teknis/dinas terkait/lembaga domestik maupun internasional.
-7 -
(2) Pelaksanaan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh :
a. Bank Indonesia (swakelola)
b. bekerjasama dengan Lembaga Pelatih.
a. Bank …..
(3) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dituangkan
dalam Kesepakatan Bersama.
Pasal 6
(1) Lembaga Pelatih yang
bekerjasama dengan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) huruf b sekurang-
kurangnya memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. berbentuk badan hukum atau telah terdaftar pada instansi pemerintah
atau telah dibentuk oleh instansi pemerintah paling singkat selama 2
(dua) tahun; dan
b. mempunyai tenaga pelatih di bidang
jasa keuangan dengan
(2) Bank Indonesia melakukan
pendidikan sekurang-kurangnya lulusan strata satu dan mempunyai
pengalaman dalam memberikan pelatihan di bidang jasa keuangan
dalam rangka pengembangan UMKM paling singkat 2 (dua) tahun.
terhadap Lembaga
seleksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Bank Indonesia berdasarkan hasil seleksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) menunjuk Lembaga Pelatih yang melaksanakan pelatihan.
(4) Pelaksanaan pelatihan oleh Lembaga Pelatih sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) didasarkan pada perjanjian kerjasama.
Pasal 7
Pelatih
-8 -
(1) Bank Indonesia memberitahukan rencana pelatihan kepada peserta
pelatihan secara langsung atau melalui Lembaga Pelatih sebelum
pelaksanaan pelatihan.
(2) Peserta pelatihan mengajukan permohonan keikutsertaan pelatihan
kepada Bank Indonesia sebagai berikut :
a. Bank Indonesia cq Biro Kredit Jl. MH Thamrin No. 2 Jakarta Pusat,
bagi peserta yang berkedudukan di Propinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, Propinsi Banten (Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang,
Kabupaten Serang, Kabupaten/Kota Tangerang, Kota Cilegon),
Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten
Karawang dan Kota Depok.
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi peserta yang berkedudukan di
luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas.
Pasal 8
(1) Biaya pelaksanaan pelatihan ditanggung bersama oleh Bank Indonesia
dan peserta pelatihan.
(2) Biaya pelatihan dalam rangka kerjasama Bank Indonesia dengan
Departemen Teknis/dinas terkait/lembaga domestik maupun
internasional, diatur sesuai dengan kesepakatan para pihak dengan tetap
mengacu pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Peserta pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan biaya
partisipasi sebagai berikut :
a. Bank dan Lembaga Pembiayaan UMKM paling sedikit 50% (lima
puluh persen) dari total biaya pelatihan.
b. LPJ paling sedikit 15% (lima belas persen) dari total biaya pelatihan.
BAB IV
(2) Peserta …..
-9 -
PENYEDIAAN INFORMASI
Pasal 9
Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b meliputi :
a. data statistik perkreditan;
b. data komoditas di suatu daerah yang potensial untuk dikembangkan;
c. data komoditas yang potensial untuk diekspor;
d. pola pembiayaan komoditas yang potensial dibiayai bank;
e. informasi lain dalam rangka pengembangan UMKM.
Pasal 10
Permohonan untuk mendapatkan informasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) dialamatkan kepada :
a. Bank Indonesia cq Biro Kredit, Jl. MH Thamrin No. 2 Jakarta Pusat,
bagi
Bank, Lembaga
Penyedia Jasa, Lembaga Pembiayaan Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah dan pihak lain yang berkedudukan di
Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Propinsi Banten (Kabupaten
Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten/Kota
Tangerang, Kota Cilegon), Kabupaten/ Kota Bekasi, Kabupaten/Kota
Bogor, Kabupaten Karawang dan Kota Depok.
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank, Lembaga Penyedia Jasa,
Lembaga Pembiayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan pihak
lain yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam
huruf a di atas.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
a. data …..
-10 -
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka PBI Nomor
5/18/PBI/2003 tanggal 9 September 2003 tentang Pemberian Bantuan
Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 12
Pasal 12 …..
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Oktober 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
-11 -
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 99
BKr
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/39/PBI/2005
TENTANG
PEMBERIAN BANTUAN TEKNIS
DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL DAN
MENENGAH
I. UMUM
Usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia menunjukkan peran
yang strategis dalam mempertahankan dan memulihkan perekonomian
nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah, Bank Indonesia dan
berbagai pihak telah memberikan perhatian terhadap pengembangan usaha
mikro, kecil dan menengah tersebut. Pengertian usaha mikro, kecil dan
menengah adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
No. 12/PMK.06/2005 tanggal 14 Februari 2005 tentang Pendanaan Kredit
Usaha Mikro dan Kecil, Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995 tentang
Usaha Kecil dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 tahun
1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah. Pengalaman dan keahlian
yang
dimiliki
oleh Bank Indonesia diharapkan dapat membantu
pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah. Oleh karena itu Bank
Indonesia sejauh yang diperkenankan oleh Undang-Undang No. 23 tahun
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang No. 3 tahun 2004 tetap akan membantu pengembangan usaha
mikro, kecil dan menengah secara tidak langsung dengan meningkatkan
intensitas dan efektifitas pemberian Bantuan Teknis.
Kebijakan …..
-2 -
Kebijakan dan strategi Bank Indonesia dalam pemberian bantuan
teknis bersifat dinamis dan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan serta
keadaan terkini baik di internal maupun eksternal organisasi Bank
Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka penyempurnaan
Indonesia memandang
pemberian bantuan teknis, Bank
perlu
untuk
melakukan perubahan ketentuan Pemberian Bantuan Teknis dalam rangka
Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk penyediaan informasi dalam rangka pengembangan
UMKM dapat dilakukan penelitian.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan instansi pemerintah antara lain
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kantor
Kementerian …..
-3 -
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah,
Departemen Dalam Negeri, Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan konsultan adalah tenaga ahli
yang memberikan pembinaan dan pendampingan
kepada UMKM selain di bidang manajemen dan
keuangan.
Huruf d
Komitmen membina UMKM antara lain tertuang
dalam visi dan misi pada Akta Pendirian dan/ atau
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Lembaga
Penyedia Jasa.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pegawai negeri sipil yang bertugas/
terlibat langsung dalam mendampingi dan membina UMKM
antara lain Petugas Penyuluh Lapangan.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
-4 -
Pasal 5…..
Pasal 5
Ayat (1)
Yang
dimaksud
dengan departemen teknis/dinas
terkait/lembaga domestik maupun internasional antara lain
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, BKKBN,
Departemen Kelautan dan Perikanan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kesepakatan Bersama memuat antara lain : tujuan
kesepakatan; ruang lingkup kesepakatan; tugas dan tanggung
jawab para pihak; pembagian beban biaya pelatihan para
pihak; jangka waktu kesepakatan.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan instansi pemerintah antara lain
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kantor
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah,
Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan
Nasional.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
-5 -
Cukup jelas
Ayat (4) …..
Ayat (4)
Dalam perjanjian kerjasama memuat antara lain :
- Hak dan Kewajiban para pihak;
- Ruang lingkup;
-
Biaya pelatihan;
- Sanksi;
- Jangka waktu.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
-6 -
Cukup jelas
Pasal 11…..
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
-7 -
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4543
BKr
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/39/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PEMBERIAN BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH </reg_title>
<set_date> 18 Oktober 2005 </set_date>
<effective_date> 18 Oktober 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '5/18/PBI/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '3/2/PBI/2001', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 28 /PBI/2008
TENTANG
PEMBELIAN VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH KEPADA BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa salah satu tugas utama Bank Indonesia adalah mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah;
b. bahwa Bank Indonesia tetap melaksanakan sistem devisa bebas
yang selama ini berlaku;
c. bahwa dalam situasi keuangan global yang bergejolak perlu upaya
untuk meminimalkan transaksi pembelian valuta asing terhadap
rupiah untuk tujuan spekulatif;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur
ketentuan mengenai Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah
kepada Bank dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor…
-2-
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3844);
M E M U T U S K A N
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMBELIAN
VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH KEPADA BANK.
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia dan Bank Umum Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
Nasabah…
-3-
2. Nasabah adalah :
a. perorangan yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; atau
b. badan usaha selain Bank yang berbadan hukum Indonesia, berdomisili di Indonesia,
dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
3. Pihak Asing adalah :
a. warga negara asing;
b. badan hukum asing atau lembaga asing lainnya;
c. warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident)
negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia;
d. kantor Bank di luar negeri dari Bank yang berkantor pusat di Indonesia; atau
e. kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan yang berbadan hukum Indonesia.
4. Warga Negara Asing adalah orang yang memiliki kewarganegaraan selain Indonesia,
termasuk yang memiliki izin menetap atau izin tinggal di Indonesia.
5. Badan Hukum Asing atau lembaga asing lainnya adalah badan hukum atau lembaga asing
yang didirikan di luar negeri .
6. Underlying transaksi adalah kegiatan yang mendasari pembelian valuta asing terhadap
rupiah.
Pasal 2
(1) Nasabah atau Pihak Asing dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah
kepada Bank.
(2) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah atau Pihak Asing kepada Bank
diatas USD100.000 (seratus ribu US Dollar) atau ekuivalen per bulan per Nasabah atau
per Pihak Asing hanya dapat dilakukan dengan underlying.
(3) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah atau Pihak Asing kepada Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan paling banyak sebesar nominal
underlying transaksinya.
Pasal 3 …
-4-
Pasal 3
(1) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah meliputi transaksi spot, transaksi
forward, dan transaksi derivatif lainnya.
(2) Apabila Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada Bank
diatas USD100.000 (seratus ribu US Dollar) atau ekuivalen per bulan per Nasabah,
Nasabah wajib melampirkan dokumen sebagai berikut:
a. dokumen underlying transaksi yang bisa dipertanggungjawabkan;
b. fotokopi dokumen identitas Nasabah dan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP); dan
c. pernyataan tertulis bermaterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang
berwenang dari Nasabah mengenai kebenaran dokumen underlying sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan bahwa dokumen underlying hanya digunakan untuk
pembelian valuta asing terhadap rupiah paling banyak sebesar nominal underlying
dalam sistem perbankan di Indonesia.
Pasal 4
(1) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Pihak Asing meliputi transaksi spot
outright. Transaksi forward dan transaksi derivatif lainnya diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit
valuta asing oleh Bank.
(2) Apabila Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada Bank
diatas USD100.000 (seratus ribu US Dollar) atau ekuivalen per bulan per Pihak Asing,
Pihak Asing wajib melampirkan dokumen sebagai berikut:
a. dokumen underlying transaksi yang bisa dipertanggungjawabkan; dan
b. pernyataan tertulis bermaterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang
dari Pihak Asing atau pernyataan yang authenticated dari Pihak Asing mengenai
kebenaran dokumen underlying sebagaimana dimaksud pada huruf a dan bahwa
dokumen…
-5-
dokumen underlying hanya digunakan untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah
paling banyak sebesar nominal underlying dalam sistem perbankan di Indonesia.
Pasal 5
Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah atau Pihak Asing kepada Bank tanpa
underlying hanya dapat dilakukan paling banyak sebesar USD100.000 (seratus ribu US
Dollar) atau ekuivalen per bulan per Nasabah atau per Pihak Asing.
Pasal 6
Bank yang melayani pembelian valuta asing oleh Nasabah atau Pihak Asing sampai dengan
USD100.000 (seratus ribu US Dollar) per bulan per Nasabah atau per Pihak Asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, wajib meminta surat pernyataan dari Nasabah atau
dari Pihak Asing, bermaterai cukup atau pernyataan yang authenticated dari Pihak Asing
yang menyatakan bahwa pembelian valuta asing terhadap rupiah tidak lebih dari
USD100.000 (seratus ribu US Dollar) per bulan per Nasabah atau per Pihak Asing dari
seluruh sistem perbankan di Indonesia.
Pasal 7
Bank wajib menatausahakan dokumen underlying transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dan Pasal 4.
Pasal 8
Bank bertanggungjawab terhadap kelengkapan persyaratan yang disampaikan oleh Nasabah
atau Pihak Asing.
Pasal 9
Bank dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran atas Pasal 2 ayat
(3), Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, dan Pasal 5.
Pasal 10…
-6-
Pasal 10
Transaksi yang sedang berjalan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan belum
jatuh tempo setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, tidak tunduk pada ketentuan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 11
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 13 November 2008, kecuali
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan huruf c, Pasal 4 ayat
(2), dan Pasal 7 mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 November 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 12 November 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 172
DPD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/ 28 /PBI/2008
TENTANG
PEMBELIAN VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH KEPADA BANK
I. UMUM
Pengaturan ini tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang berlaku
selama ini, dimana setiap penduduk bebas memiliki dan menggunakan devisa,
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Ketentuan ini bukan merupakan kebijakan kontrol
devisa atau kontrol kapital yang membatasi arus modal lintas negara, melainkan
hanya mengatur tata cara perolehan devisa melalui bank dengan memenuhi
persyaratan tertentu, tanpa membatasi kebebasan pelaku ekonomi atas penggunaan
devisa yang dimiliki.
Sebagai lembaga yang memiliki tugas utama mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia berupaya meminimalkan transaksi valuta
asing terhadap rupiah yang bersifat spekulatif. Langkah kebijakan tersebut
diharapkan dapat membantu menjaga stabilitas nilai rupiah sehingga memberikan
kontribusi positif bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3…
-2-
Pasal 3
Ayat (1)
Termasuk dalam pengertian transaksi spot adalah transaksi today dan
tomorrow. Pengertian transaksi derivatif lainnya termasuk namun tidak
terbatas pada transaksi options.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Termasuk dalam pengertian transaksi spot outright adalah transaksi
today dan tomorrow. Tidak termasuk transaksi derivatif dengan
kombinasi transaksi spot.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal underlying adalah surat berharga, maka nilai nominal
underlying yang digunakan untuk pembelian valuta asing
terhadap rupiah adalah sebesar nilai surat berharga ditambah
kupon, capital gain, dan penerimaan terkait lainnya.
Dalam hal underlying adalah pemberian kredit, maka nilai
nominal underlying yang digunakan untuk pembelian valuta
asing terhadap rupiah adalah sebesar nilai pokok ditambah bunga
dan penerimaan terkait lainnya.
Dalam hal Pihak Asing melakukan repatriasi maka berlaku
ketentuan yang mengatur mengenai penanaman modal.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 5…
-3-
Pasal 5
Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah atau Pihak Asing kepada
Bank tersebut dihitung secara gross dan bersifat kumulatif.
Contoh 1:
Apabila pada tanggal 3 Desember 2008 terdapat Nasabah A yang melakukan
pembelian valas terhadap rupiah sebesar USD50.000 (lima puluh ribu US
Dollar) kepada Bank X dan pada tanggal yang sama Nasabah tersebut juga
melakukan penjualan valas terhadap rupiah sebesar USD25.000 (dua puluh
lima ribu US Dollar), maka perhitungan jumlah pembelian valas yang telah
dilakukan oleh Nasabah A pada Bank X adalah USD50.000 (lima puluh ribu
US Dollar).
Contoh 2:
Apabila pada tanggal 3 Desember 2008 terdapat Nasabah X melakukan
pembelian valas terhadap rupiah sebesar USD30.000 (tiga puluh ribu US
Dollar) kepada Bank A, kemudian pada tanggal 5 Desember 2008 Nasabah X
melakukan pembelian valas terhadap rupiah sebesar USD50.000 (lima puluh
ribu US Dollar) kepada Bank B, maka pembelian valas Nasabah X pada bulan
Desember 2008 adalah sebesar USD80.000 (delapan puluh ribu US Dollar).
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10…
-4-
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008
NOMOR 4921
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/28/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PEMBELIAN VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH KEPADA BANK </reg_title>
<set_date> 12 November 2008 </set_date>
<effective_date> 13 November 2008 </effective_date>
<issued_date> 12 November 2008 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 9' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 12/ 1 /PBI/ 2010
TENTANG
PINJAMAN LUAR NEGERI PERUSAHAAN BUKAN BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pinjaman luar negeri merupakan salah satu faktor
penting yang dapat berpengaruh positif maupun negatif
terhadap neraca pembayaran, kestabilan moneter dan
kesinambungan pembangunan;
b. bahwa untuk mengurangi dampak negatif pada huruf a
diatas, pinjaman luar negeri perlu dikelola dengan
memperhatikan prinsip kehati-hatian dan kepentingan
perekonomian nasional serta menjaga kepercayaan pasar
keuangan internasional;
c. bahwa pengelolaan pinjaman luar negeri juga perlu
mengikuti berbagai perkembangan kondisi perekonomian
global agar tetap memberikan suasana kondusif bagi
perekonomian;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c, dipandang perlu untuk
mengatur kembali ketentuan tentang pinjaman luar negeri
perusahaan bukan Bank dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat ...
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PINJAMAN LUAR NEGERI PERUSAHAAN BUKAN
BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank yang untuk selanjutnya
disebut PLN Perusahaan adalah semua bentuk pinjaman perusahaan dari
bukan ...
bukan penduduk dalam valuta asing maupun rupiah, surat utang dalam valuta
asing yang diterbitkan oleh perusahaan, dan kewajiban lain kepada bukan
penduduk dalam valuta asing maupun rupiah, termasuk juga yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah.
2. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan keuangan
perusahaan bukan bank berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga
yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang Syariah
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai
perbankan syariah.
3. Perusahaan Bukan Bank yang selanjutnya disebut Perusahaan adalah:
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); dan
c. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS).
4. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan
usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang
Badan Usaha Milik Negara yang berlaku.
5. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disebut BUMD adalah badan
usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang
Badan Usaha Milik Daerah yang berlaku.
6. Badan Usaha Milik Swasta yang selanjutnya disebut BUMS adalah badan
usaha yang tidak termasuk dalam pengertian BUMN dan BUMD, yang
berkedudukan di Indonesia dan berbadan hukum Indonesia maupun asing.
7. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar .
8. Bukan Penduduk adalah orang, badan hukum atau badan lainnya yang tidak
berdomisili di Indonesia lebih dari 1 (satu) tahun dan/atau tidak berencana
berdomisili di Indonesia lebih dari 1 (satu) tahun.
9. Kreditur ...
9. Kreditur atau penyedia dana adalah orang, badan hukum atau badan lainnya
yang memberi pinjaman atau menyediakan dana/atau yang dapat
dipersamakan dengan itu, kepada perusahaan untuk jangka waktu tertentu
dengan terms and conditions yang telah disepakati.
10. PLN Perusahaan Jangka Pendek adalah PLN Perusahaan dengan jangka
waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, baik langsung dari Kreditur atau pasar
keuangan maupun tidak langsung melalui pihak lain yang merupakan afiliasi
maupun non afiliasi.
11. PLN Perusahaan Jangka Panjang adalah PLN Perusahaan dengan jangka
waktu lebih dari 1 (satu) tahun baik langsung dari Kreditur atau pasar
keuangan maupun tidak langsung melalui pihak lain yang merupakan afiliasi
maupun non afiliasi.
12. Tahun adalah tahun kalender yang dimulai dari bulan Januari sampai dengan
bulan Desember.
13. Penerbitan Surat Utang Melalui Penawaran Umum adalah penerbitan surat
utang yang tercatat maupun tidak tercatat di bursa sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan mengenai pasar modal yang berlaku.
14. Penerbitan Surat Utang Melalui Private Placement adalah penerbitan surat
utang yang dilakukan selain melalui penawaran umum sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan mengenai pasar modal yang berlaku.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
Perusahaan melakukan PLN Perusahaan Jangka Pendek maupun PLN
Perusahaan Jangka Panjang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 3 ...
Pasal 3
Jenis PLN Perusahaan meliputi:
1. Pinjaman dalam rupiah maupun valuta asing yang dilakukan berdasarkan
perjanjian pinjaman (loan agreement) dengan Bukan Penduduk.
2. Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan di pasar keuangan
internasional melalui penawaran umum.
3. Surat utang dalam rupiah maupun valuta asing yang diterbitkan melalui
private placement kepada Bukan Penduduk.
4. Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan di pasar keuangan dalam
negeri melalui penawaran umum.
5. Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan melalui private placement
kepada Penduduk.
6. Kewajiban lainnya kepada Bukan Penduduk baik dalam valuta asing maupun
rupiah selain PLN Perusahaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai
dengan angka 5.
7. Bentuk kewajiban dan surat utang sebagaimana dimaksud angka 1 sampai
dengan angka 6 yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah.
BAB III
PRINSIP KEHATI-HATIAN PLN PERUSAHAAN
Pasal 4
Perusahaan yang akan melakukan PLN Perusahaan Jangka Pendek maupun
Jangka Panjang, harus menerapkan fungsi manajemen risiko yang antara lain
meliputi:
a. risiko pasar;
b. risiko likuiditas; dan
c. risiko operasional.
BAB IV ...
BAB IV
KEWAJIBAN PELAPORAN
Pasal 5
(1) Perusahaan yang berencana memperoleh PLN Perusahaan Jangka Panjang
wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia secara benar dan
lengkap yang meliputi:
a. laporan rencana PLN Perusahaan untuk 1 (satu) tahun;
b. hasil analisis manajemen risiko perusahaan;
c. penilaian peringkat;
d. rasio keuangan; dan
e. laporan keuangan.
(2) Kewajiban menyampaikan laporan penilaian peringkat kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya berlaku bagi
Perusahaan yang memiliki penilaian peringkat.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat
tanggal 10 Maret pada tahun yang bersangkutan atau hari kerja berikutnya
apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur.
Pasal 6
(1) Perusahaan yang memiliki posisi PLN Perusahaan Jangka Pendek dan/atau
PLN Perusahaan Jangka Panjang wajib menyampaikan laporan secara benar
dan lengkap kepada Bank Indonesia mengenai:
a. rasio keuangan; dan
b. laporan keuangan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap 6 (enam)
bulan (per semester), yaitu paling lambat tanggal 10 Juni dan tanggal 10
Desember ....
Desember atau hari kerja berikutnya apabila tanggal tersebut jatuh pada hari
libur.
Pasal 7
(1) Dalam hal terjadi perubahan rencana PLN Perusahaan Jangka Panjang
dan/atau perubahan hasil analisis manajemen risiko perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b dan/atau Perusahaan
baru merencanakan PLN Perusahaan Jangka Panjang setelah tanggal 10
Maret, maka Perusahaan wajib melaporkan perubahan dimaksud kepada
Bank Indonesia.
(2) Laporan perubahan rencana PLN Perusahaan Jangka Panjang dan/atau
perubahan hasil analisis manajemen risiko perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat pada tanggal 1 Juli tahun
yang bersangkutan atau hari kerja berikutnya apabila tanggal tersebut jatuh
pada hari libur dengan menjelaskan penyebab perubahan.
Pasal 8
Perusahaan dianggap tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1), dan Pasal 7 ayat (1), dalam hal
laporan tidak diterima oleh Bank Indonesia 30 (tiga puluh) hari setelah batas
waktu yang ditetapkan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat
(2) dan Pasal 7 ayat (2) dan/atau laporan diterima oleh Bank Indonesia sesuai
jangka waktu yang ditetapkan namun tidak lengkap sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 dan Pasal 6.
Pasal 9
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 6 ayat (1),
dan Pasal 7 ayat (1) bersifat rahasia.
Pasal 10 ....
Pasal 10
Direksi Perusahaan bertanggung jawab atas kebenaran laporan yang disampaikan
kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2),
Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1).
BAB V
SANKSI
Pasal 11
(1) Perusahaan yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2) dikenakan
sanksi administratif berupa surat peringatan.
(2) Perusahaan yang tidak menyampaikan laporan termasuk laporan yang tidak
lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dikenakan sanksi administratif
berupa surat peringatan dan/atau pemberitahuan kepada otoritas/instansi
yang berwenang.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Ketentuan mengenai pengenaan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 11 mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2012.
Pasal 13
Pengaturan lebih lanjut Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 14 ....
Pasal 14
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/7/PBI/2008 tanggal 19 Februari 2008 tentang Pinjaman Luar Negeri
Perusahaan Bukan Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 15
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Januari 2010
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di : Jakarta
Pada tanggal : 28 Januari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 20
DInt
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
Nomor : 12/1/PBI/ 2010
TENTANG
PINJAMAN LUAR NEGERI PERUSAHAAN BUKAN BANK
I. UMUM
Sebagai salah satu sumber pembiayaan, Pinjaman Luar Negeri (PLN)
memiliki peranan penting bagi pertumbuhan dunia usaha dan perekonomian
nasional yang sangat mempengaruhi kesinambungan pembangunan. Namun,
PLN yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan fluktuasi berlebihan
pada nilai tukar, ketidaksinambungan neraca pembayaran dan ketidakstabilan
moneter. Kondisi tersebut pada gilirannya dapat menjadi salah satu pemicu
terjadinya krisis perekonomian.
Mengingat PLN Perusahaan berpotensi memberikan dampak negatif
terhadap stabilitas moneter, maka Bank Indonesia perlu mengatur PLN
Perusahaan dengan seksama agar PLN tersebut dikelola dengan memperhatikan
prinsip kehati-hatian. Hal ini sesuai dengan salah satu tugas Bank Indonesia
sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 dan
diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia yaitu
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.
PLN Perusahaan yang dikelola secara berhati-hati dapat mengurangi
berbagai risiko seperti risiko pasar dan risiko kredit. Prinsip kehati-hatian dalam
PLN Perusahaan antara lain dilakukan melalui penerapan manajemen risiko
dalam pengelolaan PLN Perusahaan dan peningkatan transparansi sebagaimana
ditetapkan dalam peraturan Bank Indonesia ini.
Berbagai ...
Berbagai perkembangan kondisi perekonomian global telah memberikan
dampak terhadap perekonomian Indonesia khususnya pada kondisi pasar
keuangan domestik dan sektor riil. Dimana sektor riil mengalami proses
pemulihan terkait dampak krisis ekonomi global. Disamping itu, memperhatikan
kesiapan Perusahaan Bukan Bank dalam memenuhi ketentuan kewajiban
menerapkan pengelolaan PLN secara berhati-hati, maka dipandang perlu untuk
melakukan penyesuaian ketentuan prudential borrowing terhadap Perusahaan
Bukan Bank.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6 ...
Angka 6
Yang dimaksud kewajiban lainnya meliputi antara lain sub ordinated
loan dan sejenisnya yang dicatat sebagai bagian dari komponen
modal.
Kewajiban dalam bentuk utang dagang dan sewa tidak termasuk
dalam ruang lingkup PLN Perusahaan.
Utang sewa pembiayaan (finance lease) yang tercatat secara on
balance sheet sebagai kewajiban (liabilities) termasuk dalam ruang
lingkup PLN Perusahaan.
Angka 7
Cukup jelas.
Pasal 4
Yang dimaksud dengan “manajemen risiko” adalah serangkaian prosedur
dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur,
memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha.
Yang dimaksud dengan “risiko pasar” adalah risiko nilai tukar dan risiko
tingkat bunga. Upaya untuk mengelola risiko ini dapat dilakukan antara
lain dengan memperhitungkan dampak pergerakan nilai tukar dan suku
bunga terhadap kemampuan membayar kembali kewajiban dan melakukan
lindung nilai (hedging).
Yang dimaksud dengan “risiko likuiditas” adalah risiko ketidaktersediaan
dana yang diperlukan. Upaya untuk mengelola risiko ini dapat dilakukan
antara lain dengan menyesuaikan jangka waktu pinjaman dengan periode
pengunaannya.
Yang dimaksud dengan “risiko operasional” adalah risiko kerugian yang
disebabkan karena ketidakcukupan dan atau gagalnya proses internal,
manusia …
manusia dan sistem, serta oleh peristiwa eksternal. Upaya untuk
mengelola risiko ini dapat dilakukan antara lain dengan melakukan
koordinasi antara pihak terkait baik internal maupun eksternal, serta
penyempurnaan sistim data dan informasi.
Dalam rangka menerapkan manajemen risiko Perusahaan dapat
memperhatikan indikator mikro dan makro yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia dalam melakukan PLN Perusahaan.
Yang dimaksud dengan indikator mikro adalah indikator yang digunakan
dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan PLN
Perusahaan per sektor ekonomi yang diformulasikan dalam bentuk rata-
rata atau kisaran indeks rasio keuangan baik jangka panjang maupun
jangka pendek, meliputi antara lain: Rasio Likuiditas, Rasio Solvabilitas,
Rasio Profitabilitas.
Yang dimaksud dengan indikator makro adalah indikator yang digunakan
dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian atas exposure PLN
Perusahaan dalam skala makro (nasional) khususnya perspektif moneter
yang diformulasikan dalam bentuk debt indicator ratio, yang meliputi
antara lain private external debt to total external dan debt to Gross
Domestic Product.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penilaian peringkat” adalah penilaian
peringkat kredit perusahaan yang dilakukan oleh lembaga
pemeringkat …
pemeringkat nasional maupun internasional kepada Perusahaan
yang menggambarkan kemampuan dan kemauan Perusahaan
tersebut untuk membayar kewajiban finansialnya sesuai dengan
terms & conditions yang dipersyaratkan.
Ayat (3)
Batas waktu penyampaian laporan paling lambat tanggal 10 Maret
dimaksudkan agar Perusahaan yang berencana melakukan PLN
Perusahaan Jangka Panjang telah mempunyai rencana bisnis yang
matang di awal tahun.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan yang disampaikan paling lambat tanggal 10 Juni adalah
neraca posisi per 31 Desember dan laporan rugi laba periode
Januari sampai dengan Desember tahun sebelumnya, atau neraca
posisi akhir Tahun Buku dan laporan rugi laba periode 1 (satu)
Tahun Buku untuk tahun sebelumnya bagi perusahaan yang
menggunakan tahun pembukuan selain tahun kalender.
Laporan yang disampaikan paling lambat tanggal 10 Desember
adalah neraca posisi per 30 Juni dan laporan rugi laba periode
Januari sampai dengan Juni tahun yang bersangkutan, atau neraca
posisi pertengahan (semester) Tahun Buku dan laporan rugi laba
periode 1 (satu) semester Tahun Buku untuk tahun yang
bersangkutan …
bersangkutan bagi perusahaan yang menggunakan tahun
pembukuan selain tahun kalender.
Tahun Buku adalah 1 (satu) periode akuntansi yang digunakan
perusahaan dalam penyusunan laporan keuangan dan setara dengan
12 (dua belas) bulan tahun kalender.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR
5102
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/1/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> PINJAMAN LUAR NEGERI PERUSAHAAN BUKAN BANK </reg_title>
<set_date> 28 Januari 2010 </set_date>
<effective_date> 28 Januari 2010 </effective_date>
<issued_date> 28 Januari 2010 </issued_date>
<replaced_reg> '10/7/PBI/2008' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
- 1 -
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/ 15 /PBI/2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/34/PBI/2008 TENTANG TRANSAKSI PEMBELIAN WESEL
EKSPOR BERJANGKA OLEH BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. Bahwa sehubungan dengan adanya penyempurnaan
organisasi Bank Indonesia, terdapat perubahan satuan kerja
yang bertugas melaksanakan transaksi pembelian Wesel
Ekspor Berjangka;
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu untuk mengubah ketentuan mengenai
transaksi pembelian Wesel Ekspor Berjangka oleh Bank
Indonesia.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999...
- 2 -
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
10/34/PBI/2008 TENTANG TRANSAKSI PEMBELIAN
WESEL EKSPOR BERJANGKA OLEH BANK INDONESIA.
Pasal I
Ketentuan Pasal 19 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/34/PBI/2008
tentang Transaksi Pembelian Wesel Ekspor Berjangka Oleh Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 195, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4942) diubah sehingga Pasal 19
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Bank Indonesia c.q Direktorat Pengelolaan Moneter – Biro Operasi Moneter
melakukan transaksi pembelian WEB dengan Bank Penjual melalui sarana
RMDS pada dealing room Bank.
(2) Dalam...
- 3 -
(2) Dalam hal sarana RMDS mengalami gangguan maka transaksi pembelian
WEB menggunakan sarana telepon dengan konfirmasi melalui SWIFT atau
faksimili.
Pasal II
Peratuan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Agustus 2010
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Agustus 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 97
DInt
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/15/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/34/PBI/2008 TENTANG TRANSAKSI PEMBELIAN WESEL EKSPOR BERJANGKA OLEH BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 23 Agustus 2010 </set_date>
<effective_date> 23 Agustus 2010 </effective_date>
<issued_date> 23 Agustus 2010 </issued_date>
<changed_reg> '10/34/PBI/2008' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
Dicabut dengan PBI No. 2/20/PBI/2000 tanggal 12 September 2000
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 1/1/PBI/1999
TENTANG
FASILITAS PENDANAAN DALAM RANGKA MENGATASI KESULITAN
PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank
menghadapi risiko pendanaan jangka pendek yang disebabkan
terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan
dengan arus dana keluar;
b. bahwa untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek
Bank Indonesia sebagai lender of the last resort dapat
memberikan kredit kepada Bank Umum;
c. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, dipandang
perlu untuk menyusun ketentuan mengenai fasilitas pendanaan
dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek
bagi Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara ...
Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS
PENDANAAN DALAM RANGKA MENGATASI
KESULITAN PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI
BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan :
1 . Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha
perbankan konvensional;
2. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek
yang disebabkan oleh
terjadinya arus dana masuk yang lebih
dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) sehingga dapat
mengakibatkan ...
adalah keadaan yang dialami Bank
kecil
mengakibatkan terjadinya Saldo Giro Negatif yang bersifat sementara;
3. Saldo Giro Negatif adalah saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank
Indonesia yang menunjukkan angka negatif;
4. Fasilitas Kredit adalah penyediaan plafon pendanaan dari Bank Indonesia
kepada Bank yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi Kesulitan
Pendanaan Jangka Pendek;
5.
Penarikan Kredit adalah pencairan dana dari Fasilitas Kredit;
6. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga
atas unjuk dalam Rupiah yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai pengakuan
hutang berjangka waktu pendek dengan sistem diskonto;
7. Repurchase Agreement atau jual bersyarat yang selanjutnya disebut Repo
adalah transaksi jual beli surat berharga yang
mewajibkan
penjual untuk
membeli kembali surat berharga yang bersangkutan sesuai dengan jangka
waktu yang diperjanjikan;
8.
Outright atau jual lepas adalah transaksi jual beli surat berharga sebelum
surat berharga yang bersangkutan jatuh waktu;
9. Surat Hutang Pemerintah adalah surat hutang yang diterbitkan oleh
Pemerintah dan dapat diperdagangkan;
10. Pasar Uang Antar Bank yang untuk selanjutnya disebut PUAB adalah
kegiatan pinjam meminjam dana antara 1 (satu) Bank dengan Bank lainnya;
11. Suku Bunga PUAB adalah suku bunga yang terjadi di PUAB pada 1 (satu)
hari kerja
sebelum hari Penarikan Kredit
atau transaksi penjualan SBI
secara Repo atau Outright, yang tercatat pada Pusat Informasi Pasar Uang;
12. Pusat ...
12. Pusat Informasi Pasar Uang yang untuk selanjutnya disebut PIPU adalah
sistem otomasi yang menyediakan informasi pasar uang yang diatur oleh
Bank Indonesia.
Pasal 2
(1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek dapat
memperoleh fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia berupa :
a. Penjualan SBI secara Repo; dan/atau
b. Penjualan SBI secara Outright; dan/atau
c. Penarikan Kredit,
dengan memenuhi persyaratan dan tata cara dalam Peraturan Bank Indonesia
ini.
(2) Bagi Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek dan
memiliki SBI wajib terlebih dahulu menggunakan fasilitas sebagaimana
tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b.
BAB II
PERSYARATAN DAN TATA CARA
PENJUALAN SBI SECARA REPO DAN OUTRIGHT
Pasal 3
(1) Bank dapat menjual SBI yang belum jatuh waktu secara Repo kepada Bank
Indonesia dengan ketentuan:
a. Jangka ...
a. Jangka waktu Repo 1 (satu) hari (overnight) sampai dengan 90 (sembilan
puluh) hari;
b. Pada saat Repo jatuh waktu, SBI yang bersangkutan masih mempunyai
sisa jangka waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari;
c. Tingkat diskonto ditetapkan sebagai berikut:
1) Repo jangka waktu 1 (satu) hari menggunakan rata-rata tertimbang
Suku Bunga PUAB 1 (satu) hari ditambah 400 (empat ratus) basis
point;
2) Repo jangka waktu 2 (dua) hari sampai dengan 45 (empat puluh lima)
hari menggunakan rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI lelang 1
(satu) bulan yang tercatat dalam lelang SBI terakhir ditambah 400
(empat ratus) basis point;
3) Repo jangka waktu 46 (empat puluh enam) hari sampai dengan 90
(sembilan puluh) hari menggunakan rata-rata tertimbang tingkat
diskonto SBI lelang 3 (tiga) bulan yang tercatat dalam lelang SBI
terakhir ditambah 400 (empat ratus) basis point.
(2) Bank Indonesia dapat mengubah angka tambahan diskonto sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 4
(1) Bank dapat menjual SBI secara Outright kepada Bank Indonesia dengan
ketentuan:
a. Sisa jangka waktu SBI 1 (satu) hari sampai dengan 90 (sembilan puluh)
hari;
b. Tingkat ...
b. Tingkat diskonto ditetapkan sebagai berikut :
1) tingkat diskonto SBI yang mempunyai sisa jangka waktu 1 (satu) hari
adalah sebesar rata-rata tertimbang Suku Bunga PUAB 1 (satu) hari
ditambah 400 (empat ratus) basis point;
2) tingkat diskonto SBI yang mempunyai sisa jangka waktu 2 (dua) hari
sampai dengan 45 (empat puluh lima) hari adalah sebesar rata-rata
tertimbang
diskonto
lelang SBI terakhir ditambah 400 (empat ratus) basis point;
3) tingkat diskonto SBI yang mempunyai sisa jangka waktu 46 (empat
puluh enam) hari sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari adalah
sebesar rata-rata tertimbang diskonto SBI lelang 3 (tiga) bulan yang
tercatat dalam lelang SBI terakhir ditambah 400 (empat ratus) basis
point.
(2) Bank Indonesia dapat mengubah besarnya angka
tambahan diskonto
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 5
(1) Penjualan SBI secara Repo kepada Bank Indonesia tidak boleh melebihi 90
(sembilan puluh) hari untuk setiap transaksi.
(2) Penjualan SBI secara Outright kepada Bank Indonesia tidak boleh
dilakukan untuk SBI yang mempunyai sisa jangka waktu lebih dari 90
(sembilan puluh) hari.
(3) Penjualan ...
SBI lelang 1 (satu) bulan yang tercatat dalam
(3) Penjualan SBI secara Repo atau Outright kepada Bank Indonesia hanya
diperkenankan untuk SBI yang dimiliki Bank yang bersangkutan.
Pasal 6
(1) Bank dapat melakukan penjualan SBI secara Repo atau Outright sesuai
jadwal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Penyelesaian transaksi dilakukan pada hari kerja yang sama (same-day
settlement) melalui pemindahbukuan dengan cara mengkredit rekening giro
Bank pada Bank Indonesia.
(3) Bank wajib menyerahkan SBI atau Bilyet Depot Simpan SBI (BDS-SBI)
kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya pukul 15.00 waktu setempat.
(4) Bank Indonesia dapat mengubah batas waktu penyerahan SBI atau Bilyet
Depot Simpan SBI (BDS-SBI) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB III
PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMPEROLEH
FASILITAS KREDIT DAN PENARIKAN KREDIT
Pasal 7
Bank hanya dapat melakukan Penarikan Kredit apabila telah memiliki Fasilitas
Kredit.
Pasal 8 ...
Pasal 8
(1) Bank dapat memperoleh Fasilitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 dengan mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia dan
menandatangani perjanjian penyediaan Fasilitas Kredit serta menyerahkan
agunan.
(2) Pengajuan permohonan penyediaan Fasilitas Kredit kepada Bank Indonesia
dilakukan oleh Direksi Bank.
(3) Fasilitas Kredit yang dapat diberikan oleh Bank Indonesia adalah sebesar
nilai tunai agunan yang diserahkan oleh Bank.
(4) Perjanjian penyediaan Fasilitas Kredit baru berlaku efektif setelah pengikatan
agunan yang dipersyaratkan dipenuhi.
(5) Besarnya Fasilitas Kredit dapat disesuaikan setiap saat berdasarkan nilai
tunai agunan yang diserahkan.
Pasal 9
(1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) berupa Surat Hutang
Pemerintah dan/atau surat berharga lain milik Bank yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(2) Surat berharga lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki
peringkat 3 (tiga) teratas berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat
yang kompeten.
Pasal 10 ...
Pasal 10
(1) Bank wajib mengganti agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 yang
akan jatuh waktu selambat-lambatnya pada saat jatuh waktu agunan tersebut.
(2) Dalam hal Bank tidak mengganti surat berharga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) maka :
a. apabila agunan yang belum jatuh waktu lebih besar dari Penarikan
Kredit, Fasilitas Kredit berkurang sebesar nilai agunan yang jatuh
waktu; atau
b. apabila agunan yang belum jatuh waktu lebih kecil dari Penarikan
Kredit, Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Bank yang
bersangkutan di Bank Indonesia pada hari yang sama sebesar nilai
agunan yang jatuh waktu.
Pasal 11
(1) Bank hanya dapat melakukan penarikan Kredit apabila memenuhi
persyaratan tingkat kesehatan dalam waktu 3 (tiga) bulan terakhir berturut-
turut sekurang-kurangnya cukup sehat.
(2) Bank dapat mengajukan permohonan Penarikan Kredit sebanyak-banyaknya
sebesar perkiraan Saldo Giro Negatif, dan tidak melebihi Fasilitas Kredit
yang belum digunakan.
(3) Bank Indonesia dapat mengubah persyaratan tingkat kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 12 …
Pasal 12
(1) Jangka waktu Penarikan Kredit, termasuk perpanjangannya, paling lama 90
(sembilan puluh) hari.
(2) Penarikan Kredit dapat diberikan lebih dari 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun
dengan ketentuan total jangka waktu keseluruhan Penarikan Kredit tidak
lebih dari 90 (sembilan puluh) hari.
Pasal 13
(1) Penarikan Kredit dikenakan bunga sebesar 125% (seratus dua puluh lima
perseratus) dari suku bunga yang tertinggi
antara
rata-rata
tertimbang
tingkat diskonto SBI lelang terakhir dengan rata-rata tertimbang Suku Bunga
PUAB untuk jangka waktu yang sama dengan jangka waktu Penarikan
Kredit.
(2) Apabila dipergunakan rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI
lelang
terakhir maka ketentuannya adalah:
a. Jangka waktu Penarikan Kredit 1 (satu) hari sampai dengan 45 (empat
puluh lima) hari dikenakan rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI
lelang berjangka 1 (satu) bulan;
b. Jangka waktu Penarikan Kredit 46 (empat puluh enam) hari sampai
dengan 90
(sembilan puluh)
hari
dikenakan
tingkat diskonto SBI lelang berjangka 3 (tiga) bulan.
(3) Apabila dipergunakan rata-rata tertimbang Suku Bunga PUAB maka
ketentuannya adalah :
a. Jangka …
rata-rata
tertimbang
a. Jangka waktu Penarikan Kredit 1 (satu) hari sampai dengan 3 (tiga) hari
menggunakan rata-rata tertimbang Suku Bunga PUAB 1 (satu) hari;
b. Jangka waktu Penarikan Kredit 4 (empat) hari sampai dengan 9
(sembilan) hari menggunakan rata-rata tertimbang Suku Bunga PUAB 7
(tujuh) hari;
c. Jangka waktu Penarikan Kredit 10 (sepuluh) hari sampai dengan 50 (lima
puluh) hari menggunakan rata-rata tertimbang Suku Bunga PUAB 1
(satu) bulan;
d. Jangka waktu Penarikan Kredit 51 (lima puluh satu) hari sampai dengan
90 (sembilan puluh) hari menggunakan rata-rata tertimbang Suku Bunga
PUAB 3 (tiga) bulan.
(4) Bank Indonesia dapat mengubah persentase bunga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IV
PELUNASAN
Pasal 14
(1) Pada saat Repo jatuh waktu, Bank Indonesia akan mendebet rekening giro
Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia pada akhir hari jatuh waktu.
(2) Pelunasan ...
(2) Pelunasan Penarikan Kredit yang jatuh waktu dilakukan dengan cara
mendebet rekening giro Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia pada
akhir hari jatuh waktu Penarikan Kredit.
(3) Dalam hal pendebetan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengakibatkan saldo rekening giro Bank yang bersangkutan di Bank
Indonesia menjadi negatif, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16.
BAB V
PELAPORAN DAN PENGAWASAN
Pasal 15
(1) Bank yang telah melakukan Penarikan Kredit diwajibkan untuk
menyampaikan laporan mingguan kepada Bank Indonesia mengenai pos-pos
dan transaksi-transaksi tertentu termasuk penggunaan Penarikan Kredit.
(2) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank yang telah
melakukan Penarikan Kredit.
BAB VI
SANKSI
Pasal 16
(1) Bank dikenakan sanksi penghentian sementara dari kliring apabila Saldo
Giro Negatif Bank pada Bank Indonesia tidak dapat ditutup sampai dengan
batas ...
batas waktu yang terjadi lebih awal antara :
a. 60 (enam puluh) menit setelah loket kas Bank Indonesia dibuka pada hari
kerja berikutnya; atau
b. 30 (tiga puluh) menit sebelum kliring penyerahan berikutnya ditutup.
(2) Apabila Saldo Giro Negatif terjadi pada rekening giro kantor pusat Bank
maka penghentian sementara dari kegiatan kliring berlaku pula untuk seluruh
kantor cabangnya.
(3) Apabila Saldo Giro Negatif terjadi pada rekening giro kantor cabang Bank,
maka penghentian sementara dari kegiatan kliring hanya berlaku untuk
kantor cabang Bank yang bersangkutan.
(4) Terhadap Saldo Giro Negatif yang terjadi dikenakan sanksi berupa
kewajiban membayar bunga sebesar 150% (seratus lima puluh perseratus)
dari rata-rata tertimbang Suku Bunga PUAB untuk jangka waktu 1 (satu) hari
yang tercatat pada PIPU.
(5) Bank Indonesia dapat mengubah persentase bunga sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 17
Kredit atau fasilitas yang sejenis yang telah diberikan oleh
belum jatuh waktu pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini
tunduk pada persyaratan dan ketentuan yang mengatur masing-masing
Bank Indonesia dan
tetap
fasilitas …
fasilitas dimaksud sampai dengan jatuh waktu.
Pasal 18
(1) Selama masa berlakunya penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998
tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum, Bank dapat
menyerahkan agunan selain agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
untuk memperoleh Fasilitas Kredit, sepanjang Bank ikut dalam
program
penjaminan Pemerintah dan Penarikan Kredit digunakan untuk membayar
tagihan yang tidak dikecualikan dalam program penjaminan Pemerintah.
(2) Persyaratan tingkat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2001.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia Nomor 31/55/KEP/DIR tanggal 1 Juli 1998 tentang Fasilitas
Diskonto, Pelanggaran Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Saldo Giro
Negatif Pada Bank Indonesia sepanjang mengenai Fasilitas Diskonto dan
Pelanggaran Saldo Giro Negatif dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 20 …
Pasal 20
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Mei 1999
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 100
UOPM/UPPB
PENJELASAN
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 1//1/PBI/1999
TENTANG
FASILITAS PENDANAAN DALAM RANGKA MENGATASI
KESULITAN PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM
I. UMUM
Bank dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya menghadapi risiko
likuiditas berupa kesulitan pendanaan jangka pendek yang apabila tidak segera
diatasi dapat menimbulkan masalah yang lebih besar dan bersifat struktural
(risiko solvabilitas). Kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami Bank
disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara arus dana masuk dibandingkan
dengan arus dana keluar (mismatch). Kesulitan pendanaan jangka pendek
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya saldo giro Bank pada Bank Indonesia
menjadi negatif.
Untuk menutup kesulitan pendanaan yang bersifat jangka pendek, pada
dasarnya Bank pertama-tama harus mencari dana di pasar uang, dengan
menggunakan berbagai instrumen pasar uang yang tersedia. Dalam hal Bank
telah gagal memperoleh dana di pasar uang, maka Bank Indonesia dalam
fungsinya sebagai bank sentral dapat membantu bank untuk mengatasi
kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai lender of the last resort
dapat ...
dapat memberikan kredit kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan
jangka pendek, dengan ketentuan Bank yang bersangkutan harus memiliki
agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Sejalan dengan hal
tersebut, Bank Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan dalam rangka
mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek kepada Bank, dengan maksud
agar kelangsungan kegiatan usaha Bank dan kelancaran sistem pembayaran
dapat terpelihara.
Fasilitas pendanaan yang disediakan oleh Bank Indonesia meliputi
penjualan SBI secara Repo dan/atau Outright dan penyediaan Fasilitas Kredit
dengan agunan berupa Surat Hutang Pemerintah dan/atau surat berharga yang
memiliki peringkat tinggi berdasarkan peringkat yang ditetapkan oleh lembaga
pemeringkat yang kompeten.
Pada dasarnya setiap Bank yang memiliki agunan yang memenuhi
syarat dapat memperoleh Fasilitas Kredit dari Bank Indonesia. Namun
demikian, dalam hal Bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek
memiliki SBI maka Bank tersebut wajib terlebih dahulu melakukan penjualan
SBI secara Repo dan/atau Outright guna menutup kekurangan pendanaannya,
sebelum dapat menggunakan Fasilitas Kredit.
Fasilitas Kredit dari Bank Indonesia diberikan dengan memperhatikan
prinsip kehati-hatian antara lain dengan memperhatikan persyaratan
kesehatan
Bank dan pembatasan jangka waktu pemanfaatan Fasilitas Kredit sehingga
diharapkan tidak ada lagi Bank yang menggantungkan pendanaannya dari
Bank Indonesia.
diberikan oleh Bank Indonesia juga diperketat
pengaturan mengenai pemberian kredit
Selain itu aspek pengamanan terhadap fasilitas yang
sesuai dengan
jiwa
tersebut ...
tersebut dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Mengingat fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia diberikan dalam
rangka fungsi Bank Indonesia sebagai lender of the last resort maka
Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek wajib
mencari pendanaan dari PUAB atau sumber lain untuk menutupi
kesulitan tersebut sebelum memperoleh
fasilitas
pendanaan
berupa penjualan SBI secara Repo dan/atau Outright.
Selanjutnya apabila kesulitan tersebut tidak dapat ditutup dengan
penjualan SBI secara Repo dan/atau Outright baik karena Bank tidak
memiliki SBI yang cukup atau tidak memiliki SBI sama sekali,
Bank baru dapat melakukan Penarikan Kredit.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) ...
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1) dan ayat (2)
Penjualan SBI secara Repo dan/atau Outright dilakukan dengan
mengajukan permohonan penjualan kepada Bank Indonesia melalui
Reuters Monitoring Dealing System (RMDS), telepon, faksimili,
teleks atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, yang
ditujukan kepada:
a. Bagian ...
a. Bagian OPU-UOPM, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2,
Jakarta, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Jabotabek;
b. Bagian OPU-UOPM, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2,
Jakarta melalui Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang
berkantor pusat di luar wilayah Jabotabek.
Permohonan tersebut selanjutnya ditegaskan dengan surat penjualan
SBI secara Repo dan/atau Outright sebagaimana contoh dalam
Lampiran 1 dan Lampiran 2, masing-masing dengan tembusan
kepada Urusan Pengawasan Bank terkait.
Pengajuan permohonan penjualan
SBI secara Repo dan/atau
Outright dapat dilakukan :
a. dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 14.00 WIB, untuk
wilayah Jabotabek;
b. dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat,
untuk wilayah di luar Jabotabek.
Pembukuan hasil penjualan SBI secara Repo dan/atau Outright ke
dalam rekening giro Bank dilakukan setelah Bank Indonesia
menerima Surat Permohonan Penjualan SBI secara Repo dan/atau
Outright dan penyerahan SBI dan/atau BDS-SBI yang dijual.
Ayat (3)
Penyerahan SBI dan/atau BDS-SBI disampaikan kepada :
a. Bagian OPU-UOPM, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2,
Jakarta, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Jabotabek;
b. Bagian ...
b. Bagian OPU-UOPM, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2,
Jakarta melalui Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang
berkantor pusat di luar wilayah Jabotabek.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1) dan ayat (2)
Surat permohonan penyediaan Fasilitas Kredit diajukan kepada Bank
Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran 3, dan disampaikan
kepada :
a. Urusan Operasi Pengendalian Moneter (UOPM), Bank
Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah Jabotabek;
b. Urusan Operasi Pengendalian Moneter (UOPM), Bank
Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta melalui Kantor Bank
Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah Jabotabek,
masing-masing dengan tembusan kepada Urusan pengawasan Bank
terkait.
Ayat (3) …
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan nilai tunai agunan adalah nilai riil agunan
berdasarkan harga pasar yang terjadi pada saat Fasilitas Kredit
disetujui.
Nilai tunai agunan tersebut setiap saat akan disesuaikan oleh bank
Indonesia, khususnya pada saat 7 (tujuh) hari sebelum surat berharga
yang diagunkan jatuh waktu, pada saat Penarikan Kredit dan/atau
pada saat jatuh waktu Penarikan Kredit.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penyesuaian besarnya Fasilitas Kredit dengan agunan yang tersedia
diikuti dengan melakukan perubahan pencatatan Fasilitas Kredit dan
perubahan perjanjian pengikatan agunan yang bersangkutan.
Pasal 9
Ayat (1)
Penetapan mengenai surat berharga lain yang dapat dijadikan agunan
akan dilakukan dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan lembaga pemeringkat yang kompeten dalam
ayat ini antara lain adalah PT. Pefindo.
Dalam …
Dalam hal agunan yang diserahkan berupa Obligasi Pemerintah yang
berasal dari program rekapitalisasi perbankan, maka pada waktu
penyerahannya, Obligasi Pemerintah tersebut harus merupakan
obligasi yang dapat diperdagangkan.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Agunan yang telah jatuh waktu dapat ditarik kembali oleh Bank dan
Fasilitas Kredit bagi Bank yang bersangkutan akan dikurangi
sebesar nilai agunan yang ditarik tersebut.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Fasilitas
Kredit dari Bank Indonesia semata-mata hanya digunakan untuk
mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang bersifat
sementara dan tidak untuk mengatasi kesulitan yang bersifat
struktural seperti kesulitan yang menyangkut permodalan, sehingga
Bank dalam melakukan Penarikan Kredit
wajib memenuhi
persyaratan tingkat kesehatan.
Ayat (2) ...
Ayat (2)
Perkiraan Saldo Giro Negatif
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12
Yang dimaksud dengan 90 (sembilan puluh) hari adalah 90 (sembilan puluh)
hari kalender.
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Total jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari dalam ayat ini
merupakan kumulatif dari seluruh jangka waktu Penarikan Kredit
yang dilakukan baik yang sudah dilunasi maupun belum, selama 1
(satu) tahun.
Yang dimaksud dengan 1 (satu) tahun adalah 1 (satu) tahun kalender.
Untuk tahun 1999 berakhir pada 31 Desember 1999 dan untuk tahun
selanjutnya dimulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) ...
antara lain didasarkan pada hasil
perhitungan kliring pada hari yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1) dan ayat (2)
Pendebetan rekening giro Bank oleh Bank Indonesia dilakukan
setelah pukul 14.00 waktu setempat.
Apabila jatuh waktu Kredit jatuh pada hari Sabtu atau hari libur,
maka pendebetan rekening giro Bank pada
dilakukan pada awal hari kerja berikutnya.
Bank Indonesia
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Laporan disampaikan setiap tanggal 7, 15, 23 dan akhir bulan
kepada :
a. Urusan Pengawasan Bank terkait, bagi Bank yang berkantor
pusat di wilayah Jabotabek;
b. Urusan Pengawasan Bank terkait melalui Kantor Bank Indonesia
setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah
Jabotabek,
sebagaimana ...
sebagaimana contoh dalam Lampiran 4.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan kliring penyerahan berikutnya adalah
kliring penyerahan yang terjadi setelah dilakukan pembukuan
hasil kliring sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Sanksi kewajiban membayar bunga pada ayat ini hanya dikenakan
kepada Bank apabila posisi Saldo Negatif tersebut melewati waktu
penutupan sistem akunting Bank Indonesia.
Perhitungan bunga Saldo Giro Negatif
dilakukan berdasarkan
perkalian antara jumlah saldo negatif rekening giro bank di bank
Indonesia dengan rata-rata tertimbang Suku Bunga PUAB untuk
jangka waktu 1 (satu) hari yang tercatat pada PIPU, dengan rumus
sebagai berikut :
Saldo ...
Saldo Giro Negatif x 150% x rata-rata tertimbang Suku Bunga PUAB x hari
1 hari yang tercatat pada PIPU
360 x 100
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pada tanggal 1 Januari 2001 diperkirakan tingkat kesehatan bank-
bank secara umum telah membaik.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3855
UPPB/UOPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 1/1/PBI/1999 </reg_id>
<reg_title> FASILITAS PENDANAAN DALAM RANGKA MENGATASI KESULITAN PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 18 Mei 1999 </set_date>
<effective_date> 18 Mei 1999 </effective_date>
<replaced_reg> '31/55/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 1/8/PBI/1999
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN
UANG RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU)
TAHUN EMISI 1999
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa peningkatan kegiatan masyarakat dalam melakukan
transaksi tunai, perlu didukung dengan ketersediaan pecahan uang
rupiah yang memadai sebagai alat pembayaran yang sah;
b. bahwa dalam rangka mempermudah dan memperlancar
penyelesaian transaksi tunai, dipandang perlu untuk mengeluarkan
dan mengedarkan uang rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu)
tahun emisi 1999;
c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk mengatur
pengeluaran dan pengedaran uang rupiah pecahan 100.000
(seratus ribu) tahun emisi 1999 dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN ….
- 2 -
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 100.000
(SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 1999.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 100.000
(seratus ribu) tahun emisi 1999 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara
Republik Indonesia.
Pasal 2
Macam uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis uang
kertas yang terbuat dari bahan plastik.
Pasal 3
Harga uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai nominal
Rp100.000 (seratus ribu rupiah).
Pasal 4
Ciri uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah :
A. GAMBAR
1. Bagian Muka
a. gambar utama berupa gambar 2 (dua) orang Pahlawan Proklamator, dan
di bawahnya …
- 3 -
di bawahnya dicantumkan tulisan “Dr. Ir. Soekarno” dan “Dr. H.
Mohammad Hatta”;
b. diantara gambar 2 (dua) orang Pahlawan Proklamator terdapat tulisan
“Teks Proklamasi Republik Indonesia” dengan latar belakang ragam hias
yang menyerupai bunga;
c. di sebelah atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”
dengan garis bawah berupa tulisan mikro “100000” berulang-ulang tanpa
spasi dan di bawah gambar utama terdapat tulisan “SERATUS RIBU
RUPIAH”;
d. dalam arah horizontal di pojok kiri atas dan dalam arah vertikal di pinggir
kanan terdapat angka nominal “100000”;
e. latent image berupa logo Bank Indonesia dalam bidang berbentuk oval
terdapat di pojok kiri bawah atau di pundak kanan gambar Dr. Ir. Soekarno,
dan di pojok kanan atas terdapat gambar Lambang Negara Garuda Pancasila
yang dicetak di atas bidang lingkaran emas metalik;
f. di sebelah kanan gambar utama terdapat anti reproduksi berupa angka
“100000” yang terbuat dari garis-garis vertikal dan miring, angka tahun
emisi “1999”, tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur
Bank Indonesia (Syahril Sabirin) beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda
tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia (Iwan R. Prawiranata) beserta
tulisan “DEPUTI GUBERNUR”;
g. sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
horizontal, bergelombang, miring dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk hiasan menyerupai bunga;
2. Bagian Belakang
a. gambar utama berupa gambar gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
b. di sebelah …
- 4 -
b. di sebelah atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”
dengan garis bawah berupa tulisan mikro “100000” berulang-ulang tanpa
spasi; di bawah nomor seri sebelah kanan atas terdapat angka “100000”
dalam bidang segi empat yang akan terlihat berwarna hijau kekuning-
kuningan di bawah sinar ultra violet, dan logo Bank Indonesia dengan latar
belakang garis-garis melengkung berbentuk setengah lingkaran;
c. di sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN
UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI
SERATUS RIBU RUPIAH”;
d. dalam arah horizontal di pojok kanan atas dan dalam arah vertikal di pinggir
kiri atas terdapat angka nominal “100000”;
e. nomor seri berwarna hitam yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam)
angka terletak di pojok kiri bawah dan di sebelah kanan atas tepat di bawah
angka nominal “100000”;
B. WARNA
bagian muka dan bagian belakang dicetak dengan warna kuning, oranye, hijau,
merah, biru dan coklat;
C. BAHAN
1. jenis bahan polymer substrate (plastik) dengan ukuran 151 mm x 65 mm;
2. bahan polymer substrate (plastik) memiliki:
a. shadow image berupa gambar Lambang Negara Garuda Pancasila;
b. benang pengaman terpotong oleh shadow image dengan bentuk
melengkung yang memuat tulisan “BANK INDONESIA 100000”
berselang …
- 5 -
berselang-seling terbalik yang dapat dibaca dari bagian muka dan bagian
belakang;
c. bidang lingkaran warna emas metalik terletak di pojok kanan atas;
d. plastik transparan berwarna merah (color window) menyerupai bunga yang
di dalamnya terdapat emboss logo Bank Indonesia yang terasa kasar bila
diraba; di bawahnya terdapat dua buah plastik transparan (clear windows)
menyerupai daun yang di dalamnya masing-masing terdapat gambar padi
dan kapas.
Pasal 5
Uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan mulai
tanggal 1 November 1999.
Pasal 6
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Oktober 1999
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 206
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 1/8/PBI/1999 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 1999 </reg_title>
<set_date> 19 Oktober 1999 </set_date>
<effective_date> 19 Oktober 1999 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/40/PBI/2016
TENTANG
PENYELENGGARAAN PEMROSESAN TRANSAKSI PEMBAYARAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa perkembangan teknologi dan sistem informasi
terus melahirkan berbagai inovasi, khususnya yang
berkaitan dengan financial technology (fintech) dalam
rangka memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk di
bidang jasa sistem pembayaran, baik dari sisi
instrumen,
infrastruktur penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran;
b. bahwa inovasi dalam penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran perlu
tetap mendukung
terciptanya sistem pembayaran yang lancar, aman,
efisien, dan andal, sehingga diperlukan pengaturan
terhadap penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk
melengkapi ketentuan yang sudah ada dengan
mengedepankan pemenuhan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko yang memadai, serta dengan tetap
memperhatikan perluasan akses, kepentingan nasional
dan perlindungan konsumen, termasuk standar dan
praktik internasional;
penyelenggara, mekanisme, maupun
- 2 -
c. bahwa dalam rangka meningkatkan ketahanan dan daya
saing industri sistem pembayaran nasional, Bank
Indonesia
perlu mendorong peran pelaku domestik
antara lain melalui penataan struktur kepemilikan
penyelenggara jasa sistem pembayaran;
d. bahwa pengaturan mengenai penyelenggaraan jasa
sistem pembayaran dalam ketentuan saat ini, perlu terus
dilengkapi dan dirumuskan secara lebih komprehensif
untuk memberikan arah dan pedoman yang semakin
jelas kepada penyelenggara jasa sistem pembayaran dan
penyelenggara penunjang transaksi pembayaran, serta
kepada masyarakat;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4843);
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer
Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5204);
- 3 -
Menetapkan : PERATURAN
MEMUTUSKAN:
BANK
PENYELENGGARAAN
PEMBAYARAN.
INDONESIA
PEMROSESAN
TENTANG
TRANSAKSI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai perbankan dan
bank syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.
2. Lembaga Selain Bank adalah badan usaha bukan Bank
yang berbadan hukum dan didirikan berdasarkan hukum
Indonesia.
3. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah Bank
atau Lembaga Selain Bank yang menyelenggarakan
kegiatan jasa sistem pembayaran.
4. Penyelenggara Penunjang Transaksi Pembayaran yang
selanjutnya disebut Penyelenggara Penunjang adalah
pihak yang menyediakan layanan kepada Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran dalam rangka menunjang
penyelenggaraan kegiatan jasa sistem pembayaran.
5. Switching adalah infrastruktur yang berfungsi sebagai
pusat dan/atau penghubung penerusan data transaksi
pembayaran melalui jaringan yang menggunakan alat
pembayaran dengan menggunakan kartu, uang
elektronik, dan/atau transfer dana.
6. Payment Gateway adalah layanan elektronik yang
memungkinkan pedagang untuk memproses transaksi
pembayaran dengan menggunakan alat pembayaran
dengan menggunakan kartu, uang elektronik, dan/atau
Proprietary Channel.
- 4 -
7. Dompet Elektronik (Electronic Wallet) yang selanjutnya
disebut Dompet Elektronik adalah layanan elektronik
untuk menyimpan data instrumen pembayaran antara
lain alat pembayaran dengan menggunakan kartu
dan/atau uang elektronik, yang dapat juga menampung
dana, untuk melakukan pembayaran.
8. Proprietary Channel adalah kanal pembayaran yang
dikembangkan dan dimiliki oleh Bank secara eksklusif
untuk kepentingan nasabah sendiri yang antara lain
menggunakan teknologi berbasis short message service,
mobile, web, subscriber identity module tool kit, dan/atau
unstructured supplementary service data.
9. Penyelenggara Switching adalah Bank atau Lembaga
Selain Bank yang menyelenggarakan kegiatan Switching.
10. Penyelenggara Payment Gateway adalah Bank atau
Lembaga Selain Bank yang menyelenggarakan kegiatan
Payment Gateway.
11. Penyelenggara Dompet Elektronik adalah Bank atau
Lembaga Selain Bank yang menyelenggarakan Dompet
Elektronik.
12. Prinsipal adalah prinsipal sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat
pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang
elektronik.
13. Penerbit adalah penerbit sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat
pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang
elektronik.
14. Acquirer adalah acquirer sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat
pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang
elektronik.
- 5 -
15. Penyelenggara Kliring adalah penyelenggara kliring
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan
menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai uang elektronik.
16. Penyelenggara Penyelesaian Akhir adalah penyelenggara
penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat
pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang
elektronik.
17. Penyelenggara Transfer Dana adalah penyelenggara
transfer dana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai transfer dana.
BAB II
PENYELENGGARA DALAM PEMROSESAN TRANSAKSI
PEMBAYARAN
Pasal 2
(1) Pemrosesan transaksi pembayaran dilakukan oleh
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
Penyelenggara Penunjang.
(2) Pemrosesan transaksi pembayaran
dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
a. pratransaksi;
b.
c.
otorisasi;
kliring;
d. penyelesaian akhir (setelmen); dan
e. pascatransaksi.
Pasal 3
(1) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri atas:
a.
Prinsipal;
b. Penyelenggara Switching;
c.
Penerbit;
dan
sebagaimana
- 6 -
d. Acquirer;
e. Penyelenggara Payment Gateway;
f.
Penyelenggara Kliring;
g. Penyelenggara Penyelesaian Akhir;
h. Penyelenggara Transfer Dana;
i.
j.
Penyelenggara Dompet Elektronik; dan
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lainnya
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dan Penyelenggara Payment Gateway sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan
penyelenggara yang termasuk dalam kategori merchant
acquiring services.
(3) Penyelenggara Penunjang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) merupakan perusahaan yang
menyelenggarakan kegiatan antara lain:
a. pencetakan kartu;
b. personalisasi pembayaran;
c. penyediaan pusat data (data center) dan/atau pusat
pemulihan bencana (disaster recovery center);
d. penyediaan terminal;
e. penyediaan fitur keamanan instrumen pembayaran
dan/atau transaksi pembayaran;
f. penyediaan
teknologi pendukung transaksi
nirkontak (contactless); dan/atau
g. penyediaan penerusan (routing) data pendukung
pemrosesan transaksi pembayaran.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan Penyelenggara Penunjang sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
- 7 -
BAB III
PERIZINAN DAN PERSETUJUAN DALAM
PENYELENGGARAAN PEMROSESAN TRANSAKSI
PEMBAYARAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
(1) Setiap pihak yang bertindak sebagai Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari
Bank Indonesia.
(2) Pihak yang telah memperoleh izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan akan melakukan:
a. pengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran;
b. pengembangan produk dan aktivitas jasa sistem
pembayaran; dan/atau
c. kerja sama dengan pihak lain,
wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia.
Bagian Kedua
Perizinan
Pasal 5
(1) Pihak yang mengajukan izin untuk menjadi
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran harus memenuhi
persyaratan:
a. umum; dan
b. aspek kelayakan sebagai Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran.
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pihak yang mengajukan izin untuk menjadi
Prinsipal, Penyelenggara Switching, Penyelenggara
Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir
- 8 -
harus berbentuk perseroan terbatas yang paling sedikit
80% (delapan puluh persen) sahamnya dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia; dan/atau
b. badan hukum Indonesia.
(3) Dalam hal terdapat kepemilikan asing pada Prinsipal,
Penyelenggara Switching,
Penyelenggara Kliring,
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) maka perhitungan jumlah
kepemilikan asing tersebut meliputi kepemilikan secara
langsung dan kepemilikan secara tidak langsung.
(4) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah
memperoleh izin sebagai Prinsipal, Penyelenggara
Switching, Penyelenggara
Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib tetap memenuhi
persentase kepemilikan saham sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
Pasal 6
(1) Pihak yang mengajukan izin untuk menjadi
Penyelenggara Switching atau Penyelenggara Payment
Gateway harus berupa:
a. Bank; atau
b. Lembaga Selain Bank.
(2) Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b berbentuk perseroan terbatas yang
melakukan kegiatan usaha di bidang teknologi informasi
dan/atau sistem pembayaran.
Pasal 7
(1) Pihak yang mengajukan izin untuk menjadi
Penyelenggara Dompet Elektronik harus berupa:
a. Bank; atau
b. Lembaga Selain Bank.
(2) Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b berbentuk perseroan terbatas.
- 9 -
Pasal 8
Kewajiban memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) berlaku bagi Bank atau Lembaga Selain Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yang
menyelenggarakan Dompet Elektronik dengan pengguna aktif
telah mencapai atau direncanakan akan mencapai jumlah
paling sedikit 300.000 (tiga ratus ribu) pengguna.
Pasal 9
(1) Pihak yang akan menjadi Penyelenggara Switching
dan/atau Penyelenggara Payment Gateway sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 dan/atau Penyelenggara
Dompet Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7, harus memenuhi persyaratan aspek kelayakan sebagai
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang meliputi:
a. legalitas dan profil perusahaan;
b. hukum;
c. kesiapan operasional;
d. keamanan dan keandalan sistem;
e. kelayakan bisnis;
f. kecukupan manajemen risiko; dan
g. perlindungan konsumen.
(2) Bagi pihak yang akan mengajukan izin untuk menjadi
Penyelenggara Dompet Elektronik yang dapat juga
menampung dana maka pemenuhan persyaratan:
a. kecukupan manajemen risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf f; dan
b. perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf g,
harus mencakup pula manajemen risiko dan
perlindungan konsumen terkait pengelolaan dana yang
ditampung dalam Dompet Elektronik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan persyaratan
sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
- 10 -
Pasal 10
(1) Persyaratan dan tata cara memperoleh izin sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan
Penyelenggara Penyelesaian Akhir mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat
pembayaran dengan menggunakan kartu atau ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang
elektronik.
(2) Persyaratan dan tata cara memperoleh izin sebagai
Penyelenggara Transfer Dana mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai transfer dana.
Bagian Ketiga
Persetujuan
Pasal 11
(1) Persetujuan untuk pengembangan kegiatan jasa sistem
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) huruf a meliputi:
a. penyelenggaraan Payment Gateway yang dilakukan
oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang
telah memperoleh izin sebagai Penerbit dan/atau
Acquirer;
b. penyelenggaraan Dompet Elektronik yang dilakukan
oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagai
berikut:
1. Bank; atau
2. Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh
izin sebagai Penerbit uang elektronik; dan/atau
c. penyelenggaraan Proprietary Channel yang dilakukan
oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran berupa
Bank.
(2) Persetujuan untuk pengembangan produk dan aktivitas
jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi pengembangan fitur,
jenis, layanan, dan/atau fasilitas dari produk dan/atau
aktivitas jasa sistem pembayaran yang telah berjalan.
- 11 -
(3) Persetujuan untuk melakukan kerja sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c meliputi:
a. kerja sama dengan Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran lain; dan/atau
b. kerja sama dengan Penyelenggara Penunjang.
(4) Pihak yang memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib tunduk pada ketentuan
yang berlaku bagi Penyelenggara Payment Gateway dan
Penyelenggara Dompet Elektronik.
Pasal 12
(1) Pemberian persetujuan kepada Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran dalam rangka pengembangan
kegiatan jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dan pengembangan
produk dan aktivitas jasa sistem pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b
mempertimbangkan pemenuhan persyaratan yang
meliputi aspek:
a. kesiapan operasional;
b. keamanan dan keandalan sistem;
c. penerapan manajemen risiko; dan
d. perlindungan konsumen.
(2) Selain pemenuhan aspek sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank Indonesia juga mempertimbangkan hasil
pengawasan terhadap kinerja Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran.
Pasal 13
Pemberian persetujuan kepada Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran dalam rangka kerja sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c mempertimbangkan
pemenuhan persyaratan yang meliputi aspek:
a. legalitas dan profil perusahaan;
b. kompetensi pihak yang akan diajak bekerjasama;
- 12 -
c.
kinerja;
d. keamanan dan keandalan sistem dan infrastruktur; dan
e. hukum.
Pasal 14
(1) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran bertanggung
jawab untuk memastikan keamanan dan kelancaran
pemrosesan transaksi pembayaran, termasuk dalam hal
dilakukan melalui kerja sama dengan Penyelenggara
Penunjang.
(2) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib melakukan
evaluasi secara berkala atas kinerja Penyelenggara
Penunjang.
Bagian Keempat
Tata Cara dan Pemrosesan Izin dan Persetujuan
Pasal 15
(1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan:
a. mengajukan izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1); atau
b. mengajukan persetujuan dalam rangka
pengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran,
pengembangan produk dan aktivitas jasa sistem
pembayaran, dan/atau kerja sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2),
harus menyampaikan permohonan secara tertulis dalam
Bahasa Indonesia kepada Bank Indonesia disertai dengan
dokumen pendukung pemenuhan aspek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 12, dan Pasal 13.
(2) Dalam rangka memproses permohonan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, Bank Indonesia
melakukan hal sebagai berikut:
a. penelitian administratif;
- 13 -
b. analisis kelayakan bisnis; dan
c. pemeriksaan terhadap Bank atau Lembaga Selain
Bank.
(3) Dalam rangka memproses permohonan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Bank
Indonesia melakukan hal sebagai berikut:
a. penelitian administratif;
b.
analisis terhadap kinerja Bank atau Lembaga Selain
Bank; dan
c. pemeriksaan terhadap Bank atau Lembaga Selain
Bank, jika diperlukan.
(4) Berdasarkan hasil proses sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3), Bank Indonesia menetapkan
keputusan untuk:
a. menyetujui; atau
b. menolak,
permohonan izin atau persetujuan yang diajukan.
(5) Bank Indonesia dapat memberikan kemudahan kepada
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah
memperoleh izin atas proses persetujuan kerja sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam
rangka penggunaan dan perluasan penggunaan
instrumen pembayaran nontunai untuk program yang
terkait dengan kebijakan nasional.
(6) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
diberikan
dengan tetap memperhatikan
penyelenggaraan kegiatan jasa sistem pembayaran.
Bagian Kelima
Kewajiban bagi Pihak Asing
Pasal 16
Pihak asing yang menyelenggarakan jasa sistem pembayaran
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau
bekerjasama dengan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran,
wajib tunduk pada Peraturan Bank Indonesia ini dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
risiko
- 14 -
Bagian Keenam
Kebijakan Perizinan dan/atau Persetujuan
Pasal 17
(1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan
perizinan dan/atau persetujuan penyelenggaraan jasa
sistem pembayaran.
(2) Penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didasarkan pada pertimbangan:
a. menjaga efisiensi nasional;
b. mendukung kebijakan nasional;
c. menjaga kepentingan publik;
d. menjaga pertumbuhan industri; dan/atau
e. menjaga persaingan usaha yang sehat.
BAB IV
PENYELENGGARAAN PEMROSESAN TRANSAKSI
PEMBAYARAN
Pasal 18
(1) Dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran,
setiap Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran wajib:
a. menerapkan manajemen risiko secara efektif dan
konsisten;
b. menerapkan standar keamanan sistem informasi;
c. menyelenggarakan
pemrosesan
pembayaran secara domestik;
d. menerapkan perlindungan konsumen; dan
e. memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Kewajiban pemrosesan transaksi pembayaran secara
domestik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dilaksanakan sebagai berikut:
a. untuk Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang
memproses transaksi alat pembayaran dengan
menggunakan kartu, tunduk pada ketentuan Bank
transaksi
- 15 -
Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran
dengan menggunakan kartu; dan
b. untuk Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang
memproses transaksi uang elektronik dan/atau
transaksi sistem pembayaran lainnya, tunduk pada
ketentuan yang akan ditetapkan kemudian oleh
Bank Indonesia.
Bagian Kesatu
Penerapan Manajemen Risiko
Pasal 19
(1) Penerapan manajemen risiko secara efektif dan konsisten
atas penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran
mencakup:
a. pengawasan aktif manajemen;
b. kecukupan kebijakan dan prosedur serta struktur
organisasi;
c.
fungsi manajemen risiko dan sumber daya manusia
pelaksana; dan
d. pengendalian intern.
(2) Penerapan manajemen risiko oleh Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara
Penyelesaian Akhir selain mengacu pada penerapan
manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
juga mengacu pada ketentuan mengenai manajemen
risiko sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu
dan/atau Peraturan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai uang elektronik, serta ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
(3) Penerapan manajemen risiko oleh Penyelenggara Transfer
Dana selain mengacu pada penerapan manajemen risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga mengacu pada
ketentuan penerapan manajemen risiko sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang
- 16 -
mengatur mengenai transfer dana dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Bagian Kedua
Keamanan Sistem Informasi
Pasal 20
(1) Penerapan standar keamanan sistem informasi oleh
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring,
Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan Penyelenggara
Transfer Dana mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan kegiatan alat
pembayaran dengan menggunakan kartu, ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang
elektronik, dan/atau ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai transfer dana.
(2) Penerapan standar keamanan sistem informasi oleh
Penyelenggara Switching, Penyelenggara Payment
Gateway, Penyelenggara Dompet Elektronik, dan Bank
yang menyelenggarakan Proprietary Channel
paling
sedikit:
a. pemenuhan sertifikasi dan/atau standar keamanan
dan keandalan sistem yang berlaku umum atau
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia atau
otoritas/lembaga terkait;
b. pemeliharaan dan peningkatan keamanan teknologi;
dan
c. pelaksanaan audit yang diselenggarakan secara
berkala paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali atau
setiap terdapat perubahan yang signifikan.
(3) Pemenuhan sertifikasi dan/atau standar keamanan
sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a oleh
Penyelenggara Switching paling sedikit:
a. pengamanan data dan informasi terkait transaksi
pembayaran yang diproses; dan
b. pengamanan jaringan.
- 17 -
(4) Pemenuhan sertifikasi dan/atau standar keamanan
sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a bagi
Penyelenggara Payment Gateway paling sedikit:
a. pengamanan data dan informasi terkait transaksi
pembayaran yang diproses;
b. pengamanan jaringan; dan
c. penerapan fraud detection system.
(5) Pemenuhan sertifikasi dan/atau standar keamanan
sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a bagi
Penyelenggara Dompet Elektronik paling sedikit:
a. pengamanan data dan informasi pengguna serta
data dan informasi instrumen pembayaran yang
disimpan dalam Dompet Elektronik;
b. sistem dan prosedur aktivasi dan penggunaan
Dompet Elektronik; dan
c. penerapan fraud detection system.
Bagian Ketiga
Penyelenggaraan Dompet Elektronik
Pasal 21
(1) Dalam hal terjadi permintaan pengembalian dana (refund)
atas pembatalan transaksi pembayaran, Penyelenggara
Dompet Elektronik wajib
segera melaksanakan
pengembalian dana (refund) tersebut kepada pengguna
Dompet Elektronik.
(2) Penyelenggara Dompet Elektronik wajib memiliki
prosedur untuk memastikan terlaksananya pengembalian
dana (refund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dana hasil pengembalian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib segera dikembalikan ke dalam sumber dana
asal yang digunakan untuk melakukan transaksi
pembayaran.
- 18 -
Pasal 22
(1) Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18, Penyelenggara Dompet
Elektronik yang menyelenggarakan Dompet Elektronik
yang dapat digunakan untuk menyimpan data instrumen
pembayaran dan menampung dana, wajib untuk:
a. memastikan penggunaan dana pada Dompet
Elektronik hanya untuk tujuan pembayaran;
b. mematuhi ketentuan Bank Indonesia mengenai
batasan nilai dana yang dapat ditampung dalam
Dompet Elektronik;
c. memastikan dana yang dimiliki pengguna telah
tersedia dan dapat digunakan saat melakukan
transaksi;
d. menempatkan seluruh dana yang tersimpan dalam
Dompet Elektronik dalam bentuk aset yang aman
dan likuid untuk memastikan ketersediaan dana
sebagaimana dimaksud dalam huruf c;
e. memastikan bahwa penggunaan dana hanya untuk
memenuhi kepentingan transaksi pembayaran oleh
pengguna Dompet Elektronik; dan
f. menerapkan program anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Batasan nilai dana yang dapat ditampung dalam Dompet
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
hanya dapat dilampaui dalam hal:
a. terdapat pengembalian dana (refund) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); dan
b. Penyelenggara Dompet Elektronik mampu
mengidentifikasi kelebihan dana tersebut sebagai
hasil pengembalian dana (refund).
(3) Penempatan seluruh dana yang tersimpan dalam Dompet
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dilakukan dengan:
a. menatausahakan dana yang tersimpan dalam
Dompet Elektronik melalui pencatatan pada pos
- 19 -
kewajiban segera atau rupa-rupa pasiva bagi
Penyelenggara Dompet Elektronik berupa Bank; atau
b. menempatkan dana yang tersimpan dalam Dompet
Elektronik sebesar 100% (seratus persen) pada bank
umum dalam bentuk rekening simpanan, bagi
Penyelenggara Dompet Elektronik berupa Lembaga
Selain Bank.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
kewajiban
Penyelenggara Dompet Elektronik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Penyelenggaraan Payment Gateway
Pasal 23
Penyelenggara Payment Gateway yang dalam penyelenggaraan
kegiatannya melakukan fungsi untuk menyelesaikan
pembayaran kepada pedagang, wajib:
a. memiliki dan menjalankan mekanisme dan prosedur
mengenai:
1. pemilihan pedagang (merchant acquisition) yang
difasilitasi dengan penyediaan Payment Gateway;
dan
2. penyelesaian pembayaran kepada pedagang; dan
b. melakukan evaluasi terhadap kelancaran dan keamanan
transaksi pembayaran yang dilakukan melalui pedagang.
Bagian Kelima
Perlindungan Konsumen
Pasal 24
(1) Penerapan prinsip perlindungan konsumen oleh
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
perlindungan konsumen jasa sistem pembayaran.
- 20 -
(2) Penerapan prinsip perlindungan konsumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. keadilan dan keandalan;
b. transparansi;
c. perlindungan data dan/atau informasi konsumen;
dan
d. penanganan dan penyelesaian pengaduan yang
efektif.
Pasal 25
Penerapan prinsip perlindungan konsumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 oleh Penyelenggara Payment
Gateway antara lain:
a. penyediaan informasi yang memadai kepada konsumen
mengenai mekanisme pembayaran melalui Payment
Gateway, termasuk mengenai penggunaan data dan
informasi instrumen pembayaran dalam transaksi online;
dan
b. turut memastikan terlaksananya penyerahan barang
dan/atau jasa dari pedagang kepada konsumen setelah
konsumen melakukan pembayaran dalam transaksi
online.
Pasal 26
Penerapan prinsip perlindungan konsumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 oleh Penyelenggara Dompet
Elektronik antara lain:
a. penyediaan informasi yang memadai kepada konsumen
mengenai Dompet Elektronik yang diselenggarakan,
termasuk informasi mengenai prosedur pengembalian
dana (refund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
dan
b. memiliki dan melaksanakan mekanisme penanganan
pengaduan konsumen.
- 21 -
Bagian Keenam
Pemenuhan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 27
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran selain tunduk pada
Peraturan Bank Indonesia ini juga wajib memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan, antara lain ketentuan yang
mengatur mengenai:
a. kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi
pembayaran yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b. transaksi perdagangan melalui sistem elektronik; dan
c. penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik.
BAB V
LAPORAN
Pasal 28
(1) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib
menyampaikan laporan penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. laporan berkala; dan
b. laporan insidental.
(3) Penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
a. laporan bulanan;
b. laporan triwulanan;
c. laporan tahunan; dan/atau
d. laporan hasil audit sistem informasi dari auditor
independen yang dilakukan secara berkala paling
sedikit 1 (satu) kali dalam kurun waktu 3 (tiga)
tahun.
- 22 -
(4) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b terdiri atas:
a. laporan gangguan dalam pemrosesan transaksi
pembayaran dan tindak lanjut yang telah dilakukan;
b. laporan perubahan modal dan/atau susunan
pemegang saham serta perubahan susunan
pengurus Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran;
force majeure
c. laporan terjadinya
d.
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran;
laporan perubahan data dan informasi pada
dokumen yang disampaikan pada saat mengajukan
permohonan izin kepada Bank Indonesia; dan
e. laporan lainnya yang diperlukan oleh Bank
Indonesia.
(5) Format dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) oleh Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara Penyelesaian
Akhir mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai alat pembayaran dengan
menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai uang elektronik.
(6) Format dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) oleh Penyelenggara Transfer
Dana mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai transfer dana.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai format dan tata cara
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) oleh Penyelenggara Switching, Penyelenggara Payment
Gateway, dan Penyelenggara Dompet Elektronik diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 29
(1) Penyelenggara Dompet Elektronik yang tidak terkena
kewajiban izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
harus menyampaikan laporan penyelenggaraan Dompet
Elektronik kepada Bank Indonesia.
atas
- 23 -
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VI
PERALIHAN IZIN PENYELENGGARA JASA SISTEM
PEMBAYARAN
Pasal 30
(1) Peralihan izin penyelenggaraan kegiatan sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan
Penyelenggara Penyelesaian Akhir mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat
pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang
elektronik.
(2) Peralihan izin penyelenggaraan kegiatan sebagai
Penyelenggara Transfer Dana mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai transfer dana.
Pasal 31
(1) Peralihan izin penyelenggaraan kegiatan sebagai
Penyelenggara Switching,
Penyelenggara Payment
Gateway, dan/atau Penyelenggara Dompet Elektronik
kepada pihak lain hanya dapat dilakukan dalam rangka
penggabungan, peleburan, atau pemisahan.
(2) Peralihan izin penyelenggaraan kegiatan sebagai
Penyelenggara Switching,
Penyelenggara Payment
Gateway, dan/atau Penyelenggara Dompet Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib terlebih
dahulu memperoleh izin Bank Indonesia.
Pasal 32
(1) Dalam hal akan dilakukan pengambilalihan Bank yang
telah memperoleh izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran, Bank tersebut wajib melaporkan secara
tertulis rencana pengambilalihan kepada Bank Indonesia.
- 24 -
(2) Dalam hal akan dilakukan pengambilalihan Lembaga
Selain Bank yang telah memperoleh izin sebagai
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, Lembaga Selain
Bank tersebut wajib menyampaikan permohonan
persetujuan secara tertulis kepada Bank Indonesia
perihal rencana pengambilalihan.
(3) Laporan rencana pengambilalihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau permohonan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit
meliputi informasi mengenai:
a. latar belakang pengambilalihan;
b. pihak yang akan melakukan pengambilalihan;
c.
target waktu pelaksanaan pengambilalihan;
d. susunan pemilik dan/atau pemegang saham
pengendali, dan komposisi kepemilikan saham
setelah pengambilalihan; dan
e. rencana bisnis setelah pengambilalihan, khususnya
terkait kegiatan jasa sistem pembayaran yang
diselenggarakan.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 33
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia yang meliputi:
a. pengawasan langsung; dan
b. pengawasan tidak langsung.
(2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia melakukan
pengawasan kepada Penyelenggara Penunjang yang
bekerjasama dengan Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran, termasuk kepada Penyelenggara Dompet
Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
- 25 -
(3) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan
atas nama Bank Indonesia melaksanakan pengawasan
langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau
ayat (2).
BAB VIII
LARANGAN
Pasal 34
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dilarang:
a. melakukan pemrosesan transaksi pembayaran dengan
menggunakan virtual currency;
b. menyalahgunakan data dan informasi nasabah maupun
data dan informasi transaksi pembayaran; dan/atau
c. memiliki dan/atau mengelola nilai yang dapat
dipersamakan dengan nilai uang yang dapat digunakan
di luar lingkup Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
yang bersangkutan.
BAB IX
SANKSI
Pasal 35
(1) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2),
Pasal 5 ayat (4), Pasal 11 ayat (4), Pasal 14 ayat (2), Pasal
18 ayat (1), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23, Pasal
27, Pasal 28 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 32 ayat (1),
Pasal 32 ayat (2), Pasal 34, Pasal 40, dan/atau Pasal 42
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran;
b. denda;
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh
kegiatan jasa sistem pembayaran; dan/atau
d. pencabutan izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran.
- 26 -
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 36
Dalam hal setelah berlalunya jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 atau setelah berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini terdapat pihak yang menyelenggarakan
jasa sistem pembayaran tanpa izin Bank Indonesia maka
Bank Indonesia berwenang:
a. menyampaikan teguran tertulis; dan/atau
b. merekomendasikan kepada otoritas yang berwenang
untuk:
1. menghentikan kegiatan usaha; dan/atau
2. mencabut izin usaha yang diberikan oleh otoritas
yang berwenang.
Pasal 37
Selain dalam rangka penerapan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35, Bank Indonesia dapat meminta
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu, menghentikan sementara
sebagian atau seluruh kegiatan jasa sistem pembayaran,
membatalkan atau mencabut izin atau persetujuan yang telah
diberikan kepada Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran,
dalam hal antara lain:
a. terdapat hasil pengawasan Bank Indonesia yang
menunjukkan bahwa Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran tidak dapat menyelenggarakan kegiatan jasa
sistem pembayaran dengan baik;
b. terdapat permintaan tertulis atau rekomendasi dari pihak
yang berwajib atau otoritas pengawas yang berwenang
kepada Bank Indonesia untuk menghentikan sementara
kegiatan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran;
- 27 -
c. terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap yang memerintahkan Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran untuk menghentikan kegiatannya;
dan/atau
d. terdapat permohonan pembatalan dan/atau pencabutan
izin yang diajukan sendiri oleh Bank atau Lembaga
Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
Pasal 38
Sepanjang belum diatur dalam dan tidak bertentangan
dengan Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. penyelenggaraan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara
Penyelesaian Akhir dilakukan dengan mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat
pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang
elektronik; dan
b. penyelenggaraan kegiatan sebagai Penyelenggara Transfer
Dana dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai transfer dana.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 39
(1) Pihak yang telah menyelenggarakan kegiatan:
a. Switching, Payment Gateway; dan/atau
b. Dompet Elektronik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8,
sebelum ketentuan ini berlaku dan belum memperoleh
izin dari Bank Indonesia wajib mengajukan izin kepada
Bank Indonesia.
(2) Pengajuan izin sebagai Penyelenggara Switching,
Penyelenggara
Payment Gateway,
Penyelenggara Dompet Elektronik sebagaimana dimaksud
dan/atau
- 28 -
pada ayat (1) dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan
sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku.
Pasal 40
Ketentuan persentase kepemilikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) wajib dipenuhi oleh pihak yang
sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku:
a. telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai
Prinsipal, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir; atau
b. sedang dalam proses perizinan dan kemudian
memperoleh izin dari Bank Indonesia,
apabila setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini,
akan melakukan perubahan kepemilikan.
Pasal 41
Persyaratan dan tata cara permohonan bagi pihak yang
mengajukan izin sebagai Prinsipal, Penyelenggara Kliring,
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir sebelum
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, tunduk pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran
dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai uang elektronik.
Pasal 42
(1) Bank yang telah menyelenggarakan Proprietary Channel
pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku
wajib melaporkan penyelenggaraan kegiatan dimaksud
kepada Bank Indonesia untuk ditatausahakan dengan
disertai dokumen pendukung paling lambat 6 (enam)
bulan sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku.
(2) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah
menyelenggarakan pengembangan kegiatan Payment
Gateway dan/atau Dompet Elektronik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a pada saat
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku wajib
melaporkan penyelenggaraan kegiatan dimaksud kepada
- 29 -
Bank Indonesia untuk ditatausahakan dengan disertai
dokumen pendukung paling lambat 6 (enam) bulan sejak
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 November 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 November 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 236
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/40/PBI/2016
TENTANG
PENYELENGGARAAN PEMROSESAN TRANSAKSI PEMBAYARAN
I. UMUM
Perkembangan pemanfaatan teknologi internet dan komunikasi
seperti smartphone mendorong berkembangnya bisnis perdagangan
secara elektronik (e-commerce) dan financial technology (fintech) sehingga
memunculkan berbagai inovasi dan keterlibatan pihak baru dalam
penyelenggaraan
pemrosesan
transaksi pembayaran, seperti
Penyelenggara Payment Gateway dan Penyelenggara Dompet Elektronik,
serta Penyelenggara Penunjang seperti perusahaan penyedia teknologi
pendukung transaksi nirkontak (contactless).
Keberadaan pihak baru dalam penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran berdampak pula pada perkembangan infrastruktur
maupun mekanisme pembayaran yang belum diatur secara spesifik
dalam ketentuan Bank Indonesia saat ini. Untuk memastikan bahwa
perkembangan tersebut tetap memenuhi prinsip penyelenggaraan sistem
pembayaran yang aman, efisien, lancar, dan andal dengan
memperhatikan aspek perlindungan konsumen, Bank Indonesia
memberlakukan kewajiban izin atau persetujuan atas penyelenggaraan
jasa sistem pembayaran oleh pihak yang belum tercakup dalam
ketentuan Bank Indonesia saat ini. Dalam rangka menjaga kedaulatan
industri sistem pembayaran nasional dan penguatan aspek perlindungan
konsumen, khususnya terkait dengan pengamanan data dan dana
masyarakat Indonesia maka diperlukan pengaturan mengenai struktur
kepemilikan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yaitu Prinsipal,
- 2 -
Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara
Penyelesaian Akhir.
Selain itu, untuk mendukung keamanan dan kelancaran
penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, Bank Indonesia juga mengatur
kewajiban yang harus dipenuhi oleh Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran baru, baik berupa Penyelenggara Payment Gateway,
Penyelenggara Switching maupun Penyelenggara Dompet Elektronik.
Kewajiban yang harus dipenuhi tersebut antara lain kewajiban penerapan
manajemen risiko, perlindungan konsumen, pemenuhan standar
keamanan, pemrosesan transaksi pembayaran secara domestik,
kewajiban penggunaan Rupiah, dan pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan terkait lainnya seperti ketentuan yang mengatur
mengenai informasi dan transaksi elektronik dan penerapan anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Selain pemenuhan
kewajiban dimaksud, pemrosesan transaksi pembayaran perlu dilakukan
secara domestik untuk antara lain meningkatkan kemandirian
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran domestik dalam rangka
mendukung perluasan penggunaan instrumen nontunai.
Dalam rangka memastikan kesetaraan pengaturan, kewajiban
tersebut harus dipenuhi pula oleh Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran yang telah diatur dalam ketentuan saat ini seperti Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara Penyelesaian
Akhir serta Penyelenggara Transfer Dana. Untuk memastikan pemenuhan
ketentuan penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran ini, Bank
Indonesia melakukan pengawasan dan mewajibkan penyampaian laporan
oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran.
Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan pengaturan
terhadap penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran dalam
suatu Peraturan Bank Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 2
Ayat (1)
Dalam pemrosesan transaksi pembayaran, Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran dapat bekerjasama dengan Penyelenggara
Penunjang guna menunjang terlaksananya pemrosesan
transaksi pembayaran.
Ayat (2)
Huruf a
Pratransaksi merupakan kegiatan awal yang dilakukan
untuk memulai pemrosesan transaksi pembayaran antara
lain menyeleksi konsumen, pencetakan kartu, personalisasi
kartu, dan penyediaan infrastruktur seperti terminal atau
reader.
Huruf b
Otorisasi merupakan persetujuan atas transaksi setelah
dilakukan kegiatan penerusan data serta informasi
transaksi pembayaran, verifikasi identitas para pihak yang
melakukan transaksi pembayaran, validasi atas instrumen
dan transaksi pembayaran yang dilakukan, serta
memastikan ketersediaan sumber dana.
Huruf c
Kliring merupakan kegiatan pertukaran dan/atau
pengolahan atas data dan/atau informasi dalam rangka
perhitungan hak dan kewajiban antar pihak yang terlibat
dalam pemrosesan transaksi pembayaran.
Huruf d
Penyelesaian akhir (setelmen) merupakan kegiatan
penyelesaian yang bersifat final dan mengikat atas hak dan
kewajiban keuangan masing-masing pihak yang terlibat
dalam pemrosesan transaksi pembayaran.
Huruf e
Pascatransaksi merupakan kegiatan setelah penyelesaian
akhir transaksi pembayaran selesai dilakukan seperti
pencetakan lembar tagihan atas transaksi yang telah
selesai dilakukan, penyampaian data dan informasi atas
transaksi pembayaran yang telah dilakukan pengguna, dan
proses penyelesaian sengketa atau pengaduan konsumen.
- 4 -
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam pemrosesan transaksi pembayaran, Penyelenggara
Switching melakukan penerusan data dan informasi
transaksi pembayaran antar-Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran seperti Penerbit dan Acquirer.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Penyediaan terminal antara lain Automated Teller Machine
(ATM), Electronic Data Capture (EDC), dan/atau reader.
Huruf e
Dalam pemrosesan transaksi pembayaran, Penyelenggara
Payment Gateway antara lain melakukan penerusan data
dan informasi transaksi pembayaran antara pedagang dan
Acquirer.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran lainnya” adalah pihak yang menyelenggarakan
jasa sistem pembayaran pada tahap kegiatan otorisasi,
kliring dan/atau penyelesaian akhir (setelmen) selain
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran berupa Prinsipal,
Penyelenggara Switching, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Payment Gateway, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara
Penyelesaian Akhir, Penyelenggara Transfer Dana, dan
Penyelenggara Dompet Elektronik.
- 5 -
Ayat (2)
Dalam pemrosesan transaksi pembayaran melalui berbagai
delivery channel antara lain Electronic Data Capture (EDC),
reader, online point of sales, dan Proprietary Channel,
Penyelenggara Payment Gateway melakukan:
a. penerusan data transaksi pembayaran dari pedagang ke
Acquirer atau Penerbit (facilitator); atau
b. penerusan data transaksi pembayaran dari pedagang ke
Acquirer atau Penerbit dan penyelesaian pembayaran dari
Acquirer atau Penerbit ke pedagang (merchant aggregator).
Pelaksanaan penyelenggaraan Payment Gateway dilakukan
melalui kerja sama dengan:
a. pedagang dan Acquirer;
b. Acquirer;
c. pedagang dan Penerbit; atau
d. Penerbit.
Yang dimaksud dengan “penyelenggara merchant acquiring
services” adalah para pihak yang memproses transaksi
pembayaran yang dilakukan melalui pedagang dalam skema four
party business model dalam transaksi pembayaran yang
melibatkan Penerbit, pemegang/pengguna
pembayaran, pedagang, dan Acquirer.
instrumen
Ayat (3)
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dapat menggunakan
jasa Penyelenggara Penunjang pada setiap kegiatan pemrosesan
transaksi pembayaran.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
- 6 -
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Data pendukung pemrosesan transaksi pembayaran antara
lain data nilai tagihan untuk pembayaran layanan umum
seperti air dan listrik.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dokumen terkait struktur dan porsi kepemilikan saham atas
perseroan terbatas disampaikan kepada Bank Indonesia disertai
dengan surat pernyataan yang berisi penegasan mengenai
kebenaran data dan informasi yang disampaikan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kepemilikan asing” adalah kepemilikan
oleh warga negara asing atau badan hukum asing.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “melakukan kegiatan usaha di bidang
sistem pembayaran” antara lain dalam hal terdapat pihak yang
belum memperoleh izin namun telah memiliki kesiapan untuk
menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran.
Pasal 7
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “pengguna aktif” adalah pengguna Dompet
Elektronik yang melakukan transaksi pembayaran menggunakan
Dompet Elektronik secara reguler dan/atau melakukan transaksi
pembayaran menggunakan Dompet Elektronik paling sedikit 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) bulan.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Aspek legalitas dan profil perusahaan antara lain dokumen
profil perusahaan, anggaran dasar perusahaan berikut
seluruh perubahannya, izin kegiatan usaha yang telah
dimiliki, tanda daftar perusahaan, dan persetujuan dari
otoritas terkait (apabila ada).
Huruf b
Aspek hukum antara lain bukti kesiapan perangkat hukum
berupa konsep perjanjian tertulis atau pokok perjanjian
tertulis antara Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
dengan pihak lain.
Huruf c
Aspek kesiapan operasional antara lain bukti kesiapan
operasional yang berupa rencana struktur organisasi dan
kesiapan sumber daya manusia, rencana peralatan dan
sarana usaha serta lokasi/ruangan yang akan digunakan
untuk kegiatan operasional, peralatan teknis terkait sistem
(hardware dan software) serta jaringan yang akan
digunakan dan hasil uji coba (user acceptance test) atas
jasa sistem pembayaran yang akan diselenggarakan
(apabila ada).
Huruf d
Aspek keamanan dan keandalan sistem antara lain bukti
kesiapan keamanan penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran antara lain laporan hasil audit sistem
informasi dari auditor independen, prosedur pengendalian
pengamanan (security control), dan hasil asesmen atas jasa
sistem pembayaran yang akan diselenggarakan.
- 8 -
Huruf e
Aspek kelayakan bisnis antara lain hasil analisis bisnis
yang paling kurang memuat informasi mengenai uraian
potensi pasar, rencana kerja sama, rencana wilayah
penyelenggaraan, struktur biaya yang diterapkan dalam
penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, dan target
pendapatan yang akan dicapai.
Huruf f
Aspek kecukupan manajemen risiko antara lain bukti
kesiapan penerapan manajemen risiko yang paling kurang
mencakup risiko operasional, risiko hukum, risiko
setelmen, risiko likuiditas, dan risiko reputasi yang
dibuktikan dengan adanya ketersediaan kebijakan dan
prosedur penyelenggaraan pemrosesan transaksi,
pemeliharaan sistem dan audit berkala, disaster recovery
plan, dan business continuity plan.
Huruf g
Aspek perlindungan konsumen antara lain mengenai
transparansi jasa sistem pembayaran yang disediakan dan
penanganan pengaduan konsumen. Pemenuhan aspek
perlindungan konsumen tersebut dimaksudkan untuk
diterapkan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
yang memberikan jasa kepada pengguna akhir. Dalam hal
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran tidak memberikan
jasa secara langsung kepada pengguna akhir,
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran tersebut tetap
perlu untuk memberikan dukungan dalam rangka
penerapan perlindungan konsumen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
- 9 -
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk dalam pengembangan produk dan aktivitas jasa
sistem pembayaran seperti:
a. perubahan mekanisme autentikasi instrumen pembayaran
dan otorisasi transaksi pembayaran;
b. penambahan fitur auto top-up saldo;
c. pengembangan infrastruktur dan standar keamanan;
d. pengembangan produk yang memiliki fungsi lebih dari satu
instrumen pembayaran; dan/atau
e. pengembangan produk dan aktivitas yang berkaitan dengan
inovasi layanan dan teknologi sistem pembayaran yang
meningkatkan eksposur risiko secara signifikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Kesiapan operasional antara lain dibuktikan dengan:
1. rekomendasi atau persetujuan dari otoritas terkait atas
rencana pengembangan kegiatan jasa sistem
pembayaran yang akan dilakukan; dan
2. informasi umum mengenai pengembangan kegiatan
jasa sistem pembayaran antara lain berisi penjelasan
mengenai pengembangan kegiatan yang akan
diselenggarakan, potensi pasar, rencana kerja sama,
- 10 -
rencana wilayah penyelenggaraan, struktur biaya
layanan, dan target pendapatan yang akan dicapai.
Rekomendasi atau persetujuan dari otoritas terkait
diberlakukan dalam hal terdapat otoritas terkait yang
berwenang untuk mengawasi dan memberikan rekomendasi
atau persetujuan.
Huruf b
Keamanan dan keandalan sistem antara lain dibuktikan
dengan laporan hasil audit sistem informasi dari auditor
independen internal atau eksternal, prosedur pengendalian
pengamanan (security control), dan hasil asesmen atas
kegiatan
jasa sistem pembayaran
dikembangkan.
Huruf c
Penerapan manajemen risiko antara lain dibuktikan dengan
hasil asesmen terhadap manajemen risiko yang telah
diselenggarakan serta rencana penyesuaian kebijakan dan
prosedur manajemen risiko atas kegiatan yang akan
diselenggarakan.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kinerja Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran antara lain:
a. kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
dan/atau kebijakan Bank Indonesia di bidang sistem
pembayaran atau yang berkaitan dengan bidang sistem
pembayaran. Khusus untuk Bank antara lain berkaitan
dengan kepesertaan dalam Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement, Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia,
dan/atau Bank Indonesia Scriptless Security Settlement
System;
b. penerapan manajemen risiko antara lain risiko operasional
dan risiko setelmen;
c. penerapan perlindungan konsumen antara lain penanganan
dan penyelesaian pengaduan nasabah;
yang akan
- 11 -
d. kinerja finansial; dan/atau
e. tata kelola yang baik dalam penyelenggaraan jasa sistem
pembayaran.
Pasal 13
Huruf a
Aspek legalitas dan profil perusahaan antara lain dibuktikan
dengan dokumen profil perusahaan, anggaran dasar perusahaan
berikut seluruh perubahannya, izin kegiatan usaha yang telah
dimiliki, tanda daftar perusahaan, dan izin atau persetujuan
dari otoritas terkait apabila ada.
Huruf b
Aspek kompetensi pihak yang akan diajak bekerjasama antara
lain dibuktikan dengan kecukupan sumber daya manusia,
rekam jejak pengurus dan pengalaman dalam
menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran, dan/atau
kegiatan jasa penunjang.
Huruf c
Aspek kinerja meliputi kinerja finansial dan kinerja operasional
yang antara lain dibuktikan dengan laporan keuangan pihak
yang akan diajak bekerjasama, rekam jejak Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran dan/atau Penyelenggara Penunjang,
dan/atau hasil uji coba sistem.
Huruf d
Aspek keamanan dan keandalan sistem dan infrastruktur antara
lain dibuktikan dengan pemenuhan standar terkait keamanan
sistem dan infrastruktur yang digunakan sesuai dengan standar
nasional, internasional, atau yang berlaku umum di industri
serta keamanan dan kerahasiaan data.
Huruf e
Aspek hukum dibuktikan antara lain dengan kejelasan ruang
lingkup kerja sama dan hak serta kewajiban masing-masing
pihak, rencana pelaksanaan, dan jangka waktu kerja sama.
- 12 -
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab” adalah
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran selalu memastikan
bahwa Penyelenggara Penunjang melaksanakan kewajibannya
dengan baik.
Ayat (2)
Evaluasi dilakukan untuk memastikan penyediaan jasa
penunjang tetap mendukung terlaksananya transaksi
pembayaran secara aman, efisien, lancar, dan andal dengan
memperhatikan aspek perlindungan konsumen.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Penelitian administratif dilakukan antara lain untuk
memastikan kelengkapan, kebenaran, dan kesesuaian
dokumen yang diajukan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pemeriksaan dilaksanakan dengan cara melakukan
kunjungan ke lokasi usaha (on site visit) Bank atau
Lembaga Selain Bank yang bersangkutan untuk melakukan
verifikasi atas kebenaran dan kesesuaian dokumen yang
diajukan, serta untuk memastikan kesiapan operasional.
Ayat (3)
Huruf a
Penelitian administratif dilakukan antara lain untuk
memastikan kelengkapan, kebenaran, dan kesesuaian
dokumen yang diajukan.
Huruf b
Cukup jelas.
- 13 -
Huruf c
Pemeriksaan dilaksanakan dengan cara melakukan
kunjungan ke lokasi usaha (on site visit) Bank atau
Lembaga Selain Bank yang bersangkutan untuk melakukan
verifikasi atas kebenaran dan kesesuaian dokumen yang
diajukan, serta untuk memastikan kesiapan operasional.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “kebijakan nasional” adalah program
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, pemerintah pusat,
dan/atau pemerintah daerah dengan tetap memperhatikan
kesesuaiannya dengan arah kebijakan Bank Indonesia, misalnya
penyaluran bantuan sosial dan subsidi pemerintah, layanan
nontunai (elektronifikasi), dan keuangan inklusif.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan “pihak asing” adalah warga negara asing,
badan usaha asing, dan/atau badan asing lainnya yang tidak
berbadan hukum Indonesia.
Pasal 17
Ayat (1)
Termasuk kebijakan perizinan penyelenggaraan jasa sistem
pembayaran antara lain:
1. menutup dan membuka kembali pemberian izin sebagai
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran; dan/atau
2. memberikan izin penyelenggaraan kegiatan jasa sistem
pembayaran secara terbatas dalam rangka:
a. pemenuhan persyaratan sebagai Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran; atau
b. penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang belum
diatur oleh Bank Indonesia,
dengan memenuhi kriteria yang ditetapkan Bank Indonesia.
- 14 -
Pemberian izin penyelenggaraan kegiatan jasa sistem
pembayaran secara terbatas dilakukan antara lain dengan
membatasi cakupan, jangka waktu, dan/atau wilayah
penyelenggaraan kegiatan jasa sistem pembayaran.
Ayat (2)
Huruf a
Pertimbangan menjaga efisiensi nasional dimaksudkan agar
tercipta efisiensi di tingkat industri jasa sistem pembayaran
yang pada gilirannya akan menurunkan biaya penggunaan
jasa sistem pembayaran oleh masyarakat.
Huruf b
Pertimbangan mendukung kebijakan nasional
dimaksudkan agar pertumbuhan industri jasa sistem
pembayaran tidak menjadi penghambat bagi kebijakan
nasional yang ditetapkan oleh pemerintah, Bank Indonesia,
dan/atau otoritas terkait.
Huruf c
Pertimbangan menjaga kepentingan publik dimaksudkan
agar industri jasa sistem pembayaran senantiasa
memenuhi kebutuhan masyarakat secara luas dengan
akses dan kualitas yang sama, serta biaya yang terjangkau.
Huruf d
Pertimbangan menjaga pertumbuhan industri dimaksudkan
agar industri dapat tumbuh secara optimal melalui
peningkatan nilai dan volume transaksi pembayaran non
tunai yang ada di masyarakat.
Huruf e
Pertimbangan menjaga persaingan usaha yang sehat
dimaksudkan agar penyelenggaraan jasa sistem
pembayaran dapat dilakukan secara jujur, tidak melawan
hukum, atau tidak menghambat persaingan usaha.
Pasal 18
Cukup jelas.
- 15 -
Pasal 19
Ayat (1)
Penerapan manajemen risiko dilakukan dengan memperhatikan
karakteristik dan kompleksitas profil risiko penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.
Huruf a
Pengawasan aktif manajemen antara lain berupa penetapan
akuntabilitas, kebijakan, dan proses pengendalian untuk
mengelola
penyelenggaraan jasa sistem pembayaran.
Huruf b
Kecukupan kebijakan dan prosedur serta struktur
organisasi antara lain tersedianya struktur organisasi yang
jelas dan pemisahan tugas atau kewenangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pengendalian intern atas penyelenggaraan kegiatan jasa
sistem pembayaran antara lain mencakup prosedur dan
langkah pengamanan yang dilakukan dalam penyediaan
layanan bagi pengguna, audit trail atas transaksi
pembayaran yang diproses, dan prosedur yang memadai
untuk menjamin integritas data dan informasi, serta
langkah untuk melindungi kerahasiaan data dan informasi
pengguna.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sistem informasi” adalah penerapan
teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi dan
media elektronik yang berfungsi merancang, memproses,
menganalisis, menampilkan, dan mengirimkan atau
menyebarkan informasi elektronik.
risiko yang mungkin timbul dari
- 16 -
Ayat (2)
Huruf a
Pemenuhan sertifikasi dan/atau standar keamanan dan
keandalan sistem memenuhi prinsip:
1. kerahasiaan data (confidentiality);
2. integritas sistem dan data (integrity);
3. otentikasi sistem dan data (authentication);
4. pencegahan terjadinya penyangkalan transaksi yang
telah dilakukan (non-repudiation); dan
5. ketersediaan sistem (availability).
Huruf b
Pemeliharaan dan peningkatan keamanan teknologi antara
lain dilakukan dengan melakukan peningkatan atau
penggantian infrastruktur atau sistem teknologi yang
digunakan dalam hal terjadi penurunan kualitas seperti
sistem dan/atau teknologinya terbukti telah dapat
ditembus oleh fraudster.
Huruf c
Pelaksanaan audit dilakukan terhadap sistem informasi
oleh auditor independen sesuai dengan jasa yang
diselenggarakan.
Cakupan audit sistem informasi paling sedikit:
1. keamanan operasional;
2. keamanan jaringan, aplikasi, dan sistem;
3. keamanan dan integritas data atau informasi;
4. keamanan fisik dan lingkungan, termasuk kontrol
terhadap akses sistem dan data;
5. manajemen perubahan sistem;
6. manajemen implementasi sistem; dan
7. prosedur tertulis terkait keamanan teknologi.
Ayat (3)
Huruf a
Pengamanan data dan informasi antara lain dilakukan
melalui enkripsi terhadap data dan informasi pengguna.
Pengamanan data dan informasi juga mencakup data dan
informasi yang diproses atau disimpan oleh pihak ketiga
yang bekerjasama dengan Penyelenggara Switching.
- 17 -
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Pengamanan data dan informasi antara lain dilakukan
melalui enkripsi terhadap data dan informasi pengguna.
Pengamanan data dan informasi juga mencakup data dan
informasi yang diproses atau disimpan oleh pihak ketiga
yang bekerjasama dengan Penyelenggara Payment Gateway.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penerapan fraud detection system dilakukan untuk
mendeteksi adanya penyalahgunaan data dan informasi
pengguna.
Ayat (5)
Huruf a
Pengamanan data dan informasi antara lain dilakukan
melalui enkripsi terhadap data dan informasi pengguna.
Pengamanan data dan informasi juga mencakup data dan
informasi yang diproses atau disimpan oleh pihak ketiga
yang bekerjasama dengan Penyelenggara Dompet
Elektronik.
Huruf b
Sistem dan prosedur aktivasi dan penggunaan Dompet
Elektronik antara lain mencakup tata cara aktivasi,
penggunaan atau penggantian password atau Personal
Identification Number (PIN).
Huruf c
Penerapan fraud detection system dilakukan untuk
mendeteksi adanya penyalahgunaan data dan informasi
pengguna.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 18 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “sumber dana asal yang digunakan
untuk melakukan transaksi pembayaran” adalah dana yang
berasal dari instrumen pembayaran dan/atau dana yang
ditampung dalam Dompet Elektronik.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal dana yang ditampung dalam Dompet Elektronik
melebihi batas paling banyak yang ditetapkan Bank Indonesia
karena adanya pengembalian dana (refund), penggunaan dana
dimaksud untuk transaksi pembayaran dilakukan dengan tetap
mengacu pada batas paling banyak dana Dompet Elektronik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Huruf a
Yang dimaksud dengan “informasi” antara lain biaya, manfaat,
risiko, mekanisme pembukaan dan penutupan Dompet
Elektronik, instrumen yang dapat digunakan untuk melakukan
pembayaran melalui Dompet Elektronik, mekanisme top up,
- 19 -
jenis alat pembayaran yang dapat digunakan untuk melakukan
top up, serta mekanisme untuk mengubah, menambah, dan
menghapus data pemegang dan data instrumen pembayaran.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “mekanisme penanganan pengaduan
konsumen" antara lain mekanisme penerimaan pengaduan,
penanganan dan penyelesaian pengaduan, serta pemantauan
terhadap penanganan dan penyelesaian pengaduan konsumen.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Gangguan dalam pemrosesan transaksi pembayaran adalah
gangguan
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Laporan perubahan data dan informasi antara lain berisi
perubahan nama Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran,
alamat kantor, perubahan dokumen pokok-pokok
hubungan bisnis, perubahan pengaturan hak dan
kewajiban para pihak, perubahan perjanjian kerja sama,
dan perubahan para pihak yang bekerjasama, serta
perubahan prosedur dan mekanisme penyelesaian
sengketa.
yang berdampak signifikan terhadap
kelangsungan pemrosesan transaksi pembayaran.
- 20 -
Huruf e
Termasuk dalam laporan lainnya adalah laporan dalam
rangka pengembangan produk dan aktivitas selain
pengembangan fitur, jenis, layanan, atau fasilitas produk
dan/atau aktivitas jasa sistem pembayaran yang telah
berjalan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Laporan penyelenggaraan Dompet Elektronik antara lain berisi
informasi mengenai profil perusahaan, gambaran/informasi
umum mengenai Dompet Elektronik yang diselenggarakan,
jumlah pemegang, dan target pendapatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengambilalihan” adalah perbuatan
hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang
perseorangan untuk mengambilalih saham Bank atau Lembaga
Selain Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas
Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 21 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Huruf a
Yang dimaksud dengan “virtual currency” adalah uang digital
yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter yang
diperoleh dengan cara mining, pembelian, atau transfer
pemberian (reward) antara lain Bitcoin, BlackCoin, Dash,
Dogecoin, Litecoin, Namecoin, Nxt, Peercoin, Primecoin, Ripple,
dan Ven.
Tidak termasuk dalam pengertian virtual currency adalah uang
elektronik.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “menyalahgunakan data dan informasi”
adalah pengambilan atau penggunaan data selain untuk tujuan
pemrosesan transaksi pembayaran misalnya pengambilan
nomor kartu, card verification value, expiry date, dan/atau
service code pada Kartu Debet/Kredit melalui cash register di
pedagang (double swipe).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “nilai yang dapat dipersamakan dengan
nilai uang” antara lain nilai pulsa, bonus, voucher, atau point
reward yang dikelola oleh pihak tertentu.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
- 22 -
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain
dokumen yang memuat informasi umum mengenai Proprietary
Channel yang diselenggarakan, keamanan dan keandalan
sistem, dan informasi lainnya yang dibutuhkan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
yang telah menyelenggarakan pengembangan kegiatan Payment
Gateway dan/atau Dompet Elektronik” adalah Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran yang sudah pernah menyampaikan
permohonan kepada Bank Indonesia untuk menyelenggarakan
pengembangan kegiatan dimaksud dan telah memperoleh suatu
persetujuan atau penegasan dari Bank Indonesia.
Pasal 43
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5945
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/40/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN PEMROSESAN TRANSAKSI PEMBAYARAN </reg_title>
<set_date> 8 November 2016 </set_date>
<effective_date> 9 November 2016 </effective_date>
<issued_date> 09 November 2016 </issued_date>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '11/UU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/18/PBI/2008
TENTANG
RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH
DAN UNIT USAHA SYARIAH.
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa untuk menghindari risiko kerugian, Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah berkewajiban menjaga kualitas pembiayaannya;
b. bahwa salah satu upaya untuk menjaga kelangsungan usaha
nasabah pembiayaan, Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dapat
melakukan restrukturisasi pembiayaan atas nasabah yang memiliki
prospek usaha dan/atau kemampuan membayar;
c. bahwa restrukturisasi pembiayaan harus memperhatikan prinsip
syariah dan prinsip kehati-hatian;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu diatur kembali ketentuan
mengenai Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran ...
-2-
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG RESTRUKTURISASI
PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA
SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Syariah dan Unit Usaha syariah.
2. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank
Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
3. Bank Umum Syariah, yang selanjutnya disebut BUS adalah Bank
Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
4. Bank ...
-3-
4. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS
adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
5. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja
dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai
kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari
suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor
induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.
6. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli
dalam bentuk ijarah muntahiyah bit tamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan
istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah
dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai
dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan
atau bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
7. Restrukturisasi ...
-4-
7. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank
dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan
kewajibannya, antara lain melalui:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal
pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya;
b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian
atau seluruh persyaratan Pembiayaan, antara lain perubahan
jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu dan/atau
pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban
nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank;
c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan
Pembiayaan tidak terbatas pada rescheduling atau reconditioning,
antara lain meliputi:
1) penambahan dana fasilitas Pembiayaan Bank;
2) konversi akad Pembiayaan;
3) konversi Pembiayaan menjadi surat berharga syariah
berjangka waktu menengah;
4) konversi Pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara
pada perusahaan nasabah.
8. Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah adalah surat
bukti investasi berdasarkan prinsip syariah yang lazim
diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal berjangka waktu
3 (tiga) sampai dengan 5 (lima) tahun dengan menggunakan akad
mudharabah atau musyarakah .
9. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal BUS atau
UUS, antara lain berupa pembelian saham dan/atau konversi
Pembiayaan menjadi saham dalam perusahaan nasabah untuk
mengatasi ...
-5-
mengatasi kegagalan penyaluran dana dan/atau piutang dalam jangka
waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku.
Pasal 2
(1) Bank dapat melaksanakan Restrukturisasi Pembiayaan dengan
menerapkan prinsip kehati-hatian.
(2) Bank wajib menjaga dan mengambil langkah-langkah agar kualitas
Pembiayaan setelah direstrukturisasi dalam keadaan Lancar.
BAB II
RESTRUKTURISASI
Pasal 3
Bank dilarang melakukan Restrukturisasi Pembiayaan dengan tujuan
untuk menghindari:
a. penurunan penggolongan kualitas Pembiayaan;
b. pembentukan penyisihan penghapusan aktiva (PPA) yang lebih besar;
atau
c. penghentian pengakuan pendapatan margin atau ujrah secara akrual.
Pasal 4
Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan atas dasar
permohonan secara tertulis dari nasabah.
Pasal 5 ...
-6-
Pasal 5
(1) Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk nasabah
yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan
b. nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu
memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi.
(2) Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk
Pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.
(3) Restrukturisasi Pembiayaan wajib didukung dengan analisis dan
bukti-bukti yang memadai serta terdokumentasi dengan baik.
Pasal 6
(1) Restrukturisasi Pembiayaan dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga)
kali dalam jangka waktu akad Pembiayaan awal.
(2) Restrukturisasi Pembiayaan kedua dan ketiga dapat dilakukan paling
cepat 6 (enam) bulan setelah Restrukturisasi Pembiayaan
sebelumnya.
Pasal 7
Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang memiliki beberapa
fasilitas Pembiayaan dari Bank, dapat dilakukan terhadap masing-masing
Pembiayaan.
BAB III ...
-7-
BAB III
PERLAKUAN AKUNTANSI
Pasal 8
Dalam pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan, Bank wajib
menerapkan perlakuan akuntansi sesuai dengan Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah
Indonesia yang berlaku.
BAB IV
PRINSIP SYARIAH
Pasal 9
Restrukturisasi Pembiayaan dilaksanakan dengan memperhatikan fatwa
Majelis Ulama Indonesia yang berlaku.
BAB V
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
Pasal 10
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan Standard Operating Procedure
tertulis mengenai Restrukturisasi Pembiayaan.
(2) Kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disetujui oleh Komisaris.
(3) Standard Operating Procedure Restrukturisasi Pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dikinikan dan disetujui
oleh Direksi dan Dewan Pengawas Syariah.
(4) Pelaksanaan ...
-8-
(4) Pelaksanaan kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan wajib diawasi
secara aktif oleh Komisaris.
(5) Kebijakan dan Standard Operating Procedure Restrukturisasi
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VI
PENETAPAN KUALITAS PEMBIAYAAN
Pasal 11
(1) Kualitas Pembiayaan setelah dilakukan restrukturisasi ditetapkan
sebagai berikut:
a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Pembiayaan yang sebelum
dilakukan restrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet;
b. kualitas Pembiayaan tidak berubah untuk Pembiayaan yang
sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Kurang Lancar.
(2) Kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
a. menjadi Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan selama 3 (tiga)
kali periode pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi
hasil/fee/ujrah secara berturut-turut sesuai dengan perjanjian
Restrukturisasi Pembiayaan; atau
b. menjadi sama dengan kualitas Pembiayaan sebelum dilakukan
Restrukturisasi Pembiayaan atau menjadi lebih buruk, jika
nasabah tidak memenuhi kriteria dan/atau syarat-syarat dalam
perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan dan/atau pelaksanaan
Restrukturisasi Pembiayaan tidak didukung dengan analisis dan
dokumentasi yang memadai;
(3) Dalam ...
-9-
(3) Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi
hasil/fee/ujrah kurang dari 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas
menjadi Lancar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat
dilakukan paling cepat dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak dilakukan
Restrukturisasi Pembiayaan;
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
berlaku juga untuk Restrukturisasi Pembiayaan yang kedua dan
ketiga.
Pasal 12
Pembiayaan yang direstrukturisasi lebih dari 3 (tiga) kali, digolongkan
Macet sampai dengan Pembiayaan lunas.
Pasal 13
Pembiayaan yang direstrukturisasi dengan pemberian tenggang waktu
pembayaran (grace period) ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut:
a. selama grace period, kualitas mengikuti kualitas Pembiayaan
sebelum dilakukan restrukturisasi; dan
b. setelah grace period berakhir, kualitas Pembiayaan mengikuti
penetapan kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
Pasal 14
(1) Untuk BUS dan UUS, kualitas Pembiayaan yang telah
direstrukturisasi wajib dinilai berdasarkan prospek usaha, kinerja
(performance) nasabah dan/atau kemampuan membayar, sesuai
dengan penggolongan nasabah, setelah 1 (satu) tahun sejak penetapan
kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
(2) Untuk ...
-10-
(2) Untuk BPRS, kualitas Pembiayaan yang telah direstrukturisasi wajib
dinilai berdasarkan ketepatan dan/atau kemampuan membayar
kewajiban nasabah.
BAB VII
TATACARA RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN
Pasal 15
(1) Pembiayaan dalam bentuk piutang murabahah atau piutang istishna’
dapat direstrukturisasi dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling);
b. persyaratan kembali (reconditioning); dan
c. penataan kembali (restructuring).
(2) Pembiayaan dalam bentuk piutang qardh dapat direstrukturisasi
dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling); dan
b. persyaratan kembali (reconditioning).
(3) Pembiayaan dalam bentuk mudharabah atau musyarakah dapat
direstrukturisasi dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling);
b. persyaratan kembali (reconditioning); dan
c. penataan kembali (restructuring).
(4) Pembiayaan dalam bentuk ijarah atau ijarah muntahiyyah bittamlik
dapat direstrukturisasi dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling);
b. persyaratan kembali (reconditioning); dan
c. penataan kembali (restructuring).
(5) Pembiayaan ...
-11-
(5) Pembiayaan multijasa dalam bentuk ijarah dapat direstrukturisasi
dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling); dan
b. persyaratan kembali (reconditioning).
(6) Pembiayaan dalam bentuk piutang salam dapat direstrukturisasi
dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling);
b. persyaratan kembali (reconditioning); dan
c. penataan kembali (restructuring).
(7) Tata cara Restrukturisasi Pembiayaan akan diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 16
Restrukturisasi Pembiayaan dengan cara penataan kembali
(restructuring) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dalam bentuk
konversi Pembiayaan menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu
Menengah dan Penyertaan Modal Sementara tidak berlaku bagi BPRS.
Pasal 17
(1) Bank wajib melepaskan Penyertaan Modal Sementara apabila:
a. telah sampai jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; atau
b. perusahaan nasabah tempat Penyertaan Modal Sementara telah
memperoleh laba kumulatif.
(2) Bank wajib menghapus buku Penyertaan Modal Sementara apabila
telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun.
BAB VIII ...
-12-
BAB VIII
LAPORAN RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN
Pasal 18
Bank wajib melaporkan Restrukturisasi Pembiayaan kepada Bank
Indonesia.
Pasal 19
Pelaporan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 bagi BUS dan UUS mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai Laporan Berkala Bank Umum.
Pasal 20
(1) Laporan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18, untuk BPRS wajib disampaikan setiap bulan paling lambat
tanggal 14 pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan.
(2) BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila BPRS
menyampaikan laporan melampaui batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan tanggal 21 pada bulan
berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan.
(3) BPRS dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila BPRS belum
menyampaikan laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) jatuh pada hari Sabtu, Minggu
atau hari libur maka laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya.
(5) Pelaporan ...
-13-
(5) Pelaporan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IX
SANKSI
Pasal 21
Bank yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 4, Pasal 5 ayat (3), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1) sampai
dengan ayat (4), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18 dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) Undang–
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Pasal 22
(1) BPRS yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (2) dikenakan sanksi berupa denda uang sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling
banyak seluruhnya sebesar Rp700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah).
(2) BPRS yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (3) dikenakan sanksi berupa denda uang sebesar
paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 23
Pengenaan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan Pasal 12,
tidak mengurangi pengenaan sanksi dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai Laporan Bulanan Bank Umum Syariah dan Laporan Bulanan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Pasal 24 ...
-14-
Pasal 24
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) tidak
mengurangi kewajiban Bank untuk menyampaikan Laporan
Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25
Restrukturisasi Pembiayaan yang telah dilakukan Bank sebelum
berlakunya ketentuan ini tidak dihitung sebagai Restrukturisasi
Pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia
ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Dengan dikeluarkan Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR
tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit;
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/15/PBI/2000 tanggal 12 Juni
2000 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang
Restrukturisasi Kredit;
c. Pasal 47 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tanggal 5
Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang
Melaksanakan ...
-15-
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
d. Pasal 46 dan Pasal 46A Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/9/PBI/2007 tanggal 18 Juni 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah;
e. Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tanggal 5
Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank
Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 27
Ketentuan pelaksanaan tentang Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur lebih lanjut
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 28 ...
-16-
Pasal 28
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Tanggal 25 September 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Pada tanggal 25 September 2008
undangkan di Jakarta
Diundangkan di Jakarta
Pada tang al
MENTERI HUK M DAN HAK ASASI MANUSIA
ANDI MATTALATTA
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
. 08
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 138.........
DPbS
-17-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/18/PBI/2008
TENTANG
RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH
DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Dalam rangka memelihara kesinambungan usahanya, Bank harus mengelola
risiko kredit dari aktivitas Pembiayaan (credit risk), sehingga dapat meminimalkan
potensi kerugian yang akan terjadi. Penurunan kegiatan usaha dan/atau kemampuan
pembayaran nasabah dapat mempengaruhi kelancaran pemenuhan kewajiban
nasabah yang pada akhirnya akan meningkatkan risiko kredit bagi Bank.
Untuk menurunkan risiko kredit dalam aktivitas Pembiayaan, Bank dapat
melakukan langkah-langkah antisipatif untuk menjaga kelangsungan usaha nasabah
pembiayaan. Langkah-langkah tersebut antara lain dengan melakukan
Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang masih memiliki prospek usaha
dan/atau kemampuan membayar.
Kebutuhan dan penggunaan dana nasabah pada prinsipnya berbeda-beda
sehingga Bank menyediakan fasilitas Pembiayaan kepada nasabah dalam beragam
akad yang sesuai dengan prinsip syariah. Masing-masing akad Pembiayaan
memiliki karakteristik khusus yang harus dipertimbangkan Bank dalam
pengelolaan Pembiayaan.
Pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan pada Bank selain memperhatikan
prinsip syariah juga harus memenuhi prinsip kehati-hatian. Ketentuan
Restrukturisasi Pembiayaan yang berlaku saat ini belum sepenuhnya memenuhi
kebutuhan ...
-2-
kebutuhan Bank. Oleh karena itu, diperlukan suatu ketentuan khusus yang
mengatur tentang pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 9
Cukup Jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Restrukturisasi Pembiayaan untuk nasabah Pembiayaan non produktif
antara lain didasarkan pada ada tidaknya sumber pembayaran angsuran
yang jelas dari nasabah setelah dilakukan restrukturisasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “bukti-bukti yang memadai” antara lain adalah
adanya laporan keuangan nasabah yang menunjukkan perbaikan
kinerja ...
-3-
kinerja perusahaan, adanya kontrak kerja yang diperoleh nasabah atau
adanya sumber pembayaran lain yang jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Pembatasan frekuensi restrukturisasi dimaksudkan agar Bank tidak
melakukan restrukturisasi dalam rangka menghindari penurunan
penggolongan kualitas Pembiayaan.
Yang dimaksud dengan “jangka waktu akad Pembiayaan awal” adalah
jangka waktu yang disepakati oleh Bank dan nasabah dalam akad
Pembiayaan sebelum dilakukan restrukturisasi.
Contoh :
Bank dan nasabah pada tanggal 1 September 2008 melakukan akad
Pembiayaan dengan jangka waktu selama 3 (tiga) tahun. Pada tanggal
1 September 2009, Bank melakukan Restrukturisasi Pembiayaan
pertama dengan cara memperpanjang jangka waktu menjadi 5 (lima)
tahun. Restrukturisasi Pembiayaan kedua dan ketiga dapat dilakukan
paling lambat pada tanggal 1 September 2011.
Ayat (2)
Contoh :
Berdasarkan contoh pada ayat (1), Restukturisasi Pembiayaan kedua
paling cepat dilakukan pada tanggal 1 Maret 2010 dan apabila
dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan ketiga maka Restrukturisasi
Pembiayaan paling cepat dilakukan pada tanggal 1 September 2010.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8 ...
-4-
Pasal 8
Cukup Jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “fatwa Majelis Ulama Indonesia” adalah fatwa yang
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia.
Pasal 10
Ayat (1)
Kebijakan dan Standard Operating Procedure Restrukturisasi
Pembiayaan merupakan bagian dari kebijakan manajemen risiko Bank
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pokok-pokok yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara
lain satuan kerja atau petugas khusus Restrukturisasi Pembiayaan,
limit wewenang memutus Restrukturisasi Pembiayaan, dan sistem
informasi manajemen Restrukturisasi Pembiayaan.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12 ...
-5-
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan “grace period” adalah masa tenggang yang diberikan
Bank kepada nasabah untuk tidak melakukan pembayaran angsuran pokok
dan margin untuk akad Murabahah atau Istishna’ atau angsuran Ijarah untuk
akad Ijarah dan Ijarah Muntahiyyah Bittamlik.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penggolongan nasabah” adalah
pengelompokkan nasabah yang didasarkan pada:
a. besar kecilnya jumlah penyediaan dana yang diberikan oleh Bank
kepada nasabah,
b. Usaha Kecil dan Menengah dengan mempertimbangkan Sistem
Pengendalian Risiko, Kondisi Tingkat Kesehatan dan Rasio
Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum Bank.
Ayat (2)
Kualitas Pembiayaan bagi BPRS dinilai berdasarkan ketepatan
dan/atau kemampuan membayar kewajiban nasabah.
Pasal 15
Cukup Jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17 ...
-6-
Pasal 17
Pelepasan Penyertaan Modal Sementara pada prinsipnya harus segera
dilakukan walaupun belum mencapai 5 (lima) tahun.
Pasal 18
Cukup Jelas.
Pasal 19
Cukup Jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Hal-hal yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain
format laporan dan tata cara pelaporan.
Pasal 21
Cukup Jelas.
Pasal 22 ...
-7-
Pasal 22
Cukup Jelas.
Pasal 23
Cukup Jelas.
Pasal 24
Cukup Jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4898
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/18/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH. </reg_title>
<set_date> 25 September 2008 </set_date>
<effective_date> 25 September 2008 </effective_date>
<issued_date> 25 September 2008 </issued_date>
<replaced_reg> '31/150/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '2/15/PBI/2000', '8/21/PBI/2006 | Pasal 47', '9/9/PBI/2007 | Pasal 46 dan Pasal 46A', '8/24/PBI/2006 | Pasal 23' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/15/PBI/2001
TENTANG
PENETAPAN STATUS BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM
PENGAWASAN KHUSUS DAN PEMBEKUAN KEGIATAN USAHA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa sampai saat ini masih terdapat Bank Perkreditan
Rakyat dalam kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya sehingga dapat menurunkan kepercayaan
masyarakat terhadap Bank Perkreditan Rakyat secara
keseluruhan;
b. bahwa terhadap Bank Perkreditan Rakyat dimaksud di atas
dipandang perlu dilakukan langkah-langkah penyehatan
industri Bank Perkreditan Rakyat melalui pengawasan
khusus atau pembekuan kegiatan usaha tertentu;
c. bahwa berhubung dengan itu perlu diatur ketentuan
mengenai Penetapan Status Bank Perkreditan Rakyat Dalam
Pengawasan Khusus dan Pembekuan Kegiatan Usaha dalam
suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang…
2
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1999 tentang
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3831);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENETAPAN
STATUS BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM
PENGAWASAN KHUSUS DAN PEMBEKUAN KEGIATAN
USAHA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah BPR
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional
atau berdasarkan Prinsip Syariah;
2. BPR dalam pengawasan khusus adalah BPR yang memenuhi kriteria
tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini;
3. BPR Beku Kegiatan Usaha yang untuk selanjutnya disebut dengan BBKU
adalah BPR yang dibekukan kegiatan usaha tertentu oleh Bank Indonesia;
4. Program…
3
4. Program Penjaminan Pemerintah adalah jaminan yang diberikan oleh
Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran BPR sebagaimana dimaksud
dalam Keputusan Presiden Nomor 193 tahun 1998 tentang Jaminan
terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat dan peraturan
pelaksanaannya;
5. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya disebut
dengan Rasio KPMM adalah perbandingan antara modal bank terhadap
aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
Perkreditan Rakyat dan perubahannya;
6. Cash Ratio yang selanjutnya disebut dengan CR adalah perbandingan
antara alat likuid terhadap hutang lancar sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan
Bank Perkreditan Rakyat dan perubahannya.
Pasal 2
(1) Dalam hal Bank Indonesia menilai suatu BPR mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya maka BPR tersebut ditetapkan
dalam pengawasan khusus Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia menetapkan BPR dalam status pengawasan khusus
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila memenuhi kriteria:
a. Rasio KPMM kurang dari 4% (empat perseratus); dan atau
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga
perseratus).
(3) Dalam….
4
(3) Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1):
a.
Bank Indonesia dapat memerintahkan antara lain agar :
1. Pemegang saham menambah modal;
2. Pemegang saham mengganti dewan komisaris dan atau direksi
BPR;
3. BPR menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah yang tergolong macet dan memperhitungkan
kerugian BPR dengan modalnya;
4.
BPR melakukan merger atau konsolidasi dengan BPR lain;
5. BPR dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih
seluruh kewajiban;
6. BPR menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan
BPR kepada pihak lain; dan atau
7. BPR menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban
BPR kepada pihak lain; dan atau
b. Bank Indonesia dapat memerintahkan agar BPR menghentikan
kegiatan usaha tertentu dalam waktu yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 3
(1) Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Bank Indonesia dapat menempatkan petugas Bank Indonesia untuk
melakukan pemantauan secara langsung terhadap kegiatan operasional
BPR.
(2) Dengan…
5
(2) Dengan penempatan petugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), seluruh tanggungjawab atas kegiatan operasional dan kewajiban
BPR tetap berada pada pengurus dan atau pemegang saham BPR.
Pasal 4
(1) Jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal pemberitahuan
penetapan status BPR dalam pengawasan khusus dari Bank Indonesia.
(2) Dalam hal selama jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) pemegang saham dan atau BPR melakukan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a, maka jangka waktu
dimaksud tidak termasuk jangka waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi
persyaratan dalam proses hukum sesuai ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 5
Selama dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, BPR dapat
dikeluarkan dari pengawasan khusus apabila Rasio KPMM mencapai 4% (empat
perseratus) atau lebih dan rata-rata CR selama 6 (enam) bulan terakhir mencapai
3% (tiga perseratus) atau lebih.
Pasal 6…
6
Pasal 6
Bank Indonesia menetapkan BPR dengan status BBKU apabila memenuhi salah
satu kriteria sebagai berikut:
a. Selama dalam masa pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, BPR memiliki Rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0%
(nol perseratus) dan atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir
kurang dari 1% (satu perseratus); atau
b.
Setelah jangka waktu masa pengawasan khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 berakhir, BPR memiliki Rasio KPMM kurang dari 4%
(empat perseratus) dan atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir
kurang dari 3% (tiga perseratus); atau
c. BPR melakukan pelanggaran peraturan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku yang diancam dengan sanksi pembekuan kegiatan usaha.
Pasal 7
(1) Bank Indonesia menetapkan status BBKU dengan Surat Keputusan Deputi
Gubernur Bank Indonesia dan memberitahukan kepada BPR yang
bersangkutan.
(2) Bank Indonesia mengumumkan Surat Keputusan Deputi Gubernur Bank
Indonesia kepada masyarakat.
Pasal 8
(1) Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha BPR paling lama dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal BBKU.
2. Undang-undang…
(2)
Bank
7
(2) Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha BPR yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, dan bukan merupakan peserta
Program Penjaminan Pemerintah.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdapat
calon investor yang akan mengambil alih seluruh hak dan kewajiban
BBKU, maka pengambilalihan tersebut harus dilakukan dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Jangka waktu pengambilalihan oleh calon investor sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) tidak termasuk jangka waktu yang dibutuhkan untuk
memenuhi persyaratan dalam proses hukum sesuai ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 9
(1) Pada saat ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini, terhadap :
a. BPR yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha dan pengurus serta
pemiliknya sudah tidak diketahui keberadaannya, atau
b. BPR yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha tetapi masih ada
pengurus dan pemiliknya serta merupakan peserta Program Penjaminan
Pemerintah, atau
c. BPR yang memiliki Rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0%
(nol perseratus), dan atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir
kurang dari 1 % (satu perseratus), serta merupakan peserta Program
Penjaminan Pemerintah,
ditetapkan status BBKU.
(2) Penetapan…
8
(2) Penetapan status BBKU terhadap BPR sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila BPR sedang dalam proses
merger, konsolidasi, akuisisi yang diikuti dengan penambahan modal
disetor, penambahan modal disetor oleh pemilik atau masuknya investor
baru.
(3) BPR yang sedang dalam proses sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diberikan waktu penyelesaian selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak
ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini.
(4) Dalam hal BPR tidak dapat menyelesaikan proses sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),
maka Bank Indonesia menetapkan BPR tersebut dalam status BBKU
(5) BPR yang memenuhi kriteria ayat (1) huruf b dan huruf c tetapi tidak
merupakan peserta Program Penjaminan Pemerintah, maka Bank Indonesia
dapat mencabut izin usaha BPR yang bersangkutan.
Pasal 10
Perubahan terhadap prosentase Rasio KPMM dan CR yang digunakan dalam
kriteria BPR dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) serta kriteria BBKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 akan
ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 11…
9
Pasal 11
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 September 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 122
DPBPR
10
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/15/PBI/2001
TENTANG
PENETAPAN STATUS BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM
PENGAWASAN KHUSUS DAN PEMBEKUAN KEGIATAN USAHA
UMUM
Dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Bank
Perkreditan Rakyat dipandang perlu dilakukan langkah-langkah penyehatan
industri Bank Perkreditan Rakyat melalui pengawasan khusus atau pembekuan
kegiatan usaha.
Pengawasan khusus dan pembekuan kegiatan usaha dimaksud perlu
dilakukan dalam rangka penyehatan agar tercipta sistem dan industri Bank
Perkreditan Rakyat yang sehat. Untuk itu, bagi Bank Perkreditan Rakyat yang
masih mempunyai prospek untuk menjadi sehat dilakukan pengawasan khusus,
sedangkan upaya penyelesaian bagi Bank Perkreditan Rakyat yang tidak
mungkin lagi dapat disehatkan dilakukan melalui pembekuan kegiatan usaha.
Oleh karena itu perlu ditetapkan persyaratan dan kriteria yang jelas serta
transparan mengenai status Bank Perkreditan Rakyat dalam Pengawasan Khusus
dan Pembekuan Kegiatan Usaha dalam Peraturan Bank Indonesia.
PASAL…
11
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 6
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Penilaian Bank Indonesia didasarkan atas penelitian yang
mendalam terhadap kondisi BPR melalui laporan dan pemeriksaan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir dihitung
berdasarkan posisi Laporan Bulanan BPR selama 6 (enam)
bulan terakhir
Ayat (3)
Huruf a
Pelaksanaan perintah Bank Indonesia didasarkan atas
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 dan Pasal 52
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998.
Huruf b…
12
Huruf b
Penghentian kegiatan usaha tertentu dapat meliputi antara
lain penghentian penghimpunan dan penyaluran dana.
Penghentian kegiatan usaha tertentu dapat dilakukan oleh
Bank Indonesia apabila BPR tidak memenuhi kewajibannya
sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Pemberitahuan mengenai penetapan status BPR dalam pengawasan
khusus antara lain dapat dilakukan secara langsung melalui
pertemuan dengan pengurus dan atau pemegang saham BPR,
secara tertulis melalui surat atau sarana lain.
Ayat (2)
Tindakan yang dimaksud dalam ayat ini dibuktikan dengan adanya
setoran tambahan modal sekurang-kurangnya memenuhi Rasio
KPMM dan CR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, yang
ditempatkan dalam rekening penampungan (escrow account) pada
bank umum, yang penarikannya hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan Bank Indonesia.
Perpanjangan…
13
Perpanjangan jangka waktu untuk memenuhi persyaratan dalam
proses hukum dimaksud hanya dapat dilakukan dengan persetujuan
Bank Indonesia.
Proses hukum yang diperlukan tersebut antara lain meliputi
penyesuaian terhadap perubahan anggaran dasar, pengalihan hak
kepemilikan dan proses perizinan.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengumuman dilakukan melalui surat kabar harian setempat atau
papan pengumuman di kantor BPR atau kantor
kecamatan/kelurahan tempat kedudukan BPR yang bersangkutan
atau media elektronik.
Pasal 8…
14
Pasal 8
Ayat (1)
Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha BPR sebelum mencapai
6 (enam) bulan sejak tanggal BBKU apabila pembayaran dana
pihak ketiga telah diselesaikan
Ayat (2)
Pelaksanaan pencabutan izin usaha dilakukan sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan
izin usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank dan peraturan
pelaksanaannya.
Ayat (3)
Calon investor adalah pihak-pihak yang bersedia menyelesaikan
seluruh kewajiban BBKU dan menambah modal untuk memenuhi
ketentuan Rasio KPMM minimal 8% (delapan perseratus).
Tindakan pengambilalihan yang dimaksud dalam hal ini dibuktikan
dengan adanya setoran tambahan modal untuk memenuhi ketentuan
Rasio KPMM minimum 8% (delapan perseratus), yang
ditempatkan dalam rekening penampungan (escrow account) pada
bank umum yang penarikannya hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan Bank Indonesia.
Ayat (4)
Proses hukum yang diperlukan tersebut antara lain meliputi penyesuaian
terhadap perubahan anggaran dasar, pengalihan hak kepemilikan dan
proses perizinan.
Perpanjangan…
15
Perpanjangan jangka waktu untuk memenuhi persyaratan dalam
proses hukum dimaksud hanya dapat dilakukan dengan persetujuan
Bank Indonesia.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
BPR yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha antara lain
dibuktikan dengan kriteria:
1. BPR tidak menyampaikan laporan bulanan kepada Bank
Indonesia selama 12 (dua belas) bulan terakhir;
2. Laporan bulanan yang disampaikan oleh BPR kepada
Bank Indonesia selama 12 (dua belas) bulan terakhir
tidak memiliki perubahan dalam pos-pos neraca;
3. Adanya laporan dari pengurus BPR bahwa BPR tidak
melakukan kegiatan usaha.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)…
16
Ayat (2)
Pengecualian dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada
BPR guna menyelesaikan proses merger, konsolidasi, akuisisi atau
penambahan modal disetor oleh pemilik atau investor baru dan
untuk memenuhi persyaratan untuk menjadi peserta Program
Penjaminan Pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku.
BPR yang sedang dalam proses merger, konsolidasi atau akuisisi
termasuk didalamnya BPR yang telah mengajukan permohonan
izin merger, konsolidasi atau akuisisi kepada Bank Indonesia atau
BPR telah menyampaikan pernyataan untuk menambah modal
disetor.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11…
17
Pasal 11
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4141
DPBPR
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 3/15/PBI/2001 </reg_id>
<reg_title> PENETAPAN STATUS BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM PENGAWASAN KHUSUS DAN PEMBEKUAN KEGIATAN USAHA </reg_title>
<set_date> 21 September 2001 </set_date>
<effective_date> 21 September 2001 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '25/PP/1999', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 6 Huruf c' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/12/ PBI/ 2014
TENTANG
OPERASI MONETER SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka memenuhi tujuan untuk mencapai
dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia
memiliki tugas menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter;
b. bahwa dalam rangka mendukung tugas dalam
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,
Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter
berdasarkan prinsip syariah;
c. bahwa dalam rangka pengendalian moneter berdasarkan
prinsip syariah, Bank Indonesia melakukan operasi
moneter syariah baik dalam Rupiah maupun dalam
valuta asing untuk mempengaruhi kecukupan likuiditas
perbankan syariah;
d. bahwa dalam rangka pelaksanaan operasi moneter
syariah dalam valuta asing, Bank Indonesia melakukan
pengayaan instrumen operasi moneter syariah dalam
valuta asing;
e. bahwa dalam rangka menghadapi dan mengantisipasi
perkembangan ekonomi, keuangan, dan moneter,
efektivitas operasi moneter syariah perlu ditingkatkan;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e, perlu mengatur kembali Peraturan Bank
Indonesia tentang Operasi Moneter Syariah;
Mengingat ...
- 2 -
Mengingat :
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa
kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG OPERASI
MONETER SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah Bank
Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
perbankan syariah.
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit Usaha
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
perbankan syariah.
4. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS adalah
pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka
pengendalian ...
- 3 -
pengendalian moneter melalui kegiatan operasi pasar terbuka dan
penyediaan standing facilities berdasarkan prinsip syariah.
5. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut OPT Syariah
adalah kegiatan transaksi pasar uang berdasarkan prinsip syariah yang
dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan pihak lain dalam
rangka OMS.
6. Standing Facilities Syariah adalah fasilitas yang disediakan oleh Bank
Indonesia kepada Bank dalam rangka OMS.
7. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah
surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek
dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
8. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau
dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian
penyertaan terhadap aset SBSN dalam mata uang Rupiah.
9. Transaksi Repurchase Agreement SBIS yang selanjutnya disebut Repo
SBIS adalah transaksi pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada
BUS atau UUS dengan agunan SBIS (collateralized borrowing).
10. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja terbatas
Bank Indonesia.
BAB II
TUJUAN OPERASI MONETER
Pasal 2
(1) OMS bertujuan mencapai target operasional pengendalian moneter
syariah dalam rangka mendukung pencapaian sasaran akhir kebijakan
moneter Bank Indonesia.
(2) Target operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
kecukupan likuiditas Rupiah perbankan syariah atau variabel lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal ...
- 4 -
Pasal 3
(1) Pencapaian target operasional kebijakan moneter sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dilakukan dengan cara mempengaruhi likuiditas
perbankan syariah melalui absorpsi likuiditas atau injeksi likuiditas.
(2) Pencapaian target operasional kebijakan moneter sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) didukung dengan pengelolaan likuiditas di pasar valuta
asing.
BAB III
KEGIATAN OPERASI MONETER SYARIAH
Bagian Kesatu
Prinsip dan Bentuk Operasi Moneter Syariah
Pasal 4
(1) Kegiatan OMS harus memenuhi prinsip syariah.
(2) Pemenuhan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan dalam bentuk pemberian fatwa dan/atau opini syariah oleh
otoritas yang berwenang mengeluarkan fatwa dan/atau opini syariah.
Pasal 5
Kegiatan OMS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dengan:
a. OPT Syariah; dan
b. Standing Facilities Syariah.
Bagian Kedua
Operasi Pasar Terbuka Syariah
Pasal 6
OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dilakukan dengan
cara:
a. penerbitan SBIS;
b. jual beli surat berharga dalam Rupiah yang memenuhi prinsip syariah
yang meliputi SBSN, dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan
mudah dicairkan;
c. penempatan ...
- 5 -
c. penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing;
dan/atau
d. transaksi lainnya baik di pasar uang Rupiah maupun di pasar valuta
asing.
Pasal 7
Jual beli surat berharga dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf b dapat dilakukan dengan cara antara lain:
a. pembelian secara lepas (outright buying);
b. penjualan secara lepas (outright selling);
c. penjualan secara bersyarat (repurchase agreement/repo); dan/atau
d. pembelian secara bersyarat (reverse repo).
Pasal 8
(1) Penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c menggunakan akad
ju’alah.
(2) Bank Indonesia menetapkan dan memberikan imbalan atas penempatan
berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing.
Pasal 9
Penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c dapat dicairkan oleh Bank sebelum jatuh
waktu (early redemption) dengan memenuhi persyaratan tertentu.
Pasal 10
(1) Penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c dapat menjadi pengurang
posisi devisa neto secara keseluruhan yang dipelihara BUS pada akhir
hari kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai posisi
devisa neto bank umum yang diterbitkan oleh otoritas yang berwenang.
(2) Nilai ...
- 6 -
(2) Nilai penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing
yang dapat menjadi pengurang posisi devisa neto sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling tinggi sebesar nilai yang terendah dari:
a. nilai posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja
yang bersangkutan sebelum dikurangi dengan penempatan
berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing;
b. nilai penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta
asing; atau
c. 5% (lima persen) dari modal BUS.
(3) BUS melaporkan secara harian posisi devisa neto secara keseluruhan
pada akhir hari kerja setelah memperhitungkan penempatan berjangka
(term deposit) syariah dalam valuta asing sebagai pengurang.
(4) Dalam hal BUS tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) maka penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam
valuta asing tidak diperhitungkan sebagai pengurang posisi devisa neto.
(5) Dalam hal UUS melakukan penempatan berjangka (term deposit) syariah
dalam valuta asing maka perhitungan nilai penempatan berjangka (term
deposit) syariah dalam valuta asing dapat menjadi pengurang posisi
devisa neto bank umum konvensional yang memiliki UUS.
(6) Dalam hal UUS melakukan penempatan berjangka (term deposit) syariah
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (5), laporan harian
posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja setelah
memperhitungkan penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam
valuta asing dilaporkan oleh bank umum konvensional yang memiliki
UUS.
(7) Perhitungan nilai penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam
valuta asing yang dapat menjadi pengurang posisi devisa neto dan
pelaporan posisi devisa neto oleh bank umum konvensional yang
memiliki UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6),
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
operasi moneter.
Pasal ...
- 7 -
Pasal 11
OPT Syariah dapat dilaksanakan setiap Hari Kerja.
Pasal 12
OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan melalui
mekanisme lelang dan/atau nonlelang.
Bagian Ketiga
Standing Facilities Syariah
Pasal 13
Standing Facilities Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b
dilakukan dengan cara:
a. penyediaan fasilitas simpanan (deposit facility); dan
b. penyediaan fasilitas pembiayaan (financing facility).
Pasal 14
(1) Fasilitas simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a
antara lain dilakukan dalam bentuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia
Syariah (FASBIS).
(2) Fasilitas pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b
antara lain dilakukan dalam bentuk repo surat berharga dalam Rupiah.
Pasal 15
(1) Standing Facilities Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dilaksanakan oleh Bank Indonesia pada setiap Hari Kerja.
(2) Pelaksanaan Standing Facilities Syariah dilakukan melalui mekanisme
nonlelang.
BAB IV
SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH
Bagian Kesatu
Akad dan Karakteristik SBIS
Pasal 16
(1) SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad ju’alah.
(2) Bank ...
- 8 -
(2) Bank Indonesia menetapkan dan memberikan imbalan atas SBIS yang
diterbitkan.
(3) Bank Indonesia membayar imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sebagai berikut:
a. pada saat SBIS jatuh waktu; atau
b. sebelum jatuh waktu, dalam hal Bank tidak dapat memenuhi
kewajiban Repo SBIS.
Pasal 17
SBIS memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. satuan unit sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua
belas) bulan;
c. diterbitkan tanpa warkat (scripless);
d. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia; dan
e.
tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder.
Bagian Kedua
Persyaratan Kepemilikan SBIS
Pasal 18
(1) Pihak yang dapat memiliki SBIS adalah Bank.
(2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan
Financing to Deposit Ratio (FDR) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Repo SBIS
Pasal 19
(1) Bank dapat mengajukan Repo SBIS kepada Bank Indonesia.
(2) Repo SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan prinsip
qard yang diikuti dengan rahn.
(3) Bank yang mengajukan Repo SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
harus menandatangani Perjanjian Pengagunan SBIS Dalam Rangka Repo
SBIS ...
- 9 -
SBIS serta menyampaikan dokumen pendukung yang dipersyaratkan
kepada Bank Indonesia.
(4) Bank Indonesia menetapkan dan mengenakan biaya Repo SBIS.
Bagian Keempat
Penatausahaan SBIS
Pasal 20
(1) Bank Indonesia menatausahakan SBIS dalam suatu sistem
penatausahaan secara elektronis di Bank Indonesia.
(2) Sistem penatausahaan yang dikelola Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup sistem penyelesaian transaksi SBIS
dan pencatatan kepemilikan SBIS.
(3) Sistem pencatatan kepemilikan SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan tanpa warkat (scripless).
Pasal 21
Bank Indonesia melunasi SBIS pada saat jatuh waktu sebesar nilai nominal
dan membayar imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3).
BAB V
PESERTA OPERASI MONETER SYARIAH DAN LEMBAGA PERANTARA
Pasal 22
(1) Peserta OMS terdiri dari:
a. peserta OPT Syariah, yaitu Bank dan/atau pihak lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan
b. peserta Standing Facilities Syariah, yaitu Bank.
(2) Peserta OPT Syariah dapat mengikuti kegiatan OPT Syariah secara
langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perantara.
(3) Peserta Standing Facilities Syariah hanya dapat mengikuti Standing
Facilities Syariah secara langsung.
(4) Bank Indonesia menetapkan persyaratan bagi peserta OMS dan lembaga
perantara.
Pasal ...
- 10 -
Pasal 23
(1) Peserta OMS dan lembaga perantara bertanggung jawab atas kebenaran
penawaran yang diajukan.
(2) Peserta OMS dan lembaga perantara yang telah mengajukan penawaran
dilarang membatalkan penawarannya.
(3) Peserta OMS dan lembaga perantara harus memenuhi tata cara
pengajuan penawaran dan persyaratan dalam transaksi OMS yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(4) Dalam hal peserta OMS dan lembaga perantara tidak memenuhi tata cara
pengajuan penawaran dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), penawaran yang telah diajukan akan ditolak dan/atau tidak diproses
oleh Bank Indonesia.
Pasal 24
Dalam mengikuti kegiatan OMS, lembaga perantara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (2) dilarang mengajukan penawaran untuk kepentingan
diri sendiri.
Pasal 25
(1) Peserta OMS wajib memiliki:
a. rekening giro Rupiah di Bank Indonesia; dan
b. rekening giro valuta asing di Bank Indonesia dalam hal peserta OMS
mengikuti transaksi OPT syariah dalam valuta asing.
(2) Peserta OMS wajib memiliki rekening surat berharga di Bank Indonesia
dan/atau di lembaga kustodian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Peserta OMS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang mengikuti
kegiatan OMS secara langsung maupun tidak langsung wajib
menyediakan dana yang cukup pada rekening giro Rupiah di Bank
Indonesia dan/atau surat berharga dalam Rupiah yang cukup pada
rekening surat berharga di Bank Indonesia atau di lembaga kustodian
untuk penyelesaian kewajiban pada tanggal penyelesaian transaksi.
(4) Dalam ...
- 11 -
(4) Dalam hal pada waktu penyelesaian transaksi, peserta OMS tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3), transaksi
OMS yang bersangkutan dinyatakan batal.
(5) Peserta OMS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang mengikuti
transaksi OPT syariah dalam valuta asing wajib menyediakan dana yang
cukup pada rekening giro di Bank Indonesia atau transfer dana yang
cukup ke rekening Bank Indonesia di bank koresponden untuk
penyelesaian kewajiban pada tanggal penyelesaian transaksi.
(6) Dalam hal peserta OMS tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) maka transaksi OMS yang bersangkutan
dinyatakan batal.
Pasal 26
Dalam rangka penyelesaian transaksi OMS, Bank Indonesia berwenang untuk
melakukan pendebetan rekening giro di Bank Indonesia dan/atau rekening
surat berharga di Bank Indonesia dan/atau di lembaga kustodian milik
peserta OMS.
BAB VI
SANKSI
Pasal 27
(1) Dalam hal transaksi OMS dinyatakan batal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (4), peserta OMS dikenakan sanksi berupa:
a.
teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari
nilai transaksi OMS yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Dalam hal transaksi memiliki second leg, nilai transaksi OMS yang batal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah nilai transaksi dana
pada saat first leg.
(3) Dalam ...
- 12 -
(3) Dalam hal transaksi OMS dinyatakan batal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (6), peserta OMS dikenakan sanksi berupa :
a.
teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar persentase tertentu dari nilai transaksi
yang batal, yang diumumkan oleh Bank Indonesia pada saat
pengumuman rencana transaksi.
(4) Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (3), dalam hal peserta OMS melakukan transaksi OMS yang
dinyatakan batal sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam)
bulan, peserta OMS dikenakan sanksi berupa penghentian sementara
untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) Hari Kerja berturut-turut.
(5) Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg transaksi
repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) dan harga surat
berharga pada transaksi second leg lebih rendah dari harga surat
berharga pada transaksi first leg, selain dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), peserta OMS dikenakan sanksi tambahan
berupa kewajiban membayar sebesar selisih antara harga pada transaksi
first leg dan harga pada transaksi second leg setelah dikalikan dengan
nominal surat berharga yang di-repo-kan.
(6) Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg transaksi
reverse repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) dan harga
pasar SBSN pada transaksi second leg lebih tinggi dari harga pada
transaksi first leg, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), peserta OMS dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban
membayar sebesar selisih harga pada transaksi second leg dan harga
pada transaksi first leg, setelah dikalikan dengan nominal SBSN yang di-
reverse repo-kan.
(7) Sanksi berupa penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) tidak berlaku untuk transaksi repo financing facility peserta OMS yang
berasal dari transaksi fasilitas likuiditas intrahari syariah yang tidak
lunas.
BAB ...
- 13 -
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 29
(1) Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat
Bank Indonesia Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 50 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4835);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/36/PBI/2008 tentang Operasi
Moneter Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 197 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4944);
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/17/PBI/2010 tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/36/PBI/2008
tentang Operasi Moneter Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 107);
d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/18/PBI/2010 tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008
tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 108);
e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/24/PBI/2011 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 119),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal ...
...
- 14 -
Pasal 30
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juli 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juli 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 178
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/12/PBI/2014
TENTANG
OPERASI MONETER SYARIAH
I. UMUM
Dalam rangka mendukung tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia dapat melaksanakan
pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Salah satu
ukuran keberhasilan pencapaian tujuan dimaksud adalah laju inflasi tahunan
yang terkendali yang ditetapkan sebagai sasaran akhir dari pelaksanaan tugas
Bank Indonesia di bidang moneter.
Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, salah satu
cara pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah adalah dengan
pelaksanaan operasi moneter syariah untuk mempengaruhi kecukupan
likuiditas Rupiah dan valuta asing perbankan syariah. Dalam
pelaksanaannya, Bank Indonesia dapat melakukan operasi moneter syariah
yang bersifat absorpsi atau injeksi likuiditas Rupiah. Selain itu Bank
Indonesia memandang perlunya peningkatan pengelolaan likuiditas dan
pengembangan pasar valuta asing domestik dengan menyediakan instrumen
syariah dalam valuta asing.
Dalam melaksanakan operasi moneter syariah yang bersifat absorpsi atau
injeksi likuiditas Rupiah perlu memperhatikan pelaksanaan tugas Bank
Indonesia di bidang sistem pembayaran. Salah satu upaya Bank Indonesia
untuk menjaga kelancaran sistem pembayaran adalah melalui penyediaan
fasilitas ...
- 2 -
fasilitas likuiditas intrahari berdasarkan prinsip syariah. Untuk itu diperlukan
keselarasan pengaturan di bidang moneter dan sistem pembayaran.
Instrumen syariah yang digunakan dalam pelaksanaan operasi moneter
syariah telah memperoleh fatwa dan/atau opini syariah dari otoritas yang
berwenang mengeluarkan fatwa dan/atau opini syariah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kecukupan likuiditas Rupiah dapat berupa target uang primer
atau komponennya yang terdiri atas:
a. uang kartal yang ada di Bank dan masyarakat; dan
b. saldo giro Bank dalam Rupiah di Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “variabel lain” adalah variabel selain
kecukupan likuiditas Rupiah, yang ditetapkan sebagai target
operasional moneter syariah yang antara lain berupa tingkat
imbalan pasar uang antar Bank berdasarkan prinsip syariah.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “absorpsi
likuiditas” adalah
pengurangan likuiditas Rupiah Bank melalui kegiatan OMS.
Yang dimaksud dengan “injeksi likuiditas” adalah penambahan
likuiditas Rupiah Bank melalui kegiatan OMS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal ...
- 3 -
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “surat berharga lain yang berkualitas
tinggi dan mudah dicairkan” adalah surat berharga dalam
mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh badan hukum lain
yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian
lembaga pemeringkat yang diakui Bank Indonesia, dan
sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk
dijadikan uang tunai.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pembelian secara lepas (outright
buying)” adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Bank
Indonesia tanpa kewajiban untuk menjual kembali.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penjualan secara lepas (outright
selling)” adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Bank
Indonesia tanpa kewajiban untuk membeli kembali.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penjualan secara bersyarat
(repurchase agreement/repo)” adalah transaksi penjualan
bersyarat surat berharga oleh Bank kepada Bank Indonesia
dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan
jangka waktu yang disepakati.
Huruf ...
- 4 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pembelian secara bersyarat (reverse
repo)” adalah transaksi pembelian bersyarat surat berharga
oleh Bank dari Bank Indonesia dengan kewajiban penjualan
kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang
disepakati.
Pasal 8
Ayat (1)
Akad ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk
memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian
hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh perhitungan pengurangan posisi devisa neto BUS yang
dipengaruhi oleh penempatan berjangka (term deposit) syariah
dalam valuta asing adalah sebagai berikut :
dalam juta rupiah
No Modal*
a
1 200.000
2 200.000
3 200.000
PDN sebelum TD Valas
Syariah
c
TD
Valas
Absolut PDN Rasio PDN Syariah
b
d
c = b/a
30.000 15% 35.000
30.000 15% 5.000
6.000 3% 8.000
5% Modal
e
5% x a
10.000
10.000
10.000
10.000
5.000
6.000
Maksimum TD
Valas Syariah
PDN sesudah TD Valas
Syariah
pengurang PDN Absolut PDN Rasio PDN
f **
g
h
g = b-f h = g/a
20.000 10%
25.000 12,5%
0 0%
*) Modal adalah modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai posisi devisa neto bank umum yang
diterbitkan oleh otoritas yang berwenang.
**)
Nilai maksimum TD Valas Syariah pengurang PDN (kolom f) adalah nilai terkecil antara kolom b, kolom d, dan
kolom e
Huruf ...
- 5 -
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “modal” adalah modal sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai posisi
devisa neto bank umum yang diterbitkan oleh otoritas yang
berwenang.
Ayat (3)
Laporan harian posisi devisa neto secara keseluruhan pada
akhir hari kerja dengan memperhitungkan penempatan
berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing sebagai
pengurang posisi devisa neto yang dilaporkan melalui Laporan
Harian Bank Umum (LHBU).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Mekanisme lelang dilakukan dengan metode lelang harga tetap (fixed
rate tender) atau metode lelang harga beragam (variable rate tender).
Mekanisme nonlelang dilakukan secara bilateral antara Bank
Indonesia dengan peserta OPT Syariah.
Pasal ...
- 6 -
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “repo surat berharga” adalah transaksi
penjualan bersyarat surat berharga oleh Bank kepada Bank
Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan
harga dan jangka waktu yang disepakati (sell and buy back) dan
pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada Bank dengan
agunan surat berharga (collateralized borrowing).
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Mekanisme nonlelang dalam Standing Facilities Syariah
dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan
peserta Standing Facilities Syariah.
Pasal 16
Ayat (1)
Akad ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk
memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian
hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf ...
- 7 -
Huruf b
Jangka waktu SBIS dinyatakan dalam jumlah hari kalender
dan dihitung 1 (satu) hari setelah tanggal penyelesaian
transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “persyaratan Financing to Deposit Ratio
(FDR)” adalah persentase tertentu FDR yang dimiliki Bank
yang akan mengikuti lelang untuk memiliki SBIS.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “qard” adalah pinjaman dana tanpa
imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan
pokok pinjaman secara sekaligus dalam jangka waktu
tertentu.
Yang dimaksud dengan “rahn” adalah penyerahan agunan dari
Bank (rahin) kepada Bank Indonesia (murtahin) sebagai
jaminan untuk mendapatkan qard.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat ...
- 8 -
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “biaya Repo SBIS” adalah kewajiban
membayar (gharamah) yang ditetapkan Bank Indonesia dalam
rangka Repo SBIS karena Bank tidak menepati jangka waktu
kesepakatan pembelian SBIS.
Pasal 20
Ayat (1)
Penatausahaan secara elektronis di Bank Indonesia dilakukan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga,
dan setelmen dana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain badan
hukum nonBank.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “lembaga perantara” antara lain pialang
pasar uang Rupiah dan valuta asing dan/atau perusahaan efek
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal ...
- 9 -
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “membatalkan” penawaran adalah Bank
menarik kembali penawaran yang telah diajukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Transaksi yang memiliki second leg antara lain transaksi repo
dan reverse repo.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal ...
- 10 -
Pasal 28
Pokok-pokok ketentuan yang diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia antara lain:
a. pelaksanaan OPT Syariah;
b. pelaksanaan Standing Facilities Syariah;
c.
jangka waktu kegiatan OMS;
d. persyaratan bagi peserta OMS;
e. sifat kepesertaan dalam OMS; dan
f.
tata cara pengenaan sanksi.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5567
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/12/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> OPERASI MONETER SYARIAH </reg_title>
<set_date> 24 Juli 2014 </set_date>
<effective_date> 24 Juli 2014 </effective_date>
<issued_date> 24 Juli 2014 </issued_date>
<replaced_reg> '12/17/PBI/2010', '10/36/PBI/2008', '10/11/PBI/2008', '13/24/PBI/2011', '12/18/PBI/2010' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 2/3/PBI/2000
TENTANG
PENGALIHAN PENGELOLAAN
KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA
DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Undang-undang Nomor 23
Tahun
1999 tentang Bank Indonesia, Kredit Likuiditas Bank Indonesia
dalam rangka kredit program dialihkan berdasarkan suatu
perjanjian kepada Badan Usaha Milik Negara yang ditunjuk oleh
Pemerintah, paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya
Undang-undang tersebut ;
b. bahwa pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia telah
dialihkan kepada Badan Usaha Milik Negara berdasarkan
Perjanjian Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia yang telah ditandatangani pada tanggal 15 Nopember
1999;
c. bahwa selanjutnya pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia
dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara sesuai dengan masing-
masing skim yang dialihkan;
d. bahwa…..
- 2 -
d. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk mengatur
Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia Dalam
Rangka Kredit Program dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
: Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3843);
Memperhatikan :
Perjanjian Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia antara Bank Indonesia dengan PT Bank Rakyat
Indonesia (Persero), PT Bank Tabungan Negara (Persero), dan
PT Permodalan Nasional Madani (Persero), masing-masing
Nomor 12, 13, dan 14, tanggal 15 Nopember 1999;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGALIHAN
PENGELOLAAN KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA
DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM.
Pasal 1
(1)
Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia dalam rangka kredit program
(KLBI) dialihkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah
ditunjuk oleh Pemerintah.
(2) BUMN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang menerima pengalihan
pengelolaan KLBI, terdiri dari :
1. PT….
-3-
1. PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero);
2. PT. Bank Tabungan Negara (Persero);
3. PT. Permodalan Nasional Madani (Persero).
(3) BUMN sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) melakukan pengelolaan skim
kredit, yang masing-masing terdiri dari :
1. PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) mengelola:
a. Kredit Usaha Tani (KUT);
b. Kredit kepada Koperasi (KKop);
c. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya - Tebu Rakyat
(KKPA-TR).
2. PT. Bank Tabungan Negara (Persero) mengelola :
a. Kredit Pemilikan Rumah Sederhana (KPRS);
b. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS).
3. PT. Permodalan Nasional Madani (Persero) mengelola :
a. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA- Umum);
b. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya – Bagi Hasil
(KKPA- Bagi Hasil );
c. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya dalam rangka
Pembiayaan Usaha Nelayan (KKPA- Nelayan);
d. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya dalam rangka
Pembiayaan Usaha Peternakan (KKPA - Unggas);
e. Kredit Pembiayaan Tenaga Kerja Indonesia dengan Pola Kredit kepada
Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA- TKI);
f. kredit …
-4-
f. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya dengan Pola
Perkebunan Inti Rakyat Transmigrasi dalam rangka Pembukaan
Pemukiman Transmigrasi Baru di Kawasan Timur Indonesia (KKPA
Pir-Trans);
g. Kredit / Pembiayaan Modal Kerja Bank Indonesia dalam rangka
Pengembangan Bank Perkreditan Rakyat / Bank Perkreditan Rakyat
Syariah (KMK-BPR / PMK-BPRS);
h. Kredit kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro melalui Bank
Umum (KPKM-Bank Umum);
i. Kredit / Pembiayaan kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro
melalui Bank Perkreditan Rakyat / Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah
(KPKM-BPR / KPKM-BPRS);
j. Kredit Usaha Angkutan Umum Bus Perkotaan (KUAUBP);
k. Kredit Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN);
l. Kredit Investasi Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan
Inti Rakyat (PIR) yang dikaitkan dengan Program Transmigrasi (PIR-
Trans).
(4)
Pelaksanaan pengalihan pengelolaan KLBI kepada BUMN sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) masing-masing telah dilakukan dengan
Perjanjian Pengalihan Pengelolaan KLBI.
Pasal 2
Hak tagih atas KLBI yang telah dialihkan kepada BUMN, sampai dengan KLBI
dimaksud jatuh tempo dan dilunasi atau dilunasi sebelum KLBI jatuh tempo, tetap
dimiliki oleh Bank Indonesia.
Pasal 3 ……
- 5 -
Pasal 3
(1)
Dengan telah dialihkannya tugas pengelolaan KLBI kepada BUMN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), maka kegiatan pengelolaan
KLBI menjadi tugas BUMN sesuai dengan Perjanjian Pengalihan Pengelolaan
KLBI.
(2)
Rincian tugas pengelolaan dan teknis pengelolaan KLBI sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 4
(1) BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) diberi kewenangan
untuk mengelola angsuran pokok yang diterima dari bank pelaksana, sampai
KLBI dimaksud jatuh tempo.
(2)
Angsuran pokok yang dikelola oleh BUMN sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib disalurkan melalui skim kredit yang sesuai dengan skim kredit yang
dialihkan kepada masing-masing BUMN, secara berimbang.
(3)
Bank Indonesia tidak mengenakan bunga terhadap angsuran pokok yang
dikelola oleh BUMN.
Pasal 5
(1)
(2)
Ketentuan mengenai pemberian KLBI tetap berlaku sampai dengan KLBI
dimaksud jatuh tempo.
Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap
BUMN mengenai pelaksanaan pengelolaan KLBI yang telah dialihkan.
Pasal 6 …
- 6 -
Pasal 6
BUMN wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai pengelolaan
KLBI yang dialihkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 7
(1) BUMN dan bank pelaksana wajib mengembalikan KLBI kepada Bank
Indonesia pada saat jatuh tempo.
(2) Untuk skim kredit dengan pola channeling, dalam hal pada saat jatuh tempo
masih terdapat KLBI yang belum dilunasi, Bank Indonesia berhak menarik
kembali KLBI dimaksud sampai dengan dilunasi.
Pasal 8
Peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 9
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, segala ketentuan yang berkaitan
dengan pelaksanaan pengalihan pengelolaan KLBI kepada BUMN tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 10 ….
-7-
Pasal 10
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Pebruari 2000
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 8
DKr
PENJELASAN
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 2/3/PBI/2000
TENTANG
PENGALIHAN PENGELOLAAN
KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA
DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM
I. UMUM
Sesuai dengan tugasnya, Bank Indonesia berfungsi sebagai Otoritas Moneter
yang independen dan mempunyai tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah. Untuk lebih memfokuskan fungsi Bank Indonesia sebagai Otoritas
Moneter maka pemberian kredit program tidak lagi didukung dengan Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI).
Berdasarkan Pasal 74 Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, KLBI dalam rangka Kredit Program yang masih berjalan dan belum jatuh
tempo serta yang telah disetujui tetapi belum ditarik, dialihkan kepada Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yang ditunjuk oleh Pemerintah berdasarkan suatu Perjanjian
Pengalihan Pengelolaan KLBI.
Pengalihan KLBI kepada BUMN yang ditunjuk oleh Pemerintah terbatas pada
pengalihan pengelolaan KLBI.
II.PASAL …..
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penunjukan BUMN yang menerima pengalihan pengelolaan
KLBI ditetapkan Pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 487/KMK.017/1999
tanggal 13 Oktober 1999 tentang Penunjukan Badan Usaha
Milik Negara Sebagai Koordinator Penyaluran Kredit Program.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Perjanjian Pengalihan Pengelolaan KLBI ditandatangani pada
tanggal 15 Nopember 1999, dan berlaku sejak tanggal 16
Nopember 1999.
Pasal 2
Dengan tidak beralihnya hak tagih kepada BUMN, dalam hal KLBI
tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo, maka Bank Indonesia tetap
mempunyai wewenang untuk melakukan penagihan.
Pasal 3 …..
-3-
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penetapan rincian tugas pengelolaan dan teknis pengelolaan
KLBI oleh Bank Indonesia adalah sebagaimana telah disepakati
dalam Perjanjian Pengalihan Pengelolaan KLBI.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan jatuh tempo KLBI adalah jatuh tempo
KLBI untuk masing-masing skim/proyek yang bersangkutan.
Bunga KLBI yang dialihkan pengelolaannya tetap dibayarkan
oleh bank pelaksana kepada Bank Indonesia.
Ayat (2)
Penyaluran kembali angsuran pokok tersebut harus dilakukan
secara berimbang yaitu dengan memperhatikan kebutuhan
masing-masing skim kredit dan kinerja bank pelaksana dalam
penyaluran skim-skim kredit dimaksud.
Ayat (3)
Pengenaan bunga tidak dilakukan karena dengan pengenaan
bunga berarti terjadi pemberian kredit baru, sedangkan sesuai
dengan ketentuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999, Bank
Indonesia tidak diperkenankan lagi memberikan KLBI dalam
rangka kredit program.
Pasal 5 ….
-4-
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ketentuan pemberian KLBI dalam pasal
ini adalah ketentuan Bank Indonesia terhadap masing-masing
skim kredit/proyek yang masih berjalan sampai dengan KLBI
jatuh tempo dan dilunasi atau dilunasi sebelum KLBI jatuh
tempo. Dalam hal ini termasuk kewenangan Bank Indonesia
untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap proyek yang
dibiayai dengan KLBI, pengenaan sanksi dan atau denda,
serta
kewajiban-kewajiban yang merupakan tanggung jawab Bank
Indonesia sesuai dengan komitmen antara Bank Indonesia dan
bank pelaksana .
Dalam hal diperlukan penyesuaian ketentuan sesuai dengan
perkembangan perekonomian, maka Bank Indonesia berwenang
melakukan perubahan atas ketentuan tersebut.
Terhadap penyaluran kembali kredit yang dananya berasal dari
angsuran pokok maka BUMN harus mengikuti ketentuan Bank
Indonesia, namun dalam hal diperlukan, penyesuaian ketentuan
dimungkinkan sepanjang dikoordinasikan dan
mendapat
persetujuan dari Bank Indonesia.
Perubahan/penyesuaian ketentuan tersebut di atas tidak menunda
pelaksanaan pembayaran kembali KLBI kepada Bank Indonesia
pada saat jatuh tempo.
Ayat (2) ….
-5-
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia, BUMN harus mengembalikan KLBI pada saat
jatuh tempo, dengan demikian tidak dimungkinkan adanya
perpanjangan jangka waktu KLBI.
Pengembalian KLBI kepada Bank Indonesia pada saat jatuh
tempo dilakukan dengan cara mendebet rekening bank pelaksana
pada Bank Indonesia sebesar jumlah KLBI yang terutang dan
mendebet rekening giro BUMN sebesar jumlah angsuran KLBI
yang telah diterima oleh BUMN.
Ayat (2)
Untuk kredit yang disalurkan dengan pola channeling, yaitu bank
pelaksana tidak menanggung risiko kredit, pendebetan rekening
bank pelaksana dan atau BUMN dilakukan
setelah ada
pembayaran dari debitur kepada bank pelaksana atau bank
pelaksana kepada BUMN.
Pelaksanaan pendebetan dilakukan berdasarkan laporan yang
disampaikan oleh bank pelaksana setiap bulan.
Bagi ….
-6-
Bagi skim kredit yang dalam pemberiannya terdapat ketentuan
mengenai risk sharing, penyelesaian pelunasan atas risk sharing
dilakukan oleh bank pelaksana sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Pemberlakuan Peraturan Bank Indonesia ini adalah dengan
memperhatikan hal-hal yang telah diatur dalam Perjanjian Pengalihan
Pengelolaan KLBI kepada masing-masing BUMN tanggal 15
Nopember 1999.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3926
DKr
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/3/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> PENGALIHAN PENGELOLAAN KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM </reg_title>
<set_date> 1 Pebruari 2000 </set_date>
<effective_date> 1 Pebruari 2000 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999' </related_reg>
|
- 1 -
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/2/PBI/2013
TENTANG
PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN
BANK UMUM KONVENSIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung terciptanya
stabilitas sistem keuangan, diperlukan sistem
perbankan yang sehat;
b. bahwa sebagai bagian dari upaya penyehatan
perbankan, permasalahan yang timbul dalam bank
perlu diatasi secara dini, dengan meningkatkan
langkah-langkah pengawasan terhadap bank dalam
pengawasan normal namun berpotensi menjadi
pengawasan intensif;
c. bahwa untuk meningkatkan efektifitas upaya
penyehatan perbankan perlu diperluas cakupan
kriteria bank dalam pengawasan intensif yang dapat
diperpanjang jangka waktunya;
d. bahwa dalam hal perpanjangan jangka waktu bank
dalam pengawasan intensif disebabkan karena
memenuhi kriteria kualitatif maka akan disertai
dengan peningkatan langkah-langkah pengawasan;
e. bahwa …
- 2 -
e. bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan
metodologi penilaian tingkat kesehatan bank yang
menggunakan pendekatan risiko (risk based bank
rating) perlu dilakukan penyempurnaan peraturan
tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut
Pengawasan Bank Umum;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
dan huruf e perlu ditetapkan ketentuan tentang
Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan
Bank Umum Konvensional dalam Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-undang …
- 3 -
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4963);
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT
PENGAWASAN BANK UMUM KONVENSIONAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank …
- 4 -
1. Bank adalah Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
2. Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut LPS, adalah
badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-
Undang.
3. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah
direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah
direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1992 tentang Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
adalah Pimpinan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri yakni pemimpin kantor cabang dan pejabat satu
tingkat di bawah pemimpin kantor cabang.
4. Dewan …
- 5 -
4. Dewan Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah
komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
Pasal 2
(1) Bank Indonesia berwenang menetapkan status pengawasan Bank.
(2) Status pengawasan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari:
a. Pengawasan normal;
b. Pengawasan intensif; atau
c. Pengawasan khusus.
Pasal 3
(1) Dalam hal Bank dalam pengawasan normal namun dinilai memiliki
permasalahan yang signifikan maka Direksi, Dewan Komisaris,
dan/atau pemegang saham pengendali Bank wajib menyampaikan
rencana tindak (action plan) kepada Bank Indonesia.
(2) Tata cara penyampaian rencana tindak dan langkah-langkah
perbaikan yang akan dilaksanakan oleh Bank yang termuat dalam
rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu
kepada ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat
kesehatan bank umum.
BAB II …
- 6 -
BAB II
BANK DALAM PENGAWASAN INTENSIF
Pasal 4
(1) Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan intensif jika
dinilai
memiliki
kelangsungan usahanya.
(2) Bank dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika
memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut:
a. rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sama
dengan atau lebih besar dari 8% (delapan persen) namun kurang
dari rasio KPMM sesuai profil risiko Bank yang wajib dipenuhi
oleh Bank;
b. rasio modal inti (tier 1) kurang dari persentase tertentu yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia;
c. rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dalam rupiah sama dengan
atau lebih besar dari 5% (lima persen) namun kurang dari rasio
yang ditetapkan untuk GWM rupiah yang wajib dipenuhi oleh
Bank, dan berdasarkan penilaian Bank Indonesia, Bank memiliki
permasalahan likuiditas mendasar;
d. rasio kredit bermasalah (non performing loan) secara neto lebih
dari 5% (lima persen) dari total kredit;
e. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 4 (empat)
atau 5 (lima);
f. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 3 (tiga) dan
Good Corporate Governance (GCG) dengan peringkat 4 (empat).
potensi kesulitan yang membahayakan
Pasal 5 …
- 7 -
Pasal 5
(1) Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan intensif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 untuk jangka waktu paling
lama 1 (satu) tahun sejak tanggal surat pemberitahuan Bank
Indonesia.
(2) Bank Indonesia dapat memperpanjang jangka waktu pengawasan
intensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak 1 (satu)
kali dan paling lama 1 (satu) tahun hanya untuk Bank dalam
pengawasan intensif yang memenuhi kriteria:
a. kredit bermasalah (non performing loan) secara neto lebih dari 5%
(lima persen) dari total kredit dan penyelesaiannya bersifat
kompleks;
b. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 4 (empat)
atau 5 (lima); dan/atau
c. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 3 (tiga) dan
Good Corporate Governance (GCG) dengan peringkat 4 (empat).
(3) Perpanjangan jangka waktu Bank dalam pengawasan intensif
karena kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b atau
huruf c disertai peningkatan tindakan pengawasan.
Pasal 6
Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank
mengenai:
a. penetapan Bank dalam pengawasan intensif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, atau
b. penetapan perpanjangan jangka waktu Bank dalam pengawasan
intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2),
disertai dengan alasan penetapan serta langkah-langkah atau tindakan
pengawasan yang wajib dilakukan Bank.
Pasal 7 …
- 8 -
Pasal 7
Bank dalam pengawasan intensif wajib melakukan tindakan
pengawasan yang diperintahkan Bank Indonesia, antara lain:
a. menghapusbukukan kredit yang tergolong macet dan
memperhitungkan kerugian Bank dengan modal Bank;
b. membatasi pembayaran remunerasi atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu kepada anggota Dewan Komisaris
dan/atau Direksi Bank, atau imbalan kepada pihak terkait;
c. tidak melakukan pembayaran pinjaman subordinasi;
d. tidak melakukan atau menunda distribusi modal;
e. memperkuat modal Bank termasuk melalui setoran modal;
f. tidak melakukan transaksi tertentu dengan pihak terkait dan/atau
pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia;
g. membatasi pelaksanaan rencana penerbitan produk dan/atau
pelaksanaan aktivitas baru;
h. tidak melakukan atau membatasi pertumbuhan aset, penyertaan,
dan/atau penyediaan dana baru;
i. menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank
kepada bank atau pihak lain;
j. tidak melakukan ekspansi jaringan kantor;
k. tidak melakukan kegiatan usaha tertentu;
l. menutup jaringan kantor Bank;
m. tidak melakukan transaksi antar bank;
n. melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
o. mengganti Dewan Komisaris dan/atau Direksi Bank;
p. menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank
kepada pihak lain; dan/atau
q. menjual Bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih
seluruh kewajiban Bank.
Pasal 8 …
- 9 -
Pasal 8
(1) Bank dalam pengawasan intensif wajib:
a. menyampaikan rencana tindak sesuai permasalahan yang
dihadapi;
b. menyampaikan realisasi rencana tindak;
c. menyampaikan daftar pihak terkait secara lengkap; dan/atau
d. melakukan tindakan lainnya dan/atau melaporkan hal-hal
tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Bank ditetapkan sebagai Bank dalam pengawasan
intensif karena permasalahan permodalan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dan huruf b, selain wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank dan/atau
pemegang saham Bank juga wajib menyampaikan rencana
perbaikan permodalan (capital restoration plan) guna mengatasi
permasalahan permodalan Bank.
Pasal 9
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dan
huruf c disampaikan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak Bank
ditetapkan dalam pengawasan intensif.
Pasal 10
(1) Rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf a paling kurang memuat rencana perbaikan sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi Bank disertai jangka waktu
penyelesaiannya.
(2) Bank Indonesia melakukan evaluasi atas rencana tindak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 5 (lima) hari kerja
sejak rencana tindak diterima secara lengkap.
(3) Dalam …
- 10 -
(3) Dalam hal rencana tindak yang disampaikan ditolak Bank
Indonesia, Bank wajib mengajukan perbaikan rencana tindak
paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan
penolakan.
Pasal 11
(1) Rencana perbaikan permodalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak Bank ditetapkan dalam pengawasan
intensif.
(2) Rencana perbaikan permodalan Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib menggambarkan kemampuan Bank untuk mencapai
dan memelihara rasio KPMM yang ditetapkan Bank Indonesia
dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1).
(3) Bank Indonesia menilai rencana perbaikan permodalan paling lama
5 (lima) hari kerja sejak rencana perbaikan permodalan diterima
secara lengkap.
(4) Dalam hal rencana perbaikan permodalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditolak, Bank wajib mengajukan revisi rencana
perbaikan permodalan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal
penolakan.
Pasal 12
(1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan
realisasi rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) huruf b dan/atau realisasi pelaksanaan perbaikan
permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), setiap
akhir bulan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja bulan berikutnya.
(2) Laporan …
- 11 -
(2) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
antara lain:
a. permasalahan Bank;
b. tindakan perbaikan yang telah dilakukan oleh Bank; dan
c. waktu pelaksanaan perbaikan.
Pasal 13
(1) Bank ditetapkan tidak lagi berada dalam pengawasan intensif
apabila kondisi Bank membaik dan sudah tidak memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(2) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank yang
ditetapkan tidak lagi berada dalam pengawasan intensif.
BAB III
BANK DALAM PENGAWASAN KHUSUS
Pasal 14
(1) Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan khusus
apabila Bank yang ditetapkan dalam pengawasan intensif atau
Bank dalam pengawasan normal, dinilai mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya.
(2) Bank dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
apabila memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut:
a. rasio KPMM kurang dari 8% (delapan persen);
b. rasio GWM dalam rupiah kurang dari 5% (lima persen) dan
berdasarkan penilaian Bank Indonesia:
1) Bank mengalami permasalahan likuiditas mendasar; atau
2) Bank …
- 12 -
2) Bank mengalami perkembangan yang memburuk dalam waktu
singkat.
Pasal 15
Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 untuk jangka waktu paling
lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan Bank Indonesia.
Pasal 16
Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank
mengenai penetapan Bank dalam pengawasan khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14, disertai dengan alasan penetapan serta
langkah-langkah atau tindakan pengawasan yang wajib dilakukan
Bank.
Pasal 17
(1) Bank dalam pengawasan khusus wajib melakukan penambahan
modal untuk memenuhi kewajiban pemenuhan modal minimum
dan/atau kewajiban pemenuhan giro wajib minimum sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
(2) Penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dipenuhi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15.
Pasal 18 …
- 13 -
Pasal 18
Dalam rangka pengawasan khusus, Bank Indonesia berwenang:
a. melarang Bank menjual atau menurunkan jumlah aset tanpa
persetujuan Bank Indonesia kecuali untuk Sertifikat Bank
Indonesia, Sertifikat Bank Indonesia Syariah, giro pada Bank
Indonesia, tagihan antar Bank, Surat Berharga Negara, dan/atau
Surat Berharga Syariah Negara;
b. melarang Bank mengubah kepemilikan bagi:
1) pemegang saham yang memiliki saham Bank sebesar 10%
(sepuluh persen) atau lebih; dan/atau
2) pemegang saham pengendali termasuk pihak-pihak yang
melakukan pengendalian terhadap Bank dalam struktur
kelompok usaha Bank,
kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan/atau
c. memerintahkan Bank untuk melaporkan setiap perubahan
kepemilikan saham Bank kurang dari 10% (sepuluh persen).
Pasal 19
(1) Selain tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 dan Pasal 18, Bank Indonesia berwenang memerintahkan Bank
dalam pengawasan khusus untuk melakukan tindakan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(2) Tindakan pengawasan yang ditetapkan pada saat Bank dalam
pengawasan intensif dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 20
Bank Indonesia membekukan kegiatan usaha tertentu Bank dalam
pengawasan khusus paling lama 1 (satu) bulan dalam periode
pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, apabila:
a. Bank …
- 14 -
a. Bank Indonesia menilai kondisi Bank semakin memburuk;
dan/atau
b. terjadi pelanggaran ketentuan perbankan yang dilakukan oleh
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham pengendali.
Pasal 21
(1) Bank dalam pengawasan khusus wajib menyampaikan kepada
Bank Indonesia:
a. laporan keuangan terkini berupa neraca dan laporan laba rugi
serta rekening administratif;
b. rincian aktiva produktif Bank terkini yang dikelompokkan
berdasarkan kualitasnya;
c. peringkat komposit tingkat kesehatan Bank terkini;
d. informasi dan dokumen mengenai:
1) daftar terkini mengenai simpanan nasabah secara agregat
yang dikelompokkan berdasarkan nilai nominal;
2) daftar terkini mengenai rincian tagihan dan kewajiban Bank
kepada pihak terkait;
3) informasi lainnya yang diperlukan Bank Indonesia;
e. laporan keuangan terkini dari perusahaan yang memperoleh
penyertaan modal dari Bank selain penyertaan modal sementara
dalam rangka restrukturisasi kredit atau pembiayaan;
f. struktur terkini kelompok usaha terkait Bank, termasuk badan
hukum pemilik Bank sampai dengan pemegang saham
pengendali terakhir (ultimate shareholders); dan
g. laporan proyeksi arus kas untuk jangka waktu 1 (satu) bulan
mendatang atau berdasarkan periode laporan lain, yang terinci
secara harian dan dengan frekuensi sesuai yang ditetapkan Bank
Indonesia.
(2) Laporan …
- 15 -
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
Bank Indonesia paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak Bank
ditetapkan dalam pengawasan khusus.
Pasal 22
(1) Bank Indonesia mengumumkan:
a. Bank dalam pengawasan khusus yang dibekukan kegiatan usaha
tertentu beserta alasan pembekuan dimaksud;
b. tindakan perbaikan yang wajib dilakukan dan/atau larangan
yang diperintahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19.
(2) Bank Indonesia mengumumkan pula Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang telah melakukan perbaikan sehingga tidak
memenuhi kriteria Bank dalam pengawasan khusus sebagaimana
diatur dalam Pasal 14.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan pada 2 (dua) surat kabar harian yang mempunyai
peredaran luas dan pada home page Bank Indonesia.
Pasal 23
(1) Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 wajib
memberitahukan kepada seluruh jaringan kantornya mengenai
kegiatan usaha tertentu yang dibekukan dan perintah yang
ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17,
Pasal 18, dan Pasal 19.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan pada tanggal diterimanya pemberitahuan dari Bank
Indonesia.
Pasal 24 …
- 16 -
Pasal 24
(1) Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai Bank yang
ditetapkan dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14.
(2) Pemberitahuan kepada LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai dengan keterangan mengenai kondisi Bank yang
bersangkutan.
Pasal 25
(1) Bank Indonesia memberitahukan kepada otoritas pengawasan yang
berwenang terhadap perusahaan induk dan/atau perusahaan anak
Bank mengenai tindakan yang dilakukan Bank Indonesia terhadap
Bank yang ditetapkan dalam pengawasan khusus.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan kerjasama antara Bank Indonesia dengan otoritas
pengawasan yang berwenang terhadap perusahaan induk dan/atau
perusahaan anak Bank.
Pasal 26
Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan khusus sebagai
Bank yang tidak dapat disehatkan, apabila:
a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 belum
terlampaui namun kondisi Bank menurun sehingga:
1) rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 4% (empat persen)
dan dinilai tidak dapat ditingkatkan menjadi 8% (delapan
persen); dan/atau
2) rasio GWM dalam rupiah sama dengan atau kurang dari 0% (nol
persen) dan dinilai tidak dapat diselesaikan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku;
atau …
- 17 -
atau
b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 terlampaui
dan:
1) rasio KPMM Bank kurang dari 8% (delapan persen); dan/atau
2) rasio GWM dalam rupiah kurang dari 5% (lima persen).
Pasal 27
Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank dalam
pengawasan khusus yang ditetapkan sebagai Bank tidak dapat
disehatkan.
BAB IV
BANK BERDAMPAK SISTEMIK
Pasal 28
Dalam hal Bank Indonesia menengarai Bank dalam pengawasan
khusus berdampak sistemik, Bank Indonesia memberi informasi
kepada lembaga yang berfungsi menetapkan kebijakan dalam rangka
pencegahan dan penanganan krisis berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 29
Dalam hal Bank dalam pengawasan khusus yang ditengarai berdampak
sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Bank Indonesia meminta
lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 untuk memutuskan:
a. Bank yang bersangkutan berdampak sistemik atau tidak
berdampak sistemik; dan
b. Pihak …
- 18 -
b. Pihak yang berwenang untuk menangani dan menetapkan langkah-
langkah penanganan terhadap Bank yang ditetapkan berdampak
sistemik.
Pasal 30
Bank dan/atau pemegang saham dari Bank yang ditetapkan
berdampak sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 wajib
melakukan langkah-langkah yang ditetapkan oleh lembaga yang
ditunjuk menangani Bank yang bersangkutan.
BAB V
BANK TIDAK BERDAMPAK SISTEMIK
Pasal 31
Dalam hal Bank dalam pengawasan khusus dinilai tidak berdampak
sistemik dan memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26, Bank Indonesia memberitahukan dan meminta keputusan LPS
untuk melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan
terhadap Bank yang bersangkutan.
Pasal 32
(1) Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan
terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Bank
Indonesia melakukan pencabutan izin usaha Bank yang
bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan keputusan dari
LPS.
(2) Penyelesaian lebih lanjut terhadap Bank yang dicabut izin
usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh LPS
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 33 …
- 19 -
Pasal 33
(1) Bank yang berada dalam penanganan atau penyelamatan LPS
dikecualikan dari penetapan sebagai Bank dalam pengawasan
intensif atau Bank dalam pengawasan khusus.
(2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berkewajiban
melakukan tindakan pengawasan yang ditetapkan Bank Indonesia.
(3) Dalam hal Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi
kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dan huruf
b, Bank Indonesia menetapkan Bank sebagai Bank yang tidak
dapat disehatkan.
(4) Bank Indonesia akan melakukan langkah-langkah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 atau Pasal 31 terhadap Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
BAB VI
LAIN-LAIN
Pasal 34
Penyampaian laporan dan informasi yang wajib dilakukan oleh Bank
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini disampaikan
kepada Bank Indonesia dengan alamat:
a. Departemen Pengawasan Bank yang terkait, Jl.M.H. Thamrin No.2
Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri setempat bagi
Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia.
BAB VII …
- 20 -
BAB VII
SANKSI
Pasal 35
Bank yang melanggar ketentuan dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10 ayat (3), Pasal 11 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4), Pasal 12, Pasal 17,
Pasal 18, Pasal 19, Pasal 21, dan/atau Pasal 23 dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
a. pemberhentian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris
Bank; dan/atau
b. larangan turut serta dalam kegiatan kliring.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 36
Pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini:
(1) Bank yang telah ditetapkan dalam pengawasan intensif berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. status Bank dalam pengawasan intensif tetap berlaku sesuai
dengan jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b. bagi Bank yang telah ditetapkan dalam status pengawasan
intensif karena:
1) kredit bermasalah (Non Performing Loan) secara neto lebih
dari 5% (lima persen) dari total kredit dan penyelesaiannya
bersifat kompleks;
2) tingkat …
- 21 -
2) tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 4 (empat)
atau 5 (lima); atau
3) tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 3 (tiga)
dan faktor manajemen dengan peringkat 4 (empat) atau 5
(lima),
jangka waktu Bank dalam pengawasan intensif dapat
diperpanjang 1 (satu) kali dan paling lama 1 (satu) tahun.
c. perpanjangan jangka waktu Bank dalam pengawasan intensif
karena memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf b
angka 2) atau angka 3), disertai dengan peningkatan tindakan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).
d. bagi Bank yang telah ditetapkan dalam pengawasan intensif
karena memenuhi kriteria peringkat komposit tingkat kesehatan
Bank 3 (tiga) dengan peringkat faktor manajemen 4 (empat) atau
5 (lima) dapat ditetapkan tidak lagi berada dalam pengawasan
intensif dalam hal Bank memperoleh penilaian tingkat kesehatan
dengan peringkat komposit 3 (tiga) dan GCG dengan peringkat 3
(tiga).
(2) Status Bank dalam pengawasan khusus tetap berlaku sesuai
dengan jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia.
BAB IX
PENUTUP
Pasal 37
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan
Bank Indonesia Nomor 13/3/PBI/2011 tentang Penetapan Status dan
Tindak Lanjut Pengawasan Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
bagi Bank Umum Konvensional.
Pasal 38 …
- 22 -
Pasal 38
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Mei 2013
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 93
DPNP
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/2/PBI/2013
TENTANG
PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN
BANK UMUM KONVENSIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
I. UMUM
Sistem perbankan yang sehat merupakan salah satu prasyarat
untuk mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan,
pertumbuhan perekonomian nasional serta terpeliharanya kepercayaan
masyarakat terhadap industri perbankan. Oleh karena itu setiap
permasalahan Bank perlu diselesaikan dengan cepat agar tidak
mengganggu stabilitas sistem keuangan serta menurunkan tingkat
kepercayaan masyarakat.
Penanganan terhadap permasalahan Bank dilakukan bukan
hanya pada saat Bank ditetapkan dalam pengawasan intensif, namun
pada saat Bank dalam pengawasan normal pun perlu ditingkatkan
langkah-langkah pengawasan apabila memiliki permasalahan
signifikan dan berpotensi ditetapkan menjadi Bank dalam pengawasan
intensif. Hal tersebut merupakan langkah preventif yang bertujuan
untuk mengatasi permasalahan sedini mungkin sehingga tidak akan
mengganggu kelangsungan usaha Bank.
Untuk …
- 2 -
Untuk meningkatkan efektifitas upaya penyehatan perbankan
maka Bank Indonesia memperluas cakupan kriteria Bank dalam
pengawasan intensif yang dapat diperpanjang jangka waktunya.
Perluasan cakupan kriteria tersebut bukan hanya kriteria kuantitatif
yaitu karena permasalahan Non Performing Loan (NPL) yang bersifat
kompleks namun juga kriteria kualitatif yaitu tingkat kesehatan Bank
dengan peringkat komposit 4 (empat) atau 5 (lima) atau tingkat
kesehatan Bank dengan peringkat komposit 3 (tiga) dan Good Corporate
Governance (GCG) dengan peringkat 4 (empat).
Agar Direksi dan/atau pengurus Bank berkomitmen untuk
menyelesaikan permasalahannya khususnya apabila memenuhi
kriteria kualitatif, maka dalam hal Bank diberikan perpanjangan
jangka waktu, Bank akan dikenakan peningkatan tindakan
pengawasan baik peningkatan jumlah tindakan pengawasan maupun
peningkatan tindakan pengawasan yang berdampak lebih berat bagi
Bank dari tindakan pengawasan yang ditetapkan sebelumnya. Sebagai
contoh apabila Bank tidak dapat menyelesaikan permasalahannya
setelah diberikan perpanjangan jangka waktu, Bank Indonesia akan
memerintahkan agar Bank dijual kepada pihak lain.
Disamping itu perubahan Peraturan Bank Indonesia tentang
Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank dilakukan
karena adanya penyempurnaan metodologi penilaian tingkat kesehatan
Bank Umum Konvensional yang semula menggunakan CAMELS rating
menjadi risk based bank rating sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum.
II. PASAL …
- 3 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pengawasan normal” adalah
pengawasan terhadap Bank yang tidak memenuhi
kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal
14.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengawasan intensif” adalah
suatu peningkatan proses pengawasan terhadap Bank
yang sebelumnya berada dalam pengawasan normal
dengan tujuan untuk memulihkan kondisi Bank.
Pemulihan tersebut dilakukan dengan menetapkan
tindakan pengawasan (supervisory actions) yang sesuai
dengan permasalahan Bank dengan tujuan untuk
memulihkan kondisi Bank tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengawasan khusus” adalah
suatu peningkatan proses pengawasan terhadap Bank
yang sebelumnya berada dalam pengawasan normal atau
pengawasan …
- 4 -
pengawasan intensif dengan tujuan memulihkan kondisi
Bank.
Pemulihan tersebut dilakukan dengan menetapkan
tindakan pengawasan (supervisory actions) yang sesuai
dengan permasalahan Bank termasuk penambahan
modal Bank dengan tujuan untuk memulihkan kondisi
Bank tersebut.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Bank dalam pengawasan normal
namun memiliki permasalahan yang signifikan adalah Bank
yang memperoleh penilaian tingkat kesehatan dengan
peringkat komposit 3 (tiga) namun berpotensi ditetapkan
dalam pengawasan intensif sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat
kesehatan bank umum.
Rencana tindak memuat langkah-langkah perbaikan yang
akan dilaksanakan oleh Bank dalam rangka mengatasi
permasalahan signifikan yang dihadapi beserta target waktu
penyelesaian permasalahan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 5 -
Ayat (2)
Huruf a
Kewajiban Bank untuk memiliki rasio KPMM sesuai profil
risiko Bank mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank
umum.
Huruf b
Perhitungan rasio modal inti (tier 1) sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
kewajiban penyediaan modal minimum bank umum.
Modal inti (tier 1) bagi kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri adalah dana usaha yang
telah dialokasikan menjadi Capital Equivalency
Maintained Assets (CEMA) sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan GWM dalam rupiah adalah GWM
Primer bagi Bank Umum.
Ketentuan mengenai GWM dalam rupiah adalah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai giro wajib minimum bank umum.
Yang dimaksud dengan permasalahan likuiditas
mendasar antara lain adalah:
- perubahan posisi Bank di pasar uang dari posisi
pemberi pinjaman (net lender) menjadi posisi
penerima pinjaman (net borrower);
posisi …
- 6 -
-
posisi arus kas yang semakin buruk sebagai akibat
maturity mismatch yang besar, terutama pada skala
jangka waktu yang pendek;
- upaya Bank untuk memperoleh dana di pasar uang
dengan suku bunga yang lebih tinggi dari suku
bunga wajar (pasar);
- ketergantungan pada agunan untuk memperoleh
dana; dan/atau
- peningkatan pencairan deposito sebelum jatuh
tempo.
Huruf d
Kredit bermasalah jika memiliki kualitas kurang lancar,
diragukan, dan macet sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian kualitas
aset bank umum.
Perhitungan rasio kredit bermasalah secara neto
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai
penilaian tingkat kesehatan bank umum.
Huruf e
Peringkat komposit tingkat kesehatan Bank adalah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum.
Huruf f
Peringkat GCG adalah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat
kesehatan bank umum.
Pasal 5 …
- 7 -
Pasal 5
Ayat (1)
Perhitungan jangka waktu Bank dalam pengawasan intensif
paling lama 1 (satu) tahun termasuk jangka waktu
penyusunan dan revisi rencana tindak.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penyelesaian bersifat kompleks”
antara lain penyelesaian kredit bermasalah (non
performing loan) untuk kredit sindikasi dan/atau kredit
yang direstrukturisasi secara menyeluruh yang
mencakup kegiatan usaha dari hulu sampai dengan hilir.
Huruf b
Peringkat komposit tingkat kesehatan Bank adalah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum.
Huruf c
Peringkat GCG adalah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat
kesehatan bank umum.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan peningkatan tindakan pengawasan
adalah peningkatan jumlah tindakan pengawasan dan/atau
penerapan tindakan pengawasan yang berdampak lebih berat
bagi Bank dari tindakan pengawasan yang sudah ditetapkan
sebelumnya.
Pasal 6 …
- 8 -
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Tindakan pengawasan yang diperintahkan Bank Indonesia
disesuaikan dengan permasalahan Bank.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”remunerasi atau bentuk lain
yang dipersamakan” antara lain
berupa gaji,
honorarium, insentif, tunjangan rutin, dan tantiem.
Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak
terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit
bagi bank umum.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk “distribusi modal” antara lain pembayaran
dividen, pembayaran bonus atau yang dipersamakan
dengan bonus kepada Direksi dan/atau Dewan
Komisaris Bank, dan/atau pembelian kembali saham
Bank.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f …
- 9 -
Huruf f
Yang dimaksud dengan “transaksi tertentu” antara lain
pencairan dana, pemberian fasilitas penyediaan dana
seperti kredit, surat berharga, letter of credit, standby
letter of credit, atau yang sejenis dengan itu.
Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak
terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit
bagi bank umum.
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah perorangan
atau badan hukum tertentu yang bukan pihak terkait.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “penerbitan produk dan/atau
pelaksanaan aktivitas” antara lain penerbitan surat
utang, sekuritisasi aset, dan kerjasama pemasaran.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n …
- 10 -
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Penggantian Dewan Komisaris dan/atau Direksi Bank
dapat dilakukan sebagian atau seluruhnya.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Contoh tindakan lainnya antara lain mengkinikan
rencana bisnis (business plan).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11 …
- 11 -
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Laporan realisasi merupakan laporan realisasi atas rencana tindak
dan rencana perbaikan permodalan yang telah disetujui Bank
Indonesia.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Ketentuan mengenai KPMM adalah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
kewajiban penyediaan modal minimum bank umum.
Huruf b
Ketentuan mengenai GWM dalam rupiah adalah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai giro wajib minimum bank umum.
Angka 1)
Yang dimaksud dengan “mengalami permasalahan
likuiditas mendasar” antara lain adalah:
Perubahan …
- 12 -
- Perubahan posisi Bank di pasar uang dari posisi
pemberi pinjaman (net lender) menjadi posisi
penerima pinjaman (net borrower);
- Posisi arus kas yang semakin buruk sebagai
akibat maturity mismatch yang besar, terutama
pada skala waktu jangka pendek;
- Upaya Bank untuk memperoleh dana di pasar
uang dengan suku bunga yang lebih tinggi dari
suku bunga wajar (pasar);
- Ketergantungan pada agunan untuk
memperoleh dana; dan/atau
- Peningkatan pencairan deposito sebelum jatuh
tempo.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan “Bank mengalami
perkembangan yang memburuk dalam waktu
singkat” adalah apabila arah (trend) rasio GWM
Bank semakin menurun.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Penambahan modal Bank dapat dilakukan oleh pemegang
saham Bank maupun dari investor baru.
Yang …
- 13 -
Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku adalah
ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan
modal minimum bank umum dan ketentuan Bank Indonesia
mengenai giro wajib minimum bank umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1)
Termasuk dalam pengertian “memiliki” adalah:
a. pemegang saham yang secara sendiri atau bersama-
sama dengan pemegang saham terkait lainnya;
b. pemegang saham yang bertindak atas nama
pemegang saham lain yang menyebabkan pemegang
saham tersebut; atau
c. pemegang saham yang memiliki hak opsi atau hak
lain untuk memiliki saham yang apabila digunakan
akan menyebabkan pemegang saham tersebut,
mempunyai saham Bank sebesar 10% (sepuluh persen)
atau lebih. Termasuk pemegang saham yang secara
bersama-sama dengan pemegang saham terkait lainnya
sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas adalah
pemegang saham yang mempunyai keterkaitan dengan
pemegang saham lainnya dalam bentuk hubungan
kepemilikan, hubungan keluarga sampai dengan derajat
kedua …
- 14 -
kedua, dan/atau melakukan kerjasama untuk mencapai
tujuan bersama dalam mengendalikan Bank (acting in
concert).
Angka 2)
Ketentuan mengenai pemegang saham pengendali dan
pengendalian mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper
test).
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Tindakan membekukan kegiatan usaha tertentu tersebut
dimaksudkan antara lain untuk meminimalisasi dampak kerugian,
memberikan
perlindungan
kepada
nasabah
dan/atau
meminimalisasi gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan.
Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha Bank” adalah kegiatan
usaha Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kondisi Bank semakin
memburuk” apabila:
1) KPMM …
- 15 -
1) KPMM Bank menurun dengan cepat dan dinilai tidak
dapat ditingkatkan menjadi 8% (delapan persen);
dan/atau
2) GWM dalam rupiah Bank menurun dengan cepat dan
tidak dapat diselesaikan sesuai peraturan yang
berlaku.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pemegang saham pengendali
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test).
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Laporan struktur kelompok usaha dalam ayat ini
memuat pihak perorangan dan/atau badan hukum yang
memiliki 10% (sepuluh persen) atau lebih saham badan
hukum dimaksud, serta menyebutkan pihak yang
menjadi pemegang saham pengendali terakhir (ultimate
shareholders).
Huruf g …
- 16 -
Huruf g
Yang dimaksud dengan “laporan proyeksi arus kas”
adalah laporan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko
untuk risiko likuiditas Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengumuman pada homepage Bank Indonesia dilakukan
dengan alamat http://www.bi.go.id.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Pemberitahuan terhadap otoritas pengawasan yang
berwenang terhadap perusahaan induk dan/atau perusahaan
anak Bank dimaksudkan agar otoritas pengawasan tersebut
mendapatkan informasi mengenai tindakan Bank Indonesia
sehingga …
- 17 -
sehingga dapat melakukan langkah-langkah antisipasi yang
diperlukan. Dalam hal Bank merupakan kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri maka yang dimaksud
dengan perusahaan induk adalah kantor pusat dari kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri tersebut.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kerjasama” termasuk kerjasama
pengawasan Bank secara lintas batas (cross border
supervision).
Pasal 26
Huruf a
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku adalah ketentuan Bank Indonesia mengenai giro
wajib minimum bank umum.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jaring
pengaman sistem keuangan dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Pemberian informasi dilakukan dalam rangka tukar-menukar
informasi terkait stabilitas sistem keuangan.
Pasal 29 …
- 18 -
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyelesaian yang dilakukan oleh LPS meliputi antara lain
pembayaran klaim penjaminan simpanan dan likuidasi.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Yang dimaksud dengan “larangan turut serta dalam kegiatan
kliring” dalam hal ini termasuk larangan turut serta dalam Sistem
BI-RTGS.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37 …
- 19 -
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
5417
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 15/2/PBI/2013 </reg_id>
<reg_title> PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title>
<set_date> 20 Mei 2013 </set_date>
<effective_date> 20 Mei 2013 </effective_date>
<replaced_reg> '13/3/PBI/2011' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '24/UU/2004', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2009', '3/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 14/ 24
/PBI/2012
TENTANG
KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mengantisipasi dinamika
perkembangan perekonomian regional dan global,
industri perbankan perlu meningkatkan ketahanan
dan daya saing;
b. bahwa peningkatan ketahanan dan daya saing
perbankan nasional memerlukan struktur
perbankan yang kuat;
c. bahwa struktur perbankan yang kuat dapat dicapai
antara lain melalui penataan struktur kepemilikan
bank melalui kebijakan Kepemilikan Tunggal pada
Perbankan Indonesia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
diatur kembali kebijakan kepemilikan tunggal pada
perbankan Indonesia dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4867);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN
INDONESIA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan
Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, tidak
termasuk Kantor Cabang Bank Asing.
2. Kepemilikan Tunggal adalah suatu kondisi dimana suatu pihak
hanya dapat menjadi pemegang saham pengendali pada 1 (satu)
Bank.
3. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum dan/atau
perorangan dan/atau kelompok usaha yang:
a. memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima
perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan
Bank dan mempunyai hak suara;
b. memiliki saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima
perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan
mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah
melakukan pengendalian Bank baik secara langsung maupun
tidak langsung.
4. Perusahaan …
- 4 -
4. Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company)
adalah badan hukum yang dibentuk dan/atau dimiliki oleh
Pemegang Saham Pengendali untuk mengkonsolidasikan dan
mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas Bank-Bank yang
menjadi anak perusahaannya.
5. Fungsi Holding adalah suatu fungsi yang dimiliki oleh Pemegang
Saham Pengendali berupa Bank yang berbadan hukum Indonesia
atau Pemerintah Republik Indonesia untuk mengkonsolidasikan
dan mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas Bank-Bank
yang menjadi anak perusahaannya.
Pasal 2
(1) Setiap pihak hanya dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali
pada 1 (satu) Bank.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan
bagi:
a. Pemegang Saham Pengendali pada 2 (dua) Bank yang masing-
masing melakukan kegiatan usaha dengan prinsip berbeda,
yakni secara konvensional dan berdasarkan prinsip Syariah;
dan
b. Pemegang Saham Pengendali pada 2 (dua) Bank yang salah
satunya merupakan Bank Campuran (Joint Venture Bank).
Pasal 3
(1) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1):
a. telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1
(satu) Bank; atau
b. melakukan …
- 5 -
b. melakukan pembelian saham Bank lain sehingga yang
bersangkutan menjadi Pemegang Saham Pengendali pada
lebih dari 1 (satu) Bank,
maka yang bersangkutan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(2) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan dengan cara:
a. merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang
dikendalikannya;
b. membentuk Perusahaan Induk di bidang Perbankan; atau
c. membentuk Fungsi Holding.
(3) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a dan huruf b wajib dilakukan dalam waktu paling lama 1 (satu)
tahun:
a. sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, bagi pihak
yang telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih
dari 1 (satu) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a;
b. setelah pelaksanaan pembelian saham Bank lain yang
mengakibatkan yang bersangkutan memenuhi kriteria sebagai
Pemegang Saham Pengendali dari Bank yang dibeli
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(4) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
c wajib dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan:
a. sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, bagi pihak
yang telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih
dari 1 (satu) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a;
b. setelah …
- 6 -
b. setelah pelaksanaan pembelian saham Bank lain yang
mengakibatkan yang bersangkutan memenuhi kriteria sebagai
Pemegang Saham Pengendali dari Bank yang dibeli
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(5) Berdasarkan permintaan Pemegang Saham Pengendali dan Bank-
Bank yang dikendalikannya, Bank Indonesia dapat memberikan
perpanjangan jangka waktu penyesuaian pemenuhan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), apabila menurut
penilaian Bank Indonesia permasalahan yang dihadapi Pemegang
Saham Pengendali dan/atau Bank-Bank yang dikendalikannya
cukup kompleks sehingga menyebabkan pemenuhan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak dapat
diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4).
Pasal 4
(1) Bank yang melakukan merger atau konsolidasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a diberikan insentif berupa:
a. pelonggaran sementara pemenuhan Giro Wajib Minimum
(GWM);
b. perpanjangan waktu penyelesaian pelampauan Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK);
c. kemudahan pembukaan kantor cabang; dan/atau
d. pelonggaran sementara penerapan Good Corporate Govenance
(GCG).
(2) Tata cara pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai insentif dalam rangka konsolidasi perbankan.
Pasal 5 …
- 7 -
Pasal 5
(1) Bentuk badan hukum Perusahaan Induk di Bidang Perbankan
adalah Perseroan Terbatas yang didirikan di Indonesia dan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
(2) Perusahaan Induk di Bidang Perbankan hanya dapat melakukan
kegiatan penyertaan, yang mencakup penyediaan jasa manajemen
dalam rangka meningkatkan efektifitas konsolidasi, strategi usaha,
dan optimalisasi keuangan kelompok usaha yang dikendalikannya.
(3) Perusahaan Induk di Bidang Perbankan berada 1 (satu) tingkat di
atas Bank-Bank yang dikendalikannya secara langsung.
(4) Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dapat berdiri sendiri
sebagai 1 (satu) badan hukum atau berupa Perusahaan Induk di
Bidang Keuangan (Financial Holding Company) yang
mengkonsolidasikan lembaga-lembaga keuangan yang dimiliki oleh
Pemegang Saham Pengendali.
Pasal 6
(1) Fungsi Holding hanya dapat dilakukan oleh Pemegang Saham
Pengendali berupa Bank yang berbadan hukum Indonesia atau
instansi Pemerintah Republik Indonesia.
(2) Fungsi Holding dipimpin oleh:
a. Salah satu anggota direksi pada Bank yang menjadi Pemegang
Saham Pengendali;
b. Salah satu pejabat yang ditunjuk oleh pimpinan tertinggi
instansi Pemerintah Republik Indonesia.
Pasal 7 …
- 8 -
Pasal 7
(1) Pemegang Saham Pengendali yang memilih untuk membentuk
Perusahaan Induk di Bidang Perbankan wajib menyampaikan
rencana pelaksanaan pembentukan Perusahaan Induk di Bidang
Perbankan dan pengalihan saham dari Pemegang Saham
Pengendali kepada Perusahaan Induk di Bidang Perbankan kepada
Bank Indonesia dengan melampirkan dokumen-dokumen
pendukung.
(2) Proses pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan dari ketentuan yang berlaku mengenai akuisisi Bank
Umum dan pembelian saham Bank Umum.
(3) Pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
dilakukan berdasarkan kewajiban dalam ketentuan ini
dikecualikan dari ketentuan yang berlaku bagi calon pemegang
saham Bank untuk menyesuaikan kepemilikan sahamnya dengan
batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kepemilikan saham Bank Umum.
Pasal 8
(1) Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan (fit and
proper test) terhadap calon pengurus Perusahaan Induk di Bidang
Perbankan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test).
(2) Bank yang membentuk Fungsi Holding wajib menyampaikan
informasi dan dokumen pendukung mengenai pelaksana Fungsi
Holding dan rencana pelaksanaannya kepada Bank Indonesia.
Pasal 9 …
- 9 -
Pasal 9
(1) Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan Fungsi Holding wajib
memberikan arah strategis dan mengkonsolidasikan laporan
keuangan Bank-Bank yang menjadi anak perusahaannya.
(2) Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap
Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan terhadap Fungsi
Holding sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tugas
pengaturan dan pengawasan Bank.
(3) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan
terhadap Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan Fungsi
Holding baik secara berkala maupun sewaktu-waktu apabila
diperlukan.
Pasal 10
(1) Bank-Bank dengan Pemegang Saham Pengendali yang sama wajib
menyusun rencana pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan menyampaikannya kepada Bank
Indonesia paling lama 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Bank
Indonesia ini berlaku.
(2) Bank yang akan diakuisisi oleh pihak yang telah menjadi
Pemegang Saham Pengendali pada Bank lain wajib menyampaikan
rencana pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dan menyampaikannya kepada Bank Indonesia
pada saat mengajukan izin akuisisi.
(3) Rencana pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) memuat paling kurang cara yang dipilih, rencana
tindak, dan jadwal waktu pelaksanaannya.
(4) Rencana …
- 10 -
(4) Rencana pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dapat disusun dan disampaikan oleh masing-
masing Bank atau bersama-sama oleh beberapa Bank dengan
Pemegang Saham Pengendali yang sama dan wajib ditandatangani
oleh Direksi dan Dewan Komisaris masing-masing Bank serta
diketahui oleh Pemegang Saham Pengendali tersebut.
(5) Bank-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan pemenuhan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank
Indonesia setiap triwulan terhitung sejak persetujuan Bank
Indonesia atas rencana pemenuhan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(6) Rencana pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), serta laporan perkembangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada:
a. Bank Indonesia, Up. Departemen Pengawasan Bank (DPB),
dialamatkan ke Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi
bank umum konvensional yang berkantor pusat di wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia;
b. Bank Indonesia, Up. Departemen Perbankan Syariah (DPbS),
dialamatkan ke Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi
bank umum syariah yang berkantor pusat di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
c. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat bagi Bank yang
berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia.
Pasal 11 …
- 11 -
Pasal 11
(1) Pemegang Saham Pengendali yang tidak melakukan pemenuhan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilarang
melakukan pengendalian dan dilarang memiliki saham dengan hak
suara pada masing-masing Bank lebih dari 10% (sepuluh
perseratus) dari jumlah saham Bank.
(2) Bank-Bank dengan Pemegang Saham Pengendali sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mencatat kepemilikan saham dan
hak suara yang bersangkutan dalam Rapat Umum Pemegang
Saham paling tinggi sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah
saham Bank.
(3) Bank-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
menatausahakan jumlah kelebihan saham di atas 10% (sepuluh
perseratus) milik Pemegang Saham Pengendali sebagai saham
tanpa hak suara sampai dengan saham dimaksud dialihkan
kepada pihak lain.
Pasal 12
Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) wajib mengalihkan kelebihan saham di atas 10% (sepuluh
perseratus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) kepada
pihak lain paling lama 1 (satu) tahun setelah berakhirnya jangka waktu
pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
dan ayat (4).
Pasal 13 …
- 12 -
Pasal 13
Bank yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) dikenakan :
1. sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
2. sanksi dalam penilaian aspek Good Corporate Governance pada
penilaian tingkat kesehatan Bank.
Pasal 14
(1) Pemegang Saham Pengendali yang memiliki lebih dari 1 (satu)
Bank namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 dikenakan sanksi administratif berupa larangan
menjadi Pemegang Saham Pengendali pada seluruh bank di
Indonesia untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menghilangkan kewajiban Pemegang Saham Pengendali untuk
tetap mengalihkan kelebihan saham di atas 10% (sepuluh
perseratus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
Pasal 15
Pengurus Perusahaan Induk di Bidang Perbankan yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dikenakan
sanksi administratif berupa uji kemampuan dan kepatutan (fit and
proper test).
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 17 …
- 13 -
Pasal 17
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/16/PBI/2006 tentang
Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4642) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
2. Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf e, Pasal 3 dan Pasal 7 Peraturan
Bank Indonesia Nomor 8/17/PBI/2006 tentang Insentif dalam
rangka Konsolidasi Perbankan sebagaimana diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/12/PBI/2007 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
3. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4642) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut
dan tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 18
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar …
- 14 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Desember 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Desember 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 284
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 14/ 24 /PBI/2012
TENTANG
KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA
UMUM
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/16/PBI/2006 tentang
Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia pertama kali
diterbitkan pada bulan Oktober 2006. Dalam kurun waktu 6 tahun
setelah penerbitan Peraturan Bank Indonesia tersebut, bank-bank
telah melakukan konsolidasi pada masing-masing kelompok usahanya.
Konsolidasi perbankan merupakan salah satu prasyarat untuk
mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat.
Dengan konsolidasi perbankan diharapkan terjadi peningkatan
economic of scale dari bank-bank di Indonesia dan peningkatan
efektivitas pengawasan bank, khususnya melalui pengawasan bank
secara terkonsolidasi.
Sementara itu, rencana integrasi sektor keuangan ASEAN pada
tahun 2020 yang memungkinkan bank-bank dengan kualifikasi
tertentu (Qualified ASEAN Banks – QAB) bebas beroperasi di kawasan
ASEAN, akan meningkatkan persaingan antara bank-bank nasional
dengan bank-bank dari kawasan ASEAN.
Untuk mengantisipasi integrasi sektor keuangan regional dan
global tersebut, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan ketahanan
dan daya saing perbankan nasional, baik melalui akselerasi konsolidasi
perbankan …
- 2 -
perbankan maupun upaya-upaya untuk meningkatkan kesehatan
bank, kualitas pelaksanaan good corporate governance, maupun
meningkatkan permodalan Bank.
Namun demikian, perlu disadari bahwa ketahanan dan daya
saing perbankan yang kuat sangat dipengaruhi dan membutuhkan
dukungan struktur perbankan yang kuat pula. Struktur perbankan
yang kuat menjadi kerangka dasar yang diharapkan mampu
mendukung peningkatan perekonomian nasional, yang antara lain
dapat dicapai melalui penataan struktur kepemilikan bank.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, dinilai perlu
untuk melakukan penyempurnaan atas kebijakan Kepemilikan Tunggal
pada Perbankan Indonesia yang selama ini telah diterapkan.
Penyempurnaan dilakukan dengan memberikan alternatif penyesuaian
struktur kepemilikan saham Bank melalui pembentukan Perusahaan
Induk di Bidang Perbankan maupun pelaksanaan fungsi holding, serta
penyesuaian-penyesuaian lainnya yang mendukung.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 …
- 3 -
Pasal 2
Ayat (1)
Sesuai ketentuan Bank Indonesia tentang Uji Kemampuan
dan Kepatutan (Fit and Proper Test), bagi Pemegang Saham
Pengendali yang berbentuk badan hukum, pengertian
Pemegang Saham Pengendali adalah sampai dengan pemilik
dan pengendali terakhir dari badan hukum tersebut (ultimate
shareholders).
Sejalan dengan itu, pengertian mengenai telah melakukan
pengendalian baik secara langsung maupun tidak langsung
juga mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
Ayat (2)
Huruf a
Berdasarkan ketentuan ini, apabila Pemegang Saham
Pengendali memiliki lebih dari 2 (dua) Bank dan
diantaranya terdapat beberapa Bank dengan prinsip
kegiatan usaha yang sama, maka kepemilikan atas
Bank-Bank dengan prinsip kegiatan usaha yang sama
tersebut tidak memperoleh pengecualian.
Sebagai contoh: Pemegang Saham Pengendali yang telah
memiliki 1 (satu) Bank konvensional dan 1 (satu) Bank
berdasarkan Prinsip Syariah yang kemudian
mengakuisisi Bank berdasarkan Prinsip Syariah, maka
Pemegang Saham Pengendali tersebut wajib melakukan
penyesuaian struktur kepemilikan atas kedua Bank
berdasarkan Prinsip Syariah tersebut.
Huruf b …
- 4 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan Bank Campuran dalam
ketentuan ini adalah Bank yang didirikan dan dimiliki
oleh bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank
di Indonesia, yang telah memperoleh izin usaha sebelum
mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan dan pada saat mulai
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini komposisi
pemegang sahamnya masih tetap terdiri dari bank yang
berkedudukan di luar negeri dan Bank di Indonesia.
Sejalan dengan penjelasan dalam huruf a, apabila
Pemegang Saham Pengendali Bank Campuran memiliki
lebih dari 1 (satu) Bank lain bukan Bank Campuran,
maka kepemilikan atas Bank-Bank bukan Bank
Campuran tersebut tidak memperoleh pengecualian.
Sebagai contoh: Pemegang Saham Pengendali yang telah
memiliki 1 (satu) Bank Campuran dan 1 (satu) Bank
lain bukan Bank Campuran yang kemudian
mengakuisisi Bank lain, maka Pemegang Saham
Pengendali tersebut wajib melakukan penyesuaian
struktur kepemilikan atas kedua Bank yang bukan
Bank Campuran tersebut.
Pasal 3 …
- 5 -
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pelaksanaan merger atau konsolidasi dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang mengatur tentang merger atau
konsolidasi Bank Umum.
Huruf b
Dengan ketentuan ini maka Bank-Bank yang
dikendalikan oleh Pemegang Saham Pengendali tersebut
tetap ada sebagaimana semula, namun saham yang
semula dimiliki secara langsung atau tidak langsung
oleh Pemegang Saham Pengendali dialihkan
kepemilikannya kepada Perusahaan Induk di Bidang
Perbankan.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) …
- 6 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Kewajiban pembentukan Perusahaan Induk di Bidang
Perbankan sebagai badan hukum Indonesia diberlakukan bagi
Pemegang Saham Pengendali berupa:
a. Perorangan dan badan hukum non-bank yang
berkedudukan di dalam negeri; dan/atau
b. Perorangan dan badan hukum yang berkedudukan di luar
negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Perusahaan Induk di Bidang Keuangan (Financial Holding
Company) adalah badan hukum yang dibentuk dan/atau
dimiliki oleh Pemegang Saham Pengendali untuk
mengkonsolidasikan dan mengendalikan secara langsung
seluruh …
- 7 -
seluruh aktivitas perusahaan keuangan yang menjadi anak
perusahaannya.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan instansi Pemerintah Republik
Indonesia yang berwenang adalah instansi yang berwenang
menangani Bank-Bank yang dimiliki oleh Pemerintah
Republik Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Rencana pelaksanaan pembentukan Perusahaan Induk di
Bidang Perbankan dilaporkan dalam Rencana Bisnis Bank
dan dituangkan secara detil dalam Rencana Pembentukan
Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan Rencana
Pengalihan Saham dari Pemegang Saham Pengendali kepada
Perusahaan Induk di Bidang Perbankan.
Dokumen pendukung yang wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia meliputi, antara lain:
a. berita acara Rapat Umum Pemegang Saham masing-
masing Bank;
b. rancangan anggaran dasar pendirian Perusahaan Induk di
Bidang Perbankan;
c. rancangan akta pengalihan saham Bank; dan
d. daftar …
- 8 -
d. daftar calon pengurus Perusahaan Induk di Bidang
Perbankan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kepemilikan saham Bank Umum, calon pemegang
saham Bank wajib menyesuaikan kepemilikan sahamnya
dengan batas maksimum kepemilikan saham pada saat
menjadi pemegang saham Bank. Dengan ketentuan ini maka
seluruh saham Pemegang Saham Pengendali dapat dialihkan
kepada Perusahaan Induk di Bidang Perbankan. Namun
demikian, ketentuan tersebut tidak menghilangkan kewajiban
Perusahaan Induk di Bidang Perbankan untuk menyesuaikan
kepemilikan sahamnya apabila setelah pengalihan saham
tersebut Bank yang dimiliki tidak memenuhi kriteria tingkat
kesehatan Bank dan penilaian good corporate governance
sesuai yang dipersyaratkan dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai kepemilikan saham Bank Umum.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 9 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan saham Bank adalah saham Bank yang
memiliki hak suara.
Ayat (2)
Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam huruf ini tidak
mempengaruhi pencatatan akuntansi maupun permodalan
Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12 …
- 10 -
Pasal 12
Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam ayat ini adalah pihak di
luar kelompok usaha dan atau keluarga sampai dengan derajat
kedua dari Pemegang Saham Pengendali yang bersangkutan.
Pengalihan saham dari Pemegang Saham Pengendali kepada
pihak lain dilakukan sesuai dengan ketentuan yang mengatur
tentang Akuisisi Bank Umum dan Pembelian Saham Bank
Umum.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan penilaian tingkat kesehatan Bank adalah
penilaian tingkat kesehatan Bank sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia mengenai:
a. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, untuk Bank
Umum Konvensional; dan
b. Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, untuk
Bank Umum berdasarkan prinsip syariah.
Pasal 14 …
- 11 -
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bank” adalah Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5382
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/24/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA </reg_title>
<set_date> 26 Desember 2012 </set_date>
<effective_date> 26 Desember 2012 </effective_date>
<issued_date> 26 Desember 2012 </issued_date>
<replaced_reg> '8/16/PBI/2006', '8/17/PBI/2006 | Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf e, Pasal 3, dan Pasal 7', '9/12/PBI/2007' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '21/UU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 14', 'Pasal 13', 'Pasal 15' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/19/PBI/2016
TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH
ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah;
b. bahwa dalam mencapai kestabilan nilai Rupiah
diperlukan pasar keuangan yang likuid dan efisien,
untuk dapat mendukung kegiatan ekonomi nasional;
c. bahwa pasar keuangan yang likuid dan efisien dapat
dicapai melalui pengembangan pasar valuta asing
domestik secara menyeluruh, dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam bertransaksi
di pasar valuta asing;
d. bahwa dalam upaya pengembangan pasar valuta asing
domestik perlu melakukan pengaturan yang
komprehensif melalui pengayaan instrumen,
pengembangan infrastruktur,
kredibilitas pasar;
dan
peningkatan
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank
dengan Pihak Asing;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI
VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN
PIHAK ASING.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
serta Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
namun tidak termasuk kantor Bank Umum dan Bank
Umum Syariah berbadan hukum Indonesia yang
beroperasi di luar negeri.
- 3 -
2. Pihak Asing adalah:
a. warga negara asing;
b. badan hukum asing atau lembaga asing lainnya;
c. warga negara Indonesia yang memiliki status
penduduk tetap (permanent resident) negara lain
dan tidak berdomisili di Indonesia;
d. kantor Bank di luar negeri dari Bank yang berkantor
pusat di Indonesia; atau
e. kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan
yang berbadan hukum Indonesia.
3. Warga Negara Asing adalah orang yang memiliki
kewarganegaraan selain Indonesia, termasuk yang
memiliki izin menetap atau izin tinggal di Indonesia.
4. Badan Hukum Asing atau Lembaga Asing lainnya adalah
badan hukum atau lembaga asing yang didirikan di luar
negeri, namun tidak termasuk:
a. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri;
b. perusahaan penanaman modal asing (PMA); atau
c. badan hukum asing atau lembaga asing yang
memiliki kegiatan yang bersifat nirlaba.
5. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah
transaksi penjualan dan pembelian valuta asing
terhadap Rupiah.
6. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau
perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan
turunan dari nilai tukar valuta asing terhadap Rupiah,
gabungan turunan dari nilai tukar valuta asing terhadap
Rupiah dan suku bunga (valuta asing dan Rupiah), atau
gabungan antarturunan dari nilai tukar valuta asing
terhadap Rupiah.
7.
Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari
pembelian atau penjualan valuta asing terhadap Rupiah.
- 4 -
8.
Kredit atau Pembiayaan adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara Bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga
atau imbalan, termasuk:
a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada
rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar
lunas pada akhir hari;
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan
anjak piutang; atau
c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak
lain.
9. Transfer Rupiah adalah pemindahan sejumlah dana
Rupiah yang ditujukan kepada penerima dana untuk
kepentingan Bank ataupun nasabah Bank, baik melalui
setoran tunai maupun pemindahbukuan antarrekening
pada Bank yang sama atau Bank yang berbeda, yang
menyebabkan bertambahnya saldo rekening Rupiah
penerima dana.
10. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel,
obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau
kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit,
dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar
modal dan pasar uang, termasuk obligasi yang
diterbitkan oleh lembaga multilateral atau supranasional
yang seluruh dana hasil penerbitan obligasi tersebut
digunakan untuk kepentingan pembiayaan kegiatan
ekonomi di Indonesia, termasuk surat berharga yang
berdasarkan prinsip syariah.
11. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli antara
valuta asing terhadap Rupiah dengan penyerahan dana
dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi,
termasuk transaksi dengan penyerahan dana pada hari
yang sama (today) atau dengan penyerahan dana 1 (satu)
hari kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow).
- 5 -
12. Prime Bank adalah bank yang memiliki peringkat
investasi tertentu dari lembaga pemeringkat dan total
aset yang termasuk dalam 200 (dua ratus) besar dunia
berdasarkan informasi yang tercantum dalam Banker’s
Almanac.
13. Call Spread Option adalah gabungan beli call option dan
jual call option yang dilakukan secara simultan dalam
satu kontrak transaksi dengan strike price yang berbeda
dan nominal yang sama.
BAB II
TRANSAKSI
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
Pasal 2
(1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi:
a. Transaksi Spot; dan
b. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah.
(2) Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. transaksi derivatif yang standar (plain vanilla),
dalam bentuk forward, swap, option, dan cross
currency swap (CCS); dan
b. transaksi structured product valuta asing terhadap
Rupiah berupa Call Spread Option.
Bagian Kedua
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
Pasal 3
(1) Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah dengan Pihak Asing atas dasar suatu kontrak.
- 6 -
(2) Dalam melakukan kegiatan Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah, Bank wajib:
a. memenuhi ketentuan otoritas perbankan yang
mengatur mengenai kategori Bank yang dapat
melakukan kegiatan transaksi valuta asing;
b. menerapkan manajemen risiko sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang
mengatur mengenai penerapan manajemen risiko
Bank;
c. memberikan edukasi tentang Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah kepada Pihak Asing
untuk pelaksanaan kegiatan Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah; dan
d. memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah.
(3) Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah dengan Pihak Asing, Bank wajib menggunakan
kuotasi harga (kurs) valuta asing terhadap Rupiah yang
ditetapkan oleh Bank.
(4) Dalam hal Bank melakukan transaksi structured product
valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b,
selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Bank juga wajib memenuhi ketentuan
otoritas perbankan yang mengatur mengenai prinsip
kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan structured
product bagi bank umum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kontrak, edukasi
kepada nasabah, dan kuotasi harga (kurs) pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
- 7 -
Pasal 4
(1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah berupa
Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a dan transaksi derivatif yang standar
(plain vanilla) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) huruf a, yang dilakukan Bank dengan Pihak Asing di
atas jumlah tertentu (threshold) wajib memiliki
Underlying Transaksi.
(2) Transaksi structured product valuta asing terhadap
Rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b wajib memiliki
Underlying Transaksi.
(3) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) meliputi seluruh kegiatan:
a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar
negeri; dan/atau
b. investasi berupa foreign direct investment, portfolio
investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya
di dalam dan di luar negeri.
(4) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) meliputi juga perkiraan pendapatan dan biaya
(income dan expense estimation).
(5) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tidak termasuk:
a. penggunaan Sertifikat Bank Indonesia, untuk
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah;
b. penempatan dana pada Bank (vostro) antara lain
berupa tabungan, giro, deposito, dan sertifikat
deposito (negotiable certificate of deposit);
c.
fasilitas pemberian kredit yang masih belum ditarik,
antara lain berupa standby loan dan undisbursed
loan; dan
d. penggunaan Surat Berharga Bank Indonesia dalam
valuta asing.
- 8 -
(6) Khusus untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah
melalui transaksi forward oleh Pihak Asing kepada Bank
dan untuk transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki
Pihak Asing, Underlying Transaksi juga meliputi
kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di
luar negeri antara lain berupa tabungan, giro, deposito,
dan sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (5), dan ayat (6) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Bagian Ketiga
Transaksi Spot antara Bank dengan Pihak Asing
Pasal 5
(1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) untuk pembelian valuta asing
terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank melalui
Transaksi Spot adalah USD25,000.00 (dua puluh lima
ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan
per Pihak Asing.
(2) Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak
Asing kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang melebihi nominal Underlying Transaksi.
(3) Dalam hal nominal Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak dalam kelipatan
USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) maka
terhadap nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat
dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan
USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah tertentu
(threshold) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
- 9 -
Bagian Keempat
Transaksi Derivatif yang Standar (Plain Vanilla) antara Bank
dengan Pihak Asing
Pasal 6
(1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1), untuk penjualan valuta asing
terhadap Rupiah melalui transaksi derivatif yang standar
(plain vanilla) antara Bank dengan Pihak Asing dan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui
transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) antara
Bank dengan Pihak Asing adalah masing-masing
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) atau
ekuivalennya per transaksi per Pihak Asing maupun per
posisi (outstanding) per Bank.
(2) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) untuk penjualan valuta asing
terhadap Rupiah melalui transaksi forward adalah
USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) atau
ekuivalennya per transaksi per Pihak Asing.
(3) Penjualan valuta asing terhadap Rupiah dengan
Transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) dan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah dengan
Transaksi derivatif yang standar (plain vanilla)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penjualan
valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang melebihi
nilai nominal Underlying Transaksi.
(4) Dalam hal nominal Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak dalam kelipatan
USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat)
maka terhadap nominal Underlying Transaksi tersebut
dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan
USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat).
(5) Jangka waktu pembelian dan penjualan valuta asing
terhadap Rupiah oleh Bank kepada Pihak Asing dilarang
melebihi jangka waktu Underlying Transaksi.
- 10 -
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah tertentu
(threshold) dan pembulatan kelipatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 7
(1) Dalam hal Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah berupa investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b
maka Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. terdapat realisasi investasi; dan
b. nilai Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah untuk investasi paling banyak sebesar nilai
realisasi investasi yang tercantum dalam dokumen
Underlying Transaksi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai realisasi investasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 8
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dapat pula
dilakukan oleh Bank dengan Pihak Asing dalam rangka cover
hedging Bank.
Pasal 9
Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 4
ayat (2) tidak berlaku untuk penyelesaian Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah awal yang dilakukan melalui:
a.
perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka
waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama
sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal;
b.
c.
percepatan penyelesaian transaksi (early termination);
atau
pengakhiran transaksi (unwind).
- 11 -
Bagian Kelima
Transaksi Structured Product Valuta Asing Terhadap Rupiah
Berupa Call Spread Option
Pasal 10
(1) Bank dilarang melakukan transaksi structured product
valuta asing terhadap Rupiah.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
berlaku bagi Bank sebagai agen penjual (selling agent).
(3) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan untuk transaksi structured product valuta
asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option yang
memenuhi persyaratan:
a. didukung oleh Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 4 ayat
(4);
b. nominal transaksi structured product valuta asing
terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidak
melebihi nominal Underlying Transaksi; dan
c. jangka waktu transaksi structured product valuta
asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option
tidak melebihi jangka waktu Underlying Transaksi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai structured product
valuta asing terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 11
(1) Transaksi structured product valuta asing terhadap
Rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b wajib dilakukan
secara dynamic hedging.
(2) Transaksi dynamic hedging sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan untuk memastikan pelaku transaksi
Call Spread Option tidak terekspos pada risiko nilai tukar
akibat kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread
Option awal.
- 12 -
(3) Transaksi dynamic hedging sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilakukan dengan persyaratan sebagai
berikut:
a. kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurs
transaksi Call Spread Option awal;
b. kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran
kurs transaksi Call Spread Option awal;
c. menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan
belum jatuh waktu;
d. nominal tidak bersifat kumulatif;
e. jangka waktu:
1) paling kurang 6 (enam) bulan untuk transaksi
Call Spread Option awal yang memiliki sisa
jatuh waktu 6 (enam) bulan atau lebih; atau
2) mengikuti sisa jatuh waktu transaksi Call
Spread Option awal untuk transaksi Call Spread
Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu
kurang dari 6 (enam) bulan; dan
f. dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah
kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread
Option awal.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dynamic hedging
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Transaksi Spot yang dilakukan dalam rangka transaksi
Call Spread Option dapat menggunakan Underlying
Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread
Option awal.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
- 13 -
BAB III
PENYELESAIAN TRANSAKSI
Pasal 13
(1) Penyelesaian Transaksi Spot sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a antara Bank dengan
Pihak Asing wajib dilakukan dengan pemindahan dana
pokok secara penuh.
(2) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
antara Bank dengan Pihak Asing dapat dilakukan secara
netting atau dengan pemindahan dana pokok secara
penuh.
(3) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing yang dapat
dilakukan secara netting sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi
(roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early
termination), dan pengakhiran transaksi (unwind).
(4) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah
oleh Pihak Asing kepada Bank melalui transaksi forward
dengan nominal transaksi paling banyak sebesar jumlah
tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (2) wajib dilakukan dengan pemindahan dana
pokok secara penuh.
(5) Kewajiban pemindahan dana pokok secara penuh untuk
penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah
oleh Pihak Asing kepada Bank melalui transaksi forward
dengan nominal transaksi paling banyak sebesar jumlah
tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur sebagai berikut:
a. pemindahan dana pokok secara penuh dilakukan
pada saat jatuh waktu transaksi forward jual;
- 14 -
b. dalam hal dilakukan perpanjangan transaksi (roll
over) atau percepatan penyelesaian transaksi (early
termination), penyelesaian dengan pemindahan dana
pokok secara penuh dilakukan pada saat
berakhirnya kontrak perpanjangan transaksi (roll
over) atau percepatan penyelesaian transaksi (early
termination); dan
c. perpanjangan transaksi (roll over) atau percepatan
penyelesaian transaksi (early termination)
sebagaimana dimaksud pada huruf b, dapat
dilakukan sepanjang didukung oleh Underlying
Transaksi dari transaksi forward jual awal.
(6) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah
melalui transaksi forward dengan nominal paling banyak
sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dilakukan melalui
pengakhiran transaksi (unwind).
(7) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah
oleh Pihak Asing kepada Bank melalui transaksi forward
dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa
kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di
luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(6) wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok
secara penuh.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4), ayat (6), dan ayat (7) diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 14
(1) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah yang standar (plain vanilla) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a yang dilakukan
antara Bank dengan Pihak Asing secara netting
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dengan
nominal paling banyak sebesar jumlah tertentu
(threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
- 15 -
dapat dilakukan sepanjang didukung dengan Underlying
Transaksi dari Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah awal.
(2) Dalam hal pada saat penyelesaian Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah awal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pihak Asing tidak dapat
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi maka
penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah awal dilakukan dengan pemindahan dana pokok
secara penuh.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IV
LARANGAN TRANSAKSI BAGI BANK DAN
PENGECUALIANNYA
Bagian Kesatu
Larangan Bagi Bank
Pasal 15
Bank dilarang melakukan transaksi tertentu dengan Pihak
Asing yang meliputi:
a. pemberian Kredit atau Pembiayaan dalam Rupiah
dan/atau valuta asing;
b. penempatan dalam Rupiah;
c.
d.
e.
f.
pembelian Surat Berharga dalam Rupiah yang
diterbitkan oleh Pihak Asing;
tagihan antarkantor dalam Rupiah;
tagihan antarkantor dalam valuta asing dalam rangka
pemberian Kredit atau Pembiayaan di luar negeri; dan
penyertaan modal dalam Rupiah.
- 16 -
Bagian Kedua
Pengecualian Larangan
Pasal 16
Larangan terhadap pemberian Kredit atau Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a tidak berlaku
terhadap:
a.
Kredit atau Pembiayaan nontunai atau garansi yang
terkait dengan kegiatan investasi di Indonesia yang
memenuhi persyaratan berikut:
1) memperoleh counter guaranty (kontra garansi) dari
Prime Bank yang bukan merupakan:
a) kantor cabang Bank di luar negeri; dan
b) kantor cabang dari bank yang berkedudukan
di luar negeri baik yang berada di dalam
maupun di luar negeri; atau
2) adanya jaminan setoran sebesar 100% (seratus
persen) dari nilai garansi yang diberikan;
b.
Kredit atau Pembiayaan dalam bentuk sindikasi yang
memenuhi persyaratan berikut:
1)
mengikutsertakan Prime Bank sebagai lead bank
yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a)
memiliki peringkat investasi yang diberikan
oleh lembaga pemeringkat paling kurang:
i. BBB-
dari lembaga pemeringkat
Standard & Poors;
ii. Baa3 dari lembaga pemeringkat Moody’s;
iii. BBB- dari lembaga pemeringkat Fitch;
atau
iv. setara dengan angka i, angka ii,
dan/atau angka iii berdasarkan
penilaian lembaga pemeringkat
terkemuka lain yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia;
berdasarkan penilaian terhadap prospek
usaha jangka panjang (long term outlook) Bank
tersebut; dan
- 17 -
b)
memiliki total aset yang termasuk dalam 200
(dua ratus) besar dunia berdasarkan
informasi yang tercantum dalam Banker’s
Almanac,
2)
diberikan untuk pembiayaan proyek di sektor riil
untuk usaha produktif yang berada di wilayah
Indonesia; dan
3)
kontribusi bank asing sebagai anggota sindikasi
lebih besar dibandingkan dengan kontribusi Bank
di dalam negeri,
c.
d.
e.
kartu kredit;
Kredit atau Pembiayaan konsumsi yang digunakan di
dalam negeri;
cerukan intrahari dalam Rupiah atau valuta asing yang
didukung oleh dokumen yang bersifat authenticated yang
menunjukkan konfirmasi akan adanya dana masuk ke
rekening bersangkutan pada hari yang sama dan
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Surat
Edaran Bank Indonesia;
f.
g.
cerukan dalam Rupiah atau valuta asing karena
pembebanan biaya administrasi; dan
pengambilalihan tagihan dari badan yang ditunjuk
pemerintah untuk mengelola aset Bank dalam rangka
restrukturisasi perbankan Indonesia oleh Pihak Asing
yang pembayarannya dijamin oleh Prime Bank.
Pasal 17
Larangan pembelian Surat Berharga dalam Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c tidak berlaku
terhadap:
a.
pembelian Surat Berharga yang berkaitan dengan
kegiatan ekspor barang dari Indonesia dan impor barang
ke Indonesia serta perdagangan dalam negeri; dan
b.
pembelian bank draft dalam Rupiah yang diterbitkan
oleh bank di luar negeri untuk kepentingan Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri dan dana
- 18 -
Rupiah tersebut diterima di dalam negeri oleh bukan
Pihak Asing.
BAB V
TRANSFER RUPIAH KEPADA PIHAK ASING
Pasal 18
Bank dilarang melakukan Transfer Rupiah ke luar negeri.
Pasal 19
(1) Bank dapat melakukan Transfer Rupiah ke rekening
yang dimiliki Pihak Asing dan/atau yang dimiliki secara
gabungan (joint account) antara Pihak Asing dengan
bukan Pihak Asing pada Bank di dalam negeri apabila:
a.
nilai nominal Transfer Rupiah sampai dengan
ekuivalen USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat) per hari per Pihak Asing; atau
b.
dilakukan antarrekening Rupiah yang dimiliki oleh
Pihak Asing yang sama.
(2) Dalam hal Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki
Pihak Asing yang berasal dari selain Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan nilai nominal di
atas ekuivalen USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat) per hari per Pihak Asing, Bank
penerima Transfer Rupiah wajib memastikan bahwa
Pihak Asing memiliki Underlying Transaksi.
(3) Dalam hal Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki
Pihak Asing dalam rangka penyelesaian Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah awal melalui:
a.
perpanjangan transaksi (roll over), sepanjang
jangka waktu perpanjangan transaksi (roll over)
paling lama sama dengan jangka waktu Underlying
Transaksi awal;
b.
c.
percepatan penyelesaian transaksi (early
termination); atau
pengakhiran transaksi (unwind),
- 19 -
Bank tidak wajib meminta Underlying Transaksi kepada
Pihak Asing.
(4) Bank penerima dari suatu Transfer Rupiah yang
ditujukan kepada Pihak Asing wajib melakukan
verifikasi terhadap status pihak penerima dana.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Transfer Rupiah kepada
Pihak Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
BAB VI
DOKUMEN TRANSAKSI
Bagian Kesatu
Jenis Dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah
Pasal 20
(1) Jenis dokumen Underlying Transaksi untuk Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang
diwajibkan menggunakan Rupiah sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat
menjadi dokumen Underlying Transaksi untuk Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jenis
dokumen Underlying Transaksi dan dokumen tagihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
- 20 -
Bagian Kedua
Dokumen Transaksi Spot antara Bank dengan Pihak Asing
Pasal 21
(1) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta
asing terhadap Rupiah kepada Bank melalui Transaksi
Spot dengan nilai nominal di atas jumlah tertentu
(threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1), Bank wajib memastikan Pihak Asing untuk
menyampaikan dokumen sebagai berikut:
a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final
maupun yang berupa perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis
yang authenticated dari Pihak Asing yang berisi
informasi mengenai:
1)
keaslian dan kebenaran dokumen Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf
a;
2) penggunaan dokumen Underlying Transaksi
untuk pembelian valuta asing terhadap
Rupiah paling banyak sebesar nominal
Underlying Transaksi dalam sistem perbankan
di Indonesia; dan
3) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan
tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal
dokumen Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada huruf a berupa perkiraan.
(2) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta
asing terhadap Rupiah kepada Bank melalui Transaksi
Spot paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Bank
wajib memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan
dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang
authenticated yang menyatakan bahwa pembelian valuta
asing terhadap Rupiah tidak lebih dari USD25,000.00
(dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau
- 21 -
ekuivalennya per bulan per Pihak Asing dalam sistem
perbankan di Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Underlying Transaksi,
dokumen pendukung, dan penetapan jenis dokumen
Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Bagian Ketiga
Dokumen Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
antara Bank dengan Pihak Asing
Pasal 22
(1) Dalam hal Bank melakukan transaksi derivatif yang
standar (plain vanilla) di atas jumlah tertentu (threshold)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan
transaksi structured product valuta asing terhadap
Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
dengan Pihak Asing, Bank wajib memastikan Pihak
Asing untuk menyampaikan dokumen sebagai berikut:
a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final
maupun yang berupa perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis
yang authenticated dari Pihak Asing yang berisi
informasi mengenai:
1)
keaslian dan kebenaran dokumen Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf
a;
2) penggunaan dokumen Underlying Transaksi
untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah paling banyak sebesar
nominal Underlying Transaksi dalam sistem
perbankan di Indonesia;
- 22 -
3) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan
tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal
dokumen Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada huruf a berupa perkiraan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah; dan
4) sumber dana, jumlah penjualan, dan tanggal
tersedianya valuta asing, dalam hal dokumen
Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud
pada huruf a berupa perkiraan penjualan
valuta asing terhadap Rupiah.
(2) Dalam hal Pihak Asing melakukan penyelesaian
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
dengan nilai nominal paling banyak sebesar jumlah
tertentu (threshold) secara netting sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) maka Pihak Asing
wajib menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen Underlying
Transaksi dan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Dokumen Transfer Rupiah
Pasal 23
Dalam hal terdapat Transfer Rupiah kepada Pihak Asing yang
berasal dari selain Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah di atas ekuivalen USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat) per hari per Pihak Asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), Bank penerima Transfer
Rupiah dimaksud wajib memastikan Pihak Asing untuk
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi yang dapat
dipertanggungjawabkan.
- 23 -
Bagian Kelima
Penyampaian Dokumen
Pasal 24
(1) Bank harus memastikan Pihak Asing menyampaikan
dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen
pendukung Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui
Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
dan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 pada tanggal
transaksi untuk setiap transaksi.
(2) Dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
Transaksi Spot wajib diterima oleh Bank paling lambat
pada tanggal valuta.
(3) Dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah wajib
diterima oleh Bank paling lambat pada 5 (lima) hari kerja
setelah tanggal transaksi.
(4) Dalam hal Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki
tanggal jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja
setelah tanggal transaksi, dokumen Underlying
Transaksi, dan/atau dokumen pendukung Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dimaksud wajib
diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal jatuh
waktu.
(5) Dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen
pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah sampai dengan jumlah tertentu (threshold) yang
penyelesaiannya akan dilakukan secara netting wajib
diterima oleh Bank paling lambat:
a. pada tanggal valuta dalam hal pengakhiran
transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi
Spot;
- 24 -
b. 5 (lima) hari kerja sejak tanggal transaksi dalam hal
perpanjangan transaksi (roll over), percepatan
penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah;
atau
c. pada tanggal jatuh waktu dalam hal perpanjangan
transaksi (roll over), percepatan penyelesaian
transaksi (early termination), dan pengakhiran
transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang
memiliki tanggal jatuh waktu kurang dari 5 (lima)
hari kerja.
(6) Dokumen Underlying Transaksi dalam rangka Transfer
Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 wajib
diterima oleh Bank paling lambat pada saat terjadinya
penambahan dana Rupiah Pihak Asing.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 25
(1) Bank dapat menerima dokumen pendukung Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah yang disampaikan oleh
Pihak Asing secara berkala dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Dokumen Underlying Transaksi bersifat final; dan
b. Bank telah mengetahui track record Pihak Asing
dengan baik.
(2) Dalam hal Bank melakukan fungsi kustodian dan
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dokumen pendukung dapat diterima dari Pihak
Asing paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun
kalender.
- 25 -
(3) Dalam hal Bank tidak melakukan fungsi kustodian dan
Pihak Asing memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dokumen pendukung dapat
diterima paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan
kalender.
(4) Bank dapat menerima dokumen pendukung yang
disampaikan oleh Pihak Asing atas pembelian valuta
asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot paling
banyak sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu
dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per
Pihak Asing paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
bulan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian dan
penerimaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 26
Bank wajib menatausahakan dokumen Underlying Transaksi
dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1), dan
Pasal 23.
BAB VII
PELAPORAN TRANSAKSI
Pasal 27
Bank menyampaikan laporan Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah melalui sistem pelaporan Bank Indonesia.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 28
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c, Pasal 3 ayat (3), dan/atau
- 26 -
Pasal 26 dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam ketentuan otoritas perbankan
yang mengatur mengenai kategori Bank yang dapat
melakukan kegiatan transaksi valuta asing.
(3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam ketentuan otoritas perbankan
yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko
Bank.
(4) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan
Rupiah.
(5) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (4) dikenakan sanksi sebagaimana
diatur dalam ketentuan otoritas perbankan yang
mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam
melaksanakan kegiatan structured product valuta asing
terhadap Rupiah bagi bank umum.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 29
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (2),
Pasal 6 ayat (3), Pasal 6 ayat (5), Pasal 7 ayat (1), Pasal
10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (3), Pasal 13
ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 13 ayat (7), Pasal 15,
Pasal 18, Pasal 19 ayat (2), Pasal 19 ayat (4), Pasal 21
ayat (1), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1), Pasal 22
ayat (2), Pasal 23, Pasal 24 ayat (2), Pasal 24 ayat (3),
Pasal 24 ayat (4), Pasal 24 ayat (5), dan/atau Pasal 24
- 27 -
ayat (6), dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar 1%
(satu persen) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar
untuk setiap pelanggaran, dengan jumlah sanksi paling
sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(2) Perhitungan nominal transaksi yang dilanggar untuk
Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6
ayat (3), Pasal 6 ayat (5), Pasal 7 ayat (1), Pasal 19 ayat
(2), Pasal 19 ayat (4), Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (2),
Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 23, Pasal 24
ayat (3), Pasal 24 ayat (4), Pasal 24 ayat (5) dan Pasal 24
ayat (6) diatur sebagai berikut:
a.
selisih antara total nominal transaksi valuta asing
terhadap Rupiah dengan jumlah tertentu
(threshold) kewajiban pemenuhan Underlying
Transaksi; atau
b.
total nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah yang tidak didukung dengan Underlying
Transaksi dalam hal nominal transaksi di bawah
jumlah tertentu (threshold) tetapi dilakukan netting.
(3) Penghitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menggunakan kurs Jakarta
Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada tanggal
terjadinya pelanggaran.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30
Bank yang telah melakukan Transaksi Valuta Asing terhadap
Rupiah dengan Pihak Asing sebelum berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini, tetap dapat meneruskan transaksi
dimaksud sampai dengan jatuh waktu transaksi.
- 28 -
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014
tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara
Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 213 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5582);
b.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/7/PBI/2015
tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Asing
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 117 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5702);
c.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/14/PBI/2015
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan
Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 202 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5737);
d.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/16/PBI/2015
tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan
Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 224 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5744);
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 32
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 29 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 September 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 September 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 184
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/19/PBI/2016
TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH
ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING
I. UMUM
Dalam rangka melaksanakan tugas Bank Indonesia untuk mencapai
dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, diperlukan upaya mempercepat
tercapainya pasar keuangan yang likuid dan efisien, yang pada akhirnya
dapat mendukung kegiatan ekonomi nasional. Untuk mencapai pasar
keuangan yang likuid dan efisien salah satunya diperlukan adanya upaya
pengembangan pasar valuta asing domestik yang dilakukan secara
komprehensif dan menyeluruh. Upaya komprehensif dimaksud dapat
dilakukan melalui pengayaan variasi instrumen sehingga menjadi
alternatif bagi pelaku pasar dalam melakukan lindung nilai di pasar
valuta asing domestik, dalam rangka pengelolaan utang luar negeri
korporasi non-bank. Upaya pengembangan pasar valuta asing secara
komprehensif juga dilakukan melalui antara lain pengembangan
infrastruktur, peningkatan kredibilitas pasar, dan peningkatan
koordinasi, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam
bertransaksi di pasar valuta asing.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
- 2 -
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kontrak” adalah:
a. konfirmasi tertulis berupa kontrak transaksi valuta asing
(derivatif) yang lazim digunakan oleh pelaku pasar
dan/atau diterbitkan oleh asosiasi terkait; dan/atau
b. konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi
yang antara lain berupa dealing conversation atau Society of
Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT).
Ayat (2)
Huruf a
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini diterbitkan,
ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai
kategori Bank yang dapat melakukan kegiatan transaksi
valuta asing antara lain mengatur bahwa Bank yang dapat
melakukan Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah, baik
Transaksi Spot maupun Transaksi Derivatif plain vanilla
(forward, swap, option, dan CCS) paling kurang adalah
Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) 2 dan Bank yang
dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
dalam bentuk structured product valuta asing terhadap
Rupiah paling kurang adalah Bank BUKU 3.
Huruf b
Ketentuan otoritas yang mengatur mengenai penerapan
manajemen risiko Bank antara lain mengatur bahwa Bank
wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif yang
paling kurang mencakup:
1. pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi;
2. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit;
3. kecukupan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan dan pengendalian risiko serta sistem
informasi manajemen risiko; dan
4. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
- 3 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini diterbitkan, ketentuan
otoritas perbankan yang mengatur mengenai bahwa prinsip
kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan structured product
bagi bank umum mengatur antara lain:
a. kewajiban Bank menerapkan manajemen risiko secara
efektif dalam melakukan kegiatan structured product, paling
sedikit mencakup:
1. pengawasan aktif direksi dan dewan komisaris;
2. kecukupan kebijakan dan prosedur;
3. kecukupan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem
informasi manajemen risiko; dan
4. sistem pengendalian intern,
b.
larangan Bank menawarkan dan melakukan transaksi
structured product dengan nasabah yang diklasifikasikan
sebagai nasabah retail;
c.
larangan Bank menawarkan dan melakukan transaksi
structured product dengan nasabah eligible dalam hal:
1. dapat menimbulkan potensi kerugian melebihi pokok
yang ditanamkan nasabah; dan/atau
2. structured product merupakan penggabungan antara
derivatif dengan derivatif,
d. kewajiban Bank menerapkan transparansi informasi dalam
melakukan pemasaran, penawaran, dan pelaksanaan
transaksi structured product antara lain sebagai berikut:
1. mengungkapkan informasi yang lengkap, benar, dan
tidak menyesatkan kepada nasabah;
2. memastikan pemberian informasi yang berimbang
antara potensi manfaat yang mungkin diperoleh
- 4 -
dengan risiko yang mungkin timbul bagi nasabah dari
transaksi structured product; dan
3. memastikan informasi yang disampaikan tidak
menyamarkan, mengurangi, atau menutupi hal-hal
yang penting terkait risiko yang mungkin timbul dari
transaksi structured product, dan
e. kewajiban Bank memberikan waktu kepada nasabah untuk
mempelajari penawaran dan dokumen yang disampaikan
Bank kepada nasabah, antara lain sebagai berikut:
1. pemberian waktu dilakukan dengan pemberian masa
jeda (cooling off period) antara waktu disampaikannya
penawaran oleh Bank dengan waktu nasabah
mengajukan permohonan untuk menerima atau
menolak melakukan transaksi structured product; dan
2. jangka waktu masa jeda (cooling off period) yang
diberikan paling sedikit 2 (dua) hari kerja setelah
nasabah perusahaan menerima dokumen penawaran.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “foreign direct investment” adalah
investasi langsung Pihak Asing ke dalam negeri.
Yang dimaksud dengan “investasi lainnya” antara lain
adalah investasi dan/atau transaksi yang dilakukan dalam
rangka pelaksanaan kebijakan pemerintah terkait
perpajakan.
Ayat (4)
- 5 -
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal perusahaan transfer dana menerima perintah
nasabahnya untuk melakukan pembelian valuta asing
untuk memenuhi kebutuhan transfer nasabahnya, perintah
nasabah dimaksud tidak dapat menjadi Underlying
Transaksi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “realisasi investasi” adalah
terjadinya aliran dana dari Pihak Asing untuk penyelesaian
kegiatan investasi, termasuk investasi yang dalam proses
penyelesaian.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “cover hedging” adalah hedging yang
dilakukan oleh Bank kepada Pihak Asing berupa bank di luar negeri
atas hedging yang telah dilakukan nasabah Bank kepada Bank yang
bersangkutan dengan Underlying Transaksi yang dimiliki oleh
nasabah Bank tersebut.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "structured product valuta asing
terhadap Rupiah" adalah instrumen yang merupakan gabungan
antar derivatif nilai tukar valuta asing terhadap Rupiah, atau
gabungan antara derivatif nilai tukar valuta asing terhadap
Rupiah dan instrumen pasar uang, yang diperdagangkan di
pasar valuta asing domestik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal nominal Underlying Transaksi lebih besar dari
nominal transaksi Call Spread Option maka Underlying
Transaksi tersebut dapat digunakan sebagai Underlying
Transaksi untuk transaksi Call Spread Option yang berbeda
dan/atau Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah lainnya,
sepanjang tidak melampaui nominal Underlying Transaksi.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dynamic hedging” adalah transaksi Call
Spread Option yang dilakukan lebih dari satu kali, dan
merupakan bagian dari transaksi Call Spread Option awal dalam
satu kesatuan, untuk memastikan pelaku hedging tidak
terekspos pada risiko nilai tukar.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kurs pasar” adalah kurs yang lazim
digunakan dan disepakati oleh pelaku pasar, antara lain kurs
yang tersedia pada Bloomberg dan Reuters.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kisaran kurs tidak overlap” adalah
kisaran kurs dynamic hedging yang tidak beririsan dengan
kisaran kurs Call Spread Option awal.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kisaran kurs tidak memiliki gap”
adalah kisaran kurs dynamic hedging yang tidak
melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “nominal tidak bersifat kumulatif”
adalah perhitungan nominal transaksi dynamic hedging
hanya didasarkan pada nominal transaksi Call Spread
Option awal.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemindahan dana pokok secara penuh”
adalah penyerahan dana secara riil untuk masing-masing
transaksi jual dan/atau transaksi beli valuta asing terhadap
Rupiah sebesar nilai penuh nominal transaksi atau
ekuivalennya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui
transaksi forward paling banyak sebesar jumlah tertentu
(threshold) tidak dapat dilakukan melalui pengakhiran transaksi
(unwind) karena akan mengakibatkan tidak terdapat
pemindahan dana pokok secara penuh.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penempatan” adalah penanaman dana
Bank pada Bank lain dalam bentuk giro, interbank call money,
- 9 -
deposito berjangka, sertifikat deposito, Kredit atau Pembiayaan,
dan penanaman dana lainnya yang sejenis.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “tagihan antarkantor” adalah semua
tagihan yang dimiliki Bank terhadap kantor pusat atau kantor
cabang di luar negeri baik untuk kepentingan Bank maupun
nasabah, yaitu:
1. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri, tagihan adalah tagihan yang berasal dari kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
terhadap kantor pusat dan/atau kantor cabang lain di luar
negeri; dan
2. bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia, tagihan
adalah tagihan yang berasal dari kantor pusat dan/atau
kantor cabang di Indonesia terhadap kantor cabang di luar
negeri.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “penyertaan modal” adalah penanaman
dana Bank dalam bentuk saham pada Bank dan perusahaan di
bidang keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, seperti perusahaan sewa
guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta
lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, termasuk
penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible
bond) dengan opsi saham (equity option) atau jenis transaksi
tertentu yang mengakibatkan Bank memiliki atau akan memiliki
saham pada Bank dan/atau perusahaan yang bergerak di
bidang keuangan lainnya.
Pasal 16
Huruf a
Cukup jelas.
- 10 -
Huruf b
Angka 1)
Yang dimaksud dengan “lead bank” adalah bank yang
berperan sebagai koordinator dan merupakan anggota
sindikasi.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan “sektor riil” adalah sektor produksi
serta perdagangan barang dan jasa, namun tidak termasuk
sektor jasa keuangan seperti kegiatan jual beli Surat
Berharga.
Angka 3)
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk jenis kartu kredit untuk pembelian barang produksi
(procurement card).
Huruf d
Yang dimaksud dengan “Kredit atau Pembiayaan konsumsi”
yaitu pemberian Kredit atau Pembiayaan untuk keperluan
konsumsi di dalam negeri antara lain untuk membeli dan
menyewa, termasuk di dalamnya Kredit atau Pembiayaan
pemilikan rumah, apartemen, ruko, dan rukan, serta Kredit atau
Pembiayaan pembelian kendaraan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan dokumen yang bersifat authenticated
adalah dokumen yang telah diverifikasi atau dibuktikan
kebenarannya secara sistem dan/atau nonsistem.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Ketentuan ini tunduk kepada ketentuan yang dikeluarkan oleh
otoritas perbankan yang mengatur mengenai prinsip kehati-
hatian dalam rangka pembelian Kredit atau Pembiayaan oleh
Bank.
- 11 -
Pasal 17
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pembelian Surat Berharga yang
berkaitan dengan kegiatan ekspor barang dari Indonesia dan
impor barang ke Indonesia” adalah pembelian Wesel Ekspor dan
Banker’s Acceptance atas dasar transaksi Letter of Credit (L/C)
maupun non- Letter of Credit (non-L/C).
Yang dimaksud dengan “pembelian Surat Berharga yang
berkaitan dengan perdagangan dalam negeri” adalah pembelian
wesel atau Banker’s Acceptance atas dasar transaksi Surat
Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN).
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “status pihak penerima dana” adalah
status penerima dana sebagai Pihak Asing atau bukan Pihak
Asing.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
- 12 -
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi
yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan
mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu
pemenuhan kebutuhannya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”pernyataan tertulis yang
authenticated” adalah pernyataan yang telah diverifikasi
atau dibuktikan kebenarannya secara sistem dan/atau
nonsistem.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”pernyataan tertulis yang authenticated”
adalah pernyataan yang telah diverifikasi atau dibuktikan
kebenarannya secara sistem dan/atau nonsistem.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi
yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan
mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu
pemenuhan kebutuhannya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”pernyataan tertulis yang
authenticated” adalah pernyataan tertulis yang telah
diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara sistem
dan/atau nonsistem.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 13 -
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5927
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/19/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING </reg_title>
<set_date> 5 September 2016 </set_date>
<effective_date> 7 September 2016 </effective_date>
<issued_date> 07 September 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '17/7/PBI/2015', '16/17/PBI/2014', '17/16/PBI/2015', '17/14/PBI/2015' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/14/PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002
TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan kegiatan
operasi pasar terbuka, Bank Indonesia perlu mengatur kembali
jangka waktu transaksi Fine Tune Operation;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, dipandang perlu untuk melakukan perubahan keempat
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang
Operasi Pasar Terbuka.
Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
MEMUTUSKAN …
- 2-
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR
TERBUKA
Pasal I
Pasal 4A dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar
Terbuka sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/30/PBI/2005 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka, diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4A
(1) Bank Indonesia melakukan kegiatan Fine Tune Operation (FTO) sewaktu-waktu
apabila diperlukan untuk mempengaruhi likuiditas perbankan secara jangka
pendek yang terdiri dari :
a. Transaksi Fine Tune Kontraksi (FTK) dengan cara penempatan dana oleh
Bank di Bank Indonesia atau penjualan secara bersyarat surat berharga milik
Bank Indonesia kepada Bank.
b. Transaksi Fine Tune Ekspansi (FTE) dengan cara pembelian secara bersyarat
surat berharga milik Bank oleh Bank Indonesia.
(2) Kegiatan FTO sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
a. Jangka waktu transaksi 1 (satu) hari sampai dengan 3 (tiga) bulan yang
dinyatakan dalam hari kalender, dihitung sejak 1 (satu) hari setelah tanggal
penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu.
b. Imbalan atas transaksi dapat dihitung dengan rumus diskonto murni (true
discount) atau bunga dibayar dibelakang (simple interest) sebagai berikut :
1) Diskonto murni :
nilai …
- 3-
n tunai =
ilai
360 + { (tingkat diskonto FTO) ( jangka waktu F }
kuantitas transaksi FTO 360
×
×
TO)
Nilai diskonto = kuantitas transaksi FTO – nilai tunai
2) Bunga dibayar dibelakang :
(
Kuantitas
transaksi FTO
jatuh waktu
× +
1
suku bunga FTO jangka waktu FTO)
360
×
c. Pengajuan transaksi bersifat final dan tidak dapat dibatalkan.
d. Tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 23 September 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 2008
BOEDIONO
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 131
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/14/PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NO. 4/9/PBI/2002
TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4891
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/14/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title>
<set_date> 23 September 2008 </set_date>
<effective_date> 23 September 2008 </effective_date>
<issued_date> 23 September 2008 </issued_date>
<changed_reg> '4/9/PBI/2002' </changed_reg>
<extension_of> '7/30/PBI/2005' </extension_of>
<related_reg> '3/UU/2004', '23/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/3/PBI/2014
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/28/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN
UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU)
TAHUN EMISI 2004
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang Rupiah
ditujukan untuk menyediakan uang tunai di
masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah
(legal tender) di Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. bahwa untuk lebih memudahkan masyarakat dalam
mengenali uang Rupiah pecahan 100.000 (seratus
ribu) tahun emisi 2004 diperlukan penyesuaian ciri
uang termasuk penandatangan pada uang;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
melakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank
Indonesia
Nomor
6/28/PBI/2004
tentang
Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah
Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2004;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843),
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan . . .
-2-
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 6/28/PBI/2004 TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS
RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN
EMISI 2004.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/28/PBI/2004 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah
Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 162) yang telah beberapa kali
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia:
a. Nomor 11/9/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 46);
b. Nomor 13/18/PBI/2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 77);
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan . . .
-3-
1. Ketentuan Pasal 4A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
Ciri uang Rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Juli
tahun 2011 sampai dengan bulan Desember tahun 2013 adalah:
a. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna
dominan merah;
b. Gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Proklamator Dr. Ir. Soekarno
dan Dr. H. Mohammad Hatta dan dibawahnya dicantumkan
tulisan “DR. IR. SOEKARNO” dan “DR. H. MOHAMMAD
HATTA”;
b) di antara gambar Proklamator terdapat teks Proklamasi;
c) di atas teks Proklamasi terdapat rainbow printing dalam
bidang berbentuk segi empat yang akan berubah warna
apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;
d) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah
horizontal dan di sebelah kanan tanda air dengan arah
vertikal, terdapat angka nominal “100000”;
e) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar Gedung
Proklamasi;
f) di atas bagian kiri gambar Gedung Proklamasi terdapat
gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke
arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
g) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah
horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di
bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “SERATUS RIBU
RUPIAH”;
h) pada sebelah kiri gambar utama, di atas tulisan “BANK
INDONESIA” terdapat kode tuna netra (blind code) berupa
2 (dua) . . .
-4-
2 (dua) buah lingkaran berwarna merah yang terasa kasar
apabila diraba;
i) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan “BI” dalam bingkai
persegi panjang berbentuk ornamen yang dapat dilihat dari
sudut pandang tertentu;
j) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu
Garuda Pancasila;
k) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
l) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di
dalam bidang segi lima yang dicetak dengan tinta khusus
(optically variable ink) yang akan berubah warna dari warna
kuning keemasan menjadi hijau apabila dilihat dari sudut
pandang tertentu;
m) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka
tahun pencetakan “2011” (angka 2011 akan berubah sesuai
dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN
GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia
beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi
Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI
GUBERNUR”;
n) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-
garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis
melengkung yang membentuk ornamen tertentu;
o) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” atau “BI” dan
hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar
terdapat:
1) di tepi kiri atas, tepi kiri tengah, dan tepi kiri bawah
yang membentuk pola dasar uang dengan warna teks
yang berbeda;
2) pada . . .
-5-
2) pada bagian tengah dan di bawah teks Proklamasi;
3) pada sebelah kanan gambar Proklamator DR. H.
Mohammad Hatta yang membentuk gambar bunga
teratai;
4) di tepi kanan atas, tepi kanan tengah, dan tepi kanan
bawah yang membentuk pola dasar uang dengan warna
teks yang berbeda;
p) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca
tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di
bawah tanda air berupa tulisan ”BANKINDONESIA” yang
berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda;
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Gedung Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;
b) pada sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan
“DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK
INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS RIBU
RUPIAH”;
c) pada sebelah atas gambar utama terdapat gambar peta
kepulauan Indonesia yang akan memendar kuning di
bawah sinar ultra violet;
d) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa
gambar Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia yang akan memendar merah di bawah sinar ultra
violet;
e) pada sebelah kiri gambar utama, terdapat cetakan tidak
kasat mata berupa angka nominal “100000” dalam kotak
persegi panjang yang akan memendar hijau di bawah sinar
ultra violet;
f) pada . . .
-6-
f) pada sebelah kiri gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
g) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam)
angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak
dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di
bawah sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di
bawah tulisan “BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta
berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah
sinar ultra violet;
h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan
“BANK INDONESIA”;
i) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat
gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke
arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
j) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan
pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka
nominal “100000”;
k) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal
“100000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI
IMP.” dan angka tahun pengeluaran “2004”;
l) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” atau “BI” dan
hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar
terdapat:
1) di tepi kiri tengah yang berbentuk lengkungan;
2) pada bagian kanan atas gambar atap Gedung Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang
membentuk pola dasar uang;
3) di tepi kanan tengah yang berbentuk lengkungan;
m) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca
tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di
bawah . . .
-7-
bawah tanda air berupa tulisan ”BANKINDONESIA” yang
berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda;
c. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65 mm;
3. warna merah muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman
dan electrotype berupa logo Bank Indonesia dan ornamen;
6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan
“BI 100000” berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong
sebagian.
2. Di antara Pasal 4A dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal
4B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4B
Ciri uang Rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan
Januari tahun 2014 adalah:
a. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna
dominan merah;
b. Gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Proklamator Dr. Ir. Soekarno
dan Dr. H. Mohammad Hatta dan dibawahnya dicantumkan
tulisan “DR. IR. SOEKARNO” dan “DR. H. MOHAMMAD
HATTA”;
b) di antara gambar Proklamator terdapat teks Proklamasi;
c) di atas teks Proklamasi terdapat rainbow printing dalam
bidang berbentuk segi empat yang akan berubah warna
apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;
d) pada . . .
-8-
d) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah
horizontal dan di sebelah kanan tanda air dengan arah
vertikal, terdapat angka nominal “100000”;
e) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar Gedung
Proklamasi;
f) di atas bagian kiri gambar Gedung Proklamasi terdapat
gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke
arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
g) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah
horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di
bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “SERATUS RIBU
RUPIAH”;
h) pada sebelah kiri gambar utama, di atas tulisan “BANK
INDONESIA” terdapat kode tuna netra (blind code) berupa
2 (dua) buah lingkaran berwarna merah yang terasa kasar
apabila diraba;
i) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan “BI” dalam bingkai
persegi panjang berbentuk ornamen yang dapat dilihat dari
sudut pandang tertentu;
j) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu
Garuda Pancasila;
k) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
l) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di
dalam bidang segi lima yang dicetak dengan tinta khusus
(optically variable ink) yang akan berubah warna dari warna
kuning keemasan menjadi hijau apabila dilihat dari sudut
pandang tertentu;
m) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka
tahun pencetakan “2014” (angka 2014 akan berubah sesuai
dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN
GUBERNUR” . . .
-9-
GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia
beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI
GUBERNUR SENIOR”;
n) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-
garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis
melengkung yang membentuk ornamen tertentu;
o) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” atau “BI” dan
hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar
terdapat:
1) di tepi kiri atas, tepi kiri tengah, dan tepi kiri bawah
yang membentuk pola dasar uang dengan warna teks
yang berbeda;
2) pada bagian tengah dan di bawah teks Proklamasi;
3) pada sebelah kanan gambar Proklamator DR. H.
Mohammad Hatta yang membentuk gambar bunga
teratai;
4) di tepi kanan atas, tepi kanan tengah dan tepi kanan
bawah yang membentuk pola dasar uang dengan warna
teks yang berbeda;
p) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca
tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di
bawah tanda air berupa tulisan ”BANKINDONESIA” yang
berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda;
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Gedung Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;
b) pada sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan
“DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK
INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS RIBU
RUPIAH”;
c) pada . . .
-10-
c) pada sebelah atas gambar utama terdapat gambar peta
kepulauan Indonesia yang akan memendar kuning di
bawah sinar ultra violet;
d) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa
gambar Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia yang akan memendar merah di bawah sinar ultra
violet;
e) pada sebelah kiri gambar utama, terdapat cetakan tidak
kasat mata berupa angka nominal “100000” dalam kotak
persegi panjang yang akan memendar hijau di bawah sinar
ultra violet;
f) pada sebelah kiri gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
g) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam)
angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak
dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di
bawah sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di
bawah tulisan “BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta
berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah
sinar ultra violet;
h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan
“BANK INDONESIA”;
i) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat
gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke
arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
j) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan
pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka
nominal “100000”;
k) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal
“100000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI
IMP.” dan angka tahun pengeluaran “2004”;
l) mikroteks . . .
-11-
l) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” atau “BI” dan
hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar
terdapat:
1) di tepi kiri tengah yang berbentuk lengkungan;
2) pada bagian kanan atas gambar atap Gedung Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang
membentuk pola dasar uang;
3) di tepi kanan tengah yang berbentuk lengkungan;
m) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca
tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di
bawah tanda air berupa tulisan ”BANKINDONESIA” yang
berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda;
c. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65 mm;
3. warna merah muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman
dan electrotype berupa logo Bank Indonesia dan ornamen;
6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan
“BI 100000” berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong
sebagian.
Pasal II
1. Uang Rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini,
masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari
peredaran.
2. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
-12-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Maret 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Maret 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 52
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/3/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/28/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2004 </reg_title>
<set_date> 18 Maret 2014 </set_date>
<effective_date> 18 Maret 2014 </effective_date>
<issued_date> 18 Maret 2014 </issued_date>
<changed_reg> '6/28/PBI/2004' </changed_reg>
<extension_of> '11/9/PBI/2009', '13/18/PBI/2011' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/4/PBI/2005
TENTANG
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM AKTIVITAS
SEKURITISASI ASET BAGI BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa kelangsungan usaha bank juga tergantung dari
kemampuan dan efektivitas bank dalam mengelola risiko
kredit atau meminimalkan potensi kerugian dalam
mengelola aset;
b. bahwa dalam rangka mengelola risiko kredit bank dapat
melakukan teknik mitigasi risiko kredit dengan
menggunakan aktivitas sekuritisasi aset;
c. bahwa apabila aktivitas sekuritisasi aset dilakukan tanpa
memenuhi prinsip kehati-hatian dapat mengakibatkan bank
menghadapi risiko yang lebih besar;
d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
mengatur prinsip kehati-hatian dalam aktivitas sekuritisasi
aset bagi
Indonesia;
bank umum dalam suatu Peraturan Bank
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran
Negara Republik
Indonesia
Nomor …
- 2 -
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara
Indonesia Nomor 3608);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PRINSIP
KEHATI-HATIAN DALAM AKTIVITAS SEKURITISASI
ASET BAGI BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor …
Republik
- 3 -
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah
diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan
usaha secara konvensional, termasuk kantor cabang bank asing.
2. Sekuritisasi Aset adalah penerbitan surat berharga oleh penerbit efek
beragun aset yang didasarkan pada pengalihan aset keuangan dari kreditur
asal yang diikuti dengan pembayaran yang berasal dari hasil penjualan efek
beragun aset kepada pemodal.
3. Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya disebut dengan
BMPK adalah BMPK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank
Umum.
4. Modal adalah modal Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Bank Umum.
5. Penerbit Efek Beragun Aset selanjutnya disebut Penerbit adalah badan
hukum, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA) atau
bentuk lain sesuai ketentuan yang berlaku, yang mempunyai tujuan khusus
melakukan aktivitas Sekuritisasi Aset.
6. Kreditur Asal (Originator) adalah pihak yang mengalihkan aset keuangan
kepada Penerbit.
7. Reference Entity adalah pihak yang berutang atau mempunyai kewajiban
membayar (obligor) dari aset keuangan yang
reference asset), termasuk:
a.
penerbit dari surat berharga dalam hal aset keuangan yang dialihkan
(underlying reference asset) berupa surat berharga;
dialihkan (underlying
b. pihak …
- 4 -
b. pihak yang berkewajiban untuk melunasi dalam hal aset keuangan
yang dialihkan (underlying reference asset) berupa kredit atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu.
8. Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan adalah nilai terbesar antara:
a.
nilai bersih yang dapat direalisasi (net realizable value) yaitu jumlah
uang yang diperkirakan dapat diperoleh dari transaksi penjualan aset
keuangan yang dialihkan pada tanggal transaksi setelah dikurangi
biaya-biaya transaksi; dan
b. nilai buku aset keuangan yang dialihkan setelah diperhitungkan
cadangan khusus penyisihan penghapusan
aktiva sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.
9. Efek Beragun Aset selanjutnya disebut EBA adalah surat berharga yang
diterbitkan oleh Penerbit berdasarkan aset keuangan yang dialihkan oleh
Kreditur Asal.
10. Kredit Pendukung (Credit Enhancement) adalah fasilitas yang diberikan
kepada Penerbit untuk meningkatkan kualitas aset keuangan yang dialihkan
dalam rangka pembayaran kepada pemodal.
11. Fasilitas Likuiditas
(Liquidity Facility) adalah fasilitas talangan yang
diberikan kepada Penerbit untuk mengatasi mismatch pembayaran
kewajiban kepada pemodal.
12. Penyedia Jasa (Servicer) adalah pihak yang menatausahakan, memproses,
mengawasi, dan melakukan tindakan-tindakan lainnya dalam rangka
mengupayakan kelancaran arus kas aset keuangan yang dialihkan kepada
Penerbit sesuai perjanjian antara pihak tersebut dengan Penerbit, termasuk
memberikan …
- 5 -
memberikan peringatan kepada Reference Entity apabila terjadi
keterlambatan
pembayaran, melakukan
tuntutan.
13. Bank Kustodian adalah Bank yang memberikan jasa penitipan EBA dan
harta serta jasa lain yang berkaitan dengan Sekuritisasi Aset sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
14. Pemodal (Investor) adalah pihak yang membeli EBA.
15. Pembelian Kembali (Clean-up Calls) adalah pembelian seluruh sisa aset
keuangan yang dialihkan sebelum jatuh tempo oleh Penyedia Jasa.
Pasal 2
(1) Aset keuangan yang dialihkan dalam rangka Sekuritisasi Aset wajib berupa
aset keuangan yang terdiri dari kredit, tagihan yang timbul dari surat
berharga, tagihan yang timbul di kemudian hari (future receivables) dan aset
keuangan lain yang setara.
(2) Aset keuangan yang dialihkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki arus kas (cash flows);
b. dimiliki dan dalam pengendalian Kreditur Asal; dan
c.
dapat dipindahtangankan dengan bebas kepada Penerbit.
Pasal 3
(1) Dalam Sekuritisasi Aset, Bank dapat berfungsi sebagai:
a. Kreditur Asal;
b. Penyedia Kredit Pendukung;
c. Penyedia …
negosiasi dan menyelesaikan
- 6 -
c.
Penyedia Fasilitas Likuiditas;
d. Penyedia Jasa;
e. Bank Kustodian;
f. Pemodal.
(2) Bank yang melakukan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. tidak mengakibatkan rasio kewajiban penyediaan modal minimum
Bank lebih rendah dari ketentuan yang berlaku; dan
b. melakukan fungsi tersebut sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini
serta memperhatikan prinsip kehati-hatian.
BAB II
PERHITUNGAN KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM
DALAM SEKURITISASI ASET
Bagian Pertama
Bank sebagai Kreditur Asal
Pasal 4
(1) Bank hanya dapat berfungsi sebagai Kreditur Asal apabila aset keuangan
yang dialihkan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2).
(2) Bank yang berfungsi sebagai Kreditur Asal hanya dapat melakukan
pengalihan aset keuangan kepada Penerbit di dalam negeri.
(3) Bank sebagai Kreditur Asal hanya dapat mengeluarkan aset keuangan yang
dialihkan dari neraca (derecognition), apabila memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. aset …
- 7 -
a. aset keuangan yang dialihkan dari Kreditur Asal kepada Penerbit
memenuhi kondisi jual putus; dan
b. Kreditur Asal bukan merupakan pihak terkait dengan Penerbit.
(4) Aset keuangan yang dialihkan Bank sebagai Kreditur Asal namun tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib dicatat
kembali dalam neraca dan diperhitungkan dalam aktiva tertimbang menurut
risiko Bank, penilaian kualitas aktiva dan perhitungan BMPK.
Pasal 5
(1) Kondisi jual putus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a
terjadi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. seluruh manfaat yang diperoleh dan atau akan diperoleh dari aset
keuangan telah dialihkan kepada Penerbit;
b.
risiko kredit dari aset keuangan yang dialihkan secara signifikan telah
beralih kepada Penerbit; dan
c. Kreditur Asal tidak memiliki pengendalian baik langsung maupun
tidak langsung atas aset keuangan yang dialihkan.
(2) Pemenuhan kondisi jual putus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilengkapi dengan pendapat auditor independen dan pendapat hukum yang
independen.
Pasal 6
Bank dilarang menjadi Kreditur Asal apabila pengalihan aset keuangan dalam
rangka Sekuritisasi Aset mengakibatkan rasio kewajiban penyediaan modal
minimum Bank menurun.
Bagian …
- 8 -
Bagian Kedua
Bank sebagai Penyedia Kredit Pendukung
Pasal 7
(1) Bank
yang
berfungsi sebagai penyedia Kredit Pendukung
dapat
memberikan fasilitas Kredit Pendukung berupa fasilitas penanggung risiko
pertama (first loss facility) dan atau fasilitas penanggung risiko kedua
(second loss facility).
(2) Setiap penyediaan Kredit Pendukung oleh Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
diperjanjikan pada awal aktivitas Sekuritisasi Aset yang antara lain
menetapkan:
1) jumlah fasilitas yang diberikan; dan
2) jangka waktu fasilitas;
b.
diberikan maksimum sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari Nilai Aset
Keuangan yang Dialihkan dalam hal Bank juga bertindak sebagai
Kreditur Asal.
(3) Jumlah fasilitas Kredit Pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a tidak dapat diubah selama jangka waktu perjanjian.
Pasal 8
(1) Penyediaan Kredit Pendukung yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2) dan ayat (3) diperlakukan sebagai
penyediaan dana dan diperhitungkan dalam kewajiban penyediaan modal
minimum dengan ketentuan sebagai berikut:
a. apabila Kredit Pendukung merupakan fasilitas penanggung risiko
pertama, maka Kredit Pendukung akan menjadi
faktor pengurang
Modal …
- 9 -
Modal sebesar nilai terkecil antara jumlah fasilitas penanggung risiko
pertama dan jumlah beban Modal (capital charge) dari Nilai Aset
Keuangan yang Dialihkan;
b. apabila Kredit Pendukung merupakan fasilitas penanggung risiko
kedua, maka Kredit Pendukung akan menjadi komponen aktiva
tertimbang menurut risiko.
(2) Penyediaan Kredit Pendukung
yang
tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) diperlakukan
sebagai penyediaan dana dan diperhitungkan dalam kewajiban penyediaan
modal minimum dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
sebagai faktor pengurang Modal sebesar nilai terkecil antara jumlah
Kredit Pendukung dan jumlah beban modal dari Nilai Aset
Keuangan yang Dialihkan, serta sebagai komponen aktiva tertimbang
menurut risiko sebesar Kredit Pendukung, dalam hal Bank penyedia
Kredit Pendukung juga merupakan Kreditur Asal; atau
b. sebagai faktor pengurang Modal sebesar nilai terkecil antara jumlah
Kredit Pendukung dan jumlah beban Modal dari Nilai Aset Keuangan
yang Dialihkan, dalam hal Bank penyedia Kredit Pendukung bukan
sebagai Kreditur Asal.
Bagian Ketiga
Bank sebagai Penyedia Fasilitas Likuiditas
Pasal 9
(1) Setiap penyediaan Fasilitas Likuiditas oleh Bank wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a.
diperjanjikan pada awal aktivitas Sekuritisasi Aset yang antara lain
menetapkan:
1) jumlah …
- 10 -
1) jumlah Fasilitas Likuiditas yang diberikan; dan
2) jangka waktu perjanjian;
b. jangka waktu Fasilitas Likuiditas maksimum 90 (sembilan puluh) hari;
c. jumlah Fasilitas Likuiditas yang dapat diberikan oleh Bank yang juga
bertindak sebagai Kreditur Asal maksimum sebesar 10% (sepuluh per
seratus) dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan;
d. hanya dapat ditarik apabila:
1) aset keuangan yang dialihkan berkualitas baik dan bernilai
sekurang-kurangnya sama dengan jumlah penarikan Fasilitas
Likuiditas; atau
2) telah memperoleh jaminan Kredit Pendukung atas seluruh aset
keuangan yang dialihkan apabila aset keuangan tersebut tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 1);
e. jumlah Fasilitas Likuiditas yang dapat ditarik oleh Penerbit adalah
jumlah terkecil antara:
1) jumlah aset keuangan yang dialihkan yang berkualitas baik; atau
2) jumlah aset keuangan yang dialihkan yang tidak berkualitas baik
namun telah dijamin oleh Kredit Pendukung; atau
3) jumlah yang diperjanjikan;
f. memiliki hak menerima pembayaran lebih dahulu atas setiap arus kas
aset keuangan yang dialihkan dibandingkan dengan hak Pemodal;
g. hanya dapat digunakan untuk mengatasi mismatch dan langsung
digunakan untuk memenuhi kewajiban pembayaran kepada Pemodal;
dan
h.
tidak dapat ditarik setelah Kredit Pendukung digunakan seluruhnya.
(2) Jumlah penyediaan Fasilitas Likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a angka 1) tidak dapat diubah selama jangka waktu perjanjian.
Pasal 10 …
- 11 -
Pasal 10
(1) Penyediaan Fasilitas Likuiditas oleh Bank yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diperlakukan sebagai penyediaan
dana dan diperhitungkan dalam kewajiban penyediaan modal minimum
sebagai komponen aktiva tertimbang menurut risiko.
(2) Penyediaan Fasilitas Likuiditas oleh Bank yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diperlakukan sebagai penyediaan
dana dan diperhitungkan dalam kewajiban penyediaan modal minimum
dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
sebagai faktor pengurang Modal sebesar nilai terkecil antara jumlah
Fasilitas Likuiditas dan jumlah beban modal dari Nilai Aset
Keuangan yang Dialihkan, serta sebagai komponen aktiva tertimbang
menurut risiko sebesar Fasilitas Likuiditas, dalam hal Bank penyedia
Fasilitas Likuiditas juga merupakan Kreditur Asal; atau
b. sebagai faktor pengurang Modal sebesar nilai terkecil antara jumlah
Fasilitas Likuiditas dan jumlah beban Modal dari Nilai Aset Keuangan
yang Dialihkan, dalam hal Bank penyedia Fasilitas Likuiditas bukan
sebagai Kreditur Asal.
Bagian Keempat
Bank sebagai Penyedia Jasa
Pasal 11
(1) Bank yang berfungsi sebagai Penyedia Jasa wajib memenuhi persyaratan
antara lain sebagai berikut:
a.
diperjanjikan pada awal aktivitas Sekuritisasi Aset; dan
b. didukung oleh sistem administrasi yang memadai.
(2) Bank …
- 12 -
(2) Bank sebagai Penyedia Jasa dapat melakukan Pembelian Kembali.
(3) Pembelian Kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. nilai sisa aset keuangan yang dialihkan maksimum sebesar 10%
(sepuluh perseratus) dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan;
b. biaya yang ditanggung oleh Bank lebih besar dari pendapatan yang
diperoleh dari penatausahaan aset keuangan yang dialihkan; dan
c. dalam hal Bank juga merupakan Kreditur Asal dan penyedia Kredit
Pendukung, Pembelian Kembali tidak digunakan untuk menghindari
kerugian yang harus ditanggung oleh Kreditur Asal sebagai penyedia
Kredit Pendukung.
Pasal 12
(1) Pembelian Kembali yang dilakukan dengan tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) diperlakukan sebagai
penyediaan Kredit Pendukung.
(2) Pembelian Kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak
melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari Nilai Aset Keuangan
yang
Dialihkan diperlakukan sebagai penyediaan dana dan diperhitungkan dalam
kewajiban penyediaan modal minimum sebagaimana fasilitas penanggung
risiko pertama yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a.
(3) Pembelian Kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melebihi
10% (sepuluh perseratus) dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan
diperlakukan sebagai penyediaan dana dan diperhitungkan dalam kewajiban
penyediaan modal minimum sebagaimana Kredit Pendukung yang tidak
memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2).
Bagian …
- 13 -
Bagian Kelima
Bank sebagai Bank Kustodian
Pasal 13
(1) Bank yang berfungsi sebagai Bank Kustodian wajib menjalankan kegiatan
sesuai ketentuan yang berlaku.
(2) Bank yang berfungsi sebagai Kreditur Asal dan atau Penyedia Jasa tidak
dapat bertindak sebagai Bank Kustodian.
Bagian Keenam
Bank Sebagai Pemodal
Pasal 14
(1) Bank dapat memiliki EBA melalui pembelian secara tunai, atau dalam hal
Bank sebagai Kreditur Asal dapat juga melalui tukar-menukar dengan aset
keuangan yang dialihkan.
(2) EBA yang dimiliki Bank diperlakukan sebagai penyediaan dana dan
diperhitungkan dalam kewajiban penyediaan modal minimum dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. untuk EBA berupa senior tranche merupakan komponen aktiva
tertimbang menurut risiko;
b. untuk EBA berupa junior tranche merupakan faktor pengurang Modal
sebagaimana fasilitas penanggung risiko pertama yang diatur dalam
Pasal 8 ayat (1) huruf a.
Pasal 15 …
- 14 -
Pasal 15
(1) Bank sebagai Pemodal yang juga bertindak sebagai Kreditur Asal hanya
dapat membeli EBA maksimum sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari Nilai
Aset Keuangan yang Dialihkan.
(2) Pembelian EBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maksimum sebesar
penyediaan dana sesuai ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit yang
berlaku.
(3) Dalam hal Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank wajib memperhitungkan pembelian EBA tersebut sebagai
penyediaan dana dan diperhitungkan dalam kewajiban penyediaan modal
minimum sebagai faktor pengurang Modal sebesar nilai terkecil antara
jumlah pembelian EBA dan jumlah beban Modal dari Nilai Aset Keuangan
yang Dialihkan, serta sebagai komponen aktiva tertimbang menurut risiko
sebesar EBA yang dibeli.
BAB III
BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT DAN
PENILAIAN KUALITAS AKTIVA
DALAM AKTIVITAS SEKURITISASI ASET
Pasal 16
(1) Dalam perhitungan BMPK, penyediaan dana dalam rangka aktivitas
Sekuritisasi Aset ditetapkan sebagai penyediaan dana kepada Reference
Entity.
(2) Penyediaan dana kepada Reference Entity sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dihitung secara proporsional berdasarkan proporsi aset keuangan
yang dialihkan dari masing-masing Reference Entity.
Pasal 17 …
- 15 -
Pasal 17
(1) Bank sebagai Kreditur Asal yang juga bertindak sebagai penyedia Kredit
Pendukung, penyedia Fasilitas Likuiditas dan atau Pemodal hanya dapat
menyediakan seluruh fasilitas dalam Sekuritisasi Aset maksimum 20% (dua
puluh perseratus) dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan.
(2) Pemenuhan batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan batas maksimum setiap fasilitas yang
diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 9 dan Pasal 15 serta
sesuai ketentuan BMPK yang berlaku.
(3) Bank yang melampaui batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memperhitungkan kembali aset keuangan yang dialihkan baik
dalam neraca maupun perhitungan
aktiva tertimbang menurut risiko
serta memperhitungkan pelampauan fasilitas yang diberikan sebagai faktor
pengurang Modal.
Pasal 18
(1) Penetapan kualitas EBA didasarkan atas:
a. kualitas EBA sesuai dengan
penilaian kualitas surat berharga
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum; atau
b. kualitas aset keuangan yang dialihkan sesuai dengan jenis aset
keuangan yang dialihkan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia
tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum,
apabila EBA tidak memiliki peringkat.
(2) Penetapan …
- 16 -
(2) Penetapan kualitas Kredit Pendukung dan Fasilitas Likuiditas didasarkan
atas kualitas aset keuangan yang dialihkan sesuai dengan jenis aset
keuangan yang dialihkan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 19
(1) Bank yang berfungsi sebagai Kreditur Asal, penyedia Kredit Pendukung,
penyedia Fasilitas Likuiditas, Penyedia Jasa atau Bank Kustodian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 11 dan Pasal
13 wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia.
(2) Bank yang berfungsi sebagai Kreditur Asal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib menyampaikan:
a. laporan rencana pengalihan aset keuangan dalam rangka aktivitas
Sekuritisasi Aset secara menyeluruh paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sebelum perjanjian pengalihan aset keuangan ditandatangani; dan
b. laporan pelaksanaan pengalihan aset keuangan dalam rangka aktivitas
Sekuritisasi Aset secara menyeluruh paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
setelah perjanjian pengalihan aset keuangan ditandatangani.
(3) Bank yang berfungsi sebagai penyedia Kredit Pendukung, penyedia
Fasilitas Likuiditas, Penyedia Jasa atau Bank Kustodian namun bukan
sebagai Kreditur Asal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib
menyampaikan laporan pelaksanaan aktivitas paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja setelah perjanjian ditandatangani.
(4) Laporan …
- 17 -
(4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) wajib
dilengkapi dengan data dan informasi yang berkaitan dengan aktivitas
Sekuritisasi Aset.
(5) Dalam hal bank melakukan lebih dari 1 (satu) fungsi dalam satu aktivitas
Sekuritisasi Aset, bank wajib menyampaikan laporan berbagai fungsi
tersebut sebagai satu kesatuan.
Pasal 20
(1) Bank sebagai Kreditur Asal dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf a apabila Bank
menyampaikan laporan dimaksud melampaui batas akhir waktu
penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf a
sampai dengan 1 (satu) hari sebelum perjanjian ditandatangani.
(2) Bank sebagai Kreditur Asal, penyedia Kredit Pendukung, penyedia Fasilitas
Likuiditas, Penyedia Jasa atau Bank Kustodian dinyatakan terlambat
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2)
huruf b dan ayat (3), apabila Bank menyampaikan laporan dimaksud dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah batas akhir waktu penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf b dan
ayat (3).
Pasal 21
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20 wajib disampaikan
kepada Bank Indonesia, dengan alamat:
a. Direktorat …
- 18 -
a.
Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. MH. Thamrin No.2, Jakarta 10110,
bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia;
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
BAB V
SANKSI
Pasal 22
(1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja kelambatan.
(2) Bank yang belum menyampaikan laporan sampai dengan berakhirnya
jangka waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
dan ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 23
Bank yang melakukan aktivitas Sekuritisasi Aset namun tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan
pelaksanaannya dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998.
BAB VI …
- 19 -
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan
Bank Indonesia ini akan diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 25
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal 20 Januari 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 14
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/4/PBI/2005
TENTANG
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM AKTIVITAS
SEKURITISASI ASET BAGI BANK UMUM
UMUM
Dalam menjalankan usahanya, Bank menghadapi berbagai risiko antara
lain risiko kredit yaitu risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty
memenuhi kewajibannya. Risiko ini pada dasarnya dapat bersumber dari
berbagai aktivitas fungsional bank seperti perkreditan, treasury, investasi dan
pembiayaan perdagangan.
Untuk memitigasi risiko kredit, pada umumnya Bank menempuh berbagai
upaya antara lain dalam bentuk setoran jaminan, asuransi atau agunan. Sejalan
dengan perkembangan usaha, kompleksitas transaksi dan jenis risiko, terdapat
teknik mitigasi risiko kredit lain yang telah dikenal sesuai dengan standar
praktek internasional (best international practices) yaitu Sekuritisasi Aset.
Sekuritisasi Aset yang merupakan kegiatan mengalihkan aset keuangan dari
Kreditur Asal (Originator) kepada pihak lain dipandang sangat potensial untuk
dilakukan oleh Bank. Melalui Sekuritisasi Aset, Bank diharapkan dapat
mengelola risiko kredit dengan lebih baik yang berimplikasi pada perhitungan
kewajiban penyediaan modal minimum sekaligus dapat meningkatkan likuiditas
Bank untuk menunjang kegiatan intermediasi.
Untuk …
- 2 -
Untuk memperoleh manfaat Sekuritisasi Aset
tersebut, maka
perlu
dilakukan pengaturan terhadap prinsip kehati-hatian dalam aktivitas Sekuritisasi
Aset sebagai dasar dan panduan sehingga Bank dapat melaksanakan aktivitas
Sekuritisasi Aset secara efektif.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Aset keuangan/tagihan dari perjanjian yang telah jatuh tempo
dan atau telah dihapusbuku tidak memenuhi kriteria memiliki
arus kas.
Huruf b
Termasuk dalam pengertian ini antara lain tagihan yang timbul
di kemudian hari (future receivables) seperti tagihan kartu
kredit.
Huruf c
Yang dimaksud dengan pemindahtanganan dengan bebas antara
lain tidak selalu harus disertai dengan pemberitahuan kepada
debitur.
Pasal 3 …
- 3 -
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku antara lain tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum, Batas Maksimum Pemberian
Kredit Bank Umum, prinsip-prinsip pemberian kredit yang sehat
dan prinsip-prinsip penerapan manajemen risiko.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Saat ini bentuk Penerbit di dalam negeri yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah Kontrak Investasi
Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA) yaitu Kontrak Investasi
Kolektif yang
Kustodian.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan aktiva tertimbang menurut risiko adalah
aktiva
tertimbang menurut
risiko
sebagaimana
dimaksud dalam
ketentuan …
dilakukan antara Manajer Investasi dan Bank
- 4 -
ketentuan Bank
Indonesia yang
berlaku tentang
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal Penerbit berbentuk KIK-EBA, maka yang dimaksud
dengan Penerbit adalah Manajer Investasi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan pihak terkait adalah pihak terkait
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank
Umum.
Ayat (4)
Pencatatan kembali aset keuangan yang telah dialihkan ke dalam
neraca tidak berarti membatalkan transaksi pengalihan aset keuangan
yang telah dilakukan.
Perhitungan kembali risiko kredit aset keuangan yang telah dialihkan
adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku antara lain Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum, Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
dan Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk dalam pengertian manfaat adalah hak atas arus kas dari
aset keuangan.
Dalam …
Kewajiban
- 5 -
Dalam hal Kreditur Asal sebagai Penyedia Jasa masih menerima
arus kas dari aset keuangan yang dialihkan, maka Kreditur Asal
hanya meneruskan (pass through) arus kas tersebut kepada
Penerbit atau pihak lain yang ditunjuk oleh Penerbit.
Huruf b
Pengalihan risiko akan dinilai tidak signifikan antara lain apabila:
1.
Kreditur Asal memberikan Kredit Pendukung, Fasilitas
Likuiditas dan atau bertindak sebagai Pemodal melampaui
20% (dua puluh perseratus) dari Nilai Aset Keuangan yang
Dialihkan;
2. pembayaran yang diterima oleh Kreditur Asal atas aset
keuangan yang dialihkan kepada Penerbit berasal dari
fasilitas yang diberikan oleh Kreditur Asal, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Huruf c
Pengendalian baik langsung maupun tidak langsung antara lain
dapat dinilai dari:
1. kemampuan untuk menggunakan dan atau mengagunkan
aset keuangan yang dialihkan;
2. ada tidaknya persyaratan dan atau perjanjian yang akan
menghambat pengalihan, penggunaan dan atau pengagunan
aset keuangan yang dialihkan seperti adanya call option atau
kewajiban untuk
repurchase) aset keuangan yang dialihkan.
membeli kembali (agreement to
Ayat (2) …
- 6 -
Ayat (2)
Pendapat auditor independen adalah pendapat dari Kantor Akuntan
Publik yang terdaftar di Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar
Modal.
Pendapat hukum yang independen adalah pendapat dari Kantor
Konsultan Hukum yang terdaftar di Badan Pengawas Pasar Modal.
Pasal 6
Penurunan rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) Bank
dihitung sebelum memperhitungkan fasilitas-fasilitas lain yang
dapat
diberikan/dilakukan oleh Kreditur Asal antara lain Kredit Pendukung,
Fasilitas Likuiditas dan atau Pembelian Kembali serta biaya-biaya yang
timbul dalam rangka proses pengalihan aset keuangan namun tidak
termasuk diskonto (haircut) yang diberikan.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan fasilitas penanggung risiko pertama (first loss
facility) adalah Kredit Pendukung utama yang akan menanggung
sebagian atau seluruh risiko kredit dari aset keuangan yang menjadi
dasar penerbitan (underlying) EBA.
Yang dimaksud dengan fasilitas penanggung risiko kedua (second loss
facility) adalah Kredit Pendukung yang akan menanggung sebagian
atau seluruh sisa risiko kredit yang tidak ditanggung oleh fasilitas
penanggung risiko pertama.
Fasilitas …
- 7 -
Fasilitas penanggung risiko kedua diberikan setelah tersedia fasilitas
penanggung risiko pertama.
Kredit Pendukung dapat berupa antara lain garansi bank, cash
collateral, overcollateralization, subordinasi dari kelas EBA (junior
tranche) dan semua bentuk fasilitas lain yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas aset keuangan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemberian fasilitas sesuai batas maksimum tidak boleh melebihi
maksimum penyediaan dana sesuai dengan ketentuan Batas
Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Perlakuan Kredit
Pendukung
yang
diberikan
oleh Bank sebagai
penyediaan dana adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku antara
lain Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum dan Batas Maksimum
Pemberian Kredit Bank Umum.
Huruf a
Termasuk dalam fasilitas penanggung risiko pertama adalah
subordinasi dari kelas EBA (junior tranche).
Yang …
- 8 -
Yang dimaksud dengan jumlah beban Modal (capital charge)
dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan adalah besarnya
Modal yang harus disediakan untuk mengcover risiko kredit dari
aset keuangan yang dialihkan dengan memperhatikan ketentuan
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sebesar minimum 8%
(delapan perseratus).
Huruf b
Perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko didasarkan pada
bobot risiko aset keuangan yang dialihkan sesuai dengan
ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang
berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan hari adalah hari kalender.
Huruf c
Pemberian fasilitas sesuai batas maksimum tidak boleh melebihi
maksimum penyediaan dana sesuai dengan ketentuan Batas
Maksimum Pemberian Kredit yang berlaku.
Huruf d …
- 9 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan aset keuangan yang berkualitas baik
adalah aset keuangan dengan tunggakan pembayaran sampai
dengan 90 (sembilan puluh) hari.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Perlakuan Fasilitas Likuiditas yang diberikan oleh Bank sebagai
penyediaan dana adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku antara
lain mengenai Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum dan Batas
Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11 …
- 10 -
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan nilai sisa aset keuangan yang dialihkan
adalah nilai buku sisa aset keuangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku antara lain Peraturan
Badan Pengawas Pasar Modal tentang Bank Kustodian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14 …
- 11 -
Pasal 14
Ayat (1)
Pembelian secara tunai dapat dilakukan melalui pembayaran dengan
uang
tunai, kliring, pemindahbukuan, atau sarana pembayaran
lainnya.
EBA yang dibeli oleh Bank dapat berupa EBA yang diterbitkan oleh
Penerbit di dalam negeri atau di luar negeri.
Ayat (2)
Perlakuan EBA yang dimiliki oleh Bank sebagai penyediaan dana
adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku antara lain Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum dan Batas Maksimum Pemberian Kredit
Bank Umum.
Huruf a
EBA yang berupa senior tranche adalah kelas dari EBA yang
memiliki hak memperoleh pembayaran lebih dahulu atas setiap
arus kas aset keuangan yang dialihkan dibandingkan EBA yang
berupa subordinasi dari kelas EBA (junior tranche).
Perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko EBA dilakukan
sesuai dengan
ketentuan yang
Huruf b
EBA berupa junior tranche merupakan salah satu bentuk
fasilitas penanggung risiko pertama.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16 …
berlaku tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
- 12 -
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Termasuk dalam batas maksimum ini adalah Pembelian Kembali yang
tidak memenuhi syarat sehingga diperlakukan sebagai penyediaan
Kredit Pendukung.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Atas
pelampauan
batas maksimum, maka kewajiban
untuk
memperhitungkan setiap fasilitas sebagai penyediaan dana dan dalam
kewajiban penyediaan modal minimum tidak berubah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku untuk setiap fasilitas.
Yang dimaksud dengan pelampauan fasilitas adalah selisih antara
jumlah seluruh fasilitas yang disediakan dengan batas maksimum
yang ditetapkan sebesar 20% (dua puluh perseratus) dari Nilai Aset
Keuangan yang Dialihkan.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 13 -
Ayat (2)
Penilaian kualitas Kredit Pendukung dan Fasilitas Likuiditas dihitung
secara proporsional sesuai dengan jenis aset keuangan yang dialihkan.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan hari pada huruf a adalah hari kalender.
Termasuk dalam laporan ini adalah laporan penyediaan fasilitas-
fasilitas lain oleh Kreditur Asal maupun pihak lain dalam rangka
aktivitas Sekuritisasi Aset.
Ayat (3)
Termasuk dalam laporan sebagai penyedia Kredit Pendukung adalah
pembelian EBA berupa junior tranche oleh Kreditur Asal di pasar
sekunder.
Termasuk dalam laporan sebagai Penyedia Jasa adalah pelaksanaan
Pembelian Kembali.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
.
Pasal 21 …
- 14 -
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup Jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4473 DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/4/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM AKTIVITAS SEKURITISASI ASET BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 20 Januari 2005 </set_date>
<effective_date> 20 Januari 2005 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/ 11 /PBI/2008
TENTANG
SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi tujuan untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia memiliki
tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
b. bahwa dalam rangka mendukung tugas dalam menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia dapat
melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah
melalui operasi pasar terbuka;
c. bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan
pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah melalui
operasi pasar terbuka diperlukan penyempurnaan instrumen
dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia berdasarkan prinsip
syariah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c tersebut di atas,
dipandang perlu mengatur ketentuan mengenai Sertifikat
Bank Indonesia berdasarkan prinsip syariah dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat…
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SERTIFIKAT
BANK INDONESIA SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut BUS adalah Bank Umum
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
perbankan…
- 3 -
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
2. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS adalah :
a. unit kerja di kantor pusat bank konvensional yang berfungsi sebagai kantor
induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah; atau
b. unit kerja di kantor cabang dari suatu bank konvensional yang
berkedudukan di luar negeri yang berfungsi sebagai kantor induk dari
kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.
3. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
4. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disebut SBIS adalah surat
berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata
uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
5. Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya
disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk
penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan
terhubung langsung antara peserta, penyelenggara dan Sistem Bank Indonesia
–Real Time Gross Settlement.
6. Transaksi Repurchase Agreement SBIS yang selanjutnya disebut Repo SBIS
adalah transaksi pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada BUS atau
UUS dengan agunan SBIS (collateralized borrowing).
7. Rekening Giro adalah rekening dana milik BUS atau UUS dalam mata uang
rupiah di Bank Indonesia.
8. Rekening Surat Berharga adalah rekening milik BUS atau UUS di BI-SSSS
yang digunakan untuk mencatat kepemilikan SBIS.
9. Transaksi SBIS adalah transaksi pembelian SBIS dan/atau Repo SBIS.
BAB II…
- 4 -
BAB II
TUJUAN PENERBITAN SBIS
Pasal 2
SBIS diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen operasi pasar
terbuka dalam rangka pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan Prinsip
Syariah.
BAB III
AKAD DAN KARAKTERISTIK SBIS
Pasal 3
SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad Ju’alah.
Pasal 4
SBIS memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. satuan unit sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah);
b. berjangka waktu paling kurang 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas)
bulan;
c. diterbitkan tanpa warkat (scripless);
d. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia; dan
e.
tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder.
BAB IV
IMBALAN
Pasal 5
(1) Bank Indonesia menetapkan dan memberikan imbalan atas SBIS yang
diterbitkan.
(2) Bank…
- 5 -
(2) Bank Indonesia membayar imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pada saat jatuh waktu SBIS.
BAB V
MEKANISME PENERBITAN
Pasal 6
(1) Bank Indonesia menerbitkan SBIS melalui mekanisme lelang.
(2) Penerbitan SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan BI-
SSSS.
Pasal 7
(1) Pihak yang dapat memiliki SBIS adalah BUS atau UUS.
(2) BUS atau UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
persyaratan Financing to Deposit Ratio (FDR) yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(3) BUS atau UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki SBIS
melalui pengajuan pembelian SBIS secara langsung dan/atau melalui
perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing.
Pasal 8
Bank Indonesia dapat membatalkan hasil lelang SBIS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6.
BAB VI
REPO SBIS
Pasal 9
(1) BUS atau UUS dapat mengajukan Repo SBIS kepada Bank Indonesia.
(2) Repo…
- 6 -
(2) Repo SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan prinsip qard
yang diikuti dengan rahn.
(3) BUS atau UUS yang mengajukan Repo SBIS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), harus menandatangani Perjanjian Pengagunan SBIS dalam Rangka
Repo SBIS serta menyampaikan dokumen pendukung yang dipersyaratkan
kepada Bank Indonesia.
(4) Bank Indonesia menetapkan dan mengenakan biaya atas Repo SBIS.
BAB VII
PENATAUSAHAAN SBIS
Pasal 10
(1) Bank Indonesia menatausahakan SBIS dalam suatu sistem penatausahaan
secara elektronis dalam BI-SSSS.
(2) Sistem penatausahaan yang dikelola Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mencakup sistem penyelesaian Transaksi SBIS dan pencatatan
kepemilikan SBIS.
(3) Sistem pencatatan kepemilikan SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan tanpa warkat (scripless).
Pasal 11
(1) BUS atau UUS yang melakukan Transaksi SBIS wajib memiliki Rekening
Giro dan Rekening Surat Berharga untuk penyelesaian Transaksi SBIS.
(2) BUS atau UUS yang melakukan pembelian SBIS wajib memiliki saldo
Rekening Giro yang cukup untuk memenuhi kewajiban penyelesaian
transaksi pembelian SBIS.
(3) BUS…
- 7 -
(3) BUS atau UUS yang mengajukan Repo SBIS wajib memiliki saldo Rekening
Surat Berharga dan saldo Rekening Giro yang cukup untuk memenuhi
kewajiban penyelesaian Repo SBIS.
Pasal 12
Dalam rangka penyelesaian Transaksi SBIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 Bank Indonesia berwenang untuk :
a. mendebet Rekening Giro atas pembelian SBIS oleh BUS atau UUS; atau
b. mendebet Rekening Surat Berharga dan Rekening Giro atas Repo SBIS
termasuk memindahkan pencatatan SBIS dalam rangka pengagunan.
Pasal 13
(1) Bank Indonesia melunasi SBIS pada saat jatuh waktu sebesar nilai nominal.
(2) Bank Indonesia membayar imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
pada saat SBIS jatuh waktu; atau
(3) Bank Indonesia dapat membayar imbalan SBIS sebelum jatuh waktu, dalam
hal BUS atau UUS tidak dapat memenuhi kewajiban Repo SBIS.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 14
(1) Transaksi SBIS dinyatakan batal dalam hal BUS atau UUS tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) atau ayat (3).
(2) Bank Indonesia mengenakan sanksi kepada BUS atau UUS atas Transaksi
SBIS yang dinyatakan batal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran…
- 8 -
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 1 0/00 (satu per seribu) dari nilai Transaksi
SBIS yang dinyatakan batal atau paling banyak sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk setiap Transaksi SBIS
yang dinyatakan batal; dan
(3) Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dalam hal BUS atau UUS melakukan Transaksi SBIS yang dinyatakan batal
sebanyak tiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, BUS atau UUS
dikenakan sanksi berupa :
a. pemberhentian sementara mengikuti lelang SBIS minggu berikutnya; dan
b. larangan mengajukan Repo SBIS selama 5 (lima) hari kerja berturut-
turut,
terhitung sejak BUS atau UUS dikenakan teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 15
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Bank
Indonesia ini diberlakukan, tetap berlaku dan tunduk pada ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/7/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia sampai Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
tersebut jatuh waktu.
Pasal 16
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, Peraturan Bank Indonesia
Nomor : 6/7/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
BAB X…
- 9 -
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Semua istilah Sertifikat Wadiah Bank Indonesia yang selama ini digunakan
dalam ketentuan Bank Indonesia yang masih berlaku, harus dibaca sebagai
Sertifikat Bank Indonesia Syariah.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia
Pasal 19
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Maret 2008
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Maret 200831 Met
GUBERNUR BANK INDONESIA
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Maret 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 50XXXX
DPM
- 10 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR :10/11/PBI/2008
TENTANG
SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH
UMUM
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004, Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia memiliki
tugas antara lain menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Dalam
rangka mendukung tugas dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter melalui operasi pasar
terbuka (OPT) yang dapat dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Untuk
melaksanakan kegiatan OPT yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, Bank
Indonesia berwenang menetapkan instrumen OPT yang digunakan.
Sejalan dengan hal tersebut, Bank Indonesia perlu menerbitkan Sertifikat
Bank Indonesia Syariah sebagai salah satu instrumen operasi pasar terbuka yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3…
- 2 -
Pasal 3
Akad ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan
imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang
ditentukan dari suatu pekerjaan.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Jangka waktu SBIS dinyatakan dalam jumlah hari kalender dan
dihitung 1 (satu) hari setelah tanggal penyelesaian transaksi sampai
dengan tanggal jatuh waktu.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
SBIS dapat diagunkan kepada Bank Indonesia dalam rangka Repo
SBIS, Fasilitas Likuiditas Intrahari, Fasilitas Pembiayaan Jangka
Pendek, atau fasilitas lainnya bagi BUS atau UUS.
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)…
- 3 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan perusahaan pialang pasar uang rupiah dan
valuta asing adalah perusahaan yang didirikan khusus untuk
melakukan kegiatan jasa perantara bagi kepentingan nasabahnya di
bidang pasar uang rupiah dan valuta asing dengan memperoleh
imbalan atas jasanya.
Pasal 8
Hasil lelang SBIS dapat dibatalkan apabila terdapat suatu kondisi dimana
Bank Indonesia tidak menetapkan pemenang lelang dari seluruh penawaran
lelang SBIS yang masuk, antara lain karena penawaran yang masuk dinilai
berada di luar kewajaran dari perkiraan potensi likuiditas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan qard dalam ketentuan ini adalah pinjaman
dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam
mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus dalam jangka
waktu tertentu.
Yang dimaksud dengan rahn dalam ketentuan ini adalah penyerahan
agunan dari BUS atau UUS (rahin) kepada Bank Indonesia
(murtahin) sebagai jaminan untuk mendapatkan qard.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)…
- 4 -
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan biaya Repo SBIS adalah kewajiban
membayar (gharamah) yang ditetapkan Bank Indonesia dalam
rangka Repo SBIS karena BUS atau UUS tidak menepati jangka
waktu kesepakatan pembelian SBIS.
Pasal 10
Ayat (1)
Penatausahaan melalui BI-SSSS dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku mengenai BI-SSSS.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16…
- 5 -
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 4835
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/11/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 31 Maret 2008 </set_date>
<effective_date> 31 Maret 2008 </effective_date>
<issued_date> 31 Maret 2008 </issued_date>
<replaced_reg> '6/7/PBI/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/ 10
/PBI/2005
TENTANG
LAPORAN HARIAN BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa dalam rangka pelaksanaan
tugas Bank
Indonesia di sektor moneter, perbankan dan sistem
pembayaran yang lebih efektif diperlukan dukungan
informasi secara harian yang real time, tepat waktu,
aman, akurat, handal, obyektif, lengkap dan mudah
untuk diakses secara simultan;
b. bahwa untuk menyediakan
informasi
sebagaimana
dimaksud di atas, diperlukan suatu sistem pelaporan
harian dari bank
sehingga memenuhi kebutuhan
informasi dalam rangka penetapan dan pelaksanaan
kebijakan moneter, sistem
pembayaran
pengawasan bank yang berbasis risiko;
c. bahwa pada saat ini informasi harian disediakan oleh
sistem Pusat Informasi Pasar Uang, namun untuk
memenuhi kebutuhan informasi harian sebagaimana
dimaksud di atas diperlukan penyempurnaan baik dari
kandungan informasi maupun teknologi;
serta
d.bahwa …
- 2 -
d. bahwa penyempurnaan atas sistem Pusat Informasi
Pasar Uang dilakukan melalui sistem Laporan Harian
Bank Umum;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
di atas dipandang perlu menetapkan ketentuan tentang
Laporan Harian Bank Umum dalam suatu Peraturan
Bank Indonesia.
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik
Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
LAPORAN HARIAN BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor
cabang bank asing;
2. Kantor Cabang
Bank Asing
adalah kantor cabang
dari Bank
yang
berkedudukan di luar negeri berdasarkan hukum asing atau berkantor pusat di
luar negeri, yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab
kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta
tempat kedudukan di Indonesia;
3. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di
kantor pusat bank
umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah
dan atau unit syariah, atau unit kerja di Kantor Cabang Bank Asing yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai
kantor …
- 4 -
kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah;
4. Bank Pelapor adalah kantor Bank yang meliputi kantor pusat Bank yang
berbadan hukum Indonesia, Kantor Cabang Bank Asing dan UUS;
5. Laporan Harian Bank Umum, yang selanjutnya disebut LHBU, adalah
laporan yang disusun dan disampaikan oleh Bank Pelapor secara harian
kepada Bank Indonesia;
6. Pusat Informasi Pasar Uang, yang selanjutnya disebut PIPU, adalah bagian
dari keluaran LHBU yang menyediakan informasi yang meliputi namun
tidak terbatas pada pasar uang Rupiah dan valuta asing serta informasi dari
sumber lainnya yang terkait dengan pasar keuangan;
7. Pelanggan PIPU adalah pihak, selain Bank, yang dapat memperoleh hasil
olahan LHBU sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
8. Perjanjian Penggunaan PIPU adalah kesepakatan tertulis antara Bank
Indonesia dengan Pelanggan PIPU mengenai penggunaan PIPU dengan syarat
dan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
9. Penyampaian laporan secara on-line yang selanjutnya disebut On-Line adalah
penyampaian laporan yang dilakukan dengan mengirim atau mentransfer
rekaman data secara langsung melalui jaringan komunikasi data ke Bank
Indonesia;
10. Penyampaian laporan secara off-line yang selanjutnya disebut Off-Line adalah
penyampaian laporan yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data
dalam bentuk disket atau media perekaman data elektronik lainnya kepada
Bank Indonesia;
11. Pasar Uang Antar Bank yang selanjutnya disebut PUAB adalah kegiatan
pinjam-meminjam dalam Rupiah dan atau valuta asing antar bank
konvensional dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
12. Pasar …
- 5 -
12. Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang selanjutnya
disebut PUAS, adalah kegiatan investasi jangka pendek dalam Rupiah antar
peserta pasar uang berdasarkan prinsip Mudharabah.
13. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Bank Pelapor.
BAB II
PENYUSUNAN DATA LHBU
Pasal 2
(1) Bank Pelapor wajib menyusun LHBU secara akurat, benar, dan lengkap.
(2) LHBU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi data transaksional
dan data non transaksional.
(3) Data transaksional sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi data:
a. PUAB yang terdiri dari PUAB pagi Rupiah, PUAB sore Rupiah, PUAB
valuta asing dan PUAB luar negeri;
b. PUAS;
c. transaksi devisa; dan
d. perdagangan surat berharga pasar uang di pasar sekunder;
(4) Data non transaksional sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi data:
a. posisi akhir hari transaksi derivatif jual bukan investasi dengan pihak-
pihak tertentu;
b. posisi devisa neto;
c. pos-pos tertentu neraca;
d. proyeksi arus kas;
e. suku bunga penawaran (quotation);
f. suku …
- 6 -
f. suku bunga dasar kredit;
g. suku bunga kredit;
h. suku bunga deposito berjangka, suku bunga tabungan, dan diskonto
sertifikat deposito; dan
(5)
i. tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah Bank syariah.
Penyusunan LHBU sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus
berpedoman pada sistematika penyusunan LHBU yang diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 3
(1) Bank Pelapor bertanggung jawab atas keabsahan, keakuratan, kelengkapan
laporan, dan ketepatan waktu penyampaian LHBU.
(2) Bank Pelapor harus menunjuk penanggung jawab untuk menyusun dan
menyampaikan LHBU kepada Bank Indonesia.
(3) Penunjukan penanggung jawab dimaksud pada ayat (2) tidak mengurangi
dan atau menghilangkan tanggung jawab dari Direksi Bank dan atau
pimpinan Kantor Cabang Bank Asing.
(4) Dalam hal terjadi perubahan atas penanggung jawab sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), Bank Pelapor harus mengkinikan perubahan dimaksud.
BAB III
PENYAMPAIAN LHBU
Pasal 4
(1) Bank …
- 7 -
(1) Bank Pelapor wajib menyampaikan LHBU sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3) berikut form header setiap Hari Kerja secara real time atau
segera setelah terjadinya transaksi pada tanggal laporan.
(2) Bank Pelapor wajib menyampaikan LHBU sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (4) berikut form header setiap Hari Kerja berdasarkan :
a. posisi akhir hari;
b. proyeksi; atau
c. data riil pada tanggal laporan.
(3) Bank Pelapor wajib menyampaikan suku bunga penawaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf e setiap terjadi penawaran.
(4) Dalam hal Bank Pelapor tidak melakukan transaksi apapun dan atau tidak
memiliki data non transaksional, Bank Pelapor tetap wajib menyampaikan
form header.
(5) Batas waktu penyampaian LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 5
Dalam hal terdapat kesalahan data pada LHBU yang telah disampaikan ke Bank
Indonesia, Bank Pelapor wajib melakukan koreksi LHBU dalam batas waktu
yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 6
(1) Bank Pelapor wajib menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU kepada
Bank Indonesia secara On-Line.
(2) Bank …
- 8 -
(2) Bank Pelapor yang mengalami gangguan teknis sehingga tidak dapat
menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU secara On-Line sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan
secara
tertulis segera setelah terjadinya gangguan pada Hari Kerja yang sama
kepada Bank Indonesia mengenai gangguan teknis yang dialami dan
ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang.
(3) Dalam hal terjadi gangguan teknis atau gangguan lainnya pada sistem dan
atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia maka Bank Indonesia akan
memberitahukan terjadinya gangguan tersebut secara tertulis atau lisan
kepada Bank Pelapor.
(4) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU dan atau koreksi
LHBU secara On-Line sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau
disebabkan oleh gangguan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), wajib
menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU secara Off-Line disertai hasil
cetak komputer (hard copy) pada Hari Kerja yang sama.
Pasal 7
(1) Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU atau koreksi LHBU
secara On-Line apabila LHBU dan atau koreksi LHBU tidak diterima oleh
Bank Indonesia sampai dengan batas waktu penyampaian sebagaimana
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(2) Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU atau koreksi LHBU
secara Off-Line apabila LHBU dan atau koreksi LHBU tidak diterima oleh
Bank Indonesia pada Hari Kerja yang sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (4).
Pasal 8 …
- 9 -
Pasal 8
(1) Bank Pelapor yang dianggap tidak menyampaikan LHBU dan atau koreksi
LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, tetap wajib menyampaikan
LHBU untuk data transaksi devisa, proyeksi arus kas, pos-pos tertentu
neraca dan posisi devisa neto, dan atau koreksi LHBU untuk data transaksi
devisa.
(2) Tata cara penyampaian LHBU dan atau koreksi LHBU sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 9
Kewajiban Bank Pelapor untuk menyusun serta menyampaikan LHBU dan atau
koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,
dan Pasal 6 diatur sebagai berikut :
a. sejak tanggal Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan sampai dengan
tanggal 13 Mei 2005 dilakukan sekurang-kurangnya 2 (dua) Hari Kerja
dalam setiap minggu;
b. sejak tanggal 16 Mei 2005 dilakukan setiap Hari Kerja sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 10
(1) Kewajiban penyusunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
penyampaian LHBU dan atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam
Pasal …
- 10 -
Pasal 5, Pasal 6 ayat (1), dan Pasal 6 ayat (4) dikecualikan bagi Bank
Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sehingga
mengakibatkan Bank Pelapor tidak dapat menyusun dan menyampaikan
LHBU dan atau koreksi LHBU tersebut.
(2) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU atau koreksi LHBU
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib segera memberitahukan secara
tertulis kepada Bank Indonesia disertai penjelasan mengenai penyebab
terjadinya keadaan memaksa (force majeure) yang ditandatangani oleh
Pejabat yang berwenang.
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diberikan
sampai dengan keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dapat teratasi.
(4) Pemberitahuan tertulis atas terjadinya keadaan memaksa (force majeure)
disampaikan kepada Bank Indonesia.
BAB IV
HASIL OLAHAN DAN PENGGUNA LHBU
Pasal 11
(1) Bank Indonesia menyediakan hasil olahan LHBU kepada Bank Pelapor dan
atau Pelanggan PIPU.
(2) Hasil olahan LHBU berupa:
a. informasi yang disediakan oleh PIPU dalam bentuk agregat; dan
b. data individual Bank Pelapor yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 12 …
- 11 -
Pasal 12
(1) Bank Pelapor dapat memperoleh hasil olahan berupa informasi yang
disediakan oleh PIPU dalam bentuk agregat dan data individual Bank
Pelapor yang bersangkutan.
(2) Pelanggan PIPU hanya dapat memperoleh hasil olahan LHBU berupa
informasi yang disediakan oleh PIPU dalam bentuk agregat.
Pasal 13
(1) Untuk menjadi Pelanggan PIPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(2) calon Pelanggan PIPU harus mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui oleh
Bank Indonesia, calon Pelanggan PIPU harus menandatangani Perjanjian
Penggunaan PIPU dengan Bank Indonesia.
Pasal 14
(1) Bank Indonesia menyediakan hak akses terhadap sistem LHBU di Bank
Indonesia dalam jumlah tertentu kepada setiap Bank Pelapor tanpa
dikenakan biaya.
(2) Bank Indonesia mengenakan biaya kepada Bank Pelapor atas setiap
tambahan hak akses terhadap sistem LHBU sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Bank …
- 12 -
(3) Bank Indonesia dapat mengenakan biaya kepada Bank Pelapor atas
penyediaan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).
(4) Bank Indonesia menyediakan hak akses dan informasi kepada Pelanggan
PIPU dengan dikenakan biaya.
(5) Bank Pelapor dan Pelanggan PIPU bertanggung jawab atas hak akses
terhadap sistem LHBU yang diberikan oleh Bank Indonesia.
BAB V
S A N K S I
Pasal 15
(1) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan secara On-Line data transaksional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dalam batas waktu yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) atau secara Off-
Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
Rupiah) untuk setiap data transaksional yang tidak disampaikan.
(2) Bank Pelapor yang
tidak menyampaikan secara On-Line data non
transaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i sampai batas waktu
yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) atau secara
Off-Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
Rupiah) untuk setiap data non transaksional yang tidak disampaikan.
(3) Bank …
- 13 -
(3) Bank Pelapor yang melakukan penawaran suku bunga namun tidak
menyampaikan secara On-Line data non transaksional suku
bunga
penawaran (quotation) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf
e setiap terjadi penawaran sampai
batas waktu yang
ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) atau secara Off-Line
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu Rupiah) untuk
setiap data penawaran (quotation) yang tidak disampaikan.
(4) Bank Pelapor yang tidak mengirimkan secara On-Line form header LHBU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), dan Pasal 4
ayat (4) dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (5) atau secara Off-Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (4), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta Rupiah) untuk setiap form.
(5) Bank Pelapor yang menyusun dan menyampaikan data LHBU secara tidak
benar, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima
puluh ribu Rupiah) untuk setiap butir (item) kesalahan dan sebanyak-
banyaknya sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta Rupiah) untuk setiap form.
Pasal 16
(1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 dilakukan oleh Bank Indonesia dengan mendebet rekening giro Rupiah
Bank Pelapor pada Bank Indonesia.
(2) Dalam ...
- 14 -
(2) Dalam hal pendebetan rekening giro Bank Pelapor pada Bank Indonesia
menyebabkan terjadinya saldo giro negatif maka Bank Pelapor wajib
menyetor dana sebesar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 17
Bank Pelapor yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 6 ayat (1), Pasal 6
ayat (2), Pasal 8, dan Pasal 10 ayat (2),
rangka pembinaan dan pengawasan Bank berupa teguran tertulis.
Pasal 18
Pelanggan PIPU yang tidak melakukan pembayaran biaya atas penggunaan PIPU
dikenakan sanksi berupa :
a. teguran tertulis;
b. pemenuhan kewajiban membayar sesuai Perjanjian Penggunaan PIPU; dan
atau
c. pencabutan keikutsertaan sebagai Pelanggan PIPU.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
(1) Pelanggan PIPU yang perjanjiannya berakhir pada tanggal 31 Mei 2005 dan
dikenakan sanksi administratif dalam
bermaksud …
- 15 -
bermaksud tetap menggunakan PIPU harus menandatangani Perjanjian
Penggunaan PIPU baru dengan mengacu pada ketentuan ini tanpa harus
mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
(2) Dalam hal Pelanggan PIPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menandatangani Perjanjian Penggunaan PIPU baru, Bank
Indonesia
mencabut keikutsertaan sebagai Pelanggan PIPU.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 21
Ketentuan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 mulai
berlaku pada tanggal 1 Juni 2005.
Pasal 22
Dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka sejak tanggal 1 Juni
2005:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/24/PBI/2003 tanggal 31 Oktober 2003
tentang Pusat Informasi Pasar Uang; dan
b. Pasal …
- 16 -
b. Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia Nomor
3/3/PBI/2001 tanggal 12 Januari 2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah
dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 23
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 9 Maret 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 25
DPM/UKMI/DPD/DPNP
PENJELASAN
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/ 10
/PBI/2005
TENTANG
LAPORAN HARIAN BANK UMUM
UMUM
Di dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang
Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004, ditegaskan bahwa bank wajib menyampaikan laporan, keterangan,
dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Data dan atau informasi dalam laporan, keterangan, dan penjelasan dimaksud
lebih lanjut digunakan antara lain dalam menyusun statistik perbankan untuk
analisis ekonomi moneter serta pengawasan dan pembinaan bank.
Untuk menunjang pengkinian penyusunan statistik perbankan serta dalam
rangka pemantauan pasar uang dan kondisi keuangan perbankan yang lebih
optimal diperlukan sistem pelaporan bank secara harian yang mencerminkan
kondisi keuangan bank yang berkesinambungan setiap saat.
Berkaitan dengan hal tersebut maka bank diwajibkan menyusun laporan
harian secara benar dan lengkap serta menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia secara real time dan tepat waktu.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 …
- 2 -
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan data transaksional adalah data yang
dihasilkan dari transaksi Bank Pelapor dengan pihak lain sebagai
counterpart.
Yang dimaksud dengan data non transaksional adalah data yang
bukan dihasilkan dari transaksi Bank Pelapor dengan pihak lain.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan transaksi devisa adalah transaksi valuta
asing untuk tod/tom/spot, transaksi valuta asing untuk forward,
swap, option, dan transaksi derivatif lainnya.
Huruf d
Yang dimaksud dengan data perdagangan surat berharga pasar
uang di pasar sekunder adalah data transaksi dari surat-surat
berharga yang pada saat ini hanya berupa Sertifikat Bank
Indonesia, sertifikat deposito, dan commercial paper.
Ayat (4)
Huruf a
Yang …
- 3 -
Yang dimaksud dengan pihak-pihak tertentu adalah pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian
Kredit Valuta Asing oleh Bank.
Huruf b
Yang dimaksud dengan Posisi Devisa Neto adalah posisi
devisa neto sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang Posisi Devisa Neto.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 3 …
- 4 -
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penanggung jawab adalah petugas yang
diberi otorisasi oleh Bank
Pelapor untuk menyusun dan
menyampaikan LHBU.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan form header adalah formulir LHBU yang
memuat sekurang-kurangnya informasi tentang sandi bank, tanggal
laporan, nomor form, dan jumlah record isi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6 …
- 5 -
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan gangguan teknis adalah gangguan yang
menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan LHBU
secara On-Line kepada Bank Indonesia antara lain karena gangguan
pada jaringan telekomunikasi dan atau penyebab lainnya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan gangguan teknis atau gangguan lainnya
adalah gangguan yang menyebabkan Bank Indonesia
menerima penyampaian LHBU secara On-Line antara lain karena
gangguan pada jaringan telekomunikasi dan atau penyebab lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Sistem pelaporan LHBU oleh Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal ini bertujuan untuk mengganti sistem pelaporan PIPU oleh Bank
yang akan dihentikan pada tanggal 1 Juni 2005. Dalam pelaksanaannya
diperlukan masa transisi laporan dalam bentuk kegiatan trial run dan
paralel run sesuai dengan tujuan di atas. Pada masa transisi
ini, Bank
Pelapor …
tidak dapat
- 6 -
Pelapor tetap melaksanakan pelaporan melalui PIPU bersamaan dengan
pelaporan melalui LHBU namun belum diberlakukan sanksi LHBU.
Khusus pada masa trial run pelaporan LHBU dilakukan minimal 2 (dua)
Hari Kerja dalam satu minggu pada periode sejak tanggal ditetapkan
Peraturan Bank Indonesia ini sampai dengan tanggal 13 Mei 2005 dan
pada masa paralel run pelaporan LHBU dilakukan setiap Hari Kerja sejak
tanggal 16 Mei sampai dengan tanggal 31 Mei 2005.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah
keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan Bank Pelapor tidak
dapat menyusun dan menyampaikan LHBU dan atau koreksi
LHBU, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase,
serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan
oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) dapat
teratasi adalah keadaan Bank Pelapor yang secara normal telah
dapat melaksanakan kegiatan operasional sehingga dapat menyusun
dan menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU kepada Bank
Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11 …
- 7 -
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan data individual Bank Pelapor adalah data
atau informasi yang merupakan hasil olahan mengenai Bank
Pelapor yang bersangkutan.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud hak akses adalah hak yang diberikan oleh Bank
Indonesia kepada Bank Pelapor dan atau Pelanggan PIPU untuk
dapat melakukan log-in ke dalam sistem LHBU di Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1) …
- 8 -
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Sanksi dapat dikenakan atas pelanggaran yang terjadi baik karena
tidak menyampaikan data transaksional dan atau data non
transaksional maupun karena tidak menyampaikan form header.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia
memuat antara lain:
a. Pedoman sistematika penyusunan LHBU;
b. Tata cara penyampaian data LHBU;
c. Batas waktu penyampaian data LHBU;
d.Tata …
- 9 -
d. Tata cara pengajuan permohonan menjadi Pelanggan PIPU;
e. Tata cara perolehan informasi hasil olahan LHBU;
f. Komponen biaya yang dibebankan kepada Pelanggan PIPU dan tata
cara pembayaran;
g. Hal-hal lain yang terkait.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
2005 NOMOR 4483
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/10/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN HARIAN BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 9 Maret 2005 </set_date>
<effective_date> 9 Maret 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '3/3/PBI/2001 | Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 9', '5/24/PBI/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/ 33 /PBI/2008
TENTANG
PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG KERTAS
PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1998, 20.000
(DUA PULUH RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1998, 50.000 (LIMA PULUH
RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1999, DAN 100.000 (SERATUS RIBU)
RUPIAH TAHUN EMISI 1999
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa di masyarakat telah beredar uang kertas pecahan
10.000 (sepuluh ribu) rupiah tahun emisi 1998 dan
tahun emisi 2005, 20.000 (dua puluh ribu) rupiah tahun
emisi 1998 dan tahun emisi 2004, 50.000 (lima puluh
ribu) rupiah tahun emisi 1999 dan tahun emisi 2005,
dan 100.000 (seratus ribu) rupiah tahun emisi 1999 dan
tahun emisi 2005;
b. bahwa uang kertas pecahan 10.000 (sepuluh ribu)
rupiah tahun emisi 1998, 20.000 (dua puluh ribu) rupiah
tahun emisi 1998, 50.000 (lima puluh ribu) rupiah tahun
emisi 1999, dan 100.000 (seratus ribu) rupiah tahun
emisi 1999 telah beredar cukup lama;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu
untuk menetapkan pencabutan dan penarikan dari
peredaran uang kertas pecahan 10.000 (sepuluh ribu)
rupiah . . .
- 2 -
rupiah tahun emisi 1998, 20.000 (dua puluh ribu) rupiah
tahun emisi 1998, 50.000 (lima puluh ribu) rupiah tahun
emisi 1999, dan 100.000 (seratus ribu) rupiah tahun
emisi 1999 dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843),
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4901);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004
tanggal 22 Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran,
Pencabutan Dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang
Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4388) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/10/PBI/2007 tanggal 30 Agustus 2007 tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/14/PBI/2004 Tentang Pengeluaran, Pengedaran,
Pencabutan Dan Penarikan, Serta Pemusnahan Uang
Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4762);
MEMUTUSKAN . . .
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI
PEREDARAN UANG KERTAS PECAHAN 10.000
(SEPULUH RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1998,
20.000 (DUA PULUH RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI
1998, 50.000 (LIMA PULUH RIBU) RUPIAH TAHUN
EMISI 1999, DAN 100.000 (SERATUS RIBU) RUPIAH
TAHUN EMISI 1999.
Pasal 1
(1) Bank Indonesia mencabut dan menarik uang kertas rupiah dari peredaran
yang terdiri dari uang kertas pecahan 10.000 (sepuluh ribu) rupiah tahun
emisi 1998, 20.000 (dua puluh ribu) rupiah tahun emisi 1998, 50.000 (lima
puluh ribu) rupiah tahun emisi 1999, dan 100.000 (seratus ribu) rupiah
tahun emisi 1999.
(2) Uang kertas rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai alat
pembayaran yang sah sejak tanggal 31 Desember 2008.
Pasal 2
Uang kertas rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 dapat ditukarkan di Bank Indonesia dan/atau Bank
Umum.
Pasal 3
Jangka waktu dan tempat penukaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ditetapkan sebagai berikut:
1. Terhitung . . .
- 4 -
1. Terhitung sejak tanggal 31 Desember 2008 sampai dengan tanggal
30 Desember 2013 penukaran dilakukan di Bank Indonesia dan/atau Bank
Umum.
2. Terhitung sejak tanggal 31 Desember 2013 sampai dengan tanggal
30 Desember 2018 penukaran dilakukan hanya di Bank Indonesia.
Pasal 4
Hak untuk menuntut penukaran uang rupiah yang telah dicabut dan ditarik dari
peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak berlaku lagi setelah
10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan atau tanggal 31 Desember
2018.
Pasal 5
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan . . .
- 5 -
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 November 2008.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 25 November 2008.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 180
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/33/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG KERTAS PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1998, 20.000 (DUA PULUH RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1998, 50.000 (LIMA PULUH RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1999, DAN 100.000 (SERATUS RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1999 </reg_title>
<set_date> 25 November 2008 </set_date>
<effective_date> 31 Desember 2008 </effective_date>
<issued_date> 25 November 2008 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '9/10/PBI/2007', '2/PERPPU/2008', '6/14/PBI/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/13/PBI/2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
7/3/PBI/2005 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT
BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa dalam meningkatkan perannya dalam
perekonomian, bank perlu melakukan langkah-langkah
untuk dapat mendukung pertumbuhan ekonomi, termasuk
membiayai sektor riil;
b. bahwa dalam upaya membiayai sektor riil, bank tetap wajib
memperhatikan prinsip kehati-hatian antara lain dengan
mengelola risiko dengan baik, khususnya risiko yang
terkait dengan risiko konsentrasi;
c. bahwa dalam rangka pengelolaan risiko dengan baik bank
telah diwajibkan untuk menerapkan manajemen risiko dan
melaksanakan prinsip-prinsip good corporate governance
dalam kegiatan usahanya;
d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk mengatur
kembali ketentuan tentang batas maksimum pemberian
kredit bank umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005 tentang
Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4472);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/3/PBI/2005 TENTANG BATAS MAKSIMUM
PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM.
Pasal I …
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005
tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4472) diubah sebagai berikut:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 22 diubah, sehingga Pasal 1 seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank
adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk
kantor cabang bank asing.
2. Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya disebut dengan
BMPK adalah persentase maksimum penyediaan dana yang
diperkenankan terhadap modal Bank.
3.
Penyediaan Dana adalah penanaman dana Bank dalam bentuk:
a.
kredit;
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
surat berharga;
penempatan;
surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali;
tagihan akseptasi;
derivatif kredit (credit derivative);
transaksi rekening administratif;
tagihan derivatif;
i. potential …
- 4 -
i.
j.
k.
l.
4.
potential future credit exposure;
penyertaan modal;
penyertaan modal sementara;
bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan
dengan huruf a sampai dengan huruf k.
Modal adalah:
a. modal inti
b.
dan modal pelengkap bagi Bank yang berkantor
pusat di Indonesia; atau
dana bersih kantor pusat dan kantor-kantor cabang lainnya di
luar negeri (Net Head Office Fund), bagi kantor cabang bank
asing,
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
5.
Pihak Terkait adalah perseorangan atau perusahaan/badan yang
mempunyai hubungan pengendalian dengan Bank, baik secara
langsung maupun tidak langsung, melalui hubungan kepemilikan,
kepengurusan, dan atau keuangan.
6. Pelanggaran BMPK adalah selisih lebih antara persentase BMPK
yang diperkenankan dengan persentase Penyediaan Dana terhadap
Modal Bank pada saat pemberian Penyediaan Dana.
7.
Pelampauan BMPK adalah selisih lebih antara persentase BMPK
yang diperkenankan dengan persentase Penyediaan Dana terhadap
Modal Bank pada saat tanggal laporan dan tidak
Pelanggaran BMPK sebagaimana dimaksud pada angka 6.
8.
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan
itu,
berdasarkan persetujuan
atau
kesepakatan pinjam
meminjam …
termasuk
- 5 -
meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga, termasuk:
a.
b.
c.
cerukan (overdraft) yaitu saldo negatif pada rekening giro
nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;
pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
9. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi,
sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau
suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk
diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang.
yang
lazim
10. Penempatan adalah penanaman dana Bank pada bank lain, dalam
bentuk giro, interbank call money, deposito berjangka, sertifikat
deposito, kredit, dan penanaman dana lainnya yang sejenis.
11. Surat Berharga Yang Dibeli Dengan Janji Dijual Kembali adalah
pembelian Surat Berharga dari pihak lain yang dilengkapi dengan
perjanjian untuk menjual kembali kepada pihak lain tersebut pada
akhir periode dengan harga atau imbalan yang telah disepakati
sebelumnya (reverse repurchase agreement).
12. Tagihan Akseptasi adalah tagihan yang timbul sebagai akibat
akseptasi yang dilakukan terhadap wesel berjangka.
13. Tagihan Derivatif adalah tagihan karena potensi keuntungan dari
suatu perjanjian/kontrak transaksi derivatif (selisih positif antara nilai
kontrak dengan nilai wajar transaksi derivatif pada tanggal laporan),
termasuk potensi keuntungan karena mark to market dari transaksi
spot yang masih berjalan.
14. Potential …
- 6 -
14. Potential Future Credit Exposure adalah seluruh potensi keuntungan
dari suatu perjanjian/kontrak transaksi derivatif selama umur kontrak,
yang ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari nilai nosional
perjanjian/kontrak transaksi derivatif tersebut.
15. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham
pada bank atau perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana
diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku seperti
perusahaan sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek,
asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan,
termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible
bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi
tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham
pada bank dan atau perusahaan yang bergerak di bidang keuangan
lainnya.
16. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal oleh Bank
pada perusahaan peminjam untuk mengatasi kegagalan kredit (debt to
equity swap), termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi
(convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis
transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki
saham pada perusahaan peminjam.
17. Transaksi Rekening Administratif adalah kewajiban komitmen dan
kontinjensi yang antara lain meliputi penerbitan jaminan, letter of
credit (L/C), stand-by letter of credit (SBLC), dan atau kewajiban
komitmen dan kontinjensi lain, kecuali fasilitas Kredit yang belum
ditarik.
18. Peminjam …
- 7 -
18. Peminjam adalah nasabah perorangan atau perusahaan/badan yang
memperoleh Penyediaan Dana dari Bank, termasuk:
a.
debitur, untuk Penyediaan Dana berupa Kredit;
b. penerbit Surat Berharga, pihak yang menjual Surat Berharga,
manajer investasi kontrak investasi kolektif, dan atau reference
entity, untuk Penyediaan Dana berupa Surat Berharga;
c. pihak yang mengalihkan risiko kredit (protection buyer) dan atau
reference entity, untuk Penyediaan Dana berupa derivatif kredit
(credit derivatives);
d. pemohon (applicant), untuk Penyediaan Dana berupa jaminan
(guarantee), letter of credit (L/C), standby letter of credit
(SBLC), atau instrumen serupa lainnya;
e. pihak tempat Bank melakukan Penyertaan Modal (investee),
untuk Penyediaan Dana berupa Penyertaan Modal;
f. Bank atau debitur, untuk Penyediaan Dana berupa tagihan
akseptasi;
g. pihak lawan transaksi (counterparty), untuk Penyediaan Dana
berupa Penempatan dan transaksi derivatif;
h. pihak lain yang wajib melunasi tagihan kepada Bank.
19. Reference Entity adalah pihak yang berutang atau mempunyai
kewajiban membayar
(obligor) dari aset yang yang mendasari
(underlying reference asset), termasuk:
a. penerbit dari Surat Berharga yang ditetapkan sebagai aset yang
mendasari (underlying reference asset);
b. pihak yang berkewajiban untuk melunasi piutang dari kredit atau
tagihan yang
mendasari (underlying reference asset).
20. Komisaris …
dialihkan dan ditetapkan sebagai aset yang
- 8 -
20. Komisaris:
a. bagi perusahaan berbentuk hukum perseroan terbatas adalah
Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas;
b. bagi perusahaan berbentuk hukum perusahaan daerah adalah
Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi perusahaan berbentuk hukum koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian,
termasuk pejabat yang ditunjuk untuk melakukan fungsi pengawasan
sebagaimana Komisaris.
21. Direksi:
a. bagi perusahaan berbentuk hukum perseroan terbatas adalah
Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi perusahaan berbentuk hukum perusahaan daerah adalah
Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi perusahaan berbentuk hukum koperasi adalah pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian,
termasuk pejabat yang mempunyai wewenang sebagaimana Direksi.
22. Pejabat Eksekutif adalah Pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap
kebijakan dan operasional Bank atau perusahaan, termasuk kepala
satuan kerja audit intern, akuntansi, dan manajemen risiko Bank.
2. Ketentuan …
- 9 -
2.
Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko
dalam memberikan Penyediaan Dana, khususnya Penyediaan Dana
kepada Pihak Terkait, Penyediaan Dana besar (large exposures), dan
atau Penyediaan Dana kepada pihak lain yang memiliki kepentingan
terhadap Bank.
(2) Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank wajib memiliki pedoman
kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana kepada
Pihak Terkait, Penyediaan Dana besar (large exposures), dan atau
Penyediaan Dana kepada pihak lain yang memiliki kepentingan
terhadap Bank.
(3) Pedoman kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling kurang mencakup:
a. standar dan kriteria untuk melakukan seleksi dan penilaian
kelayakan Peminjam dan kelompok Peminjam;
b. standar dan kriteria untuk penetapan batas (limit) Penyediaan
Dana;
c. sistem informasi manajemen Penyediaan Dana;
d. sistem pemantauan terhadap Penyediaan Dana; dan
e. penetapan langkah pengendalian untuk mengatasi konsentrasi
Penyediaan Dana.
(4) Pedoman kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling kurang sama atau lebih
berhati-hati …
- 10 -
berhati-hati (prudent) dibandingkan dengan kebijakan dan prosedur
pelaksanaan manajemen risiko kredit secara umum.
(5) Pedoman kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dikaji ulang secara
periodik paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(6) Pedoman kebijakan dan prosedur tentang
Penyediaan Dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kebijakan, prosedur, dan penetapan risiko kredit
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
3.
Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Pihak Terkait meliputi:
a. perseorangan atau perusahaan/badan yang merupakan pengendali
Bank;
b. perusahaan/badan dimana Bank bertindak sebagai pengendali;
c. perseorangan atau perusahaan/badan lain yang bertindak sebagai
pengendali dari perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf b;
d. perusahaan dimana:
1)
2)
perseorangan dan atau perusahaan/badan sebagaimana
dimaksud pada huruf a bertindak sebagai pengendali;
perseorangan dan atau perusahaan/badan sebagaimana
dimaksud pada huruf c bertindak sebagai pengendali;
e. Komisaris, Direksi, dan Pejabat Eksekutif Bank;
f. pihak …
- 11 -
f. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan
derajat kedua, baik horisontal maupun vertikal:
1)
dari perseorangan yang merupakan pengendali Bank
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
2) dari Komisaris, Direksi, dan Pejabat Eksekutif pada Bank
sebagaimana dimaksud pada huruf e.
g. Komisaris, Direksi, dan Pejabat Eksekutif pada perusahaan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan atau
huruf d;
h. perusahaan/badan yang Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat
Eksekutifnya merupakan:
1) Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif pada Bank;
2) Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif pada
perusahaan/badan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan
huruf b;
i. Perusahaan/badan yang 50% (lima puluh perseratus) atau lebih
Komisaris dan Direksinya merupakan Komisaris, Direksi
dan/atau Pejabat Eksekutif pada perusahaan/badan sebagaimana
dimaksud pada huruf c dan atau huruf d;
j. perusahaan/badan dimana:
1) Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif Bank
sebagaimana dimaksud pada huruf e bertindak sebagai
pengendali;
2) Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif dari
pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
huruf c, dan atau huruf d, bertindak sebagai pengendali;
k. perusahaan/badan …
- 12 -
k. perusahaan/badan yang memiliki hubungan keuangan dengan
Bank dan atau pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i dan
atau huruf j;
l. kontrak investasi kolektif dimana Bank dan atau pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i dan atau huruf j
memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham pada
manajer investasi kontrak investasi kolektif tersebut;
m. Peminjam berupa perseorangan atau perusahaan/badan bukan
bank
yang memberikan jaminan kepada pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf l;
n. Peminjam yang diberikan jaminan oleh pihak-pihak sebagaimana
dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf l;
o. bank lain yang memberikan jaminan kepada pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf l
sepanjang terdapat counterguarantee dari Bank dan atau pihak-
pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf l
kepada bank lain tersebut.
p. Perusahaan/badan lain yang didalamnya terdapat kepentingan
dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf f.
(2) Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan
huruf c adalah apabila perseorangan atau perusahaan/badan secara
langsung atau tidak langsung:
a. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 10% (sepuluh
perseratus) atau lebih saham Bank atau perusahaan/badan lain;
b. memiliki …
- 13 -
b. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham yang
apabila digunakan akan menyebabkan pihak tersebut memiliki
dan atau mengendalikan secara sendiri atau bersama-sama 10%
(sepuluh perseratus) atau lebih saham
perusahaan/badan lain;
Bank
atau
c. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai
tujuan bersama dalam mengendalikan Bank
atau
perusahaan/badan lain (acting in concert), dengan atau tanpa
perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama-
sama memiliki
dan atau mengendalikan 10% (sepuluh
perseratus) atau lebih saham Bank atau perusahaan/badan lain;
d. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai
tujuan bersama dalam mengendalikan Bank
atau
perusahaan/badan (acting in concert), dengan atau tanpa
perjanjian tertulis dengan pihak lain tersebut, sehingga secara
bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak lainnya untuk
memiliki saham, yang
menyebabkan pihak-pihak
apabila hak
tersebut dilaksanakan
tersebut memiliki dan atau
mengendalikan secara bersama-sama 10% (sepuluh perseratus)
atau lebih saham Bank atau perusahaan/badan lain;
e. memiliki kewenangan dan atau kemampuan untuk menyetujui,
mengangkat dan atau memberhentikan anggota Komisaris dan
atau Direksi Bank atau perusahaan/badan lain;
f. memiliki kemampuan untuk menentukan (controlling influence)
kebijakan strategis Bank atau perusahaan/badan lain;
g. mengendalikan …
- 14 -
g. mengendalikan 1 (satu) atau lebih perusahaan lain yang secara
keseluruhan memiliki dan atau mengendalikan secara bersama-
sama 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham Bank atau
perusahaan/badan lain;
h. melakukan pengendalian terhadap pengendali sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf g.
(3) Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf j
adalah apabila perseorangan atau perusahaan/badan secara langsung
atau tidak langsung:
a. memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham
perusahaan/badan lain dan porsi kepemilikan tersebut merupakan
porsi yang terbesar;
b. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima
perseratus) atau lebih saham perusahaan/badan lain;
c. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham yang
apabila digunakan akan menyebabkan pihak tersebut memiliki
dan atau mengendalikan saham perusahaan/badan lain
sebagaimana dimaksud pada huruf a atau huruf b;
d. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai
tujuan bersama dalam mengendalikan perusahaan/badan lain
(acting in concert), dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan
pihak lain, sehingga secara bersama-sama memiliki dan atau
mengendalikan saham perusahaan lain sebagaimana dimaksud
pada huruf a atau huruf b;
e. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai
tujuan bersama dalam mengendalikan perusahaan/badan (acting
in concert …
- 15 -
in concert), dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak
lain tersebut, sehingga secara bersama-sama mempunyai hak
opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham, yang apabila hak
tersebut dilaksanakan menyebabkan pihak-pihak tersebut
memiliki dan atau mengendalikan secara bersama-sama saham
perusahaan/badan lain sebagaimana dimaksud pada huruf a atau
huruf b;
f. memiliki kewenangan dan atau kemampuan untuk menyetujui,
mengangkat dan atau memberhentikan anggota Komisaris dan
atau Direksi perusahaan/badan lain;
g. memiliki kemampuan untuk menentukan (controlling influence)
kebijakan strategis perusahaan/badan lain.
4.
Ketentuan Pasal 12 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Peminjam digolongkan sebagai anggota suatu kelompok Peminjam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) apabila Peminjam
mempunyai hubungan pengendalian dengan Peminjam lain baik
melalui hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan atau keuangan,
yang meliputi:
a. Peminjam merupakan pengendali Peminjam lain;
b. 1 (satu) pihak yang sama merupakan pengendali dari beberapa
Peminjam (common ownership);
c. Peminjam memiliki hubungan keuangan dengan Peminjam lain;
d. Peminjam …
- 16 -
d. Peminjam menerbitkan jaminan (guarantee) untuk mengambil
alih dan atau melunasi sebagian atau
seluruh kewajiban
Peminjam lain dalam hal Peminjam lain tersebut gagal
memenuhi kewajibannya (wanprestasi) kepada Bank;
e. Direksi, Komisaris, dan atau Pejabat Eksekutif Peminjam
menjadi Direksi dan atau Komisaris pada Peminjam lain.
(2) Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b
adalah pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3).
5.
Ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf d diubah, sehingga Pasal 23 seluruhnya
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Penyediaan Dana oleh Bank dikategorikan sebagai Pelampauan
BMPK apabila disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
a. penurunan Modal Bank;
b. perubahan nilai tukar;
c. perubahan nilai wajar;
d. penggabungan usaha, perubahan struktur kepemilikan dan atau
perubahan struktur kepengurusan yang menyebabkan perubahan
Pihak Terkait dan atau kelompok Peminjam;
e. perubahan ketentuan.
(2) Penentuan Peminjam dalam perhitungan Pelampauan BMPK
dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
sampai dengan Pasal 22.
(3) Pelampauan BMPK dihitung berdasarkan nilai yang tercatat pada
tanggal laporan.
6. Ketentuan …
- 17 -
6.
Ketentuan Pasal 24 ayat (4) diubah, sehingga Pasal 24 seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Bank wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindak (action
plan) untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan atau Pelampauan
BMPK.
(2) Action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat
paling kurang langkah-langkah
untuk penyelesaian Pelanggaran
BMPK dan atau Pelampauan BMPK serta target waktu penyelesaian.
(3) Target waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk Pelanggaran BMPK, paling lambat dalam jangka waktu 1
(satu) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank
Indonesia.
b. untuk
Pelampauan BMPK yang
disebabkan oleh hal-hal
c. untuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a, huruf b, dan
huruf c ditetapkan paling lambat 9 (sembilan) bulan sejak action
plan disampaikan kepada Bank Indonesia.
Pelampauan BMPK yang
disebabkan oleh hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d, ditetapkan paling
lambat 12 (dua belas) bulan sejak action plan disampaikan
kepada Bank Indonesia.
d. untuk
Pelampauan BMPK yang
disebabkan oleh hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf e, ditetapkan
paling lambat 18 (delapan belas) bulan sejak batas akhir waktu
penyampaian …
- 18 -
penyampaian action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (3).
(4) Dalam hal jangka waktu penyelesaian action plan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dinilai tidak mungkin dicapai, Bank atas
dasar persetujuan Bank Indonesia dapat menetapkan jangka waktu
penyelesaian action plan yang
berbeda dengan jangka waktu
penyelesaian action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
7.
Ketentuan Pasal 30 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
(1) Dalam
hal program penjaminan Pemerintah tidak meliputi
Penempatan maka Penempatan merupakan komponen Penyediaan
Dana yang diperhitungkan dalam BMPK.
(2) Dalam
hal Penempatan tidak merupakan cakupan program
penjaminan Pemerintah, maka bagian dari Penempatan
berupa
Penempatan kepada Bank lain di Indonesia melalui Pasar Uang Antar
Bank (PUAB) untuk tujuan manajemen likuiditas dengan jangka
waktu sampai dengan 14 (empat belas) hari dikecualikan dari
ketentuan BMPK.
8.
Ketentuan Pasal 37 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
Penggolongan kelompok Peminjam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
dikecualikan untuk pemberian Kredit kepada nasabah (end user) melalui
lembaga pembiayaan dengan metode penerusan (channeling) sepanjang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Bank …
- 19 -
a.
Bank melakukan pengawasan terhadap penilaian kelayakan yang
dilakukan oleh lembaga pembiayaan terhadap nasabah (end-user);
b. Bank memiliki risiko langsung atas Penyediaan Dana yang disalurkan
kepada nasabah (end-user);
c.
perjanjian Kredit dilakukan antara nasabah (end-user) dengan Bank
atau dengan pihak yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama
Bank;
d. pembayaran dari nasabah (end-user) untuk keuntungan Bank; dan
e.
lembaga pembiayaan tidak menjamin untuk mengambil alih atau
melunasi sebagian atau seluruh kewajiban nasabah (end-user) dalam
hal nasabah tersebut gagal memenuhi kewajibannya kepada Bank.
9.
Ketentuan Pasal 40 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
(1) Penyediaan Dana Bank kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
untuk tujuan pembangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (tiga
puluh perseratus) dari Modal Bank.
(2) Hubungan antara Bank yang berbentuk BUMN atau Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD) dengan Peminjam yang berbentuk BUMN
dan atau BUMD dikecualikan dari pengertian Pihak
Terkait
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sepanjang hubungan tersebut
semata-mata disebabkan karena kepemilikan langsung Pemerintah
Indonesia.
(3) Perusahaan …
- 20 -
(3) Perusahaan-perusahaan BUMN dan atau BUMD tidak diperlakukan
sebagai kelompok Peminjam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
sepanjang
kepemilikan langsung Pemerintah Indonesia.
10. Diantara Pasal 40 dan 41 disisipkan 3 (tiga) pasal baru menjadi Pasal 40A,
40B, dan 40C yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40A
Penyediaan Dana kepada perusahaan/badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) huruf b yang dikendalikan oleh Bank melalui dana pensiun
Bank yang bersangkutan, dikecualikan dari perhitungan BMPK kepada
Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sepanjang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Hubungan pengendalian antara Bank dengan perusahaan/badan yang
dikendalikan oleh dana pensiun Bank tersebut semata-mata
disebabkan adanya kepemilikan dana pensiun terhadap
perusahaan/badan tersebut; dan
b. Penyediaan Dana diberikan dengan persyaratan yang wajar (arm’s
length) dan sesuai dengan prosedur umum Penyediaan Dana yang
berlaku.
Pasal 40B
(1) Penyediaan Dana kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam:
a. Pasal 8 ayat (1) huruf c;
b. Pasal 8 ayat (1) huruf d angka 2);
hubungan tersebut semata-mata disebabkan karena
c. Pasal …
- 21 -
c. Pasal 8 ayat (1) huruf g, huruf j angka 2), huruf k sampai dengan
huruf o, hanya untuk pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada
Pasal 8 ayat (1) huruf c dan huruf d angka 2,
dikecualikan dari perhitungan BMPK kepada Pihak Terkait
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sepanjang memenuhi
persyaratan tertentu.
(2) Persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebagai berikut:
a. Hubungan pengendalian antara Bank
dengan pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c dan atau
Pasal 8 ayat (1) huruf d angka 2) semata-mata disebabkan oleh
hubungan kepemilikan;
b. Penyediaan Dana diberikan dengan persyaratan yang wajar
(arm’s length) dan sesuai dengan prosedur umum Penyediaan
Dana yang berlaku; dan
c. Penyediaan Dana diberikan oleh Bank pada saat Bank tidak
ditempatkan dalam pengawasan intensif Bank Indonesia.
(3) Bank yang tidak ditempatkan dalam pengawasan intensif Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah bank
yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. memiliki peringkat komposit dalam penilaian tingkat kesehatan
paling kurang 3;
b. tidak memiliki permasalahan aktual dan atau potensial terhadap
keseluruhan risiko (composite risks);
c. tidak memiliki pelanggaran dan atau pelampauan BMPK;
d. tidak memiliki pelanggaran posisi devisa neto;
e. memiliki …
- 22 -
e. memiliki rasio giro wajib minimum sama dengan atau lebih besar
dari rasio yang ditetapkan;
f. memiliki rasio kredit bermasalah terhadap total kredit secara neto
kurang dari 5% (lima perseratus); dan
g. tidak memiliki permasalahan profitabilitas yang mendasar.
Pasal 40C
(1) Penyediaan Dana kepada perusahaan/badan
dimana Komisaris,
Direksi, dan atau Pejabat Eksekutifnya merupakan:
a. Komisaris pada Bank, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) huruf e; dan atau
b. keluarga Komisaris Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) huruf f angka 2,
dikecualikan dari perhitungan BMPK kepada Pihak Terkait
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sepanjang memenuhi
persyaratan tertentu.
(2) Persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebagai berikut:
a. Komisaris pada Bank merupakan Komisaris Independen;
b. Penyediaan Dana diberikan dengan persyaratan yang wajar
(arm’s length) dan sesuai dengan prosedur umum Penyediaan
Dana yang berlaku;
c. Komisaris Independen tidak
terlibat baik
secara langsung
maupun tidak langsung dalam pengambilan keputusan untuk
Penyediaan Dana tersebut; dan
d. Tidak terdapat hubungan pengendalian lainnya.
Pasal II …
- 23 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Oktober 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 70
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/13/PBI/2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
7/3/PBI/2005 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT
BANK UMUM
UMUM
Mengingat peranannya dalam perekonomian nasional yang
cukup
signifikan, perbankan tetap perlu didorong untuk meningkatkan dukungannya
terhadap pertumbuhan ekonomi nasional melalui penyaluran dana kepada sektor
riil.
dilakukan bank
Namun demikian, sangat disadari bahwa kegiatan penyaluran dana yang
harus diimbangi dengan kemampuan bank
untuk
mengidentifikasi, mengukur, mengawasi dan mengendalikan berbagai jenis risiko
yang timbul dari kegiatan penyediaan dana. Diantara berbagai jenis risiko yang
dihadapi dalam kegiatan penyediaan dana, risiko konsentrasi memegang peranan
yang cukup penting dimana pengelolaan risiko konsentrasi dengan baik dapat
mengurangi potensi kegagalan usaha bank secara signifikan.
Membaiknya kualitas pengelolaan risiko perbankan secara umum
antara lain melalui kewajiban bank untuk menerapkan manajemen risiko dan
melaksanakan good corporate governance dalam kegiatan usahanya diiringi
dengan pertimbangan untuk meningkatkan fungsi intermediasi perbankan dalam
perekonomian …
- 2 -
perekonomian nasional, dipandang perlu untuk melakukan penyesuaian beberapa
pengaturan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Beberapa penyesuaian
tersebut antara lain mencakup pendefinisian ulang pihak-pihak yang
dikagetorikan sebagai pihak terkait dengan bank, cakupan perhitungan BMPK
kepada pihak terkait, penegasan pengaturan pengelompokan peminjam sebagai
akibat hubungan keuangan, serta perluasan sektor ekonomi yang dinilai dapat
menunjang
pencapaian pembangunan ekonomi nasional terkait dengan
penyediaan dana bank kepada badan usaha milik negara.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Pengaturan dalam ayat ini dimaksudkan agar penerapan
manajemen risiko, khususnya kepada Pihak Terkait,
Penyediaan Dana besar (large exposures), dan atau
Penyediaan Dana kepada pihak lain yang memiliki
kepentingan terhadap Bank dilaksanakan secara wajar
(arm’s length basis), disesuaikan dengan kemampuan
permodalan Bank,
dan
tidak
terkonsentrasi
secara
signifikan …
- 3 -
signifikan kepada Peminjam atau kelompok Peminjam
tertentu.
Yang dimaksud dengan pihak lain yang memiliki
kepentingan terhadap Bank
pegawai Bank beserta keluarganya.
termasuk
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Dalam melakukan seleksi dan penilaian kelayakan,
Bank harus memastikan tersedianya informasi yang
cukup antara lain mencakup data dan informasi
mengenai pemegang saham, kepengurusan, struktur
kelompok
Peminjam dan atau kelompok Peminjam.
Huruf b
Batas (limit) Penyediaan Dana ditetapkan paling
tinggi sesuai dengan batas yang diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Limit Penyediaan Dana ditetapkan berdasarkan
analisis dampak Penyediaan Dana terhadap struktur
neraca dan profil risiko Bank.
Analisis dampak pada struktur neraca dan profil
risiko Bank dilakukan dengan mempertimbangkan
besar, jenis, jangka waktu, dan diversifikasi
portofolio Penyediaan Dana secara
keseluruhan
sehingga …
pejabat atau
usaha, dan kondisi keuangan dari
- 4 -
sehingga dapat mencegah
portofolio
Penyediaan
Dana terkonsentrasi pada satu Peminjam atau
kelompok Peminjam tertentu.
Huruf c
Sistem
informasi manajemen harus dapat
memungkinkan pengurus Bank secara tepat waktu
mengidentifikasi antara lain konsentrasi Penyediaan
Dana, khususnya kepada Pihak Terkait, Penyediaan
Dana besar (large exposures), dan atau Penyediaan
Dana kepada pihak lain yang memiliki kepentingan
terhadap Bank. Selain itu, sistem informasi
manajemen harus mencakup tersedianya sistem
pelaporan kepada pengurus
Bank mengenai
Penyediaan Dana yang melampaui atau diperkirakan
akan melampaui limit Penyediaan Dana.
Huruf d
Sistem pemantauan terhadap Penyediaan Dana
kepada Pihak
Terkait, eksposur besar (large
exposures), dan atau Penyediaan Dana kepada pihak
lain yang memiliki kepentingan terhadap Bank
antara lain mencakup:
1. kepatuhan terhadap limit;
2. kecukupan agunan dibandingkan Penyediaan
Dana;
3. identifikasi kualitas Penyediaan Dana.
Huruf e …
- 5 -
Huruf e
Langkah pengendalian sebagaimana dimaksud
dalam huruf ini antara lain mencakup:
1. penambahan modal dalam rangka mengatasi
peningkatan eksposur risiko;
2. sindikasi;
3. sekuritisasi aset.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Frekuensi kaji ulang dapat ditingkatkan intensitasnya
sesuai dengan perkembangan konsentrasi risiko
Penyediaan Dana.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e …
- 6 -
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai
dengan derajat kedua baik horisontal maupun
vertikal adalah pihak-pihak sebagai berikut:
1. orang tua kandung/tiri/angkat;
2. saudara kandung/tiri/angkat;
3. anak kandung/tiri/angkat;
4. kakek atau nenek kandung/tiri/angkat;
5. cucu kandung/tiri/angkat;
6. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua;
7. suami atau istri;
8. mertua atau besan;
9. suami atau istri dari anak kandung/tiri/angkat;
10. kakek atau nenek dari suami atau istri;
11. suami atau istri dari cucu kandung/tiri /angkat;
12. saudara kandung /tiri/angkat dari suami atau
istri beserta suami atau istrinya dari saudara
yang bersangkutan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Angka 1)
Yang dimaksud dengan Direksi Bank hanyalah
Direksi Bank yang dapat menjadi
anggota
dewan …
- 7 -
dewan Komisaris pada perusahaan anak yang
dikendalikan oleh Bank tersebut yang tidak
termasuk
ketentuan Bank Indonesia yang
mengenai Good Corporate Governance.
Angka 2)
Cukup jelas.
Huruf i
Jumlah 50% (lima puluh perseratus) atau lebih
dihitung dari jumlah kumulatif Komisaris dan/atau
Direksi.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Hubungan keuangan dilihat dari beberapa faktor
sebagai berikut:
1. terdapat bantuan keuangan dari Bank dan atau
Pihak Terkait atau bantuan keuangan kepada
Bank dan atau Pihak Terkait lainnya dengan
persyaratan yang ditetapkan sedemikian rupa
sehingga menyebabkan pihak yang memberikan
bantuan keuangan mempunyai kemampuan
untuk
menentukan
(controlling influence)
kebijakan strategis perusahaan/badan yang
menerima bantuan keuangan. Yang dimaksud
dengan
kebijakan strategis adalah kebijakan
yang …
sebagai rangkap jabatan dalam
berlaku
- 8 -
yang menyangkut penetapan arah dan tujuan
pelaksanaan usaha yang berdampak signifikan;
dan atau
2. terdapat keterkaitan rantai
bisnis yang
signifikan dalam operasional usaha Bank atau
pihak terkait dengan perusahaan/ badan lain
sehingga terdapat ketergantungan antara satu
pihak dengan pihak lainnya yang
mengakibatkan :
a. salah satu pihak tidak mampu dengan
mudah mengalihkan transaksi bisnis
tersebut kepada pihak lain; dan
b. ketidakmampuan dengan mudah
mengalihkan transaksi bisnis tersebut
menyebabkan cash flow salah satu pihak
akan mengalami gangguan yang signifikan
sehingga mengalami kesulitan untuk
memenuhi kewajibannya.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m dan huruf n
Yang dimaksud dengan jaminan adalah janji yang
diterbitkan oleh satu pihak untuk mengambil alih
dan atau melunasi sebagian atau seluruh kewajiban
pihak yang berutang dalam hal pihak yang berutang
gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi).
Huruf o …
- 9 -
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Yang dimaksud dengan kepentingan adalah apabila
terdapat pengendalian dari hubungan kepemilikan,
kepengurusan, dan keuangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan memiliki secara tidak langsung
saham adalah memiliki atau mengendalikan saham secara
bersama-sama atau melalui pihak lain, termasuk:
1.
saham
Bank
atau
perusahaan/badan lain yang
dimiliki oleh pihak lain yang hak suaranya dapat
digunakan atau dikendalikan pengendali;
2.
saham
Bank
atau
dimiliki oleh pihak
pengendali;
3.
4.
saham
Bank
Bank
atau
atau
perusahaan/badan lain yang
dikendalikan oleh
yang
perusahaan/badan lain yang
dimiliki oleh pihak terafiliasi dari pengendali;
saham
dimiliki oleh anak
perusahaan/badan yang
5.
pengendali;
saham
Bank
atau
perusahaan/badan lain yang
perusahaan dari
dikendalikan oleh
perusahaan/badan lain yang
dimiliki oleh pihak-pihak yang bertindak untuk dan
atas nama pengendali (saham nominee) berdasarkan
atau tidak berdasarkan perjanjian tertentu;
6. saham …
- 10 -
6.
saham Bank atau perusahaan/badan lain dimiliki
oleh pihak
lain yang
7.
pemindahtangannya
memerlukan persetujuan dari pengendali;
saham perusahaan/badan lain yang dimiliki Bank
melalui perusahaan/badan yang dikendalikan oleh
Bank
secara berjenjang
8.
sampai dengan
perusahaan/badan terakhir (ultimate subsidiary);
saham Bank atau perusahaan/badan lain selain
saham sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai
dengan angka 7 yang dikendalikan oleh Bank atau
pengendali.
Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi dari pengendali
sebagaimana dimaksud dalam angka 3 adalah:
a. Komisaris, Direksi, atau yang setara atau kuasanya,
pejabat, atau karyawan perusahaan pengendali;
b.
pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya,
pejabat, atau karyawan perusahaan
pengendali,
khusus bagi perusahaan yang berbentuk hukum
koperasi;
c.
pihak yang memberikan jasa kepada perusahaan
pengendali, antara lain akuntan publik, penilai,
konsultan hukum, dan konsultan lain yang terbukti
dikendalikan oleh pengendali;
d.
pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan
pengendali baik karena perkawinan maupun karena
keturunan sampai dengan derajat kedua baik secara
horisontal maupun vertikal, termasuk besan;
e. pihak …
- 11 -
e.
pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut
serta mempengaruhi pengelolaan pengendali, antara
lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga
Komisaris, keluarga pengawas, keluarga Direksi,
dan keluarga pengurus.
Yang dimaksud dengan saham adalah semua jenis saham
yang memiliki hak suara.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan kebijakan strategis adalah
kebijakan yang menyangkut penetapan arah dan
tujuan pelaksanaan usaha yang
signifikan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (3) …
berdampak
- 12 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan memiliki secara tidak langsung
saham adalah memiliki atau mengendalikan saham secara
bersama-sama atau melalui pihak lain, termasuk:
1.
saham perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh
pihak lain yang hak suaranya dapat digunakan atau
dikendalikan pengendali;
2.
3.
4.
saham perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh
pihak yang dikendalikan oleh pengendali;
saham perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh
pihak terafiliasi dari pengendali;
saham perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh
anak
dikendalikan oleh pengendali;
5.
saham perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh
pihak-pihak yang bertindak untuk dan atas nama
pengendali (saham nominee) berdasarkan atau tidak
berdasarkan perjanjian tertentu;
6.
saham perusahaan/badan lain dimiliki oleh pihak
lain yang
pemindahtangannya memerlukan
persetujuan dari pengendali;
7.
saham perusahaan/badan lain yang dimiliki melalui
perusahaan/badan yang
dikendalikan pengendali
secara berjenjang sampai dengan perusahaan/badan
terakhir (ultimate subsidiary);
perusahaan dari perusahaan/badan yang
8. saham …
- 13 -
8.
saham
perusahaan/badan lain selain saham
sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan
angka 7 yang dikendalikan oleh pengendali.
Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi dari pengendali
sebagaimana dimaksud pada angka 3 adalah:
1. Komisaris, Direksi, atau yang setara atau kuasanya,
pejabat, atau karyawan perusahaan pengendali;
2.
pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya,
pejabat, atau karyawan perusahaan
pengendali,
khusus bagi perusahaan yang berbentuk hukum
koperasi;
3.
pihak yang memberikan jasa kepada perusahaan
pengendali, antara lain akuntan publik, penilai,
konsultan hukum, dan konsultan lain yang terbukti
dikendalikan oleh pengendali;
4.
pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan
pengendali baik karena perkawinan maupun karena
keturunan sampai dengan derajat kedua baik secara
horisontal maupun vertikal, termasuk besan;
5.
pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut
serta mempengaruhi pengelolaan pengendali, antara
lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga
Komisaris, keluarga pengawas, keluarga Direksi,
dan keluarga pengurus.
Yang dimaksud dengan saham adalah semua jenis saham
yang memiliki hak suara.
Huruf a …
- 14 -
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan kebijakan strategis adalah
kebijakan yang menyangkut penetapan arah dan
tujuan pelaksanaan usaha yang
signifikan.
Angka 4
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh:
Perusahaan A dan perusahaan B mendapatkan
Penyediaan Dana dari Bank dan masing-masing
perusahaan …
berdampak
- 15 -
perusahaan tersebut 25 % (dua puluh lima
perseratus) atau lebih sahamnya dimiliki oleh
perusahaan C. Oleh karena itu, perusahaan A dan
perusahaan B dikelompokkan dalam 1 (satu)
kelompok Peminjam. Dalam hal perusahaan C
merupakan Peminjam pada Bank maka perusahaan
A, perusahaan B, dan perusahaan C dikelompokkan
dalam 1 (satu) kelompok Peminjam.
Huruf c
Hubungan keuangan dapat dianalisa berdasarkan
beberapa faktor sebagai berikut:
1. terdapat bantuan keuangan dari Peminjam
kepada Peminjam lain dengan persyaratan yang
ditetapkan
sedemikian rupa sehingga
menyebabkan pihak yang memberikan bantuan
keuangan
mempunyai kemampuan
menentukan (controlling influence) kebijakan
strategis perusahaan/badan
bantuan keuangan. Yang
yang menerima
dimaksud dengan
kebijakan strategis adalah kebijakan yang
menyangkut penetapan arah dan tujuan
pelaksanaan usaha yang berdampak signifikan;
dan atau
2. terdapat keterkaitan rantai
Peminjam lain
bisnis yang
signifikan dalam operasional usaha Peminjam
dengan
sehingga
terdapat
ketergantungan …
untuk
- 16 -
ketergantungan antara satu pihak dengan pihak
lainnya yang mengakibatkan :
a. salah satu pihak tidak mampu dengan
mudah mengalihkan transaksi bisnis
tersebut kepada pihak lain; dan
b. ketidakmampuan dengan mudah
mengalihkan transaksi bisnis tersebut
menyebabkan cash flow salah satu pihak
akan mengalami gangguan yang signifikan
sehingga mengalami kesulitan untuk
memenuhi kewajibannya.
Huruf d
Yang dimaksud dengan jaminan adalah janji yang
diterbitkan oleh satu pihak untuk mengambil alih
dan atau melunasi sebagian atau seluruh kewajiban
pihak yang berutang dalam hal pihak yang berutang
gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi).
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
huruf b …
- 17 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk dalam perubahan nilai wajar antara lain
adalah perubahan
nilai
dalam
pencatatan
penyertaan dengan metode ekuitas (equity method)
yang telah lebih dari 1 (satu) tahun atau pencatatan
Surat Berharga yang dimiliki dengan menggunakan
nilai pasar (mark to market).
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Termasuk
dalam perubahan ketentuan adalah
perubahan pihak-pihak yang dikategorikan sebagai
Pihak Terkait atau kelompok Peminjam.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Nilai yang
tercatat pada tanggal laporan adalah
sebagaimana diatur dalam Standar Akuntansi Kuangan
yang berlaku terhadap masing-masing instrumen. Khusus
untuk Transaksi Derivatif, nilai tercatat pada tanggal
laporan termasuk nilai Potential Future Credit Exposure.
Angka 6
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 18 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud program penjaminan Pemerintah tidak
meliputi Penempatan termasuk apabila Penempatan tidak
memenuhi syarat untuk dijamin berdasarkan program
penjaminan Pemerintah.
Program penjaminan Pemerintah mengacu kepada
peraturan perundang-undangan tentang Lembaga
Penjamin Simpanan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan manajemen likuiditas adalah
kegiatan yang dilakukan Bank untuk mengelola risiko
likuiditas (liquidity risk) dan mengoptimalkan likuiditas
yang tersedia.
Angka 8
Pasal 37
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …
- 19 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan memiliki risiko langsung adalah
apabila kualitas Penyediaan Dana yang disalurkan Bank
kepada nasabah (end-user) dengan metode penerusan
(channeling) melalui lembaga pembiayaan mencerminkan
secara langsung risiko terkini dari masing – masing
nasabah (end user).
Huruf c
Agunan yang diberikan nasabah diikat untuk kepentingan
Bank sehingga Bank dapat secara langsung melakukan
eksekusi agunan dalam hal terjadi wanprestasi.
Huruf d
Tidak
termasuk pembayaran dari nasabah (end-user)
untuk keuntungan Bank adalah spread yang timbul dari
perbedaan tingkat bunga yang diterima bank dan lembaga
pembiayaan yang merupakan jasa bagi lembaga
pembiayaan dalam melakukan pengelolaan kredit.
Huruf e
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan BUMN dalam Pasal ini adalah
badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung
yang berasal
dari
kekayaan negara yang
dipisahkan
sebagaimana …
- 20 -
sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang
berlaku.
Yang dimaksud dengan Penyediaan Dana kepada BUMN
untuk tujuan pembangunan antara lain adalah Penyediaan
Dana untuk:
1. pengadaan pangan;
2. pengadaan rumah sangat sederhana;
3. pengadaan/penyediaan/pengelolaan minyak dan gas
bumi serta sumber alam pengganti energi lainnya
yang setara;
4. pengadaan/pengolahan komoditi yang berorientasi
ekspor;
5. pengadaan/penyediaan/pengelolaan air;
6. pengadaan/penyediaan/pengelolaan listrik;
7. pengadaan infrastruktur penunjang transportasi darat,
laut, dan udara berupa pembangunan jalan, jembatan,
rel kereta api, pelabuhan laut dan bandar udara.
Ayat (2) dan ayat (3)
Yang dimaksud dengan BUMD dalam ayat ini adalah
badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh pemerintah daerah melalui penyertaan secara
langsung
yang
dipisahkan sebagaimana diatur dalam perundang-
undangan yang berlaku.
berasal dari kekayaan daerah yang
Termasuk …
- 21 -
Termasuk
sebagai perusahaan BUMN adalah Bank
BUMN yang direstrukturisasi sehingga menjadi bagian
dari suatu bank holding company yang merupakan
BUMN.
Angka 10
Pasal 40A
Huruf a
Sebagai contoh
Bank A mengendalikan dana pensiun B. Perusahaan-
perusahaan yang dimiliki oleh dana pensiun B bukan
merupakan pihak terkait Bank A sepanjang:
1.
2.
tidak terdapat pengendalian lain secara langsung
dari Bank A; dan atau
tidak terdapat pengendalian dari dana pensiun B
selain kepemilikan.
Yang dimaksud dengan dana pensiun adalah dana pensiun
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 40B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …
- 22 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk dalam pengertian pemberian Penyediaan
Dana oleh Bank adalah perpanjangan jangka waktu
Penyediaan Dana.
Ayat (3)
Penjelasan masing-masing kriteria sebagaimana dimaksud
pada angka 1 sampai dengan angka 7 mengacu pada
ketentuan yang
berlaku mengenai tindak
pengawasan dan penetapan status Bank.
Pasal 40C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang
dimaksud dengan Komisaris Independen
adalah Komisaris Independen sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang
Pelaksanaan Good Corporate
Governance Bagi Bank Umum.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal II …
lanjut
- 23 -
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4639
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/13/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/3/PBI/2005 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 5 Oktober 2006 </set_date>
<effective_date> 5 Oktober 2006 </effective_date>
<changed_reg> '7/3/PBI/2005' </changed_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/3/PBI/2005' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/32/PBI/2005
TENTANG
PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN
SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN PERATURAN
BANK INDONESIA NOMOR 7/28/PBI/2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan mulai berlaku efektif pada tanggal 22
September 2005;
b. bahwa program penjaminan simpanan nasabah bank telah
ditangani oleh Lembaga Penjamin Simpanan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, dipandang
perlu untuk melakukan
pencabutan atas ketentuan maksimum suku bunga penjaminan
simpanan pihak ketiga dalam Rupiah sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI/2004 tanggal 12
April 2004 tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak
Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank sebagaimana telah diubah
terakhir ….
- 2 -
terakhir dengan Peraturan Bank
7/28/PBI/2005;
Indonesia Nomor
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4357);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 96; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4420);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN BANK INDONESIA
TENTANG
PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA
PENJAMINAN ….
- 3 -
PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR
UANG ANTAR BANK SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH
TERAKHIR DENGAN PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/28/PBI/2005.
Pasal 1
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI/2004 tentang Suku Bunga Penjaminan
Simpanan Pihak Ketiga Dan Pasar Uang Antar Bank (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4383) sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/28/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4526) beserta
peraturan pelaksanaannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 2
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 22 September 2005.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 22 September 2005 21
September 20055
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA,
MIRANDA S. GOELTOM
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 86
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/32/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/28/PBI/2005 </reg_title>
<set_date> 22 September 2005 </set_date>
<effective_date> 22 September 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '6/11/PBI/2004', '7/28/PBI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '24/UU/2004', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
-1-
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/4/PBI/2008
TENTANG
LAPORAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN
DENGAN MENGGUNAKAN KARTU OLEH BANK PERKREDITAN
RAKYAT DAN LEMBAGA SELAIN BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas Bank Indonesia di
bidang sistem pembayaran yang lebih efektif diperlukan
dukungan informasi yang terkait dengan kegiatan alat
pembayaran dengan menggunakan kartu secara bulanan
dan triwulanan yang tersedia secara tepat waktu, aman,
akurat, handal, obyektif, lengkap dan mudah untuk diakses
secara simultan;
b. bahwa untuk menyediakan informasi sebagaimana
dimaksud pada huruf a, diperlukan suatu sistem pelaporan
yang memenuhi kebutuhan informasi dalam rangka
penetapan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan
pengawasan sistem pembayaran;
c. bahwa pada saat ini laporan alat pembayaran dengan
menggunakan kartu yang disampaikan oleh Bank
Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank belum
dilakukan secara elektronis;
d. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi
sebagaimana dimaksud pada huruf b, diperlukan suatu
laporan…
-2-
laporan yang disusun dan disampaikan secara bulanan dan
triwulanan dalam suatu sistematika yang ditetapkan dan
disampaikan melalui suatu sistem Laporan Selain Bank
Umum;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebut di atas,
dipandang perlu menetapkan ketentuan tentang laporan
penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan
menggunakan kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan
Lembaga Selain Bank dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia.
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN…
-3-
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN
PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN
DENGAN MENGGUNAKAN KARTU OLEH BANK
PERKREDITAN RAKYAT DAN LEMBAGA SELAIN
BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR adalah BPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melakukan kegiatan alat pembayaran
dengan menggunakan kartu.
2. Lembaga Selain Bank, yang selanjutnya disebut LSB adalah badan hukum
yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau badan usaha yang kantor
pusatnya berkedudukan di luar negeri yang melakukan kegiatan yang
berkaitan dengan alat pembayaran dengan menggunakan kartu di Indonesia.
3. Pelapor adalah kantor pusat BPR dan LSB atau kantor cabang LSB apabila
kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri.
4. Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang selanjutnya disebut
APMK adalah alat pembayaran yang berupa kartu kredit, kartu Automated
Teller Machine (ATM), kartu debet dan/atau kartu prabayar.
5. Laporan…
-4-
5. Laporan APMK yang selanjutnya disebut Laporan adalah laporan yang
disusun dan disampaikan oleh Pelapor secara bulanan (Laporan bulanan)
dan/atau triwulanan (Laporan triwulanan) kepada Bank Indonesia melalui
sistem Laporan Selain Bank Umum (LSBU).
6. Sistem LSBU adalah sistem penerimaan Laporan (capturing) yang berbasis
web yang disampaikan Pelapor melalui jaringan ekstranet.
7. Periode Pelaporan adalah tenggang waktu penyampaian Laporan yang
dimulai sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 setelah akhir bulan
Laporan untuk Laporan bulanan dan dimulai sejak tanggal 1 sampai dengan
tanggal 15 bulan April, Juli, Oktober dan Januari untuk Laporan triwulanan.
8. Penyampaian Laporan secara On-Line yang selanjutnya disebut On-Line
adalah penyampaian Laporan yang dilakukan secara langsung dengan
mengirim dan/ atau mengisi data dalam bentuk tampilan form melalui
jaringan komunikasi data ke Bank Indonesia;
9. Penyampaian Laporan secara Off-Line yang selanjutnya disebut Off-Line
adalah penyampaian Laporan yang dilakukan dengan menyampaikan
rekaman data dalam bentuk disket atau media perekaman data elektronik
lainnya kepada Bank Indonesia;
10. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Pelapor yang
berada dalam satu wilayah propinsi dengan Bank Indonesia setempat.
BAB II
PENYUSUNAN LAPORAN DAN PENANGGUNG-JAWAB LAPORAN
Pasal 2
Pelapor menyusun Laporan sebagai berikut:
a. Bagi Pelapor BPR
Laporan Penyelenggaraan Kegiatan APMK.
b. Bagi…
-5-
b. Bagi Pelapor LSB
(i) Laporan Penyelenggaraan Kegiatan APMK; dan/atau
(ii) Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Instrumen Prabayar; dan
(iii) Laporan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
Pasal 3
(1) Pelapor bertanggung jawab atas kelengkapan, kebenaran, dan keakuratan
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Pelapor harus menunjuk dan memberitahukan Person In-Charge (PIC)
Laporan kepada Bank Indonesia.
(3) Penunjukkan PIC sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mengurangi
dan/ atau menghilangkan tanggung jawab Direksi BPR atau Pimpinan LSB.
(4) Dalam hal terjadi perubahan PIC, sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pelapor harus mengkinikan dan melaporkan perubahan tersebut kepada
Bank Indonesia.
BAB III
PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 4
(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 sebagai berikut:
a. Dilakukan setiap bulan paling lambat tanggal 15 pada bulan Laporan
berikutnya;
b. Dilakukan setiap triwulan paling lambat tanggal 15 bulan April, Juli,
Oktober dan Januari.
(2) Dalam hal Pelapor tidak memiliki data sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 Pelapor tetap wajib menyampaikan form header sebagai berikut:
a. Dilakukan…
-6-
a. Dilakukan setiap bulan paling lambat tanggal 15 pada bulan Laporan
berikutnya;
b. Dilakukan setiap triwulan paling lambat tanggal 15 bulan April, Juli,
Oktober dan Januari.
(3) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan pada tanggal diterimanya
Laporan oleh Bank Indonesia yang dibuktikan dengan tanda terima dari
Sistem LSBU.
Pasal 5
Pelapor wajib menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
secara lengkap, benar, dan akurat.
Pasal 6
(1) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan/atau form header sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) apabila Bank Indonesia:
a. menerima Laporan dan/atau form header setelah tanggal 15 pada bulan
Laporan berikutnya untuk Laporan bulanan atau setelah tanggal 15 bulan
April, Juli, Oktober dan Januari untuk Laporan triwulanan.
b. tidak menerima Laporan dan/atau form header setelah tanggal 15 pada
bulan Laporan berikutnya untuk Laporan bulanan atau setelah tanggal 15
bulan April, Juli, Oktober dan Januari untuk Laporan triwulanan.
(2) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan dan/atau form
header sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan Laporan
dan/atau form header yang belum disampaikan.
Pasal 7…
-7-
Pasal 7
(1) Bank Pelapor dapat menyampaikan koreksi atas Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Dalam hal terdapat koreksi atas Laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, koreksi Laporan tersebut wajib disampaikan dalam jangka waktu
Periode Pelaporan.
(3) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan apabila
koreksi Laporan diterima Bank Indonesia melampaui batas waktu Periode
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menyampaikan koreksi Laporan
yang belum disampaikan.
(5) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan koreksi Laporan pada tanggal
diterimanya koreksi Laporan oleh Bank Indonesia yang dibuktikan dengan
tanda terima dari Sistem LSBU.
Pasal 8
Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian:
a. Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
b. form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan/atau
c. koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2),
jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur maka Laporan, form header
dan/atau koreksi Laporan disampaikan pada Hari Kerja berikutnya.
BAB IV…
-8-
BAB IV
PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 9
(1) Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header dan/atau koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2) dan/atau
Pasal 7 ayat (2) melalui Sistem LSBU secara On-Line.
(2) Sistem LSBU secara On-Line sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan untuk Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan sampai dengan 1 (satu) bulan setelah bulan Laporan dan 1 (satu)
bulan setelah masa Laporan.
(3) Dalam hal penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2) dan/atau Pasal 7
ayat (2) melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan dilakukan
secara Off-Line.
Pasal 10
(1) Dalam hal Pelapor mengalami gangguan teknis pada akhir Periode
Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan/atau
Pasal 7 ayat (2), Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan secara Off-Line.
(2) Dalam hal penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
dilakukan secara Off-Line sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelapor
wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Unit Khusus
Manajemen Informasi Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350
segera…
-9-
segera pada hari yang sama setelah terjadinya gangguan teknis yang
ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang dengan tembusan kepada:
a. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Pelapor BPR yang berkedudukan
di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia terdekat bagi Pelapor LSB yang berkedudukan
di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
(3) Dalam hal Bank Indonesia mengalami gangguan teknis maka Bank
Indonesia memberitahukan kepada Pelapor terjadinya gangguan tersebut
secara tertulis dan/atau dengan menggunakan sarana lain.
(4) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau
ayat (3) terjadi pada batas akhir Periode Pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan/atau pasal 7 ayat (2), Pelapor harus
menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan paling
lambat pada hari kerja berikutnya secara Off-Line.
(5) Dalam hal Pelapor tidak menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka Pelapor
dianggap terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), dan/atau
pasal 7 ayat (3).
(6) Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (3) disampaikan kepada :
a. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin
No.2 Jakarta 10350, bagi BPR dan LSB yang berkedudukan di wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi bagi BPR yang
berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
c. Kantor…
-10-
c. Kantor Bank Indonesia terdekat bagi LSB yang berkedudukan di luar
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
Pasal 11
(1) Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) tidak berlaku bagi
Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure).
(2) Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib segera
memberitahukan secara tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab
terjadinya keadaan memaksa (force majeure) yang ditandatangani oleh
Pejabat Pelapor yang berwenang.
(3) Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah keadaan memaksa (force
majeure) dapat diatasi.
(4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas
terjadinya keadaan memaksa (force majeure) disampaikan kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2).
BAB V
HAK AKSES LAPORAN
Pasal 12
(1) Bank Indonesia menyediakan hak akses terhadap Sistem LSBU dalam
jumlah tertentu kepada setiap Pelapor tanpa dikenakan biaya.
(2) Bank Indonesia mengenakan biaya kepada Pelapor atas setiap tambahan hak
akses terhadap Sistem LSBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pelapor …
-11-
(3) Pelapor bertanggung jawab atas hak akses terhadap Sistem LSBU yang
diberikan oleh Bank Indonesia.
BAB VI
S A N K S I
Pasal 13
(1) Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan dan/atau form header
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan/atau Pasal 4 ayat (2)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja keterlambatan dan paling
banyak sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk
setiap form.
(2) Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form per Hari
Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp750.000,00 (tujuh ratus
lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form.
(3) Pelapor yang menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
yang tidak lengkap, tidak benar, dan tidak akurat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00
(lima puluh ribu rupiah) untuk setiap item data dan paling banyak sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap form.
(4) Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan dalam batas waktu
periode penyampaian On-Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(2), Pelapor hanya dikenakan sanksi terlambat menyampaikan koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) namun tidak dikenakan
sanksi …
-12-
sanksi terhadap penyampaian Laporan yang tidak lengkap, tidak benar, dan
tidak akurat sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pelapor yang telah dikenakan sanksi menyampaikan Laporan yang tidak
lengkap, tidak benar, dan tidak akurat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
karena kesalahan Laporan ditemukan setelah melampaui periode
penyampaian secara On-Line, Pelapor tidak dikenakan sanksi keterlambatan
penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6) Pelapor dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dalam hal:
a. belum menyampaikan Laporan, form header dan/atau koreksi laporan
sampai periode penyampaian laporan berikutnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) dan/atau Pasal 7 ayat (4); dan/atau
b. tidak menyampaikan pemberitahuan tertulis perihal gangguan teknis
dan/atau perihal keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan/atau Pasal 11 ayat (2).
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 15
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar…
-13-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 4 Februari 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Februari 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 13
UKMI/DASP
-1-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/4/PBI/2008
TENTANG
LAPORAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN
DENGAN MENGGUNAKAN KARTU OLEH BANK PERKREDITAN
RAKYAT DAN LEMBAGA SELAIN BANK
UMUM
Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang
Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
tahun 2004, salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran. Dalam kaitan ini Bank Indonesia berwenang
antara lain melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas
penyelenggaraan jasa sistem pembayaran serta mewajibkan penyelenggara jasa
sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya.
Kewajiban penyampaian laporan kegiatan dari penyelenggaraan jasa sistem
pembayaran dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan
terhadap penyelenggaraan jasa sistem pembayaran. Selain itu, informasi yang
diperoleh dari penyelenggaraan jasa sistem pembayaran juga diperlukan untuk
menunjang pelaksanaan tugas-tugas Bank Indonesia dalam bidang pengendalian
moneter serta pengaturan dan pengawasan perbankan.
Untuk mendukung pelaksanaan tugas tersebut di atas, Bank Indonesia
memerlukan ketersediaan data dan informasi yang berkualitas yang terutama
berasal dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Lembaga Selain Bank (LSB).
Data dan informasi dimaksud berupa penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran
dengan menggunakan kartu (APMK), kegiatan instrumen prabayar, serta
penanganan…
-2-
penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah. Penyampaian data dan
informasi kegiatan-kegiatan tersebut selama ini dilakukan secara manual melalui
hardcopy.
Sejalan dengan upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan
informasi di Bank Indonesia, maka diperlukan suatu sistem laporan APMK yang
disusun oleh BPR dan LSB yang didukung oleh infrastruktur sistem informasi
yang lebih memadai dan bersifat sistematis melalui Sistem Laporan Selain Bank
Umum (LSBU) .
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan Penyelenggaraan Kegiatan APMK adalah
penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran yang berupa kartu kredit, kartu
Automated Teller Machine (ATM), kartu debet, dan/atau kartu prabayar.
Kartu prabayar merupakan bagian dari instrumen prabayar.
Yang dimaksud dengan Instrumen Prabayar adalah alat pembayaran yang
diperoleh dengan menyetorkan terlebih dahulu sejumlah uang kepada
penerbit baik secara langsung atau melalui agen-agen penerbit dimana
nilai uang tersebut dicatat secara elektronik dan disimpan dalam media
penyimpan data elektronik yang berada dalam pengelolaan penerbit atau
pemegang.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)…
-3-
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan PIC Laporan adalah petugas yang ditunjuk
oleh Pelapor untuk melakukan komunikasi dengan Bank Indonesia
terkait dengan Laporan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tidak mengurangi dan/atau menghilangkan
tanggung jawab adalah bahwa tanggung jawab Laporan tetap
melekat kepada Direksi BPR atau Pimpinan LSB.
Ayat (4)
Mengkinikan perubahan PIC dilakukan oleh Pelapor dengan cara
menyesuaikan informasi melalui form Informasi Pokok Pelapor di
dalam Sistem LSBU.
Pasal 4
Ayat (1)
Contoh: Laporan bulan Maret 2008 diterima oleh Bank Indonesia
paling lambat tanggal 15 April 2008 sebagai berikut:
Data yang dilaporkan dalam Penyelenggaraan Kegiatan APMK dan
Kegiatan Instrumen Prabayar merupakan akumulasi transaksi pada
bulan Maret 2008, dan/atau posisi pada akhir bulan Maret 2008
sesuai jenis data yang dilaporkan.
Contoh: Laporan triwulan I tahun 2008 adalah:
Penyampaian Laporan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan
Nasabah triwulan I tahun 2008, diterima oleh Bank Indonesia
paling lambat tanggal 15 April 2008.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak memiliki data adalah kondisi dimana
Pelapor yang berdasarkan statusnya memungkinkan melakukan
kegiatan-kegiatan yang wajib dilaporkan melalui Sistem LSBU,
namun…
-4-
namun sampai dengan akhir bulan laporan dan/atau masa laporan
tidak ada data yang dilaporkan.
Ayat (3)
Yang dimaksud tanda terima dari Sistem LSBU adalah tampilan
atau hasil cetakan komputer sebagai bukti bahwa Laporan telah
diterima oleh Bank Indonesia.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Contoh:
Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan apabila
Laporan bulan Maret 2008 diterima oleh Bank Indonesia setelah
tanggal 15 April 2008; dan/ atau
Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan apabila data
Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah selama triwulan
I tahun 2008 diterima oleh Bank Indonesia setelah tanggal 15 April
2008.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Koreksi Laporan dapat diakibatkan oleh data tidak lengkap, tidak
benar, tidak akurat dan/atau tidak terkini baik yang diketahui oleh
Pelapor maupun Bank Indonesia.
Ayat (2)…
-5-
Ayat (2)
Contoh:
Koreksi Laporan bulan Maret 2008 diterima oleh Bank Indonesia
paling lambat tanggal 15 April 2008.
Ayat (3)
Contoh:
Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan
apabila koreksi Laporan bulan Maret 2008 diterima oleh Bank
Indonesia setelah tanggal 15 April 2008; dan/atau
Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan
apabila data Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah
selama triwulan I tahun 2008 diterima oleh Bank Indonesia setelah
tanggal 15 April 2008.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan hari libur adalah hari libur umum mengikuti
keputusan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah setempat.
Contoh:
Laporan bulan Mei 2008 dilaporkan paling lambat tanggal 15 Juni 2008.
Mengingat tanggal 15 Juni 2008 jatuh pada hari Minggu, maka Laporan
tersebut paling lambat diterima oleh Bank Indonesia pada hari Senin
tanggal 16 Juni 2008.
Pasal 9…
-6-
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pelapor menyampaikan Laporan, form header dan/atau koreksi
Laporan data bulan Maret 2008 secara On-Line sampai dengan
akhir bulan April 2008.
Pelapor menyampaikan Laporan, form header dan/atau koreksi
Laporan triwulan I tahun 2008 secara On-Line sampai dengan akhir
bulan April 2008.
Yang dimaksud dengan bulan Laporan adalah jangka waktu yang
menunjukkan sumber data Laporan yang disampaikan setiap bulan
berasal.
Contoh: data akumulasi kegiatan tanggal 1 sampai dengan tanggal
31 Maret 2008 merupakan data bulan Laporan Maret 2008.
Yang dimaksud dengan masa Laporan adalah jangka waktu yang
menunjukkan sumber data Laporan yang disampaikan setiap
triwulan berasal.
Contoh: data Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah
dari tanggal 1 Januari 2008 sampai dengan tanggal 31 Maret 2008
merupakan data masa Laporan triwulan I tahun 2008.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan gangguan teknis di Pelapor adalah
gangguan yang menyebabkan Pelapor tidak dapat menyampaikan
Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan secara On-Line
kepada…
-7-
kepada Bank Indonesia antara lain karena gangguan pada sistem di
internal Pelapor.
Yang dimaksud dengan pada akhir Periode Pelaporan adalah
tanggal 15 untuk Laporan bulanan dan setiap tanggal 15 bulan
April, Juli, Oktober dan Januari untuk Laporan triwulanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan gangguan teknis di Bank Indonesia adalah
gangguan yang menyebabkan Bank Indonesia tidak dapat
menerima penyampaian Laporan, form header dan/atau koreksi
Laporan secara On-Line dari Pelapor antara lain karena gangguan
pada jaringan telekomunikasi dan atau penyebab lainnya.
Yang dimaksud dengan sarana lain antara lain: e-mail, telepon,
faksimili.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah
keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan Pelapor tidak dapat
menyampaikan Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan,
antara lain: kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta
bencana…
-8-
bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh
penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) dapat
diatasi adalah keadaan dimana Pelapor secara normal telah dapat
melaksanakan kegiatan operasional sehingga dapat menyusun dan
menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
kepada Bank Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud hak akses adalah hak yang diberikan oleh Bank
Indonesia kepada Bank Pelapor untuk dapat mengirim Laporan
dan/atau menerima hasil olahan Laporan melalui log-in ke dalam
Sistem LSBU di Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Contoh:
Pelapor menyampaikan data Penerbit Instrumen Prabayar untuk
Laporan bulan Maret 2008, diterima oleh Bank Indonesia pada
tanggal 17 April 2008. Atas keterlambatan tersebut Pelapor
dikenakan…
-9-
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 x 1
form x 2 Hari Kerja atau sebesar Rp1.000.000,00; dan/atau
Pelapor menyampaikan Laporan periode triwulan I tahun 2008
Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah untuk form
Jenis Produk dan Permasalahan yang Diadukan, Pengaduan yang
Diselesaikan Dalam Masa Laporan, dan Penyebab Pengaduan,
diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 17 April 2008. Atas
keterlambatan tersebut Pelapor dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp500.000,00 x 3 form x 2 Hari Kerja atau
sebesar Rp3.000.000,00; dan/atau
Pelapor menyampaikan Laporan Penerbit Instrumen Prabayar
untuk Laporan bulan Maret 2008, diterima oleh Bank Indonesia
pada tanggal 30 Mei 2008. Atas keterlambatan penyampaian
Laporan tersebut Pelapor seharusnya dikenakan sanksi sebesar
Rp500.000,00 x 1 form x 31 Hari Kerja atau sebesar
Rp15.500.000,00 namun Pelapor dikenakan maksimal sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp7.500.000,00.
Ayat (2)
Contoh:
Pelapor menyampaikan koreksi Laporan data Penerbit Instrumen
Prabayar untuk Laporan bulan Maret 2008, diterima oleh Bank
Indonesia pada tanggal 17 April 2008. Atas keterlambatan koreksi
tersebut Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp50.000,00 x 1 form x 2 Hari Kerja atau sebesar Rp100.000,00;
dan/atau
Pelapor menyampaikan koreksi Laporan Penerbit Instrumen
Prabayar untuk Laporan bulan Maret 2008, diterima oleh Bank
Indonesia pada tanggal 30 Mei 2008. Atas keterlambatan
penyampaian…
-10-
penyampaian koreksi Laporan tersebut Pelapor seharusnya
dikenakan sanksi sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 31 Hari Kerja
atau sebesar Rp1.550.000,00 namun Pelapor dikenakan maksimal
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp750.000,00.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan item dalam ayat ini adalah field-field pada
setiap record dalam setiap form.
Contoh:
Laporan Penerbit Instrumen Prabayar terdapat kesalahan sebanyak
10 (sepuluh) item. Atas kesalahan tersebut Pelapor dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 10 item atau
sebesar Rp500.000,00 untuk form Penerbit Instrumen Prabayar.
Laporan Penerbit Instrumen Prabayar terdapat kesalahan sebanyak
100 (seratus) item. Atas kesalahan tersebut seharusnya Pelapor
dikenakan sanksi kewajiban membayar Rp50.000,00 x 100 item
atau sebesar Rp5.000.000,00 namun Pelapor dikenakan maksimal
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 untuk form
Laporan Penerbit Instrumen Prabayar.
Ayat (4)
Contoh:
Pelapor menyampaikan koreksi Laporan terhadap 18 (delapan
belas) item kesalahan Laporan Penerbit Instrumen Prabayar untuk
Periode Laporan bulan Maret 2008, diterima oleh Bank Indonesia
pada tanggal 17 April 2008. Terhadap pelanggaran keterlambatan
koreksi Laporan tersebut, Pelapor dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 2 Hari Kerja atau
sebesar Rp100.000,00. Atas penyampaian Laporan secara tidak
benar…
-11-
benar sebanyak 18 (delapan belas) item kesalahan, Pelapor tidak
dikenakan sanksi kewajiban membayar.
Ayat (5)
Contoh:
Laporan Penerbit Instrumen Prabayar Periode Laporan bulan Maret
2008, pada tanggal 5 Mei 2008 ditemukan 10 (sepuluh) item
kesalahan. Terhadap pelanggaran item kesalahan tersebut, Pelapor
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 10
item atau sebesar Rp500.000,00. Atas keterlambatan penyampaian
koreksi Laporan, Pelapor tidak dikenakan sanksi kewajiban
membayar.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 14
Pokok-pokok ketentuan yang akan diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia memuat antara lain:
a. ruang lingkup data LSBU;
b. format dan jenis laporan LSBU;
c. penyampaian dan koreksi LSBU;
d. hak akses dan biaya hak akses;
e. sanksi;
f. hal-hal lain yang terkait.
Pasal 15
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
2008 NOMOR 4811
UKMI/DASP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/4/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU OLEH BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN LEMBAGA SELAIN BANK </reg_title>
<set_date> 4 Februari 2008 </set_date>
<effective_date> 4 Februari 2008 </effective_date>
<issued_date> 4 Februari 2008 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/UU/2004', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 12/ 18 /PBI/2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/11/PBI/2008
TENTANG SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan
pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah, Bank
Indonesia perlu menyempurnakan ketentuan mengenai
Sertifikat Bank Indonesia Syariah, khususnya mengenai
pengenaan sanksi terhadap transaksi Sertifikat Bank
Indonesia Syariah yang dinyatakan batal;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu melakukan perubahan terhadap
Peraturan Bank Indonesia tentang Sertifikat Bank Indonesia
Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang…
- 2 -
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/36/PBI/2008 tentang
Operasi Moneter Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 197, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4944) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/17/PBI/2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 107);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/11/PBI/2008 TENTANG SERTIFIKAT BANK
INDONESIA SYARIAH.
Pasal I…
- 3 -
Pasal I
Ketentuan Pasal 14 ayat (2) huruf b dan ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4835) diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Transaksi SBIS dinyatakan batal dalam hal BUS atau UUS tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) atau ayat (3).
(2) Bank Indonesia mengenakan sanksi kepada BUS atau UUS atas Transaksi SBIS
yang dinyatakan batal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai
Transaksi SBIS yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk setiap Transaksi SBIS yang
dinyatakan batal.
(3) Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam
hal BUS atau UUS melakukan Transaksi SBIS dan/atau transaksi operasi
moneter syariah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter syariah, yang dinyatakan
batal sebanyak tiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, BUS atau UUS
dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan
operasi moneter syariah selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut.
Pasal II…
- 4 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Agustus 2010Maret 2008
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Agustus 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 108
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/18/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/11/PBI/2008 TENTANG SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 30 Agustus 2010 </set_date>
<effective_date> 30 Agustus 2010 </effective_date>
<issued_date> 30 Agustus 2010 </issued_date>
<changed_reg> '10/11/PBI/2008' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '12/17/PBI/2010', '2/PERPPU/2008', '10/36/PBI/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Pasal 14' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/7/PBI/2018
TENTANG
INDONESIA OVERNIGHT INDEX AVERAGE
DAN JAKARTA INTERBANK OFFERED RATE
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung stabilitas moneter dan sistem
keuangan dibutuhkan efisiensi transaksi di pasar uang;
b. bahwa efisiensi transaksi di pasar uang perlu ditunjang
oleh pasar uang yang likuid dan dalam;
c. bahwa pasar uang yang likuid dan dalam membutuhkan
suku bunga pasar uang sebagai acuan yang kredibel
untuk digunakan dalam berbagai transaksi keuangan;
d. bahwa salah satu upaya pembentukan suku bunga pasar
uang sebagai acuan yang kredibel untuk digunakan dalam
berbagai transaksi keuangan yaitu dengan mengacu pada
data transaksi;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Indonesia Overnight
Index Average dan Jakarta Interbank Offered Rate;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
- 2 -
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG INDONESIA
OVERNIGHT INDEX AVERAGE DAN JAKARTA INTERBANK
OFFERED RATE.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Indonesia Overnight Index Average yang selanjutnya
disebut IndONIA adalah indeks suku bunga atas transaksi
pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang
dilakukan antarbank untuk jangka waktu overnight di
Indonesia.
2. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disebut
JIBOR adalah rata-rata dari suku bunga indikasi
pinjaman tanpa agunan yang ditawarkan dan
- 3 -
dimaksudkan untuk ditransaksikan oleh bank kontributor
kepada bank kontributor lain untuk meminjamkan rupiah
untuk jangka waktu tertentu di Indonesia.
3. Offer Rate adalah suku bunga indikasi pinjaman tanpa
agunan yang ditawarkan dan dimaksudkan untuk
ditransaksikan oleh bank kontributor kepada bank
kontributor lain untuk meminjamkan rupiah untuk
jangka waktu tertentu di Indonesia.
4. Bid Rate adalah suku bunga indikasi pinjaman tanpa
agunan yang diminta dan dimaksudkan untuk
ditransaksikan oleh bank kontributor kepada bank
kontributor lain untuk meminjam rupiah untuk jangka
waktu tertentu di Indonesia.
5. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri.
6. Bank Kontributor adalah Bank yang menyampaikan suku
bunga indikasi kepada Bank Indonesia untuk digunakan
dalam penetapan JIBOR.
BAB II
INDONESIA OVERNIGHT INDEX AVERAGE
Pasal 2
IndONIA ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan suku
bunga pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang
dilakukan antar-Bank untuk jangka waktu overnight di
Indonesia.
Pasal 3
(1) Bank Indonesia menetapkan metode penetapan IndONIA.
(2) Metode penetapan IndONIA sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. ukuran pemusatan dan penyebaran data; dan
b. cakupan data yang digunakan.
- 4 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai metode penetapan
IndONIA diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Pasal 4
(1) Bank Indonesia melakukan publikasi IndONIA.
(2) Apabila dalam ketentuan Bank Indonesia terdapat rujukan
penggunaan IndONIA untuk tanggal tertentu namun pada
tanggal tersebut Bank Indonesia tidak memublikasikan
IndONIA maka rujukan penggunaan IndONIA
menggunakan tanggal publikasi sebelumnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai publikasi IndONIA diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB III
JAKARTA INTERBANK OFFERED RATE
Bagian Kesatu
Penetapan Jakarta Interbank Offered Rate
Pasal 5
(1) JIBOR ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan
kuotasi Offer Rate yang disampaikan oleh Bank
Kontributor.
(2) JIBOR ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) minggu,
1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, dan 12 (dua
belas) bulan.
Pasal 6
(1) Bank Indonesia menetapkan metode penetapan JIBOR.
(2) Metode penetapan JIBOR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. ukuran pemusatan dan penyebaran data; dan
b. cakupan data yang digunakan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai metode penetapan JIBOR
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 5 -
Pasal 7
(1) Bank Indonesia melakukan publikasi JIBOR.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai publikasi JIBOR diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kedua
Penetapan Bank Kontributor
Pasal 8
(1) Bank Kontributor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Bank
Kontributor JIBOR diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
Bagian Ketiga
Kuotasi dan Kewajiban Bank Kontributor
Pasal 9
(1) Bank Kontributor wajib menyampaikan kuotasi suku
bunga indikasi kepada Bank Indonesia.
(2) Suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. Offer Rate; dan
b. Bid Rate.
(3) Suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memperhatikan spread antara Offer Rate dan Bid
Rate.
(4) Penyampaian kuotasi suku bunga indikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan tata cara
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai laporan harian bank umum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai spread antara Offer Rate
dan Bid Rate sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 6 -
Pasal 10
(1) Dalam menetapkan suku bunga indikasi, Bank
Kontributor wajib menerapkan hal sebagai berikut:
a. menetapkan suku bunga indikasi dengan mengacu
pada jenjang data input;
b. memiliki fungsi validasi dalam penetapan suku bunga
indikasi; dan
c. memiliki unit kerja dan/atau jabatan yang bertugas
dan bertanggung jawab dalam penetapan dan
penyampaian suku bunga indikasi.
(2) Jenjang data input sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a digunakan dengan urutan sebagai berikut:
a. data suku bunga transaksi pinjam-meminjamkan
tanpa agunan yang dilakukan oleh Bank Kontributor
pada hari penyampaian suku bunga indikasi;
b. data kuotasi suku bunga transaksi pinjam-
meminjamkan tanpa agunan yang dapat dieksekusi
pada hari penyampaian suku bunga indikasi;
c. data suku bunga transaksi pinjam-meminjamkan di
pasar uang lain yang dilakukan oleh Bank
Kontributor dan/atau data kuotasi suku bunga
transaksi pinjam-meminjamkan di pasar uang lain
yang dapat dieksekusi pada hari penyampaian suku
bunga indikasi; dan
d. penilaian profesional.
(3) Penggunaan jenjang data input sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal terdapat data sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a maka penggunaan jenjang data input
harus menggunakan data sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a;
b. dalam hal tidak terdapat data sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a maka penggunaan jenjang data
input harus menggunakan data sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b;
c. dalam hal tidak terdapat data sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dan huruf b maka penggunaan
- 7 -
jenjang data input harus menggunakan data
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c; dan
d. dalam hal tidak terdapat data sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c maka
penggunaan jenjang data input harus menggunakan
data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d.
(4) Bank Kontributor dapat melakukan penyesuaian terhadap
data input sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan
mempertimbangkan:
a. eksposur risiko kredit dari data input yang
digunakan; dan/atau
b.
volatilitas suku bunga intrahari yang terjadi di pasar
uang.
(5) Nilai yang diperoleh dari penerapan jenjang data input
menjadi nilai dalam penetapan kuotasi suku bunga
indikasi oleh Bank Kontributor, dengan ketentuan:
a. menjadi batas atas Bid Rate; dan
b. menjadi batas bawah Offer Rate.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenjang data input diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 11
(1) Bank Kontributor wajib menatausahakan data, informasi,
dan hal yang berkaitan dengan proses penetapan kuotasi
suku bunga indikasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penatausahaan data,
informasi, dan hal yang berkaitan dengan proses
penetapan kuotasi suku bunga indikasi diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 12
(1) Penerapan penetapan suku bunga indikasi oleh Bank
Kontributor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan
penatausahaan data, informasi, dan hal yang berkaitan
dengan proses penetapan kuotasi suku bunga indikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 wajib dituangkan
oleh Bank Kontributor dalam pedoman internal.
- 8 -
(2) Bank Kontributor harus menyampaikan pedoman internal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank
Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman internal diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 13
(1) Bank Kontributor wajib menyampaikan surat pernyataan
bahwa Bank Kontributor akan menaati ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Indonesia overnight
index average dan Jakarta interbank offered rate kepada
Bank Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat pernyataan diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Keempat
Pemenuhan Permintaan Transaksi
Pasal 14
(1) Bank Kontributor wajib memenuhi permintaan transaksi
dari Bank Kontributor lainnya untuk meminjam rupiah
dan/atau meminjamkan rupiah pada tingkat suku bunga
sesuai dengan kuotasi suku bunga indikasi yang
disampaikan.
(2) Pemenuhan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan sepanjang memenuhi batasan:
a. waktu permintaan transaksi;
b. jangka waktu pinjam-meminjamkan;
c. nominal permintaan transaksi;
d. total nominal permintaan transaksi; dan
e. ketersediaan dana dan limit kredit.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan permintaan
transaksi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
- 9 -
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 15
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Bank
Kontributor atas pemenuhan ketentuan dalam Peraturan
Bank Indonesia ini.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. pengawasan tidak langsung; dan
b. pemeriksaan.
(3) Pemeriksaan terhadap Bank Kontributor sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pengawasan moneter.
Pasal 16
(1) Dalam pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b, Bank Kontributor wajib
menyediakan dan menyampaikan data, informasi,
dan/atau keterangan yang diperlukan oleh Bank
Indonesia.
(2) Bank Kontributor wajib bertanggung jawab atas
kebenaran data, informasi, dan/atau keterangan yang
disampaikan kepada Bank Indonesia.
BAB V
SANKSI
Pasal 17
(1) Bank Kontributor yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan harian bank umum.
(2) Bank Kontributor yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal
12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 16
- 10 -
ayat (1), dan/atau Pasal 16 ayat (2) dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 18
Bank yang telah menjadi Bank Kontributor sebelum Peraturan
Bank Indonesia ini berlaku, tetap tunduk pada Peraturan Bank
Indonesia Nomor 17/2/PBI/2015 tentang Suku Bunga
Penawaran Antarbank sampai dengan tanggal 1 Januari 2019.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Semua data yang ditetapkan Bank Indonesia berdasarkan
indeks suku bunga atas transaksi pinjam-meminjamkan
rupiah tanpa agunan yang dilakukan antarbank untuk jangka
waktu overnight di Indonesia yang sudah ada sebelum
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai sebagai
IndONIA, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Bank Indonesia ini.
Pasal 20
(1) Semua istilah suku bunga penawaran antarbank yang
sudah ada dalam ketentuan Bank Indonesia sebelum
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai
sebagai Indonesia Overnight Index Average dan Jakarta
Interbank Offered Rate sejak tanggal 2 Januari 2019.
(2) Semua istilah JIBOR jangka waktu overnight yang sudah
ada dalam ketentuan Bank Indonesia sebelum Peraturan
Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai sebagai
IndONIA sejak tanggal 2 Januari 2019.
- 11 -
Pasal 21
Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/2/PBI/2015 tentang
Suku Bunga Penawaran Antarbank (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5681), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku pada tanggal 2 Januari 2019, kecuali ketentuan terkait
penetapan Bank Kontributor dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku.
Pasal 22
(1) Ketentuan penetapan IndONIA sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2018.
(2) Ketentuan penetapan jangka waktu JIBOR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) mulai berlaku sejak
tanggal 2 Januari 2019.
Pasal 23
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 12 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Juli 2018
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 Juli 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 113
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/7/PBI/2018
TENTANG
INDONESIA OVERNIGHT INDEX AVERAGE
DAN JAKARTA INTERBANK OFFERED RATE
I. UMUM
Benchmark rate pasar uang berperan penting dalam mendukung
stabilitas moneter dan sistem keuangan yaitu dengan meningkatkan
efisiensi transaksi di pasar uang. Adanya benchmark rate pasar uang yang
digunakan bersama akan dapat mengurangi kompleksitas kontrak
keuangan dengan mendorong standardisasi dalam penggunaan suku
bunga acuan pada surat utang dan/atau pinjaman dengan suku bunga
mengambang, derivatif suku bunga rupiah, dan untuk valuasi instrumen
keuangan.
Di Indonesia, benchmark rate pasar uang dituangkan dalam bentuk
IndONIA dan JIBOR. Penggunaan IndONIA dan JIBOR diharapkan dapat
mengurangi kompleksitas kontrak keuangan rupiah di Indonesia.
IndONIA ditetapkan berdasarkan data transaksi di pasar uang antar-
Bank sehingga memiliki kredibilitas yang tinggi. Guna memperkuat
kredibilitas JIBOR yang berbasis kuotasi, penguatan lebih lanjut
dilakukan melalui penerapan jenjang data input dalam penetapan kuotasi
JIBOR, yang diharapkan dapat menciptakan pembentukan JIBOR yang
lebih transparan dan sejalan dengan pergerakan suku bunga di pasar
uang.
- 2 -
Pengaturan IndONIA dan JIBOR bertujuan untuk mendukung agar
proses penetapan IndONIA dan JIBOR dilakukan secara terpercaya dan
akurat guna menjaga integritas dan kredibilitas dari benchmark rate pasar
uang.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan “overnight” adalah memiliki periode transaksi
selama 1 (satu) hari kerja.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Ukuran pemusatan dan penyebaran data menggunakan
antara lain rata-rata, modus, median, maksimum, dan/atau
minimum.
Huruf b
Cakupan data yang digunakan menggunakan antara lain
batasan waktu dan/atau trimming.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 3 -
Ayat (2)
Huruf a
Ukuran pemusatan dan penyebaran data menggunakan
antara lain rata-rata, modus, median, maksimum, dan/atau
minimum.
Huruf b
Cakupan data yang digunakan menggunakan antara lain
batasan waktu dan/atau trimming.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pada hari penyampaian suku bunga
indikasi” adalah sejak pasar keuangan dibuka sampai
dengan batas waktu penyampaian suku bunga indikasi yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pada hari penyampaian suku bunga
indikasi” adalah sejak pasar keuangan dibuka sampai
dengan batas waktu penyampaian suku bunga indikasi yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pada hari penyampaian suku bunga
indikasi” adalah sejak pasar keuangan dibuka sampai
- 4 -
dengan batas waktu penyampaian suku bunga indikasi yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Contoh transaksi pasar uang lain yaitu:
1. transaksi pinjam-meminjamkan dengan agunan
(secured) seperti transaksi repurchase agreement (repo);
2. transaksi perdagangan instrumen pasar uang yaitu di
pasar primer dan/atau pasar sekunder; atau
3. transaksi foreign exchange swap (FX swap).
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Contoh perbedaan eksposur risiko kredit yaitu perbedaan
risiko kredit pada transaksi pinjam-meminjamkan tanpa
agunan dan transaksi repurchase agreement (repo).
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6227
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 20/7/PBI/2018 </reg_id>
<reg_title> INDONESIA OVERNIGHT INDEX AVERAGE DAN JAKARTA INTERBANK OFFERED RATE </reg_title>
<set_date> 24 Juli 2018 </set_date>
<effective_date> 24 Juli 2018 </effective_date>
<issued_date> 24 Juli 2018 </issued_date>
<replaced_reg> '17/2/PBI/2015' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
1
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/9/PBI/2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
10/13/PBI/2008 TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN
SURAT BERHARGA NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam penerbitan Surat Berharga Negara oleh
Pemerintah yang terdiri atas Surat Utang Negara dan
Surat Berharga Syariah Negara, Bank Indonesia
melaksanakan kegiatan penatausahaan serta
berperan sebagai agen pembayar dan agen lelang;
b. bahwa Pemerintah merencanakan penerbitan Surat
Utang Negara dalam valuta asing di Pasar Perdana
domestik;
c. bahwa ketentuan Bank Indonesia mengenai lelang
dan penatausahaan Surat Berharga Negara belum
mengakomodasi penerbitan Surat Utang Negara
dalam valuta asing di Pasar Perdana domestik; dan
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu
melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan
Penatausahaan Surat Berharga Negara;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun ...
-2-
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat
Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4236);
4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4852);
dan
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
10/13/PBI/2008
TENTANG LELANG DAN
PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA.
Pasal ...
-3-
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 123, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4888), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 2, angka 12, dan angka 13 diubah, sehingga
Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah
Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara.
2. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat
berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang
Rupiah maupun dalam valuta asing yang dijamin pembayaran
bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai
dengan masa berlakunya.
3. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN,
atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara
yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, dalam mata uang
Rupiah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN.
4. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan
Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
5. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan SBN
untuk pertama kali.
6. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan SBN yang telah
dijual di Pasar Perdana.
7. Peserta Lelang SBN adalah pihak-pihak yang dapat mengikuti
lelang SBN sesuai ketentuan yang berlaku.
8. Penawaran ...
-4-
8. Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) adalah
pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume
dan tingkat imbal hasil (yield) atau harga (price) yang diinginkan
penawar.
9. Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding)
adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan
volume tanpa tingkat imbal hasil (yield) atau harga (price) yang
diinginkan penawar.
10. Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System yang
selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank
Indonesia termasuk penatausahaannya dan penatausahaan surat
berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara peserta
BI-SSSS, penyelenggara BI-SSSS, dan Sistem Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS).
11. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan
kustodian yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank
Indonesia melakukan fungsi penatausahaan surat berharga,
termasuk SBN, untuk kepentingan nasabah.
12. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat DVP adalah
setelmen transaksi SBN dengan cara setelmen surat berharga
melalui BI-SSSS atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia yang dilakukan bersamaan dengan setelmen dana di
Bank Indonesia.
13. Free of Payment yang selanjutnya disingkat FoP adalah setelmen
transaksi SBN dengan cara setelmen surat berharga yang
dilakukan melalui BI-SSSS atau sarana lain yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia, sedangkan setelmen dana dilakukan tidak secara
bersamaan dengan setelmen surat berharga atau tanpa setelmen
dana.
14. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
2. Ketentuan Pasal 7 ayat (3) diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal ...
-5-
Pasal 7
(1) Bank Indonesia melakukan penatausahaan SBN sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c yang mencakup:
a. pencatatan kepemilikan, kliring, dan setelmen SBN; dan
b. agen pembayar bunga (kupon)/imbalan dan pokok/nilai
nominal SBN.
(2) Bank Indonesia melakukan penatausahaan SBN atas transaksi
penerbitan SBN di Pasar Perdana dan transaksi SBN di Pasar
Sekunder.
(3) Penatausahaan SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) menggunakan BI-SSSS atau sarana lain yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
3. Ketentuan Pasal 9 ayat (2) diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 9
(1) Pencatatan kepemilikan SBN dilakukan secara book entry.
(2) Catatan kepemilikan SBN di BI-SSSS atau sarana lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia merupakan bukti kepemilikan
yang sah.
4. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
Dalam rangka setelmen SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) dan Pasal 10 ayat (2), Bank Indonesia berwenang untuk:
a. mendebet rekening giro di Bank Indonesia milik:
1. Bank untuk dan atas nama sendiri; dan
2. Bank pembayar untuk dan atas nama pihak lain,
b. mendebet rekening SBN di Bank Indonesia milik:
1. Pemerintah;
2. Bank untuk dan atas nama diri sendiri; dan/atau
3. Sub-Registry untuk dan atas nama pihak lain.
5. Ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 13
berbunyi sebagai berikut:
Pasal ...
-6-
Pasal 13
(1) Bank dan Bank pembayar sebagaimana dimaksud pada Pasal 12
huruf a harus menyediakan dana yang cukup dalam rekening giro
di Bank Indonesia untuk kepentingan setelmen transaksi SBN
yang dilakukan oleh Peserta di Pasar Perdana dan Pasar Sekunder.
(2) Dalam hal dana pada rekening giro sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak mencukupi untuk melunasi sebagian atau seluruh
kewajibannya sampai dengan batas akhir waktu setelmen dana
maka sebagian atau seluruh hasil lelang SBN yang setelmennya
dilakukan melalui Bank atau Bank pembayar tersebut dinyatakan
gagal.
(3) Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
kepada Menteri mengenai setelmen yang gagal atas hasil lelang
SBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
6. Ketentuan Pasal 16 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah sehingga
Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Bank Indonesia melakukan pembayaran bunga (kupon)/imbalan
dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal SBN pada saat jatuh
waktu atas beban Pemerintah.
(2) Atas permintaan Pemerintah, Bank Indonesia melakukan
pelunasan pokok/nilai nominal SBN sebelum tanggal jatuh waktu
atas beban Pemerintah.
(3) Bank Indonesia melakukan pembayaran:
a. bunga (kupon)/imbalan;
b. pokok/nilai nominal SBN pada tanggal jatuh waktu; dan/atau
c. pokok/nilai nominal SBN sebelum tanggal jatuh waktu,
sepanjang tersedia dana yang cukup pada rekening giro
Pemerintah di Bank Indonesia.
(4) Pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau pelunasan
pokok/nilai nominal SBN dilakukan oleh Bank Indonesia
berdasarkan posisi kepemilikan SBN yang tercatat di BI-SSSS atau
sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(5) Dalam ...
-7-
(5) Dalam rangka pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau
pelunasan pokok/nilai nominal SBN, Bank Indonesia berwenang:
a. mendebet rekening giro Pemerintah di Bank Indonesia; dan
b. mendebet rekening surat berharga pemilik SBN di Bank
Indonesia, terhadap SBN yang telah dinyatakan lunas oleh
Pemerintah.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Oktober 2013
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Oktober 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 168
DPSP
1
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 15/9/PBI/2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
10/13/PBI/2008 TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN
SURAT BERHARGA NEGARA
I. UMUM
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.08/2013
tentang Lelang Surat Utang Negara dalam Mata Uang Rupiah dan Valuta
Asing di Pasar Perdana Domestik, Pemerintah merencanakan penerbitan
SUN dalam valuta asing di Pasar Perdana domestik. Oleh karena itu, dalam
rangka mendukung penerbitan SUN dalam valuta asing di Pasar Perdana
domestik, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan terhadap Peraturan
Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan
Surat Berharga Negara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan setelmen SBN adalah
setelmen yang terdiri dari setelmen surat
berharga dan/atau setelmen dana.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat ...
-2-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan book entry adalah
pencatatan kepemilikan dan perpindahan
kepemilikan surat berharga tanpa warkat (scripless)
dalam suatu jurnal elektronis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 12
Bank pembayar ditunjuk oleh peserta transaksi SBN yang
tidak memiliki rekening giro di Bank Indonesia untuk
melakukan setelmen dana.
Angka 5
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “menyediakan dana yang
cukup dalam rekening giro” meliputi penyediaan
dana yang cukup pada rekening giro Rupiah
dan/atau rekening giro valuta asing di Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5457
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 15/9/PBI/2013 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/13/PBI/2008 TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA </reg_title>
<set_date> 30 Oktober 2013 </set_date>
<effective_date> 30 Oktober 2013 </effective_date>
<issued_date> 30 Oktober 2013 </issued_date>
<changed_reg> '10/13/PBI/2008' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '19/UU/2008', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/12/PBI/2019
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/4/PBI/2018
TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA
LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk melakukan penguatan fungsi intermediasi
perbankan dengan tetap memperhatikan dampak risiko
prosiklikal dan kondisi siklus keuangan, terdapat ruang
bagi kebijakan makroprudensial yang akomodatif;
b. bahwa kebijakan makroprudensial yang akomodatif
dilakukan melalui penyesuaian terhadap formulasi rasio
intermediasi makroprudensial dan rasio intermediasi
makroprudensial syariah dengan mempertimbangkan
semakin luasnya alternatif sumber pendanaan bagi
perbankan terutama berupa pinjaman atau pembiayaan
yang diterima;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tentang Rasio
Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas
- 2 -
Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank
Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tentang
Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga
Likuiditas Makroprudensial
bagi Bank Umum
Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6194);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/4/PBI/2018
TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN
PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK
UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT
USAHA SYARIAH.
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/4/PBI/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial
dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum
Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6194)
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan angka 9, angka 10, angka 21, dan angka 23
Pasal 1 diubah, di antara angka 24 dan angka 25
disisipkan 1 (satu) angka, yaitu angka 24A, di antara
angka 30 dan angka 31 disisipkan 2 (dua) angka, yaitu
angka 30A dan angka 30B, sehingga Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya
disingkat BUK adalah bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
4. Bank adalah BUK, BUS, dan UUS.
- 4 -
5. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
6. Dana Pihak Ketiga yang selanjutnya disingkat DPK
adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan
penduduk dalam rupiah dan/atau valuta asing.
7. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya
disebut Rekening Giro Rupiah adalah rekening giro
dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai rekening giro di Bank Indonesia.
8. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
9. Rasio Intermediasi Makroprudensial yang selanjutnya
disingkat RIM adalah rasio hasil perbandingan
antara:
a.
kredit yang diberikan dalam rupiah dan valuta
asing; dan
b. surat berharga korporasi dalam rupiah dan
valuta asing yang memenuhi persyaratan
tertentu, yang dimiliki BUK,
terhadap:
a. DPK BUK dalam bentuk giro, tabungan, dan
simpanan berjangka/deposito dalam rupiah dan
valuta asing, tidak termasuk dana antarbank;
b. surat berharga dalam rupiah dan valuta asing
yang memenuhi persyaratan tertentu, yang
diterbitkan oleh BUK untuk memperoleh sumber
pendanaan; dan
c. pinjaman yang diterima dalam rupiah dan valuta
asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang
diterima oleh BUK untuk memperoleh sumber
pendanaan.
- 5 -
10. Rasio Intermediasi Makroprudensial Syariah yang
selanjutnya disebut RIM Syariah adalah rasio hasil
perbandingan antara:
a. Pembiayaan yang diberikan dalam rupiah dan
valuta asing; dan
b. surat berharga syariah korporasi dalam rupiah
dan valuta asing yang memenuhi persyaratan
tertentu, yang dimiliki BUS atau UUS,
terhadap:
a. DPK BUS atau DPK UUS dalam bentuk dana
simpanan wadiah dan dana investasi tidak
terikat dalam rupiah dan valuta asing, tidak
termasuk dana antarbank;
b. surat berharga syariah dalam rupiah dan valuta
asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang
diterbitkan oleh BUS atau UUS untuk
memperoleh sumber pendanaan; dan
c. pembiayaan yang diterima dalam rupiah dan
valuta asing yang memenuhi persyaratan
tertentu, yang diterima oleh BUS atau UUS
untuk memperoleh sumber pendanaan.
11. Giro atas Pemenuhan RIM yang selanjutnya disebut
Giro RIM adalah saldo giro dalam Rekening Giro
Rupiah di Bank Indonesia yang wajib dipelihara oleh
BUK untuk pemenuhan RIM.
12. Giro atas Pemenuhan RIM Syariah yang selanjutnya
disebut Giro RIM Syariah adalah saldo giro dalam
Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia yang wajib
dipelihara oleh BUS dan UUS untuk pemenuhan RIM
Syariah.
13. Target RIM adalah kisaran RIM yang dibatasi oleh
batas bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia untuk perhitungan Giro RIM.
14. Target RIM Syariah adalah kisaran RIM Syariah yang
dibatasi oleh batas bawah dan batas atas yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk perhitungan
Giro RIM Syariah.
- 6 -
15. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang
selanjutnya disebut KPMM adalah rasio hasil
perbandingan antara modal terhadap aset tertimbang
menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan OJK yang mengatur mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum bank umum
konvensional dan bank umum syariah.
16. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia untuk perhitungan RIM atau RIM
Syariah.
17. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter
pengali yang digunakan dalam pemenuhan:
a. Giro RIM bagi BUK yang memiliki RIM kurang
dari batas bawah Target RIM; atau
b. Giro RIM Syariah bagi BUS dan UUS yang
memiliki RIM Syariah kurang dari batas bawah
Target RIM Syariah.
18. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali
yang digunakan dalam pemenuhan:
a. Giro RIM bagi BUK yang memiliki RIM lebih dari
batas atas Target RIM; atau
b. Giro RIM Syariah bagi BUS dan UUS yang
memiliki RIM Syariah lebih dari batas atas Target
RIM Syariah.
19. Penyangga
Likuiditas Makroprudensial yang
selanjutnya disingkat PLM adalah cadangan
likuiditas minimum dalam rupiah yang wajib
dipelihara oleh BUK dalam bentuk surat berharga
yang memenuhi persyaratan tertentu, yang besarnya
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase
tertentu dari DPK BUK dalam rupiah.
- 7 -
20. Penyangga Likuiditas Makroprudensial Syariah yang
selanjutnya disebut PLM Syariah adalah cadangan
likuiditas minimum dalam rupiah yang wajib
dipelihara oleh BUS dalam bentuk surat berharga
syariah yang memenuhi persyaratan tertentu, yang
besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar
persentase tertentu dari DPK BUS dalam rupiah.
21. Indonesia Overnight Index Average yang selanjutnya
disebut IndONIA adalah Indonesia Overnight Index
Average sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai Indonesia
Overnight Index Average dan Jakarta Interbank
Offered Rate.
22. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SBI adalah Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai operasi moneter.
23. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia
Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi
moneter.
24. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah Sertifikat Deposito Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi
moneter.
24A.Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut
SukBI adalah Sukuk Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai operasi moneter, dalam mata
uang rupiah.
25. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat
SBN adalah surat berharga yang terdiri atas surat
utang negara dalam mata uang rupiah dan surat
berharga syariah negara dalam mata uang rupiah
yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
- 8 -
26. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
surat utang negara, dalam mata uang rupiah.
27. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara
atau sukuk negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai surat
berharga syariah negara, dalam mata uang rupiah.
28. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah
yang selanjutnya disebut PUAS adalah pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah.
29. Sertifikat Investasi Mudarabah Antarbank yang
selanjutnya disingkat SIMA adalah sertifikat investasi
mudarabah antarbank sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
sertifikat investasi mudarabah antarbank.
30. Tingkat Indikasi Imbalan SIMA adalah rata-rata
tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA dalam
rupiah yang terjadi di PUAS pada pasar perdana.
30A. Laporan Bulanan Bank Umum yang selanjutnya
disebut LBU adalah laporan bulanan bank umum
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan bulanan
bank umum.
30B. Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan
Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah yang selanjutnya disebut LSMK BUS UUS
adalah laporan stabilitas moneter dan sistem
keuangan bulanan bank umum syariah dan unit
usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan
bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah.
- 9 -
31. Laporan Berkala Bank Umum yang selanjutnya
disingkat LBBU adalah laporan berkala bank umum
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala
bank umum.
32. Laporan Berkala Bank Umum bagi BUS dan UUS
yang selanjutnya disebut LBBUS adalah laporan
berkala bank umum bagi BUS dan UUS sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai laporan berkala bank umum.
33. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya
disingkat LHBU adalah laporan harian bank umum
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian
bank umum.
2. Ketentuan ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, dan huruf e
serta ayat (2) huruf e dan huruf f Pasal 8 diubah, ayat (2)
huruf g dan huruf h Pasal 8 dihapus, dan penjelasan Pasal
8 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal
demi pasal, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Besaran dan parameter yang digunakan dalam
pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah
ditetapkan sebagai berikut:
a. batas bawah Target RIM atau Target RIM Syariah
sebesar 84% (delapan puluh empat persen);
b. batas atas Target RIM atau Target RIM Syariah
sebesar 94% (sembilan puluh empat persen);
c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas
persen);
d. Parameter Disinsentif Bawah ditetapkan sebagai
berikut:
1. sebesar 0 (nol), jika Bank memiliki:
a)
rasio kredit bermasalah atau rasio
Pembiayaan bermasalah secara bruto
- 10 -
lebih besar dari atau sama dengan 5%
(lima persen); atau
b) KPMM lebih kecil dari atau sama
dengan KPMM Insentif;
2. sebesar 0,1 (nol koma satu), jika Bank
memiliki:
a)
rasio kredit bermasalah atau rasio
Pembiayaan bermasalah secara bruto
lebih kecil dari 5% (lima persen); dan
b) KPMM lebih besar dari KPMM Insentif
dan lebih kecil dari atau sama dengan
19% (sembilan belas persen); dan
3. sebesar 0,15 (nol koma lima belas), jika
Bank memiliki:
a)
rasio kredit bermasalah atau rasio
Pembiayaan bermasalah secara bruto
lebih kecil dari 5% (lima persen); dan
b) KPMM lebih besar dari 19% (sembilan
belas persen); dan
e. Parameter Disinsentif Atas ditetapkan sebagai
berikut:
1. sebesar 0 (nol), jika Bank memiliki KPMM
lebih besar dari atau sama dengan KPMM
Insentif; atau
2. sebesar 0,2 (nol koma dua), jika Bank
memiliki KPMM lebih kecil dari KPMM
Insentif.
(2) Pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai
berikut:
a. dalam hal RIM berada dalam kisaran Target RIM
maka Giro RIM ditetapkan sebesar 0% (nol
persen) dari DPK BUK dalam rupiah;
b. dalam hal RIM Syariah berada dalam kisaran
Target RIM Syariah maka Giro RIM Syariah
ditetapkan sebesar 0% (nol persen) dari DPK
BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah;
- 11 -
c. dalam hal RIM lebih kecil dari batas bawah
Target RIM maka Giro RIM yaitu sebesar hasil
perkalian antara Parameter Disinsentif Bawah,
selisih antara batas bawah Target RIM dan RIM,
serta DPK BUK dalam rupiah;
d. dalam hal RIM Syariah lebih kecil dari batas
bawah Target RIM Syariah maka Giro RIM
Syariah yaitu sebesar hasil perkalian antara
Parameter Disinsentif Bawah, selisih antara
batas bawah Target RIM Syariah dan RIM
Syariah, serta DPK BUS dalam rupiah atau DPK
UUS dalam rupiah;
e. dalam hal RIM lebih besar dari batas atas Target
RIM maka Giro RIM yaitu sebesar hasil perkalian
antara Parameter Disinsentif Atas, selisih antara
RIM dan batas atas Target RIM, serta DPK BUK
dalam rupiah;
f. dalam hal RIM Syariah lebih besar dari batas
atas Target RIM Syariah maka Giro RIM Syariah
yaitu sebesar hasil perkalian antara Parameter
Disinsentif Atas, selisih antara RIM Syariah dan
batas atas Target RIM Syariah, serta DPK BUS
dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah;
g. dihapus; dan
h. dihapus.
(3) Dalam hal terdapat perubahan besaran dan
parameter RIM dan/atau RIM Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), perubahan tersebut
ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan besaran
dan parameter yang akan digunakan dalam
pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 12 -
3. Ketentuan Pasal 9 tetap dan penjelasan ayat (1) huruf e
Pasal 9 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan
pasal demi pasal.
4. Ketentuan Pasal 10 tetap dan penjelasan ayat (1) huruf e
Pasal 10 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan
pasal demi pasal.
5. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 10A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10A
(1) Kriteria pinjaman yang diterima atau pembiayaan
yang diterima Bank dalam rupiah dan valuta asing,
yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM atau
RIM Syariah diatur sebagai berikut:
a. pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang
diterima berbentuk pinjaman atau pembiayaan
bilateral dan/atau pinjaman atau pembiayaan
sindikasi;
b. pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang
diterima
tidak
berupa pinjaman atau
pembiayaan subordinasi, dana kelolaan,
kewajiban sewa pembiayaan, dan/atau giro
bersaldo kredit;
c. pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang
diterima tidak termasuk pinjaman atau
pembiayaan dari Bank dalam negeri;
d. pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang
diterima memiliki sisa jangka waktu paling
singkat 1 (satu) tahun; dan
e. pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang
diterima dilakukan berdasarkan perjanjian.
(2) Bagi BUK yang merupakan kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri dan UUS dari
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri, kriteria pinjaman yang diterima atau
- 13 -
pembiayaan yang diterima sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a termasuk pinjaman yang
diterima atau pembiayaan yang diterima dari kantor
pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang
melakukan kegiatan operasional di luar negeri.
(3) Dalam hal terdapat perubahan kriteria pinjaman
yang diterima atau pembiayaan yang diterima
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perubahan
tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kriteria
pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang
diterima diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
6. Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 13 diubah, di antara
ayat (3) dan ayat (4) Pasal 13 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni
ayat (3a), dan di antara ayat (4) dan ayat (5) Pasal 13
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4a) sehingga Pasal 13
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Data DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan Giro
RIM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf a diperoleh dari laporan mengenai dana pihak
ketiga rupiah dan valuta asing dalam LBBU.
(2) Data DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam
rupiah untuk pemenuhan Giro RIM Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf
b diperoleh dari laporan mengenai dana pihak ketiga
rupiah dan valuta asing dalam LBBUS.
(3) Data kredit, DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing,
surat berharga, pinjaman yang diterima, dan data
kredit yang digunakan dalam perhitungan rasio
kredit bermasalah untuk perhitungan RIM diperoleh
dari:
- 14 -
a. LBBU, untuk data kredit dan DPK BUK dalam
rupiah dan valuta asing;
b. laporan surat berharga, untuk data surat
berharga korporasi yang dimiliki BUK, dan data
surat berharga yang diterbitkan BUK;
c. LBU, untuk data pinjaman yang diterima dan
data kredit yang digunakan dalam perhitungan
rasio kredit bermasalah; dan
d. laporan pinjaman yang diterima dari kantor
pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama
yang melakukan kegiatan operasional di luar
negeri, untuk data pinjaman yang diterima bagi
BUK yang merupakan kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri.
(3a) Bagi BUK yang merupakan kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri, data pinjaman
yang diterima untuk perhitungan RIM diperoleh dari
LBU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
dan laporan pinjaman yang diterima dari kantor
pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang
melakukan kegiatan operasional di luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d.
(4) Data Pembiayaan, DPK BUS dalam rupiah dan valuta
asing, DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing, surat
berharga syariah, pembiayaan yang diterima, dan
data Pembiayaan yang digunakan dalam perhitungan
rasio Pembiayaan bermasalah untuk perhitungan
RIM Syariah diperoleh dari:
a. LBBUS, untuk data Pembiayaan, DPK BUS
dalam rupiah dan valuta asing, dan DPK UUS
dalam rupiah dan valuta asing;
b. laporan surat berharga syariah, untuk data
surat berharga syariah korporasi yang dimiliki
BUS dan UUS, dan data surat berharga syariah
yang diterbitkan BUS dan UUS;
c. LSMK BUS UUS, untuk data pembiayaan yang
diterima dan data Pembiayaan yang digunakan
- 15 -
dalam perhitungan rasio
bermasalah; dan
Pembiayaan
d. laporan pembiayaan yang diterima dari kantor
pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama
yang melakukan kegiatan operasional di luar
negeri, untuk data pembiayaan yang diterima
bagi UUS dari kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
(4a) Bagi UUS dari kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri, data pembiayaan yang
diterima untuk perhitungan RIM Syariah diperoleh
dari LSMK BUS UUS sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) huruf c dan laporan pembiayaan yang
diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang
bank yang sama yang melakukan kegiatan
operasional di luar negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) huruf d.
(5) KPMM BUK, KPMM BUS, atau KPMM BUK yang
menjadi induk UUS untuk pemenuhan Giro RIM dan
Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) yaitu KPMM triwulanan hasil olahan
sistem aplikasi yang diterima Bank Indonesia dari
OJK.
(6) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil
perhitungan KPMM yang diterima Bank Indonesia
dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh
BUK atau BUS maka yang berlaku yaitu KPMM yang
diterima Bank Indonesia dari OJK.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber data untuk
pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 16 -
7. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15A
(1) BUK yang merupakan kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri wajib menyampaikan
laporan pinjaman yang diterima dari kantor pusat
dan/atau kantor cabang bank yang sama yang
melakukan kegiatan operasional di luar negeri
kepada Bank Indonesia secara berkala sebagai dasar
perhitungan RIM sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (3).
(2) UUS dari kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri wajib menyampaikan
laporan pembiayaan yang diterima dari kantor pusat
dan/atau kantor cabang bank yang sama yang
melakukan kegiatan operasional di luar negeri
kepada Bank Indonesia secara berkala sebagai dasar
perhitungan RIM Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (4).
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) mencakup data pinjaman yang diterima atau
data pembiayaan yang diterima dari kantor pusat
dan/atau kantor cabang bank yang sama yang
melakukan kegiatan operasional di luar negeri yang
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10A.
(4) Kewajiban menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tetap berlaku
bagi BUK yang merupakan kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri dan UUS dari
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri yang:
a. tidak memperoleh pinjaman yang diterima atau
pembiayaan yang diterima dari kantor pusat
dan/atau kantor cabang bank yang sama yang
- 17 -
melakukan kegiatan operasional di luar negeri;
atau
b. memperoleh pinjaman yang diterima atau
pembiayaan yang diterima dari kantor pusat
dan/atau kantor cabang bank yang sama yang
melakukan kegiatan operasional di luar negeri
namun tidak memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10A,
dengan isi laporan nihil.
8. Ketentuan ayat (1), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) Pasal 16
diubah, sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Laporan surat berharga Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 dan laporan pinjaman yang diterima
serta laporan pembiayaan yang diterima sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15A wajib disampaikan
kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh)
hari kerja setelah berakhirnya bulan laporan.
(2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
apabila menyampaikan laporan setelah batas waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan 5 (lima) hari kerja berikutnya.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan
apabila belum menyampaikan laporan sampai
dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
(4) Bank dapat melakukan koreksi atas laporan yang
telah disampaikan kepada Bank Indonesia.
(5) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) disampaikan melalui surat elektronik
kepada Bank Indonesia.
- 18 -
(6) Dalam hal penyampaian laporan melalui surat
elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak
dapat dilakukan, Bank menyampaikan laporan dalam
bentuk salinan lunak dan salinan keras kepada Bank
Indonesia.
(7) Perubahan tata cara penyampaian laporan dan
penghentian kewajiban penyampaian laporan melalui
surat elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
diinformasikan oleh Bank Indonesia kepada Bank.
(8) Tata cara penyampaian laporan atau koreksi laporan
melalui surat elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dilakukan sampai dengan Bank Indonesia
memperoleh data surat berharga Bank, data
pinjaman yang diterima, dan data pembiayaan yang
diterima dari LBU, LSMK BUS UUS, atau sistem
aplikasi laporan lainnya.
9. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17A
(1) Laporan pinjaman yang diterima dan laporan
pembiayaan yang diterima sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) pertama kali dilaporkan
kepada Bank Indonesia untuk posisi bulan Oktober
2019.
(2) Penyampaian laporan pertama kali sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada
Bank Indonesia paling lambat tanggal 28 November
2019.
(3) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
pertama kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
apabila menyampaikan laporan setelah batas waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sampai dengan 5 (lima) hari kerja berikutnya.
(4) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan
pertama kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
- 19 -
apabila belum menyampaikan laporan sampai
dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
(5) Ketentuan koreksi dan penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), ayat
(5), dan ayat (6) berlaku secara mutatis mutandis
terhadap penyampaian laporan pertama kali
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
10. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan
surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
serta laporan pinjaman yang diterima dan laporan
pembiayaan yang diterima sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15A diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
11. Ketentuan Pasal 20 tetap dan penjelasan ayat (2) huruf a
Pasal 20 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan
pasal demi pasal.
12. Ketentuan ayat (3) Pasal 21 diubah, dan penjelasan ayat
(3) huruf a Pasal 21 diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan pasal demi pasal, sehingga Pasal 21 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Dalam kondisi tertentu, surat berharga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dapat digunakan
dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam
operasi pasar terbuka.
(2) Bank Indonesia hanya memperhitungkan surat
berharga yang digunakan dalam transaksi repo
- 20 -
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap
transaksi repo yang dilakukan setelah kewajiban
pemenuhan PLM atau PLM Syariah berlaku.
(3) Penggunaan surat berharga BUK atau BUS dalam
transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur sebagai berikut:
a. bagi BUK, ditetapkan paling banyak 4% (empat
persen) dari DPK BUK dalam rupiah; dan
b. bagi BUS, ditetapkan paling banyak 4% (empat
persen) dari DPK BUS dalam rupiah.
(4) Dalam hal terdapat perubahan besaran persentase
penggunaan surat berharga BUK atau BUS yang
dapat digunakan dalam transaksi repo sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), perubahan tersebut
ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan surat
berharga BUK atau BUS yang dapat digunakan dalam
transaksi repo diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
13. Ketentuan ayat (1) huruf d Pasal 25 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
(1) Pemenuhan Giro RIM dan PLM bagi BUK dan
pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah bagi
BUS, yang melakukan penggabungan atau peleburan
diatur sebagai berikut:
a. pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM,
dan PLM Syariah tetap dilakukan secara
terpisah sampai dengan 2 (dua) hari kerja
sebelum tanggal efektif pelaksanaan
penggabungan atau peleburan;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan,
pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM,
- 21 -
dan PLM Syariah hanya dihitung untuk BUK
atau BUS hasil penggabungan atau peleburan;
c. pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM,
dan PLM Syariah untuk BUK atau BUS hasil
penggabungan atau peleburan sebagaimana
dimaksud dalam huruf b, dilakukan dengan
menggunakan data gabungan BUK atau BUS
yang melakukan penggabungan atau peleburan
sampai dengan data BUK atau BUS hasil
penggabungan atau peleburan tersedia;
d. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam
huruf c, diatur sebagai berikut:
1. bagi BUK:
a) untuk pemenuhan Giro RIM meliputi
data kredit, DPK BUK dalam rupiah
dan valuta asing, saldo surat berharga
korporasi yang dimiliki BUK, saldo
surat berharga yang diterbitkan BUK,
pinjaman yang diterima BUK, data
kredit yang digunakan dalam
perhitungan rasio kredit bermasalah,
KPMM, DPK BUK dalam rupiah, dan
saldo Rekening Giro Rupiah BUK; dan
b) untuk pemenuhan PLM:
1) bagi BUK, meliputi data saldo
rekening SBI, SDBI, SukBI,
dan/atau SBN BUK, DPK BUK
dalam rupiah, dan saldo Rekening
Giro Rupiah BUK; dan
2) bagi BUK yang memiliki UUS,
meliputi data saldo rekening SBI,
SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau
SBN, DPK BUK dalam rupiah,
DPK UUS dalam rupiah, saldo
Rekening Giro Rupiah BUK, dan
saldo Rekening Giro Rupiah UUS;
dan
- 22 -
2. bagi BUS:
a) untuk pemenuhan Giro RIM Syariah
meliputi data Pembiayaan BUS, DPK
BUS dalam rupiah dan valuta asing,
saldo surat berharga syariah korporasi
yang dimiliki BUS, saldo surat
berharga yang diterbitkan BUS,
pembiayaan yang diterima BUS, data
Pembiayaan yang digunakan dalam
perhitungan rasio
Pembiayaan
bermasalah, KPMM, DPK BUS dalam
rupiah, dan saldo Rekening Giro
Rupiah BUS; dan
b) untuk pemenuhan PLM Syariah
meliputi data saldo rekening SBIS,
SukBI, dan/atau SBSN BUS, DPK BUS
dalam rupiah, dan saldo Rekening Giro
Rupiah BUS;
e. data KPMM dalam data gabungan sebagaimana
dimaksud dalam huruf d, diatur sebagai berikut:
1. bagi BUK, diperoleh dari BUK yang
melakukan penggabungan atau peleburan
berdasarkan hasil perhitungan yang
dilakukan oleh BUK atas penggabungan
data yang digunakan dalam perhitungan
KPMM masing-masing BUK sebelum
tanggal efektif pelaksanaan penggabungan
atau peleburan; dan
2. bagi BUS, diperoleh dari BUS yang
melakukan penggabungan atau peleburan
berdasarkan hasil perhitungan yang
dilakukan oleh BUS atas penggabungan
data yang digunakan dalam perhitungan
KPMM masing-masing BUS sebelum
tanggal efektif pelaksanaan penggabungan
atau peleburan; dan
- 23 -
f. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil
perhitungan KPMM yang diterima Bank
Indonesia dari OJK dengan hasil perhitungan
KPMM yang dilakukan oleh BUK atau BUS
sebagaimana dimaksud dalam huruf e maka
yang berlaku yaitu KPMM yang diterima Bank
Indonesia dari OJK.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemenuhan Giro RIM dan PLM bagi BUK serta Giro
RIM Syariah dan PLM Syariah bagi BUS, yang
melakukan penggabungan atau peleburan diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
14. Ketentuan ayat (1) huruf e Pasal 27 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27
(1) Pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah
terhadap BUS hasil pemisahan UUS dari BUK, diatur
sebagai berikut:
a. UUS tetap memenuhi Giro RIM Syariah UUS
sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum
tanggal efektif pelaksanaan pemisahan UUS
menjadi BUS;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan pemisahan UUS menjadi BUS,
pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk
BUS hasil pemisahan;
c.
sejak 1 (satu) tahun setelah tanggal efektif
pelaksanaan pemisahan UUS menjadi BUS,
pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk BUS
hasil pemisahan;
d. pemenuhan Giro RIM Syariah untuk BUS hasil
pemisahan sebagaimana dimaksud dalam huruf
b dilakukan dengan menggunakan data UUS,
termasuk data KPMM BUK yang menjadi induk
UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
- 24 -
ayat (5), sampai dengan data BUS hasil
pemisahan tersedia;
e. data UUS sebagaimana dimaksud dalam huruf d
untuk pemenuhan Giro RIM Syariah meliputi
data Pembiayaan UUS, DPK UUS dalam rupiah
dan valuta asing, saldo surat berharga syariah
korporasi yang dimiliki UUS, saldo surat
berharga yang diterbitkan UUS, pembiayaan
yang diterima UUS, data Pembiayaan yang
digunakan dalam perhitungan rasio Pembiayaan
bermasalah UUS, KPMM BUK yang menjadi
induk UUS, DPK UUS dalam rupiah, dan saldo
Rekening Giro Rupiah UUS; dan
f. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil
perhitungan KPMM yang diterima Bank
Indonesia dari OJK dengan hasil perhitungan
KPMM yang dilakukan oleh BUK yang
melakukan pemisahan UUS menjadi BUS maka
yang berlaku yaitu KPMM yang diterima Bank
Indonesia dari OJK.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah bagi
BUS hasil pemisahan UUS dari BUK diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
15. Ketentuan ayat (2) huruf a dan huruf b Pasal 29 diubah
dan penjelasan ayat (2) Pasal 29 diubah sebagaimana
tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal, sehingga
Pasal 29 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29
(1) Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro
RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan PLM Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dikenai sanksi
berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. sanksi kewajiban membayar.
- 25 -
(2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur sebagai
berikut:
a. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro
RIM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar
hasil perkalian antara kekurangan Giro RIM,
125% (seratus dua puluh lima persen) dari
IndONIA pada hari terjadinya pelanggaran, dan
1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk
setiap hari pelanggaran;
b. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan PLM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar
hasil perkalian antara kekurangan PLM, 125%
(seratus dua puluh lima persen) dari IndONIA
pada hari terjadinya pelanggaran, dan 1/360
(satu per tiga ratus enam puluh), untuk setiap
hari pelanggaran;
c. BUS yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro
RIM Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) dikenai sanksi kewajiban
membayar sebesar hasil perkalian antara
kekurangan Giro RIM Syariah, 125% (seratus
dua puluh lima persen) dari Tingkat Indikasi
Imbalan SIMA pada hari terjadinya pelanggaran,
dan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh),
untuk setiap hari pelanggaran;
d. BUS yang melanggar kewajiban pemenuhan PLM
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) dikenai sanksi kewajiban membayar
sebesar hasil perkalian antara kekurangan PLM
Syariah, 125% (seratus dua puluh lima persen)
dari Tingkat Indikasi Imbalan SIMA pada hari
terjadinya pelanggaran, dan 1/360 (satu per tiga
ratus enam puluh), untuk setiap hari
pelanggaran;
- 26 -
e. UUS yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro
RIM Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) dikenai sanksi kewajiban
membayar sebesar hasil perkalian antara
kekurangan Giro RIM Syariah, 125% (seratus
dua puluh lima persen) dari Tingkat Indikasi
Imbalan SIMA pada hari terjadinya pelanggaran,
dan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh),
untuk setiap hari pelanggaran; dan
f. dalam hal data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA
sebagaimana dimaksud dalam huruf c, huruf d,
dan huruf e tidak tersedia, pengenaan sanksi
dihitung berdasarkan rata-rata tingkat imbalan
deposito investasi mudarabah berjangka waktu
1 (satu) bulan sebelum didistribusikan, pada
bulan sebelumnya dari seluruh BUS atau UUS.
16. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
(1) Bank yang dinyatakan terlambat menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(2) dan Pasal 17A ayat (3) dikenai sanksi berupa
teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
keterlambatan.
(2) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dan
Pasal 17A ayat (4) dikenai sanksi berupa teguran
tertulis dan kewajiban membayar sebesar
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
- 27 -
17. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 31
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (2) tidak menghilangkan kewajiban Bank untuk
menyampaikan laporan surat berharga korporasi yang
dimiliki dan laporan surat berharga yang diterbitkan oleh
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 serta
laporan pinjaman yang diterima dan laporan pembiayaan
yang diterima Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15A.
18. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 36A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36A
(1) Ketentuan mengenai perhitungan RIM dan RIM
Syariah yang menambahkan unsur pinjaman yang
diterima atau pembiayaan yang diterima mulai
berlaku pada tanggal 2 Desember 2019.
(2) Ketentuan mengenai Parameter Disinsentif Bawah
mulai berlaku pada tanggal 2 Desember 2019.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 28 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2019
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2019
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 226
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/ 12 /PBI/2019
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/4/PBI/2018
TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA
LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi di tengah
stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan yang terjaga, Bank
Indonesia melakukan penguatan fungsi intermediasi perbankan melalui
penyempurnaan pengaturan mengenai RIM dan RIM Syariah, dengan tetap
memperhatikan dampak risiko prosiklikal dan kondisi siklus keuangan
yang masih berada di bawah level optimalnya. Hal ini merupakan salah satu
upaya untuk mendorong pertumbuhan intermediasi perbankan yang
dilakukan dengan cara melakukan penyesuaian kisaran batas bawah dan
batas atas yang digunakan dalam pemenuhan RIM dan RIM Syariah serta
memperluas kapasitas perbankan dalam menyalurkan kredit atau
pembiayaan.
Seiring dengan semakin luasnya alternatif pendanaan bank, formulasi
RIM dan RIM Syariah saat ini dinilai belum secara utuh menggambarkan
kondisi penyaluran dana dan penghimpunan dana oleh bank. Oleh karena
itu, perlu dilakukan penyesuaian formulasi RIM dan RIM Syariah dengan
menambahkan komponen pendanaan yaitu pinjaman yang diterima atau
pembiayaan yang diterima, dan penyesuaian atas besaran parameter
disinsentif dan kriteria prudensial batas bawah.
- 2 -
Penyesuaian formulasi RIM dan RIM Syariah dilakukan dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian, dengan mendorong bank yang
memiliki kualitas kredit atau kualitas Pembiayaan yang baik (rasio kredit
atau Pembiayaan bermasalah rendah) dan ketahanan modal yang memadai
(KPMM yang tinggi), untuk melakukan ekspansi kredit atau Pembiayaan.
Upaya untuk melakukan penguatan fungsi intermediasi perbankan
juga dilengkapi dengan dukungan terhadap pengelolaan likuiditas
perbankan. Terkait dengan hal tersebut, penetapan besaran persentase
penggunaan surat berharga yang dapat digunakan dalam transaksi repo
kepada Bank Indonesia dalam operasi pasar terbuka pada instrumen PLM
dan PLM Syariah sebesar 4% (empat persen) dipandang perlu untuk
memberikan peningkatan fleksibilitas dan distribusi likuiditas. Sebagai
bagian dari instrumen makroprudensial berbasis likuiditas, juga dilakukan
penetapan SukBI sebagai salah satu surat berharga yang diperhitungkan
dalam pemenuhan PLM dan PLM Syariah sehingga SukBI dapat menjadi
alternatif manajemen likuiditas bagi perbankan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu disusun ketentuan
bagi Bank mengenai instrumen kebijakan makroprudensial terkait
intermediasi dan likuiditas dalam bentuk RIM dan PLM bagi BUK, BUS, dan
UUS.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
- 3 -
Huruf d
Rasio kredit bermasalah secara bruto diperoleh
dari jumlah kredit bermasalah dibandingkan
dengan total kredit kepada pihak ketiga bukan
bank.
Yang dimaksud dengan “jumlah kredit
bermasalah” adalah jumlah dari kredit dengan
kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet,
kepada pihak ketiga bukan bank.
Rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto
diperoleh dari jumlah Pembiayaan bermasalah
dibandingkan dengan total Pembiayaan kepada
pihak ketiga bukan bank.
Yang dimaksud dengan “jumlah Pembiayaan
bermasalah” adalah jumlah dari Pembiayaan
dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan
macet, kepada pihak ketiga bukan bank.
Bagi BUK yang memiliki UUS, penghitungan rasio
kredit bermasalah bagi BUK dilakukan secara
terpisah dengan penghitungan rasio Pembiayaan
bermasalah bagi UUS.
KPMM bagi UUS menggunakan KPMM dari BUK
yang menjadi induk UUS.
Huruf e
KPMM bagi UUS menggunakan KPMM dari BUK
yang menjadi induk UUS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 4 -
Angka 3
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Lembaga pemeringkat dan peringkat yang
diterbitkan merupakan lembaga pemeringkat dan
peringkat yang diakui oleh OJK sesuai dengan
ketentuan OJK.
Huruf e
Lembaga yang berwenang memberikan layanan
jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek
dapat berkedudukan di dalam maupun di luar
negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
- 5 -
Huruf d
Lembaga pemeringkat dan peringkat yang
diterbitkan merupakan lembaga pemeringkat dan
peringkat yang diakui oleh OJK sesuai dengan
ketentuan OJK.
Huruf e
Lembaga yang berwenang memberikan layanan
jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek
dapat berkedudukan di dalam maupun di luar
negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 10A
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Untuk BUK, pinjaman yang diterima tidak berupa
pinjaman subordinasi, dana kelolaan, kewajiban
sewa pembiayaan (finance lease), dan/atau giro
bersaldo kredit (overdraft).
Untuk BUS dan UUS, pembiayaan yang diterima
tidak berupa pembiayaan subordinasi dan dana
kelolaan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima
dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang
- 6 -
sama yang melakukan kegiatan operasional di luar
negeri tidak berupa pinjaman yang diterima atau
pembiayaan yang diterima sebagai komponen modal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Data kredit, DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing,
surat berharga, pinjaman yang diterima, dan data kredit
yang digunakan dalam perhitungan rasio kredit
bermasalah untuk perhitungan RIM yang digunakan
sebagai dasar pemenuhan Giro RIM didasarkan pada:
a. laporan mengenai neraca mingguan pada tanggal
akhir periode data laporan dalam LBBU untuk data
kredit dan DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing
menggunakan posisi akhir tanggal laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya, yaitu:
1. RIM yang digunakan sebagai dasar
pemenuhan Giro RIM untuk tanggal 1 sampai
dengan tanggal 15 didasarkan pada data
kredit dan DPK BUK dalam rupiah dan valuta
asing pada akhir periode laporan sejak tanggal
8 sampai dengan tanggal 15 bulan
sebelumnya; dan
2. RIM yang digunakan sebagai dasar
pemenuhan Giro RIM untuk tanggal 16
sampai dengan akhir bulan didasarkan pada
data kredit dan DPK BUK dalam rupiah dan
valuta asing pada akhir periode laporan sejak
- 7 -
tanggal 24 sampai dengan akhir bulan
sebelumnya.
Kredit untuk perhitungan RIM merupakan kredit
yang diberikan kepada pihak ketiga dalam rupiah
dan valuta asing, tidak termasuk kredit kepada
bank lain;
b. laporan surat berharga untuk data:
1. surat berharga korporasi yang dimiliki BUK
menggunakan posisi 2 (dua) periode laporan
sebelumnya; dan
2. surat berharga yang diterbitkan BUK
menggunakan posisi 2 (dua) periode laporan
sebelumnya.
Yang dimaksud dengan “laporan surat berharga”
adalah laporan surat berharga BUK yang
disampaikan kepada Bank Indonesia secara
berkala sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia
ini atau ditetapkan lain oleh Bank Indonesia;
c. LBU untuk data pinjaman yang diterima dan data
kredit yang digunakan dalam perhitungan rasio
kredit bermasalah menggunakan posisi 2 (dua)
periode laporan sebelumnya; dan
d. laporan pinjaman yang diterima dari kantor pusat
dan/atau kantor cabang bank yang sama yang
melakukan kegiatan operasional di luar negeri
untuk data pinjaman yang diterima bagi BUK yang
merupakan kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri menggunakan posisi
2 (dua) periode laporan sebelumnya.
Yang dimaksud dengan “laporan pinjaman yang
diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang
bank yang sama yang melakukan kegiatan
operasional di luar negeri” adalah laporan yang
disampaikan oleh BUK yang merupakan kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di
- 8 -
luar negeri kepada Bank Indonesia secara berkala
sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini atau
ditetapkan lain oleh Bank Indonesia.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Data Pembiayaan, DPK BUS dalam rupiah dan valuta
asing, DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing, surat
berharga syariah, pembiayaan yang diterima, dan data
Pembiayaan yang digunakan dalam perhitungan rasio
Pembiayaan bermasalah untuk perhitungan RIM
Syariah yang digunakan sebagai dasar pemenuhan Giro
RIM Syariah didasarkan pada:
a. laporan mengenai neraca mingguan pada tanggal
akhir periode data laporan dalam LBBUS untuk
data Pembiayaan, DPK BUS dalam rupiah dan
valuta asing, dan DPK UUS dalam rupiah dan
valuta asing menggunakan posisi akhir tanggal
laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya, yaitu:
1. RIM Syariah yang digunakan sebagai dasar
pemenuhan Giro RIM Syariah untuk tanggal 1
sampai dengan tanggal 15 didasarkan pada
data Pembiayaan dan DPK BUS dalam rupiah
dan valuta asing atau DPK UUS dalam rupiah
dan valuta asing pada akhir periode laporan
sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
bulan sebelumnya; dan
2. RIM Syariah yang digunakan sebagai dasar
pemenuhan Giro RIM Syariah untuk tanggal
16 sampai dengan akhir bulan didasarkan
pada data Pembiayaan dan DPK BUS dalam
rupiah dan valuta asing atau DPK UUS dalam
rupiah dan valuta asing pada akhir periode
laporan sejak tanggal 24 sampai dengan akhir
bulan sebelumnya.
- 9 -
Pembiayaan untuk perhitungan RIM Syariah
merupakan Pembiayaan dalam rupiah dan valuta
asing;
b. laporan surat berharga syariah untuk data:
1. surat berharga syariah korporasi yang dimiliki
BUS dan UUS menggunakan posisi 2 (dua)
periode laporan sebelumnya; dan
2. surat berharga syariah yang diterbitkan BUS
dan UUS menggunakan posisi 2 (dua) periode
laporan sebelumnya.
Yang dimaksud dengan “laporan surat berharga
syariah” adalah laporan surat berharga BUS dan
UUS yang disampaikan kepada Bank Indonesia
secara berkala sesuai dengan Peraturan Bank
Indonesia ini atau ditetapkan lain oleh Bank
Indonesia;
c. LSMK BUS UUS untuk data pembiayaan yang
diterima dan data Pembiayaan yang digunakan
dalam perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah
menggunakan posisi 2 (dua) periode laporan
sebelumnya; dan
d. laporan pembiayaan yang diterima dari kantor
pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama
yang melakukan kegiatan operasional di luar
negeri untuk data pembiayaan yang diterima bagi
UUS dari kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri menggunakan posisi
2 (dua) periode laporan sebelumnya.
Yang dimaksud dengan “laporan pembiayaan yang
diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang
bank yang sama yang melakukan kegiatan
operasional di luar negeri” adalah laporan yang
disampaikan oleh UUS dari kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri secara
berkala sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia
ini atau ditetapkan lain oleh Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “UUS dari kantor cabang
- 10 -
dari bank yang berkedudukan di luar negeri”
adalah unit kerja syariah di kantor cabang dari
suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk
dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau
unit syariah.
Ayat (4a)
Cukup jelas.
Ayat (5)
KPMM triwulanan menggunakan posisi akhir bulan
Maret, Juni, September, dan Desember dengan rincian
sebagai berikut:
a. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan
untuk pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah
bulan Juni, Juli, dan Agustus pada tahun yang
sama;
b. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan
untuk pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah
bulan September, Oktober, dan November pada
tahun yang sama;
c. KPMM pada posisi akhir bulan September
digunakan untuk pemenuhan Giro RIM atau Giro
RIM Syariah bulan Desember pada tahun yang
sama serta Januari dan Februari pada tahun
berikutnya; dan
d. KPMM pada posisi akhir bulan Desember
digunakan untuk pemenuhan Giro RIM atau Giro
RIM Syariah bulan Maret, April, dan Mei pada
tahun berikutnya.
KPMM bagi UUS akan menggunakan KPMM BUK yang
menjadi induk UUS.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
- 11 -
Angka 7
Pasal 15A
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Koreksi laporan dapat dilakukan atas inisiatif Bank
atau permintaan dari Bank Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 17A
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 20
Ayat (1)
Bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah DPK BUK dalam
rupiah termasuk DPK UUS dalam rupiah.
- 12 -
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Surat berharga yang dapat digunakan dalam
operasi moneter antara lain SBI, SDBI, SukBI,
dan/atau SBN.
SBN terdiri atas SUN dan SBSN.
Angka 2
Surat berharga yang dapat digunakan dalam
operasi moneter syariah antara lain SBIS,
SukBI, dan/atau SBSN.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Kewajiban pemenuhan PLM didasarkan pada DPK
BUK dalam rupiah dengan periode laporan sebagai
berikut:
a. PLM untuk periode laporan sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan
sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
menggunakan rata-rata harian jumlah DPK
BUK dalam rupiah selama periode laporan
sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan
periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 bulan sebelumnya; dan
b. PLM untuk periode laporan sejak tanggal 16
sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan
sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir
bulan menggunakan rata-rata harian jumlah
DPK BUK dalam rupiah selama periode
laporan sejak tanggal 16 sampai dengan
tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal
24 sampai dengan tanggal akhir bulan
sebelumnya.
- 13 -
Huruf b
Kewajiban pemenuhan PLM Syariah didasarkan
pada DPK BUS dalam rupiah dengan periode
laporan sebagai berikut:
a. PLM Syariah untuk periode laporan sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal
15 menggunakan rata-rata harian jumlah DPK
BUS dalam rupiah selama periode laporan
sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan
periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 bulan sebelumnya; dan
b. PLM Syariah untuk periode laporan sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan
periode laporan sejak tanggal 24 sampai
dengan tanggal akhir bulan menggunakan
rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam
rupiah selama periode laporan sejak tanggal
16 sampai dengan tanggal 23 dan periode
laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
tanggal akhir bulan sebelumnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah surat
berharga yang digunakan dalam transaksi repo
termasuk surat berharga yang digunakan dalam
- 14 -
transaksi repo oleh UUS dalam operasi pasar
terbuka syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah
tanggal pelaksanaan operasional BUK atau BUS
hasil penggabungan atau peleburan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah
tanggal pelaksanaan operasional BUS hasil
pemisahan UUS dari BUK.
- 15 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Data IndONIA yaitu data IndONIA yang
dipublikasikan pada situs web Bank Indonesia.
Huruf b
Data IndONIA yaitu data IndONIA yang
dipublikasikan pada situs web Bank Indonesia.
Huruf c
Data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA diperoleh dari
LHBU.
Huruf d
Data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA diperoleh dari
LHBU.
Huruf e
Data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA diperoleh dari
LHBU.
Huruf f
Data tingkat imbalan deposito investasi
mudarabah berjangka waktu 1 (satu) bulan
sebelum didistribusikan yang digunakan yaitu
- 16 -
rata-rata tingkat imbalan deposito mudarabah
berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum
didistribusikan yang tercatat pada LHBU.
Angka 16
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 31
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 36A
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6422
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 21/12/PBI/2019 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/4/PBI/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 25 November 2019 </set_date>
<effective_date> 26 November 2019 </effective_date>
<issued_date> 26 November 2019 </issued_date>
<changed_reg> '20/4/PBI/2018' </changed_reg>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '21/UU/2011', '23/UU/1999', '6/UU/2009', '20/4/PBI/2018' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 15 Pasal 29', 'Pasal I Angka 16 Pasal 30' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 9/ 9 /PBI/2007
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN
KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN
KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan kegiatan usahanya, bank harus
mengelola risiko kredit dari pembiayaan (credit risk) dengan
menjaga kualitas aktiva dan membentuk penyisihan
penghapusan aktiva yang memadai;
b. bahwa dengan terjaganya kualitas aktiva dapat lebih
meningkatkan peranan perbankan syariah dalam pelaksanaan
fungsi intermediasi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, diperlukan perubahan terhadap
Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva
Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang …
- 2 -
2. Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 78,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4647).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA
BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN
USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006
tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4647) diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut :
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang
bank asing yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
2. Unit Usaha Syariah, yang untuk selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja
di kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor
induk dari kantor cabang syariah dan/atau unit syariah.
3. Aktiva Produktif adalah penanaman dana Bank baik dalam rupiah maupun
valuta asing untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk pembiayaan,
surat berharga syariah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal
sementara, komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening administratif,
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia serta bentuk penyediaan dana lainnya
yang dapat dipersamakan dengan itu.
4. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan/piutang yang dapat
dipersamakan dengan itu berupa :
a. transaksi investasi dalam akad Mudharabah dan/atau Musyarakah;
b. transaksi sewa dalam akad Ijarah atau sewa dengan opsi perpindahan
hak milik dalam akad Ijarah Muntahiyah bit Tamlik;
c. transaksi jual beli dalam akad Murabahah, Salam, dan Istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam akad Qardh; dan
e. transaksi multijasa dengan menggunakan akad Ijarah atau Kafalah
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan nasabah
pembiayaan yang mewajibkan nasabah pembiayaan untuk melunasi
hutang/kewajibannya dan/atau menyelesaikan investasi mudharabah
dan/atau…
- 4 -
dan/atau musyarakah dan hasil pengelolaannya sesuai dengan akad.
5. Mudharabah adalah penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal)
kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha
tertentu, dengan menggunakan metode bagi untung (profit sharing) atau
metode bagi pendapatan (net revenue sharing) antara kedua belah pihak
berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
6. Musyarakah adalah penanaman dana dari para pemilik dana/modal untuk
mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan
pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/modal
berdasarkan bagian dana/modal masing-masing.
7. Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah
dengan margin keuntungan yang disepakati.
8. Salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat
tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.
9.
Istishna’ adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan
barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan
pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
10. Ijarah adalah sewa menyewa atas suatu barang dan/atau jasa antara pemilik
obyek sewa termasuk kepemilikan hak pakai atas obyek sewa dengan
penyewa untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang disewakan.
11. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik adalah sewa menyewa antara pemilik obyek
sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang
disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik obyek sewa baik dengan
jual beli atau pemberian (hibah) pada saat tertentu sesuai akad sewa.
12. Qardh adalah pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban
pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau
cicilan dalam jangka waktu tertentu.
13. Surat …
- 5 -
13. Surat Berharga Syariah adalah surat bukti berinvestasi berdasarkan prinsip
syariah yang lazim diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal
antara lain obligasi syariah, sertifikat reksadana syariah dan surat berharga
lainnya berdasarkan prinsip syariah.
14. Penempatan adalah penanaman dana Bank pada Bank lainnya dan/atau
Bank Perkreditan Rakyat Syariah antara lain dalam bentuk giro dan/atau
tabungan Mudharabah dan/atau Wadiah, deposito berjangka dan/atau
tabungan Mudharabah, Pembiayaan yang diberikan, dan/atau bentuk-
bentuk penempatan lainnya berdasarkan prinsip syariah.
15. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada
perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah atau jenis transaksi
tertentu berdasarkan prinsip syariah yang berakibat Bank memiliki atau
akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan
syariah.
16. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal Bank dalam
perusahaan nasabah untuk mengatasi kegagalan pembiayaan dan/atau
piutang (debt to equity swap) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku, atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank
memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan nasabah.
17. Transaksi Rekening Administratif adalah komitmen dan kontinjensi (off
balance sheet) berdasarkan prinsip syariah yang terdiri atas bank garansi,
akseptasi/endosemen, Irrevocable Letter of Credit (L/C) yang masih
berjalan, akseptasi wesel impor atas dasar L/C berjangka, standby L/C dan
garansi lain berdasarkan prinsip syariah.
18. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) adalah sertifikat yang diterbitkan
oleh Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan
akad Wadiah.
19. Wadiah adalah penitipan dana atau barang dari pemilik dana atau barang
pada penyimpan dana atau barang dengan kewajiban pihak yang menerima
titipan …
- 6 -
titipan untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-waktu.
20. Perusahaan Yang Bergerak di Bidang Keuangan Syariah adalah Bank, Bank
Perkreditan Rakyat Syariah, dan perusahaan di bidang keuangan lain
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam perundang-undangan
yang berlaku antara lain perusahaan sewa guna usaha, modal ventura,
perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan
penyimpanan.
21. Proyeksi Pendapatan adalah perkiraan pendapatan yang akan diterima Bank
dari nasabah atas Pembiayaan Mudharabah dan/atau Musyarakah dengan
jumlah dan tanggal jatuh tempo yang disepakati antara Bank dan nasabah.
22. Realisasi Pendapatan adalah pendapatan yang diterima Bank dari nasabah
atas Pembiayaan Mudharabah dan/atau Musyarakah.
23. Aktiva Non Produktif adalah aset Bank selain Aktiva Produktif yang
memiliki potensi kerugian, antara lain dalam bentuk agunan yang diambil
alih, properti terbengkalai, rekening antar kantor dan suspense account,
serta persediaan.
24. Agunan yang Diambil Alih yang untuk selanjutnya disebut AYDA adalah
aktiva yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun di luar
pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan
atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan
dalam hal nasabah tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank.
25. Rekening Antar Kantor adalah akun tagihan yang timbul dari transaksi antar
kantor yang belum diselesaikan dalam jangka waktu tertentu.
26. Suspense Account adalah akun yang digunakan untuk menampung transaksi
yang tidak teridentifikasi atau tidak didukung dengan dokumentasi
pencatatan yang memadai sehingga tidak dapat direklasifikasi dalam akun
yang seharusnya.
27. Persediaan adalah akun sementara untuk menampung aktiva non kas
sebelum diserahkan kepada nasabah pembiayaan dalam transaksi
berdasarkan ….
- 7 -
berdasarkan akad Murabahah, Salam dan Istishna.
28. Penyisihan Penghapusan Aktiva yang selanjutnya disebut PPA adalah
cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu berdasarkan
kualitas aktiva.
29. Penilai Independen adalah perusahaan penilai yang:
a. Tidak ada keterkaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan dan
keuangan baik dengan Bank maupun nasabah yang menerima fasilitas;
b. Melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan
ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang;
c. Menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian
yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang;
d. Memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi
sebagai perusahaan penilai; serta
e. Tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang
berwenang.
30. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank
dalam kegiatan penyediaan dana terhadap nasabah yang mengalami
kesulitan untuk memenuhi kewajibannya dengan mengikuti ketentuan Bank
Indonesia dan sesuai dengan prinsip syariah
2. Ketentuan Pasal 16 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (2)
sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Kualitas Surat Berharga Pasar Uang Syariah ditetapkan Lancar apabila
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Terdapat informasi tentang surat berharga tersebut secara
transparan;
b. Telah ….
- 8 -
b. Telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai
perjanjian; dan
c. Belum jatuh tempo.
(2) Kualitas Surat Berharga Pasar Uang Syariah ditetapkan Macet apabila
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Kualitas Surat Berharga Syariah, selain Surat Berharga Pasar Uang
Syariah, yang memiliki peringkat ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1) Memiliki peringkat investasi (investment grade) atau lebih
tinggi yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat (rating
agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan diterbitkan
dalam waktu satu tahun terakhir;
2) Telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang tepat,
sesuai perjanjian; dan
3) Belum jatuh tempo;
b. Kurang Lancar, apabila:
1) Memiliki peringkat investasi (investment grade) atau lebih
tinggi yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat (rating
agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan diterbitkan dalam
waktu satu tahun terakhir;
2) Terdapat penundaan pembayaran bagi hasil/marjin/fee berkala
atau kewajiban lain sejenis; dan
3) Belum jatuh tempo;
atau
1) Memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat di bawah
peringkat investasi (investment grade) yang diterbitkan oleh
lembaga pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank
Indonesia dan diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir;
2) Tidak …
- 9 -
2) Tidak terdapat penundaan pembayaran bagi hasil/marjin/fee
berkala atau kewajiban lain sejenis; dan
3) Belum jatuh tempo;
c. Macet, apabila tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b.
(4) Kualitas Surat Berharga Syariah, di luar Surat Berharga Pasar Uang
Syariah, yang tidak memiliki peringkat ditetapkan sebagai berikut:
a. Mengikuti kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24, apabila diterbitkan oleh Bank; atau
b. Mengikuti kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9, apabila diterbitkan oleh nasabah.
3. Ketentuan Pasal 23 dihapus.
4. Ketentuan Pasal 24 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat baru yakni ayat (2)
sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Kualitas Penempatan ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila :
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling
kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
2) memenuhi persyaratan:
i. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk akad
Qardh, atau
ii. dapat ditarik setiap saat untuk giro dan tabungan berdasarkan
akad Wadiah, atau
iii. tidak terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi
dan/atau bagi hasil untuk tabungan atau deposito berdasarkan
akad Mudharabah, atau
iv. tidak…
- 10 -
iv. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi
dan/atau rasio Realisasi Pendapatan terhadap Proyeksi
Pendapatan sama atau lebih besar dari 80% (delapan puluh
perseratus) untuk Pembiayaan berdasarkan akad Mudharabah
dan Musyarakah, atau
v. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin
untuk Pembiayaan berdasarkan akad Murabahah.
b. Kurang Lancar, apabila:
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling
kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
2) memenuhi persyaratan:
i. terdapat tunggakan pembayaran pokok sampai dengan 5
(lima) hari kerja untuk akad Qardh, atau
ii.
tidak dapat ditarik sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk
giro dan tabungan berdasarkan akad Wadiah, atau
iii. terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau
bagi hasil sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk tabungan
atau deposito yang berprinsip Mudharabah, atau
iv. terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi sampai
dengan 5 (lima) hari kerja dan/atau rasio Realisasi
Pendapatan terhadap Proyeksi Pendapatan lebih besar dari
30% (tiga puluh perseratus) sampai dengan 80% (delapan
puluh perseratus), atau rasio Realisasi Pendapatan terhadap
Proyeksi Pendapatan sama atau lebih kecil dari 30% (tiga
puluh perseratus) sampai dengan 3 (tiga) periode
pembayaran, untuk Pembiayaan berdasarkan akad
Mudharabah dan Musyarakah, atau
v. terdapat …
- 11 -
v. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin
sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk Pembiayaan
berdasarkan akad Murabahah.
c. Macet, apabila:
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM kurang
dari ketentuan yang berlaku;
2) bank yang menerima Penempatan telah ditetapkan dan
diumumkan sebagai bank dengan status dalam pengawasan
khusus (special surveillance) atau bank telah dikenakan sanksi
pembekuan seluruh kegiatan usaha;
3) bank yang menerima Penempatan ditetapkan sebagai bank dalam
likuidasi; dan/atau
4) memenuhi persyaratan:
i.
ii.
terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk akad Qardh
lebih dari 5 (lima) hari kerja, atau
tidak dapat ditarik saat jangka waktu lebih dari 5 (lima) hari
kerja untuk giro dan tabungan berdasarkan akad Wadiah ,
atau
iii. terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau
bagi hasil lebih dari 5 (lima) hari kerja untuk tabungan atau
deposito berdasarkan akad Mudharabah, atau
iv. terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi lebih dari 5
(lima) hari kerja dan/atau rasio Realisasi Pendapatan
terhadap Proyeksi Pendapatan sama atau lebih kecil dari
30% (tiga puluh perseratus) lebih dari 3 (tiga) periode
pembayaran untuk Pembiayaan berdasarkan akad
Mudharabah dan Musyarakah, atau
v. terdapat …
- 12 -
v. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin
lebih dari 5 (lima) hari kerja untuk Pembiayaan berdasarkan
akad Murabahah.
(2) Kualitas Penempatan berupa Pembiayaan kepada Bank Perkreditan
Rakyat Syariah (BPRS) dalam rangka Linkage Program dengan pola
executing ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1) BPRS yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling
kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
2) memenuhi persyaratan:
i.
tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk akad
Qardh, atau
ii. dapat ditarik setiap saat untuk tabungan berdasarkan akad
Wadiah, atau
iii. tidak terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi
dan/atau bagi hasil untuk
berdasarkan akad Mudharabah, atau
iv. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi
dan/atau rasio Realisasi Pendapatan terhadap Proyeksi
Pendapatan sama atau lebih besar dari 80% (delapan puluh
perseratus) untuk Pembiayaan berdasarkan akad
Mudharabah dan Musyarakah, atau
v. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau
marjin untuk Pembiayaan berdasarkan akad Murabahah.
b. Kurang Lancar, apabila:
1) BPRS yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling
kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
tabungan atau deposito
2) memenuhi…
- 13 -
2) memenuhi persyaratan:
i.
ii.
terdapat tunggakan pembayaran pokok sampai dengan 30
(tiga puluh) hari untuk akad Qardh, atau
tidak dapat ditarik sampai dengan 30 (tiga puluh) hari
untuk tabungan berdasarkan akad Wadiah, atau
iii. terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau
bagi hasil sampai dengan 30 (tiga puluh) hari untuk
tabungan atau deposito berdasarkan akad Mudharabah, atau
iv. terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi sampai
dengan 30 (tiga puluh) hari dan/atau rasio Realisasi
Pendapatan terhadap Proyeksi Pendapatan lebih besar dari
30% (tiga puluh perseratus) sampai dengan 80% (delapan
puluh perseratus), atau rasio Realisasi Pendapatan terhadap
Proyeksi Pendapatan sama atau lebih kecil dari 30% (tiga
puluh perseratus) sampai dengan 3 (tiga) periode
pembayaran, untuk Pembiayaan berdasarkan akad
Mudharabah dan Musyarakah, atau
v. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin
sampai dengan 30 (tiga puluh) hari untuk Pembiayaan
berdasarkan akad Murabahah.
c. Macet, apabila:
1) BPRS yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM
kurang dari ketentuan yang berlaku;
2) BPRS yang menerima Penempatan telah ditetapkan dan
diumumkan sebagai BPRS dengan status dalam pengawasan
khusus (special surveillance) atau BPRS telah dikenakan sanksi
pembekuan seluruh kegiatan usaha;
3) BPRS yang menerima Penempatan ditetapkan sebagai BPRS
dalam likuidasi; dan/atau
4) memenuhi …
- 14 -
4) memenuhi persyaratan:
i.
ii.
terdapat tunggakan pembayaran pokok lebih dari 30 (tiga
puluh) hari untuk akad Qardh, atau
tidak dapat ditarik lebih dari 30 (tiga puluh) hari untuk
tabungan berdasarkan akad Wadiah, atau
iii. terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau
bagi hasil lebih dari 30 (tiga puluh) hari untuk tabungan
atau deposito berdasarkan akad Mudharabah, atau
iv. terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi lebih dari
30 (tiga puluh) hari dan/atau rasio Realisasi Pendapatan
terhadap Proyeksi Pendapatan sama atau lebih kecil dari
30% (tiga puluh perseratus) lebih dari 3 (tiga) periode
pembayaran untuk Pembiayaan berdasarkan akad
Mudharabah dan Musyarakah, atau
v. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin
lebih dari 30 (tiga puluh) hari untuk Pembiayaan yang
berprinsip Murabahah.
5. Diantara Pasal 24 dan 25, disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 24A sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24A
Kualitas tagihan akseptasi ditetapkan sebagai berikut:
a. mengikuti kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah bank lain; atau
b. mengikuti kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah nasabah.
6. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25 …
- 15 -
Pasal 25
Kualitas Transaksi Rekening Administratif ditetapkan sebagai berikut :
a.
mengikuti kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
apabila pihak lawan transaksi (counterparty) dari Transaksi Rekening
Administratif tersebut adalah bank lain yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah; atau
b.
mengikuti kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
apabila pihak lawan transaksi (counterparty) dari Transaksi Rekening
Administratif tersebut adalah nasabah.
7. Diantara Pasal 25 dan Pasal 26 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 25A,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25A
(1) Penetapan kualitas Transaksi Rekening Administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 tidak berlaku untuk kewajiban komitmen dan
kontinjensi yang:
a. dapat dibatalkan sewaktu-waktu tanpa syarat (unconditionally
cancelled at any time) oleh Bank; atau
b. dibatalkan secara otomatis oleh Bank apabila kondisi nasabah
menurun menjadi Kurang Lancar, Diragukan atau Macet.
(2) Bank yang memiliki kewajiban komitmen dan kontinjensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan klausula sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b kedalam perjanjian antara
Bank dengan nasabah.
8. Ketentuan Pasal 26 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (2)
sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26 …
- 16 -
Pasal 26
(1) Penilaian atas kualitas Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya
didasarkan pada kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf c diberlakukan hanya untuk:
a. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang berjumlah sampai
dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk 1 (satu)
nasabah individual atau nasabah grup;
b. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh Bank
kepada nasabah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan jumlah:
1) di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah), bagi Bank yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
i. memiliki predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian
risiko (risk control system) untuk risiko kredit dari
pembiayaan (credit risk) “sangat memadai” (strong);
ii. memiliki Tingkat Kesehatan Cukup Sehat atau paling kurang
peringkat komposit 3; dan
iii. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku;
2) di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah), bagi Bank yang
memenuhi kriteria sebagai berikut :
i. memiliki predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian
risiko (risk control system) untuk risiko kredit dari
pembiayaan (credit risk) “dapat diandalkan” (acceptable);
ii. memiliki Tingkat Kesehatan Cukup Sehat atau paling kurang
peringkat komposit 3; dan
iii. memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan
yang berlaku.
2) Bagi …
- 17 -
(2) Bagi Unit Usaha Syariah (UUS), predikat penilaian kecukupan sistem
pengendalian risiko untuk risiko kredit dari pembiayaan (credit risk)
mengacu kepada hasil penilaian UUS, sedangkan untuk penilaian rasio
KPMM dan penilaian Tingkat Kesehatan mengacu kepada hasil
penilaian bank induknya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2)
tidak diberlakukan untuk Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya
yang diberikan kepada 1 (satu) nasabah Usaha Kecil dan Menengah
(UKM) dengan jumlah lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) yang merupakan:
a. Pembiayaan yang direstrukturisasi; dan/atau
b. Penyediaan dana kepada 50 (lima puluh) nasabah terbesar Bank.
(4) Penetapan kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a tetap dilakukan berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 46A dan Pasal 47.
9. Diantara Pasal 26 dan Pasal 27, disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 26A,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26A
(1) Predikat penilaian atas kecukupan sistem pengendalian risiko untuk
risiko kredit dari pembiayaan(credit risk), rasio KPMM dan penilaian
Tingkat Kesehatan, yang digunakan dalam penilaian kualitas
Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1) huruf b dan ayat (2) didasarkan pada penilaian Bank
Indonesia.
(2) Penggunaan predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko
untuk risiko kredit dari pembiayaan (credit risk), rasio KPMM, dan
penilaian Tingkat Kesehatan dalam penilaian kualitas Pembiayaan dan
penyediaan…
- 18 -
penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat 1
huruf b dan ayat (2) dilakukan sebagai berikut:
a. penilaian kualitas Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya untuk
bulan Januari sampai dengan Juni menggunakan selambat-
lambatnya posisi bulan September; dan
b. penilaian kualitas Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya untuk
bulan Juli sampai dengan Desember menggunakan selambat-
lambatnya posisi bulan Maret.
10. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Bagian Ketujuh
Pembiayaan dan Penyediaan Dana Lain di Daerah Tertentu
Pasal 27
Pembiayaan dan penyediaan dana lain kepada nasabah dengan lokasi
kegiatan usaha berada di daerah tertentu dengan jumlah sampai dengan
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) hanya didasarkan atas faktor
penilaian kemampuan membayar.
11. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
(1) Bank wajib melakukan penilaian kembali terhadap AYDA atas dasar
net realizable value :
a. pada saat pengambilalihan agunan; dan
b. pada masa-masa berikutnya setelah dilakukan pengambilalihan
agunan.
(2) Penetapan …
- 19 -
(2) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilakukan oleh Penilai Independen, untuk AYDA dengan nilai
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau lebih.
12. Ketentuan Pasal 39 ayat (1) diubah sehingga Pasal 39 berbunyi sebagai
berikut :
Bagian Kedua
Tatacara Pembentukan
Pasal 39
(1) Pembentukan cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 ayat (2) huruf a, berlaku sebagai berikut :
a. ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 1 % (satu perseratus) dari
seluruh Aktiva Produktif yang digolongkan Lancar;
b. pembentukan cadangan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dikecualikan untuk aktiva produktif dalam bentuk Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia, surat berharga yang diterbitkan pemerintah
berdasarkan prinsip syariah, serta bagian aktiva produktif yang
dijamin dengan jaminan pemerintah dan agunan tunai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 huruf a.
(2) Cadangan khusus Penyisihan Penghapusan Aktiva ditetapkan sekurang-
kurangnya sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari Aktiva dengan kualitas yang digolongkan
Dalam Perhatian Khusus setelah dikurangi nilai agunan; dan
b. 15% (lima belas perseratus) dari Aktiva dengan kualitas yang
digolongkan Kurang Lancar setelah dikurangi nilai agunan; dan
c. 50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva dengan kualitas yang
digolongkan Diragukan setelah dikurangi nilai agunan; dan
d. 100% (seratus perseratus) dari Aktiva dengan kualitas yang
digolongkan…
- 20 -
digolongkan Macet setelah dikurangi nilai agunan.
(3) Kewajiban untuk membentuk PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) tidak berlaku bagi Aktiva Produktif untuk transaksi sewa
berupa akad Ijarah atau transaksi sewa dengan perpindahan hak milik
berupa akad Ijarah Muntahiyah bit Tamlik.
(4) Bank wajib membentuk penyusutan/amortisasi untuk transaksi sewa,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Ijarah disusutkan/diamortisasi sesuai dengan kebijakan penyusutan
Bank bagi aktiva yang sejenis;
b. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik disusutkan sesuai dengan masa sewa.
(5) Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan
PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan untuk
Aktiva Produktif.
13. Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Bagian Ketiga
Penilaian Agunan
Pasal 41
Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan
PPA terdiri dari:
a. Agunan tunai berupa Giro, tabungan, deposito, setoran jaminan
dan/atau emas yang diblokir dan disertai dengan surat kuasa pencairan;
b. Jaminan Pemerintah Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
c.
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan/atau surat berharga dan/atau
tagihan yang diterbitkan pemerintah;
d. Surat Berharga Syariah yang memiliki peringkat investasi (investment
grade) dan aktif diperdagangkan di bursa;
e. Tanah…
- 21 -
e. Tanah, gedung, rumah tinggal, pesawat udara dan kapal laut dengan
ukuran di atas 20 (dua puluh ) meter kubik;
f.
Kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia;
g. Mesin yang dianggap sebagai satu kesatuan dengan tanah dan diikat
dengan hak tanggungan;
h. Resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas resi gudang.
14. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42
Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada
pembentukan PPA sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 dan Pasal 41
ditetapkan:
a. paling tinggi sebesar 100% (seratus perseratus) untuk agunan tunai
berupa giro, tabungan, deposito, setoran jaminan dan/atau emas yang
diblokir disertai dengan surat kuasa pencairan;
b. sebesar 100% (seratus perseratus) untuk jaminan Pemerintah Indonesia
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. paling tinggi sebesar 100% (seratus perseratus) untuk agunan berupa
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan surat berharga yang diterbitkan
pemerintah ;
d. paling tinggi sebesar 50% (lima puluh perseratus) untuk agunan berupa
Surat Berharga Syariah yang aktif diperdagangkan di bursa atau memiliki
peringkat investasi dan/atau resi gudang;
e. paling tinggi sebesar:
1) 70% (tujuh puluh perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang
dilakukan sebelum melampaui 12 (dua belas) bulan;
2) 50%…
- 22 -
2) 50% (lima puluh perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang
dilakukan setelah 12 (dua belas) bulan tetapi belum melampaui 18
(delapan belas) bulan;
3) 30% (tiga puluh perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang
dilakukan setelah melampaui 18 (delapan belas) bulan tetapi belum
melampaui 30 (tiga puluh) bulan;
4) 0% (nol perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang dilakukan
setelah melampaui 30 (tiga puluh) bulan.
untuk agunan berupa tanah, gedung, rumah tinggal, pesawat udara, kapal
laut, kendaraan bermotor, persediaan, mesin yang dianggap sebagai satu
kesatuan dengan tanah dan diikat dengan hak tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 huruf g, dan resi gudang sebagaimana
dimaksud dalam pasal 41 huruf h.
15. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43
Penilaian terhadap agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 wajib
dilakukan :
a. dengan menggunakan nilai pasar yang tercatat dipasar modal pada akhir
bulan untuk Surat Berharga Syariah yang aktif diperdagangkan di bursa;
b. berdasarkan nilai wajar untuk tanah dan rumah tinggal ;
c. berdasarkan nilai wajar untuk gedung, pesawat udara, kapal laut,
kendaraan, persediaan dan mesin yang dianggap sebagai satu kesatuan
dengan tanah dan diikat dengan hak tanggungan;
d. berdasarkan nilai yang ditentukan oleh pihak atau lembaga yang
berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk resi
gudang.
16. Ketentuan …
- 23 -
16. Ketentuan Pasal 46 diubah dengan ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (6)
sehingga Pasal 46 berbunyi sebagai berikut:
BAB VI
RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN
Pasal 46
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
Restrukturisasi Pembiayaan, sebagai berikut:
a. Kebijakan restrukturisasi wajib disetujui oleh Komisaris;
b. Prosedur pelaksanaan restrukturisasi wajib disetujui paling kurang
oleh Direksi;
c. Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap
pelaksanaan kebijakan restrukturisasi;
d. Kebijakan dan prosedur pelaksanaan restrukturisasi merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko
Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku.
(2) Bank hanya dapat melakukan Restrukturisasi Pembiayaan terhadap
nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Nasabah telah atau diperkirakan mengalami penurunan atau
kesulitan kemampuan dalam pembayaran dan/atau pemenuhan
kewajibannya; dan
b. Nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi
kewajiban setelah restrukturisasi.
(3) Upaya dan mekanisme restrukturisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), wajib dilakukan dengan mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia
dan sesuai prinsip syariah.
(4) Penggolongan kualitas atas Pembiayaan yang direstrukturisasi adalah
sebagai berikut:
a. Paling …
- 24 -
a. Paling tinggi Kurang Lancar untuk Pembiayaan yang sebelum
direstrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet;
b. Kualitas tidak berubah untuk Pembiayaan yang sebelum
direstrukturisasi tergolong Lancar, Dalam Perhatian Khusus atau
Kurang Lancar.
(5) Kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat:
a. Menjadi Lancar, apabila tidak terjadi tunggakan angsuran pokok
dan/atau bagi hasil/marjin/fee atau kewajiban lain yang sejenis
selama 3 (tiga) kali periode pembayaran berturut-turut dan/atau
secepat-cepatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan; atau
b. Kembali sesuai dengan kualitas sebelum dilakukan Restrukturisasi
Pembiayaan atau kualitas sebenarnya apabila lebih buruk sesuai
dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atau jika
debitur tidak memenuhi kriteria dan/atau syarat-syarat dalam
perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan dan/atau pelaksanaan
Restrukturisasi Pembiayaan tidak didukung dengan analisis dan
dokumentasi yang memadai.
(6) Penetapan kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi sampai dengan
jumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) didasarkan atas
kemampuan membayar.
17. Diantara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan satu pasal yakni Pasal 46A,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 46A
(1) Penilaian kualitas Pembiayaan yang telah direstrukturisasi, wajib
dilakukan kembali sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam…
- 25 -
dalam Pasal 9 paling lambat 1 (satu) tahun sejak penetapan kualitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (4).
(2) Penilaian kualitas Pembiayaan yang tidak memenuhi kriteria dan/atau
syarat-syarat dalam perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5) huruf b wajib dilakukan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
18. Ketentuan Pasal 50 ayat (1) diubah sehingga Pasal 50 berbunyi sebagai
berikut:
BAB VIII
SANKSI
Pasal 50
(1) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 4,Pasal
5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), Pasal 12 ayat (5), Pasal 13 ayat (2)
dan ayat (3), Pasal 14, Pasal 17, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22,
Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36,
Pasal 38, Pasal 39, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 ayat (1) dan ayat (4),
Pasal 45 ayat (3), Pasal 46 ayat (1) sampai dengan ayat (3), Pasal 46A,
Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 55 dapat dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau
c. penggantian pengurus.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 17 wajib membentuk PPA
sebesar 100% (seratus perseratus) terhadap Aktiva dimaksud.
Pasal II …
- 26 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 18 Juni 2007
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 77
DPbS
PENJELASAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 9/9/PBI/2007
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN
KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN
KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
UMUM
Dalam rangka memelihara kesinambungan usahanya, bank harus
mengelola risiko kredit dari pembiayaannya (credit risk) pada tingkat yang
memadai sehingga dapat meminimalisasi potensi kerugian dari pembiayaan.
Pengelolaan risiko dari pembiayaan tersebut dilakukan antara lain dengan selalu
menjaga kualitas dari pembiayaan berupa terjaganya kualitas aktiva dan
pembentukan penyisihan penghapusan aktiva yang memadai.
Dengan pengelolaan risiko secara baik yang tercermin dengan terjaganya
kualitas aktiva dan tersedianya penyisihan penghapusan secara memadai, bank
diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam melaksanakan fungsi
intermediasi perbankan.
PASAL DEMI PASAL
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Pasal 16
Ayat (1)
Termasuk dalam kelompok Surat Berharga Pasar Uang Syariah
antara lain adalah Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank
(SIMA) …
- 2 -
(SIMA) dan Obligasi Syariah.
Huruf a
Yang dimaksud dengan
transparan adalah
tersedianya informasi mengenai surat berharga
dalam sistem informasi yang ada di Bank
Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Surat Berharga Syariah selain Surat Berharga Pasar Uang
Syariah antara lain Obligasi Syariah dan surat berharga
yang dihubungkan dengan aset tertentu berdasarkan prinsip
syariah.
Yang dimaksud dengan peringkat investasi (investment
grade) dan lembaga pemeringkat yaitu peringkat dan
lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia
sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai Lembaga
Pemeringkat dan Peringkat.
Ayat (4)
Surat berharga yang berdasarkan karakteristiknya tidak
memiliki peringkat antara lain adalah medium term note dan
pengambilalihan wesel ekspor.
Angka 3 …
- 3 -
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 24
Rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) sesuai
dengan ketentuan yang berlaku adalah rasio KPMM yang ditetapkan
Bank Indonesia untuk bank di dalam negeri atau otoritas yang
berwenang untuk bank di luar negeri.
Rasio KPMM didasarkan pada laporan keuangan publikasi terakhir
sesuai dengan periode yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang.
Apabila laporan keuangan publikasi terakhir atau data KPMM pada
laporan keuangan publikasi terakhir tidak tersedia, bank dianggap
memiliki KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan Linkage Program adalah kerja sama antara
Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat termasuk didalamnya
Bank dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah, dalam menyalurkan
Pembiayaan kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Linkage Program dengan pola executing adalah pinjaman yang
diberikan dari Bank kepada Bank Perkreditan Rakyat Syariah dalam
rangka pembiayaan untuk diteruspinjamkan kepada nasabah Usaha
Mikro dan Usaha Kecil.
Angka 5
Pasal 24A
Yang dimaksud dengan tagihan akseptasi adalah tagihan yang timbul
sebagai akibat akseptasi yang dilakukan terhadap wesel berjangka.
Angka 6 …
- 4 -
Angka 6
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 25A
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan penyediaan dana lainnya adalah
penerbitan jaminan dan/atau pembukaan letter of credit.
Huruf b
Pengertian Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mengacu
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Definisi Usaha Kecil saat ini antara lain diatur dalam
Undang-Undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil,
yaitu usaha yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
c. milik Warga Negara Indonesia;
d. berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
berafiliasi …
- 5 -
berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung
dengan usaha menengah atau usaha besar;
e. berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang
tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang
berbadan hukum, termasuk koperasi.
Definisi Usaha Menengah saat ini antara lain diatur dalam
Instruksi Presiden Republik Indonesia No.10 tahun 1999
tentang Pemberdayaan Usaha Menengah, yaitu usaha yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih lebih besar dari
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai
dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
milyar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha;
b. milik Warga Negara Indonesia;
c. berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan
atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung
dengan usaha besar;
d. berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang
tidak berbadan hukum, dan/atau badan usaha yang
berbadan hukum.
Angka 1) dan Angka 2)
Huruf i
Kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control
system) mengacu ke ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku mengenai Penerapan Manajemen Risiko bagi
Bank …
- 6 -
Bank Umum yang meliputi:
1. pengawasan aktif Komisaris dan Direksi bank;
2. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan
limit;
3. kecukupan identifikasi, pengukuran, pemantauan,
dan sistem informasi manajemen risiko; dan
4. sistem pengendalian intern yang komprehensif,
Predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian
risiko untuk risiko kredit dari pembiayaan (credit risk)
yang sangat memadai (strong) tercermin dari
diterapkannya seluruh komponen sistem pengendalian
risiko kredit dari pembiayaan (credit risk) tersebut
secara efektif dalam memelihara kondisi internal bank
yang sehat. Apabila terdapat kelemahan dalam
penerapan sistem pengendalian tersebut, maka
kelemahan tersebut tidak bersifat material terhadap
risiko kredit dari pembiayaan (credit risk)
secara
keseluruhan dan dapat segera dilakukan tindakan
perbaikan sehingga tidak menimbulkan pengaruh yang
signifikan terhadap kondisi bank.
Sedangkan untuk risiko kredit dari pembiayaan (credit
risk) yang dapat diandalkan (acceptable) dicerminkan
melalui diterapkannya seluruh komponen sistem
pengendalian risiko kredit dari pembiayaan (credit
risk) secara cukup efektif dalam memelihara kondisi
internal Bank yang sehat. Apabila terdapat kelemahan
dalam penerapan sistem pengendalian tersebut, maka
kelemahan tersebut tidak bersifat material terhadap
risiko kredit dari pembiayaan (credit risk) dan apabila
tidak …
- 7 -
tidak segera dilakukan tindakan korektif dapat
menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap
kondisi Bank.
Huruf ii
Penilaian Tingkat Kesehatan mengacu pada ketentuan
yang berlaku.
Huruf iii
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan 50 (lima puluh) nasabah terbesar
adalah 50 (lima puluh) nasabah Bank secara individual.
Bagi UUS yang dimaksud dengan 50 (lima puluh ) nasabah
terbesar adalah 50 (lima puluh) nasabah secara individual yang
ada di UUS.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 26A
Ayat (1)
Penilaian Tingkat Kesehatan mengacu kepada ketentuan yang
berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 10…
- 8 -
Angka 10
Pasal 27
Pembiayaan dan penyediaan dana lain kepada nasabah dengan lokasi
kegiatan usaha berada di daerah tertentu adalah Pembiayaan dan
penyediaan dana lain dari Bank untuk investasi dan/atau modal kerja
di daerah tertentu yang menurut penilaian Bank Indonesia
memerlukan penanganan khusus untuk mendorong pembangunan
ekonomi di daerah yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku tentang Pembiayaan dan penyediaan dana di
daerah tertentu.
Angka 11
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan net realizable value adalah nilai wajar
AYDA yang diperoleh dari estimasi harga pasar dikurangi
estimasi biaya pelepasan.
Yang dimaksud dengan masa-masa berikutnya setelah dilakukan
pengambilalihan AYDA antara lain pada saat pemeriksaan
keuangan tahunan yang dilakukan oleh Akuntan Publik.
Ayat (2)
AYDA dengan nilai di bawah Rp5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah) dapat menggunakan penilai intern Bank.
Angka 12
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 9 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Penyusutan dan/atau amortisasi untuk Ijarah dan/atau Ijarah
Muntahiyah bit Tamlik dilakukan dengan mengacu kepada
standar akuntansi keuangan yang berlaku untuk bank syariah.
Kebijakan penyusutan yang dipilih harus mencerminkan pola
konsumsi yang diharapkan dari manfaat ekonomi di masa depan
dari objek Ijarah.
Ayat (5)
Cukup jelas
Angka 13
Pasal 41
Huruf a
Yang dimaksud giro, tabungan dan deposito adalah termasuk
giro, tabungan dan deposito di bank umum konvensional.
Huruf b
Yang dimaksud dengan Pemerintah Indonesia adalah
pemerintah pusat.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Peringkat investasi (investment grade) didasarkan pada
peringkat dalam satu tahun terakhir yang diakui oleh Bank
Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai
lembaga pemeringkat dan peringkat. Apabila peringkat yang
diterbitkan …
- 10 -
diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam satu tahun terakhir
tidak tersedia maka surat berharga dianggap tidak memiliki
peringkat.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Pengikatan agunan secara fidusia harus sesuai dengan ketentuan
dan prosedur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku,
termasuk
namun
tidak
terbatas pada
masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi
terhadap agunan dimaksud.
Huruf g
Pengikatan agunan secara hak tanggungan harus sesuai dengan
ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada masalah
pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi terhadap
agunan dimaksud. Pemasangan hak tanggungan atas tanah
beserta mesin yang berada diatasnya harus dicantumkan dengan
jelas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan resi gudang adalah resi gudang
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun
2006 tentang Sistem Resi Gudang dan peraturan perundang-
undangan lainnya. Hak jaminan atas resi gudang adalah hak
jaminan yang dibebankan pada resi gudang untuk pelunasan
utang, yang memberikan kedudukan untuk diutamakan bagi
penerima hak jaminan terhadap kreditor yang lain.
Angka 14…
- 11 -
Angka 14
Pasal 42
Huruf a
Untuk agunan berupa giro, tabungan dan deposito yang berada
di bank umum konvensional yang dapat diperhitungkan sebagai
pengurang agunan hanya pokok simpanan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan Penilaian adalah pernyataan tertulis dari
Penilai Independen atau penilai intern Bank mengenai taksiran
dan pendapat atas nilai ekonomis dari agunan berupa aktiva
tetap berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta objektif dan
relevan menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku
umum yang ditetapkan oleh asosiasi dan instansi yang
berwenang.
Angka 15
Pasal 43
Yang dimaksud dengan nilai wajar adalah mengacu kepada standar
akuntansi keuangan yang berlaku.
Angka 16…
- 12 -
Angka 16
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud kebijakan dan prosedur tertulis antara lain
pejabat dan satuan kerja yang berwenang terhadap proses
restrukturisasi, dan proses analisis penyediaan dana yang akan
direstrukturisasi serta laporan restrukturisasi secara berkala.
Ayat (2)
Dalam hal Bank memperkirakan kondisi usaha nasabah
mengalami penurunan atau kesulitan kemampuan dalam
pembayaran atau pemenuhan kewajibannya, harus didukung
oleh analisa dan bukti-bukti yang memadai serta
terdokumentasi dengan baik.
Ayat (3)
Yang dimaksud sesuai dengan prinsip syariah antara lain
mengacu kepada fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah
Nasional.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan/atau
bagi hasil/marjin/fee kurang dari 1 (satu) bulan,
peningkatan kualitas menjadi Lancar dapat dilakukan
secepat-cepatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak
dilakukan restrukturisasi.
Huruf b…
- 13 -
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (6)
Pembiayaan yang direstrukturisasi mencakup Pembiayaan
kepada Usaha Kecil dan Menengah maupun Non Usaha Kecil
dan Menengah.
Angka 17
Pasal 46A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4733
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 9/9/PBI/2007 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 18 Juni 2007 </set_date>
<effective_date> 18 Juni 2007 </effective_date>
<changed_reg> '8/21/PBI/2006' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '8/21/PBI/2006', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 18 BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
Nomor: 7/3/PBI/2005
TENTANG
BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa konsentrasi penyediaan dana bank kepada
peminjam atau suatu kelompok peminjam merupakan
salah satu penyebab kegagalan usaha bank;
b. bahwa dalam rangka menghindari kegagalan usaha bank
sebagai akibat konsentrasi penyediaan dana, bank wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan
dana antara lain dengan menerapkan penyebaran/
diversifikasi portofolio penyediaan dana yang diberikan;
c. bahwa inovasi perbankan menyebabkan berkembangnya
jenis penyediaan dana yang struktur risikonya semakin
kompleks;
d.
bahwa dalam melaksanakan perannya dalam
perekonomian, bank perlu melakukan langkah-langkah
untuk dapat mendukung
pertumbuhan ekonomi,
termasuk membiayai sektor riil, dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian;
e. bahwa …
- 2 -
e. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk mengatur
kembali ketentuan tentang batas maksimum pemberian
kredit bank
Indonesia;
Mengingat : a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik
Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4357);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BATAS
MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM.
BAB I …
umum dalam suatu Peraturan Bank
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank
asing.
2. Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya disebut dengan
BMPK adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan
terhadap modal Bank.
3. Penyediaan Dana adalah penanaman dana Bank dalam bentuk:
a. kredit;
b.
surat berharga;
c. penempatan;
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali;
tagihan akseptasi;
derivatif kredit (credit derivative);
transaksi rekening administratif;
tagihan derivatif;
potential future credit exposure;
penyertaan modal;
k. penyertaan modal sementara;
l.
bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan
huruf a sampai dengan huruf k.
4. Modal …
- 4 -
4. Modal adalah:
a. modal inti dan modal pelengkap bagi Bank yang berkantor pusat di
Indonesia; atau
b. dana bersih kantor pusat dan kantor-kantor cabang lainnya di luar
negeri (Net Head Office Fund), bagi kantor cabang bank asing,
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
5. Pihak Terkait adalah perseorangan atau perusahaan/badan yang mempunyai
hubungan pengendalian dengan Bank, baik secara langsung maupun tidak
langsung, melalui hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan atau
keuangan.
6. Pelanggaran BMPK adalah selisih lebih antara persentase BMPK yang
diperkenankan dengan persentase Penyediaan Dana terhadap Modal Bank
pada saat pemberian Penyediaan Dana.
7. Pelampauan BMPK adalah selisih lebih antara persentase BMPK yang
diperkenankan dengan persentase Penyediaan Dana terhadap Modal Bank
pada saat tanggal laporan dan tidak
sebagaimana dimaksud pada angka 6.
termasuk
Pelanggaran BMPK
8. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga,
termasuk:
a.
cerukan (overdraft) yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah
yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;
c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
9. Surat …
- 5 -
9. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas
kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban
dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal
dan pasar uang.
10. Penempatan adalah penanaman dana Bank pada bank lain, dalam bentuk
giro, interbank call money, deposito berjangka, sertifikat deposito, kredit,
dan penanaman dana lainnya yang sejenis.
11. Surat Berharga Yang Dibeli Dengan Janji Dijual Kembali adalah pembelian
Surat Berharga dari pihak lain yang dilengkapi dengan perjanjian untuk
menjual kembali kepada pihak lain tersebut pada akhir periode dengan
harga atau imbalan yang telah disepakati sebelumnya (reverse repurchase
agreement).
12. Tagihan Akseptasi adalah tagihan yang timbul sebagai akibat akseptasi yang
dilakukan terhadap wesel berjangka.
13. Tagihan Derivatif adalah tagihan karena potensi keuntungan dari suatu
perjanjian/kontrak transaksi derivatif (selisih positif antara nilai kontrak
dengan nilai wajar transaksi derivatif pada tanggal laporan), termasuk
potensi keuntungan karena mark to market dari transaksi spot yang masih
berjalan.
14. Potential Future Credit Exposure adalah seluruh potensi keuntungan dari
suatu perjanjian/kontrak transaksi derivatif selama umur kontrak, yang
ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari nilai nosional
perjanjian/kontrak transaksi derivatif tersebut.
15. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada
bank atau perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti perusahaan sewa guna
usaha …
- 6 -
usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring
penyelesaian dan penyimpanan, termasuk penanaman dalam bentuk surat
utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau
jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki
saham pada bank dan atau perusahaan yang bergerak di bidang keuangan
lainnya.
16. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal oleh Bank pada
perusahaan peminjam untuk mengatasi kegagalan kredit (debt to equity
swap), termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible
bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu yang
berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan
peminjam.
17. Transaksi Rekening Administratif adalah kewajiban komitmen dan
kontinjensi yang antara lain meliputi penerbitan jaminan, letter of credit
(L/C), stand-by letter of credit (SBLC), dan atau kewajiban komitmen dan
kontinjensi lain, kecuali fasilitas Kredit yang belum ditarik.
18. Peminjam adalah nasabah perorangan atau perusahaan / badan yang
memperoleh Penyediaan Dana dari Bank, termasuk:
a.
debitur, untuk Penyediaan Dana berupa Kredit;
b. penerbit Surat Berharga, pihak yang menjual Surat Berharga, manajer
investasi kontrak investasi kolektif, dan atau reference entity, untuk
Penyediaan Dana berupa Surat Berharga;
c. pihak yang mengalihkan risiko kredit (protection buyer) dan atau
reference entity, untuk Penyediaan Dana berupa derivatif kredit (credit
derivatives);
d. pemohon …
- 7 -
d. pemohon (applicant), untuk
Penyediaan Dana berupa jaminan
(guarantee), letter of credit (L/C), standby letter of credit (SBLC), atau
instrumen serupa lainnya;
e. pihak tempat Bank melakukan Penyertaan Modal (investee), untuk
Penyediaan Dana berupa Penyertaan Modal;
f. Bank atau debitur, untuk Penyediaan Dana berupa tagihan akseptasi;
g.
h. pihak lain yang wajib melunasi tagihan kepada Bank.
19. Reference Entity adalah pihak yang berutang atau mempunyai kewajiban
membayar (obligor) dari aset yang yang mendasari (underlying reference
asset), termasuk:
a.
b. pihak yang berkewajiban untuk melunasi piutang dari kredit atau
tagihan yang dialihkan dan ditetapkan sebagai aset yang mendasari
(underlying reference asset).
20. Komisaris:
a. bagi perusahaan berbentuk hukum perseroan terbatas adalah Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi perusahaan berbentuk
hukum perusahaan daerah adalah
c. bagi
Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
perusahaan berbentuk
hukum koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25
Tahun …
pihak lawan transaksi (counterparty), untuk Penyediaan Dana berupa
Penempatan dan transaksi derivatif;
penerbit dari Surat Berharga yang ditetapkan sebagai aset yang
mendasari (underlying reference asset);
- 8 -
Tahun 1992 tentang Perkoperasian,
termasuk pejabat yang ditunjuk untuk melakukan fungsi pengawasan.
21. Direksi:
a. bagi perusahaan berbentuk hukum perseroan terbatas adalah Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi perusahaan berbentuk hukum perusahaan daerah adalah Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi perusahaan berbentuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian,
termasuk pejabat yang mempunyai wewenang sebagaimana Direksi.
22. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada
Direksi atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional
perusahaan.
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam
memberikan Penyediaan Dana, khususnya Penyediaan Dana kepada Pihak
Terkait dan atau Penyediaan Dana besar (large exposures).
(2) Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank wajib memiliki pedoman
kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana kepada Pihak
Terkait dan atau Penyediaan Dana besar (large exposures).
(3) Pedoman …
hukum koperasi adalah pengurus
- 9 -
(3) Pedoman kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana kepada
Pihak Terkait dan Penyediaan Dana besar (large exposures) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling kurang mencakup:
a.
standar dan kriteria untuk melakukan seleksi dan penilaian kelayakan
Peminjam dan kelompok Peminjam;
b. standar dan kriteria untuk penetapan batas (limit) Penyediaan Dana;
c.
d.
sistem informasi manajemen Penyediaan Dana;
sistem pemantauan terhadap Penyediaan Dana; dan
e. penetapan langkah pengendalian untuk mengatasi konsentrasi
Penyediaan Dana.
(4) Pedoman
kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling kurang sama atau lebih
berhati-hati (prudent) dibandingkan dengan
pelaksanaan manajemen risiko kredit secara umum.
kebijakan dan prosedur
(5) Pedoman
kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dikaji ulang secara periodik
paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(6) Pedoman kebijakan dan prosedur tentang Penyediaan Dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kebijakan, prosedur, dan penetapan risiko kredit sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum.
Pasal 3
Bank dilarang:
a. membuat suatu perikatan atau perjanjian atau menetapkan persyaratan yang
mewajibkan …
- 10 -
mewajibkan Bank
untuk memberikan Penyediaan Dana yang
mengakibatkan terjadinya Pelanggaran BMPK; dan
b. memberikan Penyediaan Dana yang mengakibatkan Pelanggaran BMPK.
BAB II
BMPK KEPADA PIHAK TERKAIT
Pasal 4
Seluruh portofolio Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait dengan Bank
ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh perseratus) dari Modal Bank.
Pasal 5
(1) Bank dilarang memberikan Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait yang
bertentangan dengan prosedur umum Penyediaan Dana yang berlaku.
(2) Bank dilarang memberikan Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait tanpa
persetujuan dewan Komisaris Bank.
(3) Bank dilarang membeli aktiva berkualitas rendah dari Pihak Terkait.
(4) Apabila kualitas Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait menurun menjadi
kurang lancar, diragukan, atau macet, Bank wajib mengambil langkah-
langkah penyelesaian untuk memperbaiki antara lain dengan cara:
a.
b. melakukan restrukturisasi kredit sejak turunnya kualitas Penyediaan
Dana.
akan
pelunasan kredit selambat-lambatnya dalam jangka waktu 60 (enam
puluh) hari sejak turunnya kualitas Penyediaan Dana; dan atau
Pasal 6 …
- 11 -
Pasal 6
(1) Penyediaan Dana kepada Peminjam yang bukan merupakan Pihak Terkait
yang disalurkan dan atau digunakan untuk keuntungan Pihak Terkait
digolongkan sebagai Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait.
(2) Peminjam yang bukan merupakan Pihak Terkait yang menerima Penyediaan
Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan sebagai Pihak
Terkait.
Pasal 7
Dalam hal Bank akan memberikan Penyediaan Dana dalam bentuk Penyertaan
Modal yang mengakibatkan pihak tempat Bank melakukan Penyertaan Modal
(investee) menjadi Pihak Terkait, Bank wajib memastikan:
a. rencana Penyediaan Dana tersebut tidak melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4;
b. Penyediaan Dana yang akan dan telah diberikan kepada investee tersebut
setelah ditambah dengan seluruh portfolio Penyediaan Dana kepada Pihak
Terkait yang telah ada tidak melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4;
c.
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipenuhi.
Pasal 8
(1) Pihak Terkait meliputi:
a.
perseorangan atau perusahaan/badan yang merupakan pengendali
Bank;
b. perusahaan/badan dimana Bank bertindak sebagai pengendali;
c. perseorangan …
- 12 -
c.
perseorangan atau perusahaan/badan lain yang bertindak sebagai
pengendali dari perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf b;
d. perusahaan dimana:
1) perseorangan dan atau perusahaan/badan sebagaimana dimaksud
pada huruf a bertindak sebagai pengendali;
2) perseorangan dan atau perusahaan/badan sebagaimana dimaksud
pada huruf c bertindak sebagai pengendali;
e. Komisaris, Direksi, dan Pejabat Eksekutif Bank;
f.
pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat
kedua, baik horisontal maupun vertikal:
1) dari perseorangan yang merupakan pengendali Bank sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
2) dari Komisaris, Direksi, dan Pejabat Eksekutif pada Bank
sebagaimana dimaksud pada huruf e.
g. Komisaris, Direksi, dan Pejabat Eksekutif pada perusahaan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan atau
huruf d;
h. perusahaan/badan yang Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat
Eksekutifnya merupakan:
1) Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif pada Bank;
2) Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif pada
perusahaan/badan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
huruf c, dan atau huruf d;
i.
perusahaan/badan dimana:
1) Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif Bank sebagaimana
dimaksud pada huruf e bertindak sebagai pengendali;
2) Komisaris …
- 13 -
2) Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif dari pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan atau
huruf d, bertindak sebagai pengendali;
j.
perusahaan/badan yang memiliki ketergantungan keuangan (financial
interdependence) dengan Bank dan atau pihak sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g,
huruf h, dan atau huruf i;
k. kontrak investasi kolektif dimana Bank dan atau pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e,
huruf f, huruf g, huruf h, dan atau huruf i, memiliki 10% (sepuluh
perseratus) atau lebih saham pada manajer investasi kontrak investasi
kolektif tersebut;
l. Peminjam berupa perseorangan atau perusahaan/badan bukan bank
yang memberikan jaminan kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud
pada huruf a sampai dengan huruf k;
m. Peminjam yang diberikan jaminan oleh pihak-pihak sebagaimana
dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf k;
n. bank lain yang memberikan jaminan kepada pihak-pihak sebagaimana
dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf k sepanjang terdapat
counterguarantee dari Bank dan atau pihak-pihak
sebagaimana
dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf k kepada bank lain
tersebut.
(2) Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf
c adalah apabila perseorangan atau perusahaan/badan secara langsung atau
tidak langsung:
a. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 10% (sepuluh perseratus)
atau lebih saham Bank atau perusahaan/badan lain;
b. memiliki …
- 14 -
b. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham yang apabila
digunakan akan menyebabkan pihak tersebut memiliki dan atau
mengendalikan secara sendiri atau
bersama-sama 10% (sepuluh
perseratus) atau lebih saham Bank atau perusahaan/badan lain;
c. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai
tujuan bersama dalam mengendalikan Bank atau perusahaan/badan
lain (acting in concert), dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan
pihak lain, sehingga secara bersama-sama memiliki
dan atau
mengendalikan 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham Bank atau
perusahaan/badan lain;
d. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai
tujuan bersama dalam mengendalikan Bank atau perusahaan/badan
(acting in concert), dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak
lain tersebut, sehingga secara bersama-sama mempunyai hak opsi atau
hak lainnya untuk memiliki
saham, yang apabila hak tersebut
dilaksanakan menyebabkan pihak-pihak tersebut memiliki dan atau
mengendalikan secara bersama-sama 10% (sepuluh perseratus) atau
lebih saham Bank atau perusahaan/badan lain;
e. memiliki kewenangan dan atau kemampuan untuk menyetujui,
mengangkat dan atau memberhentikan anggota Komisaris dan atau
Direksi Bank atau perusahaan/badan lain;
f. memiliki kemampuan untuk menentukan (controlling influence)
kebijakan operasional atau kebijakan keuangan
perusahaan/badan lain;
Bank atau
g. mengendalikan 1 (satu) atau lebih perusahaan lain yang secara
keseluruhan memiliki dan atau mengendalikan secara bersama-sama
10% (sepuluh
perseratus)
atau
lebih
saham
Bank
atau
perusahaan …
- 15 -
perusahaan/badan lain;
h. melakukan pengendalian terhadap pengendali sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf g.
(3) Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf i adalah
apabila perseorangan atau perusahaan/badan secara langsung atau tidak
langsung:
a. memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham perusahaan/badan
lain dan porsi kepemilikan tersebut merupakan porsi yang terbesar;
b. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima
perseratus) atau lebih saham perusahaan/badan lain;
c. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham yang apabila
digunakan akan menyebabkan pihak tersebut memiliki dan atau
mengendalikan saham perusahaan/badan lain sebagaimana dimaksud
pada huruf a atau huruf b;
d. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai
tujuan bersama dalam mengendalikan perusahaan/badan lain (acting in
concert), dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain,
sehingga secara bersama-sama memiliki dan atau mengendalikan
saham perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada huruf a atau
huruf b;
e. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai
tujuan bersama dalam mengendalikan perusahaan/badan (acting in
concert), dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain
tersebut, sehingga secara bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak
lainnya untuk memiliki saham, yang apabila hak tersebut dilaksanakan
menyebabkan pihak-pihak tersebut memiliki dan atau mengendalikan
secara bersama-sama saham perusahaan/badan
lain
sebagaimana
dimaksud …
- 16 -
dimaksud pada huruf a atau huruf b;
f. memiliki kewenangan dan atau kemampuan untuk menyetujui,
mengangkat dan atau memberhentikan anggota Komisaris dan atau
Direksi perusahaan/badan lain;
g. memiliki kemampuan untuk menentukan (controlling influence)
kebijakan operasional atau kebijakan keuangan perusahaan/badan lain.
Pasal 9
(1) Kantor pusat dan kantor cabang lainnya dari kantor cabang bank asing tidak
termasuk dalam pengertian Pihak Terkait dengan kantor cabang bank asing
tersebut.
(2) Pihak Terkait dengan kantor pusat dari kantor cabang bank asing termasuk
dalam pengertian Pihak Terkait dengan kantor cabang bank asing tersebut.
Pasal 10
(1) Bank wajib memiliki dan menatausahakan daftar rincian Pihak Terkait
dengan Bank.
(2) Daftar rincian Pihak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan Bank kepada Bank Indonesia:
a.
untuk pertama kali paling lambat 3 (tiga) bulan sejak ditetapkannya
Peraturan Bank Indonesia ini; dan
b. 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun apabila terdapat perubahan
masing-masing untuk posisi Juni dan posisi Desember, paling lambat
pada bulan berikutnya.
(3) Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu meminta Bank menyampaikan daftar
rincian Pihak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB III …
- 17 -
BAB III
BMPK KEPADA PIHAK TIDAK TERKAIT
Pasal 11
(1) Penyediaan Dana kepada 1 (satu) Peminjam yang bukan merupakan Pihak
Terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari Modal
Bank.
(2) Penyediaan Dana kepada 1 (satu) kelompok Peminjam yang bukan
merupakan Pihak Terkait ditetapkan paling tinggi 25% (dua puluh lima
perseratus) dari Modal Bank.
Pasal 12
(1) Peminjam digolongkan sebagai anggota suatu kelompok Peminjam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) apabila Peminjam
mempunyai hubungan pengendalian dengan Peminjam lain baik melalui
hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan atau keuangan, yang meliputi:
a. Peminjam merupakan pengendali Peminjam lain;
b. 1 (satu) pihak yang sama merupakan pengendali dari beberapa
Peminjam (common ownership);
c. Peminjam
memiliki
ketergantungan
interdependence) dengan Peminjam lain;
d. Peminjam menerbitkan jaminan (guarantee) untuk mengambil alih dan
atau melunasi sebagian atau seluruh kewajiban Peminjam lain dalam
hal Peminjam lain tersebut gagal memenuhi kewajibannya
(wanprestasi) kepada Bank;
e.
Direksi, Komisaris, dan atau Pejabat Eksekutif Peminjam menjadi
Direksi dan atau Komisaris pada Peminjam lain.
(2) Pengendali …
keuangan
(financial
- 18 -
(2) Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b adalah
pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3).
BAB IV
PERHITUNGAN BMPK
Bagian Pertama
Kredit
Pasal 13
(1) Penyediaan Dana berupa Kredit ditetapkan sebagai Penyediaan Dana
kepada debitur.
(2) BMPK untuk Kredit dihitung berdasarkan baki debet.
(3) Debitur untuk pengambilalihan tagihan dalam rangka anjak piutang atau
pembelian kredit dengan persyaratan tanpa janji untuk membeli kembali
(without recourse) adalah pihak yang berkewajiban untuk melunasi piutang.
(4) Debitur untuk pengambilalihan dalam rangka anjak piutang atau pembelian
kredit dengan persyaratan janji untuk membeli kembali (with recourse)
adalah pihak yang menjual tagihan/kredit.
(5) Baki debet untuk pengambilalihan dalam rangka anjak piutang atau
pembelian kredit dihitung berdasarkan harga beli.
Bagian Kedua
Surat Berharga
Pasal 14
Penyediaan Dana berupa Surat Berharga oleh Bank wajib memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 15 …
- 19 -
Pasal 15
(1) Penyediaan Dana berupa Surat Berharga ditetapkan sebagai Penyediaan
Dana kepada penerbit Surat Berharga tersebut, kecuali ditetapkan tersendiri.
(2) BMPK untuk pembelian Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dihitung berdasarkan harga beli, kecuali ditetapkan tersendiri.
Pasal 16
(1) Penyediaan Dana berupa Surat Berharga Yang Dibeli Dengan Janji Dijual
Kembali ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada pihak yang menjual
Surat Berharga.
(2) BMPK untuk Surat Berharga Yang Dibeli Dengan Janji Dijual Kembali
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan harga beli.
Pasal 17
(1) Penyediaan Dana berupa Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin
dengan aset tertentu yang mendasari (underlying reference asset)
ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk Surat Berharga yang pembayaran kewajibannya terkait langsung
dengan aset yang mendasari (pass through) dan tidak dapat dibeli
kembali (non redemption) oleh penerbit ditetapkan sebagai Penyediaan
Dana kepada Reference Entity;
b. untuk Surat Berharga yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud pada huruf a ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada:
1) penerbit; dan
2) Reference Entity.
(2) BMPK …
- 20 -
(2) BMPK untuk Surat Berharga kepada Reference Entity sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b angka 2) dihitung secara
proporsional berdasarkan proporsi aset yang mendasari (underlying
reference asset) dari masing-masing Reference Entity.
(3) BMPK untuk Surat Berharga kepada penerbit sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b angka 1) dihitung berdasarkan harga beli.
Bagian Ketiga
Derivatif Kredit (Credit Derivative)
Pasal 18
Penyediaan Dana berupa derivatif kredit (credit derivative) ditetapkan sebagai
berikut:
a.
untuk derivatif kredit (credit derivative) berupa credit default swap atau
instrumen serupa lainnya ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada
Reference Entity.
b. untuk derivatif kredit (credit derivative) berupa total rate of return swap
atau instrumen serupa lainnya ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada
Reference Entity.
c.
untuk derivatif kredit (credit derivative) berupa credit linked notes atau
instrumen serupa lainnya ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada:
1) Reference Entity; dan
2) penerbit credit linked notes.
d. untuk derivatif kredit (credit derivative) selain sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, dan huruf c, BMPK ditetapkan sesuai dengan risiko kredit
yang melekat dari masing-masing
derivative).
instrumen
derivatif kredit
Bagian …
(credit
- 21 -
Bagian Keempat
Tagihan Akseptasi
Pasal 19
(1) Penyediaan Dana berupa Tagihan Akseptasi ditetapkan sebagai Penyediaan
Dana kepada:
a. bank apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah bank lain; dan
atau
b.
debitur (applicant) apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah
debitur.
(2) BMPK untuk Tagihan Akseptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung sebesar nilai wesel yang diaksep.
Bagian Kelima
Transaksi Rekening Administratif
Pasal 20
(1) Penyediaan Dana untuk Transaksi Rekening Administratif berupa jaminan
(guarantee), letter of credit (L/C), standby letter of credit (SBLC), atau
instrumen serupa lainnya ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada
pemohon (applicant).
(2) BMPK untuk Transaksi Rekening Administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihitung sebesar nilai yang telah diterbitkan (outstanding).
(3) Jaminan untuk Peminjam dan atau Kelompok Peminjam yang diterima
Bank dari bank lain dan atau pihak lain tidak diperhitungkan sebagai
pengurang Penyediaan Dana.
Bagian …
- 22 -
Bagian Keenam
Transaksi Derivatif
Pasal 21
(1) Penyediaan Dana berupa transaksi derivatif yang berkaitan dengan suku
bunga atau valuta asing ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada pihak
lawan (counterparty).
(2) BMPK untuk transaksi derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung berdasarkan risiko kredit transaksi derivatif.
(3) Risiko kredit transaksi derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri
dari Tagihan Derivatif ditambah Potential Future Credit Exposure.
(4) Dalam menghitung nilai risiko kredit transaksi derivatif sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Bank dapat melakukan saling hapus (set-off)
sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. merupakan instrumen sejenis;
b. memiliki transaksi yang mendasari (underlying transaction) yang
sejenis;
c. memiliki valuta yang sama;
d.
dilakukan dengan pihak lawan (counterparty) yang sama;
e. mempunyai jangka waktu yang sama; dan
f.
diatur dalam perjanjian para pihak (netting agreement) berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketujuh
Penyertaan
Pasal 22
(1) Penyediaan Dana berupa Penyertaan Modal ditetapkan sebagai Penyediaan
Dana …
- 23 -
Dana kepada perusahaan tempat Bank melakukan Penyertaan Modal
(investee).
(2) BMPK untuk Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung berdasarkan harga perolehan.
BAB V
PELAMPAUAN BMPK
Pasal 23
(1) Penyediaan Dana oleh Bank dikategorikan sebagai Pelampauan BMPK
apabila disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
a. penurunan Modal Bank;
b. perubahan nilai tukar;
c.
perubahan nilai wajar;
d. penggabungan usaha dan atau perubahan struktur kepengurusan yang
menyebabkan perubahan Pihak Terkait dan atau kelompok Peminjam;
e. perubahan ketentuan.
(2) Penentuan Peminjam dalam perhitungan Pelampauan BMPK dilakukan
sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan
Pasal 22.
(3) Pelampauan BMPK dihitung berdasarkan nilai yang tercatat pada tanggal
laporan.
BAB VI
PENYELESAIAN PELANGGARAN DAN PELAMPAUAN BMPK
Pasal 24
(1) Bank wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindak (action plan)
untuk …
- 24 -
untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan atau Pelampauan BMPK.
(2) Action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat paling
kurang langkah-langkah untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan atau
Pelampauan BMPK serta target waktu penyelesaian.
(3) Target waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
sebagai berikut:
a. untuk Pelanggaran BMPK, paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia.
b. untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 huruf a, huruf b, dan huruf c ditetapkan
paling lambat 9 (sembilan) bulan sejak action plan disampaikan
kepada Bank Indonesia.
c.
untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 huruf d, ditetapkan paling lambat 12 (dua
belas) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia.
d. untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 huruf e, ditetapkan paling lambat 18
(delapan belas) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian action plan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3).
(4) Bank Indonesia dapat meminta Bank melakukan penyesuaian action plan
yang disampaikan apabila menurut penilaian Bank Indonesia langkah-
langkah dan atau target waktu penyelesaian tidak mungkin dicapai dan atau
belum memenuhi ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 25
(1) Action plan untuk Pelanggaran BMPK sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal …
- 25 -
Pasal 24 harus diterima Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan sejak
terjadinya Pelanggaran BMPK.
(2) Action plan untuk Pelampauan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d harus diterima Bank Indonesia paling
lambat 1 (satu) bulan setelah akhir bulan laporan.
(3) Action plan untuk Pelampauan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
huruf e harus diterima Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) bulan sejak
diberlakukannya ketentuan baru.
Pasal 26
(1) Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan masing-masing
untuk Pelanggaran BMPK dan Pelampauan BMPK.
(2) Laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 14 (empat belas)
hari kerja setelah realisasi action plan.
BAB VII
PENGECUALIAN
Pasal 27
(1) Ketentuan BMPK dikecualikan untuk:
a. pembelian Surat Berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia
dan atau Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
b. bagian …
- 26 -
b. bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh Pemerintah Indonesia
sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) jaminan bersifat tanpa syarat
dibatalkan (irrevocable);
(unconditional) dan tidak dapat
2) harus dapat dicairkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
sejak diajukan klaim, termasuk pencairan sebagian;
3) mempunyai jangka waktu paling kurang sama dengan jangka
waktu Penyediaan Dana; dan
4)
tidak dijamin kembali (counter guarantee) oleh Bank penyedia
dana atau bank yang bukan prime bank.
c. bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh:
1) agunan dalam bentuk agunan tunai berupa giro, deposito,
tabungan, setoran jaminan dan atau emas;
2) agunan berupa Surat Berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah
Indonesia dan atau Bank Indonesia,
sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) agunan diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa pencairan dari
pemilik agunan untuk
keuntungan Bank
termasuk
angsuran pokok/bunga;
b) bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan
(irrevocable);
c) jangka waktu pemblokiran sebagaimana dimaksud pada huruf a)
paling kurang sama dengan jangka waktu Penyediaan Dana;
penerima
agunan,
pencairan sebagian untuk membayar tunggakan
d) memiliki …
- 27 -
d) memiliki pengikatan hukum yang kuat (legally enforceable)
sebagai agunan, bebas dari segala bentuk perikatan lain, bebas
dari sengketa, tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain,
termasuk tujuan penjaminan yang jelas;
e)
untuk agunan tunai sebagaimana dimaksud pada angka 1),
disimpan atau ditatausahakan pada Bank penyedia dana atau pada
prime bank.
(2) Bank wajib mengajukan klaim terhadap jaminan atau agunan yang diterima
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak Peminjam wanprestasi (event of default).
(3) Peminjam dianggap wanprestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
apabila:
a.
terjadi tunggakan pokok dan atau bunga dan atau tagihan lainnya
selama 90 (sembilan puluh hari);
b.
c.
tidak diterimanya pembayaran pokok dan atau bunga dan atau tagihan
lainnya pada saat Penyediaan Dana jatuh tempo; atau
tidak dipenuhinya persyaratan lainnya selain pembayaran pokok dan
atau bunga yang dapat mengakibatkan terjadinya wanprestasi.
Pasal 28
Prime bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf c angka 2)
huruf e) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki peringkat investasi yang diberikan oleh lembaga pemeringkat
paling kurang:
1) BBB- berdasarkan penilaian Standard & Poors;
2) Baa3 berdasarkan penilaian Moody’s;
3) BBB- …
- 28 -
3) BBB- berdasarkan penilaian Fitch; atau
4) peringkat investasi setara dengan angka 1), angka 2), dan atau angka 3)
berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat terkemuka lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia,
berdasarkan penilaian terhadap prospek usaha jangka panjang (long term
outlook) bank tersebut; dan
b. memiliki total aset yang termasuk dalam 200 (dua ratus) besar dunia
berdasarkan informasi yang tercantum dalam banker’s almanac.
Pasal 29
Ketentuan BMPK dikecualikan untuk Penempatan
sepanjang
Penempatan
tersebut termasuk dalam cakupan yang dijamin dan memenuhi syarat program
penjaminan Pemerintah serta Bank tempat Penempatan memenuhi persyaratan
program penjaminan Pemerintah.
Pasal 30
(1) Dalam hal program penjaminan Pemerintah tidak meliputi Penempatan
maka Penempatan merupakan komponen Penyediaan Dana yang
diperhitungkan dalam BMPK.
(2) Dalam hal Penempatan tidak merupakan cakupan program penjaminan
Pemerintah, maka bagian dari Penempatan berupa Penempatan kepada Bank
lain di Indonesia melalui Pasar Uang Antar Bank (PUAB) untuk tujuan
manajemen likuiditas dengan jangka waktu sampai dengan 14 (empat belas)
hari dikecualikan dari ketentuan BMPK.
Pasal 31 …
- 29 -
Pasal 31
(1) Penyertaan Modal kepada bank lain di Indonesia dikecualikan dari
ketentuan BMPK sepanjang Bank melakukan konsolidasi dengan bank
penerima Penyertaan Modal (investee).
(2) Pengecualian Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Penyertaan Modal yang
dilakukan mengakibatkan Bank
melakukan konsolidasi laporan keuangan dengan investee;
b. Bank dan investee bersedia memberikan komitmen secara tertulis
kepada Bank Indonesia untuk menerapkan pengawasan Bank dan
investee secara individual maupun secara konsolidasi; dan
c. Penyertaan Modal memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
(3) Penyediaan Dana selain Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada investee merupakan komponen Penyediaan Dana yang
diperhitungkan dalam BMPK.
Pasal 32
Pengambilalihan (negosiasi) wesel ekspor berjangka dikecualikan dari
perhitungan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 11
sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. wesel ekspor berjangka diterbitkan atas dasar Letter of Credit (L/C)
berjangka (Usance L/C) yang sesuai dengan Uniform Customs and Practice
for Documentary Credits (UCP) yang berlaku; dan
b.
telah diaksep oleh prime bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
Pasal 33 …
wajib
- 30 -
Pasal 33
(1) Bagian Penyediaan Dana kepada Peminjam yang dijamin oleh prime bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dikecualikan dari perhitungan
BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 11 sepanjang
jaminan yang diberikan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
berbentuk standby letter of credit yang diterbitkan sesuai dengan
Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) atau
International Standby Practices (ISP) yang berlaku;
b. bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan
(irrevocable);
c. harus dapat dicairkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak
diajukan klaim, termasuk pencairan sebagian;
d. mempunyai jangka waktu paling kurang sama dengan jangka waktu
Penyediaan Dana; dan
e.
tidak dijamin kembali (counter guarantee) oleh Bank penyedia dana
atau bank yang bukan prime bank.
(2) Pengecualian dari perhitungan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan paling tinggi:
a. 90% (sembilan puluh perseratus) dari Modal Bank untuk Penyediaan
Dana kepada Pihak Terkait;
b. 80% (delapan puluh perseratus) dari Modal Bank untuk Penyediaan
Dana kepada 1 (satu) Peminjam yang bukan merupakan Pihak Terkait;
dan
c. 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari Modal Bank untuk Penyediaan
Dana kepada 1 (satu) kelompok Peminjam yang bukan merupakan
Pihak Terkait.
(3) Bank …
- 31 -
(3) Bank wajib mengajukan klaim terhadap jaminan yang diterima sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peminjam
wanprestasi (event of default).
(4) Peminjam dianggap wanprestasi (event of default) sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) apabila:
a.
terjadi tunggakan pokok dan atau bunga dan atau tagihan lainnya
selama 90 (sembilan puluh) hari;
b.
c.
tidak diterimanya pembayaran pokok dan atau bunga dan atau tagihan
lainnya pada saat Penyediaan Dana jatuh tempo; atau
tidak dipenuhinya persyaratan lainnya selain pembayaran pokok dan
atau bunga yang dapat mengakibatkan terjadinya wanprestasi (event of
default).
Pasal 34
Penempatan pada setiap prime bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak
diperhitungkan dalam Batas Maksimum Pemberian Kredit dengan jumlah paling
tinggi masing-masing sebesar Modal Bank.
Pasal 35
(1) Bagian Penyediaan Dana kepada Peminjam yang dijamin oleh lembaga
pembangunan multilateral dikecualikan dari perhitungan BMPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 11 sepanjang jaminan yang
diberikan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Penyediaan Dana bertujuan untuk pembiayaan di Indonesia;
b. penjamin merupakan lembaga pembangunan multilateral yang
ditetapkan Bank Indonesia; dan
c. jaminan …
- 32 -
c. jaminan yang diberikan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan
(irrevocable);
2) harus dapat dicairkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
sejak diajukan klaim, termasuk pencairan sebagian;
3) mempunyai jangka waktu paling kurang sama dengan jangka
waktu Penyediaan Dana; dan
4)
tidak dijamin kembali (counter guarantee) Bank penyedia dana
atau bank yang bukan prime bank.
(2) Pengecualian dari perhitungan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan paling tinggi:
a. 90% (sembilan puluh perseratus) dari Modal Bank untuk Penyediaan
Dana kepada Pihak Terkait;
b. 80% (delapan puluh perseratus) dari Modal Bank untuk Penyediaan
Dana kepada 1 (satu) Peminjam yang bukan merupakan Pihak Terkait;
atau
c. 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari Modal Bank untuk Penyediaan
Dana kepada 1 (satu) kelompok Peminjam yang bukan merupakan
Pihak Terkait.
(3) Bank wajib mengajukan klaim terhadap jaminan yang diterima sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peminjam
wanprestasi (event of default).
(4) Peminjam dianggap wanprestasi (event of default) sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) apabila:
a.
terjadi tunggakan pokok dan atau bunga dan atau tagihan lainnya
selama 90 (sembilan puluh) hari;
b. tidak …
- 33 -
b.
c.
tidak diterimanya pembayaran pokok dan atau bunga dan atau tagihan
lainnya pada saat Penyediaan Dana jatuh tempo; atau
tidak dipenuhinya persyaratan lainnya selain pembayaran pokok dan
atau bunga yang dapat mengakibatkan terjadinya wanprestasi (event of
default).
Pasal 36
(1) Penyertaan
Modal Sementara
untuk
mengatasi kegagalan
Kredit
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
dikecualikan dari perhitungan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dan Pasal 11 dan ketentuan Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8.
(2) Dalam hal terdapat Penyediaan Dana baru yang diberikan terhadap
perusahaan dimana Bank melakukan Penyertaan Modal Sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Penyediaan Dana baru tersebut
diperhitungkan dalam BMPK.
Pasal 37
Penggolongan kelompok Peminjam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
dikecualikan untuk pemberian Kredit kepada nasabah (end user) melalui lembaga
pembiayaan dengan metode penerusan (channeling) sepanjang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Bank melakukan pengawasan terhadap penilaian kelayakan yang dilakukan
oleh lembaga pembiayaan terhadap nasabah lembaga pembiayaan
(end-user);
b. Kredit …
- 34 -
b.
c.
Kredit diberikan tanpa jaminan dari lembaga pembiayaan;
perjanjian Kredit dilakukan antara nasabah lembaga pembiayaan (end-user)
dengan Bank atau dengan pihak yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas
nama Bank; dan
d. pembayaran dari nasabah lembaga pembiayaan untuk keuntungan Bank.
Pasal 38
Pemberian Kredit dengan pola kemitraan inti-plasma dimana perusahaan inti
menjamin Kredit kepada plasma dikecualikan dari pengertian kelompok
Peminjam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sepanjang:
a.
Kredit diberikan dengan pola kemitraan;
b. perusahaan inti bukan merupakan Pihak Terkait dengan Bank;
c. plasma bukan merupakan anak perusahaan atau cabang yang dimiliki,
dikuasai, atau berafiliasi dengan inti;
d. plasma memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan inti sebagai
bagian dari produksi perusahaan inti; dan
e. perjanjian Kredit dengan plasma dilakukan oleh Bank
dengan plasma.
Pasal 39
Kredit kepada Pejabat Eksekutif Bank dikecualikan sebagai pemberian Kredit
kepada Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 8
sepanjang diberikan dalam rangka kesejahteraan sumber daya manusia Bank
yang didasarkan pada kebijakan tunjangan dan fasilitas jabatan serta diberikan
secara wajar.
Pasal 40 …
secara langsung
- 35 -
Pasal 40
(1) Penyediaan Dana Bank kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk
tujuan pembangunan dan mempengaruhi hajat hidup orang
ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh perseratus) dari Modal
Bank.
(2) Hubungan antara Bank yang berbentuk BUMN atau Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) dengan Peminjam yang berbentuk
BUMN dan atau
BUMD dikecualikan dari pengertian Pihak Terkait sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 sepanjang hubungan tersebut semata-mata disebabkan karena
kepemilikan langsung Pemerintah Indonesia.
(3) Perusahaan-perusahaan BUMN dan atau BUMD tidak diperlakukan sebagai
kelompok Peminjam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sepanjang
hubungan tersebut semata-mata disebabkan karena kepemilikan langsung
Pemerintah Indonesia.
BAB VIII
PELAPORAN
Pasal 41
(1) Bank wajib menyampaikan laporan secara berkala dan benar kepada Bank
Indonesia mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit.
(2) Tata cara penyusunan dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), termasuk sanksi pelaporan, mengacu kepada ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum.
(3) Bank wajib menyesuaikan penyusunan Laporan Berkala Bank Umum untuk
laporan Batas Maksimum Pemberian Kredit sesuai dengan Peraturan Bank
Indonesia ini.
BAB IX …
banyak
- 36 -
BAB IX
KETENTUAN LAIN
Pasal 42
(1) Bank Indonesia
berwenang melakukan koreksi
ketentuan BMPK oleh Bank.
(2) Bank wajib melakukan koreksi
yang
ditetapkan
Bank
Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam laporan Bank kepada Bank
Indonesia dan laporan publikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan yang
berlaku.
Pasal 43
(1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku pula bagi
Penyediaan Dana oleh Bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah.
(2) Definisi Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank
Indonesia ini bagi Bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, termasuk unit usaha syariah Bank konvensional, disesuaikan
dengan ketentuan yang berlaku untuk Bank yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.
BAGIAN X
SANKSI
Pasal 44
(1) Bank yang melakukan Pelanggaran BMPK dan atau Pelampauan BMPK
dikenakan sanksi penilaian tingkat kesehatan Bank sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
(2) Bank …
terhadap
pelaksanaan
- 37 -
(2) Bank yang menyampaikan action plan untuk Pelanggaran BMPK setelah
batas akhir waktu sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) sampai
dengan 14 (empat belas) hari kerja setelah batas akhir waktu tersebut,
dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) per hari kerja keterlambatan.
(3) Bank yang belum menyampaikan action plan untuk Pelanggaran BMPK
setelah batas akhir waktu sebagaimana ditetapkan pada ayat (2), dikenakan
sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
(4) Bank yang menyampaikan action plan untuk Pelampauan BMPK setelah
batas akhir waktu sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (2) atau
ayat (3) sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja setelah batas akhir waktu
tersebut, dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan.
(5) Bank yang belum menyampaikan action plan untuk Pelampauan BMPK
setelah batas akhir waktu sebagaimana ditetapkan pada ayat (4), dikenakan
sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
(6) Bank yang menyampaikan laporan pelaksanaan action plan setelah batas
akhir waktu sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 26 ayat (2) sampai dengan
14 (empat belas) hari kerja setelah batas waktu tersebut, dikenakan sanksi
berupa kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per
hari kerja keterlambatan.
(7) Bank yang belum menyampaikan laporan pelaksanaan action plan setelah
batas akhir waktu sebagaimana ditetapkan pada ayat (6), dikenakan sanksi
berupa kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(8) Bank …
- 38 -
(8) Bank yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 3, Pasal 5 ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 7, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), dan
Pasal 24 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa:
a.
teguran tertulis;
b. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham
dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam
penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu.
(9) Bank yang tidak menyelesaikan Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan
BMPK sesuai dengan action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
dan atau tidak melakukan atau tidak melaksanakan langkah penyelesaian
sesuai koreksi yang ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (2), setelah diberi peringatan 2 (dua) kali oleh Bank
Indonesia dengan tenggang waktu 1 (satu) minggu untuk setiap teguran,
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain
berupa:
a.
pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham
dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam
penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu, antara lain tidak diperkenankan
untuk ekspansi Penyediaan Dana; dan atau
c.
larangan untuk turut serta dalam rangka kegiatan kliring.
(10) Bank …
- 39 -
(10) Bank yang tidak menyelesaikan Pelanggaran BMPK selain dikenakan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (9), terhadap Dewan Komisaris,
Direksi, pegawai Bank, pemegang saham maupun pihak terafiliasi lainnya
dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2)
huruf b, Pasal 50, dan Pasal 50 A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998.
Pasal 45
(1) Bank yang menyampaikan daftar rincian Pihak Terkait setelah batas akhir
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) sampai dengan
14 (empat belas) hari kerja setelah batas akhir waktu tersebut dikenakan
sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah) per hari keterlambatan.
(2) Bank yang belum menyampaikan daftar rincian Pihak Terkait setelah batas
akhir waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
BAB XI
PENUTUP
Pasal 46
Definisi dan perlakuan terhadap Batas Maksimum Pemberian Kredit
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku disesuaikan
dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 47 …
- 40 -
Pasal 47
Ketentuan dalam Pasal 21 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia ini, khususnya
mengenai penambahan Potensial Future Credit Exposure dalam perhitungan
risiko kredit transaksi derivatif, mulai berlaku 12 (dua belas) bulan sejak
ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 48
Ketentuan pelaksanaan tentang BMPK akan diatur lebih lanjut dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 49
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/177/KEP/DIR tanggal
31 Desember 1998 tentang Batas Maksimum Kredit Bank Umum;
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/5/PBI/2000 tanggal 21 Februari 2000
tentang Penyediaan Dana Oleh Bank Yang Dijamin Bank Lain (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 18, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 3932); dan
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/16/PBI/2000 tanggal 12 Juni 2000
tentang
Perubahan Surat Keputusan Bank
Indonesia Nomor
31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Batas Maksimum
Pemberian Kredit Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 3973),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 50 …
- 41 -
Pasal 50
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal :
20 Januari 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 13
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
Nomor: 7/3/PBI/2005
TENTANG
BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM
UMUM
Salah satu penyebab dari kegagalan usaha bank antara lain adalah
penyediaan dana yang tidak didukung oleh kemampuan bank mengelola
konsentrasi penyediaan dana secara efektif. Dalam rangka mengurangi potensi
kegagalan usaha bank sebagai akibat dari konsentrasi penyediaan dana tersebut
maka bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, antara lain dengan
melakukan penyebaran dan diversifikasi portofolio penyediaan dana terutama
melalui pembatasan penyediaan dana, baik kepada pihak terkait maupun kepada
pihak bukan terkait sebesar persentase tertentu dari modal bank atau yang dikenal
dengan batas maksimum pemberian kredit (BMPK).
Sejalan dengan semakin kompleksnya perkembangan produk dan transaksi
keuangan terutama yang dilakukan melalui bank maka eksposur risiko dari jenis
penyediaan dana tertentu, seperti transaksi derivatif menjadi semakin tinggi. Hal
ini dibarengi pula dengan semakin kompleksnya struktur hubungan antara
perseorangan dengan suatu perusahaan dan atau suatu perusahaan dengan
perusahaan lainnya. Implikasi dari hal-hal tersebut juga mempengaruhi konsepsi
dan cakupan peminjam yang terkategori sebagai pihak terkait serta konsepsi dan
cakupan kelompok peminjam, dimana penentuannya didasarkan pada hubungan
pengendalian …
- 2 -
pengendalian melalui unsur kepemilikan, kepengurusan dan atau hubungan
keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Mengingat terdapat hubungan yang signifikan antara kegagalan usaha
dengan
bank
konsentrasi penyediaan dana maka bank
dilarang
untuk
memberikan penyediaan dana yang mengakibatkan pelanggaran batas maksimum
pemberian kredit (BMPK). Disamping larangan dan pembatasan persentase
tertentu dari permodalan, bank diwajibkan pula menerapkan manajemen risiko
kredit yang lebih prudent kepada pihak terkait maupun peminjam atau kelompok
peminjam yang memiliki eksposur besar (large exposure).
Secara operasional, mengingat bank dipengaruhi pula faktor eksternal,
maka penyediaan dana dapat dikatakan tidak melanggar namun melampaui batas
maksimumnya antara lain apabila disebabkan adanya penurunan modal bank,
perubahan nilai tukar dan perubahan nilai wajar. Namun demikian mengingat
bahwa konsentrasi penyediaan dana penting untuk dikelola maka bank wajib
menyelesaikan pelanggaran maupun pelampauan BMPK dengan menetapkan
action plan dan melaksanakannya secara konsisten dan efektif.
Mengingat peranannya dalam perekonomian nasional khususnya sebagai
lembaga intermediasi maka meskipun terdapat pembatasan dalam penyediaan
dananya, bank tetap perlu didorong untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
melalui langkah-langkah penyaluran dana kepada sektor riil dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian. Untuk itu, penyediaan dana tertentu
diberikan kelonggaran atau pengecualian dalam penerapan BMPK, antara lain
penyediaan dana kepada badan usaha milik negara (BUMN) yang bidang
usahanya mempengaruhi hajat hidup orang banyak termasuk pembangunan
infrastruktur, penyediaan dana yang dijamin oleh prime bank dan lembaga
pembangunan multilateral, serta penyediaan dana kepada nasabah dengan pola
kemitraan …
- 3 -
kemitraan inti-plasma. Disamping
itu, sejalan dengan upaya konsolidasi
perbankan, penyertaan modal kepada bank lain dapat tidak diperhitungkan dalam
BMPK.
Dalam rangka pemantauan penyediaan dana, bank juga diwajibkan untuk
menyampaikan laporan BMPK secara berkala, dan Bank Indonesia memiliki
wewenang untuk melakukan koreksi terhadap pelaksanaan ketentuan dan
meminta bank untuk menyampaikan tindakan korektif yang diperlukan, serta
mengenakan sanksi secara efektif terhadap bank yang melakukan pelanggaran
atas isi dan maksud dari ketentuan ini.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Pengaturan dalam ayat ini dimaksudkan agar penerapan manajemen
risiko, khususnya kepada Pihak Terkait maupun Penyediaan Dana
besar (large exposures) dilaksanakan secara wajar (arm’s length
basis), disesuaikan dengan kemampuan permodalan Bank, dan tidak
terkonsentrasi secara signifikan kepada Peminjam atau kelompok
Peminjam tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 4 -
Ayat (3)
Huruf a
Dalam melakukan seleksi dan penilaian kelayakan, Bank harus
memastikan tersedianya informasi yang
cukup antara lain
mencakup data dan informasi mengenai pemegang saham,
kepengurusan, struktur kelompok usaha, dan kondisi keuangan
dari Peminjam dan atau kelompok Peminjam.
Huruf b
Batas (limit) Penyediaan Dana ditetapkan paling tinggi sesuai
dengan batas yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Limit Penyediaan Dana ditetapkan berdasarkan analisis dampak
Penyediaan Dana terhadap struktur neraca dan profil risiko
Bank.
Analisis dampak pada struktur neraca dan profil risiko Bank
dilakukan dengan mempertimbangkan
besar, jenis, jangka
waktu, dan diversifikasi portofolio Penyediaan Dana secara
keseluruhan sehingga dapat mencegah portofolio Penyediaan
Dana terkonsentrasi pada satu Peminjam atau kelompok
Peminjam tertentu.
Huruf c
Sistem informasi manajemen harus dapat memungkinkan
pengurus Bank secara tepat waktu mengidentifikasi konsentrasi
Penyediaan Dana, khususnya kepada Pihak
Terkait dan
Penyediaan Dana besar (large exposures). Selain itu, sistem
informasi manajemen harus mencakup tersedianya sistem
pelaporan kepada pengurus Bank mengenai Penyediaan Dana
yang …
- 5 -
yang melampaui atau diperkirakan akan melampaui limit
Penyediaan Dana.
Huruf d
Sistem pemantauan terhadap Penyediaan Dana kepada Pihak
Terkait dan eksposur besar (large exposures) antara lain
mencakup:
1.
2.
3.
kepatuhan terhadap limit;
kecukupan agunan dibandingkan Penyediaan Dana;
identifikasi kualitas Penyediaan Dana.
Huruf e
Langkah pengendalian sebagaimana dimaksud dalam huruf ini
antara lain mencakup:
1. penambahan modal dalam rangka mengatasi peningkatan
eksposur risiko;
sindikasi;
2.
3.
sekuritisasi aset.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Frekuensi kaji ulang dapat ditingkatkan intensitasnya sesuai dengan
perkembangan konsentrasi risiko Penyediaan Dana.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 3 …
- 6 -
Pasal 3
Huruf a
Pengaturan pada huruf ini mencakup bentuk perikatan atau perjanjian
atau persyaratan yang ditetapkan untuk Penyediaan Dana yang
tercatat di neraca maupun rekening administratif.
Huruf b
Kewajiban pemenuhan ketentuan pada huruf ini berlaku untuk setiap
saat pemberian Penyediaan Dana.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan prosedur umum Penyediaan Dana adalah
prosedur yang diterapkan di Bank tersebut dan berlaku sama untuk
semua nasabah Peminjam serta tetap memberikan keuntungan yang
wajar bagi Bank.
Termasuk dalam pengertian prosedur umum yang berlaku adalah
penggunaan nilai pasar (market value) dalam analisis Penyediaan
Dana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 7 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan aktiva berkualitas rendah adalah aktiva yang:
1. mempunyai status non-accrual yaitu aktiva yang pembayaran
pokok dan atau bunganya telah menunggak lebih dari 90
(sembilan puluh) hari; dan atau
2. persyaratannya telah dinegosiasi ulang sebagai akibat penurunan
kondisi keuangan pemilik aktiva.
Ayat (4)
Huruf a
Pelunasan antara lain dapat dilakukan dengan cara menjual
Kredit tersebut kepada pihak lain.
Huruf b
Restrukturisasi Kredit dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank
Umum.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …
- 8 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan
derajat kedua
pihak sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
orang tua kandung/tiri/angkat;
saudara kandung/tiri/angkat;
anak kandung/tiri/angkat;
kakek atau nenek kandung/tiri/angkat;
5. cucu kandung/tiri/angkat;
6.
saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua;
7. suami atau istri;
8. mertua atau besan;
9. suami atau istri dari anak kandung/tiri/angkat;
10. kakek atau nenek dari suami atau istri;
11. suami atau istri dari cucu kandung/tiri /angkat;
12. saudara kandung /tiri/angkat dari suami atau istri beserta
suami atau istrinya dari saudara yang bersangkutan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h …
baik horisontal maupun vertikal adalah pihak-
- 9 -
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Ketergantungan keuangan (financial interdependece) dilihat dari
beberapa faktor antara lain:
1.
terdapat bantuan keuangan dari Bank dan atau Pihak
Terkait lainnya atau bantuan keuangan kepada Bank dan
atau Pihak Terkait lainnya dengan
persyaratan yang
ditetapkan sedemikian rupa sehingga menyebabkan pihak
yang memberikan
bantuan keuangan mempunyai
kemampuan untuk menentukan (controlling influence)
kebijakan operasional dan atau keuangan pihak yang
menerima bantuan keuangan; dan atau
2.
terdapat transaksi yang material antara Bank dan atau
Pihak Terkait lainnya dengan suatu perusahaan sehingga
kesehatan keuangan (financial soundness) dari perusahaan
tersebut dipengaruhi secara langsung oleh Bank dan atau
Pihak Terkait lainnya.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l dan huruf m
Yang dimaksud dengan jaminan adalah janji yang diterbitkan
oleh satu pihak untuk mengambil alih dan atau melunasi
sebagian atau seluruh kewajiban pihak yang berutang dalam hal
pihak …
- 10 -
pihak
Huruf n
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan memiliki secara tidak langsung saham adalah
memiliki atau mengendalikan saham secara bersama-sama atau
melalui pihak lain, termasuk:
1. saham Bank atau perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak
lain yang hak suaranya dapat digunakan atau dikendalikan
pengendali;
2. saham Bank atau perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak
yang dikendalikan oleh pengendali;
3. saham Bank atau perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak
terafiliasi dari pengendali;
4.
saham Bank atau perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh anak
perusahaan dari perusahaan/badan yang dikendalikan oleh
pengendali;
5.
saham Bank atau perusahaan/badan lain yang dimiliki
oleh
pihak-pihak yang bertindak untuk dan atas nama pengendali
(saham nominee) berdasarkan atau tidak berdasarkan perjanjian
tertentu;
6. saham Bank atau perusahaan/badan lain dimiliki oleh pihak lain
yang
pemindahtangannya memerlukan persetujuan
pengendali;
dari
yang
(wanprestasi).
berutang
gagal memenuhi
kewajibannya
7. saham …
- 11 -
7.
saham
perusahaan/badan lain yang
perusahaan/badan yang
dikendalikan oleh
dimiliki Bank melalui
Bank
secara
berjenjang sampai dengan perusahaan/badan terakhir (ultimate
subsidiary);
8.
saham
Bank
atau perusahaan/badan lain
selain saham
sebagaimana dimaksud pada angka 1. sampai dengan angka 7.
yang dikendalikan oleh Bank atau pengendali.
Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi dari pengendali sebagaimana
dimaksud dalam angka 3. adalah:
a. Komisaris, Direksi, atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau
karyawan perusahaan pengendali;
b.
pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pejabat, atau
karyawan perusahaan pengendali, khusus bagi perusahaan yang
berbentuk hukum koperasi;
c.
pihak yang memberikan jasa kepada perusahaan pengendali,
antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan
konsultan lain yang terbukti dikendalikan oleh pengendali;
d.
pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan pengendali
baik karena
perkawinan maupun karena keturunan sampai
dengan derajat kedua baik secara horisontal maupun vertikal,
termasuk besan;
e. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta
mempengaruhi pengelolaan pengendali, antara lain pemegang
saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas,
keluarga Direksi, dan keluarga pengurus.
Ayat (3) …
- 12 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan memiliki secara tidak langsung saham adalah
memiliki atau mengendalikan saham secara bersama-sama atau
melalui pihak lain, termasuk:
1.
2.
3.
4.
saham perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak lain yang
hak suaranya dapat digunakan atau dikendalikan pengendali;
saham perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak yang
dikendalikan oleh pengendali;
saham perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak terafiliasi
dari pengendali;
saham perusahaan/badan
lain yang
dimiliki oleh anak
perusahaan dari perusahaan/badan yang dikendalikan oleh
pengendali;
5.
saham perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak-pihak
yang bertindak untuk dan atas nama pengendali (saham nominee)
berdasarkan atau tidak berdasarkan perjanjian tertentu;
6.
7.
saham perusahaan/badan lain dimiliki oleh pihak lain yang
pemindahtangannya memerlukan persetujuan dari pengendali;
perusahaan/badan
saham
perusahaan/badan yang
lain
yang
dikendalikan pengendali
dimiliki melalui
secara
berjenjang sampai dengan perusahaan/badan terakhir (ultimate
subsidiary);
8.
saham perusahaan/badan lain selain saham sebagaimana
dimaksud pada angka 1. sampai dengan angka 7. yang
dikendalikan oleh pengendali.
Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi dari pengendali sebagaimana
dimaksud pada angka 3. adalah:
a. Komisaris …
- 13 -
a. Komisaris, Direksi, atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau
karyawan perusahaan pengendali;
b.
pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pejabat, atau
karyawan perusahaan pengendali, khusus bagi perusahaan yang
berbentuk hukum koperasi;
c.
pihak yang memberikan jasa kepada perusahaan pengendali,
antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan
konsultan lain yang terbukti dikendalikan oleh pengendali;
d.
pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan pengendali
baik karena
perkawinan maupun karena keturunan sampai
dengan derajat kedua baik secara horisontal maupun vertikal,
termasuk besan;
e. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta
mempengaruhi pengelolaan pengendali, antara lain pemegang
saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas,
keluarga Direksi, dan keluarga pengurus.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Daftar rincian Pihak Terkait paling kurang memuat rincian pemegang
saham, pengurus, sektor bisnis/usaha, serta hubungan pengendalian
dari
dan
antara
masing-masing
Pihak
Terkait. Dalam hal
memungkinkan …
- 14 -
memungkinkan penyusunan daftar rincian Pihak Terkait memuat
diagram struktur kelompok usaha (corporate tree).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh:
Perusahaan A dan perusahaan B mendapatkan Penyediaan Dana
dari Bank dan masing-masing perusahaan tersebut 25 % (dua
puluh lima perseratus) atau lebih sahamnya dimiliki
oleh
perusahaan C. Oleh karena itu, perusahaan A dan perusahaan B
dikelompokkan dalam 1 (satu) kelompok Peminjam. Dalam hal
perusahaan C merupakan Peminjam pada Bank maka perusahaan
A, perusahaan B, dan perusahaan C dikelompokkan dalam 1
(satu) kelompok Peminjam.
Huruf c …
- 15 -
Huruf c
Ketergantungan keuangan
(financial interdependence) dapat
dianalisa berdasarkan beberapa faktor sebagai berikut:
1.
sedemikian
terdapat bantuan keuangan dari Peminjam kepada
Peminjam lain dengan persyaratan yang
rupa
sehingga menyebabkan pihak
(controlling influence) kebijakan
ditetapkan
yang
memberikan bantuan keuangan mempunyai kemampuan
untuk menentukan
operasional dan atau keuangan pihak yang menerima
bantuan keuangan; dan atau
2.
terdapat transaksi yang material dari Peminjam kepada
Peminjam lain sehingga kesehatan keuangan (financial
soundness) dari Peminjam lain tersebut dipengaruhi secara
langsung oleh Peminjam.
Huruf d
Yang dimaksud dengan jaminan adalah janji yang diterbitkan
oleh satu pihak untuk mengambil alih dan atau melunasi
sebagian atau seluruh kewajiban pihak yang berutang dalam hal
pihak
yang
(wanprestasi).
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
berutang
gagal memenuhi
kewajibannya
Pasal 13 …
- 16 -
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Bank mengambil alih tagihan dari PT. Z terhadap PT X without
recourse sebesar Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah),
maka BMPK Bank ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada
PT. X.
Ayat (4)
Contoh:
Bank mengambil alih tagihan dari PT. Z terhadap PT X with recourse
sebesar Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah), maka BMPK
Bank ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada PT. Z.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16 …
- 17 -
Pasal 16
Ayat (1)
Contoh:
Bank membeli surat berharga PT. X yang dimiliki Bank Z dengan janji
akan dijual kembali.
BMPK untuk Surat Berharga Yang Dibeli Dengan Janji Dijual
Kembali tersebut ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada Bank Z
sebagai penjual. Sedangkan Bank Z tetap memiliki Penyediaan Dana
surat berharga kepada PT. X sebagai penerbit surat berharga.
Selanjutnya apabila pada tanggal jatuh tempo transaksi repo Bank Z
tidak
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh :
Bank melakukan investasi di reksadana yang diterbitkan oleh PT.A
dengan harga beli sebesar Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta
rupiah) yang portofolionya terdiri dari:
1.
2.
Obligasi PT. X sebesar 60% (enam puluh perseratus);
Obligasi PT. Y sebesar 40% (empat puluh perseratus).
BMPK …
dapat melunasi tagihan repo maka Bank akan memiliki
Penyediaan Dana surat berharga kepada PT. X.
- 18 -
BMPK untuk portofolio reksadana kepada PT. X dan PT. Y dihitung
secara proporsional berdasarkan proporsi asset dasar (reference asset)
dari masing-masing PT. X yaitu sebesar 60% (enam puluh perseratus)
x Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan PT Y yaitu
sebesar 40% (empat pulu perseratus) x Rp 150.000.000 (seratus lima
puluh juta rupiah).
Ayat (3)
Contoh:
Bank melakukan investasi di reksadana yang diterbitkan oleh PT.A
dengan harga beli sebesar Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta
rupiah) yang portofolionya terdiri dari:
1)
2)
Obligasi PT. X sebesar 60% (enam puluh perseratus);
Obligasi PT. Y sebesar 40% (empat puluh perseratus).
BMPK untuk portofolio reksadana kepada PT. A adalah sebesar
Rp150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 18
Jaminan/perlindungan dalam rangka derivatif kredit (credit derivative)
tidak mengurangi eksposur Penyediaan Dana bagi pihak yang mengalihkan
risiko (protection buyer).
Huruf a
Contoh:
Bank A mengambil alih risiko kredit (protection seller) portofolio aset
keuangan dari Bank B dalam bentuk credit default swap. credit default
swap oleh Bank A kepada portofolio aset keuangan Bank B ditetapkan
sebagai …
- 19 -
sebagai Penyediaan Dana kepada Reference Entity portofolio aset
keuangan tersebut.
Huruf b
Contoh:
Bank A melakukan pembayaran kepada Bank B sejumlah bunga
tertentu ditambah kompensasi kerugian dari portofolio kredit yang
dimiliki Bank B yang telah ditetapkan sebagai aset yang mendasari
(underlying reference asset). Sementara itu, atas pembayaran dari
Bank A tersebut, Bank B membayarkan bunga yang diperoleh dari aset
yang mendasari
(underlying reference asset) kepada Bank A.
Penyediaan Dana Bank A dalam transaksi total rate of return swap ini
ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada Reference Entity dari
portofolio kredit yang dimiliki Bank B tersebut.
Huruf c
Contoh:
Penerbit credit linked notes adalah pihak yang mengalihkan risiko
kredit (protection buyer).
Bank A membeli credit linked notes dari Bank B, dimana aset yang
mendasari (underlying reference asset) dari credit linked notes
tersebut terdiri dari aset keuangan yang dimiliki Bank B. Pembelian
credit linked notes tersebut oleh Bank A diperhitungkan dalam BMPK
sebagai Penyediaan Dana kepada:
1. Bank B selaku penerbit credit linked notes; dan
2.
Reference Entity dari aset yang mendasari (underlying reference
aset) credit linked notes.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 19 …
- 20 -
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan nilai wesel yang diaksep adalah nilai bruto
tagihan terhadap debitur (applicant) atau pihak yang menjamin.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bank lain yang memberikan jaminan tetap memperhitungkan jaminan
kepada pihak
Administratif.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud transaksi derivatif yang berkaitan dengan suku bunga
atau valuta asing adalah:
a.
kontrak suku bunga seperti single currency interest rate swaps,
forward rate agreements dan instrumen serupa lainnya;
penerima jaminan dalam Transaksi Rekening
b. Kontrak …
- 21 -
b.
kontrak valuta asing seperti cross currency swap, cross currency
interest rate swap, forward foreign exchange contracts, dan
instrumen serupa lainnya.
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, transaksi derivatif yang
diperkenankan adalah transaksi yang berkaitan dengan suku bunga
atau valuta asing. Sementara itu transaksi derivatif yang berkaitan
dengan saham hanya dapat dilakukan atas izin Bank Indonesia atau
dalam rangka Penyertaan Modal atau Penyertaan Modal Sementara
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan transaksi yang mendasari (underlying
transaction) yang sejenis antara lain adalah suku bunga dengan
suku bunga, dan nilai tukar dengan nilai tukar.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f …
- 22 -
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud harga perolehan dalam ayat ini adalah harga beli
ditambah
biaya lain yang
Penyertaan Modal dilakukan.
Perhitungan harga perolehan untuk
dikeluarkan pertama kali pada saat
Penyertaan Modal berupa
penanaman dana dalam bentuk surat utang konversi (convertible bond)
dengan opsi saham (equity option) atau jenis transaksi tertentu yang
berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham adalah sebesar
nilai saham atau penyertaan yang akan dimiliki.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk dalam perubahan nilai wajar antara lain adalah
perubahan nilai dalam pencatatan penyertaan dengan metode
ekuitas …
- 23 -
ekuitas (equity method) yang telah lebih dari 1 (satu) tahun atau
pencatatan Surat Berharga yang dimiliki dengan menggunakan
nilai pasar (mark to market).
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Termasuk dalam perubahan ketentuan adalah perubahan pihak-
pihak yang dikategorikan sebagai Pihak Terkait atau kelompok
Peminjam.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Nilai yang tercatat pada tanggal laporan adalah sebagaimana diatur
dalam Standar Akuntansi Kuangan yang berlaku terhadap masing-
masing instrumen. Khusus untuk Transaksi Derivatif, nilai tercatat
pada tanggal laporan termasuk nilai Potential Future Credit Exposure.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 25 …
- 24 -
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh penggabungan
usaha, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah 1
(satu) bulan setelah akhir bulan laporan sejak disahkannya akta
penggabungan usaha oleh instansi yang berwenang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan Pemerintah Indonesia adalah pemerintah
pusat dan pemerintah daerah.
Huruf b
Angka 1)
Yang dimaksud dengan tanpa syarat (unconditional) adalah
apabila:
1. manfaat …
- 25 -
1. manfaat yang diperoleh Bank penyedia dana dari
jaminan tidak berkurang secara substansial walaupun
terjadi kerugian yang disebabkan oleh faktor-faktor di
luar kendali Bank; dan
2. tidak memuat persyaratan prosedural, seperti:
a. mempersyaratkan waktu pengajuan
pemberitahuan wanprestasi (notification of
default);
b. mempersyaratkan kewajiban pembuktian itikad
baik (good faith) oleh Bank penyedia dana; dan
atau
c. mempersyaratkan pencairan jaminan dengan
cara dilakukannya saling hapus (set-off) terlebih
dahulu dengan kewajiban Bank penyedia dana
kepada pihak penjamin.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Cukup jelas.
Angka 4)
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1)
Dalam hal agunan tunai berupa emas maka nilai agunan
ditentukan berdasarkan harga pasar (market value).
Angka 2) …
- 26 -
Angka 2)
Termasuk
dalam pengertian Penyediaan Dana yang
dijamin agunan Surat Berharga yang diterbitkan oleh
Pemerintah Indonesia dan atau Bank Indonesia adalah
Surat Berharga Yang Dibeli Dengan Janji Dijual Kembali
(reverse repurchase agreement).
Dalam hal agunan berupa Surat Utang Negara (SUN) maka
nilai agunan ditentukan berdasarkan nilai pasar (market
value) SUN tersebut atau dalam hal tidak tersedia nilai
pasar ditentukan berdasarkan nilai wajar (fair value).
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Yang dimaksud dengan tanpa syarat (unconditional)
adalah apabila:
1. manfaat yang diperoleh Bank Penyedia Dana
dari jaminan tidak berkurang secara substansial
walaupun terjadi kerugian yang disebabkan oleh
faktor-faktor di luar kendali Bank; dan
2.
tidak memuat persyaratan prosedural, seperti:
a. mempersyaratkan waktu pengajuan
pemberitahuan wanprestasi (notification of
default);
b. mempersyaratkan kewajiban
pembuktian
itikad baik (good faith) oleh Bank penyedia
dana; dan atau
c. mempersyaratkan …
- 27 -
c. mempersyaratkan pencairan jaminan
dengan cara dilakukannya saling hapus (set-
off) terlebih dahulu dengan kewajiban Bank
penyedia dana kepada pihak penjamin.
Huruf c)
Cukup jelas.
Huruf d)
Cukup jelas.
Huruf e)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Program penjaminan Pemerintah yang
berlaku adalah yang
diselenggarakan oleh Unit Pelaksana Program Penjaminan atau Lembaga
Penjamin Simpanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 30 …
- 28 -
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud program penjaminan Pemerintah tidak meliputi
Penempatan termasuk apabila Penempatan tidak memenuhi syarat
untuk dijamin berdasarkan program penjaminan Pemerintah.
Program penjaminan Pemerintah mengacu kepada peraturan
perundang-undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Ayat (2)
Penempatan dengan jangka waktu sampai dengan 14 (empat belas)
hari namun tidak untuk tujuan manajemen likuiditas, misalnya
penempatan yang diperpanjang terus-menerus dalam jumlah yang
signifikan dan relatif tetap, diperhitungkan dalam BMPK.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bank lain di Indonesia adalah bank umum dan
bank perkreditan rakyat.
Yang dimaksud dengan konsolidasi pada ayat ini adalah konsolidasi
laporan keuangan dan konsolidasi dalam pelaksanaan prinsip kehati-
hatian yang antara lain mencakup kewajiban penyediaan modal
minimum, batas maksimum pemberian kredit, dan posisi devisa neto
serta tindak lanjut pengawasan dan penetapan status Bank.
Ayat (2)
Huruf a
Kewajiban melakukan konsolidasi
Akuntansi Keuangan yang berlaku.
sesuai
dengan Standar
Huruf b …
- 29 -
Huruf b
Penerapan pengawasan Bank dan investee meliputi penerapan
ketentuan kehati-hatian yaitu kewajiban
minimum, batas maksimum pemberian kredit, dan posisi devisa
neto serta tindak lanjut pengawasan dan penetapan status Bank.
Huruf c
Ketentuan yang berlaku antara lain adalah Peraturan Bank
Indonesia tentang
Penyertaan Modal.
Prinsip Kehati-hatian Dalam
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan tanpa syarat (unconditional) adalah
apabila:
1. manfaat yang diperoleh Bank penyedia dana dari jaminan
tidak
berkurang
kerugian yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendali
Bank; dan
2. tidak …
Kegiatan
penyediaan modal
secara substansial walaupun terjadi
- 30 -
2. tidak memuat persyaratan prosedural, seperti:
a. mempersyaratkan waktu pengajuan pemberitahuan
wanprestasi (notification of default);
b. mempersyaratkan kewajiban pembuktian itikad baik
(good faith) oleh Bank penyedia dana; dan atau
c. mempersyaratkan pencairan jaminan dengan cara
dilakukannya saling hapus (set-off) terlebih dahulu
dengan kewajiban Bank penyedia dana kepada pihak
penjamin.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35 …
- 31 -
Pasal 35
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan lembaga pembangunan multilateral
dalam huruf ini adalah International Bank for Reconstruction
and Development (IBRD), Inter-American Development Bank,
Asian Development Bank (ADB), International Finance
Corporation (IFC), European Investment Bank (EIB), Islamic
Development Bank (IDB), Council of Europe Social
Development Fund (Council of Europe Resettlement Fund),
Nordic Investment Bank, European Bank for Reconstruction and
Development (EBRD), European Investment Fund, Inter-
American Investment Corporation, dan Africa Development
Bank (AfDB), serta lembaga pembangunan multilateral lainnya
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf c
Angka 1)
Yang dimaksud dengan tanpa syarat (unconditional) adalah
apabila:
1. manfaat yang diperoleh Bank penyedia dana dari
jaminan
tidak
berkurang
secara
substansial
(berdasarkan asas materialitas) walaupun terjadi
kerugian yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar
kendali Bank; dan
2. tidak …
- 32 -
2. tidak memuat persyaratan prosedural, seperti:
a. mempersyaratkan waktu pengajuan
pemberitahuan wanprestasi (notification of
default);
b. mempersyaratkan kewajiban pembuktian itikad
baik (good faith) oleh Bank penyedia dana; dan
atau
c. mempersyaratkan pencairan jaminan dengan
cara dilakukannya saling hapus (set-off) terlebih
dahulu dengan kewajiban Bank penyedia dana
kepada pihak penjamin.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Cukup jelas.
Angka 4)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 33 -
Ayat (2)
Dalam hal Penyertaan Modal Sementara untuk mengatasi kegagalan
Kredit dilakukan kepada pihak yang bukan merupakan Pihak Terkait,
BMPK untuk Penyediaan Dana baru ditetapkan sebagai BMPK untuk
pihak yang bukan merupakan Pihak Terkait.
Pasal 37
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Agunan yang diberikan nasabah diikat untuk kepentingan Bank
sehingga Bank dapat secara langsung melakukan eksekusi agunan
dalam hal terjadi wanprestasi.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 38
Huruf a.
Yang dimaksud dengan pola kemitraan adalah pola pengembangan
dengan menggunakan perusahaan inti yang membantu membimbing
perusahaan rakyat sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem
kerjasama yang saling menguntungkan, utuh, dan berkesinambungan.
Huruf b …
- 34 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan diberikan secara wajar antara lain :
1. berdasarkan kemampuan untuk mengembalikan Kredit yang diterima;
2. tatacara penilaian pemberian Kredit dilakukan dengan memperhatikan
prinsip kehati-hatian yang setara dengan pemberian Kredit kepada
pihak-pihak yang bukan merupakan Pejabat Eksekutif Bank;
3. tidak ada perlakuan khusus antar Pejabat Eksekutif Bank dalam
pemberian Kredit; dan
4. tatacara pemberian Kredit diatur dalam peraturan kepegawaian yang
berlaku umum.
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan BUMN dalam Pasal ini adalah badan usaha
yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
negara
melalui …
- 35 -
melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang
dipisahkan sebagaimana diatur dalam perundang-
undangan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan Penyediaan Dana kepada BUMN untuk
tujuan pembangunan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak
adalah Penyediaan Dana untuk:
1. pengadaan pangan;
2. pengadaan rumah sangat sederhana;
3. pengadaan/penyediaan/pengelolaan minyak dan gas bumi;
4. pengadaan/penyediaan/pengelolaan air;
5. pengadaan/penyediaan/pengelolaan listrik;
6. pengadaan infrastruktur penunjang transportasi darat, laut, dan
udara berupa pembangunan jalan, jembatan, rel kereta api,
pelabuhan laut dan bandar udara.
Ayat (2) dan ayat (3)
Yang dimaksud dengan BUMD dalam ayat ini adalah badan usaha
yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh pemerintah
daerah melalui penyertaan secara langsung yang
kekayaan daerah yang
berasal dari
dipisahkan sebagaimana diatur dalam
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 36 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Termasuk yang disesuaikan antara lain definisi Penyediaan Dana,
BMPK untuk Kelompok Peminjam, BMPK untuk Kredit yang dijamin
oleh lembaga pembangunan multilateral.
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pelaksanaan ketentuan BMPK antara lain
adalah perhitungan Penyediaan Dana, perhitungan Modal, penentuan
kelompok Peminjam dan atau penentuan Pihak Terkait.
Ayat (2)
Koreksi terhadap laporan kepada Bank Indonesia dan laporan
publikasi dilakukan paling kurang untuk periode berikutnya sejak
ditetapkannya koreksi Bank Indonesia.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45 …
- 37 -
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4472
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/3/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 20 Januari 2005 </set_date>
<effective_date> 20 Januari 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '2/5/PBI/2000', '2/16/PBI/2000', '31/177/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
1
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/13/PBI/2016
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI
KEPADA BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah;
b. bahwa untuk mendukung kestabilan nilai Rupiah
dibutuhkan pendalaman pasar valuta asing domestik
yang salah satunya dilakukan melalui pengembangan
transaksi swap dalam rangka lindung nilai kepada Bank
Indonesia;
c. bahwa untuk menjaga integritas dalam transaksi swap
lindung nilai kepada Bank Indonesia perlu dilakukan
harmonisasi atas pengaturan acuan pengenaan sanksi
yang sejalan dengan perkembangan kebijakan moneter
Bank Indonesia;
d. bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
melakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 15/17/PBI/2013 tentang Transaksi
Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia;
-2-
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG
NILAI KEPADA BANK INDONESIA.
Pasal I
Ketentuan Pasal 15 dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/17/PBI/2013 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai
Kepada Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 237, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5480) sebagaimana telah beberapa
kali diubah dengan Peraturan Bank Indonesia:
a. Nomor 16/19/PBI/2014 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 215, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5583);
b. Nomor 18/8/PBI/2016 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 94, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5881),
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
-3-
Pasal 15
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 6 ayat (5), Pasal 6 ayat (6),
Pasal 7 ayat (1), dan/atau Pasal 7 ayat (3) dikenakan
sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,1% (nol koma satu
persen) dari nilai Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia dalam denominasi Rupiah
dengan menggunakan:
1. kurs JISDOR untuk Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia dalam Dolar
Amerika Serikat terhadap Rupiah; dan/atau
2. kurs tengah transaksi Bank Indonesia untuk
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia dalam valuta asing selain Dolar
Amerika Serikat terhadap Rupiah,
pada tanggal transaksi.
(2) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b paling banyak sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per Transaksi
Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
(3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 huruf c dan/atau Pasal 12 ayat (1)
dikenakan sanksi berupa teguran tertulis.
(4) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2) dan/atau Pasal 13 ayat (3)
dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:
1. rata-rata suku bunga efektif Fed Fund yang
berlaku selama
ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis
periode keterlambatan
-4-
point dikalikan nominal transaksi dikalikan hari
keterlambatan dibagi dengan 360 (tiga ratus
enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban
pembayaran dalam valuta Dolar Amerika
Serikat;
2. rata-rata suku bunga kebijakan Bank Indonesia
yang berlaku selama periode keterlambatan
ditambah margin sebesar 350 (tiga ratus lima
puluh) basis point dikalikan nominal transaksi
dikalikan hari keterlambatan dibagi dengan 360
(tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian
kewajiban pembayaran dalam Rupiah;
3. rata-rata suku bunga yang dikeluarkan oleh
bank sentral atau otoritas moneter di negara
valuta yang bersangkutan (official rate) yang
berlaku selama periode keterlambatan
ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis
point dikalikan nominal transaksi dikalikan hari
keterlambatan dibagi dengan 360 (tiga ratus
enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban
pembayaran dalam valuta asing selain Dolar
Amerika Serikat.
(5) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui
pendebetan rekening giro Rupiah Bank yang
bersangkutan pada Bank Indonesia.
(6) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf b angka 1 atau angka 2
dilakukan melalui pendebetan rekening giro valuta asing
atau rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan pada
Bank Indonesia.
(7) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf b angka 3 dilakukan
melalui pendebetan rekening giro Rupiah Bank yang
bersangkutan pada Bank Indonesia dengan konversi nilai
ke Rupiah menggunakan kurs tengah Bank Indonesia
pada tanggal penyelesaian transaksi.
-5-
(8) Bank Indonesia dapat mengubah besaran margin
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi dan perubahan besaran margin sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 19
Agustus 2016.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Agustus 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Agustus 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 173
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/13 / PBI/ 2016
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI
KEPADA BANK INDONESIA
I. UMUM
Dalam upaya mendukung pendalaman pasar valuta asing domestik
dalam kondisi masih terbatasnya instrumen swap di pasar keuangan
dengan jangka waktu menengah panjang, Bank Indonesia menyediakan
instrumen swap Lindung Nilai bagi pelaku pasar domestik yang
diharapkan dapat membantu pengelolaan likuiditas dan pemeliharaan
stabilitas nilai tukar Rupiah. Bank Indonesia secara berkesinambungan
terus melakukan pengembangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia. Pengembangan terkini atas Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia dilakukan sejalan dengan kebijakan Bank
Indonesia dalam mereformulasi suku bunga kebijakan yang bertujuan
untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter. Suku
bunga kebijakan Bank Indonesia digunakan sebagai acuan dalam
pengenaan sanksi atas Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia dalam upaya untuk menjaga integritas dalam Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 15
- 2 -
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “rata-rata suku bunga
efektif Fed Fund” adalah rata-rata suku bunga
efektif Fed Fund pada 1 (satu) hari kerja sebelum
tanggal terjadinya pelanggaran.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “suku bunga kebijakan
Bank Indonesia” adalah Bank Indonesia 7-day
Reverse Repo Rate (BI 7-day Repo Rate).
Angka 3
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5920
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/13/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 10 Agustus 2016 </set_date>
<effective_date> 19 Agustus 2016 </effective_date>
<issued_date> 15 Agustus 2016 </issued_date>
<changed_reg> '15/17/PBI/2013' </changed_reg>
<extension_of> '16/19/PBI/2014', '18/8/PBI/2016' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Pasal 15' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/16/PBI/2005
TENTANG
PENYIMPANAN SEKURITAS, SURAT YANG BERHARGA DAN BARANG
BERHARGA PADA BANK INDONESIA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia melakukan kegiatan penyimpanan
sekuritas, surat yang berharga dan barang berharga dalam
rangka mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Bank
Indonesia;
b. bahwa untuk lebih meningkatkan efektifitas dan efisiensi
kegiatan penyimpanan pada Bank Indonesia, Bank Indonesia
memandang perlu untuk mengatur kembali jenis simpanan,
pihak yang dapat menyimpan, dan mekanisme penyimpanan
pada Bank Indonesia;
c. bahwa sehubungan dengan huruf a dan huruf b di atas,
dipandang
perlu untuk menyempurnakan ketentuan
mengenai penyimpanan sekuritas, surat yang berharga dan
barang berharga pada Bank Indonesia dalam suatu Peraturan
Bank Indonesia;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik …
- 2 -
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA
TENTANG
PENYIMPANAN SEKURITAS, SURAT YANG BERHARGA
DAN BARANG BERHARGA PADA BANK INDONESIA.
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Simpanan adalah benda milik pihak tertentu yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia yang disimpan dan ditatausahakan pada Bank Indonesia.
2. Penyimpan adalah pihak tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang
dapat melakukan penyimpanan pada Bank Indonesia.
3. Sekuritas adalah surat berharga dalam bentuk fisik (warkat) yang mempunyai
nilai uang yang dapat diperdagangkan di pasar uang dan atau pasar modal.
4. Surat Yang Berharga adalah dokumen yang mempunyai nilai bagi Penyimpan
yang tidak dapat diperdagangkan di pasar uang dan atau pasar modal.
5. Barang Berharga adalah uang, dan barang yang menurut penilaian Penyimpan
mempunyai nilai jual tinggi.
Pasal 2
(1) Bank Indonesia dapat menerima Simpanan dari Penyimpan.
(2) Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Sekuritas, antara lain saham dan obligasi;
b. Surat …
- 3 -
b. Surat Yang
perjanjian;
Berharga, antara lain sertifikat tanah dan dokumen
c. Barang Berharga, antara lain, uang baik dalam Rupiah maupun valuta
asing, logam mulia, platina dan batu mulia.
(3) Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terkait dengan:
a. kelancaran pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam rangka kebijakan
moneter; atau
b. penyitaan oleh penyidik dan atau penetapan sita oleh pengadilan tingkat
pertama dalam perkara pidana, perdata atau tata usaha negara dalam
rangka penanganan kasus yang berdampak luas.
(4) Simpanan yang dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan Simpanan yang
dianggap
berbahaya atau dilarang
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
Penyimpan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri dari:
a. Lembaga kementerian baik departemen maupun non departemen;
b. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia,
Komisi Pemberantasan Korupsi dan lembaga lain yang mempunyai
kewenangan penyidikan berdasarkan Undang-Undang;
Pengadilan tingkat pertama;
c.
d. Pemerintah daerah tingkat I dan tingkat II.
Pasal 4
(1) Bank Indonesia menerima Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) berdasarkan permohonan secara tertulis dari Penyimpan.
(2) Bank…
oleh Pemerintah atau peraturan
- 4 -
(2) Bank Indonesia dapat menolak permohonan penyimpanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) apabila tidak memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 3 serta
pertimbangan lainnya.
Pasal 5
(1) Penyimpan dapat menentukan jangka waktu penyimpanan pada Bank
Indonesia.
(2) Jangka waktu penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penyimpanan.
(3) Jangka waktu penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dapat diperpanjang paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal jatuh
waktu Simpanan.
(4)
Jangka waktu penyimpanan untuk Sekuritas dapat disesuaikan dengan
maksimal jangka waktu Sekuritas dimaksud.
Pasal 6
(1) Perpanjangan jangka waktu penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (3) dilakukan oleh Penyimpan dengan mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia dapat menerima atau menolak permohonan perpanjangan
jangka waktu penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 7
(1) Simpanan yang telah jatuh waktu harus diambil oleh Penyimpan.
(2) Penyimpan …
- 5 -
(2)
Penyimpan dapat mengambil Simpanan sebelum jatuh waktu dengan
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia.
Pasal 8
(1)
(2)
Bank Indonesia dapat memutuskan hubungan penyimpanan dengan
pertimbangan tertentu.
Dalam
hal
Bank
Indonesia memutuskan
hubungan
penyimpanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Simpanan harus diambil oleh
Penyimpan.
Pasal 9
(1) Penatausahaan Simpanan pada Bank Indonesia mencakup penerimaan,
penyimpanan dan penyerahan Simpanan.
(2) Dalam rangka penatausahaan Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bank Indonesia menerbitkan:
a. Bukti Depot Simpanan (BDS) sebagai bukti penerimaan Simpanan pada
Bank Indonesia;
b. Bukti Penyerahan Simpanan (BPS) sebagai bukti penyerahan Simpanan
oleh Bank Indonesia.
Pasal 10
(1) Bank Indonesia menerbitkan BDS pengganti untuk BDS yang hilang atau
rusak berdasarkan permohonan secara tertulis dari Penyimpan.
(2) Bank Indonesia dapat menolak permohonan penggantian BDS yang hilang
atau rusak.
(3) BDS …
- 6 -
(3) BDS yang dilaporkan hilang atau rusak dinyatakan tidak berlaku setelah
diterbitkannya BDS pengganti.
Pasal 11
Bank Indonesia tidak mengenakan biaya atas Simpanan yang ditatausahakan
pada Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Bank Indonesia mengkategorikan Simpanan menjadi Simpanan kadaluarsa
apabila:
a. Simpanan telah jatuh waktu dan tidak diambil oleh Penyimpan; atau
b. Permohonan perpanjangan secara tertulis dari Penyimpan diterima
setelah lewat jatuh waktu Simpanan; atau
c. Simpanan telah diputus hubungan penyimpanannya oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan tidak diambil oleh
Penyimpan.
(2)
Dalam hal Simpanan
dikategorikan
sebagaimana dimaksud pada ayat
Simpanan dimaksud.
(1), Penyimpan
sebagai Simpanan kadaluarsa
harus mengambil
(3) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Penyimpan perihal
penyelesaian Simpanan kadaluarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal Penyimpan tidak memberikan tanggapan atas surat
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia dapat
mengalihkan Simpanan kadaluarsa kepada pihak yang berwenang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal …
- 7 -
Pasal 13
(1) Penyimpan bertanggungjawab sepenuhnya atas kebenaran jumlah, isi, nilai
dan kualitas Simpanan yang disebutkan dalam BDS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a.
(2) Bank Indonesia dibebaskan dari tanggung jawab apabila terjadi kehilangan,
kerusakan, penyusutan, kadaluarsa dan atau hal-hal lain yang mungkin
timbul atas Simpanan yang mengakibatkan berkurangnya nilai, kualitas dan
atau fisik Simpanan.
Pasal 14
(1) Bank Indonesia melakukan penyelesaian atas simpanan yang ditatausahakan
pada Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Jangka waktu penyelesaian simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling lambat 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini.
(3) Dalam hal simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
terselesaikan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Bank Indonesia dapat mengalihkan penatausahaan simpanan kepada
pihak yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 15
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal …
- 8 -
Pasal 16
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia Nomor 27/142/KEP/DIR tanggal 23 Februari 1995 tentang
Penyimpanan Sekuritas, Surat Yang Berharga dan Barang Berharga Pada Bank
Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2005.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 54
….
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/16/PBI/2005
TENTANG
PENYIMPANAN SEKURITAS, SURAT YANG BERHARGA DAN BARANG
BERHARGA PADA BANK INDONESIA
UMUM
berharga dan barang
Bank Indonesia melakukan kegiatan penyimpanan sekuritas, surat yang
berharga bertujuan untuk mendukung kelancaran
pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Pelaksanaan kegiatan penyimpanan dimaksud
selama ini dipandang tidak efisien dan tidak efektif sehubungan dengan terlalu
luasnya cakupan jenis simpanan, pihak penyimpan, dan ketidakjelasan
mekanisme penyimpanan.
Sehubungan hal tersebut, dalam rangka mendukung efektifitas dan
efisiensi pelaksanaan kegiatan penyimpanan pada Bank Indonesia, dipandang
perlu untuk menyempurnakan ketentuan mengenai penyimpanan sekuritas, surat
yang berharga dan barang berharga pada Bank Indonesia, sebagaimana diatur
dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/142/KEP/DIR tanggal
23 Februari 1995.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat …
- 2 -
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang termasuk batu mulia antara lain berlian, intan, dan
permata.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kasus yang berdampak luas” antara lain
yang
dapat menimbulkan dampak
nasional.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “Simpanan yang dianggap berbahaya atau
dilarang oleh Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku” antara lain senjata api, peluru, bahan peledak, bahan kimia,
senjata tajam, narkotika dan psikotropika.
Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Lembaga kementerian baik departemen
maupun non departemen” adalah baik yang berkedudukan di pusat
maupun daerah namun tidak termasuk badan-badan usaha milik
negara dan daerah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf …
berskala regional atau
- 3 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pertimbangan lainnya” antara lain keterbatasan
kapasitas ruangan penyimpanan di Bank Indonesia.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penolakan permohonan perpanjangan jangka waktu penyimpanan
dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain keterbatasan
kapasitas ruangan penyimpanan di Bank
Indonesia dan atau
Penyimpan mengajukan permohonan perpanjangan setelah melewati
tanggal jatuh waktu Simpanan.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Simpanan yang telah jatuh waktu” adalah
Simpanan yang telah melewati tanggal jatuh waktu Simpanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal …
- 4 -
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” antara lain adalah
keterbatasan kapasitas ruangan penyimpanan di Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kegiatan penyerahan Simpanan termasuk
kegiatan penyelesaian Simpanan kadaluarsa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penolakan permohonan antara lain dapat disebabkan oleh
ketidaksesuaian antara data dalam surat permohonan dengan data
yang tercantum dalam BDS yang
Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat …
ditatausahakan di Bank
- 5 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Proses penyelesaian atas Simpanan kadaluarsa yang telah dialihkan
selanjutnya merupakan tanggung jawab pihak yang berwenang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “simpanan” adalah simpanan sebagaimana
dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
27/142/KEP/DIR tanggal 23 Februari 1995 tentang Penyimpanan
Sekuritas, Surat Yang Berharga dan Barang Berharga Pada Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
.....
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4508
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/16/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PENYIMPANAN SEKURITAS, SURAT YANG BERHARGA DAN BARANG BERHARGA PADA BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 1 Juli 2005 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '27/142/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/19/PBI/2005
TENTANG
PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN
SURAT UTANG NEGARA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah ditunjuk oleh Pemerintah sebagai agen
untuk melaksanakan lelang Surat Utang Negara di pasar perdana
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 66/KMK.01/2003
tanggal 10 Februari 2003;
b. bahwa ketentuan pelaksanaan lelang Surat Utang Negara di pasar
perdana telah diubah oleh Pemerintah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 45/PMK.06/2005 tanggal 14 Juni 2005 tentang
Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas
dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan Penerbitan,
Penjualan dan Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara
dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang- …
-2-
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4236);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERBITAN,
PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN
SURAT UTANG NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang …
-3-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional.
2. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang
Surat Utang Negara, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi
Negara.
3. Surat Perbendaharaan Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu
sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto.
4. Obligasi Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu lebih dari 12
(dua belas) bulan dengan kupon dan atau dengan pembayaran bunga secara
diskonto.
5. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara untuk
pertama kali.
6.
Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah dijual
di Pasar Perdana.
7. Peserta Lelang adalah pihak yang disetujui oleh Menteri Keuangan Republik
Indonesia untuk dapat ikut serta dalam lelang Surat Utang Negara.
8. Yield to Maturity atau Yield adalah tingkat imbal hasil (keuntungan) yang
diharapkan oleh investor dalam persentase per tahun.
9. Penawaran Pembelian Kompetitif (competitive bidding) adalah pengajuan
penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan tingkat imbal hasil
(Yield) yang diinginkan penawar.
10. Penawaran Pembelian Non-kompetitif (non-competitive bidding) adalah pengajuan
penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa tingkat imbal hasil
(Yield) yang diinginkan penawar.
11. Lelang Surat Utang Negara adalah penjualan Surat Utang Negara yang diikuti oleh
Peserta Lelang dan Bank Indonesia atau hanya diikuti oleh Peserta Lelang, dengan
cara …
-4-
cara mengajukan Penawaran Pembelian Kompetitif dan atau Penawaran
Pembelian Non-kompetitif dalam suatu periode waktu penawaran yang telah
ditentukan dan diumumkan sebelumnya.
12. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi penatausahaan
surat berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan Bank, Sub-
Registry dan pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia.
13. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian, yang
disetujui Bank Indonesia untuk melakukan fungsi penatausahaan surat berharga
termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan nasabah.
14. Delivery Versus Payment yang untuk selanjutnya disebut DVP adalah setelmen
transaksi Surat Utang Negara dengan cara setelmen surat berharga melalui Bank
Indonesia - Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) dilakukan bersamaan
dengan setelmen dana di Bank Indonesia melalui Sistem Bank Indonesia - Real
Time Gross Settlement (BI-RTGS).
15. Free of Payment yang untuk selanjutnya disebut FoP adalah setelmen transaksi
Surat Utang Negara dengan cara setelmen surat berharga dilakukan melalui Bank
Indonesia - Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS), sedangkan setelmen
dana dilakukan tidak secara bersamaan dengan setelmen surat berharga atau tanpa
setelmen dana.
BAB II
FUNGSI BANK INDONESIA
DALAM PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA
PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA
Pasal 2
Dalam rangka membantu Pemerintah untuk mengelola Surat Utang Negara, Bank
Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. memberikan …
-5-
a. memberikan masukan dalam rangka menetapkan ketentuan dan persyaratan
penerbitan Surat Utang Negara;
b.
bertindak sebagai agen lelang dalam penjualan Surat Utang Negara di Pasar
Perdana yang antara lain melakukan seleksi dan mengusulkan calon Peserta
Lelang kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia, melakukan evaluasi
keaktifan Peserta Lelang, mengumumkan Peserta Lelang yang disetujui dan atau
dicabut persetujuannya sebagai Peserta Lelang oleh Menteri Keuangan Republik
Indonesia, mengumumkan rencana Lelang Surat Utang Negara, melaksanakan
Lelang Surat Utang Negara, dan mengumumkan keputusan hasil Lelang Surat
Utang Negara;
c.
dapat bertindak sebagai agen dalam pembelian dan penjualan Surat Utang Negara
di Pasar Sekunder untuk kepentingan Pemerintah dan atas permintaan Menteri
Keuangan Republik Indonesia;
d. menatausahakan Surat Utang Negara yang mencakup pencatatan kepemilikan,
kliring dan setelmen, serta agen pembayar bunga (kupon) dan pokok Surat Utang
Negara.
BAB III
KARAKTERISTIK SURAT UTANG NEGARA
Pasal 3
Surat Utang Negara yang ditatausahakan oleh Bank Indonesia mempunyai karakteristik
sebagai berikut:
a. Surat Perbendaharaan Negara:
1. diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat (scripless);
2. diterbitkan dalam bentuk yang diperdagangkan atau dalam bentuk yang tidak
diperdagangkan di Pasar Sekunder;
3. diterbitkan …
-6-
3. diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dan
pembayaran bunga secara diskonto;
b. Obligasi Negara:
1. diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat (scripless);
2. diterbitkan dalam bentuk yang diperdagangkan atau dalam bentuk yang tidak
diperdagangkan di Pasar Sekunder;
3. diterbitkan dengan jangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon
mengambang (variable rate), kupon tetap (fixed rate), dan atau pembayaran
bunga secara diskonto.
BAB IV
PERSYARATAN DAN KEWAJIBAN PESERTA LELANG SURAT UTANG
NEGARA DI PASAR PERDANA
Pasal 4
(1) Pihak yang dapat menjadi Peserta Lelang adalah Bank, Perusahaan Pialang Pasar
Uang Rupiah dan Valuta Asing, dan Perusahaan Efek yang memenuhi kriteria dan
persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia.
(2) Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan kriteria dan persyaratan bagi
calon Peserta Lelang, sebagai berikut :
a. Bank
1. memiliki izin usaha yang masih berlaku dari Bank Indonesia sebagai
Bank;
2. memenuhi persyaratan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)
berdasarkan Ketentuan Bank Indonesia; dan
3. menjadi peserta Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System
(BI-SSSS).
b. Perusahaan …
-7-
b. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
1. memiliki izin usaha yang masih berlaku dari Bank Indonesia sebagai
Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing;
2. memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua) orang tenaga ahli di bidang Pasar
Uang;
3. Aktif melakukan kegiatan di Pasar Uang dan atau melakukan transaksi
perdagangan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang tercermin dari aktivitas
pengajuan penawaran dalam lelang di Pasar Perdana SBI 1 (satu) bulan
secara kumulatif minimal 1% (satu per seratus) dari total jumlah
penerbitan dalam 3 (tiga) bulan terakhir; dan
4. menjadi peserta Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System
(BI-SSSS).
c. Perusahaan Efek
1. memiliki izin usaha yang masih berlaku dari Badan Pengawas Pasar
Modal (Bapepam) sebagai Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan atau Perantara Pedagang Efek
yang mengadministrasikan rekening efek nasabah;
2. mempunyai pengalaman sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) tahun dalam
kegiatan transaksi di Pasar Modal; dan
3. menjadi peserta Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System
(BI-SSSS).
Pasal 5
(1) Bank Indonesia sebagai agen lelang melakukan seleksi dan mengusulkan calon
Peserta Lelang kepada Menteri Keuangan berdasarkan kriteria dan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).
(2) Dalam …
-8-
(2) Dalam melakukan seleksi calon Peserta Lelang khususnya bagi Perusahaan Efek,
Bank Indonesia dapat melakukan koordinasi dengan Bapepam untuk memperoleh
informasi terkait yang diperlukan.
(3) Menteri Keuangan Republik Indonesia menyetujui atau menolak Peserta Lelang
berdasarkan hasil seleksi dan usulan calon Peserta Lelang yang dilakukan oleh
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Bank Indonesia mengumumkan Peserta Lelang yang telah disetujui oleh Menteri
Keuangan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 6
Peserta Lelang yang telah disetujui wajib memelihara pemenuhan kriteria dan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) selama menjadi Peserta
Lelang.
Pasal 7
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi keaktifan Peserta Lelang secara berkala
berdasarkan persyaratan sebagai berikut :
a. Peserta Lelang wajib melakukan penawaran pembelian paling sedikit 4
(empat) kali dalam 12 (dua belas) kali Lelang Surat Utang Negara terakhir;
atau
b. Peserta Lelang wajib melakukan penawaran pembelian paling sedikit 1 (satu)
kali dalam 4 (empat) kali Lelang Surat Utang Negara secara berturut-turut.
(2) Dalam hal Peserta Lelang adalah Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan
Valuta Asing maka keaktifan Peserta Lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan hanya untuk Lelang Surat Perbendaharaan Negara.
(3) Bank …
-9-
(3) Bank Indonesia menyampaikan hasil evaluasi keaktifan Peserta Lelang yang tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kepada Menteri
Keuangan Republik Indonesia.
Pasal 8
(1) Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Surat Utang Negara wajib menjamin
kecukupan dana pada Bank pembayar yang ditunjuk sampai dengan batas akhir
waktu setelmen yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Peserta Lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memenuhi
kewajiban sampai dengan batas akhir waktu setelmen akibat Bank yang melakukan
setelmen pembayaran tidak memiliki saldo yang mencukupi dalam rekening giro
Rupiah Bank di Bank Indonesia maka seluruh hasil Lelang Surat Utang Negara
yang setelmennya dilakukan melalui Bank tersebut dinyatakan batal.
BAB V
PEMBELIAN SURAT UTANG NEGARA DI PASAR PERDANA
Pasal 9
(1) Orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang
terorganisasi dapat membeli Surat Utang Negara di Pasar Perdana.
(2) Pembelian Surat Utang Negara di Pasar Perdana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dilakukan dengan mengajukan penawaran pembelian kepada agen lelang
Bank Indonesia, melalui Peserta Lelang yang terdiri dari Bank, Perusahaan Pialang
Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing, dan Perusahaan Efek.
(3) Dalam Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana, Bank dan Perusahaan Efek
dapat mengajukan penawaran pembelian untuk dan atas nama diri sendiri dan
pihak …
-10-
pihak lain sedangkan Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
hanya dapat mengajukan penawaran pembelian untuk dan atas nama pihak lain.
(4) Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing dapat melakukan
pembelian Surat Utang Negara hanya untuk jenis Surat Perbendaharaan Negara.
Pasal 10
(1) Bank Indonesia dapat membeli Surat Utang Negara di Pasar Perdana hanya untuk
jenis Surat Perbendaharaan Negara.
(2) Pembelian Surat Perbendaharaan Negara di Pasar Perdana oleh Bank Indonesia
dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut :
a. Penawaran pembelian dilakukan secara langsung tanpa melalui Peserta
Lelang;
b. Penawaran pembelian dilakukan secara Non-kompetitif.
BAB VI
LELANG SURAT UTANG NEGARA DI PASAR PERDANA
Pasal 11
Dalam pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana, Menteri Keuangan
Republik Indonesia menetapkan dan menyampaikan pemberitahuan kepada Bank
Indonesia sebagai agen lelang, hal-hal sebagai berikut :
a. Rencana Lelang Surat Utang Negara yang mencakup tanggal dan waktu
pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara, jenis dan jangka waktu Surat Utang
Negara, target indikatif Surat Utang Negara yang ditawarkan, tanggal penerbitan,
tanggal setelmen, tanggal jatuh tempo, mata uang, waktu pengumuman hasil
Lelang Surat Utang Negara dan persentase alokasi Penawaran Pembelian Non-
kompetitif Surat Utang Negara yang akan ditawarkan;
b. Keputusan …
-11-
b.
Keputusan hasil lelang Surat Utang Negara yang mencakup kuantitas Lelang Surat
Utang Negara secara keseluruhan, nama pemenang, nilai nominal dan tingkat
diskonto atau Yield;
c.
Penolakan seluruh atau sebagian dari penawaran pembelian Surat Utang Negara
yang masuk selama pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara.
Pasal 12
(1) Penawaran pembelian dalam Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dapat
dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif atau dengan cara
kombinasi Penawaran Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non-
kompetitif.
(2) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Surat Utang Negara
baik secara langsung maupun melalui Peserta Lelang lain untuk dan atas nama diri
sendiri maka penawaran pembelian hanya dapat dilakukan dengan cara Penawaran
Pembelian Kompetitif.
(3) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Surat Perbendaharaan
Negara untuk dan atas nama pihak lain maka penawaran pembelian hanya dapat
diajukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif.
(4) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Obligasi Negara untuk
dan atas nama pihak lain maka penawaran pembelian dapat diajukan dengan cara
Penawaran Pembelian Kompetitif dan atau Penawaran Pembelian Non-kompetitif.
Pasal 13
(1) Bank Indonesia melakukan Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana sesuai
kebutuhan Pemerintah dan atas permintaan Menteri Keuangan Republik Indonesia.
(2) Bank …
-12-
(2) Bank Indonesia mengumumkan rencana Lelang Surat Utang Negara di Pasar
Perdana berdasarkan penetapan dan pemberitahuan oleh Menteri Keuangan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a.
Pasal 14
(1) Penetapan harga Surat Utang Negara bagi pemenang Lelang Surat Utang Negara
dengan Penawaran Pembelian Kompetitif dilakukan dengan metode harga
beragam (multiple price).
(2) Penetapan harga Surat Utang Negara bagi pemenang Lelang Surat Utang Negara
dengan Penawaran Pembelian Non-kompetitif dilakukan berdasarkan harga rata-
rata tertimbang (weighted average price) hasil Lelang Surat Utang Negara dengan
Penawaran Pembelian Kompetitif.
(3) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana
kepada Peserta Lelang berdasarkan penetapan dan pemberitahuan Menteri
Keuangan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 huruf b.
(4) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana
secara keseluruhan kepada Peserta Lelang dan publik pada hari pelaksanaan
Lelang Surat Utang Negara yang mencakup sekurang-kurangnya kuantitas lelang
secara keseluruhan, rata-rata tertimbang tingkat diskonto atau Yield dan tingkat
diskonto atau Yield terendah dan tertinggi.
Pasal 15 …
-13-
Pasal 15
Bank Indonesia mengumumkan penolakan seluruh atau sebagian penawaran pembelian
Surat Utang Negara berdasarkan penetapan dan pemberitahuan Menteri Keuangan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c.
BAB VII
PEMBELIAN DAN PENJUALAN SURAT UTANG NEGARA
DI PASAR SEKUNDER
Pasal 16
(1) Menteri Keuangan Republik Indonesia dapat menunjuk Bank Indonesia sebagai
agen untuk melaksanakan pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di Pasar
Sekunder.
(2) Dalam hal Bank Indonesia ditunjuk sebagai agen sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan pembelian dan penjualan Surat Utang
Negara di Pasar Sekunder berdasarkan permintaan Menteri Keuangan Republik
Indonesia.
BAB VIII
PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA
Pasal 17
(1) Bank Indonesia melakukan penatausahaan Surat Utang Negara secara elektronis
dengan menggunakan sarana Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement
System (BI-SSSS) sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku.
(2) Penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen transaksi baik di Pasar
Perdana …
-14-
Perdana maupun di Pasar Sekunder, pembayaran bunga (kupon) dan pokok Surat
Utang Negara yang jatuh waktu.
BAB IX
PENCATATAN KEPEMILIKAN SURAT UTANG NEGARA
Pasal 18
(1) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara dilakukan tanpa warkat (scripless)
dan secara book entry.
(2) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara dilakukan secara two tier system yang
terdiri dari:
a. Central Registry yang melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan
Surat Berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan Bank, Sub-
Registry dan pihak lain yang disetujui Bank Indonesia; dan
b.
Sub-Registry yang melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan Surat
Berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan nasabah.
(3) Catatan kepemilikan Surat Utang Negara pada Central Registry dan Sub-Registry
merupakan bukti kepemilikan yang sah.
BAB X
SETELMEN TRANSAKSI SURAT UTANG NEGARA
Pasal 19
(1) Setelmen transaksi Surat Utang Negara di Pasar Perdana dilakukan sebagai
berikut:
a. Surat …
-15-
a. Surat Perbendaharaan Negara pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah hari
pelaksanaan lelang Surat Perbendaharaan Negara (T+1);
b. Obligasi Negara paling lambat pada 5 (lima) hari kerja berikutnya setelah
pengumuman hasil pemenang lelang Obligasi Negara (T+5).
(2) Setelmen transaksi Surat Utang Negara baik di Pasar Perdana maupun di Pasar
Sekunder dilakukan atas dasar prinsip DVP atau FoP.
(3) Setelmen transaksi Surat Utang Negara secara DVP dilakukan atas dasar sistem
setelmen gross to gross atau kombinasi setelmen gross to gross dan setelmen
gross to net.
Pasal 20
Dalam rangka setelmen Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan di Pasar Sekunder,
Bank Indonesia berwenang untuk :
a. mendebet rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia yang melakukan
pembelian baik untuk dan atas nama diri sendiri maupun untuk dan atas nama
pihak lain; atau
b. mendebet rekening surat berharga pemilik rekening di Central Registry yang
melakukan penjualan Surat Utang Negara baik untuk dan atas nama diri sendiri
maupun untuk dan atas nama pihak lain;
c. mendebet rekening Surat Utang Negara milik Pemerintah atau rekening giro
Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia, dalam rangka setelmen transaksi Surat
Utang Negara.
BAB XI …
-16-
BAB XI
PEMBAYARAN BUNGA (KUPON) DAN PELUNASAN POKOK SURAT UTANG
NEGARA JATUH WAKTU
Pasal 21
(1) Bank Indonesia melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pelunasan pokok Surat
Utang Negara sebesar nilai nominal pada saat jatuh waktu atas beban Pemerintah.
(2) Atas permintaan Pemerintah, Bank Indonesia melakukan pelunasan pokok Surat
Utang Negara sebelum tanggal jatuh waktu atas beban Pemerintah.
(3) Pembayaran pokok dan bunga (kupon) Surat Utang Negara dilakukan oleh Bank
Indonesia berdasarkan posisi kepemilikan Surat Utang Negara yang tercatat di
Central Registry.
BAB XII
BIAYA ADMINISTRASI
Pasal 22
Bank Indonesia dapat mengenakan biaya administrasi atas pelaksanaan Lelang Surat
Utang Negara kepada Peserta Lelang dan biaya penatausahaan Surat Utang Negara
kepada pemilik rekening Surat Utang Negara di Central Registry.
BAB XIII
PELAPORAN
Pasal 23
Bank Indonesia melaporkan kegiatan penatausahaan Surat Utang Negara secara berkala
kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia.
BAB XIV …
-17-
BAB XIV
SANKSI
Pasal 24
Peserta Lelang yang transaksinya dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (2), tidak boleh mengikuti Lelang Surat Utang Negara sebanyak 3 (tiga) kali
berturut-turut sejak transaksinya dinyatakan batal.
Pasal 25
(1) Menteri Keuangan Republik Indonesia berwenang mencabut persetujuan Peserta
Lelang dalam kondisi sebagai berikut :
a. Peserta Lelang
tidak memenuhi kewajiban
pemenuhan kriteria
dan
persyaratan sebagai Peserta Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;
dan atau
b. Peserta Lelang
c.
tidak memenuhi persyaratan keaktifan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1); dan atau
Peserta Lelang sedang dalam proses kepailitan di pengadilan.
(2) Peserta Lelang yang telah dicabut persetujuannya sebagai Peserta Lelang karena
kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan atau huruf b, dapat
mengajukan permohonan menjadi Peserta Lelang kembali setelah 12 (dua belas)
bulan sejak tanggal pencabutan.
(3) Bank Indonesia mengumumkan Peserta Lelang yang dicabut penunjukannya oleh
Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
BAB XV …
-18-
BAB XV
LAIN-LAIN
Pasal 26
Pelaksanaan penatausahaan Surat Utang Negara yang mencakup kegiatan pencatatan
kepemilikan Surat Utang Negara,
setelmen
transaksi Surat Utang Negara dan
pembayaran bunga serta pelunasan pokok Surat Utang Negara jatuh waktu, tunduk pada
ketentuan Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang berlaku.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
Bagi Peserta Lelang yang telah mendapat persetujuan sebagai Peserta Lelang oleh
Menteri Keuangan Republik Indonesia sebelum berlakunya ketentuan ini dinyatakan
tetap berlaku.
Pasal 28
Apabila pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Peserta Lelang Surat Utang
Negara sedang menjalani sanksi tidak boleh mengikuti Lelang Surat Utang Negara
sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/3/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Penerbitan, Penjualan dan Pembelian
serta Penatausahaan Surat Utang Negara maka sanksi tersebut tetap berlaku.
BAB XVII …
-19-
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
(1) Evaluasi keaktifan Peserta Lelang mulai dilakukan setelah tanggal ditetapkannya
Peraturan Menteri Keuangan No. 45/PMK.06/2005 pada tanggal 14 Juni 2005.
(2) Evaluasi keaktifan Peserta Lelang bagi Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Valuta
Asing mulai dilakukan sejak dimulainya lelang Surat Perbendaharaan Negara
pertama kali dilakukan.
(3) Evaluasi terhadap keaktifan Peserta Lelang yang baru memperoleh persetujuan
dari Menteri Keuangan Republik Indonesia, mulai dilakukan sejak
bersangkutan telah berstatus aktif sebagai peserta Bank Indonesia - Scripless
Securities Settlement System (BI-SSSS).
Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 31
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor 6/3/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Penerbitan, Penjualan dan
Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 32
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan …
yang
-20-
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Juli 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 66
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/19/ PBI /2005
TENTANG
PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN
SURAT UTANG NEGARA
UMUM
Dalam rangka membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas
penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran dan
mengelola portofolio utang negara, Pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara di
dalam negeri.
Sehubungan dengan penerbitan Surat Utang Negara tersebut di atas, sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara,
Pemerintah menunjuk
Bank Indonesia sebagai agen lelang
yang dapat
menyelenggarakan kegiatan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Perdana (Pasal 13),
melakukan pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder atas nama
Pemerintah dalam rangka pengelolaan portofolio utang negara (Pasal 14), dan
melakukan penatausahaan Surat Utang Negara yang mencakup pencatatan penerbitan
dan kepemilikan, kliring dan setelmen baik di Pasar Primer maupun di Pasar Sekunder,
serta agen pembayar bunga (kupon) dan pokok Surat Utang Negara (Pasal 12).
Dalam
rangka operasi pengendalian moneter dan sebagai upaya untuk
memperkaya instrumen Operasi Pasar Terbuka, sesuai dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah …
-2-
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, Bank
Indonesia dapat membeli Surat Utang Negara berjangka pendek (Pasal 55).
Dalam rangka efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang
terkait dengan penjualan Surat Utang Negara di pasar perdana, pembelian dan penjualan
Surat Utang Negara di pasar sekunder dan Penatausahaan Surat Utang Negara, dan
penatausahaan Surat Utang Negara, Bank Indonesia menerapkan Bank Indonesia-
Scripless Securities Settlement System sebagaimana diatur dalam PBI
6/2/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Masukan ini dimaksudkan agar tercapai keselarasan antara kebijakan fiskal
termasuk manajemen utang, dan kebijakan moneter yang dilakukan oleh
Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pelaksanaan pembelian dan penjualan di Pasar Sekunder mengikuti
mekanisme yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 3 …
nomor
-3-
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Butir 1.
Cukup jelas
Butir 2.
Cukup jelas
Butir 3.
Obligasi Negara yang diterbitkan tanpa kupon dan diperdagangkan
berdasarkan sistem diskonto disebut Zero coupon bond.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan
Valuta Asing adalah perusahaan yang memperoleh izin usaha dari Bank
Indonesia untuk melakukan kegiatan jasa perantara bagi kepentingan
nasabah di bidang pasar uang.
Yang dimaksud dengan Perusahaan Efek adalah Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau
Perantara Pedagang
Efek yang mengadministrasikan rekening
nasabah.
Ayat (2)
Cukup jelas
efek
Pasal 5 …
-4-
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9 …
-5-
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 13 …
-6-
Pasal 13
Ayat (1)
Kebutuhan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dituangkan
dalam kalender penerbitan (calendar of issuance) yang diterbitkan oleh
Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan kalender penerbitan (calendar of issuance) adalah
rencana penerbitan Surat Utang Negara oleh Pemerintah pada periode
tertentu.
Ayat (2)
Pengumuman rencana Lelang Surat Utang Negara dilakukan melalui
sarana Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System, Pusat
Informasi Pasar Uang (PIPU) dan atau sarana lainnya yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan harga beragam (multiple price) adalah harga yang
dibayarkan oleh masing-masing pemenang Lelang Surat Utang Negara
sesuai dengan harga penawaran yang diajukannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 15 …
-7-
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System adalah sarana Transaksi Dengan Bank Indonesia termasuk
penatausahaannya dan Penatausahaan Surat Berharga secara elektronik
dan terhubung
langsung
antara Peserta Bank Indonesia-Scripless
Securities Settlement System, Penyelenggara Bank Indonesia-Scripless
Securities Settlement System dan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement.
Yang dimaksud dengan
Transaksi Dengan Bank Indonesia adalah
transaksi yang dilakukan Bank Indonesia dalam rangka kegiatan Operasi
Pasar Terbuka, pemberian fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada
Bank dan transkasi Surat Utang Negara untuk dan atas nama Pemerintah.
Yang dimaksud dengan Peserta Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System adalah Departemen Keuangan dan pihak-pihak yang
melakukan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan atau setelmen Surat
Berharga melalui sarana Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System.
Yang …
-8-
Yang dimaksud dengan Penyelenggara adalah pihak pengelola Bank
Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang menyelenggarakan
kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan penatausahaannya
termasuk Penatausahaan Surat Berharga.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan setelmen transaksi Surat Utang Negara adalah
setelmen yang terdiri dari setelmen surat berharga dan atau setelmen dana.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan book entry adalah pencatatan kepemilikan dan
perpindahan kepemilikan tanpa warkat (scripless) dalam suatu jurnal
elektronis.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Setelmen transaksi Surat Berharga secara FoP di Pasar Perdana dan di
Pasar Sekunder hanya dilakukan untuk perpindahan kepemilikan Surat
Utang Negara dalam rangka hibah, warisan, pelunasan kewajiban dari dan
kepada Bank Indonesia atau Pemerintah, dan atau tujuan lainnya.
Ayat (3) …
-9-
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan setelmen gross to gross adalah setelmen Surat
Utang Negara dimana setelmen surat berharga dan setelmen dana
dilakukan berdasarkan transaksi per transaksi (trade by trade).
Yang dimaksud dengan setelmen gross to net adalah setelmen Surat
Utang Negara dimana setelmen surat berharga dilakukan secara transaksi
per transaksi (trade by trade) sedangkan setelmen dana secara netting
sistem.
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Bank Indonesia hanya melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pokok
Surat Utang Negara yang jatuh waktu sepanjang tersedianya dana yang
cukup pada rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Pelaporan antara lain mencakup posisi Surat Utang Negara yang diterbitkan,
posisi kepemilikan Surat Utang Negara, kupon atau diskonto yang dibayarkan,
dan data transaksi perdagangan Surat Utang Negara.
Pasal 24 …
-10-
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 30 …
-11-
Pasal 30
Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia memuat
antara lain tata cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana, persetujuan
dan pencabutan Peserta Lelang, serta persyaratan Sub-Registry dalam
penatausahaan Surat Utang Negara.
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4517
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/19/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA </reg_title>
<set_date> 25 Juli 2005 </set_date>
<effective_date> 25 Juli 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '6/3/PBI/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIV' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/18/PBI/2005
TENTANG
SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mendukung kelancaran sistem
pembayaran diperlukan penyelenggaraan kliring antar bank
yang aman, efektif dan efisien;
b. bahwa untuk mewujudkan penyelenggaraan kliring antar bank
yang
aman, efektif dan efisien perlu dilakukan
penyempurnaan atas penyelenggaraan kliring Bank Indonesia;
c. bahwa penyempurnaan atas penyelenggaraan kliring Bank
Indonesia terutama berkaitan dengan penerapan prinsip-
prinsip manajemen risiko
sesuai dengan standar yang
dikeluarkan oleh Bank for International Settlement dan
prinsip-prinsip
perlindungan konsumen membutuhkan
pengaturan yang lebih komprehensif dan lebih memberikan
kepastian hukum bagi para pihak;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Sistem Kliring Nasional
Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472 …
-2-
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA
KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
1998.
2. Bank …
TENTANG SISTEM
-3-
2. Bank Konvensional adalah Bank yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional.
3. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di
kantor pusat bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang
syariah dan atau unit syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu
bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang
pembantu syariah dan atau unit syariah.
4. Kliring adalah pertukaran warkat atau data keuangan elektronik antar
peserta kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta
yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.
5. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut SKNBI,
adalah sistem Kliring Bank Indonesia yang meliputi Kliring debet dan
Kliring kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional.
Kliring Debet adalah kegiatan dalam SKNBI untuk transfer debet.
Kliring Kredit adalah kegiatan dalam SKNBI untuk transfer kredit.
6.
7.
8. Wilayah Kliring adalah suatu wilayah tertentu yang menyelenggarakan
Kliring sebagai bagian dari SKNBI.
9. Penyelenggara Kliring Nasional, yang selanjutnya disebut PKN, adalah unit
kerja di Kantor Pusat Bank Indonesia yang bertugas mengelola dan
menyelenggarakan SKNBI secara nasional.
10. Penyelenggara Kliring Lokal, yang selanjutnya disebut PKL, adalah unit
kerja di Bank Indonesia dan unit kerja di kantor Bank yang bertugas
mengelola dan menyelenggarakan SKNBI di suatu Wilayah Kliring.
11. PKL BI adalah unit kerja di Bank Indonesia yang bertugas mengelola dan
menyelenggarakan SKNBI di suatu Wilayah Kliring.
12. PKL …
-4-
12. PKL Selain BI adalah unit kerja pada kantor Bank yang memperoleh
persetujuan Bank Indonesia untuk mengelola dan menyelenggarakan
SKNBI di suatu Wilayah Kliring.
13. Peserta adalah kantor Bank Indonesia dan atau kantor Bank yang terdaftar
pada PKN dan atau PKL untuk mengikuti kegiatan SKNBI.
14. Data Keuangan Elektronik, yang selanjutnya disebut DKE, adalah data
transfer dana dalam format elektronik yang digunakan sebagai dasar
perhitungan dalam SKNBI.
15. Warkat Debet adalah alat pembayaran bukan tunai yang diperhitungkan atas
beban nasabah atau Bank melalui Kliring Debet.
16. DKE Debet adalah DKE untuk transfer debet yang dibuat atas dasar Warkat
Debet.
17. DKE Kredit adalah DKE untuk transfer kredit yang dibuat atas dasar
perintah transfer kredit.
18. Penyelesaian Akhir (settlement), yang selanjutnya disebut Penyelesaian
Akhir, adalah kegiatan pendebetan dan pengkreditan rekening giro Bank di
Bank Indonesia yang dilakukan berdasarkan perhitungan hak dan kewajiban
masing-masing Bank yang timbul dalam penyelenggaraan SKNBI.
19. Dokumen Kliring adalah alat bantu yang berfungsi sebagai dokumen
kontrol dalam penyelenggaraan SKNBI.
20. Sistem Sentral Kliring, yang selanjutnya disebut SSK, adalah sistem
komputer yang digunakan oleh PKN untuk menyelenggarakan SKNBI
secara nasional.
21. SSK Utama adalah SSK yang digunakan dalam kondisi normal.
22. SSK Back-up adalah SSK yang digunakan sebagai pengganti apabila terjadi
gangguan atau keadaan darurat yang menyebabkan PKN tidak dapat
menggunakan SSK Utama.
23. Komputer …
-5-
23. Komputer Penyelenggara Kliring, yang selanjutnya disebut KPK, adalah
sistem komputer yang berada di lokasi PKL yang terhubung dengan SSK
secara on-line, yang digunakan PKL untuk menyelenggarakan SKNBI di
suatu Wilayah Kliring.
24. KPK Utama adalah KPK yang digunakan dalam kondisi normal.
25. KPK Back-up adalah KPK yang digunakan sebagai pengganti apabila
terjadi gangguan atau keadaan darurat yang menyebabkan PKL tidak dapat
menggunakan KPK Utama.
26. Terminal Peserta Kliring, yang selanjutnya disebut TPK, adalah sistem
komputer yang berada di lokasi Peserta, yang digunakan dalam melakukan
persiapan dan atau pengiriman DKE serta penerimaan informasi
perhitungan hasil Kliring dan atau informasi Kliring lainnya, baik secara
on-line maupun off-line.
27. TPK Utama adalah TPK yang digunakan dalam kondisi normal.
28. TPK Back-up adalah TPK yang digunakan sebagai pengganti apabila terjadi
gangguan atau keadaan darurat yang menyebabkan Peserta tidak dapat
menggunakan TPK Utama.
29. Jaringan Komunikasi Data, yang
selanjutnya disebut JKD, adalah
seperangkat sistem yang berfungsi sebagai sarana penghubung antara KPK
dengan SSK dan TPK on-line dengan SSK.
30. JKD Utama adalah JKD yang digunakan dalam kondisi normal.
31. JKD Back-up adalah JKD yang digunakan sebagai pengganti apabila terjadi
gangguan atau keadaan darurat yang menyebabkan PKL atau Peserta tidak
dapat menggunakan JKD Utama.
32. TPK on-line adalah TPK yang terhubung ke SSK melalui JKD.
33. TPK off-line adalah TPK yang tidak terhubung ke SSK.
34. Keadaan …
-6-
34. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang secara nyata menyebabkan
suatu kegiatan Kliring Debet dan atau Kliring Kredit tidak dapat
dilaksanakan secara normal antara lain pemogokan kerja, kebakaran,
kerusuhan massa, sabotase serta bencana alam seperti gempa bumi dan
banjir yang dibenarkan oleh pihak penguasa atau pejabat yang berwenang
setempat.
35. Sistem Bank Indonesia–Real Time Gross Settlement, yang selanjutnya
disebut Sistem BI-RTGS, adalah sistem transfer dana sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem
Bank Indonesia Real Time Gross Settlement.
36. Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System, yang selanjutnya
disebut BI-SSSS, adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System.
BAB II
PENYELENGGARA
Pasal 2
(1) SKNBI diselenggarakan oleh:
a. PKN; dan
b. PKL.
(2) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. PKL BI; dan
b. PKL Selain BI.
(3) Bank Indonesia dapat memberikan bantuan keuangan kepada PKL Selain
BI.
(4) Ketentuan …
-7-
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai PKL Selain BI sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b, diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 3
(1) Dalam penyelenggaraan SKNBI, PKN melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. menyediakan SSK Utama dan SSK Back-up;
b. menjamin SSK Utama dan SSK Back-up berfungsi dengan baik;
c. menyediakan JKD dari KPK ke SSK;
d. menyediakan aplikasi SSK, KPK, dan TPK serta perubahannya;
e. memberikan pelayanan kepada Peserta dan PKL
penyelenggaraan SKNBI;
dalam
f. memiliki Disaster Recovery Plan (DRP) atau Business Continuity Plan
(BCP) atas penyelenggaraan SKNBI dalam kondisi gangguan dan
Keadaan Darurat;
g. memastikan kepatuhan PKL dan Peserta terhadap Peraturan Bank
Indonesia ini dan peraturan pelaksanaannya; dan
h. menyediakan fasilitas lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang
mendukung kelancaran penyelenggaraan SKNBI.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal yang dilakukan PKN sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 4
(1) PKL harus melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. menyediakan perangkat keras KPK;
b. menyediakan fasilitas penyelenggaraan SKNBI;
c. menjamin …
-8-
c. menjamin KPK serta sarana fasilitas pendukung penyelenggaraan
SKNBI lainnya berfungsi dengan baik;
d. memberikan pelayanan kepada Peserta dalam
SKNBI di Wilayah Kliring yang bersangkutan;
penyelenggaraan
e. melakukan pengamanan dalam penyelenggaraan SKNBI untuk
mencegah terjadinya manipulasi;
f. menjaga kerahasiaan data yang berkaitan dengan penyelenggaraan
SKNBI;
g. memiliki Disaster Recovery Plan (DRP) atau Business Continuity
Plan (BCP) atas penyelenggaraan SKNBI dalam kondisi gangguan
dan Keadaan Darurat;
h. menyampaikan laporan terkait dengan penyelenggaraan SKNBI
kepada PKN; dan
i. melakukan hal-hal lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang
dapat mendukung kelancaran penyelenggaraan SKNBI.
(2) Bank yang memiliki kantor yang menjadi PKL Selain BI wajib melakukan
hal-hal sebagai berikut:
a. menyusun kebijakan dan prosedur tertulis mengenai penyelenggaraan
SKNBI dengan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia ini serta
peraturan pelaksanaannya;
b. menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
penyelenggaraan SKNBI serta setiap perubahannya kepada PKN
dalam jangka waktu yang ditetapkan Bank Indonesia;
c. melakukan pemeriksaan internal sekurang-kurangnya 1 (satu) kali
setiap tahun dan menyampaikan hasil pemeriksaan internal kepada
PKN dalam jangka waktu yang ditetapkan Bank Indonesia;
d. melakukan …
-9-
d. melakukan security audit sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi menjadi PKL Selain BI,
dan setiap kali terjadi perubahan dalam sistem teknologi informasi
internal PKL Selain BI yang
terkait dengan SKNBI serta
menyampaikan laporan hasil security audit kepada PKN dalam jangka
waktu yang ditetapkan Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban PKL serta
penetapan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 5
(1) PKN dan PKL dapat mengenakan biaya dalam penyelenggaraan SKNBI
yang harus dibayar oleh Peserta.
(2) Ketentuan mengenai jenis dan besarnya biaya dalam penyelenggaraan
SKNBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta tata cara pengenaan
biaya dalam penyelenggaraan SKNBI diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
BAB III
PESERTA
Bagian Pertama
Kepesertaan
Pasal 6
(1) Setiap Bank dapat menjadi Peserta dalam penyelenggaraan SKNBI setelah
memenuhi persyaratan yang ditetapkan Bank Indonesia.
(2). Kepesertaan …
-10-
(2) Kepesertaan Bank dalam penyelenggaraan SKNBI dapat terdiri atas satu
atau lebih kantor Bank.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan menjadi Peserta dan tata cara pendaftaran
Peserta diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 7
Hubungan hukum antara Bank Indonesia dengan Bank
sebagai Peserta
dituangkan dalam perjanjian penggunaan SKNBI antara Bank Indonesia dan
Bank.
Bagian Kedua
Kewajiban dan Tanggung Jawab Peserta
Pasal 8
(1) Dalam penyelenggaraan SKNBI, Bank yang salah satu atau lebih kantornya
menjadi Peserta:
a. wajib menyusun kebijakan dan prosedur tertulis mengenai operasional
SKNBI yang mengacu pada Peraturan Bank Indonesia ini serta
peraturan pelaksanaannya dan atau kesepakatan tertulis antar Bank
(Bye-Laws);
b.
wajib menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
operasional SKNBI dan setiap perubahannya kepada PKN dalam
jangka waktu yang ditetapkan Bank Indonesia;
c. wajib melakukan pemeriksaan internal sekurang-kurangnya 1 (satu)
kali setiap tahun dan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan
internal …
-11-
internal kepada PKN dalam jangka waktu yang ditetapkan Bank
Indonesia;
d. wajib melakukan security audit sekurang-kurangnya 1 (satu) kali
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal kepesertaan dan
setiap terjadi perubahan dalam sistem teknologi informasi internal
Peserta yang terkait dengan SKNBI serta menyampaikan laporan hasil
security audit kepada PKN dalam jangka waktu yang ditetapkan Bank
Indonesia;
e.
wajib mengumumkan secara tertulis di seluruh kantor Bank jenis dan
besarnya biaya transaksi SKNBI yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
dan jadwal pelayanan nasabah yang terkait dengan setoran Kliring
yang ditetapkan oleh Bank;
f. wajib melakukan pengamanan dalam pengiriman transaksi untuk
mencegah terjadinya manipulasi melalui penyelenggaraan SKNBI;
g.
harus menyediakan paling sedikit 1 (satu) TPK Utama dan 1 (satu)
TPK Back-up serta sarana pendukung lainnya di setiap Wilayah
Kliring dimana 1 (satu) atau lebih kantornya menjadi Peserta;
h. harus menyediakan JKD Utama dan JKD Back-up untuk TPK on-line;
i. harus mengikuti kegiatan Kliring Debet dan Kliring Kredit sesuai
dengan jadwal yang ditetapkan oleh PKN dan PKL;
j.
harus menindaklanjuti dan melaporkan setiap perubahan nama, status,
alamat, dan atau hal-hal lain yang berkaitan dengan operasional
SKNBI secara tertulis kepada PKL dan atau PKN dan melakukan
penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan; dan
k. harus mematuhi ketentuan-ketentuan lainnya yang berkaitan dengan
kegiatan operasional penyelenggaraan SKNBI.
(2) Ketentuan …
-12-
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban dan tanggung jawab Bank serta
penetapan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 9
Pengurus dan atau pejabat eksekutif Bank wajib melaksanakan langkah-langkah
yang diperlukan untuk memastikan ketaatan seluruh kantor Bank yang menjadi
Peserta terhadap Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB IV
PRINSIP UMUM PENYELENGGARAAN SKNBI
Pasal 10
Penyelenggaraan SKNBI terdiri atas :
a. Penyelenggaraan Kliring Debet; dan
b. Penyelenggaraan Kliring Kredit.
Pasal 11
(1) Penyelenggaraan Kliring Debet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf a dilakukan per Wilayah Kliring, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
Transaksi yang dapat dikliringkan adalah transfer debet yang berasal
dari Warkat Debet, yang meliputi :
1. Warkat Debet yang diterbitkan oleh Peserta yang terdaftar di
Wilayah Kliring tersebut; dan
2. Warkat …
-13-
2. Warkat Debet berupa cek dan bilyet giro antar wilayah,
sepanjang terdapat kantor peserta kliring antar wilayah di
Wilayah Kliring tersebut.
b. Penyampaian Warkat Debet untuk dikliringkan disertai dengan
penyampaian DKE Debet kepada PKL.
c. Warkat Debet dan DKE Debet yang telah disampaikan kepada PKL
dan atau Peserta lain tidak dapat diubah dan atau dibatalkan oleh
Peserta.
d. Warkat Debet dapat tertolak (reject) oleh mesin baca pilah dalam
proses Kliring penyerahan di Wilayah Kliring yang pemilahan Warkat
Debetnya dilakukan secara otomasi.
e. Pemrosesan dan perhitungan Kliring Debet dilakukan secara lokal di
setiap Wilayah Kliring oleh PKL.
f.
Hasil perhitungan Kliring Debet sebagaimana dimaksud pada huruf e
digabung dan diperhitungkan secara nasional oleh PKN.
(2) Kegiatan dalam penyelenggaraan Kliring Debet sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf a terdiri atas :
a.
b.
Kliring penyerahan; dan
Kliring pengembalian.
(3) Kegiatan Kliring penyerahan dan Kliring pengembalian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan satu kesatuan siklus Kliring Debet.
(4) Mekanisme pemilahan Warkat Debet dalam penyelenggaraan Kliring Debet
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a dapat dilakukan secara
otomasi atau manual.
(5) Mekanisme penyampaian DKE Debet dari Peserta kepada PKL dalam
penyelenggaraan Kliring Debet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf a, dapat dilakukan secara on-line atau off-line.
(6) Ketentuan …
-14-
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyebab tertolaknya Warkat Debet
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan tata cara penanganan
Warkat Debet yang tertolak tersebut diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 12
(1) Penyelenggaraan Kliring Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf b dilakukan secara nasional, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
Transaksi yang dapat dikliringkan adalah transfer kredit yang berasal
dari Peserta di suatu Wilayah Kliring untuk tujuan Peserta lainnya di
seluruh wilayah Indonesia.
b.
c.
Transfer kredit sebagaimana dimaksud pada huruf a dikliringkan
dalam bentuk DKE Kredit dalam mata uang rupiah.
Perhitungan Kliring Kredit dilakukan secara nasional oleh PKN.
(2) Kegiatan dalam penyelenggaraan Kliring Kredit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf b hanya terdiri atas Kliring penyerahan.
(3) Mekanisme penyampaian DKE Kredit dari Peserta kepada PKN dalam
penyelenggaraan Kliring Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf b, dapat dilakukan melalui kantornya yang memiliki TPK on-line atau
melalui PKL.
Pasal 13
(1) Penyelesaian Akhir pada penyelenggaraan Kliring Debet dan Kliring Kredit
dilakukan oleh PKN berdasarkan hasil perhitungan secara net multilateral.
(2) Penyelesaian …
-15-
(2) Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan prinsip pembaharuan hutang (novation).
(3) Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final dan
tidak dapat dibatalkan.
(4) Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan prinsip same day settlement.
BAB V
PENYELENGGARAAN KLIRING DEBET
Bagian Pertama
Warkat Debet dan Dokumen Kliring
Pasal 14
(1) Warkat Debet yang dapat dipertukarkan dalam penyelenggaraan Kliring
Debet meliputi:
a. Cek;
b.
c.
Bilyet Giro;
Wesel;
d. Nota Debet; dan
e. Warkat Debet lain yang disetujui Bank Indonesia untuk dikliringkan.
(2) Warkat Debet harus dinyatakan dalam mata uang rupiah.
(3) Warkat Debet harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Warkat Debet sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal …
-16-
Pasal 15
(1) Penyerahan Warkat Debet dan atau DKE Debet kepada PKL atau Peserta
lainnya harus disertai dengan Dokumen Kliring.
(2) Ketentuan mengenai jenis dan persyaratan Dokumen Kliring sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring
Pasal 16
(1) Peserta wajib mencetak Warkat Debet sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (1) dan Dokumen Kliring tertentu, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a.
pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring tertentu wajib
dilakukan pada perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring
yang telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia;
b.
setiap pembuatan dan pencetakan Warkat Debet dan atau Dokumen
Kliring tertentu untuk pertama kali dan atau perubahan tertentu wajib
memperoleh persetujuan secara tertulis dari Bank Indonesia; dan
c.
pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring tertentu wajib
dilakukan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan Bank Indonesia.
(2) Dalam melakukan pencetakan Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring,
perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilarang:
a. menerima pesanan pencetakan Warkat Debet dan atau Dokumen
Kliring dari pihak selain Bank;
b. mencetak …
-17-
b. mencetak Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring yang tidak sesuai
dengan spesifikasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
(3) Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib :
a. menyediakan mesin-mesin yang diperlukan dalam pencetakan Warkat
Debet dan atau Dokumen Kliring sesuai dengan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia;
b. melakukan sendiri segala pekerjaan yang berkaitan dengan pencetakan
Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring;
c. melakukan dan melaporkan hasil pengujian kertas
yang
akan
digunakan untuk mencetak Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia;
d. memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. melakukan hal-hal lain yang ditetapkan Bank Indonesia dalam rangka
mendukung kelancaran pencetakan Warkat Debet dan atau Dokumen
Kliring.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Warkat Debet dan Dokumen Kliring yang
wajib dicetak pada perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring,
spesifikasi Warkat Debet dan Dokumen Kliring, tata cara pengajuan
permohonan persetujuan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring,
tata cara pemberian persetujuan kepada perusahaan percetakan warkat dan
dokumen kliring, jenis mesin yang diperlukan dalam pencetakan Warkat
Debet dan Dokumen Kliring dan hal-hal lain yang dilakukan perusahaan
percetakan warkat dan dokumen kliring diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal …
-18-
Pasal 17
(1) Peserta dan perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring wajib
melaporkan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring kepada Bank
Indonesia secara periodik.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat sesuai dengan
format yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
DKE Debet
Pasal 18
Perhitungan Kliring Debet dilakukan atas dasar DKE Debet yang diterima oleh
PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b.
Pasal 19
(1) Dalam mengkliringkan DKE Debet, Peserta harus memenuhi persyaratan
yang ditetapkan Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Peserta tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), PKN dan atau PKL tidak memproses DKE Debet tersebut.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan pengiriman DKE Debet diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian …
-19-
Bagian Keempat
Batas Nilai Nominal Warkat Debet
Pasal 20
(1) Nilai nominal pada Warkat Debet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) tidak dibatasi, kecuali untuk Warkat Debet yang berupa Nota
Debet.
(2) Pembatasan nilai nominal pada Nota Debet sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku apabila:
a.
Nota Debet diterbitkan oleh Bank Indonesia dan ditujukan kepada
Bank atau nasabah Bank; atau
b. Nota Debet diterbitkan oleh Bank dan ditujukan kepada Bank
Indonesia sehubungan dengan tagihan-tagihan tertentu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan nilai nominal Nota Debet dan
tagihan-tagihan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Kelima
Jadwal Penyelenggaraan Kliring Debet
Pasal 21
(1) Penyelenggaraan Kliring Debet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf a diadakan setiap hari kerja, kecuali ditetapkan lain oleh PKN atau
PKL.
(2) Jadwal penyelenggaraan Kliring Debet di setiap Wilayah Kliring ditetapkan
oleh masing-masing PKL dengan persetujuan PKN.
(3) Ketentuan …
-20-
(3) Ketentuan mengenai jadwal penyelenggaraan Kliring Debet diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Keenam
Penyediaan Pendanaan Awal (Prefund) Kliring Debet
Pasal 22
(1) Pada setiap awal hari kerja sebelum penyelenggaraan Kliring Debet dimulai
di seluruh Wilayah Kliring, Bank harus menyediakan pendanaan awal
(prefund) paling sedikit sebesar nilai nominal yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Khusus untuk Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan, penyediaan pendanaan
awal (prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
terpisah antara Bank Konvensional dan UUS.
(3) Pendanaan awal (prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
dana tunai (cash prefund) dan atau agunan (collateral prefund).
(4) Jenis agunan (collateral prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat berupa:
a. Sertifikat
Indonesia (SWBI);
b. Surat Utang Negara (SUN); dan atau
c. Surat berharga atau tagihan lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(5) Dana tunai (cash prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditatausahakan oleh Bank Indonesia pada Sistem BI-RTGS, dalam rekening
milik PKN yang digunakan khusus untuk menampung dana tunai (cash
prefund) Kliring Debet.
(6) Agunan …
Bank Indonesia (SBI) atau Sertifikat Wadiah Bank
-21-
(6) Agunan (collateral prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
ditatausahakan oleh Bank Indonesia pada BI-SSSS, dalam rekening agunan
FLI-Kliring dan rekening agunan FLIS-Kliring masing-masing Bank yang
terpisah dari rekening perdagangan atau rekening aktif.
(7) Agunan (collateral prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang
telah disediakan oleh Bank sebagai pendanaan awal (prefund) tidak dapat
digunakan untuk transaksi lain dan tidak dapat dipindahkan ke rekening
perdagangan atau rekening aktif sampai dengan dilakukannya Penyelesaian
Akhir Kliring Debet secara nasional.
(8) Ketentuan mengenai penetapan nilai nominal pendanaan awal (prefund),
tata
cara pemberitahuan dari Bank Indonesia kepada Bank mengenai
besarnya nilai nominal pendanaan awal (prefund), batas waktu penyediaan
pendanaan awal (prefund), tata cara penyediaan pendanaan awal (prefund)
dan mekanisme pengembalian pendanaan awal (prefund) diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Ketujuh
Informasi Awal Hasil Perhitungan Kliring Debet
Pasal 23
(1) Sebelum dilakukan Penyelesaian Akhir, PKN menyediakan informasi
mengenai hasil perhitungan Kliring Debet secara nasional untuk masing-
masing Bank yang menunjukkan net kredit atau net debet.
(2) Dalam hal nilai net debet Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih
besar daripada total pendanaan awal (prefund) Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (1), maka Bank harus menambah kekurangan
pendanaan awal (prefund) dalam bentuk dana tunai (cash prefund) dan atau
agunan …
-22-
agunan (collateral prefund) sampai dengan batas waktu yang ditetapkan
Bank Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai mekanisme penambahan pendanaan awal (prefund)
dan penetapan batas waktu penambahan pendanaan awal (prefund)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Bagian Kedelapan
Penyelesaian Akhir Kliring Debet
Pasal 24
(1) Penyelesaian Akhir atas hasil perhitungan Kliring Debet secara nasional
dilakukan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Kewajiban Bank dalam Penyelesaian Akhir Kliring Debet secara nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipenuhi dari sumber dana dengan
prioritas penggunaan sebagai berikut :
a.
Dana tunai (cash prefund) yang disediakan oleh Bank sampai dengan
berakhirnya batas waktu penambahan pendanaan awal (prefund)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2);
b. Dana yang tersedia pada rekening giro Bank di Bank Indonesia;
c. Agunan (collateral prefund) yang tersedia pada rekening agunan FLI-
Kliring atau rekening agunan FLIS-Kliring yang disediakan oleh Bank
sampai dengan berakhirnya batas waktu penambahan pendanaan awal
(prefund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2);
d. Agunan yang tersedia pada rekening agunan FLI-RTGS atau rekening
agunan FLIS-RTGS.
(3) Mekanisme …
-23-
(3) Mekanisme penggunaan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
c dan huruf d dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai fasilitas likuiditas intrahari bagi Bank umum dan
fasilitas likuiditas intrahari bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.
(4) Dalam hal seluruh sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
belum dapat memenuhi seluruh kewajiban Bank dalam Penyelesaian Akhir
Kliring Debet secara nasional dan menyebabkan rekening giro Bank
bersaldo negatif, maka:
a.
Bank tersebut harus mengajukan fasilitas pendanaan jangka pendek
dengan tata cara sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai fasilitas pendanaan jangka pendek bagi Bank umum atau
fasilitas pendanaan jangka pendek bagi Bank yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, bagi Bank yang masih
memiliki SBI, SWBI, SUN, dan surat berharga atau tagihan lain pada
rekening perdagangan atau rekening aktif;
b. Bank tersebut dikenakan sanksi saldo giro negatif sesuai ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum bagi
Bank umum dan giro wajib minimum bagi Bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, bagi Bank
yang tidak memiliki SBI, SWBI, SUN, dan surat berharga atau
tagihan lain pada rekening perdagangan atau rekening aktif.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme Penyelesaian Akhir atas hasil
perhitungan Kliring Debet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB …
-24-
BAB VI
PENYELENGGARAAN KLIRING KREDIT
Bagian Pertama
DKE Kredit
Pasal 25
(1) Perhitungan Kliring Kredit dilakukan atas dasar DKE Kredit yang diterima
oleh PKN.
(2) Dalam mengirimkan DKE Kredit kepada PKN dan atau PKL, Peserta harus
memenuhi persyaratan pengiriman DKE Kredit yang ditetapkan Bank
Indonesia.
(3) Dalam hal Peserta tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), PKN dan atau PKL tidak memproses DKE Kredit tersebut.
(4) Ketentuan mengenai persyaratan pengiriman DKE Kredit diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Dokumen Kliring
Pasal 26
Dalam hal pengiriman DKE Kredit ke PKN dilakukan melalui PKL, Peserta
harus menyertakan Dokumen Kliring pada saat menyerahkan DKE Kredit dalam
bentuk media rekam data kepada PKL.
Bagian …
-25-
Bagian Ketiga
Batas Nominal Transfer Kredit
Pasal 27
(1) Batas nilai nominal transfer kredit yang dapat dikliringkan dalam Kliring
Kredit ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai batas nilai nominal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Jadwal Penyelenggaraan Kliring Kredit
Pasal 28
(1) Penyelenggaraan Kliring Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf b diadakan setiap hari kerja, kecuali ditetapkan lain oleh PKN.
(2) Jadwal penyelenggaraan Kliring Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh PKN.
(3) Ketentuan mengenai jadwal penyelenggaraan Kliring Kredit diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Kelima
Penyediaan Pendanaan Awal (Prefund) Kliring Kredit
Pasal 29
(1) Pada setiap awal hari kerja sebelum penyelenggaraan Kliring Kredit
dimulai di seluruh Wilayah Kliring, Bank harus menyediakan pendanaan
awal …
-26-
awal (prefund) berupa dana tunai (cash prefund) paling sedikit sebesar nilai
nominal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Khusus untuk Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan, penyediaan pendanaan
awal (prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
terpisah oleh Bank Konvensional dan UUS.
(3) Penyediaan pendanaan awal (prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan oleh Bank melalui Sistem BI-RTGS.
(4) Dana tunai (cash prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditatausahakan oleh Bank Indonesia pada Sistem BI-RTGS, dalam rekening
milik PKN yang digunakan khusus untuk menampung dana tunai (cash
prefund) Kliring Kredit.
(5) Ketentuan mengenai penetapan nilai nominal pendanaan awal (prefund),
tata
cara pemberitahuan dari Bank Indonesia kepada Bank mengenai
besarnya nilai nominal pendanaan awal (prefund), batas waktu penyediaan
pendanaan awal (prefund), tata cara penyediaan pendanaan awal (prefund)
dan mekanisme pengembalian pendanaan awal (prefund) diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Keenam
Informasi Awal Hasil Perhitungan Kliring Kredit dan
Penambahan Pendanaan Awal (prefund)
Pasal 30
Sebelum dilakukan Penyelesaian Akhir, PKN menyediakan informasi mengenai
hasil perhitungan sementara Kliring Kredit secara nasional untuk masing-masing
Bank …
-27-
Bank yang merupakan selisih antara total nominal dana yang dimiliki Bank
dengan total nominal batch DKE Kredit yang dikirim oleh Bank.
Pasal 31
(1) Dalam hal hasil perhitungan sementara Kliring Kredit nasional Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 menunjukkan nilai negatif, Bank
dapat menambah kekurangan dana tunai (cash prefund) melalui Sistem BI-
RTGS sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai mekanisme penambahan pendanaan awal (prefund)
dan penetapan batas waktu penambahan dana tunai (cash prefund)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Bagian Ketujuh
Penyelesaian Akhir Kliring Kredit
Pasal 32
(1) Penyelesaian Akhir atas hasil perhitungan Kliring Kredit secara nasional
dilakukan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Kewajiban Bank dalam Penyelesaian Akhir Kliring Kredit secara nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipenuhi dari sumber dana yang
dimiliki Bank sebagai berikut :
a.
dana tunai (cash prefund) yang disediakan oleh Bank sampai dengan
berakhirnya batas waktu penambahan dana tunai (cash prefund)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1); dan
b. dana …
-28-
b. dana dari confirmed incoming yang
tersedia sampai
dengan
berakhirnya batas waktu penambahan dana tunai (cash prefund)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1).
(3) Dalam hal Peserta pengirim tidak memiliki dana yang cukup untuk
menyelesaikan sebagian atau seluruh transaksi DKE Kredit yang telah
diterima oleh SSK, sebagian atau seluruh transaksi DKE Kredit tersebut
dibatalkan secara otomatis oleh sistem.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme Penyelesaian Akhir atas hasil
perhitungan Kliring Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VII
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PESERTA PENGIRIM DAN
PESERTA PENERIMA DALAM PENYELENGGARAAN KLIRING DEBET
Bagian Pertama
Pengiriman Warkat Debet dan DKE Debet
Pasal 33
(1) Dalam menerima setoran Warkat Debet dari nasabahnya, Peserta pengirim
wajib memperhatikan ketentuan yang berlaku.
(2) Dalam hal Peserta pengirim menyetujui untuk mengkliringkan Warkat
Debet yang
diterima dari nasabahnya, Peserta pengirim wajib
mengkliringkan Warkat Debet tersebut melalui Kliring Debet, dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. Untuk Warkat Debet yang
diterima sebelum berakhirnya jam
pelayanan nasabah dan Peserta pengirim mempunyai cukup waktu
untuk …
-29-
untuk mengkliringkannya, Peserta pengirim wajib mengkliringkan
Warkat Debet tersebut pada tanggal yang sama dengan tanggal
diterimanya Warkat Debet dari nasabah.
b. Untuk Warkat Debet yang diterima menjelang
berakhirnya jam
pelayanan nasabah dan Peserta pengirim tidak mempunyai cukup
waktu untuk mengkliringkan Warkat Debet tersebut, Peserta pengirim
wajib mengkliringkan Warkat Debet tersebut paling lambat pada
Kliring Debet hari kerja berikutnya.
c. Untuk Warkat Debet yang diterima setelah berakhirnya jam pelayanan
nasabah, Peserta pengirim wajib mengkliringkan Warkat Debet
tersebut paling lambat pada Kliring Debet hari kerja berikutnya.
d. Kewajiban mengkliringkan Warkat Debet sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b dan huruf c dapat dikecualikan sepanjang
terdapat kesepakatan lain antara nasabah dengan Peserta pengirim.
(3) Khusus untuk Warkat Debet yang memiliki tanggal jatuh tempo dalam
pembayarannya, kewajiban mengkliringkan Warkat Debet sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berlaku sepanjang Warkat Debet tersebut telah
jatuh tempo pada saat diterima oleh Peserta pengirim.
(4) Dalam hal Warkat Debet sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) belum
jatuh tempo pada saat diterima oleh Peserta pengirim, maka Peserta
pengirim wajib mengkliringkan Warkat Debet tersebut pada:
a.
b.
tanggal jatuh tempo; atau
hari kerja berikutnya setelah tanggal jatuh tempo apabila tanggal jatuh
tempo Warkat Debet adalah hari libur,
kecuali terdapat kesepakatan lain antara nasabah dengan Peserta pengirim.
(5) Dalam hal Peserta pengirim tidak mengkliringkan Warkat Debet sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan
ayat …
-30-
ayat (4), Peserta pengirim wajib membayar kompensasi kepada
nasabah sebesar bunga atas dana yang seharusnya diterima oleh nasabah
terhitung sejak tanggal Penyelesaian Akhir Kliring pengembalian apabila
Warkat Debet tersebut dikliringkan sesuai dengan tanggal yang seharusnya
sampai dengan tanggal Penyelesaian Akhir Kliring Pengembalian pada saat
Warkat Debet tersebut dikliringkan.
(6) Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah bunga yang berlaku
untuk jenis rekening nasabah yang menyetorkan Warkat Debet pada Peserta
pengirim.
(7) Ketentuan kewajiban pembayaran kompensasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) tidak berlaku jika:
a.
b.
Nasabah tidak mempunyai rekening pada Peserta pengirim; atau
Peserta pengirim menunda pelaksanaan kewajiban mengkliringkan
atas permintaan pihak yang berwenang atau atas dasar ketentuan yang
berlaku.
Pasal 34
(1) Peserta pengirim bertanggung jawab atas :
a.
kesesuaian DKE Debet dengan data pada Warkat Debet yang menjadi
dasar pembuatan DKE Debet dimaksud; dan
b. kelengkapan penyampaian Warkat Debet dan DKE Debet dalam
Kliring Debet.
(2) Dalam hal Peserta pengirim melakukan kekeliruan yang berakibat:
a. DKE Debet tidak sesuai dengan data pada Warkat Debet yang
diterima dari nasabah; atau
b. Warkat Debet dikirim tanpa disertai DKE Debet atau sebaliknya;
sehingga …
-31-
sehingga Warkat Debet tersebut ditolak atau tidak diterima oleh Peserta
penerima, maka Peserta pengirim wajib mengkliringkan kembali Warkat
Debet tersebut paling lambat pada Kliring Debet hari kerja berikutnya.
(3) Dalam hal Peserta pengirim melakukan kekeliruan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Peserta pengirim wajib membayar kompensasi kepada
nasabah sesuai dengan bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah
yang menyetorkan Warkat Debet, terhitung sejak tanggal Penyelesaian
Akhir Kliring Pengembalian pada saat Warkat Debet tersebut dikliringkan
dan terjadi kekeliruan sampai dengan tanggal Penyelesaian Akhir Kliring
pengembalian pada saat Peserta pengirim mengkliringkan kembali Warkat
Debet tersebut dengan benar.
(4) Ketentuan pembayaran kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak
mempunyai rekening pada Peserta pengirim.
Bagian Kedua
Penerimaan Warkat Debet dan DKE Debet
Pasal 35
(1) Peserta penerima harus meneliti dan mencocokkan Warkat Debet yang
diterima dengan laporan yang berisi daftar DKE Debet yang diterima dari
PKL.
(2) Dalam hal setelah dilakukan penelitian dan pencocokan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdapat perbedaan antara Warkat Debet dengan
laporan yang
berisi daftar DKE Debet yang
diterima dari PKL,
penyelesaian perbedaan tersebut dilakukan dengan mekanisme yang diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(3) Peserta …
berlaku jika nasabah yang menyetorkan Warkat Debet tidak
-32-
(3) Peserta penerima dapat menolak Warkat Debet dan atau DKE Debet
berdasarkan alasan-alasan penolakan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Penerusan Dana kepada Nasabah Peserta Pengirim
Pasal 36
(1) Dalam hal tidak terjadi penolakan oleh Peserta penerima terhadap Warkat
Debet yang dikliringkan oleh Bank Peserta pengirim, Bank Peserta
pengirim wajib meneruskan dana hasil penagihan Warkat Debet tersebut
kepada nasabah yang menyetorkan Warkat Debet segera setelah kegiatan
Kliring pengembalian di Wilayah Kliring yang bersangkutan selesai, dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. Dalam hal nasabah memiliki rekening di Bank Peserta pengirim, maka:
1.
Bank Peserta pengirim wajib mengkredit dana tersebut ke
rekening nasabahnya:
a) pada tanggal valuta yang sama dengan tanggal Kliring
pengembalian; atau
b) paling lambat pukul 09.00 waktu setempat
hari kerja
berikutnya dengan:
1) menggunakan tanggal valuta hari kerja sebelumnya;
atau
2) menggunakan tanggal valuta hari kerja berikutnya
tersebut dengan memberikan bunga kepada
nasabahnya sejak tanggal Penyelesaian Akhir Kliring
pengembalian …
-33-
pengembalian sampai tanggal pengkreditan rekening
nasabah dimaksud.
2.
Dalam
hal Bank
Peserta pengirim tidak melakukan
pengkreditan sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank
Peserta pengirim wajib membayar kompensasi kepada
nasabahnya sebesar bunga dari dana yang seharusnya diterima
oleh nasabah dimaksud, terhitung sejak tanggal Penyelesaian
Akhir Kliring
pengembalian sampai tanggal pengkreditan
rekening nasabah, dengan tingkat bunga yang berlaku untuk
jenis rekening nasabah pada Bank Peserta pengirim ditambah
dengan tingkat kompensasi tertentu yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
b. Apabila nasabah tidak memiliki rekening di Bank Peserta pengirim,
maka Bank Peserta pengirim wajib mengirim surat pemberitahuan
mengenai tersedianya dana kepada nasabah pada tanggal yang sama
dengan tanggal Kliring pengembalian atau paling lambat pada hari
kerja berikutnya.
(2) Ketentuan pembayaran tambahan kompensasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a tidak berlaku jika Peserta pengirim menunda pelaksanaan
penerusan dana atas permintaan pihak yang berwenang atau atas dasar
ketentuan yang berlaku.
Bagian Keempat
Kompensasi Atas Warkat Debet yang Tertolak Oleh Mesin Baca Pilah
Pasal 37
(1) Dalam hal Warkat Debet tertolak (reject) oleh mesin baca pilah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d karena faktor-faktor
tertentu …
-34-
tertentu yang disebabkan oleh Peserta pengirim dan atau Peserta penerima
dan menyebabkan Warkat Debet tersebut tidak diproses oleh PKL, maka
Peserta pengirim dan atau Peserta penerima wajib membayar kompensasi
kepada nasabah yang menyetorkan Warkat Debet sesuai dengan bunga yang
berlaku untuk jenis rekening nasabah tersebut terhitung sejak tanggal
Penyelesaian Akhir Kliring pengembalian apabila Warkat Debet tersebut
tidak tertolak oleh mesin baca pilah sampai dengan tanggal Penyelesaian
Akhir Kliring pengembalian pada saat Warkat Debet tersebut dikliringkan
kembali dan tidak tertolak oleh mesin baca pilah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pihak yang wajib membayar kompensasi
kepada nasabah, tata cara pembayarannya serta perhitungan bunga dan
kompensasi diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VIII
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PESERTA PENGIRIM DAN
PESERTA PENERIMA DALAM PENYELENGGARAAN KLIRING KREDIT
Bagian Pertama
Pengiriman DKE Kredit
Pasal 38
(1) Peserta pengirim wajib mensyaratkan kepada nasabahnya untuk mengisi
perintah transfer kredit secara lengkap dan benar serta memperhatikan
ketentuan yang berlaku.
(2) Perintah transfer kredit yang dibuat oleh nasabah pengirim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a.
identitas nasabah pengirim;
b. identitas …
-35-
b.
c.
identitas nasabah penerima;
identitas Peserta penerima; dan
d. jumlah dana yang ditransfer.
(3) Identitas nasabah pengirim dan nasabah penerima sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dan huruf b sekurang-kurangnya meliputi nomor
rekening dan nama rekening atau, apabila nasabah pengirim atau nasabah
penerima tidak memiliki rekening pada Peserta, identitas tersebut meliputi
sekurang-kurangnya nama dan alamat.
Pasal 39
(1) Dalam hal Peserta pengirim menyetujui untuk mengkliringkan perintah
transfer kredit dari nasabahnya, Peserta pengirim wajib mengkliringkan
perintah transfer kredit dalam bentuk DKE Kredit melalui Kliring Kredit
dengan ketentuan sebagai berikut :
a.
Untuk perintah transfer kredit yang diterima sebelum berakhirnya jam
pelayanan nasabah dan Peserta pengirim mempunyai cukup waktu
untuk mengkliringkannya, Peserta pengirim wajib mengkliringkan
perintah transfer kredit tersebut pada tanggal yang sama dengan
tanggal diterimanya perintah transfer kredit dari nasabah.
b. Untuk perintah transfer kredit yang diterima menjelang berakhirnya
jam pelayanan nasabah dan Peserta pengirim tidak mempunyai cukup
waktu untuk mengkliringkan perintah transfer kredit tersebut, Peserta
pengirim wajib mengkliringkan perintah transfer kredit tersebut paling
lambat pada Kliring Kredit hari kerja berikutnya.
c.
Untuk perintah transfer kredit yang diterima setelah berakhirnya jam
pelayanan nasabah, Peserta pengirim wajib mengkliringkan perintah
transfer …
-36-
transfer kredit tersebut paling lambat pada Kliring Kredit hari kerja
berikutnya.
d.
Kewajiban mengkliringkan perintah
transfer kredit sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c dapat dikecualikan
sepanjang terdapat kesepakatan lain antara nasabah dengan Peserta
pengirim.
(2) Dalam mengkliringkan perintah transfer kredit sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pendebetan rekening nasabah pengirim harus dilakukan pada
tanggal yang sama dengan tanggal Peserta pengirim mengkliringkan
perintah transfer kredit tersebut.
(3) Dalam hal tanggal pendebetan rekening nasabah lebih awal daripada
tanggal pengkliringan perintah transfer kredit, Peserta pengirim wajib
membayar bunga kepada nasabah sesuai dengan bunga yang berlaku untuk
jenis rekening nasabah yang memberikan perintah transfer kredit kepada
Peserta pengirim terhitung sejak tanggal pendebetan rekening nasabah
pengirim sampai tanggal Peserta pengirim mengkliringkan perintah transfer
kredit tersebut.
(4) Ketentuan kewajiban pembayaran bunga sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tidak berlaku apabila perintah transfer kredit dari nasabah berasal dari
setoran tunai.
Pasal 40
(1) Dalam hal DKE Kredit tidak diproses oleh PKN atau PKL yang disebabkan
oleh alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 32
ayat (3), maka Peserta pengirim wajib mengkliringkan kembali perintah
transfer …
-37-
transfer kredit tersebut paling lambat pada Kliring Kredit pada hari kerja
berikutnya.
(2) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta
pengirim wajib membayar bunga kepada nasabahnya sesuai dengan bunga
yang berlaku untuk jenis rekening nasabah yang memberikan perintah
transfer kredit kepada Peserta pengirim terhitung sejak tanggal pendebetan
rekening
nasabah pengirim
sampai
tanggal
mengkliringkan kembali perintah transfer kredit tersebut.
(3) Ketentuan kewajiban pembayaran bunga sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak berlaku apabila perintah transfer kredit dari nasabah berasal dari
setoran tunai.
Pasal 41
(1) Peserta pengirim bertanggung jawab atas kesesuaian perintah transfer kredit
yang dibuat oleh nasabah dengan DKE Kredit yang dikirimkan melalui
Kliring Kredit.
(2) Dalam hal Peserta pengirim mengirimkan DKE Kredit yang tidak sesuai
dengan perintah transfer kredit yang dibuat oleh nasabah, Peserta pengirim
wajib mengirimkan kembali DKE Kredit baru atas beban Peserta pengirim
sesuai dengan perintah transfer kredit nasabah tanpa menunggu
pengembalian dana dari Peserta penerima atau nasabah Peserta penerima
yang tidak berhak paling lambat pada tanggal yang sama dengan tanggal
diketahuinya ketidaksesuaian.
(3) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta
pengirim wajib membayar bunga kepada nasabahnya sesuai dengan bunga
yang berlaku untuk jenis rekening nasabah yang mengirimkan perintah
transfer …
Peserta pengirim
-38-
transfer kredit tersebut, terhitung sejak tanggal pendebetan rekening
nasabah sampai tanggal Peserta pengirim mengirimkan DKE Kredit yang
baru.
(4) Dalam hal Peserta pengirim telah melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), maka dana yang salah terkirim dapat diminta
kembali oleh Peserta pengirim kepada Peserta penerima dengan
menggunakan mekanisme permintaan pengembalian dana sebagaimana
diatur dalam kesepakatan antar Peserta (Bye-Laws).
(5) Peserta pengirim yang meminta pengembalian dana sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) harus menyerahkan “Surat Pernyataan Pembebasan Tanggung
Jawab” (indemnity) kepada Peserta penerima.
(6) Pembebasan tanggung jawab (indemnity) Peserta penerima oleh Peserta
pengirim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berisi pernyataan :
a. pembebasan tanggung jawab Peserta penerima, termasuk seluruh
karyawannya dan pihak-pihak lainnya yang
terkait dengan
pembayaran, terhadap berbagai kemungkinan klaim, gugatan,
kewajiban, biaya-biaya termasuk biaya penyelesaian hukum dan biaya
lainnya, tuntutan atau kerugian yang diakibatkan oleh pengembalian
dana yang dilakukan oleh Peserta penerima, baik atas permintaan
Peserta pengirim atau karena Peserta penerima harus melaksanakan
kewajiban sesuai dengan pernyataan dalam pembebasan tanggung
jawab (indemnity); dan
b. kesediaan Peserta pengirim untuk menanggung segala biaya yang
terkait dengan klaim, gugatan, tuntutan, dan kewajiban lainnya,
termasuk biaya penyelesaian hukum dan biaya lainnya, serta kerugian
yang dihadapi oleh Peserta penerima sebagai akibat dari penarikan
kembali dana dari nasabah penerima yang tidak berhak.
Pasal …
-39-
Pasal 42
Dalam hal Peserta pengirim meminta pengembalian dana dari Peserta penerima
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (4), Peserta penerima wajib segera
melaksanakan permintaan tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 44, Pasal
46 dan Pasal 47.
Bagian Kedua
Penerimaan DKE Kredit
Pasal 43
(1) Peserta penerima wajib melakukan verifikasi atas transfer kredit yang
diterima melalui Kliring Kredit sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(2) Dalam hal transfer ditujukan kepada penerima dana yang memiliki rekening
di kantor Peserta penerima, Peserta penerima wajib meneruskan dana
kepada nasabah penerima dana dengan menggunakan mekanisme penerusan
dana yang berlaku di internal Bank Peserta penerima dengan cara:
a. mencocokkan nomor rekening dan nama rekening penerima dana
yang tercantum dalam daftar DKE Kredit yang diterbitkan oleh PKN
dengan nomor rekening dan nama rekening penerima dana yang
tercantum dalam tata usaha rekening atau administrasi di Peserta
penerima; atau
b. mendasarkan penerusan dana hanya atas dasar kesamaan nomor
rekening yang tercantum dalam daftar DKE Kredit yang diterbitkan
oleh PKN dengan nomor rekening yang tercantum dalam tata usaha
rekening atau administrasi di Peserta penerima.
(3) Dalam …
-40-
(3) Dalam hal transfer ditujukan kepada penerima dana yang tidak memiliki
rekening di kantor Peserta penerima, Peserta penerima wajib mencocokkan
identitas penerima dana yang tercantum dalam daftar DKE Kredit yang
diterbitkan oleh PKN dengan identitas penerima dana dalam dokumen
identitas yang sesuai dengan ketentuan internal Bank Peserta penerima.
Pasal 44
(1) Dalam hal Peserta penerima menggunakan mekanisme penerusan dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf a dan terdapat
perbedaan antara nomor rekening dan nama rekening penerima dana dalam
daftar DKE Kredit yang diterbitkan oleh PKN dengan nomor rekening dan
nama rekening penerima dana yang tercantum dalam tata usaha atau
administrasi Peserta penerima, tetapi Peserta penerima mengambil
keputusan untuk meneruskan dana tersebut, maka apabila di kemudian hari
terdapat permintaan dari Peserta pengirim untuk mengembalikan dana
kepada Peserta pengirim, Peserta penerima wajib mengembalikan dana
tersebut sesuai dengan permintaan Peserta pengirim tanpa menunggu
pengembalian dana dari nasabah penerima dana yang tidak berhak.
(2) Dalam hal Peserta penerima menggunakan mekanisme penerusan dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf b, dan ternyata nama
penerima dana yang tercantum dalam daftar DKE Kredit yang diterbitkan
oleh PKN berbeda dengan nama penerima dana yang tercantum dalam tata
usaha atau administrasi Peserta penerima, maka apabila terdapat permintaan
dari Peserta pengirim untuk mengembalikan dana kepada Peserta pengirim,
Peserta penerima wajib mengembalikan dana tersebut sesuai dengan
permintaan …
-41-
permintaan Peserta pengirim tanpa menunggu pengembalian dana dari
penerima dana yang tidak berhak.
(3) Dalam hal transfer ditujukan kepada penerima dana yang tidak memiliki
rekening di kantor Peserta penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
ayat (3), dan identitas penerima dana yang tercantum dalam daftar DKE
Kredit yang diterbitkan oleh PKN berbeda dengan identitas penerima dana,
dan Peserta penerima melakukan pembayaran, maka apabila terdapat
permintaan dari Peserta pengirim untuk mengembalikan dana kepada
Peserta pengirim, Peserta penerima wajib mengembalikan dana tersebut
sesuai dengan permintaan Peserta pengirim tanpa menunggu pengembalian
dana dari penerima dana yang tidak berhak.
(4) Pengembalian dana kepada Peserta pengirim sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dilakukan paling lambat 10 (sepuluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal permintaan pengembalian dana dari Peserta
pengirim.
(5) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Peserta
penerima wajib memberikan bunga kepada Peserta pengirim sesuai dengan
tingkat bunga yang diatur dalam kesepakatan tertulis antar Peserta (Bye-
Laws) terhitung sejak tanggal pengkreditan rekening giro Peserta penerima
di Bank Indonesia sampai tanggal pengembalian dana.
Pasal 45
(1) Dalam hal Peserta pengirim telah mengirimkan DKE Kredit sesuai dengan
perintah transfer kredit dari nasabah namun Bank Peserta penerima
melakukan pengkreditan dana kepada nasabah penerima dana yang berbeda
dari nasabah penerima dana yang tercantum dalam daftar DKE Kredit yang
diterbitkan …
-42-
diterbitkan oleh PKN, Bank Peserta penerima wajib menyampaikan dana
kepada nasabah penerima dana yang berhak pada tanggal yang sama
dengan tanggal diketahuinya kekeliruan tanpa menunggu pengembalian
dana dari nasabah penerima dana yang tidak berhak.
(2) Dalam hal Bank Peserta penerima melakukan pengkreditan dana kepada
nasabah penerima dana yang berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Peserta penerima wajib membayar bunga kepada nasabah penerima
dana yang berhak sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku untuk jenis
rekening
nasabah penerima dana tersebut, terhitung
sejak
tanggal
seharusnya rekening nasabah penerima dana yang berhak dikredit sampai
tanggal pelaksanaan pengkreditan rekening nasabah penerima dana yang
berhak tersebut.
(3) Ketentuan kewajiban pembayaran bunga sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak berlaku apabila perintah transfer kredit ditujukan kepada penerima
dana yang tidak memiliki rekening di Bank Peserta penerima.
Pasal 46
(1) Dalam hal Peserta penerima telah meneruskan dana sesuai dengan perintah
transfer kredit dari Peserta pengirim, tetapi Peserta pengirim mengajukan
permintaan kepada Peserta penerima untuk mengembalikan dana
sebagaimana dimaksud pada Pasal 41 ayat (4), Peserta penerima wajib
memberikan tanggapan kepada Peserta pengirim paling lambat 10 (sepuluh)
hari kerja sejak tanggal permintaan pengembalian dana dari Peserta
pengirim.
(2) Tanggapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan
mempertimbangkan pembebasan tanggung jawab (indemnity) yang diterima
dari …
-43-
dari Peserta pengirim dan kebijakan serta ketentuan internal Peserta
penerima.
(3) Dalam hal Peserta penerima tidak dapat mengembalikan dana sesuai dengan
permintaan Peserta pengirim, Peserta pengirim melakukan penagihan dana
yang salah terkirim tersebut secara langsung kepada penerima dana yang
tidak berhak.
(4) Apabila terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Peserta
penerima harus membantu Peserta pengirim dengan cara memberikan data
yang terkait dengan :
a.
b.
pengkreditan rekening penerima dana yang tidak berhak; dan
identitas penerima dana yang tidak berhak yang tercatat dalam
administrasi Peserta penerima.
(5) Dalam hal Peserta penerima dapat menarik kembali dana dari penerima
dana yang tidak berhak, pengembalian dana kepada Peserta pengirim
meliputi jumlah dana yang dapat ditarik kembali oleh Peserta penerima.
Pasal 47
(1) Kewajiban Peserta penerima untuk melakukan pengembalian dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 atau memberikan tanggapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 hanya berlaku dalam hal permintaan
pengembalian dana dari Peserta pengirim diterima paling lambat 60 (enam
puluh) hari kalender sejak tanggal pengkreditan rekening giro Peserta
penerima di Bank Indonesia.
(2) Setelah jangka waktu 60 (enam puluh) hari kalender sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terlampaui, apabila terdapat permintaan dari Peserta
pengirim untuk melakukan pengembalian dana sebagaimana dimaksud
dalam …
-44-
dalam Pasal 44 atau memberikan tanggapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46, Peserta penerima dapat mempertimbangkan untuk menolak atau
menerima permintaan tersebut paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak
tanggal permintaan pengembalian dana dari Peserta pengirim.
(3) Dalam hal Peserta penerima menolak permintaan pengembalian dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta pengirim dapat melakukan
penagihan dana secara langsung kepada penerima dana yang tidak berhak.
(4) Apabila terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Peserta
penerima harus membantu Peserta pengirim antara lain dengan cara
memberikan data yang terkait dengan :
a.
b.
pengkreditan rekening penerima dana yang tidak berhak; dan
identitas penerima dana yang tidak berhak yang tercatat dalam
administrasi Peserta penerima.
(5) Dalam hal Peserta penerima menyetujui permintaan Peserta pengirim untuk
mengembalikan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka
pengembalian dana meliputi seluruh dana yang dapat ditarik kembali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5).
Pasal 48
(1) Bank Peserta penerima wajib meneruskan dana yang ditujukan kepada
nasabah penerima dana segera setelah Bank Indonesia melakukan
Penyelesaian Akhir Kliring Kredit dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Dalam hal nasabah memiliki rekening di Bank Peserta penerima,
maka:
1.
Bank Peserta penerima wajib mengkredit dana tersebut ke
rekening nasabah:
a) pada …
-45-
a) pada tanggal valuta yang
b)
sama dengan tanggal
Penyelesaian Akhir Kliring Kredit; atau
paling lambat pukul 09.00 waktu setempat
hari kerja
berikutnya dengan:
1) menggunakan tanggal valuta hari kerja sebelumnya;
atau
2) menggunakan tanggal valuta hari kerja berikutnya
tersebut dengan memberikan bunga kepada nasabah
sejak
tanggal Penyelesaian Akhir Kliring Kredit
sampai tanggal pengkreditan rekening nasabah.
2. Dalam hal Bank Peserta penerima tidak melakukan pengkreditan
sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank Peserta penerima
wajib membayar kompensasi kepada nasabah sebesar bunga dari
dana yang seharusnya diterima oleh nasabah, terhitung sejak
tanggal Penyelesaian Akhir Kliring Kredit sampai tanggal
pengkreditan rekening nasabah, dengan tingkat bunga yang
berlaku untuk jenis rekening
nasabah pada Bank Peserta
penerima ditambah dengan tingkat kompensasi tertentu yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3. Ketentuan kewajiban pembayaran tambahan kompensasi
sebagaimana dimaksud pada angka 2 tidak berlaku apabila :
a)
b)
Kantor Bank Peserta penerima tidak didaftarkan oleh Bank
Peserta Penerima pada PKN; dan atau
Peserta penerima menunda pelaksanaan kewajiban
pengkreditan atas permintaan pihak yang berwenang atau
atas dasar ketentuan yang berlaku.
b. Dalam …
-46-
b. Dalam hal penerima dana tidak memiliki rekening di Bank Peserta
penerima, maka kantor Bank Peserta penerima wajib meneruskan
dana kepada penerima dana dengan cara mengirim surat
pemberitahuan mengenai tersedianya dana kepada penerima dana
pada tanggal yang sama dengan tanggal Penyelesaian Akhir Kliring
Kredit atau paling lambat pada hari kerja berikutnya.
(2) Kewajiban meneruskan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
tidak berlaku jika Bank Peserta penerima tidak dapat meneruskan dana
kepada penerima dana yang tidak memiliki rekening.
(3) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank
Peserta penerima wajib mengembalikan dana kepada Peserta pengirim
dengan cara mengkliringkan perintah transfer kredit baru melalui Kliring
Kredit hari kerja berikutnya.
BAB IX
PENGHENTIAN PESERTA DALAM KEGIATAN SKNBI
Pasal 49
(1) PKN atau PKL dapat menghentikan sementara atau tetap keikutsertaan
Peserta dalam kegiatan SKNBI.
(2) Penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh PKN
atau PKL kepada seluruh Peserta.
Bagian Pertama
Penghentian Sementara Peserta dalam Kegiatan SKNBI
Pasal 50
(1) Penghentian sementara Peserta dalam seluruh kegiatan SKNBI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dapat disebabkan oleh
alasan sebagai berikut :
a. Bank …
-47-
a. Bank tidak menyediakan pendanaan awal (prefund) dalam Kliring
Debet dan atau Kliring Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
dan Pasal 29;
b.
rekening giro Bank di Bank Indonesia bersaldo negatif pada saat tutup
Sistem BI-RTGS dan mengakibatkan Bank
tidak
mampu
menyediakan pendanaan awal (prefund) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 dan Pasal 29 pada awal hari kerja berikutnya;
c. adanya permintaan tertulis dari pihak
melakukan pengawasan Bank;
yang
d.
berwenang
Peserta dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3), Pasal 64 ayat (3),
Pasal 65 ayat (3), Pasal 66 ayat (3) atau Pasal 86 ayat (2) huruf c; dan
atau
e. adanya permintaan dari Peserta.
(2) Permintaan tertulis dari pihak
yang
berwenang dalam melakukan
pengawasan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c didasarkan
atas pertimbangan sebagai berikut :
a. adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang perbankan dan atau sistem pembayaran;
b.
tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadinya risiko yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan dan atau
sistem perbankan; dan atau
c. pembekuan kegiatan usaha Bank.
(3) Permintaan dari Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
disebabkan alasan antara lain sebagai berikut :
a.
dalam
adanya kondisi-kondisi tertentu yang mengakibatkan Peserta tidak
dapat mengikuti kegiatan SKNBI untuk sementara waktu; dan atau
b. terjadi …
-48-
b. terjadi Keadaan Darurat di lokasi kantor Peserta yang
memungkinkan Peserta untuk mengikuti kegiatan SKNBI.
tidak
(4) Penghentian sementara yang disebabkan oleh alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a berlaku ketentuan sebagai berikut:
a.
untuk Bank Konvensional atau Bank yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah, penghentian sementara berlaku
untuk seluruh kantor Bank tersebut yang menjadi Peserta;
b. khusus untuk Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan:
1. dalam hal pendanaan awal (prefund) tidak dilakukan oleh Bank
yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional,
penghentian sementara berlaku hanya untuk seluruh kantor Bank
tersebut yang menjadi Peserta;
2. dalam hal pendanaan awal (prefund) tidak dilakukan oleh UUS,
penghentian sementara hanya berlaku untuk seluruh kantor dan
atau unit syariah di bawah UUS tersebut yang menjadi Peserta.
(5) Penghentian sementara yang disebabkan oleh alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b berlaku ketentuan sebagai berikut:
a.
untuk Bank Konvensional atau Bank yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah, penghentian sementara berlaku
untuk seluruh kantor Bank tersebut yang menjadi Peserta;
b.
untuk Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan berlaku ketentuan
sebagai berikut:
1.
dalam hal rekening giro Bank yang menjalankan kegiatan usaha
secara konvensional bersaldo negatif dan rekening giro UUS-nya
bersaldo positif atau sebaliknya, dan hasil penjumlahan atas
saldo …
-49-
saldo kedua rekening giro tersebut menunjukkan angka negatif,
penghentian sementara berlaku untuk seluruh kantor Bank yang
menjalankan kegiatan usaha secara konvensional dan seluruh
kantor dan atau unit syariah di bawah UUS yang menjadi
Peserta; atau
2.
dalam hal rekening giro Bank yang menjalankan kegiatan usaha
secara konvensional bersaldo negatif dan rekening giro UUS-nya
bersaldo positif atau sebaliknya, dan hasil penjumlahan atas
saldo kedua rekening giro tersebut tidak menunjukkan angka
negatif, penghentian sementara berlaku untuk seluruh kantor
Bank yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional atau
seluruh kantor dan atau unit syariah di bawah UUS yang
menjadi Peserta, yang rekening gironya di Bank Indonesia
bersaldo negatif.
(6) Penghentian sementara yang disebabkan oleh alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c berlaku untuk seluruh kantor Bank yang menjadi
Peserta.
(7) Penghentian sementara yang disebabkan alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d berlaku untuk seluruh kantor Bank yang menjadi
Peserta.
(8) Penghentian sementara yang disebabkan oleh alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e berlaku hanya untuk kantor Bank yang mengalami
kondisi tersebut, kecuali kondisi tersebut mempengaruhi keikutsertaan
seluruh kantor Bank yang menjadi Peserta.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghentian sementara Peserta
dari kegiatan SKNBI diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian …
-50-
Bagian Kedua
Penghentian Tetap Peserta dalam Kegiatan SKNBI
Pasal 51
(1) Penghentian tetap Peserta dalam kegiatan SKNBI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 ayat (1), dapat disebabkan oleh alasan sebagai berikut:
a. permintaan tertulis dari pihak yang berwenang dalam melakukan
pengawasan Bank; dan atau
b. permintaan tertulis dari Peserta.
(2) Permintaan tertulis dari pihak
yang
berwenang dalam melakukan
pengawasan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a didasarkan
atas pertimbangan sebagai berikut :
a. adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang perbankan dan atau sistem pembayaran;
pencabutan izin usaha dan likuidasi Bank; atau
b.
c.
tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadinya risiko yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan dan atau
sistem perbankan.
(3) Permintaan tertulis dari Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, antara lain disebabkan oleh:
a.
Peserta pindah dari suatu Wilayah Kliring ke Wilayah Kliring lain
yang berbeda;
b. keinginan Bank yang bersangkutan untuk menghentikan keikutsertaan
sebagian atau seluruh kantor Bank sebagai Peserta.
(4) Penghentian …
-51-
(4) Penghentian tetap Peserta dalam kegiatan SKNBI yang disebabkan oleh
alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku untuk seluruh kantor
Bank yang menjadi Peserta.
(5) Penghentian tetap Peserta dalam kegiatan SKNBI yang disebabkan oleh
alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku untuk sebagian atau
seluruh kantor Bank yang menjadi Peserta.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghentian tetap Peserta dari
kegiatan SKNBI diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB X
PENGIKUTSERTAAN KEMBALI PESERTA DALAM KEGIATAN
SKNBI
Pasal 52
(1) Pengikutsertaan kembali Peserta yang
dihentikan sementara
keikutsertaannya dalam kegiatan SKNBI sebagaimana dimaksud pada Pasal
50 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Bagi
Bank
yang
dihentikan keikutsertaannya dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf a,
pengikutsertaan kembali dilakukan secara otomatis pada kegiatan
SKNBI sepanjang Bank telah menyediakan pendanaan awal (prefund)
untuk
b. Bagi
Kliring Debet dan Kliring Kredit sesuai dengan jadwal
penyediaan pendanaan awal (prefund).
yang
Bank
dihentikan keikutsertaannya dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b,
pengikutsertaan kembali dilakukan secara otomatis pada kegiatan
SKNBI setelah rekening giro Bank tidak bersaldo negatif dan
sepanjang …
-52-
c. Bagi
sepanjang Bank telah menyediakan pendanaan awal (prefund) untuk
Kliring Debet dan Kliring Kredit sesuai dengan jadwal penyediaan
pendanaan awal (prefund).
yang
Bank
dihentikan keikutsertaannya dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf c,
pengikutsertaan kembali dilakukan:
1.
oleh pihak yang
pengawasan Bank berakhir; atau
2.
setelah pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan
Bank mengajukan permintaan untuk mengikutsertakan kembali
Bank yang bersangkutan, dalam hal tidak ditetapkan batas waktu
penghentian sementara,
dan sepanjang Bank telah menyediakan pendanaan awal (prefund)
untuk
d. Bagi
Bank
Kliring Debet dan Kliring Kredit sesuai dengan jadwal
penyediaan pendanaan awal (prefund).
yang
secara otomatis setelah batas waktu penghentian sementara yang
ditetapkan
berwenang dalam melakukan
dihentikan keikutsertaannya dengan alasan
e. Bagi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf d,
pengikutsertaan kembali dilakukan setelah Bank memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3), Pasal 64 ayat (3),
Pasal 65 ayat (3), Pasal 66 ayat (3) atau Pasal 86 ayat (2) huruf c, dan
sepanjang Bank telah menyediakan pendanaan awal (prefund) untuk
Kliring Debet dan Kliring Kredit sesuai dengan jadwal penyediaan
pendanaan awal (prefund).
yang
Bank
dihentikan keikutsertaannya dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf e,
pengikutsertaan kembali dilakukan:
1. secara …
-53-
1.
secara otomatis setelah batas waktu penghentian sementara yang
diajukan oleh Peserta berakhir; atau
2. setelah Peserta mengajukan permintaan untuk diikutsertakan
kembali, dalam hal Peserta tidak menetapkan batas waktu
penghentian sementara,
dan sepanjang Bank telah menyediakan pendanaan awal (prefund)
untuk
Kliring Debet dan Kliring Kredit sesuai dengan jadwal
penyediaan pendanaan awal (prefund).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengikutsertaan kembali Peserta
dalam kegiatan SKNBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XI
KONDISI GANGGUAN DAN KEADAAN DARURAT
Pasal 53
(1) Dalam hal terjadi kondisi gangguan terhadap SSK Utama, atau dalam hal
terjadi Keadaan Darurat di lokasi PKN, sehingga PKN tidak dapat
menggunakan SSK Utama, PKN menggunakan SSK Back-up dan
memberitahukan kondisi tersebut kepada PKL dan Peserta berikut langkah-
langkah yang perlu dilakukan.
(2) Dalam hal PKN tidak dapat menggunakan SSK Back-up sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), atau terjadi Keadaan Darurat di lokasi PKN, PKN
menerapkan Disaster Recovery Plan (DRP) atau Business Continuity Plan
(BCP) dan memberitahukan kondisi tersebut kepada PKL dan Peserta
berikut langkah-langkah yang perlu dilakukan termasuk penghentian
sementara penyelenggaraan SKNBI.
Pasal …
-54-
Pasal 54
(1) Dalam hal terjadi kondisi gangguan terhadap KPK Utama, atau dalam hal
terjadi Keadaan Darurat di lokasi PKL, sehingga PKL tidak dapat
menggunakan KPK Utama, PKL menggunakan KPK Back-up dan
memberitahukan kondisi tersebut kepada PKN dan Peserta berikut langkah-
langkah yang perlu dilakukan.
(2) Dalam hal PKL tidak dapat menggunakan KPK Back-up sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), PKL menerapkan Disaster Recovery Plan (DRP)
atau Business Continuity Plan (BCP) dan memberitahukan kondisi tersebut
kepada PKN dan Peserta berikut langkah-langkah yang perlu dilakukan
termasuk penghentian sementara penyelenggaraan SKNBI.
(3) Dalam hal terjadi kondisi gangguan pada JKD yang menyebabkan KPK
tidak dapat terhubung dengan SSK, maka :
a. PKL dapat meniadakan fasilitas penerusan DKE Kredit dari Peserta ke
SSK dan dari SSK ke Peserta; dan
b.
Peserta hanya dapat mengirimkan DKE Kredit kepada PKN melalui
kantor Peserta lainnya dari Bank yang bersangkutan yang memiliki
TPK on-line.
Pasal 55
(1) Dalam hal terjadi kondisi gangguan terhadap TPK Utama, atau dalam hal
terjadi Keadaan Darurat di lokasi Peserta, sehingga Peserta tidak dapat
menggunakan TPK Utama, Peserta menggunakan TPK Back-up.
(2) Dalam …
-55-
(2) Dalam hal Peserta tidak dapat menggunakan TPK Back up sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Peserta menerapkan Disaster Recovery Plan (DRP)
atau Business Continuity Plan (BCP) dan memberitahukan kondisi tersebut
kepada PKL.
(3) Dalam hal terjadi kondisi gangguan pada JKD yang menyebabkan TPK
on-line tidak
dapat terhubung ke KPK atau SSK, Peserta dapat
mengirimkan DKE kepada PKN melalui PKL dengan menggunakan media
rekam data elektronis.
Pasal 56
(1) Dalam hal terjadi kondisi gangguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
dan Pasal 54 yang menyebabkan Peserta tidak
transaksi melalui SKNBI, kewajiban Peserta kepada nasabah
dapat melaksanakan
Peserta
sebagaimana dimaksud dalam Bab VII dan Bab VIII Peraturan Bank
Indonesia ini ditunda pelaksanaannya sampai dengan berakhirnya kondisi
gangguan tersebut dan Peserta tidak wajib melaksanakan kewajiban
pembayaran bunga selama terjadi kondisi gangguan tersebut.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan penyesuaian jam operasional SKNBI dan petunjuk
lainnya yang ditetapkan PKN dan atau PKL.
(3) Dalam hal terjadi kondisi gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Peserta harus melakukan langkah-langkah yang diperlukan terkait dengan
penyelesaian kewajiban terhadap nasabah.
Pasal 57
Ketentuan lebih lanjut mengenai kondisi gangguan dan Keadaan Darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 sampai dengan Pasal 55 diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB …
-56-
BAB XII
PENGAWASAN
Pasal 58
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap PKN, PKL, Peserta, dan
perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
(2) Cakupan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a.
kepatuhan PKN, PKL, Peserta, dan perusahaan percetakan warkat dan
dokumen kliring terhadap Peraturan Bank Indonesia ini dan peraturan
pelaksanaannya; dan
b. kepatuhan PKN terhadap pemenuhan prinsip-prinsip sebagaimana
diatur dalam Core Principles for Systemically Important Payment
System yang diterbitkan oleh Bank for International Settlement.
(3) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank
Indonesia melakukan pengawasan secara langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(4) Dalam rangka pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pihak yang diawasi wajib memberikan:
a. keterangan dan data yang terkait dengan penyelenggaraan SKNBI dan
kegiatan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring; dan
b. kesempatan untuk melakukan pengawasan secara langsung sarana fisik
dan aplikasi pendukungnya yang terkait dengan penyelenggaraan
SKNBI dan kegiatan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap PKN, PKL, Peserta,
dan perusahaan pencetakan warkat dan dokumen kliring serta penugasan
kepada …
-57-
kepada pihak lain untuk melakukan pengawasan diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
BAB XIII
SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Terkait Penyelenggaraan SKNBI
Pasal 59
PKL Selain BI yang tidak menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis atau
perubahannya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
huruf b, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan PKL Selain BI
wajib menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis atau perubahannya.
Pasal 60
Dalam hal materi kebijakan dan prosedur tertulis tidak mengacu pada Peraturan
Bank Indonesia ini dan peraturan pelaksanaannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) huruf a, PKL Selain BI dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis dan PKL Selain BI wajib melakukan penyesuaian kebijakan dan
prosedur tertulis.
Pasal 61
PKL Selain BI yang tidak melakukan pemeriksaan internal dan atau tidak
menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal dalam jangka waktu
sebagaimana …
-58-
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c, PKL Selain BI dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis dan PKL Selain BI wajib melakukan
pemeriksaan internal dan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal.
Pasal 62
PKL Selain BI
yang
tidak melakukan security audit dan atau tidak
menyampaikan hasil security audit dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d, dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis dan PKL Selain BI wajib melakukan security audit dan menyampaikan
laporan hasil security audit.
Pasal 63
(1) Bank yang tidak menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis atau
perubahannya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) huruf b, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Dalam hal Bank tidak menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis atau
perubahannya paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal teguran
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis kedua.
(3) Dalam hal Bank tidak menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis atau
perubahannya paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal teguran
tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank dihentikan untuk
sementara dari kegiatan SKNBI sampai dengan Bank memenuhi kewajiban
tersebut.
Pasal …
-59-
Pasal 64
(1) Dalam hal materi kebijakan dan prosedur tertulis tidak mengacu pada
Peraturan Bank
Indonesia ini, peraturan pelaksanaannya dan atau
kesepakatan tertulis antar Bank (Bye-Laws) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) huruf a, Bank dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
(2) Dalam hal Bank tidak melakukan penyesuaian paling lambat 3 (tiga) bulan
sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua.
(3) Dalam hal Bank tidak melakukan penyesuaian paling lambat 3 (tiga) bulan
sejak tanggal teguran tertulis kedua, Bank dihentikan untuk sementara dari
kegiatan SKNBI sampai dengan Bank memenuhi kewajiban tersebut.
Pasal 65
(1) Bank yang
tidak melakukan pemeriksaan internal dan atau tidak
menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c, dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Dalam hal Bank tidak melakukan pemeriksaan internal dan atau tidak
menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal paling lambat 3 (tiga)
bulan sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua.
(3) Dalam hal Bank tidak melakukan pemeriksaan internal dan atau tidak
menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal paling lambat 3 (tiga)
bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud
pada …
-60-
pada ayat (2), Bank dihentikan untuk sementara dari kegiatan SKNBI
sampai dengan Bank memenuhi kewajiban tersebut.
Pasal 66
(1) Bank yang tidak melakukan security audit dan atau tidak menyampaikan
hasil security audit dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1) huruf d, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
tidak melakukan security audit dan atau tidak
menyampaikan hasil security audit paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung
sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua.
(3) Dalam hal Bank
tidak melakukan security audit dan atau tidak
menyampaikan hasil security audit paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung
sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Bank dihentikan untuk sementara dari kegiatan SKNBI sampai dengan
Bank memenuhi kewajiban tersebut.
Pasal 67
(1) Bank yang tidak memenuhi kewajiban untuk mengumumkan besarnya biaya
transaksi SKNBI
yang
(2) Dalam hal Bank
ditetapkan oleh Bank Indonesia dan jadwal
pelayanan nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf e,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Paling lambat 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak tanggal teguran
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank harus membuat
pengumuman …
-61-
pengumuman serta memberitahukan pelaksanaan pengumuman tersebut
kepada Bank Indonesia.
Pasal 68
Pengurus dan atau pejabat eksekutif Bank Peserta yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis dan pelanggaran tersebut akan dicatat dalam database
track record pengurus dan atau pejabat eksekutif tersebut di Bank Indonesia.
Pasal 69
(1) Dalam hal Warkat Debet tertolak oleh mesin baca pilah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d dan penolakannya terjadi secara
terus menerus selama waktu tertentu yang mengakibatkan terganggunya
operasional Kliring Debet di Wilayah Kliring bersangkutan, Peserta
pengirim dan atau Peserta penerima dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(2) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal teguran
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Peserta pengirim dan atau
Peserta penerima tidak melakukan perbaikan sehingga Warkat Debet masih
tertolak oleh mesin baca pilah dan mengakibatkan terganggunya operasional
Kliring Debet di Wilayah Kliring bersangkutan, Peserta pengirim dan atau
Peserta penerima dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis
kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal teguran
tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Peserta pengirim dan
atau …
-62-
atau Peserta penerima tidak melakukan perbaikan sehingga Warkat Debet
masih tertolak oleh mesin baca pilah dan mengakibatkan terganggunya
operasional Kliring Debet di Wilayah Kliring bersangkutan, Peserta
pengirim dan atau Peserta penerima dihentikan untuk sementara dalam
kegiatan Kliring Debet di Wilayah Kliring yang bersangkutan sampai
dengan Warkat Debet yang dikliringkan oleh Peserta yang dihentikan untuk
sementara tersebut tidak lagi tertolak oleh mesin baca pilah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pihak-pihak yang dikenakan sanksi serta
pengikutsertaan kembali dalam Kliring Debet sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 70
Peserta yang mengkliringkan Nota Debet dengan nilai nominal lebih besar
daripada batas nilai nominal yang ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 dan Peserta penerima yang tidak mengembalikan Nota
Debet tersebut, masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per transaksi.
Pasal 71
(1) Dalam hal terjadi penolakan atas DKE Debet dan atau Warkat Debet
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) yang didasarkan pada
alasan-alasan tertentu, Peserta pengirim, Peserta penerima, nasabah Peserta
pengirim atau nasabah Peserta penerima dikenakan sanksi administratif
berupa kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per
DKE Debet dan atau Warkat Debet yang ditolak.
(2) Ketentuan …
-63-
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai alasan-alasan penolakan DKE Debet dan
atau Warkat Debet yang dikenakan sanksi, pihak-pihak yang dikenakan
sanksi dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 72
Peserta penerima dalam Kliring Kredit yang tidak mengirimkan pemberitahuan
kepada nasabah penerima dana dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
Bagian Kedua
Sanksi Terkait Pencetakan Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring
Pasal 73
(1) Peserta yang melakukan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring
dengan menggunakan kertas yang ditetapkan Bank Indonesia dan tidak
memenuhi persyaratan teknis tertentu atau tidak menggunakan kertas yang
ditetapkan Bank Indonesia wajib mengganti Warkat Debet dan Dokumen
Kliring tersebut dengan kertas sesuai dengan yang ditetapkan Bank
Indonesia dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan Bank Indonesia.
(2) Kewajiban penggantian Warkat Debet dan Dokumen Kliring oleh Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab perusahaan
percetakan
warkat dan dokumen kliring apabila tidak
dipenuhinya
persyaratan tersebut timbul akibat adanya kelalaian atau kesalahan
perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring.
(3) Warkat …
-64-
(3) Warkat Debet dan Dokumen Kliring yang tidak memenuhi persyaratan
yang ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diperkenankan untuk digunakan dalam penyelenggaraan SKNBI.
Pasal 74
(1) Peserta yang melakukan pencetakan Warkat Debet dan atau Dokumen
Kliring selain kepada perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan wajib
mengganti Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring dengan Warkat Debet
dan atau Dokumen Kliring baru yang dicetak pada perusahaan percetakan
warkat dan dokumen kliring yang telah memperoleh penetapan dari Bank
Indonesia paling lambat dalam jangka waktu yang ditetapkan Bank
Indonesia.
(2) Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring yang dicetak di perusahaan selain
perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring yang telah memperoleh
penetapan dari Bank Indonesia tidak dapat dipergunakan dalam
penyelenggaraan SKNBI.
Pasal 75
Dalam hal Peserta tidak melaksanakan penggantian Warkat Debet dan atau
Dokumen Kliring dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73
ayat (1) dan Pasal 74 ayat (1), Peserta dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan dengan
maksimum kewajiban membayar sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah).
Pasal …
-65-
Pasal 76
Peserta yang melakukan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring dengan
menggunakan kertas yang ditetapkan Bank Indonesia tetapi tidak memenuhi
spesifikasi teknis tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c
dan tanpa memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari terhitung
sejak tanggal pencetakan dimaksud sampai dengan tanggal surat persetujuan
pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring yang baru oleh Bank Indonesia,
dengan kewajiban membayar maksimum sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah).
Pasal 77
Peserta yang terlambat atau tidak menyampaikan laporan pesanan pencetakan
Warkat Debet dan Dokumen Kliring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah) per hari keterlambatan terhitung sejak batas waktu pelaporan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan maksimum kewajiban membayar sebesar
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan Bank tetap wajib melaporkan pesanan
pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring.
Pasal 78
Peserta yang tidak melaporkan perubahan tertentu pada Warkat dan Dokumen
Kliring
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b dalam jangka
waktu …
-66-
waktu yang ditetapkan Bank Indonesia, dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
Pasal 79
(1) Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring yang melakukan
pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring dengan menggunakan
kertas yang ditetapkan Bank Indonesia tetapi tidak memenuhi spesifikasi
teknis yang ditetapkan oleh Bank Indonesia atau tidak menggunakan kertas
yang ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (2) huruf b dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan mengganti Warkat Debet dan
Dokumen Kliring Peserta sesuai dengan ketentuan spesifikasi teknis yang
ditetapkan Bank Indonesia.
(2) Dalam hal perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan
percetakan warkat dan dokumen dimaksud dapat dikenakan penghentian
penunjukan sebagai perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring.
Pasal 80
(1) Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring
yang
tidak
menyediakan mesin-mesin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3)
huruf a dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Dalam hal perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring tidak
menyediakan mesin-mesin setelah memperoleh 2 (dua) surat teguran
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikenakan sanksi
penghentian …
-67-
penghentian penunjukan sebagai perusahaan percetakan
dokumen kliring.
Pasal 81
Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring yang tidak melakukan
pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring sendiri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (3) huruf b dapat dikenakan sanksi penghentian penunjukan
sebagai perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring.
Pasal 82
Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring yang terlambat atau belum
menyampaikan laporan hasil pengujian kertas yang ditetapkan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf c dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari
keterlambatan sejak batas waktu pelaporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
dengan maksimum sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan perusahaan
percetakan warkat dan dokumen kliring
tetap wajib menyampaikan laporan
tersebut.
Pasal 83
Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring yang tidak memenuhi
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3)
huruf d, dapat dikenakan sanksi penghentian penunjukan sebagai perusahaan
percetakan warkat dan dokumen kliring.
Pasal …
warkat dan
-68-
Pasal 84
Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring yang tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf e dapat
dikenakan sanksi teguran tertulis dan atau penghentian penunjukan sebagai
perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring.
Pasal 85
(1) Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring yang terlambat
melaporkan pesanan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari
keterlambatan terhitung sejak batas waktu pelaporan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia
dengan maksimum kewajiban membayar
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
(2) Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring yang tidak melaporkan
pesanan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) setelah 60 (enam puluh) hari kalender
sejak batas waktu pelaporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dapat
dikenakan sanksi penghentian penunjukan sebagai perusahaan warkat dan
dokumen kliring.
Bagian Ketiga
Sanksi Terkait Pengawasan
Pasal 86
(1) Pihak yang diawasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (4) yang
tidak memberikan keterangan dan data dan atau tidak memberikan
kesempatan …
sebesar
-69-
kesempatan untuk melakukan pengawasan langsung dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Dalam hal pihak yang diawasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat
(4) tidak memberikan keterangan dan data dalam jangka waktu 7 (tujuh)
hari kalender atau
tidak memberikan kesempatan
untuk melakukan
pengawasan langsung dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kalender, terhitung
sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
maka:
a. PKL Selain BI dapat dikenakan sanksi berupa penghentian sebagai
penyelenggara SKNBI;
b. Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring dapat dikenakan
sanksi berupa penghentian penunjukan sebagai perusahaan percetakan
warkat dan dokumen kliring; atau
c. Peserta dapat dikenakan sanksi berupa penghentian sementara
keikutsertaan sebagai Peserta dalam penyelenggaraan SKNBI.
BAB XIV
LAIN-LAIN
Pasal 87
Kewajiban Peserta dan PKL dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku bagi
Bank Indonesia sebagai Peserta dan penyelenggara, kecuali ketentuan yang
berkaitan dengan:
a. pembayaran bunga dan kompensasi;
b. pembuatan perjanjian antara Peserta dengan Bank Indonesia; dan
c.
sanksi administratif.
Pasal …
-70-
Pasal 88
Untuk Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan
UUS, ketentuan pengenaan bunga dan kompensasi dalam Peraturan Bank
Indonesia ini disesuaikan dengan prinsip syariah yang berlaku.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 89
(1) Implementasi SKNBI di seluruh Wilayah Kliring dilakukan secara bertahap
dan untuk pertama kali implementasi SKNBI dilaksanakan di Wilayah
Kliring Jakarta.
(2) Untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak implementasi SKNBI
di Wilayah Kliring Jakarta, penyelenggaraan SKNBI di Wilayah Kliring
Jakarta diatur sebagai berikut :
a.
pengiriman DKE Kredit oleh Bank pengirim harus disertai dengan
daftar tertulis tentang rincian DKE Kredit per Bank penerima; dan
b. penyediaan pendanaan awal (prefund) dan segala konsekuensinya
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini belum
berlaku.
(3) Selama penyediaan pendanaan awal (prefund) belum berlaku sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, maka:
a. mekanisme Penyelesaian Akhir untuk Kliring Debet dan Kliring
Kredit dilakukan dengan membukukan hasil perhitungan Kliring
Debet dan Kliring Kredit secara langsung ke rekening giro Bank di
Bank Indonesia; dan
b. seluruh …
-71-
b. seluruh DKE Kredit yang dikirimkan oleh Bank pengirim dan diterima
oleh SSK diperhitungkan dalam Kliring Kredit.
(4) Tanggal implementasi untuk masing-masing Wilayah Kliring sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan tanggal berakhirnya jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diberitahukan oleh Bank Indonesia kepada Peserta.
(5) Ketentuan mengenai daftar tertulis tentang rincian DKE Kredit per Bank
penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a termasuk
mekanisme
penyelesaian jika terdapat perbedaan antara DKE Kredit yang
diterima dari PKN dengan daftar rincian DKE Kredit per Bank penerima,
dan tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 90
Selama SKNBI belum diimplementasikan di seluruh Wilayah Kliring berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a.
Perhitungan penyediaan pendanaan awal (prefund) dalam penyelenggaraan
Kliring Debet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan
penyediaan pendanaan awal (prefund) dalam penyelenggaraan Kliring
Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) hanya berlaku untuk
kantor-kantor Bank yang menjadi Peserta di Wilayah Kliring yang telah
mengimplementasikan SKNBI.
b.
Informasi hasil perhitungan Kliring Debet secara nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) hanya meliputi informasi hasil
perhitungan Kliring Debet dari kantor-kantor Bank yang menjadi Peserta di
Wilayah Kliring yang telah mengimplementasikan SKNBI.
c. Penyelesaian …
-72-
c.
Penyelesaian Akhir terhadap hasil perhitungan Kliring Debet sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 hanya untuk kantor-kantor Bank yang menjadi
Peserta di Wilayah Kliring yang telah mengimplementasikan SKNBI.
d. Dalam hal Penyelesaian Akhir yang berasal dari Wilayah Kliring yang
belum mengimplementasikan SKNBI menyebabkan rekening giro Bank
bersaldo negatif, dan saldo giro negatif tersebut terjadi sebelum cut-off
warning Sistem BI-RTGS, maka apabila Bank memiliki agunan pada
rekening agunan FLI-RTGS atau rekening agunan FLIS-RTGS, Bank dapat
menggunakan FLI-RTGS atau FLIS-RTGS untuk memenuhi kewajiban atas
Penyelesaian Akhir tersebut sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai fasilitas likuiditas intrahari bagi Bank umum atau
fasilitas likuiditas intrahari bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.
e. Ketentuan mengenai penghentian Peserta dalam kegiatan SKNBI secara
sementara yang disebabkan Bank tidak memenuhi kewajiban dalam
menyediakan pendanaan awal (prefund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 ayat (1) huruf a berlaku untuk seluruh kantor Bank yang menjadi Peserta
di Wilayah Kliring yang sudah mengimplementasikan SKNBI.
f. Saldo giro negatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b
dapat disebabkan oleh Penyelesaian Akhir dari Wilayah Kliring yang sudah
dan belum mengimplementasikan SKNBI.
g. Ketentuan mengenai penghentian sementara Peserta dalam kegiatan SKNBI
yang disebabkan rekening giro Bank di Bank Indonesia bersaldo negatif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b berlaku untuk
seluruh kantor Bank yang menjadi Peserta di Wilayah Kliring yang sudah
dan belum mengimplementasikan SKNBI.
h. Ketentuan …
-73-
h. Ketentuan mengenai penghentian sementara Peserta dalam kegiatan SKNBI
yang disebabkan adanya permintaan tertulis dari pihak yang berwenang
dalam melakukan pengawasan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (1) huruf c berlaku untuk seluruh kantor Bank yang menjadi Peserta di
Wilayah Kliring yang sudah dan belum mengimplementasikan SKNBI.
i.
Ketentuan mengenai penghentian sementara Peserta dalam kegiatan SKNBI
yang disebabkan karena Peserta dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3), Pasal 64 ayat (3), Pasal 65 ayat (3) atau
Pasal 66 ayat (3) berlaku untuk Peserta di Wilayah Kliring yang sudah
mengimplementasikan SKNBI.
j.
Ketentuan mengenai penghentian sementara Peserta dalam kegiatan SKNBI
yang disebabkan karena Peserta dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) huruf c berlaku untuk Peserta di Wilayah
Kliring yang sudah dan belum mengimplementasikan SKNBI.
k. Ketentuan mengenai penghentian sementara Peserta dalam kegiatan SKNBI
yang disebabkan adanya permintaan dari Peserta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (1) huruf e berlaku untuk Peserta di Wilayah Kliring
yang sudah dan belum mengimplementasikan SKNBI, sesuai dengan
permintaan Peserta.
l.
Ketentuan mengenai penghentian tetap Peserta dalam kegiatan SKNBI yang
disebabkan adanya permintaan tertulis dari pihak yang berwenang dalam
melakukan pengawasan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) huruf a berlaku untuk Peserta di Wilayah Kliring yang sudah dan belum
mengimplementasikan SKNBI.
m. Ketentuan mengenai penghentian tetap Peserta dalam kegiatan SKNBI yang
disebabkan
adanya
permintaan Peserta sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal …
-74-
Pasal 51 ayat (1) huruf b berlaku untuk kantor Bank yang menjadi Peserta di
Wilayah Kliring yang sudah dan belum mengimplementasikan SKNBI.
Pasal 91
Untuk PKL Selain BI yang telah ada pada saat SKNBI diimplementasikan di
Wilayah Kliring yang bersangkutan, maka kewajiban penyediaan perangkat keras
KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a untuk pertama kali
dilakukan oleh dan atas beban biaya Bank Indonesia, dengan biaya pemeliharaan
atas beban PKL Selain BI.
Pasal 92
(1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan Bank
Indonesia No. 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan
Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia No. 2/14/PBI/2000
dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah Kliring yang
mengimplementasikan SKNBI
belum
sampai dengan diimplementasikannya
SKNBI di seluruh Wilayah Kliring, kecuali ketentuan sebagai berikut:
a. Pasal 13 mengenai pembatalan sebagian atau seluruh perhitungan
kliring dan atau penyelesaian akhir dari peserta tertentu;
Pasal 24 mengenai saldo giro negatif;
b.
c. Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 mengenai penghentian sebagai
Peserta;
d. Pasal 30 mengenai pengikutsertaan kembali sebagai peserta;
e. Pasal 33 mengenai sanksi saldo giro negatif; dan
f. Penjelasan …
-75-
f.
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e mengenai
Warkat yang dapat dikliringkan.
(2) Dengan tidak diberlakukannya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a sampai dengan huruf f, maka untuk Wilayah Kliring yang belum
mengimplementasikan SKNBI pengaturan mengenai hal-hal tersebut tunduk
pada Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Peraturan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999
tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi
Pembayaran Antar Bank sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Bank Indonesia No. 2/14/PBI/2000, tetap berlaku untuk Wilayah
Kliring yang belum mengimplementasikan SKNBI.
(4) Peraturan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999
tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi
Pembayaran Antar Bank sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Bank Indonesia No. 2/14/PBI/2000 berlaku untuk Wilayah
Kliring yang telah mengimplementasikan SKNBI sepanjang dinyatakan
secara tegas dalam peraturan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 93
(1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan dengan
memperhatikan Pasal 89 Peraturan Bank Indonesia ini, Peraturan Bank
Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan
Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank sebagaimana telah
diubah …
-76-
diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/14/PBI/2000
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Peraturan Bank Indonesia ini dilaksanakan di suatu Wilayah Kliring sejak
tanggal implementasi SKNBI di Wilayah Kliring tersebut.
Pasal 94
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan SKNBI yang belum diatur
secara khusus dalam Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 95
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 22 Juli 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR
DASP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/18/PBI/2005
TENTANG
SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA
I. UMUM
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia mempunyai tugas untuk
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dalam rangka mendukung
terwujudnya sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan handal. Adanya
sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan handal dimaksudkan untuk
mendukung stabilitas sistem keuangan. Upaya untuk mewujudkan sistem
pembayaran yang dapat mendukung stabilitas sistem keuangan dilakukan secara
berkesinambungan melalui penurunan berbagai risiko
sistem pembayaran
nasional.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Bank Indonesia telah
mengimplementasikan sistem Kliring yang merupakan pertukaran warkat atau
data keuangan elektronik antar Peserta baik atas nama Peserta maupun atas nama
nasabah Peserta yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.
Pada perkembangan selanjutnya, sebagai salah satu upaya untuk
mewujudkan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan handal, Bank
Indonesia merasa perlu untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan Kliring
melalui …
-2-
melalui pengembangan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), yang
secara garis besar meliputi pokok-pokok perubahan sebagai berikut :
1. Transfer kredit tanpa warkat
Saat ini transaksi yang diproses melalui sistem Kliring meliputi transfer
debet dan transfer kredit yang disertai dengan pertukaran fisik warkat, baik
warkat debet (cek, bilyet giro, nota debet dan lain-lain) maupun warkat
kredit (nota kredit).
Dalam perkembangannya penggunaan nota kredit untuk transfer dana antar
Bank melalui Kliring dipandang sudah tidak efisien, khususnya terkait
dengan biaya pencetakan warkat dan prosedur pemrosesan warkat itu
sendiri. Sementara transfer dana antar Bank melalui Sistem BI-RTGS yang
nilainya lebih besar, telah dilakukan secara paperless. Oleh karena itu perlu
dikembangkan sistem Kliring yang mengakomodir transfer dana antar Bank
melalui Kliring tanpa kewajiban melakukan pertukaran fisik warkat
(paperless).
Dengan adanya pengembangan tersebut, maka mekanisme penyelenggaraan
Kliring yang semula menggabungkan proses antara transfer debet dan
transfer kredit perlu dipisahkan antara Kliring untuk transfer debet (Kliring
Debet) yang masih bersifat paperbased dan Kliring untuk transfer kredit
(Kliring Kredit) yang sudah paperless.
2.
Kliring Kredit Nasional
Bersamaan dengan penerapan transfer kredit tanpa warkat, penyelenggaraan
Kliring Kredit telah dapat dan akan dilakukan secara nasional yang
memungkinkan Peserta mengirimkan transfer kredit untuk tujuan kantor
Bank di seluruh wilayah Indonesia.
3. Manajemen …
-3-
3. Manajemen risiko
Berkenaan dengan upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip manajemen
risiko dalam penyelenggaraan Kliring yang bersifat multilateral netting
sesuai dengan Core Principles yang dikeluarkan oleh Bank for International
Settlement, maka untuk mengantisipasi kemungkinan kegagalan Peserta
dalam memenuhi kewajibannya dalam Penyelesaian Akhir, perlu diterapkan
suatu kebijakan baru yang mengharuskan Bank untuk menyediakan
pendanaan awal (prefund) pada setiap awal hari sebelum Kliring Debet dan
Kliring Kredit dimulai. Konsekuensi atas tidak dipenuhinya penyediaan
pendanaan awal (prefund) pada salah satu atau kedua penyelenggaraan
Kliring tersebut menyebabkan seluruh kantor Bank yang menjadi Peserta
tidak dapat mengikuti kegiatan Kliring Debet dan Kliring Kredit pada hari
tersebut. Sehubungan dengan penerapan prinsip-prinsip manajemen risiko
ini, maka proses perhitungan dan Penyelesaian Akhir Kliring Debet dan
Kliring Kredit dilakukan secara nasional.
4.
Perlindungan konsumen
Berkenaan dengan upaya menerapkan prinsip-prinsip perlindungan
konsumen, maka perlu diatur mengenai kewajiban dan tanggung jawab
Peserta pengirim dan Peserta penerima dalam mengkliringkan perintah
transfer debet dan transfer kredit yang diterima dari nasabahnya serta
kewajiban dan tanggung jawab Peserta pengirim dan Peserta penerima
untuk meneruskan dana kepada nasabahnya.
Dengan adanya pokok-pokok perubahan tersebut, dipandang perlu untuk
menetapkan ketentuan mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dalam
Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan tersebut antara lain mengatur mengenai penyelenggara, Peserta,
kewajiban dan tanggung jawab Peserta dalam Kliring Kredit dan Kliring Debet
serta …
-4-
serta penyelenggaraan SKNBI dalam kondisi normal dan Keadaan Darurat.
Sejalan dengan itu, untuk mendukung kelancaran pelaksanaan penggunaan
sistem Kliring dan meminimalkan risiko yang mungkin timbul, Bank Indonesia
sebagai pengatur dan pengawas sistem pembayaran serta penyelenggara sistem
Kliring melakukan pengawasan terhadap PKN, PKL, perusahaan percetakan
warkat dan dokumen kliring (PPWDK) dan Peserta baik secara langsung maupun
tidak langsung.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bantuan keuangan diberikan untuk mendukung peranan PKL Selain BI
sebagai pihak yang membantu tugas Bank Indonesia dalam
penyelenggaraan SKNBI.
Ayat (4)
Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank
Indonesia antara lain meliputi:
a. Persyaratan …
-5-
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Persyaratan penyelenggaraan SKNBI oleh PKL Selain BI di suatu
wilayah tertentu;
Persyaratan PKL Selain BI dan tata cara pemberian persetujuan;
Bantuan keuangan kepada PKL Selain BI;
Jangka waktu penetapan sebagai PKL Selain BI;
Pengunduran diri sebagai PKL Selain BI;
Penghentian sebagai PKL Selain BI;
g. Pemindahan Lokasi; dan
h. Pembubaran penyelenggaraan SKNBI di Wilayah Kliring PKL
Selain BI.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”aplikasi SSK” adalah program aplikasi
penyelenggaraan SKNBI yang digunakan oleh PKN.
Yang dimaksud dengan ”aplikasi KPK” adalah program aplikasi
penyelenggaraan SKNBI yang digunakan oleh PKL.
Yang dimaksud dengan ”aplikasi TPK” adalah program aplikasi
penyelenggaraaan SKNBI yang digunakan oleh Peserta.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf …
-6-
Huruf f
Disaster Recovery Plan (DRP) atau Business Continuity Plan (BCP)
dalam kondisi gangguan dan Keadaan Darurat sekurang-kurangnya
memuat langkah-langkah yang akan dilakukan dalam hal terjadi
gangguan
dan Keadaan Darurat, untuk memastikan
bahwa
penyelenggaraan SKNBI oleh PKN tetap dapat dilakukan atau upaya
lainnya yang perlu dilakukan dalam hal SSK Back-up tidak dapat
digunakan.
Dalam penentuan langkah-langkah tersebut, PKN memperhatikan
situasi dan kondisi spesifik yang terdapat pada penyelenggaraan
SKNBI dengan sejauh mungkin menghindari alternatif penghentian
untuk sementara kegiatan SKNBI.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan ”fasilitas lain” adalah fasilitas yang digunakan
untuk mendukung kelancaran SKNBI antara lain fasilitas perekaman
data hasil kliring dan sistem informasi kliring jarak jauh (SIKJJ).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf …
-7-
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”fasilitas penyelenggaraan SKNBI”
antara lain adalah tempat pertemuan atau tempat
penyelenggaraan SKNBI dan sarana komunikasi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Disaster Recovery Plan (DRP) atau Business Continuity Plan
(BCP) dalam kondisi gangguan dan Keadaan Darurat sekurang-
kurangnya memuat langkah-langkah yang akan dilakukan dalam
hal terjadi gangguan dan Keadaan Darurat, untuk memastikan
bahwa penyelenggaraan SKNBI oleh PKL tetap dapat dilakukan
atau upaya lainnya yang perlu dilakukan dalam hal KPK Back-up
tidak dapat digunakan.
Dalam
penentuan langkah-langkah tersebut, PKL
memperhatikan situasi dan kondisi spesifik yang terdapat pada
penyelenggaraan SKNBI dengan sejauh mungkin menghindari
alternatif penghentian untuk sementara kegiatan SKNBI.
Huruf h
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
meliputi:
ini antara lain
1. pemberitahuan …
-8-
1. pemberitahuan peniadaan penyelenggaraan SKNBI;
2. pemberitahuan perubahan jadwal Kliring Debet;
3. pemberitahuan perselisihan antar Peserta yang berkaitan
dengan perhitungan DKE Debet atau Warkat; dan
4. pemberitahuan kasus pidana atau perdata yang berkaitan
dengan penyelenggaraan SKNBI yang diketahui PKL.
Huruf i
Yang dimaksud dengan ”hal-hal lain” antara lain adalah
memeriksa TPPK Peserta pada saat petugas Peserta mengikuti
penyelenggaraan SKNBI di lokasi PKL.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
penyelenggaraan SKNBI ” dalam ayat ini adalah aturan tertulis yang
ditetapkan direksi atau pejabat yang berwenang, yang antara lain
mengatur pembagian tugas dan wewenang, mekanisme kerja,
pengendalian risiko, responsibilitas, dan akuntabilitas dari PKL Selain
BI sebagai pedoman penyelenggaraan SKNBI.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”pemeriksaan internal” adalah pemeriksaan
yang dilakukan oleh satuan kerja audit intern PKL Selain BI terhadap
kepatuhan PKL Selain BI dalam memenuhi ketentuan Bank Indonesia
dan ketentuan internal PKL Selain BI.
Huruf …
-9-
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”security audit” adalah pemeriksaan terhadap
keamanan teknologi informasi internal PKL Selain BI, hubungan
(interface) antara aplikasi KPK dengan sistem internal PKL Selain BI
serta kondisi lingkungan PKL Selain BI
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Jenis biaya dalam penyelenggaraan SKNBI antara lain terdiri atas
biaya proses, dan biaya lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan
SKNBI.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Perjanjian antara Bank Indonesia dan Bank sebagai Peserta berlaku untuk
seluruh kantor Bank tersebut, termasuk kantor syariah, yang terdaftar
sebagai Peserta SKNBI.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf …
-10-
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”kebijakan dan prosedur tertulis
mengenai operasional SKNBI” dalam ayat ini adalah aturan
tertulis yang ditetapkan direksi atau pejabat yang berwenang,
yang antara lain mengatur pembagian tugas, mekanisme kerja,
pengendalian risiko, responsibilitas, dan akuntabilitas satuan
kerja yang menangani Kliring.
Termasuk dalam cakupan kebijakan dan prosedur tertulis adalah
Disaster Recovery Plan (DRP) atau Business Continuity Plan
(BCP) dalam kondisi gangguan dan Keadaan Darurat.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang
dimaksud dengan ”pemeriksaan internal” adalah
pemeriksaan yang dilaksanakan oleh satuan kerja audit internal
kantor pusat Bank untuk menjamin kelancaran serta keamanan
pelaksanaan sistem dan prosedur operasional SKNBI
oleh
Peserta.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”security audit” adalah pemeriksaan
terhadap keamanan teknologi informasi internal Peserta,
hubungan (interface) antara aplikasi TPK dengan sistem internal
Peserta serta kondisi lingkungan Peserta.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf …
-11-
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud “pengurus Bank” adalah komisaris dan direksi Bank sesuai
dengan kriteria yang diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test).
Yang dimaksud “pejabat eksekutif Bank” adalah pejabat eksekutif, sesuai
dengan kriteria yang diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test).
Langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain melakukan monitoring
atas penerapan security audit dan monitoring atas pemeriksaan internal
yang menjamin keamanan operasional SKNBI sesuai dengan ketentuan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dapat mendukung diketahuinya
secara dini terjadinya penyimpangan.
Pasal …
-12-
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”transfer debet” adalah transaksi yang
dilakukan oleh Peserta pengirim, untuk kepentingan dan untuk
untung Peserta pengirim atau nasabah Peserta pengirim dan atas
beban Peserta penerima atau nasabah Peserta penerima.
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan ”cek dan bilyet giro antar
wilayah” adalah, cek dan bilyet giro yang diterbitkan
oleh kantor Bank peserta kliring antar wilayah dan
dikliringkan di luar Wilayah Kliring kantor Bank
penerbit.
Yang
dimaksud
wilayah” adalah Bank
dengan ”peserta kliring antar
telah memperoleh
yang
persetujuan Bank Indonesia, agar cek dan bilyet giro
yang diterbitkan oleh seluruh kantornya dapat
dikliringkan di seluruh Wilayah Kliring dimana
terdapat kantor Bank tersebut yang menjadi Peserta.
Yang dimaksud dengan ”Kliring
antar wilayah”
adalah penyelenggaraan Kliring Debet atas cek dan
bilyet giro yang diterbitkan oleh kantor Bank yang
bukan …
-13-
bukan Peserta di Wilayah Kliring dimana cek dan
bilyet giro tersebut dikliringkan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Warkat Debet tertolak (reject) antara lain dapat disebabkan
karena MICR Code Line tidak diisi atau data pada Warkat Debet
tidak terbaca oleh mesin baca pilah.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”Kliring penyerahan” adalah kegiatan
untuk memperhitungkan DKE Debet yang disampaikan oleh
Peserta pengirim kepada Peserta penerima melalui PKL.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”Kliring pengembalian” adalah kegiatan
untuk memperhitungkan DKE Debet yang ditolak oleh Peserta
penerima kepada Peserta pengirim berdasarkan alasan yang
ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat …
-14-
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ”mekanisme pemilahan Warkat Debet secara
otomasi” adalah pemilahan Warkat Debet yang dilakukan oleh PKL
dengan menggunakan mesin baca pilah.
Yang dimaksud dengan ”mekanisme pemilahan Warkat Debet secara
manual” adalah pemilahan Warkat Debet yang dilakukan oleh masing-
masing wakil Peserta di lokasi PKL.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “penyampaian DKE Debet secara on-line”
adalah penyampaian DKE Debet dari Peserta kepada PKL yang
dilakukan melalui JKD.
Yang dimaksud dengan “penyampaian DKE Debet secara off-line”
adalah penyampaian DKE Debet dari Peserta kepada PKL yang
dilakukan melalui media rekam data.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”transfer kredit” adalah transaksi yang
dilakukan oleh dan atas beban Peserta pengirim untuk
kepentingan Peserta pengirim atau
untung Peserta penerima atau nasabahnya.
Huruf b
Cukup jelas.
nasabahnya, dan untuk
Huruf …
-15-
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “penyampaian DKE Kredit melalui kantor
yang memiliki TPK on-line” adalah DKE Kredit yang dikirim terlebih
dahulu oleh Peserta kepada kantornya yang memiliki TPK on-line
melalui sistem jaringan internal Bank untuk kemudian diteruskan ke
PKN oleh kantor yang memiliki TPK on-line melalui JKD ke SSK.
Yang dimaksud dengan “penyampaian DKE Kredit melalui PKL”
adalah DKE Kredit yang disampaikan oleh Peserta kepada PKL dalam
bentuk media rekam data untuk kemudian diteruskan oleh PKL ke
PKN melalui JKD dari KPK ke SSK.
Pasal 13
Ayat (1)
Perhitungan secara net multilateral dilakukan dengan mekanisme
offsetting antara hak dan kewajiban antara seluruh Bank Peserta
SKNBI dalam penyelenggaraan SKNBI.
Ayat (2)
Pembaharuan hutang terjadi karena PKN menggantikan kedudukan
Bank sebagai pihak yang memiliki hak dari atau kewajiban kepada
Bank lainnya dalam penyelenggaraan SKNBI.
Ayat (3)
Prinsip ini merupakan pengecualian dari prinsip zero hour rules,
sehingga apabila Peserta dicabut izin usaha dan dilikuidasi, atau
nasabahnya …
-16-
nasabahnya dipailitkan, transaksi yang sudah dilakukan sebelum
dikeluarkannya keputusan pencabutan izin usaha dan likuidasi atau
pailit tidak menjadi batal.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “prinsip same day settlement” adalah prinsip
Penyelesaian Akhir yang diterapkan pada tingkat Bank, yaitu:
a. Dalam penyelenggaraan Kliring Debet, Penyelesaian Akhir
dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya
DKE Debet dari Peserta oleh PKL; dan
b. Dalam penyelenggaraan Kliring Kredit, Penyelesaian Akhir
dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya
DKE Kredit oleh PKN dari Peserta atau PKL.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”Cek” adalah cek sebagaimana diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang
ditarik baik atas beban nasabah Bank atau atas beban Bank.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”Bilyet Giro” adalah bilyet giro
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai Bilyet Giro.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”Wesel” adalah wesel sebagaimana
diatur dalam KUHD, yang diterbitkan oleh Peserta.
Huruf …
-17-
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”Nota Debet” adalah Warkat Debet yang
digunakan untuk menagih dana pada Peserta lain untuk untung
nasabah Peserta atau Peserta yang menyampaikan Nota Debet
tersebut.
Huruf e
Warkat Debet lain dalam huruf ini antara lain surat bukti
penerimaan transfer, voucher perjalanan (traveller’s cheque),
voucher untuk cinderamata (gift cheque) dan voucher deviden
(dividend cheque).
Ayat (2)
Warkat Debet harus dinyatakan dalam mata uang rupiah karena
perhitungan Kliring dalam SKNBI dilakukan hanya untuk mata uang
rupiah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf …
-18-
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud “perubahan” dalam ayat ini antara lain
perubahan nama Peserta, logo Peserta, dan rancang bangun,
seperti perubahan disain sekuriti Warkat Debet.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”Bank” dalam ayat ini adalah Bank baik
Peserta maupun bukan Peserta, melalui kantornya yang
mempunyai kewenangan
untuk mengajukan
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud ”melakukan sendiri segala pekerjaan yang
berkaitan dengan pencetakan warkat” yaitu tidak melakukan sub-
kontrak atau mengalihkan pekerjaan pencetakan Warkat Debet
dan atau Dokumen Kliring kepada perusahaan percetakan warkat
dan dokumen kliring lain atau menerima pengalihan pekerjaan
pencetakan Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring dari
perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring lain.
Huruf …
permohonan
persetujuan pencetakan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.
-19-
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud ”peraturan perundang-undangan” yang berlaku
antara lain Undang-Undang yang mengatur mengenai monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat dan Undang-Undang yang
mengatur mengenai perlindungan konsumen.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Persyaratan yang harus dipenuhi antara lain kelengkapan pengisian
informasi yang harus diisi seperti sandi Peserta pengirim, sandi
Peserta penerima, nomor rekening tertuju.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal …
-20-
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Pendanaan awal (prefund) dimaksudkan untuk mengantisipasi
pemenuhan potensi kewajiban dari seluruh kantor Bank yang menjadi
Peserta pada penyelenggaraan Kliring Debet.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Seluruh dana tunai (cash prefund) untuk
Kliring Debet yang
disediakan oleh seluruh Bank ditatausahakan oleh Bank Indonesia
dalam satu rekening khusus pada Sistem BI-RTGS, sementara rincian
dana untuk masing-masing Bank ditatausahakan pada SSK.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat …
-21-
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”hasil perhitungan Kliring Debet secara
nasional” adalah penjumlahan atau off-setting hasil Kliring
penyerahan dan Kliring pengembalian masing-masing Bank dari
seluruh Wilayah Kliring yang dikirim oleh PKL ke PKN. Khusus
untuk Wilayah Kliring yang Kliring pengembaliannya dilakukan pada
hari kerja berikutnya setelah Kliring
diperhitungkan dalam perhitungan Kliring Debet secara nasional
hanya hasil perhitungan Kliring
penyerahan, sedangkan hasil
perhitungan Kliring pengembalian dilakukan tersendiri.
Yang dimaksud dengan ”net kredit” (menang kliring) adalah hasil
perhitungan Kliring Debet secara nasional yang menunjukkan total
tagihan Bank lebih besar daripada total kewajiban Bank.
Yang dimaksud dengan ”net debet” (kalah kliring) adalah hasil
perhitungan Kliring Debet secara nasional yang menunjukkan total
kewajiban Bank lebih besar daripada total tagihan Bank.
Total kewajiban Bank tersebut di atas didasarkan atas total DKE
Debet yang diterima oleh Bank yang bersangkutan dari Bank lain,
sedangkan total tagihan Bank didasarkan pada DKE Debet yang
dikirim oleh Bank yang bersangkutan kepada Bank lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat …
penyerahan, maka yang
-22-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Persyaratan yang ditetapkan Bank Indonesia antara lain kelengkapan
pengisian informasi yang wajib diisi seperti sandi Peserta pengirim,
sandi Peserta penerima dan nomor rekening yang dituju.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 26
Dokumen Kliring merupakan bukti penyerahan DKE Kredit dalam bentuk
media rekam data oleh Peserta kepada PKL.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal …
-23-
Pasal 29
Ayat (1)
Pendanaan awal (prefund) dimaksudkan untuk mengantisipasi
pemenuhan potensi kewajiban dari seluruh kantor Bank yang menjadi
Peserta pada penyelenggaraan Kliring Kredit.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Seluruh dana tunai (cash prefund) untuk Kliring Kredit yang
disediakan oleh seluruh Bank ditatausahakan oleh Bank Indonesia
dalam satu rekening khusus pada Sistem BI-RTGS, sementara rincian
dana untuk masing-masing Bank ditatausahakan pada SSK
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 30
Yang dimaksud ”total nominal dana yang dimiliki Bank” adalah dana yang
bersumber dari:
a. pendanaan awal (prefund) berupa dana tunai (cash prefund); dan
b. dana yang berasal dari confirmed incoming, yaitu transfer kredit masuk
dari Bank lain yang dapat dipenuhi oleh dana yang dimiliki Bank lain
tersebut.
Pasal …
-24-
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “dana yang cukup” meliputi ketersediaan dana
tunai (cash prefund) dan dana yang berasal dari confirmed incoming.
Ayat (4)
Cukup jelas.
BAB VII
Yang dimaksud dengan Peserta pengirim dalam Bab ini adalah Peserta yang
mengkliringkan Warkat Debet dalam kegiatan Kliring penyerahan pada
penyelenggaraan Kliring Debet.
Yang dimaksud dengan Peserta penerima dalam Bab ini adalah Peserta
yang menerima tagihan atas Warkat Debet yang dikliringkan oleh Peserta
pengirim dalam kegiatan Kliring penyerahan pada penyelenggaraan Kliring
Debet.
Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”ketentuan yang berlaku” pada ayat ini antara
lain ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan prinsip mengenal
nasabah …
-25-
nasabah (know your customer principles) dan Undang-Undang
Republik Indonesia tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang,
khususnya yang terkait dengan pemantauan atas transaksi yang
mencurigakan (suspicious transaction).
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”jam pelayanan nasabah” adalah batas
waktu bagi nasabah untuk melakukan setoran Kliring untuk
dikliringkan pada tanggal yang sama dengan tanggal penyetoran
sebagaimana diumumkan di kantor Bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Warkat Debet yang memiliki tanggal jatuh tempo antara lain adalah
Bilyet Giro.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pembayaran kompensasi oleh Peserta pengirim merupakan
konsekuensi atas keterlambatan Peserta pengirim
dalam
mengkliringkan Warkat Debet yang diterima dari nasabah Peserta
pengirim.
Ayat …
-26-
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” antara lain
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
Yang dimaksud “ketentuan yang berlaku” antara lain adalah
ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan prinsip mengenal
nasabah (know your customer principles) dan Undang-Undang
Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,
khususnya yang terkait dengan pemantauan atas transaksi yang
mencurigakan (suspicious transaction).
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pembayaran kompensasi oleh Peserta pengirim merupakan
konsekuensi atas kekeliruan Peserta pengirim dalam mengkliringkan
Warkat Debet.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal …
-27-
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”Bank Peserta pengirim” dalam ayat ini
adalah kantor-kantor Bank yang menerima setoran Warkat Debet
untuk dikliringkan.
Huruf a
Angka 1
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Pengkreditan dilakukan paling lambat pada pukul
09.00 waktu setempat hari kerja berikutnya apabila
berdasarkan pertimbangan tertentu Bank
Peserta
pengirim tidak dapat melakukan pengkreditan pada
tanggal yang
pengembalian.
sama dengan tanggal Kliring
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf b
Surat pemberitahuan merupakan dasar bagi nasabah untuk
mengambil dana di kantor tertentu di Bank Peserta pengirim.
Pemberitahuan dilakukan paling
lambat pada hari kerja
berikutnya apabila berdasarkan pertimbangan tertentu, kantor
Bank Peserta pengirim
tidak
dapat menyampaikan
pemberitahuan …
-28-
pemberitahuan pada tanggal yang sama dengan tanggal Kliring
pengembalian.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” antara lain adalah
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
Yang dimaksud “ketentuan yang berlaku” antara lain adalah ketentuan
Bank Indonesia mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah (know
your customer principles) dan Undang-Undang Republik Indonesia
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, khususnya yang terkait
dengan pemantauan atas transaksi yang mencurigakan (suspicious
transaction).
Pasal 37
Cukup jelas.
BAB VIII
Yang dimaksud dengan Peserta pengirim dalam Bab ini adalah Peserta yang
mengkliringkan perintah transfer kredit dalam penyelenggaraan Kliring
Kredit.
Yang dimaksud dengan Peserta penerima dalam Bab ini adalah Peserta
yang menerima perintah transfer kredit dalam penyelenggaraan Kliring
Kredit.
Pasal 38
Ayat (1)
Yang dimaksud “ketentuan yang berlaku” pada ayat ini antara lain
ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan prinsip mengenal
nasabah …
-29-
nasabah (know your customer principles) dan Undang-Undang
Republik Indonesia tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang,
khususnya yang terkait dengan pemantauan atas transaksi yang
mencurigakan (suspicious transaction).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”jam pelayanan nasabah” adalah batas
waktu bagi nasabah untuk melakukan transfer melalui Kliring
Kredit di masing-masing Bank sebagaimana diumumkan di
kantor Bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kewajiban pembayaran bunga kepada nasabah Peserta pengirim
merupakan bentuk pengembalian atas hak nasabah.
Ayat …
-30-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “ketidaksesuaian” dalam ayat ini antara lain
berupa ketidaksesuaian data identitas Peserta Penerima, identitas
nasabah penerima, jumlah dana yang ditransfer, dan atau duplikasi
pelaksanaan perintah transfer kredit.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Adanya pembebasan tanggung jawab (indemnity) yang diterima dari
Peserta pengirim tidak serta merta mewajibkan Peserta penerima
untuk menarik dana dari penerima dana yang tidak berhak dengan
mengabaikan kebijakan dan ketentuan internal Peserta penerima,
misalnya yang terkait dengan kewajiban meminta persetujuan dari
penerima dana atau pemilik rekening untuk mendebet kembali
rekeningnya …
-31-
rekeningnya, kecuali dalam perjanjian pembukaan rekening antara
Peserta penerima dan nasabah Peserta penerima diatur bahwa dalam
hal terjadi kekeliruan pengkreditan rekening nasabah Peserta penerima
berhak melakukan pendebetan rekening nasabah Peserta penerima
secara langsung tanpa perlu meminta persetujuan nasabah Peserta
penerima terlebih dahulu. Hal yang sama berlaku juga untuk penerima
dana tunai.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ketentuan yang berlaku” antara lain adalah
ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan prinsip mengenal
nasabah (know your customer principles), ketentuan Bank Indonesia
mengenai pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta
asing oleh Bank serta Undang-undang Republik Indonesia tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, khususnya yang terkait dengan
pemantauan atas transaksi yang mencurigakan
transaction).
(suspicious
Ayat (2)
Penggunaan mekanisme penerusan dana didasarkan pada manajemen
risiko Bank sebagai Bank penerima.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf …
-32-
Huruf b
Penerusan dana dengan mendasarkan pada kesamaan nomor
rekening yang
tercantum dalam daftar DKE Kredit yang
diterbitkan oleh PKN dengan nomor rekening yang tercantum
dalam tata usaha rekening atau administrasi di Peserta penerima
dapat terjadi antara lain pada Bank yang menerapkan metode
Straight Through Process (STP) dalam melakukan pengkreditan
rekening.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”tanggal diketahuinya kekeliruan” adalah:
a.
tanggal diketemukannya kekeliruan tersebut, apabila kekeliruan
diketahui oleh Bank Peserta penerima; atau
b. tanggal pada saat Bank Peserta penerima selesai melakukan
verifikasi dan rekonsiliasi dokumen terkait dengan tranfer dana
tersebut, apabila informasi mengenai adanya kekeliruan
diperoleh dari Peserta pengirim.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal …
-33-
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “data yang terkait dengan pengkreditan
rekening penerima dana yang tidak berhak” antara lain adalah tanggal
dilakukannya pengkreditan atau penarikan dana oleh nasabah yang
tidak berhak.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 48
Yang dimaksud dengan ”Bank Peserta penerima” dalam ayat ini adalah
kantor-kantor Bank yang mengelola rekening nasabah penerima dana.
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf …
-34-
Huruf b)
Pengkreditan dilakukan paling lambat pada pukul
09.00 waktu setempat
apabila berdasarkan
pertimbangan tertentu, Bank Peserta penerima tidak
dapat melakukan pengkreditan pada tanggal yang
sama dengan tanggal Penyelesaian Akhir Kliring
Kredit.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang” antara
lain kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
Yang dimaksud “ketentuan yang berlaku” antara lain
adalah ketentuan Bank Indonesia mengenai
penerapan
prinsip mengenal nasabah (know your customer principles),
ketentuan Bank Indonesia mengenai pembatasan transaksi
rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh Bank serta
Undang-undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, khususnya yang
terkait dengan
pemantauan atas transaksi yang mencurigakan (suspicious
transaction).
Huruf b
Surat pemberitahuan merupakan dasar bagi nasabah untuk
mengambil dana di Bank Peserta penerima. Pemberitahuan
dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya apabila
berdasarkan pertimbangan tertentu, Bank Peserta penerima tidak
dapat …
-35-
dapat menyampaikan pemberitahuan pada tanggal yang sama
dengan tanggal Penyelesaian Akhir Kliring Kredit.
Ayat (2)
Bank Peserta penerima tidak dapat meneruskan dana kepada penerima
dana yang tidak memiliki rekening antara lain jika Bank Peserta
penerima tidak menyediakan fasilitas kiriman uang tunai.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Penghentian sementara dapat dilakukan untuk jangka waktu tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Huruf a
Apabila Bank tidak menyediakan pendanaan awal (prefund)
dalam salah satu kegiatan Kliring Debet atau Kliring Kredit,
seluruh kantor Bank tidak dapat mengikuti seluruh kegiatan
SKNBI pada hari tidak dipenuhinya kewajiban tersebut.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” adalah Bank
Indonesia.
Huruf …
-36-
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”kantor dan atau unit syariah dibawah
UUS” adalah :
a. Kantor cabang syariah dan atau unit syariah dari Bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan, untuk
Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di Indonesia.
b. Kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah dari
Bank
yang
melaksanakan kegiatan usaha
Bank
secara
konvensional dan berdasarkan prinsip syariah secara
bersamaan, untuk
yang kantor pusatnya
berkedudukan di luar negeri.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf …
-37-
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan ”kantor dan atau unit syariah
dibawah UUS” adalah :
a. Kantor cabang syariah dan atau unit syariah dari
Bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara
konvensional dan berdasarkan prinsip syariah secara
bersamaan, untuk Bank yang kantor pusatnya
berkedudukan di Indonesia.
b. Kantor cabang pembantu syariah dan atau
unit
syariah dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah
secara bersamaan, untuk Bank yang kantor pusatnya
berkedudukan di luar negeri.
Angka 2
Yang
dimaksud dengan ”tidak menunjukkan angka
negatif” adalah minimum Rp. 0 (nol rupiah).
Yang dimaksud dengan ”kantor dan atau unit syariah
dibawah UUS” adalah :
a. Kantor cabang syariah dan atau unit syariah dari
Bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara
konvensional dan berdasarkan prinsip syariah secara
bersamaan, untuk Bank yang kantor pusatnya
berkedudukan di Indonesia.
b. Kantor cabang pembantu syariah dan atau
unit
syariah dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara …
-38-
secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah
secara bersamaan, untuk Bank yang kantor pusatnya
berkedudukan di luar negeri.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Kondisi yang dapat mempengaruhi keikutsertaan seluruh kantor Bank
yang menjadi Peserta antara lain kondisi Keadaan Darurat pada kantor
Bank yang terhubung ke Sistem BI-RTGS yang menyebabkan Bank
tidak dapat melakukan penyediaan pendanaan awal (prefund).
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang” adalah Bank
Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Mengingat keanggotaan dalam Kliring bersifat sukarela, maka Peserta
dapat mengajukan permohonan untuk penghentian secara tetap dari
keikutsertaannya …
-39-
keikutsertaannya
dalam kegiatan SKNBI. Peserta yang disetujui
permohonannya harus memberitahukan penghentian tersebut kepada
seluruh nasabahnya. Hal ini berlaku pula untuk Peserta yang
mengundurkan diri untuk pindah ke luar Wilayah Kliring.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penghentian sementara penyelenggaraan SKNBI merupakan langkah
terakhir yang dilakukan oleh PKN dengan memperhatikan situasi dan
kondisi spesifik SKNBI.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat …
-40-
Ayat (2)
Penghentian sementara penyelenggaraan SKNBI merupakan langkah
terakhir yang dilakukan oleh PKN dengan memperhatikan situasi dan
kondisi spesifik SKNBI.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Pengawasan oleh Bank Indonesia terhadap PKN dan perusahaan
percetakan warkat dan dokumen kliring merupakan kewenangan Bank
Indonesia sebagai pengatur dan pengawas sistem pembayaran.
Pengawasan oleh Bank Indonesia terhadap PKL dan Peserta
merupakan pelaksanaan dari tanggung jawab Bank Indonesia sebagai
PKN.
Pengawasan langsung
berupa pemeriksaan langsung
sewaktu-waktu apabila diperlukan.
dilakukan
Pengawasan …
-41-
Pengawasan tidak langsung berupa pengawasan melalui penelitian,
analisis, dan evaluasi atas laporan-laporan yang disampaikan kepada
Bank Indonesia dan atau data/informasi lain yang diperoleh Bank
Indonesia dilakukan secara periodik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak yang memiliki
keahlian dan kompetensi antara lain di bidang audit teknologi
informasi dan bidang teknologi dokumen sekuriti.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal …
-42-
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Pengenaan sanksi atas penolakan DKE Debet dan atau Warkat Debet dalam
ayat ini dimaksudkan untuk menjaga integritas Warkat Debet sebagai alat
pembayaran …
-43-
pembayaran non tunai dan memberikan edukasi kepada Bank dan nasabah
agar lebih berhati-hati dengan memperhatikan persyaratan formal dalam
melakukan penarikan Warkat Debet sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Hal ini penting untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat yang
menerima pembayaran dengan menggunakan Warkat Debet tersebut.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal …
-44-
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal …
-45-
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Dalam hal umur ekonomis perangkat keras KPK berakhir atau perangkat
keras KPK mengalami kerusakan sehingga tidak dapat berfungsi, maka
penyediaan perangkat keras KPK baru menjadi kewajiban PKL Selain BI.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/18/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 22 Juli 2005 </set_date>
<effective_date> 22 Juli 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '1/3/PBI/1999', '2/14/PBI/2000 | Pasal 89' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/UU/2004', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V Bagian Kedelapan Pasal 24 Ayat (4) Huruf b', 'BAB XIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 1 /PBI/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 9/5/PBI/2007 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa
mengembangkan
dalam rangka mendorong dan
pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah, dibutuhkan
penyempurnaan mekanisme transaksi pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu melakukan
perubahan atas Peraturan Bank Indonesia tentang
Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip
Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun …
- 2 -
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 9/5/PBI/2007 TENTANG PASAR UANG
ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antarbank berdasarkan Prinsip
Syariah …
- 3 -
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4715) diubah
sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Konvensional adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah
Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit
Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
4. Bank Asing adalah bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau
berdasarkan prinsip syariah, tidak termasuk kantor bank dari
bank berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri.
5. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang
selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah Perusahaan
Pialang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pialang pasar uang rupiah
dan valuta asing.
6. Pasar …
- 4 -
6. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang
selanjutnya disingkat PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan
jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik
dalam rupiah maupun valuta asing.
7. Instrumen PUAS adalah instrumen keuangan berdasarkan
prinsip syariah yang diterbitkan oleh BUS atau UUS yang
digunakan sebagai sarana transaksi di PUAS.
8. Prinsip Syariah adalah Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Peserta PUAS terdiri atas BUS, UUS, Bank Konvensional,
dan/atau Bank Asing.
(2) Dalam melakukan transaksi di PUAS, Peserta PUAS dapat
menggunakan Perusahaan Pialang.
(3) Perusahaan Pialang hanya dapat melakukan transaksi di PUAS
untuk dan atas nama Peserta PUAS.
(4) Peserta PUAS dan Perusahaan Pialang wajib memenuhi
ketentuan transaksi PUAS yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal
2A dan Pasal 2B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2A
Pada saat penerbitan Instrumen PUAS:
a. BUS dan UUS dapat melakukan penempatan dana atau
penerimaan dana.
b. Bank Konvensional dan Bank Asing hanya dapat melakukan
penempatan dana.
Pasal …
- 5 -
Pasal 2B
Penempatan dana oleh BUS dan UUS pada transaksi PUAS dengan
menggunakan instrumen yang diterbitkan oleh Bank Asing wajib
memenuhi Prinsip Syariah.
4. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Bank Indonesia mengatur jenis Instrumen PUAS yang dapat
dialihkan kepemilikannya sebelum jatuh waktu.
(2) Pengalihan kepemilikan Instrumen PUAS sebelum jatuh waktu
dapat dilakukan dengan menggunakan akad jual beli (al bai’)
Instrumen PUAS pada harga yang disepakati.
(3) Penjual Instrumen PUAS dapat berjanji (al wa’d) untuk membeli
kembali Instrumen PUAS yang telah dialihkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) pada harga yang disepakati di awal.
(4) Jenis Instrumen PUAS yang dapat dialihkan kepemilikannya
sebelum jatuh waktu dan tata cara pengalihan kepemilikan
Instrumen PUAS dimaksud diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
5. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 8
(1) BUS atau UUS yang melanggar ketentuan dalam Pasal 2B
dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 58 Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
(2) BUS atau UUS yang menerbitkan atau melakukan transaksi
atas Instrumen PUAS yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 ayat (1),
dan/atau Pasal 4 ayat (4) dikenakan sanksi berupa:
a. teguran …
- 6 -
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh
lima juta rupiah).
6. Di antara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni
Pasal 11A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11A
Semua penyebutan “Bank Syariah” dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antarbank
Berdasarkan Prinsip Syariah beserta peraturan pelaksanaannya
harus dimaknai sebagai “BUS”.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 4 Januari
2012.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Januari 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Januari 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 2
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 14/ 1 /PBI/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
9/5/PBI/2007 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN
PRINSIP SYARIAH
UMUM
Untuk mengoptimalkan peran perbankan syariah dalam
membiayai pertumbuhan ekonomi, diperlukan pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah (PUAS) yang berkembang sebagai sarana
untuk mendukung pengelolaan likuiditas perbankan syariah. Agar
PUAS lebih berfungsi secara efektif dan efisien dalam mempertemukan
pihak-pihak yang mengalami kelebihan dan kekurangan likuiditas,
diperlukan penyempurnaan mekanisme PUAS dengan menambahkan
peran perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing dalam
transaksi PUAS. Selain itu diperlukan penyempurnaan pengaturan
untuk menjamin pemenuhan prosedur perizinan penerbitan Instrumen
PUAS dan pemenuhan prinsip-prinsip syariah dalam transaksi PUAS.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka …
-2-
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Transaksi PUAS melalui Perusahaan Pialang
dapat dilakukan baik pada saat penerbitan
Instrumen PUAS maupun pada saat pengalihan
kepemilikan Instrumen PUAS sebelum jatuh
waktu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 2A
Cukup jelas.
Pasal 2B
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat …
-3-
Ayat (2)
Teguran tertulis memuat antara lain perintah
penghentian sementara penerbitan dan transaksi
atas Instrumen PUAS yang belum mendapatkan
persetujuan Bank Indonesia.
Angka 6
Pasal 11A
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5270
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/1/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/5/PBI/2007 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 4 Januari 2012 </set_date>
<effective_date> 4 Januari 2012 </effective_date>
<issued_date> 4 Januari 2012 </issued_date>
<changed_reg> '9/5/PBI/2007' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 5 Pasal 8' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/22/PBI/2014
TENTANG
PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA DAN PELAPORAN
KEGIATAN PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN
UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa pelaporan kegiatan lalu lintas devisa sangat
diperlukan untuk mendukung penerapan sistem devisa
bebas dan perumusan kebijakan, baik di bidang
moneter, perbankan khususnya aspek makroprudensial,
maupun sistem pembayaran;
b. bahwa keterangan dan data yang lengkap, benar, dan
tepat waktu, yang diperoleh dari hasil pelaporan kegiatan
lalu lintas devisa sangat diperlukan untuk penyusunan
statistik, terutama statistik Neraca Pembayaran
Indonesia, statistik Posisi Investasi Internasional
Indonesia, dan statistik Utang Luar Negeri Indonesia;
c. bahwa penyampaian informasi mengenai kegiatan
penerapan prinsip kehati-hatian, peringkat utang (credit
rating), serta laporan keuangan sangat dibutuhkan
untuk memastikan korporasi nonbank mengelola utang
luar negeri yang dimilikinya sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia mengenai penerapan prinsip kehati-
hatian dalam pengelolaan utang luar negeri korporasi
nonbank;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
untuk mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia
tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PELAPORAN
KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA DAN PELAPORAN
KEGIATAN PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN
DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI
KORPORASI NONBANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disingkat LLD adalah lalu lintas
devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar.
2. Penduduk …
- 3 -
2. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai
tukar.
3. Kegiatan Penerapan Prinsip Kehati-hatian yang selanjutnya disingkat
KPPK adalah kegiatan Korporasi Nonbank yang dilakukan dalam
rangka melaksanakan kehati-hatian untuk memitigasi risiko nilai
tukar, risiko likuiditas, dan risiko utang yang berlebihan (overleverage)
terhadap utang luar negeri yang dimiliki.
4. Korporasi Nonbank adalah badan usaha selain bank, dan badan
lainnya.
5. Aset Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disingkat AFLN adalah
aktiva Penduduk pada bukan Penduduk baik dalam Valuta Asing
maupun Rupiah, antara lain dalam bentuk kas Valuta Asing, simpanan,
piutang dagang/usaha, surat berharga, dan penyertaan modal.
6. Kewajiban Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disingkat KFLN
adalah pasiva Penduduk pada bukan Penduduk baik dalam valuta
asing maupun Rupiah, antara lain dalam bentuk Utang Luar Negeri dan
ekuitas dari bukan Penduduk.
7. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah utang
Penduduk kepada bukan Penduduk dalam Valuta Asing dan/atau
rupiah, termasuk di dalamnya pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah.
8. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan keuangan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
9. Pelapor LLD adalah Penduduk yang melakukan kegiatan LLD, baik
untuk kepentingan Pelapor yang bersangkutan maupun pihak lain.
10. Pelapor KPPK adalah Korporasi Nonbank Pelapor LLD yang merupakan
debitur ULN.
11. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia.
12. Aset Valuta Asing adalah aset Valuta Asing sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan
prinsip …
- 4 -
prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri korporasi
nonbank.
13. Kewajiban Valuta Asing adalah kewajiban Valuta Asing sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri
korporasi nonbank.
14. Valuta Asing adalah valuta yang berdenominasi selain mata uang
Rupiah.
15. Peringkat Utang (Credit Rating) adalah penilaian yang dilakukan oleh
lembaga pemeringkat untuk menggambarkan kondisi keuangan
perusahaan atau kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajibannya secara tepat waktu (credit worthiness).
16. Prosedur Atestasi adalah prosedur yang dilakukan oleh akuntan publik
independen untuk memberikan pertimbangan bahwa asersi atau
pernyataan yang disampaikan oleh pelapor sudah sesuai dengan
kriteria yang ditetapkan.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1) Laporan LLD meliputi keterangan dan data mengenai:
a. transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya antara
Penduduk dengan bukan Penduduk;
b. posisi dan perubahan AFLN dan/atau KFLN; dan/atau
c. rencana dan/atau realisasi ULN.
(2) Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh
kegiatan LLD yang dilakukan baik untuk kepentingan Pelapor LLD
sendiri maupun untuk kepentingan nasabahnya atau pihak lain.
(3) Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi
dengan keterangan dan data pendukung mengenai kegiatan LLD,
Pelapor LLD dan/atau nasabah atau pihak lain tersebut.
Pasal 3 …
- 5 -
Pasal 3
(1) Laporan kegiatan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan
ULN Korporasi Nonbank terdiri dari:
a. Laporan KPPK;
b. Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi;
c. Informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating);
dan
d. Laporan Keuangan.
(2) Laporan KPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi
keterangan dan data mengenai:
a. Aset Valuta Asing; dan
b. Kewajiban Valuta Asing,
yang akan jatuh waktu sampai dengan 3 (tiga) dan/atau 6 (enam)
bulan ke depan.
(3) Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi keterangan dan/atau
informasi yang merupakan hasil penilaian oleh akuntan publik
independen berdasarkan Prosedur Atestasi.
(4) Informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi antara lain:
a. Peringkat Utang (Credit Rating);
b. waktu pemeringkatan;
c. nama lembaga pemeringkat.
(5) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
meliputi:
a. Laporan Keuangan triwulanan unaudited; dan
b. Laporan Keuangan tahunan audited.
BAB III …
- 6 -
BAB III
PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Bagian Kesatu
Laporan LLD
Pasal 4
(1) Pelapor LLD wajib menyampaikan Laporan LLD kepada Bank
Indonesia secara lengkap, benar, dan tepat waktu.
(2) Penyampaian Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara online.
Pasal 5
(1) Pelapor LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi:
a. berdasarkan jenis lembaga:
1. lembaga keuangan:
a) Bank;
b) lembaga keuangan bukan Bank;
2. bukan lembaga keuangan.
b. berdasarkan kepemilikan:
1. badan usaha milik negara;
2. badan usaha milik daerah;
3. badan usaha milik swasta;
4. badan lainnya;
5. perseorangan.
(2) Pelapor LLD berupa Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a angka 1 huruf a) hanya wajib melaporkan realisasi ULN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c.
Pasal 6
(1) Pelapor LLD wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 secara bulanan paling lambat tanggal 15
bulan berikutnya.
(2) Khusus …
- 7 -
(2) Khusus untuk Laporan LLD yang berupa rencana ULN selama tahun
berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c
disampaikan sebagai berikut:
a. Rencana ULN disampaikan setiap awal tahun, paling lambat
tanggal 15 Maret.
b. Perubahan rencana ULN disampaikan paling lambat tanggal 1
Juli.
Pasal 7
(1) Dalam hal terdapat kesalahan Laporan LLD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1), Pelapor LLD harus menyampaikan koreksi
paling lambat tanggal 20 pada bulan penyampaian laporan yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal hari terakhir penyampaian laporan dan/atau koreksi atas
laporan LLD jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti
bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka penyampaian
laporan dan/atau koreksi laporan dimaksud dapat disampaikan pada
Hari berikutnya.
(3) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian laporan dan/atau koreksi
atas Laporan LLD terjadi gangguan teknis yang menyebabkan Pelapor
LLD tidak dapat menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan
dimaksud secara online maka laporan dan/atau koreksi laporan
dimaksud disampaikan secara offline pada Hari berikutnya.
(4) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah
dapat diatasi maka Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD
disampaikan secara online.
Pasal 8
(1) Pelapor LLD dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 apabila Laporan LLD
disampaikan melampaui batas waktu yang ditentukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan akhir bulan yang
bersangkutan.
(2) Pelapor …
- 8 -
(2) Pelapor LLD dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 apabila Laporan LLD tidak
disampaikan sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan.
Pasal 9
Pelapor LLD yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) tetap wajib
menyampaikan Laporan LLD yang belum disampaikan.
Pasal 10
(1) Dalam hal kegiatan LLD yang dilakukan oleh Pelapor LLD adalah
untuk kepentingan nasabah atau pihak lain, Pelapor LLD dapat
meminta keterangan dan data kepada nasabah atau pihak lain
tersebut mengenai kegiatan LLD yang dilakukan.
(2) Nasabah atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan LLD yang
diminta oleh Pelapor LLD.
Bagian Kedua
Laporan Kegiatan Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan ULN
Korporasi Nonbank
Pasal 11
(1)
Pelapor KPPK wajib menyampaikan Laporan KPPK, Laporan KPPK
yang telah melalui Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan
Peringkat Utang (Credit Rating), dan Laporan Keuangan kepada Bank
Indonesia secara lengkap, benar, dan tepat waktu.
(2) Penyampaian Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui
Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang
(Credit Rating), dan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara online.
(3)
Laporan KPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Laporan
Keuangan triwulanan unaudited wajib disertai dokumen pendukung
antara …
- 9 -
antara lain berupa surat pernyataan yang menyatakan bahwa data
yang disampaikan sesuai dengan fakta sebenarnya.
(4) Dalam hal Korporasi Nonbank melakukan pencatatan laporan
keuangan dalam mata uang dolar Amerika Serikat, laporan KPPK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dokumen
pendukung.
(5)
Pelapor KPPK harus menggunakan akuntan publik independen untuk
melakukan penilaian berdasarkan Prosedur Atestasi, terhadap
Laporan KPPK yang telah disampaikan.
(6)
Penilaian Laporan KPPK oleh akuntan publik independen berdasarkan
Prosedur Atestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan
setiap tahun untuk Laporan KPPK triwulan IV yang telah disampaikan
sebelumnya oleh Pelapor KPPK kepada Bank Indonesia.
(7)
Korporasi Nonbank yang memiliki ULN baru dalam Valuta Asing
berdasarkan perjanjian dan/atau dalam bentuk surat utang wajib
menyampaikan informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang
(Credit Rating) yang disertai dokumen pendukung.
Pasal 12
Pelapor KPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi:
a. berdasarkan jenis lembaga:
1. lembaga keuangan bukan bank;
2. bukan lembaga keuangan.
b. berdasarkan kepemilikan:
1. badan usaha milik negara;
2. badan usaha milik daerah;
3. badan usaha milik swasta;
4. badan lainnya.
Pasal 13
(1) Penyampaian Laporan KPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (3) dan ayat (4) dilakukan secara triwulanan.
(2) Penyampaian …
- 10 -
(2) Penyampaian Laporan KPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (3) dan ayat (4), serta Laporan Keuangan triwulanan unaudited
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) huruf a dilakukan
paling lambat akhir bulan ketiga setelah akhir triwulan laporan.
(3) Penyampaian informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit
Rating) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) beserta
dokumen pendukungnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(7) dilakukan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah bulan
ditandatanganinya atau diterbitkannya ULN.
(4) Penyampaian Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan Laporan Keuangan
tahunan audited sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) huruf
b dilakukan paling lambat akhir bulan Juni setelah akhir tahun
berjalan.
Pasal 14
(1) Dalam hal terdapat kesalahan atas:
a. Laporan KPPK beserta dokumen pendukungnya dan Laporan
Keuangan triwulanan unaudited,
menyampaikan koreksi paling lambat akhir bulan keempat setelah
akhir triwulan laporan.
b. Informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating)
beserta dokumen pendukungnya, Pelapor KPPK harus
menyampaikan koreksi paling lambat tanggal 20 setelah bulan
penyampaian laporan yang bersangkutan.
c. Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi dan Laporan
Keuangan tahunan audited, Pelapor KPPK harus menyampaikan
koreksi paling lambat akhir bulan Juli setelah akhir tahun
berjalan.
(2) Dalam hal hari terakhir penyampaian laporan dan/atau koreksi
Laporan KPPK beserta dokumen pendukung, Laporan KPPK yang telah
melalui Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat
Utang …
Pelapor KPPK harus
- 11 -
Utang (Credit Rating) beserta dokumen pendukungnya, dan Laporan
Keuangan jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti
bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka penyampaian
laporan atau informasi dan/atau koreksi laporan atau informasi
dimaksud dapat disampaikan pada Hari berikutnya.
(3) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian laporan dan/atau koreksi
Laporan KPPK beserta dokumen pendukung, Laporan KPPK yang telah
melalui Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat
Utang (Credit Rating) beserta dokumen pendukungnya, dan Laporan
Keuangan terjadi gangguan teknis yang menyebabkan Pelapor KPPK
tidak dapat menyampaikan laporan atau informasi dan/atau koreksi
laporan atau informasi dimaksud secara online maka laporan atau
informasi dan/atau koreksi laporan atau informasi dimaksud
disampaikan secara offline pada Hari berikutnya.
(4) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah
dapat diatasi maka laporan dan/atau koreksi Laporan KPPK beserta
dokumen pendukung, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur
Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit
Rating) beserta dokumen pendukungnya, dan Laporan Keuangan
disampaikan secara online.
Pasal 15
(1) Pelapor KPPK dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan KPPK
beserta dokumen pendukung, Laporan KPPK yang telah melalui
Prosedur Atestasi dan/atau Laporan Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 3 ayat (3), dan Pasal 3 ayat (5)
apabila:
a. Laporan KPPK beserta dokumen pendukung, Laporan Keuangan
triwulanan unaudited disampaikan melampaui batas waktu yang
ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) sampai
dengan akhir bulan keempat setelah akhir triwulan laporan;
b. Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi dan Laporan
Tahunan audited disampaikan melampaui batas waktu yang
ditentukan …
- 12 -
ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) sampai
dengan akhir bulan Juli setelah akhir tahun berjalan.
(2) Pelapor KPPK dinyatakan terlambat menyampaikan informasi
mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) beserta dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (7) apabila informasi
mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) beserta
dokumen pendukung disampaikan melampaui batas waktu yang
ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) sampai
dengan akhir bulan setelah bulan penyampaian laporan yang
bersangkutan.
(3) Pelapor KPPK dinyatakan tidak menyampaikan Laporan KPPK beserta
dokumen pendukung, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur
Atestasi, dan/atau Laporan Keuangan, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2), Pasal 3 ayat (3), dan Pasal 3 ayat (5) apabila:
a. Laporan KPPK beserta dokumen pendukung, Laporan Keuangan
triwulanan unaudited tidak disampaikan sampai dengan akhir
bulan keempat setelah akhir triwulan laporan; dan/atau
b. Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi dan Laporan
Keuangan Tahunan audited tidak disampaikan sampai dengan
akhir bulan Juli setelah akhir tahun berjalan.
(4) Pelapor KPPK dinyatakan tidak menyampaikan informasi mengenai
pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) beserta dokumen
pendukung apabila informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang
(Credit Rating) beserta dokumen pendukung tidak disampaikan sampai
dengan akhir bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2).
(5) Pelapor KPPK yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan atau
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tetap wajib
menyampaikan, Laporan KPPK beserta dokumen pendukung, Laporan
KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, informasi mengenai
pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) beserta dokumen
pendukung, dan Laporan Keuangan yang belum disampaikan.
BAB IV …
- 13 -
BAB IV
PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN
Pasal 16
(1) Dalam hal diperlukan, dalam melakukan penelitian kebenaran
Laporan LLD, Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui
Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang
(Credit Rating), dan Laporan Keuangan, Bank Indonesia dapat
melakukan hal-hal antara lain:
a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen
pendukung, dengan atau tanpa melibatkan pihak instansi terkait;
b. melakukan pemeriksaan langsung terhadap perusahaan;
c. meminta penjelasan dari kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh
Pelapor KPPK untuk menjelaskan Laporan KPPK yang telah melalui
Prosedur Atestasi;
d. menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian kebenaran
laporan.
(2) Pelapor LLD dan Pelapor KPPK harus memberikan bukti pembukuan,
catatan, dokumen, dan penjelasan yang diperlukan dalam rangka
penelitian kebenaran laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal Pelapor LLD dan Pelapor KPPK tidak memberikan informasi,
bukti pembukuan, catatan, dan dokumen lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) maka Laporan LLD yang disampaikan Pelapor LLD dan
Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi,
informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating), dan
Laporan Keuangan yang disampaikan Pelapor KPPK kepada Bank
Indonesia, dinyatakan tidak benar.
BAB V …
- 14 -
BAB V
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 17
(1) Pelapor LLD yang menyampaikan Laporan LLD selain rencana ULN
secara tidak lengkap dan/atau tidak benar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, yang tidak ditindaklanjuti dengan penyampaian koreksi
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00
(lima puluh ribu rupiah) untuk setiap baris (record) yang tidak lengkap
dan/atau tidak benar dengan denda paling banyak sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Pelapor KPPK yang menyampaikan Laporan KPPK secara tidak lengkap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan/atau laporan
dinyatakan tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(3) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap Laporan KPPK
yang tidak lengkap dan/atau tidak benar.
Pasal 18
Pelapor LLD yang terlambat atau tidak menyampaikan rencana ULN
dan/atau perubahan rencana ULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
dikenakan sanksi administratif berupa surat peringatan dan/atau
pemberitahuan kepada otoritas atau instansi yang berwenang.
Pasal 19
Pelapor LLD dan Pelapor KPPK yang terlambat menyampaikan Laporan LLD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) selain rencana ULN dan
Laporan KPPK beserta dokumen pendukung, Laporan KPPK yang telah
melalui Prosedur Atestasi, serta Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap Hari
keterlambatan dengan denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima
juta rupiah).
Pasal 20 …
- 15 -
Pasal 20
Pelapor LLD dan Pelapor KPPK yang tidak menyampaikan Laporan LLD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) selain rencana ULN dan
Laporan KPPK beserta dokumen pendukung, Laporan KPPK yang telah
melalui Prosedur Atestasi, serta Laporan Keuangan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3), dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Pasal 21
Selain dikenakan sanksi administratif berupa denda, Pelapor KPPK yang
terlambat atau tidak menyampaikan Laporan KPPK beserta dokumen
pendukung, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, dan/atau
Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) atau
ayat (3), dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis
dan/atau pemberitahuan kepada otoritas atau instansi yang berwenang.
Pasal 22
Pelapor KPPK yang terlambat atau tidak menyampaikan informasi
mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) atau ayat (4) beserta dokumen
pendukung, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis
dan/atau pemberitahuan kepada otoritas atau instansi yang berwenang.
Pasal 23
(1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19,
dan Pasal 20 tidak berlaku bagi Pelapor LLD baru.
(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18,
Pasal 19, dan Pasal 20 mulai diberlakukan bagi Pelapor LLD baru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 3 (tiga) kali masa
pelaporan sejak penyampaian laporan yang pertama.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19,
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 tidak dikenakan kepada pelapor yang
terlambat …
- 16 -
terlambat atau tidak menyampaikan laporan atau informasi yang
disebabkan adanya gangguan teknis di Bank Indonesia.
Pasal 24
Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17, Pasal 19, dan Pasal 20 disetorkan ke Bank Indonesia.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 25
(1) Pelapor LLD dan Pelapor KPPK yang mengalami keadaan memaksa
sehingga menyebabkan keterangan dan data dalam penyusunan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 tidak
tersedia, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan atau
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 11.
(2) Pelapor LLD dan Pelapor KPPK yang mengalami keadaan memaksa
sehingga menyebabkan terhambatnya penyampaian laporan atau
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3,
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan atau informasi
dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal
13.
(3) Pelapor LLD dan Pelapor KPPK yang mengalami keadaan memaksa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), harus segera
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia,
dengan disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa yang dialami.
(4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam hal
Pelapor LLD dan Pelapor KPPK memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia untuk tidak menyampaikan laporan atau informasi.
(5) Pelapor LLD dan Pelapor KPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) wajib menyampaikan laporan atau informasi setelah
Pelapor LLD atau Pelapor KPPK kembali melakukan kegiatan
operasional secara normal.
Pasal 26 …
- 17 -
Pasal 26
Laporan LLD, Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur
Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit
Rating), dan Laporan Keuangan yang memuat data atau informasi
individual pelapor yang disampaikan kepada Bank Indonesia bersifat
rahasia, kecuali secara tegas dinyatakan lain dalam Undang-Undang.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 28
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank
Indonesia Nomor 14/21/PBI/2012 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas
Devisa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 273,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5377), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 29
(1) Kewajiban penyampaian informasi mengenai pemenuhan Peringkat
Utang (Credit Rating) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (7)
mulai berlaku bagi ULN yang ditandatangani atau diterbitkan sejak
tanggal 1 Januari 2016.
(2) Penyampaian secara online untuk Laporan KPPK, Laporan KPPK yang
telah melalui Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan
Peringkat Utang (Credit Rating), dan Laporan Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 2016.
(3) Penyampaian Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui
Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang
(Credit …
- 18 -
(Credit Rating) dan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, serta koreksinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14,
sejak tanggal 1 Januari 2015 sampai dengan tanggal 31 Desember
2015 dilakukan secara offline dengan masa koreksi 15 hari kalender
setelah batas akhir penyampaian laporan atau informasi.
(4) Pengenaan sanksi bagi Pelapor KPPK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 atas pelanggaran
terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan
ayat (5) huruf a mulai berlaku sejak pelaporan data triwulan III tahun
2015.
(5) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 atas
pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (7) mulai berlaku bagi ULN yang ditandatangani atau
diterbitkan tanggal 1 Januari 2016.
Pasal 30
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, semua peraturan
pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/21/PBI/2012
tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5377) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 31
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2015.
Agar …
- 19 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 397
DSta
- 20 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/22/PBI/2014
TENTANG
PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA DAN PELAPORAN
KEGIATAN PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN
UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK
I. UMUM
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24
tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar,
Pemerintah tetap menganut sistem devisa bebas, dimana setiap
Penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa.
Penerapan sistem devisa bebas tersebut perlu didukung dengan
pemantauan kegiatan LLD yang efektif agar tidak menimbulkan dampak
negatif bagi perekonomian nasional.
Dalam rangka pemantauan kegiatan LLD, Bank Indonesia telah
mengimplementasikan Sistem Pelaporan Kegiatan LLD Bank dan Sistem
Pelaporan Kegiatan LLD bukan Bank, yang mencakup semua transaksi
yang menimbulkan perpindahan aset dan atau kewajiban finansial
antara Penduduk dan bukan Penduduk, perpindahan Aset dan atau
Kewajiban Finansial Luar Negeri antar Penduduk, serta posisi Aset dan
Kewajiban Finansial Luar Negeri. Keterangan dan data yang diperoleh
melalui sistem pelaporan tersebut digunakan untuk penyusunan
statistik, terutama statistik Neraca Pembayaran, Posisi Investasi
Internasional, statistik Utang Luar Negeri Indonesia, dan Indikator
Keuangan Perusahaan Bukan Bank.
Dalam rangka mendorong kehati-hatian korporasi dalam mengelola
risiko nilai tukar, risiko likuiditas, dan risiko overleverage terhadap
Utang Luar Negeri, Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan
penerapan prinsip kehati-hatian terkait pengelolaan Utang Luar Negeri
Korporasi Nonbank. Sehubungan dengan hal ini maka ketentuan
pelaporan …
- 21 -
pelaporan kegiatan LLD perlu disempurnakan dimana Korporasi
Nonbank diminta untuk menyampaikan informasi tambahan seperti
aset valuta asing, kewajiban valuta asing, serta informasi Peringkat
Utang (Credit Rating). Dengan penyempurnaan sistem pelaporan
tersebut, maka setiap Penduduk diharapkan berperan aktif untuk
menyampaikan laporan mengenai kegiatan LLD dan pengelolaan Utang
Luar Negeri kepada Bank Indonesia secara lengkap, akurat, dan tepat
waktu.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “transaksi” meliputi seluruh
transaksi yang penyelesaiannya dilakukan melalui bank
domestik, bank luar negeri, rekening antar kantor (inter
company account), dan/atau melalui sarana lainnya, baik
disertai aliran dana maupun tanpa aliran dana.
Yang dimaksud dengan “transaksi lainnya” antara lain
penerimaan bunga dan dividen oleh Pelapor LLD dari
bukan Penduduk.
Huruf b
Posisi dan perubahan AFLN dan/atau KFLN mencakup
posisi dan perubahan untuk setiap jenis AFLN dan/atau
KFLN baik yang sudah efektif maupun belum efektif
menjadi tagihan atau kewajiban di neraca (on/off balance
sheet), yang terdiri atas:
1. posisi AFLN, antara lain posisi simpanan, piutang
dagang/usaha, surat berharga, penyertaan modal,
dan perubahan atas masing-masing AFLN tersebut;
2. posisi …
- 22 -
2. posisi KFLN, antara lain posisi utang dagang/usaha,
surat utang, pinjaman, dan ekuitas, dan perubahan
atas masing-masing KFLN tersebut;
3. posisi komitmen dan kontinjensi AFLN dan/atau
KFLN yang berkaitan dengan tagihan/kewajiban
kepada bukan Penduduk; dan
4. posisi kustodian surat berharga yang dimiliki
nasabah.
Huruf c
Keterangan dan data mengenai rencana ULN meliputi
rencana perolehan ULN selama 1 (satu) tahun dan
perubahannya, antara lain berupa jumlah nominal, jenis
ULN, dan hubungan dengan kreditur.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Keterangan dan data pendukung mencakup antara lain
profil/keterangan mengenai Pelapor LLD dan profil ULN.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating)
disampaikan dalam hal Korporasi Nonbank menerima ULN
dalam Valuta Asing yang ditandatangani atau diterbitkan sejak
1 Januari 2016. Informasi tersebut tidak berlaku bagi ULN
yang dikecualikan dari kewajiban pemenuhan Peringkat Utang
(Credit Rating) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penerapan prinsip
kehati-hatian …
- 23 -
kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri korporasi
nonbank.
Peringkat Utang (Credit Rating) berupa peringkat yang masih
berlaku atas korporasi (issuer rating) dan/atau surat utang
(issue rating) sesuai dengan jenis dan jangka waktu ULN dalam
Valuta Asing.
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Laporan Keuangan triwulanan
unaudited” antara lain laporan mengenai posisi
keuangan, laba rugi komprehensif, dan perubahan
ekuitas untuk setiap triwulan yang tidak diaudit oleh
akuntan publik.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Laporan Keuangan tahunan
audited” antara lain laporan mengenai posisi keuangan,
laba rugi komprehensif, dan perubahan ekuitas untuk
setiap tahun yang diaudit oleh akuntan publik.
Pasal 4
Ayat (1)
Laporan LLD yang lengkap memuat keterangan dan data
kegiatan LLD yang telah memenuhi rincian cakupan laporan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Laporan LLD yang benar memuat keterangan dan data kegiatan
LLD sesuai dengan fakta sebenarnya.
Penyampaian Laporan LLD yang tepat waktu adalah apabila
penyampaian laporan sesuai dengan batas waktu yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “secara online” adalah dengan
menggunakan media internet pada website pelaporan di Bank
Indonesia.
Laporan …
- 24 -
Laporan secara online dapat disampaikan pada hari Sabtu,
Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Dalam pengertian lembaga keuangan bukan
Bank tidak termasuk pedagang valuta asing.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Badan usaha milik negara yaitu badan usaha
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai badan usaha
milik negara yang berlaku.
Angka 2
Badan usaha milik daerah yaitu badan usaha
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai perusahaan
dan lembaga keuangan daerah yang berlaku.
Angka 3
Badan usaha milik swasta yaitu badan usaha yang
tidak termasuk dalam pengertian badan usaha
milik negara dan badan usaha milik daerah yang
berkedudukan di Indonesia, baik yang berbentuk
badan hukum Indonesia maupun asing dan yang
tidak berbentuk badan hukum.
Angka 4 …
- 25 -
Angka 4
Badan lainnya yang bukan merupakan badan
usaha baik berbentuk badan hukum maupun tidak
berbentuk badan hukum.
Angka 5
Perseorangan adalah orang yang bertindak atas
namanya sendiri.
Ayat (2)
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini, Pelapor LLD
berupa Bank hanya wajib melaporkan realisasi ULN. Untuk
kewajiban penyampaian Laporan LLD lainnya, Bank tunduk
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pemantauan kegiatan LLD Bank dan ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai utang luar negeri Bank.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan
yang terjadi di Bank Indonesia yang meliputi antara lain
gangguan jaringan dan/atau komunikasi.
Yang dimaksud dengan “secara offline” adalah dengan
menggunakan media antara lain email attachment, compact
disk (CD), flash disk, dan/atau media perekaman data
elektronik lainnya, yang disampaikan pada jam kerja Bank
Indonesia setempat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8 …
- 26 -
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur
Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang
(Credit Rating), dan Laporan Keuangan (triwulanan unaudited
dan tahunan audited) secara lengkap memuat keterangan dan
data yang telah memenuhi rincian cakupan laporan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur
Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang
(Credit Rating), dan Laporan Keuangan (triwulanan unaudited
dan tahunan audited) secara benar memuat keterangan dan
data sesuai dengan fakta sebenarnya.
Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur
Atestasi, Informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang
(Credit Rating), dan Laporan Keuangan (triwulanan unaudited
dan tahunan audited) secara tepat waktu disampaikan sesuai
dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “secara online” adalah dengan
menggunakan media internet pada website pelaporan di Bank
Indonesia.
Laporan secara online dapat disampaikan pada hari Sabtu,
Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
Ayat (3) …
- 27 -
Ayat (3)
Surat pernyataan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang
(bisa disampaikan dalam bentuk softcopy).
Ayat (4)
Dokumen pendukung antara lain berupa fotokopi izin dari
Kementerian Keuangan Republik Indonesia untuk melakukan
pembukuan dalam mata uang dolar Amerika Serikat.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan ”ULN baru” adalah ULN yang
ditandatangani atau diterbitkan sejak 1 Januari 2016.
Dokumen pendukung antara lain berupa keterangan ringkas
dari lembaga pemeringkat antara lain mengenai informasi
Peringkat Utang (Credit Rating), waktu pemeringkatan, dan
nama lembaga pemeringkat.
Pasal 12
Huruf a
Angka 1
Dalam pengertian lembaga keuangan bukan Bank tidak
termasuk pedagang valuta asing.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Badan usaha milik negara yaitu badan usaha
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai badan usaha milik
negara yang berlaku.
Angka 2 …
- 28 -
Angka 2
Badan usaha milik daerah yaitu badan usaha
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai perusahaan dan
lembaga keuangan daerah yang berlaku.
Angka 3
Badan usaha milik swasta yaitu badan usaha yang tidak
termasuk dalam pengertian badan usaha milik negara dan
badan usaha milik daerah yang berkedudukan di
Indonesia, baik yang berbentuk badan hukum Indonesia
maupun asing dan yang tidak berbentuk badan hukum.
Angka 4
Badan lainnya yang bukan merupakan badan usaha baik
berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan
hukum.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh 1:
Batas waktu penyampaian Laporan KPPK triwulan I tahun
2015 adalah 30 Juni 2015.
Contoh 2:
Batas waktu penyampaian Laporan Keuangan triwulan II tahun
2015 unaudited adalah 30 September 2015.
Ayat (3)
Contoh:
Perusahaan menandatangani ULN berdasarkan perjanjian
kredit pada tanggal 12 Februari 2016. Dalam hal ini, batas
waktu penyampaian informasi mengenai pemenuhan Peringkat
Utang (Credit Rating) beserta dokumen pendukungnya adalah
tanggal 31 Maret 2016.
Ayat (4) …
- 29 -
Ayat (4)
Contoh 1:
Batas waktu penyampaian Laporan KPPK yang telah melalui
Prosedur Atestasi tahun 2015 adalah 30 Juni 2016.
Contoh 2:
Batas waktu penyampaian Laporan Keuangan tahun 2014
audited adalah 30 Juni 2015.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kesalahan pada Laporan Keuangan tahunan audited
berupa kesalahan Pelapor KPPK dalam proses data entry.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan
yang terjadi di Bank Indonesia yang meliputi antara lain
gangguan jaringan dan/atau komunikasi.
Yang dimaksud dengan “secara offline” adalah dengan
menggunakan media antara lain email attachment, compact
disk (CD), flash disk, dan/atau media perekaman data
elektronik lainnya, yang disampaikan pada jam kerja Bank
Indonesia setempat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15 …
- 30 -
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Contoh 1:
Laporan KPPK triwulan I tahun 2015 disampaikan pada
tanggal 3 Juli 2015. Mengingat batas waktu
penyampaian Laporan KPPK triwulan I tahun 2015
adalah 30 Juni 2015 maka Pelapor KPPK dinyatakan
terlambat menyampaikan Laporan KPPK.
Contoh 2:
Laporan Keuangan unaudited triwulan II tahun 2015
disampaikan pada tanggal 2 Oktober 2015. Mengingat
batas waktu penyampaian Laporan Keuangan triwulan II
tahun 2015 unaudited adalah 30 September 2015, maka
Pelapor KPPK dinyatakan terlambat menyampaikan
Laporan Keuangan unaudited.
Huruf b
Contoh 1:
Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi
triwulan IV tahun 2015 disampaikan pada tanggal 5 Juli
2016. Mengingat batas waktu penyampaian Laporan
KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi triwulan IV
tahun 2015 adalah 30 Juni 2016 maka Pelapor KPPK
dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan KPPK yang
telah melalui Prosedur Atestasi.
Contoh 2:
Laporan Keuangan tahun 2015 audited disampaikan
pada tanggal 4 Juli 2016. Mengingat batas waktu
penyampaian Laporan Keuangan tahun 2015 audited
adalah 30 Juni 2016 maka Pelapor KPPK dinyatakan
terlambat menyampaikan Laporan Keuangan tahun 2015
audited.
Ayat (2) …
- 31 -
Ayat (2)
Contoh:
Perusahaan menandatangani ULN pada tanggal 10 Februari
2016 dan menyampaikan informasi mengenai pemenuhan
Peringkat Utang (Credit Rating) pada tanggal 1 April 2016.
Dalam hal ini, perusahaan dinyatakan terlambat
menyampaikan informasi mengenai pemenuhan Peringkat
Utang (Credit Rating).
Ayat (3)
Huruf a
Contoh 1:
Apabila Laporan KPPK triwulan I tahun 2015 tidak
disampaikan sampai dengan akhir Juli 2015 maka
Pelapor KPPK dinyatakan tidak menyampaikan Laporan
KPPK.
Contoh 2:
Apabila Laporan Keuangan unaudited triwulan II tahun
2015 tidak disampaikan sampai dengan akhir bulan
Oktober 2015 maka Pelapor KPPK dinyatakan
dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Keuangan
unaudited.
Huruf b
Contoh 1:
Apabila Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur
Atestasi triwulan IV tahun 2015 tidak disampaikan
sampai dengan akhir Juli 2016 maka Pelapor KPPK
dinyatakan tidak menyampaikan Laporan KPPK yang
telah melalui Prosedur Atestasi.
Contoh 2:
Apabila Laporan Keuangan tahun 2015 audited tidak
disampaikan sampai dengan akhir Juli 2016, maka
Pelapor KPPK dinyatakan tidak menyampaikan Laporan
Keuangan tahun 2015 audited.
Ayat (4) …
- 32 -
Ayat (4)
Contoh:
Perusahaan menandatangani ULN berdasarkan perjanjian
kredit pada tanggal 10 Februari 2016 dan belum
menyampaikan informasi mengenai pemenuhan Peringkat
Utang (Credit Rating) beserta dokumen pendukungnya sampai
dengan akhir bulan April 2016. Dalam hal ini, perusahaan
dinyatakan tidak menyampaikan informasi mengenai
pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) beserta dokumen
pendukungnya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk sebagai dokumen pendukung yang berkaitan
dengan Laporan LLD antara lain laporan keuangan dan
daftar mutasi rekening koran (bank statement).
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Laporan LLD dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak benar
setelah melalui proses klarifikasi atau penelitian kebenaran
laporan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2) …
- 33 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pelapor LLD baru” adalah Pelapor LLD
yang baru pertama kali menyampaikan laporan LLD sejak mulai
diberlakukannya ketentuan ini.
Ayat (2)
Contoh:
Pelapor LLD yang menyampaikan laporan pertama kali pada
bulan Juni 2015 untuk data bulan Mei 2015, baru dapat
dikenakan sanksi untuk pelaporan data bulan September 2015
yang disampaikan bulan Oktober 2015.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25 …
- 34 -
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” adalah keadaan
yang berada di luar kendali Pelapor LLD dan Pelapor KPPK dan
secara nyata menyebabkan Pelapor LLD dan Pelapor KPPK
tidak dapat menyusun dan menyampaikan laporan atau
informasi Laporan LLD serta Laporan KPPK, Laporan KPPK
yang telah melalui Prosedur Atestasi, Informasi mengenai
pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating), dan Laporan
Keuangan antara lain kebakaran, kerusuhan massa, terorisme,
bom, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi
dan banjir yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari
instansi terkait di daerah setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 26
Yang dimaksud dengan “Undang-Undang” adalah Undang-Undang
yang mewajibkan pengungkapan keterangan dan data yang bersifat
rahasia.
Pasal 27
Hal-hal yang akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia
antara lain:
a. cakupan keterangan dan data yang harus dilaporkan, termasuk
keterangan dan data yang harus dilengkapi dokumen
pendukung;
b. batasan …
- 35 -
b. batasan kriteria pelapor (threshold pelapor);
c. prosedur dan tata cara penyampaian laporan;
d. prosedur dan tata cara pengenaan sanksi.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5654
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/22/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA DAN PELAPORAN KEGIATAN PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK </reg_title>
<set_date> 31 Desember 2014 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2015 </effective_date>
<issued_date> 31 Desember 2014 </issued_date>
<replaced_reg> '14/21/PBI/2012' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/14/PBI/2018
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk memperkuat kerangka operasi moneter,
Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia
sebagai salah satu instrumen operasi moneter
berdasarkan prinsip syariah;
b. bahwa dengan diterbitkannya Sukuk Bank Indonesia
sebagai instrumen operasi moneter berdasarkan prinsip
syariah, diperlukan pengaturan mengenai Sukuk Bank
Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi
Moneter;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
-2-
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/12/PBI/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor
199, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6259);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER.
-3-
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6198)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 20/12/PBI/2018 tentang Perubahan atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi
Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6259) diubah sebagai berikut:
1. Di antara angka 16 dan angka 17 Pasal 1 disisipkan 1
(satu) angka, yakni angka 16A sehingga Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum
syariah, dan unit usaha syariah.
2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya
disingkat BUK adalah bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan.
3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian
-4-
moneter yang dilakukan secara konvensional dan
berdasarkan prinsip syariah.
6. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya
disingkat OMK adalah pelaksanaan kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian
moneter yang dilakukan secara konvensional.
7. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat
OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh
Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
8. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat
OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang
dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh
Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain
untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara
konvensional dan berdasarkan prinsip syariah.
9. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang
selanjutnya disebut OPT Konvensional adalah
kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar
valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia
dengan BUK dan/atau pihak lain.
10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya
disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di
pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan/atau
pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan BUS, UUS, dan/atau pihak lain.
11. Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana
rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank dan
penempatan dana rupiah oleh Bank di Bank
Indonesia untuk Operasi Moneter yang dilakukan
secara konvensional dan berdasarkan prinsip
syariah.
12. Standing Facilities Konvensional adalah kegiatan
penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank
Indonesia kepada BUK dan penempatan dana rupiah
(deposit facility) oleh BUK di Bank Indonesia.
-5-
13. Standing Facilities Syariah adalah kegiatan
penyediaan dana rupiah (financing facility) dari Bank
Indonesia kepada BUS atau UUS dan penempatan
dana rupiah (deposit facility) oleh BUS atau UUS di
Bank Indonesia.
14. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek.
15. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan
prinsip syariah dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia dan berjangka waktu
pendek.
16. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata
uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek
yang dapat diperdagangkan hanya antar-BUK.
16A. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut
SukBI adalah sukuk yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia dengan menggunakan underlying asset
berupa surat berharga berdasarkan prinsip syariah
milik Bank Indonesia.
17. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing
yang selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat
berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka
waktu pendek.
18. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat
SBN adalah surat utang negara dan surat berharga
syariah negara.
19. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
surat utang negara.
-6-
20. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai surat berharga syariah negara.
21. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia,
termasuk hari kerja operasional terbatas Bank
Indonesia.
2. Ketentuan Pasal 12 tetap, penjelasan Pasal 12 huruf b
diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum
dalam penjelasan Pasal.
3. Ketentuan Pasal 18 ayat (2) diubah sehingga Pasal 18
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Penyediaan dana rupiah (lending facility) dalam
Standing Facilities Konvensional dilakukan dengan
mekanisme Bank Indonesia menerima repo surat
berharga dalam rupiah dari peserta Standing
Facilities Konvensional.
(2) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
a. SBI;
b. SDBI;
c. SukBI;
d. SBN; dan/atau
e. surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan
mudah dicairkan, yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
-7-
4. Ketentuan Pasal 22 huruf a diubah sehingga Pasal 22
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf
a dilaksanakan dengan cara melakukan:
a. penerbitan SBIS dan/atau SukBI;
b. transaksi repo dan/atau reverse repo surat berharga
yang memenuhi prinsip syariah;
c. transaksi pembelian dan/atau penjualan surat
berharga yang memenuhi prinsip syariah secara
outright;
d. penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank
Indonesia dalam valuta asing; dan/atau
e. transaksi lainnya yang memenuhi prinsip syariah
baik di pasar uang rupiah maupun pasar valuta
asing.
5. Ketentuan Pasal 30 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diubah
sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
(1) Penyediaan dana rupiah (financing facility) dalam
Standing Facilities Syariah dilakukan dengan
mekanisme Bank Indonesia menerima repo surat
berharga dalam rupiah yang memenuhi prinsip
syariah dari peserta Standing Facilities Syariah.
(2) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
a. SBIS;
b. SukBI; dan/atau
c. SBSN.
(3) Penyediaan dana rupiah (financing facility) berupa
repo SBIS menggunakan akad qard yang diikuti
dengan rahn.
-8-
(4) Penyediaan dana rupiah (financing facility) berupa
repo SukBI dan repo SBSN menggunakan akad al ba’i
yang diikuti dengan wa’d.
(5) Dalam hal terdapat perubahan akad sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), perubahan
tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
6. Ketentuan BAB IV Bagian Kedua diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Bagian Kedua
Instrumen OMS yang Diterbitkan Bank Indonesia
Paragraf 1
SBIS dan SukBI
Pasal 44
(1) SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
menggunakan akad ju’alah.
(2) Bank Indonesia menetapkan dan memberikan
imbalan atas SBIS yang diterbitkan.
(3) Bank Indonesia membayar imbalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. pada saat SBIS jatuh waktu; atau
b. sebelum jatuh waktu, dalam hal BUS atau UUS
tidak dapat memenuhi kewajiban repo SBIS.
(4) Dalam hal terdapat perubahan akad sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), perubahan tersebut
ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Pasal 45
SBIS memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan
-9-
dalam jumlah hari kalender dan dihitung sejak 1
(satu) hari setelah tanggal penyelesaian transaksi
sampai dengan tanggal jatuh waktu;
b. diterbitkan tanpa warkat (scripless);
c. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia;
d. tidak dapat diperdagangkan (non-tradable) di pasar
sekunder; dan
e. hanya dapat dimiliki oleh BUS atau UUS.
Pasal 45A
(1) SukBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
menggunakan akad al-musyarakah al-muntahiyah bi
al-tamlik.
(2) Bank Indonesia menetapkan dan memberikan
imbalan atas SukBI yang diterbitkan.
(3) Bank Indonesia membayar imbalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. pada saat SukBI jatuh waktu; atau
b. sebelum jatuh waktu, dalam hal Bank tidak
dapat memenuhi kewajiban repo SukBI.
(4) Dalam hal terdapat perubahan akad sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), perubahan tersebut
ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Pasal 45B
SukBI memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. menggunakan underlying asset berupa SBSN;
b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari dan
paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan
dalam jumlah hari kalender, yang dihitung sejak 1
(satu) hari setelah tanggal penyelesaian transaksi
sampai dengan tanggal jatuh waktu;
c. diterbitkan tanpa warkat (scripless);
d. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia;
-10-
e. hanya dapat dibeli oleh BUS dan UUS di pasar
perdana;
f.
dapat diperdagangkan (tradable) di pasar sekunder;
dan
g. hanya dapat dimiliki oleh Bank.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai SBIS dan SukBI diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Paragraf 2
Penatausahaan SBIS dan SukBI
Pasal 47
(1) Bank Indonesia menatausahakan SBIS dan SukBI
dalam suatu sistem penatausahaan secara elektronis
di Bank Indonesia.
(2) Sistem penatausahaan yang dikelola oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup sistem pencatatan kepemilikan dan
penyelesaian transaksi SBIS dan SukBI.
(3) Sistem pencatatan kepemilikan SBIS dan SukBI
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
tanpa warkat (scripless).
(4) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk
mendukung pelaksanaan penatausahaan SBIS dan
SukBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 48
Bank Indonesia dapat menatausahakan SBIS dan SukBI
dengan menggunakan sarana lain yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
-11-
Paragraf 2A
Pembatasan Transaksi SukBI di Pasar Sekunder
Pasal 48A
(1) Bank dilarang melakukan transaksi SukBI di pasar
sekunder dengan pihak selain Bank.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku untuk transaksi SukBI yang dilakukan Bank
dengan Bank Indonesia.
(3) Pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung
penatausahaan SukBI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 ayat (4) wajib menatausahakan SukBI milik
nasabahnya dengan
memenuhi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Paragraf 3
Pelunasan SBIS dan SukBI
Pasal 49
Bank Indonesia melunasi SBIS dan SukBI pada saat jatuh
waktu sebesar nilai nominal dan membayar imbalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) dan Pasal
45A ayat (3).
Pasal 50
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelunasan SBIS dan
SukBI diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
ketentuan
-12-
7. Ketentuan BAB IX Bagian Kedua diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Bagian Kedua
Sanksi Terkait Pembatasan Transaksi SBI, SDBI, dan
SukBI di Pasar Sekunder
Pasal 76
Pemilik SBI yang merupakan peserta OMK yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1)
dan/atau pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung
penatausahaan SBI yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3) dikenakan
sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol
satu persen) dari nilai transaksi SBI yang tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (3), paling sedikit
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) per hari.
Pasal 77
BUK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (1) dan/atau pihak lain yang ditunjuk
untuk mendukung penatausahaan SDBI yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3),
dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol
satu persen) dari nilai transaksi SDBI yang tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (3), paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) per hari.
-13-
Pasal 77A
Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48A ayat (1) dan/atau pihak lain yang
ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SukBI yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48A ayat (3), dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol
satu persen) dari nilai transaksi SukBI yang tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48A ayat (1), paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) per hari.
Pasal 78
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi terkait pembatasan transaksi SBI, SDBI, dan SukBI
di pasar sekunder diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-14-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Desember 2018
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Desember 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 247
./.
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/14/PBI/2018
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER
I. UMUM
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa
tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah.
Untuk memperkuat kerangka Operasi Moneter, Bank Indonesia
menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen Operasi
Moneter berdasarkan prinsip syariah. Selain untuk memperkuat kerangka
Operasi Moneter, penerbitan Sukuk Bank Indonesia ditujukan untuk
mendukung upaya pendalaman pasar keuangan syariah. Oleh karena itu,
perlu dilakukan perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 12
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penerbitan SBI, SDBI,
dan/atau SBBI Valas” adalah penjualan SBI, SDBI,
dan/atau SBBI Valas oleh Bank Indonesia di pasar
perdana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “transaksi repurchase
agreement (repo)” adalah transaksi penjualan surat
berharga oleh peserta OPT Konvensional kepada Bank
Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh
peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan
jangka waktu yang disepakati.
Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBI,
SDBI, SukBI, SBN, dan surat berharga lain yang
berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “transaksi reverse repo” adalah
transaksi pembelian surat berharga oleh peserta OPT
Konvensional dari Bank Indonesia dengan kewajiban
penjualan kembali oleh peserta OPT Konvensional
sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBN,
dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan
mudah dicairkan, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “transaksi pembelian dan/atau
penjualan surat berharga secara outright” adalah
- 3 -
transaksi pembelian dan penjualan surat berharga
secara putus.
Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBN
dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan
mudah dicairkan, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term
deposit) di Bank Indonesia dalam rupiah” adalah
penempatan dana milik peserta OPT konvensional
secara berjangka di Bank Indonesia dalam rupiah.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term
deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing” adalah
penempatan dana milik peserta OPT Konvensional
secara berjangka di Bank Indonesia dalam valuta asing.
Huruf f
Jual beli valuta asing terhadap rupiah dilakukan antara
lain dalam bentuk transaksi spot, transaksi forward,
transaksi swap, dan/atau transaksi domestic non-
deliverable forward.
Yang dimaksud dengan “spot” adalah transaksi jual
atau beli antara valuta asing terhadap rupiah dengan
penyerahan dana dilakukan 2 (dua) Hari Kerja setelah
tanggal transaksi.
Termasuk dalam transaksi spot yaitu transaksi dengan
penyerahan valuta pada hari yang sama (today) atau
dengan penyerahan 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal
transaksi (tomorrow).
Yang dimaksud dengan “forward” adalah transaksi jual
atau beli antara valuta asing terhadap rupiah dengan
penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) Hari Kerja
setelah tanggal transaksi.
Yang dimaksud dengan “swap” adalah transaksi
pertukaran valuta asing terhadap rupiah melalui
pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan
atau pembelian kembali secara berjangka (forward) yang
dilakukan secara simultan, dengan counterpart yang
- 4 -
sama dan pada tingkat harga yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
Transaksi swap dengan metode lelang yang dilakukan
antara BUK dan Bank Indonesia dapat dianggap sebagai
penerusan (pass on) posisi transaksi derivatif BUK
dengan pihak terkait BUK.
Transaksi domestic non-deliverable forward merupakan
transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah yang
standar (plain vanilla) berupa transaksi forward dengan
mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik.
Mekanisme fixing merupakan mekanisme penyelesaian
transaksi tanpa pergerakan dana pokok dengan cara
menghitung selisih antara kurs transaksi forward dan
kurs acuan pada tanggal tertentu yang telah ditetapkan
di dalam kontrak (fixing date).
Huruf g
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 22
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penerbitan SBIS dan/atau
SukBI” adalah penjualan SBIS dan/atau SukBI oleh
Bank Indonesia di pasar perdana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “transaksi repo” adalah
transaksi penjualan surat berharga oleh peserta OPT
Syariah kepada Bank Indonesia dengan kewajiban
pembelian kembali oleh peserta OPT Syariah sesuai
dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
Yang dimaksud dengan “surat berharga yang memenuhi
prinsip syariah” adalah SBSN, SukBI, dan surat
berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah
- 5 -
dicairkan yang memenuhi prinsip syariah, yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “transaksi reverse repo” adalah
transaksi pembelian surat berharga oleh peserta OPT
Syariah dari Bank Indonesia dengan kewajiban
penjualan kembali oleh peserta OPT Syariah sesuai
dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
Yang dimaksud dengan “surat berharga yang
memenuhi prinsip syariah” adalah SBSN dan surat
berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah
dicairkan yang memenuhi prinsip syariah, yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “transaksi pembelian dan/atau
penjualan surat berharga yang memenuhi prinsip
syariah secara outright” adalah transaksi pembelian dan
penjualan secara putus.
Yang dimaksud dengan “surat berharga yang memenuhi
prinsip syariah” adalah SBSN dan surat berharga lain
yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang
memenuhi prinsip syariah, yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term
deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing”
adalah penempatan dana milik peserta OPT Syariah
secara berjangka di Bank Indonesia dalam valuta asing.
Huruf e
Termasuk dalam transaksi lainnya yang memenuhi
prinsip syariah di pasar valuta asing yaitu transaksi
spot dan/atau transaksi derivatif yang bertujuan untuk
lindung nilai (hedging) berdasarkan prinsip syariah
serta memiliki underlying.
- 6 -
Angka 5
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “repo surat berharga” adalah
transaksi penjualan bersyarat surat berharga oleh
peserta Standing Facilities Syariah kepada Bank
Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali sesuai
dengan harga dan jangka waktu yang disepakati (sell
and buy back) dan/atau pemberian pinjaman oleh Bank
Indonesia kepada peserta Standing Facilities Syariah
dengan agunan surat berharga (collateralized
borrowing), sesuai dengan akadnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “akad qard” adalah pinjaman
dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam
mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus dalam
jangka waktu tertentu.
Yang dimaksud dengan “rahn” adalah penyerahan
agunan dari BUS atau UUS (rahin) kepada Bank
Indonesia (murtahin) sebagai jaminan untuk
mendapatkan qard.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “akad al ba’i yang diikuti
dengan wa’d” adalah jual beli yang disertai dengan janji
(al wa’d) oleh peserta Standing Facilities Syariah kepada
Bank Indonesia, dalam dokumen terpisah, untuk
membeli atau menjual kembali surat berharga dalam
jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 7 -
Angka 6
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “akad ju’alah” adalah janji atau
komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu
(’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang
ditentukan dari suatu pekerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 45
Huruf a
Jangka waktu SBIS dinyatakan dalam jumlah hari
kalender dan dihitung 1 (satu) hari kalender setelah
tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal
jatuh waktu.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)”
adalah diterbitkan tanpa adanya fisik SBIS, dan bukti
kepemilikan bagi pemegang SBIS berupa pencatatan
elektronis.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 45A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “akad al-musyarakah al-
muntahiyah bi al-tamlik” adalah kontrak syirkah 2 (dua)
pihak atau lebih yang diikuti dengan pembelian porsi
- 8 -
(hishshah) oleh 1 (satu) pihak dari pihak lain pada saat
akhir kontrak atau telah jatuh tempo.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 45B
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)”
adalah diterbitkan tanpa adanya fisik SukBI dan bukti
kepemilikan bagi pemegang SukBI berupa pencatatan
elektronis.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
SukBI dapat diperdagangkan antar Bank di pasar
sekunder antara lain secara outright, repo, atau
dijadikan agunan.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Penatausahaan secara elektronis di Bank Indonesia
dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
- 9 -
yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
seketika.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)”
adalah diterbitkan tanpa adanya fisik SBIS dan SukBI,
dan bukti kepemilikan bagi pemegangnya berupa
pencatatan elektronis.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain sub-
registry.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 48A
Ayat (1)
Termasuk dalam transaksi SukBI antara lain transaksi
jual atau beli secara outright, pinjam-meminjam, repo,
atau memberikan atau menerima agunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal pihak lain ditunjuk untuk mendukung
penatausahaan SukBI maka pihak lain tersebut hanya
dapat menatausahakan SukBI milik Bank.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
- 10 -
Angka 7
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 77A
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6278
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 20/14/PBI/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER </reg_title>
<set_date> 12 Desember 2018 </set_date>
<effective_date> 17 Desember 2018 </effective_date>
<issued_date> 17 Desember 2018 </issued_date>
<changed_reg> '20/5/PBI/2018' </changed_reg>
<extension_of> '20/12/PBI/2018' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '20/12/PBI/2018', '20/5/PBI/2018', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 7 Bagian Kedua' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/17/PBI/2005
TENTANG
PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP BANK PERKREDITAN RAKYAT
PASCA BENCANA ALAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS, PROVINSI
SUMATERA UTARA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa dengan terjadinya bencana alam di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Provinsi
Sumatera Utara, perlu dilakukan berbagai upaya untuk
mendukung pemulihan kondisi perekonomian;
b. bahwa salah satu upaya untuk mendukung pemulihan
kondisi perekonomian adalah dengan memberikan
perlakuan khusus terhadap Bank Perkreditan Rakyat;
c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
menetapkan ketentuan mengenai
perlakuan
khusus
terhadap Bank Perkreditan Rakyat pasca bencana alam di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias,
Provinsi Sumatera Utara, dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat : …
-2-
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERLAKUAN KHUSUS
TERHADAP BANK
PERKREDITAN RAKYAT PASCA BENCANA ALAM DI
PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN
KABUPATEN NIAS, PROVINSI SUMATERA UTARA.
BAB I …
-3-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998;
2. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara BPR dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
BAB II
KUALITAS KREDIT
Pasal 2
(1) Kualitas kredit yang diselamatkan digolongkan lancar terhitung sejak
dilakukan penyelamatan sampai dengan 31 Januari 2008.
(2) Penyelamatan Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
dengan cara :
a. Penjadualan kembali
yang
hanya menyangkut
waktunya;
b.
Persyaratan …
(rescheduling), yaitu perubahan syarat Kredit
jadual pembayaran dan atau jangka
-4-
b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau
seluruh syarat-syarat Kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadual
pembayaran, jangka waktu, dan atau persyaratan lainnya sepanjang
tidak menyangkut perubahan maksimum saldo Kredit; atau
c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat Kredit
yang menyangkut:
(1) Penambahan dana BPR, dan atau
(2) Konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi Kredit
yang dapat disertai dengan penjadualan kembali dan atau
persyaratan kembali.
Pasal 3
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya berlaku untuk Kredit
yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Kredit yang telah diberikan pada saat berlakunya ketentuan ini;
b.
Disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha
di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan atau Kabupaten Nias, Provinsi
Sumatera Utara; dan
c. Telah atau diperkirakan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau
bunga kredit atau margin atau bagi hasil Pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah yang
disebabkan oleh dampak dari bencana alam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara.
Pasal 4 …
-5-
Pasal 4
Ketentuan mengenai perlakuan khusus terhadap Kredit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 3 berlaku juga bagi BPR yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah untuk penyediaan dana yang mencakup pembiayaan
(mudharabah atau musyarakah), piutang (murabahah, salam atau istishna), sewa
(ijarah) dan pinjaman (qardh).
BAB III
PELAPORAN
Pasal 5
(1) BPR yang terkena dampak bencana alam dikecualikan dari sanksi kewajiban
membayar atas keterlambatan dan yang dikategorikan tidak menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku mengenai
Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan BPR, Laporan BMPK, Laporan
Rencana Kerja, Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja, Laporan Keuangan
Tahunan, dan Laporan Keuangan Publikasi.
(2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan tanggal
31Agustus 2005.
BAB IV …
-6-
BAB IV
PENUTUP
Pasal 6
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan
diberlakusurutkan sejak tanggal 27 Desember 2004.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal : 1 Juli 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 55
DPBPR/DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/17/PBI/2005
TENTANG
PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP BANK PERKREDITAN RAKYAT
PASCA BENCANA ALAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS,
PROVINSI SUMATERA UTARA
UMUM
Sebagaimana diketahui peristiwa bencana alam tsunami di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan gempa bumi di Kabupaten Nias, Provinsi
Sumatera Utara pada tanggal 26 Desember 2004 dan tanggal 28 Maret 2005
menimbulkan dampak terhadap perekonomian Indonesia, khususnya di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara.
Nasabah debitur yang terkena dampak bencana tersebut mengalami kesulitan
dalam melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit atau akad
pembiayaan sehingga menurunnya kemampuan debitur tersebut akan sangat
mempengaruhi kondisi operasional BPR. Selain itu, bencana yang terjadi
berdampak pula terhadap kelembagaan, kepengurusan dan kondisi fisik BPR .
Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia memandang perlu untuk
memberikan perlakuan khusus terhadap kredit
penilaian kualitas kredit, dan kewajiban pelaporan
berupa kelonggaran dalam
berkala kepada Bank
Indonesia.
PASAL ..
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
ayat (1)
Kredit yang diselamatkan adalah Kredit yang semula tergolong
lancar atau kurang lancar menjadi diragukan atau macet sebagai
dampak dari bencana alam dan diusahakan untuk diperbaiki
sebagaimana dicantumkan dalam akad penyelamatan Kredit.
ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
huruf a
Yang dimaksud dengan kredit yang telah diberikan adalah
termasuk kelonggaran tarik dari kredit yang telah diperjanjikan.
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Cukup jelas
Pasal 4 ..
- 3 -
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
ayat (1)
Cukup jelas
ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4509
DPBPR/DPbS
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/17/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP BANK PERKREDITAN RAKYAT PASCA BENCANA ALAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS, PROVINSI SUMATERA UTARA </reg_title>
<set_date> 1 Juli 2005 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2005 dan diberlakusurutkan sejak tanggal 27 Desember 2004. </effective_date>
<related_reg> '3/UU/2004', '7/UU/1992', '23/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 9/5/PBI/2007
TENTANG
PASAR UANG ANTARBANK
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa perkembangan perbankan syariah yang semakin pesat
memerlukan pengelolaan likuiditas dan pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah yang lebih likuid dan efisien;
b. bahwa instrumen pasar uang antarbank berdasarkan prinsip
syariah yang ada saat ini yang menggunakan akad mudharabah
belum dapat sepenuhnya memenuhi kebutuhan pengelolaan
likuiditas perbankan syariah;
c. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan pengelolaan likuiditas
perbankan syariah perlu dibuka kemungkinan untuk
menggunakan instrumen pasar uang antar bank berdasarkan
prinsip syariah selain akad mudharabah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c diperlukan penyempurnaan terhadap
ketentuan …
2
ketentuan tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip
Syariah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4357);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PASAR UANG
ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
BAB I …
3
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Konvensional adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional.
2. Bank Syariah adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah:
a. unit kerja di kantor pusat Bank Konvensional yang berfungsi sebagai kantor
induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah; atau
b. unit kerja di kantor cabang dari Bank Konvensional yang berkedudukan di luar
negeri yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu
syariah dan atau unit syariah.
4. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut
PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank berdasarkan
prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing.
5. Instrumen PUAS adalah instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah yang
diterbitkan oleh Bank Syariah atau UUS yang digunakan sebagai sarana transaksi
di PUAS.
6. Prinsip …
4
6. Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998.
BAB II
PESERTA PUAS
Pasal 2
(1) Peserta PUAS terdiri dari Bank Syariah, UUS, dan Bank Konvensional.
(2) Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan
penempatan dana dan atau penerimaan dana dengan menggunakan instrumen
PUAS yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Bank Konvensional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat melakukan
penempatan dana ke dalam instrumen PUAS yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
BAB III
INSTRUMEN DAN TRANSAKSI PUAS
Pasal 3
Instrumen PUAS yang dapat digunakan oleh Peserta PUAS adalah instrumen yang
telah diatur oleh Bank Indonesia sebagai Instrumen PUAS.
Pasal 4 …
5
Pasal 4
(1) Bank Syariah atau UUS yang akan menerbitkan Instrumen PUAS selain yang
telah diatur dalam Pasal 3 wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada
Bank Indonesia untuk memperoleh persetujuan.
(2) Bank Syariah atau UUS yang akan mengajukan permohonan penerbitan
Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus telah memperoleh
fatwa mengenai kesesuaian Instrumen PUAS tersebut dengan prinsip syariah dari
Dewan Syariah Nasional.
(3) Setelah Bank Indonesia menyetujui Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia mengatur Instrumen PUAS tersebut dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
(4) Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Bank Syariah
atau UUS lainnya hanya dapat menerbitkan Instrumen PUAS sejak Bank
Indonesia menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
(5) Bank Syariah atau UUS lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
menerbitkan Instrumen PUAS yang sudah diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tanpa perlu mengajukan
permohonan terlebih dahulu.
(6) Tata cara pengajuan permohonan dan persetujuan penerbitan Instrumen PUAS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 5
(1) Instrumen PUAS yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini akan diatur kembali dalam Surat Edaran Bank Indonesia tersendiri.
(2) Bank …
6
(2) Bank Syariah atau UUS yang akan menerbitkan Instrumen PUAS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak perlu menempuh prosedur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4.
Pasal 6
(1) Bank Indonesia mengatur jenis Instrumen PUAS yang dapat diperdagangkan
sebelum jatuh waktu.
(2) Jenis dan tata cara perdagangan Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 7
Peserta PUAS wajib melaporkan transaksi PUAS kepada Bank Indonesia sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
BAB V
SANKSI
Pasal 8
Bank Syariah atau UUS yang melanggar ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dikenakan
sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Pasal 9 …
7
Pasal 9
Peserta PUAS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pelaporan PUAS.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 10
Instrumen PUAS yang saat ini telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini yaitu Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (IMA) tetap berlaku
sampai dengan jatuh tempo dengan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor:
2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan
Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor:
7/26/PBI/2005.
BAB VII
PENUTUP
Pasal 11
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, Peraturan Bank Indonesia
Nomor: 2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Pasar Uang Antarbank
Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor: 7/26/PBI/2005 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 12
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan …
8
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Maret 2007
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 53
DPM
9
PENJELASAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 9/5/PBI/2007
TENTANG
PASAR UANG ANTARBANK
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
I. UMUM
Perkembangan perbankan syariah yang semakin pesat dewasa ini telah
meningkatkan mobilitas dana masyarakat pada industri perbankan syariah. Hal ini
mendorong peningkatan pengelolaan likuiditas oleh perbankan syariah sehingga
diperlukan penyelenggaraan pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah yang
lebih likuid dan efisien.
Dalam rangka meningkatkan likuiditas dan efisiensi penyelenggaraan pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah (PUAS) diperlukan pengembangan instrumen
PUAS dengan akad selain mudharabah. Dengan demikian instrumen PUAS yang
digunakan dalam pengelolaan likuiditas perbankan syariah menjadi lebih beragam.
Selanjutnya, mengingat pelaku pasar lebih memahami instrumen PUAS yang sesuai
dengan kebutuhannya, maka diperlukan peran aktif pelaku pasar dalam
mengembangkan instrumen PUAS tersebut. Dalam rangka pengembangan
instrumen PUAS dimaksud Bank Indonesia perlu mengatur dan menetapkan
instrumen …
10
instrumen PUAS yang dapat digunakan. Sehubungan dengan hal tersebut dipandang
perlu untuk menyempurnakan ketentuan tentang Pasar Uang Antarbank
Berdasarkan Prinsip Syariah yang ada saat ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Surat Edaran Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat ini
dikeluarkan setiap kali Bank Indonesia menyetujui permohonan Bank
Syariah atau UUS untuk menerbitkan Instrumen PUAS. Materi yang
diatur dalam Surat Edaran ini meliputi antara lain karakteristik dan
persyaratan …
11
persyaratan, mekanisme transaksi, penyelesaian transaksi, dan
pelaporan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Surat Edaran Bank Indonesia dalam ayat ini adalah Surat Edaran yang
mengatur mengenai tata cara pelaksanaan PUAS.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10 …
12
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4715
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 9/5/PBI/2007 </reg_id>
<reg_title> PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 30 Maret 2007 </set_date>
<effective_date> 30 Maret 2007 </effective_date>
<replaced_reg> '7/26/PBI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/14/PBI/2019
TENTANG
DEVISA HASIL EKSPOR DAN DEVISA PEMBAYARAN IMPOR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa devisa hasil ekspor dapat menjadi sumber dana
yang berkesinambungan bagi pembangunan ekonomi
nasional yang memberikan kontribusi optimal dan
dimanfaatkan untuk mendukung terciptanya pasar
keuangan yang lebih sehat dan upaya menjaga kestabilan
nilai rupiah, dalam hal penempatannya dilakukan melalui
perbankan di Indonesia;
b. bahwa pemantauan penerimaan devisa hasil ekspor melalui
perbankan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
huruf a perlu lebih ditingkatkan efektivitasnya guna
mendukung optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor;
c. bahwa selain devisa hasil ekspor terdapat devisa
pembayaran impor yang dapat menjadi sumber
pengeluaran dana yang memengaruhi permintaan devisa
secara nasional dan pasar keuangan di Indonesia;
- 2 -
d. bahwa pemantauan devisa pembayaran impor
sebagaimana dimaksud dalam huruf c melalui pelaporan
perlu lebih ditingkatkan efektivitasnya guna mendukung
optimalisasi perolehan informasi permintaan devisa
pembayaran impor;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Devisa Hasil Ekspor dan
Devisa Pembayaran Impor;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG DEVISA HASIL
EKSPOR DAN DEVISA PEMBAYARAN IMPOR.
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing
yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
perbankan dan bank umum syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan
syariah, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia
namun tidak termasuk kantor cabang luar negeri dari bank
yang berkantor pusat di Indonesia, yang memperoleh
persetujuan dari otoritas yang berwenang untuk
melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.
2. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan
lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di
Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk
perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar
negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar.
3. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah
pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai kepabeanan.
4. Devisa Hasil Ekspor yang selanjutnya disingkat DHE
adalah devisa dari hasil kegiatan Ekspor.
5. Devisa Hasil Ekspor dari Barang Ekspor Sumber Daya Alam
yang selanjutnya disebut DHE SDA adalah DHE yang
diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan,
dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup
pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah
mengenai devisa hasil ekspor yang diperoleh dari kegiatan
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber
daya alam.
6. Devisa Hasil Ekspor dari Barang Ekspor selain Sumber
Daya Alam yang selanjutnya disebut DHE Non-SDA adalah
- 4 -
DHE yang diperoleh dari kegiatan selain kegiatan
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber
daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan,
kehutanan, dan perikanan.
7. Eksportir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau
badan lainnya yang tidak berbadan hukum, yang
melakukan Ekspor.
8. Eksportir SDA adalah Eksportir dalam kegiatan
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber
daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan,
kehutanan, dan perikanan.
9. Eksportir Non-SDA adalah Eksportir dalam kegiatan selain
kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan
sumber daya alam yang mencakup pertambangan,
perkebunan, kehutanan, dan perikanan.
10. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam
daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang mengenai kepabeanan.
11. Devisa Pembayaran Impor yang selanjutnya disingkat DPI
adalah devisa yang digunakan untuk membayar Impor.
12. Importir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau
badan lainnya yang tidak berbadan hukum, yang
melakukan Impor.
13. Perusahaan Jasa Titipan yang selanjutnya disingkat PJT
adalah penyelenggara pos yang memperoleh izin usaha dari
instansi terkait untuk melaksanakan layanan surat,
dokumen, dan paket sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pos.
14. Pemberitahuan Pabean Ekspor yang selanjutnya disingkat
PPE adalah pernyataan yang dibuat oleh perseorangan atau
badan hukum untuk melaksanakan kewajiban pabean
Ekspor dalam bentuk dan syarat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan.
15. Pemberitahuan Pabean Impor yang selanjutnya disingkat
PPI adalah pernyataan yang dibuat oleh perseorangan atau
badan hukum untuk melaksanakan kewajiban pabean
- 5 -
Impor dalam bentuk dan syarat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan.
16. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank.
17. Rekening Khusus DHE SDA yang selanjutnya disebut
Reksus DHE SDA adalah rekening milik Nasabah di Bank
dalam valuta rupiah atau valuta asing, yang digunakan
khusus untuk penerimaan DHE SDA.
18. Laporan DHE adalah laporan yang menjelaskan informasi
data kepabeanan dan penerimaan DHE yang dilaporkan
oleh Eksportir.
19. Laporan DPI adalah laporan yang menjelaskan informasi
data kepabeanan dan pembayaran DPI yang dilaporkan
oleh Importir.
20. Perintah Transfer Dana adalah perintah tidak bersyarat
dari pengirim kepada penyelenggara penerima untuk
membayarkan sejumlah dana tertentu kepada penerima
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
transfer dana.
21. Transfer Dana Keluar atau Outgoing Transfer adalah
transaksi lalu lintas devisa Nasabah berupa transfer dana
keluar dalam valuta asing.
22. Transfer Dana Masuk atau Incoming Transfer adalah
transaksi lalu lintas devisa Nasabah berupa transfer dana
masuk dalam valuta asing.
23. Nilai Ekspor adalah nilai Ekspor free on board (FOB) yang
tercantum pada PPE.
24. Nilai Impor adalah nilai Impor cost, insurance, and freight
(CIF) yang tercantum pada PPI.
25. Maklon adalah pemberian jasa untuk proses penyelesaian
suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya
dilakukan oleh pihak pemberi jasa atau disubkontrakkan,
dan pengguna jasa menetapkan spesifikasi serta
menyediakan bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau
bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian
atau seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi
berada pada pengguna jasa.
- 6 -
26. Nilai Maklon adalah nilai yang diperoleh dari kegiatan
Maklon yang tercantum pada PPE.
27. Pihak yang Tunduk kepada Kontrak Kerja Sama Minyak
dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut Pihak dalam
Kontrak Migas adalah operator dan/atau pemegang
participating interest beserta para penggantinya dari waktu
ke waktu, yang tercatat di otoritas yang berwenang.
28. Pemilik Barang adalah pihak yang melakukan Ekspor atau
Impor melalui PJT.
29. Message Financial Transaction Messaging System yang
selanjutnya disebut Message FTMS adalah kumpulan data
dalam format terstruktur yang dikirim atau diterima oleh
pengguna atau aplikasi.
30. Telegraphic Transfer yang selanjutnya disingkat TT adalah
jenis transfer dana melalui Bank dengan menggunakan
sarana elektronik berdasarkan perintah bayar dari pemilik
dana.
31. Laporan Transaksi Non-Telegraphic Transfer yang
selanjutnya disebut Laporan Transaksi Non-TT adalah
laporan yang disampaikan Bank atas transaksi non-TT.
32. Bulan PPE adalah bulan pendaftaran yang diperoleh dari
informasi tanggal pendaftaran yang tercantum pada PPE.
33. Bulan PPI adalah bulan pendaftaran yang diperoleh dari
informasi tanggal pendaftaran yang tercantum pada PPI.
34. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk hari
kerja operasional terbatas.
BAB II
KEWAJIBAN EKSPORTIR
Bagian Kesatu
Kewajiban Eksportir terkait Penerimaan DHE
Pasal 2
(1) Seluruh DHE wajib diterima melalui Bank paling lambat
pada akhir bulan ketiga setelah Bulan PPE.
- 7 -
(2) Dalam hal DHE diterima dalam bentuk uang tunai di dalam
negeri, DHE wajib disetorkan ke Bank paling lambat pada
akhir bulan ketiga setelah Bulan PPE.
(3) Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung
terkait dengan DHE yang diterima dalam bentuk uang tunai
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bank
Indonesia.
(4) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) jatuh pada hari libur maka penerimaan DHE
dan/atau penyetoran ke Bank dapat dilakukan pada Hari
berikutnya.
(5) Nilai DHE yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan/atau nilai DHE yang disetor ke Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib sesuai dengan Nilai Ekspor.
Pasal 3
Kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 tidak berlaku untuk DHE milik Pemerintah yang
diterima melalui Bank Indonesia.
Pasal 4
(1) Dalam hal penerimaan DHE dilakukan melebihi batas
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan
ayat (2), DHE dianggap diterima sesuai dengan batas
waktu apabila:
a. DHE diterima paling lambat 14 (empat belas) hari
kalender setelah jangka waktu pembayaran yang
telah diatur dalam kontrak antara Eksportir dan
buyer; atau
b. disebabkan buyer
wanprestasi, pailit, atau
mengalami keadaan kahar.
(2) Dalam hal penerimaan DHE dilakukan melebihi batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir
harus menyampaikan dokumen pendukung yang
memadai.
- 8 -
Pasal 5
(1) Dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai Ekspor dengan
selisih paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah), nilai DHE yang diterima dianggap
sesuai dengan Nilai Ekspor sehingga Eksportir tidak perlu
menyampaikan dokumen pendukung.
(2) Dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai Ekspor dengan
selisih melebihi ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah), nilai DHE yang diterima dianggap sesuai
dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir menyampaikan
dokumen pendukung yang memadai.
Pasal 6
(1) Dalam hal Ekspor berasal dari hasil Maklon, nilai DHE yang
diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan
ayat (2) wajib sesuai dengan Nilai Maklon.
(2) Dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai Maklon dengan
selisih paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah), nilai DHE yang diterima dianggap
sesuai dengan Nilai Maklon sehingga Eksportir tidak perlu
menyampaikan dokumen pendukung.
(3) Dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai Maklon dengan
selisih melebihi ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah), nilai DHE yang diterima dianggap sesuai
dengan Nilai Maklon apabila Eksportir menyampaikan
dokumen pendukung yang memadai.
Pasal 7
Dalam hal terdapat perbedaan antara data PPE yang
disampaikan Eksportir dan data PPE yang diterima Bank
Indonesia dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maka Bank
Indonesia dapat memutuskan data PPE yang akan dijadikan
acuan dalam pemenuhan ketentuan Peraturan Bank Indonesia
ini.
- 9 -
Pasal 8
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan DHE diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kedua
Kewajiban Eksportir terkait Pelaporan DHE
Pasal 9
(1) Dalam hal DHE diterima melalui transaksi TT, Eksportir
harus menyampaikan informasi Ekspor kepada buyer
untuk dicantumkan pada Message FTMS oleh bank di luar
negeri.
(2) Dalam hal DHE diterima melalui transaksi Non-TT,
Eksportir harus menyampaikan informasi Ekspor kepada
Bank untuk diteruskan kepada Bank Indonesia.
Pasal 10
(1) Eksportir harus menyampaikan Laporan DHE kepada Bank
Indonesia secara daring dalam hal terdapat:
a. perubahan informasi pada PPE yang memengaruhi
DHE; dan/atau
b. perubahan informasi terkait DHE.
(2) Penyampaian Laporan DHE sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku untuk Nilai Ekspor yang lebih besar dari
ekuivalen USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika
Serikat).
(3) Eksportir harus
menyampaikan Laporan DHE
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat tanggal
5 bulan berikutnya setelah Bulan PPE dan/atau bulan
penerimaan DHE.
(4) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) jatuh pada hari libur maka penyampaian Laporan DHE
dapat dilakukan pada Hari berikutnya.
Pasal 11
(1) Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung yang
memadai kepada Bank Indonesia secara daring dalam hal:
- 10 -
a. DHE diterima melebihi akhir bulan ketiga setelah
Bulan PPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1);
b. DHE tidak diterima;
c.
selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Ekspor lebih
besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
dan/atau
d. selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Maklon lebih
besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3).
(2) Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat tanggal
5 bulan berikutnya setelah Bulan PPE dan/atau bulan
penerimaan DHE.
(3) Dalam hal buyer wanprestasi, pailit, atau mengalami
keadaan kahar, Eksportir harus menyampaikan dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
lambat:
a. tanggal 5 bulan berikutnya setelah akhir bulan ketiga
setelah Bulan PPE; atau
b.
tanggal 5 bulan berikutnya setelah batas waktu
penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1).
(4) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) jatuh pada hari libur maka penyampaian
dokumen pendukung dapat dilakukan pada Hari
berikutnya.
Pasal 12
(1) Penerimaan nilai DHE yang lebih kecil dari Nilai PPE yang
disebabkan netting antara tagihan Ekspor dan kewajiban
Eksportir hanya diperbolehkan untuk netting dengan
pembayaran Impor barang terkait kegiatan Ekspor yang
bersangkutan yang hanya melibatkan 2 (dua) pihak.
- 11 -
(2) Dalam hal kegiatan Ekspor melibatkan lebih dari 2 (dua)
pihak, netting antara tagihan Ekspor dan kewajiban
Eksportir dalam bentuk Impor barang terkait kegiatan
Ekspor yang bersangkutan, hanya diperbolehkan apabila
pihak tersebut berada dalam 1 (satu) grup.
(3) Eksportir harus menyampaikan surat yang memuat:
a. pernyataan bahwa barang yang diimpor digunakan
dalam proses menghasilkan barang Ekspor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
b.
daftar pihak buyer atau counterparty yang melakukan
netting antara tagihan Ekspor dan kewajiban Impor
barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan;
dan
c. pernyataan bahwa buyer atau counterparty berada
dalam 1 (satu) grup dengan Eksportir dalam hal
netting melibatkan lebih dari 2 (dua) pihak.
(4) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan
Eksportir setiap terdapat buyer atau counterparty baru.
(5) Penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dianggap
sesuai dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir
menyampaikan bukti transaksi netting.
Pasal 13
(1) Eksportir harus menyampaikan bukti transaksi netting
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) kepada
Bank Indonesia secara daring paling lambat tanggal 5
bulan berikutnya setelah bulan penerimaan DHE.
(2) Eksportir harus menyampaikan surat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) kepada Bank Indonesia
secara daring paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya
setelah Bulan PPE.
(3) Eksportir harus menyampaikan pengkinian daftar pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf b
kepada Bank Indonesia secara daring paling lambat tanggal
5 Januari setiap tahun.
- 12 -
(4) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) jatuh pada hari libur maka
penyampaian bukti transaksi netting, surat, dan
pengkinian daftar pihak dapat dilakukan pada Hari
berikutnya.
Pasal 14
(1) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian:
a. Laporan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (3);
b. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3);
c. bukti transaksi netting sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1);
d. surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2);
dan
e. pengkinian daftar pihak atau counterparty
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3),
terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia atau di Eksportir
yang menyebabkan Eksportir tidak dapat menyampaikan
secara daring maka penyampaian dilakukan secara luring
pada Hari berikutnya.
(2) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
terjadi
di Eksportir, Eksportir harus
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis disertai
bukti pendukung dari instansi yang berwenang yang
menjelaskan terjadinya gangguan teknis kepada Bank
Indonesia.
Pasal 15
(1) Dalam hal terdapat perubahan data PPE, Eksportir harus
melakukan pembetulan PPE.
(2) Pembetulan PPE sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
- 13 -
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan DHE diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Ketiga
Pemilik Barang dan Pihak dalam Kontrak Migas
Pasal 17
(1) Dalam hal Eksportir merupakan PJT, ketentuan mengenai
Eksportir berlaku terhadap Pemilik Barang.
(2) PJT harus menyampaikan informasi terkait PPE kepada
Pemilik Barang.
(3) Dalam hal Ekspor berupa minyak dan gas bumi, ketentuan
mengenai Eksportir berlaku terhadap Eksportir dan/atau
Pihak dalam Kontrak Migas.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemilik Barang dalam
Ekspor melalui PJT dan Pihak dalam Kontrak Migas diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB III
REKENING KHUSUS DHE SDA
Bagian Kesatu
Kewajiban Eksportir SDA
Pasal 18
(1) Dalam hal penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) berasal dari Ekspor SDA, DHE tersebut
wajib diterima pada Reksus DHE SDA.
(2) Dalam hal DHE SDA diterima dalam bentuk uang tunai di
dalam negeri, DHE SDA tersebut wajib disetorkan ke Bank
pada Reksus DHE SDA.
(3) Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) berbentuk rekening giro, tabungan, atau rekening
lainnya yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi.
- 14 -
(4) Eksportir SDA dapat membuka lebih dari 1 (satu) Reksus
DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pada 1
(satu) Bank atau lebih.
(5) Pada saat mengajukan permohonan pembukaan Reksus
DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Eksportir
SDA harus menyampaikan:
a. dokumen pendukung yang dapat menunjukkan
Ekspor atas hasil pengusahaan, pengelolaan,
dan/atau pengolahan sumber daya alam; dan
b. surat pernyataan.
Pasal 19
Eksportir SDA dapat menempatkan dana dari Reksus DHE SDA
ke dalam deposito DHE SDA sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 20
(1) Transfer Dana Masuk pada Reksus DHE SDA hanya dapat
berasal dari:
a. DHE SDA milik Eksportir SDA yang sama;
b. dana dari pencairan deposito dan/atau pembayaran
bunga deposito yang dananya bersumber dari Reksus
DHE SDA milik Eksportir SDA yang sama; dan
c. dana yang berasal dari Reksus DHE SDA lain milik
Eksportir SDA yang sama, baik di Bank lain maupun
di Bank yang sama.
(2) Transfer Dana Masuk yang berasal dari DHE SDA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
dengan mekanisme:
a.
b.
transfer langsung ke Reksus DHE SDA; atau
transfer terlebih dahulu melalui rekening milik
Eksportir SDA selain Reksus DHE SDA.
(3) Dalam hal terdapat Transfer Dana Masuk ke Reksus DHE
SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir SDA
harus menyampaikan dokumen pendukung yang dapat
membuktikan bahwa dana masuk tersebut merupakan
DHE SDA.
- 15 -
(4) Dalam hal terdapat Transfer Dana Masuk ke Reksus DHE
SDA selain dari sumber sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Eksportir SDA harus memindahkan dana dimaksud
keluar dari Reksus DHE SDA.
Pasal 21
DHE SDA yang ditempatkan dalam Reksus DHE SDA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) digunakan oleh
Eksportir SDA untuk Transfer Dana Keluar guna pembayaran:
a. bea keluar dan pungutan lain di bidang Ekspor;
b. pinjaman;
c.
Impor;
d. keuntungan atau dividen; dan/atau
e. keperluan lain dari penanam modal sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai penanaman
modal.
Pasal 22
(1) Dalam hal Eksportir SDA melakukan Transfer Dana Keluar
dari Reksus DHE SDA dalam valuta asing dengan nilai di
atas jumlah tertentu (threshold), Eksportir SDA harus
menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank.
(2) Ketentuan mengenai
jumlah tertentu (threshold)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia mengenai pemantauan kegiatan
lalu lintas devisa bank dan nasabah.
Pasal 23
Eksportir SDA harus menyampaikan informasi kepada Bank
untuk setiap Transfer Dana Masuk dan/atau Transfer Dana
Keluar melalui Reksus DHE SDA.
Pasal 24
Dalam hal Ekspor berupa minyak dan gas bumi, ketentuan
mengenai Eksportir SDA berlaku terhadap Eksportir SDA
dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas.
- 16 -
Pasal 25
Dalam hal Eksportir SDA merupakan PJT, ketentuan mengenai
Eksportir SDA berlaku terhadap Pemilik Barang.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Eksportir SDA atas
penerimaan dan penggunaan Reksus DHE SDA diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kedua
Kewajiban Bank
Pasal 27
(1) Bank harus memastikan Nasabah yang akan melakukan
pembukaan Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (3) merupakan Eksportir SDA.
(2) Bank harus memberikan penanda khusus (flag) untuk
setiap Reksus DHE SDA di sistem internal Bank.
Pasal 28
(1) Bank wajib memastikan dana yang akan ditempatkan ke
dalam deposito DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 berasal dari DHE SDA.
(2) Bank harus memberikan penanda khusus (flag) untuk
setiap deposito sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
Pasal 29
Bank harus memastikan Transfer Dana Masuk pada Reksus
DHE SDA hanya berasal dari sumber sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1).
Pasal 30
(1) Bank hanya dapat melakukan pengaksepan Perintah
Transfer Dana untuk Transfer Dana Keluar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) sepanjang dilengkapi
dengan dokumen pendukung.
- 17 -
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus diterima sebelum pelaksanaan penyelesaian
transaksi.
(3) Bank harus meneruskan informasi kepada Bank Indonesia
mengenai penyampaian dokumen pendukung untuk
Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan mengenai mekanisme pengaksepan Perintah
Transfer Dana dan penyampaian dokumen pendukung
untuk Transfer Dana Keluar mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas
devisa bank dan nasabah.
Pasal 31
Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 disampaikan
oleh Bank kepada Bank Indonesia dalam laporan Reksus DHE
SDA, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan
nasabah.
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Bank atas
penerimaan dan penggunaan DHE SDA melalui Reksus DHE
SDA diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB IV
KEWAJIBAN IMPORTIR
Pasal 33
(1) DPI wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima
Bank Indonesia paling lambat akhir bulan ketiga setelah
Bulan PPI.
- 18 -
Pasal 34
Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2)
terdiri atas:
a. informasi Impor pada DPI yang dibayarkan melalui
transaksi TT;
b. informasi Impor pada DPI yang dibayarkan melalui
transaksi Non-TT;
c. perubahan informasi pada PPI yang memengaruhi DPI;
d. perubahan informasi pada DPI; dan/atau
e.
informasi DPI yang tidak melalui Bank.
Pasal 35
(1) Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf
a dan huruf b disampaikan oleh Importir kepada Bank
untuk diteruskan kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf
c, huruf d, dan huruf e disampaikan oleh Importir kepada
Bank Indonesia secara daring.
Pasal 36
(1) Penyampaian Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 huruf c, huruf d, dan huruf e berlaku untuk Nilai
Impor yang lebih besar dari ekuivalen USD10,000.00
(sepuluh ribu dolar Amerika Serikat).
(2) Importir harus menyampaikan Laporan DPI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf c, huruf d, dan huruf e
paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah Bulan PPI
dan/atau bulan pengeluaran DPI.
(3) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) jatuh pada hari libur maka penyampaian Laporan DPI
dapat dilakukan pada Hari berikutnya.
Pasal 37
(1) Dalam hal terdapat perubahan data PPI, Importir harus
melakukan perubahan data PPI.
(2) Perubahan data PPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
- 19 -
Pasal 38
(1) Nilai DPI yang dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (1) wajib sesuai dengan Nilai Impor.
(2) Dalam hal nilai DPI lebih besar dari Nilai Impor dengan
selisih paling banyak 5% (lima persen) dari Nilai Impor, nilai
DPI yang dilaporkan dianggap sesuai dengan Nilai Impor
sehingga Importir tidak perlu menyampaikan dokumen
pendukung.
(3) Dalam hal nilai DPI lebih besar dari Nilai Impor dengan
selisih melebihi 5% (lima persen) dari Nilai Impor, nilai DPI
yang dilaporkan dianggap sesuai dengan Nilai Impor
apabila Importir menyampaikan dokumen pendukung yang
memadai.
Pasal 39
(1) Importir harus menyampaikan dokumen pendukung yang
memadai kepada Bank Indonesia secara daring dalam hal:
a. pengeluaran DPI dalam bentuk uang tunai;
b. pengeluaran DPI melebihi akhir bulan ketiga setelah
Bulan PPI;
c. pengeluaran DPI tidak melalui Bank;
d. DPI tidak dibayar; dan/atau
e.
selisih lebih Nilai DPI dengan Nilai Impor lebih besar
dari 5% (lima persen) dari Nilai Impor.
(2) Importir harus menyampaikan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat tanggal
5 bulan berikutnya setelah Bulan PPI dan/atau bulan
pengeluaran DPI.
(3) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) jatuh pada hari libur maka penyampaian dokumen
pendukung dapat dilakukan pada Hari berikutnya.
Pasal 40
(1) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian Laporan DPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) dan/atau
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
Pasal 39 ayat (2) terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia
- 20 -
atau gangguan teknis di Importir yang menyebabkan
Importir tidak dapat menyampaikan secara daring maka
Laporan DPI dan/atau dokumen pendukung tersebut
disampaikan secara luring pada Hari berikutnya.
(2) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terjadi di Importir, Importir harus menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis disertai bukti pendukung
dari instansi yang berwenang yang menjelaskan terjadinya
gangguan teknis kepada Bank Indonesia.
Pasal 41
(1) Dalam hal Importir merupakan PJT, ketentuan mengenai
Importir berlaku terhadap Pemilik Barang.
(2) PJT harus menyampaikan informasi terkait PPI kepada
Pemilik Barang.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pelaporan DPI diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB V
KEWAJIBAN BANK
Bagian Kesatu
Kewajiban Bank terhadap DHE
Pasal 43
Bank hanya dapat melakukan pengkreditan penerimaan DHE
pada rekening Eksportir apabila Message FTMS untuk seluruh
penerimaan DHE melalui transaksi TT telah dilengkapi informasi
Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
Pasal 44
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan Transaksi Non-TT yang
dilengkapi informasi Ekspor secara daring kepada Bank
Indonesia.
- 21 -
(2) Penyampaian Laporan Transaksi Non-TT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lambat
tanggal 5 bulan berikutnya setelah:
a. Bulan PPE; dan/atau
b. bulan penerimaan DHE.
(3) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) jatuh pada hari libur maka penyampaian laporan dapat
dilakukan pada Hari berikutnya.
(4) Tata cara penyampaian Laporan Transaksi Non-TT
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia mengenai pemantauan kegiatan
lalu lintas devisa bank dan nasabah.
Bagian Kedua
Kewajiban Bank terhadap DPI
Pasal 45
Bank hanya dapat melakukan akseptasi Transfer Dana DPI dan
mengirimkan Message FTMS untuk pengeluaran DPI melalui
transaksi TT apabila Perintah Transfer Dana telah dilengkapi
dengan informasi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
huruf a.
Pasal 46
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan Transaksi Non-TT yang
dilengkapi informasi Impor secara daring kepada Bank
Indonesia.
(2) Penyampaian Laporan Transaksi Non-TT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat tanggal 5
bulan berikutnya setelah:
a. Bulan PPI; dan/atau
b. bulan pengeluaran DPI.
(3) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) jatuh pada hari libur maka penyampaian Laporan
Transaksi Non-TT dapat dilakukan pada Hari berikutnya.
(4) Tata cara penyampaian Laporan Transaksi Non-TT
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada
- 22 -
ketentuan Bank Indonesia mengenai pemantauan kegiatan
lalu lintas devisa bank dan nasabah.
BAB VI
PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Kewenangan Pengawasan
Pasal 47
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan
kepada Eksportir, Importir, Pemilik Barang, Pihak dalam
Kontrak Migas, dan Bank.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat:
a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau
dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan
instansi terkait; dan
b. melakukan kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(4) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat menunjuk
pihak lain untuk melakukan penelitian kebenaran
dokumen pendukung.
Pasal 48
Eksportir, Importir, Pemilik Barang, Pihak dalam Kontrak
Migas, dan Bank harus memberikan penjelasan, bukti, catatan,
dan/atau dokumen pendukung yang terkait guna pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) huruf a dalam
jangka waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
Pasal 49
Dalam hal Eksportir, Importir, Pemilik Barang, Pihak dalam
Kontrak Migas, dan Bank tidak memberikan penjelasan, bukti,
- 23 -
catatan, dan/atau dokumen pendukung yang terkait
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) huruf a,
laporan, keterangan, dan/atau data yang disampaikan
dinyatakan tidak benar.
Pasal 50
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kedua
Penyampaian Hasil Pengawasan DHE SDA
Pasal 51
Bank Indonesia menyampaikan hasil pengawasan terhadap
Eksportir SDA, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak
Migas terkait kewajiban penerimaan dan penggunaan DHE SDA
kepada:
a. Kementerian Keuangan; dan
b. kementerian dan/atau lembaga teknis terkait,
untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing-
masing.
Pasal 52
Bank Indonesia menyampaikan informasi terkini penerimaan
DHE SDA terhadap hasil pengawasan yang telah disampaikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 kepada:
a. Kementerian Keuangan; dan
b. kementerian dan/atau lembaga teknis terkait,
untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing-
masing.
Pasal 53
Pengenaan sanksi oleh otoritas yang berwenang sebagai tindak
lanjut dari penyampaian hasil pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 tidak menggugurkan pemenuhan
kewajiban penerimaan DHE SDA melalui Bank pada Reksus
DHE SDA.
- 24 -
Pasal 54
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian hasil
pengawasan DHE SDA diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Bagian Ketiga
Penerimaan DHE yang Berdampak Strategis
Pasal 55
Dalam hal terdapat permasalahan terkait penerapan kewajiban
penerimaan DHE yang berdampak strategis, Bank Indonesia
dapat mengambil kebijakan tertentu dengan tetap
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
BAB VII
SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Pengenaan Sanksi Administratif kepada Eksportir Non-SDA
Pasal 56
(1) Eksportir Non-SDA yang melakukan pelanggaran terhadap
kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5), dan/atau
Pasal 6 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(2) Dalam hal Eksportir Non-SDA belum memenuhi kewajiban
penerimaan DHE sesuai dengan Nilai Ekspor atau Nilai
Maklon sampai dengan batas waktu yang tercantum
dalam teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis kedua.
(3) Dalam hal Eksportir Non-SDA belum memenuhi kewajiban
penerimaan DHE sesuai dengan Nilai Ekspor atau Nilai
Maklon sampai dengan batas waktu yang tercantum
- 25 -
dalam teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Eksportir Non-SDA dikenai sanksi administratif
berupa penangguhan atas pelayanan Ekspor sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai kepabeanan.
Pasal 57
Dalam hal Eksportir Non-SDA merupakan PJT, sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
dikenakan kepada Pemilik Barang.
Pasal 58
(1) Eksportir Non-SDA hanya dapat dibebaskan dari
penangguhan atas pelayanan Ekspor dalam hal Eksportir
Non-SDA telah menyampaikan bukti pemenuhan
kewajiban penerimaan DHE sesuai dengan Nilai Ekspor
atau Nilai Maklon kepada Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Eksportir Non-SDA merupakan PJT,
pembebasan penangguhan atas pelayanan Ekspor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada
Pemilik Barang.
(3) Bank Indonesia hanya dapat menerima bukti pemenuhan
kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lama 1 (satu) tahun setelah bulan pengenaan
penangguhan atas pelayanan Ekspor.
(4) Bank Indonesia dapat menginformasikan Eksportir Non-
SDA yang telah dikenai penangguhan atas pelayanan
Ekspor kepada otoritas terkait.
Pasal 59
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif kepada Eksportir Non-SDA diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
- 26 -
Bagian Kedua
Pengenaan Sanksi Administratif kepada Eksportir SDA
Pasal 60
Ketentuan pengenaan sanksi administratif terhadap Eksportir
SDA, pemilik barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas
yang tidak memenuhi kewajiban terkait penerimaan dan
penggunaan DHE SDA sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini dilaksanakan berdasarkan Peraturan
Pemerintah mengenai devisa hasil ekspor dari kegiatan
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya
alam dan peraturan pelaksanaannya.
Bagian Ketiga
Pengenaan Sanksi Administratif kepada Importir
Pasal 61
(1) Importir yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban
pelaporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan
Pasal 38 dikenai sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
(2) Dalam hal Importir belum memenuhi kewajiban pelaporan
DPI sampai dengan batas waktu yang tercantum dalam
teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis kedua.
(3) Dalam hal Importir belum memenuhi kewajiban pelaporan
DPI sampai dengan batas waktu yang tercantum dalam
teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat
(2),
Importir dikenai sanksi administratif berupa
penangguhan atas pelayanan Impor sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
kepabeanan.
(4) Dalam hal Importir merupakan PJT, sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
dikenakan kepada Pemilik Barang.
- 27 -
Pasal 62
(1) Importir hanya dapat dibebaskan dari penangguhan atas
pelayanan Impor dalam hal Importir telah memenuhi
kewajiban pelaporan DPI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33.
(2) Bank Indonesia hanya dapat menerima pemenuhan
pelaporan DPI untuk pembebasan penangguhan atas
pelayanan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling lama 1 (satu) tahun setelah bulan pengenaan
penangguhan atas pelayanan Impor.
(3) Bank Indonesia dapat menginformasikan kepada otoritas
terkait mengenai Importir yang telah dikenai penangguhan
atas pelayanan Impor setelah berakhirnya batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 63
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif kepada Importir diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
Bagian Keempat
Pengenaan Sanksi Administratif kepada Bank terkait
DHE SDA
Pasal 64
(1) Bank yang melakukan pelanggaran atas kewajiban terkait
deposito DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
(2) Bank yang melakukan pengaksepan Perintah Transfer
Dana dari Eksportir SDA, Pemilik Barang, dan/atau Pihak
Dalam Kontrak Migas untuk transaksi Transfer Dana
Keluar tanpa dilengkapi dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dikenai sanksi
administratif berdasarkan ketentuan Bank Indonesia
mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan
nasabah.
- 28 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif kepada Bank terkait DHE SDA diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kelima
Pengenaan Sanksi Administratif kepada Bank terkait
DHE Non-SDA dan DPI
Pasal 65
Bank yang melanggar kewajiban penyampaian Laporan
Transaksi Non-TT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
(1) dan ayat (2), serta Pasal 46 ayat (1) dikenai sanksi
administratif berdasarkan ketentuan Bank Indonesia mengenai
pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 66
(1) Eksportir Non-SDA yang melanggar kewajiban DHE
namun belum dikenai sanksi sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014
tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan
Devisa Utang Luar Negeri sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor
dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri, dikenai sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
(2) Eksportir Non-SDA yang telah dikenai sanksi administratif
berupa denda dan belum memenuhi kewajiban penerimaan
DHE sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan
Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar
Negeri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015 tentang Perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang
- 29 -
Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa
Utang Luar Negeri, dikenai sanksi penangguhan pelayanan
Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3)
tanpa mengurangi kewajiban membayar denda.
(3) Eksportir Non-SDA yang telah dikenai sanksi berupa
penangguhan pelayanan Ekspor dan belum memenuhi
kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014
tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan
Devisa Utang Luar Negeri sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor
dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri, hanya dapat
dibebaskan dari penangguhan atas pelayanan Ekspor
dalam hal Eksportir Non-SDA telah menyampaikan bukti
pemenuhan kewajiban penerimaan DHE sesuai dengan
Nilai Ekspor kepada Bank Indonesia paling lama 1 (satu)
tahun sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 67
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. ketentuan mengenai kewajiban penerimaan DHE
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 sampai
dengan angka 16, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 ayat (4) sampai
dengan ayat (7), Pasal 5 sampai dengan Pasal 12, Pasal 18
ayat (1) huruf a, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23,
Pasal 24, dan Pasal 25 Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor
dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 98) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/23/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan
- 30 -
Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar
Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 374), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali
ketentuan terkait dengan pelaporan penerimaan DHE
dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan DHE Non-
SDA yang diterima tanggal 31 Desember 2019;
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/3/PBI/2019 tentang
Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan
Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber
Daya Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2019 Nomor 8), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,
kecuali ketentuan mengenai penyampaian informasi dan
laporan terkait penerimaan DHE SDA dinyatakan masih
tetap berlaku sampai dengan DHE SDA yang diterima
tanggal 31 Desember 2020.
Pasal 68
Ketentuan mengenai penyampaian informasi dan laporan terkait
penerimaan DHE dan pengeluaran DPI mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 2020.
Pasal 69
Ketentuan mengenai pengenaan sanksi administratif kepada
Importir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dan Pasal 62
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2021.
Pasal 70
Ketentuan mengenai penyampaian informasi dan laporan terkait
penerimaan DHE SDA mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2021.
Pasal 71
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 31 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 November 2019
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 November 2019
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 229
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/ 14 /PBI/2019
TENTANG
DEVISA HASIL EKSPOR DAN DEVISA PEMBAYARAN IMPOR
I. UMUM
Pembangunan ekonomi nasional membutuhkan sumber dana yang
memadai dan berkesinambungan, baik yang berasal dari dalam negeri dan
luar negeri. Salah satu sumber pendanaan dari luar negeri yang relatif
stabil dan berkesinambungan yaitu DHE yang juga penting untuk
mendukung stabilitas nilai rupiah dan makroekonomi secara keseluruhan.
Sejalan dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah mengenai
devisa hasil ekspor dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau
pengolahan sumber daya alam dan untuk meningkatkan kualitas informasi
yang diperoleh guna pemantauan DHE yang efektif, perlu disusun ketentuan
mengenai DHE SDA yang mengatur antara lain mengenai kewajiban
penerimaan DHE SDA di Bank melalui Reksus DHE SDA.
Sejalan dengan itu, pembayaran Impor merupakan salah satu
sumber permintaan devisa yang memengaruhi stabilitas nilai rupiah dan
makroekonomi secara keseluruhan, sehingga perlu diperoleh informasi yang
komprehensif atas DPI dari pelaku usaha dan perbankan di Indonesia.
Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang dapat memastikan
penerimaan DHE dilakukan melalui perbankan Indonesia dan akurasi
pelaporan DPI.
- 2 -
Pengaturan ini tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang
berlaku selama ini, yaitu setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki
dan menggunakan devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Kewajiban untuk menerima DHE melalui Bank tidak termasuk
kewajiban menyimpan dalam jangka waktu tertentu dan/atau
mengonversi ke dalam rupiah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “diterima dalam bentuk uang tunai”
adalah penerimaan DHE dalam bentuk pembayaran uang kertas
dan/atau uang logam.
DHE dikategorikan sebagai DHE yang diterima dalam bentuk
uang tunai apabila menurut Bank Indonesia memenuhi aspek
kewajaran untuk dilakukan pembayaran dengan menggunakan
uang tunai, antara lain berdasarkan aspek jumlah dan jenis
transaksinya.
Ayat (3)
Dokumen pendukung terkait dengan DHE yang diterima dalam
bentuk uang tunai antara lain bukti setor ke Bank.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Kontrak antara Eksportir dan buyer antara lain berupa
penerimaan DHE dengan cara pembayaran usance Letter of
Credit (L/C), konsinyasi, pembayaran kemudian, dan
collection.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “keadaan kahar” adalah keadaan
yang menyebabkan Eksportir menerima DHE kurang dari
Nilai PPE atau tidak menerima DHE, yang disebabkan antara
lain oleh kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom,
perang, sabotase, pemogokan buruh, kegagalan sistem yang
digunakan dalam bertransaksi serta bencana alam seperti
gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau
pejabat dari instansi terkait di daerah setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Selisih nilai DHE dengan Nilai Ekspor melebihi ekuivalen
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) antara lain disebabkan
selisih kurs, diskon/rabat, biaya administrasi, biaya lainnya
terkait perdagangan internasional, jasa perbaikan, operational
leasing atau financial leasing, perbedaan harga barang, perbedaan
kualitas barang, perbedaan komposisi barang, dan perbedaan
kuantitas barang.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 4 -
Ayat (3)
Selisih nilai DHE dengan Nilai Maklon melebihi ekuivalen
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) antara lain disebabkan
selisih kurs, diskon/rabat, biaya administrasi, dan biaya lainnya
terkait perdagangan internasional.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “informasi Ekspor” adalah informasi tagihan
Ekspor antara lain berupa sandi tujuan transaksi, nomor invoice, dan
nilai invoice.
Ayat (1)
Message FTMS antara lain message melalui sistem Society of
Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perubahan informasi pada PPE yang
memengaruhi DHE” adalah perubahan informasi pada
dokumen PPE antara lain perubahan nomor invoice, tanggal
invoice, nilai invoice, dan tanggal jatuh tempo penerimaan
DHE.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “perubahan informasi terkait DHE”
adalah perubahan informasi penerimaan DHE atau
perubahan alokasi penerimaan DHE, antara lain nomor
invoice dan nilai DHE.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 5 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “keadaan kahar” adalah keadaan yang
menyebabkan Eksportir menerima DHE kurang dari Nilai PPE
atau tidak menerima DHE, yang disebabkan antara lain oleh
kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, sabotase,
pemogokan buruh, kegagalan sistem yang digunakan dalam
bertransaksi, serta bencana alam seperti gempa bumi, banjir,
yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait
di daerah setempat.
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank
Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan
kondisi importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan
kahar.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pihak yang berada dalam 1 (satu) grup merupakan badan hukum
atau badan lain yang memiliki hubungan berdasarkan
kepemilikan dan/atau pemegang saham yang sama.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 6 -
Ayat (5)
Bukti transaksi netting antara lain berupa kesepakatan
penyelesaian netting tagihan Ekspor dengan kewajiban Impor
barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan, laporan
konsolidasi netting tagihan Ekspor dengan kewajiban Impor
barang, dan/atau invoice.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis yang terjadi di
Eksportir” antara lain gangguan listrik dan/atau jaringan
komunikasi yang dinyatakan oleh instansi yang berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 7 -
Ayat (5)
Huruf a
Dokumen pendukung dapat berupa antara lain dokumen
PPE, surat izin Ekspor dari instansi terkait, dan kontrak
penjualan Ekspor.
Termasuk dalam PPE yaitu Pemberitahuan Ekspor Barang
(PEB).
Huruf b
Surat pernyataan memuat pernyataan bahwa yang
bersangkutan merupakan Eksportir SDA.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Transfer dari rekening selain Reksus DHE SDA ke Reksus
DHE SDA disertai dokumen pendukung yang dapat
membuktikan dana masuk tersebut berasal dari DHE SDA.
Ayat (3)
Dokumen pendukung dapat berupa antara lain dokumen PPE dan
kontrak penjualan Ekspor.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 22
Ayat (1)
Dokumen pendukung merupakan dokumen yang mendasari
adanya kegiatan transaksi (underlying transaction) Transfer Dana
Keluar dalam valuta asing, antara lain:
a. tagihan dari penjual barang dan jasa di luar negeri;
b. kontrak pinjaman atau dokumen lain yang menunjukkan
adanya kewajiban pembayaran bunga dan/atau pokok
pinjaman;
c. kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan adanya
kewajiban membayar royalti dan kewajiban hak intelektual
lainnya;
d. dokumen rapat umum pemegang saham yang menunjukkan
kewajiban pembagian dividen kepada pemegang saham di
luar negeri;
e.
perjanjian kerja atau dokumen kepegawaian lainnya yang
menunjukkan kewajiban membayar gaji dan penghasilan
lainnya;
f. dokumen likuidasi aset di dalam negeri yang merupakan hak
pihak di luar negeri; dan/atau
g. dokumen pengecualian atau penangguhan kewajiban
penggunaan rupiah untuk transaksi valuta asing di dalam
negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
- 9 -
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Huruf a
Yang dimaksud dengan “informasi Impor” adalah informasi
tagihan Impor antara lain berupa sandi tujuan transaksi, nomor
invoice, dan nilai invoice.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “informasi Impor” adalah informasi
tagihan Impor antara lain berupa nomor Letter of Credit (L/C),
tanggal jatuh tempo L/C, dan nomor invoice.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “perubahan informasi pada PPI yang
memengaruhi DPI” adalah perubahan informasi pada dokumen
PPI yang memuat antara lain perubahan nomor invoice, tanggal
invoice, nilai invoice, dan tanggal jatuh tempo pengeluaran DPI.
- 10 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan “perubahan informasi pada DPI” adalah
perubahan informasi atau alokasi pengeluaran DPI yang memuat
antara lain nomor invoice dan nilai DPI.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “informasi DPI yang tidak melalui Bank”
adalah informasi pembayaran Impor yang dilakukan secara tunai
atau melalui lembaga keuangan non-Bank yang memuat antara
lain nomor invoice, tanggal invoice, nilai DPI, dan nama lembaga.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Yang dimaksud dengan “perubahan data PPI” antara lain perubahan
nilai CIF dan perubahan kuantitas barang Impor.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “DPI dalam bentuk uang tunai”
adalah DPI dalam bentuk uang kertas dan/atau uang logam.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
- 11 -
Huruf e
Selisih lebih Nilai DPI dengan Nilai Impor lebih besar dari 5%
(lima persen) dari Nilai Impor antara lain disebabkan adanya
netting.
Dalam hal dilakukan netting antara kewajiban Eksportir
dengan pembayaran Impor barang terkait kegiatan Ekspor,
Nilai Impor merupakan nilai CIF setelah memperhitungkan
dengan nilai netting.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis yang terjadi di Bank
Indonesia atau gangguan teknis di Importir” antara lain gangguan
listrik dan/atau jaringan komunikasi.
Yang dimaksud dengan “luring” adalah penyampaian laporan
secara offline kepada Bank Indonesia dengan menggunakan
media elektronik antara lain compact disk (CD), flash disk, atau
surat elektronik, yang disampaikan pada jam kerja Bank
Indonesia setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Yang dimaksud dengan “informasi Ekspor” adalah informasi tagihan
Ekspor antara lain berupa sandi tujuan transaksi, nomor invoice, dan
nilai invoice.
- 12 -
Pasal 44
Ayat (1)
Transaksi Non-TT antara lain berupa transaksi Letter of Credit
(L/C), documentary collection, dan/atau overbooking.
Informasi Ekspor antara lain berupa nomor L/C, tanggal jatuh
tempo L/C, dan nomor invoice.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 45
Yang dimaksud dengan “informasi Impor” adalah informasi tagihan
Impor antara lain berupa sandi tujuan transaksi, nomor invoice, dan
nilai invoice.
Pasal 46
Ayat (1)
Transaksi Non-TT antara lain berupa transaksi Letter of Credit
(L/C), documentary collection, dan/atau overbooking.
Informasi Impor antara lain nomor L/C, tanggal jatuh tempo L/C,
dan nomor invoice.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
- 13 -
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Penyampaian hasil pengawasan dilakukan sepanjang kementerian
dan/atau lembaga teknis terkait telah mengatur ketentuan
pelaksanaan atas Peraturan Pemerintah mengenai devisa hasil ekspor
dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan
sumber daya alam.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kewajiban penerimaan DHE” adalah
kewajiban Eksportir Non-SDA memasukkan DHE ke Bank sesuai
dengan Nilai Ekspor atau Nilai Maklon namun tidak termasuk
pemenuhan batas waktu pada akhir bulan ketiga setelah bulan
PPE.
- 14 -
Ayat (3)
Pelaksanaan penangguhan atas pelayanan Ekspor dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas dasar permintaan Bank
Indonesia.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kewajiban penerimaan DHE” adalah
kewajiban Eksportir memasukkan DHE ke Bank sesuai dengan
Nilai Ekspor atau Nilai Maklon.
Pembebasan dari penangguhan atas pelayanan Ekspor dilakukan
oleh otoritas yang berwenang di bidang kepabeanan atas dasar
permintaan Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “bulan pengenaan penangguhan atas
pelayanan Ekspor” adalah bulan diterbitkannya surat pengenaan
penangguhan atas pelayanan Ekspor dari Bank Indonesia.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “otoritas terkait” adalah kementerian atau
lembaga yang memiliki kewenangan perizinan terkait Ekspor.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 15 -
Ayat (3)
Pelaksanaan penangguhan atas pelayanan Impor dilakukan oleh
otoritas yang berwenang di bidang kepabeanan atas dasar
permintaan Bank Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Impor
dilakukan oleh otoritas yang berwenang di bidang kepabeanan
atas dasar permintaan Bank Indonesia.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bulan pengenaan penangguhan atas
pelayanan Impor” adalah bulan diterbitkannya surat pengenaan
penangguhan atas pelayanan Impor dari Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
- 16 -
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6425
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 21/14/PBI/2019 </reg_id>
<reg_title> DEVISA HASIL EKSPOR DAN DEVISA PEMBAYARAN IMPOR </reg_title>
<set_date> 28 November 2019 </set_date>
<effective_date> 29 November 2019 </effective_date>
<issued_date> 29 November 2019 </issued_date>
<replaced_reg> '16/10/PBI/2014', '17/23/PBI/2015 | Pasal 1 angka 4 sampai dengan angka 16, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 ayat (4) sampai dengan ayat (7), Pasal 5 sampai dengan Pasal 12, Pasal 18 ayat (1) huruf a, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25', '21/3/PBI/2019' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII', 'BAB VIII Pasal 66' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 4/8/PBI/2002
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG RUPIAH
KELUAR ATAU MASUK
WILAYAH PABEAN REPUBLIK INDONESIA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mengatur, menjaga dan memelihara
kestabilan nilai Uang Rupiah serta dalam rangka pengawasan
terhadap lalu lintas peredaran uang termasuk
pengawasan
terhadap uang palsu, diperlukan ketentuan mengenai persyaratan
dan tata cara membawa Uang Rupiah keluar atau masuk wilayah
pabean Republik Indonesia;
b. bahwa persyaratan dan tata cara membawa Uang Rupiah keluar
atau masuk wilayah Republik Indonesia sebagaimana
diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/18/PBI/2001, sudah
tidak sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan hukum
dalam masyarakat sehingga substansinya perlu diatur kembali
agar sesuai dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;
c. bahwa . . .
- 2 -
c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Persyaratan dan
Tata Cara Membawa Uang Rupiah Keluar atau Masuk Wilayah
Pabean Republik Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612 );
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG
RUPIAH KELUAR ATAU MASUK WILAYAH PABEAN
REPUBLIK INDONESIA.
BAB I . . .
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Uang Rupiah adalah uang kertas maupun uang logam yang merupakan alat
pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia;
2. Membawa Uang Rupiah keluar atau masuk
wilayah
pabean
Indonesia adalah mengeluarkan atau memasukkan Uang Rupiah
Republik
yang
dilakukan dengan cara membawa sendiri atau melalui pihak lain, dengan atau
tanpa menggunakan sarana pengangkut;
3. Wilayah Pabean Republik Indonesia adalah daerah pabean sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;
4. Izin Bank Indonesia adalah surat izin tertulis
dari Bank Indonesia atas
pembawaan Uang Rupiah dalam jumlah tertentu keluar wilayah pabean
Republik Indonesia;
5. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
BAB II
PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG RUPIAH
Pasal 2
Setiap orang yang membawa Uang Rupiah sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta
Rupiah) atau lebih keluar wilayah pabean Republik Indonesia, wajib terlebih dahulu
memperoleh izin dari Bank Indonesia.
Pasal 3 . . .
- 4 -
Pasal 3
Setiap orang yang membawa Uang Rupiah sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta
Rupiah) atau lebih masuk wilayah pabean Republik Indonesia, wajib terlebih
dahulu memeriksakan keaslian uang tersebut kepada petugas Bea dan Cukai di
tempat kedatangan.
Pasal 4
(1) Izin Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat
diberikan untuk kepentingan :
a. Uji coba mesin uang;
b. Kegiatan pameran di luar negeri;
c. Hal-hal lain yang menurut pertimbangan Bank Indonesia perlu diberikan
izin atas dasar kepentingan umum.
(2) Izin Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diberikan untuk 1 (satu) kali penggunaan dengan ketentuan :
a. Masa berlaku izin paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja, terhitung sejak
tanggal izin diberikan;
b. Surat izin wajib diserahkan kepada petugas Bea dan Cukai
keberangkatan;
c. Jumlah Uang Rupiah yang dibawa paling banyak
jumlah yang tercantum dalam surat izin.
di tempat
sama dengan
Pasal 5 . . .
- 5 -
Pasal 5
(1) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
bersangkutan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank
Indonesia paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sebelum tanggal
keberangkatan.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilengkapi
dengan identitas diri bagi perorangan, nama dan alamat perusahaan bagi
perusahaan, jumlah Uang Rupiah yang akan dibawa, tujuan penggunaan,
tempat keberangkatan dan tanggal keberangkatan yang dijelaskan pada surat
permohonan sebagaimana contoh pada Lampiran I Peraturan ini.
(3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang diajukan untuk
kepentingan uji mesin uang dan kegiatan pameran di luar negeri, disampaikan
kepada :
a. Direktorat Luar Negeri - Kantor Pusat Bank Indonesia, bagi pemohon
yang berdomisili di wilayah Jakarta, Bogor,
(JABOTABEK);
Tangerang,
Bekasi
b. Kantor Bank Indonesia terdekat dengan alamat pemohon, bagi pemohon
yang berdomisili di luar wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi
(JABOTABEK). Daftar alamat Kantor Bank Indonesia sebagaimana
dalam Lampiran II Peraturan ini.
(4) Permohonan . . .
- 6 -
(4) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang diajukan untuk
kepentingan hal-hal lain selain uji mesin uang dan kegiatan pameran di luar
negeri, disampaikan kepada Direktorat Luar Negeri - Kantor Pusat Bank
Indonesia, bagi pemohon baik yang berdomisili di wilayah Jakarta, Bogor,
Tangerang, Bekasi (JABOTABEK) maupun di luar wilayah JABOTABEK.
(5) Bank Indonesia memberikan jawaban atas permohonan izin sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal permohonan diterima secara lengkap dan benar oleh Bank Indonesia.
BAB III
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 6
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh per
seratus) dari jumlah Uang Rupiah yang dibawa, dengan batas maksimal
pengenaan sanksi sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta Rupiah).
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh per
seratus) dari jumlah Uang Rupiah yang dibawa, dengan batas maksimal
pengenaan sanksi sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta Rupiah).
(3) Setiap . . .
- 7 -
(3) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) huruf c, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 10%
(sepuluh per seratus) dari jumlah yang dibawa setelah dikurangi dengan
jumlah yang diberikan izin, dengan batas maksimal pengenaan sanksi sebesar
Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta Rupiah).
Pasal 7
(1) Pengenaan sanksi administratif berupa denda dilakukan dengan
memperhitungkan dari jumlah Uang Rupiah yang dibawa keluar atau masuk
wilayah pabean Republik Indonesia.
(2) Sisa Uang Rupiah setelah dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dikembalikan kepada pihak yang
dikenakan sanksi.
(3) Uang Rupiah yang dikembalikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
hanya dapat dibawa keluar wilayah pabean Republik Indonesia setelah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 8
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 merupakan
penerimaan negara yang harus disetor ke Kantor Kas Negara.
Pasal 9 . . .
- 8 -
Pasal 9
Pelaksanaan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini
dilakukan
oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku di bidang kepabeanan.
Pasal 10
Kewajiban pelaporan atas pembawaan Uang Rupiah keluar atau masuk wilayah
Republik Indonesia sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) atau lebih,
sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,
tidak menghapuskan kewajiban untuk
memperoleh izin Bank Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
kewajiban untuk memeriksakan keaslian uang, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor 3/18/PBI/2001, tentang Persyaratan dan Tata Cara Membawa Uang Rupiah
Keluar atau Masuk Wilayah Republik Indonesia, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 12 . . .
- 9 -
Pasal 12
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Oktober 2002
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd.
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2002 NOMOR 104
DLN
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 4/8/PBI/2002
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG RUPIAH
KELUAR ATAU MASUK
WILAYAH PABEAN REPUBLIK INDONESIA
UMUM
Efektifitas kebijakan moneter diperlukan dalam memelihara kestabilan nilai
Uang Rupiah. Untuk itu perlu diupayakan agar peluang bagi pihak-pihak tertentu
untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memperdagangkan Uang
Rupiah melalui pembawaan fisik secara lintas batas negara dapat diminimalkan
karena berdampak kurang menguntungkan bagi efektifitas kebijakan moneter.
Sementara itu, untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap mata uang
Rupiah, perlu ditingkatkan pengawasan terhadap beredarnya uang palsu
di
masyarakat dengan mencegah masuknya Rupiah palsu dari luar negeri.
Sejalan dengan kondisi dimaksud, Undang-undang Nomor. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia, khususnya Pasal 3 ayat (1) mengatur bahwa Uang Rupiah
dalam jumlah tertentu dilarang dibawa keluar atau masuk wilayah pabean Republik
Indonesia kecuali dengan izin Bank Indonesia.
Berdasarkan . . .
- 2 -
Berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia tersebut, Bank Indonesia telah mengatur ketentuan pelaksanaan
pembawaan Uang Rupiah keluar atau masuk wilayah pabean Republik Indonesia
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/18/PBI/2001 tanggal 17 Oktober 2001
tentang Persyaratan dan Tata Cara Membawa Uang Rupiah Keluar atau Masuk
Wilayah Republik Indonesia.
Sementara itu, dengan diundangkannya Undang-undang No.15 Tahun 2002
tanggal 17 April 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, untuk menghindari
kerancuan penerapan dan lebih memberikan kepastian bagi masyarakat, maka
ketentuan tentang persyaratan dan tata cara membawa Uang Rupiah keluar atau
masuk wilayah pabean Republik Indonesia yang saat ini berlaku perlu diselaraskan
dengan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 dimaksud.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4 . . .
- 3 -
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan
bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas, misalnya
pembawaan Uang Rupiah ke luar wilayah pabean Republik
Indonesia untuk pengujian keaslian uang karena belum terdapat
alat penguji keaslian uang tersebut di dalam negeri.
Kewenangan pemberian izin dimaksud merupakan kewenangan
Direktur Direktorat Luar Negeri Bank Indonesia.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan 1 (satu) kali penggunaan adalah digunakan
untuk 1 (satu) kali perjalanan.
Pasal 5 …
- 4 -
Pasal 5
Ayat (1)
Izin Bank Indonesia dikeluarkan oleh Direktorat Luar Negeri (DLN)
Kantor Pusat Bank Indonesia, atau Kantor Bank Indonesia setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Jawaban Bank Indonesia dapat berupa pemberian izin atau penolakan
atas permohonan izin.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 7 …
- 5 -
Pasal 7
Ayat (1)
Dalam hal ternyata uang yang dibawa keluar atau masuk wilayah
pabean Republik Indonesia tersebut palsu, maka pembayaran denda
tetap dilakukan dengan Uang Rupiah yang asli;
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4231
Lampiran I
No.
*)Kepada Yth:
Direktur Direktorat Luar Negeri
Kantor Pusat Bank Indonesia
Jl. M.H. Tahmrin No.2
Kotak Pos 1035
J A K A R T A 10010
**)Kepada Yth:
Pemimpin Bank Indonesia ……………………
Jl. …………………………***)
Perihal : Permohonan Izin Untuk Membawa Uang Rupiah
Keluar Wilayah Pabean Republik Indonesia
Dengan hormat,
Dengan ini kami …………………………………..(nama perusahaan dan alamat ),
mengajukan permohonan izin untuk membawa Uang Rupiah keluar wilayah pabean
Republik Indonesia menuju ……………………………… dengan rincian sebagai berikut:
Nama
Perusahaan
Alamat
Jumlah Rupiah
:
:
:
:
Tujuan penggunaan ****) : a. Uji coba mesin uang
b. Kegiatan pameran di luar negeri
c. Lain-lain
(……………………………………………………....)
Tempat Keberangkatan
Tanggal Keberangkatan
:
:
Demikian permohonan kami, atas perhatian Saudara kami sampaikan terima kasih.
……………………………………
*) Alamat surat permohonan bagi pemohon yang bermisili di JABOTABEK
**) Alamat surat permohonan bagi pemohon yang bermisili di luar JABOTABEK
***) Sesuai lampiran II PBI No.4/……/PBI/2002 tanggal …. Oktober 2002
****) Coret yang tidak perlu. Dalam hal tujuan penggunaan adalah lain-lain © perlu ditambahkan penjelasan
lebih rinci mengenai penggunaan dimaksud (isi pada kolom yang disediakan)
Jakarta,
Lampiran II
DAFTAR ALAMAT KANTOR BANK INDONESIA
1. KBI Ambon
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
Jl. Raya Pattimura No.7, Ambon
Balikpapan
Banda Aceh
Banjarmasin
Batam
Bengkulu
Cirebon
Denpasar
Jambi
Jayapura
Jember
Kediri
Kendari
Kupang
Lhokseumawe
Malang
Mataram
Medan
Menado
Padang
Palangka Raya
Palembang
Palu
Pekanbaru
Pontianak
Purwokerto
Samarinda
Semarang
Sibolga
Solo
Surabaya
Tasikmalaya
Ternate
Makasar
Yogyakarta
Jl. Jend. Sudirman No.20, Balikpapan 76111
Jl. Cut Meutia No.15 Banda Aceh
Bandar Lampung Jl. Hasanuddin No.38, Bandar Lampung
Bandung
Jl. Braga No.108, Bandung 40111
Jl. Lambung Mangkurat No.15, Banjarmasin 70111
Jl. Engku Putri Batam Centre, Batam 29432
Jl. Jend. Ahmad Yani, Bengkulu
Jl. Yos Sudarso No. 5 – 7, Cirebon
Jl. WR. Supratman 1, Denpasar
Jl. Jend. Ahmad Yani, Lelanaipura, Jambi
Jl. Dr. Sam Ratulangi No.9, Jayapura
Jl. Gajah Mada No.224, Jember
Jl. Brawijaya No.2, Kediri
Jl.Sultan Hasanuddin No.150, Kendari 93122
Jl. Tom Pello No.2, Kupang
Jl. Merdeka No.1, Lhokseumawe 24312
Jl. Merdeka Utara No.7/Jl.Merdeka Timur o.1, Malang
Jl. Pejanggik No.2, Mataram
Jl. Balai Kota No.4, Medan
Jl. 17 Agustus, Menado
Jl. Jend. Sudirman No.22, Padang
Jl. Diponegoro No.17, Palangkaraya 73111
Jl. Jend. Sudirman No.510, Palembang
Jl. Sam Ratulangi No.23, Palu
Jl. Jend. Sudirman No.464, Pekanbaru
Jl. Rahadi Usman No.3, Pontianak 78111
Jl. Jend. Gatot Subroto No.98, Purwokerto 53116
Jl Gajah Mada No.1, Samarinda 75122
Jl. Imam Bardjo SH No.4, Semarang
Jl. Kapten Maruli Sitorus No.8, Sibolga 22513
Jl. Jend. Sudirman No.4, Solo
Jl. Pahlawan No.105, Surabaya
Jl. Sutisna Senjaya No.19, Tasikmalaya 46112
Jl. Yos udarso, Ternate
Jl. Jend. Sudirman No.3, Makasar
Jl. Panembahan Senopati No.4 – 6, Yogyakarta 55121
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 4/8/PBI/2002 </reg_id>
<reg_title> PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG RUPIAH KELUAR ATAU MASUK WILAYAH PABEAN REPUBLIK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 10 Oktober 2002 </set_date>
<effective_date> 10 Oktober 2002 </effective_date>
<replaced_reg> '3/18/PBI/2001' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '10/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/ 26 /PBI/2009
TENTANG
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM MELAKSANAKAN KEGIATAN
STRUCTURED PRODUCT BAGI BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa inovasi terhadap instrumen keuangan telah
mengalami perkembangan yang pesat;
b. bahwa perkembangan inovasi tersebut telah memfasilitasi
bertumbuhnya berbagai bentuk maupun struktur instrumen
keuangan termasuk yang memiliki kompleksitas tinggi,
terutama instrumen keuangan dalam bentuk structured
product;
c. bahwa tingginya kompleksitas instrumen keuangan dapat
berakibat pada meningkatnya risiko yang dihadapi bank;
d. bahwa peningkatan risiko tersebut mengharuskan
dilakukannya penyesuaian yang memadai terhadap prinsip
kehati-hatian (prudential principles) dan manajemen risiko
yang diterapkan;
e. bahwa . . .
- 2 -
e. bahwa tingginya kompleksitas instrumen keuangan harus
pula diimbangi dengan peningkatan kualitas transparansi
informasi kepada nasabah;
f.
bahwa transparansi informasi kepada nasabah merupakan
salah satu faktor penting untuk menjaga kepercayaan
masyarakat terhadap sistem perbankan;
g. bahwa bank memiliki peranan yang penting berkaitan
dengan peningkatan kualitas transparansi informasi dan
menjaga kepercayaan masyarakat;
h. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e,
huruf f, dan huruf g diatas dipandang perlu untuk
menetapkan pengaturan tentang structured product dalam
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan . . .
- 3 -
dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4962);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4292)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/ 25 /PBI/2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 103 , Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5029 );
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang
Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data
Pribadi Nasabah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4475);
MEMUTUSKAN
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PRINSIP
KEHATI-HATIAN DALAM MELAKSANAKAN KEGIATAN
STRUCTURED PRODUCT BAGI BANK UMUM
BAB I
. . .
- 4 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank
asing, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional;
2. Structured Products adalah produk Bank yang merupakan penggabungan
antara 2 (dua) atau lebih instrumen keuangan berupa instrumen keuangan
non derivatif dengan derivatif atau derivatif dengan derivatif dan paling
kurang memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. nilai atau arus kas yang timbul dari produk tersebut dikaitkan dengan
satu atau kombinasi variabel dasar seperti suku bunga, nilai tukar,
komoditi dan/atau ekuitas; dan
b. pola perubahan atas nilai atau arus kas produk bersifat tidak reguler
apabila dibandingkan dengan pola perubahan variabel dasar
sebagaimana dimaksud pada huruf a sehingga mengakibatkan
perubahan nilai atau arus kas tersebut tidak mencerminkan
keseluruhan perubahan pola dari variabel dasar secara linear
(asymmetric payoff), yang antara lain ditandai dengan keberadaan:
1. optionality, seperti caps, floors, collars, step up/step down
dan/atau call/put features;
leverage;
2.
3. barriers, seperti knock in/knock out; dan/atau
4. binary . . .
- 5 -
4. binary atau digital ranges.
Pengertian derivatif dalam pengaturan ini mencakup derivatif melekat
(embedded derivatives);
3. Nasabah adalah:
a. perseorangan atau badan yang menggunakan atau menerima fasilitas
Bank baik dalam bentuk produk dan/atau jasa;
b. perseorangan atau badan yang akan menggunakan atau diberikan
fasilitas oleh Bank baik dalam bentuk produk dan atau jasa;
4. Kegiatan Structured Product adalah aktivitas dan/atau proses yang
dilakukan sehubungan dengan perencanaan, pengembangan, penerbitan,
pemasaran, penawaran, penjualan, pelaksanaan operasional, dan/atau
penghentian aktivitas terkait dengan Structured Product.
5. Dewan Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan
komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang
Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang
Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Perkoperasian;
6. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Perseroan
Terbatas;
b. bagi
. . .
- 6 -
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Perusahaan
Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang bank asing adalah pimpinan kantor cabang bank
asing.
Pasal 2
Bank hanya dapat melakukan Kegiatan Structured Product setelah memperoleh:
a. persetujuan prinsip untuk melakukan Kegiatan Structured Product; dan
b. pernyataan efektif untuk penerbitan setiap jenis Structured Product,
dari Bank Indonesia.
Pasal 3
Pelaksanaan Kegiatan Structured Product sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
wajib berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 4
(1) Bank umum devisa hanya dapat melakukan transaksi Structured Product
yang dikaitkan dengan variabel dasar berupa nilai tukar dan/atau suku
bunga.
(2) Bank umum bukan devisa hanya dapat melakukan transaksi Structured
Product yang dikaitkan dengan variabel dasar berupa suku bunga.
Pasal 5 . . .
- 7 -
Pasal 5
(1) Bank wajib mencantumkan rencana Kegiatan Structured Product dalam
rencana bisnis Bank.
(2) Rencana Kegiatan Structured Product sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. penjelasan mengenai pengelompokan Structured Product;
b. penjelasan mengenai kelompok Nasabah yang menjadi target
Structured Product; dan
c.
estimasi volume penerbitan Structured Product.
Pasal 6
(1) Bank yang melakukan transaksi Structured Product dengan Nasabah dalam
bentuk kombinasi instrumen derivatif dengan derivatif, wajib meminta
kepada Nasabah untuk memberikan agunan berupa kas dengan jumlah
paling kurang 10 % (sepuluh persen) dari nilai nosional transaksi pada saat
transaksi
(2) Pelaksanaan lebih lanjut terkait dengan agunan berupa kas paling kurang
10% (sepuluh persen) dari nilai nosional transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dituangkan dalam perjanjian antara Bank dengan
Nasabah.
(3) Ketentuan mengenai kewajiban pemberian agunan berupa kas dengan
jumlah paling kurang 10% (sepuluh persen) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dikecualikan untuk Nasabah berupa:
a. bank;
b. Pemerintah Republik Indonesia;
c. Bank Indonesia atau bank sentral negara lain;
d. bank atau lembaga pembangunan multilateral.
Pasal 7 . . .
- 8 -
Pasal 7
Bank dilarang menggunakan kata ”deposit”, ”deposito”, ”terproteksi”, “giro”,
“tabungan”, dan/atau kata lain yang dapat memberikan persepsi kepada Nasabah
bahwa Bank memberikan proteksi pengembalian pokok Strcutured Product
secara penuh, apabila Structured Product yang diterbitkan oleh Bank tidak
disertai dengan proteksi penuh atas pokok dalam mata uang asal pada saat jatuh
tempo.
BAB II
MANAJEMEN RISIKO
Pasal 8
(1) Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif dalam melakukan
Kegiatan Structured Product.
(2) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
kurang mencakup :
a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;
b. kecukupan kebijakan dan prosedur;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan
d.
sistem pengendalian intern.
Bagian Pertama
Pengawasan Aktif Dewan Komisaris dan Direksi
Pasal 9
Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling kurang mencakup:
a. persetujuan . . .
- 9 -
a. persetujuan Dewan Komisaris atas rencana Bank untuk Kegiatan Structured
Product; dan
b.
evaluasi pelaksanaan rencana Bank terkait Kegiatan Structured Product.
Pasal 10
Pengawasan aktif Direksi paling kurang mencakup:
a. menetapkan rencana Bank untuk Kegiatan Structured Product;
b. menetapkan kebijakan dan prosedur Bank untuk Kegiatan Structured
Product; dan
c. memantau dan mengevaluasi Kegiatan Structured Product.
Bagian Kedua
Kecukupan Kebijakan dan Prosedur
Pasal 11
(1) Bank wajib memiliki dan mengimplementasikan kebijakan dan prosedur
yang komprehensif dan efektif untuk Kegiatan Structured Product.
(2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang
mencakup:
a. kebijakan penilaian tingkat risiko Structured Product (Structured
Product risk level assessment);
b. kebijakan penilaian profil risiko Nasabah (customer risk profile
assessment);
c. kebijakan kesesuaian tingkat risiko Structured Product (Structured
Product risk level assessment) dengan profil risiko Nasabah (customer
risk profile assessment);
d. kebijakan . . .
- 10 -
d. kebijakan sumber daya manusia untuk Kegiatan Structured Product;
e. kebijakan struktur insentif pegawai untuk Kegiatan Structured
Product;
f.
prosedur pelaksanaan Kegiatan Structured Product yang mencakup:
1. pengembangan Structured Product yang mencakup;
a)
studi kelayakan;
b) pengembangan fitur produk;
c)
d)
analisis risiko;
analisis aspek hukum;
e) metode penilaian (valuation);
f) metode pencatatan; dan
g) metode uji coba.
2. pemasaran dan penawaran Structured Product; dan
3. pelaksanaan transaksi Structured Product yang mencakup:
a)
b)
inisiasi transaksi;
eksekusi transaksi;
c) penyelesaian transaksi (trasaction settlement); dan
d) penghentian transaksi Structured Product sebelum jatuh
tempo (early termination).
g. prosedur penyelesaian sengketa dari Kegiatan Structured Product; dan
h. prosedur untuk melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan,
pengendalian risiko, dan sistem informasi untuk Kegiatan Structured
Product.
Pasal 12 . . .
- 11 -
Pasal 12
Dalam menetapkan penilaian profil risiko Nasabah (Customers risk profile
assessment) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b, Bank paling
kurang wajib melakukan penilaian terhadap:
a.
tujuan Nasabah;
b. profil keuangan Nasabah, yang meliputi:
1. karakteristik usaha;
2.
3.
aset/kekayaan yang dimiliki;
4. modal yang dimiliki; dan
5. komitmen atau kewajiban keuangan Nasabah baik kepada Bank
maupun kepada pihak selain Bank;
c. pemahaman dan pengalaman Nasabah dalam melakukan kegiatan
Structured Product, yang meliputi:
1. pengetahuan Nasabah mengenai Structured Product;
2.
jenis Structured Product yang pernah atau sedang digunakan Nasabah;
3. karakteristik Structured Product yang pernah atau sedang digunakan
Nasabah sebagaimana dimaksud pada angka 2;
4. volume dari Structured Product yang pernah atau sedang digunakan
Nasabah sebagaimana dimaksud pada angka 2;
5.
6.
frekuensi penggunaan Structured Product oleh Nasabah; dan
jangka waktu dari Structured Product yang pernah atau sedang
digunakan Nasabah sebagaimana dimaksud pada angka 2.
sumber dana (source of funds) dan karakteristik dari sumber dana
yang dimiliki;
Bagian . . .
- 12 -
Bagian Ketiga
Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, Pengendalian, dan
Sistem Informasi Manajemen Risiko
Pasal 13
(1) Bank wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian atas risiko untuk Kegiatan Structured Product.
(2) Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian risiko sebagaimana dimaksud ayat (1) wajib didukung oleh
sistem informasi manajemen yang tepat waktu, informatif, dan akurat.
Bagian Keempat
Sistem Pengendalian Intern
Pasal 14
(1) Bank wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif.
(2) Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang efektif antara lain dibuktikan
dengan:
a.
b. dilakukannya pemeriksaan oleh satuan kerja audit intern.
BAB III
KLASIFIKASI NASABAH
Pasal 15
(1) Dalam melakukan Kegiatan Structured Product, Bank wajib menetapkan
klasifikasi Nasabah.
(2) Klasifikasi
. . .
adanya batasan wewenang dan tanggung jawab satuan kerja untuk
Kegiatan Structured Product.
- 13 -
(2) Klasifikasi Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Nasabah profesional;
b. Nasabah eligible; dan
c. Nasabah retail.
(3) Nasabah digolongkan sebagai Nasabah profesional sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a apabila Nasabah tersebut memiliki pemahaman
terhadap karakteristik, fitur, dan risiko dari Structured Product dan terdiri
dari:
a. perusahaan yang bergerak dibidang keuangan, yang terdiri dari:
1. Bank;
2. perusahaan efek;
3. perusahaan pembiayaan; atau
4. pedagang kontrak berjangka,
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di bidang perbankan, pasar modal, lembaga pembiayaan
dan perdagangan berjangka komoditi yang berlaku.
b. perusahaan selain perusahan sebagaimana dimaksud pada huruf a
yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. memiliki modal paling kurang lebih besar dari
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau
ekuivalennya dalam valuta asing; dan
2.
telah melakukan kegiatan usaha paling kurang 36 (tiga puluh
enam) bulan berturut-turut.
c. Pemerintah Republik Indonesia atau pemerintah negara lain;
d. Bank Indonesia atau bank sentral negara lain;
e. bank atau lembaga pembangunan multilateral;
(4) Nasabah . . .
- 14 -
(4) Nasabah digolongkan sebagai Nasabah eligible sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b apabila Nasabah tersebut memiliki pemahaman
terhadap karakteristik, fitur, dan risiko dari Structured Product dan terdiri
dari:
a. perusahaan yang bergerak dibidang keuangan berupa:
1. dana pensiun; atau
2. perusahaan perasuransian,
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
di bidang dana pensiun dan usaha perasuransian yang berlaku.
b. perusahaan selain perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf a
yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. memiliki modal paling kurang Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing; dan
2.
telah melakukan kegiatan usaha paling kurang 12 (dua belas)
bulan berturut-turut; dan
c. Nasabah perorangan yang memiliki portofolio aset berupa kas, giro,
tabungan, dan/atau deposito paling kurang Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing.
(5) Nasabah digolongkan sebagai Nasabah retail sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c apabila Nasabah tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai
Nasabah profesional dan Nasabah eligible.
Pasal 16
Bank wajib melakukan pengkinian terhadap klasifikasi Nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 apabila terdapat hal-hal yang dapat mengakibatkan
perubahan klasifikasi yang telah ditetapkan terhadap Nasabah dimaksud.
BAB IV . . .
- 15 -
BAB IV
TRANSPARANSI INFORMASI PRODUK
Pasal 17
(1) Bank wajib menerapkan transparansi informasi dalam melakukan
pemasaran, penawaran, dan pelaksanaan transaksi Structured Product.
(2) Dalam menerapkan transparansi informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Bank wajib:
a. mengungkapkan informasi yang lengkap, benar, dan tidak
menyesatkan kepada Nasabah;
b. memastikan pemberian informasi yang berimbang antara potensi
manfaat yang mungkin diperoleh dengan risiko yang mungkin timbul
bagi Nasabah dari transaksi Structured Product; dan
c. memastikan informasi yang disampaikan tidak menyamarkan,
mengurangi, atau menutupi hal-hal yang penting terkait dengan
risiko-risiko yang mungkin timbul dari transaksi Structured Product.
Pasal 18
Dalam mengungkapkan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2), Bank paling kurang wajib mengungkapkan informasi mengenai
Structured Product yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. nama Structured Product dan penerbit Structured Product;
b. karakteristik dan fitur dari Structured Product;
c.
ilustrasi perhitungan bunga atau pendapatan atau margin keuntungan yang
dapat diperoleh Nasabah dari Structured Product;
d.
ilustrasi perhitungan risiko dan kerugian yang mungkin ditanggung
Nasabah dari Structured Product;
e. biaya . . .
- 16 -
e. biaya yang melekat dari Structured Product;
f.
2.
jangka waktu;
tanggal efektif;
syarat dan kondisi Structured Product yang meliputi antara lain:
1.
3. penyelesaian transaksi (settlement);
4. penghentian transaksi sebelum jatuh tempo (early termination) yang
paling kurang meliputi:
a) kondisi yang dapat menyebabkan penghentian sebelum jatuh
tempo;
b) prosedur untuk melakukan penghentian sebelum jatuh tempo;
dan
c) mekanisme penyelesaian transaksi, yang meliputi perhitungan
dan pembebanan biaya dan kerugian.
5. penyelesaian sengketa.
g. pernyataan bahwa Structured Product tidak bertentangan dengan ketentuan
dan perundang-undangan yang berlaku;
h.
informasi mengenai kejelasan cakupan program penjaminan atas Structured
Product dalam hal Structured Product dimaksud terkait dengan kegiatan
penghimpunan dana; dan
i.
informasi lain yang diperlukan Nasabah untuk menilai dan mengambil
keputusan terkait dengan Structured Product.
Pasal 19
Dalam hal Bank menggunakan variabel-variabel ekonomi seperti inflasi,
suku bunga, dan/atau nilai tukar dalam memberikan ilustrasi terkait dengan
pengungkapan informasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 18, Bank wajib:
a. memastikan . . .
- 17 -
a. memastikan ilustrasi didasarkan pada asumsi yang didukung oleh data-data
yang dapat dipertanggungjawabkan; dan
b. memastikan data-data pendukung sebagaimana yang dimaksud pada
huruf a disajikan paling kurang berdasarkan data historis 3 (tiga) tahun
berturut-turut secara bulanan.
Pasal 20
Bank wajib memberikan laporan tertulis secara berkala kepada Nasabah
mengenai informasi perkembangan dan kinerja Structured Product maupun
informasi material lainnya yang berpengaruh terhadap kinerja Structured
Product.
BAB V
PEMASARAN DAN PENAWARAN STRUCTURED PRODUCT
Bagian Pertama
Pemasaran
Pasal 21
(1) Bank dapat menggunakan media pemasaran dalam pemasaran Structured
Product.
(2) Dalam memasarkan Structured Product sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank wajib memastikan bahwa informasi yang disampaikan
melalui media pemasaran telah memenuhi prinsip-prinsip transparansi
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Pasal 18, dan
Pasal 19.
(3) Penyajian . . .
- 18 -
(3) Penyajian informasi yang disampaikan oleh Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat disesuaikan dengan media pemasaran yang digunakan
tanpa mengurangi substansi informasi yang disajikan.
(4)
Informasi yang disampaikan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) wajib disajikan dalam bahasa Indonesia.
Bagian Kedua
Penawaran
Pasal 22
(1) Bank wajib memperhatikan kesesuaian antara tingkat risiko Structured
Product (Structured Product risk level assessment) dengan profil risiko
Nasabah (customer risk profile assessment) dalam menawarkan dan
melakukan transaksi Structured Product dengan Nasabah.
(2) Bank dilarang menawarkan dan melakukan transaksi Structured Product
dengan Nasabah yang diklasifikasikan sebagai Nasabah retail sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5).
(3) Larangan menawarkan dan melakukan transaksi Structured Product dengan
Nasabah yang diklasifikasikan sebagai Nasabah retail sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk Structured Product yang
diterbitkan oleh Bank disertai dengan proteksi penuh atas pokok dalam
mata uang asal pada saat jatuh tempo.
(4) Bank dilarang menawarkan dan melakukan transaksi Structured Product
dengan Nasabah yang diklasifikasikan sebagai Nasabah eligible
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) apabila Structured Product
tersebut memenuhi paling kurang 1 (satu) dari persyaratan sebagai berikut:
a. dapat
. . .
- 19 -
a. dapat menimbulkan potensi kerugian melebihi pokok yang
ditanamkan Nasabah;
b. Structured Product yang merupakan penggabungan antara derivatif
dan derivatif.
(5) Bank dilarang menggunakan Bank lain untuk bertindak sebagai agen
penjual Structured Product yang diterbitkan Bank.
Pasal 23
(1) Bank wajib melakukan pertemuan langsung dengan Nasabah dalam
melakukan penawaran Structured Product.
(2) Bank wajib menetapkan secara khusus pegawai yang dapat bertindak untuk
dan atas nama Bank dalam melakukan hubungan dan/atau komunikasi
dengan Nasabah dalam melakukan kegiatan penawaran Structured Product
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. merupakan pegawai tetap Bank; dan
b.
telah diberikan pelatihan/training yang memadai mengenai Structured
Product.
Pasal 24
(1) Dalam melakukan penawaran Structured Product sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 Bank wajib memastikan bahwa informasi yang disampaikan
dalam penawaran telah memenuhi prinsip-prinsip transparansi informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Pasal 18, dan Pasal 19.
(2) Dalam . . .
- 20 -
(2) Dalam melakukan penawaran Structured Product Bank wajib
menyampaikan kepada Nasabah dokumen tertulis yang paling kurang
mencakup:
a. prospektus atau term sheet; dan
b. product highlight sheet,
dari Structured Product yang ditawarkan.
(3) Kewajiban penyampaian dokumen berupa product highlight sheet
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikecualikan untuk Nasabah
berupa bank.
(4) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disusun dalam bahasa
Indonesia.
(5) Bank wajib mendokumentasikan penjelasan lisan yang disampaikan Bank
kepada Nasabah dalam melakukan penawaran Structured Product beserta
tanggapan yang diberikan Nasabah.
BAB VI
MASA JEDA (COOLING OFF PERIOD)
Pasal 25
(1) Bank wajib memberikan waktu kepada Nasabah untuk mempelajari
penawaran dan dokumen yang disampaikan Bank kepada Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(2) Pemberian waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
pemberian masa jeda (cooling off period) antara waktu disampaikannya
penawaran oleh Bank dengan waktu Nasabah mengajukan permohonan
untuk menerima atau menolak melakukan transaksi Structured Product
Bank.
(3) Jangka . . .
- 21 -
(3) Jangka waktu masa jeda (cooling off period) yang diberikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling kurang:
a. 3 (tiga) hari kerja setelah Nasabah perorangan menerima dokumen
penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2);
b. 2 (dua) hari kerja setelah Nasabah perusahaan menerima dokumen
penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2).
(4) Ketentuan mengenai kewajiban masa jeda (cooling off period) sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk:
a. penawaran Structured Product yang diterbitkan oleh Bank disertai
dengan proteksi penuh atas pokok dalam mata uang asal pada saat
jatuh tempo;
b. penawaran Structured Product kepada Nasabah berupa bank.
BAB VII
PERNYATAAN NASABAH
Pasal 26
(1) Dalam hal Nasabah mengajukan permohonan untuk melakukan transanksi
Structured Product, maka Bank wajib memastikan bahwa Nasabah telah
menerima dan memahami informasi yang tercantum dalam dokumen
penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2).
(2) Pemahaman Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dituangkan dalam dokumen tertulis yang terpisah, dibuat dalam bahasa
Indonesia, dan ditandatangani oleh Nasabah dengan menggunakan tanda
tangan basah.
(3) Bank wajib memastikan bahwa pihak yang menandatangani dokumen
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pihak yang
mempunyai kewenangan secara hukum.
BAB VIII
. . .
- 22 -
BAB VIII
PERJANJIAN STRUCTURED PRODUCT
Pasal 27
(1) Kesepakatan antara Bank dengan Nasabah dalam melakukan transaksi
Structured Product wajib dituangkan dalam perjanjian tertulis.
(2) Dalam hal Bank dan Nasabah sepakat mengenai kemungkinan penghentian
transaksi Structured Product sebelum jatuh tempo (early termination),
maka klausula penghentian transaksi Structured Product tersebut wajib
dicantumkan dalam perjanjian Structured Product.
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat dalam
bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh para pihak dengan menggunakan
tanda tangan basah.
(4) Bank wajib memastikan bahwa pihak yang menandatangani perjanjian
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan pihak yang
mempunyai kewenangan secara hukum.
(5) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 26
ayat (2) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB IX
TATA CARA PENGAJUAN
PERSETUJUAN PRINSIP DAN PERNYATAAN EFEKTIF
Pasal 28
(1) Untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf a, Bank wajib mengajukan permohonan kepada Bank
Indonesia.
(2) Pengajuan . . .
- 23 -
(2) Pengajuan permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disampaikan secara tertulis kepada Bank Indonesia dan
dilampiri dokumen pendukung berupa:
a. dokumen kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11; dan
b. dokumen persyaratan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3).
(3) Persetujuan atau penolakan permohonan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) akan disampaikan secara tertulis kepada Bank oleh
Bank Indonesia paling lama 60 (enam puluh) hari kerja setelah dokumen
permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia.
Pasal 29
(1) Untuk memperoleh pernyataan efektif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf b, Bank wajib mengajukan permohonan kepada Bank
Indonesia.
(2) Permohonan pernyataan efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat diajukan apabila Bank telah memperoleh persetujuan prinsip dari
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a.
(3) Pengajuan permohonan pernyataan efektif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disampaikan secara tertulis kepada Bank Indonesia dan
dilampiri dokumen pendukung berupa:
a. dokumen pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, apabila
ada;
b. dokumen penawaran berupa prospektus atau term sheet dan product
highlight sheet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2);
c. dokumen . . .
- 24 -
c. dokumen terkait dengan hasil kajian unit kerja terkait sebagai
pelaksanaan dari kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a, huruf, b, huruf c, dan huruf f, berupa:
1. penilaian tingkat risiko Structured Product (Structured Product
Risk Level Assessment);
2. profil risiko Nasabah (customers risk profile assessment);
3. kesesuaian tingkat risiko Structured Product (Structured Product
Risk Level Assessment) dengan profil risiko Nasabah (customers
risk profile assessment); dan
4. pelaksanaan Kegiatan Structured Product.
d. dokumen yang menyatakan bahwa Bank telah memperoleh
persetujuan atau izin dari otoritas yang berwenang dalam hal 1 (satu)
atau lebih dari instrumen yang mendasari Structured Product
merupakan instrumen yang memerlukan persetujuan/izin dari otoritas
tersebut.
(4) Pernyataan efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan disampaikan
secara tertulis kepada Bank oleh Bank Indonesia paling lama 60 (enam
puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan pernyataan efektif
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima secara lengkap oleh Bank
Indonesia.
Pasal 30
(1) Ketentuan mengenai kewajiban pernyataan efektif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf b dan Pasal 29 dikecualikan untuk Structured Product
yang diterbitkan oleh Bank disertai dengan proteksi penuh atas pokok
dalam mata uang asal pada saat jatuh tempo.
(2) Penerbitan . . .
- 25 -
(2) Penerbitan Structured Product oleh Bank yang disertai dengan proteksi
penuh atas pokok dalam mata uang asal pada saat jatuh tempo sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), berpedoman pada tata cara pelaporan untuk produk
dan aktivitas baru sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku mengenai Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
BAB XI
LAPORAN
Pasal 31
(1) Bank wajib melaporkan transaksi Structured Product setiap bulan kepada
Bank Indonesia secara lengkap, benar, dan tepat waktu.
(2) Bank bertanggung jawab atas kelengkapan, kebenaran, serta ketepatan
waktu penyampaian laporan Structured Product kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 32
(1) Laporan transaksi Structured Product sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan.
(2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan Structured Product
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila Bank menyampaikan laporan
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan tanggal 13 (tiga belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan
laporan.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan Structured Product apabila
Bank Indonesia belum menerima laporan Structured Product sampai
dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 33 . . .
- 26 -
Pasal 33
Tata cara penyusunan laporan Structured Product sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XII
SANKSI
Pasal 34
Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17,
Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 22
ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 23, Pasal 24 ayat (1), ayat (2),
ayat (4), dan ayat (5), Pasal 25 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 26, Pasal 27,
Pasal 31, dan Pasal 32 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa:
1.
teguran tertulis;
2. penurunan tingkat kesehatan Bank;
3.
larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
4. pembekuan dan pencabutan persetujuan untuk kegiatan usaha tertentu, baik
untuk kantor cabang tertentu maupun untuk Bank secara keseluruhan;
5. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat
pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat
Anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank
Indonesia; dan/atau
6. pencantuman . . .
- 27 -
6. pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam
daftar orang tercela di bidang perbankan.
Pasal 35
Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (2) dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Pasal 36
(1) Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Bank yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dikenakan
sanksi berupa kewajiban membayar uang sebagai berikut:
a. Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja
keterlambatan;
b. Bank yang menyampaikan koreksi laporan atas dasar temuan Bank
Indonesia setelah melampau batas waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per
item kesalahan dan paling banyak seluruhnya sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
c. Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Dalam . . .
- 28 -
(2) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan
tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
maka sanksi kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diberlakukan.
Pasal 37
Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 36 Bank yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikenakan
sanksi berupa kewajiban membayar sebesar 1% dari nilai transaksi yang
dilakukan dan paling banyak sebesar Rp27.000.000.000,00 (dua puluh tujuh
miliar).
Pasal 38
Selain disebabkan oleh pelanggaran terhadap Peraturan Bank Indonesia ini
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Bank Indonesia dapat mencabut
persetujuan prinsip dan/atau pernyataan efektif yang telah diberikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 29 ayat (4), apabila menurut
penilaian Bank Indonesia:
a. penerapan prinsip manajemen risiko untuk Kegiatan Structured Product
yang dilakukan Bank tidak memadai; dan/atau
b.
risiko yang timbul dari Kegiatan Structured Product yang dilakukan Bank
dapat membahayakan kelangsungan usaha Bank.
Pasal 39 . . .
- 29 -
Pasal 39
Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
dan Pasal 37, dilakukan dengan cara mendebet rekening giro Bank di Bank
Indonesia.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40
(1) Bank yang telah melakukan penerbitan Structured Product sebelum
diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini wajib mengajukan
permohonan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
(2) Structured Product yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Bank
Indonesia ini berlaku dapat diadministrasikan oleh Bank sampai dengan
Structured Product tersebut jatuh waktu.
BAB XIV
KETENTUAN LAIN
Pasal 41
Selain mengacu kepada ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini, pengaturan mengenai transaksi Structured Product yang
didalamnya mengandung unsur transaksi atau potensi transaksi valuta asing
terhadap rupiah mengacu pula pada ketentuan Bank Indonesia mengenai
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah.
Pasal 42 . . .
- 30 -
Pasal 42
(1) Permohonan persetujuan prinsip, permohonan pernyataan efektif, dan
penyampaian laporan Structured Product sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 29 ayat (3) disampaikan kepada:
a. Direktorat Pengawasan Bank Indonesia, Menara Radius Prawiro,
Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta, 10350, bagi Bank yang berkantor
pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkedudukan
di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(2) Selain disampaikan kepada Direktorat Pengawasan Bank atau Kantor Bank
Indonesia setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan
pernyataan efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dan
laporan Structured Product sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ditembuskan kepada Direktorat Penelitian dan Pengaturan Bank Indonesia
Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta, 10350.
BAB XVI
PENUTUP
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 44
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar . . .
- 31 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2009
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
MIRANDA S. GOELTOM
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 104
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/ 26 /PBI/2009
TENTANG
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM MELAKSANAKAN KEGIATAN
STRUCTURED PRODUCT BAGI BANK UMUM
UMUM
Semakin terintegrasinya sistem keuangan global yang diiringi dengan
pesatnya inovasi instrumen keuangan telah memfasilitasi semakin bertumbuhnya
berbagai bentuk maupun struktur instrumen keuangan yang memiliki
kompleksitas yang beragam mulai dari yang sederhana sampai dengan yang
memiliki kompleksitas tinggi.
Diantara instrumen keuangan yang mengalami perkembangan yang cukup
pesat adalah instrumen keuangan yang bersifat terstruktur atau lebih dikenal
dengan Structured Product. Structured Product merupakan produk keuangan
non-konvensional yang distruktur sedemikian rupa berdasarkan kebutuhan dan
objektif dari nasabah atau golongan nasabah tertentu. Dengan demikian, dalam
penstrukturannya diperlukan keahlian dari pihak-pihak dari berbagai bidang, baik
dari aspek keuangan maupun bidang lainnya seperti bidang hukum dan
perpajakan.
Kompleksitas yang timbul dari penstrukturan Structured Product akan
berakibat pada semakin kompleks pula risiko yang dihadapi Bank, sehingga
mengharuskan . . .
- 2 -
mengharuskan pula dilakukan penyesuaian yang memadai terkait dengan
penerapan prinsip kehati-hatian (prudential principles) dan manajemen risiko,
terutama yang terkait dengan pengelolaan dan pengendalian risko yang mungkin
timbul dari Structured Product tersebut bagi Bank.
Dari sisi masyarakat, kompleksitas yang timbul dari kegiatan Structured
Product harus diimbangi pula dengan peningkatan kualitas transparansi. Dengan
demikian, masyarakat dapat melakukan penilaian secara objektif terkait dengan
kesesuaian antara risiko yang mungkin timbul dan manfaat serta kesesuaian dari
produk yang distruktur dengan toleransi risiko (risk apetite) maupun kebutuhan
masyarakat. Peningkatan kualitas transparansi tersebut bertujuan agar
kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan, terutama sistem perbankan,
tetap terjaga. Sebagai lembaga intermediasi, bank memegang peranan penting
dalam peningkatan kualitas transparansi dan menjaga kepercayaan masyarakat.
Penguatan penerapan prinsip kehati-hatian (prudential principles) dan
manajemen risiko yang diiringi dengan kepercayaan masyarakat diharapkan
dapat menjaga integritas sistem perbankan secara khusus dan sistem keuangan
secara menyeluruh.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 . . .
- 3 -
Pasal 2
Huruf a
Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat ini bertujuan
untuk menilai kesiapan Bank dalam melakukan Kegiatan Structured
Product secara menyeluruh dan bukan persetujuan terhadap
penerbitan setiap jenis Structured Product. Oleh karena itu,
permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat ini
diajukan 1 (satu) kali sebelum Bank melakukan Kegiatan Structured
Product.
Huruf b
Pernyataan efektif yang diberikan oleh Bank Indonesia bersifat
administratif yang didasarkan pada data, informasi, dan dokumen
yang disampaikan oleh Bank sehingga bukan merupakan jaminan
dalam bentuk apapun atas kesesuaian, manfaat, risiko dan kerugian
yang mungkin timbul diantara para pihak yang melakukan transaksi.
Pada dasarnya pihak yang perlu untuk memastikan kesesuaian,
manfaat, dan risiko yang mungkin timbul dari Structured Product
adalah pihak-pihak yang melakukan transaksi, yaitu Bank dan
Nasabah.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5 . . .
- 4 -
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan rencana bisnis Bank adalah dokumen tertulis
yang menggambarkan rencana kegiatan usaha Bank sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Rencana Bisnis Bank
Umum.
Ayat(2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pengelompokan terdiri dari:
1. Penghimpunan dana, dalam hal Structured Product
diterbitkan dalam kaitannya dengan kegiatan
penghimpunan dana;
2. Penyediaan dana, dalam hal Structured Product diterbitkan
sebagai bagian dari fasilitas penyediaan dana yang
diberikan Bank kepada Nasabah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan perhitungan nilai nosional adalah nilai
nosional awal yang ditetapkan sampai dengan jatuh tempo. Dalam hal
terdapat lebih dari 1 (satu) nilai nosional yang ditetapkan, maka nilai
nasional yang digunakan sebagai dasar pengukuran untuk penentuan
jumlah agunan adalah nilai nosional terbesar.
Agunan . . .
- 5 -
Agunan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat ini bukan
merupakan substitusi atas penilaian risiko yang dilakukan oleh Bank
terhadap Nasabah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan bank dalam pengaturan ini adalah Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan bank yang
berkedudukan di luar negeri.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan bank atau lembaga pembangunan
multilateral adalah badan yang didirikan oleh sekelompok negara
yang menyediakan fasilitas pendanaan maupun fungsi advising
untuk tujuan pembangunan, seperti World Bank, African
Development Bank, Asian Development Bank, European Bank
For Reconstruction and Development, Inter-American
Development Bank, International Finance Corporation, Islamic
Development Bank, Council of Europe Social Development Fund
(Council of Europe Resettlement Fund), Corporación Andina de
Fomento (CAF), Caribbean Development Bank (CDB), Central
American . . .
- 6 -
American Bank for Economic Integration (CABEI), East African
Development Bank (EADB), West African Development Bank
(BOAD), Black Sea Trade and Development Bank (BSTDB).
Pasal 7
Berkenaan dengan larangan dimaksud, Structured Product yang diterbitkan
oleh Bank dan tidak disertai dengan proteksi penuh atas pokok dalam mata
uang asal pada saat jatuh tempo tidak diperkenankan untuk dicatat dalam
pos “giro”, “tabungan”, dan “simpanan berjangka” dalam pelaporan Bank.
Pasal 8
Ayat (1)
Prinsip-prinsip penerapan manajemen risiko berpedoman pada
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
Ayat 2
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Persetujuan rencana Bank terkait Kegiatan Structured Product
dianggap telah dilakukan apabila dalam rencana bisnis Bank yang
telah ditandatangani Komisaris mencakup rencana Bank terkait
Kegiatan Structured Product.
Huruf b . . .
- 7 -
Huruf b
Evaluasi atas pelaksanaan rencana Bank terkait Kegiatan Structured
Product dapat dituangkan dalam risalah rapat Dewan Komisaris atau
laporan pengawasan rencana bisnis sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia yang berlaku tentang Rencana Bisnis Bank.
Pasal 10
Huruf a
Rencana Bank dimaksud dituangkan dalam Rencana Bisnis Bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Tingkat risiko adalah tinggi, sedang, dan rendah, yang
penetapannya diserahkan pada masing-masing Bank.
Huruf b
Profil risiko Nasabah meliputi risk apetite Nasabah yang terdiri
dari risk averse, risk neutral, dan risk taker, yang penetapannya
diserahkan pada masing-masing Bank.
Huruf c . . .
- 8 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk dalam kebijakan sumber daya manusia adalah
persyaratan dan kualifikasi sumber daya manusia untuk Kegiatan
Structured Product.
Huruf e
Dalam menetapkan kebijakan struktur insentif Bank wajib
memastikan bahwa struktur insentif yang disusun dapat
menciptakan keselarasan (alignment) antara kepentingan
pegawai, kepentingan nasabah, dan kepentingan Bank. Untuk
mencapai tujuan tersebut Bank harus menghindari penetapan
kebijakan struktur insentif yang semata-mata didasarkan oleh
volume penjualan tanpa diiringi oleh mekansime kontrol lainnya.
Huruf f
Prosedur pelaksanaan Kegiatan Structured Product memberikan
kerangka formal dalam pelaksanaan Kegiatan Structured
Product yang mencakup penetapan proses pelaksanaan kegiatan,
penetapan wewenang dan tanggung jawab, dan keterkaitan antar
unit kerja, mulai dari tahap pengembangan sampai dengan
komersialisasi.
Huruf g
Cukup Jelas.
Huruf h
Cukup Jelas.
Pasal 12 . . .
- 9 -
Pasal 12
Huruf a
Yang dimaksud dengan tujuan Nasabah antara lain mencakup:
1. Apakah Nasabah memiliki tujuan untuk mendapatkan tambahan
pendapatan (yield enhancement) dalam melakukan transaksi
Structured Product;
2. Apakah Nasabah memiliki tujuan untuk tetap menjaga keutuhan
pokok dalam melakukan transaksi Structured Product;
3. Apakah Nasabah melakukan transaksi Structured Product untuk
tujuan jangka pendek, jangka menengah, atau jangka panjang;
dan
4. Apakah Nasabah bertujuan untuk memiliki alat investasi likuid
dalam melakukan investasi.
Huruf b
Angka 1
Penilaian terhadap karakteristik usaha mencakup penilaian
terhadap jenis kegiatan usaha, industri usaha, pasar beserta
pangsa pasar yang dimiliki, dan siklus usaha.
Angka 2
Yang dimaksud dengan karakteristik dari sumber dana (source of
funds) mencakup kesinambungan (sustainability) dan jangka
waktu sumber dana.
Angka 3
Termasuk dalam pengertian aset/kekayaan adalah kas, surat
berharga, efek, dan aktiva tetap yang dimiliki.
Angka 4 . . .
- 10 -
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup Jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Penetapan batasan wewenang dan tanggung jawab satuan kerja
terkait dengan kegiatan Structured Product dituangkan dalam
Pedoman Kebijakan dan Prosedur.
Huruf b
Cukup Jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
. . .
- 11 -
Ayat (3)
Untuk mengetahui tingkat pemahaman nasabah atas karakteristik,
fitur, dan risiko Structured Product dapat dilakukan melalui:
1. wawancara dan hasilnya dituangkan dalam bentuk tertulis;
dan/atau
2. kuesioner yang formatnya dapat ditentukan oleh masing-masing
Bank,
yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan penilaian profil risiko
Nasabah (customer risk profile assessment) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11.
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan perusahaan efek adalah Perusahaan
Efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
tentang Pasar Modal.
Angka 3
Yang dimaksud dengan perusahaan pembiayaan adalah
Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang tentang Lembaga Pembiayaan.
Angka 4
Yang dimaksud dengan pedagang kontrak berjangka adalah
Pedagang Kontrak Berjangka sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang tentang Perdagangan Berjangka
Komoditi.
Huruf b . . .
- 12 -
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan modal adalah ekuitas sebagaimana
dimaksud dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
yang berlaku di Indonesia.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan bank atau lembaga pembangunan
multilateral adalah badan yang didirikan oleh sekelompok negara
yang menyediakan fasilitas pendanaan maupun fungsi advising
untuk tujuan pembangunan, seperti World Bank, African
Development Bank, Asian Development Bank, European Bank
For Reconstruction and Development, Inter-American
Development Bank, International Finance Corporation, Islamic
Development Bank, Council of Europe Social Development Fund
(Council of Europe Resettlement Fund), Corporación Andina de
Fomento (CAF), Caribbean Development Bank (CDB), Central
American Bank for Economic Integration (CABEI), East African
Development Bank (EADB), West African Development Bank
(BOAD), Black Sea Trade and Development Bank (BSTDB)
Ayat (4)
. . .
- 13 -
Ayat (4)
Untuk mengetahui tingkat pemahaman nasabah atas karakteristik,
fitur, dan risiko Structured Product dapat dilakukan melalui:
1. wawancara dan hasilnya dituangkan dalam bentuk tertulis;
dan/atau
2. kuesioner yang formatnya dapat ditentukan oleh
masing- masing bank,
yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan penilaian profil risiko
Nasabah (customer risk profile assessment) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11.
Huruf a
Angka 1
Yang dimaksud dengan dana pensiun adalah Dana Pensiun
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang
Dana Pensiun.
Angka 2
Yang dimaksud dengan perusahaan perasuransian adalah
Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang tentang Usaha Perasuransian.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan modal adalah ekuitas sebagaimana
dimaksud dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
yang berlaku di Indonesia.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf c . . .
- 14 -
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Transparansi informasi bertujuan agar Nasabah dapat memperoleh
informasi yang memadai mengenai produk sebelum mengambil
keputusan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
1. Untuk Structured Product yang merupakan kombinasi instrumen
keuangan non derivatif dan derivatif, pengungkapan informasi
mengenai karakteristik dan fitur Structured Product meliputi:
a.
b.
Jenis instrumen non derivatif;
Jenis derivatif; dan
c. Variabel
. . .
- 15 -
c. Variabel seperti nilai tukar atau suku bunga, yang dijadikan
dasar (underlying variable) untuk Structured Product.
2. Untuk Structured Product yang merupakan kombinasi dari
derivatif dan derivatif, pengungkapan informasi mengenai
karakteristik dan fitur Structured Product meliputi:
a.
Jenis-jenis derivatif; dan
b. Variabel seperti nilai tukar atau suku bunga, yang dijadikan
dasar (underlying variable) untuk Structured Product.
Huruf c
Dalam memberikan informasi mengenai ilustrasi perhitungan bunga
atau pendapatan atau margin keuntungan yang dapat diperoleh, Bank
paling kurang mengungkapkan:
1. metode perhitungan bunga atau pendapatan atau margin
keuntungan;
2.
3.
asumsi-asumsi yang digunakan; dan
ilustrasi perhitungan bunga atau pendapatan atau margin
keuntungan Structured Product dalam beberapa skenario.
Huruf d
Dalam memberikan informasi mengenai ilustrasi perhitungan risiko
dan kerugian yang mungkin ditanggung, Bank paling kurang
mengungkapkan:
1.
risiko yang mungkin dihadapi;
2. metode perhitungan kerugian yang mungkin terjadi;
3. komponen leverage;
4.
asumsi-asumsi yang digunakan; dan
5. ilustrasi
. . .
- 16 -
5.
ilustrasi perhitungan kerugian dalam beberapa skenario yang
mencakup skenario kerugian terbesar yang mungkin terjadi
(worst case scenario).
Huruf e
Biaya yang melekat dari Structured Product antara lain biaya
administrasi, premi, provisi, komisi, dan/atau penalti.
Dalam memberikan informasi mengenai biaya yang melekat, Bank
harus mengungkapkan metode penentuan perhitungan biaya
dimaksud.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Frekuensi laporan tertulis secara berkala yang disampaikan Bank
disesuaikan dengan jenis dan kompleksitas Structured Product yang
ditawarkan.
Pasal 21 . . .
- 17 -
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan media pemasaran antara lain berupa iklan,
brosur, leaflet, atau media pemasaran elektronis.
Yang dimaksud dengan pemasaran adalah bentuk komunikasi yang
bertujuan untuk menyampaikan informasi kepada publik yang tidak
selalu diikuti dengan kegiatan penawaran.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Pelaksanaan pengaturan dalam ayat ini merupakan bagian dari
pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
. . .
- 18 -
Ayat (4)
Huruf a
Kondisi dimana potensi kerugian dapat melebihi nilai pokok
yang ditanamkan umumnya terjadi apabila Structured Product
tersebut mengandung unsur leverage.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (5)
Termasuk dalam pengertian bertindak sebagai agen penjual
mencakup:
1. Mewakili Bank untuk menindaklanjuti permintaan Nasabah
untuk Structured Product; dan/atau
2. Menjadi referral agent.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 19 -
Huruf b
Tujuan pemberian pelatihan/training mengenai Structured
Product adalah agar pegawai memiliki pemahanan yang
memadai dan mampu menjelaskan kepada Nasabah dengan baik
mengenai karakteristik, fitur, dan risiko atas Structured Product
yang ditawarkan.
Dengan demikian, Bank bertanggung jawab untuk memastikan
pelaksanaan, frekuensi, dan materi yang diberikan dalam
pelatihan/training dapat mencapai tujuan pelatihan/training
tersebut diatas, antara lain dengan mempertimbangkan
kompleksitas produk yang ditawarkan dan kompetensi pegawai.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan prospektus atau term sheet adalah
dokumen resmi yang memberikan seluruh informasi material
yang diperlukan Nasabah untuk menilai dan mengambil
keputusan terkait dengan Structured Product yang ditawarkan.
Huruf b
Product highlight sheet adalah dokumen yang bertujuan
membantu Nasabah untuk memahami informasi utama (key
information) mengenai Structured Product yang tercantum
dalam prospektus atau term sheet. Berkenaan dengan hal
tersebut
. . .
- 20 -
tersebut, product highlight sheet disajikan dalam bentuk yang
jelas, singkat, dan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti
oleh Nasabah.
Oleh karena itu, product highlight sheet dapat disusun dalam
bentuk ”tanya-jawab” dan paling kurang dapat menjawab
pertanyaan tentang Structured Product sebagai berikut:
1. Produk apa yang akan dibeli/diinvestasikan oleh Nasabah;
2. Apa manfaat dari produk yang akan dibeli/diinvestasikan
oleh Nasabah ;
3. Dengan siapa Nasabah akan membeli atau berinvenstasi;
4. Apa perbedaan produk yang akan dibeli atau diinvestasikan
oleh Nasabah dengan giro, simpanan, dan deposito
konvensional;
5. Risiko utama apa saja yang berpengaruh terhadap produk;
6. Keuntungan atau kerugian apa yang diperoleh atau
dibebankan kepada Nasabah, dalam berbagai skenario
termasuk kerugian terburuk (worst case);
7. Apakah produk dimaksud sesuai untuk:
a. Nasabah yang tidak ingin mengalami kerugian pokok;
b. Nasabah yang mungkin memerlukan likuiditas dalam
jangka pendek;
c. Nasabah yang tidak memiliki pengetahuan atau
pengalaman dalam melakukan transaksi derivatif.
8. Berapa biaya yang harus dibayar Nasabah dalam membeli
produk;
9. Seberapa sering penilaian terhadap produk dilakukan dan
dinformasikan kepada Nasabah;
10. Bagaimana . . .
- 21 -
10. Bagaimana Nasabah dapat keluar atau menghentikan
transaksi dan risiko dan/atau biaya apa yang harus
diketahui oleh Nasabah terkait dengan penghentian
transaksi tersebut;
11. Dengan siapa di Bank Nasabah harus bertanya untuk
memperoleh informasi, bertanya, dan/atau mengadukan
permasalahan/komplain/perselisihan; dan
12. Apakah produk termasuk dalam cakupan penjaminan LPS.
Product highlight sheet disajikan dengan font paling kurang
10 (sepuluh) serta tidak melebihi 4 (empat) halaman.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan bank pada ayat ini adalah Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 dan bank yang berkedudukan di luar negeri.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dokumentasi yang dilakukan oleh Bank antara lain dalam bentuk
rekaman suara.
Pasal 25
Ayat (1)
Pemberian waktu bertujuan agar Nasabah dapat melakukan penilaian
terhadap kesesuaian Structured Product yang ditawarkan Bank
dengan kebutuhan Nasabah.
Ayat (2)
Pemberian waktu diberikan untuk penawaran atas setiap jenis produk.
Ayat (3)
. . .
- 22 -
Ayat (3)
Huruf a
Jangka waktu 3 (tiga) hari kerja dihitung sejak tanggal
diterimanya dokumen penawaran oleh Nasabah yang dibuktikan
dengan tanda terima.
Huruf b
Jangka waktu 2 (dua) kerja hari dihitung sejak tanggal
diterimanya dokumen penawaran oleh Nasabah yang dibuktikan
dengan tanda terima.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan bank pada ayat ini adalah Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan bank yang
berkedudukan di luar negeri.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pihak yang mempunyai kewenangan secara
hukum antara lain bagi individu adalah pihak yang cakap secara
hukum, bagi badan hukum adalah pejabat yang mempunyai
kewenangan . . .
- 23 -
kewenangan sesuai dengan Anggaran Dasar atau ketentuan internal
badan hukum yang bersangkutan.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan pihak yang mempunyai kewenangan secara
hukum antara lain bagi individu adalah pihak yang cakap secara
hukum, bagi badan hukum adalah pejabat yang mempunyai
kewenangan sesuai dengan Anggaran Dasar atau ketentuan internal
badan hukum yang bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30 . . .
- 24 -
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup Jelas.
Pasal 35
Cukup Jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38 . . .
- 25 -
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup Jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
5030
- 26 -
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/26/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM MELAKSANAKAN KEGIATAN STRUCTURED PRODUCT BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 1 Juli 2009 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2009 </effective_date>
<issued_date> 1 Juli 2009 </issued_date>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/PERPPU/1999', '5/8/PBI/2003', '7/6/PBI/2005', '11/25/PBI/2009', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR :6/3/PBI/2004
TENTANG
PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN
SURAT UTANG NEGARA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa Bank Indonesia telah ditunjuk oleh Pemerintah sebagai agen
untuk melaksanakan lelang Surat Utang Negara di pasar perdana
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 66/KMK.01/2003
tanggal 10 Februari 2003;
b. bahwa ketentuan pelaksanaan lelang Surat Utang Negara di pasar
perdana telah ditetapkan oleh Pemerintah dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 83/KMK.01/2003 tanggal 4 Maret 2003
tentang Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana;
c. bahwa untuk menunjang efisiensi dan efektivitas fungsi Bank
Indonesia sebagai penatausaha Surat Utang Negara, sebagai agen
pelaksanaan lelang Surat Utang Negara di pasar perdana, dan agen
untuk pelaksanaan pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di
pasar sekunder, Bank Indonesia telah menerapkan Bank Indonesia-
Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS);
d. bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas
dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan Penerbitan,
Penjualan dan Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara
dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat …
-2-
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4357);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
110, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4236);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERBITAN,
PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN
SURAT UTANG NEGARA.
BAB I …
-3-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7
tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha perbankan
konvensional.
2. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat
Utang Negara, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi
Negara.
3. Surat Perbendaharaan Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu
sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto.
4. Obligasi Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu lebih dari 12
(dua belas) bulan dengan kupon dan atau dengan pembayaran bunga secara
diskonto.
5. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara untuk
pertama kali.
6. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah dijual
di Pasar Perdana.
7. Peserta Lelang adalah Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Valuta Asing,
dan Perusahaan Efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia
untuk dapat ikut serta dalam lelang Surat Utang Negara.
8. Diskonto adalah selisih antara harga pasar dengan nilai nominal.
9. Yield …
-4-
9. Yield to Maturity atau Yield adalah tingkat imbal hasil (keuntungan) yang
diharapkan oleh investor dalam persentase per tahun.
10. Penawaran Pembelian Kompetitif (competitive bidding) adalah pengajuan
penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan tingkat diskonto atau
tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar.
11. Penawaran Pembelian Non-kompetitif (non-competitive bidding) adalah pengajuan
penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa tingkat diskonto atau
tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar.
12. Lelang Surat Utang Negara adalah penjualan Surat Utang Negara dengan cara
Peserta Lelang mengajukan Penawaran Pembelian Kompetitif dan atau Penawaran
Pembelian Non-kompetitif dalam suatu periode waktu penawaran yang telah
ditentukan dan diumumkan sebelumnya.
13. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi penatausahaan
surat berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan Bank, Sub-
Registry dan pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia.
14. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian, yang
disetujui Bank Indonesia untuk melakukan fungsi penatausahaan surat berharga
termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan nasabah.
15. Delivery Versus Payment yang untuk selanjutnya disebut DVP adalah setelmen
transaksi Surat Utang Negara dengan cara setelmen surat berharga melalui Bank
Indonesia-Scripless Securities Settlement System dilakukan bersamaan dengan
setelmen dana di Bank Indonesia melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement.
16. Free of Payment yang untuk selanjutnya disebut FoP adalah setelmen transaksi
Surat Utang Negara dengan cara setelmen surat berharga dilakukan melalui Bank
Indonesia-Scripless Securities Settlement System, sedangkan setelmen dana
dilakukan …
-5-
dilakukan tidak secara bersamaan dengan setelmen surat berharga atau tanpa
setelmen dana.
BAB II
FUNGSI BANK INDONESIA
DALAM PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA
PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA
Pasal 2
Dalam rangka membantu Pemerintah untuk mengelola Surat Utang Negara, Bank
Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. memberikan masukan dalam rangka menetapkan ketentuan dan persyaratan
penerbitan Surat Utang Negara;
b. bertindak sebagai agen lelang dalam penjualan Surat Utang Negara di Pasar
Perdana yang antara lain mengusulkan kriteria dan persyaratan Peserta Lelang,
melakukan seleksi calon Peserta Lelang, mengumumkan Peserta Lelang yang
ditunjuk Menteri Keuangan Republik Indonesia, mengumumkan rencana Lelang
Surat Utang Negara, melaksanakan Lelang Surat Utang Negara, dan
mengumumkan keputusan hasil Lelang Surat Utang Negara;
c. dapat bertindak sebagai agen dalam pembelian dan penjualan Surat Utang Negara
di Pasar Sekunder untuk kepentingan dan atas permintaan Pemerintah;
d. menatausahakan Surat Utang Negara yang mencakup pencatatan kepemilikan,
kliring dan setelmen, serta agen pembayar bunga (kupon) dan pokok Surat Utang
Negara.
BAB III …
-6-
BAB III
KARAKTERISTIK SURAT UTANG NEGARA
Pasal 3
Surat Utang Negara yang ditatausahakan oleh Bank Indonesia mempunyai karakteristik
sebagai berikut:
a.
Surat Perbendaharaan Negara:
1) diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat (scripless);
2) diterbitkan dalam bentuk yang diperdagangkan atau dalam bentuk yang tidak
diperdagangkan di Pasar Sekunder;
3) diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dan
pembayaran bunga secara Diskonto;
b.
Obligasi Negara:
1) diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat (scripless);
2) diterbitkan dalam bentuk yang diperdagangkan atau dalam bentuk yang tidak
diperdagangkan di Pasar Sekunder;
3) diterbitkan dengan jangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon
mengambang (variable rate), kupon tetap (fixed rate), dan atau pembayaran
bunga secara Diskonto.
Pasal 4
Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan ketentuan dan persyaratan Surat
Utang Negara.
BAB IV …
-7-
BAB IV
LELANG SURAT UTANG NEGARA DI PASAR PERDANA
Pasal 5
(1) Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan kriteria dan persyaratan
Peserta Lelang.
(2) Bank Indonesia melakukan seleksi calon Peserta Lelang berdasarkan kriteria dan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Menteri Keuangan Republik Indonesia menunjuk Peserta Lelang berdasarkan hasil
seleksi calon Peserta Lelang yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
(4) Bank Indonesia dapat mengusulkan kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia
agar status Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Valuta Asing, dan Pedagang
Efek sebagai Peserta Lelang untuk dicabut.
(5) Bank Indonesia mengumumkan Peserta Lelang yang ditunjuk atau dicabut status
kepesertaan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dan ayat (4).
Pasal 6
(1) Orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang
terorganisasi dapat membeli Surat Utang Negara di Pasar Perdana.
(2) Pembelian Surat Utang Negara di Pasar Perdana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dengan mengajukan penawaran pembelian kepada Bank
Indonesia melalui Peserta Lelang yang terdiri dari Bank, Perusahaan Pialang Pasar
Uang Rupiah dan Valuta Asing, dan Perusahaan Efek.
(3) Dalam Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana, Bank dan Perusahaan Efek
dapat mengajukan penawaran pembelian untuk dan atas nama diri sendiri dan
pihak …
-8-
pihak lain sedangkan Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
hanya dapat mengajukan penawaran pembelian untuk dan atas nama pihak lain.
Pasal 7
(1) Penawaran pembelian dalam Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dapat
dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif atau dengan cara
kombinasi Penawaran Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non-
kompetitif.
(2) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Surat Utang Negara
untuk dan atas nama diri sendiri maka penawaran pembelian hanya dapat dilaku
kan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif.
(3) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Surat Utang Negara
untuk dan atas nama pihak lain maka penawaran pembelian dapat diajukan dengan
cara Penawaran Pembelian Kompetitif dan atau Penawaran Pembelian Non-
kompetitif.
(4) Menteri Keuangan Republik Indonesia menentukan alokasi Penawaran Pembelian
Non-kompetitif sebelum pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara di Pasar
Perdana.
Pasal 8
(1) Bank Indonesia melakukan Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana sesuai
kebutuhan Pemerintah dan atas permintaan Menteri Keuangan Republik Indonesia.
(2) Bank Indonesia mengumumkan rencana Lelang Surat Utang Negara di Pasar
Perdana berdasarkan pemberitahuan Lelang Surat Utang Negara oleh Menteri
Keuangan Republik Indonesia.
Pasal …
-9-
Pasal 9
(1) Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan hasil dan pemenang Lelang
Surat Utang Negara di Pasar Perdana.
(2) Penentuan pemenang Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan sistem penentuan hasil Lelang Surat Utang
Negara dengan metode harga beragam (multiple price) atau dengan metode harga
seragam (uniform price).
(3) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana
kepada Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Surat Utang Negara pada hari
pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara.
(4) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana
secara keseluruhan kepada publik pada hari pelaksanaan Lelang Surat Utang
Negara.
Pasal 10
(1) Menteri Keuangan Republik Indonesia berhak menolak seluruh atau sebagian dari
penawaran pembelian Surat Utang Negara.
(2) Bank Indonesia mengumumkan penolakan seluruh atau sebagian penawaran
pembelian Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
BAB V …
-10-
BAB V
PEMBELIAN DAN PENJUALAN SURAT UTANG NEGARA
DI PASAR SEKUNDER
Pasal 11
(1) Menteri Keuangan Republik Indonesia dapat menunjuk Bank Indonesia sebagai
agen untuk melaksanakan pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di Pasar
Sekunder.
(2) Dalam hal Bank Indonesia ditunjuk sebagai agen sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan pembelian dan penjualan Surat Utang
Negara di Pasar Sekunder berdasarkan permintaan Menteri Keuangan Republik
Indonesia.
BAB VI
PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA
Pasal 12
(1) Bank Indonesia melakukan penatausahaan Surat Utang Negara secara elektronis
dengan menggunakan sarana Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System yang berlaku.
(2) Penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen transaksi baik di Pasar
Perdana maupun di Pasar Sekunder, pembayaran bunga (kupon) dan pokok Surat
Utang Negara yang jatuh waktu.
BAB VII …
-11-
BAB VII
PENCATATAN KEPEMILIKAN SURAT UTANG NEGARA
Pasal 13
(1) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara dilakukan tanpa warkat (scripless)
dan secara book entry.
(2) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara dilakukan secara two tier system yang
terdiri dari:
a.
Central Registry yang melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan
Surat Berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan Bank, Sub-
Registry dan pihak lain yang disetujui Bank Indonesia; dan
b. Sub-Registry yang melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan Surat
Berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan nasabah.
(3) Catatan kepemilikan Surat Utang Negara pada Central Registry dan Sub-Registry
merupakan bukti kepemilikan yang sah.
BAB VIII
SETELMEN TRANSAKSI SURAT UTANG NEGARA
Pasal 14
(1) Setelmen transaksi Surat Utang Negara di Pasar Perdana dilakukan sebagai
berikut:
a) Surat Perbendaharaan Negara pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah hari
pelaksanaan lelang Surat Perbendaharaan Negara (T+1);
b) Obligasi Negara selambat-lambatnya pada 5 (lima) hari kerja berikutnya
setelah pengumuman hasil pemenang lelang Obligasi Negara (T+5).
(2) Setelmen …
-12-
(2) Setelmen transaksi Surat Utang Negara baik di Pasar Perdana maupun di Pasar
Sekunder dilakukan atas dasar prinsip DVP atau FoP.
(3) Setelmen transaksi Surat Utang Negara secara DVP dilakukan atas dasar sistem
setelmen gross to gross atau kombinasi setelmen gross to gross dan setelmen
gross to net.
Pasal 15
Dalam rangka setelmen Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan di Pasar Sekunder,
Bank Indonesia berwenang untuk :
a. mendebet rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia yang melakukan
pembelian baik untuk dan atas nama diri sendiri maupun untuk dan atas nama
pihak lain; atau
b. mendebet rekening surat berharga pemilik rekening di Central Registry yang
melakukan penjualan Surat Utang Negara baik untuk dan atas nama diri sendiri
maupun untuk dan atas nama pihak lain;
c. mendebet rekening Surat Utang Negara milik Pemerintah atau rekening giro
Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia, dalam rangka setelmen transaksi Surat
Utang Negara.
BAB IX
PEMBAYARAN BUNGA (KUPON) DAN PELUNASAN POKOK SURAT
UTANG NEGARA JATUH WAKTU
Pasal 16
(1) Bank Indonesia melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pelunasan pokok Surat
Utang Negara sebesar nilai nominal pada saat jatuh waktu atas beban Pemerintah.
(2) Atas …
-13-
(2) Atas permintaan Pemerintah, Bank Indonesia melakukan pelunasan pokok Surat
Utang Negara sebelum tanggal jatuh waktu atas beban Pemerintah.
(3) Pembayaran pokok dan bunga (kupon) Surat Utang Negara dilakukan oleh Bank
Indonesia berdasarkan posisi kepemilikan Surat Utang Negara yang tercatat di
Central Registry.
BAB X
BIAYA ADMINISTRASI
Pasal 17
Bank Indonesia dapat mengenakan biaya administrasi atas pelaksanaan Lelang Surat
Utang Negara kepada Peserta Lelang dan biaya penatausahaan Surat Utang Negara
kepada pemilik rekening Surat Utang Negara di Central Registry.
BAB XI
PELAPORAN
Pasal 18
Bank Indonesia melaporkan kegiatan penatausahaan Surat Utang Negara secara berkala
kepada Pemerintah.
BAB XII
SANKSI
Pasal 19
(1) Dalam hal Peserta Lelang melakukan Penawaran Pembelian Non-kompetitif untuk
dan atas nama diri sendiri sehingga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Peserta Lelang dikenakan sanksi tidak boleh
mengikuti Lelang Surat Utang Negara sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut.
(2) Dalam …
-14-
(2) Dalam hal Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Surat Utang Negara tidak
melunasi kewajiban sampai dengan batas akhir waktu setelmen akibat Bank yang
melakukan setelmen dana tidak memiliki saldo yang mencukupi pada rekening
giro Rupiah Bank di Bank Indonesia maka seluruh hasil Lelang Surat Utang
Negara yang setelmennya dilakukan melalui Bank tersebut dimaksud adalah batal.
(3) Terhadap setiap transaksi batal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta
Lelang dikenakan sanksi tidak boleh mengikuti Lelang Surat Utang Negara
sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 20
Apabila pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Peserta Lelang Surat Utang
Negara sedang menjalani sanksi tidak boleh mengikuti Lelang Surat Utang Negara
sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/4/PBI/2003 tanggal 21 Maret 2003 tentang Penerbitan, Penjualan dan Pembelian serta
Penatausahaan Surat Utang Negara maka sanksi tersebut tetap berlaku.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Pelaksanaan Penatausahaan Surat Utang Negara, pencatatan kepemilikan Surat Utang
Negara, setelmen transaksi Surat Utang Negara dan pembayaran bunga serta pelunasan
pokok Surat Utang Negara jatuh waktu diatur lebih lanjut dalam ketentuan Bank
Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang berlaku.
Pasal …
-15-
Pasal 22
Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 23
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/4/PBI/2003 tanggal 21 Maret 2003 tentang Penerbitan, Penjualan dan
Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 24
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Februari 2004
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA
ANWAR NASUTION
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 16
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/3/PBI/2004
TENTANG
PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN
SURAT UTANG NEGARA
UMUM
Dalam rangka membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas
penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran dan
mengelola portofolio utang negara, Pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara di
dalam negeri.
Sehubungan dengan penerbitan Surat Utang Negara tersebut di atas, sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, Pemerintah
menunjuk Bank Indonesia sebagai agen lelang yang dapat menyelenggarakan kegiatan
penjualan Surat Utang Negara di Pasar Perdana (Pasal 13), melakukan pembelian dan
penjualan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder atas nama Pemerintah dalam rangka
pengelolaan portofolio utang negara (Pasal 14), dan melakukan penatausahaan Surat
Utang Negara yang mencakup pencatatan penerbitan dan kepemilikan, kliring dan
setelmen baik di Pasar Primer maupun di Pasar Sekunder, serta agen pembayar bunga
(kupon) dan pokok Surat Utang Negara (Pasal 12).
Dalam rangka efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang
terkait dengan penjualan Surat Utang Negara di pasar perdana, pembelian dan penjulan
Surat Utang Negara di pasar sekunder dan Penatausahaan Surat Utang Negara, dan
penatausahaan …
-2-
penatausahaan Surat Utang Negara, Bank Indonesia menerapkan Bank Indonesia-
Scripless Securities Settlement System sebagaimana diatur dalam PBI nomor
6/xx/PBI/2004 tanggal xx Februari 2004 tentang Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Masukan ini dimaksudkan agar tercapai keselarasan antara kebijakan fiskal
termasuk manajemen utang, dan kebijakan moneter yang dilakukan oleh
Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pelaksanaan pembelian dan penjualan di Pasar Sekunder mengikuti
mekanisme yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Butir 1)
Cukup jelas
Butir …
-3-
Butir 2)
Cukup jelas
Butir 3)
Obligasi Negara yang diterbitkan tanpa kupon dan diperdagangkan
berdasarkan sistem Diskonto disebut Zero coupon bond.
Pasal 4
Ketentuan dan persyaratan Surat Utang Negara antara lain mencakup tanggal
penerbitan, unit terkecil yang diterbitkan, jumlah nominal penerbitan, tanggal
pembayaran kupon dan tanggal jatuh tempo Surat Utang Negara.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Bank Indonesia mengajukan usul dimaksud antara lain berdasarkan hal-
hal sebagai berikut; Peserta Lelang sudah tidak memenuhi kriteria dan
persyaratan yang ditetapkan Menteri Keuangan Republik Indonesia, tidak
aktif mengikuti kegiatan Lelang Surat Utang Negara, dan lainnya.
Ayat (5)
Pengumuman ditujukan kepada Peserta Lelang dan kepada publik.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat …
-4-
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan
Valuta Asing adalah perusahaan yang memperoleh izin usaha dari Bank
Indonesia untuk melakukan kegiatan jasa perantara bagi kepentingan
nasabah di bidang pasar uang dan di bidang pasar modal khusus untuk
Surat Utang Negara.
Yang dimaksud dengan Perusahaan Efek adalah Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Kebutuhan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dituangkan
dalam kalender penerbitan (calendar of issuance) yang diterbitkan oleh
Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Yang …
-5-
Yang dimaksud dengan kalender penerbitan (calendar of issuance) adalah
rencana penerbitan Surat Utang Negara oleh Pemerintah pada periode
tertentu.
Ayat (2)
Pengumuman rencana Lelang Surat Utang Negara dilakukan melalui
sarana Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System, Pusat
Informasi Pasar Uang (PIPU) dan atau sarana lainnya.
Pengumuman rencana Lelang Surat Utang Negara memuat sekurang-
kurangnya waktu pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara, jumlah
indikatif yang ditawarkan, jangka waktu, tanggal penerbitan, tanggal
setelmen, tanggal jatuh tempo, mata uang, sistem penentuan pemenang
Lelang Surat Utang Negara, dan waktu pengumuman hasil Lelang Surat
Utang Negara, serta alokasi Penawaran Pembelian Kompetitif dan
Penawaran Pembelian Non-kompetitif.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan harga beragam (multiple price) adalah harga yang
dibayarkan oleh masing-masing pemenang Lelang Surat Utang Negara
sesuai dengan harga penawaran yang diajukannya.
Yang dimaksud dengan harga seragam (uniform price) adalah harga yang
dibayarkan oleh seluruh pemenang Lelang Surat Utang Negara dengan
harga seragam.
Sistem penentuan hasil pemenang Lelang Surat Utang Negara dapat
dilakukan dengan sistem Stop-out Rate dan Cut-off Rate.
Yang …
-6-
Yang dimaksud dengan sistem Stop-out Rate adalah penjualan Surat
Utang Negara berdasarkan target jumlah Surat Utang Negara yang akan
dijual Pemerintah.
Yang dimaksud dengan sistem Cut-off Rate adalah penjualan Surat Utang
Negara berdasarkan target tingkat suku bunga (tingkat Diskonto atau
Yield).
Ayat (3)
Pengumuman hasil Lelang Surat Utang Negara kepada Peserta Lelang
yang memenangkan Lelang Surat Utang Negara dilakukan melalui sarana
Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System dan atau sarana
lainnya dan sekurang-kurangnya mencakup nama pemenang, nilai
nominal yang dimenangkan dan tingkat Diskonto atau Yield yang
diperoleh.
Ayat (4)
Pengumuman hasil Lelang Surat Utang Negara kepada publik dilakukan
melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dan atau sarana lain yang
sekurang-kurangnya mencakup jumlah Lelang Surat Utang Negara secara
keseluruhan, rata-rata tertimbang tingkat Diskonto atau Yield hasil Lelang
Surat Utang Negara, dan tingkat Diskonto atau Yield terendah dan
tertinggi hasil Lelang Surat Utang Negara.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengumuman penolakan seluruh atau sebagian penawaran pembelian
Surat Utang Negara kepada Peserta Lelang dilakukan melalui sarana Bank
Indonesia …
-7-
Indonesia-Scripless Securities Settlement System, sedangkan
pengumuman kepada publik dilakukan melalui Pusat Informasi Pasar
Uang (PIPU) dan atau sarana lainnya.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System adalah sarana Transaksi Dengan Bank Indonesia termasuk
penatausahaannya dan Penatausahaan Surat Berharga secara elektronik
dan terhubung langsung antara Peserta Bank Indonesia-Scripless
Securities Settlement System, Penyelenggara Bank Indonesia-Scripless
Securities Settlement System dan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement.
Yang dimaksud dengan Transaksi Dengan Bank Indonesia adalah
transaksi yang dilakukan Bank Indonesia dalam rangka kegiatan Operasi
Pasar Terbuka, pemberian fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada
Bank dan transkasi Surat Utang Negara untuk dan atas nama Pemerintah.
Yang dimaksud dengan Peserta Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System adalah Departemen Keuangan dan pihak-pihak yang
melakukan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan atau setelmen Surat
Berharga melalui sarana Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System.
Yang …
-8-
Yang dimaksud dengan Penyelenggara adalah pihak pengelola Bank
Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang menyelenggarakan
kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan penatausahaannya
termasuk Penatausahaan Surat Berharga.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan setelmen transaksi Surat Utang Negara adalah
setelmen yang terdiri dari setelmen surat berharga dan atau setelmen dana.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan book entry adalah pencatatan kepemilikan dan
perpindahan kepemilikan tanpa warkat (scripless) dalam suatu jurnal
elektronis.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Setelmen transaksi Surat Berharga secara FoP di pasar perdana dan di
pasar sekunder hanya dilakukan untuk perpindahan kepemilikan Surat
Utang Negara dalam rangka hibah, warisan, pelunasan kewajiban dari dan
kepada Bank Indonesia atau Pemerintah, dan atau tujuan lainnya.
Ayat …
-9-
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan setelmen gross to gross adalah setelmen Surat
Utang Negara dimana setelmen surat berharga dan setelmen dana
dilakukan berdasarkan transaksi per transaksi (trade by trade).
Yang dimaksud dengan setelmen gross to net adalah setelmen Surat
Utang Negara dimana setelmen surat berharga dilakukan secara transaksi
per transaksi (trade by trade) sedangkan setelmen dana secara netting
sistem.
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Bank Indonesia hanya melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pokok
Surat Utang Negara sepanjang tersedianya dana yang cukup pada
rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Pelaporan tersebut antara lain mencakup posisi Surat Utang Negara yang
diterbitkan, posisi kepemilikan Surat Utang Negara, Diskonto yang dibayarkan,
dan data transaksi perdagangan Surat Utang Negara.
Pasal …
-10-
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia memuat
antara lain :
a. tata cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana;
b. kriteria dan persyaratan Peserta Lelang;
c. persyaratan dan tata cara penunjukan Sub-Registry.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4364
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/3/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA </reg_title>
<set_date> 16 Februari 2004 </set_date>
<effective_date> 16 Februari 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '5/4/PBI/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/2/PBI/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/7/PBI/2017
TENTANG PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING
KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sejalan dengan tujuan Bank Indonesia yaitu
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank
Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan
pengendalian moneter yang dilakukan salah satunya
melalui pengaturan lalu lintas pembawaan uang kertas
asing ke dalam dan ke luar daerah pabean Indonesia;
b. bahwa untuk mendukung efektivitas penerapan ketentuan
pembawaan uang kertas asing tersebut, diperlukan
penyesuaian pengaturan salah satunya terkait sanksi atas
pelanggaran ketentuan pembawaan uang kertas asing ke
dalam dan ke luar daerah pabean Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/7/PBI/2017 tentang Pembawaan
Uang Kertas Asing ke Dalam dan ke Luar Daerah Pabean
Indonesia;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/7/PBI/2017
TENTANG PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM
DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA.
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/7/PBI/2017 tentang Pembawaan Uang Kertas Asing ke
Dalam dan ke Luar Daerah Pabean Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6050) diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud
dengan:
1. Uang Kertas Asing yang selanjutnya disingkat UKA
adalah uang kertas dalam valuta asing yang resmi
diterbitkan oleh suatu negara di luar Indonesia dan
diakui sebagai alat pembayaran yang sah di negara
yang bersangkutan.
2. Pembawaan UKA adalah kegiatan memasukkan
dan/atau mengeluarkan UKA ke dalam dan/atau ke
luar daerah pabean yang dilakukan dengan cara
membawa sendiri atau menggunakan jasa pihak lain,
untuk kepentingan sendiri atau pihak lain baik
melalui kargo dan/atau barang bawaan penumpang.
3.
Izin Pembawaan UKA adalah izin yang diberikan Bank
Indonesia untuk melakukan Pembawaan UKA.
4. Badan Berizin adalah korporasi yang memperoleh Izin
Pembawaan UKA.
5. Persetujuan Pembawaan UKA adalah persetujuan
yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Badan
Berizin untuk Pembawaan UKA.
6. Daerah Pabean adalah daerah pabean sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai kepabeanan.
7. Bank adalah bank umum dan bank perkreditan
rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-
- 4 -
Undang yang mengatur mengenai perbankan serta
bank syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah.
8. Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta
Asing Bukan Bank yang selanjutnya disebut
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank adalah
penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta
asing bukan bank sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank.
9. Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah yang
selanjutnya disingkat PJPUR adalah penyelenggara
jasa pengolahan uang rupiah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggara jasa pengolahan uang
rupiah.
10. PJPUR Terdaftar adalah PJPUR yang telah
melakukan pendaftaran kepada Bank Indonesia
untuk melakukan Pembawaan UKA.
11. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau
korporasi.
2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 2
(1) Setiap Orang dilarang melakukan Pembawaan UKA
dengan jumlah yang nilainya paling sedikit setara
dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi Badan Berizin.
(3) Pihak yang dapat menjadi Badan Berizin
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. Bank; dan
b. Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
- 5 -
(4) Badan Berizin sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat melakukan Pembawaan UKA untuk
kepentingan sendiri dan/atau untuk kepentingan
pihak lain.
3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
(1) Badan Berizin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) setiap akan melakukan Pembawaan UKA
dengan jumlah yang nilainya paling sedikit setara
dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah),
wajib memperoleh Persetujuan Pembawaan UKA.
(2) Persetujuan Pembawaan UKA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu)
periode Pembawaan UKA; dan
b. persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA.
(3) Badan Berizin dilarang melakukan Pembawaan UKA
melebihi persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
4. Di antara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 2 (dua) pasal,
yakni Pasal 7A dan Pasal 7B sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7A
(1) Untuk mendapatkan Persetujuan Pembawaan UKA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Badan
Berizin mengajukan permohonan Persetujuan
Pembawaan UKA kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan Persetujuan Pembawaan UKA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf
a dilengkapi dengan proyeksi kebutuhan UKA per
mata uang dan detail rencana Pembawaan UKA
untuk periode Pembawaan UKA yang bersangkutan.
- 6 -
(3) Permohonan
Persetujuan Pembawaan UKA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf
a diajukan kepada Bank Indonesia paling lambat 1
(satu) bulan sebelum Pembawaan UKA.
(4) Bank Indonesia dapat meminta dokumen pendukung
terkait dengan permohonan Persetujuan Pembawaan
UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 7B
(1) Dalam hal terdapat kebutuhan penambahan kuota
dalam periode Pembawaan UKA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, Badan
Berizin dapat mengajukan permintaan penambahan
kuota sebanyak 1 (satu) kali dalam periode
Pembawaan UKA.
(2) Permintaan penambahan kuota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Badan Berizin
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum
Pembawaan UKA.
5. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 8
Bank Indonesia dapat menolak permohonan Persetujuan
Pembawaan UKA dari Badan Berizin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 7B ayat (1)
berdasarkan pertimbangan:
a. peruntukan Pembawaan UKA;
b. aspek historis Pembawaan UKA;
c. kondisi makroekonomi; dan/atau
d. pertimbangan lainnya.
- 7 -
6. Di antara BAB V dan BAB VI disisipkan 1 (satu) bab, yakni
BAB VA sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB VA
PELAPORAN DAN PENGAWASAN
Pasal 14A
(1) Badan Berizin wajib menyampaikan laporan
mengenai realisasi Pembawaan UKA untuk setiap
periode Pembawaan UKA.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja sejak akhir periode
Pembawaan UKA.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Pasal 14B
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan
terhadap Badan Berizin dalam Pembawaan UKA.
(2) Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
a. pengawasan secara tidak langsung; dan
b. pengawasan secara langsung.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap Badan
Berizin sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank
Indonesia dapat meminta laporan, keterangan, data,
dan/atau informasi kepada Badan Berizin, otoritas
terkait, dan/atau pihak terkait lainnya mengenai
Pembawaan UKA.
(4) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk
melakukan
pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
secara langsung
- 8 -
7. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
(1) Penetapan konversi UKA ke dalam mata uang rupiah
yang terkait dengan ambang batas Pembawaan UKA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 7 ayat (1) menggunakan nilai kurs yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(2) Dalam hal mata uang asing yang digunakan dalam
Pembawaan UKA tidak terdapat dalam nilai kurs yang
ditetapkan Menteri Keuangan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penetapan konversi mata
uang asing tersebut dilakukan ke dalam dolar
Amerika Serikat terlebih dahulu dengan
menggunakan kurs jual pasar sebelum menggunakan
nilai kurs yang ditetapkan Menteri Keuangan.
8. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
Setiap Orang yang melakukan pelanggaran atas ketentuan
Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebesar 10% (sepuluh persen) dari seluruh jumlah UKA
yang dibawa dengan jumlah paling banyak setara dengan
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
9. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
(1) Badan Berizin yang melakukan Pembawaan UKA
dengan jumlah yang nilainya paling sedikit setara
dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
tidak memiliki Persetujuan Pembawaan UKA
- 9 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1),
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
10% (sepuluh persen) dari seluruh jumlah UKA yang
dibawa dengan jumlah paling banyak setara dengan
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Badan Berizin yang melakukan pelanggaran
ketentuan Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3), dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh
persen) dari kelebihan jumlah UKA yang dibawa
dengan jumlah paling banyak setara dengan
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(3) Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), Badan Berizin juga
dikenakan sanksi administratif oleh Bank Indonesia
berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian sementara Pembawaan UKA;
dan/atau
c. pencabutan Izin Pembawaan UKA.
10. Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 2 (dua) pasal,
yakni Pasal 20A dan Pasal 20B sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20A
(1) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20 dilaksanakan
sebagai berikut:
a. diambil langsung dari UKA yang dibawa;
b. dibayarkan dalam mata uang rupiah; dan/atau
c. dibayarkan dalam mata uang asing lainnya yang
dapat ditukarkan di Indonesia.
(2) Dalam hal sanksi administratif berupa denda
dibayarkan dalam mata uang rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau mata uang
asing lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
- 10 -
huruf c maka kurs konversi yang digunakan pada
saat penetapan sanksi yaitu kurs jual pasar yang
berlaku saat itu.
(3) Dalam hal sanksi administratif berupa denda diambil
langsung dari UKA yang dibawa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau dibayarkan
dalam mata uang asing lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c maka kurs konversi
yang digunakan pada saat penyetoran ke kas negara
yaitu kurs jual pasar yang berlaku pada saat itu.
Pasal 20B
(1) Pengenaan sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20 disetor ke kas
negara melalui akun penerimaan pabean lainnya.
11. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
Badan Berizin yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (1),
dan/atau Pasal 14A dikenakan sanksi administratif oleh
Bank Indonesia berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian sementara Pembawaan UKA; dan/atau
c. pencabutan Izin Pembawaan UKA.
- 11 -
12. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 22 diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
13. Di antara Pasal 25 dan Pasal 26 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 25A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25A
Kewajiban untuk memperoleh Izin Pembawaan UKA
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia
ini, tidak menghapuskan kewajiban pelaporan atas
pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain
ke dalam atau ke luar Daerah Pabean Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan
yang mengatur mengenai
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang.
14. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7, Pasal 7A, dan Pasal 14A
mulai berlaku pada tanggal 4 Juni 2018.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19,
Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 20B, Pasal 22, dan Pasal
23 mulai berlaku pada tanggal 3 September 2018.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 12 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2018
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
AGUS D.W.MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Maret 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 25
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/2/PBI/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/7/PBI/2017
TENTANG PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING
KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA
I. UMUM
Guna mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah sesuai dengan
amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana beberapa kali telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk
melakukan pengendalian moneter.
Untuk mendukung efektivitas pengendalian moneter, perlu diatur
mekanisme Pembawaan UKA dengan nilai paling sedikit setara dengan
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sehingga Bank Indonesia dapat
memonitor secara baik jumlah pasokan dan kebutuhan UKA di domestik
sekaligus memitigasi Pembawaan UKA yang tidak memiliki peruntukan
transaksi yang wajar.
Untuk mendukung efektivitas ketentuan Pembawaan UKA maka Bank
Indonesia perlu melakukan penyesuaian pengaturan salah satunya terkait
sanksi atas pelanggaran ketentuan Pembawaan UKA dari yang semula
berupa penegahan sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur
mengenai kepabeanan menjadi sanksi administratif berupa denda.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
UKA termasuk UKA yang berbahan dasar plastik.
Hasil cetak uang kertas asing yang dilakukan oleh
perusahaan percetakan uang di Indonesia tidak
dianggap sebagai UKA mengingat hasil cetak uang
kertas asing tersebut belum diakui sebagai alat
pembayaran yang sah oleh negara yang bersangkutan.
Dengan demikian, perusahaan yang diberikan
kewenangan untuk melakukan pencetakan uang atas
dasar permintaan otoritas negara lain dapat membawa
hasil cetak uang kertas asing sebagaimana ketentuan
yang berlaku.
Pembawaan UKA dengan jumlah yang nilainya paling
sedikit setara dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) memperhitungkan seluruh UKA yang dibawa.
Contoh:
Seseorang melakukan Pembawaan UKA sebagai berikut:
a. AUD50.000,00 (lima puluh ribu dolar Australia);
b. USD30.000,00 (tiga puluh ribu dolar Amerika
Serikat); dan
c. EUR20.000,00 (dua puluh ribu euro).
Kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang
berlaku pada saat Pembawaan UKA yaitu:
1 AUD = Rp10.800,00
1 USD = Rp13.500,00
1 EUR = Rp17.000,00
- 3 -
Maka nilai UKA yang dibawa yaitu sebesar:
(AUD50.000,00 x Rp10.800,00) + (USD30.000,00 x
Rp13.500,00) + (EUR20.000,00 x Rp17.000,00) =
Rp1.285.000.000,00.
Dengan demikian, nilai UKA yang dibawa yaitu sebesar
Rp1.285.000.000,00 (satu miliar dua ratus delapan
puluh lima juta rupiah), telah melewati ambang batas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “periode Pembawaan UKA”
adalah periode Pembawaan UKA secara kuartalan
yaitu periode Januari sampai dengan Maret, April
sampai dengan Juni, Juli sampai dengan
September, dan Oktober sampai dengan Desember.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “persetujuan untuk setiap
Pembawaan UKA” adalah persetujuan yang
diberikan untuk setiap Pembawaan UKA dengan
mengacu pada kuota yang diberikan oleh Bank
Indonesia.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Pembawaan UKA melebihi
persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA” adalah
jumlah UKA yang dibawa lebih besar daripada jumlah
UKA yang disetujui oleh Bank Indonesia untuk masing-
masing mata uang pada setiap Pembawaan UKA.
- 4 -
Angka 4
Pasal 7A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “periode Pembawaan UKA”
adalah periode Pembawaan UKA secara kuartalan, yaitu
periode Januari sampai dengan Maret, April sampai
dengan Juni, Juli sampai dengan September, dan
Oktober sampai dengan Desember.
Ayat (3)
Contoh:
Apabila Badan Berizin akan melakukan Pembawaan
UKA pada tanggal 15 Februari 2018 untuk periode
Januari sampai dengan Maret tahun 2018 maka Badan
Berizin tersebut mengajukan permohonan Persetujuan
Pembawaan UKA untuk memperoleh kuota Pembawaan
UKA, paling lambat tanggal 15 Januari 2018.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7B
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 8
Huruf a
Penolakan Persetujuan Pembawaan UKA oleh Bank
Indonesia berdasarkan pertimbangan peruntukan
Pembawaan UKA misalnya Badan Berizin yang
mengajukan permohonan Persetujuan Pembawaan UKA
melakukan Pembawaan UKA untuk kepentingan
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank tidak berizin
dan/atau penyelenggara transfer dana tidak berizin.
Huruf b
Cukup jelas.
- 5 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 14A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “periode Pembawaan UKA”
adalah periode Pembawaan UKA secara kuartalan yaitu
periode Januari sampai dengan Maret, April sampai
dengan Juni, Juli sampai dengan September, dan
Oktober sampai dengan Desember.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pengawasan secara tidak langsung dilakukan
antara lain melalui monitoring, analisis, dan
evaluasi terhadap dokumen, data, informasi,
laporan, keterangan, dan/atau penjelasan yang
disampaikan oleh Badan Berizin atau sumber
informasi lainnya.
Huruf b
Pengawasan secara langsung dilakukan melalui
pemeriksaan secara berkala dan/atau sewaktu-
waktu kepada Badan Berizin maupun pihak yang
bekerja sama dengan Badan Berizin.
Termasuk dalam pengawasan langsung yaitu
pemeriksaan dokumen, sarana fisik, dan aplikasi
yang digunakan oleh Badan Berizin.
- 6 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kurs jual pasar” antara lain
kurs perbankan, kurs Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank, kurs pada Bloomberg, atau kurs pada Reuters
yang digunakan untuk menjual UKA.
Angka 8
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Besarnya denda dihitung dari kelebihan UKA untuk
setiap mata uang.
Contoh:
Suatu Badan Berizin melakukan Pembawaan UKA
sebesar AUD50.000,00 (lima puluh ribu dolar Australia)
dan USD120.000,00 (seratus dua puluh ribu dolar
Amerika Serikat). Namun demikian, Badan Berizin
tersebut hanya memiliki persetujuan untuk setiap kali
Pembawaan UKA sebesar AUD40.000,00 (empat puluh
ribu dolar Australia) dan USD100.000,00 (seratus ribu
dolar Amerika Serikat).
- 7 -
Dengan demikian, perhitungan sanksi denda yang
dikenakan kepada Badan Berizin tersebut yaitu sebagai
berikut:
a. untuk mata uang AUD, yaitu sebesar 10% x
(AUD50.000,00 – AUD40.000,00) = AUD1.000,00
(seribu dolar Australia); dan
b. untuk mata uang USD, yaitu sebesar 10% x
(USD120.000,00 – USD100.000,00) = USD2.000,00
(dua ribu dolar Amerika Serikat).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 20A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kurs jual pasar” antara lain
kurs perbankan, kurs Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank, kurs pada Bloomberg, atau kurs pada Reuters
yang digunakan untuk menjual UKA.
Contoh:
a. suatu pihak dikenakan sanksi administratif berupa
denda dalam mata uang dolar Australia (AUD)
sebesar AUD5.000,00 (lima ribu dolar Australia),
namun yang bersangkutan memilih pembayaran
denda dengan mata uang dolar Amerika Serikat
(USD). Kurs yang digunakan untuk mengkonversi
AUD ke dalam USD menggunakan kurs jual pasar
(misalnya kurs Reuters pada saat itu AUD1,00 =
USD0,8000).
Dengan demikian, denda yang dibayarkan sebesar
AUD5.000,00 x USD0,8000 = USD4.000,00; dan
b. suatu pihak dikenakan sanksi administratif berupa
denda dalam mata uang AUD sebesar AUD5.000,00
(lima ribu dolar Australia), namun yang
bersangkutan memilih pembayaran denda dengan
- 8 -
mata uang rupiah. Kurs yang digunakan untuk
mengkonversi AUD ke dalam rupiah menggunakan
kurs jual pasar (misalnya kurs Reuters pada saat
itu AUD1,00 = Rp10.800,00).
Dengan demikian, denda yang dibayarkan sebesar
AUD5.000,00 x Rp10.800,00 = Rp54.000.000,00.
Ayat (3)
Contoh:
Seorang petugas bea cukai akan menyetorkan denda
sebesar USD4.000,00 (empat ribu dolar Amerika
Serikat) ke kas negara. Kurs konversi yang digunakan
yaitu kurs jual pasar yang berlaku pada saat penyetoran
(misalnya kurs Reuters pada saat itu USD1,00 =
Rp13.500,00). Dengan demikian, denda yang disetorkan
ke kas negara sebesar USD4.000,00 x Rp13.500,00 =
Rp54.000.000,00.
Pasal 20B
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 24
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 25A
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 26
Cukup jelas.
- 9 -
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6185
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 20/2/PBI/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/7/PBI/2017 TENTANG PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA </reg_title>
<set_date> 1 Maret 2018 </set_date>
<effective_date> 5 Maret 2018 </effective_date>
<issued_date> 5 Maret 2018 </issued_date>
<changed_reg> '19/7/PBI/2017' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '17/UU/2006', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011', '24/UU/1999', '10/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 8 Pasal 19', 'Pasal I Angka 9 Pasal 20', 'Pasal I Angka 10 Pasal 20A', 'Pasal I Angka 10 Pasal 20B', 'Pasal I Angka 11 Pasal 22' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/15/PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/16/PBI/2014 TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH
ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dinamika kondisi ekonomi dan keuangan global
membutuhkan upaya untuk peningkatan stabilitas nilai
tukar dan penguatan daya tahan pasar keuangan
domestik;
b. bahwa peningkatan stabilitas nilai tukar dan penguatan
daya tahan pasar keuangan domestik dapat dicapai
melalui pengembangan pasar valuta asing domestik
yang sehat dan seimbang;
c. bahwa dalam rangka mewujudkan pasar valuta asing
domestik yang sehat dan seimbang diperlukan upaya
untuk mendorong peningkatan likuiditas transaksi
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
melakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank
Indonesia tentang Transaksi Valuta Asing terhadap
Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik;
Mengingat :
a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia…
- 2 -
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
b. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING
TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK
DOMESTIK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014
tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak
Domestik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 212,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5581) yang telah
beberapa kali diubah dengan Peraturan Bank Indonesia:
a. Nomor 17/6/PBI/2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5701);
b. Nomor …
- 3 -
b. Nomor 17/13/PBI/2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5736),
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
dengan Pihak Domestik atas dasar suatu kontrak.
(2) Dalam melakukan kegiatan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah,
Bank wajib:
a. memiliki pedoman internal tertulis sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan otoritas perbankan yang mengatur tentang transaksi
derivatif dan penerapan manajemen risiko Bank;
b. memenuhi ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai
kategori Bank yang dapat melakukan kegiatan transaksi valuta
asing;
c. menerapkan manajemen risiko secara efektif sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur
mengenai penerapan manajemen risiko Bank;
d. melakukan self assessment mengenai kesiapan manajemen risiko
Bank, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan
yang mengatur mengenai transaksi derivatif dan tingkat kesehatan
Bank Umum;
e. melakukan mark-to-market untuk transaksi derivatif sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur
mengenai transaksi derivatif dan penerapan manajemen risiko
bank;
f. memberikan edukasi tentang Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah kepada Nasabah untuk pelaksanaan kegiatan
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah, dan
g. memenuhi…
- 4 -
g. memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kewajiban penggunaan Rupiah.
2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank
dengan Nasabah di atas jumlah tertentu (threshold) wajib memiliki
Underlying Transaksi.
(2) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
seluruh kegiatan:
a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri;
dan/atau
b. investasi berupa direct investment, portfolio investment, pinjaman,
modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri.
(3) Underlying Transaksi kegiatan perdagangan barang dan jasa
dan/atau investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi juga
perkiraan pendapatan dan biaya (income and expense estimation).
(4) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
termasuk:
a. kegiatan penempatan dana pada Bank antara lain berupa
tabungan, giro, deposito, dan Negotiable Certificate of Deposit
(NCD);
b. kegiatan pengiriman uang oleh perusahaan transfer dana; dan
c. fasilitas pemberian kredit yang masih belum ditarik, antara lain
berupa standby loan dan undisbursed loan.
(5) Khusus untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui
transaksi forward, Underlying Transaksi juga meliputi kepemilikan
dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri antara lain
berupa tabungan, giro, deposito, dan Negotiable Certificate of Deposit
(NCD).
3. Ketentuan…
- 5 -
3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah
kepada Bank melalui Transaksi Derivatif adalah USD100,000.00
(seratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per
Nasabah.
(2) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah
kepada Bank melalui transaksi forward adalah USD5,000,000.00
(lima juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per
Nasabah.
(3) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah
kepada Bank melalui transaksi option adalah USD1,000,000.00 (satu
juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per
Nasabah.
(4) Pembelian dan penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah
kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) dilarang melebihi nilai nominal Underlying Transaksi.
(5) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) tidak dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu
dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying
Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam
kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat).
(6) Jangka waktu Transaksi Derivatif dilarang melebihi jangka waktu
Underlying Transaksi.
4. Ketentuan…
- 6 -
4. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk transaksi valuta asing
terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank di atas jumlah tertentu
(threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1),
Pasal 5 ayat (2), dan Pasal 5 ayat (3) tidak berlaku untuk penyelesaian
Transaksi Derivatif awal yang dilakukan melalui:
a. perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka waktu
perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka
waktu Underlying Transaksi awal;
b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau
c. pengakhiran transaksi (unwind).
5. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Penyelesaian Transaksi Spot antara Bank dengan Nasabah dan antar
Bank wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh.
(2) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Nasabah dan
antar Bank dapat dilakukan secara netting atau dengan pemindahan
dana pokok secara penuh.
(3) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Nasabah dan
antar Bank yang dapat dilakukan secara netting sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi
(roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind).
(4) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah
kepada Bank melalui transaksi forward dengan nominal transaksi di
bawah jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok
secara penuh.
(5) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah
kepada Bank melalui transaksi forward dengan menggunakan
Underlying…
- 7 -
Underlying Transaksi berupa kepemilikan dana valuta asing di dalam
negeri dan di luar negeri wajib dilakukan dengan pemindahan dana
pokok secara penuh.
6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
(1) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Nasabah secara
netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) untuk transaksi
pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar
jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) dapat dilakukan sepanjang didukung dengan Underlying
Transaksi dari Transaksi Derivatif awal.
(2) Penyelesaian transaksi option antara Bank dengan Nasabah secara
netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) untuk transaksi
penjualan valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar
jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (3) dapat dilakukan sepanjang didukung dengan Underlying
Transaksi dari Transaksi Derivatif awal.
(3) Dalam hal pada saat penyelesaian Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Nasabah
tidak dapat menyampaikan dokumen Underlying Transaksi maka
penyelesaian Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dilakukan
dengan pemindahan dana pokok secara penuh.
7. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Jenis dokumen Underlying Transaksi ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang diwajibkan
menggunakan Rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat menjadi
dokumen Underlying Transaksi.
(3) Ketentuan…
- 8 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jenis dokumen
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
8. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap
Rupiah kepada Bank di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), Bank wajib
memastikan Nasabah untuk menyampaikan dokumen sebagai
berikut:
a. dokumen
Underlying
Transaksi
yang
dapat
dipertanggungjawabkan baik yang bersifat final maupun berupa
perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa:
1.
fotokopi dokumen identitas Nasabah dan fotokopi Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan
2. pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani
oleh pihak yang berwenang dari Nasabah atau pernyataan
tertulis yang authenticated dari Nasabah yang memuat
informasi mengenai:
a) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan penggunaan
dokumen Underlying Transaksi untuk pembelian valuta
asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal
Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di
Indonesia; dan
b) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal
penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen
Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf
a berupa perkiraan.
(2) Dalam hal Nasabah melakukan penjualan valuta asing terhadap
Rupiah kepada Bank melalui transaksi forward atau transaksi option
di atas…
- 9 -
di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Bank wajib memastikan Nasabah
menyampaikan dokumen sebagai berikut:
a. dokumen
Underlying
Transaksi
yang
dapat
dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun berupa
perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis bermeterai
cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari
Nasabah atau pernyataan tertulis yang authenticated dari
Nasabah yang memuat informasi mengenai:
1. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
2. penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk penjualan
valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal
Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia;
dan
3. sumber dana, jumlah penjualan, dan waktu penerimaan
valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan.
(3) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap
Rupiah kepada Bank paling banyak sebesar jumlah tertentu
(threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5
ayat (1), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan dokumen
berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup atau pernyataan tertulis
yang authenticated dari Nasabah yang menyatakan bahwa pembelian
valuta asing terhadap Rupiah tidak lebih dari jumlah tertentu
(threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5
ayat (1) dalam sistem perbankan di Indonesia.
(4) Dalam hal Nasabah melakukan penjualan valuta asing terhadap
Rupiah kepada Bank melalui transaksi forward atau transaksi option
paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana
dimaksud…
- 10 -
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), tidak ada kewajiban
bagi Nasabah untuk menyampaikan dokumen.
(5) Dalam hal Nasabah melakukan penyelesaian transaksi secara netting
untuk Transaksi Derivatif pembelian valuta asing terhadap Rupiah
paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Bank wajib memastikan Nasabah
menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Dalam hal Nasabah melakukan penyelesaian transaksi secara netting
untuk transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui
transaksi option paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), Bank wajib
memastikan Nasabah menyampaikan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
9. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (4), Pasal 5 ayat (6), Pasal 8
ayat (1), Pasal 8 ayat (4), Pasal 8 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1),
Pasal 12 ayat (2), Pasal 12 ayat (5), Pasal 12 ayat (6), Pasal 13 ayat (4),
Pasal 13 ayat (5), Pasal 13 ayat (6), Pasal 13 ayat (7), Pasal 16, Pasal
17 ayat (1), dan/atau Pasal 18 dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu
persen) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap
pelanggaran, dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah) dan paling banyak sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah).
(2) Perhitungan nilai nominal transaksi yang dilanggar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. selisih antara total nilai nominal Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah dengan threshold kewajiban pemenuhan
Underlying Transaksi; atau
b. total…
- 11 -
b.
total nilai nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang
tidak didukung dengan Underlying Transaksi dalam hal nilai
nominal transaksi di bawah threshold tetapi dilakukan
penyelesaian transaksi secara netting.
(3) Perhitungan nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk Pasal 17
ayat (1) dan Pasal 18 diatur sebagai berikut:
a. pelanggaran terhadap larangan pemberian kredit atau
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1),
dihitung dari nilai persetujuan kredit atau pembiayaan yang
digunakan untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah; dan
b. pelanggaran terhadap larangan pemberian cerukan dan/atau
fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan cerukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, dihitung dari nilai
cerukan dan/atau fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan
cerukan yang diberikan Bank kepada Nasabah.
(4) Penghitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menggunakan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate
(JISDOR) pada tanggal terjadinya pelanggaran.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar …
- 12 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Oktober 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Oktober 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 223
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/15/PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/16/PBI/2014 TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH
ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK
I. UMUM
Perkembangan pasar keuangan domestik, termasuk pasar valuta
asing, cenderung mengalami tekanan sejalan dengan perkembangan pasar
keuangan global yang pada gilirannya berdampak terhadap instabilitas
nilai tukar. Selain itu, tingginya kebutuhan pelaku ekonomi terhadap
valuta asing untuk mendukung kegiatan ekonomi juga turut menjadi
penyebab tekanan terhadap nilai tukar.
Dalam kaitan ini, diperlukan respons kebijakan untuk menjaga
stabilitas nilai tukar dan perekonomian nasional. Permasalahan lain yang
dihadapi adalah keterbatasan penawaran valuta asing oleh pelaku
ekonomi sehingga diperlukan langkah-langkah untuk mendorong
peningkatan penawaran valuta asing di pasar domestik. Penyempurnaan
terhadap ketentuan terkait dengan transaksi valuta asing terhadap Rupiah
antara Bank dengan pihak domestik merupakan salah satu upaya
meningkatkan penawaran valuta asing sehingga dapat memenuhi
tingginya kebutuhan terhadap valuta asing dalam rangka kegiatan
ekonomi.
Dengan adanya kebijakan tersebut, perlu dilakukan perubahan
ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang
Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak
Domestik.
II. PASAL …
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Ayat (1)
Pihak Domestik meliputi Nasabah dan Bank.
Yang dimaksud dengan “kontrak” adalah konfirmasi tertulis
yang menunjukkan terjadinya transaksi yang antara lain
berupa dealing conversation, SWIFT, atau konfirmasi tertulis
lainnya.
Ayat (2)
Huruf a
Pedoman internal tertulis berisi antara lain pencatatan
akuntansi, sumber daya manusia, sistem, dan
penerapan manajemen risiko yang disetujui oleh
manajemen Bank sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan otoritas perbankan.
Huruf b
Ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai
kategori Bank yang dapat melakukan kegiatan transaksi
valuta asing antara lain mengatur bahwa Bank yang
dapat melakukan transaksi valuta asing, baik Transaksi
Spot maupun transaksi derivatif plain vanilla (forward,
swap, option, dan CCS) paling kurang adalah Bank
BUKU 2.
Huruf c
Ketentuan otoritas yang mengatur mengenai penerapan
manajemen risiko Bank antara lain mengatur bahwa
Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif
yang paling kurang mencakup:
1. pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi;
2. kecukupan …
- 3 -
2. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan
limit;
3. kecukupan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan dan pengendalian risiko serta
sistem informasi manajemen risiko; dan
4. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Edukasi dilakukan dalam rangka memberikan
pemahaman kepada Nasabah mengenai manfaat dan
risiko Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah.
Huruf g
Cukup jelas
Angka 2
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri
antara lain berupa kegiatan usaha pedagang valuta
asing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “direct investment” adalah
investasi langsung Nasabah ke luar negeri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b…
- 4 -
Huruf b
Dalam hal perusahaan transfer dana menerima perintah
nasabahnya untuk melakukan pembelian valuta asing
untuk memenuhi kebutuhan transfer nasabahnya,
perintah nasabah dimaksud tidak dapat menjadi
Underlying Transaksi.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemindahan dana pokok secara penuh”
adalah penyerahan dana secara riil untuk masing-masing
transaksi jual dan/atau transaksi beli valuta asing terhadap
Rupiah sebesar nilai penuh nominal transaksi atau
ekuivalennya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 6…
- 5 -
Angka 6
Pasal 10
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 11
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi
yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan
mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu
pemenuhan kebutuhannya.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Dalam hal Nasabah merupakan badan usaha selain
Bank, yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang”
adalah pejabat yang mewakili badan usaha
berdasarkan anggaran dasarnya atau pejabat yang
ditunjuk dengan menggunakan surat kuasa.
Dalam hal Nasabah merupakan perorangan, yang
dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” adalah
dirinya sendiri atau pihak yang diberi kuasa.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi
yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan
mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu
pemenuhan kebutuhannya.
Huruf b…
- 6 -
Huruf b
Dalam hal Nasabah merupakan badan usaha selain Bank,
yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang” adalah
pejabat yang mewakili badan usaha berdasarkan anggaran
dasarnya atau pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan
surat kuasa.
Dalam hal Nasabah merupakan perorangan, yang
dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” adalah dirinya
sendiri atau pihak yang diberi kuasa.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”pernyataan tertulis yang authenticated”
adalah pernyataan tertulis yang telah diverifikasi atau
dibuktikan kebenarannya secara sistem.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5743
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/15/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK </reg_title>
<set_date> 2 Oktober 2015 </set_date>
<effective_date> 7 Oktober 2015 </effective_date>
<issued_date> 7 Oktober 2015 </issued_date>
<changed_reg> '16/16/PBI/2014' </changed_reg>
<extension_of> '17/6/PBI/2015', '17/13/PBI/2015' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 9 Pasal 20' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 13/ 4 /PBI/2011
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/22/PBI/2008
TENTANG PEMENUHAN KEBUTUHAN VALUTA ASING KORPORASI
DOMESTIK MELALUI BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka menghadapi gejolak ekonomi yang
berpengaruh terhadap ketersediaan valuta asing di pasar
domestik, Bank Indonesia telah mengeluarkan kebijakan
pemenuhan kebutuhan valuta asing korporasi domestik melalui
bank;
b. bahwa perkembangan ekonomi dan kondisi pasar valuta asing
domestik yang semakin baik telah meningkatkan kemampuan
korporasi domestik untuk memenuhi kebutuhan valuta asing
melalui mekanisme yang berlaku umum di pasar domestik;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu untuk melakukan pencabutan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/22/PBI/2008 tentang
Pemenuhan Kebutuhan Valuta Asing Korporasi Domestik
Melalui Bank;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3844);
Memutuskan …
- 3 -
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENCABUTAN
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/22/PBI/2008
TENTANG PEMENUHAN KEBUTUHAN VALUTA ASING
KORPORASI DOMESTIK MELALUI BANK.
Pasal 1
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/22/PBI/2008 tentang Pemenuhan Kebutuhan
Valuta Asing Korporasi Domestik Melalui Bank (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4906) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 2 …
- 4 -
Pasal 2
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Januari 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Januari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 10
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/4/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PENCABUTAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/22/PBI/2008 TENTANG PEMENUHAN KEBUTUHAN VALUTA ASING KORPORASI DOMESTIK MELALUI BANK </reg_title>
<set_date> 21 Januari 2011 </set_date>
<effective_date> 21 Januari 2011 </effective_date>
<issued_date> 21 Januari 2011 </issued_date>
<replaced_reg> '10/22/PBI/2008' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/26/PBI/2012
TENTANG
KEGIATAN USAHA DAN JARINGAN KANTOR
BERDASARKAN MODAL INTI BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka menghadapi dinamika regional
dan global, serta untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi
Indonesia secara optimal dan
berkesinambungan, perlu peningkatan ketahanan,
daya saing, dan efisiensi industri perbankan
nasional;
b. bahwa dalam rangka peningkatan ketahanan, daya
saing, dan efisiensi perbankan nasional, perlu
dilakukan penataan cakupan kegiatan usaha dan
pembukaan jaringan kantor yang disesuaikan
dengan kapasitas permodalan bank;
c. bahwa untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
Indonesia secara berkesinambungan, perbankan
Indonesia juga perlu meningkatkan fungsi
intermediasi secara optimal khususnya kepada
usaha produktif;
d. bahwa ...
- 2 -
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia
tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor
Berdasarkan Modal Inti Bank;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN ...
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEGIATAN
USAHA DAN JARINGAN KANTOR BERDASARKAN
MODAL INTI BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri, dan Bank Umum Syariah serta Unit Usaha Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Modal Inti:
a. bagi Bank yang berbadan hukum Indonesia adalah modal inti
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum;
atau
b. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri adalah dana usaha yang telah dialokasikan sebagai
Capital Equivalency Maintained Asset (CEMA) sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kewajiban penyediaan modal minimum.
3. Kegiatan...
- 4 -
3. Kegiatan Usaha adalah kegiatan usaha Bank Umum sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 dan kegiatan usaha Bank Umum Syariah
serta Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
4. Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha yang selanjutnya
disebut BUKU adalah pengelompokan Bank berdasarkan Kegiatan
Usaha yang disesuaikan dengan Modal Inti yang dimiliki.
5. Jaringan Kantor Bank adalah:
a. kantor Bank di dalam negeri yang meliputi Kantor Cabang,
Kantor Wilayah yang melakukan kegiatan operasional, Kantor
Cabang Pembantu, Kantor Fungsional yang melakukan
kegiatan operasional, dan/atau Kantor Kas; dan
b. kantor Bank di luar negeri yang meliputi Kantor Cabang,
kantor perwakilan, dan/atau jenis kantor lainnya di luar
negeri,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai Bank Umum, Bank Umum Syariah, atau Unit
Usaha Syariah.
6. Pembukaan Jaringan Kantor adalah pembukaan kantor Bank
termasuk pembukaan kantor yang berasal dari pemindahan
alamat atau perubahan status kantor Bank.
7. Rencana Bisnis Bank yang selanjutnya disingkat RBB adalah
rencana bisnis bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai rencana bisnis bank.
Pasal 2 ...
- 5 -
Pasal 2
Bank hanya dapat melakukan Kegiatan Usaha dan memiliki Jaringan
Kantor sesuai dengan Modal Inti yang dimiliki.
Pasal 3
(1) Berdasarkan Modal Inti yang dimiliki, Bank dikelompokkan
menjadi 4 (empat) BUKU, yaitu:
a. BUKU 1 adalah Bank dengan Modal Inti sampai dengan
kurang dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun Rupiah);
b. BUKU 2 adalah Bank dengan Modal Inti paling sedikit sebesar
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun Rupiah) sampai dengan
kurang dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun Rupiah);
c. BUKU 3 adalah Bank dengan Modal Inti paling sedikit sebesar
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun Rupiah) sampai dengan
kurang dari Rp30.000.000.000.000,00 (tiga puluh triliun
Rupiah); dan
d. BUKU 4 adalah Bank dengan Modal Inti paling sedikit sebesar
Rp30.000.000.000.000,00 (tiga puluh triliun Rupiah).
(2) Pengelompokan BUKU untuk Unit Usaha Syariah didasarkan pada
Modal Inti Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya.
BAB II ...
- 6 -
BAB II
KEGIATAN USAHA BANK
Bagian Kesatu
Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional
Pasal 4
Kegiatan Usaha yang dilakukan Bank Umum Konvensional
dikelompokkan sebagai berikut:
a. penghimpunan dana;
b. penyaluran dana;
c. pembiayaan perdagangan (trade finance);
d. kegiatan treasury;
e. kegiatan dalam valuta asing;
f. kegiatan keagenan dan kerjasama;
g. kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking;
h. kegiatan penyertaan modal;
i. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan
kredit;
j.
jasa lainnya; dan
k. kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 5
Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional yang dapat dilakukan pada
masing-masing BUKU ditetapkan sebagai berikut:
a. BUKU 1 hanya dapat melakukan:
1. Kegiatan Usaha dalam Rupiah yang meliputi:
a) kegiatan ...
- 7 -
a) kegiatan penghimpunan dana yang merupakan produk
atau aktivitas dasar;
b) kegiatan penyaluran dana yang merupakan produk atau
aktivitas dasar;
c) kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance);
d) kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan
kerjasama;
e) kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking
dengan cakupan terbatas;
f) kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka
penyelamatan kredit; dan
jasa lainnya;
g)
2. kegiatan sebagai Pedagang Valuta Asing (PVA).
3. kegiatan lainnya yang digolongkan sebagai produk atau
aktivitas dasar dalam Rupiah yang lazim dilakukan oleh Bank
dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
b. BUKU 2 dapat melakukan:
1. Kegiatan Usaha dalam Rupiah dan valuta asing:
a) kegiatan penghimpunan dana sebagaimana dilakukan
dalam BUKU 1;
b) kegiatan penyaluran dana sebagaimana dilakukan dalam
BUKU 1 dengan cakupan yang lebih luas;
c) kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance);
d) kegiatan treasury secara terbatas;
e)
jasa lainnya;
2. Kegiatan ...
- 8 -
2. Kegiatan Usaha sebagaimana pada BUKU 1 dengan cakupan
yang lebih luas untuk:
a) keagenan dan kerjasama;
b) kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking;
3. kegiatan penyertaan modal pada lembaga keuangan di
Indonesia;
4. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka
penyelamatan kredit;
5. kegiatan lain yang lazim sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. BUKU 3 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 baik dalam Rupiah maupun dalam valuta
asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia
dan/atau di luar negeri terbatas pada wilayah regional Asia.
d. BUKU 4 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 baik dalam Rupiah maupun dalam valuta
asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia
dan/atau seluruh wilayah di luar negeri dengan jumlah lebih
besar dari BUKU 3.
Bagian Kedua
Kegiatan Usaha Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Pasal 6
Kegiatan Usaha yang dilakukan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah dikelompokkan sebagai berikut:
a. penghimpunan dana;
b. penyaluran dana;
c. pembiayaan perdagangan (trade finance);
d. kegiatan treasury;
e. kegiatan dalam valuta asing;
f. kegiatan ...
- 9 -
f. kegiatan keagenan dan kerjasama;
g. kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking;
h. kegiatan penyertaan modal;
i. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan
pembiayaan;
j.
jasa lainnya; dan
k. kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di
bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah
dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Kegiatan usaha Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang
dapat dilakukan pada masing-masing BUKU ditetapkan sebagai
berikut:
a. BUKU 1 hanya dapat melakukan:
1. Kegiatan Usaha dalam Rupiah yang meliputi:
a) kegiatan penghimpunan dana yang merupakan produk
atau aktivitas dasar;
b) kegiatan penyaluran dana yang merupakan produk atau
aktivitas dasar;
c) kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance);
d) kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan
kerjasama;
e) kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking
dengan cakupan terbatas;
f) kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka
penyelamatan pembiayaan;
jasa lainnya;
g)
2. kegiatan ...
- 10 -
2. kegiatan sebagai Pedagang Valuta Asing (PVA).
3. kegiatan lainnya yang digolongkan sebagai produk atau
aktivitas dasar dalam Rupiah yang lazim dilakukan oleh Bank
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
prinsip syariah.
b. BUKU 2 dapat melakukan:
1. Kegiatan Usaha dalam Rupiah dan valuta asing:
a) kegiatan penghimpunan dana sebagaimana dilakukan
dalam BUKU 1;
b) kegiatan penyaluran dana sebagaimana dilakukan dalam
BUKU 1 dengan cakupan yang lebih luas;
c) kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance);
d) kegiatan treasury secara terbatas;
e)
jasa lainnya;
2. Kegiatan Usaha sebagaimana pada BUKU 1 dengan cakupan
yang lebih luas untuk:
a) keagenan dan kerjasama;
b) kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking;
3. kegiatan penyertaan modal pada lembaga keuangan syariah
di Indonesia;
4. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka
penyelamatan pembiayaan;
5. kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
c. BUKU ...
- 11 -
c. BUKU 3 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 baik dalam Rupiah maupun dalam valuta
asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan syariah di
Indonesia dan/atau di luar negeri terbatas pada wilayah regional
Asia.
d. BUKU 4 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 baik dalam Rupiah maupun dalam valuta
asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan syariah di
Indonesia dan/atau seluruh wilayah di luar negeri dengan jumlah
lebih besar dari BUKU 3.
Pasal 8
(1) Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan oleh Unit Usaha Syariah
mengacu pada BUKU Bank Umum Konvensional yang menjadi
induknya.
(2) Kegiatan Usaha tertentu pada BUKU Bank Umum Konvensional
yang menjadi induknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan oleh Unit Usaha Syariah setelah memperoleh
persetujuan dari Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kegiatan Usaha tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Penyertaan Modal
Pasal 9
Penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf h dan
Pasal 6 huruf h ditetapkan sebesar:
a. BUKU ...
- 12 -
a. BUKU 2 paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen) dari modal
Bank;
b. BUKU 3 paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari
modal Bank; dan
c. BUKU 4 paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen) dari
modal Bank.
Pasal 10
Bagi Bank Umum Konvensional yang melakukan penyertaan modal
kepada Bank Umum Syariah paling rendah 5% (lima persen) dari modal
Bank Umum Konvensional, batasan penyertaan modal pada BUKU 2
dan BUKU 3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, menjadi sebagai
berikut:
a. BUKU 2 menjadi paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) dari
modal Bank Umum Konvensional;
b. BUKU 3 menjadi paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen) dari
modal Bank Umum Konvensional.
Pasal 11
Penambahan penyertaan modal pada perusahaan anak yang berasal
dari laba yang diperoleh dari perusahaan anak yang sama,
dikecualikan dari batas penyertaan modal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 dan Pasal 10.
Bagian ...
- 13 -
Bagian Keempat
Kewajiban Penyaluran Kredit atau Pembiayaan kepada Usaha Produktif
Pasal 12
Bank pada masing-masing BUKU wajib menyalurkan kredit atau
pembiayaan kepada usaha produktif dengan ketentuan sebagai berikut:
a. paling rendah 55% (lima puluh lima persen) dari total kredit atau
pembiayaan, bagi BUKU 1;
b. paling rendah 60% (enam puluh persen) dari total kredit atau
pembiayaan, bagi BUKU 2;
c. paling rendah 65% (enam puluh lima persen) dari total kredit atau
pembiayaan, bagi BUKU 3; dan
d. paling rendah 70% (tujuh puluh persen) dari total kredit atau
pembiayaan, bagi BUKU 4.
Pasal 13
(1) Kewajiban penyaluran kredit atau pembiayaan kepada usaha
produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 tidak berlaku
bagi Bank yang memfokuskan pada kegiatan penyaluran kredit
atau pembiayaan kepemilikan rumah untuk kepentingan rakyat
dengan jumlah penyaluran kredit atau pembiayaan kepemilikan
rumah paling rendah sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari
total kredit atau pembiayaan Bank.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi
kewajiban Bank untuk menyalurkan kredit atau pembiayaan
kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam
persentase tertentu sebagaimana ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pemberian kredit atau pembiayaan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah.
(3) Dalam ...
- 14 -
(3) Dalam hal penyaluran kredit atau pembiayaan bagi Bank yang
memfokuskan pada penyaluran kredit atau pembiayaan
kepemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen), Bank wajib
menyampaikan rencana tindak (action plan) untuk pemenuhan
kembali penyaluran kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah
sesuai jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kelima
Lain-Lain
Pasal 14
Bank yang akan melakukan Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 dan Pasal 6 yang bukan merupakan cakupan produk
atau aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas yang
tinggi, wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan Kegiatan Usaha masing-
masing BUKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 7 serta
Kegiatan Usaha yang memerlukan persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 16
(1) Dalam hal Bank mengalami penurunan Modal Inti sehingga terjadi
perubahan BUKU selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, Bank wajib
menyampaikan rencana tindak (action plan) dalam rangka
pemenuhan persyaratan Modal Inti sesuai BUKU.
(2) Rencana ...
- 15 -
(2) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama pada bulan
keempat sejak terjadinya penurunan BUKU.
(3) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia dan
penyelesaian rencana tindak (action plan) dimaksud paling lama 1
(satu) tahun sejak persetujuan Bank Indonesia.
BAB III
JARINGAN KANTOR
Pasal 17
(1) Bank yang akan melakukan Pembukaan Jaringan Kantor dalam
bentuk:
a.
kantor cabang; atau
b. kantor perwakilan dan kantor lainnya di luar negeri,
wajib memperoleh izin Bank Indonesia.
(2) Pembukaan Jaringan Kantor Bank selain jenis kantor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan dan
memperoleh penegasan dari Bank Indonesia.
Pasal 18
Pembukaan Jaringan Kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan oleh BUKU 3
dan BUKU 4 dengan ketentuan sebagai berikut:
a. BUKU 3 dapat melakukan Pembukaan Jaringan Kantor di luar
negeri terbatas pada wilayah regional Asia; dan
b. BUKU 4 dapat melakukan Pembukaan Jaringan Kantor pada
seluruh wilayah di luar negeri.
Pasal 19 ...
- 16 -
Pasal 19
Bank yang akan melakukan Pembukaan Jaringan Kantor wajib
memenuhi persyaratan:
a.
tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 1 (satu), 2
(dua), atau 3 (tiga) selama 1 (satu) tahun terakhir; dan
b. ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor
(Theoretical Capital).
Pasal 20
(1) Dalam hal Bank telah memenuhi persyaratan tingkat kesehatan
namun tidak memenuhi persyaratan ketersediaan alokasi Modal
Inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b, Bank dapat
melakukan Pembukaan Jaringan Kantor apabila melakukan:
a. penyaluran kredit atau pembiayaan kepada:
1. UMKM paling rendah 20% (dua puluh persen) dari total
portofolio kredit atau pembiayaan; atau
2. UMK paling rendah 10% (sepuluh persen) dari total
portofolio kredit atau pembiayaan; dan
b. pemupukan modal.
(2) Bagi Bank yang telah memenuhi persyaratan tingkat kesehatan
dan memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, dapat memperoleh insentif tambahan
jumlah Pembukaan Jaringan Kantor apabila menyalurkan kredit
atau pembiayaan kepada:
a. UMKM paling rendah 20% (dua puluh persen) dari total
portofolio kredit atau pembiayaan; dan/atau
b. UMK paling rendah 10% (sepuluh persen) dari total
portofolio kredit atau pembiayaan.
Pasal 21 ...
- 17 -
Pasal 21
(1) Bank Indonesia mempertimbangkan pencapaian tingkat efisiensi
Bank dalam menyetujui jumlah Jaringan Kantor yang
direncanakan dibuka oleh Bank sesuai RBB.
(2) Pencapaian tingkat efisiensi Bank antara lain diukur melalui rasio
Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan
rasio Net Interest Margin (NIM) atau rasio Net Operating Margin
(NOM).
Pasal 22
Dalam rangka memperoleh izin atau penegasan untuk Pembukaan
Jaringan Kantor, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19, Bank juga wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai Bank Umum, Bank Umum Syariah, atau Unit
Usaha Syariah.
Pasal 23
(1) Dalam mempertimbangkan ketersediaan alokasi Modal Inti untuk
Pembukaan Jaringan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 huruf b, Bank Indonesia menetapkan:
a. pembagian zona dengan mempertimbangkan tingkat
kejenuhan Bank dan pemerataan pembangunan;
b. koefisien masing-masing zona; dan
c. biaya investasi Pembukaan Jaringan Kantor Bank untuk
masing-masing BUKU.
(2) Zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas
Zona 1 yang menunjukkan zona paling jenuh sampai dengan Zona
6 yang menunjukkan zona paling tidak jenuh.
(3) Koefisien ...
- 18 -
(3) Koefisien pada masing-masing zona sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b didasarkan pada tingkat kejenuhan zona, dengan
koefisien tertinggi berada pada zona paling jenuh.
Pasal 24
Perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti untuk Pembukaan
Jaringan Kantor, diperoleh dari hasil perkalian antara koefisien zona
untuk lokasi Jaringan Kantor Bank dengan biaya investasi Jaringan
Kantor Bank sesuai BUKU.
Pasal 25
Persyaratan ketersediaan alokasi Modal Inti sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf b tidak berlaku untuk:
a. pembukaan Kantor Fungsional yang melakukan kegiatan
operasional khusus penyaluran kredit kepada UMK;
b. Pembukaan Jaringan Kantor bagi Bank yang dimiliki oleh
Pemerintah Daerah dalam wilayah provinsi tempat kedudukan
kantor pusatnya.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan alokasi Modal
Inti dalam rangka Pembukaan Jaringan Kantor diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 27
(1) Dalam rangka perimbangan penyebaran Jaringan Kantor, Bank
yang membuka Jaringan Kantor di Zona 1 atau Zona 2 dalam
jumlah tertentu wajib diikuti dengan pembukaan Jaringan Kantor
di Zona ...
- 19 -
di Zona 5 atau Zona 6 dalam jumlah tertentu.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi
BUKU 3 dan BUKU 4 dan dalam pelaksanaannya wajib memenuhi
ketersediaan alokasi Modal Inti untuk Pembukaan Jaringan
Kantor.
(3) Kewajiban Pembukaan Jaringan Kantor sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), tidak berlaku bagi Bank yang dimiliki oleh
Pemerintah Daerah dan melakukan Pembukaan Jaringan Kantor
di Zona 1 atau Zona 2 yang merupakan wilayah provinsi tempat
kedudukan kantor pusatnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perimbangan penyebaran
Jaringan Kantor Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IV
KETENTUAN LAIN
Pasal 28
Bank Indonesia berdasarkan pertimbangan tertentu dapat memberikan
persetujuan atau penolakan atas Kegiatan Usaha tertentu dalam
jangka waktu tertentu.
Pasal 29
Bank Indonesia dapat memberikan persetujuan atau penolakan kepada
Bank untuk melakukan Pembukaan Jaringan Kantor Bank di wilayah
tertentu berdasarkan pertimbangan tertentu.
BAB V ...
- 20 -
BAB V
SANKSI
Pasal 30
Bank yang tidak mentaati ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal
12, Pasal 14, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33,
Pasal 34, dan/atau Pasal 38 dikenakan sanksi administratif berupa:
a.
teguran tertulis;
b. penurunan peringkat Tingkat Kesehatan Bank;
c.
d. pembekuan kegiatan usaha tertentu.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 31
(1) Bank yang melakukan Kegiatan Usaha yang tidak sesuai dengan
kegiatan BUKU Bank tersebut, wajib:
a. menyesuaikan Kegiatan Usaha mengikuti BUKU sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 7, atau Pasal 9; atau
b. meningkatkan Modal Inti.
(2) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
paling lambat akhir bulan Juni 2016.
Pasal 32
Kewajiban Bank untuk menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada
usaha produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 atau
memfokuskan pada kegiatan penyaluran kredit atau pembiayaan
kepemilikan rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1),
dipenuhi paling lambat akhir bulan Juni 2016.
Pasal 33 ...
larangan pembukaan jaringan kantor baru; dan/atau
- 21 -
Pasal 33
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 bagi
Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dipenuhi paling lambat
akhir bulan Juni 2018.
Pasal 34
(1) Dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33,
Bank wajib menyampaikan rencana tindak (action plan) kepada
Bank Indonesia paling lambat akhir bulan Maret 2013.
(2) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia.
(3) Rencana tindak (action plan) yang telah mendapat persetujuan
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan akan
dilaksanakan pada tahun 2013, wajib dicantumkan dalam revisi
RBB dan disampaikan paling lambat akhir bulan Juni 2013.
Pasal 35
(1) Rencana Kegiatan Usaha yang telah diajukan sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini, ditindaklanjuti dengan mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai produk
dan aktivitas, yang berlaku sebelum Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Dalam hal Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak sesuai dengan kegiatan BUKU Bank tersebut, Bank wajib
melakukan penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
Pasal 36 ...
- 22 -
Pasal 36
Permohonan rencana Pembukaan Jaringan Kantor yang telah diajukan
sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, ditindaklanjuti
dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai jaringan kantor untuk Bank Umum, Bank Umum Syariah,
atau Unit Usaha Syariah, yang berlaku sebelum Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 37
Bank BUKU 3 yang memiliki kantor cabang, kantor perwakilan dan
jenis kantor lainnya di luar wilayah regional Asia sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini dapat tetap mengoperasikan Jaringan
Kantor di lokasi tersebut.
Pasal 38
(1) Bank wajib menyesuaikan rencana Pembukaan Jaringan Kantor
Bank tahun 2013, dengan memperhitungkan ketersediaan alokasi
Modal Inti.
(2) Penyesuaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam
revisi RBB dan disampaikan paling lambat akhir bulan Juni 2013.
Pasal 39
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b tidak
berlaku untuk rencana Pembukaan Jaringan Kantor yang telah
tercantum dalam RBB tahun 2013 dan telah dapat direalisasikan
sebelum revisi RBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2).
Pasal 40 ...
- 23 -
Pasal 40
Modal Inti bagi kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar
negeri sebelum berlakunya kewajiban pemenuhan CEMA, dihitung
dari:
a. dana usaha yang harus dialokasikan untuk pemenuhan kewajiban
CEMA minimum, bagi yang belum memiliki CEMA; atau
b. nilai yang terbesar antara dana usaha yang harus dialokasikan
untuk pemenuhan kewajiban CEMA minimum dengan CEMA
yang sudah dibentuk.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/10/PBI/2003 tanggal 11 Juni 2003 tentang Prinsip
Kehati-hatian dalam Penyertaan Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4296), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
b. Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 huruf b Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 28/64/KEP/DIR tanggal 7 September 1995
tentang Persyaratan Bank Umum Bukan Bank Devisa Menjadi
Bank Umum Devisa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/64/KEP/DIR
tanggal 7 September 1995 tentang Persyaratan Bank Umum
Bukan Bank Devisa Menjadi Bank Umum Devisa dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku, pada saat berlakunya peraturan
pelaksanaan ...
- 24 -
pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini yang mengatur
mengenai kegiatan valuta asing bagi Bank.
Pasal 42
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari
2013.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Desember 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Desember 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 286
DPNP/DPbS
- 25 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/26/PBI/2012
TENTANG
KEGIATAN USAHA DAN JARINGAN KANTOR
BERDASARKAN MODAL INTI BANK
I. UMUM
Arah perkembangan ekonomi global yang mengakibatkan
semakin menyatunya ekonomi nasional dengan ekonomi regional dan
internasional merupakan peluang sekaligus tantangan yang harus
dimanfaatkan dan diantisipasi agar dapat memberikan dampak positif
bagi kemajuan perekonomian nasional.
Seiring dengan rencana integrasi sektor keuangan ASEAN pada
tahun 2020 yang memungkinkan bank-bank dengan kualifikasi
tertentu (Qualified ASEAN Banks – QAB) bebas beroperasi di kawasan
ASEAN, maka perbankan nasional perlu meningkatkan ketahanan,
daya saing dan efisiensi.
Selain itu, perkembangan ekonomi global tersebut akan
berdampak pada semakin kompleksnya kegiatan usaha dan kebutuhan
pembukaan jaringan kantor bank.
Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan penguatan modal
bank untuk mengantisipasi risiko yang ditimbulkan oleh kompleksitas
kegiatan usaha dan agar pembukaan jaringan kantor tidak
menggunakan dana yang dihimpun dari masyarakat.
Untuk ...
- 26 -
Untuk meningkatkan ketahanan dan daya saing, dalam
melakukan kegiatan usaha dan pembukaan jaringan kantor, bank
perlu mengedepankan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi.
Penguatan dan daya saing perbankan, perlu diikuti dengan
peningkatan peran bank sebagai lembaga intermediasi khususnya
untuk usaha produktif termasuk untuk pengembangan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (UMKM), sehingga industri perbankan nasional
berperan aktif bagi kemajuan perekonomian nasional.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Minimum Modal Inti Bank mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai modal inti minimum
Bank Umum.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d ...
- 27 -
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Penghimpunan dana antara lain giro, tabungan, deposito,
sertifikat deposito, pinjaman yang diterima, penerbitan surat
utang termasuk surat utang ekuitas, dan/atau sekuritisasi
aset.
Huruf b
Penyaluran dana antara lain kredit, anjak piutang, pembelian
surat berharga, penempatan pada Bank Indonesia, dan/atau
penempatan pada Bank lain.
Huruf c
Pembiayaan perdagangan meliputi pembiayaan melalui
penerbitan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN),
dan Letter of Credit (L/C), serta jasa dan layanan pembiayaan
perdagangan lainnya.
Huruf d
Kegiatan treasury antara lain transaksi spot, transaksi derivatif
plain vanilla, dan/atau transaksi derivatif kompleks seperti
structured product dan credit derivative.
Huruf e ...
- 28 -
Huruf e
Kegiatan dalam valuta asing antara lain kegiatan dalam valuta
asing untuk kegiatan penghimpunan dana, penyaluran dana,
pembiayaan perdagangan, dan/atau kegiatan treasury.
Huruf f
Kegiatan keagenan dan kerjasama antara lain agen penjual
reksadana, agen penjual Surat Berharga Negara (SBN), agen
penjual Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), kustodian, wali
amanat, penitipan dengan pengelolaan (trust), dan/atau
kerjasama pemasaran dengan perusahaan asuransi
(bancassurance) antara lain dalam bentuk model bisnis
referensi, distribusi, dan integrasi.
Huruf g
Kegiatan usaha terkait sistem pembayaran dan electronic
banking yang dilakukan Bank antara lain:
a. pemindahan dana baik untuk kepentingan Bank sendiri
maupun kepentingan nasabah, termasuk pemindahan dana
melalui media elektronik;
b. penyelenggara kliring;
c. penyelenggara settlement;
d. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu antara
lain kartu Automatic Teller Machine (ATM), kartu debit, dan
kartu kredit;
e. penyelenggara uang elektronik;
f. aktivitas perbankan lain melalui media elektronik.
Huruf h …
- 29 -
Huruf h
Yang dimaksud dengan “penyertaan modal” adalah penyertaan
modal pada lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyertaan modal.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “penyertaan modal sementara” adalah
penyertaan modal sementara sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas
aset.
Huruf j
Jasa lainnya antara lain penerbitan bank garansi, jasa
penyediaan tempat untuk penyimpanan barang dan surat
berharga (safe deposit box).
Huruf k
Yang dimaksud dengan “kegiatan lain yang lazim dilakukan
oleh Bank” adalah kegiatan lain yang dilakukan oleh Bank
sesuai dengan fungsi Bank.
Pasal 5
Huruf a
Angka 1
Huruf a)
Kegiatan penghimpunan dana yang merupakan
produk atau aktivitas dasar antara lain penghimpunan
dana ...
- 30 -
dana dalam bentuk giro, tabungan, deposito, sertifikat
deposito, pinjaman yang diterima, dan penerbitan
surat utang termasuk surat utang ekuitas.
Huruf b)
Kegiatan penyaluran dana yang merupakan produk
atau aktivitas dasar antara lain penyaluran kredit,
pembelian surat berharga yang diterbitkan
pemerintah, penempatan pada Bank Indonesia dan
penempatan pada Bank lain.
Huruf c)
Termasuk dalam kegiatan pembiayaan perdagangan
(trade finance) dalam Rupiah adalah pembiayaan
melalui penerbitan SKBDN.
Huruf d)
Kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan
dan kerjasama antara lain bancassurance dengan
model bisnis referensi.
Huruf e)
Kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking
dengan cakupan terbatas, antara lain:
a. pemindahan dana baik untuk kepentingan Bank
sendiri maupun kepentingan nasabah, termasuk
pemindahan dana melalui media elektronik yang
terbatas;
b. penyelenggara kliring;
c. penyelenggara …
- 31 -
c. penyelenggara settlement;
d. penyelenggara alat pembayaran menggunakan
kartu, selain kartu kredit;
e. penyelenggara uang elektronik;
f.
Huruf f)
Cukup jelas.
Huruf g)
Jasa lainnya antara lain penerbitan bank garansi,
penyimpanan barang dan surat berharga (safe deposit
box).
Angka 2
Yang dimaksud dengan “Pedagang Valuta Asing” adalah
Pedagang Valuta Asing sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pedagang valuta asing.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b) ...
aktivitas perbankan lain melalui media elektronik
selain internet banking.
- 32 -
Huruf b)
Kegiatan penyaluran dana yang lebih luas antara lain
kredit sindikasi dengan Bank sebagai arranger.
Huruf c)
Termasuk dalam kegiatan pembiayaan perdagangan
(trade finance) dalam Rupiah dan valuta asing antara
lain pembiayaan melalui penerbitan L/C dan SKBDN.
Huruf d)
Kegiatan treasury terbatas mencakup transaksi spot
dan transaksi derivatif plain vanilla.
Huruf e)
Jasa lainnya antara lain penerbitan bank garansi,
penyimpanan barang dan surat berharga (safe deposit
box).
Angka 2
Huruf a)
Kegiatan keagenan dan kerjasama yang lebih luas
mencakup antara lain agen penjual reksadana, agen
penjualan SBN, agen penjualan SBSN dan
bancassurance dengan model bisnis distribusi.
Huruf b)
Kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking
dengan cakupan yang lebih luas antara lain
penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu
berupa ...
- 33 -
berupa kartu kredit dan aktivitas perbankan lain
berupa internet banking.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Kegiatan penghimpunan dana antara lain:
a. simpanan berupa giro dan tabungan;
b. investasi berupa deposito dan tabungan;
c. penerbitan surat investasi; atau
d. sekuritisasi aset,
berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
Huruf b ...
- 34 -
Huruf b
Kegiatan penyaluran dana antara lain:
a. pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil, sewa-menyewa
aset, jual beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa jasa;
b. pengambilalihan utang;
c. pembelian surat berharga syariah;
d. penempatan pada Bank Indonesia dan penempatan pada
bank syariah lain,
berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
Huruf c
Kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance) meliputi:
a. pembiayaan melalui penerbitan SKBDN;
b. penerbitan Letter of Credit (L/C); dan/atau
c. jasa dan layanan pembiayaan perdagangan lainnya,
berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
Huruf d
Kegiatan treasury meliputi antara lain transaksi spot atau
transaksi lain, berdasarkan akad yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.
Huruf e
Kegiatan dalam valuta asing antara lain:
a. kegiatan penghimpunan dana;
b. penyaluran...
- 35 -
b. penyaluran dana;
c. pembiayaan perdagangan (trade finance); dan/atau
d. kegiatan treasury,
berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
Huruf f
Kegiatan keagenan dan kerjasama meliputi antara lain:
a. agen penjual reksadana syariah;
b. agen penjual SBSN;
c. kerjasama pemasaran dengan perusahaan asuransi
syariah (bancassurance) dengan model bisnis referensi,
distribusi, dan integrasi;
d. kustodian;
e. wali amanat; dan/atau
f. penitipan dengan pengelolaan (trust),
berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
Huruf g
Kegiatan usaha terkait sistem pembayaran dan electronic
banking yang dilakukan Bank antara lain:
a. pemindahan dana baik untuk kepentingan Bank sendiri
maupun kepentingan nasabah, termasuk pemindahan
dana melalui media elektronik;
b. penyelenggara...
- 36 -
b. penyelenggara kliring;
c. penyelenggara settlement;
d. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu
antara lain kartu ATM, kartu debit, dan sharia card;
e. penyelenggara uang elektronik;
f. aktivitas perbankan lain melalui media elektronik,
berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “penyertaan modal” adalah penyertaan
modal pada lembaga keuangan syariah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyertaan modal.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “penyertaan modal sementara” adalah
penyertaan modal sementara sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas
aktiva.
Huruf j
Jasa lainnya antara lain:
a. penerbitan bank garansi;
b. jasa penyediaan tempat untuk penyimpanan barang dan
surat berharga (safe deposit box),
berdasarkan ...
- 37 -
berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
Huruf k
Kegiatan di bidang sosial antara lain pembentukan lembaga
baitul maal yang berfungsi menerima dana yang berasal dari
zakat, infaq, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya dan
menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat, serta
menghimpun dana dari wakaf uang dan menyalurkannya
kepada pengelola wakaf sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 7
Huruf a
Angka 1
Huruf a)
Kegiatan penghimpunan dana yang merupakan produk
atau aktivitas dasar antara lain penghimpunan giro,
tabungan, deposito, sertifikat deposito, dan penerbitan
surat investasi, berdasarkan akad yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf b)
Kegiatan penyaluran dana yang merupakan produk
atau aktivitas dasar antara lain pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil, sewa-menyewa aset, jual
beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa jasa,
pengambilalihan utang, pembelian surat berharga
syariah yang diterbitkan pemerintah, dan penempatan
pada Bank Indonesia serta penempatan pada bank
syariah ...
- 38 -
syariah lain, berdasarkan akad yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.
Huruf c)
Termasuk dalam kegiatan pembiayaan perdagangan
(trade finance) dalam Rupiah adalah pembiayaan
melalui penerbitan SKBDN berdasarkan akad yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf d)
Kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan
kerjasama antara lain agen penjualan SBSN dan
bancassurance dengan model bisnis referensi,
berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah.
Huruf e)
Kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking
dengan cakupan terbatas antara lain:
a. pemindahan dana baik untuk kepentingan Bank
sendiri maupun kepentingan nasabah, termasuk
pemindahan dana melalui media elektronik yang
terbatas;
b. penyelenggara kliring;
c. penyelenggara settlement;
d. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu,
selain sharia card;
e. penyelenggara ...
- 39 -
e. penyelenggara uang elektronik;
f. aktivitas perbankan lain melalui media elektronik
selain internet banking,
berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah.
Huruf f)
Cukup jelas.
Huruf g)
Jasa lainnya berdasarkan akad yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah antara lain penerbitan bank
garansi, penyediaan tempat bagi penyimpanan barang
dan surat berharga (safe deposit box).
Angka 2
Yang dimaksud dengan “Pedagang Valuta Asing” adalah
Pedagang Valuta Asing sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai pedagang valuta
asing.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf b ...
- 40 -
Huruf b
Angka 1
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Kegiatan penyaluran dana yang lebih luas
berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah antara lain pembiayaan sindikasi
dengan Bank sebagai arranger.
Huruf c)
Termasuk dalam kegiatan pembiayaan perdagangan
dalam Rupiah dan valuta asing adalah pembiayaan
melalui penerbitan L/C dan SKBDN, berdasarkan
akad yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
Huruf d)
Kegiatan treasury secara terbatas mencakup
transaksi spot, berdasarkan akad yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf e)
Jasa lainnya berdasarkan akad yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah antara lain
penerbitan ...
- 41 -
penerbitan bank garansi, penyimpanan barang dan
surat berharga (safe deposit box).
Angka 2
Huruf a)
Kegiatan keagenan dan kerjasama yang lebih luas
mencakup antara lain agen penjual reksadana
syariah dan bancassurance dengan model bisnis
distribusi dan integrasi, berdasarkan akad yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf b)
Kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking
dengan cakupan yang lebih luas antara lain
penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu
berupa sharia card dan aktivitas perbankan lain
berupa internet banking.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5 ...
- 42 -
Angka 5
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “modal” adalah modal sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kewajiban penyediaan modal minimum.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan “modal” adalah modal sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kewajiban penyediaan modal minimum.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan “perusahaan anak” adalah perusahaan
anak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai transparansi dan publikasi laporan bank
umum.
Pasal 12 ...
- 43 -
Pasal 12
Kewajiban penyaluran kredit atau pembiayaan kepada usaha
produktif dilakukan dalam upaya optimalisasi fungsi intermediasi
Bank.
Yang dimaksud dengan “kredit” adalah kredit sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kualitas aset.
Yang dimaksud dengan “pembiayaan” adalah adalah pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai kualitas aktiva.
Yang termasuk sebagai “kredit atau pembiayaan kepada usaha
produktif” adalah kredit atau pembiayaan untuk tujuan investasi
dan/atau modal kerja baik kepada debitur atau nasabah Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) maupun non UMKM.
Kewajiban menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada usaha
produktif bagi Unit Usaha Syariah dihitung berdasarkan
penyaluran kredit atau pembiayaan Bank Umum Konvensional
yang menjadi induknya.
Pengertian UMKM mengacu pada peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kredit atau pembiayaan kepemilikan
rumah” adalah kredit pemilikan rumah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan ...
- 44 -
laporan bulanan bank umum atau laporan bulanan bank
umum syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Contoh Kegiatan Usaha yang memerlukan persetujuan antara lain
penerbitan surat utang ekuitas, penerbitan structured product dan
credit derivative, kegiatan sistem pembayaran, serta agen penjual
reksadana.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Izin diberikan berdasarkan penilaian atas pemenuhan
persyaratan Pembukaan Jaringan Kantor.
Ayat (2) …
- 45 -
Ayat (2)
Penegasan diberikan berdasarkan penilaian atas pemenuhan
persyaratan Pembukaan Jaringan Kantor.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tingkat kesehatan” adalah tingkat
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penilaian tingkat
kesehatan bank umum atau penilaian tingkat kesehatan
bank umum berdasarkan prinsip syariah.
Persyaratan pemenuhan tingkat kesehatan bagi Unit Usaha
Syariah didasarkan pada penilaian tingkat kesehatan Bank
Umum Konvensional yang menjadi induknya.
Penilaian tingkat kesehatan yang digunakan adalah
penilaian tingkat kesehatan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 20 …
- 46 -
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Pengertian UMKM dan UMK mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah.
Huruf b
Pemupukan modal adalah penambahan modal yang
berasal dari alokasi laba dan/atau tambahan setoran
modal.
Ayat (2)
Pengertian UMKM dan UMK mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai Bank Umum, Bank Umum Syariah, atau
Unit Usaha Syariah antara lain persyaratan administratif yang
meliputi …
- 47 -
meliputi kelengkapan dokumen, jangka waktu pengajuan
permohonan, dan jangkauan koordinasi dengan kantor induk.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Pengukuran tingkat kejenuhan Bank dan pemerataan
pembangunan dalam masing-masing zona dilakukan
antara lain menggunakan parameter pertumbuhan
ekonomi nasional dan daerah, kinerja penyaluran dan
penghimpunan dana yang dikaitkan dengan jumlah
populasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25 ...
- 48 -
Pasal 25
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Kantor Fungsional yang
melakukan kegiatan operasional” adalah Kantor
Fungsional sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai Bank Umum.
Huruf b
Yang dimaksud “Bank yang dimiliki oleh Pemerintah
Daerah” adalah Bank yang sahamnya mayoritas dimiliki
oleh Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten,
dan/atau Pemerintah Kota.
Pengaturan ini dimaksudkan untuk mendukung peran
Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam
pengembangan pembangunan ekonomi daerah.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud “Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah”
adalah ...
- 49 -
adalah Bank yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan/atau
Pemerintah Kota.
Pengaturan ini dimaksudkan untuk mendukung peran Bank
yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam pengembangan
pembangunan daerah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Pertimbangan tertentu antara lain adalah untuk mendukung
stabilitas sistem keuangan dan/atau mendorong perkembangan
perekonomian nasional.
Pasal 29
Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” adalah
persaingan yang sehat, upaya pemerataan pembangunan, dan
perluasan akses keuangan bagi masyarakat berpenghasilan
rendah dan produktif (financial inclusion).
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31 ...
- 50 -
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Penyesuaian Kegiatan Usaha dilakukan dengan
menghentikan atau mengurangi Kegiatan Usaha yang
tidak diperkenankan.
Huruf b
Peningkatan Modal Inti dilakukan untuk memenuhi
persyaratan Modal Inti sesuai BUKU Kegiatan Usaha yang
dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Yang dimaksud “Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah”
adalah Bank yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan/atau Pemerintah Kota.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
- 51 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Revisi RBB dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan
rencana tindak (action plan).
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Penyesuaian Pembukaan Jaringan Kantor dilakukan dengan
mengevaluasi rencana yang sudah dituangkan dalam RBB
sesuai dengan ketersediaan alokasi Modal Inti.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 39 ...
- 52 -
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Kewajiban pemenuhan CEMA mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal
minimum.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5384
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/26/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> KEGIATAN USAHA DAN JARINGAN KANTOR BERDASARKAN MODAL INTI BANK </reg_title>
<set_date> 27 Desember 2012 </set_date>
<effective_date> 2 Januari 2013 </effective_date>
<issued_date> 27 Desember 2012 </issued_date>
<replaced_reg> '5/10/PBI/2003 | Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1)', '28/64/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995 | Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 huruf b' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/26 /PBI/2016
TENTANG
PENGELUARAN UANG RUPIAH LOGAM
PECAHAN 1.000 (SERIBU)
TAHUN EMISI 2016
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,
baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus
dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara
Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah
dalam kegiatan perekonomian nasional guna
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia;
b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka
melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu
mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal
yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan
dalam kondisi yang layak edar;
c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank
- 2 -
Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan
keandalannya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengeluaran Uang Rupiah Logam Pecahan 1.000 (Seribu)
Tahun Emisi 2016;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
UANG RUPIAH LOGAM PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN
EMISI 2016.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 1.000
(seribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- 3 -
Pasal 2
Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
merupakan uang Rupiah logam yang memiliki ciri tertentu.
Pasal 3
Harga uang Rupiah logam sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp1.000,00 (seribu
rupiah).
Pasal 4
Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi:
a. ciri umum; dan
b. ciri khusus.
Pasal 5
Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a
yaitu:
a. pada bagian depan terdapat:
1. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
2. frasa “REPUBLIK INDONESIA”; dan
3. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Mr. I Gusti
Ketut Pudja beserta tulisan “Mr. I GUSTI KETUT
PUDJA”; dan
b. pada bagian belakang terdapat:
1. sebutan pecahan dalam angka “1000”;
2. tulisan tahun emisi yaitu “2016”;
3. tulisan “BANK INDONESIA”; dan
4. tulisan “RUPIAH”.
Pasal 6
Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b
yang berupa desain, bahan, dan teknik cetak sebagai berikut:
a. warna, dominan putih keperakan;
b. bahan, terbuat dari nickel plated steel;
- 4 -
c.
berat, 4,50 (empat koma lima puluh) gram dengan
toleransi ± (lebih kurang) 0,18 (nol koma delapan belas)
gram;
d. diameter, 24,10 (dua puluh empat koma sepuluh)
milimeter dengan toleransi ± (lebih kurang) 0,10 (nol
koma sepuluh) milimeter;
e.
tebal sisi, 1,45 (satu koma empat puluh lima) milimeter
dengan toleransi ± (lebih kurang) 0,10 (nol koma sepuluh)
milimeter; dan
f. pada bagian belakang terdapat relief titik-titik yang
membentuk lingkaran.
Pasal 7
Uang Rupiah logam pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 1993
dan tahun emisi 2010 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai
alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari
peredaran.
Pasal 8
Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai
berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016.
Pasal 9
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 5 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 209
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/26/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH LOGAM PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title>
<set_date> 25 Oktober 2016 </set_date>
<effective_date> 27 Oktober 2016 </effective_date>
<issued_date> 27 Oktober 2016 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 4/ 9 /PBI/2002
TENTANG
OPERASI PASAR TERBUKA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung tujuan Bank Indonesia guna
mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank
Indonesia melakukan pengendalian moneter terutama melalui
Operasi Pasar Terbuka;
b. bahwa dalam
perkembangan ekonomi, keuangan dan moneter,
Operasi Pasar Terbuka perlu ditingkatkan;
c.
rangka menghadapi dan mengantisipasi
efektivitas
bahwa untuk maksud tersebut dipandang perlu untuk
menyempurnakan pengaturan tentang Operasi Pasar Terbuka
dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31;
Tambahan ….
-2-
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG OPERASI
PASAR TERBUKA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional.
2. Operasi ….
-3-
2. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan transaksi
di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan pihak lain
dalam rangka pengendalian moneter.
3. Kontraksi Moneter adalah pengurangan likuiditas perbankan melalui kegiatan
OPT.
4. Ekspansi Moneter adalah penambahan likuiditas perbankan melalui kegiatan
OPT.
5. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga
dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan
pengakuan utang berjangka waktu pendek.
oleh Bank Indonesia
sebagai
6. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang
dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga
dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku.
BAB II
TUJUAN OPT
Pasal 2
(1) OPT bertujuan mencapai target operasional kebijakan moneter dalam rangka
mendukung pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter Bank Indonesia.
(2) Target .…
-4-
(2) Target operasional kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat berupa target kuantitas uang primer atau komponennya, atau target suku
bunga pasar jangka pendek.
Pasal 3
Pencapaian target operasional kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, dilakukan dengan cara mempengaruhi likuiditas perbankan melalui
Kontraksi Moneter atau Ekspansi Moneter.
BAB III
JENIS KEGIATAN OPT
Pasal 4
OPT dilakukan melalui kegiatan:
a. penerbitan SBI;
b. jual beli surat berharga dalam Rupiah yang meliputi SBI, Surat Utang Negara
dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan;
c. penyediaan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia dalam Rupiah (FASBI);
d. jual beli valuta asing terhadap Rupiah.
Pasal 5 .…
-5-
Pasal 5
Penerbitan SBI dan jual beli SBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dan
huruf b diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 6
Jual beli Surat Utang Negara dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan
mudah dicairkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dapat dilakukan
melalui berbagai jenis transaksi yang meliputi namun tidak terbatas pada:
a. pembelian secara lepas (Outright buying);
b. penjualan secara lepas (Outright selling);
c. penjualan secara bersyarat (Repurchase Agreement/Repo);
d. pembelian secara bersyarat (Reverse Repo).
Pasal 7
Penyediaan FASBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a.
Jangka waktu FASBI maksimum 7 (tujuh) hari dihitung dari tanggal
penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu.
b. Tingkat diskonto FASBI ditetapkan oleh Bank Indonesia.
c. Nilai Diskonto dan Nilai Tunai transaksi dihitung berdasarkan rumus diskonto
murni (true discount) sebagai berikut:
Nilai ….
-6-
Nilai Nominal x 360
Nilai Tunai = ----------------------------------------------------------------
360 + {(Tingkat Diskonto) x (Jangka Waktu)}
Nilai Diskonto = Nilai Nominal – Nilai Tunai
d. Pengajuan FASBI bersifat final dan tidak dapat dibatalkan.
e. FASBI tidak dapat diperdagangkan, tidak dapat diagunkan, dan tidak dapat
dicairkan sebelum jatuh waktu.
f. Bank Indonesia dapat menyediakan FASBI setiap saat apabila dianggap perlu.
BAB IV
PESERTA OPT
Pasal 8
(1) Peserta OPT terdiri dari Bank, lembaga perantara dan pihak lain yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(2) Peserta OPT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan menjadi peserta
langsung dan peserta tidak langsung.
BAB V.…
-7-
BAB V
PELAKSANAAN OPT
Pasal 9
(1) OPT dilaksanakan secara berkala.
(2) Dalam hal diperlukan, OPT dapat dilakukan sewaktu-waktu.
Pasal 10
Pelaksanaan OPT dilakukan melalui mekanisme lelang dan atau non lelang.
Pasal 11
(1) Peserta langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 mengajukan penawaran
secara langsung kepada Bank Indonesia.
(2) Peserta tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 mengajukan
penawaran melalui peserta langsung kepada Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Peserta OPT bertanggung jawab atas kebenaran penawaran yang diajukan.
(2) Peserta OPT yang telah mengajukan penawaran dilarang membatalkan
penawarannya.
(3) Peserta .…
-8-
(3) Peserta OPT wajib memenuhi tata cara pengajuan penawaran dan persyaratan
dalam transaksi OPT yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Peserta OPT tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3), penawaran yang telah diajukan dinyatakan batal.
Pasal 13
(1) Dalam mengikuti kegiatan OPT, lembaga perantara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dilarang mengajukan penawaran untuk kepentingan diri sendiri.
(2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat menetapkan lembaga perantara
yang memenuhi persyaratan untuk mengajukan penawaran untuk kepentingan
diri sendiri.
Pasal 14
(1) Bank yang mengikuti kegiatan OPT secara langsung (untuk kepentingan sendiri
atau kepentingan pihak lain non bank) maupun tidak langsung wajib
menyediakan dana dan atau surat berharga yang cukup di Bank Indonesia untuk
penyelesaian kewajiban pembayaran dan atau surat berharga pada waktu
penyelesaian transaksi.
(2) Pihak lain yang mengikuti kegiatan OPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
wajib menyediakan dana dan atau surat berharga yang cukup di Bank yang
ditunjuknya untuk penyelesaian pembayaran dan atau surat berharga pada waktu
penyelesaian transaksi.
(3) Dalam ….
-9-
(3) Dalam hal pada waktu penyelesaian transaksi, Bank atau pihak lain tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat
transaksi OPT yang bersangkutan dinyatakan batal.
(1) dan ayat
(2),
BAB VI
SANKSI
Pasal 15
(1) Dalam hal penawaran yang diajukan Peserta OPT dinyatakan batal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), Peserta OPT yang bersangkutan dikenakan
sanksi berupa teguran tertulis untuk setiap pembatalan.
(2) Dalam hal Peserta OPT dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
untuk ketiga kalinya dalam jangka waktu 6 bulan, maka Peserta OPT yang
bersangkutan dikenakan sanksi pemberhentian sementara untuk mengikuti
kegiatan OPT selama 5 (lima) hari kerja.
Pasal 16
(1) Atas batalnya transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3), Bank
atau pihak lain yang bersangkutan dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban .…
-10-
b. kewajiban membayar sebesar 1 0/00 (satu per seribu) dari nilai nominal
transaksi yang dinyatakan batal atau
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah);
sebanyak-banyaknya
(2) Atas batalnya transaksi yang ketiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan,
selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank atau
pihak lain juga dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti
kegiatan OPT selama 5 (lima) hari kerja.
BAB VII
PENUTUP
Pasal 17
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 18
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 21/53/KEP/DIR tanggal 27
Oktober 1988 tentang Perdagangan Surat Berharga Pasar Uang,
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/84/KEP/DIR tanggal 28
Februari 1991 tentang Tata Cara Penggunaan Diskonto I,
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 19 ….
-11-
Pasal 19
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 25 Nopember 2002.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Nopember 2002
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Ttd
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 126
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 4/ 9 /PBI/2002
TENTANG
OPERASI PASAR TERBUKA
I. UMUM
Dalam rangka mendukung tujuan Bank Indonesia, yaitu mencapai dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia melaksanakan Operasi Pasar
Terbuka sebagai salah satu cara pengendalian moneter sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Pasal 10 ayat
(1) huruf b.1). Salah satu ukuran keberhasilan pencapaian tujuan dimaksud adalah
laju inflasi tahunan yang terkendali yang ditetapkan sebagai sasaran akhir dari
pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter.
Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, Bank Indonesia
dapat menerapkan kerangka kebijakan moneter melalui pengendalian jumlah uang
beredar (target kuantitas) atau suku bunga (target suku bunga). Dalam hal kebijakan
moneter difokuskan pada pengendalian jumlah uang beredar, Bank Indonesia
menetapkan uang primer atau komponennya sebagai target operasional, dan jumlah
uang beredar baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas sebagai target antara.
Dalam hal kebijakan moneter difokuskan pada pengendalian suku bunga, Bank
Indonesia .…
-2-
Indonesia menetapkan suku bunga pasar jangka pendek sebagai target operasional.
Untuk mencapai target operasional tersebut baik dalam kerangka kebijakan moneter
berdasarkan target kuantitas atau target suku bunga, Bank Indonesia dapat
melakukan pengendalian moneter melalui Operasi Pasar Terbuka yang bersifat
kontraksi atau ekspansi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Komponen uang primer terdiri dari:
a. uang kartal yang ada di Bank dan masyarakat;
b. saldo giro Bank dalam Rupiah di Bank Indonesia.
Pasal 3 .…
-3-
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan
mudah dicairkan adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang
diterbitkan oleh badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi
berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang kompeten dan
sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang
tunai.
Huruf c
Yang dimaksud dengan FASBI adalah fasilitas yang diberikan oleh Bank
Indonesia kepada Bank untuk menempatkan dananya di Bank Indonesia.
Huruf d
Yang termasuk dalam transaksi jual beli valuta asing terhadap Rupiah
antara lain adalah transaksi spot dan swap.
Pasal 5 ….
-4-
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan:
a. Pembelian secara lepas (Outright buying) adalah transaksi pembelian surat
berharga oleh Bank Indonesia tanpa kewajiban untuk menjual kembali.
b. Penjualan secara lepas (Outright selling) adalah transaksi penjualan surat
berharga oleh Bank Indonesia tanpa kewajiban untuk membeli kembali.
c. Penjualan secara bersyarat (Repurchase Agreement/Repo) adalah transaksi
penjualan bersyarat surat berharga oleh Bank kepada Bank Indonesia
dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang disepakati.
d. Pembelian secara bersyarat
bersyarat surat berharga oleh Bank kepada Bank Indonesia
(Reverse Repo) adalah transaksi pembelian
dengan
kewajiban penjualan kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang
disepakati.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8 .…
-5-
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan lembaga perantara antara lain pialang pasar uang,
pialang pasar modal dan Primary Dealer.
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain badan hukum non bank,
badan lainnya dan perorangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan peserta langsung adalah peserta yang mengikuti
kegiatan OPT secara langsung dengan Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan peserta tidak langsung adalah peserta yang
mengikuti kegiatan OPT melalui peserta langsung.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12 .…
-6-
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17 .…
-7-
Pasal 17
Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara
lain:
a. persyaratan dan penetapan peserta OPT;
b. persyaratan dan tata cara pengajuan penawaran serta penatausahaan surat
berharga dalam rangka OPT;
c. persyaratan dan penetapan lembaga perantara yang dapat mengajukan
penawaran untuk kepentingan diri sendiri;
d. pelaksanaan dan penyelesaian penyediaan FASBI;
e. tata cara pengenaan sanksi.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4243
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 4/9/PBI/2002 </reg_id>
<reg_title> OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title>
<set_date> 18 Nopember 2002 </set_date>
<effective_date> 25 Nopember 2002 </effective_date>
<replaced_reg> '23/84/KEP/DIR|SKDIR-BI/1991', '21/53/KEP/DIR|SKDIR-BI/1988' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
-1-
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 13/ 22 /PBI/2011
TENTANG
KEWAJIBAN PELAPORAN PENARIKAN
DEVISA UTANG LUAR NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa penarikan devisa utang luar negeri sangat diperlukan
untuk mendukung tersedianya pasokan valuta asing yang
berkesinambungan di pasar domestik dan upaya menjaga
kestabilan nilai rupiah;
b. bahwa agar penarikan devisa utang luar negeri dapat
berjalan secara optimal, maka telah ditetapkan kebijakan
mengenai penarikan devisa utang luar negeri;
c. bahwa untuk mendukung pelaksanaan kebijakan mengenai
penarikan devisa utang luar negeri, perlu dilakukan
pemantauan atas penarikan devisa utang luar negeri melalui
perbankan Indonesia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Kewajiban Pelaporan
Penarikan Devisa Utang Luar Negeri.
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia…
-2-
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa
kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN
PELAPORAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR
NEGERI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan :
1. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh surat penunjukan dari Bank
Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta
asing, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia.
2. Penduduk…
-3-
2. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili
atau berencana berdomisili di Indonesia paling kurang 1 (satu) tahun,
termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut ULN adalah utang Penduduk
kepada bukan Penduduk, dalam valuta asing.
4. Debitur Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut Debitur ULN adalah
perorangan, badan hukum bukan bank dan badan lainnya yang memiliki ULN.
5. Devisa Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut DULN adalah devisa yang
diperoleh Debitur ULN dari penarikan ULN.
6. Pelapor DULN adalah Debitur ULN.
7. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia.
BAB II
PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI
Pasal 2
Setiap DULN wajib ditarik oleh Debitur ULN melalui Bank Devisa sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penarikan devisa
utang luar negeri.
BAB III
LAPORAN PENARIKAN DULN
Pasal 3
(1) Penarikan DULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib dilaporkan
oleh Pelapor DULN kepada Bank Indonesia secara benar dan lengkap, serta
tepat waktu.
(2) Laporan…
-4-
(2) Laporan penarikan DULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menggunakan laporan data realisasi penarikan ULN sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban
pelaporan utang luar negeri.
BAB IV
JANGKA WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN PENARIKAN DULN
Pasal 4
(1) Laporan penarikan DULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia setiap bulan, dengan waktu
penyampaian dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 pada bulan berikutnya.
(2) Laporan penarikan DULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disertai dokumen pendukung yang dapat membuktikan bahwa penarikan
DULN telah dilakukan melalui Bank Devisa.
(3) Apabila tanggal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada
hari Sabtu atau hari libur, maka laporan penarikan DULN disampaikan pada
hari kerja berikutnya.
BAB V
PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN PENARIKAN DULN
Pasal 5
(1) Penyampaian laporan penarikan DULN kepada Bank Indonesia dilakukan
melalui media online, media offline atau menggunakan hardcopy.
(2) Penyampaian dokumen pendukung bukti penarikan DULN kepada Bank
Indonesia menggunakan kurir atau melalui pos, faksimili, email atau media
lainnya.
Pasal 6…
-5-
Pasal 6
Laporan penarikan DULN yang memuat data/informasi individual yang
disampaikan kepada Bank Indonesia bersifat rahasia.
BAB VI
PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN PENARIKAN DULN
Pasal 7
(1) Bank Indonesia meneliti kebenaran atas laporan penarikan DULN yang
disampaikan oleh Pelapor DULN.
(2) Dalam hal terdapat keraguan atas kebenaran penarikan DULN yang
disampaikan oleh Pelapor DULN, Bank Indonesia dapat meminta penjelasan
kepada Pelapor DULN.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pelapor
DULN kepada Bank Indonesia paling lama 6 (enam) bulan sejak berakhirnya
jangka waktu kewajiban penyampaian laporan.
(4) Dalam hal Pelapor DULN tidak menyampaikan penjelasan sampai dengan
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka Pelapor DULN
dianggap tidak melakukan penarikan DULN melalui Bank Devisa.
BAB VII
KETERLAMBATAN PENYAMPAIAN LAPORAN PENARIKAN DULN
Pasal 8
(1) Dalam hal Pelapor DULN menyampaikan laporan penarikan DULN dan
dokumen pendukung penarikan DULN melampaui batas akhir penyampaian
laporan…
-6-
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), maka Pelapor DULN
dianggap terlambat menyampaikan laporan penarikan DULN dan dokumen
pendukung penarikan DULN.
(2) Dalam hal Pelapor DULN tidak menyampaikan laporan penarikan DULN
dan dokumen pendukung penarikan DULN sampai dengan 6 (enam) bulan
terhitung sejak batas akhir penyampaian laporan penarikan DULN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), maka Pelapor DULN
dianggap tidak menyampaikan laporan penarikan DULN dan dokumen
pendukung penarikan DULN.
(3) Dalam hal Pelapor DULN tidak dapat membuktikan penarikan DULN telah
dilakukan melalui Bank Devisa sampai dengan 6 (enam) bulan terhitung
sejak batas akhir penyampaian laporan penarikan DULN sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), maka Pelapor DULN dianggap tidak
melakukan penarikan DULN melalui Bank Devisa.
BAB VIII
PENJELASAN TERTULIS TERKAIT PENARIKAN DULN
Pasal 9
(1) Dalam hal terdapat akumulasi nilai DULN yang ditarik oleh Debitur ULN
lebih kecil dari komitmen, maka Pelapor DULN harus menyampaikan
penjelasan tertulis kepada Bank Indonesia.
(2) Penjelasan tertulis sebagai dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada
Bank Indonesia paling lama sebelum berakhirnya jangka waktu ULN.
(3) Dalam hal Pelapor DULN tidak menyampaikan penjelasan dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka Pelapor DULN dianggap
tidak melakukan penarikan selisih antara komitmen dan akumulasi penarikan
DULN melalui Bank Devisa.
BAB IX…
-7-
BAB IX
SANKSI
Pasal 10
(1) Pelapor DULN yang terlambat menyampaikan laporan penarikan DULN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dikenakan sanksi
administratif sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai kewajiban pelaporan utang luar negeri.
(2) Pelapor DULN yang tidak menyampaikan laporan penarikan DULN kepada
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dikenakan
sanksi administratif sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan utang luar negeri.
Pasal 11
(1) Pelapor DULN yang terlambat menyampaikan dokumen pendukung
penarikan DULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dikenakan
sanksi administratif berupa denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah)
per hari keterlambatan untuk setiap pelapor DULN, dengan denda paling
banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Pelapor DULN yang tidak menyampaikan dokumen pendukung penarikan
DULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Pasal 12
(1) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 dan Pasal 11 disetorkan ke rekening Kas Negara yang berada di
Bank Indonesia.
(2) Pelaksanaan…
-8-
(2) Pelaksanaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Pelapor DULN setelah menerima surat pemberitahuan secara tertulis
dari Bank Indonesia dengan tembusan kepada Kantor Kas Negara.
(3) Pelapor DULN harus menyampaikan fotokopi bukti pembayaran sanksi
administratif berupa denda kepada Bank Indonesia dan Kantor Kas Negara.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 13
(1) Kewajiban pelaporan penarikan DULN melalui Bank Devisa yang berasal
dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini, dikecualikan dari kewajiban pelaporan penarikan DULN.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi penarikan
DULN yang berasal dari penambahan plafon ULN karena adanya perubahan
perjanjian (amendment), yang ditandatangani setelah berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11 mulai diberlakukan
untuk laporan penarikan DULN bulan Juni 2012 yang disampaikan pada bulan
Juli 2012.
Pasal 15
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2012.
Agar…
-9-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 September 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 September 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 95
DInt
-10-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 13/ 22 /PBI/2011
TENTANG
KEWAJIBAN PELAPORAN
PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI
I. UMUM
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009, salah satu tugas Bank Indonesia adalah
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Dalam rangka implementasi
kebijakan moneter tersebut, Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian
moneter melalui berbagai cara yang dianggap efektif. Untuk merumuskan
kebijakan moneter tersebut, perlu didukung dengan ketersediaan data yang
lengkap, akurat dan tepat waktu.
Salah satu permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah volatilitas
nilai tukar yang terjadi akibat ketidakstabilan pasokan valuta asing di pasar
domestik. Kepemilikan asing yang dominan dalam investasi portfolio berpotensi
meningkatkan kerentanan perekonomian Indonesia terhadap risiko pembalikan
modal seketika (sudden capital reversal). Sebagai langkah antisipasi dan upaya
meminimalisir risiko tersebut, diperlukan kontinuitas pasokan dana valuta asing
yang relatif stabil.
Dana valuta asing yang berasal dari penarikan devisa utang luar negeri
diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif untuk memasok sumber dana yang
relatif stabil, dibandingkan dana yang berasal dari investasi portfolio pihak asing.
Mempertimbangkan…
-11-
Mempertimbangkan hal tersebut, Bank Indonesia memandang perlu mengeluarkan
kebijakan yang mewajibkan penarikan devisa utang luar negeri dilakukan melalui
Bank Devisa. Untuk memastikan bahwa kebijakan penarikan devisa utang luar
negeri tersebut berjalan efektif, maka Debitur ULN diwajibkan melaporkan
penarikan devisa utang luar negeri kepada Bank Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dokumen pendukung antara lain berupa SWIFT message.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penyampaian laporan penarikan DULN
melalui media on line (web technology) dan offline adalah media
penyampaian…
-12-
penyampaian laporan sebagaimana diatur dalam ketentuan yang
mengatur mengenai kewajiban pelaporan ULN.
Ayat (2)
Penyampaian dokumen pendukung bukti penarikan DULN agar
disampaikan ke alamat:
a. Bagian Penatausahaan dan Publikasi Pinjaman Luar Negeri
Direktorat Internasional - Bank Indonesia
Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt.5
Jalan MH. Thamrin No.2
JAKARTA PUSAT
b. E-mail : [email protected]
Penyampaian dokumen pendukung bukti penarikan DULN dapat
disampaikan melalui faksimili, email dan melalui kurir atau jasa
ekspedisi. Dalam hal pengiriman dilakukan oleh kurir atau jasa
ekspedisi, batas penerimaan di Bank Indonesia paling lama pukul
16.15 WIB. Sedangkan untuk pengiriman dokumen melalui pos,
tanggal penerimaan dokumen di Bank Indonesia adalah
menggunakan tanggal stempel pos.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
-13-
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penjelasan” adalah pemberian keterangan
secara tertulis dengan dilengkapi bukti pembukuan, catatan, dan
dokumen lain yang diperlukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Perusahaan A melakukan realisasi penarikan Perjanjian Kredit
(Loan Agreement) pada tanggal 15 Oktober 2012. Batas waktu
penyampaian laporan penarikan DULN tersebut seharusnya pada
tanggal 10 November 2012, namun karena tanggal 10 dan 11
November 2012 jatuh pada hari libur, maka batas waktu
penyampaian laporan penarikan DULN menjadi tanggal 12
November 2012. Perusahaan A baru menyampaikan laporan
penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 14 November
2012. Dengan demikian, maka perusahaan A terlambat selama 2
(dua) hari.
Ayat (2)
Perusahaan B melakukan realisasi penarikan Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) pada tanggal 15 Juni 2012. Batas waktu penyampaian
laporan penarikan DULN tersebut adalah tanggal 10 Juli 2012.
Perusahaan B baru menyampaikan laporan penarikan DULN kepada
Bank Indonesia pada tanggal 5 Februari 2013. Dengan demikian,
maka Perusahaan B terlambat lebih dari 6 (enam) bulan sehingga
dianggap tidak menyampaikan laporan.
Ayat (3) …
-14-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud “laporan penarikan DULN” adalah laporan realisasi
penarikan ULN.
Contoh 1:
Perusahaan C melakukan realisasi penarikan Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) pada tanggal 15 Oktober 2012. Batas waktu
penyampaian laporan penarikan DULN tersebut seharusnya pada
tanggal 10 November 2012, namun karena tanggal 10 dan 11
November 2012 jatuh pada hari libur, maka batas waktu
penyampaian laporan penarikan DULN menjadi tanggal 12
November 2012. Perusahaan C baru menyampaikan laporan
penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 19 November
2012. Dengan demikian, maka perusahaan C terlambat selama 3
(tiga) hari (tanggal 15 dan 16 November 2012 tidak dihitung karena
hari libur nasional sementara tanggal 17 dan 18 November 2012
bukan merupakan hari kerja). Atas keterlambatan tersebut,
Perusahaan C dikenakan sanksi denda sebesar 3 (tiga) hari x
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp300.000,00 (tiga ratus ribu
rupiah).
Contoh 2:
Perusahaan D melakukan realisasi penarikan Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) pada tanggal 15 Juni 2012. Batas waktu penyampaian
laporan …
-15-
laporan penarikan DULN tersebut adalah tanggal 10 Juli 2012.
Perusahaan D baru menyampaikan laporan penarikan DULN kepada
Bank Indonesia pada tanggal 26 Desember 2012. Dengan demikian,
maka perusahaan D terlambat selama 112 (seratus dua belas) hari.
Atas keterlambatan tersebut, Perusahaan D seharusnya dikenakan
sanksi denda sebesar 112 (seratus dua belas) hari x Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) = Rp11.200.000,00 (sebelas juta dua ratus ribu
rupiah). Namun berhubung denda paling banyak sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per pelapor, maka perusahaan
D hanya dikenakan denda maksimal sebesar Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Contoh 1:
Perusahaan F melakukan realisasi penarikan Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) pada tanggal 15 Oktober 2012. Batas waktu
penyampaian dokumen pendukung penarikan DULN tersebut
seharusnya pada tanggal 10 November 2012, namun karena tanggal
10 dan 11 November 2012 jatuh pada hari libur, maka batas waktu
penyampaian dokumen pendukung penarikan DULN menjadi
tanggal 12 November 2012. Perusahaan F baru menyampaikan
dokumen pendukung penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada
tanggal 19 November 2012. Dengan demikian, maka perusahaan F
terlambat selama 3 (tiga) hari (tanggal 15 dan 16 November 2012
tidak dihitung karena hari libur nasional, sementara tanggal 17 dan
18 November 2012 bukan merupakan hari kerja). Atas
keterlambatan tersebut, Perusahaan F dikenakan sanksi denda
sebesar …
-16-
sebesar 3 (tiga) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) =
Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah).
Contoh 2:
Perusahaan G melakukan realisasi penarikan Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) pada tanggal 15 Juni 2012. Batas waktu penyampaian
dokumen pendukung penarikan DULN tersebut adalah tanggal 10
Juli 2012. Perusahaan G baru menyampaikan dokumen pendukung
penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 26 Desember
2012. Dengan demikian, maka perusahaan G terlambat selama 112
(seratus dua belas) hari. Atas keterlambatan tersebut, Perusahaan G
seharusnya dikenakan sanksi denda sebesar 112 (seratus dua belas)
hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp11.200.000,00
(sebelas juta dua ratus ribu rupiah). Namun berhubung denda paling
banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per pelapor,
maka perusahaan G hanya dikenakan denda maksimal sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Ayat (2)
Contoh:
Perusahaan H melakukan realisasi penarikan Perjanjian Kredit
(Loan Agreement) pada tanggal 15 Juni 2012. Batas waktu
penyampaian dokumen pendukung penarikan DULN tersebut adalah
tanggal 10 Juli 2012. Perusahaan H baru menyampaikan dokumen
pendukung penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 5
Februari 2013. Dengan demikian, maka Perusahaan H terlambat
lebih dari 6 (enam) bulan sehingga dianggap tidak menyampaikan
dokumen pendukung. Dengan demikian, maka perusahaan H
dikenakan denda maksimal sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).
Pasal 12…
-17-
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Perusahaan I memperoleh ULN dalam bentuk Loan Agreement
sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta US Dollar) yang
ditandatangani pada tanggal 26 Agustus 2010 dengan jatuh tempo 26
Agustus 2015. Pada tanggal 25 September 2012, perjanjian tersebut
diubah dengan menaikkan plafon ULN tersebut menjadi sebesar
USD150.000.000,00 (seratus lima puluh juta US Dollar). Penarikan
DULN atas penambahan plafon ULN tersebut sebesar
USD50.000.000,00 (lima puluh juta US Dollar) wajib dilakukan
melalui Bank Devisa dan dilaporkan ke Bank Indonesia.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5243
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/22/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PELAPORAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI </reg_title>
<set_date> 30 September 2011 </set_date>
<effective_date> 2 Januari 2012 </effective_date>
<issued_date> 30 September 2011 </issued_date>
<related_reg> '24/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 4/ 4 /PBI/2002
TENTANG
PENCABUTAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA
NOMOR 31/201/KEP/DIR TANGGAL 29 JANUARI 1999 SEBAGAIMANA
TERTUANG DALAM SURAT KEPUTUSAN BERSAMA ANTARA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN GUBERNUR
BANK INDONESIA NOMOR KEP-046/KM.17/1999 DAN NOMOR
31/201/KEP/DIR TENTANG PROGRAM PENJAMINAN EKSPOR DALAM
RANGKA PENGGERAKAN SEKTOR RIIL
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa dalam rangka menggerakkan ekspor,
memberdayakan eksportir dalam melancarkan kegiatan
usahanya serta meningkatkan tingkat kepercayaan
kepada perbankan nasional, pemerintah dan Bank
Indonesia memberikan fasilitas penjaminan terhadap
Letter of Credit impor dan Kredit Modal Kerja dalam
rangka ekspor melalui Program Penjaminan Ekspor
Dalam Rangka Penggerakan Sektor Riil;
b. bahwa fasilitas penjaminan dimaksud diberikan
dengan mempertimbangkan kondisi perbankan saat itu
yang tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai
lembaga intermediasi;
c. bahwa …
-2-
c. bahwa dalam perkembangannya dan seiring dengan
semakin membaiknya perekonomian nasional,
perbankan nasional mulai dapat menjalankan kembali
fungsi intermediasinya tanpa program penjaminan
pemerintah;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah
dan Bank Indonesia memandang perlu untuk
menghentikan program penjaminan ekspor sesuai
dengan kewenangan masing-masing;
e. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk
melakukan pencabutan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 31/201/KEP/DIR tanggal 29 Januari
1999 sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan
Bersama antara Menteri Keuangan Republik Indonesia
dan Gubernur Bank Indonesia Nomor KEP-
046/KM.17/1999 dan Nomor 31/201/KEP/DIR tentang
Program Penjaminan Ekspor Dalam Rangka
Penggerakan Sektor Riil;
Mengingat
: Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843);
Memperhatikan …
-3-
Memperhatikan
: Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
KEP-113/KM.6/2002 tanggal 20 Mei 2002 tentang
Pencabutan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KEP-
046/KM.17/1999 tanggal 29 Januari 1999 tentang
Program Penjaminan Ekspor Dalam Rangka Penggerakan
Sektor Riil;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PENCABUTAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI
BANK INDONESIA NOMOR 31/201/KEP/DIR
TANGGAL 29 JANUARI 1999 SEBAGAIMANA
TERTUANG DALAM SURAT KEPUTUSAN
BERSAMA ANTARA MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA DAN GUBERNUR BANK
INDONESIA NOMOR KEP-046/KM.17/1999 DAN
NOMOR 31/201/KEP/DIR TENTANG PROGRAM
PENJAMINAN EKSPOR DALAM RANGKA
PENGGERAKAN SEKTOR RIIL.
Pasal 1
(1) Mencabut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/201/KEP/DIR tanggal 29 Januari 1999 yang merupakan bagian
dari Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan Republik
Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia Nomor KEP-046/KM.17/1999 dan
Nomor 31/201/KEP/DIR tentang Program Penjaminan Ekspor dalam
rangka …
- 4 -
rangka
Penggerakan
Sektor
Riil,
kecuali
untuk
Letter of Credit
(L/C) impor dan Kredit Modal Kerja yang dijamin dalam Program
Penjaminan Ekspor sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama
Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia Nomor KEP-
046/KM.17/1999 dan Nomor 31/201/KEP/DIR yang masih berjalan dan
belum jatuh tempo dan yang sudah jatuh tempo namun belum diselesaikan
pembayarannya.
(2) Khusus untuk
Letter of Credit (L/C) impor dan Kredit Modal Kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 31/201/KEP/DIR tanggal 29 Januari 1999 dinyatakan
tidak berlaku sejak berakhirnya proses penyelesaian pembayaran Letter of
Credit (L/C) impor dan Kredit Modal Kerja dimaksud.
(3) Sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Letter of Credit (L/C)
impor dan Kredit Modal Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
diperbolehkan untuk diperpanjang.
Pasal 2
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku surut sejak tanggal 20 Mei 2002.
Ditetapkan …
- 5 -
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 6 Juni 2002
GUBERNUR BANK INDONESIA,
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002
NOMOR 68
DLN.
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 4/4/PBI/2002 </reg_id>
<reg_title> PENCABUTAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/201/KEP/DIR TANGGAL 29 JANUARI 1999 SEBAGAIMANA TERTUANG DALAM SURAT KEPUTUSAN BERSAMA ANTARA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN GUBERNUR BANK INDONESIA NOMOR KEP-046/KM.17/1999 DAN NOMOR 31/201/KEP/DIR TENTANG PROGRAM PENJAMINAN EKSPOR DALAM RANGKA PENGGERAKAN SEKTOR RIIL </reg_title>
<set_date> 6 Juni 2002 </set_date>
<effective_date> 20 Mei 2002 </effective_date>
<replaced_reg> '31/201/KEP/DIR|KEPBER-BI-MENKEU/1999|1', 'KEP-046/KM.17/1999|KEPBER-BI-MENKEU/1999|1' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/20/PBI/2000
TENTANG
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank
menghadapi risiko pendanaan jangka pendek yang
disebabkan terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil
dibandingkan dengan arus dana keluar;
b. bahwa untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek
tersebut, Bank Indonesia sebagai lender of the last resort
dapat memberikan kredit kepada bank umum yang dijamin
dengan agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan;
c. bahwa untuk lebih memperlancar penyediaan fasilitas
pendanaan jangka pendek bagi bank umum, maka ketentuan
mengenai hal tersebut perlu disempurnakan;
d. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, dipand ang
perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai fasilitas
pendanaan jangka pendek bagi bank umum dalam Peraturan
Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN …
-2-
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS
PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha perbankan
konvensional;
2. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek yang selanjutnya disebut
FPJP adalah fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada
Bank yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan
pendanaan jangka pendek;
3. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek adalah keadaan yang
dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk
yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar
(mismatch) yang diperkirakan dapat mengakibatkan terjadinya
saldo giro negatif;
4. Saldo Giro Negatif adalah saldo rekening giro Rupiah Bank
pada Bank Indonesia yang menunjukkan angka negatif pada saat
Bank Indonesia menutup sistem akunting;
5. Sertifikat Bank Indonesia yang untuk selanjutnya disebut SBI
adalah surat berharga atas unjuk dalam Rupiah yang diterbitkan
Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu
pendek dan diperdagangkan dengan sistem diskonto;
6. Obligasi Pemerintah adalah Surat Utang Negara Republik
Indonesia dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia dan dapat diperdagangkan;
7. Pasar …
-3-
7. Pasar Uang Antar Bank yang untuk selanjutnya disebut PUAB
adalah kegiatan pinjam meminjam dana antara satu Bank
dengan Bank lainnya.
Pasal 2
(1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek
dapat memperoleh FPJP dengan memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) FPJP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dipergunakan untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka
Pendek.
(3) FPJP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan
maksimum sebesar perkiraan Saldo Giro Negatif Bank yang
dihitung oleh Bank (self assessment).
BAB II
PERSYARATAN FPJP
Pasal 3
(1) Permohonan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) wajib diajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia
dengan dilampiri perjanjian kredit dan perjanjian gadai.
(2) Permohonan FPJP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dijamin dengan agunan milik Bank berupa:
a. SBI yang mempunyai sisa jangka waktu sekurang-
kurangnya 3 (tiga) hari dan selama-lamanya 30 (tiga puluh)
hari pada saat FPJP jatuh waktu;
b. Obligasi Pemerintah yang mempunyai sisa jangka waktu
sekurang-kurangnya 15 (lima belas) hari pada saat FPJP
jatuh waktu; dan atau
c. surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah
dicairkan.
(3) Persyaratan…
-4-
(3) Persyaratan sisa jangka waktu agunan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf a dan huruf b dapat diubah dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
(4) Penetapan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan
mudah dicairkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c
ditetapkan kemudian dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 4
(1) Nilai agunan yang wajib diserahkan kepada Bank Indonesia
ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar jumlah FPJP.
(2) Dalam hal agunan berupa SBI, nilai agunan ditetapkan sebesar
100% (seratus perseratus) dari nilai jual SBI pada tanggal
permohonan FPJP.
(3) Dalam hal agunan berupa Obligasi Pemerintah, nilai agunan
ditetapkan sebesar 115% (seratus lima belas perseratus) dari
nilai pasar Obligasi Pemerintah pada tanggal permohonan FPJP.
(4) Perhitungan nilai jual SBI dan nilai pasar Obligasi Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
(5) Perubahan persentase nilai agunan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 5
(1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang
diserahkan kepada Bank Indonesia harus bebas dari segala
bentuk perikatan, sengketa, dan tidak sedang dijaminkan
kepada pihak lain dan atau Bank Indonesia.
(2) Bank yang telah memperoleh FPJP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dilarang untuk memperjualbelikan dan
atau menjaminkan kembali surat berharga yang masih dalam
status sebagai agunan FPJP.
(3) Bank …
-5-
(3) Bank wajib mengganti agunan FPJP apabila tidak memenuhi
kondisi-kondisi sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan ayat (2).
(4) Apabila Bank tidak mengganti agunan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) maka berdasarkan peraturan ini, Bank Indonesia
dibebaskan dari segala bentuk tanggung jawab yang timbul dan
yang mungkin timbul kepada pihak-pihak lain yang terkait
dengan agunan.
Pasal 6
(1) Jangka waktu setiap FPJP adalah 1 (satu) hari kerja (overnight).
(2) Bank dapat menggunakan FPJP sebanyak-banyaknya 90
(sembilan puluh) hari berturut-turut.
Pasal 7
Bank yang mengajukan FPJP wajib memenuhi persyaratan:
a. ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum yang berlaku;
dan
b. tingkat kesehatan Bank dalam waktu 3 (tiga) bulan terakhir
berturut-turut sekurang-kurangnya cukup sehat sebagaimana
tercantum dalam administrasi Bank Indonesia.
Pasal 8
(1) Bank Indonesia mengenakan biaya bunga kepada Bank atas
penggunaan FPJP.
(2) Biaya bunga FPJP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan sebesar nilai tertinggi dari:
a. rata-rata tertimbang suku bunga PUAB keseluruhan jangka
waktu overnight pada 1 (satu) hari kerja sebelum
permohonan FPJP ditambah marjin tertentu; atau
b. rata …
-6-
b. rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI jangka waktu 1
(satu) bulan pada lelang terakhir ditambah marjin tertentu.
(3) Marjin tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan sebesar 200 (dua ratus) basis points.
(4) Marjin tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
disesuaikan sewaktu-waktu dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
BAB III
PELUNASAN DAN EKSEKUSI AGUNAN
Pasal 9
(1) Pada saat FPJP jatuh waktu, Bank Indonesia mendebet rekening
giro Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia.
(2) Dalam hal pada saat FPJP jatuh waktu, saldo giro Rupiah Bank
yang bersangkutan di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk
pelunasan FPJP maka:
a. Bank dapat mengajukan permohonan FPJP yang baru
dengan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 sampai dengan Pasal 8; atau
b. Apabila Bank tidak mengajukan permohonan FPJP baru
maka Bank Indonesia mengeksekusi agunan FPJP dengan
cara menjual sesuai dengan harga pasar.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b,
Bank Indonesia dapat mengeksekusi agunan FPJP dengan cara
menjual sesuai dengan harga pasar apabila dana pada saldo giro
Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk
pelunasan dan Bank yang bersangkutan telah menggunakan
FPJP selama 90 (sembilan puluh) hari berturut-turut.
(4) Selama dalam proses eksekusi agunan, Bank tetap dikenakan
biaya bunga sampai dengan eksekusi agunan selesai
dilaksanakan.
(5) Apabila …
-7-
(5) Apabila hasil eksekusi agunan lebih kecil dari nilai FPJP dan
kewajiban bunga yang harus dilunasi oleh Bank maka Bank
wajib menyetor untuk memenuhi kekurangannya.
(6) Apabila hasil eksekusi agunan lebih besar dari nilai FPJP dan
kewajiban bunga yang harus dilunasi oleh Bank maka Bank
Indonesia mengembalikan kelebihan tersebut kepada Bank.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 10
Dalam rangka pengawasan atas penggunaan FPJP oleh Bank, Bank
Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank yang
bersangkutan.
BAB V
SANKSI
Pasal 11
Penggunaan FPJP yang tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (2)
dikenakan sanksi berupa:
a. tidak dapat memperoleh FPJP selama batas waktu tertentu; dan
b. sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998.
BAB VI …
-8-
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai FPJP diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia
Pasal 13
Persyaratan Bank yang mengajukan FPJP sebagaimana diatur dalam
Pasal 7 mulai berlaku sejak 1 Januari 2002.
Pasal 14
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan
Bank Indonesia Nomor 1/1/PBI/1999 tanggal 18 Mei 1999 tentang
Fasilitas Pendanaan Dalam Rangka Mengatasi Kesulitan Pendanaan
Jangka Pendek Bagi Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 15 …
-9-
Pasal 15
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 September 2000
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA
ANWAR NASUTION
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 153
DPM, DPNP
-10-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 2/20/PBI/2000
TENTANG
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM
I. UMUM
Bank dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya menghadapi
risiko likuiditas berupa kesulitan pendanaan jangka pendek yang apabila tidak
segera diatasi dapat menimbulkan masalah yang lebih besar dan bersifat
struktural. Kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami Bank disebabkan
oleh adanya ketidaksesuaian antara arus dana masuk dibandingkan dengan arus
dana keluar (mismatch). Kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya saldo giro Bank pada Bank Indonesia menjadi
negatif.
Untuk menutup kesulitan pendanaan yang bersifat jangka pendek,
pada dasarnya Bank pertama-tama harus mengupayakan dana di pasar uang,
dengan menggunakan berbagai instrumen pasar uang yang tersedia. Dalam hal
Bank gagal memperoleh dana di pasar uang, maka Bank Indonesia dalam
fungsinya sebagai lender of the last resort dapat membantu Bank untuk
mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, Bank Indonesia dapat memberikan kredit kepada Bank untuk
mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang dijamin dengan agunan
yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Sejalan dengan hal tersebut, Bank
-11-
Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan dalam rangka mengatasi kesulitan
pendanaan jangka pendek kepada Bank, dengan maksud agar kelangsungan
kegiatan usaha Bank dan kelancaran sistem pembayaran dapat terpelihara.
Pemberian kredit oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud di atas
berupa penyediaan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) yang dijamin
dengan agunan berupa Sertifikat Bank Indonesia, Obligasi Pemerintah dan/atau
surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan.
Pada dasarnya FPJP hanya diberikan kepada Bank yang mengalami
kesulitan pendanaan jangka pendek dan tidak mengalami kesulitan struktural,
sehingga ditetapkan persyaratan pemenuhan kewajiban penyediaan modal
minimum (KPMM) dan tingkat kesehatan Bank. Namun demikian, sejalan
dengan program restrukturisasi perbankan yang diperkirakan akan tuntas pada
akhir tahun 2001, maka persyaratan pemenuhan KPMM dan tingkat kesehatan
Bank tersebut akan diberlakukan mulai 1 Januari 2002.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
-12-
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal agunan FPJP berupa Obligasi Pemerintah dalam rangka program
rekapitalisasi perbankan maka Obligasi Pemerintah tersebut harus merupakan
Obligasi Pemerintah yang berada dalam portofolio perdagangan sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 1/10/PBI/1999
tanggal 3 Desember 1999, Peraturan Bank Indonesia 2/2/PBI/2000 tanggal 21
Januari 2000 dan Peraturan Bank Indonesia No. 2/10/PBI/2000 tanggal 29
Maret 2000.
Huruf c
Yang dimaksud dengan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah
dicairkan antara lain meliputi surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah
atau badan hukum lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
-13-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa FPJP semata-
mata hanya digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek
yang bersifat sementara dan tidak untuk mengatasi kesulitan pendanaan yang
bersifat struktural seperti kesulitan yang menyangkut permodalan.
-14-
Pasal 8
Ayat (1)
Pengenaan biaya bunga FPJP dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
(Jumlah FPJP) x (suku bunga FPJP) x (jangka waktu)
360
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan PUAB keseluruhan adalah transaksi PUAB
pada sesi pagi dan sesi sore yang tercatat dalam Pusat Informasi
Pasar Uang (PIPU).
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
-15-
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 10
Pemeriksaan terhadap Bank yang menerima Fasilitas Pendanaan Jangka
Pendek dapat dilakukan pada periode diterimanya atau setelah jatuh
waktu FPJP.
Pasal 11
Penyimpangan penggunaan FPJP adalah penggunaan FPJP yang tidak
sesuai dengan tujuan FPJP untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka
pendek (mismatch).
Jangka waktu sanksi Bank tidak dapat memperoleh FPJP akan
ditetapkan sesuai dengan berat ringannya pelanggaran.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Pemberlakuan persyaratan penarikan FPJP mulai 1 Januari 2002 dengan
mempertimbangkan bahwa pada saat itu program restrukturisasi
perbankan diperkirakan akan selesai dilakukan.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
-16-
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3999
DPM, DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/20/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 12 September 2000 </set_date>
<effective_date> 12 September 2000 </effective_date>
<replaced_reg> '1/1/PBI/1999' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/2 /PBI/2000
TENTANG
PENATAUSAHAAN DAN PERDAGANGAN OBLIGASI PEMERINTAH
GUBERNUR BANK INDONESIA
Menimbang: a.
bahwa untuk menutup kekurangan Anggaran Penerimaan
dan
Belanja Negara
dalam rangka
pembiayaan
pembangunan nasional termasuk pembiayaan penyertaan
modal negara pada Bank Umum dalam rangka pelaksanaan
Program Restrukturisasi dan Penyehatan Perbankan
Nasional, Pemerintah dapat menerbitkan Obligasi;
b.
bahwa Obligasi Pemerintah dapat mempengaruhi penetapan
kebijakan moneter dan dapat merupakan sarana untuk
melaksanakan kebijakan moneter;
c.
bahwa dalam rangka penerbitan Obligasi, Pemerintah telah
memberi kewenangan dan tanggung jawab kepada Bank
Indonesia
untuk
melakukan
penatausahaan
pengembangan pasar Obligasi Pemerintah;
dan
d. bahwa …..
- 2 -
d.
bahwa guna melaksanakan kewenangan tersebut secara
tertib, efisien dan efektif maka dipandang perlu untuk
mengatur penatausahaan dan perdagangan Obligasi
Pemerintah dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat :
1.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
3.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998 tentang
Program Rekapitalisasi Bank Umum (Lembaran Negara
Tahun 1998 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3799);
5.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999 tentang
Portfolio Obligasi Pemerintah bagi Bank Umum Peserta
Program …..
- 3 -
Program Rekapitalisasi (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 211, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3917);
Memperhatikan :
Persetujuan Bersama antara Menteri Keuangan Republik
Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 28 Mei
1999 mengenai Penatausahaan Penerbitan Surat Utang
Negara Republik Indonesia.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENATAUSAHAAN DAN PERDAGANGAN OBLIGASI
PEMERINTAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1.
2.
Obligasi Pemerintah adalah Surat Utang Negara Republik Indonesia dalam
mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia;
Unit Obligasi, yang selanjutnya disebut Obligasi, adalah pecahan dari
Obligasi Pemerintah;
3. Pasar …..
- 4 -
3.
4.
Pasar Perdana Obligasi adalah kegiatan penjualan Obligasi pada saat
penerbitan;
Pasar Sekunder Obligasi adalah kegiatan perdagangan Obligasi setelah
pasar perdana;
5. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998;
6. Central Registry adalah lembaga yang melakukan pencatatan kepemilikan
Obligasi baik untuk kepentingan Bank, Sub-Registry, Market Maker
maupun pihak-pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia;
7. Sub-Registry adalah lembaga yang melakukan pencatatan kepemilikan
Obligasi untuk kepentingan nasabahnya;
8. Market Maker adalah lembaga yang bertindak sebagai penggerak pasar
dalam rangka memelihara pasar sekunder yang kompetitif dan likuid;
9. Bank Indonesia-Sistem Kliring, Registrasi dan Informasi Obligasi
Pemerintah, yang untuk selanjutnya disebut BI-SKRIP, adalah sistem
pencatatan yang meliputi Central Registry dan Sub-Registry untuk
keperluan kliring dan setelmen Obligasi;
10. Book Entry Registry yang untuk selanjutnya disebut BER adalah sistem
pencatatan Obligasi tanpa warkat dalam suatu jurnal elektronis;
11. Repurchase Agreement atau disingkat Repo adalah transaksi penjualan
atau pembelian
penjualan kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati;
12. Outright adalah transaksi pembelian atau penjualan Obligasi secara tunai
tanpa kewajiban untuk menjual atau membeli kembali;
13. Pasar …..
Obligasi bersyarat dengan kewajiban pembelian atau
- 5 -
13. Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum
dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang
diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek
sebagaimana diatur Undang-Undang tentang Pasar Modal yang berlaku;
14. Pusat Informasi Pasar Uang yang untuk selanjutnya disebut PIPU adalah
sistem otomasi yang menyediakan informasi pasar uang yang diatur oleh
Bank Indonesia.
BAB II
FUNGSI BANK INDONESIA DALAM PENERBITAN DAN
PENATAUSAHAAN OBLIGASI
Pasal 2
(1) Bank Indonesia dapat membantu Pemerintah dalam menerbitkan Obligasi.
(2) Penatausahaan Obligasi baik di pasar perdana maupun pasar sekunder
dilakukan oleh Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia dapat mendorong pengembangan pasar Obligasi sesuai
ketentuan di bidang pasar modal.
Pasal 3
Dalam membantu penerbitan Obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1), Bank Indonesia dapat melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Memberikan …..
- 6 -
a. Memberikan masukan kepada Pemerintah terutama dalam menetapkan
ketentuan dan persyaratan penerbitan Obligasi;
b. Menjual Obligasi di pasar perdana melalui lelang dan membukukan hasil
penjualan untuk untung rekening Pemerintah pada Bank Indonesia;
c. Menunjuk peserta lelang.
Pasal 4
Dalam penatausahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Bank
Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Mengoperasikan sistem BI–SKRIP;
b. Menunjuk Sub-Registry;
c.
Melaksanakan kliring dan setelmen Obligasi bagi Bank, Sub-Registry,
Market Maker dan pihak-pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia;
d. Memberikan kepastian kepemilikan bagi pemegang Obligasi;
e. Melaksanakan pembayaran kupon dan pokok Obligasi pada saat jatuh
waktu;
f.
Membeli kembali Obligasi untuk kepentingan Pemerintah dalam rangka
pelunasan atas beban rekening Pemerintah.
Pasal 5
Dalam hal pengembangan pasar Obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (3), Bank Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Mengembangkan tata cara perdagangan Obligasi;
b. Melakukan kerjasama dengan otoritas pasar modal;
c. Menyediakan …..
- 7 -
c. Menyediakan informasi mengenai keadaan pasar termasuk fluktuasi harga,
volume dan frekuensi transaksi Obligasi;
d. Menunjuk Market Maker.
BAB III
PENCATATAN KEPEMILIKAN, KLIRING DAN SETELMEN
OBLIGASI
Pasal 6
(1) Obligasi diterbitkan tanpa warkat.
(2) Setiap Obligasi memiliki nilai nominal sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
Pasal 7
(1) Seluruh kepemilikan Obligasi dicatat dalam BI–SKRIP.
(2) BI-SKRIP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. Sistem Central Registry;
b. Sistem Sub-Registry;
c. Sistem dan prosedur kliring dan setelmen;
d. Ketentuan operasional.
(3) Catatan kepemilikan Obligasi dalam BI-SKRIP sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) merupakan bukti kepemilikan.
Pasal 8 …..
- 8 -
Pasal 8
(1) Sistem Central Registry dioperasikan oleh Bank Indonesia dengan
menggunakan BER.
(2) Transaksi Obligasi yang dapat diselesaikan dan dipindahkan hak
kepemilikannya melalui Central Registry adalah transaksi Obligasi yang
dilakukan oleh dan atau melalui pihak-pihak yang memiliki rekening
Obligasi pada Central Registry.
(3) Pencatatan dalam sistem BER mencakup :
a. Kepemilikan Obligasi yang tercatat secara sah pada peserta BER;
b. Seluruh kepemilikan Obligasi yang tercatat pada Sub-Registry.
Pasal 9
(1) Dalam mendukung kelancaran tugas Central Registry, Bank Indonesia
menunjuk Bank maupun bukan Bank sebagai Sub-Registry.
(2) Central Registry dan Sub-Registry melakukan pencatatan dan perubahan
kepemilikan Obligasi.
(3) Sub-Registry berfungsi untuk melakukan pencatatan kepemilikan dan
setelmen untuk rekening Obligasi nasabahnya serta melakukan pembayaran
kupon dan pokok Obligasi kepada pemilik Obligasi yang menjadi
nasabahnya.
(4) Transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki rekening
Obligasi di Central Registry diselesaikan melalui Sub-Registry.
(5) Sub-Registry tidak diperbolehkan untuk memelihara rekening Obligasi
untuk diri sendiri, direksi, dewan komisaris dan pemegang saham.
(6) Catatan …..
- 9 -
(6) Catatan kepemilikan Obligasi di dalam Sub-Registry sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) merupakan bukti kepemilikan.
(7) Atas fungsi yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Sub-
Registry dapat mengenakan fee kepada pemilik Obligasi yang menjadi
nasabahnya.
Pasal 10
(1) Penyelesaian transaksi Obligasi dilakukan atas dasar prinsip Delivery
Versus Payment (DVP) .
(2) Penyelesaian transaksi Obligasi juga dapat dilakukan atas dasar Free
Transfer.
Pasal 11
(1) Obligasi dapat dijadikan agunan oleh pemilik Obligasi.
(2) Bank dan Market Maker yang akan mengagunkan Obligasi wajib
melaporkan kepada Central Registry.
(3) Pemilik Obligasi yang tercatat pada Sub-Registry dan mengagunkan
Obligasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan kepada
Sub-Registry.
(4) Sub-Registry wajib melaporkan kepada Central Registry atas Obligasi yang
diagunkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
(5) Kelalaian dalam memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dan ayat (3) dikenakan sanksi.
(6). Obligasi …..
- 10 -
(6) Obligasi yang diagunkan tidak dapat diperdagangkan selama jangka waktu
pengagunan.
(7) Central Registry menerbitkan Surat Keterangan Surat Berharga yang
Diagunkan (SKSD) kepada Bank dan Market Maker atas Obligasi yang
akan diagunkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(8) Sub-Registry menerbitkan SKSD kepada nasabahnya atas Obligasi yang
diagunkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 12
(1) Central-Registry menerbitkan Konfirmasi Pencatatan Surat Berharga (KPS)
sebagai bukti pencatatan kepemilikan Obligasi kepada Bank Indonesia,
Bank, Sub-Registry, Market Maker dan pihak-pihak lain yang ditunjuk oleh
Bank Indonesia.
(2) Sub-Registry menerbitkan KPS kepada setiap nasabah sebagai bukti
pencatatan kepemilikan Obligasi.
(3) KPS yang diterbitkan Central Registry dan Sub-Registry tidak dapat
diperdagangkan dan dijadikan agunan.
(4) Dalam hal terjadi perselisihan karena perbedaan pencatatan antara Sub-
Registry dengan nasabahnya, Bank Indonesia berhak menginstruksikan Sub-
Registry untuk mengoreksi pencatatan kepemilikan dimaksud.
Pasal 13 …..
- 11 -
Pasal 13
(1) Pembayaran kupon Obligasi dilakukan oleh Central Registry atau Sub-
Registry berdasarkan posisi kepemilikan Obligasi yang tercatat pada BI-
SKRIP.
(2) Pembayaran kupon Obligasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan (terms and conditions)
dari masing-masing seri Obligasi yang diterbitkan.
Pasal 14
(1) Pokok Obligasi yang jatuh waktu dilunasi sebesar nilai nominal.
(2) Pelunasan pokok Obligasi dan kupon yang terakhir dilakukan pada saat
tanggal jatuh waktu.
(3) Pembayaran pokok Obligasi dan kupon terakhir dilakukan oleh Central
Registry atau Sub-Registry berdasarkan posisi kepemilikan Obligasi yang
tercatat pada BI-SKRIP.
(4) Pembayaran pokok Obligasi dan kupon terakhir sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan
dari masing-masing seri Obligasi yang diterbitkan.
Pasal 15
(1) Kliring dan setelmen transaksi Obligasi yang diselenggarakan melalui BI-
SKRIP dapat dilakukan atas dasar sistem netting.
2. Sistem …..
- 12 -
(2) Sistem netting sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan
secara novasi dan substitusi.
(3) Perubahan sistem setelmen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 16
(1) Pihak-pihak bukan Bank yang melakukan transaksi Obligasi wajib
menunjuk Bank untuk melakukan penyelesaian transaksi pembayaran.
(2) Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memiliki saldo giro pada
Bank Indonesia dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kewajiban
penyelesaian transaksi pembayaran.
BAB IV
TATA CARA PERDAGANGAN OBLIGASI PEMERINTAH
Pasal 17
(1) Perdagangan Obligasi dapat dilakukan dengan cara over the counter dan
atau di bursa.
(2) Perdagangan Obligasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tunduk pada
ketentuan mengenai Pasar Modal.
Pasal …..
- 13 -
Pasal 18
(1) Bank Indonesia menunjuk Bank maupun bukan Bank yang akan bertindak
sebagai Market Maker.
(2) Market Maker wajib setiap saat memberikan kuotasi harga jual dan harga
beli atas Obligasi tertentu dengan kewajiban untuk membeli atau menjual
Obligasi dimaksud.
(3) Bank Indonesia dapat menetapkan rentang (spread) harga jual dan harga
beli dalam kuotasi harga dan jumlah minimum yang ditawarkan oleh
Market Maker dalam batasan kuotasi dimaksud
(4) Market Maker diperkenankan untuk melakukan “short selling” dalam
batasan tertentu.
(5) Short selling sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat ditutup (squaring)
selambat-lambatnya pada akhir hari penyelesaian transaksi.
(6) Petunjuk pelaksanaan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), ayat (4) dan ayat (5) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB V
PENGAWASAN DAN PELAPORAN
Pasal 19
Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Sub-Registry dan Market
Maker atas kegiatan yang terkait dengan Obligasi.
Pasal …..
- 14 -
Pasal 20
(1) Sub-Registry dan Market Maker wajib menyampaikan laporan kegiatan
usaha setiap bulan pada minggu pertama bulan berikutnya.
(2) Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat meminta laporan dan informasi dari
Sub-Registry dan Market Maker sesuai kebutuhan.
(3) Sub-Registry atas nama nasabahnya, Market Maker, dan Bank wajib segera
melaporkan informasi mengenai kegiatan perdagangan Obligasi kepada
Central Registry sekurang-kurangnya mencakup harga, nominal transaksi,
identitas pembeli dan penjual serta tanggal penyelesaian transaksi yang
disepakati melalui PIPU.
Pasal 21
(1) Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi kepada Sub-Registry dan Market
Maker atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku.
(2) Sanksi dimaksud dapat berupa penghentian sementara atau pencabutan atas
penunjukan sebagai Sub-Registry dan atau Market Maker.
Pasal 22
Petunjuk pelaksanaan dan pengaturan lebih rinci dari Peraturan Bank Indonesia ini
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal…..
- 15 -
Pasal 23
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Januari 2000
GUBERNUR BANK
INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 4
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/2/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> PENATAUSAHAAN DAN PERDAGANGAN OBLIGASI PEMERINTAH </reg_title>
<set_date> 21 Januari 2000 </set_date>
<effective_date> 21 Januari 2000 </effective_date>
<related_reg> '1/10/PBI/1999', '23/UU/1999', '84/PP/1998', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V Pasal 21' </penalty_list>
|