input
stringlengths
912
558k
output
stringlengths
234
2.18k
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/28/PADG/2019 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemantauan kegiatan lalu lintas devisa sangat dibutuhkan untuk mendukung perumusan dan pelaksanaan kebijakan Bank Indonesia, baik di bidang moneter, stabilitas sistem keuangan, maupun sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; b. bahwa pemantauan kegiatan lalu lintas devisa juga diperlukan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan devisa hasil ekspor dan devisa pembayaran impor guna mendukung optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor dan perolehan informasi permintaan devisa pembayaran impor; c. bahwa pengaturan mengenai cakupan laporan, format laporan, dan tata cara penyampaian laporan kegiatan lalu lintas devisa, termasuk penerimaan devisa hasil ekspor dan devisa pembayaran impor sangat diperlukan guna penyusunan statistik serta mendukung kebijakan penerimaan devisa hasil ekspor dan pelaporan devisa pembayaran impor; 2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/14/PBI/2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dan Devisa Pembayaran Impor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 229, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6425); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/15/PBI/2019 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 236, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6431); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia namun tidak termasuk kantor cabang luar negeri dari bank yang berkantor pusat di Indonesia, yang memperoleh persetujuan dari otoritas yang berwenang untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. 3 2. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disingkat LLD adalah perpindahan aset dan kewajiban finansial antara penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antarpenduduk sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 3. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 4. Aset Finansial Luar Negeri Bank yang selanjutnya disebut AFLN Bank adalah aktiva Bank terhadap bukan Penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah. 5. Kewajiban Finansial Luar Negeri Bank yang selanjutnya disebut KFLN Bank adalah pasiva Bank terhadap bukan Penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah. 6. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank. 7. Laporan LLD adalah laporan atas seluruh kegiatan LLD yang menimbulkan perubahan AFLN Bank dan/atau KFLN Bank yang disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh Bank yang bersangkutan maupun Nasabah. 8. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai kepabeanan. 9. Eksportir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau badan lainnya yang tidak berbadan hukum yang melakukan Ekspor. 10. Eksportir Barang Ekspor Sumber Daya Alam yang selanjutnya disebut Eksportir SDA adalah Eksportir dalam kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. 11. Devisa Hasil Ekspor yang selanjutnya disingkat DHE adalah devisa dari hasil kegiatan Ekspor. 4 12. DHE dari Barang Ekspor Sumber Daya Alam yang selanjutnya disebut DHE SDA adalah DHE yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah mengenai devisa hasil ekspor yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. 13. DHE dari Barang Ekspor selain Sumber Daya Alam yang selanjutnya disebut DHE Non-SDA adalah DHE yang diperoleh dari kegiatan selain kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. 14. Rekening Khusus DHE SDA yang selanjutnya disebut Reksus DHE SDA adalah rekening milik Nasabah di Bank dalam valuta asing atau rupiah yang digunakan khusus untuk penerimaan DHE SDA. 15. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang mengenai kepabeanan. 16. Importir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau badan lainnya yang tidak berbadan hukum, yang melakukan Impor. 17. Devisa Pembayaran Impor yang selanjutnya disingkat DPI adalah devisa yang digunakan untuk membayar Impor. 18. Pemberitahuan Pabean Ekspor yang selanjutnya disingkat PPE adalah pernyataan yang dibuat oleh perseorangan atau badan hukum untuk melaksanakan kewajiban pabean Ekspor dalam bentuk dan syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan. 19. Pemberitahuan Pabean Impor yang selanjutnya disingkat PPI adalah pernyataan yang dibuat oleh perseorangan atau badan hukum untuk melaksanakan kewajiban pabean 5 Impor dalam bentuk dan syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan. 20. Perintah Transfer Dana adalah perintah tidak bersyarat dari pengirim kepada penyelenggara penerima untuk membayarkan sejumlah dana tertentu kepada penerima sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai transfer dana. 21. Transfer Dana Keluar atau Outgoing Transfer adalah transaksi LLD Nasabah berupa transfer dana keluar dalam valuta asing. 22. Nilai Ekspor adalah nilai Ekspor free on board (FOB) yang tercantum pada PPE. 23. Dokumen Pendukung DHE adalah dokumen yang membuktikan kebenaran data dan/atau keterangan mengenai penerimaan DHE. 24. Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar adalah dokumen terkait transaksi LLD Nasabah berupa Transfer Dana Keluar. 25. Rincian Transaksi Ekspor yang selanjutnya disingkat RTE adalah rincian informasi terkait dengan kegiatan Ekspor. 26. Daftar Penyampaian Dokumen Pendukung DHE yang selanjutnya disebut DPDP adalah daftar rekapitulasi Dokumen Pendukung DHE yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia. 27. Periode Laporan LLD yang selanjutnya disebut PL adalah periode data dari tanggal 1 sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan. 28. Masa Penyampaian Laporan LLD yang selanjutnya disebut MPL adalah periode penyampaian Laporan LLD dari tanggal 1 sampai dengan batas waktu penyampaian laporan setelah berakhirnya PL. 29. Masa Penyampaian Koreksi Laporan LLD yang selanjutnya disebut MPKL adalah periode penyampaian koreksi Laporan LLD dari tanggal 1 sampai dengan batas waktu penyampaian koreksi Laporan LLD setelah berakhirnya PL. 6 30. Message Financial Transaction Messaging System yang selanjutnya disebut Message FTMS adalah kumpulan data dalam format terstruktur yang dikirim atau diterima oleh pengguna atau aplikasi. 31. Telegraphic Transfer yang selanjutnya disingkat TT adalah jenis transfer dana melalui Bank dengan menggunakan sarana elektronik berdasarkan perintah bayar dari pemilik dana. 32. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk hari kerja operasional terbatas. 33. Jam Kerja adalah jam kerja Bank Indonesia setempat sesuai dengan kedudukan Bank. BAB II RUANG LINGKUP LAPORAN LLD Pasal 2 (1) Bank wajib menyampaikan Laporan LLD kepada Bank Indonesia secara lengkap, benar, dan tepat waktu. (2) Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. b. c. laporan transaksi; laporan posisi; dan laporan pendukung. (3) Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara bulanan yang meliputi data selama 1 (satu) PL. Pasal 3 Laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a meliputi transaksi Bank dan/atau Nasabah yang memengaruhi AFLN Bank dan/atau KFLN Bank. Pasal 4 Laporan posisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b meliputi posisi dan penambahan atau pengurangan dari setiap rekening AFLN Bank dan/atau KFLN Bank. 7 Pasal 5 (1) Laporan pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c meliputi: a. b. c. d. e. f. laporan RTE; laporan DPDP; laporan transaksi Reksus DHE SDA; laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE; laporan DHE dan DPI; dan laporan lainnya. (2) Laporan RTE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi data dan keterangan tambahan atas laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan/atau laporan transaksi Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang terkait dengan kegiatan Ekspor. (3) Laporan DPDP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi daftar rekapitulasi Dokumen Pendukung DHE. (4) Laporan transaksi Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi transaksi Nasabah yang memengaruhi Reksus DHE SDA milik Nasabah di Bank. (5) Laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi posisi awal dan posisi akhir dari Reksus DHE SDA dan/atau deposito DHE yang dananya bersumber dari Reksus DHE SDA milik Nasabah di Bank. (6) Laporan transaksi DHE dan DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi transaksi Nasabah berupa penerimaan DHE dan/atau pembayaran DPI melalui transaksi non-TT. Pasal 6 (1) Transaksi Bank dan/atau Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan transaksi Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (6) dengan nilai lebih besar dari USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) atau yang nilainya setara dengan 8 itu dilaporkan secara individual per transaksi dan terperinci, kecuali ditentukan secara khusus. (2) Transaksi Bank dan/atau Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan transaksi Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (6) dengan nilai sampai dengan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) atau yang nilainya setara dengan itu dilaporkan secara gabungan dan dikelompokkan menurut informasi tertentu, kecuali ditentukan secara khusus. (3) Dalam hal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberikan data dan keterangan transaksi secara individual per transaksi dan terperinci, Bank harus melaporkan transaksi dimaksud secara individual per transaksi dan terperinci. (4) Transaksi Bank dan/atau Nasabah yang ditentukan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi: a. pengiriman dana antar-Bank di dalam negeri; b. transaksi yang memengaruhi lebih dari satu rekening AFLN Bank dan/atau KFLN Bank; dan c. transaksi tertentu, dilaporkan secara individual atau gabungan berdasarkan kaidah khusus. (5) Perhitungan nilai ekuivalen dolar Amerika Serikat untuk transaksi dalam valuta selain dolar Amerika Serikat menggunakan kurs tengah akhir bulan yang diumumkan Bank Indonesia pada PL sebelumnya. (6) Untuk valuta yang tidak terdapat dalam daftar kurs akhir bulan yang diumumkan Bank Indonesia pada PL sebelumnya, perhitungan nilai ekuivalen dolar Amerika Serikat untuk transaksi menggunakan kurs Reuters akhir bulan pada PL sebelumnya. Pasal 7 (1) Dalam hal terdapat transaksi terkait Ekspor Nasabah pada laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 9 dan/atau laporan transaksi Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), Bank wajib menyampaikan laporan RTE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a berdasarkan informasi dari Nasabah. (2) Penyampaian laporan RTE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan laporan DPDP dan Dokumen Pendukung DHE yang disebutkan dalam DPDP dalam hal sebagai berikut: a. di dalam PPE tidak terdapat penerimaan DHE; b. terdapat selisih kurang antara nilai DHE dan nilai Ekspor; c. terdapat penerimaan DHE yang melebihi 3 (tiga) bulan setelah bulan pendaftaran PPE untuk cara pembayaran usance letter of credit (usance L/C), konsinyasi, pembayaran kemudian, dan/atau documentary collection; atau d. terdapat penerimaan DHE secara tunai di dalam negeri. (3) Penyampaian laporan RTE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan laporan RTE yang dilengkapi dengan laporan DPDP dan Dokumen Pendukung DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam MPL setelah Bank memperoleh informasi dari Nasabah. (4) Dalam hal laporan RTE tidak dilengkapi dengan laporan DPDP dan Dokumen Pendukung DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (2), laporan RTE dimaksud dianggap tidak benar. (5) Bank yang menerima pembayaran di muka untuk transaksi Ekspor wajib menyampaikan laporan RTE kepada Bank Indonesia dengan rincian informasi atas penerimaan pembayaran di muka. (6) Dalam hal Bank telah mendapatkan informasi PPE dari Nasabah untuk transaksi Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Bank wajib menyampaikan kembali laporan RTE pada MPL berikutnya dengan informasi yang sama dengan laporan RTE yang telah disampaikan sebelumnya 10 dan dilengkapi dengan informasi PPE. Pasal 8 (1) Dalam hal terdapat transaksi terkait Ekspor Nasabah pada laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan/atau laporan transaksi Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) melalui transaksi non-TT, Bank wajib menyampaikan laporan transaksi DHE dan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e berdasarkan informasi dari Nasabah. (2) Dalam hal terdapat transaksi terkait Impor Nasabah pada laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 melalui transaksi non-TT, Bank wajib menyampaikan laporan transaksi DHE dan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e berdasarkan informasi dari Nasabah. Pasal 9 (1) Dalam hal tidak terdapat transaksi Bank dan/atau Nasabah yang memengaruhi AFLN Bank dan/atau KFLN Bank pada suatu PL tertentu, Bank harus menyampaikan laporan transaksi nihil kepada Bank Indonesia. (2) Dalam hal tidak terdapat posisi dan mutasi dari setiap rekening AFLN Bank dan/atau KFLN Bank sebagai akibat dari transaksi yang dilakukan oleh Bank dan/atau Nasabah pada suatu PL tertentu, Bank harus menyampaikan laporan posisi nihil kepada Bank Indonesia. (3) Dalam hal tidak terdapat informasi transaksi terkait Ekspor Nasabah pada suatu PL tertentu, Bank harus menyampaikan laporan RTE dan laporan DPDP nihil kepada Bank Indonesia. (4) Dalam hal tidak terdapat transaksi Nasabah yang memengaruhi Reksus DHE SDA milik Nasabah di Bank pada suatu PL tertentu, Bank harus menyampaikan laporan transaksi Reksus DHE SDA nihil kepada Bank 11 Indonesia. (5) Dalam hal tidak terdapat posisi dan mutasi dari setiap Reksus DHE SDA dan/atau deposito yang dananya bersumber dari Reksus DHE SDA milik Nasabah di Bank pada suatu PL tertentu, Bank harus menyampaikan laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE nihil kepada Bank Indonesia. (6) Dalam hal tidak terdapat transaksi penerimaan DHE dan/atau pengeluaran DPI melalui transaksi non-TT, Bank harus menyampaikan laporan transaksi DHE dan DPI nihil kepada Bank Indonesia. Pasal 10 (1) Laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dinyatakan benar apabila memuat data dan keterangan kegiatan LLD sesuai dengan: a. informasi dari Nasabah; b. Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar dan surat pernyataan untuk Transfer Dana Keluar; dan/atau c. dokumen lainnya. (2) Laporan posisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dinyatakan benar apabila memuat data dan keterangan sesuai dengan sistem pelaporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Laporan pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan benar apabila memuat data dan keterangan sesuai dengan: a. informasi dari Nasabah; b. Dokumen Pendukung DHE; c. Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar dan surat pernyataan untuk Transfer Dana Keluar; dan/atau d. dokumen lainnya. 12 Pasal 11 (1) Bank yang menyampaikan Laporan LLD secara tidak benar sehingga melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap rincian baris (field) yang tidak benar, dengan denda paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Bank yang terlambat menyampaikan Laporan LLD sehingga melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan. (3) Bank yang tidak menyampaikan Laporan LLD sehingga melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 12 (1) Pengenaan sanksi administratif berupa denda bagi Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan melalui surat penetapan sanksi administratif berupa denda dari Bank Indonesia kepada Bank. (2) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tidak menggugurkan kewajiban penyampaian Laporan LLD oleh Bank. (3) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan dengan cara mendebit rekening giro Bank di Bank Indonesia. Pasal 13 (1) Bank yang telah dikenai sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, dapat mengajukan pembebasan sanksi administratif berupa denda. (2) Bank Indonesia dapat memberikan pembebasan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada 13 ayat (1) dalam hal: a. Bank menyampaikan surat permohonan pembebasan pengenaan sanksi administratif berupa denda dengan mengacu pada contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, yang disertai dengan bukti pendukung; dan b. berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Bank tidak melakukan pelanggaran terhadap pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan LLD oleh Bank. (3) Permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat penetapan sanksi administratif berupa denda. (4) Bank Indonesia melakukan penelitian atas bukti pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a yang disampaikan oleh Bank. (5) Dalam hal Bank terbukti tidak melakukan pelanggaran kewajiban penyampaian Laporan LLD, Bank Indonesia menginformasikan secara tertulis kepada Bank mengenai pembebasan sanksi administratif berupa denda. (6) Dalam hal Bank terbukti melakukan pelanggaran kewajiban penyampaian Laporan LLD, Bank Indonesia menyampaikan surat penolakan terhadap permohonan pembebasan sanksi administratif berupa denda kepada Bank. (7) Dalam hal berdasarkan penelitian atas bukti pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdapat koreksi atas nominal sanksi administratif berupa denda yang telah disampaikan sebelumnya, Bank Indonesia menyampaikan koreksi tersebut di dalam surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (8) Bank Indonesia menyampaikan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling lambat akhir bulan berikutnya setelah tanggal diterimanya surat permohonan pembebasan sanksi administratif berupa 14 denda beserta bukti pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a. Pasal 14 (1) Pembayaran sanksi dengan mendebit rekening giro Bank di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dilakukan setelah batas waktu pengajuan permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) berakhir. (2) Dalam hal Bank mengajukan permohonan pembebasan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) maka pembayaran sanksi dengan mendebit rekening giro Bank di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dilakukan setelah terdapat surat penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6). BAB III TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 15 (1) Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 disampaikan kepada Bank Indonesia oleh kantor pusat bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia dan oleh kantor cabang yang bertindak sebagai koordinator bagi bank yang berkedudukan di luar negeri. (2) Bank wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setiap bulan secara daring selama MPL. (3) Batas akhir MPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk penyampaian: a. laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; b. laporan posisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; c. laporan pendukung berupa: 15 1. laporan RTE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a; 2. laporan DPDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b; 3. laporan transaksi Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c; dan 4. laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d, yaitu tanggal 15 bulan MPL pukul 23.59 WIB. (4) Batas akhir MPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk penyampaian laporan pendukung berupa laporan transaksi DHE dan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e yaitu tanggal 5 bulan MPL pukul 23.59 WIB. (5) Dalam hal hari terakhir penyampaian Laporan LLD secara daring jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, batas akhir MPL tidak berubah kecuali ditetapkan lain melalui pemberitahuan resmi Bank Indonesia. Pasal 16 (1) Dalam hal terdapat gangguan teknis selama MPL yang menyebabkan Bank tidak dapat menyampaikan Laporan LLD secara daring, Laporan LLD dapat disampaikan secara luring selama Jam Kerja dengan memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis ditandatangani oleh pejabat setingkat direktur Bank. (2) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian Laporan LLD secara daring terjadi gangguan teknis di Bank yang menyebabkan Bank tidak dapat menyampaikan Laporan LLD secara daring, penyampaian Laporan LLD diatur sebagai berikut: a. untuk gangguan teknis yang baru dapat diatasi pada hari berikutnya, Bank harus menyampaikan Laporan yang 16 LLD secara daring pada hari tersebut dengan memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis yang ditandatangani oleh setingkat direktur Bank; dan b. untuk gangguan teknis yang belum dapat diatasi pada hari berikutnya, Bank harus menyampaikan Laporan LLD secara luring pada Hari berikutnya dalam Jam Kerja dengan memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis yang ditandatangani oleh setingkat direktur Bank. (3) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian Laporan LLD secara daring terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia yang menyebabkan Bank tidak dapat menyampaikan Laporan LLD secara daring, penyampaian Laporan LLD diatur sebagai berikut: a. untuk gangguan teknis yang baru dapat diatasi pada hari berikutnya, Bank harus menyampaikan Laporan LLD secara daring pada hari tersebut; dan b. untuk gangguan teknis yang belum dapat diatasi pada hari berikutnya, Bank harus menyampaikan laporan secara luring pada Hari berikutnya dalam Jam Kerja. Pasal 17 Penyampaian Laporan LLD bagi Bank yang melakukan penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut: a. sampai dengan 1 (satu) Hari sebelum tanggal operasional pelaksanaan penggabungan atau peleburan, penyampaian Laporan LLD tetap dilakukan secara terpisah oleh masing- masing Bank; dan b. sejak tanggal operasional Bank hasil penggabungan atau peleburan, penyampaian Laporan LLD dilakukan oleh Bank hasil penggabungan atau peleburan. Pasal 18 (1) Dalam hal Laporan LLD yang telah disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia tidak benar dan/atau tidak 17 lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Bank harus menyampaikan koreksi atas Laporan LLD yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia secara daring selama MPKL. (2) Batas akhir MPKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk penyampaian: a. laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; b. laporan posisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; c. laporan pendukung meliputi: 1. laporan RTE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a; 2. laporan DPDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b; 3. laporan transaksi Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c; dan 4. laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d, yaitu tanggal 20 bulan MPL pukul 23.59 WIB. (3) Batas akhir MPKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk penyampaian laporan pendukung berupa laporan transaksi DHE dan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e yaitu tanggal 5 bulan MPL pukul 23.59 WIB. (4) Dalam hal hari terakhir penyampaian koreksi Laporan LLD secara daring jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, batas akhir MPKL tidak berubah, kecuali ditetapkan lain melalui pemberitahuan resmi Bank Indonesia. (5) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian koreksi Laporan LLD secara daring terjadi gangguan teknis yang menyebabkan Bank tidak dapat menyampaikan koreksi Laporan LLD secara daring, penyampaian koreksi Laporan LLD diatur sebagai berikut: 18 a. untuk gangguan teknis yang terjadi di Bank, Bank harus menyampaikan koreksi Laporan LLD secara luring pada Hari berikutnya dalam Jam Kerja dengan memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis yang ditandatangani oleh pejabat setingkat direktur Bank; dan b. untuk gangguan teknis yang terjadi di Bank Indonesia yang belum dapat diatasi sampai dengan berakhirnya Jam Kerja, Bank harus menyampaikan koreksi Laporan LLD secara luring pada Hari berikutnya dalam Jam Kerja. Pasal 19 Bank harus menyampaikan Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD yang melampaui MPKL secara luring dalam Jam Kerja. Pasal 20 (1) Dalam hal terdapat koreksi terhadap Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Bank harus menyampaikan koreksi tersebut secara lengkap untuk setiap jenis laporan terkait yang dikoreksi. (2) Khusus untuk koreksi laporan pendukung berupa laporan RTE, Bank harus melampirkan Dokumen Pendukung DHE dalam hal koreksi memerlukan Dokumen Pendukung DHE. Pasal 21 (1) Dalam hal Laporan LLD yang telah disampaikan Bank kepada Bank Indonesia diindikasikan tidak wajar atau Bank Indonesia memerlukan penjelasan lebih lanjut atas Laporan LLD, Bank Indonesia dapat meminta klarifikasi kepada Bank melalui surat dan/atau media lainnya. (2) Bank harus menyampaikan tanggapan atas permintaan klarifikasi dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lambat 12 (dua belas) Hari setelah tanggal permintaan klarifikasi. 19 (3) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan dengan koreksi apabila terdapat kesalahan dalam Laporan LLD. (4) Koreksi Laporan LLD atas dasar permintaan klarifikasi Bank Indonesia harus dilakukan secara luring dalam Jam Kerja. Pasal 22 (1) Laporan LLD disusun berdasarkan spesifikasi format laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Laporan LLD terdiri atas beberapa baris (record) dan setiap baris (record) terdiri atas beberapa rincian baris (field) yang dinyatakan dalam bentuk sandi dengan format American Standard Code for Information Interchange (ASCII). (3) Data atau keterangan dalam Laporan LLD yang belum dapat diperoleh dari Nasabah dapat diisi dengan sandi sementara dan harus diganti dengan sandi yang sesuai data dan/atau keterangan yang sebenarnya sebelum MPL berakhir. (4) Dokumen Pendukung DHE yang diperlukan dalam Laporan LLD disampaikan dalam bentuk salinan digital (softcopy) dengan format yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 23 (1) Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD yang disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia harus melalui tahapan uji pelaporan, yaitu memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas sebagaimana hasil verifikasi sistem pelaporan Bank Indonesia. (2) Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD dinyatakan telah diterima Bank Indonesia apabila: a. telah memenuhi kedua tahapan uji pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan b. terdapat keterangan “UJI KUALITAS OK” pada sistem pelaporan Bank Indonesia. 20 (3) Tanggal penerimaan Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD yaitu tanggal penerimaan berkas (file) laporan tersebut yang telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Apabila Bank dalam MPL melakukan koreksi atas Laporan LLD, status penyampaian laporan yang berlaku sesuai dengan status koreksi laporan yang terakhir disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia. (5) Apabila Bank menyampaikan koreksi: a. laporan transaksi; b. laporan posisi; dan/atau c. laporan pendukung meliputi: 1. laporan RTE; 2. laporan DPDP; 3. laporan transaksi Reksus DHE SDA; dan/atau 4. laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE, pada tanggal 16 sampai dengan tanggal 20, dan tidak memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas, Laporan LLD yang dinyatakan diterima Bank Indonesia yaitu laporan terakhir yang telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas. Pasal 24 (1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD apabila Laporan LLD disampaikan setelah berakhirnya MPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) sampai dengan akhir bulan MPL dalam Jam Kerja. (2) Dalam hal akhir bulan MPL jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD apabila Laporan LLD disampaikan setelah berakhirnya MPL sampai dengan Hari berikutnya setelah akhir bulan MPL dalam Jam Kerja. (3) Batas akhir penyampaian Laporan LLD secara daring bagi Bank yang terlambat menyampaikan laporan meliputi: 21 a. laporan transaksi; b. laporan posisi; dan c. laporan pendukung berupa: 1. laporan RTE; 2. laporan DPDP; 3. laporan transaksi Reksus DHE SDA; dan 4. laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE, yaitu tanggal 20 bulan MPL pukul 23.59 WIB. (4) Batas akhir penyampaian Laporan LLD secara daring untuk laporan transaksi DHE dan DPI yaitu tanggal 5 bulan MPL pukul 23.59 WIB. Pasal 25 (1) Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD apabila sampai dengan Jam Kerja berakhir pada akhir bulan MPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), Bank Indonesia belum menerima Laporan LLD. (2) Dalam hal akhir bulan MPL jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD apabila sampai dengan Jam Kerja berakhir pada Hari berikutnya, Bank Indonesia belum menerima Laporan LLD. (3) Dalam hal Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank tetap wajib menyampaikan Laporan LLD yang belum disampaikan kepada Bank Indonesia secara luring dalam Jam Kerja. Pasal 26 Cakupan laporan, format laporan, dan tata cara penyampaian laporan, mengacu pada petunjuk teknis pelaporan kegiatan LLD oleh Bank sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 22 BAB IV PENGAKSEPAN PERINTAH TRANSFER DANA KELUAR NASABAH DAN PENATAUSAHAAN DOKUMEN PENDUKUNG TRANSFER DANA KELUAR Pasal 27 (1) Dalam hal Nasabah melakukan transaksi LLD berupa Transfer Dana Keluar dalam valuta asing dengan nilai setara di atas USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat), Nasabah harus menyampaikan Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar kepada Bank. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Eksportir SDA yang melakukan Transfer Dana Keluar melalui Reksus DHE SDA. (3) Bank wajib memastikan kelengkapan Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar dari Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebelum melakukan pengaksepan Perintah Transfer Dana atas transaksi LLD. (4) Bank hanya dapat melakukan pengaksepan Perintah Transfer Dana untuk Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sepanjang dilengkapi dengan Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar. (5) Keharusan penyampaian Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku untuk: a. transaksi yang dilakukan oleh Bank untuk kepentingan Bank itu sendiri; dan b. transaksi yang bertujuan untuk pemindahan simpanan oleh Nasabah yang sama di dalam negeri. (6) Dalam hal bank bertindak selaku Nasabah dari Bank, transaksi Bank dimaksud dikategorikan sebagai transaksi Nasabah. Pasal 28 (1) Nilai Transfer Dana Keluar yang dilakukan Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) paling banyak sebesar nilai nominal dari Dokumen 23 Pendukung Transfer Dana Keluar dengan toleransi lebih sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari nilai yang tercantum pada Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar. (2) Perhitungan nilai ekuivalen dolar Amerika Serikat untuk transaksi dalam mata uang selain dolar Amerika Serikat menggunakan kurs tengah akhir bulan yang diumumkan Bank Indonesia pada PL sebelumnya. (3) Untuk valuta yang tidak terdapat dalam daftar kurs yang diumumkan Bank Indonesia pada PL sebelumnya, perhitungan nilai ekuivalen dolar Amerika Serikat menggunakan kurs akhir bulan Reuters pada PL sebelumnya. Pasal 29 (1) Jenis Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) mengacu pada daftar Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar pada petunjuk teknis pelaporan kegiatan LLD oleh Bank sebagaimana tercantum dalam Lampiran II. (2) Dalam hal Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar yang disampaikan tidak tercantum dalam daftar Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar pada petunjuk teknis pelaporan kegiatan LLD oleh Bank sebagaimana tercantum dalam Lampiran II, Nasabah harus melengkapi dengan surat pernyataan sebagaimana contoh dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditandatangani oleh: a. Nasabah yang bersangkutan atau pihak yang diberi kuasa bagi Nasabah perorangan; atau b. pihak yang berwenang dari Nasabah bagi Nasabah yang berbentuk bank dan badan usaha selain bank. (4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diterima oleh Bank harus diparaf oleh petugas Bank. (5) Bagi Nasabah yang telah menyampaikan bukti atau 24 dokumen kepada Bank guna pemenuhan ketentuan Bank Indonesia mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank dengan pihak domestik dan ketentuan Bank Indonesia mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank dengan pihak asing, Bank dapat menggunakan bukti atau dokumen tersebut sebagai Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar sepanjang bukti atau dokumen tersebut sama dengan Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar. (6) Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau surat pernyataan atas Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diterima oleh Bank sebelum pelaksanaan penyelesaian transaksi. (7) Nasabah bertanggung jawab atas kebenaran Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan surat pernyataan atas Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 30 (1) Bank harus menatausahakan Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan surat pernyataan atas Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dalam bentuk salinan cetak (hardcopy) dan/atau salinan digital (softcopy). (2) Bank harus melaporkan kepada Bank Indonesia mengenai penyampaian Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan surat pernyataan atas Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) yang mengakibatkan berkurangnya giro Bank di luar negeri. (3) Tata cara pelaporan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada petunjuk teknis pelaporan kegiatan LLD oleh Bank sebagaimana tercantum dalam Lampiran II. 25 Pasal 31 (1) Nasabah yang melakukan transaksi LLD berupa Transfer Dana Keluar harus menyampaikan informasi tujuan transaksi kepada Bank sesuai dengan sandi tujuan transaksi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Bank harus mencantumkan informasi tujuan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Message FTMS untuk setiap transaksi. Pasal 32 Bank yang melakukan pengaksepan Perintah Transfer Dana untuk Transfer Dana Keluar tanpa memastikan kelengkapan Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiap Perintah Transfer Dana. Pasal 33 (1) Pengenaan sanksi administratif berupa denda bagi Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan melalui surat penetapan sanksi administratif berupa denda dari Bank Indonesia kepada Bank. (2) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak menggugurkan kewajiban penyampaian Laporan LLD oleh Bank. (3) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan dengan cara mendebit rekening giro Bank di Bank Indonesia. Pasal 34 (1) Bank yang telah dikenai sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, dapat mengajukan pembebasan sanksi administratif berupa denda. (2) Bank Indonesia dapat memberikan pembebasan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal: 26 a. Bank menyampaikan surat permohonan pembebasan pengenaan sanksi administratif berupa denda dengan mengacu pada contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, yang disertai dengan bukti pendukung; dan b. berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Bank tidak melakukan pelanggaran terhadap pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan LLD oleh Bank. (3) Permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat penetapan sanksi administratif berupa denda. (4) Bank Indonesia melakukan penelitian atas bukti pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a yang disampaikan oleh Bank. (5) Dalam hal Bank terbukti tidak melakukan pelanggaran kewajiban penyampaian Laporan LLD, Bank Indonesia menginformasikan secara tertulis kepada Bank mengenai pembebasan sanksi administratif berupa denda. (6) Dalam hal Bank terbukti melakukan pelanggaran kewajiban penyampaian Laporan LLD, Bank Indonesia menyampaikan surat penolakan terhadap permohonan pembebasan sanksi administratif berupa denda kepada Bank. (7) Dalam hal berdasarkan penelitian atas bukti pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdapat koreksi atas nominal sanksi administratif berupa denda yang telah disampaikan sebelumnya, Bank Indonesia menyampaikan koreksi tersebut di dalam surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (8) Bank Indonesia menyampaikan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling lambat akhir bulan berikutnya setelah tanggal diterimanya surat permohonan pembebasan sanksi administratif berupa denda beserta bukti pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a. 27 Pasal 35 (1) Pembayaran sanksi dengan mendebit rekening giro Bank di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) dan dilakukan setelah batas waktu pengajuan permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) berakhir. (2) Dalam hal Bank mengajukan permohonan pembebasan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) maka pembayaran sanksi dengan mendebit rekening giro Bank di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) dilakukan setelah terdapat surat penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (6). BAB V PROSEDUR PEROLEHAN DAN VERIFIKASI TERHADAP INFORMASI DARI NASABAH Pasal 36 (1) Untuk penyampaian Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank harus meminta data, keterangan, Dokumen Pendukung DHE, dan/atau Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar kepada Nasabah yang melakukan kegiatan LLD melalui Bank, baik untuk kepentingan administrasi pelaporan Bank maupun untuk memenuhi permintaan Bank Indonesia. (2) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan data, keterangan, Dokumen Pendukung DHE, dan/atau Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar kepada Bank dengan benar sesuai dengan permintaan Bank. Pasal 37 (1) Nasabah yang tidak menyampaikan data, keterangan, dan/atau Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar dengan benar kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam 28 Pasal 36 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis dan/atau denda sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari nilai transaksi dengan nominal paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk setiap Perintah Transfer Dana. (2) Bagi Nasabah yang dikenai sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sanksi administratif berupa denda dikenakan dalam mata uang rupiah dan dihitung dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku 1 (satu) Hari sebelum tanggal pengenaan sanksi administratif berupa denda. Pasal 38 (1) Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan/atau denda bagi Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dilakukan dengan mengeluarkan surat penetapan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan/atau denda dari Bank Indonesia kepada Nasabah. (2) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) disetorkan ke rekening Bank Indonesia. Pasal 39 (1) Nasabah yang telah dikenai sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), dapat mengajukan pembebasan sanksi administratif berupa denda. (2) Bank Indonesia dapat memberikan pembebasan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal: a. Nasabah menyampaikan surat permohonan pembebasan pengenaan sanksi administratif berupa denda dengan mengacu pada contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, yang disertai dengan bukti pendukung; dan b. berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Nasabah 29 tidak melakukan pelanggaran terhadap penyampaian Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar oleh Nasabah kepada Bank. (3) Permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat penetapan sanksi administratif berupa denda. (4) Bank Indonesia melakukan penelitian atas bukti pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a yang disampaikan oleh Nasabah. (5) Dalam hal Nasabah terbukti tidak melakukan pelanggaran penyampaian Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar oleh Nasabah kepada Bank, Bank Indonesia menginformasikan secara tertulis kepada Nasabah mengenai pembebasan sanksi administratif berupa denda. (6) Dalam hal Nasabah terbukti melakukan pelanggaran kewajiban penyampaian Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar oleh Nasabah kepada Bank, Bank Indonesia menyampaikan surat penolakan terhadap permohonan pembebasan sanksi administratif berupa denda kepada Nasabah. (7) Dalam hal berdasarkan penelitian atas bukti pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdapat koreksi atas nominal sanksi administratif berupa denda yang telah disampaikan sebelumnya, Bank Indonesia menyampaikan koreksi tersebut di dalam surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (8) Bank Indonesia menyampaikan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling lambat akhir bulan berikutnya setelah tanggal diterimanya surat permohonan pembebasan sanksi administratif berupa denda beserta bukti pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a. 30 Pasal 40 Bank Indonesia dapat memberitahukan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) kepada: a. Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal sanksi dikenakan kepada Nasabah berupa bank atau lembaga keuangan bukan bank; b. Kementerian Badan Usaha Milik Negara, dalam hal sanksi dikenakan kepada Nasabah berupa korporasi Badan Usaha Milik Negara; dan/atau c. Bursa Efek Indonesia, dalam hal sanksi dikenakan kepada Nasabah berupa korporasi publik yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Pasal 41 (1) Bank harus melakukan verifikasi terhadap data dan keterangan yang diperoleh dari Nasabah untuk memastikan akurasi Laporan LLD. (2) Untuk transaksi Ekspor, Bank harus melakukan verifikasi terhadap Dokumen Pendukung DHE untuk memastikan data dan keterangan yang disampaikan Nasabah sesuai dengan Dokumen Pendukung DHE. (3) Bank harus melaporkan dan menyampaikan Dokumen Pendukung DHE yang diterima dari Nasabah kepada Bank Indonesia. (4) Bank harus melakukan verifikasi terhadap kesesuaian antara perintah Transfer Dana Keluar dengan Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar yang disampaikan Nasabah, yang mencakup nama penerima dan nilai pembayaran. (5) Bank harus memberikan penjelasan kepada Nasabah bahwa kebenaran dan/atau kesesuaian Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar dan surat pernyataan atas Transfer Dana Keluar merupakan tanggung jawab Nasabah. 31 Pasal 42 (1) Bank harus memiliki sistem dan prosedur dalam perolehan data dan keterangan, penatausahaan dokumen pendukung, serta dalam penyusunan Laporan LLD yang dituangkan dalam suatu pedoman tertulis. (2) Bank harus menunjuk petugas dan penanggung jawab untuk menyusun, memverifikasi, dan menyampaikan Laporan LLD kepada Bank Indonesia. (3) Nama petugas dan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk perubahannya harus disampaikan kepada Bank Indonesia. BAB VI PENGAWASAN Pasal 43 (1) Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan atas Laporan LLD yang disampaikan Bank. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. (3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat: a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait kepada Bank dan/atau Nasabah; dan/atau b. melakukan kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Bank dan/atau Nasabah harus memberikan penjelasan, bukti transaksi, pembukuan, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait guna pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia. (5) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian kebenaran Laporan LLD. 32 (6) Berdasarkan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD dengan benar apabila: a. laporan tidak diisi sesuai dengan informasi dari Nasabah dan/atau dokumen pendukungnya; dan/atau b. Bank tidak dapat menunjukkan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a. (7) Dalam hal Nasabah tidak dapat memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, data, keterangan, dan/atau dokumen pendukung yang disampaikan Nasabah kepada Bank dinyatakan tidak benar. Pasal 44 (1) Dalam hal berdasarkan pengawasan atas Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) ditemukan ketidakwajaran dalam Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar, Bank Indonesia berwenang melakukan hal- hal sebagai berikut: a. meminta penjelasan, bukti transaksi, pembukuan, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait kepada Nasabah; b. melakukan pemeriksaan terhadap Nasabah; c. menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian kebenaran Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar terhadap Nasabah; dan/atau d. melakukan penelitian lain. (2) Nasabah harus memberikan penjelasan, bukti transaksi, pembukuan, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal Nasabah tidak dapat memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait dengan Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud 33 pada ayat (2) maka Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar yang disampaikan Nasabah kepada Bank dinyatakan tidak benar. Pasal 45 Bank dinyatakan menyampaikan Laporan LLD secara tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dalam hal: a. belum memuat data dan keterangan sesuai dengan informasi dari Nasabah dan/atau dokumen pendukungnya sampai dengan berakhirnya MPL; b. tidak memuat data dan keterangan sesuai dengan informasi dari Nasabah dan/atau dokumen pendukungnya, karena: 1. baris (record) yang sama disampaikan kepada Bank Indonesia lebih dari 1 (satu) kali; 2. Bank tidak melaporkan seluruh kegiatan LLD dalam Laporan LLD; dan/atau 3. alasan lainnya, yang ditemukan pada kegiatan pengawasan atas Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan Pasal 44; dan/atau c. Bank tidak dapat memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait pada saat kegiatan pengawasan. BAB VII PENYAMPAIAN HASIL PENGAWASAN DHE SDA Pasal 46 (1) Bank Indonesia menyampaikan hasil pengawasan terhadap Nasabah berupa Eksportir SDA terkait kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) kepada: a. Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC); dan b. kementerian dan/atau lembaga teknis terkait, untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing- masing. 34 (2) Penyampaian hasil pengawasan kepada kementerian dan/atau lembaga teknis terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan sepanjang kementerian dan/atau lembaga teknis terkait dimaksud memiliki ketentuan pelaksanaan atas Peraturan Pemerintah mengenai devisa hasil ekspor dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. BAB VIII KEADAAN KAHAR Pasal 47 (1) Bank yang mengalami keadaan kahar sehingga menyebabkan data, keterangan, dan/atau dokumen pendukung dalam penyusunan Laporan LLD tidak tersedia, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Bank yang mengalami keadaan kahar sehingga menyebabkan terhambatnya penyampaian Laporan LLD, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 18. (3) Bank yang mengalami keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) harus segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan memberikan penjelasan mengenai keadaan kahar yang dialami, yang paling sedikit memuat: a. jenis keadaan kahar; b. dampak terhadap pelaporan; dan c. perkiraan lamanya keadaan kahar. (4) Bank dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melalui kantor pusat Bank, kantor cabang Bank, atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank. (5) Pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan kahar yang terjadi selama 1 (satu) PL atau lebih harus 35 disampaikan untuk setiap PL sampai dengan berakhirnya keadaan kahar. (6) Pengecualian kewajiban menyampaikan Laporan LLD untuk PL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku dalam hal Bank memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia untuk tidak menyampaikan Laporan LLD. (7) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyampaikan Laporan LLD setelah Bank kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. BAB IX PENYAMPAIAN LAPORAN LLD SECARA LURING DAN KORESPONDENSI Pasal 48 (1) Bagi Bank yang berkedudukan di dalam wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, Karawang, penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD secara luring serta korespondensi ditujukan kepada: Bank Indonesia Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan Grup Pengelolaan dan Pengawasan Laporan LLD & DHE Divisi Pengelolaan dan Pengawasan Laporan LLD Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 16 Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350. (2) Bagi Bank yang berkedudukan di luar wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, Karawang, penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD secara luring serta korespondensi lainnya ditujukan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat sebagaimana terdapat dalam daftar alamat penyampaian Laporan LLD Bank berdasarkan kedudukan Bank pada petunjuk teknis pelaporan kegiatan LLD oleh Bank sebagaiman tercantum dalam Lampiran II. (3) Help desk untuk komunikasi melalui media elektronik yaitu sebagai berikut: 36 a. telepon: (021) 29817410 dan (021) 29818388; b. faksimili: (021) 3800134; dan/atau c. surat elektronik (e-mail): [email protected]. (4) Komunikasi terkait sistem informasi dan jaringan ditujukan kepada Departemen Pengelolaan Sistem Informasi Bank Indonesia dengan nomor telepon (021) 29818000. (5) Dalam hal terdapat perubahan: a. alamat penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD secara luring dan korespondensi lainnya; dan b. media untuk komunikasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Bank Indonesia memberitahukan perubahan tersebut kepada Bank melalui surat dan/atau media lainnya. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 49 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku, Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 21/16/PADG/2019 perihal Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 50 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2020. 37 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD DESTRY DAMAYANTI PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/28/PADG/2019 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH I. UMUM Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk meminta data dan keterangan mengenai Kegiatan LLD yang dilakukan oleh Penduduk, melalui suatu sistem pemantauan LLD yang efektif. Data dan keterangan yang diperoleh melalui sistem pemantauan tersebut diperlukan untuk perumusan kebijakan Bank Indonesia, baik di bidang moneter, stabilitas sistem keuangan, maupun sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Di samping itu, data dan keterangan tersebut juga diperlukan untuk penyusunan statistik, yang meliputi statistik neraca pembayaran Indonesia, posisi investasi internasional Indonesia, dan statistik lainnya. Pemanfaatan data dalam sistem pemantauan ini juga digunakan untuk mendukung pelaksanaan ketentuan mengenai penerimaan DHE. Sejalan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai devisa hasil ekspor dan devisa pembayaran impor dan untuk meningkatkan kualitas pemantauan penerimaan DHE melalui perbankan guna mendukung optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor dan pemantauan DPI guna mendukung optimalisasi perolehan informasi permintaan DPI perlu diatur kembali mengenai penyampaian keterangan, data, dan dokumen pendukung terkait kegiatan LLD oleh Bank. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “lengkap” adalah memuat keterangan dan data seluruh kegiatan LLD, serta telah memenuhi rincian cakupan laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “benar” adalah memuat keterangan dan data kegiatan LLD sesuai dengan informasi dari Nasabah dan/atau dokumen pendukungnya. Yang dimaksud dengan “tepat waktu” adalah disampaikan dalam MPL yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, telah diterima oleh Bank Indonesia, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Laporan transaksi memuat informasi antara lain: a. tanggal transaksi; b. nomor identifikasi transaksi; c. jenis AFLN Bank dan/atau KFLN Bank; d. status pelaku transaksi; e. kategori pelaku transaksi; f. hubungan keuangan antarpelaku transaksi; g. jenis valuta; h. nilai transaksi; dan i. tujuan transaksi. Jenis AFLN Bank antara lain dalam bentuk kas dalam valuta asing, simpanan, dan surat berharga. Jenis KFLN Bank antara lain dalam bentuk simpanan milik bukan Penduduk, utang luar negeri, dan ekuitas dari bukan Penduduk. 3 Transaksi Bank dan/atau Nasabah yang memengaruhi AFLN Bank dan/atau KFLN Bank antara lain: a. penerimaan dari dan/atau pembayaran ke luar negeri baik dalam rupiah maupun valuta asing; b. penerimaan dari dan/atau pembayaran kepada bukan Penduduk di dalam negeri baik dalam rupiah maupun valuta asing; dan/atau c. penerimaan dan/atau pembayaran di dalam negeri antar- Penduduk dalam valuta asing. Pasal 4 Laporan posisi memuat informasi antara lain: a. jenis AFLN Bank dan/atau KFLN Bank; b. negara debitur atau kreditur; c. jenis valuta; d. posisi awal; e. mutasi debit; f. mutasi kredit; g. mutasi lainnya; dan h. posisi akhir. Posisi dan penambahan atau pengurangan dari setiap rekening AFLN Bank dan/atau KFLN Bank dipengaruhi oleh transaksi yang dilakukan baik oleh Bank maupun Nasabah. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan RTE memuat informasi antara lain: a. nomor identifikasi transaksi; b. identitas penerima DHE; c. sandi kantor pabean; d. nomor pendaftaran PPE; e. tanggal pendaftaran PPE; f. jenis valuta DHE; dan g. nilai DHE. 4 Ayat (3) Laporan DPDP memuat informasi antara lain: a. sandi kantor pabean; b. nomor pendaftaran PPE; c. tanggal pendaftaran PPE; dan d. nama berkas (file) dokumen pendukung. Ayat (4) Laporan transaksi Reksus DHE SDA memuat informasi antara lain: a. tanggal transaksi; b. nomor identifikasi transaksi; c. jenis Reksus DHE SDA; d. nomor Reksus DHE SDA; e. status pelaku transaksi; f. kategori pelaku transaksi; g. hubungan keuangan antarpelaku transaksi; h. jenis valuta; i. j. Ayat (5) Laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE memuat informasi antara lain: a. jenis rekening; b. nomor rekening; c. identitas pemilik rekening; d. jenis valuta; e. posisi awal; dan f. posisi akhir. Ayat (6) Transaksi non-TT antara lain berupa transaksi letter of credit (L/C), documentary collection, dan/atau overbooking sistem internal bank. Laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) memuat informasi antara lain: a. sandi bank; b. jenis transaksi; c. metode transaksi; nilai transaksi; dan tujuan transaksi. 5 d. nomor identifikasi transaksi; e. nama Beneficiary/Applicant; f. NPWP Beneficiary/Applicant; g. nomor dokumen; dan h. tanggal transaksi. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Transaksi Bank dan/atau Nasabah yang ditentukan secara khusus berupa transaksi tertentu antara lain mencakup transaksi antarbukan Penduduk, transaksi pembayaran kartu kredit, transaksi jual beli mata uang asing, dan transaksi jual beli cek pelawat. Ayat (5) Contoh: Untuk data PL bulan Februari 2020 yang dilaporkan pada bulan Maret 2020, perhitungan nilai ekuivalen dolar Amerika Serikat untuk transaksi dalam valuta dolar Singapura menggunakan kurs tengah yang diumumkan Bank Indonesia pada akhir bulan Januari 2020. Ayat (6) Contoh: Untuk data PL bulan Februari 2020 yang dilaporkan pada bulan Maret 2020, perhitungan nilai ekuivalen dolar Amerika Serikat untuk transaksi dalam valuta rupee India menggunakan kurs Reuters pada akhir bulan Januari 2020. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. 6 Ayat (2) Dokumen Pendukung DHE antara lain dapat berupa dokumen PPE, usance L/C, faktur penjualan, perjanjian jual beli antara Eksportir dan Importir, dan surat keterangan tentang penangguhan pembayaran dari Importir. Ayat (3) Contoh: Nasabah Bank A yaitu PT X melakukan Ekspor dengan cara pembayaran menggunakan usance L/C dengan jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari. Selanjutnya, berdasarkan dokumen PPE diperoleh informasi antara lain tanggal PPE yaitu 14 Maret 2020. PT X menyampaikan informasi PPE beserta dokumen pendukung yaitu perjanjian penjualan dan usance L/C kepada Bank A tanggal 27 Maret 2020. Dalam hal ini, Bank A harus menyampaikan informasi PPE PT X dalam Laporan RTE bulan Maret 2020 beserta laporan DPDP dan Dokumen Pendukung DHE pada MPL bulan April 2020. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Contoh: Nasabah Bank C yaitu PT W menerima pembayaran di muka pada tanggal 18 Oktober 2020. Atas pembayaran di muka tersebut, Bank C wajib menyampaikan laporan RTE terkait informasi atas penerimaan pembayaran di muka Nasabah tersebut untuk PL bulan Oktober 2020 yang disampaikan pada bulan November 2020, yang berisi nomor identifikasi tertentu, identitas penerima DHE, dan nilai penerimaan pembayaran di muka. Ayat (6) Informasi PPE dari Nasabah antara lain: a. sandi kantor pabean; b. nomor pendaftaran PPE; c. tanggal PPE; d. nilai PPE; dan e. jenis valuta PPE. 7 Contoh: Berdasarkan dokumen PPE yang diterbitkan pada tanggal 20 Januari 2021 yaitu pada saat barang dikirim, PT W memperoleh informasi PPE dimaksud yang kemudian disampaikan kepada Bank C pada tanggal 30 Januari 2021 berikut Dokumen Pendukung DHE berupa perjanjian penjualan. Dalam hal ini, Bank C wajib menyampaikan informasi PPE PT W dalam Laporan RTE bulan Januari 2021 beserta laporan DPDP dan Dokumen Pendukung DHE-nya pada MPL bulan Februari 2021 dengan nomor identifikasi yang sama dengan yang dicantumkan pada Laporan RTE bulan Oktober 2020. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dokumen lainnya antara lain berupa bukti transfer dan Message FTMS. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. 8 Huruf d Dokumen lainnya antara lain berupa bukti transfer dan Message FTMS. Pasal 11 Ayat (1) Contoh: Bank A tidak tepat dalam mengisi 3 (tiga) field Laporan LLD sehingga dinyatakan menyampaikan Laporan LLD secara tidak benar. Atas penyampaian Laporan LLD tersebut, Bank A dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp150.000,00 (3 field x Rp50.000,00). Ayat (2) Contoh: Bank A terlambat selama 3 (tiga) hari dalam menyampaikan Laporan LLD dari batas waktu penyampaian Laporan LLD, sehingga Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan laporan selama 3 (tiga) hari keterlambatan dan dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp3.000.000,00 (3 x Rp1.000.000,00). Ayat (3) Contoh: Bank A tidak menyampaikan Laporan LLD sampai dengan batas waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia, sehingga Bank A dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD sehingga dikenai sanksi denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 9 Ayat (3) Contoh 1: Bank Indonesia pada tanggal 10 Juli 2020 menerbitkan surat penetapan sanksi administratif berupa denda terhadap Bank J atas pelanggaran kewajiban pelaporan Kegiatan LLD PL bulan Mei 2020. Dalam hal ini, Bank J dapat menyampaikan permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa denda kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 31 Agustus 2020. Contoh 2: Bank J sebagaimana dimaksud pada contoh 1 dapat menyampaikan permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa denda kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 31 Agustus 2020. Apabila Bank J menyampaikan permohonan pada tanggal 3 September 2020, Bank Indonesia tidak akan memproses permohonan tersebut. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Contoh: Bank S berkedudukan di Singapura memiliki kantor cabang di Jakarta, Bali, dan Palembang. Kantor cabang koordinator Bank S di Indonesia yaitu kantor cabang di Jakarta. Berdasarkan hal 10 tersebut, Laporan LLD disampaikan kepada Bank Indonesia oleh kantor cabang Bank S di Jakarta. Ayat (2) Penyampaian kepada Bank Indonesia secara daring dilakukan melalui media ekstranet Bank Indonesia dengan menggunakan akses ke jaringan ekstranet yang diberikan kepada Bank. Ayat (3) Contoh: Untuk kegiatan LLD PL bulan Mei 2020, batas akhir MPL laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA yaitu pada hari Senin tanggal 15 Juni 2020 pukul 23.59 WIB. Ayat (4) Contoh: Untuk kegiatan LLD PL bulan Mei 2020, batas akhir MPL laporan pendukung berupa laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) batas akhir MPL yaitu pada hari Jumat tanggal 5 Juni 2020 pukul 23.59 WIB. Ayat (5) Contoh: Untuk Kegiatan LLD PL bulan Februari 2020, batas akhir MPL laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA yaitu pada hari Minggu tanggal 15 Maret 2020 pukul 23.59 WIB. Sedangkan, untuk laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) batas akhir MPL yaitu pada hari Kamis tanggal 5 Maret 2020 pukul 23.59 WIB. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang terjadi di Bank Indonesia dan/atau Bank antara lain berupa gangguan jaringan dan/atau komunikasi, namun tidak termasuk gangguan pada sistem penyusunan Laporan LLD di Bank. 11 Contoh: Gangguan teknis di Bank A terjadi pada hari Senin tanggal 3 Februari 2020 pukul 10.10 WIB. Bank A dapat menyampaikan Laporan LLD PL bulan Januari 2020 secara luring pada tanggal 3 Februari 2020 dalam Jam Kerja dan Bank A tidak perlu menyampaikan kembali laporan secara daring meskipun gangguan teknis di Bank A telah dapat diatasi sebelum MPL. Ayat (2) Huruf a Contoh 1: Gangguan teknis di Bank A terjadi pada hari Jumat tanggal 15 Mei 2020 dan baru dapat diatasi pada hari Sabtu tanggal 16 Mei 2020 pukul 10.00 WIB. Dalam hal ini, Bank A harus menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA PL bulan April 2020 secara daring pada hari berikutnya pada saat gangguan teknis berakhir, yaitu pada hari Sabtu tanggal 16 Mei 2020 dengan memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis. Dengan demikian, Bank A tidak dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA. Contoh 2: Gangguan teknis di Bank A terjadi pada hari Jumat tanggal 5 Juni 2020 dan baru dapat diatasi pada hari Sabtu tanggal 6 Juni 2020 pukul 10.00 WIB. Dalam hal ini, Bank A harus menyampaikan laporan pendukung berupa laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) PL bulan Mei 2020 secara daring pada hari berikutnya pada saat gangguan teknis berakhir, yaitu hari Sabtu tanggal 6 Juni 2020 dengan memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis. Dengan demikian, Bank A tidak dinyatakan terlambat menyampaikan laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT). 12 Huruf b Contoh 1: Gangguan teknis di Bank B terjadi pada hari Rabu tanggal 15 April 2020 dan belum dapat diatasi sampai dengan hari Kamis tanggal 16 April 2020. Dalam hal ini, Bank B menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA PL bulan Maret 2020 secara luring pada Hari berikutnya, yaitu hari Jumat tanggal 17 April 2020 dalam Jam Kerja dengan memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis. Dengan demikian, Bank B tidak dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA. Contoh 2: Gangguan teknis di Bank B terjadi pada hari Jumat tanggal 5 Juni 2020 dan belum dapat diatasi sampai dengan hari Sabtu tanggal 6 Juni 2020. Dalam hal ini, Bank B menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi DHE dan DPI (Non-TT) PL bulan Maret 2020 secara luring pada Hari berikutnya, yaitu pada hari Senin tanggal 8 Mei 2020 dalam Jam Kerja dengan memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis. Dengan demikian, Bank B tidak dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT). Ayat (3) Huruf a Contoh 1: Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Jumat tanggal 15 Mei 2020 dan baru dapat diatasi pada hari Sabtu tanggal 16 Mei 2020 pukul 09.00 WIB. Dalam hal ini, Bank A menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan 13 laporan posisi Reksus DHE SDA PL bulan April 2020 secara daring pada hari berikutnya, yaitu tanggal 16 Mei 2020. Dengan demikian, Bank A tidak dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP DHE, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA. Contoh 2: Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Jumat tanggal 5 Juni 2020 dan baru dapat diatasi pada hari Sabtu tanggal 6 Juni 2020 pukul 09.00 WIB. Dalam hal ini, Bank A menyampaikan laporan LLD berupa laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) PL bulan Mei 2020 secara daring pada hari berikutnya, yaitu tanggal 6 Juni 2020. Dengan demikian, Bank A tidak dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT). Huruf b Contoh 1: Apabila gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Jumat tanggal 15 Mei 2020 dan tidak dapat diatasi pada tanggal 16 Mei 2020 maka Bank A menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA PL bulan April 2020 secara luring pada Hari berikutnya, yaitu hari Senin tanggal 18 Mei 2020 dalam Jam Kerja. Dengan demikian, Bank A tidak dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA. Contoh 2: Apabila gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Jumat tanggal 5 Juni 2020 tidak dapat diatasi pada tanggal 6 Juni 2020 maka Bank A menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) 14 PL bulan Mei 2020 secara luring pada Hari berikutnya, yaitu hari Senin tanggal 8 Juni 2020 dalam Jam Kerja. Dengan demikian, Bank A tidak dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT). Pasal 17 Contoh: Bank X melakukan penggabungan dengan Bank Y menjadi Bank X yang mulai operasional pada tanggal 22 Juli 2020. Dalam hal ini, kewajiban pelaporan bulanan dilakukan sebagai berikut: a. Bank X dan Bank Y menyampaikan Laporan LLD pada bulan Juli 2020 yang berisi data bulan Juni 2020; dan b. Bank X menyampaikan Laporan LLD pada bulan Agustus 2020 sebagai berikut: 1. data bulan Juli 2020 dari Bank X sebelum penggabungan dan dari Bank X hasil penggabungan; dan 2. data Bank Y tanggal 1 sampai dengan 21 Juli 2020. Pasal 18 Ayat (1) Koreksi atas Laporan LLD secara daring dapat disampaikan pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Contoh: Untuk kegiatan LLD PL bulan April 2020, batas akhir MPKL laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA yaitu pada hari Rabu tanggal 20 Mei 2020 pukul 23.59 WIB. Ayat (3) Contoh: Untuk kegiatan LLD PL bulan April 2020, batas akhir MPKL kegiatan LLD berupa laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) yaitu pada hari Selasa tanggal 5 Mei 2020 pukul 23.59 WIB. 15 Ayat (4) Contoh: Untuk kegiatan LLD PL bulan Mei 2020, batas akhir MPKL laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA yaitu pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 2020 pukul 23.59 WIB. Sementara, batas akhir MPKL laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) yaitu pada hari Jumat tanggal 5 Juni 2020 pukul 23.59 WIB. Ayat (5) Huruf a Contoh 1: Gangguan teknis di Bank A terjadi pada hari Jumat tanggal 20 Maret 2020 pukul 11.00 WIB. Dalam hal ini, Bank A menyampaikan koreksi Laporan LLD berupa laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA PL bulan Februari 2020 secara luring pada Hari berikutnya, yaitu Senin tanggal 23 Maret 2020 dalam Jam Kerja dengan memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis. Contoh 2: Gangguan teknis di Bank A terjadi pada hari Jumat tanggal 5 Juni 2020 pukul 11.00 WIB. Dalam hal ini, Bank A menyampaikan koreksi laporan LLD berupa laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) PL bulan Mei 2020 secara luring pada Hari berikutnya, yaitu hari Senin tanggal 8 Juni 2020 dalam Jam Kerja dengan memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis. Huruf b Contoh 1: Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Rabu tanggal 20 Mei 2020 pukul 15.00 WIB. Dalam hal ini, Bank B menyampaikan koreksi Laporan LLD berupa laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA PL bulan April 16 2020 secara luring pada Hari berikutnya, yaitu hari Jumat tanggal 22 Mei 2020 dalam Jam Kerja, mengingat Kamis, 21 Mei 2020 merupakan hari libur nasional. Contoh 2: Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Rabu tanggal 5 Februari 2020 pukul 15.00 WIB. Dalam hal ini, Bank B menyampaikan koreksi laporan LLD berupa laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) PL Januari 2020 secara luring pada Hari berikutnya, yaitu hari Kamis tanggal 6 Februari 2020 dalam Jam Kerja. Pasal 19 Penyampaian secara luring dilakukan melalui media elektronik, antara lain compact disk (CD), flash disk, atau surat elektronik (e-mail) melalui Kantor Pusat Bank Indonesia atau Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat sesuai dengan kedudukan Bank. Contoh 1: Bank M telah menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Juni 2020 untuk laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) pada tanggal 5 Juli 2020 sementara untuk laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA pada tanggal 15 Juli 2020. Pada tanggal 22 Juli 2020, Bank M bermaksud melakukan koreksi terhadap kesalahan pengisian field nilai transaksi pada salah satu baris (record) di laporan transaksi. Dalam hal ini, Bank M harus menyampaikan koreksi Laporan LLD secara luring kepada Bank Indonesia karena telah melampaui MPKL. Contoh 2: Bank N telah menyampaikan laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) untuk PL bulan Juni 2020 pada tanggal 5 Juli 2020. Pada tanggal 7 Juli 2020, Bank N bermaksud melakukan koreksi terhadap kesalahan pengisian field nilai transaksi pada salah satu baris (record) di laporan transaksi. Dalam hal ini, Bank N harus menyampaikan koreksi laporan transaksi DHE dan DPI secara luring kepada Bank Indonesia karena telah melampaui MPKL. 17 Pasal 20 Ayat (1) Contoh 1: Bank P telah menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan November 2020, namun masih terdapat kesalahan pada laporan RTE, yaitu field Nilai PPE pada baris ke-7 dan baris ke-90. Dalam hal ini, Bank P melakukan koreksi terhadap kesalahan pengisian field Nilai PPE pada baris ke-7 dan baris ke-90 dalam laporan RTE bulan November 2020 dan menyampaikan kembali secara lengkap seluruh file Laporan LLD kepada Bank Indonesia. Contoh 2: Bank D telah menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan April 2020, namun masih terdapat kesalahan pada laporan transaksi, yaitu field nilai transaksi untuk tujuan transaksi pembayaran pinjaman pada baris ke-76. Dalam hal ini, Bank D harus melakukan koreksi terhadap kesalahan pengisian field nilai transaksi pada baris ke-76 dalam laporan transaksi bulan April 2020 dan menyampaikan kembali secara lengkap file laporan transaksi dan laporan posisi kepada Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Contoh: Bank Indonesia meminta klarifikasi kepada Bank A apabila dalam laporan transaksi terdapat field status penerima yang diisi dengan Indonesia untuk tujuan transaksi Impor barang. Ayat (2) Contoh: Bank N telah menyampaikan transaksi PT B dengan nomor pokok wajib pajak (NPWP) tertentu melalui laporan transaksi bulan Agustus 2020. Namun berdasarkan basis data (database) yang dimiliki Bank Indonesia, NPWP tersebut bukan atas nama PT B. Bank Indonesia meminta klarifikasi kepada Bank N pada tanggal 1 Oktober 2020. Bank N harus menyampaikan tanggapan atas 18 permintaan klarifikasi dari Bank Indonesia paling lambat 12 (dua belas) Hari setelah tanggal permintaan klarifikasi, yaitu pada tanggal 19 Oktober 2020. Ayat (3) Dalam hal laporan yang diindikasikan tidak wajar tersebut telah sesuai dengan data dan keterangan yang dimiliki, Bank cukup memberikan tanggapan tanpa melakukan koreksi. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dokumen Pendukung DHE disampaikan dalam bentuk salinan digital (softcopy) dengan format PDF, JPG, TIFF, BMP, PNG, GIF, atau file dengan format tersebut yang telah dikompresi. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh 1: Bank Y telah menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA untuk PL bulan Juni 2020 pada tanggal 6 Juli 2020 yang telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas. Pada tanggal 10 Juli 2020, Bank Y 19 menyampaikan koreksi atas Laporan LLD tersebut dan juga telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas. Selanjutnya, apabila pada tanggal 15 Juli 2020 (akhir MPL) Bank Y kembali melakukan koreksi dan sampai dengan pukul 23.59 WIB masih belum memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas, status laporan yang berlaku yaitu status laporan yang disampaikan pada tanggal 15 Juli 2020. Dalam hal ini, Bank Y dinyatakan belum menyampaikan laporan. Selanjutnya apabila Bank Y menyampaikan kembali koreksi atas Laporan LLD tersebut pada tanggal 16 Juli 2020 dan telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas, Bank Y dinyatakan terlambat menyampaikan laporan. Contoh 2: Bank Y telah menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) untuk PL bulan Juni 2020 pada tanggal 2 Juli 2020 yang telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas. Pada tanggal 4 Juli 2020, Bank Y menyampaikan koreksi atas Laporan LLD tersebut dan juga telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas. Selanjutnya, apabila pada tanggal 5 Juli 2020 (akhir MPL) Bank Y kembali melakukan koreksi dan sampai dengan pukul 23.59 WIB masih belum memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas, status laporan yang berlaku yaitu status laporan yang disampaikan pada tanggal 5 Juli 2020. Dalam hal ini, Bank Y dinyatakan belum menyampaikan laporan. Selanjutnya apabila Bank Y menyampaikan kembali koreksi atas laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) pada tanggal 6 Juli 2020 dan telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas, Bank Y dinyatakan terlambat menyampaikan laporan. Ayat (5) Contoh: Bank F telah menyampaikan Laporan LLD berupa laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA untuk PL bulan Juni 2020 pada 20 tanggal 13 Juli 2020 dan telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas. Pada tanggal 17 Juli 2020, Bank F menyampaikan koreksi atas Laporan LLD yang disampaikan pada tanggal 13 Juli 2020 dan telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas. Selanjutnya, apabila pada tanggal 20 Juli 2020 (akhir MPKL) Bank F kembali melakukan koreksi dan sampai dengan pukul 23.59 WIB masih belum memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas maka Laporan LLD yang dinyatakan diterima Bank Indonesia yaitu laporan yang disampaikan pada tanggal 17 Juli 2020. Pasal 24 Ayat (1) Contoh 1: Laporan LLD berupa laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA Bank A untuk PL bulan Maret 2020 diterima Bank Indonesia secara daring pada hari Kamis tanggal 16 April 2020. Dengan demikian Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD tersebut untuk PL bulan Maret 2020. Contoh 2: Laporan LLD berupa laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) Bank A untuk PL bulan Maret 2020 diterima Bank Indonesia secara luring pada hari Senin tanggal 6 April 2020. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD tersebut untuk PL bulan Maret 2020. Ayat (2) Contoh: Bank A menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan September 2020 pada tanggal 2 November 2020 dalam Jam Kerja. Dengan demikian Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan September 2020. 21 Ayat (3) Contoh: Batas akhir penyampaian Laporan LLD PL bulan Januari 2020 secara daring untuk laporan transaksi, laporan posisi, dan laporan pendukung berupa laporan RTE, laporan DPDP, laporan transaksi Reksus DHE SDA, dan laporan posisi Reksus DHE SDA yaitu hari Kamis tanggal 20 Februari 2020 sampai dengan pukul 23.59 WIB. Ayat (4) Contoh: Batas akhir penyampaian Laporan LLD PL bulan Januari 2020 secara daring untuk laporan transaksi DHE dan DPI (transaksi non-TT) yaitu hari Rabu tanggal 5 Februari 2020 sampai dengan pukul 23.59 WIB. Pasal 25 Ayat (1) Contoh: Laporan LLD Bank A untuk PL bulan Maret 2020 tidak diterima Bank Indonesia sampai dengan hari Selasa tanggal 30 April 2020 dalam Jam Kerja sehingga Bank A dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Maret 2020. Ayat (2) Contoh: Apabila pada hari Senin tanggal 2 November 2020 sampai dengan berakhirnya Jam Kerja, Bank Indonesia belum menerima Laporan LLD Bank A untuk PL bulan September 2020, Bank A dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan September 2020. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. 22 Pasal 27 Ayat (1) Dokumen pendukung dapat berupa dokumen yang mendasari adanya kegiatan transaksi (underlying transaction) Transfer Dana Keluar dalam valuta asing, antara lain: a. tagihan dari penjual barang dan jasa di luar negeri; b. kontrak pinjaman atau dokumen lain yang menunjukkan adanya kewajiban pembayaran bunga dan/atau pokok pinjaman; c. kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan adanya kewajiban membayar royalti dan kewajiban hak intelektual lainnya; d. dokumen rapat umum pemegang saham yang menunjukkan kewajiban pembagian dividen kepada pemegang saham di luar negeri; e. perjanjian kerja atau dokumen kepegawaian lainnya yang menunjukkan kewajiban membayar gaji dan penghasilan lainnya; f. dokumen likuidasi aset di dalam negeri yang merupakan hak pihak di luar negeri; dan/atau g. dokumen pengecualian atau penangguhan kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi valuta asing di dalam negeri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Contoh: Pada tanggal 19 Agustus 2020, Bank A melakukan transfer kepada perusahaan Z di Singapura sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat) atas pembelian perangkat komputer untuk kepentingan Bank A. 23 Dalam hal ini, transaksi yang dilakukan Bank A tidak memerlukan Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar. Huruf b Contoh: Pada tanggal 18 September 2020, PT Q memerintahkan Bank P di Jakarta untuk mentransfer dana sebesar USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dari rekening valuta asing milik PT Q untuk untung rekening valuta asing milik PT Q di Bank S di Surabaya. Dalam hal ini, transaksi yang dilakukan PT Q tidak memerlukan Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Contoh: PT U memerintahkan Bank K di Jakarta untuk membayar kepada rekening perusahaan induknya yaitu perusahaan V di Singapura sebesar USD101,000.00 (seratus satu ribu dolar Amerika Serikat). Berdasarkan perintah Transfer Dana Keluar dari PT U, diperoleh informasi bahwa pembayaran tersebut merupakan pembayaran atas pembelian barang dari perusahaan V. Untuk transaksi ini, PT U menyampaikan fotokopi invoice sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) kepada Bank K. Selisih lebih antara nilai perintah Transfer Dana Keluar dengan nilai yang tercantum di fotokopi invoice tidak melebihi 2,5% (dua koma lima persen) dari nilai yang tercantum di fotokopi invoice. Dalam hal ini, perintah Transfer Dana Keluar dianggap sesuai dengan Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar dari sisi nilai transaksi. Ayat (2) Contoh: Untuk transaksi Transfer Dana Keluar selama bulan Februari 2020, perhitungan nilai ekuivalen dolar Amerika Serikat untuk transaksi dalam valuta ringgit Malaysia menggunakan kurs 24 tengah yang diumumkan Bank Indonesia pada akhir bulan Januari 2020. Ayat (3) Contoh: Untuk transaksi Transfer Dana Keluar selama bulan Februari 2020, perhitungan nilai ekuivalen dolar Amerika Serikat untuk transaksi dalam valuta dirham Uni Emirat Arab menggunakan kurs Reuters pada akhir bulan Januari 2020. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang dari Nasabah” adalah: a. pejabat yang mewakili badan usaha berdasarkan anggaran dasar; b. pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan surat kuasa; atau c. pejabat yang memiliki kewenangan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Contoh: Pada tanggal 17 dan 18 Juni 2020, PT R membeli valuta asing masing-masing sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan USD125,000.00 (seratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) di Bank C untuk menambah saldo dolar Amerika Serikat dalam rekening valuta asing dengan mendebit rekening rupiah milik PT R di Bank yang sama. Untuk transaksi ini, PT R telah memberikan dokumen kepada Bank C berupa fotokopi invoice dari perusahaan T di Hong Kong untuk 25 pembelian barang dari luar negeri sebesar USD425,000.00 (empat ratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Selanjutnya, pada tanggal 19 Juni 2020 PT R memerintahkan Bank C untuk melakukan transfer sebesar USD425,000.00 (empat ratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) kepada perusahaan T. Untuk transaksi tersebut, Bank C dapat menggunakan dokumen yang telah disampaikan PT R sebelumnya yakni invoice dari perusahaan T dalam pemenuhan ketentuan ini. Ayat (6) Contoh: PT J melakukan transaksi LLD berupa Transfer Dana Keluar melalui Bank D di Jakarta sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) guna pembayaran pinjaman luar negeri. Jika tanggal valuta untuk transfer dimaksud yaitu tanggal 18 Desember 2020, Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar untuk transaksi dimaksud harus diterima Bank D sebelum pelaksanaan penyelesaian transaksi pada tanggal valuta. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar dan surat pernyataan atas Transfer Dana Keluar yang diberikan Nasabah kepada Bank, baik dalam bentuk salinan cetak (hardcopy) dan/atau salinan digital (softcopy), tidak perlu disampaikan kepada Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. 26 Ayat (2) Informasi tujuan transaksi Transfer Dana Keluar yang disampaikan oleh Nasabah kepada Bank dicantumkan Bank pada field 70 MT103 pada Message FTMS. Untuk transaksi Ekspor dan Impor, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai devisa hasil ekspor dan devisa pembayaran impor, selain tujuan transaksi informasi yang perlu dicantumkan dalam Message FTMS adalah nomor invoice dan nilai invoice. Contoh 1: PT IK melakukan pengembalian pinjaman dengan jangka waktu lebih dari satu tahun sebesar USD1.500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) pada bulan Februari 2020. Atas pengembalian pinjaman tersebut, PT IK melakukan pembayaran melalui transaksi TT pada tanggal 14 Februari 2020 dengan nilai sebesar USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). PT IK menyampaikan informasi tujuan transaksi pengembalian pinjaman tersebut dalam Message FTMS dengan format 2232. Contoh 2: PT IK melakukan Impor dengan nilai invoice sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) pada bulan Januari 2020 dengan nomor invoice 123BCD. Atas Impor tersebut, PT IK melakukan pembayaran melalui transaksi TT pada tanggal 14 Februari 2020 dengan nilai sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan nomor invoice 123BCD. PT IK menyampaikan informasi Impor dalam Message FTMS dengan format 2012//123BCD(500000). Pasal 32 Contoh: PT A di Jakarta melakukan transaksi sebanyak 3 (tiga) kali pada tanggal 21 Mei 2020 melalui Bank X tanpa Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar dan surat pernyataan atas Transfer Dana Keluar (dalam hal diperlukan), dengan rincian sebagai berikut: 27 a. USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) kepada perusahaan B dengan rekening di bank C yang berlokasi di Singapura; b. USD230,000.00 (dua ratus tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat) kepada PT D dengan rekening di bank E yang berlokasi di Surabaya; dan c. USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) kepada perusahaan F dengan rekening di bank G yang berlokasi di Malaysia. Bank X mengaksep ketiga Perintah Transfer Dana ini pada tanggal yang sama dengan mendebit rekening PT A. Dalam hal ini, Bank X akan dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), yaitu atas pelanggaran ketentuan untuk transfer ke perusahaan B dan PT D. Untuk transfer ke perusahaan F di Malaysia tidak ada keharusan penyampaian Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar atau surat pernyataan sehingga tidak dikenai sanksi. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh 1: Bank Indonesia pada tanggal 10 Juli 2020 menerbitkan surat penetapan sanksi administratif berupa denda terhadap Bank J atas pelanggaran kewajiban pelaporan Kegiatan LLD PL bulan Mei 2020. Dalam hal ini, Bank J dapat menyampaikan permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa denda kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 31 Agustus 2020. 28 Contoh 2: Bank J sebagaimana dimaksud pada contoh 1 dapat menyampaikan permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa denda kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 31 Agustus 2020. Apabila Bank J menyampaikan permohonan pada tanggal 3 September 2020, Bank Indonesia tidak akan memproses permohonan tersebut. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Data dan keterangan yang harus diberikan Nasabah antara lain nilai dan jenis transaksi, tujuan transaksi, pelaku transaksi, dan negara tujuan atau asal pelaku transaksi. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh 1: Nasabah H melakukan transaksi Transfer Dana Keluar pada bulan September 2020 dengan nilai transaksi sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Setelah Bank 29 Indonesia melakukan penelitian kebenaran terhadap Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar, Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar yang diberikan Nasabah untuk transaksi tersebut dinilai tidak memadai. Apabila kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal pengenaan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp14.000,00 (empat belas ribu rupiah), perhitungan denda Nasabah H sebesar (0,25% x USD1,000,000.00 x Rp14.000,00) = Rp35.000.000,00. Contoh 2: Nasabah J melakukan transaksi Transfer Dana Keluar pada bulan Oktober 2020 dengan nilai transaksi sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Setelah Bank Indonesia melakukan penelitian kebenaran terhadap Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar, Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar yang diberikan Nasabah untuk transaksi tersebut dinilai tidak memadai. Apabila kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal pengenaan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp14.000,00 (empat belas ribu rupiah), perhitungan denda Nasabah J sebesar (0,25% x USD2,000,000.00 x Rp14.000,00) = Rp70.000.000,00. Mengingat perhitungan denda tersebut melebihi nilai denda maksimal maka Nasabah J dikenakan denda maksimal sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 30 Ayat (3) Contoh 1: Bank Indonesia pada tanggal 10 Juli 2020 menerbitkan surat penetapan sanksi administratif berupa denda terhadap Bank J atas pelanggaran kewajiban pelaporan Kegiatan LLD PL bulan Mei 2020. Dalam hal ini, Bank J dapat menyampaikan permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa denda kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 31 Agustus 2020. Contoh 2: Bank J sebagaimana dimaksud pada Contoh 1 dapat menyampaikan permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa denda kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 31 Agustus 2020. Apabila Bank J menyampaikan permohonan pada tanggal 3 September 2020, Bank Indonesia tidak akan memproses permohonan tersebut. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 31 Ayat (4) Contoh: PT W memerintahkan Bank L di Jakarta untuk membayar kepada rekening perusahaan G di Amerika Serikat sebesar USD202,500.00 (dua ratus dua ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Berdasarkan perintah Transfer Dana Keluar dari PT W, diperoleh informasi bahwa pembayaran tersebut merupakan pembayaran atas pembelian barang dari perusahaan G. Untuk transaksi ini, PT W menyampaikan fotokopi invoice sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) kepada Bank L. Dalam hal ini, Bank L melakukan verifikasi antara lain nama penerima dan nilai pembayaran yang tercantum dalam perintah transfer dengan nama penjual dan nilai kewajiban membayar yang tercantum dalam invoice. Mengingat selisih lebih antara nilai perintah Transfer Dana Keluar dengan nilai yang tercantum di fotokopi invoice tidak melebihi 2,5% (dua koma lima persen) dari nilai yang tercantum di fotokopi invoice maka perintah Transfer Dana Keluar dianggap sesuai dengan Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “dokumen lainnya yang terkait” antara lain laporan keuangan dan daftar mutasi rekening koran (bank statement). 32 Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Contoh: Nasabah S yang merupakan Eksportir SDA melakukan transaksi Transfer Dana Keluar dari Reksus DHE SDA miliknya pada bulan November 2020 dengan nilai transaksi sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan tujuan transaksi untuk pembayaran impor barang. Setelah Bank Indonesia melakukan penelitian kebenaran terhadap Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar, Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar yang diberikan Nasabah untuk transaksi tersebut dinilai tidak memadai. Bank Indonesia menginformasikan hasil pengawasan terhadap Nasabah S kepada: a. Kementerian Keuangan c.q. DJBC; dan b. Kementerian dan/atau lembaga teknis terkait, untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing- masing. Ayat (2) Cukup jelas. 33 Pasal 47 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keadaan kahar” adalah keadaan yang berada di luar kendali Bank dan secara nyata dialami Bank yang disebabkan antara lain oleh kebakaran, kerusuhan massa, pemogokan pekerja, terorisme, bom, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat, termasuk Bank Indonesia. Contoh: Pada akhir bulan April 2020, tempat kedudukan Bank Y mengalami gempa bumi yang mengakibatkan Bank Y tidak dapat menyusun Laporan LLD untuk bulan tersebut karena hilangnya data. Dalam hal ini, Bank Y dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD PL bulan April 2020. Ayat (2) Contoh: Pada tanggal 9 Maret 2020 sampai dengan 20 Maret 2019 terjadi pemogokan seluruh karyawan Bank D yang mengakibatkan Bank D terhambat menyampaikan Laporan LLD PL bulan Februari 2020. Dalam hal ini, Bank D dapat menyampaikan Laporan LLD dimaksud melewati batas waktu penyampaian laporan dan Bank D tidak dikenakan sanksi administratif. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. 34 Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/28/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH </reg_title> <set_date> 31 Desember 2019 </set_date> <effective_date> 2 Januari 2020 </effective_date> <replaced_reg> '21/16/PADG/2019' </replaced_reg> <related_reg> '21/15/PBI/2019', '21/14/PBI/2019' </related_reg> <penalty_list> 'BAB II Pasal 11', 'BAB II Pasal 12', 'BAB II Pasal 13', 'BAB II Pasal 14', 'BAB IV Pasal 32', 'BAB IV Pasal 33', 'BAB IV Pasal 34', 'BAB IV Pasal 35', 'BAB V Pasal 37', 'BAB V Pasal 38', 'BAB V Pasal 39', 'BAB V Pasal 40' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/7/PADG/2018 TENTANG KEPESERTAAN OPERASI MONETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b. bahwa untuk melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter yang salah satunya dilakukan melalui pelaksanaan operasi moneter, baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah; c. bahwa guna meningkatkan aspek tata kelola, standarisasi, dan kepatuhan kepesertaan dalam pelaksanaan operasi moneter, Bank Indonesia memandang perlu untuk mengatur perizinan dan pengawasan terkait kepesertaan dalam operasi moneter; 2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Kepesertaan Operasi Moneter; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6198); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG KEPESERTAAN OPERASI MONETER. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 5. Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang selanjutnya disebut Pialang Pasar Uang adalah pialang 3 pasar uang rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pialang pasar uang rupiah dan valuta asing. 6. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal, yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama. 7. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 8. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya disingkat OMK adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan secara konvensional. 9. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 10. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 11. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang selanjutnya disebut OPT Konvensional adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUK dan/atau pihak lain. 12. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUS, UUS, dan/atau pihak lain. 13. Lembaga Perantara adalah Pialang Pasar Uang dan Perusahaan Efek, yang telah memperoleh izin dari Bank 4 Indonesia sebagai lembaga perantara dalam Operasi Moneter. 14. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 15. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT Konvensional adalah transaksi penjualan surat berharga oleh peserta OPT Konvensional kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 16. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT Syariah adalah transaksi penjualan surat berharga oleh peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia dengan janji pembelian kembali oleh peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 17. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga Untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional adalah transaksi pembelian surat berharga oleh peserta OPT Konvensional dari Bank Indonesia, dengan kewajiban penjualan kembali oleh peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 18. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga Untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo OPT Syariah adalah transaksi pembelian surat berharga oleh peserta OPT Syariah dari Bank Indonesia, dengan janji penjualan kembali oleh peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 19. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank 5 Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 20. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 21. Sistem Bank Indonesia–Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga dan setelmen dana seketika. 22. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di Bank Indonesia dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing. 23. Penggabungan adalah penggabungan dari 2 (dua) badan hukum atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan hukum dan membubarkan badan hukum lainnya dengan atau tanpa melikuidasi. 24. Peleburan adalah penggabungan dari 2 (dua) badan hukum atau lebih, dengan cara mendirikan badan hukum baru dan membubarkan badan hukum tersebut dengan atau tanpa melikuidasi. 25. Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu badan hukum. 26. Pemisahan adalah pemisahan usaha dari 1 (satu) bank menjadi 2 (dua) badan usaha atau lebih, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 27. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 6 BAB II PERIZINAN PESERTA DAN LEMBAGA PERANTARA DALAM OPERASI MONETER Bagian Kesatu Izin Sebagai Peserta Operasi Moneter dan Lembaga Perantara Paragraf 1 Izin sebagai Peserta Operasi Moneter Pasal 2 (1) Peserta Operasi Moneter terdiri atas peserta OPT dan peserta Standing Facilities. (2) Peserta OPT dan peserta Standing Facilities sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Bank. (3) Peserta OPT dapat mengikuti OPT secara langsung dan/atau tidak langsung melalui Lembaga Perantara. (4) Dalam hal peserta OPT Konvensional mengikuti lelang SBBI Valas, peserta OPT Konvensional dapat mengikuti lelang SBBI Valas untuk kepentingan diri sendiri dan/atau pihak lain. Pasal 3 (1) Bank yang akan mengikuti Operasi Moneter wajib memperoleh izin sebagai peserta Operasi Moneter dari Bank Indonesia. (2) Izin sebagai peserta Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. izin sebagai peserta OMK dalam rupiah; b. izin sebagai peserta OMK dalam valuta asing; c. izin sebagai peserta OMS dalam rupiah; dan d. izin sebagai peserta OMS dalam valuta asing. Pasal 4 (1) Izin UUS sebagai peserta Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) terpisah dari izin BUK induknya sebagai peserta Operasi Moneter. 7 (2) Pengajuan izin UUS sebagai peserta Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan oleh BUK induknya. Pasal 5 (1) Bank yang melakukan langkah strategis dan mendasar yang berdampak pada hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia di bidang moneter atau Bank baru yang telah memperoleh izin usaha dari otoritas yang berwenang, harus memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (2) Langkah strategis dan mendasar yang berdampak pada hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia di bidang moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan: a. aksi korporasi berupa Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan; b. perubahan status; c. perubahan nama; d. pencabutan izin usaha; dan/atau e. langkah strategis lainnya. Paragraf 2 Izin Sebagai Lembaga Perantara Pasal 6 (1) Pialang Pasar Uang dan/atau Perusahaan Efek yang akan mengikuti OPT wajib memperoleh izin sebagai Lembaga Perantara dari Bank Indonesia. (2) Izin sebagai Lembaga Perantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. izin sebagai Lembaga Perantara OPT Konvensional dan OPT Syariah dalam rupiah; b. izin sebagai Lembaga Perantara OPT Konvensional dan OPT Syariah dalam valuta asing. 8 Pasal 7 Lembaga Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 hanya dapat mengajukan penawaran transaksi OPT untuk dan atas nama peserta OPT. Pasal 8 (1) Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) hanya dapat memperoleh izin sebagai Lembaga Perantara OPT Konvensional dan OPT Syariah dalam rupiah. (2) Jenis transaksi yang dapat dilakukan oleh Lembaga Perantara berupa Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. OPT Konvensional, yaitu pada: 1. Transaksi Repo SBN; 2. Transaksi Reverse Repo SBN; dan 3. Transaksi pembelian atau penjualan SBN secara outright di pasar sekunder; dan b. OPT Syariah, yaitu pada: 1. Transaksi Repo SBSN; 2. Transaksi Reverse Repo SBSN; dan 3. Transaksi pembelian atau penjualan SBSN secara outright di pasar sekunder. Bagian Kedua Persyaratan untuk Memperoleh Izin bagi Pihak yang Akan Menjadi Peserta Operasi Moneter dan Lembaga Perantara Pasal 9 Bank Indonesia menetapkan persyaratan untuk memperoleh izin bagi pihak yang akan menjadi peserta Operasi Moneter dan Lembaga Perantara dengan mempertimbangkan: a. aspek kapasitas; b. aspek kapabilitas; dan c. aspek reputasi. 9 Pasal 10 (1) Bank yang akan menjadi peserta Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. aspek kelembagaan yang meliputi: 1. surat izin usaha sebagai Bank dari otoritas yang berwenang; 2. surat izin, persetujuan, atau rekomendasi dari OJK untuk Bank yang melakukan langkah strategis dan mendasar; b. aspek infrastruktur yang meliputi: 1. untuk Operasi Moneter dalam rupiah: a) memiliki Rekening Giro rupiah di Bank Indonesia; b) menjadi peserta Sistem BI-ETP; c) menjadi peserta BI-SSSS; dan d) menjadi peserta Sistem BI-RTGS; 2. untuk Operasi Moneter dalam valuta asing: a) memenuhi persyaratan sebagai peserta Operasi Moneter dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam angka 1; b) memiliki Rekening Giro valuta asing di Bank Indonesia; dan c) memiliki sarana transaksi Operasi Moneter valuta asing; c. aspek kompetensi sumber daya manusia yaitu berupa: 1. direksi dan pegawai yang bertanggung jawab dan/atau melaksanakan aktivitas tresuri wajib memiliki kompetensi yang memadai yang dibuktikan dengan sertifikat tresuri sesuai dengan klasifikasi dan tingkatan sertifikasi tresuri; dan 2. direksi dan pegawai yang bertanggung jawab dan/atau melaksanakan aktivitas tresuri memahami dan menerapkan kode etik pasar yang dibuktikan dengan prosedur internal yang wajib dimiliki oleh Bank; dan 10 d. aspek manajemen risiko yaitu: 1. memiliki prosedur internal Business Continuity Plan (BCP) terkait transaksi Operasi Moneter dengan Bank Indonesia atau terkait kegiatan tresuri Bank; dan 2. memiliki prosedur internal mengenai pemisahan fungsi antara front office dan back office terkait kegiatan tresuri Bank. (2) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sertifikasi tresuri dan penerapan kode etik pasar. (3) Dalam hal pemenuhan persyaratan kepesertaan Operasi Moneter oleh UUS untuk: a. aspek infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 huruf c); b. aspek kompetensi sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c; dan/atau c. aspek manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, merupakan bagian dari BUK induknya maka UUS harus menyampaikan bukti pendukung pemenuhan persyaratan kepesertaan Operasi Moneter kepada Bank Indonesia dengan mencantumkan keterangan bahwa pemenuhan persyaratan tersebut merupakan bagian dari BUK induknya. Pasal 11 (1) Pemenuhan persyaratan aspek infrastruktur untuk Operasi Moneter dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b angka 1 dinyatakan dalam bentuk surat persetujuan kepesertaan Sistem BI-ETP, BI- SSSS, dan Sistem BI-RTGS dari Bank Indonesia dan surat persetujuan pembukaan Rekening Giro rupiah di Bank Indonesia. (2) Pemenuhan persyaratan aspek infrastruktur untuk Operasi Moneter dalam valuta asing sebagaimana 11 dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b angka 2 huruf b) dinyatakan dalam bentuk surat persetujuan pembukaan Rekening Giro valuta asing di Bank Indonesia. (3) Pemenuhan persyaratan aspek infrastruktur untuk sarana transaksi Operasi Moneter valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b angka 2 huruf c) dinyatakan dalam bentuk perjanjian kerja sama yang masih berlaku antara Bank dengan penyedia sarana dealing system yang digunakan dalam transaksi Operasi Moneter valuta asing. Pasal 12 (1) Pialang Pasar Uang dan/atau Perusahaan Efek yang akan mengikuti OPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. aspek kelembagaan yang meliputi: 1. surat izin usaha dari Bank Indonesia bagi Pialang Pasar Uang; 2. surat penunjukan sebagai dealer utama dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia bagi Perusahaan Efek; b. aspek infrastruktur, meliputi: 1. untuk OPT dalam rupiah, menjadi peserta Sistem BI-ETP; dan 2. untuk OPT dalam valuta asing, memiliki sarana transaksi Operasi Moneter valuta asing; c. aspek kompetensi sumber daya manusia yaitu berupa: 1. direksi dan pegawai yang bertanggung jawab dan/atau melaksanakan aktivitas tresuri wajib memiliki kompetensi yang memadai yang dibuktikan dengan sertifikat tresuri sesuai dengan klasifikasi dan tingkatan sertifikasi tresuri; dan 2. direksi dan pegawai yang bertanggung jawab dan/atau melaksanakan aktivitas tresuri memahami dan menerapkan kode etik pasar yang dibuktikan dengan prosedur internal yang wajib 12 dimiliki oleh Pialang Pasar Uang dan/atau Perusahaan Efek; dan d. aspek manajemen risiko berupa prosedur internal Business Continuity Plan (BCP) terkait transaksi OPT dengan Bank Indonesia atau terkait kegiatan tresuri Pialang Pasar Uang dan/atau Perusahaan Efek. (2) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sertifikasi tresuri dan penerapan kode etik pasar. Pasal 13 (1) Pemenuhan persyaratan aspek infrastruktur untuk OPT dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b angka 1 berupa surat persetujuan kepesertaan dalam Sistem BI-ETP dari Bank Indonesia. (2) Pemenuhan persyaratan aspek infrastruktur untuk sarana transaksi OPT valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b angka 2 dinyatakan dalam bentuk perjanjian kerja sama yang masih berlaku antara Pialang Pasar Uang dengan penyedia sarana dealing system yang digunakan dalam transaksi OPT valuta asing. Pasal 14 (1) Bank Indonesia dapat menunjuk peserta OPT yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk mendukung pelaksanaan transaksi Operasi Moneter. (2) Penunjukan peserta OPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. 13 Bagian Ketiga Tata Cara Perizinan untuk menjadi Peserta Operasi Moneter dan Lembaga Perantara Pasal 15 (1) Bank yang akan menjadi peserta Operasi Moneter serta Pialang Pasar Uang dan/atau Perusahaan Efek yang akan menjadi Lembaga Perantara mengajukan permohonan izin kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung pemenuhan persyaratan kepesertaan Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan/atau Pasal 12. (2) Pengajuan permohonan izin untuk menjadi Peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 16 Guna memproses permohonan izin sebagai peserta Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan/atau sebagai Lembaga Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Indonesia melakukan: a. penelitian administratif; b. analisis kelayakan Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau Perusahaan Efek yang akan mengikuti Operasi Moneter; dan/atau c. melakukan pemeriksaan. Pasal 17 (1) Penelitian administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a dilakukan terhadap dokumen yang disampaikan oleh Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau Perusahaan Efek yang akan mengikuti Operasi Moneter yang meliputi: a. penelitian kelengkapan dokumen; dan 14 b. penelitian kesesuaian dokumen, terhadap pemenuhan persyaratan kepesertaan dalam Operasi Moneter. (2) Analisis kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b berupa analisis terhadap pemenuhan persyaratan kepesertaan Operasi Moneter oleh Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau Perusahaan Efek yang akan mengikuti Operasi Moneter. (3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c dilakukan dengan cara melakukan kunjungan ke lokasi usaha (on-site visit) Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau Perusahaan Efek yang akan mengikuti Operasi Moneter untuk melakukan verifikasi atas kesesuaian dokumen yang disampaikan dengan persyaratan kepesertaan Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan/atau Pasal 12. Pasal 18 Dalam hal berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dokumen yang disampaikan oleh Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau Perusahaan Efek belum lengkap, Bank Indonesia menginformasikan secara tertulis kepada pihak tersebut untuk melengkapi kekurangan dokumen. Pasal 19 Dalam hal berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dokumen yang disampaikan oleh Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau Perusahaan Efek telah lengkap, Bank Indonesia melakukan: a. penelitian kesesuaian dokumen; dan b. analisis kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2). Pasal 20 Bank Indonesia memproses permohonan izin kepesertaan Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau Perusahaan Efek untuk 15 mengikuti Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak dokumen persyaratan dinyatakan lengkap. Pasal 21 Berdasarkan hasil penelitian administratif, analisis kelayakan, dan/atau hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Bank Indonesia memutuskan untuk: a. menyetujui; atau b. menolak, permohonan izin kepesertaan Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau Perusahaan Efek untuk mengikuti Operasi Moneter. Pasal 22 Persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a menetapkan: a. Bank sebagai peserta Operasi Moneter; dan b. Pialang Pasar Uang dan/atau Perusahaan Efek sebagai Lembaga Perantara. Pasal 23 (1) Dalam hal Bank Indonesia menolak permohonan izin kepesertaan Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau Perusahaan Efek untuk mengikuti Operasi Moneter maka pihak tersebut tidak dapat mengikuti Operasi Moneter di Bank Indonesia. (2) Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan permohonan izin untuk mengikuti Operasi Moneter di Bank Indonesia setelah pihak tersebut dapat memenuhi persyaratan sebagai peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara. 16 Bagian Keempat Tata Cara Pemberian Izin dan Pencabutan Izin Peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara yang Melakukan Langkah Strategis dan Mendasar Pasal 24 Dalam hal peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara melakukan Penggabungan maka peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara yang bukan merupakan hasil Penggabungan mengajukan permohonan pencabutan izin kepesertaan dalam Operasi Moneter kepada Bank Indonesia. Pasal 25 Dalam hal peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara melakukan Peleburan: a. masing-masing peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara yang meleburkan diri, mengajukan permohonan pencabutan izin kepesertaan dalam Operasi Moneter kepada Bank Indonesia; b. bagi peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara hasil Peleburan mengajukan permohonan izin kepesertaan dalam Operasi Moneter kepada Bank Indonesia. Pasal 26 Dalam hal peserta Operasi Moneter berupa UUS melakukan Pemisahan: a. BUS hasil Pemisahan mengajukan permohonan izin kepesertaan Operasi Moneter kepada Bank Indonesia; dan b. BUK induk dari UUS yang melakukan Pemisahan mengajukan permohonan pencabutan izin kepesertaan Operasi Moneter untuk UUS kepada Bank Indonesia. Pasal 27 (1) Dalam hal peserta Operasi Moneter berupa Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing melakukan perubahan status menjadi Bank yang tidak dapat 17 melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing maka Bank mengajukan permohonan pencabutan izin kepesertaan Operasi Moneter dalam valuta asing kepada Bank Indonesia. (2) Dalam hal Bank yang tidak dapat melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing melakukan perubahan status menjadi Bank yang dapat melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing maka Bank mengajukan izin kepesertaan Operasi Moneter dalam valuta asing kepada Bank Indonesia. Pasal 28 Dalam hal peserta Operasi Moneter berupa BUK melakukan perubahan kegiatan usaha (konversi) dari BUK menjadi BUS: a. BUK mengajukan permohonan pencabutan izin sebagai peserta OMK dalam rupiah dan/atau valuta asing kepada Bank Indonesia; dan b. BUS mengajukan permohonan izin sebagai peserta OMS dalam rupiah dan/atau valuta asing kepada Bank Indonesia. Pasal 29 Tata cara perizinan kepesertaan dalam Operasi Moneter bagi peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara yang melakukan langkah strategis dan mendasar mengacu pada tata cara perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 23. Pasal 30 (1) Pengajuan permohonan izin bagi peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara yang melakukan langkah strategis dan mendasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b, Pasal 26 huruf a, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28 huruf b, disampaikan secara tertulis dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. (2) Pengajuan permohonan pencabutan izin bagi peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara yang 18 melakukan langkah strategis dan mendasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25 huruf a, Pasal 26 huruf b, Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28 huruf a disampaikan secara tertulis dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 31 (1) Dalam hal peserta Operasi Moneter melakukan langkah strategis dan mendasar berupa: a. perubahan nama; b. pengambilalihan; dan/atau c. perubahan kantor cabang bank asing menjadi bank berbadan hukum Indonesia, peserta Operasi Moneter tersebut menyampaikan perubahan data, informasi dan/atau keterangan kepada Bank Indonesia sebagai pembaruan informasi peserta Operasi Moneter di Bank Indonesia. (2) Dalam hal Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter melakukan langkah strategis dan mendasar berupa: a. perubahan nama; dan/atau b. pengambilalihan; maka Lembaga Perantara tersebut menyampaikan perubahan data, informasi dan/atau keterangan kepada Bank Indonesia sebagai pembaruan informasi Lembaga Perantara di Bank Indonesia. Bagian Kelima Pencabutan Izin Kepesertaan dalam Operasi Moneter Pasal 32 (1) Dalam hal peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara dicabut izin usahanya oleh otoritas terkait, peserta dan/atau Lembaga Perantara mengajukan permohonan pencabutan izin kepesertaan dalam Operasi Moneter kepada Bank Indonesia. 19 (2) Pengajuan permohonan pencabutan izin kepesertaan dalam Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 33 (1) Bank dapat mengajukan permohonan pencabutan izin sebagai peserta Operasi Moneter dalam valuta asing atas inisiatif sendiri. (2) Pialang Pasar Uang dan/atau Perusahaan Efek dapat mengajukan permohonan pencabutan izin sebagai Lembaga Perantara atas inisiatif sendiri. Pasal 34 (1) Bagi Bank yang telah dicabut izinnya sebagai peserta Operasi Moneter dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) hanya dapat mengajukan permohonan izin kembali sebagai peserta Operasi Moneter dalam valuta asing paling cepat 6 (enam) bulan setelah tanggal efektif pencabutan izin. (2) Bagi Pialang Pasar Uang dan/atau Perusahaan Efek yang telah dicabut izinnya sebagai Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) hanya dapat mengajukan permohonan izin kembali sebagai Lembaga Perantara paling cepat 6 (enam) bulan setelah tanggal efektif pencabutan izin. Bagian Keenam Pelaporan atas Perubahan Data, Informasi, dan/atau Keterangan Peserta Operasi Moneter atau Lembaga Perantara Pasal 35 (1) Peserta Operasi Moneter wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dalam hal: a. terdapat perubahan data, informasi, dan/atau keterangan terkait pemenuhan persyaratan kepesertaan 20 Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1); dan/atau b. terdapat perubahan data, informasi, dan/atau keterangan karena peserta Operasi Moneter melakukan langkah strategis dan mendasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1). (2) Penyampaian data, informasi, dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak perubahan terjadi. (3) Penyampaian data, informasi, dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengacu pada mekanisme penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank umum dengan Bank Indonesia. Pasal 36 (1) Lembaga Perantara wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dalam hal: a. terdapat perubahan data, informasi, dan/atau keterangan terkait pemenuhan persyaratan kepesertaan Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1); dan/atau b. terdapat perubahan data, informasi, dan/atau keterangan karena Lembaga Perantara melakukan langkah strategis dan mendasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2). (2) Penyampaian data, informasi, dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak perubahan terjadi. 21 Bagian Ketujuh Pengawasan Peserta Operasi Moneter dan Lembaga Perantara Pasal 37 Bank Indonesia melakukan pengawasan kepada peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara melalui: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. Pasal 38 Guna pelaksanaan pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a, peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara wajib menyediakan dan menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan oleh Bank Indonesia. Pasal 39 Dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf b, peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara wajib memberikan kepada Bank Indonesia: a. dokumen dan/atau data yang diminta; b. c. hal lain yang diperlukan dalam pemeriksaan. BAB III SANKSI KEPESERTAAN DALAM OPERASI MONETER Pasal 40 Dalam hal peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara tidak menyampaikan perubahan data dan/atau informasi terkait kepesertaan Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 dan/atau Bank Indonesia menemukan pelanggaran terhadap pemenuhan persyaratan kepesertaan dalam Operasi Moneter dalam pengawasan kepada peserta Operasi Moneter dan/atau informasi dan keterangan yang berkaitan dengan kegiatan yang diperiksa, baik lisan maupun tertulis; dan/atau 22 Lembaga Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 maka peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembatasan kepesertaan Operasi Moneter; dan/atau c. pencabutan izin kepesertaan Operasi Moneter. Bagian Kesatu Teguran Tertulis Pasal 41 (1) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali kepada peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara dengan tembusan kepada otoritas terkait. (2) Peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara harus menyampaikan tanggapan atas teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak teguran tertulis diterima oleh peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara. (3) Penyampaian tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan rencana tindak. Pasal 42 (1) Rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) harus memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara wajib memenuhi rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 6 (enam) bulan setelah rencana tindak disetujui oleh Bank Indonesia. 23 Bagian Kedua Pembatasan Keikutsertaan dalam Operasi Moneter Pasal 43 Dalam hal peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara tidak menyampaikan tanggapan setelah teguran tertulis ketiga dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 atau tidak memenuhi rencana tindak hingga batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) maka peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara dikenakan sanksi pembatasan keikutsertaan dalam Operasi Moneter sebagai berikut: a. bagi Bank, hanya dapat mengikuti Operasi Moneter pada instrumen tertentu selama 1 (satu) bulan; dan b. bagi Lembaga Perantara, dilarang mengikuti OPT selama 1 (satu) bulan. Bagian Ketiga Pencabutan Izin Kepesertaan dalam Operasi Moneter Pasal 44 Bank Indonesia mencabut izin Bank sebagai peserta Operasi Moneter dan mencabut izin Pialang Pasar Uang dan/atau Perusahaan Efek sebagai Lembaga Perantara apabila Bank, Pialang Pasar Uang dan/atau Perusahaan Efek tidak dapat memenuhi persyaratan kepesertaan Operasi Moneter setelah jangka waktu pembatasan dan/atau larangan keikutsertaan dalam Operasi Moneter berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43. BAB IV KORESPONDENSI Pasal 45 (1) Penyampaian terkait: a. permohonan izin kepesertaan Operasi Moneter bagi Bank baru yang akan mengikuti Operasi Moneter; 24 b. permohonan izin peserta Operasi Moneter yang melakukan langkah strategis dan mendasar; c. permohonan pencabutan izin kepesertaan Operasi Moneter yang melakukan langkah strategis dan mendasar; d. permohonan pencabutan izin sebagai peserta Operasi Moneter akibat adanya pencabutan izin usaha oleh otoritas terkait; dan/atau e. laporan perubahan data, informasi, dan/atau keterangan karena peserta Operasi Moneter melakukan langkah strategis dan mendasar, ditujukan kepada: Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (2) Penyampaian terkait: a. permohonan izin kepesertaan Operasi Moneter bagi Bank dan/atau Pialang Pasar Uang yang telah mengikuti Operasi Moneter sebelum Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku; b. permohonan izin bagi Pialang Pasar Uang dan/atau Perusahaan Efek yang akan mengikuti Operasi Moneter; c. permohonan izin bagi Lembaga Perantara yang melakukan langkah strategis dan mendasar; d. permohonan pencabutan izin Lembaga Perantara yang melakukan langkah strategis dan mendasar; e. permohonan pencabutan izin sebagai Lembaga Perantara akibat adanya pencabutan izin usaha oleh otoritas terkait; f. permohonan pencabutan izin sebagai peserta Operasi Moneter dalam valuta asing atas inisiatif peserta Operasi Moneter; g. Permohonan pencabutan izin sebagai Lembaga Perantara atas inisiatif sendiri; 25 h. surat tanggapan dari peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara atas teguran tertulis dari Bank Indonesia disertai rencana tindak; i. laporan perubahan data, informasi, dan/atau keterangan karena Lembaga Perantara melakukan langkah strategis dan mendasar; j. laporan perubahan data, informasi dan/atau keterangan terkait pemenuhan persyaratan kepesertaan sebagai peserta Operasi Moneter selain akibat dari langkah strategis dan mendasar yang dilakukan oleh peserta Operasi Moneter; atau k. laporan perubahan data, informasi dan/atau keterangan terkait pemenuhan persyaratan kepesertaan sebagai Lembaga Perantara, ditujukan kepada: Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Moneter, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (3) Bagi Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau Perusahaan Efek yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (4) Dalam hal terdapat perubahan korespondensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia memberitahukan perubahan tersebut kepada Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau Perusahaan Efek melalui surat. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 46 Bank dan/atau Pialang Pasar Uang yang telah mengikuti Operasi Moneter sebelum Peraturan Bank Indonesia yang 26 mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku, wajib mengajukan izin kepada Bank Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku. Pasal 47 (1) Tata cara perizinan bagi Bank dan Pialang Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 untuk menjadi peserta Operasi Moneter dan Lembaga Perantara mengacu pada tata cara perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 19 dan Pasal 21 sampai dengan Pasal 23. (2) Bank Indonesia memproses perizinan Bank dan/atau Pialang Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara bulanan selama masa transisi. Pasal 48 (1) Bank dan/atau Pialang Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang belum memenuhi persyaratan kepesertaan Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan/atau Pasal 12 wajib menyusun rencana tindak. (2) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku. Pasal 49 (1) Rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) harus memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diimplementasikan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku. 27 Pasal 50 Dalam hal Bank dan/atau Pialang Pasar Uang yang telah mengikuti Operasi Moneter sebelum Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku, tidak memenuhi persyaratan perizinan kepesertaan Operasi Moneter dalam jangka waktu implementasi rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2), Bank dan/atau Pialang Pasar Uang dikenakan sanksi sebagai berikut: a. teguran tertulis; b. pembatasan kepesertaan dalam Operasi Moneter; dan/atau c. larangan keikutsertaan dalam Operasi Moneter sampai dengan pemenuhan persyaratan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan/atau Pasal 12 terpenuhi. Bagian Kesatu Teguran Tertulis Pasal 51 Teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali kepada Bank dan/atau Pialang Pasar Uang, dengan tembusan kepada otoritas terkait. Pasal 52 (1) Bank dan/atau Pialang Pasar Uang harus menyampaikan tanggapan kepada Bank Indonesia atas teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak teguran tertulis diterima. (2) Penyampaian tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan rencana tindak. Pasal 53 (1) Rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) harus memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Bank dan/atau Pialang Pasar Uang harus memenuhi 28 rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 6 (enam) bulan setelah rencana tindak disetujui oleh Bank Indonesia. Bagian Kedua Pembatasan Kepesertaan Operasi Moneter Pasal 54 Dalam hal Bank dan/atau Pialang Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, tidak menyampaikan tanggapan setelah teguran tertulis ketiga dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 atau tidak memenuhi rencana tindak hingga batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) maka Bank dan/atau Pialang Pasar Uang dikenakan sanksi pembatasan kepesertaan dalam Operasi Moneter sebagai berikut: a. bagi Bank, hanya dapat mengikuti Operasi Moneter pada instrumen tertentu selama 1 (satu) bulan; dan b. bagi Pialang Pasar Uang, dilarang mengikuti OPT selama 1 (satu) bulan. Bagian Ketiga Larangan Keikutsertaan dalam Operasi Moneter Pasal 55 Bank Indonesia melarang keikutsertaan Bank dan/atau Pialang Pasar Uang dalam Operasi Moneter apabila Bank dan/atau Pialang Pasar Uang tidak dapat memenuhi persyaratan kepesertaan Operasi Moneter setelah jangka waktu pembatasan keikutsertaan dalam Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 berakhir. Pasal 56 Dalam hal Bank dan/atau Pialang Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 akan mengikuti Operasi Moneter kembali, Bank dan/atau Pialang Pasar Uang harus mengajukan permohonan izin kepesertaan dalam Operasi 29 Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 23. Pasal 57 (1) Dalam hal Bank dan/atau Pialang Pasar Uang yang telah mengikuti Operasi Moneter sebelum Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku, tidak mengajukan permohonan izin keikutsertaan dalam Operasi Moneter hingga masa transisi berakhir, maka Bank dan/atau Pialang Pasar Uang tidak dapat mengikuti Operasi Moneter. (2) Dalam hal Bank dan/atau Pialang Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan mengikuti Operasi Moneter kembali maka Bank dan/atau Pialang Pasar Uang harus mengajukan permohonan izin kepesertaan dalam Operasi Moneter dengan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 23. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 58 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku, pengaturan terkait kriteria dan persyaratan peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/29/DPM tanggal 29 November 2016 perihal Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter; dan b. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/17/PADG/2017 tanggal 28 Desember 2017 tentang Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 30 Pasal 59 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 April 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD ERWIN RIJANTO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/7/PADG/2018 TENTANG KEPESERTAAN OPERASI MONETER I. UMUM Dalam melaksanakan kebijakan moneter untuk mencapai tujuan Bank Indonesia, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter yang salah satunya melalui pelaksanaan operasi moneter baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah. Bank Indonesia melakukan penguatan kewenangan melalui perizinan dan pengawasan terkait kepesertaan dalam operasi moneter sejalan dengan diimplementasikannya pelayanan perizinan secara terpadu terkait hubungan operasional bank dengan Bank Indonesia di bidang moneter, bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang makroprudensial. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan aspek tata kelola, standarisasi, dan kepatuhan kepesertaan dalam pelaksanaan operasi moneter. Oleh karena itu Bank Indonesia perlu menetapkan persyaratan dan perizinan peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. 2 Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “perubahan status” antara lain: 1. Bank yang baru mendapatkan izin untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing; atau 2. BUK yang melakukan konversi kegiatan usaha menjadi BUS. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “pencabutan izin usaha” adalah pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham sendiri. Huruf e Yang dimaksud dengan “langkah strategis lainnya” antara lain berupa: 1. perubahan kantor cabang bank asing menjadi bank berbadan hukum Indonesia dan/atau pengalihan aset dan kewajiban yang bukan merupakan Penggabungan, Peleburan, atau Pemisahan yang dilakukan berdasarkan persetujuan otoritas yang berwenang; 2. pembentukan UUS. 3 Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a Aspek kapasitas merupakan potensi kemampuan peserta Operasi Moneter dan Lembaga Perantara untuk bertransaksi secara optimal pada seluruh instrumen Operasi Moneter, yang dinyatakan dengan kelengkapan dan kekinian sarana atau prasarana untuk bertransaksi dalam Operasi Moneter. Huruf b Aspek kapabilitas merupakan ukuran dari kemampuan peserta Operasi Moneter dan Lembaga Perantara untuk melaksanakan transaksi Operasi Moneter dengan Bank Indonesia yang dapat dinyatakan dari level sertifikasi tresuri yang dimiliki. Huruf c Aspek reputasi merupakan ukuran dari tingkat kepercayaan stakeholder terhadap peserta Operasi Moneter dan Lembaga Perantara. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Surat izin usaha sebagai Bank dari OJK berlaku bagi Bank baru dan Bank yang telah mengikuti Operasi Moneter sebelum PBI Nomor 20/5/PBI/2018 yang mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku. Angka 2 Surat izin, persetujuan, atau rekomendasi dari OJK berlaku bagi Bank yang melakukan langkah strategis 4 dan mendasar yang berdampak pada hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia di bidang moneter. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Yang dimaksud dengan “aktivitas tresuri” adalah kegiatan transaksi keuangan secara langsung yaitu terkait penjualan produk dan/atau pelaksanaan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing beserta derivatifnya. Angka 2 Cukup jelas. Huruf d Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Prosedur internal dapat berupa standard operating procedure, struktur organisasi, dan/atau dokumen lain yang mengatur substansi pemisahan fungsi antara front office dan back office terkait kegiatan tresuri Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Perjanjian kerja sama dengan penyedia sarana dealing system yang digunakan dalam transaksi Operasi Moneter valuta asing diajukan bersamaan dengan penyampaian permohonan izin kepesertaan Operasi Moneter valuta asing. 5 Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Yang dimaksud dengan “aktivitas tresuri” adalah kegiatan transaksi keuangan secara langsung yaitu terkait penjualan produk dan/atau pelaksanaan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing beserta derivatifnya. Angka 2 Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Perjanjian kerja sama dengan penyedia sarana dealing system yang digunakan dalam transaksi OPT valuta asing diajukan bersamaan dengan penyampaian permohonan izin sebagai Lembaga Perantara. Pasal 14 Ayat (1) Bank Indonesia dapat menunjuk peserta OPT untuk mendukung pelaksanaan transaksi Operasi Moneter antara lain sebagai agent bank dan/atau dealer utama (primary dealer). Ayat (2) Cukup jelas. 6 Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Yang dimaksud dengan “dokumen persyaratan dinyatakan lengkap” adalah pemenuhan dokumen pendukung persyaratan kepesertaan Operasi Moneter termasuk surat persetujuan kepesertaan dalam Sistem BI-ETP, Sistem BI-RTGS, dan BI-SSSS dari Bank Indonesia termasuk bukti kepemilikan Rekening Giro rupiah dan/atau Rekening Giro valuta asing di Bank Indonesia. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. 7 Pasal 25 Permohonan izin peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara hasil Peleburan akan diproses setelah Bank Indonesia menerima permohonan pencabutan izin dari masing-masing peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara yang meleburkan diri. Pasal 26 Permohonan izin BUS hasil Pemisahan akan diproses setelah Bank Indonesia menerima permohonan pencabutan izin kepesertaan Operasi Moneter UUS yang diajukan oleh BUK induknya. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Proses permohonan pencabutan izin BUK sebagai peserta OMK dalam rupiah dan/atau valuta asing dan perizinan BUS sebagai peserta OMS dalam rupiah dan/atau valuta asing dilakukan secara bersamaan. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dicabut izin usahanya oleh otoritas terkait” termasuk juga pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham sendiri. Yang dimaksud dengan “otoritas terkait” adalah Otoritas Jasa Keuangan bagi Bank dan Perusahaan Efek, serta Bank Indonesia bagi Pialang Pasar Uang. 8 Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Huruf a Yang dimaksud dengan “instrumen tertentu” adalah lelang Reverse Repo SBN 1 (satu) minggu dan Standing Facilities. 9 Huruf b Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Yang dimaksud dengan “Bank dan/atau Pialang Pasar Uang yang telah mengikuti Operasi Moneter sebelum Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku” adalah Bank dan/atau Pialang Pasar Uang sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/12/PBI/2016 tentang Operasi Moneter dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/12/PBI/2014 tentang Operasi Moneter Syariah. Yang dimaksud dengan “6 (enam) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku” adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “masa transisi” adalah 6 (enam) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter berlaku. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas. 10 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “6 (enam) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku” adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter. Pasal 50 Yang dimaksud dengan “Bank dan/atau Pialang Pasar Uang yang telah mengikuti Operasi Moneter sebelum Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku” adalah Bank dan/atau Pialang Pasar Uang sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/12/PBI/2016 tentang Operasi Moneter dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/12/PBI/2014 tentang Operasi Moneter Syariah. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Huruf a Yang dimaksud dengan “instrumen tertentu” adalah lelang Reverse Repo SBN 1 (satu) minggu dan Standing Facilities. Huruf b Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. 11 Pasal 57 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Bank dan/atau Pialang Pasar Uang yang telah mengikuti Operasi Moneter sebelum Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Operasi Moneter berlaku” adalah Bank dan/atau Pialang Pasar Uang sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/12/PBI/2016 tentang Operasi Moneter dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/12/PBI/2014 tentang Operasi Moneter Syariah. Yang dimaksud dengan “masa transisi” adalah 6 (enam) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter berlaku. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/7/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> KEPESERTAAN OPERASI MONETER </reg_title> <set_date> 30 April 2018 </set_date> <effective_date> 30 April 2018 </effective_date> <replaced_reg> '18/29/DPM|SE-BI/2016', '19/17/PADG/2017' </replaced_reg> <related_reg> '20/5/PBI/2018' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III', 'BAB V Pasal 50', 'BAB V Pasal 54' </penalty_list>
1 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/2/PADG/2018 TENTANG TATA CARA PENGGUNAAN FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menyempurnakan kebijakan mengenai fasilitas likuiditas intrahari untuk mendukung terwujudnya penyelenggaraan sistem pembayaran yang efisien, lancar, aman, dan andal; b. bahwa agar kebijakan mengenai fasilitas likuiditas intrahari dapat dilaksanakan dengan optimal maka diperlukan ketentuan pelaksanaan sebagai pedoman bagi bank peserta sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement dalam penggunaan fasilitas likuiditas intrahari; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Tata Cara Penggunaan Fasilitas Likuiditas Intrahari; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia 2 Nomor 19/14/PBI/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 301, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6169); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG TATA CARA PENGGUNAAN FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Penyelenggara adalah Bank Indonesia yang menyelenggarakan sistem dalam kegiatan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 2. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, pemerintah, dan/atau lembaga lain yang ditatausahakan pada Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System. 3. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. 4. Transaksi dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang dilakukan oleh peserta dengan Bank Indonesia untuk kegiatan operasi moneter, operasi moneter syariah, dan/atau transaksi surat berharga negara untuk dan atas nama pemerintah, serta transaksi lainnya yang dilakukan dengan Bank Indonesia. 3 5. Transaksi Pasar Keuangan adalah transaksi Surat Berharga dan transaksi pinjam meminjam antarpeserta yang dilakukan secara konvensional atau yang dipersamakan berdasarkan prinsip syariah dalam transaksi pasar uang dan/atau transaksi Surat Berharga di pasar sekunder. 6. Transaksi adalah Transaksi dengan Bank Indonesia dan Transaksi Pasar Keuangan. 7. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana penatausahaan Transaksi dan penatausahaan Surat Berharga yang dilakukan secara elektronik. 8. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disingkat FLI adalah fasilitas pendanaan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank peserta Sistem BI-RTGS baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS. 9. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 10. Bank Peserta Sistem BI-RTGS adalah Bank yang telah memenuhi persyaratan dan memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai peserta Sistem BI-RTGS. 11. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Bank Peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pelaksanaan setelmen dana. 12. Setelmen Dana adalah proses penyelesaian akhir transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan Rekening Setelmen Dana. 4 Pasal 2 (1) Untuk kelancaran Setelmen Dana dalam Sistem BI-RTGS, Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat menggunakan FLI. (2) FLI digunakan pada saat dana yang terdapat pada Rekening Setelmen Dana dalam rupiah milik Bank Peserta Sistem BI-RTGS tidak mencukupi untuk melakukan Setelmen Dana. (3) Penggunaan FLI oleh Bank Peserta Sistem BI-RTGS tidak dikenakan biaya. BAB II PENYEDIAAN SURAT BERHARGA DAN PERSYARATAN BANK PESERTA SISTEM BI-RTGS Bagian Kesatu Penyediaan Surat Berharga untuk Memperoleh FLI Pasal 3 (1) Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang akan menggunakan FLI harus menyediakan Surat Berharga dalam rekening FLI. (2) Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Surat Berharga diterbitkan oleh Bank Indonesia dan/atau pemerintah; b. Surat Berharga tidak sedang menjadi agunan kepada Bank Indonesia atau pihak lain; dan c. Surat Berharga dapat ditransaksikan secara repurchase agreement (repo) dengan Bank Indonesia dalam lending facility atau financing facility. (3) Tata cara penyediaan Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System. 5 Pasal 4 Penetapan harga, haircut, dan perhitungan nilai Surat Berharga yang tersedia di rekening FLI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai: a. b. kriteria dan persyaratan surat berharga, peserta, dan lembaga perantara dalam operasi moneter; dan kriteria dan persyaratan surat berharga, peserta, dan lembaga perantara dalam operasi moneter syariah. Pasal 5 (1) Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat memindahkan Surat Berharga yang tersedia dalam rekening FLI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sebelum batas akhir periode cut-off warning Sistem BI-RTGS. (2) Pemindahan Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal: a. Bank Peserta Sistem BI-RTGS telah melunasi penggunaan FLI; dan/atau b. nilai Surat Berharga yang tetap disediakan dalam rekening FLI masih mencukupi untuk penggunaan FLI. Bagian Kedua Persyaratan Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang dapat Menggunakan FLI Pasal 6 Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang dapat menggunakan FLI harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berstatus aktif dalam kepesertaan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS; dan b. memiliki Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). 6 BAB III PENGGUNAAN FLI Pasal 7 (1) Penggunaan FLI dalam Sistem BI-RTGS dilakukan dengan mekanisme repo atas Surat Berharga milik Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang disediakan pada rekening FLI. (2) Penggunaan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. penggunaan FLI dilakukan sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan awal periode cut-off warning Sistem BI-RTGS; b. penggunaan FLI dilakukan berdasarkan kecukupan nilai Surat Berharga yang tersedia pada rekening FLI; c. pencairan dana untuk penggunaan FLI dilakukan sebesar kebutuhan dana untuk pelaksanaan Setelmen Dana Bank Peserta Sistem BI-RTGS; d. Surat Berharga yang ditransaksikan secara repo memiliki total nilai paling sedikit sebesar pencairan dana sebagaimana dimaksud dalam huruf c; dan e. perhitungan nominal atas Surat Berharga yang ditransaksikan secara repo sebagaimana dimaksud dalam huruf d mengacu pada kelipatan nilai unit terkecil Surat Berharga yang ditatausahakan dalam rekening FLI, dengan pembulatan ke atas. (3) Mekanisme repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System. (4) Mekanisme pencairan dana untuk penggunaan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. 7 BAB IV PELUNASAN FLI Bagian Kesatu Mekanisme Pelunasan FLI Pasal 8 (1) Bank Peserta Sistem BI-RTGS harus melunasi FLI pada hari yang sama dengan hari penggunaan FLI sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan batas akhir periode cut-off warning Sistem BI-RTGS. (2) Pelunasan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui BI-SSSS dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System. (3) Dalam hal Bank Peserta Sistem BI-RTGS belum melunasi FLI sampai dengan batas akhir periode cut-off warning Sistem BI-RTGS, Bank Indonesia mendebit Rekening Setelmen Dana Bank Peserta Sistem BI-RTGS untuk melunasi atau mengurangi penggunaan FLI. Bagian Kedua FLI yang Tidak Lunas Pasal 9 (1) Dalam hal pendebitan Rekening Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) belum mencukupi atau tidak terdapat dana dalam Rekening Setelmen Dana untuk pelunasan atas penggunaan FLI maka: a. FLI yang tidak dapat dilunasi, dinyatakan dan dikonversi sebagai transaksi lending facility atau financing facility dengan Bank Indonesia; dan b. Surat Berharga dalam rekening FLI dipindahkan ke rekening Bank Indonesia untuk transaksi lending facility atau financing facility dengan Bank Indonesia. 8 (2) Nilai atas lending facility atau financing facility sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu sebesar nilai FLI yang tidak dapat dilunasi. (3) Mekanisme setelmen FLI yang tidak lunas menjadi lending facility atau financing facility sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 10 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/33/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Tata Cara Penggunaan Fasilitas Likuiditas Intrahari, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 11 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2019. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Maret 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD SUGENG 2 PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/2/PADG/2018 TENTANG TATA CARA PENGGUNAAN FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI I. UMUM Untuk mendukung terwujudnya penyelenggaraan sistem pembayaran yang efisien, lancar, aman, dan andal, Bank Indonesia telah melakukan penyempurnaan kebijakan mengenai FLI. Kebijakan tersebut antara lain bahwa FLI disediakan bagi Bank Peserta Sistem BI-RTGS untuk memperlancar Setelmen Dana khususnya dalam mengatasi permasalahan likuiditas intrahari (intraday liquidity mismatch). Sehubungan dengan itu, diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan FLI, antara lain mengenai mekanisme FLI tidak lunas yang diberlakukan sebagai transaksi lending facility atau financing facility. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “rekening FLI” adalah rekening Surat Berharga pada BI-SSSS untuk mencatat Surat Berharga yang akan digunakan oleh Bank Peserta Sistem BI-RTGS untuk memperoleh FLI pada Sistem BI-RTGS. 2 Ayat (2) Huruf a Surat Berharga yang diterbitkan Bank Indonesia antara lain sertifikat deposito Bank Indonesia dalam mata uang rupiah. Surat Berharga yang diterbitkan pemerintah antara lain surat utang negara dan/atau surat berharga syariah negara dalam mata uang rupiah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “nilai Surat Berharga” adalah nilai tunai (cash value) yang ditetapkan sesuai dengan perhitungan nilai setelmen first leg transaksi lending facility dan/atau financing facility. Huruf c Cukup jelas. 3 Huruf d Cukup jelas. Huruf e Contoh: Bank A menyediakan Surat Berharga seri FR0xx di rekening FLI dengan total nominal sebesar Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Nominal seri FR0xx per unit yaitu sebesar Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) dengan nilai Surat Berharga per unit sebesar Rp950.000,- (sembilan ratus lima puluh ribu rupiah). Untuk kebutuhan Setelmen Dana di Sistem BI- RTGS, Bank A membutuhkan FLI sebesar Rp150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah). Perhitungan nominal atas Surat Berharga yang ditransaksikan secara repo untuk FLI sebagai berikut: a. jumlah unit yang dibutuhkan adalah sebesar jumlah FLI dibagi nilai Surat Berharga per unit: Rp150.000.000,00 : Rp950.000,00 = 157,89 unit, sehingga dengan pembulatan ke atas menjadi sejumlah 158 unit seri FR0xx; dan b. jadi nominal seri FR0xx yang ditransaksikan secara repo untuk FLI yaitu 158 x Rp1.000.000,00 = Rp158.000.000,00. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. 4 Huruf b Perhitungan nominal atas Surat Berharga yang dipindahkan dari rekening FLI ke rekening Bank Indonesia untuk transaksi lending facility atau financing facility dengan Bank Indonesia mengacu pada kelipatan nilai unit terkecil Surat Berharga yang ditatausahakan dalam rekening FLI, dengan pembulatan ke atas. Contoh: Bank A menyediakan Surat Berharga seri FR0xx di rekening FLI dengan total nominal sebesar Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Nominal seri FR0xx per unit yaitu sebesar Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) dengan nilai Surat Berharga per unit sebesar Rp950.000,- (sembilan ratus lima puluh ribu rupiah). Untuk kebutuhan Setelmen Dana di Sistem BI-RTGS, Bank A membutuhkan FLI sebesar Rp150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah). Sampai dengan akhir periode cut-off warning Bank A tidak melakukan pelunasan FLI, sehingga pada awal periode pre cut-off Penyelenggara melakukan pendebitan untuk pelunasan FLI sesuai saldo Rekening Setelmen Dana rupiah dalam hal ini sebesar Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Dengan demikian FLI yang tidak lunas sebesar Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) diberlakukan menjadi transaksi lending facility. Sebagai underlying transaksi lending facility, Penyelenggara memindahkan sebagian seri FR0xx dari rekening FLI ke rekening Bank Indonesia dengan perhitungan sebagai berikut: 1. jumlah unit yang dibutuhkan yaitu sebesar jumlah FLI yang tidak lunas dibagi nilai Surat Berharga per unit: Rp100.000.000 : Rp950.000 = 105,26 unit, sehingga dengan pembulatan ke atas menjadi sejumlah106 unit seri FR0xx; 2. jadi nominal seri FR0xx dalam rekening FLI yang dipindahkan ke rekening Bank Indonesia untuk transaksi lending facility yaitu 106 x Rp1.000.000,- = Rp106.000.000,-. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 5 Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/2/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> TATA CARA PENGGUNAAN FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI </reg_title> <set_date> 1 Maret 2018 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2019 </effective_date> <replaced_reg> '17/33/DPSP|SE-BI/2015' </replaced_reg> <related_reg> '19/14/PBI/2017', '17/18/PBI/2015' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/8/PADG/2019 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memperkuat kerangka operasi moneter, Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen operasi moneter berdasarkan prinsip syariah; b. bahwa untuk mendukung pelaksanaan Sukuk Bank Indonesia perlu dilakukan perluasan underlying asset berupa sukuk global yang dimiliki Bank Indonesia; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara 2 Republik Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/6/PBI/2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6341); 2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/34/PADG/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA. . Pasal I Ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/34/PADG/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka diubah sebagai berikut: 3 Ketentuan Pasal 52B ayat (1) huruf a diubah sehingga Pasal 52B berbunyi sebagai berikut: Pasal 52B (1) SukBI memiliki karakteristik sebagai berikut: a. menggunakan underlying asset berupa SBSN dan/atau sukuk global; b. memiliki satuan unit sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); c. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; d. diterbitkan tanpa warkat (scripless) dan ditatausahakan di BI-SSSS; e. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia; f. hanya dapat dibeli oleh BUS dan UUS di pasar perdana; g. dapat diperdagangkan (tradable) di pasar sekunder; h. hanya dapat dimiliki oleh Bank; dan i. hanya dapat ditransaksikan antar-Bank antara lain dengan cara pembelian dan/atau penjualan secara putus (outright), pinjam-meminjam, repurchase agreement (repo), atau dijadikan agunan. (2) SukBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad al-musyarakah al-muntahiyah bi al- tamlik. (3) Bank Indonesia menetapkan nisbah bagi hasil SukBI untuk pemilik SukBI. (4) SukBI diterbitkan dan ditransaksikan di Sistem BI-ETP. (5) SukBI yang masih dalam status agunan tidak dapat diperdagangkan. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 4 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Mei 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD ERWIN RIJANTO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/8/PADG/2019 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA I. UMUM Untuk memperkuat kerangka Operasi Moneter, Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen Operasi Moneter berdasarkan prinsip syariah. Guna mendukung pelaksanaan Operasi Moneter berdasarkan prinsip syariah, perlu dilakukan perluasan underlying asset penerbitan SukBI yang tidak hanya menggunakan SBSN namun juga dengan memasukkan sukuk global yang dimiliki oleh Bank Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan ketiga atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 52B Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “sukuk global” adalah sukuk dalam valuta asing yang lazim diperdagangkan dalam 2 pasar keuangan internasional yang diterbitkan oleh antara lain pemerintah, lembaga pemerintah, lembaga supranasional, entitas, atau korporasi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h BUK dapat memiliki SukBI melalui transaksi di pasar sekunder. Huruf i Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “akad al-musyarakah al-muntahiyah bi al-tamlik” adalah kontrak syirkah 2 (dua) pihak atau lebih yang diikuti dengan pembelian porsi (hishshah) oleh 1 (satu) pihak dari pihak lain pada saat akhir kontrak atau jatuh waktu. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/8/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title> <set_date> 2 Mei 2019 </set_date> <effective_date> 2 Mei 2019 </effective_date> <changed_reg> '20/5/PADG/2018' </changed_reg> <extension_of> '20/34/PADG/2018' </extension_of> <related_reg> '20/5/PADG/2018', '21/6/PBI/2019', '20/5/PBI/2018', '20/34/PADG/2018' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/9/PADG/2018 TENTANG STANDING FACILITIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b. bahwa dalam melaksanakan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter yang salah satunya dilakukan melalui pelaksanaan operasi moneter, baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah; c. bahwa pelaksanaan operasi moneter sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan melalui operasi pasar terbuka dan standing facilities; d. bahwa dalam melaksanakan operasi moneter melalui standing facilities sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Bank Indonesia perlu mengatur tata cara pelaksanaan standing facilities yang dilakukan baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan 2 Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Standing Facilities; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6189); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG STANDING FACILITIES. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter, yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 3 6. Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah oleh Bank di Bank Indonesia untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 7. Peserta Standing Facilities adalah Peserta Standing Facilities Konvensional dan Peserta Standing Facilities Syariah. 8. Peserta Standing Facilities Konvensional adalah BUK yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta Operasi Moneter konvensional sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 9. Peserta Standing Facilities Syariah adalah BUS dan/atau UUS yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta Operasi Moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 10. Lending Facility adalah penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada Peserta Standing Facilities Konvensional untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional. 11. Financing Facility adalah penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada Peserta Standing Facilities Syariah untuk Operasi Moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 12. Deposit Facility adalah penempatan dana rupiah oleh Peserta Standing Facilities di Bank Indonesia untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. 13. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 14. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip 4 syariah dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan berjangka waktu pendek. 15. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar-BUK. 16. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat utang negara dan surat berharga syariah negara. 17. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. 18. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 19. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 20. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 21. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, 5 penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 22. Transaksi Repurchase Agreement SBIS yang selanjutnya disebut Repo SBIS adalah transaksi pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada Peserta Standing Facilities Syariah dengan agunan SBIS. 23. Biaya Repo SBIS adalah kewajiban membayar (gharamah) yang ditetapkan Bank Indonesia untuk Repo SBIS karena Peserta Standing Facilities Syariah tidak menepati jangka waktu kesepakatan pembelian SBIS. 24. Perjanjian pengagunan SBIS untuk Repo SBIS yang selanjutnya disebut Perjanjian adalah kesepakatan tertulis antara Bank Indonesia dengan Peserta Standing Facilities Syariah yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam pengagunan SBIS. 25. Transaksi Repurchase Agreement SBSN untuk Standing Facilities syariah yang selanjutnya disebut Repo SBSN adalah transaksi penjualan SBSN oleh Peserta Standing Facilities Syariah kepada Bank Indonesia dengan janji pembelian kembali oleh Peserta Standing Facilities Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati untuk Standing Facilities syariah. 26. Margin Repo SBSN adalah tingkat keuntungan dalam setahun yang disepakati oleh para pihak yang melakukan transaksi Repo SBSN. 27. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di Bank Indonesia dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing. 28. Rekening Surat Berharga adalah rekening surat berharga milik Bank pada BI-SSSS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pencatatan kepemilikan dan setelmen atas transaksi surat berharga, transaksi dengan Bank Indonesia, dan/atau transaksi pasar keuangan. 29. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan pengkreditan Rekening Giro di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS untuk penatausahaan. 6 30. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan pendebitan dan pengkreditan Rekening Surat Berharga untuk penatausahaan. 31. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat DVP adalah mekanisme setelmen transaksi dengan cara Setelmen Surat Berharga dan Setelmen Dana dilakukan secara bersamaan. 32. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia. BAB II PRINSIP UMUM STANDING FACILITIES Pasal 2 Standing Facilities merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk injeksi likuiditas dan absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang serta menjadi acuan tertinggi dan terendah bagi pergerakan suku bunga di pasar uang antar-BUK dengan jangka waktu 1 (satu) Hari Kerja (overnight). Pasal 3 Standing Facilities terdiri atas: a. Lending Facility atau Financing Facility; dan b. Deposit Facility. Pasal 4 Standing Facilities memiliki karakteristik sebagai berikut: a. disediakan oleh Bank Indonesia pada setiap Hari Kerja; b. dilakukan dengan mekanisme nonlelang; c. pengajuan transaksi dilakukan melalui Sistem BI-ETP; d. jangka waktu: 1. Lending Facility dan Financing Facility adalah 1 (satu) Hari Kerja (overnight); 2. Deposit Facility: a) yang dilakukan secara konvensional adalah 1 (satu) Hari Kerja (overnight); 7 b) yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah paling lama 14 (empat belas) hari kalender dihitung dari 1 (satu) hari setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; e. jumlah hari dalam perhitungan: 1. nilai bunga repo dalam Lending Facility; 2. Biaya Repo SBIS atau nilai Margin Repo SBSN dalam Financing Facility; dan nilai diskonto atau imbalan dalam Deposit Facility, dihitung berdasarkan hari kalender. 3. f. ditatausahakan pada Rekening Surat Berharga di BI-SSSS. BAB III TRANSAKSI LENDING FACILITY DAN FINANCING FACILITY Bagian Kesatu Transaksi Lending Facility Pasal 5 (1) Transaksi Lending Facility dilakukan dengan mekanisme repurchase agreement (repo) surat berharga yaitu penjualan surat berharga oleh Peserta Standing Facilities Konvensional kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh Peserta Standing Facilities Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. (2) Transaksi Lending Facility dengan mekanisme repo surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip sell and buyback. (3) Dalam hal surat berharga yang di-repo-kan pada transaksi Lending Facility sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa SBN yang memiliki kupon atau imbalan maka hak atas penerimaan kupon atau imbalan dimaksud merupakan milik Peserta Standing Facilities Konvensional. 8 Pasal 6 (1) Surat berharga yang dapat di-repo-kan dalam Transaksi Lending Facility sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu: a. SBI; b. SDBI; dan c. SBN. (2) Surat berharga yang dapat di-repo-kan dalam transaksi Lending Facility sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak sebesar nilai nominal surat berharga yang dimiliki Peserta Standing Facilities Konvensional yang tercatat di Rekening Surat Berharga. (3) Kriteria dan persyaratan, harga, serta haircut atas SBI, SDBI, dan SBN yang dapat digunakan dalam transaksi Lending Facility adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. Pasal 7 (1) Bank Indonesia mengenakan repo rate atas transaksi Lending Facility sebesar suku bunga Lending Facility yang ditetapkan Bank Indonesia. (2) Nilai bunga repo dihitung berdasarkan metode bunga dibayar di belakang (simple interest). Bagian Kedua Transaksi Financing Facility Paragraf 1 Mekanisme Transaksi dan Surat Berharga yang digunakan dalam Financing Facility Pasal 8 Transaksi Financing Facility dilakukan dengan mekanisme repo surat berharga berupa: 9 a. SBIS yang dilakukan dengan prinsip collateralized borrowing; atau b. SBSN yang dilakukan dengan prinsip sell and buyback. Pasal 9 (1) Surat berharga yang dapat di-repo-kan dalam transaksi Financing Facility sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 paling banyak sebesar nilai nominal surat berharga yang dimiliki Peserta Standing Facilities Syariah yang tercatat di Rekening Surat Berharga. (2) Dalam hal SBSN yang di-repo-kan pada transaksi Financing Facility sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b memiliki kupon atau imbalan maka hak atas penerimaan kupon atau imbalan dimaksud merupakan milik Peserta Standing Facilities Syariah. (3) Kriteria dan persyaratan, harga, serta haircut atas SBIS dan SBSN yang dapat digunakan dalam transaksi Financing Facility adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. Pasal 10 Bank Indonesia menetapkan tingkat Biaya Repo SBIS dan Margin Repo SBSN untuk transaksi Financing Facility dengan mengacu pada suku bunga Lending Facility. Paragraf 2 Akad dalam Transaksi Financing Facility Pasal 11 Repo SBIS menggunakan akad qard yang diikuti dengan rahn. Pasal 12 (1) Repo SBSN menggunakan akad al ba’i atau jual beli yang disertai dengan janji (al wa’d) oleh Peserta Standing Facilities Syariah kepada Bank Indonesia untuk membeli 10 kembali SBSN dalam jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati. (2) Janji (al wa’d) Peserta Standing Facilities Syariah kepada Bank Indonesia untuk membeli kembali SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam dokumen yang terpisah. Paragraf 3 Dokumen Financing Facility Pasal 13 (1) Peserta Standing Facilities Syariah mengajukan Repo SBIS setelah menandatangani Perjanjian dengan Bank Indonesia. (2) Peserta Standing Facilities Syariah mengajukan Repo SBSN setelah menandatangani dokumen janji (wa’d) untuk membeli kembali surat berharga dalam Transaksi Repo SBSN dengan Bank Indonesia. Pasal 14 (1) Penandatanganan Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan/atau dokumen janji (wa’d) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) diatur sebagai berikut: a. bagi Peserta Standing Facilities Syariah yang kantor pusatnya berkedudukan di Indonesia: 1. Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d) ditandatangani oleh anggota direksi yang berwenang; atau 2. dalam hal tidak ditandatangani oleh anggota direksi yang berwenang maka harus dilengkapi dengan surat kuasa dari anggota direksi yang berwenang kepada pejabat penandatangan Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d); b. bagi Peserta Standing Facilities Syariah yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri: 11 1. Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d) ditandatangani oleh chief executive officer (CEO); atau 2. dalam hal tidak ditandatangani oleh CEO maka harus dilengkapi dengan surat kuasa dari CEO kepada pejabat penandatangan Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d); dan c. bagi Peserta Standing Facilities Syariah berupa UUS, Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d) ditandatangani oleh pejabat UUS yang diberikan kuasa oleh anggota direksi BUK. (2) Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibubuhi meterai cukup dan dilampirkan dokumen pendukung sesuai persyaratan Bank Indonesia. (3) Contoh Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 15 (1) Peserta Standing Facilities Syariah yang kantor pusatnya berkedudukan di Indonesia harus menyampaikan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) berupa: a. fotokopi dari anggaran dasar Peserta Standing Facilities Syariah atau perubahan terakhir yang dilegalisir Peserta Standing Facilities Syariah yang memuat kewenangan direksi untuk mewakili Peserta Standing Facilities Syariah dan susunan pengurus Peserta Standing Facilities Syariah terkini; dan b. fotokopi identitas diri yang masih berlaku berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor dari anggota direksi yang berwenang atau pejabat yang diberikan kuasa untuk menandatangani Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d). 12 (2) Dalam hal Peserta Standing Facilities Syariah merupakan badan hukum perusahaan daerah, anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa peraturan daerah dan dilengkapi dokumen yang memuat kewenangan direksi untuk mewakili Peserta Standing Facilities Syariah dan susunan pengurus Peserta Standing Facilities Syariah terkini. (3) Peserta Standing Facilities Syariah yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri harus menyampaikan dokumen berupa: a. fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari kantor pusat Peserta Standing Facilities Syariah yang memuat kewenangan CEO untuk mewakili Peserta Standing Facilities Syariah, dalam hal penandatanganan Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d) dilakukan oleh CEO; atau b. fotokopi identitas diri yang masih berlaku berupa KTP atau paspor dari CEO atau pejabat Peserta Standing Facilities Syariah yang berwenang untuk menandatangani Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d). (4) Dalam hal penandatanganan Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d) tidak dilakukan oleh CEO maka fotokopi surat kuasa (power of attorney) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a harus disertai dengan surat kuasa dari CEO kepada pejabat yang diberikan wewenang untuk menandatangani Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d). Pasal 16 (1) Penandatanganan Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dibuat dalam rangka 2 (dua) dan dilakukan sebelum Peserta Standing Facilities Syariah mengajukan Repo SBIS dengan Bank Indonesia untuk pertama kali. (2) Penandatanganan dokumen janji (wa’d) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dilakukan sebelum 13 Peserta Standing Facilities Syariah mengajukan Repo SBSN dengan Bank Indonesia untuk pertama kali. (3) Peserta Standing Facilities Syariah harus menyampaikan perubahan Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau dokumen janji (wa’d) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam hal terdapat perubahan atas: a. Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d); b. anggaran dasar Peserta Standing Facilities Syariah atau peraturan daerah mengenai kewenangan direksi Peserta Standing Facilities Syariah untuk mewakili Peserta Standing Facilities Syariah; dan/atau c. ketentuan internal Peserta Standing Facilities Syariah yang mengatur mengenai pendelegasian wewenang. Pasal 17 (1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 15 disampaikan dengan surat pengantar yang ditujukan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut: Bank Indonesia - Departemen Pengelolaan Moneter Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 (2) Dalam hal terdapat perubahan alamat surat-menyurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan melalui surat dan/atau media lain. Pasal 18 (1) Bank Indonesia memberitahukan kepada Peserta Standing Facilities Syariah mengenai persetujuan atas pengajuan: a. Perjanjian sebagai persyaratan pengajuan Repo SBIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1); dan/atau b. dokumen janji (wa’d) sebagai persyaratan pengajuan Repo SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2). 14 (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis melalui surat atau Sistem BI- ETP. BAB IV PELAKSANAAN TRANSAKSI LENDING FACILITY DAN FINANCING FACILITY Bagian Kesatu Pengumuman Transaksi Lending Facility dan Financing Facility Pasal 19 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana transaksi Lending Facility dan Financing Facility melalui Sistem BI- ETP dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia paling lambat sebelum window time. (2) Window time transaksi Lending Facility dan Financing Facility adalah dari pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 20 (1) Pengumuman rencana transaksi Lending Facility dan Financing Facility sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) memuat informasi: a. sarana transaksi; b. window time; c. jangka waktu repo; d. repo rate, tingkat Biaya Repo SBIS atau Margin Repo SBSN; e. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau f. informasi lainnya. (2) Dalam hal terdapat perubahan: a. window time sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; dan/atau b. repo rate, tingkat Biaya Repo SBIS atau Margin Repo SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, 15 Bank Indonesia mengumumkan melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebelum window time. Bagian Kedua Pengajuan Transaksi Lending Facility dan Financing Facility Pasal 21 (1) Peserta Standing Facilities mengajukan transaksi Lending Facility dan Financing Facility kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2). (2) Pengajuan transaksi Lending Facility dan Financing Facility dilakukan dengan mencantumkan nilai nominal, jenis, dan seri surat berharga yang di-repo-kan. Pasal 22 (1) Peserta Standing Facilities Syariah hanya dapat mengajukan Repo SBIS paling banyak sebesar nilai nominal SBIS yang dimiliki pada 1 (satu) Hari Kerja sebelum tanggal Repo SBIS. (2) Bank Indonesia memberikan Repo SBIS kepada Peserta Standing Facilities Syariah paling banyak sebesar nilai nominal SBIS yang diagunkan. (3) Peserta Standing Facilities dapat me-repo-kan SBSN yang dimiliki kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai nominal SBSN milik Peserta Standing Facilities yang tercatat di Rekening Surat Berharga. Pasal 23 (1) Peserta Standing Facilities bertanggung jawab atas kebenaran data pengajuan transaksi Lending Facility dan Financing Facility yang disampaikan kepada Bank Indonesia. (2) Peserta Standing Facilities dilarang membatalkan pengajuan transaksi Lending Facility dan Financing Facility yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia. 16 Bagian Ketiga Pengumuman Hasil Transaksi Lending Facility dan Financing Facility Pasal 24 Setelah window time sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) ditutup, Bank Indonesia mengumumkan hasil transaksi Lending Facility melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada Peserta Standing Facilities Konvensional, berupa: 1. nilai transaksi yang diterima; 2. nilai nominal; 3. repo rate; 4. nilai bunga repo; dan/atau 5. informasi lainnya; dan b. secara keseluruhan, berupa: 1. nilai nominal yang diterima; 2. repo rate; dan/atau 3. informasi lainnya. Pasal 25 Setelah window time sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) ditutup, Bank Indonesia mengumumkan hasil transaksi Financing Facility melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada Peserta Standing Facilities Syariah, berupa: 1. nilai transaksi yang diterima; 2. nilai nominal; 3. Biaya Repo SBIS atau nilai Margin Repo SBSN; 4. tingkat Biaya Repo SBIS atau Margin Repo SBSN; dan/atau 5. informasi lainnya; dan b. secara keseluruhan, berupa: 17 1. nilai nominal yang diterima; 2. tingkat Biaya Repo SBIS atau Margin Repo SBSN; dan/atau 3. informasi lainnya. Bagian Keempat Setelmen First Leg Transaksi Lending Facility dan Financing Facility Pasal 26 Peserta Standing Facilities wajib memiliki jenis, seri surat berharga, dan nominal yang mencukupi dalam Rekening Surat Berharga pada saat dilakukan setelmen first leg transaksi Lending Facility dan Financing Facility. Pasal 27 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg pada tanggal transaksi (same day settlement) pada awal periode pre cut- off Sistem BI-RTGS. (2) Setelmen first leg sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dengan mekanisme DVP secara transaksi per transaksi (gross to gross). Pasal 28 (1) Setelmen surat berharga dilakukan dengan mendebit Rekening Surat Berharga sebesar nilai nominal dari surat berharga yang di-repo-kan. (2) Setelmen Dana dilakukan dengan mengkredit Rekening Giro rupiah sebesar nilai setelmen first leg. (3) Perhitungan nilai setelmen first leg sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. 18 Pasal 29 (1) Dalam hal Peserta Standing Facilities tidak memiliki jenis, seri surat berharga, dan nominal di Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen first leg maka BI-SSSS secara otomatis membatalkan transaksi Lending Facility atau Financing Facility. (2) Dalam hal pada transaksi Lending Facility atau Financing Facility terdapat lebih dari 1 (satu) kali kegagalan setelmen first leg dalam 1 (satu) hari maka untuk perhitungan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan Operasi Moneter, pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali. Bagian Kelima Setelmen Second Leg Transaksi Lending Facility dan Financing Facility Pasal 30 Peserta Standing Facilities wajib memiliki dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen second leg transaksi Lending Facility dan Financing Facility. Pasal 31 (1) Pada tanggal jatuh waktu (second leg) transaksi Lending Facility dan Financing Facility, BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen second leg sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS. (2) Setelmen second leg dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dengan mekanisme DVP secara transaksi per transaksi (gross to gross). Pasal 32 (1) Setelmen Dana dilakukan dengan cara mendebit Rekening Giro rupiah sebesar nilai setelmen second leg. 19 (2) Setelmen Surat Berharga dilakukan dengan mengkredit Rekening Surat Berharga sebesar nilai nominal surat berharga yang diagunkan dan/atau di-repo-kan. (3) Perhitungan nilai setelmen second leg sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. Pasal 33 (1) Dalam hal Peserta Standing Facilities tidak memiliki dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen second leg sampai dengan sebelum periode cut-off warning BI-RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen second leg, BI-SSSS secara otomatis membatalkan transaksi Lending Facility atau Financing Facility second leg. (2) Dalam hal terdapat pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pada saat second leg Bank Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah sebesar kewajiban pembayaran nilai bunga repo, Biaya Repo SBIS, dan/atau nilai Margin Repo SBSN. (3) Dalam hal pada transaksi Lending Facility atau Financing Facility terdapat lebih dari 1 (satu) kali kegagalan setelmen second leg dalam 1 (satu) hari maka untuk perhitungan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan Operasi Moneter, pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali. 20 Bagian Keenam Kegagalan Setelmen Second Leg Transaksi Lending Facility dan Financing Facility Paragraf 1 Kegagalan Setelmen Second Leg Transaksi Lending Facility dan Financing Facility dengan Surat Berharga yang diterbitkan Bank Indonesia Pasal 34 Dalam hal Peserta Standing Facilities gagal memenuhi kewajiban setelmen second leg transaksi Lending Facility atau Financing Facility yang dilakukan dengan menggunakan surat berharga berupa SBI, SBIS, dan/atau SDBI, Bank Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut: a. mendebit Rekening Giro rupiah untuk penyelesaian: 1. nilai bunga repo untuk transaksi Lending Facility yang dilakukan dengan menggunakan surat berharga berupa SBI dan SDBI; dan 2. Biaya Repo SBIS untuk transaksi Financing Facility; b. melakukan penyelesaian pelunasan sebelum jatuh waktu (early redemption) secara otomatis melalui BI-SSSS atas seri SBI, SBIS, dan/atau SDBI yang di-repo-kan; dan/atau c. dalam hal hasil early redemption sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak mencukupi, Bank Indonesia akan mendebit Rekening Giro rupiah sebesar kekurangan kewajiban Peserta Standing Facilities kepada Bank Indonesia. Pasal 35 Perhitungan nilai bunga repo, Biaya Repo SBIS, dan pelunasan surat berharga sebelum jatuh waktu (early redemption) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a dan Pasal 34 huruf b adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. 21 Pasal 36 (1) Dalam hal Bank Indonesia melakukan early redemption SBIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf b, Bank Indonesia membayar imbalan SBIS kepada Peserta Standing Facilities Syariah sampai dengan tanggal early redemption SBIS. (2) Contoh perhitungan pembayaran imbalan SBIS pada saat early redemption sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Paragraf 2 Kegagalan Setelmen Second Leg Transaksi Lending Facility dan Financing Facility dengan Surat Berharga yang Diterbitkan Pemerintah Pasal 37 (1) Dalam hal Peserta Standing Facilities gagal memenuhi kewajiban setelmen second leg transaksi Lending Facility atau Financing Facility yang dilakukan dengan menggunakan surat berharga berupa SBN, maka transaksi dimaksud diperlakukan sebagai transaksi penjualan SBN secara putus (outright) oleh Peserta Standing Facilities. (2) Transaksi penjualan SBN secara putus (outright) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dikenakan terhadap transaksi Lending Facility atau Financing Facility yang tidak memiliki dana dalam jumlah yang mencukupi. Pasal 38 Perhitungan harga SBN pada transaksi penjualan SBN secara putus (outright) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal harga SBN pada transaksi penjualan SBN secara putus (outright) lebih rendah dari harga SBN pada transaksi first leg setelah dikurangi haircut maka Rekening 22 Giro rupiah didebit sebesar selisih dimaksud, setelah dikalikan dengan nilai nominal SBN yang di-repo-kan; atau b. dalam hal harga SBN pada transaksi penjualan SBN secara putus (outright) lebih tinggi dari harga SBN pada transaksi first leg dikurangi haircut maka Rekening Giro rupiah dikredit sebesar selisih dimaksud, setelah dikalikan dengan nilai nominal SBN yang di-repo-kan dan paling banyak sebesar nilai dari haircut yang ditetapkan pada saat first leg. Pasal 39 Perhitungan accrued interest atau accrued imbalan pada transaksi penjualan SBN secara putus (outright) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan yang diterima Bank Indonesia setelah transaksi penjualan SBN secara putus (outright) maka Rekening Giro rupiah akan dikredit sebesar accrued interest atau accrued imbalan dari setelmen first leg sampai dengan tanggal transaksi penjualan SBN secara putus (outright); b. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan pada tanggal transaksi penjualan SBN secara putus (outright) maka Rekening Giro rupiah akan dikredit sebesar accrued interest atau accrued imbalan dari setelmen first leg sampai dengan tanggal transaksi penjualan SBN secara putus (outright); atau c. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan yang diterima Bank pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi penjualan SBN secara putus (outright) maka Rekening Giro rupiah akan didebit sebesar accrued interest atau accrued imbalan yang dibayarkan kepada Bank pada saat first leg ditambah dengan accrued interest atau accrued imbalan dari tanggal transaksi penjualan SBN secara putus (outright) sampai dengan tanggal pembayaran 23 kupon atau imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah transaksi penjualan SBN secara putus (outright). Pasal 40 Perhitungan nilai bunga repo atau nilai Margin Repo SBSN adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. Pasal 41 (1) Dalam rangka pemenuhan kewajiban Peserta Standing Facilities untuk penyelesaian transaksi Lending Facility dan Financing Facility jatuh waktu sebagai akibat kegagalan setelmen second leg sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1), Bank Indonesia mengkredit atau mendebit Rekening Giro rupiah Peserta Standing Facilities dengan memperhitungkan: a. accrued interest pada periode repo SBN atau accrued imbalan pada periode Repo SBSN yang menjadi hak Peserta Standing Facilities; b. haircut yang masih menjadi hak Peserta Standing Facilities; dan c. nilai bunga repo atau nilai Margin Repo SBSN yang harus dibayarkan oleh Peserta Standing Facilities. (2) Dalam hal terjadi kegagalan setelmen second leg dan terdapat imbalan yang diterima oleh Peserta Standing Facilities Syariah maka Bank Indonesia memperhitungkan pengembalian imbalan yang diterima oleh Peserta Standing Facilities Syariah. 24 BAB V DEPOSIT FACILITY Bagian Kesatu Prinsip Umum Transaksi Deposit Facility Pasal 42 (1) Transaksi Deposit Facility sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilakukan dengan cara penempatan dana rupiah oleh Peserta Standing Facilities secara berjangka di Bank Indonesia. (2) Transaksi Deposit Facility sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. tanpa disertai dengan penerbitan surat berharga; dan b. tidak dapat diperdagangkan, tidak dapat diagunkan, dan tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu. (3) Transaksi Deposit Facility yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah dilaksanakan dalam bentuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS). (4) Transaksi Deposit Facility yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan akad wadi’ah atau titipan. Pasal 43 (1) Transaksi Deposit Facility yang dilakukan secara konvensional dilaksanakan dengan sistem diskonto dengan tingkat diskonto sebesar suku bunga Deposit Facility yang ditetapkan Bank Indonesia. (2) Nilai diskonto transaksi Deposit Facility yang dilakukan secara konvensional dihitung sebagai berikut: Nilai diskonto = nilai nominal – nilai tunai Nilai Nominal × 360 Nilai Tunai = 360 + (Tingkat Diskonto × Jangka Waktu) 25 Pasal 44 (1) Bank Indonesia memberikan imbalan atas transaksi Deposit Facility yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. (2) Tingkat imbalan pada transaksi Deposit Facility yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada tingkat diskonto Deposit Facility yang dilakukan secara konvensional. (3) Imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada tanggal jatuh waktu transaksi dengan mengkredit Rekening Giro rupiah dengan perhitungan sebagai berikut: Imbalan = nilai nominal x jangka waktu 360 x tingkat imbalan Bagian Kedua Pengumuman Pelaksanaan Transaksi Deposit Facility Pasal 45 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana pelaksanaan transaksi Deposit Facility melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia paling lambat sebelum window time. (2) Window time transaksi Deposit Facility adalah dari pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 17.30 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 46 (1) Pengumuman rencana transaksi Deposit Facility sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) memuat informasi: a. sarana transaksi; b. window time; c. jangka waktu; d. tingkat diskonto atau tingkat imbalan; e. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau f. informasi lainnya. 26 (2) Dalam hal terdapat perubahan: a. window time sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; dan/atau b. tingkat diskonto atau tingkat imbalan transaksi Deposit Facility sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Bank Indonesia mengumumkan melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebelum window time. Bagian Ketiga Pengajuan Transaksi Deposit Facility Pasal 47 (1) Peserta Standing Facilities mengajukan transaksi Deposit Facility melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2). (2) Pengajuan transaksi Deposit Facility dilakukan dengan mencantumkan penawaran nilai nominal transaksi kepada Bank Indonesia. (3) Nilai nominal setiap pengajuan transaksi Deposit Facility paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 48 (1) Peserta Standing Facilities bertanggung jawab atas kebenaran data pengajuan transaksi Deposit Facility yang disampaikan kepada Bank Indonesia. (2) Peserta Standing Facilities dilarang membatalkan pengajuan transaksi Deposit Facility yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia. 27 Bagian Keempat Pengumuman Hasil Transaksi Deposit Facility Pasal 49 Setelah window time sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) ditutup, Bank Indonesia mengumumkan hasil transaksi Deposit Facility yang dilakukan secara konvensional melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada Peserta Standing Facilities Konvensional, berupa: 1. nilai nominal; 2. nilai tunai; 3. diskonto; 4. tingkat diskonto; dan/atau 5. informasi lainnya; dan b. secara keseluruhan, berupa: 1. nilai nominal; 2. tingkat diskonto; dan/atau 3. informasi lainnya. Pasal 50 Setelah window time sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) ditutup, Bank Indonesia mengumumkan hasil transaksi Deposit Facility yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada Peserta Standing Facilities Syariah, berupa: 1. nilai tunai; 2. nilai nominal; 3. imbalan; 4. tingkat imbalan; dan/atau 5. informasi lainnya; dan b. secara keseluruhan, berupa: 1. nilai nominal; 28 2. tingkat imbalan; dan/atau 3. informasi lainnya. Bagian Kelima Setelmen Transaksi Deposit Facility Pasal 51 Peserta Standing Facilities wajib menyediakan dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen transaksi Deposit Facility. Pasal 52 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen transaksi Deposit Facility pada tanggal transaksi (same day settlement) pada awal periode pre cut-off Sistem BI-RTGS. (2) Setelmen transaksi Deposit Facility dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dengan mekanisme transaksi per transaksi (gross to gross). Pasal 53 (1) Setelmen transaksi Deposit Facility sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dilakukan dengan mendebit Rekening Giro rupiah sebesar: a. nilai tunai transaksi Deposit Facility yang dilakukan secara konvensional; dan/atau b. nilai nominal transaksi Deposit Facility yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. (2) Nilai tunai transaksi Deposit Facility yang dilakukan secara konvensional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung sebagai berikut: Nilai Nominal × 360 Nilai Tunai = 360 + (Tingkat Diskonto × Jangka Waktu) 29 Pasal 54 (1) Dalam hal Peserta Standing Facilities tidak memiliki dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk memenuhi seluruh kewajiban setelmen transaksi Deposit Facility sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen, BI- SSSS secara otomatis membatalkan transaksi Deposit Facility. (2) Dalam hal pada transaksi Deposit Facility terdapat lebih dari 1 (satu) kali kegagalan setelmen dalam 1 (satu) hari maka untuk perhitungan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan Operasi Moneter, pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali. Bagian Keenam Setelmen Jatuh Waktu Deposit Facility Pasal 55 (1) Pada tanggal jatuh waktu transaksi Deposit Facility, setelmen transaksi Deposit Facility dilakukan sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS. (2) Bank Indonesia melakukan pelunasan transaksi Deposit Facility pada tanggal jatuh waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar: a. nilai nominal untuk transaksi Deposit Facility yang dilakukan secara konvensional; atau b. nilai nominal dan imbalan untuk transaksi Deposit Facility yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, dengan mengkredit Rekening Giro rupiah. BAB VI PERUBAHAN TANGGAL SETELMEN TRANSAKSI STANDING FACILITIES PADA HARI LIBUR Pasal 56 (1) Dalam hal setelah terjadinya transaksi, tanggal jatuh waktu Standing Facilities ditetapkan sebagai hari libur oleh 30 pemerintah, pelaksanaan setelmen dilakukan pada Hari Kerja berikutnya. (2) Pelaksanaan setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa memperhitungkan tambahan nilai bunga repo, Biaya Repo SBIS, nilai Margin Repo SBSN, diskonto, dan/atau imbalan atas tambahan jangka waktu transaksi Standing Facilities. BAB VII PELAKSANAAN STANDING FACILITIES DALAM KEADAAN TIDAK NORMAL DAN/ATAU KEADAAN DARURAT Pasal 57 Dalam hal terjadi keadaan tidak normal yang mempengaruhi kelancaran pelaksanaan transaksi dan/atau setelmen Standing Facilities, prosedur penanganan keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Sistem BI-ETP, penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS dan/atau penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui Sistem BI-RTGS. BAB VIII TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 58 (1) Peserta Standing Facilities yang tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat dilakukan setelmen sehingga menyebabkan batalnya transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), Pasal 33 ayat (1) dan/atau Pasal 54 ayat (1) dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai transaksi Standing Facilities yang dinyatakan batal, paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 31 (2) Dalam hal transaksi memiliki second leg, nilai transaksi yang batal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu nilai transaksi pada saat first leg. (3) Bank Indonesia menyampaikan sanksi berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada Peserta Standing Facilities pada 1 (satu) Hari Kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi, dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (4) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dilakukan dengan mendebit Rekening Giro rupiah pada 1 (satu) Hari Kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi. Pasal 59 (1) Atas batalnya transaksi Operasi Moneter yang ketiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) Peserta Standing Facilities juga dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter selama 5 (lima) Hari Kerja berturut-turut. (2) Sanksi berupa penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk transaksi Lending Facility atau Financing Facility yang dilakukan oleh Peserta Standing Facilities yang berasal dari transaksi fasilitas likuiditas intrahari yang tidak lunas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai tata cara penggunaan fasilitas likuiditas intrahari. (3) Sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan mulai 1 (satu) Hari Kerja setelah diperoleh informasi adanya pembatalan transaksi Operasi Moneter yang ketiga kalinya. (4) Contoh pengenaan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 32 Pasal 60 (1) Dalam hal terjadi pembatalan transaksi Financing Facility sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) yang menggunakan surat berharga berupa SBSN dengan harga SBSN pada saat second leg lebih rendah dari harga SBSN pada saat transaksi first leg, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan/atau Pasal 59 ayat (1), Peserta Standing Facilities Syariah dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih antara harga pada transaksi first leg dan harga pada transaksi second leg setelah dikalikan dengan nominal SBSN yang di-repo-kan. (2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mendebit Rekening Giro rupiah pada 1 (satu) Hari Kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 61 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/30/DPM tanggal 29 November 2016 perihal Koridor Suku Bunga (Standing Facilities); b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/42/DPM tanggal 16 November 2015 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Standing Facilities Syariah, c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/43/DPM tanggal 16 November 2015 perihal Tata Cara Transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah; dan d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/45/DPM tanggal 16 November 2015 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Sertifikat Bank Indonesia Syariah 33 dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Standing Facilities Syariah. dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 62 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 April 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD ERWIN RIJANTO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/9/PADG/2018 TENTANG STANDING FACILITIES I. UMUM Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dalam rangka mencapai tujuan dimaksud dan menghadapi tantangan kondisi makroekonomi, Bank Indonesia melaksanakan pengendalian moneter melalui pelaksanaan Operasi Moneter. Operasi Moneter salah satunya dilakukan melalui Standing Facilities, baik secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Yang dimaksud dengan “injeksi likuiditas” adalah penambahan likuiditas rupiah Bank melalui kegiatan Operasi Moneter. 2 Yang dimaksud dengan “absorpsi likuiditas” adalah pengurangan likuiditas rupiah Bank melalui kegiatan Operasi Moneter. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Mekanisme nonlelang dalam Standing Facilities dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan Peserta Standing Facilities. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “prinsip sell and buyback” adalah prinsip dalam transaksi repo dengan perpindahan kepemilikan Surat Berharga (transfer of ownership). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. 3 Pasal 8 Huruf a Yang dimaksud dengan “prinsip collateralized borrowing” adalah prinsip dalam transaksi repo tanpa perpindahan kepemilikan Surat Berharga (transfer of ownership). Huruf b Yang dimaksud dengan “prinsip sell and buyback” adalah prinsip dalam transaksi repo dengan perpindahan kepemilikan Surat Berharga (transfer of ownership). Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Yang dimaksud dengan “qard” adalah pinjaman dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus dalam jangka waktu tertentu. Yang dimaksud dengan “rahn” adalah penyerahan agunan dari Peserta Standing Facilities Syariah (rahin) kepada Bank Indonesia (murtahin) sebagai jaminan untuk mendapatkan qard. Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. 4 Angka 2 Dalam hal penandatanganan Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d) tidak dilakukan oleh CEO maka surat kuasa dari kantor pusat Peserta Standing Facilities Syariah memuat hak CEO untuk mengalihkan kewenangannya atau hak substitusi. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dokumen janji (wa’d) untuk pengajuan Repo SBSN oleh Peserta Standing Facilities Syariah kepada Bank Indonesia berlaku untuk transaksi repo SBSN dalam Financing Facility dan repo SBSN dalam operasi pasar terbuka syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan operasi pasar terbuka. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. 5 Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. 6 Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. 7 Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. 8 Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Yang dimaksud dengan “keadaan tidak normal” adalah situasi atau kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi maupun sarana pendukung yang mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/9/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> STANDING FACILITIES </reg_title> <set_date> 30 April 2018 </set_date> <effective_date> 30 April 2018 </effective_date> <replaced_reg> '18/30/DPM|SE-BI/2016', '17/43/DPM|SE-BI/2015', '17/45/DPM|SE-BI/2015', '17/42/DPM|SE-BI/2015' </replaced_reg> <related_reg> '20/5/PBI/2018' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
1 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/12/PADG/2019 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap penyelesaian transaksi yang semakin cepat, perlu dilakukan percepatan waktu setelmen terhadap penyelesaian transaksi dalam layanan transfer dana dan layanan pembayaran reguler pada penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia; b. bahwa dengan tersedianya layanan jasa sistem pembayaran yang semakin efektif di masyarakat, mengakibatkan layanan transfer dana pada penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia lebih efisien, sehingga perlu dilakukan penyesuaian biaya; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5704) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/8/PBI/2019 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6355); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal adalah kegiatan dalam rangka memproses perhitungan hak dan kewajiban antarpeserta sistem kliring nasional Bank Indonesia yang setelmennya dilakukan pada waktu tertentu. 2. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SKNBI adalah infrastruktur yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal untuk memproses data keuangan elektronik pada layanan transfer dana, layanan kliring warkat debit, layanan pembayaran reguler, dan layanan penagihan reguler. 3 3. Penyelenggara SKNBI yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah Bank Indonesia. 4. Peserta SKNBI yang selanjutnya disebut Peserta adalah pihak yang telah memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai Peserta. 5. Layanan Transfer Dana adalah layanan dalam SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah dana antar-Peserta dari 1 (satu) pengirim kepada 1 (satu) penerima. 6. Layanan Kliring Warkat Debit adalah layanan dalam SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana yang dilakukan antar-Peserta dari 1 (satu) pengirim tagihan kepada 1 (satu) penerima tagihan, disertai dengan fisik warkat debit. 7. Layanan Pembayaran Reguler adalah layanan dalam SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah dana antar- Peserta dari 1 (satu) atau beberapa pengirim kepada 1 (satu) atau beberapa penerima. 8. Layanan Penagihan Reguler adalah layanan dalam SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana antar-Peserta dari 1 (satu) pengirim tagihan kepada beberapa penerima tagihan. 9. Data Keuangan Elektronik yang selanjutnya disingkat DKE adalah data keuangan dalam format elektronik yang digunakan sebagai dasar perhitungan dalam penyelenggaraan SKNBI. 10. DKE Transfer Dana adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer dana dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan Transfer Dana. 11. DKE Warkat Debit adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer debit dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan Kliring Warkat Debit. 12. DKE Pembayaran adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer dana dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan Pembayaran Reguler. 4 13. DKE Penagihan adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer debit dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan Penagihan Reguler. 14. Warkat Debit adalah alat pembayaran nontunai yang diperhitungkan atas beban nasabah atau bank melalui Layanan Kliring Warkat Debit. 15. Kliring Penyerahan adalah kegiatan untuk memperhitungkan DKE Warkat Debit yang disampaikan oleh Peserta pengirim kepada Peserta penerima melalui Penyelenggara. 16. Kliring Pengembalian adalah kegiatan untuk memperhitungkan DKE Warkat Debit yang diperhitungkan dalam Kliring Penyerahan namun ditolak oleh Peserta penerima berdasarkan alasan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. 17. Penyerahan Tagihan adalah kegiatan untuk memperhitungkan DKE Penagihan yang disampaikan oleh Peserta pengirim kepada Peserta penerima melalui Penyelenggara. 18. Pengembalian Tagihan adalah kegiatan untuk memperhitungkan DKE Penagihan yang diperhitungkan dalam Penyerahan Tagihan namun ditolak oleh Peserta penerima berdasarkan alasan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. 19. Peserta Langsung Utama yang selanjutnya disingkat PLU adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara secara langsung dengan menggunakan infrastruktur SKNBI dan setelmen dana dilakukan ke rekening setelmen dana Peserta yang bersangkutan. 20. Peserta Langsung Afiliasi yang selanjutnya disingkat PLA adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara secara langsung dengan menggunakan infrastruktur SKNBI Peserta yang bersangkutan dan setelmen dana dilakukan ke rekening setelmen dana bank pembayar. 21. Peserta Tidak Langsung yang selanjutnya disingkat PTL adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara 5 secara tidak langsung melalui bank penerus dan setelmen dana dilakukan ke rekening setelmen dana bank penerus. 22. Bank Pembayar adalah PLU yang ditunjuk oleh PLA untuk setelmen dana, penyediaan prefund, dan/atau pembayaran kewajiban lainnya dalam penyelenggaraan SKNBI. 23. Bank Penerus adalah PLU yang memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara untuk melaksanakan pengiriman DKE, penyediaan prefund, setelmen dana, dan/atau pembayaran kewajiban lainnya untuk kepentingan PTL. 24. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan pengkreditan rekening setelmen dana melalui Sistem BI- RTGS yang dilakukan berdasarkan perhitungan hak dan kewajiban masing-masing Peserta yang timbul dalam penyelenggaraan SKNBI. 25. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta dalam mata uang Rupiah yang ditatausahakan di Bank Indonesia. 26. Prefund adalah dana yang disediakan oleh Peserta untuk memenuhi kewajiban dalam penyelenggaraan SKNBI. 27. Prefund Kredit adalah Prefund yang disediakan untuk Layanan Transfer Dana dan Layanan Pembayaran Reguler. 28. Prefund Debit adalah Prefund yang disediakan untuk Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan Penagihan Reguler. 29. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank di luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 30. Sistem Sentral Kliring yang selanjutnya disingkat SSK adalah infrastruktur SKNBI di Penyelenggara yang digunakan dalam penyelenggaraan SKNBI. 31. Sistem Peserta Kliring yang selanjutnya disingkat SPK adalah infrastruktur SKNBI di Peserta yang terhubung 6 dengan SSK yang digunakan oleh Peserta dalam penyelenggaraan SKNBI. 32. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. 33. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi, maupun sarana pendukung yang memengaruhi kelancaran penyelenggaraan SKNBI. 34. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kekuasaan Penyelenggara dan/atau Peserta yang menyebabkan kegiatan operasional SKNBI tidak dapat diselenggarakan yang diakibatkan oleh, tetapi tidak terbatas pada kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, dan bencana alam seperti gempa bumi dan banjir yang dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat setempat yang berwenang, termasuk Bank Indonesia. 35. Fasilitas Kontingensi adalah fasilitas yang disediakan oleh Penyelenggara di lokasi Penyelenggara dan kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang dapat digunakan oleh Peserta apabila terjadi Keadaan Tidak Normal atau Keadaan Darurat di lokasi kantor Peserta. 36. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri yang selanjutnya disingkat KPwDN adalah kantor Bank Indonesia selain kantor pusat Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi sistem pembayaran. 37. Pertukaran Warkat Debit adalah pertukaran fisik Warkat Debit antar-Peserta di wilayah kliring yang didasarkan pada DKE Warkat Debit yang telah dikirimkan oleh Peserta. 38. Wilayah Kliring adalah suatu wilayah yang telah disetujui oleh Penyelenggara untuk melaksanakan kegiatan Pertukaran Warkat Debit. 7 39. Wilayah Kliring Otomasi adalah Wilayah Kliring yang melaksanakan kegiatan Pertukaran Warkat Debit secara otomasi. 40. Wilayah Kliring Manual adalah Wilayah Kliring yang melaksanakan kegiatan Pertukaran Warkat Debit secara manual. 41. Koordinator Pertukaran Warkat Debit yang selanjutnya disebut Koordinator PWD adalah koordinator Pertukaran Warkat Debit Bank Indonesia dan koordinator Pertukaran Warkat Debit selain Bank Indonesia yang melaksanakan Pertukaran Warkat Debit di suatu Wilayah Kliring. 42. Perwakilan Peserta adalah kantor Peserta di suatu Wilayah Kliring yang ditunjuk sebagai wakil Peserta untuk melaksanakan Pertukaran Warkat Debit yang dikliringkan di Wilayah Kliring tersebut. 43. Bukti Penyerahan Warkat Debit yang selanjutnya disingkat BPWD adalah dokumen kliring yang digunakan di Wilayah Kliring Otomasi yang berfungsi sebagai alat kontrol dalam pelaksanaan kegiatan Pertukaran Warkat Debit. 44. Rincian Warkat Debit yang selanjutnya disingkat RWD adalah dokumen kliring yang digunakan di Wilayah Kliring Manual yang berfungsi sebagai alat kontrol dalam pelaksanaan kegiatan Pertukaran Warkat Debit. 45. Tanda Pengenal Petugas Kliring yang selanjutnya disingkat TPPK adalah tanda pengenal yang digunakan oleh petugas kliring dalam kegiatan Pertukaran Warkat Debit. BAB II PENYELENGGARA Pasal 2 Dalam penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal melalui SKNBI, Penyelenggara paling sedikit melakukan hal sebagai berikut: a. menetapkan ketentuan dan prosedur penyelenggaraan SKNBI; 8 b. menyediakan sarana dan prasarana penyelenggaraan SKNBI; c. melaksanakan kegiatan operasional SKNBI; d. melakukan upaya untuk menjamin keandalan, ketersediaan, dan keamanan penyelenggaraan SKNBI; dan e. melakukan pemantauan kepatuhan Peserta dan pihak selain kantor Bank Indonesia yang melaksanakan Pertukaran Warkat Debit terhadap ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia. Pasal 3 Sarana dan prasarana penyelenggaraan SKNBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b paling sedikit mencakup: a. perangkat keras dan aplikasi SSK; b. jaringan komunikasi data yang menghubungkan SPK dengan SSK; c. aplikasi SPK dan perubahannya serta pedoman pengoperasian aplikasi SPK; d. Fasilitas Kontingensi; dan e. sarana dan prasarana pendukung lainnya. Pasal 4 Penyelenggara melaksanakan kegiatan operasional SKNBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c paling sedikit mencakup: a. melakukan kegiatan operasional SKNBI sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan untuk menjaga kelancaran kegiatan operasional SKNBI; b. melakukan perhitungan DKE yang dikirim oleh Peserta dan diterima oleh Penyelenggara; c. melakukan Setelmen Dana atas DKE yang diproses dalam penyelenggaraan SKNBI; dan d. menyediakan data atau informasi DKE yang diproses dalam penyelenggaraan SKNBI. 9 Pasal 5 Penyelenggara menjamin keandalan, ketersediaan, dan keamanan penyelenggaraan SKNBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d dengan kegiatan paling sedikit mencakup: a. melakukan pengelolaan dan pengoperasian SSK; b. melakukan security audit terhadap SKNBI secara berkala; c. menyediakan helpdesk untuk menangani masalah operasional penyelenggaraan SKNBI dan/atau jaringan komunikasi data yang dihadapi Peserta; d. memberikan layanan yang berkaitan dengan kepesertaan dalam penyelenggaraan SKNBI; e. menetapkan waktu operasional penyelenggaraan SKNBI; f. menetapkan standar layanan minimum penyelenggaraan SKNBI; g. menetapkan dan memberlakukan ketentuan dan prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat; h. memberikan pelatihan kepada calon Peserta dan pelatihan secara berkala kepada Peserta; dan i. menetapkan status kepesertaan Peserta. BAB III KEWAJIBAN PESERTA Pasal 6 Dalam penyelenggaraan SKNBI, Peserta wajib: a. menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan SKNBI; b. bertanggung jawab atas kebenaran DKE dan seluruh informasi yang dikirim Peserta kepada Penyelenggara melalui SKNBI; c. melaksanakan perjanjian dengan Penyelenggara apabila diperlukan dalam penyelenggaraan SKNBI; d. menginformasikan biaya transaksi melalui SKNBI kepada nasabah secara transparan; 10 e. memberikan data dan informasi terkait penyelenggaraan SKNBI kepada Bank Indonesia; f. mematuhi ketentuan yang dikeluarkan oleh asosiasi sistem pembayaran yang telah disetujui oleh Bank Indonesia; dan g. mematuhi ketentuan lain terkait operasional Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia. Pasal 7 Kewajiban Peserta untuk menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan SKNBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, meliputi kegiatan sebagai berikut: a. menyusun kebijakan dan prosedur tertulis yang mendukung sistem kontrol internal yang baik dalam pelaksanaan operasional SKNBI; b. melakukan pemeriksaan internal terhadap operasional SKNBI; c. melakukan security audit; d. menyusun kebijakan teknologi informasi terkait dengan SKNBI yang di-review dan di-update secara reguler; e. memiliki pedoman business continuity plan dan disaster recovery plan; f. menggunakan aplikasi SPK sesuai dengan buku pedoman penggunaan aplikasi SPK; g. melakukan pengkinian data atau informasi kepesertaan dalam hal terdapat perubahan data kepesertaan SKNBI; h. melakukan pemeliharaan data; dan i. menjamin SPK utama dan SPK cadangan berfungsi dengan baik untuk melakukan berbagai aktivitas SKNBI sepanjang jam operasional SKNBI. Pasal 8 Penyusunan kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 11 a. kebijakan dan prosedur tertulis dibuat dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah tanggal efektif kepesertaan di SKNBI; b. kebijakan dan prosedur tertulis dibuat dalam Bahasa Indonesia dengan mengacu pada ketentuan terkait dengan SKNBI yang ditetapkan oleh Penyelenggara dan ketentuan yang dikeluarkan oleh asosiasi sistem pembayaran terkait penyelenggaraan SKNBI; c. penyusunan rincian cakupan minimum materi kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam huruf A Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; d. dalam hal terdapat perubahan terhadap materi kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan/atau perubahan ketentuan yang dikeluarkan oleh Penyelenggara dan/atau asosiasi sistem pembayaran yang berdampak pada substansi kebijakan dan prosedur tertulis, Peserta melakukan pengkinian terhadap kebijakan dan prosedur tertulis dimaksud; e. pengkinian terhadap kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf d dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah terjadinya perubahan materi dan ketentuan tersebut; dan f. kebijakan dan prosedur tertulis ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di internal Peserta dan berlaku sebagai pedoman operasional SKNBI di Peserta. Pasal 9 Pemeriksaan internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. dilakukan oleh satuan kerja audit internal Peserta; dan b. dilakukan paling kurang 1 (satu) tahun sekali. 12 Pasal 10 Security audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. dilakukan oleh satuan kerja audit internal Peserta dan/atau auditor eksternal; b. dilakukan paling sedikit setiap 3 (tiga) tahun sekali terhitung sejak menjadi Peserta atau dalam hal terjadi perubahan dalam sistem teknologi informasi internal Peserta yang terkait dengan SKNBI, security audit dilakukan paling lama 6 (enam) bulan setelah terjadi perubahan; dan c. cakupan security audit paling sedikit mencakup ruang lingkup sebagaimana tercantum dalam huruf B Lampiran I. Pasal 11 Penyusunan kebijakan teknologi informasi terkait dengan SKNBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. penyusunan kebijakan teknologi informasi termasuk melakukan pengkinian dalam hal terdapat perubahan kebijakan teknologi informasi dan prosedur penggunaan teknologi informasi; b. pengkinian kebijakan teknologi informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan paling lama 6 (enam) bulan sejak perubahan kebijakan teknologi informasi; dan c. pengkinian kebijakan teknologi informasi mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi. Pasal 12 Pedoman business continuity plan dan disaster recovery plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf e memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pedoman business continuity plan paling sedikit memuat hal sebagai berikut: 13 1. unit kerja sebagai penanggung jawab; 2. mekanisme koordinasi apabila penanggung jawab terdiri atas beberapa unit; 3. langkah bisnis yang dilakukan untuk menjamin kegiatan operasional SKNBI tetap berjalan; 4. mekanisme pengujian prosedur business continuity plan; 5. mekanisme pelaporan dan monitoring; dan 6. petugas operasional, termasuk data nomor telepon yang dapat dihubungi setiap saat oleh Penyelenggara; dan b. pedoman disaster recovery plan paling sedikit memuat hal sebagai berikut: 1. unit kerja sebagai penanggung jawab; 2. mekanisme koordinasi apabila penanggung jawab terdiri atas beberapa unit; 3. prosedur terkait penyiapan infrastruktur cadangan untuk menjamin kegiatan operasional SKNBI tetap berjalan; 4. mekanisme pelaporan dan monitoring; dan 5. petugas operasional, termasuk data nomor telepon yang dapat dihubungi setiap saat oleh Penyelenggara. Pasal 13 Pemeliharaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf h dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pemeliharaan data dilakukan terhadap data yang tersimpan dalam media elektronik dan/atau dalam bentuk hasil olahan komputer SKNBI; b. data sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus mendapat pengamanan yang memadai serta terjaga kerahasiaannya; c. melakukan pencadangan data sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam media eletronik yang berbeda dengan media elektronik sebagaimana dimaksud dalam huruf a; 14 d. memastikan data sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan cadangannya sebagaimana dimaksud dalam huruf c tidak rusak; dan e. menyimpan seluruh data sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan cadangannya sebagaimana dimaksud dalam huruf c sesuai dengan ketentuan pengarsipan yang berlaku di internal Peserta dan masa retensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai dokumen perusahaan. Pasal 14 Untuk menjamin SPK utama dan SPK cadangan berfungsi dengan baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf i, Peserta melakukan kegiatan sebagai berikut: a. memastikan petugas yang menangani SKNBI memahami sistem dan prosedur operasional SKNBI yang telah ditetapkan oleh Penyelenggara dan internal Peserta; b. menetapkan dan mengelola user dan kewenangan user yang melakukan operasional SKNBI; c. menyediakan dan mengelola sistem cadangan untuk SKNBI di Peserta; d. menjamin sistem cadangan berfungsi dengan baik; e. menjamin keamanan dan keandalan jaringan komunikasi data yang digunakan untuk menghubungkan SPK utama dan/atau SPK cadangan; f. melaporkan pengembangan aplikasi internal Peserta yang terkait SKNBI kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) bulan setelah diimplementasikan; g. melakukan langkah preventif yang diperlukan agar perangkat keras (hardware) berfungsi dengan baik dan perangkat lunak (software) yang digunakan dalam SKNBI dan/atau yang terkait dengan SKNBI bebas dari segala jenis virus; h. menjamin integritas database SKNBI yang ada pada SPK utama dan SPK cadangan serta data cadangan (back-up); 15 i. melakukan instalasi setiap terjadi perubahan aplikasi SPK utama dan/atau SPK cadangan sesuai dengan buku pedoman pengoperasian SKNBI; j. menyimpan dengan baik aplikasi SPK dan perubahannya serta soft token yang diberikan oleh Penyelenggara; dan k. melakukan perpanjangan masa aktif soft token sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan oleh Penyelenggara. Pasal 15 Penetapan dan pengelolaan user sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b dilakukan dengan memperhatikan paling sedikit hal sebagai berikut: a. pengaturan kewenangan user memperhatikan rentang kendali (span of control) untuk meminimalisasi kesalahan manusia (human error) dan penyalahgunaan (fraud); b. pembuatan sampai dengan pengiriman DKE dilakukan secara berjenjang sesuai dengan tingkat kewenangan petugas; c. pengaturan petugas pengganti untuk user sesuai dengan perannya masing-masing; d. penetapan dan penatausahaan data user yang mengelola soft token; dan e. memastikan keamanan penggunaan dan penyimpanan soft token. Pasal 16 Penyediaan dan pengelolaan sistem cadangan untuk SKNBI di Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta menyediakan SPK cadangan di lokasi cadangan dan jaringan komunikasi data cadangan dari lokasi cadangan Peserta ke Penyelenggara sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Penyelenggara; dan b. biaya penyediaan dan penggunaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam huruf a menjadi beban Peserta. 16 Pasal 17 Untuk menjamin sistem cadangan berfungsi dengan baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d, Peserta: a. mengikuti kegiatan uji coba sistem cadangan sesuai dengan pemberitahuan dari Penyelenggara; b. melakukan uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala; dan c. mengoperasikan sistem cadangan untuk kegiatan operasional dalam kondisi normal secara berkala. Pasal 18 (1) Uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. uji coba koneksi dilakukan terhadap SPK cadangan, jaringan komunikasi data cadangan, dan data cadangan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; b. uji coba koneksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat dilakukan dengan menggunakan infrastruktur utama Penyelenggara dengan jadwal yang ditetapkan oleh Penyelenggara setelah seluruh layanan SKNBI di Penyelenggara berakhir; dan c. penggunaan infrastruktur utama Penyelenggara dilakukan paling lama 1 (satu) jam. (2) Uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Peserta menyampaikan permohonan uji coba koneksi sistem cadangan melalui administrative message kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan uji coba koneksi sistem cadangan; b. Penyelenggara memberitahukan persetujuan uji coba koneksi sistem cadangan kepada Peserta melalui administrative message; dan 17 c. Peserta menyampaikan laporan tertulis hasil pelaksanaan uji coba koneksi sistem cadangan kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah pelaksanaan uji coba selesai dilakukan. Pasal 19 (1) Pengoperasian sistem cadangan untuk kegiatan operasional dalam kondisi normal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. penggunaan sistem cadangan dilakukan secara berkala, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; dan b. pengoperasian sistem cadangan dapat mencakup pengoperasian SPK cadangan dan/atau jaringan komunikasi data cadangan. (2) Pengoperasian sistem cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Peserta menyampaikan permohonan melalui administrative message kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum menggunakan sistem cadangan; b. Penyelenggara memberitahukan persetujuan penggunaan SPK cadangan dan/atau jaringan komunikasi data cadangan kepada Peserta melalui administrative message; dan c. Peserta menyampaikan laporan tertulis hasil pengoperasian sistem cadangan kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah pelaksanaan pengoperasian sistem cadangan selesai dilakukan. Pasal 20 Kegiatan Peserta untuk menjamin keamanan dan keandalan jaringan komunikasi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e dilakukan terhadap jaringan komunikasi data yang menghubungkan SPK utama dan/atau SPK cadangan dengan: 18 a. perangkat komputer Peserta yang digunakan untuk operasional SKNBI; dan b. sistem internal Peserta, dalam hal Peserta menghubungkan SPK utama dan/atau SPK cadangan dengan sistem internal Peserta. Pasal 21 Untuk memenuhi tanggung jawab Peserta atas kebenaran DKE dan seluruh informasi yang dikirim Peserta kepada Penyelenggara melalui SKNBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Peserta melakukan kegiatan sebagai berikut: a. membuat DKE dan batch DKE sesuai dengan buku pedoman penggunaan aplikasi SPK; b. mengirimkan batch DKE sesuai jadwal yang ditetapkan Penyelenggara; dan c. menggunakan kode transaksi sesuai kode transaksi yang ditetapkan oleh Penyelenggara. BAB IV PENYELENGGARAAN SKNBI Bagian Kesatu Waktu Operasional Penyelenggaraan SKNBI Paragraf 1 Penetapan dan Perubahan Waktu Operasional SKNBI oleh Penyelenggara Pasal 22 (1) Penyelenggara menetapkan waktu operasional SKNBI yang mencakup: a. hari operasional; b. jam operasional; c. jam layanan; dan d. periode waktu kegiatan. 19 (2) Waktu operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah sewaktu-waktu oleh Penyelenggara berdasarkan kebijakan Penyelenggara. Pasal 23 (1) Perubahan waktu operasional berdasarkan kebijakan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: a. adanya Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Penyelenggara dan/atau Peserta; b. adanya kepentingan Bank Indonesia untuk menjaga kelancaran sistem pembayaran; c. adanya permohonan tertulis perpanjangan periode waktu kegiatan dari Peserta; dan/atau d. adanya permohonan tertulis perubahan jam Layanan Kliring Warkat Debit di suatu Wilayah Kliring dari Koordinator PWD. (2) Dalam hal terdapat perubahan waktu operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara memberitahukan perubahan tersebut kepada Peserta dan/atau Koordinator PWD melalui administrative message dan/atau sarana lainnya. Pasal 24 (1) Hari operasional SKNBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a dilaksanakan pada setiap hari kerja sesuai yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Jam operasional SKNBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b dimulai pukul 06.30 waktu Indonesia barat (WIB) sampai dengan pukul 17.00 waktu Indonesia barat (WIB). (3) Penetapan kegiatan dalam periode waktu kegiatan dan jam layanan tercantum dalam huruf A, huruf B, huruf C, dan huruf D Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 20 Paragraf 2 Perubahan Waktu Operasional SKNBI Berdasarkan Permohonan Peserta dan Koordinator PWD Pasal 25 (1) Peserta dapat mengajukan permohonan perubahan waktu operasional SKNBI berupa perpanjangan periode waktu kegiatan dengan ketentuan sebagai berikut: a. permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan diajukan secara tertulis kepada Penyelenggara; b. permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan diajukan dalam hal Peserta mengalami Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat; c. perpanjangan periode waktu kegiatan terdiri atas: 1) perpanjangan periode waktu pengiriman DKE Transfer Dana, DKE Warkat Debit, DKE Pembayaran, dan DKE Penagihan; dan 2) perpanjangan periode waktu penambahan Prefund; d. perpanjangan periode waktu kegiatan dapat diberikan berdasarkan persetujuan Penyelenggara untuk setiap layanan selama 30 (tiga puluh) menit dan dapat diperpanjang untuk kedua kalinya selama 30 (tiga puluh) menit; e. dalam kondisi tertentu yang disetujui oleh Penyelenggara, Peserta yang telah mengajukan perpanjangan periode waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf d dapat mengajukan kembali perpanjangan periode waktu kegiatan; f. perpanjangan periode waktu kegiatan pengiriman DKE Transfer Dana, DKE Pembayaran, dan DKE Penagihan atas permintaan Peserta dikenakan biaya. (2) Tata cara pengajuan permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada butir E.1 Lampiran II. 21 Pasal 26 (1) Koordinator PWD dapat mengajukan permohonan perubahan waktu operasional SKNBI berupa perubahan jam Layanan Kliring Warkat Debit di Wilayah Kliring dengan ketentuan sebagai berikut: a. permohonan perubahan jam Layanan Kliring Warkat Debit di Wilayah Kliring disampaikan secara tertulis kepada Penyelenggara; dan b. permohonan perubahan jam Layanan Kliring Warkat Debit di Wilayah Kliring diajukan dalam hal Peserta mengalami Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat. (2) Tata cara permohonan perubahan jam Layanan Kliring Warkat Debit di Wilayah Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada butir E.2 Lampiran II. Paragraf Ketiga Keikutsertaan Peserta dalam Kegiatan Operasional SKNBI Pasal 27 (1) Peserta wajib melakukan kegiatan operasional SKNBI sesuai dengan waktu operasional yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Peserta dapat mengajukan permohonan tidak ikut serta dalam kegiatan operasional SKNBI dengan ketentuan sebagai berikut: a. permohonan tidak ikut serta dalam kegiatan operasional SKNBI disampaikan secara tertulis kepada Penyelenggara; dan b. permohonan tidak ikut serta dalam kegiatan operasional SKNBI diajukan dalam hal Peserta mengalami kondisi tertentu, Keadaan Tidak Normal, dan/atau Keadaan Darurat. (3) Permohonan tidak ikut serta dalam kegiatan operasional SKNBI dalam kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terbatas untuk Layanan Kliring Warkat Debit. 22 (4) Peserta yang mendapat persetujuan untuk tidak ikut serta dalam kegiatan operasional SKNBI harus menyelesaikan hasil DKE untuk kepentingan nasabah dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai standar layanan nasabah dalam pelaksanaan transfer dana dan kliring berjadwal melalui SKNBI. (5) Dalam hal KPwDN di Wilayah Kliring tertentu menerapkan hari operasional sebagai libur fakultatif maka Peserta tidak dapat melakukan pengiriman DKE Warkat Debit ke Wilayah Kliring tersebut dan kegiatan Pertukaran Warkat Debit di wilayah tersebut ditiadakan. (6) Tata cara pengajuan permohonan tidak ikut serta dalam kegiatan operasional SKNBI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada huruf F Lampiran II. Bagian Kedua Penggunaan Soft Token dalam Penyelenggaraan SKNBI Pasal 28 (1) Soft token digunakan sebagai salah satu sarana pengamanan dalam operasional penyelenggaraan SKNBI. (2) Soft token sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki masa aktif paling lama 2 (dua) tahun setelah tanggal efektif. (3) Penggunaan soft token sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sesuai ketentuan internal Peserta dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta. Pasal 29 (1) Peserta mengajukan permohonan secara tertulis kepada Penyelenggara untuk mendapatkan penggantian atau perpanjangan soft token. (2) Dalam hal Penyelenggara menyetujui penggantian atau perpanjangan soft token, Penyelenggara memberitahukan kepada Peserta melalui administrative message atau sarana lainnya paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap. 23 (3) Pengambilan soft token sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah Peserta mendapatkan persetujuan oleh Penyelenggara. (4) Tata cara pengajuan permohonan penggantian atau perpanjangan soft token sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengambilan soft token sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengacu pada huruf A Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 30 (1) Penghapusan soft token dapat dilakukan atas dasar inisiatif Penyelenggara atau permintaan Peserta. (2) Tata cara penghapusan soft token sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada huruf B Lampiran III. Pasal 31 Penyelenggara menyampaikan surat pemberitahuan kepada Peserta mengenai penghapusan soft token sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah pelaksanaan penghapusan soft token. BAB V OPERASIONAL LAYANAN SKNBI Bagian Kesatu Operasional Layanan Transfer Dana Pasal 32 (1) Layanan Transfer Dana memproses perintah transfer dana yang berasal dari: a. Peserta kepada Peserta lainnya; b. Peserta kepada nasabah Peserta lainnya dan sebaliknya; dan c. nasabah Peserta kepada nasabah Peserta lainnya. (2) Batas nilai nominal transfer dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia 24 yang mengatur mengenai batas nilai nominal transaksi melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI. Pasal 33 (1) Peserta memproses perintah transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) melalui: a. pembuatan DKE Transfer Dana dan batch DKE Transfer Dana di SPK; dan b. pengiriman batch DKE Transfer Dana ke SSK. (2) Pembuatan DKE Transfer Dana dan batch DKE Transfer Dana di SPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan dengan memperhatikan hal sebagai berikut: a. Peserta wajib mengisi kode transaksi pada DKE Transfer Dana dengan mengacu pada kode transaksi sebagaimana dimaksud pada butir A.1 Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. Peserta wajib mengisi kode kota asal dengan kode kota kantor Peserta yang menerima perintah transfer dana dari nasabah; dan c. 1 (satu) batch DKE Transfer Dana paling banyak berisi 200 (dua ratus) transaksi. (3) Tata cara pemrosesan perintah transfer dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada butir A.2 Lampiran IV. Pasal 34 (1) DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b tidak dapat diubah atau dibatalkan. (2) DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung dengan dana yang cukup oleh Peserta. (3) Setelmen Dana atas perhitungan DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan di Rekening Setelmen Dana PLU dan/atau Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar. (4) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan 9 (sembilan) kali dalam 1 (satu) hari operasional. 25 Pasal 35 (1) Selama periode waktu pengiriman DKE Transfer Dana, Penyelenggara melakukan perhitungan setiap DKE Transfer Dana yang diterima SSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b dengan memperhatikan kecukupan dana yang dimiliki oleh Peserta. (2) Perhitungan DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terakhir dilakukan setelah batas waktu penambahan Prefund Kredit berakhir. (3) Penyelenggara menyediakan informasi hasil perhitungan DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diperoleh Peserta melalui SPK. (4) Tata cara perhitungan DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyediaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), mengacu pada butir A.3 Lampiran IV. Pasal 36 Peserta penerima wajib meneruskan dana kepada nasabah penerima berdasarkan DKE Transfer Dana yang diterima dari Peserta pengirim sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai standar layanan dalam pelaksanaan transfer dana dan kliring berjadwal melalui melalui SKNBI. Bagian Kedua Operasional Layanan Kliring Warkat Debit Pasal 37 (1) Layanan Kliring Warkat Debit memproses perintah transfer debit yang berasal dari Warkat Debit. (2) Layanan Kliring Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam setiap zona yang terdiri atas Kliring Penyerahan dan Kliring Pengembalian, yang merupakan satu kesatuan siklus Layanan Kliring Warkat Debit. 26 (3) Batas nilai nominal Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai batas nilai nominal transaksi melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI. Pasal 38 (1) Peserta memproses perintah transfer debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dalam Kliring Penyerahan melalui: a. pembuatan DKE Warkat Debit dan batch DKE Warkat Debit di SPK; dan b. pengiriman batch DKE Warkat Debit ke SSK. (2) Tata cara pemrosesan perintah transfer debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada butir B.1 Lampiran IV. Pasal 39 (1) DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf b tidak dapat diubah atau dibatalkan. (2) DKE Warkat Debit yang dikirim harus diikuti dengan penyampaian Warkat Debit kepada Peserta penerima tagihan di Wilayah Kliring dimana Warkat Debit tersebut dikliringkan. (3) DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung dengan dana yang cukup oleh Peserta penerima tagihan. (4) Setelmen Dana atas perhitungan DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan ke Rekening Setelmen Dana masing-masing Peserta. (5) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) hari operasional untuk setiap zona. Pasal 40 (1) Peserta penerima tagihan melakukan verifikasi terhadap DKE Warkat Debit yang diterima oleh SPK dari SSK pada Kliring Penyerahan. 27 (2) Berdasarkan hasil verifikasi pada ayat (1), Peserta dapat melakukan penolakan DKE Warkat Debit yang diterima melalui Kliring Pengembalian disertai dengan alasan penolakan DKE Warkat Debit. (3) Penolakan DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui: a. pembuatan DKE Warkat Debit dan batch DKE Warkat Debit di SPK; dan b. pengiriman batch DKE Warkat Debit ke SSK. (4) Penolakan DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disertai dengan penyampaian Warkat Debit melalui Kliring Pengembalian. (5) Tata cara penolakan dan alasan penolakan DKE Warkat Debit mengacu pada butir B.2 Lampiran IV. Pasal 41 (1) Penolakan DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) dapat tidak disertai dengan penyampaian Warkat Debit apabila alasan penolakan berupa Warkat Debit diduga palsu atau dimanipulasi. (2) Peserta penerima tagihan wajib melakukan penahanan Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama sampai dengan 1 (satu) hari kerja berikutnya. (3) Tata cara penolakan Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penahanan Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada butir B.3 Lampiran IV. Pasal 42 (1) Penyelenggara melakukan perhitungan DKE Warkat Debit yang diterima SSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf b dan Pasal 40 ayat (3) huruf b pada setiap zona dengan memperhatikan kecukupan dana yang dimiliki oleh Peserta. (2) Penyelenggara menyediakan informasi hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diperoleh Peserta melalui SPK. 28 (3) Perhitungan DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada setiap zona dilakukan setelah batas waktu penambahan Prefund Debit berakhir. (4) Tata cara perhitungan DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyediaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada butir B.4 Lampiran IV. Pasal 43 Peserta pengirim tagihan wajib meneruskan dana kepada nasabah sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai standar layanan dalam pelaksanaan transfer dana dan kliring berjadwal melalui SKNBI. Pasal 44 Pembuatan DKE Warkat Debit dan batch DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a dan Pasal 40 ayat (3) huruf a, dilakukan dengan memperhatikan hal sebagai berikut: a. Peserta wajib mengisi kode transaksi pada DKE Warkat Debit dengan mengacu pada kode transaksi sebagaimana dimaksud dalam butir B.5 Lampiran IV; b. Peserta wajib mengisi kode kota asal dengan kode kota kantor Peserta yang menerima Warkat Debit dari nasabah yang akan dikliringkan dalam Layanan Kliring Warkat Debit; dan c. 1 (satu) batch DKE Warkat Debit paling banyak berisi 200 (dua ratus) transaksi. Bagian Ketiga Operasional Layanan Pembayaran Reguler Pasal 45 (1) Layanan Pembayaran Reguler memproses perintah transfer dana yang berasal dari: 29 a. 1 (satu) Peserta pengirim kepada 1 (satu) atau lebih nasabah di Peserta penerima; b. 1 (satu) atau lebih nasabah di Peserta pengirim kepada 1 (satu) Peserta penerima; c. 1 (satu) nasabah di Peserta pengirim kepada 1 (satu) atau lebih nasabah di Peserta penerima; dan/atau d. 1 (satu) atau lebih nasabah di Peserta pengirim kepada 1 (satu) nasabah di Peserta penerima. (2) Batas nilai nominal transfer dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai batas nilai nominal transaksi melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI. Pasal 46 (1) Peserta memproses perintah transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) melalui: a. pembuatan DKE Pembayaran dan batch DKE Pembayaran di SPK; dan b. pengiriman batch DKE Pembayaran ke SSK. (2) Pembuatan DKE Pembayaran dan batch DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan dengan memperhatikan hal sebagai berikut: a. Peserta wajib mengisi kode transaksi pada DKE Pembayaran dengan mengacu pada kode transaksi sebagaimana dimaksud pada butir C.1 Lampiran IV; b. Peserta wajib mengisi kode kota asal dengan kode kota kantor Peserta yang menerima perintah transfer dana dari nasabah; dan c. 1 (satu) batch DKE Pembayaran paling banyak berisi 10 (sepuluh) DKE Pembayaran; dan d. 1 (satu) DKE Pembayaran paling banyak berisi 100 (seratus) rincian transaksi. (3) Tata cara pemrosesan perintah transfer dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada butir C.2 Lampiran IV. 30 Pasal 47 (1) DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b tidak dapat diubah atau dibatalkan. (2) DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung dengan dana yang cukup oleh Peserta. (3) Setelmen Dana atas perhitungan DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan ke Rekening Setelmen Dana PLU dan/atau Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar. (4) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan 9 (sembilan) kali dalam 1 (satu) hari operasional. Pasal 48 (1) Selama periode waktu pengiriman DKE Pembayaran, Penyelenggara melakukan perhitungan setiap DKE Pembayaran yang diterima SSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b dengan memperhatikan kecukupan dana yang dimiliki oleh Peserta. (2) Perhitungan DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terakhir dilakukan setelah batas waktu penambahan Prefund Kredit berakhir. (3) Penyelenggara menyediakan informasi hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diperoleh Peserta melalui SPK. (4) Tata cara perhitungan DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyediaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), mengacu pada butir C.3 Lampiran IV. Pasal 49 Peserta penerima wajib meneruskan dana kepada nasabah penerima berdasarkan DKE Pembayaran yang diterima dari Peserta pengirim sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai standar layanan dalam pelaksanaan transfer dana dan kliring berjadwal melalui SKNBI. 31 Bagian Keempat Operasional Layanan Penagihan Reguler Pasal 50 (1) Layanan Penagihan Reguler memproses perintah transfer debit berupa tagihan dari 1 (satu) nasabah penagih di Peserta pengirim untuk melakukan pendebitan 1 (satu) atau beberapa rekening nasabah tertagih di Peserta penerima. (2) Perintah transfer debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan: a. perjanjian antara Peserta pengirim dengan nasabah penagih untuk melakukan penagihan dengan menggunakan Layanan Penagihan Reguler; dan b. standing instruction dari nasabah tertagih kepada Peserta penerima untuk melakukan pendebitan rekening nasabah tertagih, dengan format sebagaimana tercantum dalam butir D.1 Lampiran IV. (3) Layanan Penagihan Reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Penyerahan Tagihan dan Pengembalian Tagihan yang merupakan satu kesatuan siklus Layanan Penagihan Reguler. (4) Batas nilai nominal transfer debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai batas nilai nominal transaksi melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI. Pasal 51 (1) Peserta memproses perintah transfer debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dalam Penyerahan Tagihan melalui: a. pembuatan DKE Penagihan dan batch DKE Penagihan di SPK berdasarkan standing instruction sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b; dan b. pengiriman batch DKE Penagihan ke SSK. 32 (2) Tata cara pemrosesan perintah transfer debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada butir D.2 Lampiran IV. Pasal 52 (1) DKE Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b tidak dapat diubah atau dibatalkan. (2) DKE Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung dengan dana yang cukup. (3) Setelmen Dana atas perhitungan DKE Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan ke Rekening Setelmen Dana masing-masing Peserta. (4) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) hari operasional. Pasal 53 (1) Peserta penerima tagihan melakukan verifikasi terhadap DKE Penagihan yang diterima oleh SPK dari SSK pada Penyerahan Tagihan. (2) Berdasarkan hasil verifikasi pada ayat (1), Peserta dapat melakukan penolakan DKE Penagihan yang diterima melalui Pengembalian Tagihan disertai dengan alasan penolakan DKE Penagihan. (3) Penolakan DKE Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui: a. pembuatan DKE Penagihan dan batch DKE Penagihan di SPK; dan b. pengiriman batch DKE Penagihan ke SSK. (4) Tata cara penolakan dan alasan penolakan DKE Penagihan mengacu pada butir D.3 Lampiran IV. 33 Pasal 54 (1) Penyelenggara melakukan perhitungan DKE Penagihan yang diterima SSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b dan Pasal 53 ayat (3) huruf b dengan memperhatikan kecukupan dana yang dimiliki oleh Peserta. (2) Penyelenggara menyediakan informasi hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diperoleh Peserta melalui SPK. (3) Perhitungan DKE Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah batas waktu penambahan Prefund Debit berakhir. (4) Tata cara perhitungan DKE Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyediaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada butir D.4 Lampiran IV. Pasal 55 Peserta pengirim tagihan wajib meneruskan dana kepada nasabah sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai standar layanan dalam pelaksanaan transfer dana dan kliring berjadwal melalui SKNBI. Pasal 56 Pembuatan DKE Penagihan dan batch DKE Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a dan Pasal 53 ayat (3) huruf a, dilakukan dengan memperhatikan hal sebagai berikut: a. Peserta wajib mengisi kode transaksi pada DKE Penagihan dengan mengacu pada kode transaksi sebagaimana dimaksud dalam butir D.5 Lampiran IV; b. Peserta wajib mengisi kode kota asal dengan kode kota kantor Peserta yang menerima perintah transfer debit dari nasabah; 34 c. 1 (satu) batch DKE Penagihan paling banyak berisi 10 (sepuluh) DKE Penagihan; dan d. 1 (satu) DKE Penagihan paling banyak berisi 100 (seratus) transaksi. Bagian Kelima Penyediaan Informasi dalam Penyelenggaraan SKNBI Pasal 57 (1) Penyelenggara menyediakan data dalam penyelenggaraan SKNBI yang dapat diakses oleh setiap Peserta. (2) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. data individual hasil proses penyelenggaraan SKNBI; dan b. data hasil perhitungan setiap layanan SKNBI secara agregat. (3) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan data hasil proses penyelenggaraan SKNBI selama 90 (sembilan puluh) hari kalender terakhir. Pasal 58 (1) Data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a terdiri atas data hasil proses pada: a. Layanan Transfer Dana; b. Layanan Kliring Warkat Debit; c. Layanan Pembayaran Reguler; dan d. Layanan Penagihan Reguler. (2) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. DKE confirmed outgoing; b. DKE confirmed incoming; c. DKE incoming; d. DKE outgoing; e. DKE yang di-reject oleh SSK; f. status pengiriman DKE; dan g. laporan hasil perhitungan DKE. 35 (3) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diunduh melalui SSK sesuai jam layanan SKNBI sebagaimana dimaksud dalam huruf A, huruf B, huruf C, dan huruf D Lampiran II. BAB VI PENYELENGGARAAN PERTUKARAN WARKAT DEBIT Bagian Kesatu Penyelenggara Pertukaran Warkat Debit Pasal 59 (1) Pertukaran Warkat Debit dalam suatu Wilayah Kliring diselenggarakan oleh Koordinator PWD. (2) Kegiatan Pertukaran Warkat Debit dilakukan secara otomasi atau secara manual. Pasal 60 Dalam menyelenggarakan Pertukaran Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Koordinator PWD bertanggungjawab: a. menyusun kebijakan dan prosedur tertulis mengenai pelaksanaan Pertukaran Warkat Debit; b. menyediakan sarana dan prasarana dalam Pertukaran Warkat Debit; c. menjaga kelancaran pelaksanaan Pertukaran Warkat Debit; d. mengelola administrasi kepesertaan Pertukaran Warkat Debit; e. menyediakan fasilitas penyelesaian permasalahan dalam proses Pertukaran Warkat Debit; dan f. menyediakan sarana kontingensi Pertukaran Warkat Debit pada saat terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat. 36 Pasal 61 Penyusunan kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. kebijakan dan prosedur tertulis dibuat paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal efektif sebagai Koordinator PWD; b. dalam hal terjadi perubahan ketentuan yang dikeluarkan oleh Penyelenggara yang berdampak pada materi kebijakan dan prosedur tertulis, Koordinator PWD harus melakukan pengkinian kebijakan dan prosedur tertulis paling lama 6 (enam) bulan sejak terjadinya perubahan ketentuan; c. kebijakan dan prosedur tertulis dibuat dalam Bahasa Indonesia; dan d. penyusunan rincian cakupan minimum materi kebijakan dan prosedur tertulis dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 62 Dalam menjaga kelancaran Pertukaran Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf c, Koordinator PWD di Wilayah Kliring Otomasi melakukan paling kurang: a. menetapkan jadwal Pertukaran Warkat Debit; b. menyelenggarakan Pertukaran Warkat Debit sesuai dengan jadwal sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. melakukan upaya untuk menjamin keandalan sistem penerimaan Warkat Debit dan sistem pilah Warkat Debit; d. menetapkan langkah yang harus dilakukan apabila terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat; e. melakukan pengujian kualitas magnetic ink character recognition (MICR) code line pada Warkat Debit dan kartu batch, dengan tata cara pengujian mengacu pada butir A.1 Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 37 f. menyediakan fasilitas salinan Warkat Debit yang telah diproses secara otomasi, dengan tata cara penyediaan mengacu pada butir A.2 Lampiran VI. Pasal 63 Dalam menjaga kelancaran Pertukaran Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf c, Koordinator PWD di Wilayah Kliring Manual melakukan paling kurang: a. menetapkan jadwal Pertukaran Warkat Debit; b. menyelenggarakan Pertukaran Warkat Debit sesuai dengan jadwal sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. memantau pelaksanaan Pertukaran Warkat Debit; dan d. menetapkan langkah yang harus dilakukan apabila terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat. Pasal 64 Penetapan jadwal Pertukaran Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a dan Pasal 63 huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. jadwal Pertukaran Warkat Debit mengacu pada waktu operasional layanan SKNBI yang ditetapkan oleh Penyelenggara; b. jadwal Pertukaran Warkat Debit disampaikan kepada seluruh Perwakilan Peserta di Wilayah Kliring yang bersangkutan; c. Perwakilan Peserta dapat mengajukan permohonan perubahan jadwal Pertukaran Warkat Debit di suatu Wilayah Kliring dalam hal mengalami Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat; dan d. tata cara perubahan jadwal Pertukaran Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam huruf c mengacu pada huruf A Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 38 Pasal 65 Dalam mengelola administrasi kepesertaan Pertukaran Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf d, Koordinator PWD melakukan paling kurang: a. mengadministrasikan data Perwakilan Peserta dan petugas kliring; b. menginformasikan penambahan dan/atau perubahan data Perwakilan Peserta kepada seluruh Perwakilan Peserta di Wilayah Kliring yang bersangkutan; dan c. menerbitkan TPPK dengan spesifikasi dan format sebagaimana dimaksud dalam huruf B Lampiran VII. Bagian Kedua Pendaftaran atau Perubahan Perwakilan Peserta Pasal 66 (1) Peserta harus menunjuk salah satu kantor Peserta di Wilayah Kliring sebagai Perwakilan Peserta. (2) Calon Perwakilan Peserta di suatu Wilayah Kliring mengajukan surat permohonan pendaftaran sebagai Perwakilan Peserta kepada: a. Koordinator PWD di Wilayah Kliring Jakarta, bagi calon Perwakilan Peserta yang berada di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Koordinator PWD di Wilayah Kliring yang bersangkutan, bagi calon Perwakilan Peserta yang berada di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. (3) Perwakilan Peserta melakukan pengambilan TPPK setelah memperoleh persetujuan sebagai Perwakilan Peserta dari Koordinator PWD. (4) Tata cara pendaftaran sebagai Perwakilan Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengambilan TPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengacu pada huruf C Lampiran VII. 39 Pasal 67 (1) Peserta dapat melakukan perubahan Perwakilan Peserta dan/atau petugas kliring di suatu Wilayah Kliring. (2) Tata cara perubahan Perwakilan Peserta dan/atau petugas kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada huruf D Lampiran VII. Bagian Ketiga Pembukaan dan Penutupan Wilayah Kliring Pasal 68 (1) Pembukaan Wilayah Kliring yang tidak terdapat KPwDN harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. paling kurang terdapat 4 (empat) kantor dari Peserta yang berbeda; b. rata-rata harian jumlah Warkat Debit yang beredar dalam periode 6 (enam) bulan terakhir berjumlah paling kurang 30 (tiga puluh) Warkat Debit; c. terdapat kantor Peserta yang ditunjuk sebagai Koordinator PWD selain Bank Indonesia; dan d. kesepakatan tertulis mengenai: 1. pembukaan Wilayah Kliring; dan 2. usulan kantor Peserta yang ditunjuk sebagai Koordinator PWD selain Bank Indonesia, dari seluruh kantor Peserta yang mendukung pembukaan Wilayah Kliring. (2) Koordinator PWD selain Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. mampu menyediakan sarana dan prasarana dalam Pertukaran Warkat Debit; dan b. memperoleh persetujuan dari kantor pusat Peserta yang bersangkutan untuk ditunjuk Koordinator PWD selain Bank Indonesia. sebagai 40 (3) Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditandatangani oleh seluruh pemimpin kantor Peserta yang mendukung pembukaan Wilayah Kliring tersebut. Pasal 69 (1) Calon Koordinator PWD selain Bank Indonesia menyampaikan permohonan rencana pembukaan Wilayah Kliring yang dilampiri dengan dokumen yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada: a. Penyelenggara, untuk pembukaan Wilayah Kliring yang berada di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. KPwDN, untuk pembukaan Wilayah Kliring yang berada di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. (3) Penyelenggara atau KPwDN memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap. (4) Berdasarkan persetujuan pembukaan Wilayah Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kantor Peserta yang ditetapkan sebagai Koordinator PWD selain Bank Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut: a. menyampaikan informasi secara tertulis kepada seluruh Perwakilan Peserta di Wilayah Kliring terkait dengan pembukaan Wilayah Kliring; dan b. melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60. (5) Tata cara pengajuan permohonan dan dokumen pembukaan Wilayah Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada butir E.1 Lampiran VII. 41 Pasal 70 (1) Penggantian Koordinator PWD selain Bank Indonesia dapat dilakukan berdasarkan persetujuan lebih dari 50% (lima puluh persen) Perwakilan Peserta di Wilayah Kliring tersebut. (2) Calon pengganti Koordinator PWD selain Bank Indonesia menyampaikan permohonan tertulis Penyelenggara atau KPwDN apabila calon pengganti Koordinator PWD selain Bank Indonesia berada di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. (3) Penyelenggara atau KPwDN memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap. (4) Berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Koordinator PWD selain Bank Indonesia pengganti melakukan hal-hal sebagai berikut: a. membuat berita acara serah terima hak dan kewajiban Koordinator PWD selain Bank Indonesia; b. menyampaikan informasi secara tertulis kepada seluruh Perwakilan Peserta di Wilayah Kliring terkait perubahan Koordinator PWD selain Bank Indonesia; dan c. melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60. (5) Tata cara penggantian Koordinator PWD selain Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada butir E.2 Lampiran VII. Pasal 71 (1) Penutupan Wilayah Kliring yang tidak terdapat KPwDN dapat dilakukan berdasarkan: a. kebijakan Penyelenggara atau KPwDN; atau b. kesepakatan tertulis dari seluruh kantor Peserta di Wilayah Kliring tersebut. kepada 42 (2) Penutupan Wilayah Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan permohonan Koordinator PWD selain Bank Indonesia. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada: a. Penyelenggara, untuk penutupan Wilayah Kliring yang berada di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. KPwDN, untuk penutupan Wilayah Kliring yang berada di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. (4) Penyelenggara atau KPwDN memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap. (5) Tata cara penutupan Wilayah Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu dalam butir E.3 Lampiran VII. Bagian Keempat Bantuan Keuangan dan Iuran Perwakilan Peserta Pasal 72 (1) Penyelenggara memberikan bantuan keuangan kepada Koordinator PWD selain Bank Indonesia dalam pelaksanaan Pertukaran Warkat Debit. (2) Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan nilai nominal dan kriteria yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (3) Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui kantor pusat dari Koordinator PWD selain Bank Indonesia. (4) Bantuan keuangan diberikan setiap bulan paling lambat pada akhir bulan berjalan. 43 (5) Tata cara pemberian bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan nilai nominal serta kriteria pemberian bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada huruf F Lampiran VII. Pasal 73 (1) Kantor pusat dari Koordinator PWD selain Bank Indonesia harus menyampaikan laporan mengenai pendistribusian bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 kepada Penyelenggara. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara bulanan paling lambat pada akhir bulan berikutnya. Pasal 74 (1) Koordinator PWD selain Bank Indonesia dapat menetapkan iuran kepada Perwakilan Peserta di Wilayah Kliring. (2) Penarikan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 tidak dapat menutup seluruh biaya operasional dalam Pertukaran Warkat Debit. (3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan selisih antara biaya operasional yang dikeluarkan Koordinator PWD selain Bank Indonesia dengan bantuan keuangan yang diberikan oleh Penyelenggara. (4) Besarnya iuran dan perhitungan biaya operasional yang menjadi dasar penetapan iuran harus disampaikan kepada dan disetujui oleh seluruh Perwakilan Peserta di Wilayah Kliring. Pasal 75 (1) Koordinator PWD selain Bank Indonesia harus menyampaikan laporan mengenai iuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74. 44 (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara triwulanan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja pada bulan berikutnya. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada: a. seluruh Perwakilan Peserta di Wilayah Kliring yang bersangkutan; dan b. Penyelenggara untuk Koordinator PWD selain Bank Indonesia yang berada di wilayah kantor pusat Bank Indonesia atau KPwDN untuk Koordinator PWD selain Bank Indonesia yang berada di wilayah KPwDN. Bagian Kelima Warkat Debit, Dokumen Kliring, dan Pencetakannya Pasal 76 (1) Warkat Debit yang digunakan dalam Pertukaran Warkat Debit terdiri atas: a. cek; b. bilyet giro; c. nota debit; dan d. Warkat Debit lainnya yang telah disetujui oleh Penyelenggara. (2) Warkat Debit berupa cek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau bilyet giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus diserahkan oleh nasabah penerima atau pihak yang menerima kuasa dari nasabah penerima kepada Peserta. (3) Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikliringkan oleh Peserta ke Wilayah Kliring dimana Peserta yang menerbitkan Warkat Debit memiliki Perwakilan Peserta di wilayah tersebut. (4) Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicetak di perusahaan percetakan dokumen sekuriti yang telah memperoleh izin dari otoritas atau lembaga yang berwenang. 45 (5) Tata cara penulisan dan spesifikasi teknis Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada huruf G Lampiran VII. Pasal 77 (1) Dokumen kliring yang digunakan dalam Pertukaran Warkat Debit di Wilayah Kliring Otomasi terdiri atas: a. BPWD Kliring Penyerahan; b. BPWD Kliring Pengembalian; dan c. kartu batch. (2) Dokumen kliring yang digunakan dalam Pertukaran Warkat Debit di Wilayah Kliring Manual terdiri atas: a. RWD Kliring Penyerahan; dan b. RWD Kliring Pengembalian. (3) Dokumen kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dicetak di perusahaan percetakan dokumen sekuriti yang telah memperoleh izin dari otoritas atau lembaga yang berwenang. (4) Spesifikasi teknis dokumen kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengacu pada huruf H Lampiran VII. Pasal 78 (1) Peserta mengajukan permohonan tertulis pencetakan Warkat Debit dan/atau dokumen kliring kepada Penyelenggara atau KPwDN yang mewilayahi. (2) Penyelenggara atau KPwDN yang mewilayahi memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah surat permohonan diterima secara lengkap dan benar. (4) Tata cara pencetakan Warkat Debit dan/atau dokumen kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada huruf I Lampiran VII. atas permohonan 46 BAB VII OPERASIONAL PERTUKARAN WARKAT DEBIT Bagian Kesatu Tata Cara Pertukaran Warkat Debit di Wilayah Kliring Otomasi Paragraf 1 Kegiatan di Perwakilan Peserta Pasal 79 (1) Dalam kegiatan Pertukaran Warkat Debit, petugas Perwakilan Peserta melakukan kegiatan sebagai berikut: a. melengkapi informasi magnetic ink character recognition (MICR) code line pada Warkat Debit dan dokumen kliring dengan tata cara mengacu pada huruf B Lampiran VI; dan b. membubuhkan stempel kliring pada setiap Warkat Debit dan dokumen kliring serta menyusun bundel Warkat Debit sesuai dengan urutan yang ditetapkan oleh Penyelenggara dengan tata cara mengacu pada butir J.1 Lampiran VII. (2) Format stempel kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengacu pada huruf L Lampiran VII. Paragraf 2 Kegiatan di Kantor Koordinator PWD Pasal 80 Dalam kegiatan Pertukaran Warkat Debit di kantor Koordinator PWD, petugas kliring melakukan kegiatan sebagai berikut: a. mencantumkan waktu penyerahan bundel Warkat Debit pada BPWD Kliring Penyerahan dan/atau BPWD Kliring Pengembalian; dan b. menyerahkan bundel Warkat Debit kepada petugas Koordinator PWD dengan menunjukkan TPPK. 47 Pasal 81 (1) Dalam kegiatan Pertukaran Warkat Debit di kantor Koordinator PWD, petugas Koordinator PWD melakukan kegiatan sebagai berikut: a. meminta petugas kliring menunjukkan TPPK; b. menerima bundel Warkat Debit dari petugas kliring; dan c. memeriksa persyaratan kelengkapan informasi pada BPWD Kliring Penyerahan dan/atau BPWD Kliring Pengembalian dan kartu batch. (2) Dalam hal petugas kliring tidak dapat menunjukkan TPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a maka petugas kliring yang bersangkutan dilarang ikut serta dalam proses penerimaan dan penyerahan Warkat Debit. (3) Tata cara pemeriksaan persyaratan kelengkapan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mengacu pada butir J.2 Lampiran VII. Pasal 82 (1) Petugas kliring harus hadir untuk menyerahkan dan/atau menerima Warkat Debit sesuai jadwal Kliring Penyerahan dan Kliring Pengembalian yang ditetapkan oleh Koordinator PWD. (2) Dalam hal petugas kliring tidak dapat menyerahkan Warkat Debit kepada Koordinator PWD sesuai jadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka: a. petugas Koordinator PWD dapat menolak Warkat Debit yang diserahkan; dan b. dalam hal Koordinator PWD menolak Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam huruf a, petugas kliring yang bersangkutan bertanggung jawab untuk mendistribusikan Warkat Debit kepada Perwakilan Peserta penerima. 48 Bagian Kedua Tata Cara Pertukaran Warkat Debit di Wilayah Kliring Manual Paragraf 1 Kegiatan di Perwakilan Peserta Pasal 83 (1) Dalam kegiatan Pertukaran Warkat Debit, petugas di Perwakilan Peserta melakukan kegiatan sebagai berikut: a. memilah Warkat Debit berdasarkan Peserta penerima; dan b. menyiapkan RWD Kliring Penyerahan dan/atau RWD Kliring Pengembalian serta membubuhkan stempel kliring pada setiap Warkat Debit dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam huruf K Lampiran VII. (2) Format stempel kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengacu pada huruf L Lampiran VII. Paragraf 2 Kegiatan di Kantor Koordinator PWD Pasal 84 Dalam kegiatan Pertukaran Warkat Debit di kantor Koordinator PWD, petugas kliring melakukan kegiatan sebagai berikut: a. mencantumkan waktu penyerahan pada RWD Kliring Penyerahan dan/atau RWD Kliring Pengembalian; b. menyerahkan kepada petugas kliring penerima: 1. Warkat Debit; dan 2. lembar pertama RWD Kliring Penyerahan dan/atau RWD Kliring Pengembalian; c. menerima dari petugas kliring pengirim: 1. Warkat Debit; dan 2. lembar kedua RWD Kliring Penyerahan dan/atau RWD Kliring Pengembalian; dan 49 d. mencantumkan tanda tangan dan nama jelas petugas kliring pada lembar pertama RWD Kliring Penyerahan dan/atau RWD Kliring Pengembalian yang diterima dan mengembalikannya kepada petugas kliring pengirim. Pasal 85 (1) Dalam kegiatan Pertukaran Warkat Debit di kantor Koordinator PWD, petugas Koordinator PWD melakukan kegiatan sebagai berikut: a. meminta petugas kliring menunjukkan TPPK; dan b. memastikan Pertukaran Warkat Debit dilakukan sesuai jadwal yang ditetapkan. (2) Dalam hal petugas kliring tidak dapat menunjukkan TPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a maka petugas kliring yang bersangkutan dilarang ikut serta dalam proses Pertukaran Warkat Debit. Pasal 86 (1) Petugas kliring harus hadir pada Kliring Penyerahan dan Kliring Pengembalian sesuai jadwal yang ditetapkan oleh Koordinator PWD. (2) Dalam hal petugas kliring hadir setelah jadwal yang ditetapkan oleh Koordinator PWD namun tidak melewati batas waktu 30 (tiga puluh) menit dari jadwal yang telah ditetapkan maka Pertukaran Warkat Debit dilakukan sesuai kebijakan Koordinator PWD. (3) Petugas kliring dinyatakan tidak hadir apabila petugas kliring tidak hadir sampai dengan 30 (tiga puluh) menit dari jadwal yang telah ditetapkan oleh Koordinator PWD. (4) Dalam hal petugas kliring dinyatakan tidak hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka penyelesaian Pertukaran Warkat Debit dilakukan di luar mekanisme Pertukaran Warkat Debit. 50 Bagian Ketiga Penggunaan Perusahaan Jasa Kurir Paragraf 1 Perusahaan Jasa Kurir Pasal 87 (1) Peserta atau Perwakilan Peserta dapat menunjuk perusahaan jasa kurir dalam kegiatan Pertukaran Warkat Debit di Wilayah Kliring Otomasi. (2) Perusahaan jasa kurir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk perseroan terbatas dan terdaftar di instansi yang berwenang sebagai perusahaan jasa kurir. Pasal 88 Perusahaan jasa kurir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dapat melakukan kegiatan sebagai berikut: a. menyerahkan bundel Warkat Debit kepada petugas Koordinator PWD pada Kliring Penyerahan dan Kliring Pengembalian; b. menerima BPWD Kliring Penyerahan dan/atau BPWD Kliring Pengembalian dari petugas Koordinator PWD; c. menerima Warkat Debit dan laporan hasil proses Warkat Debit pada Kliring Penyerahan dan Kliring Pengembalian dari petugas Koordinator PWD; d. menerima salinan Warkat Debit hasil Kliring Penyerahan dari petugas Koordinator PWD; dan/atau e. menerima surat pemberitahuan dan/atau surat yang bersifat tidak rahasia dari Koordinator PWD. Pasal 89 (1) Penggunaan perusahaan jasa kurir oleh Perwakilan Peserta harus mempertimbangkan hal sebagai berikut: a. efisiensi, keamanan, dan kecepatan dalam penyampaian Warkat Debit dengan tidak mengurangi jam pelayanan kepada nasabah; 51 b. jumlah Perwakilan Peserta lain yang telah dilayani oleh perusahaan jasa kurir tersebut; dan c. kredibilitas perusahaan jasa kurir serta pengurus perusahaan jasa kurir. (2) Dalam hal Perwakilan Peserta menggunakan perusahaan jasa kurir maka kegiatan Pertukaran Warkat Debit harus dilakukan oleh petugas jasa kurir kecuali terjadi keadaan darurat dan/atau kondisi tertentu berdasarkan pertimbangan Koordinator PWD, yang mengakibatkan perusahaan jasa kurir tidak dapat melakukan kewajibannya. (3) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), petugas internal Perwakilan Peserta menyampaikan surat pemberitahuan kepada Koordinator PWD. (4) Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. ditandatangani oleh pemimpin atau pejabat yang berwenang mewakili Perwakilan Peserta yang bersangkutan; b. menyebutkan alasan dan nama petugas yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan Pertukaran Warkat Debit; dan c. disampaikan paling lambat pada saat melakukan kegiatan Pertukaran Warkat Debit dengan menunjukkan kartu identitas pegawai yang menggunakan foto. Paragraf 2 Penggunaan Perusahaan Jasa Kurir Pasal 90 (1) Penggunaan perusahaan jasa kurir harus didasarkan pada perjanjian antara Peserta atau Perwakilan Peserta dengan perusahaan jasa kurir. (2) Penunjukan atau penggantian perusahaan jasa kurir dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 52 a. Peserta atau Perwakilan Peserta menyampaikan pemberitahuan kepada Koordinator PWD yang ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang berwenang mewakili Perwakilan Peserta yang bersangkutan; b. surat pemberitahuan dilampiri dengan fotokopi perjanjian penunjukan atau penggantian perusahaan jasa kurir; dan c. pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum tanggal efektif penggunaan perusahaan jasa kurir oleh Perwakilan Peserta. (3) Cakupan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada huruf M Lampiran VII. Paragraf 3 Kewajiban Perwakilan Peserta dalam Penggunaan Perusahaan Jasa Kurir Pasal 91 (1) Perwakilan Peserta harus mengisi informasi secara lengkap pada BPWD, kartu batch, dan Warkat Debit, sebelum bundel Warkat Debit diserahkan kepada petugas perusahaan jasa kurir. (2) Perwakilan Peserta bertanggung jawab penuh kepada Koordinator PWD terhadap segala akibat yang timbul dari setiap penyimpangan yang dilakukan oleh petugas perusahaan jasa kurir. (3) Dalam hal terdapat penyimpangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perwakilan Peserta melaporkan penyimpangan secara tertulis kepada Koordinator PWD dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal diketahuinya penyimpangan. (4) Perwakilan Peserta harus memberikan keterangan terkait dengan laporan penyimpangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila diminta oleh Koordinator PWD. 53 (5) Koordinator PWD dapat meminta Peserta atau Perwakilan Peserta untuk mengganti petugas perusahaan jasa kurir dalam hal petugas jasa kurir melanggar kebijakan dan prosedur tertulis yang ditetapkan oleh Koordinator PWD. (6) Dalam hal Peserta atau Perwakilan Peserta tidak memenuhi permintaan Koordinator PWD sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Koordinator PWD dapat menolak petugas perusahaan jasa kurir untuk melakukan kegiatan Pertukaran Warkat Debit. BAB VIII BIAYA Pasal 92 (1) Penyelenggara menetapkan biaya kepada Peserta dalam penyelenggaraan SKNBI. (2) Besarnya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk pajak pertambahan nilai (PPN). (3) Penyelenggara menetapkan batas maksimal biaya yang dapat dikenakan oleh Peserta kepada nasabah. (4) Biaya dalam penggunaan SKNBI tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 93 Dalam hal terdapat DKE Transfer Dana untuk treasury single account yang tidak mengacu pada kode transaksi Layanan Transfer Dana sebagaimana dimaksud dalam huruf A Lampiran IV maka DKE Transfer Dana tersebut dikenakan biaya proses DKE Transfer Dana dan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal. Pasal 94 (1) Penyelenggara dapat menetapkan kebijakan tertentu terhadap biaya dalam penyelenggaraan SKNBI apabila terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat. 54 (2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk pajak pertambahan nilai (PPN). Pasal 95 (1) Peserta dapat mengenakan biaya kepada nasabah paling banyak: a. Rp3.500,00 (tiga ribu lima ratus rupiah) per DKE Transfer Dana, untuk Layanan Transfer Dana; b. Rp5.000,00 (lima ribu rupiah) per DKE Warkat Debit, untuk Layanan Kliring Warkat Debit; c. Rp5.000,00 (lima ribu rupiah) per rincian DKE Pembayaran, untuk Layanan Pembayaran Reguler; dan d. Rp5.000,00 (lima ribu rupiah) per rincian DKE Penagihan yang dibebankan kepada nasabah tertagih, untuk Layanan Penagihan Reguler. (2) Peserta wajib mengumumkan: a. besarnya biaya penggunaan SKNBI yang ditetapkan Penyelenggara kepada Peserta; dan b. besarnya biaya transaksi melalui SKNBI yang ditetapkan dan dikenakan oleh Peserta kepada nasabah. (3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diletakkan di setiap kantor Peserta pada tempat yang mudah dilihat oleh nasabah. (4) Dalam rangka pengumuman biaya transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Peserta harus menyampaikan laporan kepada Penyelenggara mengenai besarnya biaya transaksi melalui SKNBI yang dibebankan kepada nasabah. (5) Dalam hal terdapat perubahan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Peserta harus menyampaikan perubahan biaya kepada Penyelenggara paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak penyesuaian biaya transaksi. 55 BAB IX PENANGANAN KEADAAN TIDAK NORMAL DAN/ATAU KEADAAN DARURAT Bagian Kesatu Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Penyelenggara Paragraf 1 Keadaan Tidak Normal di Penyelenggara Pasal 96 (1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal di Penyelenggara yang memengaruhi kelancaran penyelenggaraan SKNBI atau mengakibatkan operasional SKNBI tidak dapat diselenggarakan maka berlaku tata cara penanganan Keadaan Tidak Normal. (2) Dalam hal Keadaan Tidak Normal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan SKNBI tidak dapat beroperasi sampai dengan batas waktu yang ditentukan oleh Penyelenggara maka Penyelenggara menetapkan kebijakan dan prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal dan memberitahukan kepada Peserta mengenai hal yang harus dilakukan oleh Peserta. (3) Tata cara penanganan Keadaan Tidak Normal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada butir A.1 Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Paragraf 2 Keadaan Darurat di Penyelenggara Pasal 97 (1) Dalam hal terjadi Keadaan Darurat di Penyelenggara yang mengakibatkan diselenggarakan sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara maka Penyelenggara operasional SKNBI tidak dapat 56 menetapkan kebijakan dan prosedur penanggulangan Keadaan Darurat. (2) Tata cara penanganan Keadaan Darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada butir A.2 Lampiran IX. Bagian Kedua Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta Pasal 98 (1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta yang menyebabkan terganggunya kelancaran operasional SKNBI maka Peserta harus memberitahukan keadaan tersebut kepada Penyelenggara. (2) Dalam hal Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Peserta tidak dapat melakukan kegiatan operasional SKNBI dengan menggunakan SPK utama maka Peserta menggunakan SPK cadangan. (3) Tata cara penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada huruf B Lampiran IX. Pasal 99 Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta, Penyelenggara dapat menetapkan kebijakan dan prosedur yang diperlukan untuk penyelesaian transaksi oleh Peserta melalui SKNBI. Bagian Ketiga Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Koordinator PWD Pasal 100 (1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Koordinator PWD yang menyebabkan terganggunya penyelenggaraan Pertukaran Warkat Debit 57 maka Koordinator PWD harus memberitahukan keadaan tersebut kepada Penyelenggara. (2) Tata cara penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Koordinator PWD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada langkah-langkah yang telah ditetapkan oleh Koordinator PWD dalam kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf d. Bagian Keempat Penggunaan Fasilitas Kontingensi Pasal 101 (1) Fasilitas Kontingensi dapat digunakan oleh Peserta selama jam operasional SKNBI untuk melakukan kegiatan sesuai dengan periode waktu kegiatan yang masih berlaku. (2) Penyelenggara dapat menetapkan batas waktu maksimal dan/atau urutan penggunaan Fasilitas Kontingensi dalam hal jumlah Peserta yang mengajukan permohonan penggunaan Fasilitas Kontingensi melebihi kapasitas yang tersedia. (3) Peserta membebaskan Penyelenggara dari segala kerugian yang timbul dan/atau yang akan timbul yang dialami Peserta sehubungan dengan pelaksanaan Setelmen Dana melalui Fasilitas Kontingensi. (4) Fasilitas Kontingensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. b. fasilitas guest bank; dan fasilitas unggah (upload) DKE. (5) Penggunaan fasilitas unggah (upload) DKE sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b hanya dapat digunakan oleh Peserta berdasarkan kebijakan Penyelenggara. Pasal 102 (1) Peserta yang akan menggunakan Fasilitas Kontingensi harus mengajukan permohonan penggunaan Fasilitas Kontingensi secara tertulis kepada Penyelenggara yang 58 dapat didahului dengan sarana telepon, faksimili, dan/atau sarana elektronik lainnya. (2) Untuk Peserta yang berada di wilayah kerja KPwDN, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada KPwDN yang menyediakan Fasilitas Kontingensi. menyampaikan persetujuan atau (3) Penyelenggara penolakan penggunaan Fasilitas Kontingensi kepada Peserta melalui administrative message atau sarana lainnya. (4) Tata cara penggunaan Fasilitas Kontingensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada huruf C Lampiran IX. BAB X PEMANTAUAN KEPATUHAN Pasal 103 (1) Penyelenggara melakukan pemantauan kepatuhan kepada: a. Peserta; dan b. Koordinator PWD, terhadap ketentuan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Pemantauan kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung dan tidak langsung. (3) Dalam pemantauan kepatuhan Peserta, Penyelenggara dapat meminta Peserta untuk melakukan pengujian terhadap infrastruktur SPK yang digunakan dalam operasional SKNBI. (4) Pelaksanaan pemantauan kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek: a. tata kelola; b. operasional; c. infrastruktur; d. business continuity plan; dan e. perlindungan konsumen. 59 Bagian Kesatu Pemantauan Tidak Langsung kepada Peserta dan Koordinator PWD Pasal 104 (1) Peserta dan/atau Koordinator PWD wajib menyampaikan: a. laporan berkala kepada Penyelenggara; dan b. informasi, data, dan/atau dokumen dalam hal diminta oleh Penyelenggara. (2) Selain laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Peserta dan/atau Koordinator PWD harus menyampaikan laporan sewaktu-waktu kepada Penyelenggara. (3) Penyelenggara melakukan pemantauan secara tidak langsung kepada Peserta dan/atau Koordinator PWD melalui penelitian, analisis, dan evaluasi terhadap: a. laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan/atau b. informasi, data, dan/atau dokumen yang diperoleh Penyelenggara. Pasal 105 (1) Berdasarkan hasil pemantauan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (3), Penyelenggara dapat melakukan klarifikasi dan/atau konfirmasi kepada Peserta dan/atau Koordinator PWD. (2) Dalam hal berdasarkan hasil pemantauan tidak langsung terdapat hal yang perlu ditindaklanjuti oleh Peserta dan/atau Koordinator PWD, Penyelenggara menyampaikan surat pemberitahuan kepada Peserta dan/atau Koordinator PWD untuk pemenuhan ketentuan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (3) Peserta wajib menindaklanjuti hasil pemantauan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 60 (4) Koordinator PWD harus menindaklanjuti hasil pemantauan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Penyelenggara dapat melakukan pemantauan langsung berdasarkan hasil klarifikasi dan/atau konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Kedua Pemantauan Langsung kepada Peserta dan Koordinator PWD Pasal 106 (1) Pemantauan secara langsung kepada Peserta dan Koordinator PWD dilakukan melalui kunjungan ke lokasi Peserta (onsite visit). (2) Pemantauan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. (3) Penyelenggara dapat menunjuk pihak lain untuk dan atas nama Penyelenggara melakukan pemantauan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Petugas yang melakukan pemantauan langsung dilengkapi dengan surat tugas dari Penyelenggara. Pasal 107 (1) Dalam pemantauan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1), Peserta dan/atau Koordinator PWD wajib memberikan: a. informasi, data, dan/atau dokumen yang diperlukan sesuai dengan permintaan petugas Penyelenggara; b. akses untuk melakukan pemantauan langsung terhadap sarana fisik dan aplikasi pendukung yang terkait dengan operasional SKNBI di Peserta; dan/atau c. penjelasan atau keterangan kepada petugas yang melakukan pemantauan langsung kepada Peserta dan/atau Koordinator PWD. 61 (2) Pada akhir pemantauan langsung, dilakukan exit meeting untuk menyampaikan dan/atau membahas pokok hasil pemantauan langsung kepada Peserta dan/atau Koordinator PWD. (3) Hasil pemantauan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada Peserta dan/atau Koordinator PWD. (4) Peserta wajib menindaklanjuti hasil pemantauan langsung dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Koordinator PWD harus menindaklanjuti hasil pemantauan langsung dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Bagian Ketiga Laporan Berkala dan Laporan Sewaktu-waktu Pasal 108 (1) Peserta wajib menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) huruf a berupa laporan hasil penilaian kepatuhan (LHPK) kepada Penyelenggara. (2) Koordinator PWD wajib menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) huruf a berupa laporan triwulanan kepada Penyelenggara. (3) Tata cara penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengacu pada huruf A Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 109 (1) Peserta dan Koordinator PWD harus menyampaikan laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) berdasarkan: a. permintaan Penyelenggara; dan/atau b. inisiatif dari Peserta dan/atau Koordinator PWD. 62 (2) Tata cara penyampaian laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada huruf B Lampiran X. BAB XI TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 110 (1) Penyelenggara mengenakan sanksi administratif kepada Peserta berupa kewajiban membayar, teguran tertulis, dan/atau penurunan status kepesertaan. (2) Pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mendebit Rekening Setelmen Dana Peserta atau Rekening Setelmen Dana Bank Penerus atau Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar. (3) Penyelenggara menginformasikan pembebanan pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui surat setelah pelaksanaan pembebanan sanksi. Pasal 111 Sanksi administratif berupa kewajiban membayar terkait penolakan Warkat Debit dan/atau DKE Warkat Debit dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban membayar kepada Peserta pengirim, Peserta penerima, atau nasabah dilakukan berdasarkan alasan penolakan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. Pembebanan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. sanksi administratif yang dikenakan kepada nasabah Peserta dibebankan oleh Penyelenggara dengan cara melakukan pendebitan Rekening Setelmen Dana 63 Peserta dan Peserta membebankan sanksi administratif kepada nasabahnya; 2. sanksi administratif yang dikenakan kepada Peserta dibebankan oleh Penyelenggara dengan cara melakukan pendebitan Rekening Setelmen Dana Peserta; 3. Peserta dilarang membebankan biaya pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam angka 2 kepada nasabahnya; dan 4. pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari kerja pada bulan berikutnya. Pasal 112 Dalam hal Peserta dikenakan sanksi kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan laporan berkala sesuai batas waktu, Peserta tetap wajib menyampaikan laporan berkala paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak batas waktu penyampaian laporan berkala yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Pasal 113 Dalam hal Penyelenggara mengenakan sanksi administratif berupa penurunan status kepesertaan, Penyelenggara menginformasikan kepada: a. Peserta yang bersangkutan melalui surat; b. seluruh Peserta melalui fasilitas administrative message dan/atau sarana lainnya; dan c. Koordinator PWD yang di wilayah kerjanya terdapat Perwakilan Peserta, melalui surat atau sarana lainnya. BAB XII KORESPONDENSI Pasal 114 (1) Kegiatan korespondensi terkait penyelenggaraan SKNBI disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan 64 fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran ditujukan ke alamat: Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Divisi Kliring dan Transfer Dana Gedung D Lantai 3 Jalan M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (2) Kegiatan korespondensi terkait pemantauan kepatuhan Peserta disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran ditujukan ke alamat: Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Divisi Kepatuhan dan Informasi Sistem Pembayaran Gedung D Lantai 3 Jalan M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (3) Dalam hal terjadi perubahan alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka Penyelenggara memberitahukan perubahan tersebut melalui surat yang dapat didahului dengan sarana faksimili, dan/atau sarana elektronik lainnya. BAB XIII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 115 Penyelenggara dapat menetapkan kebijakan atau ketentuan yang berbeda mengenai penyelenggaraan SKNBI bagi Bank Indonesia dan lembaga lain yang disetujui Penyelenggara menjadi Peserta berdasarkan kebutuhan dan karakteristik tertentu. 65 BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 116 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku maka: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/7/DPSP tanggal 2 Mei 2016 perihal Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia; dan b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/40/DPSP tanggal 30 Desember 2016 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/7/DPSP tanggal 2 Mei 2016 perihal Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 117 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 1 September 2019. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. dengan Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Mei 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, SUGENG 1 PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/12/PADG/2019 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA I. UMUM Bank Indonesia selalu berupaya untuk meningkatkan efisiensi penyelesaian transaksi di masyarakat melalui penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang semakin cepat, mudah, dan murah. Untuk itu, Bank Indonesia membuat kebijakan mempercepat proses Setelmen Dana dan penurunan biaya dalam Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia. Penyelesaian akhir atau Setelmen Dana terhadap hasil perhitungan kliring Layanan Transfer Dana dan Layanan Pembayaran Reguler dipercepat menjadi 9 (sembilan) kali per hari. Percepatan Setelmen Dana tersebut akan meningkatkan kecepatan proses penyelesaian transaksi yang terjadi di masyarakat. Biaya yang dikenakan dalam Layanan Transfer Dana diturunkan baik biaya dari Bank Indonesia kepada Peserta maupun biaya maksimal yang dikenakan Peserta kepada nasabah. Penurunan biaya tersebut selain akan memperluas penggunaan transkasi nontunai di masyarakat juga akan mendorong penyediaan jasa sistem pembayaran di luar Bank Indonesia menjadi semakin efisien. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. 2 Pasal 2 Huruf a Ketentuan dan prosedur penyelenggaraan SKNBI antara lain meliputi ketentuan dan prosedur penyelenggaraan SKNBI dalam keadaan normal, Keadaan Tidak Normal, dan/atau Keadaan Darurat. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Pemantauan kepatuhan Peserta dilakukan berdasarkan ketentuan yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia dan ketentuan yang mengatur mengenai pelaksanaan transaksi melalui SKNBI dalam rangka perlindungan kepada nasabah Peserta SKNBI. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. 3 Huruf d Informasi biaya transaksi melalui SKNBI kepada nasabah dilakukan antara lain melalui pengumuman secara tertulis mengenai biaya transaksi melalui SKNBI pada tempat yang mudah terlihat oleh nasabah. Huruf e Yang dimaksud dengan “data dan informasi” antara lain dokumen asli dan/atau salinan dokumen yang berupa warkat dan/atau data elektronik terkait dengan pelaksanaan SKNBI. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “ketentuan lain terkait operasional Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia” antara lain ketentuan mengenai standar layanan nasabah dalam pelaksanaan transfer dana dan kliring berjadwal melalui SKNBI dan batas nilai nominal transaksi melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI. Pasal 7 Huruf a Yang dimaksud dengan “kebijakan dan prosedur tertulis” adalah aturan tertulis yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di internal Peserta dan berlaku sebagai pedoman operasional SKNBI di Peserta. Penyusunan kebijakan dan prosedur tertulis termasuk prosedur pengamanan penggunaan SKNBI di lingkungan internal Peserta. Huruf b Pemeriksaan internal bertujuan memastikan pengendalian intern telah dilaksanakan sesuai ketentuan untuk menjamin keamanan dan kelancaran operasional SKNBI. Ruang lingkup pemeriksaan internal mencakup paling kurang: 1. materi penilaian kepatuhan yang disampaikan oleh Penyelenggara; dan 2. evaluasi terhadap kebijakan dan prosedur tertulis yang disusun oleh Peserta. 4 Huruf c Security audit bertujuan untuk memastikan keamanan dan keandalan infrastruktur SKNBI di internal Peserta termasuk keterhubungan (interface) antara SPK dengan sistem internal Peserta. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Business continuity plan dan disaster recovery plan memuat: 1. prosedur yang dilakukan oleh Peserta dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat, untuk memastikan bahwa operasional SKNBI di Peserta tetap dapat dilakukan; dan/atau 2. upaya lainnya yang perlu dilakukan dalam hal sistem cadangan tidak dapat digunakan. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Pemeriksaan internal bertujuan memastikan pengendalian intern telah dilaksanakan sesuai ketentuan untuk menjamin keamanan dan kelancaran operasional SKNBI yang dilakukan oleh Peserta. Ruang lingkup pemeriksaan paling sedikit mencakup materi penilaian kepatuhan yang disampaikan oleh Penyelenggara. 5 Pasal 10 Huruf a Dalam hal security audit dilakukan oleh auditor internal maka dilengkapi dengan surat pernyataan pimpinan Peserta yang menyatakan bahwa pelaksanaan security audit dilakukan secara independen. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Huruf a Data yang dipelihara antara lain: 1. data transaksi; 2. data dalam aplikasi yang diberikan oleh Penyelenggara; dan 3. ketentuan dan prosedur yang diberikan oleh Penyelenggara. Huruf b Pengamanan data antara lain berupa perlindungan dari akses pihak yang tidak berwenang. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kegiatan memastikan data dalam media elektronik tidak rusak antara lain dengan cara melakukan pemeliharaan secara berkala. Huruf e Cukup jelas. 6 Pasal 14 Huruf a Memastikan petugas yang menangani SKNBI memahami sistem dan prosedur operasional SKNBI dapat dilakukan antara lain melalui pelatihan secara berkala. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Menjamin integritas database SKNBI yang ada pada SPK utama dan SPK cadangan serta data cadangan (back-up) termasuk data cadangan yang disimpan dalam bentuk compact disk (CD), hard disk, flashdisk, dan/atau media lainnya. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Penyimpanan aplikasi SPK dan perubahannya dilakukan dalam bentuk compact disk (CD), hard disk, flashdisk, dan/atau media lainnya. Huruf k Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. 7 Pasal 16 Huruf a Pemilihan jenis dan lokasi SPK cadangan serta jenis jaringan komunikasi data cadangan diserahkan kepada Peserta dan dilakukan berdasarkan pertimbangan antara lain: a. volume transaksi Peserta dan tingkat urgensi SKNBI bagi Peserta; dan b. pengendalian internal guna memitigasi risiko operasional di Peserta. Huruf b Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Kewajiban menjamin keamanan dan keandalan jaringan komunikasi data dilakukan untuk menjaga segala kemungkinan yang dapat merusak SKNBI antara lain kemungkinan pemalsuan, pembobolan data elektronis, serta perusakan sistem dengan cara mengirimkan banyak data dan pesan pembayaran dalam sistem. Pasal 21 Cukup jelas. 8 Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “hari operasional” adalah hari yang ditetapkan oleh Penyelenggara sebagai hari diselenggarakannya operasional SKNBI. Huruf b Yang dimaksud dengan “jam operasional” adalah jam yang ditetapkan oleh Penyelenggara sebagai waktu diselenggarakannya operasional SKNBI pada setiap hari operasional. Huruf c Yang dimaksud dengan “jam layanan” yaitu jadwal yang ditetapkan oleh Penyelenggara untuk setiap layanan dalam SKNBI, misalnya jam Layanan Transfer Dana, jam Layanan Kliring Warkat Debit, jam Layanan Pembayaran Reguler, dan jam Layanan Penagihan Reguler. Huruf d Yang dimaksud dengan “periode waktu kegiatan” adalah jangka waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara untuk melaksanakan kegiatan operasional setiap layanan dalam SKNBI, misalnya periode waktu untuk pengiriman DKE dan periode waktu untuk penyediaan Prefund. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. 9 Pasal 25 Ayat (1) Huruf a Perpanjangan periode waktu kegiatan dapat dilakukan karena adanya kebutuhan perpanjangan periode waktu kegiatan untuk pengiriman DKE dan/atau penyediaan Prefund dan berdampak pada operasional SKNBI di beberapa Wilayah Kliring. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” antara lain perubahan kebijakan pemerintah yang berdampak pada penyelesaian transaksi di SKNBI. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” yaitu sebagai berikut: 10 a. Wilayah Kliring tertentu ditetapkan libur fakultatif dan Koordinator PWD tetap menyelenggarakan Pertukaran Warkat Debit; dan/atau b. kondisi lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Penghapusan soft token atas dasar inisiatif Penyelenggara antara lain dilakukan dalam hal Peserta telah dihentikan kepesertaannya dalam penyelenggaraan SKNBI. Penghapusan soft token atas dasar permintaan Peserta antara lain dilakukan dalam hal mengajukan penutupan status kepesertaan SKNBI. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Huruf a Transfer dana yang berasal dari perintah transfer dana Peserta kepada Peserta lainnya meliputi transaksi selain yang 11 telah ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Sistem BI-RTGS. Huruf b Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah: 1. nasabah pengirim yang dapat berupa nasabah yang memiliki rekening dan nasabah yang tidak memiliki rekening di Peserta pengirim; dan 2. nasabah penerima berupa nasabah yang memiliki rekening di Peserta penerima. Huruf c Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah: 1. nasabah pengirim yang dapat berupa nasabah yang memiliki rekening dan nasabah yang tidak memiliki rekening di Peserta pengirim; dan 2. nasabah penerima berupa nasabah yang memiliki rekening di Peserta penerima. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kecukupan dana yang dimiliki oleh Peserta” adalah dana yang berasal dari: a. dana tunai (cash Prefund) yang disediakan dalam Prefund Kredit; dan b. DKE Transfer Dana masuk dari Peserta lainnya yang telah didukung dengan dana yang dimiliki oleh Peserta lain tersebut (confirmed incoming DKE Transfer Dana). Ayat (2) Cukup jelas. 12 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Peserta penerima tagihan” adalah Peserta memiliki kewajiban pembayaran sejumlah dana berdasarkan DKE Warkat Debit yang diterima dari Peserta pengirim. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. 13 Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kode kota asal” adalah sandi Wilayah Kliring tempat Warkat Debit dikliringkan. Huruf c Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Peserta pengirim” adalah Peserta yang memproses perintah transfer dana dari nasabah pengirim dengan melakukan pengiriman DKE Pembayaran kepada Peserta penerima. Yang dimaksud dengan “Peserta penerima” adalah Peserta yang menerima sejumlah dana berdasarkan DKE Pembayaran yang disampaikan oleh Peserta pengirim. Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah nasabah yang memiliki rekening di Peserta. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kecukupan dana yang dimiliki oleh Peserta” adalah dana yang berasal dari: 14 a. dana tunai (cash Prefund) yang disediakan dalam Prefund Kredit; dan b. DKE Pembayaran masuk dari Peserta lainnya yang telah didukung dengan dana yang dimiliki oleh Peserta lain tersebut (confirmed incoming DKE Pembayaran). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “Peserta pengirim” adalah Peserta yang berhak menerima sejumlah dana berdasarkan DKE Penagihan yang disampaikan kepada Peserta penerima. Yang dimaksud dengan “Peserta penerima” adalah Peserta yang memiliki kewajiban pembayaran sejumlah dana berdasarkan DKE Penagihan yang diterima dari Peserta pengirim. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. 15 Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Huruf a Yang dimaksud dengan “kebijakan dan prosedur tertulis” adalah aturan tertulis yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di internal Koordinator PWD dan berlaku sebagai pedoman dalam kegiatan Pertukaran Warkat Debit. Huruf b Penyediaan sarana dan prasarana untuk Wilayah Kliring Otomasi paling kurang meliputi: 1. mesin penera waktu; 2. telepon; 3. sarana penerimaan Warkat Debit; 16 4. sistem pilah Warkat Debit; dan 5. sarana pengarsipan. Penyediaan sarana dan prasarana untuk Wilayah Kliring Manual paling kurang meliputi: 1. mesin penera waktu; 2. telepon; 3. ruangan dan fasilitas pendukung untuk pelaksanaan Pertukaran Warkat Debit, antara lain berupa meja dan kursi; 4. daftar hadir; dan 5. sarana pengarsipan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Koordinator PWD menyediakan sarana kontingensi Pertukaran Warkat Debit agar kegiatan Pertukaran Warkat Debit tetap dapat dilaksanakan, antara lain lokasi cadangan Pertukaran Warkat Debit dan prosedur Pertukaran Warkat Debit dalam Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat. Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. 17 Huruf c Yang dimaksud dengan “memantau pelaksanaan Pertukaran Warkat Debit” antara lain melakukan pencatatan dalam hal terdapat selisih Warkat Debit dengan DKE Warkat Debit. Huruf d Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “kantor Peserta” dapat berupa kantor pusat, kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan/atau kantor kas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Penyediaan sarana dan prasarana dalam rangka Pertukaran Warkat Debit antara lain meliputi: 1. lokasi Pertukaran Warkat Debit yang mudah dijangkau oleh kantor Peserta dan tidak harus berada pada lokasi 18 yang sama dengan lokasi kantor Peserta yang diusulkan sebagai Koordinator PWD selain Bank Indonesia; 2. ruangan dan peralatan yang diperlukan dalam Pertukaran Warkat Debit; dan 3. TPPK. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 69 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal permohonan pembukaan Wilayah Kliring ditolak, Penyelenggara atau KPwDN menyampaikan surat pemberitahuan penolakan disertai dengan keterangan alasan penolakan. Alasan penolakan permohonan antara lain sebagai berikut: 1. tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Penyelenggara; dan/atau 2. dokumen permohonan tidak lengkap. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal permohonan penggantian Koordinator PWD selain Bank Indonesia ditolak, Penyelenggara atau KPwDN menyampaikan 19 surat pemberitahuan penolakan disertai dengan keterangan alasan penolakan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 71 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dalam hal permohonan penutupan Wilayah Kliring yang tidak terdapat KPwDN ditolak, Penyelenggara atau KPwDN menyampaikan surat pemberitahuan penolakan disertai dengan keterangan alasan penolakan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Biaya operasional antara lain mencakup biaya tenaga kerja serta biaya penyediaan sarana dan prasarana Pertukaran Warkat Debit. Ayat (3) Cukup jelas. 20 Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “cek” adalah cek sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang ditarik baik atas beban nasabah Peserta atau atas beban Peserta. Huruf b Yang dimaksud dengan “bilyet giro” adalah bilyet giro sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai bilyet giro. Huruf c Yang dimaksud dengan “nota debit” adalah Warkat Debit yang digunakan untuk menagih dana pada Peserta lain untuk untung nasabah Peserta atau Peserta yang menyampaikan nota debit tersebut. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 21 Pasal 77 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dokumen kliring” adalah dokumen yang berfungsi sebagai alat kontrol dalam pelaksanaan Pertukaran Warkat Debit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal permohonan pencetakan Warkat Debit ditolak, Penyelenggara atau KPwDN menyampaikan surat pemberitahuan penolakan disertai dengan keterangan alasan penolakan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. 22 Huruf c Pemeriksaan dilakukan hanya untuk memeriksa kelengkapan, bukan untuk memeriksa keabsahan informasi yang tercantum dalam BPWD Kliring Penyerahan atau BPWD Kliring Pengembalian. Keabsahan informasi pada BPWD Kliring Penyerahan atau BPWD Kliring Pengembalian termasuk kebenaran tanda tangan dan nama yang tercantum pada BPWD Kliring Penyerahan atau BPWD Kliring Pengembalian, sepenuhnya menjadi tanggung jawab Perwakilan Peserta dan bukan merupakan tanggung jawab Koordinator PWD. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Pengembalian RWD Kliring Penyerahan dan RWD Kliring Pengembalian yang telah dicantumkan tanda tangan dan nama jelas petugas kliring merupakan bukti penyerahan Warkat Debit. Pasal 85 Cukup jelas. 23 Pasal 86 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kebijakan Koordinator PWD antara lain berupa: a. tetap mengizinkan petugas kliring melakukan Pertukaran Warkat Debit di kantor Koordinator PWD; atau b. meminta petugas kliring menyelesaikan Pertukaran Warkat Debit secara bilateral antar Peserta. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Risiko dan dampak akibat ketidakhadiran petugas kliring menjadi tanggung jawab Perwakilan Peserta yang bersangkutan sepenuhnya. Pasal 87 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bukti terdaftar di instansi yang berwenang sebagai perusahaan jasa kurir berupa kepemilikan tanda daftar perusahaan yang masih berlaku. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Ayat (1) Cukup jelas. 24 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Laporan terkait penyimpangan yang dilakukan oleh petugas jasa kurir mencakup pula langkah penanganan yang telah dilakukan oleh Perwakilan Peserta. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. 25 Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Dalam hal permohonan penggunaan Fasilitas Kontingensi ditolak, Penyelenggara atau KPwDN menyampaikan surat pemberitahuan penolakan disertai dengan keterangan alasan penolakan. Pasal 103 Ayat (1) Huruf a Pemantauan kepatuhan Peserta terhadap ketentuan yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal dilakukan dalam rangka menjaga kelancaran operasional SKNBI. Huruf b Pemantauan kepatuhan Koordinator PWD dilakukan dalam rangka menjaga kelancaran kegiatan Pertukaran Warkat Debit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 104 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Informasi, data, dan/atau dokumen yang diperoleh Penyelenggara antara lain berasal dari Peserta yang bersangkutan, sistem Penyelenggara, dan/atau pihak lain. 26 Ayat (2) Laporan sewaktu-waktu antara lain laporan penyalahgunaan Warkat Debit dan laporan gangguan operasional SKNBI. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Ayat (1) Huruf a Informasi, data, dan/atau dokumen termasuk namun tidak terbatas pada dokumen asli dan/atau salinan dokumen yang berupa dokumen operasional, warkat, dan/atau data elektronik yang terkait dengan pelaksanaan SKNBI sesuai dengan permintaan petugas Penyelenggara. Huruf b Pemantauan langsung terhadap sarana fisik dan aplikasi pendukung termasuk permintaan pengujian infrastruktur Peserta yang digunakan dalam operasional SKNBI. Akses untuk melakukan pemantauan langsung terhadap sarana fisik dan aplikasi pendukung yang terkait dengan operasional SKNBI di Peserta antara lain SPK serta interface dari dan ke sistem internal Peserta. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 27 Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 108 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “laporan hasil penilaian kepatuhan (LHPK)” adalah laporan tahunan hasil penilaian pemeriksaan internal Peserta untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Ayat (2) Laporan triwulanan memuat informasi jumlah Perwakilan Peserta, jumlah transaksi, jumlah nominal transaksi, dan jadwal pelaksanaan Pertukaran Warkat Debit. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 109 Ayat (1) Huruf a Laporan yang disampaikan oleh Peserta dan/atau Koordinator PWD kepada Penyelenggara atas permintaan Penyelenggara antara lain laporan gangguan SKNBI pada Peserta atau laporan dalam rangka kegiatan operasional SKNBI oleh Peserta atau Koordinator PWD. Huruf b Laporan yang disampaikan kepada Penyelenggara atas inisiatif dari Peserta dilakukan dalam hal terdapat kejadian tertentu antara lain gangguan SKNBI yang dialami Peserta dan penyalahgunaan atau pemalsuan Warkat Debit. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 110 Cukup jelas. 28 Pasal 111 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Peserta dilarang membebankan biaya pengenaan sanksi administratif mengingat alasan penolakan Warkat Debit atau DKE Warkat Debit tersebut disebabkan oleh kesalahan Peserta. Angka 4 Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/12/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 31 Mei 2019 </set_date> <effective_date> 1 September 2019 </effective_date> <replaced_reg> '18/7/DPSP|SE-BI/2016', '18/40/DPSP|SE-BI/2016' </replaced_reg> <related_reg> '17/9/PBI/2015', '21/8/PBI/2019' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/ 26/PADG/2019 TENTANG DEVISA HASIL EKSPOR DAN DEVISA PEMBAYARAN IMPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kewajiban penerimaan devisa hasil ekspor melalui perbankan di Indonesia perlu dipantau kepatuhannya guna mendukung optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor; b. bahwa selain devisa hasil ekspor terdapat devisa pembayaran impor yang perlu dipantau pengeluarannya karena dapat memengaruhi permintaan devisa secara nasional dan pasar keuangan di Indonesia; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Devisa Hasil Ekspor dan Devisa Pembayaran Impor; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/14/PBI/2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dan Devisa Pembayaran Impor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 229, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6425); 2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG DEVISA HASIL EKSPOR DAN DEVISA PEMBAYARAN IMPOR. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia namun tidak termasuk kantor cabang luar negeri dari bank yang berkantor pusat di Indonesia, yang memperoleh persetujuan dari otoritas yang berwenang untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. 2. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai kepabeanan. 3. Devisa Hasil Ekspor yang selanjutnya disingkat DHE adalah devisa dari hasil kegiatan Ekspor. 4. Devisa Hasil Ekspor dari Barang Ekspor Sumber Daya Alam yang selanjutnya disebut DHE SDA adalah DHE yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah mengenai devisa hasil ekspor yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. 5. Devisa Hasil Ekspor dari Barang Ekspor selain Sumber Daya Alam yang selanjutnya disebut DHE Non-SDA adalah DHE yang diperoleh dari kegiatan selain kegiatan 3 pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. 6. Ekspor SDA adalah Ekspor dalam kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. 7. Ekspor Non-SDA adalah Ekspor dalam kegiatan selain kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. 8. Eksportir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau badan lainnya yang tidak berbadan hukum, yang melakukan Ekspor. 9. Eksportir SDA adalah Eksportir dalam kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. 10. Eksportir Non-SDA adalah Eksportir dalam kegiatan selain kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. 11. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang mengenai kepabeanan. 12. Devisa Pembayaran Impor yang selanjutnya disingkat DPI adalah devisa yang digunakan untuk membayar Impor. 13. Importir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau badan lainnya yang tidak berbadan hukum, yang melakukan Impor. 14. Perusahaan Jasa Titipan yang selanjutnya disingkat PJT adalah penyelenggara pos yang memperoleh izin usaha dari instansi terkait untuk melaksanakan layanan surat, dokumen, dan paket sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pos. 15. Pemberitahuan Pabean Ekspor yang selanjutnya disingkat PPE adalah pernyataan yang dibuat oleh perseorangan 4 atau badan hukum untuk melaksanakan kewajiban pabean Ekspor dalam bentuk dan syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan. 16. Pemberitahuan Pabean Impor yang selanjutnya disingkat PPI adalah pernyataan yang dibuat oleh perseorangan atau badan hukum untuk melaksanakan kewajiban pabean Impor dalam bentuk dan syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan. 17. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank. 18. Rekening Khusus DHE SDA yang selanjutnya disebut Reksus DHE SDA adalah rekening milik Nasabah di Bank dalam valuta rupiah atau valuta asing, yang digunakan khusus untuk penerimaan DHE SDA. 19. Laporan DHE adalah laporan yang menjelaskan informasi data kepabeanan dan penerimaan DHE yang dilaporkan oleh Eksportir. 20. Laporan DPI adalah laporan yang menjelaskan informasi data kepabeanan dan pembayaran DPI yang dilaporkan oleh Importir. 21. Perintah Transfer Dana adalah perintah tidak bersyarat dari pengirim kepada penyelenggara penerima untuk membayarkan sejumlah dana tertentu kepada penerima sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai transfer dana. 22. Transfer Dana Keluar atau Outgoing Transfer adalah transaksi lalu lintas devisa Nasabah berupa transfer dana keluar dalam valuta asing. 23. Transfer Dana Masuk atau Incoming Transfer adalah transaksi lalu lintas devisa Nasabah berupa transfer dana masuk dalam valuta asing. 24. Nilai Ekspor adalah nilai Ekspor free on board (FOB) yang tercantum pada PPE. 25. Nilai Impor adalah nilai Impor cost, insurance, and freight (CIF) yang tercantum pada PPI. 26. Maklon adalah pemberian jasa untuk proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya 5 dilakukan oleh pihak pemberi jasa atau disubkontrakkan, dan pengguna jasa menetapkan spesifikasi serta menyediakan bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa. 27. Nilai Maklon adalah nilai yang diperoleh dari kegiatan Maklon yang tercantum pada PPE. 28. Pihak yang Tunduk kepada Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut Pihak dalam Kontrak Migas adalah operator dan/atau pemegang participating interest beserta para penggantinya dari waktu ke waktu, yang tercatat di otoritas yang berwenang. 29. Pemilik Barang adalah pihak yang melakukan Ekspor atau Impor melalui PJT. 30. Message Financial Transaction Messaging System yang selanjutnya disebut Message FTMS adalah kumpulan data dalam format terstruktur yang dikirim atau diterima oleh pengguna atau aplikasi. 31. Telegraphic Transfer yang selanjutnya disingkat TT adalah jenis transfer dana melalui Bank dengan menggunakan sarana elektronik berdasarkan perintah bayar dari pemilik dana. 32. Laporan Transaksi Non-Telegraphic Transfer yang selanjutnya disebut Laporan Transaksi Non-TT adalah laporan yang disampaikan Bank atas transaksi non-TT. 33. Bulan PPE adalah bulan pendaftaran yang diperoleh dari informasi tanggal pendaftaran yang tercantum pada PPE. 34. Bulan PPI adalah bulan pendaftaran yang diperoleh dari informasi tanggal pendaftaran yang tercantum pada PPI. 35. Jasa Perbaikan adalah jasa terkait perbaikan dan/atau perawatan barang. 36. Operational Leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal secara sewa guna usaha tanpa hak opsi untuk membeli yang digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran. 6 37. Financial Leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal secara sewa guna usaha dengan hak opsi untuk membeli yang digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran. 38. Netting adalah mekanisme penyelesaian tagihan Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas yang dikompensasikan (set-off) dengan kewajiban Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas. 39. Usance L/C adalah letter of credit yang mensyaratkan pembayaran secara berjangka sesuai kesepakatan antara Eksportir, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas dengan pembeli (buyer). 40. Documentary Collection adalah penagihan pembayaran Ekspor dengan menggunakan jasa bank melalui pengiriman dokumen terkait Ekspor kepada bank di luar negeri. 41. Daring adalah suatu kegiatan yang menggunakan fasilitas jaringan internet. 42. Luring adalah suatu kegiatan yang tidak menggunakan fasilitas jaringan internet. 43. Sandi Tujuan Transaksi yang selanjutnya disingkat STT adalah sandi yang digunakan untuk mengidentifikasi setiap transaksi yang memengaruhi aset finansial luar negeri dan kewajiban finansial luar negeri Bank. 44. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk hari kerja operasional terbatas. 7 BAB II KEWAJIBAN EKSPORTIR Bagian Kesatu Kewajiban Eksportir terkait Penerimaan DHE Pasal 2 (1) Seluruh DHE wajib diterima melalui Bank paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah Bulan PPE. (2) Dalam hal DHE diterima dalam bentuk uang tunai di dalam negeri, DHE tersebut wajib disetorkan ke Bank paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah Bulan PPE. (3) Eksportir harus menyampaikan kepada Bank Indonesia dokumen pendukung terkait dengan DHE yang diterima dalam bentuk uang tunai yang disetorkan ke Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Nilai DHE yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau nilai DHE yang disetor ke Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib sesuai dengan Nilai Ekspor. (5) DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diterima dalam valuta yang berbeda dengan valuta yang tercantum pada dokumen PPE. (6) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari libur maka penerimaan DHE dan/atau penyetoran DHE ke Bank dapat dilakukan pada Hari berikutnya. Pasal 3 (1) Dalam hal penerimaan DHE dilakukan melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), DHE dianggap diterima sesuai batas waktu apabila: a. DHE diterima paling lambat 14 (empat belas) hari kalender setelah jatuh tempo pembayaran Ekspor yang telah diatur dalam kontrak antara Eksportir dan buyer; atau 8 b. disebabkan buyer wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan kahar. (2) Dalam hal penerimaan DHE dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung yang memadai. (3) Dokumen pendukung untuk penerimaan DHE yang melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit berupa kontrak antara Eksportir dan buyer. Pasal 4 Jatuh tempo pembayaran Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a diatur sesuai dengan cara pembayaran yaitu: a. sesuai dengan tenor yang tercantum, untuk transaksi Usance L/C; b. pada waktu bank penerima amanat Documentary Collection menerima hasil penagihan dari buyer, untuk transaksi Documentary Collection; c. pada waktu pembayaran yang disepakati antara Eksportir dan buyer setelah pengiriman barang, untuk pembayaran kemudian; dan d. pada tanggal jatuh tempo pembayaran yang disepakati antara Eksportir dan penerima barang konsinyasi, untuk transaksi konsinyasi. Pasal 5 (1) Dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai Ekspor dengan selisih paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), nilai DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor sehingga Eksportir tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung. (2) Dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai Ekspor dengan selisih melebihi ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), nilai DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir menyampaikan dokumen pendukung yang memadai. 9 Pasal 6 (1) Dalam hal Ekspor dari hasil Maklon, nilai DHE yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) wajib sesuai dengan Nilai Maklon. (2) Dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai Maklon dengan selisih paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), nilai DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Maklon sehingga Eksportir tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung. (3) Dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai Maklon dengan selisih melebihi ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), nilai DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Maklon apabila Eksportir menyampaikan dokumen pendukung yang memadai. Pasal 7 (1) Dalam hal valuta nilai DHE, valuta Nilai Ekspor, dan/atau valuta Nilai Maklon terdapat dalam kurs yang diumumkan oleh Bank Indonesia, selisih kurang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 dihitung dengan mengonversi nilai DHE, Nilai Ekspor, dan/atau Nilai Maklon ke rupiah dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal pendaftaran PPE untuk selanjutnya dihitung selisihnya. (2) Dalam hal valuta nilai DHE, valuta Nilai Ekspor, dan/atau valuta Nilai Maklon tidak terdapat dalam kurs yang diumumkan Bank Indonesia, selisih kurang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 dihitung dengan cara sebagai berikut: a. nilai DHE, Nilai Ekspor, dan/atau Nilai Maklon yang valutanya tidak terdapat dalam kurs yang diumumkan Bank Indonesia dikonversikan ke dolar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs Reuters pada tanggal pendaftaran PPE; dan b. hasil konversi nilai DHE, Nilai Ekspor, dan/atau Nilai Maklon dalam dolar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud dalam huruf a dikonversikan ke rupiah 10 dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal pendaftaran PPE, untuk selanjutnya dihitung selisihnya. (3) Dalam hal tanggal pendaftaran PPE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan hari libur, valuta nilai DHE, valuta Nilai Ekspor, dan/atau valuta Nilai Maklon menggunakan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs Reuters Hari sebelumnya. Pasal 8 Dalam hal terdapat perbedaan antara data PPE yang disampaikan Eksportir dengan data PPE yang diterima Bank Indonesia dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) maka Bank Indonesia dapat memutuskan data PPE yang akan dijadikan acuan dalam pemenuhan ketentuan Bank Indonesia mengenai devisa hasil ekspor dan devisa pembayaran impor. Bagian Kedua Kewajiban Eksportir terkait Pelaporan DHE Pasal 9 (1) Dalam hal DHE diterima melalui transaksi TT, Eksportir harus menyampaikan informasi Ekspor kepada buyer untuk dicantumkan pada Message FTMS oleh bank di luar negeri. (2) Informasi Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas: a. STT dengan kode 1011; b. nomor invoice; dan c. nilai invoice. (3) Informasi Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan oleh bank di luar negeri pada Message FTMS berdasarkan spesifikasi format yang ditetapkan Bank Indonesia, yaitu 1011//nomor_invoice(nilai_invoice). (4) Dalam hal informasi Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dicantumkan dalam Message FTMS sesuai spesifikasi format sebagaimana dimaksud pada ayat (3) 11 maka Eksportir harus: a. menyampaikan koreksi informasi Ekspor kepada buyer untuk dicantumkan pada koreksi Message FTMS oleh bank di luar negeri; atau b. meminta Bank untuk menginformasikan kepada bank di luar negeri agar melakukan koreksi informasi Ekspor pada koreksi Message FTMS. (5) Koreksi informasi Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dicantumkan oleh bank di luar negeri pada koreksi Message FTMS berdasarkan spesifikasi format yang ditetapkan Bank Indonesia, /id_referensi/1011//nomor_invoice(nilai_invoice). Pasal 10 (1) Dalam hal DHE diterima melalui transaksi non-TT, Eksportir harus menyampaikan informasi Ekspor kepada Bank untuk diteruskan kepada Bank Indonesia melalui Laporan Transaksi Non-TT. (2) Informasi Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. nomor letter of credit (L/C); b. tanggal jatuh tempo pembayaran L/C; c. nomor invoice; d. nilai invoice; dan/atau e. informasi lainnya. Pasal 11 (1) Eksportir harus menyampaikan Laporan DHE kepada Bank Indonesia secara Daring melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia dalam hal terdapat: a. perubahan informasi pada PPE yang memengaruhi DHE; dan/atau b. perubahan informasi terkait DHE. (2) Perubahan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. perubahan nomor invoice; b. perubahan nilai invoice; yaitu 12 c. tanggal jatuh tempo penerimaan DHE; dan/atau d. informasi lainnya. (3) Perubahan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas perubahan: a. nomor invoice; b. nilai DHE; dan/atau c. informasi lainnya. (4) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Nilai Ekspor lebih besar dari ekuivalen USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). (5) Dalam hal terdapat perubahan informasi pada PPE yang memengaruhi DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Eksportir harus menyampaikan Laporan DHE ke Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah Bulan PPE. (6) Dalam hal terdapat perubahan informasi terkait DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Eksportir harus menyampaikan Laporan DHE ke Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah penerimaan DHE. (7) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) jatuh pada hari libur, penyampaian Laporan DHE dapat dilakukan pada Hari berikutnya. Pasal 12 (1) Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia secara Daring melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia dalam hal: a. DHE diterima dalam bentuk uang tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2); b. DHE diterima melebihi akhir bulan ketiga setelah Bulan PPE berdasarkan kontrak antara Eksportir dan buyer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a; c. DHE tidak diterima; 13 d. selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Ekspor lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2); e. selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Maklon lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3); f. buyer wanprestasi atau mengalami keadaan kahar; dan/atau g. buyer pailit. (2) Dalam hal DHE diterima dalam bentuk uang tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung paling sedikit berupa fotokopi rekening koran yang menunjukkan penyetoran uang tunai ke Bank dan kuitansi penerimaan tunai. (3) Dalam hal DHE diterima melebihi akhir bulan ketiga setelah Bulan PPE berdasarkan kontrak antara Eksportir dan buyer, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung berupa kontrak antara Eksportir dan buyer yang dilengkapi dengan dokumen sesuai dengan cara pembayaran sebagai berikut: a. Usance L/C, berupa fotokopi dokumen L/C, invoice, bill of lading (B/L), dan/atau dokumen lainnya; b. Documentary Collection, berupa invoice, B/L, dan/atau dokumen lainnya; c. pembayaran kemudian, berupa invoice, B/L, dan/atau dokumen lainnya; dan/atau d. konsinyasi, berupa invoice, bukti pengeluaran barang dari gudang buyer, B/L, dan/atau dokumen lainnya. (4) Dalam hal DHE tidak diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung paling sedikit berupa perjanjian antara Eksportir dengan buyer. 14 (5) Dalam hal selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Ekspor lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung sesuai penyebab selisih sebagai berikut: a. selisih kurs, diskon atau rabat, biaya administrasi, dan/atau biaya lainnya terkait perdagangan internasional berupa: 1. invoice; 2. Message FTMS atau bukti transfer lainnya dari Bank; dan/atau 3. nota debet; b. Financial Leasing berupa: 1. invoice; dan/atau 2. kesepakatan atau perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi untuk membeli; c. Operational Leasing berupa kesepakatan atau perjanjian sewa guna usaha tanpa hak opsi untuk membeli; d. Jasa Perbaikan berupa: 1. kesepakatan atau perjanjian; dan/atau 2. invoice terkait Jasa Perbaikan barang; e. perbedaan penilaian harga barang berupa: 1. invoice; 2. nota kredit; 3. nota debet; dan/atau 4. keterangan dari buyer dan/atau lembaga lain terkait nilai barang yang diekspor; f. perbedaan komposisi, kualitas, dan/atau kuantitas barang berupa: 1. invoice; 2. nota kredit; 3. nota debet; 4. certificate of analysis; dan/atau 5. keterangan dari buyer dan/atau lembaga lain terkait barang yang diekspor. 15 (6) Dalam hal selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Maklon lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e karena selisih kurs, diskon atau rabat, biaya administrasi, dan/atau biaya lainnya terkait perdagangan internasional, Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung berupa: a. invoice; b. Message FTMS atau bukti transfer lainnya dari Bank; dan/atau c. nota debet. (7) Dalam hal buyer wanprestasi atau mengalami keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung paling sedikit berupa keterangan dari buyer dan/atau lembaga lainnya yang terkait. (8) Dalam hal buyer pailit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung paling sedikit berupa keterangan pailit dari instansi atau pihak yang berwenang di negara tempat kedudukan buyer. Pasal 13 (1) Dalam hal: a. DHE diterima melebihi akhir bulan ketiga setelah Bulan PPE berdasarkan kontrak antara Eksportir dan buyer; atau b. DHE tidak diterima, Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dan ayat (4) kepada Bank Indonesia secara Daring melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah Bulan PPE. (2) Dalam hal: a. DHE diterima dalam bentuk uang tunai di dalam negeri; 16 b. selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Ekspor lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); atau c. selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Maklon lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6) kepada Bank Indonesia secara Daring melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah bulan penerimaan DHE. (3) Dalam hal buyer wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan kahar, Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (7) dan ayat (8) kepada Bank Indonesia secara Daring melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia paling lambat: a. tanggal 5 bulan berikutnya setelah akhir bulan ketiga setelah Bulan PPE; atau b. tanggal 5 bulan berikutnya setelah batas waktu penerimaan DHE sesuai komitmen buyer. (4) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) jatuh pada hari libur maka penyampaian dokumen pendukung dapat dilakukan pada Hari berikutnya. Pasal 14 (1) Penerimaan nilai DHE yang lebih kecil dari Nilai PPE yang disebabkan Netting antara tagihan Ekspor dan kewajiban Eksportir hanya diperbolehkan untuk Netting dengan pembayaran Impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan yang hanya melibatkan 2 (dua) pihak. (2) Dalam hal transaksi Netting melibatkan lebih dari 2 (dua) pihak, Netting antara tagihan Ekspor dan kewajiban Eksportir dalam bentuk Impor barang terkait kegiatan 17 Ekspor yang bersangkutan, hanya diperbolehkan apabila pihak tersebut berada dalam 1 (satu) grup. (3) Netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya diperbolehkan dilakukan terhadap Impor bahan baku untuk menghasilkan barang Ekspor. (4) Eksportir yang melakukan Netting harus menyampaikan surat yang memuat: a. pernyataan bahwa barang yang diimpor digunakan dalam proses menghasilkan barang Ekspor; b. daftar pihak buyer atau counterparty yang melakukan Netting antara tagihan Ekspor dan kewajiban Impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan; dan c. pernyataan bahwa buyer atau counterparty berada dalam 1 (satu) grup dengan Eksportir dalam hal Netting melibatkan lebih dari 2 (dua) pihak. (5) Surat pernyataan dan daftar pihak buyer atau counterparty sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (6) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan Eksportir setiap terdapat buyer atau counterparty baru. Pasal 15 (1) Penerimaan DHE yang berasal dari hasil Netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir menyampaikan Laporan DHE dan bukti transaksi Netting. (2) Bukti transaksi Netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa Netting agreement dan rincian tagihan Ekspor dan kewajiban Eksportir. Pasal 16 (1) Eksportir harus menyampaikan bukti transaksi Netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) kepada Bank Indonesia secara Daring melalui aplikasi yang 18 disediakan oleh Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah bulan penerimaan DHE. (2) Eksportir harus menyampaikan surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) kepada Bank Indonesia secara Daring melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah Bulan PPE. (3) Eksportir harus menyampaikan pengkinian daftar pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf b kepada Bank Indonesia secara Daring melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 Januari setiap tahun. (4) Pengkinian daftar pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (5) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) jatuh pada hari libur maka penyampaian bukti transaksi Netting, surat, dan pengkinian daftar pihak dapat dilakukan pada Hari berikutnya. Pasal 17 Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 disampaikan dalam bentuk salinan digital (softcopy) dengan format yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 18 (1) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian: a. Laporan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; b. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; c. bukti transaksi Netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (5); d. surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dan ayat (5); dan 19 e. pengkinian daftar pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dan ayat (5), terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia atau di Eksportir yang menyebabkan Eksportir tidak dapat menyampaikan secara Daring melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia, penyampaian dilakukan secara Daring pada Hari berikutnya apabila gangguan teknis telah dapat diatasi dengan dilengkapi bukti pendukung dari instansi yang berwenang yang menjelaskan terjadinya gangguan teknis. (2) Dalam hal gangguan teknis belum dapat diatasi pada Hari berikutnya, penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara Luring dengan menggunakan media elektronik berupa compact disk, flash disk, surat elektronik, atau media elektronik lainnya kepada Bank Indonesia dengan dilengkapi pemberitahuan secara tertulis disertai bukti pendukung dari instansi yang berwenang yang menjelaskan terjadinya gangguan teknis. Pasal 19 (1) Dalam hal terdapat perubahan data PPE, Eksportir harus melakukan pembetulan PPE. (2) Eksportir melakukan pembetulan PPE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada DJBC. Bagian Ketiga Pemilik Barang dan Pihak dalam Kontrak Migas Pasal 20 (1) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, kewajiban Eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) berlaku terhadap Pemilik Barang. (2) PJT harus menyampaikan informasi terkait PPE kepada Pemilik Barang. (3) Dalam hal Ekspor berupa minyak dan gas bumi, kewajiban Eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) berlaku terhadap Eksportir 20 dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas. BAB III REKENING KHUSUS DHE SDA Bagian Kesatu Kewajiban Eksportir SDA Pasal 21 (1) Dalam hal penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berasal dari Ekspor SDA, DHE tersebut wajib diterima melalui Bank pada Reksus DHE SDA. (2) Dalam hal DHE SDA diterima dalam bentuk uang tunai di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), DHE SDA tersebut wajib disetorkan ke Bank pada Reksus DHE SDA. (3) Eksportir harus menyampaikan kepada Bank Indonesia dokumen pendukung terkait dengan DHE SDA yang diterima dalam bentuk uang tunai yang disetorkan ke Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Nilai DHE yang diterima pada Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau nilai DHE yang disetor ke Bank pada Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib sesuai dengan Nilai Ekspor. (5) Dalam hal Ekspor berasal dari hasil Maklon, nilai DHE yang diterima pada Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau nilai DHE yang disetor ke Bank pada Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib sesuai dengan Nilai Maklon. Pasal 22 Ketentuan mengenai jenis barang Ekspor SDA mengacu pada Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan barang Ekspor sumber daya alam dengan kewajiban memasukkan devisa hasil ekspor ke dalam sistem keuangan Indonesia. 21 Pasal 23 (1) Untuk memenuhi kewajiban penerimaan DHE SDA melalui Bank pada Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), Eksportir harus melakukan pembukaan Reksus DHE SDA pada Bank. (2) Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk rekening giro, tabungan, atau rekening lainnya yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi. (3) Eksportir dapat membuka lebih dari 1 (satu) Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada 1 (satu) Bank atau lebih. (4) Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. pembukaan rekening yang baru oleh Eksportir untuk menampung penerimaan DHE SDA; atau b. pengalihfungsian rekening yang telah dimiliki Eksportir menjadi Reksus DHE SDA. (5) Dalam hal Eksportir melakukan pengalihfungsian rekening yang telah dimiliki menjadi Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, dana yang terdapat pada rekening yang telah dimiliki Eksportir tersebut harus dikosongkan terlebih dahulu. Pasal 24 (1) Pada saat mengajukan permohonan pembukaan Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Eksportir SDA harus menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank sebagai berikut: a. dokumen yang dapat menunjukkan Ekspor atas hasil pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam; dan b. surat pernyataan terkait Ekspor atas hasil kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. (2) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan mengacu pada contoh 22 sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 25 (1) Eksportir SDA dapat menempatkan dana dari Reksus DHE SDA ke dalam deposito DHE SDA. (2) Penempatan dana ke dalam deposito DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 26 (1) Transfer Dana Masuk pada Reksus DHE SDA hanya dapat berasal dari: a. DHE SDA milik Eksportir SDA yang sama; b. dana dari pencairan deposito dan/atau pembayaran bunga deposito yang dananya bersumber dari Reksus DHE SDA milik Eksportir SDA yang sama; dan c. dana yang berasal dari Reksus DHE SDA lain milik Eksportir SDA yang sama, baik di Bank lain maupun di Bank yang sama. (2) Dalam hal terdapat Transfer Dana Masuk ke Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank yang dapat membuktikan bahwa dana masuk tersebut merupakan DHE SDA. (3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa dokumen PPE, invoice, dan/atau rekening koran dari Reksus DHE SDA. (4) Transfer Dana Masuk yang berasal dari DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan mekanisme: a. transfer langsung ke Reksus DHE SDA; atau b. transfer terlebih dahulu melalui rekening milik Eksportir SDA selain Reksus DHE SDA. (5) Dalam hal terdapat Transfer Dana Masuk ke Reksus DHE SDA selain dari sumber sebagaimana dimaksud pada ayat 23 (1), Eksportir SDA harus memindahkan dana dimaksud keluar dari Reksus DHE SDA. Pasal 27 (1) DHE SDA yang ditempatkan dalam Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) digunakan oleh Eksportir untuk Transfer Dana Keluar guna pembayaran: a. bea keluar dan pungutan lain di bidang Ekspor; b. pinjaman; c. Impor; d. keuntungan atau dividen; dan/atau e. keperluan lain dari penanam modal sebagaimana dimaksud penanaman modal. (2) Dalam hal Eksportir SDA melakukan Transfer Dana Keluar dari Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam valuta asing dengan nilai di atas jumlah tertentu (threshold), Eksportir SDA harus menyampaikan dokumen pendukung Transfer Dana Keluar kepada Bank. (3) Dokumen pendukung Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa dokumen yang mendasari adanya kegiatan transaksi (underlying transaction) Transfer Dana Keluar dalam valuta asing, yaitu: a. tagihan dari penjual barang dan jasa di luar negeri; b. kontrak pinjaman atau dokumen lain yang menunjukkan adanya kewajiban pembayaran bunga dan/atau pokok pinjaman; c. kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan adanya kewajiban membayar royalti dan kewajiban hak intelektual lainnya; d. dokumen rapat umum pemegang saham yang menunjukkan kewajiban pembagian dividen kepada pemegang saham di luar negeri; dalam Undang-Undang mengenai 24 e. perjanjian kerja atau dokumen kepegawaian lainnya yang menunjukkan kewajiban membayar gaji dan penghasilan lainnya; f. dokumen likuidasi aset di dalam negeri yang merupakan hak pihak di luar negeri; dan/atau g. dokumen pengecualian atau penangguhan kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi valuta asing di dalam negeri. Pasal 28 Eksportir SDA harus menyampaikan informasi kepada Bank untuk setiap Transfer Dana Masuk dan/atau Transfer Dana Keluar melalui Reksus DHE SDA, yang paling sedikit meliputi informasi: a. nilai transaksi; b. tujuan transaksi; c. pelaku transaksi; d. hubungan keuangan antarpelaku transaksi; dan e. peruntukan transaksi. Pasal 29 Dalam hal Ekspor berupa minyak dan gas bumi, kewajiban penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) berlaku terhadap Eksportir SDA dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas. Pasal 30 Dalam hal Ekspor SDA dilakukan melalui PJT, ketentuan bagi Eksportir SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), berlaku terhadap Pemilik Barang sebagaimana tercantum dalam lembar lanjutan PPE. 25 Bagian Kedua Kewajiban Bank terhadap Reksus DHE SDA Pasal 31 (1) Bank harus memastikan Nasabah yang melakukan pembukaan Reksus DHE SDA merupakan Eksportir SDA. (2) Bank harus memberikan penanda khusus (flag) untuk setiap Reksus DHE SDA di sistem internal Bank. Pasal 32 (1) Bank wajib memastikan dana yang ditempatkan ke dalam deposito sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) berasal dari DHE SDA. (2) Bank harus memberikan penanda khusus (flag) untuk setiap deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 33 Bank harus memastikan Transfer Dana Masuk pada Reksus DHE SDA hanya berasal dari sumber sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1). Pasal 34 (1) Bank hanya dapat melakukan pengaksepan Perintah Transfer Dana untuk Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) sepanjang dilengkapi dengan dokumen pendukung Transfer Dana Keluar. (2) Dokumen pendukung Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) harus diterima sebelum pelaksanaan transaksi Transfer Dana Keluar. (3) Bank harus meneruskan informasi kepada Bank Indonesia mengenai penyampaian dokumen pendukung Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). Pasal 35 Bank harus meneruskan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 kepada Bank Indonesia. 26 Pasal 36 Ketentuan mengenai mekanisme pengaksepan Perintah Transfer Dana, batasan tertentu (threshold), dan penyampaian dokumen pendukung Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 35 mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa Bank dan Nasabah. BAB IV KEWAJIBAN IMPORTIR Pasal 37 (1) DPI wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia. (2) Laporan DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima Bank Indonesia paling lambat akhir bulan ketiga setelah Bulan PPI. Pasal 38 Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) terdiri atas: a. informasi Impor pada DPI yang dibayarkan melalui transaksi TT; b. informasi Impor pada DPI yang dibayarkan melalui transaksi non-TT; c. perubahan informasi pada PPI yang memengaruhi DPI; d. perubahan informasi pada DPI; dan/atau e. informasi DPI yang tidak melalui Bank. Pasal 39 (1) Informasi Impor pada DPI yang dibayar melalui tansaksi TT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a terdiri atas: a. STT dengan kode 2012; b. nomor invoice; dan c. nilai invoice. (2) Importir harus menyampaikan informasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank sesuai 27 format yang ditetapkan Bank Indonesia untuk dicantumkan pada Message 2012//nomor_invoice(nilai_invoice). (3) Importir menyampaikan informasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank pada saat melakukan pengeluaran DPI. Pasal 40 (1) Dalam hal Impor dibayar melalui transaksi non-TT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf b, Importir harus menyampaikan informasi Impor kepada Bank untuk diteruskan kepada Bank Indonesia melalui Laporan Transaksi Non-TT. (2) Informasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. nomor L/C; b. tanggal jatuh tempo pembayaran L/C; c. nomor invoice; d. nilai invoice; dan/atau e. informasi lainnya. Pasal 41 (1) Dalam hal terdapat perubahan informasi pada PPI yang memengaruhi DPI, Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf c terdiri atas: a. nomor invoice; b. nilai invoice; c. tanggal jatuh tempo pengeluaran DPI; dan/atau d. informasi lainnya. (2) Dalam hal terdapat perubahan informasi pada DPI, Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf d terdiri atas: a. nomor invoice; b. nilai DPI; dan/atau c. informasi lainnya. . (3) Dalam hal terdapat pengeluaran DPI yang dilakukan tidak melalui Bank, Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam FTMS, yaitu 28 Pasal 38 huruf e memuat informasi antara lain nomor invoice, tanggal invoice, nilai DPI, dan nama lembaga penyelenggara transfer dana bukan bank. (4) Laporan DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) disampaikan oleh Importir kepada Bank Indonesia secara Daring melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia. Pasal 42 (1) Penyampaian Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf c, huruf d, dan huruf e berlaku untuk Nilai Impor lebih besar dari ekuivalen USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). (2) Importir harus menyampaikan Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf c, huruf d, dan huruf e paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah Bulan PPI dan/atau bulan pengeluaran DPI. (3) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur maka penyampaian Laporan DPI dapat dilakukan pada Hari berikutnya. Pasal 43 (1) Dalam hal terdapat perubahan data PPI, Importir harus melakukan perubahan data PPI. (2) Perubahan data PPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada DJBC. Pasal 44 (1) Nilai DPI yang dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) wajib sesuai dengan Nilai Impor. (2) Dalam hal selisih lebih nilai DPI dengan Nilai Impor paling banyak 5% (lima persen) dari Nilai Impor, nilai DPI dianggap sesuai dengan Nilai Impor, sehingga Importir tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung. (3) Dalam hal nilai DPI lebih besar dari Nilai Impor dengan selisih melebihi 5% (lima persen) dari Nilai Impor maka nilai DPI dianggap sesuai dengan Nilai Impor apabila 29 Importir menyampaikan dokumen pendukung yang memadai. Pasal 45 (1) Dalam hal valuta nilai DPI sama dengan valuta Nilai Impor, persentase selisih lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dihitung dalam valuta tersebut. (2) Dalam hal valuta nilai DPI berbeda dengan valuta Nilai Impor, persentase selisih lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dihitung dengan mengonversi nilai DPI dan Nilai Impor ke rupiah dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal pendaftaran PPI. (3) Dalam hal valuta nilai DPI dan/atau valuta Nilai Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terdapat dalam kurs yang diumumkan Bank Indonesia, persentase selisih lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dihitung dengan cara sebagai berikut: a. nilai DPI dan/atau Nilai Impor yang valutanya tidak terdapat dalam kurs yang diumumkan Bank Indonesia dikonversikan ke dolar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs Reuters pada tanggal pendaftaran PPI; dan b. persentase selisih lebih dihitung dari hasil konversi sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Pasal 46 (1) Importir harus menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia secara Daring melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia dalam hal: a. pengeluaran DPI dalam bentuk uang tunai; b. pengeluaran DPI melebihi akhir bulan ketiga setelah Bulan PPI; c. pengeluaran DPI tidak melalui Bank; d. DPI tidak dibayar; dan/atau e. selisih lebih nilai DPI dengan Nilai Impor lebih besar dari 5% (lima persen) dari Nilai Impor. 30 (2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah Bulan PPI dalam hal: a. pengeluaran DPI melebihi akhir bulan ketiga setelah Bulan PPI; dan/atau b. DPI tidak dibayar. (3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah bulan pengeluaran DPI dalam hal: a. pengeluaran DPI dalam bentuk uang tunai; b. pengeluaran DPI tidak melalui Bank; dan/atau c. selisih lebih nilai DPI dengan Nilai Impor lebih besar dari 5% (lima persen) dari Nilai Impor. (4) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) jatuh pada hari libur maka penyampaian dokumen pendukung dapat dilakukan pada Hari berikutnya. Pasal 47 (1) Dalam hal pengeluaran DPI dalam bentuk uang tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf a, Importir harus menyampaikan dokumen pendukung paling sedikit berupa fotokopi bukti pembayaran Impor secara tunai. (2) Dalam hal pengeluaran DPI melebihi akhir bulan ketiga setelah Bulan PPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b, Importir harus menyampaikan dokumen pendukung berupa kontrak antara Importir dan seller yang dilengkapi dengan dokumen sesuai dengan cara pembayaran sebagai berikut: a. Usance L/C, berupa fotokopi dokumen, invoice, B/L, dan/atau dokumen lainnya; b. Documentary Collection, berupa invoice, B/L, dan/atau dokumen lainnya; c. pembayaran kemudian, berupa invoice, B/L, dan/atau dokumen lainnya; dan/atau 31 d. konsinyasi, berupa invoice, bukti pengeluaran barang dari gudang Importir, B/L, dan/atau dokumen lainnya. (3) Dalam hal pengeluaran DPI tidak melalui Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c, Importir harus menyampaikan dokumen pendukung paling sedikit berupa fotokopi bukti pembayaran Impor melalui lembaga penyelenggara transfer dana bukan bank. (4) Dalam hal DPI tidak dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf d, Importir harus menyampaikan dokumen pendukung berupa kontrak antara Importir dengan seller atau counterparty. (5) Dalam hal selisih lebih nilai DPI dengan Nilai Impor lebih besar dari 5% (lima persen) dari Nilai Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf e, Importir harus menyampaikan dokumen pendukung paling sedikit berupa kontrak antara Importir dengan seller atau counterparty. Pasal 48 Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) disampaikan dalam bentuk salinan digital (softcopy) dengan format yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 49 (1) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian: a. Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42; dan/atau b. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia atau di Importir yang menyebabkan Importir tidak dapat menyampaikan secara Daring melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia, penyampaian dilakukan secara Daring pada Hari berikutnya apabila gangguan teknis telah dapat diatasi dengan dilengkapi bukti pendukung dari instansi 32 yang berwenang yang menjelaskan terjadinya gangguan teknis. (2) Dalam hal gangguan teknis belum dapat diatasi pada Hari berikutnya, penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara Luring dengan menggunakan media elektronik berupa compact disk, flash disk, surat elektronik, atau media elektronik lainnya kepada Bank Indonesia dengan dilengkapi pemberitahuan secara tertulis disertai bukti pendukung dari instansi yang berwenang yang menjelaskan terjadinya gangguan teknis. Pasal 50 (1) Dalam hal Importir merupakan PJT, ketentuan mengenai Importir berlaku terhadap Pemilik Barang. (2) PJT harus menyampaikan informasi terkait PPI kepada Pemilik Barang. BAB V KEWAJIBAN BANK Bagian Kesatu Kewajiban Bank terhadap Devisa Hasil Ekspor Pasal 51 (1) Bank hanya dapat melakukan pengkreditan penerimaan DHE pada rekening Eksportir apabila Message FTMS untuk seluruh penerimaan DHE melalui transaksi TT telah dilengkapi informasi Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3). (2) Dalam hal terdapat Message FTMS untuk penerimaan DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dilengkapi informasi Ekspor, Bank harus segera: a. menginformasikan kepada Eksportir; dan b. meminta bank pengirim untuk melakukan koreksi informasi Ekspor pada Message FTMS. 33 Pasal 52 (1) Bank wajib menyampaikan Laporan Transaksi Non-TT yang dilengkapi informasi Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) secara Daring kepada Bank Indonesia. (2) Laporan Transaksi Non-TT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. sandi Bank; b. jenis transaksi; c. metode transaksi; d. nomor identifikasi; e. nama applicant (pemohon); f. nama beneficiary (penerima); g. nomor pokok wajib pajak (NPWP) beneficiary (penerima); h. nomor dokumen berupa nomor L/C, nomor invoice, atau nomor dokumen lainnya; tanggal Transfer Dana Masuk; valuta Transfer Dana Masuk; i. j. k. nilai Transfer Dana Masuk atau nilai DHE; l. tanggal jatuh tempo pembayaran; m. nomor rekening; n. jenis rekening; dan o. dokumen lainnya. (3) Penyampaian Laporan Transaksi Non-TT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah: a. Bulan PPE, dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran Ekspor melebihi akhir bulan ketiga setelah Bulan PPE; dan/atau b. bulan penerimaan DHE, dalam hal penerimaan DHE telah dilakukan. (4) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada hari libur, penyampaian Laporan Transaksi Non-TT dapat dilakukan pada Hari berikutnya. (5) Tata cara penyampaian Laporan Transaksi Non-TT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat 34 (4) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah. Bagian Kedua Kewajiban Bank terhadap Devisa Pembayaran Impor Pasal 53 (1) Bank hanya dapat melakukan akseptasi transfer dana DPI dan mengirimkan Message FTMS untuk pengeluaran DPI melalui transaksi TT apabila Perintah Transfer Dana telah dilengkapi dengan informasi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2). (2) Dalam hal terdapat Perintah Transfer Dana yang tidak dilengkapi informasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank harus meminta Importir untuk melengkapi informasi Impor pada Perintah Transfer Dana. Pasal 54 (1) Bank wajib menyampaikan Laporan Transaksi Non-TT yang dilengkapi informasi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) secara Daring kepada Bank Indonesia. (2) Laporan Transaksi Non-TT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. sandi Bank; b. jenis transaksi; c. metode transaksi; d. nomor identifikasi; e. nama applicant (pemohon); f. nama beneficiary (penerima); g. NPWP applicant (pemohon); h. nomor dokumen berupa nomor L/C, nomor invoice, atau nomor dokumen lainnya; tanggal Transfer Dana Keluar; valuta Transfer Dana Keluar; i. j. k. nilai Transfer Dana Keluar; 35 l. tanggal jatuh tempo pembayaran; m. nomor rekening; n. jenis rekening; dan o. dokumen lainnya. (3) Penyampaian Laporan Transaksi Non-TT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah: a. Bulan PPI, dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran Impor melebihi akhir bulan ketiga setelah Bulan PPI; dan/atau b. bulan pengeluaran DPI, dalam hal pengeluaran DPI telah dilakukan. (4) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, penyampaian Laporan Transaksi Non-TT dapat dilakukan pada Hari berikutnya. (5) Tata cara penyampaian Laporan Transaksi Non-TT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah. BAB VI PENGAWASAN Bagian Kesatu Tata Cara Pengawasan Pasal 55 (1) Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan kepada Eksportir, Importir, Pemilik Barang, Pihak dalam Kontrak Migas, dan Bank. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. (3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat: 36 a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan instansi terkait; dan b. melakukan kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. (5) Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus: a. menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh dari Bank Indonesia dan hasil pemeriksaan; dan b. menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia. Pasal 56 Dalam pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a, Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap kepatuhan atas pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai devisa hasil ekspor dan devisa pembayaran impor. Pasal 57 (1) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b dalam hal diperlukan. (2) Dalam pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), petugas pemeriksa yang ditugaskan oleh Bank Indonesia dilengkapi dengan surat penugasan. (3) Surat penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat: a. tujuan pemeriksaan; dan b. objek pemeriksaan. (4) Objek pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b meliputi: a. penelitian atas kebenaran serta keakuratan: 1. Laporan DHE; 37 2. Laporan DPI; 3. Laporan Transaksi Non-TT; 4. dokumen pendukung; dan/atau 5. dokumen terkait Ekspor atau Impor; dan b. kepatuhan terhadap ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai devisa hasil ekspor dan devisa pembayaran impor. Bagian Kedua Tata Cara Pengawasan terhadap Eksportir SDA Pasal 58 (1) Bank Indonesia dapat menyampaikan surat pemantauan kepada Eksportir SDA terkait kewajiban penerimaan DHE SDA yang belum dipenuhi. (2) Eksportir SDA harus menindaklanjuti dan/atau memberikan tanggapan atas surat pemantauan dalam batas waktu yang tercantum dalam surat pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk membuktikan pemenuhan kewajiban penerimaan DHE SDA sebagaimana diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Dalam hal Ekspor SDA dilakukan oleh PJT, surat pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada Pemilik Barang atas Ekspor SDA. (4) Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, surat pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Eksportir SDA dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas. Bagian Ketiga Tata Cara Penyampaian Hasil Pengawasan terhadap Eksportir DHE SDA Pasal 59 (1) Bank Indonesia menyampaikan hasil pengawasan terhadap Eksportir SDA, Pemilik Barang atas Ekspor SDA, 38 dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas kepada: a. Kementerian Keuangan c.q. DJBC; dan b. kementerian dan/atau lembaga teknis terkait, untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing- masing. (2) Penyampaian hasil pengawasan DHE SDA paling sedikit memuat informasi: a. nama Eksportir SDA, Pemilik Barang atas Ekspor SDA, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas; b. NPWP; c. sandi kantor pabean; d. nomor PPE; e. f. tanggal PPE; valuta Ekspor; g. Nilai Ekspor; h. valuta DHE; i. nilai DHE; dan j. tanggal DHE. (3) Penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sepanjang kementerian dan/atau lembaga teknis terkait telah mengatur ketentuan pelaksanaan atas Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai devisa hasil ekspor dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. (4) Penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan secara Daring. (5) Penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan melalui surat kepada Eksportir SDA, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas. Pasal 60 Bank Indonesia menyampaikan informasi terkini penerimaan DHE SDA terhadap hasil pengawasan yang telah disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 kepada: a. Kementerian Keuangan c.q. DJBC; dan 39 b. kementerian dan/atau lembaga teknis terkait, untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing- masing. Bagian Keempat Tindak Lanjut Hasil Pengawasan DHE SDA Pasal 61 Pengenaan sanksi oleh otoritas yang berwenang sebagai tindak lanjut dari penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 tidak menggugurkan kewajiban penerimaan DHE SDA melalui Bank pada Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 62 Pengawasan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 terhadap pemenuhan ketentuan DHE SDA dilakukan sampai dengan penyampaian hasil pengawasan kepada Kementerian Keuangan c.q. DJBC dan kementerian dan/atau lembaga teknis terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. Pasal 63 (1) Dalam hal Eksportir SDA menerima informasi penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (5), Eksportir SDA tetap wajib memenuhi kewajiban penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2). (2) Untuk memenuhi kewajiban penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir SDA menyampaikan: a. informasi Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 untuk penerimaan DHE SDA melalui transaksi TT; b. informasi Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 untuk penerimaan DHE SDA melalui transaksi non-TT; c. Laporan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 40 ayat (1) huruf a dalam hal terdapat perubahan informasi pada PPE yang memengaruhi DHE; dan/atau d. Laporan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b dalam hal terdapat perubahan informasi terkait DHE. (3) Eksportir SDA menyampaikan dokumen pendukung ke otoritas yang berwenang apabila terdapat bukti baru setelah menerima informasi penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB VII TATA CARA PENGENAAN SANKSI Bagian Kesatu Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Eksportir Non-SDA Pasal 64 (1) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia dan/atau melalui surat yang ditujukan kepada alamat sebagaimana tercantum dalam nomor identitas kepabeanan (NIK) atau nomor induk berusaha (NIB) kepada Eksportir Non-SDA yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban penerimaan DHE Non- SDA. (2) Eksportir Non-SDA wajib menindaklanjuti teguran tertulis dalam batas waktu yang tercantum dalam teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang membuktikan pemenuhan kewajiban penerimaan DHE Non-SDA. (3) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia dan/atau alamat sebagaimana tercantum dalam NIK atau NIB kepada Eksportir Non-SDA apabila Eksportir Non-SDA belum memenuhi kewajiban 41 penerimaan DHE Non-SDA sesuai dengan Nilai Ekspor atau Nilai Maklon: a. sampai dengan batas waktu yang tercantum dalam teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau b. sampai dengan batas waktu penerimaan DHE dalam dokumen pendukung yang disampaikan kepada Bank Indonesia setelah pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Eksportir Non-SDA wajib menindaklanjuti dalam batas waktu sebagaimana tercantum dalam teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang membuktikan pemenuhan kewajiban penerimaan DHE Non-SDA sesuai dengan Nilai Ekspor atau Nilai Maklon. (5) Dalam hal Ekspor Non-SDA dilakukan oleh PJT, sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dikenakan kepada Pemilik Barang. Pasal 65 (1) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa penangguhan atas pelayanan Ekspor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan kepada Eksportir Non- SDA apabila Eksportir Non-SDA belum memenuhi kewajiban penerimaan DHE Non-SDA sesuai dengan Nilai Ekspor atau Nilai Maklon: a. sampai dengan batas waktu yang tercantum dalam teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3); atau b. sampai dengan batas waktu penerimaan DHE dalam dokumen pendukung yang disampaikan kepada Bank Indonesia setelah pengenaan sanksi teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3). (2) Pelaksanaan penangguhan atas pelayanan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh DJBC atas dasar permintaan Bank Indonesia. 42 (3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui alamat sebagaimana tercantum dalam NIK atau NIB. (4) Dalam hal Ekspor Non-SDA dilakukan oleh PJT, sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan kepada Pemilik Barang. Pasal 66 (1) Eksportir Non-SDA hanya dapat dibebaskan dari sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) setelah menyampaikan surat permohonan yang disertai dengan bukti pemenuhan kewajiban penerimaan DHE Non-SDA sesuai dengan Nilai Ekspor atau Nilai Maklon. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Dalam hal diperlukan, guna pemenuhan kewajiban DHE Non-SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta Eksportir Non-SDA untuk menyampaikan: a. Laporan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a dalam hal terdapat perubahan informasi pada PPE yang memengaruhi DHE; b. Laporan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b dalam hal terdapat perubahan informasi terkait DHE; dan/atau c. dokumen pendukung yang memadai, secara Daring melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia. (4) Dalam hal Ekspor Non-SDA dilakukan melalui PJT, pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pemilik Barang. (5) Bank Indonesia hanya dapat menerima bukti pemenuhan kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud pada 43 ayat (1) paling lama 1 (satu) tahun setelah bulan pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor. (6) Dalam hal DHE, Laporan DHE, dan/atau dokumen pendukung diterima melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Bank Indonesia tidak memproses pengajuan pembebasan penangguhan atas pelayanan Ekspor. (7) Bank Indonesia dapat menginformasikan Eksportir Non- SDA yang telah dikenai sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor setelah berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada otoritas terkait. Bagian Kedua Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif terhadap Eksportir SDA Pasal 67 Tata cara pengenaan sanksi terhadap Eksportir SDA, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas yang tidak memenuhi kewajiban terkait penerimaan dan penggunaan DHE SDA sebagaimana diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai devisa hasil ekspor dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam dan peraturan pelaksanaannya. Bagian Ketiga Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif terhadap Importir Pasal 68 (1) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia dan/atau melalui surat yang ditujukan kepada alamat sebagaimana tercantum dalam NIK atau NIB kepada Importir yang melakukan pelanggaran 44 terhadap kewajiban pelaporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 44 ayat (1). (2) Importir wajib menindaklanjuti teguran tertulis dalam batas waktu yang tercantum dalam teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang membuktikan pemenuhan kewajiban pelaporan DPI. (3) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia dan/atau alamat sebagaimana tercantum dalam NIK atau NIB kepada Importir yang belum memenuhi kewajiban pelaporan DPI: a. sampai dengan batas waktu yang tercantum dalam teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau b. sampai dengan batas waktu penerimaan DPI dalam dokumen pendukung yang disampaikan kepada Bank Indonesia setelah pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Importir wajib menindaklanjuti dalam batas waktu yang tercantum dalam teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang membuktikan pemenuhan kewajiban pelaporan DPI. (5) Dalam hal Importir merupakan PJT, sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dikenakan kepada Pemilik Barang. Pasal 69 (1) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa penangguhan atas pelayanan Impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan kepada Importir apabila Importir belum memenuhi kewajiban pelaporan DPI: a. sampai dengan batas waktu yang tercantum dalam teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3); atau b. sampai dengan batas waktu pelaporan DPI yang disampaikan kepada Bank Indonesia setelah 45 pengenaan sanksi teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3). (2) Pelaksanaan penangguhan atas pelayanan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh DJBC atas dasar permintaan Bank Indonesia. (3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui alamat sebagaimana tercantum dalam NIK atau NIB. (4) Dalam hal Importir merupakan PJT, sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan kepada Pemilik Barang. Pasal 70 (1) Importir hanya dapat dibebaskan dari sanksi penangguhan atas pelayanan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) setelah menyampaikan surat permohonan yang disertai dengan bukti pemenuhan kewajiban pelaporan DPI sesuai dengan Nilai Impor. (2) Surat Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Dalam hal diperlukan, guna pemenuhan kewajiban pelaporan DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta Importir untuk menyampaikan dokumen pendukung yang memadai secara Daring melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia. (4) Dalam hal Impor dilakukan melalui PJT, pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pemilik Barang. (5) Bank Indonesia hanya dapat menerima bukti pemenuhan kewajiban pelaporan DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) tahun setelah bulan pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Impor. (6) Dalam hal Laporan DPI dan/atau dokumen pendukung diterima melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud 46 pada ayat (5), Bank Indonesia tidak memproses pengajuan pembebasan penangguhan atas pelayanan Impor. (7) Bank Indonesia dapat menginformasikan Importir yang telah dikenai sanksi penangguhan atas pelayanan Impor setelah berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada otoritas terkait. BAB VIII TATA CARA PELAPORAN, KORESPONDENSI, DAN HELPDESK Pasal 71 (1) Bank Indonesia menyampaikan username dan password kepada Eksportir, Importir, Pemilik Barang, atau Pihak dalam Kontrak Migas melalui surat sesuai alamat yang tercantum pada NIK atau NIB. (2) Eksportir, Importir, Pemilik Barang, atau Pihak dalam Kontrak Migas menyampaikan Laporan DHE, Laporan DPI, dan/atau dokumen pendukung kepada Bank Indonesia secara Daring melalui aplikasi yang disediakan oleh Bank Indonesia pada laman pelaporan: https://www.bi.go.id/simodis. (3) Penyampaian surat-menyurat dan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait pelaksanaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini ditujukan kepada: Bank Indonesia Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt. 16 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 Helpdesk: (021) 131, E-mail: [email protected]. (4) Dalam hal terjadi perubahan laman pelaporan, alamat surat-menyurat, dan komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Bank Indonesia memberitahukan melalui surat dan/atau media lainnya. 47 BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 72 (1) Tata cara pengenaan sanksi bagi Eksportir Non-SDA yang melanggar kewajiban DHE yang: a. belum dikenai sanksi; atau b. telah dikenai sanksi administratif berupa denda dan belum memenuhi kewajiban penerimaan DHE, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri, mengacu pada ketentuan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Tata cara pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor bagi Eksportir Non-SDA yang telah dikenai sanksi penangguhan pelayanan Ekspor berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri mengacu pada ketentuan tata cara pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor sebagaimana diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 48 BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 73 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/9/DSta tanggal 26 Mei 2014 perihal Penerimaan Devisa Hasil Ekspor, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali ketentuan terkait pelaporan penerimaan DHE dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan DHE Non-SDA yang diterima pada tanggal 31 Desember 2019; dan b. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 21/15/PADG/2019 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali ketentuan terkait penyampaian informasi dan laporan penerimaan DHE SDA dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan DHE SDA yang diterima pada tanggal 31 Desember 2020. Pasal 74 Ketentuan mengenai tata cara penyampaian informasi dan laporan terkait penerimaan DHE dan pengeluaran DPI mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020. Pasal 75 Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif kepada Importir mulai berlaku untuk PPI yang diterbitkan sejak tanggal 1 Januari 2021. Pasal 76 Ketentuan mengenai tata cara penyampaian informasi dan laporan terkait penerimaan DHE SDA mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2021. 49 Pasal 77 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD DESTRY DAMAYANTI PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/26/PADG/2019 TENTANG DEVISA HASIL EKSPOR DAN DEVISA PEMBAYARAN IMPOR I. UMUM Pembangunan ekonomi nasional membutuhkan sumber dana yang memadai dan berkesinambungan, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Salah satu sumber pasokan devisa yang relatif stabil dan berkesinambungan berasal dari DHE yang penting untuk mendukung stabilitas nilai rupiah dan makroekonomi secara keseluruhan. Sumber pengeluaran DPI yang relatif stabil juga menjadi salah satu upaya dalam mendukung stabilitas nilai rupiah dan makroekonomi secara keseluruhan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya tidak seluruh DHE ditempatkan pada perbankan Indonesia atau masuk ke Indonesia. Demikian halnya dengan laporan terkait pembayaran Impor yang belum dilakukan secara optimal. Oleh karena itu, diperlukan penguatan mekanisme pengaturan, termasuk pelaporan penerimaan DHE yang lebih efisien serta pengaturan mekanisme pelaporan DPI secara lebih optimal. Pengaturan ini tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang berlaku selama ini, yaitu setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Kewajiban untuk menerima DHE melalui Bank tidak termasuk kewajiban menyimpan dalam jangka waktu tertentu dan/atau mengonversi ke dalam rupiah. Contoh: PT PD menerima DHE sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat) melalui Bank pada tanggal 5 Januari 2020. Dalam hal ini, PT PD bebas menggunakan atau mentransfer seluruh DHE yang diterima melalui Bank tersebut tanpa harus menyimpan dalam jangka waktu tertentu dan/atau harus dikonversikan terlebih dahulu ke dalam mata uang rupiah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “diterima dalam bentuk uang tunai” adalah penerimaan DHE dalam bentuk pembayaran uang kertas dan/atau uang logam. Contoh: PT AK menerima DHE secara tunai sebesar USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) yang dibawa perwakilan buyer dari luar negeri ke Indonesia. PT AK wajib menyetorkan uang tunai dimaksud ke Bank paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah Bulan PPE. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Contoh: Dalam dokumen PPE, Nilai Ekspor PT AB tercantum sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). PT AB dapat menerima DHE tersebut melalui Bank dalam valuta selain dolar Amerika Serikat, antara lain euro, yen, dan/atau renminbi. 3 Ayat (6) Contoh: PT DT melakukan Ekspor barang ke pihak B di Amerika Serikat dengan Bulan PPE Februari 2020. PT DT wajib menerima DHE melalui Bank paling lambat tanggal 31 Mei 2020. Mengingat tanggal 31 Mei 2020 merupakan hari Minggu maka penerimaan DHE dapat dilakukan pada tanggal 1 Juni 2020. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Kontrak antara Eksportir dan buyer antara lain mengatur cara pembayaran berupa Usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, dan Documentary Collection. Contoh: PT TB menandatangani kontrak jual beli dengan pihak SM di Amerika Serikat dengan kesepakatan bahwa jangka waktu pembayaran adalah 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal pengiriman barang. Pengiriman barang dilakukan pada tanggal 6 Januari 2020. PT TB wajib menerima DHE melalui Bank paling lambat pada tanggal 18 Juli 2020, yaitu 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal pengiriman barang ditambah 14 (empat belas) hari kalender. Huruf b Yang dimaksud dengan “keadaan kahar” adalah keadaan yang menyebabkan Eksportir menerima DHE melebihi akhir bulan ketiga setelah Bulan PPE, yang disebabkan antara lain oleh kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, sabotase, pemogokan buruh, kegagalan sistem yang digunakan dalam bertransaksi, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal jangka waktu pembayaran dalam kontrak digantungkan pada tanggal pengiriman maka dokumen 4 pendukung yang memadai berupa kontrak antara Eksportir dan buyer dan bukti pengiriman. Dalam hal jangka waktu pembayaran melebihi akhir bulan ketiga setelah Bulan PPE disebabkan buyer mengalami keadaan kahar maka dokumen pendukung yang memadai antara lain berupa keterangan dari instansi/lembaga lainnya yang terkait di negara tempat kedudukan buyer. Pasal 4 Huruf a Contoh: PT MA menandatangani kontrak jual beli dengan pihak B di Australia dengan cara pembayaran Usance L/C dengan tenor pembayaran dilakukan 90 (sembilan puluh) hari setelah tanggal pengiriman barang. PT MA melakukan Ekspor dengan tanggal pendaftaran PPE 31 Januari 2020. Pengiriman barang dilakukan pada tanggal 1 Februari 2020 maka tanggal jatuh tempo pembayaran Ekspor adalah tanggal 1 Mei 2020, yaitu 90 (sembilan puluh) hari setelah tanggal pengiriman barang. Huruf b Contoh: PT MA menandatangani kontrak jual beli dengan pihak B di Australia. PT MA melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020. PT MA memercayakan ke Bank ABC dan selanjutnya Bank ABC memercayakan ke bank XYZ di Australia untuk menagih buyer. Bank XYZ menerima hasil penagihan Ekspor dari pihak B pada tanggal 1 Mei 2020. Dalam hal ini jatuh tempo pembayaran Ekspor adalah tanggal 1 Mei 2020. Huruf c Contoh: PT MA menandatangani kontrak jual beli dengan pihak B di Australia dengan kesepakatan bahwa pembayaran dilakukan 90 (sembilan puluh) hari setelah tanggal pengiriman barang. PT MA melakukan Ekspor dengan tanggal pendaftaran PPE 31 Januari 2020. Pengiriman barang dilakukan pada tanggal 1 Februari 2020 maka tanggal jatuh tempo pembayaran Ekspor adalah tanggal 1 5 Mei 2020, yaitu 90 (sembilan puluh) hari setelah tanggal pengiriman barang. Huruf d Contoh: PT MA menandatangani kontrak jual beli konsinyasi dengan pihak B di Australia dengan kesepakatan bahwa pembayaran dilakukan 2 (dua) hari setelah barang terjual. PT MA mengirimkan barang ke pihak B pada bulan Januari 2020. Pihak B menginformasikan bahwa barang baru terjual pada tanggal 15 Mei 2020. Dalam hal ini, tanggal jatuh tempo pembayaran Ekspor adalah tanggal 17 Mei 2020, yaitu 2 (dua) hari setelah barang terjual. Pasal 5 Ayat (1) Contoh: PT ABC melakukan Ekspor dengan Nilai Ekspor sebesar Rp900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah). Atas Ekspor ini, PT ABC menerima DHE sebesar Rp885.000.000,00 (delapan ratus delapan puluh lima juta rupiah) sehingga terdapat selisih kurang antara nilai DHE dan Nilai Ekspor sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Dalam hal ini, nilai DHE yang diterima PT ABC dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor sehingga PT ABC tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia. Ayat (2) Selisih nilai DHE dengan Nilai Ekspor lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) antara lain disebabkan Jasa Perbaikan, Operational Leasing, atau Financial Leasing, perbedaan harga barang, perbedaan kualitas barang, perbedaan komposisi barang, perbedaan kuantitas barang, selisih kurs, diskon/rabat, biaya administrasi, dan/atau biaya lainnya terkait perdagangan internasional. Contoh: PT BCD melakukan Ekspor dengan Nilai Ekspor sebesar Rp975.000.000,00 (sembilan ratus tujuh puluh lima juta rupiah). Atas Ekspor ini, PT BCD menerima DHE sebesar Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) setelah dipotong 6 klaim buyer atas perbedaan kualitas barang. Selisih kurang antara nilai DHE dan Nilai Ekspor adalah Rp175.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima juta rupiah). Dalam hal ini, nilai DHE yang diterima PT BCD dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila PT BCD menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia. Pasal 6 Ayat (1) Contoh: PT KS melakukan Ekspor dari hasil Maklon dengan nilai free on board sebesar USD375,000.00 (tiga ratus tujuh puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) dan Nilai Maklon sebesar USD125,000.00 (seratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Dalam hal ini, nilai DHE yang wajib diterima oleh PT KS adalah USD125,000.00 (seratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) sesuai Nilai Maklon. Ayat (2) Contoh: PT AN melakukan Ekspor dari hasil Maklon dengan Nilai Maklon sebesar Rp900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah). Atas Ekspor ini, PT AN menerima DHE sebesar Rp885.000.000,00 (delapan ratus delapan puluh lima juta rupiah) sehingga selisih kurang antara nilai DHE dan Nilai Maklon adalah Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Dalam hal ini, nilai DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Maklon sehingga PT AN tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia. Ayat (3) Selisih nilai DHE dengan Nilai Maklon lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) antara lain disebabkan selisih kurs, diskon/rabat, biaya administrasi, dan biaya lainnya terkait perdagangan internasional. Contoh: PT JG melakukan Ekspor dari hasil Maklon dengan Nilai Maklon sebesar Rp975.000.000,00 (sembilan ratus tujuh puluh lima juta rupiah). Atas Ekspor ini, PT JG menerima DHE sebesar 7 Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) karena terdapat selisih kurs dan setelah dipotong diskon dan biaya administrasi. Selisih kurang antara nilai DHE dan Nilai Maklon adalah Rp175.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima juta rupiah). Dalam hal ini, nilai DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Maklon apabila PT JG menyampaikan dokumen pendukung yang memadai. Pasal 7 Ayat (1) Contoh 1: PT MA melakukan Ekspor pada tanggal 15 Januari 2020 dengan Nilai Ekspor USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Nilai DHE yang diterima melalui Bank sebesar USD490,000.00 (empat ratus sembilan puluh ribu dolar Amerika Serikat). Kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 15 Januari 2020 adalah Rp14.000,00/USD. Selisih kurang antara nilai DHE dengan Nilai Ekspor adalah sebesar ((USD500,000.00 – USD490,000.00) X Rp14.000,00/USD) = Rp140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah). Contoh 2: PT FP melakukan Ekspor dari hasil Maklon pada tanggal 17 Januari 2020 dengan Nilai Maklon USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Nilai DHE yang diterima melalui Bank sebesar USD490,000.00 (empat ratus sembilan puluh ribu dolar Amerika Serikat). Kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 17 Januari 2020 adalah Rp14.000,00/USD. Selisih kurang antara nilai DHE dengan Nilai Maklon adalah sebesar ((USD500,000.00 – USD490,000.00) x Rp14.000,00/USD) = Rp140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah). Contoh 3: PT A melakukan Ekspor pada tanggal 24 Januari 2020 dengan Nilai Ekspor USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Nilai DHE yang diterima melalui Bank sebesar EUR425,000.00 (empat ratus dua puluh lima ribu euro). Kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari 2020 adalah Rp14.000,00/USD dan Rp16.000,00/EUR. Selisih kurang antara 8 nilai DHE dengan Nilai Ekspor adalah sebesar ((USD500,000.00 x Rp14.000,00/USD) – (EUR425,000.00 x Rp16.000,00/EUR) = Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Ayat (2) Contoh: PT A melakukan Ekspor pada tanggal 21 Januari 2020 sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Nilai DHE yang diterima sebesar INR34,000,000.00 (tiga puluh empat juta rupee India). Pada tanggal 21 Januari 2020, kurs Reuters adalah USD0.0145/INR dan kurs tengah Bank Indonesia adalah Rp14.000,00/USD. Selisih kurang antara nilai DHE dengan Nilai Ekspor adalah sebesar (USD500,000.00 x Rp14.000,00/USD) – ((INR34,000,000.00 x USD0.0145/INR) x Rp14.000,00/USD) = Rp98.000.000,00 (sembilan puluh delapan juta rupiah). Ayat (3) Contoh: PT MA melakukan Ekspor dengan tanggal pendaftaran PPE 19 Januari 2020 dan Nilai Ekspor USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Nilai DHE yang diterima melalui Bank sebesar USD490,000.00 (empat ratus sembilan puluh ribu dolar Amerika Serikat). Mengingat tanggal 19 Januari 2020 merupakan hari Minggu maka perhitungan selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Ekspor menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada Hari sebelumnya, yaitu hari Jumat tanggal 17 Januari 2020. Pasal 8 Contoh: PT ES melakukan Ekspor ke pihak F yang berada di Amerika Serikat dengan Nilai Ekspor yang tercantum pada dokumen PPE yang diterima Bank Indonesia dari DJBC sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Eksportir menyampaikan kepada Bank Indonesia data PPE dengan Nilai Ekspor sebesar USD450,000.00 (empat ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dan menyampaikan dokumen pendukung antara lain invoice, packing list, dan bill of lading (B/L). Dari perbedaan data Nilai Ekspor dimaksud, Bank Indonesia dapat memutuskan data PPE yang akan dijadikan acuan dalam pemenuhan 9 ketentuan berdasarkan hasil penelitian dan analisis dokumen yang telah disampaikan. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dicantumkan pada Message FTMS” antara lain dicantumkan pada field 70 MT103 dan/atau field 79 MT199 pada message SWIFT. Ayat (2) Contoh: PT AA melakukan Ekspor dengan nomor invoice No.123ABC sebesar USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Pada saat melakukan penagihan, PT AA harus menyampaikan informasi Ekspor yaitu STT 1011, nomor invoice 123ABC, dan nilai invoice sebesar USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) kepada buyer. Selanjutnya, buyer meneruskan informasi Ekspor dimaksud untuk dicantumkan pada Message FTMS oleh bank di luar negeri. Ayat (3) Contoh 1: PT DW melakukan Ekspor dengan nilai Ekspor sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat) sesuai dengan tagihan pada invoice No.TB0123INV/I-2020. Pada saat melakukan penagihan, Eksportir menyampaikan informasi Ekspor kepada buyer di luar negeri berupa informasi STT, nomor invoice, dan nilai invoice untuk disampaikan ke bank di luar negeri agar dicantumkan pada Message FTMS, yaitu field 70 MT103 SWIFT, pada saat pembayaran Ekspor dengan format yang ditetapkan Bank Indonesia, yaitu 1011//TB0123INV/I- 2020(300000). Contoh 2: PT HS melakukan Ekspor pada bulan Mei 2020 (sesuai dengan tanggal Ekspor di dokumen PPE) dengan total tagihan sebesar USD1,200,000,00 (satu juta dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan penagihan dilakukan dengan rincian invoice sebagai berikut: a. b. invoice nomor 123ABC; invoice nomor 234ABC; 10 c. d. e. f. invoice nomor 345ABC; invoice nomor 456ABC; invoice nomor 567ABC; dan invoice nomor 678ABC, masing-masing dengan nilai sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Pada saat melakukan penagihan, PT HS harus menyampaikan informasi Ekspor yaitu STT, nomor invoice, dan nilai invoice ke buyer dengan format yang ditetapkan Bank Indonesia, yaitu 1011//123ABC(200000)234ABC(200000)345ABC(200000)456AB C(200000)567ABC(200000)678ABC. Selanjutnya, buyer menginformasikan kepada bank di luar negeri untuk mencantumkan informasi Ekspor dimaksud pada Message FTMS, yaitu field 70 MT103 SWIFT. Dalam hal terdapat keterbatasan karakter pada field 70 MT103, informasi Ekspor dituliskan pada field 70 MT103 dan field 79 MT199, dengan cara penulisan sebagai berikut: a. field 70 MT103 1011//123ABC(200000)234ABC(200000)345ABC(200000)4 56ABC(200000)567ABC(200000)+ b. field 79 MT199 +/1011//678ABC(200000) Ayat (4) Huruf a Contoh: PT YN melakukan Ekspor dengan Nilai Ekspor sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan tanggal PPE 15 Mei 2020 sebagaimana tercantum pada dokumen PPE nomor 123123. PT YN melakukan penagihan kepada buyer sesuai dengan nomor invoice DEF123 sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Metode pembayaran menggunakan transaksi TT. Pada saat melakukan penagihan, PT YN menyampaikan informasi Ekspor kepada buyer berupa STT dan nomor invoice namun tidak dilengkapi dengan nilai invoice. Hal ini menyebabkan buyer pada saat melakukan pembayaran hanya mencantumkan STT dan nomor invoice pada Message 11 FTMS. Pada saat buyer melakukan pembayaran, buyer salah mencantumkan format informasi Ekspor pada Message FTMS, yaitu 1011//DEF123. Atas hal tersebut, PT YN menyampaikan koreksi informasi Ekspor kepada buyer untuk dicantumkan pada koreksi Message FTMS oleh bank di luar negeri. Huruf b Contoh: PT YN melakukan Ekspor dengan Nilai Ekspor sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan tanggal PPE 15 Mei 2020 sebagaimana tercantum pada dokumen PPE nomor 123123. PT YN melakukan penagihan kepada buyer sesuai dengan nomor invoice DEF123 sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Metode pembayaran menggunakan transaksi TT. Pada saat melakukan penagihan, PT YN menyampaikan informasi Ekspor kepada buyer berupa STT dan nomor invoice namun tidak dilengkapi nilai invoice. Hal ini menyebabkan buyer pada saat melakukan pembayaran hanya mencantumkan STT dan nomor invoice pada Message FTMS. Pada saat buyer melakukan pembayaran, buyer salah mencantumkan format informasi Ekspor pada Message FTMS, yaitu 1011//DEF123. Atas hal tersebut, PT YN harus meminta Bank untuk menginformasikan kepada bank di luar negeri agar melakukan koreksi informasi Ekspor pada koreksi Message FTMS. Ayat (5) Contoh: Dalam hal terdapat kesalahan informasi Ekspor yang sebelumnya dicantumkan 1011//DEF123 pada Message FTMS field 70 MT103 dengan referensi transaksi pada field 20 yaitu IC12789, maka informasi Ekspor dikoreksi menjadi /IC12789/1011//DEF123 (1000000) dan disampaikan melalui koreksi Message FTMS pada field 79 MT199. 12 Pasal 10 Ayat (1) Transaksi Non-TT dilakukan antara lain melalui L/C, Documentary Collection, dan/atau overbooking pada sistem internal bank. Ayat (2) Contoh 1: PT A melakukan Ekspor dengan Nilai Ekspor sebesar USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan tanggal pendaftaran PPE 15 April 2020 sebagaimana tercantum pada dokumen PPE nomor 012345. Penagihan dilakukan kepada pihak B selaku buyer sesuai dengan nomor invoice 123ABC sebesar USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). PT A menggunakan Bank KLM di Indonesia, sementara pihak B menggunakan bank KLM di Amerika Serikat. Metode pembayaran melalui overbooking pada sistem internal bank. PT A harus menyampaikan informasi Ekspor yang terdiri atas nomor invoice dan nilai invoice kepada Bank KLM di Indonesia untuk diteruskan kepada Bank Indonesia melalui Laporan Transaksi Non-TT. Contoh 2: PT A melakukan Ekspor dengan Nilai Ekspor sebesar USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan tanggal pendaftaran PPE 15 April 2020 sebagaimana tercantum pada dokumen PPE nomor 012345. Pembayaran dilakukan melalui transaksi sight L/C. Pada saat penagihan, PT A harus menyampaikan informasi Ekspor berupa nomor L/C dan nilai invoice kepada Bank untuk diteruskan kepada Bank Indonesia melalui Laporan Transaksi Non-TT. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. 13 Ayat (2) Huruf a Contoh: PT A melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 ke pihak B yang berada di Amerika Serikat dengan Nilai Ekspor USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan nomor invoice DEF123 yang tercantum di PPE. Pembayaran disepakati melalui transaksi TT. Pada saat penagihan, PT A melakukan perubahan nomor invoice dari DEF123 menjadi DEF456. Eksportir harus menyampaikan Laporan DHE berupa perubahan informasi nomor invoice dari DEF123 menjadi DEF456 kepada Bank Indonesia. Huruf b Contoh: PT A melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 ke pihak B yang berada di Amerika Serikat dengan nilai Ekspor USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan nomor invoice DEF123 yang tercantum di PPE. Pembayaran disepakati melalui transaksi TT. Pada saat penagihan, PT A menerbitkan invoice final dengan nomor yang sama yaitu DEF123 namun dengan nilai USD490,000.00 (empat ratus sembilan puluh ribu dolar Amerika Serikat) karena terdapat perubahan kualitas barang. Eksportir harus menyampaikan Laporan DHE berupa perubahan informasi nilai invoice dari USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) menjadi USD490,000.00 (empat ratus sembilan puluh ribu dolar Amerika Serikat) kepada Bank Indonesia. Huruf c Contoh: PT A melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 ke pihak B yang berada di Amerika Serikat dengan nilai Ekspor USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan nomor invoice DEF123 yang tercantum di PPE. Pembayaran disepakati melalui transaksi TT dan dilakukan 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal pengiriman barang. 14 Pengiriman barang dilakukan pada tanggal 4 Januari 2020 sehingga jatuh tempo pembayaran ekspor adalah tanggal 2 Juli 2020 dan jatuh tempo penerimaan DHE adalah tanggal 16 Juli 2020. PT A menyampaikan Laporan DHE kepada Bank Indonesia berupa perubahan informasi tanggal jatuh tempo penerimaan DHE. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Contoh: PT YN melakukan Ekspor kepada perusahaan YY dengan Nilai Ekspor sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan tanggal PPE 15 Mei 2020 dan nomor invoice DEF123 yang tercantum di PPE. PT YN melakukan penagihan kepada buyer sesuai dengan nomor invoice DEF123 sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Pada saat melakukan pembayaran, Perusahaan YY melakukan kesalahan penyampaian informasi nomor invoice yaitu DEF1233 dengan nilai USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Dalam hal ini, PT YN harus menyampaikan Laporan DHE kepada Bank Indonesia berupa perubahan nomor invoice dari DEF1233 menjadi DEF123. Huruf b: Contoh: PT AD melakukan Ekspor pada bulan Februari 2020 dengan total Nilai Ekspor sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat), yang terdiri dari: a. PPE 123123 dengan nomor invoice ABC12345 senilai USD350,000.00 (tiga ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat); dan b. PPE 124124 dengan nomor invoice BCD23456 senilai USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Pada saat penagihan, PT AD telah menyampaikan informasi Ekspor kepada buyer berupa STT, nomor invoice, dan nilai 15 invoice. Pada saat pembayaran, terdapat perbedaan alokasi nilai antara Nilai Ekspor dengan nilai DHE pada informasi Ekspor yang tercantum pada Message FTMS dari buyer yang mencerminkan alokasi sebagai berikut: a. invoice ABC12345 senilai USD400,000.00 (empat ratus ribu dolar Amerika Serikat); dan b. invoice BCD23456 senilai USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). PT AD harus menyampaikan Laporan DHE kepada Bank Indonesia berupa perubahan informasi alokasi DHE, yaitu: a. invoice ABC12345 senilai USD400,000.00 (empat ratus ribu dolar Amerika Serikat) menjadi invoice ABC12345 senilai USD350,000.00 (tiga ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat); dan b. invoice BCD23456 senilai USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) menjadi invoice BCD23456 senilai USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: PT EY melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 dengan Nilai Ekspor sebesar USD9,500.00 (sembilan ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Dalam hal terdapat perubahan informasi pada PPE yang memengaruhi DHE, PT EY tidak harus menyampaikan Laporan DHE atas perubahan dimaksud. Ayat (5) Contoh: PT A melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 ke pihak B yang berada di Amerika Serikat dengan Nilai Ekspor USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan nomor invoice DEF123 yang tercantum di PPE. Pembayaran disepakati melalui transaksi TT. Pada saat penagihan, PT A melakukan perubahan nomor invoice dari DEF123 menjadi DEF456 dan menyampaikan informasi Ekspor ke buyer berupa STT, nomor invoice yang telah diubah, dan nilai invoice. 16 Eksportir harus menyampaikan Laporan DHE kepada Bank Indonesia berupa perubahan informasi nomor invoice dari DEF123 menjadi DEF456 paling lama tanggal 5 bulan berikutnya setelah Bulan PPE, yaitu tanggal 5 Februari 2020. Ayat (6) Contoh: PT A melakukan Ekspor pada bulan Februari 2020. Nilai Ekspor sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) terdiri atas: a. b. invoice ABC12345 senilai USD350,000.00 (tiga ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat); dan invoice BCD23456 senilai USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Pembayaran disepakati melalui transaksi TT yang dibayarkan pada tanggal 15 Februari 2020. Namun, terdapat perbedaan alokasi nilai DHE antara Nilai Ekspor dengan Message FTMS, yaitu: a. invoice ABC12345 senilai USD400,000.00 (empat ratus ribu dolar Amerika Serikat); dan b. invoice BCD23456 senilai USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). Dalam hal ini, PT A harus menyampaikan Laporan DHE kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah bulan penerimaan DHE, yaitu tanggal 5 Maret 2020. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: PT AK melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 kepada pihak B sebagai buyer di luar negeri. PT AK menerima DHE secara tunai pada tanggal 20 Februari 2020 sebesar USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) yang dibawa perwakilan buyer dari luar negeri ke Indonesia. Dalam hal ini PT AK wajib 17 menyetorkan DHE yang diterima secara tunai ke Bank dan harus menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia berupa fotokopi rekening koran dan kuitansi penerimaan tunai. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: PT AS melakukan Ekspor pada Januari 2020 namun tidak terdapat penerimaan DHE karena barang Ekspor merupakan pengembalian barang pameran, sesuai perjanjian PT AS dengan buyer dan/atau counterparty. PT AS menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia berupa perjanjian pengembalian barang. Ayat (5) Huruf a Contoh: PT AW melakukan Ekspor pada tanggal 31 Januari 2020 dengan Nilai Ekspor USD170,000.00 (seratus tujuh puluh ribu dolar Amerika Serikat). DHE yang diterima sebesar USD160,000.00 (seratus enam puluh ribu dolar Amerika Serikat) setelah dipotong biaya administrasi dan rabat dengan total sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 31 Januari 2020 adalah Rp14.000,00/USD sehingga selisih kurang antara nilai DHE dan Nilai Ekspor dalam rupiah adalah sebesar (USD170,000.00 – USD160,000.00) x Rp14.000,00/USD = Rp140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah). Dalam hal ini, penerimaan DHE dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila PT AW menyampaikan dokumen pendukung yang dapat membuktikan adanya biaya administrasi dan rabat kepada Bank Indonesia. Huruf b Contoh: PT RA melakukan Ekspor pada tanggal 31 Januari 2020 dengan Nilai Ekspor sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat). DHE yang diterima sebesar USD22,000.00 (dua puluh dua ribu dolar Amerika Serikat) 18 disebabkan barang yang diekspor adalah untuk Financial Leasing. Kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 31 Januari 2020 adalah Rp14.000,00/USD sehingga selisih kurang antara nilai DHE dan Nilai Ekspor dalam rupiah adalah sebesar (USD300,000.00 – USD22,000.00) x Rp14.000,00/USD = Rp3.892.000.000,00 (tiga milyar delapan ratus sembilan puluh dua juta rupiah). Dalam hal ini, penerimaan DHE dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila PT RA menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia yang dapat membuktikan adanya kesepakatan atau perjanjian sewa guna dengan hak opsi untuk membeli. Huruf c PT PJ melakukan Ekspor pada tanggal 31 Januari 2020 dengan Nilai Ekspor sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat). DHE yang diterima sebesar USD22,000.00 (dua puluh dua ribu dolar Amerika Serikat) disebabkan barang yang diekspor adalah untuk Operational Leasing. Kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 31 Januari 2020 adalah Rp14.000,00/USD sehingga selisih kurang antara nilai DHE dan Nilai Ekspor dalam rupiah adalah sebesar (USD300,000.00 – USD22,000.00) x Rp14.000,00/USD = Rp3.892.000.000,00 (tiga milyar delapan ratus sembilan puluh dua juta rupiah). Dalam hal ini, penerimaan DHE dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila PT PJ menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia yang dapat membuktikan adanya kesepakatan atau perjanjian sewa guna tanpa hak opsi untuk membeli. Huruf d PT AA melakukan Ekspor pada tanggal 31 Januari 2020 dengan Nilai Ekspor sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat). DHE yang diterima sebesar USD22,000.00 (dua puluh dua ribu dolar Amerika Serikat) disebabkan barang yang diekspor merupakan barang yang hanya melalui proses perbaikan oleh PT AA. Kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 31 Januari 2020 adalah 19 Rp14.000,00/USD sehingga selisih kurang antara nilai DHE dan Nilai Ekspor dalam rupiah adalah sebesar (USD300,000.00 – USD22,000.00) x Rp14.000,00/USD = Rp3.892.000.000,00 (tiga milyar delapan ratus sembilan puluh dua juta rupiah). Dalam hal ini, penerimaan DHE dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila PT AA menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia yang dapat membuktikan adanya kesepakatan atau perjanjian Jasa Perbaikan barang. Huruf e Contoh: PT SM melakukan Ekspor pada tanggal 31 Januari 2020 dengan Nilai Ekspor USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). DHE diterima sebesar USD480,000.00 (empat ratus delapan puluh ribu dolar Amerika Serikat). Dengan demikian, terdapat selisih sebesar USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Selisih dimaksud berasal dari perbedaan penilaian harga barang pada saat Ekspor dengan harga pada saat barang diterima. Kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 31 Januari 2020 adalah Rp14.000,00/USD sehingga selisih kurang antara nilai DHE dan Nilai Ekspor dalam rupiah adalah sebesar (USD500,000.00 – USD480,000.00) x Rp14.000,00/USD = Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah). Dalam hal ini, penerimaan DHE dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila PT SM menyampaikan dokumen pendukung yang dapat membuktikan perbedaan penilaian harga barang kepada Bank Indonesia. Huruf f Contoh: PT TB melakukan Ekspor pada tanggal 31 Januari 2020 dengan Nilai Ekspor sebesar USD550,000.00 (lima ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). DHE yang diterima sebesar USD540,000.00 (lima ratus empat puluh ribu dolar Amerika Serikat). Dengan demikian terdapat selisih sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Selisih dimaksud berasal dari perbedaan komposisi dan kualitas 20 barang pada saat Ekspor dengan harga pada saat barang diterima. Kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 31 Januari 2020 adalah Rp14.000,00/USD sehingga selisih kurang antara nilai DHE dan Nilai Ekspor dalam rupiah adalah sebesar (USD550,000.00 – USD540,000.00) x Rp14.000,00/USD = Rp140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah). Dalam hal ini, penerimaan DHE dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila PT TB menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia yang dapat membuktikan perbedaan komposisi dan kualitas barang. Ayat (6) Contoh: PT AW melakukan Ekspor berasal dari hasil Maklon pada tanggal 31 Januari 2020 dengan Nilai Maklon sebesar USD170,000.00 (seratus tujuh puluh ribu dolar Amerika Serikat). DHE yang diterima sebesar USD160,000.00 (seratus enam puluh ribu dolar Amerika Serikat) setelah dipotong biaya administrasi dan rabat dengan total sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 31 Januari 2020 adalah Rp14.000,00/USD sehingga selisih kurang antara nilai DHE dan Nilai Ekspor dalam rupiah adalah sebesar (USD170,000.00 – USD160,000.00) x Rp14.000,00/USD = Rp140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah). Dalam hal ini, penerimaan DHE dianggap sesuai dengan Nilai Maklon apabila PT AW menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia berupa invoice yang dapat membuktikan adanya biaya administrasi dan rabat. Ayat (7) Contoh: PT MA melakukan Ekspor kepada pihak B di Hong Kong pada bulan Januari 2020. Pada bulan Februari 2020, pihak B menyampaikan kepada PT MA mengenai terjadinya keadaan kahar. PT MA harus meminta kepada pihak B untuk menyampaikan dokumen pendukung yang dapat membuktikan terjadinya keadaan kahar untuk selanjutnya disampaikan kepada Bank Indonesia. 21 Ayat (8) Contoh: PT RD melakukan Ekspor kepada pihak C di Singapura pada bulan Maret 2020. Pada bulan April 2019, pihak C mengalami pailit. PT RD harus meminta kepada pihak C untuk menyampaikan dokumen pendukung yang dapat membuktikan pihak C mengalami pailit berupa surat penetapan pailit dari otoritas berwenang untuk selanjutnya disampaikan kepada Bank Indonesia. Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Contoh: PT MA menandatangani kontrak jual beli dengan pihak B di Australia dengan kesepakatan bahwa pembayaran dilakukan 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal pengiriman barang atau B/L. PT MA melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 kepada pihak B. PT MA menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia berupa kontrak jual beli paling lambat tanggal 5 Februari 2020. Huruf b Contoh: PT AS melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 namun tidak terdapat penerimaan DHE karena merupakan pengembalian barang pameran. PT AS harus menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia yang dapat membuktikan tidak ada penerimaan DHE paling lambat tanggal 5 Februari 2020. Ayat (2) Huruf a Contoh: PT AK melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 kepada pihak B sebagai buyer di luar negeri. PT AK menerima DHE secara tunai pada tanggal 20 Februari 2020 sebesar USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) yang dibawa perwakilan buyer dari luar negeri ke Indonesia. 22 Dalam hal ini, PT AK wajib menyetorkan DHE yang diterima secara tunai ke Bank dan harus menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 Maret 2020. Huruf b Contoh: PT AK melakukan Ekspor pada tanggal 10 Januari 2020 dengan Nilai Ekspor USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). PT AK menerima DHE pada tanggal 23 Maret 2020 sebesar USD450,000.00 (empat ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 10 Januari 2020 sebesar Rp14.000,00/USD, sehingga terdapat selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Ekspor lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang dikarenakan perbedaan taksiran harga barang. Dalam hal ini, PT AK harus menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia paling sedikit berupa bukti yang menjelaskan perbedaan taksiran harga barang paling lambat pada tanggal 5 April 2020. Huruf c Contoh: PT AK melakukan Ekspor dari hasil Maklon pada tanggal 10 Januari 2020 dengan Nilai Maklon USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat). PT AK menerima DHE pada tanggal 23 Maret 2020 sebesar USD290,000.00 (dua ratus sembilan puluh ribu dolar Amerika Serikat) dengan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 10 Januari 2020 sebesar Rp14.000,00/USD, sehingga terdapat selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Maklon lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang dikarenakan biaya perdagangan internasional. Dalam hal ini PT AK harus menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia paling sedikit berupa bukti yang menjelaskan biaya perdagangan internasional paling lambat pada tanggal 5 April 2020. 23 Ayat (3) Huruf a Contoh 1: PT A melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 kepada pihak B di Jepang. Pada bulan Maret 2020, pihak B menyampaikan penjelasan kepada PT A bahwa terjadi permasalahan keuangan sehingga menyebabkan wanprestasi. Pihak B memberikan komitmen pembayaran Ekspor pada bulan Juni 2020. Dalam hal ini, PT A harus menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia berupa surat komitmen dari pihak B paling lambat pada tanggal 5 Mei 2020. Contoh 2: PT A melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 kepada pihak B di Jepang dengan komitmen pembayaran Ekspor pada bulan Juni 2020. Pada bulan Maret 2020, pihak B menyampaikan penjelasan kepada PT A bahwa terjadi permasalahan keuangan sehingga menyebabkan wanprestasi. Dalam hal ini, PT A harus menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia berupa surat komitmen dari pihak B paling lambat pada tanggal 5 April 2020. Huruf b Contoh: PT MA menandatangani kontrak jual beli dengan pihak B di Australia dengan kesepakatan bahwa pembayaran dilakukan 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal pengiriman barang atau B/L. PT MA melakukan Ekspor pada bulan Januari 2020 kepada pihak B. PT MA telah menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia berupa kontrak jual beli pada tanggal 5 Februari 2020 dengan informasi bahwa DHE diterima pada tanggal 30 Juni 2020. Pada tanggal 15 Juni 2020, pihak B menyampaikan penjelasan kepada PT MA bahwa terjadi permasalahan keuangan sehingga menyebabkan pihak B wanprestasi dan berkomitmen untuk melakukan pembayaran Ekspor pada tanggal 31 Desember 2020. Dalam hal ini, PT MA harus 24 menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia berupa surat komitmen dari pihak B paling lambat pada tanggal 5 Juli 2020. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Contoh: Pada bulan Maret 2020, PT A mencatat kewajiban terhadap pihak B di Malaysia berupa pinjaman sebesar USD700,000.00 (tujuh ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan Impor bahan baku untuk keperluan Ekspor sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Pada bulan yang sama, PT A mencatat tagihan Ekspor kepada pihak B tersebut sebesar USD1,250,000.00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Semua kewajiban dan tagihan di atas jatuh tempo pada bulan Mei 2020 dan kedua pihak telah menyepakati penyelesaiannya dilakukan secara Netting, dimana hanya selisih dari kewajiban dan tagihan tersebut yang akan dibayarkan. Nilai kewajiban yang boleh dilakukan Netting dengan tagihan Ekspor yaitu sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) untuk Impor bahan baku, sementara pinjaman sebesar USD700,000.00 (tujuh ratus ribu dolar Amerika Serikat) tidak boleh dilakukan Netting. Dalam hal ini, PT A wajib menerima sisa tagihan Ekspor sebesar USD250,000.00 (dua ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Ayat (2) Pihak dalam transaksi Netting dianggap berada dalam 1 (satu) grup apabila pihak dimaksud adalah badan hukum atau badan lain yang memiliki hubungan berdasarkan kepemilikan dan/atau pemegang saham yang sama. Contoh: Grup A yang berkedudukan di Hong Kong memiliki 3 (tiga) anak perusahaan, yaitu pihak B di Malaysia, pihak C di Singapura, dan PT D di Indonesia yang bergerak di bidang produk elektronik. Seluruh tagihan dan kewajiban Ekspor dan Impor grup tersebut 25 diselesaikan secara Netting yang dikoordinasikan oleh grup A sebagai induk. Pada bulan Mei 2020, PT D mencatat kewajiban berupa pinjaman sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) dari grup A dan Impor bahan baku dari pihak B di Malaysia sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Pada bulan Juni 2020, PT D mencatat tagihan Ekspor kepada pihak C dan grup A masing-masing sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dan USD2,500,000.00 (dua juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Semua kewajiban dan tagihan di atas jatuh tempo pada bulan Juli 2020. Nilai kewajiban yang boleh dilakukan Netting dengan tagihan Ekspor adalah hanya sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) untuk Impor bahan baku, sementara pinjaman sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) tidak boleh dilakukan Netting. Dalam hal ini, PT D wajib menerima sisa tagihan Ekspor sebesar USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) melalui Bank, yaitu selisih antara total tagihan Ekspor sebesar USD3,500,000.00 (tiga juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dikurangi kewajiban Impor barang sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Ayat (3) Contoh Impor bahan baku untuk menghasilkan barang Ekspor antara lain Impor kancing baju, kain, dan benang untuk memproduksi baju yang diekspor. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. 26 Pasal 16 Ayat (1) Contoh: PT AP melakukan transaksi Netting dengan pihak B di Jerman. PT AP melakukan Ekspor ke pihak B pada bulan Januari 2020. Transaksi Netting dilaksanakan pada bulan Februari 2020 dan penerimaan DHE atas hasil Netting diterima pada bulan Maret 2020. Dalam hal ini, PT AP harus menyampaikan bukti transaksi Netting kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 5 April 2020. Ayat (2) Contoh: PT AP melakukan kontrak kesepakatan Netting yang baru dengan pihak B di Jerman pada bulan Januari 2020. PT AP melakukan Impor bahan baku dari pihak B pada bulan Januari 2020. PT AP melakukan Ekspor pertama kali ke pihak B pada bulan Februari 2020. Dalam hal ini, mengingat pihak B merupakan counterparty baru, PT AP harus menyampaikan surat pernyataan Netting yang berisi keterkaitan barang yang diimpor digunakan untuk proses menghasilkan barang Ekspor yang bersangkutan dan daftar pihak yang terkait Netting kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 5 Maret 2020. Ayat (3) Contoh: PT AP memiliki kontrak kesepakatan Netting masing-masing dengan pihak B di Jerman mulai Januari 2020, pihak C di Jepang mulai Maret 2020, dan pihak D di Thailand mulai Agustus 2020, yang semuanya masih berlaku hingga 2021. Dalam hal ini, PT AP harus menyampaikan pengkinian daftar pihak buyer atau counterparty Netting yang berisi pihak B, C, dan D kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 5 Januari 2021. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 27 Pasal 17 Dokumen pendukung yang disampaikan kepada Bank Indonesia dalam bentuk salinan digital (softcopy) dengan format berupa PDF, JPG, BMP, PNG, atau GIF. Pasal 18 Ayat (1) PT HS harus menyampaikan Laporan DHE dan dokumen pendukung pada tanggal 5 Maret 2020. Pada tanggal 5 Maret 2020 terjadi gangguan teknis berupa pemadaman listrik secara menyeluruh di daerah tempat PT HS beroperasi. PT HS menyampaikan Laporan DHE dan dokumen pendukung pada tanggal 6 Maret 2020 serta bukti pendukung berupa surat pemberitahuan dari PLN secara Daring kepada Bank Indonesia apabila gangguan teknis telah dapat diatasi. Ayat (2) PT HS harus menyampaikan Laporan DHE dan dokumen pendukung pada tanggal 5 Maret 2020. Pada tanggal 5 Maret 2020 terjadi gangguan teknis berupa pemadaman listrik secara menyeluruh di daerah tempat PT HS beroperasi yang berlanjut sampai dengan tanggal 6 Maret 2020. PT HS menyampaikan Laporan DHE dan dokumen pendukung pada tanggal 6 Maret 2020 serta bukti pendukung berupa surat pemberitahuan dari PLN menggunakan media berupa flash disk kepada Bank Indonesia secara Luring. Pasal 19 Ayat (1) Contoh: PT AK melakukan Ekspor pada tanggal 10 Januari 2020 dengan Nilai Ekspor USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Karena terdapat barang yang tidak lolos quality control, Nilai Ekspor berubah menjadi USD450,000.00 (empat ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas perubahan tersebut, PT AK harus melakukan pembetulan PPE. Ayat (2) Cukup jelas. 28 Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) PJT mengisi lembar lanjutan khusus PJT secara akurat sesuai dengan ketentuan kepabeanan yang berlaku serta menyampaikan informasi terkait PPE dan akses pelaporan DHE kepada Pemilik Barang. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) DHE SDA diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. Sumber daya alam pertambangan merupakan sumber daya alam pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai pertambangan mineral dan batubara serta Undang- Undang mengenai minyak dan gas bumi. Sumber daya alam perkebunan merupakan sumber daya alam perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perkebunan. Sumber daya alam kehutanan merupakan sumber daya alam kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai kehutanan. Sumber daya alam perikanan merupakan sumber daya alam perikanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perikanan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “diterima dalam bentuk uang tunai” adalah penerimaan DHE SDA dalam bentuk pembayaran uang kertas dan/atau uang logam di dalam negeri. Ayat (3) Contoh: PT AK menerima DHE SDA secara tunai sebesar USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) yang dibawa perwakilan 29 buyer dari luar negeri ke Indonesia. PT AK menyetorkan uang dimaksud ke Bank pada Reksus DHE SDA dan menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Rekening lainnya dapat berupa produk simpanan lainnya dari Bank yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi. Ayat (3) Contoh: PT V merupakan Eksportir batubara, berencana membuka rekening baru yang khusus untuk menampung DHE SDA-nya di Bank P. Dalam hal ini, PT V diperbolehkan untuk memiliki lebih dari 1 (satu) Reksus DHE SDA, baik di Bank P maupun Bank lain. Ayat (4) Contoh: PT W merupakan Eksportir timah, telah memiliki rekening giro di Bank R yang digunakan untuk menampung semua penerimaan, termasuk Ekspor timah. Untuk memenuhi ketentuan, PT W dapat: a. membuka rekening baru yang diperuntukkan sebagai Reksus DHE SDA; atau b. menggunakan rekening giro di Bank R sebagai Reksus DHE SDA sehingga penerimaan selain dari DHE SDA tidak diperbolehkan menggunakan rekening giro ini. Ayat (5) Cukup jelas. 30 Pasal 24 Ayat (1) Huruf a Dokumen yang dapat menunjukkan Ekspor atas hasil pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam dapat berupa dokumen PPE, surat izin Ekspor dari instansi terkait, dan kontrak penjualan Ekspor. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Contoh: PT A pada tanggal 30 Januari 2020 menerima DHE SDA pada Reksus DHE SDA di Bank J di Jakarta sebesar USD125,000.00 (seratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 31 Januari 2020, PT A menempatkan dana dari Reksus DHE SDA ke deposito DHE SDA sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) di Bank yang sama. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Huruf a Contoh: PT D melakukan Ekspor sumber daya alam pada tanggal 7 Januari 2020 kepada pihak K sebagai buyer di Singapura senilai USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Pembayaran pertama oleh buyer melalui bank E di Singapura sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) diterima PT D melalui Bank F di Jakarta pada tanggal 14 Februari 2020. Pembayaran kedua oleh buyer melalui bank E di Singapura sebesar USD400,000.00 (empat ratus ribu dolar Amerika 31 Serikat) diterima PT D melalui Bank F di Jakarta pada tanggal 25 Maret 2020. Dalam hal ini, penerimaan DHE SDA pada tanggal 14 Februari 2020 dan 25 Maret 2020 wajib dilakukan melalui Reksus DHE SDA. Huruf b Contoh: PT I pada tanggal 7 Januari 2020 memiliki Reksus DHE SDA di Bank J di Jakarta dengan saldo sebesar USD125,000.00 (seratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Pada tanggal yang sama PT I membuka deposito senilai USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan jangka waktu 1 (satu) bulan dengan bunga 3% (tiga persen) per tahun di bank yang sama, yang dananya bersumber dari Reksus DHE SDA. Pada saat pencairan, yaitu tanggal 7 Februari 2020, nilai pokok deposito dan bunganya masing- masing sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) dan USD250.00 (dua ratus lima puluh dolar Amerika Serikat), dapat dimasukkan kembali ke Reksus DHE SDA. Huruf c Contoh: PT K memiliki 2 (dua) Reksus DHE SDA, yaitu di Bank J di Jakarta dan Bank L di Bandung dengan saldo akhir bulan Januari 2020 masing-masing sebesar USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dan USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Dalam hal ini, perpindahan dana antar-Reksus DHE SDA milik perusahaan K di Bank J dan Bank L diperbolehkan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. 32 Huruf b Contoh: PT L memiliki 2 (dua) rekening di Bank C, yaitu rekening umum yang dapat menampung semua Transfer Dana Masuk dan Reksus DHE SDA. Pada tanggal 9 Maret 2020, PT L menerima DHE SDA sebesar USD350,000.00 (tiga ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) di rekening umum atas Ekspor SDA yang dilakukan pada bulan Februari 2020. Untuk memenuhi ketentuan, PT L harus memindahkan dana sebesar USD350,000.00 (tiga ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) tersebut dari rekening umum ke Reksus DHE SDA, dengan disertai dokumen pendukung yang dapat membuktikan dana masuk tersebut berasal dari DHE SDA. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Contoh 1: Dalam kontrak kerja sama minyak bumi, PT A berperan sebagai operator, sementara PT B dan PT C berperan sebagai participating interest. Untuk setiap Ekspor minyak bumi, PPE diterbitkan atas nama masing-masing PT sesuai dengan hasil lifting-nya. Dalam hal ini, kewajiban penerimaan DHE SDA menjadi tanggung jawab PT A, PT B, dan PT C, selaku Eksportir. Contoh 2: Dalam kontrak kerja sama gas bumi, PT A berperan sebagai operator, sementara PT B dan PT C berperan sebagai participating interest. Untuk setiap Ekspor gas bumi yang merupakan hasil joint lifting ketiga PT tersebut, PPE diterbitkan atas nama PT A. Dalam hal ini, kewajiban penerimaan DHE SDA menjadi tanggung jawab PT A selaku Eksportir 33 sekaligus Pihak dalam Kontrak Migas, serta PT B dan PT C selaku Pihak dalam Kontrak Migas. Contoh 3: Dalam kontrak kerja sama gas bumi, PT A berperan sebagai operator, sementara PT B dan PT C berperan sebagai participating interest. Untuk setiap Ekspor gas bumi yang merupakan hasil joint lifting ketiga PT tersebut, PPE diterbitkan atas nama PT D selaku Eksportir yang tidak memiliki hak atas hasil lifting. Dalam hal ini, kewajiban penerimaan DHE SDA menjadi tanggung jawab PT A, PT B, dan PT C, selaku Pihak dalam Kontrak Migas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Bank memastikan Nasabah yang akan melakukan pembukaan Reksus DHE SDA merupakan Eksportir SDA berdasarkan dokumen pendukung yang disampaikan oleh Eksportir SDA pada saat mengajukan permohonan pembukaan Reksus DHE SDA. Ayat (2) Penanda khusus (flag) dapat diberikan antara lain pada nama rekening atau nomor rekening. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. 34 Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: PT MA melakukan Impor barang pada bulan Januari 2020. PT MA melaporkan DPI dan diterima Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 30 April 2020. Pasal 38 Huruf a Contoh: PT CR melakukan pembayaran Impor sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) sesuai tagihan pada invoice nomor INV-12345. PT CR menyampaikan informasi Impor kepada Bank berupa STT, nomor invoice, dan nilai invoice atas transaksi TT yang dilakukan untuk dicantumkan Bank pada Message FTMS. Huruf b Transaksi non-TT terkait pembayaran Impor antara lain transaksi L/C, Documentary Collection, dan/atau overbooking pada sistem internal bank. Contoh 1: PT DN melakukan pembayaran Impor sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) sesuai tagihan pada nomor invoice INV-12345. Pembayaran Impor dilakukan melalui L/C dengan nomor AB1234SN. Tanggal jatuh tempo pembayaran L/C adalah 180 (seratus delapan puluh) hari setelah pengapalan. PT DN menyampaikan informasi Impor kepada Bank berupa STT, nomor L/C, tanggal jatuh tempo pembayaran L/C, dan invoice. Contoh 2: PT EM melakukan pembayaran Impor sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) sesuai tagihan pada invoice nomor INV-12345. Selanjutnya, PT EM melakukan pembayaran 35 Impor melalui Bank QWE untuk overbooking ke rekening penjual di luar negeri yang juga menggunakan Bank QWE. Bank QWE melakukan overbooking setelah PT EM menyampaikan informasi Impor berupa STT, nomor invoice, dan nilai invoice. Huruf c Contoh: PT AP melakukan Impor pada bulan Januari 2020 dengan nomor invoice 123456-INV dan nilai invoice sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Pada saat PT AP membayar Impor, penjual di luar negeri mengubah nomor invoice menjadi 123456a-INV sehingga informasi Impor yang disampaikan pada Bank berbeda nomor invoice-nya. PT AP menyampaikan Laporan DPI kepada Bank Indonesia yang memuat perubahan informasi pada PPI yang memengaruhi DPI berupa perubahan nomor invoice. Huruf d Perubahan informasi pada DPI antara lain berupa perubahan alokasi pada saat pembayaran Impor. Contoh: PT MC melakukan 2 (dua) kali Impor pada bulan Januari dan Februari 2020 dengan total Nilai Impor USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat), masing-masing dengan nomor invoice 123456-INV sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan 345678-INV sebesar USD700,000.00 (tujuh ratus ribu dolar Amerika Serikat). PT MC melakukan pembayaran Impor sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) pada bulan Maret 2020 dan menyampaikan informasi Impor kepada Bank berupa STT, nomor invoice, dan nilai invoice dengan benar. Terdapat kesalahan alokasi pembayaran dengan nomor invoice 123456-INV sebesar USD700,000.00 (tujuh ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan 345678-INV sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat) yang dicantumkan pada Message FTMS. PT MC menyampaikan Laporan DPI kepada Bank Indonesia yang memuat perubahan informasi pada DPI berupa penyesuaian alokasi DPI. 36 Huruf e Yang dimaksud dengan “informasi DPI yang tidak melalui Bank” adalah pembayaran Impor yang dilakukan tidak melalui Bank, antara lain melalui lembaga penyelenggara transfer dana bukan bank. Contoh: PT TG melakukan melakukan Impor untuk pembelian bahan baku pada tanggal 31 Maret 2020 sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Atas Impor tersebut, PT TG melakukan pembayaran melalui lembaga penyelenggara transfer dana bukan bank CBA atas tagihan dari penjual di luar negeri dengan nomor invoice 456xyz tanggal invoice 27 Maret 2020 sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). PT TG menyampaikan Laporan DPI kepada Bank Indonesia yang memuat informasi DPI yang tidak melalui Bank berupa nomor invoice 456xyz, tanggal invoice 27 Maret 2020, dan nilai DPI sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan nama lembaga penyelenggara transfer dana bukan bank CBA. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Informasi Impor dicantumkan pada field 70 MT103 pada message SWIFT. Dalam hal terdapat informasi Impor yang tidak dapat dicantumkan pada field 70 MT103, antara lain karena keterbatasan jumlah karakter, informasi Impor tersebut dicantumkan pada field 79 MT199. Contoh 1: PT HS melakukan Impor pada bulan Mei 2020 (sesuai dengan tanggal Impor di dokumen PPI) dengan nomor invoice 123ABC sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dan pembayaran dilakukan melalui transaksi TT di Bank. Pada saat melakukan pembayaran, PT HS menyampaikan informasi Impor yaitu STT, nomor invoice, dan nilai invoice ke 37 Bank dengan format yang ditetapkan Bank Indonesia, yaitu 2012//123ABC(2000000). Selanjutnya, Bank mencantumkan informasi Impor sesuai format yang ditetapkan Bank Indonesia pada Message FTMS pada field 70 MT103. Contoh 2: PT HS melakukan Impor pada bulan Mei 2020 (sesuai dengan tanggal Impor di dokumen PPI) dengan total tagihan sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dan pembayaran dilakukan melalui transaksi TT di Bank, dengan rincian invoice sebagai berikut: a. b. c. d. e. invoice nomor 123ABC; invoice nomor 234ABC; invoice nomor 345ABC; invoice nomor 456ABC; dan invoice nomor 567ABC, masing-masing dengan nilai sebesar USD400,000.00 (empat ratus ribu dolar Amerika Serikat). Pada saat melakukan pembayaran, PT HS menyampaikan informasi Impor yaitu STT, nomor invoice, dan nilai invoice ke Bank dengan format yang ditetapkan Bank Indonesia, yaitu 2012//123ABC(400000)234ABC(400000)345ABC(400000)456AB C(400000)567ABC(400000). Selanjutnya, Bank mencantumkan informasi Impor sesuai format yang ditetapkan Bank Indonesia pada Message FTMS, yaitu field 70 MT103. Dalam hal terdapat keterbatasan karakter pada field 70 MT103, informasi Impor dicantumkan pada field 70 MT103 dan field 79 MT199, dengan cara penulisan sebagai berikut: a. field 70 MT103 2012//123ABC(400000)234ABC(400000)345ABC(400000)4 56ABC(400000)+ b. field 79 MT199 +/2012//567ABC(400000) Ayat (3) Cukup jelas. 38 Pasal 40 Ayat (1) Transaksi non-TT dilakukan antara lain melalui L/C, Documentary Collection, dan/atau overbooking pada sistem internal Bank. Ayat (2) Contoh: PT HH melakukan Impor pada bulan Mei 2020 (sesuai dengan tanggal Impor di dokumen PPI) dengan nomor invoice 123ABC sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dan pembayaran dilakukan melalui transaksi L/C. Pada saat melakukan pembayaran, PT HH menyampaikan informasi Impor yaitu nomor L/C, tanggal jatuh tempo pembayaran L/C, nomor invoice, dan nilai invoice ke Bank. Selanjutnya, Bank melaporkan informasi Impor pada Laporan Transaksi Non-TT kepada Bank Indonesia. Pasal 41 Ayat (1) Perubahan informasi PPI yang memengaruhi DPI disebabkan antara lain perbedaan nomor invoice. Contoh 1: PT IK melakukan Impor pada tanggal 1 April 2020 dengan nilai sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Terkait dengan Impor tersebut, invoice yang tercantum pada dokumen PPI adalah nomor invoice 456DEF dan tanggal 1 April 2020 dengan nilai USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Selanjutnya, PT IK menerima tagihan dari penjual di luar negeri terkait Impor tersebut dengan nomor invoice FI456DEF dan tanggal invoice 30 April 2020 dengan nilai USD1,030,000.00 (satu juta tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat) karena perubahan harga barang internasional. Dalam hal ini, PT IK menyampaikan Laporan DPI kepada Bank Indonesia terkait perubahan informasi pada PPI yang memengaruhi DPI, yaitu nomor invoice FI456DEF dengan nilai 39 USD1,030,000.00 (satu juta tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat). Contoh 2: PT AP melakukan Impor pada bulan Januari 2020 dengan nomor invoice 123456-INV dan nilai invoice sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). PT AP tidak melakukan pembayaran Impor karena Impor tersebut merupakan pengembalian atas barang yang sebelumnya diekspor. PT AP menyampaikan Laporan DPI kepada Bank Indonesia yang memuat perubahan informasi pada PPI yang memengaruhi DPI berupa perubahan nilai invoice. Ayat (2) Contoh 1: PT AD melakukan transfer dana DPI melalui transaksi TT dengan nilai sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) untuk Impor yang terdiri dari 4 (empat) invoice, yaitu: a. b. c. d. invoice nomor 123ABC; invoice nomor 234ABC; invoice nomor 345ABC; dan invoice nomor 456ABC. Atas pembayaran tersebut, PT AD memerinci DPI sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) untuk dialokasikan ke masing-masing invoice sebesar USD250,000.00 (dua ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Namun demikian, setelah melakukan komunikasi dengan penjual di luar negeri, terdapat perubahan harga pada masing-masing invoice menjadi sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Oleh karena itu, PT AD mengalokasikan DPI tersebut menjadi 5 (lima) invoice. Invoice yang ditambahkan yaitu invoice nomor 567ABC sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Dalam hal ini, PT AD menyampaikan Laporan DPI kepada Bank Indonesia terkait perubahan informasi pada DPI. Contoh 2: PT AY melakukan transfer dana DPI melalui transaksi TT dengan nilai sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) untuk Impor yang terdiri dari 2 (dua) invoice, yaitu invoice 123ABC 40 sebesar USD750,000.00 (tujuh ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dan invoice 345ABC sebesar USD250,000.00 (dua ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Setelah melakukan komunikasi dengan penjual di luar negeri, terdapat perubahan harga untuk invoice 123ABC menjadi sebesar USD725,000.00 (tujuh ratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) dan invoice 345ABC menjadi USD225,000.00 (dua ratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Oleh karena itu, PT AY mengalokasikan DPI tersebut sesuai dengan kesepakatan harga terakhir. Dalam hal ini, PT AY menyampaikan Laporan DPI kepada Bank Indonesia terkait perubahan informasi pada DPI. Ayat (3) Contoh: PT AAD melakukan melakukan Impor untuk pembelian gandum pada tanggal 31 Januari 2020 sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat). Atas impor tersebut, PT AAD melakukan pembayaran melalui lembaga penyelenggara transfer dana bukan bank EY atas tagihan dari penjual di luar negeri dengan nomor invoice 123ABC dan tanggal invoice 28 Januari 2020 sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat). PT AAD menyampaikan Laporan DPI berupa informasi DPI yang tidak melalui Bank yang terdiri dari nomor invoice 123ABC, tanggal invoice 28 Januari 2020, dan nilai DPI sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan nama lembaga penyelenggara transfer dana bukan bank EY. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Contoh: PT KW melakukan Impor pada bulan Januari 2020 dengan rincian sebagai berikut: a. nomor invoice 123456-INV dengan Nilai Impor sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat); 41 b. nomor invoice 345678-INV dengan Nilai Impor sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat); dan c. nomor invoice 567890-INV dengan Nilai Impor sebesar USD9,500.00 (sembilan ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Pada saat PT KW melakukan pengeluaran DPI dengan total sebesar USD400,000.00 (empat ratus ribu dolar Amerika Serikat), yaitu untuk invoice 123456-INV dan invoice 345678-INV, terdapat perubahan nomor invoice yang disebabkan adanya perubahan harga internasional, yaitu menjadi: a. nomor invoice 123456-INV dengan nilai sebesar USD295,000.00 (dua ratus sembilan puluh lima ribu dolar Amerika Serikat); b. nomor invoice 345678-INV dengan nilai sebesar USD96,000.00 (sembilan puluh enam ribu dolar Amerika Serikat); dan c. nomor invoice 567890-INV dengan nilai sebesar USD9,000.00 (sembilan ribu dolar Amerika Serikat). Penyampaian Laporan DPI yang memengaruhi DPI berlaku untuk Nilai Impor lebih besar dari ekuivalen USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) sehingga PT KW hanya perlu menyampaikan Laporan DPI yang memengaruhi perubahan nilai invoice 123456-INV dan invoice 345678-INV. Ayat (2) Contoh 1: PT AP melakukan Impor pada bulan Januari 2020 dengan nomor invoice 123456-INV dan nilai invoice sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). PT AP tidak melakukan pembayaran Impor karena Impor tersebut merupakan pengembalian atas barang yang sebelumnya diekspor. PT AP melakukan perubahan informasi pada PPI yang memengaruhi DPI berupa perubahan nilai invoice. PT AP menyampaikan Laporan DPI kepada Bank Indonesia terkait perubahan nilai invoice paling lambat tanggal 5 Februari 2020. Contoh 2: PT AD melakukan transfer dana DPI melalui transaksi TT dengan nilai sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) 42 pada tanggal 10 Januari 2020 untuk Impor yang terdiri atas 4 (empat) invoice, yaitu: a. b. c. d. invoice nomor 123ABC; invoice nomor 234ABC; invoice nomor 345ABC; dan invoice nomor 456ABC. Atas pembayaran tersebut, PT AD memerinci DPI sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) untuk dialokasikan ke masing-masing invoice sebesar USD250,000.00 (dua ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Namun demikian, setelah melakukan komunikasi dengan penjual di luar negeri, terdapat perubahan harga pada masing-masing invoice menjadi sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Oleh karena itu, PT AD mengalokasikan DPI tersebut menjadi 5 (lima) invoice. Invoice yang ditambahkan yaitu invoice nomor 567ABC sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Dalam hal ini, PT AD menyampaikan Laporan DPI kepada Bank Indonesia terkait perubahan nomor invoice paling lambat tanggal 5 Februari 2020. Ayat (3) Contoh: PT TB melakukan Impor pada bulan Maret 2020 dengan nomor invoice 123456-INV dan nilai invoice sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). PT TB tidak melakukan pembayaran Impor karena Impor tersebut merupakan pengembalian atas barang yang sebelumnya diekspor. PT TB melakukan perubahan informasi pada PPI yang memengaruhi DPI berupa perubahan nilai invoice. PT TB menyampaikan Laporan DPI kepada Bank Indonesia terkait perubahan nilai invoice paling lambat tanggal 5 April 2020. Mengingat tanggal 5 April 2020 merupakan hari libur maka penyampaian Laporan DPI atas perubahan nilai invoice dapat dilakukan pada tanggal 6 April 2020. 43 Pasal 43 Ayat (1) Contoh: PT O melakukan Impor barang sebanyak 1.000 (seribu) unit dengan harga USD100.00 (seratus dolar Amerika Serikat) per unit sehingga total Nilai Impor adalah USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). Pada saat melakukan pendaftaran Impor di sistem kepabeanan, PT O melakukan kesalahan input pada kuantitas barang. Kuantitas barang yang seharusnya 1.000 (seribu) unit tercatat 10.000 (sepuluh ribu) unit, sehingga nilai Impor di dokumen PPI menjadi sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Atas kesalahan tersebut, PT O harus melakukan perubahan data PPI kepada DJBC. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: PT MP melakukan Impor dengan nilai sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat). Atas Impor tersebut, PT MP melakukan pembayaran sebesar USD5,050,000.00 (lima juta lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) karena adanya biaya administrasi pembelian sebesar USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) sehingga terdapat selisih lebih nilai DPI dari Nilai Impor sebesar 1% (satu persen) dengan perhitungan (USD5,050,000.00 - USD5,000,000.00) / USD5,000,000.00) x 100% = 1%. Dalam hal ini, PT MP tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung karena selisih lebih nilai DPI dengan Nilai Impor tidak melebihi 5% (lima persen). 44 Ayat (3) Contoh: PT RF melakukan Impor dengan Nilai Impor sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Atas Impor ini, PT RF melakukan pengeluaran DPI sebesar USD215,000.00 (dua ratus lima belas ribu dolar Amerika Serikat) karena terdapat perubahan harga internasional. Dalam hal ini, terdapat selisih lebih sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari Nilai Impor, dengan perhitungan ((USD215,000.00 - USD200,000.00) / USD200,000.00) x 100% = 7,5%), sehingga Importir harus menyampaikan dokumen pendukung yang memadai. Pasal 45 Ayat (1) Contoh: PT GR melakukan Impor dengan Nilai Impor sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Atas Impor ini, PT GR melakukan pengeluaran DPI sebesar USD205,000.00 (dua ratus lima ribu dolar Amerika Serikat). Dalam hal ini, terdapat selisih lebih sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) atau 2,5% (dua koma lima persen) dari Nilai Impor, dengan perhitungan: (USD205,000.00 - USD200,000.00) / USD200,000.00 x 100% = 2,5%. Ayat (2) Contoh: PT TH melakukan Impor pada tanggal 11 Maret 2020 dengan Nilai Impor sebesar USD1.000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Nilai DPI dibayarkan melalui Bank sebesar EUR900,000.00 (sembilan ratus ribu euro). Kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal 11 Maret 2020 adalah Rp14.000,00/USD dan Rp16.000,00/EUR. Selisih lebih antara nilai DPI dengan Nilai Impor adalah sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) atau sebesar 2,9% (dua koma sembilan persen) dari Nilai Impor, dengan perhitungan: 45 ((EUR900,000.00 x Rp16.000,00/EUR) – (USD1,000,000.00 x Rp14.000,00/USD))/ (USD1,000,000.00 x Rp14.000,00/USD) x 100% = 2,9%. Ayat (3) Contoh: PT JB melakukan Impor pada tanggal 26 Maret 2020 dengan Nilai Impor sebesar USD600,000.00 (enam ratus ribu dolar Amerika Serikat). Nilai DPI yang dibayarkan melalui Bank sebesar INR45,000,000.00 (empat puluh lima juta rupee India). Pada tanggal 26 Maret 2020, kurs Reuters adalah USD0.0142/INR. Selisih lebih antara nilai DPI dengan Nilai Impor adalah sebesar USD39,000.00 (tiga puluh sembilan ribu dolar Amerika Serikat) atau 6,5% (enam koma lima persen) dari Nilai Impor, dengan perhitungan: ((INR45,000,000.00 x USD0.0142/INR) – USD600.000,00)/ USD600.000,00 x 100% = 6,5%. Pasal 46 Ayat (1) Huruf a Contoh: PT M melakukan Impor dari Singapura untuk pembelian bahan baku produksi dengan nilai sebesar SGD100,000.00 (seratus ribu dolar Singapura) secara tunai. Atas Impor tersebut, PT M menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia. Huruf b Contoh: PT N melakukan Impor sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 20 Januari 2020 dengan kesepakatan pembayaran dilakukan 120 (seratus dua puluh) hari setelah barang Impor diterima, yaitu pada tanggal 20 Mei 2020. Dalam hal ini, DPI akan dibayar melebihi akhir bulan ketiga setelah Bulan PPI. Atas Impor tersebut, PT N menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia. 46 Huruf c Contoh: PT S melakukan Impor pembelian bahan baku sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) yang pembayarannya dilakukan melalui lembaga penyelenggara transfer dana bukan bank. Atas Impor tersebut, PT S menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia. Huruf d Contoh: PT S melakukan Impor terkait pengembalian atas barang yang diekspor kepada pihak A sehingga tidak ada pembayaran atas Impor tersebut. Atas Impor tersebut, PT S menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia. Huruf e Selisih lebih nilai DPI dengan Nilai Impor lebih besar dari 5% (lima persen) dari Nilai Impor antara lain disebabkan adanya perbedaan taksiran harga barang karena penggunaan harga internasional, perbedaan kualitas, perbedaan kuantitas, dan Netting. Contoh: PT S melakukan Impor pembelian bahan baku sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). PT S melakukan pembayaran atas Impor sebesar USD220,000.00 (dua ratus dua puluh ribu dolar Amerika Serikat) yang disebabkan adanya perbedaan taksiran harga barang. Atas Impor tersebut, PT S menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia. Ayat (2) Huruf a Contoh: PT SM melakukan Impor sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan tanggal pendaftaran PPI 2 Februari 2020 dan kesepakatan pembayaran dilakukan 120 (seratus dua puluh) hari setelah barang Impor diterima. Barang diterima PT SM pada tanggal 8 Februari 2020. Dalam 47 hal ini, pengeluaran DPI dilakukan pada tanggal 9 Juni 2020 sehingga melebihi akhir bulan ketiga setelah Bulan PPI. Atas Impor tersebut, PT SM harus menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 Maret 2020. Huruf b Contoh: PT AK melakukan Impor sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan tanggal pendaftaran PPI 27 April 2020. DPI atas impor ini tidak dibayar karena merupakan Impor atas barang contoh. Atas Impor tersebut, PT AK harus menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 Mei 2020. Ayat (3) Huruf a Contoh: PT CAP merupakan suatu lembaga riset yang membutuhkan bahan reaktan yang diproduksi di Jerman. PT CAP membeli bahan reaktan tersebut dari penjual di Jerman dengan transaksi pembayaran secara tunai sebesar EUR50,000.00 (lima puluh ribu euro) pada tanggal 27 Januari 2021. Bahan reaktan masuk ke Indonesia dengan PPI yang terbit pada tanggal 3 Februari 2021. Atas Impor tersebut, PT CAP menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 Februari 2021. Huruf b Contoh: PT HH melakukan Impor sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan tanggal pendaftaran PPI 27 April 2020. DPI atas Impor ini dibayar sebesar USD295,000.00 (dua ratus sembilan puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 28 April 2020 melalui penyelenggara transfer dana bukan bank XZ. 48 Atas Impor tersebut, PT HH menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 Mei 2020. Huruf c Contoh: PT AW melakukan Impor sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 20 Juni 2020. DPI atas Impor ini dibayar sebesar USD220,000.00 (dua ratus dua puluh ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 25 Juni 2020 sehingga terdapat selisih antara nilai DPI dan Nilai Impor sebesar 10% (sepuluh persen), dengan perhitungan: (USD220,000.00 - USD200,000.00) / USD200,000.00 = 10% Atas Impor tersebut, PT AW menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 5 Juli 2020. Pasal 47 Ayat (1) Contoh: PT CAP merupakan suatu lembaga riset yang membutuhkan bahan reaktan yang diproduksi di Jerman. PT CAP membeli bahan reaktan tersebut yang dibayar secara tunai sebesar EUR50,000.00 (lima puluh ribu euro) di Jerman. PT CAP harus menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia berupa kuitansi pembayaran. Ayat (2) Huruf a Contoh: PT MA melakukan Impor dari pihak B di Australia dengan cara pembayaran Usance L/C. Pembayaran dilakukan 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal pengiriman barang. Pengiriman barang dilakukan tanggal 1 Februari 2020 dengan PPI tanggal 2 Maret 2020. Mengingat pembayaran Impor melebihi akhir bulan ketiga setelah Bulan PPI, PT MA menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia berupa kontrak Importir dan seller, dokumen L/C, invoice, dan B/L. 49 Huruf b Contoh: PT MA menandatangani kontrak jual beli dengan pihak B di Australia dengan jatuh tempo pembayaran 180 (seratus delapan puluh) hari. PT MA mengimpor barang dari pihak B pada bulan Januari 2020. Pihak B meminta bank di luar negeri dan memercayakan ke Bank X untuk menagih PT MA. PT MA membayar Impor kepada Bank X sesuai dengan jatuh tempo pada kontrak jual beli dengan pihak B, yaitu bulan Juli 2020. PT MA menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia berupa kontrak Importir dan seller, invoice, dan B/L. Huruf c Contoh: PT MA menandatangani kontrak jual beli dengan pihak B di Australia dengan kesepakatan pembayaran dilakukan 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal pengiriman barang atau B/L. Pihak B mengirim barang pada tanggal 1 Februari 2020. PT MA menerima barang dan melakukan pendaftaran Impor pada akhir Februari 2020. Berdasarkan kontrak jual beli dengan pihak B, PT MA membayar Impor ke pihak B paling lambat tanggal 30 Juli 2020. PT MA menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia berupa kontrak Importir dan seller, dan B/L. Huruf d Jatuh tempo pengeluaran DPI untuk transaksi konsinyasi adalah tanggal jatuh tempo pembayaran oleh pembeli (buyer) kepada penerima barang konsinyasi setelah barang konsinyasi terjual oleh penerima barang konsinyasi. Contoh: PT MA menandatangani kontrak jual beli konsinyasi dengan pihak B di Australia dengan kesepakatan bahwa pembayaran dilakukan setelah barang terjual. PT MA mengimpor barang ke pihak B di Australia pada bulan Januari 2020. PT MA menginformasikan bahwa barang baru terjual pada tanggal 15 Mei 2020 dengan disertai bukti pengeluaran barang dari 50 gudang PT MA dan baru dibayar oleh pembeli barang pada tanggal 17 Mei 2020. PT MA melakukan pembayaran Impor ke pihak B pada bulan Mei 2020. PT MA menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia berupa kontrak Importir dan seller dan bukti pengeluaran barang dari gudang PT MA. Ayat (3) Contoh: PT S melakukan Impor pembelian bahan baku sebesar USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) yang pembayarannya dilakukan melalui lembaga penyelenggara transfer dana bukan bank. Atas Impor tersebut, PT S menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia antara lain berupa bukti pembayaran yang dilakukan melalui lembaga penyelenggara transfer dana bukan bank. Ayat (4) Contoh: PT S melakukan Impor terkait pengembalian atas barang yang diekspor kepada pihak A sehingga tidak ada pembayaran atas Impor tersebut sesuai dengan kontrak. Atas Impor tersebut, PT S menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia berupa kontrak mengenai kesepakatan pengembalian barang antara PT S dan pihak A. Ayat (5) Contoh: PT RF melakukan Impor dengan Nilai Impor sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Atas Impor ini, terdapat pengeluaran DPI sebesar USD215,000.00 (dua ratus lima belas ribu dolar Amerika Serikat) sesuai dengan invoice dari seller yang disebabkan perbedaan taksiran harga. Dalam hal ini, terdapat selisih lebih sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari Nilai Impor, dengan perhitungan: (USD215,000.00 - USD200,000.00) / USD200,000.00 x 100% = 7,5%. 51 Atas Impor tersebut, PT RF menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia berupa kontrak antara Importir dengan seller dan invoice. Pasal 48 Dokumen pendukung yang disampaikan kepada Bank Indonesia dalam bentuk salinan digital (softcopy) dengan format berupa PDF, JPG, BMP, PNG, atau GIF. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) PJT mengisi data Pemilik Barang secara akurat sesuai dengan ketentuan kepabeanan yang berlaku serta menyampaikan informasi terkait PPI dan akses pelaporan DPI kepada Pemilik Barang. Pasal 51 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penerimaan DHE” antara lain penerimaan devisa yang telah dilengkapi STT dengan kode 1011. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “segera” adalah dilakukan pada kesempatan pertama setelah keadaan memungkinkan bagi Bank. Contoh: PT SN melakukan Ekspor dengan Nilai Ekspor sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan tanggal PPE 15 Mei 2020 sebagaimana tercantum pada dokumen PPE nomor 123123 dan nomor invoice DEF123. Metode pembayaran menggunakan transaksi TT. Pada saat melakukan penagihan, PT SN menyampaikan informasi Ekspor kepada buyer berupa STT dan nomor invoice. Hal ini menyebabkan buyer pada 52 saat melakukan pembayaran hanya mencantumkan STT dan nomor invoice pada Message FTMS, yaitu 1011//DEF123. Bank menyampaikan kepada PT SN bahwa Message FTMS tidak lengkap dan meminta bank di luar negeri untuk melakukan koreksi informasi Ekspor pada Message FTMS. Pasal 52 Ayat (1) Transaksi Non-TT antara lain transaksi L/C, Documentary Collection, dan/atau overbooking pada sistem internal bank. Informasi Ekspor antara lain nomor L/C, tanggal jatuh tempo pembayaran L/C, dan nomor invoice. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Contoh: PT NA melakukan Ekspor sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Pembayaran dilakukan melalui L/C pada Bank FAS dengan jatuh tempo pembayaran Ekspor pada tanggal 28 Juli 2020. PPE atas Ekspor tersebut terbit pada tanggal 28 Maret 2020. Bank FAS harus menyampaikan Laporan Transaksi Non-TT kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 5 April 2020. Huruf b Contoh: PT N melakukan Ekspor sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 28 Maret 2020. Pembayaran atas Ekspor tersebut dilakukan melalui L/C pada Bank FAS pada bulan April 2020. Bank FAS harus menyampaikan Laporan Transaksi Non-TT kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 5 Mei 2020. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 53 Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: PT IK melakukan Impor dengan nilai invoice sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) pada bulan Januari 2020 dengan nomor invoice 123BCD. Atas Impor tersebut, PT IK melakukan pembayaran melalui transaksi TT pada tanggal 14 Februari 2020 dengan nilai sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan nomor invoice 123BCD. PT IK menyampaikan informasi Impor pada Perintah Transfer Dana dengan format 123BCD(500000). Karena informasi tersebut tidak lengkap, Bank meminta kepada PT IK untuk melengkapi informasi Impor pada Perintah Transfer Dana menjadi 2012//123BCD(500000). Pasal 54 Ayat (1) Transaksi non-TT antara lain transaksi L/C, Documentary Collection, dan/atau overbooking pada sistem internal bank. Informasi Impor antara lain nomor L/C, tanggal jatuh tempo pembayaran L/C, dan nomor invoice. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Contoh: PT YY melakukan Impor sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan pembayaran dilakukan melalui L/C pada Bank FAS dengan tanggal jatuh tempo pembayaran pada tanggal 28 Juli 2020. PPI atas Impor tersebut terbit pada tanggal 28 Maret 2020. Bank FAS harus menyampaikan Laporan Transaksi Non-TT kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 April 2020. 54 Huruf b Contoh: PT YY melakukan Impor sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). PPI atas Impor tersebut terbit pada tanggal 28 Maret 2020. Pembayaran atas Impor tersebut dilakukan melalui L/C pada Bank FAS pada bulan April 2020. Bank FAS harus menyampaikan Laporan Transaksi Non-TT kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 Mei 2020. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 55 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia antara lain auditor independen yang memiliki sertifikasi dan kompetensi di bidang keuangan, perdagangan internasional, dan/atau teknologi informasi. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. 55 Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Ayat (1) Contoh 1: PT TB melakukan Ekspor Non-SDA pada tanggal 11 Maret 2020 dengan Nilai Ekspor sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Sampai dengan tanggal 30 Juni 2020, PT TB hanya menerima DHE sebesar USD400,000.00 (empat ratus ribu dolar Amerika Serikat) sehingga terdapat selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Ekspor yang lebih besar dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan PT TB tidak menyampaikan dokumen pendukung yang memadai. Atas hal tersebut, Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis pada bulan Juli 2020. Contoh 2: PT BA melakukan Ekspor Non-SDA pada tanggal 11 Maret 2020 dengan Nilai Ekspor sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan Nilai Maklon sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). Sampai dengan tanggal 30 Juni 2020, PT BA hanya menerima DHE sebesar USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) sehingga terdapat selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Maklon yang lebih besar dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan PT BA tidak 56 menyampaikan dokumen pendukung yang memadai. Atas hal tersebut, Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis pada bulan Juli 2020. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Contoh: PT TB tidak menindaklanjuti pemenuhan kewajiban penerimaan DHE Non-SDA sesuai dengan Nilai Ekspor atau Nilai Maklon sampai dengan batas waktu teguran tertulis, yaitu tanggal 10 Agustus 2020. Berdasarkan hal tersebut, Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua pada bulan Agustus 2020. Huruf b Contoh: PT TB tidak menindaklanjuti pemenuhan kewajiban penerimaan DHE Non-SDA sesuai dengan Nilai Ekspor atau Nilai Maklon sampai dengan batas waktu penerimaan DHE dalam dokumen pendukung yang disampaikan kepada Bank Indonesia setelah pengenaan sanksi berupa teguran tertulis, yaitu pada tanggal 5 September 2020. Berdasarkan hal tersebut, Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua pada bulan September 2020. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Huruf a Contoh: PT TB tidak menindaklanjuti pemenuhan kewajiban penerimaan DHE Non-SDA sesuai dengan Nilai Ekspor atau Nilai Maklon sampai dengan batas waktu teguran tertulis kedua, yaitu tanggal 18 September 2020. Berdasarkan hal 57 tersebut, Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa penangguhan atas pelayanan Ekspor pada tanggal 25 September 2020. Huruf b Contoh: PT TB tidak menindaklanjuti pemenuhan kewajiban penerimaan DHE Non-SDA sesuai dengan Nilai Ekspor atau Nilai Maklon sampai dengan batas waktu penerimaan DHE dalam dokumen pendukung yang disampaikan kepada Bank Indonesia setelah pengenaan sanksi berupa teguran tertulis kedua, yaitu pada tanggal 5 Oktober 2020. Berdasarkan hal tersebut, Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa penangguhan atas pelayanan Ekspor pada bulan Oktober 2020. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Pelaksanaan pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor dilakukan oleh DJBC atas dasar permintaan Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “bulan pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor” adalah bulan diterbitkannya surat 58 pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor oleh Bank Indonesia. Contoh: Surat pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor dari Bank Indonesia kepada PT TB diterbitkan pada tanggal 25 September 2020, sehingga bulan pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor adalah bulan September 2020. Ayat (6) Contoh 1: Surat pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor dari Bank Indonesia kepada PT TB diterbitkan pada tanggal 25 September 2020, sehingga bulan pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor PT TB adalah bulan September 2020. Pembebasan penangguhan atas pelayanan Ekspor PT TB hanya dapat dilakukan apabila PT TB menyampaikan bukti pemenuhan kewajiban penerimaan DHE sesuai dengan Nilai Ekspor dan diterima Bank Indonesia paling lambat tanggal 30 September 2021. Apabila bukti pemenuhan kewajiban penerimaan DHE diterima Bank Indonesia setelah tanggal 30 September 2021, Bank Indonesia tidak memproses pengajuan pembebasan penangguhan atas pelayanan Ekspor PT TB. Contoh 2: Surat pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor dari Bank Indonesia kepada PT BA diterbitkan pada tanggal 25 September 2020, sehingga bulan pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor PT BA adalah bulan September 2020. Pembebasan penangguhan atas pelayanan Ekspor PT BA hanya dapat dilakukan apabila PT BA menyampaikan bukti pemenuhan kewajiban penerimaan DHE sesuai dengan Nilai Maklon dan diterima Bank Indonesia paling lambat tanggal 30 September 2021. Apabila bukti pemenuhan kewajiban penerimaan DHE diterima Bank Indonesia setelah tanggal 30 September 2021, Bank Indonesia tidak memproses pengajuan pembebasan penangguhan atas pelayanan Ekspor PT BA. 59 Ayat (7) Yang dimaksud dengan “otoritas terkait” adalah kementerian atau lembaga yang memiliki kewenangan perizinan terkait Ekspor. Informasi yang disampaikan kepada otoritas terkait antara lain NPWP, nama Eksportir, dan bulan pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Ayat (1) Contoh 1: PT TD melakukan Impor pada tanggal 11 Maret 2021 dengan Nilai Impor sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Sampai dengan tanggal 30 Juni 2021, PT TD tidak melaporkan DPI dan tidak menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis pada bulan Juli 2021. Contoh 2: PT DR melakukan Impor pada tanggal 11 Maret 2021 dengan Nilai Impor sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Sampai dengan tanggal 30 Juni 2021, PT DR melaporkan DPI sebesar USD550,000.00 (lima ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) sehingga terdapat selisih lebih nilai DPI dengan Nilai Impor sebesar 10% (sepuluh persen) dari Nilai Impor dan tidak menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis pada bulan Juli 2021. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: PT TD tidak menindaklanjuti kewajiban pelaporan DPI sampai dengan batas waktu teguran tertulis, yaitu tanggal 10 Agustus 60 2021. Berdasarkan hal tersebut, Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua pada bulan Agustus 2021. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Ayat (1) Pelaksanaan pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Impor dilakukan oleh DJBC atas dasar permintaan Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “bulan pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Impor” adalah bulan diterbitkannya surat pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Impor oleh Bank Indonesia. Contoh: Surat pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Impor dari Bank Indonesia diterbitkan pada tanggal 25 September 2021, sehingga bulan pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Impor adalah bulan September 2021. Ayat (6) Contoh: Surat pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Impor dari Bank Indonesia kepada PT TD diterbitkan pada tanggal 25 61 September 2021, sehingga bulan pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Impor adalah bulan September 2021. Pembebasan penangguhan atas pelayanan Impor PT TD hanya dapat dilakukan apabila PT TD menyampaikan bukti pemenuhan kewajiban pelaporan DPI dan diterima Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 30 September 2022. Apabila bukti pemenuhan kewajiban pelaporan DPI diterima Bank Indonesia setelah tanggal 30 September 2022, Bank Indonesia tidak memproses pengajuan pembebasan penangguhan atas pelayanan Impor PT TD. Ayat (7) Yang dimaksud dengan “otoritas terkait” adalah kementerian atau lembaga yang memiliki kewenangan perizinan terkait Impor. Informasi yang disampaikan kepada otoritas terkait antara lain NPWP, nama Importir, dan bulan pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Impor. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/26/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> DEVISA HASIL EKSPOR DAN DEVISA PEMBAYARAN IMPOR </reg_title> <set_date> 23 Desember 2019 </set_date> <effective_date> 23 Desember 2019 </effective_date> <replaced_reg> '21/15/PADG/2019 | kecuali ketentuan terkait pelaporan penerimaan DHE dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan DHE Non-SDA yang diterima pada tanggal 31 Desember 2019', '16/9/DSta|SE-BI/2014 | kecuali ketentuan terkait penyampaian informasi dan laporan penerimaan DHE SDA dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan DHE SDA yang diterima pada tanggal 31 Desember 2020' </replaced_reg> <related_reg> '21/14/PBI/2019' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII', 'BAB IX' </penalty_list>
2 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/24/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/4/PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA MELALUI BANK INDONESIA-SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk segera memenuhi kebutuhan penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih lancar, aman, efisien, dan andal, diperlukan percepatan pemberlakuan ketentuan mengenai pelaksanaan setelmen atas transaksi surat berharga antarpeserta Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/4/PADG/2018 tentang Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga Melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/11/PBI/2018 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 186, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6256); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/4/PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA MELALUI BANK INDONESIA-SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/4/PADG/2018 tentang Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga Melalui Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi dan penatausahaan surat berharga yang dilakukan secara elektronik. 3 2. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transaksi yang dilakukan secara elektronik. 3. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. 4. Sistem Informasi BI-SSSS yang selanjutnya disingkat SI BI-SSSS adalah sistem yang disediakan oleh Bank Indonesia bagi sub-registry sebagai sarana pelaporan dan rekonsiliasi data BI-SSSS terkait penatausahaan individual nasabah. 5. Penatausahaan adalah kegiatan yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring, dan setelmen, serta pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal atas hasil transaksi surat berharga dan hasil transaksi tanpa surat berharga. 6. Transaksi adalah transaksi dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan. 7. Transaksi dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang dilakukan oleh peserta dengan Bank Indonesia untuk kegiatan operasi moneter, transaksi surat berharga negara untuk dan atas nama pemerintah, dan/atau transaksi lainnya yang dilakukan dengan Bank Indonesia. 8. Transaksi Pasar Keuangan adalah transaksi surat berharga dan transaksi pinjam meminjam antarpeserta secara konvensional atau yang dipersamakan berdasarkan prinsip syariah dalam transaksi pasar uang dan/atau transaksi surat berharga di pasar sekunder. 9. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 4 10. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disingkat FLI adalah fasilitas pendanaan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank peserta Sistem BI-RTGS baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS. 11. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, pemerintah, dan/atau lembaga lain, yang ditatausahakan pada BI-SSSS. 12. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat utang negara dan surat berharga syariah negara. 13. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. 14. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 15. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah Surat Berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 16. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah Surat Berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antarbank. 17. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah Surat Berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. 5 18. Penyelenggara BI-SSSS yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah Bank Indonesia dalam kedudukan sebagai pihak yang menyelenggarakan BI-SSSS. 19. Peserta BI-SSSS yang selanjutnya disebut Peserta adalah pihak yang memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai peserta dalam penyelenggaraan BI-SSSS. 20. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi Penatausahaan bagi kepentingan Peserta. 21. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Penyelenggara sebagai Peserta BI-SSSS, untuk melakukan fungsi Penatausahaan bagi kepentingan nasabah. 22. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 23. Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lainnya, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. 24. Dealer Utama adalah Bank dan/atau perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai dealer utama. 25. Setelmen adalah proses penyelesaian akhir transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan rekening setelmen dana, rekening surat berharga, dan/atau rekening lainnya di Bank Indonesia. 6 26. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan pendebitan dan pengkreditan rekening surat berharga dalam rangka Penatausahaan. 27. Setelmen Dana adalah proses penyelesaian akhir transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan rekening setelmen dana. 28. Rekening Surat Berharga adalah rekening Peserta dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia dalam rangka pencatatan kepemilikan dan Setelmen atas transaksi Surat Berharga, Transaksi dengan Bank Indonesia, dan/atau Transaksi Pasar Keuangan. 29. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta pada Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pelaksanaan Setelmen Dana. 30. Bank Pembayar adalah peserta Sistem BI-RTGS yang ditunjuk sebagai pembayaran dan penerimaan dana oleh Peserta lain. 31. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi maupun sarana pendukung BI-SSSS yang mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan BI-SSSS. 32. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kekuasaan Penyelenggara dan/atau Peserta yang menyebabkan kegiatan operasional BI-SSSS tidak dapat diselenggarakan yang diakibatkan oleh kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, dan/atau sebab lain, yang dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat yang berwenang setempat, termasuk Bank Indonesia. pihak untuk melakukan 7 33. Fasilitas Guest Bank adalah fasilitas BI-SSSS di lokasi Penyelenggara dan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri (KPwDN) yang disediakan oleh Penyelenggara untuk Peserta sebagai cadangan dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat yang menyebabkan Peserta tidak dapat menggunakan BI-SSSS di lokasi Peserta. 34. BI-SSSS Central Node yang selanjutnya disebut SCN adalah sistem di Penyelenggara yang menyediakan fungsi untuk pelaksanaan kegiatan Penatausahaan dan fungsi pendukung lain dalam rangka penyelenggaraan BI-SSSS. 35. BI-SSSS Participant Platform yang selanjutnya disebut SPP adalah BI-SSSS di Peserta yang terhubung dengan SCN, yang digunakan Peserta untuk melakukan kegiatan terkait Penatausahaan dan fungsi pendukung lainnya. 36. Digital Certificate adalah suatu sertifikat dalam bentuk file terproteksi yang memuat identitas pemilik sertifikat, kunci enkripsi untuk melakukan verifikasi tanda tangan digital pemilik, dan periode validitas sertifikat, yang dihasilkan oleh infrastruktur kunci publik Bank Indonesia. 2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Kegiatan Penatausahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f mencakup: a. melakukan pencatatan penerbitan dan kepemilikan Surat Berharga atas hasil Setelmen; b. menyediakan data dan informasi terkait pencatatan penerbitan dan kepemilikan Surat Berharga; 8 c. melakukan Setelmen atas transaksi Surat Berharga, Transaksi dengan Bank Indonesia, dan Transaksi Pasar Keuangan di pasar perdana maupun di pasar sekunder; d. melakukan Setelmen atas pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban membayar kepada peserta Operasi Moneter; e. melakukan pembatalan Setelmen second leg atas transaksi antar-Peserta di pasar sekunder yang belum jatuh waktu; f. melakukan pembatalan Setelmen second leg atas perpanjangan (roll over) otomatis oleh sistem; g. melakukan pemblokiran Surat Berharga atas permintaan lembaga pengawas; h. melakukan pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal atas Surat Berharga dan instrumen yang ditatausahakan di BI-SSSS kepada Peserta pemilik Surat Berharga dan Sub-Registry; dan i. mendebit Rekening Setelmen Dana Peserta yang memiliki fungsi sebagai penerbit dalam rangka melakukan pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal sebagaimana dimaksud dalam huruf h. (2) Setelmen atas transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara: a. mendebit atau mengkredit Rekening Setelmen Dana Peserta atau Bank Pembayar; dan/atau b. mendebit atau mengkredit Rekening Surat Berharga Peserta. (3) Pembatalan Setelmen second leg sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan berdasarkan: a. permintaan salah satu Peserta yang bertransaksi atas dasar kuasa pembatalan dari Peserta lawan transaksi; 9 b. keputusan lembaga pengawas yang berwenang yang mengakibatkan Setelmen second leg harus dibatalkan; dan/atau c. keputusan lembaga arbitrase dan/atau pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, yang mengakibatkan Setelmen second leg harus dibatalkan. (4) Pembatalan Setelmen second leg sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan dalam hal: a. Surat Berharga yang ditransaksikan memasuki batas waktu Surat Berharga dapat ditransaksikan; dan b. Peserta tidak melakukan pembatalan Setelmen second leg. 3. Ketentuan Bagian Keenam Bab IV diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Keenam Penatausahaan Transaksi Operasi Moneter Paragraf 1 Penatausahaan Transaksi Operasi Moneter untuk Absorpsi Likuiditas Pasal 126 Setelmen atas transaksi Operasi Moneter untuk absorpsi likuiditas di pasar uang terdiri atas: a. Setelmen atas transaksi penerbitan Surat Berharga oleh Bank Indonesia; b. Setelmen atas transaksi penempatan dana; dan c. Setelmen atas transaksi pasar sekunder. Pasal 127 (1) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi Operasi Moneter untuk absorpsi likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dilakukan secara DvP. 10 (2) Pelaksanaan Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan urutan instruksi Setelmen. (3) Setelmen tidak dapat dilakukan selama saldo Rekening Setelmen Dana dan/atau saldo Rekening Surat Berharga tidak mencukupi sampai dengan batas waktu Setelmen atas transaksi Operasi Moneter atau awal periode cut-off warning BI-SSSS. Pasal 128 Pelaksanaan Setelmen jatuh waktu atas transaksi Operasi Moneter mulai dilakukan pada awal hari yang meliputi: a. Setelmen jatuh waktu untuk pelunasan Surat Berharga dan penempatan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf a dan huruf b; dan b. Setelmen second leg transaksi di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf c. Pasal 129 Setelmen atas transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dan Pasal 128, dilakukan dengan mekanisme Setelmen sebagaimana tercantum dalam Lampiran X. Paragraf 2 Penatausahaan Transaksi Operasi Moneter untuk Injeksi Likuiditas Pasal 130 (1) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi Operasi Moneter untuk injeksi likuiditas di pasar uang dilakukan secara DvP. (2) Pelaksanaan Setelmen dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan urutan instruksi Setelmen. 11 (3) Setelmen tidak dapat dilakukan selama saldo Rekening Setelmen Dana dan/atau saldo Rekening Surat Berharga tidak mencukupi sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi Operasi Moneter atau awal periode cut-off warning BI-SSSS. Pasal 131 Pelaksanaan Setelmen jatuh waktu atas transaksi Operasi Moneter mulai dilakukan pada awal hari. Pasal 132 Setelmen atas transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 dan Pasal 131, dilakukan dengan mekanisme Setelmen sebagaimana tercantum dalam Lampiran X. Paragraf 3 Pelaksanaan Pembebanan atas Pengenaan Sanksi Administratif Kewajiban Membayar untuk Operasi Moneter Pasal 133 Penyelenggara mendebit Rekening Setelmen Dana Peserta atau Bank Pembayar untuk pembebanan atas pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai operasi moneter. 4. Ketentuan Pasal 177 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 177 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku: 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/31/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System; dan 12 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/20/DPSP tanggal 23 September 2016 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/31/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali: a. ketentuan mengenai kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam butir III.F.2.g. dinyatakan berlaku sampai dengan tanggal 31 Mei 2018; b. ketentuan mengenai setelmen sebagaimana dimaksud dalam butir IV.D.3.a.2) dan butir IV.D.3.a.3) dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Oktober 2018; dan c. ketentuan mengenai penatausahaan surat berharga dalam rangka FLI sebagaimana dimaksud dalam butir IV.H dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2018. 5. Ketentuan Pasal 178 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 178 (1) Ketentuan mengenai kewajiban Sub-Registry untuk mengelola dan melaporkan data nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf g khusus informasi berupa prinsip usaha mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2018. (2) Ketentuan mengenai Setelmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (4) sampai dengan ayat (7), Pasal 95 ayat (8), Pasal 98 ayat (8), Pasal 102 ayat (2), dan Pasal 119 ayat (6), mulai berlaku pada tanggal 1 November 2018. (3) Ketentuan mengenai Penatausahaan Surat Berharga untuk FLI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 sampai dengan Pasal 144, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2019. 13 Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD SUGENG 2 PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/24/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/4/PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA MELALUI BANK INDONESIA- SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM I. UMUM Bahwa Bank Indonesia telah melakukan penyempurnaan Sistem BI- RTGS dan BI-SSSS untuk mendukung perubahan kebijakan larangan queue bersamaan dengan kegiatan penggantian infrastruktur yang digunakan untuk Sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan Sistem BI-ETP. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk segera mewujudkan penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih lancar, aman, efisien, dan andal maka diperlukan percepatan pemberlakuan ketentuan mengenai pelaksanaan Setelmen atas transaksi Surat Berharga antar-Peserta. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. 2 Angka 2 Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan “batas waktu Surat Berharga dapat ditransaksikan” adalah batas waktu Surat Berharga untuk ditransaksikan oleh Peserta sesuai dengan term and condition untuk masing-masing Surat Berharga. Huruf b Cukup jelas. Angka 3 Pasal 126 Yang dimaksud dengan “absorpsi” adalah pengurangan likuiditas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai operasi moneter. Huruf a Setelmen transaksi penerbitan Surat Berharga antara lain SBI, SBIS, dan SDBI. Huruf b Setelmen transaksi penempatan dana antara lain term deposit, deposit facility, dan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS). Huruf c Setelmen transaksi pasar sekunder antara lain reverse repo SBN dan outright jual SBN oleh Bank Indonesia. Pasal 127 Cukup jelas. 3 Pasal 128 Huruf a Setelmen transaksi pelunasan antara lain untuk SBI, SBIS, SDBI, term deposit, deposit facility, dan FASBIS. Huruf b Setelmen transaksi second leg di pasar sekunder antara lain untuk reverse repo SBN. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Ayat (1) Setelmen atas transaksi Operasi Moneter untuk injeksi likuiditas antara lain Setelmen transaksi repo dengan Bank Indonesia, outright beli SBN oleh Bank Indonesia, lending facility, dan financing facility. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 132 Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 177 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 178 Cukup jelas. 4 Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/24/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/4/PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA MELALUI BANK INDONESIA-SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM </reg_title> <set_date> 31 Oktober 2018 </set_date> <effective_date> 31 Oktober 2018 </effective_date> <changed_reg> '20/4/PADG/2018' </changed_reg> <replaced_reg> '17/31/DPSP|SE-BI/2015 | kecuali: a. ketentuan mengenai kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam butir III.F.2.g. dinyatakan berlaku sampai dengan tanggal 31 Mei 2018; b. ketentuan mengenai setelmen sebagaimana dimaksud dalam butir IV.D.3.a.2) dan butir IV.D.3.a.3) dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Oktober 2018; dan c. ketentuan mengenai penatausahaan surat berharga dalam rangka FLI sebagaimana dimaksud dalam butir IV.H dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2018', '18/20/DPSP|SE-BI/2016 | kecuali: a. ketentuan mengenai kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam butir III.F.2.g. dinyatakan berlaku sampai dengan tanggal 31 Mei 2018; b. ketentuan mengenai setelmen sebagaimana dimaksud dalam butir IV.D.3.a.2) dan butir IV.D.3.a.3) dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Oktober 2018; dan c. ketentuan mengenai penatausahaan surat berharga dalam rangka FLI sebagaimana dimaksud dalam butir IV.H dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2018' </replaced_reg> <related_reg> '17/18/PBI/2015', '20/11/PBI/2018' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 2 Pasal 6 Ayat 1 Huruf d', 'Pasal I Angka 3 Bab IV Bagian Keenam Paragraf 3 Pasal 133' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/17/PADG/2018 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendorong pasar keuangan yang likuid dan efisien diperlukan pengembangan pasar valuta asing domestik secara menyeluruh, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian bertransaksi; dalam b. bahwa dalam upaya pengembangan pasar valuta asing domestik diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank dengan pihak asing terkait dengan penggunaan kontrak dalam bertransaksi, variasi instrumen, underlying transaksi, dan penyelesaian transaksi; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/19/PBI/2016 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5927); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan serta bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri namun tidak termasuk kantor bank umum dan bank umum syariah berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. 2. Pihak Asing adalah: a. warga negara asing; b. badan hukum asing atau lembaga asing lainnya; c. warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia; d. kantor Bank di luar negeri dari Bank yang berkantor pusat di Indonesia; atau e. kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan yang berbadan hukum Indonesia. 3 3. Warga Negara Asing adalah orang yang memiliki kewarganegaraan selain Indonesia, termasuk yang memiliki izin menetap atau izin tinggal di Indonesia. 4. Badan Hukum Asing atau Lembaga Asing lainnya adalah badan hukum atau lembaga asing yang didirikan di luar negeri, namun tidak termasuk: a. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; b. perusahaan penanaman modal asing (PMA); atau c. badan hukum asing atau lembaga asing yang memiliki kegiatan yang bersifat nirlaba meliputi ASEAN Secretary, World Bank, Asian Development Bank, dan lembaga asing lainnya yang memenuhi kriteria sebagai lembaga multilateral yang bersifat nirlaba. 5. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi penjualan dan pembelian valuta asing terhadap rupiah. 6. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah, gabungan turunan dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah dan suku bunga (valuta asing dan rupiah), atau gabungan antarturunan dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah. 7. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari pembelian atau penjualan valuta asing terhadap rupiah. 8. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi, termasuk transaksi dengan penyerahan dana pada hari yang sama (today) atau dengan penyerahan dana 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow). 9. Transaksi Forward adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan dalam waktu lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 4 10. Transaksi Swap adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah dengan cara pembelian secara tunai atau berjangka dengan penjualan kembali secara berjangka atau penjualan secara tunai atau berjangka dengan pembelian kembali secara berjangka, yang dilakukan secara simultan dengan pihak yang sama pada tanggal transaksi. 11. Transaksi Option adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah yang didasari suatu perjanjian yang memberikan hak kepada pembeli untuk membeli (call option) atau menjual (put option) pada tanggal tertentu dalam periode perjanjian transaksi. 12. Transaksi Cross Currency Swap adalah transaksi antara 2 (dua) pihak untuk melakukan pertukaran serangkaian pembayaran bunga (interest payment) dalam mata uang berbeda yang dilakukan dengan atau tanpa pertukaran pokok (principal) dalam jangka waktu tertentu. 13. Call Spread Option adalah gabungan beli call option dan jual call option yang dilakukan secara simultan dalam 1 (satu) kontrak transaksi dengan strike price yang berbeda dan nominal yang sama. 14. Transfer Rupiah adalah pemindahan sejumlah dana rupiah yang ditujukan kepada penerima dana untuk kepentingan Bank maupun nasabah Bank, baik melalui setoran tunai maupun pemindahbukuan antarrekening pada Bank yang sama atau Bank yang berbeda, yang menyebabkan bertambahnya saldo rekening rupiah penerima dana. 5 BAB II TRANSAKSI Bagian Kesatu Kontrak Pasal 2 Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Pihak Asing atas dasar suatu kontrak. Pasal 3 (1) Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berupa: a. konfirmasi tertulis berupa kontrak Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang lazim digunakan oleh pelaku pasar dan/atau diterbitkan oleh asosiasi terkait; dan/atau b. konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi. (2) Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling sedikit berisi: a. nomor kontrak; b. tanggal transaksi dan tanggal valuta; c. nilai nominal transaksi; d. nama counterparty; e. mata uang (denominasi); dan f. rekening bank koresponden. (3) Kontrak yang digunakan oleh pelaku pasar dalam melakukan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dapat berupa perjanjian induk derivatif Indonesia sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 6 Pasal 4 (1) Dalam hal kontrak yang digunakan Bank dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) mencantumkan penggunaan acuan kurs dalam penyelesaian transaksi pada saat jatuh waktu, Bank harus mengacu pada kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR). (2) JISDOR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. Bank Indonesia menerbitkan JISDOR setiap hari kerja melalui situs web Bank Indonesia dan/atau media lainnya; dan b. penggunaan JISDOR berlaku untuk transaksi dolar Amerika Serikat terhadap rupiah. Bagian Kedua Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Pasal 5 (1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi transaksi pembelian dan penjualan dalam denominasi seluruh valuta asing terhadap rupiah. (2) Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Pihak Asing, Bank wajib menggunakan kuotasi harga atau kurs valuta asing terhadap rupiah yang ditetapkan oleh Bank. Pasal 6 (1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi: a. Transaksi Spot; dan b. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah. (2) Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. transaksi derivatif yang standar (plain vanilla), dalam bentuk forward, swap, option, dan cross currency swap; dan 7 b. transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option. Pasal 7 (1) Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) sebagaimana dimaksud daam Pasal 6 ayat (2) huruf a yang dilakukan Bank dengan Pihak Asing di atas jumlah tertentu (threshold) wajib memiliki Underlying Transaksi. (2) Transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b wajib memiliki Underlying Transaksi. Pasal 8 Pembelian dan penjualan valuta asing terhadap rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat dilakukan untuk: a. jenis valuta asing yang sama dengan yang tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi; atau b. jenis valuta asing yang berbeda dengan dokumen Underlying Transaksi apabila disertai dengan dokumen yang dapat menjelaskan alasan perbedaan tersebut. Pasal 9 (1) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank tanpa Underlying Transaksi hanya dapat dilakukan paling banyak: a. sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Pihak Asing melalui Transaksi Spot; dan b. sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Pihak Asing maupun per posisi (outstanding) per Bank melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) melalui Transaksi 8 Forward, Option, Swap, dan Cross Currency Swap (CCS). (2) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. perhitungan 1 (satu) bulan didasarkan pada bulan kalender, yaitu sejak tanggal permulaan bulan kalender sampai dengan tanggal berakhirnya bulan kalender. b. perhitungan nominal transaksi didasarkan pada tanggal transaksi (transaction date). c. perhitungan nominal transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah didasarkan pada jenis transaksi. d. perhitungan nominal transaksi didasarkan pada akumulasi seluruh transaksi dalam 1 (satu) bulan kalender yang dilakukan oleh masing-masing Pihak Asing secara individual baik secara tunai maupun non-tunai dalam bentuk simpanan valuta asing. e. jumlah nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah melalui rekening gabungan (joint account) yang dimiliki lebih dari 1 (satu) Pihak Asing dihitung per rekening gabungan (joint account). (3) Penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank tanpa Underlying Transaksi hanya dapat dilakukan paling banyak: a. sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Pihak Asing melalui Transaksi Forward; dan b. sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Pihak Asing maupun per posisi (outstanding) per Bank melalui Transaksi Option, Swap, dan Cross Currency Swap. 9 BAB III UNDERLYING TRANSAKSI Pasal 10 Underlying Transaksi meliputi seluruh kegiatan: a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri; dan/atau b. investasi berupa foreign direct investment, portfolio investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri. Pasal 11 (1) Underlying Transaksi berupa investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b termasuk fasilitas pemberian kredit antarnasabah (intercompany loan) yang telah ditarik sepanjang merupakan kredit yang diberikan oleh Pihak Asing kepada nasabah di dalam negeri. (2) Dalam hal fasilitas pemberian kredit antarnasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ditarik maka tidak dapat digunakan sebagai Underlying Transaksi. (3) Nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Underlying Transaksi berupa pemberian kredit antarnasabah (intercompany loan) baik dalam bentuk tunai maupun barang yang telah ditarik, paling banyak sama dengan nominal kredit yang telah ditarik. (4) Jatuh waktu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Underlying Transaksi berupa pemberian kredit antarnasabah (intercompany loan) yang telah ditarik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), paling lama sama dengan jatuh waktu pelunasan kredit yang ditarik tersebut. (5) Jangka waktu Underlying Transaksi berupa pemberian kredit antarnasabah (intercompany loan) yang telah ditarik paling singkat 1 (satu) bulan dengan jangka waktu pengembalian kredit antarnasabah (intercompany loan) paling singkat 1 (satu) bulan sejak tanggal penarikan dana kredit. 10 Pasal 12 (1) Khusus untuk penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward oleh Pihak Asing kepada Bank dan untuk Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing, Underlying Transaksi juga meliputi kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri. (2) Nominal Transaksi Forward sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak sebesar saldo dan/atau jumlah kepemilikan dana valuta asing Pihak Asing di dalam negeri dan/atau di luar negeri. (3) Transfer Rupiah ke rekening Pihak Asing dengan Underlying Transaksi berupa kepemilikan dana valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Transfer Rupiah yang berasal dari penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot. (4) Dalam hal dana valuta asing ditempatkan pada instrumen yang memiliki tanggal jatuh, jatuh waktu penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward paling lama sama dengan jatuh waktu penempatan dana. (5) Dalam hal dana valuta asing ditempatkan pada instrumen yang tidak memiliki tanggal jatuh waktu, jatuh waktu penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward tidak dibatasi. (6) Dalam hal kepemilikan dana valuta asing berupa instrumen yang tidak memiliki tanggal jatuh waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), saldo rekening valuta asing pada instrumen tersebut paling kurang sama dengan nominal penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward untuk sepanjang waktu Transaksi Forward dimaksud. 11 Pasal 13 (1) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank melalui Transaksi Spot di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dilarang melebihi nominal Underlying Transaksi. (2) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Pasal 14 (1) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Pihak Asing melalui transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dan penjualan valuta asing terhadap rupiah oleh Pihak Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah di atas jumlah tertentu (threshold) dilarang melebihi nominal Underlying Transaksi. (2) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Pasal 15 (1) Underlying Transaksi atas Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah berupa investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. terdapat realisasi investasi; dan 12 b. nilai Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk investasi paling banyak sebesar nilai realisasi investasi yang tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi. (2) Realisasi investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. telah terjadi aliran dana dari Pihak Asing untuk penyelesaian transaksi kegiatan investasi dimaksud; dan b. jangka waktu Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling lama sama dengan sisa jangka waktu Underlying Transaksi. (3) Dalam hal realisasi investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masih dalam proses maka wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Pihak Asing yang bersangkutan telah tercatat sebagai investor atas investasi dimaksud; b. telah terjadi aliran dana dari Pihak Asing atas rencana investasi dimaksud; dan c. jangka waktu Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling lama sama dengan sisa jangka waktu Underlying Transaksi. BAB IV PENYELESAIAN TRANSAKSI Pasal 16 (1) Penyelesaian Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). (2) Pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut: a. secara riil atas nilai pokok masing-masing transaksi jual dan/atau transaksi beli yang disepakati pada awal transaksi tersebut; 13 b. didukung oleh tersedianya sejumlah dana riil yang cukup untuk membiayai transaksi dimaksud (good fund) dan bukan didasarkan pada aspek pencatatan dalam pembukuan (akuntansi); dan c. dana pokok tersebut digunakan untuk proses penyelesaian Transaksi Spot pada tanggal valuta dan tercatat pada sistem treasury Bank, yang dapat dibuktikan dari urutan waktu penyelesaian transaksi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku pula untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) dengan nominal paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold). (4) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b yang dapat dilakukan secara netting hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) sepanjang didukung dengan dokumen Underlying Transaksi. (5) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 17 (1) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Forward dengan nominal transaksi paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a wajib dilakukan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). (2) Pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: 14 a. dilakukan pada saat jatuh waktu Transaksi Forward jual; b. dilakukan pada saat berakhirnya kontrak perpanjangan transaksi (roll over) atau kontrak percepatan penyelesaian transaksi (early termination) dalam hal sebelum berakhirnya kontrak Transaksi Forward jual awal dilakukan perpanjangan transaksi (roll over) atau percepatan penyelesaian transaksi (early termination); dan c. paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) tidak dapat dilakukan melalui pengakhiran transaksi (unwind) karena tidak terdapat pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). (3) Perpanjangan transaksi (roll over) atau percepatan penyelesaian transaksi (early termination) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dilakukan sepanjang didukung oleh Underlying Transaksi dari Transaksi Forward jual awal. (4) Penyelesaian transaksi secara netting atas perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) tidak dapat dilakukan untuk Transaksi Forward jual valuta asing terhadap rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri. (5) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 15 BAB V TRANSAKSI STRUCTURED PRODUCT Bagian Kesatu Transaksi Call Spread Option Pasal 18 (1) Bank dilarang melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah. (2) Larangan transaksi structured product sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option. (3) Bank yang melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option dengan Pihak Asing wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memiliki Underlying Transaksi; b. nominal transaksi tidak melebihi nominal Underlying Transaksi; dan c. jangka waktu transaksi tidak melebihi jangka waktu Underlying Transaksi. (4) Transaksi Call Spread Option valuta asing terhadap rupiah merupakan satu kesatuan transaksi yang dilakukan secara simultan sehingga perhitungan nominal transaksi tidak dihitung 2 (dua) kali. (5) Transaksi Spot yang dilakukan dalam rangka transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option awal. (6) Contoh transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 16 Bagian Kedua Dynamic Hedging Pasal 19 (1) Transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) wajib dilakukan secara dynamic hedging. (2) Dynamic hedging dilakukan untuk memastikan pelaku transaksi Call Spread Option tidak terekspos pada risiko nilai tukar akibat kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal. (3) Dynamic hedging wajib dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut: a. kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal; b. kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal; c. menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan belum jatuh waktu; d. nominal tidak bersifat kumulatif; e. memiliki jangka waktu paling singkat 6 (enam) bulan untuk transaksi Call Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu 6 (enam) bulan atau lebih; f. mengikuti sisa jatuh waktu transaksi Call Spread Option awal untuk transaksi Call Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu kurang dari 6 (enam) bulan; dan g. dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja apabila kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal. 17 BAB VI PENGATURAN UNDERLYING TRANSAKSI DAN TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH UNTUK KEPENTINGAN PENGAMPUNAN PAJAK Pasal 20 (1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing dapat dilakukan dengan Underlying Transaksi berupa investasi dan/atau transaksi yang dilakukan untuk kepentingan pelaksanaan kebijakan Pemerintah terkait perpajakan yaitu berupa kebijakan pengampunan pajak. (2) Underlying Transaksi berupa kebijakan pengampunan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat digunakan untuk kepentingan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah yang mengakibatkan adanya pengalihan harta ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau repatriasi dana dan didukung oleh dokumen repatriasi dana dalam rangka pengampunan pajak. (3) Dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai Underlying Transaksi paling singkat 3 (tiga) tahun sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengampunan pajak (dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri). (4) Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat digunakan 1 (satu) kali pada saat terjadinya konversi dana masuk yaitu dari valuta asing ke rupiah dan 1 (satu) kali pada saat terjadinya konversi dana keluar yaitu dari rupiah ke valuta asing. (5) Dalam hal wajib pajak menggunakan dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak sebagai Underlying Transaksi pada saat dilakukan konversi dana 18 keluar sebelum periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri berakhir maka hasil konversi tersebut hanya dapat diinvestasikan dalam mata uang valuta asing hingga periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri berakhir. (6) Wajib pajak dapat melakukan konversi dana keluar dilakukan secara bertahap dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak dengan tidak melampaui nominal Underlying Transaksi dana repatriasi. Pasal 21 (1) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi berupa repatriasi dana untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) tidak berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over) atau pengakhiran transaksi (unwind) untuk kepentingan penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah terkait lindung nilai. (2) Dalam hal dilakukan percepatan penyelesaian transaksi (early termination) atas Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak maka hasil konversi dana keluar yaitu dari rupiah ke valuta asing tersebut hanya dapat diinvestasikan dalam mata uang valuta asing hingga berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. (3) Dalam hal dilakukan pengakhiran transaksi (unwind) terhadap Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak maka wajib pajak dapat menggunakan dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak yang sama paling banyak 1 (satu) kali untuk Transaksi Valuta Asing 19 Terhadap Rupiah dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. Pasal 22 (1) Dokumen Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) diatur sebagai berikut: a. pada Bank gateway awal, dokumen Underlying Transaksi berupa surat keterangan pengampunan pajak (SKPP) untuk kepentingan pengalihan harta dalam menampung dana wajib pajak yang dialihkan; dan b. pada Bank gateway tujuan, dokumen Underlying Transaksi dapat berupa surat keterangan mengenai riwayat investasi. (2) Penyampaian dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani oleh wajib pajak atau pernyataan tertulis yang autentik dari wajib pajak yang memuat informasi mengenai: a. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi; b. penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya digunakan untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi untuk kepentingan pengampunan pajak dalam sistem perbankan di Indonesia; dan c. hanya digunakan paling banyak 1 (satu) kali di seluruh sistem perbankan di Indonesia untuk tujuan konversi dana keluar. (3) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk kepentingan kebijakan pemerintah terkait pengampunan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam 20 Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB VII CERUKAN INTRAHARI RUPIAH DAN VALUTA ASING Pasal 23 Persyaratan cerukan intrahari dalam rupiah atau valuta asing yang didukung oleh dokumen yang autentik yang menunjukkan konfirmasi akan adanya dana masuk ke rekening bersangkutan pada hari yang sama diatur sebagai berikut: a. cerukan intrahari diberikan kepada penerima dana yang tercantum dalam dokumen konfirmasi dan dilaksanakan pada tanggal valuta (value date) yang tercantum dalam konfirmasi dimaksud; b. nilai dana yang akan diterima yang tercantum pada dokumen konfirmasi dimaksud, ditambah dengan saldo rekening penerima dana paling sedikit sama dengan nilai transaksi pembayaran yang dilaksanakan; c. transaksi pembayaran dilakukan setelah dokumen konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b diterima terlebih dahulu; dan d. penerimaan dana sebagaimana tercantum dalam dokumen konfirmasi harus direalisasikan pada tanggal valuta (value date). BAB VIII TRANSFER RUPIAH KEPADA PIHAK ASING Pasal 24 (1) Bank dapat melakukan Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing dan/atau yang dimiliki secara gabungan (joint account) antara Pihak Asing dengan bukan Pihak Asing pada Bank di dalam negeri dengan nominal di atas ekuivalen USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika 21 Serikat) per hari per Pihak Asing sepanjang didukung Underlying Transaksi. (2) Bank penerima Transfer Rupiah yang ditujukan kepada Pihak Asing wajib melakukan verifikasi terhadap status pihak penerima dana rupiah dan dokumen Underlying Transaksi. (3) Perhitungan nilai ekuivalen valuta asing ke dalam nilai rupiah untuk nominal Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing dan/atau yang dimiliki secara gabungan (joint account) menggunakan kurs JISDOR. BAB IX DOKUMEN TRANSAKSI Bagian Kesatu Jenis Dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Pasal 25 (1) Bank wajib memastikan Pihak Asing memiliki Underlying Transaksi yang dibuktikan dengan penyampaian dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dan dokumen pendukung untuk: a. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah di atas jumlah tertentu (threshold); atau b. transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option. (2) Bank harus memastikan kebenaran dan kewajaran atas dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. (3) Untuk memastikan kebenaran dan kewajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank dapat meminta kepada Pihak Asing untuk menunjukkan dokumen asli dalam hal diperlukan. (4) Bank harus menerapkan prosedur dan sistem pengendalian dokumen untuk memastikan agar: 22 a. dokumen yang telah digunakan Pihak Asing sebagai Underlying Transaksi dari Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah tertentu dapat digunakan untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang lain sepanjang tidak melampaui nominal Underlying Transaksi; b. dalam hal terdapat beberapa jenis dokumen Underlying Transaksi pada satu rangkaian aktivitas ekonomi maka yang digunakan sebagai dokumen untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah salah satu dari dokumen Underlying Transaksi tersebut; dan c. dalam hal Pihak Asing telah melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah dengan menggunakan salah satu dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf b maka Pihak Asing tidak dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah dengan menggunakan dokumen Underlying Transaksi lainnya yang berasal dari satu rangkaian kegiatan ekonomi yang sama. Pasal 26 (1) Dokumen Underlying Transaksi dapat berupa: a. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final; atau b. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan. (2) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan dokumen yang menunjukkan bukti perdagangan barang dan jasa dan/atau kegiatan investasi di dalam dan di luar negeri dengan jumlah nominal yang tidak berubah. (3) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan dokumen yang menunjukkan perkiraan besarnya rencana penerimaan atau kebutuhan pembayaran perdagangan 23 barang dan jasa atau kegiatan investasi di dalam negeri dan di luar negeri. (4) Dalam hal Pihak Asing menggunakan dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa proyeksi arus kas, Bank harus menilai kewajaran melalui: a. dokumen tambahan; b. data historis paling singkat 1 (satu) tahun sebelumnya; dan c. track record Pihak Asing. (5) Rincian dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tercantum dalam Lampiran V dan Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 27 Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang dikecualikan dari kewajiban penggunaan rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dijadikan sebagai dokumen Underlying Transaksi dengan melampirkan fotokopi persetujuan pengecualian kewajiban penggunaan rupiah dari Bank Indonesia. Bagian Kedua Penyampaian Dokumen Pasal 28 (1) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot dengan nilai nominal di atas USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, transaksi wajib dilengkapi dengan dokumen berupa: 24 a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang autentik dari Pihak Asing yang memuat informasi mengenai: 1) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a; 2) penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia; dan 3) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi berupa perkiraan sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (2) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 29 (1) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, transaksi wajib dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang autentik dari Pihak Asing memuat informasi bahwa pembelian valuta asing terhadap rupiah tidak melebihi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Pihak Asing dalam sistem perbankan di Indonesia. 25 (2) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 30 (1) Dalam hal Pihak Asing melakukan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) dengan nilai nominal di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (1) huruf b dan Pasal 9 ayat (3) huruf b dan transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option, transaksi wajib dilengkapi dokumen berupa: a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang autentik dari Pihak Asing yang berisi informasi mengenai: 1) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a; 2) penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya digunakan untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia; 3) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi berupa perkiraan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan 4) sumber, jumlah, dan waktu penerimaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi berupa perkiraan penjualan valuta asing 26 terhadap rupiah sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (2) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk penjualan valuta asing terhadap rupiah di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 31 (1) Dalam hal Pihak Asing melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot, dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung dilampirkan untuk setiap transaksi pada tanggal transaksi. (2) Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diterima pada tanggal transaksi maka dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal valuta (value date). (3) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a secara bertahap sehingga melebihi jumlah tertentu (threshold) dalam 1 (satu) bulan yang sama maka dokumen Underlying Transaksi disampaikan untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah yang melebihi jumlah tertentu (threshold). 27 Pasal 32 (1) Dalam hal Pihak Asing melakukan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) dan transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option, dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung dilampirkan untuk setiap transaksi pada tanggal transaksi. (2) Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diterima pada tanggal transaksi maka dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung wajib diterima oleh Bank paling lambat pada 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi. (3) Dalam hal Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi maka penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dilakukan paling lambat pada tanggal jatuh waktu. (4) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah secara bertahap sehingga melebihi jumlah tertentu (threshold) dalam 1 (satu) bulan yang sama maka dokumen Underlying Transaksi disampaikan untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah yang melebihi jumlah tertentu (threshold). Pasal 33 (1) Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) yang akan diselesaikan secara netting wajib diterima oleh Bank paling lambat pada: a. tanggal valuta (value date), dalam hal pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Spot; 28 b. 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah; atau c. tanggal jatuh waktu, dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi. (2) Dokumen pendukung untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Derivatif paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) yang akan diselesaikan secara netting mengacu pada dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b. (3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pernyataan tertulis yang autentik untuk pembelian derivatif valuta asing terhadap rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) yang akan diselesaikan secara netting dapat menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk penjualan derivatif valuta asing terhadap rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) yang akan diselesaikan secara netting tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 29 Pasal 34 (1) Bank dapat meminta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b dan Pasal 30 ayat (1) huruf b secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun kalender apabila: a. dokumen Underlying Transaksi bersifat final; dan b. Bank telah mengetahui track record Pihak Asing dengan baik. (2) Bank yang melakukan fungsi kustodian dapat menerima dokumen pendukung dari Pihak Asing paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun kalender apabila Pihak Asing memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal Bank tidak melakukan fungsi kustodian, dokumen pendukung dapat diterima paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan kalender apabila Pihak Asing memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Pihak Asing yang melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a per bulan, dokumen pendukung disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan kalender. (5) Penyampaian dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dilakukan pada transaksi pertama. Pasal 35 Dalam hal terdapat jenis dokumen selain sebagaimana tercantum dalam Lampiran V dan Lampiran VI, Bank dapat: a. mengajukan terlebih dahulu jenis dokumen tersebut kepada Indonesia Foreign Exchange Market Committee (IFEMC) untuk dikonsultasikan kepada Bank Indonesia; atau b. mengajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia, cq. Departemen Pengembangan Pasar Keuangan. 30 BAB X PELAPORAN Pasal 36 (1) Bank menyampaikan laporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, termasuk transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option, melalui sistem pelaporan Bank Indonesia, yaitu laporan harian bank umum (LHBU). (2) Mekanisme pelaporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah mengacu kepada ketentuan yang mengatur mengenai laporan harian bank umum (LHBU). BAB XI TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 37 (1) Bank dapat dikenakan sanksi berupa teguran tertulis maupun kewajiban membayar. (2) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar maka besarnya kewajiban yaitu 1% (satu persen) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran dengan jumlah sanksi paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara mendebet rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. Pasal 38 Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi mengenai pengenaan sanksi berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) kepada otoritas perbankan. 31 BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 39 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/35/DPPK tanggal 13 Desember 2016 perihal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 40 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 Agustus 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, DODY BUDI WALUYO TTD PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/17/PADG/2018 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING I. UMUM Dalam rangka melaksanakan tugas Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, diperlukan upaya mempercepat tercapainya pasar keuangan yang likuid dan efisien, yang pada akhirnya dapat mendukung kegiatan ekonomi nasional. Untuk mencapai pasar keuangan yang likuid dan efisien salah satunya diperlukan upaya pengembangan pasar valuta asing domestik yang dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh. Untuk mendukung pelaksanaan pengembangan pasar valuta asing domestik tersebut Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 18/19/PBI/2016 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing. Sebagai pedoman implementasi ketentuan tersebut diperlukan peraturan yang mengatur pelaksanaan kegiatan dan transaksi valuta asing di pasar domestik. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. 2 Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi antara lain berupa dealing conversation atau print out dari Society of Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penggunaan kontrak merupakan tanggung jawab masing- masing pihak yang melakukan transaksi. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “JISDOR” adalah representasi harga spot dolar Amerika Serikat (USD) terhadap rupiah dari transaksi antar-Bank di pasar domestik termasuk transaksi Bank dengan bank di luar negeri, yang dilaporkan Bank melalui sistem monitoring transaksi (SISMONTAVAR). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Contoh: Bank A dapat melakukan transaksi mata uang selain USD terhadap rupiah, antara lain euro terhadap rupiah, yen terhadap rupiah, atau poundsterling terhadap rupiah. Ayat (2) Contoh: Bank A melakukan Transaksi Spot USD/IDR dengan Pihak Asing B. Dalam hal ini, Bank A wajib menggunakan kuotasi harga valuta asing terhadap rupiah 3 USD/IDR yang ditetapkan oleh Bank A dan bukan berasal dari Pihak Asing B. Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Perhitungan jumlah tertentu (threshold) kewajiban Underlying Transaksi untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, selain USD terhadap rupiah (misalnya yen terhadap rupiah, euro terhadap rupiah) adalah sebagai berikut: (𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑏𝑒𝑙𝑖 𝑈𝑆𝐷+𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑗𝑢𝑎𝑙 𝑈𝑆𝐷) 2 (𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑏𝑒𝑙𝑖 𝑛𝑜𝑛 𝑈𝑆𝐷+𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑗𝑢𝑎𝑙 𝑛𝑜𝑛 𝑈𝑆𝐷) 2 x threshold dalam USD Keterangan: Kurs pada rumus yaitu valuta asing terhadap rupiah. Kurs merupakan kurs penutupan Bank Indonesia pada 1 (satu) hari kerja sebelumnya (H-1) yang tersedia pada sistem laporan harian bank umum (LHBU). Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Contoh: Jika pada bulan November 2018, Pihak Asing hanya melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah tanpa Underlying Transaksi 1 (satu) kali pada tanggal 25 November 2018 sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) maka hal tersebut diperhitungkan sebagai jumlah paling banyak yang telah digunakan dalam 4 bulan November 2018. Pihak Asing hanya dapat kembali menggunakan jumlah paling banyak sebesar ekuivalen USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) tersebut selama periode Desember 2018. Huruf b Contoh: Pada tanggal 11 November 2018, Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot beli sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian, Pihak Asing kembali melakukan Transaksi Spot beli valuta asing terhadap rupiah pada tanggal 30 November 2018 sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Pihak Asing sampai dengan tanggal 30 November 2018 adalah sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat). Huruf c Contoh: Pada tanggal 11 November 2018, Pihak Asing A melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian Pihak Asing A melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward pada tanggal 17 November 2018 sebesar USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 18 November 2018, Pihak Asing A kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat) dan melalui Transaksi Option sebesar USD40,000.00 (empat puluh ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Pihak Asing A pada akhir bulan November 2018 adalah sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) melalui Transaksi Spot dan sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika Serikat) melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yaitu forward dan option. 5 Huruf d Contoh: Pihak Asing X melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah di Bank Y secara tunai sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 11 November 2018. Kemudian, pada tanggal 15 November 2018 Pihak Asing X melakukan konversi simpanan rupiah menjadi simpanan valuta asing dalam dolar Amerika Serikat di Bank Y sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan kumulatif transaksi yang dilakukan oleh Pihak Asing X dalam periode bulan November 2018 adalah sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat). Huruf e Contoh: Pihak Asing A dan B memiliki joint account. Pada tanggal 10 November 2018, Pihak Asing A melakukan Transaksi Spot pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui joint account sebesar USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas transaksi tersebut Pihak Asing A wajib menyampaikan dokumen pendukung paling lambat pada tanggal 12 November 2018. Pada tanggal 24 November 2018, Pihak Asing B melakukan Transaksi Spot pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui joint account sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian valuta asing tersebut, Pihak Asing B wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat pada tanggal 26 November 2018. Hal ini disebabkan jumlah pembelian valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan melalui joint account pada bulan November 2018 telah melebihi threshold USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat), yaitu sebesar USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Ayat (3) Cukup jelas. 6 Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh 1: Pada tanggal 18 Januari 2019, Pihak Asing di luar negeri berencana memberikan kredit kepada PT A sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) dimana sumber rupiah tersebut diperoleh dari hasil penjualan valuta asing terhadap rupiah. Dalam pelaksanaannya, realisasi penarikan kredit oleh PT A adalah sebesar Rp140.000.000.000,00 (seratus empat puluh miliar rupiah). Sehingga, pembelian derivatif valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward untuk kepentingan lindung nilai kredit tersebut oleh pihak kreditur yaitu Pihak Asing di luar negeri, paling banyak dilakukan sebesar ekuivalen Rp140.000.000.000,00 (seratus empat puluh miliar rupiah). Contoh 2: Pada tanggal 10 Januari 2019, C Ltd. yang merupakan Pihak Asing memberikan kredit dalam bentuk barang modal ekuivalen sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) kepada PT B yang merupakan perusahaan afiliasi dari C Ltd. Pada tanggal 1 Februari 2019, PT B melakukan penarikan kredit dari C Ltd. dalam bentuk barang senilai Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). Atas penarikan kredit ini, C Ltd. melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward paling banyak sebesar ekuivalen Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). 7 Ayat (4) Contoh: Pada tanggal 2 Januari 2019, Z Ltd. sebagai head office (Pihak Asing) dari PT A memberikan kredit dalam mata uang rupiah kepada PT A sebesar Rp14.000.000.000,00 (empat belas miliar rupiah). Nominal tersebut diperoleh melalui penjualan valuta asing terhadap rupiah dan jatuh waktu pelunasan kredit pada tanggal 30 Juni 2019. Z Ltd. dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward untuk kepentingan lindung nilai kredit tersebut paling banyak sebesar ekuivalen Rp14.000.000.000,00 (empat belas miliar rupiah) dengan jatuh waktu Transaksi Forward paling lama sama dengan tanggal pelunasan kredit yaitu tanggal 30 Juni 2019. Ayat (5) Contoh: Perusahaan B Ltd. melakukan pembelian USD terhadap IDR melalui transaksi spot sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) kepada Bank X untuk repatriasi hasil pinjaman kepada anak perusahaan di Indonesia dengan dokumen Underlying Transaksi berupa perjanjian pemberian kredit antarnasabah dan bukti penarikan dana antara lain berupa SWIFT message MT103. Dokumen Underlying Transaksi berupa perjanjian pemberian kredit antarnasabah tersebut harus memiliki jangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan jangka waktu pengembalian kredit paling singkat 1 (satu) bulan sejak tanggal penarikan dana kredit yang dibuktikan antara lain dengan SWIFT message MT103. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Perusahaan A Ltd. yang merupakan Pihak Asing memiliki deposito valuta asing di Bank X sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Berdasarkan Underlying Transaksi berupa deposito valuta asing tersebut, Perusahaan A 8 Ltd. dapat melakukan penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward paling banyak sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Ayat (3) Contoh: Perusahaan B Ltd. yang merupakan Pihak Asing memiliki deposit on-call valuta asing di Bank X senilai USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat). Atas Underlying Transaksi berupa deposit on-call valuta asing ini, Perusahaan B Ltd. dapat menerima Transfer Rupiah ke rekening Perusahaan B Ltd. paling banyak sebesar ekuivalen USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat) yang berasal dari hasil penjualan deposit on-call valuta asing dan memperoleh rupiah melalui Transaksi Spot. Ayat (4) Yang dimaksud dengan instrumen yang memiliki tanggal jatuh waktu antara lain berupa deposito dan/atau Negotiable Certificate of Deposit (NCD). Contoh: Perusahaan A Ltd. memiliki NCD dalam valuta asing yang akan jatuh waktu pada tanggal 31 Maret 2019. Atas kepemilikan NCD dalam valuta asing tersebut, Perusahaan A Ltd. dapat melakukan penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward dengan jatuh waktu paling lama tanggal 31 Maret 2019. Ayat (5) Yang dimaksud dengan instrumen yang tidak memiliki tanggal jatuh waktu antara lain berupa tabungan atau giro. Contoh: Pada tanggal 2 Januari 2019, A Ltd. memiliki rekening valuta asing dalam bentuk giro sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat). Atas kepemilikan dana valuta asing tersebut, pada tanggal 2 Januari 2019, A Ltd. melakukan penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward sebesar USD14,000,000.00 (empat belas juta dolar Amerika Serikat) yang jatuh waktu pada tanggal 2 Februari 2019 9 dan sebesar USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika Serikat) yang jatuh waktu pada tanggal 2 Juni 2019. Ayat (6) Contoh: Pada tanggal 5 Februari 2019, B Ltd. memiliki tabungan dalam valuta asing sebesar USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika Serikat). Pada tanggal yang sama, B Ltd. melakukan penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward sebesar USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika Serikat) dengan jangka waktu 1 (satu) bulan. B Ltd. harus memiliki saldo tabungan valuta asing dengan jumlah tidak kurang dari USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika Serikat) selama 1 (satu) bulan ke depan sampai dengan Transaksi Forward tersebut jatuh waktu. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh 1: Perusahaan A memiliki kewajiban kepada vendor di luar negeri sebesar USD73,500.00 (tujuh puluh tiga ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Atas dasar Underlying Transaksi dimaksud, Perusahaan A dapat melakukan Transaksi Spot beli sebesar USD75,000.00 (tujuh puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Contoh 2: Perusahaan B memiliki kewajiban kepada vendor di luar negeri sebesar USD61,000.00 (enam puluh satu ribu dolar Amerika Serikat). Atas dasar Underlying Transaksi dimaksud, Perusahaan B dapat melakukan Transaksi Spot beli sebesar USD65,000.00 (enam puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. 10 Ayat (2) Contoh: Perusahaan B memiliki utang dalam valuta asing dengan nominal sebesar USD1,432,500.00 (satu juta empat ratus tiga puluh dua ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Perusahaan B dapat melakukan untuk kepentingan lindung nilai kredit tersebut dengan melakukan Transaksi Forward beli sebesar USD1,440,000.00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu dolar Amerika Serikat). Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh 1: Pihak otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) akan menyelenggarakan Initial Public Offering (IPO) saham PT JKL dengan tanggal penawaran 17 sampai dengan 21 November 2018 dan tanggal penyetoran dana tunai tanggal 25 November 2018. Pada tanggal penawaran, para investor dipersyaratkan untuk membuktikan komitmen berupa jaminan aset saham yang tercatat pada underwriter IPO atau penyetoran dana rupiah sebesar nilai penawaran yang diajukan. Berdasarkan informasi IPO tersebut, pada tanggal 21 November 2018 Pihak Asing memasukkan penawaran saham PT JKL sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Selanjutnya pada tanggal 22 November 2018, Pihak Asing melakukan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Bank yaitu Transaksi 11 Forward jual USD/IDR Bank kepada Pihak Asing sebesar ekuivalen Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dengan tujuan Pihak Asing dapat memperoleh dana rupiah pada tanggal 25 November 2018 untuk keperluan penyetoran dana pada underwriter IPO. Dalam hal ini, Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dilakukan pada tanggal 22 November 2018 dengan tanggal jatuh waktu tanggal 25 November 2018, dimana tanggal jatuh waktu tersebut merupakan tanggal penyelesaian transaksi pembelian saham tersebut. Contoh 2: Pihak Asing melakukan pembelian obligasi negara tenor 5 (lima) tahun sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) pada tanggal transaksi 10 November 2018 dengan tanggal penyelesaian transaksi pembelian obligasi negara pada 13 November 2018 dan akan dimiliki sampai dengan tanggal 10 Desember 2018. Atas kepemilikan obligasi negara tersebut, Pihak Asing berencana untuk melakukan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah. Bank dapat memenuhi kebutuhan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Pihak Asing atas pembelian obligasi negara tersebut melalui Transaksi Swap jual USD/IDR Bank kepada Pihak Asing (Bank beli USD/IDR pada first leg dan jual USD/IDR pada second leg) sebesar ekuivalen Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Dalam hal ini, transaksi dapat dilakukan pada tanggal 11 November 2018 dengan tanggal valuta (first leg) pada 13 November 2018 dan tanggal jatuh waktu (second leg) pada 10 Desember 2018 yang akan digunakan untuk repatriasi. Dana rupiah yang diperoleh pada tanggal 13 November 2018 dipergunakan untuk melakukan penyelesaian transaksi obligasi negara tersebut. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. 12 Ayat (2) Contoh: Pihak Asing melakukan transaksi pembelian spot USD/IDR dengan Bank B sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) pada kurs spot USD/IDR 13.500,00. Pada tanggal valuta, Pihak Asing wajib melakukan penyerahan dana rupiah melalui pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) sebesar Rp13.500.000.000,00 (tiga belas miliar lima ratus juta rupiah) secara riil pada saat proses penyelesaian transaksi tersebut dilakukan dan tercatat pada sistem treasury Bank, yang dapat dibuktikan berdasarkan urutan waktu penyelesaian transaksi. Bank B wajib melakukan penyerahan dana USD melalui pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) secara riil pada saat proses penyelesaian transaksi tersebut dilakukan dan tercatat pada sistem treasury Bank, yang dapat dibuktikan berdasarkan urutan waktu penyelesaian transaksi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: A Ltd. yang merupakan Pihak Asing melakukan Transaksi Forward jual dengan tenor 1 (satu) bulan sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) pada tanggal 15 Januari 2019 kepada Bank C dengan forward rate USD/IDR 13.500,00. Atas transaksi tersebut, A Ltd. 13 menggunakan simpanan valuta asing pada Bank sebagai Underlying Transaksi. Setelah transaksi berjalan 2 (dua) minggu, nilai tukar rupiah melemah hingga mencapai kurs spot USD/IDR 13.800,00, A Ltd. ingin melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas transaksi tersebut dengan penyelesaian secara netting. Penyelesaian secara netting atas transaksi tersebut tidak dapat dilakukan, melainkan secara pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Contoh: Pihak Asing A melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank B sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) dengan tenor 2 (dua) tahun maka transaksi dimaksud wajib memiliki Underlying Transaksi paling sedikit sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Huruf b Contoh: X Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option valuta asing terhadap rupiah dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa obligasi sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) maka transaksi Call Spread Option dapat dilakukan sepanjang tidak melebihi nominal Underlying Transaksi, yaitu sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). 14 Huruf c Contoh: C Ltd. memiliki Underlying Transaksi berupa pinjaman dengan jangka waktu 2 (dua) tahun maka transaksi Call Spread Option dapat dilakukan paling lama 2 (dua) tahun. Ayat (4) Contoh: Z Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Meskipun transaksi Call Spread Option merupakan gabungan dari 2 (dua) transaksi Call Option (beli dan jual) maka nominal tetap dihitung sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan bukan USD400,000.00 (empat ratus ribu dolar Amerika Serikat). Ayat (5) Contoh 1: Pihak Asing A melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR dengan tenor 1 (satu) tahun dengan nominal sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan Underlying Transaksi berupa pinjaman sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Pada saat transaksi Call Spread Option jatuh waktu, kurs pasar berada pada level USD/IDR 14.000,00 sehingga Pihak Asing A melakukan eksekusi (exercise) transaksi Call Spread Option dan melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot pada kurs pasar yaitu sebesar USD/IDR 13.500,00, dengan nominal sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Contoh 2: Pihak Asing X melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR dengan tenor 1 (satu) tahun dengan nominal sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat), dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00, dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan Underlying Transaksi berupa pinjaman sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Pada saat transaksi Call Spread Option jatuh waktu, 15 kurs pasar berada pada level USD/IDR 13.300,00 dan Pihak Asing X tidak melakukan eksekusi (exercise) transaksi Call Spread Option tersebut dan melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot beli pada kurs pasar yaitu USD/IDR 13.300,00 dengan nominal sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Pihak Asing X dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan Underlying Transaksi Call Spread Option awal berupa pinjaman untuk melakukan Transaksi Spot dimaksud. Contoh 3: X Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR dengan tenor 1 (satu) tahun, nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat), dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 14.500,00, dan Underlying Transaksi berupa pinjaman sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat). Pada saat transaksi Call Spread Option jatuh waktu, kurs pasar melemah dan berada pada level USD/IDR 14.600,00. X Ltd. dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot pada kurs USD/IDR 13.600,00 yaitu dari perhitungan Rp14.600,00-(Rp14.500,00-Rp13.500,00) dengan nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat). X Ltd. dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan Underlying Transaksi Call Spread Option awal berupa pinjaman untuk melakukan Transaksi Spot dimaksud. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Perusahaan A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan tenor 3 (tiga) tahun dengan Underlying Transaksi 16 berupa pinjaman. Apabila pada tahun ke 2 (dua) A Ltd. menilai bahwa nilai tukar rupiah akan lebih besar strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, maka A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya (dynamic hedging) dengan strike price 3 sama dengan strike price 2 transaksi Call Spread Option awal sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.000,00. Ayat (3) Huruf a Contoh: A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan tenor 3 (tiga) tahun dengan Underlying Transaksi berupa pinjaman. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar rupiah ditransaksikan mencapai USD/IDR 15.100,00 sehingga melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR 15.000,00 maka A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya dengan strike price 3 sebesar USD/IDR 14.500,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.500,00 (overlap). Hal tersebut bukan merupakan dynamic hedging karena terjadi overlap yaitu strike price 3 transaksi Call Spread Option untuk kepentingan dynamic hedging lebih rendah daripada strike price 2 transaksi Call Spread Option awal, sehingga transaksi tersebut dianggap sebagai kontrak Call Spread Option yang berbeda dan tidak dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option awal. Huruf b Contoh: X Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank C dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dengan tenor 4 (empat) tahun dengan Underlying Transaksi berupa pinjaman. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar rupiah ditransaksikan mencapai USD/IDR 15.500,00 sehingga melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR 15.000,00 maka A 17 Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya dengan strike price 3 sebesar USD/IDR 15.500,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.500,00 (gap). Hal tersebut bukan merupakan dynamic hedging karena terjadi gap yaitu strike price 3 transaksi Call Spread Option untuk kepentingan dynamic hedging lebih tinggi daripada strike price 2 transaksi Call Spread Option awal, sehingga transaksi tersebut dianggap sebagai kontrak Call Spread Option yang berbeda dan tidak dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option awal. Huruf c Contoh: A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan tenor 3 (tiga) tahun dengan Underlying Transaksi berupa obligasi. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar rupiah mencapai USD/IDR 15.500,00 sehingga melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR 15.000,00, maka A Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya dengan strike price 3 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.000,00. Hal tersebut merupakan dynamic hedging dan menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option awal. Huruf d Contoh: Pada tanggal 1 Februari 2019, A Ltd. melakukan transaksi lindung nilai atas kewajiban valuta asing yang dimilikinya sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) melalui Call Spread Option dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 14.200,00 dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 1 Agustus 2019, nilai tukar rupiah melemah menjadi sebesar USD/IDR 14.300,00 sehingga A Ltd. melakukan dynamic hedging dengan melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya 18 pada strike price 3 sebesar USD/IDR 14.200,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Nominal transaksi Call Spread Option tersebut dihitung bukan kumulatif namun mengacu kepada nominal transaksi Call Spread Option awal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Huruf e Contoh: Pada tanggal 1 Februari 2019, Pihak Asing B melakukan transaksi lindung nilai atas investasi yang dimilikinya sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) melalui Call Spread Option dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 14.000,00 dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat), dengan jangka waktu selama 2 (dua) tahun. Pada tanggal 1 April 2019, nilai tukar rupiah melemah menjadi sebesar USD/IDR 14.100,00 sehingga Pihak Asing B wajib melakukan dynamic hedging dengan melakukan pembelian Call Spread Option pada strike price 3 sebesar USD/IDR 14.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan jangka waktu minimal sampai dengan 1 Oktober 2019 atau paling singkat 6 (enam) bulan dari tanggal 1 April 2019. Huruf f Contoh: Pada tanggal 1 Maret 2019, Pihak Asing C melakukan transaksi Call Spread Option sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 14.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan atau tanggal 1 Juni 2019. Pada tanggal 10 April 2019, nilai tukar rupiah melemah menjadi sebesar USD/IDR 15.200,00. Atas dasar hal tersebut Pihak Asing C melakukan dynamic hedging dengan melakukan transaksi Call Spread Option yang kedua pada strike price 3 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike 19 price 4 sebesar USD/IDR 16.000,00 dengan jangka waktu paling lama sampai dengan jatuh waktu transaksi Call Spread Option awal, yaitu pada tanggal 1 Juni 2019. Huruf g Yang dimaksud dengan kurs pasar adalah kurs penutupan Bank Indonesia hari yang sama dalam LHBU yaitu setelah pukul 16.00 WIB atau acuan kurs lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Contoh: Pada tanggal 1 Januari 2019, Y Ltd. melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank Z dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dengan tenor 3 (tiga) tahun dengan Underlying Transaksi berupa utang. Apabila pada tanggal 1 September 2019 kurs pasar yaitu kurs penutupan Bank Indonesia hari yang sama dalam LHBU melampaui strike price 2 yaitu sebesar USD/IDR 15.200,00 maka Y Ltd. wajib melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya (dynamic hedging) dengan strike price 3 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.500,00 (dynamic hedging) paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya yaitu pada tanggal 2 September 2019. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak yang dapat digunakan sebagai Underlying Transaksi pada saat wajib pajak melakukan lindung nilai terhadap investasi dana repatriasi di pasar domestik, antara lain investasi saham, obligasi, dan penempatan dana pada Bank. Contoh 1: Wajib pajak A yang merupakan Pihak Asing melakukan deklarasi dana sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika Serikat) dan repatriasi dana valuta asing dalam rangka kebijakan pengampunan pajak sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta 20 dolar Amerika Serikat) maka wajib pajak A dapat menggunakan bukti repatriasi dana sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) sebagai Underlying Transaksi dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. Contoh 2: Wajib pajak B yang merupakan Pihak Asing melakukan repatriasi dana valuta asing untuk kepentingan pengampunan pajak sebesar USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat). Dana valuta asing tersebut kemudian dijual untuk memperoleh rupiah atau konversi dari valuta asing ke Rupiah untuk diinvestasikan sebesar ekuivalen USD40,000,000.00 (empat puluh juta dolar Amerika Serikat) pada surat berharga negara, USD40,000,000.00 (empat puluh juta dolar Amerika Serikat) pada saham, dan USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) pada deposito rupiah. Wajib pajak B kemudian melakukan lindung nilai terhadap investasi dimaksud melalui Transaksi Forward beli sebesar USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat). Wajib pajak B menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak. Ayat (3) Contoh: Wajib pajak C melakukan repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak sebesar ekuivalen Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). Dana yang direpatriasi tersebut diinvestasikan dalam portofolio saham selama 4 (empat) tahun. Bukti dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak tersebut dapat dijadikan dokumen Underlying Transaksi, dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri yaitu selama 4 (empat) tahun. Ayat (4) Contoh 1, dokumen disampaikan 1 (satu) kali pada saat konversi: Wajib pajak D melakukan repatriasi dana valuta asing untuk kepentingan pengampunan pajak sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Dana valuta asing tersebut 21 kemudian dijual untuk memperoleh rupiah untuk diinvestasikan dalam aset rupiah ekuivalen sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Wajib pajak D hanya bisa menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak 1 (satu) kali, yaitu pada saat wajib pajak D melakukan konversi dana keluar sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Contoh 2, penggunaan dokumen di akhir periode pengampunan pajak: Wajib pajak E melakukan repatriasi dana pengampunan pajak dan melakukan konversi dana masuk (valuta asing ke rupiah) sebesar USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat). Dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri, dana repatriasi tersebut diinvestasikan atau ditempatkan dalam aset rupiah. Dengan demikian, wajib pajak E dapat menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak untuk melakukan konversi dana keluar (rupiah ke valuta asing) sebesar ekuivalen USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat) dari hasil likuidasi aset rupiah pada akhir periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. Ayat (5) Contoh penggunaan dokumen dalam masa periode kebijakan pengampunan pajak: Pada tanggal 1 Desember 2016, wajib pajak F melakukan repatriasi dana dengan melakukan konversi dari valuta asing ke rupiah sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) dan dilakukan investasi pada aset rupiah. Pada tanggal 1 Juni 2017, sebelum berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri, dana tersebut dikonversi dari rupiah ke valuta asing dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak. Selanjutnya, wajib pajak F hanya dapat melakukan investasi dalam mata uang valuta asing di pasar keuangan domestik sejak 1 Juni 2017 hingga 22 berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. Ayat (6) Contoh pembelian secara bertahap: Pada tanggal 1 Desember 2016, wajib pajak F melakukan repatriasi dana dengan melakukan konversi dari valuta asing ke rupiah sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika Serikat) dan dilakukan investasi pada aset rupiah. Pada tanggal 1 Maret 2017, sebelum berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri, dana tersebut dikonversi sebagian dari rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen USD20,000,000 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak, maka wajib pajak F hanya bisa melakukan investasi dana tersebut dalam mata uang asing. Pada tanggal 1 Desember 2017, wajib pajak F kembali melakukan konversi sebagian dari rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) maka wajib pajak dapat menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana kepentingan pengampunan pajak yang sama, namun wajib pajak F hanya bisa melakukan investasi dana tersebut dalam mata uang asing. Pada tanggal 1 Desember 2018, wajib pajak F kembali melakukan konversi sebagian dari rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat) maka wajib pajak dapat kembali menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak yang sama, dan hanya dapat diinvestasikan dalam mata uang asing hingga berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. 23 Pasal 21 Ayat (1) Contoh 1, perpanjangan transaksi lindung nilai (roll over): Pada tanggal 1 Desember 2016, wajib pajak G melakukan Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor selama 1 (satu) tahun dan jatuh waktu tanggal 1 Desember 2017, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak. Pada saat Transaksi Forward tersebut akan jatuh waktu, wajib pajak G melakukan perpanjangan transaksi (roll over) selama 1 (satu) tahun dan jatuh waktu pada tanggal 1 Desember 2018. Wajib pajak G melakukan Transaksi Swap beli USD/IDR (sell buy) kepada Bank yang sama sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Atas perpanjangan transaksi (roll over) tersebut, wajib pajak G tidak wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi baru. Contoh 2, pengakhiran transaksi lindung nilai (unwind): Pada tanggal 2 Januari 2017, wajib pajak H melakukan Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan jatuh waktu tanggal 2 Oktober 2017, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak. Pada bulan ke-6 (enam) yaitu tanggal 2 Juli 2017, wajib pajak H melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas Transaksi Forward dimaksud. Wajib pajak H melakukan Transaksi Spot jual USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan Bank yang sama. Atas pengakhiran transaksi (unwind) tersebut, wajib pajak H tidak wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi baru. Ayat (2) Contoh: Pada tanggal 2 Januari 2017, wajib pajak AA melakukan Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan jatuh waktu tanggal 2 Oktober 2017, dengan 24 menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak. Pada bulan ke-6 (enam) yaitu tanggal 2 Juli 2017, wajib pajak AA melakukan percepatan penyelesaian transaksi (early termination) atas Transaksi Forward dimaksud. Wajib pajak AA melakukan Transaksi Swap jual USD/IDR (buy sell) kepada Bank yang sama sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat). Atas percepatan penyelesaian transaksi (early termination) tersebut, wajib pajak AA tidak wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi baru. Namun demikian, dana valuta asing hasil konversi sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) tersebut hanya dapat diinvestasikan dalam instrumen valuta asing di pasar keuangan domestik sejak 2 Juli 2017 hingga berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. Ayat (3) Contoh: Pada tanggal 2 Januari 2017, wajib pajak X melakukan Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan jatuh waktu tanggal 2 Oktober 2017, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak. Pada bulan ke-6 (enam) yaitu tanggal 2 Juli 2017, wajib pajak X melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas Transaksi Forward dimaksud. Wajib pajak X hanya dapat kembali menggunakan Underlying Transaksi yang sama sebanyak 1 (satu) kali untuk melakukan transaksi valuta asing terhadap rupiah. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Yang dimaksud dengan “Cerukan (overdraft)” adalah saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari. 25 Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Pihak Asing A yang memiliki rekening pada Bank C melakukan penjualan USD/IDR melalui Transaksi Spot sebesar USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan Bank X. Pihak Asing A melakukan transfer USD ke Bank X dan Bank X melakukan Transfer Rupiah ke rekening Pihak Asing A pada Bank C. Atas penambahan rupiah pada rekening Pihak Asing tersebut, Bank C wajib melakukan verifikasi terhadap status penerima dana yaitu Pihak Asing A dan dokumen Underlying Transaksi. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kriteria kebenaran paling sedikit berupa: a. dokumen tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain tidak bertentangan dengan kewajiban penggunaan rupiah; dan b. dokumen dikeluarkan oleh perusahaan atau instansi yang dapat dipastikan keberadaannya. Kriteria kewajaran paling sedikit berupa: a. dokumen telah sesuai dengan market practice yang berlaku secara umum; b. transaksi yang dilakukan sesuai dengan dokumen Underlying Transaksi; dan c. transaksi yang dilakukan Pihak Asing sesuai dengan data historis yang dimiliki oleh Bank dan/atau kebutuhan Nasabah. 26 Ayat (3) Penelitian kebenaran dokumen oleh Bank dilakukan secara sampling. Contoh 1: A Ltd. melakukan pembelian USD/IDR melalui Transaksi Spot kepada Bank B sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) untuk pengembalian dana investasi dengan dokumen Underlying Transaksi berupa kepemilikan investasi di Indonesia. Atas dokumen kepemilikan investasi tersebut Bank B harus melakukan: a. menilai kesesuaian transaksi dengan data historis yang dimiliki oleh Bank atau dengan kebutuhan Nasabah; dan b. jika diperlukan mencari informasi mengenai penerbit dokumen Underlying Transaksi untuk memastikan keberadaan perusahaan tersebut melalui email, internet, atau media lain yang terpercaya. Berdasarkan data historis Bank, kebutuhan Pihak Asing A rata- rata sebesar USD500,000.00 per transaksi. Untuk memastikan kebenaran dan kewajaran kebutuhan Pihak Asing A, maka Bank dapat meminta dokumen asli kepada Pihak Asing A. Contoh 2: N Ltd. melakukan Transaksi Spot sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) dengan Bank M pada bulan Januari 2019 dengan beberapa dokumen invoice. Selain itu, pada bulan Febuari 2019, N Ltd. melakukan Transaksi Forward sebesar USD7,000,000.00 (tujuh juta dolar Amerika Serikat) dengan Bank M. Untuk memastikan kebenaran dan kewajaran, Bank M meminta N Ltd. menunjukan dokumen asli secara sampling untuk Transaksi Spot tersebut. Ayat (4) Huruf a Contoh: Pada bulan Januari 2019, Pihak Asing X melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward sebesar USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) kepada Bank A. Atas transaksi tersebut, Pihak Asing X menyerahkan dokumen Underlying 27 Transaksi berupa hasil investasi di pasar saham sebesar ekuivalen USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) yang diterimanya di Indonesia. Transaksi dilakukan di kantor cabang Bank A di Jakarta. Pada bulan Februari 2019, Pihak Asing X kembali berencana untuk melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward dengan Underlying Transaksi yang sama melalui kantor cabang Bank A di Surabaya. Pihak Asing X dapat melakukan Transaksi Forward beli sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) karena Transaksi Forward tersebut tidak melebihi nominal Underlying Transaksi. Huruf b Contoh: Pada bulan Januari 2019, Y Ltd. sebagai Pihak Asing melakukan ekspansi pabrik dengan melakukan impor barang modal. Pada bulan Februari 2019, Y Ltd. memperoleh invoice dari eksportir di luar negeri. Y Ltd. dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) melalui Transaksi Forward dengan menggunakan salah satu dokumen Underlying Transaksi yaitu berupa purchase order atau invoice. Huruf c Contoh: Pada tanggal 2 Maret 2019, Pihak Asing Z melakukan impor minyak kelapa sawit dan menerbitkan purchase order kepada eksportir A di Indonesia. Pada tanggal 3 Maret 2019, Pihak Asing Z melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) melalui Transaksi Forward dengan menggunakan dokumen Underlying Transaksi berupa purchase order. Atas impor tersebut, pada tanggal 15 Maret 2019 Pihak Asing Z memperoleh invoice dari eksportir di luar negeri. Atas invoice dimaksud, Pihak Asing Z tidak dapat melakukan pembelian valuta asing karena sebelumnya telah melakukan pembelian dengan 28 menggunakan dokumen Underlying Transaksi berupa purchase order yang berasal dari kegiatan ekonomi yang sama. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final atas kegiatan perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri dapat berupa fotokopi invoice, list of invoices, atau fotokopi tax invoice. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi berupa list of invoices, Bank harus memastikan ketersediaan seluruh invoice yang terdapat dalam list of invoices. Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final atas kegiatan investasi berupa foreign direct investment, portfolio investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri, antara lain berupa bukti konfirmasi penjualan dan pembelian surat berharga, bukti perjanjian kredit, atau bukti pendukung keikutsertaan Pihak Asing dalam tender dan penyediaan jaminan/bank garansi dalam mata uang rupiah. Ayat (3) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan atas kegiatan perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri antara lain berupa proyeksi arus kas yang dikeluarkan oleh Pihak Asing untuk tujuan pembayaran biaya operasional dari representative office Badan Hukum Asing. Dalam hal Underlying Transaksi adalah kegiatan investasi di dalam dan di luar negeri yang berupa perkiraan maka dokumen Underlying Transaksi antara lain Memorandum of Understanding dan/atau Agreement untuk pembelian dan penjualan aset di dalam negeri untuk kepentingan merger dan/atau akuisisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan dokumen estimasi mengenai dividen yang akan diterima. 29 Ayat (4) Huruf a Dokumen tambahan untuk dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan antara lain berupa invoice, perjanjian kerja, kontrak kerjasama, nota kesepahaman, atau dokumen lain yang sejenis. Dalam hal dokumen tambahan berupa invoice, penyampaiannya dilakukan setelah invoice diterbitkan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penilaian kewajaran melalui track record dilakukan dengan kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan untuk memastikan transaksi sesuai dengan profil, karakteristik, dan/atau pola transaksi Pihak Asing. Contoh 1: N Ltd. melakukan pembelian USD terhadap IDR melalui Transaksi Spot sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) kepada Bank M dengan Underlying Transaksi berupa proyeksi arus kas dengan selisih bersih sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Atas dasar hal tersebut, Bank M harus memastikan kewajaran nilai pembelian USD terhadap IDR melalui Transaksi Spot tersebut dengan melihat data historis selama 1 (satu) tahun ke belakang untuk menilai kesesuaian transaksi tersebut dengan data transaksi yang ada. Contoh 2: H Ltd. melakukan pembelian USD terhadap IDR melalui Transaksi Spot sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) kepada Bank O pada tanggal 1 Agustus 2019 dan Transaksi Spot sebesar USD600,000.00 (enam ratus ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 1 September 2019, dengan menyampaikan dokumen Underlying Transaksi berupa proyeksi arus kas. Bank O harus memastikan kewajaran transaksi tersebut dengan melihat data historis selama 1 (satu) tahun ke belakang untuk menilai kesesuaian transaksi tersebut dengan total 30 pembelian sebesar USD1,100,000.00 (satu juta seratus ribu dolar Amerika Serikat) Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pernyataan tertulis yang autentik dapat berupa surat elektronik resmi (official email), SWIFT message, negative confirmation, atau sistem business internet banking. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Pernyataan tertulis yang autentik dapat berupa surat elektronik resmi (official email), SWIFT message, negative confirmation, atau sistem business internet banking. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pernyataan tertulis yang autentik dapat berupa surat elektronik resmi (official email), SWIFT message, negative confirmation, atau sistem business internet banking. Ayat (2) Cukup jelas. 31 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Pada tanggal 10 November 2018, Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian pada tanggal 14 November 2018, Pihak Asing yang sama melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat). Selanjutnya pada tanggal 19 November 2018, Pihak Asing kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika Serikat) maka transaksi pembelian yang dilakukan pada tanggal 19 November 2018 tersebut telah melampaui USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Dengan demikian untuk pembelian yang dilakukan pada tanggal 19 November 2018 tersebut, Pihak Asing menyediakan dokumen Underlying Transaksi sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika Serikat). Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Pihak Asing akan melakukan investasi penyertaan langsung dan akan melakukan Transaksi Forward jual USD/IDR dengan Bank sebesar USD30,000,000.00 (tiga puluh juta dolar Amerika Serikat) pada tanggal 18 November 2018 dengan tenor 3 (tiga) bulan. Pada saat Transaksi Forward dilakukan, Bank wajib memastikan bahwa Pihak Asing menyampaikan dokumen 32 Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat pada tanggal 25 November 2018 atau 5 (lima) hari kerja sejak tanggal transaksi. Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung tersebut berlaku untuk penyelesaian transaksi baik secara netting maupun diselesaikan dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). Ayat (3) Contoh: C Ltd. melakukan Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) pada tanggal 10 Desember 2018 dengan tenor 4 (empat) hari atau dengan jatuh waktu tanggal 14 Desember 2018. C Ltd. wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat tanggal 14 Desember 2018. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh: Pihak Asing melakukan Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar USD800,000.00 (delapan ratus ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 19 November 2018 dengan tenor 1 (satu) bulan atau dengan jatuh waktu tanggal 19 Desember 2018 dan tidak wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi. Pada tanggal 16 Desember 2018, Pihak Asing bermaksud untuk melakukan unwind transaksi dan diselesaikan secara netting melalui Transaksi Forward jual dengan jangka waktu 3 (tiga) hari atau jatuh waktunya sama dengan jatuh waktu forward awal yaitu tanggal 19 Desember 2018. Bank wajib memastikan Pihak Asing untuk 33 menyampaikan dokumen Underlying Transaksi atas forward beli USD/IDR sebesar USD800,000.00 (delapan ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan dokumen pendukung paling lambat pada tanggal jatuh waktu Transaksi Forward yaitu tanggal 19 Desember 2018. Dalam hal Bank tidak menerima dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung dari Pihak Asing, penyelesaian Transaksi Forward beli dan Forward jual dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Contoh: Pihak Asing ABC Ltd. melakukan penjualan valuta asing terhadap rupiah kepada Bank X yang merupakan bank kustodian pada tanggal 13 November 2018 sebesar USD1,200,000.00 (satu juta dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Atas transaksi ini, Bank X wajib memastikan ABC Ltd. menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang autentik. Pada tanggal 19 Desember 2018 ABC Ltd. melakukan penjualan valuta asing terhadap rupiah kepada Bank X sebesar USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Atas penjualan ini, Bank X wajib memastikan ABC Ltd. menyampaikan dokumen Underlying Transaksi. Pada tanggal 20 Januari 2019, ABC Ltd. kembali melakukan penjualan valuta asing terhadap rupiah kepada Bank X sebesar USD1,300,000.00 (satu juta tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat). Atas penjualan ini, Bank X 34 wajib memastikan ABC Ltd. menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang autentik. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: Pihak Asing C melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot kepada Bank Y pada tanggal 19 November 2018 sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini Bank Y wajib memastikan Pihak Asing C menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis yang autentik. Pada tanggal 26 November 2018, Pihak Asing C melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot kepada Bank Y sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini, Pihak Asing C tidak wajib menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis yang autentik. Pada tanggal 16 Desember 2018 Pihak Asing C melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot kepada Bank Y sebesar USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini, Bank Y wajib memastikan Pihak Asing C menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis yang autentik. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. 35 Ayat (2) Contoh: Pada tanggal 5 September 2018, Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika Serikat) di Bank A. Atas pembelian valuta asing terhadap rupiah tanggal 5 September 2018, Bank A tidak meminta Pihak Asing untuk memberikan dokumen Underlying Transaksi, dan dengan demikian terdapat pelanggaran yang melebihi threshold sebesar USD35,000.00 (tiga puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Atas pelanggaran tersebut, Bank A dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar yang dihitung dari nilai nominal sebesar Rp4.900.000,00 (empat juta sembilan ratus ribu rupiah) yang diperoleh dari perhitungan USD35,000.00 x 1% x Rp14.000,00 (kurs JISDOR pada tanggal 15 September 2018). Namun demikian, mengingat minimal sanksi yang harus dibayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) maka Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/17/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING </reg_title> <set_date> 15 Agustus 2018 </set_date> <effective_date> 15 Agustus 2018 </effective_date> <replaced_reg> '18/35/DPPK|SE-BI/2016' </replaced_reg> <related_reg> '18/19/PBI/2016' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/10/PADG/2017 TENTANG GERBANG PEMBAYARAN NASIONAL (NATIONAL PAYMENT GATEWAY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menetapkan kebijakan gerbang pembayaran nasional (national payment gateway) melalui interkoneksi switching untuk mewujudkan interoperabilitas sistem pembayaran nasional sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai gerbang pembayaran nasional (national payment gateway); b. bahwa agar kebijakan Bank Indonesia yang telah dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai gerbang pembayaran nasional (national payment gateway) dapat terlaksana dengan baik dan terstruktur untuk mencapai tujuan yang diharapkan maka diperlukan ketentuan pelaksanaan sebagai pedoman penyelenggaraan bagi para pihak yang berada dalam ekosistem gerbang pembayaran nasional (national payment gateway); c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway); 2 Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 236, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5945); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6081); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG GERBANG PEMBAYARAN NASIONAL (NATIONAL PAYMENT GATEWAY). BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway) yang selanjutnya disingkat GPN (NPG) adalah sistem yang terdiri atas standar, switching, dan services yang dibangun melalui seperangkat aturan dan mekanisme (arrangement) untuk mengintegrasikan berbagai instrumen dan kanal pembayaran secara nasional. 2. Standar adalah spesifikasi teknis dan operasional yang dibakukan. 3. Switching adalah switching sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. 4. Services adalah layanan yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan industri sistem pembayaran ritel. 3 5. Lembaga Standar adalah lembaga yang menyusun dan mengelola Standar dalam GPN (NPG). Switching 6. Lembaga menyelenggarakan Switching dalam GPN (NPG). 7. Lembaga Services adalah lembaga yang mengelola fungsi Services dalam GPN (NPG). 8. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan dan bank syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 9. Lembaga Selain Bank adalah badan usaha bukan Bank yang berbadan hukum dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia. 10. Penerbit adalah penerbit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. 11. Acquirer adalah acquirer sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. 12. Penyelenggara Payment Gateway adalah penyelenggara payment gateway sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. 13. Anjungan Tunai Mandiri (Automated Teller Machine) yang selanjutnya disingkat ATM adalah mesin yang dipakai untuk kartu ATM dan/atau kartu debet sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu. adalah lembaga yang 4 BAB II HUBUNGAN ANTARA PENYELENGGARA GPN (NPG) DENGAN PIHAK YANG TERHUBUNG DENGAN GPN (NPG) Pasal 2 (1) Penyelenggara GPN (NPG) meliputi: a. Lembaga Standar; b. Lembaga Switching; dan c. Lembaga Services. (2) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) meliputi: a. Penerbit; b. Acquirer; c. Penyelenggara Payment Gateway; dan d. pihak lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas bank umum, bank umum syariah, dan Lembaga Selain Bank. (4) Bank perkreditan rakyat dan bank pembiayaan rakyat syariah dapat terhubung dengan GPN (NPG) melalui bank umum atau bank umum syariah. Pasal 3 (1) Penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) melaksanakan fungsi, tugas, dan kewajibannya dengan saling bersinergi dan bekerja sama dengan penyelenggara GPN (NPG) lainnya untuk mewujudkan interkoneksi dan interoperabilitas sistem pembayaran nasional. (2) Sinergi dan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam suatu mekanisme (arrangement) antarpenyelenggara GPN (NPG). (3) Mekanisme (arrangement) antarpenyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterapkan dan diselaraskan oleh pihak yang terhubung dengan GPN (NPG). 5 BAB III LEMBAGA STANDAR Bagian Kesatu Permohonan Penetapan Lembaga Standar Pasal 4 (1) Pihak yang akan melakukan kegiatan sebagai Lembaga Standar harus mengajukan permohonan penetapan sebagai Lembaga Standar secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung pemenuhan kriteria. (2) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit: a. merupakan representasi dari pembayaran nasional; industri sistem b. berbadan hukum Indonesia; dan c. memiliki kompetensi untuk menyusun, mengembangkan, dan mengelola Standar dalam rangka interkoneksi dan interoperabilitas berbagai instrumen dan kanal pembayaran. (3) Pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuktikan dengan dokumen sesuai jenis dan materi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kedua Pemrosesan Penetapan Lembaga Standar Pasal 5 (1) Dalam rangka memproses permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian administratif; b. analisis kelayakan pihak yang mengajukan; dan 6 c. pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan, dalam hal diperlukan. (2) Penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap dokumen yang disampaikan oleh pihak yang mengajukan, meliputi: a. penelitian kelengkapan dokumen; dan b. penelitian kebenaran dokumen dan kesesuaian dokumen. (3) Analisis kelayakan pihak yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa analisis dokumen terhadap pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) mengacu pada aspek: a. rekam jejak; b. kapasitas dan kapabilitas; c. kesiapan operasional; dan d. kecukupan manajemen risiko. (4) Pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara kunjungan ke lokasi terkait penyelenggaraan (on site visit) untuk melakukan verifikasi atas kebenaran dokumen dan kesesuaian dokumen yang diajukan serta memastikan kesiapan operasional. Pasal 6 (1) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a terdapat dokumen yang tidak lengkap, Bank Indonesia menginformasikan secara tertulis kepada pihak yang mengajukan permohonan untuk melengkapi kekurangan dokumen. (2) Dalam hal dokumen yang disampaikan telah lengkap, Bank Indonesia melakukan: a. penelitian kebenaran dokumen dan kesesuaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b; dan 7 b. analisis kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3). (3) Apabila berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdapat dokumen yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak sesuai, Bank Indonesia menginformasikan secara tertulis kepada pihak yang mengajukan permohonan untuk memperbaiki dokumen yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak sesuai. (4) Pihak yang mengajukan permohonan harus melengkapi, memperbaiki, dan/atau menyesuaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3) serta menyampaikan kembali kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak pemberitahuan tertulis disampaikan oleh Bank Indonesia. (5) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pihak yang mengajukan permohonan belum menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi, diperbaiki, dan/atau disesuaikan maka pihak yang mengajukan permohonan dinyatakan telah membatalkan permohonannya. Pasal 7 (1) Dalam hal dokumen permohonan dinyatakan telah lengkap, benar, dan sesuai dengan kriteria, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4). (2) Berdasarkan hasil penelitian administratif, analisis kelayakan, dan/atau hasil pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan permohonan, Bank Indonesia memutuskan untuk: a. menyetujui; atau b. menolak, permohonan penetapan yang diajukan. 8 (3) Pihak yang memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan sebagai Lembaga Standar. (4) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia. Bagian Ketiga Pelaksanaan Fungsi Lembaga Standar Pasal 8 (1) Lembaga Standar memiliki fungsi: a. menyusun Standar; b. mengembangkan Standar; dan c. mengelola Standar, untuk interkoneksi dan interoperabilitas instrumen pembayaran, kanal pembayaran, dan Switching, serta security. (2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, Lembaga Standar mempertimbangkan masukan dari industri. (3) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Standar dapat bekerja sama dengan pihak lain. (4) Dalam hal Lembaga Standar melakukan kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tanggung jawab atas penyusunan, pengembangan, dan pengelolaan Standar tetap berada pada Lembaga Standar. Pasal 9 (1) Untuk melindungi kepentingan publik, kepemilikan atas Standar yang telah disusun dan dikembangkan oleh Lembaga Standar berada pada Bank Indonesia. (2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Standar mengalihkan Standar yang telah disusun dan/atau dikembangkan kepada Bank Indonesia. 9 (3) Pengalihan Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara penyerahan melalui berita acara serah terima. (4) Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai Standar GPN (NPG). (5) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal berita acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 10 Penetapan Lembaga Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dan penetapan Standar GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) diumumkan oleh Bank Indonesia. Pasal 11 (1) Bank Indonesia menyerahkan Standar GPN (NPG) kepada Lembaga Standar untuk dikelola. (2) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berita acara serah terima pengelolaan. Pasal 12 (1) Lembaga Standar bertanggung jawab untuk memastikan keamanan dan keandalan teknologi informasi yang digunakan dalam penyusunan, pengembangan, dan pengelolaan Standar GPN (NPG). (2) Lembaga Standar wajib menjaga kerahasiaan data dan informasi terkait penyusunan, pengembangan, dan pengelolaan Standar GPN (NPG). (3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga berlaku dalam hal Lembaga Standar melakukan kerja sama penyusunan, pengembangan, dan pengelolaan Standar GPN (NPG) dengan pihak lain. Pasal 13 (1) Lembaga Standar harus menyusun dan menyampaikan rencana kerja awal penyusunan, pengembangan, dan 10 pengelolaan Standar secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Rencana kerja awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah memperoleh penetapan sebagai Lembaga Standar dari Bank Indonesia. (3) Rencana kerja awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. rencana penyusunan dan/atau pengembangan Standar; b. c. rencana pengelolaan Standar; rencana kesiapan organisasi; dan d. konsep kerja sama Lembaga Standar dengan pihak lain terkait penyusunan, pengembangan, dan pengelolaan Standar, dalam hal rencana penyusunan, pengembangan, dan pengelolaan Standar akan dilakukan bekerja sama dengan pihak lain. (4) Bank Indonesia berwenang meminta Lembaga Standar untuk melakukan penyesuaian terhadap rencana kerja awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Format rencana kerja awal penyusunan, pengembangan, dan pengelolaan Standar tercantum dalam Lampiran I. Pasal 14 (1) Lembaga Standar harus meminta persetujuan Bank Indonesia atas hal yang bersifat strategis dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya. (2) Hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup: a. perencanaan dan pengembangan Standar; b. penetapan persyaratan, prosedur pelaksanaan, dan kategori pihak yang disertifikasi, termasuk apabila terdapat perubahan; c. kerja sama dengan pihak lain dalam pelaksanaan fungsi penyusunan, pengembangan, dan pengelolaan Standar; 11 d. penetapan jenis dan besarnya biaya yang digunakan dalam kegiatan penyusunan, pengembangan, dan pengelolaan Standar; dan e. hal lain yang dianggap strategis oleh Bank Indonesia. (3) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Standar harus mengajukan permohonan tertulis dalam bahasa Indonesia dengan melampirkan dokumen sesuai jenis dan materi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. (4) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia berwenang untuk: a. menyetujui; atau b. menolak, permohonan yang diajukan. (5) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara tertulis oleh Bank Indonesia kepada Lembaga Standar. BAB IV LEMBAGA SWITCHING Bagian Kesatu Permohonan Persetujuan Lembaga Switching Pasal 15 (1) Pihak yang akan melakukan kegiatan sebagai Lembaga Switching harus mengajukan permohonan persetujuan sebagai Lembaga Switching secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung pemenuhan persyaratan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit: a. telah memperoleh izin sebagai penyelenggara Switching sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran; 12 b. telah melaksanakan pemrosesan transaksi pembayaran secara domestik dengan menggunakan infrastruktur yang dimiliki di Indonesia; c. memenuhi kepemilikan saham paling sedikit 80% (delapan puluh persen) sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; d. mampu dan memiliki kapasitas untuk melaksanakan fungsi Switching di GPN (NPG); dan e. memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (3) Dalam hal pihak yang akan melakukan kegiatan sebagai Lembaga Switching dimiliki oleh badan hukum berbentuk perseroan terbuka maka perhitungan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c hanya dilakukan terhadap kepemilikan saham dengan persentase sebesar 5% (lima persen) atau lebih. (4) Dalam hal Lembaga Switching akan memperluas penyelenggaraan kegiatan untuk instrumen lainnya maka harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d. (5) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuktikan dengan dokumen sesuai jenis dan materi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. Pasal 16 (1) Perhitungan kepemilikan saham Lembaga Switching meliputi kepemilikan secara langsung maupun secara tidak langsung sesuai dengan penilaian Bank Indonesia. (2) Penilaian Bank Indonesia atas kepemilikan saham tidak langsung dapat dilakukan sampai dengan pemegang saham akhir (ultimate shareholder/beneficial owner). (3) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan hal sebagai berikut: a. manajemen risiko; b. penerapan ketentuan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; dan 13 c. hasil evaluasi atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran. Bagian Kedua Pemrosesan Persetujuan Lembaga Switching Pasal 17 (1) Dalam rangka memproses permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian administratif; b. analisis kelayakan pihak yang mengajukan; dan c. pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan, dalam hal diperlukan. (2) Penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap dokumen yang disampaikan oleh pihak yang mengajukan meliputi: a. penelitian kelengkapan dokumen; dan b. penelitian kebenaran dokumen dan kesesuaian dokumen. (3) Analisis kelayakan pihak yang mengajukan permohonan sebagai Lembaga Switching sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa analisis dokumen terhadap pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) mengacu pada aspek: a. rekam jejak; b. keamanan dan keandalan sistem; c. kapasitas dan kapabilitas; d. kesiapan operasional; dan e. kecukupan manajemen risiko. (4) Pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara kunjungan ke lokasi terkait penyelenggaraan (on site visit) untuk melakukan verifikasi atas kebenaran dokumen dan kesesuaian dokumen yang diajukan serta memastikan kesiapan operasional. 14 Pasal 18 (1) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a terdapat dokumen yang tidak lengkap, Bank Indonesia mengembalikan surat dan seluruh dokumen permohonan kepada pihak yang mengajukan. (2) Dalam hal dokumen yang disampaikan telah lengkap, Bank Indonesia melakukan: a. penelitian kebenaran dokumen dan kesesuaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b; dan b. analisis kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3). (3) Apabila berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b terdapat dokumen yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak sesuai, Bank Indonesia menginformasikan secara tertulis kepada pihak yang mengajukan permohonan untuk memperbaiki dokumen yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak sesuai. (4) Pihak yang mengajukan permohonan harus memperbaiki dan/atau menyesuaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) serta menyampaikan kembali kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak pemberitahuan tertulis disampaikan oleh Bank Indonesia. (5) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pihak yang mengajukan permohonan belum menyampaikan dokumen yang telah diperbaiki dan/atau disesuaikan maka pihak yang mengajukan permohonan dinyatakan telah membatalkan permohonannya. Pasal 19 (1) Pihak yang telah membatalkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) dapat mengajukan permohonan kembali setelah jangka waktu 180 (seratus 15 delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan persetujuan dinyatakan batal. (2) Dalam hal dokumen permohonan dinyatakan telah benar dan sesuai dengan persyaratan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4). (3) Berdasarkan hasil penelitian administratif, analisis kelayakan, dan/atau hasil pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan permohonan, Bank Indonesia memutuskan untuk: a. menyetujui; atau b. menolak, permohonan persetujuan yang diajukan. (4) Pihak yang memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a ditetapkan sebagai Lembaga Switching. (5) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara tertulis oleh Bank Indonesia kepada Lembaga Switching. Pasal 20 (1) Lembaga Switching yang telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia wajib tetap memenuhi persentase kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf c. (2) Dalam hal terdapat perubahan modal dan/atau penggantian susunan pemegang saham maka Lembaga Switching harus meminta persetujuan Bank Indonesia. (3) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Switching harus mengajukan permohonan persetujuan dengan melampirkan dokumen sesuai jenis dan materi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. (4) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia berwenang untuk: a. menyetujui; atau b. menolak, 16 permohonan yang diajukan. (5) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara tertulis oleh Bank Indonesia kepada Lembaga Switching. Bagian Ketiga Pelaksanaan Fungsi Lembaga Switching Pasal 21 (1) Lembaga Switching berfungsi dan bertugas untuk memproses data transaksi pembayaran secara domestik untuk interkoneksi dan interoperabilitas. (2) Setiap Lembaga Switching wajib melakukan interkoneksi dengan paling sedikit 2 (dua) Lembaga Switching lainnya. (3) Interkoneksi Lembaga Switching dengan Lembaga Switching lainnya dilakukan dengan memperhatikan efisiensi dan efektivitas interkoneksi serta kesesuaian service level agreement (SLA) dan standar antar-Lembaga Switching. (4) Lembaga Switching harus menerima koneksi dari Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) dengan memperhatikan efisiensi dan efektivitas koneksi serta kapasitas Lembaga Switching. Pasal 22 (1) Lembaga Switching wajib: a. mematuhi service level agreement (SLA) Lembaga Switching yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. menerapkan Standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan dikelola oleh Lembaga Standar; dan c. terhubung dan memberikan akses data transaksi pembayaran dan kegiatan operasionalnya kepada Lembaga Services. (2) Service level agreement (SLA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit meliputi: a. ketersediaan sistem (system availability); b. keamanan transaksi (security); 17 c. keandalan dan pemulihan (reliability and recovery); d. penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan transaksi (dispute resolution); e. kepastian penyelesaian akhir (settlement finality); dan f. aspek lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Pemberian akses data transaksi pembayaran kepada Lembaga Services sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit berupa: a. akses data terkait hasil perhitungan transaksi untuk instrumen pembayaran kartu ATM dan/atau kartu debet antaranggota dalam Lembaga Switching yang sama; dan/atau b. akses data lainnya terkait kegiatan operasional Lembaga Switching. Pasal 23 (1) Lembaga Switching dapat melakukan kerja sama dengan penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Dalam melakukan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Switching harus memastikan pemenuhan persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemrosesan transaksi pembayaran oleh penyelenggara Switching di luar GPN (NPG). (3) Selain pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila: a. penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) mampu melakukan pemrosesan transaksi secara domestik; dan b. transaksi yang diproses merupakan transaksi dari produk dan/atau menggunakan merek dari penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) tersebut. 18 (4) Lembaga Switching dapat melakukan kerja sama paling banyak dengan 2 (dua) penyelenggara Switching di luar GPN (NPG). (5) Penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) dapat melakukan kerja sama paling banyak dengan 2 (dua) Lembaga Switching. Pasal 24 (1) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Lembaga Switching harus mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan melampirkan dokumen sesuai dengan jenis dan materi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. (2) Permohonan persetujuan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi paling sedikit mengenai: a. bentuk kerja sama yang akan diselenggarakan termasuk dasar pertimbangan dilakukan kerja sama; dan b. periode berlangsungnya kerja sama. (3) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat 45 (empat puluh lima) hari kerja sebelum dilakukan kerja sama. Pasal 25 (1) Dalam rangka memproses permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian administratif; b. analisis kelayakan kerja sama; dan c. pemeriksaan terkait dengan penyelenggaraan kerja sama, dalam hal diperlukan. (2) Penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. penelitian kelengkapan dokumen; dan b. penelitian kebenaran dokumen dan kesesuaian dokumen. 19 (3) Analisis kelayakan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa analisis dokumen untuk menilai kelayakan kerja sama yang akan dilakukan, paling sedikit mencakup: a. penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) memiliki komitmen untuk berkontribusi terhadap peningkatan kapasitas dan kapabilitas penyelenggaraan GPN (NPG); dan b. kinerja Lembaga Switching dan penyelenggara Switching di luar GPN (NPG). (4) Pemeriksaan terkait dengan penyelenggaraan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara kunjungan ke lokasi terkait penyelenggaraan kerja sama (on site visit) untuk melakukan verifikasi atas kebenaran dokumen dan kesesuaian dokumen yang diajukan serta memastikan kesiapan operasional kerja sama. Pasal 26 (1) Dalam memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Bank Indonesia juga mempertimbangkan kontribusi penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) terhadap peningkatan kapasitas dan kapabilitas penyelenggaraan GPN (NPG). (2) Kontribusi penyelenggara Switching sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pencegahan fraud, manajemen risiko, dan mitigasi risiko. (3) Selain pencegahan fraud, manajemen risiko, dan mitigasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kontribusi penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) juga dapat berupa alih teknologi dalam rangka peningkatan keamanan, kapasitas, dan kapabilitas serta inovasi produk. 20 Pasal 27 (1) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a terdapat dokumen yang tidak lengkap, Bank Indonesia mengembalikan surat dan seluruh dokumen permohonan kepada Lembaga Switching. (2) Dalam hal dokumen yang disampaikan telah lengkap, Bank Indonesia melakukan: a. penelitian kebenaran dokumen dan kesesuaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b; dan b. analisis kelayakan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3). (3) Apabila berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b terdapat dokumen yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak sesuai, Bank Indonesia menginformasikan secara tertulis kepada pihak yang mengajukan permohonan untuk memperbaiki dokumen yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak sesuai. (4) Lembaga Switching harus memperbaiki dan/atau menyesuaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) serta menyampaikan kembali kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak pemberitahuan tertulis disampaikan oleh Bank Indonesia. (5) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Lembaga Switching belum menyampaikan dokumen yang telah diperbaiki dan/atau disesuaikan maka Lembaga Switching dinyatakan telah membatalkan permohonannya. Pasal 28 (1) Lembaga Switching yang telah membatalkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5) dapat mengajukan permohonan kembali setelah jangka waktu 21 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan persetujuan dinyatakan batal. (2) Dalam hal dokumen permohonan dinyatakan telah benar dan sesuai dengan persyaratan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4). (4) Berdasarkan hasil penelitian administratif, analisis kelayakan, dan/atau hasil pemeriksaan, Bank Indonesia memutuskan untuk: a. menyetujui; atau b. menolak, permohonan kerja sama yang diajukan. (5) Persetujuan atau penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara tertulis oleh Bank Indonesia kepada Lembaga Switching. BAB V LEMBAGA SERVICES Bagian Kesatu Permohonan Penetapan Lembaga Services Pasal 29 (1) Pihak yang akan melakukan kegiatan sebagai Lembaga Services harus mengajukan permohonan penetapan sebagai Lembaga Services secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung pemenuhan kriteria. (2) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit: a. berbadan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas; b. mampu dan memiliki kapasitas untuk melaksanakan fungsi Services di GPN (NPG); dan 22 c. sahamnya dimiliki bersama oleh: 1. Lembaga Switching; dan 2. Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 (empat) yang mayoritas sahamnya dimiliki warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia, dalam bentuk kepemilikan tidak langsung. (3) Dalam hal Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 (empat) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c angka 2 dimiliki oleh badan hukum berbentuk perseroan terbuka maka perhitungan kepemilikan saham hanya dilakukan terhadap kepemilikan saham dengan persentase sebesar 5% (lima persen) atau lebih. (4) Pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuktikan dengan dokumen sesuai jenis dan materi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. Bagian Kedua Pemrosesan Penetapan Lembaga Services Pasal 30 (1) Dalam rangka memproses permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian administratif; b. analisis kelayakan pihak yang mengajukan; dan c. pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan, dalam hal diperlukan. (2) Penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap dokumen yang disampaikan oleh pihak yang mengajukan meliputi: a. penelitian kelengkapan dokumen; dan b. penelitian kebenaran dokumen dan kesesuaian dokumen. (3) Analisis kelayakan pihak yang akan mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa analisis dokumen terhadap pemenuhan kriteria 23 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) pada aspek: a. b. legalitas dan profil perusahaan; rekam jejak; c. kapasitas dan kapabilitas; d. kesiapan operasional; dan e. kecukupan manajemen risiko. (4) Pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara kunjungan ke lokasi terkait penyelenggaraan (on site visit) untuk melakukan verifikasi atas kebenaran dokumen dan kesesuaian dokumen yang diajukan serta memastikan kesiapan operasional. Pasal 31 (1) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf a terdapat dokumen yang tidak lengkap, Bank Indonesia menginformasikan secara tertulis kepada pihak yang mengajukan permohonan untuk melengkapi kekurangan dokumen. (2) Dalam hal dokumen yang disampaikan telah lengkap, Bank Indonesia melakukan: a. penelitian kebenaran dokumen dan kesesuaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf b; dan b. analisis kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3). (3) Apabila berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdapat dokumen yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak sesuai, Bank Indonesia menginformasikan secara tertulis kepada pihak yang mengajukan permohonan untuk memperbaiki dokumen yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak sesuai. 24 (4) Pihak yang mengajukan permohonan harus melengkapi, memperbaiki, dan/atau menyesuaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3) serta menyampaikan kembali kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak pemberitahuan tertulis disampaikan oleh Bank Indonesia. (5) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pihak yang mengajukan permohonan belum menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi, diperbaiki, dan/atau disesuaikan maka pihak yang mengajukan permohonan dinyatakan telah membatalkan permohonannya. Pasal 32 (1) Dalam hal dokumen permohonan dinyatakan telah lengkap, benar, dan sesuai dengan kriteria, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4). (2) Berdasarkan hasil penelitian administratif, analisis kelayakan, dan/atau hasil pemeriksaan terhadap pihak yang mengajukan permohonan, Bank Indonesia memutuskan untuk: a. menyetujui; atau b. menolak permohonan penetapan yang diajukan. (3) Pihak yang memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan sebagai Lembaga Services. (4) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia. 25 Bagian Ketiga Pelaksanaan Tugas Lembaga Services Pasal 33 (1) Lembaga Services harus menyusun dan menyampaikan rencana kerja awal Lembaga Services secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Rencana kerja awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah memperoleh penetapan sebagai Lembaga Services dari Bank Indonesia. (3) Rencana kerja awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. b. rencana pelaksanaan tugas services; c. rencana ketentuan service level agreement (SLA) bagi pihak yang terhubung dengan GPN (NPG); dan rencana kesiapan organisasi. (4) Bank Indonesia berwenang meminta Lembaga Services untuk melakukan penyesuaian terhadap rencana kerja awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Format rencana kerja awal Lembaga Services mengacu pada Lampiran I. Pasal 34 (1) Lembaga Services wajib mematuhi standar dan service level agreement (SLA) Lembaga Services yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Service level agreement (SLA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. ketersediaan sistem (system availability); b. keamanan transaksi (security); c. keandalan dan pemulihan (reliability and recovery); d. penyelesaian perselisihan transaksi resolution); e. kepastian penyelesaian akhir (finality of settlement); dan f. aspek lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (dispute 26 Pasal 35 (1) Lembaga Services harus meminta persetujuan Bank Indonesia atas hal yang bersifat strategis dalam melaksanakan tugasnya. (2) Hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup: a. perubahan modal Lembaga Services; b. perubahan pengurus; c. perubahan susunan pemegang saham; d. kegiatan terkait pelaksanaan tugas sebagai Lembaga Services; dan e. hal lain yang dianggap strategis oleh Bank Indonesia. (3) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Services harus mengajukan permohonan tertulis dalam bahasa Indonesia dengan melampirkan dokumen sesuai jenis dan materi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. (4) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia berwenang untuk: a. menyetujui; atau b. menolak, permohonan yang diajukan (5) Persetujuan atau penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara tertulis oleh Bank Indonesia kepada Lembaga Services. Pasal 36 (1) Dalam melaksanakan tugasnya, Lembaga Services dapat mengelola dana yang diperoleh dari setiap transaksi yang diproses melalui Lembaga Services. (2) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas Lembaga Services. (3) Lembaga Services harus menetapkan peraturan mengenai kegiatan operasional harian Lembaga Services. 27 Pasal 37 Dalam hal Lembaga Services memperoleh laba dari kegiatan usahanya maka laba tersebut: a. disetorkan kepada pemegang saham sesuai yang tercantum dalam anggaran dasar; b. dicadangkan dan dikelola oleh Lembaga Services untuk peningkatan teknologi, infrastruktur, dan sumber daya manusia yang terkait dengan peningkatan layanan penyelenggaraan GPN (NPG); dan/atau c. didistribusikan kepada pihak yang terhubung dengan GPN (NPG). BAB VI PIHAK YANG TERHUBUNG DENGAN GPN (NPG) Pasal 38 (1) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib terhubung dengan GPN (NPG) dengan cara menjadi anggota pada paling sedikit 2 (dua) Lembaga Switching. (2) Kewajiban terhubung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk masing-masing instrumen dan/atau kanal pembayaran. (3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk instrumen yang dapat saling interoperabilitas tanpa melalui Lembaga Switching. (4) Instrumen yang dapat saling interoperabilitas tanpa melalui Lembaga Switching sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa: a. uang elektronik chip-based; dan b. instrumen lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 39 (1) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) berupa Penerbit harus meningkatkan penerbitan instrumen pembayaran yang diproses melalui GPN (NPG). 28 (2) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) berupa Acquirer harus meningkatkan akseptasi transaksi pembayaran melalui GPN (NPG). (3) Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memastikan bahwa seluruh merchant mematuhi ketentuan mengenai GPN (NPG) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. BAB VII PENYELENGGARAAN GPN (NPG) Bagian Kesatu Branding Nasional Pasal 40 (1) Branding nasional merupakan seperangkat aturan terkait: a. logo nasional; b. perluasan akseptasi nasional; dan c. pemrosesan domestik. (2) Logo nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan, dimiliki, dan dikelola oleh Bank Indonesia. Pasal 41 (1) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) wajib mencantumkan logo nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a pada setiap instrumen yang diterbitkan dan kanal pembayaran yang digunakan dalam transaksi pembayaran domestik melalui GPN (NPG). (2) Instrumen yang digunakan dalam transaksi pembayaran domestik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kartu ATM dan/atau kartu debet; b. kartu kredit; c. uang elektronik; dan d. instrumen pembayaran lainnya. 29 (3) Kanal pembayaran yang digunakan dalam transaksi pembayaran domestik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. ATM; b. EDC; c. agen; d. payment gateway; dan e. kanal pembayaran lainnya. Pasal 42 (1) Pencantuman logo nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) pada instrumen dan kanal pembayaran harus dicantumkan secara jelas di tempat yang mudah terlihat. (2) Logo nasional hanya dapat dicantumkan dengan logo lain sepanjang logo lain dimaksud dimiliki oleh Lembaga Switching, Penerbit, dan/atau pihak lain, yang disetujui oleh Bank Indonesia. (3) Tata cara pencantuman logo nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 43 (1) Pencantuman logo nasional untuk instrumen kartu ATM dan/atau kartu debet dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. sejak tanggal 1 Januari 2018, Penerbit wajib mulai menerbitkan kartu ATM dan/atau kartu debet berlogo nasional; dan b. sejak tanggal 1 Januari 2022, Penerbit wajib memastikan seluruh nasabah yang memiliki kartu ATM dan/atau kartu debet harus memiliki paling sedikit 1 (satu) kartu ATM dan/atau kartu debet berlogo nasional. (2) Penerbit menyampaikan rencana tindak (action plan) mengenai penerbitan kartu ATM dan/atau kartu debet berlogo nasional. 30 Pasal 44 (1) Dalam hal kanal pembayaran berupa situs web atau aplikasi maka pencantuman logo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) wajib dicantumkan dalam situs web atau aplikasi dimaksud secara jelas di tempat yang mudah terlihat. (2) Pihak yang menyediakan kanal pembayaran wajib menyediakan terminal yang dapat menerima dan memproses instrumen yang memiliki logo nasional. Bagian Kedua Skema Harga Pasal 45 (1) Penyelenggara GPN (NPG) dan pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) wajib mematuhi kebijakan skema harga. (2) Kebijakan skema harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan prinsip sebagai berikut: a. mendorong perluasan akseptasi, efisiensi, kompetisi, layanan, dan inovasi; b. didasarkan pada aspek cost of recovery ditambah margin yang wajar, risiko, dan kenyamanan; dan c. penetapan besaran dan struktur tarif dan bea. (3) Kebijakan skema harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang digunakan oleh penyelenggara GPN (NPG), penyelenggara Switching yang bekerja sama dengan Lembaga Switching, dan pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) berupa: a. sharing infrastructure; b. terminal usage fee (TUF); atau c. merchant discount rate (MDR). (4) Kebijakan skema harga yang diterapkan untuk kerja sama antara Lembaga Switching dan penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) ditetapkan sesuai dengan kontribusi 31 penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3). (5) Kebijakan skema harga diberlakukan terhadap instrumen yang diterbitkan oleh Penerbit domestik dan diproses secara domestik untuk instrumen: a. berlogo nasional; b. private label; dan c. berlogo internasional. (6) Penerapan kebijakan skema harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (7) Bank Indonesia dapat mengevaluasi dan mengubah kebijakan skema harga dengan memperhatikan perkembangan penerapan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2). BAB VIII LAPORAN Pasal 46 (1) Setiap penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. laporan berkala; dan b. laporan insidental. Pasal 47 (1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) huruf a untuk Lembaga Standar meliputi: a. laporan triwulanan yang paling sedikit memuat data dan informasi terkait pelaksanaan pengelolaan Standar GPN (NPG); dan 32 b. laporan tahunan yang paling sedikit memuat informasi mengenai: 1. rencana kerja dan target 1 (satu) tahun ke depan, termasuk dalam hal terdapat rencana pengembangan Standar; 2. 3. realisasi rencana kerja tahun sebelumnya; laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir; dan 4. evaluasi kesesuaian Standar GPN (NPG) dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan industri. (2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) huruf b untuk Lembaga Standar terdiri atas: a. laporan perubahan modal dan/atau susunan pemegang saham serta perubahan susunan pengurus Lembaga Standar; b. c. laporan perubahan data dan informasi pada dokumen yang disampaikan pada saat mengajukan permohonan penetapan kepada Bank Indonesia; dan laporan lainnya yang diminta oleh Bank Indonesia. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 48 (1) Laporan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf a wajib disampaikan paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah periode laporan berakhir. (2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf b wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 31 Maret tahun berikutnya. (3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) wajib disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak terjadinya kejadian atau perubahan yang wajib dilaporkan. 33 Pasal 49 (1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) huruf a untuk Lembaga Switching merupakan laporan berkala bagi penyelenggara switching sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, dengan menambahkan informasi mengenai kegiatan operasional Lembaga Switching. (2) Informasi mengenai kegiatan operasional Lembaga Switching sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III. (3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) huruf b untuk Lembaga Switching merupakan laporan insidental bagi penyelenggara switching sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. (4) Jenis, format, dan tata cara penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Pasal 50 (1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) huruf a untuk Lembaga Services meliputi: a. laporan triwulanan yang paling sedikit memuat data dan informasi terkait penyelesaian akhir dan kejadian fraud dalam operasional Lembaga Services; b. laporan tahunan yang paling sedikit memuat informasi mengenai: 1. rencana kerja dan target 1 (satu) tahun ke depan, termasuk dalam hal terdapat rencana pelaksanaan kegiatan Services; 2. 3. realisasi rencana kerja tahun sebelumnya; dan laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir. 34 c. laporan hasil audit sistem informasi dari auditor independen yang dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun dengan cakupan audit paling sedikit memuat: 1. kerahasiaan data (confidentiality); 2. integritas sistem dan data (integrity); 3. otentikasi sistem dan data (authentication); 4. pencegahan terjadinya penyangkalan transaksi yang telah dilakukan (non-repudiation); dan 5. ketersediaan sistem (availability), atas penyelenggaraan kegiatan operasional Lembaga Services. (2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) huruf b untuk Lembaga Services terdiri atas: a. b. c. d. laporan gangguan dalam Lembaga Services dan tindak lanjut yang telah dilakukan; laporan perubahan susunan pengurus Lembaga Services; laporan terjadinya keadaan kahar penyelenggaraan Services; atas e. laporan perubahan data dan informasi pada dokumen yang disampaikan pada saat mengajukan permohonan penetapan kepada Bank Indonesia; dan laporan lainnya yang diminta oleh Bank Indonesia. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III. Pasal 51 (1) Laporan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf a wajib disampaikan paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah periode laporan berakhir. (2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 31 Maret tahun berikutnya. 35 (3) Laporan hasil audit sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf c wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 31 Maret tahun berikutnya. (4) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) wajib disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak terjadinya kejadian atau perubahan yang wajib dilaporkan. BAB IX PENGAWASAN Pasal 52 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap penyelenggara GPN (NPG) yang meliputi: a. pengawasan langsung; dan b. pengawasan tidak langsung. (2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terhadap pihak yang melakukan kerja sama dengan penyelenggara GPN (NPG). (3) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia untuk melaksanakan pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (4) Dalam rangka pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, penyelenggara GPN (NPG) wajib memberikan kepada pengawas atau pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3), mencakup: a. dokumen, data, informasi, dan/atau laporan yang diminta; b. keterangan dan/atau penjelasan baik lisan maupun tertulis; dan/atau c. akses terhadap sistem informasi. 36 (5) Dalam rangka pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, penyelenggara GPN (NPG) wajib menyampaikan dokumen, data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau penjelasan kepada Bank Indonesia. (6) Dokumen, data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan melalui pelaporan, pertemuan langsung, dan/atau sarana komunikasi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (7) Penyelenggara GPN (NPG) wajib bertanggung jawab atas kebenaran dokumen, data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau penjelasan yang diberikan kepada Bank Indonesia. (8) Pihak yang ditugaskan melakukan pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib: a. menyampaikan seluruh dokumen, data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau penjelasan yang diperoleh dari hasil pengawasan langsung kepada Bank Indonesia; dan b. menjaga kerahasiaan dokumen, data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau penjelasan yang diperoleh dari hasil pengawasan langsung. Pasal 53 (1) Dalam hal hasil pengawasan Bank Indonesia menunjukkan bahwa penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara memadai, Bank Indonesia dapat: a. meminta penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) untuk: 1. melakukan atau tidak melakukan sesuatu; dan 2. menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan; dan b. mencabut penetapan atau persetujuan yang telah diberikan kepada penyelenggara GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). 37 (2) Penyelenggara GPN (NPG) yang telah dicabut penetapan atau persetujuannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus menghentikan segala hubungan dan memutuskan seluruh koneksinya dengan penyelenggara GPN (NPG) dan pihak yang terhubung dengan GPN (NPG). BAB X TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 54 (1) Dalam mengenakan sanksi administratif kepada penyelenggara GPN (NPG) dan pihak yang terhubung dengan GPN (NPG), Bank Indonesia mempertimbangkan: a. tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran; dan b. akibat yang ditimbulkan terhadap: 1. aspek kelancaran dan keamanan penyelenggaraan GPN (NPG); 2. aspek perlindungan konsumen; 3. aspek anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; dan/atau 4. aspek lainnya sehubungan dengan penyelenggaraan GPN (NPG). (2) Dalam mengenakan sanksi administratif berupa denda kepada penyelenggara GPN (NPG) dan pihak yang terhubung dengan GPN (NPG), berlaku ketentuan sebagai berikut: a. hanya dikenakan terhadap pelanggaran kewajiban penyampaian laporan secara online kepada Bank Indonesia; dan b. penetapan besarnya nominal dan tata cara pengenaan denda dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyampaian laporan secara online kepada Bank Indonesia. 38 BAB XI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 55 (1) Penyampaian permohonan dan/atau laporan berupa: a. permohonan penetapan b. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; rencana kerja awal Lembaga Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; c. permohonan persetujuan Lembaga Standar atas hal- hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; d. permohonan e. penetapan Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; dan laporan oleh Lembaga Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran (DKSP), dengan alamat Kompleks Perkantoran Bank Indonesia, Gedung D, Lantai 5, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350. (2) Penyampaian permohonan dan/atau laporan berupa: a. permohonan persetujuan Lembaga Switching sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; b. permohonan persetujuan kerjasama Lembaga Switching dengan penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; c. rencana kerja awal Lembaga Services sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33; d. permohonan persetujuan Lembaga Services atas hal- hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35; e. permohonan persetujuan pencantuman logo nasional pada instrumen yang diterbitkan oleh Penerbit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42; f. laporan oleh Lembaga Switching dalam Pasal 49; dan Services Lembaga Standar 39 g. laporan oleh Lembaga Services sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Departemen Surveilans Sistem Keuangan (DSSK), dengan alamat Kompleks Perkantoran Bank Indonesia, Gedung D Lantai 9, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350. (3) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia akan memberitahukan melalui surat atau media lainnya. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 56 Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) berupa bank umum dan bank umum syariah harus telah terkoneksi ke 1 (satu) Lembaga Switching dan mampu melakukan pemrosesan transaksi pembayaran domestik melalui GPN (NPG) untuk instrumen kartu ATM dan/atau kartu debet paling lambat 31 Desember 2017. Pasal 57 (1) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) berupa Lembaga Selain Bank, yang sebelum ketentuan ini berlaku sedang dalam proses perizinan dan kemudian memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai Penerbit, Acquirer, dan/atau Penyelenggara Payment Gateway harus terkoneksi dengan 1 (satu) Lembaga Switching paling lambat 1 (satu) tahun sejak memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) berupa Lembaga Selain Bank, yang sebelum ketentuan ini berlaku sedang dalam proses perizinan dan kemudian memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai Penerbit, Acquirer, dan/atau Penyelenggara Payment Gateway harus terkoneksi dengan 2 (dua) Lembaga Switching paling lambat 2 (dua) tahun sejak memperoleh izin dari Bank Indonesia. 40 Pasal 58 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 September 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, AGUS D.W. MARTOWARDOJO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/ 10 /PADG/2017 TENTANG GERBANG PEMBAYARAN NASIONAL (NATIONAL PAYMENT GATEWAY) I. UMUM Inisiasi GPN (NPG) bertujuan untuk mewujudkan sistem pembayaran nasional yang lancar, aman, efisien, dan andal dalam membangun ketahanan, pengembangan, serta meningkatkan daya saing. Interkoneksi dan interoperabilitas dalam GPN (NPG) akan menjadi katalis untuk mengakselerasi transaksi nontunai di Indonesia. Implementasi GPN (NPG) terdiri atas fungsi standar, switching, dan services yang dibangun melalui seperangkat aturan dan mekanisme (arrangement) untuk mengintegrasikan berbagai instrumen dan kanal pembayaran secara nasional. Fungsi tersebut akan dijalankan oleh penyelenggara GPN (NPG) yang bersinergi dengan pihak yang terhubung dengan GPN (NPG) sehingga dapat tercapai interkoneksi dan interoperabilitas dalam ekosistem sistem pembayaran nasional. GPN (NPG) menata dan mengoptimalkan infrastruktur yang telah ada, menyusun struktur dan fungsi kelembagaan agar tercipta suatu mekanisme sistem pembayaran nasional yang mampu memproses seluruh transaksi pembayaran ritel domestik secara interkoneksi dan interoperabilitas. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. 2 Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Masukan dari industri dimaksudkan agar Standar yang disusun oleh Lembaga Standar mampu mengakomodir kebutuhan industri sehingga dapat diimplementasikan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. 3 Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Dalam memastikan unsur keamanan dan keandalan teknologi informasi, Lembaga Standar mengacu pada international best practice. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kewajiban menjaga kerahasiaan data dan informasi oleh pihak lain dibuktikan dengan adanya klausul kerahasiaan data dan informasi dalam perjanjian kerja sama dengan pihak lain. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Termasuk dalam hal penyusunan Standar akan dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak lain. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. 4 Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pemrosesan transaksi pembayaran secara domestik” antara lain tahapan otorisasi, kliring, dan penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Termasuk telah melaksanakan pemrosesan transaksi pembayaran secara domestik yaitu telah melaksanakan pemrosesan transaksi pembayaran secara domestik paling sedikit untuk satu instrumen pembayaran. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. 5 Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam memperhatikan efisiensi dan efektivitas interkoneksi, Lembaga Switching dapat memertimbangkan kelayakan bisnis dengan Lembaga Switching lainnya. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyelenggara Switching di luar GPN (NPG)” adalah pihak yang telah memperoleh izin sebagai penyelenggara switching berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran dan/atau prinsipal berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu, namun bukan merupakan Lembaga Switching. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 6 Ayat (4) Yang dimaksud dengan kerja sama paling banyak dengan 2 (dua) penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) adalah kerja sama yang dilakukan dalam memproses transaksi pembayaran secara domestik. Ayat (5) Yang dimaksud dengan kerja sama paling banyak dengan 2 (dua) Lembaga Switching adalah kerja sama yang dilakukan dalam memproses transaksi pembayaran secara domestik. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan analisis kinerja antara lain: a. kepatuhan Lembaga Switching dan penyelenggara Switching terhadap peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran; b. penerapan manajemen risiko antara lain risiko operasional dan risiko setelmen; c. kinerja finansial; dan /atau d. Ayat (4) Cukup jelas. tata kelola yang baik dalam penyelenggaraan Switching. 7 Pasal 26 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kontribusi penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) terhadap peningkatan kapasitas dan kapabilitas penyelenggaraan GPN (NPG)” antara lain perluasan akseptasi dan/atau alih teknologi. Kontribusi penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) antara lain dibuktikan dengan pemaparan bentuk kontribusi yang diberikan yang dimuat dalam perjanjian kerja sama antara Lembaga Switching dan penyelenggara Switching di luar GPN (NPG) yang disetujui oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Rekam jejak dilakukan antara lain terhadap pengurus dan/atau pemilik Lembaga Services. 8 Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Rencana kesiapan organsisasi paling sedikit mencakup pemenuhan struktur organisasi dan sumber daya manusia, serta kebijakan dan prosedur tertulis untuk mendukung pemenuhan tugas sebagai Lembaga Services. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. 9 Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “mendukung pelaksanaan fungsi Services” antara lain untuk memperluas akseptasi masyarakat dan pengembangan penyelenggaraan GPN (NPG). Ayat (3) Termasuk penetapan peraturan mengenai kegiatan operasional Lembaga Services antara lain peraturan mengenai kegiatan kliring dan penyelesaian transaksi dan ketentuan mengenai biaya yang dibebankan kepada pihak yang terhubung dengan GPN (NPG). Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Peningkatan akseptasi transaksi pembayaran melalui GPN (NPG) antara lain dilakukan dengan cara menambah dan memperluas cakupan merchant yang menerima instrumen pembayaran untuk diproses melalui GPN (NPG). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. 10 Ayat (2) Termasuk dalam mengelola logo nasional antara lain mendistribusikan, menyimpan, dan mengadministrasikan logo nasional. Pasal 41 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kewajiban mencantumkan logo nasional pada setiap instrumen yang diterbitkan adalah Penerbit wajib mencantumkan logo nasional pada setiap instrumen yang diterbitkan dan digunakan hanya untuk transaksi domestik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pencantuman logo nasional pada kanal pembayaran dimaksudkan untuk memastikan akseptasi penggunaan instrumen. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Persetujuan Bank Indonesia diberikan untuk Penerbit yang pertama kali mencantumkan logo nasional. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Termasuk dalam menerima dan memproses instrumen yang memiliki logo nasional antara lain menerima dan memproses 11 instrumen private label yang telah diterbitkan oleh pihak yang terhubung dengan GPN (NPG). Untuk dapat memproses instrumen private label, sistem terkait instrumen private label perlu disesuaikan dengan prinsip interkoneksi dan interoperabilitas. Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “sharing infrastructure” adalah biaya investasi sebagai pengganti atas biaya infrastruktur yang telah dikeluarkan. Huruf b Yang dimaksud dengan “terminal usage fee” adalah biaya yang dibayarkan Penerbit kepada penyedia infrastruktur (Acquirer) atas penggunaan terminal. Huruf c Yang dimaksud dengan “merchant discount rate (MDR)” adalah tarif yang dikenakan kepada merchant oleh bank. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. 12 Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “laporan lainnya” antara lain laporan insiden dan laporan perubahan personel pada level tertentu yang bertanggungjawab melakukan pengelolaan Standar Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Contoh laporan triwulanan yaitu laporan untuk triwulan pertama (periode Januari sampai dengan Maret 2018) disampaikan paling lambat tanggal 30 April 2018. Ayat (2) Contoh laporan tahunan yaitu laporan periode tahun 2017 disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret 2018. Ayat (3) Contoh laporan insidental yaitu laporan untuk kejadian yang terjadi pada tanggal 1 Desember 2017 disampaikan paling lambat tanggal 15 Desember 2017. Pasal 49 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kegiatan operasional Lembaga Switching” adalah kegiatan yang terkait dengan penyelenggaraan Lembaga Switching termasuk transaksi pembayaran antaranggota, transaksi pembayaran antar-Lembaga Switching, dan data spesifik untuk keperluan analisis. Ayat (2) Cukup jelas. 13 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 50 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pemeriksaan audit sistem informasi dari auditor independen dilakukan oleh auditor internal setiap tahun dan auditor eksternal setiap 3 (tiga) tahun sekali. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “laporan lainnya yang diminta oleh Bank Indonesia” antara lain laporan terjadinya kejadian kritis, penyalahgunaan, dan/atau kejahatan dalam penyelenggaraan teknologi informasi yang dapat mengganggu operasional Lembaga Services. Ayat (3) Cukup jelas. 14 Pasal 51 Ayat (1) Contoh laporan triwulanan yaitu laporan untuk triwulan pertama (periode Januari sampai dengan Maret 2018) disampaikan paling lambat tanggal 30 April 2018. Ayat (2) Contoh laporan tahunan yaitu laporan untuk periode tahun 2017 wajib disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret 2018. Ayat (3) Contoh laporan hasil audit sistem informasi untuk periode tahun 2017 wajib disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret 2018. Ayat (4) Contoh laporan insidental untuk kejadian yang terjadi pada tanggal 1 Desember 2017 wajib disampaikan paling lambat tanggal 15 Desember 2017. Pasal 52 Ayat (1) Pengawasan bertujuan untuk: a. menilai kepatuhan Penyelenggara GPN (NPG) terhadap peraturan perundang-undangan di bidang sistem pembayaran; dan b. memastikan penyelenggaraan GPN (NPG) dilakukan sesuai dengan tujuan kebijakan GPN (NPG) yaitu melalui interkoneksi Switching untuk mewujudkan interoperabilitas sistem pembayaran nasional. Ayat (2) Untuk memastikan pelaksanaan pengawasan langsung oleh Bank Indonesia terhadap pihak yang melakukan kerja sama dengan Penyelenggara GPN (NPG) maka dalam perjanjian kerja sama antara Penyelenggara GPN (NPG) dengan pihak dimaksud, dicantumkan klausul kesediaan pihak yang bekerja sama tersebut untuk dilakukan pengawasan langsung oleh Bank Indonesia dalam hal diperlukan. Ayat (3) Cukup jelas. 15 Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “akses terhadap sistem informasi” antara lain akses terhadap aplikasi, database, dan sistem pelaporan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 19/10/PADG/2017 </reg_id> <reg_title> GERBANG PEMBAYARAN NASIONAL (NATIONAL PAYMENT GATEWAY) </reg_title> <set_date> 20 September 2017 </set_date> <effective_date> 20 September 2017 </effective_date> <related_reg> '18/40/PBI/2016', '19/8/PBI/2017' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/38/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/9/PADG/2017 TENTANG LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG YANG MELAKUKAN KEGIATAN TERKAIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mencapai pasar keuangan yang likuid dan efisien dibutuhkan pengembangan instrumen pasar uang berupa surat berharga komersial yang dapat ditransaksikan oleh pelaku pasar uang; b. bahwa dalam upaya untuk lebih meningkatkan peran lembaga pendukung pasar uang dalam menciptakan pasar surat berharga komersial yang likuid dan efisien serta memiliki tata kelola yang baik, diperlukan penyempurnaan terhadap tugas, persyaratan, dokumen pendaftaran, pengungkapan informasi terkait hubungan afiliasi, penyampaian dan pemrosesan permohonan pendaftaran, dan tata cara pelaporan serta pengenaan sanksi; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan 2 Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/9/PADG/2017 tentang Lembaga Pendukung Pasar Uang yang Melakukan Kegiatan Terkait Surat Berharga Komersial di Pasar Uang; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016 tentang Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5909); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6100); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/9/PADG/2017 TENTANG LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG YANG MELAKUKAN KEGIATAN TERKAIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/9/PADG/2017 tentang Lembaga Pendukung Pasar Uang yang Melakukan Kegiatan Terkait Surat Berharga Komersial di Pasar Uang diubah sebagai berikut: 1. Di antara angka 14 dan angka 15 Pasal 1 disisipkan 4 (empat) angka, yakni angka 14A, 14B, 14C, dan 14D sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, yang dimaksud dengan: 1. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam- 3 meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang rupiah dan valuta asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan moneter, pencapaian stabilitas sistem keuangan, serta kelancaran sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. 2. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 3. Korporasi Non-Bank adalah badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas selain Bank. 4. Instrumen Pasar Uang adalah instrumen yang ditransaksikan di Pasar Uang, yang meliputi instrumen yang diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, sertifikat deposito, dan instrumen lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, termasuk yang berdasarkan prinsip syariah. 5. Surat Berharga Komersial adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Korporasi Non-Bank berbentuk surat sanggup (promissory note) dan berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun yang terdaftar di Bank Indonesia. 6. Pelaku Pasar Uang yang selanjutnya disebut Pelaku Pasar adalah pihak yang melakukan kegiatan penerbitan Instrumen Pasar Uang dan/atau melakukan transaksi di Pasar Uang. 7. Penerbit Surat Berharga Komersial adalah pihak yang memenuhi persyaratan untuk menerbitkan Surat Berharga Komersial. 8. Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial adalah Pelaku Pasar yang melakukan transaksi Surat Berharga Komersial. 9. Lembaga Pendukung Pasar Uang adalah pihak yang memberikan jasa terkait penerbitan Instrumen Pasar Uang, perantara pelaksanaan transaksi, penyelesaian 4 transaksi, dan/atau penatausahaan Instrumen Pasar Uang dan transaksi di Pasar Uang, dan pihak lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 10. Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang memberikan jasa dalam penerbitan Surat Berharga Komersial. 11. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang memberikan jasa perantara pelaksanaan transaksi Surat Berharga Komersial. 12. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang memberikan jasa penatausahaan dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial. 13. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal. 14. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah perusahaan pialang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing. 14A.Lembaga Pemeringkat adalah Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, yang melakukan penilaian terhadap peringkat kredit dari Surat Berharga Komersial termasuk penjaminan atau penanggungan yang dapat memengaruhi peringkat kredit dari Surat Berharga Komersial. 14B.Konsultan Hukum adalah Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, yang melakukan kegiatan uji tuntas aspek hukum (legal due diligence) atas Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial. 5 14C.Akuntan Publik adalah Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, yang melakukan kegiatan uji tuntas aspek keuangan (financial due diligence) atas Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial. 14D.Notaris adalah Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang membuat akta autentik atau dokumen lain yang berkaitan dengan jabatannya dalam penerbitan Surat Berharga Komersial. 15. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang selanjutnya disingkat LPP adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan kustodian sentral sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal. 2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial terdiri atas: a. Bank atau Perusahaan Efek yang bertindak sebagai penata laksana (arranger) penerbitan; b. Lembaga Pemeringkat; c. Konsultan Hukum; d. Akuntan Publik; e. Notaris; dan f. lembaga lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, yang terdaftar di Bank Indonesia. 6 3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 Penata laksana (arranger) penerbitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a memiliki tugas: a. membantu Penerbit Surat Berharga Komersial dalam proses penerbitan Surat Berharga Komersial, meliputi: 1. persiapan dokumen penerbitan; 2. persiapan struktur penawaran, dokumen penawaran, dan dokumen pembelian; 3. persiapan jadwal waktu penerbitan; 4. penentuan target investor; 5. pemasaran; dan 6. pelaksanaan distribusi, b. melakukan koordinasi dengan seluruh lembaga dan profesi pendukung yang terlibat; dan c. melakukan tugas lain yang diperlukan untuk menatalaksanakan penerbitan Surat Berharga Komersial. 4. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Konsultan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c memiliki tugas menyusun opini hukum atas: a. aspek hukum dari Korporasi Non-Bank yang mengajukan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial; dan b. hal lain yang terkait dengan rencana penerbitan Surat Berharga Komersial. (2) Cakupan uji tuntas dari aspek hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan 7 Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan dan transaksi surat berharga komersial. 5. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d memiliki tugas: a. melakukan pemeriksaan laporan keuangan dan memberikan pendapat terhadap laporan keuangan pada calon Penerbit Surat Berharga Komersial atau Penerbit Surat Berharga Komersial; dan/atau b. mempersiapkan hal-hal lain yang diperlukan terkait penerbitan Surat Berharga Komersial. 6. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e memiliki tugas: a. membuat akta autentik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai jabatan notaris atau berdasarkan Undang-Undang lainnya; dan b. melakukan tugas lain yang berkaitan dengan jabatannya dalam penerbitan Surat Berharga Komersial. 7. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 (1) Bank atau Perusahaan Efek yang mendaftar di Bank Indonesia sebagai penata laksana (arranger) penerbitan Surat Berharga Komersial sebagaimana 8 dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, harus mengajukan surat permohonan kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dokumen pendukung: a. terkait keabsahan aspek kelembagaan: 1. informasi perusahaan; 2. daftar nama direksi dan dewan komisaris; 3. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan terakhirnya yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; dan 4. fotokopi surat persetujuan izin kegiatan usaha penata laksana (arranger) penerbitan surat berharga. b. terkait kemampuan penata laksana (arranger) penerbitan: 1. prosedur operasi standar dalam kegiatan sebagai penata laksana (arranger) penerbitan; 2. dokumen yang memuat pedoman perilaku (code of conduct); 3. dokumen yang menjelaskan rekam jejak (track record) Bank atau Perusahaan Efek sebagai penata laksana (arranger) penerbitan surat berharga selama 3 (tiga) tahun terakhir atau dari masa pendirian apabila beroperasi kurang dari 3 (tiga) tahun; 4. surat pernyataan bermeterai cukup terkait komitmen untuk: 9 a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan dan transaksi surat berharga komersial di pasar uang sepanjang terdaftar di Bank Indonesia; b) memberikan jasa untuk penerbitan Surat Berharga Komersial yang didaftarkan di Bank Indonesia; dan c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pemberian jasa terkait penerbitan Surat Berharga Komersial, sebagaimana contoh dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 8. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Lembaga Pemeringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b harus mengajukan surat permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran I. (2) Surat permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dokumen pendukung sebagai berikut: a. terkait keabsahan aspek kelembagaan: 1. informasi perusahaan; 2. daftar nama direksi dan dewan komisaris serta riwayat hidup dari masing-masing anggota direksi dan dewan komisaris yang ditandatangani oleh yang bersangkutan; 3. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan terakhirnya yang telah 10 memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; 4. izin usaha dari otoritas yang berwenang: a) untuk pemeringkat Lembaga Pemeringkat Indonesia, izin dapat bertindak sebagai lembaga yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang di Indonesia; b) untuk Lembaga Pemeringkat asing, izin dapat bertindak sebagai lembaga pemeringkat yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang di negara tempat kedudukan Pemeringkat asing; dan Lembaga 5. data pemegang saham, meliputi: a) orang-perseorangan; dan/atau b) badan hukum. b. terkait kemampuan Lembaga Pemeringkat: 1. struktur organisasi Lembaga Pemeringkat yang memperlihatkan adanya fungsi pemeringkatan, riset, pemasaran, dan kepatuhan; 2. data pegawai yang bertugas di fungsi pemeringkatan surat berharga; 3. dokumen yang menjelaskan prosedur dan metodologi pemeringkatan; 4. daftar pemeringkatan yang telah dipublikasikan paling kurang 2 (dua) tahun terakhir; 5. dokumen evaluasi terhadap studi terjadinya default (default study); 6. dokumen yang menjelaskan bahwa Lembaga Pemeringkat memiliki komite pemeringkat; 11 7. surat pernyataan bermeterai cukup terkait komitmen manajemen untuk: a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan dan transaksi surat berharga komersial di pasar uang sepanjang terdaftar di Bank Indonesia; b) memberikan jasa untuk penerbitan Surat Berharga Komersial yang didaftarkan di Bank Indonesia; dan c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pemberian jasa terkait penerbitan Surat Berharga Komersial, sebagaimana contoh dalam Lampiran III. 9. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 (1) Konsultan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c harus mengajukan surat permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran I. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dokumen pendukung: a. terkait keabsahan individual profesi sebagai Konsultan Hukum: 1. fotokopi kartu tanda penduduk; 2. pas photo terbaru dengan ukuran 4x6 berwarna sejumlah satu lembar; 3. fotokopi izin advokat berdasarkan Undang- Undang yang mengatur mengenai advokat; 4. fotokopi kartu keanggotaan dalam himpunan konsultan hukum di pasar keuangan; 12 5. fotokopi bukti terdaftar sebagai Konsultan Hukum dari otoritas yang berwenang di pasar keuangan; 6. dokumen yang menyatakan bahwa Konsultan Hukum merupakan rekan (partner) dari kantor konsultan hukum dan mengajukan permohonan untuk terdaftar di Bank Indonesia; 7. informasi kantor konsultan hukum dengan dilengkapi dokumen pendukung yang menjelaskan kantor konsultan hukum, yaitu: a) fotokopi dari akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan terakhirnya yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan terkait pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; b) surat keterangan domisili; c) surat perjanjian kerja sama antara kantor konsultan hukum dengan kantor konsultan hukum lain yang memiliki Konsultan Hukum yang telah terdaftar di Bank Indonesia, diperlukan dalam hal: 1) kantor konsultan hukum hanya akan memiliki 1 (satu) orang rekan (partner) Hukum; atau 2) kantor konsultan hukum yang memiliki lebih dari 1 (satu) orang rekan Konsultan Hukum namun dalam perkembangannya hanya Konsultan 13 memiliki 1 (satu) orang rekan (partner) Konsultan Hukum; dan d) struktur organisasi kantor konsultan hukum. b. terkait kemampuan Konsultan Hukum: 1. fotokopi sertifikat pendidikan profesi dari perhimpunan konsultan hukum di pasar keuangan; 2. dokumen yang menjelaskan pendidikan berkelanjutan yang telah diikuti dalam 1 (satu) tahun terakhir yang berhubungan dengan profesi konsultan hukum; 3. dokumen yang menjelaskan kegiatan yang pernah dilakukan di bidang pasar keuangan dalam 1 (satu) tahun terakhir; 4. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan bahwa Konsultan Hukum: a) tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; b) sanggup untuk mengikuti program pendidikan berkelanjutan yang relevan; dan c) memahami dan mampu melakukan pekerjaan sesuai dengan kode etik dan standar profesi, sebagaimana contoh dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 5. surat pernyataan bermeterai cukup terkait komitmen untuk: a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan dan transaksi surat berharga 14 komersial di pasar uang sepanjang terdaftar di Bank Indonesia; b) memberikan jasa untuk penerbitan Surat Berharga Komersial yang didaftarkan di Bank Indonesia; c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pemberian jasa terkait penerbitan Surat Berharga Komersial; d) melaksanakan kegiatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan peraturan lain yang terkait; dan e) memiliki sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan Konsultan Hukum terkait Surat Berharga Komersial, sebagaimana contoh dalam Lampiran III. (3) Dalam hal informasi kantor konsultan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 7 telah tercatat di Bank Indonesia, Konsultan Hukum tidak perlu menyerahkan dokumen pendukung yang menjelaskan kantor konsultan hukum kecuali dalam hal terdapat perubahan data. 10. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, harus mengajukan surat permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran I. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dokumen pendukung: a. terkait keabsahan individual profesi sebagai Akuntan Publik: 1. fotokopi kartu tanda penduduk; 15 2. fotokopi surat keputusan dari Menteri Keuangan mengenai pemberian surat izin akuntan publik; 3. fotokopi keanggotaan asosiasi profesi akuntan publik; 4. pas photo terbaru dengan ukuran 4x6 berwarna sejumlah satu lembar; 5. surat rekomendasi untuk melakukan kegiatan di pasar keuangan dari asosiasi profesi akuntan publik; 6. fotokopi bukti terdaftar sebagai akuntan publik dari otoritas yang berwenang di pasar keuangan; 7. dokumen yang menyatakan bahwa Akuntan Publik merupakan rekan (partner) dari kantor akuntan publik dan mengajukan permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia; 8. informasi kantor akuntan publik dengan dilengkapi dokumen pendukung yang menjelaskan kantor akuntan publik, meliputi: a) fotokopi dari akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan terakhirnya yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan terkait pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; b) fotokopi surat izin usaha kantor akuntan publik Keuangan; dari Menteri c) fotokopi surat persetujuan dari Menteri Keuangan mengenai pencantuman nama kantor akuntan publik asing 16 (KAPA), apabila kantor akuntan publik bekerjasama dengan KAPA; d) fotokopi surat persetujuan dari Menteri Keuangan mengenai pencantuman nama organisasi audit Indonesia (OAI) dan/atau organisasi audit asing (OAA), apabila kantor akuntan publik bekerjasama dengan OAI atau OAA; e) struktur organisasi kantor akuntan publik; dan f) dokumen yang menjelaskan bahwa dalam melakukan pemeriksaan, kantor akuntan publik menerapkan paling tidak 2 (dua) jenjang pengendalian. b. terkait kemampuan Akuntan Publik: 1. fotokopi bukti telah mengikuti pendidikan mengenai pasar keuangan; 2. surat pernyataan bermeterai cukup yang menjelaskan bahwa Akuntan Publik: a) tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; b) sanggup untuk mengikuti program pendidikan berkelanjutan yang relevan; dan c) memahami dan mampu melakukan pekerjaan sesuai dengan kode etik dan standar profesi, sebagaimana contoh dalam Lampiran II; 3. surat pernyataan bermeterai cukup terkait komitmen untuk: a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan dan transaksi Surat Berharga 17 Komersial di Pasar Uang sepanjang terdaftar di Bank Indonesia; b) memberikan jasa untuk penerbitan Surat Berharga Komersial yang didaftarkan di Bank Indonesia; c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pemberian jasa terkait penerbitan Surat Berharga Komersial; sebagaimana contoh dalam Lampiran III. c. terkait kantor akuntan publik: 1. surat pernyataan bermeterai cukup yang menjelaskan kantor akuntan publik memiliki dan menaati standar pengendalian mutu bagi kantor akuntan publik yang memberikan jasa audit; 2. surat pernyataan bermeterai cukup yang ditandatangani oleh pimpinan kantor akuntan publik yang menyatakan bahwa pimpinan kantor akuntan publik bertanggungjawab atas pelaksanaan pedoman pengendalian mutu yang berlaku pada kantor akuntan publik yang bersangkutan, sebagaimana contoh dalam Lampiran III. (3) Dalam hal informasi kantor akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 8 telah tercatat di Bank Indonesia, Akuntan Publik tidak perlu menyerahkan dokumen pendukung yang menjelaskan kantor akuntan publik kecuali dalam hal terdapat perubahan data. 18 11. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e, harus mengajukan surat permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran I. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dokumen pendukung: a. terkait keabsahan Notaris: 1. fotokopi kartu tanda penduduk; 2. fotokopi surat keputusan pengangkatan sebagai notaris dari instansi terkait; 3. fotokopi berita acara sumpah notaris yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang; 4. fotokopi bukti keanggotaan ikatan notaris Indonesia; 5. fotokopi bukti terdaftar sebagai notaris di pasar keuangan dari otoritas yang berwenang di pasar keuangan; dan 6. pas photo terbaru dengan ukuran 4x6 berwarna sejumlah satu lembar, b. terkait kemampuan Notaris: 1. fotokopi bukti telah mengikuti pendidikan mengenai pasar keuangan; 2. surat pernyataan bermeterai cukup yang menjelaskan bahwa Notaris: a) tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; dan b) sanggup untuk mengikuti program pendidikan berkelanjutan yang relevan, sebagaimana contoh dalam Lampiran II. 19 3. surat pernyataan bermeterai cukup terkait komitmen untuk: a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan dan transaksi surat berharga komersial di pasar uang sepanjang terdaftar di Bank Indonesia; b) memberikan jasa untuk penerbitan Surat Berharga Komersial yang didaftarkan di Bank Indonesia; dan c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pemberian jasa terkait penerbitan Surat Berharga Komersial, sebagaimana contoh dalam Lampiran III. 12. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Dalam hal Notaris berhalangan maka harus menunjuk notaris pengganti. (2) Penunjukan notaris pengganti harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jabatan notaris. 13. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memiliki tugas melakukan kegiatan sebagai perantara dalam transaksi Surat Berharga Komersial. 20 14. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Perusahaan Efek atau Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, harus mengajukan surat permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran I. (2) Surat permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung: a. terkait keabsahan aspek kelembagaan: 1. informasi perusahaan; 2. daftar nama direksi dan dewan komisaris; 3. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan terakhirnya yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; 4. fotokopi surat persetujuan izin kegiatan usaha sebagai perantara pelaksanaan transaksi dari otoritas yang berwenang di sektor keuangan. b. terkait kemampuan Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial: 1. prosedur operasi standar dalam kegiatan sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial; 2. surat pernyataan bermeterai cukup terkait komitmen untuk: a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan dan transaksi surat berharga 21 komersial di pasar uang sepanjang terdaftar di Bank Indonesia; b) memberikan jasa untuk perantara pelaksanaan transaksi Surat Berharga Komersial yang didaftarkan di Bank Indonesia; c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pemberian jasa terkait pelaksanaan transaksi Surat Berharga Komersial; dan d) menerapkan standar etika bertransaksi sesuai dengan pedoman perilaku (code of conduct), sebagaimana contoh dalam Lampiran III. 15. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 memiliki tugas: a. mewakili kepentingan nasabah yang merupakan investor atau pemilik Surat Berharga Komersial dalam kegiatan penitipan kolektif Surat Berharga Komersial; b. meminta kepada investor Surat Berharga Komersial guna memberikan kuasa kepada Bank Indonesia untuk mendapatkan data penyelesaian transaksi dan posisi kepemilikan Surat Berharga Komersial; dan c. tugas lain yang diperlukan untuk menatausahakan dan menyelesaikan transaksi Surat Berharga Komersial. 22 16. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 (1) Bank yang melaksanakan kegiatan kustodian atau Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, harus mengajukan surat permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran I. (2) Surat permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung: a. terkait keabsahan aspek kelembagaan: 1. informasi perusahaan; 2. daftar nama direksi dan dewan komisaris; 3. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan terakhirnya yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; dan 4. fotokopi surat persetujuan izin kegiatan usaha Bank sebagai kustodian dari otoritas yang berwenang bagi Bank atau dokumen yang menerangkan bahwa Perusahaan Efek dapat melakukan administrasi rekening efek nasabah. b. terkait kemampuan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial: 1. prosedur operasi standar dalam kegiatan sebagai Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial; dan 23 2. surat pernyataan bermeterai cukup terkait komitmen untuk: a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan dan transaksi surat berharga b) memberikan komersial di pasar uang sepanjang terdaftar di Bank Indonesia; jasa untuk penatausahaan dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial yang didaftarkan di Bank Indonesia; dan c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pemberian jasa terkait penatausahaan dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial, sebagaimana contoh dalam Lampiran III. 17. Ketentuan Pasal 23 dihapus. 18. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) Pengajuan permohonan untuk terdaftar di Bank Indonesia sebagai: a. Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; b. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16; dan/atau c. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, 24 ditujukan kepada: Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia Gedung C Lantai 5 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 Surat elektronik: [email protected] (2) Bank atau Perusahaan Efek yang mengajukan permohonan pendaftaran lebih dari 1 (satu) Lembaga Pendukung Pasar Uang dapat: a. mengajukan permohonan dalam 1 (satu) surat permohonan yang di dalamnya mencantumkan pilihan lembaga pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan b. menyerahkan 1 (satu) set dokumen pendukung untuk keperluan permohonan pendaftaran seluruh Lembaga Pendukung Pasar Uang dalam hal terdapat persyaratan dokumen pendukung yang sama antara persyaratan pendaftaran 1 (satu) Lembaga Pendukung Pasar Uang dengan persyaratan Lembaga Pendukung Pasar Uang yang lain. (3) Dalam hal Bank atau Perusahaan Efek telah terdaftar di Bank Indonesia sebagai salah satu Lembaga Pendukung Pasar Uang dan akan mendaftar sebagai Lembaga Pendukung Pasar Uang lain, Bank atau Perusahaan Efek tersebut cukup menyampaikan dokumen pendukung tambahan yang dipersyaratkan kecuali terdapat perubahan data. 19. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan untuk terdaftar di Bank Indonesia sebagai: 25 a. Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; b. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16; dan c. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19. (2) Untuk memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelaahan administratif atas seluruh dokumen yang dipersyaratkan; dan b. dalam hal diperlukan, meminta klarifikasi kepada pihak yang mengajukan permohonan pendaftaran. 20. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29 (1) Bank Indonesia dapat mencabut status terdaftar sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) dalam hal: a. izin usaha atau izin profesi yang relevan dicabut oleh otoritas yang berwenang; b. Lembaga Pendukung Pasar Uang sudah tidak memenuhi ketentuan terkait kegiatan usaha dari otoritas yang berwenang; c. terdapat putusan badan peradilan terkait dengan kegiatan usaha Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan kegiatan terkait Surat Berharga Komersial di Pasar Uang; d. terdapat permintaan dari otoritas yang berwenang; 26 e. telah dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan di pasar Surat Berharga Komersial sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana diatur di dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang; f. berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia menunjukkan adanya permasalahan yang mempengaruhi kemampuan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, atau Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial dalam melakukan kegiatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang; dan/atau g. terdapat permintaan dari lembaga atau individu profesi yang bersangkutan. (2) Pencabutan status terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, dan/atau Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial. 21. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Dalam hal terjadi aksi korporasi berupa penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan dari Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan kegiatan terkait Surat Berharga Komersial maka: 27 a. apabila pihak yang menjadi surviving entity telah terdaftar di Bank Indonesia sebagai 1 (satu) atau beberapa Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan kegiatan terkait Surat Berharga Komersial, surviving entity dimaksud tidak perlu melakukan pendaftaran ulang namun harus menyampaikan dokumen terkini setelah terjadinya penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan; b. apabila pihak yang menjadi non-surviving entity merupakan pihak terdaftar di Bank Indonesia sebagai Lembaga Pendukung Pasar Uang, Bank Indonesia mencabut status terdaftar; atau c. apabila pihak yang menjadi surviving entity belum terdaftar di Bank Indonesia sebagai Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan kegiatan terkait Surat Berharga Komersial dan ingin terdaftar di Bank Indonesia, surviving entity harus mengajukan pendaftaran kepada Bank Indonesia. (2) Pencabutan persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak menghapuskan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, dan/atau Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial. 22. Di antara Pasal 31 dan Pasal 32 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 31A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31A Dalam hal terdapat Bank atau Perusahaan Efek yang terdaftar di Bank Indonesia sebagai lebih dari 1 (satu) Lembaga Pendukung Pasar Uang, penyampaian laporan nontransaksional cukup disampaikan 1 (satu) kali guna 28 memenuhi seluruh kewajibannya sebagai Lembaga Pendukung Pasar Uang. 23. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Penyampaian laporan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a dilakukan untuk laporan yang terkait dengan aspek kemampuan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial dalam menjalankan fungsinya. (2) Laporan secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. laporan peningkatan mutu, yang memuat kegiatan peningkatan pengetahuan dan kompetensi Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, otoritas terkait, dan/atau asosiasi profesi yang bersangkutan; dan b. laporan kegiatan pemberian jasa penerbitan Surat Berharga Komersial, yang memuat jasa yang diberikan terkait penerbitan Surat Berharga Komersial. (3) Apabila dalam 1 (satu) kantor terdapat beberapa Konsultan Hukum atau Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia maka laporan berkala cukup disampaikan dalam 1 (satu) laporan yang mencakup seluruh Konsultan Hukum atau Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia. (4) Laporan berkala disampaikan dengan format sebagaimana contoh dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 29 24. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan laporan insidental dalam hal terdapat perubahan data pendukung terkait aspek kelembagaan dan aspek kemampuan dalam menjalankan fungsinya. (2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat perubahan data dan/atau informasi sebagai berikut: a. untuk Bank atau Perusahaan Efek: 1. data dan/atau informasi lembaga, paling sedikit mengenai nama, alamat kantor korespondensi korespondensi; dan/atau 2. akta pendirian; dan/atau 3. kontak izin usaha atau surat persetujuan dari otoritas berwenang yang diberikan kepada Bank atau Perusahaan Efek untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan penata laksana (arranger) surat berharga. b. untuk Konsultan Hukum: 1. perubahan data dan/atau informasi kantor konsultan hukum, paling sedikit mengenai nama kantor konsultan hukum, alamat kantor korespondensi dan/atau kontak korespondensi; 2. dalam hal Konsultan Hukum pindah ke kantor konsultan hukum lain: a) Konsultan Hukum menyampaikan laporan mengenai data dan/atau informasi kantor konsultan hukum; b) apabila kantor konsultan hukum baru sudah memiliki rekan (partner) yang terdaftar di Bank Indonesia maka 30 Konsultan Hukum tidak perlu menyerahkan dokumen terkait kantor konsultan hukum kepada Bank Indonesia; atau c) apabila kantor konsultan hukum baru belum memiliki rekan (partner) yang terdaftar di Bank Indonesia maka Konsultan Hukum harus menyerahkan dokumen terkait kantor konsultan hukum kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a angka 6 dan angka 7; 3. perubahan perjanjian kerja sama dengan kantor konsultan hukum lain; sebagai 4. pemberhentian advokat sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai advokat; dan/atau 5. perubahan keanggotaan di himpunan konsultan hukum di pasar keuangan. c. untuk Akuntan Publik: 1. perubahan data dan/atau informasi kantor akuntan publik; 2. dalam hal Akuntan Publik pindah ke kantor akuntan publik lain: a) Akuntan Publik menyampaikan laporan mengenai data dan/atau informasi kantor akuntan publik; b) apabila kantor akuntan publik baru sudah memiliki rekan (partner) yang terdaftar di Bank Indonesia maka Akuntan Publik tidak perlu menyerahkan dokumen terkait kantor akuntan publik Indonesia; atau kepada Bank 31 c) apabila kantor akuntan publik baru belum memiliki rekan (partner) yang terdaftar di Bank Indonesia maka Akuntan Publik harus menyerahkan dokumen terkait kantor akuntan publik kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a angka 7 dan angka 8: d. untuk Notaris: 1. perubahan data dan/atau informasi kantor notaris; dan/atau 2. pemberhentian dari jabatan Notaris sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai jabatan notaris. 25. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 (1) Penyampaian laporan insidental kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak terdapat perubahan secara formal. (2) Dalam hal terdapat beberapa Konsultan Hukum atau Akuntan Publik dalam 1 (satu) kantor yang terdaftar di Bank Indonesia maka penyampaian laporan insidental cukup dilakukan dalam 1 (satu) laporan yang mencakup seluruh Konsultan Hukum atau Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia. (3) Laporan insidental disampaikan dengan format sebagaimana contoh dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 32 26. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 Penyampaian surat pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dapat ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang, instansi, asosiasi, dan/atau lembaga profesi yang terkait. 27. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 (1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang mendapatkan sanksi penghentian sementara pemberian jasa dalam penerbitan Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) sebanyak 3 (tiga) kali, dikenakan sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia. (2) Cara penghitungan sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Penyampaian surat pengenaan sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang, instansi, asosiasi, dan/atau lembaga profesi yang terkait. 33 28. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51 (1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang melakukan pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 37 ayat (5), dan Pasal 37 ayat (6) Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang yang berdampak signifikan dan/atau menimbulkan kerugian, dikenakan sanksi berupa penghentian sementara pemberian jasa dalam penerbitan Surat Berharga Komersial selama 1 (satu) bulan sejak surat penghentian sementara disampaikan. (2) Penyampaian surat pengenaan sanksi penghentian sementara pemberian jasa dalam penerbitan Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang, instansi, asosiasi, dan/atau lembaga profesi yang terkait. 29. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54 Penyampaian surat pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dapat ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang dan/atau asosiasi yang terkait. 34 30. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56 (1) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang mendapatkan sanksi penghentian sementara pemberian jasa perantara pelaksanaan transaksi Surat Berharga Komersial sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia. (2) Cara penghitungan sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran VII. (3) Penyampaian surat pengenaan sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang dan/atau asosiasi yang terkait. 31. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 Penyampaian surat pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dapat ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dan/atau asosiasi yang terkait. 35 32. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60 (1) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang menerima sanksi administratif berupa teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, dikenakan sanksi penghentian sementara penerimaan penatausahaan Surat Berharga Komersial dari nasabah baru selama 1 (satu) bulan sejak surat teguran tertulis terakhir disampaikan. (2) Cara penghitungan sanksi penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana contoh dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Penyampaian surat pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dan/atau asosiasi terkait. 33. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 (1) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang mendapatkan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sebanyak 3 (tiga) kali dikenakan sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia. (2) Cara penghitungan sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Penatausahaan dan 36 Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran VII. (3) Penyampaian surat pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dan/atau asosiasi yang terkait. 34. Lampiran I sampai dengan Lampiran VII diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I sampai dengan Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, DODY BUDI WALUYO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/38/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/9/PADG/2017 TENTANG LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG YANG MELAKUKAN KEGIATAN TERKAIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG I. UMUM Untuk mewujudkan pengembangan pasar uang yang likuid dan efisien, Bank Indonesia selaku otoritas di pasar uang mengatur, memberikan persetujuan terdaftar, mengembangkan dan mengawasi Lembaga Pendukung Pasar Uang yang akan terlibat dalam proses penerbitan Surat Berharga Komersial. Untuk meningkatkan kelancaran dan kemudahan proses penerbitan Surat Berharga Komersial, dilakukan penyempurnaan peraturan pelaksanaan yang berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan bagi Lembaga Pendukung Pasar Uang yang akan terlibat dalam proses penerbitan Surat Berharga Komersial sebelum melakukan kegiatan penerbitan Surat Berharga Komersial, transaksi Surat Berharga Komersial, serta penatausahaan dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial, yang terdiri dari aspek tugas, persyaratan, dokumen pendaftaran, pengungkapan informasi terkait hubungan afiliasi, penyampaian dan pemrosesan permohonan pendaftaran, dan tata cara pelaporan serta pengenaan sanksi. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 3 Bank, Perusahaan Efek, Lembaga Pemeringkat, Konsultan Hukum, Akuntan Publik, Notaris, dan lembaga lainnya yang ditetapkan Bank Indonesia dapat menjadi Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial sepanjang telah memenuhi persyaratan dan mendapatkan persetujuan pendaftaran di Bank Indonesia. Angka 3 Pasal 4 Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Dokumen pembelian Surat Berharga Komersial mencantumkan klausul bahwa nasabah menyetujui untuk memberikan data nasabah dan transaksi yang dilakukan kepada Bank Indonesia. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. 3 Huruf c Cukup jelas. Angka 4 Pasal 6 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 7 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Mempersiapkan hal-hal lain yang diperlukan terkait penerbitan Surat Berharga Komersial misalnya kegiatan memeriksa penjelasan ikhtisar data keuangan penting yang dicantumkan dalam dokumen memorandum informasi. Angka 6 Pasal 8 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Informasi perusahaan paling sedikit meliputi nama, alamat kantor pusat, dan kontak korespondensi. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. 4 Angka 4 Yang dimaksud dengan “izin kegiatan usaha penata laksana (arranger)” adalah izin usaha yang relevan dengan penerbitan surat berharga. Huruf b Angka 1 Dokumen operasi standar disiapkan untuk mengantisipasi kegiatan penata laksana (arranger) penerbitan Surat Berharga Komersial. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Surat pernyataan ditandatangani oleh pejabat yang memiliki kuasa untuk menandatangani dokumen berdasarkan akta pendirian. Angka 8 Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Informasi perusahaan paling sedikit meliputi nama perusahaan, alamat kantor, dan kontak korespondensi; Angka 2 Daftar riwayat hidup paling kurang berisi: 1. data diri dilengkapi dengan pasfoto terbaru ukuran 4 x 6 dan fotokopi kartu tanda identitas, contohnya kartu tanda penduduk atau paspor; 2. riwayat pendidikan dan sertifikasi; dan 5 3. daftar pengalaman paling kurang selama 2 (dua) tahun terakhir. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Yang dimaksud “izin usaha” adalah izin usaha untuk dapat bertindak sebagai Lembaga Pemeringkat yang melakukan kegiatan penilaian terhadap Korporasi-Non Bank yang akan menerbitkan surat berharga dan surat berharga yang akan diterbitkan. Angka 5 Huruf a) Data orang-perseorangan paling kurang meliputi nama dan besarnya kepemilikan saham. Huruf b) Data badan hukum paling kurang meliputi nama badan hukum, bidang usaha, dan besarnya kepemilikan saham. Huruf b Angka 1 Struktur organisasi Lembaga Pemeringkat harus menggambarkan independensi dalam proses pemeringkatan. Angka 2 Data pegawai disusun dalam bentuk daftar yang berisi informasi mengenai: 1. nama pegawai; 2. jabatan; 3. pendidikan terakhir; dan 4. sertifikasi (jika ada). Dokumen data pegawai sebagaimana dimaksud di atas harus ditandatangani oleh pejabat yang berwenang serta dilampirkan fotokopi identitas pegawai dan fotokopi kartu 6 tanda penduduk atau paspor yang masih berlaku. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Adanya komite pemeringkat dimaksudkan untuk memastikan adanya proses pemeringkatan yang independen, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan. Angka 7 Surat pernyataan ditandatangani oleh pejabat yang memiliki kewenangan menandatangani dokumen berdasarkan akta pendirian. Angka 9 Pasal 12 Ayat (1) Surat permohonan pendaftaran diajukan oleh Konsultan Hukum secara individual. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Yang dimaksud dengan “pasar keuangan” adalah pasar uang dan pasar modal. untuk 7 Contoh himpunan konsultan hukum di pasar keuangan adalah himpunan konsultan hukum pasar modal. Angka 5 Yang dimaksud dengan “pasar keuangan” adalah pasar uang dan pasar modal. Angka 6 Dokumen ditandatangani pejabat yang memiliki kewenangan untuk menandatangani dokumen berdasarkan akta pendirian. Angka 7 Informasi kantor konsultan hukum paling kurang berisi informasi nama, alamat, dan kontak korespondensi. Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Kantor konsultan hukum harus melakukan kerja sama dengan kantor konsultan hukum lain yang memiliki rekan (partner) Konsultan Hukum yang merupakan anggota perhimpunan konsultan hukum di pasar keuangan. Huruf d) Struktur organisasi kantor konsultan hukum memperlihatkan pimpinan, susunan rekan (partner), pengawas menengah, dan staf pelaksana. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Yang dimaksud dengan “pendidikan berkelanjutan” adalah pendidikan yang relevan 8 dengan profesi konsultan hukum khususnya terkait dengan pasar keuangan. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Surat pernyataan bermeterai cukup ditandatangani Konsultan Hukum yang mengajukan permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia. Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Yang dimaksud dengan “program pendidikan berkelanjutan yang relevan” adalah program pendidikan terkait dengan bidang keuangan yang diikuti oleh Konsultan Hukum. Huruf c) Cukup jelas. Angka 5 Surat pernyataan bermeterai cukup ditandatangani pejabat kantor konsultan hukum yang memiliki kewenangan untuk menandatangani dokumen berdasarkan akta pendirian. Ayat (3) Dalam hal informasi kantor konsultan hukum telah tercatat di Bank Indonesia maka dokumen pendukung yang menjelaskan kantor konsultan hukum dapat digantikan dengan surat pernyataan yang menerangkan bahwa informasi kantor konsultan hukum telah disampaikan kepada Bank Indonesia. 9 Angka 10 Pasal 13 Ayat (1) Surat permohonan pendaftaran diajukan oleh Akuntan Publik secara individual. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Informasi kantor akuntan publik paling kurang berisi informasi nama, alamat dan kontak korespondensi. Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Cukup jelas. Huruf d) Cukup jelas. Huruf e) Struktur organisasi kantor akuntan publik memperlihatkan susunan 10 pimpinan, susunan rekan (partner), dan staf pelaksana. Huruf f) Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Surat pernyataan bermeterai cukup ditandatangani Akuntan Publik yang mengajukan permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia. Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Yang dimaksud dengan “program pendidikan berkelanjutan yang relevan” adalah program pendidikan terkait dengan bidang keuangan yang diikuti oleh Akuntan Publik. Contoh pendidikan di bidang keuangan antara lain pendidikan pasar uang rupiah dan valuta asing, serta pendidikan standar akuntansi keuangan. Huruf c) Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Huruf c Dokumen ditandatangani pejabat kantor akuntan publik yang memiliki kewenangan untuk menandatangani dokumen berdasarkan akta pendirian. Ayat (3) Dalam hal informasi kantor akuntan publik telah tercatat di Bank Indonesia maka dokumen pendukung 11 yang menjelaskan kantor akuntan publik dapat digantikan dengan surat pernyataan yang menerangkan bahwa informasi kantor akuntan publik telah disampaikan kepada Bank Indonesia. Angka 11 Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan “pendidikan mengenai pasar keuangan” adalah pelatihan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, otoritas terkait, dan/atau asosiasi profesi yang bersangkutan, baik dalam bentuk sertifikasi maupun bentuk pendidikan lainnya. Angka 2 Surat penyataan bermeterai cukup ditandatangani Notaris yang mengajukan permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia. Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Yang dimaksud dengan “program pendidikan berkelanjutan yang relevan” adalah program pendidikan terkait dengan bidang keuangan yang diikuti oleh Notaris. Angka 3 Surat pernyataan bermeterai cukup ditandatangani Notaris yang mengajukan 12 permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia. Angka 12 Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “berhalangan” adalah Notaris tidak dapat melakukan tugasnya untuk sementara, misalnya disebabkan cuti, sakit, atau halangan lain. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 13 Pasal 17 Contoh transaksi Surat Berharga Komersial yang dilakukan dengan menggunakan jasa perantara antara lain transaksi jual beli. Angka 14 Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Informasi perusahaan paling sedikit meliputi nama, alamat kantor pusat, dan kontak korespondensi. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. 13 Angka 2 Surat pernyataan bermeterai cukup ditandatangani oleh pejabat yang memiliki kewenangan untuk menandatangani dokumen berdasarkan akta pendirian. Angka 15 Pasal 20 Huruf a Yang dimaksud dengan “kegiatan penitipan kolektif Surat Berharga Komersial” adalah kegiatan yang meliputi penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial, penatausahaan kepemilikan Surat Berharga Komersial, penyajian laporan jasa kustodian yang diberikan kepada nasabah, dan kegiatan lain yang terkait dengan penatausahaan dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial. Huruf b Permintaan kepada investor Surat Berharga Komersial, sekurang-kurangnya dilakukan bersamaan dengan proses administrasi pembukaan rekening efek investor atau melalui mekanisme lain, contohnya bersamaan dengan perintah atau instruksi penyelesaian transaksi. Huruf c Cukup jelas. Angka 16 Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Informasi perusahaan paling sedikit meliputi nama, alamat kantor pusat, dan kontak korespondensi. 14 Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Dokumen untuk Perusahaan Efek dapat berupa fotokopi dokumen pengaturan dari otoritas yang berwenang serta fotokopi dokumen pemenuhan pengaturan dimaksud. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Surat pernyataan bermeterai cukup ditandatangani oleh pejabat yang memiliki kewenangan untuk menandatangani dokumen berdasarkan akta pendirian. Angka 17 Pasal 23 Dihapus. Angka 18 Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bank dapat menjadi Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial serta Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial. Perusahaan Efek dapat menjadi Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, serta Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial. Ayat (3) Cukup jelas. 15 Angka 19 Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Permintaan klarifikasi dapat berupa permintaan tambahan dokumen dan/atau tambahan informasi lainnya. Permintaan klarifikasi dimaksud dapat dilakukan dalam bentuk surat, pertemuan tatap muka, dan/atau bentuk lainnya. Angka 20 Pasal 29 Ayat (1) Huruf a Izin yang relevan meliputi: 1. bagi Bank atau Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai penata laksana (arranger), berupa izin kegiatan usaha penata laksana (arranger) penerbitan surat berharga. 2. bagi Lembaga Pemeringkat, berupa izin kegiatan usaha pemeringkatan. 3. bagi Konsultan Hukum, berupa izin advokat, keanggotaan dalam himpunan konsultan hukum di pasar keuangan, atau tanda terdaftar sebagai konsultan hukum dari otoritas yang berwenang di pasar keuangan. 4. bagi Akuntan Publik, berupa izin akuntan publik, keanggotaan di organisasi profesi, atau tanda terdaftar sebagai akuntan publik dari otoritas yang berwenang di pasar keuangan. 5. bagi Notaris, berupa izin sebagai notaris atau keanggotaan di organisasi profesi. 16 6. bagi Perusahaan Efek sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, berupa kegiatan usaha sebagai perantara pelaksanaan transaksi. 7. bagi Perusahaan Pialang sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, berupa izin kegiatan usaha sebagai Perusahaan Pialang. 8. bagi Bank yang melakukan kegiatan kustodian dan Perusahaan Efek sebagai Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial, berupa izin kegiatan usaha Bank sebagai kustodian dari otoritas yang berwenang atau izin Perusahaan Efek yang dapat mengadministrasikan rekening efek nasabah dari otoritas yang berwenang. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 21 Pasal 30 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. 17 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pihak surviving entity yang ingin terdaftar sebagai Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan kegiatan terkait Surat Berharga Komersial mengajukan permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 22 Pasal 31A Bank dimungkinkan terdaftar di Bank Indonesia sebagai Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial serta Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial. Perusahaan Efek dimungkinkan terdaftar di Bank Indonesia sebagai Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, serta Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial. Angka 23 Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Laporan peningkatan mutu diutamakan berupa peningkatan pengetahuan dan kompetensi yang terkait dengan bidang keuangan. Huruf b Jasa yang diberikan terkait penerbitan Surat Berharga Komersial mencakup jasa yang diberikan 18 sehubungan dengan persiapan penerbitan Surat Berharga Komersial maupun yang diberikan pasca penerbitan Surat Berharga Komersial kepada Penerbit Surat Berharga Komersial. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 24 Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “insidental” adalah penyampaian laporan perubahan data pendukung dilakukan sewaktu- waktu segera setelah terjadinya perubahan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Penyampaian laporan perubahan data dan/atau informasi kantor konsultan hukum dilakukan dalam hal Konsultan Hukum masih berada di kantor konsultan kukum yang sama namun terdapat perubahan informasi mengenai kantor konsultan hukum tersebut. Angka 2 Yang dimaksud “pindah ke kantor konsultan hukum lain” adalah termasuk mendirikan kantor konsultan hukum baru. Angka 3 Pelaporan perubahan perjanjian kerja sama dengan kantor konsultan hukum lain terutama dilakukan oleh kantor konsultan hukum yang hanya memiliki 1 (satu) rekan terdaftar di himpunan konsultan hukum di pasar keuangan. 19 Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Penyampaian laporan perubahan data dan/atau informasi kantor akuntan publik dilakukan dalam hal Akuntan Publik masih berada di kantor akuntan publik yang sama namun terdapat perubahan informasi mengenai kantor akuntan publik tersebut. Contoh perubahan data dan/atau informasi kantor akuntan publik antara lain perubahan akta pendirian, nama, alamat dan/atau kontak korespondensi. Perubahan akta pendirian termasuk perubahan daftar nama rekan (partner) akibat adanya Akuntan Publik yang tidak memperpanjang izin. Angka 2 Yang dimaksud “pindah ke kantor akuntan publik lain” adalah termasuk mendirikan kantor akuntan publik baru. Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Salah satu perubahan akta pendirian kantor akuntan publik disebabkan adanya perubahan daftar nama rekan (partner) pada 1 (satu) kantor akuntan publik akibat adanya Akuntan Publik yang tidak memperpanjang izin sebagai akuntan publik ke otoritas terkait. 20 Huruf d Angka 1 Perubahan data dan/atau informasi kantor notaris antara lain perubahan alamat kantor dan/atau kontak korespondensi. Angka 2 Cukup jelas. Angka 25 Pasal 36 Cukup jelas. Angka 26 Pasal 48 Cukup jelas. Angka 27 Pasal 50 Cukup jelas. Angka 28 Pasal 51 Cukup jelas. Angka 29 Pasal 54 Cukup jelas. Angka 30 Pasal 56 Cukup jelas. Angka 31 Pasal 59 Cukup jelas. 21 Angka 32 Pasal 60 Cukup jelas. Angka 33 Pasal 61 Cukup jelas. Angka 34 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/38/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/9/PADG/2017 TENTANG LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG YANG MELAKUKAN KEGIATAN TERKAIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG </reg_title> <set_date> 20 Desember 2018 </set_date> <effective_date> 20 Desember 2018 </effective_date> <changed_reg> '19/9/PADG/2017' </changed_reg> <related_reg> '18/11/PBI/2016', '19/9/PBI/2017' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 26 Pasal 48', 'Pasal I Angka 27 Pasal 50 Ayat 1', 'Pasal I Angka 27 Pasal 50 Ayat 2', 'Pasal I Angka 27 Pasal 50 Ayat 3', 'Pasal I Angka 28 Pasal 51 Ayat 1', 'Pasal I Angka 28 Pasal 51 Ayat 2', 'Pasal I Angka 29 Pasal 54', 'Pasal I Angka 30 Pasal 56 Ayat 1', 'Pasal I Angka 30 Pasal 56 Ayat 2', 'Pasal I Angka 30 Pasal 56 Ayat 3', 'Pasal I Angka 31 Pasal 59', 'Pasal I Angka 32 Pasal 60 Ayat 1', 'Pasal I Angka 32 Pasal 60 Ayat 2', 'Pasal I Angka 32 Pasal 60 Ayat 3', 'Pasal I Angka 33 Pasal 61 Ayat 1', 'Pasal I Angka 33 Pasal 61 Ayat 2', 'Pasal I Angka 33 Pasal 61 Ayat 3' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/1/PADG/2018 TENTANG PENERBITAN DAN TRANSAKSI SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mencapai pasar keuangan yang likuid dan efisien dibutuhkan pengembangan instrumen pasar uang yang dapat ditransaksikan oleh pelaku pasar uang; b. bahwa surat berharga komersial merupakan instrumen pasar uang yang perlu dikembangkan untuk memberikan fleksibilitas pengelolaan likuiditas pelaku pasar uang dan mendorong pembiayaan ekonomi nasional; c. bahwa untuk menciptakan pasar surat berharga komersial yang teratur dan efisien diperlukan pengaturan penerbitan dan transaksi surat berharga komersial di pasar uang; d. bahwa pengaturan penerbitan dan transaksi surat berharga komersial di pasar uang akan memberikan pedoman bagi pelaku pasar dengan memperhatikan aspek tata kelola yang baik, mekanisme transaksi yang aman dan efisien, dan prinsip kehati-hatian; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016 tentang Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5909); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6100); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PENERBITAN DAN TRANSAKSI SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Korporasi Non-Bank adalah badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas selain Bank. 3. Surat Berharga Komersial yang selanjutnya disingkat SBK adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Korporasi Non-Bank berbentuk surat sanggup (promissory note) dan berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun yang terdaftar di Bank Indonesia. 4. Penerbit Surat Berharga Komersial yang selanjutnya disebut Penerbit SBK adalah pihak yang memenuhi persyaratan untuk menerbitkan SBK. 5. Pelaku Pasar Uang yang selanjutnya disebut Pelaku Pasar adalah pihak yang melakukan kegiatan penerbitan Instrumen Pasar Uang dan/atau melakukan transaksi di Pasar Uang. 6. Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang selanjutnya disebut Pelaku Transaksi SBK adalah Pelaku Pasar yang melakukan transaksi SBK. 7. Lembaga Pendukung Pasar Uang adalah pihak yang memberikan jasa terkait penerbitan Instrumen Pasar Uang, perantara pelaksanaan transaksi, penyelesaian transaksi dan/atau penatausahaan Instrumen Pasar Uang dan transaksi di Pasar Uang, dan pihak lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 8. Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang selanjutnya disebut Lembaga Pendukung Penerbitan SBK adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang memberikan jasa dalam penerbitan SBK. 9. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang selanjutnya disebut Lembaga Pendukung Transaksi SBK adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang memberikan jasa perantara pelaksanaan transaksi SBK. 10. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang selanjutnya disebut Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi SBK adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang memberikan jasa penatausahaan dan penyelesaian transaksi SBK. 11. Konsultan Hukum adalah Lembaga Pendukung Penerbitan SBK yang terdaftar di Bank Indonesia, yang memiliki tugas menyusun opini hukum atas kondisi atau keadaan suatu perusahaan dalam penerbitan SBK. 12. Notaris adalah Lembaga Pendukung Penerbitan SBK yang terdaftar di Bank Indonesia, yang memiliki tugas melakukan penyusunan dokumen hukum dan legalitasnya serta melakukan tugas lain yang berkaitan dengan jabatannya dalam penerbitan SBK. 13. Akuntan Publik adalah Lembaga Pendukung Penerbitan SBK yang terdaftar di Bank Indonesia, yang memiliki tugas melakukan pemeriksaan laporan keuangan, memberikan pendapat terhadap laporan keuangan calon penerbit atau Penerbit SBK, dan mempersiapkan hal lain yang diperlukan dalam penerbitan SBK. 14. Lembaga Pemeringkat adalah Lembaga Pendukung Penerbitan SBK yang terdaftar di Bank Indonesia, yang memiliki tugas melakukan penilaian terhadap peringkat kredit dari SBK termasuk penjaminan atau penanggungan yang dapat memengaruhi peringkat kredit dari SBK. 15. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal. 16. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah perusahaan pialang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing. 17. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang selanjutnya disingkat LPP adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan kustodian sentral sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal. 18. PT Kustodian Sentral Efek Indonesia yang selanjutnya disingkat KSEI adalah pihak yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai LPP. BAB II PERSYARATAN PENERBIT DAN INSTRUMEN SBK Pasal 2 (1) Pihak yang dapat menerbitkan SBK yaitu Korporasi Non- Bank yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tercatat sebagai emiten saham pada Bursa Efek Indonesia atau pernah menerbitkan obligasi dan/atau sukuk yang dicatat di Bursa Efek Indonesia dalam 5 (lima) tahun terakhir sampai dengan tanggal pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan SBK; atau b. tidak tercatat sebagai emiten atau perusahaan publik namun memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. telah beroperasi paling singkat 3 (tiga) tahun atau kurang dari 3 (tiga) tahun sepanjang memiliki penjaminan atau penanggungan; paling 2. memiliki ekuitas sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); dan 3. menghasilkan laba bersih untuk 1 (satu) tahun terakhir. (2) Korporasi Non-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki laporan keuangan yang memperoleh pendapat wajar tanpa modifikasian (WTM) secara berturut-turut dari Akuntan Publik untuk periode 3 (tiga) tahun terakhir atau sejak Korporasi Non-Bank beroperasi untuk Korporasi Non-Bank yang beroperasi kurang dari 3 (tiga) tahun; b. tidak pernah mengalami kondisi gagal bayar selama 3 (tiga) tahun terakhir sampai dengan tanggal pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan SBK atau tidak pernah mengalami kondisi gagal bayar untuk Korporasi Non-Bank yang beroperasi kurang dari 3 (tiga) tahun; c. Korporasi Non-Bank yang pernah mengalami gagal bayar dapat menerbitkan SBK paling singkat 3 (tiga) tahun setelah tanggal pernyataan penyelesaian gagal bayar sepanjang penyelesaian dilakukan secara wajar; d. memiliki manajemen dengan rekam jejak yang baik; e. memiliki pedoman penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko; dan f. memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan Bank Indonesia. (3) Persyaratan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b angka 1, dan huruf b angka 2, serta ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c, dihitung menggunakan tanggal yang sama untuk tahun yang berbeda. (4) Contoh perhitungan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 3 Korporasi Non-Bank yang beroperasi kurang dari 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b angka 1 harus mencantumkan penjaminan atau penanggungan dalam bukti penerbitan kolektif SBK. Pasal 4 (1) SBK harus memiliki tenor 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, 9 (sembilan) bulan, atau 12 (dua belas) bulan. (2) Perhitungan tenor SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. tenor dihitung mulai dari tanggal penerbitan SBK sampai dengan tanggal jatuh tempo SBK; b. perhitungan 1 (satu) bulan tenor sama dengan 30 (tiga puluh) hari kalender; c. dalam hal SBK memiliki jumlah hari kalender bukan kelipatan 30 (tiga puluh) hari, dilakukan pembulatan tenor: 1. ke bawah (rounded down) apabila kelebihan hari kalender kurang dari 15 (lima belas) hari kalender; atau 2. ke atas (rounded up) apabila kekurangan hari kalender kurang dari 15 (lima belas) hari kalender; dan d. jumlah hari maksimum untuk SBK tenor 12 (dua belas) bulan yaitu sebesar 365 (tiga ratus enam puluh lima) hari kalender. (3) Contoh perhitungan tenor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I. Pasal 5 (1) SBK harus memiliki peringkat instrumen yang diterbitkan oleh Lembaga Pemeringkat, dengan batasan minimum tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Peringkat instrumen SBK yang akan diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling rendah berada pada peringkat jangka pendek: a. di level idA3, F3(idn), atau level yang setara dalam hal peringkat merupakan peringkat nasional; dan/atau b. di level A-3, F3, P-3, atau level yang setara dalam hal peringkat merupakan peringkat internasional, yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemeringkat. (3) Dalam hal terdapat 2 (dua) peringkat jangka pendek dengan nilai peringkat yang berbeda, pemenuhan terhadap persyaratan peringkat instrumen menggunakan peringkat tertinggi. (4) Contoh pemenuhan persyaratan peringkat instrumen SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB III PENDAFTARAN PENERBITAN SBK Bagian Kesatu Pendaftaran Penerbitan SBK untuk Memperoleh Status Terdaftar Pasal 6 (1) SBK yang akan diterbitkan wajib memperoleh persetujuan pendaftaran penerbitan SBK dari Bank Indonesia. (2) Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK mengajukan permohonan pendaftaran penerbitan SBK kepada Bank Indonesia dengan memilih di antara 2 (dua) jenis mekanisme penerbitan sebagai berikut yaitu: a. penerbitan secara tunggal atau individual; atau b. penerbitan secara berkelanjutan. (3) Pendaftaran penerbitan SBK secara tunggal atau individual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berlaku untuk 1 (satu) kali penerbitan SBK oleh Penerbit SBK. (4) Pendaftaran penerbitan SBK secara berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berlaku untuk periode 1 (satu) tahun sejak tanggal persetujuan pendaftaran penerbitan SBK dari Bank Indonesia. (5) Dalam 1 (satu) kali penerbitan, baik melalui penerbitan secara tunggal atau individual maupun melalui penerbitan secara berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), SBK yang diterbitkan dapat terdiri atas beberapa seri SBK. (6) Contoh penerapan pelaksanaan penerbitan SBK pada masing-masing mekanisme penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) tercantum dalam Lampiran II. Pasal 7 (1) Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK, mengajukan surat permohonan pendaftaran penerbitan SBK yang dilengkapi dengan dokumen pendukung yang merupakan pemenuhan: a. persyaratan kriteria penerbit SBK; b. persyaratan kriteria instrumen SBK; dan c. persyaratan pemenuhan ketentuan mengenai keterbukaan informasi Penerbit SBK. (2) Contoh surat permohonan pendaftaran penerbitan SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Dokumen dalam pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk: a. hardcopy; dan b. softcopy atas scan dokumen dalam format pdf. Pasal 8 (1) Dokumen pendukung pemenuhan persyaratan kriteria penerbit SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a yaitu sebagai berikut: a. dokumen yang memuat informasi Korporasi Non- Bank yang ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran dasar Korporasi Non-Bank dan/atau ketentuan internal Korporasi Non-Bank; b. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan anggaran dasar terakhir yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; c. laporan keuangan tahunan Korporasi Non-Bank dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Dalam hal pengajuan pendaftaran kurang dari 4 (empat) bulan sejak tanggal laporan keuangan tahunan maka menggunakan: a) laporan keuangan tahunan pada tahun terakhir yang paling rendah bersifat unaudited dan laporan keuangan tahunan periode 3 (tiga) tahun sebelumnya yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dan memperoleh pendapat wajar tanpa modifikasian (WTM) secara berturut-turut, bagi Korporasi Non-Bank yang beroperasi paling singkat 3 (tiga) tahun; atau b) laporan keuangan tahunan pada tahun terakhir yang paling rendah bersifat unaudited dan laporan keuangan tahunan periode sebelumnya sejak berdirinya Korporasi Non-Bank yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dan memperoleh pendapat WTM secara berturut-turut, bagi Korporasi Non-Bank yang beroperasi kurang dari 3 (tiga) tahun; 2. dalam hal pengajuan pendaftaran lebih dari 4 (empat) bulan sejak tanggal laporan keuangan tahunan maka menggunakan: a) laporan keuangan tahunan periode 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dan memperoleh pendapat WTM secara berturut-turut, bagi Korporasi Non-Bank yang beroperasi paling singkat 3 (tiga) tahun; atau b) laporan keuangan tahunan periode sejak berdirinya Korporasi Non-Bank yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dan memperoleh pendapat WTM secara berturut-turut, bagi Korporasi Non-Bank yang beroperasi kurang dari 3 (tiga) tahun; d. surat pernyataan oleh Korporasi Non-Bank yang menyatakan bahwa: 1. Korporasi Non-Bank tidak pernah mengalami gagal bayar selama 3 (tiga) tahun terakhir sampai dengan tanggal pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan SBK atau tidak pernah mengalami kondisi gagal bayar untuk Korporasi Non-Bank yang beroperasi kurang dari 3 (tiga) tahun; dan 2. dalam hal Korporasi Non-Bank mengalami gagal bayar maka Korporasi Non-Bank telah melakukan penyelesaian gagal bayar secara wajar paling singkat 3 (tiga) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan SBK, disertai dengan data penyelesaian gagal bayar, dan ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran dasar Korporasi Non-Bank dan/atau ketentuan internal Korporasi Non-Bank; e. dokumen berupa: 1. dokumen yang memuat informasi mengenai riwayat hidup; dan 2. surat pernyataan pribadi bermaterai cukup yang menyatakan tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan dan keuangan, tidak sedang menjalani proses hukum sebagai tersangka dengan ancaman hukuman di atas 5 (lima) tahun, dan tidak pernah dihukum atas tindak pidana di bidang perbankan, keuangan, dan/atau pencucian uang berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, oleh masing-masing anggota dewan komisaris dan direksi Korporasi Non-Bank; f. opini hukum dari Konsultan Hukum; dan g. surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen Korporasi Non-Bank untuk: 1. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang beserta peraturan pelaksanaannya; dan 2. menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam penerbitan SBK, yang ditandatangani oleh anggota direksi yang memiliki kewenangan sesuai anggaran dasar Korporasi Non-Bank. (2) Dalam hal Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK merupakan Korporasi Non-Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, Korporasi Non- Bank harus menyampaikan tambahan dokumen pendukung untuk pemenuhan persyaratan penerbit SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) sebagai berikut: a. surat pernyataan Korporasi Non-Bank yang menyatakan bahwa saham beserta kode saham Korporasi Non-Bank tercatat di Bursa Efek Indonesia yang disertai dengan dokumen pendukung dan ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran dasar Korporasi Non-Bank dan/atau ketentuan internal Korporasi Non-Bank, dalam hal Korporasi Non-Bank merupakan emiten saham yang tercatat pada Bursa Efek Indonesia; dan/atau b. fotokopi surat pernyataan efektif yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan atas penerbitan obligasi dan/atau sukuk yang pernah dilakukan dalam 5 (lima) tahun terakhir dan fotokopi sertifikat pencatatan obligasi dan/atau sukuk pada saat tercatat di Bursa Efek Indonesia, dalam hal Korporasi Non-Bank merupakan emiten yang pernah menerbitkan obligasi dan/atau sukuk yang dicatat di Bursa Efek Indonesia. (3) Contoh dokumen informasi Korporasi Non-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Contoh pemenuhan terkait kondisi gagal bayar dan surat pernyataannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tercantum dalam Lampiran II. (5) Contoh surat pernyataan komitmen manajemen Korporasi Non-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g tercantum dalam Lampiran IV. Pasal 9 (1) Opini hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f merupakan opini hukum yang diberikan oleh Konsultan Hukum atas aspek hukum terkait Korporasi Non-Bank yang digunakan untuk kepentingan pendaftaran penerbitan SBK. (2) Dalam menyusun opini hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Konsultan Hukum melakukan uji tuntas atas aspek hukum terhadap Korporasi Non-Bank yang mengajukan pendaftaran penerbitan SBK yaitu: a. Korporasi Non-Bank yang mengajukan pendaftaran penerbitan SBK; dan b. anak perusahaan dari Korporasi Non-Bank sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dalam hal: 1. kepemilikan saham Korporasi Non-Bank sebesar 50% (lima puluh persen) atau lebih dan anak perusahaan tersebut memberikan kontribusi pendapatan yang signifikan; atau 2. kepemilikan saham Korporasi Non-Bank sebesar 50% (lima puluh persen) atau lebih dan anak perusahaan tersebut yang menjalankan kegiatan usaha yang penting bagi kelangsungan usaha Korporasi Non-Bank. (3) Dalam menyusun uji tuntas atas aspek hukum kepada Korporasi Non-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Konsultan Hukum melakukan uji tuntas atas aspek hukum terhadap: a. akta pendirian dan perubahan: 1. seluruh ketentuan anggaran dasar terakhir, untuk Korporasi Non-Bank yang sahamnya tercatat pada Bursa Efek Indonesia atau pernah menerbitkan obligasi dan/atau sukuk yang dicatatkan di Bursa Efek Indonesia dalam 5 (lima) tahun terakhir sampai dengan tanggal pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan SBK; atau 2. anggaran dasar perusahaan dalam 3 (tiga) tahun terakhir atau sejak berdirinya jika kurang dari 3 (tiga) tahun untuk Korporasi Non-Bank yang tidak termasuk dalam angka 1; b. izin dan persetujuan material yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha utama yang memberikan kontribusi signifikan terhadap kelangsungan usaha Korporasi Non-Bank; c. penelaahan atas pemenuhan persyaratan penerbit sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai SBK; d. status penjaminan atau penanggungan untuk: 1. Korporasi Non-Bank yang dipersyaratkan memiliki penjaminan atau penanggungan dalam penerbitan SBK; dan 2. Korporasi Non-Bank yang tidak dipersyaratkan namun memiliki penanggungan dalam penerbitan SBK; e. perikatan material yang masih berlaku yang dianggap dapat memberikan dampak negatif kepada pelaksanaan penerbitan SBK; f. aset material Korporasi Non-Bank yang secara langsung digunakan untuk pelaksanaan kegiatan usaha utama Korporasi Non-Bank; dan g. perkara, sengketa, atau klaim yang timbul yang melibatkan Korporasi Non-Bank, anggota direksi, dan/atau dewan komisaris Korporasi Non-Bank yang secara material dapat memengaruhi keadaan keuangan dan kelangsungan usaha Korporasi Non- Bank. (4) Dalam menyusun uji tuntas atas aspek hukum kepada anak perusahaan atas Korporasi Non-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Konsultan Hukum melakukan uji tuntas untuk memastikan keabsahan kepemilikan saham Korporasi Non-Bank di anak perusahaan dan memeriksa aspek hukum kegiatan usaha utama anak perusahaan. penjaminan atau (5) Dalam hal penerbitan SBK menggunakan penjaminan atau penanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d angka 1, Konsultan Hukum melakukan uji tuntas atas penjamin atau penanggung dan keabsahan aspek penjaminan atau penanggungan. (6) Dalam hal penerbitan SBK menggunakan penjaminan atau penanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d angka 2, Konsultan Hukum melakukan uji tuntas atas keabsahan aspek penjaminan atau penanggungan. (7) Asosiasi profesi konsultan hukum dapat menyusun standar profesi konsultan hukum yang relevan mengenai materi uji tuntas atas aspek hukum sebagai pedoman bagi Konsultan Hukum sehubungan dengan penerbitan SBK. Pasal 10 (1) Dokumen pendukung yang merupakan pemenuhan persyaratan kriteria instrumen SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b yaitu sebagai berikut: a. dokumen yang memuat informasi atas struktur penawaran SBK yang ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran dasar Korporasi Non- Bank dan/atau ketentuan internal Korporasi Non- Bank: 1. bagi pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan secara tunggal atau individual berupa individual term sheet, yang memuat paling sedikit informasi atas: a) nama Penerbit SBK; b) tipe instrumen; c) mekanisme penerbitan; d) nama SBK; e) denominasi mata uang; f) tenor penerbitan; g) perlakuan bunga; h) tingkat diskonto; i) nominal penerbitan; j) minimum nominal pembelian; k) minimum nominal pemindahbukuan; l) bentuk instrumen; m) penatausaha sentral instrumen; n) peringkat instrumen; o) penjaminan atau penanggungan; p) periode penawaran; q) tanggal penetapan nominal penerbitan; r) tanggal pembayaran; s) tanggal distribusi; dan t) informasi lainnya; 2. bagi pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan secara berkelanjutan: a) agreggate term sheet yang menunjukkan struktur penawaran SBK selama periode terdaftar, yang memuat paling sedikit informasi atas: 1) nama Penerbit SBK; 2) tipe instrumen; 3) mekanisme penerbitan; 4) nama SBK; 5) denominasi mata uang; 6) perlakuan bunga; 7) nominal penerbitan selama terdaftar; 8) minimum nominal pembelian; 9) minimum nominal pemindahbukuan; 10) bentuk instrumen; 11) penatausaha sentral instrumen; dan 12) informasi lainnya; dan b) individual term sheet sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 1, yang menunjukkan struktur penawaran SBK tahap kesatu; b. dokumen yang memuat informasi atas rencana penggunaan dana hasil penerbitan SBK yang ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran dasar Korporasi Non-Bank dan/atau ketentuan internal Korporasi Non-Bank: 1. bagi pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan secara individual berupa rencana penggunaan dana hasil penerbitan SBK; 2. bagi pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan secara berkelanjutan: a) rencana penggunaan dana hasil penerbitan SBK selama periode terdaftar; dan b) rencana penggunaan dana hasil penerbitan SBK tahap kesatu; c. fotokopi sertifikat peringkat dan fotokopi surat pemeringkatan SBK yang akan diterbitkan, yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemeringkat; dan d. bukti penerbitan kolektif awal atas SBK yang sedang diajukan pendaftarannya. (2) Dalam hal tanggal pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan SBK oleh Korporasi Non-Bank kepada Bank Indonesia lebih dari 3 (tiga) bulan sejak tanggal penetapan pemberian peringkat SBK sebagaimana tercantum dalam dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Korporasi Non-Bank harus menyertakan dokumen pendaftaran tambahan. (3) Dokumen pendaftaran tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa surat penegasan dari Lembaga Pemeringkat bahwa peringkat yang sama masih berlaku untuk SBK yang sedang diajukan pendaftarannya. (4) Contoh dokumen individual term sheet dan aggregate term sheet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tercantum dalam Lampiran III. Pasal 11 (1) Dokumen pendukung yang merupakan pemenuhan persyaratan keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c yaitu sebagai berikut: a. memorandum informasi SBK yang akan diterbitkan; b. dokumen yang memuat informasi yang lebih rinci yang menjelaskan informasi yang bersifat prakiraan yang dituangkan dalam memorandum informasi, yang ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran dasar Korporasi Non-Bank dan/atau ketentuan internal Korporasi Non-Bank; c. surat pernyataan Korporasi Non-Bank bermaterai cukup yang menyatakan bahwa: 1. seluruh informasi maupun fakta material telah diungkapkan dalam memorandum informasi; dan 2. seluruh informasi dalam dokumen pendaftaran penerbitan SBK, adalah benar, bersifat tidak menyesatkan, dan dapat dipertanggungjawabkan, yang ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran dasar Korporasi Non- Bank dan/atau ketentuan internal Korporasi Non- Bank; dan d. surat kuasa dari Korporasi Non-Bank kepada Bank Indonesia terkait persetujuan pemberian data posisi kepemilikan investor atas SBK yang akan diterbitkannya kepada Bank Indonesia, sebanyak 2 (dua) rangkap yang ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran dasar Korporasi Non- Bank dan/atau ketentuan internal Korporasi Non- Bank. (2) Contoh dokumen yang memuat informasi yang lebih rinci sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, tercantum dalam Lampiran III. (3) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, tercantum dalam Lampiran IV; dan (4) Contoh surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kedua Pendaftaran Penerbitan SBK Tahap Lanjutan Pasal 12 (1) Penerbit SBK yang telah mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia untuk menerbitkan SBK secara berkelanjutan dan akan melakukan penerbitan SBK tahap lanjutan harus mengajukan surat permohonan pendaftaran penerbitan SBK tahap lanjutan kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh tercantum dalam Lampiran IV. (2) Dokumen dalam pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk: a. hardcopy; dan b. softcopy atas scan dokumen dalam format pdf. (3) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sebagai berikut: a. surat pernyataan dari Penerbit SBK bahwa Penerbit SBK tidak pernah mengalami gagal bayar terhitung sejak tanggal pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial sebelumnya sampai dengan tanggal pengajuan pendaftaran penerbitan SBK tahap lanjutan kepada Bank Indonesia yang ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran dasar Korporasi Non-Bank dan/atau ketentuan internal Korporasi Non-Bank, sebagaimana contoh tercantum dalam Lampiran IV; b. dokumen yang memuat informasi atas rencana penerbitan SBK tahap lanjutan yang sedang diajukan pendaftarannya (individual term sheet) yang ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran dasar Korporasi Non-Bank dan/atau ketentuan internal Korporasi Non-Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sebagaimana contoh tercantum dalam Lampiran III. c. dokumen yang memuat informasi atas rencana penggunaan dana SBK yang ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran dasar Korporasi Non- Bank dan/atau ketentuan internal Korporasi Non- Bank, paling sedikit memuat: 1. rencana penggunaan dana SBK tahap lanjutan yang sedang diajukan pendaftarannya; dan 2. ada tidaknya perubahan terhadap rencana penggunaan dana semula ketika terdaftar dalam penerbitan SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b angka 2 huruf a), yang disertai dengan alasan perubahannya, d. dokumen terkait peringkat SBK berupa: 1. fotokopi sertifikat peringkat dan fotokopi surat pemeringkatan SBK yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemeringkat pertama kali ketika pengajuan pendaftaran penerbitan secara berkelanjutan untuk periode berkelanjutan yang sama, apabila tanggal pengajuan pendaftaran penerbitan SBK tahap lanjutan dilakukan kurang dari 3 (tiga) bulan setelah tanggal peringkat SBK pertama kali diterbitkan; atau 2. surat penegasan dari Lembaga Pemeringkat bahwa peringkat SBK sebagaimana tertera dalam sertifikat peringkat dan surat pemeringkatan masih berlaku untuk SBK yang sedang diajukan pendaftarannya, apabila tanggal pengajuan pendaftaran penerbitan SBK tahap lanjutan dilakukan lebih dari 3 (tiga) bulan secara berkelanjutan setelah tanggal peringkat SBK pertama kali diterbitkan atau ditegaskan terakhir kali; e. memorandum informasi SBK yang akan diterbitkan pada tahap lanjutan yang sedang diajukan pendaftarannya; f. dokumen yang memuat informasi atas perubahan dan/atau tambahan informasi dalam memorandum informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf e yang ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran dasar Korporasi Non-Bank dan/atau ketentuan internal Korporasi Non-Bank, apabila terdapat perubahan dan/atau tambahan informasi; g. surat pernyataan Penerbit SBK bermaterai cukup yang menyatakan bahwa: 1. total dana yang dihimpun sampai dengan penghimpunan dana pada penerbitan SBK tahap lanjutan yang sedang diajukan pendaftarannya, secara kumulatif tidak akan melebihi total dana yang tercantum dalam dokumen persetujuan pendaftaran penerbitan berkelanjutan; SBK secara 2. seluruh informasi maupun fakta material telah diungkapkan dalam memorandum informasi, dan seluruh informasi dalam dokumen pendaftaran penerbitan SBK adalah benar, bersifat tidak menyesatkan, dan dapat dipertanggungjawabkan; dan 3. telah memenuhi seluruh persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia mengenai penerbitan dan transaksi SBK di Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), yang ditandatangani oleh anggota direksi dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran dasar Korporasi Non-Bank, sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran IV. (4) Cakupan atas perubahan dan/atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f meliputi informasi yang tergolong ke dalam informasi maupun fakta material. BAB IV MEMORANDUM INFORMASI SBK Pasal 13 (1) Memorandum informasi SBK untuk penerbitan individual dan penerbitan berkelanjutan tahap kesatu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a serta memorandum informasi SBK untuk penerbitan berkelanjutan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf e, disusun menggunakan kaidah penulisan yang memberikan kemudahan bagi calon investor dan/atau investor SBK dalam membaca dan memahami informasi dalam memorandum informasi SBK. (2) Format dan tata cara penyusunan memorandum informasi SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kesatu Memorandum Informasi SBK pada Penerbitan SBK Secara Tunggal atau Individual Pasal 14 Memorandum informasi SBK disusun sebagai berikut: a. halaman depan; b. daftar isi; c. bagian I mengenai struktur penawaran SBK dan rencana penggunaan dana; d. bagian II mengenai syarat dan kondisi; e. bagian III yang terdiri atas: 1. bab I mengenai informasi terkait Penerbit SBK; dan 2. bab II mengenai informasi terkait pembelian dan pemesanan SBK; f. bagian IV yang merupakan pernyataan Penerbit SBK terkait pengungkapan seluruh informasi maupun fakta material dalam memorandum informasi dan kebenaran isi memorandum informasi. Pasal 15 (1) Halaman depan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a memuat informasi utama yang perlu diketahui oleh calon investor SBK sehubungan dengan penerbitan SBK. (2) Informasi di halaman depan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus memuat informasi mengenai: a. ringkasan atas detil penerbitan SBK, yang mencakup: 1. timeline penerbitan, meliputi: a) tanggal persetujuan pendaftaran penerbitan SBK oleh Bank Indonesia; b) periode penawaran; c) tanggal penetapan nominal; d) tanggal pembayaran; dan e) tanggal distribusi SBK; 2. uraian singkat mengenai SBK yang akan diterbitkan, meliputi: a) tipe instrumen; b) nama SBK; c) bentuk instrumen; d) nominal penerbitan; e) tenor penerbitan; f) tingkat diskonto; g) tanggal pelunasan; dan h) informasi terkait penjaminan atau penanggungan, apabila menggunakan penjaminan atau penanggungan; b. ringkasan atas Penerbit SBK meliputi: 1. nama lengkap Korporasi Non-Bank; 2. alamat Korporasi Non-Bank; 3. nomor telepon/faksimili; 4. laman Korporasi Non-Bank; dan 5. kegiatan usaha utama; c. peringkat instrumen SBK dan pengungkapan Lembaga Pemeringkat yang memberi peringkat tersebut; d. nama penata laksana penerbitan (arranger) dan pengungkapan kata ‘terafiliasi’ apabila penata laksana penerbitan merupakan pihak yang terafiliasi dengan Penerbit SBK; e. tempat dan tanggal penerbitan memorandum informasi; f. pernyataan dalam huruf cetak besar yang langsung dapat menarik perhatian calon investor SBK, berupa “BANK INDONESIA TIDAK MEMBERIKAN PENILAIAN ATAS KEUNGGULAN ATAU KELEMAHAN SURAT BERHARGA KOMERSIAL YANG DITERBITKAN. PEMENUHAN KEWAJIBAN PENERBIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL SEPENUHNYA MENJADI TANGGUNG JAWAB PENERBIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL. RISIKO INVESTASI SURAT BERHARGA KOMERSIAL MENJADI TANGGUNG JAWAB INVESTOR.”; g. tanggung jawab Penerbit SBK atas kebenaran isi memorandum informasi SBK yang dituangkan dalam pernyataan dalam huruf cetak besar yang langsung dapat menarik perhatian calon investor SBK, berupa “PENERBIT BERTANGGUNG JAWAB SEPENUHNYA ATAS KEBENARAN SELURUH INFORMASI ATAU FAKTA MATERIAL SERTA INFORMASI LAINNYA YANG TERCANTUM DALAM MEMORANDUM INFORMASI INI.”; h. penegasan bahwa memorandum informasi dan dokumen pendukungnya merupakan satu kesatuan serta perlu dibaca dan ditelaah secara bersama, apabila menggunakan dokumen lain selain memorandum informasi dalam proses penawaran yang diakui oleh Penerbit SBK; i. pengungkapan bahwa pendapat hukum (opini hukum) telah dilakukan dengan mencantumkan nama Konsultan Hukum yang digunakan; j. penegasan bahwa informasi yang bersifat prakiraan mengandung unsur ketidakpastian, yang dapat mengakibatkan hasil sebenarnya berbeda dari yang telah diprakirakan; k. penegasan bahwa setiap investor yang berminat membeli SBK wajib melakukan analisis tersendiri dalam mengambil keputusan berinvestasi di pasar SBK; dan l. pernyataan singkat terkait kemungkinan faktor risiko investasi SBK. Pasal 16 Bagian I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c memuat informasi berupa: a. struktur penawaran SBK; dan b. rencana penggunaan dana. Pasal 17 Struktur penawaran SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. nama Penerbit; b. tipe instrumen; c. mekanisme penerbitan; d. nama SBK; e. denominasi mata uang; f. tenor penerbitan; g. perlakuan bunga; h. tingkat diskonto; i. nominal penerbitan; j. minimum nominal pembelian; k. minimum nominal pemindahbukuan; l. bentuk instrumen; m. penatausaha sentral instrumen; n. peringkat instrumen; o. penjaminan atau penanggungan; p. periode penawaran; q. tanggal penetapan nominal penerbitan; r. tanggal pembayaran; s. tanggal distribusi; dan t. informasi lainnya. Pasal 18 Rencana penggunaan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b paling sedikit memuat informasi mengenai tujuan penggunaan jangka pendek dana hasil penerbitan SBK disertai dengan penjelasannya. Pasal 19 Bagian II mengenai syarat dan kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. perhitungan harga dan tingkat diskonto; b. mekanisme penyelesaian dari Penerbit SBK apabila terjadi keterlambatan distribusi SBK maupun pembayaran kewajiban pelunasan; c. tanggung jawab dan mekanisme penyelesaian dari Penerbit SBK apabila terjadi kegagalan distribusi SBK maupun pelunasan; d. perpajakan; e. hukum Indonesia sebagai hukum yang mengatur; f. mekanisme penyelesaian sengketa di Indonesia; dan g. pemberitahuan kepada calon investor yang melakukan pembelian SBK di pasar perdana maupun pembelian dan/atau penjualan SBK di pasar sekunder menyetujui untuk memberikan data dan/atau informasi: 1. kepemilikan atas SBK; dan 2. transaksi dan penyelesaian transaksi SBK yang dilakukan; kepada Bank Indonesia. Pasal 20 Bagian III - bab I mengenai informasi terkait Penerbit SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e terdiri atas subbab: a. informasi mengenai Korporasi Non-Bank; b. kegiatan usaha dan prospek usaha; c. risiko usaha; d. kondisi keuangan Korporasi Non-Bank; e. f. opini hukum dari Konsultan Hukum. Pasal 21 (1) Informasi mengenai Korporasi Non-Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. pendirian Korporasi Non-Bank, yang paling sedikit meliputi: 1. nama lengkap Korporasi Non-Bank, waktu pendirian dan lingkup usaha beserta perubahannya, berdasarkan akta pendirian berikut perubahan anggaran dasar terakhir; dan 2. penjelasan terkait dokumen hukum lainnya yang menyatakan keabsahan Korporasi Non-Bank dan lingkup usaha yang dijalankan Korporasi Non-Bank; b. struktur organisasi Korporasi Non-Bank yang menggambarkan keseluruhan fungsi utama Korporasi Non-Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya; c. daftar jajaran manajemen Korporasi Non-Bank yang terdiri atas dewan komisaris dan direksi, yang disertai dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja; d. perkembangan kepemilikan saham pengendali Korporasi Non-Bank dan perubahannya dalam 3 (tiga) tahun terakhir; rating rationale atas SBK yang akan diterbitkan; dan e. penjabaran atas entitas anak perusahaan yang memiliki hubungan signifikan dengan Korporasi Non- Bank yang meliputi: 1. nama anak perusahaan; 2. tanggal berdiri anak perusahaan; 3. jenis usaha yang dijalankan anak perusahaan; dan 4. hubungan anak perusahaan dengan Korporasi Non-Bank. (2) Hubungan signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan hubungan yang dapat memengaruhi kinerja Korporasi Non-Bank melalui: a. kepemilikan Korporasi Non-Bank terhadap anak perusahaan yaitu sebesar 50% (lima puluh persen) atau lebih pada anak perusahaan dan anak perusahaan tersebut memberikan kontribusi pendapatan yang signifikan bagi kelangsungan usaha Korporasi Non-Bank; atau b. kepemilikan Korporasi Non-Bank terhadap anak perusahaan adalah sebesar 50% (lima puluh persen) atau lebih pada anak perusahaan dan anak perusahaan tersebut menjalankan kegiatan usaha yang penting bagi kelangsungan usaha Korporasi Non-Bank. (3) Dalam hal Korporasi Non-Bank yang beroperasi kurang dari 3 (tiga) tahun dan dipersyaratkan harus memiliki penjaminan atau penanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, informasi harus turut mencakup informasi mengenai penjamin atau penanggung. (4) Informasi mengenai penjamin atau penanggung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat informasi: a. nama penjamin atau penanggung; b. kegiatan usaha dan legalitas penjamin atau penanggung; dan c. uraian singkat kapabilitas dari penjamin atau penanggung dalam melakukan penjaminan atau penanggungan. Pasal 22 Informasi mengenai kegiatan usaha dan prospek usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. penjelasan mengenai kegiatan usaha yang dijalankan oleh Korporasi Non-Bank saat ini, diikuti dengan penjelasan mengenai lingkup usaha saat Korporasi Non-Bank berdiri dan perkembangannya dalam 1 (satu) tahun terakhir; b. penjelasan mengenai produk utama Korporasi Non-Bank dan proses produksi atau bisnis, paling sedikit menyangkut: 1. produk utama Korporasi Non-Bank dan lokasi kegiatan operasi utama Korporasi Non-Bank dilakukan; 2. proses produksi, sistem distribusi, dan pemasaran; dan 3. c. sifat musiman dari kegiatan usaha Korporasi Non- Bank yang memengaruhi pendapatan penjualan; dan analisis mengenai strategi usaha dan prospek usaha jangka pendek mempertimbangkan kondisi ekonomi domestik dan global yang relevan. Pasal 23 Informasi mengenai risiko usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. pengungkapan risiko usaha yang memiliki dampak signifikan terhadap kelangsungan usaha Korporasi Non- Bank; b. cakupan risiko usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a meliputi risiko usaha yang bersumber dari: 1. faktor ekonomi makro; dan 2. faktor ekonomi mikro. c. perikatan yang berpotensi mengakibatkan pada peningkatan atau penurunan yang signifikan pada kondisi keuangan Korporasi Non-Bank; d. informasi mengenai perkara, sengketa, atau klaim yang timbul yang melibatkan Korporasi Non-Bank dan secara material dapat memengaruhi keadaan keuangan dan kelangsungan usaha Korporasi Non-Bank, apabila ada; dan e. risiko investasi SBK. Pasal 24 (1) Informasi mengenai kondisi keuangan Korporasi Non- Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. ikhtisar data keuangan penting; b. peristiwa gagal bayar; c. pernyataan utang; dan d. kejadian penting setelah tanggal laporan keuangan tahunan audited terakhir. (2) Ikhtisar data keuangan penting sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a perlu disusun dengan ketentuan sebagai berikut: a. disajikan secara tahunan, 1. untuk 3 (tiga) tahun terakhir, untuk Penerbit SBK yang telah beroperasi lebih dari 3 (tiga) tahun; 2. sejak beroperasinya Korporasi Non-Bank, untuk Penerbit SBK yang beroperasi kurang dari 3 (tiga) tahun. b. bersumber dari laporan keuangan tahunan, paling sedikit: 1. laporan posisi keuangan pada akhir periode; 2. laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain selama periode; 3. laporan arus kas selama periode; dan 4. laporan perubahan ekuitas selama periode; dan c. disajikan bersama dengan rasio keuangan yang dapat memberikan gambaran risiko jangka pendek dan risiko jangka panjang. (3) Rasio keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi: a. profitability yang meliputi: 1. return on assets (%); dan 2. return on equity (%); b. margin analysis yang meliputi: 1. operating margin (%); dan 2. net operating profit after tax; c. asset turnover yang meliputi: 1. inventory turnover; 2. average inventory period (days); 3. account receivable turnover; 4. average receivable collection period (days); 5. payables turnover; dan 6. payables payment period (days); d. liquidity (short term) yang meliputi: 1. current ratio; 2. quick ratio; 3. cash ratio; 4. net cash flow from operations (CFO) to current liabilities; 5. free cash flow to current liabilities (termasuk all investing cash flow); 6. free cash flow to current liabilities (hanya termasuk PPE Capex); levered free cash flow margin (%); dan 8. unlevered free cash flow margin (%); 7. e. solvency (long term) yang meliputi: 1. 2. total debt/equity; dan total debt/EBITDA. (4) Penggunaan rasio keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disesuaikan dengan sektor usaha yang dijalankan oleh Korporasi Non-Bank sebagai Penerbit SBK. (5) Ikhtisar data keuangan penting sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disertai dengan analisis pembahasan oleh manajemen yang menjelaskan kondisi keuangan Korporasi Non-Bank berdasarkan laporan keuangan, dengan penjelasan paling sedikit mencakup: a. peningkatan pendapatan yang disebabkan oleh adanya kenaikan harga jual produk secara signifikan; b. peningkatan atau penurunan pendapatan yang disebabkan oleh peristiwa luar biasa dan cenderung tidak berulang; c. peningkatan utang secara material untuk kepentingan investasi jangka pendek maupun jangka panjang, yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan usaha Korporasi Non-Bank dalam menghasilkan produk utama; d. perikatan yang berpengaruh signifikan pada pendapatan dan/atau beban Korporasi Non-Bank dalam 2 (dua) tahun ke depan; dan e. perikatan atau komitmen atau kontijensi yang telah terjadi dan belum terealisasi, namun akan memengaruhi pendapatan dan/atau beban Korporasi Non-Bank secara signifikan dalam menjalankan kegiatan operasi dalam 2 (dua) tahun ke depan. (6) Informasi terkait peristiwa gagal bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat: a. tidak pernah terjadinya peristiwa gagal bayar; dan b. terjadinya peristiwa gagal bayar yang pernah dialami termasuk penyelesaiannya, oleh Penerbit SBK. (7) Informasi terkait pernyataan utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit memuat informasi atas: a. posisi utang jangka panjang dan jangka pendek pada tanggal laporan keuangan tahunan terakhir; b. pengungkapan posisi utang jangka panjang dan jangka pendek berdasarkan mata uang; dan c. pengungkapan atas perjanjian (covenant) yang timbul dari pengikatan utang dan implementasi atas terpenuhinya perjanjian (covenant) tersebut. (8) Informasi terkait kejadian penting setelah tanggal laporan keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit oleh Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit memuat informasi maupun fakta material yang terjadi setelah tanggal laporan keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit oleh Akuntan Publik sampai dengan tanggal pengajuan pendaftaran SBK. Pasal 25 (1) Informasi terkait rating rationale sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf e paling sedikit memuat informasi atas analisis Lembaga Pemeringkat dalam menilai peringkat SBK. (2) Informasi terkait opini hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf f memuat informasi mengenai opini hukum yang dilakukan oleh Konsultan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. Pasal 26 Bagian III - bab II mengenai informasi terkait pembelian dan pemesanan SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e terdiri atas subbab: a. Lembaga Pendukung Pasar Uang (LPPU) dan lembaga lain yang terlibat di pasar SBK dalam proses penerbitan SBK; b. perolehan informasi bagi calon investor SBK; dan c. prosedur pemesanan SBK. Pasal 27 (1) Subbab mengenai Lembaga Pendukung Pasar Uang (LPPU) di pasar SBK dan lembaga lain yang terlibat dalam proses penerbitan SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. penata laksana penerbitan (arranger) yang digunakan; b. Konsultan Hukum yang digunakan; c. Akuntan Publik yang digunakan; d. Notaris yang digunakan; e. Lembaga Pemeringkat yang melakukan penilaian peringkat SBK yang diterbitkan; dan f. lembaga lain yang terlibat, meliputi: 1) agen pembayar SBK; dan 2) agen pemantau, apabila menggunakan agen pemantau. (2) Pengungkapan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat informasi terkait ada tidaknya hubungan afiliasi dengan Penerbit SBK. (3) Pengklasifikasian hubungan afiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai lembaga pendukung pasar uang yang melakukan kegiatan terkait SBK di pasar uang. Pasal 28 (1) Subbab mengenai perolehan informasi bagi calon investor SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b memuat informasi mengenai cara calon investor SBK dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan berinvestasi SBK. (2) Subbab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. informasi mengenai media dan mekanisme perolehan informasi; dan b. pihak yang dapat dihubungi. Pasal 29 (1) Subbab mengenai prosedur pemesanan SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c memuat informasi mengenai prosedur pemesanan SBK bagi calon investor yang berminat. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. prosedur pemesanan SBK; dan b. pihak yang dapat dihubungi untuk melakukan pemesanan. Pasal 30 Bagian IV yang merupakan pernyataan Penerbit SBK terkait pengungkapan seluruh informasi maupun fakta material dalam memorandum informasi dan kebenaran isi memorandum informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf f, memuat informasi berupa: a. nama pihak yang mewakili Penerbit SBK atas isi dalam memorandum informasi SBK; b. pernyataan Penerbit SBK bahwa: 1. seluruh informasi maupun fakta material telah diungkapkan dalam memorandum informasi SBK; dan 2. informasi yang terkandung dalam memorandum informasi SBK adalah benar dan bersifat tidak menyesatkan; dan c. penandatanganan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Bagian Kedua Memorandum Informasi SBK pada Penerbitan SBK Secara Berkelanjutan Pasal 31 Memorandum informasi SBK pada penerbitan SBK secara berkelanjutan disusun sebagai berikut: a. halaman depan; b. daftar isi; c. bagian I mengenai struktur penawaran SBK dan rencana penggunaan dana; d. bagian II mengenai syarat dan kondisi; e. bagian III yang terdiri atas: 1. bab I mengenai informasi terkait Penerbit SBK; dan 2. bab II mengenai informasi terkait pembelian dan pemesanan SBK; dan f. bagian IV yang merupakan pernyataan Penerbit SBK terkait pengungkapan seluruh informasi maupun fakta material dalam memorandum informasi dan kebenaran isi memorandum informasi. Pasal 32 (1) Halaman depan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf a memuat informasi utama yang perlu diketahui oleh calon investor SBK sehubungan dengan penerbitan SBK. (2) Informasi di halaman depan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus memuat informasi mengenai: a. informasi yang menarik perhatian calon investor SBK, yang menerangkan: 1. bahwa penerbitan SBK yang dilakukan adalah dalam bentuk mekanisme penerbitan secara berkelanjutan; dan 2. tahapan penerbitan SBK yang dilakukan dalam penerbitan secara berkelanjutan; b. ringkasan atas detil penerbitan SBK, yang mencakup: 1. timeline penerbitan, meliputi: a) tanggal persetujuan pendaftaran penerbitan SBK oleh Bank Indonesia; b) periode penawaran tahap kesatu; c) tanggal penetapan nominal tahap kesatu; d) tanggal pembayaran tahap kesatu; e) tanggal distribusi tahap kesatu; dan f) tanggal berakhirnya pendaftaran penerbitan; 2. uraian singkat mengenai SBK yang akan diterbitkan, meliputi: a) tipe instrumen; b) nama SBK; c) bentuk instrumen; d) nominal penerbitan SBK pada tahap kesatu; persetujuan e) nominal penerbitan yang akan dihimpun selama periode terdaftar dalam penerbitan secara berkelanjutan; f) tenor penerbitan pada tahap kesatu; g) tingkat diskonto SBK yang diterbitkan pada tahap kesatu; h) tanggal pelunasan SBK yang diterbitkan pada tahap kesatu; dan i) informasi mengenai penjaminan atau penanggungan pada penerbitan SBK tahap kesatu, apabila memiliki penjaminan atau penanggungan; c. ringkasan atas Penerbit SBK, meliputi: 1. nama lengkap Korporasi Non-Bank; 2. alamat Korporasi Non-Bank; 3. nomor telepon/faksimili; 4. laman Korporasi Non-Bank; dan 5. kegiatan usaha utama; d. peringkat instrumen SBK atas SBK yang diterbitkan pada tahap kesatu dan pengungkapan Lembaga Pemeringkat yang memberi peringkat tersebut; e. nama penata laksana penerbitan (arranger) dan pengungkapan kata ‘terafiliasi’ dalam hal penata laksana penerbitan merupakan pihak yang terafiliasi dengan Penerbit SBK; f. tempat dan tanggal penerbitan memorandum informasi; g. pernyataan dalam huruf cetak besar yang langsung dapat menarik perhatian calon investor SBK, berupa “BANK INDONESIA TIDAK MEMBERIKAN PENILAIAN ATAS KEUNGGULAN ATAU KELEMAHAN SURAT BERHARGA KOMERSIAL YANG DITERBITKAN. PEMENUHAN KEWAJIBAN PENERBIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL SEPENUHNYA MENJADI TANGGUNG JAWAB PENERBIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL. RISIKO INVESTASI SURAT BERHARGA KOMERSIAL MENJADI TANGGUNG JAWAB INVESTOR.”; dan h. tanggung jawab Penerbit SBK atas kebenaran isi memorandum informasi SBK yang dituangkan dalam pernyataan dalam huruf cetak besar yang langsung dapat menarik perhatian calon investor SBK, berupa “PENERBIT BERTANGGUNG JAWAB SEPENUHNYA ATAS KEBENARAN SELURUH INFORMASI ATAU FAKTA MATERIAL SERTA INFORMASI LAINNYA YANG TERCANTUM DALAM MEMORANDUM INFORMASI INI.”; i. penegasan bahwa memorandum informasi dan dokumen pendukungnya merupakan satu kesatuan serta perlu dibaca dan ditelaah secara bersama, dalam hal menggunakan dokumen lain selain memorandum informasi dalam proses penawaran yang diakui oleh Penerbit SBK; j. pengungkapan bahwa pendapat hukum (opini hukum) telah dilakukan dengan mencantumkan nama Konsultan Hukum yang digunakan; k. penegasan bahwa informasi yang bersifat prakiraan mengandung unsur ketidakpastian, yang dapat mengakibatkan hasil sebenarnya berbeda dari yang telah diprakirakan; l. penegasan bahwa setiap investor yang berminat membeli SBK wajib melakukan analisis tersendiri dalam mengambil keputusan berinvestasi di pasar SBK; dan m. pernyataan singkat terkait kemungkinan faktor risiko investasi SBK. Pasal 33 Bagian I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf c memuat informasi berupa: a. struktur penawaran SBK dan rencana penggunaan dana selama periode terdaftar di Bank Indonesia; dan b. struktur penawaran SBK dan rencana penggunaan dana pada tahap kesatu dalam penerbitan secara berkelanjutan. Pasal 34 (1) Struktur penawaran SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. nama Penerbit; b. tipe instrumen; c. mekanisme penerbitan; d. nama SBK; e. denominasi mata uang; f. perlakuan bunga; g. nominal penerbitan selama terdaftar; h. minimum nominal pembelian; i. minimum nominal pemindahbukuan; j. bentuk instrumen; k. penatausaha sentral instrumen; dan l. informasi lainnya. (2) Struktur penawaran SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. nama Penerbit; b. tipe instrumen; c. mekanisme penerbitan; d. nama SBK; e. denominasi mata uang; f. tenor penerbitan; g. perlakuan bunga; h. tingkat diskonto; i. nominal penerbitan; j. minimum nominal pembelian; k. minimum nominal pemindahbukuan; l. bentuk instrumen; m. penatausaha sentral instrumen; n. peringkat instrumen; o. penjaminan atau penanggungan; p. periode penawaran; q. tanggal penetapan nominal penerbitan; r. tanggal pembayaran; s. tanggal distribusi; dan t. informasi lainnya. (3) Rencana penggunaan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 paling sedikit memuat informasi mengenai tujuan penggunaan jangka pendek dana hasil penerbitan SBK: a. rencana penggunaan dana selama periode terdaftar; dan b. rencana penggunaan dana untuk tahap kesatu, disertai dengan penjelasannya. Pasal 35 Bagian II mengenai syarat dan kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf d paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. perhitungan harga dan tingkat diskonto; b. mekanisme penyelesaian dari Penerbit SBK apabila terjadi keterlambatan distribusi SBK maupun pembayaran kewajiban pelunasan; c. tanggung jawab dan mekanisme penyelesaian dari Penerbit SBK apabila terjadi kegagalan distribusi SBK maupun pelunasan; d. perpajakan; e. hukum Indonesia sebagai hukum yang mengatur; f. mekanisme penyelesaian sengketa di Indonesia; dan g. pemberitahuan kepada calon investor yang melakukan pembelian SBK di pasar perdana maupun pembelian dan/atau penjualan SBK di pasar sekunder menyetujui untuk memberikan data dan/atau informasi: 1. kepemilikan atas SBK; dan 2. transaksi dan penyelesaian transaksi SBK yang dilakukan; kepada Bank Indonesia. Pasal 36 Bagian III - bab I mengenai informasi terkait Penerbit SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf e terdiri atas subbab: a. informasi mengenai Korporasi Non-Bank; b. kegiatan usaha dan prospek usaha; c. risiko usaha; d. kondisi keuangan Korporasi Non-Bank; e. rating rationale atas SBK yang akan diterbitkan; dan f. opini hukum dari Konsultan Hukum. Pasal 37 (1) Informasi mengenai Korporasi Non-Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a paling sedikit harus memuat informasi sebagai berikut: a. pendirian Korporasi Non-Bank, yang paling sedikit meliputi: 1. nama lengkap Korporasi Non-Bank, waktu pendirian dan lingkup usaha beserta perubahannya, berdasarkan akta pendirian berikut perubahan anggaran dasar terakhir; dan 2. penjelasan terkait dokumen hukum lainnya yang menyatakan keabsahan Korporasi Non-Bank dan lingkup usaha yang dijalankan Korporasi Non-Bank; b. struktur organisasi Korporasi Non-Bank yang menggambarkan keseluruhan fungsi utama Korporasi Non-Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya; c. daftar jajaran manajemen Korporasi Non-Bank yang terdiri atas dewan komisaris dan direksi, yang disertai dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja; d. perkembangan kepemilikan saham pengendali Korporasi Non-Bank dan perubahannya dalam 3 (tiga) tahun terakhir; e. penjabaran atas entitas anak perusahaan yang memiliki hubungan signifikan dengan Korporasi Non- Bank, yang meliputi: 1. nama anak perusahaan; 2. tanggal berdiri anak perusahaan; 3. jenis usaha yang dijalankan anak perusahaan; dan 4. hubungan anak perusahaan dengan Korporasi Non-Bank. (2) Hubungan signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan hubungan yang dapat memengaruhi kinerja Korporasi Non-Bank melalui: a. kepemilikan Korporasi Non-Bank terhadap anak perusahaan adalah sebesar 50% (lima puluh persen) atau lebih pada anak perusahaan dan anak perusahaan tersebut memberikan kontribusi pendapatan yang signifikan bagi kelangsungan usaha Korporasi Non-Bank; atau b. kepemilikan saham Korporasi Non-Bank sebesar 50% (lima puluh persen) atau lebih pada anak perusahaan dan anak perusahaan tersebut menjalankan kegiatan usaha yang penting bagi kelangsungan usaha Korporasi Non-Bank. (3) Dalam hal Korporasi Non-Bank yang beroperasi kurang dari 3 (tiga) tahun dan dipersyaratkan harus memiliki penjaminan atau penanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, informasi harus turut mencakup informasi mengenai penjamin atau penanggung. (4) Informasi mengenai penjamin atau penanggung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat informasi: a. nama penjamin atau penanggung; b. kegiatan usaha dan legalitas penjamin atau penanggung; dan c. uraian singkat kapabilitas dari penjamin atau penanggung dalam melakukan penjaminan atau penanggungan. Pasal 38 Informasi mengenai kegiatan usaha dan prospek usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. penjelasan mengenai kegiatan usaha yang dijalankan oleh Korporasi Non-Bank saat ini, diikuti dengan penjelasan mengenai lingkup usaha ketika berdiri dan perkembangannya dalam 1 (satu) tahun terakhir; b. penjelasan mengenai produk utama Korporasi Non-Bank dan proses produksi atau bisnis, paling sedikit menyangkut: 1. produk utama Korporasi Non-Bank dan lokasi kegiatan operasi utama Korporasi Non-Bank dilakukan; 2. proses produksi, sistem distribusi dan pemasaran; dan 3. sifat musiman dari kegiatan usaha Korporasi Non- Bank yang memengaruhi pendapatan penjualan; dan c. analisis mengenai strategi usaha dan prospek usaha jangka pendek mempertimbangkan kondisi ekonomi domestik dan global yang relevan. Pasal 39 Informasi mengenai risiko usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf c paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. pengungkapan risiko usaha yang memiliki dampak signifikan terhadap kelangsungan usaha Korporasi Non- Bank; b. cakupan risiko usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a meliputi risiko usaha yang bersumber dari: 1. faktor ekonomi makro; dan 2. faktor ekonomi mikro; c. perikatan yang berpotensi mengakibatkan pada peningkatan atau penurunan yang signifikan pada kondisi keuangan Korporasi Non-Bank; d. informasi mengenai perkara, sengketa, atau klaim yang timbul yang melibatkan Korporasi Non-Bank dan secara material dapat memengaruhi keadaan keuangan dan kelangsungan usaha Korporasi Non-Bank, apabila ada; dan e. risiko investasi SBK. Pasal 40 (1) Informasi mengenai kondisi keuangan Korporasi Non- Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf d paling sedikit harus memuat informasi sebagai berikut: a. ikhtisar data keuangan penting; b. peristiwa gagal bayar; c. pernyataan utang; dan d. kejadian penting setelah tanggal laporan keuangan tahunan audited terakhir. (2) Ikhtisar data keuangan penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a perlu disusun dengan ketentuan sebagai berikut: a. disajikan secara tahunan, 1. untuk 3 (tiga) tahun terakhir, untuk Korporasi Non-Bank yang telah beroperasi lebih dari 3 (tiga) tahun; atau 2. sejak beroperasinya Korporasi Non-Bank, untuk Korporasi Non-Bank yang beroperasi kurang dari 3 (tiga) tahun; b. bersumber dari laporan keuangan tahunan, paling sedikit berupa: 1. laporan posisi keuangan pada akhir periode; 2. laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain selama periode; 3. laporan arus kas selama periode; dan 4. laporan perubahan ekuitas selama periode; dan c. disajikan bersama dengan rasio keuangan yang dapat memberikan gambaran risiko jangka pendek dan risiko jangka panjang; (3) Rasio keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi: a. Profitability yang meliputi: 1. Return on assets (%); dan 2. Return on equity (%), b. Margin analysis yang meliputi: 1. Operating margin (%); dan 2. Net operating profit after tax, c. Asset Turnover yang meliputi: 1. Inventory turnover; 2. Average inventory period (days); 3. Account receivable turnover; 4. Average receivable collection period (days); 5. Payables turnover; dan 6. Payables payment period (days); d. Liquidity (short term) yang meliputi: 1. Current ratio; 2. Quick ratio; 3. Cash ratio; 4. Net Cash Flow from Operations (CFO) to current liabilities; 5. Free cash flow to current liabilities (termasuk all investing cash flow); 6. Free cash flow to current liabilities (hanya termasuk PPE Capex); 7. Levered Free Cash Flow Margin (%); dan 8. Unlevered Free Cash Flow Margin (%), e. Solvency (long term) yang meliputi: 1. Total Debt/Equity; dan 2. Total Debt/EBITDA. (4) Penggunaan rasio keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disesuaikan dengan sektor usaha yang dijalankan oleh Korporasi Non-Bank sebagai Penerbit SBK. (5) Ikhtisar data keuangan penting sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disertai dengan analisis pembahasan oleh manajemen yang menjelaskan kondisi keuangan Korporasi Non-Bank berdasarkan laporan keuangan, dengan penjelasan paling sedikit mencakup: a. peningkatan pendapatan yang disebabkan oleh adanya kenaikan harga jual produk secara signifikan; b. peningkatan atau penurunan pendapatan yang disebabkan oleh peristiwa luar biasa dan cenderung tidak berulang; c. peningkatan utang secara material untuk kepentingan investasi jangka pendek maupun jangka panjang, yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan usaha Korporasi Non-Bank dalam menghasilkan produk utama; d. perikatan yang berpengaruh signifikan pada pendapatan dan/atau beban Korporasi Non-Bank dalam 2 (dua) tahun ke depan; dan e. perikatan atau komitmen atau kontijensi yang telah terjadi dan belum terealisasi, namun akan memengaruhi pendapatan dan/atau beban Korporasi Non-Bank secara signifikan dalam menjalankan kegiatan operasi dalam 2 (dua) tahun ke depan. (6) Informasi terkait peristiwa gagal bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat: a. tidak pernah terjadinya peristiwa gagal bayar; dan b. terjadinya peristiwa gagal bayar yang pernah dialami termasuk penyelesaiannya, oleh Penerbit SBK. (7) Informasi terkait pernyataan utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit harus memuat informasi atas: a. posisi utang jangka panjang dan jangka pendek pada tanggal laporan keuangan tahunan terakhir; b. pengungkapan posisi utang jangka panjang dan jangka pendek berdasarkan mata uang; dan c. pengungkapan atas perjanjian (covenant) yang timbul dari pengikatan utang dan implementasi atas terpenuhinya perjanjian (covenant) tersebut. (8) Informasi terkait kejadian penting setelah tanggal laporan keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit oleh Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit memuat informasi maupun fakta material yang terjadi setelah tanggal laporan keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit oleh Akuntan Publik sampai dengan tanggal pengajuan pendaftaran SBK. Pasal 41 (1) Informasi terkait rating rationale sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf e paling sedikit memuat informasi atas analisis Lembaga Pemeringkat dalam menilai peringkat SBK. (2) Informasi terkait opini hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf f memuat informasi mengenai opini hukum yang dilakukan oleh Konsultan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. Pasal 42 Bagian III - bab II mengenai informasi terkait pembelian dan pemesanan SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf e terdiri atas subbab: a. Lembaga Pendukung Pasar Uang (LPPU) dan lembaga lain yang terlibat di pasar SBK dalam proses penerbitan SBK; b. perolehan informasi bagi calon investor SBK; dan c. prosedur pemesanan SBK. Pasal 43 (1) Subbab mengenai Lembaga Pendukung Pasar Uang (LPPU) di pasar SBK dan lembaga lain yang terlibat dalam proses penerbitan SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. penata laksana penerbitan (arranger) yang digunakan; b. Konsultan Hukum yang digunakan; c. Akuntan Publik yang digunakan; d. Notaris yang digunakan; e. Lembaga Pemeringkat yang melakukan penilaian peringkat SBK yang diterbitkan; dan f. lembaga lain yang terlibat, meliputi 1) agen pembayar SBK; dan 2) agen pemantau, apabila menggunakan agen pemantau. (2) Pengungkapan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat informasi terkait ada tidaknya hubungan afiliasi dengan Penerbit SBK. (3) Pengklasifikasian hubungan afiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai lembaga pendukung pasar uang yang melakukan kegiatan terkait SBK di pasar uang. Pasal 44 (1) Subbab mengenai perolehan informasi bagi calon investor SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf b memuat informasi mengenai cara calon investor SBK dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan berinvestasi SBK. (2) Subbab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. informasi mengenai media dan mekanisme perolehan informasi; dan b. pihak yang dapat dihubungi. Pasal 45 (1) Subbab mengenai prosedur pemesanan SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf c memuat informasi mengenai prosedur pemesanan SBK bagi calon investor yang berminat. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. prosedur pemesanan SBK; dan b. pihak yang dapat dihubungi untuk melakukan pemesanan. Pasal 46 Bagian IV yang merupakan pernyataan Penerbit SBK terkait pengungkapan seluruh informasi maupun fakta material dalam memorandum informasi dan kebenaran isi memorandum informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf f, memuat informasi berupa: a. nama pihak yang mewakili Penerbit SBK atas isi dalam memorandum informasi SBK; b. pernyataan Penerbit SBK bahwa: 1. seluruh informasi maupun fakta material telah diungkapkan dalam memorandum informasi SBK; dan 2. informasi yang terkandung dalam memorandum informasi SBK adalah benar dan bersifat tidak menyesatkan. c. penandatanganan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Bagian Ketiga Memorandum Informasi SBK pada Tahap Lanjutan Penerbitan SBK Secara Berkelanjutan Pasal 47 Memorandum informasi SBK pada tahap lanjutan dalam penerbitan SBK secara berkelanjutan memuat informasi yang sama dengan memorandum informasi SBK pada tahap pertama penerbitan secara berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, yang dilengkapi dengan pengkinian informasi terhadap isi memorandum informasi SBK sebelumnya. Pasal 48 Memorandum informasi SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 disusun dengan kandungan informasi dan urutan sebagai berikut: a. halaman depan; b. daftar isi; c. daftar tabel atas pengkinian informasi; d. bagian I mengenai struktur penawaran SBK dan rencana penggunaan dana; e. bagian II mengenai syarat dan kondisi; f. bagian III yang terdiri atas: 1. bab I mengenai informasi terkait Penerbit SBK; 2. bab II mengenai informasi terkait pembelian dan pemesanan SBK; dan 3. bab III mengenai pengkinian informasi dalam memorandum informasi SBK; dan g. bagian IV yang merupakan pernyataan Penerbit SBK terkait pengungkapan seluruh informasi maupun fakta material dalam memorandum informasi dan kebenaran isi memorandum informasi. Pasal 49 Cakupan informasi pada: a. halaman depan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a; b. bagian II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf e; dan c. bagian IV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf g, memuat informasi yang sama dengan informasi pada memorandum informasi SBK pada penerbitan secara berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31. Pasal 50 (1) Cakupan informasi Bagian I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf d terdiri atas: a. struktur penawaran SBK dan rencana penggunaan dana selama periode terdaftar di Bank Indonesia; b. struktur penawaran SBK dan rencana penggunaan dana pada tahap yang sedang dilakukan dalam penerbitan secara berkelanjutan; dan c. struktur penawaran SBK dan rencana penggunaan dana pada tahap sebelumnya dalam penerbitan secara berkelanjutan. (2) Struktur penawaran SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memuat informasi yang sama dengan struktur penawaran SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1). (3) Struktur penawaran SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c memuat informasi yang sama dengan struktur penawaran SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) untuk masing-masing tahapan penerbitan. Pasal 51 (1) Bagian III – bab III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf f angka 3 meliputi pengkinian informasi atas informasi yang tergolong ke dalam informasi maupun fakta material. (2) Informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam bab dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang mengatur mengenai keterbukaan informasi pascapenerbitan Surat Berharga Komersial. BAB V PEMROSESAN PERMOHONAN PENDAFTARAN PENERBITAN SBK Bagian Kesatu Pemrosesan Permohonan Pendaftaran Penerbitan SBK untuk Memperoleh Status Terdaftar Pasal 52 (1) Bank Indonesia akan memproses permohonan pendaftaran penerbitan SBK sepanjang Korporasi Non- Bank yang mengajukan permohonan pendaftaran penerbitan SBK: a. sedang tidak dalam pengenaan sanksi tidak dapat menerbitkan SBK selama 1 (satu) tahun ke depan dari Bank Indonesia; dan b. telah memenuhi seluruh kewajiban pada Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia memberikan persetujuan permohonan pendaftaran penerbitan SBK secara tertulis paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak surat permohonan dan dokumen pendukung diterima secara lengkap dan sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh Bank Indonesia. Pasal 53 (1) Bank Indonesia melakukan penelaahan terhadap dokumen yang diajukan terhadap pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (2) Dalam melakukan penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta klarifikasi dan/atau tambahan dokumen dan/atau informasi kepada Korporasi Non-Bank yang mengajukan permohonan pendaftaran penerbitan SBK dalam bentuk: a. surat; b. pertemuan tatap muka; dan/atau c. bentuk lainnya. (3) Dalam hal terdapat permintaan klarifikasi dan/atau tambahan dokumen dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Korporasi Non-Bank harus menyampaikan tanggapan klarifikasi dan/atau tambahan dokumen dan/atau informasi dimaksud paling lambat pada batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Dalam hal Korporasi Non-Bank tidak menyampaikan tanggapan klarifikasi dan/atau tambahan dokumen dan/atau informasi pada batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan SBK dianggap batal. Pasal 54 (1) Persetujuan pendaftaran penerbitan SBK oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 diberikan dengan mempertimbangkan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53. (2) Persetujuan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk penerbitan secara tunggal atau individual dituangkan dalam surat persetujuan pendaftaran penerbitan, yang memuat informasi paling sedikit: a. nominal maksimum penerbitan SBK yang diperbolehkan; b. batas waktu pelaksanaan distribusi SBK; dan c. nama SBK. (3) Persetujuan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk penerbitan secara berkelanjutan dituangkan dalam surat persetujuan pendaftaran penerbitan, yang memuat informasi paling sedikit: a. nominal maksimum penerbitan SBK yang diperbolehkan selama periode terdaftar; b. batas waktu pelaksanaan distribusi SBK; c. periode status terdaftar; dan d. nama SBK. Bagian Kedua Pemrosesan Permohonan Pendaftaran Penerbitan SBK Tahap Lanjutan Pasal 55 (1) Bank Indonesia akan memproses permohonan pendaftaran penerbitan SBK tahap lanjutan dalam penerbitan secara berkelanjutan sepanjang Korporasi Non-Bank yang mengajukan permohonan pendaftaran penerbitan SBK: a. sedang tidak dalam pengenaan sanksi tidak dapat menerbitkan SBK selama 1 (satu) tahun ke depan dari Bank Indonesia; dan b. telah memenuhi seluruh kewajiban pada Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia memberikan persetujuan atas permohonan pendaftaran penerbitan SBK tahap lanjutan secara tertulis paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak surat permohonan dan dokumen pendukung diterima secara lengkap dan sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh Bank Indonesia. Pasal 56 Bank Indonesia melakukan penelaahan terhadap dokumen yang diajukan atas pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. Pasal 57 (1) Persetujuan pendaftaran penerbitan SBK tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) diberikan dalam hal: a. hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 menunjukkan bahwa dokumen yang disampaikan Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK telah lengkap dan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan b. Penerbit SBK telah memenuhi seluruh ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan dan transaksi SBK di pasar uang. (2) Persetujuan pendaftaran penerbitan SBK tahap lanjutan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat persetujuan pendaftaran penerbitan, yang memuat informasi paling sedikit: a. nominal maksimum penerbitan SBK yang diperbolehkan; b. batas waktu pelaksanaan distribusi SBK; dan nama SBK. BAB VI PENAWARAN SBK DAN AKSES TERHADAP KETERBUKAAN INFORMASI PENERBITAN SBK Bagian Kesatu Penawaran SBK Pasal 58 Setelah memperoleh persetujuan pendaftaran penerbitan SBK dari Bank Indonesia, Penerbit SBK dapat melakukan: a. penawaran kepada calon investor SBK; dan b. pengajuan permohonan pendaftaran penatausahaan SBK kepada LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Pasal 59 (1) Penerbit SBK dan/atau penata laksana penerbitan (arranger) harus melakukan penawaran SBK kepada calon investor atau investor SBK secara bertanggung jawab dan memiliki tata kelola yang baik. (2) Penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa penyampaian informasi kepada calon investor. (3) Penyampaian informasi kepada calon investor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat informasi mengenai: a. memorandum informasi SBK; b. hak dan kewajiban investor SBK; c. biaya, manfaat, dan risiko yang timbul atas pemesanan dan pembelian SBK; d. jadwal penawaran SBK; dan e. syarat dan kondisi terkait pembelian SBK. Pasal 60 Dalam melakukan penawaran dan penerbitan SBK, Penerbit SBK harus menerapkan paling sedikit: a. aspek penetapan nominal SBK; b. aspek pembayaran pembelian SBK; dan c. aspek distribusi SBK. Pasal 61 (1) Penerapan aspek penetapan nominal SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a meliputi: a. penetapan nominal SBK yang diterbitkan, dilakukan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah berakhirnya masa penawaran; b. penetapan nominal SBK yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada huruf a, paling besar adalah sejumlah nominal SBK yang tertera di dalam surat persetujuan pendaftaran penerbitan SBK dari Bank Indonesia; dan c. dalam hal total nominal permintaan SBK oleh investor melebihi dari nominal SBK yang ditawarkan oleh Penerbit SBK, Penerbit SBK dan/atau Lembaga Pendukung Pasar Uang yang berperan sebagai penata laksana (arranger) penerbitan SBK melakukan pengalokasian SBK kepada investor sehingga nominal SBK yang diterbitkan tidak melebihi nominal SBK sebagaimana dimaksud dalam huruf b. (2) Penetapan nominal SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik dan unsur keadilan bagi investor. Pasal 62 Penerapan aspek pembayaran pembelian SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b yaitu penetapan rekening pada Bank yang ditunjuk oleh Penerbit SBK untuk menerima pembayaran pembelian SBK. Pasal 63 Penerapan aspek distribusi SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf c meliputi: a. distribusi SBK kepada investor SBK dilakukan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal penetapan nominal SBK yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a dan paling lambat 25 (dua puluh lima) hari kerja sejak tanggal persetujuan pendaftaran penerbitan SBK; dan b. distribusi SBK sebagaimana dimaksud dalam huruf a dianggap telah terjadi apabila SBK telah tercatat secara elektronik di KSEI. Pasal 64 (1) Dalam hal terjadi keterlambatan distribusi SBK, Penerbit SBK harus membayar denda keterlambatan kepada investor SBK sesuai dengan mekanisme pembayaran denda keterlambatan yang ditetapkan oleh Penerbit SBK. (2) Mekanisme pembayaran denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan mekanisme penyelesaian yang tercantum dalam memorandum informasi SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b atau Pasal 35 huruf b. Pasal 65 (1) Dalam hal terjadi pembatalan penawaran SBK oleh Penerbit SBK dan pembayaran dana telah dilakukan oleh investor SBK, Penerbit SBK melakukan pengembalian dana kepada investor SBK. (2) Pengembalian dana kepada investor SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan mekanisme pengembalian dana yang tercantum dalam memorandum informasi SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c atau Pasal 35 huruf c yang ditetapkan oleh Penerbit SBK. (3) Pengembalian dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disertai dengan pembayaran denda, apabila pengembalian dana dilakukan melebihi tanggal distribusi SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf a. Bagian Kedua Laporan Hasil Penawaran SBK Pasal 66 (1) Penerbit SBK harus menyampaikan hasil penawaran SBK kepada Bank Indonesia. (2) Dokumen dalam penyampaian hasil penawaran SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk: a. hardcopy; dan b. softcopy: 1. dalam format excel dan scan dokumen dalam format pdf untuk dokumen rekapitulasi hasil penawaran; dan 2. scan dokumen dalam format pdf untuk dokumen lainnya. (3) Hasil penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat penyampaian hasil penawaran yang disertai dengan dokumen pendukung paling sedikit mencakup: a. rekapitulasi hasil penawaran SBK; b. salinan memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya yang digunakan dalam penawaran; dan c. surat pernyataan Penerbit SBK yang menerangkan bahwa memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya yang diserahkan kepada calon investor SBK dalam rangka penawaran sama dengan memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia ketika mengajukan permohonan pendaftaran penerbitan SBK. (4) Contoh surat penyampaian hasil penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (5) Contoh rekapitulasi hasil penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a tercantum dalam Lampiran VII. (6) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c tercantum dalam Lampiran IV. Pasal 67 (1) Penyampaian hasil penawaran SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dilakukan paling lambat 25 (dua puluh lima) hari kerja setelah disetujuinya pendaftaran penerbitan SBK oleh Bank Indonesia. (2) Dalam hal Penerbit SBK tidak menyampaikan hasil penawaran SBK kepada Bank Indonesia dan tidak melakukan distribusi SBK dalam waktu 25 (dua puluh lima) hari kerja setelah disetujuinya pendaftaran penerbitan SBK maka persetujuan pendaftaran penerbitan SBK menjadi batal. Bagian Ketiga Penundaan Penawaran SBK Pasal 68 (1) Penundaan penawaran SBK dalam penerbitan secara individual hanya dapat dilakukan sebanyak 1 (satu) kali. (2) Penundaan penawaran SBK dalam penerbitan secara berkelanjutan hanya dapat dilakukan sebanyak 1 (satu) kali pada setiap tahapan penerbitan SBK. (3) Jangka waktu penundaan penawaran paling lama dilakukan 1 (satu) bulan dari tanggal distribusi SBK yang tercantum pada surat persetujuan pendaftaran penerbitan SBK sebelumnya. Pasal 69 (1) Penerbit SBK dapat melakukan penundaan penawaran SBK dengan terlebih dahulu menyampaikan rencana penundaan dimaksud kepada Bank Indonesia. (2) Penyampaian rencana penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum batas waktu penyampaian laporan hasil penawaran SBK oleh Penerbit SBK kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67. (3) Penyampaian rencana penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan informasi paling sedikit alasan penundaan penawaran penerbitan SBK. (4) Contoh penyampaian informasi terkait rencana penundaan penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IV. (5) Dokumen dalam penyampaian rencana penundaan penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk: a. hardcopy; dan b. softcopy atas scan dokumen dalam format pdf. Pasal 70 (1) Bank Indonesia menyampaikan surat kepada Penerbit SBK atas rencana penundaan penawaran SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 yang memuat informasi batas waktu distribusi SBK yang baru. (2) Penyampaian surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (3) Apabila Penerbit SBK tidak melakukan distribusi SBK dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan pendaftaran penerbitan SBK menjadi batal. Pasal 71 (1) Pascapenyampaian rencana penundaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Penerbit SBK harus menyampaikan hasil penawaran SBK paling lambat pada batas waktu distribusi SBK yang baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1). (2) Contoh penyampaian hasil penawaran dengan mekanisme penundaan penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VII. Bagian Keempat Akses Terhadap Keterbukaan Informasi Terkait Penerbitan SBK Pasal 72 (1) Penerbit SBK wajib mengungkapkan peringkat SBK yang diterbitkan kepada investor dan/atau calon investor SBK, setelah memperoleh persetujuan pendaftaran penerbitan SBK dari Bank Indonesia. (2) Pengungkapan peringkat SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat sejak tanggal dilakukannya penawaran SBK. (3) Penerbit SBK harus memastikan pengungkapan peringkat SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui laman Penerbit SBK, laman Lembaga Pemeringkat yang melakukan penilaian peringkat SBK yang diterbitkan, dan media lainnya. Pasal 73 (1) Dalam melakukan penawaran SBK, Penerbit dan/atau Lembaga Pendukung Pasar Uang yang berperan sebagai penata laksana (arranger) penerbitan SBK harus memberikan kemudahan kepada calon investor SBK untuk mengakses memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya terkait Penerbit SBK maupun SBK. (2) Calon investor SBK dapat meminta memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya kepada Penerbit SBK dan/atau Lembaga Pendukung Pasar Uang yang berperan sebagai penata laksana (arranger) penerbitan SBK. (3) Penerbit SBK dan Lembaga Pendukung Pasar Uang yang berperan sebagai penata laksana (arranger) penerbitan SBK harus memastikan bahwa calon investor SBK telah membaca memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya yang berkaitan dengan keterbukaan informasi sebelum menyatakan pemesanan SBK. BAB VII PENERBITAN DAN PENATAUSAHAAN SBK Bagian Kesatu Penatausahaan SBK Pasal 74 Penatausahaan dan penyelesaian transaksi SBK dilaksanakan oleh KSEI sebagai LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Pasal 75 Penatausahaan dan penyelesaian transaksi SBK oleh LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dilakukan dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan terkait LPP atau ketentuan yang diterbitkan oleh LPP. Bagian Kedua Bukti Penerbitan Kolektif dan Bukti Kepemilikan SBK Pasal 76 (1) Penerbit SBK harus menerbitkan bukti penerbitan kolektif SBK yang diterbitkannya. (2) Bukti penerbitan kolektif SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilengkapi oleh Penerbit SBK dengan akta pernyataan penerbitan. (3) Bukti kepemilikan SBK adalah pencatatan secara elektronik di KSEI. Pasal 77 (1) Penerbitan bukti penerbitan kolektif SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 harus dilakukan segera setelah Penerbit SBK menerima pembayaran atas pemesanan SBK dari seluruh investor SBK. (2) Dalam hal Penerbit SBK menerbitkan beberapa seri SBK dalam 1 (satu) tahap penerbitan SBK, maka bukti penerbitan kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat untuk masing-masing seri SBK yang diterbitkan. Pasal 78 (1) Bukti penerbitan kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 disusun sesuai dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 174 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. (2) Dalam hal SBK diterbitkan dengan disertai oleh adanya penjaminan atau penanggungan: a. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b angka 1; atau b. sebagai tambahan fitur penjaminan atau penanggungan selain yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b angka 1, bukti penerbitan kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat penjaminan atau penanggungan dimaksud. (3) Format bukti penerbitan kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran V. Pasal 79 Bukti penerbitan kolektif SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dapat ditandatangani di hadapan Notaris. Pasal 80 (1) Bukti penerbitan kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 harus disampaikan oleh Penerbit SBK kepada Bank Indonesia atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal distribusi SBK. (2) Bank Indonesia atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia akan menyimpan bukti penerbitan kolektif SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 81 Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas atau instansi lainnya dalam hal terjadi kondisi tertentu terkait pelaksanaan penerbitan dan transaksi SBK. BAB VIII KETERBUKAAN INFORMASI PASCA-PENERBITAN SBK Pasal 82 (1) Penerbit SBK wajib mengungkapkan informasi maupun fakta material kepada investor SBK dan/atau calon investor SBK dalam hal terdapat perubahan informasi maupun fakta material terkait kondisi Penerbit SBK pascapenerbitan SBK. (2) Dalam hal Penerbit SBK terdaftar dalam penerbitan SBK secara berkelanjutan, selain mengungkapkan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit SBK harus mengungkapkan kepada investor SBK dan/atau calon investor SBK informasi atas realisasi penerbitan SBK secara berkelanjutan. Pasal 83 (1) Perubahan informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) dapat berupa pengkinian informasi maupun fakta material yang terdapat dalam memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3) huruf b serta penambahan informasi maupun fakta material baru. (2) Informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) mencakup: a. pengkinian atas kondisi keuangan Penerbit SBK berupa laporan keuangan terkini; b. perubahan dalam kegiatan usaha Penerbit SBK; c. investasi maupun pembiayaan yang dilakukan oleh Penerbit SBK dalam jumlah material; d. perubahan dalam pencatatan saham Penerbit SBK yang diakibatkan aktivitas seperti pemecahan atau penggabungan saham; e. perubahan status Penerbit SBK dari perusahaan tertutup menjadi perusahaan terbuka; f. perubahan dewan komisaris dan/atau direksi Penerbit SBK; g. perkara hukum yang dialami oleh Penerbit SBK, dewan komisaris, dan/atau direksi Penerbit SBK; h. penggantian Lembaga Pendukung Penerbitan SBK yang digunakan oleh Penerbit SBK, khusus untuk penerbitan secara berkelanjutan; i. perubahan atas metode yang digunakan Penerbit SBK dalam penyusunan laporan keuangan; j. hasil pengawasan khusus dari otoritas terkait; k. transaksi secara material yang dilakukan oleh Penerbit SBK yang memiliki nilai paling kurang 20% (dua puluh persen) dari ekuitas; l. perubahan peringkat SBK yang telah diterbitkan dan belum jatuh tempo; dan m. informasi maupun fakta material lainnya. Pasal 84 Pengungkapan informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 harus memenuhi prinsip keterbukaan informasi yang meliputi adanya kelengkapan, kecukupan, objektivitas, kejelasan, dan kemudahan untuk dimengerti. Pasal 85 Pengungkapan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dilakukan paling lambat: a. 1 (satu) bulan sejak tanggal laporan keuangan, untuk laporan keuangan tahunan unaudited; b. 4 (empat) bulan sejak tanggal laporan keuangan, untuk laporan keuangan tahunan audited; c. 2 (dua) hari kerja setelah terjadinya kejadian atau peristiwa yang dikategorikan sebagai informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2), diluar laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) huruf a; dan/atau d. 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya status terdaftar penerbitan secara berkelanjutan, untuk informasi realisasi penerbitan selama terdaftar dalam penerbitan SBK secara berkelanjutan. Pasal 86 (1) Pengungkapan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 harus dilakukan melalui sarana yang memudahkan akses informasi oleh investor SBK dan/atau calon investor SBK. (2) Pengungkapan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilakukan melalui laman Penerbit SBK. Pasal 87 Penerbit SBK wajib melaporkan pengungkapan keterbukaan informasi pascapenerbitan SBK yang telah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 kepada Bank Indonesia. BAB IX TRANSAKSI SBK DI PASAR SEKUNDER Pasal 88 (1) Transaksi SBK di pasar sekunder harus memiliki sebuah kode unik transaksi. (2) Ketentuan lebih lanjut atas kode unik transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada: a. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum, untuk Bank sebagai pelapor transaksi SBK; dan b. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan transaksi oleh Non-Bank, untuk Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan Bank yang melaksanakan kegiatan kustodian sebagai pelapor transaksi SBK. Pasal 89 Dengan melakukan transaksi SBK, Pelaku Transaksi SBK dianggap telah menyetujui untuk memberikan akses kepada Bank Indonesia atas detil data transaksi, penyelesaian transaksi, dan posisi kepemilikan SBK. Pasal 90 (1) Perhitungan harga transaksi SBK menggunakan konvensi perhitungan hari (day-count convention) yaitu Actual/360. (2) Contoh perhitungan harga transaksi SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I. Pasal 91 (1) Penentuan harga dalam transaksi SBK dapat mengacu pada suku bunga acuan yang berlaku secara umum di pasar uang. (2) Suku bunga acuan yang berlaku umum di pasar uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) untuk mata uang rupiah; b. London Interbank Offered Rate (LIBOR) untuk mata uang valuta asing; dan/atau c. suku bunga acuan lainnya yang lazim digunakan. Pasal 92 Penyelesaian transaksi SBK di pasar sekunder harus dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah transaksi (T+3). Pasal 93 (1) Pelaksanaan transaksi SBK di pasar sekunder dapat dilakukan dengan menggunakan sarana pelaksanaan transaksi yang lazim digunakan di pasar uang. (2) Pelaku transaksi harus menggunakan sarana pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang aman dan handal. Pasal 94 (1) Pelaku Transaksi SBK dan Lembaga Pendukung Transaksi SBK harus mendukung pembentukan harga secara transparan dan kredibel. (2) Dukungan dalam pembentukan harga secara transparan dan kredibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui: a. pelaporan transaksi SBK kepada Bank Indonesia; dan b. adanya prosedur operasi standar yang memuat tata cara pelaksanan kegiatan sebagai Lembaga Pendukung Transaksi SBK, dalam hal Lembaga Pendukung Transaksi SBK memperantarai transaksi SBK. BAB X PELAPORAN Bagian Kesatu Jenis Laporan oleh Penerbit SBK Pasal 95 Pascapelaksanaan penerbitan SBK, Penerbit SBK wajib menyampaikan: a. laporan secara berkala; dan/atau b. laporan secara insidentil, kepada Bank Indonesia. Bagian Kedua Laporan Secara Berkala oleh Penerbit SBK Pasal 96 Laporan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 huruf a terdiri atas: a. laporan realisasi penerbitan; b. laporan perubahan informasi maupun fakta material, yang meliputi perubahan informasi maupun fakta material, dan/atau tidak ada perubahan informasi maupun fakta material; dan c. data posisi kepemilikan investor atas SBK yang diterbitkan. Pasal 97 (1) Laporan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf a disampaikan kepada Bank Indonesia pertama kali pada tanggal 5 di bulan setelah bulan penerbitan SBK dilakukan. (2) Laporan secara berkala berikutnya disampaikan setiap tanggal 5 setiap bulannya. (3) Penyampaian laporan secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sampai dengan SBK yang diterbitkan jatuh tempo. (4) Contoh penerapan pemenuhan kewajiban penyampaian laporan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 tercantum dalam Lampiran VII. Paragraf 1 Laporan Realisasi Penerbitan Pasal 98 Penerbit SBK wajib menyampaikan laporan realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf a setiap dilakukannya penerbitan SBK. Pasal 99 (1) Laporan realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf a memuat informasi mengenai: a. realisasi distribusi SBK; dan b. penggunaan dana hasil penerbitan. (2) Contoh surat penyampaian dan laporan realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VII. Pasal 100 (1) Laporan realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 harus disampaikan kepada Bank Indonesia pada periode laporan terdekat sejak timbulnya kewajiban pelaporan bagi Penerbit SBK kepada Bank Indonesia. (2) Contoh penerapan penyampaian pelaporan secara berkala sesuai dengan cakupan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran VII. Paragraf 2 Laporan Perubahan Informasi maupun Fakta Material Pasal 101 (1) Laporan perubahan informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf b disampaikan dalam hal terjadi dan/atau tidak terjadi perubahan informasi maupun fakta material. (2) Informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah informasi maupun fakta material sebagai berikut: a. pengkinian atas kondisi keuangan Penerbit SBK berupa laporan keuangan terkini; b. perubahan dalam kegiatan usaha Penerbit SBK; c. investasi maupun pembiayaan yang dilakukan oleh Penerbit SBK dalam jumlah material; d. perubahan dalam pencatatan saham Penerbit SBK yang diakibatkan aktivitas seperti pemecahan atau penggabungan saham; e. perubahan status Penerbit SBK dari perusahaan tertutup menjadi perusahaan terbuka; f. perubahan dewan komisaris dan/atau direksi Penerbit SBK; g. perkara hukum yang dialami oleh Penerbit SBK, dewan komisaris dan/atau direksi Penerbit SBK; h. penggantian Lembaga Pendukung Penerbitan SBK yang digunakan oleh Penerbit SBK, khusus untuk penerbitan secara berkelanjutan; i. perubahan atas metode yang digunakan Penerbit SBK dalam penyusunan laporan keuangan; j. hasil pengawasan khusus dari otoritas terkait; k. transaksi secara material yang dilakukan oleh Penerbit SBK yang memiliki nilai paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari ekuitas; l. perubahan peringkat SBK yang telah diterbitkan dan belum jatuh tempo; dan m. informasi maupun fakta material lainnya. Bagian Ketiga Laporan Insidentil oleh Penerbit SBK Pasal 102 Laporan secara insidentil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 huruf b terdiri atas: a. laporan perubahan informasi maupun fakta material yang signifikan; dan b. laporan realisasi penerbitan berkelanjutan. Paragraf 1 Laporan Perubahan Informasi Maupun Fakta Material yang Signifikan Pasal 103 Informasi maupun fakta material yang signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 huruf a merupakan informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) yang memuat: a. pengkinian atas kondisi keuangan Penerbit SBK berupa laporan keuangan terkini; b. perubahan dalam kegiatan usaha Penerbit SBK; c. perubahan status Penerbit SBK dari perusahaan tertutup menjadi perusahaan terbuka; d. perubahan dewan komisaris dan/atau direksi Penerbit SBK; e. perkara hukum yang dialami oleh Penerbit SBK, dewan komisaris, dan/atau direksi Penerbit SBK; hasil pengawasan khusus dari otoritas terkait; f. g. transaksi secara material yang dilakukan oleh Penerbit SBK, bila transaksi memiliki nilai paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari ekuitas; h. perubahan peringkat SBK yang telah diterbitkan dan belum jatuh tempo; dan i. informasi maupun fakta material yang signifikan lainnya. Pasal 104 (1) Laporan secara insidentil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 huruf b disampaikan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah terjadinya kejadian atau peristiwa yang dikategorikan sebagai informasi maupun fakta material yang signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103. (2) Khusus untuk pengkinian atas kondisi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) huruf a, batas waktu penyampaian laporan insidentil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 huruf b berlaku sama dengan batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 huruf a dan huruf b. (3) Contoh penyampaian laporan insidentil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VII. Paragraf 2 Laporan Realisasi Penerbitan Berkelanjutan Pasal 105 (1) Penerbit SBK wajib menyampaikan laporan realisasi penerbitan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 huruf b setelah berakhirnya status terdaftar di Bank Indonesia. (2) Laporan realisasi penerbitan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 huruf b memuat informasi mengenai: a. tercapai tidaknya pemenuhan penghimpunan dana melalui penerbitan SBK secara berkelanjutan sesuai dengan jumlah nominal yang tercantum dalam surat persetujuan pendaftaran penerbitan SBK; dan b. alasan tidak tercapainya target penghimpunan dana bila jumlah total dana yang dihimpun kurang dari jumlah nominal yang tercantum dalam surat persetujuan pendaftaran penerbitan SBK. (3) Contoh laporan realisasi penerbitan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VII. Bagian Keempat Penyampaian Laporan oleh Penerbit SBK kepada Bank Indonesia Pasal 106 (1) Dokumen dalam penyampaian laporan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 dan dokumen dalam penyampaian laporan secara insidentil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 disampaikan dalam bentuk: a. hardcopy; dan b. softcopy: 1. dalam format excel dan scan dokumen dalam format pdf untuk rekapitulasi realisasi distribusi SBK; dan 2. scan dokumen dalam format pdf untuk dokumen lainnya. (2) Implementasi dari pelaporan data posisi kepemilikan investor atas SBK yang diterbitkan oleh Penerbit SBK tercakup dalam laporan penatausahaan dan penyelesaian transaksi SBK oleh KSEI selaku LPP SBK kepada Bank Indonesia. Pasal 107 (1) Dalam hal Bank Indonesia memerlukan tambahan informasi atas laporan secara berkala dan/atau laporan secara insidentil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95, Bank Indonesia akan meminta kepada Penerbit SBK untuk menyampaikan tambahan informasi tersebut kepada Bank Indonesia. (2) Permintaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis melalui surat atau media lainnya. (3) Penerbit SBK wajib menyampaikan tambahan informasi yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat pada batas waktu pemenuhan permintaan yang ditentukan Bank Indonesia sejak tanggal permintaan tambahan informasi dari Bank Indonesia. Pasal 108 Penyampaian laporan perubahan informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 dan Pasal 103 harus disertai dengan dokumen pendukung berupa: a. fotokopi dokumen yang membuktikan terjadinya kejadian atau peristiwa yang dikategorikan sebagai informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 dan Pasal 103; dan b. bukti pengungkapan informasi maupun fakta material yang dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 dan Pasal 103 kepada investor dan/atau calon investor SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1). Bagian Kelima Pelaporan Transaksi SBK Pasal 109 (1) Pelaku Transaksi SBK wajib menyampaikan laporan transaksi SBK kepada Bank Indonesia. (2) Pelaku Transaksi SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. nasabah yang berperan sebagai investor SBK; dan b. Bank dan Perusahaan Efek yang berperan dalam perdagangan SBK. (3) Pelaporan transaksi SBK oleh Pelaku Transaksi SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui: a. Bank, apabila transaksi SBK dilakukan dengan Bank; b. Lembaga Pendukung Transaksi SBK, apabila transaksi SBK dilakukan dengan perantara Lembaga Pendukung Transaksi SBK; dan/atau c. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi SBK, apabila transaksi SBK dilakukan oleh nasabah secara langsung tanpa melibatkan Bank/atau Perusahaan Efek. Pasal 110 (1) Pelaku Transaksi SBK berupa Bank dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) huruf b wajib melaporkan kepada Bank Indonesia mengenai informasi transaksi SBK yang dilakukan. (2) Bank, Lembaga Pendukung Transaksi SBK, dan/atau Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi SBK yang terlibat dalam transaksi SBK nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) huruf a wajib melaporkan kepada Bank Indonesia mengenai informasi transaksi SBK yang dilakukan oleh nasabah tersebut. Pasal 111 Laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) paling sedikit memuat informasi: a. tanggal dilakukannya transaksi; b. kode unik transaksi; c. nama pelaku transaksi; d. jenis pelaku transaksi; e. nama, jenis, dan/atau kode SBK yang ditransaksikan; f. jenis transaksi; g. nominal transaksi; h. yield saat ditransaksikan; dan i. tenor transaksi, bila transaksi merupakan transaksi repo atau reverse repo. Pasal 112 (1) Pelaporan transaksi SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) dilakukan melalui sistem pelaporan Bank Indonesia. (2) Detil informasi pelaporan dan tata cara penyampaian pelaporan transaksi SBK melalui sistem pelaporan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merujuk pada: a. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum, untuk Bank sebagai pelapor transaksi SBK; dan b. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan transaksi oleh Non-Bank, untuk Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan Bank yang melaksanakan kegiatan kustodian sebagai pelapor transaksi SBK. Bagian Ketiga Pelaporan Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi SBK oleh LPP Pasal 113 (1) KSEI menyampaikan laporan penatausahaan dan penyelesaian transaksi SBK kepada Bank Indonesia secara berkala. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan KSEIselaku LPP SBK. (3) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian antara Bank Indonesia dengan KSEI. BAB XI KORESPONDENSI Pasal 114 (1) Pengajuan atau penyampaian hal sebagai berikut: a. pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan SBK dan dokumen pendukung ke Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a; b. pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan SBK tahap lanjutan dan dokumen pendukungnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a; c. penyampaian hasil penawaran SBK dalam bentuk hardcopy sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a; d. penyampaian rencana penundaan penawaran SBK dalam bentuk hardcopy sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (5) huruf a; dan e. penyampaian laporan dalam bentuk hardcopy sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf a, kepada Bank Indonesia ditujukan kepada: Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia Gedung C Lantai 5 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (2) Penyampaian: a. surat permohonan pendaftaran penerbitan SBK dan dokumen pendukung ke Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b; b. surat permohonan pendaftaran penerbitan SBK tahap lanjutan dan dokumen pendukungnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b; c. dokumen hasil penawaran SBK dalam bentuk softcopy sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b; d. dokumen dalam penyampaian rencana penundaan penawaran dalam bentuk softcopy sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (5) huruf b; e. dokumen dalam penyampaian laporan dalam bentuk softcopy sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf b, disampaikan ke alamat email [email protected] atau sarana elektronik lainnya yang ditentukan oleh Bank Indonesia. BAB XI PENGAWASAN Pasal 115 Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap penerbitan dan transaksi SBK. Pasal 116 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dilakukan terhadap: a. Penerbit SBK; dan b. Pelaku Transaksi SBK yang berperan dalam perdagangan di pasar SBK. (2) Pelaku Transaksi SBK yang berperan dalam perdagangan di pasar SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas Bank dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) huruf b. Pasal 117 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. (2) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (3) Pihak yang ditugaskan melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib menjaga kerahasiaan data, informasi, dan keterangan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan. Pasal 118 Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115, Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas lain yang berwenang, instansi, dan/atau lembaga profesi terkait. Pasal 119 (1) Seluruh pihak yang diawasi oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 wajib menyediakan dan menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan oleh Bank Indonesia. (2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib bertanggung jawab atas kebenaran data, informasi, dan/atau keterangan yang disampaikan kepada Bank Indonesia. BAB XII PENGENAAN SANKSI Bagian Kesatu Sanksi bagi Penerbit SBK Pasal 120 Sanksi bagi Penerbit SBK dapat berupa: a. sanksi teguran tertulis; dan/atau b. sanksi tidak dapat menerbitkan SBK selama 1 (satu) tahun ke depan. Pasal 121 (1) Penerbit SBK yang melakukan pelanggaran atas kewajiban untuk: a. memenuhi ketentuan mengenai prinsip keterbukaan serta pencantuman informasi yang benar dan tidak menyesatkan pada dokumen memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang; dan/atau b. mencantumkan informasi yang benar dan tidak menyesatkan pada dokumen pendaftaran penerbitan SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Penerbit SBK yang mencantumkan informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang yang tidak benar dan menyesatkan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Dalam hal informasi yang tercantum dalam dokumen memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya serta dokumen pendaftaran penerbitan SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui tidak benar dan menyesatkan setelah persetujuan pendaftaran diberikan, Bank Indonesia tetap dapat mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis terhadap Penerbit SBK. (4) Penerbit SBK yang tidak mencantumkan perubahan informasi maupun fakta material dalam memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang, dikenakan sanksi berupa teguran tertulis. Pasal 122 Penerbit SBK yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 123 (1) Penerbit SBK yang tidak melaporkan: a. realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf a Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang; b. perubahan informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf b Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang; c. realisasi penerbitan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang; dan/atau d. perubahan informasi maupun fakta material yang signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Penerbit SBK yang tidak memenuhi kewajiban menyampaikan data posisi kepemilikan investor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Penerbit SBK yang tidak menyampaikan tambahan informasi yang diminta oleh Bank Indonesia atas laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (4) Penerbit SBK yang tidak menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak penyampaian teguran tertulis atas pelanggaran kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dikenakan sanksi teguran tertulis berikutnya. (5) Pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak menghilangkan kewajiban Penerbit SBK untuk menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia. Pasal 124 (1) Penerbit SBK yang tidak menyediakan data, informasi, dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5) Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Penerbit SBK yang tidak menyediakan data, informasi, dan/atau keterangan secara benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6) Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 125 (1) Penerbit SBK yang telah menerima sanksi administratif berupa teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 sampai dengan Pasal 124 dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, dikenakan sanksi tidak dapat menerbitkan SBK selama 1 (satu) tahun ke depan. (2) Penghitungan sanksi tidak dapat menerbitkan SBK selama 1 (satu) tahun ke depan sebagaimana contoh dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 126 Penerbit SBK yang mendapatkan sanksi administratif berupa teguran tertulis, tetap harus memenuhi kewajiban yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 127 Dalam hal Penerbit SBK melakukan pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 12, Pasal 14, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 37 ayat (5), dan/atau Pasal 37 ayat (6) Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang yang berdampak signifikan dan/atau menimbulkan kerugian, Bank Indonesia mengenakan sanksi kepada Penerbit SBK berupa larangan penerbitan SBK selama 1 (satu) tahun dari tanggal pengenaan sanksi. Pasal 128 (1) Penyampaian surat pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 sampai dengan Pasal 124, ditembuskan kepada otoritas atau instansi lain yang berwenang. (2) Penyampaian surat pengenaan sanksi tidak dapat menerbitkan SBK selama 1 (satu) tahun ke depan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dan Pasal 126, ditembuskan kepada otoritas atau instansi lain yang berwenang. Bagian Kedua Sanksi bagi Pelaku Transaksi SBK Pasal 129 Sanksi bagi Pelaku Transaksi SBK adalah sanksi teguran tertulis. Pasal 130 (1) Pelaku Transaksi SBK yang berperan dalam perdagangan SBK yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Pelaku Transaksi SBK yang berperan dalam perdagangan SBK yang tidak menyediakan data, informasi, dan/atau keterangan secara benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5) dan/atau ayat (6) Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Pelaku Transaksi SBK yang berperan dalam perdagangan SBK yang tidak menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak penyampaian teguran tertulis atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenakan sanksi teguran tertulis berikutnya. (4) Pelaku Transaksi SBK yang berperan dalam perdagangan SBK yang tidak terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (5) Pelaku Transaksi SBK yang berperan dalam perdagangan SBK yang mendapatkan sanksi administratif berupa teguran tertulis, tetap harus memenuhi kewajiban yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Ketiga Sanksi atas Pelanggaran terkait Laporan Transaksi SBK Pasal 131 (1) Sanksi bagi Pelaku Transaksi SBK berupa Bank dan Perusahaan Efek, Lembaga Pendukung Transaksi SBK, serta Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian SBK atas pelanggaran terkait laporan transaksi SBK mengacu pada: a. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum, untuk Bank sebagai pelapor transaksi SBK; dan/atau b. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan transaksi oleh Non-Bank, untuk Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan Bank yang melaksanakan kegiatan kustodian sebagai pelapor transaksi SBK. Pasal 132 Pengenaan sanksi atas pelanggaran terhadap kewajiban melaporkan informasi mengenai transaksi SBK yang dilakukan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang, mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem pelaporan Bank Indonesia yaitu: a. mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum bagi Bank sebagai pelapor transaksi SBK; b. mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan transaksi oleh Non-Bank, bagi Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan Bank yang melaksanakan kegiatan kustodian sebagai pelapor transaksi SBK. Pasal 133 Pengenaan sanksi tidak dapat menerbitkan SBK selama 1 (satu) tahun ke depan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 tidak menghilangkan kewajiban bagi Penerbit SBK untuk menyelesaikan seluruh kewajiban kepada investor SBK. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 134 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD PERRY WARJIYO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/1/PADG/20182017 TENTANG PENERBITAN DAN TRANSAKSI SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG I. UMUM Guna meningkatkan efektivitas kebijakan moneter, makroprudensial, stabilitas sistem keuangan, serta kelancaran sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, perlu dilakukan pengembangan pasar uang yang likuid, dalam, dan efisien. Salah satu elemen utama pengembangan pasar uang adalah pengembangan instrumen pasar uang yang mampu mendorong tersedianya variasi instrumen bagi pelaku pasar. Terkait hal tersebut, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang yang menjadi landasan hukum bagi pelaku pasar, termasuk Lembaga Pendukung Pasar Uang. Dalam ketentuan tersebut, Bank Indonesia selaku otoritas di pasar uang mengatur, memberikan persetujuan terdaftar, serta mengembangkan dan mengawasi Lembaga Pendukung Pasar Uang yang akan terlibat dalam proses penerbitan SBK. Guna implementasi ketentuan tersebut, Bank Indonesia menetapkan peraturan pelaksanaan yang berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan bagi Penerbit SBK dan Lembaga Pendukung Pasar Uang yang akan terlibat dalam proses pendaftaran dan penawaran SBK, transaksi SBK, serta penatausahaan dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial. Selain itu, dalam ketentuan ini juga diatur lebih lanjut terkait pelaporan dan pengawasan atas penerbitan dan transaksi SBK. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Dalam hal Korporasi Non-Bank belum memiliki laporan keuangan tahunan dengan pendapat wajar tanpa modifikasian (WTM) dari Akuntan Publik, Korporasi Non- Bank tidak memenuhi persyaratan untuk dapat menerbitkan SBK. Huruf b Yang dimaksud dengan “gagal bayar” adalah kondisi tidak terpenuhinya kewajiban finansial Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK terhadap kreditur pada saat jatuh tempo yang nilainya lebih besar dari 0,5% (nol koma lima persen) dari modal disetor. Huruf c Yang dimaksud dengan “penyelesaian gagal bayar sepanjang penyelesaian dilakukan secara wajar” adalah penyelesaian utang yang disepakati oleh para pihak yang telah lunas seluruhnya yang dapat berupa pelunasan utang Korporasi Non-Bank yang diselesaikan melalui restrukturisasi utang. Huruf d Yang dimaksud dengan “rekam jejak yang baik” adalah tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan dan keuangan, tidak sedang menjalani proses hukum sebagai tersangka dengan ancaman hukuman di atas 5 (lima) tahun, dan tidak pernah dihukum atas tindak pidana di bidang perbankan, keuangan, dan/atau pencucian uang berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 3 Korporasi Non-Bank yang beroperasi lebih dari 3 (tiga) tahun namun memiliki fitur penjaminan atau penanggungan dalam SBK yang diterbitkannya, harus turut mencantumkan penjaminan atau penjaminan dalam bukti penerbitan kolektif SBK. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “tanggal penerbitan” adalah tanggal dilakukannya distribusi SBK secara elektronik oleh LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam memilih mekanisme pendaftaran penerbitan SBK, Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK harus memperhatikan kewajiban yang menyertai mekanisme pendaftaran penerbitan SBK yang dipilihnya, antara lain kewajiban pelaporan kepada Bank Indonesia dan keterbukaan informasi kepada investor dan/atau calon investor SBK. Pilihan mekanisme penerbitan harus dicantumkan dalam surat permohonan pendaftaran penerbitan SBK. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dalam penerbitan secara berkelanjutan, Penerbit SBK melakukan penerbitan secara bertahap dengan total nominal sesuai yang direncanakan. Ayat (5) Seri SBK yang diterbitkan dalam 1 (satu) tanggal penerbitan dapat memiliki tenor yang berbeda. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penyampaian melalui sarana elektronik lainnya dilakukan bersamaan dengan penyampaian hardcopy. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Informasi Korporasi Non-Bank paling sedikit meliputi nama, alamat kantor pusat, kontak korespondensi, laman Korporasi Non-Bank serta nama daftar nama direksi dan dewan komisaris Korporasi Non-Bank. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Laporan keuangan disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan (SAK) yang berlaku yakni SAK di Indonesia. Laporan keuangan tahunan terdiri atas: 1. laporan posisi keuangan pada akhir periode; 2. laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain selama periode; 3. laporan arus kas selama periode; 4. laporan perubahan ekuitas selama periode; dan 5. catatan atas laporan keuangan. Huruf d Data penyelesaian gagal bayar antara lain berupa: 1. bukti pelunasan atas pinjaman atau kredit; 2. surat pernyataan dari kreditur bahwa pinjaman atau kredit menjadi lunas dalam bentuk akta notarial; dan/atau 3. putusan pengadilan. Huruf e Termasuk informasi dalam riwayat hidup paling sedikit berupa nama, jabatan dan fungsi di dalam organisasi Korporasi Non-Bank, kewarganegaraan, latar belakang pendidikan, dan pengalaman kerja sebelumnya dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir. Surat pernyataan yang dibuat oleh masing-masing anggota dewan komisaris dan direksi merupakan pemenuhan persyaratan bahwa manajemen Korporasi Non-Bank memiliki rekam jejak yang baik. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Penerapan prinsip kehati-hatian paling sedikit mencakup pelaksanaan: 1. transparansi dan keterbukaan informasi; 2. perlindungan konsumen; dan 3. mekanisme penyelesaian sengketa. Yang dimaksud dengan “penerapan manajemen risiko” antara lain berupa identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko. Manajemen risiko dilakukan terhadap risiko kredit yang berpotensi menyebabkan tidak terbayarnya SBK dan risiko usaha yang berpotensi mengganggu kelangsungan usaha dari Penerbit SBK sehingga memengaruhi kemampuan Penerbit SBK dalam melakukan pembayaran SBK. Ayat (2) Huruf a Dokumen pendukung antara lain berupa screenshot nama Korporasi Non-Bank di laman (website) Bursa Efek Indonesia sebagai bagian dari daftar nama Korporasi Non-Bank tercatat di Bursa Efek Indonesia. Huruf b Dalam hal Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK telah terdaftar sebagai emiten obligasi dan/atau sukuk di Otoritas Jasa Keuangan lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun terakhir, dokumen yang harus disampaikan yaitu fotokopi dokumen pernyataan efektif yang terakhir kali, disertai dengan fotokopi sertifikat pencatatan obligasi pada saat tercatat di Bursa Efek Indonesia yang melekat pada penerbitan obligasi dan/atau sukuk yang dilakukan pada periode terdaftar atas pernyataan efektif yang disampaikan tersebut. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Kontribusi pendapatan yang signifikan dari anak perusahaan kepada Korporasi Non-Bank dapat berupa aliran kas pendapatan secara regular dari anak perusahaan kepada Korporasi Non-Bank atau setoran dividen yang signifikan dari anak perusahaan ke Korporasi Non-Bank. Angka 2 Kegiatan usaha anak perusahaan yang penting bagi kelangsungan usaha Korporasi Non-Bank dapat berupa anak perusahaan merupakan pemasok tunggal dalam usaha Korporasi Non-Bank atau anak perusahaan merupakan satu-satunya penyedia jasa pengolahan dalam proses produksi kegiatan usaha Korporasi Non- Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Informasi mengenai tingkat diskonto, periode penawaran, tanggal penetapan nominal penerbitan, tanggal pembayaran dan tanggal distribusi SBK, bersifat sementara bergantung pada persetujuan pendaftaran penerbitan oleh Bank Indonesia. Nominal penerbitan merupakan batas atas jumlah dana yang dapat dihimpun melalui penerbitan SBK. Dalam hal Penerbit SBK akan menerbitkan beberapa seri SBK dalam 1 (satu) penerbitan, nominal penerbitan merupakan batas atas jumlah dana yang dapat dihimpun dari seluruh seri SBK dimaksud. Informasi atas penjaminan atau penanggungan paling sedikit berupa ada tidaknya penjaminan atau penanggungan, pihak yang menjadi penjamin atau penanggung, apabila terdapat penjaminan atau penanggungan. Informasi lainnya yaitu informasi lain yang dianggap penting untuk diungkapkan yang dapat berupa penggunaan agen pemantau. Penamaan SBK yang diterbitkan dengan mekanisme penerbitan secara individual dilakukan dengan struktur penulisan “SBK” (spasi) tahap angka romawi (spasi) nama Penerbit SBK (spasi) tahun diterbitkannya SBK. Contoh penamaan SBK yaitu “SBK I PT XYZ 2017”. Angka 2 Informasi yang tercantum didalam dokumen aggregate term sheet yaitu informasi terkait rencana penerbitan selama periode berlakunya pendaftaran penerbitan secara berkelanjutan yakni 1 (satu) tahun sejak disetujuinya pendaftaran penerbitan SBK oleh Bank Indonesia. Nominal penerbitan selama terdaftar merupakan batas atas jumlah dana yang dapat dihimpun melalui penerbitan SBK secara berkelanjutan selama 1 (satu) tahun sejak disetujui pendaftaran penerbitan SBK oleh Bank Indonesia. Penamaan SBK yang diterbitkan dengan mekanisme penerbitan secara berkelanjutan dilakukan dengan struktur penulisan “SBK” (spasi) tahap angka romawi yang menunjukkan urutan penerbitan berkelanjutan dalam 1 (satu) tahun (spasi) nama Penerbit SBK (spasi) tahun diterbitkannya SBK (spasi) seri, apabila terdapat lebih dari 1 seri dalam 1 tahap penerbitan. Contoh : PT. XYZ telah memperoleh persetujuan pendaftaran penerbitan SBK secara berkelanjutan untuk pertama kali dari Bank Indonesia yang berlaku selama 1 (satu) tahun. Dalam masa 1 (satu) tahun, PT XYZ akan menerbitkan SBK pada tahap kesatu di tahun 2017 dengan 3 (tiga) seri yaitu seri A dengan tenor 3 (tiga) bulan, seri B dengan tenor 6 (enam) bulan, dan seri C dengan tenor 12 (dua belas) bulan. Penamaan SBK sebagai berikut: 1. SBK Berkelanjutan I PT XYZ tahap I 2017 seri A; 2. SBK Berkelanjutan I PT XYZ tahap I 2017 seri B; dan 3. SBK Berkelanjutan I PT XYZ tahap I 2017 seri C. Setelah melewati jangka waktu 1 (satu) tahun, PT XYZ kembali mengajukan permohonan pendaftaran penerbitan SBK secara berkelanjutan kedua kepada Bank Indonesia dan mendapatkan persetujuan pendaftaran penerbitan SBK secara berkelanjutan. Dalam masa 1 (satu) tahun, PT XYZ akan menerbitkan SBK pada tahap kesatu di tahun 2018 dengan 3 (tiga) seri yaitu seri A dengan tenor 3 bulan, seri B dengan tenor 6 bulan, dan seri C dengan tenor 12 bulan. Penamaan SBK sebagai berikut: 1. SBK Berkelanjutan II PT XYZ tahap I 2018 seri A; 2. SBK Berkelanjutan II PT XYZ tahap I 2018 seri B; dan 3. SBK Berkelanjutan II PT XYZ tahap I 2018 seri C. Huruf b Termasuk dalam rencana penggunaan dana hasil penerbitan SBK yaitu informasi terkait satu atau beberapa pihak yang akan menikmati secara langsung manfaat dana tersebut (beneficial owner). Dalam hal pihak yang akan menikmati secara langsung manfaat dana tersebut (beneficial owner) selama periode terdaftar terdiri atas lebih dari 1 (satu) pihak, maka informasi rencana penggunaan dana hasil penerbitan SBK tahap kesatu memuat secara khusus pihak yang menjadi beneficial owner atas dana hasil penerbitan SBK di tahap kesatu tersebut. Huruf c Sertifikat peringkat merupakan dokumen yang memuat informasi mengenai peringkat SBK, sementara surat pemeringkatan merupakan dokumen yang menjelaskan hasil analisis Lembaga Pemeringkat terhadap pemeringkatan yang dilakukan terhadap SBK yang sedang diajukan pendaftarannya. Sertifikat peringkat dan surat pemeringkatan dapat berupa satu dokumen. Huruf d Bukti penerbitan kolektif awal dimaksudkan untuk memastikan unsur pemenuhan surat sanggup, pada saat beberapa informasi di dalamnya masih bersifat sementara karena belum adanya persetujuan pendaftaran penerbitan SBK dari Bank Indonesia dan belum dilakukannya pembayaran SBK oleh investor. Informasi yang masih bersifat sementara yaitu: 1. nominal penerbitan; 2. tanggal penerbitan; dan 3. nama pemegang SBK ketika penerbitan. Apabila dalam pengajuan pendaftaran terdapat 3 (tiga) seri SBK yang akan diterbitkan, bukti penerbitan kolektif dibuat untuk masing-masing seri tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Surat penegasan ini diperlukan untuk memastikan tidak terjadi perubahan peringkat. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Memorandum informasi merupakan dokumen penawaran yang digunakan oleh Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK kepada calon investor SBK. Beberapa informasi dalam memorandum informasi yang disampaikan sebagai dokumen pendukung pendaftaran ke Bank Indonesia dapat bersifat tentatif mengingat penawaran awal belum dilakukan oleh Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK. Informasi dalam memorandum informasi harus bersifat final ketika Penerbit SBK menyampaikan laporan hasil penawaran kepada Bank Indonesia. Huruf b Informasi yang lebih rinci antara lain berupa asumsi yang digunakan dalam menyusun prakiraan. Contoh asumsi yang digunakan dalam menyusun prakiraan yaitu asumsi yang digunakan dalam menganalisis prospek usaha yang tercantum dalam memorandum informasi SBK. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pendaftaran penerbitan SBK tahap lanjutan adalah pendaftaran penerbitan SBK tahap kedua, ketiga dan seterusnya dalam penerbitan secara berkelanjutan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penyampaian melalui sarana elektronik lainnya dilakukan bersamaan dengan penyampaian hardcopy. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “gagal bayar” adalah kondisi tidak terpenuhinya kewajiban finansial Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK terhadap kreditur pada saat jatuh tempo yang nilainya lebih besar dari 0,5% (nol koma lima persen) dari modal disetor. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Termasuk informasi dalam rencana penggunaan dana hasil penerbitan SBK yaitu informasi terkait pihak yang akan menikmati secara langsung manfaat dana tersebut (beneficial owner). Huruf d Angka 1 Sertifikat peringkat merupakan dokumen yang memuat informasi mengenai peringkat SBK, sementara surat pemeringkatan merupakan dokumen yang menjelaskan hasil analisis Lembaga Pemeringkat terhadap pemeringkatan yang dilakukan terhadap SBK yang sedang diajukan pendaftarannya. Sertifikat peringkat dan surat pemeringkatan dapat berupa satu dokumen. Angka 2 Surat penegasan dari Lembaga Pemeringkat dimungkinkan diperlukan dalam penerbitan SBK tahap lanjutan seperti tahap kesatu, kedua, dan seterusnya dalam penerbitan secara berkelanjutan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “perubahan dan/atau tambahan informasi” adalah perubahan dan/atau tambahan informasi terhadap memorandum informasi yang disampaikan terakhir kali kepada Bank Indonesia, dan dituangkan dalam memorandum informasi SBK yang akan diterbitkan pada tahap lanjutan yang sedang diajukan pendaftarannya. Dengan demikian, memorandum informasi SBK untuk penerbitan SBK tahap lanjutan dalam penerbitan secara berkelanjutan menggunakan memorandum informasi pada penerbitan tahap sebelumnya yang dilengkapi dengan informasi tambahan apabila ada. Huruf g Sehubungan dengan informasi mengenai total dana, informasi total dana yang dihimpun meliputi: 1. jumlah dana yang telah dihimpun dalam penerbitan SBK secara berkelanjutan; dan 2. jumlah dana yang akan dihimpun dalam penerbitan SBK yang sedang diajukan permohonan pendaftaran penerbitannya. Sehubungan dengan surat pernyataan Penerbit SBK terkait pemenuhan seluruh persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia mengenai penerbitan SBK, Penerbit SBK harus melakukan penilaian secara aktif terhadap pemenuhan persyaratan dimaksud. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Saat memorandum informasi disampaikan kepada Bank Indonesia sebagai dokumen pendukung pengajuan pendaftaran SBK, informasi periode penawaran, tanggal penetapan nominal, tanggal pembayaran dan tanggal distribusi SBK dapat bersifat sementara. Namun demikian informasi tersebut sudah harus bersifat final saat memorandum informasi menjadi dokumen penawaran kepada calon investor SBK. Angka 2 Dalam hal SBK yang diterbitkan terdiri atas beberapa seri SBK, maka informasi yang disampaikan merupakan informasi untuk keseluruhan seri SBK yang dilengkapi dengan detil pada masing-masing seri SBK yang diterbitkan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ada tidaknya hubungan afiliasi antara arranger dengan Penerbit SBK mengacu pada kriteria hubungan afiliasi yang diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai lembaga pendukung pasar uang yang melakukan kegiatan terkait SBK di pasar uang. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Faktor risiko investasi SBK antara lain risiko tidak likuidnya pasar SBK. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Nominal penerbitan merupakan besaran yang bersifat final. Nominal penerbitan tersebut berfungsi sebagai ceiling atas jumlah dana yang dihimpun melalui penerbitan SBK. Informasi atas penjaminan atau penanggungan paling sedikit berupa ada tidaknya penjaminan atau penanggungan, pihak yang menjadi penjamin atau penanggung, apabila terdapat penjaminan atau penanggungan. Informasi lainnya yaitu informasi diluar informasi yang telah disebutkan dan dianggap penting untuk diungkapkan yang dapat berupa penggunaan agen pemantau. Dalam hal SBK yang diterbitkan terdiri atas beberapa seri SBK, maka informasi yang disampaikan merupakan informasi untuk keseluruhan seri SBK yang dilengkapi dengan detil pada masing-masing seri SBK yang diterbitkan. Pasal 18 Yang dimaksud dengan “tujuan penggunaan jangka pendek” antara lain untuk modal kerja, pembiayaan aset jangka pendek, atau sebagai dana talangan sementara (bridge financing) sebelum melakukan pendanaan jangka panjang. Pasal 19 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Informasi mengenai mekanisme penyelesaian turut mencakup besaran denda. Contoh: Apabila Penerbit SBK melakukan distribusi SBK pada tanggal 26 Februari 2018 melebihi tanggal distribusi SBK yang seharusnya dilakukan yakni tanggal 24 Februari 2018, Penerbit SBK harus membayar denda atas keterlambatan dimaksud sesuai dengan mekanisme penyelesaian sebagaimana tercantum dalam memorandum informasi SBK. Huruf c Informasi mengenai mekanisme penyelesaian turut mencakup besaran denda. Kegagalan distribusi SBK dapat disebabkan antara lain oleh: 1. intensi Penerbit SBK untuk membatalkan penawaran penerbitan SBK; atau 2. tidak adanya intensi Penerbit SBK untuk membatalkan penawaran penerbitan SBK namun distribusi tidak dapat dilakukan. Contoh tidak dapat dilakukannya distribusi SBK yaitu terlewatinya tanggal distribusi melebihi tanggal distribusi terakhir sebagaimana tercantum dalam surat persetujuan pendaftaran penerbitan SBK atau sebab lain yang menyebabkan proses distribusi SBK di LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia tidak dapat dilakukan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Contoh pemberitahuan kepada calon investor sebagai berikut: Dengan melakukan pembelian SBK di pasar perdana dan/atau penjualan dan/atau pembelian SBK di pasar sekunder, investor dan/atau pelaku transaksi SBK menyetujui untuk memberikan data dan/atau informasi kepemilikan atas SBK dan/atau transaksi dan penyelesaian transaksi SBK yang dilakukan oleh investor dan/atau pelaku transaksi SBK kepada Bank Indonesia. Pasal 20 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “rating rationale” adalah isi atas surat pemeringkatan SBK yang akan diterbitkan, yang menjelaskan hasil analisis Lembaga Pemeringkat terhadap pemeringkatan yang dilakukan terhadap SBK yang sedang diajukan pendaftarannya. Huruf f Yang dimaksud dengan “opini hukum” adalah opini hukum dari Konsultan Hukum yang melakukan uji tuntas atas aspek hukum terhadap Non-Bank yang akan menerbitkan SBK. Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Yang dimaksud dengan “dokumen hukum lainnya” antara lain perizinan/persetujuan yang dikeluarkan oleh kementerian terkait. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “pengendali” adalah pihak yang memiliki saham Korporasi Non-Bank baik langsung maupun tidak langsung, a. dengan jumlah lebih dari 50% (lima puluh persen) dari seluruh saham; atau b. dengan jumlah kurang dari atau sama dengan 50% (lima puluh persen) dari seluruh saham, yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan Korporasi Non-Bank baik secara langsung maupun tidak langsung. Huruf e Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Penjelasan mengenai hubungan yang dimiliki antara anak perusahaan dengan Penerbit SBK turut mencakup uraian singkat atas hubungan tersebut. Ayat (2) Huruf a Kontribusi pendapatan yang signifikan dari anak perusahaan kepada Korporasi Non-Bank dapat berupa aliran kas pendapatan secara regular dari anak perusahaan kepada Korporasi Non-Bank atau setoran dividen yang signifikan dari anak perusahaan ke Korporasi Non-Bank. Huruf b Kegiatan usaha anak perusahaan yang penting bagi kelangsungan usaha Penerbit SBK dapat berupa yakni anak perusahaan merupakan pemasok tunggal dalam usaha Penerbit SBK atau anak perusahaan merupakan satu- satunya penyedia jasa pengolahan dalam proses produksi kegiatan usaha Penerbit SBK. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Legalitas dari penjamin atau penanggung meliputi aspek hukum penjamin atau penanggung, keabsahan penjaminan atau penanggungan, hubungan antara penjamin atau penanggung dan Penerbit SBK apabila relevan, dan aspek legal lain yang relevan dengan kegiatan penjaminan atau penanggungan. Huruf c Kapabilitas dari penjamin atau penanggung dapat dilihat dari peringkat kredit maupun indikator lain yang setara. Dalam hal diperlukan, uraian singkat kapabilitas dapat dilengkapi dengan data keuangan dari penjamin atau penanggung. Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Termasuk dalam proses produksi, sistem distribusi, dan pemasaran yaitu dalam hal terdapat ketergantungan yang cukup besar terhadap pemasok tertentu atau kelompok konsumen tertentu. Angka 3 Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “jangka pendek” adalah periode 2 (dua) tahun ke depan. Analisis mengenai strategi usaha dan prospek usaha jangka pendek merupakan prakiraan yang perlu didukung dengan analisis yang objektif. Pasal 23 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Contoh faktor ekonomi makro yakni suku bunga, nilai tukar, harga komoditas global dan kebijakan Pemerintah. Angka 2 Contoh faktor ekonomi mikro yakni pasokan bahan baku dan persaingan usaha. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang termasuk sebagai risiko investasi SBK yaitu risiko terhadap tidak likuidnya pasar SBK, penurunan harga SBK dan lain sebagainya. Pasal 24 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Informasi peristiwa gagal bayar meliputi penyelesaian gagal bayar, apabila kasus gagal bayar telah diselesaikan. Dalam hal Korporasi Non-Bank tidak pernah mengalami gagal bayar, perlu dijelaskan bahwa Korporasi Non-Bank tidak pernah mengalami gagal bayar. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Laporan keuangan tahunan terakhir adalah laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dan laporan keuangan tahunan unaudited apabila dipersyaratkan. Huruf b Laporan keuangan tahunan terakhir adalah laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dan laporan keuangan tahunan unaudited apabila dipersyaratkan. Laporan keuangan tahunan merupakan dokumen yang sama dengan laporan keuangan tahunan sebagai dokumen yang diajukan oleh Penerbit SBK dalam pendaftaran penerbitan SBK ke Bank Indonesia. Huruf c Penyajian rasio keuangan mengikuti periode penyajian ikhtisar data keuangan penting yang dipersyaratkan. Ayat (3) Huruf a Return on assets (%) merupakan rasio antara pendapatan bersih terhadap aset. Return on equity (%) merupakan rasio antara pendapatan bersih terhadap ekuitas. Huruf b Operating margin (%) merupakan rasio antara laba usaha terhadap penjualan. Net operating profit after tax merupakan laba usaha netto setelah pajak. Huruf c Inventory turnover merupakan perputaran persediaan yang merupakan rasio dari harga pokok persediaan dan rata-rata periode persediaan. Average inventory period (days) merupakan periode perputaran persediaan dalam 1 (satu) tahun. Account receivable turnover merupakan perputaran piutang yang merupakan rasio dari penjualan terhadap piutang. Average receivable collection period (days) merupakan periode perputaran piutang dalam 1 (satu) tahun. Payables turnover merupakan perputaran utang usaha yang merupakan rasio dari pembelian terhadap utang usaha. Payables payment period (days) merupakan periode perputaran utang usaha dalam 1 (satu) tahun. Huruf d Current ratio merupakan rasio antara aktiva lancar terhadap kewajiban lancar. Quick ratio merupakan rasio antara aktiva lancar terhadap kewajiban lancar. Cash ratio merupakan rasio antara kas korporasi (dan setara kas) terhadap kewajiban lancar. Net Cash Flow from Operations (CFO) to current liabilities merupakan rasio antara arus kas netto yang diperoleh dari kegiatan operasional terhadap kewajiban lancar. Free cash flow to current liabilities (termasuk all investing cash flow) merupakan rasio antara arus kas bebas yang telah memperhitungkan kas dari kegiatan investasi terhadap kewajiban lancar. Free cash flow to current liabilities (hanya termasuk PPE Capex) merupakan rasio antara arus kas bebas yang telah memperhitungkan kas yang dipergunakan untuk atau diperoleh dari capital expenditure terhadap kewajiban lancar. Levered Free Cash Flow Margin (%) merupakan rasio antara arus kas bebas yang memperhitungkan kewajiban finansial atas utang terhadap penjualan. Unlevered Free Cash Flow Margin (%) merupakan rasio antara arus kas bebas yang belum memperhitungkan kewajiban finansial atas utang terhadap penjualan. Huruf e Total Debt/Equity merupakan rasio antara utang terhadap ekuitas. Total Debt/EBITDA merupakan rasio antara utang terhadap pendapatan pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi. Ayat (4) Dalam sektor industri jasa, tidak dikenal rasio inventory turnover, sehingga rasio ini tidak relevan untuk digunakan. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh investasi yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha Korporasi Non-Bank dalam menghasilkan barang dan jasa antara lain investasi mesin produksi dan investasi pembangunan pabrik. Sementara contoh investasi yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha Korporasi Non-Bank dalam menghasilkan barang dan jasa antara lain investasi pada Research and Development (R&D), dan investasi pada kendaraan untuk sistem distribusi. Huruf d Contoh perikatan yang berpengaruh signifikan pada pendapatan dan/atau beban Korporasi Non-Bank yaitu kontrak kesepakatan harga jual produk dengan perusahaan pembeli untuk 10 (sepuluh) tahun ke depan, dan kesepakatan harga beli bahan baku dengan perusahaan supplier selama 5 (lima) tahun ke depan. Kedua kontrak dimaksud berpengaruh signifikan pada pendapatan dan/atau beban Korporasi Non-Bank. Huruf e Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “gagal bayar” adalah kondisi tidak terpenuhinya kewajiban finansial Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK terhadap kreditur pada saat jatuh tempo yang nilainya lebih besar dari 0,5% (nol koma lima persen) dari modal disetor. Ayat (7) Huruf a Laporan keuangan tahunan terakhir adalah laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dan laporan keuangan tahunan unaudited apabila dipersyaratkan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (8) Yang dimaksud dengan “informasi maupun fakta material” adalah informasi maupun fakta mengenai kondisi Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK, yang bersifat material meliputi peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat memengaruhi harga SBK, memengaruhi kemampuan Penerbit SBK dalam membayar kewajiban Penerbit SBK, dan/atau memengaruhi pengambilan keputusan oleh investor maupun calon investor SBK serta pihak lain yang berkepentingan atas informasi tersebut. Informasi maupun fakta material dapat berupa informasi dari kejadian, peristiwa, atau fakta yang bersifat transaksional maupun non-transaksional. Suatu kejadian, peristiwa, atau fakta transaksional dianggap material apabila memiliki nilai paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari nilai ekuitas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Huruf a Apabila menggunakan lebih dari 1 (satu) lembaga penata laksana penerbitan (arranger) maka menyebutkan seluruh arranger yang digunakan. Kegiatan arranger dapat mencakup berbagai kegiatan dalam penerbitan meliputi kegiatan dari mulai persiapan penerbitan, penjualan sampai dengan distribusi atau kegiatan yang lebih khusus dalam penerbitan misalnya penjualan SBK. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “agen pembayar SBK” adalah pihak yang menjadi agen pembayar pada saat pemesanan SBK dan/atau pascapenerbitan SBK. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Informasi terkait pengambilan keputusan SBK antara lain meliputi: 1. informasi mengenai Penerbit SBK yang tercantum dalam memorandum informasi; dan 2. informasi mengenai perdagangan SBK sehubungan dengan potensi investor melakukan penjualan sebelum SBK jatuh tempo. Dalam hal calon investor memerlukan klarifikasi dan/atau informasi tambahan atas informasi di atas, calon investor mengetahui mekanisme untuk meminta klarifikasi dan/atau informasi tambahan dimaksud. Calon investor dapat menggunakan sumber informasi lain dalam pengambilan keputusan untuk berinvestasi SBK selain dari informasi yang disediakan oleh Penerbit SBK maupun penata laksana (arranger) penerbitan SBK. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Huruf a Nama pihak yang mewakili Penerbit SBK atas isi dalam memorandum informasi SBK dapat terdiri atas anggota direksi Penerbit SBK dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran dasar Penerbit SBK dan/atau ketentuan internal Penerbit SBK. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Yang dimaksud dengan “tahapan” adalah tahap kesatu, kedua, ketiga dan seterusnya dalam periode terdaftar. Contoh: PT XYZ memperoleh persetujuan pendaftaran penerbitan SBK secara berkelanjutan dari Bank Indonesia terhitung tanggal 2 Februari 2018 sampai dengan tanggal 1 Februari 2019. Tahap kesatu, kedua, ketiga dilakukan dalam kurun waktu tersebut. Huruf b Angka 1 Pengungkapan tanggal persetujuan pendaftaran penerbitan dan tanggal berakhirnya tanggal persetujuan pendaftaran penerbitan dimaksud sesuai dengan yang tertera dalam surat persetujuan pendaftaran yang disampaikan oleh Bank Indonesia kepada Penerbit SBK. Saat memorandum informasi disampaikan kepada Bank Indonesia sebagai dokumen pendukung pengajuan pendaftaran SBK, informasi periode penawaran, tanggal penetapan nominal, tanggal pembayaran dan tanggal distribusi SBK dapat bersifat sementara. Informasi tersebut sudah harus bersifat final saat memorandum informasi menjadi dokumen penawaran kepada calon investor SBK. Angka 2 Dalam hal SBK yang diterbitkan terdiri atas beberapa seri SBK, maka informasi yang disampaikan merupakan informasi untuk keseluruhan seri SBK yang dilengkapi dengan detil pada masing-masing seri SBK yang diterbitkan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Ada tidaknya hubungan afiliasi antara arranger dengan Penerbit SBK mengacu pada kriteria hubungan afiliasi yang diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai lembaga pendukung pasar uang yang melakukan kegiatan terkait SBK di pasar uang. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Faktor risiko investasi SBK antara lain risiko tidak likuidnya pasar SBK. Pasal 33 Huruf a Yang dimaksud dengan “tujuan penggunaan jangka pendek” antara lain untuk modal kerja, pembiayaan aset jangka pendek, atau sebagai dana talangan sementara (bridge financing) sebelum melakukan pendanaan jangka panjang. Huruf b Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Nominal penerbitan merupakan besaran yang bersifat final. Nominal penerbitan tersebut berfungsi sebagai ceiling atas jumlah dana yang dihimpun melalui penerbitan SBK. Ayat (2) Dalam hal SBK yang diterbitkan terdiri atas beberapa seri SBK, maka informasi yang disampaikan merupakan informasi untuk keseluruhan seri SBK yang dilengkapi dengan detil pada masing- masing seri SBK yang diterbitkan. Nominal penerbitan pada tahap kesatu merupakan besaran yang bersifat final. Nominal penerbitan tersebut berfungsi sebagai ceiling atas jumlah dana yang dihimpun melalui penerbitan SBK pada tahap kesatu. Informasi atas penjaminan atau penanggungan paling sedikit berupa ada tidaknya penjaminan atau penanggungan, pihak yang menjadi penjamin atau penanggung, apabila terdapat penjaminan atau penanggungan. Informasi lainnya merupakan informasi di luar informasi yang telah disebutkan dan dianggap penting untuk diungkapkan yang dapat berupa penggunaan agen pemantau. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 35 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Contoh pemberitahuan kepada calon investor sebagai berikut: Dengan melakukan pembelian SBK di pasar perdana dan/atau penjualan dan/atau pembelian SBK di pasar sekunder, investor dan/atau pelaku transaksi SBK menyetujui untuk memberikan data dan/atau informasi kepemilikan atas SBK dan/atau transaksi dan penyelesaian transaksi SBK yang dilakukan oleh investor dan/atau pelaku transaksi SBK kepada Bank Indonesia. Pasal 36 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “rating rationale” adalah isi atas surat pemeringkatan SBK yang akan diterbitkan, yang menjelaskan hasil analisis Lembaga Pemeringkat terhadap pemeringkatan yang dilakukan terhadap SBK yang sedang diajukan pendaftarannya. Huruf f Yang dimaksud dengan “opini hukum” adalah opini hukum dari Konsultan Hukum yang melakukan uji tuntas atas aspek hukum atas Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK Pasal 37 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Yang dimaksud dengan “dokumen hukum lainnya” antara lain persetujuan kementerian. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “pengendali” adalah pihak yang memiliki saham Korporasi Non-Bank baik langsung maupun tidak langsung, a. dengan jumlah lebih dari 50% (lima puluh persen) dari seluruh saham; atau b. dengan jumlah kurang dari atau sama dengan 50% (lima puluh persen) dari seluruh saham, yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan Korporasi Non-Bank baik secara langsung maupun tidak langsung. Huruf e Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Penjelasan mengenai hubungan yang dimiliki antara anak perusahaan dengan Penerbit SBK turut mencakup uraian singkat atas hubungan tersebut. Ayat (2) Huruf a Kontribusi pendapatan yang signifikan dari anak perusahaan kepada Korporasi Non-Bank dapat berupa aliran kas pendapatan secara regular dari anak perusahaan kepada Korporasi Non-Bank atau setoran dividen yang signifikan dari anak perusahaan ke Korporasi Non-Bank, dan lain sebagainya. Huruf b Kegiatan usaha anak perusahaan yang penting bagi kelangsungan usaha Korporasi Non-Bank dapat berupa anak perusahaan merupakan pemasok tunggal dalam usaha Korporasi Non-Bank atau anak perusahaan merupakan satu-satunya penyedia jasa pengolahan dalam proses produksi kegiatan usaha Penerbit SBK, dan lain sebagainya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Legalitas dari penjamin atau penanggung meliputi aspek hukum penjamin atau penanggung, keabsahan penjaminan atau penanggungan, hubungan antara penjamin atau penanggung dan Penerbit SBK apabila relevan, dan aspek legal lain yang relevan dengan kegiatan penjaminan atau penanggungan. Huruf c Kapabilitas dari penjamin atau penanggung dapat dilihat dari peringkat kredit maupun indikator lain yang setara. Dalam hal diperlukan, uraian singkat kapabilitas dapat dilengkapi dengan data keuangan dari penjamin atau penanggung. Pasal 38 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Termasuk di dalamnya bila terdapat adanya ketergantungan yang cukup besar terhadap pemasok tertentu atau kelompok konsumen tertentu. Angka 3 Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “jangka pendek” adalah periode 2 (dua) tahun ke depan. Analisis ini merupakan prakiraan, sehingga perlu didukung dengan analisis yang objektif. Pasal 39 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Contoh faktor ekonomi makro yaitu suku bunga, nilai tukar, harga komoditas global dan kebijakan Pemerintah. Angka 2 Contoh faktor ekonomi mikro yaitu pasokan bahan baku dan persaingan usaha. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang termasuk dengan “risiko investasi SBK” antara lain risiko terhadap tidak likuidnya pasar SBK, dan penurunan harga SBK. Pasal 40 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Informasi peristiwa gagal bayar meliputi penyelesaian gagal bayar, apabila kasus gagal bayar telah diselesaikan. Dalam hal Korporasi Non-Bank tidak pernah mengalami gagal bayar, maka perlu dijelaskan didalam bagian ini bahwa Korporasi Non-Bank tidak pernah mengalami gagal bayar. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Laporan keuangan tahunan terakhir adalah laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dan laporan keuangan tahunan unaudited apabila dipersyaratkan. Huruf b Laporan keuangan tahunan terakhir adalah laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dan laporan keuangan tahunan unaudited apabila dipersyaratkan. Laporan keuangan tahunan merupakan dokumen yang sama dengan laporan keuangan tahunan sebagai dokumen yang diajukan oleh Penerbit SBK dalam pendaftaran penerbitan SBK ke Bank Indonesia. Huruf c Penyajian rasio keuangan mengikuti periode penyajian ikhtisar data keuangan penting yang dipersyaratkan. Ayat (3) Huruf a Return on assets (%) merupakan rasio antara pendapatan bersih terhadap aset. Return on equity (%) merupakan rasio antara pendapatan bersih terhadap ekuitas. Huruf b Operating margin (%) merupakan rasio antara laba usaha terhadap penjualan. Net operating profit after tax merupakan laba usaha netto setelah pajak. Huruf c Inventory turnover merupakan perputaran persediaan yang merupakan rasio dari harga pokok persediaan dan rata-rata periode persediaan. Average inventory period (days) merupakan periode perputaran persediaan dalam 1 (satu) tahun. Account receivable turnover merupakan perputaran piutang yang merupakan rasio dari penjualan terhadap piutang. Average receivable collection period (days) merupakan periode perputaran piutang dalam 1 (satu) tahun. Payables turnover merupakan perputaran utang usaha yang merupakan rasio dari pembelian terhadap utang usaha. Payables payment period (days) merupakan periode perputaran utang usaha dalam 1 (satu) tahun. Huruf d Current ratio merupakan rasio antara aktiva lancar terhadap kewajiban lancar. Quick ratio merupakan rasio antara aktiva lancar terhadap kewajiban lancar. Cash ratio merupakan rasio antara kas korporasi (dan setara kas) terhadap kewajiban lancar. Net Cash Flow from Operations (CFO) to current liabilities merupakan rasio antara arus kas netto yang diperoleh dari kegiatan operasional terhadap kewajiban lancar. Free cash flow to current liabilities (termasuk all investing cash flow) merupakan rasio antara arus kas bebas yang telah memperhitungkan kas dari kegiatan investasi terhadap kewajiban lancar. Free cash flow to current liabilities (hanya termasuk PPE Capex) merupakan rasio antara arus kas bebas yang telah memperhitungkan kas yang dipergunakan untuk atau diperoleh dari capital expenditure terhadap kewajiban lancar. Levered Free Cash Flow Margin (%) merupakan rasio antara arus kas bebas yang memperhitungkan kewajiban finansial atas utang terhadap penjualan. Unlevered Free Cash Flow Margin (%) merupakan rasio antara arus kas bebas yang belum memperhitungkan kewajiban finansial atas utang terhadap penjualan. Huruf e Total Debt/Equity merupakan rasio antara utang terhadap ekuitas. Total Debt/EBITDA merupakan rasio antara utang terhadap pendapatan pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi. Ayat (4) Dalam sektor industri jasa, tidak dikenal rasio inventory turnover, sehingga rasio ini tidak relevan untuk digunakan. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh investasi yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha Korporasi Non-Bank dalam menghasilkan produk barang dan jasa yaitu investasi mesin produksi, investasi pembangunan pabrik, dan lain sebagainya. Contoh investasi yang tidak berhubungan dengan kegiatan usaha Korporasi Non-Bank dalam menghasilkan produk barang dan jasa yaitu investasi pada Research and Development (R&D), investasi pada kendaraan untuk sistem distribusi dan lain sebagainya. Huruf d Contoh perikatan yang berpengaruh signifikan pada pendapatan dan/atau beban Korporasi Non-Bank adalah kontrak kesepakatan harga jual produk dengan perusahaan pembeli untuk 10 (sepuluh) tahun ke depan, kesepakatan harga beli bahan baku dengan perusahaan supplier selama 5 (lima) tahun ke depan, dan lain sebagainya. Huruf e Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “gagal bayar” adalah kondisi tidak terpenuhinya kewajiban finansial Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK terhadap kreditur pada saat jatuh tempo yang nilainya lebih besar dari 0,5% (nol koma lima persen) dari modal disetor. Ayat (7) Huruf a Laporan keuangan tahunan terakhir adalah laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dan laporan keuangan tahunan unaudited apabila dipersyaratkan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (8) Yang dimaksud dengan “informasi maupun fakta material” adalah informasi maupun fakta mengenai kondisi Korporasi Non-Bank, yang bersifat material meliputi peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat memengaruhi harga SBK, memengaruhi kemampuan Korporasi Non-Bank dalam membayar kewajiban Korporasi Non- Bank, dan/atau memengaruhi pengambilan keputusan oleh investor maupun calon investor SBK serta pihak lain yang berkepentingan atas informasi tersebut. Informasi maupun fakta material dapat berupa informasi dari kejadian, peristiwa, atau fakta yang bersifat transaksional maupun non-transaksional. Suatu kejadian, peristiwa, atau fakta transaksional dianggap material apabila memiliki nilai paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari nilai ekuitas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Huruf a Apabila menggunakan lebih dari 1 lembaga penata laksana penerbitan (arranger) maka menyebutkan seluruh arranger yang digunakan. Kegiatan arranger dapat mencakup berbagai kegiatan dalam penerbitan meliputi kegiatan dari mulai persiapan penerbitan, penjualan, dan distribusi atau kegiatan yang lebih khusus dalam penerbitan misalnya penjualan SBK. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “agen pembayar SBK” adalah pihak yang menjadi agen pembayar pada saat pemesanan SBK dan/atau pascapenerbitan SBK. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Informasi terkait pengambilan keputusan SBK antara lain meliputi: 1. informasi mengenai Penerbit SBK yang tercantum dalam memorandum informasi; dan 2. informasi mengenai perdagangan SBK sehubungan dengan potensi investor melakukan penjualan sebelum SBK jatuh tempo. Dalam hal calon investor memerlukan klarifikasi dan/atau informasi tambahan atas informasi di atas, calon investor mengetahui mekanisme untuk meminta klarifikasi dan/atau informasi tambahan dimaksud. Calon investor dapat menggunakan sumber informasi lain dalam pengambilan keputusan untuk berinvestasi SBK selain dari informasi yang disediakan oleh Penerbit SBK maupun penata laksana (arranger) penerbitan SBK. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Huruf a Nama pihak yang mewakili Penerbit SBK atas isi dalam memorandum informasi SBK dapat terdiri atas anggota direksi Penerbit SBK dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan sesuai anggaran dasar Penerbit SBK dan/atau ketentuan internal Penerbit SBK. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Daftar tabel pengkinian informasi memuat referensi halaman dan/atau bab dan/atau subbab yang diperbarui. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh struktur penawaran SBK dan rencana penggunaan dana pada tahap yang sedang dilakukan dalam penerbitan secara berkelanjutan yaitu informasi struktur penawaran SBK dan rencana penggunaan dana yang terkait dengan penerbitan SBK tahap ketiga bagi Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK tahap ketiga. Huruf c Contoh struktur penawaran SBK dan rencana penggunaan dana pada tahap sebelumnya dalam penerbitan secara berkelanjutan yaitu informasi struktur penawaran SBK dan rencana penggunaan dana atas penerbitan SBK tahap kedua dan informasi atas penerbitan SBK tahap kesatu bagi Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan SBK tahap ketiga. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pengkinian informasi adalah pengkinian informasi terhadap informasi di dalam memorandum informasi pada penerbitan SBK pertama kali setelah terdaftar dan/atau informasi lain yang tergolong ke dalam informasi maupun fakta material. Penulisan dalam bab ini meliputi: a. informasi yang tercantum pada memorandum informasi sebelumnya; dan b. informasi yang diperbarui terhadap informasi sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Salah satu contoh pemenuhan kewajiban kepada Bank Indonesia yaitu pemenuhan kewajiban terkait pelaporan Penerbit SBK. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “periode status terdaftar” adalah periode 1 (satu) tahun sejak tanggal persetujuan pendaftaran penerbitan SBK oleh Bank Indonesia. Pasal 55 Ayat (1) Salah satu contoh pemenuhan kewajiban kepada Bank Indonesia yaitu pemenuhan kewajiban terkait pelaporan Penerbit SBK. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemenuhan ketentuan Bank Indonesia antara lain pemenuhan terhadap kewajiban pelaporan sebagai Penerbit SBK. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 58 Huruf a Penawaran meliputi kegiatan pemasaran, pemesanan, penetapan nominal, pembayaran dan distribusi. Huruf b Cukup jelas. Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Hak dan kewajiban investor SBK antara lain: 1. hak untuk mendapatkan informasi terkait status terdaftar Penerbit SBK di Bank Indonesia dan pihak yang melakukan penawaran SBK di Bank Indonesia; 2. hak untuk memperoleh informasi melalui dokumen memorandum informasi, dokumen penawaran lain dan/atau penjelasannya yang paling sedikit mencakup media dan mekanisme untuk mendapatkan informasi terkait penerbitan SBK, syarat dan kondisi pemesanan serta hal – hal lain yang relevan dengan proses penawaran; 3. hak untuk memiliki waktu membaca dan menganalisis informasi dalam pengambilan keputusan berinvestasi; dan/atau 4. kewajiban investor untuk melakukan pembayaran setelah dilakukan penetapan nominal dan pengalokasian SBK oleh Penerbit SBK dan/atau penatalaksana (arranger). Huruf b Cukup jelas. Huruf c Jadwal penawaran SBK antara lain meliputi periode penawaran, tanggal penetapan nominal penerbitan, tanggal pembayaran, dan tanggal distribusi SBK. Huruf d Syarat dan kondisi terkait pembelian SBK antara lain meliputi perlakuan pajak, mekanisme pembayaran keterlambatan distribusi, dan mekanisme penyelesaian sengketa. Pasal 60 Huruf a Yang dimaksud dengan “penetapan nominal SBK” adalah penetapan jumlah SBK yang akan diterbitkan terhadap jumlah, yang bersumber dari penawaran yang masuk dari seluruh calon investor SBK termasuk jumlah nominal yang dialokasikan untuk setiap investor. Huruf b Yang dimaksud dengan “pembayaran SBK” adalah pembayaran yang dilakukan oleh calon investor SBK kepada Penerbit SBK untuk pembelian SBK. Huruf c Yang dimaksud dengan “distribusi SBK” adalah pencatatan SBK secara elektronik di LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Pencatatan dimaksud sampai dengan pencatatan level investor SBK. Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bentuk tata kelola yang baik antara lain dokumentasi terhadap seluruh data pemesanan (tidak ada data pemesanan yang tidak terdokumentasi) dan seluruh proses mulai dari pemesanan sampai dengan penetapan nominal terdokumentasi dengan baik. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penyampaian melalui sarana elektronik lainnya dilakukan bersamaan dengan penyampaian hardcopy. Ayat (3) Huruf a Informasi rekapitulasi hasil penawaran meliputi periode penawaran dan informasi penawaran yang dilakukan oleh setiap investor. Huruf b Memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya yang digunakan dalam penawaran merupakan memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya yang diberikan kepada calon investor SBK. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Ayat (1) Penundaan penawaran SBK dan pelaksanaan penawaran SBK yang baru harus tetap dalam periode status terdaftar yang telah disetujui oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Contoh: Korporasi Non-Bank A berencana melakukan penerbitan SBK sebanyak 7 (tujuh) tahap yakni tahap kesatu, kedua sampai dengan tahap ketujuh selama periode terdaftar penerbitan SBK secara berkelanjutan. Dengan demikian, Korporasi Non-Bank A dapat melakukan penundaan penawaran di setiap tahapan penerbitan yakni tahap kesatu, tahap kedua sampai dengan tahap ketujuh. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “jangka waktu penundaan penawaran” adalah jangka waktu antara tanggal distribusi SBK yang lama yang tercantum pada surat persetujuan pendaftaran penerbitan SBK sebelumnya dengan tanggal distribusi SBK yang baru akibat penundaan penawaran. Pasal 69 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penyampaian melalui sarana elektronik lainnya dilakukan bersamaan dengan penyampaian hardcopy. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan tanggal dilakukannya penawaran adalah tanggal dimulainya masa penawaran. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 73 Ayat (1) Salah satu sarana yang dapat digunakan untuk memudahkan akses informasi oleh calon investor SBK adalah laman (website) korporasi dari Penerbit SBK. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Akta pernyataan penerbitan merupakan pernyataan yang dibuat dalam akta notarial, antara lain memuat bahwa: a. Penerbit SBK benar merupakan Penerbit SBK sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan dan transaksi SBK; b. Penerbit SBK telah memenuhi persyaratan yang diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan dan transaksi SBK; dan c. SBK akan dicatat dan ditatausahakan secara elektronik di LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 77 Ayat (1) Dalam hal terdapat pembatalan dari investor sehingga tidak terjadi pembayaran, maka nominal pembatalan dimaksud tidak termasuk dalam perhitungan nominal penerbitan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia” antara lain KSEI. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 81 Pelaksanaan penerbitan dan transaksi mencakup proses dari mulai persiapan penerbitan, pendaftaran, distribusi, penatausahaan, transaksi hingga pelunasan. Kondisi tertentu antara lain keterlambatan pelunasan SBK. Pasal 82 Ayat (1) Pelaksanaan penerbitan SBK dianggap terjadi ketika dilakukan distribusi SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 83 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Dalam hal laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik (audited) belum tersedia, maka mencakup laporan keuangan tahunan unaudited sampai akhirnya tersedia laporan keuangan tahunan audited. Huruf b Yang termasuk dalam perubahan dalam kegiatan usaha antara lain: 1. penutupan satu unit usaha; 2. penggabungan usaha; 3. pemisahan usaha; dan 4. peleburan usaha. Huruf c Yang termasuk dalam investasi atau pembiayaan dalam jumlah yang material antara lain pembelian saham perusahaan lain, buyback dan penjualan surat berharga. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang termasuk dalam perubahan atas metode antara lain perubahan tahun buku, perubahan standar akuntansi termasuk valuta dari laporan keuangan. Huruf j Yang termasuk dalam hasil pengawasan khusus antara lain adanya status pengawasan khusus yang dikenakan otoritas, pembatasan izin usaha dan lain sebagainya. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Ayat (1) Akses informasi bertujuan untuk memastikan investor SBK dan/atau calon investor SBK memperoleh informasi yang cukup tentang SBK beserta kondisi Penerbit SBK. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Ayat (1) Kode unik transaksi merupakan sebuah angka yang secara unik membedakan suatu transaksi SBK dengan transaksi SBK lainnya. Kode unik transaksi dapat diciptakan dan disepakati antar Pelaku Transaksi SBK dan/atau Lembaga Pendukung Transaksi SBK. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Contoh 1: Korporasi Non-Bank A sepakat untuk menjual SBK kepada Korporasi Non-Bank B sebesar Rp 5.000.000.000,00 pada tanggal 18 Juni 2018. Mengingat penyelesaian transaksi dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja dan tanggal 19, 20 dan 21 Juni 2018 merupakan hari kerja maka penyelesaian transaksi dilakukan paling lambat pada tanggal 21 Juni 2018. Contoh 2: Korporasi Non-Bank C sepakat untuk menjual SBK kepada Korporasi Non-Bank D sebesar Rp 3.000.000.000,00 pada tanggal 20 Juli 2018. Mengingat penyelesaian transaksi dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja dan tanggal 21, 22 dan 23 Juli 2018 merupakan hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional, maka penyelesaian transaksi dilakukan paling lambat pada tanggal 26 Juli 2018. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Prosedur operasi standar ini merupakan dokumen pendukung dalam pengajuan pendaftaran Lembaga Pendukung Transaksi SBK sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai lembaga pendukung pasar uang yang melakukan kegiatan terkait SBK di pasar uang. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Informasi maupun fakta material yang signifikan termasuk yang dilaporkan dalam laporan secara berkala. Huruf c Implementasi dari pelaporan data posisi kepemilikan investor atas SBK yang diterbitkan oleh Penerbit SBK tercakup dalam laporan penatausahaan dan penyelesaian transaksi SBK oleh KSEI selaku LPP SBK kepada Bank Indonesia. Pasal 97 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penerbitan SBK” adalah terjadinya distribusi SBK dari Penerbit SBK kepada investor SBK. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 98 Penerbitan SBK meliputi penerbitan yang dilakukan dalam mekanisme penerbitan secara individual maupun penerbitan secara berkelanjutan. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penyampaian melalui sarana elektronik lainnya dilakukan bersamaan dengan penyampaian hardcopy. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Bukti pengungkapan informasi maupun fakta material kepada investor dan/atau calon investor dapat berupa pengungkapan informasi maupun fakta material melalui laman Penerbit SBK yang dibuktikan dengan screenshot informasi dimaksud dalam laman Penerbit SBK. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pelaku transaksi mencakup pembeli dan penjual. Huruf d Jenis pelaku diantaranya memuat informasi status pelaku transaksi dalam hal status pelaku transaksi merupakan entitas domestik atau asing serta kategori pelaku transaksi dalam hal pelaku transaksi merupakan bank, Perusahaan Efek, dana pensiun dan lain sebagainya. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan jenis transaksi adalah transaksi jual beli SBK, yang dapat dilakukan secara jual beli putus (outright) atau jual/beli dengan janji dibeli/dijual kembali (repo/reverse repo). Huruf g Nominal transaksi merujuk pada nominal transaksi SBK yang ditransaksikan. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 112 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pelaporan transaksi oleh Bank dilakukan dalam kapasitas Bank sebagai pelaku transaksi. Huruf b Pelaporan transaksi oleh Perusahaan Efek dilakukan dalam kapasitas Perusahaan Efek sebagai: a. pelaku transaksi; b. Lembaga Pendukung Transaksi SBK; dan/atau c. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi SBK. Pelaporan transaksi oleh Perusahaan Pialang dilakukan dalam kapasitas Perusahaan Pialang sebagai Lembaga Pendukung Transaksi SBK. Pelaporan transaksi oleh Bank yang melaksanakan kegiatan kustodian dilakukan dalam kapasitas Bank sebagai Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi SBK. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Ayat (1) Dalam hal Penerbit SBK yang telah mendapatkan persetujuan pendaftaran penerbitan SBK secara berkelanjutan mendapatkan sanksi tidak dapat menerbitan SBK 1 (satu) tahun ke depan sebelum berakhirnya periode terdaftar, Penerbit SBK tidak dapat menerbitkan SBK pada tahap lanjutan penerbitan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup jelas. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 132 Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/1/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PENERBITAN DAN TRANSAKSI SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG </reg_title> <set_date> 2 Januari 2018 </set_date> <effective_date> 2 Januari 2018 </effective_date> <related_reg> '19/9/PBI/2017', '18/11/PBI/2016' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/11/PADG/2017 TENTANG PENYELESAIAN TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA DAN THAILAND MENGGUNAKAN RUPIAH DAN BAHT MELALUI BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah diperlukan upaya untuk memitigasi risiko terjadinya fluktuasi rupiah melalui suatu kerja sama antara Bank Indonesia dengan bank sentral atau otoritas moneter negara lain terkait dengan penyelesaian transaksi perdagangan bilateral; b. bahwa Bank Indonesia dan Bank of Thailand telah menyepakati pembentukan kerangka kerja sama untuk mendorong penyelesaian transaksi perdagangan bilateral dalam rupiah dan baht melalui kegiatan dan transaksi keuangan yang dapat dilakukan oleh bank; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral antara Indonesia dan Thailand Menggunakan Rupiah dan Baht Melalui Bank; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/11/PBI/2017 tentang Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral Menggunakan Mata Uang Lokal (Local Currency Settlement) Melalui Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 213, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6127); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PENYELESAIAN TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA DAN THAILAND MENGGUNAKAN RUPIAH DAN BAHT MELALUI BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan serta bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral Menggunakan Rupiah dan Baht (Local Currency Settlement) yang selanjutnya disebut LCS Rupiah dan Baht adalah penyelesaian transaksi perdagangan bilateral yang dilakukan oleh pelaku usaha di Indonesia dan di Thailand dengan menggunakan rupiah dan baht. 3. Bank yang Ditunjuk Untuk Melaksanakan Transaksi Mata Uang (Appointed Cross Currency Dealer Bank) yang selanjutnya disebut Bank ACCD adalah bank yang ditunjuk oleh Bank Indonesia bersama Bank of Thailand guna melakukan kegiatan dan transaksi keuangan 3 tertentu untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht. 4. Bank ACCD Indonesia adalah Bank ACCD di Indonesia. 5. Bank ACCD Thailand adalah Bank ACCD di Thailand. 6. Rekening Special Purpose Non-Resident Account Rupiah yang selanjutnya disebut SNA Rupiah adalah rekening khusus milik Bank ACCD Thailand dalam rupiah yang dibuka pada Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht. 7. Rekening Sub-Special Purpose Non-Resident Account Rupiah yang selanjutnya disebut Sub-SNA Rupiah adalah rekening khusus milik importir/eksportir Thailand dalam rupiah yang dibuka pada Bank ACCD Thailand untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht. 8. Rekening Special Purpose Non-Resident Account Baht yang selanjutnya disebut SNA Baht adalah rekening khusus milik Bank ACCD Indonesia dalam baht yang dibuka pada Bank ACCD Thailand untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht. 9. Rekening Sub Special Purpose Non-Resident Account Baht yang selanjutnya disebut Sub-SNA Baht adalah rekening khusus milik importir/eksportir Indonesia dalam baht yang dibuka pada Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht. 10. Underlying Transaksi adalah seluruh kegiatan perdagangan barang dan jasa antara Indonesia dan Thailand, termasuk kegiatan pembiayaan perdagangan untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht. 11. Pembiayaan Perdagangan adalah pembiayaan yang diberikan Bank ACCD kepada importir/eksportir di Indonesia dan Thailand untuk kepentingan pelaksanaan perdagangan bilateral. 12. Eksportir adalah eksportir sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perdagangan. 13. Importir adalah importir sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perdagangan. 14. Hari adalah hari kerja. 4 BAB II PENUNJUKAN BANK ACCD Pasal 2 (1) Bank Indonesia bersama Bank of Thailand menunjuk bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand. (2) Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penetapan Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand secara efektif dapat mulai melakukan kegiatan operasional dan transaksi keuangan tertentu untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht. (3) Penunjukan sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria: a. kondisi kesehatan bank; b. kemampuan bank dalam memfasilitasi perdagangan antara Indonesia dan Thailand; c. kemampuan bank dalam menjalin hubungan bisnis dengan perbankan di Indonesia dan di Thailand; d. akses jaringan kantor bank di negara asal (home country) yaitu Indonesia atau Thailand; dan/atau e. kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia bersama Bank of Thailand. (4) Bank Indonesia bersama Bank of Thailand melakukan evaluasi dengan mempertimbangkan perkembangan bisnis Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht serta kepatuhan Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand terkait ketentuan yang mengatur mengenai LCS Rupiah dan Baht. (5) Bank Indonesia bersama Bank of Thailand dapat mengakhiri penunjukan bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand. 5 Pasal 3 (1) Untuk kepentingan penunjukan bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Bank Indonesia bersama Bank of Thailand melakukan persiapan penunjukan bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand: a. meminta calon Bank ACCD Indonesia untuk mengajukan surat permohonan kepada Bank Indonesia dan Bank of Thailand; b. menerima permohonan dari calon Bank ACCD Indonesia dan calon Bank ACCD Thailand; c. melakukan pemrosesan permohonan dari calon Bank ACCD Indonesia dan calon Bank ACCD Thailand melalui koordinasi dengan Bank of Thailand; d. persetujuan penunjukan Bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan bank sebagai Bank ACCD Thailand; dan/atau e. kegiatan persiapan lainnya terkait penunjukan bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand. (2) Penyampaian surat permohonan dari calon Bank ACCD Indonesia kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur sebagai berikut: a. memuat pernyataan minat dan kesiapan untuk menjadi Bank ACCD Indonesia serta usulan calon mitra Bank ACCD Indonesia di Thailand; dan b. melampirkan surat permohonan dari calon mitra Bank ACCD Indonesia di Thailand kepada Bank Indonesia, sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Surat permohonan dari calon Bank ACCD Indonesia kepada Bank of Thailand sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan kepada Bank of Thailand 6 melalui calon mitra Bank ACCD Indonesia di Thailand sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran I. (4) Surat permohonan dari calon Bank ACCD Thailand kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran I. Pasal 4 (1) Bank Indonesia melakukan evaluasi terhadap Bank ACCD Indonesia berkoordinasi dengan Bank of Thailand. (2) Evaluasi terhadap Bank ACCD Thailand dilakukan oleh Bank of Thailand berkoordinasi dengan Bank Indonesia. (3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan bisnis Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht serta kepatuhan Bank ACCD Indonesia terkait ketentuan yang mengatur mengenai LCS Rupiah dan Baht. BAB III KEGIATAN DAN TRANSAKSI KEUANGAN BANK ACCD Bagian Kesatu Pembukaan SNA Rupiah dan SNA Baht Pasal 5 (1) Bank ACCD Indonesia dapat menerima pembukaan SNA Rupiah dari Bank ACCD Thailand yang merupakan mitra dari Bank ACCD Indonesia. (2) Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat menerima permintaan pembukaan 1 (satu) SNA Rupiah dari setiap Bank ACCD Thailand yang merupakan mitra dari Bank ACCD Indonesia. (3) Bank ACCD Indonesia memberikan bunga pada SNA Rupiah milik Bank ACCD Thailand. 7 (4) Pemberian bunga pada SNA Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan kebijakan masing-masing Bank ACCD Indonesia. Pasal 6 (1) Bank ACCD Indonesia membuka SNA Baht pada Bank ACCD Thailand yang merupakan mitra dari Bank ACCD Indonesia. (2) Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat membuka 1 (satu) SNA Baht pada setiap Bank ACCD Thailand yang merupakan mitra dari Bank ACCD Indonesia. (3) Bank ACCD Indonesia menerima bunga atas SNA Baht pada Bank ACCD Thailand sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Pemberian bunga pada SNA Baht sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan kebijakan masing- masing Bank ACCD Thailand. Pasal 7 (1) Saldo setiap SNA Rupiah milik Bank ACCD Thailand pada Bank ACCD Indonesia dibatasi paling banyak sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah) pada akhir Hari. (2) Bank ACCD Indonesia wajib memastikan saldo SNA Rupiah tidak melebihi jumlah nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada akhir Hari. (3) Saldo SNA Rupiah dapat melebihi jumlah nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada akhir Hari sepanjang Bank ACCD Indonesia menerima dokumen dari Bank ACCD Thailand yang membuktikan bahwa kelebihan saldo SNA Rupiah tersebut akan digunakan untuk membayar kewajiban perdagangan bilateral antara Indonesia dan Thailand atau investasi pada aset keuangan dalam rupiah pada Hari berikutnya. 8 Pasal 8 (1) Bank ACCD Indonesia wajib memelihara saldo setiap SNA Baht pada Bank ACCD Thailand paling banyak sebesar THB1,000,000,000.00 (satu miliar baht Thailand) pada akhir Hari. (2) Dalam hal saldo SNA Baht pada akhir Hari melebihi jumlah nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka kelebihan saldo SNA Baht harus dijual kepada Bank of Thailand dengan nilai tukar khusus yang ditetapkan oleh Bank of Thailand. (3) Saldo SNA Baht dapat melebihi jumlah nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada akhir Hari apabila memperoleh persetujuan dari Bank of Thailand. (4) Untuk memperoleh persetujuan dari Bank of Thailand sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank ACCD Indonesia harus menyampaikan permohonan beserta dokumen pendukung kepada Bank of Thailand melalui Bank ACCD Thailand yang merupakan mitra dari Bank ACCD Indonesia. (5) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjelaskan bahwa kelebihan saldo SNA Baht akan digunakan untuk membayar kewajiban perdagangan bilateral antara Indonesia dan Thailand atau melakukan investasi pada aset keuangan dalam baht pada Hari berikutnya. (6) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterima oleh Bank of Thailand paling lambat pada pukul 16.30 waktu Bangkok, Thailand pada Hari terjadinya kelebihan saldo SNA Baht. 9 Bagian Kedua Pembukaan Sub-SNA Baht dan Sub-SNA Rupiah Paragraf 1 Pembukaan Rekening Sub-SNA Baht Pasal 9 Bank ACCD Indonesia menerima pembukaan rekening Sub- SNA Baht bagi Importir/Eksportir Indonesia untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht. Pasal 10 (1) Bank ACCD Indonesia memberikan bunga untuk Sub- SNA Baht. (2) Pemberian bunga pada Sub-SNA Baht sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan kebijakan masing-masing Bank ACCD Indonesia. Paragraf 2 Penambahan dan Pengurangan Saldo Rekening Sub-SNA Baht Pasal 11 (1) Penambahan saldo rekening Sub-SNA Baht milik Importir/Eksportir Indonesia hanya bersumber dari: a. penerimaan devisa hasil ekspor dalam baht dari importir di Thailand; b. pembelian baht terhadap rupiah atau valuta asing melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap untuk penyelesaian Underlying Transaksi; c. penerimaan bunga atas saldo rekening Sub-SNA Baht; dan/atau d. penerimaan atas pencairan dana dari Pembiayaan Perdagangan dalam baht yang diterima Importir/Eksportir Indonesia dari Bank ACCD Indonesia. (2) Pengurangan saldo rekening Sub-SNA Baht milik Importir/Eksportir Indonesia hanya dilakukan untuk: 10 a. pembayaran impor barang dan jasa dalam baht kepada eksportir di Thailand; b. penjualan baht terhadap rupiah atau valuta asing melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap dari devisa hasil ekspor dalam baht; c. pelunasan Pembiayaan Perdagangan dalam baht yang diterima Importir/Eksportir Indonesia dari Bank ACCD Indonesia; dan/atau d. transfer baht untuk kepentingan investasi Eksportir Indonesia pada aset keuangan dalam baht di Thailand. Paragraf 3 Pembukaan Rekening Sub-SNA Rupiah Pasal 12 Bank ACCD Thailand menerima pembukaan rekening Sub- SNA Rupiah bagi kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht. Pasal 13 (1) Bank ACCD Thailand memberikan bunga untuk Sub-SNA Rupiah. (2) Pemberian bunga pada Sub-SNA Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan kebijakan masing-masing Bank ACCD Thailand. Paragraf 4 Penambahan dan Pengurangan Saldo Rekening Sub-SNA Rupiah Pasal 14 (1) Penambahan saldo rekening Sub-SNA Rupiah milik importir/eksportir Thailand hanya bersumber dari: a. penerimaan devisa hasil ekspor dalam rupiah dari Importir di Indonesia; importir/eksportir Thailand untuk 11 b. pembelian rupiah terhadap baht atau valuta asing melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap untuk penyelesaian Underlying Transaksi; c. penerimaan bunga atas saldo rekening Sub-SNA Rupiah; dan/atau d. penerimaan atas pencairan dana dari Pembiayaan Perdagangan dalam rupiah yang diterima importir/eksportir Thailand dari Bank ACCD Thailand. (2) Pengurangan saldo rekening Sub-SNA Rupiah milik importir/eksportir Thailand hanya dilakukan untuk: a. pembayaran impor barang dan jasa dalam rupiah kepada Eksportir di Indonesia; b. penjualan rupiah terhadap baht atau valuta asing melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap dari devisa hasil ekspor dalam rupiah; c. pelunasan Pembiayaan Perdagangan dalam rupiah yang diterima importir/eksportir Thailand dari Bank ACCD Thailand; dan/atau d. transfer rupiah untuk kepentingan investasi eksportir Thailand pada aset keuangan dalam rupiah di Indonesia. Bagian Ketiga Transaksi Rupiah dan Valuta Asing Terhadap Baht Paragraf 1 Transaksi Baht Antar Bank ACCD Pasal 15 (1) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht untuk transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap dengan Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD Thailand untuk pengelolaan likuiditas tanpa Underlying Transaksi. (2) Bank ACCD Indonesia dapat melaksanakan transaksi baht atau valuta asing terhadap rupiah untuk transaksi 12 tod, tom, spot, forward, dan/atau swap dengan Bank ACCD Thailand untuk keperluan pengelolaan likuiditas Bank ACCD Thailand tanpa Underlying Transaksi. Paragraf 2 Transaksi Baht Bank ACCD Indonesia dengan Importir/ Eksportir Indonesia Pasal 16 (1) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht dengan Importir/Eksportir Indonesia yang didukung oleh Underlying Transaksi. (2) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht dengan non-Bank ACCD Indonesia yang bertindak untuk kepentingan Importir/Eksportir Underlying Transaksi. Indonesia dengan didukung (3) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan melalui transaksi: a. b. tod; tom; c. spot; d. forward; dan/atau e. swap. (4) Nominal dan jangka waktu transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilarang melebihi nominal Underlying Transaksi dan dilarang melebihi jangka waktu Underlying Transaksi. (5) Importir/Eksportir Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan menggunakan Underlying Transaksi dalam denominasi mata uang selain baht. 13 Paragraf 3 Squaring Position Pasal 17 (1) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht berupa transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap untuk pelaksanaan squaring position dengan Bank ACCD Indonesia, Bank ACCD Thailand, atau non-Bank ACCD Thailand. (2) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan squaring position sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht yang dilakukan dengan Importir/Eksportir Indonesia dan/atau non-Bank ACCD Indonesia dengan cara: a. secara neto (net basis) atau secara gross (gross basis) dengan Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD Thailand tanpa Underlying Transaksi; atau b. secara gross (gross basis) dengan non-Bank ACCD Thailand dengan didukung oleh Transaksi. Pasal 18 (1) Bank ACCD Indonesia dapat melaksanakan transaksi baht atau valuta asing terhadap rupiah berupa transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap untuk pelaksanaan squaring position dari Bank ACCD Thailand. (2) Bank ACCD Indonesia dapat melaksanakan transaksi untuk pelaksanaan squaring position dari Bank ACCD Thailand sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas transaksi baht atau valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan dengan importir/eksportir Thailand dan/ atau non-Bank ACCD Thailand secara neto (net basis) atau secara gross (gross basis) tanpa Underlying Transaksi. Underlying 14 Bagian Keempat Penyelesaian Transaksi Pasal 19 (1) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht yang dilakukan Bank ACCD Indonesia dengan Importir/Eksportir Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan non-Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), dapat dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh atau secara netting. (2) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk: a. perpanjangan transaksi (rollover); b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); dan/atau c. pengakhiran transaksi (unwind/cancel up). (3) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan/atau pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh Importir/Eksportir Indonesia dan non-Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilakukan dengan Bank ACCD Indonesia yang sama sesuai dengan kontrak transaksi awal dan wajib disertai dengan dokumen pendukung. (4) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 20 (1) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht yang dilakukan antara Bank ACCD Indonesia dengan Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD Thailand sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), 15 dapat dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh atau secara netting. (2) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk: a. perpanjangan transaksi (rollover); b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); dan/atau c. pengakhiran transaksi (unwind/cancel up). (3) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan tanpa Underlying Transaksi. (4) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilakukan dengan Bank ACCD yang sama sesuai dengan kontrak transaksi awal. (5) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 21 (1) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht yang dilakukan antara Bank ACCD Indonesia dengan: a. Bank ACCD Indonesia; b. Bank ACCD Thailand; atau c. non-Bank ACCD Thailand, untuk pelaksanaan squaring position sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dapat dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh atau secara netting. 16 (2) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk: a. perpanjangan transaksi (rollover); b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); dan/atau c. pengakhiran transaksi (unwind/cancel up). (3) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan penyelesaian transaksi (early termination) dan pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh Bank ACCD Indonesia dengan: a. Bank ACCD Indonesia atau Bank ACCD Thailand, dilakukan tanpa dokumen pendukung; atau b. non-Bank ACCD Thailand, dilakukan dengan dokumen pendukung. (4) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilakukan dengan Bank ACCD atau non-Bank ACCD Thailand yang sama sesuai kontrak transaksi awal. (5) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kelima Pembiayaan Perdagangan Pasal 22 (1) Bank ACCD Indonesia dapat memberikan fasilitas Pembiayaan Perdagangan dalam Importir/Eksportir Indonesia yang melakukan perdagangan dengan Thailand. baht kepada 17 (2) Pembiayaan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam berbagai jenis Pembiayaan Perdagangan yang lazim dilakukan. (3) Penyediaan dana dalam baht untuk Pembiayaan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap dengan Bank ACCD Indonesia lainnya dan/atau Bank ACCD Thailand; dan/atau b. pinjaman langsung (direct borrowing) dalam baht dari Bank ACCD Indonesia lainnya dan/atau Bank ACCD Thailand. Pasal 23 (1) Pembiayaan Perdagangan yang diberikan dalam baht dapat menggunakan dokumen Underlying Transaksi dalam denominasi mata uang selain baht. (2) Nominal dokumen Underlying Transaksi selain dalam baht sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dalam ekuivalen baht. Pasal 24 (1) Jumlah nominal pinjaman langsung (direct borrowing) dalam baht sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) huruf b, dilarang melebihi jumlah nominal Underlying Transaksi. (2) Jangka waktu pinjaman langsung (direct borrowing) dalam baht sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) huruf b, dilarang melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun dan dilarang melebihi jangka waktu Underlying Transaksi berupa Pembiayaan Perdagangan. 18 Pasal 25 (1) Untuk kepentingan pemberian fasilitas Pembiayaan Perdagangan dalam rupiah oleh Bank ACCD Thailand kepada importir/eksportir di Thailand, Bank ACCD Indonesia dapat melaksanakan: a. transaksi baht atau valuta asing terhadap rupiah melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap dengan Bank ACCD Thailand; dan/atau b. penempatan dalam rupiah pada Bank ACCD Thailand. (2) Jumlah nominal penempatan dalam rupiah oleh Bank ACCD Indonesia kepada Bank ACCD Thailand sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilarang melebihi jumlah nominal Underlying Transaksi berupa Pembiayaan Perdagangan. (3) Jangka waktu penempatan dalam rupiah yang dilakukan oleh Bank ACCD Indonesia kepada Bank ACCD Thailand sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilarang melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun dan dilarang melebihi jangka waktu Underlying Transaksi berupa Pembiayaan Perdagangan. Bagian Keenam Pengelolaan SNA Baht dan SNA Rupiah Pasal 26 (1) Untuk kepentingan pemenuhan saldo SNA Baht, Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap dengan Bank ACCD Indonesia lainnya atau Bank ACCD Thailand. (2) Dalam hal Bank ACCD Thailand melakukan pemenuhan saldo SNA Rupiah, Bank ACCD Indonesia dapat melaksanakan transaksi baht atau valuta asing terhadap rupiah melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap dengan Bank ACCD Thailand. 19 Pasal 27 (1) Untuk kepentingan pengelolaan saldo SNA Baht, Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi yang meliputi: a. b. investasi pada aset keuangan dalam baht di Thailand; transaksi swap baht terhadap rupiah atau valuta asing dengan Bank ACCD Indonesia lainnya atau dengan Bank ACCD Thailand; dan/atau c. konversi dari baht ke rupiah atau valuta asing lainnya melalui transaksi tod, tom, spot, dan/atau forward. (2) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilarang dalam bentuk penempatan pada bank di Thailand berupa deposito dan tabungan. (3) Dalam hal Bank ACCD Indonesia melakukan investasi pada aset keuangan dalam baht di Thailand, pokok dan hasil dari investasi tersebut dapat ditransfer kembali ke SNA Baht. (4) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, disertai dengan dokumen pendukung. Bagian Ketujuh Pengelolaan Sub-SNA Baht dan Sub-SNA Rupiah Paragraf 1 Pengelolaan Sub-SNA Baht Pasal 28 (1) Untuk kepentingan pengelolaan saldo Sub-SNA Baht, Eksportir Indonesia dapat melakukan investasi pada aset keuangan dalam baht di Thailand. (2) Pokok dan hasil investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat ditransfer kembali ke Sub-SNA Baht milik Eksportir Indonesia. (3) Importir Indonesia tidak dapat melakukan investasi atas saldo Sub-SNA Baht. 20 (4) Bank ACCD Indonesia dilarang melaksanakan perintah investasi atas saldo Sub-SNA Baht milik Importir Indonesia. (5) Bank ACCD Indonesia wajib memastikan pelaksanaan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh dokumen pendukung. (6) Investasi yang dilakukan Eksportir Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dalam bentuk penempatan pada bank di Thailand berupa deposito dan tabungan. Paragraf 2 Pengelolaan Sub-SNA Rupiah Pasal 29 (1) Untuk kepentingan pengelolaan saldo Sub-SNA Rupiah, eksportir Thailand dapat melakukan investasi pada aset keuangan dalam rupiah di Indonesia. (2) Pokok dan hasil investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat ditransfer kembali ke Sub-SNA Rupiah milik eksportir Thailand. (3) Importir Thailand tidak dapat melakukan investasi atas saldo Sub-SNA Rupiah. (4) Bank ACCD Thailand tidak dapat melaksanakan perintah investasi atas saldo Sub-SNA Rupiah milik importir Thailand. (5) Investasi yang dilakukan eksportir Thailand sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dalam bentuk penempatan pada Bank di Indonesia berupa deposito dan tabungan. Pasal 30 (1) Posisi gross transaksi swap baht terhadap rupiah atau valuta asing yang dilakukan antara Bank ACCD Indonesia dengan Bank ACCD Indonesia lainnya atau Bank ACCD Thailand dilarang melebihi 21 THB1,000,000,000.00 (satu miliar baht Thailand) untuk setiap SNA Baht. (2) Posisi gross transaksi swap rupiah terhadap baht atau valuta asing yang dilakukan antara Bank ACCD Thailand dengan Bank ACCD Thailand lainnya atau Bank ACCD Indonesia tidak dapat melebihi Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah) untuk setiap SNA Rupiah. Bagian Kedelapan Larangan Penarikan dan Penyetoran Sub-SNA Baht dan Sub- SNA Rupiah Secara Tunai Pasal 31 (1) Importir/Eksportir di Indonesia tidak dapat melakukan penyetoran dan penarikan dalam baht secara tunai pada Sub-SNA Baht. (2) Bank ACCD Indonesia dilarang melaksanakan perintah penyetoran dan penarikan dalam baht secara tunai pada Sub-SNA Baht sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 32 (1) Importir/eksportir di Thailand tidak dapat melakukan penyetoran dan penarikan dalam rupiah secara tunai pada Sub-SNA Rupiah. (2) Bank ACCD Thailand tidak dapat melaksanakan perintah penyetoran dan penarikan dalam rupiah secara tunai pada Sub-SNA Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Kesembilan Transfer Dana Pasal 33 Transfer baht dapat dilakukan sebagai berikut: a. antara Bank ACCD Indonesia dengan Bank ACCD Indonesia lainnya atau Bank ACCD Thailand yang berasal dari: 22 1. transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap; dan 2. pinjaman langsung (direct borrowing) untuk kepentingan Pembiayaan Perdagangan; b. antara SNA Baht milik Bank ACCD Indonesia dengan rekening non-SNA Baht milik Bank ACCD Indonesia atau antara SNA Baht milik Bank ACCD Indonesia dengan rekening non-SNA Baht milik non-Bank ACCD Indonesia, untuk penyelesaian Underlying Transaksi; c. antara SNA Baht milik Bank ACCD Indonesia dengan rekening baht milik Bank ACCD Thailand dan rekening baht milik non-Bank ACCD Thailand, untuk penyelesaian Underlying Transaksi; d. antara SNA Baht milik Bank ACCD Indonesia dengan rekening baht milik importir/eksportir Thailand, untuk penyelesaian Underlying Transaksi; dan e. antara SNA Baht milik Bank ACCD Indonesia dengan rekening baht milik bank di Thailand atau perusahaan di Thailand, untuk penyelesaian investasi pada aset keuangan dalam baht di Thailand. Pasal 34 Transfer rupiah dapat dilakukan sebagai berikut: a. antara Bank ACCD Thailand dengan Bank ACCD Thailand lainnya atau Bank ACCD Indonesia yang berasal dari: 1. transaksi baht atau valuta asing terhadap rupiah melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap; dan 2. pinjaman langsung (direct borrowing) untuk kepentingan Pembiayaan Perdagangan; b. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Thailand dengan rekening non-SNA Rupiah milik Bank ACCD Thailand atau antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Thailand dengan rekening non-SNA Rupiah milik non-Bank ACCD Thailand, untuk penyelesaian Underlying Transaksi; 23 c. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Thailand dengan rekening rupiah milik Bank ACCD Indonesia dan non- Bank ACCD Indonesia, untuk penyelesaian Underlying Transaksi; d. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Thailand dengan rekening rupiah milik Importir/Eksportir Indonesia, untuk penyelesaian Underlying Transaksi; dan/atau e. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Thailand dengan rekening non-SNA Rupiah milik non-Bank ACCD Indonesia atau perusahaan Indonesia, penyelesaian investasi pada aset keuangan dalam rupiah di Indonesia. Pasal 35 Untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht, Bank ACCD Indonesia dan non-Bank ACCD Indonesia yang menerima dana rupiah dari bank ACCD Thailand atau dari Bank ACCD Indonesia yang ditujukan kepada rekening rupiah milik non-Bank ACCD Thailand dapat menggunakan Underlying Transaksi berupa perdagangan barang dan jasa antara Indonesia dan Thailand. Bagian Kesepuluh Kuotasi Harga Pasal 36 (1) Bank ACCD Indonesia wajib menerbitkan dan menampilkan kuotasi harga baht terhadap rupiah pada sarana penyedia informasi. (2) Dalam melakukan transaksi baht terhadap rupiah, Bank ACCD Indonesia wajib menggunakan kuotasi harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penetapan kuotasi harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merefleksikan harga wajar yang terjadi di pasar valuta asing. untuk 24 Bagian Kesebelas Posisi Terbuka Transaksi Baht Pasal 37 (1) Bank ACCD Indonesia dapat memiliki posisi terbuka transaksi baht terhadap rupiah dan/atau valuta asing paling banyak sebesar THB200,000,000.00 (dua ratus juta baht Thailand), pada akhir Hari untuk setiap SNA Baht. (2) Posisi terbuka transaksi baht terhadap rupiah dan/atau valuta asing merupakan selisih bersih antara pembelian dan penjualan baht terhadap rupiah dan/atau valuta asing secara outright dari transaksi tod, tom, spot, dan/atau forward. (3) Contoh perhitungan posisi terbuka baht terhadap rupiah dan/atau valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kedua Belas Larangan Melakukan Transaksi Non-Deliverable Forward Pasal 38 (1) Bank ACCD Indonesia tidak dapat melakukan dan/atau memfasilitasi transaksi non-deliverable forward (NDF) rupiah atau valuta asing terhadap baht. (2) Bank ACCD Thailand tidak dapat melakukan dan/atau memfasilitasi transaksi non-deliverable forward (NDF) baht atau valuta asing terhadap rupiah. 25 BAB IV DOKUMEN UNDERLYING TRANSAKSI Pasal 39 (1) Dokumen Underlying Transaksi dapat berupa: a. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment); atau b. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis). (2) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan dokumen yang menunjukkan bukti perdagangan barang dan jasa antara Importir/Eksportir Indonesia dan importir/eksportir Thailand. (3) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan dokumen perkiraan yang terkait dengan rencana penerimaan atau kebutuhan pembayaran perdagangan barang dan jasa antara Importir/Eksportir Indonesia dengan importir/eksportir Thailand. (4) Perhitungan Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan rencana kebutuhan penerimaan atau pembayaran perdagangan barang dan jasa paling lama 1 (satu) tahun. (5) Jangka waktu transaksi dengan menggunakan Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat melebihi 1 (satu) tahun sejak tanggal transaksi dan tidak dapat melebihi nominal perkiraan kebutuhan penerimaan atau pembayaran perdagangan barang dan jasa. (6) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dihitung secara gross (gross basis) atau secara neto (net basis). 26 (7) Rincian dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 40 (1) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht melalui transaksi tod, tom, spot, dan/atau swap yang dilakukan antara Bank ACCD Indonesia dan non-Bank ACCD Indonesia yang bertindak untuk kepentingan Importir/Eksportir Indonesia, wajib didukung oleh dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment). (2) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht melalui transaksi forward yang dilakukan antara Bank ACCD Indonesia dan non-Bank ACCD Indonesia yang bertindak untuk kepentingan Importir/Eksportir Indonesia, wajib didukung dengan dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) atau dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis). Pasal 41 (1) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht melalui transaksi tod, tom, spot, dan/atau swap yang dilakukan antara Bank ACCD Indonesia dan Importir/Eksportir Indonesia, wajib didukung oleh dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment). (2) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht melalui transaksi forward yang dilakukan antara Bank ACCD Indonesia dan Importir/Eksportir Indonesia, wajib didukung dengan dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) atau dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis). Pasal 42 (1) Perpanjangan transaksi (rollover) atas transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht yang dilakukan Bank 27 ACCD Indonesia dengan Importir/Eksportir dan non- Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf a, wajib disertai dengan dokumen pendukung yang menjelaskan perubahan jangka waktu penyelesaian transaksi. (2) Percepatan penyelesaian transaksi (early termination) atas transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht yang dilakukan Bank ACCD Indonesia dengan Importir/Eksportir Indonesia dan non-Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf b, wajib disertai dengan dokumen pendukung yang menjelaskan bahwa perusahaan di Thailand atau di Indonesia melakukan percepatan penyelesaian transaksi. (3) Pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) atas transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht yang dilakukan Bank ACCD Indonesia dengan Importir/Eksportir Indonesia dan non-Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, wajib disertai dengan dokumen pendukung yang menjelaskan bahwa perusahaan di Thailand atau di Indonesia telah membatalkan ekspor dan/atau impor atau telah terjadi perubahan nominal Underlying Transaksi. Pasal 43 (1) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) dan/atau yang bersifat perkiraan (anticipatory basis) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) pada tanggal transaksi. (2) Dalam hal Bank ACCD Indonesia menerima dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank ACCD Indonesia wajib meminta dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) pada tanggal jatuh waktu. (3) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen pendukung perpanjangan transaksi (rollover) 28 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) pada tanggal perpanjangan transaksi (rollover) dilakukan. (4) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen pendukung percepatan penyelesaian transaksi (early termination) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) pada tanggal percepatan penyelesaian transaksi (early termination) dilakukan. (5) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen pendukung pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) pada tanggal pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) dilakukan. Pasal 44 (1) Pembiayaan Perdagangan yang diberikan oleh Bank ACCD Indonesia wajib didukung oleh dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) dari Importir/Eksportir Indonesia. (2) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada saat pengajuan Pembiayaan Perdagangan. Pasal 45 Untuk kepentingan kegiatan investasi pada aset keuangan dalam baht, Bank ACCD Indonesia wajib memastikan Eksportir Indonesia menyampaikan dokumen pendukung pada saat penyelesaian investasi dilakukan. BAB V PENGAKHIRAN PENUNJUKAN BANK ACCD INDONESIA Pasal 46 (1) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia berkoordinasi dengan Bank of Thailand dapat mengakhiri 29 penunjukan bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD Thailand. (2) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis pengakhiran penunjukan bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD Thailand. (3) Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand yang telah menerima surat pemberitahuan pengakhiran penunjukan sebagai Bank ACCD, tidak dapat melakukan kegiatan dan transaksi keuangan untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht. (4) Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand yang telah menerima surat pemberitahuan pengakhiran penunjukan sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand, harus segera memberitahukan kepada nasabahnya mengenai: a. penghentian kegiatan bank sebagai Bank ACCD; dan b. mekanisme penyelesaian hak dan kewajiban nasabah terkait: 1. penutupan SNA Rupiah, SNA Baht, Sub-SNA Rupiah, dan/atau Sub-SNA Baht; 2. pelunasan Pembiayaan Perdagangan; dan 3. hal lain terkait transaksi Bank dengan nasabah untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht. (5) Bank ACCD harus memiliki mekanisme untuk penyelesaian hak dan kewajiban kepada nasabah terkait dengan transaksi yang dilakukan untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b. BAB VI PELAPORAN Pasal 47 (1) Bank ACCD Indonesia wajib menyusun dan menyampaikan laporan untuk kepentingan LCS Rupiah 30 dan Baht kepada Bank Indonesia secara benar, lengkap, dan tepat waktu. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi formulir: a. transaksi valuta asing; b. posisi terbuka transaksi mata uang negara mitra; c. posisi saldo SNA mitra; d. transfer dana; e. posisi saldo dan mutasi sub-SNA mitra; dan f. posisi Pembiayaan Perdagangan. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan data selama 1 (satu) periode laporan yaitu dari tanggal 1 sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan. (4) Penyusunan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Lampiran VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 48 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) disusun dan digabungkan dalam 1 (satu) berkas sebagaimana format pada Lampiran VII. (2) Dalam hal tidak terdapat transaksi dan/atau posisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) dalam 1 (satu) periode laporan maka laporan tersebut tetap disampaikan berupa header. Pasal 49 (1) Dalam hal terdapat kesalahan laporan yang telah disampaikan oleh Bank ACCD Indonesia kepada Bank Indonesia, Bank ACCD Indonesia wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan laporan dimaksud. (2) Koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam 1 (satu) berkas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1). 31 Pasal 50 (1) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dilakukan secara offline kepada Bank Indonesia dengan menggunakan media surat elektronik kepada [email protected]. (2) Dalam hal terdapat perubahan alamat surat elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia akan menginformasikan perubahan alamat tersebut melalui surat dan/atau media lainnya. Pasal 51 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 14 pada bulan berikutnya. (2) Dalam hal tanggal 14 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur nasional yang ditetapkan oleh pemerintah maka laporan dan/atau koreksi laporan disampaikan pada Hari kerja berikutnya. (3) Penyampaian laporan dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan paling lambat pada pukul 16.00 WIB. (4) Dalam hal terdapat kesalahan pada laporan Bank ACCD Indonesia setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank ACCD Indonesia tetap harus menyampaikan koreksi laporan. (5) Dalam hal Bank ACCD Indonesia mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan pada tanggal berakhirnya penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka laporan dan/atau koreksi laporan disampaikan pada Hari kerja berikutnya setelah gangguan teknis dapat diatasi. (6) Dalam hal Bank ACCD Indonesia mengalami gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Bank ACCD Indonesia harus segera menyampaikan pemberitahuan 32 secara tertulis kepada Bank Indonesia disertai dengan bukti pendukung. (7) Bank ACCD Indonesia dinyatakan telah menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan pada tanggal diterimanya laporan dan/atau koreksi laporan setelah memperoleh notifikasi dari Bank Indonesia melalui surat elektronik. Pasal 52 (1) Dalam hal Bank ACCD Indonesia mengalami keadaan memaksa (force majeure) sehingga mengakibatkan tidak tersedianya data selama 1 (satu) periode laporan, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 untuk periode laporan tersebut. (2) Bank ACCD Indonesia yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sehingga menyebabkan terhambatnya penyampaian laporan dan/atau koreksi laporan untuk 1 (satu) periode laporan, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan untuk periode laporan tersebut dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1). (3) Bank ACCD Indonesia yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan setelah Bank ACCD Indonesia kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. (4) Dalam hal Bank ACCD Indonesia mengalami keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank ACCD Indonesia harus segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia disertai dengan bukti pendukung. Pasal 53 (1) Bank ACCD Indonesia dianggap menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan secara tidak lengkap apabila 33 Bank ACCD Indonesia tidak menyampaikan seluruh laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51. (2) Bank ACCD Indonesia dianggap tidak menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan apabila Bank Indonesia belum menerima laporan dan/atau koreksi laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51. BAB VII KORESPONDENSI Pasal 54 (1) Penyampaian surat menyurat dan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht disampaikan oleh Bank ACCD Indonesia kepada Bank Indonesia dan dialamatkan kepada Departemen Pengembangan Pasar Keuangan, Gedung C, Lantai 5, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (2) Dalam hal terdapat perubahan alamat korespondensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia akan menginformasikan perubahan alamat tersebut melalui surat dan/atau media lainnya. BAB VIII TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 55 (1) Bank Indonesia mengenakan sanksi berupa teguran tertulis kepada Bank ACCD Indonesia yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai penyelesaian transaksi perdagangan bilateral menggunakan mata uang lokal (local currency settlement) melalui bank. 34 (2) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat dengan tembusan kepada otoritas terkait. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 56 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2018. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 November 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, PERRY WARJIYO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/11/PADG/2017 TENTANG PENYELESAIAN TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA DAN THAILAND MENGGUNAKAN RUPIAH DAN BAHT MELALUI BANK I. UMUM Bank Indonesia dan Bank of Thailand telah memiliki kesepakatan guna mendorong penggunaan mata uang lokal untuk penyelesaian transaksi perdagangan bilateral antara Indonesia dan Thailand. Hal tersebut merupakan bagian dari upaya untuk mengurangi ketergantungan pada mata uang tertentu yang diharapkan dapat mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar. Guna mendukung pelaksanaan kesepakatan tersebut, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/11/PBI/2017 tentang Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral Menggunakan Mata Uang Lokal (Local Currency Settlement) Melalui Bank. Sebagai pedoman pelaksanaan ketentuan tersebut diperlukan peraturan yang mengatur pelaksanaan kegiatan dan transaksi keuangan melalui skema LCS Rupiah dan Baht antara lain mencakup pembukaan rekening khusus dalam rupiah dan baht, pelaksanaan transaksi rupiah atau valuta asing terhadap baht, dan pemberian fasilitas Pembiayaan Perdagangan dalam rupiah dan baht. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Persetujuan penunjukan bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand antara lain terkait dengan: 1. mitra Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand atau mitra pengganti; dan/atau 2. penyampaian informasi penunjukan bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Thailand. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Surat permohonan kepada Bank of Thailand disampaikan dalam bahasa Inggris. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 3 Pasal 4 Ayat (1) Dalam melakukan evaluasi terhadap Bank ACCD Indonesia, Bank Indonesia dapat meminta masukan dan informasi dari Bank of Thailand. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pertimbangan mengenai perkembangan bisnis Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht serta kepatuhan Bank ACCD Indonesia terkait ketentuan yang mengatur mengenai LCS Rupiah dan Baht antara lain diperoleh berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan/atau hasil koordinasi antara Bank Indonesia dengan otoritas terkait lainnya. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Bank A dan Bank B adalah Bank ACCD Indonesia. Bank A bermitra dengan Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand dan Bank B bermitra dengan Bank Y yang merupakan Bank ACCD Thailand. Bank A hanya dapat menerima permintaan pembukaan 1 (satu) SNA Rupiah dari Bank ACCD Thailand yang merupakan mitra Bank A (dalam contoh ini Bank X). Bank B hanya dapat menerima permintaan pembukaan 1 (satu) SNA Rupiah dari Bank ACCD Thailand yang merupakan mitra Bank B (dalam contoh ini Bank Y). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 4 Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Bank A dan Bank B adalah Bank ACCD Indonesia. Bank A bermitra dengan Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand dan Bank B bermitra dengan Bank Y yang merupakan Bank ACCD Thailand. Bank A hanya dapat membuka 1 (satu) SNA Baht pada Bank ACCD Thailand yang merupakan mitra Bank A (dalam contoh ini Bank X). Bank B hanya dapat membuka 1 (satu) SNA Baht pada Bank ACCD Thailand yang merupakan mitra Bank B (dalam contoh ini Bank Y). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand memiliki SNA Rupiah pada Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia. Pada tanggal 1 Februari 2018, SNA Rupiah milik Bank X tersebut menerima transfer rupiah sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) untuk eksportir Thailand atas penjualan barang kepada Importir Indonesia. Jumlah saldo SNA Rupiah Bank X tersebut berpotensi melebihi Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah) pada akhir Hari. Oleh karena itu, Bank A harus menginformasikan kepada Bank X untuk mengurangi saldo SNA Rupiah hingga jumlahnya paling banyak sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah) pada akhir Hari. 5 Ayat (3) Contoh: Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand memiliki SNA Rupiah pada Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia Pada tanggal 1 Februari 2018, Bank X memiliki saldo SNA Rupiah sebesar Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah) pada akhir Hari. Bank X harus memberikan dokumen kepada Bank A yang menjelaskan bahwa kelebihan saldo SNA Rupiah sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) tersebut akan digunakan untuk membayar kewajiban impor kepada Eksportir di Indonesia atau investasi pada aset keuangan dalam rupiah pada Hari berikutnya. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Permohonan beserta dokumen pendukung disampaikan melalui Bank ACCD Thailand yang merupakan mitra dari Bank ACCD Indonesia dimana saldo SNA Baht melebihi THB1,000,000,000.00 (satu miliar baht Thailand) pada akhir Hari. Contoh: Pada tanggal 1 Maret 2018, Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia memiliki saldo SNA Baht pada Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand sebesar THB1,200,000,000.00 (satu miliar dua ratus juta baht Thailand) pada akhir Hari. Oleh karena itu, Bank A harus mengajukan permohonan beserta dokumen pendukung kepada Bank of Thailand melalui Bank X yang menjelaskan bahwa kelebihan saldo SNA Baht tersebut sebesar THB200,000,000.00 (dua ratus juta baht Thailand) akan digunakan untuk membayar kewajiban impor kepada eksportir 6 di Thailand atau melakukan investasi pada aset keuangan dalam baht pada Hari berikutnya. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Contoh: Rekening Sub-SNA Baht milik PT X yang merupakan Eksportir Indonesia bertambah sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand) karena menerima hasil penjualan barang kepada importir Thailand. Huruf b Contoh: Importir Indonesia melakukan transaksi spot beli THB/IDR sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand) dengan Bank ACCD Indonesia untuk pembayaran impor kepada eksportir Thailand. Berdasarkan transaksi tersebut, Sub-SNA Baht milik Importir Indonesia bertambah sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand). Huruf c Contoh: Rekening Sub-SNA Baht milik PT X yang merupakan Eksportir Indonesia bertambah sebesar THB10,000.00 (sepuluh ribu baht Thailand) karena memperoleh bunga dari rata-rata saldo Sub-SNA Baht. 7 Huruf d Contoh: Rekening Sub-SNA Baht milik PT Y yang merupakan Eksportir Indonesia bertambah sebesar THB1,000,000.00 (satu juta baht Thailand) karena menerima pencairan dana dari fasilitas Pembiayaan Perdagangan yang diberikan oleh Bank ACCD Indonesia. Ayat (2) Huruf a Contoh: Rekening Sub-SNA Baht milik PT A yang merupakan Importir Indonesia berkurang sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand) karena digunakan untuk membayar pembelian barang kepada eksportir Thailand. Huruf b Contoh: Eksportir Indonesia melakukan transaksi spot jual THB/IDR sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand) dengan Bank ACCD Indonesia untuk mengkonversi devisa hasil ekspor dalam baht. Berdasarkan transaksi tersebut, Sub-SNA Baht milik Eksportir Indonesia berkurang sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand). Huruf c Contoh: Rekening Sub-SNA Baht milik PT Y yang merupakan Importir Indonesia berkurang sebesar THB1,000,000.00 (satu juta baht Thailand) karena digunakan untuk melunasi fasilitas Pembiayaan Perdagangan yang diberikan oleh Bank ACCD Indonesia. Huruf d Contoh: PT D yang merupakan Eksportir Indonesia melakukan pembelian surat berharga atau obligasi pemerintah Thailand sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand). Berdasarkan transaksi tersebut, rekening Sub- 8 SNA Baht milik PT D berkurang sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand). Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Contoh: Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan X Ltd yang merupakan eksportir Thailand bertambah sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) karena menerima hasil penjualan barang kepada Importir Indonesia. Huruf b Contoh: Importir Thailand melakukan transaksi spot beli IDR/THB sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dengan Bank ACCD Thailand untuk pembayaran impor kepada Eksportir Indonesia. Berdasarkan transaksi tersebut, Sub- SNA Rupiah milik importir Thailand bertambah sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Huruf c Contoh: Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan X Ltd yang merupakan eksportir Thailand bertambah sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) karena memperoleh bunga dari rata-rata saldo Sub-SNA Rupiah. Huruf d Contoh: Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan Y Ltd yang merupakan eksportir Thailand bertambah sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) karena menerima 9 pencairan dana dari fasilitas Pembiayaan Perdagangan yang diberikan oleh Bank ACCD Thailand. Ayat (2) Huruf a Contoh: Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan X Ltd yang merupakan importir Thailand berkurang sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) karena digunakan untuk membayar pembelian barang kepada Eksportir Indonesia. Huruf b Contoh: Eksportir Thailand melakukan transaksi spot jual IDR/THB sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dengan Bank ACCD Thailand untuk mengkonversi devisa hasil ekspor dalam rupiah. Berdasarkan transaksi tersebut, Sub- SNA Rupiah milik eksportir Thailand berkurang sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Huruf c Contoh: Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan Y Ltd yang merupakan importir Thailand berkurang sebesar Rp100.000.000.00 (seratus juta rupiah) karena digunakan untuk melunasi fasilitas Pembiayaan Perdagangan yang diberikan oleh Bank ACCD Thailand. Huruf d Contoh: Perusahaan X Ltd yang merupakan eksportir Thailand melakukan pembelian surat berharga atau obligasi pemerintah Indonesia sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Berdasarkan transaksi tersebut, rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan X Ltd berkurang sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 15 Cukup jelas. 10 Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “non-Bank ACCD Indonesia” adalah Bank di Indonesia yang bukan merupakan Bank ACCD. Contoh: Bank B yang merupakan non-Bank ACCD Indonesia melakukan pembelian THB/IDR melalui transaksi spot sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand) kepada Bank C yang merupakan Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan Importir A di Indonesia yang akan melakukan pembayaran pembelian barang kepada eksportir di Thailand. Pembelian THB/IDR oleh Bank B tersebut didukung oleh Underlying Transaksi dari Importir A. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: Importir B di Indonesia sesuai kontrak penjualan (sales contract) memiliki kewajiban kepada eksportir di Thailand yang akan jatuh waktu 1 (satu) bulan sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand). Berdasarkan Underlying Transaksi tersebut, Importir B melakukan transaksi pembelian THB/IDR melalui transaksi forward paling banyak sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand) dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan. Ayat (5) Contoh: Importir C di Indonesia bermaksud untuk melunasi tagihan dari eksportir X di Thailand sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalen sebesar THB3,326,000.00 (tiga juta tiga ratus dua puluh enam ribu baht Thailand) dengan kurs USD/THB sebesar 33.26. Berdasarkan tagihan tersebut, Importir C dapat melakukan pembelian THB/IDR melalui transaksi spot sebesar THB3,326,000.00 (tiga juta tiga ratus dua puluh enam ribu baht Thailand). 11 Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “squaring position” adalah transaksi yang dilakukan Bank ACCD Indonesia untuk menihilkan posisi terbuka yang timbul dari transaksi sebelumnya. Yang dimaksud dengan “non-Bank ACCD Thailand” adalah bank di Thailand yang bukan merupakan Bank ACCD. Contoh: Importir A di Indonesia melakukan transaksi forward beli THB/IDR sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand) kepada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia. Berdasarkan transaksi dengan Importir A tersebut, Bank B dapat melakukan squaring position dengan Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand berupa transaksi forward beli THB/IDR sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand) tanpa Underlying Transaksi. Ayat (2) Huruf a Contoh: Importir A di Indonesia melakukan pembelian THB/IDR kepada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia melalui transaksi spot sebesar THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand). Kemudian, Eksportir B di Indonesia melakukan penjualan THB/IDR melalui transaksi spot sebesar THB70,000,000.00 (tujuh puluh juta baht Thailand) kepada Bank B. Berdasarkan transaksi tersebut, Bank B dapat melakukan squaring position secara net basis dengan melakukan pembelian THB/IDR kepada Bank ACCD Thailand lainnya sebesar THB30,000,000.00 (tiga puluh juta baht Thailand) yang merupakan selisih dari THB100,000,000.00 – THB70,000,000.00. Huruf b Contoh: Importir C di Indonesia melakukan transaksi spot beli THB/IDR kepada Bank Y yang merupakan Bank ACCD Indonesia melalui transaksi spot sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand). Eksportir B juga melakukan 12 penjualan THB/IDR melalui transaksi spot sebesar THB7,000,000.00 (tujuh juta baht Thailand) kepada Bank Y. Berdasarkan transaksi tersebut, Bank Y dapat melakukan squaring position secara gross basis dengan melakukan transaksi spot THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand) dan transaksi spot jual THB/IDR sebesar THB7,000,000.00 (tujuh juta baht Thailand) dengan non-Bank ACCD Thailand disertai dengan Underlying Transaksi. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Importir A di Thailand melakukan pembelian IDR/THB kepada Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand melalui transaksi spot sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Kemudian, Eksportir B di Thailand melakukan penjualan IDR/THB melalui transaksi spot sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) kepada Bank X. Berdasarkan transaksi tersebut, Bank X dapat melakukan squaring position secara net basis dengan melakukan pembelian IDR/THB kepada Bank ACCD Indonesia dengan melakukan transaksi spot sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) yang merupakan selisih dari Rp1.000.000.000,00 – Rp600.000.000,00. Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “netting” adalah penyelesaian transaksi yang dilakukan tanpa pemindahan dana pokok secara penuh sehingga yang bergerak hanya sejumlah dana yang merupakan hasil perhitungan nominal transaksi (notional) dengan selisih kurs. Ayat (2) Cukup jelas. beli THB/IDR sebesar 13 Ayat (3) Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” adalah dokumen di luar Underlying Transaksi yang membuktikan terjadinya perpanjangan transaksi (rollover), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan/atau pengakhiran transaksi (unwind/cancel up). Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “netting” adalah penyelesaian transaksi yang dilakukan tanpa pemindahan dana pokok secara penuh sehingga yang bergerak hanya sejumlah dana yang merupakan hasil perhitungan nominal transaksi (notional) dengan selisih kurs. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “Bank ACCD yang sama sesuai dengan kontrak transaksi awal” adalah Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD Thailand. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 14 Ayat (4) Yang dimaksud dengan “Bank ACCD yang sama sesuai dengan kontrak transaksi awal” adalah Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD Thailand. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “jenis Pembiayaan Perdagangan yang lazim dilakukan” antara lain letter of credit (L/C), standby L/C, trust receipt, atau letter of guarantee. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Contoh: Importir C di Indonesia melakukan pembelian barang sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) dari eksportir X di Thailand. Importir C membuka letter of credit di Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia untuk melunasi tagihan dari eksportir X di Thailand sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalen sebesar THB3,326,000.00 (tiga juta tiga ratus dua puluh enam ribu baht Thailand) dengan kurs USD/THB sebesar 33.26. Berdasarkan tagihan tersebut, Importir C dapat melakukan pembelian THB/IDR melalui transaksi spot sebesar THB3,326,000.00 (tiga juta tiga ratus dua puluh enam ribu baht Thailand). Ayat (2) Cukup jelas. 15 Pasal 24 Ayat (1) Contoh: Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia bermaksud untuk memberikan fasilitas Pembiayaan Perdagangan kepada Importir B di Indonesia sebesar THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand). Bank A dapat melakukan pinjaman langsung kepada Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand paling banyak sebesar THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand). Dalam hal ini, Underlying Transaksi berupa fasilitas Pembiayaan Perdagangan. Ayat (2) Contoh: Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia memberikan fasilitas Pembiayaan Perdagangan kepada Importir D di Indonesia sebesar THB20,000,000.00 (dua puluh juta baht Thailand) dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan yang sumber dananya didanai oleh pinjaman langsung (direct borrowing) dari Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand. Pinjaman langsung yang dilakukan antara Bank A kepada Bank X paling lama sama dengan jangka waktu Pembiayaan Perdagangan yaitu 3 (tiga) bulan. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand bermaksud memberikan fasilitas Pembiayaan Perdagangan kepada importir Y di Thailand sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Berdasarkan Underlying Transaksi tersebut, Bank X melakukan pinjaman langsung dalam rupiah kepada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Dalam hal ini, Bank B melakukan penempatan dalam rupiah kepada Bank X 16 paling banyak sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah). Ayat (3) Contoh: Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand melakukan fasilitas Pembiayaan Perdagangan kepada importir Y di Thailand sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) dengan jangka waktu 5 (lima) bulan. Berdasarkan Underlying Transaksi tersebut, Bank X melakukan pinjaman langsung dalam rupiah kepada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) dengan tenor 5 (lima) bulan. Dengan demikian, penempatan dalam rupiah yang dilakukan oleh Bank B kepada Bank X paling lama sama dengan jangka waktu Pembiayaan Perdagangan yaitu 5 (lima) bulan. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Huruf a Contoh: Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia membeli obligasi pemerintah/surat berharga negara Thailand sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand) sehingga dapat mengurangi saldo SNA Baht pada akhir Hari. Huruf b Contoh: Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi swap THB/IDR atau THB/USD sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand) dengan Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia atau dengan Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand sehingga mengurangi saldo SNA Baht. 17 Huruf c Contoh: Bank C yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan konversi baht ke rupiah sebesar THB10,000,000.00 (sepuluh juta baht Thailand) melalui transaksi spot sehingga mengurangi jumlah saldo SNA Baht. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan investasi pada surat berharga negara Thailand sebesar THB300,000,000.00 (tiga ratus juta baht Thailand) dengan kupon 3% (tiga persen) per tahun. Berdasarkan investasi tersebut, pada saat jatuh waktu pembayaran kupon Bank A menerima kupon sebesar THB2,250,000.00 (dua juta dua ratus lima puluh ribu baht Thailand). Penerimaan kupon tersebut dapat ditransfer ke rekening SNA Baht milik Bank A. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain bukti investasi atau kepemilikan aset keuangan dalam baht di Thailand. Pasal 28 Ayat (1) Contoh: Eksportir A di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Baht sebesar THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand) yang dananya berasal dari devisa hasil ekspor. Berdasarkan saldo SNA Baht tersebut, Eksportir A dapat melakukan pembelian saham di Thailand sebesar THB50,000,000.00 (lima puluh juta baht Thailand). Ayat (2) Contoh: Eksportir B di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Baht sebesar THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand) yang dananya berasal dari devisa hasil ekspor. Berdasarkan saldo Sub-SNA 18 Baht tersebut, Eksportir B dapat melakukan pembelian saham di Thailand sebesar THB50,000,000.00 (lima puluh juta baht Thailand). 6 (enam) bulan kemudian, Eksportir B bermaksud untuk menjual saham. Dana hasil penjualan saham tidak dapat ditransfer kembali ke Sub-SNA Baht pada Bank ACCD Indonesia. Ayat (3) Contoh: Importir C di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Baht sebesar THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand) yang dananya berasal dari pembelian THB/IDR melalui transaksi spot untuk pembayaran kewajiban kepada eksportir di Thailand. Berdasarkan saldo SNA Baht tersebut, Importir C tidak dapat menggunakan dana tersebut untuk melakukan investasi di Thailand mengingat dana tersebut ditujukan untuk membayar kewajiban kepada eksportir di Thailand. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Contoh: Eksportir A di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Baht pada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia sebesar THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand) yang dananya berasal dari devisa hasil ekspor. Eksportir A melakukan pembelian saham di Thailand sebesar THB50,000,000.00 (lima puluh juta baht Thailand). Berdasarkan kegiatan investasi tersebut, Bank B wajib memastikan Eksportir A menyampaikan dokumen pendukung antara lain berupa bukti konfirmasi pembelian saham. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Contoh: Eksportir X di Thailand memiliki saldo Sub-SNA Rupiah sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang dananya berasal 19 dari devisa hasil ekspor. Berdasarkan saldo Sub-SNA Rupiah tersebut, Eksportir X dapat melakukan pembelian saham di Indonesia sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Ayat (2) Contoh: Eksportir X di Thailand memiliki saldo Sub-SNA Rupiah sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang dananya berasal dari devisa hasil ekspor. Berdasarkan saldo Sub-SNA Rupiah tersebut, eksportir X dapat melakukan pembelian saham di Indonesia sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 6 (enam) bulan kemudian, eksportir X bermaksud untuk menjual saham. Dana hasil penjualan saham tersebut tidak dapat ditransfer kembali ke Sub-SNA Rupiah eksportir X pada Bank ACCD Thailand. Ayat (3) Contoh: Importir X di Thailand memiliki saldo Sub-SNA Rupiah sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang dananya berasal dari pembelian IDR/THB melalui transaksi spot untuk pembayaran kewajiban kepada Eksportir di Indonesia. Berdasarkan saldo Sub-SNA Rupiah tersebut, importir X tidak dapat menggunakan dana tersebut untuk melakukan investasi di Indonesia mengingat dana tersebut ditujukan untuk membayar kewajiban kepada Eksportir di Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Contoh: Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi swap beli THB/IDR sebesar THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand) dengan Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia. Bank A kemudian melakukan transaksi swap jual THB/IDR sebesar THB50,000,000.00 (lima puluh juta 20 baht Thailand) dengan Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand. Dengan demikian, Bank A memiliki posisi gross transaksi swap sebesar THB150,000,000.00 (seratus lima puluh juta baht Thailand). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Yang dimaksud dengan “non-SNA Baht” adalah rekening baht pada bank di Thailand. Huruf a Contoh: Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi spot beli THB/IDR sebesar THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand) dengan Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia. Berdasarkan transaksi tersebut, Bank B dapat melakukan transfer baht kepada Bank A paling banyak sebesar THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand). Huruf b Contoh 1: Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan transfer baht sebesar THB1,000,000.00 (satu juta baht Thailand) dari rekening SNA Baht milik Bank A ke rekening baht lainnya (non-SNA Baht) milik Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia. Contoh 2: Bank C yang merupakan non-Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi spot beli THB/IDR sebesar THB500,000.00 (lima ratus ribu baht Thailand) dengan Bank D yang merupakan Bank ACCD Indonesia untuk 21 kepentingan nasabahnya yang merupakan Importir Indonesia dengan Underlying Transaksi berupa invoice pembelian barang dari Thailand. Berdasarkan transaksi tersebut Bank D dapat melakukan transfer dari rekening SNA Baht milik Bank D ke rekening baht milik Bank C pada bank di Thailand (non-SNA Baht) sebesar THB500,000.00 (lima ratus ribu baht Thailand). Huruf c Contoh: Importir A di Indonesia yang memiliki Sub-SNA Baht pada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia akan melakukan pembayaran kewajiban atas pembelian barang dari eksportir X di Thailand yang memiliki rekening baht pada Bank Y yang merupakan Bank ACCD Thailand sebesar THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand). Berdasarkan transaksi Importir A tersebut, Bank B akan melakukan: 1. pendebitan Sub-SNA Baht Importir A pada Bank B sebesar THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand); dan 2. meminta Bank Y untuk mendebit SNA Baht milik Bank B pada Bank Y sebesar THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand) untuk selanjutnya ditransfer kepada rekening baht milik eksportir X pada non-Bank ACCD di Thailand. Huruf d Contoh: Importir C di Indonesia yang memiliki Sub-SNA Baht pada Bank D yang merupakan Bank ACCD Indonesia akan melakukan pembayaran kewajiban atas pembelian barang dari eksportir Y di Thailand sebesar THB200,000,000.00 (dua ratus juta baht Thailand). Berdasarkan transaksi Importir C, Bank D akan melakukan: 1. pendebitan Sub-SNA Baht milik Importir C pada Bank D sebesar THB200,000,000.00 (dua ratus juta baht Thailand); dan 22 2. mentransfer baht dari SNA Baht milik Bank Y pada Bank ACCD Thailand sebesar THB200,000,000.00 (dua ratus juta baht Thailand) kepada rekening baht milik eksportir Y pada Bank ACCD di Thailand. Huruf e Contoh: Eksportir E di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Baht sebesar THB400,000,000.00 (empat ratus juta baht Thailand) yang diperoleh dari devisa hasil ekspor pada Bank F yang merupakan Bank ACCD Indonesia. Eksportir E melalui perusahaan sekuritas di Thailand bermaksud melakukan investasi atas sebagian dana tersebut dalam bentuk obligasi di Thailand sebesar THB200,000,000.00 (dua ratus juta baht Thailand). Berdasarkan perintah Eksportir E, Bank F akan melakukan: 1. pendebitan Sub-SNA Baht milik Eksportir E pada Bank F sebesar THB200,000,000.00 (dua ratus juta baht Thailand); dan 2. transfer baht dari SNA Baht milik Bank F pada Bank ACCD Thailand kepada rekening baht milik perusahaan sekuritas pada bank di Thailand untuk penyelesaian pembelian obligasi oleh Eksportir E sebesar THB200,000,000.00 (dua ratus juta baht Thailand). Pasal 34 Yang dimaksud dengan “non-SNA Rupiah” adalah rekening rupiah pada Bank di Indonesia. Huruf a Contoh: Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand melakukan transaksi spot beli IDR/THB sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dengan Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia. Berdasarkan transaksi tersebut, Bank A dapat melakukan transfer rupiah kepada Bank X sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). 23 Huruf b Contoh 1: Bank X yang merupakan Bank ACCD Thailand melakukan transfer rupiah sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dari rekening SNA Rupiah milik Bank X ke rekening rupiah lainnya (non-SNA Rupiah) milik Bank Y yang merupakan Bank ACCD Thailand. Contoh 2: Bank X yang merupakan non-Bank ACCD Thailand melakukan transaksi spot beli IDR/THB sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dengan Bank Y yang merupakan Bank ACCD Thailand untuk kepentingan nasabahnya yang merupakan importir Thailand dengan Underlying Transaksi berupa invoice pembelian barang dari Indonesia. Berdasarkan transaksi tersebut, Bank Y dapat melakukan transfer dari rekening SNA Rupiah milik Bank Y ke rekening rupiah (non-SNA Rupiah) milik Bank X pada Bank di Indonesia sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Huruf c Contoh: Importir X di Thailand yang memiliki Sub-SNA Rupiah pada Bank Y yang merupakan Bank ACCD Thailand yang akan melakukan pembayaran kewajiban atas pembelian barang dari Eksportir A di Indonesia yang memiliki rekening rupiah pada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Bank Y memiliki rekening SNA Rupiah pada Bank B. Berdasarkan transaksi importir X tersebut, Bank Y akan melakukan: 1. pendebitan Sub-SNA Rupiah importir X pada Bank Y sebesar Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah); dan 2. meminta Bank B untuk mendebit SNA Rupiah milik Bank Y pada Bank B sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk selanjutnya dipindahbukukan kepada rekening rupiah milik Eksportir A pada Bank B. 24 Huruf d Contoh: Importir X di Thailand yang memiliki Sub-SNA Rupiah pada Bank Y yang merupakan Bank ACCD Thailand akan melakukan pembayaran kewajiban atas pembelian barang dari Eksportir A di Indonesia sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Berdasarkan transaksi importir X, Bank Y akan melakukan: 1. pendebitan Sub-SNA Rupiah milik importir X pada Bank Y sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); dan 2. mentransfer rupiah dari SNA Rupiah milik Bank Y pada Bank ACCD Indonesia sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) ke rekening rupiah milik Eksportir A pada Bank ACCD di Indonesia. Huruf e Contoh: Eksportir X di Thailand memiliki saldo Sub-SNA Rupiah sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) pada Bank Y yang merupakan Bank ACCD Thailand yang diperoleh dari devisa hasil ekspor. Eksportir X melalui perusahaan sekuritas di Indonesia bermaksud melakukan investasi atas sebagian dana tersebut dalam bentuk obligasi di Indonesia sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Berdasarkan perintah eksportir X, Bank Y akan melakukan: 1. pendebitan Sub-SNA Rupiah milik eksportir X pada Bank Y sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); dan 2. transfer rupiah dari SNA Rupiah milik Bank Y pada Bank ACCD Indonesia ke rekening rupiah milik perusahaan sekuritas pada Bank di Indonesia untuk penyelesaian pembelian obligasi oleh eksportir X sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). 25 Pasal 35 Contoh 1: Importir D di Indonesia melakukan transaksi spot beli THB/IDR kepada Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia sebesar THB100,000.00 (seratus ribu baht Thailand) untuk pembayaran impor barang kepada eksportir Thailand dengan Underlying Transaksi berupa invoice. Atas posisi tersebut Bank A melakukan squaring position dengan Bank Z yang merupakan non-Bank ACCD Thailand berupa transaksi spot beli THB/IDR sebesar THB100,000.00 (seratus ribu baht Thailand) dengan kurs THB/IDR sebesar 396. Pada saat jatuh waktu, Bank A akan mentransfer dana rupiah sebesar Rp39.600.000,00 (tiga puluh sembilan juta enam ratus ribu rupiah) kepada rekening rupiah milik Bank Z pada Bank di Indonesia dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa invoice pembelian barang oleh Importir D. Contoh 2: Bank Z yang merupakan non-Bank ACCD Thailand melakukan transaksi spot beli IDR/THB sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dengan Bank Y yang merupakan Bank ACCD Thailand untuk kepentingan importir X di Thailand dalam rangka pembayaran impor barang kepada Eksportir Indonesia dengan Underlying Transaksi berupa invoice. Pada saat jatuh waktu, Bank Y akan melakukan transfer dana rupiah sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) ke rekening rupiah milik Bank Z pada Bank di Indonesia dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa invoice pembelian barang oleh importir X. Pasal 36 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “sarana penyedia informasi” antara lain Reuters. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 26 Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Yang dimaksud dengan “transaksi non-deliverable forward” adalah transaksi derivatif forward yang penyelesaian transaksinya dilakukan tanpa pemindahan dana pokok secara penuh melainkan hanya pemindahan sejumlah dana yang merupakan hasil perhitungan nominal transaksi dengan selisih kurs. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Contoh: Pada tanggal 1 Agustus 2018, Perusahaan A di Indonesia yang memiliki aktivitas impor dan ekspor melakukan transaksi forward beli THB/IDR dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan sebesar THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand) untuk membayar impor pembelian barang dari Thailand. Pada tanggal 1 Agustus 2018, perusahaan A juga melakukan transaksi forward jual THB/IDR dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan sebesar THB20,000,000.00 (dua puluh juta baht Thailand) untuk menjual devisa hasil ekspor ke Thailand. Berdasarkan masing-masing transaksi tersebut, perusahaan A harus menyampaikan dokumen Underlying Transaksi sebagai berikut: 1. dokumen perkiraan pembayaran impor sebesar THB100,000,000.00 (seratus juta baht Thailand); dan 27 2. dokumen perkiraan penerimaan ekspor sebesar THB20,000,000.00 (dua puluh juta baht Thailand). Perusahaan A dapat pula melakukan transaksi lain untuk memenuhi kebutuhan pembayaran impor dan penjualan devisa hasil ekspor dengan melakukan transaksi bersih secara neto (net basis) berupa forward beli sebesar THB80,000,000.00 (delapan puluh juta baht Thailand) dengan menyampaikan dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis) yang menunjukkan net pembayaran neto impor sebesar THB80,000,000.00 (delapan puluh juta baht Thailand). Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Contoh: Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi spot THB/IDR dengan non-Bank ACCD Indonesia. Transaksi ini dilakukan untuk memenuhi kepentingan Importir di Indonesia. Non-Bank ACCD Indonesia wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi antara lain letter of credit atau invoice yang menunjukkan transaksi perdagangan barang dan jasa antara Indonesia dan Thailand. Ayat (2) Contoh: Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi forward THB/IDR dengan non-Bank ACCD Indonesia. Transaksi ini dilakukan untuk memenuhi kepentingan Importir di Indonesia. Dalam hal ini, non-Bank ACCD Indonesia wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) atas transaksi yang dilakukan non-Bank ACCD Indonesia dengan Importir Indonesia antara lain letter of credit atau invoice yang menunjukkan transaksi perdagangan barang dan jasa antara Indonesia dan Thailand, atau dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis) dari Importir Indonesia antara lain berupa perkiraan pembayaran impor paling lama 1 (satu) tahun. 28 Pasal 41 Ayat (1) Contoh: Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi spot THB/IDR dengan Importir Indonesia. Bank ACCD Indonesia wajib meminta kepada Importir Indonesia untuk menyampaikan dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) atas impor barang yang dilakukan Importir antara lain letter of credit atau invoice yang menunjukkan transaksi perdagangan barang dan jasa antara Indonesia dan Thailand. Ayat (2) Contoh: Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi forward THB/IDR dengan Importir Indonesia. Bank ACCD Indonesia wajib meminta kepada Importir Indonesia untuk menyampaikan dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) atas impor barang antara lain letter of credit atau invoice yang menunjukkan transaksi perdagangan barang dan jasa antara Indonesia dan Thailand atau dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis) antara lain perkiraan pembayaran impor paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 42 Ayat (1) Contoh: Importir A di Indonesia melakukan transaksi forward beli THB/IDR dengan Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia dengan jangka waktu 1 (satu) bulan. Pada 2 (dua) hari sebelum transaksi forward jatuh waktu, Importir A melakukan rollover transaksi forward tersebut. Bank B wajib meminta dokumen pendukung kepada Importir A yang menjelaskan penundaan waktu pembayaran kepada eksportir di Thailand. Ayat (2) Contoh: Importir C di Indonesia melakukan transaksi forward beli THB/IDR dengan Bank D yang merupakan Bank ACCD Indonesia dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan. Pada 2 (dua) 29 bulan sebelum transaksi forward jatuh waktu, Importir C melakukan early termination transaksi forward tersebut. Bank D wajib meminta dokumen pendukung kepada Importir C yang menjelaskan percepatan penyelesaian transaksi kepada eksportir di Thailand. Ayat (3) Contoh: Importir A di Indonesia melakukan transaksi spot beli THB/IDR dengan Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia untuk pembayaran kewajiban kepada eksportir di Thailand. Pada saat jatuh waktu, Importir A memberitahukan Bank B bahwa terjadi pembatalan pembelian barang sehingga Importir A melakukan pengakhiran transaksi spot. Berdasarkan pengakhiran transaksi tersebut Bank B wajib meminta dokumen pendukung kepada Importir yang menunjukkan pembatalan pembelian barang kepada eksportir Thailand. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain bukti konfirmasi pembelian aset keuangan dalam baht di Thailand. Contoh: Eksportir A di Indonesia melakukan investasi pada obligasi korporasi di Thailand sebesar THB200,000,000.00 (dua ratus juta baht Thailand) dengan sumber dana berasal dari devisa hasil ekspor. Berdasarkan kegiatan investasi tersebut, Eksportir A wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi kepada Bank ACCD Indonesia antara lain berupa bukti konfirmasi pembelian obligasi korporasi. 30 Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “transaksi valuta asing” adalah data transaksi rupiah dan valuta asing terhadap baht yang dilakukan oleh Bank ACCD Indonesia dengan Bank ACCD lainnya, non-Bank ACCD, dan/atau Importir/Eksportir Indonesia, untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht. Huruf b Yang dimaksud dengan “posisi terbuka mata uang negara mitra” adalah data posisi terbuka transaksi baht terhadap rupiah dan valuta asing pada akhir Hari. Huruf c Yang dimaksud dengan “posisi saldo SNA mitra” adalah data saldo akhir Hari dan total mutasi harian dari SNA mitra. Yang dimaksud dengan “SNA mitra” adalah rekening khusus milik Bank ACCD Indonesia dalam baht yang dibuka pada Bank ACCD Thailand untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht. Huruf d Yang dimaksud dengan “transfer dana” adalah data transaksi transfer dana dari dan/atau ke SNA mitra. Huruf e Yang dimaksud dengan “posisi saldo dan mutasi sub-SNA mitra” adalah saldo akhir Hari dan rincian mutasi harian dari sub-SNA mitra. Yang dimaksud dengan “sub-SNA mitra” adalah rekening khusus milik Importir/Eksportir Indonesia dalam baht yang dibuka pada Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Baht. 31 Huruf f Yang dimaksud dengan “posisi Pembiayaan Perdagangan” adalah data posisi (outstanding amount) harian Pembiayaan Perdagangan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Bank ACCD Indonesia telah menyampaikan laporan untuk bulan November 2018, namun terdapat kesalahan pengisian pada salah satu baris formulir posisi Pembiayaan Perdagangan. Berdasarkan hal tersebut, Bank ACCD Indonesia harus menyampaikan kembali seluruh informasi dalam formulir posisi Pembiayaan Perdagangan yang mencakup baris yang telah dikoreksi dan baris lainnya yang tidak dikoreksi. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 32 Ayat (5) Yang dimaksud dengan ”gangguan teknis” adalah gangguan yang menyebabkan Bank ACCD Indonesia tidak dapat menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan kepada Bank Indonesia antara lain karena gangguan pada sistem di intern Bank ACCD Indonesia dan gangguan jaringan telekomunikasi. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)” adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan Bank ACCD Indonesia tidak dapat menyusun dan menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Contoh 1: Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia mengalami bencana alam sehingga menyebabkan force majeure sepanjang bulan September 2018 sehingga Bank A tidak dapat melaporkan transaksi yang dilakukan selama bulan September 2018. Bank A dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan untuk periode pelaporan bulan Oktober 2018. Contoh 2: Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia mengalami kerusakan sistem pada tanggal 10 sampai dengan tanggal 14 September 2018 sehingga menyebabkan force majeure. Sistem Bank B kembali normal pada tanggal 21 September 2018. Berdasarkan kondisi tersebut, Bank B tidak dapat melaporkan transaksi pada periode force majeure selama 5 (lima) Hari. Bank B tetap diwajibkan untuk menyampaikan laporan untuk periode pelaporan bulan Oktober 2018 tanpa data transaksi pada 33 periode force majeure yaitu tanggal 10 sampai dengan 14 September 2018. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 19/11/PADG/2017 </reg_id> <reg_title> PENYELESAIAN TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA DAN THAILAND MENGGUNAKAN RUPIAH DAN BAHT MELALUI BANK </reg_title> <set_date> 20 November 2017 </set_date> <effective_date> 2 Januari 2018 </effective_date> <related_reg> '19/11/PBI/2017' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. Bank Indonesia telah menerbitkan peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah; b. bahwa peraturan mengenai rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah, perlu didukung dengan peraturan pelaksanaan yang mengatur hal teknis mengenai mekanisme pelaksanaan ketentuan rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial; 2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6194); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud bagi Bank Umum 3 dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Bank adalah BUK, BUS, dan UUS. 5. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 6. Dana Pihak Ketiga yang selanjutnya disingkat DPK adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah dan/atau valuta asing. 7. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah adalah rekening giro dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia. 8. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 9. Rasio Intermediasi Makroprudensial yang selanjutnya disingkat RIM adalah rasio hasil perbandingan antara: a. kredit yang diberikan dalam rupiah dan valuta asing; dan b. surat berharga korporasi dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang dimiliki BUK, terhadap: a. DPK BUK dalam bentuk giro, tabungan, dan simpanan berjangka/deposito dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana antarbank; dan b. surat berharga dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang diterbitkan oleh BUK untuk memperoleh sumber pendanaan. 4 10. Rasio Intermediasi Makroprudensial Syariah yang selanjutnya disebut RIM Syariah adalah rasio hasil perbandingan antara: a. Pembiayaan yang diberikan dalam rupiah dan valuta asing; dan b. surat berharga syariah korporasi dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang dimiliki BUS atau UUS, terhadap: a. DPK BUS atau DPK UUS dalam bentuk dana simpanan wadiah dan dana investasi tidak terikat dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana antarbank; dan b. surat berharga syariah dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang diterbitkan oleh BUS atau UUS untuk memperoleh sumber pendanaan. 11. Giro atas pemenuhan RIM yang selanjutnya disebut Giro RIM adalah saldo giro dalam Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia yang wajib dipelihara oleh BUK untuk pemenuhan RIM. 12. Giro atas pemenuhan RIM Syariah yang selanjutnya disebut Giro RIM Syariah adalah saldo giro dalam Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia yang wajib dipelihara oleh BUS atau UUS untuk pemenuhan RIM Syariah. 13. Target RIM adalah kisaran RIM yang dibatasi oleh batas bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk perhitungan Giro RIM. 14. Target RIM Syariah adalah kisaran RIM Syariah yang dibatasi oleh batas bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk perhitungan Giro RIM Syariah. 15. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya disebut KPMM adalah rasio hasil perbandingan antara modal terhadap aset tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan 5 modal minimum bank umum konvensional dan bank umum syariah. 16. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk perhitungan RIM atau RIM Syariah. 17. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter pengali yang digunakan dalam pemenuhan: a. Giro RIM bagi BUK yang memiliki RIM kurang dari batas bawah Target RIM; atau b. Giro RIM Syariah bagi BUS dan UUS yang memiliki RIM Syariah kurang dari batas bawah Target RIM Syariah. 18. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali yang digunakan dalam pemenuhan: a. Giro RIM bagi BUK yang memiliki RIM lebih dari batas atas Target RIM; atau b. Giro RIM Syariah bagi BUS dan UUS yang memiliki RIM Syariah lebih dari batas atas Target RIM Syariah. 19. Penyangga Likuiditas Makroprudensial yang selanjutnya disingkat PLM adalah cadangan likuiditas minimum dalam rupiah yang wajib dipelihara oleh BUK dalam bentuk surat berharga yang memenuhi persyaratan tertentu, yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK BUK dalam rupiah. 20. Penyangga Likuiditas Makroprudensial Syariah yang selanjutnya disebut PLM Syariah adalah cadangan likuiditas minimum dalam rupiah yang wajib dipelihara oleh BUS dalam bentuk surat berharga syariah yang memenuhi persyaratan tertentu, yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK BUS dalam rupiah. 21. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disebut JIBOR adalah Jakarta Interbank Offered Rate sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga penawaran antarbank. 22. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud 6 dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 23. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter syariah. 24. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah Sertifikat Deposito Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 25. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat berharga yang terdiri atas surat utang negara dalam mata uang rupiah dan surat berharga syariah negara dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. 26. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara, dalam mata uang rupiah. 27. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara atau sukuk negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara, dalam mata uang rupiah. 28. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut PUAS adalah pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah. 29. Sertifikat Investasi Mudarabah Antarbank yang selanjutnya disingkat SIMA adalah sertifikat investasi mudarabah antarbank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sertifikat investasi mudarabah antarbank. 7 30. Tingkat Indikasi Imbalan SIMA adalah rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA dalam rupiah yang terjadi di PUAS pada pasar perdana. 31. Laporan Berkala Bank Umum yang selanjutnya disingkat LBBU adalah laporan berkala bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. 32. Laporan Berkala Bank Umum bagi BUS dan UUS yang selanjutnya disebut LBBUS adalah laporan berkala bank umum bagi BUS dan UUS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. 33. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disingkat LHBU adalah laporan harian bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. 34. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS. BAB II KEWAJIBAN PEMENUHAN GIRO RIM DAN GIRO RIM SYARIAH Pasal 2 (1) BUK wajib memenuhi Giro RIM yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) BUS dan UUS wajib memenuhi Giro RIM Syariah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek tetap wajib memenuhi Giro RIM. (4) BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah tetap wajib memenuhi Giro RIM Syariah. 8 Bagian Kesatu Tata Cara Pemenuhan Kewajiban Giro RIM Paragraf 1 Besaran dan Parameter Giro RIM Pasal 3 (1) Giro RIM ditetapkan sebesar hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas, selisih antara RIM dan Target RIM, serta DPK BUK dalam rupiah. (2) Dalam hal RIM lebih besar dari batas atas Target RIM, pemenuhan Giro RIM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan KPMM BUK dan KPMM Insentif. (3) Giro RIM dipenuhi dengan membandingkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan terhadap Giro RIM yang dihitung menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya. (4) Pemenuhan Giro RIM didasarkan pada DPK BUK dalam rupiah dengan periode laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur sebagai berikut: a. Giro RIM untuk periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah dalam periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan b. Giro RIM untuk periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah dalam periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak 9 tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya. Pasal 4 Besaran dan parameter yang digunakan dalam pemenuhan Giro RIM ditetapkan sebagai berikut: a. batas bawah Target RIM sebesar 80% (delapan puluh persen); b. batas atas Target RIM sebesar 92% (sembilan puluh dua persen); c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen); d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma satu); dan e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua). Paragraf 2 Sumber Data dan Nilai yang Digunakan Pasal 5 (1) Perhitungan RIM menggunakan sumber data dan nilai sebagai berikut: a. kredit; b. DPK BUK; c. surat berharga korporasi yang dimiliki BUK; dan d. surat berharga yang diterbitkan oleh BUK, dalam rupiah dan valuta asing. (2) Data kredit dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperoleh dari pos kredit yang diberikan kepada pihak ketiga bukan bank dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBU. (3) Data DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperoleh dari pos giro, pos tabungan, dan pos simpanan berjangka dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir 10 Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBU. (4) Data surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan data surat berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diperoleh dari: a. saldo total harga perolehan surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dan saldo total nilai nominal surat berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya yang disampaikan BUK kepada Bank Indonesia secara bulanan; atau b. saldo total harga perolehan surat berharga korporasi yang dimiliki dan saldo total nilai nominal surat berharga yang diterbitkan dalam laporan surat berharga BUK yang diperoleh dari laporan bulanan bank umum atau sistem aplikasi laporan lainnya, dalam hal Bank Indonesia telah menginformasikan kepada BUK mengenai penghentian kewajiban penyampaian laporan surat berharga melalui surat dan/atau penyempurnaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 6 (1) Data DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan Giro RIM diperoleh dari rata-rata DPK BUK dalam rupiah untuk seluruh kantor dari BUK yang bersangkutan di Indonesia dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam LBBU. (2) DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan Giro RIM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri atas: 11 a. giro; b. tabungan; c. simpanan berjangka/deposito; dan d. kewajiban lainnya. Pasal 7 (1) Data KPMM dalam pemenuhan Giro RIM diatur sebagai berikut: a. KPMM yang digunakan yaitu KPMM triwulanan dari BUK yang bersangkutan; dan b. KPMM triwulanan sebagaimana dimaksud dalam huruf a menggunakan posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember dengan rincian sebagai berikut: 1. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan untuk pemenuhan Giro RIM untuk bulan Juni, Juli, dan Agustus pada tahun yang sama; 2. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan untuk pemenuhan Giro RIM untuk bulan September, Oktober, dan November pada tahun yang sama; 3. KPMM pada posisi akhir bulan September digunakan untuk pemenuhan Giro RIM untuk bulan Desember pada tahun yang sama serta bulan Januari dan Februari pada tahun berikutnya; dan 4. KPMM pada posisi akhir bulan Desember digunakan untuk pemenuhan Giro RIM untuk bulan Maret, April, dan Mei pada tahun berikutnya. (2) KPMM BUK untuk pemenuhan Giro RIM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu KPMM triwulanan hasil olahan sistem aplikasi yang diterima Bank Indonesia dari OJK. (3) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan hasil 12 perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUK maka yang berlaku yaitu KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK. Paragraf 3 Kriteria dan Batas Maksimum Surat Berharga Pasal 8 (1) Kriteria surat berharga korporasi yang dimiliki BUK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM diatur sebagai berikut: a. surat berharga korporasi dalam bentuk obligasi korporasi dan/atau sukuk korporasi; b. surat berharga korporasi diterbitkan oleh korporasi bukan Bank dan oleh penduduk; c. surat berharga korporasi ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum (public offering); d. surat berharga korporasi memiliki peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat dengan peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi; dan e. surat berharga korporasi ditatausahakan di lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek. (2) Lembaga pemeringkat dan peringkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai dengan ketentuan OJK. (3) Bank Indonesia menetapkan batas maksimum surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam rupiah dan valuta asing yang digunakan dalam perhitungan RIM. (4) Batas maksimum surat berharga korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam rupiah dan valuta asing. 13 Pasal 9 (1) Kriteria surat berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d, yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM diatur sebagai berikut: a. surat berharga dalam bentuk medium term notes (MTN), floating rate notes (FRN), dan/atau obligasi selain obligasi subordinasi; b. surat berharga dimiliki bukan Bank baik penduduk dan bukan penduduk; c. surat berharga ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum (public offering); d. surat berharga memiliki peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat dengan peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi; dan e. surat berharga ditatausahakan di lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek. (2) Lembaga pemeringkat dan peringkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai dengan ketentuan OJK. Paragraf 4 Perhitungan RIM dan Pemenuhan Giro RIM Pasal 10 (1) RIM merupakan persentase yang dihitung dari perbandingan antara penjumlahan kredit dalam rupiah dan valuta asing dan surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam rupiah dan valuta asing terhadap penjumlahan DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing dan surat berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam rupiah dan valuta asing. (2) Dalam hal RIM berada dalam kisaran Target RIM maka Giro RIM ditetapkan sebesar 0% (nol persen) dari DPK BUK dalam rupiah. 14 (3) Dalam hal RIM tidak berada dalam kisaran Target RIM maka Giro RIM ditetapkan sebagai berikut: a. dalam hal RIM lebih kecil dari batas bawah Target RIM maka Giro RIM ditetapkan sebesar hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Bawah, selisih antara batas bawah Target RIM dan RIM, serta DPK BUK dalam rupiah; b. dalam hal RIM lebih besar dari batas atas Target RIM dan KPMM BUK lebih kecil dari KPMM Insentif maka Giro RIM ditetapkan sebesar hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Atas, selisih antara RIM dan batas atas Target RIM, serta DPK BUK dalam rupiah; atau c. dalam hal RIM lebih besar dari batas atas Target RIM dan KPMM BUK sama atau lebih besar dari KPMM Insentif maka Giro RIM ditetapkan sebesar 0% (nol persen) dari DPK BUK dalam rupiah. Bagian Kedua Tata Cara Pemenuhan Kewajiban Giro RIM Syariah Paragraf 1 Besaran dan Parameter Giro RIM Syariah Pasal 11 (1) Giro RIM Syariah ditetapkan sebesar hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas, selisih antara RIM Syariah dan Target RIM Syariah, serta DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah. (2) Dalam hal RIM Syariah lebih besar dari batas atas Target RIM Syariah, pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan KPMM BUS atau KPMM BUK yang menjadi induk UUS, dan KPMM Insentif. (3) Giro RIM Syariah dipenuhi dengan membandingkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS atau saldo Rekening Giro Rupiah UUS di Bank Indonesia setiap akhir hari selama 2 15 (dua) periode laporan terhadap Giro RIM Syariah yang dihitung menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya. (4) Pemenuhan Giro RIM Syariah didasarkan pada DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah dengan periode laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur sebagai berikut: a. Giro RIM Syariah untuk periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah, dalam periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan b. Giro RIM Syariah untuk periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah, dalam periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya. Pasal 12 Besaran dan parameter yang digunakan dalam pemenuhan Giro RIM Syariah ditetapkan sebagai berikut: a. batas bawah Target RIM Syariah sebesar 80% (delapan puluh persen); b. batas atas Target RIM Syariah sebesar 92% (sembilan puluh dua persen); c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen); d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma satu); dan e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua). 16 Paragraf 2 Sumber Data dan Nilai yang Digunakan Pasal 13 (1) Perhitungan RIM Syariah menggunakan sumber data dan nilai sebagai berikut: a. Pembiayaan; b. DPK BUS atau DPK UUS; c. surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS atau UUS; dan d. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS atau UUS, dalam rupiah dan valuta asing. (2) Data Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperoleh dari pos piutang, pos pembiayaan, dan pos ijarah dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBUS. (3) Data DPK BUS atau DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperoleh dari pos dana simpanan wadiah dan pos dana investasi tidak terikat dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBUS. (4) Data surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS atau surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan data surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS atau surat berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diperoleh dari: a. saldo total harga perolehan surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS atau surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS dan saldo total nilai nominal surat berharga syariah yang diterbitkan 17 oleh BUS atau surat berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya yang disampaikan BUS atau UUS kepada Bank Indonesia secara bulanan; atau b. saldo total harga perolehan surat berharga syariah korporasi yang dimiliki dan saldo total nilai nominal surat berharga syariah yang diterbitkan dalam laporan surat berharga BUS atau UUS yang diperoleh dari laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan atau sistem aplikasi laporan lainnya, dalam hal Bank Indonesia telah menginformasikan kepada BUS dan UUS mengenai penghentian kewajiban penyampaian laporan surat berharga melalui surat dan/atau penyempurnaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 14 (1) Data DPK BUS dalam rupiah atau data DPK UUS dalam rupiah untuk pemenuhan Giro RIM Syariah diperoleh dari rata-rata DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah untuk seluruh kantor dari BUS dan UUS yang bersangkutan di Indonesia dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam LBBUS. (2) DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah untuk pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri atas: a. dana simpanan wadiah; b. dana investasi tidak terikat; dan c. kewajiban lainnya. 18 Pasal 15 (1) Data KPMM dalam pemenuhan Giro RIM Syariah diatur sebagai berikut: a. KPMM yang digunakan yaitu KPMM triwulanan dari BUS atau KPMM triwulanan dari BUK yang menjadi induk UUS yang bersangkutan; dan b. KPMM triwulanan sebagaimana dimaksud dalam huruf a menggunakan posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember dengan rincian sebagai berikut: 1. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan untuk pemenuhan Giro RIM Syariah untuk bulan Juni, Juli, dan Agustus pada tahun yang sama; 2. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan untuk pemenuhan Giro RIM Syariah untuk bulan September, Oktober, dan November pada tahun yang sama; 3. KPMM pada posisi akhir bulan September digunakan untuk pemenuhan Giro RIM Syariah untuk bulan Desember pada tahun yang sama serta bulan Januari dan Februari pada tahun berikutnya; dan 4. KPMM pada posisi akhir bulan Desember digunakan untuk pemenuhan Giro RIM Syariah untuk bulan Maret, April, dan Mei pada tahun berikutnya. (2) KPMM BUS atau KPMM BUK yang menjadi induk UUS untuk pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu KPMM triwulanan hasil olahan sistem aplikasi yang diterima Bank Indonesia dari OJK. (3) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUS atau BUK 19 yang menjadi induk UUS maka yang berlaku yaitu KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK. Paragraf 3 Kriteria dan Batas Maksimum Surat Berharga Syariah Pasal 16 (1) Kriteria surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS atau surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c, yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM Syariah diatur sebagai berikut: a. surat berharga syariah korporasi dalam bentuk sukuk korporasi; b. surat berharga syariah korporasi diterbitkan oleh korporasi bukan Bank dan oleh penduduk; c. surat berharga syariah korporasi ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum (public offering); d. surat berharga syariah korporasi memiliki peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat dengan peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi; dan e. surat berharga syariah korporasi ditatausahakan di lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek. (2) Lembaga pemeringkat dan peringkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai dengan ketentuan OJK. (3) Bank Indonesia menetapkan batas maksimum surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dalam rupiah dan valuta asing atau surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS dalam rupiah dan valuta asing yang digunakan dalam perhitungan RIM Syariah. (4) Batas maksimum surat berharga syariah korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari surat berharga syariah 20 korporasi yang dimiliki BUS dalam rupiah dan valuta asing atau surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS dalam rupiah dan valuta asing. Pasal 17 (1) Kriteria surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS dalam rupiah dan valuta asing atau surat berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf d, yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM diatur berikut: a. surat berharga syariah dalam bentuk medium term notes (MTN) syariah dan/atau sukuk selain sukuk subordinasi; b. surat berharga syariah dimiliki bukan Bank baik penduduk dan bukan penduduk; c. surat berharga syariah ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum (public offering); d. surat berharga syariah memiliki peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat dengan peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi; dan e. surat berharga ditatausahakan di lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek. (2) Lembaga pemeringkat dan peringkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai dengan ketentuan OJK. Paragraf 4 Perhitungan RIM Syariah dan Pemenuhan Giro RIM Syariah Pasal 18 (1) RIM Syariah bagi BUS dan UUS merupakan persentase yang dihitung dari: a. bagi BUS, perbandingan antara penjumlahan Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing dan surat 21 berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dalam rupiah dan valuta asing terhadap penjumlahan DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS dalam rupiah dan valuta asing; dan b. bagi UUS, perbandingan antara penjumlahan Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing dan surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS dalam rupiah dan valuta asing terhadap penjumlahan DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS dalam rupiah dan valuta asing. (2) Dalam hal RIM Syariah berada dalam kisaran Target RIM Syariah maka Giro RIM Syariah ditetapkan sebesar 0% (nol persen) dari DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah. (3) Dalam hal RIM Syariah tidak berada dalam kisaran Target RIM Syariah maka Giro RIM Syariah ditetapkan sebagai berikut: a. dalam hal RIM Syariah lebih kecil dari batas bawah Target RIM Syariah maka Giro RIM Syariah ditetapkan sebesar hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Bawah, selisih antara batas bawah Target RIM Syariah dan RIM Syariah, serta DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah; b. dalam hal RIM Syariah lebih besar dari batas atas Target RIM Syariah dan KPMM BUS atau KPMM BUK yang menjadi induk UUS lebih kecil dari KPMM Insentif maka Giro RIM Syariah ditetapkan sebesar hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Atas, selisih antara RIM Syariah dan batas atas Target RIM Syariah, serta DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah; atau c. dalam hal RIM Syariah lebih besar dari batas atas Target RIM Syariah dan KPMM BUS atau KPMM BUK yang menjadi induk UUS sama atau lebih besar dari KPMM Insentif maka Giro RIM Syariah ditetapkan 22 sebesar 0% (nol persen) dari DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah. Bagian Ketiga Pemberian Kelonggaran atas Pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah Pasal 19 (1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas pemenuhan ketentuan Giro RIM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 atau Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 terhadap: a. BUK yang sedang dikenakan pembatasan kegiatan usaha oleh OJK terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan dana; dan b. BUS atau UUS yang sedang dikenakan pembatasan kegiatan usaha oleh OJK terkait dengan penyaluran Pembiayaan dan penghimpunan dana. (2) Pemberian kelonggaran atas pemenuhan ketentuan Giro RIM atau Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kelonggaran atas perubahan Target RIM atau Target RIM Syariah. (3) Pemberian kelonggaran atas pemenuhan ketentuan Giro RIM atau Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas permintaan Bank secara tertulis kepada Bank Indonesia. (4) Penyampaian permintaan pemberian kelonggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan bersamaan dengan permintaan rekomendasi kepada OJK. (5) Penyampaian permintaan pemberian kelonggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan disertai dokumen pendukung berupa: a. fotokopi surat atau keputusan pembatasan kegiatan usaha oleh OJK terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan dana bagi BUK atau penyaluran 23 Pembiayaan dan penghimpunan dana bagi BUS dan UUS; dan b. fotokopi surat permohonan rekomendasi kepada OJK. (6) Bank menyampaikan kepada Bank Indonesia atas hasil rekomendasi OJK mengenai pemberian kelonggaran atas perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (7) Persetujuan atau penolakan atas permintaan kelonggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan setelah dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diterima oleh Bank Indonesia. (8) Permintaan kelonggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan Bank kepada Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350; atau b. bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. Bagian Keempat Tata Cara Penyampaian Laporan Surat Berharga Pasal 20 (1) BUK wajib menyampaikan laporan surat berharga korporasi yang dimiliki BUK yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan surat berharga yang diterbitkan oleh BUK yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 kepada Bank Indonesia setiap bulan. (2) BUS dan UUS wajib menyampaikan laporan surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dan surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS yang Target RIM atau Target RIM Syariah 24 memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 serta surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 kepada Bank Indonesia setiap bulan. (3) Penyampaian laporan surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menggunakan format laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. (4) Bank tetap diwajibkan menyampaikan laporan surat berharga, dalam hal: a. Bank tidak memiliki surat berharga korporasi atau memiliki surat berharga korporasi namun tidak memenuhi kriteria; atau b. Bank tidak menerbitkan surat berharga atau menerbitkan surat berharga namun tidak memenuhi kriteria, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dengan isi laporan nihil. Pasal 21 (1) Laporan surat berharga Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya bulan laporan. (2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila menyampaikan laporan setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sampai dengan 5 (lima) hari kerja berikutnya. (3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila belum menyampaikan laporan sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Bank dapat melakukan koreksi atas laporan yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia. 25 Pasal 22 (1) Laporan surat berharga Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) disampaikan melalui surat elektronik kepada Bank Indonesia yaitu: a. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350; atau b. bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, dengan alamat surat elektronik sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Bank harus menyampaikan secara tertulis mengenai nama petugas dan penanggung jawab yang ditunjuk untuk menyusun dan menyampaikan laporan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) serta alamat surat elektronik pengirim laporan termasuk jika terdapat perubahannya, kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350; atau b. bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, 26 Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (3) Dalam hal penyampaian laporan melalui surat elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan, Bank menyampaikan laporan dalam bentuk salinan lunak (soft copy) dan salinan keras (hard copy) kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350; atau b. bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (4) Batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. (5) Bank Indonesia dapat mengubah tata cara penyampaian laporan atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menghentikan kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) dalam hal Bank Indonesia memperoleh data surat berharga Bank dari laporan bulanan bank umum, laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan, atau sistem aplikasi laporan lainnya. (6) Perubahan tata cara penyampaian dan penghentian kewajiban penyampaian laporan surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diinformasikan oleh Bank Indonesia kepada Bank. 27 Pasal 23 Data surat berharga korporasi yang dimiliki Bank dan data surat berharga yang diterbitkan oleh Bank dalam laporan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, pertama kali dilaporkan kepada Bank Indonesia untuk posisi bulan: a. Mei 2018, untuk surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam rupiah dan valuta asing dan surat berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam rupiah dan valuta asing; dan b. Agustus 2018, untuk surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dalam rupiah dan valuta asing dan surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS dalam rupiah dan valuta asing, serta surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS dalam rupiah dan valuta asing dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS dalam rupiah dan valuta asing. Bagian Kelima Evaluasi Kebijakan RIM dan RIM Syariah Pasal 24 (1) Bank Indonesia melakukan evaluasi kebijakan RIM dan RIM Syariah secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam setiap 6 (enam) bulan. (2) Evaluasi kebijakan RIM dan RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap sumber data untuk pemenuhan Giro RIM dan Giro RIM Syariah, besaran dan parameter RIM dan RIM Syariah, kriteria surat berharga, batas maksimum surat berharga korporasi yang dimiliki Bank, waktu pemberlakuan RIM dan RIM Syariah, dan/atau hal lain terkait kebijakan RIM dan RIM Syariah. (3) Hasil evaluasi kebijakan RIM dan RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penetapan: a. tidak terdapat perubahan kebijakan; atau b. terdapat perubahan kebijakan. 28 (4) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa penetapan tidak terdapat perubahan kebijakan maka Bank Indonesia mengeluarkan pengumuman di laman (situs web) Bank Indonesia. (5) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa penetapan terdapat perubahan kebijakan maka Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur mengenai perubahan yang dilakukan. BAB III TATA CARA PEMENUHAN PLM DAN PLM SYARIAH Pasal 25 (1) BUK wajib memenuhi PLM yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) BUS wajib memenuhi PLM Syariah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek tetap wajib memenuhi PLM. (4) BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah tetap wajib memenuhi PLM Syariah. Bagian Kesatu Tata Cara Pemenuhan PLM Paragraf 1 Besaran Persentase, Jenis, Sumber Data, Nilai Surat Berharga yang Digunakan, dan Periode Pemenuhan Pasal 26 (1) PLM ditetapkan sebesar 4% (empat persen) dari DPK BUK dalam rupiah. (2) Bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk DPK UUS dalam rupiah. (3) PLM dipenuhi dalam bentuk: a. surat berharga dalam rupiah yang dimiliki BUK dan dapat digunakan dalam operasi moneter; dan 29 b. surat berharga syariah dalam rupiah yang dimiliki UUS dan dapat digunakan dalam operasi moneter syariah, bagi BUK yang memiliki UUS. Pasal 27 (1) Data DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan PLM diperoleh dari rata-rata DPK BUK dalam rupiah untuk seluruh kantor BUK yang bersangkutan di Indonesia dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam LBBU. (2) Bagi BUK yang memiliki UUS, data DPK dalam rupiah untuk pemenuhan PLM diatur sebagai berikut: a. diperoleh dari rata-rata DPK BUK dalam rupiah untuk seluruh kantor dari BUK yang bersangkutan di Indonesia dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam LBBU; dan b. diperoleh dari rata-rata DPK UUS dalam rupiah untuk seluruh kantor dari UUS yang bersangkutan di Indonesia dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam LBBUS. (3) DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri atas: a. giro; b. tabungan; c. simpanan berjangka/deposito; dan d. kewajiban lainnya. (4) Bagi BUK yang memiliki UUS, DPK UUS dalam rupiah untuk pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri atas: a. dana simpanan wadiah; b. dana investasi tidak terikat; dan c. kewajiban lainnya. 30 Pasal 28 (1) Jenis surat berharga yang diperhitungkan dalam pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) yaitu: a. SBI untuk seluruh jangka waktu; b. SBIS untuk seluruh jangka waktu; c. SDBI untuk seluruh jangka waktu; dan/atau d. SBN yang terdiri atas: 1. SUN berupa obligasi negara dan/atau surat perbendaharaan negara, untuk seluruh jenis dan jangka waktu, tidak termasuk SUN yang tidak dapat diperdagangkan (non-tradable); dan/atau 2. SBSN berupa SBSN jangka panjang dan/atau SBSN jangka pendek untuk seluruh jenis dan jangka waktu, tidak termasuk SBSN yang tidak dapat diperdagangkan (non-tradable). (2) SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN yang dapat diperhitungkan dalam pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN yang dimiliki BUK yang tercatat pada rekening surat berharga BUK di BI-SSSS, dalam: a. depository account (Rekening DEPO) dengan subrekening available for sale (AVAI), not available for sale (NAVL), dan available waiting for reselling (AWAS); b. intraday liquidity facility account (Rekening ILF) dengan subrekening AVAI; dan c. failure to settle account (Rekening FtS) dengan subrekening AVAI, namun tidak termasuk SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN yang dimiliki BUK yang tercatat pada rekening surat berharga sub-registry. (3) Penetapan jumlah SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN yang dimiliki BUK dilakukan berdasarkan data yang tercatat pada rekening surat berharga BUK di BI-SSSS 31 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada posisi akhir hari yaitu pada saat cut off time BI-SSSS. (4) Nilai SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN yang digunakan dalam perhitungan PLM menggunakan harga yang tercantum di BI-SSSS. (5) Bagi BUK yang memiliki UUS, SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN yang dapat diperhitungkan dalam pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) termasuk SBIS dan/atau SBSN milik UUS yang tercatat pada rekening surat berharga UUS di BI-SSSS, namun tidak termasuk SBIS dan/atau SBSN yang dimiliki UUS yang tercatat pada rekening surat berharga sub-registry. Pasal 29 (1) Pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dihitung dengan membandingkan jumlah SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN yang dimiliki BUK yang tercatat pada rekening surat berharga BUK di BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya. (2) Bagi BUK yang memiliki UUS, pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk memperhitungkan: a. SBIS dan/atau SBSN milik UUS yang tercatat pada rekening surat berharga UUS di BI-SSSS; dan b. rata-rata harian jumlah DPK UUS dalam rupiah. Paragraf 2 Penggunaan Surat Berharga dalam Transaksi Repo Pasal 30 (1) Dalam kondisi tertentu, surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dapat digunakan dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam operasi pasar terbuka. 32 (2) Bank Indonesia memperhitungkan surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut: a. hanya terhadap transaksi repo yang dilakukan setelah kewajiban pemenuhan PLM berlaku; dan b. bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo termasuk surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo oleh UUS dalam operasi pasar terbuka syariah. (3) Perhitungan surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia melalui sistem aplikasi di Bank Indonesia. (4) Penggunaan surat berharga BUK dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari DPK BUK dalam rupiah. (5) Bank Indonesia dapat mengubah besaran persentase penggunaan surat berharga yang dapat digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Bagian Kedua Tata Cara Pemenuhan PLM Syariah Paragraf 1 Besaran Persentase, Jenis, Sumber Data, Nilai Surat Berharga Syariah yang Digunakan, dan Periode Pemenuhan Pasal 31 (1) PLM Syariah ditetapkan sebesar 4% (empat persen) dari DPK BUS dalam rupiah. (2) PLM Syariah dipenuhi dalam bentuk surat berharga syariah dalam rupiah yang dimiliki BUS dan dapat digunakan dalam operasi moneter syariah. 33 Pasal 32 (1) Data DPK BUS dalam rupiah untuk pemenuhan PLM Syariah diperoleh dari rata-rata DPK BUS dalam rupiah untuk seluruh kantor BUS yang bersangkutan di Indonesia dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam LBBUS. (2) DPK BUS dalam rupiah untuk pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri atas: a. dana simpanan wadiah; b. dana investasi tidak terikat; dan c. kewajiban lainnya. Pasal 33 (1) Jenis surat berharga syariah yang diperhitungkan dalam pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) yaitu: a. SBIS untuk seluruh jangka waktu; dan/atau b. SBSN yang terdiri atas: 1. SBSN jangka panjang; dan/atau 2. SBSN jangka pendek, untuk seluruh jenis dan jangka waktu, tidak termasuk SBSN yang tidak dapat diperdagangkan (non-tradable). (2) SBIS dan/atau SBSN yang dapat diperhitungkan dalam pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu SBIS dan/atau SBSN yang dimiliki BUS yang tercatat pada rekening surat berharga BUS di BI-SSSS yaitu dalam: a. Rekening DEPO dengan subrekening AVAI, NAVL, dan AWAS; b. Rekening ILF dengan subrekening AVAI; dan c. Rekening FtS dengan subrekening AVAI, 34 namun tidak termasuk SBIS dan/atau SBSN yang dimiliki BUS yang tercatat pada rekening surat berharga sub- registry. (3) Penetapan jumlah SBIS dan/atau SBSN yang dimiliki BUS dilakukan berdasarkan data yang tercatat pada rekening surat berharga BUS di BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada posisi akhir hari yaitu pada saat cut off time BI-SSSS. (4) Nilai SBIS dan/atau SBSN yang digunakan dalam perhitungan PLM Syariah menggunakan harga yang tercantum di BI-SSSS. Pasal 34 Pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dihitung dengan membandingkan jumlah SBIS dan/atau SBSN yang dimiliki BUS yang tercatat pada rekening surat berharga BUS di BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya. Paragraf 2 Penggunaan Surat Berharga Syariah dalam Transaksi Repo Pasal 35 (1) Dalam kondisi tertentu, surat berharga syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dapat digunakan dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam operasi pasar terbuka syariah. (2) Bank Indonesia hanya memperhitungkan surat berharga syariah yang digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap transaksi repo yang dilakukan setelah kewajiban pemenuhan PLM Syariah berlaku. (3) Perhitungan surat berharga syariah yang digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 35 dilakukan oleh Bank Indonesia melalui sistem aplikasi di Bank Indonesia. (4) Penggunaan surat berharga BUS dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari DPK BUS dalam rupiah. (5) Bank Indonesia dapat mengubah besaran persentase penggunaan surat berharga syariah yang dapat digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Bagian Ketiga Evaluasi Kebijakan PLM dan PLM Syariah Pasal 36 (1) Bank Indonesia melakukan evaluasi kebijakan PLM dan PLM Syariah secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam setiap 6 (enam) bulan. (2) Evaluasi kebijakan PLM dan PLM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap besaran persentase PLM dan PLM Syariah, jenis surat berharga untuk pemenuhan PLM dan PLM Syariah, sumber data untuk pemenuhan PLM dan PLM Syariah, besaran persentase surat berharga yang dapat digunakan dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia, waktu pemberlakuan PLM dan PLM Syariah, dan/atau hal lain terkait kebijakan PLM dan PLM Syariah. (3) Hasil evaluasi kebijakan PLM dan PLM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penetapan: a. tidak terdapat perubahan kebijakan; atau b. terdapat perubahan kebijakan. (4) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa penetapan tidak terdapat perubahan kebijakan maka Bank Indonesia mengeluarkan pengumuman di laman (situs web) Bank Indonesia. (5) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa penetapan terdapat perubahan 36 kebijakan maka Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur mengenai perubahan yang dilakukan. BAB IV TATA CARA PEMENUHAN GIRO RIM, GIRO RIM SYARIAH, PLM, DAN PLM SYARIAH UNTUK PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BUK ATAU BUS, PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BUK MENJADI BUS, DAN PEMISAHAN UUS MENJADI BUS Bagian Kesatu BUK yang Melakukan Penggabungan atau Peleburan Pasal 37 Pemenuhan Giro RIM bagi BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut: a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. pemenuhan Giro RIM dihitung untuk masing-masing BUK dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; dan 2. data KPMM yang digunakan yaitu data KPMM triwulanan masing-masing BUK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan sampai dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah BUK hasil penggabungan atau peleburan tersedia, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. pemenuhan Giro RIM hanya dihitung untuk BUK hasil penggabungan atau peleburan dengan menggunakan data gabungan BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan sampai dengan data BUK hasil penggabungan atau peleburan tersedia; 37 2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 meliputi data untuk perhitungan RIM berupa kredit BUK, DPK BUK, saldo surat berharga korporasi yang dimiliki BUK, dan saldo surat berharga yang diterbitkan oleh BUK, dalam rupiah dan valuta asing, serta data untuk pemenuhan Giro RIM berupa KPMM BUK, DPK BUK dalam rupiah, dan saldo Rekening Giro Rupiah BUK; 3. pemenuhan Giro RIM BUK hasil penggabungan atau peleburan dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; 4. data KPMM yang digunakan untuk pemenuhan Giro RIM diperoleh dari BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh BUK atas penggabungan data yang digunakan dalam perhitungan KPMM masing-masing BUK sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan; 5. data KPMM yang diperoleh dari BUK sebagaimana dimaksud dalam angka 4 digunakan sampai dengan tersedianya data KPMM triwulanan BUK hasil penggabungan atau peleburan dimaksud dalam Pasal 7; sebagaimana 6. BUK menyampaikan hasil perhitungan KPMM sebagaimana dimaksud dalam angka 4 kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan; dan 7. penyampaian hasil perhitungan KPMM sebagaimana dimaksud dalam angka 6 disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat: a) bagi BUK yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 38 LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350; atau b) bagi BUK yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat; c. pada saat data DPK dalam rupiah BUK hasil penggabungan atau peleburan tersedia, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. pemenuhan Giro RIM dihitung untuk BUK hasil penggabungan atau peleburan dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; 2. khusus data: a) surat berharga korporasi yang dimiliki; dan b) surat berharga yang diterbitkan, yang digunakan dalam perhitungan RIM untuk pemenuhan Giro RIM, menggunakan data gabungan BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan sampai dengan tersedianya data BUK hasil penggabungan atau peleburan; dan 3. data KPMM yang digunakan yaitu data KPMM sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 4 sampai dengan tersedianya data KPMM triwulanan BUK hasil penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. d. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan KPMM yang diterima oleh Bank Indonesia dari OJK dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUK sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 4 dan huruf c angka 3 maka yang berlaku yaitu KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK. 39 Pasal 38 Pemenuhan PLM bagi BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut: a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan maka pemenuhan PLM dihitung untuk masing-masing BUK dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan sampai dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah BUK hasil penggabungan atau peleburan tersedia, pemenuhan PLM diatur sebagai berikut: 1. pemenuhan PLM hanya dihitung untuk BUK hasil penggabungan atau peleburan dengan menggunakan data gabungan BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan sampai dengan data BUK hasil penggabungan atau peleburan tersedia; 2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 terdiri atas: a) bagi BUK, meliputi data: 1) saldo rekening SBI, SDBI, dan/atau SBN BUK hasil penggabungan atau peleburan; 2) penggabungan data DPK BUK dalam rupiah dari BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan; dan 3) saldo Rekening Giro Rupiah BUK hasil penggabungan atau peleburan; dan b) bagi BUK yang memiliki UUS, meliputi data: 1) saldo rekening SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN BUK hasil penggabungan atau peleburan; 2) penggabungan data DPK BUK dalam rupiah dari BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan; dan 3) saldo Rekening Giro Rupiah BUK hasil penggabungan atau peleburan; dan 40 3. pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dihitung dengan membandingkan jumlah SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN milik BUK hasil penggabungan atau peleburan yang tercatat pada rekening surat berharga BUK di BI-SSSS terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah dari BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan; dan c. pada saat data DPK dalam rupiah BUK hasil penggabungan atau peleburan tersedia maka pemenuhan PLM dihitung untuk BUK hasil penggabungan atau peleburan dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29. Bagian Kedua BUS yang Melakukan Penggabungan atau Peleburan Pasal 39 Pemenuhan Giro RIM Syariah bagi BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut: a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk masing-masing BUS dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; dan 2. data KPMM yang digunakan yaitu KPMM triwulanan masing-masing BUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan sampai dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah BUS hasil penggabungan atau peleburan tersedia, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. pemenuhan Giro RIM Syariah hanya dihitung untuk BUS hasil penggabungan atau peleburan dengan menggunakan data gabungan BUS yang melakukan 41 penggabungan atau peleburan sampai dengan data BUS hasil penggabungan atau peleburan tersedia; 2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 meliputi data untuk perhitungan RIM Syariah berupa Pembiayaan BUS, DPK BUS, saldo surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS, dan saldo surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS, dalam rupiah dan valuta asing, serta data untuk pemenuhan Giro RIM Syariah berupa KPMM BUS, DPK BUS dalam rupiah, dan saldo Rekening Giro Rupiah BUS; 3. pemenuhan Giro RIM Syariah untuk BUS hasil penggabungan atau peleburan dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; 4. data KPMM yang digunakan untuk pemenuhan Giro RIM Syariah diperoleh dari BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh BUS atas penggabungan data yang digunakan dalam perhitungan KPMM masing-masing BUS sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan; 5. data KPMM yang diperoleh dari BUS sebagaimana dimaksud dalam angka 4 digunakan sampai dengan tersedianya data KPMM triwulanan BUS hasil penggabungan atau peleburan dimaksud dalam Pasal 15; sebagaimana 6. BUS menyampaikan hasil perhitungan KPMM sebagaimana dimaksud dalam angka 4 kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan; dan 7. penyampaian hasil perhitungan KPMM sebagaimana dimaksud dalam angka 6 disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat: 42 a) bagi BUS yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350; atau b) bagi BUS yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat; c. pada saat data DPK dalam rupiah BUS hasil penggabungan atau peleburan tersedia, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk BUS hasil penggabungan atau peleburan dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; 2. khusus data: a) surat berharga syariah korporasi yang dimiliki; dan b) surat berharga syariah yang diterbitkan, yang digunakan dalam perhitungan RIM Syariah untuk pemenuhan Giro RIM Syariah, menggunakan data gabungan BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan sampai dengan tersedianya data BUS hasil penggabungan atau peleburan; dan 3. data KPMM yang digunakan yaitu data KPMM sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 4 sampai dengan tersedianya data KPMM triwulanan BUS hasil penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; dan d. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUS sebagimana dimaksud dalam huruf b angka 4 dan huruf c 43 angka 3 maka yang berlaku yaitu KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK. Pasal 40 Pemenuhan PLM Syariah bagi BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut: a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan maka pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk masing-masing BUS dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34; b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan sampai dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah BUS hasil penggabungan atau peleburan tersedia, pemenuhan PLM Syariah diatur sebagai berikut: 1. pemenuhan PLM Syariah hanya dihitung untuk BUS hasil penggabungan atau peleburan dengan menggunakan data gabungan BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan sampai dengan data BUS hasil penggabungan atau peleburan tersedia; 2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 meliputi data: a) saldo rekening SBIS dan/atau SBSN BUS hasil penggabungan atau peleburan; b) penggabungan data DPK BUS dalam rupiah dari BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan; dan c) saldo Rekening Giro Rupiah BUS hasil penggabungan atau peleburan; 3. pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dihitung dengan membandingkan jumlah SBIS dan/atau SBSN milik BUS hasil penggabungan atau peleburan yang tercatat pada rekening surat berharga BUS di BI-SSSS terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah dari 44 BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan; dan c. pada saat data DPK dalam rupiah BUS hasil penggabungan atau peleburan tersedia maka pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk BUS hasil penggabungan atau peleburan dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. Bagian Ketiga Perubahan Kegiatan Usaha BUK Menjadi BUS Pasal 41 (1) BUK yang melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi BUS harus memenuhi Giro RIM dan PLM sampai dengan 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan kegiatan usaha BUS. (2) BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK harus memenuhi Giro RIM Syariah dan PLM Syariah sejak tanggal efektif pelaksanaan kegiatan usaha BUS. (3) Pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah bagi BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan menggunakan data saat bank belum melaksanakan kegiatan usaha sebagai BUS sampai dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK tersedia. (4) Pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. perhitungan RIM Syariah menggunakan: 1. data Pembiayaan yang diperoleh dari data kredit BUK dalam pos kredit yang diberikan kepada pihak ketiga bukan bank dalam rupiah dan valuta asing dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBU; 45 2. data DPK yang diperoleh dari data DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing dalam pos giro, pos tabungan, dan pos simpanan berjangka dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBU; 3. data surat berharga syariah korporasi yang dimiliki yang diperoleh dari data surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam rupiah dan valuta asing dalam saldo total harga perolehan surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya yang disampaikan BUK kepada Bank Indonesia secara bulanan; dan 4. data surat berharga yang diterbitkan yang diperoleh dari data surat berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam rupiah dan valuta asing yang diperoleh dari saldo total nilai nominal surat berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya yang disampaikan BUK kepada Bank Indonesia secara bulanan; dan b. pemenuhan Giro RIM Syariah menggunakan: 1. data rata-rata harian jumlah DPK yang diperoleh dari data rata-rata DPK BUK dalam rupiah dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBU; dan 2. data KPMM yang diperoleh dari data KPMM triwulanan BUK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. 46 (5) Pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. data rata-rata harian jumlah DPK yang diperoleh dari data rata-rata DPK BUK dalam rupiah dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBU; dan b. data SBIS dan/atau SBSN milik BUS yang tercatat pada rekening surat berharga BUS di BI-SSSS setiap akhir hari dalam 2 (dua) periode laporan. (6) Pada saat data DPK dalam rupiah BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK tersedia, pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah bagi BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK berlaku ketentuan sebagai berikut: a. pemenuhan Giro RIM Syariah diatur sebagai berikut: 1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; 2. khusus data: a) surat berharga syariah korporasi yang dimiliki; dan b) surat berharga syariah yang diterbitkan, yang digunakan dalam perhitungan RIM Syariah untuk pemenuhan Giro RIM Syariah menggunakan data BUK sampai dengan tersedianya data BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK; dan 3. data KPMM yang digunakan yaitu data KPMM triwulanan BUK sampai dengan tersedianya data KPMM triwulanan BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK; dan b. pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. 47 Bagian Keempat BUK yang Melakukan Pemisahan UUS Menjadi BUS Pasal 42 Dalam hal BUK yang memiliki UUS melakukan pemisahan UUS menjadi BUS maka pemenuhan Giro RIM Syariah diatur sebagai berikut: a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan pemisahan, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk UUS dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; dan 2. data KPMM yang digunakan yaitu KPMM triwulanan BUK yang menjadi induk UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan pemisahan sampai dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah BUS hasil pemisahan UUS dari BUK tersedia, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk BUS hasil pemisahan UUS dari BUK dengan data UUS sampai dengan data BUS hasil pemisahan UUS dari BUK tersedia; 2. data UUS sebagaimana dimaksud dalam angka 1 meliputi data untuk perhitungan RIM Syariah berupa Pembiayaan UUS, DPK UUS, saldo surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS, dan saldo surat berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS, dalam rupiah dan valuta asing, serta data untuk pemenuhan Giro RIM Syariah berupa KPMM BUK yang menjadi induk UUS, DPK UUS dalam rupiah, dan saldo Rekening Giro Rupiah UUS; 3. pemenuhan Giro RIM Syariah untuk BUS hasil pemisahan UUS dari BUK dilakukan sesuai dengan 48 ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; dan 4. data KPMM sebagaimana dimaksud dalam angka 2 yaitu KPMM triwulanan BUK yang menjadi induk UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; c. pada saat data DPK dalam rupiah BUS hasil pemisahan UUS dari BUK tersedia, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk BUS hasil pemisahan UUS dari BUK dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; 2. khusus data: a) surat berharga syariah korporasi yang dimiliki; dan b) surat berharga syariah yang diterbitkan, yang digunakan dalam perhitungan RIM Syariah untuk pemenuhan Giro RIM Syariah menggunakan data UUS sampai dengan tersedianya data BUS hasil pemisahan UUS dari BUK; dan 3. data KPMM yang digunakan yaitu data KPMM triwulanan BUK yang menjadi induk UUS sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 4 sampai dengan tersedianya data KPMM triwulanan BUS hasil pemisahan UUS dari BUK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; dan d. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUK yang melakukan pemisahan UUS menjadi BUS maka yang berlaku yaitu KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK. Pasal 43 (1) Pemenuhan PLM Syariah bagi BUK yang melakukan pemisahan UUS menjadi BUS dihitung untuk BUS hasil pemisahan UUS dari BUK sejak 1 (satu) tahun setelah tanggal efektif pelaksanaan pemisahan UUS menjadi BUS. 49 (2) Pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk BUS hasil pemisahan UUS dari BUK sesuai dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dengan menggunakan data BUS hasil pemisahan UUS dari BUK. BAB V TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 44 Sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar dikenakan bagi: a. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM dan PLM; b. BUS yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah; c. UUS yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM Syariah; dan/atau d. Bank yang melanggar kewajiban penyampaian laporan surat berharga untuk pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah. Pasal 45 (1) BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar hasil perkalian antara kekurangan Giro RIM, 125% (seratus dua puluh lima persen) dari suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari (overnight) dari JIBOR dalam rupiah pada hari terjadinya pelanggaran, dan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk setiap hari pelanggaran. (2) BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar hasil perkalian antara kekurangan PLM, 125% (seratus dua puluh lima persen) dari suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari (overnight) dari JIBOR dalam rupiah pada hari terjadinya pelanggaran, 50 dan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk setiap hari pelanggaran. Pasal 46 (1) BUS yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar hasil perkalian antara kekurangan Giro RIM Syariah, 125% (seratus dua puluh lima persen) dari Tingkat Indikasi Imbalan SIMA pada hari terjadinya pelanggaran, dan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk setiap hari pelanggaran. (2) BUS yang melanggar kewajiban pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar hasil perkalian antara kekurangan PLM Syariah, 125% (seratus dua puluh lima persen) dari Tingkat Indikasi Imbalan SIMA pada hari terjadinya pelanggaran, dan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk setiap hari pelanggaran. (3) Dalam hal data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak tersedia, pengenaan sanksi dihitung berdasarkan rata- rata tingkat imbalan deposito investasi mudarabah berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan, pada bulan sebelumnya dari seluruh BUS atau UUS. Pasal 47 (1) UUS yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar hasil perkalian antara kekurangan Giro RIM Syariah, 125% (seratus dua puluh lima persen) dari Tingkat Indikasi Imbalan SIMA pada hari terjadinya pelanggaran, dan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk setiap hari pelanggaran. (2) Dalam hal data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia, pengenaan sanksi dihitung berdasarkan rata-rata tingkat imbalan deposito investasi mudarabah berjangka waktu 1 51 (satu) bulan sebelum didistribusikan, pada bulan sebelumnya dari seluruh BUS atau UUS. Pasal 48 (1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan. (2) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (3) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20. Pasal 49 (1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 48 dilaksanakan dengan mendebit Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia. (2) Pendebitan Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk pelanggaran pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan/atau PLM Syariah, paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal terjadinya pelanggaran; dan b. untuk pelanggaran penyampaian laporan surat berharga, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah tanggal terjadinya pelanggaran. (3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan atau kelebihan dalam pendebitan Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat 52 (1), Bank Indonesia dapat mendebit atau mengkredit Rekening Giro Bank tersebut sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. (4) Apabila pada saat pendebitan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi maka seluruh sanksi kewajiban membayar tersebut diperhitungkan sebagai kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia. (5) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk pendebitan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a maka atas kekurangan tersebut juga dikenakan sanksi dengan perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47. BAB VI CONTOH PEMENUHAN GIRO RIM, GIRO RIM SYARIAH, PLM, DAN PLM SYARIAH Pasal 50 (1) Contoh pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan PLM Syariah, serta sanksi kewajiban membayar tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Contoh pemenuhan Giro RIM dan PLM bagi BUK yang melakukan penggabungan tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 53 BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 51 Pelanggaran atas ketentuan mengenai kewajiban pemenuhan giro wajib minimum sekunder, kewajiban pemenuhan giro wajib minimum loan to funding ratio, dan/atau kewajiban penyampaian laporan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/4/PADG/2017 tanggal 28 April 2017 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, yang terjadi sebelum berlakunya Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/4/PADG/2017 tanggal 28 April 2017 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 52 Ketentuan Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 35 sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/4/PADG/2017 tanggal 28 April 2017 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku mulai laporan posisi bulan Mei 2018. 54 Pasal 53 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Mei 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD ERWIN RIJANTO 1 PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik, khususnya terhadap risiko kredit dan risiko likuiditas, Bank Indonesia telah mengeluarkan kebijakan makroprudensial melalui instrumen yang berbasis intermediasi dan likuiditas yang bersifat countercyclical dan dinamis terhadap perubahan siklus perekonomian. Terkait dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah. Sehubungan dengan hal di atas, perlu ditetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah yang mengatur hal-hal teknis mengenai mekanisme pelaksanaan ketentuan rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia setiap akhir hari” adalah posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia saat tutup sistem pada sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Surat berharga korporasi yang dimiliki BUK merupakan surat berharga yang tercatat pada sisi aset BUK. Huruf d Surat berharga yang diterbitkan oleh BUK merupakan surat berharga yang tercatat pada sisi kewajiban BUK. 3 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “giro” adalah komponen giro yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “tabungan” adalah komponen tabungan yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito” adalah komponen simpanan berjangka yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf d Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. 4 Pasal 7 Ayat (1) Contoh penggunaan sumber data dan nilai untuk perhitungan RIM dan pemenuhan Giro RIM yaitu sebagai berikut: a. RIM dan Giro RIM untuk periode laporan tanggal 1 September 2018 sampai dengan tanggal 15 September 2018 didasarkan pada: 1. RIM: a) nilai kredit dalam rupiah dan valuta asing dan DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing pada akhir periode laporan tanggal 8 Agustus 2018 sampai dengan tanggal 15 Agustus 2018; dan b) nilai surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam rupiah dan valuta asing dan surat berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam rupiah dan valuta asing pada posisi tanggal 31 Juli 2018; dan 2. Giro RIM: a) DPK BUK dalam rupiah dalam periode laporan sejak tanggal 1 Agustus 2018 sampai dengan tanggal 7 Agustus 2018 dan periode laporan sejak tanggal 8 Agustus 2018 sampai dengan tanggal 15 Agustus 2018; dan/atau b) KPMM yang digunakan yaitu KPMM BUK pada posisi akhir bulan Juni 2018. b. RIM dan Giro RIM untuk periode laporan tanggal 16 September 2018 sampai dengan tanggal 30 September 2018 didasarkan pada: 1. RIM: a) nilai kredit dalam rupiah dan valuta asing dan DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing pada akhir periode laporan tanggal 24 Agustus 2018 sampai dengan tanggal 31 Agustus 2018; dan b) nilai surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam rupiah dan valuta asing dan surat berhaga yang diterbitkan oleh BUK dalam rupiah dan valuta asing pada posisi tanggal 31 Juli 2018; dan 5 2. Giro RIM: a) DPK BUK dalam rupiah dalam periode laporan sejak tanggal 16 Agustus 2018 sampai dengan tanggal 23 Agustus 2018 dan periode laporan sejak tanggal 24 Agustus 2018 sampai dengan tanggal 31 Agustus 2018; dan/atau b) KPMM yang digunakan yaitu KPMM BUK pada posisi akhir bulan Juni 2018. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Dalam hal surat berharga korporasi yang dimiliki BUK untuk jenis mata uang yang sama memiliki lebih dari satu peringkat maka Bank Indonesia mengakui peringkat surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dari lembaga pemeringkat dengan peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi. 6 Contoh: Surat berharga korporasi dalam rupiah PT X yang dimiliki Bank A memiliki lebih dari satu peringkat dengan rincian sebagai berikut: 1. Lembaga pemeringkat P memberikan peringkat surat berharga korporasi PT X dengan peringkat investasi; 2. Lembaga pemeringkat Q memberikan peringkat surat berharga korporasi PT X dengan peringkat di bawah peringkat investasi; dan 3. Lembaga pemeringkat R memberikan peringkat surat berharga korporasi PT X dengan peringkat di bawah peringkat investasi. Untuk perhitungan RIM, Bank Indonesia mengakui surat berharga korporasi PT X yang dimiliki Bank A karena telah memiliki peringkat investasi yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat P. Huruf e Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek” adalah Kustodian Sentral Efek Indonesia atau lembaga berwenang lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam menetapkan batas maksimum surat berharga korporasi yang dimiliki BUK, Bank Indonesia mempertimbangkan antara lain jumlah kredit yang diberikan BUK dan ketersediaan surat berharga korporasi. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. 7 Huruf b Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum. Yang dimaksud dengan “bukan penduduk” adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang tidak berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia kurang dari 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik negara lain di Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Dalam hal surat berharga yang diterbitkan oleh BUK untuk jenis mata uang yang sama memiliki lebih dari satu peringkat maka Bank Indonesia mengakui peringkat surat berharga yang diterbitkan oleh BUK dari lembaga pemeringkat dengan peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi. Contoh: Surat berharga yang diterbitkan dalam rupiah oleh Bank A memiliki lebih dari satu peringkat dengan rincian sebagai berikut: 1. Lembaga pemeringkat P memberikan peringkat surat berharga yang diterbitkan Bank A dengan peringkat investasi; 2. Lembaga pemeringkat Q memberikan peringkat surat berharga yang diterbitkan Bank A dengan peringkat di bawah peringkat investasi; dan 3. Lembaga pemeringkat R memberikan peringkat surat berharga yang diterbitkan Bank A dengan peringkat di bawah peringkat investasi. 8 Untuk perhitungan RIM, Bank Indonesia mengakui surat berharga yang diterbitkan oleh Bank A karena telah memiliki peringkat investasi yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat P. Huruf e Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek” adalah Kustodian Sentral Efek Indonesia atau lembaga berwenang lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Rumus perhitungan RIM sebagai berikut: RIM = Keterangan: - - - - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Rumus pemenuhan Giro RIM dalam hal RIM lebih kecil dari batas bawah Target RIM adalah sebagai berikut: Giro RIM = Parameter Disinsentif Bawah x (batas bawah Target RIM - RIM) x DPK BUK dalam rupiah Huruf b Rumus pemenuhan Giro RIM dalam hal RIM lebih besar dari batas atas Target RIM dan KPMM BUK lebih kecil dari KPMM Insentif adalah sebagai berikut: (kredit + surat berharga korporasi yang dimiliki) (DPK + surat berharga yang diterbitkan) x 100% kredit berupa kredit dalam rupiah dan valuta asing; DPK berupa DPK dalam rupiah dan valuta asing; surat berharga korporasi yang dimiliki berupa surat berharga korporasi dalam rupiah dan valuta asing; dan surat berharga yang diterbitkan berupa surat berharga yang diterbitkan dalam rupiah dan valuta asing. 9 Giro RIM = Parameter Disinsentif Atas x (RIM - batas atas Target RIM) x DPK BUK dalam rupiah Huruf c Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia setiap akhir hari” adalah posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia saat tutup sistem pada sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS atau UUS merupakan surat berharga yang tercatat pada sisi aset BUS atau UUS. Huruf d Surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS atau UUS merupakan surat berharga yang tercatat pada sisi kewajiban BUS atau UUS. Ayat (2) Cukup jelas. 10 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah dana simpanan wadiah yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUS dalam rupiah dan DPK UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat” adalah komponen dana investasi tidak terikat yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUS dalam rupiah dan DPK UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUS dalam rupiah dan DPK UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Pasal 15 Ayat (1) Contoh penggunaan sumber data dan nilai untuk perhitungan RIM Syariah dan pemenuhan Giro RIM Syariah yaitu sebagai berikut: 11 a. RIM Syariah dan Giro RIM Syariah untuk periode laporan tanggal 1 November 2018 sampai dengan tanggal 15 November 2018 didasarkan pada: 1. RIM Syariah: a) nilai Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing dan DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing atau DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing pada akhir periode laporan tanggal 8 Oktober 2018 sampai dengan tanggal 15 Oktober 2018; dan b) nilai surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dalam rupiah dan valuta asing dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS dalam rupiah dan valuta asing pada posisi tanggal 30 September 2018; atau c) nilai surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS dalam rupiah dan valuta asing dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS dalam rupiah dan valuta asing pada posisi tanggal 30 September 2018; dan 2. Giro RIM Syariah: a) DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah dalam periode laporan sejak tanggal 1 Oktober 2018 sampai dengan tanggal 7 Oktober 2018 dan periode laporan sejak tanggal 8 Oktober 2018 sampai dengan tanggal 15 Oktober 2018; dan/atau b) KPMM yang digunakan yaitu KPMM BUS atau KPMM BUK yang menjadi induk UUS pada posisi akhir bulan Juni 2018. b. RIM Syariah dan Giro RIM Syariah untuk periode laporan tanggal 16 November 2018 sampai dengan tanggal 30 November 2018 didasarkan pada: 1. RIM Syariah: a) nilai Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing dan DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing atau DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing pada 12 akhir periode laporan tanggal 24 Oktober 2018 sampai dengan tanggal 31 Oktober 2018; dan b) nilai surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dalam rupiah dan valuta asing dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS dalam rupiah dan valuta asing pada posisi tanggal 30 September 2018; atau c) nilai surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS dalam rupiah dan valuta asing dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS dalam rupiah dan valuta asing pada posisi tanggal 30 September 2018; dan 2. Giro RIM Syariah: a) DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah dalam periode laporan sejak tanggal 16 Oktober 2018 sampai dengan tanggal 23 Oktober 2018 dan periode laporan sejak tanggal 24 Oktober 2018 sampai dengan tanggal 31 Oktober 2018; dan/atau b) KPMM yang digunakan yaitu KPMM BUS atau KPMM BUK yang menjadi induk UUS pada posisi akhir bulan Juni 2018. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri, sebagaimana dimaksud 13 dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Dalam hal surat berharga syariah yang dimiliki BUS atau surat berharga syariah yang dimiliki UUS untuk jenis mata uang yang sama memiliki lebih dari satu peringkat maka Bank Indonesia mengakui peringkat surat berharga syariah yang dimiliki BUS atau surat berharga syariah yang dimiliki UUS dari lembaga pemeringkat dengan peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi. Contoh: Surat berharga syariah korporasi dalam rupiah PT Y yang dimiliki BUS B memiliki lebih dari satu peringkat dengan rincian sebagai berikut: 1. Lembaga pemeringkat P memberikan peringkat surat berharga syariah korporasi PT Y dengan peringkat investasi; 2. Lembaga pemeringkat Q memberikan peringkat surat berharga syariah korporasi PT Y dengan peringkat di bawah peringkat investasi; dan 3. Lembaga pemeringkat R memberikan peringkat surat berharga syariah korporasi PT Y dengan peringkat di bawah peringkat investasi. Untuk perhitungan RIM Syariah, Bank Indonesia mengakui surat berharga syariah korporasi PT Y yang dimiliki BUS B karena telah memiliki peringkat investasi yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat P. Huruf e Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek” adalah Kustodian Sentral Efek Indonesia atau lembaga berwenang lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. 14 Ayat (3) Dalam menetapkan batas maksimum surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS atau surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS, Bank Indonesia mempertimbangkan antara lain jumlah Pembiayaan yang diberikan oleh BUS atau UUS, dan ketersediaan surat berharga syariah korporasi. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan. Yang dimaksud dengan “bukan penduduk” adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang tidak berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia kurang dari 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik negara lain di Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Dalam hal surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS atau UUS untuk jenis mata uang yang sama memiliki lebih dari satu peringkat maka Bank Indonesia mengakui peringkat surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS atau UUS dari lembaga pemeringkat dengan peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi. 15 Contoh: Surat berharga syariah yang diterbitkan dalam rupiah oleh BUS B memiliki lebih dari satu peringkat dengan rincian sebagai berikut: 1. Lembaga pemeringkat P memberikan peringkat surat berharga syariah yang diterbitkan BUS B dengan peringkat investasi; 2. Lembaga pemeringkat Q memberikan peringkat surat berharga syariah yang diterbitkan BUS B dengan peringkat di bawah peringkat investasi; dan 3. Lembaga pemeringkat R memberikan peringkat surat berharga syariah yang diterbitkan BUS B dengan peringkat di bawah peringkat investasi. Untuk perhitungan RIM, Bank Indonesia mengakui surat berharga yang diterbitkan oleh BUS B karena telah memiliki peringkat investasi yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat P. Huruf e Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek” adalah Kustodian Sentral Efek Indonesia atau lembaga berwenang lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Rumus perhitungan RIM Syariah sebagai berikut: RIM Syariah = (Pembiayaan + surat berharga syariah korporasi yang dimiliki) (DPK + surat berharga syariah yang diterbitkan) Keterangan: - - x100% Pembiayaan berupa Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing; DPK berupa DPK dalam rupiah dan valuta asing; 16 - surat berharga syariah korporasi yang dimiliki berupa surat berharga syariah korporasi dalam rupiah dan valuta asing; dan - surat berharga syariah yang diterbitkan berupa surat berharga syariah yang diterbitkan dalam rupiah dan valuta asing. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Rumus perhitungan Giro RIM Syariah dalam hal RIM Syariah lebih kecil dari batas bawah Target RIM Syariah adalah sebagai berikut: Giro RIM Syariah = Parameter Disinsentif Bawah x (batas bawah Target RIM Syariah – RIM Syariah) x DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah Huruf b Rumus perhitungan Giro RIM Syariah dalam hal RIM Syariah lebih besar dari batas atas Target RIM Syariah dan KPMM BUS atau KPMM BUK yang menjadi induk UUS lebih kecil dari KPMM Insentif adalah sebagai berikut: Giro RIM Syariah = Parameter Disinsentif Atas x (RIM Syariah – batas atas Target RIM Syariah) x DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah Huruf c Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 17 Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Hasil rekomendasi OJK dapat berupa persetujuan atau penolakan atas permintaan Bank. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Koreksi laporan dapat dilakukan atas inisiatif Bank atau permintaan dari Bank Indonesia. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 18 Ayat (6) Informasi kepada Bank mengenai penyesuaian tata cara penyampaian laporan dan penghentian kewajiban penyampaian laporan dilakukan melalui surat dan/atau penyempurnaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi, moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi perekonomian global. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 19 Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “giro” adalah komponen giro yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “tabungan” adalah komponen tabungan yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito” adalah komponen simpanan berjangka yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf d Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah dana simpanan wadiah yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat” adalah komponen dana investasi tidak terikat yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK UUS dalam rupiah sebagaimana 20 dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Pasal 28 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Angka 1 Yang dimaksud dengan “obligasi negara” adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. Yang dimaksud dengan “surat perbendaharaan negara” adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. Angka 2 Yang dimaksud dengan “SBSN jangka panjang” adalah surat berharga syariah negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. Yang dimaksud dengan “SBSN jangka pendek” adalah surat berharga syariah negara yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan 21 pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “Depository Account (Rekening DEPO)” adalah rekening untuk mencatat kepemilikan surat berharga dan/atau instrumen keuangan lainnya atas hasil setelmen transaksi. Yang dimaksud dengan “subrekening available for sale (AVAI)” adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya. Yang dimaksud dengan “subrekening not available for sale (NAVL)” adalah subrekening yang digunakan untuk mencatat surat berharga dengan tujuan untuk dimiliki sampai dengan jatuh waktu (hold to maturity). Yang dimaksud dengan “subrekening available waiting for reselling (AWAS)” adalah subrekening yang digunakan untuk mencatat surat berharga yang dimiliki dengan tujuan untuk dijual kembali dalam waktu dekat. Huruf b Yang dimaksud dengan “intraday liquidity facility account (Rekening ILF)” adalah rekening untuk mencatat surat berharga yang akan digunakan peserta sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement untuk memperoleh fasilitas likuiditas intrahari dalam sistem Bank Indonesia- Real Time Gross Settlement. Yang dimaksud dengan “subrekening available for sale (AVAI)” adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya. Huruf c Yang dimaksud dengan “failure to settle account (Rekening FtS)” adalah rekening untuk mencatat surat berharga yang digunakan peserta BI-SSSS untuk prefund sistem kliring nasional Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “subrekening available for sale (AVAI)” adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya. 22 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: PLM BUK X pada tanggal 1 Agustus 2018 yang dihitung pada tanggal 2 Agustus 2018 menggunakan data dan nilai surat berharga di BI-SSSS yaitu harga SBI dan SDBI pada tanggal 1 Agustus 2018, nilai nominal SBIS, dan harga SBN pada tanggal 31 Juli 2018. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Rumus pemenuhan PLM sebagai berikut: PLM = Jumlah SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN yang dimiliki BUK setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan Rata − rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya Perhitungan pemenuhan PLM didasarkan pada DPK BUK dalam rupiah dengan periode laporan sebagai berikut: a. PLM untuk periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan b. PLM untuk periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya. x100% 23 Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “transaksi repo kepada Bank Indonesia” adalah transaksi repurchase agreement (repo) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. Yang dimaksud dengan “operasi pasar terbuka” adalah operasi pasar terbuka sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. Ayat (2) Huruf a Surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo yang diperhitungkan Bank Indonesia dalam pemenuhan PLM yaitu surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo pada operasi moneter dalam bentuk operasi pasar terbuka yang dilaksanakan Bank Indonesia sejak tanggal 16 Juli 2018. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a 24 Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah dana simpanan wadiah yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat” adalah komponen dana investasi tidak terikat yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Pasal 33 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan “SBSN jangka panjang” adalah surat berharga syariah negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. Angka 2 Yang dimaksud dengan “SBSN jangka pendek” adalah surat berharga syariah negara yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. 25 Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “Rekening DEPO” adalah rekening untuk mencatat kepemilikan surat berharga dan/atau instrumen keuangan lainnya atas hasil setelmen transaksi. Yang dimaksud dengan “subrekening AVAI” adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya. Yang dimaksud dengan “subrekening NAVL” adalah subrekening yang digunakan untuk mencatat surat berharga dengan tujuan untuk dimiliki sampai dengan jatuh waktu (hold to maturity). Yang dimaksud dengan “subrekening AWAS” adalah subrekening yang digunakan untuk mencatat surat berharga yang dimiliki dengan tujuan untuk dijual kembali dalam waktu dekat. Huruf b Yang dimaksud dengan “Rekening ILF” adalah rekening untuk mencatat surat berharga yang akan digunakan peserta sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement untuk memperoleh fasilitas likuiditas intrahari dalam sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Yang dimaksud dengan “subrekening AVAI” adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya. Huruf c Yang dimaksud dengan “Rekening FtS” adalah rekening untuk mencatat surat berharga yang digunakan peserta BI- SSSS untuk prefund sistem kliring nasional Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “subrekening AVAI” adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. 26 Ayat (4) Contoh: PLM Syariah BUS Y pada tanggal 1 November 2018 yang dihitung pada tanggal 2 November 2018 menggunakan data dan nilai surat berharga di BI-SSSS yaitu nilai nominal SBIS dan harga SBSN pada tanggal 31 Oktober 2018. Pasal 34 Rumus pemenuhan PLM Syariah sebagai berikut: PLM Syariah = Jumlah SBIS dan/atau SBSN yang dimiliki BUS setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan Rata − rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah selama 2 (dua)periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya Perhitungan pemenuhan PLM Syariah didasarkan pada DPK BUS dalam rupiah dengan periode laporan sebagai berikut: a. PLM Syariah untuk periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan b. PLM Syariah untuk periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya. Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “transaksi repo kepada Bank Indonesia” adalah transaksi repurchase agreement (repo) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. x100% 27 Yang dimaksud dengan “operasi pasar terbuka syariah” adalah operasi pasar terbuka syariah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. Ayat (2) Surat berharga syariah yang digunakan dalam transaksi repo yang diperhitungkan Bank Indonesia dalam pemenuhan PLM Syariah yaitu surat berharga syariah yang digunakan dalam transaksi repo pada operasi moneter syariah dalam bentuk operasi pasar terbuka syariah yang dilaksanakan Bank Indonesia sejak tanggal 1 Oktober 2018. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi, moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi perekonomian global. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 28 Pasal 37 Huruf a Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUK hasil penggabungan atau peleburan. Huruf b Rumus RIM untuk BUK hasil penggabungan atau peleburan: RIM = (kredit + surat berharga korporasi yang dimiliki ) (DPK BUK + surat berharga yang diterbitkan) Keterangan: - x 100% kredit berupa kredit dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari penjumlahan kredit BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan yang didasarkan pada pos kredit yang diberikan kepada pihak ketiga bukan bank dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBU; - DPK BUK berupa DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari penjumlahan DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing dari BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan yang didasarkan pada pos giro, pos tabungan, dan pos simpanan berjangka dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBU; - surat berharga korporasi yang dimiliki berupa surat berharga korporasi dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari penjumlahan saldo pada pos total harga perolehan dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya untuk BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan; dan - surat berharga yang diterbitkan berupa surat berharga yang diterbitkan dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari penjumlahan saldo pada pos total nominal dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam 29 Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya untuk BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan. Huruf c Rumus RIM untuk BUK hasil penggabungan atau peleburan: RIM = (kredit + surat berharga korporasi yang dimiliki ) (DPK + surat berharga yang diterbitkan ) Keterangan: - x 100% kredit berupa kredit dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari kredit BUK hasil penggabungan atau peleburan yang didasarkan pada pos kredit yang diberikan kepada pihak ketiga bukan bank dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBU; - DPK BUK berupa DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari DPK BUK hasil penggabungan atau peleburan yang didasarkan pada pos giro, pos tabungan, dan pos simpanan berjangka dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBU; - surat berharga korporasi yang dimiliki berupa surat berharga korporasi dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari penjumlahan saldo pada pos total harga perolehan dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya dari BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan sampai dengan tersedia data surat berharga korporasi yang dimiliki BUK hasil penggabungan atau peleburan yaitu setelah 2 (dua) periode laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang disampaikan kepada Bank Indonesia; dan - surat berharga yang diterbitkan berupa surat berharga yang diterbitkan dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari penjumlahan saldo pada pos total nominal dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya dari 30 BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan sampai dengan tersedia data surat berharga yang diterbitkan BUK hasil penggabungan atau peleburan yaitu setelah 2 (dua) periode laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang disampaikan kepada Bank Indonesia. Huruf d Cukup jelas. Pasal 38 Huruf a Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUK hasil penggabungan atau peleburan. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Huruf a) Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Saldo Rekening Giro Rupiah digunakan dalam hal terjadi pelanggaran pemenuhan PLM. Huruf b) Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Saldo Rekening Giro Rupiah digunakan dalam hal terjadi pelanggaran pemenuhan PLM. Angka 3 Bagi BUK yang memiliki UUS maka jumlah DPK BUK dalam rupiah termasuk DPK UUS dalam rupiah. 31 Huruf c Cukup jelas. Pasal 39 Huruf a Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUS hasil penggabungan atau peleburan. Huruf b Rumus RIM Syariah untuk BUS hasil penggabungan atau peleburan: RIM Syariah = (Pembiayaan + surat berharga syariah korporasi yang dimiliki) (DPK BUS + surat berharga syariah yang diterbitkan ) x 100% Keterangan: - Pembiayaan berupa Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari penjumlahan Pembiayaan BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan yang didasarkan pada pos piutang, pos pembiayaan, dan pos ijarah dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBUS; - DPK BUS berupa DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari penjumlahan DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing dari BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan yang didasarkan pada pos dana simpanan wadiah dan pos dana investasi tidak terikat dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBUS. - surat berharga syariah korporasi yang dimiliki berupa surat berharga syariah korporasi dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari penjumlahan saldo pada pos total harga perolehan dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua) 32 periode laporan sebelumnya untuk BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan; dan - surat berharga syariah yang diterbitkan berupa surat berharga syariah yang diterbitkan dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari penjumlahan saldo pada pos total nominal dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya untuk BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan. Huruf c Rumus RIM Syariah untuk BUS hasil penggabungan atau peleburan: RIM Syariah = (Pembiayaan + surat berharga syariah korporasi yang dimiliki) (DPK BUS + surat berharga syariah yang diterbitkan) x 100% Keterangan: - Pembiayaan berupa Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari Pembiayaan BUS hasil penggabungan atau peleburan yang didasarkan pada pos piutang, pos pembiayaan, dan pos ijarah dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBUS; - DPK BUS berupa DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari DPK BUS hasil penggabungan atau peleburan yang didasarkan pada pos dana simpanan wadiah dan pos dana investasi tidak terikat dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBUS; - surat berharga syariah korporasi yang dimiliki berupa surat berharga syariah korporasi yang dimiliki dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari penjumlahan saldo pada pos total harga perolehan dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya dari BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan sampai dengan tersedia data 33 surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS hasil penggabungan atau peleburan yaitu setelah 2 (dua) periode laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang disampaikan kepada Bank Indonesia; dan - surat berharga syariah yang diterbitkan berupa surat berharga syariah yang diterbitkan dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari penjumlahan saldo pada pos total nominal dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya dari BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan sampai dengan tersedia data surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS hasil penggabungan atau peleburan yaitu setelah 2 (dua) periode laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang disampaikan kepada Bank Indonesia. Huruf d Cukup jelas. Pasal 40 Huruf a Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUS hasil penggabungan atau peleburan. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Saldo Rekening Giro Rupiah digunakan dalam hal terjadi pelanggaran pemenuhan PLM Syariah. Angka 3 Cukup jelas. 34 Huruf c Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUK melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi BUS. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 42 Huruf a Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUS hasil pemisahan UUS dari BUK. Huruf b Rumus RIM Syariah untuk BUS hasil pemisahan: RIM Syariah = ( Pembiayaan UUS + surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS Keterangan: - ) (DPK UUS + surat berharga syariah yang diterbitkan UUS) x100% Pembiayaan UUS berupa Pembiayaan UUS dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari Pembiayaan UUS yang didasarkan pada pos piutang, pos pembiayaan, dan pos ijarah dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBUS; 35 - DPK UUS berupa DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing yang didasarkan pada pos dana simpanan wadiah dan pos dana investasi tidak terikat dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBUS; - surat berharga syariah korporasi yang dimiliki berupa surat berharga syariah korporasi dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari saldo surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS pada pos total harga perolehan dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya; dan - surat berharga syariah yang diterbitkan berupa surat berharga syariah yang diterbitkan dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari saldo surat berharga yang diterbitkan oleh UUS pada pos total nominal dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya. Dalam pemenuhan Giro RIM Syariah pada 1 hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan Pemisahan, saldo Rekening Giro Rupiah UUS yaitu saldo Rekening Giro Rupiah UUS termasuk saldo Rekening Giro Rupiah UUS yang pindah ke saldo Rekening Giro Rupiah BUS. Huruf c Rumus RIM Syariah untuk BUS hasil pemisahan: RIM Syariah = ( Pembiayaan BUS + surat berharga syariah korporasi yang dimiliki Keterangan: - ) (DPK BUS + surat berharga syariah yang diterbitkan) x100% Pembiayaan BUS berupa Pembiayaan BUS dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari Pembiayaan BUS hasil pemisahan yang didasarkan pada pos piutang, pos pembiayaan, dan pos ijarah dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBUS; 36 - DPK BUS berupa DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari DPK BUS hasil pemisahan yang didasarkan pada pos dana simpanan wadiah dan pos dana investasi tidak terikat dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBUS; - surat berharga syariah korporasi yang dimiliki berupa surat berharga syariah korporasi dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari saldo surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS pada pos total harga perolehan dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya sampai dengan data surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS hasil pemisahan tersedia, yaitu setelah 2 (dua) periode laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang disampaikan kepada Bank Indonesia; dan - surat berharga syariah yang diterbitkan berupa surat berharga syariah yang diterbitkan dalam rupiah dan valuta asing dengan data yang diperoleh dari saldo surat berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS pada pos total nominal dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya sampai dengan data surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS hasil pemisahan tersedia, yaitu setelah 2 (dua) periode laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang disampaikan kepada Bank Indonesia. Huruf d Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUS hasil pemisahan UUS dari BUK. Ayat (2) Cukup jelas. 37 Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran pemenuhan Giro RIM yang wajib dipenuhi, dihitung dengan rumus sebagai berikut: = Kekurangan Giro RIM yang wajib dipenuhi x 125% x suku bunga JIBOR 𝑜𝑣𝑒𝑟𝑛𝑖𝑔ℎ𝑡 dalam rupiah x 1/360 Perhitungan suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari (overnight) dari JIBOR dalam rupiah mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga penawaran antarbank. Ayat (2) Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran pemenuhan PLM yang wajib dipenuhi, dihitung dengan rumus sebagai berikut: = Kekurangan PLM yang wajib dipenuhi x 125% x suku bunga JIBOR 𝑜𝑣𝑒𝑟𝑛𝑖𝑔ℎ𝑡 dalam rupiah x 1/360 Perhitungan suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari (overnight) dari JIBOR dalam rupiah mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga penawaran antarbank. Pasal 46 Ayat (1) Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran pemenuhan Giro RIM Syariah yang wajib dipenuhi, dihitung dengan rumus sebagai berikut: = Kekurangan Giro RIM Syariah yang wajib dipenuhi x 125% x Tingkat Indikasi Imbalan SIMA x 1/360 38 Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan SIMA yang digunakan yaitu rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA pada pasar perdana yang diperoleh dari LHBU Ayat (2) Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran PLM Syariah yang wajib dipenuhi, dihitung dengan rumus sebagai berikut: = Kekurangan PLM RIM Syariah yang wajib dipenuhi x 125% x Tingkat Indikasi Imbalan SIMA x 1/360 Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan SIMA yang digunakan yaitu rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA pada pasar perdana yang diperoleh dari LHBU. Ayat (3) Data mengenai tingkat imbalan deposito investasi mudarabah berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan yang digunakan yaitu rata-rata tingkat imbalan deposito mudarabah berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan, yang tercatat pada LHBU. Pasal 47 Ayat (1) Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran pemenuhan Giro RIM Syariah yang wajib dipenuhi dihitung dengan rumus sebagai berikut: = Kekurangan Giro RIM Syariah yang wajib dipenuhi x 125% x Tingkat Indikasi Imbalan SIMA x 1/360 Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan SIMA yang digunakan yaitu rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA pada pasar perdana yang diperoleh dari LHBU. Ayat (2) Data mengenai tingkat imbalan deposito investasi mudarabah berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan yang digunakan yaitu rata-rata tingkat imbalan deposito mudarabah berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan yang tercatat pada LHBU. 39 Pasal 48 Ayat (1) Contoh perhitungan pengenaan sanksi kewajiban membayar atas keterlambatan penyampaian laporan surat berharga: Bank A terlambat menyampaikan laporan surat berharga selama 2 (dua) hari kerja dan di antara 2 (dua) hari kerja tersebut terdapat hari Sabtu dan hari Minggu dan/atau hari libur nasional. Atas pelanggaran tersebut, Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Dalam hal ini, sanksi kewajiban membayar tidak dikenakan pada hari Sabtu dan hari Minggu dan/atau hari libur nasional. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/11/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 31 Mei 2018 </set_date> <effective_date> 31 Mei 2018 </effective_date> <replaced_reg> '19/4/PADG/2017 | Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 35' </replaced_reg> <related_reg> '20/4/PBI/2018' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/6/PADG/2019 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam pelaksanaan operasi moneter perlu didukung oleh sistem lelang operasi moneter valuta asing yang lebih efisien melalui penyempurnaan sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing; b. bahwa dengan adanya penyempurnaan sistem otomasi lelang moneter valuta asing sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Bank Indonesia perlu mengatur tata cara pelaksanaan lelang operasi pasar terbuka valuta asing; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/14/PBI/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6278); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur: a. Nomor 20/29/PADG/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka; b. Nomor 20/35/PADG/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka, diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 125 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 3 Pasal 125 Bank Indonesia menyampaikan persetujuan pendaftaran untuk mengikuti lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing kepada Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melalui surat yang memuat informasi sebagai berikut: a. nama Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara; b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Konvensional; c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara; d. Standard Settlement Instruction Peserta OPT Konvensional; e. tanggal efektif untuk mengikuti lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing; dan informasi lainnya apabila diperlukan. f. 2. Ketentuan Pasal 128 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 128 berbunyi sebagai berikut: Pasal 128 (1) Pengajuan penawaran Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing untuk lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender) meliputi informasi paling sedikit sebagai berikut: a. penawaran nilai nominal; dan b. tingkat bunga sesuai dengan yang diumumkan oleh Bank Indonesia, untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing. (2) Pengajuan penawaran Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing untuk lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender) meliputi informasi paling sedikit sebagai berikut: a. penawaran nilai nominal; dan b. tingkat bunga, 4 untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing. (3) Pengajuan penawaran nilai nominal dari Peserta OPT Konvensional paling sedikit sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). (4) Dalam hal lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan setiap penawaran tingkat bunga dilakukan dengan kelipatan 1 (satu) bps (basis point) atau 0,01% (nol koma nol satu persen). 3. Ketentuan Pasal 129 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 129 (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara dapat melakukan koreksi untuk setiap penawaran yang diajukan dalam window time Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) dan ayat (2) kecuali: a. bagi Peserta OPT Konvensional tidak dapat melakukan koreksi terhadap jangka waktu; dan b. bagi Lembaga Perantara tidak dapat melakukan koreksi Konvensional dan jangka waktu. (2) Koreksi penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (3) dan ayat (4). terhadap nama Peserta OPT 5 4. Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 133 Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada pemenang lelang melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, yang memuat informasi berupa: 1. jangka waktu; 2. nilai nominal yang dimenangkan; 3. tingkat bunga yang dimenangkan; 4. nominal bunga Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing; dan 5. informasi lainnya apabila diperlukan; b. secara keseluruhan kepada semua Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, yang memuat informasi berupa: 1. nilai nominal penawaran yang dimenangkan; 2. tingkat bunga Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing, apabila Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); 3. rata-rata tertimbang tingkat bunga Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing, apabila Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); dan 4. informasi lainnya apabila diperlukan. 6 5. Ketentuan Pasal 137 ayat (6) diubah sehingga Pasal 137 berbunyi sebagai berikut: Pasal 137 (1) Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan Early Redemption Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing paling cepat 3 (tiga) hari setelah setelmen hasil lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang akan dilakukan Early Redemption. (2) Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan Early Redemption pada setiap Hari Kerja, kecuali pada hari pelaksanaan lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dengan jangka waktu melebihi overnight. (3) Pengajuan Early Redemption sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 11.00 WIB. (4) Pengajuan Early Redemption Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan melalui sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (5) Pengajuan Early Redemption Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan paling sedikit sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). (6) Pengajuan Early Redemption Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang ditransaksikan melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing harus disertai informasi referensi transaksi pada saat pengajuan lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing; atau 7 b. untuk Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang ditransaksikan secara manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 ayat (1) huruf c harus disertai informasi tanggal lelang dan informasi waktu transaksi lelang yang akan dilakukan Early Redemption (waktu Greenwich Mean Time/GMT). (7) Pengajuan Early Redemption Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing, baik keseluruhan atau sebagian, dilakukan untuk nilai nominal penuh yang tercantum dalam setiap deal ticket. 6. Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 151 Bank Indonesia menyampaikan persetujuan pendaftaran untuk mengikuti Transaksi Swap secara lelang kepada Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melalui surat, yang memuat informasi sebagai berikut: a. nama Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara; b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Konvensional; c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara; d. Standard Settlement Instruction Peserta OPT Konvensional; e. tanggal efektif untuk mengikuti Transaksi Swap secara lelang; dan f. informasi lainnya apabila diperlukan. 7. Ketentuan Pasal 154 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 154 berbunyi sebagai berikut: 8 Pasal 154 (1) Pengajuan penawaran Transaksi Swap secara lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender) meliputi informasi paling sedikit sebagai berikut: a. penawaran nilai nominal; dan b. premi swap sesuai dengan yang diumumkan oleh Bank Indonesia, untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Swap secara lelang. (2) Pengajuan penawaran Transaksi Swap secara lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender) memuat informasi paling sedikit sebagai berikut: a. penawaran nilai nominal; dan b. premi swap, untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Swap secara lelang. (3) Pengajuan penawaran nilai nominal dari Peserta OPT Konvensional paling sedikit sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) dan paling banyak sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika Serikat), dengan kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). (4) Dalam hal lelang Transaksi Swap dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan setiap penawaran premi swap paling sedikit sebesar Rp1,00 (satu rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar Rp1,00 (satu rupiah). 8. Ketentuan Pasal 155 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 155 (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara dapat melakukan koreksi untuk setiap penawaran yang diajukan dalam window time Transaksi Swap 9 secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1) dan ayat (2), kecuali: a. bagi Peserta OPT Konvensional tidak dapat melakukan koreksi terhadap jangka waktu; dan b. bagi Lembaga Perantara tidak dapat melakukan koreksi terhadap nama Peserta OPT Konvensional dan jangka waktu. (2) Koreksi penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) dan ayat (4). 9. Ketentuan Pasal 159 huruf c dihapus sehingga Pasal 159 berbunyi sebagai berikut: Pasal 159 Bank Indonesia mengumumkan hasil Transaksi Swap secara lelang setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia, dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada masing-masing pemenang lelang melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, berupa: 1. jangka waktu; 2. nilai nominal yang dimenangkan; 3. kurs spot; 4. kurs forward; 5. premi swap yang dimenangkan; dan 6. informasi lainnya apabila diperlukan. b. secara keseluruhan kepada semua Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, berupa: 1. nilai nominal Transaksi Swap dimenangkan; yang 10 2. premi swap per jangka waktu, apabila Transaksi Swap dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); 3. rata-rata tertimbang (weighted average) premi swap per jangka waktu, apabila Transaksi Swap dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); dan 4. informasi lainnya apabila diperlukan. c. Peserta OPT Konvensional yang telah memenangkan penawaran tidak dapat melakukan pengakhiran Transaksi Swap secara lelang sebelum jatuh waktu (early termination). 10. Ketentuan Pasal 252 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 252 Bank Indonesia menyampaikan persetujuan pendaftaran untuk mengikuti lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing kepada Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara melalui surat yang memuat informasi sebagai berikut: a. nama Peserta OPT Syariah dan/atau Lembaga Perantara; b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Syariah; c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Syariah dan/atau Lembaga Perantara; d. Standard Settlement Instruction Peserta OPT Syariah; e. tanggal efektif untuk mengikuti lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing; dan informasi lainnya apabila diperlukan. f. 11. Ketentuan Pasal 255 ayat (1) diubah sehingga Pasal 255 berbunyi sebagai berikut: 11 Pasal 255 (1) Pengajuan penawaran Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing memuat informasi penawaran nilai nominal untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing. (2) Pengajuan penawaran nilai nominal dari Peserta OPT Syariah paling sedikit sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). 12. Ketentuan Pasal 256 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 256 (1) Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara dapat melakukan koreksi untuk setiap penawaran yang diajukan dalam window time Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 ayat (1), kecuali: a. bagi Peserta OPT Syariah tidak dapat melakukan koreksi terhadap jangka waktu; dan b. bagi Lembaga Perantara tidak dapat melakukan koreksi terhadap nama Peserta OPT Syariah dan jangka waktu. (2) Koreksi penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 ayat (2). 13. Ketentuan Pasal 260 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 260 Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing setelah 12 dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada pemenang lelang melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing dan/atau sarana lain, yang memuat informasi berupa: 1. jangka waktu; 2. nilai nominal yang dimenangkan; 3. tingkat imbalan; 4. nominal imbalan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing; dan 5. informasi lainnya apabila diperlukan; b. secara keseluruhan kepada semua Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain, yang memuat informasi berupa: 1. nilai nominal penawaran yang dimenangkan; 2. tingkat imbalan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing; dan 3. informasi lainnya apabila diperlukan. 14. Ketentuan Pasal 264 ayat (6) diubah sehingga Pasal 264 berbunyi sebagai berikut: Pasal 264 (1) Peserta OPT Syariah dapat mengajukan Early Redemption Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing paling cepat 3 (tiga) hari setelah setelmen hasil lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang akan dilakukan Early Redemption. (2) Peserta OPT Syariah dapat mengajukan Early Redemption pada setiap hari kerja, kecuali pada hari pelaksanaan lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing dengan jangka waktu melebihi overnight. 13 (3) Pengajuan Early Redemption sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 11.00 WIB. (4) Pengajuan Early Redemption Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing dilakukan melalui sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (5) Pengajuan Early Redemption Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing dilakukan paling sedikit sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). (6) Pengajuan Early Redemption Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang ditransaksikan melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing harus disertai dengan informasi referensi transaksi pada saat pengajuan lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing; atau b. untuk Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang ditransaksikan secara manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 ayat (1) huruf c harus disertai informasi tanggal lelang dan informasi waktu transaksi lelang yang akan dilakukan Early Redemption (waktu Greenwich Mean Time/GMT). (7) Pengajuan Early Redemption Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing, baik keseluruhan atau sebagian, dilakukan untuk nilai nominal penuh yang tercantum dalam setiap deal ticket. 14 Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 April 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD ERWIN RIJANTO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/6/PADG/2019 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA I. UMUM Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur bahwa tujuan Bank Indonesia adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mendukung pelaksanaan operasi moneter tersebut perlu didukung oleh sistem lelang operasi moneter valuta asing yang lebih efisien melalui penyempurnaan sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing terhadap instrumen Transaksi Term Deposit OPT Konvensional, Transaksi Swap, dan Transaksi Term Deposit OPT Syariah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 125 Cukup jelas. 2 Angka 2 Pasal 128 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 129 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 133 Cukup Jelas Angka 5 Pasal 137 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 151 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 154 Cukup jelas. Angka 8 Pasal 155 Cukup jelas. Angka 9 Pasal 159 Cukup jelas. Angka 10 Pasal 252 Cukup jelas. 3 Angka 11 Pasal 255 Cukup jelas. Angka 12 Pasal 256 Cukup jelas. Angka 13 Pasal 260 Cukup jelas Angka 14 Pasal 264 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/6/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title> <set_date> 9 April 2019 </set_date> <effective_date> 9 April 2019 </effective_date> <changed_reg> '20/6/PADG/2018' </changed_reg> <extension_of> '20/29/PADG/2018', '20/35/PADG/2018' </extension_of> <related_reg> '20/14/PBI/2018', '20/5/PBI/2018' </related_reg>
2 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/22/PADG/2019 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Peraturan Bank Indonesia mengenai rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah, perlu didukung dengan peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan dan hal teknis terkait rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas 2 Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6194) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/12/PBI/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 226, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6422); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah. 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah. 3 4. Bank adalah BUK, BUS, dan UUS. 5. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 6. Dana Pihak Ketiga yang selanjutnya disingkat DPK adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah dan/atau valuta asing. 7. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah adalah rekening giro dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai rekening giro di Bank Indonesia. 8. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah. 9. Rasio Intermediasi Makroprudensial yang selanjutnya disingkat RIM adalah rasio hasil perbandingan antara: a. kredit yang diberikan dalam rupiah dan valuta asing; dan b. surat berharga korporasi dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang dimiliki BUK, terhadap: a. DPK BUK dalam bentuk giro, tabungan, dan simpanan berjangka/deposito dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana antarbank; b. surat berharga dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang diterbitkan oleh BUK untuk memperoleh sumber pendanaan; dan c. pinjaman yang diterima dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang diterima oleh BUK untuk memperoleh sumber pendanaan. 10. Rasio Intermediasi Makroprudensial Syariah yang selanjutnya disebut RIM Syariah adalah rasio hasil perbandingan antara: a. Pembiayaan yang diberikan dalam rupiah dan valuta asing; dan 4 b. surat berharga syariah korporasi dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang dimiliki BUS atau UUS, terhadap: a. DPK BUS atau DPK UUS dalam bentuk dana simpanan wadiah dan dana investasi tidak terikat dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana antarbank; b. surat berharga syariah dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang diterbitkan oleh BUS atau UUS untuk memperoleh sumber pendanaan; dan c. pembiayaan yang diterima dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang diterima oleh BUS atau UUS untuk memperoleh sumber pendanaan. 11. Giro atas pemenuhan RIM yang selanjutnya disebut Giro RIM adalah saldo giro dalam Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia yang wajib dipelihara oleh BUK untuk pemenuhan RIM. 12. Giro atas pemenuhan RIM Syariah yang selanjutnya disebut Giro RIM Syariah adalah saldo giro dalam Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia yang wajib dipelihara oleh BUS atau UUS untuk pemenuhan RIM Syariah. 13. Target RIM adalah kisaran RIM yang dibatasi oleh batas bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk perhitungan Giro RIM. 14. Target RIM Syariah adalah kisaran RIM Syariah yang dibatasi oleh batas bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk perhitungan Giro RIM Syariah. 15. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya disebut KPMM adalah rasio hasil perbandingan antara modal terhadap aset tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum konvensional dan bank umum syariah. 5 16. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk perhitungan RIM atau RIM Syariah. 17. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter pengali yang digunakan dalam pemenuhan: a. Giro RIM bagi BUK yang memiliki RIM kurang dari batas bawah Target RIM; atau b. Giro RIM Syariah bagi BUS dan UUS yang memiliki RIM Syariah kurang dari batas bawah Target RIM Syariah. 18. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali yang digunakan dalam pemenuhan: a. Giro RIM bagi BUK yang memiliki RIM lebih dari batas atas Target RIM; atau b. Giro RIM Syariah bagi BUS dan UUS yang memiliki RIM Syariah lebih dari batas atas Target RIM Syariah. 19. Penyangga Likuiditas Makroprudensial yang selanjutnya disingkat PLM adalah cadangan likuiditas minimum dalam rupiah yang wajib dipelihara oleh BUK dalam bentuk surat berharga yang memenuhi persyaratan tertentu, yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK BUK dalam rupiah. 20. Penyangga Likuiditas Makroprudensial Syariah yang selanjutnya disebut PLM Syariah adalah cadangan likuiditas minimum dalam rupiah yang wajib dipelihara oleh BUS dalam bentuk surat berharga syariah yang memenuhi persyaratan tertentu, yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK BUS dalam rupiah. 21. Indonesia Overnight Index Average yang selanjutnya disebut IndONIA adalah Indonesia Overnight Index Average sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Indonesia Overnight Index Average dan Jakarta Interbank Offered Rate. 22. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai operasi moneter. 6 23. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai operasi moneter. 24. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah Sertifikat Deposito Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai operasi moneter. 25. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SukBI adalah Sukuk Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai operasi moneter, dalam mata uang rupiah. 26. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat berharga yang terdiri atas surat utang negara dalam mata uang rupiah dan surat berharga syariah negara dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. 27. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai surat utang negara, dalam mata uang rupiah. 28. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara atau sukuk negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai surat berharga syariah negara, dalam mata uang rupiah. 29. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut PUAS adalah pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah. 30. Sertifikat Investasi Mudarabah Antarbank yang selanjutnya disingkat SIMA adalah sertifikat investasi mudarabah antarbank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai sertifikat investasi mudarabah antarbank. 7 31. Tingkat Indikasi Imbalan SIMA adalah rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA dalam rupiah yang terjadi di PUAS pada pasar perdana. 32. Laporan Bulanan Bank Umum yang selanjutnya disebut LBU adalah laporan bulanan bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan bulanan bank umum. 33. Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut LSMK BUS UUS adalah laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah. 34. Laporan Berkala Bank Umum yang selanjutnya disingkat LBBU adalah laporan berkala bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. 35. Laporan Berkala Bank Umum bagi BUS dan UUS yang selanjutnya disebut LBBUS adalah laporan berkala bank umum bagi BUS dan UUS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. 36. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disingkat LHBU adalah laporan harian bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan harian bank umum. 37. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS. 8 BAB II KEWAJIBAN GIRO RIM DAN GIRO RIM SYARIAH Pasal 2 (1) BUK wajib memenuhi Giro RIM yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) BUS dan UUS wajib memenuhi Giro RIM Syariah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek tetap wajib memenuhi Giro RIM. (4) BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah tetap wajib memenuhi Giro RIM Syariah. Bagian Kesatu Tata Cara Pemenuhan Kewajiban Giro RIM Paragraf 1 Besaran dan Parameter Giro RIM Pasal 3 (1) Giro RIM ditetapkan sebesar hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas, selisih antara RIM dan Target RIM, serta DPK BUK dalam rupiah. (2) Dalam hal RIM lebih besar dari batas atas Target RIM, pemenuhan Giro RIM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan KPMM BUK dan KPMM Insentif. (3) Dalam hal RIM lebih kecil dari batas bawah Target RIM, pemenuhan Giro RIM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan KPMM BUK, KPMM Insentif, dan rasio kredit bermasalah BUK secara bruto. (4) Penghitungan rasio kredit bermasalah BUK secara bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan persentase dari hasil penjumlahan kredit kepada pihak ketiga bukan bank dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet, dibandingkan dengan total kredit kepada pihak ketiga bukan bank. 9 (5) Giro RIM dipenuhi dengan membandingkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan terhadap Giro RIM yang dihitung menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya. (6) Pemenuhan Giro RIM didasarkan pada DPK BUK dalam rupiah dengan periode laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur sebagai berikut: a. Giro RIM untuk tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah dalam periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan b. Giro RIM untuk tanggal 16 sampai dengan tanggal akhir bulan menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah dalam periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya. Pasal 4 Besaran dan parameter yang digunakan dalam pemenuhan Giro RIM ditetapkan sebagai berikut: a. batas bawah Target RIM sebesar 84% (delapan puluh empat persen); b. batas atas Target RIM sebesar 94% (sembilan puluh empat persen); c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen); d. Parameter Disinsentif Bawah ditetapkan sebagai berikut: 1. sebesar 0 (nol), jika Bank memiliki: a) rasio kredit bermasalah secara bruto lebih besar dari atau sama dengan 5% (lima persen); atau b) KPMM lebih kecil dari atau sama dengan KPMM Insentif; 10 2. sebesar 0,1 (nol koma satu), jika Bank memiliki: a) rasio kredit bermasalah secara bruto lebih kecil dari 5% (lima persen); dan b) KPMM lebih besar dari KPMM Insentif dan lebih kecil dari atau sama dengan 19% (sembilan belas persen); dan 3. sebesar 0,15 (nol koma satu lima), jika Bank memiliki: a) rasio kredit bermasalah secara bruto lebih kecil dari 5% (lima persen); dan b) KPMM lebih besar dari 19% (sembilan belas persen); dan e. Parameter Disinsentif Atas ditetapkan sebagai berikut: 1. sebesar 0 (nol), jika Bank memiliki KPMM lebih besar dari atau sama dengan KPMM Insentif; atau 2. sebesar 0,2 (nol koma dua), jika Bank memiliki KPMM lebih kecil dari KPMM Insentif. Paragraf 2 Sumber Data dan Nilai yang Digunakan Pasal 5 (1) Perhitungan RIM menggunakan sumber data dan nilai sebagai berikut: a. kredit; b. DPK BUK; c. surat berharga korporasi yang dimiliki BUK; d. surat berharga yang diterbitkan oleh BUK; dan e. pinjaman yang diterima oleh BUK, dalam rupiah dan valuta asing. (2) Data kredit dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperoleh dari pos kredit yang diberikan kepada pihak ketiga bukan bank dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBU. (3) Data DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperoleh 11 dari pos giro, pos tabungan, dan pos simpanan berjangka dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBU. (4) Data surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan data surat berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diperoleh dari: a. saldo total harga perolehan surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dan saldo total nilai nominal surat berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam laporan surat berharga sebagaimana format yang tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya yang disampaikan BUK kepada Bank Indonesia secara bulanan; atau b. saldo total harga perolehan surat berharga korporasi yang dimiliki dan saldo total nilai nominal surat berharga yang diterbitkan dalam laporan surat berharga BUK yang diperoleh dari laporan bulanan bank umum atau sistem aplikasi laporan lainnya, dalam hal Bank Indonesia telah menginformasikan kepada BUK mengenai penghentian kewajiban penyampaian laporan surat berharga melalui surat dan/atau penyempurnaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (5) Data pinjaman yang diterima oleh BUK dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur sebagai berikut: a. bagi BUK, diperoleh dari saldo total jumlah bulan laporan pinjaman yang diterima dalam Formulir 32 Daftar Rincian Pinjaman yang Diterima, posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya dalam LBU; dan b. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, diperoleh dari: 12 1. saldo total jumlah bulan laporan pinjaman yang diterima sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan 2. saldo total jumlah bulan laporan yang diperoleh dari laporan pinjaman yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri, sebagaimana format yang tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya yang disampaikan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri kepada Bank Indonesia secara bulanan. (6) Saldo total jumlah bulan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b angka 2) diperoleh dari LBU atau sistem aplikasi laporan lainnya, dalam hal Bank Indonesia telah menginformasikan kepada BUK mengenai penghentian kewajiban penyampaian laporan pinjaman yang diterima melalui surat dan/atau penyempurnaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (7) Rincian sumber data untuk pinjaman yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 6 (1) Untuk pemenuhan Giro RIM, data DPK BUK dalam rupiah diperoleh dari rata-rata DPK BUK dalam rupiah untuk seluruh kantor dari BUK yang bersangkutan di Indonesia dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam LBBU. (2) DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri atas: 13 a. giro; b. tabungan; c. simpanan berjangka/deposito; dan d. kewajiban lainnya. Pasal 7 (1) Untuk pemenuhan Giro RIM, penghitungan rasio kredit bermasalah secara bruto menggunakan nilai kredit bermasalah dan nilai total kredit dalam Formulir 11 Daftar Rincian Kredit yang Diberikan posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya dalam LBU. (2) Bagi BUK yang memiliki UUS, penghitungan rasio kredit bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpisah dengan penghitungan rasio pembiayaan bermasalah bagi UUS. (3) Rincian sumber data untuk penghitungan rasio kredit bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 8 (1) Data KPMM dalam pemenuhan Giro RIM diatur sebagai berikut: a. KPMM yang digunakan yaitu KPMM triwulanan dari BUK yang bersangkutan; dan b. KPMM triwulanan sebagaimana dimaksud dalam huruf a menggunakan posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember dengan rincian sebagai berikut: 1. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan untuk pemenuhan Giro RIM untuk bulan Juni, Juli, dan Agustus pada tahun yang sama; 2. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan untuk pemenuhan Giro RIM untuk bulan September, Oktober, dan November pada tahun yang sama; 14 3. KPMM pada posisi akhir bulan September digunakan untuk pemenuhan Giro RIM untuk bulan Desember pada tahun yang sama serta bulan Januari dan Februari pada tahun berikutnya; dan 4. KPMM pada posisi akhir bulan Desember digunakan untuk pemenuhan Giro RIM untuk bulan Maret, April, dan Mei pada tahun berikutnya. (2) KPMM BUK untuk pemenuhan Giro RIM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu KPMM triwulanan hasil olahan sistem aplikasi yang diterima Bank Indonesia dari OJK. (3) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUK maka yang berlaku yaitu KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK. Paragraf 3 Kriteria dan Batas Maksimum Surat Berharga Pasal 9 (1) Kriteria surat berharga korporasi yang dimiliki BUK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM diatur sebagai berikut: a. surat berharga korporasi dalam bentuk obligasi korporasi dan/atau sukuk korporasi; b. surat berharga korporasi diterbitkan oleh korporasi bukan Bank dan oleh penduduk; c. surat berharga korporasi ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum; d. surat berharga korporasi memiliki peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat dengan peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi; dan 15 e. surat berharga korporasi ditatausahakan di lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek. (2) Dalam hal peringkat surat berharga korporasi yang dimiliki oleh BUK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d memiliki lebih dari satu peringkat untuk jenis mata uang yang sama maka peringkat yang diakui yaitu yang berasal dari lembaga pemeringkat yang memberikan peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi. (3) Lembaga pemeringkat dan peringkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai dengan ketentuan OJK. (4) Bank Indonesia menetapkan batas maksimum surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam rupiah dan valuta asing yang digunakan dalam perhitungan RIM. (5) Dalam menetapkan batas maksimum surat berharga korporasi yang dimiliki BUK sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank Indonesia mempertimbangkan paling sedikit jumlah kredit yang diberikan BUK dan ketersediaan surat berharga korporasi. (6) Batas maksimum surat berharga korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam rupiah dan valuta asing. Pasal 10 (1) Kriteria surat berharga yang diterbitkan oleh BUK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d, yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM diatur sebagai berikut: a. surat berharga dalam bentuk medium term notes (MTN), floating rate notes (FRN), dan/atau obligasi selain obligasi subordinasi; b. surat berharga dimiliki bukan Bank baik penduduk dan bukan penduduk; 16 c. surat berharga ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum; d. surat berharga memiliki peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat dengan peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi; dan e. surat berharga ditatausahakan di lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek. (2) Dalam hal peringkat surat berharga korporasi yang diterbitkan oleh BUK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d memiliki lebih dari satu peringkat untuk jenis mata uang yang sama maka peringkat yang diakui yaitu yang berasal dari lembaga pemeringkat yang memberikan peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi. (3) Lembaga pemeringkat dan peringkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai dengan ketentuan OJK. Pasal 11 (1) Kriteria pinjaman yang diterima BUK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e, yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM diatur sebagai berikut: a. pinjaman yang diterima berbentuk pinjaman bilateral dan/atau pinjaman sindikasi; b. pinjaman yang diterima tidak berupa pinjaman subordinasi, dana kelolaan, kewajiban sewa pembiayaan , dan/atau giro bersaldo kredit; c. pinjaman yang diterima tidak termasuk pinjaman dari Bank dalam negeri; d. pinjaman yang diterima memiliki sisa jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun; dan e. pinjaman yang diterima dilakukan berdasarkan perjanjian. (2) Bagi BUK yang merupakan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, kriteria pinjaman yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk 17 pinjaman yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang dari bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri. (3) Pinjaman yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berupa pinjaman yang diterima sebagai komponen modal. Paragraf 4 Perhitungan RIM dan Pemenuhan Giro RIM Pasal 12 (1) RIM merupakan persentase yang dihitung dari perbandingan antara penjumlahan kredit dalam rupiah dan valuta asing dan surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam rupiah dan valuta asing terhadap penjumlahan DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing, surat berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam rupiah dan valuta asing, dan pinjaman yang diterima oleh BUK dalam rupiah dan valuta asing. (2) Dalam hal RIM berada dalam kisaran Target RIM maka Giro RIM ditetapkan sebesar 0% (nol persen) dari DPK BUK dalam rupiah. (3) Dalam hal RIM tidak berada dalam kisaran Target RIM maka Giro RIM ditetapkan sebagai berikut: a. dalam hal RIM lebih kecil dari batas bawah Target RIM maka Giro RIM ditetapkan sebesar hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Bawah, selisih antara batas bawah Target RIM dan RIM, serta DPK BUK dalam rupiah; atau b. dalam hal RIM lebih besar dari batas atas Target RIM maka Giro RIM ditetapkan sebesar hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Atas, selisih antara RIM dan batas atas Target RIM, serta DPK BUK dalam rupiah. 18 (4) Contoh pemenuhan Giro RIM tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kedua Tata Cara Pemenuhan Kewajiban Giro RIM Syariah Paragraf 1 Besaran dan Parameter Giro RIM Syariah Pasal 13 (1) Giro RIM Syariah ditetapkan sebesar hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas, selisih antara RIM Syariah dan Target RIM Syariah, serta DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah. (2) Dalam hal RIM Syariah lebih besar dari batas atas Target RIM Syariah, pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan KPMM BUS atau KPMM BUK yang menjadi induk UUS, dan KPMM Insentif. (3) Dalam hal RIM Syariah lebih kecil dari batas bawah Target RIM Syariah, pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan KPMM BUS atau KPMM BUK yang menjadi induk UUS, KPMM Insentif, dan rasio Pembiayaan bermasalah BUS secara bruto atau rasio Pembiayaan bermasalah UUS secara bruto. (4) Penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah BUS secara bruto atau rasio Pembiayaan bermasalah UUS secara bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan persentase dari hasil penjumlahan Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet, dibandingkan dengan total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank. (5) Giro RIM Syariah dipenuhi dengan membandingkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS atau saldo Rekening Giro Rupiah UUS di Bank Indonesia setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan terhadap Giro RIM Syariah yang 19 dihitung menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya. (6) Pemenuhan Giro RIM Syariah didasarkan pada DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah dengan periode laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur sebagai berikut: a. Giro RIM Syariah untuk tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah, dalam periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan b. Giro RIM Syariah untuk tanggal 16 sampai dengan tanggal akhir bulan menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah, dalam periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya. Pasal 14 Besaran dan parameter yang digunakan dalam pemenuhan Giro RIM Syariah ditetapkan sebagai berikut: a. batas bawah Target RIM Syariah sebesar 84% (delapan puluh empat persen); b. batas atas Target RIM Syariah sebesar 94% (sembilan puluh empat persen); c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen); d. Parameter Disinsentif Bawah ditetapkan sebagai berikut: 1. sebesar 0 (nol), jika Bank memiliki: a) rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto lebih besar dari atau sama dengan 5% (lima persen); atau b) KPMM lebih kecil dari atau sama dengan KPMM Insentif; 20 2. sebesar 0,1 (nol koma satu), jika Bank memiliki: a) rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto lebih kecil dari 5% (lima persen); dan b) KPMM lebih besar dari KPMM Insentif dan lebih kecil dari atau sama dengan 19% (sembilan belas persen); dan 3. sebesar 0,15 (nol koma satu lima), jika Bank memiliki: a) rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto lebih kecil dari 5% (lima persen); dan b) KPMM lebih besar dari 19% (sembilan belas persen); dan e. Parameter Disinsentif Atas ditetapkan sebagai berikut: 1. sebesar 0 (nol), jika Bank memiliki KPMM lebih besar dari atau sama dengan KPMM Insentif; atau 2. sebesar 0,2 (nol koma dua), jika Bank memiliki KPMM lebih kecil dari KPMM Insentif. Paragraf 2 Sumber Data dan Nilai yang Digunakan Pasal 15 (1) Perhitungan RIM Syariah menggunakan sumber data dan nilai sebagai berikut: a. Pembiayaan; b. DPK BUS atau DPK UUS; c. surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS atau UUS; d. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS atau UUS; dan e. pembiayaan yang diterima oleh BUS atau UUS, dalam rupiah dan valuta asing. (2) Data Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperoleh dari pos piutang, pos pembiayaan, dan pos ijarah dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBUS. 21 (3) Data DPK BUS atau DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperoleh dari pos dana simpanan wadiah dan pos dana investasi tidak terikat dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBUS. (4) Data surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS atau surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan data surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS atau surat berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diperoleh dari: a. saldo total harga perolehan surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS atau surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS dan saldo total nilai nominal surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS atau surat berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS dalam laporan surat berharga sebagaimana format yang tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya yang disampaikan BUS atau UUS kepada Bank Indonesia secara bulanan; atau b. saldo total harga perolehan surat berharga syariah korporasi yang dimiliki dan saldo total nilai nominal surat berharga syariah yang diterbitkan dalam laporan surat berharga BUS atau UUS yang diperoleh dari laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan atau sistem aplikasi laporan lainnya, dalam hal Bank Indonesia telah menginformasikan kepada BUS dan UUS mengenai penghentian kewajiban penyampaian laporan surat berharga melalui surat dan/atau penyempurnaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 22 (5) Data pembiayaan yang diterima oleh BUS atau UUS dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diperoleh dari: a. bagi BUS atau UUS, diperoleh dari saldo total jumlah bulan laporan pembiayaan yang diterima dalam Formulir 36 Daftar Rincian Pembiayaan Diterima posisi 2 (dua) periode sebelumnya dalam LSMK BUS UUS; dan b. bagi UUS dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, diperoleh dari: 1. saldo total jumlah bulan laporan pembiayaan yang diterima sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan 2. saldo total jumlah bulan laporan yang diperoleh dari laporan pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri, untuk data pembiayaan yang diterima bagi UUS dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, sebagaimana format yang tercantum dalam Lampiran II posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya yang disampaikan UUS dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri kepada Bank Indonesia secara bulanan. (6) Saldo total jumlah bulan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b angka 2) diperoleh dari LSMK BUS UUS atau sistem aplikasi laporan lainnya, dalam hal Bank Indonesia telah menginformasikan kepada UUS dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri mengenai penghentian kewajiban penyampaian laporan pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri melalui surat dan/atau penyempurnaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 23 (7) Rincian sumber data untuk pembiayaan yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran III. Pasal 16 (1) Untuk pemenuhan Giro RIM Syariah, data DPK BUS dalam rupiah atau data DPK UUS dalam rupiah diperoleh dari rata-rata DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah untuk seluruh kantor dari BUS dan UUS yang bersangkutan di Indonesia dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam LBBUS. (2) DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri atas: a. dana simpanan wadiah; b. dana investasi tidak terikat; dan c. kewajiban lainnya. Pasal 17 (1) Untuk pemenuhan Giro RIM Syariah, penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto menggunakan nilai Pembiayaan bermasalah dan nilai total Pembiayaan diperoleh dari LSMK BUS UUS dalam: a. Formulir 10 Rincian Piutang Murabahah; b. Formulir 11 Rincian Piutang Istishna’; c. Formulir 12 Rincian Piutang Qardh; d. Formulir 13 Rincian Pembiayaan Bagi Hasil; dan e. Formulir 14 Rincian Pembiayaan Sewa, posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya. (2) Rincian sumber data untuk penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IV. 24 Pasal 18 (1) Data KPMM dalam pemenuhan Giro RIM Syariah diatur sebagai berikut: a. KPMM yang digunakan yaitu KPMM triwulanan dari BUS atau KPMM triwulanan dari BUK yang menjadi induk UUS yang bersangkutan; dan b. KPMM triwulanan sebagaimana dimaksud dalam huruf a menggunakan posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember dengan rincian sebagai berikut: 1. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan untuk pemenuhan Giro RIM Syariah untuk bulan Juni, Juli, dan Agustus pada tahun yang sama; 2. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan untuk pemenuhan Giro RIM Syariah untuk bulan September, Oktober, dan November pada tahun yang sama; 3. KPMM pada posisi akhir bulan September digunakan untuk pemenuhan Giro RIM Syariah untuk bulan Desember pada tahun yang sama serta bulan Januari dan Februari pada tahun berikutnya; dan 4. KPMM pada posisi akhir bulan Desember digunakan untuk pemenuhan Giro RIM Syariah untuk bulan Maret, April, dan Mei pada tahun berikutnya. (2) KPMM BUS atau KPMM BUK yang menjadi induk UUS untuk pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu KPMM triwulanan hasil olahan sistem aplikasi yang diterima Bank Indonesia dari OJK. (3) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUS atau BUK 25 yang menjadi induk UUS maka yang berlaku yaitu KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK. Paragraf 3 Kriteria dan Batas Maksimum Surat Berharga Syariah Pasal 19 (1) Kriteria surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS atau surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c, yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM Syariah diatur sebagai berikut: a. surat berharga syariah korporasi dalam bentuk sukuk korporasi; b. surat berharga syariah korporasi diterbitkan oleh korporasi bukan Bank dan oleh penduduk; c. surat berharga syariah korporasi ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum; d. surat berharga syariah korporasi memiliki peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat dengan peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi; dan e. surat berharga syariah korporasi ditatausahakan di lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek. (2) Dalam hal peringkat surat berharga syariah korporasi yang dimiliki oleh BUS atau UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d memiliki lebih dari satu peringkat untuk jenis mata uang yang sama maka peringkat yang diakui yaitu yang berasal dari lembaga pemeringkat yang memberikan peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi. (3) Lembaga pemeringkat dan peringkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai dengan ketentuan OJK. 26 (4) Bank Indonesia menetapkan batas maksimum surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dalam rupiah dan valuta asing atau surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS dalam rupiah dan valuta asing yang digunakan dalam perhitungan RIM Syariah. (5) Dalam menetapkan batas maksimum surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS atau UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank Indonesia mempertimbangkan paling sedikit jumlah pembiayaan yang diberikan BUS atau UUS dan ketersediaan surat berharga syariah korporasi. (6) Batas maksimum surat berharga syariah korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dalam rupiah dan valuta asing atau surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS dalam rupiah dan valuta asing. Pasal 20 (1) Kriteria surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS dalam rupiah dan valuta asing atau surat berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf d, yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM Syariah diatur berikut: a. surat berharga syariah dalam bentuk medium term notes (MTN) syariah dan/atau sukuk selain sukuk subordinasi; b. surat berharga syariah dimiliki bukan Bank baik penduduk dan bukan penduduk; c. surat berharga syariah ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum ; d. surat berharga syariah memiliki peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat dengan peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi; dan 27 e. surat berharga syariah ditatausahakan di lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek. (2) Dalam hal peringkat surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d memiliki lebih dari satu peringkat untuk jenis mata uang yang sama maka peringkat yang diakui yaitu yang berasal dari lembaga pemeringkat yang memberikan peringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi. (3) Lembaga pemeringkat dan peringkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai dengan ketentuan OJK. Pasal 21 (1) Kriteria pembiayaan yang diterima oleh BUS atau UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf e, yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM Syariah diatur sebagai berikut: a. pembiayaan yang diterima berbentuk pembiayaan bilateral dan/atau pembiayaan sindikasi; b. pembiayaan yang diterima tidak berupa pembiayaan subordinasi dan/atau dana kelolaan; c. pembiayaan yang diterima pembiayaan dari Bank dalam negeri; tidak termasuk d. pembiayaan yang diterima memiliki sisa jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun; dan e. pembiayaan yang diterima dilakukan berdasarkan perjanjian. (2) Bagi UUS dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, kriteria pembiayaan yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang dari bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri. (3) Pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan 28 operasional di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berupa pembiayaan yang diterima sebagai komponen modal. Paragraf 4 Perhitungan RIM Syariah dan Pemenuhan Giro RIM Syariah Pasal 22 (1) RIM Syariah bagi BUS dan UUS merupakan persentase yang dihitung dari: a. bagi BUS, perbandingan antara penjumlahan Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing dan surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dalam rupiah dan valuta asing terhadap penjumlahan DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing, surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS dalam rupiah dan valuta asing, dan pembiayaan yang diterima oleh BUS dalam rupiah dan valuta asing; dan b. bagi UUS, perbandingan antara penjumlahan Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing dan surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS dalam rupiah dan valuta asing terhadap penjumlahan DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing, surat berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS dalam rupiah dan valuta asing, dan pembiayaan yang diterima oleh UUS dalam rupiah dan valuta asing. (2) Dalam hal RIM Syariah berada dalam kisaran Target RIM Syariah maka Giro RIM Syariah ditetapkan sebesar 0% (nol persen) dari DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah. (3) Dalam hal RIM Syariah tidak berada dalam kisaran Target RIM Syariah maka Giro RIM Syariah ditetapkan sebagai berikut: a. dalam hal RIM Syariah lebih kecil dari batas bawah Target RIM Syariah maka Giro RIM Syariah ditetapkan sebesar hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Bawah, selisih antara batas bawah Target RIM Syariah 29 dan RIM Syariah, serta DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah; atau b. dalam hal RIM Syariah lebih besar dari batas atas Target RIM Syariah maka Giro RIM Syariah ditetapkan sebesar hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Atas, selisih antara RIM Syariah dan batas atas Target RIM Syariah, serta DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah. (4) Contoh pemenuhan Giro RIM Syariah tercantum dalam Lampiran V. Bagian Ketiga Pemberian Kelonggaran atas Pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah Pasal 23 (1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas pemenuhan ketentuan Giro RIM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 atau Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 terhadap: a. BUK yang sedang dikenakan pembatasan kegiatan usaha oleh OJK terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan dana; dan b. BUS atau UUS yang sedang dikenakan pembatasan kegiatan usaha oleh OJK terkait dengan penyaluran Pembiayaan dan penghimpunan dana. (2) Pemberian kelonggaran atas pemenuhan ketentuan Giro RIM atau Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kelonggaran atas perubahan Target RIM atau Target RIM Syariah. (3) Pemberian kelonggaran atas pemenuhan ketentuan Giro RIM atau Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas permintaan Bank secara tertulis kepada Bank Indonesia. (4) Penyampaian permintaan pemberian kelonggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan bersamaan dengan permintaan rekomendasi kepada OJK. 30 (5) Penyampaian permintaan pemberian kelonggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan disertai dokumen pendukung berupa: a. fotokopi surat atau keputusan pembatasan kegiatan usaha oleh OJK terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan dana bagi BUK atau penyaluran Pembiayaan dan penghimpunan dana bagi BUS dan UUS; dan b. fotokopi surat permohonan rekomendasi kepada OJK. (6) Bank menyampaikan kepada Bank Indonesia atas hasil rekomendasi OJK mengenai pemberian kelonggaran atas perubahan Target RIM atau Target RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (7) Persetujuan atau penolakan atas permintaan kelonggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan setelah dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diterima oleh Bank Indonesia. (8) Permintaan kelonggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan Bank kepada Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350; atau b. bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. Bagian Keempat Tata Cara Penyampaian Laporan Surat Berharga Pasal 24 (1) BUK wajib menyampaikan laporan surat berharga korporasi yang dimiliki BUK yang memenuhi kriteria 31 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan surat berharga yang diterbitkan oleh BUK yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 kepada Bank Indonesia setiap bulan. (2) BUS dan UUS wajib menyampaikan laporan surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dan surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 serta surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 kepada Bank Indonesia setiap bulan. (3) Penyampaian laporan surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menggunakan format laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. (4) Bank tetap diwajibkan menyampaikan laporan surat berharga, dalam hal: a. Bank tidak memiliki surat berharga korporasi atau memiliki surat berharga korporasi namun tidak memenuhi kriteria; atau b. Bank tidak menerbitkan surat berharga atau menerbitkan surat berharga namun tidak memenuhi kriteria, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dengan isi laporan nihil. Pasal 25 (1) BUK yang merupakan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib menyampaikan laporan pinjaman yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 kepada Bank Indonesia setiap bulan. (2) UUS dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib menyampaikan laporan pembiayaan yang 32 diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 kepada Bank Indonesia setiap bulan. (3) Penyampaian laporan pinjaman yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan laporan pembiayaan yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II. (4) Kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tetap berlaku bagi BUK yang merupakan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan UUS dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang: a. tidak memperoleh pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri; atau b. memperoleh pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri namun tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan 21, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dengan isi laporan nihil. Pasal 26 (1) Laporan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, laporan pinjaman yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), dan laporan pembiayaan yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya bulan laporan. (2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila menyampaikan laporan setelah batas waktu 33 penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sampai dengan 5 (lima) hari kerja berikutnya. (3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila belum menyampaikan laporan sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Bank dapat melakukan koreksi atas laporan yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia. Pasal 27 (1) Laporan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, laporan pinjaman yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan laporan pembiayaan yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dan koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) disampaikan melalui surat elektronik kepada Bank Indonesia yaitu: a. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350; atau b. bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, dengan alamat surat elektronik sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Bank harus menyampaikan secara tertulis mengenai nama petugas dan penanggung jawab yang ditunjuk untuk menyusun dan menyampaikan laporan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, laporan pinjaman yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat 34 (1) dan laporan pembiayaan yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) serta alamat surat elektronik pengirim laporan termasuk jika terdapat perubahannya kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350; atau b. bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (3) Dalam hal penyampaian laporan melalui surat elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan, Bank menyampaikan laporan dalam bentuk salinan lunak (soft copy) dan salinan keras (hard copy) kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350; atau b. bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (4) Batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26. 35 (5) Dalam hal Bank Indonesia memperoleh data surat berharga Bank, data pinjaman yang diterima Bank, dan/atau data pembiayaan yang diterima Bank dari LBU, LSMK BUS UUS, atau sistem aplikasi laporan lainnya, Bank Indonesia dapat mengubah tata cara penyampaian laporan dan menghentikan kewajiban penyampaian laporan melalui surat elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Perubahan tata cara penyampaian laporan dan penghentian kewajiban penyampaian laporan melalui surat elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diinformasikan oleh Bank Indonesia kepada Bank melalui surat. Bagian Kelima Evaluasi Kebijakan RIM dan RIM Syariah Pasal 28 (1) Bank Indonesia melakukan evaluasi kebijakan RIM dan RIM Syariah secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam setiap 6 (enam) bulan. (2) Evaluasi kebijakan RIM dan RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap sumber data untuk pemenuhan Giro RIM dan Giro RIM Syariah, besaran dan parameter RIM dan RIM Syariah, kriteria surat berharga, batas maksimum surat berharga korporasi yang dimiliki Bank, waktu pemberlakuan RIM dan RIM Syariah, dan/atau hal lain terkait kebijakan RIM dan RIM Syariah. (3) Hasil evaluasi kebijakan RIM dan RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penetapan: a. tidak terdapat perubahan kebijakan; atau b. terdapat perubahan kebijakan. (4) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa penetapan tidak terdapat perubahan kebijakan maka Bank Indonesia mengeluarkan pengumuman di laman (situs web) Bank Indonesia. 36 (5) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa penetapan terdapat perubahan kebijakan maka Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur mengenai perubahan yang dilakukan. BAB III TATA CARA PEMENUHAN PLM DAN PLM SYARIAH Pasal 29 (1) BUK wajib memenuhi PLM yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) BUS wajib memenuhi PLM Syariah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek tetap wajib memenuhi PLM. (4) BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah tetap wajib memenuhi PLM Syariah. Bagian Kesatu Tata Cara Pemenuhan PLM Paragraf 1 Besaran Persentase, Jenis, Sumber Data, Nilai Surat Berharga yang Digunakan, dan Periode Pemenuhan Pasal 30 (1) PLM ditetapkan sebesar 4% (empat persen) dari DPK BUK dalam rupiah. (2) Bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk DPK UUS dalam rupiah. (3) PLM dipenuhi dalam bentuk: a. surat berharga dalam rupiah yang dimiliki BUK dan dapat digunakan dalam operasi moneter; dan b. surat berharga syariah dalam rupiah yang dimiliki UUS dan dapat digunakan dalam operasi moneter syariah, bagi BUK yang memiliki UUS. 37 (4) Contoh pemenuhan PLM tercantum dalam Lampiran V. Pasal 31 (1) Data DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan PLM diperoleh dari rata-rata DPK BUK dalam rupiah untuk seluruh kantor BUK yang bersangkutan di Indonesia dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam LBBU. (2) Bagi BUK yang memiliki UUS, data DPK dalam rupiah untuk pemenuhan PLM diatur sebagai berikut: a. diperoleh dari rata-rata DPK BUK dalam rupiah untuk seluruh kantor dari BUK yang bersangkutan di Indonesia dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam LBBU; dan b. diperoleh dari rata-rata DPK UUS dalam rupiah untuk seluruh kantor dari UUS yang bersangkutan di Indonesia dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam LBBUS. (3) DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri atas: a. giro; b. tabungan; c. simpanan berjangka/deposito; dan d. kewajiban lainnya. (4) Bagi BUK yang memiliki UUS, DPK UUS dalam rupiah untuk pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri atas: a. dana simpanan wadiah; b. dana investasi tidak terikat; dan c. kewajiban lainnya. 38 Pasal 32 (1) Jenis surat berharga yang diperhitungkan dalam pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) yaitu: a. SBI untuk seluruh jangka waktu; b. SBIS untuk seluruh jangka waktu; c. SDBI untuk seluruh jangka waktu; d. SukBI untuk seluruh jangka waktu; dan/atau e. SBN yang terdiri atas: 1. SUN berupa obligasi negara dan/atau surat perbendaharaan negara, untuk seluruh jenis dan jangka waktu, tidak termasuk SUN yang tidak dapat diperdagangkan; dan/atau 2. SBSN berupa SBSN jangka panjang dan/atau SBSN jangka pendek untuk seluruh jenis dan jangka waktu, tidak termasuk SBSN yang tidak dapat diperdagangkan. (2) SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang dapat diperhitungkan dalam pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang dimiliki BUK yang tercatat pada rekening surat berharga BUK di BI-SSSS, dalam: a. Depository Account (Rekening DEPO) dengan subrekening available for sale (AVAI), not available for sale (NAVL), dan available waiting for reselling (AWAS); b. intraday liquidity facility account (Rekening ILF) dengan subrekening AVAI; dan c. failure to settle account (Rekening FtS) dengan subrekening AVAI, namun tidak termasuk SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang dimiliki BUK yang tercatat pada rekening surat berharga sub-registry. (3) Penetapan jumlah SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang dimiliki BUK dilakukan berdasarkan data yang tercatat pada rekening surat berharga BUK di BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada posisi akhir hari yaitu pada saat cut off time BI-SSSS. 39 (4) Nilai SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang digunakan dalam perhitungan PLM menggunakan harga yang tercantum di BI-SSSS. (5) Bagi BUK yang memiliki UUS, SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang dapat diperhitungkan dalam pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) termasuk SBIS, SukBI, dan/atau SBSN milik UUS yang tercatat pada rekening surat berharga UUS di BI- SSSS, namun tidak termasuk SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang dimiliki UUS yang tercatat pada rekening surat berharga sub-registry. Pasal 33 (1) Pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dihitung dengan membandingkan jumlah SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang dimiliki BUK yang tercatat pada rekening surat berharga BUK di BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan terhadap rata- rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya. (2) Bagi BUK yang memiliki UUS, pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk memperhitungkan: a. SBIS, SukBI, dan/atau SBSN milik UUS yang tercatat pada rekening surat berharga UUS di BI-SSSS; dan b. rata-rata harian jumlah DPK UUS dalam rupiah. (3) Pemenuhan PLM didasarkan pada DPK BUK dalam rupiah dengan periode laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. PLM untuk tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan 40 b. PLM untuk tanggal 16 sampai dengan tanggal akhir bulan menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya. Paragraf 2 Penggunaan Surat Berharga dalam Transaksi Repo Pasal 34 (1) Dalam kondisi tertentu, surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dapat digunakan dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam operasi pasar terbuka. (2) Bank Indonesia memperhitungkan surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut: a. hanya terhadap transaksi repo yang dilakukan setelah kewajiban pemenuhan PLM berlaku; dan b. bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo termasuk surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo oleh UUS dalam operasi pasar terbuka syariah. (3) Perhitungan surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia melalui sistem aplikasi di Bank Indonesia. (4) Penggunaan surat berharga BUK dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling banyak 4% (empat persen) dari DPK BUK dalam rupiah. (5) Bank Indonesia dapat mengubah besaran persentase penggunaan surat berharga yang dapat digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (4). 41 Bagian Kedua Tata Cara Pemenuhan PLM Syariah Paragraf 1 Besaran Persentase, Jenis, Sumber Data, Nilai Surat Berharga Syariah yang Digunakan, dan Periode Pemenuhan Pasal 35 (1) PLM Syariah ditetapkan sebesar 4% (empat persen) dari DPK BUS dalam rupiah. (2) PLM Syariah dipenuhi dalam bentuk surat berharga syariah dalam rupiah yang dimiliki BUS dan dapat digunakan dalam operasi moneter syariah. (3) Contoh pemenuhan PLM Syariah tercantum dalam Lampiran V. Pasal 36 (1) Data DPK BUS dalam rupiah untuk pemenuhan PLM Syariah diperoleh dari rata-rata DPK BUS dalam rupiah untuk seluruh kantor BUS yang bersangkutan di Indonesia dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam LBBUS. (2) DPK BUS dalam rupiah untuk pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri atas: a. dana simpanan wadiah; b. dana investasi tidak terikat; dan c. kewajiban lainnya. Pasal 37 (1) Jenis surat berharga syariah yang diperhitungkan dalam pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) yaitu: a. SBIS untuk seluruh jangka waktu; b. SukBI untuk seluruh jangka waktu; dan/atau 42 c. SBSN yang terdiri atas: 1. SBSN jangka panjang; dan/atau 2. SBSN jangka pendek, untuk seluruh jenis dan jangka waktu, tidak termasuk SBSN yang tidak dapat diperdagangkan. (2) SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang dapat diperhitungkan dalam pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang dimiliki BUS yang tercatat pada rekening surat berharga BUS di BI-SSSS yaitu dalam: a. Rekening DEPO dengan subrekening AVAI, NAVL, dan AWAS; b. Rekening ILF dengan subrekening AVAI; dan c. Rekening FtS dengan subrekening AVAI, namun tidak termasuk SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang dimiliki BUS yang tercatat pada rekening surat berharga sub-registry. (3) Penetapan jumlah SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang dimiliki BUS dilakukan berdasarkan data yang tercatat pada rekening surat berharga BUS di BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada posisi akhir hari yaitu pada saat cut off time BI-SSSS. (4) Nilai SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang digunakan dalam perhitungan PLM Syariah menggunakan harga yang tercantum di BI-SSSS. Pasal 38 (1) Pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dihitung dengan membandingkan jumlah SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang dimiliki BUS yang tercatat pada rekening surat berharga BUS di BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan terhadap rata- rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya. 43 (2) Pemenuhan PLM Syariah didasarkan pada DPK BUS dalam rupiah dengan periode laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. PLM Syariah untuk tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan b. PLM Syariah untuk tanggal 16 sampai dengan tanggal akhir bulan menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya. Paragraf 2 Penggunaan Surat Berharga Syariah dalam Transaksi Repo Pasal 39 (1) Dalam kondisi tertentu, surat berharga syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dapat digunakan dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam operasi pasar terbuka syariah. (2) Bank Indonesia hanya memperhitungkan surat berharga syariah yang digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap transaksi repo yang dilakukan setelah kewajiban pemenuhan PLM Syariah berlaku. (3) Perhitungan surat berharga syariah yang digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia melalui sistem aplikasi di Bank Indonesia. (4) Penggunaan surat berharga syariah dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling banyak 4% (empat persen) dari DPK BUS dalam rupiah. 44 (5) Bank Indonesia dapat mengubah besaran persentase penggunaan surat berharga syariah yang dapat digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Bagian Ketiga Evaluasi Kebijakan PLM dan PLM Syariah Pasal 40 (1) Bank Indonesia melakukan evaluasi kebijakan PLM dan PLM Syariah secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam setiap 6 (enam) bulan. (2) Evaluasi kebijakan PLM dan PLM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap besaran persentase PLM dan PLM Syariah, jenis surat berharga untuk pemenuhan PLM dan PLM Syariah, sumber data untuk pemenuhan PLM dan PLM Syariah, besaran persentase surat berharga yang dapat digunakan dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia, waktu pemberlakuan PLM dan PLM Syariah, dan/atau hal lain terkait kebijakan PLM dan PLM Syariah. (3) Hasil evaluasi kebijakan PLM dan PLM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penetapan: a. tidak terdapat perubahan kebijakan; atau b. terdapat perubahan kebijakan. (4) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa penetapan tidak terdapat perubahan kebijakan maka Bank Indonesia mengeluarkan pengumuman di laman (situs web) Bank Indonesia. (5) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa penetapan terdapat perubahan kebijakan maka Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur mengenai perubahan yang dilakukan. 45 BAB IV TATA CARA PEMENUHAN GIRO RIM, GIRO RIM SYARIAH, PLM, DAN PLM SYARIAH UNTUK PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BUK ATAU BUS, PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BUK MENJADI BUS, DAN PEMISAHAN UUS MENJADI BUS Bagian Kesatu BUK yang Melakukan Penggabungan atau Peleburan Pasal 41 (1) Pemenuhan Giro RIM bagi BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut: a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. pemenuhan Giro RIM dihitung untuk masing- masing BUK dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; dan 2. data KPMM yang digunakan yaitu data KPMM triwulanan masing-masing BUK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. pemenuhan Giro RIM hanya dihitung untuk BUK hasil penggabungan atau peleburan dengan menggunakan data gabungan BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan sampai dengan data BUK hasil penggabungan atau peleburan tersedia; 2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 meliputi data untuk perhitungan RIM berupa kredit BUK, DPK BUK, saldo surat berharga korporasi yang dimiliki BUK, saldo surat berharga yang diterbitkan oleh BUK, dan pinjaman yang diterima BUK, dalam rupiah dan 46 valuta asing, serta data untuk pemenuhan Giro RIM berupa kredit yang digunakan dalam perhitungan rasio kredit bermasalah, KPMM BUK, DPK BUK dalam rupiah, dan saldo Rekening Giro Rupiah BUK; 3. pemenuhan Giro RIM BUK hasil penggabungan atau peleburan dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; 4. data KPMM yang digunakan untuk pemenuhan Giro RIM diperoleh dari BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh BUK atas penggabungan data yang digunakan dalam perhitungan KPMM masing-masing BUK sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan; 5. data KPMM yang diperoleh dari BUK sebagaimana dimaksud dalam angka 4 digunakan sampai dengan tersedianya data KPMM triwulanan BUK hasil penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; 6. BUK menyampaikan hasil perhitungan KPMM sebagaimana dimaksud dalam angka 4 kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan; dan 7. penyampaian hasil perhitungan KPMM sebagaimana dimaksud dalam angka 6 disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat: a) bagi BUK yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan 47 GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350; atau b) bagi BUK yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat; c. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan KPMM yang diterima oleh Bank Indonesia dari OJK dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUK sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 4 maka yang berlaku yaitu KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK. (2) Contoh pemenuhan Giro RIM bagi BUK yang melakukan penggabungan tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 42 (1) Pemenuhan PLM bagi BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut: a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan maka pemenuhan PLM dihitung untuk masing- masing BUK dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33; b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan sampai dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah BUK hasil penggabungan atau peleburan tersedia, pemenuhan PLM diatur sebagai berikut: 1. pemenuhan PLM hanya dihitung untuk BUK hasil penggabungan atau peleburan dengan menggunakan data gabungan BUK yang 48 melakukan penggabungan atau peleburan sampai dengan data BUK hasil penggabungan atau peleburan tersedia; 2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 terdiri atas: a) bagi BUK, meliputi data: 1) saldo rekening SBI, SDBI, SukBI, dan/atau SBN BUK hasil penggabungan atau peleburan; 2) penggabungan data DPK BUK dalam rupiah dari BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan; dan 3) saldo Rekening Giro Rupiah BUK hasil penggabungan atau peleburan; dan b) bagi BUK yang memiliki UUS, meliputi data: 1) saldo rekening SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN BUK hasil penggabungan atau peleburan; 2) penggabungan data DPK BUK dalam rupiah dari BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan; dan 3) saldo Rekening Giro Rupiah BUK hasil penggabungan atau peleburan; dan 3. pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dihitung dengan membandingkan jumlah SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN milik BUK hasil penggabungan atau peleburan yang tercatat pada rekening surat berharga BUK di BI-SSSS terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah dari BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan; dan c. pada saat data DPK dalam rupiah BUK hasil penggabungan atau peleburan tersedia maka pemenuhan PLM dihitung untuk BUK hasil penggabungan atau peleburan dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33. 49 (2) Contoh pemenuhan PLM bagi BUK yang melakukan penggabungan tercantum dalam Lampiran VII. Bagian Kedua BUS yang Melakukan Penggabungan atau Peleburan Pasal 43 (1) Pemenuhan Giro RIM Syariah bagi BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut: a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk masing-masing BUS dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan 2. data KPMM yang digunakan yaitu KPMM triwulanan masing-masing BUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. pemenuhan Giro RIM Syariah hanya dihitung untuk BUS hasil penggabungan atau peleburan dengan menggunakan data gabungan BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan sampai dengan data BUS hasil penggabungan atau peleburan tersedia; 2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 meliputi data untuk perhitungan RIM Syariah berupa Pembiayaan BUS, DPK BUS, saldo surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS, saldo surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS, dan pembiayaan yang diterima BUS, dalam rupiah dan valuta asing, serta data untuk pemenuhan Giro RIM Syariah berupa Pembiayaan yang digunakan dalam perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah, 50 KPMM BUS, DPK BUS dalam rupiah, dan saldo Rekening Giro Rupiah BUS; 3. pemenuhan Giro RIM Syariah untuk BUS hasil penggabungan atau peleburan dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; 4. data KPMM yang digunakan untuk pemenuhan Giro RIM Syariah diperoleh dari BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh BUS atas penggabungan data yang digunakan dalam perhitungan KPMM masing- masing BUS sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan; 5. data KPMM yang diperoleh dari BUS sebagaimana dimaksud dalam angka 4 digunakan sampai dengan tersedianya data KPMM triwulanan BUS hasil penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; 6. BUS menyampaikan hasil perhitungan KPMM sebagaimana dimaksud dalam angka 4 kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan; dan 7. penyampaian hasil perhitungan KPMM sebagaimana dimaksud dalam angka 6 disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat: a) bagi BUS yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350; atau 51 b) bagi BUS yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia ditujukan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat; c. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUS sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 4 maka yang berlaku yaitu KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK. (2) Contoh pemenuhan Giro RIM Syariah bagi BUS yang melakukan penggabungan tercantum dalam Lampiran VII. Pasal 44 (1) Pemenuhan PLM Syariah bagi BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut: a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan maka pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk masing-masing BUS dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38; b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan sampai dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah BUS hasil penggabungan atau peleburan tersedia, pemenuhan PLM Syariah diatur sebagai berikut: 1. pemenuhan PLM Syariah hanya dihitung untuk BUS hasil penggabungan atau peleburan dengan menggunakan data gabungan BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan sampai dengan data BUS hasil penggabungan atau peleburan tersedia; 52 2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 meliputi data: a) saldo rekening SBIS, SukBI, dan/atau SBSN BUS hasil penggabungan atau peleburan; b) penggabungan data DPK BUS dalam rupiah dari BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan; dan c) saldo Rekening Giro Rupiah BUS hasil penggabungan atau peleburan; 3. pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dihitung dengan membandingkan jumlah SBIS, SukBI, dan/atau SBSN milik BUS hasil penggabungan atau peleburan yang tercatat pada rekening surat berharga BUS di BI-SSSS terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah dari BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan; dan c. pada saat data DPK dalam rupiah BUS hasil penggabungan atau peleburan tersedia maka pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk BUS hasil penggabungan atau peleburan dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38. (2) Contoh pemenuhan PLM Syariah bagi BUS yang melakukan penggabungan tercantum dalam Lampiran VII. Bagian Ketiga Perubahan Kegiatan Usaha BUK menjadi BUS Pasal 45 (1) BUK yang melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi BUS harus memenuhi Giro RIM dan PLM sampai dengan 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan kegiatan usaha BUS. 53 (2) BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK harus memenuhi Giro RIM Syariah dan PLM Syariah sejak tanggal efektif pelaksanaan kegiatan usaha BUS. (3) Pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah bagi BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan menggunakan data saat BUK belum melaksanakan kegiatan usaha sebagai BUS sampai dengan 1 (satu) hari sebelum data BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK tersedia, dengan ketentuan sebagai berikut: a. perhitungan RIM Syariah menggunakan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; b. pemenuhan Giro RIM Syariah menggunakan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8; c. Pemenuhan PLM Syariah dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30; (4) Pemenuhan Giro RIM Syariah bagi BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22. (5) Pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38. (6) Rincian sumber data untuk pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Keempat BUK yang Melakukan Pemisahan UUS Menjadi BUS Pasal 46 (1) Dalam hal BUK yang memiliki UUS melakukan pemisahan UUS menjadi BUS maka pemenuhan Giro RIM Syariah diatur sebagai berikut: 54 a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan pemisahan, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk UUS dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan 2. data KPMM yang digunakan yaitu KPMM triwulanan BUK yang menjadi induk UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan pemisahan sampai dengan 1 (satu) hari sebelum data BUS hasil pemisahan UUS dari BUK tersedia, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk BUS hasil pemisahan UUS dari BUK dengan data UUS sampai dengan data BUS hasil pemisahan UUS dari BUK tersedia; 2. data UUS sebagaimana dimaksud dalam angka 1 meliputi data untuk perhitungan RIM Syariah berupa Pembiayaan UUS, DPK UUS, saldo surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS, saldo surat berharga syariah yang diterbitkan oleh UUS, dan pembiayaan yang diterima UUS, dalam rupiah dan valuta asing, serta data untuk pemenuhan Giro RIM Syariah berupa Pembiayaan UUS yang digunakan dalam perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah, KPMM BUK yang menjadi induk UUS, DPK UUS dalam rupiah, dan saldo Rekening Giro Rupiah UUS; 3. pemenuhan Giro RIM Syariah untuk BUS hasil pemisahan UUS dari BUK dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan 4. data KPMM sebagaimana dimaksud dalam angka 2 yaitu KPMM triwulanan BUK yang 55 menjadi induk UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; c. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUK yang melakukan pemisahan UUS menjadi BUS maka yang berlaku yaitu KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK. (2) Contoh pemenuhan Giro RIM Syariah dalam hal BUK melakukan pemisahan UUS menjadi BUS tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 47 (1) Pemenuhan PLM Syariah bagi BUK yang melakukan pemisahan UUS menjadi BUS dihitung untuk BUS hasil pemisahan UUS dari BUK sejak 1 (satu) tahun setelah tanggal efektif pelaksanaan pemisahan UUS menjadi BUS. (2) Pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk BUS hasil pemisahan UUS dari BUK sesuai dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dengan menggunakan data BUS hasil pemisahan UUS dari BUK. (3) Contoh pemenuhan PLM Syariah dalam hal BUK melakukan pemisahan UUS menjadi BUS tercantum dalam Lampiran IX. BAB V TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 48 (1) Bank yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank umum syariah dan unit usaha syariah dikenai sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar. 56 (2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mendebit Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia. (3) Pendebitan Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk pelanggaran pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan PLM Syariah, paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal terjadinya pelanggaran; dan b. untuk pelanggaran penyampaian laporan surat berharga, laporan pinjaman yang diterima, dan laporan pembiayaan yang diterima, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah tanggal terjadinya pelanggaran. (4) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan atau kelebihan dalam pendebitan Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia dapat mendebit atau mengkredit Rekening Giro Rupiah Bank tersebut sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. (5) Dalam hal pada saat pendebitan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi maka seluruh sanksi kewajiban membayar tersebut diperhitungkan sebagai kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia. (6) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk pendebitan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a maka atas kekurangan tersebut juga dikenakan sanksi dengan perhitungan sebagaimana mengacu pada Peraturan Bank Indonesia mengenai rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank umum syariah dan unit usaha syariah. 57 (7) Contoh perhitungan sanksi kewajiban membayar tercantum dalam Lampiran V. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 49 Pelanggaran atas ketentuan mengenai kewajiban pemenuhan giro wajib minimum sekunder, kewajiban pemenuhan giro wajib minimum loan to funding ratio, dan/atau kewajiban penyampaian laporan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/4/PADG/2017 tanggal 28 April 2017 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, yang terjadi sebelum berlakunya Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/4/PADG/2017 tanggal 28 April 2017 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 50 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku, Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tanggal 31 Mei 2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial Bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 21/5/PADG/2019 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial 58 bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 51 (1) Ketentuan mengenai perhitungan RIM dan RIM Syariah yang menambahkan unsur pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima mulai berlaku pada tanggal 2 Desember 2019. (2) Ketentuan mengenai Parameter Disinsentif Bawah mulai berlaku pada tanggal 2 Desember 2019. Pasal 52 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal.28 November 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD ERWIN RIJANTO 1 PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/22/PADG/2019 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Bank Indonesia telah melakukan penyempurnaan ketentuan Bank Indonesia mengenai rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. Penyempurnaan dimaksud dilakukan dengan cara melakukan perubahan kisaran batas bawah dan batas atas yang digunakan dalam pemenuhan RIM dan RIM Syariah, penambahan komponen sumber pendanaan bank yaitu pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima, dan perubahan besaran parameter disinsentif dan kriteria prudensial batas bawah berupa rasio kredit bermasalah dan rasio pembiayaan bermasalah serta KPMM. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. 2 Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Rumus penghitungan rasio kredit bermasalah BUK secara bruto yaitu sebagai berikut: jumlah kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank total kredit kepada pihak ketiga bukan bank Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia setiap akhir hari” adalah posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia saat tutup sistem pada sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam rupiah dan valuta asing merupakan surat berharga yang tercatat pada sisi aset BUK. x 100% 3 Huruf d Surat berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam rupiah dan valuta asing merupakan surat berharga yang tercatat pada sisi kewajiban BUK sebagai sumber pendanaan. Huruf e Pinjaman yang diterima oleh BUK dalam rupiah dan valuta asing merupakan pinjaman yang diterima yang tercatat pada sisi kewajiban BUK sebagai sumber pendanaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “giro” adalah komponen giro yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “tabungan” adalah komponen tabungan yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. 4 Huruf c Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito” adalah komponen simpanan berjangka yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf d Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan bulanan bank umum. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. 5 Huruf e Lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek meliputi Kustodian Sentral Efek Indonesia atau lembaga berwenang lainnya yang berkedudukan di dalam maupun di luar negeri. Ayat (2) Contoh: Surat berharga korporasi dalam rupiah PT X yang dimiliki Bank A memiliki lebih dari satu peringkat dengan rincian sebagai berikut: 1. Lembaga pemeringkat P memberikan peringkat surat berharga korporasi PT X dengan peringkat investasi; 2. Lembaga pemeringkat Q memberikan peringkat surat berharga korporasi PT X dengan peringkat di bawah peringkat investasi; dan 3. Lembaga pemeringkat R memberikan peringkat surat berharga korporasi PT X dengan peringkat di bawah peringkat investasi. Untuk perhitungan RIM, Bank Indonesia mengakui surat berharga korporasi PT X yang dimiliki Bank A karena telah memiliki peringkat investasi yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat P. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. 6 Huruf b Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan bulanan bank umum. Yang dimaksud dengan “bukan penduduk” adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang tidak berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia kurang dari 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik negara lain di Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan bulanan bank umum. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek meliputi Kustodian Sentral Efek Indonesia atau lembaga berwenang lainnya yang berkedudukan di dalam maupun di luar negeri. Ayat (2) Contoh: Surat berharga yang diterbitkan dalam rupiah oleh Bank A memiliki lebih dari satu peringkat dengan rincian sebagai berikut: 1. Lembaga pemeringkat P memberikan peringkat surat berharga yang diterbitkan Bank A dengan peringkat investasi; 2. Lembaga pemeringkat Q memberikan peringkat surat berharga yang diterbitkan Bank A dengan peringkat di bawah peringkat investasi; dan 3. Lembaga pemeringkat R memberikan peringkat surat berharga yang diterbitkan Bank A dengan peringkat di bawah peringkat investasi. 7 Untuk perhitungan RIM, Bank Indonesia mengakui surat berharga yang diterbitkan oleh Bank A karena telah memiliki peringkat investasi yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat P. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Contoh: Bank ABC merupakan bank yang berkedudukan di Amerika Serikat dan memiliki kantor cabang di Indonesia (Bank ABC Indonesia) dan di Singapura (Bank ABC Singapura). Dalam hal Bank ABC Indonesia menerima pinjaman dari Bank ABC atau dari Bank ABC Singapura maka pinjaman tersebut diperhitungkan dalam perhitungan RIM Bank ABC Indonesia sepanjang memenuhi kriteria pinjaman yang diterima yang ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dan bukan merupakan komponen modal. Pasal 12 Ayat (1) Rumus perhitungan RIM yaitu sebagai berikut: RIM = Keterangan: - (kredit + surat berharga korporasi yang dimiliki) (DPK + surat berharga yang diterbitkan + pinjaman yang diterima) kredit berupa kredit dalam rupiah dan valuta asing; - DPK berupa DPK dalam rupiah dan valuta asing; - - - Ayat (2) Cukup jelas. surat berharga korporasi yang dimiliki berupa surat berharga korporasi dalam rupiah dan valuta asing; surat berharga yang diterbitkan berupa surat berharga yang diterbitkan dalam rupiah dan valuta asing; dan pinjaman yang diterima berupa pinjaman yang diterima dalam rupiah dan valuta asing. x 100% 8 Ayat (3) Huruf a Rumus pemenuhan Giro RIM dalam hal RIM lebih kecil dari batas bawah Target RIM yaitu sebagai berikut: Giro RIM = Parameter Disinsentif Bawah x (batas bawah Target RIM - RIM) x DPK BUK dalam rupiah Huruf b Rumus pemenuhan Giro RIM dalam hal RIM lebih besar dari batas atas Target RIM yaitu sebagai berikut: Giro RIM = Parameter Disinsentif Atas x (RIM – batas atas Target RIM) x DPK BUK dalam rupiah Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Rumus penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah BUS secara bruto atau rasio Pembiayaan bermasalah UUS secara bruto yaitu sebagai berikut: jumlah Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS atau saldo Rekening Giro Rupiah UUS di Bank Indonesia setiap akhir hari” adalah posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS atau saldo Rekening Giro Rupiah UUS di Bank Indonesia saat tutup sistem pada sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. x 100% 9 Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS atau UUS dalam rupiah dan valuta asing merupakan surat berharga yang tercatat pada sisi aset BUS atau UUS. Huruf d Surat berharga syariah yang diterbitkan oleh BUS atau UUS dalam rupiah dan valuta asing merupakan surat berharga yang tercatat pada sisi kewajiban BUS atau UUS sebagai sumber pendanaan. Huruf e Pembiayaan yang diterima oleh BUS atau UUS dalam rupiah dan valuta asing merupakan pembiayaan yang diterima yang tercatat pada sisi kewajiban BUS atau UUS sebagai sumber pendanaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. 10 Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah dana simpanan wadiah yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUS dalam rupiah dan DPK UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat” adalah komponen dana investasi tidak terikat yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUS dalam rupiah dan DPK UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUS dalam rupiah dan DPK UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri, sebagaimana dimaksud 11 dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek meliputi Kustodian Sentral Efek Indonesia atau lembaga berwenang lainnya yang berkedudukan di dalam maupun di luar negeri. Ayat (2) Contoh: Surat berharga syariah korporasi dalam rupiah PT Y yang dimiliki BUS B memiliki lebih dari satu peringkat dengan rincian sebagai berikut: 1. Lembaga pemeringkat P memberikan peringkat surat berharga syariah korporasi PT Y dengan peringkat investasi; 2. Lembaga pemeringkat Q memberikan peringkat surat berharga syariah korporasi PT Y dengan peringkat di bawah peringkat investasi; dan 3. Lembaga pemeringkat R memberikan peringkat surat berharga syariah korporasi PT Y dengan peringkat di bawah peringkat investasi. Untuk perhitungan RIM Syariah, Bank Indonesia mengakui surat berharga syariah korporasi PT Y yang dimiliki BUS B karena telah memiliki peringkat investasi yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat P. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas 12 Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah. Yang dimaksud dengan “bukan penduduk” adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang tidak berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia kurang dari 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik negara lain di Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek” meliputi Kustodian Sentral Efek Indonesia atau lembaga berwenang lainnya yang berkedudukan di dalam maupun di luar negeri. Ayat (2) Contoh: Surat berharga syariah yang diterbitkan dalam rupiah oleh BUS B memiliki lebih dari satu peringkat dengan rincian sebagai berikut: 13 1. Lembaga pemeringkat P memberikan peringkat surat berharga syariah yang diterbitkan BUS B dengan peringkat investasi; 2. Lembaga pemeringkat Q memberikan peringkat surat berharga syariah yang diterbitkan BUS B dengan peringkat di bawah peringkat investasi; dan 3. Lembaga pemeringkat R memberikan peringkat surat berharga syariah yang diterbitkan BUS B dengan peringkat di bawah peringkat investasi. Untuk perhitungan RIM, Bank Indonesia mengakui surat berharga yang diterbitkan oleh BUS B karena telah memiliki peringkat investasi yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat P. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Contoh: Bank ABC merupakan bank yang berkedudukan di Amerika Serikat dan memiliki kantor cabang di Indonesia (Bank ABC Indonesia) dan di Singapura (Bank ABC Singapura). Bank ABC Indonesia memiliki UUS yaitu UUS ABC Indonesia. Dalam hal UUS ABC Indonesia menerima pembiayaan dari Bank ABC atau dari Bank ABC Singapura maka pembiayaan tersebut diperhitungkan dalam perhitungan RIM Syariah UUS ABC Indonesia sepanjang memenuhi kriteria pembiayaan yang diterima yang ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dan bukan merupakan komponen modal. Pasal 22 Ayat (1) Rumus perhitungan RIM Syariah yaitu sebagai berikut: (Pembiayaan + surat berharga syariah korporasi yang dimiliki) (DPK + surat berharga syariah yang diterbitkan + pembiayaan yang diterima) Keterangan: - - x100% Pembiayaan berupa Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing; DPK berupa DPK dalam rupiah dan valuta asing; 14 - - surat berharga syariah korporasi yang dimiliki berupa surat berharga syariah korporasi dalam rupiah dan valuta asing; surat berharga syariah yang diterbitkan berupa surat berharga syariah yang diterbitkan dalam rupiah dan valuta asing; dan - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Rumus perhitungan Giro RIM Syariah dalam hal RIM Syariah lebih kecil dari batas bawah Target RIM Syariah yaitu sebagai berikut: Giro RIM Syariah = Parameter Disinsentif Bawah x (batas bawah Target RIM Syariah – RIM Syariah) x DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah Huruf b Rumus perhitungan Giro RIM Syariah dalam hal RIM Syariah lebih besar dari batas atas Target RIM Syariah yaitu sebagai berikut: Giro RIM Syariah = Parameter Disinsentif Atas x (RIM Syariah – batas atas Target RIM Syariah) x DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. pembiayaan yang diterima berupa pembiayaan yang diterima dalam rupiah dan valuta asing. 15 Ayat (6) Hasil rekomendasi OJK dapat berupa persetujuan atau penolakan atas permintaan Bank. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Koreksi laporan dapat dilakukan atas inisiatif Bank atau permintaan dari Bank Indonesia. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi, moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi perekonomian global. 16 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “giro” adalah komponen giro yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “tabungan” adalah komponen tabungan yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito” adalah komponen simpanan berjangka yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. 17 Huruf d Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah dana simpanan wadiah yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat” adalah komponen dana investasi tidak terikat yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Pasal 32 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. 18 Huruf e Angka 1 Yang dimaksud dengan “obligasi negara” adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. Yang dimaksud dengan “surat perbendaharaan negara” adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. Angka 2 Yang dimaksud dengan “SBSN jangka panjang” adalah surat berharga syariah negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. Yang dimaksud dengan “SBSN jangka pendek” adalah surat berharga syariah negara yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “Depository Account (Rekening DEPO)” adalah rekening untuk mencatat kepemilikan surat berharga dan/atau instrumen keuangan lainnya atas hasil setelmen transaksi. Yang dimaksud dengan “subrekening available for sale (AVAI)” adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya. Yang dimaksud dengan “subrekening not available for sale (NAVL)” adalah subrekening yang digunakan untuk mencatat surat berharga dengan tujuan untuk dimiliki sampai dengan jatuh waktu (hold to maturity). Yang dimaksud dengan “subrekening available waiting for reselling (AWAS)” adalah subrekening yang digunakan untuk mencatat surat berharga yang dimiliki dengan tujuan untuk dijual kembali dalam waktu dekat. 19 Huruf b Yang dimaksud dengan “intraday liquidity facility account (Rekening ILF)” adalah rekening untuk mencatat surat berharga yang akan digunakan peserta sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement untuk memperoleh fasilitas likuiditas intrahari dalam sistem Bank Indonesia- Real Time Gross Settlement. Yang dimaksud dengan “subrekening available for sale (AVAI)” adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya. Huruf c Yang dimaksud dengan “failure to settle account (Rekening FtS)” adalah rekening untuk mencatat surat berharga yang digunakan peserta BI-SSSS untuk prefund sistem kliring nasional Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “subrekening available for sale (AVAI)” adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: PLM BUK X pada tanggal 1 Agustus 2019 yang dihitung pada tanggal 2 Agustus 2019 menggunakan data dan nilai surat berharga di BI-SSSS yaitu harga SBI dan SDBI pada tanggal 1 Agustus 2019, nilai nominal SBIS, dan harga SBN pada tanggal 31 Juli 2019. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 33 Rumus pemenuhan PLM yaitu sebagai berikut: PLM = (Jumlah SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang dimiliki BUK setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan) (Rata − rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya) x100% 20 Pasal 34 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “transaksi repo kepada Bank Indonesia” adalah transaksi repurchase agreement (repo) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai operasi moneter. Yang dimaksud dengan “operasi pasar terbuka” adalah operasi pasar terbuka sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai operasi moneter. Ayat (2) Huruf a Surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo yang diperhitungkan Bank Indonesia dalam pemenuhan PLM yaitu surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo pada operasi moneter dalam bentuk operasi pasar terbuka yang dilaksanakan Bank Indonesia sejak tanggal 16 Juli 2018. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah dana simpanan wadiah yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud 21 dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat” adalah komponen dana investasi tidak terikat yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Pasal 37 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Yang dimaksud dengan “SBSN jangka panjang” adalah surat berharga syariah negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. Angka 2 Yang dimaksud dengan “SBSN jangka pendek” adalah surat berharga syariah negara yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. 22 Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “Rekening DEPO” adalah rekening untuk mencatat kepemilikan surat berharga dan/atau instrumen keuangan lainnya atas hasil setelmen transaksi. Yang dimaksud dengan “subrekening AVAI” adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya. Yang dimaksud dengan “subrekening NAVL” adalah subrekening yang digunakan untuk mencatat surat berharga dengan tujuan untuk dimiliki sampai dengan jatuh waktu (hold to maturity). Yang dimaksud dengan “subrekening AWAS” adalah subrekening yang digunakan untuk mencatat surat berharga yang dimiliki dengan tujuan untuk dijual kembali dalam waktu dekat. Huruf b Yang dimaksud dengan “Rekening ILF” adalah rekening untuk mencatat surat berharga yang akan digunakan peserta sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement untuk memperoleh fasilitas likuiditas intrahari dalam sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Yang dimaksud dengan “subrekening AVAI” adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya. Huruf c Yang dimaksud dengan “Rekening FtS” adalah rekening untuk mencatat surat berharga yang digunakan peserta BI- SSSS untuk prefund sistem kliring nasional Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “subrekening AVAI” adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. 23 Ayat (4) Contoh: PLM Syariah BUS Y pada tanggal 1 November 2019 yang dihitung pada tanggal 4 November 2019 menggunakan data dan nilai surat berharga di BI-SSSS yaitu harga SukBI pada tanggal 1 November 2019, serta nilai nominal SBIS dan harga SBSN pada tanggal 31 Oktober 2019. Pasal 38 Rumus pemenuhan PLM Syariah yaitu sebagai berikut: PLM Syariah = (Jumlah SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang dimiliki BUS setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan) (Rata − rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah selama 2 (dua)periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya) Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “transaksi repo kepada Bank Indonesia” adalah transaksi repurchase agreement (repo) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai operasi moneter. Yang dimaksud dengan “operasi pasar terbuka syariah” adalah operasi pasar terbuka syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai operasi moneter. Ayat (2) Surat berharga syariah yang digunakan dalam transaksi repo yang diperhitungkan Bank Indonesia dalam pemenuhan PLM Syariah yaitu surat berharga syariah yang digunakan dalam transaksi repo pada operasi moneter syariah dalam bentuk operasi pasar terbuka syariah yang dilaksanakan Bank Indonesia sejak tanggal 1 Oktober 2018. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. x100% 24 Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi, moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi perekonomian global. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUK hasil penggabungan atau peleburan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUK hasil penggabungan atau peleburan. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. 25 Angka 2 Huruf a) Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Saldo Rekening Giro Rupiah digunakan dalam hal terjadi pelanggaran pemenuhan PLM. Huruf b) Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Saldo Rekening Giro Rupiah digunakan dalam hal terjadi pelanggaran pemenuhan PLM. Angka 3 Bagi BUK yang memiliki UUS maka jumlah DPK BUK dalam rupiah termasuk DPK UUS dalam rupiah. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUS hasil penggabungan atau peleburan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. 26 Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUS hasil penggabungan atau peleburan. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Saldo Rekening Giro Rupiah digunakan dalam hal terjadi pelanggaran pemenuhan PLM Syariah. Angka 3 Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUK melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi BUS. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 27 Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUS hasil pemisahan UUS dari BUK. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUS hasil pemisahan UUS dari BUK. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. 28 Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/22/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 28 November 2019 </set_date> <effective_date> 28 November 2019 </effective_date> <replaced_reg> '20/11/PADG/2018', '21/5/PADG/2019' </replaced_reg> <related_reg> '21/12/PBI/2019', '20/4/PBI/2018' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/4/PADG/2019 TENTANG PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BERUPA UTANG LUAR NEGERI DAN TRANSAKSI PARTISIPASI RISIKO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyampaian informasi mengenai utang luar negeri dan transaksi partisipasi risiko sangat dibutuhkan terutama untuk melengkapi penyusunan statistik Neraca Pembayaran Indonesia, statistik Internasional Indonesia, dan statistik Utang Luar Negeri Indonesia; b. bahwa mekanisme pelaporan kegiatan lalu lintas devisa berupa utang luar negeri perlu disempurnakan guna meningkatkan kualitas data dan keterangan yang disampaikan; c. bahwa pengaturan pelaporan kegiatan lalu lintas devisa perlu didukung ketentuan pelaksanaan sebagai pedoman bagi penduduk dalam pelaporan kegiatan lalu lintas devisa berupa utang luar negeri dan transaksi partisipasi risiko; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Utang Luar Negeri dan Transaksi Partisipasi Risiko; Posisi Investasi 2 Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5534) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 374, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5814); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/1/PBI/2019 tentang Utang Luar Negeri dan Kewajiban Valas Lainnya dari Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6297); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/2/PBI/2019 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6298); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BERUPA UTANG LUAR NEGERI DAN TRANSAKSI PARTISIPASI RISIKO. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disingkat LLD adalah lalu lintas devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang- 3 Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar.1 2. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 3. Valuta Asing adalah valuta yang berdenominasi selain mata uang rupiah. 4. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah utang Penduduk kepada bukan Penduduk dalam Valuta Asing dan/atau rupiah, termasuk di dalamnya pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. 5. Transaksi Partisipasi Risiko yang selanjutnya disingkat TPR adalah transaksi pengalihan risiko atas individual kredit dan/atau fasilitas lainnya berdasarkan perjanjian induk transaksi partisipasi risiko (master risk participation agreement). 6. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan bank umum syariah serta unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 7. Pelapor adalah Penduduk yang melakukan kegiatan LLD berupa ULN dan/atau TPR. 8. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk hari kerja operasional terbatas. 9. Jam Kerja adalah jam kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, yaitu pukul 07.10 WIB sampai dengan pukul 16.15 WIB. BAB II PELAPOR, JENIS LAPORAN, KOREKSI LAPORAN, DAN FORMAT LAPORAN Pasal 2 (1) Pelapor wajib menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR kepada Bank Indonesia secara lengkap, benar, dan tepat waktu. 4 (2) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. lembaga keuangan: 1. Bank; 2. lembaga keuangan bukan Bank; b. badan usaha bukan lembaga keuangan; c. badan lainnya; d. perseorangan. Pasal 3 (1) Laporan ULN dan/atau TPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi: a. b. laporan data pokok ULN dan/atau TPR; laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR yang berisi: 1. rencana penarikan dan/atau pembayaran ULN dan/atau TPR; 2. 3. c. realisasi penarikan dan/atau pembayaran ULN dan/atau TPR; dan posisi dan perubahan ULN dan/atau TPR; dan/atau laporan rencana ULN baru dan/atau perubahannya. (2) Berdasarkan instrumennya, ULN dan/atau TPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. ULN dan/atau TPR berdasarkan perjanjian pinjaman (loan agreement); b. ULN berdasarkan surat utang (debt securities); c. ULN berdasarkan utang dagang (trade credit); dan d. ULN lainnya. (3) Laporan data pokok TPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan data rekapitulasi TPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya disampaikan oleh Pelapor berupa Bank. (4) Laporan rencana ULN baru dan/atau perubahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya disampaikan oleh Pelapor berupa lembaga keuangan bukan Bank, badan usaha bukan lembaga keuangan, dan badan lainnya. 5 (5) Bagi Pelapor berupa Bank, ULN yang dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencakup pinjaman antar-Bank (interbank call money), deposito, giro, dan tabungan. (6) Pelapor yang melakukan kegiatan LLD berupa ULN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib menyampaikan: a. laporan data pokok ULN dan/atau TPR, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; b. laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR yang berisi: 1. realisasi pembayaran ULN dan/atau TPR, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2; dan 2. posisi dan perubahan ULN dan/atau TPR, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 3. (7) Pelapor yang melakukan kegiatan LLD berupa ULN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d wajib menyampaikan: a. laporan data pokok ULN dan/atau TPR, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; b. laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR yang berisi realisasi pembayaran ULN dan/atau TPR, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2. (8) Selain laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelapor harus menyampaikan profil dan/atau keterangan mengenai Pelapor dan setiap perubahannya. Pasal 4 (1) Dalam hal terdapat kesalahan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia, Pelapor harus menyampaikan koreksi atas kesalahan laporan dimaksud secara lengkap. 6 (2) Koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terakhir diterima oleh Bank Indonesia merupakan laporan pengganti atas laporan yang telah diterima sebelumnya. Pasal 5 (1) Format laporan ULN dan/atau TPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Dalam hal tidak terdapat rencana ULN baru dan/atau perubahannya selama 1 (satu) periode laporan maka Pelapor menyampaikan laporan nihil untuk periode laporan tersebut. (3) Penyampaian laporan nihil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pelapor yang memiliki nilai posisi ULN pada akhir tahun sebelumnya yang tercatat di Bank Indonesia. BAB III TATA CARA PELAPORAN Pasal 6 (1) Bagi Pelapor berupa Bank, laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 disampaikan kepada Bank Indonesia oleh: a. kantor pusat bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia; atau b. kantor cabang, yang bertindak sebagai koordinator, bagi bank yang berkedudukan di luar negeri. (2) Bagi Pelapor berupa lembaga keuangan bukan Bank, badan usaha bukan lembaga keuangan, dan badan lainnya, laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 disampaikan kepada Bank Indonesia oleh kantor pusat Pelapor yang bersangkutan. (3) Bagi Pelapor perseorangan, laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 disampaikan kepada Bank 7 Indonesia oleh perseorangan yang bersangkutan atau pihak yang diberi kuasa. Pasal 7 (1) Pelapor selain Bank yang baru pertama kali menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus mengajukan surat permohonan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh sandi Pelapor yang ditandatangani oleh pimpinan perusahaan dengan melampirkan informasi nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan fotokopi anggaran dasar. (2) Dalam hal Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa perseorangan, surat permohonan ditandatangani oleh yang bersangkutan dengan melampirkan informasi NPWP. (3) Format surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor mengenai sandi Pelapor. (5) Pelapor yang telah menerima sandi Pelapor dari Bank Indonesia menyampaikan laporan dengan menggunakan sandi Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 8 (1) Pelapor menunjuk penanggung jawab atau memberikan kuasa kepada pihak lain untuk menyusun, memverifikasi, dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (2) Penunjukan penanggung jawab atau pemberian kuasa kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan surat penunjukan atau surat kuasa yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang 8 merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Surat penunjukan atau surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia bersamaan dengan penyampaian surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). (4) Pelapor harus selalu melakukan pengkinian nama penanggung jawab yang ditunjuk atau pihak yang diberi kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 9 (1) Pelapor harus menyampaikan laporan data pokok ULN dan/atau TPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a untuk setiap instrumen ULN dan/atau TPR baru, termasuk apabila terjadi perubahan ULN dan/atau TPR karena reorganisasi. (2) Laporan data pokok ULN dan/atau TPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen pendukung. Pasal 10 (1) Bagi Pelapor berupa Bank, lembaga keuangan bukan Bank, badan usaha bukan lembaga keuangan, dan badan lainnya, laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) disampaikan untuk seluruh ULN dan/atau TPR tanpa batasan nilai minimum ULN dan/atau TPR. (2) Bagi Pelapor berupa perseorangan, laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) disampaikan untuk ULN dengan nilai paling sedikit USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya. (3) Bagi Pelapor berupa perseorangan yang memiliki beberapa ULN dengan nilai posisi kurang dari USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya untuk setiap ULN, laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) disampaikan apabila jumlah keseluruhan posisi 9 ULN tersebut telah mencapai USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya. (4) ULN berdasarkan utang dagang (trade credit) dan/atau ULN lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c dan huruf d dengan nilai setiap ULN di bawah USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya, dapat dilaporkan secara gabungan dalam hal ULN dimaksud memiliki kesamaan jenis ULN, valuta, nama pemberi pinjaman, dan negara pemberi pinjaman. (5) Perhitungan nilai ekuivalen USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) untuk ULN dalam valuta selain USD menggunakan kurs tengah akhir bulan yang diumumkan Bank Indonesia untuk periode data sebelumnya, yang dapat dilihat pada laman Bank Indonesia dengan alamat http://www.bi.go.id. (6) Dalam hal valuta tidak terdapat dalam daftar kurs tengah akhir bulan yang diumumkan Bank Indonesia untuk periode data sebelumnya, perhitungan nilai ekuivalen USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menggunakan kurs Reuters akhir bulan untuk periode data sebelumnya. Pasal 11 Untuk ULN dan/atau TPR standstill, Pelapor harus menyampaikan dokumen pendukung dan/atau penjelasan tertulis yang menjelaskan penyebab belum dibayarnya ULN dan/atau TPR. Pasal 12 Pelapor menyampaikan dokumen pendukung dan/atau penjelasan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dalam bentuk softcopy dengan format PDF, JPG, TIFF, BMP, PNG, atau GIF. 10 Pasal 13 (1) Bagi Pelapor yang melakukan penggabungan atau peleburan, penyampaian laporan dilakukan oleh Pelapor yang menerima penggabungan atau Pelapor hasil peleburan. (2) Dalam hal Pelapor yang menerima penggabungan atau Pelapor hasil peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum memiliki sandi Pelapor, Pelapor tersebut harus mengajukan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). BAB IV MEDIA PENYAMPAIAN LAPORAN Pasal 14 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dan dokumen pendukung dan/atau penjelasan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 disampaikan kepada Bank Indonesia secara online melalui laman pelaporan di Bank Indonesia dengan alamat https://www.bi.go.id/lkpbuv2. (2) Dalam hal terdapat perubahan alamat penyampaian laporan, koreksi laporan, dan dokumen pendukung dan/atau penjelasan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis perubahan alamat tersebut. (3) Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dan dokumen pendukung dan/atau penjelasan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan secara offline maka laporan, koreksi laporan, dan dokumen pendukung dan/atau penjelasan tertulis dapat disampaikan dengan menggunakan media attachment surat elektronik (e-mail), compact disc (CD), flash disk, dan/atau media elektronik lainnya. 11 Pasal 15 (1) Penyampaian: a. surat permohonan berikut NPWP dan fotokopi anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1); b. surat penunjukkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); dan c. surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), ditujukan kepada: Bank Indonesia Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 16 Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350 (2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau melalui surat elektronik (e-mail) dengan alamat: [email protected]. (3) Dalam hal terdapat perubahan alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis perubahan alamat tersebut. BAB V BATAS WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 16 (1) Laporan data pokok ULN dan/atau TPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, wajib disampaikan secara bulanan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. (2) Laporan data pokok ULN dan/atau TPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan untuk pertama kali paling lambat tanggal 15 pada Jam Kerja setelah bulan 12 ditandatanganinya, diterbitkannya, atau diakuinya ULN dan/atau TPR, termasuk apabila terjadi perubahan ULN dan/atau TPR karena reorganisasi. (3) Laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan untuk pertama kali paling lambat tanggal 15 setelah bulan ditandatanganinya, diterbitkannya, atau diakuinya ULN dan/atau TPR. (4) Laporan rencana ULN baru dan/atau perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c selama tahun berjalan disampaikan sebagai berikut: a. rencana ULN baru disampaikan setiap awal tahun, paling lambat tanggal 15 Maret; dan b. perubahan rencana ULN baru disampaikan paling lambat tanggal 15 Juni. Pasal 17 (1) Dalam hal hari terakhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia maka penyampaian laporan dimaksud dapat dilakukan pada Hari berikutnya. (2) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian laporan terjadi gangguan teknis yang menyebabkan Pelapor tidak dapat menyampaikan laporan secara online maka laporan disampaikan secara offline pada Hari berikutnya. (3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Pelapor untuk menyampaikan kembali laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara online apabila gangguan teknis telah dapat diatasi. Pasal 18 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 yang disampaikan secara online dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia, dalam hal: a. softcopy seluruh laporan berhasil diunggah; b. lolos validasi sistem; dan 13 c. Pelapor melakukan konfirmasi atas laporan yang disampaikan, yang dibuktikan dengan adanya tanda terima dari sistem Bank Indonesia. (2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 yang disampaikan secara offline dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia dalam hal softcopy seluruh laporan telah diterima oleh petugas di Bank Indonesia, yang dibuktikan dengan adanya tanda terima dari petugas Bank Indonesia. Pasal 19 (1) Koreksi atas laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus disampaikan paling lambat tanggal 20 pada bulan penyampaian laporan yang bersangkutan. (2) Dalam hal hari terakhir penyampaian koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia maka penyampaian koreksi laporan dimaksud dapat disampaikan pada Hari berikutnya. (3) Dalam hal terjadi gangguan teknis pada hari terakhir yang menyebabkan Pelapor tidak dapat menyampaikan koreksi laporan secara online maka koreksi laporan disampaikan secara offline pada Hari berikutnya. (4) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Pelapor untuk menyampaikan kembali koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara online apabila gangguan teknis telah dapat diatasi. (5) Koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disampaikan secara online dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia, dalam hal: a. softcopy seluruh koreksi laporan berhasil diunggah; b. lolos validasi sistem; dan c. Pelapor melakukan konfirmasi atas laporan yang disampaikan, yang dibuktikan dengan adanya tanda terima dari sistem Bank Indonesia. 14 (6) Koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disampaikan secara offline dinyatakan diterima Bank Indonesia dalam hal softcopy seluruh koreksi laporan telah diterima oleh petugas di Bank Indonesia yang dibuktikan dengan adanya tanda terima dari petugas Bank Indonesia. Pasal 20 (1) Masa keterlambatan penyampaian laporan data pokok ULN dan/atau TPR serta data rekapitulasi ULN dan/atau TPR yaitu masa setelah berakhirnya batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) sampai dengan akhir bulan penyampaian laporan yang bersangkutan. (2) Masa keterlambatan penyampaian laporan rencana ULN baru dan/atau perubahannya yaitu masa setelah berakhirnya batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) sampai dengan akhir bulan penyampaian laporan yang bersangkutan. (3) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila Pelapor menyampaikan laporan dalam masa keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Pasal 21 (1) Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila sampai dengan batas akhir masa keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia belum menerima laporan dari Pelapor. (2) Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap harus menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia. 15 BAB VI PENGAWASAN Pasal 22 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap kegiatan LLD dalam bentuk ULN dan/atau TPR yang dilakukan oleh Pelapor. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara: a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan pihak instansi terkait; dan/atau b. kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a paling lama 15 (lima belas) Hari sejak tanggal surat permintaan dari Bank Indonesia. (5) Dalam hal Pelapor tidak memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka bagi Pelapor: a. yang telah menyampaikan laporan, laporan ULN dan/atau TPR yang disampaikan dinyatakan tidak benar; dan b. yang belum menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR, dinyatakan tidak menyampaikan laporan. (6) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian kebenaran laporan. 16 Pasal 23 (1) Apabila berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pelapor diketahui melakukan kegiatan LLD berupa ULN dan/atau TPR maka Pelapor harus menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR berdasarkan permintaan dari Bank Indonesia melalui surat. (2) Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila Pelapor belum menyampaikan laporan yang diminta Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejak 3 (tiga) bulan setelah diketahui melakukan kegiatan LLD berupa ULN dan/atau TPR. BAB VII SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Pertama Sanksi Atas Laporan yang Tidak Benar, Terlambat, dan Tidak Disampaikan Pasal 24 Pelapor yang: a. menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b secara tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), yang tidak ditindaklanjuti dengan penyampaian koreksi sampai dengan batas waktu yang ditetapkan Bank Indonesia; b. terlambat menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3); dan/atau c. tidak menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (5) huruf b, dan Pasal 23 ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. 17 Bagian Kedua Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Pasal 25 (1) Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 untuk laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b, mulai diberlakukan bagi Pelapor baru setelah 3 (tiga) kali masa pelaporan sejak penyampaian laporan yang pertama. (2) Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 untuk laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b, mulai diberlakukan bagi Pelapor yang belum menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia sejak 3 (tiga) bulan setelah diketahui melakukan kegiatan LLD dalam bentuk ULN dan/atau TPR. (3) Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 untuk laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c mulai diberlakukan bagi Pelapor baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 1 (satu) kali masa pelaporan sejak penyampaian laporan yang pertama. (4) Pelapor yang sedang dalam proses pailit atau yang sudah tidak beroperasi dapat mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk tidak dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis dengan menyampaikan bukti pendukung. (5) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 tidak dikenai kepada Pelapor yang terlambat atau tidak menyampaikan laporan yang disebabkan adanya gangguan teknis di Bank Indonesia. Pasal 26 (1) Pemberitahuan kepada otoritas atau instansi yang berwenang, dan/atau perusahaan induk dari Pelapor mengenai pengenaan sanksi dilakukan dalam hal Pelapor 18 telah 3 (tiga) kali mendapatkan teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c karena tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b dalam 1 (satu) tahun pelaporan. (2) Pemberitahuan kepada kreditur mengenai pengenaan sanksi dilakukan dalam hal Pelapor telah 4 (empat) kali mendapatkan teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c karena tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b dalam 1 (satu) tahun pelaporan. (3) Dalam hal perusahaan induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kreditur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pihak yang sama maka pemberitahuan hanya diberikan kepada perusahaan induk. (4) Pemberitahuan kepada otoritas atau instansi yang berwenang, kreditur, dan/atau perusahaan induk mengenai pengenaan sanksi dilakukan dalam hal Pelapor telah 2 (dua) kali mendapatkan teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c karena tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dalam 1 (satu) tahun pelaporan. BAB VIII KEADAAN MEMAKSA Pasal 27 (1) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sehingga menyebabkan keterangan dan data untuk penyusunan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak tersedia, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga menyebabkan terhambatnya penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dikecualikan dari kewajiban 19 menyampaikan laporan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (3) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), harus segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan memberikan penjelasan mengenai keadaan memaksa yang dialami yang paling kurang memuat: a. jenis keadaan memaksa dengan melampirkan dokumen pendukung dan/atau surat keterangan dari instansi terkait di daerah setempat; dan b. dampak terhadap pelaporan. (4) Pelapor dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melalui kantor pusat Pelapor, kantor cabang Pelapor, atau pihak lain yang ditunjuk Pelapor. (5) Pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan memaksa yang terjadi selama 1 (satu) periode laporan atau lebih harus disampaikan untuk setiap periode laporan sampai dengan berakhirnya keadaan memaksa. (6) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku dalam hal Pelapor memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (7) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus menyampaikan laporan setelah Pelapor kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 28 Dalam hal Pelapor sedang dalam proses pailit atau sudah tidak beroperasi, Pelapor tetap wajib menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 kepada Bank Indonesia. 20 Pasal 29 Laporan ULN dan/atau TPR yang memuat data dan keterangan individual Pelapor yang disampaikan kepada Bank Indonesia bersifat rahasia, kecuali secara tegas dinyatakan lain dalam Undang-Undang. Pasal 30 Dalam hal terdapat permasalahan yang timbul dalam pelaporan kegiatan LLD berupa ULN dan/atau TPR yang berdampak strategis, Bank Indonesia dapat mengambil kebijakan tertentu dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan. peraturan BAB X KORESPONDENSI Pasal 31 (1) Penyampaian surat, pertanyaan, dokumen pendukung, dan/atau informasi lainnya berkaitan dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini ditujukan kepada: Bank Indonesia Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 16 Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350 Telepon : Faksimili E-mail 021-29814075, 021-29814077, 021-29814136, 021-29814657, 021-29815870, 021-29815875, 021-29817606, 021-29813665, 021-29814556, 021-29815174, 29815874 : 021-2311936 : [email protected] (2) Dalam hal terjadi perubahan alamat korespondensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis. 21 BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 32 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/16/DInt tanggal 29 April 2013 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa berupa Realisasi dan Posisi Utang Luar Negeri; dan b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/4/DSta tanggal 6 Maret 2015 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa berupa Rencana Utang Luar Negeri dan Perubahan Rencana Utang Luar Negeri, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 33 (1) Kewajiban penyampaian laporan ULN dan/atau TPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b mulai berlaku sejak periode data bulan Maret 2019 yang disampaikan pada bulan April 2019. (2) Batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 untuk laporan ULN dan/atau TPR berupa rencana ULN baru mulai berlaku untuk pelaporan data rencana ULN baru tahun 2019 yang disampaikan paling lambat tanggal 15 Maret 2019. (3) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 untuk laporan ULN dan/atau TPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b mulai berlaku sejak periode data bulan Maret 2019 yang disampaikan pada bulan April 2019. Pasal 34 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 2019. 22 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Februari 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD MIRZA ADITYASWARA PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/4/PADG/2019 TENTANG PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BERUPA UTANG LUAR NEGERI DAN TRANSAKSI PARTISIPASI RISIKO I. UMUM Untuk pelaksanaan kebijakan moneter, sesuai amanat Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan yang mengatur aliran modal. Salah satu jenis aliran modal yang diatur yaitu TPR yang dilakukan oleh Bank. Pelaporan kegiatan LLD saat ini hanya mencakup pelaporan kegiatan LLD berupa ULN dan pelaporan kegiatan LLD selain ULN, namun belum mencakup TPR yang dilakukan Bank. Mengingat TPR memiliki karakteristik yang sama dengan ULN maka pelaporan kegiatan LLD berupa ULN perlu disesuaikan, yaitu dengan menambahkan TPR dalam cakupan pelaporan tersebut. Selain digunakan untuk memantau kepatuhan Bank atas ketentuan Bank Indonesia yang mengatur aliran modal, keterangan dan data mengenai TPR ini selanjutnya digunakan untuk penyusunan statistik, terutama statistik Neraca Pembayaran, statistik Posisi Investasi Internasional Indonesia, dan statistik Utang Luar Negeri Indonesia. Selain itu, berdasarkan hasil evaluasi serta masukan Pelapor, mekanisme pelaporan kegiatan LLD saat ini perlu disempurnakan, untuk mengakomodasi tambahan cakupan laporan berupa TPR serta hal teknis lainnya, seperti penyesuaian waktu penyampaian rencana ULN baru. 2 Dengan penyempurnaan pelaporan kegiatan LLD ini maka Pelapor diharapkan berperan aktif untuk menyampaikan laporan kegiatan LLD berupa ULN dan TPR kepada Bank Indonesia secara lengkap, akurat, dan tepat waktu. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.1 Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “secara lengkap” adalah laporan yang memenuhi rincian cakupan laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “secara benar” adalah laporan yang memuat data sesuai dengan fakta sebenarnya. Yang dimaksud dengan “secara tepat waktu” adalah laporan yang disampaikan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan Bank Indonesia. Ayat (2) Huruf a Lembaga keuangan berdasarkan kepemilikannya dapat berupa badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik swasta. Badan usaha milik negara yaitu badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai badan usaha milik negara. Badan usaha milik daerah yaitu badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai badan usaha milik daerah. Badan usaha milik swasta yaitu badan usaha yang tidak termasuk dalam pengertian badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang berkedudukan di Indonesia, 3 baik yang berbentuk badan hukum Indonesia maupun asing dan yang tidak berbentuk badan hukum. Huruf b Badan usaha bukan lembaga keuangan berdasarkan kepemilikannya dapat berupa badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik swasta. Badan usaha milik negara yaitu badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai badan usaha milik negara. Badan usaha milik daerah yaitu badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai badan usaha milik daerah. Badan usaha milik swasta yaitu badan usaha yang tidak termasuk dalam pengertian badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang berkedudukan di Indonesia, baik yang berbentuk badan hukum Indonesia maupun asing dan yang tidak berbentuk badan hukum. Huruf c Badan lainnya yaitu badan yang bukan merupakan badan usaha, baik berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum. Huruf d Yang dimaksud dengan “perseorangan” adalah orang yang bertindak atas namanya sendiri. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Data pokok ULN dan/atau TPR merupakan data dan keterangan mengenai profil ULN dan/atau TPR yang disampaikan, termasuk dalam hal terdapat ULN dan/atau TPR baru dan/atau perubahannya, yang didasarkan pada dokumen perjanjian pinjaman (loan agreement) dan/atau dokumen pendukung lain. Data pokok ULN dan/atau TPR memuat informasi antara lain jenis ULN dan/atau TPR, nilai 4 dan valuta komitmen ULN dan/atau TPR, serta hubungan dengan kreditur. Huruf b Angka 1 Data dan keterangan mengenai rencana penarikan dan/atau pembayaran ULN dan/atau TPR, antara lain berupa informasi mengenai tanggal rencana penarikan ULN dan/atau TPR dan nilai rencana pembayaran ULN dan/atau TPR. Angka 2 Data dan keterangan mengenai realisasi penarikan dan/atau pembayaran ULN dan/atau TPR, antara lain berupa informasi mengenai tanggal realisasi penarikan ULN dan/atau TPR dan nilai realisasi pembayaran ULN dan/atau TPR. Angka 3 Posisi ULN dan/atau TPR mencakup posisi dan perubahan untuk setiap jenis ULN dan/atau TPR dan akumulasi tunggakan bunga. Huruf c Data dan keterangan mengenai rencana ULN baru dan/atau perubahannya meliputi rencana perolehan ULN selama 1 (satu) tahun dan/atau 1 (satu) semester ke depan, antara lain berupa jenis ULN, waktu masuk pasar, nilai nominal ULN, dan hubungan dengan kreditur. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “perjanjian pinjaman (loan agreement)” adalah perjanjian tertulis yang berisi syarat dan kondisi pinjaman yang antara lain mengatur besarnya nilai komitmen, suku bunga, dan jangka waktu. Huruf b Surat utang (debt securities) antara lain berupa letter of credit (L/C) impor yang diakseptasi oleh Bank (banker’s acceptance), obligasi, commercial papers (CP), promissory notes (PN), medium term notes (MTN), dan floating rate notes (FRN). 5 Huruf c Yang dimaksud dengan “utang dagang (trade credit)” adalah utang pembeli Penduduk kepada penjual bukan Penduduk atas pembelian barang atau jasa, termasuk pembayaran di muka yang diterima penjual Penduduk dari pembeli bukan Penduduk untuk barang atau jasa yang belum diserahkan. Huruf d Yang dimaksud dengan “ULN lainnya” adalah ULN selain ULN dan/atau TPR berdasarkan pinjaman (loan agreement), ULN berdasarkan surat utang (debt securities), dan ULN berdasarkan utang dagang (trade credit), seperti utang dividen dan utang royalti. Ayat (3) Contoh: Perusahaan J di Jakarta menerima utang berdasarkan perjanjian pinjaman dengan Bank K pada tanggal 12 Juni 2018 sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat), dengan bunga 3,5% (tiga koma lima persen) per tahun dan jatuh waktu di 31 Desember 2025. Posisi utang perusahaan J pada akhir Desember 2019 sebesar USD250,000.00 (dua ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Di akhir bulan Desember 2019, Bank K sebagai grantor melakukan TPR dengan induknya bank S di Singapura sebagai participant dengan utang senilai USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) dialihkan ke bank S, dengan suku bunga dan jatuh waktu yang sama dengan suku bunga dan jatuh waktu sebelumnya. Dalam hal ini, Bank K wajib menyampaikan laporan data pokok TPR dan data rekapitulasi TPR sejak disepakatinya pengalihan risiko sampai dengan utang senilai USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) telah lunas dibayar. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 6 Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Yang termasuk dalam profil Pelapor antara lain data kepemilikan Pelapor. Pasal 4 Ayat (1) Contoh: Perusahaan A telah menyampaikan laporan data rekapitulasi ULN berupa realisasi penarikan dan posisi ULN untuk periode data bulan Januari 2020, namun terdapat kesalahan dalam pengisian nilai realisasi penarikan. Dalam hal ini, perusahaan A harus menyampaikan kembali seluruh laporan data rekapitulasi ULN berupa realisasi penarikan dan posisi ULN, yang meliputi data yang dikoreksi maupun data yang tidak dikoreksi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “laporan nihil” adalah laporan tanpa adanya record data yang disampaikan. Ayat (3) Contoh: Perusahaan N memiliki nilai posisi ULN di bulan Desember 2018 sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) yang tercatat di Bank Indonesia dan tidak memiliki rencana ULN baru untuk tahun 2019. Dalam hal ini, perusahaan N menyampaikan laporan nihil untuk tahun 2019. Pasal 6 Cukup jelas. 7 Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat, surat elektronik (e-mail), atau media lainnya. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang” adalah a. pimpinan perusahaan atau pejabat yang berwenang mewakili perusahaan, bagi Pelapor berupa lembaga keuangan, badan usaha bukan lembaga keuangan, dan badan lainnya; dan b. perseorangan yang bersangkutan, bagi Pelapor berupa perseorangan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Perubahan ULN dan/atau TPR karena reorganisasi dalam bentuk: a. Debt rescheduling yaitu kesepakatan antara debitur dengan kreditur, umumnya berupa penundaan pembayaran utang dan pemberlakuan jangka waktu baru atas utang, melalui perubahan syarat dari kontrak. Perubahan syarat dari kontrak meliputi 1 (satu) atau lebih dari elemen berikut: 8 1. perpanjangan periode pembayaran; 2. pengurangan suku bunga; 3. penambahan masa tenggang (grace period) untuk pembayaran pokok; 4. penetapan kurs tertentu yang lebih menguntungkan; atau 5. pengaturan kembali jadwal pembayaran tunggakan utang. Pengertian debt rescheduling berlaku terhadap utang dengan instrumen, nilai pokok yang diperjanjikan atau komitmen, serta kreditur yang sama. b. Debt refinancing yaitu penggantian instrumen utang lama, termasuk tunggakannya, dengan instrumen utang yang baru. Debt refinancing ini memiliki karakteristik berikut: 1. penggantian: a) instrumen utang yang sama, seperti utang berdasarkan perjanjian pinjaman lama dengan utang berdasarkan perjanjian pinjaman baru; atau b) instrumen utang yang berbeda, seperti utang berdasarkan perjanjian dengan obligasi; 2. umumnya dengan nilai pokok yang diperjanjikan (komitmen) berbeda dan dapat mencakup fasilitas dana tambahan; 3. pihak kreditur yang dapat berbeda dengan utang lama; c. Debt forgiveness yaitu pembatalan atau pembebasan pembayaran seluruh atau sebagian kewajiban utang, termasuk tunggakan bunga oleh debitur, berdasarkan kesepakatan antara kreditur dengan debitur; d. Debt conversion yaitu pertukaran instrumen utang, umumnya dengan diskon, dengan selain instrumen utang atau dengan penyediaan sejumlah dana untuk membiayai proyek atau kebijakan tertentu. Contoh debt conversion adalah debt-for-equity swaps dan debt-for-real estate swap; dan e. Debt assumption yaitu kesepakatan 3 (tiga) pihak antara kreditur, debitur lama, dan debitur baru pada saat debitur 9 baru menanggung atau mengambil alih utang debitur lama kepada kreditur. Ayat (2) Dokumen pendukung berupa dokumen perjanjian pinjaman (loan agreement), faktur penjualan (invoice), dan/atau bukti pendukung lain ULN dan/atau TPR. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Contoh: Perusahaan A melakukan 3 (tiga) kali penarikan ULN dalam bentuk utang dagang pada tanggal 5 Februari 2020 masing- masing sebesar SGD230,000.00 (dua ratus tiga puluh ribu dolar Singapura), SGD240,000.00 (dua ratus empat puluh ribu dolar Singapura), dan SGD225,000.00 (dua ratus dua puluh lima ribu dolar Singapura). Ketiga ULN tersebut memiliki kesamaan dalam jenis ULN, valuta, nama pemberi pinjaman, dan negara pemberi pinjaman. Untuk menentukan kemungkinan ketiga ULN tersebut dapat dilaporkan secara gabungan, perusahaan A harus mengonversi ULN-nya ke dalam valuta USD dengan menggunakan kurs tengah akhir bulan Januari 2020, yang diumumkan Bank Indonesia. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 11 Yang dimaksud dengan “ULN dan/atau TPR standstill” adalah ULN dan/atau TPR yang telah jatuh waktu namun belum ada informasi 10 mengenai pelunasan dan/atau reorganisasi ULN dan/atau TPR oleh debitur. Contoh: Perusahaan L menandatangani ULN berdasarkan perjanjian pinjaman pada tanggal 1 Januari 2019 dan jatuh waktu pada tanggal 31 Desember 2021. Dalam hal ini, perusahaan L harus menyampaikan dokumen pendukung apabila sampai dengan tanggal 31 Desember 2021, ULN dimaksud belum lunas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat, surat elektronik (e-mail), atau media lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat, surat elektronik (e-mail), atau media lainnya. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. 11 Ayat (2) Contoh: Perusahaan D menandatangani ULN berdasarkan perjanjian pinjaman pada bulan Maret 2020. Dalam hal ini, perusahaan D menyampaikan laporan data pokok ULN paling lambat tanggal 15 April 2020 pada Jam Kerja setelah bulan ditandatanganinya ULN. Ayat (3) Contoh: Perusahaan E menandatangani ULN berdasarkan perjanjian pinjaman pada bulan Maret 2020. Dalam hal ini, perusahaan E menyampaikan laporan data rekapitulasi ULN paling lambat tanggal 15 April 2020 setelah bulan ditandatanganinya ULN. Ayat (4) Contoh: Pada awal tahun 2021, Perusahaan M memiliki rencana penarikan ULN berdasarkan perjanjian pinjaman masing-masing sebesar USD600,000.00 (enam ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan USD700.000.00 (tujuh ratus ribu dolar Amerika Serikat). Dalam hal ini perusahaan M wajib menyampaikan laporan rencana ULN baru paling lambat tanggal 15 Maret 2021 dan laporan perubahan rencana ULN baru paling lambat tanggal 15 Juni 2021. Pasal 17 Ayat (1) Contoh: Untuk laporan data rekapitulasi ULN bulan Mei 2019, hari terakhir penyampaian laporan yaitu hari Sabtu tanggal 15 Juni 2019. Oleh karena itu, batas waktu penyampaian laporan jatuh pada hari Senin tanggal 17 Juni 2019. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang terjadi di Bank Indonesia, antara lain gangguan jaringan dan/atau komunikasi. Yang dimaksud dengan “secara offline” adalah menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan media 12 elektronik antara lain compact disk (CD), flash disk, atau surat elektronik (e-mail), yang disampaikan pada Jam Kerja. Contoh: Gangguan teknis jaringan di Bank Indonesia terjadi pada hari Senin tanggal 15 Juli 2019 yang merupakan hari terakhir penyampaian laporan data pokok ULN dan/atau TPR dan laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR. Laporan dimaksud disampaikan secara offline pada hari Selasa tanggal 16 Juli 2019 pada Jam Kerja. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Tanda terima dari petugas Bank Indonesia antara lain berupa konfirmasi penerimaan laporan melalui surat elektronik (e-mail). Pasal 19 Ayat (1) Contoh 1: Perusahaan K melaporkan pembayaran pokok tunai ULN-nya senilai USD135,000.00 (seratus tiga puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) dalam laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR pada hari Senin tanggal 12 Agustus 2019. Mengingat nilai sebenarnya adalah USD125,000.00 (seratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat), perusahaan K menyampaikan koreksi laporan secara online pada hari Rabu tanggal 14 Agustus 2019. Jika masih ditemukan kesalahan, perusahaan K dapat menyampaikan koreksi laporan secara online paling lambat hari Selasa tanggal 20 Agustus 2019. Contoh 2: Perusahaan G melaporkan rencana penerbitan surat utang senilai USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dalam laporan rencana ULN baru dan/atau perubahannya pada hari Jumat tanggal 15 Maret 2019. Mengingat nilai sebenarnya adalah 13 USD1,100,000.00 (satu juta seratus ribu dolar Amerika Serikat), perusahaan G menyampaikan koreksi laporan secara online pada hari Senin tanggal 18 Maret 2019. Jika masih ditemukan kesalahan, perusahaan G dapat menyampaikan koreksi laporan secara online paling lambat hari Rabu tanggal 20 Maret 2019. Ayat (2) Contoh 1: Untuk laporan data pokok ULN dan/atau TPR dan laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR bulan Juni 2019, hari terakhir penyampaian koreksi laporan yaitu hari Sabtu tanggal 20 Juli 2019. Oleh karena itu, batas waktu penyampaian koreksi laporan jatuh pada hari Senin tanggal 22 Juli 2019. Contoh 2: Untuk laporan perubahan rencana ULN tahun 2020, hari terakhir penyampaian koreksi laporan adalah hari Sabtu tanggal 20 Juni 2020. Oleh karena itu, batas waktu penyampaian koreksi laporan jatuh pada hari Senin tanggal 22 Juni 2020. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang terjadi di Bank Indonesia, antara lain gangguan jaringan dan/atau komunikasi. Yang dimaksud dengan “secara offline” adalah menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan media elektronik antara lain compact disk (CD), flash disk, atau surat elektronik (e-mail), yang disampaikan pada Jam Kerja. Contoh: Gangguan teknis jaringan di Bank Indonesia terjadi pada hari Senin tanggal 20 Juli 2020 yang merupakan hari terakhir penyampaian koreksi laporan ULN. Koreksi laporan dimaksud disampaikan secara offline pada hari Selasa tanggal 21Juli 2020 pada Jam Kerja. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 14 Ayat (6) Tanda terima dari petugas Bank Indonesia antara lain berupa konfirmasi penerimaan laporan melalui surat elektrkonik (e-mail). Pasal 20 Ayat (1) Contoh: Laporan data rekapitulasi ULN bulan Juni 2019 wajib disampaikan paling lambat tanggal 15 Juli 2019. Masa keterlambatan penyampaian laporan dimaksud yaitu tanggal 16 Juli 2019 sampai dengan tanggal 31 Juli 2019. Ayat (2) Contoh: Laporan rencana ULN baru tahun 2019 wajib disampaikan paling lambat tanggal 15 Maret 2019. Masa keterlambatan penyampaian laporan dimaksud yaitu tanggal 16 Maret 2019 sampai dengan tanggal 31 Maret 2019. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Contoh: Apabila sampai dengan 30 September 2019, Pelapor belum menyampaikan laporan data rekapitulasi ULN bulan Agustus 2019 maka Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan laporan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui penelitian atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor. 15 Huruf b Pemeriksaan dilakukan untuk meneliti kebenaran laporan yang disampaikan Pelapor dan/atau untuk mengonfirmasi kebenaran informasi yang diterima oleh Bank Indonesia berdasarkan hasil pengawasan tidak langsung, termasuk informasi mengenai Pelapor yang belum menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR. Ayat (3) Huruf a Termasuk sebagai dokumen pendukung yang berkaitan dengan laporan ULN dan/atau TPR antara lain laporan keuangan dan daftar mutasi rekening koran (bank statement). Yang dimaksud dengan “instansi terkait” adalah lembaga, kementerian, atau otoritas yang memiliki kewenangan mengatur Pelapor, antara lain Otoritas Jasa Keuangan bagi Bank dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara bagi korporasi berupa badan usaha milik negara. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia, perusahaan M diketahui memiliki posisi ULN pada bulan Desember 2019. Selanjutnya, Bank Indonesia mengirimkan surat kepada perusahaan tersebut untuk menyampaikan laporan data pokok ULN dan/atau TPR dan laporan data rekapitulasi ULN dan/atau 16 TPR kepada Bank Indonesia, yang mencakup data bulan Desember 2019, Januari, dan Februari 2020. Dalam hal perusahaan M belum menyampaikan laporan sampai dengan bulan Maret 2020 perusahaan M dinyatakan tidak menyampaikan laporan. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Pelapor baru” adalah: a. Pelapor yang baru pertama kali menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR sejak mulai diberlakukannya ketentuan ini; Contoh: Perusahaan A menyampaikan laporan data pokok ULN dan/atau TPR dan laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR pertama kali kepada Bank Indonesia pada bulan Juli 2019 untuk pelaporan data bulan Juni 2019. Perusahaan A terlambat menyampaikan laporan data pokok ULN dan/atau TPR dan laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR untuk periode penyampaian laporan bulan Agustus 2019, September 2019, Oktober 2019, dan November 2019. Bank Indonesia mengenakan sanksi teguran tertulis untuk periode penyampaian laporan bulan November 2019, untuk pelaporan data bulan Oktober 2019. b. Pelapor yang kembali melakukan kegiatan LLD dalam bentuk ULN dan/atau TPR setelah sebelumnya menginformasikan sudah tidak melakukan kegiatan LLD dalam bentuk ULN dan/atau TPR dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun; Contoh: Perusahaan B telah menginformasikan kepada Bank Indonesia bahwa di bulan Maret 2018 perusahaan dimaksud sudah tidak memiliki ULN dan/atau TPR. Perusahaan B kembali menarik ULN pada bulan Juli 2019. Perusahaan B menyampaikan laporan data pokok ULN dan/atau TPR dan 17 laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR pertama kali pada bulan Agustus 2019. Perusahaan B tidak menyampaikan laporan data pokok ULN dan/atau TPR dan laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR untuk periode penyampaian laporan bulan September 2019, Oktober 2019, November 2019, dan Desember 2019. Bank Indonesia mengenakan sanksi teguran tertulis untuk periode penyampaian laporan bulan Desember 2019, untuk pelaporan data bulan November 2019. c. Pelapor yang baru pertama kali menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR setelah diketahui melakukan kegiatan LLD dalam bentuk ULN dan/atau TPR berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia. Contoh: Berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia, perusahaan C diketahui memiliki ULN sehingga wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia. Selanjutnya, perusahaan C menyampaikan laporan data pokok ULN dan/atau TPR dan laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR pertama kali pada bulan September 2019. Perusahaan C tidak menyampaikan laporan data pokok ULN dan/atau TPR dan laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR untuk periode penyampaian laporan bulan Oktober 2019, November 2019, Desember 2019, dan Januari 2020. Bank Indonesia mengenakan sanksi teguran tertulis kepada perusahaan C untuk periode penyampaian laporan bulan Januari 2020, untuk pelaporan data bulan Desember 2019. Ayat (2) Contoh: Berdasarkan pengawasan Bank Indonesia, perusahaan D diketahui melakukan kegiatan LLD berupa ULN pada bulan September 2019 dan belum menyampaikan laporan data pokok ULN dan/atau TPR serta laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR kepada Bank Indonesia. Perusahaan D wajib menyampaikan laporan dimaksud paling lambat bulan Desember 2019. Laporan yang disampaikan mencakup data sejak diketahuinya kegiatan LLD berupa ULN oleh 18 Bank Indonesia, yaitu bulan September 2019, Oktober 2019, dan November 2019. Dalam hal perusahaan D tidak menyampaikan laporan data pokok ULN dan/atau TPR serta laporan data rekapitulasi ULN dan/atau TPR sampai dengan bulan Desember 2019 maka Bank Indonesia akan mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kepada perusahaan D. Ayat (3) Contoh: Perusahaan E, sebagai pelapor baru, untuk pertama kalinya menyampaikan laporan rencana ULN baru pada tanggal 12 Maret 2020. Dalam hal ini, perusahaan E baru dapat dikenai sanksi pada saat penyampaian laporan rencana ULN baru untuk data tahun 2021, yang disampaikan paling lambat tanggal 15 Maret 2021. Ayat (4) Bukti pendukung yang dimaksud antara lain surat permohonan pengajuan kepailitan ke pengadilan atau surat pencabutan izin dari kementerian terkait. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang terjadi di Bank Indonesia, antara lain gangguan jaringan dan/atau komunikasi. Pasal 26 Ayat (1) Contoh: Bank F telah dikenai 3 (tiga) kali sanksi administratif teguran tertulis oleh Bank Indonesia karena tidak menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR, yaitu untuk pelaporan data bulan Mei 2019, Juli 2019, dan Desember 2019. Mengingat Bank F dikenai sanksi sebanyak 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) tahun, yaitu tahun 2019 maka Bank Indonesia memberitahukan pengenaan sanksi administratif teguran tertulis dimaksud secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan. 19 Ayat (2) Contoh: Perusahaan G telah dikenai 4 (empat) kali sanksi administratif teguran tertulis oleh Bank Indonesia karena tidak menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR, yaitu untuk pelaporan data bulan Juni 2019, Juli 2019, Oktober 2019, dan Desember 2019. Mengingat Perusahaan G dikenai sanksi sebanyak 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun, yaitu tahun 2019 maka Bank Indonesia memberitahukan pengenaan sanksi administratif teguran tertulis dimaksud secara tertulis kepada kreditur. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: Perusahaan H telah dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis sebanyak 2 (dua) kali karena tidak menyampaikan laporan rencana ULN baru dan/atau perubahannya pada masa pelaporan yang berakhir Maret 2019 dan Juni 2019. Mengingat Perusahaan H dikenai sanksi sebanyak 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun, yaitu tahun 2019 maka Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis pengenaan sanksi administratif teguran tertulis dimaksud kepada otoritas atau instansi yang berwenang, kreditur, dan/atau perusahaan induk. Pasal 27 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” adalah keadaan yang berada di luar kendali Pelapor serta secara nyata menyebabkan Pelapor tidak dapat menyusun dan menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR yang disebabkan antara lain kebakaran, kerusuhan massa, pemogokan pekerja, terorisme, perang, sabotase, serangan virus komputer melalui jaringan (cyber attack), serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, sesuai dengan dokumen pendukung dan/atau dibenarkan oleh pejabat dari instansi terkait di daerah setempat, termasuk Bank Indonesia. 20 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat, surat elektronik (e-mail), atau media lainnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Yang dimaksud dengan “Undang-Undang” adalah Undang-Undang yang mewajibkan pengungkapan data dan keterangan yang bersifat rahasia. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat, surat elektronik (e-mail), atau media lainnya. Pasal 32 Cukup jelas. 21 Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bagi Pelapor yang telah menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR berupa rencana ULN baru untuk periode data tahun 2019 sebelum berlakunya Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dianggap telah menyampaikan laporan ULN dan/atau TPR berupa rencana ULN baru. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/4/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BERUPA UTANG LUAR NEGERI DAN TRANSAKSI PARTISIPASI RISIKO </reg_title> <set_date> 28 Februari 2019 </set_date> <effective_date> 1 Maret 2019 </effective_date> <replaced_reg> '17/4/DSta|SE-BI/2015', '15/16/DInt|SE-BI/2013' </replaced_reg> <related_reg> '21/2/PBI/2019', '16/10/PBI/2014', '21/1/PBI/2019', '17/23/PBI/2015' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/9/PADG/2017 TENTANG LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG YANG MELAKUKAN KEGIATAN TERKAIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mencapai pasar keuangan yang likuid dan efisien dibutuhkan pengembangan instrumen pasar uang yang dapat ditransaksikan oleh pelaku pasar uang; b. bahwa tersedianya instrumen pasar uang berupa surat berharga komersial juga memberikan fleksibilitas pengelolaan likuiditas pelaku pasar uang dan mendorong pembiayaan ekonomi nasional; c. bahwa pengaturan surat berharga komersial di pasar uang perlu memperhatikan aspek tata kelola yang baik, mekanisme transaksi yang aman dan efisien, serta memperhatikan prinsip kehati-hatian dan didukung pengawasan yang efektif; d. bahwa lembaga pendukung pasar uang memiliki peran dalam menciptakan pasar surat berharga komersial yang likuid dan efisien serta memiliki tata kelola yang baik; berdasarkan pertimbangan sebagaimana e. bahwa dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Lembaga Pendukung Pasar Uang yang Melakukan Kegiatan Terkait Surat Berharga Komersial di Pasar Uang; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016 tentang Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5909); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6100); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG YANG MELAKUKAN KEGIATAN TERKAIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam- meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang rupiah dan valuta asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan moneter, pencapaian stabilitas sistem keuangan, serta kelancaran sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. 2. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 3. Korporasi Non-Bank adalah badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas selain Bank. 4. Instrumen Pasar Uang adalah instrumen yang ditransaksikan di Pasar Uang, yang meliputi instrumen yang diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, sertifikat deposito, dan instrumen lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, termasuk yang berdasarkan prinsip syariah. 5. Surat Berharga Komersial adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Korporasi Non-Bank berbentuk surat sanggup (promissory note) dan berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun yang terdaftar di Bank Indonesia. 6. Pelaku Pasar Uang yang selanjutnya disebut Pelaku Pasar adalah pihak yang melakukan kegiatan penerbitan Instrumen Pasar Uang dan/atau melakukan transaksi di Pasar Uang. 7. Penerbit Surat Berharga Komersial adalah pihak yang memenuhi persyaratan untuk menerbitkan Surat Berharga Komersial. 8. Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial adalah Pelaku Pasar yang melakukan transaksi Surat Berharga Komersial. 9. Lembaga Pendukung Pasar Uang adalah pihak yang memberikan jasa terkait penerbitan Instrumen Pasar Uang, perantara pelaksanaan transaksi, penyelesaian transaksi, dan/atau penatausahaan Instrumen Pasar Uang dan transaksi di Pasar Uang, dan pihak lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 10. Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang memberikan jasa dalam penerbitan Surat Berharga Komersial. 11. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang memberikan jasa perantara pelaksanaan transaksi Surat Berharga Komersial. 12. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang memberikan jasa penatausahaan dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial. 13. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal. 14. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah perusahaan pialang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing. 15. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang selanjutnya disingkat LPP adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan kustodian sentral sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal. BAB II TUGAS, PERSYARATAN, DAN DOKUMEN PENDAFTARAN Pasal 2 (1) Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan kegiatan terkait Surat Berharga Komersial di Pasar Uang terdiri atas: a. Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial; b. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial; dan c. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial. (2) Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan kegiatan terkait Surat Berharga Komersial di Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terdaftar di Bank Indonesia. Bagian Kesatu Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial Pasal 3 Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial terdiri atas: a. Bank atau Perusahaan Efek yang bertindak sebagai penata laksana (arranger) penerbitan; lembaga pemeringkat; b. c. konsultan hukum; d. akuntan publik; e. notaris; dan f. lembaga lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Paragraf Kesatu Tugas Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial Pasal 4 Penata laksana (arranger) penerbitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a memiliki tugas: a. membantu calon Penerbit atau Penerbit dalam proses penerbitan Surat Berharga Komersial, meliputi: 1) mempersiapkan dokumen penerbitan; 2) struktur penawaran; 3) jadwal waktu penerbitan; 4) penentuan target investor; 5) pemasaran; dan 6) distribusi Surat Berharga Komersial. b. melakukan koordinasi dengan seluruh lembaga dan profesi pendukung yang terlibat; dan c. melakukan tugas lain yang diperlukan dalam rangka menatalaksanakan penerbitan Surat Berharga Komersial. Pasal 5 (1) Lembaga pemeringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b memiliki tugas: a. memberikan penilaian pemeringkatan (credit rating) terhadap Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial dan Surat Berharga Komersial yang diterbitkan; dan b. melakukan tugas lain yang diperlukan dalam rangka penerbitan Surat Berharga Komersial. (2) Dalam hal penerbitan Surat Berharga Komersial disertai dengan penjaminan, lembaga pemeringkat memberikan penilaian pemeringkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan kapabilitas pihak yang memberikan penjaminan. Pasal 6 Konsultan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c memiliki tugas menyusun opini hukum atas kondisi atau keadaan suatu perusahaan, terkait: a. ketaatan perusahaan terhadap ketentuan anggaran dasarnya dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menjalankan kegiatan usahanya; b. perikatan yang dapat mempengaruhi kemampuan membayar korporasi; c. aset material yang dimiliki oleh korporasi; dan d. hal penting lainnya yang terkait dengan rencana penerbitan Surat Berharga Komersial. Pasal 7 Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d memiliki tugas: a. melakukan pemeriksaan laporan keuangan; b. memberikan pendapat terhadap laporan keuangan calon Penerbit atau Penerbit Surat Berharga Komersial; dan c. mempersiapkan hal-hal lain yang diperlukan dalam penerbitan Surat Berharga Komersial. Pasal 8 Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e memiliki tugas: a. melakukan penyusunan dokumen hukum dan legalitasnya; dan b. melakukan tugas lain yang berkaitan dengan jabatannya dalam rencana penerbitan Surat Berharga Komersial. Paragraf Kedua Persyaratan bagi Penata Laksana (Arranger) Penerbitan Surat Berharga Komersial Pasal 9 Penata laksana (arranger) Penerbitan terdiri atas: a. Bank; dan b. Perusahaan Efek. Pasal 10 (1) Bank atau Perusahaan Efek yang akan menjadi penata laksana (arranger) penerbitan yang terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, harus mengajukan surat permohonan kepada Bank Indonesia, sebagaimana contoh dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dokumen pendukung: a. terkait keabsahan aspek kelembagaan: 1. untuk Bank: a) fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahannya memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; dan yang telah b) fotokopi surat persetujuan izin kegiatan usaha bank umum sebagai penata laksana (arranger) penerbitan Surat Berharga Komersial dari otoritas yang berwenang; 2. untuk Perusahaan Efek: a) fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahannya memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; b) fotokopi surat persetujuan izin kegiatan usaha terkait penata laksana (arranger) penerbitan Surat Berharga Komersial yang diberikan oleh otoritas yang berwenang; dan c) fotokopi surat persetujuan izin sebagai wakil Perusahaan Efek dari otoritas yang berwenang; b. terkait kemampuan penata laksana (arranger) penerbitan: 1. informasi perusahaan, paling sedikit meliputi nama, alamat kantor pusat dan kontak korespondensi, serta daftar nama direksi dan dewan komisaris perusahaan serta keahlian; 2. prosedur operasi standar dalam kegiatan sebagai penata laksana (arranger) penerbitan; 3. dokumen yang memuat pedoman perilaku (code of conduct); 4. dokumen yang menjelaskan rekam jejak (track record) orang perseorangan yang bertindak mewakili penata laksana (arranger) penerbitan surat berharga selama 3 (tiga) tahun terakhir; 5. dokumen yang menjelaskan rekam jejak (track record) Perusahaan Efek atau Bank sebagai yang telah penata laksana (arranger) penerbitan surat berharga selama 3 (tiga) tahun terakhir; 6. surat pernyataan yang bermeterai cukup terkait komitmen manajemen untuk: a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan dan transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang sepanjang terdaftar di Bank Indonesia; b) memberikan jasa untuk Penerbitan Surat Berharga Komersial yang didaftarkan di Bank Indonesia; dan c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pemberian jasa terkait penerbitan Surat Berharga Komersial yang ditransaksikan di Pasar Uang, sebagaimana contoh dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Khusus untuk Perusahaan Efek, selain memenuhi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus menyampaikan dokumen berupa surat pernyataan yang bermeterai cukup yang ditandatangani oleh wakil Perusahaan Efek yang bersangkutan yang menjelaskan bahwa orang perseorangan sebagai wakil Perusahaan Efek bekerja hanya pada 1 (satu) Perusahaan Efek, sebagaimana contoh dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Paragraf Ketiga Persyaratan bagi Lembaga Pemeringkat Pasal 11 (1) Lembaga pemeringkat yang akan menjadi lembaga pemeringkat Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, harus mengajukan surat permohonan kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran I. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dokumen pendukung sebagai berikut: a. terkait keabsahan aspek kelembagaan: 1. izin usaha dari otoritas yang berwenang: a) untuk lembaga pemeringkat Indonesia, izin dapat bertindak sebagai pemeringkat yang melakukan kegiatan penilaian terhadap calon Penerbit dan instrumen yang akan diterbitkan dari otoritas yang berwenang; b) untuk lembaga pemeringkat asing, izin dapat bertindak sebagai pemeringkat yang melakukan kegiatan penilaian terhadap calon Penerbit dan instrumen yang akan diterbitkan dari otoritas yang berwenang; 2. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahannya lembaga lembaga yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; 3. fotokopi dokumen nomor pokok wajib pajak (NPWP) perseroan atau dokumen pajak dari negara domisili untuk lembaga pemeringkat asing; 4. identitas lembaga pemeringkat yang meliputi antara lain nama, alamat, dan logo; 5. struktur organisasi lembaga pemeringkat Surat Berharga Komersial yang memisahkan bagian yang berfungsi sebagai pemeringkatan, riset, pemasaran dan kepatuhan; 6. data anggota direksi, dewan komisaris, pejabat satu tingkat di bawah direksi, dan analis baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki pengalaman dalam bidang keuangan dan pemeringkatan surat berharga atau keahlian di bidang pemeringkatan surat berharga, meliputi: a) daftar nama; b) daftar riwayat hidup yang telah ditandatangani oleh yang bersangkutan; fotokopi ijazah pendidikan formal terakhir; c) d) e) fotokopi sertifikat keahlian di bidang pemeringkatan surat berharga (jika ada); fotokopi kartu tanda penduduk atau paspor yang masih berlaku; f) pasfoto terbaru ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar; g) fotokopi dokumen nomor pokok wajib pajak (NPWP) atau dokumen pajak dari negara domisili untuk lembaga pemeringkat asing bagi anggota direksi, dewan komisaris, pejabat satu tingkat di bawah direksi, dan analis, yang diwajibkan mempunyai nomor pokok wajib pajak berdasarkan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan; 7. data pemegang saham, meliputi: a. orang-perseorangan: 1) daftar riwayat hidup; dan 2) fotokopi kartu tanda penduduk atau paspor yang masih berlaku; b. badan hukum: 1) daftar nama badan hukum, alamat dan bidang usaha; fotokopi 2) akta pendirian perseroan/badan hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahannya; 3) fotokopi dokumen nomor pokok wajib pajak (NPWP) atau dokumen pajak dari negara domisili untuk badan hukum asing; 4) keterangan mengenai pihak yang mengendalikan pemegang saham baik langsung maupun tidak langsung, meliputi nama dan bentuk pengendalian; 5) data anggota komisaris, direksi, dewan dan/atau pengurus, meliputi: a) daftar riwayat hidup yang telah ditandatangani bersangkutan; dan b) kartu tanda penduduk atau paspor; 6) daftar pemegang saham; 8. dokumen sistem pengendalian mutu; b. terkait kemampuan lembaga pemeringkat: 1. dokumen yang menjelaskan rekam jejak (track record) orang perseorangan yang bertindak sebagai analis pemeringkatan dalam 3 (tiga) tahun terakhir; 2. dokumen yang menjelaskan prosedur dan metodologi pemeringkatan; 3. dokumen yang menerangkan jangka waktu operasional menjalankan kegiatan operasional paling kurang 1 (satu) tahun; 4. dokumen yang menerangkan lembaga pemeringkat telah mempublikasikan paling kurang 2 (dua) hasil pemeringkatan; 5. dokumen pengaturan prosedur operasi standar terkait kebijakan penyebaran informasi; lembaga pemeringkat telah oleh yang 6. dokumen yang menjelaskan rekam jejak (track record) lembaga pemeringkat dalam 3 (tiga) tahun terakhir; 7. dokumen evaluasi terhadap studi terjadinya default (default study); 8. dokumen yang menjelaskan bahwa lembaga pemeringkat memiliki komite pemeringkat untuk memastikan adanya proses pemeringkatan yang independen, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan; 9. surat pernyataan yang bermeterai cukup terkait komitmen manajemen untuk: a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan dan transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang sepanjang terdaftar di Bank Indonesia; b) memberikan jasa untuk Penerbitan Surat Berharga Komersial yang didaftarkan di Bank Indonesia; dan c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pemberian jasa terkait penerbitan Surat Berharga Komersial yang ditransaksikan di Pasar Uang, sebagaimana contoh dalam Lampiran III. Paragraf Keempat Persyaratan bagi Konsultan Hukum Pasal 12 (1) Konsultan hukum yang akan menjadi konsultan hukum yang terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, harus mengajukan surat permohonan kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran I. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dokumen pendukung: a. fotokopi kartu tanda penduduk; terkait keabsahan individual profesi sebagai konsultan hukum: 1. 2. 3. fotokopi dokumen nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama konsultan hukum yang bersangkutan; fotokopi ijazah dengan latar belakang pendidikan tinggi hukum paling kurang strata 1; 4. fotokopi bukti terdaftar sebagai konsultan hukum dari otoritas yang berwenang di pasar keuangan; 5. dokumen yang menjelaskan pendidikan berkelanjutan yang telah diikuti dalam 1 (satu) tahun terakhir yang berhubungan dengan profesi konsultan hukum; 6. dokumen yang menyatakan konsultan hukum merupakan partner dari kantor konsultan hukum; 7. surat keterangan dari kantor konsultan hukum yang menjelaskan bahwa partner dari kantor konsultan hukum tersebut mengajukan permohonan untuk terdaftar di Bank Indonesia; 8. dokumen yang menjelaskan kantor konsultan hukum sebagaimana dimaksud pada angka 6: a) fotokopi anggaran dasar atau akta pendirian badan usaha dari kantor konsultan hukum; b) c) fotokopi dokumen nomor pokok wajib pajak atas nama kantor konsultan hukum; surat keterangan domisili; d) dokumen yang membuktikan bahwa kantor konsultan hukum memiliki partner yang merupakan anggota perhimpunan konsultan hukum di pasar keuangan; e) surat pernyataan bermeterai cukup yang ditandatangani oleh pimpinan kantor konsultan hukum yang menyatakan bahwa kantor konsultan hukum akan melaksanakan kegiatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan peraturan lain yang terkait sebagaimana contoh dalam Lampiran II; f) surat perjanjian kerja sama antara kantor konsultan hukum dengan kantor konsultan hukum lain yang memiliki konsultan hukum pasar keuangan apabila konsultan hukum yang menjadi partner berhalangan untuk melaksanakan tugasnya, bagi kantor konsultan hukum yang hanya memiliki 1 (satu) orang partner konsultan hukum pasar keuangan; g) struktur organisasi kantor konsultan hukum yang meliputi pimpinan, susunan partner, pengawas menengah, dan staf pelaksana; dan h) surat pernyataan yang bermeterai cukup bahwa kantor konsultan hukum memiliki sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan, kode etik, serta standar profesi sebagaimana contoh dalam Lampiran II; b. terkait kemampuan konsultan hukum: 1. fotokopi 2. 3. izin advokat berdasarkan Undang- Undang yang mengatur mengenai advokat; fotokopi kartu keanggotaan dalam himpunan konsultan hukum di pasar keuangan; fotokopi sertifikat pendidikan profesi dari perhimpunan konsultan hukum di pasar keuangan; 4. dokumen yang menjelaskan kegiatan yang pernah dilakukan di bidang pasar keuangan; 5. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan bahwa konsultan hukum tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan sebagaimana contoh dalam Lampiran II; 6. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan kesanggupan untuk mengikuti program pendidikan berkelanjutan yang relevan di bidang pasar keuangan sebagaimana contoh dalam Lampiran II; dan 7. surat pernyataan yang bermeterai cukup terkait komitmen manajemen untuk: a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan dan transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang sepanjang terdaftar di Bank Indonesia; b) memberikan jasa untuk Penerbitan Surat Berharga Komersial yang didaftarkan di Bank Indonesia; dan c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pemberian jasa terkait penerbitan Surat Berharga Komersial yang ditransaksikan di Pasar Uang, sebagaimana contoh dalam Lampiran III. Paragraf Kelima Persyaratan bagi Akuntan Publik Pasal 13 (1) Akuntan publik yang akan menjadi akuntan publik yang terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, harus mengajukan surat permohonan kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran I. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dokumen pendukung: a. fotokopi kartu tanda penduduk; terkait keabsahan individual profesi sebagai akuntan publik: 1. 2. 3. fotokopi dokumen nomor pokok wajib pajak atas nama akuntan publik yang bersangkutan; fotokopi surat keputusan dari Menteri Keuangan mengenai pemberian surat izin akuntan publik; 4. fotokopi keanggotaan asosiasi profesi akuntan publik; 5. surat rekomendasi untuk melakukan kegiatan di pasar keuangan dari asosiasi profesi akuntan publik; 6. fotokopi bukti terdaftar sebagai akuntan publik dari otoritas yang berwenang di pasar keuangan; 7. dokumen yang menyatakan bahwa akuntan publik merupakan rekan dari kantor akuntan publik; 8. dokumen terkait kantor akuntan publik, meliputi: a) fotokopi anggaran dasar atau akta pendirian badan usaha dari kantor akuntan publik; b) c) fotokopi dokumen nomor pokok wajib pajak atas nama kantor akuntan publik; fotokopi surat izin usaha kantor akuntan publik dari Menteri Keuangan; d) daftar nama rekan yang tergabung dalam kantor akuntan publik; e) fotokopi surat persetujuan dari Menteri Keuangan mengenai pencantuman nama kantor akuntan publik asing (KAPA), apabila kantor akuntan publik bekerjasama dengan kantor akuntan publik asing (KAPA); f) fotokopi surat persetujuan dari Menteri Keuangan mengenai pencantuman nama organisasi audit Indonesia (OAI) dan/atau organisasi audit asing (OAA), apabila kantor akuntan publik bekerjasama dengan organisasi audit Indonesia (OAI) atau organisasi audit asing (OAA); dan g) surat keterangan dari kantor akuntan publik yang menjelaskan bahwa rekan dari kantor akuntan publik tersebut mengajukan permohonan untuk terdaftar di Bank Indonesia; b. terkait kemampuan akuntan publik: 1. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyebutkan bahwa akuntan memahami dan mampu melakukan pekerjaan sesuai dengan kode etik dan standar profesi sebagaimana contoh dalam Lampiran II; 2. fotokopi bukti telah mengikuti pelatihan mengenai pasar keuangan (jika ada); 3. surat pernyataan bermeterai cukup yang menjelaskan bahwa tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan sebagaimana contoh dalam Lampiran II; 4. surat pernyataan yang bermeterai cukup terkait komitmen untuk: a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan dan transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang sepanjang terdaftar di Bank Indonesia; publik b) memberikan jasa untuk Penerbitan Surat Berharga Komersial yang didaftarkan di Bank Indonesia; c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pemberian jasa terkait penerbitan Surat Berharga Komersial yang ditransaksikan di Pasar Uang, sebagaimana contoh dalam Lampiran III; 5. dokumen terkait kantor akuntan publik, meliputi: a) surat pernyataan bermeterai cukup yang menjelaskan kantor akuntan publik memiliki dan menaati standar pengendalian mutu bagi kantor akuntan publik yang memberikan jasa audit sebagaimana contoh dalam Lampiran II; b) surat pernyataan bermeterai cukup yang ditandatangani oleh pimpinan kantor akuntan publik yang menyatakan bahwa pimpinan kantor akuntan publik bertanggungjawab atas pelaksanaan pedoman pengendalian mutu yang berlaku pada kantor akuntan publik yang bersangkutan sebagaimana contoh dalam Lampiran II; c) struktur organisasi kantor akuntan publik yang meliputi susunan pimpinan, susunan rekan, dan staf pelaksana; dan d) dokumen yang menjelaskan bahwa dalam melakukan pemeriksaan, kantor akuntan publik menerapkan paling tidak 2 (dua) jenjang pengendalian. Paragraf Keenam Persyaratan bagi Notaris Pasal 14 (1) Notaris yang akan menjadi notaris yang terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e, harus mengajukan surat permohonan kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran I. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dokumen pendukung: a. terkait keabsahan notaris: 1. 2. 3. 4. 5. 6. fotokopi kartu tanda penduduk; fotokopi dokumen nomor pokok wajib pajak atas nama notaris yang bersangkutan; fotokopi surat keputusan pengangkatan sebagai notaris dari instansi terkait; fotokopi berita acara sumpah notaris yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang; fotokopi bukti keanggotaan ikatan notaris Indonesia; fotokopi bukti terdaftar sebagai notaris di pasar keuangan dari otoritas yang berwenang di pasar keuangan; b. terkait kemampuan notaris: 1. fotokopi dokumen yang menjelaskan pendidikan berkelanjutan yang telah diikuti dalam 1 (satu) tahun terakhir yang berhubungan dengan profesi notaris bidang pasar keuangan; 2. surat pernyataan bermeterai cukup mengenai kesanggupan secara terus menerus mengikuti program pendidikan profesi lanjutan di bidang kenotariatan dan peraturan perundang- undangan di bidang Pasar keuangan sebagaimana contoh dalam Lampiran II; 3. surat pernyataan bermeterai cukup bahwa yang bersangkutan tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan sebagaimana contoh dalam Lampiran II; dan 4. surat pernyataan yang bermeterai cukup terkait komitmen untuk: a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan dan transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang sepanjang terdaftar di Bank Indonesia; b) memberikan jasa untuk Penerbitan Surat Berharga Komersial yang didaftarkan di Bank Indonesia; c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pemberian jasa terkait penerbitan Surat Berharga Komersial yang ditransaksikan di Pasar Uang, sebagaimana contoh dalam Lampiran III. Pasal 15 (1) Dalam hal notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 berhalangan maka dapat digantikan oleh notaris pengganti. (2) Notaris pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. Bagian Kedua Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial Pasal 16 Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial terdiri atas: a. Perusahaan Efek; dan b. Perusahaan Pialang. Paragraf Kesatu Tugas Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial Pasal 17 Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memiliki tugas melakukan kegiatan sebagai perantara jual dan/atau beli dalam transaksi Surat Berharga Komersial. Paragraf Kedua Persyaratan Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial Pasal 18 (1) Perusahaan Efek atau Perusahaan Pialang yang akan menjadi Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, harus mengajukan surat permohonan kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran I. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung: a. terkait keabsahan aspek kelembagaan: 1. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahannya yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; 2. dokumen yang menjelaskan informasi perusahaan, paling kurang meliputi nama, alamat kantor pusat, dan kontak korespondensi, serta daftar nama direksi dan dewan komisaris; dan 3. fotokopi bukti izin usaha melakukan kegiatan sebagai perantara pelaksanaan transaksi dari otoritas yang berwenang di sektor keuangan; b. terkait kemampuan Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial: 1. dokumen yang menjelaskan pengendalian mutu; 2. prosedur operasi standar dalam kegiatan sebagai memuat tata cara bekerja; 3. dokumen yang memuat pedoman perilaku (code of conduct); dan 4. surat pernyataan yang bermeterai cukup terkait komitmen manajemen untuk: a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan dan transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang sepanjang terdaftar di Bank Indonesia; b) memberikan jasa untuk Penerbitan Surat Berharga Komersial yang didaftarkan di Bank Indonesia; dan c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pemberian jasa terkait penerbitan Surat Berharga Komersial yang ditransaksikan di Pasar Uang, sebagaimana contoh dalam Lampiran III. Bagian Ketiga Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial Pasal 19 Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial terdiri atas: a. Bank yang melaksanakan kegiatan kustodian; dan lembaga pendukung transaksi yang pedoman b. Perusahaan Efek. Paragraf Kesatu Tugas Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial Pasal 20 Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 memiliki tugas: a. mewakili kepentingan nasabah yang merupakan investor (pemilik Surat Berharga Komersial) dalam proses penitipan kolektif sejak penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial hingga penyajian laporan atas seluruh aktivitasnya sebagai kustodian; b. meminta kepada investor Surat Berharga Komersial untuk memberikan kuasa kepada Bank Indonesia untuk mendapatkan data penyelesaian transaksi dan posisi kepemilikan Surat Berharga Komersial; dan c. tugas lain yang diperlukan dalam rangka menatausahakan dan menyelesaikan transaksi Surat Berharga Komersial. Paragraf Kedua Persyaratan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial Pasal 21 (1) Bank yang melaksanakan kegiatan kustodian atau Perusahaan Efek yang akan menjadi Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, harus mengajukan surat permohonan kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran I. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung: a. terkait keabsahan aspek kelembagaan: 1. dokumen yang menjelaskan informasi perusahaan, paling kurang meliputi nama, alamat kantor pusat, dan kontak korespondensi, serta daftar nama direksi dan dewan komisaris; 2. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahannya yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; 3. fotokopi surat persetujuan izin kegiatan usaha bank sebagai kustodian dari otoritas yang berwenang bagi Bank atau fotokopi izin Perusahaan Efek yang dapat mengadministrasikan rekening efek nasabah dari otoritas yang berwenang bagi Perusahaan Efek; b. terkait kemampuan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial: 1. dokumen yang menjelaskan pengendalian mutu; 2. prosedur operasi standar dalam kegiatan sebagai Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang memuat tata cara bekerja; 3. dokumen yang memuat pedoman perilaku (code of conduct); dan 4. surat pernyataan yang bermeterai cukup terkait komitmen manajemen untuk: a) memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerbitan dan pedoman transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang sepanjang terdaftar di Bank Indonesia; b) memberikan jasa untuk penatausahaan dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial yang didaftarkan di Bank Indonesia; dan c) menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pemberian jasa terkait penerbitan Surat Berharga Komersial yang ditransaksikan di Pasar Uang, sebagaimana contoh dalam Lampiran III. BAB III PENGUNGKAPAN INFORMASI TERKAIT HUBUNGAN AFILIASI Pasal 22 (1) Dalam hal Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial merupakan pihak yang terafiliasi dengan Penerbit Surat Berharga Komersial dan/atau pihak lain yang terlibat dalam penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial harus menyampaikan informasi mengenai hubungan afiliasi tersebut di dalam memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya. (2) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan memiliki hubungan afiliasi dengan calon Penerbit Surat Berharga Komersial apabila: a. memiliki saham pada korporasi calon Penerbit Surat Berharga Komersial; b. memiliki pemegang saham yang sama dengan calon Penerbit Surat Berharga Komersial; dan/atau c. merupakan anak perusahaan dari calon Penerbit Surat Berharga Komersial. Pasal 23 Dalam hal Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial memiliki hubungan afiliasi dengan calon Penerbit Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial harus menyampaikan surat pernyataan bermeterai cukup yang menjelaskan hal tersebut pada saat proses permohonan penerbitan, sebagaimana contoh dalam Lampiran II. BAB IV PEMROSESAN PERMOHONAN PENDAFTARAN LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG YANG MELAKUKAN KEGIATAN TERKAIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG Pasal 24 Pengajuan permohonan untuk terdaftar di Bank Indonesia sebagai: a. Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; b. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16; dan c. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, ditujukan kepada: Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia Gedung C Lantai 5 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 Surat elektronik: [email protected] Pasal 25 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan untuk terdaftar di Bank Indonesia sebagai: a. Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; b. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16; dan c. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19. (2) Pemberian persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara: a. melakukan penelaahan administratif atas seluruh dokumen yang dipersyaratkan; dan b. mempertimbangkan aspek independen, objektif, dan profesional dari calon Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, dan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial. Pasal 26 (1) Persetujuan atas permohonan untuk terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) diberikan dalam hal: a. hasil penelaahan administratif dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a menunjukkan bahwa dokumen yang disampaikan pemohon telah lengkap, benar, dan sesuai dengan kriteria yang diatur oleh Bank Indonesia; dan b. hasil klarifikasi lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b menunjukkan kebenaran sesuai dengan dokumen yang diajukan dan/atau tidak terdapat permasalahan berdasarkan informasi dari otoritas yang berwenang. (2) Permohonan untuk terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) ditolak dalam hal: a. hasil penelaahan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a sebagaimana menunjukkan bahwa dokumen yang disampaikan pemohon tidak benar dan/atau tidak sesuai terhadap kriteria yang diatur dengan yang dipersyaratkan oleh Bank Indonesia; dan b. hasil klarifikasi lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b tidak menunjukkan kebenaran dan kesesuaian dengan dokumen yang diajukan dan/atau terdapat permasalahan berdasarkan informasi dari otoritas pengawas lembaga keuangan yang berwenang. Pasal 27 Dalam rangka pemberian persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Bank Indonesia dapat meminta tambahan dokumen atau informasi dalam hal diperlukan. Pasal 28 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan untuk terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat permohonan dan dokumen pendukung diterima oleh Bank Indonesia secara lengkap. (2) Penyampaian persetujuan atau penolakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis melalui surat. (3) Bank Indonesia mempublikasikan daftar Lembaga Pendukung Pasar Uang yang telah memperoleh persetujuan untuk melakukan kegiatan terkait Surat Berharga Komersial di Pasar Uang dalam website Bank Indonesia dan/atau sarana elektronik lainnya. Pasal 29 Bank Indonesia dapat mencabut persetujuan atas permohonan untuk terdaftar sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) dalam hal: a. b. izin usaha atau keanggotaan profesi dicabut oleh otoritas yang berwenang; terdapat putusan badan peradilan terkait dengan kegiatan usaha Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan kegiatan terkait Surat Berharga Komersial di Pasar Uang; c. d. terdapat rekomendasi dari otoritas yang berwenang; telah dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan di pasar Surat Berharga Komersial sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana diatur di dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang; e. berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia menunjukkan adanya permasalahan yang mempengaruhi kemampuan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, dan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial dalam melakukan kegiatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang; dan/atau f. terdapat permintaan dari lembaga atau individu profesi yang bersangkutan dengan persetujuan dari otoritas pengawas yang berwenang. Pasal 30 (1) Dalam hal terjadi aksi korporasi berupa penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan dari Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, dan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang telah terdaftar di Bank Indonesia, Bank Indonesia mencabut persetujuan yang sudah diberikan. (2) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, dan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan permohonan untuk terdaftar kembali dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Pencabutan persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, dan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial. BAB V TATA CARA PELAPORAN LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG YANG MELAKUKAN KEGIATAN TERKAIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG Pasal 31 (1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, serta Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang telah terdaftar di Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan nontransaksional kepada Bank Indonesia. (2) Laporan nontransaksional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia secara tertulis dan melalui sarana elektronik. (3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan kepada: Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia Gedung C Lantai 5 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 Surat elektronik: [email protected] (4) Dalam hal terdapat perubahan alamat dan surat elektronik penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis melalui surat. Bagian Kesatu Laporan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial Pasal 32 (1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan laporan nontransaksional kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) secara: a. berkala; dan b. insidental (2) Periode pelaporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah dari tanggal 1 April sampai dengan tanggal 31 Maret tahun berikutnya. (3) Penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat pada hari kerja terakhir di bulan April. Pasal 33 (1) Penyampaian laporan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a dilakukan untuk laporan yang terkait dengan aspek kemampuan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial dalam menjalankan fungsinya. (2) Laporan secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. laporan peningkatan mutu, yang memuat kegiatan peningkatan pengetahuan dan kompetensi Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial terkait pasar keuangan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, otoritas terkait, dan/atau asosiasi profesi yang bersangkutan; dan b. laporan kegiatan pemberian jasa penerbitan Surat Berharga Komersial, yang memuat jasa yang diberikan terkait penerbitan Surat Berharga Komersial. (3) Laporan berkala disampaikan dengan format sebagaimana contoh dalam Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 34 Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial dianggap tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), dalam hal Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial tidak menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia sampai dengan batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3). Pasal 35 (1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan laporan insidental dalam hal terdapat perubahan data pendukung terkait aspek kelembagaan dan aspek kemampuan dalam menjalankan fungsinya. (2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat perubahan data dan/atau informasi terkait dokumen yang disampaikan pada saat pendaftaran. Pasal 36 (1) Penyampaian laporan insidental kepada Bank Indonesia dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak terdapat perubahan secara formal. (2) Laporan insidental disampaikan dengan format sebagaimana contoh dalam Lampiran V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 37 Dalam hal sampai dengan batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial tidak menyampaikan laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) maka Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial dianggap tidak menyampaikan laporan insidental kepada Bank Indonesia. Pasal 38 (1) Dalam hal Bank Indonesia memerlukan informasi tambahan atas laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan informasi tambahan tersebut kepada Bank Indonesia. (2) Penyampaian informasi tambahan kepada Bank Indonesia dilakukan sesuai jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia secara tertulis melalui surat. (3) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan informasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap tidak menyampaikan informasi tambahan. Bagian Kedua Laporan Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial Pasal 39 (1) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan laporan nontransaksional berupa laporan insidental kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat perubahan data pendukung terkait aspek kelembagaan dan aspek kemampuan dalam menjalankan fungsinya. (2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat perubahan data dan/atau informasi terkait dokumen yang disampaikan pada saat pendaftaran. Pasal 40 (1) Penyampaian laporan insidental kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak terdapat perubahan secara formal. (2) Laporan insidental disampaikan dengan format sebagaimana contoh dalam Lampiran V. (3) Dalam hal sampai dengan batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial tidak menyampaikan laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) maka Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial dianggap tidak menyampaikan laporan insidental. Pasal 41 (1) Dalam hal Bank Indonesia memerlukan informasi tambahan atas laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan informasi tambahan tersebut kepada Bank Indonesia. (2) Penyampaian informasi tambahan kepada Bank Indonesia dilakukan sesuai jangka waktu penyampaian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia secara tertulis melalui surat. (3) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan informasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap tidak menyampaikan informasi tambahan kepada Bank Indonesia. Bagian Ketiga Laporan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial Pasal 42 (1) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan laporan nontransaksional berupa laporan insidental kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat perubahan data pendukung terkait aspek kelembagaan dan aspek kemampuan dalam menjalankan fungsinya. (2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat perubahan data dan/atau informasi terkait dokumen yang disampaikan pada saat pendaftaran. Pasal 43 (1) Penyampaian laporan insidental kepada Bank Indonesia dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak terdapat perubahan secara formal. (2) Laporan insidental disampaikan dengan format sebagaimana contoh dalam Lampiran V. (3) Dalam hal sampai dengan batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial tidak menyampaikan laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) maka Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial dianggap tidak menyampaikan laporan insidental kepada Bank Indonesia. Pasal 44 (1) Dalam hal Bank Indonesia memerlukan informasi tambahan atas laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan informasi tambahan tersebut kepada Bank Indonesia. (2) Penyampaian informasi tambahan kepada Bank Indonesia dilakukan sesuai jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia secara tertulis melalui surat. (3) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan informasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap tidak menyampaikan informasi tambahan kepada Bank Indonesia. BAB VI PENGAWASAN Pasal 45 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau serta Lembaga Pendukung b. pemeriksaan. (3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas lain yang berwenang dan/atau lembaga profesi terkait. (4) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. Pasal 46 (1) Dalam rangka pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b, Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, serta Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial wajib menyediakan dan menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan oleh Bank Indonesia. (2) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, serta Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial wajib bertanggung jawab atas kebenaran data, informasi, dan/atau keterangan yang disampaikan kepada Bank Indonesia. BAB VII TATA CARA PENGENAAN SANKSI Bagian Kesatu Sanksi bagi Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial di Pasar Uang Pasal 47 (1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang tidak menyediakan data, informasi, dan/atau keterangan secara benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5) dan/atau Pasal 37 ayat (6) Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan laporan dalam hal terdapat perubahan data pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (4) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan tambahan informasi yang diminta oleh Bank Indonesia atas laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (5) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dalam 20 (dua puluh) hari kerja sejak dikenakan teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dikenakan sanksi teguran tertulis berikutnya. (6) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang memberikan jasa penerbitan atas Surat Berharga Komersial yang tidak terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (7) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang memberikan pendapat dan keterangan yang tidak objektif, tidak independen serta memberikan pendapat dan keterangan yang menyesatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (8) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 48 Penyampaian surat pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang, instansi, asosiasi, dan/atau lembaga profesi yang terkait. Pasal 49 (1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang mendapatkan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, dikenakan sanksi penghentian sementara pemberian jasa dalam penerbitan Surat Berharga Komersial selama 1 (satu) bulan sejak surat teguran tertulis terakhir disampaikan. (2) Cara penghitungan sanksi penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagaimana contoh dalam Lampiran VI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 50 (1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang mendapatkan sanksi penghentian sementara pemberian jasa dalam penerbitan Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) sebanyak 3 (tiga) kali, dikenakan sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia. (2) Cara penghitungan sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Penyampaian surat pengenaan sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang, instansi, asosiasi, dan/atau lembaga profesi yang terkait. Pasal 51 (1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang melakukan pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 37 ayat (5) dan Pasal 37 ayat (6) Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang yang berdampak signifikan dan/atau menimbulkan kerugian, dikenakan sanksi berupa penghentian sementara pemberian jasa dalam penerbitan Surat Berharga Komersial selama 1 (satu) bulan sejak surat penghentian sementara disampaikan. (2) Penyampaian surat pengenaan sanksi penghentian sementara pemberian jasa dalam penerbitan Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang, instansi, asosiasi, dan/atau lembaga profesi yang terkait. Pasal 52 Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang mendapatkan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, tetap harus memenuhi kewajiban yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang. Bagian Kedua Sanksi bagi Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial Pasal 53 (1) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak menyediakan data, informasi, dan/atau keterangan secara benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5) dan/atau Pasal 37 ayat (6) Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan laporan dalam hal terdapat perubahan data pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi teguran tertulis berikutnya. (4) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang memberikan jasa perantara pelaksanaan transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (5) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 54 Penyampaian surat pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang dan/atau asosiasi yang terkait. Pasal 55 (1) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang menerima sanksi administratif berupa teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam) bulan dikenakan sanksi penghentian sementara pemberian jasa perantara pelaksanaan transaksi Surat Berharga Komersial selama 1 (satu) bulan sejak surat teguran tertulis terakhir disampaikan. (2) Cara penghitungan sanksi penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana contoh dalam Lampiran VI. Pasal 56 (1) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang mendapatkan sanksi penghentian sementara pemberian jasa perantara pelaksanaan Transaksi Surat Berharga Komersial sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia. (2) Cara penghitungan sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran VII. (3) Penyampaian surat pengenaan sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang dan/atau asosiasi yang terkait. Pasal 57 Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang mendapatkan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, tetap harus memenuhi kewajiban yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang. Bagian Ketiga Sanksi bagi Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial Pasal 58 (1) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak menyediakan data, informasi, dan/atau keterangan secara benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5) dan/atau Pasal 37 ayat (6) Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan laporan dalam hal terdapat perubahan data pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi teguran tertulis berikutnya. (4) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 59 Penyampaian surat pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dan/atau asosiasi yang terkait. Pasal 60 (1) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang menerima sanksi administratif berupa teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, dikenakan sanksi penghentian sementara penerimaan penatausahaan Surat Berharga Komersial dari nasabah baru selama 1 (satu) bulan sejak surat teguran tertulis terakhir disampaikan. (2) Cara penghitungan sanksi penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana contoh dalam Lampiran VI. (3) Penyampaian surat pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dan/atau asosiasi terkait. Pasal 61 (1) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang mendapatkan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sebanyak 3 (tiga) kali dikenakan sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia. (2) Cara penghitungan sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran VII. (3) Penyampaian surat pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dan/atau asosiasi yang terkait. Pasal 62 Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang mendapatkan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, tetap harus memenuhi kewajiban yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 63 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 4 September 2017. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 September 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, PERRY WARJIYO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/9/PADG/2017 TENTANG LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG YANG MELAKUKAN KEGIATAN TERKAIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG I. UMUM Dalam rangka meningkatkan efektivitas kebijakan moneter, makroprudensial, stabilitas sistem keuangan, kelancaran sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, pengembangan pasar uang yang likuid, dalam, dan efisien. Salah satu elemen utama pengembangan pasar uang adalah pengembangan instrumen pasar uang yang mampu mendorong tersedianya variasi bagi pelaku pasar. Terkait hal tersebut, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang. Dalam ketentuan tersebut, Bank Indonesia selaku otoritas di pasar uang mengatur, memberikan persetujuan terdaftar, mengembangkan dan mengawasi Lembaga Pendukung Pasar Uang yang akan terlibat dalam proses penerbitan Surat Berharga Komersial. Ketentuan tersebut merupakan landasan hukum bagi pelaku pasar, termasuk Lembaga Pendukung Pasar Uang. Dalam rangka implementasi ketentuan tersebut, Bank Indonesia menetapkan peraturan pelaksanaan yang berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan bagi Lembaga Pendukung Pasar Uang yang akan terlibat dalam proses penerbitan Surat Berharga Komersial sebelum melakukan kegiatan penerbitan Surat Berharga Komersial, transaksi Surat Berharga perlu dilakukan Komersial, serta penatausahaan dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial, yang terdiri dari aspek proses pendaftaran, pelaporan dan pengawasan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Hal yang dipertimbangkan dalam pemberian peringkat antara lain kemampuan Penerbit Surat Berharga Komersial untuk melakukan pembayaran kewajiban secara tepat waktu. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Aset material adalah aset yang memiliki nilai perolehan atau nilai pasar yang sangat signifikan dibandingkan dengan total aset yang dimiliki perusahaan. Huruf d Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Yang dimaksud dengan “dokumen yang memuat pedoman perilaku” adalah dokumen yang memuat perilaku yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan dalam melakukan berbagai tahapan proses penerbitan surat berharga. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Yang dimaksud dengan “pasar keuangan” adalah pasar uang dan pasar modal. Angka 5 Yang dimaksud dengan “pendidikan yang berkelanjutan” adalah pendidikan yang relevan yang harus diikuti oleh konsultan hukum yang sudah terdaftar di pasar keuangan setiap tahun. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan “pendidikan berkelanjutan” adalah pendidikan yang relevan yang harus diikuti oleh notaris yang sudah terdaftar di pasar keuangan setiap tahun. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dokumen lainnya” adalah surat pernyataan yang disampaikan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial kepada Bank Indonesia pada saat pengajuan permohonan pendaftaran untuk mengungkapkan adanya hubungan Penerbitan Surat Berharga Komersial dengan calon Penerbit Surat Berharga Komersial. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. afiliasi antara Lembaga Pendukung Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud “laporan nontransaksional” adalah laporan selain transaksi Surat Berharga Komersial yang wajib dilaporkan oleh Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, dan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “insidental” adalah penyampaian laporan perubahan data pendukung dilakukan sewaktu- sewaktu segera setelah terjadinya perubahan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Jasa yang diberikan terkait penerbitan Surat Berharga Komersial mencakup jasa yang diberikan sehubungan dengan persiapan penerbitan Surat Berharga Komersial maupun yang diberikan pascapenerbitan Surat Berharga Komersial kepada Penerbit Surat Berharga Komersial. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “insidental” adalah penyampaian laporan perubahan data pendukung dilakukan sewaktu-sewaktu segera setelah terjadinya perubahan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “perubahan data dan/atau informasi terkait dokumen yang disampaikan pada saat pendaftaran” meliputi: a. informasi kelembagaan, seperti perubahan kepengurusan perusahaan, lokasi kantor, dan kepemilikan; b. penambahan atau pengurangan izin usaha atau izin prinsip; c. pedoman internal; d. perubahan prosedur operasi standar; dan/atau e. pencabutan izin keanggotaan asosiasi profesi. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “insidental” adalah penyampaian laporan perubahan data pendukung dilakukan sewaktu-sewaktu segera setelah terjadinya perubahan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “perubahan data dan/atau informasi terkait dokumen yang disampaikan pada saat pendaftaran” meliputi: a. informasi kelembagaan, seperti perubahan kepengurusan perusahaan, lokasi kantor, dan kepemilikan; b. penambahan atau pengurangan izin usaha atau izin prinsip; c. pedoman internal; dan/atau d. perubahan prosedur operasi standar. Pasal 40 Ayat (1) Contoh penyampaian laporan yang terkait perubahan data pendukung dalam 14 (empat belas) hari kerja sejak terdapat perubahan secara formal: 1. Perubahan prosedur operasi standar dilaporkan setelah penetapan diberlakukannya prosedur tersebut; 2. Perubahan kepengurusan dilaporkan setelah AD/ART disahkan oleh instansi yang berwenang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “perubahan data dan/atau informasi terkait dokumen yang disampaikan pada saat pendaftaran” meliputi: a. informasi kelembagaan, seperti perubahan kepengurusan perusahaan, lokasi kantor, dan kepemilikan; b. penambahan atau pengurangan izin usaha atau izin prinsip; c. pedoman internal; dan/atau d. perubahan prosedur operasi standar. Pasal 43 Ayat (1) Contoh penyampaian laporan yang terkait perubahan data pendukung dalam 14 (empat belas) hari kerja sejak terdapat perubahan secara formal: 1. Perubahan prosedur operasi standar dilaporkan setelah penetapan diberlakukannya prosedur tersebut; 2. Perubahan kepengurusan dilaporkan setelah AD/ART disahkan oleh instansi yang berwenang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Lembaga profesi terkait seperti Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) atau Ikatan Notaris Indonesia (INI). Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 19/9/PADG/2017 </reg_id> <reg_title> LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG YANG MELAKUKAN KEGIATAN TERKAIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG </reg_title> <set_date> 4 September 2017 </set_date> <effective_date> 4 September 2017 </effective_date> <related_reg> '19/9/PBI/2017', '18/11/PBI/2016' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/1/PADG/2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/6/PADG/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menerbitkan perubahan Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pinjaman likuiditas jangka pendek bagi bank umum konvensional dengan menambah jenis agunan berkualitas tinggi berupa Sukuk Bank Indonesia; b. bahwa perubahan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu didukung dengan peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai mekanisme dan hal teknis terkait Sukuk Bank Indonesia sebagai agunan pinjaman likuiditas jangka pendek; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 2 19/6/PADG/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/3/PBI/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek Bagi Bank Umum Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6044) sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/16/PBI/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/3/PBI/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6281); 2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/6/PADG/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/6/PADG/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/6/PADG/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah dan ditambahkan 1 (satu) angka baru, yakni angka 20 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: 3 Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai Bank Indonesia. 2. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 3. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, tidak termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, tidak termasuk unit usaha syariah dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 5. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah giro wajib minimum dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 6. Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar dalam rupiah yang dapat membuat Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM. 4 7. Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek yang selanjutnya disingkat PLJP adalah pinjaman dari Bank Indonesia kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang dialami oleh Bank. 8. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 9. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 10. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah Sertifikat Deposito Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 11. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. 12. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau yang dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, dalam mata uang rupiah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 13. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah SUN dan SBSN. 5 14. Aset Kredit adalah aset Bank berupa kredit sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, tidak termasuk kredit dalam valuta asing. 15. Aset Pembiayaan adalah aset Bank berupa pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, tidak termasuk pembiayaan dalam valuta asing. 16. Obligasi Korporasi adalah surat utang yang diterbitkan oleh korporasi selain Bank yang mengajukan permohonan PLJP, dalam mata uang rupiah, dan ditatausahakan di Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), termasuk obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah daerah. 17. Sukuk Korporasi adalah surat utang yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah oleh korporasi selain Bank yang mengajukan permohonan PLJP, dalam mata uang rupiah, dan ditatausahakan di KSEI, termasuk sukuk yang diterbitkan oleh pemerintah daerah. 18. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah Sistem BI-RTGS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana melalui Sistem BI- RTGS. 19. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS. 20. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SukBI adalah Sukuk Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 6 2. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diubah sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) PLJP harus dijamin dengan agunan berkualitas tinggi berupa: a. SBI; b. SBIS yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank; c. SDBI; d. SukBI, termasuk SukBI yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank; e. SBN, termasuk SBSN yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank; f. Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi, termasuk Sukuk Korporasi yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank; g. Aset Kredit; dan/atau h. Aset Pembiayaan dengan akad mudharabah, akad musyarakah, dan/atau akad ijarah nonjasa yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank. (2) Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f hanya dapat dijadikan agunan PLJP dalam hal pada saat permohonan: a. Bank tidak memiliki SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN; atau b. Bank memiliki SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN namun nilainya tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJP. (3) Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dan huruf h hanya dapat dijadikan agunan PLJP dalam hal pada saat permohonan: a. Bank tidak memiliki SBI, SBIS, SDBI, SukBI, SBN, Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi; atau 7 b. Bank memiliki SBI, SBIS, SDBI, SukBI, SBN, Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi, namun nilainya tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJP. (4) Agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berada dalam kondisi: a. bebas dari segala perikatan, sengketa, dan sitaan; dan b. tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau Bank Indonesia. (5) Bank tidak dapat memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang masih dalam status sebagai agunan PLJP. 3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank dapat digunakan sebagai agunan PLJP dengan ketentuan sebagai berikut: a. SBIS, SukBI, dan SBSN yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank hanya dapat diajukan sebagai agunan setelah seluruh SBI, SDBI, SukBI, dan SBN Bank yang memenuhi persyaratan sebagai agunan PLJP telah diajukan sebagai agunan; b. Sukuk Korporasi yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank hanya dapat diajukan sebagai agunan dalam hal: 1. seluruh SBIS, SukBI, dan SBSN yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank yang memenuhi persyaratan sebagai agunan PLJP telah diajukan sebagai agunan; dan 8 2. seluruh Obligasi Korporasi dan Sukuk Korporasi Bank yang memenuhi persyaratan sebagai agunan PLJP telah diajukan sebagai agunan; c. Aset Pembiayaan yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank hanya dapat diajukan sebagai agunan dalam hal: 1. seluruh Sukuk Korporasi yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank yang memenuhi persyaratan sebagai agunan PLJP telah diajukan sebagai agunan; dan 2. seluruh Aset Kredit Bank yang memenuhi persyaratan sebagai agunan PLJP telah diajukan sebagai agunan. 4. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 Agunan PLJP berupa SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 110 (seratus sepuluh) hari kalender sejak tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP; dan b. khusus untuk agunan berupa SBN dipersyaratkan dapat diperdagangkan. 5. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Agunan PLJP berupa Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 9 a. memiliki peringkat paling rendah 3 (tiga) peringkat (notch) teratas pada 1 (satu) tahun terakhir berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai lembaga pemeringkat; aktif diperdagangkan b. yaitu pernah diperdagangkan dalam 30 (tiga puluh) hari kalender terakhir; dan c. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sejak tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP. (2) Contoh peringkat dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 6. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 Agunan PLJP berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g dan huruf h harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. kolektibilitas tergolong lancar selama 12 (dua belas) bulan terakhir berturut-turut; b. bukan merupakan kredit dan/atau pembiayaan konsumsi kecuali kredit pemilikan rumah dan/atau pembiayaan pemilikan rumah; c. dijamin dengan agunan tanah dan bangunan dan/atau tanah dengan nilai paling rendah 110% (seratus sepuluh persen) dari plafon kredit dan/atau plafon pembiayaan; 10 d. bukan merupakan kredit dan/atau pembiayaan kepada pihak terkait Bank; e. f. tidak pernah direstrukturisasi dalam waktu 3 (tiga) tahun terakhir; sisa jangka waktu jatuh waktu kredit dan/atau pembiayaan paling singkat 9 (sembilan) bulan sejak tanggal penandatanganan perjanjian pemberian PLJP; g. baki debet kredit atau saldo pokok pembiayaan tidak melebihi batas maksimum pemberian kredit atau penyaluran dana pada saat diberikan dan tidak melebihi plafon kredit atau pembiayaan; h. memiliki perjanjian kredit dan/atau akad pembiayaan serta pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan hukum; i. telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik terhadap Bank paling lama 1 (satu) tahun terakhir; j. dalam perjanjian kredit dan/atau akad pembiayaan antara Bank dan debitur atau nasabah tercantum klausul bahwa kredit dan/atau pembiayaan dapat dialihkan kepada pihak lain; dan k. telah tercantum dalam laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan terkini yang disampaikan secara berkala kepada Bank Indonesia. 7. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 Pengikatan agunan PLJP dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: a. pengikatan agunan berupa surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f dilakukan dengan akta gadai; dan 11 b. pengikatan agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g dan huruf h dilakukan dengan akta fidusia. 8. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Nilai agunan PLJP berupa SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan SBN ditetapkan sebagai berikut: a. nilai agunan berupa SBI ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan nilai jual SBI; b. nilai agunan berupa SBIS ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan nilai nominal SBIS; c. nilai agunan berupa SDBI ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan nilai jual SDBI; d. nilai agunan berupa SukBI ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan nilai jual SukBI; dan e. nilai agunan berupa SBN ditetapkan sebagai berikut: 1. nilai agunan berupa SUN ditetapkan paling rendah sebesar 105% (seratus lima persen) dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan nilai pasar SUN; dan 2. nilai agunan berupa SBSN ditetapkan paling rendah sebesar 106,5% (seratus enam koma lima persen) dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan nilai pasar SBSN. (2) Nilai agunan PLJP berupa Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi ditetapkan sebagai berikut: 12 a. 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon PLJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi yang diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau dijamin oleh pemerintah pusat, dengan peringkat teratas berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi; b. 135% (seratus tiga puluh lima persen) dari plafon PLJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi yang diterbitkan oleh selain BUMN dan/atau dijamin oleh pemerintah pusat, dengan peringkat teratas berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi; c. 140% (seratus empat puluh persen) dari plafon PLJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi, dengan peringkat ke-2 teratas berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi; dan d. 145% (seratus empat puluh lima persen) dari plafon PLJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi, dengan peringkat ke-3 teratas berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi. (3) Nilai agunan PLJP berupa Aset Kredit atau Aset Pembiayaan ditetapkan paling rendah sebesar 200% (dua ratus persen) dari plafon PLJP yang dijamin dengan Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dan dihitung berdasarkan baki debet Aset Kredit atau saldo pokok Aset Pembiayaan. 13 9. Ketentuan Pasal 12 ayat (2) diubah sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 (1) Cara perhitungan nilai agunan PLJP berupa surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan sebagai berikut: a. pada saat permohonan PLJP, nilai surat berharga yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan PLJP; b. pada saat permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP, nilai surat berharga yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP; c. pada saat permohonan penambahan plafon PLJP, nilai surat berharga yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan penambahan plafon PLJP; d. pada saat permohonan penurunan plafon PLJP, nilai surat berharga yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan penurunan plafon PLJP; e. pada saat penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP, nilai surat berharga yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP; dan f. pada saat penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP, nilai surat berharga yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal penandatanganan 14 akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP. (2) Nilai surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan data sebagai berikut: a. untuk surat berharga berupa SBI, SDBI, dan SukBI menggunakan data nilai jual yang tercantum dalam BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter; b. untuk surat berharga berupa SBIS menggunakan data nilai nominal yang tercantum dalam BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter; c. untuk surat berharga berupa SBN menggunakan data nilai pasar yang tercantum dalam BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter; dan d. untuk surat berharga berupa Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi menggunakan nilai pasar yang tercantum dalam harga publikasi terakhir yang tersedia pada lembaga yang melakukan penilaian harga efek yang diakui oleh OJK. (3) Cara perhitungan nilai agunan PLJP berupa Aset Kredit atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut: a. pada saat permohonan PLJP, nilai baki debet Aset Kredit atau saldo pokok Aset Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan PLJP; b. pada saat permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP, nilai baki debet Aset Kredit atau saldo pokok Aset Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum 15 tanggal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP; c. pada saat penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP, nilai baki debet Aset Kredit atau saldo pokok Aset Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP; dan d. pada saat penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP, nilai baki debet Aset Kredit atau saldo pokok Aset Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP. (4) Nilai baki debet Aset Kredit atau saldo pokok Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung dengan menggunakan data yang tercantum dalam catatan pembukuan Bank. 10. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 Dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) terdiri atas: a. surat pernyataan yang ditandatangani oleh direksi Bank yang berwenang, yang memuat hal sebagai berikut: 1. pernyataan mengenai Bank mengalami Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang disertai dengan: a) penjelasan mengenai penyebab Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; dan 16 b) upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; 2. pernyataan mengenai seluruh aset yang menjadi agunan PLJP: a) berada dalam kondisi bebas dari segala perikatan, sengketa, dan sitaan; b) tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau Bank Indonesia; c) memenuhi seluruh persyaratan sebagai agunan PLJP sesuai dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan d) tidak akan diperjualbelikan dan/atau dijaminkan kembali kepada pihak lain selama masih dalam status sebagai agunan PLJP; 3. pernyataan mengenai kesanggupan Bank untuk membayar kewajiban PLJP; dan 4. pernyataan mengenai kebenaran data dan/atau dokumen yang disampaikan dan kesanggupan Bank untuk menyampaikan data dan/atau dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia, dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan PLJP dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; 17 c. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJP berupa: 1. SBI, SBIS, SDBI, SukBI, SBN, Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 2. Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; d. daftar rekapitulasi Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan dan/atau ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal terdapat agunan PLJP berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan; e. surat persetujuan dari pihak yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank dan ketentuan peraturan perundang- undangan, mengenai permohonan PLJP dan/atau penggunaan aset Bank sebagai agunan PLJP; f. dokumen anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank termasuk perubahannya; g. daftar seluruh surat berharga yang dimiliki dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dan disertai bukti kepemilikannya; dan h. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia. 18 11. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 Mekanisme pengagunan agunan PLJP berupa surat berharga dilakukan sebagai berikut: a. untuk surat berharga berupa SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN: 1. Bank melakukan pengagunan surat berharga pada BI-SSSS paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah surat persetujuan PLJP diterima oleh Bank, dengan ketentuan sebagai berikut: a) Bank sebagai pemberi agunan dan Bank Indonesia sebagai penerima agunan melakukan pengagunan surat berharga pada BI-SSSS dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS; dan b) dalam hal Bank menggunakan surat berharga yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank maka pengagunan dilakukan oleh UUS dengan Bank Indonesia sebagai penerima agunan; 2. pengagunan surat berharga sebagaimana dimaksud pada angka 1, dilakukan untuk jangka waktu pengagunan paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender; 3. pengagunan surat berharga sebagaimana dimaksud pada angka 2 dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan sampai dengan tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP; 4. pengagunan surat berharga setelah penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP dilakukan untuk jangka waktu 19 pengagunan paling singkat 110 (seratus sepuluh) hari kalender; 5. untuk penambahan dan/atau penggantian agunan yang dilakukan pada saat periode pemberian PLJP atau perpanjangan jangka waktu PLJP, jangka waktu pengagunan sebagaimana dimaksud pada angka 4 dikurangi dengan jumlah hari kalender PLJP berjalan; dan 6. jangka waktu pengagunan sebagaimana dimaksud pada angka 4 dan angka 5 dapat diperpanjang apabila diperlukan; b. untuk surat berharga berupa Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi: 1. Bank melakukan pemindahbukuan Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi ke rekening efek Bank Indonesia di KSEI segera setelah Bank menyampaikan daftar surat berharga sesuai dengan tata cara yang ditetapkan KSEI; dan 2. dalam hal Bank menggunakan surat berharga yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank maka pemindahbukuan Sukuk Korporasi ke rekening efek Bank Indonesia di KSEI dilakukan oleh UUS dengan Bank Indonesia sebagai penerima agunan; dan c. dalam hal terjadi pelunasan PLJP maka agunan PLJP berupa: 1. SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan SBN pada BI-SSSS dilepas (release) paling lama 1 (satu) hari kerja setelah PLJP dilunasi; dan 2. Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi pada rekening efek Bank Indonesia di KSEI dipindahbukukan ke rekening efek Bank di KSEI paling lama 1 (satu) hari kerja setelah PLJP dilunasi. 20 12. Ketentuan Pasal 40 ayat (9) diubah sehingga Pasal 40 berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 (1) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Surat permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh direksi Bank dan diketahui oleh dewan komisaris Bank yang berwenang. (4) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan Bank Indonesia. (5) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP diajukan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. (6) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (7) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP pada setiap hari kerja sampai dengan pukul 12.00 WIB, dengan ketentuan sebagai berikut: a. permohonan diajukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJP berjalan apabila tidak terdapat penggantian dan/atau 21 penambahan agunan atau terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan hanya berupa surat berharga; atau b. permohonan diajukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJP berjalan apabila terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan. (8) Bank Indonesia akan memproses permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP setelah dokumen permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP diterima secara lengkap. (9) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut: a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII; b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJP berupa: 1. SBI, SBIS, SDBI, SukBI, SBN, Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII; dan 2. Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX; c. daftar rekapitulasi Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan atau ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal 22 terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan; d. daftar seluruh surat berharga yang dimiliki dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dan disertai kepemilikannya; dan bukti e. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia. 13. Ketentuan Pasal 41 ayat (5) diubah sehingga Pasal 41 berbunyi sebagai berikut: Pasal 41 (1) Untuk keperluan perpanjangan jangka waktu PLJP, Bank tetap dapat menggunakan agunan PLJP pada periode PLJP sebelumnya sepanjang masih memenuhi persyaratan dan kecukupan jumlah agunan PLJP. (2) Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan jangka waktu PLJP, Bank harus memastikan agunan PLJP mencukupi plafon PLJP dengan memperhatikan persyaratan dan nilai agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8, Pasal 11, dan Pasal 12. (3) Persyaratan sisa jangka waktu bagi agunan yang baru ditambahkan paling singkat memiliki jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan Pasal 7 ayat (1) huruf c dikurangi dengan jangka waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP sampai dengan jatuh waktu PLJP berjalan. (4) Bank harus menambah jumlah agunan yang diserahkan untuk menjamin perpanjangan jangka waktu PLJP dalam hal diketahui bahwa: a. terdapat aset yang lebih prioritas untuk menjadi agunan PLJP dengan memperhatikan 23 persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4); dan/atau b. nilai agunan yang telah dijaminkan tidak lagi mencukupi plafon PLJP. (5) Dalam hal terjadi perpanjangan jangka waktu PLJP dan terdapat agunan PLJP berupa SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang diagunkan kembali maka jangka waktu pengagunan surat berharga pada BI- SSSS dapat diperpanjang apabila diperlukan. 14. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 Dokumen permohonan penambahan plafon PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (5) meliputi: a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan penambahan plafon PLJP dengan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII; b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJP berupa: 1. SBI, SBIS, SDBI, SukBI, SBN, Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII; dan 2. Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX; c. daftar rekapitulasi Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan dan/atau ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal terdapat penggantian dan/atau format 24 penambahan agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan; d. daftar seluruh surat berharga yang dimiliki dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dan disertai bukti kepemilikannya; dan e. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia. 15. Ketentuan Pasal 65 ayat (2) diubah sehingga Pasal 65 berbunyi sebagai berikut: Pasal 65 (1) Bank Indonesia mengembalikan agunan PLJP kepada Bank setelah kewajiban PLJP dilunasi. (2) Mekanisme pengembalian agunan PLJP kepada Bank diatur sebagai berikut: a. untuk agunan berupa SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan SBN dilakukan dengan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c angka 1; b. untuk agunan berupa Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi dilakukan dengan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c angka 2; dan c. untuk agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dilakukan dengan mekanisme sesuai ketentuan undangan, setelah tanggal surat pemberitahuan lunas dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64. 16. Ketentuan Pasal 68 ayat (2) diubah sehingga Pasal 68 berbunyi sebagai berikut: Pasal 68 (1) Bank Indonesia akan melakukan proses eksekusi agunan berupa surat berharga mulai hari kerja ke-1 setelah tanggal jatuh waktu PLJP. peraturan perundang- 25 (2) Eksekusi agunan berupa SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SukBI dilakukan dengan cara mencairkan SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SukBI sebelum jatuh waktu (early redemption) menggunakan nilai surat berharga pada posisi tanggal jatuh waktu PLJP. (3) Eksekusi agunan berupa SBN, Obligasi Korporasi, dan/atau Sukuk Korporasi dilakukan melalui penjualan agunan oleh pialang, dengan pengaturan sebagai berikut: a. calon pembeli agunan dapat merupakan bank dan/atau pihak lain; b. window time penjualan SBN, Obligasi Korporasi, dan/atau Sukuk Korporasi dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB; c. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Moneter akan mengumumkan rencana penjualan SBN, Obligasi Korporasi, dan/atau Sukuk Korporasi kepada pialang; d. transaksi dilakukan melalui sarana Reuters Monitoring Dealing System (RMDS) atau sarana lainnya; e. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Moneter akan mengumumkan pemenang kepada pialang dan melakukan konfirmasi kepada pialang yang penawarannya dimenangkan; f. pialang yang penawarannya dimenangkan menginformasikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Moneter antara lain hal sebagai berikut: 1. sub-registry bagi calon pembeli agunan selain bank yang penawarannya diterima untuk pelaksanaan setelmen SBN; 2. lembaga kustodian untuk calon pembeli agunan yang penawarannya diterima untuk pelaksanaan setelmen Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi; dan 26 3. bank pembayar bagi calon pembeli agunan selain bank yang penawarannya diterima untuk pelaksanaan setelmen dana; g. calon pembeli yang penawarannya diterima yang merupakan bank dan bank pembayar yang ditunjuk wajib menyediakan dana di rekening giro Bank di Bank Indonesia; h. Bank Indonesia melakukan setelmen paling lambat pada 5 (lima) hari kerja (T+5) setelah pengumuman dengan mendebit rekening giro bank atau bank pembayar yang ditunjuk bagi calon pembeli agunan selain bank; i. Bank Indonesia melakukan setelmen surat berharga setelah pendebitan saldo rekening giro bank atau bank pembayar yang ditunjuk bagi calon pembeli agunan selain bank sebagaimana dimaksud pada huruf h berhasil dilaksanakan; j. dalam hal surat berharga berupa Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi, Bank Indonesia melakukan pemindahbukuan surat berharga tersebut ke rekening efek yang ditunjuk oleh pembeli surat berharga di KSEI; k. dalam hal agunan berupa SBN tidak terjual dan saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia tidak mencukupi kewajiban PLJP sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengikatan agunan SBN, Bank Indonesia memperpanjang jangka waktu pengikatan pengagunan SBN sampai dengan Bank dapat melunasi pokok PLJP ditambah bunga PLJP dan biaya terkait dengan pemberian PLJP; dan l. dalam hal terdapat pembayaran kupon dari Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi, Bank Indonesia meneruskan pembayaran tersebut ke rekening giro Bank yang ada di Bank Indonesia. 27 17. Lampiran II, Lampiran VII, Lampiran VIII, dan Lampiran XIV diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II, Lampiran VII, Lampiran VIII, dan Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Januari 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD ERWIN RIJANTO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/1/PADG/2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/6/PADG/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL I. UMUM Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/16/PBI/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/3/PBI/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional yang mengatur mengenai penambahan jenis agunan berkualitas tinggi berupa SukBI. Sebagai pelaksanaan ketentuan tersebut, perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/6/PADG/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional yang mengatur mengenai mekanisme dan hal teknis terkait SukBI sebagai agunan PLJP. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. 2 Angka 2 Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan “akad mudharabah” adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Bank) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. Yang dimaksud dengan “akad musyarakah” adalah akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing. 3 Yang dimaksud dengan “akad ijarah nonjasa” adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri atau dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 5 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 6 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “1 (satu) tahun terakhir” adalah 1 (satu) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan PLJP. Huruf b Yang dimaksud dengan “30 (tiga puluh) hari kalender terakhir” adalah 30 (tiga puluh) hari kalender sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pengajuan permohonan PLJP. 4 Contoh: Dalam hal Bank mengajukan PLJP pada tanggal 25 Juli 2017, perhitungan 30 (tiga puluh) hari kalender terakhir Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi aktif diperdagangkan yaitu sejak tanggal 25 Juni 2017 sampai dengan 24 Juli 2017. Yang dimaksud dengan “diperdagangkan” adalah diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia atau di luar bursa (over the counter). Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 8 Dalam hal terdapat perbedaaan informasi mengenai hal yang menjadi persyaratan Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang disampaikan oleh Bank dengan informasi yang dimiliki Bank Indonesia maka yang digunakan adalah informasi yang dimiliki Bank Indonesia. Huruf a Yang dimaksud dengan “kolektibilitas tergolong lancar” adalah kualitas tergolong lancar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum atau ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan unit usaha syariah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Nilai agunan yang digunakan yaitu nilai pasar berdasarkan hasil penilai independen paling lama 2 (dua) tahun terakhir sebelum tanggal permohonan PLJP. 5 Huruf d Yang dimaksud dengan "pihak terkait" adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum atau batas maksimum penyaluran dana yang berlaku bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. Huruf e Yang dimaksud dengan “restrukturisasi” adalah restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum atau ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan unit usaha syariah. Jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir dihitung sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal permohonan PLJP. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Batas maksimum pemberian kredit atau penyaluran dana mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang dimaksud dengan ”kantor akuntan publik” adalah kantor akuntan publik yang telah tercantum dalam daftar kantor akuntan publik yang diakui oleh OJK. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. 6 Angka 7 Pasal 10 Cukup jelas. Angka 8 Pasal 11 Cukup jelas. Angka 9 Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Untuk saat ini, lembaga yang melakukan penilaian harga efek yang diakui OJK yaitu Penilai Harga Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 10 Pasal 19 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. 7 Huruf d Cukup jelas. Huruf e Surat persetujuan disampaikan apabila diatur dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening surat berharga pada BI-SSSS di Bank Indonesia dan/atau the central depository and book entry settlement system (C-BEST) di KSEI. Huruf h Cukup jelas. Angka 11 Pasal 23 Huruf a Pengagunan surat berharga milik Bank yang sedang ditransaksikan dengan pihak lain dilakukan segera setelah transaksi dengan pihak lain tersebut jatuh waktu. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Angka 12 Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “yang berwenang” adalah direksi dan dewan komisaris yang berwenang sesuai 8 dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening surat berharga pada BI-SSSS di Bank Indonesia dan/atau C-BEST di KSEI. Huruf e Cukup jelas. Angka 13 Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Bank A menandatangani perjanjian PLJP pada tanggal 3 Juli 2017 dengan periode PLJP 14 (empat belas) hari 9 kalender. Aktivasi PLJP dilakukan pada tanggal 10 Juli 2017 dan jatuh waktu pada tanggal 24 Juli 2017. Bank A mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP selama 14 (empat belas) hari dari tanggal 24 Juli 2017 sampai dengan jatuh waktu tanggal 7 Agustus 2017. Akta perubahan perjanjian pemberian PLJP ditandatangani pada tanggal 24 Juli 2017. Sehubungan terdapat agunan PLJP periode sebelumnya yang tidak lagi memenuhi persyaratan maka Bank mengajukan tambahan agunan surat berharga berupa SBI, SUN, dan Obligasi Korporasi dengan rincian sebagai berikut: Sisa Jenis No Agunan Jangka Waktu (hari kalender) 1 SBI 2 SUN 3 Obligasi Korporasi 120 hari 100 hari 150 hari Persyaratan Sisa Jangka Waktu Paling Singkat (hari kalender) 110-22 = 88 hari 110-22 = 88 hari 180-22 = 158 hari Diterima Diterima Tidak diterima Keterangan: Jangka waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP sampai dengan jatuh waktu PLJP berjalan = 22 hari (dari 3 Juli 2017 sampai dengan 24 Juli 2017). Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Status 10 Angka 14 Pasal 49 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening surat berharga pada BI-SSSS di Bank Indonesia dan/atau C-BEST di KSEI. Huruf e Cukup jelas. Angka 15 Pasal 65 Cukup jelas. Angka 16 Pasal 68 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pengumuman kepada pialang dilakukan melalui sarana dealing system atau sarana lainnya. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. 11 Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Angka 17 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/1/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/6/PADG/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title> <set_date> 17 Januari 2019 </set_date> <effective_date> 17 Januari 2019 </effective_date> <changed_reg> '19/6/PADG/2017' </changed_reg> <related_reg> '19/6/PADG/2017', '19/3/PBI/2017', '20/16/PBI/2018' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/2/PADG/2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/8/PADG/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menerbitkan perubahan Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah bagi bank umum syariah dengan menambah jenis agunan berkualitas tinggi berupa Sukuk Bank Indonesia; b. bahwa perubahan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu didukung dengan peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai mekanisme dan hal teknis terkait Sukuk Bank Indonesia sebagai agunan pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/8/PADG/2017 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah; 2 Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/4/PBI/2017 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6045) sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/17/PBI/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/4/PBI/2017 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 264, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6290); 2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/8/PADG/2017 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/8/PADG/2017 PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/8/PADG/2017 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah dan ditambahkan 1 (satu) angka baru, yakni angka 13 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: TENTANG 3 1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai Bank Indonesia. 2. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah giro wajib minimum dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 5. Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar dalam rupiah yang dapat membuat Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM. 6. Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah yang selanjutnya disingkat PLJPS adalah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang dialami oleh Bank. 7. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 4 8. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau yang dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, dalam mata uang rupiah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 9. Aset Pembiayaan adalah aset Bank berupa pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, tidak termasuk pembiayaan dalam valuta asing. 10. Sukuk Korporasi adalah surat utang yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah oleh korporasi selain Bank yang mengajukan permohonan PLJPS, dalam mata uang rupiah, dan ditatausahakan di KSEI, termasuk sukuk yang diterbitkan oleh pemerintah daerah. 11. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah Sistem BI-RTGS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana melalui Sistem BI- RTGS. 12. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS. 13. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SukBI adalah Sukuk Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 5 2. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diubah sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) PLJPS harus dijamin dengan agunan berkualitas tinggi berupa: a. SBIS; b. SukBI; c. SBSN; d. Sukuk Korporasi; dan/atau e. Aset Pembiayaan. (2) Sukuk Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat dijadikan agunan PLJPS dalam hal pada saat permohonan: a. Bank tidak memiliki SBIS, SukBI, dan/atau SBSN; atau b. Bank memiliki SBIS, SukBI, dan/atau SBSN namun nilainya tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJPS. (3) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e hanya dapat dijadikan agunan PLJPS dalam hal pada saat permohonan: a. Bank tidak memiliki SBIS, SukBI, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi; atau b. Bank memiliki SBIS, SukBI, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi, namun nilainya tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJPS. (4) Agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berada dalam kondisi: a. bebas dari segala perikatan, sengketa, dan sitaan; dan b. tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau Bank Indonesia. (5) Bank tidak dapat memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang masih dalam status sebagai agunan PLJPS. 6 3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 Agunan PLJPS berupa SBIS, SukBI, dan/atau SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 110 (seratus sepuluh) hari kalender sejak tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS; dan b. khusus untuk agunan berupa SBSN dipersyaratkan dapat diperdagangkan. 4. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) diubah sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Agunan PLJPS berupa Sukuk Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki peringkat paling rendah 3 (tiga) peringkat (notch) teratas pada 1 (satu) tahun terakhir berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai lembaga pemeringkat; b. aktif diperdagangkan yaitu pernah diperdagangkan dalam 30 (tiga puluh) hari kalender terakhir; dan c. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sejak tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS. 7 (2) Contoh peringkat dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 5. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 Agunan PLJPS berupa Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. merupakan pembiayaan dengan akad mudharabah, akad musyarakah, dan/atau akad ijarah nonjasa; b. c. d. kolektibilitas tergolong lancar selama 12 (dua belas) bulan terakhir berturut-turut; bukan merupakan pembiayaan konsumsi kecuali pembiayaan pemilikan rumah; dijamin dengan agunan tanah dan bangunan dan/atau tanah dengan nilai paling rendah 110% (seratus sepuluh persen) dari plafon pembiayaan; e. f. g. bukan merupakan pembiayaan kepada pihak terkait Bank; tidak pernah direstrukturisasi dalam waktu 3 (tiga) tahun terakhir; sisa jangka waktu jatuh waktu pembiayaan paling singkat 9 (sembilan) bulan sejak tanggal penandatanganan perjanjian pemberian PLJPS; h. saldo pokok pembiayaan tidak melebihi batas maksimum penyaluran dana pada saat diberikan dan tidak melebihi plafon pembiayaan; i. j. memiliki akad pembiayaan serta pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan hukum; telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik terhadap Bank paling lama 1 (satu) tahun terakhir; 8 k. dalam akad pembiayaan antara Bank dan nasabah tercantum klausul bahwa pembiayaan dapat dialihkan kepada pihak lain; dan l. telah tercantum dalam laporan daftar Aset Pembiayaan terkini yang disampaikan secara berkala kepada Bank Indonesia. 6. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 Pengikatan agunan PLJPS dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: a. pengikatan agunan berupa surat berharga syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dilakukan dengan akta gadai; dan b. pengikatan agunan berupa Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e dilakukan dengan akta fidusia. 7. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) diubah sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 (1) Nilai agunan PLJPS berupa SBIS, SukBI, dan SBSN ditetapkan sebagai berikut: a. nilai agunan berupa SBIS ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon PLJPS yang dihitung berdasarkan nilai nominal SBIS; b. nilai agunan berupa SukBI ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon PLJPS yang dihitung berdasarkan nilai jual SukBI; dan c. nilai agunan berupa SBSN ditetapkan paling rendah sebesar 106,5% (seratus enam koma lima 9 persen) dari plafon PLJPS yang dihitung berdasarkan nilai pasar SBSN. (2) Nilai agunan PLJPS berupa Sukuk Korporasi ditetapkan sebagai berikut: a. 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon PLJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi yang diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau dijamin oleh pemerintah pusat, dengan peringkat teratas berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari Sukuk Korporasi; b. 135% (seratus tiga puluh lima persen) dari plafon PLJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi yang diterbitkan oleh selain BUMN dan/atau dijamin selain oleh pemerintah pusat, dengan peringkat teratas berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari Sukuk Korporasi; c. 140% (seratus empat puluh persen) dari plafon PLJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi, dengan peringkat ke-2 teratas berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari Sukuk Korporasi; dan d. 145% (seratus empat puluh lima persen) dari plafon PLJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi, dengan peringkat ke-3 teratas berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari Sukuk Korporasi. (3) Nilai agunan PLJPS berupa Aset Pembiayaan ditetapkan paling rendah sebesar 200% (dua ratus persen) dari plafon PLJPS yang dijamin dengan Aset Pembiayaan dan dihitung berdasarkan saldo pokok Aset Pembiayaan. 10 8. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Cara perhitungan nilai agunan PLJPS berupa surat berharga syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan sebagai berikut: a. pada saat permohonan PLJPS, nilai surat berharga syariah yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan PLJPS; b. pada saat permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS, nilai surat berharga syariah yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS; c. pada saat permohonan penambahan plafon PLJPS, nilai surat berharga syariah yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan penambahan plafon PLJPS; d. pada saat permohonan penurunan plafon PLJPS, nilai surat berharga syariah yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan penurunan plafon PLJPS; e. pada saat penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS, nilai surat berharga syariah yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS; dan f. pada saat penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS, nilai surat berharga syariah yang digunakan yaitu 11 nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS. (2) Nilai surat berharga syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan data sebagai berikut: a. untuk surat berharga syariah berupa SBIS menggunakan data nilai nominal yang tercantum dalam BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter; b. untuk surat berharga syariah berupa SukBI menggunakan data nilai jual yang tercantum dalam BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter; c. untuk surat berharga syariah berupa SBSN menggunakan data nilai pasar yang tercantum dalam BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter; dan d. untuk surat berharga syariah berupa Sukuk Korporasi menggunakan nilai pasar yang tercantum dalam harga publikasi terakhir yang tersedia pada lembaga yang melakukan penilaian harga efek yang diakui oleh OJK. (3) Cara perhitungan nilai agunan PLJPS berupa Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut: a. pada saat permohonan PLJPS, nilai saldo pokok Aset Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan PLJPS; b. pada saat permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS, nilai saldo pokok Aset Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) 12 hari kerja sebelum tanggal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS; c. pada saat penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS, nilai saldo pokok Aset Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS; dan d. pada saat penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS, nilai saldo pokok Aset Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS. (4) Nilai saldo pokok Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung dengan menggunakan data yang tercantum dalam catatan pembukuan Bank. 9. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 Dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) terdiri atas: a. surat pernyataan yang ditandatangani oleh direksi Bank yang berwenang, yang memuat hal sebagai berikut: 1. pernyataan mengenai Bank mengalami Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang disertai dengan: a) penjelasan mengenai penyebab Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; dan 13 b) upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; 2. pernyataan mengenai seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS: a) berada dalam kondisi bebas dari segala perikatan, sengketa, dan sitaan; b) tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau Bank Indonesia; c) memenuhi seluruh persyaratan sebagai agunan PLJPS sesuai dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan d) tidak akan diperjualbelikan dan/atau dijaminkan kembali kepada pihak lain selama masih dalam status sebagai agunan PLJPS; 3. pernyataan mengenai kesanggupan Bank untuk membayar kewajiban PLJPS; dan 4. pernyataan mengenai kebenaran data dan/atau dokumen yang disampaikan dan kesanggupan Bank untuk menyampaikan data dan/atau dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia, dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan PLJPS dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; c. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS berupa: 14 1. SBIS, SukBI, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 2. Aset Pembiayaan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; d. daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan dan/atau ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal terdapat agunan PLJPS berupa Aset Pembiayaan; e. surat persetujuan dari pihak yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank dan ketentuan peraturan perundang- undangan, mengenai permohonan PLJPS dan/atau penggunaan aset Bank sebagai agunan PLJPS; f. dokumen anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank termasuk perubahannya; daftar seluruh surat berharga syariah yang dimiliki dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dan disertai bukti kepemilikannya; dan h. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia. g. 10. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 Mekanisme pengagunan agunan PLJPS berupa surat berharga syariah dilakukan sebagai berikut: a. untuk surat berharga syariah berupa SBIS, SukBI, dan/atau SBSN: 1. Bank sebagai pemberi agunan dan Bank Indonesia sebagai penerima agunan melakukan 15 pengagunan surat berharga syariah pada BI- SSSS paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah surat persetujuan PLJPS diterima oleh Bank dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System; 2. pengagunan surat berharga syariah sebagaimana dimaksud pada angka 1, dilakukan untuk jangka waktu pengagunan paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender; 3. pengagunan surat berharga syariah sebagaimana dimaksud pada angka 2 dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan sampai dengan tanggal perjanjian pemberian PLJPS; 4. pengagunan surat berharga syariah setelah penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS dilakukan untuk jangka waktu pengagunan paling singkat 110 (seratus sepuluh) hari kalender; 5. untuk penambahan dan/atau penggantian agunan yang dilakukan pada saat periode pemberian PLJPS atau perpanjangan jangka waktu PLJPS, jangka waktu pengagunan sebagaimana dimaksud pada angka 4 dikurangi dengan jumlah hari kalender PLJPS berjalan; dan 6. jangka waktu pengagunan sebagaimana dimaksud pada angka 4 dan angka 5 dapat diperpanjang apabila diperlukan; b. untuk surat berharga syariah berupa Sukuk Korporasi, Bank melakukan pemindahbukuan Sukuk Korporasi ke rekening efek Bank Indonesia di KSEI segera setelah Bank menyampaikan daftar surat penandatanganan akta 16 berharga syariah sesuai dengan tata cara yang ditetapkan KSEI; dan c. dalam hal terjadi pelunasan PLJPS maka agunan PLJPS berupa: 1. SBIS, SukBI, dan SBSN pada BI-SSSS dilepas (release) paling lama 1 (satu) hari kerja setelah PLJPS dilunasi; dan 2. Sukuk Korporasi pada rekening efek Bank Indonesia di KSEI dipindahbukukan ke rekening efek Bank di KSEI paling lama 1 (satu) hari kerja setelah PLJPS dilunasi. 11. Ketentuan Pasal 39 ayat (9) diubah sehingga Pasal 39 berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 (1) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Surat permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh direksi Bank dan diketahui oleh dewan komisaris Bank yang berwenang. (4) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan Bank Indonesia. (5) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS diajukan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q. 17 Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. (6) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (7) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS pada setiap hari kerja sampai dengan pukul 12.00 WIB, dengan ketentuan sebagai berikut: a. permohonan diajukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJPS berjalan apabila tidak terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan atau terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan hanya berupa surat berharga syariah; atau b. permohonan diajukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJPS berjalan apabila terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan berupa Aset Pembiayaan. (8) Bank Indonesia akan memproses permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS setelah dokumen permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS diterima secara lengkap. (9) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut: a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII; b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS berupa: 18 1. SBIS, SukBI, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII; dan 2. Aset Pembiayaan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX; c. daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan atau ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan berupa Aset Pembiayaan; d. daftar seluruh surat berharga syariah yang dimiliki dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dan disertai bukti kepemilikannya; dan e. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia. 12. Ketentuan Pasal 40 ayat (5) diubah sehingga Pasal 40 berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 (1) Untuk keperluan perpanjangan jangka waktu PLJPS, Bank tetap dapat menggunakan agunan PLJPS pada periode PLJPS sebelumnya sepanjang masih memenuhi persyaratan dan kecukupan jumlah agunan PLJPS. (2) Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan jangka waktu PLJPS, Bank harus memastikan agunan PLJPS mencukupi plafon PLJPS dengan memperhatikan persyaratan dan nilai agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7, Pasal 10, dan Pasal 11. (3) Persyaratan sisa jangka waktu bagi agunan yang baru ditambahkan paling singkat memiliki jangka waktu 19 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dan Pasal 6 ayat (1) huruf c dikurangi dengan jangka waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS sampai dengan jatuh waktu PLJPS berjalan. (4) Bank harus menambah jumlah agunan yang diserahkan untuk menjamin perpanjangan jangka waktu PLJPS dalam hal diketahui bahwa: a. terdapat aset yang lebih prioritas untuk menjadi agunan PLJPS dengan memperhatikan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4); dan/atau b. nilai agunan yang telah dijaminkan tidak lagi mencukupi plafon PLJPS. (5) Dalam hal terjadi perpanjangan jangka waktu PLJPS dan terdapat agunan PLJPS berupa SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang diagunkan kembali maka jangka waktu pengagunan surat berharga syariah pada BI-SSSS dapat diperpanjang apabila diperlukan. 13. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 Dokumen permohonan penambahan plafon PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (5) meliputi: a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan penambahan plafon PLJPS dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII; b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS berupa: 1. SBIS, SukBI, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII; dan 20 2. Aset Pembiayaan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX; c. daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan atau ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan berupa Aset Pembiayaan; d. daftar seluruh surat berharga syariah yang dimiliki dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dan disertai bukti kepemilikannya; dan e. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia. 14. Ketentuan Pasal 64 ayat (2) diubah sehingga Pasal 64 berbunyi sebagai berikut: Pasal 64 (1) Bank Indonesia mengembalikan agunan PLJPS kepada Bank setelah kewajiban PLJPS dilunasi. (2) Mekanisme pengembalian agunan PLJPS kepada Bank diatur sebagai berikut: a. untuk agunan berupa SBIS, SukBI, dan SBSN dilakukan dengan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c angka 1; b. untuk agunan berupa Sukuk Korporasi dilakukan dengan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c angka 2; dan c. untuk agunan berupa Aset Pembiayaan dilakukan dengan mekanisme sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, setelah tanggal surat pemberitahuan lunas dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63. 21 15. Ketentuan Pasal 68 ayat (2) diubah sehingga Pasal 68 berbunyi sebagai berikut: Pasal 68 (1) Bank Indonesia akan melakukan proses eksekusi agunan berupa surat berharga syariah mulai hari kerja ke-1 setelah tanggal jatuh waktu PLJPS. (2) Eksekusi agunan berupa SBIS dan/atau SukBI dilakukan dengan cara mencairkan SBIS dan/atau SukBI sebelum jatuh waktu (early redemption) menggunakan nilai surat berharga syariah pada posisi tanggal jatuh waktu PLJPS. (3) Eksekusi agunan berupa SBSN dan Sukuk Korporasi dilakukan melalui penjualan agunan oleh pialang, dengan pengaturan sebagai berikut: a. calon pembeli agunan dapat merupakan bank dan/atau pihak lain; b. window time penjualan SBSN dan Sukuk Korporasi dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB; c. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Moneter akan mengumumkan rencana penjualan SBSN dan/atau Sukuk Korporasi kepada pialang; d. transaksi dilakukan melalui sarana Reuters Monitoring Dealing System (RMDS) atau sarana lainnya; e. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Moneter akan mengumumkan pemenang kepada pialang dan melakukan konfirmasi kepada pialang yang penawarannya dimenangkan; f. pialang yang penawarannya dimenangkan menginformasikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Moneter antara lain hal sebagai berikut: 22 1. sub-registry bagi calon pembeli agunan selain bank yang penawarannya diterima untuk pelaksanaan setelmen SBSN; 2. lembaga kustodian untuk calon pembeli agunan yang penawarannya diterima untuk pelaksanaan setelmen Sukuk Korporasi; dan 3. bank pembayar bagi calon pembeli agunan selain bank yang penawarannya diterima untuk pelaksanaan setelmen dana; g. calon pembeli yang penawarannya diterima yang merupakan bank dan bank pembayar yang ditunjuk wajib menyediakan dana di rekening giro Bank di Bank Indonesia; h. Bank Indonesia melakukan setelmen paling lambat pada 5 (lima) hari kerja (T+5) setelah pengumuman dengan mendebit rekening giro bank atau bank pembayar yang ditunjuk bagi calon pembeli agunan selain bank; i. Bank Indonesia melakukan setelmen surat berharga syariah setelah pendebitan saldo rekening giro bank atau bank pembayar yang ditunjuk bagi calon pembeli agunan selain bank sebagaimana dimaksud pada huruf h berhasil dilaksanakan; j. dalam hal surat berharga syariah berupa Sukuk Korporasi, Bank Indonesia melakukan pemindahbukuan surat berharga syariah tersebut ke rekening efek yang ditunjuk oleh pembeli surat berharga syariah di KSEI; k. dalam hal agunan berupa SBSN tidak terjual dan saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia tidak mencukupi kewajiban PLJPS sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengikatan agunan SBSN, Bank Indonesia memperpanjang jangka waktu pengikatan pengagunan SBSN sampai dengan Bank dapat 23 melunasi pokok PLJPS ditambah bagi hasil PLJPS, kewajiban membayar (gharamah maliyah) dan biaya terkait dengan pemberian PLJPS; dan l. dalam hal terdapat pembayaran kupon dari Sukuk Korporasi, Bank Indonesia meneruskan pembayaran tersebut ke rekening giro Bank yang ada di Bank Indonesia. 16. Lampiran II, Lampiran VII, Lampiran VIII, dan Lampiran XIV diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II, Lampiran VII, Lampiran VIII, dan Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Januari 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD DODY BUDI WALUYO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/2/PADG/2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/8/PADG/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH I. UMUM Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/17/PBI/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/4/PBI/2017 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah, yang mengatur mengenai penambahan jenis agunan berkualitas tinggi berupa SukBI. Sebagai pelaksanaan ketentuan tersebut, perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/8/PADG/2017 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah yang mengatur mengenai mekanisme dan hal teknis terkait SukBI sebagai agunan PLJPS. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. 2 Angka 2 Pasal 4 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 5 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “1 (satu) tahun terakhir” adalah 1 (satu) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan PLJPS. Huruf b Yang dimaksud dengan “30 (tiga puluh) hari kalender terakhir” adalah 30 (tiga puluh) hari kalender sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pengajuan permohonan PLJPS. Contoh: Dalam hal Bank mengajukan PLJPS pada tanggal 25 Juli 2017, perhitungan 30 (tiga puluh) hari kalender terakhir Sukuk Korporasi aktif diperdagangkan yaitu sejak tanggal 25 Juni 2017 sampai dengan 24 Juli 2017. Yang dimaksud dengan “diperdagangkan” adalah diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia atau di luar bursa (over the counter). Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 3 Angka 5 Pasal 7 Dalam hal terdapat perbedaaan informasi mengenai hal yang menjadi persyaratan Aset Pembiayaan yang disampaikan oleh Bank dengan informasi yang dimiliki Bank Indonesia maka yang digunakan adalah informasi yang dimiliki Bank Indonesia. Huruf a Yang dimaksud dengan “akad mudharabah” adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Bank) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. Yang dimaksud dengan “akad musyarakah” adalah akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing. Yang dimaksud dengan “akad ijarah nonjasa” adalah akad penyediaan dana untuk memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri atau dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. Huruf b Yang dimaksud dengan “kolektibilitas tergolong lancar” adalah kualitas tergolong lancar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur 4 mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Nilai agunan yang digunakan yaitu nilai pasar berdasarkan hasil penilai independen paling lama 2 (dua) tahun terakhir sebelum tanggal permohonan PLJPS. Huruf e Yang dimaksud dengan "pihak terkait" adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai batas maksimum penyaluran dana yang berlaku bagi bank umum syariah. Huruf f Yang dimaksud dengan “restrukturisasi” adalah restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah. Jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir dihitung sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal permohonan PLJPS. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Batas maksimum penyaluran dana mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai batas maksimum penyaluran dana yang berlaku bagi bank umum syariah. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Yang dimaksud dengan ”kantor akuntan publik” adalah kantor akuntan publik yang telah 5 tercantum dalam daftar kantor akuntan publik yang diakui oleh OJK. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Angka 6 Pasal 9 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 10 Cukup jelas. Angka 8 Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Untuk saat ini, lembaga yang melakukan penilaian harga efek yang diakui OJK yaitu Penilai Harga Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 6 Angka 9 Pasal 18 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan paling sedikit memuat: 1. nama debitur; 2. Nomor Induk Kependudukan (NIK); 3. tempat lahir; 4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); 5. Nomor Debitur Identification Number (DIN); 6. alamat dan nomor telepon; 7. nomor akad pembiayaan; 8. nomor rekening; 9. skim/akad; 10. jenis pembiayaan; 11. nomor asuransi pembiayaan dan nilai tertanggung (apabila ada); 12. jangka waktu (yyyy/mm/dd); 13. plafon pembiayaan (Rpjuta); dan 14. saldo pokok pembiayaan. Huruf e Surat persetujuan disampaikan apabila diatur dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening surat berharga syariah pada BI-SSSS di Bank Indonesia dan/atau the central depository and book entry settlement system (C-BEST) di KSEI. 7 Huruf h Cukup jelas. Angka 10 Pasal 22 Huruf a Pengagunan surat berharga syariah milik Bank yang sedang ditransaksikan dengan pihak lain dilakukan segera setelah transaksi dengan pihak lain tersebut jatuh waktu. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Angka 11 Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “yang berwenang” adalah direksi dan dewan komisaris yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. 8 Ayat (9) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening surat berharga syariah pada BI-SSSS di Bank Indonesia dan/atau C-BEST di KSEI. Huruf e Cukup jelas. Angka 12 Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Bank A menandatangani perjanjian PLJPS pada tanggal 3 Juli 2017 dengan periode PLJPS 14 (empat belas) hari kalender. Aktivasi PLJPS dilakukan pada tanggal 10 Juli 2017 dan jatuh waktu pada tanggal 24 Juli 2017. Bank A mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS selama 14 (empat belas) hari dari tanggal 24 Juli 2017 sampai dengan jatuh waktu tanggal 7 Agustus 2017. Akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS ditandatangani pada tanggal 24 Juli 2017. Sehubungan terdapat agunan PLJPS periode sebelumnya yang tidak lagi memenuhi persyaratan maka Bank mengajukan tambahan agunan surat berharga syariah berupa SBIS, SBSN, dan Sukuk Korporasi dengan rincian sebagai berikut: 9 Sisa Jenis No Agunan 1 SBIS 2 SBSN 3 Sukuk Korporasi Jangka Waktu (hari kalender) Persyaratan Sisa Jangka Waktu Paling Singkat (hari kalender) 120 hari 110-22 = 88 hari 100 hari 110-22 = 88 hari 150 hari 180-22 = 158 hari Diterima Diterima Tidak diterima Keterangan: Jangka waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS sampai dengan jatuh waktu PLJPS berjalan = 22 hari (dari 3 Juli 2017 sampai dengan 24 Juli 2017). Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 13 Pasal 48 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening surat berharga syariah pada BI-SSSS di Bank Indonesia dan/atau C-BEST di KSEI. Huruf e Cukup jelas. Status 10 Angka 14 Pasal 64 Cukup jelas. Angka 15 Pasal 68 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pengumuman kepada pialang dilakukan melalui sarana dealing system atau sarana lainnya. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. 11 Angka 16 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/2/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/8/PADG/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH </reg_title> <set_date> 21 Januari 2019 </set_date> <effective_date> 21 Januari 2019 </effective_date> <changed_reg> '19/8/PADG/2017' </changed_reg> <related_reg> '20/17/PBI/2018', '19/8/PADG/2017', '19/4/PBI/2017' </related_reg>
1 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/3/PADG/2017 TENTANG TATA CARA PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penerbitan Surat Berharga Negara oleh Pemerintah yang terdiri atas Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara, Bank Indonesia melaksanakan kegiatan penatausahaan dan berperan sebagai agen pembayar serta agen lelang; b. bahwa agar kegiatan penatausahaan dan pelaksanaan peran sebagai agen pembayar serta agen lelang dapat dilaksanakan secara tertib, efisien, efektif, dan transparan, ketentuan mengenai tata cara penatausahaan Surat Berharga Negara senantiasa perlu disempurnakan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Tata Cara Penatausahaan Surat Berharga Negara; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4888) sebagaimana telah diubah beberapa kali, 2 terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/19/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 274, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5763); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/6/PBI/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5877); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG TATA CARA PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Penatausahaan Surat Berharga Negara yang selanjutnya disebut Penatausahaan SBN adalah kegiatan yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring, dan Setelmen serta pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal SBN. 2. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN 3 adalah SUN dan SBSN. 3. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun dalam valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. 4. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut Sukuk Negara adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing. 5. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 6. Dealer Utama adalah Bank dan/atau perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri sebagai dealer utama sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai dealer utama. 7. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 8. Peserta BI-SSSS adalah pihak yang memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia untuk menjadi peserta dalam penyelenggaraan BI-SSSS. 9. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan SBN untuk pertama kali. 10. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan SBN yang telah dijual di Pasar Perdana. 11. Lelang SBN adalah penjualan SBN di Pasar Perdana domestik oleh Pemerintah yang dilakukan dengan mekanisme lelang. 12. Lelang SBN Tambahan (greenshoe option) yang selanjutnya disebut Lelang SBN Tambahan adalah penjualan SBN di Pasar Perdana dalam mata uang Rupiah dengan cara lelang yang dilaksanakan pada 1 (satu) hari kerja setelah 4 tanggal pelaksanaan Lelang SBN. 13. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi dan penatausahaan surat berharga yang dilakukan secara elektronik. 14. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. 15. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi penatausahaan bagi kepentingan Peserta BI-SSSS. 16. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Penyelenggara, sebagai Peserta BI-SSSS untuk melakukan fungsi penatausahaan bagi kepentingan nasabah. 17. Kliring adalah proses perhitungan dan penetapan hak dan kewajiban yang timbul dari transaksi surat berharga. 18. Setelmen adalah proses penyelesaian akhir transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan Rekening Setelmen Dana, Rekening Surat Berharga, dan/atau rekening lainnya di Bank Indonesia. 19. Lelang Pembelian Kembali SBN yang selanjutnya disebut Lelang Buyback adalah pembelian kembali SBN di Pasar Sekunder oleh Pemerintah sebelum jatuh tempo dengan cara tunai dan/atau dengan cara penukaran (debt switching), dalam suatu masa penawaran yang telah ditentukan dan diumumkan sebelumnya. 20. Fasilitas Peminjaman SUN adalah fasilitas yang diberikan oleh Menteri kepada Dealer Utama untuk melakukan peminjaman SUN sesuai tata cara yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai dealer utama. 21. Transaksi SBN Secara Langsung adalah penjualan SBN di Pasar Perdana atau pembelian kembali SBN di Pasar Sekunder yang dilakukan oleh Pemerintah dengan Dealer Utama, Bank Indonesia, atau Lembaga Penjamin 5 Simpanan secara langsung melalui fasilitas dealing room pada Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 22. Private Placement adalah kegiatan penjualan SBN di Pasar Perdana dalam negeri yang dilakukan oleh Pemerintah kepada pihak yang disetujui oleh Pemerintah, dengan ketentuan dan persyaratan SBN sesuai kesepakatan. 23. Bookbuilding adalah kegiatan penjualan SBN di Pasar Perdana dalam negeri yang dilakukan oleh Pemerintah kepada pihak yang disetujui oleh Pemerintah, melalui agen penjual yang disetujui oleh Pemerintah. 24. Bank Pembayar adalah peserta Sistem BI-RTGS yang ditunjuk sebagai pihak untuk melakukan pembayaran dan penerimaan dana oleh Peserta BI-SSSS. 25. Rekening Surat Berharga adalah rekening Peserta BI-SSSS dalam mata uang Rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia dalam rangka pencatatan kepemilikan dan Setelmen atas transaksi SBN, transaksi dengan Bank Indonesia, dan/atau transaksi pasar keuangan. 26. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang Rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pelaksanaan Setelmen dana. 27. Rekening Giro adalah rekening giro sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia. 28. Bank Koresponden Bank Indonesia adalah: a. New York (Federal Reserve Bank of New York) untuk SUN valuta asing dalam denominasi Dolar Amerika Serikat (USD); atau b. Frankfurt (The Deutsche Bundesbank) untuk SUN valuta asing dalam denominasi Euro (EUR). 6 BAB II TATA CARA PENATAUSAHAAN SBN Pasal 2 (1) Bank Indonesia melakukan Penatausahaan SBN. (2) Penatausahaan SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk transaksi SBN di Pasar Perdana dan transaksi SBN di Pasar Sekunder. Pasal 3 Dalam rangka pelaksanaan Penatausahaan SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Central Registry melakukan pencatatan atas SBN sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri. Bagian Kesatu Kliring SBN Pasal 4 (1) Bank Indonesia melaksanakan Kliring SBN. (2) Bank Indonesia dapat bekerja sama dengan pihak lain dan/atau menunjuk pihak lain dalam pelaksanaan Kliring SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Kerja sama dan/atau penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam bentuk perjanjian. Bagian Kedua Setelmen SBN Pasal 5 (1) Central Registry melaksanakan Setelmen atas: a. hasil Lelang SBN dan Lelang SBN Tambahan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia; b. c. transaksi SBN dengan Pemerintah yang diselenggarakan di luar Bank Indonesia; dan/atau transaksi SBN di Pasar Sekunder. 7 (2) Pelaksanaan Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap: a. SBN dalam Rupiah; dan b. SBN dalam valuta asing di pasar domestik. (3) Pelaksanaan Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan: a. surat dari Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri mengenai keputusan hasil lelang, untuk hasil Lelang SBN atau Lelang SBN dan Lelang SBN Tambahan, yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia; b. surat dari Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri mengenai hasil transaksi SBN dengan Pemerintah, untuk transaksi SBN dengan Pemerintah yang diselenggarakan di luar Bank Indonesia; dan c. instruksi Setelmen dari Peserta BI-SSSS, untuk transaksi SBN di Pasar Sekunder. Pasal 6 (1) Pelaksanaan Setelmen dilakukan pada tanggal Setelmen. (2) Tanggal Setelmen untuk hasil Lelang SBN dan Lelang SBN Tambahan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan transaksi SBN dengan Pemerintah yang diselenggarakan di luar Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri. (3) Tanggal Setelmen untuk transaksi SBN di Pasar Sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c. ditetapkan oleh pihak yang melakukan transaksi. (4) Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), meliputi: a. Setelmen dana; dan b. Setelmen surat berharga. (5) Setelmen hanya dapat dilakukan apabila: 8 a. Pembeli dan/atau Bank Pembayar memiliki kecukupan dana pada Rekening Setelmen Dana; dan b. Penjual dan/atau Sub-Registry memiliki kecukupan nominal untuk seri SBN yang ditransaksikan, pada Rekening Surat Berharga. Pasal 7 (1) Setelmen SBN untuk kepentingan nasabah dilakukan oleh Sub-Registry berdasarkan persetujuan Central Registry. (2) Tata cara pemberian persetujuan Central Registry sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS. (3) Penjual atau pembeli yang tidak memiliki Rekening Surat Berharga harus menunjuk Sub-Registry untuk melakukan Setelmen SBN. Pasal 8 (1) Dalam hal penjual, pembeli, dan/atau Sub-Registry tidak memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia, penjual, pembeli, dan/atau Sub-Registry harus menunjuk Bank Pembayar untuk pelaksanaan Setelmen dana atas transaksi SBN. (2) Tata cara penunjukan Bank Pembayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS. (3) Dalam hal SBN yang ditransaksikan adalah SBN dalam valuta asing dengan denominasi Euro, penjual, pembeli, dan/atau Sub-Registry menunjuk Bank Indonesia sebagai Bank Pembayar untuk pelaksanaan Setelmen dana atas transaksi SBN. (4) Surat penunjukan Bank Indonesia sebagai Bank Pembayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengacu pada format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 9 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 9 (1) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi SBN dalam Rupiah untuk Lelang SBN dan Lelang SBN Tambahan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan transaksi SBN dengan Pemerintah yang diselenggarakan di luar Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, meliputi Setelmen: a. hasil Lelang SBN dan Lelang SBN Tambahan dalam Rupiah yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia; b. hasil penjualan SBN dalam Rupiah dengan cara Private Placement; c. hasil penjualan SBN dalam Rupiah dengan cara Bookbuilding; d. hasil penjualan SBN dalam Rupiah yang dijual kepada investor ritel; e. hasil Transaksi SBN Secara Langsung dalam Rupiah; f. hasil Lelang Buyback SBN dalam Rupiah yang diselenggarakan di luar Bank Indonesia; dan g. Fasilitas Peminjaman SUN dalam Rupiah. (2) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi SBN dalam valuta asing di pasar domestik untuk Lelang SBN dan Lelang SBN Tambahan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan transaksi SBN dengan Pemerintah yang diselenggarakan di luar Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, meliputi Setelmen: a. hasil Lelang SBN dalam valuta asing yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia; b. hasil penjualan SBN dalam valuta asing dengan cara Private Placement; c. hasil penjualan SBN dalam valuta asing dengan cara Bookbuilding; 10 d. hasil transaksi SUN secara langsung dalam valuta asing; dan e. hasil Lelang Buyback SBN dalam valuta asing yang diselenggarakan di luar Bank Indonesia. (3) Setelmen atas transaksi SBN antarpeserta di Pasar Sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dilakukan melalui BI-SSSS sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS. Bagian Ketiga Setelmen atas Transaksi SBN dalam Rupiah Paragraf 1 Setelmen Hasil Lelang SBN dan Lelang SBN Tambahan dalam Rupiah yang Diselenggarakan oleh Bank Indonesia Pasal 10 Setelmen hasil Lelang SBN dan Lelang SBN Tambahan dalam Rupiah yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, dilakukan oleh Central Registry dengan ketentuan sebagai berikut: a. Setelmen dana dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dengan mendebit Rekening Giro Rupiah pembeli dan/atau Bank Pembayar serta mengkredit Rekening Giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia sebesar nilai Setelmen; b. Setelmen surat berharga dilakukan dengan mengkredit Rekening Surat Berharga pembeli dan/atau Sub-Registry sebesar nilai nominal seri SBN dalam Rupiah yang dinyatakan menang; dan c. dalam hal dana pada Rekening Giro Rupiah pembeli dan/atau Bank Pembayar tidak mencukupi untuk Setelmen sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu pada awal periode cut-off warning BI-SSSS maka Setelmen hasil Lelang SBN dan/atau Lelang SBN Tambahan dalam Rupiah dinyatakan gagal. 11 Paragraf 2 Setelmen Hasil Penjualan SBN dalam Rupiah dengan Cara Private Placement Pasal 11 Setelmen hasil penjualan SBN dalam Rupiah dengan cara Private Placement, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Setelmen dana dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: 1. Central Registry melakukan Setelmen dana melalui Sistem BI-RTGS dengan mendebit Rekening Giro Rupiah pembeli dan/atau Bank Pembayar serta mengkredit Rekening Giro Pemerintah di Bank Indonesia; atau 2. pembeli atau Bank Pembayar melakukan transfer dana melalui Sistem BI-RTGS ke Rekening Giro Pemerintah di Bank Indonesia, sebesar nilai Setelmen; b. dalam hal Setelmen dana yang dilakukan telah berhasil, Central Registry melakukan Setelmen surat berharga dengan mengkredit Rekening Surat Berharga pembeli dan/atau Sub-Registry sebesar nilai nominal SBN; dan c. dalam hal dana pada Rekening Giro Rupiah pembeli dan/atau Bank Pembayar tidak mencukupi, atau pembeli tidak melakukan transfer dana sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu pada awal periode cut-off warning BI-SSSS maka Setelmen hasil penjualan SBN dengan cara Private Placement tidak dilakukan. Paragraf 3 Setelmen Hasil Penjualan SBN dalam Rupiah dengan Cara Bookbuilding Pasal 12 Setelmen hasil penjualan SBN dalam Rupiah dengan cara Bookbuilding, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 12 a. Setelmen dana dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: 1. Central Registry melakukan Setelmen dana melalui Sistem BI-RTGS dengan mendebit Rekening Giro Rupiah pembeli dan/atau Bank Pembayar serta mengkredit Rekening Giro Pemerintah di Bank Indonesia; atau 2. pembeli atau Bank Pembayar melakukan transfer dana melalui Sistem BI-RTGS ke Rekening Giro Pemerintah di Bank Indonesia, sebesar total nilai Setelmen; b. dalam hal Setelmen dana yang dilakukan telah berhasil, Central Registry melakukan Setelmen surat berharga dengan mengkredit Rekening Surat Berharga pembeli dan/atau Sub- Registry sebesar total nilai nominal hasil penjualan SBN; dan c. dalam hal dana pada Rekening Giro Rupiah pembeli dan/atau Bank Pembayar tidak mencukupi untuk pelaksanaan Setelmen, atau pembeli tidak melakukan transfer dana sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu pada awal periode cut-off warning BI- SSSS maka Setelmen penjualan SBN dengan cara Bookbuilding tidak dilakukan. Paragraf 4 Setelmen Hasil Penjualan SBN dalam Rupiah yang Dijual kepada Investor Ritel Pasal 13 Setelmen hasil penjualan SBN dalam Rupiah yang dijual kepada investor ritel, dilakukan oleh Central Registry dengan ketentuan sebagai berikut: a. Setelmen dana dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dengan mendebit Rekening Giro Rupiah Bank Pembayar dan mengkredit Rekening Giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia sebesar nilai Setelmen; b. dalam hal Setelmen dana yang dilakukan telah berhasil, Setelmen surat berharga dilakukan dengan mengkredit 13 Rekening Surat Berharga Sub-Registry sebesar nilai penjatahan; dan c. dalam hal dana pada Rekening Giro Rupiah Bank Pembayar tidak mencukupi sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu pada awal periode cut-off warning BI- SSSS maka Setelmen atas transaksi SBN yang dijual kepada investor ritel tidak dilakukan. Paragraf 5 Setelmen Hasil Transaksi SBN Secara Langsung dalam Rupiah Pasal 14 Setelmen hasil Transaksi SBN Secara Langsung dalam Rupiah, meliputi Setelmen atas: a. penjualan SBN dalam Rupiah di Pasar Perdana secara langsung; dan b. pembelian kembali SBN dalam Rupiah di Pasar Sekunder secara langsung. Pasal 15 Setelmen atas penjualan SBN dalam Rupiah di Pasar Perdana secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Setelmen dana dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: 1. Central Registry melakukan Setelmen dana melalui Sistem BI-RTGS dengan mendebit Rekening Giro Rupiah pembeli dan/atau Bank Pembayar serta mengkredit Rekening Giro Pemerintah di Bank Indonesia; atau 2. pembeli atau Bank Pembayar melakukan transfer dana melalui Sistem BI-RTGS ke Rekening Giro Pemerintah di Bank Indonesia, sebesar nilai Setelmen; b. dalam hal Setelmen dana yang dilakukan telah berhasil, Central Registry melakukan Setelmen surat berharga dengan mengkredit Rekening Surat Berharga pembeli 14 dan/atau Sub-Registry sebesar nilai nominal penjualan SBN; dan c. dalam hal dana pada Rekening Giro Rupiah pembeli dan/atau Bank Pembayar tidak mencukupi sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu pada awal periode cut-off warning BI-SSSS, Setelmen transaksi SBN dalam Rupiah di Pasar Perdana secara langsung dinyatakan gagal. Pasal 16 Setelmen atas pembelian kembali SBN dalam Rupiah di Pasar Sekunder secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Central Registry melakukan pendebitan Rekening Surat Berharga penjual dan/atau Sub-Registry sebesar nilai nominal seri SBN dalam Rupiah yang dibeli kembali oleh Pemerintah; b. Central Registry melakukan pelunasan sebelum jatuh tempo (early redemption) atas seri SBN dalam Rupiah yang dibeli kembali oleh Pemerintah; c. Central Registry melakukan Setelmen dana melalui Sistem BI-RTGS, dengan mendebit Rekening Giro Rupiah Pemerintah dan mengkredit Rekening Giro Rupiah penjual dan/atau Bank Pembayar di Bank Indonesia sebesar nilai Setelmen; dan d. dalam hal Rekening Surat Berharga penjual atau Sub- Registry tidak mencukupi untuk Setelmen surat berharga sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu pada awal periode cut-off warning BI-SSSS, Setelmen pembelian kembali SBN dalam Rupiah di Pasar Sekunder secara langsung dinyatakan gagal. 15 Paragraf 6 Setelmen Hasil Lelang Buyback SBN dalam Rupiah yang Diselenggarakan di Luar Bank Indonesia Pasal 17 Setelmen hasil Lelang Buyback SBN dalam Rupiah yang diselenggarakan di luar Bank Indonesia meliputi Setelmen atas: a. Lelang Buyback SBN secara tunai; dan b. Lelang Buyback SBN secara penukaran (debt switching). Pasal 18 Pelaksanaan Setelmen hasil Lelang Buyback SBN secara tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Central Registry melakukan pendebitan Rekening Surat Berharga penjual dan/atau Sub-Registry sebesar nilai nominal seri SBN dalam Rupiah yang dibeli kembali oleh Pemerintah; b. Central Registry melakukan pelunasan sebelum jatuh tempo (early redemption) atas seri SBN dalam Rupiah yang dibeli kembali oleh Pemerintah; c. Central Registry melakukan Setelmen dana melalui Sistem BI-RTGS, dengan mendebit Rekening Giro Rupiah Pemerintah dan mengkredit Rekening Giro Rupiah penjual atau Bank Pembayar di Bank Indonesia sebesar nilai Setelmen; dan d. dalam hal Rekening Surat Berharga penjual atau Sub- Registry tidak mencukupi untuk Setelmen surat berharga sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu pada awal periode cut-off warning BI-SSSS, Setelmen hasil Lelang Buyback SBN secara tunai dinyatakan gagal. Pasal 19 (1) Pelaksanaan Setelmen hasil Lelang Buyback SBN secara penukaran (debt switching) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 16 a. Central Registry melakukan pendebitan Rekening Surat Berharga penjual dan/atau Sub-Registry di Bank Indonesia sebesar nominal seri SBN dalam Rupiah yang dibeli kembali oleh Pemerintah; b. Central Registry melakukan pelunasan sebelum jatuh tempo (early redemption) atas seri SBN dalam Rupiah yang dibeli kembali oleh Pemerintah; dan c. Central Registry melakukan pengkreditan Rekening Surat Berharga penjual dan/atau Sub-Registry sebesar nominal seri SBN penukar dalam Rupiah. (2) Pelaksanaan Lelang Buyback SBN secara penukaran (debt switching) dapat menyebabkan terjadi selisih nilai Setelmen dana. (3) Penyelesaian selisih nilai Setelmen dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas beban Pemerintah atau atas beban penjual, dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal terjadi selisih nilai Setelmen dana atas beban Pemerintah, Central Registry melakukan Setelmen dana melalui Sistem BI-RTGS dengan mendebit Rekening Giro Rupiah Pemerintah dan mengkredit Rekening Giro Rupiah penjual dan/atau Bank Pembayar di Bank Indonesia sebesar selisih nilai Setelmen dana; dan b. dalam hal terjadi selisih nilai Setelmen dana atas beban penjual, Central Registry melakukan Setelmen dana dengan mendebit Rekening Giro Rupiah penjual dan/atau Bank Pembayar dan mengkredit Rekening Giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia sebesar selisih nilai Setelmen dana. (4) Setelmen hasil Lelang Buyback SBN secara penukaran (debt switching) dinyatakan gagal apabila: a. Rekening Surat Berharga penjual atau Sub-Registry tidak mencukupi untuk Setelmen surat berharga; atau b. Rekening Setelmen Dana penjual atau Bank Pembayar tidak mencukupi, 17 sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu pada awal periode cut-off warning BI-SSSS. Paragraf 7 Setelmen Fasilitas Peminjaman SUN dalam Rupiah Pasal 20 (1) Setelmen Fasilitas Peminjaman SUN dalam Rupiah meliputi proses: a. pemberian Fasilitas Peminjaman SUN; dan b. pengembalian Fasilitas Peminjaman SUN. (2) Jangka waktu Fasilitas Peminjaman SUN dapat diperpanjang berdasarkan persetujuan dari Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri. Pasal 21 (1) Setelmen pemberian Fasilitas Peminjaman SUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Central Registry melakukan Setelmen dana atas biaya peminjaman (lending fee) SUN melalui Sistem BI- RTGS dengan mendebit Rekening Giro Dealer Utama atau Bank Pembayar dan mengkredit Rekening Giro Pemerintah di Bank Indonesia, sebesar biaya peminjaman (lending fee) SUN; b. dalam hal Setelmen dana atas biaya peminjaman (lending fee) SUN sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang dilakukan telah berhasil, Central Registry melakukan Setelmen atas: 1. SUN yang dijaminkan oleh Dealer Utama atau Sub-Registry; dan 2. SUN yang dipinjamkan oleh Pemerintah; c. Setelmen sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilakukan dengan cara securities lending and borrowing; dan 18 d. Central Registry melakukan kegiatan penerbitan SUN yang dipinjamkan. (2) Setelmen transaksi dengan cara securities lending and borrowing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS. Pasal 22 Setelmen pengembalian Fasilitas Peminjaman SUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. dilakukan pada saat jatuh waktu peminjaman SUN; b. Central Registry mendebit Rekening Surat Berharga Dealer Utama atau Sub-Registry dan mengkredit Rekening Surat Berharga Pemerintah sebesar nilai nominal seri SUN yang dipinjamkan; c. Central Registry mendebit Rekening Surat Berharga Pemerintah dan mengkredit Rekening Surat Berharga Dealer Utama atau Sub-Registry sebesar nilai nominal seri SUN yang dijaminkan; d. dalam hal Setelmen sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c yang dilakukan telah berhasil, Central Registry melakukan pelunasan sebelum jatuh waktu (early redemption) atas seri SUN yang dipinjamkan, sebesar nilai nominal seri SUN yang dikembalikan; e. dalam hal Setelmen sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c tidak berhasil dilakukan maka Setelmen pengembalian SUN yang dipinjamkan dinyatakan gagal; dan f. dalam hal Setelmen pengembalian SUN yang dipinjamkan dinyatakan gagal maka Setelmen penyelesaian kewajiban dilakukan sesuai dengan surat Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. 19 Pasal 23 Perpanjangan jangka waktu Fasilitas Peminjaman SUN dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Setelmen dana atas pembayaran biaya peminjaman (lending fee) SUN dilakukan sesuai prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a; dan b. dalam hal Setelmen dana atas biaya peminjaman (lending fee) SUN sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang dilakukan telah berhasil, Central Registry melakukan perpanjangan jangka waktu Fasilitas Peminjaman SUN. Bagian Keempat Setelmen atas Transaksi SBN dalam Valuta Asing di Pasar Domestik Paragraf 1 Setelmen Hasil Lelang SBN dalam Valuta Asing yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia Pasal 24 (1) Setelmen hasil Lelang SBN dalam valuta asing yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, dilakukan oleh Central Registry dengan ketentuan sebagai berikut: a. Setelmen dana dilakukan dengan mendebit Rekening Setelmen Dana pembeli dan/atau Bank Pembayar dan mengkredit Rekening Giro valuta asing Pemerintah di Bank Indonesia, sebesar nilai Setelmen; b. Setelmen surat berharga dilakukan dengan mengkredit Rekening Surat Berharga pembeli dan/atau Sub-Registry sebesar nilai nominal seri SBN; dan c. dalam hal dana pada Rekening Setelmen Dana pembeli dan/atau Bank Pembayar tidak mencukupi sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu pada cut-off warning BI-SSSS maka Setelmen hasil Lelang SBN dalam valuta asing dinyatakan 20 gagal. (2) Pembeli atau Bank Pembayar harus menyediakan dana yang cukup dalam valuta asing pada Rekening Setelmen Dana untuk keperluan Setelmen dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara pembeli atau Bank Pembayar mentransfer dana dan telah efektif pada rekening giro Bank Indonesia di Bank Koresponden Bank Indonesia, 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal Setelmen SBN dalam valuta asing. (4) Pembeli atau Bank Pembayar harus mengirimkan informasi pelaksanaan transfer dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Operasional Tresuri dan Pinjaman - Divisi Penyelesaian Transaksi Devisa, melalui sarana SWIFT dengan menggunakan MT299. (5) Pengiriman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal Setelmen pukul 14.00 WIB. (6) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit memuat: a. tanggal valuta; b. mata uang dan nominal; c. nomor Rekening Setelmen Dana di Bank Indonesia; dan d. nama Bank Koresponden Bank Indonesia. Paragraf 2 Setelmen Hasil Penjualan SBN dalam Valuta Asing dengan cara Private Placement Pasal 25 (1) Setelmen hasil Penjualan SBN dalam valuta asing dengan cara Private Placement, dilakukan oleh Central Registry dengan ketentuan sebagai berikut: a. Setelmen dana dilakukan dengan mendebit Rekening Setelmen Dana pembeli dan/atau Bank Pembayar 21 dan mengkredit Rekening Giro valuta asing Pemerintah di Bank Indonesia sebesar total nilai Setelmen; b. Setelmen surat berharga dilakukan dengan mengkredit Rekening Surat Berharga pembeli dan/atau Sub-Registry sebesar total nilai nominal hasil penjualan seri SBN dalam valuta asing dengan cara Private Placement; dan c. dalam hal dana pada Rekening Setelmen Dana pembeli dan/atau Bank Pembayar tidak mencukupi sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu pada awal periode cut-off warning BI-SSSS maka Setelmen hasil penjualan SBN dalam valuta asing dengan cara Private Placement tidak dilakukan. (2) Pembeli atau Bank Pembayar harus menyediakan dana yang cukup dalam valuta asing pada Rekening Setelmen Dana untuk keperluan Setelmen dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara pembeli atau Bank Pembayar mentransfer dana dan telah efektif pada rekening giro Bank Indonesia di Bank Koresponden Bank Indonesia, 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal Setelmen SBN dalam valuta asing. (4) Pembeli atau Bank Pembayar harus mengirimkan informasi pelaksanaan transfer dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Operasional Tresuri dan Pinjaman - Divisi Penyelesaian Transaksi Devisa, melalui sarana SWIFT dengan menggunakan MT299. (5) Pengiriman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal Setelmen pukul 14.00 WIB. (6) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit memuat: a. tanggal valuta; b. mata uang dan nominal; 22 c. nomor Rekening Setelmen Dana di Bank Indonesia; dan d. nama Bank Koresponden Bank Indonesia. Paragraf 3 Setelmen Hasil Penjualan SBN dalam Valuta Asing dengan cara Bookbuilding Pasal 26 (1) Setelmen hasil Penjualan SBN dalam valuta asing dengan cara Bookbuilding, dilakukan oleh Central Registry dengan ketentuan sebagai berikut: a. Setelmen dana dilakukan dengan mendebit Rekening Setelmen Dana pembeli dan/atau Bank Pembayar dan mengkredit Rekening Giro valuta asing Pemerintah di Bank Indonesia sebesar total nilai Setelmen; b. Setelmen surat berharga dilakukan dengan mengkredit Rekening Surat Berharga pembeli dan/atau Sub-Registry sebesar total nilai nominal hasil penjualan SBN; dan c. dalam hal dana pada Rekening Setelmen Dana pembeli dan/atau Bank Pembayar tidak mencukupi sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu pada awal periode cut-off warning BI-SSSS maka Setelmen hasil penjualan SBN dalam valuta asing dengan cara Bookbuilding tidak dilakukan. (2) Pembeli atau Bank Pembayar harus menyediakan dana yang cukup dalam valuta asing pada Rekening Setelmen Dana untuk keperluan Setelmen dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara pembeli atau Bank Pembayar mentransfer dana dan telah efektif pada rekening giro Bank Indonesia di Bank Koresponden Bank Indonesia, 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal Setelmen SBN dalam valuta asing. 23 (4) Pembeli atau Bank Pembayar harus mengirimkan informasi pelaksanaan transfer dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Operasional Tresuri dan Pinjaman - Divisi Penyelesaian Transaksi Devisa, melalui sarana SWIFT dengan menggunakan MT299. (5) Pengiriman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal Setelmen pukul 14.00 WIB. (6) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit memuat: a. tanggal valuta; b. mata uang dan nominal; c. nomor Rekening Setelmen Dana di Bank Indonesia; dan d. nama Bank Koresponden Bank Indonesia. Paragraf 4 Setelmen Hasil Transaksi SUN secara Langsung dalam Valuta Asing Pasal 27 Setelmen hasil transaksi SUN secara langsung dalam valuta asing, meliputi Setelmen atas: a. penjualan SUN dalam valuta asing di Pasar Perdana secara langsung; dan b. pembelian kembali SUN dalam valuta asing di Pasar Sekunder secara langsung. Pasal 28 (1) Setelmen atas penjualan SUN dalam valuta asing di Pasar Perdana secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, dilakukan oleh Central Registry dengan ketentuan sebagai berikut: a. Setelmen dana dilakukan dengan mendebit Rekening Setelmen Dana pembeli dan/atau Bank Pembayar dan mengkredit Rekening Giro valuta asing 24 Pemerintah di Bank Indonesia sebesar nilai Setelmen; b. Setelmen surat berharga dilakukan dengan mengkredit Rekening Surat Berharga pembeli dan/atau Sub-Registry sebesar nilai nominal penjualan SUN; dan c. dalam hal dana pada Rekening Setelmen Dana pembeli dan/atau Bank Pembayar tidak mencukupi sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu pada awal periode cut-off warning BI-SSSS, Setelmen atas transaksi penjualan SUN secara langsung dalam valuta asing dinyatakan gagal. (2) Pembeli atau Bank Pembayar harus menyediakan dana yang cukup dalam valuta asing pada Rekening Setelmen Dana untuk keperluan Setelmen dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara pembeli atau Bank Pembayar mentransfer dana dan telah efektif pada rekening giro Bank Indonesia di Bank Koresponden Bank Indonesia, 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal Setelmen SUN dalam valuta asing. (4) Pembeli atau Bank Pembayar harus mengirimkan informasi pelaksanaan transfer dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Operasional Tresuri dan Pinjaman - Divisi Penyelesaian Transaksi Devisa, melalui sarana SWIFT dengan menggunakan MT299. (5) Pengiriman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal Setelmen pukul 14.00 WIB. (6) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling kurang memuat: a. tanggal valuta; b. mata uang dan nominal; c. nomor Rekening Setelmen Dana di Bank Indonesia; dan d. nama Bank Koresponden Bank Indonesia. 25 Pasal 29 Setelmen atas pembelian kembali SUN dalam valuta asing di Pasar Sekunder secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Central Registry melakukan pendebitan Rekening Surat Berharga penjual dan/atau Sub-registry sebesar nilai nominal seri SUN dalam valuta asing yang dibeli kembali oleh Pemerintah; b. Central Registry melakukan pelunasan sebelum jatuh tempo (early redemption) atas seri SUN dalam valuta asing yang dibeli kembali oleh Pemerintah; c. Central Registry melakukan Setelmen dana dengan mendebit Rekening Giro valuta asing Pemerintah dan mengkredit Rekening Setelmen Dana penjual dan/atau Bank Pembayar di Bank Indonesia sebesar nilai Setelmen; dan d. dalam hal Rekening Surat Berharga penjual atau Sub- registry tidak mencukupi untuk Setelmen surat berharga sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu pada awal periode cut-off warning BI-SSSS, Setelmen pembelian kembali SUN dalam valuta asing di Pasar Sekunder secara langsung dinyatakan gagal. Paragraf 5 Setelmen Hasil Lelang Buyback SBN dalam Valuta Asing yang Diselenggarakan di Luar Bank Indonesia Pasal 30 Setelmen hasil Lelang Buyback SBN dalam valuta asing yang diselenggarakan di luar Bank Indonesia meliputi Setelmen atas: a. Lelang Buyback SBN secara tunai; atau b. Lelang Buyback SBN secara penukaran (debt switching). Pasal 31 Pelaksanaan Setelmen hasil Lelang Buyback SBN secara tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 26 a. Central Registry melakukan pendebitan Rekening Surat Berharga penjual dan/atau Sub-Registry sebesar nilai nominal seri SBN dalam valuta asing yang dibeli kembali oleh Pemerintah; b. Central Registry melakukan pelunasan sebelum jatuh tempo (early redemption) atas seri SBN dalam valuta asing yang dibeli kembali oleh Pemerintah; c. Central Registry melakukan Setelmen dana dengan mendebit Rekening Giro valuta asing Pemerintah dan mengkredit Rekening Setelmen Dana penjual atau Bank Pembayar di Bank Indonesia sebesar nilai Setelmen; dan d. dalam hal Rekening Surat Berharga penjual atau Sub- Registry tidak mencukupi untuk Setelmen surat berharga sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu pada awal periode cut-off warning BI-SSSS, Setelmen hasil Lelang Buyback SBN secara tunai dinyatakan gagal. Pasal 32 (1) Pelaksanaan Setelmen hasil Lelang Buyback SBN secara penukaran (debt switching) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf b, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Central Registry melakukan pendebitan Rekening Surat Berharga penjual dan/atau Sub-Registry di Bank Indonesia sebesar nominal seri SBN dalam valuta asing yang dibeli kembali oleh Pemerintah; b. Central Registry melakukan pelunasan sebelum jatuh tempo (early redemption) atas seri SBN dalam valuta asing yang dibeli kembali oleh Pemerintah; dan c. Central Registry melakukan pengkreditan Rekening Surat Berharga penjual dan/atau Sub-Registry sebesar nominal seri SBN penukar dalam valuta asing. (2) Pelaksanaan Lelang Buyback SBN secara penukaran (debt switching) dapat menyebabkan terjadi selisih nilai Setelmen dana. (3) Penyelesaian selisih nilai Setelmen dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas beban Pemerintah 27 atau atas beban penjual, dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal terjadi selisih nilai Setelmen dana atas beban Pemerintah, Central Registry melakukan Setelmen dana dengan mendebit Rekening Giro valuta asing Pemerintah dan mengkredit Rekening Setelmen Dana penjual dan/atau Bank Pembayar di Bank Indonesia sebesar selisih nilai Setelmen dana; dan b. dalam hal terjadi selisih nilai Setelmen dana atas beban penjual, Central Registry melakukan Setelmen dana dengan mendebit Rekening Setelmen Dana penjual dan/atau Bank Pembayar dan mengkredit Rekening Giro valuta asing Pemerintah di Bank Indonesia sebesar selisih nilai Setelmen dana. (4) Setelmen hasil Lelang Buyback SBN secara penukaran (debt switching) dinyatakan gagal apabila: a. Rekening Surat Berharga penjual atau Sub-Registry tidak mencukupi untuk Setelmen surat berharga; atau b. Rekening Setelmen Dana penjual atau Bank Pembayar tidak mencukupi, sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi SBN yaitu pada awal periode cut-off warning BI-SSSS. Bagian Kelima Pencatatan Kepemilikan SBN Pasal 33 (1) Central Registry melaksanakan pencatatan kepemilikan SBN. (2) Tata cara pencatatan kepemilikan SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS. 28 Pasal 34 (1) Pencatatan kepemilikan SBN atas nama nasabah secara individual dilakukan oleh Sub-Registry berdasarkan persetujuan Central Registry. (2) Pencatatan kepemilikan SBN atas nama nasabah secara individual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam sistem internal Sub-Registry pada tanggal yang sama dengan tanggal pelaksanaan Setelmen SBN. (3) Tata cara pemberian persetujuan Central Registry sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS. Bagian Keenam Pembayaran Bunga (Kupon)/Imbalan dan/atau Pelunasan Pokok/Nominal SBN Pasal 35 (1) Central Registry melaksanakan pembayaran bunga (kupon)/imbalan SBN pada tanggal pembayaran bunga (kupon)/imbalan SBN. (2) Central Registry melaksanakan pelunasan pokok/nominal SBN pada tanggal jatuh tempo SBN. (3) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan posisi kepemilikan SBN pada tanggal batas waktu penetapan penerima sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri. Pasal 36 (1) Pembayaran bunga (kupon)/imbalan SBN dalam Rupiah dilakukan oleh Central Registry dengan mendebit Rekening Giro Rupiah Pemerintah dan mengkredit Rekening Giro Rupiah pemilik SBN dalam Rupiah dan/atau Bank 29 Pembayar sebesar nilai bunga (kupon)/imbalan SBN dalam Rupiah. (2) Pelunasan pokok/nominal SBN dalam Rupiah dilakukan oleh Central Registry dengan mendebit Rekening Giro Rupiah Pemerintah dan mengkredit Rekening Giro Rupiah pemilik SBN dalam Rupiah dan/atau Bank Pembayar sebesar nilai pokok/nominal SBN dalam Rupiah. Pasal 37 (1) Pembayaran bunga (kupon)/imbalan SBN dalam valuta asing dilakukan oleh Central Registry dengan mendebit Rekening Giro valuta asing Pemerintah dan mengkredit Rekening Setelmen Dana dalam valuta asing pemilik SBN dalam valuta asing dan/atau Bank Pembayar sebesar nilai bunga (kupon)/imbalan SBN dalam valuta asing. (2) Kegiatan pelunasan pokok/nominal SBN dilakukan oleh Central Registry dengan mendebit Rekening Giro valuta asing Pemerintah dan mengkredit Rekening Setelmen Dana dalam valuta asing pemilik SBN dalam valuta asing dan/atau Bank Pembayar sebesar nilai pokok/nominal SBN dalam valuta asing. (3) Dalam hal Bank Indonesia bertindak sebagai Bank Pembayar untuk SBN dalam valuta asing dengan denominasi Euro, Bank Indonesia akan meneruskan pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal ke rekening bank koresponden pemilik SBN dalam valuta asing dan/atau Sub-Registry. Pasal 38 (1) Sub-Registry harus meneruskan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37 kepada nasabah pemilik SBN pada tanggal yang sama dengan tanggal pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau pelunasan pokok/nominal SBN oleh Central Registry. (2) Sub-Registry meneruskan pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau pelunasan pokok/nominal SBN 30 valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dengan menggunakan tanggal valuta pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal SBN dalam valuta asing yang dilakukan oleh Central Registry. BAB III PENYEDIAAN DATA, INFORMASI, DAN PELAPORAN Pasal 39 (1) Central Registry menyediakan data dan/atau informasi pencatatan kepemilikan SBN kepada: a. pemilik SBN yang ditatausahakan oleh Central Registry; dan b. Sub-Registry. (2) Tata cara penyediaan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS. Pasal 40 (1) Central Registry menyampaikan laporan Penatausahaan SBN kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (2) Sub-Registry menyampaikan laporan pencatatan kepemilikan SBN atas nama nasabah kepada Central Registry. (3) Tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS. 31 BAB IV KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 41 (1) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal di Bank Indonesia pada pelaksanaan Setelmen SBN maka Central Registry akan mengumumkan kepada Peserta BI-SSSS melalui BI- SSSS dan/atau sarana komunikasi lain yang digunakan Bank Indonesia. (2) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal di Bank Indonesia dan/atau di Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko yang mempengaruhi kelancaran pelaksanaan Setelmen Lelang SBN dan/atau Lelang SBN Tambahan maka Central Registry akan mengumumkan keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri terhadap pelaksanaan Setelmen tersebut melalui BI-SSSS dan/atau sarana komunikasi lain yang digunakan Bank Indonesia. (3) Keadaan tidak normal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) terjadi dalam hal terdapat situasi atau kondisi yang mengakibatkan adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi, maupun sarana pendukung teknologi informasi. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 42 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/32/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Tata Cara Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/36/DPSP tanggal 16 Desember 2016 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/32/DPSP tanggal 32 13 November 2015 perihal Tata Cara Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga Negara, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 43 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Maret 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, SUGENG
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 19/3/PADG/2017 </reg_id> <reg_title> TATA CARA PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA </reg_title> <set_date> 30 Maret 2017 </set_date> <effective_date> 30 Maret 2017 </effective_date> <replaced_reg> '17/32/DPSP|SE-BI/2015', '18/36/DPSP|SE-BI/2016' </replaced_reg> <related_reg> '17/19/PBI/2015', '17/18/PBI/2015', '10/13/PBI/2008', '18/6/PBI/2016' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/37/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/9/PADG/2018 TENTANG STANDING FACILITIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memperkuat kerangka operasi moneter, Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen operasi moneter berdasarkan prinsip syariah; b. bahwa Sukuk Bank Indonesia telah ditetapkan sebagai salah satu surat berharga yang dapat digunakan dalam standing facilities; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/9/PADG/2018 tentang Standing Facilities; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6189) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2 20/14/PBI/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6278); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/9/PADG/2018 TENTANG STANDING FACILITIES. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/9/PADG/2018 tentang Standing Facilities diubah sebagai berikut: 1. Di antara angka 14 dan angka 15 Pasal 1 disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 14A dan di antara angka 24 dan angka 25 disisipkan 2 (dua) angka, yakni angka 24A dan angka 24B, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah 3 sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter, yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 6. Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah oleh Bank di Bank Indonesia untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 7. Peserta Standing Facilities adalah Peserta Standing Facilities Konvensional dan Peserta Standing Facilities Syariah. 8. Peserta Standing Facilities Konvensional adalah BUK yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta Operasi Moneter konvensional sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 9. Peserta Standing Facilities Syariah adalah BUS dan/atau UUS yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta Operasi Moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 10. Lending Facility adalah penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada Peserta Standing Facilities Konvensional untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional. 4 11. Financing Facility adalah penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada Peserta Standing Facilities Syariah untuk Operasi Moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 12. Deposit Facility adalah penempatan dana rupiah oleh Peserta Standing Facilities di Bank Indonesia untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. 13. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 14. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan berjangka waktu pendek. 14A. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SukBI adalah sukuk yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dengan menggunakan underlying asset berupa surat berharga berdasarkan prinsip syariah milik Bank Indonesia. 15. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar-BUK. 16. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat utang negara dan surat berharga syariah negara. 17. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. 18. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang- 5 Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 19. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 20. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 21. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 22. Transaksi Repurchase Agreement SBIS yang selanjutnya disebut Repo SBIS adalah transaksi pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada Peserta Standing Facilities Syariah dengan agunan SBIS. 23. Biaya Repo SBIS adalah kewajiban membayar (gharamah) yang ditetapkan Bank Indonesia untuk Repo SBIS karena Peserta Standing Facilities Syariah tidak menepati jangka waktu kesepakatan pembelian SBIS. 24. Perjanjian pengagunan SBIS untuk Repo SBIS yang selanjutnya disebut Perjanjian adalah kesepakatan tertulis antara Bank Indonesia dengan Peserta Standing Facilities Syariah yang memuat hak dan 6 kewajiban masing-masing pihak dalam pengagunan SBIS. 24A. Transaksi Repurchase Agreement SukBI yang selanjutnya disebut Repo SukBI adalah transaksi penjualan SukBI oleh Peserta Standing Facilities kepada Bank Indonesia dengan janji pembelian kembali oleh Peserta Standing Facilities sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati untuk Standing Facilities. 24B. Margin Repo SukBI adalah tingkat keuntungan dalam setahun yang disepakati oleh para pihak yang melakukan Repo SukBI. 25. Transaksi Repurchase Agreement SBSN untuk Standing Facilities syariah yang selanjutnya disebut Repo SBSN adalah transaksi penjualan SBSN oleh Peserta Standing Facilities Syariah kepada Bank Indonesia dengan janji pembelian kembali oleh Peserta Standing Facilities Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati untuk Standing Facilities syariah. 26. Margin Repo SBSN adalah tingkat keuntungan dalam setahun yang disepakati oleh para pihak yang melakukan transaksi Repo SBSN. 27. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di Bank Indonesia dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing. 28. Rekening Surat Berharga adalah rekening surat berharga milik Bank pada BI-SSSS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pencatatan kepemilikan dan setelmen atas transaksi surat berharga, transaksi dengan Bank Indonesia, dan/atau transaksi pasar keuangan. 29. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan pengkreditan Rekening Giro di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS untuk penatausahaan. 7 30. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan pendebitan dan pengkreditan Rekening Surat Berharga untuk penatausahaan. 31. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat DVP adalah mekanisme setelmen transaksi dengan cara Setelmen Surat Berharga dan Setelmen Dana dilakukan secara bersamaan. 32. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia. 2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 Standing Facilities memiliki karakteristik sebagai berikut: a. disediakan oleh Bank Indonesia pada setiap Hari Kerja; b. dilakukan dengan mekanisme nonlelang; c. pengajuan transaksi dilakukan melalui Sistem BI- ETP; d. jangka waktu: 1. Lending Facility dan Financing Facility yaitu 1 (satu) Hari Kerja (overnight); 2. Deposit Facility: a) yang dilakukan secara konvensional yaitu 1 (satu) Hari Kerja (overnight); b) yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah yaitu paling lama 14 (empat belas) hari kalender dihitung dari 1 (satu) hari setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; e. jumlah hari dalam perhitungan: 1. nilai bunga repo dalam Lending Facility; 2. Biaya Repo SBIS, nilai Margin Repo SukBI, atau nilai Margin Repo SBSN dalam Financing Facility; dan 8 3. nilai diskonto atau imbalan dalam Deposit Facility, dihitung berdasarkan hari kalender; f. ditatausahakan pada Rekening Surat Berharga di BI- SSSS. 3. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Surat berharga yang dapat di-repo-kan dalam Transaksi Lending Facility sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu: a. SBI; b. SDBI; c. SukBI; dan d. SBN. (2) Surat berharga yang dapat di-repo-kan dalam transaksi Lending Facility sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak sebesar nilai nominal surat berharga yang dimiliki Peserta Standing Facilities Konvensional yang tercatat di Rekening Surat Berharga. (3) Kriteria dan persyaratan, harga, serta haircut atas SBI, SDBI, SukBI, dan SBN yang dapat digunakan dalam transaksi Lending Facility yaitu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. 4. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 Transaksi Financing Facility dilakukan dengan mekanisme repo surat berharga berupa: 9 a. SBIS yang dilakukan dengan prinsip collateralized borrowing; b. SukBI yang dilakukan dengan prinsip sell and buyback; atau c. SBSN yang dilakukan dengan prinsip sell and buyback. 5. Ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) Surat berharga yang dapat di-repo-kan dalam transaksi Financing Facility sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 paling banyak sebesar nilai nominal surat berharga yang dimiliki Peserta Standing Facilities Syariah yang tercatat di Rekening Surat Berharga. (2) Dalam hal SBSN yang di-repo-kan pada transaksi Financing Facility sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c memiliki kupon atau imbalan maka hak atas penerimaan kupon atau imbalan dimaksud merupakan milik Peserta Standing Facilities Syariah. (3) Kriteria dan persyaratan, harga, serta haircut atas SBIS, SukBI, dan SBSN yang dapat digunakan dalam transaksi Financing Facility yaitu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. 6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 Bank Indonesia menetapkan tingkat Biaya Repo SBIS, Margin Repo SukBI, dan Margin Repo SBSN untuk transaksi Financing Facility dengan mengacu pada suku bunga Lending Facility. 10 7. Di antara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 11A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 11A (1) Repo SukBI menggunakan akad al ba’i atau jual beli yang disertai dengan janji (al wa’d) oleh Peserta Standing Facilities Syariah kepada Bank Indonesia untuk membeli kembali SukBI dalam jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati. (2) Janji (al wa’d) Peserta Standing Facilities Syariah kepada Bank Indonesia untuk membeli kembali SukBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam dokumen yang terpisah. 8. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 13 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1A) sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Peserta Standing Facilities Syariah mengajukan Repo SBIS setelah menandatangani Perjanjian dengan Bank Indonesia. (1A) Peserta Standing Facilities Syariah mengajukan Repo SukBI setelah menandatangani dokumen janji (wa’d) untuk membeli kembali surat berharga dalam Transaksi Repo SukBI dengan Bank Indonesia. (2) Peserta Standing Facilities Syariah mengajukan Repo SBSN setelah menandatangani dokumen janji (wa’d) untuk membeli kembali surat berharga dalam Transaksi Repo SBSN dengan Bank Indonesia. 9. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Penandatanganan Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan/atau dokumen janji 11 (wa’d) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1A) dan ayat (2) diatur sebagai berikut: a. bagi Peserta Standing Facilities Syariah yang kantor pusatnya berkedudukan di Indonesia: 1. Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d) ditandatangani oleh anggota direksi yang berwenang; atau 2. dalam hal tidak ditandatangani oleh anggota direksi yang berwenang maka harus dilengkapi dengan surat kuasa dari anggota direksi yang berwenang kepada pejabat penandatangan Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d); b. bagi Peserta Standing Facilities Syariah yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri: 1. Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d) ditandatangani oleh chief executive officer (CEO); atau 2. dalam hal tidak ditandatangani oleh CEO maka harus dilengkapi dengan surat kuasa dari CEO kepada pejabat penandatangan Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d); dan c. bagi Peserta Standing Facilities Syariah berupa UUS, Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d) ditandatangani oleh pejabat UUS yang diberikan kuasa oleh anggota direksi BUK. (2) Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibubuhi meterai cukup dan dilampirkan dokumen pendukung sesuai persyaratan Bank Indonesia. (3) Contoh Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 12 10. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Penandatanganan Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dibuat dalam rangkap 2 (dua) dan dilakukan sebelum Peserta Standing Facilities Syariah mengajukan Repo SBIS dengan Bank Indonesia untuk pertama kali. (2) Penandatanganan dokumen janji (wa’d) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1A) dilakukan sebelum Peserta Standing Facilities Syariah mengajukan Repo SukBI dengan Bank Indonesia untuk pertama kali. (3) Penandatanganan dokumen janji (wa’d) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dilakukan sebelum Peserta Standing Facilities Syariah mengajukan Repo SBSN dengan Bank Indonesia untuk pertama kali. (4) Peserta Standing Facilities Syariah harus menyampaikan perubahan Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau dokumen janji (wa’d) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dalam hal terdapat perubahan atas: a. Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d); b. anggaran dasar Peserta Standing Facilities Syariah atau peraturan daerah mengenai kewenangan direksi Peserta Standing Facilities Syariah untuk mewakili Peserta Standing Facilities Syariah; dan/atau c. ketentuan internal Peserta Standing Facilities Syariah yang mengatur mengenai pendelegasian wewenang. 13 11. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) diubah sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Bank Indonesia memberitahukan kepada Peserta Standing Facilities Syariah mengenai persetujuan atas pengajuan: a. Perjanjian sebagai persyaratan pengajuan Repo SBIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1); b. dokumen janji (wa’d) sebagai persyaratan pengajuan Repo SukBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1A); dan/atau c. dokumen janji (wa’d) sebagai persyaratan pengajuan Repo SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2). (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis melalui surat atau Sistem BI-ETP. 12. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Pengumuman rencana transaksi Lending Facility dan Financing Facility sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) memuat informasi: a. sarana transaksi; b. window time; c. jangka waktu repo; d. repo rate, tingkat Biaya Repo SBIS, Margin Repo SukBI, atau Margin Repo SBSN; e. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau f. informasi lainnya. (2) Dalam hal terdapat perubahan: a. window time sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; dan/atau 14 b. repo rate, tingkat Biaya Repo SBIS, Margin Repo SukBI, atau Margin Repo SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Bank Indonesia mengumumkan melalui Sistem BI- ETP dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebelum window time. 13. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 22 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2A) sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 (1) Peserta Standing Facilities Syariah hanya dapat mengajukan Repo SBIS paling banyak sebesar nilai nominal SBIS yang dimiliki pada 1 (satu) Hari Kerja sebelum tanggal Repo SBIS. (2) Bank Indonesia memberikan Repo SBIS kepada Peserta Standing Facilities Syariah paling banyak sebesar nilai nominal SBIS yang diagunkan. (2A) Peserta Standing Facilities dapat me-repo-kan SukBI yang dimiliki kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai nominal SukBI milik Peserta Standing Facilities yang tercatat di Rekening Surat Berharga. (3) Peserta Standing Facilities dapat me-repo-kan SBSN yang dimiliki kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai nominal SBSN milik Peserta Standing Facilities yang tercatat di Rekening Surat Berharga. 14. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 Setelah window time sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) ditutup, Bank Indonesia mengumumkan hasil transaksi Financing Facility melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: 15 a. secara individual kepada Peserta Standing Facilities Syariah, berupa: 1. nilai transaksi yang diterima; 2. nilai nominal; 3. Biaya Repo SBIS, nilai Margin Repo SukBI, atau nilai Margin Repo SBSN; 4. tingkat Biaya Repo SBIS, Margin Repo SukBI, atau Margin Repo SBSN; dan/atau 5. informasi lainnya; dan b. secara keseluruhan, berupa: 1. nilai nominal yang diterima; 2. tingkat Biaya Repo SBIS, Margin Repo SukBI, atau Margin Repo SBSN; dan/atau 3. informasi lainnya. 15. Ketentuan Pasal 33 ayat (2) diubah sehingga Pasal 33 berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Dalam hal Peserta Standing Facilities tidak memiliki dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen second leg sampai dengan sebelum periode cut-off warning BI- RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen second leg, BI-SSSS secara otomatis membatalkan transaksi Lending Facility atau Financing Facility second leg. (2) Dalam hal terdapat pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pada saat second leg Bank Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah sebesar kewajiban pembayaran nilai bunga repo, Biaya Repo SBIS, nilai Margin Repo SukBI, dan/atau nilai Margin Repo SBSN. (3) Dalam hal pada transaksi Lending Facility atau Financing Facility terdapat lebih dari 1 (satu) kali kegagalan setelmen second leg dalam 1 (satu) hari maka untuk perhitungan sanksi penghentian 16 sementara mengikuti kegiatan Operasi Moneter, pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali. 16. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34 Dalam hal Peserta Standing Facilities gagal memenuhi kewajiban setelmen second leg transaksi Lending Facility atau Financing Facility yang dilakukan dengan menggunakan surat berharga berupa SBI, SBIS, SukBI, dan/atau SDBI, Bank Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut: a. mendebit Rekening Giro rupiah untuk penyelesaian: 1. nilai bunga repo untuk transaksi Lending Facility yang dilakukan dengan menggunakan surat berharga berupa SBI, SukBI, dan SDBI; dan 2. Biaya Repo SBIS untuk transaksi Financing Facility; 3. nilai Margin Repo SukBI untuk transaksi Financing Facility; b. melakukan penyelesaian pelunasan sebelum jatuh waktu (early redemption) secara otomatis melalui BI- SSSS atas seri SBI, SBIS, SukBI, dan/atau SDBI, yang di-repo-kan; dan/atau c. dalam hal hasil early redemption sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak mencukupi, Bank Indonesia akan mendebit Rekening Giro rupiah sebesar kekurangan kewajiban Peserta Standing Facilities kepada Bank Indonesia. 17 17. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 Perhitungan nilai bunga repo, Biaya Repo SBIS, nilai Margin Repo SukBI, dan pelunasan surat berharga sebelum jatuh waktu (early redemption) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a, huruf b, dan huruf c yaitu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. 18. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 (1) Dalam hal Bank Indonesia melakukan early redemption SBIS dan/atau SukBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf b, Bank Indonesia membayar imbalan SBIS dan/atau imbalan SukBI kepada Peserta Standing Facilities Syariah sampai dengan tanggal early redemption SBIS dan/atau SukBI. (2) Contoh perhitungan pembayaran imbalan SBIS dan/atau imbalan SukBI pada saat early redemption sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 19. Ketentuan Pasal 56 ayat (2) diubah sehingga Pasal 56 berbunyi sebagai berikut: Pasal 56 (1) Dalam hal setelah terjadinya transaksi, tanggal jatuh waktu Standing Facilities ditetapkan sebagai hari 18 libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen dilakukan pada Hari Kerja berikutnya. (2) Pelaksanaan setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa memperhitungkan tambahan nilai bunga repo, Biaya Repo SBIS, nilai Margin SukBI, nilai Margin Repo SBSN, diskonto, dan/atau imbalan atas tambahan jangka waktu transaksi Standing Facilities. 20. Lampiran II dan Lampiran III diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD ERWIN RIJANTO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/37/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/9/PADG/2018 TENTANG STANDING FACILITIES I. UMUM Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk memperkuat kerangka Operasi Moneter, Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen Operasi Moneter berdasarkan prinsip syariah dan Sukuk Bank Indonesia telah ditetapkan sebagai salah satu surat berharga yang dapat digunakan dalam Standing Facilities. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/9/PADG/2018 tentang Standing Facilities. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Mekanisme nonlelang dalam Standing Facilities dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan Peserta Standing Facilities. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Angka 3 Pasal 6 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 8 Huruf a Yang dimaksud dengan “prinsip collateralized borrowing” adalah prinsip dalam transaksi repo tanpa perpindahan kepemilikan surat berharga (transfer of ownership). 3 Huruf b Yang dimaksud dengan “prinsip sell and buyback” adalah prinsip dalam transaksi repo dengan perpindahan kepemilikan surat berharga (transfer of ownership). Huruf c Yang dimaksud dengan “prinsip sell and buyback” adalah prinsip dalam transaksi repo dengan perpindahan kepemilikan surat berharga (transfer of ownership). Angka 5 Pasal 9 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 10 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 11A Cukup jelas. Angka 8 Pasal 13 Cukup jelas. Angka 9 Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. 4 Angka 2 Dalam hal penandatanganan Perjanjian dan/atau dokumen janji (wa’d) tidak dilakukan oleh CEO maka surat kuasa dari kantor pusat Peserta Standing Facilities Syariah memuat hak CEO untuk mengalihkan kewenangannya atau hak substitusi. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 10 Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dokumen janji (wa’d) untuk pengajuan Repo SukBI oleh Peserta Standing Facilities Syariah kepada Bank Indonesia berlaku untuk Repo SukBI dalam Financing Facility dan Repo SukBI dalam OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan operasi pasar terbuka. Ayat (3) Dokumen janji (wa’d) untuk pengajuan Repo SBSN oleh Peserta Standing Facilities Syariah kepada Bank Indonesia berlaku untuk Repo SBSN dalam Financing Facility dan Repo SBSN dalam OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan operasi pasar terbuka. Ayat (4) Cukup jelas. 5 Angka 11 Pasal 18 Cukup jelas. Angka 12 Pasal 20 Cukup jelas. Angka 13 Pasal 22 Cukup jelas. Angka 14 Pasal 25 Cukup jelas. Angka 15 Pasal 33 Cukup jelas. Angka 16 Pasal 34 Cukup jelas. Angka 17 Pasal 35 Cukup jelas. Angka 18 Pasal 36 Cukup jelas. Angka 19 Pasal 56 Cukup jelas. 6 Angka 20 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/37/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/9/PADG/2018 TENTANG STANDING FACILITIES </reg_title> <set_date> 20 Desember 2018 </set_date> <effective_date> 20 Desember 2018 </effective_date> <changed_reg> '20/9/PADG/2018' </changed_reg> <related_reg> '20/14/PBI/2018', '20/5/PBI/2018' </related_reg>
- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/15/PBI/2007 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DALAM PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perkembangan Teknologi Informasi memungkinkan Bank memanfaatkannya untuk meningkatkan efisiensi kegiatan operasional dan mutu pelayanan Bank kepada nasabah; b. bahwa penggunaan Teknologi Informasi dalam kegiatan operasional Bank juga dapat meningkatkan risiko yang dihadapi Bank; c. bahwa dengan meningkatnya risiko yang dihadapi, Bank perlu menerapkan manajemen risiko secara efektif; d. bahwa Teknologi Informasi merupakan aset yang berharga bagi Bank sehingga pengelolaannya bukan hanya merupakan tanggung jawab unit Teknologi Informasi namun juga menggunakannya; kerja penyelenggara seluruh pihak yang e. bahwa … - 2 - e. bahwa dalam rangka implementasi Basel II diperlukan infrastruktur Teknologi Informasi yang memadai; f. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, e, perlu huruf ditetapkan huruf d dan ketentuan yang mengatur Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 56; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4292); MEMUTUSKAN: … - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DALAM PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Teknologi Informasi adalah teknologi terkait sarana komputer, telekomunikasi dan sarana elektronis lainnya yang digunakan dalam pengolahan data keuangan dan atau pelayanan jasa perbankan. 3. Layanan Perbankan Melalui Media Elektronik atau selanjutnya disebut Electronic Banking adalah layanan yang memungkinkan nasabah Bank untuk memperoleh informasi, melakukan komunikasi, dan melakukan transaksi perbankan melalui media elektronik antara lain ATM, phone banking, electronic fund transfer, internet banking, mobile phone. 4. Rencana Strategis Teknologi Informasi (Information Technology Strategic Plan) adalah dokumen yang menggambarkan visi dan misi Teknologi Informasi Bank, strategi yang mendukung visi dan misi tersebut dan prinsip-prinsip utama yang menjadi acuan dalam penggunaan Teknologi Informasi … - 4 - Informasi untuk memenuhi kebutuhan bisnis dan mendukung rencana strategis jangka panjang. 5. Pusat Data (Data Center) adalah fasilitas utama pemrosesan data Bank yang terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak untuk mendukung kegiatan operasional Bank secara berkesinambungan. 6. Database adalah sekumpulan data komprehensif dan disusun secara sistematis, dapat diakses oleh pengguna sesuai wewenang masing-masing, dan dikelola oleh database administrator. 7. Disaster Recovery Center (DRC) adalah fasilitas pengganti pada saat Pusat Data (Data Center) mengalami gangguan atau tidak dapat berfungsi antara lain karena tidak adanya aliran listrik ke ruang komputer, kebakaran, ledakan atau kerusakan pada komputer, yang digunakan sementara waktu selama dilakukannya pemulihan Pusat Data Bank untuk menjaga kelangsungan kegiatan usaha (business continuity). 8. Business Continuity Plan (BCP) adalah kebijakan dan prosedur yang memuat rangkaian kegiatan yang terencana dan terkoordinir mengenai langkah-langkah pengurangan risiko, penanganan dampak gangguan/bencana dan proses pemulihan agar kegiatan operasional Bank dan pelayanan kepada nasabah tetap dapat berjalan. Transaksi Berbasis Teknologi 9. Pemrosesan adalah kegiatan berupa penambahan, perubahan, penghapusan, dan/atau otorisasi data yang dilakukan pada sistem aplikasi yang digunakan untuk memproses transaksi. 10. Komisaris : a. bagi Bank berbentuk hukum perseroan terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi … - 5 - b. bagi Bank berbentuk hukum perusahaan daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi kantor cabang bank asing adalah pejabat yang ditunjuk kantor pusat bank asing untuk melakukan fungsi pengawasan. 11. Direksi: a. bagi Bank berbentuk hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum perusahaan daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi kantor cabang bank asing adalah pimpinan kantor cabang bank asing. BAB II RUANG LINGKUP MANAJEMEN RISIKO TEKNOLOGI INFORMASI Pasal 2 (1) Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif dalam penggunaan Teknologi Informasi. (2) Penerapan … - 6 - (2) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup: a. b. c. pengawasan aktif dewan Komisaris dan Direksi; kecukupan kebijakan dan prosedur penggunaan Teknologi Informasi; d. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko penggunaan Teknologi Informasi; dan sistem pengendalian intern atas penggunaan Teknologi Informasi. (3) Penerapan manajemen risiko harus dilakukan secara terintegrasi dalam setiap tahapan penggunaan Teknologi Informasi sejak proses perencanaan, pengadaan, pengembangan, operasional, pemeliharaan hingga penghentian dan penghapusan sumber daya Teknologi Informasi. Pasal 3 Penerapan manajemen risiko dalam penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha Bank. BAB III PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DALAM PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI Bagian Pertama Pengawasan Aktif Dewan Komisaris dan Direksi Pasal 4 Bank wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang jelas pada setiap jenjang jabatan yang terkait dengan penggunaan Teknologi Informasi. Pasal 5 … - 7 - Pasal 5 Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 bagi dewan Komisaris paling kurang mencakup: a. mengarahkan, memantau dan mengevaluasi Rencana Strategis Teknologi Informasi dan kebijakan Bank terkait penggunaan Teknologi Informasi; b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas penerapan manajemen risiko dalam penggunaan Teknologi Informasi. Pasal 6 Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 bagi Direksi paling kurang mencakup: a. menetapkan Rencana Strategis Teknologi Informasi dan kebijakan Bank terkait penggunaan Teknologi Informasi; b. memastikan bahwa : 1. Teknologi Informasi yang digunakan Bank dapat mendukung perkembangan usaha, pencapaian tujuan bisnis Bank dan kelangsungan pelayanan kepada nasabah; 2. terdapat upaya peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang terkait dengan penggunaan Teknologi Informasi; 3. penerapan proses manajemen risiko dalam penggunaan Teknologi Informasi dilaksanakan secara memadai dan efektif; tersedianya kebijakan dan 4. prosedur Teknologi Informasi yang memadai dan dikomunikasikan serta diterapkan secara efektif baik pada satuan kerja penyelenggara maupun pengguna Teknologi Informasi; 5. terdapat … - 8 - 5. terdapat sistem pengukuran kinerja proses penyelenggaraan Teknologi Informasi yang paling kurang dapat: a) mendukung proses pemantauan terhadap implementasi strategi; b) mendukung penyelesaian proyek; c) mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya manusia dan investasi pada infrastruktur; d) meningkatkan kinerja proses penyelenggaraan Teknologi Informasi dan kualitas layanan penyampaian hasil proses kepada pengguna. Pasal 7 (1) Bank wajib memiliki Komite Pengarah Teknologi Informasi (Information Technology Steering Committe). (2) Komite Pengarah Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab memberikan rekomendasi kepada Direksi yang paling kurang terkait dengan: a. Rencana Strategis Teknologi Informasi (Information Technology Strategic Plan) yang searah dengan rencana strategis kegiatan usaha Bank; b. c. d. kesesuaian proyek-proyek Teknologi Informasi yang disetujui dengan Rencana Strategis Teknologi Informasi; kesesuaian antara pelaksanaan proyek-proyek Teknologi Informasi dengan rencana proyek yang disepakati (project charter); kesesuaian Teknologi Informasi dengan kebutuhan sistem informasi manajemen dan kebutuhan kegiatan usaha Bank; e. efektivitas … - 9 - e. f. efektivitas langkah-langkah meminimalkan risiko atas investasi Bank pada sektor Teknologi Informasi agar investasi tersebut memberikan kontribusi terhadap tercapainya tujuan bisnis Bank; atas kinerja Teknologi Informasi pemantauan peningkatannya; g. upaya penyelesaian berbagai masalah terkait yang Teknologi Informasi, tidak dapat diselesaikan oleh satuan kerja pengguna dan penyelenggara, secara efektif, efisien dan tepat waktu. (3) Komite Pengarah Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang beranggotakan: a. b. c. pejabat tertinggi d. direktur yang membawahi satuan kerja Teknologi Informasi; direktur yang membawahi satuan kerja Manajemen Risiko; yang membawahi satuan kerja Teknologi Informasi; pejabat tertinggi yang membawahi satuan kerja pengguna utama Teknologi Informasi. Bagian Kedua Kecukupan Kebijakan dan Prosedur Penggunaan Teknologi Informasi di Bank Pasal 8 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur penggunaan Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b. (2) Kebijakan dan prosedur penggunaan Teknologi Informasi paling kurang meliputi aspek-aspek sebagai berikut : a. Manajemen … penyelenggara dan upaya - 10 - a. Manajemen; b. Pengembangan dan pengadaan; c. d. Jaringan komunikasi; e. Pengamanan informasi; f. g. End user computing; h. i. Operasional Teknologi Informasi; Business Continuity Plan; Electronic Banking; dan Penggunaan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi. (3) Bank wajib menetapkan limit risiko yang dapat ditoleransi untuk dapat memastikan aspek-aspek terkait Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berjalan dengan optimal. Pasal 9 (1) Bank wajib memiliki Rencana Strategis Teknologi Informasi (Information Technology Strategic Plan) yang mendukung rencana strategis kegiatan usaha Bank. (2) Rencana Strategis Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabarkan dalam Rencana Bisnis Bank. Bagian Ketiga Proses Manajemen Risiko Terkait Teknologi Informasi Pasal 10 (1) Bank wajib melakukan proses manajemen risiko yang mencakup identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian atas risiko terkait penggunaan Teknologi Informasi. (2) Proses … - 11 - (2) Proses manajemen risiko dilakukan terhadap aspek-aspek terkait Teknologi Informasi yang paling kurang mencakup pengembangan dan pengadaan Teknologi Informasi, operasional Teknologi Informasi, jaringan komunikasi, pengamanan informasi, Business Continuity Plan, end user computing, Electronic Banking, dan penggunaan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi. (3) Dalam hal Bank menggunakan jasa pihak lain untuk menyelenggarakan Teknologi Informasi, Bank wajib memastikan bahwa pihak penyedia jasa Teknologi kurang sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 11 Dalam melakukan pengembangan dan pengadaan Teknologi Informasi Bank wajib melakukan langkah-langkah pengendalian untuk menghasilkan sistem dan data yang terjaga kerahasiaan dan integritasnya serta mendukung pencapaian tujuan Bank, antara lain mencakup: a. menetapkan dan menerapkan prosedur dan metodologi pengembangan dan pengadaan Teknologi Informasi secara konsisten; b. menerapkan manajemen proyek dalam pengembangan sistem; c. melakukan testing yang memadai pada saat pengembangan dan pengadaan suatu memastikan keakuratan sistem sesuai kebutuhan pengguna serta kesesuaian satu sistem dengan sistem yang lain; d. melakukan dokumentasi sistem yang dikembangkan dan pemeliharaannya; e. memiliki manajemen perubahan sistem aplikasi. Pasal 12 … Informasi menerapkan juga manajemen risiko yang paling sistem, termasuk uji coba bersama satuan kerja pengguna, untuk dan berfungsinya - 12 - Pasal 12 (1) Bank wajib mengidentifikasi dan memantau serta mengendalikan risiko yang terdapat pada aktivitas operasional Teknologi Informasi, pada jaringan komunikasi serta pada end user computing untuk memastikan efektifitas, efisiensi dan keamanan aktivitas tersebut antara lain dengan : a. menerapkan pengendalian fisik dan lingkungan terhadap fasilitas Pusat Data (Data Center) dan Disaster Recovery Center; b. menerapkan pengendalian hak akses kewenangan yang ditetapkan; secara memadai sesuai c. menerapkan pengendalian pada saat informasi; input, proses, dan output dari d. memperhatikan risiko yang mungkin timbul dari ketergantungan Bank terhadap penggunaan jaringan komunikasi; e. memastikan aspek desain dan pengoperasian dalam implementasi jaringan komunikasi sesuai dengan kebutuhan; f. melakukan pemantauan kegiatan operasional Teknologi Informasi termasuk adanya audit trail; g. melakukan pemantauan penggunaan aplikasi yang dikembangkan atau diadakan oleh satuan kerja di luar satuan kerja Teknologi Informasi. (2) Bagi Bank yang memiliki unit usaha yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, wajib memiliki sistem yang dapat menghasilkan laporan yang terpisah bagi kegiatan usaha Bank berdasarkan prinsip syariah. Pasal 13 … - 13 - Pasal 13 (1) Bank wajib memastikan Business Continuity Plan dan Disaster Recovery Plan dapat dilaksanakan secara efektif agar kegiatan usaha Bank tetap berjalan saat terjadi gangguan yang signifikan pada sarana Teknologi Informasi yang digunakan Bank. (2) Bank wajib melakukan uji coba atas Business Continuity Plan dan Disaster Recovery Plan terhadap seluruh sistem/aplikasi dan infrastruktur yang kritikal sesuai hasil Business Impact Analysis, paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun dengan melibatkan end user (end to end). (3) Bank wajib melakukan pengkinian Business Continuity Plan dan Disaster Recovery Plan. Pasal 14 Bank wajib memastikan pengamanan informasi dilaksanakan secara efektif dengan memperhatikan paling kurang hal-hal sebagai berikut: a. pengamanan informasi ditujukan agar informasi yang dikelola terjaga kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity) dan ketersediaannya (availability) secara efektif dan efisien dengan memperhatikan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku; b. pengamanan informasi dilakukan terhadap aspek teknologi, sumber daya manusia dan proses dalam penggunaan Teknologi Informasi; c. pengamanan informasi mencakup pengelolaan aset bank yang terkait dengan informasi, kebijakan sumber daya manusia, pengamanan fisik, pengamanan akses, pengamanan operasional, dan aspek penggunaan Teknologi Informasi lainnya; d. adanya … - 14 - d. adanya manajemen penanganan insiden dalam pengamanan informasi; dan e. pengamanan informasi diterapkan berdasarkan hasil penilaian terhadap risiko (risk assessment) pada informasi yang dimiliki Bank. Bagian Keempat Sistem Pengendalian dan Audit Intern atas Penyelenggaraan Teknologi Informasi Pasal 15 (1) Bank wajib melaksanakan sistem pengendalian intern terhadap semua aspek penggunaan Teknologi Informasi. secara efektif (2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup: a. pengawasan oleh manajemen dan adanya budaya pengendalian; b. identifikasi dan penilaian risiko; c. kegiatan pengendalian dan pemisahan fungsi; d. sistem informasi, sistem akuntansi dan sistem komunikasi; e. kegiatan pemantauan dan koreksi penyimpangan, yang dilakukan oleh satuan kerja operasional, satuan kerja audit intern maupun pihak lainnya. (3) Sistem informasi, sistem akuntansi dan sistem komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d harus didukung oleh teknologi, sumber daya manusia dan struktur organisasi Bank yang memadai. (4) Kegiatan pemantauan dan tindakan koreksi penyimpangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e paling kurang meliputi: a. kegiatan pemantauan secara terus menerus; b. pelaksanaan fungsi audit intern yang efektif dan menyeluruh; c. perbaikan … - 15 - c. perbaikan terhadap penyimpangan baik yang diidentifikasi oleh satuan kerja operasional, satuan kerja audit intern maupun pihak lainnya. Pasal 16 (1) Pelaksanaan fungsi audit intern Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) huruf b memperhatikan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku. (2) Dalam hal terdapat keterbatasan kemampuan Teknologi Informasi maka pelaksanaan fungsi audit dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh auditor ekstern. (3) Pelaksanaan audit intern wajib dilakukan secara berkala. Pasal 17 (1) Pedoman audit intern yang dimiliki Bank wajib mencakup audit terhadap penggunaan Teknologi Informasi sendiri atau oleh pihak penyedia jasa Teknologi Informasi. (2) Bank wajib menyampaikan hasil audit intern terhadap Teknologi Informasi sebagai bagian dari laporan pelaksanaan dan pokok-pokok hasil audit intern sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai pelaksanaan fungsi audit intern. (3) Bank wajib melakukan kaji ulang atas fungsi audit intern atas penggunaan Teknologi Informasi paling kurang setiap 3 (tiga) tahun sekali. (4) Kaji ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menggunakan jasa pihak ekstern yang independen. intern baik yang diselenggarakan satuan kerja audit intern intern sebagaimana penerapan standar (5) Hasil … - 16 - (5) Hasil kaji ulang disertai saran perbaikan dilaporkan kepada Bank Indonesia sebagai bagian dari laporan kaji ulang sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai penerapan standar pelaksanaan fungsi audit intern. BAB IV PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH PIHAK PENYEDIA JASA TEKNOLOGI INFORMASI Bagian Pertama Umum Pasal 18 (1) Bank dapat menyelenggarakan Teknologi Informasi sendiri menggunakan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi. (2) Penggunaan pihak penyedia jasa dan/atau Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan sepanjang Bank dan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. bagi Bank: 1) Bank tetap bertanggung jawab atas penerapan manajemen risiko; 2) Bank mampu untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan Bank yang diselenggarakan oleh pihak penyedia jasa Teknologi Informasi; 3) pemilihan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi dilakukan oleh Bank berdasarkan cost and benefit analysis dan melibatkan satuan kerja penyelenggara Teknologi Informasi Bank; 4) Bank wajib memantau dan mengevaluasi kehandalan pihak penyedia jasa secara berkala baik yang menyangkut kinerja, reputasi penyedia jasa dan kelangsungan penyediaan layanan; 5) Bank … - 17 - 5) Bank tetap memberikan akses kepada auditor intern, ekstern dan Bank Indonesia untuk memperoleh data dan informasi setiap kali dibutuhkan; 6) Bank memberikan akses kepada Bank Indonesia terhadap database secara tepat waktu baik untuk data terkini maupun untuk data yang telah lalu. b. bagi pihak penyedia jasa Teknologi Informasi: 1) pihak penyedia jasa harus menerapkan prinsip pengendalian Teknologi Informasi (IT control) secara memadai yang 2) dibuktikan dengan hasil audit yang dilakukan pihak independen; pihak penyedia jasa harus menyediakan akses bagi auditor intern Bank, auditor ekstern yang ditunjuk oleh Bank, dan auditor Bank Indonesia untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan secara tepat waktu setiap kali dibutuhkan; 3) pihak penyedia jasa harus menyatakan tidak berkeberatan bila Bank Indonesia hendak melakukan pemeriksaan terhadap kegiatan penyediaan jasa tersebut; 4) sebagai pihak terafiliasi, pihak penyedia jasa harus menjamin keamanan seluruh informasi termasuk rahasia Bank pribadi nasabah; 5) pihak penyedia jasa hanya dapat melakukan subkontrak sebagian kegiatannya berdasarkan persetujuan Bank yang dibuktikan dengan dokumen tertulis; 6) pihak penyedia jasa harus melaporkan kepada Bank setiap kejadian kritis yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan yang signifikan dan/atau mengganggu kelancaran operasional Bank; 7) pihak … dan data - 18 - 7) pihak penyedia jasa harus menyampaikan secara berkala hasil audit Teknologi Informasi yang dilakukan auditor independen terhadap penyelenggaraan Pusat Data (Data Center), Disaster Recovery Center dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi, kepada Bank Indonesia melalui Bank yang bersangkutan; 8) pihak penyedia jasa harus menyediakan Disaster Recovery Plan yang teruji dan memadai; dan 9) pihak penyedia jasa penghentian perjanjian sebelum perjanjian (early termination). (3) Penggunaan pihak penyedia harus bersedia untuk kemungkinan berakhirnya jangka waktu jasa Teknologi Informasi oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada perjanjian tertulis yang paling kurang memuat kesediaan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi untuk menyelenggarakan dan atau melakukan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b. (4) Dalam hal pihak penyedia jasa Teknologi Informasi merupakan pihak terkait dengan Bank, Bank tetap wajib melakukan proses seleksi dan transaksi dengan pihak penyedia jasa dengan memperhatikan prinsip kehati- hatian, manajemen risiko dan didasarkan pada hubungan kerja sama secara wajar (arm’s length principle). (5) Dalam hal terdapat kondisi sebagai berikut: a. memburuknya kinerja penyelenggaraan Teknologi Informasi oleh pihak penyedia jasa Teknologi Informasi yang dapat berdampak signifikan pada kegiatan usaha Bank; b. pihak penyedia jasa Teknologi Informasi menjadi tidak solvabel, atau dalam proses menuju likuidasi, atau dipailitkan oleh pengadilan; c. terdapat … - 19 - c. terdapat pelanggaran oleh pihak penyedia jasa terhadap ketentuan rahasia Bank dan kewajiban merahasiakan data pribadi nasabah; dan/atau d. terdapat kondisi yang menyebabkan Bank tidak dapat menyediakan data yang diperlukan dalam rangka pengawasan oleh Bank Indonesia; maka Bank wajib melakukan hal-hal sebagai berikut: a. melaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah kondisi tersebut diatas diketahui oleh Bank; b. memutuskan tindak lanjut yang akan permasalahan termasuk penghentian penggunaan jasa diperlukan; diambil untuk mengatasi apabila c. melaporkan kepada Bank Indonesia segera setelah Bank menghentikan penggunaan jasa sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian. (6) Dalam hal penggunaan penyedia jasa atau rencana penggunaan penyedia jasa menyebabkan atau diindikasikan akan menyebabkan kesulitan pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia maka Bank Indonesia dapat: a. memerintahkan Bank untuk menghentikan penggunaan jasa Teknologi Informasi sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian; atau. b. menolak rencana penggunaan pihak penyedia jasa yang diajukan oleh Bank. Bagian Kedua Penyelenggaraan Pusat Data (Data Center) dan/atau Disaster Recovery Center Pasal 19 (1) Pusat Data (Data Center) dan/atau Disaster Recovery Center diselenggarakan di dalam negeri. (2) Dalam… - 20 - (2) Dalam hal Bank akan menyelenggarakan Pusat Data (Data Center) dan/atau Disaster Recovery Center di luar negeri, Bank harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia dengan memenuhi persyaratan tertentu. (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan apabila Bank memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum pada Pasal 18 ayat (2) sampai dengan ayat (4) serta persyaratan tambahan sebagai berikut: a. Bank menyampaikan hasil analisis country risk; b. Bank memastikan penyelenggaraan Pusat Data (Data Center) dan/atau Disaster Recovery Center di luar negeri tidak mengurangi efektifitas pengawasan Bank Indonesia; c. Bank memastikan bahwa informasi mengenai rahasia Bank hanya dapat diungkapkan sepanjang memenuhi ketentuan perundang- undangan yang berlaku di Indonesia; d. Bank memastikan bahwa perjanjian tertulis dengan penyedia jasa juga memuat klausula choice of law; e. Apabila Bank merupakan kantor cabang bank asing atau Bank yang dimiliki lembaga keuangan asing maka Bank wajib menyampaikan: 1) Surat Pernyataan dari otoritas pengawas lembaga keuangan di luar negeri bahwa pihak penyedia jasa merupakan cakupan pengawasannya; 2) Surat Pernyataan tidak keberatan dari otoritas pengawas lembaga keuangan di luar negeri bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap pihak penyedia jasa; 3) Surat Pernyataan bahwa Bank akan menyampaikan secara berkala hasil penilaian yang dilakukan kantor bank di luar negeri atas penerapan manajemen risiko pada pihak penyedia jasa. f. Permohonan … - 21 - f. Permohonan persetujuan yang diajukan Bank harus memuat pula hal- hal sebagai berikut: 1) Manfaat bagi Bank lebih besar daripada beban yang ditanggung oleh Bank; 2) Rencana Bank untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia Bank baik yang berkaitan dengan penyelenggaraan Teknologi Informasi maupun transaksi bisnis atau produk yang ditawarkan. Bagian Ketiga Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi oleh Pihak Penyedia Jasa Pasal 20 (1) Penyelenggaraan pemrosesan transaksi oleh pihak penyedia jasa dapat dilakukan sepanjang memenuhi prinsip kehati-hatian. hanya (2) Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi oleh pihak penyedia jasa di dalam negeri hanya dapat dilakukan sepanjang memenuhi persyaratan pada pasal 18 ayat (2) sampai dengan ayat (4); (3) Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi oleh pihak penyedia jasa di luar negeri hanya dapat memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. dilakukan sepanjang (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan apabila bank memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan pada Pasal 19 ayat (3) serta persyaratan tambahan sebagai berikut: a. Memperhatikan aspek perlindungan kepada nasabah; b. Aktivitas … - 22 - b. Aktivitas yang pemrosesannya diserahkan kepada pihak penyedia jasa di luar negeri tidak merupakan aktivitas inherent banking functions; c. Dokumen pendukung administrasi keuangan atas transaksi yang dilakukan di kantor Bank di Indonesia wajib dipelihara di kantor Bank di Indonesia. d. Rencana Bisnis Bank menunjukkan adanya upaya untuk meningkatkan peran Bank bagi perkembangan perekonomian Indonesia. Pasal 21 (1) Rencana penggunaan pihak penyedia jasa dalam penyelenggaraan Pusat Data (Data Center), Disaster Recovery Center dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi wajib telah dimuat dalam Rencana Strategis Teknologi Informasi dan Rencana Bisnis Bank. (2) Bank wajib melaporkan rencana penggunaan pihak penyedia jasa dalam penyelenggaraan Pusat Data (Data Center), Disaster Recovery Center dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi di dalam negeri kepada Bank Indonesia paling lambat 2 (dua ) bulan sebelum penyelenggaraan kegiatan oleh pihak penyedia jasa tersebut efektif dioperasikan. (3) Dalam hal terdapat rencana menyerahkan penyelenggaraan Pusat Data (Data Center), Disaster Recovery Center dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi kepada pihak penyedia jasa di luar negeri, Bank wajib menyampaikan permohonan persetujuan paling lambat 4 (empat ) bulan sebelum penyelenggaraan kegiatan oleh pihak penyedia jasa tersebut efektif dioperasikan. (4) Realisasi … - 23 - (4) Realisasi rencana penyelenggaraan Pusat Data (Data Center), Disaster Recovery Center dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi oleh pihak penyedia jasa wajib dilaporkan paling lambat 1 (satu) bulan sejak kegiatan tersebut efektif dioperasikan. (5) Penyampaian rencana dan realisasi rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) dilaksanakan dengan menggunakan format Laporan Perubahan Mendasar. (6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. BAB V ELECTRONIC BANKING Pasal 22 (1) Bank yang menyelenggarakan kegiatan Electronic Banking wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (2) Bank harus memberikan edukasi kepada nasabah mengenai produk Electronic Banking dan pengamanannya secara berkesinambungan. Pasal 23 (1) Setiap rencana penerbitan produk Electronic Banking baru harus dimuat dalam Rencana Bisnis Bank. (2) Setiap rencana penerbitan produk Electronic Banking yang bersifat transaksional wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan sebelum produk tersebut diterbitkan. (3) Pelaporan … - 24 - (3) Pelaporan rencana produk Electronic Banking sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi produk Electronic Banking sepanjang terdapat ketentuan Bank Indonesia yang secara khusus mengatur persyaratan persetujuan produk tersebut. (4) Laporan rencana penerbitan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan hal-hal sebagai berikut: a. bukti-bukti kesiapan untuk menyelenggarakan Electronic Banking yang paling kurang memuat: 1) struktur organisasi yang mendukung termasuk pengawasan dari pihak manajemen; 2) kebijakan, sistem, prosedur dan kewenangan dalam penerbitan produk Electronic Banking; 3) kesiapan infrastruktur Teknologi Informasi untuk mendukung produk Electronic Banking; 4) hasil analisis dan identifikasi risiko terhadap risiko yang melekat pada produk Electronic Banking; 5) kesiapan penerapan manajemen risiko khususnya pengendalian pengamanan (security control) untuk memastikan terpenuhinya prinsip kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity), keaslian (authentication), non repudiation dan ketersediaan (availability); 6) hasil analisis aspek hukum; 7) uraian sistem informasi akuntansi; 8) program perlindungan dan edukasi nasabah. b. hasil analisis bisnis mengenai proyeksi produk baru 1 (satu) tahun kedepan. (5) Penyampaian … - 25 - (5) Penyampaian pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dilengkapi dengan hasil pemeriksaan dari pihak independen untuk memberikan pendapat atas karakteristik produk dan kecukupan pengamanan sistem Teknologi Informasi terkait produk serta kepatuhan terhadap ketentuan dan atau praktek-praktek yang berlaku di dunia internasional. (6) Dalam hal Teknologi Informasi yang digunakan dalam menyelenggarakan kegiatan Electronic Banking dilakukan oleh pihak penyedia jasa maka berlaku pula ketentuan sebagaimana diatur dalam Bab IV mengenai penyelenggaraan Teknologi Informasi oleh pihak penyedia jasa Teknologi Informasi. (7) Realisasi rencana penerbitan produk Electronic Banking wajib dilaporkan paling lambat 1 (satu) bulan sejak rencana dilaksanakan dengan menggunakan format Laporan Perubahan Mendasar Teknologi Informasi. BAB VI PELAPORAN Bagian Pertama Laporan Penggunaan Teknologi Informasi Pasal 24 (1) Bank wajib menyampaikan kembali Laporan Penggunaan Teknologi Informasi paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Bank wajib menyampaikan Laporan Tahunan Penggunaan Teknologi Informasi paling lambat 1 (satu) bulan sejak akhir tahun pelaporan; (3) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk pertama kalinya disampaikan pada Januari 2009 untuk laporan tahun 2008. Bagian … - 26 - Bagian Kedua Laporan Perubahan Mendasar Pasal 25 (1) Bank wajib menyampaikan Laporan Rencana Perubahan Mendasar Teknologi Informasi paling lambat 2 (dua) bulan sebelum perubahan tersebut efektif dioperasikan; (2) Bank wajib menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Perubahan Mendasar Teknologi Informasi paling lambat 1 (satu) bulan sejak perubahan tersebut efektif dioperasikan. (3) Produk dan/atau aktivitas baru yang telah dilaporkan dalam Laporan Realisasi Rencana Perubahan Mendasar Teknologi Informasi tidak perlu dilaporkan dalam Laporan Produk dan Aktivitas Baru sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai manajemen risiko bank umum. Bagian Ketiga Laporan Lain Pasal 26 (1) Bank wajib menyampaikan hasil audit Teknologi Informasi yang dilakukan pihak independen terhadap Pusat Data (Data Center) dan/atau Disaster Recovery Center dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi yang penyelenggaraannya dilakukan oleh pihak penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (2) huruf b angka 7 paling lambat 2 (dua) bulan setelah audit selesai dilakukan. (2) Bank wajib menyampaikan hasil penilaian penerapan manajemen risiko pada pihak penyedia jasa di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (3) huruf e angka 3 paling lambat 1 (satu) bulan setelah akhir periode penilaian risiko. (3) Bank … - 27 - (3) Bank wajib melaporkan kejadian kritis, penyalahgunaan, dan/atau kejahatan dalam penyelenggaraaan Teknologi Informasi yang dapat dan/atau telah mengakibatkan kerugian keuangan yang signifikan dan/atau mengganggu kelancaran operasional bank. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disampaikan sesegera mungkin melalui e-mail atau telepon yang diikuti dengan laporan tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kejadian kritis dan/atau penyalahgunaan/kejahatan diketahui. (5) Laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan bagian dari Laporan kondisi yang berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang penerapan manajemen risiko bagi Bank Umum. Bagian Keempat Format dan Alamat Penyampaian Laporan Pasal 27 Format dan petunjuk penyusunan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25 dan Pasal 26 diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 28 Permohonan persetujuan penggunaan penyedia jasa di luar negeri sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 dan Pasal 20 serta penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25 dan Pasal 26 dialamatkan kepada: a. Direktorat Pengawasan Bank, Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. BAB VII … - 28 - BAB VII LAIN-LAIN Pasal 29 (1) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan atau meminta Bank untuk melakukan pemeriksaan terhadap Teknologi Informasi. aspek-aspek terkait penggunaan (2) Bank wajib menyediakan akses kepada Bank Indonesia untuk dapat melakukan pemeriksaan pada seluruh aspek terkait penyelenggaraan Teknologi Informasi baik yang diselenggarakan sendiri maupun yang diselenggarakan oleh pihak lain. BAB VIII SANKSI Pasal 30 Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan pelaksanaan terkait lainnya dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan peringkat faktor manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan; c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; d. pencantuman anggota pengurus dalam daftar tidak lulus melalui mekanisme uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test). Pasal 31 … - 29 - Pasal 31 Bank yang tidak memenuhi ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 23 ayat (2) dan ayat (7), Pasal 24 dan Pasal 25 Peraturan Bank Indonesia ini dikenakan sanksi sesuai Pasal 52 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: a. kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan per laporan; b. kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per laporan, bagi Bank yang belum menyampaikan laporan setelah 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan. Pasal 32 Bank yang menyampaikan laporan yang tidak sesuai dengan kondisi Bank yang sebenarnya dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) setelah Bank diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja untuk setiap teguran dan Bank tidak memperbaiki laporan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah surat teguran terakhir. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 33 Bank yang telah memiliki kebijakan, prosedur dalam penggunaan Teknologi Informasi dan pedoman manajemen risiko penggunaan Teknologi Informasi wajib menyesuaikan dan menyempurnakannya paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 34 … - 30 - Pasal 34 Bank yang telah menggunakan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, wajib menyesuaikan perjanjian yang telah dibuat dengan ketentuan Peraturan Bank Indonesia ini paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 35 (1) Bank yang sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini telah menyerahkan penyelenggaraan Pusat Data (Data Center), Disaster Recovery Center dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi kepada pihak penyedia jasa di luar negeri wajib menyampaikan permohonan persetujuan ulang untuk menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dalam hal Bank tidak memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Bank wajib menyampaikan laporan action plan kepada Bank Indonesia. (3) Action plan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir atau setelah permohonan Bank tidak disetujui. Pasal 36 Bank yang belum memiliki Komite Pengarah Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib membentuk atau menyesuaikan komite tersebut dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini paling (dua belas) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. BAB X … lambat 12 - 31 - BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 37 Ketentuan lebih lanjut mengenai Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 38 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/164/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/9/UPPB masing-masing tanggal 31 Maret 1995 tentang Penggunaan Teknologi Sistem Informasi oleh Bank; b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/175/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/14/UPPB tanggal 22 Desember 1998 tentang Penyempurnaan Teknologi Sistem Informasi Bank dalam Menghadapi tahun 2000; c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/11/PBI/1999 tanggal 22 Desember 1999 tentang Fasilitas Khusus Dalam Rangka Mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum yang disebabkan Masalah Komputer tahun 2000; d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/18/DPNP tanggal 20 April 2004 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank melalui Internet (Internet Banking); dinyatakan tidak berlaku bagi Bank Umum. Pasal 39 … - 32 - Pasal 39 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Maret 2008. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 November 2007 a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA MIRANDA S. GOELTOM DEPUTI GUBERNUR SENIOR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 144 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 9/15/PBI/2007 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DALAM PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH BANK UMUM </reg_title> <set_date> 30 November 2007 </set_date> <effective_date> 31 Maret 2008 </effective_date> <replaced_reg> '27/164/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995', '27/9/UPPB|SE-BI/1995', '31/175/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '31/14/UPPB|SE-BI/1998', '1/11/PBI/1999', '6/18/DPNP|SE-BI/2004' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '5/8/PBI/2003' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/ 6 /PBI/2013 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dinamika perekonomian global telah berdampak pada kondisi stabilitas moneter dan pasar keuangan domestik; b. bahwa perkembangan kondisi moneter dan pasar keuangan domestik perlu disikapi secara tepat agar dapat mendukung ketahanan ekonomi nasional; c. bahwa ketentuan mengenai pinjaman luar negeri bank perlu disesuaikan dengan perkembangan perbankan dan pasar keuangan domestik dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu melakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana… - 2 - sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK. Pasal I Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4467) sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan Peraturan Bank Indonesia: a. Nomor 10/20/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4905); b. Nomor… - 3 - b. Nomor 13/7/PBI/2011 tentang Perubahan Kedua Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5193); diubah sebagai berikut: Ketentuan Pasal 3B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3B (1) Kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian PLN Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A, dikecualikan terhadap: a. PLN Jangka Pendek dari pemegang saham pengendali dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas Bank; b. PLN Jangka Pendek dari pemegang saham pengendali dalam rangka penyaluran kredit ke sektor riil; c. Dana Usaha kantor cabang Bank asing di Indonesia sampai dengan paling tinggi 100% (seratus perseratus) dari Dana Usaha yang dinyatakan (declared Dana Usaha); d. giro, tabungan, dan deposito milik perwakilan negara asing serta lembaga internasional, termasuk anggota stafnya; e. giro milik Bukan Penduduk yang digunakan untuk kegiatan investasi di Indonesia yang meliputi penyertaan langsung, pembelian saham, pembelian obligasi korporasi Indonesia, dan/atau pembelian Surat Berharga Negara (SBN); f. giro milik Bukan Penduduk yang menampung dana hasil penjualan kembali (divestasi) atas penyertaan langsung, pembelian saham, pembelian obligasi korporasi Indonesia, dan/atau pembelian Surat Berharga Negara (SBN). (2) PLN Jangka Pendek yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan bukti-bukti yang memadai dan ditatausahakan oleh Bank. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar… - 4 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 Agustus 2013 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 30 Agustus 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 147 DKEM - 5 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/ /PBI/2013 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK I. UMUM Dinamika perekonomian global terkini telah berdampak terhadap perkembangan dan kondisi pasar keuangan domestik, sehingga perlu disikapi secara tepat agar stabilitas pasar keuangan domestik dan ketahanan ekonomi nasional tetap terjaga. Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai PLN Jangka Pendek berupa penambahan pengecualian atas PLN Jangka Pendek tanpa mengurangi prinsip kehati-hatian Bank dalam mengelola PLN. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 3B Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pemegang saham pengendali” adalah pemegang saham pengendali sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Bank Umum dan Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Yang dimaksud dengan “kesulitan likuiditas” adalah kesulitan memenuhi kewajiban jangka pendek karena arus dana masuk lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) baik valuta asing maupun rupiah. Huruf b… -2- - 6 - Huruf b Yang dimaksud dengan “penyaluran kredit ke sektor riil” adalah pemberian pinjaman kepada debitur entitas Indonesia dalam rangka mendukung atau mengembangkan usaha di Indonesia. Huruf c Cukup jelas Huruf d Giro, tabungan, dan deposito milik perwakilan negara asing digunakan untuk pembiayaan operasional, bersifat sementara, jumlahnya tidak signifikan, dan penempatan dana tidak untuk memperoleh keuntungan. Perwakilan pemerintah daerah negara asing yang mewakili secara resmi pemerintah daerah negara asing tersebut dalam melakukan tugasnya dianggap sebagai perwakilan negara asing. Yang dimaksud dengan “lembaga internasional” adalah lembaga internasional yang kegiatannya bersifat nirlaba, seperti IMF dan IDB. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Hasil penjualan kembali (divestasi) meliputi pokok dan imbal hasil. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “bukti pendukung yang memadai” adalah: a. untuk pinjaman pemegang saham pengendali dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas Bank antara lain berupa laporan proyeksi arus kas dan laporan posisi likuiditas. b. untuk pinjaman pemegang saham pengendali dalam rangka penyaluran kredit ke sektor riil antara lain berupa analisa pemberian kredit Bank, bukti mutasi penerimaan dana dan realisasi kredit. c. untuk… -3- - 7 - c. untuk penempatan Dana Usaha dari kantor pusat Bank asing pada kantor cabangnya di Indonesia antara lain berupa bukti penempatan atau transfer dan laporan keuangan Bank. d. untuk giro, tabungan dan deposito milik perwakilan negara asing serta lembaga internasional termasuk anggota stafnya paling kurang berupa fotokopi identitas pemilik rekening. e. untuk penyertaan langsung paling kurang meliputi bukti penyertaan lengkap termasuk nominal, identitas penyetor, dan identitas penerima penyertaan. f. untuk pembelian surat-surat berharga paling kurang meliputi bukti pembelian saham atau obligasi yang tercatat di lembaga kustodian atau bursa efek. g. untuk pembelian SBN paling kurang telah tercatat pada BI-Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS). Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5442
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 15/6/PBI/2013 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK </reg_title> <set_date> 30 Agustus 2013 </set_date> <effective_date> 30 Agustus 2013 </effective_date> <issued_date> 30 Agustus 2013 </issued_date> <changed_reg> '7/1/PBI/2005' </changed_reg> <extension_of> '10/20/PBI/2008', '13/7/PBI/2011' </extension_of> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 12/ 4 /PBI/2010 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG LOGAM RUPIAH PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2010 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi di masyarakat perlu didukung dengan ketersediaan uang rupiah yang memadai dan mudah dikenali ciri-ciri keasliannya; b. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah oleh Bank Indonesia ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender), sehingga diharapkan dapat memperlancar kegiatan transaksi ekonomi di masyarakat; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Logam Rupiah Pecahan 1.000 (Seribu) Tahun Emisi 2010; Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah ... -2- telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4762); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG LOGAM RUPIAH PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2010. Pasal 1 ... -3- Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2010 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 2 Macam uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis uang logam yang terbuat dari bahan nickel plated steel. Pasal 3 Harga uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai nominal sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah). Pasal 4 Ciri uang rupiah pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2010 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 sebagai berikut: 1. Warna Bagian muka dan bagian belakang uang rupiah dicetak dengan warna putih keperakan (silvery white). 2. Gambar a. bagian muka 1) angka nominal “1000”; 2) pada bagian atas angka nominal “1000” terdapat gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila dan tulisan “BANK INDONESIA”, dan pada bagian bawah angka nominal “1000” terdapat tulisan “RUPIAH”; b. bagian ... -4- b. bagian belakang 1) gambar angklung dengan latar belakang gambar Gedung Sate dan pada bagian atas dicantumkan tulisan “ANGKLUNG”; 2) pada bagian bawah gambar angklung terdapat angka tahun emisi “2010”; 3) pada bagian tepi uang rupiah terdapat relief titik-titik bulat melingkar; c. bagian sisi pada uang rupiah tidak bergerigi (polos). 3. Bahan Logam uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: a. terbuat dari nickel plated steel; b. diameter uang rupiah 24,15 ± 0,10 mm; c. tebal sisi uang rupiah 1,60 ± 0,10 mm; d. berat uang rupiah 4,5 ± 0,18 gram. Pasal 5 Uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan mulai tanggal 1 April 2010. Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan ... -5- Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 Maret 2010 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 1 Maret 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 47 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 12/4/PBI/2010 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG LOGAM RUPIAH PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2010 </reg_title> <set_date> 1 Maret 2010 </set_date> <effective_date> 1 Maret 2010 </effective_date> <issued_date> 1 Maret 2010 </issued_date> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '6/14/PBI/2004', '9/10/PBI/2007', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pinjaman luar negeri merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kemantapan pembayaran dan kestabilan moneter; b. bahwa penerimaan pinjaman luar negeri bank perlu dilakukan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, kepentingan perekonomian nasional dan upaya menjaga kepercayaan dunia internasional; c. bahwa ketentuan tentang disesuaikan dengan perkembangan perekonomian nasional; neraca pinjaman luar negeri perlu perbankan dan d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan tentang pinjaman luar negeri bank dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor … - 2 - Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor … - 3 - Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabangnya di luar negeri dan kantor cabang bank asing di Indonesia. 2. Pinjaman Luar Negeri Bank yang untuk selanjutnya disebut PLN adalah semua bentuk pinjaman atau kewajiban Bank kepada bukan penduduk dalam valuta asing maupun rupiah dan surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh Bank. 3. Bukan Penduduk adalah orang, badan hukum atau badan lainnya yang tidak berdomisili di Indonesia atau berdomisili di Indonesia kurang dari 1 (satu) tahun dan kegiatan utamanya tidak di Indonesia. 4. PLN Jangka Pendek adalah PLN dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, serta giro, deposito, tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. 5. PLN Jangka Panjang adalah PLN dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun. 6. Modal Bank adalah: a. modal inti dan modal pelengkap bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia; atau b. dana bersih kantor pusat dan kantor lainnya di luar negeri (Net Head Office Fund) bagi kantor cabang bank asing, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. 7. Dana Usaha adalah dana bersih kantor pusat Bank Asing pada kantor cabangnya di Indonesia yang merupakan komponen modal untuk kantor cabang bank asing sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Persyaratan dan Tatacara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Perwakilan dari Bank Asing. Pasal 2 … - 4 - Pasal 2 (1) Bank dapat menerima PLN baik yang berjangka pendek maupun berjangka panjang. (2) Dalam melakukan penerimaan PLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. Pasal 3 PLN Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat berupa : a. pinjaman baik dalam rupiah maupun valuta asing dari Bukan Penduduk yang dilakukan berdasarkan perjanjian pinjaman (loan agreement); b. surat berharga baik dalam rupiah maupun valuta asing yang diterbitkan di pasar keuangan internasional; c. surat berharga baik dalam rupiah maupun valuta asing yang dijual secara over the counter (OTC) kepada Bukan Penduduk; d. surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan di pasar keuangan dalam negeri; e. surat berharga dalam valuta asing yang dijual secara OTC kepada penduduk; f. kewajiban dalam bentuk giro, deposito, tabungan, call money dan kewajiban lainnya kepada Bukan Penduduk baik dalam rupiah maupun valuta asing; g. bentuk kewajiban dan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f berdasarkan prinsip syariah. BAB II … - 5 - BAB II PLN JANGKA PENDEK Pasal 4 Bank wajib membatasi posisi saldo harian PLN Jangka Pendek paling tinggi 30% (tiga puluh perseratus) dari Modal Bank. Pasal 5 (1) Kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian PLN Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikecualikan terhadap: a. PLN Jangka Pendek dari pemegang saham pengendali dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas Bank; b. Dana Usaha kantor cabang bank asing di Indonesia sampai dengan setinggi-tingginya 100% (seratus perseratus) dari Dana Usaha yang dinyatakan (declared Dana Usaha); c. giro, tabungan dan deposito milik perwakilan negara asing serta lembaga internasional, termasuk anggota stafnya; d. giro milik Bukan Penduduk yang digunakan untuk kegiatan investasi di Indonesia. (2) PLN Jangka Pendek yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung dengan bukti-bukti yang memadai dan bukti tersebut wajib ditatausahakan oleh Bank. Pasal 6 (1) Kantor cabang bank asing wajib menetapkan jumlah declared Dana Usaha yang akan berlaku sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun sejak tanggal ditetapkan dan menyampaikannya kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Pengawasan … - 6 - Pengawasan Bank terkait atau Kantor Bank Indonesia setempat dengan tembusan kepada Direktorat Luar Negeri. (2) Kantor cabang bank asing wajib memelihara posisi harian Dana Usaha sekurang-kurangnya 90% (sembilan puluh perseratus) dari jumlah declared Dana Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Kantor cabang bank asing dapat memelihara posisi harian Dana Usaha lebih dari 100% (seratus perseratus) dari declared Dana Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan ketentuan jumlah kelebihan Dana Usaha tersebut diperhitungkan sebagai PLN Jangka Pendek Bank. Pasal 7 (1) Apabila masa berlaku declared Dana Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 telah berakhir, kantor cabang bank asing wajib menyampaikan declared Dana Usaha yang baru kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Pengawasan Bank terkait atau Kantor Bank Indonesia setempat dengan tembusan kepada Direktorat Luar Negeri, baik terdapat perubahan maupun tidak terdapat perubahan jumlah declared Dana Usaha. (2) Kantor cabang bank asing dapat melakukan penambahan jumlah declared Dana Usaha sebelum masa berlakunya berakhir dengan mengajukan permohonan penambahan declared Dana Usaha kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Pengawasan Bank terkait atau Kantor Bank Indonesia setempat dengan tembusan kepada Direktorat Luar Negeri dengan menyebutkan alasan dan tujuan dilakukan penambahan. (3) Persetujuan penambahan jumlah declared Dana Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan Bank Indonesia dengan memperhatikan kebutuhan Bank dan kondisi moneter dalam negeri. BAB III … - 7 - BAB III PLN JANGKA PANJANG Pasal 8 (1) Bank yang akan masuk pasar untuk memperoleh PLN Jangka Panjang wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Bank hanya dapat menerima PLN Jangka Panjang setinggi-tingginya sebesar rencana jumlah PLN Jangka Panjang yang telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (3) Rencana masuk pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank. Pasal 9 (1) Bank yang akan masuk pasar wajib menyampaikan permohonan persetujuan rencana masuk pasar secara lengkap selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum masuk pasar dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran 1 Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Permohonan persetujuan masuk pasar untuk PLN dalam bentuk Pinjaman Sub Ordinasi (Sub Ordinated Loan/SOL) yang rekomendasi pengawas Bank dapat diajukan sewaktu-waktu oleh Bank. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Luar Negeri dengan tembusan kepada Direktorat Pengawasan Bank terkait atau Kantor Bank Indonesia setempat. Pasal 10 Bank Indonesia memberikan persetujuan masuk mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: pasar setelah a. rencana … dilakukan atas dasar - 8 - a. rencana PLN Jangka Panjang telah dicantumkan dalam rencana bisnis Bank; b. terms and conditions pinjaman; c. kondisi pasar keuangan dalam negeri dan luar negeri; d. kondisi moneter dalam negeri; dan e. profil risiko Bank. Pasal 11 (1) Persetujuan masuk pasar yang diberikan oleh Bank Indonesia berlaku untuk jangka waktu selama 3 (tiga) bulan sejak tanggal persetujuan masuk pasar diberikan. (2) Dalam hal sampai dengan lewatnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank belum masuk pasar dan Bank tetap berencana masuk pasar, maka Bank wajib mengajukan kembali permohonan persetujuan masuk pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. Pasal 12 (1) Bank wajib menyampaikan laporan masuk pasar selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah masuk pasar sebagaimana contoh pada Lampiran 2 Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dalam hal terdapat perbedaan terms and conditions pinjaman pada saat sebelum dan sesudah masuk pasar, Bank wajib menjelaskan penyebab perbedaan tersebut dalam laporan masuk pasar secara memadai. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Luar Negeri dengan tembusan kepada Direktorat Pengawasan Bank terkait atau Kantor Bank Indonesia setempat. Pasal 13 … - 9 - Pasal 13 Dalam rangka mempertimbangkan Debt Sustainability Analysis (DSA), keseimbangan Neraca Pembayaran, kestabilan kondisi moneter dan kecukupan cadangan devisa, Bank Indonesia dapat menetapkan pagu PLN Jangka Panjang untuk individu Bank. BAB IV SANKSI Pasal 14 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu perseratus) per tahun dari jumlah kelebihan per hari. (2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu perseratus) per tahun dari jumlah kekurangan per hari. (3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 2%0 (dua perseribu) dari jumlah pinjaman yang diterima. (4) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 2%0 (dua perseribu) dari kelebihan jumlah yang telah disetujui oleh Bank Indonesia. (5) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja dan setinggi-tingginya Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). (6) Apabila … - 10 - (6) Apabila menurut Bank Indonesia terdapat perubahan yang mendasar berkaitan dengan terms and conditions sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan Bank tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai, maka Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi administratif berupa: a. surat teguran; dan atau b. larangan melakukan PLN untuk jangka waktu tertentu. Pasal 15 (1) Dalam rangka pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Bank Indonesia akan memberitahukan kepada Bank secara tertulis dengan menyebutkan : a. bentuk pelanggaran; b. besarnya sanksi kewajiban membayar; dan c. perhitungan besarnya kewajiban membayar. (2) Bank diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan atas pengenaan kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. (3) Dalam hal sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Bank tidak menyampaikan tanggapan atau tanggapan yang disampaikan Bank tidak dapat diterima oleh Bank Indonesia, maka Bank Indonesia akan mengenakan sanksi dengan mendebet saldo rekening giro rupiah Bank yang ada di Bank Indonesia. BAB V … - 11 - BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 16 Surat berharga dalam valuta asing yang telah diterbitkan Bank di pasar keuangan dalam negeri sebelum mulai berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dikecualikan dari ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini sampai dengan saat jatuh tempo surat berharga yang bersangkutan. Pasal 17 PLN yang dijamin dengan Letter Of Guarantee (LOG) dari pemegang saham Bukan Penduduk yang diterima oleh Bank sebelum mulai berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dikecualikan dari ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini sampai dengan berakhirnya masa berlaku LOG tersebut. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini tidak berlaku untuk kewajiban Bank dalam rangka perdagangan internasional sepanjang kewajiban tersebut didukung oleh bukti-bukti transaksi yang mendasarinya (underlying transaction) secara memadai. Pasal 19 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 29/192/KEP/DIR tanggal 26 Maret 1997 tentang Pedoman Penerimaan Pinjaman Komersial Luar Negeri Bank; b. Surat … - 12 - b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/186/KEP/DIR tanggal 21 Januari 1998 tentang Perubahan Pasal 13 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 29/192/KEP/DIR tanggal 26 Maret 1997 tentang Pedoman Penerimaan Pinjaman Komersial Luar Negeri Bank; c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 29/55/ULN tanggal 26 Maret 1997 perihal Pedoman Penerimaan Pinjaman Komersial Luar Negeri Bank; d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 30/40/ULN tanggal 21 Januari 1998 perihal Perubahan Pasal 13 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 29/192/KEP/DIR tanggal 26 Maret 1997 tentang Pedoman Penerimaan Pinjaman Komersial Luar Negeri Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal 10 Januari 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 3 DPNP/DLN PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK UMUM Sebagai salah satu sumber pendanaan Bank, Pinjaman Luar Negeri (PLN) dalam pertumbuhan usaha perbankan dan memiliki peranan penting perekonomian nasional. Namun demikian, arus dana pinjaman yang terlalu besar dan tidak terpelihara dengan baik, terutama yang berjangka pendek, dapat mempengaruhi fluktuasi nilai tukar, kemantapan neraca pembayaran dan kestabilan moneter. Oleh sebab itu, PLN perlu diatur dengan seksama agar pelaksanaannya tidak menimbulkan dampak yang buruk terhadap kestabilan moneter. Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, salah satu tugas Bank Indonesia adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Kebijakan moneter tersebut terutama dilakukan melalui sistem perbankan sehingga Bank Indonesia perlu menetapkan ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian guna menciptakan suatu sistem perbankan yang sehat. PLN yang dikelola Bank tanpa memperhatikan prinsip kehati-hatian dapat mempengaruhi kemampuan Bank untuk membayar kembali pinjaman, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kepercayaan dunia internasional terhadap sektor perbankan dan negara pada umumnya, sehingga memberikan dampak buruk terhadap kestabilan moneter. Pengalaman … - 2 - Pengalaman menunjukkan bahwa pengaturan PLN Bank selama ini cukup efektif dalam memantau pertumbuhan PLN Bank. Namun demikian, karena tuntutan perkembangan tatanan perkonomian dan sistem perbankan di Indonesia serta diperlukannya upaya untuk memulihkan dan menjaga kepercayaan pasar keuangan internasional, mendorong pengembangan iklim investasi dan perdagangan internasional serta untuk mengantisipasi excessive borrowing oleh perbankan, maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan pinjaman luar negeri Bank sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Huruf a Cukup jelas Huruf b sampai dengan huruf e Surat berharga dapat berupa Bond, Commercial Paper, Promissory Notes, Medium Term Notes (MTN), Floating Rate Notes (FRN), Negotiable Certificate Deposit (NCD) dan bentuk surat berharga lainnya. Huruf f … - 3 - Huruf f Yang dimaksud dengan kewajiban lainnya adalah kewajiban lain yang dicatat dalam neraca (on balance sheet). Giro, deposito dan tabungan diperhitungkan sebagai PLN jangka pendek tanpa memperhatikan jangka waktunya. Huruf g Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan pemegang saham pengendali adalah pemegang saham pengendali sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Umum dan Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Kegiatan investasi dapat berupa penyertaan langsung atau pembelian surat-surat berharga. Ayat (2) … - 4 - Ayat ( 2) Yang dimaksud dengan bukti pendukung yang memadai antara lain: a. untuk pinjaman pemegang saham pengendali dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas Bank berupa laporan arus kas. sekurang-kurangnya b. untuk penempatan Dana Usaha dari kantor pusat bank asing pada kantor cabangnya di Indonesia sekurang-kurangnya meliputi bukti penempatan/transfer dan laporan keuangan Bank. c. untuk giro, tabungan dan deposito milik perwakilan negara asing serta lembaga internasional termasuk anggota stafnya sekurang-kurangnya berupa copy identitas pemilik rekening. d. untuk penyertaan langsung sekurang-kurangnya meliputi bukti penyertaan lengkap termasuk nominal, identitas penyetor dan identitas penerima penyertaan. e. untuk pembelian surat-surat berharga sekurang-kurangnya meliputi bukti setoran ke perusahaan pialang pasar modal, surat perjanjian dengan perusahaan pialang pasar modal, laporan rekening pada perusahaan pialang pasar modal, bukti pembelian saham/obligasi. Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 … - 5 - Pasal 8 Ayat (1) Pengertian masuk pasar dibedakan untuk masing-masing jenis instrumen PLN Jangka Panjang sebagai berikut: a. untuk perjanjian pinjaman adalah pada saat perjanjian pinjaman ditandatangani. b. untuk surat berharga yang diterbitkan di bursa adalah pada saat dilakukan penawaran resmi di pasar (public expose). c. untuk surat berharga melalui private placement antara lain dalam bentuk MTN, FRN atau Credit Link Notes (CLN) adalah pada saat surat berharga diterbitkan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Rencana bisnis adalah rencana bisnis sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Rencana Bisnis Bank Umum. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan permohonan persetujuan secara lengkap adalah termasuk perubahan-perubahan rencana masuk pasar apabila ada. Ayat (2) Yang dapat mengajukan pengawasan sewaktu-waktu adalah Bank dalam dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Pengawasan dan Penetapan Status Bank. khusus (special surveillance) sebagaimana diatur Tindak Lanjut Ayat (3) … - 6 - Ayat (3) Cukup jelas Pasal 10 Huruf a dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank sekurang- kurangnya adalah jumlah rencana PLN Jangka Panjang. Yang Huruf b Terms and conditions meliputi antara lain bentuk pinjaman, tingkat bunga, currency, maturity profile, dan biaya-biaya terkait. Huruf c Kondisi pasar keuangan dalam dan luar negeri meliputi antara lain perkembangan pasar keuangan, sovereign rating, dan kecenderungan tingkat bunga pasar. Huruf d Kondisi moneter dalam negeri meliputi antara lain komposisi pinjaman secara nasional, supply valuta asing yang berasal dari pinjaman luar negeri serta kecenderungan tingkat bunga dan kurs. Huruf e Profil risiko Bank mencakup tingkat dan trend seluruh eksposur risiko yang melekat pada Bank seperti risiko kredit, risiko likuiditas dan risiko Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 … pasar sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank - 7 - Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan perbedaan terms and conditions pinjaman antara lain dalam hal terdapat perubahan mengenai bentuk pinjaman, currency, jumlah pinjaman, suku bunga, maturity profile, biaya-biaya lain, debt covenants. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Dalam hal dilakukan perpanjangan/pembaharuan terhadap surat berharga yang telah jatuh tempo, maka berlaku ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 … - 8 - Pasal 18 Yang dimaksud dengan kewajiban Bank dalam rangka perdagangan internasional meliputi antara lain L/C, usance L/C, red clause L/C, stand by L/C, dan lainnya yang sejenis. Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4467
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/1/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PINJAMAN LUAR NEGERI BANK </reg_title> <set_date> 10 Januari 2005 </set_date> <effective_date> 10 Januari 2005 </effective_date> <replaced_reg> '30/186/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '29/55/ULN|SE-BI/1997', '30/40/ULN|SE-BI/1998', '29/192/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 12 /PBI/2012 TENTANG LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka efektivitas pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran diperlukan dukungan informasi secara mingguan, bulanan, triwulanan, dan tahunan yang tersedia secara tepat waktu, benar, dan lengkap; b. bahwa untuk memperoleh informasi yang tepat waktu dan lengkap, diperlukan penyesuaian batas waktu penyampaian laporan, penyesuaian periode laporan, dan penambahan beberapa laporan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk menyempurnakan kembali ketentuan mengenai laporan kantor pusat bank umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun . . . - 2 - Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM. BAB I . . . - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah UUS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Bank Pelapor adalah kantor Bank yang meliputi kantor pusat Bank, kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan UUS. 4. Laporan Kantor Pusat Bank Umum, yang selanjutnya disebut Laporan, adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh Bank Pelapor secara mingguan, bulanan, triwulanan, dan/atau tahunan kepada Bank Indonesia melalui sistem laporan kantor pusat bank umum. 5. Sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum, yang selanjutnya disebut Sistem LKPBU, adalah sistem penerimaan Laporan (capturing) yang berbasis web melalui jaringan ekstranet. 6. Penyampaian Laporan secara On-Line, yang selanjutnya disebut On-Line, adalah penyampaian data secara langsung melalui jaringan komunikasi data ke Bank Indonesia. 7. Penyampaian . . . - 4 - 7. Penyampaian Laporan secara Off-Line, yang selanjutnya disebut Off-Line, adalah penyampaian rekaman data dalam media perekaman data elektronik kepada Bank Indonesia. 8. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Bank Pelapor. Pasal 2 Bank Pelapor wajib menyusun dan menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia secara tepat waktu, benar, dan lengkap. Pasal 3 (1) Bank Pelapor harus menunjuk Person In-Charge (PIC) Laporan. (2) PIC yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Bank Indonesia secara On-Line. (3) Penunjukan PIC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi dan/atau menghilangkan tanggung jawab Direksi Bank atau pimpinan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri atau Kepala UUS. (4) Dalam hal terjadi perubahan PIC, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Pelapor harus melaporkan perubahan dimaksud secara On-Line. Pasal 4 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi: a. proyeksi arus kas; b. kegiatan kustodian; c. Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN); d. penyelenggaraan . . . - 5 - d. penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan uang elektronik, yang terdiri dari: 1. 2. e. laporan penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan uang elektronik bulanan; laporan penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan uang elektronik triwulanan; remittance Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia; f. mutasi rekening pemerintah; g. aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non Bank, yang terdiri dari: 1. bancassurance; 2. reksadana; 3. produk keuangan luar negeri; h. transaksi perbankan melalui delivery channel e-banking; i. structured products; j. pejabat eksekutif; k. jaringan kantor; l. laporan keuangan publikasi bank, yang terdiri dari: 1. 2. laporan keuangan publikasi bulanan; laporan keuangan publikasi triwulanan; m. penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah; n. tenaga kerja perbankan. BAB II PENYUSUNAN LAPORAN Pasal 5 Penyusunan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan secara: a. mingguan . . . - 6 - a. mingguan; b. bulanan; c. d. triwulanan; tahunan. Pasal 6 Laporan yang disusun secara mingguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah laporan proyeksi arus kas. Pasal 7 Laporan yang disusun secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b terdiri dari laporan: a. kegiatan kustodian; b. Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN); c. penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan uang elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d angka 1; d. remittance Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia; e. mutasi rekening pemerintah; f. aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non Bank berupa produk keuangan luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf g angka 3; g. transaksi perbankan melalui delivery channel e-banking; h. structured products berupa data: 1) outstanding transaksi structured products; 2) i. pejabat eksekutif; j. jaringan . . . transaksi structured products yang bermasalah; - 7 - j. k. jaringan kantor; dan laporan keuangan publikasi bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf l angka 1. Pasal 8 Laporan yang disusun secara triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c terdiri dari laporan: a. penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan uang elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d angka 2; b. aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf g angka 1 dan angka 2; c. laporan keuangan publikasi bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf l angka 2; dan d. penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah. Pasal 9 Laporan yang disusun secara tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d adalah laporan tenaga kerja perbankan. BAB III PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 10 Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan yang disusun secara mingguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 pada hari Jumat setiap minggunya. Pasal 11 . . . - 8 - Pasal 11 Bank Pelapor wajib menyampaikan: a. Laporan yang disusun secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j paling lambat 5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan Laporan berikutnya. b. Laporan yang disusun secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dan huruf f paling lambat tanggal 15 pada bulan Laporan berikutnya. c. Laporan yang disusun secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf k paling lambat 5 (lima) Hari Kerja pada awal 2 (dua) bulan Laporan berikutnya. Pasal 12 Bank Pelapor wajib menyampaikan: a. Laporan yang disusun secara triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d paling lambat 5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. b. Laporan yang disusun secara triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dan huruf b paling lambat tanggal 15 pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. c. Laporan yang disusun secara triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember masing-masing paling lambat tanggal 15 pada bulan Mei, Agustus, November, dan April. Pasal 13 . . . - 9 - Pasal 13 Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan yang disusun secara tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 paling lambat tanggal 15 Februari tahun berikutnya. Pasal 14 (1) Bank Pelapor yang tidak memiliki data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tetap wajib menyampaikan form header paling lambat sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13. (2) Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan: a. kegiatan kustodian; b. kegiatan APMK dan uang elektronik; c. aktivitas bancassurance; d. aktivitas sebagai agen penjual efek reksadana; e. aktivitas keagenan produk keuangan luar negeri; f. transaksi perbankan melalui delivery channel e- banking; dan/atau g. kegiatan structured product, tidak wajib menyampaikan form header untuk kegiatan dan aktivitas pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan/atau huruf g di atas. Pasal 15 Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan yang dibuktikan dengan tanda terima dari Sistem LKPBU. Pasal 16 . . . - 10 - Pasal 16 (1) Dalam hal ditemukan kesalahan data pada Laporan yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia, Bank Pelapor wajib melakukan koreksi atas kesalahan tersebut. (2) Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13. (3) Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan koreksi Laporan yang dibuktikan dengan tanda terima dari Sistem LKPBU. Pasal 17 (1) Dalam hal tanggal akhir penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, dan Pasal 13 jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur maka Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan disampaikan pada Hari Kerja berikutnya. (2) Dalam hal tanggal penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 jatuh pada hari libur, maka Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan disampaikan pada Hari Kerja sebelumnya. Pasal 18 (1) Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan apabila Bank Indonesia menerima . . . - 11 - menerima Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13. (2) Bank Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap wajib menyampaikan Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan yang belum disampaikan. BAB IV PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 19 (1) Bank Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan melalui Sistem LKPBU secara On-Line. (2) Sistem LKPBU secara On-Line sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sampai dengan akhir bulan periode penyampaian Laporan. (3) Khusus untuk Laporan proyeksi arus kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, Sistem LKPBU secara On-Line sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sampai dengan 2 (dua) Hari Kerja setelah hari Jumat. (4) Dalam hal penyampaian Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan dilakukan secara Off-Line. Pasal 20 . . . - 12 - Pasal 20 (1) Dalam hal Bank Pelapor atau Bank Indonesia mengalami gangguan teknis pada batas waktu penyampaian Laporan, form header, atau koreksi Laporan, Bank Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Off-Line. (2) Dalam hal Bank Pelapor mengalami gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Pelapor wajib segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia yang ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang pada hari yang sama setelah terjadinya gangguan teknis. (3) Dalam hal Bank Indonesia mengalami gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan kepada Bank Pelapor terjadinya gangguan tersebut secara tertulis dan/atau dengan menggunakan sarana lain. (4) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi pada batas waktu penyampaian Laporan, form header atau koreksi Laporan, Bank Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan paling lambat Hari Kerja berikutnya secara Off-Line. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian Laporan atau koreksi Laporan secara Off-Line sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 21 (1) Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) . . . - 13 - ayat (1), tidak berlaku bagi Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure). (2) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib segera memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeure) yang ditandatangani oleh Pejabat Bank Pelapor yang berwenang. (3) Bank Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah keadaan memaksa (force majeure) dapat diatasi. BAB V S A N K S I Pasal 22 (1) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan atau form header setelah batas waktu penyampaian Laporan atau form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form. (2) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan atau form header setelah batas waktu penyampaian Laporan atau form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja keterlambatan . . . - 14 - keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk setiap form. Pasal 23 Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan setelah batas waktu penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) namun masih dalam periode On-Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form. Pasal 24 Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan melebihi periode On-Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap item data dan paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap form. Pasal 25 Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, dan/atau Pasal 24, Bank Pelapor dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dalam hal Bank Pelapor belum menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 16 ayat (2) sampai periode penyampaian Laporan berikutnya. Pasal 26 . . . - 15 - Pasal 26 Bank Pelapor yang tidak menyampaikan pemberitahuan tertulis perihal gangguan teknis dan/atau perihal keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 21 ayat (2) dikenakan sanksi teguran tertulis. Pasal 27 Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara mendebet rekening giro rupiah Bank Pelapor pada Bank Indonesia. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 28 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 29 (1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/3/PBI/2008 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum; b. Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 44 ayat (2), Pasal 47 ayat (4), Pasal 49 ayat (2), Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 57 ayat (3), Pasal 59 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 64 . . . - 16 - Pasal 64 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah; c. Pasal 15 ayat (2), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (2), Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1), Pasal 30, Pasal 32 ayat (2), Pasal 34 ayat (2), Pasal 35, Pasal 37 ayat (2), Pasal 38, Pasal 39 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah; d. Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/26/PBI/2009 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Melaksanakan Kegiatan Structured Product bagi Bank Umum; dan e. Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/9/PBI/2010 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Melaksanakan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri oleh Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 30 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 2012. Agar . . . - 17 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 15 Oktober 2012 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 15 Oktober 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 190 DPNP/DASP/DSM/DInt
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 14/12/PBI/2012 </reg_id> <reg_title> LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM </reg_title> <set_date> 15 Oktober 2012 </set_date> <effective_date> 1 November 2012 </effective_date> <issued_date> 15 Oktober 2012 </issued_date> <replaced_reg> '11/26/PBI/2009 | Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 36', '11/10/PBI/2009 | Pasal 15 ayat (2), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (2), Pasal 24 ayat (2) dan (3), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1), Pasal 30, Pasal 32 ayat (2), Pasal 34 ayat (2), Pasal 35, Pasal 37 ayat (2), Pasal 38, Pasal 39', '10/3/PBI/2008', '11/3/PBI/2009 | Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 44 ayat (2), Pasal 47 ayat (4), Pasal 49 ayat (2), Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 57 ayat (3), Pasal 59 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 64 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2)', '12/9/PBI/2010 | Pasal 19' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 14 / 2 /PBI/ 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/11/PBI/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa aspek kehati-hatian dan aspek perlindungan konsumen dalam praktek penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu perlu lebih diperhatikan; b. bahwa praktek pemberian kartu kredit oleh penyelenggara alat pembayaran dengan menggunakan kartu belum sepenuhnya memperhatikan manajemen risiko pemberian kredit; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu; Mengingat … -2- Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204); MEMUTUSKAN … -3- MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/11/PBI/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5000), diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 10 diubah, dan ditambah 1 (satu) angka yakni angka 15, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia, dan Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Lembaga Selain Bank adalah badan usaha bukan Bank yang berbadan hukum dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia. 3. Alat … -4- 3. Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, yang selanjutnya disebut APMK, adalah alat pembayaran yang berupa kartu kredit, kartu automated teller machine (ATM) dan/atau kartu debet. 4. Kartu Kredit adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge card) ataupun dengan pembayaran secara angsuran. 5. Kartu ATM adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan penarikan tunai dan/atau pemindahan dana dimana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada Bank atau Lembaga Selain Bank yang berwenang untuk menghimpun dana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 6. Kartu Debet adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan, dimana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada Bank atau Lembaga Selain Bank yang berwenang untuk menghimpun dana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 7. Pemegang Kartu adalah pengguna yang sah dari APMK. 8. Prinsipal … -5- 8. Prinsipal adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang bertanggung jawab atas pengelolaan sistem dan/atau jaringan antar anggotanya, baik yang berperan sebagai penerbit dan/atau acquirer, dalam transaksi APMK yang kerjasama dengan anggotanya didasarkan atas suatu perjanjian tertulis. 9. Penerbit adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menerbitkan APMK. 10. Acquirer adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang: a. melakukan kerjasama dengan pedagang sehingga pedagang mampu memproses transaksi dari APMK yang diterbitkan oleh pihak selain Acquirer yang bersangkutan; dan b. bertanggung jawab atas penyelesaian pembayaran kepada pedagang. 11. Pedagang (Merchant) adalah penjual barang dan/atau jasa yang menerima pembayaran dari transaksi penggunaan Kartu Kredit dan/atau Kartu Debet. 12. Perusahaan Switching adalah perusahaan yang menyediakan jasa switching atau routing atas transaksi elektronik yang menggunakan APMK melalui terminal seperti ATM atau Electronic Data Captured (EDC) dalam rangka memperoleh otorisasi dari Penerbit. 13. Penyelenggara Kliring adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan perhitungan hak dan kewajiban keuangan masing-masing Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka transaksi APMK. 14. Penyelenggara Penyelesaian Akhir adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan dan bertanggungjawab terhadap penyelesaian akhir atas hak dan kewajiban keuangan masing- masing Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka transaksi APMK … -6- APMK berdasarkan hasil perhitungan dari Penyelenggara Kliring. 15. Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain yang selanjutnya disebut Alih Daya adalah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa melalui perjanjian pemborongan pekerjaan dan/atau melalui perjanjian penyediaan jasa tenaga kerja. 2. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia hanya dapat bekerjasama dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir lainnya yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Rencana dan realisasi kerjasama antar Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan rencana dan realisasi kerjasama antar Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 3. Ketentuan … -7- 3. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Dalam hal Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir bekerjasama dengan pihak lain yang menyediakan jasa penunjang di bidang sistem dan teknologi informasi dalam penyelenggaraan APMK, maka Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib: a. memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian bagi Bank umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain; b. memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi oleh Bank umum; c. memiliki bukti mengenai keandalan dan keamanan sistem yang digunakan oleh pihak lain, yang antara lain dibuktikan dengan: 1. hasil audit teknologi informasi dari auditor independen; dan 2. hasil sertifikasi yang dilakukan oleh Prinsipal, jika dipersyaratkan oleh Prinsipal. d. mensyaratkan kepada pihak lain untuk menjaga kerahasiaan data dan informasi; e. melaporkan rencana dan realisasi kerjasama dengan pihak lain kepada Bank Indonesia. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku pula bagi Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau … -8- dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang berasal dari Lembaga Selain Bank. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan rencana dan realisasi kerjasama Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 4. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Penyelenggaraan Kartu Kredit oleh Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang berupa Bank wajib menerapkan manajemen risiko sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko. (2) Penyelenggaraan Kartu Kredit oleh Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang berupa Lembaga Selain Bank mengacu pada ketentuan manajemen risiko untuk Lembaga Selain Bank. (3) Dalam hal belum terdapat ketentuan yang mengatur mengenai manajemen risiko untuk Lembaga Selain Bank sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2), maka penerapan manajemen risiko bagi Lembaga Selain Bank tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko. 5. Diantara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal … -9- Pasal 15A (1) Dalam menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada Pasal 15, Penerbit Kartu Kredit wajib menerapkan manajemen risiko kredit dengan memperhatikan paling kurang hal-hal sebagai berikut: a. batas minimum usia calon Pemegang Kartu; b. batas minimum pendapatan calon Pemegang Kartu; c. batas maksimum plafon kredit yang dapat diberikan kepada Pemegang Kartu; d. batas maksimum jumlah Penerbit yang dapat memberikan fasilitas Kartu Kredit; dan e. batas minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu. (2) Dalam rangka penerapan manajemen risiko kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, Penerbit Kartu Kredit wajib melakukan pembaruan data Pemegang Kartu. (3) Dalam hal Pemegang Kartu mempunyai pendapatan tertentu tiap bulan di atas batas minimum pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Penerbit dapat memberikan plafon kredit dan jumlah Kartu Kredit sesuai dengan analisis risiko Penerbit. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula untuk pemberian fasilitas Kartu Kredit yang dijamin: a. oleh pihak lain, termasuk perusahaan atau korporasi Pemegang Kartu; dan/atau b. simpanan Pemegang Kartu pada Penerbit. (5) Batas minimum usia calon Pemegang Kartu, batas minimum pendapatan calon Pemegang Kartu, batas maksimum plafon kredit, batas maksimum jumlah Penerbit Kartu Kredit, batas minimum … -10- minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dan tata cara pembaruan data Pemegang Kartu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 6. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Penerbit Kartu Kredit wajib memberikan informasi secara tertulis kepada Pemegang Kartu paling kurang meliputi: a. prosedur dan tata cara penggunaan Kartu Kredit; b. hal-hal penting yang harus diperhatikan oleh Pemegang Kartu dalam penggunaan Kartu Kredit dan konsekuensi atau risiko yang mungkin timbul dari penggunaaan Kartu Kredit; c. hak dan kewajiban Pemegang Kartu; d. tata cara pengajuan pengaduan atas Kartu Kredit yang diberikan dan perkiraan lamanya waktu penanganan pengaduan tersebut; e. pola, tata cara dan komponen yang dijadikan dasar penghitungan bunga, biaya (fee) dan denda Kartu Kredit; jenis biaya (fee) dan denda yang dikenakan; f. g. prosedur dan tata cara pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit; dan h. ringkasan transaksi Pemegang Kartu Kredit, berdasarkan permohonan dan/atau persetujuan Pemegang Kartu Kredit. (2) Dalam … -11- (2) Dalam hal terjadi perubahan atas informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit Kartu Kredit wajib menyampaikan perubahan informasi tersebut secara tertulis kepada Pemegang Kartu. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian informasi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 7. Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 16A dan Pasal 16B, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 16A (1) Penerbit Kartu Kredit wajib menyampaikan lembar tagihan kepada Pemegang Kartu secara benar, akurat, dan tepat waktu. (2) Penerbit wajib memberitahukan kelonggaran waktu pembayaran apabila tanggal jatuh tempo pembayaran bertepatan dengan hari libur. (3) Penerbit dilarang mengenakan denda kepada Pemegang Kartu yang melakukan pembayaran tagihan utang Kartu Kredit pada kelonggaran waktu pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu penyampaian lembar tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kelonggaran waktu pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal … -12- Pasal 16B (1) Penerbit wajib mencantumkan informasi dalam lembar tagihan yang disampaikan kepada Pemegang Kartu, paling kurang mencakup: a. besarnya tagihan; b. besarnya batas minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu; c. penjelasan informasi rincian bunga dan denda, jika ada; d. plafon kredit dan sisa plafon kredit; e. tanggal transaksi; f. tanggal pembukuan (posting); g. besarnya nilai transaksi dalam valuta asing dan lawan rupiahnya, serta informasi nilai tukar, untuk transaksi yang dilakukan di luar negeri; h. tanggal cetak tagihan; i. tanggal jatuh tempo pembayaran; j. kelonggaran waktu pembayaran apabila tanggal jatuh tempo pembayaran bertepatan dengan hari libur; k. besarnya persentase bunga per bulan dan persentase efektif bunga per tahun (annualized percentage rate) atas transaksi pembelian barang atau jasa, dan penarikan tunai; l. nominal bunga yang dikenakan; m. besarnya biaya-biaya; dan n. besarnya denda atas keterlambatan pembayaran oleh Pemegang Kartu, jika ada. (2) Dalam hal terjadi perubahan atas informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit Kartu Kredit wajib menyampaikan … -13- menyampaikan perubahan informasi tersebut secara tertulis kepada Pemegang Kartu. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian informasi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 8. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Dalam memberikan kredit yang merupakan fasilitas Kartu Kredit, Penerbit Kartu Kredit yang berupa Bank wajib menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan perkreditan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan bank bagi Bank umum. (2) Penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan dalam pemberian kredit yang merupakan fasilitas Kartu Kredit oleh Penerbit Kartu Kredit yang berupa Lembaga Selain Bank, wajib dilakukan dengan mengacu pada ketentuan penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan Lembaga Selain Bank. (3) Dalam hal belum terdapat ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan bagi Lembaga Selain Bank, maka pemberian kredit atas fasilitas Kartu Kredit oleh Lembaga Selain Bank mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur kewajiban penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan. (4) Penilaian kualitas kredit Kartu Kredit oleh Penerbit Kartu Kredit yang berupa Bank wajib dilakukan dengan mengikuti ketentuan … -14- ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian kualitas kredit Bank umum. (5) Penilaian kualitas kredit Kartu Kredit oleh Penerbit Kartu Kredit yang berupa Lembaga Selain Bank wajib dilakukan dengan mengikuti ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas kredit Lembaga Selain Bank. (6) Dalam hal belum terdapat ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas kredit Kartu Kredit bagi Lembaga Selain Bank, maka penilaian kualitas kredit Kartu Kredit bagi Lembaga Selain Bank mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Penilaian kualitas kredit Kartu Kredit. (7) Penghitungan bunga yang timbul atas transaksi Kartu Kredit wajib dilakukan oleh Penerbit Kartu Kredit dengan memperhatikan paling kurang hal-hal sebagai berikut: a. untuk transaksi pembelanjaan, bunga dibebankan apabila Pemegang Kartu tidak melakukan pembayaran, melakukan pembayaran tidak penuh, atau melakukan pembayaran penuh setelah tanggal jatuh tempo pembayaran; b. untuk transaksi tarik tunai, bunga dibebankan apabila Pemegang Kartu tidak melakukan pembayaran, melakukan pembayaran tidak penuh, atau melakukan pembayaran penuh baik sebelum atau setelah tanggal jatuh tempo; c. penghitungan hari bunga atas utang Kartu Kredit didasarkan dan dimulai dari tanggal pembukuan (posting) Penerbit; d. biaya dan denda, serta bunga terutang dilarang digunakan sebagai komponen penghitungan bunga; e. penetapan … -15- e. penetapan bunga harian didasarkan pada perhitungan jumlah hari kalender dalam setahun dan ditetapkan selama 365 (tiga ratus enam puluh lima) hari. 9. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 17A dan Pasal 17B, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 17A (1) Bank Indonesia menetapkan batas maksimum suku bunga Kartu Kredit dan wajib dipatuhi oleh Penerbit Kartu Kredit. (2) Bank Indonesia mengumumkan batas maksimum suku bunga Kartu Kredit paling kurang 20 (dua puluh) hari kerja sebelum diberlakukan secara efektif. (3) Penetapan batas maksimum suku bunga Kartu Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk transaksi pembelanjaan dan transaksi tarik tunai menggunakan Kartu Kredit. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan batas maksimum suku bunga Kartu Kredit diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 17B (1) Dalam melakukan penagihan Kartu Kredit, Penerbit wajib mematuhi pokok-pokok etika penagihan utang Kartu Kredit. (2) Penerbit Kartu Kredit wajib menjamin bahwa penagihan utang Kartu Kredit, baik yang dilakukan oleh Penerbit Kartu Kredit sendiri atau menggunakan penyedia jasa penagihan, dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Dalam … -16- (3) Dalam hal penagihan utang Kartu Kredit menggunakan jasa pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penerbit wajib menjamin bahwa: a. kualitas pelaksanaan penagihannya sama dengan jika dilakukan sendiri oleh Penerbit; b. pelaksanaan penagihan utang Kartu Kredit hanya untuk utang Kartu Kredit dengan kualitas tertentu. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pokok-pokok etika penagihan utang Kartu Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kualitas utang Kartu Kredit yang penagihannya dapat dialihkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 10. Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Kartu Kredit dilarang digunakan di luar peruntukan sebagai alat pembayaran. (2) Penerbit dan Acquirer wajib menjaga agar Kartu Kredit tidak digunakan diluar peruntukan sebagai alat pembayaran. (3) Penerbit Kartu Kredit dilarang memberikan fitur tambahan melalui Kartu Kredit yang tujuannya untuk membayar angsuran fasilitas kredit lainnya. (4) Penerbit Kartu Kredit dilarang memberikan fasilitas yang mempunyai dampak tambahan biaya kepada Pemegang Kartu dan/atau memberikan fasilitas lain di luar fungsi utama Kartu Kredit, tanpa persetujuan tertulis dari Pemegang Kartu. 11. Ketentuan … -17- 11. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 (1) Dalam hal Penerbit melakukan kerja sama dengan pihak lain yang menyediakan jasa penunjang dalam penyelenggaraan APMK, maka Penerbit wajib: a. memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian bagi Bank yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain; b. melaporkan rencana dan realisasi kerjasama dengan pihak lain yang menyediakan jasa penunjang dalam penyelenggaraan APMK kepada Bank Indonesia; dan c. mensyaratkan kepada pihak lain yang menyediakan jasa penunjang dalam penyelenggaraan APMK untuk menjaga kerahasiaan data dan informasi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan rencana dan realisasi kerjasama Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir dengan pihak lain yang menyediakan jasa penunjang dalam penyelenggaraan APMK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 12. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 Setiap perbuatan yang mempunyai tujuan pembayaran atau pemenuhan kewajiban yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menggunakan Kartu Kredit, Kartu ATM dan/atau Kartu Debet, wajib menggunakan rupiah. 13. Di … -18- 13. Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 29A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 29A (1) Dalam rangka peningkatan keamanan transaksi, Penerbit wajib mengimplementasikan transaction alert kepada Pemegang Kartu untuk transaksi dengan kriteria tertentu. (2) Transaction alert sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan melalui teknologi layanan pesan singkat (short message service). (3) Transaction alert dapat dilakukan melalui sarana lain di luar layanan pesan singkat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan permintaan Pemegang Kartu. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai transaction alert diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 14. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 Penyelenggaraan kegiatan APMK oleh Bank Umum Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, atau unit usaha syariah tunduk kepada Peraturan Bank Indonesia ini dengan tetap mengacu pada prinsip syariah yang berlaku. 15. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) Prinsipal, Penerbit, dan/atau Acquirer wajib menyediakan sistem yang dapat dikoneksikan dengan sistem APMK yang lain. (2) Ketentuan … -19- (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penyediaan sistem yang dapat dikoneksikan dengan sistem APMK yang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 16. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Dalam hal terdapat perubahan data dan/atau informasi pada dokumen-dokumen yang disampaikan pada saat mengajukan permohonan izin kepada Bank Indonesia, maka Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK wajib melaporkan perubahan tersebut secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan perubahan atas nama, alamat dan/atau informasi pada dokumen tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 17. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 36A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 36A (1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan pembatasan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK. (2) Dalam rangka pembatasan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia berwenang menutup dan membuka kembali kesempatan … Penyelenggara Kliring dan/atau -20- kesempatan pengajuan permohonan izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK. (3) Pembatasan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan pada pertimbangan antara lain faktor efisiensi, mendukung kebijakan nasional, menjaga kepentingan publik, serta menjaga pertumbuhan industri dan persaingan usaha yang sehat. 18. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 Bank atau Lembaga Selain Bank yang menyelenggarakan kegiatan APMK tanpa izin Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 9 ayat (2), dikenakan sanksi administratif, berupa: a. penghentian kegiatan APMK, bagi Bank; atau b. penghentian kegiatan APMK oleh instansi yang berwenang berdasarkan permintaan Bank Indonesia, bagi Lembaga Selain Bank. 19. Ketentuan Pasal 38, diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 15A, Pasal 16, Pasal 16A, Pasal 16B, Pasal … -21- Pasal 17, Pasal 17A, Pasal 17B, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 29, Pasal 29A, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 58B dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran; b. denda; c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan APMK; dan/atau d. pencabutan izin penyelenggaraan kegiatan APMK. (2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 20. Pasal 39 dihapus. 21. Pasal 40 dihapus. 22. Pasal 41 dihapus. 23. Pasal 42 dihapus. 24. Pasal 43 dihapus. 25. Pasal 44 dihapus. 26. Pasal 45 dihapus. 27. Pasal 46 dihapus. 28. Pasal … -22- 28. Pasal 47 dihapus. 29. Pasal 48 dihapus. 30. Pasal 49 dihapus. 31. Pasal 50 dihapus. 32. Pasal 51 dihapus. 33. Pasal 52 dihapus. 34. Pasal 53 dihapus. 35. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54 (1) Selain dalam rangka penerapan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Bank Indonesia berwenang: a. meminta Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK untuk melakukan dan/atau tidak melakukan kegiatan tertentu; b. menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK; c. membatalkan izin penyelenggaraan kegiatan APMK sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau … -23- dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK yang telah diberikan; atau d. mencabut izin penyelenggaraan kegiatan APMK yang telah diberikan kepada Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK. (2) Pelaksanaan kewenangan Bank Indonesia untuk melaksanakan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kondisi antara lain: a. hasil pengawasan Bank Indonesia yang menunjukkan bahwa Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK tidak dapat menyelenggarakan kegiatan APMK dengan baik; b. terdapat permintaan pihak yang berwajib kepada Bank Indonesia untuk menghentikan sementara kegiatan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK, dalam rangka mendukung proses hukum yang berlaku; c. terdapat rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang antara lain mengenai memburuknya kondisi keuangan dan/atau lemahnya manajemen risiko Bank atau Lembaga Selain Bank; d. terdapat permintaan tertulis atau rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang kepada Bank Indonesia untuk menghentikan sementara kegiatan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK; e. otoritas pengawas yang berwenang telah mencabut izin usaha dan/atau menghentikan kegiatan usaha Bank atau Lembaga … -24- Lembaga Selain Bank yang melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK; atau f. adanya permohonan pembatalan dan/atau pencabutan izin yang diajukan sendiri oleh Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia. (3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan kewenangan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 36. Di antara Pasal 58 dan Pasal 59 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 58A dan Pasal 58B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 58A Kewajiban penerapan minimum usia calon Pemegang Kartu, minimum pendapatan calon Pemegang Kartu, batas maksimum plafon kredit, batas maksimum perolehan Kartu Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A, dan penerapan maksimum suku bunga Kartu Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17A, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013. Pasal 58B (1) Penerbit wajib melakukan penyesuaian kepada Pemegang Kartu dalam rangka memenuhi ketentuan penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A. (2) Pelaksanaan penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan tenggat waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal 1 Januari 2013. (3) Penerbit Kartu Kredit wajib bekerjasama dengan Penerbit lainnya dalam menyelesaikan permasalahan Pemegang Kartu yang memiliki Kartu Kredit melebihi batas maksimum jumlah Penerbit dan/atau batas maksimum jumlah plafon kredit yang diperkenankan. (4) Dalam … -25- (4) Dalam rangka penyelesaian permasalahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penerbit dapat mewajibkan kepada Pemegang Kartu untuk menyelesaikan kewajibannya. (5) Dalam rangka penyesuaian untuk memenuhi persyaratan batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit dan Pemegang Kartu dapat berkonsultasi kepada Bank Indonesia. (6) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelaksanaan konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 6 Januari 2012 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 6 Januari 201211 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDDIN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 11 DASP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 14 / 2 /PBI/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/11/PBI/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU I. UMUM Setelah lebih dari dua tahun sejak Peraturan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) terakhir diubah pada tahun 2009, ketentuan tersebut dipandang perlu untuk disempurnakan kembali. Penyempurnaan tersebut diperlukan dalam rangka mendorong pertumbuhan yang lebih sehat dalam transaksi pembayaran dengan menggunakan kartu dan menekan seminimal mungkin keluhan dari para pengguna jasa APMK. Dalam penggunaan Kartu Kredit, upaya penyempurnaan itu diperlukan karena pengaturan mengenai manajeman risiko kredit yang harus diacu oleh Penerbit dalam pemberian Kartu Kredit dipandang masih bersifat umum, sehingga masih terdapat praktek pemberian Kartu Kredit yang dilakukan dengan kurang tepat sasaran. Sementara itu pula praktek di industri Kartu Kredit masih terdapat ketidakseragaman dan ketidakterbukaan dalam menetapkan penghitungan seperti komponen bunga, denda dan biaya, sehingga dalam beberapa tahun terakhir telah menimbulkan banyaknya keluhan dan … -2- dan pengaduan dari para pemegang Kartu Kredit. Keluhan dari para pengguna Kartu Kredit juga muncul karena masih adanya praktek penagihan utang Kartu Kredit yang tidak dilakukan dengan sebagaimana mestinya. Sebagai alat pembayaran yang dananya bersumber dari kredit atau pembiayaan, Bank Indonesia memandang perlu untuk mengatur lebih tegas atas persyaratan dalam perolehan Kartu Kredit dan batas maksimum suku bunga yang wajar yang dapat dikenakan kepada pengguna Kartu Kredit. Persyaratan batas minimum usia dan batas minimum pendapatan bagi calon pemegang Kartu Kredit diperlukan agar Pemegang Kartu Kredit bijak dalam menggunakan kartu sesuai dengan kemampuan bayarnya. Disamping itu, dalam rangka peningkatan kenyamanan dalam penggunaan Kartu Kredit sebagai alat pembayaran dan meningkatkan aspek perlindungan kepada para pemegang Kartu Kredit, penggunaan Kartu Kredit akan ditingkatkan keamanan dan kenyamanannya. Apabila setiap Penerbit mematuhi peraturan yang telah digariskan serta para Pemegang Kartu memaklumi batasan dan mematuhi persyaratan yang telah ditetapkan, diyakini pertumbuhan Kartu Kredit akan tumbuh sehat yang secara keseluruhan akan dapat membantu dan memelihara sistem pembayaran yang aman dan efisien. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka … -3- Angka 2 Pasal 12 Ayat (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang bekerjasama dalam pasal ini adalah Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang beroperasi di wilayah Republik Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pihak lain yang menyediakan jasa penunjang di bidang sistem dan teknologi informasi dalam penyelenggaraan APMK, antara lain perusahaan penyedia jasa seperti Perusahaan Switching, perusahaan personalisasi, perusahaan pencetakan kartu, dan/atau perusahaan yang menyediakan sarana pemrosesan transaksi APMK. Kerjasama Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir dengan pihak lain yang menyediakan jasa penunjang di bidang sistem dan teknologi informasi dalam penyelenggaraan APMK, diperlakukan sebagai penyerahan … -4- penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir kepada pihak lain yang dikenal sebagai kegiatan Alih Daya. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cakupan laporan rencana dan realisasi kerjasama dengan pihak lain, termasuk informasi mengenai Alih Daya yang bermasalah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”manajemen risiko” dalam ayat ini antara lain manajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit, manajemen risiko operasional dan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi. Dalam penerapan manajemen risiko tersebut Penerbit … -5- Penerbit atau Acquirer diharuskan juga memiliki kesiapan finansial untuk memenuhi kewajiban pembayaran yang mungkin timbul dalam hal terjadi kejahatan Kartu Kredit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 15A Ayat (1) Persyaratan batas minimum usia, batas minimum pendapatan, batas maksimum plafon kredit, batas maksimum jumlah Penerbit yang dapat memberikan fasilitas Kartu Kredit, dimaksudkan agar Pemegang Kartu bijak menggunakan Kartu Kredit sebagai alat pembayaran yang dananya bersumber dari kredit serta penggunaannya sesuai dengan kemampuan bayar. Batas minimum usia calon Pemegang Kartu dibuktikan dengan dokumen identitas resmi, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), atau paspor. Batas minimum pendapatan calon Pemegang Kartu harus dibuktikan dengan dokumen resmi yang menunjukkan batas minimum pendapatan yang bersangkutan dan dimintakan pada saat calon Pemegang Kartu mengajukan aplikasi. Yang … -6- Yang dimaksud dengan “minimum pendapatan” adalah pendapatan setelah dikurangi kewajiban antara lain pajak, dan pembayaran utang kepada pemberi pekerjaan (take home pay). Termasuk sebagai dokumen resmi seperti slip gaji, bukti setoran pajak, atau dokumen lainnya yang menunjukkan pendapatan. Ayat (2) Pada saat pembaruan data Pemegang Kartu, Penerbit antara lain meminta dokumen resmi yang menunjukkan pendapatan Pemegang Kartu yang bersangkutan. Ayat (3) Pemegang Kartu Kredit yang mempunyai pendapatan di atas nilai tertentu dipandang telah mempunyai kemampuan pembayaran atas tagihan utang Kartu Kredit sehingga pemberian batasan plafon kredit dan jumlah Kartu Kredit diserahkan kepada analisis Penerbit (risk appetite Penerbit). Ayat (4) Dalam pengertian Kartu Kredit yang dijamin oleh perusahaan atau korporasi Pemegang Kartu tidak termasuk Kartu Kredit yang diberikan Penerbit kepada dan dibayar oleh perusahaan (corporate card). Ayat (5) Cukup jelas. Ayat … -7- Ayat (6) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud “secara tertulis” adalah penyampaian informasi kepada setiap calon Pemegang Kartu dan/atau Pemegang Kartu yang berupa tulisan atau ilustrasi dengan media tertentu berupa media publik seperti brosur, leaflet, surat kabar dan/atau website, atau dengan media individual seperti welcome pack, lembar tagihan atau sarana pemberitahuan lainnya. Butir-butir informasi yang wajib disampaikan oleh Penerbit disesuaikan dengan peruntukan yang dapat disampaikan secara umum melalui media publik dan/atau secara khusus kepada masing-masing individual Pemegang Kartu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 7 Pasal 16A Ayat (1) Yang dimaksud dengan “menyampaikan lembar tagihan kepada Pemegang Kartu” adalah penyampaian lembar tagihan kepada Pemegang Kartu pada alamat sebagaimana … -8- sebagaimana diperjanjikan pada saat permohonan atau perubahannya yang telah dikonfirmasikan kepada Penerbit. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kelonggaran waktu pembayaran” adalah tambahan hari setelah tanggal jatuh tempo pembayaran tagihan Kartu Kredit (grace days) apabila tanggal jatuh tempo tersebut bertepatan dengan hari libur. Dengan demikian Pemegang Kartu mempunyai tambahan kelonggaran waktu untuk pembayaran tagihan Kartu Kredit. Adanya tambahan kelonggaran waktu tersebut tidak mengubah periode tanggal cetak tagihan sampai dengan tanggal jatuh tempo (grace period). Yang dimaksud dengan “hari libur” adalah hari libur nasional dan/atau hari dimana Penerbit tidak melakukan kegiatan operasional. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 16B Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf … -9- Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Tanggal pembukuan (posting) merupakan tanggal riil Penerbit melakukan pembayaran kepada penyelenggara ATM atas transaksi tarik tunai, atau kepada Acquirer atas transaksi pembelanjaan Pemegang Kartu. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Ayat (2) Perubahan informasi disampaikan kepada individual Pemegang Kartu. Ayat … -10- Ayat (3) Cukup jelas. Angka 8 Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Untuk kepentingan internal, Penerbit Kartu Kredit dapat melakukan penilaian kualitas kredit yang lebih hati-hati (prudent) daripada ketentuan Bank Indonesia atau ketentuan otoritas yang berwenang terhadap Lembaga Selain Bank. Namun demikian untuk kepentingan pelaporan kepada Bank Indonesia, penilaian kualitas kredit didasarkan pada ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian kualitas kredit oleh Bank umum. Ayat (7) Huruf a Pengertian “melakukan pembayaran tidak penuh” adalah melakukan pembayaran kurang dari minimum … -11- minimum pembayaran, sebesar minimum pembayaran, atau lebih dari minimum pembayaran namun kurang dari total tagihan utang Kartu Kredit. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Tanggal pembukuan (posting) merupakan tanggal riil Penerbit melakukan pembayaran kepada penyelenggara ATM atas transaksi tarik tunai, atau kepada Acquirer atas transaksi pembelanjaan Pemegang Kartu. Huruf d Biaya, denda dan bunga terutang tidak diperkenankan sebagai komponen perhitungan bunga karena komponen tersebut bukan merupakan transaksi yang dilakukan Pemegang Kartu. Termasuk dalam komponen biaya antara lain biaya administrasi, biaya bea materai, biaya cetak tagihan, biaya upgrade jenis dan/atau limit Kartu Kredit, iuran tahunan (annual fee), serta biaya- biaya lainnya. Sedangkan komponen denda antara lain denda keterlambatan pembayaran (late payment charge), denda penggunaan yang melebihi batas plafon kredit (over limit) dan denda-denda lainnya. Bunga … -12- Bunga terutang adalah bunga dari pokok transaksi sebelumnya yang belum terlunasi oleh Pemegang Kartu. Huruf e Cukup jelas. Angka 9 Pasal 17A Ayat (1) Batas maksimum suku bunga Kartu Kredit ditetapkan dengan mempertimbangkan antara lain: a. indikator perekonomian seperti BI rate; b. struktur biaya Kartu Kredit yang meliputi biaya dana (cost of fund), biaya operasional dan pengelolaan risiko kredit oleh Penerbit (risk premium); dan/atau c. praktek suku bunga yang dikenakan oleh Penerbit. Penetapan batas maksimum suku bunga Kartu Kredit oleh Bank Indonesia dapat disesuaikan apabila terjadi perubahan atas dasar pertimbangan tersebut di atas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 17B Ayat (1) Cukup jelas. Ayat … -13- Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 10 Pasal 18 Ayat (1) Fungsi Kartu Kredit sebagai alat pembayaran, yaitu untuk transaksi pembelanjaan (purchase) di Pedagang (merchant) atau untuk transaksi tarik tunai (cash advance). Yang dimaksud dengan penggunaan Kartu Kredit di luar fungsi Kartu Kredit sebagai alat pembayaran, misalnya untuk penyaluran fasilitas kredit lain dan/atau untuk membayar angsuran kredit lain. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud “fasilitas kredit lainnya” adalah fasilitas kredit di luar skema Kartu Kredit, baik yang diberikan Penerbit yang bersangkutan maupun pemberi kredit lainnya, seperti perusahaan pembiayaan, perbankan, dan/atau lembaga keuangan lainnya. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “fasilitas yang mempunyai dampak tambahan biaya” dalam pasal ini antara lain adalah … -14- adalah program asuransi dan pemberian Kartu Kredit tambahan. Yang dimaksud dengan “fasilitas lain diluar fungsi utama Kartu Kredit” antara lain adalah tagihan rutin atas transaksi yang bersifat terus-menerus (tagihan listrik, air, telepon), dan/atau memperlakukan kelebihan pembayaran tagihan Kartu Kredit sebagai tabungan yang diperlakukan seperti simpanan biasa sehingga dapat digunakan untuk bertransaksi di luar transaksi Kartu Kredit misalnya transaksi transfer dana antar Bank. Yang dimaksud dengan “persetujuan tertulis dari Pemegang Kartu” adalah persetujuan yang diberikan oleh Pemegang Kartu melalui media komunikasi yang khusus dibangun oleh Penerbit Kartu Kredit untuk komunikasi Penerbit Kartu Kredit dengan nasabahnya termasuk e-mail, faksimili, atau telepon yang kemudian dituangkan dalam catatan resmi Penerbit Kartu Kredit yang bersangkutan baik dalam bentuk transkrip atau media elektronik. Angka 11 Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pihak lain yang menyediakan jasa penunjang dalam penyelenggaraan APMK, seperti perusahaan jasa pengiriman dokumen, agen pemasaran (sales agent) atau jasa penagihan (debt collection). Kerjasama … -15- Kerjasama Penerbit dengan pihak lain tersebut diperlakukan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari Penerbit kepada pihak lain yang dikenal sebagai kegiatan Alih Daya. Huruf a Kewajiban Penerbit untuk mematuhi ketentuan Bank Indonesia mengenai prinsip kehati-hatian bagi Bank umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain, berlaku bagi Penerbit yang berasal dari Bank dan yang berasal dari Lembaga Selain Bank. Huruf b Dalam cakupan laporan rencana dan realisasi kerjasama dengan pihak lain, termasuk informasi mengenai Alih Daya yang bermasalah. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 12 Pasal 25 Kewajiban penggunaan rupiah dalam kegiatan APMK sejalan dengan kewajiban penggunaan rupiah di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diamanatkan dalam Undang-Undang tentang Mata Uang. Termasuk dalam pengertian “setiap perbuatan yang mempunyai tujuan pembayaran atau pemenuhan kewajiban” antara lain berupa pembayaran tagihan Kartu Kredit … -16- Kredit, penarikan dana melalui ATM, transfer dana melalui ATM, dan transaksi pembelanjaan di Pedagang menggunakan Kartu Kredit, Kartu ATM dan/atau Kartu Debet. Angka 13 Pasal 29A Ayat (1) Yang dimaksud dengan “transaction alert” adalah pesan yang disampaikan Penerbit kepada Pemegang Kartu Kredit mengenai transaksi Kartu Kredit yang perlu diketahui oleh Pemegang Kartu Kredit untuk memastikan bahwa transaksi tersebut benar-benar dilakukan oleh Pemegang Kartu yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sarana lain dapat berupa e-mail atau telepon. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 14 Pasal 30 Yang dimaksud dengan “unit usaha syariah” adalah unit usaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Perbankan Syariah. Penyesuaian prinsip syariah dalam penyelenggaraan kegiatan APMK oleh Bank Umum Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, atau unit usaha syariah misalnya berupa penyesuaian … -17- penyesuaian penyaluran pembiayaan, penghitungan iuran keanggotaan (membership fee) dan denda, penggantian biaya yang telah dikeluarkan Penerbit (ta’widh), serta penggunaan dan penyebutan istilah. Angka 15 Pasal 32 Ayat (1) Kewajiban penyediaan sistem yang dapat dikoneksikan dengan sistem APMK yang lain antara lain dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dalam kegiatan APMK. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 16 Pasal 33 Ayat (1) Perubahan data dan/atau informasi pada dokumen- dokumen perizinan, seperti perubahan nama, perubahan alamat kantor, perubahan pengurus (direksi dan/atau dewan komisaris), dan perubahan dokumen lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 17 Pasal 36A Ayat (1) Penetapan … -18- Penetapan kebijakan pembatasan antara lain meliputi pembatasan terhadap permohonan izin baru sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, atau pembatasan wilayah operasional tertentu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 18 Pasal 37 Cukup jelas. Angka 19 Pasal 38 Cukup jelas. Angka 20 Cukup jelas. Angka 21 Cukup jelas. Angka 22 Cukup jelas. Angka 23 Cukup jelas. Angka … -19- Angka 24 Cukup jelas. Angka 25 Cukup jelas. Angka 26 Cukup jelas. Angka 27 Cukup jelas. Angka 28 Cukup jelas. Angka 29 Cukup jelas. Angka 30 Cukup jelas. Angka 31 Cukup jelas. Angka 32 Cukup jelas. Angka … -20- Angka 33 Cukup jelas. Angka 34 Cukup jelas. Angka 35 Pasal 54 Cukup jelas. Angka 36 Pasal 58A Cukup jelas. Pasal 58B Ayat (1) Penyesuaian kepada Pemegang Kartu dilakukan oleh Penerbit jika Pemegang Kartu tidak memenuhi ketentuan penerapan manajemen risiko, seperti Pemegang Kartu yang memiliki pendapatan di bawah batas minimum pendapatan yang ditetapkan, memiliki plafon kredit melebihi batas yang ditetapkan dan/atau memiliki fasilitas Kartu Kredit melebihi jumlah maksimum Penerbit yang diperkenankan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat … -21- Ayat (3) Kerja sama yang dilakukan antara lain dapat berupa kesepakatan untuk mengurangi jumlah Penerbit yang memberikan fasilitas Kartu Kredit dan/atau mengurangi jumlah plafon kredit yang diberikan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5275
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 14/2/PBI/2012 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/11/PBI/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU </reg_title> <set_date> 6 Januari 2012 </set_date> <effective_date> 6 Januari 2012 </effective_date> <issued_date> 6 Januari 2012 </issued_date> <changed_reg> '11/11/PBI/2009' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '3/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 18 Pasal 37', 'Pasal I Angka 19 Pasal 38' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/14 /PBI/2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 1/3/PBI/1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KLIRING LOKAL DAN PENYELESAIAN AKHIR TRANSAKSI PEMBAYARAN ANTAR BANK ATAS HASIL KLIRING LOKAL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a bahwa masih terdapat Peserta Kliring yang belum dapat memenuhi spesifikasi teknis Warkat dan Dokumen Kliring sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan karena perusahaan percetakan dokumen sekuriti mengalami kesulitan memenuhi permintaan cetak warkat dan dokumen kliring; b. bahwa Warkat dan Dokumen Kliring yang telah dicetak memerlukan pula waktu untuk didistribusikan oleh masing- masing kantor pusat Peserta Kliring ke kantor lainnya di seluruh Indonesia; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/4/PBI/2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 Tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal ; Mengingat ... Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3674); 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 1/3/PBI/1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KLIRING LOKAL DAN PENYELESAIAN AKHIR TRANSAKSI PEMBAYARAN ANTAR BANK ATAS HASIL KLIRING LOKAL. Pasal I Ketentuan dalam Pasal 40 Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank atas Hasil Kliring Lokal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3873) sebagaimana … sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/4/PBI/2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank atas Hasil Kliring Lokal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3927) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : “Pasal 40 Peserta wajib memenuhi spesifikasi teknis Warkat dan Dokumen Kliring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan mencetak Warkat dan Dokumen Kliring pada perusahaan percetakan dokumen sekuriti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) yang digunakan dalam kegiatan Kliring Lokal, selambat-lambatnya tanggal 2 Januari 2001.” Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Juni 2000 GUBERNUR BANK INDONESIA, SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 88 DASP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/14/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 1/3/PBI/1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KLIRING LOKAL DAN PENYELESAIAN AKHIR TRANSAKSI PEMBAYARAN ANTAR BANK ATAS HASIL KLIRING LOKAL </reg_title> <set_date> 9 Juni 2000 </set_date> <effective_date> 9 Juni 2000 </effective_date> <changed_reg> '1/3/PBI/1999' </changed_reg> <extension_of> '2/4/PBI/2000' </extension_of> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '8/UU/1997', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/6/PBI/2003 TENTANG SURAT KREDIT BERDOKUMEN DALAM NEGERI GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperlancar transaksi perdagangan dalam negeri perlu diambil langkah-langkah untuk mendukung pengembangan cara pembayarannya; b. bahwa pengembangan cara pembayaran tersebut dapat dilakukan melalui upaya penyeragaman ketentuan yang mengatur hubungan antara bank dengan pihak yang terkait dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian; c. bahwa dengan semakin terbukanya perekonomian Indonesia, mengakibatkan transaksi perdagangan Indonesia tidak dapat terlepas dari transaksi perdagangan internasional yang pembayarannya menggunakan valuta asing; d. bahwa ketentuan tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri yang berlaku saat ini perlu disesuaikan kebutuhan para pihak yang bertransaksi serta disesuaikan dengan perkembangan transaksi perdagangan di dalam negeri; e. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk menetapkan kembali ketentuan tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri dalam Peraturan Bank Indonesia; dengan Mengingat … - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SURAT KREDIT BERDOKUMEN DALAM NEGERI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) atau lazim dikenal sebagai "Letter of Credit" (L/C) Dalam Negeri adalah setiap janji tertulis berdasarkan permintaan tertulis Pemohon (Applicant) yang mengikat Bank Pembuka (Issuing Bank) untuk: a. melakukan … - 3 - a. melakukan pembayaran kepada Penerima atau ordernya, atau mengaksep dan membayar wesel yang ditarik oleh Penerima; b. memberi kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran kepada Penerima atau ordernya, atau mengaksep dan membayar wesel yang ditarik oleh Penerima; atau c. memberi kuasa kepada bank lain untuk menegosiasi wesel yang ditarik oleh Penerima, atas penyerahan dokumen, sepanjang persyaratan dan kondisi SKBDN dipenuhi. 2. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998. 3. Bank Pembuka (Issuing Bank) adalah Bank yang menerbitkan SKBDN atas permintaan Pemohon (Applicant). 4. Bank Penerus (Advising Bank) adalah Bank yang meneruskan SKBDN kepada Penerima (Beneficiary). 5. Bank Tertunjuk (Nominated Bank) adalah Bank yang diberi kuasa untuk melakukan pembayaran atas unjuk, melakukan akseptasi wesel atau melakukan Negosiasi (Negotiation). 6. Bank Pengkonfirmasi (Confirming Bank) adalah Bank yang mengkonfirmasi SKBDN dengan mengikatkan diri untuk membayar, mengaksep atau mengambil alih wesel yang ditarik atas SKBDN tersebut. 7. Bank Penegosiasi (Negotiating Bank) adalah Bank yang melakukan Negosiasi (Negotiation). 8. Bank Pembayar (Paying Bank) adalah Bank yang melakukan pembayaran kepada Penerima (Beneficiary) atas penyerahan dokumen yang telah disyaratkan dalam SKBDN. 9. Bank … - 4 - 9. Bank Peremburs (Reimbursing Bank) adalah Bank yang ditunjuk oleh Bank Pembuka untuk melakukan penggantian pembayaran (reimbursement) kepada Bank Pembayar. 10. Bank Pengirim (Remitting Bank) adalah Bank yang mengirimkan dokumen yang disyaratkan dalam SKBDN kepada Bank Pembuka. 11. Bank Pentransfer (Transferring Bank) adalah Bank yang atas permintaan Penerima (Beneficiary) melaksanakan pengalihan SKBDN, baik sebagian maupun seluruhnya kepada satu atau beberapa pihak lainnya. 12. Bank Tertarik adalah Bank yang berkewajiban untuk melakukan pembayaran atas wesel yang ditarik padanya. 13. 14. Bank Pengaksep (Accepting Bank) adalah Bank yang melakukan akseptasi atas wesel SKBDN. Negosiasi (Negotiation) adalah pengambilalihan wesel dan atau dokumen oleh Bank dengan disertai pembayaran. 15. Pemohon (Applicant) adalah orang atau badan usaha yang mengajukan permohonan untuk membuka SKBDN pada Bank. 16. Penerima (Beneficiary) adalah orang atau badan usaha yang disebut dalam wesel, SKBDN atau surat perjanjian lainnya yang terkait dengan SKBDN tersebut sebagai pihak yang berhak menerima pembayaran. 17. Janji Tertulis adalah janji Bank yang dapat dilakukan dengan surat, teleks, swift, maupun sarana lainnya menurut kelaziman dalam praktik perbankan. 18. Hari Kerja Perbankan adalah hari kerja Bank yang dimulai dari hari Senin sampai dengan hari Jumat kecuali hari libur nasional dan hari libur khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 2 … - 5 - Pasal 2 (1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini hanya berlaku bagi penerbitan SKBDN dalam hal Bank, Pemohon, dan Penerima berkedudukan di dalam negeri. (2) Dalam hal SKBDN dibuka dalam valuta asing, Bank Peremburs dapat berkedudukan di luar negeri. (3) SKBDN hanya dilakukan untuk transaksi perdagangan barang. (4) Dalam hal transaksi perdagangan barang tersebut terkait dengan transaksi perdagangan jasa yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, nilai barang harus lebih besar dari nilai jasa. Pasal 3 Transaksi perdagangan barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) hanya dapat dilakukan dengan batasan sebagai berikut: a. Perpindahan barang dilakukan di dalam negeri. b. Perpindahan barang dilakukan dari dalam negeri ke luar negeri sepanjang SKBDN diterbitkan atas dasar L/C (master L/C) dan non L/C untuk tujuan ekspor. Pasal 4 (1) SKBDN diterbitkan dalam mata uang Rupiah. (2) SKBDN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterbitkan dalam valuta asing sepanjang SKBDN terkait dengan transaksi perdagangan internasional. Pasal 5 … - 6 - Pasal 5 (1) Setiap penerbitan SKBDN dan perubahannya harus tunduk pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) SKBDN hanya dapat diterbitkan dengan kondisi tidak dapat diubah dan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat dibatalkan tanpa persetujuan dari Bank Pembuka, Bank Pengkonfirmasi jika ada dan Penerima. (3) Jangka waktu SKBDN dan jangka waktu penundaan pembayaran SKBDN ditetapkan sesuai dengan kesepakatan antara Pemohon dan Bank Pembuka. (4) Dalam menerbitkan SKBDN, Bank dapat menetapkan sendiri besarnya jaminan dan atau setoran tunai dengan mempertimbangkan bonafiditas Pemohon. (5) Dalam hal SKBDN sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diterbitkan dengan syarat pembayaran dimuka (red clause), Bank wajib menetapkan setoran tunai yang memadai dengan memperhatikan besarnya uang muka yang ditarik. (6) SKBDN harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan apabila tidak dapat dihindari dapat dibuat dalam bahasa Inggris. Pasal 6 (1) Permohonan penerbitan SKBDN hanya dapat dilakukan secara tertulis oleh Pemohon atau kuasanya. (2) Bank hanya dapat menerima permohonan penerbitan SKBDN apabila dalam permohonan tersebut sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut: a. nama jelas dan alamat Pemohon; b. nama jelas dan alamat Penerima; c. nilai … - 7 - c. nilai SKBDN; d. syarat pembayaran atas unjuk, akseptasi atau Negosiasi ; e. rincian dokumen, seperti dokumen pengangkutan barang dan atau dokumen lainnya yang dibutuhkan; f. tanggal terakhir pengajuan dokumen; g. tempat penyerahan dokumen untuk pembayaran atas unjuk, akseptasi atau Negosiasi; h. tanggal penerbitan dan tanggal jatuh tempo SKBDN; i. media penerbitan SKBDN : surat, teleks, swift atau sarana lainnya; j. uraian barang; k. tanggal terakhir pengiriman barang; l. tempat tujuan pengiriman barang; m. pernyataan tunduk pada syarat-syarat umum Bank untuk penerbitan SKBDN. Pasal 7 Setiap permohonan penerbitan SKBDN, SKBDN itu sendiri, permohonan perubahan SKBDN, dan perubahan SKBDN itu sendiri, harus: a. tertulis secara lengkap dan benar; b. menyebutkan secara tepat dokumen yang menjadi dasar pelaksanaan pembayaran, akseptasi atau Negosiasi. Pasal 8 (1) Syarat pembayaran SKBDN dilakukan atas dasar kesepakatan Pemohon dan Bank Pembuka serta harus dinyatakan secara jelas dalam SKBDN yang bersangkutan. (2) Dalam … - 8 - (2) Dalam SKBDN wajib dicantumkan persyaratan pembayaran atas unjuk (sight), akseptasi (acceptance) atau Negosiasi (Negotiation). (3) Pihak tertarik wesel dalam rangka SKBDN hanya Bank. Pasal 9 (1) SKBDN merupakan kontrak yang terpisah dari kontrak penjualan atau kontrak lainnya yang menjadi dasar dari penerbitan SKBDN. (2) Dalam pelaksanaan SKBDN, Bank hanya berurusan dengan dokumen dan bukan dengan barang dan atau jasa atau pelaksanaan lainnya. BAB II KEWAJIBAN BANK Pasal 10 (1) Bank Pembuka wajib mencantumkan dalam SKBDN : a. hal-hal sebagaimana tercantum dalam pasal 6 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf l. b. nama "Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri". (2) SKBDN merupakan jaminan dari Bank Pembuka sepanjang dokumen yang diserahkan kepada Bank Tertunjuk atau kepada Bank Pembuka dengan persyaratan dan kondisi SKBDN : a. apabila SKBDN mensyaratkan pembayaran atas unjuk - untuk membayar atas unjuk; telah sesuai b. apabila … - 9 - b. apabila SKBDN mensyaratkan akseptasi : 1. oleh Bank Pembuka - untuk mengaksep wesel yang ditarik oleh Penerima pada Bank Pembuka dan membayar wesel pada saat jatuh tempo; atau 2. oleh Bank Tertarik lainnya - untuk mengaksep dan membayar pada saat jatuh tempo wesel yang ditarik oleh Penerima pada Bank Pembuka dalam hal Bank Tertarik yang disebutkan dalam SKBDN tidak mengaksep wesel yang ditarik padanya, atau untuk membayar wesel yang telah diaksep oleh Bank Tertarik tetapi tidak dibayar oleh Bank Tertarik pada saat jatuh tempo; c. apabila SKBDN mensyaratkan Negosiasi - untuk membayar tanpa hak regres kepada penarik atau pemegang yang sah dari wesel yang ditarik oleh Penerima dan atau dokumen yang diserahkan atas dasar SKBDN tersebut. (3) Dalam hal Bank Pembuka menghendaki agar penggantian pembayaran kepada Bank Pembayar, Bank Pengaksep atau Bank Penegosiasi dapat ditagih kepada Bank Peremburs maka Bank Pembuka wajib memberikan instruksi atau memberikan kuasa kepada Bank Peremburs dalam waktu yang wajar untuk membayar tagihan penggantian pembayaran tersebut. (4) Bank Pembuka dilarang meminta kepada Bank Pembayar, Bank Pengaksep atau Bank Penegosiasi untuk memberikan suatu pernyataan kepada Bank Peremburs bahwa dokumen telah sesuai dengan persyaratan dan kondisi SKBDN. (5) Bank Pembuka wajib melakukan penggantian pembayaran apabila penggantian pembayaran tidak diterima oleh Bank Pembayar, Bank Pengaksep atau Bank Penegosiasi dari Bank Peremburs. (6) Bank Pembuka bertanggung jawab kepada Bank Pembayar, Bank Pengaksep atau Bank Penegosiasi atas kerugian bunga jika penggantian pembayaran tidak dilaksanakan … - 10 - dilaksanakan oleh Bank Peremburs pada penagihan pertama, atau dengan cara lain yang tercantum dalam SKBDN, atau yang telah disepakati bersama. Pasal 11 (1) Bank Pengkonfirmasi memberikan konfirmasi terhadap SKBDN atas dasar permintaan Bank Pembuka. (2) Konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan jaminan dari Bank Pengkonfirmasi, dan juga jaminan dari Bank Pembuka, sepanjang dokumen yang diserahkan kepada Bank Pengkonfirmasi atau Bank Tertunjuk lain sesuai dengan persyaratan dan kondisi SKBDN. (3) Jaminan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yaitu : a. apabila SKBDN mensyaratkan pembayaran atas unjuk - untuk membayar atas unjuk; b. apabila SKBDN mensyaratkan akseptasi: 1. oleh Bank Pengkonfirmasi - untuk mengaksep wesel yang ditarik oleh Penerima pada Bank Pengkonfirmasi dan membayar wesel pada saat jatuh tempo; atau 2. oleh Bank Tertarik lainnya - untuk mengaksep dan membayar pada saat jatuh tempo wesel yang ditarik oleh Penerima pada Bank Pengkonfirmasi dalam hal Bank Tertarik yang disebutkan dalam SKBDN tidak mengaksep wesel yang ditarik padanya, atau untuk membayar wesel yang telah diaksep oleh Bank Tertarik tetapi tidak dibayar oleh Bank Tertarik pada saat jatuh tempo; c. apabila … - 11 - c. apabila SKBDN mensyaratkan Negosiasi - untuk melakukan Negosiasi tanpa hak regres kepada penarik oleh Penerima dan atau dokumen yang diserahkan berdasarkan SKBDN. Pasal 12 (1) Bank Pembuka dapat mengirimkan SKBDN atau mengirimkan perubahan SKBDN kepada Bank Penerus dengan menggunakan surat, teleks, swift, maupun sarana lainnya menurut kelaziman dalam praktik perbankan. (2) Pengiriman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat bersifat operatif atau tidak operatif. (3) Dalam hal penerusan dilakukan dengan sarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah dinyatakan sebagai instrumen yang operatif, maka surat konfirmasi tidak diperlukan lagi. (4) Dalam hal penerusan dilakukan dengan sarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dinyatakan sebagai instrumen yang operatif, maka Bank Pembuka wajib menyampaikan pada kesempatan pertama surat konfirmasi yang merupakan instrumen operatif. (5) Dalam meneruskan perubahan SKBDN Bank Pembuka wajib menggunakan jasa Bank Penerus yang sama dengan yang meneruskan SKBDN yang pertama kali diterbitkan. Pasal 13 SKBDN dapat diteruskan kepada Penerima melalui Bank Penerus tanpa mengikat Bank Penerus dengan ketentuan sebagai berikut : a. apabila … atau pemegang yang sah dari wesel yang ditarik - 12 - a. apabila Bank Penerus memilih untuk meneruskan SKBDN kepada Penerima maka Bank Penerus harus mengambil langkah-langkah yang memadai untuk memeriksa keabsahan SKBDN yang bersangkutan terlebih dahulu; b. apabila Bank Penerus memilih tidak meneruskan SKBDN maka Bank Penerus wajib segera memberitahukan kepada Bank Pembuka; c. apabila Bank Penerus tidak dapat memastikan keabsahan SKBDN maka Bank Penerus wajib segera memberitahukan kepada Bank Pembuka, dan apabila Bank Penerus tetap akan meneruskan SKBDN kepada Penerima maka wajib disertai dengan pemberitahuan bahwa Bank Penerus tidak dapat memastikan keabsahan SKBDN. Pasal 14 (1) Bank Penerus dapat meneruskan SKBDN kepada Penerima tanpa menambahkan konfirmasi kecuali Bank Pembuka menentukan lain dalam permintaan atau kuasa untuk penambahan konfirmasi. (2) Jika Bank lain diminta atau diberi kuasa oleh Bank Pembuka untuk menambah konfirmasi atas SKBDN tetapi Bank yang diminta tidak bersedia, maka penolakan wajib segera diberitahukan kepada Bank Pembuka. Pasal 15 (1) Bank Pembuka terikat pada setiap perubahan yang dibuat sejak perubahan dilakukan. (2) Bank … - 13 - (2) Bank Pengkonfirmasi dapat meneruskan perubahan SKBDN dengan atau tanpa menambah konfirmasi. (3) Dalam hal Bank Pengkonfirmasi menambahkan konfirmasi atas perubahan SKBDN maka Bank Pengkonfirmasi terikat tanggal penerusan perubahan SKBDN kepada Penerima. (4) Dalam hal Bank Pengkonfirmasi meneruskan perubahan SKBDN kepada Penerima tanpa menambah konfirmasi maka Bank Pengkonfirmasi wajib segera memberitahukan kepada Bank Pembuka dan Penerima. (5) Penerima dilarang memberikan persetujuan sebagian (partial acceptance) atas perubahan SKBDN yang termuat dalam satu penerusan perubahan SKBDN. (6) Perubahan SKBDN mulai berlaku sejak Penerima memberikan persetujuan tertulis atas perubahan tersebut kepada Bank Penerus. (7) Dalam hal Penerima lalai menyampaikan persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) maka penyerahan dokumen kepada Bank Pembuka atau Bank Tertunjuk yang sesuai dengan syarat-syarat SKBDN perubahannya dianggap sebagai persetujuan perubahan SKBDN oleh Penerima. (8) Perubahan SKBDN sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) berlaku efektif sejak tanggal penyerahan dokumen. Pasal 16 (1) Dalam SKBDN wajib dinyatakan Bank Tertunjuk. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila dalam SKBDN dinyatakan bahwa : termasuk pada perubahan SKBDN sejak a. pembayaran … - 14 - a. pembayaran atas unjuk, akseptasi, dan Negosiasi hanya dapat dilakukan pada Bank Pembuka; b. SKBDN dapat dinegosiasi pada setiap Bank. (3) Penerimaan dan penerusan dokumen oleh Bank Tertunjuk tidak mengakibatkan Bank Tertunjuk berkewajiban untuk membayar, mengaksep, atau menegosiasi kecuali Bank Tertunjuk memberitahukan secara tegas persetujuannya kepada Bank Pembuka dan Penerima. (4) Dalam hal Bank Tertunjuk setuju menjadi Bank Pengkonfirmasi maka Bank Tertunjuk wajib melaksanakan kuasa menegosiasi. untuk membayar, mengaksep atau Pasal 17 (1) Bank yang menerima instruksi tidak lengkap atau tidak jelas dari Bank Pembuka untuk meneruskan, mengkonfirmasi atau mengubah SKBDN dapat menyampaikan instruksi tersebut kepada Penerima hanya sebagai informasi dan tanpa tanggung jawab. (2) Bank penerima instruksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memberitahukan kepada Bank Pembuka atas tindakan yang telah dilakukan, dan Bank Pembuka wajib segera memberikan informasi yang diperlukan. (3) Bank penerima instruksi hanya akan meneruskan, mengkonfirmasi atau mengubah SKBDN apabila informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah diterima secara lengkap dan jelas serta Bank penerima instruksi bersedia melaksanakan instruksi dimaksud. BAB III … - 15 - BAB III PEMERIKSAAN DOKUMEN Pasal 18 (1) Bank Pembuka, Bank Pengkonfirmasi jika ada, atau Bank Tertunjuk yang bertindak atas namanya sendiri : a. wajib memeriksa semua dokumen yang disyaratkan dalam SKBDN untuk memastikan kesesuaian antara dokumen dengan persyaratan dan kondisi SKBDN, sesuai dengan standar praktik perbankan; b. memiliki waktu maksimal 7 (tujuh) Hari Kerja Perbankan setelah tanggal penerimaan dokumen untuk melakukan pemeriksaan dan menentukan pengambilalihan atau penolakan dokumen. (2) Dalam hal Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memutuskan untuk menolak dokumen, maka penolakan tersebut harus diberitahukan secara tertulis kepada pengirim dokumen selambat-lambatnya 7 (tujuh) Hari Kerja Perbankan setelah tanggal penerimaan dokumen. (3) Dalam hal Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memberitahukan secara tertulis setelah melampaui 7 (tujuh) Hari Kerja Perbankan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka Bank yang bersangkutan dianggap menerima dokumen. (4) Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak perlu memeriksa dokumen yang tidak disyaratkan dalam SKBDN, dan harus mengembalikan dokumen tersebut kepada pengirimnya atau meneruskannya kepada pihak yang berkepentingan tanpa tanggung jawab apapun. (5) Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menerima dokumen yang melewati batas waktu berakhirnya SKBDN. penyerahan Pasal 19 … - 16 - Pasal 19 (1) SKBDN dapat mensyaratkan dokumen pengangkutan barang. (2) Dalam hal SKBDN mensyaratkan adanya dokumen pengangkutan barang, maka wajib dicantumkan batas waktu penyerahan dokumen yang dihitung dari tanggal pengiriman barang. (3) Dalam hal SKBDN tidak mencantumkan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Bank dapat menolak dokumen yang diajukan melampaui 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah tanggal pengiriman barang. (4) Dokumen pengangkutan barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang- kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut: a. Nama dan alamat pengirim barang; b. Nama dan alamat penerima barang; c. Nama dan alamat perusahaan pengangkut atau agen perusahaan pengangkut; d. Nomor surat izin usaha perusahaan pengangkut atau pengangkut; agen perusahaan e. Uraian barang: marka dan nomor, jumlah colli, jenis pembungkus, berat bruto dan ukuran (dapat disesuaikan dengan persyaratan SKBDN); f. Tanggal barang diterima untuk diangkut serta jenis sarana angkutan; g. Tempat tujuan pengiriman barang; h. Tempat asal (tempat muat) barang; i. Jumlah lembar asli; j. Tanda tangan dan nama jelas penanggung jawab perusahaan pengangkut atau agen yang ditunjuk; k. Nomor dan tanggal SKBDN. (5) Dalam … - 17 - (5) Dalam format dokumen pengangkutan barang wajib dicantumkan pernyataan ada atau tidak ada asuransi pengangkutan barang. (6) Dalam hal SKBDN dilengkapi dengan dokumen asuransi pengangkutan barang (cargo insurance) maka asuransi tersebut dapat dilakukan dengan kondisi banker's clause atas nama Bank Pembuka. (7) Bank dapat menolak dokumen asuransi pengangkutan barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) apabila : a. nilai pertanggungannya lebih rendah dari nilai SKBDN atau nilai wesel; dan atau b. tanggal penerbitan dokumen asuransi pengangkutan barang yang melampaui tanggal penerbitan dokumen pengangkutan barang. Pasal 20 (1) Bank Pembuka atau Bank Pengkonfirmasi jika ada, wajib mengambil alih dokumen dan melakukan penggantian pembayaran kepada Bank Tertunjuk yang sudah membayar, mengaksep atau menegosiasi dokumen persyaratan dan kondisi SKBDN. yang sesuai dengan (2) Bank Pembuka atau Bank Pengkonfirmasi jika ada, atau Bank Tertunjuk yang menerima dokumen wajib menentukan kesesuaian dokumen dengan persyaratan dan kondisi SKBDN. (3) Apabila terdapat ketidaksesuaian antara dokumen dengan persyaratan dan kondisi SKBDN: a. Bank Pembuka, Bank Pengkonfirmasi jika ada, atau Bank Tertunjuk dapat menolak untuk mengambil alih dokumen; b. Bank … - 18 - b. Bank Pembuka dapat menghubungi Pemohon untuk meminta persetujuan atas penyimpangan dokumen dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b. (4) Dalam hal dilakukan penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a, Bank Pembuka, Bank Pengkonfirmasi jika ada, atau Bank Tertunjuk wajib menyebutkan penyimpangan yang menjadi dasar penolakan dokumen dan menentukan pilihan untuk menahan dokumen untuk kepentingan pengirim atau mengembalikan dokumen kepada pengirim. (5) Dalam hal terjadi penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a maka Bank Pembuka atau Bank Pengkonfirmasi jika ada, berhak untuk menagih kembali setiap pembayaran yang telah dilakukan kepada Bank Pengirim beserta bunga. (6) Dalam hal Bank Pengirim memberitahukan kepada Bank Pembuka atau Bank Pengkonfirmasi jika ada bahwa : a. terdapat penyimpangan di dalam dokumen; atau b. Bank Pengirim telah membayar, mengaksep atau menegosiasi dengan persyaratan (under reserve) atau atas suatu jaminan (letter of indemnity) sehubungan dengan penyimpangan itu; maka Bank Pembuka atau Bank Pengkonfirmasi jika ada wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini. (7) Persyaratan atau jaminan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) huruf b hanya berlaku bagi hubungan antara Bank Pengirim dengan pihak-pihak kepada siapa persyaratan tersebut telah dibuat, atau dari siapa, atau atas nama siapa, jaminan tersebut diperoleh. BAB IV … - 19 - BAB IV PENGALIHAN SKBDN Pasal 21 (1) SKBDN yang dapat dialihkan (transferable SKBDN) adalah SKBDN dimana Penerima pertama berhak untuk mengajukan permohonan kepada Bank Penerus yang membayar, mengaksep atau menegosiasi untuk mengalihkan SKBDN tersebut, baik seluruhnya maupun sebagian kepada satu atau beberapa pihak Penerima kedua. (2) SKBDN hanya dapat dialihkan jika di dalamnya secara tegas dicantumkan kata “dapat dialihkan” atau diperkenankan. “transferable” sedangkan istilah lainnya tidak (3) Bank Pentransfer berkewajiban untuk melaksanakan pengalihan SKBDN apabila secara tegas disetujui oleh Bank Pentransfer. (4) SKBDN hanya dapat dialihkan satu kali kepada Penerima kedua. (5) Pengalihan sebagian nilai SKBDN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan secara terpisah sepanjang pengiriman barang atau penarikan sebagian tidak dilarang dalam SKBDN. (6) SKBDN hanya dapat dialihkan sesuai dengan persyaratan dan kondisi yang dinyatakan dalam SKBDN asli (original SKBDN), dengan pengecualian : a. nilai SKBDN; b. harga satuan; c. tanggal jatuh tempo; d. tanggal terakhir pengajuan dokumen; e. jangka waktu pengangkutan; salah satu atau semua batasan–batasan tersebut dapat dikurangi atau diperpendek. (7) Prosentase … - 20 - (7) Prosentase penutupan asuransi yang harus dilaksanakan dapat ditingkatkan nilainya untuk mencapai jumlah pertanggungan yang ditentukan dalam SKBDN asli (original SKBDN). (8) Nama dan alamat Penerima pertama dapat diganti dengan nama dan alamat Pemohon, kecuali SKBDN asli (original SKBDN) mewajibkan nama Pemohon secara khusus dicantumkan dalam setiap dokumen selain dari faktur. (9) Bank dapat menerima faktur dan wesel yang telah diubah oleh Penerima pertama berdasarkan faktur dan wesel dari Penerima kedua sepanjang nilainya tidak melebihi nilai SKBDN asli (original SKBDN). (10) Bank Pentransfer berhak menyerahkan kepada Bank Pembuka dokumen yang diterima atas dasar SKBDN asli (original SKBDN) termasuk faktur dan wesel Penerima kedua tanpa tanggung jawab apabila Penerima pertama lalai menyerahkan faktur dan weselnya sendiri yang telah diubah berdasarkan faktur dan wesel dari Penerima kedua. BAB V HAL-HAL DI LUAR TANGGUNG JAWAB BANK Pasal 22 Dalam melakukan pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1), Bank Pembuka, Bank Pengkonfirmasi jika ada atau Bank Tertunjuk dibebaskan dari tanggung jawab terhadap: a. bentuk, kecukupan, keaslian, pemalsuan atau akibat hukum dari dokumen apapun, atau atas kondisi umum dan atau khusus yang disebutkan dalam dokumen atau yang ditambahkan di dalamnya; b. uraian, jumlah, berat, mutu, kondisi, pengepakan, penyerahan, nilai atau adanya barang-barang yang tercantum dalam dokumen; c. itikad … - 21 - c. itikad baik atau tindakan-tindakan dan atau kelalaian, kesanggupan melunasi pembayaran, kinerja atau bonafiditas dari pengirim, pengangkutan, forwarder, penerima atau penanggung dari barang-barang atau siapapun; d. akibat yang timbul karena keterlambatan dan atau hilangnya berita, surat atau dokumen dalam perjalanan, atau atas kelambatan, cacat, kesalahan lainnya yang timbul dalam penerusan melalui telekomunikasi; e. kesalahan penafsiran istilah teknis. Pasal 23 (1) Bank yang menggunakan jasa-jasa Bank lain dalam rangka melaksanakan instruksi Pemohon, membebankan biaya dan risiko kepada Pemohon. (2) Bank pemberi instruksi tidak bertanggung jawab apabila Bank penerima instruksi tidak melaksanakan instruksi yang diberikan walaupun Bank pemberi instruksi itu sendiri yang memilih Bank penerima instruksi. (3) Pihak yang memberikan instruksi wajib menanggung seluruh biaya yang menjadi beban penerima instruksi yang berkaitan dengan pelaksanaan instruksi. (4) Dalam hal SKBDN menyebutkan bahwa biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibebankan kepada pihak selain pemberi instruksi dan biaya tersebut tidak dapat ditagih maka pemberi instruksi wajib membayar biaya yang timbul. BAB VI KETENTUAN LAIN - LAIN Pasal 24 SKBDN yang diterbitkan atas dasar master L/C dari back to back L/C tunduk pada Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 25 … luar negeri dalam rangka - 22 - Pasal 25 SKBDN tidak dapat dijadikan master untuk membuka L/C ke luar negeri. Pasal 26 Tagihan SKBDN berjangka dapat dijadikan agunan untuk menerbitkan L/C ke luar negeri sepanjang wesel yang diterbitkan atas dasar SKBDN tersebut sudah diaksep oleh Bank Pengaksep. BAB VII KETENTUAN PELAPORAN Pasal 27 (1) Bank wajib menyampaikan Laporan Bulanan SKBDN secara lengkap dan benar setiap bulan menurut format sebagaimana tercantum dalam lampiran 1 dan lampiran 2. (2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan oleh Kantor Pusat Bank kepada Bank Indonesia c.q Direktorat Luar Negeri-Bagian Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan Internasional Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat. (3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya pada akhir bulan laporan berikutnya. (4) Dalam hal akhir bulan tersebut bukan merupakan hari kerja maka laporan wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. (5) Bank … - 23 - (5) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila laporan disampaikan melampaui batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). Pasal 28 (1) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (5) akan dikenakan sanksi administrasi berupa kewajiban membayar sebesar Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per-hari yang dihitung sejak 1 (satu) hari setelah berakhirnya periode penyampaian laporan sampai dengan tanggal diterimanya laporan oleh Bank Indonesia maksimal sebesar Rp.2.000.000,00 (dua juta rupiah). (2) Pembebanan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara mendebet rekening giro bank pelapor di Bank Indonesia. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 (1) SKBDN yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetap berlaku sampai dengan jangka waktu SKBDN tersebut berakhir. (2) Perpanjangan dan atau perubahan SKBDN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengikuti ketentuan Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Kewajiban penyampaian laporan bulanan SKBDN sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/56/KEP/DIR tanggal 12 Agustus 1997 tetap berlaku sampai dengan periode laporan SKBDN bulan Mei 2003. BAB IX … - 24 - BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 (1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 29/150/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1996 tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri; b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/195/KEP/DIR tanggal 4 Februari 1998 tentang perubahan atas pasal 3 ayat (3) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 29/150/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1996 tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri; dinyatakan tidak berlaku. (2) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka pasal 2 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/56/KEP/DIR tanggal 12 Agustus 1997 Tentang Laporan Penerbitan dan Posisi Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri, Diskonto Wesel Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri dan Diskonto Wesel Ekspor dan Hubungan Koresponden Bank dengan Bank di Luar Negeri yang mengatur mengenai laporan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri dinyatakan tidak berlaku sejak periode laporan SKBDN bulan Juni 2003. (3) Selain pasal 2, ketentuan lain dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/56/KEP/DIR tanggal 12 Agustus 1997 Tentang Laporan Penerbitan dan Posisi Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri, Diskonto Wesel Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri dan Diskonto Wesel Ekspor dan Hubungan Koresponden Bank dengan Bank di Luar Negeri dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PBI ini. Pasal 31 … - 25 - Pasal 31 (1) Ketentuan penyampaian laporan bulanan SKBDN sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1) berlaku sejak periode laporan bulan Juni 2003. (2) Ketentuan sanksi administrasi dalam rangka pelaporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 berlaku sejak periode laporan bulan Oktober 2003. Pasal 32 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 2 Mei 2003 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 51 DLN PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/6/PBI/2003 TENTANG SURAT KREDIT BERDOKUMEN DALAM NEGERI UMUM Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi setelah terkena imbas krisis moneter dan ekonomi, perlu diambil langkah-langkah yang dapat mendorong kembali pergerakan sektor riil. Salah satu upaya yang dapat menggerakkan perekonomian nasional adalah dengan menerapkan kebijakan yang dapat membantu kelancaran bagi dunia usaha dalam melakukan proses produksi. Sementara itu, sejalan dengan perkembangan perekonomian dunia dirasa perlu untuk menata kembali kebijakan dan ketentuan Bank Indonesia antara lain dengan melakukan penyempurnaan ketentuan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN). Pada prinsipnya, penyempurnaan ketentuan SKBDN disesuaikan dengan kondisi perekonomian saat ini dimana transaksi perdagangan barang dalam valuta asing, khususnya untuk transaksi barang yang terkait langsung dengan kegiatan perdagangan internasional, sangat dibutuhkan oleh pelaku usaha. Dengan diijinkannya penerbitan SKBDN dalam valuta asing diharapkan akan menjadi stimulus bagi sektor riil dalam memanfaatkan dan memperoleh potensi perekonomian yang pada gilirannya mampu menggerakkan kembali roda perekonomian nasional. Namun demikian batasan pengaturan transaksi SKBDN dalam valuta asing tetap perlu diperhatikan agar … - 2 - agar tidak mendorong penggunaan transaksi valuta asing di dalam negeri serta tidak berbenturan dengan kebijakan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan impor barang dari luar negeri. Dengan demikian penyempurnaan ketentuan SKBDN dalam pengaturannya tetap berpedoman pada prinsip kehati-hatian baik dari sisi materi pengaturan itu sendiri ataupun dari sisi praktik perbankan (banking practice). PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Kantor cabang Bank diperlakukan sebagai Bank lain termasuk kantor dengan status dibawah kantor cabang untuk bank asing. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 3 Huruf a Dalam hal perpindahan barang menyangkut kawasan berikat dalam wilayah Indonesia, maka dilakukan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf b… tetap memperhatikan - 3 - Huruf b Cara pembayaran dengan non L/C adalah cara-cara pembayaran yang lazim digunakan dalam penyelesaian transaski perdagangan internasional yakni antara lain dan namun tidak terbatas pada: (i) pembayaran di muka; (ii) perhitungan kemudian (open account); (iii) wesel inkaso (collection); dan (iv) konsinyasi (consignment). Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang termasuk SKBDN terkait dengan transaksi perdagangan internasional antara lain adalah : a. SKBDN diterbitkan untuk pembelian barang di dalam negeri yang tidak mengandung bahan impor tetapi terkait dengan produksi untuk tujuan ekspor; atau b. SKBDN diterbitkan untuk pembelian barang di dalam negeri yang mengandung komponen impor baik untuk keperluan perdagangan dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) … - 4 - Ayat (3) Jangka waktu berlakunya SKBDN adalah periode berlakunya SKBDN yang dihitung sejak tanggal diterbitkannya SKBDN sampai dengan berakhirnya SKBDN. Jangka waktu penundaan pembayaran dilaksanakannya pembayaran SKBDN. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Setoran tunai untuk penerbitan SKBDN dengan syarat pembayaran dimuka (red clause) diperlukan mengingat pembayaran dengan cara ini mensyaratkan pembayaran sebelum realisasi pengiriman barang. Dengan setoran tunai tersebut, dapat dihindari resiko Penerima tidak mengirimkan barang kepada Pemohon meskipun pembayaran sebagian/seluruhnya telah diterima Penerima. Ayat (6) SKBDN dapat diterbitkan dalam bahasa Inggris dalam kondisi yang tidak dapat dihindari seperti penerbitan SKBDN dengan menggunakan sarana swift message type (mt) 700. Nama “Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri” tetap dicantumkan dalam SKBDN yang diterbitkan dalam bahasa Inggris. Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kuasanya adalah pihak yang ditunjuk untuk mengurus penerbitan SKBDN kepada Bank Pembuka. Ayat (2) … adalah jangka waktu - 5 - Ayat (2) Cukup Jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Para pihak dapat menyepakati pembayaran kombinasi dengan kondisi atas unjuk dan akseptasi. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan SKBDN sebagai kontrak yang terpisah adalah bahwa Bank dalam melaksanakan SKBDN tidak terikat pada kontrak penjualan atau kontrak lainnya yang menjadi dasar penerbitan SKBDN walaupun ada referensi terhadap kontrak tersebut. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) … secara campuran atau - 6 - Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan jangka waktu yang wajar adalah jangka waktu berdasarkan kelaziman dalam praktik perbankan. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan SKBDN operatif adalah SKBDN yang langsung dapat dilaksanakan karena tidak memerlukan perintah lebih lanjut dari Bank Pembuka. Yang … - 7 - Yang dimaksud dengan SKBDN non operatif belum dapat dilaksanakan karena masih memerlukan (konfirmasi) lebih lanjut dari Bank Pembuka. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4)… adalah SKBDN yang perintah - 8 - Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 18 … - 9 - Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 20 … - 10 - Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) … - 11 - Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Ayat (9) Cukup jelas Ayat (10) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 … - 12 - Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Bank pengaksep wesel SKBDN dapat berupa Bank Pembuka, Bank Tertunjuk, atau Bank Pengkonfirmasi. Pasal 27 Ayat (1) Kewajiban penyampaian laporan berlaku bagi semua Bank termasuk Bank yang tidak mempunyai transaksi SKBDN atau nihil. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 29 … - 13 - Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4289 Lampiran PBI No. 5/6/PBI/2003 Tgl. 2 Mei 2003 Lampiran 1 LAPORAN TRANSAKSI SKBDN Bank Bulan SKBDN Rupiah URAIAN (2) (3) : : SKBDN Valuta Asing Jumlah Dalam Jumlah Dalam Dalam (4) (5) Total SKBDN Dalam (satuan) Juta Rp. (satuan) Valuta Asal Juta Rp. Juta Rp. (1) I. PENERBITAN SKBDN : 1. Sight 2. Usance II. SKBDN yang dibatalkan III. Realisasi SKBDN IV. SKBDN yang belum direalisasi (6 = 2 + 5) Lampiran PBI No. 5/6/PBI/2003 Tgl. 2 Mei 2003 -------------------------------------------- Penjelasan Lampiran 1 Petunjuk Pengisian Laporan Penerbitan SKBDN I. Penerbitan SKBDN adalah penerbitan SKBDN berdasarkan jangka waktu pembayaran SKBDN (sight atau usance ) yang dihitung secara kumulatif sejak awal tahun (bulan Januari) sampai dengan akhir bulan laporan. Metode perhitungan kumulatif tersebut di cut off secara tahunan, sehingga setiap awal tahun data yang dilaporkan adalah data penerbitan pada bulan Januari tahun yang bersangkutan. II. SKBDN yang dibatalkan adalah SKBDN yang tidak jadi direalisasi, dihitung secara kumulatif sejak awal tahun (bulan Januari) sampai dengan akhir bulan laporan. Metode perhitungan kumulatif tersebut di cut off secara tahunan, sehingga setiap awal tahun data yang dilaporkan adalah data SKBDN yang dibatalkan pada bulan Januari tahun yang bersangkutan. III. Realisasi SKBDN adalah SKBDN yang kewajiban pembayarannya sudah dilaksanakan oleh Bank, dihitung secara kumulatif sejak awal tahun (bulan Januari) sampai dengan akhir bulan laporan. Metode perhitungan kumulatif tersebut di cut off secara tahunan, sehingga setiap awal tahun data yang dilaporkan adalah data realisasi SKBDN pada bulan Januari tahun yang bersangkutan. IV. SKBDN yang belum direalisasi adalah SKBDN yang belum jatuh tempo pembayarannya dan masih menjadi kewajiban Bank, dihitung sejak awal tahun (bulan Januari) sampai dengan akhir bulan laporan.Metode perhitungan kumulatif tersebut di cut off secara tahunan, sehingga setiap awal tahun data yang dilaporkan adalah data SKBDN yang belum direalisasi pada bulan Januari tahun yang bersangkutan. Lampiran PBI No. 5/6/PBI/2003 Tgl. 2 Mei 2003 -------------------------------------------- Lanj. Penjelasan Lampiran 1 Kolom 1 : Kolom 2 : Kolom 3 : Kolom 4 : Kolom 5 : Diisi dengan jumlah SKBDN Rupiah dalam satuan. Diisi dengan nilai SKBDN Rupiah dalam jutaan Rupiah. Diisi dengan jumlah SKBDN Valuta Asing dalam satuan. Diisi dengan nilai SKBDN Valuta Asing dalam valuta asal (original currency ). Diisi dengan nilai SKBDN Valuta Asing yang telah dikonversikan ke dalam valuta Rupiah dengan menggunakan kurs tengah (kurs transaksi jual ditambah kurs transaksi beli Bank Indonesia dibagi dua) pada akhir bulan laporan. Kolom 6 : Diisi dengan penjumlahan dari kolom 2 dan 5. Lampiran PBI No. 5/6/PBI/2003 Tgl. 2 Mei 2003 Lampiran 2 LAPORAN PENGAMBILALIHAN "WESEL SKBDN" Bank : Bulan : SKBDN Rupiah URAIAN (2) (3) SKBDN Valuta Asing (4) Total Jumlah Dalam Jumlah Dalam Dalam Dalam (satuan) Juta Rp. (satuan) Valuta Asal Juta Rp. Juta Rp. (1) I. "Wesel SKBDN" yang diambil alih oleh bank pelapor dari Penerima. II "Wesel SKBDN" yang diambil alih oleh bank pelapor dari Bank lain. (5) (6 = 2 + 5) Catatan: Wesel SKBDN adalah wesel yang diterbitkan oleh Penerima dalam rangka SKBDN Lampiran PBI No.5/6/PBI/2003 Tgl. 2 Mei 2003 ------------------------------------------ Penjelasan Lampiran 2 Petunjuk Pengisian Laporan Pengambilalihan Wesel SKBDN Kolom 1 : Kolom 2 : Kolom 3 : Kolom 4 : Kolom 5 : Diisi dengan jumlah wesel SKBDN Rupiah dalam satuan. Diisi dengan nilai wesel SKBDN Rupiah dalam jutaan Rupiah. Diisi dengan jumlah wesel SKBDN Valuta Asing dalam satuan. Diisi dengan nilai wesel SKBDN Valuta Asing dalam valuta asal (original currency ). Diisi dengan nilai wesel SKBDN Valuta Asing yang telah dikonversikan ke dalam valuta Rupiah dengan menggunakan kurs tengah (kurs transaksi jual ditambah kurs transaksi beli Bank Indonesia dibagi dua) pada akhir bulan laporan. Kolom 6 : Diisi dengan penjumlahan dari kolom 2 dan 5.
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 5/6/PBI/2003 </reg_id> <reg_title> SURAT KREDIT BERDOKUMEN DALAM NEGERI </reg_title> <set_date> 2 Mei 2003 </set_date> <effective_date> 2 Mei 2003 </effective_date> <replaced_reg> '30/56/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997 | Pasal 2', '30/195/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '29/150/KEP/DIR|SKDIR-BI/1996' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII Pasal 28' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 11/ 32 /PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung kelancaran penyelesaian transaksi dan meningkatkan pelayanan kepada Pemegang Rekening Giro dalam rangka penarikan Rekening Giro Valas, perlu diatur penggunaan sarana elektronik dalam penarikan Rekening Giro Valas tersebut; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/48/PBI/2005 dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat … -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); MEMUTUSKAN … -3- M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4025) yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Bank Indonesia: a. Nomor 3/11/PBI/2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4108); b. Nomor 6/16/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4391); c. Nomor 7/48/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4570); diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal … -4- Pasal 17 (1) Penarikan Rekening Giro Valas yang dimiliki oleh instansi pemerintah dilakukan dengan menggunakan sarana sebagai berikut: a. sarana penarikan yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Pemegang Rekening Giro atau oleh instansi pemerintah yang berwenang; b. c. sarana penarikan yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank Indonesia; atau sarana elektronik yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Sarana penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memperoleh persetujuan Bank Indonesia dan memuat paling sedikit hal-hal sebagai berikut: a. perintah bayar; b. nomor Rekening Giro Valas dan nama Rekening Giro Valas yang didebet di Bank Indonesia; c. nomor rekening dan nama rekening yang dikredit di Bank Indonesia atau di Bank Umum; d. nilai nominal dalam angka dan huruf; dan e. tempat dan tanggal penarikan. (3) Sarana penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi spesifikasi sebagai berikut: a. kertas standar sesuai ketentuan intern Pemegang Rekening Giro atau instansi pemerintah yang berwenang; dan b. terdapat logo atau identitas dari Pemegang Rekening Giro atau instansi pemerintah yang berwenang. (4) Ketentuan … -5- (4) Ketentuan mengenai sarana penarikan yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan prosedur pemberian persetujuan atas sarana penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 2. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 (1) Penarikan atas Rekening Giro Valas oleh Pemegang Rekening Giro bukan instansi pemerintah dilakukan melalui pemindahbukuan dengan menggunakan sarana sebagai berikut: a. SWIFT (Society For Worldwide Interbank Financial Telecommunication); b. Teleks; c. Sarana elektronik lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau d. Sarana penarikan yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank Indonesia. (2) Ketentuan mengenai sarana penarikan lain yang distandardisasi dan diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar … -6- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 September 2009 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 30 September 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA EGARA REPUBLIK INDONESIA TAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 138 DASPLEMBARAN PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 11/ 32 /PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah yang berwenang” adalah instansi yang membawahi Pemegang Rekening Giro. Sarana penarikan dalam huruf ini antara lain Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Huruf b Yang dimaksud dengan “sarana penarikan yang distandardisasi dan diterbitkan oleh Bank Indonesia” adalah sarana penarikan yang disediakan oleh Bank Indonesia untuk digunakan oleh Pemegang Rekening Giro dalam kondisi dimana Pemegang Rekening Giro atau instansi pemerintah yang berwenang tidak menetapkan sarana penarikan … -2- penarikan yang distandardisasi atau sarana penarikan yang telah distandardisasi oleh Pemegang Rekening Giro atau instansi pemerintah yang berwenang tersebut tidak tepat digunakan untuk transaksi penarikan tertentu. Huruf c Yang dimaksud dengan “sarana elektronik” adalah suatu fasilitas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan memanfaatkan teknologi komputer guna melakukan pemindahan dana dari satu Rekening Giro ke rekening lainnya di Bank Indonesia atau ke rekening di Bank lainnya di luar Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “SWIFT (Society For Worldwide Interbank Financial Telecommunication)” adalah suatu jaringan internasional untuk keperluan pemindahan dana dan atau pertukaran berita dengan menggunakan teknologi komputer antar bank dan lembaga-lembaga keuangan bukan bank yang menjadi anggotanya. Hasil … -3- Hasil olahan komputer dari SWIFT yang digunakan untuk sarana penarikan Rekening Giro Valas harus memuat informasi yang diperlukan dalam pemindahan dana (payment order). Huruf b Hasil olahan komputer dari teleks yang digunakan untuk penarikan Rekening Giro Valas harus memuat informasi yang diperlukan dalam pemindahan dana (payment order). Huruf c Yang dimaksud dengan “sarana elektronik” adalah suatu fasilitas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan memanfaatkan teknologi komputer guna melakukan pemindahan dana dari satu Rekening Giro ke rekening lainnya di Bank Indonesia atau ke rekening di Bank lainnya di luar Bank Indonesia. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5057 DASP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/32/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN </reg_title> <set_date> 30 September 2009 </set_date> <effective_date> 30 September 2009 </effective_date> <issued_date> 30 September 2009 </issued_date> <changed_reg> '2/24/PBI/2000' </changed_reg> <extension_of> '3/11/PBI/2001', '6/16/PBI/2004', '7/48/PBI/2005' </extension_of> <related_reg> '2/PERPPU/2008', '23/UU/1999', '1/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '6/UU/2009' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/4/PBI/2007 TENTANG PENCABUTAN BEBERAPA SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA DAN SURAT EDARAN BANK INDONESIA MENGENAI PRINSIP KEHATI-HATIAN PERBANKAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas pengawasan bank, Bank Indonesia telah mengeluarkan berbagai ketentuan yang menyangkut prinsip kehati-hatian; b. bahwa ketentuan kehati-hatian tersebut antara lain disusun dengan mengacu kepada best practices dan standar internasional; c. bahwa beberapa ketentuan sudah tidak sejalan dengan ketentuan terkini yang berlaku; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir a, butir b dan butir c di atas, perlu diatur ketentuan tentang pencabutan beberapa ketentuan yang sudah tidak sejalan dengan ketentuan terkini yang berlaku dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31 … - 2 - Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENCABUTAN BEBERAPA SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA DAN SURAT EDARAN BANK INDONESIA MENGENAI PRINSIP KEHATI-HATIAN PERBANKAN. Pasal 1 Mencabut dan menyatakan tidak berlaku : 1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 1/1-KEP.DIR tanggal 13 Djanuari 1969 tentang Tabungan Berhadiah 1969; 2. Surat … - 3 - 2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 22/63/KEP/DIR tanggal 1 Desember 1989 tentang Penyelenggaraan Tabungan; 3. Surat Edaran No. 22/133/UPG tanggal 1 Desember 1989 perihal Penyelenggaraan Tabungan; 4. Surat Edaran No. 30/1/UPPB tanggal 24 April 1997 perihal Cara Penyampaian Laporan Mengenai Debitur Yang Menerima Pinjaman Luar Negeri Dan Aplikan Yang Memperoleh Garansi Bank Dalam Rangka Pemenuhan Kewajiban Luar Negeri; 5. Surat Edaran Nomor 30/4/UPPB tanggal 7 Mei 1997 perihal Penyesuaian Laporan Perkreditan Bank Umum Dalam Rangka Pelaporan Kredit Ekspor; 6. Surat Edaran No. 30/09/UPPB tanggal 10 Oktober 1997 perihal Penilaian Tingkat Kesehatan Permodalan Bagi Bank Umum Devisa; 7. Surat Edaran No. 30/12/UPPB tanggal 12 Nopember 1997 perihal Pemanfaatan Dana dari Fasilitas Bank Indonesia; 8. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/274A/KEP/DIR tanggal 11 Maret 1998 tentang Penegasan atas Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/266/KEP/DIR tanggal 27 Februari 1998 tentang Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian yang menyangkut Kewajiban Antar Bank, Pengambilalihan Tagihan, Suku Bunga Simpanan dan Penyediaan Dana; 9. Surat Edaran No. 30/21/UPPB tanggal 11 Maret 1998 perihal Penegasan kembali Pemberlakuan Ketentuan-ketentuan Bank Indonesia terhadap Kantor Bank Asing; 10. Surat Edaran No. 31/04/UPPB tanggal 29 Mei 1998 perihal Penjaminan atas Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank; 11. Surat Edaran No. 31/17/UPPB tanggal 31 Desember 1998 perihal Posisi Devisa Neto Bank Umum; 12. Surat … - 4 - 12. Surat Edaran No. 31/19/UPPB tanggal 31 Desember 1998 perihal Pembentukan Tim Investigasi Penyimpangan di Bidang Perbankan; dan 13. Surat Edaran No. 32/1/UPPB tanggal 12 Mei 1999 perihal Bank Umum. Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal: 26 Maret 2007 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 50 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 9/4/PBI/2007 </reg_id> <reg_title> PENCABUTAN BEBERAPA SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA DAN SURAT EDARAN BANK INDONESIA MENGENAI PRINSIP KEHATI-HATIAN PERBANKAN </reg_title> <set_date> 26 Maret 2007 </set_date> <effective_date> 26 Maret 2007 </effective_date> <replaced_reg> '30/21/UPPB|SE-BI/1997', '31/04/UPPB|SE-BI/1998', '30/274A/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '30/1/UPPB|SE-BI/1997', '31/19/UPPB|SE-BI/1998', '30/09/UPPB|SE-BI/1997', '30/4/UPPB|SE-BI/1997', '22/133/UPG|SE-BI/1989', '31/17/UPPB|SE-BI/1998', '32/1/UPPB|SE-BI/1999', '30/266/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '30/12/UPPB|SE-BI/1998', '22/63/KEP/DIR|SKDIR-BI/1989', '1/1-KEP.DIR|SKDIR-BI/1969' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/ 27 /PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/10/PBI/2006 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN DAERAH SEKITARNYA DI PROPINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kinerja perbankan dan kondisi perekonomian di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah masih belum sepenuhnya pulih sejak terjadinya gempa tanggal 27 Mei 2006; b. bahwa kondisi perbankan saat ini sedang dalam proses pemulihan terkait dampak krisis ekonomi global; c. bahwa salah satu upaya untuk mendukung pemulihan kinerja perbankan dan kondisi perekonomian di daerah tersebut adalah dengan memberikan perlakuan khusus dalam penetapan kualitas terhadap kredit bank dengan jumlah tertentu dan kredit yang direstrukturisasi. d. bahwa . . . - 2 - d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c dipandang perlu untuk mengubah beberapa ketentuan dalam PBI No. 8/10/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank Pasca Bencana Alam di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang . . . - 3 - 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/10/PBI/2006 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN DAERAH SEKITARNYA DI PROPINSI JAWA TENGAH. Pasal I Ketentuan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/10/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank Pasca Bencana Alam di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4626) diubah dan menambah 1 (satu) ayat yakni ayat (4), sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat yang direstrukturisasi ditetapkan Lancar terhitung sejak restrukturisasi sampai dengan akhir Desember 2010. (2) Pelaksanaan . . . - 4 - (2) Pelaksanaan restrukturisasi Kredit Bagi Bank Umum dan Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (3) Restrukturisasi Kredit Bagi Bank Umum dan Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan baik terhadap kredit yang telah maupun yang akan diberikan pada saat berlakunya ketentuan ini. (4) Khusus untuk kredit yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) secara bertahap sebagai berikut: a. paling kurang sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah kredit yang belum tertagih, pada akhir Desember 2009; b. paling kurang sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah kredit yang belum tertagih, pada akhir Juni 2010; dan c. paling kurang sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kredit yang belum tertagih, pada akhir Desember 2010. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan . . . - 5 - Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 Juli 2009 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, MIRANDA S. GOELTOM Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 1 Juli 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 105 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/ 27 /PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/10/PBI/2006 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN DAERAH SEKITARNYA DI PROPINSI JAWA TENGAH UMUM Sebagaimana dimaklumi peristiwa bencana alam yang melanda Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah telah memberikan dampak yang mengganggu perekonomian Indonesia, khususnya di daerah yang terkena bencana dimaksud. Saat ini kinerja perbankan dan kondisi perekonomian di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah masih belum sepenuhnya pulih sejak terjadinya gempa tanggal 27 Mei 2006 tersebut. Selain itu kondisi perbankan saat ini juga sedang dalam proses pemulihan terkait dampak krisis ekonomi global. Sehubungan dengan itu maka Bank Indonesia memandang perlu untuk memberikan perpanjangan masa berlaku perlakuan khusus terhadap kredit Bank berupa kelonggaran dalam penetapan kualitas penyediaan dana dan kredit serta penyediaan dana dan pemberian kredit baru kepada debitur yang terkena dampak bencana alam dimaksud. PASAL . . . - 2 - PASAL DEMI PASAL Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kredit yang direstrukturisasi adalah kredit yang telah direstrukturisasi oleh Bank karena debitur mengalami permasalahan akibat dampak bencana alam tanggal 27 Mei 2006, sehingga kualitas kredit debitur menurun. Pelaksanaan restrukturisasi kredit bagi BPR dilakukan dengan penyelamatan kredit. Bentuk penyelamatan kredit dapat berupa penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), atau penataan kembali (restructuring), sebagaimana diatur dalam ketentuan tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Pembentukan PPA dapat dilakukan secara bertahap atau sekaligus pada akhir Desember 2009. Huruf b Pembentukan PPA dapat dilakukan secara bertahap atau sekaligus pada akhir Juni 2010. Huruf c . . . - 3 - Huruf c Pembentukan PPA dapat dilakukan secara bertahap atau sekaligus pada akhir Desember 2010. Pasal II Cukup Jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR - 4 - 5031
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/27/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/10/PBI/2006 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK PASCA BENCANA ALAM DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN DAERAH SEKITARNYA DI PROPINSI JAWA TENGAH </reg_title> <set_date> 1 Juli 2009 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2009 </effective_date> <issued_date> 1 Juli 2009 </issued_date> <changed_reg> '8/10/PBI/2006' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/5/PBI/2005 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCABENCANA NASIONAL DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS, PROPINSI SUMATERA UTARA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dengan terjadinya bencana nasional di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Propinsi Sumatera Utara, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mendukung pemulihan kondisi perekonomian; b. bahwa salah satu upaya untuk mendukung pemulihan kondisi perekonomian adalah dengan memberikan perlakuan khusus terhadap kredit bank umum; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai perlakuan khusus terhadap kredit bank umum pascabencana nasional di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Propinsi Sumatera Utara dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: ... - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCABENCANA NASIONAL DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS, PROPINSI SUMATERA UTARA. Pasal 1 ... - 3 - Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. pengambilalihan tagihan dalam rangka anjak piutang; c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. Pasal 2 (1) Penggolongan kualitas Kredit atau penyediaan dana lain dari Bank bagi nasabah debitur dengan plafon keseluruhan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) hanya didasarkan pada ketepatan pembayaran pokok dan bunga. (2) Tata cara penggolongan kualitas Kredit atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (3) Plafon Kredit atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ... sebesar - 4 - (1) berlaku baik untuk debitur individual maupun debitur grup dan untuk seluruh fasilitas yang diterima dari 1 (satu) Bank. (4) Penggolongan kualitas Kredit atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Kredit atau penyediaan dana lain yang telah maupun yang akan disalurkan pada saat berlakunya ketentuan ini. (5) Penggolongan kualitas Kredit atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk Kredit atau penyediaan dana lain yang disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan atau Kabupaten Nias, Propinsi Sumatera Utara. Pasal 3 (1) Kualitas Kredit yang direstrukturisasi digolongkan lancar terhitung sejak restrukturisasi sampai dengan akhir Januari 2008. restrukturisasi kredit mengacu (2) Pelaksanaan Indonesia yang berlaku. (3) Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan baik terhadap Kredit yang telah maupun yang akan diberikan pada saat berlakunya ketentuan ini. Pasal 4 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 hanya berlaku untuk Kredit yang memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan atau Kabupaten Nias, Propinsi Sumatera Utara; dan b. telah ... kepada ketentuan Bank - 5 - b. telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga Kredit yang disebabkan dampak dari bencana nasional di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan atau Kabupaten Nias, Propinsi Sumatera Utara. Pasal 5 Penggolongan kualitas Kredit yang direstrukturisasi setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 6 Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku juga bagi Bank Umum konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah dan Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah untuk penyediaan dana yang mencakup pembiayaan (mudharabah atau musyarakah), piutang (murabahah, salam atau istishna), sewa (ijarah), pinjaman (qardh), dan penyediaan dana lain. Pasal 7 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan ... - 6 - Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 20 Januari 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 15 DPNP/DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/5/PBI/2005 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCABENCANA NASIONAL DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS, PROPINSI SUMATERA UTARA UMUM Sebagaimana dimaklumi peristiwa bencana nasional di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 26 Desember 2004 diperkirakan akan memberikan dampak terhadap perekonomian Indonesia khususnya di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Propinsi Sumatera Utara. Nasabah debitur yang terkena dampak bencana tersebut diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit. Sehubungan dengan itu maka Bank Indonesia memandang perlu untuk memberikan perlakuan khusus terhadap kredit bank umum berupa kelonggaran dalam penilaian kualitas kredit dan penyediaan dana, dalam rangka memberikan kesempatan bagi nasabah debitur untuk melakukan perbaikan usaha guna mendukung pemulihan perekonomian di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Propinsi Sumatera Utara. PASAL ... - 2 - PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Ayat 1 Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan jaminan dan pembukaan letter of credit. Ayat 2 Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum dan Kualitas Aktiva Produktif bagi Bank Umum Syariah. Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) Restrukturisasi Kredit dapat dilakukan terhadap seluruh Kredit yang diberikan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) ... - 3 - Ayat (3) Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum dan Kualitas Aktiva Produktif bagi Bank Umum Syariah. Pasal 6 Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan jaminan dan pembukaan letter of credit. Pasal 7 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4474
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/5/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCABENCANA NASIONAL DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS, PROPINSI SUMATERA UTARA </reg_title> <set_date> 20 Januari 2005 </set_date> <effective_date> 20 Januari 2005 </effective_date> <related_reg> '3/UU/2004', '7/UU/1992', '23/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 22/3/PBI/2020 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/3/PBI/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah, Bank Indonesia menerapkan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; b. bahwa sebagai bagian dari bauran kebijakan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, perlu diberikan insentif pemenuhan giro wajib minimum untuk kebijakan makroprudensial; c. bahwa Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/3/PBI/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah perlu disesuaikan untuk memberikan ruang bagi pemberian insentif pemenuhan giro wajib minimum untuk kebijakan makroprudensial; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan - 2 - Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/3/PBI/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/3/PBI/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6193); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/3/PBI/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH. - 3 - Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/3/PBI/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6193) diubah sebagai berikut: 1. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3A (1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a kepada BUK untuk kebijakan makroprudensial. (2) Ketentuan pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian untuk kebijakan makroprudensial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia mengenai insentif bagi bank untuk kebijakan makroprudensial. 2. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 12A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12A (1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a kepada BUS dan UUS untuk kebijakan makroprudensial. (2) Ketentuan pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian untuk kebijakan makroprudensial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan - 4 - sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia mengenai insentif bagi bank untuk kebijakan makroprudensial. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 Maret 2020... GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 Maret 2020… MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 81… PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 22/3/PBI/2020 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/3/PBI/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Guna mempertahankan stabilitas ekonomi dan mendorong momentum pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Sejalan dengan perkembangan pasar keuangan dan perekonomian, Bank Indonesia memandang perlu untuk memberikan insentif berupa kelonggaran pemenuhan giro wajib minimum untuk kebijakan makroprudensial. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 3A Cukup jelas. Angka 2 Pasal 12A Cukup jelas. - 2 - Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6483…
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 22/3/PBI/2020 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/3/PBI/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 24 Maret 2020 </set_date> <effective_date> 26 Maret 2020 </effective_date> <issued_date> 26 Maret 2020 </issued_date> <changed_reg> '20/3/PBI/2018' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '20/3/PBI/2018' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/8/PBI/2007 TENTANG PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING DAN PROGRAM ALIH PENGETAHUAN DI SEKTOR PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dengan semakin terbukanya kesempatan bagi pihak asing untuk melakukan investasi di sektor perbankan nasional, membawa konsekuensi terhadap meningkatnya pemanfaatan tenaga kerja asing oleh bank; b. bahwa pemanfaatan tenaga kerja asing tersebut juga dalam rangka untuk memenuhi kekurangan tenaga ahli di bidang- bidang tertentu yang terus berkembang di sektor perbankan; c. bahwa pemanfaatan tenaga kerja asing oleh perbankan harus dapat meningkatkan kemampuan tenaga kerja Indonesia melalui alih pengetahuan (transfer of knowledge); d. bahwa sehubungan dengan pertimbangan pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu untuk menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan program alih pengetahuan di sektor perbankan dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat … - 2 - Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4357); 3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING DAN PROGRAM ALIH PENGETAHUAN DI SEKTOR PERBANKAN. BAB I … - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk Kantor Cabang Bank Asing. 2. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan di Indonesia. 3. Tenaga Kerja Asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Republik Indonesia. 4. Tenaga Kerja Indonesia adalah tenaga kerja warga negara Indonesia. 5. Kualifikasi Keahlian adalah pemenuhan persyaratan suatu keahlian di bidang tertentu yang didapatkan dari pendidikan dan pengalaman kerja. 6. Komisaris : a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur tentang Perkoperasian. 7. Direksi … - 4 - 7. Direksi: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur tentang Perkoperasian. 8. Pimpinan Kantor Cabang Bank Asing adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin Kantor Cabang Bank Asing. 9. Pemimpin Kantor Perwakilan adalah pejabat yang diangkat oleh kantor pusat bank asing untuk memimpin kantor perwakilannya di Indonesia. 10. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggungjawab langsung kepada Direksi atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional perusahaan atau bank. 11. Tenaga Ahli/Konsultan adalah perorangan yang memiliki pengetahuan teknis tertentu dengan standar Kualifikasi Keahlian yang memadai. 12. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan, termasuk Bank, dengan cara apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung. 13. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham perusahaan atau Bank sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki … - 5 - b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan Pengendalian perusahaan atau Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pasal 2 (1) Bank dapat memanfaatkan Tenaga Kerja Asing dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan memenuhi ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan ketersediaan Tenaga Kerja Indonesia. Pasal 3 Bank hanya dapat memanfaatkan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 untuk jabatan-jabatan sebagai berikut atau yang setara: a. Komisaris dan Direksi; b. Pejabat Eksekutif; dan/atau c. Tenaga Ahli/Konsultan. Pasal 4 (1) Bank hanya dapat memanfaatkan Tenaga Kerja Asing pada bidang-bidang tugas tertentu yang rinciannya akan ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (2) Pemanfaatan … - 6 - (2) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing pada bidang-bidang tugas selain bidang tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. (3) Persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar rekomendasi penggunaan Tenaga Kerja Asing oleh Bank kepada instansi yang menangani bidang ketenagakerjaan. (4) Persyaratan dan tata cara permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 5 Bank dilarang memanfaatkan Tenaga Kerja Asing pada bidang-bidang tugas sebagai berikut: a. Personalia; dan b. Kepatuhan. BAB II PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING OLEH BANK Pasal 6 (1) Bank wajib menyampaikan rencana pemanfaatan Tenaga Kerja Asing kepada Bank Indonesia. (2) Rencana pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. (3) Perubahan terhadap rencana pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam perubahan Rencana Bisnis Bank. (4) Pemanfaatan … - 7 - (4) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing di luar rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Bank Indonesia dan memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dilakukan sebelum penyampaian perubahan Rencana Bisnis Bank, maka Bank wajib melaporkan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dimaksud dalam perubahan Rencana Bisnis Bank. b. dalam hal pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dilakukan setelah penyampaian perubahan Rencana Bisnis Bank, maka Bank wajib melaporkan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dimaksud dalam Laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank. Pasal 7 Bank wajib meminta persetujuan dari Bank Indonesia sebelum mengangkat Tenaga Kerja Asing untuk menduduki jabatan sebagai Komisaris, Direksi dan/atau Pejabat Eksekutif. Pasal 8 Tenaga Kerja Asing sebagai Komisaris dan Direksi wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. lulus penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test); dan b. memiliki pengetahuan mengenai Indonesia, terutama mengenai ekonomi, budaya, dan bahasa Indonesia. Pasal 9 … - 8 - Pasal 9 (1) Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat Eksekutif wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki pengalaman dan keahlian sesuai bidang tugas yang akan ditempati; tidak merangkap jabatan pada Bank, perusahaan, atau lembaga lain; dan c. mampu menggunakan bahasa Indonesia secara memadai; b. (2) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. jabatan eksekutif yang akan ditempati berada 1 (satu) tingkat di bawah Direktur; b. hanya diperkenankan untuk jabatan yang berada di kantor pusat Bank; c. mempertimbangkan ketersediaan Tenaga Kerja Indonesia untuk bidang dan keahlian yang dibutuhkan; dan d. jangka waktu pemanfaatan setiap Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 10 Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia pengangkatan Tenaga Kerja Asing sebagai Tenaga Ahli/Konsultan. Pasal 11 Tenaga Kerja Asing sebagai Tenaga Ahli/Konsultan wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memenuhi … - 9 - a. memenuhi persyaratan Kualifikasi Keahlian; b. tidak merangkap jabatan pada Bank, perusahaan, atau lembaga lain; c. mempertimbangkan ketersediaan Tenaga Kerja Indonesia untuk bidang dan keahlian yang dibutuhkan; dan d. jangka waktu pemanfaatan setiap Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 12 (1) Bank yang 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih sahamnya dimiliki oleh warga negara asing dan atau badan hukum asing dapat memanfaatkan Tenaga Kerja Asing untuk jabatan: a. Komisaris; b. Direksi; c. Pejabat Eksekutif; dan/atau d. Tenaga Ahli/Konsultan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Bank yang berbentuk Kantor Cabang Bank Asing. (3) 50% (lima puluh perseratus) atau lebih dari anggota Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib berkewarganegaraan Indonesia. (4) Mayoritas anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib berkewarganegaraan Indonesia. (5) Mayoritas Pejabat Eksekutif di kantor pusat Bank wajib berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 13 … - 10 - Pasal 13 (1) Bank yang kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) sahamnya dimiliki oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing, hanya dapat menggunakan Tenaga Kerja Asing untuk jabatan Tenaga Ahli/Konsultan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. kepemilikan warga negara asing dan/atau badan hukum asing terhadap bank kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus), namun warga negara asing dan/atau badan hukum asing dimaksud merupakan Pemegang Saham Pengendali Bank; atau b. terdapat unsur Pengendalian dari warga negara asing dan/atau badan hukum asing terhadap Bank. (3) Bank yang memenuhi kriteria pengecualian sesuai ayat (2) dapat menggunakan Tenaga Kerja Asing untuk jabatan Komisaris, Direksi, dan/atau Tenaga Ahli/Konsultan. Pasal 14 (1) Kantor Cabang Bank Asing hanya dapat menggunakan Tenaga Kerja Asing untuk jabatan: a. Pimpinan Kantor Cabang; dan/atau b. Tenaga Ahli/Konsultan. (2) Diantara anggota Pimpinan Kantor Cabang Bank Asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya terdapat 1 (satu) orang pejabat yang berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 15 … - 11 - Pasal 15 Kantor Perwakilan Bank Asing hanya dapat menggunakan Tenaga Kerja Asing untuk jabatan: a. Pemimpin Kantor Perwakilan; dan/atau b. Tenaga Ahli/Konsultan. Pasal 16 Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing untuk jabatan selain yang diperkenankan sebagaimana dimaksud pada Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 hanya dapat dipertimbangkan untuk kasus-kasus tertentu dengan persetujuan Bank Indonesia. BAB III KEWAJIBAN ALIH PENGETAHUAN Pasal 17 (1) Bank wajib menjamin terjadinya alih pengetahuan (transfer of knowledge) dalam pemanfaatan Tenaga Kerja Asing. (2) Kewajiban alih pengetahuan dalam pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Bank yang memanfaatkan Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat Eksekutif dan/atau Tenaga Ahli/Konsultan. (3) Kewajiban alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui : a. penunjukan 2 (dua) orang tenaga pendamping untuk 1 (satu) orang Tenaga Kerja Asing; b. pendidikan … - 12 - b. pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh Tenaga Kerja Asing; dan c. pelaksanaan pelatihan atau pengajaran oleh Tenaga Kerja Asing dalam jangka waktu tertentu terutama kepada pegawai Bank, pelajar/mahasiswa, dan/atau masyarakat umum. Pasal 18 Bank wajib melaporkan hasil pelaksanaan kewajiban alih pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 pada setiap akhir tahun dalam Laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank. BAB IV PERMOHONAN PERSETUJUAN DAN PELAPORAN ATAS PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING OLEH BANK Pasal 19 (1) Permohonan persetujuan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagai Komisaris dan Direksi dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai kepengurusan Bank. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Bank Indonesia sebelum Bank menyampaikan permohonan izin menggunakan Tenaga Kerja Asing kepada instansi yang menangani bidang ketenagakerjaan. Pasal 20 … - 13 - Pasal 20 (1) Permohonan persetujuan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia c.q. Direktorat Pengawasan Bank terkait bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Jabodetabek, atau Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jabodetabek, disertai dengan dokumen-dokumen sebagai berikut: a. 1 (satu) buah pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4x6; b. fotocopy paspor; c. riwayat hidup; d. fotocopy surat keterangan pengalaman kerja dari perusahaan sebelumnya dan sertifikat keahlian/profesi/pendidikan/pelatihan; e. fotocopy konsep kontrak kerja atau surat penugasan dari Bank; dan f. contoh tanda tangan dan paraf. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Bank Indonesia sebelum Bank menyampaikan permohonan izin menggunakan Tenaga Kerja Asing kepada instansi yang menangani bidang ketenagakerjaan. (3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. apabila diperlukan wawancara terhadap calon Pejabat Eksekutif. (4) Persetujuan atau penolakan atas pengajuan Pejabat Eksekutif diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap. (5) Pengangkatan … - 14 - (5) Pengangkatan Pejabat Eksekutif wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pengangkatan efektif, dilampiri dengan: a. fotocopy kontrak kerja; b. fotocopy Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP) yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang; dan c. fotocopy surat izin mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Pasal 21 Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagai Tenaga Ahli/Konsultan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia c.q. Direktorat Pengawasan Bank terkait bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Jabodetabek, atau Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jabodetabek, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pengangkatan, disertai dengan: a. 1 (satu) buah pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4x6; b. fotocopy paspor; c. riwayat hidup; d. fotocopy kontrak kerja; e. contoh tanda tangan dan paraf; f. fotocopy bukti/keterangan tentang Kualifikasi Keahlian; g. fotocopy Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP) yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang; dan h. fotocopy surat izin mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Pasal 22 … - 15 - Pasal 22 (1) Bank wajib menyampaikan laporan realisasi pemanfaatan Tenaga Kerja Asing kepada Bank Indonesia 1 (satu) kali dalam setahun. (2) Laporan realisasi pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam Laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank setiap akhir tahun. BAB V SANKSI Pasal 23 (1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 22 dalam Peraturan Bank Indonesia ini dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. (2) Bank yang tidak menyampaikan laporan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) dan Pasal 21 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan dengan maksimum kewajiban membayar sebesar Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (3) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan. BAB VI … - 16 - BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 24 Semua ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Komisaris, Direksi, dan Pejabat Eksekutif Bank sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini tetap berlaku bagi Tenaga Kerja Asing. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 25 (1) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing oleh Bank yang telah dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan telah memenuhi ketentuan sesuai Peraturan Bank Indonesia ini sampai dengan berakhirnya kontrak atau masa jabatan Tenaga Kerja Asing tersebut dengan jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Rencana Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) untuk pertama kalinya dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank tahun 2008. (3) Bank yang melakukan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing pada periode waktu sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini sampai dengan tanggal penyampaian Rencana Bisnis Bank tahun 2008 tidak perlu menyampaikan Rencana Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1). BAB VIII … - 17 - BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 26 Ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 27 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka: 1. Pasal 21 Peraturan Bank Indonesia No. 2/27/PBI/2000 tanggal 15 Desember 2000 tentang Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; 2. Pasal 26 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia No. 2/27/PBI/2000 tanggal 15 Desember 2000 tentang Bank Umum dinyatakan tidak berlaku bagi pengangkatan Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat Eksekutif; 3. Pasal 22 Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan 4. Pasal 34 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah, dinyatakan tidak berlaku bagi pengangkatan Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat Eksekutif. Pasal 28 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar … - 18 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 13 Juni 2007 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 76 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/8/PBI/2007 TENTANG PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING DAN PROGRAM ALIH PENGETAHUAN DI SEKTOR PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UMUM Perbankan Indonesia dewasa ini dituntut untuk melakukan penguatan permodalan antara lain untuk meningkatkan daya saing dalam menghadapi era globalisasi. Dalam memperkuat struktur permodalan tersebut, bank antara lain menggunakan sumber dana asing. Masuknya investasi asing tersebut pada gilirannya dapat membawa konsekuensi semakin meningkatnya pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dalam kegiatan operasional Bank. Sementara itu, persaingan yang semakin ketat juga mendorong bank-bank untuk selalu melakukan inovasi di bidang teknologi, produk dan jasa bank yang tidak jarang memerlukan keahlian tertentu yang belum sepenuhnya dapat diisi oleh Tenaga Kerja Indonesia. Oleh karena itu, selain untuk mengisi kelangkaan tenaga ahli Indonesia pada bidang-bidang tertentu, pemanfaatan tenaga asing tersebut harus mendorong terciptanya alih pengetahuan (transfer of knowledge) kepada tenaga kerja Indonesia. Untuk … - 2 - Untuk itu pemanfaatan Tenaga Kerja Asing tersebut harus diatur lebih lanjut sehingga dapat mendukung upaya menciptakan sistem perbankan yang sehat dan tidak merugikan kepentingan nasional. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Pada Kantor Cabang Bank Asing, yang disetarakan dengan Direksi adalah pimpinan kantor cabang, sedangkan pada Kantor Perwakilan Bank Asing adalah pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Tenaga Kerja Asing sebagai Tenaga Ahli/Konsultan tidak menduduki jabatan struktural pada Bank dan tidak mempunyai wewenang untuk membuat keputusan operasional Bank. Pasal 4 … - 3 - Pasal 4 Ayat (1) Bidang-bidang tugas tertentu yang dibuka untuk Tenaga Kerja Asing tersebut akan direkomendasikan kepada instansi yang menangani bidang ketenagakerjaan agar dapat dimuat dalam ketentuan di bidang ketenagakerjaan yang mengatur tentang Tenaga Kerja Asing. Ayat (2) Pada dasarnya Tenaga Kerja Asing hanya dapat menduduki jabatan pada bidang tugas tertentu yang telah dirinci dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Persetujuan Bank Indonesia hanya diberikan dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kondisi Bank secara kasus perkasus serta bersifat sementara. Yang dimaksud dengan bidang tugas dalam ayat ini tidak termasuk bidang tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia ini. Ayat (3) Pemberian rekomendasi Tenaga Kerja Asing kepada instansi yang menangani bidang ketenagakerjaan merupakan salah satu bentuk koordinasi antar instansi dalam rangka penanganan Tenaga Kerja Asing. Persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak serta merta menyebabkan Tenaga Kerja Asing dapat menduduki jabatan pada bidang tersebut sebelum adanya izin dari instansi yang menangani bidang ketenagakerjaan. Ayat (4) … - 4 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Tata cara penyusunan dan penyampaian rencana pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat ini mengikuti ketentuan Bank Indonesia mengenai Rencana Bisnis Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Huruf a Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). Huruf b … - 5 - Huruf b Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Pemenuhan persyaratan ini antara lain dilakukan dengan menyampaikan surat keterangan mengenai pengalaman kerja dan sertifikat keahlian/profesi/pendidikan/pelatihan; Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pemenuhan persyaratan kemampuan berbahasa Indonesia yang memadai dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun setelah yang bersangkutan menduduki jabatan tersebut. Ayat (2) Huruf a Pemenuhan persyaratan ini dapat dilakukan dengan menyampaikan struktur organisasi Bank. Huruf b Bagi Kantor Cabang Bank Asing, yang dimaksud dengan kantor pusat Bank adalah kantor cabang yang menjadi induk operasional Bank tersebut di Indonesia. Huruf c Pemenuhan persyaratan ini dilakukan Bank antara lain dengan menyampaikan penjelasan mengenai dasar pertimbangan Bank untuk menggunakan Tenaga Kerja Asing dan menyampaikan bukti … - 6 - bukti tentang upaya-upaya yang telah dilakukan Bank dalam mencari Tenaga Kerja Indonesia yang dibutuhkan, sebelum akhirnya memutuskan untuk menggunakan Tenaga Kerja Asing. Huruf d Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Huruf a Pemenuhan persyaratan ini antara lain dilakukan dengan menyampaikan surat keterangan mengenai pengalaman kerja dan/atau sertifikat keahlian. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pemenuhan persyaratan ini dilakukan Bank antara lain dengan menyampaikan penjelasan mengenai dasar pertimbangan Bank untuk menggunakan Tenaga Kerja Asing dan menyampaikan bukti tentang upaya-upaya yang telah dilakukan Bank dalam mencari Tenaga Kerja Indonesia yang dibutuhkan, sebelum akhirnya memutuskan untuk menggunakan Tenaga Kerja Asing. Huruf d Cukup jelas. Pasal 12 … - 7 - Pasal 12 Ayat (1) Kepemilikan saham bank 25% (dua puluh lima perseratus) tersebut merupakan saham yang tercatat dalam administrasi Bank Indonesia. Dalam hal terdapat kepemilikan saham Bank oleh warga negara asing dan atau badan hukum asing yang diperoleh melalui pembelian di bursa efek dan tidak dicatatkan dalam administrasi Bank Indonesia, maka kepemilikan asing pada Bank dimaksud belum dapat diakui oleh Bank Indonesia sampai dengan diperbaruinya catatan Bank Indonesia berdasarkan laporan dari Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh perseratus). Ayat (5) Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh perseratus). Pemenuhan persyaratan ini dapat dilakukan dengan menyampaikan daftar Pejabat Eksekutif di kantor pusat Bank beserta komposisinya. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 8 - Ayat (2) Warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang dinyatakan Bank sebagai Pemegang Saham Pengendali atau melakukan Pengendalian harus telah diakui oleh Bank Indonesia dan dicatat dalam administrasi Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Yang dimaksud dengan kasus-kasus tertentu antara lain adalah : a. kondisi apabila Tenaga Kerja Asing tidak digunakan maka bank akan menghadapi risiko kerugian yang cukup signifikan; b. Tenaga Kerja Indonesia yang ada dinilai tidak memenuhi syarat keahlian yang dibutuhkan; dan c. pemanfaatan Tenaga Kerja Asing tersebut bersifat sementara dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Dalam hal diperlukan perpanjangan jangka waktu, wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia terlebih dahulu. Pasal 17… - 9 - Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Pendampingan Tenaga Kerja Asing lebih dititikberatkan pada alih teknologi dan alih keahlian agar tenaga kerja pendamping memiliki kemampuan yang dibutuhkan, sehingga pada waktunya diharapkan dapat menggantikan Tenaga Kerja Asing yang didampinginya. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pelaksanaan kewajiban pelatihan/pengajaran oleh Tenaga Kerja Asing akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 18 Cukup Jelas. Pasal 19 Ayat (1) Ketentuan Bank Indonesia mengenai kepengurusan Bank antara lain adalah ketentuan tentang: a. Bank … - 10 - a. Bank Umum; b. Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah; c. Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional; d. Persyaratan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri; e. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test); dan/atau f. Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum. Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan surat penugasan pada huruf d adalah surat penugasan kerja dari kantor pusat dari Kantor Cabang Bank Asing atau Kantor Perwakilan dalam hal terdapat pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sesuai Pasal 16. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) … - 11 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ketentuan Bank Indonesia mengenai Komisaris, Direksi, dan Pejabat Eksekutif Bank antara lain berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang: a. Bank Umum; b. Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah; c. Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional; d. Persyaratan … - 12 - d. Peryaratan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri; e. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test); dan/atau f. Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4732
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 9/8/PBI/2007 </reg_id> <reg_title> PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING DAN PROGRAM ALIH PENGETAHUAN DI SEKTOR PERBANKAN </reg_title> <set_date> 13 Juni 2007 </set_date> <effective_date> 13 Juni 2007 </effective_date> <replaced_reg> '6/24/PBI/2004 | Pasal 22', '6/24/PBI/2004 | Pasal 34 ayat (1)', '2/27/PBI/2000 | Pasal 21', '2/27/PBI/2000 | Pasal 26 ayat (1)' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '13/UU/2003', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/5/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan diperlukan percepatan pendalaman pasar keuangan; b. bahwa salah satu upaya untuk percepatan pendalaman pasar keuangan adalah melalui peningkatan fleksibilitas transaksi dan likuiditas pasar valuta asing domestik dengan tetap memperhatikan penerapan prinsip kehati-hatian dalam perbankan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan perubahan keempat atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi ... -2- menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM. Pasal I Ketentuan Pasal 3 dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4307) sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan Peraturan Bank Indonesia: a. Nomor 6/20/PBI/2004 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4395); b. Nomor 7/37/PBI/2005 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4538); Nomor... -3- c. Nomor 12/10/PBI/2010 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5140); dihapus. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembar Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Mei 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Juni 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 115 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/5/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM I. UMUM Dinamika perekonomian saat ini dan ke depan memunculkan sejumlah tantangan yang membutuhkan kestabilan moneter dan sistem keuangan yang kokoh guna menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Salah satu upaya untuk memperkokoh kestabilan moneter dan sistem keuangan adalah pendalaman pasar keuangan, termasuk pendalaman pasar valuta asing domestik. Pendalaman pasar valuta asing domestik dilakukan antara lain dengan memberikan ruang gerak yang memadai bagi perbankan untuk mengelola eksposur valuta asing dengan tetap berpedoman pada prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang handal, sehingga dapat tercipta likuiditas dan efisiensi pasar valuta asing domestik yang sehat. Dalam kerangka tersebut, dilakukan penyempurnaan atas ketentuan mengenai Posisi Devisa Neto Bank Umum khususnya terkait dengan pengaturan kewajiban pemeliharaan Posisi Devisa Neto setiap 30 (tiga puluh) menit. Langkah kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5700
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/5/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM </reg_title> <set_date> 29 Mei 2015 </set_date> <effective_date> 1 Juni 2015 </effective_date> <issued_date> 1 Juni 2015 </issued_date> <changed_reg> '5/13/PBI/2003' </changed_reg> <extension_of> '6/20/PBI/2004', '12/10/PBI/2010', '7/37/PBI/2005' </extension_of> <related_reg> '21/UU/2011', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/ 14 /PBI/2003 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN DANA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN UNTUK PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA BANK PERKREDITAN RAKYAT GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja dan mengembangkan industri Bank Perkreditan Rakyat yang sehat diperlukan sumber daya manusia yang profesional; b. bahwa untuk membentuk sumber daya manusia yang profesional, Bank Perkreditan Rakyat wajib meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan; c. bahwa untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia Bank Perkreditan Rakyat, diperlukan biaya dan persiapan yang baik dan terencana; kewajiban penyediaan dana pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan sumber daya manusia Bank Perkreditan Rakyat dalam Peraturan Bank Indonesia; BI 100 PBI(M4B)-107-10-2001-DJP BANK INDONESIA Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992. tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN: Menetapkan PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN DANA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN UNTUK PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA BANK PERKREDITAN RAKYAT. Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan 1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR, adalah BPR sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah; BI 100 PBI(A48) - 107-10-2001-DUP BANK INDONESIA 0 0 -3- 2. Sumber Daya Manusia adalah a. anggota direksi dan komisaris BPR; b. dewan pengawas syariah; dan c. pegawai BPR; 3. Direksi : a. bagi BPR berbentuk hukum Perseran Terbatas adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Persoroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; 4. Komisaris: a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; 81 100 PBI(A4B)- 107-10-2001-DP BANK INDONESIA -4- 5. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang keanggotaannya direkomendasikan oleh Dewan Syariah Nasional dan ditempatkan pada BPR yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; dengan tugas dan kewenangan yang diatur oleh Dewan Syariah Nasional; 6. Dana Pendidikan dan Pelatihan adalah dana yang disediakan oleh BPR untuk pengembangan Sumber Daya. Manusia melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan di bidang perbankan antara lain operasional, pemasaran dan manajemen BPR. Pasal 2 (1) BPR wajib menyediakan Dana Pendidikan dan Pelatihan. (2) Dana Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 5% (lima perseratus) dari realisasi biaya Sumber Daya Manusia tahun sebelumnya. Pasal 3 (1) Pemenuhan kewajiban penyediaan Dana Pendidikan dan Pelatihan Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan secara bertahap yaitu a. sekurang-kurangnya 3%6 (tiga perseratus) selama tahun 2004; b. Sekurang-kurangnya 5% (lima perseratus) selama tahun 2005 dan seterusnya. (2) Dalam hal BPR telah memenuhi kewajiban penyediaan Dana Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (D), namun belum mencukupi untuk mengikutsertakan Sumber Daya Manusia dalam 81 100PBI(A4B) - 107-10 -.2001- DUP BANK INDONESIA 9 pendidikan dan pelatihan, maka BPR wajib meningkatkan Dana Pendidikan dan Pelatihan selingga dapat mnengikutsertakan sekurang- kurangnya 1 (satu) orang dalam pendidikan dan pelatihan. Pasal 4 (1) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan yang dibiayai dengan Dana Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilakukan dengan cara a. dilaksanakan oleh BPR sendiri; b. ikut serta pada pendidikan yang dilakukan oleh BPR lain, . bersama-sama dengan BPR lain menyelenggarakan pendidikan;, atau d. mengirim Sumber Daya Manusia untuk mengikuti pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan perbankan. (2) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai kemampuanl pengetahuan di bidang perbankan baik yang berasal dari intem maupun ekstem BPR. (3) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh tenaga pengajar yang telah berpengalaman di bidang perbankan dan atau bidang keuangan lainnya. Pasal 5 (1) Direksi wajib menyusun rencana pendidikan dan pelatihan tabunan dengan memperhatikan azas prioritas dan pemerataan pengetahuan dan ketrampilan Sumber Daya Manusia. 8100PaI (AAB) - 107-10-2001- DJP BANK INDONESIA (2) Rencana pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh persetujuan dewan komisaris atau badan pengawas BPR. (3) Rencana pendidikan dan pelatihan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dilaporkan kepada Bank Indonesia dalam laporan Rencana Kerja Tahunan. Pasal 6 BPR yang sampai dengan akhir tahun berjalan belum merealisasikan seluruh Dana Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib menambahkan sisa Dana Pendidikan dan Pelatihan yang belum direalisasikan tersebut ke. dalam Dana Pendidikan dan Pelatihan tabun berikutnya. Pasal 7 Realisasi rencana Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) dilaporkan kepada Bank Indonesia dalam laporan pelaksanaan rencana kerja oleh Dewan Komisaris. Pasal 8 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 7, disampaikan kepada Bank Indonesia dengan aturan sebagai berikut: a. Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat, dengan alamat JI. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10010 bagi BPR konvensional yang berada di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia 81 100PBI (MIE) - 107-10-2001-DJP 0 b. Biro Perbankan Syariah, dengan alamat Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10010 bagi BPR syariah yang berada di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau c. Kantor Bank Indonesia setempat bagi BPR yang berada di luar wilayah kerja Kantor Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b. Pasal 9 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 6 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2004. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 Juli 2003 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 90 DPBPR/BPS 8100PBI (A48)-107-10-2001-DJP BANK INDONESIA PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/ 14 /PBI/2003 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN DANA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN UNTUK PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA BANK PERKREDITAN RAKYAT UMUM Sumber Daya Manusia memiliki peran yang sangat penting bagi peningkatan kinerja dan pengembangan industri Bank Perkreditan Rakyat, Sehingga perlu dipersiapkan dengan baik dan terencana melalui pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan. Pengembangan Sumber Daya Manusia perbankan untuk menjadi tenaga yang profesional melalui pendidikan yang berkesinambungan memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang besar, schingga setiap bank wajib menyediakan dana untuk maksud tersebut. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Dana Pendidikan dan Pelatihan meliputi biaya BI 100 PBI (MIB)- 107-10-2001-DP BANK INDONESIA a. Penyelenggaraan b. Homorarium pengajar c. Uang saku; d. Transportasi dan akomodasi; Materi pendidikan, alat tulis kantor, fotokopi, dan f. Lainnya yang lazim dikeluarkan untuk menunjang kelancaran penyelenggaran pendidikan dan pelatihan. Ayat (2) Biaya Sumber Daya Manusia adalah biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja yang terdiri dari a. gaji dan upah beserta tunjangan-tunjangan yang dibayarkan kepada direksi/pengurus harian dan pegawai BPR baik yang berstatus tetap maupun tidak tetap, sebelum dikurangi dengan pajak penghasilan dan potongan-potongan lain; dan b. honorarium komisaris/dewan pengawas/dewan pengawas syarial. Pasal 3 Ayat (1) Pemenuhan penyediaan dana Pendidikan dan Latihan diperhitungkan dari realisasi biaya pendidikan dan latihan tahun berjalan. Contoh: a. Biaya Sumber Daya Mamusia tahun 2003 sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); 81 100 PBI (A4B)-107-10.2001-DJP BANK INDONESIA b. BPR wajib menyediakan dana pendidikan dan pelatihan tahun 2004 sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah); c. Realisasi biaya pendidikan dan latihan pada tahun 2004 sebesar Rp2.700.000,00 juta (dua juta tujuh ratus ribu rupiah), maka BPR wajib menambahkan kekurangan realisasi sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) pada penyediaan dana pendidikan dan latihan tahun 2005. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Tenaga pengajar yang telah berpengalaman di bidang perbankan dan atau bidang keuangan lainnya ditandai antara lain dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja terkait. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. B1 100 PBI (MB)- 10r-10-2001-DJP BANK INDONESIA -4- Ayat (3) Laporan rencana kerja tahunan adalah sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/60/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Rencana Kerja dan Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja Bank Perkreditan Rakyat dan perubahannya. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Laporan pelaksanaan rencana kerja oleh Dewan Komisaris adalah sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/60/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Rencana Kerja dan Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja Bank Perkreditan Rakyat dan perubahannya. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas.. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4308 DPBPR/BPS 81100 PBI(48)- 107-10 .2001-DUP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 5/14/PBI/2003 </reg_id> <reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN DANA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN UNTUK PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title> <set_date> 23 Juli 2003 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2004 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 9' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/ 4 /PBI/2009 TENTANG TRANSAKSI USD REPURCHASE AGREEMENT BANK KEPADA BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah; b. bahwa krisis keuangan global berdampak terhadap kondisi likuiditas valuta asing di pasar domestik yang berpotensi mengganggu stabilitas nilai tukar rupiah; c. bahwa dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, salah satu upaya Bank Indonesia adalah mendorong tersedianya pasokan valuta asing di pasar domestik melalui transaksi USD repurchase agreement; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur ketentuan mengenai transaksi USD repurchase agreement bank kepada Bank Indonesia dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana … -2- sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901) sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); M E M U T U S K A N Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI USD REPURCHASE AGREEMENT BANK KEPADA BANK INDONESIA. Pasal 1 … -3- Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia. 2. USD Repurchase Agreement yang selanjutnya disebut USD Repo adalah transaksi penjualan bersyarat surat berharga dalam mata uang USD oleh bank kepada Bank Indonesia dengan kewajiban membeli kembali sesuai harga dan jangka waktu yang disepakati. 3. Surat Berharga adalah global bond yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia. 4. Repo Rate adalah tingkat bunga yang dikenakan kepada bank terhadap dana USD dalam rangka USD repo. 5. Haircut adalah faktor pengurang nilai surat berharga dalam USD repo yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam bentuk persentase. 6. Tenor adalah jangka waktu USD repo. 7. Window Time adalah waktu yang disediakan bagi bank untuk mengajukan USD repo kepada Bank Indonesia. 8. Kustodian adalah bank atau lembaga keuangan yang ditunjuk oleh Bank Indonesia untuk menyelenggarakan penatausahaan kegiatan yang terkait dengan aktivitas pengelolaan surat berharga. 9. Bank Koresponden adalah bank tempat pemeliharaan rekening giro dalam rangka pembayaran dan/atau penerimaan dana ke atau dari bank, counterpart dan kustodian. 10. Tanggal Transaksi adalah tanggal kesepakatan USD repo bank kepada Bank Indonesia. 11. Tanggal Valuta adalah tanggal penyelesaian transaksi yang dihitung dari tanggal transaksi ditambah 3 (tiga) hari kerja. 12. Tanggal … -4- 12. Tanggal Jatuh Tempo adalah tanggal berakhirnya USD repo. 13. Nilai Pembelian Kembali adalah nilai nominal pembelian kembali surat berharga oleh bank yaitu nilai nominal USD repo ditambah dengan nilai nominal dari repo rate. Pasal 2 (1) Bank Indonesia membuka window USD Repo pada hari kerja paling lambat pada pukul 13.00 WIB. (2) Bank Indonesia mengumumkan harga pasar Surat Berharga, Repo Rate, Haircut dan Tenor pada saat pembukaan window sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui Reuters. (3) Dalam hal terdapat gangguan terhadap Reuters, pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan sarana komunikasi lainnya. Pasal 3 (1) Bank dapat mengajukan USD Repo kepada Bank Indonesia apabila memenuhi persyaratan paling kurang memiliki Peringkat Komposit 3 (PK-3) dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai posisi devisa neto. (2) Pengajuan USD Repo kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bilateral antara Bank dengan Bank Indonesia melalui sarana Reuters Monitoring Dealing System (RMDS). Pasal 4 (1) Surat Berharga yang dapat di-repo-kan kepada Bank Indonesia memiliki sisa jangka waktu paling singkat melebihi jangka waktu Tenor. (2) Sisa jangka waktu Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling singkat 1 (satu) hari kerja setelah Tanggal Jatuh Tempo. Pasal 5 … -5- Pasal 5 (1) Bank mengajukan USD Repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dengan mencantumkan nilai total nominal Surat Berharga yang di-repo-kan dengan perincian untuk masing-masing Surat Berharga sebagai berikut: a. identitas Surat Berharga; b. nominal Surat Berharga; c. sisa jangka waktu Surat Berharga; dan d. nomor rekening Bank pada Bank Koresponden dan Kustodian. (2) Dalam hal Surat Berharga yang di-repo-kan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih dari 1 (satu) seri, maka pencantuman diurutkan dimulai dari sisa jangka waktu yang paling mendekati maturity date dari total keseluruhan Surat Berharga yang di-repo-kan oleh Bank. (3) Harga pasar Surat Berharga mengacu pada harga marked to market yang berlaku di pasar keuangan internasional. (4) Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan milik Bank yang mengajukan USD Repo. Pasal 6 Bank bertanggungjawab atas kebenaran data pengajuan USD Repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Pasal 7 (1) Bank melakukan pengajuan USD Repo kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) melalui window pada pukul 14.00 WIB sampai dengan pukul 15.00 WIB. (2) Bank hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pengajuan dalam window sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada hari yang sama. Pasal 8 … -6- Pasal 8 (1) Bank Indonesia melakukan pemrosesan terhadap pengajuan USD Repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1). (2) Bank Indonesia menetapkan Bank penjual Surat Berharga yang menerima USD Repo. (3) Bank Indonesia menetapkan nominal USD yang diperoleh Bank penjual Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Bank Indonesia menyampaikan informasi penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) melalui sarana RMDS paling lambat pukul 16.30 WIB pada Tanggal Transaksi. Pasal 9 Bank penjual Surat Berharga yang menerima USD Repo wajib mempergunakan nominal USD yang diperoleh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) untuk memenuhi kebutuhan likuiditas USD Bank. Pasal 10 (1) Masa berlaku USD Repo dimulai pada Tanggal Valuta dan berakhir pada Tanggal Jatuh Tempo. (2) Bank wajib mengirimkan Surat Berharga ke rekening Bank Indonesia pada Kustodian yang ditunjuk oleh Bank Indonesia pada Tanggal Valuta. (3) Bank Indonesia akan mengirimkan dana USD sesuai dengan USD Repo ke rekening Bank pada Bank Koresponden yang ditunjuk oleh Bank pada Tanggal Valuta. Pasal 11 … -7- Pasal 11 (1) Pada Tanggal Jatuh Tempo, Bank membeli kembali Surat Berharga sebesar Nilai Pembelian Kembali. (2) Atas pembelian Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib mengirimkan dana USD sebesar Nilai Pembelian Kembali ke rekening Bank Indonesia pada Bank Koresponden yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (3) Pada Tanggal Jatuh Tempo Bank Indonesia akan mengirimkan Surat Berharga kepada Bank yang bersangkutan. (4) Bank harus menyampaikan konfirmasi pengiriman dana USD ke rekening Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum Tanggal Jatuh Tempo. Pasal 12 Kupon Surat Berharga dalam periode USD Repo merupakan hak Bank penjual Surat Berharga. Pasal 13 (1) Tenor ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Jangka waktu Tenor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) bulan. Pasal 14 Repo Rate ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar Singapore Interbank Offered Rate (SIBOR) pada tanggal transaksi ditambah sejumlah margin. Pasal 15 Haircut ditetapkan berdasarkan jangka waktu Surat Berharga. Pasal 16 … -8- Pasal 16 (1) Dalam hal Bank tidak dapat membayar dana USD pada saat Tanggal Jatuh Tempo sebesar Nilai Pembelian Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), maka Bank Indonesia dapat menjual Surat Berharga Bank sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. (2) Dalam hal nilai Surat Berharga Bank pada saat USD Repo jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi Nilai Pembelian Kembali, maka Bank Indonesia akan membebankan kekurangan pembayaran dana pada rekening giro valuta asing Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. (3) Dalam hal dana pada rekening giro valuta asing Bank di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atas tidak mencukupi maka Bank Indonesia akan membebankan kekurangan pembayaran dana pada rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. (4) Pembebanan pembayaran rekening giro valuta asing dan/atau rupiah Bank di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) di atas dilakukan setelah Tanggal Jatuh Tempo. (5) Bank dikenakan tambahan kewajiban membayar sebesar Jakarta Onshore Dollar Offer Rate (JODOR) dikalikan jangka waktu sejak Tanggal Jatuh Tempo sampai dengan tanggal pelunasan kewajiban USD Repo. (6) Dalam hal JODOR sebagaimana dimaksud pada ayat (5) lebih kecil daripada SIBOR, maka tambahan kewajiban membayar dihitung berdasarkan SIBOR. (7) Dalam hal hasil penjualan Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi kewajiban membayar yang telah disepakati dalam USD Repo dan kewajiban Bank lainnya, akan dikembalikan kepada Bank yang bersangkutan. Pasal 17 … -9- Pasal 17 (1) Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu melakukan early termination terhadap kesepakatan USD Repo apabila Bank yang bersangkutan mengalami penurunan Peringkat Komposit di bawah persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1). (2) Dalam hal terjadi early termination sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Bank melakukan pembelian kembali Surat Berharga tersebut mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (3) Dalam hal Bank tidak dapat membayar pembelian kembali Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka Bank Indonesia dapat menjual Surat Berharga Bank mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (7). (4) Dalam hal nilai Surat Berharga Bank pada saat USD Repo jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencukupi Nilai Pembelian Kembali, maka pembelian kembali Surat Berharga tersebut mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6). Pasal 18 Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu meniadakan window transaksi USD Repo Bank kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan pengumuman melalui Reuters atau sarana komunikasi lainnya paling lambat pukul 13.00 WIB. Pasal 19 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Dalam … -10- (2) Dalam hal Bank tidak mengirimkan Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), USD Repo dengan Bank yang bersangkutan dinyatakan batal. (3) Bank yang tidak mengirimkan Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak termasuk karena settlement failure, dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 10/00 (satu per seribu) dari nilai nominal transaksi yang dinyatakan batal atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per transaksi. (4) Bank yang tidak dapat melakukan pembayaran atas pembelian Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dikenakan sanksi berupa teguran tertulis. Pasal 20 … -11- Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 Januari 2009. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 30 Januari 2009. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 30 DPD PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/ 4 /PBI/2009 TENTANG TRANSAKSI USD REPURCHASE AGREEMENT BANK KEPADA BANK INDONESIA I. UMUM Perkembangan perekonomian global memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia berupaya untuk mengurangi dampak dari krisis keuangan global terhadap pasar keuangan domestik. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah menambah pasokan valuta asing di pasar keuangan domestik dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah. Tercapainya kondisi likuiditas valuta asing yang cukup di pasar keuangan domestik akan memberikan dorongan positif terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. Upaya penambahan likuiditas valuta asing di pasar keuangan domestik dilakukan melalui USD Repo. Langkah kebijakan tersebut diharapkan dapat membantu pengelolaan likuiditas valuta asing sekaligus meningkatkan kepercayaan pelaku pasar khususnya Bank sehingga memberikan kontribusi positif bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 … -2- Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sarana komunikasi lainnya antara lain sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU) dan Bloomberg. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Contoh: Pada tanggal 1 Juni 2009, Bank Indonesia mengumumkan USD Repo dengan Tenor 1 bulan dimana Tanggal Valuta pada 4 Juni 2009, dan Tanggal Jatuh Tempo pada 1 Juli 2009. Bank A, Bank B, dan Bank C mengajukan USD Repo kepada Bank Indonesia dengan sisa jangka waktu Surat Berharga sebagai berikut: a. Surat Berharga Bank A memiliki sisa jangka waktu 15 hari dengan maturity date pada tanggal 16 Juni 2009, b. Surat Berharga Bank B memiliki sisa jangka waktu 30 hari dengan maturity date pada tanggal 1 Juli 2009, c. Surat Berharga Bank C memiliki sisa jangka waktu 31 hari dengan maturity date pada tanggal 2 Juli 2009, maka hanya Surat Berharga Bank C yang dapat di-repo-kan kepada Bank Indonesia. Pasal 5 … -3- Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “identitas Surat Berharga”, yaitu: 1. identitas sesuai dengan Committee on Uniform Securities Identification Procedures (CUSIP) dan/atau International Securities Identification Number (ISIN); 2. kupon; dan 3. maturity date. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bank Indonesia menggunakan informasi harga pasar Surat Berharga yang diperoleh dari Clearstream pada 1 (satu) hari kerja sebelum Tanggal Transaksi. Dalam hal informasi harga pasar (marked to market) Surat Berharga tidak dapat diperoleh dari Clearstream, maka akan digunakan Bloomberg price atau informasi harga pasar dari pihak lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Clearstream merupakan salah satu Kustodian Surat Berharga Ayat (4) … -4- Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Bank Indonesia menginformasikan: a. besaran nominal jumlah USD yang diterima Bank penjual Surat Berharga; b. identitas Surat Berharga yang diterima Bank Indonesia; c. informasi terkait Standar Instruksi Penyelesaian Transaksi (Standard Settlement Instruction); dan/atau d. informasi yang terkait lainnya, Pasal 9 … -5- Pasal 9 Yang dimaksud dengan “kebutuhan likuiditas” antara lain kebutuhan untuk memenuhi permintaan nasabah dan/atau kebutuhan untuk membayar utang. Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Konfirmasi dapat dikirimkan dalam bentuk swift message kepada Bank Indonesia yang mencantumkan informasi Tanggal Jatuh Tempo, Nilai Pembelian Kembali, identitas Surat Berharga, dan Standar Instruksi Penyelesaian Transaksi (Standard Settlement Instruction) dalam USD Repo yang telah disepakati. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 … -6- Pasal 14 Yang dimaksud dengan “margin” adalah tambahan tingkat bunga yang besarnya disesuaikan dengan kondisi pasar keuangan. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pembebanan kekurangan pembayaran dana USD kepada rekening giro rupiah Bank dilakukan dengan menggunakan Kurs Transaksi Jual Bank Indonesia pada hari yang bersangkutan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Jangka waktu tambahan kewajiban membayar dihitung sejak Tanggal Jatuh Tempo sampai dengan tanggal pelunasan kewajiban USD Repo namun tidak termasuk tanggal pelunasan. Ayat (6) JODOR dan SIBOR yang digunakan adalah suku bunga pada tanggal pelunasan. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 17 … -7- Pasal 17 Ayat (1) Early termination merupakan proses mempercepat Tanggal Jatuh Tempo USD Repo oleh Bank Indonesia. Pemberitahuan early termination akan dilakukan secara bilateral kepada Bank yang bersangkutan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 18 Sarana komunikasi lainnya antara lain sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU) dan Bloomberg. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan ”settlement failure” adalah tidak terjadinya penyelesaian transaksi pada tanggal valuta yang disebabkan oleh faktor- faktor teknis misalnya kesalahan pencantuman rekening, tanggal valuta, dan lain sebagainya. Ayat (4) … -8- Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4979
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/4/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI USD REPURCHASE AGREEMENT BANK KEPADA BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 30 Januari 2009 </set_date> <effective_date> 30 Januari 2009 </effective_date> <issued_date> 30 Januari 2009 </issued_date> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 19' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/24/PBI/2005 TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung kelancaran sistem pembayaran di Indonesia, Bank Indonesia telah mengimplementasikan Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia; b. bahwa untuk menghindari terjadinya kemacetan pembayaran (gridlock) dalam Sistem BI-RTGS, yang dapat membahayakan stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia perlu menyediakan Fasilitas Likuiditas Intrahari kepada Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah sebagai peserta Sistem BI-RTGS; c. bahwa untuk mengantisipasi kemungkinan kegagalan Bank dalam memenuhi kewajibannya sebagai peserta dalam Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia, Bank Indonesia juga memandang perlu untuk menyediakan Fasilitas Likuiditas Intrahari khusus untuk penyelesaian akhir kliring debet kepada Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah selain untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, dipandang perlu untuk menyusun ketentuan mengenai Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat … 2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/3/PBI/2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4261) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/23/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4520); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/18/PBI/2005 tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4516); 5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/2/PBI/2004 tentang Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4363); 6. Peraturan … 3 6. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/8/PBI/2004 tentang Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement System (BI-RTGS) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4373). MEMUTUSKAN : Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan. 2. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja di kantor pusat bank umum yang melakukan kegiatan secara konvensional, yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah. 3. Sistem … 4 3. Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement. 4. Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan penatausahaan surat berharga secara elektronik Indonesia yang mengatur mengenai Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System. 5. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SKNBI adalah suatu sistem kliring yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Peraturanan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia. 6. Kliring Debet adalah kegiatan SKNBI untuk transfer debet sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia Nasional Bank Indonesia. 7. Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut FLIS adalah fasilitas pendanaan yang disediakan Bank Indonesia kepada Bank dalam kedudukan sebagai peserta Sistem BI-RTGS dan SKNBI, yang harus dilunasi pada hari yang sama dengan hari penggunaan. 8. FLIS dalam rangka RTGS bagi Bank yang selanjutnya disebut FLIS-RTGS adalah FLIS untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS. 9. FLIS dalam rangka Kliring bagi Bank yang selanjutnya disebut FLIS-Kliring adalah FLIS untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank yang terjadi pada saat penyelesaian akhir atas hasil Kliring Debet. 10. Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah yang selanjutnya disebut FPJPS adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan … yang mengatur mengenai Sistem Kliring sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank 5 Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah. 11. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SWBI adalah bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai SWBI. 12. Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah yang selanjutnya disebut PUAS adalah pasar uang antarbank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai PUAS. 13. Mudharabah adalah perjanjian antara pemilik dana dan pengelola dana untuk suatu kegiatan usaha, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Pasal 2 (1) Bank dapat memperoleh FLIS baik dalam bentuk FLIS-RTGS maupun FLIS- Kliring setelah menandatangani Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLIS dan menyampaikan dokumen pendukung yang dipersyaratkan kepada Bank Indonesia. sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (2) FLIS yang diterima oleh Bank menggunakan prinsip Mudharabah. Pasal 3 Bank dapat menggunakan FLIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. memiliki SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dapat diagunkan; b. tidak sedang dikenakan sanksi penangguhan sebagai peserta BI-RTGS, dan atau Peserta BI-SSSS, dan atau penghentian sebagai peserta SKNBI; dan c. tidak…. 6 c. tidak sedang dikenakan sanksi tidak dapat memperoleh FPJPS. Pasal 4 Bank Indonesia berwenang untuk menolak atau menghentikan penggunaan FLIS dalam hal Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Pasal 5 (1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, harus bebas dari sitaan, tidak sedang digadaikan, atau dipertanggungkan secara apapun juga baik kepada orang atau pihak lain maupun kepada Bank Indonesia, serta tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa. (2) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, tidak dapat diperjualbelikan dan atau dijaminkan kembali oleh Bank. (3) Perhitungan nilai SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dapat diagunkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf (a) tunduk pada ketentuan tentang agunan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah yang berlaku. (4) Nilai maksimum FLIS yang dapat digunakan Bank adalah sebesar nilai agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah dipindahkan Bank ke rekening agunan surat berharga pada sarana BI-SSSS. Pasal 6 (1) Pengagunan SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dapat diagunkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dalam rangka penggunaan FLIS-RTGS dan atau FLIS-Kliring dilakukan melalui sarana BI-SSSS yang diatur sebagai berikut: a. untuk … 7 a. Untuk FLIS-RTGS, Bank harus memindahkan surat berharga ke rekening agunan FLIS-RTGS pada sarana BI-SSSS selama jam operasional Sistem BI- RTGS pada saat Bank menilai adanya kebutuhan FLIS untuk kelancaran transaksi di Sistem BI-RTGS (self asessment); dan b. Untuk FLIS-Kliring, Bank harus memindahkan surat berharga ke rekening agunan FLIS-Kliring pada sarana BI-SSSS dalam rangka penyediaan pendanaan awal (prefund) sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia. (2) SWBI, surat berharga dan atau tagihan lainnya yang telah dipindahkan ke rekening agunan FLIS-Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat digunakan sebagai agunan FLIS-RTGS. Pasal 7 (1) Penggunaan FLIS RTGS dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melakukan transaksi keluar (outgoing transaction) sepanjang nilai agunan FLIS yang tersedia di rekening agunan FLIS-RTGS dan FLIS-Kliring mencukupi. (2) Penggunaan FLIS Kliring dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban Bank atas penyelesaian akhir kliring debet sepanjang nilai agunan FLIS yang tersedia di rekening agunan FLIS-RTGS dan FLIS-Kliring mencukupi. (3) Dalam hal nilai agunan FLIS-Kliring tidak cukup untuk menutup kewajiban penyelesaian akhir Kliring Debet sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) maka nilai agunan FLIS-RTGS yang tersedia di rekening agunan FLIS-RTGS secara otomatis digunakan untuk menutup kewajiban penyelesaian akhir Kliring Debet. Pasal … 8 Pasal 8 Bank Indonesia dapat membatasi jenis-jenis transaksi yang diperkenankan untuk menggunakan FLIS. Pasal 9 Bank Indonesia memperoleh imbalan atas setiap FLIS yang digunakan oleh Bank Syariah. Pasal 10 (1) Pelunasan FLIS dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS setiap terdapat transaksi masuk (incoming transaction) yang mengkredit rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia sampai dengan batas waktu pelunasan FLIS. (2) Bank wajib melunasi FLIS sampai batas waktu pelunasan FLIS yang ditetapkan Bank Indonesia. (3) Dalam hal Bank Syariah tidak melunasi nilai FLIS sampai dengan batas waktu pelunasan FLIS yang ditetapkan maka terhadap nilai FLIS yang tidak dapat dilunasi tersebut diberlakukan sebagai FPJPS. Pasal 11 (1) Bank dapat memindahkan kembali SWBI, surat berharga, dan atau tagihan lainnya dari rekening agunan ke rekening perdagangan dalam hal : a. FLIS telah dilunasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; b. surat berharga yang telah dipindahkan ke rekening agunan tidak sedang digunakan sebagai agunan FLI. (2) Khusus pemindahan kembali SWBI, surat berharga, dan atau tagihan lainnya dari rekening agunan ke rekening perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk … 9 untuk kepentingan FLIS-Kliring tunduk pada Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia. Pasal 12 Dalam hal FLIS diberlakukan sebagai FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) maka: a. Bank tunduk pada Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah yang berlaku; dan b. agunan FLIS diberlakukan sebagai agunan FPJPS. Pasal 13 (1) Dalam hal Bank Syariah tidak dapat melunasi FLIS karena kegagalan Sistem BI- RTGS dan atau BI-SSSS maka pelunasan FLIS dilakukan secara otomatis jika terdapat transaksi masuk (incoming transaction) oleh Sistem BI-RTGS segera setelah sistem BI-RTGS dan atau BI-SSSS berfungsi kembali. (2) Dalam hal terjadi gangguan dimaksud, Bank Peserta BI-RTGS tetap wajib melunasi FLIS sesuai batas waktu yang ditetapkan. Pasal 14 Bank peserta kliring yang berada di wilayah Kliring yang belum menerapkan SKNBI dapat menggunakan FLIS-RTGS untuk penyelesaian akhir kliring yang terjadi sebelum cut off warning Sistem BI-RTGS Pasal 15 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian FLIS diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal … 10 Pasal 16 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 3 Agustus 2005. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 3 Agustus 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 71 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/24/PBI/2005 TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK SYARIAH UMUM Implementasi Sistem BI-RTGS adalah dalam rangka menunjang kelancaran sistem pembayaran di Indonesia khususnya penyelesaian transaksi antarbank. Dengan Sistem BI-RTGS, penyelesaian transaksi pembayaran diselesaikan satu demi satu secara seketika (real time), yang memungkinkan dapat terjadi kesulitan pendanaan akibat terjadinya ketidaksesuaian antara waktu dan atau nilai transaksi yang dikirim (outgoing transaction) dengan transaksi yang diterima (incoming transaction). Apabila kesulitan yang dialami oleh Bank atau beberapa Bank tersebut tidak segera diatasi dikhawatirkan dapat menyebabkan kemacetan pembayaran (gridlock) yang dapat menimbulkan ketidakstabilan sistem keuangan secara keseluruhan. Untuk mengatasi timbulnya kemacetan dalam sistem pembayaran di atas maka Bank Indonesia memandang perlu untuk menyediakan fasilitas pendanaan untuk jangka waktu yang sangat pendek berdasarkan prinsip syariah selama waktu operasional Sistem BI-RTGS dalam bentuk FLIS-RTGS yang wajib dilunasi oleh Bank pada akhir hari yang sama. Disamping itu untuk mengantisipasi kemungkinan kegagalan Bank dalam memenuhi kewajibannya sebagai peserta dalam SKNBI, Bank Indonesia juga memandang perlu untuk menyediakan fasilitas pendanaan untuk jangka waktu yang sangat pendek berdasarkan prinsip syariah selama waktu operasional berupa FLIS- Kliring yang wajib dilunasi pada akhir hari yang sama. Pemberian … 2 Pemberian FLIS ini sejalan dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia untuk menjaga kelancaran sistem pembayaran sebagaimana ditetapkan dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a SWBI, surat berharga, dan atau tagihan lainnya yang diagunkan adalah yang dimiliki oleh Bank pengguna FLIS dan tercatat dalam sarana BI- SSSS. Huruf b Kriteria pengenaan sanksi penangguhan (suspend) tunduk pada Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement dan atau Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang berlaku dan atau Peraturan Bank Indonesia tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia. Huruf c Cukup jelas. Pasal… 3 Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan pendanaan awal (prefund) adalah penyediaan dana dan atau surat berharga oleh Bank peserta SKNBI pada awal hari sebelum kegiatan Kliring Debet dimulai. Dalam ketentuan ini, penyediaan pendanaan awal yang diatur adalah dalam bentuk surat berharga. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penggunaan FLIS-RTGS dilakukan secara otomatis” adalah bahwa nilai atas pengagunan surat berharga yang telah dilakukan Bank langsung digunakan untuk menutup ketidakcukupan saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia. Ayat … 4 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Dalam hal Bank masih menggunakan sebagian atau seluruh FLIS yang disetujui Bank Indonesia maka Sistem BI-RTGS secara otomatis menggunakan dana yang transaction) untuk terlebih dahulu melunasi FLIS. Proses penggunaan dan pelunasan FLIS berlangsung terus sampai dengan batas akhir waktu pelunasan FLIS. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas Pasal… berasal dari transaksi masuk (incoming 5 Pasal 12 Dalam hal FLIS diberlakukan sebagai FPJPS maka Bank tidak perlu mengajukan surat pengajuan FPJPS secara tertulis atas pengalihan FLIS yang tidak dapat dilunasi menjadi FPJPS. Apabila Bank sedang menggunakan dan melakukan perpanjangan FPJPS maka nilai FLIS dimaksud akan disatukan dengan nilai FPJPS yang sedang digunakan Bank dan jumlah hari penggunaan FPJPS yang sudah digunakan Bank. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-RTGS adalah kegagalan RTGS Central Computer (RCC) sehingga seluruh Bank Peserta BI-RTGS dan/atau Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari terminal RTGS (RT) ke RCC. Gangguan pada salah satu atau beberapa RT dan/atau gangguan pada jaringan RTGS yang mengakibatkan satu atau beberapa Bank Peserta BI- RTGS tidak dapat mengirimkan transaksi ke RCC, tidak dianggap sebagai kegagalan Sistem BI-RTGS. Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-SSSS adalah kegagalan SSSS Central Computer (SCC) pada sarana BI-SSSS sehingga seluruh Bank dan/atau Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari SSSS System Terminal (ST) ke SCC. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal … 6 Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Pokok-pokok ketentuan yang akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia meliputi antara lain: 1. Tata cara penyampaian Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLIS; 2. Tata cara perhitungan dan pengenaan imbalan atas penggunaan FLIS; 3. Tata cara pemindahan surat berharga dari rekening perdagangan ke rekening agunan dan sebaliknya; 4. Batas akhir waktu penggunaan dan pelunasan FLIS. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 4521 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/24/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 3 Agustus 2005 </set_date> <effective_date> 3 Agustus 2005 </effective_date> <related_reg> '5/3/PBI/2003', '23/UU/1999', '6/8/PBI/2004', '3/UU/2004', '7/18/PBI/2005', '7/23/PBI/2005', '6/2/PBI/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/11/PBI/2016 TENTANG PASAR UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah; b. bahwa untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, makroprudensial, sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah, yang perlu didukung antara lain oleh pasar keuangan yang efisien; c. bahwa untuk mencapai pasar keuangan yang efisien, antara lain dibutuhkan pasar uang yang likuid dan dalam; d. bahwa pasar uang yang likuid dan dalam dapat meningkatkan fleksibilitas dan kelancaran pengelolaan dana pelaku pasar, sehingga diperlukan peran Bank Indonesia untuk mengatur, memberikan perizinan, mengembangkan, dan mengawasi pasar uang; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pasar Uang. abcdefghuijkklmnopwgagagagagaggaagaga - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PASAR UANG. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam- meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang Rupiah dan valuta asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan moneter, pencapaian stabilitas sistem keuangan, dan kelancaran sistem pembayaran. 2. Pelaku Pasar Uang yang selanjutnya disebut Pelaku Pasar adalah pihak yang melakukan kegiatan penerbitan Instrumen Pasar Uang dan/atau melakukan transaksi di Pasar Uang. - 3 - 3. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank Umum Syariah termasuk Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Perusahaan Efek adalah pihak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal. 5. Nasabah adalah Pelaku Pasar yang menggunakan jasa pihak lain. 6. Lembaga Pendukung Pasar Uang adalah pihak yang dapat memberikan jasa terkait penerbitan Instrumen Pasar Uang, perantara pelaksanaan transaksi, penyelesaian transaksi, penatausahaan instrumen dan transaksi di Pasar Uang, dan pihak lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 7. Instrumen Pasar Uang adalah instrumen yang ditransaksikan di Pasar Uang, yang meliputi instrumen yang diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, sertifikat deposito, dan instrumen lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, termasuk yang berdasarkan prinsip syariah. 8. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai perusahaan pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing. Pasal 2 Bank Indonesia melakukan pengaturan, perizinan, pengembangan, dan pengawasan Pasar Uang dalam rangka: a. meningkatkan efektivitas kebijakan moneter; b. mencegah dan mengurangi risiko sistemik; c. meningkatkan efisiensi Pasar Uang; d. meningkatkan fungsi intermediasi yang berdaya tahan; dan - 4 - e. mengembangkan pasar keuangan. BAB II PELAKU PASAR DAN LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG Pasal 3 (1) Pelaku Pasar terdiri atas: a. Bank; b. Perusahaan Efek; dan c. Nasabah. (2) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c antara lain terdiri atas: a. Bank; b. Perusahaan Efek; c. korporasi; d. orang perseorangan; dan e. bukan penduduk. (3) Pelaku Pasar berupa Bank dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dapat melakukan kegiatan di Pasar Uang untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah. (4) Bank dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan kegiatan di Pasar Uang secara langsung tanpa melalui Lembaga Pendukung Pasar Uang. (5) Pelaku Pasar berupa Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c melakukan kegiatan di Pasar Uang hanya untuk kepentingan sendiri. (6) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam melakukan kegiatan di Pasar Uang harus melalui Lembaga Pendukung Pasar Uang. Pasal 4 (1) Lembaga Pendukung Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) meliputi: a. Bank; - 5 - b. Perusahaan Efek; c. Perusahaan Pialang; dan d. lembaga lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Bank dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dapat bertindak antara lain sebagai agen penerbit, agen penjual, penatausahaan dan penyelesaian transaksi. (3) Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat bertindak sebagai perantara transaksi Nasabah di Pasar Uang. BAB III KEGIATAN DI PASAR UANG Pasal 5 (1) Kegiatan di Pasar Uang meliputi: a. penerbitan Instrumen Pasar Uang; dan/atau b. transaksi di Pasar Uang. (2) Transaksi di Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak termasuk transaksi antar-Nasabah yang dilakukan tanpa melalui Lembaga Pendukung Pasar Uang. Pasal 6 Jenis transaksi di Pasar Uang terdiri atas: a. transaksi jual-beli Instrumen Pasar Uang; b. transaksi pinjam-meminjam atau pendanaan selain kredit dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, yang meliputi: 1. transaksi pinjam-meminjam atau pendanaan dengan menggunakan agunan (secured); atau 2. transaksi pinjam-meminjam atau pendanaan tanpa menggunakan agunan (unsecured); dan c. transaksi derivatif suku bunga Rupiah untuk semua jangka waktu. - 6 - BAB IV INSTRUMEN PASAR UANG Pasal 7 (1) Bank Indonesia menetapkan persyaratan Instrumen Pasar Uang. (2) Instrumen Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan paling kurang: a. scripless; dan b. terdapat keterbukaan informasi rating. (3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk instrumen moneter Bank Indonesia dan Instrumen Pasar Uang yang diatur dalam Undang- Undang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai masing-masing Instrumen Pasar Uang diatur dengan ketentuan Bank Indonesia. BAB V PERIZINAN PENERBITAN INSTRUMEN PASAR UANG Pasal 8 (1) Pelaku Pasar yang akan menerbitkan Instrumen Pasar Uang wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Pelaku Pasar yang dapat menerbitkan Instrumen Pasar Uang yaitu: a. Bank; b. Perusahaan Efek; dan c. Nasabah berupa Bank, Perusahaan Efek, dan korporasi. (3) Pelaku Pasar berupa Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c hanya dapat melakukan penerbitan Instrumen Pasar Uang melalui Lembaga Pendukung Pasar Uang berupa Bank dan Perusahaan Efek. (4) Lembaga Pendukung Pasar Uang dilarang memberikan jasa terkait penerbitan Instrumen Pasar Uang yang - 7 - dilakukan oleh Nasabah orang perseorangan dan Nasabah bukan penduduk. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan ketentuan Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Lembaga Pendukung Pasar Uang berupa Bank dan Perusahaan Efek wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Lembaga Pendukung Pasar Uang berupa Perusahaan Pialang yang menjadi perantara transaksi Nasabah di Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan ketentuan Bank Indonesia. Pasal 10 Pelaku Pasar wajib menyampaikan salinan izin penerbitan instrumen pasar uang kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat otoritas lain yang mewajibkan Pelaku Pasar untuk memperoleh izin penerbitan Instrumen Pasar Uang. BAB VI HARGA ACUAN Pasal 11 (1) Bank Indonesia menetapkan harga acuan berupa suku bunga penawaran antarbank. (2) Dalam menetapkan suku bunga penawaran antarbank sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menetapkan bank kontributor. (3) Harga acuan berupa suku bunga penawaran antarbank mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga penawaran antarbank. - 8 - Pasal 12 Dalam melakukan transaksi Instrumen Pasar Uang, Pelaku Pasar dapat mengacu pada suku bunga penawaran antarbank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). BAB VII PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN MANAJEMEN RISIKO DI PASAR UANG Pasal 13 (1) Pelaku Pasar yang menerbitkan Instrumen Pasar Uang dan/atau melakukan transaksi di Pasar Uang wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. (2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup paling kurang: a. etika bertransaksi dan market code of conduct atau pedoman lain yang sejenis; b. transparansi dan keterbukaan informasi; c. perlindungan konsumen; dan d. mekanisme penyelesaian sengketa (dispute resolution). (3) Pelaku Pasar yang menerbitkan Instrumen Pasar Uang, selain menerapkan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), juga mempertimbangkan risiko sistemik Pelaku Pasar yang menerbitkan Instrumen Pasar Uang terhadap industri Pelaku Pasar. (4) Dalam menerapkan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan mempertimbangkan risiko sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelaku Pasar mengacu pada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang dan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 14 (1) Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pegawai atau staf Pelaku Pasar yang melakukan aktivitas treasury - 9 - wajib memiliki sertifikasi treasury dari lembaga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban sertifikasi treasury sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam ketentuan Bank Indonesia. Pasal 15 (1) Dalam melakukan transaksi di Pasar Uang, Pelaku Pasar wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif. (2) Bank yang melakukan transaksi di Pasar Uang wajib menerapkan manajemen risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bank umum. (3) Perusahaan Efek yang melakukan transaksi di Pasar Uang wajib menerapkan manajemen risiko sebagaimana diatur oleh otoritas yang berwenang. Pasal 16 Kewajiban penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan kewajiban penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dikecualikan bagi Pelaku Pasar berupa Nasabah orang- perseorangan dan Nasabah bukan penduduk. BAB VIII INFRASTRUKTUR PASAR UANG Pasal 17 (1) Bank Indonesia menetapkan infrastruktur Pasar Uang. (2) Infrastruktur Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. sarana pelaksanaan transaksi; b. sarana penyelesaian dana; c. sarana penyelesaian Instrumen Pasar Uang; d. sarana penatausahaan Instrumen Pasar Uang; dan e. sarana pengelolaan data dan informasi Pasar Uang. - 10 - (3) Sarana pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a menggunakan sistem Bank Indonesia Electronic Trading Platform (BI-ETP) atau sarana pelaksanaan transaksi lainnya yang lazim digunakan di Pasar Uang. (4) Sarana penyelesaian dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b untuk Rupiah di luar pemindahbukuan (overbooking) menggunakan sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia. (5) Sarana penyelesaian Instrumen Pasar Uang dan penatausahaan Instrumen Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d menggunakan Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) atau sarana penyelesaian dan penatausahaan instrumen lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (6) Sarana pengelolaan data dan informasi Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dilakukan melalui sistem pelaporan transaksi Bank Indonesia atau sistem lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 18 (1) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk melaksanakan fungsi: a. penyelesaian transaksi; b. penatausahaan Instrumen Pasar Uang; dan/atau c. pelaksanaan kliring transaksi di Pasar Uang. (2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain terdiri atas: a. lembaga penyimpanan dan penyelesaian; dan b. lembaga kliring dan penjaminan. (3) Lembaga penyimpanan dan penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a melakukan kegiatan penatausahaan Instrumen Pasar Uang dan penyelesaian transaksi di Pasar Uang. - 11 - (4) Lembaga kliring dan penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b bertindak sebagai penyelenggara kliring dan penjaminan transaksi di Pasar Uang. (5) Lembaga penyimpanan dan penyelesaian yang ditunjuk oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menatausahakan Instrumen Pasar Uang yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). (6) Pelaksanaan kliring transaksi di Pasar Uang dilakukan oleh Bank Indonesia atau lembaga kliring yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Pasal 19 (1) Bank Indonesia mengatur mekanisme penyelesaian transaksi di Pasar Uang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penyelesaian transaksi di Pasar Uang diatur dengan ketentuan Bank Indonesia. BAB IX PELAPORAN Pasal 20 (1) Pelaku Pasar berupa Bank dan Perusahaan Efek serta Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan transaksi di Pasar Uang wajib melaporkan data dan informasi transaksi kepada Bank Indonesia melalui sistem pelaporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan ketentuan Bank Indonesia. - 12 - BAB X PENGAWASAN PASAR UANG Pasal 21 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap kegiatan di Pasar Uang. (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas lain yang berwenang. (3) Pengawasan terhadap kegiatan di Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. Pasal 22 (1) Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pelaku Pasar dan Lembaga Pendukung Pasar Uang wajib menyediakan dan menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan oleh Bank Indonesia. (2) Pelaku Pasar wajib bertanggung jawab atas kebenaran data, informasi, dan/atau keterangan yang disampaikan kepada Bank Indonesia. Pasal 23 (1) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) huruf b. (2) Pihak yang ditugaskan melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga kerahasiaan data, informasi, dan keterangan yang diperoleh dari hasil pemeriksaaan. - 13 - BAB XI SANKSI Pasal 24 (1) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif atas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap Pelaku Pasar dan Lembaga Pendukung Pasar Uang. (2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. teguran tertulis; b. kewajiban membayar; c. penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang; d. pencabutan izin usaha di Pasar Uang; dan/atau e. pembatasan dan/atau larangan kegiatan dalam sistem pembayaran. (3) Pelaku Pasar dan/atau Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (4), dan Pasal 22 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (4) Lembaga penyimpanan dan penyelesaian yang ditunjuk oleh Bank Indonesia yang melanggar ketentuan dalam Pasal 18 ayat (5) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (5) Pihak yang ditugaskan oleh Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan yang melanggar Pasal 23 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (6) Setiap Pelaku Pasar dan Lembaga Pendukung Pasar Uang yang dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 22. (7) Bank Indonesia menyampaikan informasi mengenai pengenaan sanksi terhadap Pelaku Pasar, Lembaga Pendukung Pasar Uang, lembaga penyimpanan dan penyelesaian yang ditunjuk oleh Bank Indonesia, dan - 14 - pihak yang ditugaskan oleh Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan, kepada: a. Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal sanksi dikenakan kepada Pelaku Pasar, Lembaga Pendukung Pasar Uang, dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian yang ditunjuk oleh Bank Indonesia yang berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan; b. Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara, dalam hal sanksi dikenakan kepada Nasabah berupa korporasi Badan Usaha Milik Negara; c. Bursa Efek Indonesia, dalam hal sanksi dikenakan bagi Nasabah berupa korporasi publik yang tercatat di Bursa Efek Indonesia; dan/atau d. Instansi yang berwenang, dalam hal sanksi dikenakan kepada pihak yang ditugaskan oleh Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 25 Instrumen Pasar Uang yang telah diterbitkan, ditransaksikan, dan/atau menjadi agunan (collateral) dan/atau underlying transaksi di Pasar Uang sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini yang tidak memenuhi persyaratan Instrumen Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), masih dapat ditransaksikan hingga jatuh waktu. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 26 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 21/55/KEP/DIR tanggal 27 Oktober 1988 tentang Pasar Uang dan Penempatan Dana Antar Bank; dan - 15 - b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 21/32/UPG tanggal 27 Oktober 1988 perihal Pasar Uang dan Penempatan Dana Antar Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 27 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Agustus 2016. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Juli 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Juli 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 148 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/11/PBI/2016 TENTANG PASAR UANG I. UMUM Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter melalui Pasar Uang baik Rupiah maupun valuta asing. Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter, makroprudensial, sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah yang dilakukan oleh Bank Indonesia, diperlukan pendalaman pasar keuangan guna mencapai pasar uang domestik yang efisien, likuid, dan dalam. Pasar uang yang efisien, likuid, dan dalam tidak hanya akan mendukung efektivitas kebijakan moneter, makroprudensial, sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah, tapi juga dapat memberikan fleksibilitas bagi Pelaku Pasar dalam rangka pengelolaan dana, baik untuk kegiatan pendanaan, investasi, maupun kegiatan ekonomi lainnya. Oleh karena itu, Bank Indonesia perlu mempercepat proses pendalaman Pasar Uang melalui pengaturan, perizinan, pengembangan, dan pengawasan yang komprehensif terhadap berbagai transaksi dan instrumen di Pasar Uang. Pengaturan Pasar Uang juga dilakukan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan mengenai perbendaharaan negara terkait penggunaan instrumen Surat Utang Negara sebagai instrumen moneter melalui operasi moneter yang dilakukan antara lain dengan transaksi repurchase agreement (repo). Ahh..................................................ahahahah - 2 - Pengaturan Pasar Uang dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum sehingga dapat menjadi pedoman dan memberikan kepastian hukum bagi Pelaku Pasar dalam bertransaksi di Pasar Uang. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “korporasi” adalah badan usaha selain Bank dan Perusahaan Efek. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “bukan penduduk” adalah orang, badan hukum atau badan lainnya yang tidak berdomisili di Indonesia atau berdomisili di Indonesia kurang dari 1 (satu) tahun dan kegiatan utamanya tidak di Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. - 3 - Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Transaksi jual-beli Instrumen Pasar Uang misalnya transaksi jual-beli sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit) dan commercial paper berbentuk scripless. Huruf b Angka 1 Transaksi pinjam-meminjam atau pendanaan dengan menggunakan Instrumen Pasar Uang, Instrumen Pasar Uang berdasarkan prinsip syariah, dan instrumen keuangan lainnya sebagai agunan antara lain transaksi repurchase agreement (repo) dengan agunan (collateral) dan/atau underlying Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI), Surat Berharga Negara (SBN), Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan obligasi korporasi. Transaksi repurchase agreement (repo) mencakup transaksi jual-beli Instrumen Pasar Uang dengan janji beli atau jual kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun (secured short-term borrowing and lending). Angka 2 Transaksi pinjam-meminjam tanpa menggunakan Instrumen Pasar Uang dan instrumen keuangan lain sebagai agunan antara lain transaksi di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) dan Pasar Uang Antar Bank berdasarkan prinsip syariah (PUAS). - 4 - Pasar Uang Antar Bank (PUAB) mencakup kegiatan pinjam- meminjam dana dalam Rupiah atau valuta asing antara satu Bank dan Bank lainnya dengan tenor sampai dengan 1 (satu) tahun, tanpa menggunakan Instrumen Pasar Uang sebagai agunan (collateral) dan/atau underlying (unsecured interbank short-term borrowing/lending) antara lain berupa interbank call money. Huruf c Contoh transaksi derivatif suku bunga Rupiah adalah transaksi derivatif interest rate swap Rupiah dengan tenor 3 (tiga) tahun. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “scripless” adalah pencatatan kepemilikan surat berharga yang dilakukan tanpa warkat. Huruf b Yang dimaksud dengan “keterbukaan informasi rating” dapat berupa pengumuman rating pada saat penerbitan Instrumen Pasar Uang atau informasi bahwa perusahaan memiliki atau tidak memiliki rating. Rating merupakan peringkat yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat di dalam atau luar negeri sesuai ketentuan otoritas perbankan, atau ketentuan lain yang ditetapkan Bank Indonesia. Ayat (3) Instrumen moneter Bank Indonesia antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI). Contoh Instrumen Pasar Uang yang sudah diatur dalam Undang-Undang antara lain surat perbendaharaan negara dan wesel ekspor. Ayat (4) Cukup jelas. - 5 - Pasal 8 Ayat (1) Contoh Instrumen Pasar Uang antara lain sertifikat deposito, commercial paper, banker’s acceptance, promissory note, dan instrumen lain dengan tenor sampai dengan 1 (satu) tahun. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengaturan, pemberian izin, dan pengawasan Perusahaan Pialang mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai perusahaan pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Suku bunga penawaran antarbank yang diterbitkan oleh Bank Indonesia antara lain Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 6 - Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan yang berlaku” antara lain Undang-Undang mengenai perlindungan konsumen, arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, serta pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pegawai atau staf Pelaku Pasar yang melakukan aktivitas treasury” adalah pegawai atau staf Pelaku Pasar yang melaksanakan fungsi di front office yaitu penjualan (sales), pelaksanaan transaksi (trader), dan/atau manajemen. Sertifikasi treasury ditujukan untuk standardisasi kompetensi treasury, meningkatkan daya saing treasury, dan menegakkan etika bertransaksi dalam rangka meningkatkan peran serta kontribusi profesi treasury di pasar keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. - 7 - Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “lembaga penyimpanan dan penyelesaian” antara lain adalah PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Contoh mekanisme penyelesaian transaksi di Pasar Uang adalah: a. Delivery versus payment (DVP) untuk transaksi jual-beli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) di pasar sekunder. b. Free of payment untuk transaksi pengagunan surat berharga dilakukan tanpa penyerahan surat-surat berharga (pledge). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. - 8 - Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Pemeriksaan oleh pihak lain dilakukan untuk dan atas nama Bank Indonesia. Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia antara lain akuntan publik dan penilai publik. Dalam menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan, Bank Indonesia mengeluarkan surat perintah kerja dan menetapkan terms of reference. Ayat (2) Kewajiban merahasiakan data, informasi, dan keterangan yang diperoleh dari pemeriksaan berlaku untuk seluruh komisaris, direksi, manajer, tenaga ahli, staf pengawas, dan staf pendukung lainnya yang terkait dengan pemeriksaan. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5909
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/11/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PASAR UANG </reg_title> <set_date> 28 Juli 2016 </set_date> <effective_date> 31 Agustus 2016 </effective_date> <issued_date> 29 Juli 2016 </issued_date> <replaced_reg> '21/32/UPG|SE-BI/1988', '21/55/KEP/DIR|SK-DIR/1988' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/ 12 /PBI/2013 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan mampu berkembang serta bersaing secara nasional maupun internasional, maka bank perlu meningkatkan kemampuan untuk menyerap risiko yang disebabkan oleh kondisi krisis dan/atau pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan; b. bahwa dalam rangka meningkatkan kemampuan bank untuk menyerap risiko, diperlukan peningkatan kualitas dan kuantitas permodalan bank sesuai dengan standar internasional; c. bahwa peningkatan kualitas modal dilakukan melalui penyesuaian persyaratan komponen dan instrumen modal bank, serta penyesuaian rasio-rasio permodalan; d. bahwa dalam rangka meningkatkan kuantitas modal, bank perlu membentuk tambahan modal di atas persyaratan penyediaan modal minimum sesuai profil risiko yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila terjadi krisis keuangan dan ekonomi yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan; e. bahwa ... - 2 - e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM. BAB I ... - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Direksi: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian; d. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 3. Dewan Komisaris: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian; d. bagi ... - 4 - d. bagi kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi pengawasan. 4. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam maupun di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri dari: a. Perusahaan Subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh persen); b. Perusahaan Partisipasi (participation company) adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank sebesar 50% (lima puluh persen) atau kurang, namun Bank memiliki Pengendalian terhadap perusahaan; c. Perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) yang memenuhi persyaratan yaitu: 1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada Perusahaan Anak adalah masing-masing sama besar; dan 2) masing-masing pemilik melakukan Pengendalian secara bersama terhadap Perusahaan Anak; d. Entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku wajib dikonsolidasikan, namun tidak termasuk perusahaan asuransi dan perusahaan yang dimiliki dalam rangka restrukturisasi kredit. 5. Pengendalian adalah pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi dan publikasi laporan Bank. 6. Capital Equivalency Maintained Assets yang selanjutnya disingkat CEMA adalah alokasi dana usaha kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang wajib ditempatkan pada aset keuangan dalam jumlah dan persyaratan tertentu. 7. Internal ... - 5 - 7. Internal Capital Adequacy Assessment Process yang selanjutnya disingkat ICAAP adalah proses yang dilakukan Bank untuk menetapkan kecukupan modal sesuai dengan profil risiko Bank, dan penetapan strategi untuk memelihara tingkat permodalan. 8. Supervisory Review and Evaluation Process yang selanjutnya disingkat SREP adalah proses kaji ulang yang dilakukan oleh Bank Indonesia atas hasil ICAAP Bank. 9. Capital Conservation Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila terjadi kerugian pada periode krisis. 10. Countercyclical Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. 11. Capital Surcharge untuk Domestic Systemically Important Bank (D-SIB) adalah tambahan modal yang berfungsi untuk mengurangi dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian apabila terjadi kegagalan Bank yang berdampak sistemik melalui peningkatan kemampuan Bank dalam menyerap kerugian. 12. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank. 13. Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga option. 14. Risiko Operasional adalah risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank. 15. Trading ... - 6 - 15. Trading Book adalah seluruh posisi instrumen keuangan dalam neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif yang dimiliki Bank dengan tujuan untuk: a. diperdagangkan dan dapat dipindahtangankan dengan bebas atau dapat dilindung nilai secara keseluruhan, baik dari transaksi untuk kepentingan sendiri (proprietary positions), atas permintaan nasabah maupun kegiatan perantaraan (brokering), dan dalam rangka pembentukan pasar (market making), yang meliputi: 1) posisi yang dimiliki untuk dijual kembali dalam jangka pendek; 2) posisi yang dimiliki untuk tujuan memperoleh keuntungan jangka pendek secara aktual dan/atau potensi dari pergerakan harga (price movement); atau 3) posisi yang dimiliki untuk tujuan mempertahankan keuntungan arbitrase (locking in arbitrage profits); b. lindung nilai atas posisi lainnya dalam Trading Book. 16. Banking Book adalah semua posisi lainnya yang tidak termasuk dalam Trading Book. Pasal 2 (1) Bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko. (2) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM). (3) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah sebagai berikut: a. 8% (delapan persen) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Bank dengan profil risiko peringkat 1 (satu); b. 9% (sembilan persen) sampai dengan kurang dari 10% (sepuluh persen) dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 2 (dua); c. 10% (sepuluh persen) sampai dengan kurang dari 11% (sebelas persen) dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 3 (tiga); atau d. 11% ... - 7 - d. 11% (sebelas persen) sampai dengan 14% (empat belas persen) dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 4 (empat) atau peringkat 5 (lima). (4) Bank Indonesia berwenang menetapkan modal minimum lebih besar dari modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam hal Bank Indonesia menilai Bank menghadapi potensi kerugian yang membutuhkan modal lebih besar. (5) Kewajiban pemenuhan modal mínimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. Pemenuhan modal mínimum posisi bulan Maret sampai dengan bulan Agustus didasarkan pada peringkat profil risiko posisi bulan Desember tahun sebelumnya; b. Pemenuhan modal mínimum posisi bulan September sampai dengan bulan Februari tahun berikutnya didasarkan pada peringkat profil risiko posisi bulan Juni; c. Dalam hal terjadi perubahan peringkat profil risiko di antara periode penilaian profil risiko, maka pemenuhan modal minimum didasarkan pada peringkat profil risiko terakhir. Pasal 3 (1) Selain kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib membentuk tambahan modal sebagai penyangga (buffer) sesuai dengan kriteria yang diatur dalam ketentuan ini. (2) Tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. Capital Conservation Buffer; b. Countercyclical Buffer; dan/atau c. Capital Surcharge untuk D-SIB. (3) Besarnya tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sebagai berikut: a. Capital Conservation Buffer ditetapkan sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR; b. Countercyclical ... - 8 - b. Countercyclical Buffer ditetapkan dalam kisaran sebesar 0% (nol persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR; c. Capital Surcharge untuk D-SIB ditetapkan dalam kisaran sebesar 1% (satu persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR. (4) Penetapan besarnya persentase Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan oleh Bank Indonesia. (5) Bank Indonesia dapat menetapkan besarnya kisaran persentase Countercyclical Buffer yang berbeda dari kisaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b sesuai dengan perkembangan kondisi makroekonomi. (6) Penetapan besarnya persentase Capital Surcharge untuk D-SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan oleh otoritas yang berwenang. (7) Otoritas yang berwenang dapat menetapkan persentase Capital Surcharge untuk D-SIB yang lebih besar dari kisaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c. (8) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipenuhi dengan komponen modal inti utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a. (9) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diperhitungkan setelah komponen modal inti utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a dialokasikan untuk memenuhi kewajiban penyediaan: a. modal inti utama minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3); b. modal inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2); dan c. modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3). Pasal 4 ... - 9 - Pasal 4 (1) Kewajiban pembentukan Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a berlaku bagi Bank yang tergolong sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4. (2) Kewajiban pembentukan Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b berlaku bagi seluruh Bank. (3) Kewajiban pembentukan Capital Surcharge untuk D-SIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c berlaku bagi Bank yang ditetapkan berdampak sistemik. Pasal 5 Penetapan Bank yang berdampak sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dilakukan oleh otoritas yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 6 (1) Kewajiban Bank untuk membentuk tambahan modal berupa Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a berlaku secara bertahap mulai tanggal 1 Januari 2016. (2) Pembentukan Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi secara bertahap sebagai berikut: a. sebesar 0,625% (nol koma enam ratus dua puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2016; b. sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2017; c. sebesar 1,875% (satu koma delapan ratus tujuh puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2018; dan d. sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2019. (3) Kewajiban ... - 10 - (3) Kewajiban Bank untuk membentuk tambahan modal berupa Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016. (4) Berdasarkan penilaian Bank Indonesia atas kondisi makroekonomi Indonesia, Bank Indonesia dapat menetapkan pemberlakuan Countercyclical Buffer lebih cepat dari waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Kewajiban Bank untuk membentuk Capital Surcharge untuk D-SIB bagi Bank yang ditetapkan berdampak sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016. (6) Metode perhitungan dan tata cara pembentukan Capital Surcharge untuk D-SIB akan diatur lebih lanjut oleh otoritas yang berwenang. Pasal 7 Dalam hal Bank memiliki dan/atau melakukan Pengendalian terhadap Perusahaan Anak, kewajiban penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan kewajiban pembentukan tambahan modal sebagai penyangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 berlaku bagi Bank baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. Pasal 8 (1) Bank dilarang melakukan distribusi laba apabila distribusi laba dimaksud mengakibatkan kondisi permodalan Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. (2) Bank ... - 11 - (2) Bank dikenakan pembatasan distribusi laba apabila distribusi laba dimaksud mengakibatkan kondisi permodalan Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. (3) Pembatasan distribusi laba sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Bank Indonesia. BAB II MODAL Bagian Pertama Umum Pasal 9 (1) Modal bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia terdiri atas: a. modal inti (Tier 1) yang meliputi: 1. modal inti utama (Common Equity Tier 1); 2. modal inti tambahan (Additional Tier 1); dan b. modal pelengkap (Tier 2). (2) Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhitungkan faktor-faktor yang menjadi pengurang modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 22. (3) Dalam perhitungan modal secara konsolidasi, komponen modal Perusahaan Anak yang dapat diperhitungkan sebagai modal inti utama, modal inti tambahan, dan modal pelengkap harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memenuhi persyaratan yang berlaku untuk masing-masing komponen modal sebagaimana diterapkan bagi Bank secara individual; dan b. khusus ... - 12 - b. khusus untuk modal inti tambahan dan modal pelengkap, jika diterbitkan oleh Perusahaan Anak bukan Bank selain memenuhi persyaratan pada huruf a, harus memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau mekanisme write down apabila Bank secara konsolidasi berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non viability) yang dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi penerbitan. Pasal 10 (1) Modal bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri terdiri atas: a. dana usaha; b. laba ditahan dan laba tahun lalu setelah dikeluarkan pengaruh faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2); c. laba tahun berjalan setelah dikeluarkan pengaruh faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2); d. cadangan umum; e. saldo surplus revaluasi aset tetap; f. pendapatan komprehensif lainnya berupa potensi keuntungan yang berasal dari peningkatan nilai wajar aset keuangan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual; g. cadangan tujuan; dan h. cadangan umum penyisihan penghapusan aset (PPA) atas aset produktif dengan perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf c. (2) Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhitungkan faktor-faktor yang menjadi pengurang modal sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b, Pasal 17, dan Pasal 22. (3) Perhitungan dana usaha sebagai komponen modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan sebagai berikut: a. Dalam ... - 13 - a. Dalam hal posisi dana usaha yang sebenarnya (actual dana usaha) lebih besar dari dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha), maka yang diperhitungkan adalah dana usaha yang dinyatakan. b. Dalam hal posisi dana usaha yang sebenarnya lebih kecil dari dana usaha yang dinyatakan, maka yang diperhitungkan adalah dana usaha yang sebenarnya. c. Dalam hal posisi dana usaha yang sebenarnya negatif, maka jumlah tersebut merupakan faktor pengurang komponen modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Kedua Modal Inti Pasal 11 (1) Modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a terdiri atas: a. modal inti utama (Common Equity Tier 1) yang mencakup: 1. modal disetor; 2. cadangan tambahan modal (disclosed reserve); dan b. modal inti tambahan (Additional Tier 1). (2) Bank wajib menyediakan modal inti paling rendah sebesar 6% (enam persen) dari ATMR baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. (3) Bank wajib menyediakan modal inti utama paling rendah sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari ATMR baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. Pasal 12 Instrumen modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a angka 1 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; b. bersifat ... - 14 - b. bersifat permanen; c. tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi sebelum likuidasi maupun pada saat likuidasi; d. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan dan tidak dapat diakumulasikan antar periode; e. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak; f. memiliki karakteristik pembayaran dividen atau imbal hasil sebagai berikut: 1. berasal dari saldo laba dan/atau laba tahun berjalan; 2. tidak memiliki nilai yang pasti dan tidak terkait dengan nilai yang dibayarkan atas instrumen modal; dan 3. tidak memiliki fitur preferensi; dan g. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara langsung atau tidak langsung. Pasal 13 Pembelian kembali saham (treasury stock) yang telah diakui sebagai komponen modal disetor hanya dapat dilakukan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan; b. untuk tujuan tertentu; c. dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan e. tidak menyebabkan penurunan modal di bawah persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7. Pasal 14 (1) Cadangan tambahan modal (disclosed reserve) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a angka 2 terdiri atas: a. faktor penambah, yaitu: 1. agio; 2. modal ... - 15 - 2. modal sumbangan; 3. cadangan umum; 4. laba tahun-tahun lalu; 5. laba tahun berjalan; 6. selisih lebih penjabaran laporan keuangan; 7. dana setoran modal, yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) telah disetor penuh untuk tujuan penambahan modal, namun belum didukung dengan kelengkapan persyaratan untuk dapat digolongkan sebagai modal disetor seperti pelaksanaan rapat umum pemegang saham maupun pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; b) ditempatkan pada rekening khusus (escrow account) yang tidak diberikan imbal hasil; c) tidak boleh ditarik kembali oleh pemegang saham/calon pemegang saham dan tersedia untuk menyerap kerugian; dan d) penggunaan dana harus dengan persetujuan Bank Indonesia; 8. waran yang diterbitkan sebagai insentif kepada pemegang saham Bank yang diakui sebesar 50% (lima puluh persen) dari nilai wajar dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) instrumen yang mendasari adalah saham biasa; b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk selain saham; dan c) nilai yang diperhitungkan adalah nilai wajar dari waran pada tanggal penerbitannya; 9. opsi saham (stock option) yang diterbitkan melalui program kompensasi pegawai/manajemen berbasis saham (employee/ management stock option) yang diakui sebesar 50% (lima puluh persen), dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) instrumen yang mendasari adalah saham biasa; b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk selain saham; dan c) nilai ... - 16 - c) nilai yang diperhitungkan adalah nilai wajar dari stock option pada tanggal pemberian kompensasi; 10. pendapatan komprehensif lainnya berupa potensi keuntungan yang berasal dari peningkatan nilai wajar aset keuangan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual; dan 11. saldo surplus revaluasi aset tetap. b. faktor pengurang, yaitu: 1. disagio; 2. rugi tahun-tahun lalu; 3. rugi tahun berjalan; 4. selisih kurang penjabaran laporan keuangan; 5. pendapatan komprehensif lainnya berupa potensi kerugian yang berasal dari penurunan nilai wajar aset keuangan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual; 6. selisih kurang antara Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) atas aset produktif dan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) atas aset produktif. 7. selisih kurang antara jumlah penyesuaian terhadap hasil valuasi dari instrumen keuangan dalam Trading Book dan jumlah penyesuaian berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku; dan 8. PPA non produktif. (2) Dalam perhitungan laba rugi tahun-tahun lalu dan/atau tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 4 dan angka 5 harus dikeluarkan dari pengaruh faktor-faktor sebagai berikut: a. peningkatan atau penurunan nilai wajar atas kewajiban keuangan; dan/atau b. keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi (gain on sale). Pasal 15 ... - 17 - Pasal 15 (1) Instrumen modal inti tambahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; b. tidak memiliki jangka waktu dan tidak terdapat persyaratan yang mewajibkan pelunasan oleh Bank di masa mendatang; c. tidak memiliki fitur step-up; d. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau mekanisme write down apabila Bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non viability) yang dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian; e. bersifat subordinasi pada saat likuidasi, yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian; f. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan dan tidak dapat diakumulasikan antar periode; g. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak; h. tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau imbal hasil yang sensitif terhadap risiko kredit; i. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima) tahun setelah instrumen modal diterbitkan; dan 2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas persetujuan Bank Indonesia. j. tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau Perusahaan Anak; k. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara langsung maupun tidak langsung; l. tidak memiliki fitur yang menghambat proses penambahan modal di masa mendatang; dan m. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk diperhitungkan sebagai komponen modal. (2) Eksekusi ... - 18 - (2) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i angka 1 dan angka 2 hanya dapat dilakukan oleh Bank sepanjang: a. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7; dan c. digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai kualitas sama atau lebih baik. Pasal 16 (1) Dalam perhitungan rasio KPMM secara konsolidasi, kepentingan minoritas (minority interest) diperhitungkan sebagai modal inti utama kecuali terdapat bagian dari kepentingan minoritas yang tidak sesuai dengan persyaratan komponen modal inti utama. (2) Kepentingan minoritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperhitungkan dalam modal inti utama secara konsolidasi apabila kepemilikan Bank pada Perusahaan Anak lebih dari 50% (lima puluh persen) dan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Perusahaan Anak berupa Bank; b. terdapat keterkaitan/afiliasi antara pemegang saham bukan pengendali pada Perusahaan Anak (minority interest) dengan Bank; dan c. terdapat komitmen dari pemegang saham bukan pengendali pada Perusahaan Anak (minority interest) untuk mendukung modal kelompok usaha Bank yang dinyatakan dalam surat pernyataan atau keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Perusahaan Anak. Pasal 17 ... - 19 - Pasal 17 (1) Modal inti utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 1 diperhitungkan dengan faktor pengurang berupa: a. perhitungan pajak tangguhan (deferred tax); b. goodwill; c. aset tidak berwujud lainnya; d. seluruh penyertaan Bank yang meliputi: 1. penyertaan Bank kepada Perusahaan Anak kecuali penyertaan modal sementara Bank kepada Perusahaan Anak dalam rangka restrukturisasi kredit; 2. penyertaan kepada perusahaan atau badan hukum dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) namun Bank tidak memiliki Pengendalian; dan 3. penyertaan kepada perusahaan asuransi; e. kekurangan modal (shortfall) dari pemenuhan tingkat rasio solvabilitas minimum (Risk Based Capital/RBC minimum) pada perusahaan asuransi yang dimiliki dan dikendalikan oleh Bank; f. eksposur sekuritisasi; dan g. faktor pengurang modal inti utama lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. (2) faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e tidak diperhitungkan lagi dalam ATMR untuk Risiko Kredit. Bagian Ketiga Modal Pelengkap Pasal 18 Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b hanya dapat diperhitungkan paling tinggi sebesar 100% (seratus persen) dari modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a. Pasal 19 ... - 20 - Pasal 19 (1) Instrumen modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; b. memiliki jangka waktu 5 (lima) tahun atau lebih dan hanya dapat dilunasi setelah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; c. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau mekanisme write down apabila Bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non viability) yang dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian; d. bersifat subordinasi yang dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian; e. pembayaran pokok dan/atau imbal hasil ditangguhkan dan diakumulasikan antar periode (cummulative) apabila pembayaran dimaksud dapat menyebabkan rasio KPMM secara individual atau secara konsolidasi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7; f. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak; g. tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau imbal hasil yang sensitif terhadap risiko kredit; h. tidak memiliki fitur step-up; i. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima) tahun setelah instrumen modal diterbitkan; dan 2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas persetujuan Bank Indonesia; j. tidak memiliki persyaratan percepatan pembayaran bunga atau pokok yang dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan; k. tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau Perusahaan Anak; l. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara langsung maupun tidak langsung; dan m. telah ... - 21 - m. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk diperhitungkan sebagai komponen modal. (2) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i angka 1 dan angka 2 hanya dapat dilakukan oleh Bank sepanjang: a. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 7 atau digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai: 1. kualitas sama atau lebih baik; dan 2. dalam jumlah yang sama atau jumlah yang berbeda sepanjang tidak melebihi batasan modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. (3) Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai modal pelengkap adalah jumlah modal pelengkap dikurangi amortisasi yang dihitung dengan menggunakan metode garis lurus. (4) Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan untuk sisa jangka waktu instrumen 5 (lima) tahun terakhir. (5) Dalam hal terdapat opsi beli (call option), maka jangka waktu sampai Bank dapat mengeksekusi opsi beli (call option) tersebut merupakan sisa jangka waktu instrumen tersebut. Pasal 20 (1) Modal pelengkap meliputi: a. instrumen modal dalam bentuk saham atau dalam bentuk lainnya yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19; b. agio atau disagio yang berasal dari penerbitan instrumen modal yang tergolong sebagai modal pelengkap; c. cadangan umum PPA atas aset produktif yang wajib dihitung dengan jumlah paling tinggi sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari ATMR untuk Risiko Kredit; dan d. cadangan tujuan. (2) Selisih ... - 22 - (2) Selisih lebih cadangan umum yang wajib dihitung dari batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit. Pasal 21 Bagian dari modal pelengkap yang telah dibentuk cadangan pelunasan (sinking fund) tidak diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap, apabila Bank: a. telah menetapkan untuk menyisihkan dan mengelola dana cadangan pelunasan (sinking fund) tersebut secara khusus; dan b. telah mempublikasikan pembentukan cadangan pelunasan (sinking fund) tersebut, termasuk dalam Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO). Pasal 22 (1) Faktor-faktor yang menjadi pengurang modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 10 ayat (2) mencakup: a. pembelian kembali instrumen modal yang telah diakui sebagai komponen permodalan Bank; dan b. penempatan dana pada instrumen utang Bank lain yang diakui sebagai komponen modal oleh Bank lain tersebut (Bank penerbit). (2) Seluruh faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diperhitungkan lagi dalam ATMR untuk Risiko Kredit. Pasal 23 Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), Bank wajib menyampaikan data pendukung untuk komponen modal inti tambahan dan modal pelengkap, yang menunjukkan bahwa komponen modal Perusahaan Anak yang diperhitungkan telah memenuhi seluruh persyaratan sebagai komponen modal. Bagian ... - 23 - Bagian Keempat Capital Equivalency Maintained Assets (CEMA) Pasal 24 (1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib memenuhi CEMA minimum. (2) CEMA minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 8% (delapan persen) dari total kewajiban bank pada setiap bulan dan paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah). (3) Pemenuhan CEMA minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. Sampai dengan posisi bulan November 2017, CEMA minimum ditetapkan sebesar 8% (delapan persen) dari total kewajiban bank pada setiap bulan; b. Mulai posisi bulan Desember 2017, CEMA minimum ditetapkan 8% (delapan persen) dari total kewajiban bank pada setiap bulan dan paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah). Pasal 25 (1) CEMA minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) wajib dipenuhi dari dana usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a. (2) Dana usaha yang dimiliki kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri harus memenuhi KPMM sesuai profil risiko dan CEMA minimum. (3) CEMA minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dihitung setiap bulan. (4) CEMA minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) wajib dipenuhi dan ditempatkan paling lambat tanggal 6 bulan berikutnya. Pasal 26 ... - 24 - Pasal 26 (1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib menetapkan aset keuangan yang digunakan untuk memenuhi CEMA minimum. (2) Aset keuangan yang telah ditetapkan untuk memenuhi CEMA minimum tidak dapat dipertukarkan sampai dengan periode pemenuhan CEMA minimum berikutnya. (3) Aset keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi syarat dan dapat diperhitungkan sebagai CEMA adalah: a. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan dimaksudkan untuk dimiliki hingga jatuh tempo; b. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank lain yang berbadan hukum Indonesia dan memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. tidak bersifat ekuitas; 2. memiliki peringkat investasi; dan 3. tidak dimaksudkan untuk tujuan diperdagangkan (trading); dan/atau c. surat berharga yang diterbitkan oleh korporasi berbadan hukum Indonesia dan memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. tidak bersifat ekuitas; 2. memiliki peringkat surat berharga paling kurang A+ atau yang setara; 3. tidak dimaksudkan untuk tujuan trading; dan 4. porsi surat berharga korporasi paling banyak sebesar 20% (dua puluh persen) dari total CEMA minimum. (4) Aset keuangan yang digunakan sebagai CEMA harus bebas dari klaim pihak manapun. (5) Perhitungan aset keuangan yang digunakan untuk memenuhi CEMA minimum dilakukan sebagai berikut: a. untuk aset keuangan yang telah dimiliki oleh Bank dihitung berdasarkan nilai tercatat aset keuangan pada posisi akhir bulan laporan; b. untuk ... - 25 - b. untuk aset keuangan yang dibeli setelah posisi akhir bulan laporan dihitung berdasarkan nilai tercatat aset keuangan pada posisi pembelian aset keuangan. BAB III ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO (ATMR) Bagian Pertama Umum Pasal 27 ATMR yang digunakan dalam perhitungan modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan perhitungan pembentukan tambahan modal sebagai penyangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) terdiri atas: a. ATMR untuk Risiko Kredit; b. ATMR untuk Risiko Operasional; dan c. ATMR untuk Risiko Pasar. Pasal 28 (1) Setiap Bank wajib memperhitungkan ATMR untuk Risiko Kredit dan ATMR untuk Risiko Operasional. (2) Selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang memenuhi kriteria tertentu wajib pula memperhitungkan ATMR untuk Risiko Pasar. Pasal 29 Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) adalah: a. Bank yang secara individual memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: 1. Bank ... - 26 - 1. Bank dengan total aset sebesar Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih; 2. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan posisi instrumen keuangan berupa surat berharga dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih; 3. Bank yang tidak melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan posisi instrumen keuangan berupa surat berharga dan/atau transaksi derivatif suku bunga dalam Trading Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau lebih; dan/atau; b. Bank yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: 1. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memiliki posisi instrumen keuangan berupa surat berharga termasuk instrumen keuangan yang terekspos risiko ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book dan/atau instrumen keuangan yang terekspos risiko komoditas dalam Trading Book dan Banking Book sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih; 2. Bank yang tidak melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing namun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memiliki posisi instrumen keuangan berupa surat berharga termasuk instrumen keuangan yang terekspos risiko ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book dan/atau instrumen keuangan yang terekspos risiko komoditas dalam Trading Book dan Banking Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau lebih. c. Bank yang memiliki jaringan kantor dan/atau Perusahaan Anak di negara lain maupun kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. Pasal 30 ... - 27 - Pasal 30 Aset keuangan yang pada saat pengakuan awal ditetapkan sebagai aset keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi dan kredit yang diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan dikecualikan dari cakupan Trading Book. Pasal 31 Surat berharga dalam Trading Book hanya mencakup surat berharga yang diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan. Pasal 32 Bank yang setelah melakukan merger, konsolidasi atau akuisisi memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, paling kurang pada 3 (tiga) periode pelaporan bulanan dalam 6 (enam) bulan pertama setelah merger, konsolidasi atau akuisisi dinyatakan efektif, wajib memperhitungkan Risiko Pasar dalam perhitungan rasio KPMM sejak bulan ke-7 (tujuh) setelah merger, konsolidasi atau akuisisi dinyatakan efektif. Pasal 33 Bank yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 wajib tetap memperhitungkan Risiko Pasar dalam kewajiban penyediaan modal minimum walaupun selanjutnya Bank tidak lagi memenuhi kriteria tertentu dimaksud. Bagian Kedua Risiko Kredit Pasal 34 (1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit, Bank menggunakan: a. Pendekatan ... - 28 - a. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau b. Pendekatan berdasarkan Internal Rating (Internal Rating based Approach). (2) Bank yang menggunakan pendekatan berdasarkan Internal Rating sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Bagian Ketiga Risiko Operasional Pasal 35 (1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional, Bank menggunakan: a. Pendekatan Indikator Dasar (Basic Indicator Approach); b. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau c. Pendekatan yang lebih kompleks (Advanced Measurement Approach). (2) Bank yang mengggunakan pendekatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Bagian Keempat Risiko Pasar Pasal 36 (1) Risiko Pasar yang wajib diperhitungkan oleh Bank secara individual dan secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak adalah: a. risiko suku bunga; dan/atau b. risiko nilai tukar. (2) Bank secara konsolidasi, wajib memperhitungkan risiko ekuitas dan/atau risiko komoditas selain Risiko Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki ... - 29 - a. memiliki Perusahaan Anak yang terekspos risiko ekuitas dan/atau risiko komoditas; dan b. secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b. Pasal 37 (1) Bank wajib melakukan valuasi secara harian terhadap posisi Trading Book secara akurat. (2) Dalam melakukan valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur valuasi, termasuk memiliki sistem informasi manajemen dan pengendalian proses valuasi yang memadai dan terintegrasi dengan sistem manajemen risiko. (3) Kebijakan dan prosedur valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib berlandaskan pada prinsip kehati-hatian. Pasal 38 (1) Proses valuasi wajib dilakukan berdasarkan nilai wajar. (2) Terhadap instrumen keuangan yang diperdagangkan secara aktif, proses valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan harga transaksi yang terjadi (close out prices) atau kuotasi harga pasar dari sumber yang independen. (3) Valuasi terhadap instrumen keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan: a. bid price untuk aset yang dimiliki atau kewajiban yang akan diterbitkan; dan/atau b. ask price untuk aset yang akan diperoleh atau kewajiban yang dimiliki. (4) Dalam hal harga pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tersedia, Bank dapat menetapkan nilai wajar dengan menggunakan suatu model atau teknik penilaian berlandaskan prinsip kehati-hatian. Pasal 39 ... - 30 - Pasal 39 (1) Bank wajib melakukan verifikasi terhadap proses dan hasil valuasi. (2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan oleh pihak yang tidak ikut dalam pelaksanaan valuasi. (3) Bank wajib menyesuaikan hasil valuasi berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 40 Bank wajib segera melakukan penyesuaian terhadap hasil valuasi yang belum mencerminkan nilai wajar dalam hal: a. terjadi perubahan kondisi ekonomi yang signifikan; b. harga instrumen keuangan yang dijadikan acuan adalah harga yang terjadi dari transaksi yang dipaksakan, likuidasi yang dipaksakan, atau penjualan akibat kesulitan keuangan; c. instrumen keuangan sudah mendekati jatuh tempo; dan/atau d. harga yang dijadikan acuan tidak wajar karena kondisi lainnya. Pasal 41 (1) Selain penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, Bank wajib melakukan penyesuaian terhadap valuasi atas posisi yang kurang likuid dengan mempertimbangkan faktor-faktor tertentu. (2) Dalam hal dilakukan penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib memperhitungkan dampak penyesuaian sebagai faktor pengurang modal inti utama dalam perhitungan rasio KPMM. Pasal 42 (1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Pasar, Bank menggunakan pendekatan: a. Metode Standar (Standard Method); dan/atau b. Model Internal (Internal Model). (2) Bank ... - 31 - (2) Bank yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, wajib terlebih dahulu menggunakan Metode Standar dalam memperhitungkan Risiko Pasar. (3) Bank yang menggunakan pendekatan Model Internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. BAB IV Internal Capital Adequacy Asessment Process (ICAAP) dan Supervisory Review and Evaluation Process (SREP) Bagian Pertama Cakupan Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP) Pasal 43 (1) Dalam memenuhi kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik secara invidual maupun konsolidasi dengan Perusahaan Anak, Bank wajib memiliki ICAAP yang disesuaikan dengan ukuran, karakteristik, dan kompleksitas usaha Bank. (2) ICAAP paling kurang mencakup: a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi; b. penilaian kecukupan modal; c. pemantauan dan pelaporan; dan d. pengendalian internal. (3) Bank wajib mendokumentasikan ICAAP. Bagian Kedua Supervisory Review and Evaluation Process (SREP) Pasal 44 (1) Bank Indonesia melakukan SREP. (2) Berdasarkan ... - 32 - (2) Berdasarkan hasil SREP, Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk memperbaiki ICAAP. Pasal 45 (1) Dalam hal terdapat perbedaan hasil perhitungan modal sesuai profil risiko antara hasil self assessment Bank dengan hasil SREP, maka perhitungan modal yang berlaku adalah hasil SREP. (2) Dalam hal Bank Indonesia menilai modal yang dimiliki Bank tidak memenuhi modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik secara individual maupun konsolidasi dengan Perusahaan Anak, maka Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk: a. menambah modal agar memenuhi KPMM sesuai profil risiko; b. memperbaiki kualitas proses manajemen risiko; dan/atau c. menurunkan eksposur risiko. Pasal 46 Dalam hal Bank Indonesia menilai terdapat kecenderungan penurunan modal Bank yang berpotensi menyebabkan modal Bank berada di bawah KPMM sesuai profil risiko, Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk melakukan antara lain: a. pembatasan kegiatan usaha tertentu; b. pembatasan pembukaan jaringan kantor; dan/atau c. pembatasan distribusi modal. BAB V PELAPORAN Pasal 47 (1) Bank yang memenuhi kewajiban untuk melakukan perhitungan KPMM secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib menyampaikan laporan perhitungan KPMM secara konsolidasi. (2) Bank ... - 33 - (2) Bank yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 wajib menyampaikan laporan perhitungan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar. (3) Penyusunan dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. (4) Laporan yang terkait dengan Model Internal secara triwulanan untuk pertama kali disusun pada akhir triwulan setelah Model Internal digunakan untuk perhitungan rasio KPMM. Pasal 48 (1) Bank wajib menyampaikan laporan perhitungan KPMM sesuai profil risiko kepada Bank Indonesia. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan penyampaian hasil self assessment Tingkat Kesehatan Bank. Pasal 49 (1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib menyampaikan laporan pemenuhan CEMA. (2) Laporan pemenuhan CEMA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat informasi mengenai: a. rata-rata total kewajiban secara mingguan sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 ayat (2); b. jumlah alokasi dana usaha dalam bentuk CEMA; c. jenis aset dan pemenuhan kriteria aset keuangan CEMA; d. nilai tercatat masing-masing aset keuangan CEMA; dan e. maturity date aset keuangan CEMA. Pasal 50 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) disusun setiap bulan dan wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 8 pada bulan berikutnya. (2) Dalam ... - 34 - (2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari Sabtu, Minggu, dan/atau hari libur nasional, maka laporan pemenuhan CEMA disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal 51 (1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) apabila laporan diterima oleh Bank Indonesia setelah batas waktu penyampaian laporan sampai dengan paling lama 5 (lima) hari setelah batas waktu penyampaian laporan. (2) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) apabila laporan belum diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap wajib menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1). Pasal 52 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) disampaikan kepada: a. Departemen Pengawasan Bank, Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia. BAB VI ... - 35 - BAB VI LAIN-LAIN Pasal 53 Bank dilarang melakukan perdagangan atas aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual, yang dilakukan dengan pola menyerupai perdagangan atas aset keuangan dalam kelompok diperdagangkan: a. dalam jumlah yang signifikan; dan/atau b. dalam frekuensi yang tinggi. BAB VII SANKSI Pasal 54 Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. larangan transfer laba bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; c. larangan melakukan ekspansi kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha tertentu; e. larangan pembukaan jaringan kantor; f. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau g. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham Bank dalam daftar orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus Bank. Pasal 55 ... - 36 - Pasal 55 Bank yang melanggar ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum. Pasal 56 (1) Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Bank yang dinyatakan: a. terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan; b. tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan tidak menyampaikan laporan, maka sanksi kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan laporan tidak diberlakukan. Pasal 57 Selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Bank yang tidak memenuhi KPMM sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak diwajibkan melakukan langkah-langkah atau tindakan pengawasan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai tindak lanjut pengawasan dan penetapan status Bank. Pasal 58 Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk mengelompokkan pembelian ... - 37 - pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok tersedia untuk dijual, selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Bank Indonesia. Pasal 59 Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 untuk kedua kalinya, dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk mengelompokkan pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok tersedia untuk dijual selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Bank Indonesia. Pasal 60 Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 lebih dari dua kali, dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk mengelompokkan pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok tersedia untuk dijual selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Bank Indonesia. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 61 (1) Pemenuhan rasio modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) sampai dengan 31 Desember 2014, masih menggunakan komponen modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. (2) Pemenuhan ... - 38 - (2) Pemenuhan rasio modal inti utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) sampai dengan 31 Desember 2014, masih menggunakan komponen modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. Pasal 62 Instrumen modal sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang tidak memiliki jangka waktu dan diterbitkan sebelum tanggal 1 Januari 2014, namun tidak lagi memenuhi kriteria komponen modal sesuai ketentuan ini dapat tetap diakui sebagai komponen modal sampai dengan tanggal 31 Desember 2018. Pasal 63 Instrumen modal sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang memiliki jangka waktu dan diterbitkan sebelum tanggal 1 Januari 2014, namun tidak lagi memenuhi kriteria komponen modal sesuai ketentuan ini dapat tetap diakui sebagai komponen modal sampai dengan jatuh tempo dan tidak dapat diperpanjang jangka waktunya. Pasal 64 Instrumen modal yang diterbitkan sejak 1 Januari 2014 harus sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan ini. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 65 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 66 ... - 39 - Pasal 66 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/6/DPNP tanggal 18 Februari 2011 perihal Pedoman Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko untuk Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar; 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/3/DPNP tanggal 27 Januari 2009 perihal Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Risiko Operasional dengan Menggunakan Pendekatan Indikator Dasar (PID); 3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/31/DPNP tanggal 12 Desember 2007 perihal Pedoman Penggunaan Model Internal dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar; 4. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP tanggal 18 Desember 2007 perihal Pedoman Penggunaan Metode Standar dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar; 5. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/21/DPNP tanggal 18 Juli 2012 tentang Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP tanggal 18 Desember 2007 perihal Pedoman Penggunaan Metode Standar dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar; 6. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/37/DPNP tanggal 27 Desember 2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sesuai Profil Risiko dan Pemenuhan Capital Equivalency Maintained Assets (CEMA), masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 67 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban ... - 40 - Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 261, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5369) masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 68 (1) Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 261, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5369) masih berlaku sampai dengan 31 Desember 2014, kecuali Pasal 7 ayat (1) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Pada tanggal 1 Januari 2015, Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 261, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5369) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 69 Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini selain Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), dan Pasal 64 mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2015. Pasal 70 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2014. Agar ... - 41 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 12 Desember 2013 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 12 Desember 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 223 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/ 12 /PBI/2013 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM I. UMUM Pengalaman krisis keuangan dan ekonomi yang terjadi di berbagai negara pada beberapa tahun belakangan menunjukkan bahwa kejatuhan Bank antara lain disebabkan oleh tidak memadainya kualitas dan kuantitas permodalan Bank untuk mengantisipasi risiko yang dihadapi. Dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas modal Bank sehingga Bank lebih mampu menyerap potensi kerugian baik akibat krisis keuangan dan ekonomi maupun karena pertumbuhan kredit yang berlebihan, persyaratan komponen dan instrumen modal serta perhitungan kecukupan modal Bank perlu disesuaikan dengan standar internasional yang berlaku. Standar Internasional yang menjadi acuan adalah “Global Regulatory Framework for More Resilient Banks and Banking System“ yang lebih dikenal dengan Basel III. Untuk meningkatkan kualitas permodalan Bank, komponen dan persyaratan instrumen modal disesuaikan mengacu pada standar internasional yang berlaku. Komponen modal inti (Tier 1) Bank terutama harus didominasi oleh instrumen modal berkualitas tinggi, yaitu saham biasa (common stocks) dan saldo laba yang merupakan bagian dari modal inti utama atau Common Equity Tier 1. Komponen modal inti lainnya yaitu modal inti tambahan (Additional Tier 1) ditingkatkan kualitasnya menjadi hanya dapat berupa instrumen keuangan yang bersifat subordinasi dengan pembayaran dividen atau imbal hasil bersifat non kumulatif serta memenuhi kriteria tertentu. Komponen modal inti tambahan merupakan penyempurnaan dari komponen modal inovatif yang sebelumnya merupakan bagian dari modal inti Bank. Sejalan ... - 43 - Sejalan dengan peningkatan kualitas modal inti, komponen dan persyaratan instrumen modal pelengkap (Tier 2) juga ikut disesuaikan, antara lain dengan menghapuskan kategori Upper Tier 2 dan Lower Tier 2. Komponen modal pelengkap tambahan (Tier 3) yang sebelumnya dapat diterbitkan hanya untuk perhitungan modal untuk risiko pasar, dengan berlakunya Basel III menjadi dihapuskan. Untuk memastikan kualitas atau tingkat permodalan Bank memadai, dilakukan penyempurnaan rasio-rasio permodalan yang meliputi rasio modal inti dan rasio modal inti utama. Bank diwajibkan untuk membentuk tambahan modal berupa Capital Conservation Buffer dan Countercyclical Buffer, dan Bank yang dianggap berpotensi sistemik wajib membentuk tambahan modal berupa Capital Surcharge. Tujuan pembentukan tambahan modal tersebut adalah sebagai penyangga untuk menyerap risiko yang disebabkan oleh kondisi krisis dan/atau pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan. Kewajiban pembentukan tambahan modal diterapkan secara bertahap sejak tahun 2016 untuk memberikan waktu yang cukup kepada Bank dalam membentuk tambahan modal tersebut. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka perlu pengaturan kembali terhadap ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "profil risiko" adalah profil risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank Umum. Ayat (2) ... - 44 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan "rasio KPMM" adalah perbandingan antara modal Bank dengan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Pembentukan tambahan modal selain modal minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat ini berfungsi sebagai penyangga apabila terjadi krisis keuangan dan ekonomi yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud "otoritas yang berwenang" antara lain mengacu pada ketentuan dalam UU Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur Protokol Koordinasi. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) ... - 45 - Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Pengelompokan BUKU mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Ketentuan yang berlaku antara lain mengacu pada ketentuan dalam UU Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur Protokol Koordinasi. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "distribusi laba" antara lain berupa pembayaran dividen dan pembayaran bonus kepada pengurus. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) ... - 46 - Ayat (3) Penentuan batasan distribusi laba antara lain mempertimbangkan faktor-faktor berupa besarnya kekurangan pemenuhan tambahan modal, kondisi keuangan Bank, proyeksi kemampuan Bank untuk meningkatkan modal, dan trend ekspansi bisnis Bank. Pasal 9 Cukup Jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "dana usaha" adalah penempatan yang berasal dari kantor pusat bank pada kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri setelah dikurangi dengan penempatan yang berasal dari kantor cabang bank tersebut pada: - kantor pusat; - kantor-kantor bank yang bersangkutan di luar negeri; dan - kantor lainnya seperti sister company dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang telah dinyatakan sebagai dana usaha (declared dana usaha) dan harus selalu tercatat setiap waktu di Indonesia selama kantor cabang bank tersebut beroperasi di Indonesia. Dana usaha tidak termasuk komponen dalam rekening antar kantor yang bukan merupakan dana bersih seperti kewajiban bunga dan kewajiban lainnya serta tagihan bunga dan tagihan lainnya. Yang dimaksud dengan "penempatan" mencakup penempatan pada seluruh aset keuangan sesuai standar akuntansi yang berlaku. Huruf b ... - 47 - Huruf b Yang dimaksud dengan “laba ditahan” adalah saldo laba bersih setelah dikurangi pajak yang oleh kantor pusatnya diputuskan untuk ditahan di kantor cabangnya di Indonesia. Yang dimaksud dengan “laba tahun lalu” adalah seluruh laba bersih tahun-tahun yang lalu setelah dikurangi pajak, dan belum ditetapkan penggunaannya oleh kantor pusat. Dalam hal bank mempunyai saldo rugi tahun-tahun lalu, maka seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang modal. Huruf c Yang dimaksud dengan "laba tahun berjalan" adalah laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah dikurangi taksiran pajak. Dalam hal pada tahun buku berjalan bank mengalami kerugian, maka seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang modal. Huruf d Yang dimaksud dengan "cadangan umum" adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba setelah dikurangi pajak, dan mendapat persetujuan kantor pusatnya sebagai cadangan umum. Huruf e Yang dimaksud dengan "saldo surplus revaluasi aset tetap" adalah selisih penilaian kembali aset tetap milik Bank. Pengakuan surplus revaluasi aset tetap mengacu pada standar akuntansi yang berlaku mengenai aset tetap. Huruf f Pengertian "aset keuangan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual" mengacu pada standar akuntansi yang berlaku mengenai instrumen keuangan. Huruf g ... - 48 - Huruf g Yang dimaksud dengan "cadangan tujuan" adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba setelah dikurangi pajak untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan kantor pusatnya. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Penetapan jumlah dana usaha yang dinyatakan mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai pinjaman luar negeri. Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Yang termasuk modal disetor adalah saham biasa (common stocks) sesuai dengan ketentuan perundang- undangan dan standar akuntansi keuangan mengenai instrumen keuangan. Angka 2 Cukup jelas. Huruf b Yang termasuk komponen modal inti tambahan meliputi antara lain: a. instrumen utang yang memiliki karakteristik modal, bersifat subordinasi, tidak memiliki jangka waktu, dan pembayaran imbal hasil tidak dapat diakumulasikan (perpetual non cumulative subordinated debt); b. saham preferen non kumulatif (perpetual non cummulative preference shares) baik dengan atau tanpa fitur opsi beli (call option); c. instrumen ... - 49 - c. instrumen hybrid yang tidak memiliki jangka waktu dan pembayaran imbal hasil tidak dapat diakumulasikan (perpetual dan non cummulative); dan d. agio atau disagio yang berasal dari penerbitan instrumen yang tergolong sebagai modal inti tambahan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi/fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 13 Huruf a Cukup jelas. Huruf b ... - 50 - Huruf b Tujuan tertentu untuk melakukan pembelian kembali saham yang telah diakui sebagai komponen modal disetor yaitu sebagai persediaan saham dalam rangka program employee/ management stock option atau menghindari upaya take over. Huruf c Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan yang berlaku" antara lain Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas dan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pasar modal. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Yang dimaksud dengan "agio" adalah selisih lebih setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan saham karena harga pasar saham lebih tinggi dari nilai nominal. Angka 2 Yang dimaksud dengan "modal sumbangan" adalah modal yang diperoleh kembali dari sumbangan saham Bank tersebut termasuk selisih antara nilai yang tercatat dengan harga jual apabila saham tersebut dijual. Angka 3 ... - 51 - Angka 3 Yang dimaksud dengan "cadangan umum" adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba setelah dikurangi pajak, dan mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS) atau rapat anggota sebagai cadangan umum. Angka 4 Laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak mencakup: a. laba tahun lalu, yaitu seluruh laba bersih tahun- tahun yang lalu setelah dikurangi pajak, dan belum ditetapkan penggunaannya oleh RUPS atau rapat anggota; dan b. laba ditahan (retained earnings) yaitu saldo laba bersih setelah dikurangi pajak yang oleh RUPS atau rapat anggota diputuskan untuk tidak dibagikan. Angka 5 Yang dimaksud dengan "laba tahun berjalan" adalah laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah dikurangi taksiran pajak. Angka 6 Yang dimaksud dengan "selisih lebih penjabaran laporan keuangan" adalah selisih kurs yang timbul dari penjabaran laporan keuangan kantor cabang Bank dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri sebagaimana diatur dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku mengenai penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing. Angka 7 Apabila berdasarkan penelitian Bank Indonesia, calon pemegang saham Bank atau dana setoran modal diketahui tidak memenuhi syarat sebagai pemegang saham atau sebagai modal maka dana tersebut tidak dapat diakui sebagai komponen modal. Angka 8 ... - 52 - Angka 8 Yang dimaksud dengan "waran" adalah efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi hak kepada pemegang efek untuk memesan saham dari perusahaan tersebut pada harga dan jangka waktu tertentu. Angka 9 Cukup jelas. Angka 10 Pengertian “aset keuangan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual” mengacu pada standar akuntansi yang berlaku mengenai keuangan. instrumen Angka 11 Yang dimaksud dengan "saldo surplus revaluasi aset tetap" adalah selisih penilaian kembali aset tetap milik Bank. Pengakuan saldo surplus revaluasi aset tetap mengikuti standar akuntansi yang berlaku mengenai aset tetap. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan "disagio" adalah selisih kurang setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan saham karena harga pasar saham lebih rendah dari nilai nominal. Angka 2 Yang dimaksud dengan "rugi tahun-tahun lalu” adalah seluruh rugi yang dibukukan Bank pada tahun-tahun yang lalu. Angka 3 Yang dimaksud dengan "rugi tahun berjalan" adalah seluruh rugi yang dibukukan Bank dalam tahun buku berjalan. Angka 4 ... - 53 - Angka 4 Yang dimaksud dengan "selisih kurang penjabaran laporan keuangan" adalah selisih kurs yang timbul dari penjabaran laporan keuangan kantor cabang Bank dan atau Perusahaan Anak di luar negeri sebagaimana diatur dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku mengenai penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing. Angka 5 Pengertian "aset keuangan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual" mengacu pada standar akuntansi yang berlaku mengenai keuangan. instrumen Angka 6 Yang dimaksud dengan "selisih kurang antara PPA atas aset produktif dan cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan atas aset produktif" adalah selisih kurang antara total PPA (cadangan umum dan cadangan khusus atas seluruh aset produktif) yang wajib dibentuk sesuai ketentuan Bank Indonesia dengan total cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan (impairment) atas seluruh aset produktif (secara individu dan secara kolektif) sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku. Angka 7 Selisih kurang ini timbul karena jumlah penyesuaian terhadap hasil valuasi (mark to market) dari instrumen keuangan dalam Trading Book yang mempertimbangkan berbagai faktor-faktor tertentu antara lain karena posisi yang kurang likuid melebihi jumlah penyesuaian yang dipersyaratkan sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku mengenai pengukuran instrumen keuangan, khususnya instrumen ... - 54 - instrumen keuangan yang diukur berdasarkan nilai wajar. Sesuai Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI) yang berlaku, penyesuaian terhadap hasil valuasi instrumen keuangan akan langsung mengurangi atau menambah nilai tercatat instrumen keuangan. Angka 8 PPA non produktif adalah cadangan yang wajib dibentuk untuk aset non produktif sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian kualitas aset Bank Umum. Ayat (2) Huruf a Hal ini terjadi apabila Bank menetapkan untuk mengukur kewajiban keuangan pada nilai wajar melalui laba rugi (fair value option) sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku. Huruf b Yang dimaksud dengan "keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi (gain on sale)" adalah keuntungan yang diperoleh Bank sebagai kreditur asal (originator) atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi yang bersumber dari kapitalisasi pendapatan masa mendatang (expected future margin) atau kapitalisasi pendapatan dari penyediaan jasa (servicing income). Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c ... - 55 - Huruf c Yang dimaksud dengan "fitur step-up" adalah fitur yang menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga atau imbal hasil apabila opsi beli tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan. Huruf d Bank Indonesia berwenang untuk menetapkan kondisi di mana Bank dinyatakan terganggu kelangsungan usahanya (point of non viability) dan memerintahkan Bank untuk mengkonversi instrumen modal inti tambahan ke saham biasa atau melakukan write down. Termasuk dalam mekanisme write down antara lain pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai kewajiban pada saat opsi beli dieksekusi, atau pengurangan sebagian atau seluruh pembayaran imbal hasil. Dalam dokumentasi penerbitan wajib terdapat klausul yang menyatakan bahwa instrumen modal inti tambahan dapat dikonversi menjadi saham biasa atau dilakukan write down apabila terdapat perintah dari Bank Indonesia. Huruf e Instrumen modal inti tambahan bersifat subordinasi terhadap antara lain deposan, kreditur, dan pemegang instrumen yang memenuhi kriteria modal pelengkap. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi/fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Huruf h ... - 56 - Huruf h Yang dimaksud dengan "dividen atau imbal hasil yang sensitif terhadap risiko kredit" adalah tingkat dividen atau imbal hasil yang ditetapkan berdasarkan peringkat atau tingkat risiko kredit Bank penerbit. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Fitur yang menghambat proses penambahan modal di masa mendatang yaitu antara lain persyaratan yang mewajibkan Bank untuk memberikan kompensasi kepada investor apabila Bank menerbitkan instrumen modal baru dengan harga yang lebih rendah. Huruf m Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "kualitas sama atau lebih baik" adalah instrumen modal yang paling kurang memenuhi persyaratan sebagai komponen modal inti tambahan. Pasal 16 Yang dimaksud dengan "kepentingan minoritas" adalah kepentingan bukan pengendali sebagaimana dimaksud dalam standar akuntansi yang berlaku. Pasal 17 ... - 57 - Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Pajak tangguhan dikurangkan sebesar 100% baik atas perhitungan pajak tangguhan pada tahun-tahun lalu maupun pada tahun berjalan. Pajak tangguhan merupakan transaksi yang timbul sebagai akibat penerapan PSAK mengenai akuntansi pajak penghasilan. Dalam perhitungan KPMM secara individual, pajak tangguhan yang dikeluarkan sebesar selisih lebih dari aset pajak tangguhan dikurangi kewajiban pajak tangguhan. Jika terjadi selisih kurang maka perhitungan pajak tangguhan yang akan dikeluarkan adalah nihil. Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi, aset pajak tangguhan satu perusahaan tidak boleh saling hapus dengan kewajiban pajak tangguhan perusahaan lain dalam kelompok usaha bank. Oleh karena itu, pengaruh pajak tangguhan dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi harus dihitung dan dikeluarkan secara terpisah untuk masing-masing entitas. Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan dari perhitungan modal inti utama, maka aset pajak tangguhan tidak diperhitungkan dalam perhitungan ATMR. Huruf b Pengertian goodwill mengacu pada standar akuntansi keuangan yang berlaku. Goodwill diperhitungkan sebagai faktor pengurang baik dalam perhitungan modal minimum Bank secara individual maupun secara konsolidasi. Huruf c Pengertian aset tidak berwujud mengacu kepada standar akuntansi keuangan yang berlaku. Termasuk ... - 58 - Termasuk sebagai aset tidak berwujud lainnya antara lain copy right, hak paten, dan hak milik intelektual (intellectual property right) lainnya termasuk aplikasi piranti lunak (software) yang dikembangkan oleh Bank. Huruf d Nilai penyertaan yang diperhitungkan adalah nilai buku yang tercatat di neraca. Huruf e Kekurangan modal (shortfall) diperhitungkan sebagai faktor pengurang hanya dalam perhitungan rasio KPMM secara konsolidasi. Kekurangan modal (shortfall) perusahaan asuransi dari RBC minimum diperhitungkan apabila perusahaan dimaksud tidak dapat memenuhi RBC minimum sampai dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh otoritas pengawas yang berwenang. Huruf f Perlakuan terhadap eksposur sekuritisasi sebagai pengurang modal atau diperhitungkan sebagai ATMR mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai sekuritisasi aset. Yang dimaksud dengan "eksposur sekuritisasi" adalah kredit pendukung (credit enhancement), fasilitas likuiditas (liquidity support), dan efek beragun aset (asset backed securities). Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Huruf a ... - 59 - Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Bank Indonesia berwenang untuk menetapkan kondisi di mana Bank dinyatakan terganggu kelangsungan usahanya (point of non viability) dan memerintahkan Bank untuk mengkonversi instrumen modal pelengkap ke saham biasa atau melakukan write down. Termasuk dalam mekanisme write down antara lain pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai kewajiban pada saat opsi beli dieksekusi, atau pengurangan sebagian atau seluruh pembayaran imbal hasil. Dalam dokumentasi penerbitan wajib terdapat klausul yang menyatakan bahwa instrumen modal pelengkap dapat dikonversi menjadi saham biasa atau dilakukan write down apabila terdapat perintah dari Bank Indonesia. Huruf d Instrumen modal pelengkap bersifat subordinasi terhadap antara lain deposan dan kreditur. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi/fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Huruf g ... - 60 - Huruf g Yang dimaksud dengan "dividen atau imbal hasil yang sensitif terhadap risiko kredit" adalah tingkat dividen atau imbal hasil yang ditetapkan berdasarkan peringkat atau tingkat risiko kredit Bank penerbit. Huruf h Yang dimaksud dengan "fitur step-up" adalah fitur yang menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga atau imbal hasil apabila opsi beli tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan "kualitas sama atau lebih baik" adalah instrumen modal yang paling kurang memenuhi persyaratan sebagai komponen modal pelengkap. Angka 2 Batasan modal pelengkap diperhitungkan dengan memperhatikan seluruh instrumen modal pelengkap yang tersedia. Contoh ... - 61 - Contoh "jumlah yang berbeda" adalah sebagai berikut: Misalnya modal pelengkap yang dieksekusi adalah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), namun pada saat penggantian, modal inti Bank mengalami perubahan sehingga batasan modal pelengkap menjadi paling tinggi sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Dengan kondisi ini, maka Bank dapat menggantikan modal pelengkap sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Ayat (3) Yang dimaksud dengan "metode garis lurus" adalah perhitungan amortisasi secara prorata. Ayat (4) Amortisasi dihitung berdasarkan nilai instrumen modal yang telah memperhitungkan pengurangan dari cadangan pelunasan (sinking fund). Ayat (5) Contoh ilustrasi pelaksanaan amortisasi: 1. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli pada akhir tahun kelima. Dalam kondisi ini, Bank wajib mulai menghitung amortisasi sejak tahun pertama. Apabila pada akhir tahun kelima, Bank tidak mengeksekusi opsi beli tersebut maka mulai awal tahun keenam obligasi subordinasi tersebut dapat diperhitungkan kembali dalam perhitungan KPMM dengan memperhatikan batasan yang dipersyaratkan, termasuk memperhitungkan amortisasi. 2. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli setelah lewat tahun kelima. Dalam ... kewajiban untuk - 62 - Dalam kondisi ini maka sisa jangka waktu instrumen tersebut pada awal penerbitan adalah 5 (lima) tahun. Amortisasi wajib mulai diperhitungkan oleh Bank sejak tahun pertama. Setelah lewat tahun kelima sampai dengan jatuh tempo, Bank tidak dapat memperhitungkan kembali obligasi subordinasi tersebut sebagai modal pelengkap meskipun Bank belum mengeksekusi opsi beli tersebut. Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Contoh "instrumen modal dalam bentuk saham atau dalam bentuk lainnya yang memenuhi persyaratan" adalah: 1. saham preferen (yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain) secara kumulatif (cummulative preference share); 2. instrumen utang yang memiliki karakteristik modal, bersifat subordinasi, bersifat kumulatif dan memenuhi seluruh persyaratan untuk dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap (cummulative subordinated debt); dan 3. instrumen utang yang memiliki karakteristik seperti modal yang secara otomatis tanpa persyaratan dapat dikonversi menjadi saham setelah memperoleh persetujuan Bank Indonesia (mandatory convertible bond). Kondisi dan nilai konversi harus ditetapkan pada saat penerbitan yang besarnya sejalan dengan kondisi pasar. Huruf b ... - 63 - Huruf b Yang dimaksud dengan "agio" adalah selisih lebih setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan instrumen modal pelengkap karena harga pasar instrumen modal lebih tinggi dari nilai nominal. Yang dimaksud dengan "disagio" adalah selisih kurang setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan instrumen modal pelengkap karena harga pasar instrumen modal lebih rendah dari nilai nominal. Huruf c Pembentukan cadangan umum PPA atas aset produktif yang wajib dibentuk mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai kualitas aset Bank Umum. Contoh: Cadangan umum PPA atas aset produktif yang wajib dibentuk sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) dan ATMR Bank untuk Risiko Kredit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Cadangan umum PPA atas aset produktif yang dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap paling tinggi 1,25% dari Rp1.000.000.000,00 yaitu sebesar Rp12.500.000, (dua belas juta lima ratus ribu rupiah). Dalam hal ini terdapat kelebihan cadangan umum sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) yang tidak dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap. Huruf d Yang dimaksud dengan "cadangan tujuan" adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba setelah dikurangi pajak untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan RUPS atau rapat anggota. Ayat (2) ... - 64 - Ayat (2) Kelebihan cadangan umum PPA atas aset produktif sesuai contoh pada penjelasan ayat (1) huruf c yaitu sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) menjadi faktor pengurang perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Pembelian kembali instrumen modal inti utama, modal inti tambahan, atau modal pelengkap yang telah diakui sebagai komponen permodalan Bank menjadi faktor pengurang masing-masing komponen modal yang bersangkutan. Contoh 1: Termasuk dalam pembelian kembali instrumen modal yang harus dikurangkan dari modal inti utama adalah antara lain pembelian kembali instrumen modal yang telah diterbitkan Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung. Contoh 2: Termasuk dalam pembelian kembali instrumen modal yang harus dikurangkan dari modal inti tambahan adalah antara lain eksekusi opsi beli (call option). Huruf b Penempatan dana pada instrumen utang yang telah diakui sebagai komponen modal Bank lain menjadi faktor pengurang modal bagi Bank yang melakukan penempatan dana pada komponen modal yang memiliki kualitas sama dan/atau lebih baik. Contoh 1 ... - 65 - Contoh 1: Bank A memiliki komponen modal pelengkap sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank B yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Dalam kondisi ini, maka modal pelengkap Bank A akan dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A dari Bank B yaitu: Rp100.000.000.000,00 - Rp20.000.000.000,00 = Rp80.000.000.000,00 Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah) tersebut di atas selanjutnya diakui sebagai modal pelengkap dengan memperhatikan batasan modal pelengkap yang diperkenankan. Contoh 2: Bank A memiliki komponen modal pelengkap sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan modal inti utama sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank B yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Dalam kondisi ini, maka modal pelengkap Bank A akan dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A dari Bank B yaitu: Rp10.000.000.000,00 - Rp20.000.000.000,00 = (Rp10.000.000.000,00) Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) tersebut di atas selanjutnya akan dikurangkan terhadap modal inti utama Bank A. Contoh 3 ... - 66 - Contoh 3: Bank A hanya memiliki komponen modal inti utama sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dan tidak memiliki komponen modal lainnya. Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank B yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Dalam kondisi ini, maka modal inti utama Bank A akan dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A dari Bank B yaitu: Rp100.000.000.000,00 - Rp20.000.000.000,00 = Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "total kewajiban bank" adalah total kewajiban dikurangi dengan seluruh kewajiban antar kantor (kantor pusat dan kantor cabang lainnya di luar negeri). Total kewajiban bank yang dijadikan dasar penetapan CEMA minimum dihitung berdasarkan rata-rata kewajiban bank secara mingguan dalam bulan yang bersangkutan. Contoh: Rata-rata total kewajiban posisi akhir minggu I, minggu II, minggu III, dan minggu IV masing-masing sebesar Rp10 triliun, Rp15 triliun, Rp10 triliun, dan Rp20 triliun. Oleh karena itu, rata-rata total kewajiban = ((Rp10 triliun+ Rp15 triliun +Rp10 triliun + Rp20 triliun) : 4 ) = Rp13,75 triliun. Perhitungan ... - 67 - Perhitungan CEMA berdasarkan rata-rata total kewajiban adalah sebesar 8% x Rp13,75 triliun = Rp1,1 triliun. Dengan demikian, minimum CEMA yang wajib dipelihara adalah yang terbesar antara Rp1 triliun dengan Rp1,1 triliun, yaitu Rp1,1 triliun. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: CEMA minimum untuk posisi bulan Maret 20xx sebesar Rp.1,1 triliun wajib ditempatkan pada instrumen keuangan yang memenuhi persyaratan paling lambat pada tanggal 6 April 20xx. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Contoh surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia antara lain meliputi: 1. Surat Utang Negara (SUN) sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai Surat Utang Negara; dan 2. Surat ... - 68 - 2. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai Surat Berharga Syariah Negara. Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia tersebut dan yang dimaksudkan untuk dimiliki hingga jatuh tempo yakni: 1. Surat berharga yang dikategorikan sebagai "dimiliki hingga jatuh tempo"; atau 2. Surat berharga yang dikategorikan sebagai "tersedia untuk dijual" yang didukung komitmen dari Bank untuk: - memiliki surat berharga dimaksud hingga jatuh tempo; dan - menggunakan surat berharga tersebut hanya untuk mengantisipasi dampak permasalahan pada perekonomian dan sistem keuangan global yang mengganggu kantor cabang di Indonesia, dan/atau stabilitas sistem keuangan dan sistem perbankan di Indonesia, yang dituangkan dalam surat pernyataan. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan "tidak bersifat ekuitas" adalah surat berharga yang tidak diperhitungkan sebagai komponen modal oleh Bank penerbit. Angka 2 Yang dimaksud dengan "peringkat investasi" adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia. Angka 3 Cukup jelas. Huruf c ... - 69 - Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan bebas dari klaim antara lain bebas dari gugatan, tuntutan, pengakuan, dan penguasaan, serta tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau disita oleh pihak yang berwenang. Contoh: Aset keuangan yang digunakan sebagai CEMA tidak dapat dilakukan repurchase agreement (repo) kepada pihak lain. Bebas dari klaim dibuktikan antara lain dengan surat pernyataan dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "nilai tercatat aset keuangan" adalah nilai aset keuangan di neraca setelah dikurangi dengan cadangan kerugian penurunan nilai. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Perlakuan pengakuan dan pengukuran mengacu pada standar akuntansi keuangan yang berlaku mengenai instrumen keuangan. Pasal 31 ... - 70 - Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Contoh 1: Sebelum melakukan merger atau konsolidasi, Bank A dan Bank B tidak memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar. Selama 6 (enam) bulan setelah merger atau konsolidasi dinyatakan efektif, pada bulan pertama, ketiga, dan keempat, Bank hasil merger atau konsolidasi tersebut memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar. Dengan demikian, Bank hasil merger atau konsolidasi tersebut wajib memperhitungkan Risiko Pasar sejak bulan ke-7 (tujuh). Contoh 2: Bank A tidak memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar. Selanjutnya, Bank A mengakuisisi perusahaan keuangan X sehingga Bank A melakukan konsolidasi terhadap perusahaan X. Selama 6 (enam) bulan setelah melakukan akuisisi perusahaan X dinyatakan efektif, pada bulan kedua, keempat, dan keenam, Bank secara konsolidasi dengan perusahaan X tersebut memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar. Dengan demikian, Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak X tersebut wajib memperhitungkan Risiko Pasar sejak bulan ke-7 (tujuh). Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 ... - 71 - Pasal 36 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "risiko suku bunga" adalah risiko kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading Book yang disebabkan oleh perubahan suku bunga. Huruf b Yang dimaksud dengan "risiko nilai tukar" adalah risiko kerugian akibat perubahan nilai posisi Trading Book dan Banking Book yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar valuta asing termasuk perubahan harga emas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "risiko ekuitas" adalah risiko kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading Book yang disebabkan oleh perubahan harga saham. Yang dimaksud dengan "risiko komoditas" adalah risiko kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading Book dan Banking Book yang disebabkan oleh perubahan harga komoditas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kebijakan dan prosedur valuasi tersebut meliputi antara lain penetapan tanggung jawab yang jelas dari berbagai pihak yang terlibat dalam penetapan valuasi, sumber informasi pasar, dan proses kaji ulang terhadap kelayakan valuasi, frekuensi valuasi (secara harian), penetapan waktu untuk valuasi akhir hari (closing price), prosedur pelaksanaan dan penyampaian hasil verifikasi baik secara berkala maupun insidental, serta prosedur penyesuaian valuasi. Sistem ... - 72 - Sistem informasi manajemen dan pengendalian proses valuasi paling kurang mencakup pendokumentasian kebijakan dan prosedur valuasi yang telah ditetapkan serta alur pelaporan (reporting lines) yang jelas bagi satuan kerja yang bertanggung jawab terhadap proses valuasi dan verifikasi. Ayat (3) Kebijakan dan prosedur valuasi yang berlandaskan pada prinsip kehati-hatian antara lain melakukan valuasi dengan memperhatikan penerapan aspek-aspek manajemen risiko dan prosedur valuasi yang wajar. Pasal 38 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "nilai wajar" adalah nilai dimana suatu aset dapat dipertukarkan atau suatu kewajiban diselesaikan antara pihak yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar (arms's length transaction). Pengertian ini sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "instrumen keuangan yang diperdagangkan secara aktif" adalah apabila harga instrumen keuangan tersedia sewaktu-waktu dan dapat diperoleh secara rutin di bursa, pedagang efek (dealer), perantara efek (broker), atau agen lainnya, serta harga tersebut merupakan harga yang terjadi dari transaksi aktual yang dilakukan secara wajar (arm's length basis). Harga transaksi yang terjadi atau kuotasi harga pasar dari sumber yang independen antara lain meliputi harga di bursa (exchange prices), harga pada layar dealer (screen prices), atau kuotasi yang paling konservatif yang diberikan oleh paling kurang 2 (dua) broker dan/atau market maker yang memiliki reputasi baik, yang minimal salah satunya adalah pihak independen. Penggunaan ... - 73 - Penggunaan sumber yang independen dilakukan secara konsisten kecuali harga yang diperoleh tidak mencerminkan nilai wajar. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "bid price" adalah harga beli yang dikuotasikan oleh sumber yang independen. Huruf b Yang dimaksud "ask price (offer price)" adalah harga jual yang dikuotasikan oleh sumber yang independen. Ayat (4) Termasuk model atau teknik penilaian antara lain: a. penggunaan harga yang timbul dari transaksi yang terjadi dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir; b. penggunaan harga pasar dari instrumen lain yang memiliki karakteristik (paling kurang jangka waktu, tingkat bunga/kupon, peringkat, dan golongan penerbit) yang serupa; c. analisis arus kas yang didiskonto (discounted cash flow); d. model penetapan harga opsi (option pricing models); atau e. model atau teknik penilaian yang secara umum telah digunakan oleh pelaku pasar dalam menetapkan harga instrumen. Penerapan prinsip kehati-hatian dalam penggunaan model atau teknik penilaian antara lain memperhatikan pemisahan tugas dan kompetensi pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan dan penggunaan model, dan memastikan dilakukan kaji ulang akurasi model atau teknik penilaian oleh fungsi yang independen, serta prosedur dan dokumentasi pengembangan dan perubahan model atau teknik penilaian. Pasal 39 ... - 74 - Pasal 39 Ayat (1) Verifikasi dilakukan untuk memastikan keakuratan penyusunan laporan laba rugi. Verifikasi terhadap proses dan hasil valuasi paling kurang dilakukan terhadap kewajaran harga pasar maupun informasi yang digunakan sebagai input dalam model atau teknik penilaian. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyesuaian dilaksanakan terhadap nilai instrumen keuangan dalam neraca dan laporan laba rugi. Pasal 40 Penyesuaian hasil valuasi dilakukan berdasarkan pemantauan harian maupun hasil verifikasi oleh pihak yang tidak ikut dalam pelaksanaan valuasi. Sebagai contoh, valuasi yang belum mencerminkan nilai wajar dapat terjadi pada valuasi dengan menggunakan model atau teknik penilaian. Huruf a Yang dimaksud dengan "perubahan kondisi ekonomi yang signifikan" antara lain perubahan kurva imbal hasil (yield curve) secara signifikan diluar ekspektasi pasar. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Faktor sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo diperhitungkan mengingat semakin mendekati jatuh tempo, nilai instrumen keuangan semakin mendekati nilai nominal. Huruf d Kondisi lainnya mencakup antara lain: a. kemungkinan ... - 75 - a. kemungkinan kerugian potensial yang timbul karena pihak lawan tidak dapat memenuhi kewajibannya (unearned credit spreads). b. kemungkinan perhitungan biaya atau penalti yang timbul karena pelunasan lebih awal sebelum jatuh tempo (early termination). c. terjadinya mismatch arus kas yang menyebabkan harga dapat dipengaruhi oleh perhitungan biaya untuk meminjam dan menginvestasikan dana (investing and funding costs). d. terjadi kondisi tertentu yang mengakibatkan ketidakpastian dalam model valuasi misalnya ketidakmampuan menangkap perubahan dalam kondisi tidak normal. Pasal 41 Ayat (1) Faktor-faktor tertentu mencakup antara lain rata-rata dan volatilitas volume perdagangan, rata-rata volatilitas dari rentang kuotasi penawaran dan permintaan (bid/ask spreads), dan ketersediaan kuotasi pasar. Ayat (2) Penyesuaian tidak akan mengurangi nilai instrumen keuangan dalam neraca dan tidak mempengaruhi laporan laba rugi. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bank yang baru memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar, maka perhitungan Risiko Pasar wajib dimulai dengan menggunakan Metode Standar. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 43 ... - 76 - Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi meliputi antara lain memahami sifat dan tingkat risiko yang dihadapi Bank, menilai kecukupan kualitas manajemen risiko, dan mengaitkan tingkat risiko dengan kecukupan modal yang dimiliki Bank. Huruf b Penilaian kecukupan modal meliputi antara lain proses yang mengaitkan tingkat risiko dengan tingkat kecukupan modal Bank dengan mempertimbangkan strategi dan rencana bisnis Bank. Huruf c Pemantauan dan pelaporan meliputi antara lain sistem pemantauan dan pelaporan eksposur risiko serta dampak perubahan profil risiko terhadap kebutuhan modal Bank. Huruf d Pengendalian internal meliputi antara lain kecukupan pengendalian internal dan kaji ulang. Kaji ulang dilakukan oleh pihak internal Bank yang memiliki kompetensi memadai dan independen terhadap proses penetapan kecukupan modal. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 ... - 77 - Pasal 46 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "pembatasan distribusi modal" antara lain berupa pembatasan atau penundaan pembayaran bonus dan/atau dividen. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar antara lain mencakup laporan posisi yang diperhitungkan dalam Risiko Pasar, laporan perhitungan rasio KPMM, laporan perhitungan value at risk dan beban modal, laporan back testing, serta laporan stress testing. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: Apabila Bank A telah memperoleh persetujuan untuk menggunakan Model Internal untuk memperhitungkan Risiko Pasar pada bulan November 2012, maka laporan yang terkait dengan Model Internal wajib disusun untuk pertama kalinya pada akhir bulan Desember 2012. Pasal 48 Ayat (1) Profil risiko didasarkan pada hasil self assessment Bank. Laporan ... - 78 - Laporan perhitungan KPMM sesuai profil risiko mencakup antara lain: - strategi pengelolaan modal; - identifikasi dan pengukuran risiko material; dan - penilaian kecukupan modal; Ayat (2) Penyampaian dan batas waktu penyampaian hasil self assessment Tingkat Kesehatan Bank mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum. Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "nilai tercatat" adalah nilai aset keuangan di neraca setelah dikurangi dengan cadangan kerugian penurunan nilai. Huruf e Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 ... - 79 - Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Yang dimaksud dengan "jumlah yang signifikan" adalah signifikan terhadap total aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 ... - 80 - Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5469
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 15/12/PBI/2013 </reg_id> <reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM </reg_title> <set_date> 12 Desember 2013 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2014 </effective_date> <issued_date> 12 Desember 2013 </issued_date> <replaced_reg> '14/18/PBI/2012' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/ 25 /PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/8/PBI/2003 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dengan semakin kompleksnya produk dan aktivitas Bank maka risiko yang dihadapi Bank akan semakin meningkat; b. bahwa peningkatan risiko yang dihadapi Bank perlu diimbangi dengan kualitas penerapan manajemen risiko yang memadai; c. bahwa transparansi merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pengendalian risiko yang dihadapi Bank; d. bahwa peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko akan mendukung efektivitas kerangka pengawasan bank berbasis risiko; e. bahwa . . . - 2 - e. bahwa sehubungan dengan hal-hal sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d, maka dipandang perlu untuk mengatur kembali penerapan manajemen risiko bagi bank umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN . . . - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/8/PBI/2003 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4292) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Bank Umum Konvensional adalah Bank Umum Konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Bank . . . - 4 - 3. Bank Umum Syariah adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 4. Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa (events) tertentu. 5. Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha Bank. 6. Risiko Kredit adalah Risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank. 7. Risiko Pasar adalah Risiko pada posisi neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk Risiko perubahan harga option. 8. Risiko Likuiditas adalah Risiko akibat ketidakmampuan Bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan Bank. 9. Risiko Operasional adalah Risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank. 10. Risiko Kepatuhan adalah Risiko akibat Bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku. 11. Risiko Hukum adalah Risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis. 12. Risiko . . . - 5 - 12. Risiko Reputasi adalah Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadap Bank. 13. Risiko Stratejik adalah Risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. 14. Direksi: a. bagi Bank berbentuk Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian; d. bagi kantor cabang bank asing adalah pimpinan kantor cabang bank asing. 15. Dewan Komisaris: a. bagi Bank berbentuk Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian. 16. Perusahaan . . . - 6 - 16. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam maupun di luar negeri yang melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri dari: a. Perusahaan Subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh perseratus); b. Perusahaan Partisipasi (participation company) adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank 50% (lima puluh perseratus) atau kurang, namun Bank memiliki Pengendalian terhadap perusahaan; c. Perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh perseratus) sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) yang memenuhi persyaratan yaitu: i. kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada Perusahaan Anak adalah masing-masing sama besar; dan ii. masing-masing pemilik melakukan Pengendalian secara bersama terhadap Perusahaan Anak; d. Entitas lain yang berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku wajib dikonsolidasikan. 2. Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif, baik untuk Bank secara individual maupun untuk Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. (2) Penerapan . . . - 7 - (2) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup: a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi; b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit manajemen risiko; c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko, serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh. 3. Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mencakup: a. Risiko Kredit; b. Risiko Pasar; c. Risiko Likuiditas; d. Risiko Operasional; e. Risiko Hukum; f. Risiko Reputasi; g. Risiko Stratejik; dan h. Risiko Kepatuhan; (2) Bank Umum Konvensional wajib menerapkan Manajemen Risiko untuk seluruh Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bank Umum Syariah wajib menerapkan Manajemen Risiko paling kurang untuk 4 (empat) jenis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d. 4. Penjelasan . . . - 8 - 4. Penjelasan Pasal 8 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 5. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur secara tertulis untuk mengelola risiko yang melekat pada produk atau aktivitas baru Bank. (2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup: a. b. sistem dan prosedur (standard operating procedures) dan kewenangan dalam pengelolaan produk atau aktivitas baru; identifikasi seluruh Risiko yang melekat pada produk atau aktivitas baru baik yang terkait dengan Bank maupun nasabah; c. masa uji coba metode pengukuran dan pemantauan Risiko terhadap produk atau aktivitas baru; d. e. f. sistem informasi akuntansi untuk produk atau aktivitas baru; analisa aspek hukum untuk produk atau aktivitas baru; dan transparansi informasi kepada nasabah. (3) Produk atau aktivitas Bank merupakan suatu produk baru atau aktivitas baru apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a. b. tidak pernah diterbitkan atau dilakukan sebelumnya oleh Bank; atau telah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh Bank namun dilakukan pengembangan yang mengubah atau meningkatkan eksposur Risiko tertentu pada Bank. 6. Diantara . . . - 9 - 6. Diantara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 20 A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 A Bank dilarang menugaskan atau menyetujui pengurus dan/atau pegawai Bank untuk memasarkan produk atau melaksanakan aktivitas yang bukan merupakan produk atau aktivitas Bank dengan menggunakan sarana atau fasilitas Bank. 7. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 Bank wajib menerapkan transparansi informasi produk atau aktivitas Bank kepada nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf f, baik secara tertulis maupun lisan. 8. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) Bank wajib menyampaikan laporan profil Risiko kepada Bank Indonesia. (2) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disampaikan oleh satuan kerja Manajemen Risiko, wajib memuat substansi yang sama dengan laporan profil Risiko yang disampaikan oleh satuan kerja Manajemen Risiko kepada Direktur Utama dan Komite Manajemen Risiko. (3) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara triwulanan untuk posisi bulan Maret, Juni, September, dan Desember. (4) Laporan . . . - 10 - (4) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah akhir bulan laporan. (5) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Bank menyampaikan laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diluar jangka waktu yang ditetapkan. 9. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 (1) Bank wajib menyampaikan laporan produk atau aktivitas baru kepada Bank Indonesia, yang terdiri dari: a. Laporan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru; dan b. Laporan realisasi penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru. (2) Laporan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib disampaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum penerbitan atau pelaksanaan produk atau aktivitas baru. (3) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah produk atau aktivitas baru dilakukan. (4) Selain memenuhi ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru yang memenuhi kriteria dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. (5) Berdasarkan . . . - 11 - (5) Berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Bank Indonesia dapat melarang Bank untuk menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas baru yang direncanakan. (6) Dalam hal di kemudian hari berdasarkan evaluasi Bank Indonesia, produk yang diterbitkan atau aktivitas yang dilaksanakan memenuhi kondisi sebagai berikut: a. tidak sesuai dengan rencana penerbitan produk atau aktivitas baru yang dilaporkan kepada Bank Indonesia; b. berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan Bank; dan/atau c. tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk menghentikan penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas dimaksud. (7) Laporan rencana dan realisasi atas penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas tertentu dapat diatur secara tersendiri dalam Surat Edaran. 10. Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) Bank wajib menyampaikan laporan lain kepada Bank Indonesia selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dalam hal terdapat kondisi yang berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan Bank. (2) Bank . . . - 12 - (2) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan lain yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko dan/atau terkait dengan penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas tertentu secara berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. (3) Format dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur tersendiri dalam Surat Edaran. 11. Ketentuan Pasal 29 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 wajib disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350 bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. 12. Ketentuan Pasal 33 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25 ayat (1) huruf b dan ayat (7), dan Pasal 26 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan per laporan. (2) Bank . . . - 13 - (2) Bank yang belum menyampaikan laporan atau menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25 ayat (1) huruf b, dan ayat (7), dan Pasal 26 ayat (2) setelah 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) per laporan. (3) Bank yang belum menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25 ayat (1) huruf b dan ayat (7), dan Pasal 26 ayat (2) dan telah dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia. (4) Bank yang tidak menyampaikan laporan rencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (5) Bank yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25 ayat (1) huruf b dan ayat (7), dan Pasal 26 ayat (2) namun dinilai tidak lengkap secara signifikan atau tidak dilampiri dengan dokumen dan informasi yang material sesuai dengan format yang ditentukan, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) setelah Bank diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja untuk setiap teguran dan Bank tidak memperbaiki laporan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah surat teguran terakhir. 13. Ketentuan . . . - 14 - 13. Ketentuan Pasal 34 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34 Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan pelaksanaan terkait lainnya dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan Bank; c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan administrasi Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku; dan/atau e. pemberhentian pengurus Bank. 14. Ketentuan pasal 35 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Manajemen Risiko bagi Bank diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. (2) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Bank wajib menyesuaikan pedoman operasional yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko. (3) Pengaturan . . . - 15 - (3) Pengaturan mengenai Manajemen Risiko untuk seluruh Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan penetapan penilaian peringkat Risiko bagi Bank Umum Konvensional yang dikategorikan dalam 5 (lima) peringkat sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 8 huruf d Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal 1 Juli 2010. (4) Pengaturan mengenai Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) PBI No.5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, serta penetapan penilaian peringkat Risiko Bank Umum Konvensional yang dikategorikan dalam 3 (tiga) peringkat sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 8 huruf d PBI No.5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum tetap berlaku sampai dengan tanggal 30 Juni 2010. 15. Diantara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35A (1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 25, dan Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3) tidak berlaku bagi Bank Umum Syariah. (2) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, pengaturan dalam ketentuan pelaksanaan yang terkait dengan Manajemen Risiko yang bertentangan dengan pengaturan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tidak berlaku dan wajib mengikuti pengaturan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal II . . . - 16 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 Juli 2009 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA MIRANDA S. GOELTOM Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 1 Juli 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 103 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/25/PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/8/PBI/2003 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM UMUM Era globalisasi dan semakin terintegrasinya pasar keuangan menyebabkan produk dan aktivitas yang ditawarkan perbankan menjadi semakin kompleks dan bervariasi. Hal ini mengakibatkan eksposur risiko yang ditanggung Bank dari penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitas menjadi semakin tinggi. Peningkatan risiko yang ditanggung oleh Bank, harus diimbangi dengan pengendalian risiko yang memadai. Untuk mengendalikan risiko dimaksud Bank perlu meningkatkan kualitas penerapan manajemen risiko. Upaya peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko dimaksud tidak hanya ditujukan bagi kepentingan Bank tetapi juga bagi kepentingan nasabah. Salah satu aspek penting dalam melindungi kepentingan nasabah dan dalam rangka pengendalian risiko adalah transparansi informasi terkait produk atau aktivitas Bank. Melalui peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko, Bank diharapkan dapat mengukur dan mengendalikan risiko yang dihadapi dalam melakukan kegiatan usahanya dengan lebih baik. Selanjutnya . . . - 2 - Selanjutnya peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko yang dilakukan perbankan akan mendukung efektivitas kerangka pengawasan bank berbasis risiko yang dilakukan oleh Bank Indonesia. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Termasuk dalam cakupan penerapan Manajemen Risiko adalah penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Teroris yang sebelumnya dikenal dengan prinsip mengenal nasabah (Know Your Customer/KYC). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Termasuk dalam kelompok Risiko Kredit adalah Risiko konsentrasi kredit. Risiko . . . - 3 - Risiko konsentrasi kredit merupakan Risiko yang timbul akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada 1 (satu) pihak atau sekelompok pihak, industri, sektor, dan/atau area geografis tertentu yang berpotensi menimbulkan kerugian cukup besar yang dapat mengancam kelangsungan usaha Bank. Huruf b Risiko Pasar meliputi antara lain Risiko suku bunga, Risiko nilai tukar, Risiko komoditas, dan Risiko ekuitas. Risiko suku bunga adalah Risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading book atau akibat perubahan nilai ekonomis dari posisi Banking Book, yang disebabkan oleh perubahan suku bunga. Dalam kategori Risiko suku bunga termasuk pula Risiko suku bunga dari posisi Banking Book yang antara lain meliputi repricing risk, yield curve risk, basis risk, dan optionality risk. Risiko Nilai Tukar adalah risiko akibat perubahan nilai posisi Trading Book dan Banking Book yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar valuta asing atau perubahan harga emas. Risiko Komoditas adalah Risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading Book dan Banking Book yang disebabkan oleh perubahan harga komoditas. Risiko Ekuitas adalah Risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading Book yang disebabkan oleh perubahan harga saham. Huruf c Cukup jelas. Huruf d . . . - 4 - Huruf d Cukup jelas. Huruf e Risiko ini timbul antara lain karena ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan, seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak atau pengikatan agunan yang tidak sempurna. Huruf f Risiko ini timbul antara lain karena adanya pemberitaan media dan/atau rumor mengenai bank yang bersifat negatif, serta adanya strategi komunikasi bank yang kurang efektif. Huruf g Risiko ini timbul antara lain karena bank menetapkan strategi yang kurang sejalan dengan visi dan misi bank, melakukan analisis lingkungan stratejik yang tidak komprehensif, dan/atau terdapat ketidaksesuaian rencana stratejik (strategic plan) antar level stratejik. Selain itu Risiko Stratejik juga timbul karena kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis mencakup kegagalan dalam mengantisipasi perubahan teknologi, perubahan kondisi ekonomi makro, dinamika kompetisi di pasar, dan perubahan kebijakan otoritas terkait. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . . - 5 - Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Kebijakan Manajemen Risiko ditetapkan antara lain dengan cara menyusun strategi manajemen risiko untuk memastikan bahwa: 1. Bank tetap mempertahankan eksposur Risiko sesuai dengan kebijakan dan prosedur intern Bank dan peraturan perundang-undangan serta ketentuan lain yang berlaku; dan 2. Bank dikelola oleh sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan, pengalaman dan keahlian di bidang Manajemen Risiko sesuai dengan kompleksitas usaha Bank. Penyusunan strategi Manajemen Risiko dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi keuangan Bank, organisasi Bank, dan Risiko yang timbul sebagai akibat perubahan faktor eksternal dan faktor internal. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Toleransi Risiko merupakan potensi kerugian yang dapat diserap oleh permodalan Bank. Huruf d Penetapan penilaian peringkat Risiko merupakan dasar bagi Bank untuk mengkategorikan peringkat Risiko Bank. Peringkat . . . - 6 - Peringkat Risiko bagi Bank Umum Konvensional dikategorikan menjadi 5 (lima) peringkat, yaitu 1 (Low), 2 (Low to Moderate), 3 (Moderate), 4 (Moderate to High), dan 5 (High). Peringkat Risiko bagi Bank Umum Syariah dikategorikan menjadi 3 (tiga) peringkat, yaitu 1 (Low), 2 (Moderate), dan 3 (High). Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan produk Bank adalah instrumen keuangan yang diterbitkan oleh Bank. Yang dimaksud dengan aktivitas Bank adalah jasa yang disediakan oleh Bank kepada nasabah, antara lain jasa keagenan dan/atau kustodian. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Masa uji coba dimaksudkan untuk memastikan bahwa metode pengukuran dan pemantauan Risiko telah teruji. Huruf d . . . - 7 - Huruf d Sistem informasi akuntansi paling kurang menggambarkan profil Risiko dan tingkat keuntungan maupun kerugian untuk produk atau aktivitas baru secara akurat. Huruf e Analisa aspek hukum mencakup kemungkinan adanya Risiko Hukum yang ditimbulkan oleh produk atau aktivitas baru serta kesesuaian dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Huruf f Dalam menerapkan transparansi informasi kepada nasabah, aspek-aspek yang perlu diperhatikan oleh Bank paling kurang adalah: 1. informasi yang disampaikan lengkap, benar, dan tidak menyesatkan nasabah; 2. informasi yang berimbang antara potensi manfaat yang mungkin diperoleh dengan Risiko yang mungkin timbul bagi nasabah; dan 3. informasi yang disampaikan tidak menyamarkan, mengurangi, atau menutupi hal-hal yang penting terkait dengan Risiko yang mungkin timbul. Ayat (3) Huruf a Termasuk dalam kriteria tidak pernah diterbitkan atau dilakukan sebelumnya adalah produk atau aktivitas yang telah diterbitkan atau dilakukan oleh Bank lain, namun belum pernah diterbitkan atau dilakukan oleh Bank yang bersangkutan. Huruf b . . . - 8 - Huruf b Perubahan eksposur Risiko dalam pengaturan ini tidak mencakup perubahan eksposur Risiko yang terkait produk atau aktivitas konvensional seperti giro, tabungan, deposito, kredit, produk derivatif yang bersifat plain vanilla, dan aktivitas kustodian. Pasal 20A Termasuk dalam kategori tindakan menyetujui adalah mengetahui namun tidak melarang atau membiarkan terjadinya pemasaran produk atau aktivitas yang bukan merupakan produk atau aktivitas Bank dengan menggunakan sarana atau fasilitas Bank oleh pengurus dan/atau pegawai. Pasal 21 Cakupan transparansi informasi yang perlu diungkapkan kepada nasabah mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk bank, termasuk prosedur, skim, dan materi yang perlu diungkapkan, seperti karakteristik produk atau aktivitas, Risiko, serta hak dan kewajiban nasabah. Pasal 24 Ayat (1) Laporan profil Risiko memuat antara lain informasi tentang tingkat dan trend seluruh eksposur Risiko. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . . - 9 - Ayat (3) Laporan profil Risiko disajikan secara komparatif dengan posisi triwulan sebelumnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Produk atau aktivitas baru yang wajib dilaporkan mencakup seluruh produk atau aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3). Laporan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru paling kurang memuat hal-hal yang ditetapkan pada Pasal 20 ayat (2). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank untuk tahun yang sama dengan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru. Ayat (5) . . . - 10 - Ayat (5) Evaluasi Bank Indonesia mencakup antara lain aspek kesiapan Bank, penerapan Manajemen Risiko, transparansi informasi produk, dan perlindungan nasabah. Ayat (6) Huruf a Ketidaksesuaian tersebut meliputi antara lain prosedur, skim, karakteristik produk atau aktivitas, Risiko, serta hak dan kewajiban nasabah. Huruf b Kondisi yang berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan Bank antara lain dapat disebabkan oleh Risiko Reputasi dan Risiko Pasar dari penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas Bank. Huruf c Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan terkait penerapan Manajemen Risiko meliputi antara lain Laporan Proyeksi Arus Kas dan Laporan Profil Maturitas dalam rangka Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas. Laporan . . . - 11 - Laporan terkait aktivitas tertentu meliputi antara lain laporan pelaksanaan keagenan reksadana dan/atau laporan pelaksanaan kegiatan bancassurance. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Yang dimaksud dengan hari adalah hari kerja. Ayat (2) Bank yang telah dikenakan sanksi kewajiban membayar dalam ayat ini tidak dikenakan sanksi keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Bank yang telah dikenakan sanksi kewajiban membayar dalam ayat ini tidak dikenakan sanksi keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 34 . . . - 12 - Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 35A Cukup Jelas. Pasal II Cukup Jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5029
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/25/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/8/PBI/2003 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 1 Juli 2009 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2009 </effective_date> <issued_date> 1 Juli 2009 </issued_date> <changed_reg> '5/8/PBI/2003' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 12 Pasal 33', 'Pasal I Angka 13 Pasal 34' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/17/PBI/2015 TENTANG SURAT BERHARGA BANK INDONESIA DALAM VALUTA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung pelaksanaan kebijakan moneter khususnya stabilisasi nilai tukar Rupiah, diperlukan cadangan devisa; b. bahwa dalam rangka memperkuat cadangan devisa, Bank Indonesia menerbitkan surat berharga Bank Indonesia dalam valuta asing; c. bahwa melalui penerbitan surat berharga Bank Indonesia dalam valuta asing juga diharapkan dapat mendukung pendalaman pasar keuangan domestik; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah - 2 - Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SURAT BERHARGA BANK INDONESIA DALAM VALUTA ASING. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan telah memperoleh izin dari otoritas yang berwenang untuk melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing. 2. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 3. Peserta Lelang adalah pihak yang dapat melakukan transaksi lelang SBBI Valas dengan Bank Indonesia. 4. Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan tingkat diskonto yang diinginkan penawar. 5. Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Noncompetitive Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa tingkat diskonto yang diinginkan penawar. - 3 - 6. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan SBBI Valas untuk pertama kali. 7. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan SBBI Valas yang telah dijual di Pasar Perdana. 8. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai BI-SSSS. BAB II TUJUAN PENERBITAN SBBI VALAS Pasal 2 Bank Indonesia menerbitkan SBBI Valas dalam rangka penguatan cadangan devisa dan pendalaman pasar keuangan, guna mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah. BAB III KARAKTERISTIK SBBI VALAS Pasal 3 (1) SBBI Valas memiliki karakteristik antara lain sebagai berikut: a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; b. diterbitkan dalam valuta asing; c. diterbitkan tanpa warkat (scripless); d. dapat diperdagangkan (tradable); dan e. diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai karakteristik SBBI Valas diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. - 4 - BAB IV MEKANISME PENERBITAN, PESERTA, KEPEMILIKAN, DAN PELAKSANAAN LELANG Pasal 4 Penerbitan SBBI Valas di Pasar Perdana dilakukan melalui mekanisme lelang atau nonlelang. Pasal 5 (1) Peserta Lelang terdiri atas Bank dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Peserta Lelang dapat mengikuti transaksi lelang SBBI Valas untuk kepentingan diri sendiri dan/atau pihak lain. (3) Bank Indonesia menetapkan persyaratan bagi Peserta Lelang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Peserta Lelang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 6 Penduduk dan/atau bukan penduduk dapat memiliki SBBI Valas di Pasar Perdana melalui pengajuan pembelian SBBI Valas kepada Peserta Lelang yang telah ditunjuk oleh Bank Indonesia atau di Pasar Sekunder melalui mekanisme pasar. Pasal 7 (1) Peserta Lelang mengajukan penawaran lelang melalui sarana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Peserta Lelang bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran yang diajukan. (3) Peserta Lelang yang telah mengajukan penawaran tidak dapat membatalkan penawaran. (4) Peserta Lelang harus memenuhi tata cara pengajuan penawaran dan persyaratan dalam pelaksanaan transaksi SBBI Valas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (5) Dalam hal Peserta Lelang tidak memenuhi tata cara pengajuan penawaran dan persyaratan sebagaimana - 5 - dimaksud pada ayat (4), penawaran yang telah diajukan akan ditolak dan/atau tidak akan diproses oleh Bank Indonesia. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pengajuan penawaran lelang SBBI Valas diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 8 (1) Bank Indonesia melaksanakan lelang SBBI Valas di Pasar Perdana dengan menggunakan sarana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Peserta Lelang SBBI Valas di Pasar Perdana dapat melakukan penawaran pembelian dalam lelang SBBI Valas dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Noncompetitive Bidding). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan lelang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB V PENATAUSAHAAN SBBI VALAS Pasal 9 (1) Bank Indonesia melakukan penatausahaan SBBI Valas atas transaksi penerbitan SBBI Valas di Pasar Perdana dan transaksi SBBI Valas di Pasar Sekunder. (2) Penatausahaan SBBI Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan BI-SSSS atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Sistem penatausahaan yang dikelola Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup sistem pencatatan kepemilikan dan penyelesaian transaksi SBBI Valas. (4) Sistem pencatatan kepemilikan SBBI Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan tanpa warkat (scripless). - 6 - (5) Catatan kepemilikan SBBI Valas di BI-SSSS atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia merupakan bukti kepemilikan yang sah. (6) Bank Indonesia dapat menunjuk atau bekerjasama dengan pihak lain dalam pelaksanaan penatausahaan SBBI Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (7) Dalam hal pihak lain yang ditunjuk dalam pelaksanaan penatausahaan SBBI Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia atau menghentikan kegiatan usahanya, Bank Indonesia berwenang mencabut penunjukan yang telah ditetapkan. Pasal 10 (1) Peserta Lelang harus memiliki rekening giro valuta asing di Bank Indonesia dan/atau di pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Peserta Lelang harus memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS dan/atau di pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Peserta Lelang wajib menyediakan dana yang cukup di rekening giro valuta asing dan/atau SBBI Valas yang cukup di rekening surat berharga di Bank Indonesia dan/atau di pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia untuk penyelesaian kewajiban pada waktu penyelesaian transaksi. (4) Dalam hal Peserta Lelang tidak memenuhi kewajiban penyediaan dana dan/atau SBBI Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), transaksi yang bersangkutan dinyatakan batal. Pasal 11 Dalam rangka penyelesaian transaksi SBBI Valas, Bank Indonesia berwenang untuk melakukan pendebetan rekening giro valuta asing dan/atau surat berharga di Bank Indonesia. - 7 - Pasal 12 (1) Bank Indonesia melunasi SBBI Valas pada saat jatuh waktu sebesar nilai nominal. (2) Bank Indonesia dapat melunasi SBBI Valas sebelum jatuh waktu dengan persetujuan pemilik SBBI Valas. (3) Pelunasan SBBI Valas dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan posisi kepemilikan SBBI Valas yang tercatat di BI-SSSS atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. BAB VI SANKSI Pasal 13 (1) Peserta Lelang yang transaksinya dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar: 1. suku bunga Fed Fund yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta Dolar Amerika Serikat, paling sedikit sebesar ekuivalen Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar ekuivalen Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); atau 2. suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas moneter di negara valuta yang bersangkutan (official rate) yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing non-Dolar - 8 - Amerika Serikat, paling sedikit sebesar ekuivalen Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar ekuivalen Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Dalam hal Peserta Lelang dikenakan pembatalan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta Lelang juga dikenakan sanksi berupa penghentian sementara mengikuti lelang SBBI Valas untuk 2 (dua) lelang SBBI Valas berikutnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Ketentuan lebih lanjut Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 9 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 November 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 November 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 264 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/17/PBI/2015 TENTANG SURAT BERHARGA BANK INDONESIA DALAM VALUTA ASING I. UMUM Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Sehubungan dengan tujuan dimaksud, Bank Indonesia melaksanakan tugas antara lain menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia terkait kebijakan moneter diperlukan penguatan cadangan devisa yang antara lain dilakukan melalui penerbitan SBBI Valas. SBBI Valas tersebut memiliki karakteristik antara lain dapat diperdagangkan (tradable) dan berjangka pendek. Selain itu, penerbitan SBBI Valas diharapkan pula dapat mendukung pendalaman pasar keuangan, khususnya pada pasar valas domestik antara lain melalui pembentukan suku bunga acuan (reference rate) untuk surat berharga valas berjangka pendek, perluasan cakupan investor, dan sebagai alternatif instrumen investasi di pasar valas domestik. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. - 2 - Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah diterbitkan tanpa adanya fisik SBBI Valas, dan bukti kepemilikan bagi pemegang SBBI Valas berupa pencatatan elektronis. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili di Indonesia paling kurang 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. - 3 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “membatalkan penawaran” adalah Peserta Lelang menarik kembali penawaran yang telah diajukan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5753
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/17/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> SURAT BERHARGA BANK INDONESIA DALAM VALUTA ASING </reg_title> <set_date> 10 November 2015 </set_date> <effective_date> 10 November 2015 </effective_date> <issued_date> 10 November 2015 </issued_date> <related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/ 20 /PBI/2009 TENTANG TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa upaya penyehatan terhadap Bank Perkreditan Rakyat merupakan kegiatan yang berkelanjutan dalam rangka mendorong tumbuhnya industri Bank Perkreditan Rakyat yang sehat; b. bahwa sebagai bagian dari upaya penyehatan, Bank Perkreditan Rakyat yang mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam status pengawasan khusus; c. bahwa dalam rangka penyehatan Bank Perkreditan Rakyat dalam status pengawasan khusus, diperlukan pengaturan yang memberikan landasan bagi penyehatan Bank Perkreditan Rakyat; d. bahwa … - 2 - d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu diatur kembali ketentuan tentang tindak lanjut penanganan terhadap Bank Perkreditan Rakyat dalam status pengawasan khusus; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang- … - 3 - 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS. BAB I … - 4 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional; 2. Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut LPS, adalah badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963); 3. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, yang selanjutnya disebut dengan Rasio KPMM, adalah perbandingan antara modal bank terhadap aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat; 4. Cash … - 5 - 4. Cash Ratio, yang selanjutnya disebut dengan CR, adalah perbandingan antara alat likuid terhadap hutang lancar sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat. BAB II BPR DALAM PENGAWASAN KHUSUS Pasal 2 (1) Dalam hal Bank Indonesia menilai suatu BPR mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya maka BPR tersebut ditetapkan dalam status pengawasan khusus. (2) Bank Indonesia menetapkan BPR dalam status pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi 1 (satu) atau lebih kriteria sebagai berikut: a. Rasio KPMM kurang dari 4% (empat persen); b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga persen). (3) Bank Indonesia memberitahukan mengenai penetapan BPR dalam status pengawasan khusus kepada BPR yang bersangkutan. Pasal 3 … - 6 - Pasal 3 Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank Indonesia dapat memerintahkan BPR dan/atau pemegang saham BPR untuk melakukan tindakan antara lain: a. menambah modal, b. menghapusbukukan kredit yang tergolong macet dan memperhitungkan kerugian BPR dengan modalnya, c. mengganti anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris BPR, d. melakukan merger atau konsolidasi dengan BPR lain, e. menjual BPR kepada pembeli yang bersedia mengambilalih seluruh kewajiban BPR, f. menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan BPR kepada pihak lain, g. menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban BPR kepada pihak lain, dan/atau h. menghentikan kegiatan usaha tertentu dalam waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 4 … - 7 - Pasal 4 BPR yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib: a. menyampaikan rencana tindak (action plan) penyehatan BPR yang realistis sesuai dengan permasalahan yang dihadapi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak BPR ditetapkan dalam status pengawasan khusus yang ditandatangani oleh Direksi, Dewan Komisaris dan Pemegang Saham Pengendali BPR; b. melaksanakan action plan sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud pada huruf b paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan action plan; d. melakukan penyesuaian action plan yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada huruf a atas permintaan Bank Indonesia. Pasal 5 (1) Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai BPR yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus. (2) Pemberitahuan kepada LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan keterangan mengenai kondisi BPR yang bersangkutan. BAB III … - 8 - BAB III LARANGAN PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA Pasal 6 (1) BPR dalam status pengawasan khusus yang memiliki rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir sama dengan atau kurang dari 1% (satu persen), dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana. (2) Larangan penghimpunan dan penyaluran dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak tanggal penetapan larangan sampai dengan BPR keluar dari status pengawasan khusus. Pasal 7 (1) Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank Indonesia dapat menempatkan petugas Bank Indonesia untuk melakukan pemantauan secara langsung terhadap kegiatan operasional BPR. (2) Penempatan petugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi tanggungjawab pengurus dan/atau pemegang saham BPR terhadap kegiatan operasional dan kewajiban BPR. BAB IV … - 9 - BAB IV JANGKA WAKTU Pasal 8 (1) Jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal penetapan BPR dalam status pengawasan khusus dari Bank Indonesia. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk waktu yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk melakukan penelitian terhadap upaya-upaya perbaikan yang telah dilakukan oleh BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila waktu yang digunakan untuk penelitian melampaui batas waktu pengawasan khusus. (3) Dalam hal jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka jangka waktu pengawasan khusus tersebut jatuh pada hari kerja berikutnya. BAB V PENAMBAHAN MODAL DAN PENCAIRAN SETORAN MODAL PADA ESCROW ACCOUNT Pasal 9 (1) Penambahan modal yang dilakukan oleh BPR dalam status pengawasan khusus wajib ditempatkan dalam escrow account di Bank Umum. (2) Bank … - 10 - (2) Bank Indonesia melakukan penelitian atas penambahan modal BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memastikan bahwa penambahan modal tersebut telah sesuai dengan ketentuan permodalan yang berlaku. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian Bank Indonesia penambahan modal BPR tidak memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka penambahan modal tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai dana setoran modal. (4) BPR dalam status pengawasan khusus yang telah melakukan penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat melakukan pencairan dana dalam escrow account dengan persetujuan Bank Indonesia. (5) Bank Indonesia memberikan persetujuan atas permohonan pencairan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah Bank Indonesia melakukan penelitian atas dana setoran modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2). BAB VI PERPANJANGAN JANGKA WAKTU Pasal 10 (1) Jangka waktu status pengawasan khusus BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berakhirnya jangka waktu status pengawasan khusus. (2) BPR … - 11 - (2) BPR dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu status pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat BPR telah meningkatkan: a. rasio KPMM paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari selisih untuk mencapai rasio KPMM 4% (empat persen) dan rasio KPMM lebih dari 0% (nol persen); dan/atau b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari selisih untuk mencapai CR 3% (tiga persen) dan CR lebih dari 1% (satu persen). (3) BPR yang tidak memenuhi ayat (2) namun sumber dana setoran modalnya berasal dari APBD dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu status pengawasan khusus disertai dengan komitmen pemegang saham untuk menambah setoran modal sehingga meningkatkan rasio KPMM menjadi paling kurang 4% (empat persen) dan CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang 3% (tiga persen). (4) Permohonan perpanjangan jangka waktu status pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat dalam batas waktu 150 (seratus lima puluh) hari sejak BPR ditetapkan dalam pengawasan khusus. (5) Apabila BPR menyampaikan permohonan melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka dianggap tidak mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus. (6) Dalam … - 12 - (6) Dalam hal batas waktu 150 (seratus lima puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (4) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka penyampaian permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus dilakukan pada hari kerja berikutnya. (7) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus setelah melakukan penelitian atas permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3). BAB VII BPR DIKELUARKAN DARI STATUS PENGAWASAN KHUSUS Pasal 11 (1) Bank Indonesia menetapkan BPR dikeluarkan dari status pengawasan khusus apabila memenuhi kriteria: a. Rasio KPMM paling kurang sebesar 4% (empat persen), dan b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 3% (tiga persen). (2) Bank Indonesia memberitahukan kepada BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bahwa: a. BPR tersebut dikeluarkan dari status pengawasan khusus Bank Indonesia, dan b. larangan … - 13 - b. larangan melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana bagi BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dicabut. (3) Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai BPR yang dikeluarkan dari status pengawasan khusus. BAB VIII PEMBERITAHUAN KEPADA LPS DAN PENCABUTAN IZIN USAHA Pasal 12 (1) Selama jangka waktu status pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 10 ayat (1), Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat memberitahukan kepada LPS dan meminta LPS untuk memberikan keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPR, dalam hal BPR yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. BPR memiliki rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir sama dengan atau kurang dari 1% (satu persen); dan b. berdasarkan penilaian Bank Indonesia, BPR tidak mampu meningkatkan rasio KPMM menjadi paling kurang sebesar 4% (empat persen) dan CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 3% (tiga persen). (2) Pada … - 14 - (2) Pada saat berakhirnya jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 10 ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS dan meminta LPS untuk memberikan keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPR yang memenuhi kriteria: a. Rasio KPMM kurang dari 4% (empat persen); dan/atau b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga persen). Pasal 13 Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Bank Indonesia mencabut izin usaha BPR yang bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan dari LPS. Pasal 14 (1) Bank Indonesia memberitahukan keputusan pencabutan izin usaha BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 kepada BPR yang bersangkutan dan LPS. (2) Penyelesaian lebih lanjut BPR yang telah dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia dilakukan oleh LPS sesuai dengan ketentuan yang berlaku. BAB IX … - 15 - BAB IX PENGUMUMAN Pasal 15 (1) Bank Indonesia mengumumkan BPR yang ditetapkan: a. dalam status pengawasan khusus; b. dikeluarkan dari status pengawasan khusus; pada hari yang sama dengan tanggal penetapan. (2) Bank Indonesia mengumumkan penetapan BPR yang: a. dilarang melakukan penghimpunan dan penyaluran dana; b. diperkenankan kembali melakukan penghimpunan dan penyaluran dana; pada hari yang sama dengan tanggal penetapan. (3) BPR wajib mengumumkan larangan penghimpunan dan penyaluran dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) pada hari yang sama dengan tanggal penetapan larangan. (4) Bank Indonesia mengumumkan keputusan pencabutan izin usaha BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 kepada masyarakat. (5) Tatacara pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB X … - 16 - BAB X PELAPORAN Pasal 16 (1) BPR dalam status pengawasan khusus wajib menyampaikan laporan neraca harian secara mingguan kepada Bank Indonesia. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan pada hari kerja pertama minggu berikutnya. BAB XI SANKSI Pasal 17 (1) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, dan/atau pegawai BPR dalam status pengawasan khusus yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dapat dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. (2) BPR dalam status pengawasan khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 15 ayat (3) dan/atau Pasal 16 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: a. teguran … - 17 - a. teguran tertulis; dan/atau b. pencantuman anggota pengurus dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 18 (1) Tindak lanjut penanganan terhadap BPR yang telah ditetapkan dalam status pengawasan khusus sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Jangka waktu pengawasan khusus yang telah dilalui oleh BPR yang telah ditetapkan dalam status pengawasan khusus sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Larangan penghimpunan dan penyaluran dana bagi BPR dalam pengawasan khusus yang ditetapkan sebelum Peraturan Bank Indonesia ini, tetap berlaku sampai dengan BPR keluar dari status pengawasan khusus. BAB XIII … - 18 - BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia No.7/34/PBI/2005 tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan Khusus, beserta ketentuan pelaksanaannya dinyatakan tidak berlaku bagi BPR yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia ini tidak diberlakukan bagi Bank Perkreditan Rakyat eks Badan Kredit Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9. Pasal 21 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2009. Agar … - 19 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 4 Juni 2009 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, MIRANDA S. GOELTOM Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 4 Juni 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 81 DKBU PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/ 20 /PBI/2009 TENTANG TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS UMUM Dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri BPR, diperlukan upaya penyehatan terhadap BPR yang bersifat sistematis dan berkelanjutan guna mendorong tumbuhnya industri BPR yang sehat. Agar upaya penyehatan terhadap BPR yang mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya dapat dilakukan secara optimal maka diperlukan upaya tindak lanjut yang sesuai dengan kemampuan BPR, komitmen pemilik dan alternatif peluang yang dimiliki. Menyadari pentingnya upaya tindak lanjut yang tepat sasaran maka diperlukan suatu ketentuan yang dapat memberikan pedoman sekaligus memberikan ruang bagi penanganan BPR dalam status pengawasan khusus, dengan tetap memperhatikan aspek transparansi dan akuntabilitas guna melindungi kepentingan publik. Dengan … - 2 - Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963), penyelesaian bank yang telah ditetapkan dalam status pengawasan khusus serta dinyatakan tidak dapat disehatkan lagi oleh Bank Indonesia dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Sehubungan dengan hal tersebut perlu diatur kembali ketentuan tentang tindak lanjut penanganan terhadap BPR dalam status pengawasan khusus dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Penilaian Bank Indonesia dilakukan berdasarkan penelitian yang mendalam atas laporan dan pemeriksaan. Ayat (2) … - 3 - Ayat (2) Huruf a Rasio KPMM dihitung berdasarkan laporan dan/atau pemeriksaan terakhir. Huruf b CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir dihitung berdasarkan posisi laporan bulanan BPR selama 6 (enam) bulan terakhir. Ayat (3) Pemberitahuan mengenai penetapan status BPR dalam pengawasan khusus dilakukan melalui surat yang dapat disampaikan secara langsung dalam pertemuan dengan pengurus dan/atau pemegang saham BPR, atau disampaikan secara tidak langsung melalui pos atau sarana lain. Pasal 3 Pelaksanaan perintah Bank Indonesia didasarkan atas ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 4 … - 4 - Pasal 4 Huruf a Yang dimaksud action plan yang realistis adalah telah mempertimbangkan kemampuan BPR untuk melakukan penyehatan terutama perbaikan permodalan dan/atau likuiditas sehingga dapat dikeluarkan dari status pengawasan khusus. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dalam hal batas waktu penyampaian laporan pelaksanaan action plan yaitu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan action plan tersebut melampaui batas akhir jangka waktu pengawasan khusus maka laporan dimaksud wajib disampaikan paling lambat pada tanggal berakhirnya jangka waktu status pengawasan khusus. Huruf d Permintaan penyesuaian action plan oleh Bank Indonesia dilakukan antara lain apabila menurut penilaian Bank Indonesia langkah-langkah dan/atau target waktu penyelesaian yang disusun BPR tidak sesuai dengan perkembangan kondisi BPR sehingga action plan BPR menjadi tidak realistis dan berpotensi tidak mencapai target. Pasal 5 … - 5 - Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kegiatan penghimpunan dana yang dilarang adalah penghimpunan dana dalam bentuk tabungan dan/atau deposito yang sumber dananya berasal dari : a. Fresh money, berupa setoran tunai dan/atau melalui transfer ke rekening BPR di bank lain, kecuali untuk angsuran/pelunasan kredit; b. Pemindahbukuan selain dari : 1) akun tabungan dan/atau deposito atas nama yang sama, 2) akun biaya dalam rangka pembayaran gaji pengurus dan karyawan BPR yang bersangkutan ke akun tabungan. Yang dimaksud dengan kegiatan penyaluran dana yang dilarang adalah penyaluran kredit baru, termasuk komitmen penyaluran kredit yang belum direalisasikan, kecuali dalam rangka restrukturisasi kredit. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7… - 6 - Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Upaya perbaikan yang dilakukan oleh BPR antara lain berupa penambahan modal. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penambahan modal adalah dana setoran modal dari pemilik/calon pemilik yang ditempatkan dalam bentuk deposito pada Bank Umum di Indonesia, atas nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq BPR yang bersangkutan” dengan mencantumkan keterangan “Pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia”. Ayat (2) … - 7 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan penambahan modal telah sesuai dengan ketentuan permodalan yang berlaku adalah: a. Sumber dana setoran modal tidak berasal dari pinjaman dan tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang. b. Bagi calon pemegang saham, yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan administratif, antara lain tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus dan Daftar Kredit Macet. c. Bagi calon pemegang saham pengendali, yang bersangkutan telah lulus penilaian kemampuan dan kepatutan (Fit & Proper Test). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 10 … - 8 - Pasal 10 Ayat (1) Permohonan perpanjangan jangka waktu status pengawasan khusus disertai dengan alasan yang mendukung dan action plan yang telah disesuaikan dengan adanya perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus. Ayat (2) Contoh: Untuk dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu status pengawasan khusus: 1. BPR yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus dengan rasio KPMM 1%, wajib meningkatkan rasio KPMM sebesar 75% x (4%-1%) atau sama dengan 2,25%, sehingga menjadi 3,25% pada waktu mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus. 2. BPR yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus dengan rasio KPMM -14%, wajib meningkatkan rasio KPMM paling kurang sebesar 75% x [4%-(-14%)] atau sama dengan 13,5% sehingga menjadi -0,5%. Karena BPR wajib meningkatkan rasio KPMM lebih besar 0% maka BPR wajib meningkatkan rasio KPMM lebih dari 14% pada waktu mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus. Ayat (3) … - 9 - Ayat (3) Bentuk komitmen antara lain berupa surat dari pemegang saham (gubernur/walikota/bupati) kepada Bank Indonesia yang menyatakan akan menambah modal disetor sesuai action plan paling lambat sampai dengan berakhirnya jangka waktu perpanjangan yang diberikan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan disampaikan kepada Bank Indonesia adalah permohonan perpanjangan status pengawasan khusus telah diterima Bank Indonesia yang dibuktikan dengan tanda terima apabila disampaikan langsung kepada Bank Indonesia atau tanggal stempel pos apabila dikirimkan melalui pos. Dalam hal permohonan perpanjangan status pengawasan khusus disampaikan melalui pos, BPR dalam status pengawasan khusus wajib pula mengirimkan surat beserta dokumen terkait melalui faksimili kepada Bank Indonesia pada hari yang sama. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 11 … - 10 - Pasal 11 Ayat (1) Penetapan BPR dikeluarkan dari status pengawasan khusus dilakukan tanpa menunggu penyelesaian proses hukum. Yang termasuk dalam proses hukum adalah proses yang dilakukan dalam rangka memenuhi persyaratan sesuai ketentuan perundang- undangan yang berlaku antara lain dalam rangka penambahan modal disetor, merger, konsolidasi, dan/atau akuisisi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Apabila pelaksanaan action plan BPR dinilai tidak sesuai, tidak terdapat perbaikan kondisi keuangan dan/atau kondisi keuangan semakin memburuk maka Bank Indonesia setelah memberikan surat pembinaan kepada BPR, meminta kepada LPS untuk memutuskan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan. Ayat (2) … - 11 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyelesaian yang dilakukan oleh LPS meliputi antara lain pembayaran klaim penjaminan simpanan dan likuidasi. Pasal 15 Pengumuman dilakukan pada papan pengumuman di kantor BPR. Dalam hal dianggap perlu, selain pengumuman di kantor BPR, dapat pula dilakukan pengumuman pada kantor kelurahan/kecamatan tempat kedudukan BPR yang bersangkutan dan/atau melalui media massa setempat antara lain media cetak dan/atau media elektronik. Pasal 16 … - 12 - Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan neraca harian secara mingguan yaitu paling lambat pada hari kerja pertama minggu berikutnya melampaui batas akhir jangka waktu pengawasan khusus maka laporan dimaksud wajib disampaikan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu status pengawasan khusus. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20… - 13 - Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5012 DKBU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/20/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS </reg_title> <set_date> 4 Juni 2009 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2009 </effective_date> <issued_date> 4 Juni 2009 </issued_date> <replaced_reg> '7/34/PBI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '24/UU/2004', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2009', '3/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/2/PBI/2014 TENTANG JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu tugas Bank Indonesia adalah melakukan pemusnahan terhadap uang Rupiah yang ditarik dari peredaran; b. bahwa jumlah dan nilai nominal uang Rupiah yang ditarik dari peredaran yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia secara periodik setiap 1 (satu) tahun sekali; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2013; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang . . . -2- Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2013. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Uang Rupiah adalah Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. 2. Uang Rupiah Tidak Layak Edar adalah Uang Rupiah yang terdiri atas Uang Rupiah lusuh, Uang Rupiah cacat, dan Uang Rupiah rusak. 3. Pemusnahan adalah suatu rangkaian kegiatan meracik, melebur, atau cara lain memusnahkan Uang Rupiah sehingga tidak menyerupai Uang Rupiah. BAB II PEMUSNAHAN UANG RUPIAH Pasal 2 (1) Bank Indonesia melaksanakan Pemusnahan terhadap: a. Uang Rupiah Tidak Layak Edar; b. Uang Rupiah yang masih layak edar yang dengan pertimbangan tertentu tidak lagi mempunyai manfaat ekonomis dan/atau kurang diminati oleh masyarakat; dan/atau c. Uang . . . -3- c. Uang Rupiah yang sudah tidak berlaku yaitu Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran. (2) Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam suatu berita acara. Pasal 3 Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Uang Rupiah kertas diracik dengan menggunakan mesin yang memiliki fungsi untuk meracik Uang Rupiah kertas atau dengan cara lain sehingga tidak menyerupai Uang Rupiah kertas; b. Uang Rupiah logam dilebur atau dengan cara lain sehingga tidak menyerupai Uang Rupiah logam. BAB III PENEMPATAN JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN DALAM LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Pasal 4 (1) Jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia secara periodik setiap 1 (satu) tahun sekali. (2) Informasi jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis pecahan, jumlah bilyet atau keping, dan nilai nominal. (3) Informasi jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk periode tanggal 1 Januari 2013 sampai dengan 31 Desember 2013 tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bank Indonesia ini. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar . . . -4- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 14 Februari 2014 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 14 Februari 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 35 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 16/2/PBI/2014 </reg_id> <reg_title> JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2013 </reg_title> <set_date> 14 Februari 2014 </set_date> <effective_date> 14 Februari 2014 </effective_date> <issued_date> 14 Februari 2014 </issued_date> <related_reg> '7/UU/2011', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 3/ 5 /PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/32/KEP/DIR TANGGAL 29 MEI 1998 TENTANG PENJAMINAN ATAS SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan memperhatikan perkembangan keadaan ekonomi dan kondisi moneter saat ini maka diperlukan penyesuaian terhadap periode pengumuman penetapan maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam Rupiah maupun valuta asing sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/32/KEP/DIR Tanggal 29 Mei 1998 Tentang Penjaminan Atas Simpanan Pihak Ketiga Dan Pasar Uang Antar Bank; b. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/32/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1998 tentang Penjaminan Atas Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor -2- 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/32/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1998 tentang Penjaminan Atas Simpanan Pihak Ketiga Dan Pasar Uang Antar Bank; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/32/KEP/DIR TANGGAL 29 MEI 1998 TENTANG PENJAMINAN ATAS SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK. -3- Pasal I Mengubah beberapa ketentuan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/32/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1998 tentang Penjaminan Atas Simpanan Pihak Ketiga Dan Pasar Uang Antar Bank sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga Pasal 2 seluruhnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 2 (1) Dalam rangka Program Penjaminan, Pemerintah tidak menjamin Simpanan Pihak Ketiga yang diterima dengan suku bunga lebih tinggi dari batas maksimum suku bunga yang ditetapkan. (2) Maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebesar rata-rata suku bunga Deposito Berjangka dalam Rupiah dari bank-bank anggota JIBOR yang dipilih oleh Bank Indonesia menurut jangka waktu tertentu selama 1 (satu) bulan sebelumnya ditambah marjin sebesar 300 (tiga ratus) basis point. (3) Maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebesar rata-rata suku bunga Deposito Berjangka dalam valuta asing dari bank-bank anggota JIBOR yang dipilih oleh Bank Indonesia menurut jangka waktu tertentu selama 1 (satu) bulan sebelumnya ditambah marjin sebesar 100 (seratus) basis point.” 2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga Pasal 6 seluruhnya berbunyi sebagai -4- berikut: “Pasal 6 (1) Maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam Rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), akan diumumkan secara rutin setiap bulan oleh Bank Indonesia pada 2 (dua) hari kerja sebelum awal bulan periode penjaminan berlaku dan berlaku selama 1 (satu) bulan. (2) Dalam hal dipandang perlu, Bank Indonesia dapat membuat pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pada hari lainnya. (3) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diketahui melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) atau Kantor Bank Indonesia setempat.” 3. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga Pasal 9 seluruhnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 9 (1) Maksimum suku bunga PUAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), akan diumumkan secara rutin setiap bulan oleh Bank Indonesia pada 2 (dua) hari kerja sebelum awal bulan periode penjaminan berlaku dan berlaku selama 1 (satu) bulan. (2) Dalam hal dipandang perlu, Bank Indonesia dapat membuat pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pada hari lainnya. (3) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diketahui -5- melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) atau Kantor Bank Indonesia setempat.” Pasal II Pengumuman maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dan PUAB secara bulanan pertama kali dilakukan pada 29 Maret 2001 dan berlaku selama 1 (satu) bulan berikutnya. Pasal III Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 22 Maret 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 23 DPNP -6- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 3/ 5 /PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/32/KEP/DIR TANGGAL 29 MEI 1998 TENTANG PENJAMINAN ATAS SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK I. UMUM Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia dan dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 179/KMK.017/2000 tanggal 26 Mei 2000 tentang Syarat dan Tata Cara dan Ketentuan Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum maka pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah sepenuhnya dilaksanakan oleh Pemerintah. Namun demikian dalam hal penetapan maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank yang dijamin oleh Pemerintah sampai saat ini masih dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa penetapan maksimum suku bunga penjaminan tersebut sampai saat ini merupakan kebijakan yang dapat mempengaruhi kegiatan moneter. Dalam rangka mengurangi pengaruh penetapan maksimum suku bunga yang dijamin Pemerintah terhadap kebijakan moneter maka dianggap perlu untuk -7- mengubah periode pengumuman maksimum suku bunga penjaminan tersebut dari mingguan menjadi bulanan. II. Pasal I Angka 1 Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Angka 2 Pasal 6 Ayat (1) Pengumuman melalui Pusat Informasi Pasar Uang dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja sebelum awal bulan untuk memberikan kesempatan kepada Bank dalam menyebarkan informasi maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga kepada seluruh cabang-cabangnya. Contoh: PASAL DEMI PASAL -8- Tanggal 1 April 2001 jatuh pada hari Senin. Bank Indonesia akan mengumumkan maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja sebelum Hari Senin tanggal 1 April 2001 tersebut yaitu pada hari Kamis tanggal 29 Maret 2001. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Angka 3 Pasal 9 Ayat (1) Pengumuman melalui Pusat Informasi Pasar Uang dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja sebelum awal bulan untuk memberikan kesempatan kepada Bank dalam menyebarkan informasi maksimum suku bunga PUAB kepada seluruh cabang- cabangnya. Contoh: Tanggal 1 April 2001 jatuh pada hari Senin. Bank Indonesia akan mengumumkan maksimum suku -9- bunga PUAB melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja sebelum Hari Senin tanggal 1 April 2001 tersebut yaitu pada hari Kamis tanggal 29 Maret 2001. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal II Cukup jelas Pasal III Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4082 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 3/5/PBI/2001 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/32/KEP/DIR TANGGAL 29 MEI 1998 TENTANG PENJAMINAN ATAS SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK </reg_title> <set_date> 22 Maret 2001 </set_date> <effective_date> 22 Maret 2001 </effective_date> <changed_reg> '31/32/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '31/32/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 11/ 8 /PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/42/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender); b. bahwa untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada desain uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) sebagai legal tender di Negara Kesatuan Republik Indonesia, diperlukan penyempurnaan desain uang rupiah antara lain mengenai penandatanganan pada uang, penempatan letak tahun pengeluaran atau tahun emisi, dan tahun pencetakan uang; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2005; Mengingat . . . -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4762); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/42/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS . . . -3- KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/42/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 102) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 Ciri uang rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah: 1. Warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan biru; 2. Gambar a. bagian muka 1) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan dibawahnya dicantumkan tulisan “I GUSTI NGURAH RAI”; 2) pada sebelah kiri gambar utama dengan arah vertikal terdapat gambar ornamen daerah Bali berwarna biru yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet; 3) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “LIMA PULUH RIBU RUPIAH”; 4) pada . . . -4- 4) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “50000”; 5) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal “50000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; 6) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen daerah Bali yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; 7) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila; 8) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang segi empat yang dicetak dengan tinta khusus (optically variable ink) yang akan berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang berbeda; 9) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; 10) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang membentuk ornamen daerah Bali; 11) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: a) pada sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal “50000” berupa tulisan ”BI”; b) pada . . . -5- b) pada sebelah kiri gambar utama berupa tulisan ”BI” sebagai latar belakang ornamen daerah Bali; c) di tepi kiri ornamen daerah Bali berupa tulisan ”BI” dan di tepi kanan ornamen daerah Bali berupa angka nominal ”50000” yang keduanya membentuk garis vertikal; d) pada sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berbentuk kotak-kotak dengan kombinasi tulisan ”BI” dan ”BI50000” yang tersusun horizontal dan tulisan ”BANKINDONESIA” dan ”BI50000” yang tersusun diagonal; e) pada sebelah kanan gambar utama berupa tulisan ”BI” yang membentuk warna dasar dan gambar relief daerah Bali; f) di tepi kiri atas dan bawah serta di tepi kanan atas dan bawah berupa logo BI yang membentuk pola dasar uang; 12) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan ”BANKINDONESIA50000” yang berbentuk lengkungan dengan warna dan ukuran teks yang berbeda. b. bagian belakang 1) gambar utama berupa gambar Danau Beratan, Bedugul, Bali; 2) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; 3) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI LIMA PULUH RIBU RUPIAH”; 4) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “50000”; 5) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet . . . -6- violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet; 6) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; 7) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “50000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP” dan angka tahun pengeluaran atau tahun emisi “2005”; 8) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar siluet penari Bali yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; 9) di bagian kiri bawah gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal “50000” dalam kotak persegi panjang yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; 10) di tepi kiri dan kanan bagian tengah uang, terdapat gambar ornamen daerah Bali yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet; 11) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: a) di tepi kiri atas dan bawah serta tepi kanan atas dan bawah berbentuk kotak-kotak berupa tulisan “BI” yang tersusun horizontal serta tulisan “BI50000” dan “BANKINDONESIA” yang tersusun diagonal; b) di tepi kiri gambar utama berupa tulisan “BANKINDONESIA” yang membentuk garis vertikal; c) pada bagian kiri atas gambar utama berupa tulisan ”BI” yang membentuk ornamen daerah Bali; d) pada sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka nominal “50000” berupa tulisan ”BI”; 12) miniteks . . . -7- 12) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa angka nominal ”50000” yang berbentuk garis melengkung dengan ukuran teks yang berbeda. 3. Bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: a. terbuat dari serat kapas; b. ukuran panjang 149 mm dan lebar 65 mm; c. warna biru muda; d. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; e. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Bali; f. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan “BI50000” berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong sebagian serta akan berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang berbeda. 2. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 5 A, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 A Uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar . . . -8- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 3 Maret 2009. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 3 Maret 2009. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 45 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/8/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/42/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 </reg_title> <set_date> 3 Maret 2009 </set_date> <effective_date> 3 Maret 2009 </effective_date> <issued_date> 3 Maret 2009 </issued_date> <changed_reg> '7/42/PBI/2005' </changed_reg> <related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/14/PBI/2004', '23/UU/1999', '9/10/PBI/2007', '6/UU/2009' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/39/PBI/2005 TENTANG PEMBERIAN BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa usaha mikro, kecil dan menengah mampu bertahan dalam kondisi krisis ekonomi dan memiliki peran yang strategis dalam struktur perekonomian nasional sehingga perlu didukung dalam pengembangannya; b. bahwa untuk pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah diperlukan bantuan teknis; c. bahwa dalam rangka mendukung pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah, maka Bank Indonesia menganggap perlu untuk terus berperan dalam pemberian bantuan teknis; d. bahwa mengingat terdapat kebutuhan ada, dipandang untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan kondisi yang penyesuaian terhadap perkembangan tersebut; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, dipandang perlu untuk melakukan penyempurnaan atas ketentuan tentang pemberian bantuan teknis dalam ….. perlu untuk melakukan -2 - dalam rangka pengembangan usaha mikro dan kecil dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 No. 31, Tambahan Lembaran Negara No. 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 No. 182, Tambahan Lembaran Negara No. 3790); 2. Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 No. 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4357); 3. Peraturan Bank Indonesia No. 3/2/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 3, Tambahan Lembaran Negara No. 4072); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMBERIAN BANTUAN TEKNIS RANGKA DALAM PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH. BAB I ….. -3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksudkan dengan : 1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998. 2. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang selanjutnya disebut UMKM adalah usaha-usaha yang memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia, secara individu atau tergabung dalam koperasi dan memiliki hasil penjualan secara individu paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) per tahun. b. Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria sebagai berikut : 1) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau 2) memiliki hasil penjualan tahunan paling 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); banyak Rp 3) milik Warga Negara Indonesia; 4) berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha Menengah atau usaha Besar; 5) berbentuk ….. -4 - 5) berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi; c. Usaha Menengah adalah usaha dengan kriteria sebagai berikut : 1) memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; 2) milik warga negara Indonesia; 3) berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar; 4) berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan hukum, 3. Lembaga Pelatih adalah lembaga yang mempunyai kemampuan dan pengalaman untuk memberikan pelatihan dalam rangka pengembangan UMKM. 4. Lembaga Pembiayaan UMKM adalah lembaga yang dimiliki oleh Pemerintah yang berbentuk non bank dan mempunyai tugas dalam menyediakan/ memberikan pembiayaan melalui Bank bagi UMKM. 5. Lembaga Penyedia Jasa yang selanjutnya disebut LPJ adalah lembaga yang telah mampu dan berpengalaman dalam menyediakan jasa pendampingan dan atau pembinaan di bidang selain keuangan kepada UMKM. BAB II ….. -5 - BAB II TUJUAN DAN BENTUK BANTUAN TEKNIS Pasal 2 (1) Tujuan pemberian Bantuan Teknis oleh Bank Indonesia adalah membantu pengembangan UMKM. (2) Bantuan Teknis diberikan dalam bentuk : a. pelatihan; dan atau b. penyediaan informasi. BAB III PELATIHAN Pasal 3 (1) Penerima pelatihan adalah : a. Bank; b. Lembaga Pembiayaan UMKM; c. LPJ. (2) Penerima pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sekurang-kurangnya memenuhi standar kualifikasi sebagai berikut : a. berbentuk badan hukum dan/ atau telah terdaftar pada instansi pemerintah dan/ atau dibentuk oleh instansi pemerintah paling singkat selama 1 (satu) tahun; b. mempunyai pengalaman dalam membina UMKM paling singkat 1 (satu) tahun antara lain di bidang jasa manajemen, marketing, hukum dan teknis produksi; c. mempunyai perangkat organisasi yang memadai, paling sedikit memiliki pengurus dan konsultan serta alamat kantor yang jelas; dan -6 - d. mempunyai komitmen dalam membina UMKM. (3) Pegawai negeri sipil yang mendampingi menerima pelatihan. Pasal 4 (1) Topik pelatihan yang diberikan kepada Bank dan Lembaga Pembiayaan UMKM adalah: a. strategi pengembangan UMKM; b. survei potensi pengembangan usaha mikro dan kecil dengan metode Rapid Rural Appraisal (RRA); c. analisis pemberian kredit UMKM; d. penanganan kredit UMKM bermasalah; e. pemberian kredit secara kelompok dengan Pola Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK). (2) Topik pelatihan yang diberikan kepada LPJ adalah aspek keuangan yang meliputi aspek-aspek penyusunan kelayakan usaha (proposal kredit); (3) Bank Indonesia dapat memberikan topik pelatihan yang lain sesuai dengan perkembangan kebutuhan peserta pelatihan sepanjang terkait dengan pengembangan UMKM. Pasal 5 (1) Pelatihan dilakukan dalam rangka pelaksanaan : a. program Bank Indonesia; atau b. program kerjasama Bank bertugas/ terlibat langsung dalam dan membina UMKM secara selektif juga dapat (3) Pegawai ….. Indonesia dengan Departemen Teknis/dinas terkait/lembaga domestik maupun internasional. -7 - (2) Pelaksanaan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh : a. Bank Indonesia (swakelola) b. bekerjasama dengan Lembaga Pelatih. a. Bank ….. (3) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dituangkan dalam Kesepakatan Bersama. Pasal 6 (1) Lembaga Pelatih yang bekerjasama dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) huruf b sekurang- kurangnya memenuhi kriteria sebagai berikut : a. berbentuk badan hukum atau telah terdaftar pada instansi pemerintah atau telah dibentuk oleh instansi pemerintah paling singkat selama 2 (dua) tahun; dan b. mempunyai tenaga pelatih di bidang jasa keuangan dengan (2) Bank Indonesia melakukan pendidikan sekurang-kurangnya lulusan strata satu dan mempunyai pengalaman dalam memberikan pelatihan di bidang jasa keuangan dalam rangka pengembangan UMKM paling singkat 2 (dua) tahun. terhadap Lembaga seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bank Indonesia berdasarkan hasil seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menunjuk Lembaga Pelatih yang melaksanakan pelatihan. (4) Pelaksanaan pelatihan oleh Lembaga Pelatih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada perjanjian kerjasama. Pasal 7 Pelatih -8 - (1) Bank Indonesia memberitahukan rencana pelatihan kepada peserta pelatihan secara langsung atau melalui Lembaga Pelatih sebelum pelaksanaan pelatihan. (2) Peserta pelatihan mengajukan permohonan keikutsertaan pelatihan kepada Bank Indonesia sebagai berikut : a. Bank Indonesia cq Biro Kredit Jl. MH Thamrin No. 2 Jakarta Pusat, bagi peserta yang berkedudukan di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Propinsi Banten (Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten/Kota Tangerang, Kota Cilegon), Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang dan Kota Depok. b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi peserta yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas. Pasal 8 (1) Biaya pelaksanaan pelatihan ditanggung bersama oleh Bank Indonesia dan peserta pelatihan. (2) Biaya pelatihan dalam rangka kerjasama Bank Indonesia dengan Departemen Teknis/dinas terkait/lembaga domestik maupun internasional, diatur sesuai dengan kesepakatan para pihak dengan tetap mengacu pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Peserta pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan biaya partisipasi sebagai berikut : a. Bank dan Lembaga Pembiayaan UMKM paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total biaya pelatihan. b. LPJ paling sedikit 15% (lima belas persen) dari total biaya pelatihan. BAB IV (2) Peserta ….. -9 - PENYEDIAAN INFORMASI Pasal 9 Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b meliputi : a. data statistik perkreditan; b. data komoditas di suatu daerah yang potensial untuk dikembangkan; c. data komoditas yang potensial untuk diekspor; d. pola pembiayaan komoditas yang potensial dibiayai bank; e. informasi lain dalam rangka pengembangan UMKM. Pasal 10 Permohonan untuk mendapatkan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dialamatkan kepada : a. Bank Indonesia cq Biro Kredit, Jl. MH Thamrin No. 2 Jakarta Pusat, bagi Bank, Lembaga Penyedia Jasa, Lembaga Pembiayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan pihak lain yang berkedudukan di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Propinsi Banten (Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten/Kota Tangerang, Kota Cilegon), Kabupaten/ Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang dan Kota Depok. b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank, Lembaga Penyedia Jasa, Lembaga Pembiayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan pihak lain yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 11 a. data ….. -10 - Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka PBI Nomor 5/18/PBI/2003 tanggal 9 September 2003 tentang Pemberian Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 12 Pasal 12 ….. Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 Oktober 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH -11 - LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 99 BKr PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/39/PBI/2005 TENTANG PEMBERIAN BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH I. UMUM Usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia menunjukkan peran yang strategis dalam mempertahankan dan memulihkan perekonomian nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah, Bank Indonesia dan berbagai pihak telah memberikan perhatian terhadap pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah tersebut. Pengertian usaha mikro, kecil dan menengah adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 12/PMK.06/2005 tanggal 14 Februari 2005 tentang Pendanaan Kredit Usaha Mikro dan Kecil, Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah. Pengalaman dan keahlian yang dimiliki oleh Bank Indonesia diharapkan dapat membantu pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah. Oleh karena itu Bank Indonesia sejauh yang diperkenankan oleh Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang No. 3 tahun 2004 tetap akan membantu pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah secara tidak langsung dengan meningkatkan intensitas dan efektifitas pemberian Bantuan Teknis. Kebijakan ….. -2 - Kebijakan dan strategi Bank Indonesia dalam pemberian bantuan teknis bersifat dinamis dan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan serta keadaan terkini baik di internal maupun eksternal organisasi Bank Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka penyempurnaan Indonesia memandang pemberian bantuan teknis, Bank perlu untuk melakukan perubahan ketentuan Pemberian Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam Peraturan Bank Indonesia ini. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup Jelas Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Untuk penyediaan informasi dalam rangka pengembangan UMKM dapat dilakukan penelitian. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan instansi pemerintah antara lain Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kantor Kementerian ….. -3 - Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Departemen Dalam Negeri, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud dengan konsultan adalah tenaga ahli yang memberikan pembinaan dan pendampingan kepada UMKM selain di bidang manajemen dan keuangan. Huruf d Komitmen membina UMKM antara lain tertuang dalam visi dan misi pada Akta Pendirian dan/ atau Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Lembaga Penyedia Jasa. Ayat (3) Yang dimaksud dengan pegawai negeri sipil yang bertugas/ terlibat langsung dalam mendampingi dan membina UMKM antara lain Petugas Penyuluh Lapangan. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas -4 - Pasal 5….. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan departemen teknis/dinas terkait/lembaga domestik maupun internasional antara lain Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, BKKBN, Departemen Kelautan dan Perikanan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Kesepakatan Bersama memuat antara lain : tujuan kesepakatan; ruang lingkup kesepakatan; tugas dan tanggung jawab para pihak; pembagian beban biaya pelatihan para pihak; jangka waktu kesepakatan. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan instansi pemerintah antara lain Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kantor Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan Nasional. Huruf b Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) -5 - Cukup jelas Ayat (4) ….. Ayat (4) Dalam perjanjian kerjasama memuat antara lain : - Hak dan Kewajiban para pihak; - Ruang lingkup; - Biaya pelatihan; - Sanksi; - Jangka waktu. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 -6 - Cukup jelas Pasal 11….. Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas -7 - TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4543 BKr
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/39/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PEMBERIAN BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH </reg_title> <set_date> 18 Oktober 2005 </set_date> <effective_date> 18 Oktober 2005 </effective_date> <replaced_reg> '5/18/PBI/2003' </replaced_reg> <related_reg> '3/2/PBI/2001', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 28 /PBI/2008 TENTANG PEMBELIAN VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH KEPADA BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu tugas utama Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah; b. bahwa Bank Indonesia tetap melaksanakan sistem devisa bebas yang selama ini berlaku; c. bahwa dalam situasi keuangan global yang bergejolak perlu upaya untuk meminimalkan transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah untuk tujuan spekulatif; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur ketentuan mengenai Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor… -2- Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); M E M U T U S K A N Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMBELIAN VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH KEPADA BANK. Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Nasabah… -3- 2. Nasabah adalah : a. perorangan yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; atau b. badan usaha selain Bank yang berbadan hukum Indonesia, berdomisili di Indonesia, dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). 3. Pihak Asing adalah : a. warga negara asing; b. badan hukum asing atau lembaga asing lainnya; c. warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia; d. kantor Bank di luar negeri dari Bank yang berkantor pusat di Indonesia; atau e. kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan yang berbadan hukum Indonesia. 4. Warga Negara Asing adalah orang yang memiliki kewarganegaraan selain Indonesia, termasuk yang memiliki izin menetap atau izin tinggal di Indonesia. 5. Badan Hukum Asing atau lembaga asing lainnya adalah badan hukum atau lembaga asing yang didirikan di luar negeri . 6. Underlying transaksi adalah kegiatan yang mendasari pembelian valuta asing terhadap rupiah. Pasal 2 (1) Nasabah atau Pihak Asing dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada Bank. (2) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah atau Pihak Asing kepada Bank diatas USD100.000 (seratus ribu US Dollar) atau ekuivalen per bulan per Nasabah atau per Pihak Asing hanya dapat dilakukan dengan underlying. (3) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah atau Pihak Asing kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan paling banyak sebesar nominal underlying transaksinya. Pasal 3 … -4- Pasal 3 (1) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah meliputi transaksi spot, transaksi forward, dan transaksi derivatif lainnya. (2) Apabila Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada Bank diatas USD100.000 (seratus ribu US Dollar) atau ekuivalen per bulan per Nasabah, Nasabah wajib melampirkan dokumen sebagai berikut: a. dokumen underlying transaksi yang bisa dipertanggungjawabkan; b. fotokopi dokumen identitas Nasabah dan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan c. pernyataan tertulis bermaterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari Nasabah mengenai kebenaran dokumen underlying sebagaimana dimaksud pada huruf a dan bahwa dokumen underlying hanya digunakan untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah paling banyak sebesar nominal underlying dalam sistem perbankan di Indonesia. Pasal 4 (1) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Pihak Asing meliputi transaksi spot outright. Transaksi forward dan transaksi derivatif lainnya diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh Bank. (2) Apabila Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada Bank diatas USD100.000 (seratus ribu US Dollar) atau ekuivalen per bulan per Pihak Asing, Pihak Asing wajib melampirkan dokumen sebagai berikut: a. dokumen underlying transaksi yang bisa dipertanggungjawabkan; dan b. pernyataan tertulis bermaterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari Pihak Asing atau pernyataan yang authenticated dari Pihak Asing mengenai kebenaran dokumen underlying sebagaimana dimaksud pada huruf a dan bahwa dokumen… -5- dokumen underlying hanya digunakan untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah paling banyak sebesar nominal underlying dalam sistem perbankan di Indonesia. Pasal 5 Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah atau Pihak Asing kepada Bank tanpa underlying hanya dapat dilakukan paling banyak sebesar USD100.000 (seratus ribu US Dollar) atau ekuivalen per bulan per Nasabah atau per Pihak Asing. Pasal 6 Bank yang melayani pembelian valuta asing oleh Nasabah atau Pihak Asing sampai dengan USD100.000 (seratus ribu US Dollar) per bulan per Nasabah atau per Pihak Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, wajib meminta surat pernyataan dari Nasabah atau dari Pihak Asing, bermaterai cukup atau pernyataan yang authenticated dari Pihak Asing yang menyatakan bahwa pembelian valuta asing terhadap rupiah tidak lebih dari USD100.000 (seratus ribu US Dollar) per bulan per Nasabah atau per Pihak Asing dari seluruh sistem perbankan di Indonesia. Pasal 7 Bank wajib menatausahakan dokumen underlying transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4. Pasal 8 Bank bertanggungjawab terhadap kelengkapan persyaratan yang disampaikan oleh Nasabah atau Pihak Asing. Pasal 9 Bank dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran atas Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, dan Pasal 5. Pasal 10… -6- Pasal 10 Transaksi yang sedang berjalan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan belum jatuh tempo setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, tidak tunduk pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 13 November 2008, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan huruf c, Pasal 4 ayat (2), dan Pasal 7 mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 2008. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 12 November 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 12 November 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 172 DPD PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/ 28 /PBI/2008 TENTANG PEMBELIAN VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH KEPADA BANK I. UMUM Pengaturan ini tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang berlaku selama ini, dimana setiap penduduk bebas memiliki dan menggunakan devisa, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Ketentuan ini bukan merupakan kebijakan kontrol devisa atau kontrol kapital yang membatasi arus modal lintas negara, melainkan hanya mengatur tata cara perolehan devisa melalui bank dengan memenuhi persyaratan tertentu, tanpa membatasi kebebasan pelaku ekonomi atas penggunaan devisa yang dimiliki. Sebagai lembaga yang memiliki tugas utama mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia berupaya meminimalkan transaksi valuta asing terhadap rupiah yang bersifat spekulatif. Langkah kebijakan tersebut diharapkan dapat membantu menjaga stabilitas nilai rupiah sehingga memberikan kontribusi positif bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3… -2- Pasal 3 Ayat (1) Termasuk dalam pengertian transaksi spot adalah transaksi today dan tomorrow. Pengertian transaksi derivatif lainnya termasuk namun tidak terbatas pada transaksi options. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Termasuk dalam pengertian transaksi spot outright adalah transaksi today dan tomorrow. Tidak termasuk transaksi derivatif dengan kombinasi transaksi spot. Ayat (2) Huruf a Dalam hal underlying adalah surat berharga, maka nilai nominal underlying yang digunakan untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah adalah sebesar nilai surat berharga ditambah kupon, capital gain, dan penerimaan terkait lainnya. Dalam hal underlying adalah pemberian kredit, maka nilai nominal underlying yang digunakan untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah adalah sebesar nilai pokok ditambah bunga dan penerimaan terkait lainnya. Dalam hal Pihak Asing melakukan repatriasi maka berlaku ketentuan yang mengatur mengenai penanaman modal. Huruf b Cukup jelas. Pasal 5… -3- Pasal 5 Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah atau Pihak Asing kepada Bank tersebut dihitung secara gross dan bersifat kumulatif. Contoh 1: Apabila pada tanggal 3 Desember 2008 terdapat Nasabah A yang melakukan pembelian valas terhadap rupiah sebesar USD50.000 (lima puluh ribu US Dollar) kepada Bank X dan pada tanggal yang sama Nasabah tersebut juga melakukan penjualan valas terhadap rupiah sebesar USD25.000 (dua puluh lima ribu US Dollar), maka perhitungan jumlah pembelian valas yang telah dilakukan oleh Nasabah A pada Bank X adalah USD50.000 (lima puluh ribu US Dollar). Contoh 2: Apabila pada tanggal 3 Desember 2008 terdapat Nasabah X melakukan pembelian valas terhadap rupiah sebesar USD30.000 (tiga puluh ribu US Dollar) kepada Bank A, kemudian pada tanggal 5 Desember 2008 Nasabah X melakukan pembelian valas terhadap rupiah sebesar USD50.000 (lima puluh ribu US Dollar) kepada Bank B, maka pembelian valas Nasabah X pada bulan Desember 2008 adalah sebesar USD80.000 (delapan puluh ribu US Dollar). Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10… -4- Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 4921
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/28/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> PEMBELIAN VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH KEPADA BANK </reg_title> <set_date> 12 November 2008 </set_date> <effective_date> 13 November 2008 </effective_date> <issued_date> 12 November 2008 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 9' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 12/ 1 /PBI/ 2010 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI PERUSAHAAN BUKAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pinjaman luar negeri merupakan salah satu faktor penting yang dapat berpengaruh positif maupun negatif terhadap neraca pembayaran, kestabilan moneter dan kesinambungan pembangunan; b. bahwa untuk mengurangi dampak negatif pada huruf a diatas, pinjaman luar negeri perlu dikelola dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dan kepentingan perekonomian nasional serta menjaga kepercayaan pasar keuangan internasional; c. bahwa pengelolaan pinjaman luar negeri juga perlu mengikuti berbagai perkembangan kondisi perekonomian global agar tetap memberikan suasana kondusif bagi perekonomian; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan tentang pinjaman luar negeri perusahaan bukan Bank dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat ... Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI PERUSAHAAN BUKAN BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank yang untuk selanjutnya disebut PLN Perusahaan adalah semua bentuk pinjaman perusahaan dari bukan ... bukan penduduk dalam valuta asing maupun rupiah, surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan oleh perusahaan, dan kewajiban lain kepada bukan penduduk dalam valuta asing maupun rupiah, termasuk juga yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 2. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan keuangan perusahaan bukan bank berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang Syariah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perbankan syariah. 3. Perusahaan Bukan Bank yang selanjutnya disebut Perusahaan adalah: a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN); b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); dan c. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS). 4. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang Badan Usaha Milik Negara yang berlaku. 5. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disebut BUMD adalah badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang Badan Usaha Milik Daerah yang berlaku. 6. Badan Usaha Milik Swasta yang selanjutnya disebut BUMS adalah badan usaha yang tidak termasuk dalam pengertian BUMN dan BUMD, yang berkedudukan di Indonesia dan berbadan hukum Indonesia maupun asing. 7. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar . 8. Bukan Penduduk adalah orang, badan hukum atau badan lainnya yang tidak berdomisili di Indonesia lebih dari 1 (satu) tahun dan/atau tidak berencana berdomisili di Indonesia lebih dari 1 (satu) tahun. 9. Kreditur ... 9. Kreditur atau penyedia dana adalah orang, badan hukum atau badan lainnya yang memberi pinjaman atau menyediakan dana/atau yang dapat dipersamakan dengan itu, kepada perusahaan untuk jangka waktu tertentu dengan terms and conditions yang telah disepakati. 10. PLN Perusahaan Jangka Pendek adalah PLN Perusahaan dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, baik langsung dari Kreditur atau pasar keuangan maupun tidak langsung melalui pihak lain yang merupakan afiliasi maupun non afiliasi. 11. PLN Perusahaan Jangka Panjang adalah PLN Perusahaan dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun baik langsung dari Kreditur atau pasar keuangan maupun tidak langsung melalui pihak lain yang merupakan afiliasi maupun non afiliasi. 12. Tahun adalah tahun kalender yang dimulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember. 13. Penerbitan Surat Utang Melalui Penawaran Umum adalah penerbitan surat utang yang tercatat maupun tidak tercatat di bursa sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai pasar modal yang berlaku. 14. Penerbitan Surat Utang Melalui Private Placement adalah penerbitan surat utang yang dilakukan selain melalui penawaran umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai pasar modal yang berlaku. BAB II RUANG LINGKUP Pasal 2 Perusahaan melakukan PLN Perusahaan Jangka Pendek maupun PLN Perusahaan Jangka Panjang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 3 ... Pasal 3 Jenis PLN Perusahaan meliputi: 1. Pinjaman dalam rupiah maupun valuta asing yang dilakukan berdasarkan perjanjian pinjaman (loan agreement) dengan Bukan Penduduk. 2. Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan di pasar keuangan internasional melalui penawaran umum. 3. Surat utang dalam rupiah maupun valuta asing yang diterbitkan melalui private placement kepada Bukan Penduduk. 4. Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan di pasar keuangan dalam negeri melalui penawaran umum. 5. Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan melalui private placement kepada Penduduk. 6. Kewajiban lainnya kepada Bukan Penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah selain PLN Perusahaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 5. 7. Bentuk kewajiban dan surat utang sebagaimana dimaksud angka 1 sampai dengan angka 6 yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. BAB III PRINSIP KEHATI-HATIAN PLN PERUSAHAAN Pasal 4 Perusahaan yang akan melakukan PLN Perusahaan Jangka Pendek maupun Jangka Panjang, harus menerapkan fungsi manajemen risiko yang antara lain meliputi: a. risiko pasar; b. risiko likuiditas; dan c. risiko operasional. BAB IV ... BAB IV KEWAJIBAN PELAPORAN Pasal 5 (1) Perusahaan yang berencana memperoleh PLN Perusahaan Jangka Panjang wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia secara benar dan lengkap yang meliputi: a. laporan rencana PLN Perusahaan untuk 1 (satu) tahun; b. hasil analisis manajemen risiko perusahaan; c. penilaian peringkat; d. rasio keuangan; dan e. laporan keuangan. (2) Kewajiban menyampaikan laporan penilaian peringkat kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya berlaku bagi Perusahaan yang memiliki penilaian peringkat. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat tanggal 10 Maret pada tahun yang bersangkutan atau hari kerja berikutnya apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur. Pasal 6 (1) Perusahaan yang memiliki posisi PLN Perusahaan Jangka Pendek dan/atau PLN Perusahaan Jangka Panjang wajib menyampaikan laporan secara benar dan lengkap kepada Bank Indonesia mengenai: a. rasio keuangan; dan b. laporan keuangan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap 6 (enam) bulan (per semester), yaitu paling lambat tanggal 10 Juni dan tanggal 10 Desember .... Desember atau hari kerja berikutnya apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur. Pasal 7 (1) Dalam hal terjadi perubahan rencana PLN Perusahaan Jangka Panjang dan/atau perubahan hasil analisis manajemen risiko perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b dan/atau Perusahaan baru merencanakan PLN Perusahaan Jangka Panjang setelah tanggal 10 Maret, maka Perusahaan wajib melaporkan perubahan dimaksud kepada Bank Indonesia. (2) Laporan perubahan rencana PLN Perusahaan Jangka Panjang dan/atau perubahan hasil analisis manajemen risiko perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat pada tanggal 1 Juli tahun yang bersangkutan atau hari kerja berikutnya apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur dengan menjelaskan penyebab perubahan. Pasal 8 Perusahaan dianggap tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1), dan Pasal 7 ayat (1), dalam hal laporan tidak diterima oleh Bank Indonesia 30 (tiga puluh) hari setelah batas waktu yang ditetapkan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2) dan/atau laporan diterima oleh Bank Indonesia sesuai jangka waktu yang ditetapkan namun tidak lengkap sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6. Pasal 9 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 6 ayat (1), dan Pasal 7 ayat (1) bersifat rahasia. Pasal 10 .... Pasal 10 Direksi Perusahaan bertanggung jawab atas kebenaran laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1). BAB V SANKSI Pasal 11 (1) Perusahaan yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa surat peringatan. (2) Perusahaan yang tidak menyampaikan laporan termasuk laporan yang tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dikenakan sanksi administratif berupa surat peringatan dan/atau pemberitahuan kepada otoritas/instansi yang berwenang. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 12 Ketentuan mengenai pengenaan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 11 mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2012. Pasal 13 Pengaturan lebih lanjut Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 14 .... Pasal 14 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/7/PBI/2008 tanggal 19 Februari 2008 tentang Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 28 Januari 2010 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di : Jakarta Pada tanggal : 28 Januari 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 20 DInt PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA Nomor : 12/1/PBI/ 2010 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI PERUSAHAAN BUKAN BANK I. UMUM Sebagai salah satu sumber pembiayaan, Pinjaman Luar Negeri (PLN) memiliki peranan penting bagi pertumbuhan dunia usaha dan perekonomian nasional yang sangat mempengaruhi kesinambungan pembangunan. Namun, PLN yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan fluktuasi berlebihan pada nilai tukar, ketidaksinambungan neraca pembayaran dan ketidakstabilan moneter. Kondisi tersebut pada gilirannya dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya krisis perekonomian. Mengingat PLN Perusahaan berpotensi memberikan dampak negatif terhadap stabilitas moneter, maka Bank Indonesia perlu mengatur PLN Perusahaan dengan seksama agar PLN tersebut dikelola dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian. Hal ini sesuai dengan salah satu tugas Bank Indonesia sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 dan diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. PLN Perusahaan yang dikelola secara berhati-hati dapat mengurangi berbagai risiko seperti risiko pasar dan risiko kredit. Prinsip kehati-hatian dalam PLN Perusahaan antara lain dilakukan melalui penerapan manajemen risiko dalam pengelolaan PLN Perusahaan dan peningkatan transparansi sebagaimana ditetapkan dalam peraturan Bank Indonesia ini. Berbagai ... Berbagai perkembangan kondisi perekonomian global telah memberikan dampak terhadap perekonomian Indonesia khususnya pada kondisi pasar keuangan domestik dan sektor riil. Dimana sektor riil mengalami proses pemulihan terkait dampak krisis ekonomi global. Disamping itu, memperhatikan kesiapan Perusahaan Bukan Bank dalam memenuhi ketentuan kewajiban menerapkan pengelolaan PLN secara berhati-hati, maka dipandang perlu untuk melakukan penyesuaian ketentuan prudential borrowing terhadap Perusahaan Bukan Bank. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 ... Angka 6 Yang dimaksud kewajiban lainnya meliputi antara lain sub ordinated loan dan sejenisnya yang dicatat sebagai bagian dari komponen modal. Kewajiban dalam bentuk utang dagang dan sewa tidak termasuk dalam ruang lingkup PLN Perusahaan. Utang sewa pembiayaan (finance lease) yang tercatat secara on balance sheet sebagai kewajiban (liabilities) termasuk dalam ruang lingkup PLN Perusahaan. Angka 7 Cukup jelas. Pasal 4 Yang dimaksud dengan “manajemen risiko” adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha. Yang dimaksud dengan “risiko pasar” adalah risiko nilai tukar dan risiko tingkat bunga. Upaya untuk mengelola risiko ini dapat dilakukan antara lain dengan memperhitungkan dampak pergerakan nilai tukar dan suku bunga terhadap kemampuan membayar kembali kewajiban dan melakukan lindung nilai (hedging). Yang dimaksud dengan “risiko likuiditas” adalah risiko ketidaktersediaan dana yang diperlukan. Upaya untuk mengelola risiko ini dapat dilakukan antara lain dengan menyesuaikan jangka waktu pinjaman dengan periode pengunaannya. Yang dimaksud dengan “risiko operasional” adalah risiko kerugian yang disebabkan karena ketidakcukupan dan atau gagalnya proses internal, manusia … manusia dan sistem, serta oleh peristiwa eksternal. Upaya untuk mengelola risiko ini dapat dilakukan antara lain dengan melakukan koordinasi antara pihak terkait baik internal maupun eksternal, serta penyempurnaan sistim data dan informasi. Dalam rangka menerapkan manajemen risiko Perusahaan dapat memperhatikan indikator mikro dan makro yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dalam melakukan PLN Perusahaan. Yang dimaksud dengan indikator mikro adalah indikator yang digunakan dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan PLN Perusahaan per sektor ekonomi yang diformulasikan dalam bentuk rata- rata atau kisaran indeks rasio keuangan baik jangka panjang maupun jangka pendek, meliputi antara lain: Rasio Likuiditas, Rasio Solvabilitas, Rasio Profitabilitas. Yang dimaksud dengan indikator makro adalah indikator yang digunakan dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian atas exposure PLN Perusahaan dalam skala makro (nasional) khususnya perspektif moneter yang diformulasikan dalam bentuk debt indicator ratio, yang meliputi antara lain private external debt to total external dan debt to Gross Domestic Product. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penilaian peringkat” adalah penilaian peringkat kredit perusahaan yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat … pemeringkat nasional maupun internasional kepada Perusahaan yang menggambarkan kemampuan dan kemauan Perusahaan tersebut untuk membayar kewajiban finansialnya sesuai dengan terms & conditions yang dipersyaratkan. Ayat (3) Batas waktu penyampaian laporan paling lambat tanggal 10 Maret dimaksudkan agar Perusahaan yang berencana melakukan PLN Perusahaan Jangka Panjang telah mempunyai rencana bisnis yang matang di awal tahun. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan yang disampaikan paling lambat tanggal 10 Juni adalah neraca posisi per 31 Desember dan laporan rugi laba periode Januari sampai dengan Desember tahun sebelumnya, atau neraca posisi akhir Tahun Buku dan laporan rugi laba periode 1 (satu) Tahun Buku untuk tahun sebelumnya bagi perusahaan yang menggunakan tahun pembukuan selain tahun kalender. Laporan yang disampaikan paling lambat tanggal 10 Desember adalah neraca posisi per 30 Juni dan laporan rugi laba periode Januari sampai dengan Juni tahun yang bersangkutan, atau neraca posisi pertengahan (semester) Tahun Buku dan laporan rugi laba periode 1 (satu) semester Tahun Buku untuk tahun yang bersangkutan … bersangkutan bagi perusahaan yang menggunakan tahun pembukuan selain tahun kalender. Tahun Buku adalah 1 (satu) periode akuntansi yang digunakan perusahaan dalam penyusunan laporan keuangan dan setara dengan 12 (dua belas) bulan tahun kalender. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 5102
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 12/1/PBI/2010 </reg_id> <reg_title> PINJAMAN LUAR NEGERI PERUSAHAAN BUKAN BANK </reg_title> <set_date> 28 Januari 2010 </set_date> <effective_date> 28 Januari 2010 </effective_date> <issued_date> 28 Januari 2010 </issued_date> <replaced_reg> '10/7/PBI/2008' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/ 15 /PBI/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/34/PBI/2008 TENTANG TRANSAKSI PEMBELIAN WESEL EKSPOR BERJANGKA OLEH BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa sehubungan dengan adanya penyempurnaan organisasi Bank Indonesia, terdapat perubahan satuan kerja yang bertugas melaksanakan transaksi pembelian Wesel Ekspor Berjangka; b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu untuk mengubah ketentuan mengenai transaksi pembelian Wesel Ekspor Berjangka oleh Bank Indonesia. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999... - 2 - 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/34/PBI/2008 TENTANG TRANSAKSI PEMBELIAN WESEL EKSPOR BERJANGKA OLEH BANK INDONESIA. Pasal I Ketentuan Pasal 19 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/34/PBI/2008 tentang Transaksi Pembelian Wesel Ekspor Berjangka Oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 195, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4942) diubah sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Bank Indonesia c.q Direktorat Pengelolaan Moneter – Biro Operasi Moneter melakukan transaksi pembelian WEB dengan Bank Penjual melalui sarana RMDS pada dealing room Bank. (2) Dalam... - 3 - (2) Dalam hal sarana RMDS mengalami gangguan maka transaksi pembelian WEB menggunakan sarana telepon dengan konfirmasi melalui SWIFT atau faksimili. Pasal II Peratuan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 Agustus 2010 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 23 Agustus 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 97 DInt
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 12/15/PBI/2010 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/34/PBI/2008 TENTANG TRANSAKSI PEMBELIAN WESEL EKSPOR BERJANGKA OLEH BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 23 Agustus 2010 </set_date> <effective_date> 23 Agustus 2010 </effective_date> <issued_date> 23 Agustus 2010 </issued_date> <changed_reg> '10/34/PBI/2008' </changed_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
Dicabut dengan PBI No. 2/20/PBI/2000 tanggal 12 September 2000 PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1/1/PBI/1999 TENTANG FASILITAS PENDANAAN DALAM RANGKA MENGATASI KESULITAN PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank menghadapi risiko pendanaan jangka pendek yang disebabkan terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar; b. bahwa untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek Bank Indonesia sebagai lender of the last resort dapat memberikan kredit kepada Bank Umum; c. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk menyusun ketentuan mengenai fasilitas pendanaan dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bagi Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara ... Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS PENDANAAN DALAM RANGKA MENGATASI KESULITAN PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan : 1 . Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha perbankan konvensional; 2. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) sehingga dapat mengakibatkan ... adalah keadaan yang dialami Bank kecil mengakibatkan terjadinya Saldo Giro Negatif yang bersifat sementara; 3. Saldo Giro Negatif adalah saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia yang menunjukkan angka negatif; 4. Fasilitas Kredit adalah penyediaan plafon pendanaan dari Bank Indonesia kepada Bank yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek; 5. Penarikan Kredit adalah pencairan dana dari Fasilitas Kredit; 6. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga atas unjuk dalam Rupiah yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai pengakuan hutang berjangka waktu pendek dengan sistem diskonto; 7. Repurchase Agreement atau jual bersyarat yang selanjutnya disebut Repo adalah transaksi jual beli surat berharga yang mewajibkan penjual untuk membeli kembali surat berharga yang bersangkutan sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan; 8. Outright atau jual lepas adalah transaksi jual beli surat berharga sebelum surat berharga yang bersangkutan jatuh waktu; 9. Surat Hutang Pemerintah adalah surat hutang yang diterbitkan oleh Pemerintah dan dapat diperdagangkan; 10. Pasar Uang Antar Bank yang untuk selanjutnya disebut PUAB adalah kegiatan pinjam meminjam dana antara 1 (satu) Bank dengan Bank lainnya; 11. Suku Bunga PUAB adalah suku bunga yang terjadi di PUAB pada 1 (satu) hari kerja sebelum hari Penarikan Kredit atau transaksi penjualan SBI secara Repo atau Outright, yang tercatat pada Pusat Informasi Pasar Uang; 12. Pusat ... 12. Pusat Informasi Pasar Uang yang untuk selanjutnya disebut PIPU adalah sistem otomasi yang menyediakan informasi pasar uang yang diatur oleh Bank Indonesia. Pasal 2 (1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek dapat memperoleh fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia berupa : a. Penjualan SBI secara Repo; dan/atau b. Penjualan SBI secara Outright; dan/atau c. Penarikan Kredit, dengan memenuhi persyaratan dan tata cara dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Bagi Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek dan memiliki SBI wajib terlebih dahulu menggunakan fasilitas sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b. BAB II PERSYARATAN DAN TATA CARA PENJUALAN SBI SECARA REPO DAN OUTRIGHT Pasal 3 (1) Bank dapat menjual SBI yang belum jatuh waktu secara Repo kepada Bank Indonesia dengan ketentuan: a. Jangka ... a. Jangka waktu Repo 1 (satu) hari (overnight) sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari; b. Pada saat Repo jatuh waktu, SBI yang bersangkutan masih mempunyai sisa jangka waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari; c. Tingkat diskonto ditetapkan sebagai berikut: 1) Repo jangka waktu 1 (satu) hari menggunakan rata-rata tertimbang Suku Bunga PUAB 1 (satu) hari ditambah 400 (empat ratus) basis point; 2) Repo jangka waktu 2 (dua) hari sampai dengan 45 (empat puluh lima) hari menggunakan rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI lelang 1 (satu) bulan yang tercatat dalam lelang SBI terakhir ditambah 400 (empat ratus) basis point; 3) Repo jangka waktu 46 (empat puluh enam) hari sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari menggunakan rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI lelang 3 (tiga) bulan yang tercatat dalam lelang SBI terakhir ditambah 400 (empat ratus) basis point. (2) Bank Indonesia dapat mengubah angka tambahan diskonto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 4 (1) Bank dapat menjual SBI secara Outright kepada Bank Indonesia dengan ketentuan: a. Sisa jangka waktu SBI 1 (satu) hari sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari; b. Tingkat ... b. Tingkat diskonto ditetapkan sebagai berikut : 1) tingkat diskonto SBI yang mempunyai sisa jangka waktu 1 (satu) hari adalah sebesar rata-rata tertimbang Suku Bunga PUAB 1 (satu) hari ditambah 400 (empat ratus) basis point; 2) tingkat diskonto SBI yang mempunyai sisa jangka waktu 2 (dua) hari sampai dengan 45 (empat puluh lima) hari adalah sebesar rata-rata tertimbang diskonto lelang SBI terakhir ditambah 400 (empat ratus) basis point; 3) tingkat diskonto SBI yang mempunyai sisa jangka waktu 46 (empat puluh enam) hari sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari adalah sebesar rata-rata tertimbang diskonto SBI lelang 3 (tiga) bulan yang tercatat dalam lelang SBI terakhir ditambah 400 (empat ratus) basis point. (2) Bank Indonesia dapat mengubah besarnya angka tambahan diskonto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 5 (1) Penjualan SBI secara Repo kepada Bank Indonesia tidak boleh melebihi 90 (sembilan puluh) hari untuk setiap transaksi. (2) Penjualan SBI secara Outright kepada Bank Indonesia tidak boleh dilakukan untuk SBI yang mempunyai sisa jangka waktu lebih dari 90 (sembilan puluh) hari. (3) Penjualan ... SBI lelang 1 (satu) bulan yang tercatat dalam (3) Penjualan SBI secara Repo atau Outright kepada Bank Indonesia hanya diperkenankan untuk SBI yang dimiliki Bank yang bersangkutan. Pasal 6 (1) Bank dapat melakukan penjualan SBI secara Repo atau Outright sesuai jadwal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Penyelesaian transaksi dilakukan pada hari kerja yang sama (same-day settlement) melalui pemindahbukuan dengan cara mengkredit rekening giro Bank pada Bank Indonesia. (3) Bank wajib menyerahkan SBI atau Bilyet Depot Simpan SBI (BDS-SBI) kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya pukul 15.00 waktu setempat. (4) Bank Indonesia dapat mengubah batas waktu penyerahan SBI atau Bilyet Depot Simpan SBI (BDS-SBI) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB III PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMPEROLEH FASILITAS KREDIT DAN PENARIKAN KREDIT Pasal 7 Bank hanya dapat melakukan Penarikan Kredit apabila telah memiliki Fasilitas Kredit. Pasal 8 ... Pasal 8 (1) Bank dapat memperoleh Fasilitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia dan menandatangani perjanjian penyediaan Fasilitas Kredit serta menyerahkan agunan. (2) Pengajuan permohonan penyediaan Fasilitas Kredit kepada Bank Indonesia dilakukan oleh Direksi Bank. (3) Fasilitas Kredit yang dapat diberikan oleh Bank Indonesia adalah sebesar nilai tunai agunan yang diserahkan oleh Bank. (4) Perjanjian penyediaan Fasilitas Kredit baru berlaku efektif setelah pengikatan agunan yang dipersyaratkan dipenuhi. (5) Besarnya Fasilitas Kredit dapat disesuaikan setiap saat berdasarkan nilai tunai agunan yang diserahkan. Pasal 9 (1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) berupa Surat Hutang Pemerintah dan/atau surat berharga lain milik Bank yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Surat berharga lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki peringkat 3 (tiga) teratas berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang kompeten. Pasal 10 ... Pasal 10 (1) Bank wajib mengganti agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 yang akan jatuh waktu selambat-lambatnya pada saat jatuh waktu agunan tersebut. (2) Dalam hal Bank tidak mengganti surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka : a. apabila agunan yang belum jatuh waktu lebih besar dari Penarikan Kredit, Fasilitas Kredit berkurang sebesar nilai agunan yang jatuh waktu; atau b. apabila agunan yang belum jatuh waktu lebih kecil dari Penarikan Kredit, Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia pada hari yang sama sebesar nilai agunan yang jatuh waktu. Pasal 11 (1) Bank hanya dapat melakukan penarikan Kredit apabila memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dalam waktu 3 (tiga) bulan terakhir berturut- turut sekurang-kurangnya cukup sehat. (2) Bank dapat mengajukan permohonan Penarikan Kredit sebanyak-banyaknya sebesar perkiraan Saldo Giro Negatif, dan tidak melebihi Fasilitas Kredit yang belum digunakan. (3) Bank Indonesia dapat mengubah persyaratan tingkat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 12 … Pasal 12 (1) Jangka waktu Penarikan Kredit, termasuk perpanjangannya, paling lama 90 (sembilan puluh) hari. (2) Penarikan Kredit dapat diberikan lebih dari 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dengan ketentuan total jangka waktu keseluruhan Penarikan Kredit tidak lebih dari 90 (sembilan puluh) hari. Pasal 13 (1) Penarikan Kredit dikenakan bunga sebesar 125% (seratus dua puluh lima perseratus) dari suku bunga yang tertinggi antara rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI lelang terakhir dengan rata-rata tertimbang Suku Bunga PUAB untuk jangka waktu yang sama dengan jangka waktu Penarikan Kredit. (2) Apabila dipergunakan rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI lelang terakhir maka ketentuannya adalah: a. Jangka waktu Penarikan Kredit 1 (satu) hari sampai dengan 45 (empat puluh lima) hari dikenakan rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI lelang berjangka 1 (satu) bulan; b. Jangka waktu Penarikan Kredit 46 (empat puluh enam) hari sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari dikenakan tingkat diskonto SBI lelang berjangka 3 (tiga) bulan. (3) Apabila dipergunakan rata-rata tertimbang Suku Bunga PUAB maka ketentuannya adalah : a. Jangka … rata-rata tertimbang a. Jangka waktu Penarikan Kredit 1 (satu) hari sampai dengan 3 (tiga) hari menggunakan rata-rata tertimbang Suku Bunga PUAB 1 (satu) hari; b. Jangka waktu Penarikan Kredit 4 (empat) hari sampai dengan 9 (sembilan) hari menggunakan rata-rata tertimbang Suku Bunga PUAB 7 (tujuh) hari; c. Jangka waktu Penarikan Kredit 10 (sepuluh) hari sampai dengan 50 (lima puluh) hari menggunakan rata-rata tertimbang Suku Bunga PUAB 1 (satu) bulan; d. Jangka waktu Penarikan Kredit 51 (lima puluh satu) hari sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari menggunakan rata-rata tertimbang Suku Bunga PUAB 3 (tiga) bulan. (4) Bank Indonesia dapat mengubah persentase bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IV PELUNASAN Pasal 14 (1) Pada saat Repo jatuh waktu, Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia pada akhir hari jatuh waktu. (2) Pelunasan ... (2) Pelunasan Penarikan Kredit yang jatuh waktu dilakukan dengan cara mendebet rekening giro Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia pada akhir hari jatuh waktu Penarikan Kredit. (3) Dalam hal pendebetan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan saldo rekening giro Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia menjadi negatif, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. BAB V PELAPORAN DAN PENGAWASAN Pasal 15 (1) Bank yang telah melakukan Penarikan Kredit diwajibkan untuk menyampaikan laporan mingguan kepada Bank Indonesia mengenai pos-pos dan transaksi-transaksi tertentu termasuk penggunaan Penarikan Kredit. (2) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank yang telah melakukan Penarikan Kredit. BAB VI SANKSI Pasal 16 (1) Bank dikenakan sanksi penghentian sementara dari kliring apabila Saldo Giro Negatif Bank pada Bank Indonesia tidak dapat ditutup sampai dengan batas ... batas waktu yang terjadi lebih awal antara : a. 60 (enam puluh) menit setelah loket kas Bank Indonesia dibuka pada hari kerja berikutnya; atau b. 30 (tiga puluh) menit sebelum kliring penyerahan berikutnya ditutup. (2) Apabila Saldo Giro Negatif terjadi pada rekening giro kantor pusat Bank maka penghentian sementara dari kegiatan kliring berlaku pula untuk seluruh kantor cabangnya. (3) Apabila Saldo Giro Negatif terjadi pada rekening giro kantor cabang Bank, maka penghentian sementara dari kegiatan kliring hanya berlaku untuk kantor cabang Bank yang bersangkutan. (4) Terhadap Saldo Giro Negatif yang terjadi dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar bunga sebesar 150% (seratus lima puluh perseratus) dari rata-rata tertimbang Suku Bunga PUAB untuk jangka waktu 1 (satu) hari yang tercatat pada PIPU. (5) Bank Indonesia dapat mengubah persentase bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 17 Kredit atau fasilitas yang sejenis yang telah diberikan oleh belum jatuh waktu pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tunduk pada persyaratan dan ketentuan yang mengatur masing-masing Bank Indonesia dan tetap fasilitas … fasilitas dimaksud sampai dengan jatuh waktu. Pasal 18 (1) Selama masa berlakunya penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum, Bank dapat menyerahkan agunan selain agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 untuk memperoleh Fasilitas Kredit, sepanjang Bank ikut dalam program penjaminan Pemerintah dan Penarikan Kredit digunakan untuk membayar tagihan yang tidak dikecualikan dalam program penjaminan Pemerintah. (2) Persyaratan tingkat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2001. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/55/KEP/DIR tanggal 1 Juli 1998 tentang Fasilitas Diskonto, Pelanggaran Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Saldo Giro Negatif Pada Bank Indonesia sepanjang mengenai Fasilitas Diskonto dan Pelanggaran Saldo Giro Negatif dinyatakan tidak berlaku. Pasal 20 … Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 Mei 1999 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 100 UOPM/UPPB PENJELASAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1//1/PBI/1999 TENTANG FASILITAS PENDANAAN DALAM RANGKA MENGATASI KESULITAN PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM I. UMUM Bank dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya menghadapi risiko likuiditas berupa kesulitan pendanaan jangka pendek yang apabila tidak segera diatasi dapat menimbulkan masalah yang lebih besar dan bersifat struktural (risiko solvabilitas). Kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami Bank disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara arus dana masuk dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch). Kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut dapat mengakibatkan terjadinya saldo giro Bank pada Bank Indonesia menjadi negatif. Untuk menutup kesulitan pendanaan yang bersifat jangka pendek, pada dasarnya Bank pertama-tama harus mencari dana di pasar uang, dengan menggunakan berbagai instrumen pasar uang yang tersedia. Dalam hal Bank telah gagal memperoleh dana di pasar uang, maka Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai bank sentral dapat membantu bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut. Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai lender of the last resort dapat ... dapat memberikan kredit kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek, dengan ketentuan Bank yang bersangkutan harus memiliki agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Sejalan dengan hal tersebut, Bank Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek kepada Bank, dengan maksud agar kelangsungan kegiatan usaha Bank dan kelancaran sistem pembayaran dapat terpelihara. Fasilitas pendanaan yang disediakan oleh Bank Indonesia meliputi penjualan SBI secara Repo dan/atau Outright dan penyediaan Fasilitas Kredit dengan agunan berupa Surat Hutang Pemerintah dan/atau surat berharga yang memiliki peringkat tinggi berdasarkan peringkat yang ditetapkan oleh lembaga pemeringkat yang kompeten. Pada dasarnya setiap Bank yang memiliki agunan yang memenuhi syarat dapat memperoleh Fasilitas Kredit dari Bank Indonesia. Namun demikian, dalam hal Bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek memiliki SBI maka Bank tersebut wajib terlebih dahulu melakukan penjualan SBI secara Repo dan/atau Outright guna menutup kekurangan pendanaannya, sebelum dapat menggunakan Fasilitas Kredit. Fasilitas Kredit dari Bank Indonesia diberikan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian antara lain dengan memperhatikan persyaratan kesehatan Bank dan pembatasan jangka waktu pemanfaatan Fasilitas Kredit sehingga diharapkan tidak ada lagi Bank yang menggantungkan pendanaannya dari Bank Indonesia. diberikan oleh Bank Indonesia juga diperketat pengaturan mengenai pemberian kredit Selain itu aspek pengamanan terhadap fasilitas yang sesuai dengan jiwa tersebut ... tersebut dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Mengingat fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia diberikan dalam rangka fungsi Bank Indonesia sebagai lender of the last resort maka Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek wajib mencari pendanaan dari PUAB atau sumber lain untuk menutupi kesulitan tersebut sebelum memperoleh fasilitas pendanaan berupa penjualan SBI secara Repo dan/atau Outright. Selanjutnya apabila kesulitan tersebut tidak dapat ditutup dengan penjualan SBI secara Repo dan/atau Outright baik karena Bank tidak memiliki SBI yang cukup atau tidak memiliki SBI sama sekali, Bank baru dapat melakukan Penarikan Kredit. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) ... Ayat (2) Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) dan ayat (2) Penjualan SBI secara Repo dan/atau Outright dilakukan dengan mengajukan permohonan penjualan kepada Bank Indonesia melalui Reuters Monitoring Dealing System (RMDS), telepon, faksimili, teleks atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, yang ditujukan kepada: a. Bagian ... a. Bagian OPU-UOPM, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Jabotabek; b. Bagian OPU-UOPM, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta melalui Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jabotabek. Permohonan tersebut selanjutnya ditegaskan dengan surat penjualan SBI secara Repo dan/atau Outright sebagaimana contoh dalam Lampiran 1 dan Lampiran 2, masing-masing dengan tembusan kepada Urusan Pengawasan Bank terkait. Pengajuan permohonan penjualan SBI secara Repo dan/atau Outright dapat dilakukan : a. dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 14.00 WIB, untuk wilayah Jabotabek; b. dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat, untuk wilayah di luar Jabotabek. Pembukuan hasil penjualan SBI secara Repo dan/atau Outright ke dalam rekening giro Bank dilakukan setelah Bank Indonesia menerima Surat Permohonan Penjualan SBI secara Repo dan/atau Outright dan penyerahan SBI dan/atau BDS-SBI yang dijual. Ayat (3) Penyerahan SBI dan/atau BDS-SBI disampaikan kepada : a. Bagian OPU-UOPM, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Jabotabek; b. Bagian ... b. Bagian OPU-UOPM, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta melalui Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jabotabek. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) dan ayat (2) Surat permohonan penyediaan Fasilitas Kredit diajukan kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh dalam Lampiran 3, dan disampaikan kepada : a. Urusan Operasi Pengendalian Moneter (UOPM), Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Jabotabek; b. Urusan Operasi Pengendalian Moneter (UOPM), Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta melalui Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jabotabek, masing-masing dengan tembusan kepada Urusan pengawasan Bank terkait. Ayat (3) … Ayat (3) Yang dimaksud dengan nilai tunai agunan adalah nilai riil agunan berdasarkan harga pasar yang terjadi pada saat Fasilitas Kredit disetujui. Nilai tunai agunan tersebut setiap saat akan disesuaikan oleh bank Indonesia, khususnya pada saat 7 (tujuh) hari sebelum surat berharga yang diagunkan jatuh waktu, pada saat Penarikan Kredit dan/atau pada saat jatuh waktu Penarikan Kredit. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Penyesuaian besarnya Fasilitas Kredit dengan agunan yang tersedia diikuti dengan melakukan perubahan pencatatan Fasilitas Kredit dan perubahan perjanjian pengikatan agunan yang bersangkutan. Pasal 9 Ayat (1) Penetapan mengenai surat berharga lain yang dapat dijadikan agunan akan dilakukan dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Ayat (2) Yang dimaksud dengan lembaga pemeringkat yang kompeten dalam ayat ini antara lain adalah PT. Pefindo. Dalam … Dalam hal agunan yang diserahkan berupa Obligasi Pemerintah yang berasal dari program rekapitalisasi perbankan, maka pada waktu penyerahannya, Obligasi Pemerintah tersebut harus merupakan obligasi yang dapat diperdagangkan. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Agunan yang telah jatuh waktu dapat ditarik kembali oleh Bank dan Fasilitas Kredit bagi Bank yang bersangkutan akan dikurangi sebesar nilai agunan yang ditarik tersebut. Huruf b Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Fasilitas Kredit dari Bank Indonesia semata-mata hanya digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang bersifat sementara dan tidak untuk mengatasi kesulitan yang bersifat struktural seperti kesulitan yang menyangkut permodalan, sehingga Bank dalam melakukan Penarikan Kredit wajib memenuhi persyaratan tingkat kesehatan. Ayat (2) ... Ayat (2) Perkiraan Saldo Giro Negatif Ayat (3) Cukup jelas Pasal 12 Yang dimaksud dengan 90 (sembilan puluh) hari adalah 90 (sembilan puluh) hari kalender. Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Total jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari dalam ayat ini merupakan kumulatif dari seluruh jangka waktu Penarikan Kredit yang dilakukan baik yang sudah dilunasi maupun belum, selama 1 (satu) tahun. Yang dimaksud dengan 1 (satu) tahun adalah 1 (satu) tahun kalender. Untuk tahun 1999 berakhir pada 31 Desember 1999 dan untuk tahun selanjutnya dimulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) ... antara lain didasarkan pada hasil perhitungan kliring pada hari yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) dan ayat (2) Pendebetan rekening giro Bank oleh Bank Indonesia dilakukan setelah pukul 14.00 waktu setempat. Apabila jatuh waktu Kredit jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka pendebetan rekening giro Bank pada dilakukan pada awal hari kerja berikutnya. Bank Indonesia Ayat (3) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Laporan disampaikan setiap tanggal 7, 15, 23 dan akhir bulan kepada : a. Urusan Pengawasan Bank terkait, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Jabotabek; b. Urusan Pengawasan Bank terkait melalui Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jabotabek, sebagaimana ... sebagaimana contoh dalam Lampiran 4. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan kliring penyerahan berikutnya adalah kliring penyerahan yang terjadi setelah dilakukan pembukuan hasil kliring sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Sanksi kewajiban membayar bunga pada ayat ini hanya dikenakan kepada Bank apabila posisi Saldo Negatif tersebut melewati waktu penutupan sistem akunting Bank Indonesia. Perhitungan bunga Saldo Giro Negatif dilakukan berdasarkan perkalian antara jumlah saldo negatif rekening giro bank di bank Indonesia dengan rata-rata tertimbang Suku Bunga PUAB untuk jangka waktu 1 (satu) hari yang tercatat pada PIPU, dengan rumus sebagai berikut : Saldo ... Saldo Giro Negatif x 150% x rata-rata tertimbang Suku Bunga PUAB x hari 1 hari yang tercatat pada PIPU 360 x 100 Ayat (5) Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pada tanggal 1 Januari 2001 diperkirakan tingkat kesehatan bank- bank secara umum telah membaik. Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3855 UPPB/UOPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 1/1/PBI/1999 </reg_id> <reg_title> FASILITAS PENDANAAN DALAM RANGKA MENGATASI KESULITAN PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 18 Mei 1999 </set_date> <effective_date> 18 Mei 1999 </effective_date> <replaced_reg> '31/55/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1/8/PBI/1999 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 1999 GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan kegiatan masyarakat dalam melakukan transaksi tunai, perlu didukung dengan ketersediaan pecahan uang rupiah yang memadai sebagai alat pembayaran yang sah; b. bahwa dalam rangka mempermudah dan memperlancar penyelesaian transaksi tunai, dipandang perlu untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 1999; c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk mengatur pengeluaran dan pengedaran uang rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 1999 dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN …. - 2 - MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 1999. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 1999 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia. Pasal 2 Macam uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis uang kertas yang terbuat dari bahan plastik. Pasal 3 Harga uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai nominal Rp100.000 (seratus ribu rupiah). Pasal 4 Ciri uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah : A. GAMBAR 1. Bagian Muka a. gambar utama berupa gambar 2 (dua) orang Pahlawan Proklamator, dan di bawahnya … - 3 - di bawahnya dicantumkan tulisan “Dr. Ir. Soekarno” dan “Dr. H. Mohammad Hatta”; b. diantara gambar 2 (dua) orang Pahlawan Proklamator terdapat tulisan “Teks Proklamasi Republik Indonesia” dengan latar belakang ragam hias yang menyerupai bunga; c. di sebelah atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dengan garis bawah berupa tulisan mikro “100000” berulang-ulang tanpa spasi dan di bawah gambar utama terdapat tulisan “SERATUS RIBU RUPIAH”; d. dalam arah horizontal di pojok kiri atas dan dalam arah vertikal di pinggir kanan terdapat angka nominal “100000”; e. latent image berupa logo Bank Indonesia dalam bidang berbentuk oval terdapat di pojok kiri bawah atau di pundak kanan gambar Dr. Ir. Soekarno, dan di pojok kanan atas terdapat gambar Lambang Negara Garuda Pancasila yang dicetak di atas bidang lingkaran emas metalik; f. di sebelah kanan gambar utama terdapat anti reproduksi berupa angka “100000” yang terbuat dari garis-garis vertikal dan miring, angka tahun emisi “1999”, tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia (Syahril Sabirin) beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia (Iwan R. Prawiranata) beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; g. sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis horizontal, bergelombang, miring dan rangkaian garis melengkung yang membentuk hiasan menyerupai bunga; 2. Bagian Belakang a. gambar utama berupa gambar gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; b. di sebelah … - 4 - b. di sebelah atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dengan garis bawah berupa tulisan mikro “100000” berulang-ulang tanpa spasi; di bawah nomor seri sebelah kanan atas terdapat angka “100000” dalam bidang segi empat yang akan terlihat berwarna hijau kekuning- kuningan di bawah sinar ultra violet, dan logo Bank Indonesia dengan latar belakang garis-garis melengkung berbentuk setengah lingkaran; c. di sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS RIBU RUPIAH”; d. dalam arah horizontal di pojok kanan atas dan dalam arah vertikal di pinggir kiri atas terdapat angka nominal “100000”; e. nomor seri berwarna hitam yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak di pojok kiri bawah dan di sebelah kanan atas tepat di bawah angka nominal “100000”; B. WARNA bagian muka dan bagian belakang dicetak dengan warna kuning, oranye, hijau, merah, biru dan coklat; C. BAHAN 1. jenis bahan polymer substrate (plastik) dengan ukuran 151 mm x 65 mm; 2. bahan polymer substrate (plastik) memiliki: a. shadow image berupa gambar Lambang Negara Garuda Pancasila; b. benang pengaman terpotong oleh shadow image dengan bentuk melengkung yang memuat tulisan “BANK INDONESIA 100000” berselang … - 5 - berselang-seling terbalik yang dapat dibaca dari bagian muka dan bagian belakang; c. bidang lingkaran warna emas metalik terletak di pojok kanan atas; d. plastik transparan berwarna merah (color window) menyerupai bunga yang di dalamnya terdapat emboss logo Bank Indonesia yang terasa kasar bila diraba; di bawahnya terdapat dua buah plastik transparan (clear windows) menyerupai daun yang di dalamnya masing-masing terdapat gambar padi dan kapas. Pasal 5 Uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan mulai tanggal 1 November 1999. Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 19 Oktober 1999 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 206 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 1/8/PBI/1999 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 1999 </reg_title> <set_date> 19 Oktober 1999 </set_date> <effective_date> 19 Oktober 1999 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/40/PBI/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMROSESAN TRANSAKSI PEMBAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perkembangan teknologi dan sistem informasi terus melahirkan berbagai inovasi, khususnya yang berkaitan dengan financial technology (fintech) dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk di bidang jasa sistem pembayaran, baik dari sisi instrumen, infrastruktur penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran; b. bahwa inovasi dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran perlu tetap mendukung terciptanya sistem pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan andal, sehingga diperlukan pengaturan terhadap penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk melengkapi ketentuan yang sudah ada dengan mengedepankan pemenuhan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang memadai, serta dengan tetap memperhatikan perluasan akses, kepentingan nasional dan perlindungan konsumen, termasuk standar dan praktik internasional; penyelenggara, mekanisme, maupun - 2 - c. bahwa dalam rangka meningkatkan ketahanan dan daya saing industri sistem pembayaran nasional, Bank Indonesia perlu mendorong peran pelaku domestik antara lain melalui penataan struktur kepemilikan penyelenggara jasa sistem pembayaran; d. bahwa pengaturan mengenai penyelenggaraan jasa sistem pembayaran dalam ketentuan saat ini, perlu terus dilengkapi dan dirumuskan secara lebih komprehensif untuk memberikan arah dan pedoman yang semakin jelas kepada penyelenggara jasa sistem pembayaran dan penyelenggara penunjang transaksi pembayaran, serta kepada masyarakat; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843); 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204); - 3 - Menetapkan : PERATURAN MEMUTUSKAN: BANK PENYELENGGARAAN PEMBAYARAN. INDONESIA PEMROSESAN TENTANG TRANSAKSI BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan dan bank syariah sebagaimana dimaksud dalam undang- undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 2. Lembaga Selain Bank adalah badan usaha bukan Bank yang berbadan hukum dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia. 3. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran. 4. Penyelenggara Penunjang Transaksi Pembayaran yang selanjutnya disebut Penyelenggara Penunjang adalah pihak yang menyediakan layanan kepada Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dalam rangka menunjang penyelenggaraan kegiatan jasa sistem pembayaran. 5. Switching adalah infrastruktur yang berfungsi sebagai pusat dan/atau penghubung penerusan data transaksi pembayaran melalui jaringan yang menggunakan alat pembayaran dengan menggunakan kartu, uang elektronik, dan/atau transfer dana. 6. Payment Gateway adalah layanan elektronik yang memungkinkan pedagang untuk memproses transaksi pembayaran dengan menggunakan alat pembayaran dengan menggunakan kartu, uang elektronik, dan/atau Proprietary Channel. - 4 - 7. Dompet Elektronik (Electronic Wallet) yang selanjutnya disebut Dompet Elektronik adalah layanan elektronik untuk menyimpan data instrumen pembayaran antara lain alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan/atau uang elektronik, yang dapat juga menampung dana, untuk melakukan pembayaran. 8. Proprietary Channel adalah kanal pembayaran yang dikembangkan dan dimiliki oleh Bank secara eksklusif untuk kepentingan nasabah sendiri yang antara lain menggunakan teknologi berbasis short message service, mobile, web, subscriber identity module tool kit, dan/atau unstructured supplementary service data. 9. Penyelenggara Switching adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menyelenggarakan kegiatan Switching. 10. Penyelenggara Payment Gateway adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menyelenggarakan kegiatan Payment Gateway. 11. Penyelenggara Dompet Elektronik adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menyelenggarakan Dompet Elektronik. 12. Prinsipal adalah prinsipal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. 13. Penerbit adalah penerbit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. 14. Acquirer adalah acquirer sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. - 5 - 15. Penyelenggara Kliring adalah penyelenggara kliring sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. 16. Penyelenggara Penyelesaian Akhir adalah penyelenggara penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. 17. Penyelenggara Transfer Dana adalah penyelenggara transfer dana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transfer dana. BAB II PENYELENGGARA DALAM PEMROSESAN TRANSAKSI PEMBAYARAN Pasal 2 (1) Pemrosesan transaksi pembayaran dilakukan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Penyelenggara Penunjang. (2) Pemrosesan transaksi pembayaran dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan: a. pratransaksi; b. c. otorisasi; kliring; d. penyelesaian akhir (setelmen); dan e. pascatransaksi. Pasal 3 (1) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri atas: a. Prinsipal; b. Penyelenggara Switching; c. Penerbit; dan sebagaimana - 6 - d. Acquirer; e. Penyelenggara Payment Gateway; f. Penyelenggara Kliring; g. Penyelenggara Penyelesaian Akhir; h. Penyelenggara Transfer Dana; i. j. Penyelenggara Dompet Elektronik; dan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan Penyelenggara Payment Gateway sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan penyelenggara yang termasuk dalam kategori merchant acquiring services. (3) Penyelenggara Penunjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan perusahaan yang menyelenggarakan kegiatan antara lain: a. pencetakan kartu; b. personalisasi pembayaran; c. penyediaan pusat data (data center) dan/atau pusat pemulihan bencana (disaster recovery center); d. penyediaan terminal; e. penyediaan fitur keamanan instrumen pembayaran dan/atau transaksi pembayaran; f. penyediaan teknologi pendukung transaksi nirkontak (contactless); dan/atau g. penyediaan penerusan (routing) data pendukung pemrosesan transaksi pembayaran. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Penyelenggara Penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. - 7 - BAB III PERIZINAN DAN PERSETUJUAN DALAM PENYELENGGARAAN PEMROSESAN TRANSAKSI PEMBAYARAN Bagian Kesatu Umum Pasal 4 (1) Setiap pihak yang bertindak sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Pihak yang telah memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan akan melakukan: a. pengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran; b. pengembangan produk dan aktivitas jasa sistem pembayaran; dan/atau c. kerja sama dengan pihak lain, wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Bagian Kedua Perizinan Pasal 5 (1) Pihak yang mengajukan izin untuk menjadi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran harus memenuhi persyaratan: a. umum; dan b. aspek kelayakan sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. (2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak yang mengajukan izin untuk menjadi Prinsipal, Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir - 8 - harus berbentuk perseroan terbatas yang paling sedikit 80% (delapan puluh persen) sahamnya dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia; dan/atau b. badan hukum Indonesia. (3) Dalam hal terdapat kepemilikan asing pada Prinsipal, Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka perhitungan jumlah kepemilikan asing tersebut meliputi kepemilikan secara langsung dan kepemilikan secara tidak langsung. (4) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah memperoleh izin sebagai Prinsipal, Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib tetap memenuhi persentase kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 6 (1) Pihak yang mengajukan izin untuk menjadi Penyelenggara Switching atau Penyelenggara Payment Gateway harus berupa: a. Bank; atau b. Lembaga Selain Bank. (2) Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berbentuk perseroan terbatas yang melakukan kegiatan usaha di bidang teknologi informasi dan/atau sistem pembayaran. Pasal 7 (1) Pihak yang mengajukan izin untuk menjadi Penyelenggara Dompet Elektronik harus berupa: a. Bank; atau b. Lembaga Selain Bank. (2) Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berbentuk perseroan terbatas. - 9 - Pasal 8 Kewajiban memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) berlaku bagi Bank atau Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yang menyelenggarakan Dompet Elektronik dengan pengguna aktif telah mencapai atau direncanakan akan mencapai jumlah paling sedikit 300.000 (tiga ratus ribu) pengguna. Pasal 9 (1) Pihak yang akan menjadi Penyelenggara Switching dan/atau Penyelenggara Payment Gateway sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan/atau Penyelenggara Dompet Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, harus memenuhi persyaratan aspek kelayakan sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang meliputi: a. legalitas dan profil perusahaan; b. hukum; c. kesiapan operasional; d. keamanan dan keandalan sistem; e. kelayakan bisnis; f. kecukupan manajemen risiko; dan g. perlindungan konsumen. (2) Bagi pihak yang akan mengajukan izin untuk menjadi Penyelenggara Dompet Elektronik yang dapat juga menampung dana maka pemenuhan persyaratan: a. kecukupan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f; dan b. perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, harus mencakup pula manajemen risiko dan perlindungan konsumen terkait pengelolaan dana yang ditampung dalam Dompet Elektronik. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan persyaratan sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. - 10 - Pasal 10 (1) Persyaratan dan tata cara memperoleh izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara Penyelesaian Akhir mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu atau ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. (2) Persyaratan dan tata cara memperoleh izin sebagai Penyelenggara Transfer Dana mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transfer dana. Bagian Ketiga Persetujuan Pasal 11 (1) Persetujuan untuk pengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a meliputi: a. penyelenggaraan Payment Gateway yang dilakukan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah memperoleh izin sebagai Penerbit dan/atau Acquirer; b. penyelenggaraan Dompet Elektronik yang dilakukan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagai berikut: 1. Bank; atau 2. Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin sebagai Penerbit uang elektronik; dan/atau c. penyelenggaraan Proprietary Channel yang dilakukan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran berupa Bank. (2) Persetujuan untuk pengembangan produk dan aktivitas jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi pengembangan fitur, jenis, layanan, dan/atau fasilitas dari produk dan/atau aktivitas jasa sistem pembayaran yang telah berjalan. - 11 - (3) Persetujuan untuk melakukan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c meliputi: a. kerja sama dengan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lain; dan/atau b. kerja sama dengan Penyelenggara Penunjang. (4) Pihak yang memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib tunduk pada ketentuan yang berlaku bagi Penyelenggara Payment Gateway dan Penyelenggara Dompet Elektronik. Pasal 12 (1) Pemberian persetujuan kepada Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dalam rangka pengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dan pengembangan produk dan aktivitas jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b mempertimbangkan pemenuhan persyaratan yang meliputi aspek: a. kesiapan operasional; b. keamanan dan keandalan sistem; c. penerapan manajemen risiko; dan d. perlindungan konsumen. (2) Selain pemenuhan aspek sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia juga mempertimbangkan hasil pengawasan terhadap kinerja Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. Pasal 13 Pemberian persetujuan kepada Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dalam rangka kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c mempertimbangkan pemenuhan persyaratan yang meliputi aspek: a. legalitas dan profil perusahaan; b. kompetensi pihak yang akan diajak bekerjasama; - 12 - c. kinerja; d. keamanan dan keandalan sistem dan infrastruktur; dan e. hukum. Pasal 14 (1) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran bertanggung jawab untuk memastikan keamanan dan kelancaran pemrosesan transaksi pembayaran, termasuk dalam hal dilakukan melalui kerja sama dengan Penyelenggara Penunjang. (2) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib melakukan evaluasi secara berkala atas kinerja Penyelenggara Penunjang. Bagian Keempat Tata Cara dan Pemrosesan Izin dan Persetujuan Pasal 15 (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan: a. mengajukan izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); atau b. mengajukan persetujuan dalam rangka pengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran, pengembangan produk dan aktivitas jasa sistem pembayaran, dan/atau kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), harus menyampaikan permohonan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung pemenuhan aspek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 12, dan Pasal 13. (2) Dalam rangka memproses permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Bank Indonesia melakukan hal sebagai berikut: a. penelitian administratif; - 13 - b. analisis kelayakan bisnis; dan c. pemeriksaan terhadap Bank atau Lembaga Selain Bank. (3) Dalam rangka memproses permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Bank Indonesia melakukan hal sebagai berikut: a. penelitian administratif; b. analisis terhadap kinerja Bank atau Lembaga Selain Bank; dan c. pemeriksaan terhadap Bank atau Lembaga Selain Bank, jika diperlukan. (4) Berdasarkan hasil proses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Bank Indonesia menetapkan keputusan untuk: a. menyetujui; atau b. menolak, permohonan izin atau persetujuan yang diajukan. (5) Bank Indonesia dapat memberikan kemudahan kepada Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah memperoleh izin atas proses persetujuan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam rangka penggunaan dan perluasan penggunaan instrumen pembayaran nontunai untuk program yang terkait dengan kebijakan nasional. (6) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan dengan tetap memperhatikan penyelenggaraan kegiatan jasa sistem pembayaran. Bagian Kelima Kewajiban bagi Pihak Asing Pasal 16 Pihak asing yang menyelenggarakan jasa sistem pembayaran di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau bekerjasama dengan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, wajib tunduk pada Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan. risiko - 14 - Bagian Keenam Kebijakan Perizinan dan/atau Persetujuan Pasal 17 (1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan perizinan dan/atau persetujuan penyelenggaraan jasa sistem pembayaran. (2) Penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pertimbangan: a. menjaga efisiensi nasional; b. mendukung kebijakan nasional; c. menjaga kepentingan publik; d. menjaga pertumbuhan industri; dan/atau e. menjaga persaingan usaha yang sehat. BAB IV PENYELENGGARAAN PEMROSESAN TRANSAKSI PEMBAYARAN Pasal 18 (1) Dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, setiap Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib: a. menerapkan manajemen risiko secara efektif dan konsisten; b. menerapkan standar keamanan sistem informasi; c. menyelenggarakan pemrosesan pembayaran secara domestik; d. menerapkan perlindungan konsumen; dan e. memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Kewajiban pemrosesan transaksi pembayaran secara domestik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan sebagai berikut: a. untuk Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang memproses transaksi alat pembayaran dengan menggunakan kartu, tunduk pada ketentuan Bank transaksi - 15 - Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu; dan b. untuk Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang memproses transaksi uang elektronik dan/atau transaksi sistem pembayaran lainnya, tunduk pada ketentuan yang akan ditetapkan kemudian oleh Bank Indonesia. Bagian Kesatu Penerapan Manajemen Risiko Pasal 19 (1) Penerapan manajemen risiko secara efektif dan konsisten atas penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran mencakup: a. pengawasan aktif manajemen; b. kecukupan kebijakan dan prosedur serta struktur organisasi; c. fungsi manajemen risiko dan sumber daya manusia pelaksana; dan d. pengendalian intern. (2) Penerapan manajemen risiko oleh Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara Penyelesaian Akhir selain mengacu pada penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga mengacu pada ketentuan mengenai manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan/atau Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik, serta ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. (3) Penerapan manajemen risiko oleh Penyelenggara Transfer Dana selain mengacu pada penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga mengacu pada ketentuan penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang - 16 - mengatur mengenai transfer dana dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Bagian Kedua Keamanan Sistem Informasi Pasal 20 (1) Penerapan standar keamanan sistem informasi oleh Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan Penyelenggara Transfer Dana mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu, ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik, dan/atau ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transfer dana. (2) Penerapan standar keamanan sistem informasi oleh Penyelenggara Switching, Penyelenggara Payment Gateway, Penyelenggara Dompet Elektronik, dan Bank yang menyelenggarakan Proprietary Channel paling sedikit: a. pemenuhan sertifikasi dan/atau standar keamanan dan keandalan sistem yang berlaku umum atau yang ditetapkan oleh Bank Indonesia atau otoritas/lembaga terkait; b. pemeliharaan dan peningkatan keamanan teknologi; dan c. pelaksanaan audit yang diselenggarakan secara berkala paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali atau setiap terdapat perubahan yang signifikan. (3) Pemenuhan sertifikasi dan/atau standar keamanan sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a oleh Penyelenggara Switching paling sedikit: a. pengamanan data dan informasi terkait transaksi pembayaran yang diproses; dan b. pengamanan jaringan. - 17 - (4) Pemenuhan sertifikasi dan/atau standar keamanan sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a bagi Penyelenggara Payment Gateway paling sedikit: a. pengamanan data dan informasi terkait transaksi pembayaran yang diproses; b. pengamanan jaringan; dan c. penerapan fraud detection system. (5) Pemenuhan sertifikasi dan/atau standar keamanan sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a bagi Penyelenggara Dompet Elektronik paling sedikit: a. pengamanan data dan informasi pengguna serta data dan informasi instrumen pembayaran yang disimpan dalam Dompet Elektronik; b. sistem dan prosedur aktivasi dan penggunaan Dompet Elektronik; dan c. penerapan fraud detection system. Bagian Ketiga Penyelenggaraan Dompet Elektronik Pasal 21 (1) Dalam hal terjadi permintaan pengembalian dana (refund) atas pembatalan transaksi pembayaran, Penyelenggara Dompet Elektronik wajib segera melaksanakan pengembalian dana (refund) tersebut kepada pengguna Dompet Elektronik. (2) Penyelenggara Dompet Elektronik wajib memiliki prosedur untuk memastikan terlaksananya pengembalian dana (refund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dana hasil pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib segera dikembalikan ke dalam sumber dana asal yang digunakan untuk melakukan transaksi pembayaran. - 18 - Pasal 22 (1) Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Penyelenggara Dompet Elektronik yang menyelenggarakan Dompet Elektronik yang dapat digunakan untuk menyimpan data instrumen pembayaran dan menampung dana, wajib untuk: a. memastikan penggunaan dana pada Dompet Elektronik hanya untuk tujuan pembayaran; b. mematuhi ketentuan Bank Indonesia mengenai batasan nilai dana yang dapat ditampung dalam Dompet Elektronik; c. memastikan dana yang dimiliki pengguna telah tersedia dan dapat digunakan saat melakukan transaksi; d. menempatkan seluruh dana yang tersimpan dalam Dompet Elektronik dalam bentuk aset yang aman dan likuid untuk memastikan ketersediaan dana sebagaimana dimaksud dalam huruf c; e. memastikan bahwa penggunaan dana hanya untuk memenuhi kepentingan transaksi pembayaran oleh pengguna Dompet Elektronik; dan f. menerapkan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Batasan nilai dana yang dapat ditampung dalam Dompet Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilampaui dalam hal: a. terdapat pengembalian dana (refund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); dan b. Penyelenggara Dompet Elektronik mampu mengidentifikasi kelebihan dana tersebut sebagai hasil pengembalian dana (refund). (3) Penempatan seluruh dana yang tersimpan dalam Dompet Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan dengan: a. menatausahakan dana yang tersimpan dalam Dompet Elektronik melalui pencatatan pada pos - 19 - kewajiban segera atau rupa-rupa pasiva bagi Penyelenggara Dompet Elektronik berupa Bank; atau b. menempatkan dana yang tersimpan dalam Dompet Elektronik sebesar 100% (seratus persen) pada bank umum dalam bentuk rekening simpanan, bagi Penyelenggara Dompet Elektronik berupa Lembaga Selain Bank. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Penyelenggara Dompet Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keempat Penyelenggaraan Payment Gateway Pasal 23 Penyelenggara Payment Gateway yang dalam penyelenggaraan kegiatannya melakukan fungsi untuk menyelesaikan pembayaran kepada pedagang, wajib: a. memiliki dan menjalankan mekanisme dan prosedur mengenai: 1. pemilihan pedagang (merchant acquisition) yang difasilitasi dengan penyediaan Payment Gateway; dan 2. penyelesaian pembayaran kepada pedagang; dan b. melakukan evaluasi terhadap kelancaran dan keamanan transaksi pembayaran yang dilakukan melalui pedagang. Bagian Kelima Perlindungan Konsumen Pasal 24 (1) Penerapan prinsip perlindungan konsumen oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai perlindungan konsumen jasa sistem pembayaran. - 20 - (2) Penerapan prinsip perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. keadilan dan keandalan; b. transparansi; c. perlindungan data dan/atau informasi konsumen; dan d. penanganan dan penyelesaian pengaduan yang efektif. Pasal 25 Penerapan prinsip perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 oleh Penyelenggara Payment Gateway antara lain: a. penyediaan informasi yang memadai kepada konsumen mengenai mekanisme pembayaran melalui Payment Gateway, termasuk mengenai penggunaan data dan informasi instrumen pembayaran dalam transaksi online; dan b. turut memastikan terlaksananya penyerahan barang dan/atau jasa dari pedagang kepada konsumen setelah konsumen melakukan pembayaran dalam transaksi online. Pasal 26 Penerapan prinsip perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 oleh Penyelenggara Dompet Elektronik antara lain: a. penyediaan informasi yang memadai kepada konsumen mengenai Dompet Elektronik yang diselenggarakan, termasuk informasi mengenai prosedur pengembalian dana (refund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; dan b. memiliki dan melaksanakan mekanisme penanganan pengaduan konsumen. - 21 - Bagian Keenam Pemenuhan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Pasal 27 Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran selain tunduk pada Peraturan Bank Indonesia ini juga wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain ketentuan yang mengatur mengenai: a. kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi pembayaran yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. transaksi perdagangan melalui sistem elektronik; dan c. penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik. BAB V LAPORAN Pasal 28 (1) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran kepada Bank Indonesia. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. laporan berkala; dan b. laporan insidental. (3) Penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas: a. laporan bulanan; b. laporan triwulanan; c. laporan tahunan; dan/atau d. laporan hasil audit sistem informasi dari auditor independen yang dilakukan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun. - 22 - (4) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas: a. laporan gangguan dalam pemrosesan transaksi pembayaran dan tindak lanjut yang telah dilakukan; b. laporan perubahan modal dan/atau susunan pemegang saham serta perubahan susunan pengurus Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran; force majeure c. laporan terjadinya d. penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran; laporan perubahan data dan informasi pada dokumen yang disampaikan pada saat mengajukan permohonan izin kepada Bank Indonesia; dan e. laporan lainnya yang diperlukan oleh Bank Indonesia. (5) Format dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara Penyelesaian Akhir mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. (6) Format dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Penyelenggara Transfer Dana mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transfer dana. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai format dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Penyelenggara Switching, Penyelenggara Payment Gateway, dan Penyelenggara Dompet Elektronik diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 29 (1) Penyelenggara Dompet Elektronik yang tidak terkena kewajiban izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus menyampaikan laporan penyelenggaraan Dompet Elektronik kepada Bank Indonesia. atas - 23 - (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VI PERALIHAN IZIN PENYELENGGARA JASA SISTEM PEMBAYARAN Pasal 30 (1) Peralihan izin penyelenggaraan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara Penyelesaian Akhir mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. (2) Peralihan izin penyelenggaraan kegiatan sebagai Penyelenggara Transfer Dana mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transfer dana. Pasal 31 (1) Peralihan izin penyelenggaraan kegiatan sebagai Penyelenggara Switching, Penyelenggara Payment Gateway, dan/atau Penyelenggara Dompet Elektronik kepada pihak lain hanya dapat dilakukan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemisahan. (2) Peralihan izin penyelenggaraan kegiatan sebagai Penyelenggara Switching, Penyelenggara Payment Gateway, dan/atau Penyelenggara Dompet Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib terlebih dahulu memperoleh izin Bank Indonesia. Pasal 32 (1) Dalam hal akan dilakukan pengambilalihan Bank yang telah memperoleh izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, Bank tersebut wajib melaporkan secara tertulis rencana pengambilalihan kepada Bank Indonesia. - 24 - (2) Dalam hal akan dilakukan pengambilalihan Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, Lembaga Selain Bank tersebut wajib menyampaikan permohonan persetujuan secara tertulis kepada Bank Indonesia perihal rencana pengambilalihan. (3) Laporan rencana pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit meliputi informasi mengenai: a. latar belakang pengambilalihan; b. pihak yang akan melakukan pengambilalihan; c. target waktu pelaksanaan pengambilalihan; d. susunan pemilik dan/atau pemegang saham pengendali, dan komposisi kepemilikan saham setelah pengambilalihan; dan e. rencana bisnis setelah pengambilalihan, khususnya terkait kegiatan jasa sistem pembayaran yang diselenggarakan. BAB VII PENGAWASAN Pasal 33 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia yang meliputi: a. pengawasan langsung; dan b. pengawasan tidak langsung. (2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia melakukan pengawasan kepada Penyelenggara Penunjang yang bekerjasama dengan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, termasuk kepada Penyelenggara Dompet Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29. - 25 - (3) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2). BAB VIII LARANGAN Pasal 34 Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dilarang: a. melakukan pemrosesan transaksi pembayaran dengan menggunakan virtual currency; b. menyalahgunakan data dan informasi nasabah maupun data dan informasi transaksi pembayaran; dan/atau c. memiliki dan/atau mengelola nilai yang dapat dipersamakan dengan nilai uang yang dapat digunakan di luar lingkup Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang bersangkutan. BAB IX SANKSI Pasal 35 (1) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (4), Pasal 11 ayat (4), Pasal 14 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23, Pasal 27, Pasal 28 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 32 ayat (1), Pasal 32 ayat (2), Pasal 34, Pasal 40, dan/atau Pasal 42 dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran; b. denda; c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan jasa sistem pembayaran; dan/atau d. pencabutan izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. - 26 - (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 36 Dalam hal setelah berlalunya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 atau setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini terdapat pihak yang menyelenggarakan jasa sistem pembayaran tanpa izin Bank Indonesia maka Bank Indonesia berwenang: a. menyampaikan teguran tertulis; dan/atau b. merekomendasikan kepada otoritas yang berwenang untuk: 1. menghentikan kegiatan usaha; dan/atau 2. mencabut izin usaha yang diberikan oleh otoritas yang berwenang. Pasal 37 Selain dalam rangka penerapan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Bank Indonesia dapat meminta Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan jasa sistem pembayaran, membatalkan atau mencabut izin atau persetujuan yang telah diberikan kepada Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, dalam hal antara lain: a. terdapat hasil pengawasan Bank Indonesia yang menunjukkan bahwa Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran tidak dapat menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran dengan baik; b. terdapat permintaan tertulis atau rekomendasi dari pihak yang berwajib atau otoritas pengawas yang berwenang kepada Bank Indonesia untuk menghentikan sementara kegiatan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran; - 27 - c. terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang memerintahkan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran untuk menghentikan kegiatannya; dan/atau d. terdapat permohonan pembatalan dan/atau pencabutan izin yang diajukan sendiri oleh Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia. Pasal 38 Sepanjang belum diatur dalam dan tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. penyelenggaraan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara Penyelesaian Akhir dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik; dan b. penyelenggaraan kegiatan sebagai Penyelenggara Transfer Dana dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transfer dana. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 39 (1) Pihak yang telah menyelenggarakan kegiatan: a. Switching, Payment Gateway; dan/atau b. Dompet Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, sebelum ketentuan ini berlaku dan belum memperoleh izin dari Bank Indonesia wajib mengajukan izin kepada Bank Indonesia. (2) Pengajuan izin sebagai Penyelenggara Switching, Penyelenggara Payment Gateway, Penyelenggara Dompet Elektronik sebagaimana dimaksud dan/atau - 28 - pada ayat (1) dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku. Pasal 40 Ketentuan persentase kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) wajib dipenuhi oleh pihak yang sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku: a. telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai Prinsipal, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; atau b. sedang dalam proses perizinan dan kemudian memperoleh izin dari Bank Indonesia, apabila setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, akan melakukan perubahan kepemilikan. Pasal 41 Persyaratan dan tata cara permohonan bagi pihak yang mengajukan izin sebagai Prinsipal, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. Pasal 42 (1) Bank yang telah menyelenggarakan Proprietary Channel pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku wajib melaporkan penyelenggaraan kegiatan dimaksud kepada Bank Indonesia untuk ditatausahakan dengan disertai dokumen pendukung paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku. (2) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah menyelenggarakan pengembangan kegiatan Payment Gateway dan/atau Dompet Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku wajib melaporkan penyelenggaraan kegiatan dimaksud kepada - 29 - Bank Indonesia untuk ditatausahakan dengan disertai dokumen pendukung paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 43 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 November 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 November 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 236 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/40/PBI/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMROSESAN TRANSAKSI PEMBAYARAN I. UMUM Perkembangan pemanfaatan teknologi internet dan komunikasi seperti smartphone mendorong berkembangnya bisnis perdagangan secara elektronik (e-commerce) dan financial technology (fintech) sehingga memunculkan berbagai inovasi dan keterlibatan pihak baru dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, seperti Penyelenggara Payment Gateway dan Penyelenggara Dompet Elektronik, serta Penyelenggara Penunjang seperti perusahaan penyedia teknologi pendukung transaksi nirkontak (contactless). Keberadaan pihak baru dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran berdampak pula pada perkembangan infrastruktur maupun mekanisme pembayaran yang belum diatur secara spesifik dalam ketentuan Bank Indonesia saat ini. Untuk memastikan bahwa perkembangan tersebut tetap memenuhi prinsip penyelenggaraan sistem pembayaran yang aman, efisien, lancar, dan andal dengan memperhatikan aspek perlindungan konsumen, Bank Indonesia memberlakukan kewajiban izin atau persetujuan atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran oleh pihak yang belum tercakup dalam ketentuan Bank Indonesia saat ini. Dalam rangka menjaga kedaulatan industri sistem pembayaran nasional dan penguatan aspek perlindungan konsumen, khususnya terkait dengan pengamanan data dan dana masyarakat Indonesia maka diperlukan pengaturan mengenai struktur kepemilikan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yaitu Prinsipal, - 2 - Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Selain itu, untuk mendukung keamanan dan kelancaran penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, Bank Indonesia juga mengatur kewajiban yang harus dipenuhi oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran baru, baik berupa Penyelenggara Payment Gateway, Penyelenggara Switching maupun Penyelenggara Dompet Elektronik. Kewajiban yang harus dipenuhi tersebut antara lain kewajiban penerapan manajemen risiko, perlindungan konsumen, pemenuhan standar keamanan, pemrosesan transaksi pembayaran secara domestik, kewajiban penggunaan Rupiah, dan pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait lainnya seperti ketentuan yang mengatur mengenai informasi dan transaksi elektronik dan penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Selain pemenuhan kewajiban dimaksud, pemrosesan transaksi pembayaran perlu dilakukan secara domestik untuk antara lain meningkatkan kemandirian Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran domestik dalam rangka mendukung perluasan penggunaan instrumen nontunai. Dalam rangka memastikan kesetaraan pengaturan, kewajiban tersebut harus dipenuhi pula oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah diatur dalam ketentuan saat ini seperti Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara Penyelesaian Akhir serta Penyelenggara Transfer Dana. Untuk memastikan pemenuhan ketentuan penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran ini, Bank Indonesia melakukan pengawasan dan mewajibkan penyampaian laporan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan pengaturan terhadap penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. - 3 - Pasal 2 Ayat (1) Dalam pemrosesan transaksi pembayaran, Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dapat bekerjasama dengan Penyelenggara Penunjang guna menunjang terlaksananya pemrosesan transaksi pembayaran. Ayat (2) Huruf a Pratransaksi merupakan kegiatan awal yang dilakukan untuk memulai pemrosesan transaksi pembayaran antara lain menyeleksi konsumen, pencetakan kartu, personalisasi kartu, dan penyediaan infrastruktur seperti terminal atau reader. Huruf b Otorisasi merupakan persetujuan atas transaksi setelah dilakukan kegiatan penerusan data serta informasi transaksi pembayaran, verifikasi identitas para pihak yang melakukan transaksi pembayaran, validasi atas instrumen dan transaksi pembayaran yang dilakukan, serta memastikan ketersediaan sumber dana. Huruf c Kliring merupakan kegiatan pertukaran dan/atau pengolahan atas data dan/atau informasi dalam rangka perhitungan hak dan kewajiban antar pihak yang terlibat dalam pemrosesan transaksi pembayaran. Huruf d Penyelesaian akhir (setelmen) merupakan kegiatan penyelesaian yang bersifat final dan mengikat atas hak dan kewajiban keuangan masing-masing pihak yang terlibat dalam pemrosesan transaksi pembayaran. Huruf e Pascatransaksi merupakan kegiatan setelah penyelesaian akhir transaksi pembayaran selesai dilakukan seperti pencetakan lembar tagihan atas transaksi yang telah selesai dilakukan, penyampaian data dan informasi atas transaksi pembayaran yang telah dilakukan pengguna, dan proses penyelesaian sengketa atau pengaduan konsumen. - 4 - Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam pemrosesan transaksi pembayaran, Penyelenggara Switching melakukan penerusan data dan informasi transaksi pembayaran antar-Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran seperti Penerbit dan Acquirer. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Penyediaan terminal antara lain Automated Teller Machine (ATM), Electronic Data Capture (EDC), dan/atau reader. Huruf e Dalam pemrosesan transaksi pembayaran, Penyelenggara Payment Gateway antara lain melakukan penerusan data dan informasi transaksi pembayaran antara pedagang dan Acquirer. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Yang dimaksud dengan “Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lainnya” adalah pihak yang menyelenggarakan jasa sistem pembayaran pada tahap kegiatan otorisasi, kliring dan/atau penyelesaian akhir (setelmen) selain Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran berupa Prinsipal, Penyelenggara Switching, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Payment Gateway, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Penyelenggara Transfer Dana, dan Penyelenggara Dompet Elektronik. - 5 - Ayat (2) Dalam pemrosesan transaksi pembayaran melalui berbagai delivery channel antara lain Electronic Data Capture (EDC), reader, online point of sales, dan Proprietary Channel, Penyelenggara Payment Gateway melakukan: a. penerusan data transaksi pembayaran dari pedagang ke Acquirer atau Penerbit (facilitator); atau b. penerusan data transaksi pembayaran dari pedagang ke Acquirer atau Penerbit dan penyelesaian pembayaran dari Acquirer atau Penerbit ke pedagang (merchant aggregator). Pelaksanaan penyelenggaraan Payment Gateway dilakukan melalui kerja sama dengan: a. pedagang dan Acquirer; b. Acquirer; c. pedagang dan Penerbit; atau d. Penerbit. Yang dimaksud dengan “penyelenggara merchant acquiring services” adalah para pihak yang memproses transaksi pembayaran yang dilakukan melalui pedagang dalam skema four party business model dalam transaksi pembayaran yang melibatkan Penerbit, pemegang/pengguna pembayaran, pedagang, dan Acquirer. instrumen Ayat (3) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dapat menggunakan jasa Penyelenggara Penunjang pada setiap kegiatan pemrosesan transaksi pembayaran. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. - 6 - Huruf f Cukup jelas. Huruf g Data pendukung pemrosesan transaksi pembayaran antara lain data nilai tagihan untuk pembayaran layanan umum seperti air dan listrik. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dokumen terkait struktur dan porsi kepemilikan saham atas perseroan terbatas disampaikan kepada Bank Indonesia disertai dengan surat pernyataan yang berisi penegasan mengenai kebenaran data dan informasi yang disampaikan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kepemilikan asing” adalah kepemilikan oleh warga negara asing atau badan hukum asing. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “melakukan kegiatan usaha di bidang sistem pembayaran” antara lain dalam hal terdapat pihak yang belum memperoleh izin namun telah memiliki kesiapan untuk menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran. Pasal 7 Cukup jelas. - 7 - Pasal 8 Yang dimaksud dengan “pengguna aktif” adalah pengguna Dompet Elektronik yang melakukan transaksi pembayaran menggunakan Dompet Elektronik secara reguler dan/atau melakukan transaksi pembayaran menggunakan Dompet Elektronik paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Aspek legalitas dan profil perusahaan antara lain dokumen profil perusahaan, anggaran dasar perusahaan berikut seluruh perubahannya, izin kegiatan usaha yang telah dimiliki, tanda daftar perusahaan, dan persetujuan dari otoritas terkait (apabila ada). Huruf b Aspek hukum antara lain bukti kesiapan perangkat hukum berupa konsep perjanjian tertulis atau pokok perjanjian tertulis antara Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dengan pihak lain. Huruf c Aspek kesiapan operasional antara lain bukti kesiapan operasional yang berupa rencana struktur organisasi dan kesiapan sumber daya manusia, rencana peralatan dan sarana usaha serta lokasi/ruangan yang akan digunakan untuk kegiatan operasional, peralatan teknis terkait sistem (hardware dan software) serta jaringan yang akan digunakan dan hasil uji coba (user acceptance test) atas jasa sistem pembayaran yang akan diselenggarakan (apabila ada). Huruf d Aspek keamanan dan keandalan sistem antara lain bukti kesiapan keamanan penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran antara lain laporan hasil audit sistem informasi dari auditor independen, prosedur pengendalian pengamanan (security control), dan hasil asesmen atas jasa sistem pembayaran yang akan diselenggarakan. - 8 - Huruf e Aspek kelayakan bisnis antara lain hasil analisis bisnis yang paling kurang memuat informasi mengenai uraian potensi pasar, rencana kerja sama, rencana wilayah penyelenggaraan, struktur biaya yang diterapkan dalam penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, dan target pendapatan yang akan dicapai. Huruf f Aspek kecukupan manajemen risiko antara lain bukti kesiapan penerapan manajemen risiko yang paling kurang mencakup risiko operasional, risiko hukum, risiko setelmen, risiko likuiditas, dan risiko reputasi yang dibuktikan dengan adanya ketersediaan kebijakan dan prosedur penyelenggaraan pemrosesan transaksi, pemeliharaan sistem dan audit berkala, disaster recovery plan, dan business continuity plan. Huruf g Aspek perlindungan konsumen antara lain mengenai transparansi jasa sistem pembayaran yang disediakan dan penanganan pengaduan konsumen. Pemenuhan aspek perlindungan konsumen tersebut dimaksudkan untuk diterapkan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang memberikan jasa kepada pengguna akhir. Dalam hal Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran tidak memberikan jasa secara langsung kepada pengguna akhir, Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran tersebut tetap perlu untuk memberikan dukungan dalam rangka penerapan perlindungan konsumen. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. - 9 - Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Termasuk dalam pengembangan produk dan aktivitas jasa sistem pembayaran seperti: a. perubahan mekanisme autentikasi instrumen pembayaran dan otorisasi transaksi pembayaran; b. penambahan fitur auto top-up saldo; c. pengembangan infrastruktur dan standar keamanan; d. pengembangan produk yang memiliki fungsi lebih dari satu instrumen pembayaran; dan/atau e. pengembangan produk dan aktivitas yang berkaitan dengan inovasi layanan dan teknologi sistem pembayaran yang meningkatkan eksposur risiko secara signifikan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Kesiapan operasional antara lain dibuktikan dengan: 1. rekomendasi atau persetujuan dari otoritas terkait atas rencana pengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran yang akan dilakukan; dan 2. informasi umum mengenai pengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran antara lain berisi penjelasan mengenai pengembangan kegiatan yang akan diselenggarakan, potensi pasar, rencana kerja sama, - 10 - rencana wilayah penyelenggaraan, struktur biaya layanan, dan target pendapatan yang akan dicapai. Rekomendasi atau persetujuan dari otoritas terkait diberlakukan dalam hal terdapat otoritas terkait yang berwenang untuk mengawasi dan memberikan rekomendasi atau persetujuan. Huruf b Keamanan dan keandalan sistem antara lain dibuktikan dengan laporan hasil audit sistem informasi dari auditor independen internal atau eksternal, prosedur pengendalian pengamanan (security control), dan hasil asesmen atas kegiatan jasa sistem pembayaran dikembangkan. Huruf c Penerapan manajemen risiko antara lain dibuktikan dengan hasil asesmen terhadap manajemen risiko yang telah diselenggarakan serta rencana penyesuaian kebijakan dan prosedur manajemen risiko atas kegiatan yang akan diselenggarakan. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Kinerja Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran antara lain: a. kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran atau yang berkaitan dengan bidang sistem pembayaran. Khusus untuk Bank antara lain berkaitan dengan kepesertaan dalam Bank Indonesia Real Time Gross Settlement, Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia, dan/atau Bank Indonesia Scriptless Security Settlement System; b. penerapan manajemen risiko antara lain risiko operasional dan risiko setelmen; c. penerapan perlindungan konsumen antara lain penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah; yang akan - 11 - d. kinerja finansial; dan/atau e. tata kelola yang baik dalam penyelenggaraan jasa sistem pembayaran. Pasal 13 Huruf a Aspek legalitas dan profil perusahaan antara lain dibuktikan dengan dokumen profil perusahaan, anggaran dasar perusahaan berikut seluruh perubahannya, izin kegiatan usaha yang telah dimiliki, tanda daftar perusahaan, dan izin atau persetujuan dari otoritas terkait apabila ada. Huruf b Aspek kompetensi pihak yang akan diajak bekerjasama antara lain dibuktikan dengan kecukupan sumber daya manusia, rekam jejak pengurus dan pengalaman dalam menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran, dan/atau kegiatan jasa penunjang. Huruf c Aspek kinerja meliputi kinerja finansial dan kinerja operasional yang antara lain dibuktikan dengan laporan keuangan pihak yang akan diajak bekerjasama, rekam jejak Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dan/atau Penyelenggara Penunjang, dan/atau hasil uji coba sistem. Huruf d Aspek keamanan dan keandalan sistem dan infrastruktur antara lain dibuktikan dengan pemenuhan standar terkait keamanan sistem dan infrastruktur yang digunakan sesuai dengan standar nasional, internasional, atau yang berlaku umum di industri serta keamanan dan kerahasiaan data. Huruf e Aspek hukum dibuktikan antara lain dengan kejelasan ruang lingkup kerja sama dan hak serta kewajiban masing-masing pihak, rencana pelaksanaan, dan jangka waktu kerja sama. - 12 - Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab” adalah Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran selalu memastikan bahwa Penyelenggara Penunjang melaksanakan kewajibannya dengan baik. Ayat (2) Evaluasi dilakukan untuk memastikan penyediaan jasa penunjang tetap mendukung terlaksananya transaksi pembayaran secara aman, efisien, lancar, dan andal dengan memperhatikan aspek perlindungan konsumen. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Penelitian administratif dilakukan antara lain untuk memastikan kelengkapan, kebenaran, dan kesesuaian dokumen yang diajukan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pemeriksaan dilaksanakan dengan cara melakukan kunjungan ke lokasi usaha (on site visit) Bank atau Lembaga Selain Bank yang bersangkutan untuk melakukan verifikasi atas kebenaran dan kesesuaian dokumen yang diajukan, serta untuk memastikan kesiapan operasional. Ayat (3) Huruf a Penelitian administratif dilakukan antara lain untuk memastikan kelengkapan, kebenaran, dan kesesuaian dokumen yang diajukan. Huruf b Cukup jelas. - 13 - Huruf c Pemeriksaan dilaksanakan dengan cara melakukan kunjungan ke lokasi usaha (on site visit) Bank atau Lembaga Selain Bank yang bersangkutan untuk melakukan verifikasi atas kebenaran dan kesesuaian dokumen yang diajukan, serta untuk memastikan kesiapan operasional. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “kebijakan nasional” adalah program yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, pemerintah pusat, dan/atau pemerintah daerah dengan tetap memperhatikan kesesuaiannya dengan arah kebijakan Bank Indonesia, misalnya penyaluran bantuan sosial dan subsidi pemerintah, layanan nontunai (elektronifikasi), dan keuangan inklusif. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 16 Yang dimaksud dengan “pihak asing” adalah warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau badan asing lainnya yang tidak berbadan hukum Indonesia. Pasal 17 Ayat (1) Termasuk kebijakan perizinan penyelenggaraan jasa sistem pembayaran antara lain: 1. menutup dan membuka kembali pemberian izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran; dan/atau 2. memberikan izin penyelenggaraan kegiatan jasa sistem pembayaran secara terbatas dalam rangka: a. pemenuhan persyaratan sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran; atau b. penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang belum diatur oleh Bank Indonesia, dengan memenuhi kriteria yang ditetapkan Bank Indonesia. - 14 - Pemberian izin penyelenggaraan kegiatan jasa sistem pembayaran secara terbatas dilakukan antara lain dengan membatasi cakupan, jangka waktu, dan/atau wilayah penyelenggaraan kegiatan jasa sistem pembayaran. Ayat (2) Huruf a Pertimbangan menjaga efisiensi nasional dimaksudkan agar tercipta efisiensi di tingkat industri jasa sistem pembayaran yang pada gilirannya akan menurunkan biaya penggunaan jasa sistem pembayaran oleh masyarakat. Huruf b Pertimbangan mendukung kebijakan nasional dimaksudkan agar pertumbuhan industri jasa sistem pembayaran tidak menjadi penghambat bagi kebijakan nasional yang ditetapkan oleh pemerintah, Bank Indonesia, dan/atau otoritas terkait. Huruf c Pertimbangan menjaga kepentingan publik dimaksudkan agar industri jasa sistem pembayaran senantiasa memenuhi kebutuhan masyarakat secara luas dengan akses dan kualitas yang sama, serta biaya yang terjangkau. Huruf d Pertimbangan menjaga pertumbuhan industri dimaksudkan agar industri dapat tumbuh secara optimal melalui peningkatan nilai dan volume transaksi pembayaran non tunai yang ada di masyarakat. Huruf e Pertimbangan menjaga persaingan usaha yang sehat dimaksudkan agar penyelenggaraan jasa sistem pembayaran dapat dilakukan secara jujur, tidak melawan hukum, atau tidak menghambat persaingan usaha. Pasal 18 Cukup jelas. - 15 - Pasal 19 Ayat (1) Penerapan manajemen risiko dilakukan dengan memperhatikan karakteristik dan kompleksitas profil risiko penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Huruf a Pengawasan aktif manajemen antara lain berupa penetapan akuntabilitas, kebijakan, dan proses pengendalian untuk mengelola penyelenggaraan jasa sistem pembayaran. Huruf b Kecukupan kebijakan dan prosedur serta struktur organisasi antara lain tersedianya struktur organisasi yang jelas dan pemisahan tugas atau kewenangan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Pengendalian intern atas penyelenggaraan kegiatan jasa sistem pembayaran antara lain mencakup prosedur dan langkah pengamanan yang dilakukan dalam penyediaan layanan bagi pengguna, audit trail atas transaksi pembayaran yang diproses, dan prosedur yang memadai untuk menjamin integritas data dan informasi, serta langkah untuk melindungi kerahasiaan data dan informasi pengguna. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “sistem informasi” adalah penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi dan media elektronik yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis, menampilkan, dan mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik. risiko yang mungkin timbul dari - 16 - Ayat (2) Huruf a Pemenuhan sertifikasi dan/atau standar keamanan dan keandalan sistem memenuhi prinsip: 1. kerahasiaan data (confidentiality); 2. integritas sistem dan data (integrity); 3. otentikasi sistem dan data (authentication); 4. pencegahan terjadinya penyangkalan transaksi yang telah dilakukan (non-repudiation); dan 5. ketersediaan sistem (availability). Huruf b Pemeliharaan dan peningkatan keamanan teknologi antara lain dilakukan dengan melakukan peningkatan atau penggantian infrastruktur atau sistem teknologi yang digunakan dalam hal terjadi penurunan kualitas seperti sistem dan/atau teknologinya terbukti telah dapat ditembus oleh fraudster. Huruf c Pelaksanaan audit dilakukan terhadap sistem informasi oleh auditor independen sesuai dengan jasa yang diselenggarakan. Cakupan audit sistem informasi paling sedikit: 1. keamanan operasional; 2. keamanan jaringan, aplikasi, dan sistem; 3. keamanan dan integritas data atau informasi; 4. keamanan fisik dan lingkungan, termasuk kontrol terhadap akses sistem dan data; 5. manajemen perubahan sistem; 6. manajemen implementasi sistem; dan 7. prosedur tertulis terkait keamanan teknologi. Ayat (3) Huruf a Pengamanan data dan informasi antara lain dilakukan melalui enkripsi terhadap data dan informasi pengguna. Pengamanan data dan informasi juga mencakup data dan informasi yang diproses atau disimpan oleh pihak ketiga yang bekerjasama dengan Penyelenggara Switching. - 17 - Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Pengamanan data dan informasi antara lain dilakukan melalui enkripsi terhadap data dan informasi pengguna. Pengamanan data dan informasi juga mencakup data dan informasi yang diproses atau disimpan oleh pihak ketiga yang bekerjasama dengan Penyelenggara Payment Gateway. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penerapan fraud detection system dilakukan untuk mendeteksi adanya penyalahgunaan data dan informasi pengguna. Ayat (5) Huruf a Pengamanan data dan informasi antara lain dilakukan melalui enkripsi terhadap data dan informasi pengguna. Pengamanan data dan informasi juga mencakup data dan informasi yang diproses atau disimpan oleh pihak ketiga yang bekerjasama dengan Penyelenggara Dompet Elektronik. Huruf b Sistem dan prosedur aktivasi dan penggunaan Dompet Elektronik antara lain mencakup tata cara aktivasi, penggunaan atau penggantian password atau Personal Identification Number (PIN). Huruf c Penerapan fraud detection system dilakukan untuk mendeteksi adanya penyalahgunaan data dan informasi pengguna. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. - 18 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “sumber dana asal yang digunakan untuk melakukan transaksi pembayaran” adalah dana yang berasal dari instrumen pembayaran dan/atau dana yang ditampung dalam Dompet Elektronik. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal dana yang ditampung dalam Dompet Elektronik melebihi batas paling banyak yang ditetapkan Bank Indonesia karena adanya pengembalian dana (refund), penggunaan dana dimaksud untuk transaksi pembayaran dilakukan dengan tetap mengacu pada batas paling banyak dana Dompet Elektronik. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Huruf a Yang dimaksud dengan “informasi” antara lain biaya, manfaat, risiko, mekanisme pembukaan dan penutupan Dompet Elektronik, instrumen yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran melalui Dompet Elektronik, mekanisme top up, - 19 - jenis alat pembayaran yang dapat digunakan untuk melakukan top up, serta mekanisme untuk mengubah, menambah, dan menghapus data pemegang dan data instrumen pembayaran. Huruf b Yang dimaksud dengan “mekanisme penanganan pengaduan konsumen" antara lain mekanisme penerimaan pengaduan, penanganan dan penyelesaian pengaduan, serta pemantauan terhadap penanganan dan penyelesaian pengaduan konsumen. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Gangguan dalam pemrosesan transaksi pembayaran adalah gangguan Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Laporan perubahan data dan informasi antara lain berisi perubahan nama Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, alamat kantor, perubahan dokumen pokok-pokok hubungan bisnis, perubahan pengaturan hak dan kewajiban para pihak, perubahan perjanjian kerja sama, dan perubahan para pihak yang bekerjasama, serta perubahan prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa. yang berdampak signifikan terhadap kelangsungan pemrosesan transaksi pembayaran. - 20 - Huruf e Termasuk dalam laporan lainnya adalah laporan dalam rangka pengembangan produk dan aktivitas selain pengembangan fitur, jenis, layanan, atau fasilitas produk dan/atau aktivitas jasa sistem pembayaran yang telah berjalan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Laporan penyelenggaraan Dompet Elektronik antara lain berisi informasi mengenai profil perusahaan, gambaran/informasi umum mengenai Dompet Elektronik yang diselenggarakan, jumlah pemegang, dan target pendapatan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pengambilalihan” adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambilalih saham Bank atau Lembaga Selain Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. - 21 - Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Huruf a Yang dimaksud dengan “virtual currency” adalah uang digital yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter yang diperoleh dengan cara mining, pembelian, atau transfer pemberian (reward) antara lain Bitcoin, BlackCoin, Dash, Dogecoin, Litecoin, Namecoin, Nxt, Peercoin, Primecoin, Ripple, dan Ven. Tidak termasuk dalam pengertian virtual currency adalah uang elektronik. Huruf b Yang dimaksud dengan “menyalahgunakan data dan informasi” adalah pengambilan atau penggunaan data selain untuk tujuan pemrosesan transaksi pembayaran misalnya pengambilan nomor kartu, card verification value, expiry date, dan/atau service code pada Kartu Debet/Kredit melalui cash register di pedagang (double swipe). Huruf c Yang dimaksud dengan “nilai yang dapat dipersamakan dengan nilai uang” antara lain nilai pulsa, bonus, voucher, atau point reward yang dikelola oleh pihak tertentu. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. - 22 - Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain dokumen yang memuat informasi umum mengenai Proprietary Channel yang diselenggarakan, keamanan dan keandalan sistem, dan informasi lainnya yang dibutuhkan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah menyelenggarakan pengembangan kegiatan Payment Gateway dan/atau Dompet Elektronik” adalah Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang sudah pernah menyampaikan permohonan kepada Bank Indonesia untuk menyelenggarakan pengembangan kegiatan dimaksud dan telah memperoleh suatu persetujuan atau penegasan dari Bank Indonesia. Pasal 43 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5945
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/40/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN PEMROSESAN TRANSAKSI PEMBAYARAN </reg_title> <set_date> 8 November 2016 </set_date> <effective_date> 9 November 2016 </effective_date> <issued_date> 09 November 2016 </issued_date> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '11/UU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/18/PBI/2008 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk menghindari risiko kerugian, Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah berkewajiban menjaga kualitas pembiayaannya; b. bahwa salah satu upaya untuk menjaga kelangsungan usaha nasabah pembiayaan, Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dapat melakukan restrukturisasi pembiayaan atas nasabah yang memiliki prospek usaha dan/atau kemampuan membayar; c. bahwa restrukturisasi pembiayaan harus memperhatikan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu diatur kembali ketentuan mengenai Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia. Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran ... -2- (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Syariah dan Unit Usaha syariah. 2. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Bank Umum Syariah, yang selanjutnya disebut BUS adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 4. Bank ... -3- 4. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 5. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. 6. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiyah bit tamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan istishna’; d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 7. Restrukturisasi ... -4- 7. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, antara lain melalui: a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya; b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan Pembiayaan, antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank; c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan Pembiayaan tidak terbatas pada rescheduling atau reconditioning, antara lain meliputi: 1) penambahan dana fasilitas Pembiayaan Bank; 2) konversi akad Pembiayaan; 3) konversi Pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu menengah; 4) konversi Pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah. 8. Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah adalah surat bukti investasi berdasarkan prinsip syariah yang lazim diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal berjangka waktu 3 (tiga) sampai dengan 5 (lima) tahun dengan menggunakan akad mudharabah atau musyarakah . 9. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal BUS atau UUS, antara lain berupa pembelian saham dan/atau konversi Pembiayaan menjadi saham dalam perusahaan nasabah untuk mengatasi ... -5- mengatasi kegagalan penyaluran dana dan/atau piutang dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 2 (1) Bank dapat melaksanakan Restrukturisasi Pembiayaan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian. (2) Bank wajib menjaga dan mengambil langkah-langkah agar kualitas Pembiayaan setelah direstrukturisasi dalam keadaan Lancar. BAB II RESTRUKTURISASI Pasal 3 Bank dilarang melakukan Restrukturisasi Pembiayaan dengan tujuan untuk menghindari: a. penurunan penggolongan kualitas Pembiayaan; b. pembentukan penyisihan penghapusan aktiva (PPA) yang lebih besar; atau c. penghentian pengakuan pendapatan margin atau ujrah secara akrual. Pasal 4 Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan atas dasar permohonan secara tertulis dari nasabah. Pasal 5 ... -6- Pasal 5 (1) Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan b. nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. (2) Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk Pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. (3) Restrukturisasi Pembiayaan wajib didukung dengan analisis dan bukti-bukti yang memadai serta terdokumentasi dengan baik. Pasal 6 (1) Restrukturisasi Pembiayaan dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu akad Pembiayaan awal. (2) Restrukturisasi Pembiayaan kedua dan ketiga dapat dilakukan paling cepat 6 (enam) bulan setelah Restrukturisasi Pembiayaan sebelumnya. Pasal 7 Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang memiliki beberapa fasilitas Pembiayaan dari Bank, dapat dilakukan terhadap masing-masing Pembiayaan. BAB III ... -7- BAB III PERLAKUAN AKUNTANSI Pasal 8 Dalam pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan, Bank wajib menerapkan perlakuan akuntansi sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia yang berlaku. BAB IV PRINSIP SYARIAH Pasal 9 Restrukturisasi Pembiayaan dilaksanakan dengan memperhatikan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang berlaku. BAB V KEBIJAKAN DAN PROSEDUR Pasal 10 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan Standard Operating Procedure tertulis mengenai Restrukturisasi Pembiayaan. (2) Kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Komisaris. (3) Standard Operating Procedure Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dikinikan dan disetujui oleh Direksi dan Dewan Pengawas Syariah. (4) Pelaksanaan ... -8- (4) Pelaksanaan kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan wajib diawasi secara aktif oleh Komisaris. (5) Kebijakan dan Standard Operating Procedure Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VI PENETAPAN KUALITAS PEMBIAYAAN Pasal 11 (1) Kualitas Pembiayaan setelah dilakukan restrukturisasi ditetapkan sebagai berikut: a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Pembiayaan yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet; b. kualitas Pembiayaan tidak berubah untuk Pembiayaan yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Kurang Lancar. (2) Kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat: a. menjadi Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan selama 3 (tiga) kali periode pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi hasil/fee/ujrah secara berturut-turut sesuai dengan perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan; atau b. menjadi sama dengan kualitas Pembiayaan sebelum dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan atau menjadi lebih buruk, jika nasabah tidak memenuhi kriteria dan/atau syarat-syarat dalam perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan dan/atau pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan tidak didukung dengan analisis dan dokumentasi yang memadai; (3) Dalam ... -9- (3) Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi hasil/fee/ujrah kurang dari 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas menjadi Lancar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan paling cepat dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan; (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga untuk Restrukturisasi Pembiayaan yang kedua dan ketiga. Pasal 12 Pembiayaan yang direstrukturisasi lebih dari 3 (tiga) kali, digolongkan Macet sampai dengan Pembiayaan lunas. Pasal 13 Pembiayaan yang direstrukturisasi dengan pemberian tenggang waktu pembayaran (grace period) ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut: a. selama grace period, kualitas mengikuti kualitas Pembiayaan sebelum dilakukan restrukturisasi; dan b. setelah grace period berakhir, kualitas Pembiayaan mengikuti penetapan kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. Pasal 14 (1) Untuk BUS dan UUS, kualitas Pembiayaan yang telah direstrukturisasi wajib dinilai berdasarkan prospek usaha, kinerja (performance) nasabah dan/atau kemampuan membayar, sesuai dengan penggolongan nasabah, setelah 1 (satu) tahun sejak penetapan kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1); (2) Untuk ... -10- (2) Untuk BPRS, kualitas Pembiayaan yang telah direstrukturisasi wajib dinilai berdasarkan ketepatan dan/atau kemampuan membayar kewajiban nasabah. BAB VII TATACARA RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN Pasal 15 (1) Pembiayaan dalam bentuk piutang murabahah atau piutang istishna’ dapat direstrukturisasi dengan cara: a. penjadualan kembali (rescheduling); b. persyaratan kembali (reconditioning); dan c. penataan kembali (restructuring). (2) Pembiayaan dalam bentuk piutang qardh dapat direstrukturisasi dengan cara: a. penjadualan kembali (rescheduling); dan b. persyaratan kembali (reconditioning). (3) Pembiayaan dalam bentuk mudharabah atau musyarakah dapat direstrukturisasi dengan cara: a. penjadualan kembali (rescheduling); b. persyaratan kembali (reconditioning); dan c. penataan kembali (restructuring). (4) Pembiayaan dalam bentuk ijarah atau ijarah muntahiyyah bittamlik dapat direstrukturisasi dengan cara: a. penjadualan kembali (rescheduling); b. persyaratan kembali (reconditioning); dan c. penataan kembali (restructuring). (5) Pembiayaan ... -11- (5) Pembiayaan multijasa dalam bentuk ijarah dapat direstrukturisasi dengan cara: a. penjadualan kembali (rescheduling); dan b. persyaratan kembali (reconditioning). (6) Pembiayaan dalam bentuk piutang salam dapat direstrukturisasi dengan cara: a. penjadualan kembali (rescheduling); b. persyaratan kembali (reconditioning); dan c. penataan kembali (restructuring). (7) Tata cara Restrukturisasi Pembiayaan akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 16 Restrukturisasi Pembiayaan dengan cara penataan kembali (restructuring) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dalam bentuk konversi Pembiayaan menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah dan Penyertaan Modal Sementara tidak berlaku bagi BPRS. Pasal 17 (1) Bank wajib melepaskan Penyertaan Modal Sementara apabila: a. telah sampai jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; atau b. perusahaan nasabah tempat Penyertaan Modal Sementara telah memperoleh laba kumulatif. (2) Bank wajib menghapus buku Penyertaan Modal Sementara apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun. BAB VIII ... -12- BAB VIII LAPORAN RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN Pasal 18 Bank wajib melaporkan Restrukturisasi Pembiayaan kepada Bank Indonesia. Pasal 19 Pelaporan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 bagi BUS dan UUS mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Laporan Berkala Bank Umum. Pasal 20 (1) Laporan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, untuk BPRS wajib disampaikan setiap bulan paling lambat tanggal 14 pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan. (2) BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila BPRS menyampaikan laporan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan tanggal 21 pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan. (3) BPRS dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila BPRS belum menyampaikan laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur maka laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya. (5) Pelaporan ... -13- (5) Pelaporan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IX SANKSI Pasal 21 Bank yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 5 ayat (3), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1) sampai dengan ayat (4), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) Undang– Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pasal 22 (1) BPRS yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dikenakan sanksi berupa denda uang sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah). (2) BPRS yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dikenakan sanksi berupa denda uang sebesar paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Pasal 23 Pengenaan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan Pasal 12, tidak mengurangi pengenaan sanksi dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Laporan Bulanan Bank Umum Syariah dan Laporan Bulanan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Pasal 24 ... -14- Pasal 24 Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) tidak mengurangi kewajiban Bank untuk menyampaikan Laporan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 25 Restrukturisasi Pembiayaan yang telah dilakukan Bank sebelum berlakunya ketentuan ini tidak dihitung sebagai Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 26 Dengan dikeluarkan Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit; b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/15/PBI/2000 tanggal 12 Juni 2000 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit; c. Pasal 47 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan ... -15- Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; d. Pasal 46 dan Pasal 46A Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 tanggal 18 Juni 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; e. Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 27 Ketentuan pelaksanaan tentang Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 28 ... -16- Pasal 28 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Tanggal 25 September 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Pada tanggal 25 September 2008 undangkan di Jakarta Diundangkan di Jakarta Pada tang al MENTERI HUK M DAN HAK ASASI MANUSIA ANDI MATTALATTA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA . 08 ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 138......... DPbS -17- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/18/PBI/2008 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Dalam rangka memelihara kesinambungan usahanya, Bank harus mengelola risiko kredit dari aktivitas Pembiayaan (credit risk), sehingga dapat meminimalkan potensi kerugian yang akan terjadi. Penurunan kegiatan usaha dan/atau kemampuan pembayaran nasabah dapat mempengaruhi kelancaran pemenuhan kewajiban nasabah yang pada akhirnya akan meningkatkan risiko kredit bagi Bank. Untuk menurunkan risiko kredit dalam aktivitas Pembiayaan, Bank dapat melakukan langkah-langkah antisipatif untuk menjaga kelangsungan usaha nasabah pembiayaan. Langkah-langkah tersebut antara lain dengan melakukan Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang masih memiliki prospek usaha dan/atau kemampuan membayar. Kebutuhan dan penggunaan dana nasabah pada prinsipnya berbeda-beda sehingga Bank menyediakan fasilitas Pembiayaan kepada nasabah dalam beragam akad yang sesuai dengan prinsip syariah. Masing-masing akad Pembiayaan memiliki karakteristik khusus yang harus dipertimbangkan Bank dalam pengelolaan Pembiayaan. Pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan pada Bank selain memperhatikan prinsip syariah juga harus memenuhi prinsip kehati-hatian. Ketentuan Restrukturisasi Pembiayaan yang berlaku saat ini belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan ... -2- kebutuhan Bank. Oleh karena itu, diperlukan suatu ketentuan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 9 Cukup Jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Restrukturisasi Pembiayaan untuk nasabah Pembiayaan non produktif antara lain didasarkan pada ada tidaknya sumber pembayaran angsuran yang jelas dari nasabah setelah dilakukan restrukturisasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “bukti-bukti yang memadai” antara lain adalah adanya laporan keuangan nasabah yang menunjukkan perbaikan kinerja ... -3- kinerja perusahaan, adanya kontrak kerja yang diperoleh nasabah atau adanya sumber pembayaran lain yang jelas. Pasal 6 Ayat (1) Pembatasan frekuensi restrukturisasi dimaksudkan agar Bank tidak melakukan restrukturisasi dalam rangka menghindari penurunan penggolongan kualitas Pembiayaan. Yang dimaksud dengan “jangka waktu akad Pembiayaan awal” adalah jangka waktu yang disepakati oleh Bank dan nasabah dalam akad Pembiayaan sebelum dilakukan restrukturisasi. Contoh : Bank dan nasabah pada tanggal 1 September 2008 melakukan akad Pembiayaan dengan jangka waktu selama 3 (tiga) tahun. Pada tanggal 1 September 2009, Bank melakukan Restrukturisasi Pembiayaan pertama dengan cara memperpanjang jangka waktu menjadi 5 (lima) tahun. Restrukturisasi Pembiayaan kedua dan ketiga dapat dilakukan paling lambat pada tanggal 1 September 2011. Ayat (2) Contoh : Berdasarkan contoh pada ayat (1), Restukturisasi Pembiayaan kedua paling cepat dilakukan pada tanggal 1 Maret 2010 dan apabila dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan ketiga maka Restrukturisasi Pembiayaan paling cepat dilakukan pada tanggal 1 September 2010. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 ... -4- Pasal 8 Cukup Jelas. Pasal 9 Yang dimaksud dengan “fatwa Majelis Ulama Indonesia” adalah fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia. Pasal 10 Ayat (1) Kebijakan dan Standard Operating Procedure Restrukturisasi Pembiayaan merupakan bagian dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pokok-pokok yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain satuan kerja atau petugas khusus Restrukturisasi Pembiayaan, limit wewenang memutus Restrukturisasi Pembiayaan, dan sistem informasi manajemen Restrukturisasi Pembiayaan. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 ... -5- Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Yang dimaksud dengan “grace period” adalah masa tenggang yang diberikan Bank kepada nasabah untuk tidak melakukan pembayaran angsuran pokok dan margin untuk akad Murabahah atau Istishna’ atau angsuran Ijarah untuk akad Ijarah dan Ijarah Muntahiyyah Bittamlik. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penggolongan nasabah” adalah pengelompokkan nasabah yang didasarkan pada: a. besar kecilnya jumlah penyediaan dana yang diberikan oleh Bank kepada nasabah, b. Usaha Kecil dan Menengah dengan mempertimbangkan Sistem Pengendalian Risiko, Kondisi Tingkat Kesehatan dan Rasio Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum Bank. Ayat (2) Kualitas Pembiayaan bagi BPRS dinilai berdasarkan ketepatan dan/atau kemampuan membayar kewajiban nasabah. Pasal 15 Cukup Jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 ... -6- Pasal 17 Pelepasan Penyertaan Modal Sementara pada prinsipnya harus segera dilakukan walaupun belum mencapai 5 (lima) tahun. Pasal 18 Cukup Jelas. Pasal 19 Cukup Jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. Ayat (5) Hal-hal yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain format laporan dan tata cara pelaporan. Pasal 21 Cukup Jelas. Pasal 22 ... -7- Pasal 22 Cukup Jelas. Pasal 23 Cukup Jelas. Pasal 24 Cukup Jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4898
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/18/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH. </reg_title> <set_date> 25 September 2008 </set_date> <effective_date> 25 September 2008 </effective_date> <issued_date> 25 September 2008 </issued_date> <replaced_reg> '31/150/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '2/15/PBI/2000', '8/21/PBI/2006 | Pasal 47', '9/9/PBI/2007 | Pasal 46 dan Pasal 46A', '8/24/PBI/2006 | Pasal 23' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/15/PBI/2001 TENTANG PENETAPAN STATUS BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM PENGAWASAN KHUSUS DAN PEMBEKUAN KEGIATAN USAHA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sampai saat ini masih terdapat Bank Perkreditan Rakyat dalam kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya sehingga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Bank Perkreditan Rakyat secara keseluruhan; b. bahwa terhadap Bank Perkreditan Rakyat dimaksud di atas dipandang perlu dilakukan langkah-langkah penyehatan industri Bank Perkreditan Rakyat melalui pengawasan khusus atau pembekuan kegiatan usaha tertentu; c. bahwa berhubung dengan itu perlu diatur ketentuan mengenai Penetapan Status Bank Perkreditan Rakyat Dalam Pengawasan Khusus dan Pembekuan Kegiatan Usaha dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang… 2 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3831); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENETAPAN STATUS BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM PENGAWASAN KHUSUS DAN PEMBEKUAN KEGIATAN USAHA. Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah BPR sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah; 2. BPR dalam pengawasan khusus adalah BPR yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini; 3. BPR Beku Kegiatan Usaha yang untuk selanjutnya disebut dengan BBKU adalah BPR yang dibekukan kegiatan usaha tertentu oleh Bank Indonesia; 4. Program… 3 4. Program Penjaminan Pemerintah adalah jaminan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran BPR sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 193 tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat dan peraturan pelaksanaannya; 5. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya disebut dengan Rasio KPMM adalah perbandingan antara modal bank terhadap aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat dan perubahannya; 6. Cash Ratio yang selanjutnya disebut dengan CR adalah perbandingan antara alat likuid terhadap hutang lancar sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat dan perubahannya. Pasal 2 (1) Dalam hal Bank Indonesia menilai suatu BPR mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya maka BPR tersebut ditetapkan dalam pengawasan khusus Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia menetapkan BPR dalam status pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila memenuhi kriteria: a. Rasio KPMM kurang dari 4% (empat perseratus); dan atau b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga perseratus). (3) Dalam…. 4 (3) Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1): a. Bank Indonesia dapat memerintahkan antara lain agar : 1. Pemegang saham menambah modal; 2. Pemegang saham mengganti dewan komisaris dan atau direksi BPR; 3. BPR menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang tergolong macet dan memperhitungkan kerugian BPR dengan modalnya; 4. BPR melakukan merger atau konsolidasi dengan BPR lain; 5. BPR dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban; 6. BPR menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan BPR kepada pihak lain; dan atau 7. BPR menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban BPR kepada pihak lain; dan atau b. Bank Indonesia dapat memerintahkan agar BPR menghentikan kegiatan usaha tertentu dalam waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 3 (1) Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank Indonesia dapat menempatkan petugas Bank Indonesia untuk melakukan pemantauan secara langsung terhadap kegiatan operasional BPR. (2) Dengan… 5 (2) Dengan penempatan petugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), seluruh tanggungjawab atas kegiatan operasional dan kewajiban BPR tetap berada pada pengurus dan atau pemegang saham BPR. Pasal 4 (1) Jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal pemberitahuan penetapan status BPR dalam pengawasan khusus dari Bank Indonesia. (2) Dalam hal selama jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pemegang saham dan atau BPR melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a, maka jangka waktu dimaksud tidak termasuk jangka waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan dalam proses hukum sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 5 Selama dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, BPR dapat dikeluarkan dari pengawasan khusus apabila Rasio KPMM mencapai 4% (empat perseratus) atau lebih dan rata-rata CR selama 6 (enam) bulan terakhir mencapai 3% (tiga perseratus) atau lebih. Pasal 6… 6 Pasal 6 Bank Indonesia menetapkan BPR dengan status BBKU apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: a. Selama dalam masa pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, BPR memiliki Rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol perseratus) dan atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 1% (satu perseratus); atau b. Setelah jangka waktu masa pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berakhir, BPR memiliki Rasio KPMM kurang dari 4% (empat perseratus) dan atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga perseratus); atau c. BPR melakukan pelanggaran peraturan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang diancam dengan sanksi pembekuan kegiatan usaha. Pasal 7 (1) Bank Indonesia menetapkan status BBKU dengan Surat Keputusan Deputi Gubernur Bank Indonesia dan memberitahukan kepada BPR yang bersangkutan. (2) Bank Indonesia mengumumkan Surat Keputusan Deputi Gubernur Bank Indonesia kepada masyarakat. Pasal 8 (1) Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha BPR paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal BBKU. 2. Undang-undang… (2) Bank 7 (2) Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha BPR yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, dan bukan merupakan peserta Program Penjaminan Pemerintah. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdapat calon investor yang akan mengambil alih seluruh hak dan kewajiban BBKU, maka pengambilalihan tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Jangka waktu pengambilalihan oleh calon investor sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak termasuk jangka waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan dalam proses hukum sesuai ketentuan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 9 (1) Pada saat ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini, terhadap : a. BPR yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha dan pengurus serta pemiliknya sudah tidak diketahui keberadaannya, atau b. BPR yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha tetapi masih ada pengurus dan pemiliknya serta merupakan peserta Program Penjaminan Pemerintah, atau c. BPR yang memiliki Rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol perseratus), dan atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 1 % (satu perseratus), serta merupakan peserta Program Penjaminan Pemerintah, ditetapkan status BBKU. (2) Penetapan… 8 (2) Penetapan status BBKU terhadap BPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila BPR sedang dalam proses merger, konsolidasi, akuisisi yang diikuti dengan penambahan modal disetor, penambahan modal disetor oleh pemilik atau masuknya investor baru. (3) BPR yang sedang dalam proses sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan waktu penyelesaian selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini. (4) Dalam hal BPR tidak dapat menyelesaikan proses sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka Bank Indonesia menetapkan BPR tersebut dalam status BBKU (5) BPR yang memenuhi kriteria ayat (1) huruf b dan huruf c tetapi tidak merupakan peserta Program Penjaminan Pemerintah, maka Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha BPR yang bersangkutan. Pasal 10 Perubahan terhadap prosentase Rasio KPMM dan CR yang digunakan dalam kriteria BPR dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) serta kriteria BBKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 akan ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 11… 9 Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 September 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 122 DPBPR 10 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/15/PBI/2001 TENTANG PENETAPAN STATUS BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM PENGAWASAN KHUSUS DAN PEMBEKUAN KEGIATAN USAHA UMUM Dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Bank Perkreditan Rakyat dipandang perlu dilakukan langkah-langkah penyehatan industri Bank Perkreditan Rakyat melalui pengawasan khusus atau pembekuan kegiatan usaha. Pengawasan khusus dan pembekuan kegiatan usaha dimaksud perlu dilakukan dalam rangka penyehatan agar tercipta sistem dan industri Bank Perkreditan Rakyat yang sehat. Untuk itu, bagi Bank Perkreditan Rakyat yang masih mempunyai prospek untuk menjadi sehat dilakukan pengawasan khusus, sedangkan upaya penyelesaian bagi Bank Perkreditan Rakyat yang tidak mungkin lagi dapat disehatkan dilakukan melalui pembekuan kegiatan usaha. Oleh karena itu perlu ditetapkan persyaratan dan kriteria yang jelas serta transparan mengenai status Bank Perkreditan Rakyat dalam Pengawasan Khusus dan Pembekuan Kegiatan Usaha dalam Peraturan Bank Indonesia. PASAL… 11 PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 6 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Penilaian Bank Indonesia didasarkan atas penelitian yang mendalam terhadap kondisi BPR melalui laporan dan pemeriksaan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir dihitung berdasarkan posisi Laporan Bulanan BPR selama 6 (enam) bulan terakhir Ayat (3) Huruf a Pelaksanaan perintah Bank Indonesia didasarkan atas ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 dan Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Huruf b… 12 Huruf b Penghentian kegiatan usaha tertentu dapat meliputi antara lain penghentian penghimpunan dan penyaluran dana. Penghentian kegiatan usaha tertentu dapat dilakukan oleh Bank Indonesia apabila BPR tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Pemberitahuan mengenai penetapan status BPR dalam pengawasan khusus antara lain dapat dilakukan secara langsung melalui pertemuan dengan pengurus dan atau pemegang saham BPR, secara tertulis melalui surat atau sarana lain. Ayat (2) Tindakan yang dimaksud dalam ayat ini dibuktikan dengan adanya setoran tambahan modal sekurang-kurangnya memenuhi Rasio KPMM dan CR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, yang ditempatkan dalam rekening penampungan (escrow account) pada bank umum, yang penarikannya hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Bank Indonesia. Perpanjangan… 13 Perpanjangan jangka waktu untuk memenuhi persyaratan dalam proses hukum dimaksud hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Bank Indonesia. Proses hukum yang diperlukan tersebut antara lain meliputi penyesuaian terhadap perubahan anggaran dasar, pengalihan hak kepemilikan dan proses perizinan. Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pengumuman dilakukan melalui surat kabar harian setempat atau papan pengumuman di kantor BPR atau kantor kecamatan/kelurahan tempat kedudukan BPR yang bersangkutan atau media elektronik. Pasal 8… 14 Pasal 8 Ayat (1) Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha BPR sebelum mencapai 6 (enam) bulan sejak tanggal BBKU apabila pembayaran dana pihak ketiga telah diselesaikan Ayat (2) Pelaksanaan pencabutan izin usaha dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan izin usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank dan peraturan pelaksanaannya. Ayat (3) Calon investor adalah pihak-pihak yang bersedia menyelesaikan seluruh kewajiban BBKU dan menambah modal untuk memenuhi ketentuan Rasio KPMM minimal 8% (delapan perseratus). Tindakan pengambilalihan yang dimaksud dalam hal ini dibuktikan dengan adanya setoran tambahan modal untuk memenuhi ketentuan Rasio KPMM minimum 8% (delapan perseratus), yang ditempatkan dalam rekening penampungan (escrow account) pada bank umum yang penarikannya hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Bank Indonesia. Ayat (4) Proses hukum yang diperlukan tersebut antara lain meliputi penyesuaian terhadap perubahan anggaran dasar, pengalihan hak kepemilikan dan proses perizinan. Perpanjangan… 15 Perpanjangan jangka waktu untuk memenuhi persyaratan dalam proses hukum dimaksud hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Bank Indonesia. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a BPR yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha antara lain dibuktikan dengan kriteria: 1. BPR tidak menyampaikan laporan bulanan kepada Bank Indonesia selama 12 (dua belas) bulan terakhir; 2. Laporan bulanan yang disampaikan oleh BPR kepada Bank Indonesia selama 12 (dua belas) bulan terakhir tidak memiliki perubahan dalam pos-pos neraca; 3. Adanya laporan dari pengurus BPR bahwa BPR tidak melakukan kegiatan usaha. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Ayat (2)… 16 Ayat (2) Pengecualian dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada BPR guna menyelesaikan proses merger, konsolidasi, akuisisi atau penambahan modal disetor oleh pemilik atau investor baru dan untuk memenuhi persyaratan untuk menjadi peserta Program Penjaminan Pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku. BPR yang sedang dalam proses merger, konsolidasi atau akuisisi termasuk didalamnya BPR yang telah mengajukan permohonan izin merger, konsolidasi atau akuisisi kepada Bank Indonesia atau BPR telah menyampaikan pernyataan untuk menambah modal disetor. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup Jelas Ayat (5) Cukup Jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11… 17 Pasal 11 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4141 DPBPR
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 3/15/PBI/2001 </reg_id> <reg_title> PENETAPAN STATUS BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM PENGAWASAN KHUSUS DAN PEMBEKUAN KEGIATAN USAHA </reg_title> <set_date> 21 September 2001 </set_date> <effective_date> 21 September 2001 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '25/PP/1999', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 6 Huruf c' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/12/ PBI/ 2014 TENTANG OPERASI MONETER SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka memenuhi tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia memiliki tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b. bahwa dalam rangka mendukung tugas dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah; c. bahwa dalam rangka pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah, Bank Indonesia melakukan operasi moneter syariah baik dalam Rupiah maupun dalam valuta asing untuk mempengaruhi kecukupan likuiditas perbankan syariah; d. bahwa dalam rangka pelaksanaan operasi moneter syariah dalam valuta asing, Bank Indonesia melakukan pengayaan instrumen operasi moneter syariah dalam valuta asing; e. bahwa dalam rangka menghadapi dan mengantisipasi perkembangan ekonomi, keuangan, dan moneter, efektivitas operasi moneter syariah perlu ditingkatkan; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Operasi Moneter Syariah; Mengingat ... - 2 - Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG OPERASI MONETER SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah. 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah. 4. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian ... - 3 - pengendalian moneter melalui kegiatan operasi pasar terbuka dan penyediaan standing facilities berdasarkan prinsip syariah. 5. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi pasar uang berdasarkan prinsip syariah yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan pihak lain dalam rangka OMS. 6. Standing Facilities Syariah adalah fasilitas yang disediakan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam rangka OMS. 7. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. 8. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN dalam mata uang Rupiah. 9. Transaksi Repurchase Agreement SBIS yang selanjutnya disebut Repo SBIS adalah transaksi pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada BUS atau UUS dengan agunan SBIS (collateralized borrowing). 10. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja terbatas Bank Indonesia. BAB II TUJUAN OPERASI MONETER Pasal 2 (1) OMS bertujuan mencapai target operasional pengendalian moneter syariah dalam rangka mendukung pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter Bank Indonesia. (2) Target operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa kecukupan likuiditas Rupiah perbankan syariah atau variabel lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal ... - 4 - Pasal 3 (1) Pencapaian target operasional kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan dengan cara mempengaruhi likuiditas perbankan syariah melalui absorpsi likuiditas atau injeksi likuiditas. (2) Pencapaian target operasional kebijakan moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung dengan pengelolaan likuiditas di pasar valuta asing. BAB III KEGIATAN OPERASI MONETER SYARIAH Bagian Kesatu Prinsip dan Bentuk Operasi Moneter Syariah Pasal 4 (1) Kegiatan OMS harus memenuhi prinsip syariah. (2) Pemenuhan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam bentuk pemberian fatwa dan/atau opini syariah oleh otoritas yang berwenang mengeluarkan fatwa dan/atau opini syariah. Pasal 5 Kegiatan OMS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dengan: a. OPT Syariah; dan b. Standing Facilities Syariah. Bagian Kedua Operasi Pasar Terbuka Syariah Pasal 6 OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dilakukan dengan cara: a. penerbitan SBIS; b. jual beli surat berharga dalam Rupiah yang memenuhi prinsip syariah yang meliputi SBSN, dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan; c. penempatan ... - 5 - c. penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing; dan/atau d. transaksi lainnya baik di pasar uang Rupiah maupun di pasar valuta asing. Pasal 7 Jual beli surat berharga dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b dapat dilakukan dengan cara antara lain: a. pembelian secara lepas (outright buying); b. penjualan secara lepas (outright selling); c. penjualan secara bersyarat (repurchase agreement/repo); dan/atau d. pembelian secara bersyarat (reverse repo). Pasal 8 (1) Penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c menggunakan akad ju’alah. (2) Bank Indonesia menetapkan dan memberikan imbalan atas penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing. Pasal 9 Penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c dapat dicairkan oleh Bank sebelum jatuh waktu (early redemption) dengan memenuhi persyaratan tertentu. Pasal 10 (1) Penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c dapat menjadi pengurang posisi devisa neto secara keseluruhan yang dipelihara BUS pada akhir hari kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai posisi devisa neto bank umum yang diterbitkan oleh otoritas yang berwenang. (2) Nilai ... - 6 - (2) Nilai penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing yang dapat menjadi pengurang posisi devisa neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sebesar nilai yang terendah dari: a. nilai posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja yang bersangkutan sebelum dikurangi dengan penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing; b. nilai penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing; atau c. 5% (lima persen) dari modal BUS. (3) BUS melaporkan secara harian posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja setelah memperhitungkan penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing sebagai pengurang. (4) Dalam hal BUS tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing tidak diperhitungkan sebagai pengurang posisi devisa neto. (5) Dalam hal UUS melakukan penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing maka perhitungan nilai penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing dapat menjadi pengurang posisi devisa neto bank umum konvensional yang memiliki UUS. (6) Dalam hal UUS melakukan penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (5), laporan harian posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja setelah memperhitungkan penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing dilaporkan oleh bank umum konvensional yang memiliki UUS. (7) Perhitungan nilai penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing yang dapat menjadi pengurang posisi devisa neto dan pelaporan posisi devisa neto oleh bank umum konvensional yang memiliki UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. Pasal ... - 7 - Pasal 11 OPT Syariah dapat dilaksanakan setiap Hari Kerja. Pasal 12 OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan melalui mekanisme lelang dan/atau nonlelang. Bagian Ketiga Standing Facilities Syariah Pasal 13 Standing Facilities Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dilakukan dengan cara: a. penyediaan fasilitas simpanan (deposit facility); dan b. penyediaan fasilitas pembiayaan (financing facility). Pasal 14 (1) Fasilitas simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a antara lain dilakukan dalam bentuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS). (2) Fasilitas pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b antara lain dilakukan dalam bentuk repo surat berharga dalam Rupiah. Pasal 15 (1) Standing Facilities Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilaksanakan oleh Bank Indonesia pada setiap Hari Kerja. (2) Pelaksanaan Standing Facilities Syariah dilakukan melalui mekanisme nonlelang. BAB IV SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH Bagian Kesatu Akad dan Karakteristik SBIS Pasal 16 (1) SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad ju’alah. (2) Bank ... - 8 - (2) Bank Indonesia menetapkan dan memberikan imbalan atas SBIS yang diterbitkan. (3) Bank Indonesia membayar imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai berikut: a. pada saat SBIS jatuh waktu; atau b. sebelum jatuh waktu, dalam hal Bank tidak dapat memenuhi kewajiban Repo SBIS. Pasal 17 SBIS memiliki karakteristik sebagai berikut: a. satuan unit sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan; c. diterbitkan tanpa warkat (scripless); d. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia; dan e. tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder. Bagian Kedua Persyaratan Kepemilikan SBIS Pasal 18 (1) Pihak yang dapat memiliki SBIS adalah Bank. (2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan Financing to Deposit Ratio (FDR) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bagian Ketiga Repo SBIS Pasal 19 (1) Bank dapat mengajukan Repo SBIS kepada Bank Indonesia. (2) Repo SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan prinsip qard yang diikuti dengan rahn. (3) Bank yang mengajukan Repo SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus menandatangani Perjanjian Pengagunan SBIS Dalam Rangka Repo SBIS ... - 9 - SBIS serta menyampaikan dokumen pendukung yang dipersyaratkan kepada Bank Indonesia. (4) Bank Indonesia menetapkan dan mengenakan biaya Repo SBIS. Bagian Keempat Penatausahaan SBIS Pasal 20 (1) Bank Indonesia menatausahakan SBIS dalam suatu sistem penatausahaan secara elektronis di Bank Indonesia. (2) Sistem penatausahaan yang dikelola Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup sistem penyelesaian transaksi SBIS dan pencatatan kepemilikan SBIS. (3) Sistem pencatatan kepemilikan SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan tanpa warkat (scripless). Pasal 21 Bank Indonesia melunasi SBIS pada saat jatuh waktu sebesar nilai nominal dan membayar imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3). BAB V PESERTA OPERASI MONETER SYARIAH DAN LEMBAGA PERANTARA Pasal 22 (1) Peserta OMS terdiri dari: a. peserta OPT Syariah, yaitu Bank dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan b. peserta Standing Facilities Syariah, yaitu Bank. (2) Peserta OPT Syariah dapat mengikuti kegiatan OPT Syariah secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perantara. (3) Peserta Standing Facilities Syariah hanya dapat mengikuti Standing Facilities Syariah secara langsung. (4) Bank Indonesia menetapkan persyaratan bagi peserta OMS dan lembaga perantara. Pasal ... - 10 - Pasal 23 (1) Peserta OMS dan lembaga perantara bertanggung jawab atas kebenaran penawaran yang diajukan. (2) Peserta OMS dan lembaga perantara yang telah mengajukan penawaran dilarang membatalkan penawarannya. (3) Peserta OMS dan lembaga perantara harus memenuhi tata cara pengajuan penawaran dan persyaratan dalam transaksi OMS yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Dalam hal peserta OMS dan lembaga perantara tidak memenuhi tata cara pengajuan penawaran dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penawaran yang telah diajukan akan ditolak dan/atau tidak diproses oleh Bank Indonesia. Pasal 24 Dalam mengikuti kegiatan OMS, lembaga perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dilarang mengajukan penawaran untuk kepentingan diri sendiri. Pasal 25 (1) Peserta OMS wajib memiliki: a. rekening giro Rupiah di Bank Indonesia; dan b. rekening giro valuta asing di Bank Indonesia dalam hal peserta OMS mengikuti transaksi OPT syariah dalam valuta asing. (2) Peserta OMS wajib memiliki rekening surat berharga di Bank Indonesia dan/atau di lembaga kustodian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Peserta OMS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang mengikuti kegiatan OMS secara langsung maupun tidak langsung wajib menyediakan dana yang cukup pada rekening giro Rupiah di Bank Indonesia dan/atau surat berharga dalam Rupiah yang cukup pada rekening surat berharga di Bank Indonesia atau di lembaga kustodian untuk penyelesaian kewajiban pada tanggal penyelesaian transaksi. (4) Dalam ... - 11 - (4) Dalam hal pada waktu penyelesaian transaksi, peserta OMS tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3), transaksi OMS yang bersangkutan dinyatakan batal. (5) Peserta OMS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang mengikuti transaksi OPT syariah dalam valuta asing wajib menyediakan dana yang cukup pada rekening giro di Bank Indonesia atau transfer dana yang cukup ke rekening Bank Indonesia di bank koresponden untuk penyelesaian kewajiban pada tanggal penyelesaian transaksi. (6) Dalam hal peserta OMS tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (5) maka transaksi OMS yang bersangkutan dinyatakan batal. Pasal 26 Dalam rangka penyelesaian transaksi OMS, Bank Indonesia berwenang untuk melakukan pendebetan rekening giro di Bank Indonesia dan/atau rekening surat berharga di Bank Indonesia dan/atau di lembaga kustodian milik peserta OMS. BAB VI SANKSI Pasal 27 (1) Dalam hal transaksi OMS dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4), peserta OMS dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai transaksi OMS yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Dalam hal transaksi memiliki second leg, nilai transaksi OMS yang batal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah nilai transaksi dana pada saat first leg. (3) Dalam ... - 12 - (3) Dalam hal transaksi OMS dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (6), peserta OMS dikenakan sanksi berupa : a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar persentase tertentu dari nilai transaksi yang batal, yang diumumkan oleh Bank Indonesia pada saat pengumuman rencana transaksi. (4) Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), dalam hal peserta OMS melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, peserta OMS dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) Hari Kerja berturut-turut. (5) Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg transaksi repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) dan harga surat berharga pada transaksi second leg lebih rendah dari harga surat berharga pada transaksi first leg, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peserta OMS dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih antara harga pada transaksi first leg dan harga pada transaksi second leg setelah dikalikan dengan nominal surat berharga yang di-repo-kan. (6) Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg transaksi reverse repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) dan harga pasar SBSN pada transaksi second leg lebih tinggi dari harga pada transaksi first leg, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peserta OMS dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih harga pada transaksi second leg dan harga pada transaksi first leg, setelah dikalikan dengan nominal SBSN yang di- reverse repo-kan. (7) Sanksi berupa penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku untuk transaksi repo financing facility peserta OMS yang berasal dari transaksi fasilitas likuiditas intrahari syariah yang tidak lunas. BAB ... - 13 - BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 28 Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 29 (1) Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 50 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4835); b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 197 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4944); c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/17/PBI/2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 107); d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/18/PBI/2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 108); e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/24/PBI/2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 119), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal ... ... - 14 - Pasal 30 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 24 Juli 2014 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 Juli 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 178 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/12/PBI/2014 TENTANG OPERASI MONETER SYARIAH I. UMUM Dalam rangka mendukung tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia dapat melaksanakan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Salah satu ukuran keberhasilan pencapaian tujuan dimaksud adalah laju inflasi tahunan yang terkendali yang ditetapkan sebagai sasaran akhir dari pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter. Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, salah satu cara pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah adalah dengan pelaksanaan operasi moneter syariah untuk mempengaruhi kecukupan likuiditas Rupiah dan valuta asing perbankan syariah. Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia dapat melakukan operasi moneter syariah yang bersifat absorpsi atau injeksi likuiditas Rupiah. Selain itu Bank Indonesia memandang perlunya peningkatan pengelolaan likuiditas dan pengembangan pasar valuta asing domestik dengan menyediakan instrumen syariah dalam valuta asing. Dalam melaksanakan operasi moneter syariah yang bersifat absorpsi atau injeksi likuiditas Rupiah perlu memperhatikan pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran. Salah satu upaya Bank Indonesia untuk menjaga kelancaran sistem pembayaran adalah melalui penyediaan fasilitas ... - 2 - fasilitas likuiditas intrahari berdasarkan prinsip syariah. Untuk itu diperlukan keselarasan pengaturan di bidang moneter dan sistem pembayaran. Instrumen syariah yang digunakan dalam pelaksanaan operasi moneter syariah telah memperoleh fatwa dan/atau opini syariah dari otoritas yang berwenang mengeluarkan fatwa dan/atau opini syariah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kecukupan likuiditas Rupiah dapat berupa target uang primer atau komponennya yang terdiri atas: a. uang kartal yang ada di Bank dan masyarakat; dan b. saldo giro Bank dalam Rupiah di Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “variabel lain” adalah variabel selain kecukupan likuiditas Rupiah, yang ditetapkan sebagai target operasional moneter syariah yang antara lain berupa tingkat imbalan pasar uang antar Bank berdasarkan prinsip syariah. Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “absorpsi likuiditas” adalah pengurangan likuiditas Rupiah Bank melalui kegiatan OMS. Yang dimaksud dengan “injeksi likuiditas” adalah penambahan likuiditas Rupiah Bank melalui kegiatan OMS. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal ... - 3 - Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan” adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui Bank Indonesia, dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Yang dimaksud dengan “pembelian secara lepas (outright buying)” adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Bank Indonesia tanpa kewajiban untuk menjual kembali. Huruf b Yang dimaksud dengan “penjualan secara lepas (outright selling)” adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Bank Indonesia tanpa kewajiban untuk membeli kembali. Huruf c Yang dimaksud dengan “penjualan secara bersyarat (repurchase agreement/repo)” adalah transaksi penjualan bersyarat surat berharga oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Huruf ... - 4 - Huruf d Yang dimaksud dengan “pembelian secara bersyarat (reverse repo)” adalah transaksi pembelian bersyarat surat berharga oleh Bank dari Bank Indonesia dengan kewajiban penjualan kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Pasal 8 Ayat (1) Akad ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh perhitungan pengurangan posisi devisa neto BUS yang dipengaruhi oleh penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing adalah sebagai berikut : dalam juta rupiah No Modal* a 1 200.000 2 200.000 3 200.000 PDN sebelum TD Valas Syariah c TD Valas Absolut PDN Rasio PDN Syariah b d c = b/a 30.000 15% 35.000 30.000 15% 5.000 6.000 3% 8.000 5% Modal e 5% x a 10.000 10.000 10.000 10.000 5.000 6.000 Maksimum TD Valas Syariah PDN sesudah TD Valas Syariah pengurang PDN Absolut PDN Rasio PDN f ** g h g = b-f h = g/a 20.000 10% 25.000 12,5% 0 0% *) Modal adalah modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai posisi devisa neto bank umum yang diterbitkan oleh otoritas yang berwenang. **) Nilai maksimum TD Valas Syariah pengurang PDN (kolom f) adalah nilai terkecil antara kolom b, kolom d, dan kolom e Huruf ... - 5 - Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “modal” adalah modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum yang diterbitkan oleh otoritas yang berwenang. Ayat (3) Laporan harian posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja dengan memperhitungkan penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing sebagai pengurang posisi devisa neto yang dilaporkan melalui Laporan Harian Bank Umum (LHBU). Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Mekanisme lelang dilakukan dengan metode lelang harga tetap (fixed rate tender) atau metode lelang harga beragam (variable rate tender). Mekanisme nonlelang dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan peserta OPT Syariah. Pasal ... - 6 - Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “repo surat berharga” adalah transaksi penjualan bersyarat surat berharga oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati (sell and buy back) dan pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada Bank dengan agunan surat berharga (collateralized borrowing). Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Mekanisme nonlelang dalam Standing Facilities Syariah dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan peserta Standing Facilities Syariah. Pasal 16 Ayat (1) Akad ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Huruf a Cukup jelas. Huruf ... - 7 - Huruf b Jangka waktu SBIS dinyatakan dalam jumlah hari kalender dan dihitung 1 (satu) hari setelah tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “persyaratan Financing to Deposit Ratio (FDR)” adalah persentase tertentu FDR yang dimiliki Bank yang akan mengikuti lelang untuk memiliki SBIS. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “qard” adalah pinjaman dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus dalam jangka waktu tertentu. Yang dimaksud dengan “rahn” adalah penyerahan agunan dari Bank (rahin) kepada Bank Indonesia (murtahin) sebagai jaminan untuk mendapatkan qard. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat ... - 8 - Ayat (4) Yang dimaksud dengan “biaya Repo SBIS” adalah kewajiban membayar (gharamah) yang ditetapkan Bank Indonesia dalam rangka Repo SBIS karena Bank tidak menepati jangka waktu kesepakatan pembelian SBIS. Pasal 20 Ayat (1) Penatausahaan secara elektronis di Bank Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain badan hukum nonBank. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “lembaga perantara” antara lain pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing dan/atau perusahaan efek yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal ... - 9 - Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “membatalkan” penawaran adalah Bank menarik kembali penawaran yang telah diajukan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Transaksi yang memiliki second leg antara lain transaksi repo dan reverse repo. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal ... - 10 - Pasal 28 Pokok-pokok ketentuan yang diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia antara lain: a. pelaksanaan OPT Syariah; b. pelaksanaan Standing Facilities Syariah; c. jangka waktu kegiatan OMS; d. persyaratan bagi peserta OMS; e. sifat kepesertaan dalam OMS; dan f. tata cara pengenaan sanksi. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5567
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 16/12/PBI/2014 </reg_id> <reg_title> OPERASI MONETER SYARIAH </reg_title> <set_date> 24 Juli 2014 </set_date> <effective_date> 24 Juli 2014 </effective_date> <issued_date> 24 Juli 2014 </issued_date> <replaced_reg> '12/17/PBI/2010', '10/36/PBI/2008', '10/11/PBI/2008', '13/24/PBI/2011', '12/18/PBI/2010' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/3/PBI/2000 TENTANG PENGALIHAN PENGELOLAAN KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Kredit Likuiditas Bank Indonesia dalam rangka kredit program dialihkan berdasarkan suatu perjanjian kepada Badan Usaha Milik Negara yang ditunjuk oleh Pemerintah, paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Undang-undang tersebut ; b. bahwa pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia telah dialihkan kepada Badan Usaha Milik Negara berdasarkan Perjanjian Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia yang telah ditandatangani pada tanggal 15 Nopember 1999; c. bahwa selanjutnya pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara sesuai dengan masing- masing skim yang dialihkan; d. bahwa….. - 2 - d. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk mengatur Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia Dalam Rangka Kredit Program dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); Memperhatikan : Perjanjian Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia antara Bank Indonesia dengan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), PT Bank Tabungan Negara (Persero), dan PT Permodalan Nasional Madani (Persero), masing-masing Nomor 12, 13, dan 14, tanggal 15 Nopember 1999; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGALIHAN PENGELOLAAN KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM. Pasal 1 (1) Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia dalam rangka kredit program (KLBI) dialihkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah ditunjuk oleh Pemerintah. (2) BUMN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang menerima pengalihan pengelolaan KLBI, terdiri dari : 1. PT…. -3- 1. PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero); 2. PT. Bank Tabungan Negara (Persero); 3. PT. Permodalan Nasional Madani (Persero). (3) BUMN sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) melakukan pengelolaan skim kredit, yang masing-masing terdiri dari : 1. PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) mengelola: a. Kredit Usaha Tani (KUT); b. Kredit kepada Koperasi (KKop); c. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya - Tebu Rakyat (KKPA-TR). 2. PT. Bank Tabungan Negara (Persero) mengelola : a. Kredit Pemilikan Rumah Sederhana (KPRS); b. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS). 3. PT. Permodalan Nasional Madani (Persero) mengelola : a. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA- Umum); b. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya – Bagi Hasil (KKPA- Bagi Hasil ); c. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya dalam rangka Pembiayaan Usaha Nelayan (KKPA- Nelayan); d. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya dalam rangka Pembiayaan Usaha Peternakan (KKPA - Unggas); e. Kredit Pembiayaan Tenaga Kerja Indonesia dengan Pola Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA- TKI); f. kredit … -4- f. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya dengan Pola Perkebunan Inti Rakyat Transmigrasi dalam rangka Pembukaan Pemukiman Transmigrasi Baru di Kawasan Timur Indonesia (KKPA Pir-Trans); g. Kredit / Pembiayaan Modal Kerja Bank Indonesia dalam rangka Pengembangan Bank Perkreditan Rakyat / Bank Perkreditan Rakyat Syariah (KMK-BPR / PMK-BPRS); h. Kredit kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro melalui Bank Umum (KPKM-Bank Umum); i. Kredit / Pembiayaan kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro melalui Bank Perkreditan Rakyat / Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (KPKM-BPR / KPKM-BPRS); j. Kredit Usaha Angkutan Umum Bus Perkotaan (KUAUBP); k. Kredit Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN); l. Kredit Investasi Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang dikaitkan dengan Program Transmigrasi (PIR- Trans). (4) Pelaksanaan pengalihan pengelolaan KLBI kepada BUMN sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) masing-masing telah dilakukan dengan Perjanjian Pengalihan Pengelolaan KLBI. Pasal 2 Hak tagih atas KLBI yang telah dialihkan kepada BUMN, sampai dengan KLBI dimaksud jatuh tempo dan dilunasi atau dilunasi sebelum KLBI jatuh tempo, tetap dimiliki oleh Bank Indonesia. Pasal 3 …… - 5 - Pasal 3 (1) Dengan telah dialihkannya tugas pengelolaan KLBI kepada BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), maka kegiatan pengelolaan KLBI menjadi tugas BUMN sesuai dengan Perjanjian Pengalihan Pengelolaan KLBI. (2) Rincian tugas pengelolaan dan teknis pengelolaan KLBI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 4 (1) BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) diberi kewenangan untuk mengelola angsuran pokok yang diterima dari bank pelaksana, sampai KLBI dimaksud jatuh tempo. (2) Angsuran pokok yang dikelola oleh BUMN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disalurkan melalui skim kredit yang sesuai dengan skim kredit yang dialihkan kepada masing-masing BUMN, secara berimbang. (3) Bank Indonesia tidak mengenakan bunga terhadap angsuran pokok yang dikelola oleh BUMN. Pasal 5 (1) (2) Ketentuan mengenai pemberian KLBI tetap berlaku sampai dengan KLBI dimaksud jatuh tempo. Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap BUMN mengenai pelaksanaan pengelolaan KLBI yang telah dialihkan. Pasal 6 … - 6 - Pasal 6 BUMN wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai pengelolaan KLBI yang dialihkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 7 (1) BUMN dan bank pelaksana wajib mengembalikan KLBI kepada Bank Indonesia pada saat jatuh tempo. (2) Untuk skim kredit dengan pola channeling, dalam hal pada saat jatuh tempo masih terdapat KLBI yang belum dilunasi, Bank Indonesia berhak menarik kembali KLBI dimaksud sampai dengan dilunasi. Pasal 8 Peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 9 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, segala ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan pengalihan pengelolaan KLBI kepada BUMN tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 10 …. -7- Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 Pebruari 2000 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 8 DKr PENJELASAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/3/PBI/2000 TENTANG PENGALIHAN PENGELOLAAN KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM I. UMUM Sesuai dengan tugasnya, Bank Indonesia berfungsi sebagai Otoritas Moneter yang independen dan mempunyai tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk lebih memfokuskan fungsi Bank Indonesia sebagai Otoritas Moneter maka pemberian kredit program tidak lagi didukung dengan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Berdasarkan Pasal 74 Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, KLBI dalam rangka Kredit Program yang masih berjalan dan belum jatuh tempo serta yang telah disetujui tetapi belum ditarik, dialihkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditunjuk oleh Pemerintah berdasarkan suatu Perjanjian Pengalihan Pengelolaan KLBI. Pengalihan KLBI kepada BUMN yang ditunjuk oleh Pemerintah terbatas pada pengalihan pengelolaan KLBI. II.PASAL ….. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penunjukan BUMN yang menerima pengalihan pengelolaan KLBI ditetapkan Pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 487/KMK.017/1999 tanggal 13 Oktober 1999 tentang Penunjukan Badan Usaha Milik Negara Sebagai Koordinator Penyaluran Kredit Program. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Perjanjian Pengalihan Pengelolaan KLBI ditandatangani pada tanggal 15 Nopember 1999, dan berlaku sejak tanggal 16 Nopember 1999. Pasal 2 Dengan tidak beralihnya hak tagih kepada BUMN, dalam hal KLBI tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo, maka Bank Indonesia tetap mempunyai wewenang untuk melakukan penagihan. Pasal 3 ….. -3- Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penetapan rincian tugas pengelolaan dan teknis pengelolaan KLBI oleh Bank Indonesia adalah sebagaimana telah disepakati dalam Perjanjian Pengalihan Pengelolaan KLBI. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan jatuh tempo KLBI adalah jatuh tempo KLBI untuk masing-masing skim/proyek yang bersangkutan. Bunga KLBI yang dialihkan pengelolaannya tetap dibayarkan oleh bank pelaksana kepada Bank Indonesia. Ayat (2) Penyaluran kembali angsuran pokok tersebut harus dilakukan secara berimbang yaitu dengan memperhatikan kebutuhan masing-masing skim kredit dan kinerja bank pelaksana dalam penyaluran skim-skim kredit dimaksud. Ayat (3) Pengenaan bunga tidak dilakukan karena dengan pengenaan bunga berarti terjadi pemberian kredit baru, sedangkan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia tidak diperkenankan lagi memberikan KLBI dalam rangka kredit program. Pasal 5 …. -4- Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ketentuan pemberian KLBI dalam pasal ini adalah ketentuan Bank Indonesia terhadap masing-masing skim kredit/proyek yang masih berjalan sampai dengan KLBI jatuh tempo dan dilunasi atau dilunasi sebelum KLBI jatuh tempo. Dalam hal ini termasuk kewenangan Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap proyek yang dibiayai dengan KLBI, pengenaan sanksi dan atau denda, serta kewajiban-kewajiban yang merupakan tanggung jawab Bank Indonesia sesuai dengan komitmen antara Bank Indonesia dan bank pelaksana . Dalam hal diperlukan penyesuaian ketentuan sesuai dengan perkembangan perekonomian, maka Bank Indonesia berwenang melakukan perubahan atas ketentuan tersebut. Terhadap penyaluran kembali kredit yang dananya berasal dari angsuran pokok maka BUMN harus mengikuti ketentuan Bank Indonesia, namun dalam hal diperlukan, penyesuaian ketentuan dimungkinkan sepanjang dikoordinasikan dan mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. Perubahan/penyesuaian ketentuan tersebut di atas tidak menunda pelaksanaan pembayaran kembali KLBI kepada Bank Indonesia pada saat jatuh tempo. Ayat (2) …. -5- Ayat (2) Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, BUMN harus mengembalikan KLBI pada saat jatuh tempo, dengan demikian tidak dimungkinkan adanya perpanjangan jangka waktu KLBI. Pengembalian KLBI kepada Bank Indonesia pada saat jatuh tempo dilakukan dengan cara mendebet rekening bank pelaksana pada Bank Indonesia sebesar jumlah KLBI yang terutang dan mendebet rekening giro BUMN sebesar jumlah angsuran KLBI yang telah diterima oleh BUMN. Ayat (2) Untuk kredit yang disalurkan dengan pola channeling, yaitu bank pelaksana tidak menanggung risiko kredit, pendebetan rekening bank pelaksana dan atau BUMN dilakukan setelah ada pembayaran dari debitur kepada bank pelaksana atau bank pelaksana kepada BUMN. Pelaksanaan pendebetan dilakukan berdasarkan laporan yang disampaikan oleh bank pelaksana setiap bulan. Bagi …. -6- Bagi skim kredit yang dalam pemberiannya terdapat ketentuan mengenai risk sharing, penyelesaian pelunasan atas risk sharing dilakukan oleh bank pelaksana sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Pemberlakuan Peraturan Bank Indonesia ini adalah dengan memperhatikan hal-hal yang telah diatur dalam Perjanjian Pengalihan Pengelolaan KLBI kepada masing-masing BUMN tanggal 15 Nopember 1999. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3926 DKr
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/3/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> PENGALIHAN PENGELOLAAN KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM </reg_title> <set_date> 1 Pebruari 2000 </set_date> <effective_date> 1 Pebruari 2000 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999' </related_reg>
- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/2/PBI/2013 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan, diperlukan sistem perbankan yang sehat; b. bahwa sebagai bagian dari upaya penyehatan perbankan, permasalahan yang timbul dalam bank perlu diatasi secara dini, dengan meningkatkan langkah-langkah pengawasan terhadap bank dalam pengawasan normal namun berpotensi menjadi pengawasan intensif; c. bahwa untuk meningkatkan efektifitas upaya penyehatan perbankan perlu diperluas cakupan kriteria bank dalam pengawasan intensif yang dapat diperpanjang jangka waktunya; d. bahwa dalam hal perpanjangan jangka waktu bank dalam pengawasan intensif disebabkan karena memenuhi kriteria kualitatif maka akan disertai dengan peningkatan langkah-langkah pengawasan; e. bahwa … - 2 - e. bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan metodologi penilaian tingkat kesehatan bank yang menggunakan pendekatan risiko (risk based bank rating) perlu dilakukan penyempurnaan peraturan tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu ditetapkan ketentuan tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum Konvensional dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-undang … - 3 - Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963); MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM KONVENSIONAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank … - 4 - 1. Bank adalah Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut LPS, adalah badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang- Undang. 3. Direksi: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah Pimpinan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yakni pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 4. Dewan … - 5 - 4. Dewan Komisaris: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pasal 2 (1) Bank Indonesia berwenang menetapkan status pengawasan Bank. (2) Status pengawasan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. Pengawasan normal; b. Pengawasan intensif; atau c. Pengawasan khusus. Pasal 3 (1) Dalam hal Bank dalam pengawasan normal namun dinilai memiliki permasalahan yang signifikan maka Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham pengendali Bank wajib menyampaikan rencana tindak (action plan) kepada Bank Indonesia. (2) Tata cara penyampaian rencana tindak dan langkah-langkah perbaikan yang akan dilaksanakan oleh Bank yang termuat dalam rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum. BAB II … - 6 - BAB II BANK DALAM PENGAWASAN INTENSIF Pasal 4 (1) Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan intensif jika dinilai memiliki kelangsungan usahanya. (2) Bank dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut: a. rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sama dengan atau lebih besar dari 8% (delapan persen) namun kurang dari rasio KPMM sesuai profil risiko Bank yang wajib dipenuhi oleh Bank; b. rasio modal inti (tier 1) kurang dari persentase tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; c. rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dalam rupiah sama dengan atau lebih besar dari 5% (lima persen) namun kurang dari rasio yang ditetapkan untuk GWM rupiah yang wajib dipenuhi oleh Bank, dan berdasarkan penilaian Bank Indonesia, Bank memiliki permasalahan likuiditas mendasar; d. rasio kredit bermasalah (non performing loan) secara neto lebih dari 5% (lima persen) dari total kredit; e. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 4 (empat) atau 5 (lima); f. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 3 (tiga) dan Good Corporate Governance (GCG) dengan peringkat 4 (empat). potensi kesulitan yang membahayakan Pasal 5 … - 7 - Pasal 5 (1) Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal surat pemberitahuan Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia dapat memperpanjang jangka waktu pengawasan intensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak 1 (satu) kali dan paling lama 1 (satu) tahun hanya untuk Bank dalam pengawasan intensif yang memenuhi kriteria: a. kredit bermasalah (non performing loan) secara neto lebih dari 5% (lima persen) dari total kredit dan penyelesaiannya bersifat kompleks; b. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 4 (empat) atau 5 (lima); dan/atau c. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 3 (tiga) dan Good Corporate Governance (GCG) dengan peringkat 4 (empat). (3) Perpanjangan jangka waktu Bank dalam pengawasan intensif karena kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b atau huruf c disertai peningkatan tindakan pengawasan. Pasal 6 Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank mengenai: a. penetapan Bank dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, atau b. penetapan perpanjangan jangka waktu Bank dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), disertai dengan alasan penetapan serta langkah-langkah atau tindakan pengawasan yang wajib dilakukan Bank. Pasal 7 … - 8 - Pasal 7 Bank dalam pengawasan intensif wajib melakukan tindakan pengawasan yang diperintahkan Bank Indonesia, antara lain: a. menghapusbukukan kredit yang tergolong macet dan memperhitungkan kerugian Bank dengan modal Bank; b. membatasi pembayaran remunerasi atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu kepada anggota Dewan Komisaris dan/atau Direksi Bank, atau imbalan kepada pihak terkait; c. tidak melakukan pembayaran pinjaman subordinasi; d. tidak melakukan atau menunda distribusi modal; e. memperkuat modal Bank termasuk melalui setoran modal; f. tidak melakukan transaksi tertentu dengan pihak terkait dan/atau pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia; g. membatasi pelaksanaan rencana penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru; h. tidak melakukan atau membatasi pertumbuhan aset, penyertaan, dan/atau penyediaan dana baru; i. menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank kepada bank atau pihak lain; j. tidak melakukan ekspansi jaringan kantor; k. tidak melakukan kegiatan usaha tertentu; l. menutup jaringan kantor Bank; m. tidak melakukan transaksi antar bank; n. melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain; o. mengganti Dewan Komisaris dan/atau Direksi Bank; p. menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank kepada pihak lain; dan/atau q. menjual Bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban Bank. Pasal 8 … - 9 - Pasal 8 (1) Bank dalam pengawasan intensif wajib: a. menyampaikan rencana tindak sesuai permasalahan yang dihadapi; b. menyampaikan realisasi rencana tindak; c. menyampaikan daftar pihak terkait secara lengkap; dan/atau d. melakukan tindakan lainnya dan/atau melaporkan hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Dalam hal Bank ditetapkan sebagai Bank dalam pengawasan intensif karena permasalahan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dan huruf b, selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank dan/atau pemegang saham Bank juga wajib menyampaikan rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) guna mengatasi permasalahan permodalan Bank. Pasal 9 Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dan huruf c disampaikan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak Bank ditetapkan dalam pengawasan intensif. Pasal 10 (1) Rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a paling kurang memuat rencana perbaikan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi Bank disertai jangka waktu penyelesaiannya. (2) Bank Indonesia melakukan evaluasi atas rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 5 (lima) hari kerja sejak rencana tindak diterima secara lengkap. (3) Dalam … - 10 - (3) Dalam hal rencana tindak yang disampaikan ditolak Bank Indonesia, Bank wajib mengajukan perbaikan rencana tindak paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan penolakan. Pasal 11 (1) Rencana perbaikan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak Bank ditetapkan dalam pengawasan intensif. (2) Rencana perbaikan permodalan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggambarkan kemampuan Bank untuk mencapai dan memelihara rasio KPMM yang ditetapkan Bank Indonesia dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). (3) Bank Indonesia menilai rencana perbaikan permodalan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak rencana perbaikan permodalan diterima secara lengkap. (4) Dalam hal rencana perbaikan permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, Bank wajib mengajukan revisi rencana perbaikan permodalan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal penolakan. Pasal 12 (1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan realisasi rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dan/atau realisasi pelaksanaan perbaikan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), setiap akhir bulan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja bulan berikutnya. (2) Laporan … - 11 - (2) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat antara lain: a. permasalahan Bank; b. tindakan perbaikan yang telah dilakukan oleh Bank; dan c. waktu pelaksanaan perbaikan. Pasal 13 (1) Bank ditetapkan tidak lagi berada dalam pengawasan intensif apabila kondisi Bank membaik dan sudah tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. (2) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank yang ditetapkan tidak lagi berada dalam pengawasan intensif. BAB III BANK DALAM PENGAWASAN KHUSUS Pasal 14 (1) Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan khusus apabila Bank yang ditetapkan dalam pengawasan intensif atau Bank dalam pengawasan normal, dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya. (2) Bank dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut: a. rasio KPMM kurang dari 8% (delapan persen); b. rasio GWM dalam rupiah kurang dari 5% (lima persen) dan berdasarkan penilaian Bank Indonesia: 1) Bank mengalami permasalahan likuiditas mendasar; atau 2) Bank … - 12 - 2) Bank mengalami perkembangan yang memburuk dalam waktu singkat. Pasal 15 Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan Bank Indonesia. Pasal 16 Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank mengenai penetapan Bank dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, disertai dengan alasan penetapan serta langkah-langkah atau tindakan pengawasan yang wajib dilakukan Bank. Pasal 17 (1) Bank dalam pengawasan khusus wajib melakukan penambahan modal untuk memenuhi kewajiban pemenuhan modal minimum dan/atau kewajiban pemenuhan giro wajib minimum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (2) Penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. Pasal 18 … - 13 - Pasal 18 Dalam rangka pengawasan khusus, Bank Indonesia berwenang: a. melarang Bank menjual atau menurunkan jumlah aset tanpa persetujuan Bank Indonesia kecuali untuk Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Bank Indonesia Syariah, giro pada Bank Indonesia, tagihan antar Bank, Surat Berharga Negara, dan/atau Surat Berharga Syariah Negara; b. melarang Bank mengubah kepemilikan bagi: 1) pemegang saham yang memiliki saham Bank sebesar 10% (sepuluh persen) atau lebih; dan/atau 2) pemegang saham pengendali termasuk pihak-pihak yang melakukan pengendalian terhadap Bank dalam struktur kelompok usaha Bank, kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan/atau c. memerintahkan Bank untuk melaporkan setiap perubahan kepemilikan saham Bank kurang dari 10% (sepuluh persen). Pasal 19 (1) Selain tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18, Bank Indonesia berwenang memerintahkan Bank dalam pengawasan khusus untuk melakukan tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (2) Tindakan pengawasan yang ditetapkan pada saat Bank dalam pengawasan intensif dinyatakan tetap berlaku. Pasal 20 Bank Indonesia membekukan kegiatan usaha tertentu Bank dalam pengawasan khusus paling lama 1 (satu) bulan dalam periode pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, apabila: a. Bank … - 14 - a. Bank Indonesia menilai kondisi Bank semakin memburuk; dan/atau b. terjadi pelanggaran ketentuan perbankan yang dilakukan oleh Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham pengendali. Pasal 21 (1) Bank dalam pengawasan khusus wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia: a. laporan keuangan terkini berupa neraca dan laporan laba rugi serta rekening administratif; b. rincian aktiva produktif Bank terkini yang dikelompokkan berdasarkan kualitasnya; c. peringkat komposit tingkat kesehatan Bank terkini; d. informasi dan dokumen mengenai: 1) daftar terkini mengenai simpanan nasabah secara agregat yang dikelompokkan berdasarkan nilai nominal; 2) daftar terkini mengenai rincian tagihan dan kewajiban Bank kepada pihak terkait; 3) informasi lainnya yang diperlukan Bank Indonesia; e. laporan keuangan terkini dari perusahaan yang memperoleh penyertaan modal dari Bank selain penyertaan modal sementara dalam rangka restrukturisasi kredit atau pembiayaan; f. struktur terkini kelompok usaha terkait Bank, termasuk badan hukum pemilik Bank sampai dengan pemegang saham pengendali terakhir (ultimate shareholders); dan g. laporan proyeksi arus kas untuk jangka waktu 1 (satu) bulan mendatang atau berdasarkan periode laporan lain, yang terinci secara harian dan dengan frekuensi sesuai yang ditetapkan Bank Indonesia. (2) Laporan … - 15 - (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak Bank ditetapkan dalam pengawasan khusus. Pasal 22 (1) Bank Indonesia mengumumkan: a. Bank dalam pengawasan khusus yang dibekukan kegiatan usaha tertentu beserta alasan pembekuan dimaksud; b. tindakan perbaikan yang wajib dilakukan dan/atau larangan yang diperintahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19. (2) Bank Indonesia mengumumkan pula Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah melakukan perbaikan sehingga tidak memenuhi kriteria Bank dalam pengawasan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 14. (3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan pada 2 (dua) surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas dan pada home page Bank Indonesia. Pasal 23 (1) Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 wajib memberitahukan kepada seluruh jaringan kantornya mengenai kegiatan usaha tertentu yang dibekukan dan perintah yang ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan pada tanggal diterimanya pemberitahuan dari Bank Indonesia. Pasal 24 … - 16 - Pasal 24 (1) Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai Bank yang ditetapkan dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. (2) Pemberitahuan kepada LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan keterangan mengenai kondisi Bank yang bersangkutan. Pasal 25 (1) Bank Indonesia memberitahukan kepada otoritas pengawasan yang berwenang terhadap perusahaan induk dan/atau perusahaan anak Bank mengenai tindakan yang dilakukan Bank Indonesia terhadap Bank yang ditetapkan dalam pengawasan khusus. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kerjasama antara Bank Indonesia dengan otoritas pengawasan yang berwenang terhadap perusahaan induk dan/atau perusahaan anak Bank. Pasal 26 Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan khusus sebagai Bank yang tidak dapat disehatkan, apabila: a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 belum terlampaui namun kondisi Bank menurun sehingga: 1) rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 4% (empat persen) dan dinilai tidak dapat ditingkatkan menjadi 8% (delapan persen); dan/atau 2) rasio GWM dalam rupiah sama dengan atau kurang dari 0% (nol persen) dan dinilai tidak dapat diselesaikan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku; atau … - 17 - atau b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 terlampaui dan: 1) rasio KPMM Bank kurang dari 8% (delapan persen); dan/atau 2) rasio GWM dalam rupiah kurang dari 5% (lima persen). Pasal 27 Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank dalam pengawasan khusus yang ditetapkan sebagai Bank tidak dapat disehatkan. BAB IV BANK BERDAMPAK SISTEMIK Pasal 28 Dalam hal Bank Indonesia menengarai Bank dalam pengawasan khusus berdampak sistemik, Bank Indonesia memberi informasi kepada lembaga yang berfungsi menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis berdasarkan peraturan perundang- undangan. Pasal 29 Dalam hal Bank dalam pengawasan khusus yang ditengarai berdampak sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Bank Indonesia meminta lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 untuk memutuskan: a. Bank yang bersangkutan berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik; dan b. Pihak … - 18 - b. Pihak yang berwenang untuk menangani dan menetapkan langkah- langkah penanganan terhadap Bank yang ditetapkan berdampak sistemik. Pasal 30 Bank dan/atau pemegang saham dari Bank yang ditetapkan berdampak sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 wajib melakukan langkah-langkah yang ditetapkan oleh lembaga yang ditunjuk menangani Bank yang bersangkutan. BAB V BANK TIDAK BERDAMPAK SISTEMIK Pasal 31 Dalam hal Bank dalam pengawasan khusus dinilai tidak berdampak sistemik dan memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Bank Indonesia memberitahukan dan meminta keputusan LPS untuk melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan terhadap Bank yang bersangkutan. Pasal 32 (1) Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Bank Indonesia melakukan pencabutan izin usaha Bank yang bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan keputusan dari LPS. (2) Penyelesaian lebih lanjut terhadap Bank yang dicabut izin usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh LPS sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 33 … - 19 - Pasal 33 (1) Bank yang berada dalam penanganan atau penyelamatan LPS dikecualikan dari penetapan sebagai Bank dalam pengawasan intensif atau Bank dalam pengawasan khusus. (2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berkewajiban melakukan tindakan pengawasan yang ditetapkan Bank Indonesia. (3) Dalam hal Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dan huruf b, Bank Indonesia menetapkan Bank sebagai Bank yang tidak dapat disehatkan. (4) Bank Indonesia akan melakukan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 atau Pasal 31 terhadap Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3). BAB VI LAIN-LAIN Pasal 34 Penyampaian laporan dan informasi yang wajib dilakukan oleh Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Departemen Pengawasan Bank yang terkait, Jl.M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. BAB VII … - 20 - BAB VII SANKSI Pasal 35 Bank yang melanggar ketentuan dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4), Pasal 12, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 21, dan/atau Pasal 23 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: a. pemberhentian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris Bank; dan/atau b. larangan turut serta dalam kegiatan kliring. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 36 Pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini: (1) Bank yang telah ditetapkan dalam pengawasan intensif berlaku ketentuan sebagai berikut: a. status Bank dalam pengawasan intensif tetap berlaku sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. b. bagi Bank yang telah ditetapkan dalam status pengawasan intensif karena: 1) kredit bermasalah (Non Performing Loan) secara neto lebih dari 5% (lima persen) dari total kredit dan penyelesaiannya bersifat kompleks; 2) tingkat … - 21 - 2) tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 4 (empat) atau 5 (lima); atau 3) tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 3 (tiga) dan faktor manajemen dengan peringkat 4 (empat) atau 5 (lima), jangka waktu Bank dalam pengawasan intensif dapat diperpanjang 1 (satu) kali dan paling lama 1 (satu) tahun. c. perpanjangan jangka waktu Bank dalam pengawasan intensif karena memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 2) atau angka 3), disertai dengan peningkatan tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3). d. bagi Bank yang telah ditetapkan dalam pengawasan intensif karena memenuhi kriteria peringkat komposit tingkat kesehatan Bank 3 (tiga) dengan peringkat faktor manajemen 4 (empat) atau 5 (lima) dapat ditetapkan tidak lagi berada dalam pengawasan intensif dalam hal Bank memperoleh penilaian tingkat kesehatan dengan peringkat komposit 3 (tiga) dan GCG dengan peringkat 3 (tiga). (2) Status Bank dalam pengawasan khusus tetap berlaku sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. BAB IX PENUTUP Pasal 37 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/3/PBI/2011 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku bagi Bank Umum Konvensional. Pasal 38 … - 22 - Pasal 38 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 20 Mei 2013 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 93 DPNP - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/2/PBI/2013 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, I. UMUM Sistem perbankan yang sehat merupakan salah satu prasyarat untuk mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan, pertumbuhan perekonomian nasional serta terpeliharanya kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Oleh karena itu setiap permasalahan Bank perlu diselesaikan dengan cepat agar tidak mengganggu stabilitas sistem keuangan serta menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat. Penanganan terhadap permasalahan Bank dilakukan bukan hanya pada saat Bank ditetapkan dalam pengawasan intensif, namun pada saat Bank dalam pengawasan normal pun perlu ditingkatkan langkah-langkah pengawasan apabila memiliki permasalahan signifikan dan berpotensi ditetapkan menjadi Bank dalam pengawasan intensif. Hal tersebut merupakan langkah preventif yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan sedini mungkin sehingga tidak akan mengganggu kelangsungan usaha Bank. Untuk … - 2 - Untuk meningkatkan efektifitas upaya penyehatan perbankan maka Bank Indonesia memperluas cakupan kriteria Bank dalam pengawasan intensif yang dapat diperpanjang jangka waktunya. Perluasan cakupan kriteria tersebut bukan hanya kriteria kuantitatif yaitu karena permasalahan Non Performing Loan (NPL) yang bersifat kompleks namun juga kriteria kualitatif yaitu tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 4 (empat) atau 5 (lima) atau tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 3 (tiga) dan Good Corporate Governance (GCG) dengan peringkat 4 (empat). Agar Direksi dan/atau pengurus Bank berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahannya khususnya apabila memenuhi kriteria kualitatif, maka dalam hal Bank diberikan perpanjangan jangka waktu, Bank akan dikenakan peningkatan tindakan pengawasan baik peningkatan jumlah tindakan pengawasan maupun peningkatan tindakan pengawasan yang berdampak lebih berat bagi Bank dari tindakan pengawasan yang ditetapkan sebelumnya. Sebagai contoh apabila Bank tidak dapat menyelesaikan permasalahannya setelah diberikan perpanjangan jangka waktu, Bank Indonesia akan memerintahkan agar Bank dijual kepada pihak lain. Disamping itu perubahan Peraturan Bank Indonesia tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank dilakukan karena adanya penyempurnaan metodologi penilaian tingkat kesehatan Bank Umum Konvensional yang semula menggunakan CAMELS rating menjadi risk based bank rating sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum. II. PASAL … - 3 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “pengawasan normal” adalah pengawasan terhadap Bank yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 14. Huruf b Yang dimaksud dengan “pengawasan intensif” adalah suatu peningkatan proses pengawasan terhadap Bank yang sebelumnya berada dalam pengawasan normal dengan tujuan untuk memulihkan kondisi Bank. Pemulihan tersebut dilakukan dengan menetapkan tindakan pengawasan (supervisory actions) yang sesuai dengan permasalahan Bank dengan tujuan untuk memulihkan kondisi Bank tersebut. Huruf c Yang dimaksud dengan “pengawasan khusus” adalah suatu peningkatan proses pengawasan terhadap Bank yang sebelumnya berada dalam pengawasan normal atau pengawasan … - 4 - pengawasan intensif dengan tujuan memulihkan kondisi Bank. Pemulihan tersebut dilakukan dengan menetapkan tindakan pengawasan (supervisory actions) yang sesuai dengan permasalahan Bank termasuk penambahan modal Bank dengan tujuan untuk memulihkan kondisi Bank tersebut. Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Bank dalam pengawasan normal namun memiliki permasalahan yang signifikan adalah Bank yang memperoleh penilaian tingkat kesehatan dengan peringkat komposit 3 (tiga) namun berpotensi ditetapkan dalam pengawasan intensif sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum. Rencana tindak memuat langkah-langkah perbaikan yang akan dilaksanakan oleh Bank dalam rangka mengatasi permasalahan signifikan yang dihadapi beserta target waktu penyelesaian permasalahan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 5 - Ayat (2) Huruf a Kewajiban Bank untuk memiliki rasio KPMM sesuai profil risiko Bank mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum. Huruf b Perhitungan rasio modal inti (tier 1) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum. Modal inti (tier 1) bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah dana usaha yang telah dialokasikan menjadi Capital Equivalency Maintained Assets (CEMA) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan GWM dalam rupiah adalah GWM Primer bagi Bank Umum. Ketentuan mengenai GWM dalam rupiah adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai giro wajib minimum bank umum. Yang dimaksud dengan permasalahan likuiditas mendasar antara lain adalah: - perubahan posisi Bank di pasar uang dari posisi pemberi pinjaman (net lender) menjadi posisi penerima pinjaman (net borrower); posisi … - 6 - - posisi arus kas yang semakin buruk sebagai akibat maturity mismatch yang besar, terutama pada skala jangka waktu yang pendek; - upaya Bank untuk memperoleh dana di pasar uang dengan suku bunga yang lebih tinggi dari suku bunga wajar (pasar); - ketergantungan pada agunan untuk memperoleh dana; dan/atau - peningkatan pencairan deposito sebelum jatuh tempo. Huruf d Kredit bermasalah jika memiliki kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian kualitas aset bank umum. Perhitungan rasio kredit bermasalah secara neto mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum. Huruf e Peringkat komposit tingkat kesehatan Bank adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum. Huruf f Peringkat GCG adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum. Pasal 5 … - 7 - Pasal 5 Ayat (1) Perhitungan jangka waktu Bank dalam pengawasan intensif paling lama 1 (satu) tahun termasuk jangka waktu penyusunan dan revisi rencana tindak. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “penyelesaian bersifat kompleks” antara lain penyelesaian kredit bermasalah (non performing loan) untuk kredit sindikasi dan/atau kredit yang direstrukturisasi secara menyeluruh yang mencakup kegiatan usaha dari hulu sampai dengan hilir. Huruf b Peringkat komposit tingkat kesehatan Bank adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum. Huruf c Peringkat GCG adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum. Ayat (3) Yang dimaksud dengan peningkatan tindakan pengawasan adalah peningkatan jumlah tindakan pengawasan dan/atau penerapan tindakan pengawasan yang berdampak lebih berat bagi Bank dari tindakan pengawasan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Pasal 6 … - 8 - Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Tindakan pengawasan yang diperintahkan Bank Indonesia disesuaikan dengan permasalahan Bank. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”remunerasi atau bentuk lain yang dipersamakan” antara lain berupa gaji, honorarium, insentif, tunjangan rutin, dan tantiem. Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit bagi bank umum. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Termasuk “distribusi modal” antara lain pembayaran dividen, pembayaran bonus atau yang dipersamakan dengan bonus kepada Direksi dan/atau Dewan Komisaris Bank, dan/atau pembelian kembali saham Bank. Huruf e Cukup jelas. Huruf f … - 9 - Huruf f Yang dimaksud dengan “transaksi tertentu” antara lain pencairan dana, pemberian fasilitas penyediaan dana seperti kredit, surat berharga, letter of credit, standby letter of credit, atau yang sejenis dengan itu. Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit bagi bank umum. Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah perorangan atau badan hukum tertentu yang bukan pihak terkait. Huruf g Yang dimaksud dengan “penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas” antara lain penerbitan surat utang, sekuritisasi aset, dan kerjasama pemasaran. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n … - 10 - Huruf n Cukup jelas. Huruf o Penggantian Dewan Komisaris dan/atau Direksi Bank dapat dilakukan sebagian atau seluruhnya. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Contoh tindakan lainnya antara lain mengkinikan rencana bisnis (business plan). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 … - 11 - Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Laporan realisasi merupakan laporan realisasi atas rencana tindak dan rencana perbaikan permodalan yang telah disetujui Bank Indonesia. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Ketentuan mengenai KPMM adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum. Huruf b Ketentuan mengenai GWM dalam rupiah adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai giro wajib minimum bank umum. Angka 1) Yang dimaksud dengan “mengalami permasalahan likuiditas mendasar” antara lain adalah: Perubahan … - 12 - - Perubahan posisi Bank di pasar uang dari posisi pemberi pinjaman (net lender) menjadi posisi penerima pinjaman (net borrower); - Posisi arus kas yang semakin buruk sebagai akibat maturity mismatch yang besar, terutama pada skala waktu jangka pendek; - Upaya Bank untuk memperoleh dana di pasar uang dengan suku bunga yang lebih tinggi dari suku bunga wajar (pasar); - Ketergantungan pada agunan untuk memperoleh dana; dan/atau - Peningkatan pencairan deposito sebelum jatuh tempo. Angka 2) Yang dimaksud dengan “Bank mengalami perkembangan yang memburuk dalam waktu singkat” adalah apabila arah (trend) rasio GWM Bank semakin menurun. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Penambahan modal Bank dapat dilakukan oleh pemegang saham Bank maupun dari investor baru. Yang … - 13 - Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku adalah ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum dan ketentuan Bank Indonesia mengenai giro wajib minimum bank umum. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1) Termasuk dalam pengertian “memiliki” adalah: a. pemegang saham yang secara sendiri atau bersama- sama dengan pemegang saham terkait lainnya; b. pemegang saham yang bertindak atas nama pemegang saham lain yang menyebabkan pemegang saham tersebut; atau c. pemegang saham yang memiliki hak opsi atau hak lain untuk memiliki saham yang apabila digunakan akan menyebabkan pemegang saham tersebut, mempunyai saham Bank sebesar 10% (sepuluh persen) atau lebih. Termasuk pemegang saham yang secara bersama-sama dengan pemegang saham terkait lainnya sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas adalah pemegang saham yang mempunyai keterkaitan dengan pemegang saham lainnya dalam bentuk hubungan kepemilikan, hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua … - 14 - kedua, dan/atau melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank (acting in concert). Angka 2) Ketentuan mengenai pemegang saham pengendali dan pengendalian mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Huruf c Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Tindakan membekukan kegiatan usaha tertentu tersebut dimaksudkan antara lain untuk meminimalisasi dampak kerugian, memberikan perlindungan kepada nasabah dan/atau meminimalisasi gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan. Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha Bank” adalah kegiatan usaha Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Huruf a Yang dimaksud dengan “kondisi Bank semakin memburuk” apabila: 1) KPMM … - 15 - 1) KPMM Bank menurun dengan cepat dan dinilai tidak dapat ditingkatkan menjadi 8% (delapan persen); dan/atau 2) GWM dalam rupiah Bank menurun dengan cepat dan tidak dapat diselesaikan sesuai peraturan yang berlaku. Huruf b Yang dimaksud dengan pemegang saham pengendali mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Laporan struktur kelompok usaha dalam ayat ini memuat pihak perorangan dan/atau badan hukum yang memiliki 10% (sepuluh persen) atau lebih saham badan hukum dimaksud, serta menyebutkan pihak yang menjadi pemegang saham pengendali terakhir (ultimate shareholders). Huruf g … - 16 - Huruf g Yang dimaksud dengan “laporan proyeksi arus kas” adalah laporan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko untuk risiko likuiditas Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengumuman pada homepage Bank Indonesia dilakukan dengan alamat http://www.bi.go.id. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Pemberitahuan terhadap otoritas pengawasan yang berwenang terhadap perusahaan induk dan/atau perusahaan anak Bank dimaksudkan agar otoritas pengawasan tersebut mendapatkan informasi mengenai tindakan Bank Indonesia sehingga … - 17 - sehingga dapat melakukan langkah-langkah antisipasi yang diperlukan. Dalam hal Bank merupakan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri maka yang dimaksud dengan perusahaan induk adalah kantor pusat dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri tersebut. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kerjasama” termasuk kerjasama pengawasan Bank secara lintas batas (cross border supervision). Pasal 26 Huruf a Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Yang dimaksud dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan Bank Indonesia mengenai giro wajib minimum bank umum. Huruf b Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jaring pengaman sistem keuangan dan/atau stabilitas sistem keuangan. Pemberian informasi dilakukan dalam rangka tukar-menukar informasi terkait stabilitas sistem keuangan. Pasal 29 … - 18 - Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyelesaian yang dilakukan oleh LPS meliputi antara lain pembayaran klaim penjaminan simpanan dan likuidasi. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Yang dimaksud dengan “larangan turut serta dalam kegiatan kliring” dalam hal ini termasuk larangan turut serta dalam Sistem BI-RTGS. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 … - 19 - Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5417
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 15/2/PBI/2013 </reg_id> <reg_title> PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title> <set_date> 20 Mei 2013 </set_date> <effective_date> 20 Mei 2013 </effective_date> <replaced_reg> '13/3/PBI/2011' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '24/UU/2004', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2009', '3/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 14/ 24 /PBI/2012 TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mengantisipasi dinamika perkembangan perekonomian regional dan global, industri perbankan perlu meningkatkan ketahanan dan daya saing; b. bahwa peningkatan ketahanan dan daya saing perbankan nasional memerlukan struktur perbankan yang kuat; c. bahwa struktur perbankan yang kuat dapat dicapai antara lain melalui penataan struktur kepemilikan bank melalui kebijakan Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu diatur kembali kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat … - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN … - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA. Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, tidak termasuk Kantor Cabang Bank Asing. 2. Kepemilikan Tunggal adalah suatu kondisi dimana suatu pihak hanya dapat menjadi pemegang saham pengendali pada 1 (satu) Bank. 3. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum dan/atau perorangan dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara; b. memiliki saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Bank baik secara langsung maupun tidak langsung. 4. Perusahaan … - 4 - 4. Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) adalah badan hukum yang dibentuk dan/atau dimiliki oleh Pemegang Saham Pengendali untuk mengkonsolidasikan dan mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas Bank-Bank yang menjadi anak perusahaannya. 5. Fungsi Holding adalah suatu fungsi yang dimiliki oleh Pemegang Saham Pengendali berupa Bank yang berbadan hukum Indonesia atau Pemerintah Republik Indonesia untuk mengkonsolidasikan dan mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas Bank-Bank yang menjadi anak perusahaannya. Pasal 2 (1) Setiap pihak hanya dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu) Bank. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi: a. Pemegang Saham Pengendali pada 2 (dua) Bank yang masing- masing melakukan kegiatan usaha dengan prinsip berbeda, yakni secara konvensional dan berdasarkan prinsip Syariah; dan b. Pemegang Saham Pengendali pada 2 (dua) Bank yang salah satunya merupakan Bank Campuran (Joint Venture Bank). Pasal 3 (1) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1): a. telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1 (satu) Bank; atau b. melakukan … - 5 - b. melakukan pembelian saham Bank lain sehingga yang bersangkutan menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1 (satu) Bank, maka yang bersangkutan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan cara: a. merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang dikendalikannya; b. membentuk Perusahaan Induk di bidang Perbankan; atau c. membentuk Fungsi Holding. (3) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib dilakukan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun: a. sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, bagi pihak yang telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1 (satu) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; b. setelah pelaksanaan pembelian saham Bank lain yang mengakibatkan yang bersangkutan memenuhi kriteria sebagai Pemegang Saham Pengendali dari Bank yang dibeli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (4) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c wajib dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan: a. sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, bagi pihak yang telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1 (satu) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; b. setelah … - 6 - b. setelah pelaksanaan pembelian saham Bank lain yang mengakibatkan yang bersangkutan memenuhi kriteria sebagai Pemegang Saham Pengendali dari Bank yang dibeli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (5) Berdasarkan permintaan Pemegang Saham Pengendali dan Bank- Bank yang dikendalikannya, Bank Indonesia dapat memberikan perpanjangan jangka waktu penyesuaian pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), apabila menurut penilaian Bank Indonesia permasalahan yang dihadapi Pemegang Saham Pengendali dan/atau Bank-Bank yang dikendalikannya cukup kompleks sehingga menyebabkan pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). Pasal 4 (1) Bank yang melakukan merger atau konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a diberikan insentif berupa: a. pelonggaran sementara pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM); b. perpanjangan waktu penyelesaian pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK); c. kemudahan pembukaan kantor cabang; dan/atau d. pelonggaran sementara penerapan Good Corporate Govenance (GCG). (2) Tata cara pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai insentif dalam rangka konsolidasi perbankan. Pasal 5 … - 7 - Pasal 5 (1) Bentuk badan hukum Perusahaan Induk di Bidang Perbankan adalah Perseroan Terbatas yang didirikan di Indonesia dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. (2) Perusahaan Induk di Bidang Perbankan hanya dapat melakukan kegiatan penyertaan, yang mencakup penyediaan jasa manajemen dalam rangka meningkatkan efektifitas konsolidasi, strategi usaha, dan optimalisasi keuangan kelompok usaha yang dikendalikannya. (3) Perusahaan Induk di Bidang Perbankan berada 1 (satu) tingkat di atas Bank-Bank yang dikendalikannya secara langsung. (4) Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dapat berdiri sendiri sebagai 1 (satu) badan hukum atau berupa Perusahaan Induk di Bidang Keuangan (Financial Holding Company) yang mengkonsolidasikan lembaga-lembaga keuangan yang dimiliki oleh Pemegang Saham Pengendali. Pasal 6 (1) Fungsi Holding hanya dapat dilakukan oleh Pemegang Saham Pengendali berupa Bank yang berbadan hukum Indonesia atau instansi Pemerintah Republik Indonesia. (2) Fungsi Holding dipimpin oleh: a. Salah satu anggota direksi pada Bank yang menjadi Pemegang Saham Pengendali; b. Salah satu pejabat yang ditunjuk oleh pimpinan tertinggi instansi Pemerintah Republik Indonesia. Pasal 7 … - 8 - Pasal 7 (1) Pemegang Saham Pengendali yang memilih untuk membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan wajib menyampaikan rencana pelaksanaan pembentukan Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan pengalihan saham dari Pemegang Saham Pengendali kepada Perusahaan Induk di Bidang Perbankan kepada Bank Indonesia dengan melampirkan dokumen-dokumen pendukung. (2) Proses pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan yang berlaku mengenai akuisisi Bank Umum dan pembelian saham Bank Umum. (3) Pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan berdasarkan kewajiban dalam ketentuan ini dikecualikan dari ketentuan yang berlaku bagi calon pemegang saham Bank untuk menyesuaikan kepemilikan sahamnya dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepemilikan saham Bank Umum. Pasal 8 (1) Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon pengurus Perusahaan Induk di Bidang Perbankan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). (2) Bank yang membentuk Fungsi Holding wajib menyampaikan informasi dan dokumen pendukung mengenai pelaksana Fungsi Holding dan rencana pelaksanaannya kepada Bank Indonesia. Pasal 9 … - 9 - Pasal 9 (1) Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan Fungsi Holding wajib memberikan arah strategis dan mengkonsolidasikan laporan keuangan Bank-Bank yang menjadi anak perusahaannya. (2) Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan terhadap Fungsi Holding sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tugas pengaturan dan pengawasan Bank. (3) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan Fungsi Holding baik secara berkala maupun sewaktu-waktu apabila diperlukan. Pasal 10 (1) Bank-Bank dengan Pemegang Saham Pengendali yang sama wajib menyusun rencana pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan menyampaikannya kepada Bank Indonesia paling lama 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku. (2) Bank yang akan diakuisisi oleh pihak yang telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada Bank lain wajib menyampaikan rencana pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan menyampaikannya kepada Bank Indonesia pada saat mengajukan izin akuisisi. (3) Rencana pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) memuat paling kurang cara yang dipilih, rencana tindak, dan jadwal waktu pelaksanaannya. (4) Rencana … - 10 - (4) Rencana pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat disusun dan disampaikan oleh masing- masing Bank atau bersama-sama oleh beberapa Bank dengan Pemegang Saham Pengendali yang sama dan wajib ditandatangani oleh Direksi dan Dewan Komisaris masing-masing Bank serta diketahui oleh Pemegang Saham Pengendali tersebut. (5) Bank-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia setiap triwulan terhitung sejak persetujuan Bank Indonesia atas rencana pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (6) Rencana pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), serta laporan perkembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada: a. Bank Indonesia, Up. Departemen Pengawasan Bank (DPB), dialamatkan ke Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi bank umum konvensional yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; b. Bank Indonesia, Up. Departemen Perbankan Syariah (DPbS), dialamatkan ke Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi bank umum syariah yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau c. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. Pasal 11 … - 11 - Pasal 11 (1) Pemegang Saham Pengendali yang tidak melakukan pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilarang melakukan pengendalian dan dilarang memiliki saham dengan hak suara pada masing-masing Bank lebih dari 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah saham Bank. (2) Bank-Bank dengan Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencatat kepemilikan saham dan hak suara yang bersangkutan dalam Rapat Umum Pemegang Saham paling tinggi sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah saham Bank. (3) Bank-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menatausahakan jumlah kelebihan saham di atas 10% (sepuluh perseratus) milik Pemegang Saham Pengendali sebagai saham tanpa hak suara sampai dengan saham dimaksud dialihkan kepada pihak lain. Pasal 12 Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib mengalihkan kelebihan saham di atas 10% (sepuluh perseratus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) kepada pihak lain paling lama 1 (satu) tahun setelah berakhirnya jangka waktu pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4). Pasal 13 … - 12 - Pasal 13 Bank yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) dikenakan : 1. sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); 2. sanksi dalam penilaian aspek Good Corporate Governance pada penilaian tingkat kesehatan Bank. Pasal 14 (1) Pemegang Saham Pengendali yang memiliki lebih dari 1 (satu) Bank namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dikenakan sanksi administratif berupa larangan menjadi Pemegang Saham Pengendali pada seluruh bank di Indonesia untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. (2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pemegang Saham Pengendali untuk tetap mengalihkan kelebihan saham di atas 10% (sepuluh perseratus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. Pasal 15 Pengurus Perusahaan Induk di Bidang Perbankan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 17 … - 13 - Pasal 17 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4642) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 2. Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf e, Pasal 3 dan Pasal 7 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/17/PBI/2006 tentang Insentif dalam rangka Konsolidasi Perbankan sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/12/PBI/2007 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 3. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4642) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar … - 14 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 26 Desember 2012 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 26 Desember 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 284 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 14/ 24 /PBI/2012 TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA UMUM Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia pertama kali diterbitkan pada bulan Oktober 2006. Dalam kurun waktu 6 tahun setelah penerbitan Peraturan Bank Indonesia tersebut, bank-bank telah melakukan konsolidasi pada masing-masing kelompok usahanya. Konsolidasi perbankan merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Dengan konsolidasi perbankan diharapkan terjadi peningkatan economic of scale dari bank-bank di Indonesia dan peningkatan efektivitas pengawasan bank, khususnya melalui pengawasan bank secara terkonsolidasi. Sementara itu, rencana integrasi sektor keuangan ASEAN pada tahun 2020 yang memungkinkan bank-bank dengan kualifikasi tertentu (Qualified ASEAN Banks – QAB) bebas beroperasi di kawasan ASEAN, akan meningkatkan persaingan antara bank-bank nasional dengan bank-bank dari kawasan ASEAN. Untuk mengantisipasi integrasi sektor keuangan regional dan global tersebut, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan ketahanan dan daya saing perbankan nasional, baik melalui akselerasi konsolidasi perbankan … - 2 - perbankan maupun upaya-upaya untuk meningkatkan kesehatan bank, kualitas pelaksanaan good corporate governance, maupun meningkatkan permodalan Bank. Namun demikian, perlu disadari bahwa ketahanan dan daya saing perbankan yang kuat sangat dipengaruhi dan membutuhkan dukungan struktur perbankan yang kuat pula. Struktur perbankan yang kuat menjadi kerangka dasar yang diharapkan mampu mendukung peningkatan perekonomian nasional, yang antara lain dapat dicapai melalui penataan struktur kepemilikan bank. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, dinilai perlu untuk melakukan penyempurnaan atas kebijakan Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia yang selama ini telah diterapkan. Penyempurnaan dilakukan dengan memberikan alternatif penyesuaian struktur kepemilikan saham Bank melalui pembentukan Perusahaan Induk di Bidang Perbankan maupun pelaksanaan fungsi holding, serta penyesuaian-penyesuaian lainnya yang mendukung. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 … - 3 - Pasal 2 Ayat (1) Sesuai ketentuan Bank Indonesia tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test), bagi Pemegang Saham Pengendali yang berbentuk badan hukum, pengertian Pemegang Saham Pengendali adalah sampai dengan pemilik dan pengendali terakhir dari badan hukum tersebut (ultimate shareholders). Sejalan dengan itu, pengertian mengenai telah melakukan pengendalian baik secara langsung maupun tidak langsung juga mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). Ayat (2) Huruf a Berdasarkan ketentuan ini, apabila Pemegang Saham Pengendali memiliki lebih dari 2 (dua) Bank dan diantaranya terdapat beberapa Bank dengan prinsip kegiatan usaha yang sama, maka kepemilikan atas Bank-Bank dengan prinsip kegiatan usaha yang sama tersebut tidak memperoleh pengecualian. Sebagai contoh: Pemegang Saham Pengendali yang telah memiliki 1 (satu) Bank konvensional dan 1 (satu) Bank berdasarkan Prinsip Syariah yang kemudian mengakuisisi Bank berdasarkan Prinsip Syariah, maka Pemegang Saham Pengendali tersebut wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan atas kedua Bank berdasarkan Prinsip Syariah tersebut. Huruf b … - 4 - Huruf b Yang dimaksud dengan Bank Campuran dalam ketentuan ini adalah Bank yang didirikan dan dimiliki oleh bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank di Indonesia, yang telah memperoleh izin usaha sebelum mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan pada saat mulai berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini komposisi pemegang sahamnya masih tetap terdiri dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank di Indonesia. Sejalan dengan penjelasan dalam huruf a, apabila Pemegang Saham Pengendali Bank Campuran memiliki lebih dari 1 (satu) Bank lain bukan Bank Campuran, maka kepemilikan atas Bank-Bank bukan Bank Campuran tersebut tidak memperoleh pengecualian. Sebagai contoh: Pemegang Saham Pengendali yang telah memiliki 1 (satu) Bank Campuran dan 1 (satu) Bank lain bukan Bank Campuran yang kemudian mengakuisisi Bank lain, maka Pemegang Saham Pengendali tersebut wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan atas kedua Bank yang bukan Bank Campuran tersebut. Pasal 3 … - 5 - Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pelaksanaan merger atau konsolidasi dilakukan sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang merger atau konsolidasi Bank Umum. Huruf b Dengan ketentuan ini maka Bank-Bank yang dikendalikan oleh Pemegang Saham Pengendali tersebut tetap ada sebagaimana semula, namun saham yang semula dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh Pemegang Saham Pengendali dialihkan kepemilikannya kepada Perusahaan Induk di Bidang Perbankan. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) … - 6 - Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Kewajiban pembentukan Perusahaan Induk di Bidang Perbankan sebagai badan hukum Indonesia diberlakukan bagi Pemegang Saham Pengendali berupa: a. Perorangan dan badan hukum non-bank yang berkedudukan di dalam negeri; dan/atau b. Perorangan dan badan hukum yang berkedudukan di luar negeri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Perusahaan Induk di Bidang Keuangan (Financial Holding Company) adalah badan hukum yang dibentuk dan/atau dimiliki oleh Pemegang Saham Pengendali untuk mengkonsolidasikan dan mengendalikan secara langsung seluruh … - 7 - seluruh aktivitas perusahaan keuangan yang menjadi anak perusahaannya. Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan instansi Pemerintah Republik Indonesia yang berwenang adalah instansi yang berwenang menangani Bank-Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Rencana pelaksanaan pembentukan Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dilaporkan dalam Rencana Bisnis Bank dan dituangkan secara detil dalam Rencana Pembentukan Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan Rencana Pengalihan Saham dari Pemegang Saham Pengendali kepada Perusahaan Induk di Bidang Perbankan. Dokumen pendukung yang wajib disampaikan kepada Bank Indonesia meliputi, antara lain: a. berita acara Rapat Umum Pemegang Saham masing- masing Bank; b. rancangan anggaran dasar pendirian Perusahaan Induk di Bidang Perbankan; c. rancangan akta pengalihan saham Bank; dan d. daftar … - 8 - d. daftar calon pengurus Perusahaan Induk di Bidang Perbankan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepemilikan saham Bank Umum, calon pemegang saham Bank wajib menyesuaikan kepemilikan sahamnya dengan batas maksimum kepemilikan saham pada saat menjadi pemegang saham Bank. Dengan ketentuan ini maka seluruh saham Pemegang Saham Pengendali dapat dialihkan kepada Perusahaan Induk di Bidang Perbankan. Namun demikian, ketentuan tersebut tidak menghilangkan kewajiban Perusahaan Induk di Bidang Perbankan untuk menyesuaikan kepemilikan sahamnya apabila setelah pengalihan saham tersebut Bank yang dimiliki tidak memenuhi kriteria tingkat kesehatan Bank dan penilaian good corporate governance sesuai yang dipersyaratkan dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepemilikan saham Bank Umum. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 9 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan saham Bank adalah saham Bank yang memiliki hak suara. Ayat (2) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam huruf ini tidak mempengaruhi pencatatan akuntansi maupun permodalan Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 … - 10 - Pasal 12 Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam ayat ini adalah pihak di luar kelompok usaha dan atau keluarga sampai dengan derajat kedua dari Pemegang Saham Pengendali yang bersangkutan. Pengalihan saham dari Pemegang Saham Pengendali kepada pihak lain dilakukan sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang Akuisisi Bank Umum dan Pembelian Saham Bank Umum. Pasal 13 Yang dimaksud dengan penilaian tingkat kesehatan Bank adalah penilaian tingkat kesehatan Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai: a. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, untuk Bank Umum Konvensional; dan b. Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, untuk Bank Umum berdasarkan prinsip syariah. Pasal 14 … - 11 - Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “bank” adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5382
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 14/24/PBI/2012 </reg_id> <reg_title> KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA </reg_title> <set_date> 26 Desember 2012 </set_date> <effective_date> 26 Desember 2012 </effective_date> <issued_date> 26 Desember 2012 </issued_date> <replaced_reg> '8/16/PBI/2006', '8/17/PBI/2006 | Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf e, Pasal 3, dan Pasal 7', '9/12/PBI/2007' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '21/UU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 14', 'Pasal 13', 'Pasal 15' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/19/PBI/2016 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah; b. bahwa dalam mencapai kestabilan nilai Rupiah diperlukan pasar keuangan yang likuid dan efisien, untuk dapat mendukung kegiatan ekonomi nasional; c. bahwa pasar keuangan yang likuid dan efisien dapat dicapai melalui pengembangan pasar valuta asing domestik secara menyeluruh, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam bertransaksi di pasar valuta asing; d. bahwa dalam upaya pengembangan pasar valuta asing domestik perlu melakukan pengaturan yang komprehensif melalui pengayaan instrumen, pengembangan infrastruktur, kredibilitas pasar; dan peningkatan e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan serta Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri namun tidak termasuk kantor Bank Umum dan Bank Umum Syariah berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. - 3 - 2. Pihak Asing adalah: a. warga negara asing; b. badan hukum asing atau lembaga asing lainnya; c. warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia; d. kantor Bank di luar negeri dari Bank yang berkantor pusat di Indonesia; atau e. kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan yang berbadan hukum Indonesia. 3. Warga Negara Asing adalah orang yang memiliki kewarganegaraan selain Indonesia, termasuk yang memiliki izin menetap atau izin tinggal di Indonesia. 4. Badan Hukum Asing atau Lembaga Asing lainnya adalah badan hukum atau lembaga asing yang didirikan di luar negeri, namun tidak termasuk: a. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; b. perusahaan penanaman modal asing (PMA); atau c. badan hukum asing atau lembaga asing yang memiliki kegiatan yang bersifat nirlaba. 5. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi penjualan dan pembelian valuta asing terhadap Rupiah. 6. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai tukar valuta asing terhadap Rupiah, gabungan turunan dari nilai tukar valuta asing terhadap Rupiah dan suku bunga (valuta asing dan Rupiah), atau gabungan antarturunan dari nilai tukar valuta asing terhadap Rupiah. 7. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari pembelian atau penjualan valuta asing terhadap Rupiah. - 4 - 8. Kredit atau Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga atau imbalan, termasuk: a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; atau c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. 9. Transfer Rupiah adalah pemindahan sejumlah dana Rupiah yang ditujukan kepada penerima dana untuk kepentingan Bank ataupun nasabah Bank, baik melalui setoran tunai maupun pemindahbukuan antarrekening pada Bank yang sama atau Bank yang berbeda, yang menyebabkan bertambahnya saldo rekening Rupiah penerima dana. 10. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang, termasuk obligasi yang diterbitkan oleh lembaga multilateral atau supranasional yang seluruh dana hasil penerbitan obligasi tersebut digunakan untuk kepentingan pembiayaan kegiatan ekonomi di Indonesia, termasuk surat berharga yang berdasarkan prinsip syariah. 11. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli antara valuta asing terhadap Rupiah dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi, termasuk transaksi dengan penyerahan dana pada hari yang sama (today) atau dengan penyerahan dana 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow). - 5 - 12. Prime Bank adalah bank yang memiliki peringkat investasi tertentu dari lembaga pemeringkat dan total aset yang termasuk dalam 200 (dua ratus) besar dunia berdasarkan informasi yang tercantum dalam Banker’s Almanac. 13. Call Spread Option adalah gabungan beli call option dan jual call option yang dilakukan secara simultan dalam satu kontrak transaksi dengan strike price yang berbeda dan nominal yang sama. BAB II TRANSAKSI Bagian Kesatu Ruang Lingkup Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Pasal 2 (1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi: a. Transaksi Spot; dan b. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah. (2) Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. transaksi derivatif yang standar (plain vanilla), dalam bentuk forward, swap, option, dan cross currency swap (CCS); dan b. transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option. Bagian Kedua Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Pasal 3 (1) Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Pihak Asing atas dasar suatu kontrak. - 6 - (2) Dalam melakukan kegiatan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, Bank wajib: a. memenuhi ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai kategori Bank yang dapat melakukan kegiatan transaksi valuta asing; b. menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko Bank; c. memberikan edukasi tentang Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah kepada Pihak Asing untuk pelaksanaan kegiatan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah; dan d. memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah. (3) Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Pihak Asing, Bank wajib menggunakan kuotasi harga (kurs) valuta asing terhadap Rupiah yang ditetapkan oleh Bank. (4) Dalam hal Bank melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank juga wajib memenuhi ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan structured product bagi bank umum. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kontrak, edukasi kepada nasabah, dan kuotasi harga (kurs) pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. - 7 - Pasal 4 (1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah berupa Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dan transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, yang dilakukan Bank dengan Pihak Asing di atas jumlah tertentu (threshold) wajib memiliki Underlying Transaksi. (2) Transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b wajib memiliki Underlying Transaksi. (3) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi seluruh kegiatan: a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri; dan/atau b. investasi berupa foreign direct investment, portfolio investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri. (4) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi juga perkiraan pendapatan dan biaya (income dan expense estimation). (5) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak termasuk: a. penggunaan Sertifikat Bank Indonesia, untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah; b. penempatan dana pada Bank (vostro) antara lain berupa tabungan, giro, deposito, dan sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit); c. fasilitas pemberian kredit yang masih belum ditarik, antara lain berupa standby loan dan undisbursed loan; dan d. penggunaan Surat Berharga Bank Indonesia dalam valuta asing. - 8 - (6) Khusus untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward oleh Pihak Asing kepada Bank dan untuk transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing, Underlying Transaksi juga meliputi kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri antara lain berupa tabungan, giro, deposito, dan sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit). (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan ayat (6) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Ketiga Transaksi Spot antara Bank dengan Pihak Asing Pasal 5 (1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank melalui Transaksi Spot adalah USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Pihak Asing. (2) Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melebihi nominal Underlying Transaksi. (3) Dalam hal nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. - 9 - Bagian Keempat Transaksi Derivatif yang Standar (Plain Vanilla) antara Bank dengan Pihak Asing Pasal 6 (1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) antara Bank dengan Pihak Asing dan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) antara Bank dengan Pihak Asing adalah masing-masing USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Pihak Asing maupun per posisi (outstanding) per Bank. (2) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward adalah USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Pihak Asing. (3) Penjualan valuta asing terhadap Rupiah dengan Transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) dan pembelian valuta asing terhadap Rupiah dengan Transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang melebihi nilai nominal Underlying Transaksi. (4) Dalam hal nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nominal Underlying Transaksi tersebut dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). (5) Jangka waktu pembelian dan penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Bank kepada Pihak Asing dilarang melebihi jangka waktu Underlying Transaksi. - 10 - (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah tertentu (threshold) dan pembulatan kelipatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 7 (1) Dalam hal Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah berupa investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b maka Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. terdapat realisasi investasi; dan b. nilai Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk investasi paling banyak sebesar nilai realisasi investasi yang tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai realisasi investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 8 Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dapat pula dilakukan oleh Bank dengan Pihak Asing dalam rangka cover hedging Bank. Pasal 9 Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (2) tidak berlaku untuk penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah awal yang dilakukan melalui: a. perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal; b. c. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau pengakhiran transaksi (unwind). - 11 - Bagian Kelima Transaksi Structured Product Valuta Asing Terhadap Rupiah Berupa Call Spread Option Pasal 10 (1) Bank dilarang melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi Bank sebagai agen penjual (selling agent). (3) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option yang memenuhi persyaratan: a. didukung oleh Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (4); b. nominal transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi nominal Underlying Transaksi; dan c. jangka waktu transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi jangka waktu Underlying Transaksi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai structured product valuta asing terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 11 (1) Transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b wajib dilakukan secara dynamic hedging. (2) Transaksi dynamic hedging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memastikan pelaku transaksi Call Spread Option tidak terekspos pada risiko nilai tukar akibat kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal. - 12 - (3) Transaksi dynamic hedging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut: a. kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal; b. kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal; c. menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan belum jatuh waktu; d. nominal tidak bersifat kumulatif; e. jangka waktu: 1) paling kurang 6 (enam) bulan untuk transaksi Call Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu 6 (enam) bulan atau lebih; atau 2) mengikuti sisa jatuh waktu transaksi Call Spread Option awal untuk transaksi Call Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu kurang dari 6 (enam) bulan; dan f. dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dynamic hedging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Transaksi Spot yang dilakukan dalam rangka transaksi Call Spread Option dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option awal. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. - 13 - BAB III PENYELESAIAN TRANSAKSI Pasal 13 (1) Penyelesaian Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a antara Bank dengan Pihak Asing wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (2) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) antara Bank dengan Pihak Asing dapat dilakukan secara netting atau dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (3) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing yang dapat dilakukan secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind). (4) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank melalui transaksi forward dengan nominal transaksi paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (5) Kewajiban pemindahan dana pokok secara penuh untuk penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank melalui transaksi forward dengan nominal transaksi paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur sebagai berikut: a. pemindahan dana pokok secara penuh dilakukan pada saat jatuh waktu transaksi forward jual; - 14 - b. dalam hal dilakukan perpanjangan transaksi (roll over) atau percepatan penyelesaian transaksi (early termination), penyelesaian dengan pemindahan dana pokok secara penuh dilakukan pada saat berakhirnya kontrak perpanjangan transaksi (roll over) atau percepatan penyelesaian transaksi (early termination); dan c. perpanjangan transaksi (roll over) atau percepatan penyelesaian transaksi (early termination) sebagaimana dimaksud pada huruf b, dapat dilakukan sepanjang didukung oleh Underlying Transaksi dari transaksi forward jual awal. (6) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward dengan nominal paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dilakukan melalui pengakhiran transaksi (unwind). (7) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank melalui transaksi forward dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (6), dan ayat (7) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 14 (1) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a yang dilakukan antara Bank dengan Pihak Asing secara netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dengan nominal paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) - 15 - dapat dilakukan sepanjang didukung dengan Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah awal. (2) Dalam hal pada saat penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pihak Asing tidak dapat menyampaikan dokumen Underlying Transaksi maka penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah awal dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IV LARANGAN TRANSAKSI BAGI BANK DAN PENGECUALIANNYA Bagian Kesatu Larangan Bagi Bank Pasal 15 Bank dilarang melakukan transaksi tertentu dengan Pihak Asing yang meliputi: a. pemberian Kredit atau Pembiayaan dalam Rupiah dan/atau valuta asing; b. penempatan dalam Rupiah; c. d. e. f. pembelian Surat Berharga dalam Rupiah yang diterbitkan oleh Pihak Asing; tagihan antarkantor dalam Rupiah; tagihan antarkantor dalam valuta asing dalam rangka pemberian Kredit atau Pembiayaan di luar negeri; dan penyertaan modal dalam Rupiah. - 16 - Bagian Kedua Pengecualian Larangan Pasal 16 Larangan terhadap pemberian Kredit atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a tidak berlaku terhadap: a. Kredit atau Pembiayaan nontunai atau garansi yang terkait dengan kegiatan investasi di Indonesia yang memenuhi persyaratan berikut: 1) memperoleh counter guaranty (kontra garansi) dari Prime Bank yang bukan merupakan: a) kantor cabang Bank di luar negeri; dan b) kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri baik yang berada di dalam maupun di luar negeri; atau 2) adanya jaminan setoran sebesar 100% (seratus persen) dari nilai garansi yang diberikan; b. Kredit atau Pembiayaan dalam bentuk sindikasi yang memenuhi persyaratan berikut: 1) mengikutsertakan Prime Bank sebagai lead bank yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) memiliki peringkat investasi yang diberikan oleh lembaga pemeringkat paling kurang: i. BBB- dari lembaga pemeringkat Standard & Poors; ii. Baa3 dari lembaga pemeringkat Moody’s; iii. BBB- dari lembaga pemeringkat Fitch; atau iv. setara dengan angka i, angka ii, dan/atau angka iii berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat terkemuka lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; berdasarkan penilaian terhadap prospek usaha jangka panjang (long term outlook) Bank tersebut; dan - 17 - b) memiliki total aset yang termasuk dalam 200 (dua ratus) besar dunia berdasarkan informasi yang tercantum dalam Banker’s Almanac, 2) diberikan untuk pembiayaan proyek di sektor riil untuk usaha produktif yang berada di wilayah Indonesia; dan 3) kontribusi bank asing sebagai anggota sindikasi lebih besar dibandingkan dengan kontribusi Bank di dalam negeri, c. d. e. kartu kredit; Kredit atau Pembiayaan konsumsi yang digunakan di dalam negeri; cerukan intrahari dalam Rupiah atau valuta asing yang didukung oleh dokumen yang bersifat authenticated yang menunjukkan konfirmasi akan adanya dana masuk ke rekening bersangkutan pada hari yang sama dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia; f. g. cerukan dalam Rupiah atau valuta asing karena pembebanan biaya administrasi; dan pengambilalihan tagihan dari badan yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola aset Bank dalam rangka restrukturisasi perbankan Indonesia oleh Pihak Asing yang pembayarannya dijamin oleh Prime Bank. Pasal 17 Larangan pembelian Surat Berharga dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c tidak berlaku terhadap: a. pembelian Surat Berharga yang berkaitan dengan kegiatan ekspor barang dari Indonesia dan impor barang ke Indonesia serta perdagangan dalam negeri; dan b. pembelian bank draft dalam Rupiah yang diterbitkan oleh bank di luar negeri untuk kepentingan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri dan dana - 18 - Rupiah tersebut diterima di dalam negeri oleh bukan Pihak Asing. BAB V TRANSFER RUPIAH KEPADA PIHAK ASING Pasal 18 Bank dilarang melakukan Transfer Rupiah ke luar negeri. Pasal 19 (1) Bank dapat melakukan Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing dan/atau yang dimiliki secara gabungan (joint account) antara Pihak Asing dengan bukan Pihak Asing pada Bank di dalam negeri apabila: a. nilai nominal Transfer Rupiah sampai dengan ekuivalen USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per hari per Pihak Asing; atau b. dilakukan antarrekening Rupiah yang dimiliki oleh Pihak Asing yang sama. (2) Dalam hal Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing yang berasal dari selain Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan nilai nominal di atas ekuivalen USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per hari per Pihak Asing, Bank penerima Transfer Rupiah wajib memastikan bahwa Pihak Asing memiliki Underlying Transaksi. (3) Dalam hal Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing dalam rangka penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah awal melalui: a. perpanjangan transaksi (roll over), sepanjang jangka waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal; b. c. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau pengakhiran transaksi (unwind), - 19 - Bank tidak wajib meminta Underlying Transaksi kepada Pihak Asing. (4) Bank penerima dari suatu Transfer Rupiah yang ditujukan kepada Pihak Asing wajib melakukan verifikasi terhadap status pihak penerima dana. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Transfer Rupiah kepada Pihak Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VI DOKUMEN TRANSAKSI Bagian Kesatu Jenis Dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Pasal 20 (1) Jenis dokumen Underlying Transaksi untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang diwajibkan menggunakan Rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat menjadi dokumen Underlying Transaksi untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jenis dokumen Underlying Transaksi dan dokumen tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. - 20 - Bagian Kedua Dokumen Transaksi Spot antara Bank dengan Pihak Asing Pasal 21 (1) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank melalui Transaksi Spot dengan nilai nominal di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Bank wajib memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun yang berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang authenticated dari Pihak Asing yang berisi informasi mengenai: 1) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a; 2) penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia; dan 3) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan. (2) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Bank wajib memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang authenticated yang menyatakan bahwa pembelian valuta asing terhadap Rupiah tidak lebih dari USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau - 21 - ekuivalennya per bulan per Pihak Asing dalam sistem perbankan di Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Underlying Transaksi, dokumen pendukung, dan penetapan jenis dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Ketiga Dokumen Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing Pasal 22 (1) Dalam hal Bank melakukan transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dengan Pihak Asing, Bank wajib memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun yang berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang authenticated dari Pihak Asing yang berisi informasi mengenai: 1) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a; 2) penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia; - 22 - 3) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan pembelian valuta asing terhadap Rupiah; dan 4) sumber dana, jumlah penjualan, dan tanggal tersedianya valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan penjualan valuta asing terhadap Rupiah. (2) Dalam hal Pihak Asing melakukan penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan nilai nominal paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) secara netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) maka Pihak Asing wajib menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keempat Dokumen Transfer Rupiah Pasal 23 Dalam hal terdapat Transfer Rupiah kepada Pihak Asing yang berasal dari selain Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah di atas ekuivalen USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per hari per Pihak Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), Bank penerima Transfer Rupiah dimaksud wajib memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan. - 23 - Bagian Kelima Penyampaian Dokumen Pasal 24 (1) Bank harus memastikan Pihak Asing menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 pada tanggal transaksi untuk setiap transaksi. (2) Dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Spot wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal valuta. (3) Dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah wajib diterima oleh Bank paling lambat pada 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi. (4) Dalam hal Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki tanggal jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, dokumen Underlying Transaksi, dan/atau dokumen pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dimaksud wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal jatuh waktu. (5) Dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sampai dengan jumlah tertentu (threshold) yang penyelesaiannya akan dilakukan secara netting wajib diterima oleh Bank paling lambat: a. pada tanggal valuta dalam hal pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Spot; - 24 - b. 5 (lima) hari kerja sejak tanggal transaksi dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah; atau c. pada tanggal jatuh waktu dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang memiliki tanggal jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja. (6) Dokumen Underlying Transaksi dalam rangka Transfer Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 wajib diterima oleh Bank paling lambat pada saat terjadinya penambahan dana Rupiah Pihak Asing. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 25 (1) Bank dapat menerima dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang disampaikan oleh Pihak Asing secara berkala dengan ketentuan sebagai berikut: a. Dokumen Underlying Transaksi bersifat final; dan b. Bank telah mengetahui track record Pihak Asing dengan baik. (2) Dalam hal Bank melakukan fungsi kustodian dan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokumen pendukung dapat diterima dari Pihak Asing paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun kalender. - 25 - (3) Dalam hal Bank tidak melakukan fungsi kustodian dan Pihak Asing memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokumen pendukung dapat diterima paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan kalender. (4) Bank dapat menerima dokumen pendukung yang disampaikan oleh Pihak Asing atas pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Pihak Asing paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian dan penerimaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 26 Bank wajib menatausahakan dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 23. BAB VII PELAPORAN TRANSAKSI Pasal 27 Bank menyampaikan laporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah melalui sistem pelaporan Bank Indonesia. BAB VIII SANKSI Pasal 28 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c, Pasal 3 ayat (3), dan/atau - 26 - Pasal 26 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai kategori Bank yang dapat melakukan kegiatan transaksi valuta asing. (3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko Bank. (4) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah. (5) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan structured product valuta asing terhadap Rupiah bagi bank umum. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 29 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (3), Pasal 6 ayat (5), Pasal 7 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (3), Pasal 13 ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 13 ayat (7), Pasal 15, Pasal 18, Pasal 19 ayat (2), Pasal 19 ayat (4), Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 23, Pasal 24 ayat (2), Pasal 24 ayat (3), Pasal 24 ayat (4), Pasal 24 ayat (5), dan/atau Pasal 24 - 27 - ayat (6), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran, dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Perhitungan nominal transaksi yang dilanggar untuk Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (3), Pasal 6 ayat (5), Pasal 7 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal 19 ayat (4), Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 23, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24 ayat (4), Pasal 24 ayat (5) dan Pasal 24 ayat (6) diatur sebagai berikut: a. selisih antara total nominal transaksi valuta asing terhadap Rupiah dengan jumlah tertentu (threshold) kewajiban pemenuhan Underlying Transaksi; atau b. total nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang tidak didukung dengan Underlying Transaksi dalam hal nominal transaksi di bawah jumlah tertentu (threshold) tetapi dilakukan netting. (3) Penghitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada tanggal terjadinya pelanggaran. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 30 Bank yang telah melakukan Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah dengan Pihak Asing sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, tetap dapat meneruskan transaksi dimaksud sampai dengan jatuh waktu transaksi. - 28 - BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 31 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 213 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5582); b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/7/PBI/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 117 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5702); c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/14/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 202 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5737); d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/16/PBI/2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 224 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5744); dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 32 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 29 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 September 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 September 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 184 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/19/PBI/2016 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING I. UMUM Dalam rangka melaksanakan tugas Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, diperlukan upaya mempercepat tercapainya pasar keuangan yang likuid dan efisien, yang pada akhirnya dapat mendukung kegiatan ekonomi nasional. Untuk mencapai pasar keuangan yang likuid dan efisien salah satunya diperlukan adanya upaya pengembangan pasar valuta asing domestik yang dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh. Upaya komprehensif dimaksud dapat dilakukan melalui pengayaan variasi instrumen sehingga menjadi alternatif bagi pelaku pasar dalam melakukan lindung nilai di pasar valuta asing domestik, dalam rangka pengelolaan utang luar negeri korporasi non-bank. Upaya pengembangan pasar valuta asing secara komprehensif juga dilakukan melalui antara lain pengembangan infrastruktur, peningkatan kredibilitas pasar, dan peningkatan koordinasi, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam bertransaksi di pasar valuta asing. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. - 2 - Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kontrak” adalah: a. konfirmasi tertulis berupa kontrak transaksi valuta asing (derivatif) yang lazim digunakan oleh pelaku pasar dan/atau diterbitkan oleh asosiasi terkait; dan/atau b. konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi yang antara lain berupa dealing conversation atau Society of Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). Ayat (2) Huruf a Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini diterbitkan, ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai kategori Bank yang dapat melakukan kegiatan transaksi valuta asing antara lain mengatur bahwa Bank yang dapat melakukan Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah, baik Transaksi Spot maupun Transaksi Derivatif plain vanilla (forward, swap, option, dan CCS) paling kurang adalah Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) 2 dan Bank yang dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam bentuk structured product valuta asing terhadap Rupiah paling kurang adalah Bank BUKU 3. Huruf b Ketentuan otoritas yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko Bank antara lain mengatur bahwa Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif yang paling kurang mencakup: 1. pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi; 2. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit; 3. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan 4. sistem pengendalian intern yang menyeluruh. - 3 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini diterbitkan, ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai bahwa prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan structured product bagi bank umum mengatur antara lain: a. kewajiban Bank menerapkan manajemen risiko secara efektif dalam melakukan kegiatan structured product, paling sedikit mencakup: 1. pengawasan aktif direksi dan dewan komisaris; 2. kecukupan kebijakan dan prosedur; 3. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan 4. sistem pengendalian intern, b. larangan Bank menawarkan dan melakukan transaksi structured product dengan nasabah yang diklasifikasikan sebagai nasabah retail; c. larangan Bank menawarkan dan melakukan transaksi structured product dengan nasabah eligible dalam hal: 1. dapat menimbulkan potensi kerugian melebihi pokok yang ditanamkan nasabah; dan/atau 2. structured product merupakan penggabungan antara derivatif dengan derivatif, d. kewajiban Bank menerapkan transparansi informasi dalam melakukan pemasaran, penawaran, dan pelaksanaan transaksi structured product antara lain sebagai berikut: 1. mengungkapkan informasi yang lengkap, benar, dan tidak menyesatkan kepada nasabah; 2. memastikan pemberian informasi yang berimbang antara potensi manfaat yang mungkin diperoleh - 4 - dengan risiko yang mungkin timbul bagi nasabah dari transaksi structured product; dan 3. memastikan informasi yang disampaikan tidak menyamarkan, mengurangi, atau menutupi hal-hal yang penting terkait risiko yang mungkin timbul dari transaksi structured product, dan e. kewajiban Bank memberikan waktu kepada nasabah untuk mempelajari penawaran dan dokumen yang disampaikan Bank kepada nasabah, antara lain sebagai berikut: 1. pemberian waktu dilakukan dengan pemberian masa jeda (cooling off period) antara waktu disampaikannya penawaran oleh Bank dengan waktu nasabah mengajukan permohonan untuk menerima atau menolak melakukan transaksi structured product; dan 2. jangka waktu masa jeda (cooling off period) yang diberikan paling sedikit 2 (dua) hari kerja setelah nasabah perusahaan menerima dokumen penawaran. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “foreign direct investment” adalah investasi langsung Pihak Asing ke dalam negeri. Yang dimaksud dengan “investasi lainnya” antara lain adalah investasi dan/atau transaksi yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan pemerintah terkait perpajakan. Ayat (4) - 5 - Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal perusahaan transfer dana menerima perintah nasabahnya untuk melakukan pembelian valuta asing untuk memenuhi kebutuhan transfer nasabahnya, perintah nasabah dimaksud tidak dapat menjadi Underlying Transaksi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “realisasi investasi” adalah terjadinya aliran dana dari Pihak Asing untuk penyelesaian kegiatan investasi, termasuk investasi yang dalam proses penyelesaian. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 6 - Pasal 8 Yang dimaksud dengan “cover hedging” adalah hedging yang dilakukan oleh Bank kepada Pihak Asing berupa bank di luar negeri atas hedging yang telah dilakukan nasabah Bank kepada Bank yang bersangkutan dengan Underlying Transaksi yang dimiliki oleh nasabah Bank tersebut. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "structured product valuta asing terhadap Rupiah" adalah instrumen yang merupakan gabungan antar derivatif nilai tukar valuta asing terhadap Rupiah, atau gabungan antara derivatif nilai tukar valuta asing terhadap Rupiah dan instrumen pasar uang, yang diperdagangkan di pasar valuta asing domestik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal nominal Underlying Transaksi lebih besar dari nominal transaksi Call Spread Option maka Underlying Transaksi tersebut dapat digunakan sebagai Underlying Transaksi untuk transaksi Call Spread Option yang berbeda dan/atau Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah lainnya, sepanjang tidak melampaui nominal Underlying Transaksi. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. - 7 - Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dynamic hedging” adalah transaksi Call Spread Option yang dilakukan lebih dari satu kali, dan merupakan bagian dari transaksi Call Spread Option awal dalam satu kesatuan, untuk memastikan pelaku hedging tidak terekspos pada risiko nilai tukar. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kurs pasar” adalah kurs yang lazim digunakan dan disepakati oleh pelaku pasar, antara lain kurs yang tersedia pada Bloomberg dan Reuters. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “kisaran kurs tidak overlap” adalah kisaran kurs dynamic hedging yang tidak beririsan dengan kisaran kurs Call Spread Option awal. Huruf b Yang dimaksud dengan “kisaran kurs tidak memiliki gap” adalah kisaran kurs dynamic hedging yang tidak melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “nominal tidak bersifat kumulatif” adalah perhitungan nominal transaksi dynamic hedging hanya didasarkan pada nominal transaksi Call Spread Option awal. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. - 8 - Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemindahan dana pokok secara penuh” adalah penyerahan dana secara riil untuk masing-masing transaksi jual dan/atau transaksi beli valuta asing terhadap Rupiah sebesar nilai penuh nominal transaksi atau ekuivalennya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) tidak dapat dilakukan melalui pengakhiran transaksi (unwind) karena akan mengakibatkan tidak terdapat pemindahan dana pokok secara penuh. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “penempatan” adalah penanaman dana Bank pada Bank lain dalam bentuk giro, interbank call money, - 9 - deposito berjangka, sertifikat deposito, Kredit atau Pembiayaan, dan penanaman dana lainnya yang sejenis. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “tagihan antarkantor” adalah semua tagihan yang dimiliki Bank terhadap kantor pusat atau kantor cabang di luar negeri baik untuk kepentingan Bank maupun nasabah, yaitu: 1. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, tagihan adalah tagihan yang berasal dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri terhadap kantor pusat dan/atau kantor cabang lain di luar negeri; dan 2. bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia, tagihan adalah tagihan yang berasal dari kantor pusat dan/atau kantor cabang di Indonesia terhadap kantor cabang di luar negeri. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “penyertaan modal” adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada Bank dan perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti perusahaan sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible bond) dengan opsi saham (equity option) atau jenis transaksi tertentu yang mengakibatkan Bank memiliki atau akan memiliki saham pada Bank dan/atau perusahaan yang bergerak di bidang keuangan lainnya. Pasal 16 Huruf a Cukup jelas. - 10 - Huruf b Angka 1) Yang dimaksud dengan “lead bank” adalah bank yang berperan sebagai koordinator dan merupakan anggota sindikasi. Angka 2) Yang dimaksud dengan “sektor riil” adalah sektor produksi serta perdagangan barang dan jasa, namun tidak termasuk sektor jasa keuangan seperti kegiatan jual beli Surat Berharga. Angka 3) Cukup jelas. Huruf c Termasuk jenis kartu kredit untuk pembelian barang produksi (procurement card). Huruf d Yang dimaksud dengan “Kredit atau Pembiayaan konsumsi” yaitu pemberian Kredit atau Pembiayaan untuk keperluan konsumsi di dalam negeri antara lain untuk membeli dan menyewa, termasuk di dalamnya Kredit atau Pembiayaan pemilikan rumah, apartemen, ruko, dan rukan, serta Kredit atau Pembiayaan pembelian kendaraan. Huruf e Yang dimaksud dengan dokumen yang bersifat authenticated adalah dokumen yang telah diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara sistem dan/atau nonsistem. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Ketentuan ini tunduk kepada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas perbankan yang mengatur mengenai prinsip kehati- hatian dalam rangka pembelian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank. - 11 - Pasal 17 Huruf a Yang dimaksud dengan “pembelian Surat Berharga yang berkaitan dengan kegiatan ekspor barang dari Indonesia dan impor barang ke Indonesia” adalah pembelian Wesel Ekspor dan Banker’s Acceptance atas dasar transaksi Letter of Credit (L/C) maupun non- Letter of Credit (non-L/C). Yang dimaksud dengan “pembelian Surat Berharga yang berkaitan dengan perdagangan dalam negeri” adalah pembelian wesel atau Banker’s Acceptance atas dasar transaksi Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN). Huruf b Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “status pihak penerima dana” adalah status penerima dana sebagai Pihak Asing atau bukan Pihak Asing. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. - 12 - Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya. Huruf b Yang dimaksud dengan ”pernyataan tertulis yang authenticated” adalah pernyataan yang telah diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara sistem dan/atau nonsistem. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”pernyataan tertulis yang authenticated” adalah pernyataan yang telah diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara sistem dan/atau nonsistem. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya. Huruf b Yang dimaksud dengan ”pernyataan tertulis yang authenticated” adalah pernyataan tertulis yang telah diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara sistem dan/atau nonsistem. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 13 - Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5927
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/19/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING </reg_title> <set_date> 5 September 2016 </set_date> <effective_date> 7 September 2016 </effective_date> <issued_date> 07 September 2016 </issued_date> <replaced_reg> '17/7/PBI/2015', '16/17/PBI/2014', '17/16/PBI/2015', '17/14/PBI/2015' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/14/PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan kegiatan operasi pasar terbuka, Bank Indonesia perlu mengatur kembali jangka waktu transaksi Fine Tune Operation; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dipandang perlu untuk melakukan perubahan keempat atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka. Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). MEMUTUSKAN … - 2- MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA Pasal I Pasal 4A dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/30/PBI/2005 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka, diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A (1) Bank Indonesia melakukan kegiatan Fine Tune Operation (FTO) sewaktu-waktu apabila diperlukan untuk mempengaruhi likuiditas perbankan secara jangka pendek yang terdiri dari : a. Transaksi Fine Tune Kontraksi (FTK) dengan cara penempatan dana oleh Bank di Bank Indonesia atau penjualan secara bersyarat surat berharga milik Bank Indonesia kepada Bank. b. Transaksi Fine Tune Ekspansi (FTE) dengan cara pembelian secara bersyarat surat berharga milik Bank oleh Bank Indonesia. (2) Kegiatan FTO sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan: a. Jangka waktu transaksi 1 (satu) hari sampai dengan 3 (tiga) bulan yang dinyatakan dalam hari kalender, dihitung sejak 1 (satu) hari setelah tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu. b. Imbalan atas transaksi dapat dihitung dengan rumus diskonto murni (true discount) atau bunga dibayar dibelakang (simple interest) sebagai berikut : 1) Diskonto murni : nilai … - 3- n tunai = ilai 360 + { (tingkat diskonto FTO) ( jangka waktu F } kuantitas transaksi FTO 360 × × TO) Nilai diskonto = kuantitas transaksi FTO – nilai tunai 2) Bunga dibayar dibelakang : ( Kuantitas transaksi FTO jatuh waktu × +    1 suku bunga FTO jangka waktu FTO) 360 × c. Pengajuan transaksi bersifat final dan tidak dapat dibatalkan. d. Tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 23 September 2008. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 September 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 23 September 2008 BOEDIONO MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA    ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 131 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/14/PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NO. 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA PASAL DEMI PASAL Pasal I Cukup jelas Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4891
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/14/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title> <set_date> 23 September 2008 </set_date> <effective_date> 23 September 2008 </effective_date> <issued_date> 23 September 2008 </issued_date> <changed_reg> '4/9/PBI/2002' </changed_reg> <extension_of> '7/30/PBI/2005' </extension_of> <related_reg> '3/UU/2004', '23/UU/1999' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/3/PBI/2014 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/28/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang Rupiah ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. bahwa untuk lebih memudahkan masyarakat dalam mengenali uang Rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 diperlukan penyesuaian ciri uang termasuk penandatangan pada uang; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/28/PBI/2004 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2004; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan . . . -2- dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/28/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2004. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/28/PBI/2004 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 162) yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Bank Indonesia: a. Nomor 11/9/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 46); b. Nomor 13/18/PBI/2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 77); diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan . . . -3- 1. Ketentuan Pasal 4A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A Ciri uang Rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Juli tahun 2011 sampai dengan bulan Desember tahun 2013 adalah: a. Warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan merah; b. Gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Proklamator Dr. Ir. Soekarno dan Dr. H. Mohammad Hatta dan dibawahnya dicantumkan tulisan “DR. IR. SOEKARNO” dan “DR. H. MOHAMMAD HATTA”; b) di antara gambar Proklamator terdapat teks Proklamasi; c) di atas teks Proklamasi terdapat rainbow printing dalam bidang berbentuk segi empat yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda; d) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan di sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “100000”; e) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar Gedung Proklamasi; f) di atas bagian kiri gambar Gedung Proklamasi terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; g) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “SERATUS RIBU RUPIAH”; h) pada sebelah kiri gambar utama, di atas tulisan “BANK INDONESIA” terdapat kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) . . . -4- 2 (dua) buah lingkaran berwarna merah yang terasa kasar apabila diraba; i) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan “BI” dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; j) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila; k) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye dan ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar; l) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang segi lima yang dicetak dengan tinta khusus (optically variable ink) yang akan berubah warna dari warna kuning keemasan menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu; m) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun pencetakan “2011” (angka 2011 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; n) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis- garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang membentuk ornamen tertentu; o) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” atau “BI” dan hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: 1) di tepi kiri atas, tepi kiri tengah, dan tepi kiri bawah yang membentuk pola dasar uang dengan warna teks yang berbeda; 2) pada . . . -5- 2) pada bagian tengah dan di bawah teks Proklamasi; 3) pada sebelah kanan gambar Proklamator DR. H. Mohammad Hatta yang membentuk gambar bunga teratai; 4) di tepi kanan atas, tepi kanan tengah, dan tepi kanan bawah yang membentuk pola dasar uang dengan warna teks yang berbeda; p) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan ”BANKINDONESIA” yang berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda; 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; b) pada sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS RIBU RUPIAH”; c) pada sebelah atas gambar utama terdapat gambar peta kepulauan Indonesia yang akan memendar kuning di bawah sinar ultra violet; d) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang akan memendar merah di bawah sinar ultra violet; e) pada sebelah kiri gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal “100000” dalam kotak persegi panjang yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet; f) pada . . . -6- f) pada sebelah kiri gambar utama terdapat elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye dan ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar; g) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet; h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; i) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; j) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “100000”; k) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “100000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP.” dan angka tahun pengeluaran “2004”; l) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” atau “BI” dan hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: 1) di tepi kiri tengah yang berbentuk lengkungan; 2) pada bagian kanan atas gambar atap Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang membentuk pola dasar uang; 3) di tepi kanan tengah yang berbentuk lengkungan; m) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah . . . -7- bawah tanda air berupa tulisan ”BANKINDONESIA” yang berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda; c. Bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65 mm; 3. warna merah muda; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan electrotype berupa logo Bank Indonesia dan ornamen; 6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan “BI 100000” berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong sebagian. 2. Di antara Pasal 4A dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 4B Ciri uang Rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Januari tahun 2014 adalah: a. Warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan merah; b. Gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Proklamator Dr. Ir. Soekarno dan Dr. H. Mohammad Hatta dan dibawahnya dicantumkan tulisan “DR. IR. SOEKARNO” dan “DR. H. MOHAMMAD HATTA”; b) di antara gambar Proklamator terdapat teks Proklamasi; c) di atas teks Proklamasi terdapat rainbow printing dalam bidang berbentuk segi empat yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda; d) pada . . . -8- d) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan di sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “100000”; e) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar Gedung Proklamasi; f) di atas bagian kiri gambar Gedung Proklamasi terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; g) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “SERATUS RIBU RUPIAH”; h) pada sebelah kiri gambar utama, di atas tulisan “BANK INDONESIA” terdapat kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah lingkaran berwarna merah yang terasa kasar apabila diraba; i) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan “BI” dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; j) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila; k) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye dan ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar; l) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang segi lima yang dicetak dengan tinta khusus (optically variable ink) yang akan berubah warna dari warna kuning keemasan menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu; m) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun pencetakan “2014” (angka 2014 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR” . . . -9- GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR SENIOR”; n) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis- garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang membentuk ornamen tertentu; o) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” atau “BI” dan hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: 1) di tepi kiri atas, tepi kiri tengah, dan tepi kiri bawah yang membentuk pola dasar uang dengan warna teks yang berbeda; 2) pada bagian tengah dan di bawah teks Proklamasi; 3) pada sebelah kanan gambar Proklamator DR. H. Mohammad Hatta yang membentuk gambar bunga teratai; 4) di tepi kanan atas, tepi kanan tengah dan tepi kanan bawah yang membentuk pola dasar uang dengan warna teks yang berbeda; p) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan ”BANKINDONESIA” yang berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda; 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; b) pada sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS RIBU RUPIAH”; c) pada . . . -10- c) pada sebelah atas gambar utama terdapat gambar peta kepulauan Indonesia yang akan memendar kuning di bawah sinar ultra violet; d) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang akan memendar merah di bawah sinar ultra violet; e) pada sebelah kiri gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal “100000” dalam kotak persegi panjang yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet; f) pada sebelah kiri gambar utama terdapat elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye dan ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar; g) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet; h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; i) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; j) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “100000”; k) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “100000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP.” dan angka tahun pengeluaran “2004”; l) mikroteks . . . -11- l) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” atau “BI” dan hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: 1) di tepi kiri tengah yang berbentuk lengkungan; 2) pada bagian kanan atas gambar atap Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang membentuk pola dasar uang; 3) di tepi kanan tengah yang berbentuk lengkungan; m) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan ”BANKINDONESIA” yang berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda; c. Bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65 mm; 3. warna merah muda; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan electrotype berupa logo Bank Indonesia dan ornamen; 6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan “BI 100000” berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong sebagian. Pasal II 1. Uang Rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. 2. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar . . . -12- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 Maret 2014 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 18 Maret 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 52 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 16/3/PBI/2014 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/28/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2004 </reg_title> <set_date> 18 Maret 2014 </set_date> <effective_date> 18 Maret 2014 </effective_date> <issued_date> 18 Maret 2014 </issued_date> <changed_reg> '6/28/PBI/2004' </changed_reg> <extension_of> '11/9/PBI/2009', '13/18/PBI/2011' </extension_of> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/4/PBI/2005 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM AKTIVITAS SEKURITISASI ASET BAGI BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kelangsungan usaha bank juga tergantung dari kemampuan dan efektivitas bank dalam mengelola risiko kredit atau meminimalkan potensi kerugian dalam mengelola aset; b. bahwa dalam rangka mengelola risiko kredit bank dapat melakukan teknik mitigasi risiko kredit dengan menggunakan aktivitas sekuritisasi aset; c. bahwa apabila aktivitas sekuritisasi aset dilakukan tanpa memenuhi prinsip kehati-hatian dapat mengakibatkan bank menghadapi risiko yang lebih besar; d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk mengatur prinsip kehati-hatian dalam aktivitas sekuritisasi aset bagi Indonesia; bank umum dalam suatu Peraturan Bank Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor … - 2 - Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3608); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM AKTIVITAS SEKURITISASI ASET BAGI BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor … Republik - 3 - Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Sekuritisasi Aset adalah penerbitan surat berharga oleh penerbit efek beragun aset yang didasarkan pada pengalihan aset keuangan dari kreditur asal yang diikuti dengan pembayaran yang berasal dari hasil penjualan efek beragun aset kepada pemodal. 3. Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya disebut dengan BMPK adalah BMPK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. 4. Modal adalah modal Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. 5. Penerbit Efek Beragun Aset selanjutnya disebut Penerbit adalah badan hukum, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA) atau bentuk lain sesuai ketentuan yang berlaku, yang mempunyai tujuan khusus melakukan aktivitas Sekuritisasi Aset. 6. Kreditur Asal (Originator) adalah pihak yang mengalihkan aset keuangan kepada Penerbit. 7. Reference Entity adalah pihak yang berutang atau mempunyai kewajiban membayar (obligor) dari aset keuangan yang reference asset), termasuk: a. penerbit dari surat berharga dalam hal aset keuangan yang dialihkan (underlying reference asset) berupa surat berharga; dialihkan (underlying b. pihak … - 4 - b. pihak yang berkewajiban untuk melunasi dalam hal aset keuangan yang dialihkan (underlying reference asset) berupa kredit atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu. 8. Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan adalah nilai terbesar antara: a. nilai bersih yang dapat direalisasi (net realizable value) yaitu jumlah uang yang diperkirakan dapat diperoleh dari transaksi penjualan aset keuangan yang dialihkan pada tanggal transaksi setelah dikurangi biaya-biaya transaksi; dan b. nilai buku aset keuangan yang dialihkan setelah diperhitungkan cadangan khusus penyisihan penghapusan aktiva sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. 9. Efek Beragun Aset selanjutnya disebut EBA adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Penerbit berdasarkan aset keuangan yang dialihkan oleh Kreditur Asal. 10. Kredit Pendukung (Credit Enhancement) adalah fasilitas yang diberikan kepada Penerbit untuk meningkatkan kualitas aset keuangan yang dialihkan dalam rangka pembayaran kepada pemodal. 11. Fasilitas Likuiditas (Liquidity Facility) adalah fasilitas talangan yang diberikan kepada Penerbit untuk mengatasi mismatch pembayaran kewajiban kepada pemodal. 12. Penyedia Jasa (Servicer) adalah pihak yang menatausahakan, memproses, mengawasi, dan melakukan tindakan-tindakan lainnya dalam rangka mengupayakan kelancaran arus kas aset keuangan yang dialihkan kepada Penerbit sesuai perjanjian antara pihak tersebut dengan Penerbit, termasuk memberikan … - 5 - memberikan peringatan kepada Reference Entity apabila terjadi keterlambatan pembayaran, melakukan tuntutan. 13. Bank Kustodian adalah Bank yang memberikan jasa penitipan EBA dan harta serta jasa lain yang berkaitan dengan Sekuritisasi Aset sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 14. Pemodal (Investor) adalah pihak yang membeli EBA. 15. Pembelian Kembali (Clean-up Calls) adalah pembelian seluruh sisa aset keuangan yang dialihkan sebelum jatuh tempo oleh Penyedia Jasa. Pasal 2 (1) Aset keuangan yang dialihkan dalam rangka Sekuritisasi Aset wajib berupa aset keuangan yang terdiri dari kredit, tagihan yang timbul dari surat berharga, tagihan yang timbul di kemudian hari (future receivables) dan aset keuangan lain yang setara. (2) Aset keuangan yang dialihkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki arus kas (cash flows); b. dimiliki dan dalam pengendalian Kreditur Asal; dan c. dapat dipindahtangankan dengan bebas kepada Penerbit. Pasal 3 (1) Dalam Sekuritisasi Aset, Bank dapat berfungsi sebagai: a. Kreditur Asal; b. Penyedia Kredit Pendukung; c. Penyedia … negosiasi dan menyelesaikan - 6 - c. Penyedia Fasilitas Likuiditas; d. Penyedia Jasa; e. Bank Kustodian; f. Pemodal. (2) Bank yang melakukan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tidak mengakibatkan rasio kewajiban penyediaan modal minimum Bank lebih rendah dari ketentuan yang berlaku; dan b. melakukan fungsi tersebut sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini serta memperhatikan prinsip kehati-hatian. BAB II PERHITUNGAN KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM DALAM SEKURITISASI ASET Bagian Pertama Bank sebagai Kreditur Asal Pasal 4 (1) Bank hanya dapat berfungsi sebagai Kreditur Asal apabila aset keuangan yang dialihkan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). (2) Bank yang berfungsi sebagai Kreditur Asal hanya dapat melakukan pengalihan aset keuangan kepada Penerbit di dalam negeri. (3) Bank sebagai Kreditur Asal hanya dapat mengeluarkan aset keuangan yang dialihkan dari neraca (derecognition), apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. aset … - 7 - a. aset keuangan yang dialihkan dari Kreditur Asal kepada Penerbit memenuhi kondisi jual putus; dan b. Kreditur Asal bukan merupakan pihak terkait dengan Penerbit. (4) Aset keuangan yang dialihkan Bank sebagai Kreditur Asal namun tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib dicatat kembali dalam neraca dan diperhitungkan dalam aktiva tertimbang menurut risiko Bank, penilaian kualitas aktiva dan perhitungan BMPK. Pasal 5 (1) Kondisi jual putus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a terjadi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. seluruh manfaat yang diperoleh dan atau akan diperoleh dari aset keuangan telah dialihkan kepada Penerbit; b. risiko kredit dari aset keuangan yang dialihkan secara signifikan telah beralih kepada Penerbit; dan c. Kreditur Asal tidak memiliki pengendalian baik langsung maupun tidak langsung atas aset keuangan yang dialihkan. (2) Pemenuhan kondisi jual putus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi dengan pendapat auditor independen dan pendapat hukum yang independen. Pasal 6 Bank dilarang menjadi Kreditur Asal apabila pengalihan aset keuangan dalam rangka Sekuritisasi Aset mengakibatkan rasio kewajiban penyediaan modal minimum Bank menurun. Bagian … - 8 - Bagian Kedua Bank sebagai Penyedia Kredit Pendukung Pasal 7 (1) Bank yang berfungsi sebagai penyedia Kredit Pendukung dapat memberikan fasilitas Kredit Pendukung berupa fasilitas penanggung risiko pertama (first loss facility) dan atau fasilitas penanggung risiko kedua (second loss facility). (2) Setiap penyediaan Kredit Pendukung oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. diperjanjikan pada awal aktivitas Sekuritisasi Aset yang antara lain menetapkan: 1) jumlah fasilitas yang diberikan; dan 2) jangka waktu fasilitas; b. diberikan maksimum sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan dalam hal Bank juga bertindak sebagai Kreditur Asal. (3) Jumlah fasilitas Kredit Pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak dapat diubah selama jangka waktu perjanjian. Pasal 8 (1) Penyediaan Kredit Pendukung yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) diperlakukan sebagai penyediaan dana dan diperhitungkan dalam kewajiban penyediaan modal minimum dengan ketentuan sebagai berikut: a. apabila Kredit Pendukung merupakan fasilitas penanggung risiko pertama, maka Kredit Pendukung akan menjadi faktor pengurang Modal … - 9 - Modal sebesar nilai terkecil antara jumlah fasilitas penanggung risiko pertama dan jumlah beban Modal (capital charge) dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan; b. apabila Kredit Pendukung merupakan fasilitas penanggung risiko kedua, maka Kredit Pendukung akan menjadi komponen aktiva tertimbang menurut risiko. (2) Penyediaan Kredit Pendukung yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) diperlakukan sebagai penyediaan dana dan diperhitungkan dalam kewajiban penyediaan modal minimum dengan ketentuan sebagai berikut: a. sebagai faktor pengurang Modal sebesar nilai terkecil antara jumlah Kredit Pendukung dan jumlah beban modal dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan, serta sebagai komponen aktiva tertimbang menurut risiko sebesar Kredit Pendukung, dalam hal Bank penyedia Kredit Pendukung juga merupakan Kreditur Asal; atau b. sebagai faktor pengurang Modal sebesar nilai terkecil antara jumlah Kredit Pendukung dan jumlah beban Modal dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan, dalam hal Bank penyedia Kredit Pendukung bukan sebagai Kreditur Asal. Bagian Ketiga Bank sebagai Penyedia Fasilitas Likuiditas Pasal 9 (1) Setiap penyediaan Fasilitas Likuiditas oleh Bank wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. diperjanjikan pada awal aktivitas Sekuritisasi Aset yang antara lain menetapkan: 1) jumlah … - 10 - 1) jumlah Fasilitas Likuiditas yang diberikan; dan 2) jangka waktu perjanjian; b. jangka waktu Fasilitas Likuiditas maksimum 90 (sembilan puluh) hari; c. jumlah Fasilitas Likuiditas yang dapat diberikan oleh Bank yang juga bertindak sebagai Kreditur Asal maksimum sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan; d. hanya dapat ditarik apabila: 1) aset keuangan yang dialihkan berkualitas baik dan bernilai sekurang-kurangnya sama dengan jumlah penarikan Fasilitas Likuiditas; atau 2) telah memperoleh jaminan Kredit Pendukung atas seluruh aset keuangan yang dialihkan apabila aset keuangan tersebut tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 1); e. jumlah Fasilitas Likuiditas yang dapat ditarik oleh Penerbit adalah jumlah terkecil antara: 1) jumlah aset keuangan yang dialihkan yang berkualitas baik; atau 2) jumlah aset keuangan yang dialihkan yang tidak berkualitas baik namun telah dijamin oleh Kredit Pendukung; atau 3) jumlah yang diperjanjikan; f. memiliki hak menerima pembayaran lebih dahulu atas setiap arus kas aset keuangan yang dialihkan dibandingkan dengan hak Pemodal; g. hanya dapat digunakan untuk mengatasi mismatch dan langsung digunakan untuk memenuhi kewajiban pembayaran kepada Pemodal; dan h. tidak dapat ditarik setelah Kredit Pendukung digunakan seluruhnya. (2) Jumlah penyediaan Fasilitas Likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) tidak dapat diubah selama jangka waktu perjanjian. Pasal 10 … - 11 - Pasal 10 (1) Penyediaan Fasilitas Likuiditas oleh Bank yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diperlakukan sebagai penyediaan dana dan diperhitungkan dalam kewajiban penyediaan modal minimum sebagai komponen aktiva tertimbang menurut risiko. (2) Penyediaan Fasilitas Likuiditas oleh Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diperlakukan sebagai penyediaan dana dan diperhitungkan dalam kewajiban penyediaan modal minimum dengan ketentuan sebagai berikut: a. sebagai faktor pengurang Modal sebesar nilai terkecil antara jumlah Fasilitas Likuiditas dan jumlah beban modal dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan, serta sebagai komponen aktiva tertimbang menurut risiko sebesar Fasilitas Likuiditas, dalam hal Bank penyedia Fasilitas Likuiditas juga merupakan Kreditur Asal; atau b. sebagai faktor pengurang Modal sebesar nilai terkecil antara jumlah Fasilitas Likuiditas dan jumlah beban Modal dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan, dalam hal Bank penyedia Fasilitas Likuiditas bukan sebagai Kreditur Asal. Bagian Keempat Bank sebagai Penyedia Jasa Pasal 11 (1) Bank yang berfungsi sebagai Penyedia Jasa wajib memenuhi persyaratan antara lain sebagai berikut: a. diperjanjikan pada awal aktivitas Sekuritisasi Aset; dan b. didukung oleh sistem administrasi yang memadai. (2) Bank … - 12 - (2) Bank sebagai Penyedia Jasa dapat melakukan Pembelian Kembali. (3) Pembelian Kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. nilai sisa aset keuangan yang dialihkan maksimum sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan; b. biaya yang ditanggung oleh Bank lebih besar dari pendapatan yang diperoleh dari penatausahaan aset keuangan yang dialihkan; dan c. dalam hal Bank juga merupakan Kreditur Asal dan penyedia Kredit Pendukung, Pembelian Kembali tidak digunakan untuk menghindari kerugian yang harus ditanggung oleh Kreditur Asal sebagai penyedia Kredit Pendukung. Pasal 12 (1) Pembelian Kembali yang dilakukan dengan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) diperlakukan sebagai penyediaan Kredit Pendukung. (2) Pembelian Kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan diperlakukan sebagai penyediaan dana dan diperhitungkan dalam kewajiban penyediaan modal minimum sebagaimana fasilitas penanggung risiko pertama yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a. (3) Pembelian Kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan diperlakukan sebagai penyediaan dana dan diperhitungkan dalam kewajiban penyediaan modal minimum sebagaimana Kredit Pendukung yang tidak memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2). Bagian … - 13 - Bagian Kelima Bank sebagai Bank Kustodian Pasal 13 (1) Bank yang berfungsi sebagai Bank Kustodian wajib menjalankan kegiatan sesuai ketentuan yang berlaku. (2) Bank yang berfungsi sebagai Kreditur Asal dan atau Penyedia Jasa tidak dapat bertindak sebagai Bank Kustodian. Bagian Keenam Bank Sebagai Pemodal Pasal 14 (1) Bank dapat memiliki EBA melalui pembelian secara tunai, atau dalam hal Bank sebagai Kreditur Asal dapat juga melalui tukar-menukar dengan aset keuangan yang dialihkan. (2) EBA yang dimiliki Bank diperlakukan sebagai penyediaan dana dan diperhitungkan dalam kewajiban penyediaan modal minimum dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk EBA berupa senior tranche merupakan komponen aktiva tertimbang menurut risiko; b. untuk EBA berupa junior tranche merupakan faktor pengurang Modal sebagaimana fasilitas penanggung risiko pertama yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a. Pasal 15 … - 14 - Pasal 15 (1) Bank sebagai Pemodal yang juga bertindak sebagai Kreditur Asal hanya dapat membeli EBA maksimum sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan. (2) Pembelian EBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maksimum sebesar penyediaan dana sesuai ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit yang berlaku. (3) Dalam hal Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib memperhitungkan pembelian EBA tersebut sebagai penyediaan dana dan diperhitungkan dalam kewajiban penyediaan modal minimum sebagai faktor pengurang Modal sebesar nilai terkecil antara jumlah pembelian EBA dan jumlah beban Modal dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan, serta sebagai komponen aktiva tertimbang menurut risiko sebesar EBA yang dibeli. BAB III BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT DAN PENILAIAN KUALITAS AKTIVA DALAM AKTIVITAS SEKURITISASI ASET Pasal 16 (1) Dalam perhitungan BMPK, penyediaan dana dalam rangka aktivitas Sekuritisasi Aset ditetapkan sebagai penyediaan dana kepada Reference Entity. (2) Penyediaan dana kepada Reference Entity sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihitung secara proporsional berdasarkan proporsi aset keuangan yang dialihkan dari masing-masing Reference Entity. Pasal 17 … - 15 - Pasal 17 (1) Bank sebagai Kreditur Asal yang juga bertindak sebagai penyedia Kredit Pendukung, penyedia Fasilitas Likuiditas dan atau Pemodal hanya dapat menyediakan seluruh fasilitas dalam Sekuritisasi Aset maksimum 20% (dua puluh perseratus) dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan. (2) Pemenuhan batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan batas maksimum setiap fasilitas yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 9 dan Pasal 15 serta sesuai ketentuan BMPK yang berlaku. (3) Bank yang melampaui batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhitungkan kembali aset keuangan yang dialihkan baik dalam neraca maupun perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko serta memperhitungkan pelampauan fasilitas yang diberikan sebagai faktor pengurang Modal. Pasal 18 (1) Penetapan kualitas EBA didasarkan atas: a. kualitas EBA sesuai dengan penilaian kualitas surat berharga sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum; atau b. kualitas aset keuangan yang dialihkan sesuai dengan jenis aset keuangan yang dialihkan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, apabila EBA tidak memiliki peringkat. (2) Penetapan … - 16 - (2) Penetapan kualitas Kredit Pendukung dan Fasilitas Likuiditas didasarkan atas kualitas aset keuangan yang dialihkan sesuai dengan jenis aset keuangan yang dialihkan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. BAB IV PELAPORAN Pasal 19 (1) Bank yang berfungsi sebagai Kreditur Asal, penyedia Kredit Pendukung, penyedia Fasilitas Likuiditas, Penyedia Jasa atau Bank Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 11 dan Pasal 13 wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia. (2) Bank yang berfungsi sebagai Kreditur Asal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan: a. laporan rencana pengalihan aset keuangan dalam rangka aktivitas Sekuritisasi Aset secara menyeluruh paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum perjanjian pengalihan aset keuangan ditandatangani; dan b. laporan pelaksanaan pengalihan aset keuangan dalam rangka aktivitas Sekuritisasi Aset secara menyeluruh paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah perjanjian pengalihan aset keuangan ditandatangani. (3) Bank yang berfungsi sebagai penyedia Kredit Pendukung, penyedia Fasilitas Likuiditas, Penyedia Jasa atau Bank Kustodian namun bukan sebagai Kreditur Asal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib menyampaikan laporan pelaksanaan aktivitas paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah perjanjian ditandatangani. (4) Laporan … - 17 - (4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) wajib dilengkapi dengan data dan informasi yang berkaitan dengan aktivitas Sekuritisasi Aset. (5) Dalam hal bank melakukan lebih dari 1 (satu) fungsi dalam satu aktivitas Sekuritisasi Aset, bank wajib menyampaikan laporan berbagai fungsi tersebut sebagai satu kesatuan. Pasal 20 (1) Bank sebagai Kreditur Asal dinyatakan terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf a apabila Bank menyampaikan laporan dimaksud melampaui batas akhir waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf a sampai dengan 1 (satu) hari sebelum perjanjian ditandatangani. (2) Bank sebagai Kreditur Asal, penyedia Kredit Pendukung, penyedia Fasilitas Likuiditas, Penyedia Jasa atau Bank Kustodian dinyatakan terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf b dan ayat (3), apabila Bank menyampaikan laporan dimaksud dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf b dan ayat (3). Pasal 21 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20 wajib disampaikan kepada Bank Indonesia, dengan alamat: a. Direktorat … - 18 - a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. MH. Thamrin No.2, Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. BAB V SANKSI Pasal 22 (1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja kelambatan. (2) Bank yang belum menyampaikan laporan sampai dengan berakhirnya jangka waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 23 Bank yang melakukan aktivitas Sekuritisasi Aset namun tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan pelaksanaannya dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB VI … - 19 - BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 25 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di: Jakarta Pada tanggal 20 Januari 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 14 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/4/PBI/2005 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM AKTIVITAS SEKURITISASI ASET BAGI BANK UMUM UMUM Dalam menjalankan usahanya, Bank menghadapi berbagai risiko antara lain risiko kredit yaitu risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya. Risiko ini pada dasarnya dapat bersumber dari berbagai aktivitas fungsional bank seperti perkreditan, treasury, investasi dan pembiayaan perdagangan. Untuk memitigasi risiko kredit, pada umumnya Bank menempuh berbagai upaya antara lain dalam bentuk setoran jaminan, asuransi atau agunan. Sejalan dengan perkembangan usaha, kompleksitas transaksi dan jenis risiko, terdapat teknik mitigasi risiko kredit lain yang telah dikenal sesuai dengan standar praktek internasional (best international practices) yaitu Sekuritisasi Aset. Sekuritisasi Aset yang merupakan kegiatan mengalihkan aset keuangan dari Kreditur Asal (Originator) kepada pihak lain dipandang sangat potensial untuk dilakukan oleh Bank. Melalui Sekuritisasi Aset, Bank diharapkan dapat mengelola risiko kredit dengan lebih baik yang berimplikasi pada perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum sekaligus dapat meningkatkan likuiditas Bank untuk menunjang kegiatan intermediasi. Untuk … - 2 - Untuk memperoleh manfaat Sekuritisasi Aset tersebut, maka perlu dilakukan pengaturan terhadap prinsip kehati-hatian dalam aktivitas Sekuritisasi Aset sebagai dasar dan panduan sehingga Bank dapat melaksanakan aktivitas Sekuritisasi Aset secara efektif. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Aset keuangan/tagihan dari perjanjian yang telah jatuh tempo dan atau telah dihapusbuku tidak memenuhi kriteria memiliki arus kas. Huruf b Termasuk dalam pengertian ini antara lain tagihan yang timbul di kemudian hari (future receivables) seperti tagihan kartu kredit. Huruf c Yang dimaksud dengan pemindahtanganan dengan bebas antara lain tidak selalu harus disertai dengan pemberitahuan kepada debitur. Pasal 3 … - 3 - Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku antara lain tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, prinsip-prinsip pemberian kredit yang sehat dan prinsip-prinsip penerapan manajemen risiko. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Saat ini bentuk Penerbit di dalam negeri yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA) yaitu Kontrak Investasi Kolektif yang Kustodian. Ayat (3) Yang dimaksud dengan aktiva tertimbang menurut risiko adalah aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan … dilakukan antara Manajer Investasi dan Bank - 4 - ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal Penerbit berbentuk KIK-EBA, maka yang dimaksud dengan Penerbit adalah Manajer Investasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Yang dimaksud dengan pihak terkait adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Ayat (4) Pencatatan kembali aset keuangan yang telah dialihkan ke dalam neraca tidak berarti membatalkan transaksi pengalihan aset keuangan yang telah dilakukan. Perhitungan kembali risiko kredit aset keuangan yang telah dialihkan adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku antara lain Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum dan Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Termasuk dalam pengertian manfaat adalah hak atas arus kas dari aset keuangan. Dalam … Kewajiban - 5 - Dalam hal Kreditur Asal sebagai Penyedia Jasa masih menerima arus kas dari aset keuangan yang dialihkan, maka Kreditur Asal hanya meneruskan (pass through) arus kas tersebut kepada Penerbit atau pihak lain yang ditunjuk oleh Penerbit. Huruf b Pengalihan risiko akan dinilai tidak signifikan antara lain apabila: 1. Kreditur Asal memberikan Kredit Pendukung, Fasilitas Likuiditas dan atau bertindak sebagai Pemodal melampaui 20% (dua puluh perseratus) dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan; 2. pembayaran yang diterima oleh Kreditur Asal atas aset keuangan yang dialihkan kepada Penerbit berasal dari fasilitas yang diberikan oleh Kreditur Asal, baik secara langsung maupun tidak langsung. Huruf c Pengendalian baik langsung maupun tidak langsung antara lain dapat dinilai dari: 1. kemampuan untuk menggunakan dan atau mengagunkan aset keuangan yang dialihkan; 2. ada tidaknya persyaratan dan atau perjanjian yang akan menghambat pengalihan, penggunaan dan atau pengagunan aset keuangan yang dialihkan seperti adanya call option atau kewajiban untuk repurchase) aset keuangan yang dialihkan. membeli kembali (agreement to Ayat (2) … - 6 - Ayat (2) Pendapat auditor independen adalah pendapat dari Kantor Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal. Pendapat hukum yang independen adalah pendapat dari Kantor Konsultan Hukum yang terdaftar di Badan Pengawas Pasar Modal. Pasal 6 Penurunan rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) Bank dihitung sebelum memperhitungkan fasilitas-fasilitas lain yang dapat diberikan/dilakukan oleh Kreditur Asal antara lain Kredit Pendukung, Fasilitas Likuiditas dan atau Pembelian Kembali serta biaya-biaya yang timbul dalam rangka proses pengalihan aset keuangan namun tidak termasuk diskonto (haircut) yang diberikan. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan fasilitas penanggung risiko pertama (first loss facility) adalah Kredit Pendukung utama yang akan menanggung sebagian atau seluruh risiko kredit dari aset keuangan yang menjadi dasar penerbitan (underlying) EBA. Yang dimaksud dengan fasilitas penanggung risiko kedua (second loss facility) adalah Kredit Pendukung yang akan menanggung sebagian atau seluruh sisa risiko kredit yang tidak ditanggung oleh fasilitas penanggung risiko pertama. Fasilitas … - 7 - Fasilitas penanggung risiko kedua diberikan setelah tersedia fasilitas penanggung risiko pertama. Kredit Pendukung dapat berupa antara lain garansi bank, cash collateral, overcollateralization, subordinasi dari kelas EBA (junior tranche) dan semua bentuk fasilitas lain yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas aset keuangan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemberian fasilitas sesuai batas maksimum tidak boleh melebihi maksimum penyediaan dana sesuai dengan ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum yang berlaku. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Perlakuan Kredit Pendukung yang diberikan oleh Bank sebagai penyediaan dana adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku antara lain Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum dan Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Huruf a Termasuk dalam fasilitas penanggung risiko pertama adalah subordinasi dari kelas EBA (junior tranche). Yang … - 8 - Yang dimaksud dengan jumlah beban Modal (capital charge) dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan adalah besarnya Modal yang harus disediakan untuk mengcover risiko kredit dari aset keuangan yang dialihkan dengan memperhatikan ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sebesar minimum 8% (delapan perseratus). Huruf b Perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko didasarkan pada bobot risiko aset keuangan yang dialihkan sesuai dengan ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan hari adalah hari kalender. Huruf c Pemberian fasilitas sesuai batas maksimum tidak boleh melebihi maksimum penyediaan dana sesuai dengan ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit yang berlaku. Huruf d … - 9 - Huruf d Yang dimaksud dengan aset keuangan yang berkualitas baik adalah aset keuangan dengan tunggakan pembayaran sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Perlakuan Fasilitas Likuiditas yang diberikan oleh Bank sebagai penyediaan dana adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku antara lain mengenai Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum dan Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 … - 10 - Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan nilai sisa aset keuangan yang dialihkan adalah nilai buku sisa aset keuangan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku antara lain Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal tentang Bank Kustodian. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 … - 11 - Pasal 14 Ayat (1) Pembelian secara tunai dapat dilakukan melalui pembayaran dengan uang tunai, kliring, pemindahbukuan, atau sarana pembayaran lainnya. EBA yang dibeli oleh Bank dapat berupa EBA yang diterbitkan oleh Penerbit di dalam negeri atau di luar negeri. Ayat (2) Perlakuan EBA yang dimiliki oleh Bank sebagai penyediaan dana adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku antara lain Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum dan Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Huruf a EBA yang berupa senior tranche adalah kelas dari EBA yang memiliki hak memperoleh pembayaran lebih dahulu atas setiap arus kas aset keuangan yang dialihkan dibandingkan EBA yang berupa subordinasi dari kelas EBA (junior tranche). Perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko EBA dilakukan sesuai dengan ketentuan yang Huruf b EBA berupa junior tranche merupakan salah satu bentuk fasilitas penanggung risiko pertama. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 … berlaku tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. - 12 - Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Termasuk dalam batas maksimum ini adalah Pembelian Kembali yang tidak memenuhi syarat sehingga diperlakukan sebagai penyediaan Kredit Pendukung. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Atas pelampauan batas maksimum, maka kewajiban untuk memperhitungkan setiap fasilitas sebagai penyediaan dana dan dalam kewajiban penyediaan modal minimum tidak berubah sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk setiap fasilitas. Yang dimaksud dengan pelampauan fasilitas adalah selisih antara jumlah seluruh fasilitas yang disediakan dengan batas maksimum yang ditetapkan sebesar 20% (dua puluh perseratus) dari Nilai Aset Keuangan yang Dialihkan. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 13 - Ayat (2) Penilaian kualitas Kredit Pendukung dan Fasilitas Likuiditas dihitung secara proporsional sesuai dengan jenis aset keuangan yang dialihkan. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan hari pada huruf a adalah hari kalender. Termasuk dalam laporan ini adalah laporan penyediaan fasilitas- fasilitas lain oleh Kreditur Asal maupun pihak lain dalam rangka aktivitas Sekuritisasi Aset. Ayat (3) Termasuk dalam laporan sebagai penyedia Kredit Pendukung adalah pembelian EBA berupa junior tranche oleh Kreditur Asal di pasar sekunder. Termasuk dalam laporan sebagai Penyedia Jasa adalah pelaksanaan Pembelian Kembali. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. . Pasal 21 … - 14 - Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup Jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4473 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/4/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM AKTIVITAS SEKURITISASI ASET BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 20 Januari 2005 </set_date> <effective_date> 20 Januari 2005 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/ 11 /PBI/2008 TENTANG SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia memiliki tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b. bahwa dalam rangka mendukung tugas dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah melalui operasi pasar terbuka; c. bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah melalui operasi pasar terbuka diperlukan penyempurnaan instrumen dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia berdasarkan prinsip syariah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c tersebut di atas, dipandang perlu mengatur ketentuan mengenai Sertifikat Bank Indonesia berdasarkan prinsip syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat… - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut BUS adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan… - 3 - Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 2. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS adalah : a. unit kerja di kantor pusat bank konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah; atau b. unit kerja di kantor cabang dari suatu bank konvensional yang berkedudukan di luar negeri yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. 3. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. 4. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disebut SBIS adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. 5. Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara peserta, penyelenggara dan Sistem Bank Indonesia –Real Time Gross Settlement. 6. Transaksi Repurchase Agreement SBIS yang selanjutnya disebut Repo SBIS adalah transaksi pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada BUS atau UUS dengan agunan SBIS (collateralized borrowing). 7. Rekening Giro adalah rekening dana milik BUS atau UUS dalam mata uang rupiah di Bank Indonesia. 8. Rekening Surat Berharga adalah rekening milik BUS atau UUS di BI-SSSS yang digunakan untuk mencatat kepemilikan SBIS. 9. Transaksi SBIS adalah transaksi pembelian SBIS dan/atau Repo SBIS. BAB II… - 4 - BAB II TUJUAN PENERBITAN SBIS Pasal 2 SBIS diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen operasi pasar terbuka dalam rangka pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. BAB III AKAD DAN KARAKTERISTIK SBIS Pasal 3 SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad Ju’alah. Pasal 4 SBIS memiliki karakteristik sebagai berikut : a. satuan unit sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah); b. berjangka waktu paling kurang 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan; c. diterbitkan tanpa warkat (scripless); d. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia; dan e. tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder. BAB IV IMBALAN Pasal 5 (1) Bank Indonesia menetapkan dan memberikan imbalan atas SBIS yang diterbitkan. (2) Bank… - 5 - (2) Bank Indonesia membayar imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada saat jatuh waktu SBIS. BAB V MEKANISME PENERBITAN Pasal 6 (1) Bank Indonesia menerbitkan SBIS melalui mekanisme lelang. (2) Penerbitan SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan BI- SSSS. Pasal 7 (1) Pihak yang dapat memiliki SBIS adalah BUS atau UUS. (2) BUS atau UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan Financing to Deposit Ratio (FDR) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) BUS atau UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki SBIS melalui pengajuan pembelian SBIS secara langsung dan/atau melalui perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing. Pasal 8 Bank Indonesia dapat membatalkan hasil lelang SBIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. BAB VI REPO SBIS Pasal 9 (1) BUS atau UUS dapat mengajukan Repo SBIS kepada Bank Indonesia. (2) Repo… - 6 - (2) Repo SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan prinsip qard yang diikuti dengan rahn. (3) BUS atau UUS yang mengajukan Repo SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus menandatangani Perjanjian Pengagunan SBIS dalam Rangka Repo SBIS serta menyampaikan dokumen pendukung yang dipersyaratkan kepada Bank Indonesia. (4) Bank Indonesia menetapkan dan mengenakan biaya atas Repo SBIS. BAB VII PENATAUSAHAAN SBIS Pasal 10 (1) Bank Indonesia menatausahakan SBIS dalam suatu sistem penatausahaan secara elektronis dalam BI-SSSS. (2) Sistem penatausahaan yang dikelola Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup sistem penyelesaian Transaksi SBIS dan pencatatan kepemilikan SBIS. (3) Sistem pencatatan kepemilikan SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan tanpa warkat (scripless). Pasal 11 (1) BUS atau UUS yang melakukan Transaksi SBIS wajib memiliki Rekening Giro dan Rekening Surat Berharga untuk penyelesaian Transaksi SBIS. (2) BUS atau UUS yang melakukan pembelian SBIS wajib memiliki saldo Rekening Giro yang cukup untuk memenuhi kewajiban penyelesaian transaksi pembelian SBIS. (3) BUS… - 7 - (3) BUS atau UUS yang mengajukan Repo SBIS wajib memiliki saldo Rekening Surat Berharga dan saldo Rekening Giro yang cukup untuk memenuhi kewajiban penyelesaian Repo SBIS. Pasal 12 Dalam rangka penyelesaian Transaksi SBIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Bank Indonesia berwenang untuk : a. mendebet Rekening Giro atas pembelian SBIS oleh BUS atau UUS; atau b. mendebet Rekening Surat Berharga dan Rekening Giro atas Repo SBIS termasuk memindahkan pencatatan SBIS dalam rangka pengagunan. Pasal 13 (1) Bank Indonesia melunasi SBIS pada saat jatuh waktu sebesar nilai nominal. (2) Bank Indonesia membayar imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 pada saat SBIS jatuh waktu; atau (3) Bank Indonesia dapat membayar imbalan SBIS sebelum jatuh waktu, dalam hal BUS atau UUS tidak dapat memenuhi kewajiban Repo SBIS. BAB VIII SANKSI Pasal 14 (1) Transaksi SBIS dinyatakan batal dalam hal BUS atau UUS tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) atau ayat (3). (2) Bank Indonesia mengenakan sanksi kepada BUS atau UUS atas Transaksi SBIS yang dinyatakan batal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. teguran… - 8 - a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 1 0/00 (satu per seribu) dari nilai Transaksi SBIS yang dinyatakan batal atau paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk setiap Transaksi SBIS yang dinyatakan batal; dan (3) Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam hal BUS atau UUS melakukan Transaksi SBIS yang dinyatakan batal sebanyak tiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, BUS atau UUS dikenakan sanksi berupa : a. pemberhentian sementara mengikuti lelang SBIS minggu berikutnya; dan b. larangan mengajukan Repo SBIS selama 5 (lima) hari kerja berturut- turut, terhitung sejak BUS atau UUS dikenakan teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 15 Sertifikat Wadiah Bank Indonesia yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Bank Indonesia ini diberlakukan, tetap berlaku dan tunduk pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/7/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia sampai Sertifikat Wadiah Bank Indonesia tersebut jatuh waktu. Pasal 16 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, Peraturan Bank Indonesia Nomor : 6/7/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. BAB X… - 9 - BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 17 Semua istilah Sertifikat Wadiah Bank Indonesia yang selama ini digunakan dalam ketentuan Bank Indonesia yang masih berlaku, harus dibaca sebagai Sertifikat Bank Indonesia Syariah. Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Maret 2008 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 31 Maret 200831 Met GUBERNUR BANK INDONESIA Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 31 Maret 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 50XXXX DPM - 10 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR :10/11/PBI/2008 TENTANG SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH UMUM Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia memiliki tugas antara lain menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Dalam rangka mendukung tugas dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter melalui operasi pasar terbuka (OPT) yang dapat dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Untuk melaksanakan kegiatan OPT yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, Bank Indonesia berwenang menetapkan instrumen OPT yang digunakan. Sejalan dengan hal tersebut, Bank Indonesia perlu menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia Syariah sebagai salah satu instrumen operasi pasar terbuka yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3… - 2 - Pasal 3 Akad ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas Huruf b Jangka waktu SBIS dinyatakan dalam jumlah hari kalender dan dihitung 1 (satu) hari setelah tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu. Huruf c Cukup jelas Huruf d SBIS dapat diagunkan kepada Bank Indonesia dalam rangka Repo SBIS, Fasilitas Likuiditas Intrahari, Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek, atau fasilitas lainnya bagi BUS atau UUS. Huruf e Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)… - 3 - Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing adalah perusahaan yang didirikan khusus untuk melakukan kegiatan jasa perantara bagi kepentingan nasabahnya di bidang pasar uang rupiah dan valuta asing dengan memperoleh imbalan atas jasanya. Pasal 8 Hasil lelang SBIS dapat dibatalkan apabila terdapat suatu kondisi dimana Bank Indonesia tidak menetapkan pemenang lelang dari seluruh penawaran lelang SBIS yang masuk, antara lain karena penawaran yang masuk dinilai berada di luar kewajaran dari perkiraan potensi likuiditas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan qard dalam ketentuan ini adalah pinjaman dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus dalam jangka waktu tertentu. Yang dimaksud dengan rahn dalam ketentuan ini adalah penyerahan agunan dari BUS atau UUS (rahin) kepada Bank Indonesia (murtahin) sebagai jaminan untuk mendapatkan qard. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4)… - 4 - Ayat (4) Yang dimaksud dengan biaya Repo SBIS adalah kewajiban membayar (gharamah) yang ditetapkan Bank Indonesia dalam rangka Repo SBIS karena BUS atau UUS tidak menepati jangka waktu kesepakatan pembelian SBIS. Pasal 10 Ayat (1) Penatausahaan melalui BI-SSSS dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai BI-SSSS. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16… - 5 - Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 4835
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/11/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH </reg_title> <set_date> 31 Maret 2008 </set_date> <effective_date> 31 Maret 2008 </effective_date> <issued_date> 31 Maret 2008 </issued_date> <replaced_reg> '6/7/PBI/2004' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/ 10 /PBI/2005 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas Bank Indonesia di sektor moneter, perbankan dan sistem pembayaran yang lebih efektif diperlukan dukungan informasi secara harian yang real time, tepat waktu, aman, akurat, handal, obyektif, lengkap dan mudah untuk diakses secara simultan; b. bahwa untuk menyediakan informasi sebagaimana dimaksud di atas, diperlukan suatu sistem pelaporan harian dari bank sehingga memenuhi kebutuhan informasi dalam rangka penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter, sistem pembayaran pengawasan bank yang berbasis risiko; c. bahwa pada saat ini informasi harian disediakan oleh sistem Pusat Informasi Pasar Uang, namun untuk memenuhi kebutuhan informasi harian sebagaimana dimaksud di atas diperlukan penyempurnaan baik dari kandungan informasi maupun teknologi; serta d.bahwa … - 2 - d. bahwa penyempurnaan atas sistem Pusat Informasi Pasar Uang dilakukan melalui sistem Laporan Harian Bank Umum; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d di atas dipandang perlu menetapkan ketentuan tentang Laporan Harian Bank Umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN … - 3 - MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing; 2. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri berdasarkan hukum asing atau berkantor pusat di luar negeri, yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan di Indonesia; 3. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di kantor pusat bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah, atau unit kerja di Kantor Cabang Bank Asing yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor … - 4 - kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah; 4. Bank Pelapor adalah kantor Bank yang meliputi kantor pusat Bank yang berbadan hukum Indonesia, Kantor Cabang Bank Asing dan UUS; 5. Laporan Harian Bank Umum, yang selanjutnya disebut LHBU, adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh Bank Pelapor secara harian kepada Bank Indonesia; 6. Pusat Informasi Pasar Uang, yang selanjutnya disebut PIPU, adalah bagian dari keluaran LHBU yang menyediakan informasi yang meliputi namun tidak terbatas pada pasar uang Rupiah dan valuta asing serta informasi dari sumber lainnya yang terkait dengan pasar keuangan; 7. Pelanggan PIPU adalah pihak, selain Bank, yang dapat memperoleh hasil olahan LHBU sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; 8. Perjanjian Penggunaan PIPU adalah kesepakatan tertulis antara Bank Indonesia dengan Pelanggan PIPU mengenai penggunaan PIPU dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; 9. Penyampaian laporan secara on-line yang selanjutnya disebut On-Line adalah penyampaian laporan yang dilakukan dengan mengirim atau mentransfer rekaman data secara langsung melalui jaringan komunikasi data ke Bank Indonesia; 10. Penyampaian laporan secara off-line yang selanjutnya disebut Off-Line adalah penyampaian laporan yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk disket atau media perekaman data elektronik lainnya kepada Bank Indonesia; 11. Pasar Uang Antar Bank yang selanjutnya disebut PUAB adalah kegiatan pinjam-meminjam dalam Rupiah dan atau valuta asing antar bank konvensional dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun; 12. Pasar … - 5 - 12. Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang selanjutnya disebut PUAS, adalah kegiatan investasi jangka pendek dalam Rupiah antar peserta pasar uang berdasarkan prinsip Mudharabah. 13. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Bank Pelapor. BAB II PENYUSUNAN DATA LHBU Pasal 2 (1) Bank Pelapor wajib menyusun LHBU secara akurat, benar, dan lengkap. (2) LHBU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi data transaksional dan data non transaksional. (3) Data transaksional sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi data: a. PUAB yang terdiri dari PUAB pagi Rupiah, PUAB sore Rupiah, PUAB valuta asing dan PUAB luar negeri; b. PUAS; c. transaksi devisa; dan d. perdagangan surat berharga pasar uang di pasar sekunder; (4) Data non transaksional sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi data: a. posisi akhir hari transaksi derivatif jual bukan investasi dengan pihak- pihak tertentu; b. posisi devisa neto; c. pos-pos tertentu neraca; d. proyeksi arus kas; e. suku bunga penawaran (quotation); f. suku … - 6 - f. suku bunga dasar kredit; g. suku bunga kredit; h. suku bunga deposito berjangka, suku bunga tabungan, dan diskonto sertifikat deposito; dan (5) i. tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah Bank syariah. Penyusunan LHBU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berpedoman pada sistematika penyusunan LHBU yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 3 (1) Bank Pelapor bertanggung jawab atas keabsahan, keakuratan, kelengkapan laporan, dan ketepatan waktu penyampaian LHBU. (2) Bank Pelapor harus menunjuk penanggung jawab untuk menyusun dan menyampaikan LHBU kepada Bank Indonesia. (3) Penunjukan penanggung jawab dimaksud pada ayat (2) tidak mengurangi dan atau menghilangkan tanggung jawab dari Direksi Bank dan atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing. (4) Dalam hal terjadi perubahan atas penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Bank Pelapor harus mengkinikan perubahan dimaksud. BAB III PENYAMPAIAN LHBU Pasal 4 (1) Bank … - 7 - (1) Bank Pelapor wajib menyampaikan LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) berikut form header setiap Hari Kerja secara real time atau segera setelah terjadinya transaksi pada tanggal laporan. (2) Bank Pelapor wajib menyampaikan LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) berikut form header setiap Hari Kerja berdasarkan : a. posisi akhir hari; b. proyeksi; atau c. data riil pada tanggal laporan. (3) Bank Pelapor wajib menyampaikan suku bunga penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf e setiap terjadi penawaran. (4) Dalam hal Bank Pelapor tidak melakukan transaksi apapun dan atau tidak memiliki data non transaksional, Bank Pelapor tetap wajib menyampaikan form header. (5) Batas waktu penyampaian LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 5 Dalam hal terdapat kesalahan data pada LHBU yang telah disampaikan ke Bank Indonesia, Bank Pelapor wajib melakukan koreksi LHBU dalam batas waktu yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 6 (1) Bank Pelapor wajib menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU kepada Bank Indonesia secara On-Line. (2) Bank … - 8 - (2) Bank Pelapor yang mengalami gangguan teknis sehingga tidak dapat menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU secara On-Line sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis segera setelah terjadinya gangguan pada Hari Kerja yang sama kepada Bank Indonesia mengenai gangguan teknis yang dialami dan ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang. (3) Dalam hal terjadi gangguan teknis atau gangguan lainnya pada sistem dan atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia maka Bank Indonesia akan memberitahukan terjadinya gangguan tersebut secara tertulis atau lisan kepada Bank Pelapor. (4) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU secara On-Line sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau disebabkan oleh gangguan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), wajib menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU secara Off-Line disertai hasil cetak komputer (hard copy) pada Hari Kerja yang sama. Pasal 7 (1) Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU atau koreksi LHBU secara On-Line apabila LHBU dan atau koreksi LHBU tidak diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan batas waktu penyampaian sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (2) Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU atau koreksi LHBU secara Off-Line apabila LHBU dan atau koreksi LHBU tidak diterima oleh Bank Indonesia pada Hari Kerja yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4). Pasal 8 … - 9 - Pasal 8 (1) Bank Pelapor yang dianggap tidak menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, tetap wajib menyampaikan LHBU untuk data transaksi devisa, proyeksi arus kas, pos-pos tertentu neraca dan posisi devisa neto, dan atau koreksi LHBU untuk data transaksi devisa. (2) Tata cara penyampaian LHBU dan atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 9 Kewajiban Bank Pelapor untuk menyusun serta menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 diatur sebagai berikut : a. sejak tanggal Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan sampai dengan tanggal 13 Mei 2005 dilakukan sekurang-kurangnya 2 (dua) Hari Kerja dalam setiap minggu; b. sejak tanggal 16 Mei 2005 dilakukan setiap Hari Kerja sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 10 (1) Kewajiban penyusunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan penyampaian LHBU dan atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal … - 10 - Pasal 5, Pasal 6 ayat (1), dan Pasal 6 ayat (4) dikecualikan bagi Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sehingga mengakibatkan Bank Pelapor tidak dapat menyusun dan menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU tersebut. (2) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib segera memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeure) yang ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang. (3) Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diberikan sampai dengan keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat teratasi. (4) Pemberitahuan tertulis atas terjadinya keadaan memaksa (force majeure) disampaikan kepada Bank Indonesia. BAB IV HASIL OLAHAN DAN PENGGUNA LHBU Pasal 11 (1) Bank Indonesia menyediakan hasil olahan LHBU kepada Bank Pelapor dan atau Pelanggan PIPU. (2) Hasil olahan LHBU berupa: a. informasi yang disediakan oleh PIPU dalam bentuk agregat; dan b. data individual Bank Pelapor yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 12 … - 11 - Pasal 12 (1) Bank Pelapor dapat memperoleh hasil olahan berupa informasi yang disediakan oleh PIPU dalam bentuk agregat dan data individual Bank Pelapor yang bersangkutan. (2) Pelanggan PIPU hanya dapat memperoleh hasil olahan LHBU berupa informasi yang disediakan oleh PIPU dalam bentuk agregat. Pasal 13 (1) Untuk menjadi Pelanggan PIPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) calon Pelanggan PIPU harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui oleh Bank Indonesia, calon Pelanggan PIPU harus menandatangani Perjanjian Penggunaan PIPU dengan Bank Indonesia. Pasal 14 (1) Bank Indonesia menyediakan hak akses terhadap sistem LHBU di Bank Indonesia dalam jumlah tertentu kepada setiap Bank Pelapor tanpa dikenakan biaya. (2) Bank Indonesia mengenakan biaya kepada Bank Pelapor atas setiap tambahan hak akses terhadap sistem LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bank … - 12 - (3) Bank Indonesia dapat mengenakan biaya kepada Bank Pelapor atas penyediaan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1). (4) Bank Indonesia menyediakan hak akses dan informasi kepada Pelanggan PIPU dengan dikenakan biaya. (5) Bank Pelapor dan Pelanggan PIPU bertanggung jawab atas hak akses terhadap sistem LHBU yang diberikan oleh Bank Indonesia. BAB V S A N K S I Pasal 15 (1) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan secara On-Line data transaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) atau secara Off- Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu Rupiah) untuk setiap data transaksional yang tidak disampaikan. (2) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan secara On-Line data non transaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i sampai batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) atau secara Off-Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu Rupiah) untuk setiap data non transaksional yang tidak disampaikan. (3) Bank … - 13 - (3) Bank Pelapor yang melakukan penawaran suku bunga namun tidak menyampaikan secara On-Line data non transaksional suku bunga penawaran (quotation) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf e setiap terjadi penawaran sampai batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) atau secara Off-Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu Rupiah) untuk setiap data penawaran (quotation) yang tidak disampaikan. (4) Bank Pelapor yang tidak mengirimkan secara On-Line form header LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), dan Pasal 4 ayat (4) dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) atau secara Off-Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah) untuk setiap form. (5) Bank Pelapor yang menyusun dan menyampaikan data LHBU secara tidak benar, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu Rupiah) untuk setiap butir (item) kesalahan dan sebanyak- banyaknya sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta Rupiah) untuk setiap form. Pasal 16 (1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan oleh Bank Indonesia dengan mendebet rekening giro Rupiah Bank Pelapor pada Bank Indonesia. (2) Dalam ... - 14 - (2) Dalam hal pendebetan rekening giro Bank Pelapor pada Bank Indonesia menyebabkan terjadinya saldo giro negatif maka Bank Pelapor wajib menyetor dana sebesar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 17 Bank Pelapor yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 8, dan Pasal 10 ayat (2), rangka pembinaan dan pengawasan Bank berupa teguran tertulis. Pasal 18 Pelanggan PIPU yang tidak melakukan pembayaran biaya atas penggunaan PIPU dikenakan sanksi berupa : a. teguran tertulis; b. pemenuhan kewajiban membayar sesuai Perjanjian Penggunaan PIPU; dan atau c. pencabutan keikutsertaan sebagai Pelanggan PIPU. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 19 (1) Pelanggan PIPU yang perjanjiannya berakhir pada tanggal 31 Mei 2005 dan dikenakan sanksi administratif dalam bermaksud … - 15 - bermaksud tetap menggunakan PIPU harus menandatangani Perjanjian Penggunaan PIPU baru dengan mengacu pada ketentuan ini tanpa harus mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. (2) Dalam hal Pelanggan PIPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menandatangani Perjanjian Penggunaan PIPU baru, Bank Indonesia mencabut keikutsertaan sebagai Pelanggan PIPU. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 20 Pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 21 Ketentuan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2005. Pasal 22 Dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka sejak tanggal 1 Juni 2005: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/24/PBI/2003 tanggal 31 Oktober 2003 tentang Pusat Informasi Pasar Uang; dan b. Pasal … - 16 - b. Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/3/PBI/2001 tanggal 12 Januari 2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 9 Maret 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 25 DPM/UKMI/DPD/DPNP PENJELASAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/ 10 /PBI/2005 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM UMUM Di dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, ditegaskan bahwa bank wajib menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Data dan atau informasi dalam laporan, keterangan, dan penjelasan dimaksud lebih lanjut digunakan antara lain dalam menyusun statistik perbankan untuk analisis ekonomi moneter serta pengawasan dan pembinaan bank. Untuk menunjang pengkinian penyusunan statistik perbankan serta dalam rangka pemantauan pasar uang dan kondisi keuangan perbankan yang lebih optimal diperlukan sistem pelaporan bank secara harian yang mencerminkan kondisi keuangan bank yang berkesinambungan setiap saat. Berkaitan dengan hal tersebut maka bank diwajibkan menyusun laporan harian secara benar dan lengkap serta menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia secara real time dan tepat waktu. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 … - 2 - Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan data transaksional adalah data yang dihasilkan dari transaksi Bank Pelapor dengan pihak lain sebagai counterpart. Yang dimaksud dengan data non transaksional adalah data yang bukan dihasilkan dari transaksi Bank Pelapor dengan pihak lain. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan transaksi devisa adalah transaksi valuta asing untuk tod/tom/spot, transaksi valuta asing untuk forward, swap, option, dan transaksi derivatif lainnya. Huruf d Yang dimaksud dengan data perdagangan surat berharga pasar uang di pasar sekunder adalah data transaksi dari surat-surat berharga yang pada saat ini hanya berupa Sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito, dan commercial paper. Ayat (4) Huruf a Yang … - 3 - Yang dimaksud dengan pihak-pihak tertentu adalah pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank. Huruf b Yang dimaksud dengan Posisi Devisa Neto adalah posisi devisa neto sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Posisi Devisa Neto. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 3 … - 4 - Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan penanggung jawab adalah petugas yang diberi otorisasi oleh Bank Pelapor untuk menyusun dan menyampaikan LHBU. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan form header adalah formulir LHBU yang memuat sekurang-kurangnya informasi tentang sandi bank, tanggal laporan, nomor form, dan jumlah record isi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 … - 5 - Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan gangguan teknis adalah gangguan yang menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan LHBU secara On-Line kepada Bank Indonesia antara lain karena gangguan pada jaringan telekomunikasi dan atau penyebab lainnya. Ayat (3) Yang dimaksud dengan gangguan teknis atau gangguan lainnya adalah gangguan yang menyebabkan Bank Indonesia menerima penyampaian LHBU secara On-Line antara lain karena gangguan pada jaringan telekomunikasi dan atau penyebab lainnya. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Sistem pelaporan LHBU oleh Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini bertujuan untuk mengganti sistem pelaporan PIPU oleh Bank yang akan dihentikan pada tanggal 1 Juni 2005. Dalam pelaksanaannya diperlukan masa transisi laporan dalam bentuk kegiatan trial run dan paralel run sesuai dengan tujuan di atas. Pada masa transisi ini, Bank Pelapor … tidak dapat - 6 - Pelapor tetap melaksanakan pelaporan melalui PIPU bersamaan dengan pelaporan melalui LHBU namun belum diberlakukan sanksi LHBU. Khusus pada masa trial run pelaporan LHBU dilakukan minimal 2 (dua) Hari Kerja dalam satu minggu pada periode sejak tanggal ditetapkan Peraturan Bank Indonesia ini sampai dengan tanggal 13 Mei 2005 dan pada masa paralel run pelaporan LHBU dilakukan setiap Hari Kerja sejak tanggal 16 Mei sampai dengan tanggal 31 Mei 2005. Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat menyusun dan menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) dapat teratasi adalah keadaan Bank Pelapor yang secara normal telah dapat melaksanakan kegiatan operasional sehingga dapat menyusun dan menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU kepada Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 11 … - 7 - Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan data individual Bank Pelapor adalah data atau informasi yang merupakan hasil olahan mengenai Bank Pelapor yang bersangkutan. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud hak akses adalah hak yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank Pelapor dan atau Pelanggan PIPU untuk dapat melakukan log-in ke dalam sistem LHBU di Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) … - 8 - Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Sanksi dapat dikenakan atas pelanggaran yang terjadi baik karena tidak menyampaikan data transaksional dan atau data non transaksional maupun karena tidak menyampaikan form header. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia memuat antara lain: a. Pedoman sistematika penyusunan LHBU; b. Tata cara penyampaian data LHBU; c. Batas waktu penyampaian data LHBU; d.Tata … - 9 - d. Tata cara pengajuan permohonan menjadi Pelanggan PIPU; e. Tata cara perolehan informasi hasil olahan LHBU; f. Komponen biaya yang dibebankan kepada Pelanggan PIPU dan tata cara pembayaran; g. Hal-hal lain yang terkait. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 4483
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/10/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> LAPORAN HARIAN BANK UMUM </reg_title> <set_date> 9 Maret 2005 </set_date> <effective_date> 9 Maret 2005 </effective_date> <replaced_reg> '3/3/PBI/2001 | Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 9', '5/24/PBI/2003' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/ 33 /PBI/2008 TENTANG PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG KERTAS PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1998, 20.000 (DUA PULUH RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1998, 50.000 (LIMA PULUH RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1999, DAN 100.000 (SERATUS RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1999 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di masyarakat telah beredar uang kertas pecahan 10.000 (sepuluh ribu) rupiah tahun emisi 1998 dan tahun emisi 2005, 20.000 (dua puluh ribu) rupiah tahun emisi 1998 dan tahun emisi 2004, 50.000 (lima puluh ribu) rupiah tahun emisi 1999 dan tahun emisi 2005, dan 100.000 (seratus ribu) rupiah tahun emisi 1999 dan tahun emisi 2005; b. bahwa uang kertas pecahan 10.000 (sepuluh ribu) rupiah tahun emisi 1998, 20.000 (dua puluh ribu) rupiah tahun emisi 1998, 50.000 (lima puluh ribu) rupiah tahun emisi 1999, dan 100.000 (seratus ribu) rupiah tahun emisi 1999 telah beredar cukup lama; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk menetapkan pencabutan dan penarikan dari peredaran uang kertas pecahan 10.000 (sepuluh ribu) rupiah . . . - 2 - rupiah tahun emisi 1998, 20.000 (dua puluh ribu) rupiah tahun emisi 1998, 50.000 (lima puluh ribu) rupiah tahun emisi 1999, dan 100.000 (seratus ribu) rupiah tahun emisi 1999 dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22 Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan Dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007 tanggal 30 Agustus 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 Tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan Dan Penarikan, Serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4762); MEMUTUSKAN . . . - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG KERTAS PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1998, 20.000 (DUA PULUH RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1998, 50.000 (LIMA PULUH RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1999, DAN 100.000 (SERATUS RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1999. Pasal 1 (1) Bank Indonesia mencabut dan menarik uang kertas rupiah dari peredaran yang terdiri dari uang kertas pecahan 10.000 (sepuluh ribu) rupiah tahun emisi 1998, 20.000 (dua puluh ribu) rupiah tahun emisi 1998, 50.000 (lima puluh ribu) rupiah tahun emisi 1999, dan 100.000 (seratus ribu) rupiah tahun emisi 1999. (2) Uang kertas rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah sejak tanggal 31 Desember 2008. Pasal 2 Uang kertas rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat ditukarkan di Bank Indonesia dan/atau Bank Umum. Pasal 3 Jangka waktu dan tempat penukaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan sebagai berikut: 1. Terhitung . . . - 4 - 1. Terhitung sejak tanggal 31 Desember 2008 sampai dengan tanggal 30 Desember 2013 penukaran dilakukan di Bank Indonesia dan/atau Bank Umum. 2. Terhitung sejak tanggal 31 Desember 2013 sampai dengan tanggal 30 Desember 2018 penukaran dilakukan hanya di Bank Indonesia. Pasal 4 Hak untuk menuntut penukaran uang rupiah yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak berlaku lagi setelah 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan atau tanggal 31 Desember 2018. Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 2008. Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan . . . - 5 - Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 25 November 2008. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 25 November 2008. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 180 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/33/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG KERTAS PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1998, 20.000 (DUA PULUH RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1998, 50.000 (LIMA PULUH RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1999, DAN 100.000 (SERATUS RIBU) RUPIAH TAHUN EMISI 1999 </reg_title> <set_date> 25 November 2008 </set_date> <effective_date> 31 Desember 2008 </effective_date> <issued_date> 25 November 2008 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '9/10/PBI/2007', '2/PERPPU/2008', '6/14/PBI/2004' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/13/PBI/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/3/PBI/2005 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam meningkatkan perannya dalam perekonomian, bank perlu melakukan langkah-langkah untuk dapat mendukung pertumbuhan ekonomi, termasuk membiayai sektor riil; b. bahwa dalam upaya membiayai sektor riil, bank tetap wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian antara lain dengan mengelola risiko dengan baik, khususnya risiko yang terkait dengan risiko konsentrasi; c. bahwa dalam rangka pengelolaan risiko dengan baik bank telah diwajibkan untuk menerapkan manajemen risiko dan melaksanakan prinsip-prinsip good corporate governance dalam kegiatan usahanya; d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan tentang batas maksimum pemberian kredit bank umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat … - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4472); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/3/PBI/2005 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM. Pasal I … - 3 - Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4472) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 22 diubah, sehingga Pasal 1 seluruhnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya disebut dengan BMPK adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal Bank. 3. Penyediaan Dana adalah penanaman dana Bank dalam bentuk: a. kredit; b. c. d. e. f. g. h. surat berharga; penempatan; surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali; tagihan akseptasi; derivatif kredit (credit derivative); transaksi rekening administratif; tagihan derivatif; i. potential … - 4 - i. j. k. l. 4. potential future credit exposure; penyertaan modal; penyertaan modal sementara; bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan huruf a sampai dengan huruf k. Modal adalah: a. modal inti b. dan modal pelengkap bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia; atau dana bersih kantor pusat dan kantor-kantor cabang lainnya di luar negeri (Net Head Office Fund), bagi kantor cabang bank asing, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. 5. Pihak Terkait adalah perseorangan atau perusahaan/badan yang mempunyai hubungan pengendalian dengan Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan atau keuangan. 6. Pelanggaran BMPK adalah selisih lebih antara persentase BMPK yang diperkenankan dengan persentase Penyediaan Dana terhadap Modal Bank pada saat pemberian Penyediaan Dana. 7. Pelampauan BMPK adalah selisih lebih antara persentase BMPK yang diperkenankan dengan persentase Penyediaan Dana terhadap Modal Bank pada saat tanggal laporan dan tidak Pelanggaran BMPK sebagaimana dimaksud pada angka 6. 8. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam … termasuk - 5 - meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: a. b. c. cerukan (overdraft) yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. 9. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang. yang lazim 10. Penempatan adalah penanaman dana Bank pada bank lain, dalam bentuk giro, interbank call money, deposito berjangka, sertifikat deposito, kredit, dan penanaman dana lainnya yang sejenis. 11. Surat Berharga Yang Dibeli Dengan Janji Dijual Kembali adalah pembelian Surat Berharga dari pihak lain yang dilengkapi dengan perjanjian untuk menjual kembali kepada pihak lain tersebut pada akhir periode dengan harga atau imbalan yang telah disepakati sebelumnya (reverse repurchase agreement). 12. Tagihan Akseptasi adalah tagihan yang timbul sebagai akibat akseptasi yang dilakukan terhadap wesel berjangka. 13. Tagihan Derivatif adalah tagihan karena potensi keuntungan dari suatu perjanjian/kontrak transaksi derivatif (selisih positif antara nilai kontrak dengan nilai wajar transaksi derivatif pada tanggal laporan), termasuk potensi keuntungan karena mark to market dari transaksi spot yang masih berjalan. 14. Potential … - 6 - 14. Potential Future Credit Exposure adalah seluruh potensi keuntungan dari suatu perjanjian/kontrak transaksi derivatif selama umur kontrak, yang ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari nilai nosional perjanjian/kontrak transaksi derivatif tersebut. 15. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada bank atau perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti perusahaan sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada bank dan atau perusahaan yang bergerak di bidang keuangan lainnya. 16. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal oleh Bank pada perusahaan peminjam untuk mengatasi kegagalan kredit (debt to equity swap), termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan peminjam. 17. Transaksi Rekening Administratif adalah kewajiban komitmen dan kontinjensi yang antara lain meliputi penerbitan jaminan, letter of credit (L/C), stand-by letter of credit (SBLC), dan atau kewajiban komitmen dan kontinjensi lain, kecuali fasilitas Kredit yang belum ditarik. 18. Peminjam … - 7 - 18. Peminjam adalah nasabah perorangan atau perusahaan/badan yang memperoleh Penyediaan Dana dari Bank, termasuk: a. debitur, untuk Penyediaan Dana berupa Kredit; b. penerbit Surat Berharga, pihak yang menjual Surat Berharga, manajer investasi kontrak investasi kolektif, dan atau reference entity, untuk Penyediaan Dana berupa Surat Berharga; c. pihak yang mengalihkan risiko kredit (protection buyer) dan atau reference entity, untuk Penyediaan Dana berupa derivatif kredit (credit derivatives); d. pemohon (applicant), untuk Penyediaan Dana berupa jaminan (guarantee), letter of credit (L/C), standby letter of credit (SBLC), atau instrumen serupa lainnya; e. pihak tempat Bank melakukan Penyertaan Modal (investee), untuk Penyediaan Dana berupa Penyertaan Modal; f. Bank atau debitur, untuk Penyediaan Dana berupa tagihan akseptasi; g. pihak lawan transaksi (counterparty), untuk Penyediaan Dana berupa Penempatan dan transaksi derivatif; h. pihak lain yang wajib melunasi tagihan kepada Bank. 19. Reference Entity adalah pihak yang berutang atau mempunyai kewajiban membayar (obligor) dari aset yang yang mendasari (underlying reference asset), termasuk: a. penerbit dari Surat Berharga yang ditetapkan sebagai aset yang mendasari (underlying reference asset); b. pihak yang berkewajiban untuk melunasi piutang dari kredit atau tagihan yang mendasari (underlying reference asset). 20. Komisaris … dialihkan dan ditetapkan sebagai aset yang - 8 - 20. Komisaris: a. bagi perusahaan berbentuk hukum perseroan terbatas adalah Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi perusahaan berbentuk hukum perusahaan daerah adalah Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi perusahaan berbentuk hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, termasuk pejabat yang ditunjuk untuk melakukan fungsi pengawasan sebagaimana Komisaris. 21. Direksi: a. bagi perusahaan berbentuk hukum perseroan terbatas adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi perusahaan berbentuk hukum perusahaan daerah adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi perusahaan berbentuk hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, termasuk pejabat yang mempunyai wewenang sebagaimana Direksi. 22. Pejabat Eksekutif adalah Pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional Bank atau perusahaan, termasuk kepala satuan kerja audit intern, akuntansi, dan manajemen risiko Bank. 2. Ketentuan … - 9 - 2. Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam memberikan Penyediaan Dana, khususnya Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait, Penyediaan Dana besar (large exposures), dan atau Penyediaan Dana kepada pihak lain yang memiliki kepentingan terhadap Bank. (2) Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank wajib memiliki pedoman kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait, Penyediaan Dana besar (large exposures), dan atau Penyediaan Dana kepada pihak lain yang memiliki kepentingan terhadap Bank. (3) Pedoman kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling kurang mencakup: a. standar dan kriteria untuk melakukan seleksi dan penilaian kelayakan Peminjam dan kelompok Peminjam; b. standar dan kriteria untuk penetapan batas (limit) Penyediaan Dana; c. sistem informasi manajemen Penyediaan Dana; d. sistem pemantauan terhadap Penyediaan Dana; dan e. penetapan langkah pengendalian untuk mengatasi konsentrasi Penyediaan Dana. (4) Pedoman kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling kurang sama atau lebih berhati-hati … - 10 - berhati-hati (prudent) dibandingkan dengan kebijakan dan prosedur pelaksanaan manajemen risiko kredit secara umum. (5) Pedoman kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dikaji ulang secara periodik paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. (6) Pedoman kebijakan dan prosedur tentang Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan, prosedur, dan penetapan risiko kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. 3. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 (1) Pihak Terkait meliputi: a. perseorangan atau perusahaan/badan yang merupakan pengendali Bank; b. perusahaan/badan dimana Bank bertindak sebagai pengendali; c. perseorangan atau perusahaan/badan lain yang bertindak sebagai pengendali dari perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf b; d. perusahaan dimana: 1) 2) perseorangan dan atau perusahaan/badan sebagaimana dimaksud pada huruf a bertindak sebagai pengendali; perseorangan dan atau perusahaan/badan sebagaimana dimaksud pada huruf c bertindak sebagai pengendali; e. Komisaris, Direksi, dan Pejabat Eksekutif Bank; f. pihak … - 11 - f. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, baik horisontal maupun vertikal: 1) dari perseorangan yang merupakan pengendali Bank sebagaimana dimaksud pada huruf a; 2) dari Komisaris, Direksi, dan Pejabat Eksekutif pada Bank sebagaimana dimaksud pada huruf e. g. Komisaris, Direksi, dan Pejabat Eksekutif pada perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan atau huruf d; h. perusahaan/badan yang Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutifnya merupakan: 1) Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif pada Bank; 2) Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif pada perusahaan/badan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan huruf b; i. Perusahaan/badan yang 50% (lima puluh perseratus) atau lebih Komisaris dan Direksinya merupakan Komisaris, Direksi dan/atau Pejabat Eksekutif pada perusahaan/badan sebagaimana dimaksud pada huruf c dan atau huruf d; j. perusahaan/badan dimana: 1) Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif Bank sebagaimana dimaksud pada huruf e bertindak sebagai pengendali; 2) Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan atau huruf d, bertindak sebagai pengendali; k. perusahaan/badan … - 12 - k. perusahaan/badan yang memiliki hubungan keuangan dengan Bank dan atau pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i dan atau huruf j; l. kontrak investasi kolektif dimana Bank dan atau pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i dan atau huruf j memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham pada manajer investasi kontrak investasi kolektif tersebut; m. Peminjam berupa perseorangan atau perusahaan/badan bukan bank yang memberikan jaminan kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf l; n. Peminjam yang diberikan jaminan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf l; o. bank lain yang memberikan jaminan kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf l sepanjang terdapat counterguarantee dari Bank dan atau pihak- pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf l kepada bank lain tersebut. p. Perusahaan/badan lain yang didalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf f. (2) Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c adalah apabila perseorangan atau perusahaan/badan secara langsung atau tidak langsung: a. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham Bank atau perusahaan/badan lain; b. memiliki … - 13 - b. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham yang apabila digunakan akan menyebabkan pihak tersebut memiliki dan atau mengendalikan secara sendiri atau bersama-sama 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham perusahaan/badan lain; Bank atau c. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank atau perusahaan/badan lain (acting in concert), dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama- sama memiliki dan atau mengendalikan 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham Bank atau perusahaan/badan lain; d. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank atau perusahaan/badan (acting in concert), dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain tersebut, sehingga secara bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham, yang menyebabkan pihak-pihak apabila hak tersebut dilaksanakan tersebut memiliki dan atau mengendalikan secara bersama-sama 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham Bank atau perusahaan/badan lain; e. memiliki kewenangan dan atau kemampuan untuk menyetujui, mengangkat dan atau memberhentikan anggota Komisaris dan atau Direksi Bank atau perusahaan/badan lain; f. memiliki kemampuan untuk menentukan (controlling influence) kebijakan strategis Bank atau perusahaan/badan lain; g. mengendalikan … - 14 - g. mengendalikan 1 (satu) atau lebih perusahaan lain yang secara keseluruhan memiliki dan atau mengendalikan secara bersama- sama 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham Bank atau perusahaan/badan lain; h. melakukan pengendalian terhadap pengendali sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf g. (3) Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf j adalah apabila perseorangan atau perusahaan/badan secara langsung atau tidak langsung: a. memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham perusahaan/badan lain dan porsi kepemilikan tersebut merupakan porsi yang terbesar; b. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih saham perusahaan/badan lain; c. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham yang apabila digunakan akan menyebabkan pihak tersebut memiliki dan atau mengendalikan saham perusahaan/badan lain sebagaimana dimaksud pada huruf a atau huruf b; d. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan perusahaan/badan lain (acting in concert), dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama-sama memiliki dan atau mengendalikan saham perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada huruf a atau huruf b; e. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan perusahaan/badan (acting in concert … - 15 - in concert), dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain tersebut, sehingga secara bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham, yang apabila hak tersebut dilaksanakan menyebabkan pihak-pihak tersebut memiliki dan atau mengendalikan secara bersama-sama saham perusahaan/badan lain sebagaimana dimaksud pada huruf a atau huruf b; f. memiliki kewenangan dan atau kemampuan untuk menyetujui, mengangkat dan atau memberhentikan anggota Komisaris dan atau Direksi perusahaan/badan lain; g. memiliki kemampuan untuk menentukan (controlling influence) kebijakan strategis perusahaan/badan lain. 4. Ketentuan Pasal 12 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 (1) Peminjam digolongkan sebagai anggota suatu kelompok Peminjam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) apabila Peminjam mempunyai hubungan pengendalian dengan Peminjam lain baik melalui hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan atau keuangan, yang meliputi: a. Peminjam merupakan pengendali Peminjam lain; b. 1 (satu) pihak yang sama merupakan pengendali dari beberapa Peminjam (common ownership); c. Peminjam memiliki hubungan keuangan dengan Peminjam lain; d. Peminjam … - 16 - d. Peminjam menerbitkan jaminan (guarantee) untuk mengambil alih dan atau melunasi sebagian atau seluruh kewajiban Peminjam lain dalam hal Peminjam lain tersebut gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi) kepada Bank; e. Direksi, Komisaris, dan atau Pejabat Eksekutif Peminjam menjadi Direksi dan atau Komisaris pada Peminjam lain. (2) Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b adalah pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3). 5. Ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf d diubah, sehingga Pasal 23 seluruhnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 (1) Penyediaan Dana oleh Bank dikategorikan sebagai Pelampauan BMPK apabila disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: a. penurunan Modal Bank; b. perubahan nilai tukar; c. perubahan nilai wajar; d. penggabungan usaha, perubahan struktur kepemilikan dan atau perubahan struktur kepengurusan yang menyebabkan perubahan Pihak Terkait dan atau kelompok Peminjam; e. perubahan ketentuan. (2) Penentuan Peminjam dalam perhitungan Pelampauan BMPK dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 22. (3) Pelampauan BMPK dihitung berdasarkan nilai yang tercatat pada tanggal laporan. 6. Ketentuan … - 17 - 6. Ketentuan Pasal 24 ayat (4) diubah, sehingga Pasal 24 seluruhnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) Bank wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindak (action plan) untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan atau Pelampauan BMPK. (2) Action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat paling kurang langkah-langkah untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan atau Pelampauan BMPK serta target waktu penyelesaian. (3) Target waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai berikut: a. untuk Pelanggaran BMPK, paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia. b. untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh hal-hal c. untuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a, huruf b, dan huruf c ditetapkan paling lambat 9 (sembilan) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia. Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d, ditetapkan paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia. d. untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf e, ditetapkan paling lambat 18 (delapan belas) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian … - 18 - penyampaian action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3). (4) Dalam hal jangka waktu penyelesaian action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinilai tidak mungkin dicapai, Bank atas dasar persetujuan Bank Indonesia dapat menetapkan jangka waktu penyelesaian action plan yang berbeda dengan jangka waktu penyelesaian action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). 7. Ketentuan Pasal 30 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Dalam hal program penjaminan Pemerintah tidak meliputi Penempatan maka Penempatan merupakan komponen Penyediaan Dana yang diperhitungkan dalam BMPK. (2) Dalam hal Penempatan tidak merupakan cakupan program penjaminan Pemerintah, maka bagian dari Penempatan berupa Penempatan kepada Bank lain di Indonesia melalui Pasar Uang Antar Bank (PUAB) untuk tujuan manajemen likuiditas dengan jangka waktu sampai dengan 14 (empat belas) hari dikecualikan dari ketentuan BMPK. 8. Ketentuan Pasal 37 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 Penggolongan kelompok Peminjam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dikecualikan untuk pemberian Kredit kepada nasabah (end user) melalui lembaga pembiayaan dengan metode penerusan (channeling) sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Bank … - 19 - a. Bank melakukan pengawasan terhadap penilaian kelayakan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan terhadap nasabah (end-user); b. Bank memiliki risiko langsung atas Penyediaan Dana yang disalurkan kepada nasabah (end-user); c. perjanjian Kredit dilakukan antara nasabah (end-user) dengan Bank atau dengan pihak yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama Bank; d. pembayaran dari nasabah (end-user) untuk keuntungan Bank; dan e. lembaga pembiayaan tidak menjamin untuk mengambil alih atau melunasi sebagian atau seluruh kewajiban nasabah (end-user) dalam hal nasabah tersebut gagal memenuhi kewajibannya kepada Bank. 9. Ketentuan Pasal 40 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 (1) Penyediaan Dana Bank kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk tujuan pembangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh perseratus) dari Modal Bank. (2) Hubungan antara Bank yang berbentuk BUMN atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan Peminjam yang berbentuk BUMN dan atau BUMD dikecualikan dari pengertian Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sepanjang hubungan tersebut semata-mata disebabkan karena kepemilikan langsung Pemerintah Indonesia. (3) Perusahaan … - 20 - (3) Perusahaan-perusahaan BUMN dan atau BUMD tidak diperlakukan sebagai kelompok Peminjam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sepanjang kepemilikan langsung Pemerintah Indonesia. 10. Diantara Pasal 40 dan 41 disisipkan 3 (tiga) pasal baru menjadi Pasal 40A, 40B, dan 40C yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 40A Penyediaan Dana kepada perusahaan/badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b yang dikendalikan oleh Bank melalui dana pensiun Bank yang bersangkutan, dikecualikan dari perhitungan BMPK kepada Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Hubungan pengendalian antara Bank dengan perusahaan/badan yang dikendalikan oleh dana pensiun Bank tersebut semata-mata disebabkan adanya kepemilikan dana pensiun terhadap perusahaan/badan tersebut; dan b. Penyediaan Dana diberikan dengan persyaratan yang wajar (arm’s length) dan sesuai dengan prosedur umum Penyediaan Dana yang berlaku. Pasal 40B (1) Penyediaan Dana kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam: a. Pasal 8 ayat (1) huruf c; b. Pasal 8 ayat (1) huruf d angka 2); hubungan tersebut semata-mata disebabkan karena c. Pasal … - 21 - c. Pasal 8 ayat (1) huruf g, huruf j angka 2), huruf k sampai dengan huruf o, hanya untuk pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1) huruf c dan huruf d angka 2, dikecualikan dari perhitungan BMPK kepada Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sepanjang memenuhi persyaratan tertentu. (2) Persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. Hubungan pengendalian antara Bank dengan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c dan atau Pasal 8 ayat (1) huruf d angka 2) semata-mata disebabkan oleh hubungan kepemilikan; b. Penyediaan Dana diberikan dengan persyaratan yang wajar (arm’s length) dan sesuai dengan prosedur umum Penyediaan Dana yang berlaku; dan c. Penyediaan Dana diberikan oleh Bank pada saat Bank tidak ditempatkan dalam pengawasan intensif Bank Indonesia. (3) Bank yang tidak ditempatkan dalam pengawasan intensif Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut : a. memiliki peringkat komposit dalam penilaian tingkat kesehatan paling kurang 3; b. tidak memiliki permasalahan aktual dan atau potensial terhadap keseluruhan risiko (composite risks); c. tidak memiliki pelanggaran dan atau pelampauan BMPK; d. tidak memiliki pelanggaran posisi devisa neto; e. memiliki … - 22 - e. memiliki rasio giro wajib minimum sama dengan atau lebih besar dari rasio yang ditetapkan; f. memiliki rasio kredit bermasalah terhadap total kredit secara neto kurang dari 5% (lima perseratus); dan g. tidak memiliki permasalahan profitabilitas yang mendasar. Pasal 40C (1) Penyediaan Dana kepada perusahaan/badan dimana Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutifnya merupakan: a. Komisaris pada Bank, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf e; dan atau b. keluarga Komisaris Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f angka 2, dikecualikan dari perhitungan BMPK kepada Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sepanjang memenuhi persyaratan tertentu. (2) Persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. Komisaris pada Bank merupakan Komisaris Independen; b. Penyediaan Dana diberikan dengan persyaratan yang wajar (arm’s length) dan sesuai dengan prosedur umum Penyediaan Dana yang berlaku; c. Komisaris Independen tidak terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengambilan keputusan untuk Penyediaan Dana tersebut; dan d. Tidak terdapat hubungan pengendalian lainnya. Pasal II … - 23 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 Oktober 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 70 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/13/PBI/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/3/PBI/2005 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM UMUM Mengingat peranannya dalam perekonomian nasional yang cukup signifikan, perbankan tetap perlu didorong untuk meningkatkan dukungannya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional melalui penyaluran dana kepada sektor riil. dilakukan bank Namun demikian, sangat disadari bahwa kegiatan penyaluran dana yang harus diimbangi dengan kemampuan bank untuk mengidentifikasi, mengukur, mengawasi dan mengendalikan berbagai jenis risiko yang timbul dari kegiatan penyediaan dana. Diantara berbagai jenis risiko yang dihadapi dalam kegiatan penyediaan dana, risiko konsentrasi memegang peranan yang cukup penting dimana pengelolaan risiko konsentrasi dengan baik dapat mengurangi potensi kegagalan usaha bank secara signifikan. Membaiknya kualitas pengelolaan risiko perbankan secara umum antara lain melalui kewajiban bank untuk menerapkan manajemen risiko dan melaksanakan good corporate governance dalam kegiatan usahanya diiringi dengan pertimbangan untuk meningkatkan fungsi intermediasi perbankan dalam perekonomian … - 2 - perekonomian nasional, dipandang perlu untuk melakukan penyesuaian beberapa pengaturan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Beberapa penyesuaian tersebut antara lain mencakup pendefinisian ulang pihak-pihak yang dikagetorikan sebagai pihak terkait dengan bank, cakupan perhitungan BMPK kepada pihak terkait, penegasan pengaturan pengelompokan peminjam sebagai akibat hubungan keuangan, serta perluasan sektor ekonomi yang dinilai dapat menunjang pencapaian pembangunan ekonomi nasional terkait dengan penyediaan dana bank kepada badan usaha milik negara. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2 Ayat (1) Pengaturan dalam ayat ini dimaksudkan agar penerapan manajemen risiko, khususnya kepada Pihak Terkait, Penyediaan Dana besar (large exposures), dan atau Penyediaan Dana kepada pihak lain yang memiliki kepentingan terhadap Bank dilaksanakan secara wajar (arm’s length basis), disesuaikan dengan kemampuan permodalan Bank, dan tidak terkonsentrasi secara signifikan … - 3 - signifikan kepada Peminjam atau kelompok Peminjam tertentu. Yang dimaksud dengan pihak lain yang memiliki kepentingan terhadap Bank pegawai Bank beserta keluarganya. termasuk Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Dalam melakukan seleksi dan penilaian kelayakan, Bank harus memastikan tersedianya informasi yang cukup antara lain mencakup data dan informasi mengenai pemegang saham, kepengurusan, struktur kelompok Peminjam dan atau kelompok Peminjam. Huruf b Batas (limit) Penyediaan Dana ditetapkan paling tinggi sesuai dengan batas yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Limit Penyediaan Dana ditetapkan berdasarkan analisis dampak Penyediaan Dana terhadap struktur neraca dan profil risiko Bank. Analisis dampak pada struktur neraca dan profil risiko Bank dilakukan dengan mempertimbangkan besar, jenis, jangka waktu, dan diversifikasi portofolio Penyediaan Dana secara keseluruhan sehingga … pejabat atau usaha, dan kondisi keuangan dari - 4 - sehingga dapat mencegah portofolio Penyediaan Dana terkonsentrasi pada satu Peminjam atau kelompok Peminjam tertentu. Huruf c Sistem informasi manajemen harus dapat memungkinkan pengurus Bank secara tepat waktu mengidentifikasi antara lain konsentrasi Penyediaan Dana, khususnya kepada Pihak Terkait, Penyediaan Dana besar (large exposures), dan atau Penyediaan Dana kepada pihak lain yang memiliki kepentingan terhadap Bank. Selain itu, sistem informasi manajemen harus mencakup tersedianya sistem pelaporan kepada pengurus Bank mengenai Penyediaan Dana yang melampaui atau diperkirakan akan melampaui limit Penyediaan Dana. Huruf d Sistem pemantauan terhadap Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait, eksposur besar (large exposures), dan atau Penyediaan Dana kepada pihak lain yang memiliki kepentingan terhadap Bank antara lain mencakup: 1. kepatuhan terhadap limit; 2. kecukupan agunan dibandingkan Penyediaan Dana; 3. identifikasi kualitas Penyediaan Dana. Huruf e … - 5 - Huruf e Langkah pengendalian sebagaimana dimaksud dalam huruf ini antara lain mencakup: 1. penambahan modal dalam rangka mengatasi peningkatan eksposur risiko; 2. sindikasi; 3. sekuritisasi aset. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Frekuensi kaji ulang dapat ditingkatkan intensitasnya sesuai dengan perkembangan konsentrasi risiko Penyediaan Dana. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e … - 6 - Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua baik horisontal maupun vertikal adalah pihak-pihak sebagai berikut: 1. orang tua kandung/tiri/angkat; 2. saudara kandung/tiri/angkat; 3. anak kandung/tiri/angkat; 4. kakek atau nenek kandung/tiri/angkat; 5. cucu kandung/tiri/angkat; 6. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua; 7. suami atau istri; 8. mertua atau besan; 9. suami atau istri dari anak kandung/tiri/angkat; 10. kakek atau nenek dari suami atau istri; 11. suami atau istri dari cucu kandung/tiri /angkat; 12. saudara kandung /tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami atau istrinya dari saudara yang bersangkutan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Angka 1) Yang dimaksud dengan Direksi Bank hanyalah Direksi Bank yang dapat menjadi anggota dewan … - 7 - dewan Komisaris pada perusahaan anak yang dikendalikan oleh Bank tersebut yang tidak termasuk ketentuan Bank Indonesia yang mengenai Good Corporate Governance. Angka 2) Cukup jelas. Huruf i Jumlah 50% (lima puluh perseratus) atau lebih dihitung dari jumlah kumulatif Komisaris dan/atau Direksi. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Hubungan keuangan dilihat dari beberapa faktor sebagai berikut: 1. terdapat bantuan keuangan dari Bank dan atau Pihak Terkait atau bantuan keuangan kepada Bank dan atau Pihak Terkait lainnya dengan persyaratan yang ditetapkan sedemikian rupa sehingga menyebabkan pihak yang memberikan bantuan keuangan mempunyai kemampuan untuk menentukan (controlling influence) kebijakan strategis perusahaan/badan yang menerima bantuan keuangan. Yang dimaksud dengan kebijakan strategis adalah kebijakan yang … sebagai rangkap jabatan dalam berlaku - 8 - yang menyangkut penetapan arah dan tujuan pelaksanaan usaha yang berdampak signifikan; dan atau 2. terdapat keterkaitan rantai bisnis yang signifikan dalam operasional usaha Bank atau pihak terkait dengan perusahaan/ badan lain sehingga terdapat ketergantungan antara satu pihak dengan pihak lainnya yang mengakibatkan : a. salah satu pihak tidak mampu dengan mudah mengalihkan transaksi bisnis tersebut kepada pihak lain; dan b. ketidakmampuan dengan mudah mengalihkan transaksi bisnis tersebut menyebabkan cash flow salah satu pihak akan mengalami gangguan yang signifikan sehingga mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Huruf l Cukup jelas. Huruf m dan huruf n Yang dimaksud dengan jaminan adalah janji yang diterbitkan oleh satu pihak untuk mengambil alih dan atau melunasi sebagian atau seluruh kewajiban pihak yang berutang dalam hal pihak yang berutang gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi). Huruf o … - 9 - Huruf o Cukup jelas. Huruf p Yang dimaksud dengan kepentingan adalah apabila terdapat pengendalian dari hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan keuangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan memiliki secara tidak langsung saham adalah memiliki atau mengendalikan saham secara bersama-sama atau melalui pihak lain, termasuk: 1. saham Bank atau perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak lain yang hak suaranya dapat digunakan atau dikendalikan pengendali; 2. saham Bank atau dimiliki oleh pihak pengendali; 3. 4. saham Bank Bank atau atau perusahaan/badan lain yang dikendalikan oleh yang perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak terafiliasi dari pengendali; saham dimiliki oleh anak perusahaan/badan yang 5. pengendali; saham Bank atau perusahaan/badan lain yang perusahaan dari dikendalikan oleh perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bertindak untuk dan atas nama pengendali (saham nominee) berdasarkan atau tidak berdasarkan perjanjian tertentu; 6. saham … - 10 - 6. saham Bank atau perusahaan/badan lain dimiliki oleh pihak lain yang 7. pemindahtangannya memerlukan persetujuan dari pengendali; saham perusahaan/badan lain yang dimiliki Bank melalui perusahaan/badan yang dikendalikan oleh Bank secara berjenjang 8. sampai dengan perusahaan/badan terakhir (ultimate subsidiary); saham Bank atau perusahaan/badan lain selain saham sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 7 yang dikendalikan oleh Bank atau pengendali. Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi dari pengendali sebagaimana dimaksud dalam angka 3 adalah: a. Komisaris, Direksi, atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau karyawan perusahaan pengendali; b. pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pejabat, atau karyawan perusahaan pengendali, khusus bagi perusahaan yang berbentuk hukum koperasi; c. pihak yang memberikan jasa kepada perusahaan pengendali, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lain yang terbukti dikendalikan oleh pengendali; d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan pengendali baik karena perkawinan maupun karena keturunan sampai dengan derajat kedua baik secara horisontal maupun vertikal, termasuk besan; e. pihak … - 11 - e. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan pengendali, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas, keluarga Direksi, dan keluarga pengurus. Yang dimaksud dengan saham adalah semua jenis saham yang memiliki hak suara. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan kebijakan strategis adalah kebijakan yang menyangkut penetapan arah dan tujuan pelaksanaan usaha yang signifikan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (3) … berdampak - 12 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan memiliki secara tidak langsung saham adalah memiliki atau mengendalikan saham secara bersama-sama atau melalui pihak lain, termasuk: 1. saham perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak lain yang hak suaranya dapat digunakan atau dikendalikan pengendali; 2. 3. 4. saham perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak yang dikendalikan oleh pengendali; saham perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak terafiliasi dari pengendali; saham perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh anak dikendalikan oleh pengendali; 5. saham perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bertindak untuk dan atas nama pengendali (saham nominee) berdasarkan atau tidak berdasarkan perjanjian tertentu; 6. saham perusahaan/badan lain dimiliki oleh pihak lain yang pemindahtangannya memerlukan persetujuan dari pengendali; 7. saham perusahaan/badan lain yang dimiliki melalui perusahaan/badan yang dikendalikan pengendali secara berjenjang sampai dengan perusahaan/badan terakhir (ultimate subsidiary); perusahaan dari perusahaan/badan yang 8. saham … - 13 - 8. saham perusahaan/badan lain selain saham sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 7 yang dikendalikan oleh pengendali. Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi dari pengendali sebagaimana dimaksud pada angka 3 adalah: 1. Komisaris, Direksi, atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau karyawan perusahaan pengendali; 2. pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pejabat, atau karyawan perusahaan pengendali, khusus bagi perusahaan yang berbentuk hukum koperasi; 3. pihak yang memberikan jasa kepada perusahaan pengendali, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lain yang terbukti dikendalikan oleh pengendali; 4. pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan pengendali baik karena perkawinan maupun karena keturunan sampai dengan derajat kedua baik secara horisontal maupun vertikal, termasuk besan; 5. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan pengendali, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas, keluarga Direksi, dan keluarga pengurus. Yang dimaksud dengan saham adalah semua jenis saham yang memiliki hak suara. Huruf a … - 14 - Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan kebijakan strategis adalah kebijakan yang menyangkut penetapan arah dan tujuan pelaksanaan usaha yang signifikan. Angka 4 Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh: Perusahaan A dan perusahaan B mendapatkan Penyediaan Dana dari Bank dan masing-masing perusahaan … berdampak - 15 - perusahaan tersebut 25 % (dua puluh lima perseratus) atau lebih sahamnya dimiliki oleh perusahaan C. Oleh karena itu, perusahaan A dan perusahaan B dikelompokkan dalam 1 (satu) kelompok Peminjam. Dalam hal perusahaan C merupakan Peminjam pada Bank maka perusahaan A, perusahaan B, dan perusahaan C dikelompokkan dalam 1 (satu) kelompok Peminjam. Huruf c Hubungan keuangan dapat dianalisa berdasarkan beberapa faktor sebagai berikut: 1. terdapat bantuan keuangan dari Peminjam kepada Peminjam lain dengan persyaratan yang ditetapkan sedemikian rupa sehingga menyebabkan pihak yang memberikan bantuan keuangan mempunyai kemampuan menentukan (controlling influence) kebijakan strategis perusahaan/badan bantuan keuangan. Yang yang menerima dimaksud dengan kebijakan strategis adalah kebijakan yang menyangkut penetapan arah dan tujuan pelaksanaan usaha yang berdampak signifikan; dan atau 2. terdapat keterkaitan rantai Peminjam lain bisnis yang signifikan dalam operasional usaha Peminjam dengan sehingga terdapat ketergantungan … untuk - 16 - ketergantungan antara satu pihak dengan pihak lainnya yang mengakibatkan : a. salah satu pihak tidak mampu dengan mudah mengalihkan transaksi bisnis tersebut kepada pihak lain; dan b. ketidakmampuan dengan mudah mengalihkan transaksi bisnis tersebut menyebabkan cash flow salah satu pihak akan mengalami gangguan yang signifikan sehingga mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Huruf d Yang dimaksud dengan jaminan adalah janji yang diterbitkan oleh satu pihak untuk mengambil alih dan atau melunasi sebagian atau seluruh kewajiban pihak yang berutang dalam hal pihak yang berutang gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi). Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. huruf b … - 17 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Termasuk dalam perubahan nilai wajar antara lain adalah perubahan nilai dalam pencatatan penyertaan dengan metode ekuitas (equity method) yang telah lebih dari 1 (satu) tahun atau pencatatan Surat Berharga yang dimiliki dengan menggunakan nilai pasar (mark to market). Huruf d Cukup jelas. Huruf e Termasuk dalam perubahan ketentuan adalah perubahan pihak-pihak yang dikategorikan sebagai Pihak Terkait atau kelompok Peminjam. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Nilai yang tercatat pada tanggal laporan adalah sebagaimana diatur dalam Standar Akuntansi Kuangan yang berlaku terhadap masing-masing instrumen. Khusus untuk Transaksi Derivatif, nilai tercatat pada tanggal laporan termasuk nilai Potential Future Credit Exposure. Angka 6 Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 18 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 7 Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud program penjaminan Pemerintah tidak meliputi Penempatan termasuk apabila Penempatan tidak memenuhi syarat untuk dijamin berdasarkan program penjaminan Pemerintah. Program penjaminan Pemerintah mengacu kepada peraturan perundang-undangan tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan manajemen likuiditas adalah kegiatan yang dilakukan Bank untuk mengelola risiko likuiditas (liquidity risk) dan mengoptimalkan likuiditas yang tersedia. Angka 8 Pasal 37 Huruf a Cukup jelas. Huruf b … - 19 - Huruf b Yang dimaksud dengan memiliki risiko langsung adalah apabila kualitas Penyediaan Dana yang disalurkan Bank kepada nasabah (end-user) dengan metode penerusan (channeling) melalui lembaga pembiayaan mencerminkan secara langsung risiko terkini dari masing – masing nasabah (end user). Huruf c Agunan yang diberikan nasabah diikat untuk kepentingan Bank sehingga Bank dapat secara langsung melakukan eksekusi agunan dalam hal terjadi wanprestasi. Huruf d Tidak termasuk pembayaran dari nasabah (end-user) untuk keuntungan Bank adalah spread yang timbul dari perbedaan tingkat bunga yang diterima bank dan lembaga pembiayaan yang merupakan jasa bagi lembaga pembiayaan dalam melakukan pengelolaan kredit. Huruf e Cukup jelas. Angka 9 Pasal 40 Ayat (1) Yang dimaksud dengan BUMN dalam Pasal ini adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan sebagaimana … - 20 - sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan Penyediaan Dana kepada BUMN untuk tujuan pembangunan antara lain adalah Penyediaan Dana untuk: 1. pengadaan pangan; 2. pengadaan rumah sangat sederhana; 3. pengadaan/penyediaan/pengelolaan minyak dan gas bumi serta sumber alam pengganti energi lainnya yang setara; 4. pengadaan/pengolahan komoditi yang berorientasi ekspor; 5. pengadaan/penyediaan/pengelolaan air; 6. pengadaan/penyediaan/pengelolaan listrik; 7. pengadaan infrastruktur penunjang transportasi darat, laut, dan udara berupa pembangunan jalan, jembatan, rel kereta api, pelabuhan laut dan bandar udara. Ayat (2) dan ayat (3) Yang dimaksud dengan BUMD dalam ayat ini adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh pemerintah daerah melalui penyertaan secara langsung yang dipisahkan sebagaimana diatur dalam perundang- undangan yang berlaku. berasal dari kekayaan daerah yang Termasuk … - 21 - Termasuk sebagai perusahaan BUMN adalah Bank BUMN yang direstrukturisasi sehingga menjadi bagian dari suatu bank holding company yang merupakan BUMN. Angka 10 Pasal 40A Huruf a Sebagai contoh Bank A mengendalikan dana pensiun B. Perusahaan- perusahaan yang dimiliki oleh dana pensiun B bukan merupakan pihak terkait Bank A sepanjang: 1. 2. tidak terdapat pengendalian lain secara langsung dari Bank A; dan atau tidak terdapat pengendalian dari dana pensiun B selain kepemilikan. Yang dimaksud dengan dana pensiun adalah dana pensiun sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf b Cukup jelas. Pasal 40B Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b … - 22 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Termasuk dalam pengertian pemberian Penyediaan Dana oleh Bank adalah perpanjangan jangka waktu Penyediaan Dana. Ayat (3) Penjelasan masing-masing kriteria sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 7 mengacu pada ketentuan yang berlaku mengenai tindak pengawasan dan penetapan status Bank. Pasal 40C Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan Komisaris Independen adalah Komisaris Independen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal II … lanjut - 23 - Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4639 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/13/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/3/PBI/2005 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM </reg_title> <set_date> 5 Oktober 2006 </set_date> <effective_date> 5 Oktober 2006 </effective_date> <changed_reg> '7/3/PBI/2005' </changed_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/3/PBI/2005' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/32/PBI/2005 TENTANG PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/28/PBI/2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan mulai berlaku efektif pada tanggal 22 September 2005; b. bahwa program penjaminan simpanan nasabah bank telah ditangani oleh Lembaga Penjamin Simpanan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk melakukan pencabutan atas ketentuan maksimum suku bunga penjaminan simpanan pihak ketiga dalam Rupiah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank sebagaimana telah diubah terakhir …. - 2 - terakhir dengan Peraturan Bank 7/28/PBI/2005; Indonesia Nomor Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN …. - 3 - PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/28/PBI/2005. Pasal 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI/2004 tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga Dan Pasar Uang Antar Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4383) sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/28/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4526) beserta peraturan pelaksanaannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 22 September 2005. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 22 September 2005 21 September 20055 a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA, MIRANDA S. GOELTOM LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 86 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/32/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/28/PBI/2005 </reg_title> <set_date> 22 September 2005 </set_date> <effective_date> 22 September 2005 </effective_date> <replaced_reg> '6/11/PBI/2004', '7/28/PBI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '24/UU/2004', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
-1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/4/PBI/2008 TENTANG LAPORAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU OLEH BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN LEMBAGA SELAIN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran yang lebih efektif diperlukan dukungan informasi yang terkait dengan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu secara bulanan dan triwulanan yang tersedia secara tepat waktu, aman, akurat, handal, obyektif, lengkap dan mudah untuk diakses secara simultan; b. bahwa untuk menyediakan informasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, diperlukan suatu sistem pelaporan yang memenuhi kebutuhan informasi dalam rangka penetapan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pengawasan sistem pembayaran; c. bahwa pada saat ini laporan alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang disampaikan oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank belum dilakukan secara elektronis; d. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi sebagaimana dimaksud pada huruf b, diperlukan suatu laporan… -2- laporan yang disusun dan disampaikan secara bulanan dan triwulanan dalam suatu sistematika yang ditetapkan dan disampaikan melalui suatu sistem Laporan Selain Bank Umum; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebut di atas, dipandang perlu menetapkan ketentuan tentang laporan penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN… -3- MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU OLEH BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN LEMBAGA SELAIN BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR adalah BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melakukan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu. 2. Lembaga Selain Bank, yang selanjutnya disebut LSB adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau badan usaha yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri yang melakukan kegiatan yang berkaitan dengan alat pembayaran dengan menggunakan kartu di Indonesia. 3. Pelapor adalah kantor pusat BPR dan LSB atau kantor cabang LSB apabila kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri. 4. Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang selanjutnya disebut APMK adalah alat pembayaran yang berupa kartu kredit, kartu Automated Teller Machine (ATM), kartu debet dan/atau kartu prabayar. 5. Laporan… -4- 5. Laporan APMK yang selanjutnya disebut Laporan adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh Pelapor secara bulanan (Laporan bulanan) dan/atau triwulanan (Laporan triwulanan) kepada Bank Indonesia melalui sistem Laporan Selain Bank Umum (LSBU). 6. Sistem LSBU adalah sistem penerimaan Laporan (capturing) yang berbasis web yang disampaikan Pelapor melalui jaringan ekstranet. 7. Periode Pelaporan adalah tenggang waktu penyampaian Laporan yang dimulai sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 setelah akhir bulan Laporan untuk Laporan bulanan dan dimulai sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 bulan April, Juli, Oktober dan Januari untuk Laporan triwulanan. 8. Penyampaian Laporan secara On-Line yang selanjutnya disebut On-Line adalah penyampaian Laporan yang dilakukan secara langsung dengan mengirim dan/ atau mengisi data dalam bentuk tampilan form melalui jaringan komunikasi data ke Bank Indonesia; 9. Penyampaian Laporan secara Off-Line yang selanjutnya disebut Off-Line adalah penyampaian Laporan yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk disket atau media perekaman data elektronik lainnya kepada Bank Indonesia; 10. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Pelapor yang berada dalam satu wilayah propinsi dengan Bank Indonesia setempat. BAB II PENYUSUNAN LAPORAN DAN PENANGGUNG-JAWAB LAPORAN Pasal 2 Pelapor menyusun Laporan sebagai berikut: a. Bagi Pelapor BPR Laporan Penyelenggaraan Kegiatan APMK. b. Bagi… -5- b. Bagi Pelapor LSB (i) Laporan Penyelenggaraan Kegiatan APMK; dan/atau (ii) Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Instrumen Prabayar; dan (iii) Laporan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Pasal 3 (1) Pelapor bertanggung jawab atas kelengkapan, kebenaran, dan keakuratan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Pelapor harus menunjuk dan memberitahukan Person In-Charge (PIC) Laporan kepada Bank Indonesia. (3) Penunjukkan PIC sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mengurangi dan/ atau menghilangkan tanggung jawab Direksi BPR atau Pimpinan LSB. (4) Dalam hal terjadi perubahan PIC, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelapor harus mengkinikan dan melaporkan perubahan tersebut kepada Bank Indonesia. BAB III PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 4 (1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sebagai berikut: a. Dilakukan setiap bulan paling lambat tanggal 15 pada bulan Laporan berikutnya; b. Dilakukan setiap triwulan paling lambat tanggal 15 bulan April, Juli, Oktober dan Januari. (2) Dalam hal Pelapor tidak memiliki data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Pelapor tetap wajib menyampaikan form header sebagai berikut: a. Dilakukan… -6- a. Dilakukan setiap bulan paling lambat tanggal 15 pada bulan Laporan berikutnya; b. Dilakukan setiap triwulan paling lambat tanggal 15 bulan April, Juli, Oktober dan Januari. (3) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan pada tanggal diterimanya Laporan oleh Bank Indonesia yang dibuktikan dengan tanda terima dari Sistem LSBU. Pasal 5 Pelapor wajib menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 secara lengkap, benar, dan akurat. Pasal 6 (1) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan/atau form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) apabila Bank Indonesia: a. menerima Laporan dan/atau form header setelah tanggal 15 pada bulan Laporan berikutnya untuk Laporan bulanan atau setelah tanggal 15 bulan April, Juli, Oktober dan Januari untuk Laporan triwulanan. b. tidak menerima Laporan dan/atau form header setelah tanggal 15 pada bulan Laporan berikutnya untuk Laporan bulanan atau setelah tanggal 15 bulan April, Juli, Oktober dan Januari untuk Laporan triwulanan. (2) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan dan/atau form header sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan Laporan dan/atau form header yang belum disampaikan. Pasal 7… -7- Pasal 7 (1) Bank Pelapor dapat menyampaikan koreksi atas Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Dalam hal terdapat koreksi atas Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, koreksi Laporan tersebut wajib disampaikan dalam jangka waktu Periode Pelaporan. (3) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan apabila koreksi Laporan diterima Bank Indonesia melampaui batas waktu Periode Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menyampaikan koreksi Laporan yang belum disampaikan. (5) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan koreksi Laporan pada tanggal diterimanya koreksi Laporan oleh Bank Indonesia yang dibuktikan dengan tanda terima dari Sistem LSBU. Pasal 8 Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian: a. Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); b. form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan/atau c. koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur maka Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan disampaikan pada Hari Kerja berikutnya. BAB IV… -8- BAB IV PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 9 (1) Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2) dan/atau Pasal 7 ayat (2) melalui Sistem LSBU secara On-Line. (2) Sistem LSBU secara On-Line sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sampai dengan 1 (satu) bulan setelah bulan Laporan dan 1 (satu) bulan setelah masa Laporan. (3) Dalam hal penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2) dan/atau Pasal 7 ayat (2) melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan dilakukan secara Off-Line. Pasal 10 (1) Dalam hal Pelapor mengalami gangguan teknis pada akhir Periode Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan/atau Pasal 7 ayat (2), Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Off-Line. (2) Dalam hal penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan dilakukan secara Off-Line sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelapor wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350 segera… -9- segera pada hari yang sama setelah terjadinya gangguan teknis yang ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang dengan tembusan kepada: a. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Pelapor BPR yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Bank Indonesia terdekat bagi Pelapor LSB yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. (3) Dalam hal Bank Indonesia mengalami gangguan teknis maka Bank Indonesia memberitahukan kepada Pelapor terjadinya gangguan tersebut secara tertulis dan/atau dengan menggunakan sarana lain. (4) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3) terjadi pada batas akhir Periode Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan/atau pasal 7 ayat (2), Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan paling lambat pada hari kerja berikutnya secara Off-Line. (5) Dalam hal Pelapor tidak menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka Pelapor dianggap terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), dan/atau pasal 7 ayat (3). (6) Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) disampaikan kepada : a. Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi BPR dan LSB yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi bagi BPR yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. c. Kantor… -10- c. Kantor Bank Indonesia terdekat bagi LSB yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. Pasal 11 (1) Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) tidak berlaku bagi Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure). (2) Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib segera memberitahukan secara tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeure) yang ditandatangani oleh Pejabat Pelapor yang berwenang. (3) Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah keadaan memaksa (force majeure) dapat diatasi. (4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas terjadinya keadaan memaksa (force majeure) disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2). BAB V HAK AKSES LAPORAN Pasal 12 (1) Bank Indonesia menyediakan hak akses terhadap Sistem LSBU dalam jumlah tertentu kepada setiap Pelapor tanpa dikenakan biaya. (2) Bank Indonesia mengenakan biaya kepada Pelapor atas setiap tambahan hak akses terhadap Sistem LSBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pelapor … -11- (3) Pelapor bertanggung jawab atas hak akses terhadap Sistem LSBU yang diberikan oleh Bank Indonesia. BAB VI S A N K S I Pasal 13 (1) Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan dan/atau form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan/atau Pasal 4 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form. (2) Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form. (3) Pelapor yang menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang tidak lengkap, tidak benar, dan tidak akurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap item data dan paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap form. (4) Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan dalam batas waktu periode penyampaian On-Line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), Pelapor hanya dikenakan sanksi terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) namun tidak dikenakan sanksi … -12- sanksi terhadap penyampaian Laporan yang tidak lengkap, tidak benar, dan tidak akurat sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Pelapor yang telah dikenakan sanksi menyampaikan Laporan yang tidak lengkap, tidak benar, dan tidak akurat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) karena kesalahan Laporan ditemukan setelah melampaui periode penyampaian secara On-Line, Pelapor tidak dikenakan sanksi keterlambatan penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (6) Pelapor dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dalam hal: a. belum menyampaikan Laporan, form header dan/atau koreksi laporan sampai periode penyampaian laporan berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan/atau Pasal 7 ayat (4); dan/atau b. tidak menyampaikan pemberitahuan tertulis perihal gangguan teknis dan/atau perihal keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan/atau Pasal 11 ayat (2). BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar… -13- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal : 4 Februari 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 4 Februari 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 13 UKMI/DASP -1- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/4/PBI/2008 TENTANG LAPORAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU OLEH BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN LEMBAGA SELAIN BANK UMUM Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004, salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Dalam kaitan ini Bank Indonesia berwenang antara lain melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran serta mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya. Kewajiban penyampaian laporan kegiatan dari penyelenggaraan jasa sistem pembayaran dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan jasa sistem pembayaran. Selain itu, informasi yang diperoleh dari penyelenggaraan jasa sistem pembayaran juga diperlukan untuk menunjang pelaksanaan tugas-tugas Bank Indonesia dalam bidang pengendalian moneter serta pengaturan dan pengawasan perbankan. Untuk mendukung pelaksanaan tugas tersebut di atas, Bank Indonesia memerlukan ketersediaan data dan informasi yang berkualitas yang terutama berasal dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Lembaga Selain Bank (LSB). Data dan informasi dimaksud berupa penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK), kegiatan instrumen prabayar, serta penanganan… -2- penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah. Penyampaian data dan informasi kegiatan-kegiatan tersebut selama ini dilakukan secara manual melalui hardcopy. Sejalan dengan upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan informasi di Bank Indonesia, maka diperlukan suatu sistem laporan APMK yang disusun oleh BPR dan LSB yang didukung oleh infrastruktur sistem informasi yang lebih memadai dan bersifat sistematis melalui Sistem Laporan Selain Bank Umum (LSBU) . PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Yang dimaksud dengan Penyelenggaraan Kegiatan APMK adalah penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran yang berupa kartu kredit, kartu Automated Teller Machine (ATM), kartu debet, dan/atau kartu prabayar. Kartu prabayar merupakan bagian dari instrumen prabayar. Yang dimaksud dengan Instrumen Prabayar adalah alat pembayaran yang diperoleh dengan menyetorkan terlebih dahulu sejumlah uang kepada penerbit baik secara langsung atau melalui agen-agen penerbit dimana nilai uang tersebut dicatat secara elektronik dan disimpan dalam media penyimpan data elektronik yang berada dalam pengelolaan penerbit atau pemegang. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)… -3- Ayat (2) Yang dimaksud dengan PIC Laporan adalah petugas yang ditunjuk oleh Pelapor untuk melakukan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait dengan Laporan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan tidak mengurangi dan/atau menghilangkan tanggung jawab adalah bahwa tanggung jawab Laporan tetap melekat kepada Direksi BPR atau Pimpinan LSB. Ayat (4) Mengkinikan perubahan PIC dilakukan oleh Pelapor dengan cara menyesuaikan informasi melalui form Informasi Pokok Pelapor di dalam Sistem LSBU. Pasal 4 Ayat (1) Contoh: Laporan bulan Maret 2008 diterima oleh Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 April 2008 sebagai berikut: Data yang dilaporkan dalam Penyelenggaraan Kegiatan APMK dan Kegiatan Instrumen Prabayar merupakan akumulasi transaksi pada bulan Maret 2008, dan/atau posisi pada akhir bulan Maret 2008 sesuai jenis data yang dilaporkan. Contoh: Laporan triwulan I tahun 2008 adalah: Penyampaian Laporan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah triwulan I tahun 2008, diterima oleh Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 April 2008. Ayat (2) Yang dimaksud dengan tidak memiliki data adalah kondisi dimana Pelapor yang berdasarkan statusnya memungkinkan melakukan kegiatan-kegiatan yang wajib dilaporkan melalui Sistem LSBU, namun… -4- namun sampai dengan akhir bulan laporan dan/atau masa laporan tidak ada data yang dilaporkan. Ayat (3) Yang dimaksud tanda terima dari Sistem LSBU adalah tampilan atau hasil cetakan komputer sebagai bukti bahwa Laporan telah diterima oleh Bank Indonesia. Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Contoh: Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan apabila Laporan bulan Maret 2008 diterima oleh Bank Indonesia setelah tanggal 15 April 2008; dan/ atau Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan apabila data Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah selama triwulan I tahun 2008 diterima oleh Bank Indonesia setelah tanggal 15 April 2008. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Koreksi Laporan dapat diakibatkan oleh data tidak lengkap, tidak benar, tidak akurat dan/atau tidak terkini baik yang diketahui oleh Pelapor maupun Bank Indonesia. Ayat (2)… -5- Ayat (2) Contoh: Koreksi Laporan bulan Maret 2008 diterima oleh Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 April 2008. Ayat (3) Contoh: Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan apabila koreksi Laporan bulan Maret 2008 diterima oleh Bank Indonesia setelah tanggal 15 April 2008; dan/atau Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan apabila data Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah selama triwulan I tahun 2008 diterima oleh Bank Indonesia setelah tanggal 15 April 2008. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 8 Yang dimaksud dengan hari libur adalah hari libur umum mengikuti keputusan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah setempat. Contoh: Laporan bulan Mei 2008 dilaporkan paling lambat tanggal 15 Juni 2008. Mengingat tanggal 15 Juni 2008 jatuh pada hari Minggu, maka Laporan tersebut paling lambat diterima oleh Bank Indonesia pada hari Senin tanggal 16 Juni 2008. Pasal 9… -6- Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pelapor menyampaikan Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan data bulan Maret 2008 secara On-Line sampai dengan akhir bulan April 2008. Pelapor menyampaikan Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan triwulan I tahun 2008 secara On-Line sampai dengan akhir bulan April 2008. Yang dimaksud dengan bulan Laporan adalah jangka waktu yang menunjukkan sumber data Laporan yang disampaikan setiap bulan berasal. Contoh: data akumulasi kegiatan tanggal 1 sampai dengan tanggal 31 Maret 2008 merupakan data bulan Laporan Maret 2008. Yang dimaksud dengan masa Laporan adalah jangka waktu yang menunjukkan sumber data Laporan yang disampaikan setiap triwulan berasal. Contoh: data Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah dari tanggal 1 Januari 2008 sampai dengan tanggal 31 Maret 2008 merupakan data masa Laporan triwulan I tahun 2008. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan gangguan teknis di Pelapor adalah gangguan yang menyebabkan Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan secara On-Line kepada… -7- kepada Bank Indonesia antara lain karena gangguan pada sistem di internal Pelapor. Yang dimaksud dengan pada akhir Periode Pelaporan adalah tanggal 15 untuk Laporan bulanan dan setiap tanggal 15 bulan April, Juli, Oktober dan Januari untuk Laporan triwulanan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan gangguan teknis di Bank Indonesia adalah gangguan yang menyebabkan Bank Indonesia tidak dapat menerima penyampaian Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan secara On-Line dari Pelapor antara lain karena gangguan pada jaringan telekomunikasi dan atau penyebab lainnya. Yang dimaksud dengan sarana lain antara lain: e-mail, telepon, faksimili. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan, antara lain: kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana… -8- bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) dapat diatasi adalah keadaan dimana Pelapor secara normal telah dapat melaksanakan kegiatan operasional sehingga dapat menyusun dan menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan kepada Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud hak akses adalah hak yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank Pelapor untuk dapat mengirim Laporan dan/atau menerima hasil olahan Laporan melalui log-in ke dalam Sistem LSBU di Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Contoh: Pelapor menyampaikan data Penerbit Instrumen Prabayar untuk Laporan bulan Maret 2008, diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 17 April 2008. Atas keterlambatan tersebut Pelapor dikenakan… -9- dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 x 1 form x 2 Hari Kerja atau sebesar Rp1.000.000,00; dan/atau Pelapor menyampaikan Laporan periode triwulan I tahun 2008 Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah untuk form Jenis Produk dan Permasalahan yang Diadukan, Pengaduan yang Diselesaikan Dalam Masa Laporan, dan Penyebab Pengaduan, diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 17 April 2008. Atas keterlambatan tersebut Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 x 3 form x 2 Hari Kerja atau sebesar Rp3.000.000,00; dan/atau Pelapor menyampaikan Laporan Penerbit Instrumen Prabayar untuk Laporan bulan Maret 2008, diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 30 Mei 2008. Atas keterlambatan penyampaian Laporan tersebut Pelapor seharusnya dikenakan sanksi sebesar Rp500.000,00 x 1 form x 31 Hari Kerja atau sebesar Rp15.500.000,00 namun Pelapor dikenakan maksimal sanksi kewajiban membayar sebesar Rp7.500.000,00. Ayat (2) Contoh: Pelapor menyampaikan koreksi Laporan data Penerbit Instrumen Prabayar untuk Laporan bulan Maret 2008, diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 17 April 2008. Atas keterlambatan koreksi tersebut Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 2 Hari Kerja atau sebesar Rp100.000,00; dan/atau Pelapor menyampaikan koreksi Laporan Penerbit Instrumen Prabayar untuk Laporan bulan Maret 2008, diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 30 Mei 2008. Atas keterlambatan penyampaian… -10- penyampaian koreksi Laporan tersebut Pelapor seharusnya dikenakan sanksi sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 31 Hari Kerja atau sebesar Rp1.550.000,00 namun Pelapor dikenakan maksimal sanksi kewajiban membayar sebesar Rp750.000,00. Ayat (3) Yang dimaksud dengan item dalam ayat ini adalah field-field pada setiap record dalam setiap form. Contoh: Laporan Penerbit Instrumen Prabayar terdapat kesalahan sebanyak 10 (sepuluh) item. Atas kesalahan tersebut Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 10 item atau sebesar Rp500.000,00 untuk form Penerbit Instrumen Prabayar. Laporan Penerbit Instrumen Prabayar terdapat kesalahan sebanyak 100 (seratus) item. Atas kesalahan tersebut seharusnya Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar Rp50.000,00 x 100 item atau sebesar Rp5.000.000,00 namun Pelapor dikenakan maksimal sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 untuk form Laporan Penerbit Instrumen Prabayar. Ayat (4) Contoh: Pelapor menyampaikan koreksi Laporan terhadap 18 (delapan belas) item kesalahan Laporan Penerbit Instrumen Prabayar untuk Periode Laporan bulan Maret 2008, diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 17 April 2008. Terhadap pelanggaran keterlambatan koreksi Laporan tersebut, Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 2 Hari Kerja atau sebesar Rp100.000,00. Atas penyampaian Laporan secara tidak benar… -11- benar sebanyak 18 (delapan belas) item kesalahan, Pelapor tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar. Ayat (5) Contoh: Laporan Penerbit Instrumen Prabayar Periode Laporan bulan Maret 2008, pada tanggal 5 Mei 2008 ditemukan 10 (sepuluh) item kesalahan. Terhadap pelanggaran item kesalahan tersebut, Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 10 item atau sebesar Rp500.000,00. Atas keterlambatan penyampaian koreksi Laporan, Pelapor tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 14 Pokok-pokok ketentuan yang akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia memuat antara lain: a. ruang lingkup data LSBU; b. format dan jenis laporan LSBU; c. penyampaian dan koreksi LSBU; d. hak akses dan biaya hak akses; e. sanksi; f. hal-hal lain yang terkait. Pasal 15 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 4811 UKMI/DASP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/4/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> LAPORAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU OLEH BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN LEMBAGA SELAIN BANK </reg_title> <set_date> 4 Februari 2008 </set_date> <effective_date> 4 Februari 2008 </effective_date> <issued_date> 4 Februari 2008 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/UU/2004', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 12/ 18 /PBI/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/11/PBI/2008 TENTANG SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah, Bank Indonesia perlu menyempurnakan ketentuan mengenai Sertifikat Bank Indonesia Syariah, khususnya mengenai pengenaan sanksi terhadap transaksi Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang dinyatakan batal; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang… - 2 - Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4944) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/17/PBI/2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 107); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/11/PBI/2008 TENTANG SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH. Pasal I… - 3 - Pasal I Ketentuan Pasal 14 ayat (2) huruf b dan ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4835) diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Transaksi SBIS dinyatakan batal dalam hal BUS atau UUS tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) atau ayat (3). (2) Bank Indonesia mengenakan sanksi kepada BUS atau UUS atas Transaksi SBIS yang dinyatakan batal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai Transaksi SBIS yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk setiap Transaksi SBIS yang dinyatakan batal. (3) Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam hal BUS atau UUS melakukan Transaksi SBIS dan/atau transaksi operasi moneter syariah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter syariah, yang dinyatakan batal sebanyak tiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, BUS atau UUS dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan operasi moneter syariah selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut. Pasal II… - 4 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 Agustus 2010Maret 2008 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 30 Agustus 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 108 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 12/18/PBI/2010 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/11/PBI/2008 TENTANG SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH </reg_title> <set_date> 30 Agustus 2010 </set_date> <effective_date> 30 Agustus 2010 </effective_date> <issued_date> 30 Agustus 2010 </issued_date> <changed_reg> '10/11/PBI/2008' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '12/17/PBI/2010', '2/PERPPU/2008', '10/36/PBI/2008' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Pasal 14' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/7/PBI/2018 TENTANG INDONESIA OVERNIGHT INDEX AVERAGE DAN JAKARTA INTERBANK OFFERED RATE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung stabilitas moneter dan sistem keuangan dibutuhkan efisiensi transaksi di pasar uang; b. bahwa efisiensi transaksi di pasar uang perlu ditunjang oleh pasar uang yang likuid dan dalam; c. bahwa pasar uang yang likuid dan dalam membutuhkan suku bunga pasar uang sebagai acuan yang kredibel untuk digunakan dalam berbagai transaksi keuangan; d. bahwa salah satu upaya pembentukan suku bunga pasar uang sebagai acuan yang kredibel untuk digunakan dalam berbagai transaksi keuangan yaitu dengan mengacu pada data transaksi; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Indonesia Overnight Index Average dan Jakarta Interbank Offered Rate; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor - 2 - 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG INDONESIA OVERNIGHT INDEX AVERAGE DAN JAKARTA INTERBANK OFFERED RATE. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Indonesia Overnight Index Average yang selanjutnya disebut IndONIA adalah indeks suku bunga atas transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dilakukan antarbank untuk jangka waktu overnight di Indonesia. 2. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disebut JIBOR adalah rata-rata dari suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan yang ditawarkan dan - 3 - dimaksudkan untuk ditransaksikan oleh bank kontributor kepada bank kontributor lain untuk meminjamkan rupiah untuk jangka waktu tertentu di Indonesia. 3. Offer Rate adalah suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan yang ditawarkan dan dimaksudkan untuk ditransaksikan oleh bank kontributor kepada bank kontributor lain untuk meminjamkan rupiah untuk jangka waktu tertentu di Indonesia. 4. Bid Rate adalah suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan yang diminta dan dimaksudkan untuk ditransaksikan oleh bank kontributor kepada bank kontributor lain untuk meminjam rupiah untuk jangka waktu tertentu di Indonesia. 5. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 6. Bank Kontributor adalah Bank yang menyampaikan suku bunga indikasi kepada Bank Indonesia untuk digunakan dalam penetapan JIBOR. BAB II INDONESIA OVERNIGHT INDEX AVERAGE Pasal 2 IndONIA ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan suku bunga pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dilakukan antar-Bank untuk jangka waktu overnight di Indonesia. Pasal 3 (1) Bank Indonesia menetapkan metode penetapan IndONIA. (2) Metode penetapan IndONIA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. ukuran pemusatan dan penyebaran data; dan b. cakupan data yang digunakan. - 4 - (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai metode penetapan IndONIA diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 4 (1) Bank Indonesia melakukan publikasi IndONIA. (2) Apabila dalam ketentuan Bank Indonesia terdapat rujukan penggunaan IndONIA untuk tanggal tertentu namun pada tanggal tersebut Bank Indonesia tidak memublikasikan IndONIA maka rujukan penggunaan IndONIA menggunakan tanggal publikasi sebelumnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai publikasi IndONIA diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB III JAKARTA INTERBANK OFFERED RATE Bagian Kesatu Penetapan Jakarta Interbank Offered Rate Pasal 5 (1) JIBOR ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan kuotasi Offer Rate yang disampaikan oleh Bank Kontributor. (2) JIBOR ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) minggu, 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, dan 12 (dua belas) bulan. Pasal 6 (1) Bank Indonesia menetapkan metode penetapan JIBOR. (2) Metode penetapan JIBOR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. ukuran pemusatan dan penyebaran data; dan b. cakupan data yang digunakan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai metode penetapan JIBOR diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 5 - Pasal 7 (1) Bank Indonesia melakukan publikasi JIBOR. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai publikasi JIBOR diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kedua Penetapan Bank Kontributor Pasal 8 (1) Bank Kontributor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Bank Kontributor JIBOR diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Ketiga Kuotasi dan Kewajiban Bank Kontributor Pasal 9 (1) Bank Kontributor wajib menyampaikan kuotasi suku bunga indikasi kepada Bank Indonesia. (2) Suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. Offer Rate; dan b. Bid Rate. (3) Suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan spread antara Offer Rate dan Bid Rate. (4) Penyampaian kuotasi suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai spread antara Offer Rate dan Bid Rate sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 6 - Pasal 10 (1) Dalam menetapkan suku bunga indikasi, Bank Kontributor wajib menerapkan hal sebagai berikut: a. menetapkan suku bunga indikasi dengan mengacu pada jenjang data input; b. memiliki fungsi validasi dalam penetapan suku bunga indikasi; dan c. memiliki unit kerja dan/atau jabatan yang bertugas dan bertanggung jawab dalam penetapan dan penyampaian suku bunga indikasi. (2) Jenjang data input sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan dengan urutan sebagai berikut: a. data suku bunga transaksi pinjam-meminjamkan tanpa agunan yang dilakukan oleh Bank Kontributor pada hari penyampaian suku bunga indikasi; b. data kuotasi suku bunga transaksi pinjam- meminjamkan tanpa agunan yang dapat dieksekusi pada hari penyampaian suku bunga indikasi; c. data suku bunga transaksi pinjam-meminjamkan di pasar uang lain yang dilakukan oleh Bank Kontributor dan/atau data kuotasi suku bunga transaksi pinjam-meminjamkan di pasar uang lain yang dapat dieksekusi pada hari penyampaian suku bunga indikasi; dan d. penilaian profesional. (3) Penggunaan jenjang data input sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal terdapat data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a maka penggunaan jenjang data input harus menggunakan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; b. dalam hal tidak terdapat data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a maka penggunaan jenjang data input harus menggunakan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b; c. dalam hal tidak terdapat data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b maka penggunaan - 7 - jenjang data input harus menggunakan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c; dan d. dalam hal tidak terdapat data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c maka penggunaan jenjang data input harus menggunakan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d. (4) Bank Kontributor dapat melakukan penyesuaian terhadap data input sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan mempertimbangkan: a. eksposur risiko kredit dari data input yang digunakan; dan/atau b. volatilitas suku bunga intrahari yang terjadi di pasar uang. (5) Nilai yang diperoleh dari penerapan jenjang data input menjadi nilai dalam penetapan kuotasi suku bunga indikasi oleh Bank Kontributor, dengan ketentuan: a. menjadi batas atas Bid Rate; dan b. menjadi batas bawah Offer Rate. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenjang data input diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 11 (1) Bank Kontributor wajib menatausahakan data, informasi, dan hal yang berkaitan dengan proses penetapan kuotasi suku bunga indikasi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penatausahaan data, informasi, dan hal yang berkaitan dengan proses penetapan kuotasi suku bunga indikasi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 12 (1) Penerapan penetapan suku bunga indikasi oleh Bank Kontributor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan penatausahaan data, informasi, dan hal yang berkaitan dengan proses penetapan kuotasi suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 wajib dituangkan oleh Bank Kontributor dalam pedoman internal. - 8 - (2) Bank Kontributor harus menyampaikan pedoman internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman internal diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 13 (1) Bank Kontributor wajib menyampaikan surat pernyataan bahwa Bank Kontributor akan menaati ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Indonesia overnight index average dan Jakarta interbank offered rate kepada Bank Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat pernyataan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Keempat Pemenuhan Permintaan Transaksi Pasal 14 (1) Bank Kontributor wajib memenuhi permintaan transaksi dari Bank Kontributor lainnya untuk meminjam rupiah dan/atau meminjamkan rupiah pada tingkat suku bunga sesuai dengan kuotasi suku bunga indikasi yang disampaikan. (2) Pemenuhan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sepanjang memenuhi batasan: a. waktu permintaan transaksi; b. jangka waktu pinjam-meminjamkan; c. nominal permintaan transaksi; d. total nominal permintaan transaksi; dan e. ketersediaan dana dan limit kredit. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan permintaan transaksi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 9 - BAB IV PENGAWASAN Pasal 15 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Bank Kontributor atas pemenuhan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. pengawasan tidak langsung; dan b. pemeriksaan. (3) Pemeriksaan terhadap Bank Kontributor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pengawasan moneter. Pasal 16 (1) Dalam pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b, Bank Kontributor wajib menyediakan dan menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan oleh Bank Indonesia. (2) Bank Kontributor wajib bertanggung jawab atas kebenaran data, informasi, dan/atau keterangan yang disampaikan kepada Bank Indonesia. BAB V SANKSI Pasal 17 (1) Bank Kontributor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. (2) Bank Kontributor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 16 - 10 - ayat (1), dan/atau Pasal 16 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 18 Bank yang telah menjadi Bank Kontributor sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, tetap tunduk pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/2/PBI/2015 tentang Suku Bunga Penawaran Antarbank sampai dengan tanggal 1 Januari 2019. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Semua data yang ditetapkan Bank Indonesia berdasarkan indeks suku bunga atas transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dilakukan antarbank untuk jangka waktu overnight di Indonesia yang sudah ada sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai sebagai IndONIA, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 20 (1) Semua istilah suku bunga penawaran antarbank yang sudah ada dalam ketentuan Bank Indonesia sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai sebagai Indonesia Overnight Index Average dan Jakarta Interbank Offered Rate sejak tanggal 2 Januari 2019. (2) Semua istilah JIBOR jangka waktu overnight yang sudah ada dalam ketentuan Bank Indonesia sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai sebagai IndONIA sejak tanggal 2 Januari 2019. - 11 - Pasal 21 Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/2/PBI/2015 tentang Suku Bunga Penawaran Antarbank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5681), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada tanggal 2 Januari 2019, kecuali ketentuan terkait penetapan Bank Kontributor dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku. Pasal 22 (1) Ketentuan penetapan IndONIA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2018. (2) Ketentuan penetapan jangka waktu JIBOR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) mulai berlaku sejak tanggal 2 Januari 2019. Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 12 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 Juli 2018 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 24 Juli 2018 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 113 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/7/PBI/2018 TENTANG INDONESIA OVERNIGHT INDEX AVERAGE DAN JAKARTA INTERBANK OFFERED RATE I. UMUM Benchmark rate pasar uang berperan penting dalam mendukung stabilitas moneter dan sistem keuangan yaitu dengan meningkatkan efisiensi transaksi di pasar uang. Adanya benchmark rate pasar uang yang digunakan bersama akan dapat mengurangi kompleksitas kontrak keuangan dengan mendorong standardisasi dalam penggunaan suku bunga acuan pada surat utang dan/atau pinjaman dengan suku bunga mengambang, derivatif suku bunga rupiah, dan untuk valuasi instrumen keuangan. Di Indonesia, benchmark rate pasar uang dituangkan dalam bentuk IndONIA dan JIBOR. Penggunaan IndONIA dan JIBOR diharapkan dapat mengurangi kompleksitas kontrak keuangan rupiah di Indonesia. IndONIA ditetapkan berdasarkan data transaksi di pasar uang antar- Bank sehingga memiliki kredibilitas yang tinggi. Guna memperkuat kredibilitas JIBOR yang berbasis kuotasi, penguatan lebih lanjut dilakukan melalui penerapan jenjang data input dalam penetapan kuotasi JIBOR, yang diharapkan dapat menciptakan pembentukan JIBOR yang lebih transparan dan sejalan dengan pergerakan suku bunga di pasar uang. - 2 - Pengaturan IndONIA dan JIBOR bertujuan untuk mendukung agar proses penetapan IndONIA dan JIBOR dilakukan secara terpercaya dan akurat guna menjaga integritas dan kredibilitas dari benchmark rate pasar uang. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Yang dimaksud dengan “overnight” adalah memiliki periode transaksi selama 1 (satu) hari kerja. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Ukuran pemusatan dan penyebaran data menggunakan antara lain rata-rata, modus, median, maksimum, dan/atau minimum. Huruf b Cakupan data yang digunakan menggunakan antara lain batasan waktu dan/atau trimming. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. - 3 - Ayat (2) Huruf a Ukuran pemusatan dan penyebaran data menggunakan antara lain rata-rata, modus, median, maksimum, dan/atau minimum. Huruf b Cakupan data yang digunakan menggunakan antara lain batasan waktu dan/atau trimming. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “pada hari penyampaian suku bunga indikasi” adalah sejak pasar keuangan dibuka sampai dengan batas waktu penyampaian suku bunga indikasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf b Yang dimaksud dengan “pada hari penyampaian suku bunga indikasi” adalah sejak pasar keuangan dibuka sampai dengan batas waktu penyampaian suku bunga indikasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf c Yang dimaksud dengan “pada hari penyampaian suku bunga indikasi” adalah sejak pasar keuangan dibuka sampai - 4 - dengan batas waktu penyampaian suku bunga indikasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Contoh transaksi pasar uang lain yaitu: 1. transaksi pinjam-meminjamkan dengan agunan (secured) seperti transaksi repurchase agreement (repo); 2. transaksi perdagangan instrumen pasar uang yaitu di pasar primer dan/atau pasar sekunder; atau 3. transaksi foreign exchange swap (FX swap). Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Contoh perbedaan eksposur risiko kredit yaitu perbedaan risiko kredit pada transaksi pinjam-meminjamkan tanpa agunan dan transaksi repurchase agreement (repo). Huruf b Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. - 5 - Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6227
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 20/7/PBI/2018 </reg_id> <reg_title> INDONESIA OVERNIGHT INDEX AVERAGE DAN JAKARTA INTERBANK OFFERED RATE </reg_title> <set_date> 24 Juli 2018 </set_date> <effective_date> 24 Juli 2018 </effective_date> <issued_date> 24 Juli 2018 </issued_date> <replaced_reg> '17/2/PBI/2015' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
1 PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/9/PBI/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/13/PBI/2008 TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam penerbitan Surat Berharga Negara oleh Pemerintah yang terdiri atas Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara, Bank Indonesia melaksanakan kegiatan penatausahaan serta berperan sebagai agen pembayar dan agen lelang; b. bahwa Pemerintah merencanakan penerbitan Surat Utang Negara dalam valuta asing di Pasar Perdana domestik; c. bahwa ketentuan Bank Indonesia mengenai lelang dan penatausahaan Surat Berharga Negara belum mengakomodasi penerbitan Surat Utang Negara dalam valuta asing di Pasar Perdana domestik; dan d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... -2- Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236); 4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4852); dan 5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/13/PBI/2008 TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA. Pasal ... -3- Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4888), diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 2, angka 12, dan angka 13 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. 2. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun dalam valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. 3. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, dalam mata uang Rupiah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN. 4. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 5. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan SBN untuk pertama kali. 6. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan SBN yang telah dijual di Pasar Perdana. 7. Peserta Lelang SBN adalah pihak-pihak yang dapat mengikuti lelang SBN sesuai ketentuan yang berlaku. 8. Penawaran ... -4- 8. Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan tingkat imbal hasil (yield) atau harga (price) yang diinginkan penawar. 9. Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa tingkat imbal hasil (yield) atau harga (price) yang diinginkan penawar. 10. Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara peserta BI-SSSS, penyelenggara BI-SSSS, dan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS). 11. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank Indonesia melakukan fungsi penatausahaan surat berharga, termasuk SBN, untuk kepentingan nasabah. 12. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat DVP adalah setelmen transaksi SBN dengan cara setelmen surat berharga melalui BI-SSSS atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang dilakukan bersamaan dengan setelmen dana di Bank Indonesia. 13. Free of Payment yang selanjutnya disingkat FoP adalah setelmen transaksi SBN dengan cara setelmen surat berharga yang dilakukan melalui BI-SSSS atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, sedangkan setelmen dana dilakukan tidak secara bersamaan dengan setelmen surat berharga atau tanpa setelmen dana. 14. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 2. Ketentuan Pasal 7 ayat (3) diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut: Pasal ... -5- Pasal 7 (1) Bank Indonesia melakukan penatausahaan SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c yang mencakup: a. pencatatan kepemilikan, kliring, dan setelmen SBN; dan b. agen pembayar bunga (kupon)/imbalan dan pokok/nilai nominal SBN. (2) Bank Indonesia melakukan penatausahaan SBN atas transaksi penerbitan SBN di Pasar Perdana dan transaksi SBN di Pasar Sekunder. (3) Penatausahaan SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menggunakan BI-SSSS atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 3. Ketentuan Pasal 9 ayat (2) diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) Pencatatan kepemilikan SBN dilakukan secara book entry. (2) Catatan kepemilikan SBN di BI-SSSS atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia merupakan bukti kepemilikan yang sah. 4. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 Dalam rangka setelmen SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (2), Bank Indonesia berwenang untuk: a. mendebet rekening giro di Bank Indonesia milik: 1. Bank untuk dan atas nama sendiri; dan 2. Bank pembayar untuk dan atas nama pihak lain, b. mendebet rekening SBN di Bank Indonesia milik: 1. Pemerintah; 2. Bank untuk dan atas nama diri sendiri; dan/atau 3. Sub-Registry untuk dan atas nama pihak lain. 5. Ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut: Pasal ... -6- Pasal 13 (1) Bank dan Bank pembayar sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 huruf a harus menyediakan dana yang cukup dalam rekening giro di Bank Indonesia untuk kepentingan setelmen transaksi SBN yang dilakukan oleh Peserta di Pasar Perdana dan Pasar Sekunder. (2) Dalam hal dana pada rekening giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi untuk melunasi sebagian atau seluruh kewajibannya sampai dengan batas akhir waktu setelmen dana maka sebagian atau seluruh hasil lelang SBN yang setelmennya dilakukan melalui Bank atau Bank pembayar tersebut dinyatakan gagal. (3) Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri mengenai setelmen yang gagal atas hasil lelang SBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). 6. Ketentuan Pasal 16 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Bank Indonesia melakukan pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal SBN pada saat jatuh waktu atas beban Pemerintah. (2) Atas permintaan Pemerintah, Bank Indonesia melakukan pelunasan pokok/nilai nominal SBN sebelum tanggal jatuh waktu atas beban Pemerintah. (3) Bank Indonesia melakukan pembayaran: a. bunga (kupon)/imbalan; b. pokok/nilai nominal SBN pada tanggal jatuh waktu; dan/atau c. pokok/nilai nominal SBN sebelum tanggal jatuh waktu, sepanjang tersedia dana yang cukup pada rekening giro Pemerintah di Bank Indonesia. (4) Pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal SBN dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan posisi kepemilikan SBN yang tercatat di BI-SSSS atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (5) Dalam ... -7- (5) Dalam rangka pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal SBN, Bank Indonesia berwenang: a. mendebet rekening giro Pemerintah di Bank Indonesia; dan b. mendebet rekening surat berharga pemilik SBN di Bank Indonesia, terhadap SBN yang telah dinyatakan lunas oleh Pemerintah. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 Oktober 2013 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 30 Oktober 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 168 DPSP 1 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 15/9/PBI/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/13/PBI/2008 TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA I. UMUM Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.08/2013 tentang Lelang Surat Utang Negara dalam Mata Uang Rupiah dan Valuta Asing di Pasar Perdana Domestik, Pemerintah merencanakan penerbitan SUN dalam valuta asing di Pasar Perdana domestik. Oleh karena itu, dalam rangka mendukung penerbitan SUN dalam valuta asing di Pasar Perdana domestik, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan setelmen SBN adalah setelmen yang terdiri dari setelmen surat berharga dan/atau setelmen dana. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat ... -2- Ayat (3) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan book entry adalah pencatatan kepemilikan dan perpindahan kepemilikan surat berharga tanpa warkat (scripless) dalam suatu jurnal elektronis. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 12 Bank pembayar ditunjuk oleh peserta transaksi SBN yang tidak memiliki rekening giro di Bank Indonesia untuk melakukan setelmen dana. Angka 5 Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “menyediakan dana yang cukup dalam rekening giro” meliputi penyediaan dana yang cukup pada rekening giro Rupiah dan/atau rekening giro valuta asing di Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 16 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5457
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 15/9/PBI/2013 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/13/PBI/2008 TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA </reg_title> <set_date> 30 Oktober 2013 </set_date> <effective_date> 30 Oktober 2013 </effective_date> <issued_date> 30 Oktober 2013 </issued_date> <changed_reg> '10/13/PBI/2008' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '19/UU/2008', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/12/PBI/2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/4/PBI/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk melakukan penguatan fungsi intermediasi perbankan dengan tetap memperhatikan dampak risiko prosiklikal dan kondisi siklus keuangan, terdapat ruang bagi kebijakan makroprudensial yang akomodatif; b. bahwa kebijakan makroprudensial yang akomodatif dilakukan melalui penyesuaian terhadap formulasi rasio intermediasi makroprudensial dan rasio intermediasi makroprudensial syariah dengan mempertimbangkan semakin luasnya alternatif sumber pendanaan bagi perbankan terutama berupa pinjaman atau pembiayaan yang diterima; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas - 2 - Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6194); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/4/PBI/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH. - 3 - Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6194) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan angka 9, angka 10, angka 21, dan angka 23 Pasal 1 diubah, di antara angka 24 dan angka 25 disisipkan 1 (satu) angka, yaitu angka 24A, di antara angka 30 dan angka 31 disisipkan 2 (dua) angka, yaitu angka 30A dan angka 30B, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Bank adalah BUK, BUS, dan UUS. - 4 - 5. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 6. Dana Pihak Ketiga yang selanjutnya disingkat DPK adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah dan/atau valuta asing. 7. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah adalah rekening giro dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia. 8. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 9. Rasio Intermediasi Makroprudensial yang selanjutnya disingkat RIM adalah rasio hasil perbandingan antara: a. kredit yang diberikan dalam rupiah dan valuta asing; dan b. surat berharga korporasi dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang dimiliki BUK, terhadap: a. DPK BUK dalam bentuk giro, tabungan, dan simpanan berjangka/deposito dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana antarbank; b. surat berharga dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang diterbitkan oleh BUK untuk memperoleh sumber pendanaan; dan c. pinjaman yang diterima dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang diterima oleh BUK untuk memperoleh sumber pendanaan. - 5 - 10. Rasio Intermediasi Makroprudensial Syariah yang selanjutnya disebut RIM Syariah adalah rasio hasil perbandingan antara: a. Pembiayaan yang diberikan dalam rupiah dan valuta asing; dan b. surat berharga syariah korporasi dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang dimiliki BUS atau UUS, terhadap: a. DPK BUS atau DPK UUS dalam bentuk dana simpanan wadiah dan dana investasi tidak terikat dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana antarbank; b. surat berharga syariah dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang diterbitkan oleh BUS atau UUS untuk memperoleh sumber pendanaan; dan c. pembiayaan yang diterima dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang diterima oleh BUS atau UUS untuk memperoleh sumber pendanaan. 11. Giro atas Pemenuhan RIM yang selanjutnya disebut Giro RIM adalah saldo giro dalam Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia yang wajib dipelihara oleh BUK untuk pemenuhan RIM. 12. Giro atas Pemenuhan RIM Syariah yang selanjutnya disebut Giro RIM Syariah adalah saldo giro dalam Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia yang wajib dipelihara oleh BUS dan UUS untuk pemenuhan RIM Syariah. 13. Target RIM adalah kisaran RIM yang dibatasi oleh batas bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk perhitungan Giro RIM. 14. Target RIM Syariah adalah kisaran RIM Syariah yang dibatasi oleh batas bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk perhitungan Giro RIM Syariah. - 6 - 15. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya disebut KPMM adalah rasio hasil perbandingan antara modal terhadap aset tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum konvensional dan bank umum syariah. 16. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk perhitungan RIM atau RIM Syariah. 17. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter pengali yang digunakan dalam pemenuhan: a. Giro RIM bagi BUK yang memiliki RIM kurang dari batas bawah Target RIM; atau b. Giro RIM Syariah bagi BUS dan UUS yang memiliki RIM Syariah kurang dari batas bawah Target RIM Syariah. 18. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali yang digunakan dalam pemenuhan: a. Giro RIM bagi BUK yang memiliki RIM lebih dari batas atas Target RIM; atau b. Giro RIM Syariah bagi BUS dan UUS yang memiliki RIM Syariah lebih dari batas atas Target RIM Syariah. 19. Penyangga Likuiditas Makroprudensial yang selanjutnya disingkat PLM adalah cadangan likuiditas minimum dalam rupiah yang wajib dipelihara oleh BUK dalam bentuk surat berharga yang memenuhi persyaratan tertentu, yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK BUK dalam rupiah. - 7 - 20. Penyangga Likuiditas Makroprudensial Syariah yang selanjutnya disebut PLM Syariah adalah cadangan likuiditas minimum dalam rupiah yang wajib dipelihara oleh BUS dalam bentuk surat berharga syariah yang memenuhi persyaratan tertentu, yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK BUS dalam rupiah. 21. Indonesia Overnight Index Average yang selanjutnya disebut IndONIA adalah Indonesia Overnight Index Average sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Indonesia Overnight Index Average dan Jakarta Interbank Offered Rate. 22. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 23. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 24. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah Sertifikat Deposito Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 24A.Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SukBI adalah Sukuk Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter, dalam mata uang rupiah. 25. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat berharga yang terdiri atas surat utang negara dalam mata uang rupiah dan surat berharga syariah negara dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. - 8 - 26. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara, dalam mata uang rupiah. 27. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara atau sukuk negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara, dalam mata uang rupiah. 28. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut PUAS adalah pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah. 29. Sertifikat Investasi Mudarabah Antarbank yang selanjutnya disingkat SIMA adalah sertifikat investasi mudarabah antarbank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sertifikat investasi mudarabah antarbank. 30. Tingkat Indikasi Imbalan SIMA adalah rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA dalam rupiah yang terjadi di PUAS pada pasar perdana. 30A. Laporan Bulanan Bank Umum yang selanjutnya disebut LBU adalah laporan bulanan bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum. 30B. Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut LSMK BUS UUS adalah laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah. - 9 - 31. Laporan Berkala Bank Umum yang selanjutnya disingkat LBBU adalah laporan berkala bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. 32. Laporan Berkala Bank Umum bagi BUS dan UUS yang selanjutnya disebut LBBUS adalah laporan berkala bank umum bagi BUS dan UUS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. 33. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disingkat LHBU adalah laporan harian bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. 2. Ketentuan ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, dan huruf e serta ayat (2) huruf e dan huruf f Pasal 8 diubah, ayat (2) huruf g dan huruf h Pasal 8 dihapus, dan penjelasan Pasal 8 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 (1) Besaran dan parameter yang digunakan dalam pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah ditetapkan sebagai berikut: a. batas bawah Target RIM atau Target RIM Syariah sebesar 84% (delapan puluh empat persen); b. batas atas Target RIM atau Target RIM Syariah sebesar 94% (sembilan puluh empat persen); c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen); d. Parameter Disinsentif Bawah ditetapkan sebagai berikut: 1. sebesar 0 (nol), jika Bank memiliki: a) rasio kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto - 10 - lebih besar dari atau sama dengan 5% (lima persen); atau b) KPMM lebih kecil dari atau sama dengan KPMM Insentif; 2. sebesar 0,1 (nol koma satu), jika Bank memiliki: a) rasio kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto lebih kecil dari 5% (lima persen); dan b) KPMM lebih besar dari KPMM Insentif dan lebih kecil dari atau sama dengan 19% (sembilan belas persen); dan 3. sebesar 0,15 (nol koma lima belas), jika Bank memiliki: a) rasio kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto lebih kecil dari 5% (lima persen); dan b) KPMM lebih besar dari 19% (sembilan belas persen); dan e. Parameter Disinsentif Atas ditetapkan sebagai berikut: 1. sebesar 0 (nol), jika Bank memiliki KPMM lebih besar dari atau sama dengan KPMM Insentif; atau 2. sebesar 0,2 (nol koma dua), jika Bank memiliki KPMM lebih kecil dari KPMM Insentif. (2) Pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. dalam hal RIM berada dalam kisaran Target RIM maka Giro RIM ditetapkan sebesar 0% (nol persen) dari DPK BUK dalam rupiah; b. dalam hal RIM Syariah berada dalam kisaran Target RIM Syariah maka Giro RIM Syariah ditetapkan sebesar 0% (nol persen) dari DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah; - 11 - c. dalam hal RIM lebih kecil dari batas bawah Target RIM maka Giro RIM yaitu sebesar hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Bawah, selisih antara batas bawah Target RIM dan RIM, serta DPK BUK dalam rupiah; d. dalam hal RIM Syariah lebih kecil dari batas bawah Target RIM Syariah maka Giro RIM Syariah yaitu sebesar hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Bawah, selisih antara batas bawah Target RIM Syariah dan RIM Syariah, serta DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah; e. dalam hal RIM lebih besar dari batas atas Target RIM maka Giro RIM yaitu sebesar hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Atas, selisih antara RIM dan batas atas Target RIM, serta DPK BUK dalam rupiah; f. dalam hal RIM Syariah lebih besar dari batas atas Target RIM Syariah maka Giro RIM Syariah yaitu sebesar hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Atas, selisih antara RIM Syariah dan batas atas Target RIM Syariah, serta DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah; g. dihapus; dan h. dihapus. (3) Dalam hal terdapat perubahan besaran dan parameter RIM dan/atau RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan besaran dan parameter yang akan digunakan dalam pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 12 - 3. Ketentuan Pasal 9 tetap dan penjelasan ayat (1) huruf e Pasal 9 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal. 4. Ketentuan Pasal 10 tetap dan penjelasan ayat (1) huruf e Pasal 10 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal. 5. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10A (1) Kriteria pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima Bank dalam rupiah dan valuta asing, yang digunakan sebagai dasar perhitungan RIM atau RIM Syariah diatur sebagai berikut: a. pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima berbentuk pinjaman atau pembiayaan bilateral dan/atau pinjaman atau pembiayaan sindikasi; b. pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima tidak berupa pinjaman atau pembiayaan subordinasi, dana kelolaan, kewajiban sewa pembiayaan, dan/atau giro bersaldo kredit; c. pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima tidak termasuk pinjaman atau pembiayaan dari Bank dalam negeri; d. pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima memiliki sisa jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun; dan e. pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima dilakukan berdasarkan perjanjian. (2) Bagi BUK yang merupakan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan UUS dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, kriteria pinjaman yang diterima atau - 13 - pembiayaan yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri. (3) Dalam hal terdapat perubahan kriteria pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kriteria pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. 6. Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 13 diubah, di antara ayat (3) dan ayat (4) Pasal 13 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (3a), dan di antara ayat (4) dan ayat (5) Pasal 13 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4a) sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Data DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan Giro RIM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a diperoleh dari laporan mengenai dana pihak ketiga rupiah dan valuta asing dalam LBBU. (2) Data DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah untuk pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b diperoleh dari laporan mengenai dana pihak ketiga rupiah dan valuta asing dalam LBBUS. (3) Data kredit, DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing, surat berharga, pinjaman yang diterima, dan data kredit yang digunakan dalam perhitungan rasio kredit bermasalah untuk perhitungan RIM diperoleh dari: - 14 - a. LBBU, untuk data kredit dan DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing; b. laporan surat berharga, untuk data surat berharga korporasi yang dimiliki BUK, dan data surat berharga yang diterbitkan BUK; c. LBU, untuk data pinjaman yang diterima dan data kredit yang digunakan dalam perhitungan rasio kredit bermasalah; dan d. laporan pinjaman yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri, untuk data pinjaman yang diterima bagi BUK yang merupakan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. (3a) Bagi BUK yang merupakan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, data pinjaman yang diterima untuk perhitungan RIM diperoleh dari LBU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan laporan pinjaman yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d. (4) Data Pembiayaan, DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing, DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing, surat berharga syariah, pembiayaan yang diterima, dan data Pembiayaan yang digunakan dalam perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah untuk perhitungan RIM Syariah diperoleh dari: a. LBBUS, untuk data Pembiayaan, DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing, dan DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing; b. laporan surat berharga syariah, untuk data surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dan UUS, dan data surat berharga syariah yang diterbitkan BUS dan UUS; c. LSMK BUS UUS, untuk data pembiayaan yang diterima dan data Pembiayaan yang digunakan - 15 - dalam perhitungan rasio bermasalah; dan Pembiayaan d. laporan pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri, untuk data pembiayaan yang diterima bagi UUS dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. (4a) Bagi UUS dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, data pembiayaan yang diterima untuk perhitungan RIM Syariah diperoleh dari LSMK BUS UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dan laporan pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d. (5) KPMM BUK, KPMM BUS, atau KPMM BUK yang menjadi induk UUS untuk pemenuhan Giro RIM dan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu KPMM triwulanan hasil olahan sistem aplikasi yang diterima Bank Indonesia dari OJK. (6) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUK atau BUS maka yang berlaku yaitu KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber data untuk pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 16 - 7. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15A (1) BUK yang merupakan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib menyampaikan laporan pinjaman yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri kepada Bank Indonesia secara berkala sebagai dasar perhitungan RIM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3). (2) UUS dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib menyampaikan laporan pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri kepada Bank Indonesia secara berkala sebagai dasar perhitungan RIM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4). (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mencakup data pinjaman yang diterima atau data pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10A. (4) Kewajiban menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tetap berlaku bagi BUK yang merupakan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan UUS dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang: a. tidak memperoleh pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang - 17 - melakukan kegiatan operasional di luar negeri; atau b. memperoleh pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri namun tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10A, dengan isi laporan nihil. 8. Ketentuan ayat (1), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) Pasal 16 diubah, sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Laporan surat berharga Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan laporan pinjaman yang diterima serta laporan pembiayaan yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya bulan laporan. (2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila menyampaikan laporan setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan 5 (lima) hari kerja berikutnya. (3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila belum menyampaikan laporan sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Bank dapat melakukan koreksi atas laporan yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia. (5) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan melalui surat elektronik kepada Bank Indonesia. - 18 - (6) Dalam hal penyampaian laporan melalui surat elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan, Bank menyampaikan laporan dalam bentuk salinan lunak dan salinan keras kepada Bank Indonesia. (7) Perubahan tata cara penyampaian laporan dan penghentian kewajiban penyampaian laporan melalui surat elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diinformasikan oleh Bank Indonesia kepada Bank. (8) Tata cara penyampaian laporan atau koreksi laporan melalui surat elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan sampai dengan Bank Indonesia memperoleh data surat berharga Bank, data pinjaman yang diterima, dan data pembiayaan yang diterima dari LBU, LSMK BUS UUS, atau sistem aplikasi laporan lainnya. 9. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17A (1) Laporan pinjaman yang diterima dan laporan pembiayaan yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) pertama kali dilaporkan kepada Bank Indonesia untuk posisi bulan Oktober 2019. (2) Penyampaian laporan pertama kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 28 November 2019. (3) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan pertama kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila menyampaikan laporan setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan 5 (lima) hari kerja berikutnya. (4) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan pertama kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) - 19 - apabila belum menyampaikan laporan sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Ketentuan koreksi dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyampaian laporan pertama kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 10. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 serta laporan pinjaman yang diterima dan laporan pembiayaan yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. 11. Ketentuan Pasal 20 tetap dan penjelasan ayat (2) huruf a Pasal 20 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal. 12. Ketentuan ayat (3) Pasal 21 diubah, dan penjelasan ayat (3) huruf a Pasal 21 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal, sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 (1) Dalam kondisi tertentu, surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dapat digunakan dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam operasi pasar terbuka. (2) Bank Indonesia hanya memperhitungkan surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo - 20 - sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap transaksi repo yang dilakukan setelah kewajiban pemenuhan PLM atau PLM Syariah berlaku. (3) Penggunaan surat berharga BUK atau BUS dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. bagi BUK, ditetapkan paling banyak 4% (empat persen) dari DPK BUK dalam rupiah; dan b. bagi BUS, ditetapkan paling banyak 4% (empat persen) dari DPK BUS dalam rupiah. (4) Dalam hal terdapat perubahan besaran persentase penggunaan surat berharga BUK atau BUS yang dapat digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (3), perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan surat berharga BUK atau BUS yang dapat digunakan dalam transaksi repo diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. 13. Ketentuan ayat (1) huruf d Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 (1) Pemenuhan Giro RIM dan PLM bagi BUK dan pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah bagi BUS, yang melakukan penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut: a. pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan PLM Syariah tetap dilakukan secara terpisah sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan; b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan, pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, - 21 - dan PLM Syariah hanya dihitung untuk BUK atau BUS hasil penggabungan atau peleburan; c. pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan PLM Syariah untuk BUK atau BUS hasil penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dilakukan dengan menggunakan data gabungan BUK atau BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan sampai dengan data BUK atau BUS hasil penggabungan atau peleburan tersedia; d. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam huruf c, diatur sebagai berikut: 1. bagi BUK: a) untuk pemenuhan Giro RIM meliputi data kredit, DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing, saldo surat berharga korporasi yang dimiliki BUK, saldo surat berharga yang diterbitkan BUK, pinjaman yang diterima BUK, data kredit yang digunakan dalam perhitungan rasio kredit bermasalah, KPMM, DPK BUK dalam rupiah, dan saldo Rekening Giro Rupiah BUK; dan b) untuk pemenuhan PLM: 1) bagi BUK, meliputi data saldo rekening SBI, SDBI, SukBI, dan/atau SBN BUK, DPK BUK dalam rupiah, dan saldo Rekening Giro Rupiah BUK; dan 2) bagi BUK yang memiliki UUS, meliputi data saldo rekening SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN, DPK BUK dalam rupiah, DPK UUS dalam rupiah, saldo Rekening Giro Rupiah BUK, dan saldo Rekening Giro Rupiah UUS; dan - 22 - 2. bagi BUS: a) untuk pemenuhan Giro RIM Syariah meliputi data Pembiayaan BUS, DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing, saldo surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS, saldo surat berharga yang diterbitkan BUS, pembiayaan yang diterima BUS, data Pembiayaan yang digunakan dalam perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah, KPMM, DPK BUS dalam rupiah, dan saldo Rekening Giro Rupiah BUS; dan b) untuk pemenuhan PLM Syariah meliputi data saldo rekening SBIS, SukBI, dan/atau SBSN BUS, DPK BUS dalam rupiah, dan saldo Rekening Giro Rupiah BUS; e. data KPMM dalam data gabungan sebagaimana dimaksud dalam huruf d, diatur sebagai berikut: 1. bagi BUK, diperoleh dari BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh BUK atas penggabungan data yang digunakan dalam perhitungan KPMM masing-masing BUK sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan; dan 2. bagi BUS, diperoleh dari BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh BUS atas penggabungan data yang digunakan dalam perhitungan KPMM masing-masing BUS sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan; dan - 23 - f. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUK atau BUS sebagaimana dimaksud dalam huruf e maka yang berlaku yaitu KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan Giro RIM dan PLM bagi BUK serta Giro RIM Syariah dan PLM Syariah bagi BUS, yang melakukan penggabungan atau peleburan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. 14. Ketentuan ayat (1) huruf e Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 (1) Pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah terhadap BUS hasil pemisahan UUS dari BUK, diatur sebagai berikut: a. UUS tetap memenuhi Giro RIM Syariah UUS sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan pemisahan UUS menjadi BUS; b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan pemisahan UUS menjadi BUS, pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk BUS hasil pemisahan; c. sejak 1 (satu) tahun setelah tanggal efektif pelaksanaan pemisahan UUS menjadi BUS, pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk BUS hasil pemisahan; d. pemenuhan Giro RIM Syariah untuk BUS hasil pemisahan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilakukan dengan menggunakan data UUS, termasuk data KPMM BUK yang menjadi induk UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 - 24 - ayat (5), sampai dengan data BUS hasil pemisahan tersedia; e. data UUS sebagaimana dimaksud dalam huruf d untuk pemenuhan Giro RIM Syariah meliputi data Pembiayaan UUS, DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing, saldo surat berharga syariah korporasi yang dimiliki UUS, saldo surat berharga yang diterbitkan UUS, pembiayaan yang diterima UUS, data Pembiayaan yang digunakan dalam perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah UUS, KPMM BUK yang menjadi induk UUS, DPK UUS dalam rupiah, dan saldo Rekening Giro Rupiah UUS; dan f. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUK yang melakukan pemisahan UUS menjadi BUS maka yang berlaku yaitu KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah bagi BUS hasil pemisahan UUS dari BUK diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. 15. Ketentuan ayat (2) huruf a dan huruf b Pasal 29 diubah dan penjelasan ayat (2) Pasal 29 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal, sehingga Pasal 29 berbunyi sebagai berikut: Pasal 29 (1) Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan PLM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dikenai sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. sanksi kewajiban membayar. - 25 - (2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur sebagai berikut: a. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar hasil perkalian antara kekurangan Giro RIM, 125% (seratus dua puluh lima persen) dari IndONIA pada hari terjadinya pelanggaran, dan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk setiap hari pelanggaran; b. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar hasil perkalian antara kekurangan PLM, 125% (seratus dua puluh lima persen) dari IndONIA pada hari terjadinya pelanggaran, dan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk setiap hari pelanggaran; c. BUS yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar hasil perkalian antara kekurangan Giro RIM Syariah, 125% (seratus dua puluh lima persen) dari Tingkat Indikasi Imbalan SIMA pada hari terjadinya pelanggaran, dan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk setiap hari pelanggaran; d. BUS yang melanggar kewajiban pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar hasil perkalian antara kekurangan PLM Syariah, 125% (seratus dua puluh lima persen) dari Tingkat Indikasi Imbalan SIMA pada hari terjadinya pelanggaran, dan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk setiap hari pelanggaran; - 26 - e. UUS yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar hasil perkalian antara kekurangan Giro RIM Syariah, 125% (seratus dua puluh lima persen) dari Tingkat Indikasi Imbalan SIMA pada hari terjadinya pelanggaran, dan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk setiap hari pelanggaran; dan f. dalam hal data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA sebagaimana dimaksud dalam huruf c, huruf d, dan huruf e tidak tersedia, pengenaan sanksi dihitung berdasarkan rata-rata tingkat imbalan deposito investasi mudarabah berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan, pada bulan sebelumnya dari seluruh BUS atau UUS. 16. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Bank yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 17A ayat (3) dikenai sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan. (2) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 17A ayat (4) dikenai sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). - 27 - 17. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31 Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) tidak menghilangkan kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan surat berharga korporasi yang dimiliki dan laporan surat berharga yang diterbitkan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 serta laporan pinjaman yang diterima dan laporan pembiayaan yang diterima Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A. 18. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 36A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36A (1) Ketentuan mengenai perhitungan RIM dan RIM Syariah yang menambahkan unsur pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima mulai berlaku pada tanggal 2 Desember 2019. (2) Ketentuan mengenai Parameter Disinsentif Bawah mulai berlaku pada tanggal 2 Desember 2019. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 28 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 November 2019 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 November 2019 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 226 - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/ 12 /PBI/2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/4/PBI/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi di tengah stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan yang terjaga, Bank Indonesia melakukan penguatan fungsi intermediasi perbankan melalui penyempurnaan pengaturan mengenai RIM dan RIM Syariah, dengan tetap memperhatikan dampak risiko prosiklikal dan kondisi siklus keuangan yang masih berada di bawah level optimalnya. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk mendorong pertumbuhan intermediasi perbankan yang dilakukan dengan cara melakukan penyesuaian kisaran batas bawah dan batas atas yang digunakan dalam pemenuhan RIM dan RIM Syariah serta memperluas kapasitas perbankan dalam menyalurkan kredit atau pembiayaan. Seiring dengan semakin luasnya alternatif pendanaan bank, formulasi RIM dan RIM Syariah saat ini dinilai belum secara utuh menggambarkan kondisi penyaluran dana dan penghimpunan dana oleh bank. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyesuaian formulasi RIM dan RIM Syariah dengan menambahkan komponen pendanaan yaitu pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima, dan penyesuaian atas besaran parameter disinsentif dan kriteria prudensial batas bawah. - 2 - Penyesuaian formulasi RIM dan RIM Syariah dilakukan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian, dengan mendorong bank yang memiliki kualitas kredit atau kualitas Pembiayaan yang baik (rasio kredit atau Pembiayaan bermasalah rendah) dan ketahanan modal yang memadai (KPMM yang tinggi), untuk melakukan ekspansi kredit atau Pembiayaan. Upaya untuk melakukan penguatan fungsi intermediasi perbankan juga dilengkapi dengan dukungan terhadap pengelolaan likuiditas perbankan. Terkait dengan hal tersebut, penetapan besaran persentase penggunaan surat berharga yang dapat digunakan dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam operasi pasar terbuka pada instrumen PLM dan PLM Syariah sebesar 4% (empat persen) dipandang perlu untuk memberikan peningkatan fleksibilitas dan distribusi likuiditas. Sebagai bagian dari instrumen makroprudensial berbasis likuiditas, juga dilakukan penetapan SukBI sebagai salah satu surat berharga yang diperhitungkan dalam pemenuhan PLM dan PLM Syariah sehingga SukBI dapat menjadi alternatif manajemen likuiditas bagi perbankan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu disusun ketentuan bagi Bank mengenai instrumen kebijakan makroprudensial terkait intermediasi dan likuiditas dalam bentuk RIM dan PLM bagi BUK, BUS, dan UUS. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. - 3 - Huruf d Rasio kredit bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah kredit bermasalah dibandingkan dengan total kredit kepada pihak ketiga bukan bank. Yang dimaksud dengan “jumlah kredit bermasalah” adalah jumlah dari kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet, kepada pihak ketiga bukan bank. Rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah Pembiayaan bermasalah dibandingkan dengan total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank. Yang dimaksud dengan “jumlah Pembiayaan bermasalah” adalah jumlah dari Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet, kepada pihak ketiga bukan bank. Bagi BUK yang memiliki UUS, penghitungan rasio kredit bermasalah bagi BUK dilakukan secara terpisah dengan penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah bagi UUS. KPMM bagi UUS menggunakan KPMM dari BUK yang menjadi induk UUS. Huruf e KPMM bagi UUS menggunakan KPMM dari BUK yang menjadi induk UUS. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. - 4 - Angka 3 Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Lembaga pemeringkat dan peringkat yang diterbitkan merupakan lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai dengan ketentuan OJK. Huruf e Lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek dapat berkedudukan di dalam maupun di luar negeri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. - 5 - Huruf d Lembaga pemeringkat dan peringkat yang diterbitkan merupakan lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai dengan ketentuan OJK. Huruf e Lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek dapat berkedudukan di dalam maupun di luar negeri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 10A Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Untuk BUK, pinjaman yang diterima tidak berupa pinjaman subordinasi, dana kelolaan, kewajiban sewa pembiayaan (finance lease), dan/atau giro bersaldo kredit (overdraft). Untuk BUS dan UUS, pembiayaan yang diterima tidak berupa pembiayaan subordinasi dan dana kelolaan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang - 6 - sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri tidak berupa pinjaman yang diterima atau pembiayaan yang diterima sebagai komponen modal. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Data kredit, DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing, surat berharga, pinjaman yang diterima, dan data kredit yang digunakan dalam perhitungan rasio kredit bermasalah untuk perhitungan RIM yang digunakan sebagai dasar pemenuhan Giro RIM didasarkan pada: a. laporan mengenai neraca mingguan pada tanggal akhir periode data laporan dalam LBBU untuk data kredit dan DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing menggunakan posisi akhir tanggal laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya, yaitu: 1. RIM yang digunakan sebagai dasar pemenuhan Giro RIM untuk tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 didasarkan pada data kredit dan DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing pada akhir periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan 2. RIM yang digunakan sebagai dasar pemenuhan Giro RIM untuk tanggal 16 sampai dengan akhir bulan didasarkan pada data kredit dan DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing pada akhir periode laporan sejak - 7 - tanggal 24 sampai dengan akhir bulan sebelumnya. Kredit untuk perhitungan RIM merupakan kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk kredit kepada bank lain; b. laporan surat berharga untuk data: 1. surat berharga korporasi yang dimiliki BUK menggunakan posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya; dan 2. surat berharga yang diterbitkan BUK menggunakan posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya. Yang dimaksud dengan “laporan surat berharga” adalah laporan surat berharga BUK yang disampaikan kepada Bank Indonesia secara berkala sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini atau ditetapkan lain oleh Bank Indonesia; c. LBU untuk data pinjaman yang diterima dan data kredit yang digunakan dalam perhitungan rasio kredit bermasalah menggunakan posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya; dan d. laporan pinjaman yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri untuk data pinjaman yang diterima bagi BUK yang merupakan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri menggunakan posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya. Yang dimaksud dengan “laporan pinjaman yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri” adalah laporan yang disampaikan oleh BUK yang merupakan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di - 8 - luar negeri kepada Bank Indonesia secara berkala sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini atau ditetapkan lain oleh Bank Indonesia. Ayat (3a) Cukup jelas. Ayat (4) Data Pembiayaan, DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing, DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing, surat berharga syariah, pembiayaan yang diterima, dan data Pembiayaan yang digunakan dalam perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah untuk perhitungan RIM Syariah yang digunakan sebagai dasar pemenuhan Giro RIM Syariah didasarkan pada: a. laporan mengenai neraca mingguan pada tanggal akhir periode data laporan dalam LBBUS untuk data Pembiayaan, DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing, dan DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing menggunakan posisi akhir tanggal laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya, yaitu: 1. RIM Syariah yang digunakan sebagai dasar pemenuhan Giro RIM Syariah untuk tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 didasarkan pada data Pembiayaan dan DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing atau DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing pada akhir periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan 2. RIM Syariah yang digunakan sebagai dasar pemenuhan Giro RIM Syariah untuk tanggal 16 sampai dengan akhir bulan didasarkan pada data Pembiayaan dan DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing atau DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing pada akhir periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan akhir bulan sebelumnya. - 9 - Pembiayaan untuk perhitungan RIM Syariah merupakan Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing; b. laporan surat berharga syariah untuk data: 1. surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dan UUS menggunakan posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya; dan 2. surat berharga syariah yang diterbitkan BUS dan UUS menggunakan posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya. Yang dimaksud dengan “laporan surat berharga syariah” adalah laporan surat berharga BUS dan UUS yang disampaikan kepada Bank Indonesia secara berkala sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini atau ditetapkan lain oleh Bank Indonesia; c. LSMK BUS UUS untuk data pembiayaan yang diterima dan data Pembiayaan yang digunakan dalam perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah menggunakan posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya; dan d. laporan pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri untuk data pembiayaan yang diterima bagi UUS dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri menggunakan posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya. Yang dimaksud dengan “laporan pembiayaan yang diterima dari kantor pusat dan/atau kantor cabang bank yang sama yang melakukan kegiatan operasional di luar negeri” adalah laporan yang disampaikan oleh UUS dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri secara berkala sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini atau ditetapkan lain oleh Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “UUS dari kantor cabang - 10 - dari bank yang berkedudukan di luar negeri” adalah unit kerja syariah di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. Ayat (4a) Cukup jelas. Ayat (5) KPMM triwulanan menggunakan posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember dengan rincian sebagai berikut: a. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan untuk pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah bulan Juni, Juli, dan Agustus pada tahun yang sama; b. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan untuk pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah bulan September, Oktober, dan November pada tahun yang sama; c. KPMM pada posisi akhir bulan September digunakan untuk pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah bulan Desember pada tahun yang sama serta Januari dan Februari pada tahun berikutnya; dan d. KPMM pada posisi akhir bulan Desember digunakan untuk pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah bulan Maret, April, dan Mei pada tahun berikutnya. KPMM bagi UUS akan menggunakan KPMM BUK yang menjadi induk UUS. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. - 11 - Angka 7 Pasal 15A Cukup jelas. Angka 8 Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Koreksi laporan dapat dilakukan atas inisiatif Bank atau permintaan dari Bank Indonesia. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 9 Pasal 17A Cukup jelas. Angka 10 Pasal 18 Cukup jelas. Angka 11 Pasal 20 Ayat (1) Bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah DPK BUK dalam rupiah termasuk DPK UUS dalam rupiah. - 12 - Ayat (2) Huruf a Angka 1 Surat berharga yang dapat digunakan dalam operasi moneter antara lain SBI, SDBI, SukBI, dan/atau SBN. SBN terdiri atas SUN dan SBSN. Angka 2 Surat berharga yang dapat digunakan dalam operasi moneter syariah antara lain SBIS, SukBI, dan/atau SBSN. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Kewajiban pemenuhan PLM didasarkan pada DPK BUK dalam rupiah dengan periode laporan sebagai berikut: a. PLM untuk periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan b. PLM untuk periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya. - 13 - Huruf b Kewajiban pemenuhan PLM Syariah didasarkan pada DPK BUS dalam rupiah dengan periode laporan sebagai berikut: a. PLM Syariah untuk periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan b. PLM Syariah untuk periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 12 Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo termasuk surat berharga yang digunakan dalam - 14 - transaksi repo oleh UUS dalam operasi pasar terbuka syariah. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 13 Pasal 25 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUK atau BUS hasil penggabungan atau peleburan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 14 Pasal 27 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal pelaksanaan operasional BUS hasil pemisahan UUS dari BUK. - 15 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 15 Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Data IndONIA yaitu data IndONIA yang dipublikasikan pada situs web Bank Indonesia. Huruf b Data IndONIA yaitu data IndONIA yang dipublikasikan pada situs web Bank Indonesia. Huruf c Data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA diperoleh dari LHBU. Huruf d Data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA diperoleh dari LHBU. Huruf e Data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA diperoleh dari LHBU. Huruf f Data tingkat imbalan deposito investasi mudarabah berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan yang digunakan yaitu - 16 - rata-rata tingkat imbalan deposito mudarabah berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan yang tercatat pada LHBU. Angka 16 Pasal 30 Cukup jelas. Angka 17 Pasal 31 Cukup jelas. Angka 18 Pasal 36A Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6422
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 21/12/PBI/2019 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/4/PBI/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 25 November 2019 </set_date> <effective_date> 26 November 2019 </effective_date> <issued_date> 26 November 2019 </issued_date> <changed_reg> '20/4/PBI/2018' </changed_reg> <related_reg> '2/PERPPU/2008', '21/UU/2011', '23/UU/1999', '6/UU/2009', '20/4/PBI/2018' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 15 Pasal 29', 'Pasal I Angka 16 Pasal 30' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/ 9 /PBI/2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan kegiatan usahanya, bank harus mengelola risiko kredit dari pembiayaan (credit risk) dengan menjaga kualitas aktiva dan membentuk penyisihan penghapusan aktiva yang memadai; b. bahwa dengan terjaganya kualitas aktiva dapat lebih meningkatkan peranan perbankan syariah dalam pelaksanaan fungsi intermediasi; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, diperlukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang … - 2 - 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4647). MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4647) diubah sebagai berikut : 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut : BAB I … - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank asing yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 2. Unit Usaha Syariah, yang untuk selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja di kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan/atau unit syariah. 3. Aktiva Produktif adalah penanaman dana Bank baik dalam rupiah maupun valuta asing untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk pembiayaan, surat berharga syariah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening administratif, Sertifikat Wadiah Bank Indonesia serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. 4. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan/piutang yang dapat dipersamakan dengan itu berupa : a. transaksi investasi dalam akad Mudharabah dan/atau Musyarakah; b. transaksi sewa dalam akad Ijarah atau sewa dengan opsi perpindahan hak milik dalam akad Ijarah Muntahiyah bit Tamlik; c. transaksi jual beli dalam akad Murabahah, Salam, dan Istishna’; d. transaksi pinjam meminjam dalam akad Qardh; dan e. transaksi multijasa dengan menggunakan akad Ijarah atau Kafalah berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan nasabah pembiayaan yang mewajibkan nasabah pembiayaan untuk melunasi hutang/kewajibannya dan/atau menyelesaikan investasi mudharabah dan/atau… - 4 - dan/atau musyarakah dan hasil pengelolaannya sesuai dengan akad. 5. Mudharabah adalah penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan menggunakan metode bagi untung (profit sharing) atau metode bagi pendapatan (net revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. 6. Musyarakah adalah penanaman dana dari para pemilik dana/modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/modal berdasarkan bagian dana/modal masing-masing. 7. Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati. 8. Salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh. 9. Istishna’ adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan. 10. Ijarah adalah sewa menyewa atas suatu barang dan/atau jasa antara pemilik obyek sewa termasuk kepemilikan hak pakai atas obyek sewa dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang disewakan. 11. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik adalah sewa menyewa antara pemilik obyek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik obyek sewa baik dengan jual beli atau pemberian (hibah) pada saat tertentu sesuai akad sewa. 12. Qardh adalah pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. 13. Surat … - 5 - 13. Surat Berharga Syariah adalah surat bukti berinvestasi berdasarkan prinsip syariah yang lazim diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal antara lain obligasi syariah, sertifikat reksadana syariah dan surat berharga lainnya berdasarkan prinsip syariah. 14. Penempatan adalah penanaman dana Bank pada Bank lainnya dan/atau Bank Perkreditan Rakyat Syariah antara lain dalam bentuk giro dan/atau tabungan Mudharabah dan/atau Wadiah, deposito berjangka dan/atau tabungan Mudharabah, Pembiayaan yang diberikan, dan/atau bentuk- bentuk penempatan lainnya berdasarkan prinsip syariah. 15. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah atau jenis transaksi tertentu berdasarkan prinsip syariah yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah. 16. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal Bank dalam perusahaan nasabah untuk mengatasi kegagalan pembiayaan dan/atau piutang (debt to equity swap) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku, atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan nasabah. 17. Transaksi Rekening Administratif adalah komitmen dan kontinjensi (off balance sheet) berdasarkan prinsip syariah yang terdiri atas bank garansi, akseptasi/endosemen, Irrevocable Letter of Credit (L/C) yang masih berjalan, akseptasi wesel impor atas dasar L/C berjangka, standby L/C dan garansi lain berdasarkan prinsip syariah. 18. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan akad Wadiah. 19. Wadiah adalah penitipan dana atau barang dari pemilik dana atau barang pada penyimpan dana atau barang dengan kewajiban pihak yang menerima titipan … - 6 - titipan untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-waktu. 20. Perusahaan Yang Bergerak di Bidang Keuangan Syariah adalah Bank, Bank Perkreditan Rakyat Syariah, dan perusahaan di bidang keuangan lain berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku antara lain perusahaan sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan. 21. Proyeksi Pendapatan adalah perkiraan pendapatan yang akan diterima Bank dari nasabah atas Pembiayaan Mudharabah dan/atau Musyarakah dengan jumlah dan tanggal jatuh tempo yang disepakati antara Bank dan nasabah. 22. Realisasi Pendapatan adalah pendapatan yang diterima Bank dari nasabah atas Pembiayaan Mudharabah dan/atau Musyarakah. 23. Aktiva Non Produktif adalah aset Bank selain Aktiva Produktif yang memiliki potensi kerugian, antara lain dalam bentuk agunan yang diambil alih, properti terbengkalai, rekening antar kantor dan suspense account, serta persediaan. 24. Agunan yang Diambil Alih yang untuk selanjutnya disebut AYDA adalah aktiva yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank. 25. Rekening Antar Kantor adalah akun tagihan yang timbul dari transaksi antar kantor yang belum diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. 26. Suspense Account adalah akun yang digunakan untuk menampung transaksi yang tidak teridentifikasi atau tidak didukung dengan dokumentasi pencatatan yang memadai sehingga tidak dapat direklasifikasi dalam akun yang seharusnya. 27. Persediaan adalah akun sementara untuk menampung aktiva non kas sebelum diserahkan kepada nasabah pembiayaan dalam transaksi berdasarkan …. - 7 - berdasarkan akad Murabahah, Salam dan Istishna. 28. Penyisihan Penghapusan Aktiva yang selanjutnya disebut PPA adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu berdasarkan kualitas aktiva. 29. Penilai Independen adalah perusahaan penilai yang: a. Tidak ada keterkaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan dan keuangan baik dengan Bank maupun nasabah yang menerima fasilitas; b. Melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang; c. Menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang; d. Memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi sebagai perusahaan penilai; serta e. Tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang berwenang. 30. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam kegiatan penyediaan dana terhadap nasabah yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya dengan mengikuti ketentuan Bank Indonesia dan sesuai dengan prinsip syariah 2. Ketentuan Pasal 16 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (2) sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Kualitas Surat Berharga Pasar Uang Syariah ditetapkan Lancar apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Terdapat informasi tentang surat berharga tersebut secara transparan; b. Telah …. - 8 - b. Telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan c. Belum jatuh tempo. (2) Kualitas Surat Berharga Pasar Uang Syariah ditetapkan Macet apabila tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Kualitas Surat Berharga Syariah, selain Surat Berharga Pasar Uang Syariah, yang memiliki peringkat ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1) Memiliki peringkat investasi (investment grade) atau lebih tinggi yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir; 2) Telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan 3) Belum jatuh tempo; b. Kurang Lancar, apabila: 1) Memiliki peringkat investasi (investment grade) atau lebih tinggi yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir; 2) Terdapat penundaan pembayaran bagi hasil/marjin/fee berkala atau kewajiban lain sejenis; dan 3) Belum jatuh tempo; atau 1) Memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat di bawah peringkat investasi (investment grade) yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir; 2) Tidak … - 9 - 2) Tidak terdapat penundaan pembayaran bagi hasil/marjin/fee berkala atau kewajiban lain sejenis; dan 3) Belum jatuh tempo; c. Macet, apabila tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b. (4) Kualitas Surat Berharga Syariah, di luar Surat Berharga Pasar Uang Syariah, yang tidak memiliki peringkat ditetapkan sebagai berikut: a. Mengikuti kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, apabila diterbitkan oleh Bank; atau b. Mengikuti kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, apabila diterbitkan oleh nasabah. 3. Ketentuan Pasal 23 dihapus. 4. Ketentuan Pasal 24 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat baru yakni ayat (2) sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) Kualitas Penempatan ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila : 1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan 2) memenuhi persyaratan: i. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk akad Qardh, atau ii. dapat ditarik setiap saat untuk giro dan tabungan berdasarkan akad Wadiah, atau iii. tidak terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau bagi hasil untuk tabungan atau deposito berdasarkan akad Mudharabah, atau iv. tidak… - 10 - iv. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi dan/atau rasio Realisasi Pendapatan terhadap Proyeksi Pendapatan sama atau lebih besar dari 80% (delapan puluh perseratus) untuk Pembiayaan berdasarkan akad Mudharabah dan Musyarakah, atau v. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin untuk Pembiayaan berdasarkan akad Murabahah. b. Kurang Lancar, apabila: 1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan 2) memenuhi persyaratan: i. terdapat tunggakan pembayaran pokok sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk akad Qardh, atau ii. tidak dapat ditarik sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk giro dan tabungan berdasarkan akad Wadiah, atau iii. terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau bagi hasil sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk tabungan atau deposito yang berprinsip Mudharabah, atau iv. terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi sampai dengan 5 (lima) hari kerja dan/atau rasio Realisasi Pendapatan terhadap Proyeksi Pendapatan lebih besar dari 30% (tiga puluh perseratus) sampai dengan 80% (delapan puluh perseratus), atau rasio Realisasi Pendapatan terhadap Proyeksi Pendapatan sama atau lebih kecil dari 30% (tiga puluh perseratus) sampai dengan 3 (tiga) periode pembayaran, untuk Pembiayaan berdasarkan akad Mudharabah dan Musyarakah, atau v. terdapat … - 11 - v. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk Pembiayaan berdasarkan akad Murabahah. c. Macet, apabila: 1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku; 2) bank yang menerima Penempatan telah ditetapkan dan diumumkan sebagai bank dengan status dalam pengawasan khusus (special surveillance) atau bank telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha; 3) bank yang menerima Penempatan ditetapkan sebagai bank dalam likuidasi; dan/atau 4) memenuhi persyaratan: i. ii. terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk akad Qardh lebih dari 5 (lima) hari kerja, atau tidak dapat ditarik saat jangka waktu lebih dari 5 (lima) hari kerja untuk giro dan tabungan berdasarkan akad Wadiah , atau iii. terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau bagi hasil lebih dari 5 (lima) hari kerja untuk tabungan atau deposito berdasarkan akad Mudharabah, atau iv. terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi lebih dari 5 (lima) hari kerja dan/atau rasio Realisasi Pendapatan terhadap Proyeksi Pendapatan sama atau lebih kecil dari 30% (tiga puluh perseratus) lebih dari 3 (tiga) periode pembayaran untuk Pembiayaan berdasarkan akad Mudharabah dan Musyarakah, atau v. terdapat … - 12 - v. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin lebih dari 5 (lima) hari kerja untuk Pembiayaan berdasarkan akad Murabahah. (2) Kualitas Penempatan berupa Pembiayaan kepada Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dalam rangka Linkage Program dengan pola executing ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1) BPRS yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan 2) memenuhi persyaratan: i. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk akad Qardh, atau ii. dapat ditarik setiap saat untuk tabungan berdasarkan akad Wadiah, atau iii. tidak terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau bagi hasil untuk berdasarkan akad Mudharabah, atau iv. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi dan/atau rasio Realisasi Pendapatan terhadap Proyeksi Pendapatan sama atau lebih besar dari 80% (delapan puluh perseratus) untuk Pembiayaan berdasarkan akad Mudharabah dan Musyarakah, atau v. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin untuk Pembiayaan berdasarkan akad Murabahah. b. Kurang Lancar, apabila: 1) BPRS yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan tabungan atau deposito 2) memenuhi… - 13 - 2) memenuhi persyaratan: i. ii. terdapat tunggakan pembayaran pokok sampai dengan 30 (tiga puluh) hari untuk akad Qardh, atau tidak dapat ditarik sampai dengan 30 (tiga puluh) hari untuk tabungan berdasarkan akad Wadiah, atau iii. terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau bagi hasil sampai dengan 30 (tiga puluh) hari untuk tabungan atau deposito berdasarkan akad Mudharabah, atau iv. terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi sampai dengan 30 (tiga puluh) hari dan/atau rasio Realisasi Pendapatan terhadap Proyeksi Pendapatan lebih besar dari 30% (tiga puluh perseratus) sampai dengan 80% (delapan puluh perseratus), atau rasio Realisasi Pendapatan terhadap Proyeksi Pendapatan sama atau lebih kecil dari 30% (tiga puluh perseratus) sampai dengan 3 (tiga) periode pembayaran, untuk Pembiayaan berdasarkan akad Mudharabah dan Musyarakah, atau v. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin sampai dengan 30 (tiga puluh) hari untuk Pembiayaan berdasarkan akad Murabahah. c. Macet, apabila: 1) BPRS yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku; 2) BPRS yang menerima Penempatan telah ditetapkan dan diumumkan sebagai BPRS dengan status dalam pengawasan khusus (special surveillance) atau BPRS telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha; 3) BPRS yang menerima Penempatan ditetapkan sebagai BPRS dalam likuidasi; dan/atau 4) memenuhi … - 14 - 4) memenuhi persyaratan: i. ii. terdapat tunggakan pembayaran pokok lebih dari 30 (tiga puluh) hari untuk akad Qardh, atau tidak dapat ditarik lebih dari 30 (tiga puluh) hari untuk tabungan berdasarkan akad Wadiah, atau iii. terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau bagi hasil lebih dari 30 (tiga puluh) hari untuk tabungan atau deposito berdasarkan akad Mudharabah, atau iv. terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi lebih dari 30 (tiga puluh) hari dan/atau rasio Realisasi Pendapatan terhadap Proyeksi Pendapatan sama atau lebih kecil dari 30% (tiga puluh perseratus) lebih dari 3 (tiga) periode pembayaran untuk Pembiayaan berdasarkan akad Mudharabah dan Musyarakah, atau v. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin lebih dari 30 (tiga puluh) hari untuk Pembiayaan yang berprinsip Murabahah. 5. Diantara Pasal 24 dan 25, disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 24A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24A Kualitas tagihan akseptasi ditetapkan sebagai berikut: a. mengikuti kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah bank lain; atau b. mengikuti kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah nasabah. 6. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 … - 15 - Pasal 25 Kualitas Transaksi Rekening Administratif ditetapkan sebagai berikut : a. mengikuti kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 apabila pihak lawan transaksi (counterparty) dari Transaksi Rekening Administratif tersebut adalah bank lain yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; atau b. mengikuti kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 apabila pihak lawan transaksi (counterparty) dari Transaksi Rekening Administratif tersebut adalah nasabah. 7. Diantara Pasal 25 dan Pasal 26 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 25A, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25A (1) Penetapan kualitas Transaksi Rekening Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 tidak berlaku untuk kewajiban komitmen dan kontinjensi yang: a. dapat dibatalkan sewaktu-waktu tanpa syarat (unconditionally cancelled at any time) oleh Bank; atau b. dibatalkan secara otomatis oleh Bank apabila kondisi nasabah menurun menjadi Kurang Lancar, Diragukan atau Macet. (2) Bank yang memiliki kewajiban komitmen dan kontinjensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan klausula sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b kedalam perjanjian antara Bank dengan nasabah. 8. Ketentuan Pasal 26 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (2) sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 … - 16 - Pasal 26 (1) Penilaian atas kualitas Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya didasarkan pada kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c diberlakukan hanya untuk: a. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang berjumlah sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk 1 (satu) nasabah individual atau nasabah grup; b. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh Bank kepada nasabah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan jumlah: 1) di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah), bagi Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut: i. memiliki predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system) untuk risiko kredit dari pembiayaan (credit risk) “sangat memadai” (strong); ii. memiliki Tingkat Kesehatan Cukup Sehat atau paling kurang peringkat komposit 3; dan iii. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; 2) di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah), bagi Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut : i. memiliki predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system) untuk risiko kredit dari pembiayaan (credit risk) “dapat diandalkan” (acceptable); ii. memiliki Tingkat Kesehatan Cukup Sehat atau paling kurang peringkat komposit 3; dan iii. memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku. 2) Bagi … - 17 - (2) Bagi Unit Usaha Syariah (UUS), predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit dari pembiayaan (credit risk) mengacu kepada hasil penilaian UUS, sedangkan untuk penilaian rasio KPMM dan penilaian Tingkat Kesehatan mengacu kepada hasil penilaian bank induknya. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) tidak diberlakukan untuk Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan kepada 1 (satu) nasabah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan jumlah lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) yang merupakan: a. Pembiayaan yang direstrukturisasi; dan/atau b. Penyediaan dana kepada 50 (lima puluh) nasabah terbesar Bank. (4) Penetapan kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a tetap dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 46A dan Pasal 47. 9. Diantara Pasal 26 dan Pasal 27, disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 26A, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26A (1) Predikat penilaian atas kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit dari pembiayaan(credit risk), rasio KPMM dan penilaian Tingkat Kesehatan, yang digunakan dalam penilaian kualitas Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b dan ayat (2) didasarkan pada penilaian Bank Indonesia. (2) Penggunaan predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit dari pembiayaan (credit risk), rasio KPMM, dan penilaian Tingkat Kesehatan dalam penilaian kualitas Pembiayaan dan penyediaan… - 18 - penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat 1 huruf b dan ayat (2) dilakukan sebagai berikut: a. penilaian kualitas Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya untuk bulan Januari sampai dengan Juni menggunakan selambat- lambatnya posisi bulan September; dan b. penilaian kualitas Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya untuk bulan Juli sampai dengan Desember menggunakan selambat- lambatnya posisi bulan Maret. 10. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketujuh Pembiayaan dan Penyediaan Dana Lain di Daerah Tertentu Pasal 27 Pembiayaan dan penyediaan dana lain kepada nasabah dengan lokasi kegiatan usaha berada di daerah tertentu dengan jumlah sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) hanya didasarkan atas faktor penilaian kemampuan membayar. 11. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Bank wajib melakukan penilaian kembali terhadap AYDA atas dasar net realizable value : a. pada saat pengambilalihan agunan; dan b. pada masa-masa berikutnya setelah dilakukan pengambilalihan agunan. (2) Penetapan … - 19 - (2) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Penilai Independen, untuk AYDA dengan nilai Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau lebih. 12. Ketentuan Pasal 39 ayat (1) diubah sehingga Pasal 39 berbunyi sebagai berikut : Bagian Kedua Tatacara Pembentukan Pasal 39 (1) Pembentukan cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf a, berlaku sebagai berikut : a. ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 1 % (satu perseratus) dari seluruh Aktiva Produktif yang digolongkan Lancar; b. pembentukan cadangan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan untuk aktiva produktif dalam bentuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, surat berharga yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah, serta bagian aktiva produktif yang dijamin dengan jaminan pemerintah dan agunan tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a. (2) Cadangan khusus Penyisihan Penghapusan Aktiva ditetapkan sekurang- kurangnya sebesar: a. 5% (lima perseratus) dari Aktiva dengan kualitas yang digolongkan Dalam Perhatian Khusus setelah dikurangi nilai agunan; dan b. 15% (lima belas perseratus) dari Aktiva dengan kualitas yang digolongkan Kurang Lancar setelah dikurangi nilai agunan; dan c. 50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva dengan kualitas yang digolongkan Diragukan setelah dikurangi nilai agunan; dan d. 100% (seratus perseratus) dari Aktiva dengan kualitas yang digolongkan… - 20 - digolongkan Macet setelah dikurangi nilai agunan. (3) Kewajiban untuk membentuk PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi Aktiva Produktif untuk transaksi sewa berupa akad Ijarah atau transaksi sewa dengan perpindahan hak milik berupa akad Ijarah Muntahiyah bit Tamlik. (4) Bank wajib membentuk penyusutan/amortisasi untuk transaksi sewa, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Ijarah disusutkan/diamortisasi sesuai dengan kebijakan penyusutan Bank bagi aktiva yang sejenis; b. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik disusutkan sesuai dengan masa sewa. (5) Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan untuk Aktiva Produktif. 13. Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketiga Penilaian Agunan Pasal 41 Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA terdiri dari: a. Agunan tunai berupa Giro, tabungan, deposito, setoran jaminan dan/atau emas yang diblokir dan disertai dengan surat kuasa pencairan; b. Jaminan Pemerintah Indonesia sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku; c. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan/atau surat berharga dan/atau tagihan yang diterbitkan pemerintah; d. Surat Berharga Syariah yang memiliki peringkat investasi (investment grade) dan aktif diperdagangkan di bursa; e. Tanah… - 21 - e. Tanah, gedung, rumah tinggal, pesawat udara dan kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh ) meter kubik; f. Kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia; g. Mesin yang dianggap sebagai satu kesatuan dengan tanah dan diikat dengan hak tanggungan; h. Resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas resi gudang. 14. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42 Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada pembentukan PPA sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 dan Pasal 41 ditetapkan: a. paling tinggi sebesar 100% (seratus perseratus) untuk agunan tunai berupa giro, tabungan, deposito, setoran jaminan dan/atau emas yang diblokir disertai dengan surat kuasa pencairan; b. sebesar 100% (seratus perseratus) untuk jaminan Pemerintah Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. paling tinggi sebesar 100% (seratus perseratus) untuk agunan berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan surat berharga yang diterbitkan pemerintah ; d. paling tinggi sebesar 50% (lima puluh perseratus) untuk agunan berupa Surat Berharga Syariah yang aktif diperdagangkan di bursa atau memiliki peringkat investasi dan/atau resi gudang; e. paling tinggi sebesar: 1) 70% (tujuh puluh perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang dilakukan sebelum melampaui 12 (dua belas) bulan; 2) 50%… - 22 - 2) 50% (lima puluh perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang dilakukan setelah 12 (dua belas) bulan tetapi belum melampaui 18 (delapan belas) bulan; 3) 30% (tiga puluh perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang dilakukan setelah melampaui 18 (delapan belas) bulan tetapi belum melampaui 30 (tiga puluh) bulan; 4) 0% (nol perseratus) dari penilaian, untuk penilaian yang dilakukan setelah melampaui 30 (tiga puluh) bulan. untuk agunan berupa tanah, gedung, rumah tinggal, pesawat udara, kapal laut, kendaraan bermotor, persediaan, mesin yang dianggap sebagai satu kesatuan dengan tanah dan diikat dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf g, dan resi gudang sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 huruf h. 15. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 Penilaian terhadap agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 wajib dilakukan : a. dengan menggunakan nilai pasar yang tercatat dipasar modal pada akhir bulan untuk Surat Berharga Syariah yang aktif diperdagangkan di bursa; b. berdasarkan nilai wajar untuk tanah dan rumah tinggal ; c. berdasarkan nilai wajar untuk gedung, pesawat udara, kapal laut, kendaraan, persediaan dan mesin yang dianggap sebagai satu kesatuan dengan tanah dan diikat dengan hak tanggungan; d. berdasarkan nilai yang ditentukan oleh pihak atau lembaga yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk resi gudang. 16. Ketentuan … - 23 - 16. Ketentuan Pasal 46 diubah dengan ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (6) sehingga Pasal 46 berbunyi sebagai berikut: BAB VI RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN Pasal 46 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Restrukturisasi Pembiayaan, sebagai berikut: a. Kebijakan restrukturisasi wajib disetujui oleh Komisaris; b. Prosedur pelaksanaan restrukturisasi wajib disetujui paling kurang oleh Direksi; c. Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan restrukturisasi; d. Kebijakan dan prosedur pelaksanaan restrukturisasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (2) Bank hanya dapat melakukan Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Nasabah telah atau diperkirakan mengalami penurunan atau kesulitan kemampuan dalam pembayaran dan/atau pemenuhan kewajibannya; dan b. Nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. (3) Upaya dan mekanisme restrukturisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilakukan dengan mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia dan sesuai prinsip syariah. (4) Penggolongan kualitas atas Pembiayaan yang direstrukturisasi adalah sebagai berikut: a. Paling … - 24 - a. Paling tinggi Kurang Lancar untuk Pembiayaan yang sebelum direstrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet; b. Kualitas tidak berubah untuk Pembiayaan yang sebelum direstrukturisasi tergolong Lancar, Dalam Perhatian Khusus atau Kurang Lancar. (5) Kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat: a. Menjadi Lancar, apabila tidak terjadi tunggakan angsuran pokok dan/atau bagi hasil/marjin/fee atau kewajiban lain yang sejenis selama 3 (tiga) kali periode pembayaran berturut-turut dan/atau secepat-cepatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan; atau b. Kembali sesuai dengan kualitas sebelum dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan atau kualitas sebenarnya apabila lebih buruk sesuai dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atau jika debitur tidak memenuhi kriteria dan/atau syarat-syarat dalam perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan dan/atau pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan tidak didukung dengan analisis dan dokumentasi yang memadai. (6) Penetapan kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi sampai dengan jumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) didasarkan atas kemampuan membayar. 17. Diantara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan satu pasal yakni Pasal 46A, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46A (1) Penilaian kualitas Pembiayaan yang telah direstrukturisasi, wajib dilakukan kembali sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam… - 25 - dalam Pasal 9 paling lambat 1 (satu) tahun sejak penetapan kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (4). (2) Penilaian kualitas Pembiayaan yang tidak memenuhi kriteria dan/atau syarat-syarat dalam perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5) huruf b wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. 18. Ketentuan Pasal 50 ayat (1) diubah sehingga Pasal 50 berbunyi sebagai berikut: BAB VIII SANKSI Pasal 50 (1) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 4,Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), Pasal 12 ayat (5), Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14, Pasal 17, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 45 ayat (3), Pasal 46 ayat (1) sampai dengan ayat (3), Pasal 46A, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 55 dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau c. penggantian pengurus. (2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 17 wajib membentuk PPA sebesar 100% (seratus perseratus) terhadap Aktiva dimaksud. Pasal II … - 26 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal : 18 Juni 2007 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 77 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/9/PBI/2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH UMUM Dalam rangka memelihara kesinambungan usahanya, bank harus mengelola risiko kredit dari pembiayaannya (credit risk) pada tingkat yang memadai sehingga dapat meminimalisasi potensi kerugian dari pembiayaan. Pengelolaan risiko dari pembiayaan tersebut dilakukan antara lain dengan selalu menjaga kualitas dari pembiayaan berupa terjaganya kualitas aktiva dan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva yang memadai. Dengan pengelolaan risiko secara baik yang tercermin dengan terjaganya kualitas aktiva dan tersedianya penyisihan penghapusan secara memadai, bank diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam melaksanakan fungsi intermediasi perbankan. PASAL DEMI PASAL Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Pasal 16 Ayat (1) Termasuk dalam kelompok Surat Berharga Pasar Uang Syariah antara lain adalah Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (SIMA) … - 2 - (SIMA) dan Obligasi Syariah. Huruf a Yang dimaksud dengan transparan adalah tersedianya informasi mengenai surat berharga dalam sistem informasi yang ada di Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Surat Berharga Syariah selain Surat Berharga Pasar Uang Syariah antara lain Obligasi Syariah dan surat berharga yang dihubungkan dengan aset tertentu berdasarkan prinsip syariah. Yang dimaksud dengan peringkat investasi (investment grade) dan lembaga pemeringkat yaitu peringkat dan lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai Lembaga Pemeringkat dan Peringkat. Ayat (4) Surat berharga yang berdasarkan karakteristiknya tidak memiliki peringkat antara lain adalah medium term note dan pengambilalihan wesel ekspor. Angka 3 … - 3 - Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 24 Rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) sesuai dengan ketentuan yang berlaku adalah rasio KPMM yang ditetapkan Bank Indonesia untuk bank di dalam negeri atau otoritas yang berwenang untuk bank di luar negeri. Rasio KPMM didasarkan pada laporan keuangan publikasi terakhir sesuai dengan periode yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang. Apabila laporan keuangan publikasi terakhir atau data KPMM pada laporan keuangan publikasi terakhir tidak tersedia, bank dianggap memiliki KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku. Yang dimaksud dengan Linkage Program adalah kerja sama antara Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat termasuk didalamnya Bank dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah, dalam menyalurkan Pembiayaan kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Linkage Program dengan pola executing adalah pinjaman yang diberikan dari Bank kepada Bank Perkreditan Rakyat Syariah dalam rangka pembiayaan untuk diteruspinjamkan kepada nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil. Angka 5 Pasal 24A Yang dimaksud dengan tagihan akseptasi adalah tagihan yang timbul sebagai akibat akseptasi yang dilakukan terhadap wesel berjangka. Angka 6 … - 4 - Angka 6 Pasal 25 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 25A Cukup jelas. Angka 8 Pasal 26 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan penyediaan dana lainnya adalah penerbitan jaminan dan/atau pembukaan letter of credit. Huruf b Pengertian Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Definisi Usaha Kecil saat ini antara lain diatur dalam Undang-Undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, yaitu usaha yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah); c. milik Warga Negara Indonesia; d. berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi … - 5 - berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar; e. berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi. Definisi Usaha Menengah saat ini antara lain diatur dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No.10 tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah, yaitu usaha yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; b. milik Warga Negara Indonesia; c. berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar; d. berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, dan/atau badan usaha yang berbadan hukum. Angka 1) dan Angka 2) Huruf i Kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system) mengacu ke ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank … - 6 - Bank Umum yang meliputi: 1. pengawasan aktif Komisaris dan Direksi bank; 2. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit; 3. kecukupan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan sistem informasi manajemen risiko; dan 4. sistem pengendalian intern yang komprehensif, Predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit dari pembiayaan (credit risk) yang sangat memadai (strong) tercermin dari diterapkannya seluruh komponen sistem pengendalian risiko kredit dari pembiayaan (credit risk) tersebut secara efektif dalam memelihara kondisi internal bank yang sehat. Apabila terdapat kelemahan dalam penerapan sistem pengendalian tersebut, maka kelemahan tersebut tidak bersifat material terhadap risiko kredit dari pembiayaan (credit risk) secara keseluruhan dan dapat segera dilakukan tindakan perbaikan sehingga tidak menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap kondisi bank. Sedangkan untuk risiko kredit dari pembiayaan (credit risk) yang dapat diandalkan (acceptable) dicerminkan melalui diterapkannya seluruh komponen sistem pengendalian risiko kredit dari pembiayaan (credit risk) secara cukup efektif dalam memelihara kondisi internal Bank yang sehat. Apabila terdapat kelemahan dalam penerapan sistem pengendalian tersebut, maka kelemahan tersebut tidak bersifat material terhadap risiko kredit dari pembiayaan (credit risk) dan apabila tidak … - 7 - tidak segera dilakukan tindakan korektif dapat menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap kondisi Bank. Huruf ii Penilaian Tingkat Kesehatan mengacu pada ketentuan yang berlaku. Huruf iii Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan 50 (lima puluh) nasabah terbesar adalah 50 (lima puluh) nasabah Bank secara individual. Bagi UUS yang dimaksud dengan 50 (lima puluh ) nasabah terbesar adalah 50 (lima puluh) nasabah secara individual yang ada di UUS. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 9 Pasal 26A Ayat (1) Penilaian Tingkat Kesehatan mengacu kepada ketentuan yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 10… - 8 - Angka 10 Pasal 27 Pembiayaan dan penyediaan dana lain kepada nasabah dengan lokasi kegiatan usaha berada di daerah tertentu adalah Pembiayaan dan penyediaan dana lain dari Bank untuk investasi dan/atau modal kerja di daerah tertentu yang menurut penilaian Bank Indonesia memerlukan penanganan khusus untuk mendorong pembangunan ekonomi di daerah yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Pembiayaan dan penyediaan dana di daerah tertentu. Angka 11 Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan net realizable value adalah nilai wajar AYDA yang diperoleh dari estimasi harga pasar dikurangi estimasi biaya pelepasan. Yang dimaksud dengan masa-masa berikutnya setelah dilakukan pengambilalihan AYDA antara lain pada saat pemeriksaan keuangan tahunan yang dilakukan oleh Akuntan Publik. Ayat (2) AYDA dengan nilai di bawah Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dapat menggunakan penilai intern Bank. Angka 12 Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 9 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Penyusutan dan/atau amortisasi untuk Ijarah dan/atau Ijarah Muntahiyah bit Tamlik dilakukan dengan mengacu kepada standar akuntansi keuangan yang berlaku untuk bank syariah. Kebijakan penyusutan yang dipilih harus mencerminkan pola konsumsi yang diharapkan dari manfaat ekonomi di masa depan dari objek Ijarah. Ayat (5) Cukup jelas Angka 13 Pasal 41 Huruf a Yang dimaksud giro, tabungan dan deposito adalah termasuk giro, tabungan dan deposito di bank umum konvensional. Huruf b Yang dimaksud dengan Pemerintah Indonesia adalah pemerintah pusat. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Peringkat investasi (investment grade) didasarkan pada peringkat dalam satu tahun terakhir yang diakui oleh Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat. Apabila peringkat yang diterbitkan … - 10 - diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam satu tahun terakhir tidak tersedia maka surat berharga dianggap tidak memiliki peringkat. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Pengikatan agunan secara fidusia harus sesuai dengan ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud. Huruf g Pengikatan agunan secara hak tanggungan harus sesuai dengan ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud. Pemasangan hak tanggungan atas tanah beserta mesin yang berada diatasnya harus dicantumkan dengan jelas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Huruf h Yang dimaksud dengan resi gudang adalah resi gudang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang dan peraturan perundang- undangan lainnya. Hak jaminan atas resi gudang adalah hak jaminan yang dibebankan pada resi gudang untuk pelunasan utang, yang memberikan kedudukan untuk diutamakan bagi penerima hak jaminan terhadap kreditor yang lain. Angka 14… - 11 - Angka 14 Pasal 42 Huruf a Untuk agunan berupa giro, tabungan dan deposito yang berada di bank umum konvensional yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang agunan hanya pokok simpanan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan Penilaian adalah pernyataan tertulis dari Penilai Independen atau penilai intern Bank mengenai taksiran dan pendapat atas nilai ekonomis dari agunan berupa aktiva tetap berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta objektif dan relevan menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum yang ditetapkan oleh asosiasi dan instansi yang berwenang. Angka 15 Pasal 43 Yang dimaksud dengan nilai wajar adalah mengacu kepada standar akuntansi keuangan yang berlaku. Angka 16… - 12 - Angka 16 Pasal 46 Ayat (1) Yang dimaksud kebijakan dan prosedur tertulis antara lain pejabat dan satuan kerja yang berwenang terhadap proses restrukturisasi, dan proses analisis penyediaan dana yang akan direstrukturisasi serta laporan restrukturisasi secara berkala. Ayat (2) Dalam hal Bank memperkirakan kondisi usaha nasabah mengalami penurunan atau kesulitan kemampuan dalam pembayaran atau pemenuhan kewajibannya, harus didukung oleh analisa dan bukti-bukti yang memadai serta terdokumentasi dengan baik. Ayat (3) Yang dimaksud sesuai dengan prinsip syariah antara lain mengacu kepada fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan/atau bagi hasil/marjin/fee kurang dari 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas menjadi Lancar dapat dilakukan secepat-cepatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak dilakukan restrukturisasi. Huruf b… - 13 - Huruf b Cukup jelas. Ayat (6) Pembiayaan yang direstrukturisasi mencakup Pembiayaan kepada Usaha Kecil dan Menengah maupun Non Usaha Kecil dan Menengah. Angka 17 Pasal 46A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 18 Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4733
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 9/9/PBI/2007 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 18 Juni 2007 </set_date> <effective_date> 18 Juni 2007 </effective_date> <changed_reg> '8/21/PBI/2006' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '8/21/PBI/2006', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 18 BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA Nomor: 7/3/PBI/2005 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa konsentrasi penyediaan dana bank kepada peminjam atau suatu kelompok peminjam merupakan salah satu penyebab kegagalan usaha bank; b. bahwa dalam rangka menghindari kegagalan usaha bank sebagai akibat konsentrasi penyediaan dana, bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana antara lain dengan menerapkan penyebaran/ diversifikasi portofolio penyediaan dana yang diberikan; c. bahwa inovasi perbankan menyebabkan berkembangnya jenis penyediaan dana yang struktur risikonya semakin kompleks; d. bahwa dalam melaksanakan perannya dalam perekonomian, bank perlu melakukan langkah-langkah untuk dapat mendukung pertumbuhan ekonomi, termasuk membiayai sektor riil, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian; e. bahwa … - 2 - e. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan tentang batas maksimum pemberian kredit bank Indonesia; Mengingat : a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM. BAB I … umum dalam suatu Peraturan Bank - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya disebut dengan BMPK adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal Bank. 3. Penyediaan Dana adalah penanaman dana Bank dalam bentuk: a. kredit; b. surat berharga; c. penempatan; d. e. f. g. h. i. j. surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali; tagihan akseptasi; derivatif kredit (credit derivative); transaksi rekening administratif; tagihan derivatif; potential future credit exposure; penyertaan modal; k. penyertaan modal sementara; l. bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan huruf a sampai dengan huruf k. 4. Modal … - 4 - 4. Modal adalah: a. modal inti dan modal pelengkap bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia; atau b. dana bersih kantor pusat dan kantor-kantor cabang lainnya di luar negeri (Net Head Office Fund), bagi kantor cabang bank asing, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. 5. Pihak Terkait adalah perseorangan atau perusahaan/badan yang mempunyai hubungan pengendalian dengan Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan atau keuangan. 6. Pelanggaran BMPK adalah selisih lebih antara persentase BMPK yang diperkenankan dengan persentase Penyediaan Dana terhadap Modal Bank pada saat pemberian Penyediaan Dana. 7. Pelampauan BMPK adalah selisih lebih antara persentase BMPK yang diperkenankan dengan persentase Penyediaan Dana terhadap Modal Bank pada saat tanggal laporan dan tidak sebagaimana dimaksud pada angka 6. termasuk Pelanggaran BMPK 8. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: a. cerukan (overdraft) yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. 9. Surat … - 5 - 9. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang. 10. Penempatan adalah penanaman dana Bank pada bank lain, dalam bentuk giro, interbank call money, deposito berjangka, sertifikat deposito, kredit, dan penanaman dana lainnya yang sejenis. 11. Surat Berharga Yang Dibeli Dengan Janji Dijual Kembali adalah pembelian Surat Berharga dari pihak lain yang dilengkapi dengan perjanjian untuk menjual kembali kepada pihak lain tersebut pada akhir periode dengan harga atau imbalan yang telah disepakati sebelumnya (reverse repurchase agreement). 12. Tagihan Akseptasi adalah tagihan yang timbul sebagai akibat akseptasi yang dilakukan terhadap wesel berjangka. 13. Tagihan Derivatif adalah tagihan karena potensi keuntungan dari suatu perjanjian/kontrak transaksi derivatif (selisih positif antara nilai kontrak dengan nilai wajar transaksi derivatif pada tanggal laporan), termasuk potensi keuntungan karena mark to market dari transaksi spot yang masih berjalan. 14. Potential Future Credit Exposure adalah seluruh potensi keuntungan dari suatu perjanjian/kontrak transaksi derivatif selama umur kontrak, yang ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari nilai nosional perjanjian/kontrak transaksi derivatif tersebut. 15. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada bank atau perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti perusahaan sewa guna usaha … - 6 - usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada bank dan atau perusahaan yang bergerak di bidang keuangan lainnya. 16. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal oleh Bank pada perusahaan peminjam untuk mengatasi kegagalan kredit (debt to equity swap), termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan peminjam. 17. Transaksi Rekening Administratif adalah kewajiban komitmen dan kontinjensi yang antara lain meliputi penerbitan jaminan, letter of credit (L/C), stand-by letter of credit (SBLC), dan atau kewajiban komitmen dan kontinjensi lain, kecuali fasilitas Kredit yang belum ditarik. 18. Peminjam adalah nasabah perorangan atau perusahaan / badan yang memperoleh Penyediaan Dana dari Bank, termasuk: a. debitur, untuk Penyediaan Dana berupa Kredit; b. penerbit Surat Berharga, pihak yang menjual Surat Berharga, manajer investasi kontrak investasi kolektif, dan atau reference entity, untuk Penyediaan Dana berupa Surat Berharga; c. pihak yang mengalihkan risiko kredit (protection buyer) dan atau reference entity, untuk Penyediaan Dana berupa derivatif kredit (credit derivatives); d. pemohon … - 7 - d. pemohon (applicant), untuk Penyediaan Dana berupa jaminan (guarantee), letter of credit (L/C), standby letter of credit (SBLC), atau instrumen serupa lainnya; e. pihak tempat Bank melakukan Penyertaan Modal (investee), untuk Penyediaan Dana berupa Penyertaan Modal; f. Bank atau debitur, untuk Penyediaan Dana berupa tagihan akseptasi; g. h. pihak lain yang wajib melunasi tagihan kepada Bank. 19. Reference Entity adalah pihak yang berutang atau mempunyai kewajiban membayar (obligor) dari aset yang yang mendasari (underlying reference asset), termasuk: a. b. pihak yang berkewajiban untuk melunasi piutang dari kredit atau tagihan yang dialihkan dan ditetapkan sebagai aset yang mendasari (underlying reference asset). 20. Komisaris: a. bagi perusahaan berbentuk hukum perseroan terbatas adalah Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi perusahaan berbentuk hukum perusahaan daerah adalah c. bagi Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; perusahaan berbentuk hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 Tahun … pihak lawan transaksi (counterparty), untuk Penyediaan Dana berupa Penempatan dan transaksi derivatif; penerbit dari Surat Berharga yang ditetapkan sebagai aset yang mendasari (underlying reference asset); - 8 - Tahun 1992 tentang Perkoperasian, termasuk pejabat yang ditunjuk untuk melakukan fungsi pengawasan. 21. Direksi: a. bagi perusahaan berbentuk hukum perseroan terbatas adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi perusahaan berbentuk hukum perusahaan daerah adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi perusahaan berbentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, termasuk pejabat yang mempunyai wewenang sebagaimana Direksi. 22. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada Direksi atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional perusahaan. Pasal 2 (1) Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam memberikan Penyediaan Dana, khususnya Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait dan atau Penyediaan Dana besar (large exposures). (2) Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank wajib memiliki pedoman kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait dan atau Penyediaan Dana besar (large exposures). (3) Pedoman … hukum koperasi adalah pengurus - 9 - (3) Pedoman kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait dan Penyediaan Dana besar (large exposures) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling kurang mencakup: a. standar dan kriteria untuk melakukan seleksi dan penilaian kelayakan Peminjam dan kelompok Peminjam; b. standar dan kriteria untuk penetapan batas (limit) Penyediaan Dana; c. d. sistem informasi manajemen Penyediaan Dana; sistem pemantauan terhadap Penyediaan Dana; dan e. penetapan langkah pengendalian untuk mengatasi konsentrasi Penyediaan Dana. (4) Pedoman kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling kurang sama atau lebih berhati-hati (prudent) dibandingkan dengan pelaksanaan manajemen risiko kredit secara umum. kebijakan dan prosedur (5) Pedoman kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dikaji ulang secara periodik paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. (6) Pedoman kebijakan dan prosedur tentang Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan, prosedur, dan penetapan risiko kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Pasal 3 Bank dilarang: a. membuat suatu perikatan atau perjanjian atau menetapkan persyaratan yang mewajibkan … - 10 - mewajibkan Bank untuk memberikan Penyediaan Dana yang mengakibatkan terjadinya Pelanggaran BMPK; dan b. memberikan Penyediaan Dana yang mengakibatkan Pelanggaran BMPK. BAB II BMPK KEPADA PIHAK TERKAIT Pasal 4 Seluruh portofolio Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait dengan Bank ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh perseratus) dari Modal Bank. Pasal 5 (1) Bank dilarang memberikan Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait yang bertentangan dengan prosedur umum Penyediaan Dana yang berlaku. (2) Bank dilarang memberikan Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait tanpa persetujuan dewan Komisaris Bank. (3) Bank dilarang membeli aktiva berkualitas rendah dari Pihak Terkait. (4) Apabila kualitas Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait menurun menjadi kurang lancar, diragukan, atau macet, Bank wajib mengambil langkah- langkah penyelesaian untuk memperbaiki antara lain dengan cara: a. b. melakukan restrukturisasi kredit sejak turunnya kualitas Penyediaan Dana. akan pelunasan kredit selambat-lambatnya dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak turunnya kualitas Penyediaan Dana; dan atau Pasal 6 … - 11 - Pasal 6 (1) Penyediaan Dana kepada Peminjam yang bukan merupakan Pihak Terkait yang disalurkan dan atau digunakan untuk keuntungan Pihak Terkait digolongkan sebagai Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait. (2) Peminjam yang bukan merupakan Pihak Terkait yang menerima Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan sebagai Pihak Terkait. Pasal 7 Dalam hal Bank akan memberikan Penyediaan Dana dalam bentuk Penyertaan Modal yang mengakibatkan pihak tempat Bank melakukan Penyertaan Modal (investee) menjadi Pihak Terkait, Bank wajib memastikan: a. rencana Penyediaan Dana tersebut tidak melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; b. Penyediaan Dana yang akan dan telah diberikan kepada investee tersebut setelah ditambah dengan seluruh portfolio Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait yang telah ada tidak melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; c. persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipenuhi. Pasal 8 (1) Pihak Terkait meliputi: a. perseorangan atau perusahaan/badan yang merupakan pengendali Bank; b. perusahaan/badan dimana Bank bertindak sebagai pengendali; c. perseorangan … - 12 - c. perseorangan atau perusahaan/badan lain yang bertindak sebagai pengendali dari perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf b; d. perusahaan dimana: 1) perseorangan dan atau perusahaan/badan sebagaimana dimaksud pada huruf a bertindak sebagai pengendali; 2) perseorangan dan atau perusahaan/badan sebagaimana dimaksud pada huruf c bertindak sebagai pengendali; e. Komisaris, Direksi, dan Pejabat Eksekutif Bank; f. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, baik horisontal maupun vertikal: 1) dari perseorangan yang merupakan pengendali Bank sebagaimana dimaksud pada huruf a; 2) dari Komisaris, Direksi, dan Pejabat Eksekutif pada Bank sebagaimana dimaksud pada huruf e. g. Komisaris, Direksi, dan Pejabat Eksekutif pada perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan atau huruf d; h. perusahaan/badan yang Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutifnya merupakan: 1) Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif pada Bank; 2) Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif pada perusahaan/badan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan atau huruf d; i. perusahaan/badan dimana: 1) Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif Bank sebagaimana dimaksud pada huruf e bertindak sebagai pengendali; 2) Komisaris … - 13 - 2) Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan atau huruf d, bertindak sebagai pengendali; j. perusahaan/badan yang memiliki ketergantungan keuangan (financial interdependence) dengan Bank dan atau pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan atau huruf i; k. kontrak investasi kolektif dimana Bank dan atau pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan atau huruf i, memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham pada manajer investasi kontrak investasi kolektif tersebut; l. Peminjam berupa perseorangan atau perusahaan/badan bukan bank yang memberikan jaminan kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf k; m. Peminjam yang diberikan jaminan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf k; n. bank lain yang memberikan jaminan kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf k sepanjang terdapat counterguarantee dari Bank dan atau pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf k kepada bank lain tersebut. (2) Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c adalah apabila perseorangan atau perusahaan/badan secara langsung atau tidak langsung: a. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham Bank atau perusahaan/badan lain; b. memiliki … - 14 - b. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham yang apabila digunakan akan menyebabkan pihak tersebut memiliki dan atau mengendalikan secara sendiri atau bersama-sama 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham Bank atau perusahaan/badan lain; c. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank atau perusahaan/badan lain (acting in concert), dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama-sama memiliki dan atau mengendalikan 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham Bank atau perusahaan/badan lain; d. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank atau perusahaan/badan (acting in concert), dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain tersebut, sehingga secara bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham, yang apabila hak tersebut dilaksanakan menyebabkan pihak-pihak tersebut memiliki dan atau mengendalikan secara bersama-sama 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham Bank atau perusahaan/badan lain; e. memiliki kewenangan dan atau kemampuan untuk menyetujui, mengangkat dan atau memberhentikan anggota Komisaris dan atau Direksi Bank atau perusahaan/badan lain; f. memiliki kemampuan untuk menentukan (controlling influence) kebijakan operasional atau kebijakan keuangan perusahaan/badan lain; Bank atau g. mengendalikan 1 (satu) atau lebih perusahaan lain yang secara keseluruhan memiliki dan atau mengendalikan secara bersama-sama 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham Bank atau perusahaan … - 15 - perusahaan/badan lain; h. melakukan pengendalian terhadap pengendali sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf g. (3) Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf i adalah apabila perseorangan atau perusahaan/badan secara langsung atau tidak langsung: a. memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham perusahaan/badan lain dan porsi kepemilikan tersebut merupakan porsi yang terbesar; b. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih saham perusahaan/badan lain; c. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham yang apabila digunakan akan menyebabkan pihak tersebut memiliki dan atau mengendalikan saham perusahaan/badan lain sebagaimana dimaksud pada huruf a atau huruf b; d. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan perusahaan/badan lain (acting in concert), dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama-sama memiliki dan atau mengendalikan saham perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada huruf a atau huruf b; e. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan perusahaan/badan (acting in concert), dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain tersebut, sehingga secara bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham, yang apabila hak tersebut dilaksanakan menyebabkan pihak-pihak tersebut memiliki dan atau mengendalikan secara bersama-sama saham perusahaan/badan lain sebagaimana dimaksud … - 16 - dimaksud pada huruf a atau huruf b; f. memiliki kewenangan dan atau kemampuan untuk menyetujui, mengangkat dan atau memberhentikan anggota Komisaris dan atau Direksi perusahaan/badan lain; g. memiliki kemampuan untuk menentukan (controlling influence) kebijakan operasional atau kebijakan keuangan perusahaan/badan lain. Pasal 9 (1) Kantor pusat dan kantor cabang lainnya dari kantor cabang bank asing tidak termasuk dalam pengertian Pihak Terkait dengan kantor cabang bank asing tersebut. (2) Pihak Terkait dengan kantor pusat dari kantor cabang bank asing termasuk dalam pengertian Pihak Terkait dengan kantor cabang bank asing tersebut. Pasal 10 (1) Bank wajib memiliki dan menatausahakan daftar rincian Pihak Terkait dengan Bank. (2) Daftar rincian Pihak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan Bank kepada Bank Indonesia: a. untuk pertama kali paling lambat 3 (tiga) bulan sejak ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini; dan b. 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun apabila terdapat perubahan masing-masing untuk posisi Juni dan posisi Desember, paling lambat pada bulan berikutnya. (3) Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu meminta Bank menyampaikan daftar rincian Pihak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB III … - 17 - BAB III BMPK KEPADA PIHAK TIDAK TERKAIT Pasal 11 (1) Penyediaan Dana kepada 1 (satu) Peminjam yang bukan merupakan Pihak Terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari Modal Bank. (2) Penyediaan Dana kepada 1 (satu) kelompok Peminjam yang bukan merupakan Pihak Terkait ditetapkan paling tinggi 25% (dua puluh lima perseratus) dari Modal Bank. Pasal 12 (1) Peminjam digolongkan sebagai anggota suatu kelompok Peminjam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) apabila Peminjam mempunyai hubungan pengendalian dengan Peminjam lain baik melalui hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan atau keuangan, yang meliputi: a. Peminjam merupakan pengendali Peminjam lain; b. 1 (satu) pihak yang sama merupakan pengendali dari beberapa Peminjam (common ownership); c. Peminjam memiliki ketergantungan interdependence) dengan Peminjam lain; d. Peminjam menerbitkan jaminan (guarantee) untuk mengambil alih dan atau melunasi sebagian atau seluruh kewajiban Peminjam lain dalam hal Peminjam lain tersebut gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi) kepada Bank; e. Direksi, Komisaris, dan atau Pejabat Eksekutif Peminjam menjadi Direksi dan atau Komisaris pada Peminjam lain. (2) Pengendali … keuangan (financial - 18 - (2) Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b adalah pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3). BAB IV PERHITUNGAN BMPK Bagian Pertama Kredit Pasal 13 (1) Penyediaan Dana berupa Kredit ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada debitur. (2) BMPK untuk Kredit dihitung berdasarkan baki debet. (3) Debitur untuk pengambilalihan tagihan dalam rangka anjak piutang atau pembelian kredit dengan persyaratan tanpa janji untuk membeli kembali (without recourse) adalah pihak yang berkewajiban untuk melunasi piutang. (4) Debitur untuk pengambilalihan dalam rangka anjak piutang atau pembelian kredit dengan persyaratan janji untuk membeli kembali (with recourse) adalah pihak yang menjual tagihan/kredit. (5) Baki debet untuk pengambilalihan dalam rangka anjak piutang atau pembelian kredit dihitung berdasarkan harga beli. Bagian Kedua Surat Berharga Pasal 14 Penyediaan Dana berupa Surat Berharga oleh Bank wajib memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 15 … - 19 - Pasal 15 (1) Penyediaan Dana berupa Surat Berharga ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada penerbit Surat Berharga tersebut, kecuali ditetapkan tersendiri. (2) BMPK untuk pembelian Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan harga beli, kecuali ditetapkan tersendiri. Pasal 16 (1) Penyediaan Dana berupa Surat Berharga Yang Dibeli Dengan Janji Dijual Kembali ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada pihak yang menjual Surat Berharga. (2) BMPK untuk Surat Berharga Yang Dibeli Dengan Janji Dijual Kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan harga beli. Pasal 17 (1) Penyediaan Dana berupa Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari (underlying reference asset) ditetapkan sebagai berikut: a. untuk Surat Berharga yang pembayaran kewajibannya terkait langsung dengan aset yang mendasari (pass through) dan tidak dapat dibeli kembali (non redemption) oleh penerbit ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada Reference Entity; b. untuk Surat Berharga yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada: 1) penerbit; dan 2) Reference Entity. (2) BMPK … - 20 - (2) BMPK untuk Surat Berharga kepada Reference Entity sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b angka 2) dihitung secara proporsional berdasarkan proporsi aset yang mendasari (underlying reference asset) dari masing-masing Reference Entity. (3) BMPK untuk Surat Berharga kepada penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1) dihitung berdasarkan harga beli. Bagian Ketiga Derivatif Kredit (Credit Derivative) Pasal 18 Penyediaan Dana berupa derivatif kredit (credit derivative) ditetapkan sebagai berikut: a. untuk derivatif kredit (credit derivative) berupa credit default swap atau instrumen serupa lainnya ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada Reference Entity. b. untuk derivatif kredit (credit derivative) berupa total rate of return swap atau instrumen serupa lainnya ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada Reference Entity. c. untuk derivatif kredit (credit derivative) berupa credit linked notes atau instrumen serupa lainnya ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada: 1) Reference Entity; dan 2) penerbit credit linked notes. d. untuk derivatif kredit (credit derivative) selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, BMPK ditetapkan sesuai dengan risiko kredit yang melekat dari masing-masing derivative). instrumen derivatif kredit Bagian … (credit - 21 - Bagian Keempat Tagihan Akseptasi Pasal 19 (1) Penyediaan Dana berupa Tagihan Akseptasi ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada: a. bank apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah bank lain; dan atau b. debitur (applicant) apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah debitur. (2) BMPK untuk Tagihan Akseptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sebesar nilai wesel yang diaksep. Bagian Kelima Transaksi Rekening Administratif Pasal 20 (1) Penyediaan Dana untuk Transaksi Rekening Administratif berupa jaminan (guarantee), letter of credit (L/C), standby letter of credit (SBLC), atau instrumen serupa lainnya ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada pemohon (applicant). (2) BMPK untuk Transaksi Rekening Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sebesar nilai yang telah diterbitkan (outstanding). (3) Jaminan untuk Peminjam dan atau Kelompok Peminjam yang diterima Bank dari bank lain dan atau pihak lain tidak diperhitungkan sebagai pengurang Penyediaan Dana. Bagian … - 22 - Bagian Keenam Transaksi Derivatif Pasal 21 (1) Penyediaan Dana berupa transaksi derivatif yang berkaitan dengan suku bunga atau valuta asing ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada pihak lawan (counterparty). (2) BMPK untuk transaksi derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan risiko kredit transaksi derivatif. (3) Risiko kredit transaksi derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari Tagihan Derivatif ditambah Potential Future Credit Exposure. (4) Dalam menghitung nilai risiko kredit transaksi derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank dapat melakukan saling hapus (set-off) sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. merupakan instrumen sejenis; b. memiliki transaksi yang mendasari (underlying transaction) yang sejenis; c. memiliki valuta yang sama; d. dilakukan dengan pihak lawan (counterparty) yang sama; e. mempunyai jangka waktu yang sama; dan f. diatur dalam perjanjian para pihak (netting agreement) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Ketujuh Penyertaan Pasal 22 (1) Penyediaan Dana berupa Penyertaan Modal ditetapkan sebagai Penyediaan Dana … - 23 - Dana kepada perusahaan tempat Bank melakukan Penyertaan Modal (investee). (2) BMPK untuk Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan harga perolehan. BAB V PELAMPAUAN BMPK Pasal 23 (1) Penyediaan Dana oleh Bank dikategorikan sebagai Pelampauan BMPK apabila disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: a. penurunan Modal Bank; b. perubahan nilai tukar; c. perubahan nilai wajar; d. penggabungan usaha dan atau perubahan struktur kepengurusan yang menyebabkan perubahan Pihak Terkait dan atau kelompok Peminjam; e. perubahan ketentuan. (2) Penentuan Peminjam dalam perhitungan Pelampauan BMPK dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 22. (3) Pelampauan BMPK dihitung berdasarkan nilai yang tercatat pada tanggal laporan. BAB VI PENYELESAIAN PELANGGARAN DAN PELAMPAUAN BMPK Pasal 24 (1) Bank wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindak (action plan) untuk … - 24 - untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan atau Pelampauan BMPK. (2) Action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat paling kurang langkah-langkah untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan atau Pelampauan BMPK serta target waktu penyelesaian. (3) Target waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai berikut: a. untuk Pelanggaran BMPK, paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia. b. untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a, huruf b, dan huruf c ditetapkan paling lambat 9 (sembilan) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia. c. untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d, ditetapkan paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak action plan disampaikan kepada Bank Indonesia. d. untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf e, ditetapkan paling lambat 18 (delapan belas) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3). (4) Bank Indonesia dapat meminta Bank melakukan penyesuaian action plan yang disampaikan apabila menurut penilaian Bank Indonesia langkah- langkah dan atau target waktu penyelesaian tidak mungkin dicapai dan atau belum memenuhi ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 25 (1) Action plan untuk Pelanggaran BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal … - 25 - Pasal 24 harus diterima Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan sejak terjadinya Pelanggaran BMPK. (2) Action plan untuk Pelampauan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d harus diterima Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan setelah akhir bulan laporan. (3) Action plan untuk Pelampauan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf e harus diterima Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diberlakukannya ketentuan baru. Pasal 26 (1) Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan masing-masing untuk Pelanggaran BMPK dan Pelampauan BMPK. (2) Laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah realisasi action plan. BAB VII PENGECUALIAN Pasal 27 (1) Ketentuan BMPK dikecualikan untuk: a. pembelian Surat Berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia dan atau Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. b. bagian … - 26 - b. bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh Pemerintah Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) jaminan bersifat tanpa syarat dibatalkan (irrevocable); (unconditional) dan tidak dapat 2) harus dapat dicairkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diajukan klaim, termasuk pencairan sebagian; 3) mempunyai jangka waktu paling kurang sama dengan jangka waktu Penyediaan Dana; dan 4) tidak dijamin kembali (counter guarantee) oleh Bank penyedia dana atau bank yang bukan prime bank. c. bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh: 1) agunan dalam bentuk agunan tunai berupa giro, deposito, tabungan, setoran jaminan dan atau emas; 2) agunan berupa Surat Berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia dan atau Bank Indonesia, sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) agunan diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa pencairan dari pemilik agunan untuk keuntungan Bank termasuk angsuran pokok/bunga; b) bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan (irrevocable); c) jangka waktu pemblokiran sebagaimana dimaksud pada huruf a) paling kurang sama dengan jangka waktu Penyediaan Dana; penerima agunan, pencairan sebagian untuk membayar tunggakan d) memiliki … - 27 - d) memiliki pengikatan hukum yang kuat (legally enforceable) sebagai agunan, bebas dari segala bentuk perikatan lain, bebas dari sengketa, tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain, termasuk tujuan penjaminan yang jelas; e) untuk agunan tunai sebagaimana dimaksud pada angka 1), disimpan atau ditatausahakan pada Bank penyedia dana atau pada prime bank. (2) Bank wajib mengajukan klaim terhadap jaminan atau agunan yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peminjam wanprestasi (event of default). (3) Peminjam dianggap wanprestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila: a. terjadi tunggakan pokok dan atau bunga dan atau tagihan lainnya selama 90 (sembilan puluh hari); b. c. tidak diterimanya pembayaran pokok dan atau bunga dan atau tagihan lainnya pada saat Penyediaan Dana jatuh tempo; atau tidak dipenuhinya persyaratan lainnya selain pembayaran pokok dan atau bunga yang dapat mengakibatkan terjadinya wanprestasi. Pasal 28 Prime bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf c angka 2) huruf e) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki peringkat investasi yang diberikan oleh lembaga pemeringkat paling kurang: 1) BBB- berdasarkan penilaian Standard & Poors; 2) Baa3 berdasarkan penilaian Moody’s; 3) BBB- … - 28 - 3) BBB- berdasarkan penilaian Fitch; atau 4) peringkat investasi setara dengan angka 1), angka 2), dan atau angka 3) berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat terkemuka lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, berdasarkan penilaian terhadap prospek usaha jangka panjang (long term outlook) bank tersebut; dan b. memiliki total aset yang termasuk dalam 200 (dua ratus) besar dunia berdasarkan informasi yang tercantum dalam banker’s almanac. Pasal 29 Ketentuan BMPK dikecualikan untuk Penempatan sepanjang Penempatan tersebut termasuk dalam cakupan yang dijamin dan memenuhi syarat program penjaminan Pemerintah serta Bank tempat Penempatan memenuhi persyaratan program penjaminan Pemerintah. Pasal 30 (1) Dalam hal program penjaminan Pemerintah tidak meliputi Penempatan maka Penempatan merupakan komponen Penyediaan Dana yang diperhitungkan dalam BMPK. (2) Dalam hal Penempatan tidak merupakan cakupan program penjaminan Pemerintah, maka bagian dari Penempatan berupa Penempatan kepada Bank lain di Indonesia melalui Pasar Uang Antar Bank (PUAB) untuk tujuan manajemen likuiditas dengan jangka waktu sampai dengan 14 (empat belas) hari dikecualikan dari ketentuan BMPK. Pasal 31 … - 29 - Pasal 31 (1) Penyertaan Modal kepada bank lain di Indonesia dikecualikan dari ketentuan BMPK sepanjang Bank melakukan konsolidasi dengan bank penerima Penyertaan Modal (investee). (2) Pengecualian Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dengan ketentuan sebagai berikut: a. Penyertaan Modal yang dilakukan mengakibatkan Bank melakukan konsolidasi laporan keuangan dengan investee; b. Bank dan investee bersedia memberikan komitmen secara tertulis kepada Bank Indonesia untuk menerapkan pengawasan Bank dan investee secara individual maupun secara konsolidasi; dan c. Penyertaan Modal memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (3) Penyediaan Dana selain Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada investee merupakan komponen Penyediaan Dana yang diperhitungkan dalam BMPK. Pasal 32 Pengambilalihan (negosiasi) wesel ekspor berjangka dikecualikan dari perhitungan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 11 sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. wesel ekspor berjangka diterbitkan atas dasar Letter of Credit (L/C) berjangka (Usance L/C) yang sesuai dengan Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) yang berlaku; dan b. telah diaksep oleh prime bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28. Pasal 33 … wajib - 30 - Pasal 33 (1) Bagian Penyediaan Dana kepada Peminjam yang dijamin oleh prime bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dikecualikan dari perhitungan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 11 sepanjang jaminan yang diberikan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berbentuk standby letter of credit yang diterbitkan sesuai dengan Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) atau International Standby Practices (ISP) yang berlaku; b. bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan (irrevocable); c. harus dapat dicairkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diajukan klaim, termasuk pencairan sebagian; d. mempunyai jangka waktu paling kurang sama dengan jangka waktu Penyediaan Dana; dan e. tidak dijamin kembali (counter guarantee) oleh Bank penyedia dana atau bank yang bukan prime bank. (2) Pengecualian dari perhitungan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling tinggi: a. 90% (sembilan puluh perseratus) dari Modal Bank untuk Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait; b. 80% (delapan puluh perseratus) dari Modal Bank untuk Penyediaan Dana kepada 1 (satu) Peminjam yang bukan merupakan Pihak Terkait; dan c. 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari Modal Bank untuk Penyediaan Dana kepada 1 (satu) kelompok Peminjam yang bukan merupakan Pihak Terkait. (3) Bank … - 31 - (3) Bank wajib mengajukan klaim terhadap jaminan yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peminjam wanprestasi (event of default). (4) Peminjam dianggap wanprestasi (event of default) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila: a. terjadi tunggakan pokok dan atau bunga dan atau tagihan lainnya selama 90 (sembilan puluh) hari; b. c. tidak diterimanya pembayaran pokok dan atau bunga dan atau tagihan lainnya pada saat Penyediaan Dana jatuh tempo; atau tidak dipenuhinya persyaratan lainnya selain pembayaran pokok dan atau bunga yang dapat mengakibatkan terjadinya wanprestasi (event of default). Pasal 34 Penempatan pada setiap prime bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak diperhitungkan dalam Batas Maksimum Pemberian Kredit dengan jumlah paling tinggi masing-masing sebesar Modal Bank. Pasal 35 (1) Bagian Penyediaan Dana kepada Peminjam yang dijamin oleh lembaga pembangunan multilateral dikecualikan dari perhitungan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 11 sepanjang jaminan yang diberikan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Penyediaan Dana bertujuan untuk pembiayaan di Indonesia; b. penjamin merupakan lembaga pembangunan multilateral yang ditetapkan Bank Indonesia; dan c. jaminan … - 32 - c. jaminan yang diberikan memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan (irrevocable); 2) harus dapat dicairkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diajukan klaim, termasuk pencairan sebagian; 3) mempunyai jangka waktu paling kurang sama dengan jangka waktu Penyediaan Dana; dan 4) tidak dijamin kembali (counter guarantee) Bank penyedia dana atau bank yang bukan prime bank. (2) Pengecualian dari perhitungan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling tinggi: a. 90% (sembilan puluh perseratus) dari Modal Bank untuk Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait; b. 80% (delapan puluh perseratus) dari Modal Bank untuk Penyediaan Dana kepada 1 (satu) Peminjam yang bukan merupakan Pihak Terkait; atau c. 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari Modal Bank untuk Penyediaan Dana kepada 1 (satu) kelompok Peminjam yang bukan merupakan Pihak Terkait. (3) Bank wajib mengajukan klaim terhadap jaminan yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peminjam wanprestasi (event of default). (4) Peminjam dianggap wanprestasi (event of default) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila: a. terjadi tunggakan pokok dan atau bunga dan atau tagihan lainnya selama 90 (sembilan puluh) hari; b. tidak … - 33 - b. c. tidak diterimanya pembayaran pokok dan atau bunga dan atau tagihan lainnya pada saat Penyediaan Dana jatuh tempo; atau tidak dipenuhinya persyaratan lainnya selain pembayaran pokok dan atau bunga yang dapat mengakibatkan terjadinya wanprestasi (event of default). Pasal 36 (1) Penyertaan Modal Sementara untuk mengatasi kegagalan Kredit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku dikecualikan dari perhitungan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 11 dan ketentuan Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (2) Dalam hal terdapat Penyediaan Dana baru yang diberikan terhadap perusahaan dimana Bank melakukan Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Penyediaan Dana baru tersebut diperhitungkan dalam BMPK. Pasal 37 Penggolongan kelompok Peminjam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dikecualikan untuk pemberian Kredit kepada nasabah (end user) melalui lembaga pembiayaan dengan metode penerusan (channeling) sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Bank melakukan pengawasan terhadap penilaian kelayakan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan terhadap nasabah lembaga pembiayaan (end-user); b. Kredit … - 34 - b. c. Kredit diberikan tanpa jaminan dari lembaga pembiayaan; perjanjian Kredit dilakukan antara nasabah lembaga pembiayaan (end-user) dengan Bank atau dengan pihak yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama Bank; dan d. pembayaran dari nasabah lembaga pembiayaan untuk keuntungan Bank. Pasal 38 Pemberian Kredit dengan pola kemitraan inti-plasma dimana perusahaan inti menjamin Kredit kepada plasma dikecualikan dari pengertian kelompok Peminjam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sepanjang: a. Kredit diberikan dengan pola kemitraan; b. perusahaan inti bukan merupakan Pihak Terkait dengan Bank; c. plasma bukan merupakan anak perusahaan atau cabang yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi dengan inti; d. plasma memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan inti sebagai bagian dari produksi perusahaan inti; dan e. perjanjian Kredit dengan plasma dilakukan oleh Bank dengan plasma. Pasal 39 Kredit kepada Pejabat Eksekutif Bank dikecualikan sebagai pemberian Kredit kepada Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 8 sepanjang diberikan dalam rangka kesejahteraan sumber daya manusia Bank yang didasarkan pada kebijakan tunjangan dan fasilitas jabatan serta diberikan secara wajar. Pasal 40 … secara langsung - 35 - Pasal 40 (1) Penyediaan Dana Bank kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk tujuan pembangunan dan mempengaruhi hajat hidup orang ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh perseratus) dari Modal Bank. (2) Hubungan antara Bank yang berbentuk BUMN atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan Peminjam yang berbentuk BUMN dan atau BUMD dikecualikan dari pengertian Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sepanjang hubungan tersebut semata-mata disebabkan karena kepemilikan langsung Pemerintah Indonesia. (3) Perusahaan-perusahaan BUMN dan atau BUMD tidak diperlakukan sebagai kelompok Peminjam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sepanjang hubungan tersebut semata-mata disebabkan karena kepemilikan langsung Pemerintah Indonesia. BAB VIII PELAPORAN Pasal 41 (1) Bank wajib menyampaikan laporan secara berkala dan benar kepada Bank Indonesia mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit. (2) Tata cara penyusunan dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk sanksi pelaporan, mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum. (3) Bank wajib menyesuaikan penyusunan Laporan Berkala Bank Umum untuk laporan Batas Maksimum Pemberian Kredit sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini. BAB IX … banyak - 36 - BAB IX KETENTUAN LAIN Pasal 42 (1) Bank Indonesia berwenang melakukan koreksi ketentuan BMPK oleh Bank. (2) Bank wajib melakukan koreksi yang ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam laporan Bank kepada Bank Indonesia dan laporan publikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku. Pasal 43 (1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku pula bagi Penyediaan Dana oleh Bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. (2) Definisi Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini bagi Bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk unit usaha syariah Bank konvensional, disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku untuk Bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. BAGIAN X SANKSI Pasal 44 (1) Bank yang melakukan Pelanggaran BMPK dan atau Pelampauan BMPK dikenakan sanksi penilaian tingkat kesehatan Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (2) Bank … terhadap pelaksanaan - 37 - (2) Bank yang menyampaikan action plan untuk Pelanggaran BMPK setelah batas akhir waktu sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja setelah batas akhir waktu tersebut, dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. (3) Bank yang belum menyampaikan action plan untuk Pelanggaran BMPK setelah batas akhir waktu sebagaimana ditetapkan pada ayat (2), dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (4) Bank yang menyampaikan action plan untuk Pelampauan BMPK setelah batas akhir waktu sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (2) atau ayat (3) sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja setelah batas akhir waktu tersebut, dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. (5) Bank yang belum menyampaikan action plan untuk Pelampauan BMPK setelah batas akhir waktu sebagaimana ditetapkan pada ayat (4), dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (6) Bank yang menyampaikan laporan pelaksanaan action plan setelah batas akhir waktu sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 26 ayat (2) sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja setelah batas waktu tersebut, dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. (7) Bank yang belum menyampaikan laporan pelaksanaan action plan setelah batas akhir waktu sebagaimana ditetapkan pada ayat (6), dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (8) Bank … - 38 - (8) Bank yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 7, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 24 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku; c. pembekuan kegiatan usaha tertentu. (9) Bank yang tidak menyelesaikan Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan BMPK sesuai dengan action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan atau tidak melakukan atau tidak melaksanakan langkah penyelesaian sesuai koreksi yang ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), setelah diberi peringatan 2 (dua) kali oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu 1 (satu) minggu untuk setiap teguran, dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain berupa: a. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku; b. pembekuan kegiatan usaha tertentu, antara lain tidak diperkenankan untuk ekspansi Penyediaan Dana; dan atau c. larangan untuk turut serta dalam rangka kegiatan kliring. (10) Bank … - 39 - (10) Bank yang tidak menyelesaikan Pelanggaran BMPK selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (9), terhadap Dewan Komisaris, Direksi, pegawai Bank, pemegang saham maupun pihak terafiliasi lainnya dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b, Pasal 50, dan Pasal 50 A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 45 (1) Bank yang menyampaikan daftar rincian Pihak Terkait setelah batas akhir waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja setelah batas akhir waktu tersebut dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan. (2) Bank yang belum menyampaikan daftar rincian Pihak Terkait setelah batas akhir waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). BAB XI PENUTUP Pasal 46 Definisi dan perlakuan terhadap Batas Maksimum Pemberian Kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 47 … - 40 - Pasal 47 Ketentuan dalam Pasal 21 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia ini, khususnya mengenai penambahan Potensial Future Credit Exposure dalam perhitungan risiko kredit transaksi derivatif, mulai berlaku 12 (dua belas) bulan sejak ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 48 Ketentuan pelaksanaan tentang BMPK akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 49 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Batas Maksimum Kredit Bank Umum; b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/5/PBI/2000 tanggal 21 Februari 2000 tentang Penyediaan Dana Oleh Bank Yang Dijamin Bank Lain (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 3932); dan c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/16/PBI/2000 tanggal 12 Juni 2000 tentang Perubahan Surat Keputusan Bank Indonesia Nomor 31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 3973), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 50 … - 41 - Pasal 50 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 20 Januari 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 13 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA Nomor: 7/3/PBI/2005 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM UMUM Salah satu penyebab dari kegagalan usaha bank antara lain adalah penyediaan dana yang tidak didukung oleh kemampuan bank mengelola konsentrasi penyediaan dana secara efektif. Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan usaha bank sebagai akibat dari konsentrasi penyediaan dana tersebut maka bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, antara lain dengan melakukan penyebaran dan diversifikasi portofolio penyediaan dana terutama melalui pembatasan penyediaan dana, baik kepada pihak terkait maupun kepada pihak bukan terkait sebesar persentase tertentu dari modal bank atau yang dikenal dengan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Sejalan dengan semakin kompleksnya perkembangan produk dan transaksi keuangan terutama yang dilakukan melalui bank maka eksposur risiko dari jenis penyediaan dana tertentu, seperti transaksi derivatif menjadi semakin tinggi. Hal ini dibarengi pula dengan semakin kompleksnya struktur hubungan antara perseorangan dengan suatu perusahaan dan atau suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Implikasi dari hal-hal tersebut juga mempengaruhi konsepsi dan cakupan peminjam yang terkategori sebagai pihak terkait serta konsepsi dan cakupan kelompok peminjam, dimana penentuannya didasarkan pada hubungan pengendalian … - 2 - pengendalian melalui unsur kepemilikan, kepengurusan dan atau hubungan keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mengingat terdapat hubungan yang signifikan antara kegagalan usaha dengan bank konsentrasi penyediaan dana maka bank dilarang untuk memberikan penyediaan dana yang mengakibatkan pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Disamping larangan dan pembatasan persentase tertentu dari permodalan, bank diwajibkan pula menerapkan manajemen risiko kredit yang lebih prudent kepada pihak terkait maupun peminjam atau kelompok peminjam yang memiliki eksposur besar (large exposure). Secara operasional, mengingat bank dipengaruhi pula faktor eksternal, maka penyediaan dana dapat dikatakan tidak melanggar namun melampaui batas maksimumnya antara lain apabila disebabkan adanya penurunan modal bank, perubahan nilai tukar dan perubahan nilai wajar. Namun demikian mengingat bahwa konsentrasi penyediaan dana penting untuk dikelola maka bank wajib menyelesaikan pelanggaran maupun pelampauan BMPK dengan menetapkan action plan dan melaksanakannya secara konsisten dan efektif. Mengingat peranannya dalam perekonomian nasional khususnya sebagai lembaga intermediasi maka meskipun terdapat pembatasan dalam penyediaan dananya, bank tetap perlu didorong untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui langkah-langkah penyaluran dana kepada sektor riil dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Untuk itu, penyediaan dana tertentu diberikan kelonggaran atau pengecualian dalam penerapan BMPK, antara lain penyediaan dana kepada badan usaha milik negara (BUMN) yang bidang usahanya mempengaruhi hajat hidup orang banyak termasuk pembangunan infrastruktur, penyediaan dana yang dijamin oleh prime bank dan lembaga pembangunan multilateral, serta penyediaan dana kepada nasabah dengan pola kemitraan … - 3 - kemitraan inti-plasma. Disamping itu, sejalan dengan upaya konsolidasi perbankan, penyertaan modal kepada bank lain dapat tidak diperhitungkan dalam BMPK. Dalam rangka pemantauan penyediaan dana, bank juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan BMPK secara berkala, dan Bank Indonesia memiliki wewenang untuk melakukan koreksi terhadap pelaksanaan ketentuan dan meminta bank untuk menyampaikan tindakan korektif yang diperlukan, serta mengenakan sanksi secara efektif terhadap bank yang melakukan pelanggaran atas isi dan maksud dari ketentuan ini. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Pengaturan dalam ayat ini dimaksudkan agar penerapan manajemen risiko, khususnya kepada Pihak Terkait maupun Penyediaan Dana besar (large exposures) dilaksanakan secara wajar (arm’s length basis), disesuaikan dengan kemampuan permodalan Bank, dan tidak terkonsentrasi secara signifikan kepada Peminjam atau kelompok Peminjam tertentu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 4 - Ayat (3) Huruf a Dalam melakukan seleksi dan penilaian kelayakan, Bank harus memastikan tersedianya informasi yang cukup antara lain mencakup data dan informasi mengenai pemegang saham, kepengurusan, struktur kelompok usaha, dan kondisi keuangan dari Peminjam dan atau kelompok Peminjam. Huruf b Batas (limit) Penyediaan Dana ditetapkan paling tinggi sesuai dengan batas yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Limit Penyediaan Dana ditetapkan berdasarkan analisis dampak Penyediaan Dana terhadap struktur neraca dan profil risiko Bank. Analisis dampak pada struktur neraca dan profil risiko Bank dilakukan dengan mempertimbangkan besar, jenis, jangka waktu, dan diversifikasi portofolio Penyediaan Dana secara keseluruhan sehingga dapat mencegah portofolio Penyediaan Dana terkonsentrasi pada satu Peminjam atau kelompok Peminjam tertentu. Huruf c Sistem informasi manajemen harus dapat memungkinkan pengurus Bank secara tepat waktu mengidentifikasi konsentrasi Penyediaan Dana, khususnya kepada Pihak Terkait dan Penyediaan Dana besar (large exposures). Selain itu, sistem informasi manajemen harus mencakup tersedianya sistem pelaporan kepada pengurus Bank mengenai Penyediaan Dana yang … - 5 - yang melampaui atau diperkirakan akan melampaui limit Penyediaan Dana. Huruf d Sistem pemantauan terhadap Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait dan eksposur besar (large exposures) antara lain mencakup: 1. 2. 3. kepatuhan terhadap limit; kecukupan agunan dibandingkan Penyediaan Dana; identifikasi kualitas Penyediaan Dana. Huruf e Langkah pengendalian sebagaimana dimaksud dalam huruf ini antara lain mencakup: 1. penambahan modal dalam rangka mengatasi peningkatan eksposur risiko; sindikasi; 2. 3. sekuritisasi aset. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Frekuensi kaji ulang dapat ditingkatkan intensitasnya sesuai dengan perkembangan konsentrasi risiko Penyediaan Dana. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 3 … - 6 - Pasal 3 Huruf a Pengaturan pada huruf ini mencakup bentuk perikatan atau perjanjian atau persyaratan yang ditetapkan untuk Penyediaan Dana yang tercatat di neraca maupun rekening administratif. Huruf b Kewajiban pemenuhan ketentuan pada huruf ini berlaku untuk setiap saat pemberian Penyediaan Dana. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan prosedur umum Penyediaan Dana adalah prosedur yang diterapkan di Bank tersebut dan berlaku sama untuk semua nasabah Peminjam serta tetap memberikan keuntungan yang wajar bagi Bank. Termasuk dalam pengertian prosedur umum yang berlaku adalah penggunaan nilai pasar (market value) dalam analisis Penyediaan Dana. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 7 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan aktiva berkualitas rendah adalah aktiva yang: 1. mempunyai status non-accrual yaitu aktiva yang pembayaran pokok dan atau bunganya telah menunggak lebih dari 90 (sembilan puluh) hari; dan atau 2. persyaratannya telah dinegosiasi ulang sebagai akibat penurunan kondisi keuangan pemilik aktiva. Ayat (4) Huruf a Pelunasan antara lain dapat dilakukan dengan cara menjual Kredit tersebut kepada pihak lain. Huruf b Restrukturisasi Kredit dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b … - 8 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua pihak sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. orang tua kandung/tiri/angkat; saudara kandung/tiri/angkat; anak kandung/tiri/angkat; kakek atau nenek kandung/tiri/angkat; 5. cucu kandung/tiri/angkat; 6. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua; 7. suami atau istri; 8. mertua atau besan; 9. suami atau istri dari anak kandung/tiri/angkat; 10. kakek atau nenek dari suami atau istri; 11. suami atau istri dari cucu kandung/tiri /angkat; 12. saudara kandung /tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami atau istrinya dari saudara yang bersangkutan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h … baik horisontal maupun vertikal adalah pihak- - 9 - Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Ketergantungan keuangan (financial interdependece) dilihat dari beberapa faktor antara lain: 1. terdapat bantuan keuangan dari Bank dan atau Pihak Terkait lainnya atau bantuan keuangan kepada Bank dan atau Pihak Terkait lainnya dengan persyaratan yang ditetapkan sedemikian rupa sehingga menyebabkan pihak yang memberikan bantuan keuangan mempunyai kemampuan untuk menentukan (controlling influence) kebijakan operasional dan atau keuangan pihak yang menerima bantuan keuangan; dan atau 2. terdapat transaksi yang material antara Bank dan atau Pihak Terkait lainnya dengan suatu perusahaan sehingga kesehatan keuangan (financial soundness) dari perusahaan tersebut dipengaruhi secara langsung oleh Bank dan atau Pihak Terkait lainnya. Huruf k Cukup jelas. Huruf l dan huruf m Yang dimaksud dengan jaminan adalah janji yang diterbitkan oleh satu pihak untuk mengambil alih dan atau melunasi sebagian atau seluruh kewajiban pihak yang berutang dalam hal pihak … - 10 - pihak Huruf n Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan memiliki secara tidak langsung saham adalah memiliki atau mengendalikan saham secara bersama-sama atau melalui pihak lain, termasuk: 1. saham Bank atau perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak lain yang hak suaranya dapat digunakan atau dikendalikan pengendali; 2. saham Bank atau perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak yang dikendalikan oleh pengendali; 3. saham Bank atau perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak terafiliasi dari pengendali; 4. saham Bank atau perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh anak perusahaan dari perusahaan/badan yang dikendalikan oleh pengendali; 5. saham Bank atau perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bertindak untuk dan atas nama pengendali (saham nominee) berdasarkan atau tidak berdasarkan perjanjian tertentu; 6. saham Bank atau perusahaan/badan lain dimiliki oleh pihak lain yang pemindahtangannya memerlukan persetujuan pengendali; dari yang (wanprestasi). berutang gagal memenuhi kewajibannya 7. saham … - 11 - 7. saham perusahaan/badan lain yang perusahaan/badan yang dikendalikan oleh dimiliki Bank melalui Bank secara berjenjang sampai dengan perusahaan/badan terakhir (ultimate subsidiary); 8. saham Bank atau perusahaan/badan lain selain saham sebagaimana dimaksud pada angka 1. sampai dengan angka 7. yang dikendalikan oleh Bank atau pengendali. Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi dari pengendali sebagaimana dimaksud dalam angka 3. adalah: a. Komisaris, Direksi, atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau karyawan perusahaan pengendali; b. pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pejabat, atau karyawan perusahaan pengendali, khusus bagi perusahaan yang berbentuk hukum koperasi; c. pihak yang memberikan jasa kepada perusahaan pengendali, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lain yang terbukti dikendalikan oleh pengendali; d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan pengendali baik karena perkawinan maupun karena keturunan sampai dengan derajat kedua baik secara horisontal maupun vertikal, termasuk besan; e. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan pengendali, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas, keluarga Direksi, dan keluarga pengurus. Ayat (3) … - 12 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan memiliki secara tidak langsung saham adalah memiliki atau mengendalikan saham secara bersama-sama atau melalui pihak lain, termasuk: 1. 2. 3. 4. saham perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak lain yang hak suaranya dapat digunakan atau dikendalikan pengendali; saham perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak yang dikendalikan oleh pengendali; saham perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak terafiliasi dari pengendali; saham perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh anak perusahaan dari perusahaan/badan yang dikendalikan oleh pengendali; 5. saham perusahaan/badan lain yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bertindak untuk dan atas nama pengendali (saham nominee) berdasarkan atau tidak berdasarkan perjanjian tertentu; 6. 7. saham perusahaan/badan lain dimiliki oleh pihak lain yang pemindahtangannya memerlukan persetujuan dari pengendali; perusahaan/badan saham perusahaan/badan yang lain yang dikendalikan pengendali dimiliki melalui secara berjenjang sampai dengan perusahaan/badan terakhir (ultimate subsidiary); 8. saham perusahaan/badan lain selain saham sebagaimana dimaksud pada angka 1. sampai dengan angka 7. yang dikendalikan oleh pengendali. Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi dari pengendali sebagaimana dimaksud pada angka 3. adalah: a. Komisaris … - 13 - a. Komisaris, Direksi, atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau karyawan perusahaan pengendali; b. pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pejabat, atau karyawan perusahaan pengendali, khusus bagi perusahaan yang berbentuk hukum koperasi; c. pihak yang memberikan jasa kepada perusahaan pengendali, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lain yang terbukti dikendalikan oleh pengendali; d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan pengendali baik karena perkawinan maupun karena keturunan sampai dengan derajat kedua baik secara horisontal maupun vertikal, termasuk besan; e. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan pengendali, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas, keluarga Direksi, dan keluarga pengurus. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Daftar rincian Pihak Terkait paling kurang memuat rincian pemegang saham, pengurus, sektor bisnis/usaha, serta hubungan pengendalian dari dan antara masing-masing Pihak Terkait. Dalam hal memungkinkan … - 14 - memungkinkan penyusunan daftar rincian Pihak Terkait memuat diagram struktur kelompok usaha (corporate tree). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh: Perusahaan A dan perusahaan B mendapatkan Penyediaan Dana dari Bank dan masing-masing perusahaan tersebut 25 % (dua puluh lima perseratus) atau lebih sahamnya dimiliki oleh perusahaan C. Oleh karena itu, perusahaan A dan perusahaan B dikelompokkan dalam 1 (satu) kelompok Peminjam. Dalam hal perusahaan C merupakan Peminjam pada Bank maka perusahaan A, perusahaan B, dan perusahaan C dikelompokkan dalam 1 (satu) kelompok Peminjam. Huruf c … - 15 - Huruf c Ketergantungan keuangan (financial interdependence) dapat dianalisa berdasarkan beberapa faktor sebagai berikut: 1. sedemikian terdapat bantuan keuangan dari Peminjam kepada Peminjam lain dengan persyaratan yang rupa sehingga menyebabkan pihak (controlling influence) kebijakan ditetapkan yang memberikan bantuan keuangan mempunyai kemampuan untuk menentukan operasional dan atau keuangan pihak yang menerima bantuan keuangan; dan atau 2. terdapat transaksi yang material dari Peminjam kepada Peminjam lain sehingga kesehatan keuangan (financial soundness) dari Peminjam lain tersebut dipengaruhi secara langsung oleh Peminjam. Huruf d Yang dimaksud dengan jaminan adalah janji yang diterbitkan oleh satu pihak untuk mengambil alih dan atau melunasi sebagian atau seluruh kewajiban pihak yang berutang dalam hal pihak yang (wanprestasi). Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. berutang gagal memenuhi kewajibannya Pasal 13 … - 16 - Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Bank mengambil alih tagihan dari PT. Z terhadap PT X without recourse sebesar Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah), maka BMPK Bank ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada PT. X. Ayat (4) Contoh: Bank mengambil alih tagihan dari PT. Z terhadap PT X with recourse sebesar Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah), maka BMPK Bank ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada PT. Z. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 … - 17 - Pasal 16 Ayat (1) Contoh: Bank membeli surat berharga PT. X yang dimiliki Bank Z dengan janji akan dijual kembali. BMPK untuk Surat Berharga Yang Dibeli Dengan Janji Dijual Kembali tersebut ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada Bank Z sebagai penjual. Sedangkan Bank Z tetap memiliki Penyediaan Dana surat berharga kepada PT. X sebagai penerbit surat berharga. Selanjutnya apabila pada tanggal jatuh tempo transaksi repo Bank Z tidak Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh : Bank melakukan investasi di reksadana yang diterbitkan oleh PT.A dengan harga beli sebesar Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) yang portofolionya terdiri dari: 1. 2. Obligasi PT. X sebesar 60% (enam puluh perseratus); Obligasi PT. Y sebesar 40% (empat puluh perseratus). BMPK … dapat melunasi tagihan repo maka Bank akan memiliki Penyediaan Dana surat berharga kepada PT. X. - 18 - BMPK untuk portofolio reksadana kepada PT. X dan PT. Y dihitung secara proporsional berdasarkan proporsi asset dasar (reference asset) dari masing-masing PT. X yaitu sebesar 60% (enam puluh perseratus) x Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan PT Y yaitu sebesar 40% (empat pulu perseratus) x Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah). Ayat (3) Contoh: Bank melakukan investasi di reksadana yang diterbitkan oleh PT.A dengan harga beli sebesar Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) yang portofolionya terdiri dari: 1) 2) Obligasi PT. X sebesar 60% (enam puluh perseratus); Obligasi PT. Y sebesar 40% (empat puluh perseratus). BMPK untuk portofolio reksadana kepada PT. A adalah sebesar Rp150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah). Pasal 18 Jaminan/perlindungan dalam rangka derivatif kredit (credit derivative) tidak mengurangi eksposur Penyediaan Dana bagi pihak yang mengalihkan risiko (protection buyer). Huruf a Contoh: Bank A mengambil alih risiko kredit (protection seller) portofolio aset keuangan dari Bank B dalam bentuk credit default swap. credit default swap oleh Bank A kepada portofolio aset keuangan Bank B ditetapkan sebagai … - 19 - sebagai Penyediaan Dana kepada Reference Entity portofolio aset keuangan tersebut. Huruf b Contoh: Bank A melakukan pembayaran kepada Bank B sejumlah bunga tertentu ditambah kompensasi kerugian dari portofolio kredit yang dimiliki Bank B yang telah ditetapkan sebagai aset yang mendasari (underlying reference asset). Sementara itu, atas pembayaran dari Bank A tersebut, Bank B membayarkan bunga yang diperoleh dari aset yang mendasari (underlying reference asset) kepada Bank A. Penyediaan Dana Bank A dalam transaksi total rate of return swap ini ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada Reference Entity dari portofolio kredit yang dimiliki Bank B tersebut. Huruf c Contoh: Penerbit credit linked notes adalah pihak yang mengalihkan risiko kredit (protection buyer). Bank A membeli credit linked notes dari Bank B, dimana aset yang mendasari (underlying reference asset) dari credit linked notes tersebut terdiri dari aset keuangan yang dimiliki Bank B. Pembelian credit linked notes tersebut oleh Bank A diperhitungkan dalam BMPK sebagai Penyediaan Dana kepada: 1. Bank B selaku penerbit credit linked notes; dan 2. Reference Entity dari aset yang mendasari (underlying reference aset) credit linked notes. Huruf d Cukup jelas. Pasal 19 … - 20 - Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan nilai wesel yang diaksep adalah nilai bruto tagihan terhadap debitur (applicant) atau pihak yang menjamin. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bank lain yang memberikan jaminan tetap memperhitungkan jaminan kepada pihak Administratif. Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud transaksi derivatif yang berkaitan dengan suku bunga atau valuta asing adalah: a. kontrak suku bunga seperti single currency interest rate swaps, forward rate agreements dan instrumen serupa lainnya; penerima jaminan dalam Transaksi Rekening b. Kontrak … - 21 - b. kontrak valuta asing seperti cross currency swap, cross currency interest rate swap, forward foreign exchange contracts, dan instrumen serupa lainnya. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, transaksi derivatif yang diperkenankan adalah transaksi yang berkaitan dengan suku bunga atau valuta asing. Sementara itu transaksi derivatif yang berkaitan dengan saham hanya dapat dilakukan atas izin Bank Indonesia atau dalam rangka Penyertaan Modal atau Penyertaan Modal Sementara sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan transaksi yang mendasari (underlying transaction) yang sejenis antara lain adalah suku bunga dengan suku bunga, dan nilai tukar dengan nilai tukar. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f … - 22 - Huruf f Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud harga perolehan dalam ayat ini adalah harga beli ditambah biaya lain yang Penyertaan Modal dilakukan. Perhitungan harga perolehan untuk dikeluarkan pertama kali pada saat Penyertaan Modal berupa penanaman dana dalam bentuk surat utang konversi (convertible bond) dengan opsi saham (equity option) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham adalah sebesar nilai saham atau penyertaan yang akan dimiliki. Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Termasuk dalam perubahan nilai wajar antara lain adalah perubahan nilai dalam pencatatan penyertaan dengan metode ekuitas … - 23 - ekuitas (equity method) yang telah lebih dari 1 (satu) tahun atau pencatatan Surat Berharga yang dimiliki dengan menggunakan nilai pasar (mark to market). Huruf d Cukup jelas. Huruf e Termasuk dalam perubahan ketentuan adalah perubahan pihak- pihak yang dikategorikan sebagai Pihak Terkait atau kelompok Peminjam. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Nilai yang tercatat pada tanggal laporan adalah sebagaimana diatur dalam Standar Akuntansi Kuangan yang berlaku terhadap masing- masing instrumen. Khusus untuk Transaksi Derivatif, nilai tercatat pada tanggal laporan termasuk nilai Potential Future Credit Exposure. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 25 … - 24 - Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh penggabungan usaha, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah 1 (satu) bulan setelah akhir bulan laporan sejak disahkannya akta penggabungan usaha oleh instansi yang berwenang. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan Pemerintah Indonesia adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Huruf b Angka 1) Yang dimaksud dengan tanpa syarat (unconditional) adalah apabila: 1. manfaat … - 25 - 1. manfaat yang diperoleh Bank penyedia dana dari jaminan tidak berkurang secara substansial walaupun terjadi kerugian yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendali Bank; dan 2. tidak memuat persyaratan prosedural, seperti: a. mempersyaratkan waktu pengajuan pemberitahuan wanprestasi (notification of default); b. mempersyaratkan kewajiban pembuktian itikad baik (good faith) oleh Bank penyedia dana; dan atau c. mempersyaratkan pencairan jaminan dengan cara dilakukannya saling hapus (set-off) terlebih dahulu dengan kewajiban Bank penyedia dana kepada pihak penjamin. Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Cukup jelas. Angka 4) Cukup jelas. Huruf c Angka 1) Dalam hal agunan tunai berupa emas maka nilai agunan ditentukan berdasarkan harga pasar (market value). Angka 2) … - 26 - Angka 2) Termasuk dalam pengertian Penyediaan Dana yang dijamin agunan Surat Berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia dan atau Bank Indonesia adalah Surat Berharga Yang Dibeli Dengan Janji Dijual Kembali (reverse repurchase agreement). Dalam hal agunan berupa Surat Utang Negara (SUN) maka nilai agunan ditentukan berdasarkan nilai pasar (market value) SUN tersebut atau dalam hal tidak tersedia nilai pasar ditentukan berdasarkan nilai wajar (fair value). Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Yang dimaksud dengan tanpa syarat (unconditional) adalah apabila: 1. manfaat yang diperoleh Bank Penyedia Dana dari jaminan tidak berkurang secara substansial walaupun terjadi kerugian yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendali Bank; dan 2. tidak memuat persyaratan prosedural, seperti: a. mempersyaratkan waktu pengajuan pemberitahuan wanprestasi (notification of default); b. mempersyaratkan kewajiban pembuktian itikad baik (good faith) oleh Bank penyedia dana; dan atau c. mempersyaratkan … - 27 - c. mempersyaratkan pencairan jaminan dengan cara dilakukannya saling hapus (set- off) terlebih dahulu dengan kewajiban Bank penyedia dana kepada pihak penjamin. Huruf c) Cukup jelas. Huruf d) Cukup jelas. Huruf e) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Program penjaminan Pemerintah yang berlaku adalah yang diselenggarakan oleh Unit Pelaksana Program Penjaminan atau Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 30 … - 28 - Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud program penjaminan Pemerintah tidak meliputi Penempatan termasuk apabila Penempatan tidak memenuhi syarat untuk dijamin berdasarkan program penjaminan Pemerintah. Program penjaminan Pemerintah mengacu kepada peraturan perundang-undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Ayat (2) Penempatan dengan jangka waktu sampai dengan 14 (empat belas) hari namun tidak untuk tujuan manajemen likuiditas, misalnya penempatan yang diperpanjang terus-menerus dalam jumlah yang signifikan dan relatif tetap, diperhitungkan dalam BMPK. Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan bank lain di Indonesia adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat. Yang dimaksud dengan konsolidasi pada ayat ini adalah konsolidasi laporan keuangan dan konsolidasi dalam pelaksanaan prinsip kehati- hatian yang antara lain mencakup kewajiban penyediaan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, dan posisi devisa neto serta tindak lanjut pengawasan dan penetapan status Bank. Ayat (2) Huruf a Kewajiban melakukan konsolidasi Akuntansi Keuangan yang berlaku. sesuai dengan Standar Huruf b … - 29 - Huruf b Penerapan pengawasan Bank dan investee meliputi penerapan ketentuan kehati-hatian yaitu kewajiban minimum, batas maksimum pemberian kredit, dan posisi devisa neto serta tindak lanjut pengawasan dan penetapan status Bank. Huruf c Ketentuan yang berlaku antara lain adalah Peraturan Bank Indonesia tentang Penyertaan Modal. Prinsip Kehati-hatian Dalam Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan tanpa syarat (unconditional) adalah apabila: 1. manfaat yang diperoleh Bank penyedia dana dari jaminan tidak berkurang kerugian yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendali Bank; dan 2. tidak … Kegiatan penyediaan modal secara substansial walaupun terjadi - 30 - 2. tidak memuat persyaratan prosedural, seperti: a. mempersyaratkan waktu pengajuan pemberitahuan wanprestasi (notification of default); b. mempersyaratkan kewajiban pembuktian itikad baik (good faith) oleh Bank penyedia dana; dan atau c. mempersyaratkan pencairan jaminan dengan cara dilakukannya saling hapus (set-off) terlebih dahulu dengan kewajiban Bank penyedia dana kepada pihak penjamin. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 … - 31 - Pasal 35 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan lembaga pembangunan multilateral dalam huruf ini adalah International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), Inter-American Development Bank, Asian Development Bank (ADB), International Finance Corporation (IFC), European Investment Bank (EIB), Islamic Development Bank (IDB), Council of Europe Social Development Fund (Council of Europe Resettlement Fund), Nordic Investment Bank, European Bank for Reconstruction and Development (EBRD), European Investment Fund, Inter- American Investment Corporation, dan Africa Development Bank (AfDB), serta lembaga pembangunan multilateral lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf c Angka 1) Yang dimaksud dengan tanpa syarat (unconditional) adalah apabila: 1. manfaat yang diperoleh Bank penyedia dana dari jaminan tidak berkurang secara substansial (berdasarkan asas materialitas) walaupun terjadi kerugian yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendali Bank; dan 2. tidak … - 32 - 2. tidak memuat persyaratan prosedural, seperti: a. mempersyaratkan waktu pengajuan pemberitahuan wanprestasi (notification of default); b. mempersyaratkan kewajiban pembuktian itikad baik (good faith) oleh Bank penyedia dana; dan atau c. mempersyaratkan pencairan jaminan dengan cara dilakukannya saling hapus (set-off) terlebih dahulu dengan kewajiban Bank penyedia dana kepada pihak penjamin. Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Cukup jelas. Angka 4) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 33 - Ayat (2) Dalam hal Penyertaan Modal Sementara untuk mengatasi kegagalan Kredit dilakukan kepada pihak yang bukan merupakan Pihak Terkait, BMPK untuk Penyediaan Dana baru ditetapkan sebagai BMPK untuk pihak yang bukan merupakan Pihak Terkait. Pasal 37 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Agunan yang diberikan nasabah diikat untuk kepentingan Bank sehingga Bank dapat secara langsung melakukan eksekusi agunan dalam hal terjadi wanprestasi. Huruf d Cukup jelas. Pasal 38 Huruf a. Yang dimaksud dengan pola kemitraan adalah pola pengembangan dengan menggunakan perusahaan inti yang membantu membimbing perusahaan rakyat sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh, dan berkesinambungan. Huruf b … - 34 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 39 Yang dimaksud dengan diberikan secara wajar antara lain : 1. berdasarkan kemampuan untuk mengembalikan Kredit yang diterima; 2. tatacara penilaian pemberian Kredit dilakukan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian yang setara dengan pemberian Kredit kepada pihak-pihak yang bukan merupakan Pejabat Eksekutif Bank; 3. tidak ada perlakuan khusus antar Pejabat Eksekutif Bank dalam pemberian Kredit; dan 4. tatacara pemberian Kredit diatur dalam peraturan kepegawaian yang berlaku umum. Pasal 40 Ayat (1) Yang dimaksud dengan BUMN dalam Pasal ini adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui … - 35 - melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan sebagaimana diatur dalam perundang- undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan Penyediaan Dana kepada BUMN untuk tujuan pembangunan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak adalah Penyediaan Dana untuk: 1. pengadaan pangan; 2. pengadaan rumah sangat sederhana; 3. pengadaan/penyediaan/pengelolaan minyak dan gas bumi; 4. pengadaan/penyediaan/pengelolaan air; 5. pengadaan/penyediaan/pengelolaan listrik; 6. pengadaan infrastruktur penunjang transportasi darat, laut, dan udara berupa pembangunan jalan, jembatan, rel kereta api, pelabuhan laut dan bandar udara. Ayat (2) dan ayat (3) Yang dimaksud dengan BUMD dalam ayat ini adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh pemerintah daerah melalui penyertaan secara langsung yang kekayaan daerah yang berasal dari dipisahkan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 36 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Termasuk yang disesuaikan antara lain definisi Penyediaan Dana, BMPK untuk Kelompok Peminjam, BMPK untuk Kredit yang dijamin oleh lembaga pembangunan multilateral. Pasal 42 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pelaksanaan ketentuan BMPK antara lain adalah perhitungan Penyediaan Dana, perhitungan Modal, penentuan kelompok Peminjam dan atau penentuan Pihak Terkait. Ayat (2) Koreksi terhadap laporan kepada Bank Indonesia dan laporan publikasi dilakukan paling kurang untuk periode berikutnya sejak ditetapkannya koreksi Bank Indonesia. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 … - 37 - Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4472 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/3/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM </reg_title> <set_date> 20 Januari 2005 </set_date> <effective_date> 20 Januari 2005 </effective_date> <replaced_reg> '2/5/PBI/2000', '2/16/PBI/2000', '31/177/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
1 PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/13/PBI/2016 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah; b. bahwa untuk mendukung kestabilan nilai Rupiah dibutuhkan pendalaman pasar valuta asing domestik yang salah satunya dilakukan melalui pengembangan transaksi swap dalam rangka lindung nilai kepada Bank Indonesia; c. bahwa untuk menjaga integritas dalam transaksi swap lindung nilai kepada Bank Indonesia perlu dilakukan harmonisasi atas pengaturan acuan pengenaan sanksi yang sejalan dengan perkembangan kebijakan moneter Bank Indonesia; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu melakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/17/PBI/2013 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia; -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA. Pasal I Ketentuan Pasal 15 dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/17/PBI/2013 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 237, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5480) sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Bank Indonesia: a. Nomor 16/19/PBI/2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 215, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5583); b. Nomor 18/8/PBI/2016 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5881), diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: -3- Pasal 15 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 6 ayat (5), Pasal 6 ayat (6), Pasal 7 ayat (1), dan/atau Pasal 7 ayat (3) dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dari nilai Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam denominasi Rupiah dengan menggunakan: 1. kurs JISDOR untuk Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah; dan/atau 2. kurs tengah transaksi Bank Indonesia untuk Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam valuta asing selain Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah, pada tanggal transaksi. (2) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. (3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c dan/atau Pasal 12 ayat (1) dikenakan sanksi berupa teguran tertulis. (4) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dan/atau Pasal 13 ayat (3) dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar: 1. rata-rata suku bunga efektif Fed Fund yang berlaku selama ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis periode keterlambatan -4- point dikalikan nominal transaksi dikalikan hari keterlambatan dibagi dengan 360 (tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta Dolar Amerika Serikat; 2. rata-rata suku bunga kebijakan Bank Indonesia yang berlaku selama periode keterlambatan ditambah margin sebesar 350 (tiga ratus lima puluh) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan hari keterlambatan dibagi dengan 360 (tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam Rupiah; 3. rata-rata suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas moneter di negara valuta yang bersangkutan (official rate) yang berlaku selama periode keterlambatan ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan hari keterlambatan dibagi dengan 360 (tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing selain Dolar Amerika Serikat. (5) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui pendebetan rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia. (6) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b angka 1 atau angka 2 dilakukan melalui pendebetan rekening giro valuta asing atau rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia. (7) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b angka 3 dilakukan melalui pendebetan rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia dengan konversi nilai ke Rupiah menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal penyelesaian transaksi. -5- (8) Bank Indonesia dapat mengubah besaran margin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi dan perubahan besaran margin sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 19 Agustus 2016. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 Agustus 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Agustus 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 173 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/13 / PBI/ 2016 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA I. UMUM Dalam upaya mendukung pendalaman pasar valuta asing domestik dalam kondisi masih terbatasnya instrumen swap di pasar keuangan dengan jangka waktu menengah panjang, Bank Indonesia menyediakan instrumen swap Lindung Nilai bagi pelaku pasar domestik yang diharapkan dapat membantu pengelolaan likuiditas dan pemeliharaan stabilitas nilai tukar Rupiah. Bank Indonesia secara berkesinambungan terus melakukan pengembangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. Pengembangan terkini atas Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dilakukan sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia dalam mereformulasi suku bunga kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter. Suku bunga kebijakan Bank Indonesia digunakan sebagai acuan dalam pengenaan sanksi atas Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam upaya untuk menjaga integritas dalam Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 15 - 2 - Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan “rata-rata suku bunga efektif Fed Fund” adalah rata-rata suku bunga efektif Fed Fund pada 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal terjadinya pelanggaran. Angka 2 Yang dimaksud dengan “suku bunga kebijakan Bank Indonesia” adalah Bank Indonesia 7-day Reverse Repo Rate (BI 7-day Repo Rate). Angka 3 Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5920
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/13/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 10 Agustus 2016 </set_date> <effective_date> 19 Agustus 2016 </effective_date> <issued_date> 15 Agustus 2016 </issued_date> <changed_reg> '15/17/PBI/2013' </changed_reg> <extension_of> '16/19/PBI/2014', '18/8/PBI/2016' </extension_of> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Pasal 15' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/16/PBI/2005 TENTANG PENYIMPANAN SEKURITAS, SURAT YANG BERHARGA DAN BARANG BERHARGA PADA BANK INDONESIA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia melakukan kegiatan penyimpanan sekuritas, surat yang berharga dan barang berharga dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Bank Indonesia; b. bahwa untuk lebih meningkatkan efektifitas dan efisiensi kegiatan penyimpanan pada Bank Indonesia, Bank Indonesia memandang perlu untuk mengatur kembali jenis simpanan, pihak yang dapat menyimpan, dan mekanisme penyimpanan pada Bank Indonesia; c. bahwa sehubungan dengan huruf a dan huruf b di atas, dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan mengenai penyimpanan sekuritas, surat yang berharga dan barang berharga pada Bank Indonesia dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik … - 2 - Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN : Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENYIMPANAN SEKURITAS, SURAT YANG BERHARGA DAN BARANG BERHARGA PADA BANK INDONESIA. Pasal 1 Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Simpanan adalah benda milik pihak tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang disimpan dan ditatausahakan pada Bank Indonesia. 2. Penyimpan adalah pihak tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang dapat melakukan penyimpanan pada Bank Indonesia. 3. Sekuritas adalah surat berharga dalam bentuk fisik (warkat) yang mempunyai nilai uang yang dapat diperdagangkan di pasar uang dan atau pasar modal. 4. Surat Yang Berharga adalah dokumen yang mempunyai nilai bagi Penyimpan yang tidak dapat diperdagangkan di pasar uang dan atau pasar modal. 5. Barang Berharga adalah uang, dan barang yang menurut penilaian Penyimpan mempunyai nilai jual tinggi. Pasal 2 (1) Bank Indonesia dapat menerima Simpanan dari Penyimpan. (2) Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. Sekuritas, antara lain saham dan obligasi; b. Surat … - 3 - b. Surat Yang perjanjian; Berharga, antara lain sertifikat tanah dan dokumen c. Barang Berharga, antara lain, uang baik dalam Rupiah maupun valuta asing, logam mulia, platina dan batu mulia. (3) Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terkait dengan: a. kelancaran pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam rangka kebijakan moneter; atau b. penyitaan oleh penyidik dan atau penetapan sita oleh pengadilan tingkat pertama dalam perkara pidana, perdata atau tata usaha negara dalam rangka penanganan kasus yang berdampak luas. (4) Simpanan yang dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan Simpanan yang dianggap berbahaya atau dilarang perundang-undangan yang berlaku. Pasal 3 Penyimpan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri dari: a. Lembaga kementerian baik departemen maupun non departemen; b. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi dan lembaga lain yang mempunyai kewenangan penyidikan berdasarkan Undang-Undang; Pengadilan tingkat pertama; c. d. Pemerintah daerah tingkat I dan tingkat II. Pasal 4 (1) Bank Indonesia menerima Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berdasarkan permohonan secara tertulis dari Penyimpan. (2) Bank… oleh Pemerintah atau peraturan - 4 - (2) Bank Indonesia dapat menolak permohonan penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 3 serta pertimbangan lainnya. Pasal 5 (1) Penyimpan dapat menentukan jangka waktu penyimpanan pada Bank Indonesia. (2) Jangka waktu penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penyimpanan. (3) Jangka waktu penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diperpanjang paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal jatuh waktu Simpanan. (4) Jangka waktu penyimpanan untuk Sekuritas dapat disesuaikan dengan maksimal jangka waktu Sekuritas dimaksud. Pasal 6 (1) Perpanjangan jangka waktu penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dilakukan oleh Penyimpan dengan mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia dapat menerima atau menolak permohonan perpanjangan jangka waktu penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 7 (1) Simpanan yang telah jatuh waktu harus diambil oleh Penyimpan. (2) Penyimpan … - 5 - (2) Penyimpan dapat mengambil Simpanan sebelum jatuh waktu dengan mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia. Pasal 8 (1) (2) Bank Indonesia dapat memutuskan hubungan penyimpanan dengan pertimbangan tertentu. Dalam hal Bank Indonesia memutuskan hubungan penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Simpanan harus diambil oleh Penyimpan. Pasal 9 (1) Penatausahaan Simpanan pada Bank Indonesia mencakup penerimaan, penyimpanan dan penyerahan Simpanan. (2) Dalam rangka penatausahaan Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menerbitkan: a. Bukti Depot Simpanan (BDS) sebagai bukti penerimaan Simpanan pada Bank Indonesia; b. Bukti Penyerahan Simpanan (BPS) sebagai bukti penyerahan Simpanan oleh Bank Indonesia. Pasal 10 (1) Bank Indonesia menerbitkan BDS pengganti untuk BDS yang hilang atau rusak berdasarkan permohonan secara tertulis dari Penyimpan. (2) Bank Indonesia dapat menolak permohonan penggantian BDS yang hilang atau rusak. (3) BDS … - 6 - (3) BDS yang dilaporkan hilang atau rusak dinyatakan tidak berlaku setelah diterbitkannya BDS pengganti. Pasal 11 Bank Indonesia tidak mengenakan biaya atas Simpanan yang ditatausahakan pada Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Bank Indonesia mengkategorikan Simpanan menjadi Simpanan kadaluarsa apabila: a. Simpanan telah jatuh waktu dan tidak diambil oleh Penyimpan; atau b. Permohonan perpanjangan secara tertulis dari Penyimpan diterima setelah lewat jatuh waktu Simpanan; atau c. Simpanan telah diputus hubungan penyimpanannya oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan tidak diambil oleh Penyimpan. (2) Dalam hal Simpanan dikategorikan sebagaimana dimaksud pada ayat Simpanan dimaksud. (1), Penyimpan sebagai Simpanan kadaluarsa harus mengambil (3) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Penyimpan perihal penyelesaian Simpanan kadaluarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam hal Penyimpan tidak memberikan tanggapan atas surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia dapat mengalihkan Simpanan kadaluarsa kepada pihak yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal … - 7 - Pasal 13 (1) Penyimpan bertanggungjawab sepenuhnya atas kebenaran jumlah, isi, nilai dan kualitas Simpanan yang disebutkan dalam BDS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a. (2) Bank Indonesia dibebaskan dari tanggung jawab apabila terjadi kehilangan, kerusakan, penyusutan, kadaluarsa dan atau hal-hal lain yang mungkin timbul atas Simpanan yang mengakibatkan berkurangnya nilai, kualitas dan atau fisik Simpanan. Pasal 14 (1) Bank Indonesia melakukan penyelesaian atas simpanan yang ditatausahakan pada Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Jangka waktu penyelesaian simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Dalam hal simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terselesaikan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia dapat mengalihkan penatausahaan simpanan kepada pihak yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 15 Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal … - 8 - Pasal 16 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/142/KEP/DIR tanggal 23 Februari 1995 tentang Penyimpanan Sekuritas, Surat Yang Berharga dan Barang Berharga Pada Bank Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 17 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2005. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 Juli 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 54 …. DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/16/PBI/2005 TENTANG PENYIMPANAN SEKURITAS, SURAT YANG BERHARGA DAN BARANG BERHARGA PADA BANK INDONESIA UMUM berharga dan barang Bank Indonesia melakukan kegiatan penyimpanan sekuritas, surat yang berharga bertujuan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Pelaksanaan kegiatan penyimpanan dimaksud selama ini dipandang tidak efisien dan tidak efektif sehubungan dengan terlalu luasnya cakupan jenis simpanan, pihak penyimpan, dan ketidakjelasan mekanisme penyimpanan. Sehubungan hal tersebut, dalam rangka mendukung efektifitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penyimpanan pada Bank Indonesia, dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan mengenai penyimpanan sekuritas, surat yang berharga dan barang berharga pada Bank Indonesia, sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/142/KEP/DIR tanggal 23 Februari 1995. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat … - 2 - Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang termasuk batu mulia antara lain berlian, intan, dan permata. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kasus yang berdampak luas” antara lain yang dapat menimbulkan dampak nasional. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “Simpanan yang dianggap berbahaya atau dilarang oleh Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang berlaku” antara lain senjata api, peluru, bahan peledak, bahan kimia, senjata tajam, narkotika dan psikotropika. Pasal 3 Huruf a Yang dimaksud dengan “Lembaga kementerian baik departemen maupun non departemen” adalah baik yang berkedudukan di pusat maupun daerah namun tidak termasuk badan-badan usaha milik negara dan daerah. Huruf b Cukup jelas. Huruf … berskala regional atau - 3 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pertimbangan lainnya” antara lain keterbatasan kapasitas ruangan penyimpanan di Bank Indonesia. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penolakan permohonan perpanjangan jangka waktu penyimpanan dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain keterbatasan kapasitas ruangan penyimpanan di Bank Indonesia dan atau Penyimpan mengajukan permohonan perpanjangan setelah melewati tanggal jatuh waktu Simpanan. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Simpanan yang telah jatuh waktu” adalah Simpanan yang telah melewati tanggal jatuh waktu Simpanan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal … - 4 - Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” antara lain adalah keterbatasan kapasitas ruangan penyimpanan di Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kegiatan penyerahan Simpanan termasuk kegiatan penyelesaian Simpanan kadaluarsa. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penolakan permohonan antara lain dapat disebabkan oleh ketidaksesuaian antara data dalam surat permohonan dengan data yang tercantum dalam BDS yang Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat … ditatausahakan di Bank - 5 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Proses penyelesaian atas Simpanan kadaluarsa yang telah dialihkan selanjutnya merupakan tanggung jawab pihak yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “simpanan” adalah simpanan sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/142/KEP/DIR tanggal 23 Februari 1995 tentang Penyimpanan Sekuritas, Surat Yang Berharga dan Barang Berharga Pada Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. ..... TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4508 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/16/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PENYIMPANAN SEKURITAS, SURAT YANG BERHARGA DAN BARANG BERHARGA PADA BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 1 Juli 2005 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2005 </effective_date> <replaced_reg> '27/142/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/19/PBI/2005 TENTANG PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah ditunjuk oleh Pemerintah sebagai agen untuk melaksanakan lelang Surat Utang Negara di pasar perdana dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 66/KMK.01/2003 tanggal 10 Februari 2003; b. bahwa ketentuan pelaksanaan lelang Surat Utang Negara di pasar perdana telah diubah oleh Pemerintah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.06/2005 tanggal 14 Juni 2005 tentang Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana; c. bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan Penerbitan, Penjualan dan Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang- … -2- 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang … -3- Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara. 3. Surat Perbendaharaan Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. 4. Obligasi Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. 5. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara untuk pertama kali. 6. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah dijual di Pasar Perdana. 7. Peserta Lelang adalah pihak yang disetujui oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk dapat ikut serta dalam lelang Surat Utang Negara. 8. Yield to Maturity atau Yield adalah tingkat imbal hasil (keuntungan) yang diharapkan oleh investor dalam persentase per tahun. 9. Penawaran Pembelian Kompetitif (competitive bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan tingkat imbal hasil (Yield) yang diinginkan penawar. 10. Penawaran Pembelian Non-kompetitif (non-competitive bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa tingkat imbal hasil (Yield) yang diinginkan penawar. 11. Lelang Surat Utang Negara adalah penjualan Surat Utang Negara yang diikuti oleh Peserta Lelang dan Bank Indonesia atau hanya diikuti oleh Peserta Lelang, dengan cara … -4- cara mengajukan Penawaran Pembelian Kompetitif dan atau Penawaran Pembelian Non-kompetitif dalam suatu periode waktu penawaran yang telah ditentukan dan diumumkan sebelumnya. 12. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi penatausahaan surat berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan Bank, Sub- Registry dan pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia. 13. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian, yang disetujui Bank Indonesia untuk melakukan fungsi penatausahaan surat berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan nasabah. 14. Delivery Versus Payment yang untuk selanjutnya disebut DVP adalah setelmen transaksi Surat Utang Negara dengan cara setelmen surat berharga melalui Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) dilakukan bersamaan dengan setelmen dana di Bank Indonesia melalui Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (BI-RTGS). 15. Free of Payment yang untuk selanjutnya disebut FoP adalah setelmen transaksi Surat Utang Negara dengan cara setelmen surat berharga dilakukan melalui Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS), sedangkan setelmen dana dilakukan tidak secara bersamaan dengan setelmen surat berharga atau tanpa setelmen dana. BAB II FUNGSI BANK INDONESIA DALAM PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA Pasal 2 Dalam rangka membantu Pemerintah untuk mengelola Surat Utang Negara, Bank Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut : a. memberikan … -5- a. memberikan masukan dalam rangka menetapkan ketentuan dan persyaratan penerbitan Surat Utang Negara; b. bertindak sebagai agen lelang dalam penjualan Surat Utang Negara di Pasar Perdana yang antara lain melakukan seleksi dan mengusulkan calon Peserta Lelang kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia, melakukan evaluasi keaktifan Peserta Lelang, mengumumkan Peserta Lelang yang disetujui dan atau dicabut persetujuannya sebagai Peserta Lelang oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia, mengumumkan rencana Lelang Surat Utang Negara, melaksanakan Lelang Surat Utang Negara, dan mengumumkan keputusan hasil Lelang Surat Utang Negara; c. dapat bertindak sebagai agen dalam pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder untuk kepentingan Pemerintah dan atas permintaan Menteri Keuangan Republik Indonesia; d. menatausahakan Surat Utang Negara yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen, serta agen pembayar bunga (kupon) dan pokok Surat Utang Negara. BAB III KARAKTERISTIK SURAT UTANG NEGARA Pasal 3 Surat Utang Negara yang ditatausahakan oleh Bank Indonesia mempunyai karakteristik sebagai berikut: a. Surat Perbendaharaan Negara: 1. diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat (scripless); 2. diterbitkan dalam bentuk yang diperdagangkan atau dalam bentuk yang tidak diperdagangkan di Pasar Sekunder; 3. diterbitkan … -6- 3. diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dan pembayaran bunga secara diskonto; b. Obligasi Negara: 1. diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat (scripless); 2. diterbitkan dalam bentuk yang diperdagangkan atau dalam bentuk yang tidak diperdagangkan di Pasar Sekunder; 3. diterbitkan dengan jangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon mengambang (variable rate), kupon tetap (fixed rate), dan atau pembayaran bunga secara diskonto. BAB IV PERSYARATAN DAN KEWAJIBAN PESERTA LELANG SURAT UTANG NEGARA DI PASAR PERDANA Pasal 4 (1) Pihak yang dapat menjadi Peserta Lelang adalah Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing, dan Perusahaan Efek yang memenuhi kriteria dan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. (2) Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan kriteria dan persyaratan bagi calon Peserta Lelang, sebagai berikut : a. Bank 1. memiliki izin usaha yang masih berlaku dari Bank Indonesia sebagai Bank; 2. memenuhi persyaratan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) berdasarkan Ketentuan Bank Indonesia; dan 3. menjadi peserta Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS). b. Perusahaan … -7- b. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing 1. memiliki izin usaha yang masih berlaku dari Bank Indonesia sebagai Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing; 2. memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua) orang tenaga ahli di bidang Pasar Uang; 3. Aktif melakukan kegiatan di Pasar Uang dan atau melakukan transaksi perdagangan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang tercermin dari aktivitas pengajuan penawaran dalam lelang di Pasar Perdana SBI 1 (satu) bulan secara kumulatif minimal 1% (satu per seratus) dari total jumlah penerbitan dalam 3 (tiga) bulan terakhir; dan 4. menjadi peserta Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS). c. Perusahaan Efek 1. memiliki izin usaha yang masih berlaku dari Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) sebagai Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan atau Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening efek nasabah; 2. mempunyai pengalaman sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) tahun dalam kegiatan transaksi di Pasar Modal; dan 3. menjadi peserta Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS). Pasal 5 (1) Bank Indonesia sebagai agen lelang melakukan seleksi dan mengusulkan calon Peserta Lelang kepada Menteri Keuangan berdasarkan kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). (2) Dalam … -8- (2) Dalam melakukan seleksi calon Peserta Lelang khususnya bagi Perusahaan Efek, Bank Indonesia dapat melakukan koordinasi dengan Bapepam untuk memperoleh informasi terkait yang diperlukan. (3) Menteri Keuangan Republik Indonesia menyetujui atau menolak Peserta Lelang berdasarkan hasil seleksi dan usulan calon Peserta Lelang yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Bank Indonesia mengumumkan Peserta Lelang yang telah disetujui oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). Pasal 6 Peserta Lelang yang telah disetujui wajib memelihara pemenuhan kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) selama menjadi Peserta Lelang. Pasal 7 (1) Bank Indonesia melakukan evaluasi keaktifan Peserta Lelang secara berkala berdasarkan persyaratan sebagai berikut : a. Peserta Lelang wajib melakukan penawaran pembelian paling sedikit 4 (empat) kali dalam 12 (dua belas) kali Lelang Surat Utang Negara terakhir; atau b. Peserta Lelang wajib melakukan penawaran pembelian paling sedikit 1 (satu) kali dalam 4 (empat) kali Lelang Surat Utang Negara secara berturut-turut. (2) Dalam hal Peserta Lelang adalah Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing maka keaktifan Peserta Lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk Lelang Surat Perbendaharaan Negara. (3) Bank … -9- (3) Bank Indonesia menyampaikan hasil evaluasi keaktifan Peserta Lelang yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia. Pasal 8 (1) Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Surat Utang Negara wajib menjamin kecukupan dana pada Bank pembayar yang ditunjuk sampai dengan batas akhir waktu setelmen yang dilakukan oleh Bank Indonesia. (2) Dalam hal Peserta Lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memenuhi kewajiban sampai dengan batas akhir waktu setelmen akibat Bank yang melakukan setelmen pembayaran tidak memiliki saldo yang mencukupi dalam rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia maka seluruh hasil Lelang Surat Utang Negara yang setelmennya dilakukan melalui Bank tersebut dinyatakan batal. BAB V PEMBELIAN SURAT UTANG NEGARA DI PASAR PERDANA Pasal 9 (1) Orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi dapat membeli Surat Utang Negara di Pasar Perdana. (2) Pembelian Surat Utang Negara di Pasar Perdana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan mengajukan penawaran pembelian kepada agen lelang Bank Indonesia, melalui Peserta Lelang yang terdiri dari Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing, dan Perusahaan Efek. (3) Dalam Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana, Bank dan Perusahaan Efek dapat mengajukan penawaran pembelian untuk dan atas nama diri sendiri dan pihak … -10- pihak lain sedangkan Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing hanya dapat mengajukan penawaran pembelian untuk dan atas nama pihak lain. (4) Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing dapat melakukan pembelian Surat Utang Negara hanya untuk jenis Surat Perbendaharaan Negara. Pasal 10 (1) Bank Indonesia dapat membeli Surat Utang Negara di Pasar Perdana hanya untuk jenis Surat Perbendaharaan Negara. (2) Pembelian Surat Perbendaharaan Negara di Pasar Perdana oleh Bank Indonesia dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut : a. Penawaran pembelian dilakukan secara langsung tanpa melalui Peserta Lelang; b. Penawaran pembelian dilakukan secara Non-kompetitif. BAB VI LELANG SURAT UTANG NEGARA DI PASAR PERDANA Pasal 11 Dalam pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana, Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan dan menyampaikan pemberitahuan kepada Bank Indonesia sebagai agen lelang, hal-hal sebagai berikut : a. Rencana Lelang Surat Utang Negara yang mencakup tanggal dan waktu pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara, jenis dan jangka waktu Surat Utang Negara, target indikatif Surat Utang Negara yang ditawarkan, tanggal penerbitan, tanggal setelmen, tanggal jatuh tempo, mata uang, waktu pengumuman hasil Lelang Surat Utang Negara dan persentase alokasi Penawaran Pembelian Non- kompetitif Surat Utang Negara yang akan ditawarkan; b. Keputusan … -11- b. Keputusan hasil lelang Surat Utang Negara yang mencakup kuantitas Lelang Surat Utang Negara secara keseluruhan, nama pemenang, nilai nominal dan tingkat diskonto atau Yield; c. Penolakan seluruh atau sebagian dari penawaran pembelian Surat Utang Negara yang masuk selama pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara. Pasal 12 (1) Penawaran pembelian dalam Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif atau dengan cara kombinasi Penawaran Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non- kompetitif. (2) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Surat Utang Negara baik secara langsung maupun melalui Peserta Lelang lain untuk dan atas nama diri sendiri maka penawaran pembelian hanya dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif. (3) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Surat Perbendaharaan Negara untuk dan atas nama pihak lain maka penawaran pembelian hanya dapat diajukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif. (4) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Obligasi Negara untuk dan atas nama pihak lain maka penawaran pembelian dapat diajukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif dan atau Penawaran Pembelian Non-kompetitif. Pasal 13 (1) Bank Indonesia melakukan Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana sesuai kebutuhan Pemerintah dan atas permintaan Menteri Keuangan Republik Indonesia. (2) Bank … -12- (2) Bank Indonesia mengumumkan rencana Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana berdasarkan penetapan dan pemberitahuan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a. Pasal 14 (1) Penetapan harga Surat Utang Negara bagi pemenang Lelang Surat Utang Negara dengan Penawaran Pembelian Kompetitif dilakukan dengan metode harga beragam (multiple price). (2) Penetapan harga Surat Utang Negara bagi pemenang Lelang Surat Utang Negara dengan Penawaran Pembelian Non-kompetitif dilakukan berdasarkan harga rata- rata tertimbang (weighted average price) hasil Lelang Surat Utang Negara dengan Penawaran Pembelian Kompetitif. (3) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana kepada Peserta Lelang berdasarkan penetapan dan pemberitahuan Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 huruf b. (4) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana secara keseluruhan kepada Peserta Lelang dan publik pada hari pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara yang mencakup sekurang-kurangnya kuantitas lelang secara keseluruhan, rata-rata tertimbang tingkat diskonto atau Yield dan tingkat diskonto atau Yield terendah dan tertinggi. Pasal 15 … -13- Pasal 15 Bank Indonesia mengumumkan penolakan seluruh atau sebagian penawaran pembelian Surat Utang Negara berdasarkan penetapan dan pemberitahuan Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c. BAB VII PEMBELIAN DAN PENJUALAN SURAT UTANG NEGARA DI PASAR SEKUNDER Pasal 16 (1) Menteri Keuangan Republik Indonesia dapat menunjuk Bank Indonesia sebagai agen untuk melaksanakan pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder. (2) Dalam hal Bank Indonesia ditunjuk sebagai agen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder berdasarkan permintaan Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB VIII PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA Pasal 17 (1) Bank Indonesia melakukan penatausahaan Surat Utang Negara secara elektronis dengan menggunakan sarana Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (2) Penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen transaksi baik di Pasar Perdana … -14- Perdana maupun di Pasar Sekunder, pembayaran bunga (kupon) dan pokok Surat Utang Negara yang jatuh waktu. BAB IX PENCATATAN KEPEMILIKAN SURAT UTANG NEGARA Pasal 18 (1) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara dilakukan tanpa warkat (scripless) dan secara book entry. (2) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara dilakukan secara two tier system yang terdiri dari: a. Central Registry yang melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan Surat Berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan Bank, Sub- Registry dan pihak lain yang disetujui Bank Indonesia; dan b. Sub-Registry yang melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan Surat Berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan nasabah. (3) Catatan kepemilikan Surat Utang Negara pada Central Registry dan Sub-Registry merupakan bukti kepemilikan yang sah. BAB X SETELMEN TRANSAKSI SURAT UTANG NEGARA Pasal 19 (1) Setelmen transaksi Surat Utang Negara di Pasar Perdana dilakukan sebagai berikut: a. Surat … -15- a. Surat Perbendaharaan Negara pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah hari pelaksanaan lelang Surat Perbendaharaan Negara (T+1); b. Obligasi Negara paling lambat pada 5 (lima) hari kerja berikutnya setelah pengumuman hasil pemenang lelang Obligasi Negara (T+5). (2) Setelmen transaksi Surat Utang Negara baik di Pasar Perdana maupun di Pasar Sekunder dilakukan atas dasar prinsip DVP atau FoP. (3) Setelmen transaksi Surat Utang Negara secara DVP dilakukan atas dasar sistem setelmen gross to gross atau kombinasi setelmen gross to gross dan setelmen gross to net. Pasal 20 Dalam rangka setelmen Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan di Pasar Sekunder, Bank Indonesia berwenang untuk : a. mendebet rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia yang melakukan pembelian baik untuk dan atas nama diri sendiri maupun untuk dan atas nama pihak lain; atau b. mendebet rekening surat berharga pemilik rekening di Central Registry yang melakukan penjualan Surat Utang Negara baik untuk dan atas nama diri sendiri maupun untuk dan atas nama pihak lain; c. mendebet rekening Surat Utang Negara milik Pemerintah atau rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia, dalam rangka setelmen transaksi Surat Utang Negara. BAB XI … -16- BAB XI PEMBAYARAN BUNGA (KUPON) DAN PELUNASAN POKOK SURAT UTANG NEGARA JATUH WAKTU Pasal 21 (1) Bank Indonesia melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pelunasan pokok Surat Utang Negara sebesar nilai nominal pada saat jatuh waktu atas beban Pemerintah. (2) Atas permintaan Pemerintah, Bank Indonesia melakukan pelunasan pokok Surat Utang Negara sebelum tanggal jatuh waktu atas beban Pemerintah. (3) Pembayaran pokok dan bunga (kupon) Surat Utang Negara dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan posisi kepemilikan Surat Utang Negara yang tercatat di Central Registry. BAB XII BIAYA ADMINISTRASI Pasal 22 Bank Indonesia dapat mengenakan biaya administrasi atas pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara kepada Peserta Lelang dan biaya penatausahaan Surat Utang Negara kepada pemilik rekening Surat Utang Negara di Central Registry. BAB XIII PELAPORAN Pasal 23 Bank Indonesia melaporkan kegiatan penatausahaan Surat Utang Negara secara berkala kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB XIV … -17- BAB XIV SANKSI Pasal 24 Peserta Lelang yang transaksinya dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), tidak boleh mengikuti Lelang Surat Utang Negara sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut sejak transaksinya dinyatakan batal. Pasal 25 (1) Menteri Keuangan Republik Indonesia berwenang mencabut persetujuan Peserta Lelang dalam kondisi sebagai berikut : a. Peserta Lelang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan kriteria dan persyaratan sebagai Peserta Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; dan atau b. Peserta Lelang c. tidak memenuhi persyaratan keaktifan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1); dan atau Peserta Lelang sedang dalam proses kepailitan di pengadilan. (2) Peserta Lelang yang telah dicabut persetujuannya sebagai Peserta Lelang karena kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan atau huruf b, dapat mengajukan permohonan menjadi Peserta Lelang kembali setelah 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pencabutan. (3) Bank Indonesia mengumumkan Peserta Lelang yang dicabut penunjukannya oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). BAB XV … -18- BAB XV LAIN-LAIN Pasal 26 Pelaksanaan penatausahaan Surat Utang Negara yang mencakup kegiatan pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara, setelmen transaksi Surat Utang Negara dan pembayaran bunga serta pelunasan pokok Surat Utang Negara jatuh waktu, tunduk pada ketentuan Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang berlaku. BAB XVI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 27 Bagi Peserta Lelang yang telah mendapat persetujuan sebagai Peserta Lelang oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebelum berlakunya ketentuan ini dinyatakan tetap berlaku. Pasal 28 Apabila pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Peserta Lelang Surat Utang Negara sedang menjalani sanksi tidak boleh mengikuti Lelang Surat Utang Negara sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/3/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Penerbitan, Penjualan dan Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara maka sanksi tersebut tetap berlaku. BAB XVII … -19- BAB XVII KETENTUAN PENUTUP Pasal 29 (1) Evaluasi keaktifan Peserta Lelang mulai dilakukan setelah tanggal ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan No. 45/PMK.06/2005 pada tanggal 14 Juni 2005. (2) Evaluasi keaktifan Peserta Lelang bagi Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Valuta Asing mulai dilakukan sejak dimulainya lelang Surat Perbendaharaan Negara pertama kali dilakukan. (3) Evaluasi terhadap keaktifan Peserta Lelang yang baru memperoleh persetujuan dari Menteri Keuangan Republik Indonesia, mulai dilakukan sejak bersangkutan telah berstatus aktif sebagai peserta Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS). Pasal 30 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 31 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/3/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Penerbitan, Penjualan dan Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 32 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan … yang -20- Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 25 Juli 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 66 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/19/ PBI /2005 TENTANG PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA UMUM Dalam rangka membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran dan mengelola portofolio utang negara, Pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara di dalam negeri. Sehubungan dengan penerbitan Surat Utang Negara tersebut di atas, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, Pemerintah menunjuk Bank Indonesia sebagai agen lelang yang dapat menyelenggarakan kegiatan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Perdana (Pasal 13), melakukan pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder atas nama Pemerintah dalam rangka pengelolaan portofolio utang negara (Pasal 14), dan melakukan penatausahaan Surat Utang Negara yang mencakup pencatatan penerbitan dan kepemilikan, kliring dan setelmen baik di Pasar Primer maupun di Pasar Sekunder, serta agen pembayar bunga (kupon) dan pokok Surat Utang Negara (Pasal 12). Dalam rangka operasi pengendalian moneter dan sebagai upaya untuk memperkaya instrumen Operasi Pasar Terbuka, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah … -2- diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia dapat membeli Surat Utang Negara berjangka pendek (Pasal 55). Dalam rangka efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang terkait dengan penjualan Surat Utang Negara di pasar perdana, pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di pasar sekunder dan Penatausahaan Surat Utang Negara, dan penatausahaan Surat Utang Negara, Bank Indonesia menerapkan Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System sebagaimana diatur dalam PBI 6/2/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Huruf a Masukan ini dimaksudkan agar tercapai keselarasan antara kebijakan fiskal termasuk manajemen utang, dan kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas Huruf c Pelaksanaan pembelian dan penjualan di Pasar Sekunder mengikuti mekanisme yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. Huruf d Cukup jelas Pasal 3 … nomor -3- Pasal 3 Huruf a Cukup jelas Huruf b Butir 1. Cukup jelas Butir 2. Cukup jelas Butir 3. Obligasi Negara yang diterbitkan tanpa kupon dan diperdagangkan berdasarkan sistem diskonto disebut Zero coupon bond. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing adalah perusahaan yang memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan jasa perantara bagi kepentingan nasabah di bidang pasar uang. Yang dimaksud dengan Perusahaan Efek adalah Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening nasabah. Ayat (2) Cukup jelas efek Pasal 5 … -4- Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 9 … -5- Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 13 … -6- Pasal 13 Ayat (1) Kebutuhan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dituangkan dalam kalender penerbitan (calendar of issuance) yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan kalender penerbitan (calendar of issuance) adalah rencana penerbitan Surat Utang Negara oleh Pemerintah pada periode tertentu. Ayat (2) Pengumuman rencana Lelang Surat Utang Negara dilakukan melalui sarana Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System, Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dan atau sarana lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan harga beragam (multiple price) adalah harga yang dibayarkan oleh masing-masing pemenang Lelang Surat Utang Negara sesuai dengan harga penawaran yang diajukannya. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 15 … -7- Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System adalah sarana Transaksi Dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan Penatausahaan Surat Berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara Peserta Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System, Penyelenggara Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System dan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement. Yang dimaksud dengan Transaksi Dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang dilakukan Bank Indonesia dalam rangka kegiatan Operasi Pasar Terbuka, pemberian fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank dan transkasi Surat Utang Negara untuk dan atas nama Pemerintah. Yang dimaksud dengan Peserta Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System adalah Departemen Keuangan dan pihak-pihak yang melakukan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan atau setelmen Surat Berharga melalui sarana Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System. Yang … -8- Yang dimaksud dengan Penyelenggara adalah pihak pengelola Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang menyelenggarakan kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan penatausahaannya termasuk Penatausahaan Surat Berharga. Ayat (2) Yang dimaksud dengan setelmen transaksi Surat Utang Negara adalah setelmen yang terdiri dari setelmen surat berharga dan atau setelmen dana. Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan book entry adalah pencatatan kepemilikan dan perpindahan kepemilikan tanpa warkat (scripless) dalam suatu jurnal elektronis. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Setelmen transaksi Surat Berharga secara FoP di Pasar Perdana dan di Pasar Sekunder hanya dilakukan untuk perpindahan kepemilikan Surat Utang Negara dalam rangka hibah, warisan, pelunasan kewajiban dari dan kepada Bank Indonesia atau Pemerintah, dan atau tujuan lainnya. Ayat (3) … -9- Ayat (3) Yang dimaksud dengan setelmen gross to gross adalah setelmen Surat Utang Negara dimana setelmen surat berharga dan setelmen dana dilakukan berdasarkan transaksi per transaksi (trade by trade). Yang dimaksud dengan setelmen gross to net adalah setelmen Surat Utang Negara dimana setelmen surat berharga dilakukan secara transaksi per transaksi (trade by trade) sedangkan setelmen dana secara netting sistem. Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Bank Indonesia hanya melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pokok Surat Utang Negara yang jatuh waktu sepanjang tersedianya dana yang cukup pada rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Pelaporan antara lain mencakup posisi Surat Utang Negara yang diterbitkan, posisi kepemilikan Surat Utang Negara, kupon atau diskonto yang dibayarkan, dan data transaksi perdagangan Surat Utang Negara. Pasal 24 … -10- Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 30 … -11- Pasal 30 Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia memuat antara lain tata cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana, persetujuan dan pencabutan Peserta Lelang, serta persyaratan Sub-Registry dalam penatausahaan Surat Utang Negara. Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4517 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/19/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA </reg_title> <set_date> 25 Juli 2005 </set_date> <effective_date> 25 Juli 2005 </effective_date> <replaced_reg> '6/3/PBI/2004' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIV' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/18/PBI/2005 TENTANG SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung kelancaran sistem pembayaran diperlukan penyelenggaraan kliring antar bank yang aman, efektif dan efisien; b. bahwa untuk mewujudkan penyelenggaraan kliring antar bank yang aman, efektif dan efisien perlu dilakukan penyempurnaan atas penyelenggaraan kliring Bank Indonesia; c. bahwa penyempurnaan atas penyelenggaraan kliring Bank Indonesia terutama berkaitan dengan penerapan prinsip- prinsip manajemen risiko sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh Bank for International Settlement dan prinsip-prinsip perlindungan konsumen membutuhkan pengaturan yang lebih komprehensif dan lebih memberikan kepastian hukum bagi para pihak; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472 … -2- 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998. 2. Bank … TENTANG SISTEM -3- 2. Bank Konvensional adalah Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 3. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di kantor pusat bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah. 4. Kliring adalah pertukaran warkat atau data keuangan elektronik antar peserta kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu. 5. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut SKNBI, adalah sistem Kliring Bank Indonesia yang meliputi Kliring debet dan Kliring kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional. Kliring Debet adalah kegiatan dalam SKNBI untuk transfer debet. Kliring Kredit adalah kegiatan dalam SKNBI untuk transfer kredit. 6. 7. 8. Wilayah Kliring adalah suatu wilayah tertentu yang menyelenggarakan Kliring sebagai bagian dari SKNBI. 9. Penyelenggara Kliring Nasional, yang selanjutnya disebut PKN, adalah unit kerja di Kantor Pusat Bank Indonesia yang bertugas mengelola dan menyelenggarakan SKNBI secara nasional. 10. Penyelenggara Kliring Lokal, yang selanjutnya disebut PKL, adalah unit kerja di Bank Indonesia dan unit kerja di kantor Bank yang bertugas mengelola dan menyelenggarakan SKNBI di suatu Wilayah Kliring. 11. PKL BI adalah unit kerja di Bank Indonesia yang bertugas mengelola dan menyelenggarakan SKNBI di suatu Wilayah Kliring. 12. PKL … -4- 12. PKL Selain BI adalah unit kerja pada kantor Bank yang memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk mengelola dan menyelenggarakan SKNBI di suatu Wilayah Kliring. 13. Peserta adalah kantor Bank Indonesia dan atau kantor Bank yang terdaftar pada PKN dan atau PKL untuk mengikuti kegiatan SKNBI. 14. Data Keuangan Elektronik, yang selanjutnya disebut DKE, adalah data transfer dana dalam format elektronik yang digunakan sebagai dasar perhitungan dalam SKNBI. 15. Warkat Debet adalah alat pembayaran bukan tunai yang diperhitungkan atas beban nasabah atau Bank melalui Kliring Debet. 16. DKE Debet adalah DKE untuk transfer debet yang dibuat atas dasar Warkat Debet. 17. DKE Kredit adalah DKE untuk transfer kredit yang dibuat atas dasar perintah transfer kredit. 18. Penyelesaian Akhir (settlement), yang selanjutnya disebut Penyelesaian Akhir, adalah kegiatan pendebetan dan pengkreditan rekening giro Bank di Bank Indonesia yang dilakukan berdasarkan perhitungan hak dan kewajiban masing-masing Bank yang timbul dalam penyelenggaraan SKNBI. 19. Dokumen Kliring adalah alat bantu yang berfungsi sebagai dokumen kontrol dalam penyelenggaraan SKNBI. 20. Sistem Sentral Kliring, yang selanjutnya disebut SSK, adalah sistem komputer yang digunakan oleh PKN untuk menyelenggarakan SKNBI secara nasional. 21. SSK Utama adalah SSK yang digunakan dalam kondisi normal. 22. SSK Back-up adalah SSK yang digunakan sebagai pengganti apabila terjadi gangguan atau keadaan darurat yang menyebabkan PKN tidak dapat menggunakan SSK Utama. 23. Komputer … -5- 23. Komputer Penyelenggara Kliring, yang selanjutnya disebut KPK, adalah sistem komputer yang berada di lokasi PKL yang terhubung dengan SSK secara on-line, yang digunakan PKL untuk menyelenggarakan SKNBI di suatu Wilayah Kliring. 24. KPK Utama adalah KPK yang digunakan dalam kondisi normal. 25. KPK Back-up adalah KPK yang digunakan sebagai pengganti apabila terjadi gangguan atau keadaan darurat yang menyebabkan PKL tidak dapat menggunakan KPK Utama. 26. Terminal Peserta Kliring, yang selanjutnya disebut TPK, adalah sistem komputer yang berada di lokasi Peserta, yang digunakan dalam melakukan persiapan dan atau pengiriman DKE serta penerimaan informasi perhitungan hasil Kliring dan atau informasi Kliring lainnya, baik secara on-line maupun off-line. 27. TPK Utama adalah TPK yang digunakan dalam kondisi normal. 28. TPK Back-up adalah TPK yang digunakan sebagai pengganti apabila terjadi gangguan atau keadaan darurat yang menyebabkan Peserta tidak dapat menggunakan TPK Utama. 29. Jaringan Komunikasi Data, yang selanjutnya disebut JKD, adalah seperangkat sistem yang berfungsi sebagai sarana penghubung antara KPK dengan SSK dan TPK on-line dengan SSK. 30. JKD Utama adalah JKD yang digunakan dalam kondisi normal. 31. JKD Back-up adalah JKD yang digunakan sebagai pengganti apabila terjadi gangguan atau keadaan darurat yang menyebabkan PKL atau Peserta tidak dapat menggunakan JKD Utama. 32. TPK on-line adalah TPK yang terhubung ke SSK melalui JKD. 33. TPK off-line adalah TPK yang tidak terhubung ke SSK. 34. Keadaan … -6- 34. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang secara nyata menyebabkan suatu kegiatan Kliring Debet dan atau Kliring Kredit tidak dapat dilaksanakan secara normal antara lain pemogokan kerja, kebakaran, kerusuhan massa, sabotase serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir yang dibenarkan oleh pihak penguasa atau pejabat yang berwenang setempat. 35. Sistem Bank Indonesia–Real Time Gross Settlement, yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS, adalah sistem transfer dana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement. 36. Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System, yang selanjutnya disebut BI-SSSS, adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System. BAB II PENYELENGGARA Pasal 2 (1) SKNBI diselenggarakan oleh: a. PKN; dan b. PKL. (2) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. PKL BI; dan b. PKL Selain BI. (3) Bank Indonesia dapat memberikan bantuan keuangan kepada PKL Selain BI. (4) Ketentuan … -7- (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai PKL Selain BI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 3 (1) Dalam penyelenggaraan SKNBI, PKN melakukan hal-hal sebagai berikut: a. menyediakan SSK Utama dan SSK Back-up; b. menjamin SSK Utama dan SSK Back-up berfungsi dengan baik; c. menyediakan JKD dari KPK ke SSK; d. menyediakan aplikasi SSK, KPK, dan TPK serta perubahannya; e. memberikan pelayanan kepada Peserta dan PKL penyelenggaraan SKNBI; dalam f. memiliki Disaster Recovery Plan (DRP) atau Business Continuity Plan (BCP) atas penyelenggaraan SKNBI dalam kondisi gangguan dan Keadaan Darurat; g. memastikan kepatuhan PKL dan Peserta terhadap Peraturan Bank Indonesia ini dan peraturan pelaksanaannya; dan h. menyediakan fasilitas lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang mendukung kelancaran penyelenggaraan SKNBI. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal yang dilakukan PKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 4 (1) PKL harus melakukan hal-hal sebagai berikut: a. menyediakan perangkat keras KPK; b. menyediakan fasilitas penyelenggaraan SKNBI; c. menjamin … -8- c. menjamin KPK serta sarana fasilitas pendukung penyelenggaraan SKNBI lainnya berfungsi dengan baik; d. memberikan pelayanan kepada Peserta dalam SKNBI di Wilayah Kliring yang bersangkutan; penyelenggaraan e. melakukan pengamanan dalam penyelenggaraan SKNBI untuk mencegah terjadinya manipulasi; f. menjaga kerahasiaan data yang berkaitan dengan penyelenggaraan SKNBI; g. memiliki Disaster Recovery Plan (DRP) atau Business Continuity Plan (BCP) atas penyelenggaraan SKNBI dalam kondisi gangguan dan Keadaan Darurat; h. menyampaikan laporan terkait dengan penyelenggaraan SKNBI kepada PKN; dan i. melakukan hal-hal lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang dapat mendukung kelancaran penyelenggaraan SKNBI. (2) Bank yang memiliki kantor yang menjadi PKL Selain BI wajib melakukan hal-hal sebagai berikut: a. menyusun kebijakan dan prosedur tertulis mengenai penyelenggaraan SKNBI dengan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia ini serta peraturan pelaksanaannya; b. menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis mengenai penyelenggaraan SKNBI serta setiap perubahannya kepada PKN dalam jangka waktu yang ditetapkan Bank Indonesia; c. melakukan pemeriksaan internal sekurang-kurangnya 1 (satu) kali setiap tahun dan menyampaikan hasil pemeriksaan internal kepada PKN dalam jangka waktu yang ditetapkan Bank Indonesia; d. melakukan … -9- d. melakukan security audit sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi menjadi PKL Selain BI, dan setiap kali terjadi perubahan dalam sistem teknologi informasi internal PKL Selain BI yang terkait dengan SKNBI serta menyampaikan laporan hasil security audit kepada PKN dalam jangka waktu yang ditetapkan Bank Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban PKL serta penetapan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 5 (1) PKN dan PKL dapat mengenakan biaya dalam penyelenggaraan SKNBI yang harus dibayar oleh Peserta. (2) Ketentuan mengenai jenis dan besarnya biaya dalam penyelenggaraan SKNBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta tata cara pengenaan biaya dalam penyelenggaraan SKNBI diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB III PESERTA Bagian Pertama Kepesertaan Pasal 6 (1) Setiap Bank dapat menjadi Peserta dalam penyelenggaraan SKNBI setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan Bank Indonesia. (2). Kepesertaan … -10- (2) Kepesertaan Bank dalam penyelenggaraan SKNBI dapat terdiri atas satu atau lebih kantor Bank. (3) Ketentuan mengenai persyaratan menjadi Peserta dan tata cara pendaftaran Peserta diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 7 Hubungan hukum antara Bank Indonesia dengan Bank sebagai Peserta dituangkan dalam perjanjian penggunaan SKNBI antara Bank Indonesia dan Bank. Bagian Kedua Kewajiban dan Tanggung Jawab Peserta Pasal 8 (1) Dalam penyelenggaraan SKNBI, Bank yang salah satu atau lebih kantornya menjadi Peserta: a. wajib menyusun kebijakan dan prosedur tertulis mengenai operasional SKNBI yang mengacu pada Peraturan Bank Indonesia ini serta peraturan pelaksanaannya dan atau kesepakatan tertulis antar Bank (Bye-Laws); b. wajib menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis mengenai operasional SKNBI dan setiap perubahannya kepada PKN dalam jangka waktu yang ditetapkan Bank Indonesia; c. wajib melakukan pemeriksaan internal sekurang-kurangnya 1 (satu) kali setiap tahun dan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal … -11- internal kepada PKN dalam jangka waktu yang ditetapkan Bank Indonesia; d. wajib melakukan security audit sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal kepesertaan dan setiap terjadi perubahan dalam sistem teknologi informasi internal Peserta yang terkait dengan SKNBI serta menyampaikan laporan hasil security audit kepada PKN dalam jangka waktu yang ditetapkan Bank Indonesia; e. wajib mengumumkan secara tertulis di seluruh kantor Bank jenis dan besarnya biaya transaksi SKNBI yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan jadwal pelayanan nasabah yang terkait dengan setoran Kliring yang ditetapkan oleh Bank; f. wajib melakukan pengamanan dalam pengiriman transaksi untuk mencegah terjadinya manipulasi melalui penyelenggaraan SKNBI; g. harus menyediakan paling sedikit 1 (satu) TPK Utama dan 1 (satu) TPK Back-up serta sarana pendukung lainnya di setiap Wilayah Kliring dimana 1 (satu) atau lebih kantornya menjadi Peserta; h. harus menyediakan JKD Utama dan JKD Back-up untuk TPK on-line; i. harus mengikuti kegiatan Kliring Debet dan Kliring Kredit sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh PKN dan PKL; j. harus menindaklanjuti dan melaporkan setiap perubahan nama, status, alamat, dan atau hal-hal lain yang berkaitan dengan operasional SKNBI secara tertulis kepada PKL dan atau PKN dan melakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan; dan k. harus mematuhi ketentuan-ketentuan lainnya yang berkaitan dengan kegiatan operasional penyelenggaraan SKNBI. (2) Ketentuan … -12- (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban dan tanggung jawab Bank serta penetapan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 9 Pengurus dan atau pejabat eksekutif Bank wajib melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan seluruh kantor Bank yang menjadi Peserta terhadap Peraturan Bank Indonesia ini. BAB IV PRINSIP UMUM PENYELENGGARAAN SKNBI Pasal 10 Penyelenggaraan SKNBI terdiri atas : a. Penyelenggaraan Kliring Debet; dan b. Penyelenggaraan Kliring Kredit. Pasal 11 (1) Penyelenggaraan Kliring Debet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a dilakukan per Wilayah Kliring, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Transaksi yang dapat dikliringkan adalah transfer debet yang berasal dari Warkat Debet, yang meliputi : 1. Warkat Debet yang diterbitkan oleh Peserta yang terdaftar di Wilayah Kliring tersebut; dan 2. Warkat … -13- 2. Warkat Debet berupa cek dan bilyet giro antar wilayah, sepanjang terdapat kantor peserta kliring antar wilayah di Wilayah Kliring tersebut. b. Penyampaian Warkat Debet untuk dikliringkan disertai dengan penyampaian DKE Debet kepada PKL. c. Warkat Debet dan DKE Debet yang telah disampaikan kepada PKL dan atau Peserta lain tidak dapat diubah dan atau dibatalkan oleh Peserta. d. Warkat Debet dapat tertolak (reject) oleh mesin baca pilah dalam proses Kliring penyerahan di Wilayah Kliring yang pemilahan Warkat Debetnya dilakukan secara otomasi. e. Pemrosesan dan perhitungan Kliring Debet dilakukan secara lokal di setiap Wilayah Kliring oleh PKL. f. Hasil perhitungan Kliring Debet sebagaimana dimaksud pada huruf e digabung dan diperhitungkan secara nasional oleh PKN. (2) Kegiatan dalam penyelenggaraan Kliring Debet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a terdiri atas : a. b. Kliring penyerahan; dan Kliring pengembalian. (3) Kegiatan Kliring penyerahan dan Kliring pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan satu kesatuan siklus Kliring Debet. (4) Mekanisme pemilahan Warkat Debet dalam penyelenggaraan Kliring Debet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a dapat dilakukan secara otomasi atau manual. (5) Mekanisme penyampaian DKE Debet dari Peserta kepada PKL dalam penyelenggaraan Kliring Debet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a, dapat dilakukan secara on-line atau off-line. (6) Ketentuan … -14- (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyebab tertolaknya Warkat Debet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan tata cara penanganan Warkat Debet yang tertolak tersebut diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Penyelenggaraan Kliring Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b dilakukan secara nasional, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Transaksi yang dapat dikliringkan adalah transfer kredit yang berasal dari Peserta di suatu Wilayah Kliring untuk tujuan Peserta lainnya di seluruh wilayah Indonesia. b. c. Transfer kredit sebagaimana dimaksud pada huruf a dikliringkan dalam bentuk DKE Kredit dalam mata uang rupiah. Perhitungan Kliring Kredit dilakukan secara nasional oleh PKN. (2) Kegiatan dalam penyelenggaraan Kliring Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b hanya terdiri atas Kliring penyerahan. (3) Mekanisme penyampaian DKE Kredit dari Peserta kepada PKN dalam penyelenggaraan Kliring Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b, dapat dilakukan melalui kantornya yang memiliki TPK on-line atau melalui PKL. Pasal 13 (1) Penyelesaian Akhir pada penyelenggaraan Kliring Debet dan Kliring Kredit dilakukan oleh PKN berdasarkan hasil perhitungan secara net multilateral. (2) Penyelesaian … -15- (2) Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip pembaharuan hutang (novation). (3) Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final dan tidak dapat dibatalkan. (4) Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip same day settlement. BAB V PENYELENGGARAAN KLIRING DEBET Bagian Pertama Warkat Debet dan Dokumen Kliring Pasal 14 (1) Warkat Debet yang dapat dipertukarkan dalam penyelenggaraan Kliring Debet meliputi: a. Cek; b. c. Bilyet Giro; Wesel; d. Nota Debet; dan e. Warkat Debet lain yang disetujui Bank Indonesia untuk dikliringkan. (2) Warkat Debet harus dinyatakan dalam mata uang rupiah. (3) Warkat Debet harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Warkat Debet sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal … -16- Pasal 15 (1) Penyerahan Warkat Debet dan atau DKE Debet kepada PKL atau Peserta lainnya harus disertai dengan Dokumen Kliring. (2) Ketentuan mengenai jenis dan persyaratan Dokumen Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Kedua Pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring Pasal 16 (1) Peserta wajib mencetak Warkat Debet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan Dokumen Kliring tertentu, dengan ketentuan sebagai berikut: a. pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring tertentu wajib dilakukan pada perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring yang telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; b. setiap pembuatan dan pencetakan Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring tertentu untuk pertama kali dan atau perubahan tertentu wajib memperoleh persetujuan secara tertulis dari Bank Indonesia; dan c. pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring tertentu wajib dilakukan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan Bank Indonesia. (2) Dalam melakukan pencetakan Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring, perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang: a. menerima pesanan pencetakan Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring dari pihak selain Bank; b. mencetak … -17- b. mencetak Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; (3) Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib : a. menyediakan mesin-mesin yang diperlukan dalam pencetakan Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring sesuai dengan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. melakukan sendiri segala pekerjaan yang berkaitan dengan pencetakan Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring; c. melakukan dan melaporkan hasil pengujian kertas yang akan digunakan untuk mencetak Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia; d. memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. melakukan hal-hal lain yang ditetapkan Bank Indonesia dalam rangka mendukung kelancaran pencetakan Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Warkat Debet dan Dokumen Kliring yang wajib dicetak pada perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring, spesifikasi Warkat Debet dan Dokumen Kliring, tata cara pengajuan permohonan persetujuan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring, tata cara pemberian persetujuan kepada perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring, jenis mesin yang diperlukan dalam pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring dan hal-hal lain yang dilakukan perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal … -18- Pasal 17 (1) Peserta dan perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring wajib melaporkan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring kepada Bank Indonesia secara periodik. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat sesuai dengan format yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bagian Ketiga DKE Debet Pasal 18 Perhitungan Kliring Debet dilakukan atas dasar DKE Debet yang diterima oleh PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b. Pasal 19 (1) Dalam mengkliringkan DKE Debet, Peserta harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan Bank Indonesia. (2) Dalam hal Peserta tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PKN dan atau PKL tidak memproses DKE Debet tersebut. (3) Ketentuan mengenai persyaratan pengiriman DKE Debet diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian … -19- Bagian Keempat Batas Nilai Nominal Warkat Debet Pasal 20 (1) Nilai nominal pada Warkat Debet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) tidak dibatasi, kecuali untuk Warkat Debet yang berupa Nota Debet. (2) Pembatasan nilai nominal pada Nota Debet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila: a. Nota Debet diterbitkan oleh Bank Indonesia dan ditujukan kepada Bank atau nasabah Bank; atau b. Nota Debet diterbitkan oleh Bank dan ditujukan kepada Bank Indonesia sehubungan dengan tagihan-tagihan tertentu. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan nilai nominal Nota Debet dan tagihan-tagihan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Kelima Jadwal Penyelenggaraan Kliring Debet Pasal 21 (1) Penyelenggaraan Kliring Debet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a diadakan setiap hari kerja, kecuali ditetapkan lain oleh PKN atau PKL. (2) Jadwal penyelenggaraan Kliring Debet di setiap Wilayah Kliring ditetapkan oleh masing-masing PKL dengan persetujuan PKN. (3) Ketentuan … -20- (3) Ketentuan mengenai jadwal penyelenggaraan Kliring Debet diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keenam Penyediaan Pendanaan Awal (Prefund) Kliring Debet Pasal 22 (1) Pada setiap awal hari kerja sebelum penyelenggaraan Kliring Debet dimulai di seluruh Wilayah Kliring, Bank harus menyediakan pendanaan awal (prefund) paling sedikit sebesar nilai nominal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Khusus untuk Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan, penyediaan pendanaan awal (prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpisah antara Bank Konvensional dan UUS. (3) Pendanaan awal (prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa dana tunai (cash prefund) dan atau agunan (collateral prefund). (4) Jenis agunan (collateral prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa: a. Sertifikat Indonesia (SWBI); b. Surat Utang Negara (SUN); dan atau c. Surat berharga atau tagihan lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (5) Dana tunai (cash prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditatausahakan oleh Bank Indonesia pada Sistem BI-RTGS, dalam rekening milik PKN yang digunakan khusus untuk menampung dana tunai (cash prefund) Kliring Debet. (6) Agunan … Bank Indonesia (SBI) atau Sertifikat Wadiah Bank -21- (6) Agunan (collateral prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditatausahakan oleh Bank Indonesia pada BI-SSSS, dalam rekening agunan FLI-Kliring dan rekening agunan FLIS-Kliring masing-masing Bank yang terpisah dari rekening perdagangan atau rekening aktif. (7) Agunan (collateral prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang telah disediakan oleh Bank sebagai pendanaan awal (prefund) tidak dapat digunakan untuk transaksi lain dan tidak dapat dipindahkan ke rekening perdagangan atau rekening aktif sampai dengan dilakukannya Penyelesaian Akhir Kliring Debet secara nasional. (8) Ketentuan mengenai penetapan nilai nominal pendanaan awal (prefund), tata cara pemberitahuan dari Bank Indonesia kepada Bank mengenai besarnya nilai nominal pendanaan awal (prefund), batas waktu penyediaan pendanaan awal (prefund), tata cara penyediaan pendanaan awal (prefund) dan mekanisme pengembalian pendanaan awal (prefund) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Ketujuh Informasi Awal Hasil Perhitungan Kliring Debet Pasal 23 (1) Sebelum dilakukan Penyelesaian Akhir, PKN menyediakan informasi mengenai hasil perhitungan Kliring Debet secara nasional untuk masing- masing Bank yang menunjukkan net kredit atau net debet. (2) Dalam hal nilai net debet Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar daripada total pendanaan awal (prefund) Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), maka Bank harus menambah kekurangan pendanaan awal (prefund) dalam bentuk dana tunai (cash prefund) dan atau agunan … -22- agunan (collateral prefund) sampai dengan batas waktu yang ditetapkan Bank Indonesia. (3) Ketentuan mengenai mekanisme penambahan pendanaan awal (prefund) dan penetapan batas waktu penambahan pendanaan awal (prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Kedelapan Penyelesaian Akhir Kliring Debet Pasal 24 (1) Penyelesaian Akhir atas hasil perhitungan Kliring Debet secara nasional dilakukan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Kewajiban Bank dalam Penyelesaian Akhir Kliring Debet secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipenuhi dari sumber dana dengan prioritas penggunaan sebagai berikut : a. Dana tunai (cash prefund) yang disediakan oleh Bank sampai dengan berakhirnya batas waktu penambahan pendanaan awal (prefund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2); b. Dana yang tersedia pada rekening giro Bank di Bank Indonesia; c. Agunan (collateral prefund) yang tersedia pada rekening agunan FLI- Kliring atau rekening agunan FLIS-Kliring yang disediakan oleh Bank sampai dengan berakhirnya batas waktu penambahan pendanaan awal (prefund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2); d. Agunan yang tersedia pada rekening agunan FLI-RTGS atau rekening agunan FLIS-RTGS. (3) Mekanisme … -23- (3) Mekanisme penggunaan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai fasilitas likuiditas intrahari bagi Bank umum dan fasilitas likuiditas intrahari bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. (4) Dalam hal seluruh sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dapat memenuhi seluruh kewajiban Bank dalam Penyelesaian Akhir Kliring Debet secara nasional dan menyebabkan rekening giro Bank bersaldo negatif, maka: a. Bank tersebut harus mengajukan fasilitas pendanaan jangka pendek dengan tata cara sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai fasilitas pendanaan jangka pendek bagi Bank umum atau fasilitas pendanaan jangka pendek bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, bagi Bank yang masih memiliki SBI, SWBI, SUN, dan surat berharga atau tagihan lain pada rekening perdagangan atau rekening aktif; b. Bank tersebut dikenakan sanksi saldo giro negatif sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum bagi Bank umum dan giro wajib minimum bagi Bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, bagi Bank yang tidak memiliki SBI, SWBI, SUN, dan surat berharga atau tagihan lain pada rekening perdagangan atau rekening aktif. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme Penyelesaian Akhir atas hasil perhitungan Kliring Debet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB … -24- BAB VI PENYELENGGARAAN KLIRING KREDIT Bagian Pertama DKE Kredit Pasal 25 (1) Perhitungan Kliring Kredit dilakukan atas dasar DKE Kredit yang diterima oleh PKN. (2) Dalam mengirimkan DKE Kredit kepada PKN dan atau PKL, Peserta harus memenuhi persyaratan pengiriman DKE Kredit yang ditetapkan Bank Indonesia. (3) Dalam hal Peserta tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PKN dan atau PKL tidak memproses DKE Kredit tersebut. (4) Ketentuan mengenai persyaratan pengiriman DKE Kredit diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Kedua Dokumen Kliring Pasal 26 Dalam hal pengiriman DKE Kredit ke PKN dilakukan melalui PKL, Peserta harus menyertakan Dokumen Kliring pada saat menyerahkan DKE Kredit dalam bentuk media rekam data kepada PKL. Bagian … -25- Bagian Ketiga Batas Nominal Transfer Kredit Pasal 27 (1) Batas nilai nominal transfer kredit yang dapat dikliringkan dalam Kliring Kredit ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Ketentuan mengenai batas nilai nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keempat Jadwal Penyelenggaraan Kliring Kredit Pasal 28 (1) Penyelenggaraan Kliring Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b diadakan setiap hari kerja, kecuali ditetapkan lain oleh PKN. (2) Jadwal penyelenggaraan Kliring Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh PKN. (3) Ketentuan mengenai jadwal penyelenggaraan Kliring Kredit diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Kelima Penyediaan Pendanaan Awal (Prefund) Kliring Kredit Pasal 29 (1) Pada setiap awal hari kerja sebelum penyelenggaraan Kliring Kredit dimulai di seluruh Wilayah Kliring, Bank harus menyediakan pendanaan awal … -26- awal (prefund) berupa dana tunai (cash prefund) paling sedikit sebesar nilai nominal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Khusus untuk Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan, penyediaan pendanaan awal (prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpisah oleh Bank Konvensional dan UUS. (3) Penyediaan pendanaan awal (prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Bank melalui Sistem BI-RTGS. (4) Dana tunai (cash prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditatausahakan oleh Bank Indonesia pada Sistem BI-RTGS, dalam rekening milik PKN yang digunakan khusus untuk menampung dana tunai (cash prefund) Kliring Kredit. (5) Ketentuan mengenai penetapan nilai nominal pendanaan awal (prefund), tata cara pemberitahuan dari Bank Indonesia kepada Bank mengenai besarnya nilai nominal pendanaan awal (prefund), batas waktu penyediaan pendanaan awal (prefund), tata cara penyediaan pendanaan awal (prefund) dan mekanisme pengembalian pendanaan awal (prefund) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keenam Informasi Awal Hasil Perhitungan Kliring Kredit dan Penambahan Pendanaan Awal (prefund) Pasal 30 Sebelum dilakukan Penyelesaian Akhir, PKN menyediakan informasi mengenai hasil perhitungan sementara Kliring Kredit secara nasional untuk masing-masing Bank … -27- Bank yang merupakan selisih antara total nominal dana yang dimiliki Bank dengan total nominal batch DKE Kredit yang dikirim oleh Bank. Pasal 31 (1) Dalam hal hasil perhitungan sementara Kliring Kredit nasional Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 menunjukkan nilai negatif, Bank dapat menambah kekurangan dana tunai (cash prefund) melalui Sistem BI- RTGS sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Ketentuan mengenai mekanisme penambahan pendanaan awal (prefund) dan penetapan batas waktu penambahan dana tunai (cash prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Ketujuh Penyelesaian Akhir Kliring Kredit Pasal 32 (1) Penyelesaian Akhir atas hasil perhitungan Kliring Kredit secara nasional dilakukan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Kewajiban Bank dalam Penyelesaian Akhir Kliring Kredit secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipenuhi dari sumber dana yang dimiliki Bank sebagai berikut : a. dana tunai (cash prefund) yang disediakan oleh Bank sampai dengan berakhirnya batas waktu penambahan dana tunai (cash prefund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1); dan b. dana … -28- b. dana dari confirmed incoming yang tersedia sampai dengan berakhirnya batas waktu penambahan dana tunai (cash prefund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1). (3) Dalam hal Peserta pengirim tidak memiliki dana yang cukup untuk menyelesaikan sebagian atau seluruh transaksi DKE Kredit yang telah diterima oleh SSK, sebagian atau seluruh transaksi DKE Kredit tersebut dibatalkan secara otomatis oleh sistem. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme Penyelesaian Akhir atas hasil perhitungan Kliring Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VII KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PESERTA PENGIRIM DAN PESERTA PENERIMA DALAM PENYELENGGARAAN KLIRING DEBET Bagian Pertama Pengiriman Warkat Debet dan DKE Debet Pasal 33 (1) Dalam menerima setoran Warkat Debet dari nasabahnya, Peserta pengirim wajib memperhatikan ketentuan yang berlaku. (2) Dalam hal Peserta pengirim menyetujui untuk mengkliringkan Warkat Debet yang diterima dari nasabahnya, Peserta pengirim wajib mengkliringkan Warkat Debet tersebut melalui Kliring Debet, dengan ketentuan sebagai berikut : a. Untuk Warkat Debet yang diterima sebelum berakhirnya jam pelayanan nasabah dan Peserta pengirim mempunyai cukup waktu untuk … -29- untuk mengkliringkannya, Peserta pengirim wajib mengkliringkan Warkat Debet tersebut pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya Warkat Debet dari nasabah. b. Untuk Warkat Debet yang diterima menjelang berakhirnya jam pelayanan nasabah dan Peserta pengirim tidak mempunyai cukup waktu untuk mengkliringkan Warkat Debet tersebut, Peserta pengirim wajib mengkliringkan Warkat Debet tersebut paling lambat pada Kliring Debet hari kerja berikutnya. c. Untuk Warkat Debet yang diterima setelah berakhirnya jam pelayanan nasabah, Peserta pengirim wajib mengkliringkan Warkat Debet tersebut paling lambat pada Kliring Debet hari kerja berikutnya. d. Kewajiban mengkliringkan Warkat Debet sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c dapat dikecualikan sepanjang terdapat kesepakatan lain antara nasabah dengan Peserta pengirim. (3) Khusus untuk Warkat Debet yang memiliki tanggal jatuh tempo dalam pembayarannya, kewajiban mengkliringkan Warkat Debet sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku sepanjang Warkat Debet tersebut telah jatuh tempo pada saat diterima oleh Peserta pengirim. (4) Dalam hal Warkat Debet sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) belum jatuh tempo pada saat diterima oleh Peserta pengirim, maka Peserta pengirim wajib mengkliringkan Warkat Debet tersebut pada: a. b. tanggal jatuh tempo; atau hari kerja berikutnya setelah tanggal jatuh tempo apabila tanggal jatuh tempo Warkat Debet adalah hari libur, kecuali terdapat kesepakatan lain antara nasabah dengan Peserta pengirim. (5) Dalam hal Peserta pengirim tidak mengkliringkan Warkat Debet sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat … -30- ayat (4), Peserta pengirim wajib membayar kompensasi kepada nasabah sebesar bunga atas dana yang seharusnya diterima oleh nasabah terhitung sejak tanggal Penyelesaian Akhir Kliring pengembalian apabila Warkat Debet tersebut dikliringkan sesuai dengan tanggal yang seharusnya sampai dengan tanggal Penyelesaian Akhir Kliring Pengembalian pada saat Warkat Debet tersebut dikliringkan. (6) Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah yang menyetorkan Warkat Debet pada Peserta pengirim. (7) Ketentuan kewajiban pembayaran kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku jika: a. b. Nasabah tidak mempunyai rekening pada Peserta pengirim; atau Peserta pengirim menunda pelaksanaan kewajiban mengkliringkan atas permintaan pihak yang berwenang atau atas dasar ketentuan yang berlaku. Pasal 34 (1) Peserta pengirim bertanggung jawab atas : a. kesesuaian DKE Debet dengan data pada Warkat Debet yang menjadi dasar pembuatan DKE Debet dimaksud; dan b. kelengkapan penyampaian Warkat Debet dan DKE Debet dalam Kliring Debet. (2) Dalam hal Peserta pengirim melakukan kekeliruan yang berakibat: a. DKE Debet tidak sesuai dengan data pada Warkat Debet yang diterima dari nasabah; atau b. Warkat Debet dikirim tanpa disertai DKE Debet atau sebaliknya; sehingga … -31- sehingga Warkat Debet tersebut ditolak atau tidak diterima oleh Peserta penerima, maka Peserta pengirim wajib mengkliringkan kembali Warkat Debet tersebut paling lambat pada Kliring Debet hari kerja berikutnya. (3) Dalam hal Peserta pengirim melakukan kekeliruan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta pengirim wajib membayar kompensasi kepada nasabah sesuai dengan bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah yang menyetorkan Warkat Debet, terhitung sejak tanggal Penyelesaian Akhir Kliring Pengembalian pada saat Warkat Debet tersebut dikliringkan dan terjadi kekeliruan sampai dengan tanggal Penyelesaian Akhir Kliring pengembalian pada saat Peserta pengirim mengkliringkan kembali Warkat Debet tersebut dengan benar. (4) Ketentuan pembayaran kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai rekening pada Peserta pengirim. Bagian Kedua Penerimaan Warkat Debet dan DKE Debet Pasal 35 (1) Peserta penerima harus meneliti dan mencocokkan Warkat Debet yang diterima dengan laporan yang berisi daftar DKE Debet yang diterima dari PKL. (2) Dalam hal setelah dilakukan penelitian dan pencocokan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat perbedaan antara Warkat Debet dengan laporan yang berisi daftar DKE Debet yang diterima dari PKL, penyelesaian perbedaan tersebut dilakukan dengan mekanisme yang diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (3) Peserta … berlaku jika nasabah yang menyetorkan Warkat Debet tidak -32- (3) Peserta penerima dapat menolak Warkat Debet dan atau DKE Debet berdasarkan alasan-alasan penolakan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Ketiga Penerusan Dana kepada Nasabah Peserta Pengirim Pasal 36 (1) Dalam hal tidak terjadi penolakan oleh Peserta penerima terhadap Warkat Debet yang dikliringkan oleh Bank Peserta pengirim, Bank Peserta pengirim wajib meneruskan dana hasil penagihan Warkat Debet tersebut kepada nasabah yang menyetorkan Warkat Debet segera setelah kegiatan Kliring pengembalian di Wilayah Kliring yang bersangkutan selesai, dengan ketentuan sebagai berikut : a. Dalam hal nasabah memiliki rekening di Bank Peserta pengirim, maka: 1. Bank Peserta pengirim wajib mengkredit dana tersebut ke rekening nasabahnya: a) pada tanggal valuta yang sama dengan tanggal Kliring pengembalian; atau b) paling lambat pukul 09.00 waktu setempat hari kerja berikutnya dengan: 1) menggunakan tanggal valuta hari kerja sebelumnya; atau 2) menggunakan tanggal valuta hari kerja berikutnya tersebut dengan memberikan bunga kepada nasabahnya sejak tanggal Penyelesaian Akhir Kliring pengembalian … -33- pengembalian sampai tanggal pengkreditan rekening nasabah dimaksud. 2. Dalam hal Bank Peserta pengirim tidak melakukan pengkreditan sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank Peserta pengirim wajib membayar kompensasi kepada nasabahnya sebesar bunga dari dana yang seharusnya diterima oleh nasabah dimaksud, terhitung sejak tanggal Penyelesaian Akhir Kliring pengembalian sampai tanggal pengkreditan rekening nasabah, dengan tingkat bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah pada Bank Peserta pengirim ditambah dengan tingkat kompensasi tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. b. Apabila nasabah tidak memiliki rekening di Bank Peserta pengirim, maka Bank Peserta pengirim wajib mengirim surat pemberitahuan mengenai tersedianya dana kepada nasabah pada tanggal yang sama dengan tanggal Kliring pengembalian atau paling lambat pada hari kerja berikutnya. (2) Ketentuan pembayaran tambahan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak berlaku jika Peserta pengirim menunda pelaksanaan penerusan dana atas permintaan pihak yang berwenang atau atas dasar ketentuan yang berlaku. Bagian Keempat Kompensasi Atas Warkat Debet yang Tertolak Oleh Mesin Baca Pilah Pasal 37 (1) Dalam hal Warkat Debet tertolak (reject) oleh mesin baca pilah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d karena faktor-faktor tertentu … -34- tertentu yang disebabkan oleh Peserta pengirim dan atau Peserta penerima dan menyebabkan Warkat Debet tersebut tidak diproses oleh PKL, maka Peserta pengirim dan atau Peserta penerima wajib membayar kompensasi kepada nasabah yang menyetorkan Warkat Debet sesuai dengan bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah tersebut terhitung sejak tanggal Penyelesaian Akhir Kliring pengembalian apabila Warkat Debet tersebut tidak tertolak oleh mesin baca pilah sampai dengan tanggal Penyelesaian Akhir Kliring pengembalian pada saat Warkat Debet tersebut dikliringkan kembali dan tidak tertolak oleh mesin baca pilah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pihak yang wajib membayar kompensasi kepada nasabah, tata cara pembayarannya serta perhitungan bunga dan kompensasi diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VIII KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PESERTA PENGIRIM DAN PESERTA PENERIMA DALAM PENYELENGGARAAN KLIRING KREDIT Bagian Pertama Pengiriman DKE Kredit Pasal 38 (1) Peserta pengirim wajib mensyaratkan kepada nasabahnya untuk mengisi perintah transfer kredit secara lengkap dan benar serta memperhatikan ketentuan yang berlaku. (2) Perintah transfer kredit yang dibuat oleh nasabah pengirim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat : a. identitas nasabah pengirim; b. identitas … -35- b. c. identitas nasabah penerima; identitas Peserta penerima; dan d. jumlah dana yang ditransfer. (3) Identitas nasabah pengirim dan nasabah penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b sekurang-kurangnya meliputi nomor rekening dan nama rekening atau, apabila nasabah pengirim atau nasabah penerima tidak memiliki rekening pada Peserta, identitas tersebut meliputi sekurang-kurangnya nama dan alamat. Pasal 39 (1) Dalam hal Peserta pengirim menyetujui untuk mengkliringkan perintah transfer kredit dari nasabahnya, Peserta pengirim wajib mengkliringkan perintah transfer kredit dalam bentuk DKE Kredit melalui Kliring Kredit dengan ketentuan sebagai berikut : a. Untuk perintah transfer kredit yang diterima sebelum berakhirnya jam pelayanan nasabah dan Peserta pengirim mempunyai cukup waktu untuk mengkliringkannya, Peserta pengirim wajib mengkliringkan perintah transfer kredit tersebut pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya perintah transfer kredit dari nasabah. b. Untuk perintah transfer kredit yang diterima menjelang berakhirnya jam pelayanan nasabah dan Peserta pengirim tidak mempunyai cukup waktu untuk mengkliringkan perintah transfer kredit tersebut, Peserta pengirim wajib mengkliringkan perintah transfer kredit tersebut paling lambat pada Kliring Kredit hari kerja berikutnya. c. Untuk perintah transfer kredit yang diterima setelah berakhirnya jam pelayanan nasabah, Peserta pengirim wajib mengkliringkan perintah transfer … -36- transfer kredit tersebut paling lambat pada Kliring Kredit hari kerja berikutnya. d. Kewajiban mengkliringkan perintah transfer kredit sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c dapat dikecualikan sepanjang terdapat kesepakatan lain antara nasabah dengan Peserta pengirim. (2) Dalam mengkliringkan perintah transfer kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendebetan rekening nasabah pengirim harus dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal Peserta pengirim mengkliringkan perintah transfer kredit tersebut. (3) Dalam hal tanggal pendebetan rekening nasabah lebih awal daripada tanggal pengkliringan perintah transfer kredit, Peserta pengirim wajib membayar bunga kepada nasabah sesuai dengan bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah yang memberikan perintah transfer kredit kepada Peserta pengirim terhitung sejak tanggal pendebetan rekening nasabah pengirim sampai tanggal Peserta pengirim mengkliringkan perintah transfer kredit tersebut. (4) Ketentuan kewajiban pembayaran bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku apabila perintah transfer kredit dari nasabah berasal dari setoran tunai. Pasal 40 (1) Dalam hal DKE Kredit tidak diproses oleh PKN atau PKL yang disebabkan oleh alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 32 ayat (3), maka Peserta pengirim wajib mengkliringkan kembali perintah transfer … -37- transfer kredit tersebut paling lambat pada Kliring Kredit pada hari kerja berikutnya. (2) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta pengirim wajib membayar bunga kepada nasabahnya sesuai dengan bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah yang memberikan perintah transfer kredit kepada Peserta pengirim terhitung sejak tanggal pendebetan rekening nasabah pengirim sampai tanggal mengkliringkan kembali perintah transfer kredit tersebut. (3) Ketentuan kewajiban pembayaran bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku apabila perintah transfer kredit dari nasabah berasal dari setoran tunai. Pasal 41 (1) Peserta pengirim bertanggung jawab atas kesesuaian perintah transfer kredit yang dibuat oleh nasabah dengan DKE Kredit yang dikirimkan melalui Kliring Kredit. (2) Dalam hal Peserta pengirim mengirimkan DKE Kredit yang tidak sesuai dengan perintah transfer kredit yang dibuat oleh nasabah, Peserta pengirim wajib mengirimkan kembali DKE Kredit baru atas beban Peserta pengirim sesuai dengan perintah transfer kredit nasabah tanpa menunggu pengembalian dana dari Peserta penerima atau nasabah Peserta penerima yang tidak berhak paling lambat pada tanggal yang sama dengan tanggal diketahuinya ketidaksesuaian. (3) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta pengirim wajib membayar bunga kepada nasabahnya sesuai dengan bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah yang mengirimkan perintah transfer … Peserta pengirim -38- transfer kredit tersebut, terhitung sejak tanggal pendebetan rekening nasabah sampai tanggal Peserta pengirim mengirimkan DKE Kredit yang baru. (4) Dalam hal Peserta pengirim telah melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka dana yang salah terkirim dapat diminta kembali oleh Peserta pengirim kepada Peserta penerima dengan menggunakan mekanisme permintaan pengembalian dana sebagaimana diatur dalam kesepakatan antar Peserta (Bye-Laws). (5) Peserta pengirim yang meminta pengembalian dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyerahkan “Surat Pernyataan Pembebasan Tanggung Jawab” (indemnity) kepada Peserta penerima. (6) Pembebasan tanggung jawab (indemnity) Peserta penerima oleh Peserta pengirim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berisi pernyataan : a. pembebasan tanggung jawab Peserta penerima, termasuk seluruh karyawannya dan pihak-pihak lainnya yang terkait dengan pembayaran, terhadap berbagai kemungkinan klaim, gugatan, kewajiban, biaya-biaya termasuk biaya penyelesaian hukum dan biaya lainnya, tuntutan atau kerugian yang diakibatkan oleh pengembalian dana yang dilakukan oleh Peserta penerima, baik atas permintaan Peserta pengirim atau karena Peserta penerima harus melaksanakan kewajiban sesuai dengan pernyataan dalam pembebasan tanggung jawab (indemnity); dan b. kesediaan Peserta pengirim untuk menanggung segala biaya yang terkait dengan klaim, gugatan, tuntutan, dan kewajiban lainnya, termasuk biaya penyelesaian hukum dan biaya lainnya, serta kerugian yang dihadapi oleh Peserta penerima sebagai akibat dari penarikan kembali dana dari nasabah penerima yang tidak berhak. Pasal … -39- Pasal 42 Dalam hal Peserta pengirim meminta pengembalian dana dari Peserta penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (4), Peserta penerima wajib segera melaksanakan permintaan tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 44, Pasal 46 dan Pasal 47. Bagian Kedua Penerimaan DKE Kredit Pasal 43 (1) Peserta penerima wajib melakukan verifikasi atas transfer kredit yang diterima melalui Kliring Kredit sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (2) Dalam hal transfer ditujukan kepada penerima dana yang memiliki rekening di kantor Peserta penerima, Peserta penerima wajib meneruskan dana kepada nasabah penerima dana dengan menggunakan mekanisme penerusan dana yang berlaku di internal Bank Peserta penerima dengan cara: a. mencocokkan nomor rekening dan nama rekening penerima dana yang tercantum dalam daftar DKE Kredit yang diterbitkan oleh PKN dengan nomor rekening dan nama rekening penerima dana yang tercantum dalam tata usaha rekening atau administrasi di Peserta penerima; atau b. mendasarkan penerusan dana hanya atas dasar kesamaan nomor rekening yang tercantum dalam daftar DKE Kredit yang diterbitkan oleh PKN dengan nomor rekening yang tercantum dalam tata usaha rekening atau administrasi di Peserta penerima. (3) Dalam … -40- (3) Dalam hal transfer ditujukan kepada penerima dana yang tidak memiliki rekening di kantor Peserta penerima, Peserta penerima wajib mencocokkan identitas penerima dana yang tercantum dalam daftar DKE Kredit yang diterbitkan oleh PKN dengan identitas penerima dana dalam dokumen identitas yang sesuai dengan ketentuan internal Bank Peserta penerima. Pasal 44 (1) Dalam hal Peserta penerima menggunakan mekanisme penerusan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf a dan terdapat perbedaan antara nomor rekening dan nama rekening penerima dana dalam daftar DKE Kredit yang diterbitkan oleh PKN dengan nomor rekening dan nama rekening penerima dana yang tercantum dalam tata usaha atau administrasi Peserta penerima, tetapi Peserta penerima mengambil keputusan untuk meneruskan dana tersebut, maka apabila di kemudian hari terdapat permintaan dari Peserta pengirim untuk mengembalikan dana kepada Peserta pengirim, Peserta penerima wajib mengembalikan dana tersebut sesuai dengan permintaan Peserta pengirim tanpa menunggu pengembalian dana dari nasabah penerima dana yang tidak berhak. (2) Dalam hal Peserta penerima menggunakan mekanisme penerusan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf b, dan ternyata nama penerima dana yang tercantum dalam daftar DKE Kredit yang diterbitkan oleh PKN berbeda dengan nama penerima dana yang tercantum dalam tata usaha atau administrasi Peserta penerima, maka apabila terdapat permintaan dari Peserta pengirim untuk mengembalikan dana kepada Peserta pengirim, Peserta penerima wajib mengembalikan dana tersebut sesuai dengan permintaan … -41- permintaan Peserta pengirim tanpa menunggu pengembalian dana dari penerima dana yang tidak berhak. (3) Dalam hal transfer ditujukan kepada penerima dana yang tidak memiliki rekening di kantor Peserta penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3), dan identitas penerima dana yang tercantum dalam daftar DKE Kredit yang diterbitkan oleh PKN berbeda dengan identitas penerima dana, dan Peserta penerima melakukan pembayaran, maka apabila terdapat permintaan dari Peserta pengirim untuk mengembalikan dana kepada Peserta pengirim, Peserta penerima wajib mengembalikan dana tersebut sesuai dengan permintaan Peserta pengirim tanpa menunggu pengembalian dana dari penerima dana yang tidak berhak. (4) Pengembalian dana kepada Peserta pengirim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dilakukan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal permintaan pengembalian dana dari Peserta pengirim. (5) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Peserta penerima wajib memberikan bunga kepada Peserta pengirim sesuai dengan tingkat bunga yang diatur dalam kesepakatan tertulis antar Peserta (Bye- Laws) terhitung sejak tanggal pengkreditan rekening giro Peserta penerima di Bank Indonesia sampai tanggal pengembalian dana. Pasal 45 (1) Dalam hal Peserta pengirim telah mengirimkan DKE Kredit sesuai dengan perintah transfer kredit dari nasabah namun Bank Peserta penerima melakukan pengkreditan dana kepada nasabah penerima dana yang berbeda dari nasabah penerima dana yang tercantum dalam daftar DKE Kredit yang diterbitkan … -42- diterbitkan oleh PKN, Bank Peserta penerima wajib menyampaikan dana kepada nasabah penerima dana yang berhak pada tanggal yang sama dengan tanggal diketahuinya kekeliruan tanpa menunggu pengembalian dana dari nasabah penerima dana yang tidak berhak. (2) Dalam hal Bank Peserta penerima melakukan pengkreditan dana kepada nasabah penerima dana yang berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Peserta penerima wajib membayar bunga kepada nasabah penerima dana yang berhak sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah penerima dana tersebut, terhitung sejak tanggal seharusnya rekening nasabah penerima dana yang berhak dikredit sampai tanggal pelaksanaan pengkreditan rekening nasabah penerima dana yang berhak tersebut. (3) Ketentuan kewajiban pembayaran bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku apabila perintah transfer kredit ditujukan kepada penerima dana yang tidak memiliki rekening di Bank Peserta penerima. Pasal 46 (1) Dalam hal Peserta penerima telah meneruskan dana sesuai dengan perintah transfer kredit dari Peserta pengirim, tetapi Peserta pengirim mengajukan permintaan kepada Peserta penerima untuk mengembalikan dana sebagaimana dimaksud pada Pasal 41 ayat (4), Peserta penerima wajib memberikan tanggapan kepada Peserta pengirim paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal permintaan pengembalian dana dari Peserta pengirim. (2) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan pembebasan tanggung jawab (indemnity) yang diterima dari … -43- dari Peserta pengirim dan kebijakan serta ketentuan internal Peserta penerima. (3) Dalam hal Peserta penerima tidak dapat mengembalikan dana sesuai dengan permintaan Peserta pengirim, Peserta pengirim melakukan penagihan dana yang salah terkirim tersebut secara langsung kepada penerima dana yang tidak berhak. (4) Apabila terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Peserta penerima harus membantu Peserta pengirim dengan cara memberikan data yang terkait dengan : a. b. pengkreditan rekening penerima dana yang tidak berhak; dan identitas penerima dana yang tidak berhak yang tercatat dalam administrasi Peserta penerima. (5) Dalam hal Peserta penerima dapat menarik kembali dana dari penerima dana yang tidak berhak, pengembalian dana kepada Peserta pengirim meliputi jumlah dana yang dapat ditarik kembali oleh Peserta penerima. Pasal 47 (1) Kewajiban Peserta penerima untuk melakukan pengembalian dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 atau memberikan tanggapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 hanya berlaku dalam hal permintaan pengembalian dana dari Peserta pengirim diterima paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender sejak tanggal pengkreditan rekening giro Peserta penerima di Bank Indonesia. (2) Setelah jangka waktu 60 (enam puluh) hari kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, apabila terdapat permintaan dari Peserta pengirim untuk melakukan pengembalian dana sebagaimana dimaksud dalam … -44- dalam Pasal 44 atau memberikan tanggapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Peserta penerima dapat mempertimbangkan untuk menolak atau menerima permintaan tersebut paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal permintaan pengembalian dana dari Peserta pengirim. (3) Dalam hal Peserta penerima menolak permintaan pengembalian dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta pengirim dapat melakukan penagihan dana secara langsung kepada penerima dana yang tidak berhak. (4) Apabila terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Peserta penerima harus membantu Peserta pengirim antara lain dengan cara memberikan data yang terkait dengan : a. b. pengkreditan rekening penerima dana yang tidak berhak; dan identitas penerima dana yang tidak berhak yang tercatat dalam administrasi Peserta penerima. (5) Dalam hal Peserta penerima menyetujui permintaan Peserta pengirim untuk mengembalikan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka pengembalian dana meliputi seluruh dana yang dapat ditarik kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5). Pasal 48 (1) Bank Peserta penerima wajib meneruskan dana yang ditujukan kepada nasabah penerima dana segera setelah Bank Indonesia melakukan Penyelesaian Akhir Kliring Kredit dengan ketentuan sebagai berikut : a. Dalam hal nasabah memiliki rekening di Bank Peserta penerima, maka: 1. Bank Peserta penerima wajib mengkredit dana tersebut ke rekening nasabah: a) pada … -45- a) pada tanggal valuta yang b) sama dengan tanggal Penyelesaian Akhir Kliring Kredit; atau paling lambat pukul 09.00 waktu setempat hari kerja berikutnya dengan: 1) menggunakan tanggal valuta hari kerja sebelumnya; atau 2) menggunakan tanggal valuta hari kerja berikutnya tersebut dengan memberikan bunga kepada nasabah sejak tanggal Penyelesaian Akhir Kliring Kredit sampai tanggal pengkreditan rekening nasabah. 2. Dalam hal Bank Peserta penerima tidak melakukan pengkreditan sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank Peserta penerima wajib membayar kompensasi kepada nasabah sebesar bunga dari dana yang seharusnya diterima oleh nasabah, terhitung sejak tanggal Penyelesaian Akhir Kliring Kredit sampai tanggal pengkreditan rekening nasabah, dengan tingkat bunga yang berlaku untuk jenis rekening nasabah pada Bank Peserta penerima ditambah dengan tingkat kompensasi tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 3. Ketentuan kewajiban pembayaran tambahan kompensasi sebagaimana dimaksud pada angka 2 tidak berlaku apabila : a) b) Kantor Bank Peserta penerima tidak didaftarkan oleh Bank Peserta Penerima pada PKN; dan atau Peserta penerima menunda pelaksanaan kewajiban pengkreditan atas permintaan pihak yang berwenang atau atas dasar ketentuan yang berlaku. b. Dalam … -46- b. Dalam hal penerima dana tidak memiliki rekening di Bank Peserta penerima, maka kantor Bank Peserta penerima wajib meneruskan dana kepada penerima dana dengan cara mengirim surat pemberitahuan mengenai tersedianya dana kepada penerima dana pada tanggal yang sama dengan tanggal Penyelesaian Akhir Kliring Kredit atau paling lambat pada hari kerja berikutnya. (2) Kewajiban meneruskan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku jika Bank Peserta penerima tidak dapat meneruskan dana kepada penerima dana yang tidak memiliki rekening. (3) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Peserta penerima wajib mengembalikan dana kepada Peserta pengirim dengan cara mengkliringkan perintah transfer kredit baru melalui Kliring Kredit hari kerja berikutnya. BAB IX PENGHENTIAN PESERTA DALAM KEGIATAN SKNBI Pasal 49 (1) PKN atau PKL dapat menghentikan sementara atau tetap keikutsertaan Peserta dalam kegiatan SKNBI. (2) Penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh PKN atau PKL kepada seluruh Peserta. Bagian Pertama Penghentian Sementara Peserta dalam Kegiatan SKNBI Pasal 50 (1) Penghentian sementara Peserta dalam seluruh kegiatan SKNBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dapat disebabkan oleh alasan sebagai berikut : a. Bank … -47- a. Bank tidak menyediakan pendanaan awal (prefund) dalam Kliring Debet dan atau Kliring Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 29; b. rekening giro Bank di Bank Indonesia bersaldo negatif pada saat tutup Sistem BI-RTGS dan mengakibatkan Bank tidak mampu menyediakan pendanaan awal (prefund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 29 pada awal hari kerja berikutnya; c. adanya permintaan tertulis dari pihak melakukan pengawasan Bank; yang d. berwenang Peserta dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3), Pasal 64 ayat (3), Pasal 65 ayat (3), Pasal 66 ayat (3) atau Pasal 86 ayat (2) huruf c; dan atau e. adanya permintaan dari Peserta. (2) Permintaan tertulis dari pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut : a. adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perbankan dan atau sistem pembayaran; b. tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadinya risiko yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan dan atau sistem perbankan; dan atau c. pembekuan kegiatan usaha Bank. (3) Permintaan dari Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e disebabkan alasan antara lain sebagai berikut : a. dalam adanya kondisi-kondisi tertentu yang mengakibatkan Peserta tidak dapat mengikuti kegiatan SKNBI untuk sementara waktu; dan atau b. terjadi … -48- b. terjadi Keadaan Darurat di lokasi kantor Peserta yang memungkinkan Peserta untuk mengikuti kegiatan SKNBI. tidak (4) Penghentian sementara yang disebabkan oleh alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berlaku ketentuan sebagai berikut: a. untuk Bank Konvensional atau Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, penghentian sementara berlaku untuk seluruh kantor Bank tersebut yang menjadi Peserta; b. khusus untuk Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan: 1. dalam hal pendanaan awal (prefund) tidak dilakukan oleh Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional, penghentian sementara berlaku hanya untuk seluruh kantor Bank tersebut yang menjadi Peserta; 2. dalam hal pendanaan awal (prefund) tidak dilakukan oleh UUS, penghentian sementara hanya berlaku untuk seluruh kantor dan atau unit syariah di bawah UUS tersebut yang menjadi Peserta. (5) Penghentian sementara yang disebabkan oleh alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berlaku ketentuan sebagai berikut: a. untuk Bank Konvensional atau Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, penghentian sementara berlaku untuk seluruh kantor Bank tersebut yang menjadi Peserta; b. untuk Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. dalam hal rekening giro Bank yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional bersaldo negatif dan rekening giro UUS-nya bersaldo positif atau sebaliknya, dan hasil penjumlahan atas saldo … -49- saldo kedua rekening giro tersebut menunjukkan angka negatif, penghentian sementara berlaku untuk seluruh kantor Bank yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional dan seluruh kantor dan atau unit syariah di bawah UUS yang menjadi Peserta; atau 2. dalam hal rekening giro Bank yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional bersaldo negatif dan rekening giro UUS-nya bersaldo positif atau sebaliknya, dan hasil penjumlahan atas saldo kedua rekening giro tersebut tidak menunjukkan angka negatif, penghentian sementara berlaku untuk seluruh kantor Bank yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional atau seluruh kantor dan atau unit syariah di bawah UUS yang menjadi Peserta, yang rekening gironya di Bank Indonesia bersaldo negatif. (6) Penghentian sementara yang disebabkan oleh alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berlaku untuk seluruh kantor Bank yang menjadi Peserta. (7) Penghentian sementara yang disebabkan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berlaku untuk seluruh kantor Bank yang menjadi Peserta. (8) Penghentian sementara yang disebabkan oleh alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berlaku hanya untuk kantor Bank yang mengalami kondisi tersebut, kecuali kondisi tersebut mempengaruhi keikutsertaan seluruh kantor Bank yang menjadi Peserta. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghentian sementara Peserta dari kegiatan SKNBI diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian … -50- Bagian Kedua Penghentian Tetap Peserta dalam Kegiatan SKNBI Pasal 51 (1) Penghentian tetap Peserta dalam kegiatan SKNBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1), dapat disebabkan oleh alasan sebagai berikut: a. permintaan tertulis dari pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan Bank; dan atau b. permintaan tertulis dari Peserta. (2) Permintaan tertulis dari pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut : a. adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perbankan dan atau sistem pembayaran; pencabutan izin usaha dan likuidasi Bank; atau b. c. tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadinya risiko yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan dan atau sistem perbankan. (3) Permintaan tertulis dari Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, antara lain disebabkan oleh: a. Peserta pindah dari suatu Wilayah Kliring ke Wilayah Kliring lain yang berbeda; b. keinginan Bank yang bersangkutan untuk menghentikan keikutsertaan sebagian atau seluruh kantor Bank sebagai Peserta. (4) Penghentian … -51- (4) Penghentian tetap Peserta dalam kegiatan SKNBI yang disebabkan oleh alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku untuk seluruh kantor Bank yang menjadi Peserta. (5) Penghentian tetap Peserta dalam kegiatan SKNBI yang disebabkan oleh alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku untuk sebagian atau seluruh kantor Bank yang menjadi Peserta. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghentian tetap Peserta dari kegiatan SKNBI diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB X PENGIKUTSERTAAN KEMBALI PESERTA DALAM KEGIATAN SKNBI Pasal 52 (1) Pengikutsertaan kembali Peserta yang dihentikan sementara keikutsertaannya dalam kegiatan SKNBI sebagaimana dimaksud pada Pasal 50 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Bagi Bank yang dihentikan keikutsertaannya dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf a, pengikutsertaan kembali dilakukan secara otomatis pada kegiatan SKNBI sepanjang Bank telah menyediakan pendanaan awal (prefund) untuk b. Bagi Kliring Debet dan Kliring Kredit sesuai dengan jadwal penyediaan pendanaan awal (prefund). yang Bank dihentikan keikutsertaannya dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b, pengikutsertaan kembali dilakukan secara otomatis pada kegiatan SKNBI setelah rekening giro Bank tidak bersaldo negatif dan sepanjang … -52- c. Bagi sepanjang Bank telah menyediakan pendanaan awal (prefund) untuk Kliring Debet dan Kliring Kredit sesuai dengan jadwal penyediaan pendanaan awal (prefund). yang Bank dihentikan keikutsertaannya dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf c, pengikutsertaan kembali dilakukan: 1. oleh pihak yang pengawasan Bank berakhir; atau 2. setelah pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan Bank mengajukan permintaan untuk mengikutsertakan kembali Bank yang bersangkutan, dalam hal tidak ditetapkan batas waktu penghentian sementara, dan sepanjang Bank telah menyediakan pendanaan awal (prefund) untuk d. Bagi Bank Kliring Debet dan Kliring Kredit sesuai dengan jadwal penyediaan pendanaan awal (prefund). yang secara otomatis setelah batas waktu penghentian sementara yang ditetapkan berwenang dalam melakukan dihentikan keikutsertaannya dengan alasan e. Bagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf d, pengikutsertaan kembali dilakukan setelah Bank memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3), Pasal 64 ayat (3), Pasal 65 ayat (3), Pasal 66 ayat (3) atau Pasal 86 ayat (2) huruf c, dan sepanjang Bank telah menyediakan pendanaan awal (prefund) untuk Kliring Debet dan Kliring Kredit sesuai dengan jadwal penyediaan pendanaan awal (prefund). yang Bank dihentikan keikutsertaannya dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf e, pengikutsertaan kembali dilakukan: 1. secara … -53- 1. secara otomatis setelah batas waktu penghentian sementara yang diajukan oleh Peserta berakhir; atau 2. setelah Peserta mengajukan permintaan untuk diikutsertakan kembali, dalam hal Peserta tidak menetapkan batas waktu penghentian sementara, dan sepanjang Bank telah menyediakan pendanaan awal (prefund) untuk Kliring Debet dan Kliring Kredit sesuai dengan jadwal penyediaan pendanaan awal (prefund). (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengikutsertaan kembali Peserta dalam kegiatan SKNBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XI KONDISI GANGGUAN DAN KEADAAN DARURAT Pasal 53 (1) Dalam hal terjadi kondisi gangguan terhadap SSK Utama, atau dalam hal terjadi Keadaan Darurat di lokasi PKN, sehingga PKN tidak dapat menggunakan SSK Utama, PKN menggunakan SSK Back-up dan memberitahukan kondisi tersebut kepada PKL dan Peserta berikut langkah- langkah yang perlu dilakukan. (2) Dalam hal PKN tidak dapat menggunakan SSK Back-up sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atau terjadi Keadaan Darurat di lokasi PKN, PKN menerapkan Disaster Recovery Plan (DRP) atau Business Continuity Plan (BCP) dan memberitahukan kondisi tersebut kepada PKL dan Peserta berikut langkah-langkah yang perlu dilakukan termasuk penghentian sementara penyelenggaraan SKNBI. Pasal … -54- Pasal 54 (1) Dalam hal terjadi kondisi gangguan terhadap KPK Utama, atau dalam hal terjadi Keadaan Darurat di lokasi PKL, sehingga PKL tidak dapat menggunakan KPK Utama, PKL menggunakan KPK Back-up dan memberitahukan kondisi tersebut kepada PKN dan Peserta berikut langkah- langkah yang perlu dilakukan. (2) Dalam hal PKL tidak dapat menggunakan KPK Back-up sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), PKL menerapkan Disaster Recovery Plan (DRP) atau Business Continuity Plan (BCP) dan memberitahukan kondisi tersebut kepada PKN dan Peserta berikut langkah-langkah yang perlu dilakukan termasuk penghentian sementara penyelenggaraan SKNBI. (3) Dalam hal terjadi kondisi gangguan pada JKD yang menyebabkan KPK tidak dapat terhubung dengan SSK, maka : a. PKL dapat meniadakan fasilitas penerusan DKE Kredit dari Peserta ke SSK dan dari SSK ke Peserta; dan b. Peserta hanya dapat mengirimkan DKE Kredit kepada PKN melalui kantor Peserta lainnya dari Bank yang bersangkutan yang memiliki TPK on-line. Pasal 55 (1) Dalam hal terjadi kondisi gangguan terhadap TPK Utama, atau dalam hal terjadi Keadaan Darurat di lokasi Peserta, sehingga Peserta tidak dapat menggunakan TPK Utama, Peserta menggunakan TPK Back-up. (2) Dalam … -55- (2) Dalam hal Peserta tidak dapat menggunakan TPK Back up sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta menerapkan Disaster Recovery Plan (DRP) atau Business Continuity Plan (BCP) dan memberitahukan kondisi tersebut kepada PKL. (3) Dalam hal terjadi kondisi gangguan pada JKD yang menyebabkan TPK on-line tidak dapat terhubung ke KPK atau SSK, Peserta dapat mengirimkan DKE kepada PKN melalui PKL dengan menggunakan media rekam data elektronis. Pasal 56 (1) Dalam hal terjadi kondisi gangguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan Pasal 54 yang menyebabkan Peserta tidak transaksi melalui SKNBI, kewajiban Peserta kepada nasabah dapat melaksanakan Peserta sebagaimana dimaksud dalam Bab VII dan Bab VIII Peraturan Bank Indonesia ini ditunda pelaksanaannya sampai dengan berakhirnya kondisi gangguan tersebut dan Peserta tidak wajib melaksanakan kewajiban pembayaran bunga selama terjadi kondisi gangguan tersebut. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan penyesuaian jam operasional SKNBI dan petunjuk lainnya yang ditetapkan PKN dan atau PKL. (3) Dalam hal terjadi kondisi gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta harus melakukan langkah-langkah yang diperlukan terkait dengan penyelesaian kewajiban terhadap nasabah. Pasal 57 Ketentuan lebih lanjut mengenai kondisi gangguan dan Keadaan Darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 sampai dengan Pasal 55 diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB … -56- BAB XII PENGAWASAN Pasal 58 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap PKN, PKL, Peserta, dan perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring, baik secara langsung maupun tidak langsung. (2) Cakupan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. kepatuhan PKN, PKL, Peserta, dan perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring terhadap Peraturan Bank Indonesia ini dan peraturan pelaksanaannya; dan b. kepatuhan PKN terhadap pemenuhan prinsip-prinsip sebagaimana diatur dalam Core Principles for Systemically Important Payment System yang diterbitkan oleh Bank for International Settlement. (3) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melakukan pengawasan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam rangka pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pihak yang diawasi wajib memberikan: a. keterangan dan data yang terkait dengan penyelenggaraan SKNBI dan kegiatan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring; dan b. kesempatan untuk melakukan pengawasan secara langsung sarana fisik dan aplikasi pendukungnya yang terkait dengan penyelenggaraan SKNBI dan kegiatan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap PKN, PKL, Peserta, dan perusahaan pencetakan warkat dan dokumen kliring serta penugasan kepada … -57- kepada pihak lain untuk melakukan pengawasan diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XIII SANKSI Bagian Pertama Sanksi Terkait Penyelenggaraan SKNBI Pasal 59 PKL Selain BI yang tidak menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis atau perubahannya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan PKL Selain BI wajib menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis atau perubahannya. Pasal 60 Dalam hal materi kebijakan dan prosedur tertulis tidak mengacu pada Peraturan Bank Indonesia ini dan peraturan pelaksanaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, PKL Selain BI dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan PKL Selain BI wajib melakukan penyesuaian kebijakan dan prosedur tertulis. Pasal 61 PKL Selain BI yang tidak melakukan pemeriksaan internal dan atau tidak menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal dalam jangka waktu sebagaimana … -58- sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c, PKL Selain BI dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan PKL Selain BI wajib melakukan pemeriksaan internal dan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal. Pasal 62 PKL Selain BI yang tidak melakukan security audit dan atau tidak menyampaikan hasil security audit dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan PKL Selain BI wajib melakukan security audit dan menyampaikan laporan hasil security audit. Pasal 63 (1) Bank yang tidak menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis atau perubahannya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Dalam hal Bank tidak menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis atau perubahannya paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. (3) Dalam hal Bank tidak menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis atau perubahannya paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank dihentikan untuk sementara dari kegiatan SKNBI sampai dengan Bank memenuhi kewajiban tersebut. Pasal … -59- Pasal 64 (1) Dalam hal materi kebijakan dan prosedur tertulis tidak mengacu pada Peraturan Bank Indonesia ini, peraturan pelaksanaannya dan atau kesepakatan tertulis antar Bank (Bye-Laws) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, Bank dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Dalam hal Bank tidak melakukan penyesuaian paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. (3) Dalam hal Bank tidak melakukan penyesuaian paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal teguran tertulis kedua, Bank dihentikan untuk sementara dari kegiatan SKNBI sampai dengan Bank memenuhi kewajiban tersebut. Pasal 65 (1) Bank yang tidak melakukan pemeriksaan internal dan atau tidak menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Dalam hal Bank tidak melakukan pemeriksaan internal dan atau tidak menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. (3) Dalam hal Bank tidak melakukan pemeriksaan internal dan atau tidak menyampaikan laporan hasil pemeriksaan internal paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada … -60- pada ayat (2), Bank dihentikan untuk sementara dari kegiatan SKNBI sampai dengan Bank memenuhi kewajiban tersebut. Pasal 66 (1) Bank yang tidak melakukan security audit dan atau tidak menyampaikan hasil security audit dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. tidak melakukan security audit dan atau tidak menyampaikan hasil security audit paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. (3) Dalam hal Bank tidak melakukan security audit dan atau tidak menyampaikan hasil security audit paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank dihentikan untuk sementara dari kegiatan SKNBI sampai dengan Bank memenuhi kewajiban tersebut. Pasal 67 (1) Bank yang tidak memenuhi kewajiban untuk mengumumkan besarnya biaya transaksi SKNBI yang (2) Dalam hal Bank ditetapkan oleh Bank Indonesia dan jadwal pelayanan nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf e, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Paling lambat 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank harus membuat pengumuman … -61- pengumuman serta memberitahukan pelaksanaan pengumuman tersebut kepada Bank Indonesia. Pasal 68 Pengurus dan atau pejabat eksekutif Bank Peserta yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan pelanggaran tersebut akan dicatat dalam database track record pengurus dan atau pejabat eksekutif tersebut di Bank Indonesia. Pasal 69 (1) Dalam hal Warkat Debet tertolak oleh mesin baca pilah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d dan penolakannya terjadi secara terus menerus selama waktu tertentu yang mengakibatkan terganggunya operasional Kliring Debet di Wilayah Kliring bersangkutan, Peserta pengirim dan atau Peserta penerima dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Peserta pengirim dan atau Peserta penerima tidak melakukan perbaikan sehingga Warkat Debet masih tertolak oleh mesin baca pilah dan mengakibatkan terganggunya operasional Kliring Debet di Wilayah Kliring bersangkutan, Peserta pengirim dan atau Peserta penerima dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Peserta pengirim dan atau … -62- atau Peserta penerima tidak melakukan perbaikan sehingga Warkat Debet masih tertolak oleh mesin baca pilah dan mengakibatkan terganggunya operasional Kliring Debet di Wilayah Kliring bersangkutan, Peserta pengirim dan atau Peserta penerima dihentikan untuk sementara dalam kegiatan Kliring Debet di Wilayah Kliring yang bersangkutan sampai dengan Warkat Debet yang dikliringkan oleh Peserta yang dihentikan untuk sementara tersebut tidak lagi tertolak oleh mesin baca pilah. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pihak-pihak yang dikenakan sanksi serta pengikutsertaan kembali dalam Kliring Debet sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 70 Peserta yang mengkliringkan Nota Debet dengan nilai nominal lebih besar daripada batas nilai nominal yang ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Peserta penerima yang tidak mengembalikan Nota Debet tersebut, masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per transaksi. Pasal 71 (1) Dalam hal terjadi penolakan atas DKE Debet dan atau Warkat Debet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) yang didasarkan pada alasan-alasan tertentu, Peserta pengirim, Peserta penerima, nasabah Peserta pengirim atau nasabah Peserta penerima dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per DKE Debet dan atau Warkat Debet yang ditolak. (2) Ketentuan … -63- (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai alasan-alasan penolakan DKE Debet dan atau Warkat Debet yang dikenakan sanksi, pihak-pihak yang dikenakan sanksi dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 72 Peserta penerima dalam Kliring Kredit yang tidak mengirimkan pemberitahuan kepada nasabah penerima dana dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Bagian Kedua Sanksi Terkait Pencetakan Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring Pasal 73 (1) Peserta yang melakukan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring dengan menggunakan kertas yang ditetapkan Bank Indonesia dan tidak memenuhi persyaratan teknis tertentu atau tidak menggunakan kertas yang ditetapkan Bank Indonesia wajib mengganti Warkat Debet dan Dokumen Kliring tersebut dengan kertas sesuai dengan yang ditetapkan Bank Indonesia dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan Bank Indonesia. (2) Kewajiban penggantian Warkat Debet dan Dokumen Kliring oleh Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring apabila tidak dipenuhinya persyaratan tersebut timbul akibat adanya kelalaian atau kesalahan perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring. (3) Warkat … -64- (3) Warkat Debet dan Dokumen Kliring yang tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperkenankan untuk digunakan dalam penyelenggaraan SKNBI. Pasal 74 (1) Peserta yang melakukan pencetakan Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring selain kepada perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan wajib mengganti Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring dengan Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring baru yang dicetak pada perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring yang telah memperoleh penetapan dari Bank Indonesia paling lambat dalam jangka waktu yang ditetapkan Bank Indonesia. (2) Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring yang dicetak di perusahaan selain perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring yang telah memperoleh penetapan dari Bank Indonesia tidak dapat dipergunakan dalam penyelenggaraan SKNBI. Pasal 75 Dalam hal Peserta tidak melaksanakan penggantian Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (1), Peserta dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan dengan maksimum kewajiban membayar sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Pasal … -65- Pasal 76 Peserta yang melakukan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring dengan menggunakan kertas yang ditetapkan Bank Indonesia tetapi tidak memenuhi spesifikasi teknis tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c dan tanpa memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari terhitung sejak tanggal pencetakan dimaksud sampai dengan tanggal surat persetujuan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring yang baru oleh Bank Indonesia, dengan kewajiban membayar maksimum sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pasal 77 Peserta yang terlambat atau tidak menyampaikan laporan pesanan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan terhitung sejak batas waktu pelaporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan maksimum kewajiban membayar sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan Bank tetap wajib melaporkan pesanan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring. Pasal 78 Peserta yang tidak melaporkan perubahan tertentu pada Warkat dan Dokumen Kliring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b dalam jangka waktu … -66- waktu yang ditetapkan Bank Indonesia, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 79 (1) Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring yang melakukan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring dengan menggunakan kertas yang ditetapkan Bank Indonesia tetapi tidak memenuhi spesifikasi teknis yang ditetapkan oleh Bank Indonesia atau tidak menggunakan kertas yang ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf b dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan mengganti Warkat Debet dan Dokumen Kliring Peserta sesuai dengan ketentuan spesifikasi teknis yang ditetapkan Bank Indonesia. (2) Dalam hal perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan percetakan warkat dan dokumen dimaksud dapat dikenakan penghentian penunjukan sebagai perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring. Pasal 80 (1) Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring yang tidak menyediakan mesin-mesin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Dalam hal perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring tidak menyediakan mesin-mesin setelah memperoleh 2 (dua) surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikenakan sanksi penghentian … -67- penghentian penunjukan sebagai perusahaan percetakan dokumen kliring. Pasal 81 Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring yang tidak melakukan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf b dapat dikenakan sanksi penghentian penunjukan sebagai perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring. Pasal 82 Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring yang terlambat atau belum menyampaikan laporan hasil pengujian kertas yang ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf c dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan sejak batas waktu pelaporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan maksimum sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring tetap wajib menyampaikan laporan tersebut. Pasal 83 Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring yang tidak memenuhi peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf d, dapat dikenakan sanksi penghentian penunjukan sebagai perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring. Pasal … warkat dan -68- Pasal 84 Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf e dapat dikenakan sanksi teguran tertulis dan atau penghentian penunjukan sebagai perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring. Pasal 85 (1) Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring yang terlambat melaporkan pesanan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan terhitung sejak batas waktu pelaporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan maksimum kewajiban membayar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). (2) Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring yang tidak melaporkan pesanan pencetakan Warkat Debet dan Dokumen Kliring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) setelah 60 (enam puluh) hari kalender sejak batas waktu pelaporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dapat dikenakan sanksi penghentian penunjukan sebagai perusahaan warkat dan dokumen kliring. Bagian Ketiga Sanksi Terkait Pengawasan Pasal 86 (1) Pihak yang diawasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (4) yang tidak memberikan keterangan dan data dan atau tidak memberikan kesempatan … sebesar -69- kesempatan untuk melakukan pengawasan langsung dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Dalam hal pihak yang diawasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (4) tidak memberikan keterangan dan data dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender atau tidak memberikan kesempatan untuk melakukan pengawasan langsung dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kalender, terhitung sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka: a. PKL Selain BI dapat dikenakan sanksi berupa penghentian sebagai penyelenggara SKNBI; b. Perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring dapat dikenakan sanksi berupa penghentian penunjukan sebagai perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring; atau c. Peserta dapat dikenakan sanksi berupa penghentian sementara keikutsertaan sebagai Peserta dalam penyelenggaraan SKNBI. BAB XIV LAIN-LAIN Pasal 87 Kewajiban Peserta dan PKL dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku bagi Bank Indonesia sebagai Peserta dan penyelenggara, kecuali ketentuan yang berkaitan dengan: a. pembayaran bunga dan kompensasi; b. pembuatan perjanjian antara Peserta dengan Bank Indonesia; dan c. sanksi administratif. Pasal … -70- Pasal 88 Untuk Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan UUS, ketentuan pengenaan bunga dan kompensasi dalam Peraturan Bank Indonesia ini disesuaikan dengan prinsip syariah yang berlaku. BAB XV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 89 (1) Implementasi SKNBI di seluruh Wilayah Kliring dilakukan secara bertahap dan untuk pertama kali implementasi SKNBI dilaksanakan di Wilayah Kliring Jakarta. (2) Untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak implementasi SKNBI di Wilayah Kliring Jakarta, penyelenggaraan SKNBI di Wilayah Kliring Jakarta diatur sebagai berikut : a. pengiriman DKE Kredit oleh Bank pengirim harus disertai dengan daftar tertulis tentang rincian DKE Kredit per Bank penerima; dan b. penyediaan pendanaan awal (prefund) dan segala konsekuensinya sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini belum berlaku. (3) Selama penyediaan pendanaan awal (prefund) belum berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, maka: a. mekanisme Penyelesaian Akhir untuk Kliring Debet dan Kliring Kredit dilakukan dengan membukukan hasil perhitungan Kliring Debet dan Kliring Kredit secara langsung ke rekening giro Bank di Bank Indonesia; dan b. seluruh … -71- b. seluruh DKE Kredit yang dikirimkan oleh Bank pengirim dan diterima oleh SSK diperhitungkan dalam Kliring Kredit. (4) Tanggal implementasi untuk masing-masing Wilayah Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tanggal berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan oleh Bank Indonesia kepada Peserta. (5) Ketentuan mengenai daftar tertulis tentang rincian DKE Kredit per Bank penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a termasuk mekanisme penyelesaian jika terdapat perbedaan antara DKE Kredit yang diterima dari PKN dengan daftar rincian DKE Kredit per Bank penerima, dan tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 90 Selama SKNBI belum diimplementasikan di seluruh Wilayah Kliring berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Perhitungan penyediaan pendanaan awal (prefund) dalam penyelenggaraan Kliring Debet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan penyediaan pendanaan awal (prefund) dalam penyelenggaraan Kliring Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) hanya berlaku untuk kantor-kantor Bank yang menjadi Peserta di Wilayah Kliring yang telah mengimplementasikan SKNBI. b. Informasi hasil perhitungan Kliring Debet secara nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) hanya meliputi informasi hasil perhitungan Kliring Debet dari kantor-kantor Bank yang menjadi Peserta di Wilayah Kliring yang telah mengimplementasikan SKNBI. c. Penyelesaian … -72- c. Penyelesaian Akhir terhadap hasil perhitungan Kliring Debet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 hanya untuk kantor-kantor Bank yang menjadi Peserta di Wilayah Kliring yang telah mengimplementasikan SKNBI. d. Dalam hal Penyelesaian Akhir yang berasal dari Wilayah Kliring yang belum mengimplementasikan SKNBI menyebabkan rekening giro Bank bersaldo negatif, dan saldo giro negatif tersebut terjadi sebelum cut-off warning Sistem BI-RTGS, maka apabila Bank memiliki agunan pada rekening agunan FLI-RTGS atau rekening agunan FLIS-RTGS, Bank dapat menggunakan FLI-RTGS atau FLIS-RTGS untuk memenuhi kewajiban atas Penyelesaian Akhir tersebut sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai fasilitas likuiditas intrahari bagi Bank umum atau fasilitas likuiditas intrahari bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. e. Ketentuan mengenai penghentian Peserta dalam kegiatan SKNBI secara sementara yang disebabkan Bank tidak memenuhi kewajiban dalam menyediakan pendanaan awal (prefund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf a berlaku untuk seluruh kantor Bank yang menjadi Peserta di Wilayah Kliring yang sudah mengimplementasikan SKNBI. f. Saldo giro negatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b dapat disebabkan oleh Penyelesaian Akhir dari Wilayah Kliring yang sudah dan belum mengimplementasikan SKNBI. g. Ketentuan mengenai penghentian sementara Peserta dalam kegiatan SKNBI yang disebabkan rekening giro Bank di Bank Indonesia bersaldo negatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b berlaku untuk seluruh kantor Bank yang menjadi Peserta di Wilayah Kliring yang sudah dan belum mengimplementasikan SKNBI. h. Ketentuan … -73- h. Ketentuan mengenai penghentian sementara Peserta dalam kegiatan SKNBI yang disebabkan adanya permintaan tertulis dari pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf c berlaku untuk seluruh kantor Bank yang menjadi Peserta di Wilayah Kliring yang sudah dan belum mengimplementasikan SKNBI. i. Ketentuan mengenai penghentian sementara Peserta dalam kegiatan SKNBI yang disebabkan karena Peserta dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3), Pasal 64 ayat (3), Pasal 65 ayat (3) atau Pasal 66 ayat (3) berlaku untuk Peserta di Wilayah Kliring yang sudah mengimplementasikan SKNBI. j. Ketentuan mengenai penghentian sementara Peserta dalam kegiatan SKNBI yang disebabkan karena Peserta dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) huruf c berlaku untuk Peserta di Wilayah Kliring yang sudah dan belum mengimplementasikan SKNBI. k. Ketentuan mengenai penghentian sementara Peserta dalam kegiatan SKNBI yang disebabkan adanya permintaan dari Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf e berlaku untuk Peserta di Wilayah Kliring yang sudah dan belum mengimplementasikan SKNBI, sesuai dengan permintaan Peserta. l. Ketentuan mengenai penghentian tetap Peserta dalam kegiatan SKNBI yang disebabkan adanya permintaan tertulis dari pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a berlaku untuk Peserta di Wilayah Kliring yang sudah dan belum mengimplementasikan SKNBI. m. Ketentuan mengenai penghentian tetap Peserta dalam kegiatan SKNBI yang disebabkan adanya permintaan Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal … -74- Pasal 51 ayat (1) huruf b berlaku untuk kantor Bank yang menjadi Peserta di Wilayah Kliring yang sudah dan belum mengimplementasikan SKNBI. Pasal 91 Untuk PKL Selain BI yang telah ada pada saat SKNBI diimplementasikan di Wilayah Kliring yang bersangkutan, maka kewajiban penyediaan perangkat keras KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a untuk pertama kali dilakukan oleh dan atas beban biaya Bank Indonesia, dengan biaya pemeliharaan atas beban PKL Selain BI. Pasal 92 (1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan Bank Indonesia No. 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia No. 2/14/PBI/2000 dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah Kliring yang mengimplementasikan SKNBI belum sampai dengan diimplementasikannya SKNBI di seluruh Wilayah Kliring, kecuali ketentuan sebagai berikut: a. Pasal 13 mengenai pembatalan sebagian atau seluruh perhitungan kliring dan atau penyelesaian akhir dari peserta tertentu; Pasal 24 mengenai saldo giro negatif; b. c. Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 mengenai penghentian sebagai Peserta; d. Pasal 30 mengenai pengikutsertaan kembali sebagai peserta; e. Pasal 33 mengenai sanksi saldo giro negatif; dan f. Penjelasan … -75- f. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e mengenai Warkat yang dapat dikliringkan. (2) Dengan tidak diberlakukannya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f, maka untuk Wilayah Kliring yang belum mengimplementasikan SKNBI pengaturan mengenai hal-hal tersebut tunduk pada Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Peraturan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia No. 2/14/PBI/2000, tetap berlaku untuk Wilayah Kliring yang belum mengimplementasikan SKNBI. (4) Peraturan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia No. 2/14/PBI/2000 berlaku untuk Wilayah Kliring yang telah mengimplementasikan SKNBI sepanjang dinyatakan secara tegas dalam peraturan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini. BAB XVI KETENTUAN PENUTUP Pasal 93 (1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan dengan memperhatikan Pasal 89 Peraturan Bank Indonesia ini, Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank sebagaimana telah diubah … -76- diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/14/PBI/2000 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Peraturan Bank Indonesia ini dilaksanakan di suatu Wilayah Kliring sejak tanggal implementasi SKNBI di Wilayah Kliring tersebut. Pasal 94 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan SKNBI yang belum diatur secara khusus dalam Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 95 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 22 Juli 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR DASP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/18/PBI/2005 TENTANG SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA I. UMUM Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia mempunyai tugas untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dalam rangka mendukung terwujudnya sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan handal. Adanya sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan handal dimaksudkan untuk mendukung stabilitas sistem keuangan. Upaya untuk mewujudkan sistem pembayaran yang dapat mendukung stabilitas sistem keuangan dilakukan secara berkesinambungan melalui penurunan berbagai risiko sistem pembayaran nasional. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Bank Indonesia telah mengimplementasikan sistem Kliring yang merupakan pertukaran warkat atau data keuangan elektronik antar Peserta baik atas nama Peserta maupun atas nama nasabah Peserta yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu. Pada perkembangan selanjutnya, sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan handal, Bank Indonesia merasa perlu untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan Kliring melalui … -2- melalui pengembangan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), yang secara garis besar meliputi pokok-pokok perubahan sebagai berikut : 1. Transfer kredit tanpa warkat Saat ini transaksi yang diproses melalui sistem Kliring meliputi transfer debet dan transfer kredit yang disertai dengan pertukaran fisik warkat, baik warkat debet (cek, bilyet giro, nota debet dan lain-lain) maupun warkat kredit (nota kredit). Dalam perkembangannya penggunaan nota kredit untuk transfer dana antar Bank melalui Kliring dipandang sudah tidak efisien, khususnya terkait dengan biaya pencetakan warkat dan prosedur pemrosesan warkat itu sendiri. Sementara transfer dana antar Bank melalui Sistem BI-RTGS yang nilainya lebih besar, telah dilakukan secara paperless. Oleh karena itu perlu dikembangkan sistem Kliring yang mengakomodir transfer dana antar Bank melalui Kliring tanpa kewajiban melakukan pertukaran fisik warkat (paperless). Dengan adanya pengembangan tersebut, maka mekanisme penyelenggaraan Kliring yang semula menggabungkan proses antara transfer debet dan transfer kredit perlu dipisahkan antara Kliring untuk transfer debet (Kliring Debet) yang masih bersifat paperbased dan Kliring untuk transfer kredit (Kliring Kredit) yang sudah paperless. 2. Kliring Kredit Nasional Bersamaan dengan penerapan transfer kredit tanpa warkat, penyelenggaraan Kliring Kredit telah dapat dan akan dilakukan secara nasional yang memungkinkan Peserta mengirimkan transfer kredit untuk tujuan kantor Bank di seluruh wilayah Indonesia. 3. Manajemen … -3- 3. Manajemen risiko Berkenaan dengan upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip manajemen risiko dalam penyelenggaraan Kliring yang bersifat multilateral netting sesuai dengan Core Principles yang dikeluarkan oleh Bank for International Settlement, maka untuk mengantisipasi kemungkinan kegagalan Peserta dalam memenuhi kewajibannya dalam Penyelesaian Akhir, perlu diterapkan suatu kebijakan baru yang mengharuskan Bank untuk menyediakan pendanaan awal (prefund) pada setiap awal hari sebelum Kliring Debet dan Kliring Kredit dimulai. Konsekuensi atas tidak dipenuhinya penyediaan pendanaan awal (prefund) pada salah satu atau kedua penyelenggaraan Kliring tersebut menyebabkan seluruh kantor Bank yang menjadi Peserta tidak dapat mengikuti kegiatan Kliring Debet dan Kliring Kredit pada hari tersebut. Sehubungan dengan penerapan prinsip-prinsip manajemen risiko ini, maka proses perhitungan dan Penyelesaian Akhir Kliring Debet dan Kliring Kredit dilakukan secara nasional. 4. Perlindungan konsumen Berkenaan dengan upaya menerapkan prinsip-prinsip perlindungan konsumen, maka perlu diatur mengenai kewajiban dan tanggung jawab Peserta pengirim dan Peserta penerima dalam mengkliringkan perintah transfer debet dan transfer kredit yang diterima dari nasabahnya serta kewajiban dan tanggung jawab Peserta pengirim dan Peserta penerima untuk meneruskan dana kepada nasabahnya. Dengan adanya pokok-pokok perubahan tersebut, dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia. Ketentuan tersebut antara lain mengatur mengenai penyelenggara, Peserta, kewajiban dan tanggung jawab Peserta dalam Kliring Kredit dan Kliring Debet serta … -4- serta penyelenggaraan SKNBI dalam kondisi normal dan Keadaan Darurat. Sejalan dengan itu, untuk mendukung kelancaran pelaksanaan penggunaan sistem Kliring dan meminimalkan risiko yang mungkin timbul, Bank Indonesia sebagai pengatur dan pengawas sistem pembayaran serta penyelenggara sistem Kliring melakukan pengawasan terhadap PKN, PKL, perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring (PPWDK) dan Peserta baik secara langsung maupun tidak langsung. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bantuan keuangan diberikan untuk mendukung peranan PKL Selain BI sebagai pihak yang membantu tugas Bank Indonesia dalam penyelenggaraan SKNBI. Ayat (4) Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain meliputi: a. Persyaratan … -5- a. b. c. d. e. f. Persyaratan penyelenggaraan SKNBI oleh PKL Selain BI di suatu wilayah tertentu; Persyaratan PKL Selain BI dan tata cara pemberian persetujuan; Bantuan keuangan kepada PKL Selain BI; Jangka waktu penetapan sebagai PKL Selain BI; Pengunduran diri sebagai PKL Selain BI; Penghentian sebagai PKL Selain BI; g. Pemindahan Lokasi; dan h. Pembubaran penyelenggaraan SKNBI di Wilayah Kliring PKL Selain BI. Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan ”aplikasi SSK” adalah program aplikasi penyelenggaraan SKNBI yang digunakan oleh PKN. Yang dimaksud dengan ”aplikasi KPK” adalah program aplikasi penyelenggaraan SKNBI yang digunakan oleh PKL. Yang dimaksud dengan ”aplikasi TPK” adalah program aplikasi penyelenggaraaan SKNBI yang digunakan oleh Peserta. Huruf e Cukup jelas. Huruf … -6- Huruf f Disaster Recovery Plan (DRP) atau Business Continuity Plan (BCP) dalam kondisi gangguan dan Keadaan Darurat sekurang-kurangnya memuat langkah-langkah yang akan dilakukan dalam hal terjadi gangguan dan Keadaan Darurat, untuk memastikan bahwa penyelenggaraan SKNBI oleh PKN tetap dapat dilakukan atau upaya lainnya yang perlu dilakukan dalam hal SSK Back-up tidak dapat digunakan. Dalam penentuan langkah-langkah tersebut, PKN memperhatikan situasi dan kondisi spesifik yang terdapat pada penyelenggaraan SKNBI dengan sejauh mungkin menghindari alternatif penghentian untuk sementara kegiatan SKNBI. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan ”fasilitas lain” adalah fasilitas yang digunakan untuk mendukung kelancaran SKNBI antara lain fasilitas perekaman data hasil kliring dan sistem informasi kliring jarak jauh (SIKJJ). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf … -7- Huruf b Yang dimaksud dengan ”fasilitas penyelenggaraan SKNBI” antara lain adalah tempat pertemuan atau tempat penyelenggaraan SKNBI dan sarana komunikasi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Disaster Recovery Plan (DRP) atau Business Continuity Plan (BCP) dalam kondisi gangguan dan Keadaan Darurat sekurang- kurangnya memuat langkah-langkah yang akan dilakukan dalam hal terjadi gangguan dan Keadaan Darurat, untuk memastikan bahwa penyelenggaraan SKNBI oleh PKL tetap dapat dilakukan atau upaya lainnya yang perlu dilakukan dalam hal KPK Back-up tidak dapat digunakan. Dalam penentuan langkah-langkah tersebut, PKL memperhatikan situasi dan kondisi spesifik yang terdapat pada penyelenggaraan SKNBI dengan sejauh mungkin menghindari alternatif penghentian untuk sementara kegiatan SKNBI. Huruf h Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat meliputi: ini antara lain 1. pemberitahuan … -8- 1. pemberitahuan peniadaan penyelenggaraan SKNBI; 2. pemberitahuan perubahan jadwal Kliring Debet; 3. pemberitahuan perselisihan antar Peserta yang berkaitan dengan perhitungan DKE Debet atau Warkat; dan 4. pemberitahuan kasus pidana atau perdata yang berkaitan dengan penyelenggaraan SKNBI yang diketahui PKL. Huruf i Yang dimaksud dengan ”hal-hal lain” antara lain adalah memeriksa TPPK Peserta pada saat petugas Peserta mengikuti penyelenggaraan SKNBI di lokasi PKL. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan ”kebijakan dan prosedur tertulis mengenai penyelenggaraan SKNBI ” dalam ayat ini adalah aturan tertulis yang ditetapkan direksi atau pejabat yang berwenang, yang antara lain mengatur pembagian tugas dan wewenang, mekanisme kerja, pengendalian risiko, responsibilitas, dan akuntabilitas dari PKL Selain BI sebagai pedoman penyelenggaraan SKNBI. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan ”pemeriksaan internal” adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh satuan kerja audit intern PKL Selain BI terhadap kepatuhan PKL Selain BI dalam memenuhi ketentuan Bank Indonesia dan ketentuan internal PKL Selain BI. Huruf … -9- Huruf d Yang dimaksud dengan ”security audit” adalah pemeriksaan terhadap keamanan teknologi informasi internal PKL Selain BI, hubungan (interface) antara aplikasi KPK dengan sistem internal PKL Selain BI serta kondisi lingkungan PKL Selain BI Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Jenis biaya dalam penyelenggaraan SKNBI antara lain terdiri atas biaya proses, dan biaya lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan SKNBI. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Perjanjian antara Bank Indonesia dan Bank sebagai Peserta berlaku untuk seluruh kantor Bank tersebut, termasuk kantor syariah, yang terdaftar sebagai Peserta SKNBI. Pasal 8 Ayat (1) Huruf … -10- Huruf a Yang dimaksud dengan ”kebijakan dan prosedur tertulis mengenai operasional SKNBI” dalam ayat ini adalah aturan tertulis yang ditetapkan direksi atau pejabat yang berwenang, yang antara lain mengatur pembagian tugas, mekanisme kerja, pengendalian risiko, responsibilitas, dan akuntabilitas satuan kerja yang menangani Kliring. Termasuk dalam cakupan kebijakan dan prosedur tertulis adalah Disaster Recovery Plan (DRP) atau Business Continuity Plan (BCP) dalam kondisi gangguan dan Keadaan Darurat. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan ”pemeriksaan internal” adalah pemeriksaan yang dilaksanakan oleh satuan kerja audit internal kantor pusat Bank untuk menjamin kelancaran serta keamanan pelaksanaan sistem dan prosedur operasional SKNBI oleh Peserta. Huruf d Yang dimaksud dengan ”security audit” adalah pemeriksaan terhadap keamanan teknologi informasi internal Peserta, hubungan (interface) antara aplikasi TPK dengan sistem internal Peserta serta kondisi lingkungan Peserta. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf … -11- Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Yang dimaksud “pengurus Bank” adalah komisaris dan direksi Bank sesuai dengan kriteria yang diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Yang dimaksud “pejabat eksekutif Bank” adalah pejabat eksekutif, sesuai dengan kriteria yang diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain melakukan monitoring atas penerapan security audit dan monitoring atas pemeriksaan internal yang menjamin keamanan operasional SKNBI sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dapat mendukung diketahuinya secara dini terjadinya penyimpangan. Pasal … -12- Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”transfer debet” adalah transaksi yang dilakukan oleh Peserta pengirim, untuk kepentingan dan untuk untung Peserta pengirim atau nasabah Peserta pengirim dan atas beban Peserta penerima atau nasabah Peserta penerima. Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Yang dimaksud dengan ”cek dan bilyet giro antar wilayah” adalah, cek dan bilyet giro yang diterbitkan oleh kantor Bank peserta kliring antar wilayah dan dikliringkan di luar Wilayah Kliring kantor Bank penerbit. Yang dimaksud wilayah” adalah Bank dengan ”peserta kliring antar telah memperoleh yang persetujuan Bank Indonesia, agar cek dan bilyet giro yang diterbitkan oleh seluruh kantornya dapat dikliringkan di seluruh Wilayah Kliring dimana terdapat kantor Bank tersebut yang menjadi Peserta. Yang dimaksud dengan ”Kliring antar wilayah” adalah penyelenggaraan Kliring Debet atas cek dan bilyet giro yang diterbitkan oleh kantor Bank yang bukan … -13- bukan Peserta di Wilayah Kliring dimana cek dan bilyet giro tersebut dikliringkan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Warkat Debet tertolak (reject) antara lain dapat disebabkan karena MICR Code Line tidak diisi atau data pada Warkat Debet tidak terbaca oleh mesin baca pilah. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan ”Kliring penyerahan” adalah kegiatan untuk memperhitungkan DKE Debet yang disampaikan oleh Peserta pengirim kepada Peserta penerima melalui PKL. Huruf b Yang dimaksud dengan ”Kliring pengembalian” adalah kegiatan untuk memperhitungkan DKE Debet yang ditolak oleh Peserta penerima kepada Peserta pengirim berdasarkan alasan yang ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat … -14- Ayat (4) Yang dimaksud dengan ”mekanisme pemilahan Warkat Debet secara otomasi” adalah pemilahan Warkat Debet yang dilakukan oleh PKL dengan menggunakan mesin baca pilah. Yang dimaksud dengan ”mekanisme pemilahan Warkat Debet secara manual” adalah pemilahan Warkat Debet yang dilakukan oleh masing- masing wakil Peserta di lokasi PKL. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “penyampaian DKE Debet secara on-line” adalah penyampaian DKE Debet dari Peserta kepada PKL yang dilakukan melalui JKD. Yang dimaksud dengan “penyampaian DKE Debet secara off-line” adalah penyampaian DKE Debet dari Peserta kepada PKL yang dilakukan melalui media rekam data. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”transfer kredit” adalah transaksi yang dilakukan oleh dan atas beban Peserta pengirim untuk kepentingan Peserta pengirim atau untung Peserta penerima atau nasabahnya. Huruf b Cukup jelas. nasabahnya, dan untuk Huruf … -15- Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “penyampaian DKE Kredit melalui kantor yang memiliki TPK on-line” adalah DKE Kredit yang dikirim terlebih dahulu oleh Peserta kepada kantornya yang memiliki TPK on-line melalui sistem jaringan internal Bank untuk kemudian diteruskan ke PKN oleh kantor yang memiliki TPK on-line melalui JKD ke SSK. Yang dimaksud dengan “penyampaian DKE Kredit melalui PKL” adalah DKE Kredit yang disampaikan oleh Peserta kepada PKL dalam bentuk media rekam data untuk kemudian diteruskan oleh PKL ke PKN melalui JKD dari KPK ke SSK. Pasal 13 Ayat (1) Perhitungan secara net multilateral dilakukan dengan mekanisme offsetting antara hak dan kewajiban antara seluruh Bank Peserta SKNBI dalam penyelenggaraan SKNBI. Ayat (2) Pembaharuan hutang terjadi karena PKN menggantikan kedudukan Bank sebagai pihak yang memiliki hak dari atau kewajiban kepada Bank lainnya dalam penyelenggaraan SKNBI. Ayat (3) Prinsip ini merupakan pengecualian dari prinsip zero hour rules, sehingga apabila Peserta dicabut izin usaha dan dilikuidasi, atau nasabahnya … -16- nasabahnya dipailitkan, transaksi yang sudah dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan pencabutan izin usaha dan likuidasi atau pailit tidak menjadi batal. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “prinsip same day settlement” adalah prinsip Penyelesaian Akhir yang diterapkan pada tingkat Bank, yaitu: a. Dalam penyelenggaraan Kliring Debet, Penyelesaian Akhir dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya DKE Debet dari Peserta oleh PKL; dan b. Dalam penyelenggaraan Kliring Kredit, Penyelesaian Akhir dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya DKE Kredit oleh PKN dari Peserta atau PKL. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”Cek” adalah cek sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang ditarik baik atas beban nasabah Bank atau atas beban Bank. Huruf b Yang dimaksud dengan ”Bilyet Giro” adalah bilyet giro sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Bilyet Giro. Huruf c Yang dimaksud dengan ”Wesel” adalah wesel sebagaimana diatur dalam KUHD, yang diterbitkan oleh Peserta. Huruf … -17- Huruf d Yang dimaksud dengan ”Nota Debet” adalah Warkat Debet yang digunakan untuk menagih dana pada Peserta lain untuk untung nasabah Peserta atau Peserta yang menyampaikan Nota Debet tersebut. Huruf e Warkat Debet lain dalam huruf ini antara lain surat bukti penerimaan transfer, voucher perjalanan (traveller’s cheque), voucher untuk cinderamata (gift cheque) dan voucher deviden (dividend cheque). Ayat (2) Warkat Debet harus dinyatakan dalam mata uang rupiah karena perhitungan Kliring dalam SKNBI dilakukan hanya untuk mata uang rupiah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Huruf … -18- Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud “perubahan” dalam ayat ini antara lain perubahan nama Peserta, logo Peserta, dan rancang bangun, seperti perubahan disain sekuriti Warkat Debet. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan ”Bank” dalam ayat ini adalah Bank baik Peserta maupun bukan Peserta, melalui kantornya yang mempunyai kewenangan untuk mengajukan Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud ”melakukan sendiri segala pekerjaan yang berkaitan dengan pencetakan warkat” yaitu tidak melakukan sub- kontrak atau mengalihkan pekerjaan pencetakan Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring kepada perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring lain atau menerima pengalihan pekerjaan pencetakan Warkat Debet dan atau Dokumen Kliring dari perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring lain. Huruf … permohonan persetujuan pencetakan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. -19- Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud ”peraturan perundang-undangan” yang berlaku antara lain Undang-Undang yang mengatur mengenai monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dan Undang-Undang yang mengatur mengenai perlindungan konsumen. Huruf e Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Persyaratan yang harus dipenuhi antara lain kelengkapan pengisian informasi yang harus diisi seperti sandi Peserta pengirim, sandi Peserta penerima, nomor rekening tertuju. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal … -20- Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Pendanaan awal (prefund) dimaksudkan untuk mengantisipasi pemenuhan potensi kewajiban dari seluruh kantor Bank yang menjadi Peserta pada penyelenggaraan Kliring Debet. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Seluruh dana tunai (cash prefund) untuk Kliring Debet yang disediakan oleh seluruh Bank ditatausahakan oleh Bank Indonesia dalam satu rekening khusus pada Sistem BI-RTGS, sementara rincian dana untuk masing-masing Bank ditatausahakan pada SSK. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat … -21- Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”hasil perhitungan Kliring Debet secara nasional” adalah penjumlahan atau off-setting hasil Kliring penyerahan dan Kliring pengembalian masing-masing Bank dari seluruh Wilayah Kliring yang dikirim oleh PKL ke PKN. Khusus untuk Wilayah Kliring yang Kliring pengembaliannya dilakukan pada hari kerja berikutnya setelah Kliring diperhitungkan dalam perhitungan Kliring Debet secara nasional hanya hasil perhitungan Kliring penyerahan, sedangkan hasil perhitungan Kliring pengembalian dilakukan tersendiri. Yang dimaksud dengan ”net kredit” (menang kliring) adalah hasil perhitungan Kliring Debet secara nasional yang menunjukkan total tagihan Bank lebih besar daripada total kewajiban Bank. Yang dimaksud dengan ”net debet” (kalah kliring) adalah hasil perhitungan Kliring Debet secara nasional yang menunjukkan total kewajiban Bank lebih besar daripada total tagihan Bank. Total kewajiban Bank tersebut di atas didasarkan atas total DKE Debet yang diterima oleh Bank yang bersangkutan dari Bank lain, sedangkan total tagihan Bank didasarkan pada DKE Debet yang dikirim oleh Bank yang bersangkutan kepada Bank lain. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat … penyerahan, maka yang -22- Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Persyaratan yang ditetapkan Bank Indonesia antara lain kelengkapan pengisian informasi yang wajib diisi seperti sandi Peserta pengirim, sandi Peserta penerima dan nomor rekening yang dituju. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 26 Dokumen Kliring merupakan bukti penyerahan DKE Kredit dalam bentuk media rekam data oleh Peserta kepada PKL. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal … -23- Pasal 29 Ayat (1) Pendanaan awal (prefund) dimaksudkan untuk mengantisipasi pemenuhan potensi kewajiban dari seluruh kantor Bank yang menjadi Peserta pada penyelenggaraan Kliring Kredit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Seluruh dana tunai (cash prefund) untuk Kliring Kredit yang disediakan oleh seluruh Bank ditatausahakan oleh Bank Indonesia dalam satu rekening khusus pada Sistem BI-RTGS, sementara rincian dana untuk masing-masing Bank ditatausahakan pada SSK Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 30 Yang dimaksud ”total nominal dana yang dimiliki Bank” adalah dana yang bersumber dari: a. pendanaan awal (prefund) berupa dana tunai (cash prefund); dan b. dana yang berasal dari confirmed incoming, yaitu transfer kredit masuk dari Bank lain yang dapat dipenuhi oleh dana yang dimiliki Bank lain tersebut. Pasal … -24- Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “dana yang cukup” meliputi ketersediaan dana tunai (cash prefund) dan dana yang berasal dari confirmed incoming. Ayat (4) Cukup jelas. BAB VII Yang dimaksud dengan Peserta pengirim dalam Bab ini adalah Peserta yang mengkliringkan Warkat Debet dalam kegiatan Kliring penyerahan pada penyelenggaraan Kliring Debet. Yang dimaksud dengan Peserta penerima dalam Bab ini adalah Peserta yang menerima tagihan atas Warkat Debet yang dikliringkan oleh Peserta pengirim dalam kegiatan Kliring penyerahan pada penyelenggaraan Kliring Debet. Pasal 33 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”ketentuan yang berlaku” pada ayat ini antara lain ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah … -25- nasabah (know your customer principles) dan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, khususnya yang terkait dengan pemantauan atas transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction). Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan ”jam pelayanan nasabah” adalah batas waktu bagi nasabah untuk melakukan setoran Kliring untuk dikliringkan pada tanggal yang sama dengan tanggal penyetoran sebagaimana diumumkan di kantor Bank. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Warkat Debet yang memiliki tanggal jatuh tempo antara lain adalah Bilyet Giro. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pembayaran kompensasi oleh Peserta pengirim merupakan konsekuensi atas keterlambatan Peserta pengirim dalam mengkliringkan Warkat Debet yang diterima dari nasabah Peserta pengirim. Ayat … -26- Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” antara lain kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Yang dimaksud “ketentuan yang berlaku” antara lain adalah ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah (know your customer principles) dan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, khususnya yang terkait dengan pemantauan atas transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction). Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pembayaran kompensasi oleh Peserta pengirim merupakan konsekuensi atas kekeliruan Peserta pengirim dalam mengkliringkan Warkat Debet. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal … -27- Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”Bank Peserta pengirim” dalam ayat ini adalah kantor-kantor Bank yang menerima setoran Warkat Debet untuk dikliringkan. Huruf a Angka 1 Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Pengkreditan dilakukan paling lambat pada pukul 09.00 waktu setempat hari kerja berikutnya apabila berdasarkan pertimbangan tertentu Bank Peserta pengirim tidak dapat melakukan pengkreditan pada tanggal yang pengembalian. sama dengan tanggal Kliring Angka 2 Cukup jelas. Huruf b Surat pemberitahuan merupakan dasar bagi nasabah untuk mengambil dana di kantor tertentu di Bank Peserta pengirim. Pemberitahuan dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya apabila berdasarkan pertimbangan tertentu, kantor Bank Peserta pengirim tidak dapat menyampaikan pemberitahuan … -28- pemberitahuan pada tanggal yang sama dengan tanggal Kliring pengembalian. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” antara lain adalah kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Yang dimaksud “ketentuan yang berlaku” antara lain adalah ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah (know your customer principles) dan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, khususnya yang terkait dengan pemantauan atas transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction). Pasal 37 Cukup jelas. BAB VIII Yang dimaksud dengan Peserta pengirim dalam Bab ini adalah Peserta yang mengkliringkan perintah transfer kredit dalam penyelenggaraan Kliring Kredit. Yang dimaksud dengan Peserta penerima dalam Bab ini adalah Peserta yang menerima perintah transfer kredit dalam penyelenggaraan Kliring Kredit. Pasal 38 Ayat (1) Yang dimaksud “ketentuan yang berlaku” pada ayat ini antara lain ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah … -29- nasabah (know your customer principles) dan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, khususnya yang terkait dengan pemantauan atas transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 39 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”jam pelayanan nasabah” adalah batas waktu bagi nasabah untuk melakukan transfer melalui Kliring Kredit di masing-masing Bank sebagaimana diumumkan di kantor Bank. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kewajiban pembayaran bunga kepada nasabah Peserta pengirim merupakan bentuk pengembalian atas hak nasabah. Ayat … -30- Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “ketidaksesuaian” dalam ayat ini antara lain berupa ketidaksesuaian data identitas Peserta Penerima, identitas nasabah penerima, jumlah dana yang ditransfer, dan atau duplikasi pelaksanaan perintah transfer kredit. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Adanya pembebasan tanggung jawab (indemnity) yang diterima dari Peserta pengirim tidak serta merta mewajibkan Peserta penerima untuk menarik dana dari penerima dana yang tidak berhak dengan mengabaikan kebijakan dan ketentuan internal Peserta penerima, misalnya yang terkait dengan kewajiban meminta persetujuan dari penerima dana atau pemilik rekening untuk mendebet kembali rekeningnya … -31- rekeningnya, kecuali dalam perjanjian pembukaan rekening antara Peserta penerima dan nasabah Peserta penerima diatur bahwa dalam hal terjadi kekeliruan pengkreditan rekening nasabah Peserta penerima berhak melakukan pendebetan rekening nasabah Peserta penerima secara langsung tanpa perlu meminta persetujuan nasabah Peserta penerima terlebih dahulu. Hal yang sama berlaku juga untuk penerima dana tunai. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “ketentuan yang berlaku” antara lain adalah ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah (know your customer principles), ketentuan Bank Indonesia mengenai pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh Bank serta Undang-undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, khususnya yang terkait dengan pemantauan atas transaksi yang mencurigakan transaction). (suspicious Ayat (2) Penggunaan mekanisme penerusan dana didasarkan pada manajemen risiko Bank sebagai Bank penerima. Huruf a Cukup jelas. Huruf … -32- Huruf b Penerusan dana dengan mendasarkan pada kesamaan nomor rekening yang tercantum dalam daftar DKE Kredit yang diterbitkan oleh PKN dengan nomor rekening yang tercantum dalam tata usaha rekening atau administrasi di Peserta penerima dapat terjadi antara lain pada Bank yang menerapkan metode Straight Through Process (STP) dalam melakukan pengkreditan rekening. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”tanggal diketahuinya kekeliruan” adalah: a. tanggal diketemukannya kekeliruan tersebut, apabila kekeliruan diketahui oleh Bank Peserta penerima; atau b. tanggal pada saat Bank Peserta penerima selesai melakukan verifikasi dan rekonsiliasi dokumen terkait dengan tranfer dana tersebut, apabila informasi mengenai adanya kekeliruan diperoleh dari Peserta pengirim. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal … -33- Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “data yang terkait dengan pengkreditan rekening penerima dana yang tidak berhak” antara lain adalah tanggal dilakukannya pengkreditan atau penarikan dana oleh nasabah yang tidak berhak. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 48 Yang dimaksud dengan ”Bank Peserta penerima” dalam ayat ini adalah kantor-kantor Bank yang mengelola rekening nasabah penerima dana. Ayat (1) Huruf a Angka 1 Huruf a) Cukup jelas. Huruf … -34- Huruf b) Pengkreditan dilakukan paling lambat pada pukul 09.00 waktu setempat apabila berdasarkan pertimbangan tertentu, Bank Peserta penerima tidak dapat melakukan pengkreditan pada tanggal yang sama dengan tanggal Penyelesaian Akhir Kliring Kredit. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang” antara lain kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Yang dimaksud “ketentuan yang berlaku” antara lain adalah ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah (know your customer principles), ketentuan Bank Indonesia mengenai pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh Bank serta Undang-undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, khususnya yang terkait dengan pemantauan atas transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction). Huruf b Surat pemberitahuan merupakan dasar bagi nasabah untuk mengambil dana di Bank Peserta penerima. Pemberitahuan dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya apabila berdasarkan pertimbangan tertentu, Bank Peserta penerima tidak dapat … -35- dapat menyampaikan pemberitahuan pada tanggal yang sama dengan tanggal Penyelesaian Akhir Kliring Kredit. Ayat (2) Bank Peserta penerima tidak dapat meneruskan dana kepada penerima dana yang tidak memiliki rekening antara lain jika Bank Peserta penerima tidak menyediakan fasilitas kiriman uang tunai. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Penghentian sementara dapat dilakukan untuk jangka waktu tertentu. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 50 Ayat (1) Huruf a Apabila Bank tidak menyediakan pendanaan awal (prefund) dalam salah satu kegiatan Kliring Debet atau Kliring Kredit, seluruh kantor Bank tidak dapat mengikuti seluruh kegiatan SKNBI pada hari tidak dipenuhinya kewajiban tersebut. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” adalah Bank Indonesia. Huruf … -36- Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup Jelas Huruf b Yang dimaksud dengan ”kantor dan atau unit syariah dibawah UUS” adalah : a. Kantor cabang syariah dan atau unit syariah dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan, untuk Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di Indonesia. b. Kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha Bank secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan, untuk yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas Huruf … -37- Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan ”kantor dan atau unit syariah dibawah UUS” adalah : a. Kantor cabang syariah dan atau unit syariah dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan, untuk Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di Indonesia. b. Kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan, untuk Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri. Angka 2 Yang dimaksud dengan ”tidak menunjukkan angka negatif” adalah minimum Rp. 0 (nol rupiah). Yang dimaksud dengan ”kantor dan atau unit syariah dibawah UUS” adalah : a. Kantor cabang syariah dan atau unit syariah dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan, untuk Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di Indonesia. b. Kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara … -38- secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan, untuk Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Kondisi yang dapat mempengaruhi keikutsertaan seluruh kantor Bank yang menjadi Peserta antara lain kondisi Keadaan Darurat pada kantor Bank yang terhubung ke Sistem BI-RTGS yang menyebabkan Bank tidak dapat melakukan penyediaan pendanaan awal (prefund). Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang” adalah Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Mengingat keanggotaan dalam Kliring bersifat sukarela, maka Peserta dapat mengajukan permohonan untuk penghentian secara tetap dari keikutsertaannya … -39- keikutsertaannya dalam kegiatan SKNBI. Peserta yang disetujui permohonannya harus memberitahukan penghentian tersebut kepada seluruh nasabahnya. Hal ini berlaku pula untuk Peserta yang mengundurkan diri untuk pindah ke luar Wilayah Kliring. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penghentian sementara penyelenggaraan SKNBI merupakan langkah terakhir yang dilakukan oleh PKN dengan memperhatikan situasi dan kondisi spesifik SKNBI. Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat … -40- Ayat (2) Penghentian sementara penyelenggaraan SKNBI merupakan langkah terakhir yang dilakukan oleh PKN dengan memperhatikan situasi dan kondisi spesifik SKNBI. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Ayat (1) Pengawasan oleh Bank Indonesia terhadap PKN dan perusahaan percetakan warkat dan dokumen kliring merupakan kewenangan Bank Indonesia sebagai pengatur dan pengawas sistem pembayaran. Pengawasan oleh Bank Indonesia terhadap PKL dan Peserta merupakan pelaksanaan dari tanggung jawab Bank Indonesia sebagai PKN. Pengawasan langsung berupa pemeriksaan langsung sewaktu-waktu apabila diperlukan. dilakukan Pengawasan … -41- Pengawasan tidak langsung berupa pengawasan melalui penelitian, analisis, dan evaluasi atas laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan atau data/informasi lain yang diperoleh Bank Indonesia dilakukan secara periodik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak yang memiliki keahlian dan kompetensi antara lain di bidang audit teknologi informasi dan bidang teknologi dokumen sekuriti. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal … -42- Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Pengenaan sanksi atas penolakan DKE Debet dan atau Warkat Debet dalam ayat ini dimaksudkan untuk menjaga integritas Warkat Debet sebagai alat pembayaran … -43- pembayaran non tunai dan memberikan edukasi kepada Bank dan nasabah agar lebih berhati-hati dengan memperhatikan persyaratan formal dalam melakukan penarikan Warkat Debet sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini penting untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat yang menerima pembayaran dengan menggunakan Warkat Debet tersebut. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal … -44- Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal … -45- Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Dalam hal umur ekonomis perangkat keras KPK berakhir atau perangkat keras KPK mengalami kerusakan sehingga tidak dapat berfungsi, maka penyediaan perangkat keras KPK baru menjadi kewajiban PKL Selain BI. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/18/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 22 Juli 2005 </set_date> <effective_date> 22 Juli 2005 </effective_date> <replaced_reg> '1/3/PBI/1999', '2/14/PBI/2000 | Pasal 89' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/UU/2004', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V Bagian Kedelapan Pasal 24 Ayat (4) Huruf b', 'BAB XIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 1 /PBI/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/5/PBI/2007 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mengembangkan dalam rangka mendorong dan pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dibutuhkan penyempurnaan mekanisme transaksi pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … - 2 - Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/5/PBI/2007 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antarbank berdasarkan Prinsip Syariah … - 3 - Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4715) diubah sebagai berikut : 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Konvensional adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 4. Bank Asing adalah bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah, tidak termasuk kantor bank dari bank berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. 5. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pialang pasar uang rupiah dan valuta asing. 6. Pasar … - 4 - 6. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disingkat PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing. 7. Instrumen PUAS adalah instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh BUS atau UUS yang digunakan sebagai sarana transaksi di PUAS. 8. Prinsip Syariah adalah Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Peserta PUAS terdiri atas BUS, UUS, Bank Konvensional, dan/atau Bank Asing. (2) Dalam melakukan transaksi di PUAS, Peserta PUAS dapat menggunakan Perusahaan Pialang. (3) Perusahaan Pialang hanya dapat melakukan transaksi di PUAS untuk dan atas nama Peserta PUAS. (4) Peserta PUAS dan Perusahaan Pialang wajib memenuhi ketentuan transaksi PUAS yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 3. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 2A dan Pasal 2B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2A Pada saat penerbitan Instrumen PUAS: a. BUS dan UUS dapat melakukan penempatan dana atau penerimaan dana. b. Bank Konvensional dan Bank Asing hanya dapat melakukan penempatan dana. Pasal … - 5 - Pasal 2B Penempatan dana oleh BUS dan UUS pada transaksi PUAS dengan menggunakan instrumen yang diterbitkan oleh Bank Asing wajib memenuhi Prinsip Syariah. 4. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Bank Indonesia mengatur jenis Instrumen PUAS yang dapat dialihkan kepemilikannya sebelum jatuh waktu. (2) Pengalihan kepemilikan Instrumen PUAS sebelum jatuh waktu dapat dilakukan dengan menggunakan akad jual beli (al bai’) Instrumen PUAS pada harga yang disepakati. (3) Penjual Instrumen PUAS dapat berjanji (al wa’d) untuk membeli kembali Instrumen PUAS yang telah dialihkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada harga yang disepakati di awal. (4) Jenis Instrumen PUAS yang dapat dialihkan kepemilikannya sebelum jatuh waktu dan tata cara pengalihan kepemilikan Instrumen PUAS dimaksud diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 5. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 8 (1) BUS atau UUS yang melanggar ketentuan dalam Pasal 2B dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 58 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. (2) BUS atau UUS yang menerbitkan atau melakukan transaksi atas Instrumen PUAS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 ayat (1), dan/atau Pasal 4 ayat (4) dikenakan sanksi berupa: a. teguran … - 6 - a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah). 6. Di antara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 11A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11A Semua penyebutan “Bank Syariah” dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah beserta peraturan pelaksanaannya harus dimaknai sebagai “BUS”. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 4 Januari 2012. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 4 Januari 2012 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 4 Januari 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 2 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 14/ 1 /PBI/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/5/PBI/2007 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH UMUM Untuk mengoptimalkan peran perbankan syariah dalam membiayai pertumbuhan ekonomi, diperlukan pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah (PUAS) yang berkembang sebagai sarana untuk mendukung pengelolaan likuiditas perbankan syariah. Agar PUAS lebih berfungsi secara efektif dan efisien dalam mempertemukan pihak-pihak yang mengalami kelebihan dan kekurangan likuiditas, diperlukan penyempurnaan mekanisme PUAS dengan menambahkan peran perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing dalam transaksi PUAS. Selain itu diperlukan penyempurnaan pengaturan untuk menjamin pemenuhan prosedur perizinan penerbitan Instrumen PUAS dan pemenuhan prinsip-prinsip syariah dalam transaksi PUAS. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka … -2- Angka 2 Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Transaksi PUAS melalui Perusahaan Pialang dapat dilakukan baik pada saat penerbitan Instrumen PUAS maupun pada saat pengalihan kepemilikan Instrumen PUAS sebelum jatuh waktu. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 2A Cukup jelas. Pasal 2B Cukup jelas. Angka 4 Pasal 6 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat … -3- Ayat (2) Teguran tertulis memuat antara lain perintah penghentian sementara penerbitan dan transaksi atas Instrumen PUAS yang belum mendapatkan persetujuan Bank Indonesia. Angka 6 Pasal 11A Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5270 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 14/1/PBI/2012 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/5/PBI/2007 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 4 Januari 2012 </set_date> <effective_date> 4 Januari 2012 </effective_date> <issued_date> 4 Januari 2012 </issued_date> <changed_reg> '9/5/PBI/2007' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 5 Pasal 8' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/22/PBI/2014 TENTANG PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA DAN PELAPORAN KEGIATAN PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelaporan kegiatan lalu lintas devisa sangat diperlukan untuk mendukung penerapan sistem devisa bebas dan perumusan kebijakan, baik di bidang moneter, perbankan khususnya aspek makroprudensial, maupun sistem pembayaran; b. bahwa keterangan dan data yang lengkap, benar, dan tepat waktu, yang diperoleh dari hasil pelaporan kegiatan lalu lintas devisa sangat diperlukan untuk penyusunan statistik, terutama statistik Neraca Pembayaran Indonesia, statistik Posisi Investasi Internasional Indonesia, dan statistik Utang Luar Negeri Indonesia; c. bahwa penyampaian informasi mengenai kegiatan penerapan prinsip kehati-hatian, peringkat utang (credit rating), serta laporan keuangan sangat dibutuhkan untuk memastikan korporasi nonbank mengelola utang luar negeri yang dimilikinya sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan prinsip kehati- hatian dalam pengelolaan utang luar negeri korporasi nonbank; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu untuk mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa; Mengingat … - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA DAN PELAPORAN KEGIATAN PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan: 1. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disingkat LLD adalah lalu lintas devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 2. Penduduk … - 3 - 2. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 3. Kegiatan Penerapan Prinsip Kehati-hatian yang selanjutnya disingkat KPPK adalah kegiatan Korporasi Nonbank yang dilakukan dalam rangka melaksanakan kehati-hatian untuk memitigasi risiko nilai tukar, risiko likuiditas, dan risiko utang yang berlebihan (overleverage) terhadap utang luar negeri yang dimiliki. 4. Korporasi Nonbank adalah badan usaha selain bank, dan badan lainnya. 5. Aset Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disingkat AFLN adalah aktiva Penduduk pada bukan Penduduk baik dalam Valuta Asing maupun Rupiah, antara lain dalam bentuk kas Valuta Asing, simpanan, piutang dagang/usaha, surat berharga, dan penyertaan modal. 6. Kewajiban Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disingkat KFLN adalah pasiva Penduduk pada bukan Penduduk baik dalam valuta asing maupun Rupiah, antara lain dalam bentuk Utang Luar Negeri dan ekuitas dari bukan Penduduk. 7. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah utang Penduduk kepada bukan Penduduk dalam Valuta Asing dan/atau rupiah, termasuk di dalamnya pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. 8. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan keuangan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. 9. Pelapor LLD adalah Penduduk yang melakukan kegiatan LLD, baik untuk kepentingan Pelapor yang bersangkutan maupun pihak lain. 10. Pelapor KPPK adalah Korporasi Nonbank Pelapor LLD yang merupakan debitur ULN. 11. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia. 12. Aset Valuta Asing adalah aset Valuta Asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan prinsip … - 4 - prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri korporasi nonbank. 13. Kewajiban Valuta Asing adalah kewajiban Valuta Asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri korporasi nonbank. 14. Valuta Asing adalah valuta yang berdenominasi selain mata uang Rupiah. 15. Peringkat Utang (Credit Rating) adalah penilaian yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat untuk menggambarkan kondisi keuangan perusahaan atau kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya secara tepat waktu (credit worthiness). 16. Prosedur Atestasi adalah prosedur yang dilakukan oleh akuntan publik independen untuk memberikan pertimbangan bahwa asersi atau pernyataan yang disampaikan oleh pelapor sudah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. BAB II RUANG LINGKUP Pasal 2 (1) Laporan LLD meliputi keterangan dan data mengenai: a. transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya antara Penduduk dengan bukan Penduduk; b. posisi dan perubahan AFLN dan/atau KFLN; dan/atau c. rencana dan/atau realisasi ULN. (2) Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh kegiatan LLD yang dilakukan baik untuk kepentingan Pelapor LLD sendiri maupun untuk kepentingan nasabahnya atau pihak lain. (3) Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi dengan keterangan dan data pendukung mengenai kegiatan LLD, Pelapor LLD dan/atau nasabah atau pihak lain tersebut. Pasal 3 … - 5 - Pasal 3 (1) Laporan kegiatan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan ULN Korporasi Nonbank terdiri dari: a. Laporan KPPK; b. Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi; c. Informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating); dan d. Laporan Keuangan. (2) Laporan KPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi keterangan dan data mengenai: a. Aset Valuta Asing; dan b. Kewajiban Valuta Asing, yang akan jatuh waktu sampai dengan 3 (tiga) dan/atau 6 (enam) bulan ke depan. (3) Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi keterangan dan/atau informasi yang merupakan hasil penilaian oleh akuntan publik independen berdasarkan Prosedur Atestasi. (4) Informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi antara lain: a. Peringkat Utang (Credit Rating); b. waktu pemeringkatan; c. nama lembaga pemeringkat. (5) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi: a. Laporan Keuangan triwulanan unaudited; dan b. Laporan Keuangan tahunan audited. BAB III … - 6 - BAB III PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Bagian Kesatu Laporan LLD Pasal 4 (1) Pelapor LLD wajib menyampaikan Laporan LLD kepada Bank Indonesia secara lengkap, benar, dan tepat waktu. (2) Penyampaian Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara online. Pasal 5 (1) Pelapor LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi: a. berdasarkan jenis lembaga: 1. lembaga keuangan: a) Bank; b) lembaga keuangan bukan Bank; 2. bukan lembaga keuangan. b. berdasarkan kepemilikan: 1. badan usaha milik negara; 2. badan usaha milik daerah; 3. badan usaha milik swasta; 4. badan lainnya; 5. perseorangan. (2) Pelapor LLD berupa Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 huruf a) hanya wajib melaporkan realisasi ULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c. Pasal 6 (1) Pelapor LLD wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 secara bulanan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. (2) Khusus … - 7 - (2) Khusus untuk Laporan LLD yang berupa rencana ULN selama tahun berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c disampaikan sebagai berikut: a. Rencana ULN disampaikan setiap awal tahun, paling lambat tanggal 15 Maret. b. Perubahan rencana ULN disampaikan paling lambat tanggal 1 Juli. Pasal 7 (1) Dalam hal terdapat kesalahan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pelapor LLD harus menyampaikan koreksi paling lambat tanggal 20 pada bulan penyampaian laporan yang bersangkutan. (2) Dalam hal hari terakhir penyampaian laporan dan/atau koreksi atas laporan LLD jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka penyampaian laporan dan/atau koreksi laporan dimaksud dapat disampaikan pada Hari berikutnya. (3) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian laporan dan/atau koreksi atas Laporan LLD terjadi gangguan teknis yang menyebabkan Pelapor LLD tidak dapat menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan dimaksud secara online maka laporan dan/atau koreksi laporan dimaksud disampaikan secara offline pada Hari berikutnya. (4) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dapat diatasi maka Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD disampaikan secara online. Pasal 8 (1) Pelapor LLD dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 apabila Laporan LLD disampaikan melampaui batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan. (2) Pelapor … - 8 - (2) Pelapor LLD dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 apabila Laporan LLD tidak disampaikan sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan. Pasal 9 Pelapor LLD yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) tetap wajib menyampaikan Laporan LLD yang belum disampaikan. Pasal 10 (1) Dalam hal kegiatan LLD yang dilakukan oleh Pelapor LLD adalah untuk kepentingan nasabah atau pihak lain, Pelapor LLD dapat meminta keterangan dan data kepada nasabah atau pihak lain tersebut mengenai kegiatan LLD yang dilakukan. (2) Nasabah atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan LLD yang diminta oleh Pelapor LLD. Bagian Kedua Laporan Kegiatan Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan ULN Korporasi Nonbank Pasal 11 (1) Pelapor KPPK wajib menyampaikan Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating), dan Laporan Keuangan kepada Bank Indonesia secara lengkap, benar, dan tepat waktu. (2) Penyampaian Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating), dan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara online. (3) Laporan KPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Laporan Keuangan triwulanan unaudited wajib disertai dokumen pendukung antara … - 9 - antara lain berupa surat pernyataan yang menyatakan bahwa data yang disampaikan sesuai dengan fakta sebenarnya. (4) Dalam hal Korporasi Nonbank melakukan pencatatan laporan keuangan dalam mata uang dolar Amerika Serikat, laporan KPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dokumen pendukung. (5) Pelapor KPPK harus menggunakan akuntan publik independen untuk melakukan penilaian berdasarkan Prosedur Atestasi, terhadap Laporan KPPK yang telah disampaikan. (6) Penilaian Laporan KPPK oleh akuntan publik independen berdasarkan Prosedur Atestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan setiap tahun untuk Laporan KPPK triwulan IV yang telah disampaikan sebelumnya oleh Pelapor KPPK kepada Bank Indonesia. (7) Korporasi Nonbank yang memiliki ULN baru dalam Valuta Asing berdasarkan perjanjian dan/atau dalam bentuk surat utang wajib menyampaikan informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) yang disertai dokumen pendukung. Pasal 12 Pelapor KPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi: a. berdasarkan jenis lembaga: 1. lembaga keuangan bukan bank; 2. bukan lembaga keuangan. b. berdasarkan kepemilikan: 1. badan usaha milik negara; 2. badan usaha milik daerah; 3. badan usaha milik swasta; 4. badan lainnya. Pasal 13 (1) Penyampaian Laporan KPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dan ayat (4) dilakukan secara triwulanan. (2) Penyampaian … - 10 - (2) Penyampaian Laporan KPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dan ayat (4), serta Laporan Keuangan triwulanan unaudited sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) huruf a dilakukan paling lambat akhir bulan ketiga setelah akhir triwulan laporan. (3) Penyampaian informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) beserta dokumen pendukungnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (7) dilakukan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah bulan ditandatanganinya atau diterbitkannya ULN. (4) Penyampaian Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan Laporan Keuangan tahunan audited sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) huruf b dilakukan paling lambat akhir bulan Juni setelah akhir tahun berjalan. Pasal 14 (1) Dalam hal terdapat kesalahan atas: a. Laporan KPPK beserta dokumen pendukungnya dan Laporan Keuangan triwulanan unaudited, menyampaikan koreksi paling lambat akhir bulan keempat setelah akhir triwulan laporan. b. Informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) beserta dokumen pendukungnya, Pelapor KPPK harus menyampaikan koreksi paling lambat tanggal 20 setelah bulan penyampaian laporan yang bersangkutan. c. Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi dan Laporan Keuangan tahunan audited, Pelapor KPPK harus menyampaikan koreksi paling lambat akhir bulan Juli setelah akhir tahun berjalan. (2) Dalam hal hari terakhir penyampaian laporan dan/atau koreksi Laporan KPPK beserta dokumen pendukung, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang … Pelapor KPPK harus - 11 - Utang (Credit Rating) beserta dokumen pendukungnya, dan Laporan Keuangan jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka penyampaian laporan atau informasi dan/atau koreksi laporan atau informasi dimaksud dapat disampaikan pada Hari berikutnya. (3) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian laporan dan/atau koreksi Laporan KPPK beserta dokumen pendukung, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) beserta dokumen pendukungnya, dan Laporan Keuangan terjadi gangguan teknis yang menyebabkan Pelapor KPPK tidak dapat menyampaikan laporan atau informasi dan/atau koreksi laporan atau informasi dimaksud secara online maka laporan atau informasi dan/atau koreksi laporan atau informasi dimaksud disampaikan secara offline pada Hari berikutnya. (4) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dapat diatasi maka laporan dan/atau koreksi Laporan KPPK beserta dokumen pendukung, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) beserta dokumen pendukungnya, dan Laporan Keuangan disampaikan secara online. Pasal 15 (1) Pelapor KPPK dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan KPPK beserta dokumen pendukung, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi dan/atau Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 3 ayat (3), dan Pasal 3 ayat (5) apabila: a. Laporan KPPK beserta dokumen pendukung, Laporan Keuangan triwulanan unaudited disampaikan melampaui batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) sampai dengan akhir bulan keempat setelah akhir triwulan laporan; b. Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi dan Laporan Tahunan audited disampaikan melampaui batas waktu yang ditentukan … - 12 - ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) sampai dengan akhir bulan Juli setelah akhir tahun berjalan. (2) Pelapor KPPK dinyatakan terlambat menyampaikan informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) beserta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (7) apabila informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) beserta dokumen pendukung disampaikan melampaui batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) sampai dengan akhir bulan setelah bulan penyampaian laporan yang bersangkutan. (3) Pelapor KPPK dinyatakan tidak menyampaikan Laporan KPPK beserta dokumen pendukung, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, dan/atau Laporan Keuangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 3 ayat (3), dan Pasal 3 ayat (5) apabila: a. Laporan KPPK beserta dokumen pendukung, Laporan Keuangan triwulanan unaudited tidak disampaikan sampai dengan akhir bulan keempat setelah akhir triwulan laporan; dan/atau b. Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi dan Laporan Keuangan Tahunan audited tidak disampaikan sampai dengan akhir bulan Juli setelah akhir tahun berjalan. (4) Pelapor KPPK dinyatakan tidak menyampaikan informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) beserta dokumen pendukung apabila informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) beserta dokumen pendukung tidak disampaikan sampai dengan akhir bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2). (5) Pelapor KPPK yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tetap wajib menyampaikan, Laporan KPPK beserta dokumen pendukung, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) beserta dokumen pendukung, dan Laporan Keuangan yang belum disampaikan. BAB IV … - 13 - BAB IV PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN Pasal 16 (1) Dalam hal diperlukan, dalam melakukan penelitian kebenaran Laporan LLD, Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating), dan Laporan Keuangan, Bank Indonesia dapat melakukan hal-hal antara lain: a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan pihak instansi terkait; b. melakukan pemeriksaan langsung terhadap perusahaan; c. meminta penjelasan dari kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh Pelapor KPPK untuk menjelaskan Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi; d. menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian kebenaran laporan. (2) Pelapor LLD dan Pelapor KPPK harus memberikan bukti pembukuan, catatan, dokumen, dan penjelasan yang diperlukan dalam rangka penelitian kebenaran laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal Pelapor LLD dan Pelapor KPPK tidak memberikan informasi, bukti pembukuan, catatan, dan dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Laporan LLD yang disampaikan Pelapor LLD dan Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating), dan Laporan Keuangan yang disampaikan Pelapor KPPK kepada Bank Indonesia, dinyatakan tidak benar. BAB V … - 14 - BAB V SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 17 (1) Pelapor LLD yang menyampaikan Laporan LLD selain rencana ULN secara tidak lengkap dan/atau tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, yang tidak ditindaklanjuti dengan penyampaian koreksi dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap baris (record) yang tidak lengkap dan/atau tidak benar dengan denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (2) Pelapor KPPK yang menyampaikan Laporan KPPK secara tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan/atau laporan dinyatakan tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap Laporan KPPK yang tidak lengkap dan/atau tidak benar. Pasal 18 Pelapor LLD yang terlambat atau tidak menyampaikan rencana ULN dan/atau perubahan rencana ULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dikenakan sanksi administratif berupa surat peringatan dan/atau pemberitahuan kepada otoritas atau instansi yang berwenang. Pasal 19 Pelapor LLD dan Pelapor KPPK yang terlambat menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) selain rencana ULN dan Laporan KPPK beserta dokumen pendukung, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, serta Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap Hari keterlambatan dengan denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pasal 20 … - 15 - Pasal 20 Pelapor LLD dan Pelapor KPPK yang tidak menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) selain rencana ULN dan Laporan KPPK beserta dokumen pendukung, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, serta Laporan Keuangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Pasal 21 Selain dikenakan sanksi administratif berupa denda, Pelapor KPPK yang terlambat atau tidak menyampaikan Laporan KPPK beserta dokumen pendukung, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, dan/atau Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) atau ayat (3), dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan/atau pemberitahuan kepada otoritas atau instansi yang berwenang. Pasal 22 Pelapor KPPK yang terlambat atau tidak menyampaikan informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) atau ayat (4) beserta dokumen pendukung, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan/atau pemberitahuan kepada otoritas atau instansi yang berwenang. Pasal 23 (1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 tidak berlaku bagi Pelapor LLD baru. (2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 mulai diberlakukan bagi Pelapor LLD baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 3 (tiga) kali masa pelaporan sejak penyampaian laporan yang pertama. (3) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 tidak dikenakan kepada pelapor yang terlambat … - 16 - terlambat atau tidak menyampaikan laporan atau informasi yang disebabkan adanya gangguan teknis di Bank Indonesia. Pasal 24 Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 19, dan Pasal 20 disetorkan ke Bank Indonesia. BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 25 (1) Pelapor LLD dan Pelapor KPPK yang mengalami keadaan memaksa sehingga menyebabkan keterangan dan data dalam penyusunan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 tidak tersedia, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 11. (2) Pelapor LLD dan Pelapor KPPK yang mengalami keadaan memaksa sehingga menyebabkan terhambatnya penyampaian laporan atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan atau informasi dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 13. (3) Pelapor LLD dan Pelapor KPPK yang mengalami keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), harus segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa yang dialami. (4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam hal Pelapor LLD dan Pelapor KPPK memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia untuk tidak menyampaikan laporan atau informasi. (5) Pelapor LLD dan Pelapor KPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyampaikan laporan atau informasi setelah Pelapor LLD atau Pelapor KPPK kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. Pasal 26 … - 17 - Pasal 26 Laporan LLD, Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating), dan Laporan Keuangan yang memuat data atau informasi individual pelapor yang disampaikan kepada Bank Indonesia bersifat rahasia, kecuali secara tegas dinyatakan lain dalam Undang-Undang. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 27 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 28 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/21/PBI/2012 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5377), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 29 (1) Kewajiban penyampaian informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (7) mulai berlaku bagi ULN yang ditandatangani atau diterbitkan sejak tanggal 1 Januari 2016. (2) Penyampaian secara online untuk Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating), dan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016. (3) Penyampaian Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit … - 18 - (Credit Rating) dan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, serta koreksinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, sejak tanggal 1 Januari 2015 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015 dilakukan secara offline dengan masa koreksi 15 hari kalender setelah batas akhir penyampaian laporan atau informasi. (4) Pengenaan sanksi bagi Pelapor KPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 atas pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (5) huruf a mulai berlaku sejak pelaporan data triwulan III tahun 2015. (5) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 atas pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (7) mulai berlaku bagi ULN yang ditandatangani atau diterbitkan tanggal 1 Januari 2016. Pasal 30 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/21/PBI/2012 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5377) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 31 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2015. Agar … - 19 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2014 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 397 DSta - 20 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/22/PBI/2014 TENTANG PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA DAN PELAPORAN KEGIATAN PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK I. UMUM Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Pemerintah tetap menganut sistem devisa bebas, dimana setiap Penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa. Penerapan sistem devisa bebas tersebut perlu didukung dengan pemantauan kegiatan LLD yang efektif agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian nasional. Dalam rangka pemantauan kegiatan LLD, Bank Indonesia telah mengimplementasikan Sistem Pelaporan Kegiatan LLD Bank dan Sistem Pelaporan Kegiatan LLD bukan Bank, yang mencakup semua transaksi yang menimbulkan perpindahan aset dan atau kewajiban finansial antara Penduduk dan bukan Penduduk, perpindahan Aset dan atau Kewajiban Finansial Luar Negeri antar Penduduk, serta posisi Aset dan Kewajiban Finansial Luar Negeri. Keterangan dan data yang diperoleh melalui sistem pelaporan tersebut digunakan untuk penyusunan statistik, terutama statistik Neraca Pembayaran, Posisi Investasi Internasional, statistik Utang Luar Negeri Indonesia, dan Indikator Keuangan Perusahaan Bukan Bank. Dalam rangka mendorong kehati-hatian korporasi dalam mengelola risiko nilai tukar, risiko likuiditas, dan risiko overleverage terhadap Utang Luar Negeri, Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan penerapan prinsip kehati-hatian terkait pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank. Sehubungan dengan hal ini maka ketentuan pelaporan … - 21 - pelaporan kegiatan LLD perlu disempurnakan dimana Korporasi Nonbank diminta untuk menyampaikan informasi tambahan seperti aset valuta asing, kewajiban valuta asing, serta informasi Peringkat Utang (Credit Rating). Dengan penyempurnaan sistem pelaporan tersebut, maka setiap Penduduk diharapkan berperan aktif untuk menyampaikan laporan mengenai kegiatan LLD dan pengelolaan Utang Luar Negeri kepada Bank Indonesia secara lengkap, akurat, dan tepat waktu. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “transaksi” meliputi seluruh transaksi yang penyelesaiannya dilakukan melalui bank domestik, bank luar negeri, rekening antar kantor (inter company account), dan/atau melalui sarana lainnya, baik disertai aliran dana maupun tanpa aliran dana. Yang dimaksud dengan “transaksi lainnya” antara lain penerimaan bunga dan dividen oleh Pelapor LLD dari bukan Penduduk. Huruf b Posisi dan perubahan AFLN dan/atau KFLN mencakup posisi dan perubahan untuk setiap jenis AFLN dan/atau KFLN baik yang sudah efektif maupun belum efektif menjadi tagihan atau kewajiban di neraca (on/off balance sheet), yang terdiri atas: 1. posisi AFLN, antara lain posisi simpanan, piutang dagang/usaha, surat berharga, penyertaan modal, dan perubahan atas masing-masing AFLN tersebut; 2. posisi … - 22 - 2. posisi KFLN, antara lain posisi utang dagang/usaha, surat utang, pinjaman, dan ekuitas, dan perubahan atas masing-masing KFLN tersebut; 3. posisi komitmen dan kontinjensi AFLN dan/atau KFLN yang berkaitan dengan tagihan/kewajiban kepada bukan Penduduk; dan 4. posisi kustodian surat berharga yang dimiliki nasabah. Huruf c Keterangan dan data mengenai rencana ULN meliputi rencana perolehan ULN selama 1 (satu) tahun dan perubahannya, antara lain berupa jumlah nominal, jenis ULN, dan hubungan dengan kreditur. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Keterangan dan data pendukung mencakup antara lain profil/keterangan mengenai Pelapor LLD dan profil ULN. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) disampaikan dalam hal Korporasi Nonbank menerima ULN dalam Valuta Asing yang ditandatangani atau diterbitkan sejak 1 Januari 2016. Informasi tersebut tidak berlaku bagi ULN yang dikecualikan dari kewajiban pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan prinsip kehati-hatian … - 23 - kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri korporasi nonbank. Peringkat Utang (Credit Rating) berupa peringkat yang masih berlaku atas korporasi (issuer rating) dan/atau surat utang (issue rating) sesuai dengan jenis dan jangka waktu ULN dalam Valuta Asing. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan “Laporan Keuangan triwulanan unaudited” antara lain laporan mengenai posisi keuangan, laba rugi komprehensif, dan perubahan ekuitas untuk setiap triwulan yang tidak diaudit oleh akuntan publik. Huruf b Yang dimaksud dengan “Laporan Keuangan tahunan audited” antara lain laporan mengenai posisi keuangan, laba rugi komprehensif, dan perubahan ekuitas untuk setiap tahun yang diaudit oleh akuntan publik. Pasal 4 Ayat (1) Laporan LLD yang lengkap memuat keterangan dan data kegiatan LLD yang telah memenuhi rincian cakupan laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Laporan LLD yang benar memuat keterangan dan data kegiatan LLD sesuai dengan fakta sebenarnya. Penyampaian Laporan LLD yang tepat waktu adalah apabila penyampaian laporan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “secara online” adalah dengan menggunakan media internet pada website pelaporan di Bank Indonesia. Laporan … - 24 - Laporan secara online dapat disampaikan pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Dalam pengertian lembaga keuangan bukan Bank tidak termasuk pedagang valuta asing. Angka 2 Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Badan usaha milik negara yaitu badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai badan usaha milik negara yang berlaku. Angka 2 Badan usaha milik daerah yaitu badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai perusahaan dan lembaga keuangan daerah yang berlaku. Angka 3 Badan usaha milik swasta yaitu badan usaha yang tidak termasuk dalam pengertian badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang berkedudukan di Indonesia, baik yang berbentuk badan hukum Indonesia maupun asing dan yang tidak berbentuk badan hukum. Angka 4 … - 25 - Angka 4 Badan lainnya yang bukan merupakan badan usaha baik berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum. Angka 5 Perseorangan adalah orang yang bertindak atas namanya sendiri. Ayat (2) Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini, Pelapor LLD berupa Bank hanya wajib melaporkan realisasi ULN. Untuk kewajiban penyampaian Laporan LLD lainnya, Bank tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan LLD Bank dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai utang luar negeri Bank. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang terjadi di Bank Indonesia yang meliputi antara lain gangguan jaringan dan/atau komunikasi. Yang dimaksud dengan “secara offline” adalah dengan menggunakan media antara lain email attachment, compact disk (CD), flash disk, dan/atau media perekaman data elektronik lainnya, yang disampaikan pada jam kerja Bank Indonesia setempat. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 … - 26 - Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating), dan Laporan Keuangan (triwulanan unaudited dan tahunan audited) secara lengkap memuat keterangan dan data yang telah memenuhi rincian cakupan laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating), dan Laporan Keuangan (triwulanan unaudited dan tahunan audited) secara benar memuat keterangan dan data sesuai dengan fakta sebenarnya. Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, Informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating), dan Laporan Keuangan (triwulanan unaudited dan tahunan audited) secara tepat waktu disampaikan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “secara online” adalah dengan menggunakan media internet pada website pelaporan di Bank Indonesia. Laporan secara online dapat disampaikan pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (3) … - 27 - Ayat (3) Surat pernyataan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang (bisa disampaikan dalam bentuk softcopy). Ayat (4) Dokumen pendukung antara lain berupa fotokopi izin dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia untuk melakukan pembukuan dalam mata uang dolar Amerika Serikat. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan ”ULN baru” adalah ULN yang ditandatangani atau diterbitkan sejak 1 Januari 2016. Dokumen pendukung antara lain berupa keterangan ringkas dari lembaga pemeringkat antara lain mengenai informasi Peringkat Utang (Credit Rating), waktu pemeringkatan, dan nama lembaga pemeringkat. Pasal 12 Huruf a Angka 1 Dalam pengertian lembaga keuangan bukan Bank tidak termasuk pedagang valuta asing. Angka 2 Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Badan usaha milik negara yaitu badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai badan usaha milik negara yang berlaku. Angka 2 … - 28 - Angka 2 Badan usaha milik daerah yaitu badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai perusahaan dan lembaga keuangan daerah yang berlaku. Angka 3 Badan usaha milik swasta yaitu badan usaha yang tidak termasuk dalam pengertian badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang berkedudukan di Indonesia, baik yang berbentuk badan hukum Indonesia maupun asing dan yang tidak berbentuk badan hukum. Angka 4 Badan lainnya yang bukan merupakan badan usaha baik berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh 1: Batas waktu penyampaian Laporan KPPK triwulan I tahun 2015 adalah 30 Juni 2015. Contoh 2: Batas waktu penyampaian Laporan Keuangan triwulan II tahun 2015 unaudited adalah 30 September 2015. Ayat (3) Contoh: Perusahaan menandatangani ULN berdasarkan perjanjian kredit pada tanggal 12 Februari 2016. Dalam hal ini, batas waktu penyampaian informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) beserta dokumen pendukungnya adalah tanggal 31 Maret 2016. Ayat (4) … - 29 - Ayat (4) Contoh 1: Batas waktu penyampaian Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi tahun 2015 adalah 30 Juni 2016. Contoh 2: Batas waktu penyampaian Laporan Keuangan tahun 2014 audited adalah 30 Juni 2015. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Kesalahan pada Laporan Keuangan tahunan audited berupa kesalahan Pelapor KPPK dalam proses data entry. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang terjadi di Bank Indonesia yang meliputi antara lain gangguan jaringan dan/atau komunikasi. Yang dimaksud dengan “secara offline” adalah dengan menggunakan media antara lain email attachment, compact disk (CD), flash disk, dan/atau media perekaman data elektronik lainnya, yang disampaikan pada jam kerja Bank Indonesia setempat. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15 … - 30 - Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Contoh 1: Laporan KPPK triwulan I tahun 2015 disampaikan pada tanggal 3 Juli 2015. Mengingat batas waktu penyampaian Laporan KPPK triwulan I tahun 2015 adalah 30 Juni 2015 maka Pelapor KPPK dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan KPPK. Contoh 2: Laporan Keuangan unaudited triwulan II tahun 2015 disampaikan pada tanggal 2 Oktober 2015. Mengingat batas waktu penyampaian Laporan Keuangan triwulan II tahun 2015 unaudited adalah 30 September 2015, maka Pelapor KPPK dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Keuangan unaudited. Huruf b Contoh 1: Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi triwulan IV tahun 2015 disampaikan pada tanggal 5 Juli 2016. Mengingat batas waktu penyampaian Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi triwulan IV tahun 2015 adalah 30 Juni 2016 maka Pelapor KPPK dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi. Contoh 2: Laporan Keuangan tahun 2015 audited disampaikan pada tanggal 4 Juli 2016. Mengingat batas waktu penyampaian Laporan Keuangan tahun 2015 audited adalah 30 Juni 2016 maka Pelapor KPPK dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Keuangan tahun 2015 audited. Ayat (2) … - 31 - Ayat (2) Contoh: Perusahaan menandatangani ULN pada tanggal 10 Februari 2016 dan menyampaikan informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) pada tanggal 1 April 2016. Dalam hal ini, perusahaan dinyatakan terlambat menyampaikan informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating). Ayat (3) Huruf a Contoh 1: Apabila Laporan KPPK triwulan I tahun 2015 tidak disampaikan sampai dengan akhir Juli 2015 maka Pelapor KPPK dinyatakan tidak menyampaikan Laporan KPPK. Contoh 2: Apabila Laporan Keuangan unaudited triwulan II tahun 2015 tidak disampaikan sampai dengan akhir bulan Oktober 2015 maka Pelapor KPPK dinyatakan dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Keuangan unaudited. Huruf b Contoh 1: Apabila Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi triwulan IV tahun 2015 tidak disampaikan sampai dengan akhir Juli 2016 maka Pelapor KPPK dinyatakan tidak menyampaikan Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi. Contoh 2: Apabila Laporan Keuangan tahun 2015 audited tidak disampaikan sampai dengan akhir Juli 2016, maka Pelapor KPPK dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Keuangan tahun 2015 audited. Ayat (4) … - 32 - Ayat (4) Contoh: Perusahaan menandatangani ULN berdasarkan perjanjian kredit pada tanggal 10 Februari 2016 dan belum menyampaikan informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) beserta dokumen pendukungnya sampai dengan akhir bulan April 2016. Dalam hal ini, perusahaan dinyatakan tidak menyampaikan informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) beserta dokumen pendukungnya. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Termasuk sebagai dokumen pendukung yang berkaitan dengan Laporan LLD antara lain laporan keuangan dan daftar mutasi rekening koran (bank statement). Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Laporan LLD dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak benar setelah melalui proses klarifikasi atau penelitian kebenaran laporan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) … - 33 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Pelapor LLD baru” adalah Pelapor LLD yang baru pertama kali menyampaikan laporan LLD sejak mulai diberlakukannya ketentuan ini. Ayat (2) Contoh: Pelapor LLD yang menyampaikan laporan pertama kali pada bulan Juni 2015 untuk data bulan Mei 2015, baru dapat dikenakan sanksi untuk pelaporan data bulan September 2015 yang disampaikan bulan Oktober 2015. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 … - 34 - Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” adalah keadaan yang berada di luar kendali Pelapor LLD dan Pelapor KPPK dan secara nyata menyebabkan Pelapor LLD dan Pelapor KPPK tidak dapat menyusun dan menyampaikan laporan atau informasi Laporan LLD serta Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi, Informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating), dan Laporan Keuangan antara lain kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 26 Yang dimaksud dengan “Undang-Undang” adalah Undang-Undang yang mewajibkan pengungkapan keterangan dan data yang bersifat rahasia. Pasal 27 Hal-hal yang akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain: a. cakupan keterangan dan data yang harus dilaporkan, termasuk keterangan dan data yang harus dilengkapi dokumen pendukung; b. batasan … - 35 - b. batasan kriteria pelapor (threshold pelapor); c. prosedur dan tata cara penyampaian laporan; d. prosedur dan tata cara pengenaan sanksi. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5654
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 16/22/PBI/2014 </reg_id> <reg_title> PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA DAN PELAPORAN KEGIATAN PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK </reg_title> <set_date> 31 Desember 2014 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2015 </effective_date> <issued_date> 31 Desember 2014 </issued_date> <replaced_reg> '14/21/PBI/2012' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/14/PBI/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memperkuat kerangka operasi moneter, Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen operasi moneter berdasarkan prinsip syariah; b. bahwa dengan diterbitkannya Sukuk Bank Indonesia sebagai instrumen operasi moneter berdasarkan prinsip syariah, diperlukan pengaturan mengenai Sukuk Bank Indonesia; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali -2- diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/12/PBI/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6259); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER. -3- Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/12/PBI/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6259) diubah sebagai berikut: 1. Di antara angka 16 dan angka 17 Pasal 1 disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 16A sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian -4- moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 6. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya disingkat OMK adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan secara konvensional. 7. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 8. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 9. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang selanjutnya disebut OPT Konvensional adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUK dan/atau pihak lain. 10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUS, UUS, dan/atau pihak lain. 11. Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah oleh Bank di Bank Indonesia untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 12. Standing Facilities Konvensional adalah kegiatan penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada BUK dan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh BUK di Bank Indonesia. -5- 13. Standing Facilities Syariah adalah kegiatan penyediaan dana rupiah (financing facility) dari Bank Indonesia kepada BUS atau UUS dan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh BUS atau UUS di Bank Indonesia. 14. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 15. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan berjangka waktu pendek. 16. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar-BUK. 16A. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SukBI adalah sukuk yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dengan menggunakan underlying asset berupa surat berharga berdasarkan prinsip syariah milik Bank Indonesia. 17. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 18. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat utang negara dan surat berharga syariah negara. 19. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. -6- 20. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 21. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia. 2. Ketentuan Pasal 12 tetap, penjelasan Pasal 12 huruf b diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal. 3. Ketentuan Pasal 18 ayat (2) diubah sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Penyediaan dana rupiah (lending facility) dalam Standing Facilities Konvensional dilakukan dengan mekanisme Bank Indonesia menerima repo surat berharga dalam rupiah dari peserta Standing Facilities Konvensional. (2) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. SBI; b. SDBI; c. SukBI; d. SBN; dan/atau e. surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. -7- 4. Ketentuan Pasal 22 huruf a diubah sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dilaksanakan dengan cara melakukan: a. penerbitan SBIS dan/atau SukBI; b. transaksi repo dan/atau reverse repo surat berharga yang memenuhi prinsip syariah; c. transaksi pembelian dan/atau penjualan surat berharga yang memenuhi prinsip syariah secara outright; d. penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing; dan/atau e. transaksi lainnya yang memenuhi prinsip syariah baik di pasar uang rupiah maupun pasar valuta asing. 5. Ketentuan Pasal 30 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Penyediaan dana rupiah (financing facility) dalam Standing Facilities Syariah dilakukan dengan mekanisme Bank Indonesia menerima repo surat berharga dalam rupiah yang memenuhi prinsip syariah dari peserta Standing Facilities Syariah. (2) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. SBIS; b. SukBI; dan/atau c. SBSN. (3) Penyediaan dana rupiah (financing facility) berupa repo SBIS menggunakan akad qard yang diikuti dengan rahn. -8- (4) Penyediaan dana rupiah (financing facility) berupa repo SukBI dan repo SBSN menggunakan akad al ba’i yang diikuti dengan wa’d. (5) Dalam hal terdapat perubahan akad sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. 6. Ketentuan BAB IV Bagian Kedua diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kedua Instrumen OMS yang Diterbitkan Bank Indonesia Paragraf 1 SBIS dan SukBI Pasal 44 (1) SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad ju’alah. (2) Bank Indonesia menetapkan dan memberikan imbalan atas SBIS yang diterbitkan. (3) Bank Indonesia membayar imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan ketentuan sebagai berikut: a. pada saat SBIS jatuh waktu; atau b. sebelum jatuh waktu, dalam hal BUS atau UUS tidak dapat memenuhi kewajiban repo SBIS. (4) Dalam hal terdapat perubahan akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 45 SBIS memiliki karakteristik sebagai berikut: a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan -9- dalam jumlah hari kalender dan dihitung sejak 1 (satu) hari setelah tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu; b. diterbitkan tanpa warkat (scripless); c. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia; d. tidak dapat diperdagangkan (non-tradable) di pasar sekunder; dan e. hanya dapat dimiliki oleh BUS atau UUS. Pasal 45A (1) SukBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad al-musyarakah al-muntahiyah bi al-tamlik. (2) Bank Indonesia menetapkan dan memberikan imbalan atas SukBI yang diterbitkan. (3) Bank Indonesia membayar imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan ketentuan sebagai berikut: a. pada saat SukBI jatuh waktu; atau b. sebelum jatuh waktu, dalam hal Bank tidak dapat memenuhi kewajiban repo SukBI. (4) Dalam hal terdapat perubahan akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 45B SukBI memiliki karakteristik sebagai berikut: a. menggunakan underlying asset berupa SBSN; b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari setelah tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu; c. diterbitkan tanpa warkat (scripless); d. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia; -10- e. hanya dapat dibeli oleh BUS dan UUS di pasar perdana; f. dapat diperdagangkan (tradable) di pasar sekunder; dan g. hanya dapat dimiliki oleh Bank. Pasal 46 Ketentuan lebih lanjut mengenai SBIS dan SukBI diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Paragraf 2 Penatausahaan SBIS dan SukBI Pasal 47 (1) Bank Indonesia menatausahakan SBIS dan SukBI dalam suatu sistem penatausahaan secara elektronis di Bank Indonesia. (2) Sistem penatausahaan yang dikelola oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup sistem pencatatan kepemilikan dan penyelesaian transaksi SBIS dan SukBI. (3) Sistem pencatatan kepemilikan SBIS dan SukBI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan tanpa warkat (scripless). (4) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk mendukung pelaksanaan penatausahaan SBIS dan SukBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 48 Bank Indonesia dapat menatausahakan SBIS dan SukBI dengan menggunakan sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. -11- Paragraf 2A Pembatasan Transaksi SukBI di Pasar Sekunder Pasal 48A (1) Bank dilarang melakukan transaksi SukBI di pasar sekunder dengan pihak selain Bank. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk transaksi SukBI yang dilakukan Bank dengan Bank Indonesia. (3) Pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SukBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (4) wajib menatausahakan SukBI milik nasabahnya dengan memenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Paragraf 3 Pelunasan SBIS dan SukBI Pasal 49 Bank Indonesia melunasi SBIS dan SukBI pada saat jatuh waktu sebesar nilai nominal dan membayar imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3). Pasal 50 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelunasan SBIS dan SukBI diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. ketentuan -12- 7. Ketentuan BAB IX Bagian Kedua diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kedua Sanksi Terkait Pembatasan Transaksi SBI, SDBI, dan SukBI di Pasar Sekunder Pasal 76 Pemilik SBI yang merupakan peserta OMK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan/atau pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3) dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai transaksi SBI yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (3), paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per hari. Pasal 77 BUK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan/atau pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SDBI yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai transaksi SDBI yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per hari. -13- Pasal 77A Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48A ayat (1) dan/atau pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SukBI yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48A ayat (3), dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai transaksi SukBI yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48A ayat (1), paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per hari. Pasal 78 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi terkait pembatasan transaksi SBI, SDBI, dan SukBI di pasar sekunder diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. -14- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Desember 2018 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 Desember 2018 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 247 ./. PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/14/PBI/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER I. UMUM Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk memperkuat kerangka Operasi Moneter, Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen Operasi Moneter berdasarkan prinsip syariah. Selain untuk memperkuat kerangka Operasi Moneter, penerbitan Sukuk Bank Indonesia ditujukan untuk mendukung upaya pendalaman pasar keuangan syariah. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 12 Huruf a Yang dimaksud dengan “penerbitan SBI, SDBI, dan/atau SBBI Valas” adalah penjualan SBI, SDBI, dan/atau SBBI Valas oleh Bank Indonesia di pasar perdana. Huruf b Yang dimaksud dengan “transaksi repurchase agreement (repo)” adalah transaksi penjualan surat berharga oleh peserta OPT Konvensional kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBI, SDBI, SukBI, SBN, dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “transaksi reverse repo” adalah transaksi pembelian surat berharga oleh peserta OPT Konvensional dari Bank Indonesia dengan kewajiban penjualan kembali oleh peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBN, dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf c Yang dimaksud dengan “transaksi pembelian dan/atau penjualan surat berharga secara outright” adalah - 3 - transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara putus. Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBN dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf d Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam rupiah” adalah penempatan dana milik peserta OPT konvensional secara berjangka di Bank Indonesia dalam rupiah. Huruf e Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing” adalah penempatan dana milik peserta OPT Konvensional secara berjangka di Bank Indonesia dalam valuta asing. Huruf f Jual beli valuta asing terhadap rupiah dilakukan antara lain dalam bentuk transaksi spot, transaksi forward, transaksi swap, dan/atau transaksi domestic non- deliverable forward. Yang dimaksud dengan “spot” adalah transaksi jual atau beli antara valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal transaksi. Termasuk dalam transaksi spot yaitu transaksi dengan penyerahan valuta pada hari yang sama (today) atau dengan penyerahan 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow). Yang dimaksud dengan “forward” adalah transaksi jual atau beli antara valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal transaksi. Yang dimaksud dengan “swap” adalah transaksi pertukaran valuta asing terhadap rupiah melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian kembali secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan, dengan counterpart yang - 4 - sama dan pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. Transaksi swap dengan metode lelang yang dilakukan antara BUK dan Bank Indonesia dapat dianggap sebagai penerusan (pass on) posisi transaksi derivatif BUK dengan pihak terkait BUK. Transaksi domestic non-deliverable forward merupakan transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah yang standar (plain vanilla) berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik. Mekanisme fixing merupakan mekanisme penyelesaian transaksi tanpa pergerakan dana pokok dengan cara menghitung selisih antara kurs transaksi forward dan kurs acuan pada tanggal tertentu yang telah ditetapkan di dalam kontrak (fixing date). Huruf g Cukup jelas. Angka 3 Pasal 18 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 22 Huruf a Yang dimaksud dengan “penerbitan SBIS dan/atau SukBI” adalah penjualan SBIS dan/atau SukBI oleh Bank Indonesia di pasar perdana. Huruf b Yang dimaksud dengan “transaksi repo” adalah transaksi penjualan surat berharga oleh peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Yang dimaksud dengan “surat berharga yang memenuhi prinsip syariah” adalah SBSN, SukBI, dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah - 5 - dicairkan yang memenuhi prinsip syariah, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “transaksi reverse repo” adalah transaksi pembelian surat berharga oleh peserta OPT Syariah dari Bank Indonesia dengan kewajiban penjualan kembali oleh peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Yang dimaksud dengan “surat berharga yang memenuhi prinsip syariah” adalah SBSN dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang memenuhi prinsip syariah, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf c Yang dimaksud dengan “transaksi pembelian dan/atau penjualan surat berharga yang memenuhi prinsip syariah secara outright” adalah transaksi pembelian dan penjualan secara putus. Yang dimaksud dengan “surat berharga yang memenuhi prinsip syariah” adalah SBSN dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang memenuhi prinsip syariah, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf d Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing” adalah penempatan dana milik peserta OPT Syariah secara berjangka di Bank Indonesia dalam valuta asing. Huruf e Termasuk dalam transaksi lainnya yang memenuhi prinsip syariah di pasar valuta asing yaitu transaksi spot dan/atau transaksi derivatif yang bertujuan untuk lindung nilai (hedging) berdasarkan prinsip syariah serta memiliki underlying. - 6 - Angka 5 Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “repo surat berharga” adalah transaksi penjualan bersyarat surat berharga oleh peserta Standing Facilities Syariah kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati (sell and buy back) dan/atau pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada peserta Standing Facilities Syariah dengan agunan surat berharga (collateralized borrowing), sesuai dengan akadnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “akad qard” adalah pinjaman dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus dalam jangka waktu tertentu. Yang dimaksud dengan “rahn” adalah penyerahan agunan dari BUS atau UUS (rahin) kepada Bank Indonesia (murtahin) sebagai jaminan untuk mendapatkan qard. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “akad al ba’i yang diikuti dengan wa’d” adalah jual beli yang disertai dengan janji (al wa’d) oleh peserta Standing Facilities Syariah kepada Bank Indonesia, dalam dokumen terpisah, untuk membeli atau menjual kembali surat berharga dalam jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati. Ayat (5) Cukup jelas. - 7 - Angka 6 Pasal 44 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “akad ju’alah” adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 45 Huruf a Jangka waktu SBIS dinyatakan dalam jumlah hari kalender dan dihitung 1 (satu) hari kalender setelah tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu. Huruf b Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah diterbitkan tanpa adanya fisik SBIS, dan bukti kepemilikan bagi pemegang SBIS berupa pencatatan elektronis. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 45A Ayat (1) Yang dimaksud dengan “akad al-musyarakah al- muntahiyah bi al-tamlik” adalah kontrak syirkah 2 (dua) pihak atau lebih yang diikuti dengan pembelian porsi - 8 - (hishshah) oleh 1 (satu) pihak dari pihak lain pada saat akhir kontrak atau telah jatuh tempo. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 45B Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah diterbitkan tanpa adanya fisik SukBI dan bukti kepemilikan bagi pemegang SukBI berupa pencatatan elektronis. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f SukBI dapat diperdagangkan antar Bank di pasar sekunder antara lain secara outright, repo, atau dijadikan agunan. Huruf g Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Penatausahaan secara elektronis di Bank Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia - 9 - yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah diterbitkan tanpa adanya fisik SBIS dan SukBI, dan bukti kepemilikan bagi pemegangnya berupa pencatatan elektronis. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain sub- registry. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 48A Ayat (1) Termasuk dalam transaksi SukBI antara lain transaksi jual atau beli secara outright, pinjam-meminjam, repo, atau memberikan atau menerima agunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal pihak lain ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SukBI maka pihak lain tersebut hanya dapat menatausahakan SukBI milik Bank. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. - 10 - Angka 7 Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 77A Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6278
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 20/14/PBI/2018 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER </reg_title> <set_date> 12 Desember 2018 </set_date> <effective_date> 17 Desember 2018 </effective_date> <issued_date> 17 Desember 2018 </issued_date> <changed_reg> '20/5/PBI/2018' </changed_reg> <extension_of> '20/12/PBI/2018' </extension_of> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '20/12/PBI/2018', '20/5/PBI/2018', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 7 Bagian Kedua' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/17/PBI/2005 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP BANK PERKREDITAN RAKYAT PASCA BENCANA ALAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS, PROVINSI SUMATERA UTARA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan terjadinya bencana alam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mendukung pemulihan kondisi perekonomian; b. bahwa salah satu upaya untuk mendukung pemulihan kondisi perekonomian adalah dengan memberikan perlakuan khusus terhadap Bank Perkreditan Rakyat; c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai perlakuan khusus terhadap Bank Perkreditan Rakyat pasca bencana alam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara, dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : … -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP BANK PERKREDITAN RAKYAT PASCA BENCANA ALAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS, PROVINSI SUMATERA UTARA. BAB I … -3- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998; 2. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara BPR dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. BAB II KUALITAS KREDIT Pasal 2 (1) Kualitas kredit yang diselamatkan digolongkan lancar terhitung sejak dilakukan penyelamatan sampai dengan 31 Januari 2008. (2) Penyelamatan Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara : a. Penjadualan kembali yang hanya menyangkut waktunya; b. Persyaratan … (rescheduling), yaitu perubahan syarat Kredit jadual pembayaran dan atau jangka -4- b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat Kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadual pembayaran, jangka waktu, dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo Kredit; atau c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat Kredit yang menyangkut: (1) Penambahan dana BPR, dan atau (2) Konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi Kredit yang dapat disertai dengan penjadualan kembali dan atau persyaratan kembali. Pasal 3 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya berlaku untuk Kredit yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Kredit yang telah diberikan pada saat berlakunya ketentuan ini; b. Disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan atau Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara; dan c. Telah atau diperkirakan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga kredit atau margin atau bagi hasil Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang disebabkan oleh dampak dari bencana alam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara. Pasal 4 … -5- Pasal 4 Ketentuan mengenai perlakuan khusus terhadap Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 berlaku juga bagi BPR yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah untuk penyediaan dana yang mencakup pembiayaan (mudharabah atau musyarakah), piutang (murabahah, salam atau istishna), sewa (ijarah) dan pinjaman (qardh). BAB III PELAPORAN Pasal 5 (1) BPR yang terkena dampak bencana alam dikecualikan dari sanksi kewajiban membayar atas keterlambatan dan yang dikategorikan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku mengenai Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan BPR, Laporan BMPK, Laporan Rencana Kerja, Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja, Laporan Keuangan Tahunan, dan Laporan Keuangan Publikasi. (2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan tanggal 31Agustus 2005. BAB IV … -6- BAB IV PENUTUP Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan diberlakusurutkan sejak tanggal 27 Desember 2004. Ditetapkan di: Jakarta Pada tanggal : 1 Juli 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 55 DPBPR/DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/17/PBI/2005 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP BANK PERKREDITAN RAKYAT PASCA BENCANA ALAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS, PROVINSI SUMATERA UTARA UMUM Sebagaimana diketahui peristiwa bencana alam tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan gempa bumi di Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 26 Desember 2004 dan tanggal 28 Maret 2005 menimbulkan dampak terhadap perekonomian Indonesia, khususnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara. Nasabah debitur yang terkena dampak bencana tersebut mengalami kesulitan dalam melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit atau akad pembiayaan sehingga menurunnya kemampuan debitur tersebut akan sangat mempengaruhi kondisi operasional BPR. Selain itu, bencana yang terjadi berdampak pula terhadap kelembagaan, kepengurusan dan kondisi fisik BPR . Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia memandang perlu untuk memberikan perlakuan khusus terhadap kredit penilaian kualitas kredit, dan kewajiban pelaporan berupa kelonggaran dalam berkala kepada Bank Indonesia. PASAL .. - 2 - PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 ayat (1) Kredit yang diselamatkan adalah Kredit yang semula tergolong lancar atau kurang lancar menjadi diragukan atau macet sebagai dampak dari bencana alam dan diusahakan untuk diperbaiki sebagaimana dicantumkan dalam akad penyelamatan Kredit. ayat (2) Cukup jelas Pasal 3 huruf a Yang dimaksud dengan kredit yang telah diberikan adalah termasuk kelonggaran tarik dari kredit yang telah diperjanjikan. huruf b Cukup jelas huruf c Cukup jelas Pasal 4 .. - 3 - Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 ayat (1) Cukup jelas ayat (2) Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4509 DPBPR/DPbS
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/17/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP BANK PERKREDITAN RAKYAT PASCA BENCANA ALAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KABUPATEN NIAS, PROVINSI SUMATERA UTARA </reg_title> <set_date> 1 Juli 2005 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2005 dan diberlakusurutkan sejak tanggal 27 Desember 2004. </effective_date> <related_reg> '3/UU/2004', '7/UU/1992', '23/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 9/5/PBI/2007 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perkembangan perbankan syariah yang semakin pesat memerlukan pengelolaan likuiditas dan pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah yang lebih likuid dan efisien; b. bahwa instrumen pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah yang ada saat ini yang menggunakan akad mudharabah belum dapat sepenuhnya memenuhi kebutuhan pengelolaan likuiditas perbankan syariah; c. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan pengelolaan likuiditas perbankan syariah perlu dibuka kemungkinan untuk menggunakan instrumen pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah selain akad mudharabah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c diperlukan penyempurnaan terhadap ketentuan … 2 ketentuan tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. BAB I … 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Konvensional adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Bank Syariah adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah: a. unit kerja di kantor pusat Bank Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah; atau b. unit kerja di kantor cabang dari Bank Konvensional yang berkedudukan di luar negeri yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah. 4. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing. 5. Instrumen PUAS adalah instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh Bank Syariah atau UUS yang digunakan sebagai sarana transaksi di PUAS. 6. Prinsip … 4 6. Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB II PESERTA PUAS Pasal 2 (1) Peserta PUAS terdiri dari Bank Syariah, UUS, dan Bank Konvensional. (2) Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan penempatan dana dan atau penerimaan dana dengan menggunakan instrumen PUAS yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Bank Konvensional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat melakukan penempatan dana ke dalam instrumen PUAS yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. BAB III INSTRUMEN DAN TRANSAKSI PUAS Pasal 3 Instrumen PUAS yang dapat digunakan oleh Peserta PUAS adalah instrumen yang telah diatur oleh Bank Indonesia sebagai Instrumen PUAS. Pasal 4 … 5 Pasal 4 (1) Bank Syariah atau UUS yang akan menerbitkan Instrumen PUAS selain yang telah diatur dalam Pasal 3 wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh persetujuan. (2) Bank Syariah atau UUS yang akan mengajukan permohonan penerbitan Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus telah memperoleh fatwa mengenai kesesuaian Instrumen PUAS tersebut dengan prinsip syariah dari Dewan Syariah Nasional. (3) Setelah Bank Indonesia menyetujui Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mengatur Instrumen PUAS tersebut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (4) Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Bank Syariah atau UUS lainnya hanya dapat menerbitkan Instrumen PUAS sejak Bank Indonesia menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Bank Syariah atau UUS lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat menerbitkan Instrumen PUAS yang sudah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tanpa perlu mengajukan permohonan terlebih dahulu. (6) Tata cara pengajuan permohonan dan persetujuan penerbitan Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 5 (1) Instrumen PUAS yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur kembali dalam Surat Edaran Bank Indonesia tersendiri. (2) Bank … 6 (2) Bank Syariah atau UUS yang akan menerbitkan Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak perlu menempuh prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Pasal 6 (1) Bank Indonesia mengatur jenis Instrumen PUAS yang dapat diperdagangkan sebelum jatuh waktu. (2) Jenis dan tata cara perdagangan Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IV PELAPORAN Pasal 7 Peserta PUAS wajib melaporkan transaksi PUAS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. BAB V SANKSI Pasal 8 Bank Syariah atau UUS yang melanggar ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 9 … 7 Pasal 9 Peserta PUAS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan PUAS. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 10 Instrumen PUAS yang saat ini telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini yaitu Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (IMA) tetap berlaku sampai dengan jatuh tempo dengan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/26/PBI/2005. BAB VII PENUTUP Pasal 11 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/26/PBI/2005 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan … 8 Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 Maret 2007 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 53 DPM 9 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 9/5/PBI/2007 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH I. UMUM Perkembangan perbankan syariah yang semakin pesat dewasa ini telah meningkatkan mobilitas dana masyarakat pada industri perbankan syariah. Hal ini mendorong peningkatan pengelolaan likuiditas oleh perbankan syariah sehingga diperlukan penyelenggaraan pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah yang lebih likuid dan efisien. Dalam rangka meningkatkan likuiditas dan efisiensi penyelenggaraan pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah (PUAS) diperlukan pengembangan instrumen PUAS dengan akad selain mudharabah. Dengan demikian instrumen PUAS yang digunakan dalam pengelolaan likuiditas perbankan syariah menjadi lebih beragam. Selanjutnya, mengingat pelaku pasar lebih memahami instrumen PUAS yang sesuai dengan kebutuhannya, maka diperlukan peran aktif pelaku pasar dalam mengembangkan instrumen PUAS tersebut. Dalam rangka pengembangan instrumen PUAS dimaksud Bank Indonesia perlu mengatur dan menetapkan instrumen … 10 instrumen PUAS yang dapat digunakan. Sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang ada saat ini. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Surat Edaran Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dikeluarkan setiap kali Bank Indonesia menyetujui permohonan Bank Syariah atau UUS untuk menerbitkan Instrumen PUAS. Materi yang diatur dalam Surat Edaran ini meliputi antara lain karakteristik dan persyaratan … 11 persyaratan, mekanisme transaksi, penyelesaian transaksi, dan pelaporan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Surat Edaran Bank Indonesia dalam ayat ini adalah Surat Edaran yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan PUAS. Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 … 12 Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4715 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 9/5/PBI/2007 </reg_id> <reg_title> PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 30 Maret 2007 </set_date> <effective_date> 30 Maret 2007 </effective_date> <replaced_reg> '7/26/PBI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/14/PBI/2019 TENTANG DEVISA HASIL EKSPOR DAN DEVISA PEMBAYARAN IMPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa devisa hasil ekspor dapat menjadi sumber dana yang berkesinambungan bagi pembangunan ekonomi nasional yang memberikan kontribusi optimal dan dimanfaatkan untuk mendukung terciptanya pasar keuangan yang lebih sehat dan upaya menjaga kestabilan nilai rupiah, dalam hal penempatannya dilakukan melalui perbankan di Indonesia; b. bahwa pemantauan penerimaan devisa hasil ekspor melalui perbankan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu lebih ditingkatkan efektivitasnya guna mendukung optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor; c. bahwa selain devisa hasil ekspor terdapat devisa pembayaran impor yang dapat menjadi sumber pengeluaran dana yang memengaruhi permintaan devisa secara nasional dan pasar keuangan di Indonesia; - 2 - d. bahwa pemantauan devisa pembayaran impor sebagaimana dimaksud dalam huruf c melalui pelaporan perlu lebih ditingkatkan efektivitasnya guna mendukung optimalisasi perolehan informasi permintaan devisa pembayaran impor; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Devisa Hasil Ekspor dan Devisa Pembayaran Impor; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG DEVISA HASIL EKSPOR DAN DEVISA PEMBAYARAN IMPOR. - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia namun tidak termasuk kantor cabang luar negeri dari bank yang berkantor pusat di Indonesia, yang memperoleh persetujuan dari otoritas yang berwenang untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. 2. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 3. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai kepabeanan. 4. Devisa Hasil Ekspor yang selanjutnya disingkat DHE adalah devisa dari hasil kegiatan Ekspor. 5. Devisa Hasil Ekspor dari Barang Ekspor Sumber Daya Alam yang selanjutnya disebut DHE SDA adalah DHE yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah mengenai devisa hasil ekspor yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. 6. Devisa Hasil Ekspor dari Barang Ekspor selain Sumber Daya Alam yang selanjutnya disebut DHE Non-SDA adalah - 4 - DHE yang diperoleh dari kegiatan selain kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. 7. Eksportir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau badan lainnya yang tidak berbadan hukum, yang melakukan Ekspor. 8. Eksportir SDA adalah Eksportir dalam kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. 9. Eksportir Non-SDA adalah Eksportir dalam kegiatan selain kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. 10. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang mengenai kepabeanan. 11. Devisa Pembayaran Impor yang selanjutnya disingkat DPI adalah devisa yang digunakan untuk membayar Impor. 12. Importir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau badan lainnya yang tidak berbadan hukum, yang melakukan Impor. 13. Perusahaan Jasa Titipan yang selanjutnya disingkat PJT adalah penyelenggara pos yang memperoleh izin usaha dari instansi terkait untuk melaksanakan layanan surat, dokumen, dan paket sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pos. 14. Pemberitahuan Pabean Ekspor yang selanjutnya disingkat PPE adalah pernyataan yang dibuat oleh perseorangan atau badan hukum untuk melaksanakan kewajiban pabean Ekspor dalam bentuk dan syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan. 15. Pemberitahuan Pabean Impor yang selanjutnya disingkat PPI adalah pernyataan yang dibuat oleh perseorangan atau badan hukum untuk melaksanakan kewajiban pabean - 5 - Impor dalam bentuk dan syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan. 16. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank. 17. Rekening Khusus DHE SDA yang selanjutnya disebut Reksus DHE SDA adalah rekening milik Nasabah di Bank dalam valuta rupiah atau valuta asing, yang digunakan khusus untuk penerimaan DHE SDA. 18. Laporan DHE adalah laporan yang menjelaskan informasi data kepabeanan dan penerimaan DHE yang dilaporkan oleh Eksportir. 19. Laporan DPI adalah laporan yang menjelaskan informasi data kepabeanan dan pembayaran DPI yang dilaporkan oleh Importir. 20. Perintah Transfer Dana adalah perintah tidak bersyarat dari pengirim kepada penyelenggara penerima untuk membayarkan sejumlah dana tertentu kepada penerima sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai transfer dana. 21. Transfer Dana Keluar atau Outgoing Transfer adalah transaksi lalu lintas devisa Nasabah berupa transfer dana keluar dalam valuta asing. 22. Transfer Dana Masuk atau Incoming Transfer adalah transaksi lalu lintas devisa Nasabah berupa transfer dana masuk dalam valuta asing. 23. Nilai Ekspor adalah nilai Ekspor free on board (FOB) yang tercantum pada PPE. 24. Nilai Impor adalah nilai Impor cost, insurance, and freight (CIF) yang tercantum pada PPI. 25. Maklon adalah pemberian jasa untuk proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa atau disubkontrakkan, dan pengguna jasa menetapkan spesifikasi serta menyediakan bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa. - 6 - 26. Nilai Maklon adalah nilai yang diperoleh dari kegiatan Maklon yang tercantum pada PPE. 27. Pihak yang Tunduk kepada Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut Pihak dalam Kontrak Migas adalah operator dan/atau pemegang participating interest beserta para penggantinya dari waktu ke waktu, yang tercatat di otoritas yang berwenang. 28. Pemilik Barang adalah pihak yang melakukan Ekspor atau Impor melalui PJT. 29. Message Financial Transaction Messaging System yang selanjutnya disebut Message FTMS adalah kumpulan data dalam format terstruktur yang dikirim atau diterima oleh pengguna atau aplikasi. 30. Telegraphic Transfer yang selanjutnya disingkat TT adalah jenis transfer dana melalui Bank dengan menggunakan sarana elektronik berdasarkan perintah bayar dari pemilik dana. 31. Laporan Transaksi Non-Telegraphic Transfer yang selanjutnya disebut Laporan Transaksi Non-TT adalah laporan yang disampaikan Bank atas transaksi non-TT. 32. Bulan PPE adalah bulan pendaftaran yang diperoleh dari informasi tanggal pendaftaran yang tercantum pada PPE. 33. Bulan PPI adalah bulan pendaftaran yang diperoleh dari informasi tanggal pendaftaran yang tercantum pada PPI. 34. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk hari kerja operasional terbatas. BAB II KEWAJIBAN EKSPORTIR Bagian Kesatu Kewajiban Eksportir terkait Penerimaan DHE Pasal 2 (1) Seluruh DHE wajib diterima melalui Bank paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah Bulan PPE. - 7 - (2) Dalam hal DHE diterima dalam bentuk uang tunai di dalam negeri, DHE wajib disetorkan ke Bank paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah Bulan PPE. (3) Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung terkait dengan DHE yang diterima dalam bentuk uang tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bank Indonesia. (4) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari libur maka penerimaan DHE dan/atau penyetoran ke Bank dapat dilakukan pada Hari berikutnya. (5) Nilai DHE yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau nilai DHE yang disetor ke Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib sesuai dengan Nilai Ekspor. Pasal 3 Kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak berlaku untuk DHE milik Pemerintah yang diterima melalui Bank Indonesia. Pasal 4 (1) Dalam hal penerimaan DHE dilakukan melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), DHE dianggap diterima sesuai dengan batas waktu apabila: a. DHE diterima paling lambat 14 (empat belas) hari kalender setelah jangka waktu pembayaran yang telah diatur dalam kontrak antara Eksportir dan buyer; atau b. disebabkan buyer wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan kahar. (2) Dalam hal penerimaan DHE dilakukan melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung yang memadai. - 8 - Pasal 5 (1) Dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai Ekspor dengan selisih paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), nilai DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor sehingga Eksportir tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung. (2) Dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai Ekspor dengan selisih melebihi ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), nilai DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir menyampaikan dokumen pendukung yang memadai. Pasal 6 (1) Dalam hal Ekspor berasal dari hasil Maklon, nilai DHE yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) wajib sesuai dengan Nilai Maklon. (2) Dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai Maklon dengan selisih paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), nilai DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Maklon sehingga Eksportir tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung. (3) Dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai Maklon dengan selisih melebihi ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), nilai DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Maklon apabila Eksportir menyampaikan dokumen pendukung yang memadai. Pasal 7 Dalam hal terdapat perbedaan antara data PPE yang disampaikan Eksportir dan data PPE yang diterima Bank Indonesia dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maka Bank Indonesia dapat memutuskan data PPE yang akan dijadikan acuan dalam pemenuhan ketentuan Peraturan Bank Indonesia ini. - 9 - Pasal 8 Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan DHE diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kedua Kewajiban Eksportir terkait Pelaporan DHE Pasal 9 (1) Dalam hal DHE diterima melalui transaksi TT, Eksportir harus menyampaikan informasi Ekspor kepada buyer untuk dicantumkan pada Message FTMS oleh bank di luar negeri. (2) Dalam hal DHE diterima melalui transaksi Non-TT, Eksportir harus menyampaikan informasi Ekspor kepada Bank untuk diteruskan kepada Bank Indonesia. Pasal 10 (1) Eksportir harus menyampaikan Laporan DHE kepada Bank Indonesia secara daring dalam hal terdapat: a. perubahan informasi pada PPE yang memengaruhi DHE; dan/atau b. perubahan informasi terkait DHE. (2) Penyampaian Laporan DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Nilai Ekspor yang lebih besar dari ekuivalen USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). (3) Eksportir harus menyampaikan Laporan DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah Bulan PPE dan/atau bulan penerimaan DHE. (4) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada hari libur maka penyampaian Laporan DHE dapat dilakukan pada Hari berikutnya. Pasal 11 (1) Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia secara daring dalam hal: - 10 - a. DHE diterima melebihi akhir bulan ketiga setelah Bulan PPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); b. DHE tidak diterima; c. selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Ekspor lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2); dan/atau d. selisih kurang nilai DHE dengan Nilai Maklon lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3). (2) Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah Bulan PPE dan/atau bulan penerimaan DHE. (3) Dalam hal buyer wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan kahar, Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat: a. tanggal 5 bulan berikutnya setelah akhir bulan ketiga setelah Bulan PPE; atau b. tanggal 5 bulan berikutnya setelah batas waktu penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). (4) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) jatuh pada hari libur maka penyampaian dokumen pendukung dapat dilakukan pada Hari berikutnya. Pasal 12 (1) Penerimaan nilai DHE yang lebih kecil dari Nilai PPE yang disebabkan netting antara tagihan Ekspor dan kewajiban Eksportir hanya diperbolehkan untuk netting dengan pembayaran Impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan yang hanya melibatkan 2 (dua) pihak. - 11 - (2) Dalam hal kegiatan Ekspor melibatkan lebih dari 2 (dua) pihak, netting antara tagihan Ekspor dan kewajiban Eksportir dalam bentuk Impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan, hanya diperbolehkan apabila pihak tersebut berada dalam 1 (satu) grup. (3) Eksportir harus menyampaikan surat yang memuat: a. pernyataan bahwa barang yang diimpor digunakan dalam proses menghasilkan barang Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); b. daftar pihak buyer atau counterparty yang melakukan netting antara tagihan Ekspor dan kewajiban Impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan; dan c. pernyataan bahwa buyer atau counterparty berada dalam 1 (satu) grup dengan Eksportir dalam hal netting melibatkan lebih dari 2 (dua) pihak. (4) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan Eksportir setiap terdapat buyer atau counterparty baru. (5) Penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir menyampaikan bukti transaksi netting. Pasal 13 (1) Eksportir harus menyampaikan bukti transaksi netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) kepada Bank Indonesia secara daring paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah bulan penerimaan DHE. (2) Eksportir harus menyampaikan surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) kepada Bank Indonesia secara daring paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah Bulan PPE. (3) Eksportir harus menyampaikan pengkinian daftar pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf b kepada Bank Indonesia secara daring paling lambat tanggal 5 Januari setiap tahun. - 12 - (4) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) jatuh pada hari libur maka penyampaian bukti transaksi netting, surat, dan pengkinian daftar pihak dapat dilakukan pada Hari berikutnya. Pasal 14 (1) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian: a. Laporan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3); b. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3); c. bukti transaksi netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1); d. surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2); dan e. pengkinian daftar pihak atau counterparty sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3), terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia atau di Eksportir yang menyebabkan Eksportir tidak dapat menyampaikan secara daring maka penyampaian dilakukan secara luring pada Hari berikutnya. (2) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi di Eksportir, Eksportir harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis disertai bukti pendukung dari instansi yang berwenang yang menjelaskan terjadinya gangguan teknis kepada Bank Indonesia. Pasal 15 (1) Dalam hal terdapat perubahan data PPE, Eksportir harus melakukan pembetulan PPE. (2) Pembetulan PPE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. - 13 - Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan DHE diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Ketiga Pemilik Barang dan Pihak dalam Kontrak Migas Pasal 17 (1) Dalam hal Eksportir merupakan PJT, ketentuan mengenai Eksportir berlaku terhadap Pemilik Barang. (2) PJT harus menyampaikan informasi terkait PPE kepada Pemilik Barang. (3) Dalam hal Ekspor berupa minyak dan gas bumi, ketentuan mengenai Eksportir berlaku terhadap Eksportir dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemilik Barang dalam Ekspor melalui PJT dan Pihak dalam Kontrak Migas diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB III REKENING KHUSUS DHE SDA Bagian Kesatu Kewajiban Eksportir SDA Pasal 18 (1) Dalam hal penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berasal dari Ekspor SDA, DHE tersebut wajib diterima pada Reksus DHE SDA. (2) Dalam hal DHE SDA diterima dalam bentuk uang tunai di dalam negeri, DHE SDA tersebut wajib disetorkan ke Bank pada Reksus DHE SDA. (3) Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berbentuk rekening giro, tabungan, atau rekening lainnya yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi. - 14 - (4) Eksportir SDA dapat membuka lebih dari 1 (satu) Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pada 1 (satu) Bank atau lebih. (5) Pada saat mengajukan permohonan pembukaan Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Eksportir SDA harus menyampaikan: a. dokumen pendukung yang dapat menunjukkan Ekspor atas hasil pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam; dan b. surat pernyataan. Pasal 19 Eksportir SDA dapat menempatkan dana dari Reksus DHE SDA ke dalam deposito DHE SDA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 20 (1) Transfer Dana Masuk pada Reksus DHE SDA hanya dapat berasal dari: a. DHE SDA milik Eksportir SDA yang sama; b. dana dari pencairan deposito dan/atau pembayaran bunga deposito yang dananya bersumber dari Reksus DHE SDA milik Eksportir SDA yang sama; dan c. dana yang berasal dari Reksus DHE SDA lain milik Eksportir SDA yang sama, baik di Bank lain maupun di Bank yang sama. (2) Transfer Dana Masuk yang berasal dari DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan mekanisme: a. b. transfer langsung ke Reksus DHE SDA; atau transfer terlebih dahulu melalui rekening milik Eksportir SDA selain Reksus DHE SDA. (3) Dalam hal terdapat Transfer Dana Masuk ke Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir SDA harus menyampaikan dokumen pendukung yang dapat membuktikan bahwa dana masuk tersebut merupakan DHE SDA. - 15 - (4) Dalam hal terdapat Transfer Dana Masuk ke Reksus DHE SDA selain dari sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir SDA harus memindahkan dana dimaksud keluar dari Reksus DHE SDA. Pasal 21 DHE SDA yang ditempatkan dalam Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) digunakan oleh Eksportir SDA untuk Transfer Dana Keluar guna pembayaran: a. bea keluar dan pungutan lain di bidang Ekspor; b. pinjaman; c. Impor; d. keuntungan atau dividen; dan/atau e. keperluan lain dari penanam modal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai penanaman modal. Pasal 22 (1) Dalam hal Eksportir SDA melakukan Transfer Dana Keluar dari Reksus DHE SDA dalam valuta asing dengan nilai di atas jumlah tertentu (threshold), Eksportir SDA harus menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank. (2) Ketentuan mengenai jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah. Pasal 23 Eksportir SDA harus menyampaikan informasi kepada Bank untuk setiap Transfer Dana Masuk dan/atau Transfer Dana Keluar melalui Reksus DHE SDA. Pasal 24 Dalam hal Ekspor berupa minyak dan gas bumi, ketentuan mengenai Eksportir SDA berlaku terhadap Eksportir SDA dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas. - 16 - Pasal 25 Dalam hal Eksportir SDA merupakan PJT, ketentuan mengenai Eksportir SDA berlaku terhadap Pemilik Barang. Pasal 26 Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Eksportir SDA atas penerimaan dan penggunaan Reksus DHE SDA diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kedua Kewajiban Bank Pasal 27 (1) Bank harus memastikan Nasabah yang akan melakukan pembukaan Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) merupakan Eksportir SDA. (2) Bank harus memberikan penanda khusus (flag) untuk setiap Reksus DHE SDA di sistem internal Bank. Pasal 28 (1) Bank wajib memastikan dana yang akan ditempatkan ke dalam deposito DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 berasal dari DHE SDA. (2) Bank harus memberikan penanda khusus (flag) untuk setiap deposito sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19. Pasal 29 Bank harus memastikan Transfer Dana Masuk pada Reksus DHE SDA hanya berasal dari sumber sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1). Pasal 30 (1) Bank hanya dapat melakukan pengaksepan Perintah Transfer Dana untuk Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) sepanjang dilengkapi dengan dokumen pendukung. - 17 - (2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diterima sebelum pelaksanaan penyelesaian transaksi. (3) Bank harus meneruskan informasi kepada Bank Indonesia mengenai penyampaian dokumen pendukung untuk Transfer Dana Keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Ketentuan mengenai mekanisme pengaksepan Perintah Transfer Dana dan penyampaian dokumen pendukung untuk Transfer Dana Keluar mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah. Pasal 31 Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia dalam laporan Reksus DHE SDA, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah. Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Bank atas penerimaan dan penggunaan DHE SDA melalui Reksus DHE SDA diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB IV KEWAJIBAN IMPORTIR Pasal 33 (1) DPI wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia. (2) Laporan DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima Bank Indonesia paling lambat akhir bulan ketiga setelah Bulan PPI. - 18 - Pasal 34 Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) terdiri atas: a. informasi Impor pada DPI yang dibayarkan melalui transaksi TT; b. informasi Impor pada DPI yang dibayarkan melalui transaksi Non-TT; c. perubahan informasi pada PPI yang memengaruhi DPI; d. perubahan informasi pada DPI; dan/atau e. informasi DPI yang tidak melalui Bank. Pasal 35 (1) Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a dan huruf b disampaikan oleh Importir kepada Bank untuk diteruskan kepada Bank Indonesia. (2) Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf c, huruf d, dan huruf e disampaikan oleh Importir kepada Bank Indonesia secara daring. Pasal 36 (1) Penyampaian Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf c, huruf d, dan huruf e berlaku untuk Nilai Impor yang lebih besar dari ekuivalen USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). (2) Importir harus menyampaikan Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf c, huruf d, dan huruf e paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah Bulan PPI dan/atau bulan pengeluaran DPI. (3) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur maka penyampaian Laporan DPI dapat dilakukan pada Hari berikutnya. Pasal 37 (1) Dalam hal terdapat perubahan data PPI, Importir harus melakukan perubahan data PPI. (2) Perubahan data PPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. - 19 - Pasal 38 (1) Nilai DPI yang dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) wajib sesuai dengan Nilai Impor. (2) Dalam hal nilai DPI lebih besar dari Nilai Impor dengan selisih paling banyak 5% (lima persen) dari Nilai Impor, nilai DPI yang dilaporkan dianggap sesuai dengan Nilai Impor sehingga Importir tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung. (3) Dalam hal nilai DPI lebih besar dari Nilai Impor dengan selisih melebihi 5% (lima persen) dari Nilai Impor, nilai DPI yang dilaporkan dianggap sesuai dengan Nilai Impor apabila Importir menyampaikan dokumen pendukung yang memadai. Pasal 39 (1) Importir harus menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia secara daring dalam hal: a. pengeluaran DPI dalam bentuk uang tunai; b. pengeluaran DPI melebihi akhir bulan ketiga setelah Bulan PPI; c. pengeluaran DPI tidak melalui Bank; d. DPI tidak dibayar; dan/atau e. selisih lebih Nilai DPI dengan Nilai Impor lebih besar dari 5% (lima persen) dari Nilai Impor. (2) Importir harus menyampaikan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah Bulan PPI dan/atau bulan pengeluaran DPI. (3) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur maka penyampaian dokumen pendukung dapat dilakukan pada Hari berikutnya. Pasal 40 (1) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian Laporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 39 ayat (2) terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia - 20 - atau gangguan teknis di Importir yang menyebabkan Importir tidak dapat menyampaikan secara daring maka Laporan DPI dan/atau dokumen pendukung tersebut disampaikan secara luring pada Hari berikutnya. (2) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi di Importir, Importir harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis disertai bukti pendukung dari instansi yang berwenang yang menjelaskan terjadinya gangguan teknis kepada Bank Indonesia. Pasal 41 (1) Dalam hal Importir merupakan PJT, ketentuan mengenai Importir berlaku terhadap Pemilik Barang. (2) PJT harus menyampaikan informasi terkait PPI kepada Pemilik Barang. Pasal 42 Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pelaporan DPI diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB V KEWAJIBAN BANK Bagian Kesatu Kewajiban Bank terhadap DHE Pasal 43 Bank hanya dapat melakukan pengkreditan penerimaan DHE pada rekening Eksportir apabila Message FTMS untuk seluruh penerimaan DHE melalui transaksi TT telah dilengkapi informasi Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). Pasal 44 (1) Bank wajib menyampaikan Laporan Transaksi Non-TT yang dilengkapi informasi Ekspor secara daring kepada Bank Indonesia. - 21 - (2) Penyampaian Laporan Transaksi Non-TT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah: a. Bulan PPE; dan/atau b. bulan penerimaan DHE. (3) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur maka penyampaian laporan dapat dilakukan pada Hari berikutnya. (4) Tata cara penyampaian Laporan Transaksi Non-TT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah. Bagian Kedua Kewajiban Bank terhadap DPI Pasal 45 Bank hanya dapat melakukan akseptasi Transfer Dana DPI dan mengirimkan Message FTMS untuk pengeluaran DPI melalui transaksi TT apabila Perintah Transfer Dana telah dilengkapi dengan informasi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a. Pasal 46 (1) Bank wajib menyampaikan Laporan Transaksi Non-TT yang dilengkapi informasi Impor secara daring kepada Bank Indonesia. (2) Penyampaian Laporan Transaksi Non-TT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah: a. Bulan PPI; dan/atau b. bulan pengeluaran DPI. (3) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur maka penyampaian Laporan Transaksi Non-TT dapat dilakukan pada Hari berikutnya. (4) Tata cara penyampaian Laporan Transaksi Non-TT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada - 22 - ketentuan Bank Indonesia mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah. BAB VI PENGAWASAN Bagian Kesatu Kewenangan Pengawasan Pasal 47 (1) Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan kepada Eksportir, Importir, Pemilik Barang, Pihak dalam Kontrak Migas, dan Bank. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. (3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat: a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan instansi terkait; dan b. melakukan kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian kebenaran dokumen pendukung. Pasal 48 Eksportir, Importir, Pemilik Barang, Pihak dalam Kontrak Migas, dan Bank harus memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung yang terkait guna pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) huruf a dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Pasal 49 Dalam hal Eksportir, Importir, Pemilik Barang, Pihak dalam Kontrak Migas, dan Bank tidak memberikan penjelasan, bukti, - 23 - catatan, dan/atau dokumen pendukung yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) huruf a, laporan, keterangan, dan/atau data yang disampaikan dinyatakan tidak benar. Pasal 50 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kedua Penyampaian Hasil Pengawasan DHE SDA Pasal 51 Bank Indonesia menyampaikan hasil pengawasan terhadap Eksportir SDA, Pemilik Barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas terkait kewajiban penerimaan dan penggunaan DHE SDA kepada: a. Kementerian Keuangan; dan b. kementerian dan/atau lembaga teknis terkait, untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing- masing. Pasal 52 Bank Indonesia menyampaikan informasi terkini penerimaan DHE SDA terhadap hasil pengawasan yang telah disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 kepada: a. Kementerian Keuangan; dan b. kementerian dan/atau lembaga teknis terkait, untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing- masing. Pasal 53 Pengenaan sanksi oleh otoritas yang berwenang sebagai tindak lanjut dari penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 tidak menggugurkan pemenuhan kewajiban penerimaan DHE SDA melalui Bank pada Reksus DHE SDA. - 24 - Pasal 54 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian hasil pengawasan DHE SDA diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Ketiga Penerimaan DHE yang Berdampak Strategis Pasal 55 Dalam hal terdapat permasalahan terkait penerapan kewajiban penerimaan DHE yang berdampak strategis, Bank Indonesia dapat mengambil kebijakan tertentu dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. BAB VII SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Kesatu Pengenaan Sanksi Administratif kepada Eksportir Non-SDA Pasal 56 (1) Eksportir Non-SDA yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5), dan/atau Pasal 6 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Dalam hal Eksportir Non-SDA belum memenuhi kewajiban penerimaan DHE sesuai dengan Nilai Ekspor atau Nilai Maklon sampai dengan batas waktu yang tercantum dalam teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. (3) Dalam hal Eksportir Non-SDA belum memenuhi kewajiban penerimaan DHE sesuai dengan Nilai Ekspor atau Nilai Maklon sampai dengan batas waktu yang tercantum - 25 - dalam teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Eksportir Non-SDA dikenai sanksi administratif berupa penangguhan atas pelayanan Ekspor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan. Pasal 57 Dalam hal Eksportir Non-SDA merupakan PJT, sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dikenakan kepada Pemilik Barang. Pasal 58 (1) Eksportir Non-SDA hanya dapat dibebaskan dari penangguhan atas pelayanan Ekspor dalam hal Eksportir Non-SDA telah menyampaikan bukti pemenuhan kewajiban penerimaan DHE sesuai dengan Nilai Ekspor atau Nilai Maklon kepada Bank Indonesia. (2) Dalam hal Eksportir Non-SDA merupakan PJT, pembebasan penangguhan atas pelayanan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Pemilik Barang. (3) Bank Indonesia hanya dapat menerima bukti pemenuhan kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) tahun setelah bulan pengenaan penangguhan atas pelayanan Ekspor. (4) Bank Indonesia dapat menginformasikan Eksportir Non- SDA yang telah dikenai penangguhan atas pelayanan Ekspor kepada otoritas terkait. Pasal 59 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif kepada Eksportir Non-SDA diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 26 - Bagian Kedua Pengenaan Sanksi Administratif kepada Eksportir SDA Pasal 60 Ketentuan pengenaan sanksi administratif terhadap Eksportir SDA, pemilik barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas yang tidak memenuhi kewajiban terkait penerimaan dan penggunaan DHE SDA sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai devisa hasil ekspor dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam dan peraturan pelaksanaannya. Bagian Ketiga Pengenaan Sanksi Administratif kepada Importir Pasal 61 (1) Importir yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban pelaporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 38 dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Dalam hal Importir belum memenuhi kewajiban pelaporan DPI sampai dengan batas waktu yang tercantum dalam teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. (3) Dalam hal Importir belum memenuhi kewajiban pelaporan DPI sampai dengan batas waktu yang tercantum dalam teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Importir dikenai sanksi administratif berupa penangguhan atas pelayanan Impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan. (4) Dalam hal Importir merupakan PJT, sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dikenakan kepada Pemilik Barang. - 27 - Pasal 62 (1) Importir hanya dapat dibebaskan dari penangguhan atas pelayanan Impor dalam hal Importir telah memenuhi kewajiban pelaporan DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33. (2) Bank Indonesia hanya dapat menerima pemenuhan pelaporan DPI untuk pembebasan penangguhan atas pelayanan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) tahun setelah bulan pengenaan penangguhan atas pelayanan Impor. (3) Bank Indonesia dapat menginformasikan kepada otoritas terkait mengenai Importir yang telah dikenai penangguhan atas pelayanan Impor setelah berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 63 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif kepada Importir diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Keempat Pengenaan Sanksi Administratif kepada Bank terkait DHE SDA Pasal 64 (1) Bank yang melakukan pelanggaran atas kewajiban terkait deposito DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Bank yang melakukan pengaksepan Perintah Transfer Dana dari Eksportir SDA, Pemilik Barang, dan/atau Pihak Dalam Kontrak Migas untuk transaksi Transfer Dana Keluar tanpa dilengkapi dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dikenai sanksi administratif berdasarkan ketentuan Bank Indonesia mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah. - 28 - (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif kepada Bank terkait DHE SDA diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kelima Pengenaan Sanksi Administratif kepada Bank terkait DHE Non-SDA dan DPI Pasal 65 Bank yang melanggar kewajiban penyampaian Laporan Transaksi Non-TT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 46 ayat (1) dikenai sanksi administratif berdasarkan ketentuan Bank Indonesia mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 66 (1) Eksportir Non-SDA yang melanggar kewajiban DHE namun belum dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri, dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56. (2) Eksportir Non-SDA yang telah dikenai sanksi administratif berupa denda dan belum memenuhi kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang - 29 - Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri, dikenai sanksi penangguhan pelayanan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) tanpa mengurangi kewajiban membayar denda. (3) Eksportir Non-SDA yang telah dikenai sanksi berupa penangguhan pelayanan Ekspor dan belum memenuhi kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri, hanya dapat dibebaskan dari penangguhan atas pelayanan Ekspor dalam hal Eksportir Non-SDA telah menyampaikan bukti pemenuhan kewajiban penerimaan DHE sesuai dengan Nilai Ekspor kepada Bank Indonesia paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 67 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. ketentuan mengenai kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 sampai dengan angka 16, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 ayat (4) sampai dengan ayat (7), Pasal 5 sampai dengan Pasal 12, Pasal 18 ayat (1) huruf a, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 98) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan - 30 - Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 374), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali ketentuan terkait dengan pelaporan penerimaan DHE dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan DHE Non- SDA yang diterima tanggal 31 Desember 2019; b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/3/PBI/2019 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 8), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali ketentuan mengenai penyampaian informasi dan laporan terkait penerimaan DHE SDA dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan DHE SDA yang diterima tanggal 31 Desember 2020. Pasal 68 Ketentuan mengenai penyampaian informasi dan laporan terkait penerimaan DHE dan pengeluaran DPI mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020. Pasal 69 Ketentuan mengenai pengenaan sanksi administratif kepada Importir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dan Pasal 62 mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2021. Pasal 70 Ketentuan mengenai penyampaian informasi dan laporan terkait penerimaan DHE SDA mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2021. Pasal 71 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 31 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 November 2019 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 November 2019 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 229 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/ 14 /PBI/2019 TENTANG DEVISA HASIL EKSPOR DAN DEVISA PEMBAYARAN IMPOR I. UMUM Pembangunan ekonomi nasional membutuhkan sumber dana yang memadai dan berkesinambungan, baik yang berasal dari dalam negeri dan luar negeri. Salah satu sumber pendanaan dari luar negeri yang relatif stabil dan berkesinambungan yaitu DHE yang juga penting untuk mendukung stabilitas nilai rupiah dan makroekonomi secara keseluruhan. Sejalan dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah mengenai devisa hasil ekspor dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam dan untuk meningkatkan kualitas informasi yang diperoleh guna pemantauan DHE yang efektif, perlu disusun ketentuan mengenai DHE SDA yang mengatur antara lain mengenai kewajiban penerimaan DHE SDA di Bank melalui Reksus DHE SDA. Sejalan dengan itu, pembayaran Impor merupakan salah satu sumber permintaan devisa yang memengaruhi stabilitas nilai rupiah dan makroekonomi secara keseluruhan, sehingga perlu diperoleh informasi yang komprehensif atas DPI dari pelaku usaha dan perbankan di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang dapat memastikan penerimaan DHE dilakukan melalui perbankan Indonesia dan akurasi pelaporan DPI. - 2 - Pengaturan ini tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang berlaku selama ini, yaitu setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Kewajiban untuk menerima DHE melalui Bank tidak termasuk kewajiban menyimpan dalam jangka waktu tertentu dan/atau mengonversi ke dalam rupiah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “diterima dalam bentuk uang tunai” adalah penerimaan DHE dalam bentuk pembayaran uang kertas dan/atau uang logam. DHE dikategorikan sebagai DHE yang diterima dalam bentuk uang tunai apabila menurut Bank Indonesia memenuhi aspek kewajaran untuk dilakukan pembayaran dengan menggunakan uang tunai, antara lain berdasarkan aspek jumlah dan jenis transaksinya. Ayat (3) Dokumen pendukung terkait dengan DHE yang diterima dalam bentuk uang tunai antara lain bukti setor ke Bank. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. - 3 - Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Kontrak antara Eksportir dan buyer antara lain berupa penerimaan DHE dengan cara pembayaran usance Letter of Credit (L/C), konsinyasi, pembayaran kemudian, dan collection. Huruf b Yang dimaksud dengan “keadaan kahar” adalah keadaan yang menyebabkan Eksportir menerima DHE kurang dari Nilai PPE atau tidak menerima DHE, yang disebabkan antara lain oleh kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, sabotase, pemogokan buruh, kegagalan sistem yang digunakan dalam bertransaksi serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Selisih nilai DHE dengan Nilai Ekspor melebihi ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) antara lain disebabkan selisih kurs, diskon/rabat, biaya administrasi, biaya lainnya terkait perdagangan internasional, jasa perbaikan, operational leasing atau financial leasing, perbedaan harga barang, perbedaan kualitas barang, perbedaan komposisi barang, dan perbedaan kuantitas barang. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 4 - Ayat (3) Selisih nilai DHE dengan Nilai Maklon melebihi ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) antara lain disebabkan selisih kurs, diskon/rabat, biaya administrasi, dan biaya lainnya terkait perdagangan internasional. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Yang dimaksud dengan “informasi Ekspor” adalah informasi tagihan Ekspor antara lain berupa sandi tujuan transaksi, nomor invoice, dan nilai invoice. Ayat (1) Message FTMS antara lain message melalui sistem Society of Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “perubahan informasi pada PPE yang memengaruhi DHE” adalah perubahan informasi pada dokumen PPE antara lain perubahan nomor invoice, tanggal invoice, nilai invoice, dan tanggal jatuh tempo penerimaan DHE. Huruf b Yang dimaksud dengan “perubahan informasi terkait DHE” adalah perubahan informasi penerimaan DHE atau perubahan alokasi penerimaan DHE, antara lain nomor invoice dan nilai DHE. Ayat (2) Cukup jelas. - 5 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “keadaan kahar” adalah keadaan yang menyebabkan Eksportir menerima DHE kurang dari Nilai PPE atau tidak menerima DHE, yang disebabkan antara lain oleh kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, sabotase, pemogokan buruh, kegagalan sistem yang digunakan dalam bertransaksi, serta bencana alam seperti gempa bumi, banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan kondisi importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan kahar. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pihak yang berada dalam 1 (satu) grup merupakan badan hukum atau badan lain yang memiliki hubungan berdasarkan kepemilikan dan/atau pemegang saham yang sama. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. - 6 - Ayat (5) Bukti transaksi netting antara lain berupa kesepakatan penyelesaian netting tagihan Ekspor dengan kewajiban Impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan, laporan konsolidasi netting tagihan Ekspor dengan kewajiban Impor barang, dan/atau invoice. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “gangguan teknis yang terjadi di Eksportir” antara lain gangguan listrik dan/atau jaringan komunikasi yang dinyatakan oleh instansi yang berwenang. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. - 7 - Ayat (5) Huruf a Dokumen pendukung dapat berupa antara lain dokumen PPE, surat izin Ekspor dari instansi terkait, dan kontrak penjualan Ekspor. Termasuk dalam PPE yaitu Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Huruf b Surat pernyataan memuat pernyataan bahwa yang bersangkutan merupakan Eksportir SDA. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Transfer dari rekening selain Reksus DHE SDA ke Reksus DHE SDA disertai dokumen pendukung yang dapat membuktikan dana masuk tersebut berasal dari DHE SDA. Ayat (3) Dokumen pendukung dapat berupa antara lain dokumen PPE dan kontrak penjualan Ekspor. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. - 8 - Pasal 22 Ayat (1) Dokumen pendukung merupakan dokumen yang mendasari adanya kegiatan transaksi (underlying transaction) Transfer Dana Keluar dalam valuta asing, antara lain: a. tagihan dari penjual barang dan jasa di luar negeri; b. kontrak pinjaman atau dokumen lain yang menunjukkan adanya kewajiban pembayaran bunga dan/atau pokok pinjaman; c. kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan adanya kewajiban membayar royalti dan kewajiban hak intelektual lainnya; d. dokumen rapat umum pemegang saham yang menunjukkan kewajiban pembagian dividen kepada pemegang saham di luar negeri; e. perjanjian kerja atau dokumen kepegawaian lainnya yang menunjukkan kewajiban membayar gaji dan penghasilan lainnya; f. dokumen likuidasi aset di dalam negeri yang merupakan hak pihak di luar negeri; dan/atau g. dokumen pengecualian atau penangguhan kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi valuta asing di dalam negeri. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. - 9 - Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Huruf a Yang dimaksud dengan “informasi Impor” adalah informasi tagihan Impor antara lain berupa sandi tujuan transaksi, nomor invoice, dan nilai invoice. Huruf b Yang dimaksud dengan “informasi Impor” adalah informasi tagihan Impor antara lain berupa nomor Letter of Credit (L/C), tanggal jatuh tempo L/C, dan nomor invoice. Huruf c Yang dimaksud dengan “perubahan informasi pada PPI yang memengaruhi DPI” adalah perubahan informasi pada dokumen PPI yang memuat antara lain perubahan nomor invoice, tanggal invoice, nilai invoice, dan tanggal jatuh tempo pengeluaran DPI. - 10 - Huruf d Yang dimaksud dengan “perubahan informasi pada DPI” adalah perubahan informasi atau alokasi pengeluaran DPI yang memuat antara lain nomor invoice dan nilai DPI. Huruf e Yang dimaksud dengan “informasi DPI yang tidak melalui Bank” adalah informasi pembayaran Impor yang dilakukan secara tunai atau melalui lembaga keuangan non-Bank yang memuat antara lain nomor invoice, tanggal invoice, nilai DPI, dan nama lembaga. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Yang dimaksud dengan “perubahan data PPI” antara lain perubahan nilai CIF dan perubahan kuantitas barang Impor. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “DPI dalam bentuk uang tunai” adalah DPI dalam bentuk uang kertas dan/atau uang logam. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. - 11 - Huruf e Selisih lebih Nilai DPI dengan Nilai Impor lebih besar dari 5% (lima persen) dari Nilai Impor antara lain disebabkan adanya netting. Dalam hal dilakukan netting antara kewajiban Eksportir dengan pembayaran Impor barang terkait kegiatan Ekspor, Nilai Impor merupakan nilai CIF setelah memperhitungkan dengan nilai netting. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “gangguan teknis yang terjadi di Bank Indonesia atau gangguan teknis di Importir” antara lain gangguan listrik dan/atau jaringan komunikasi. Yang dimaksud dengan “luring” adalah penyampaian laporan secara offline kepada Bank Indonesia dengan menggunakan media elektronik antara lain compact disk (CD), flash disk, atau surat elektronik, yang disampaikan pada jam kerja Bank Indonesia setempat. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Yang dimaksud dengan “informasi Ekspor” adalah informasi tagihan Ekspor antara lain berupa sandi tujuan transaksi, nomor invoice, dan nilai invoice. - 12 - Pasal 44 Ayat (1) Transaksi Non-TT antara lain berupa transaksi Letter of Credit (L/C), documentary collection, dan/atau overbooking. Informasi Ekspor antara lain berupa nomor L/C, tanggal jatuh tempo L/C, dan nomor invoice. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 45 Yang dimaksud dengan “informasi Impor” adalah informasi tagihan Impor antara lain berupa sandi tujuan transaksi, nomor invoice, dan nilai invoice. Pasal 46 Ayat (1) Transaksi Non-TT antara lain berupa transaksi Letter of Credit (L/C), documentary collection, dan/atau overbooking. Informasi Impor antara lain nomor L/C, tanggal jatuh tempo L/C, dan nomor invoice. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. - 13 - Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Penyampaian hasil pengawasan dilakukan sepanjang kementerian dan/atau lembaga teknis terkait telah mengatur ketentuan pelaksanaan atas Peraturan Pemerintah mengenai devisa hasil ekspor dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kewajiban penerimaan DHE” adalah kewajiban Eksportir Non-SDA memasukkan DHE ke Bank sesuai dengan Nilai Ekspor atau Nilai Maklon namun tidak termasuk pemenuhan batas waktu pada akhir bulan ketiga setelah bulan PPE. - 14 - Ayat (3) Pelaksanaan penangguhan atas pelayanan Ekspor dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas dasar permintaan Bank Indonesia. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kewajiban penerimaan DHE” adalah kewajiban Eksportir memasukkan DHE ke Bank sesuai dengan Nilai Ekspor atau Nilai Maklon. Pembebasan dari penangguhan atas pelayanan Ekspor dilakukan oleh otoritas yang berwenang di bidang kepabeanan atas dasar permintaan Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “bulan pengenaan penangguhan atas pelayanan Ekspor” adalah bulan diterbitkannya surat pengenaan penangguhan atas pelayanan Ekspor dari Bank Indonesia. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “otoritas terkait” adalah kementerian atau lembaga yang memiliki kewenangan perizinan terkait Ekspor. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 15 - Ayat (3) Pelaksanaan penangguhan atas pelayanan Impor dilakukan oleh otoritas yang berwenang di bidang kepabeanan atas dasar permintaan Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 62 Ayat (1) Pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Impor dilakukan oleh otoritas yang berwenang di bidang kepabeanan atas dasar permintaan Bank Indonesia. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “bulan pengenaan penangguhan atas pelayanan Impor” adalah bulan diterbitkannya surat pengenaan penangguhan atas pelayanan Impor dari Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. - 16 - Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6425
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 21/14/PBI/2019 </reg_id> <reg_title> DEVISA HASIL EKSPOR DAN DEVISA PEMBAYARAN IMPOR </reg_title> <set_date> 28 November 2019 </set_date> <effective_date> 29 November 2019 </effective_date> <issued_date> 29 November 2019 </issued_date> <replaced_reg> '16/10/PBI/2014', '17/23/PBI/2015 | Pasal 1 angka 4 sampai dengan angka 16, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 ayat (4) sampai dengan ayat (7), Pasal 5 sampai dengan Pasal 12, Pasal 18 ayat (1) huruf a, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25', '21/3/PBI/2019' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII', 'BAB VIII Pasal 66' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 4/8/PBI/2002 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG RUPIAH KELUAR ATAU MASUK WILAYAH PABEAN REPUBLIK INDONESIA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai Uang Rupiah serta dalam rangka pengawasan terhadap lalu lintas peredaran uang termasuk pengawasan terhadap uang palsu, diperlukan ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara membawa Uang Rupiah keluar atau masuk wilayah pabean Republik Indonesia; b. bahwa persyaratan dan tata cara membawa Uang Rupiah keluar atau masuk wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/18/PBI/2001, sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga substansinya perlu diatur kembali agar sesuai dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; c. bahwa . . . - 2 - c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Persyaratan dan Tata Cara Membawa Uang Rupiah Keluar atau Masuk Wilayah Pabean Republik Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612 ); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG RUPIAH KELUAR ATAU MASUK WILAYAH PABEAN REPUBLIK INDONESIA. BAB I . . . - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Uang Rupiah adalah uang kertas maupun uang logam yang merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia; 2. Membawa Uang Rupiah keluar atau masuk wilayah pabean Indonesia adalah mengeluarkan atau memasukkan Uang Rupiah Republik yang dilakukan dengan cara membawa sendiri atau melalui pihak lain, dengan atau tanpa menggunakan sarana pengangkut; 3. Wilayah Pabean Republik Indonesia adalah daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan; 4. Izin Bank Indonesia adalah surat izin tertulis dari Bank Indonesia atas pembawaan Uang Rupiah dalam jumlah tertentu keluar wilayah pabean Republik Indonesia; 5. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. BAB II PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG RUPIAH Pasal 2 Setiap orang yang membawa Uang Rupiah sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) atau lebih keluar wilayah pabean Republik Indonesia, wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia. Pasal 3 . . . - 4 - Pasal 3 Setiap orang yang membawa Uang Rupiah sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) atau lebih masuk wilayah pabean Republik Indonesia, wajib terlebih dahulu memeriksakan keaslian uang tersebut kepada petugas Bea dan Cukai di tempat kedatangan. Pasal 4 (1) Izin Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat diberikan untuk kepentingan : a. Uji coba mesin uang; b. Kegiatan pameran di luar negeri; c. Hal-hal lain yang menurut pertimbangan Bank Indonesia perlu diberikan izin atas dasar kepentingan umum. (2) Izin Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diberikan untuk 1 (satu) kali penggunaan dengan ketentuan : a. Masa berlaku izin paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja, terhitung sejak tanggal izin diberikan; b. Surat izin wajib diserahkan kepada petugas Bea dan Cukai keberangkatan; c. Jumlah Uang Rupiah yang dibawa paling banyak jumlah yang tercantum dalam surat izin. di tempat sama dengan Pasal 5 . . . - 5 - Pasal 5 (1) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang bersangkutan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sebelum tanggal keberangkatan. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilengkapi dengan identitas diri bagi perorangan, nama dan alamat perusahaan bagi perusahaan, jumlah Uang Rupiah yang akan dibawa, tujuan penggunaan, tempat keberangkatan dan tanggal keberangkatan yang dijelaskan pada surat permohonan sebagaimana contoh pada Lampiran I Peraturan ini. (3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang diajukan untuk kepentingan uji mesin uang dan kegiatan pameran di luar negeri, disampaikan kepada : a. Direktorat Luar Negeri - Kantor Pusat Bank Indonesia, bagi pemohon yang berdomisili di wilayah Jakarta, Bogor, (JABOTABEK); Tangerang, Bekasi b. Kantor Bank Indonesia terdekat dengan alamat pemohon, bagi pemohon yang berdomisili di luar wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (JABOTABEK). Daftar alamat Kantor Bank Indonesia sebagaimana dalam Lampiran II Peraturan ini. (4) Permohonan . . . - 6 - (4) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang diajukan untuk kepentingan hal-hal lain selain uji mesin uang dan kegiatan pameran di luar negeri, disampaikan kepada Direktorat Luar Negeri - Kantor Pusat Bank Indonesia, bagi pemohon baik yang berdomisili di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (JABOTABEK) maupun di luar wilayah JABOTABEK. (5) Bank Indonesia memberikan jawaban atas permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap dan benar oleh Bank Indonesia. BAB III SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 6 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah Uang Rupiah yang dibawa, dengan batas maksimal pengenaan sanksi sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta Rupiah). (2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah Uang Rupiah yang dibawa, dengan batas maksimal pengenaan sanksi sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta Rupiah). (3) Setiap . . . - 7 - (3) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah yang dibawa setelah dikurangi dengan jumlah yang diberikan izin, dengan batas maksimal pengenaan sanksi sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta Rupiah). Pasal 7 (1) Pengenaan sanksi administratif berupa denda dilakukan dengan memperhitungkan dari jumlah Uang Rupiah yang dibawa keluar atau masuk wilayah pabean Republik Indonesia. (2) Sisa Uang Rupiah setelah dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dikembalikan kepada pihak yang dikenakan sanksi. (3) Uang Rupiah yang dikembalikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat dibawa keluar wilayah pabean Republik Indonesia setelah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 8 Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 merupakan penerimaan negara yang harus disetor ke Kantor Kas Negara. Pasal 9 . . . - 8 - Pasal 9 Pelaksanaan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di bidang kepabeanan. Pasal 10 Kewajiban pelaporan atas pembawaan Uang Rupiah keluar atau masuk wilayah Republik Indonesia sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) atau lebih, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, tidak menghapuskan kewajiban untuk memperoleh izin Bank Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan kewajiban untuk memeriksakan keaslian uang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 11 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/18/PBI/2001, tentang Persyaratan dan Tata Cara Membawa Uang Rupiah Keluar atau Masuk Wilayah Republik Indonesia, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 12 . . . - 9 - Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 10 Oktober 2002 GUBERNUR BANK INDONESIA Ttd. SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 104 DLN PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 4/8/PBI/2002 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG RUPIAH KELUAR ATAU MASUK WILAYAH PABEAN REPUBLIK INDONESIA UMUM Efektifitas kebijakan moneter diperlukan dalam memelihara kestabilan nilai Uang Rupiah. Untuk itu perlu diupayakan agar peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memperdagangkan Uang Rupiah melalui pembawaan fisik secara lintas batas negara dapat diminimalkan karena berdampak kurang menguntungkan bagi efektifitas kebijakan moneter. Sementara itu, untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap mata uang Rupiah, perlu ditingkatkan pengawasan terhadap beredarnya uang palsu di masyarakat dengan mencegah masuknya Rupiah palsu dari luar negeri. Sejalan dengan kondisi dimaksud, Undang-undang Nomor. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, khususnya Pasal 3 ayat (1) mengatur bahwa Uang Rupiah dalam jumlah tertentu dilarang dibawa keluar atau masuk wilayah pabean Republik Indonesia kecuali dengan izin Bank Indonesia. Berdasarkan . . . - 2 - Berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia tersebut, Bank Indonesia telah mengatur ketentuan pelaksanaan pembawaan Uang Rupiah keluar atau masuk wilayah pabean Republik Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/18/PBI/2001 tanggal 17 Oktober 2001 tentang Persyaratan dan Tata Cara Membawa Uang Rupiah Keluar atau Masuk Wilayah Republik Indonesia. Sementara itu, dengan diundangkannya Undang-undang No.15 Tahun 2002 tanggal 17 April 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, untuk menghindari kerancuan penerapan dan lebih memberikan kepastian bagi masyarakat, maka ketentuan tentang persyaratan dan tata cara membawa Uang Rupiah keluar atau masuk wilayah pabean Republik Indonesia yang saat ini berlaku perlu diselaraskan dengan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 dimaksud. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 . . . - 3 - Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas, misalnya pembawaan Uang Rupiah ke luar wilayah pabean Republik Indonesia untuk pengujian keaslian uang karena belum terdapat alat penguji keaslian uang tersebut di dalam negeri. Kewenangan pemberian izin dimaksud merupakan kewenangan Direktur Direktorat Luar Negeri Bank Indonesia. Ayat (2) Yang dimaksud dengan 1 (satu) kali penggunaan adalah digunakan untuk 1 (satu) kali perjalanan. Pasal 5 … - 4 - Pasal 5 Ayat (1) Izin Bank Indonesia dikeluarkan oleh Direktorat Luar Negeri (DLN) Kantor Pusat Bank Indonesia, atau Kantor Bank Indonesia setempat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Jawaban Bank Indonesia dapat berupa pemberian izin atau penolakan atas permohonan izin. Pasal 6 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Cukup Jelas. Pasal 7 … - 5 - Pasal 7 Ayat (1) Dalam hal ternyata uang yang dibawa keluar atau masuk wilayah pabean Republik Indonesia tersebut palsu, maka pembayaran denda tetap dilakukan dengan Uang Rupiah yang asli; Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4231 Lampiran I No. *)Kepada Yth: Direktur Direktorat Luar Negeri Kantor Pusat Bank Indonesia Jl. M.H. Tahmrin No.2 Kotak Pos 1035 J A K A R T A 10010 **)Kepada Yth: Pemimpin Bank Indonesia …………………… Jl. …………………………***) Perihal : Permohonan Izin Untuk Membawa Uang Rupiah Keluar Wilayah Pabean Republik Indonesia Dengan hormat, Dengan ini kami …………………………………..(nama perusahaan dan alamat ), mengajukan permohonan izin untuk membawa Uang Rupiah keluar wilayah pabean Republik Indonesia menuju ……………………………… dengan rincian sebagai berikut: Nama Perusahaan Alamat Jumlah Rupiah : : : : Tujuan penggunaan ****) : a. Uji coba mesin uang b. Kegiatan pameran di luar negeri c. Lain-lain (……………………………………………………....) Tempat Keberangkatan Tanggal Keberangkatan : : Demikian permohonan kami, atas perhatian Saudara kami sampaikan terima kasih. …………………………………… *) Alamat surat permohonan bagi pemohon yang bermisili di JABOTABEK **) Alamat surat permohonan bagi pemohon yang bermisili di luar JABOTABEK ***) Sesuai lampiran II PBI No.4/……/PBI/2002 tanggal …. Oktober 2002 ****) Coret yang tidak perlu. Dalam hal tujuan penggunaan adalah lain-lain © perlu ditambahkan penjelasan lebih rinci mengenai penggunaan dimaksud (isi pada kolom yang disediakan) Jakarta, Lampiran II DAFTAR ALAMAT KANTOR BANK INDONESIA 1. KBI Ambon 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. Jl. Raya Pattimura No.7, Ambon Balikpapan Banda Aceh Banjarmasin Batam Bengkulu Cirebon Denpasar Jambi Jayapura Jember Kediri Kendari Kupang Lhokseumawe Malang Mataram Medan Menado Padang Palangka Raya Palembang Palu Pekanbaru Pontianak Purwokerto Samarinda Semarang Sibolga Solo Surabaya Tasikmalaya Ternate Makasar Yogyakarta Jl. Jend. Sudirman No.20, Balikpapan 76111 Jl. Cut Meutia No.15 Banda Aceh Bandar Lampung Jl. Hasanuddin No.38, Bandar Lampung Bandung Jl. Braga No.108, Bandung 40111 Jl. Lambung Mangkurat No.15, Banjarmasin 70111 Jl. Engku Putri Batam Centre, Batam 29432 Jl. Jend. Ahmad Yani, Bengkulu Jl. Yos Sudarso No. 5 – 7, Cirebon Jl. WR. Supratman 1, Denpasar Jl. Jend. Ahmad Yani, Lelanaipura, Jambi Jl. Dr. Sam Ratulangi No.9, Jayapura Jl. Gajah Mada No.224, Jember Jl. Brawijaya No.2, Kediri Jl.Sultan Hasanuddin No.150, Kendari 93122 Jl. Tom Pello No.2, Kupang Jl. Merdeka No.1, Lhokseumawe 24312 Jl. Merdeka Utara No.7/Jl.Merdeka Timur o.1, Malang Jl. Pejanggik No.2, Mataram Jl. Balai Kota No.4, Medan Jl. 17 Agustus, Menado Jl. Jend. Sudirman No.22, Padang Jl. Diponegoro No.17, Palangkaraya 73111 Jl. Jend. Sudirman No.510, Palembang Jl. Sam Ratulangi No.23, Palu Jl. Jend. Sudirman No.464, Pekanbaru Jl. Rahadi Usman No.3, Pontianak 78111 Jl. Jend. Gatot Subroto No.98, Purwokerto 53116 Jl Gajah Mada No.1, Samarinda 75122 Jl. Imam Bardjo SH No.4, Semarang Jl. Kapten Maruli Sitorus No.8, Sibolga 22513 Jl. Jend. Sudirman No.4, Solo Jl. Pahlawan No.105, Surabaya Jl. Sutisna Senjaya No.19, Tasikmalaya 46112 Jl. Yos udarso, Ternate Jl. Jend. Sudirman No.3, Makasar Jl. Panembahan Senopati No.4 – 6, Yogyakarta 55121
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 4/8/PBI/2002 </reg_id> <reg_title> PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG RUPIAH KELUAR ATAU MASUK WILAYAH PABEAN REPUBLIK INDONESIA </reg_title> <set_date> 10 Oktober 2002 </set_date> <effective_date> 10 Oktober 2002 </effective_date> <replaced_reg> '3/18/PBI/2001' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '10/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/ 26 /PBI/2009 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM MELAKSANAKAN KEGIATAN STRUCTURED PRODUCT BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa inovasi terhadap instrumen keuangan telah mengalami perkembangan yang pesat; b. bahwa perkembangan inovasi tersebut telah memfasilitasi bertumbuhnya berbagai bentuk maupun struktur instrumen keuangan termasuk yang memiliki kompleksitas tinggi, terutama instrumen keuangan dalam bentuk structured product; c. bahwa tingginya kompleksitas instrumen keuangan dapat berakibat pada meningkatnya risiko yang dihadapi bank; d. bahwa peningkatan risiko tersebut mengharuskan dilakukannya penyesuaian yang memadai terhadap prinsip kehati-hatian (prudential principles) dan manajemen risiko yang diterapkan; e. bahwa . . . - 2 - e. bahwa tingginya kompleksitas instrumen keuangan harus pula diimbangi dengan peningkatan kualitas transparansi informasi kepada nasabah; f. bahwa transparansi informasi kepada nasabah merupakan salah satu faktor penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan; g. bahwa bank memiliki peranan yang penting berkaitan dengan peningkatan kualitas transparansi informasi dan menjaga kepercayaan masyarakat; h. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g diatas dipandang perlu untuk menetapkan pengaturan tentang structured product dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan . . . - 3 - dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4962); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4292) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/ 25 /PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 103 , Tambahan Lembaran Negara Nomor 5029 ); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4475); MEMUTUSKAN Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM MELAKSANAKAN KEGIATAN STRUCTURED PRODUCT BAGI BANK UMUM BAB I . . . - 4 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional; 2. Structured Products adalah produk Bank yang merupakan penggabungan antara 2 (dua) atau lebih instrumen keuangan berupa instrumen keuangan non derivatif dengan derivatif atau derivatif dengan derivatif dan paling kurang memiliki karakteristik sebagai berikut: a. nilai atau arus kas yang timbul dari produk tersebut dikaitkan dengan satu atau kombinasi variabel dasar seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi dan/atau ekuitas; dan b. pola perubahan atas nilai atau arus kas produk bersifat tidak reguler apabila dibandingkan dengan pola perubahan variabel dasar sebagaimana dimaksud pada huruf a sehingga mengakibatkan perubahan nilai atau arus kas tersebut tidak mencerminkan keseluruhan perubahan pola dari variabel dasar secara linear (asymmetric payoff), yang antara lain ditandai dengan keberadaan: 1. optionality, seperti caps, floors, collars, step up/step down dan/atau call/put features; leverage; 2. 3. barriers, seperti knock in/knock out; dan/atau 4. binary . . . - 5 - 4. binary atau digital ranges. Pengertian derivatif dalam pengaturan ini mencakup derivatif melekat (embedded derivatives); 3. Nasabah adalah: a. perseorangan atau badan yang menggunakan atau menerima fasilitas Bank baik dalam bentuk produk dan/atau jasa; b. perseorangan atau badan yang akan menggunakan atau diberikan fasilitas oleh Bank baik dalam bentuk produk dan atau jasa; 4. Kegiatan Structured Product adalah aktivitas dan/atau proses yang dilakukan sehubungan dengan perencanaan, pengembangan, penerbitan, pemasaran, penawaran, penjualan, pelaksanaan operasional, dan/atau penghentian aktivitas terkait dengan Structured Product. 5. Dewan Komisaris: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Perkoperasian; 6. Direksi: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Perseroan Terbatas; b. bagi . . . - 6 - b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Perkoperasian; d. bagi kantor cabang bank asing adalah pimpinan kantor cabang bank asing. Pasal 2 Bank hanya dapat melakukan Kegiatan Structured Product setelah memperoleh: a. persetujuan prinsip untuk melakukan Kegiatan Structured Product; dan b. pernyataan efektif untuk penerbitan setiap jenis Structured Product, dari Bank Indonesia. Pasal 3 Pelaksanaan Kegiatan Structured Product sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 4 (1) Bank umum devisa hanya dapat melakukan transaksi Structured Product yang dikaitkan dengan variabel dasar berupa nilai tukar dan/atau suku bunga. (2) Bank umum bukan devisa hanya dapat melakukan transaksi Structured Product yang dikaitkan dengan variabel dasar berupa suku bunga. Pasal 5 . . . - 7 - Pasal 5 (1) Bank wajib mencantumkan rencana Kegiatan Structured Product dalam rencana bisnis Bank. (2) Rencana Kegiatan Structured Product sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penjelasan mengenai pengelompokan Structured Product; b. penjelasan mengenai kelompok Nasabah yang menjadi target Structured Product; dan c. estimasi volume penerbitan Structured Product. Pasal 6 (1) Bank yang melakukan transaksi Structured Product dengan Nasabah dalam bentuk kombinasi instrumen derivatif dengan derivatif, wajib meminta kepada Nasabah untuk memberikan agunan berupa kas dengan jumlah paling kurang 10 % (sepuluh persen) dari nilai nosional transaksi pada saat transaksi (2) Pelaksanaan lebih lanjut terkait dengan agunan berupa kas paling kurang 10% (sepuluh persen) dari nilai nosional transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam perjanjian antara Bank dengan Nasabah. (3) Ketentuan mengenai kewajiban pemberian agunan berupa kas dengan jumlah paling kurang 10% (sepuluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan untuk Nasabah berupa: a. bank; b. Pemerintah Republik Indonesia; c. Bank Indonesia atau bank sentral negara lain; d. bank atau lembaga pembangunan multilateral. Pasal 7 . . . - 8 - Pasal 7 Bank dilarang menggunakan kata ”deposit”, ”deposito”, ”terproteksi”, “giro”, “tabungan”, dan/atau kata lain yang dapat memberikan persepsi kepada Nasabah bahwa Bank memberikan proteksi pengembalian pokok Strcutured Product secara penuh, apabila Structured Product yang diterbitkan oleh Bank tidak disertai dengan proteksi penuh atas pokok dalam mata uang asal pada saat jatuh tempo. BAB II MANAJEMEN RISIKO Pasal 8 (1) Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif dalam melakukan Kegiatan Structured Product. (2) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup : a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi; b. kecukupan kebijakan dan prosedur; c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan d. sistem pengendalian intern. Bagian Pertama Pengawasan Aktif Dewan Komisaris dan Direksi Pasal 9 Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling kurang mencakup: a. persetujuan . . . - 9 - a. persetujuan Dewan Komisaris atas rencana Bank untuk Kegiatan Structured Product; dan b. evaluasi pelaksanaan rencana Bank terkait Kegiatan Structured Product. Pasal 10 Pengawasan aktif Direksi paling kurang mencakup: a. menetapkan rencana Bank untuk Kegiatan Structured Product; b. menetapkan kebijakan dan prosedur Bank untuk Kegiatan Structured Product; dan c. memantau dan mengevaluasi Kegiatan Structured Product. Bagian Kedua Kecukupan Kebijakan dan Prosedur Pasal 11 (1) Bank wajib memiliki dan mengimplementasikan kebijakan dan prosedur yang komprehensif dan efektif untuk Kegiatan Structured Product. (2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup: a. kebijakan penilaian tingkat risiko Structured Product (Structured Product risk level assessment); b. kebijakan penilaian profil risiko Nasabah (customer risk profile assessment); c. kebijakan kesesuaian tingkat risiko Structured Product (Structured Product risk level assessment) dengan profil risiko Nasabah (customer risk profile assessment); d. kebijakan . . . - 10 - d. kebijakan sumber daya manusia untuk Kegiatan Structured Product; e. kebijakan struktur insentif pegawai untuk Kegiatan Structured Product; f. prosedur pelaksanaan Kegiatan Structured Product yang mencakup: 1. pengembangan Structured Product yang mencakup; a) studi kelayakan; b) pengembangan fitur produk; c) d) analisis risiko; analisis aspek hukum; e) metode penilaian (valuation); f) metode pencatatan; dan g) metode uji coba. 2. pemasaran dan penawaran Structured Product; dan 3. pelaksanaan transaksi Structured Product yang mencakup: a) b) inisiasi transaksi; eksekusi transaksi; c) penyelesaian transaksi (trasaction settlement); dan d) penghentian transaksi Structured Product sebelum jatuh tempo (early termination). g. prosedur penyelesaian sengketa dari Kegiatan Structured Product; dan h. prosedur untuk melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan, pengendalian risiko, dan sistem informasi untuk Kegiatan Structured Product. Pasal 12 . . . - 11 - Pasal 12 Dalam menetapkan penilaian profil risiko Nasabah (Customers risk profile assessment) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b, Bank paling kurang wajib melakukan penilaian terhadap: a. tujuan Nasabah; b. profil keuangan Nasabah, yang meliputi: 1. karakteristik usaha; 2. 3. aset/kekayaan yang dimiliki; 4. modal yang dimiliki; dan 5. komitmen atau kewajiban keuangan Nasabah baik kepada Bank maupun kepada pihak selain Bank; c. pemahaman dan pengalaman Nasabah dalam melakukan kegiatan Structured Product, yang meliputi: 1. pengetahuan Nasabah mengenai Structured Product; 2. jenis Structured Product yang pernah atau sedang digunakan Nasabah; 3. karakteristik Structured Product yang pernah atau sedang digunakan Nasabah sebagaimana dimaksud pada angka 2; 4. volume dari Structured Product yang pernah atau sedang digunakan Nasabah sebagaimana dimaksud pada angka 2; 5. 6. frekuensi penggunaan Structured Product oleh Nasabah; dan jangka waktu dari Structured Product yang pernah atau sedang digunakan Nasabah sebagaimana dimaksud pada angka 2. sumber dana (source of funds) dan karakteristik dari sumber dana yang dimiliki; Bagian . . . - 12 - Bagian Ketiga Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, Pengendalian, dan Sistem Informasi Manajemen Risiko Pasal 13 (1) Bank wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian atas risiko untuk Kegiatan Structured Product. (2) Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko sebagaimana dimaksud ayat (1) wajib didukung oleh sistem informasi manajemen yang tepat waktu, informatif, dan akurat. Bagian Keempat Sistem Pengendalian Intern Pasal 14 (1) Bank wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif. (2) Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang efektif antara lain dibuktikan dengan: a. b. dilakukannya pemeriksaan oleh satuan kerja audit intern. BAB III KLASIFIKASI NASABAH Pasal 15 (1) Dalam melakukan Kegiatan Structured Product, Bank wajib menetapkan klasifikasi Nasabah. (2) Klasifikasi . . . adanya batasan wewenang dan tanggung jawab satuan kerja untuk Kegiatan Structured Product. - 13 - (2) Klasifikasi Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. Nasabah profesional; b. Nasabah eligible; dan c. Nasabah retail. (3) Nasabah digolongkan sebagai Nasabah profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a apabila Nasabah tersebut memiliki pemahaman terhadap karakteristik, fitur, dan risiko dari Structured Product dan terdiri dari: a. perusahaan yang bergerak dibidang keuangan, yang terdiri dari: 1. Bank; 2. perusahaan efek; 3. perusahaan pembiayaan; atau 4. pedagang kontrak berjangka, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perbankan, pasar modal, lembaga pembiayaan dan perdagangan berjangka komoditi yang berlaku. b. perusahaan selain perusahan sebagaimana dimaksud pada huruf a yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. memiliki modal paling kurang lebih besar dari Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing; dan 2. telah melakukan kegiatan usaha paling kurang 36 (tiga puluh enam) bulan berturut-turut. c. Pemerintah Republik Indonesia atau pemerintah negara lain; d. Bank Indonesia atau bank sentral negara lain; e. bank atau lembaga pembangunan multilateral; (4) Nasabah . . . - 14 - (4) Nasabah digolongkan sebagai Nasabah eligible sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila Nasabah tersebut memiliki pemahaman terhadap karakteristik, fitur, dan risiko dari Structured Product dan terdiri dari: a. perusahaan yang bergerak dibidang keuangan berupa: 1. dana pensiun; atau 2. perusahaan perasuransian, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun dan usaha perasuransian yang berlaku. b. perusahaan selain perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf a yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. memiliki modal paling kurang Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing; dan 2. telah melakukan kegiatan usaha paling kurang 12 (dua belas) bulan berturut-turut; dan c. Nasabah perorangan yang memiliki portofolio aset berupa kas, giro, tabungan, dan/atau deposito paling kurang Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing. (5) Nasabah digolongkan sebagai Nasabah retail sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c apabila Nasabah tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai Nasabah profesional dan Nasabah eligible. Pasal 16 Bank wajib melakukan pengkinian terhadap klasifikasi Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 apabila terdapat hal-hal yang dapat mengakibatkan perubahan klasifikasi yang telah ditetapkan terhadap Nasabah dimaksud. BAB IV . . . - 15 - BAB IV TRANSPARANSI INFORMASI PRODUK Pasal 17 (1) Bank wajib menerapkan transparansi informasi dalam melakukan pemasaran, penawaran, dan pelaksanaan transaksi Structured Product. (2) Dalam menerapkan transparansi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank wajib: a. mengungkapkan informasi yang lengkap, benar, dan tidak menyesatkan kepada Nasabah; b. memastikan pemberian informasi yang berimbang antara potensi manfaat yang mungkin diperoleh dengan risiko yang mungkin timbul bagi Nasabah dari transaksi Structured Product; dan c. memastikan informasi yang disampaikan tidak menyamarkan, mengurangi, atau menutupi hal-hal yang penting terkait dengan risiko-risiko yang mungkin timbul dari transaksi Structured Product. Pasal 18 Dalam mengungkapkan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Bank paling kurang wajib mengungkapkan informasi mengenai Structured Product yang meliputi hal-hal sebagai berikut: a. nama Structured Product dan penerbit Structured Product; b. karakteristik dan fitur dari Structured Product; c. ilustrasi perhitungan bunga atau pendapatan atau margin keuntungan yang dapat diperoleh Nasabah dari Structured Product; d. ilustrasi perhitungan risiko dan kerugian yang mungkin ditanggung Nasabah dari Structured Product; e. biaya . . . - 16 - e. biaya yang melekat dari Structured Product; f. 2. jangka waktu; tanggal efektif; syarat dan kondisi Structured Product yang meliputi antara lain: 1. 3. penyelesaian transaksi (settlement); 4. penghentian transaksi sebelum jatuh tempo (early termination) yang paling kurang meliputi: a) kondisi yang dapat menyebabkan penghentian sebelum jatuh tempo; b) prosedur untuk melakukan penghentian sebelum jatuh tempo; dan c) mekanisme penyelesaian transaksi, yang meliputi perhitungan dan pembebanan biaya dan kerugian. 5. penyelesaian sengketa. g. pernyataan bahwa Structured Product tidak bertentangan dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku; h. informasi mengenai kejelasan cakupan program penjaminan atas Structured Product dalam hal Structured Product dimaksud terkait dengan kegiatan penghimpunan dana; dan i. informasi lain yang diperlukan Nasabah untuk menilai dan mengambil keputusan terkait dengan Structured Product. Pasal 19 Dalam hal Bank menggunakan variabel-variabel ekonomi seperti inflasi, suku bunga, dan/atau nilai tukar dalam memberikan ilustrasi terkait dengan pengungkapan informasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 18, Bank wajib: a. memastikan . . . - 17 - a. memastikan ilustrasi didasarkan pada asumsi yang didukung oleh data-data yang dapat dipertanggungjawabkan; dan b. memastikan data-data pendukung sebagaimana yang dimaksud pada huruf a disajikan paling kurang berdasarkan data historis 3 (tiga) tahun berturut-turut secara bulanan. Pasal 20 Bank wajib memberikan laporan tertulis secara berkala kepada Nasabah mengenai informasi perkembangan dan kinerja Structured Product maupun informasi material lainnya yang berpengaruh terhadap kinerja Structured Product. BAB V PEMASARAN DAN PENAWARAN STRUCTURED PRODUCT Bagian Pertama Pemasaran Pasal 21 (1) Bank dapat menggunakan media pemasaran dalam pemasaran Structured Product. (2) Dalam memasarkan Structured Product sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib memastikan bahwa informasi yang disampaikan melalui media pemasaran telah memenuhi prinsip-prinsip transparansi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Pasal 18, dan Pasal 19. (3) Penyajian . . . - 18 - (3) Penyajian informasi yang disampaikan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disesuaikan dengan media pemasaran yang digunakan tanpa mengurangi substansi informasi yang disajikan. (4) Informasi yang disampaikan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disajikan dalam bahasa Indonesia. Bagian Kedua Penawaran Pasal 22 (1) Bank wajib memperhatikan kesesuaian antara tingkat risiko Structured Product (Structured Product risk level assessment) dengan profil risiko Nasabah (customer risk profile assessment) dalam menawarkan dan melakukan transaksi Structured Product dengan Nasabah. (2) Bank dilarang menawarkan dan melakukan transaksi Structured Product dengan Nasabah yang diklasifikasikan sebagai Nasabah retail sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5). (3) Larangan menawarkan dan melakukan transaksi Structured Product dengan Nasabah yang diklasifikasikan sebagai Nasabah retail sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk Structured Product yang diterbitkan oleh Bank disertai dengan proteksi penuh atas pokok dalam mata uang asal pada saat jatuh tempo. (4) Bank dilarang menawarkan dan melakukan transaksi Structured Product dengan Nasabah yang diklasifikasikan sebagai Nasabah eligible sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) apabila Structured Product tersebut memenuhi paling kurang 1 (satu) dari persyaratan sebagai berikut: a. dapat . . . - 19 - a. dapat menimbulkan potensi kerugian melebihi pokok yang ditanamkan Nasabah; b. Structured Product yang merupakan penggabungan antara derivatif dan derivatif. (5) Bank dilarang menggunakan Bank lain untuk bertindak sebagai agen penjual Structured Product yang diterbitkan Bank. Pasal 23 (1) Bank wajib melakukan pertemuan langsung dengan Nasabah dalam melakukan penawaran Structured Product. (2) Bank wajib menetapkan secara khusus pegawai yang dapat bertindak untuk dan atas nama Bank dalam melakukan hubungan dan/atau komunikasi dengan Nasabah dalam melakukan kegiatan penawaran Structured Product sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. merupakan pegawai tetap Bank; dan b. telah diberikan pelatihan/training yang memadai mengenai Structured Product. Pasal 24 (1) Dalam melakukan penawaran Structured Product sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Bank wajib memastikan bahwa informasi yang disampaikan dalam penawaran telah memenuhi prinsip-prinsip transparansi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Pasal 18, dan Pasal 19. (2) Dalam . . . - 20 - (2) Dalam melakukan penawaran Structured Product Bank wajib menyampaikan kepada Nasabah dokumen tertulis yang paling kurang mencakup: a. prospektus atau term sheet; dan b. product highlight sheet, dari Structured Product yang ditawarkan. (3) Kewajiban penyampaian dokumen berupa product highlight sheet sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikecualikan untuk Nasabah berupa bank. (4) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disusun dalam bahasa Indonesia. (5) Bank wajib mendokumentasikan penjelasan lisan yang disampaikan Bank kepada Nasabah dalam melakukan penawaran Structured Product beserta tanggapan yang diberikan Nasabah. BAB VI MASA JEDA (COOLING OFF PERIOD) Pasal 25 (1) Bank wajib memberikan waktu kepada Nasabah untuk mempelajari penawaran dan dokumen yang disampaikan Bank kepada Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. (2) Pemberian waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemberian masa jeda (cooling off period) antara waktu disampaikannya penawaran oleh Bank dengan waktu Nasabah mengajukan permohonan untuk menerima atau menolak melakukan transaksi Structured Product Bank. (3) Jangka . . . - 21 - (3) Jangka waktu masa jeda (cooling off period) yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling kurang: a. 3 (tiga) hari kerja setelah Nasabah perorangan menerima dokumen penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); b. 2 (dua) hari kerja setelah Nasabah perusahaan menerima dokumen penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2). (4) Ketentuan mengenai kewajiban masa jeda (cooling off period) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk: a. penawaran Structured Product yang diterbitkan oleh Bank disertai dengan proteksi penuh atas pokok dalam mata uang asal pada saat jatuh tempo; b. penawaran Structured Product kepada Nasabah berupa bank. BAB VII PERNYATAAN NASABAH Pasal 26 (1) Dalam hal Nasabah mengajukan permohonan untuk melakukan transanksi Structured Product, maka Bank wajib memastikan bahwa Nasabah telah menerima dan memahami informasi yang tercantum dalam dokumen penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2). (2) Pemahaman Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam dokumen tertulis yang terpisah, dibuat dalam bahasa Indonesia, dan ditandatangani oleh Nasabah dengan menggunakan tanda tangan basah. (3) Bank wajib memastikan bahwa pihak yang menandatangani dokumen tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pihak yang mempunyai kewenangan secara hukum. BAB VIII . . . - 22 - BAB VIII PERJANJIAN STRUCTURED PRODUCT Pasal 27 (1) Kesepakatan antara Bank dengan Nasabah dalam melakukan transaksi Structured Product wajib dituangkan dalam perjanjian tertulis. (2) Dalam hal Bank dan Nasabah sepakat mengenai kemungkinan penghentian transaksi Structured Product sebelum jatuh tempo (early termination), maka klausula penghentian transaksi Structured Product tersebut wajib dicantumkan dalam perjanjian Structured Product. (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat dalam bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh para pihak dengan menggunakan tanda tangan basah. (4) Bank wajib memastikan bahwa pihak yang menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan pihak yang mempunyai kewenangan secara hukum. (5) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 26 ayat (2) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB IX TATA CARA PENGAJUAN PERSETUJUAN PRINSIP DAN PERNYATAAN EFEKTIF Pasal 28 (1) Untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, Bank wajib mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia. (2) Pengajuan . . . - 23 - (2) Pengajuan permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan secara tertulis kepada Bank Indonesia dan dilampiri dokumen pendukung berupa: a. dokumen kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; dan b. dokumen persyaratan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3). (3) Persetujuan atau penolakan permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan disampaikan secara tertulis kepada Bank oleh Bank Indonesia paling lama 60 (enam puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. Pasal 29 (1) Untuk memperoleh pernyataan efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, Bank wajib mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan pernyataan efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan apabila Bank telah memperoleh persetujuan prinsip dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a. (3) Pengajuan permohonan pernyataan efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan secara tertulis kepada Bank Indonesia dan dilampiri dokumen pendukung berupa: a. dokumen pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, apabila ada; b. dokumen penawaran berupa prospektus atau term sheet dan product highlight sheet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); c. dokumen . . . - 24 - c. dokumen terkait dengan hasil kajian unit kerja terkait sebagai pelaksanaan dari kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a, huruf, b, huruf c, dan huruf f, berupa: 1. penilaian tingkat risiko Structured Product (Structured Product Risk Level Assessment); 2. profil risiko Nasabah (customers risk profile assessment); 3. kesesuaian tingkat risiko Structured Product (Structured Product Risk Level Assessment) dengan profil risiko Nasabah (customers risk profile assessment); dan 4. pelaksanaan Kegiatan Structured Product. d. dokumen yang menyatakan bahwa Bank telah memperoleh persetujuan atau izin dari otoritas yang berwenang dalam hal 1 (satu) atau lebih dari instrumen yang mendasari Structured Product merupakan instrumen yang memerlukan persetujuan/izin dari otoritas tersebut. (4) Pernyataan efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan disampaikan secara tertulis kepada Bank oleh Bank Indonesia paling lama 60 (enam puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan pernyataan efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. Pasal 30 (1) Ketentuan mengenai kewajiban pernyataan efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan Pasal 29 dikecualikan untuk Structured Product yang diterbitkan oleh Bank disertai dengan proteksi penuh atas pokok dalam mata uang asal pada saat jatuh tempo. (2) Penerbitan . . . - 25 - (2) Penerbitan Structured Product oleh Bank yang disertai dengan proteksi penuh atas pokok dalam mata uang asal pada saat jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berpedoman pada tata cara pelaporan untuk produk dan aktivitas baru sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. BAB XI LAPORAN Pasal 31 (1) Bank wajib melaporkan transaksi Structured Product setiap bulan kepada Bank Indonesia secara lengkap, benar, dan tepat waktu. (2) Bank bertanggung jawab atas kelengkapan, kebenaran, serta ketepatan waktu penyampaian laporan Structured Product kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 32 (1) Laporan transaksi Structured Product sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan. (2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan Structured Product sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila Bank menyampaikan laporan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan tanggal 13 (tiga belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan. (3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan Structured Product apabila Bank Indonesia belum menerima laporan Structured Product sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 33 . . . - 26 - Pasal 33 Tata cara penyusunan laporan Structured Product sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XII SANKSI Pasal 34 Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 22 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 23, Pasal 24 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 25 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 31, dan Pasal 32 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa: 1. teguran tertulis; 2. penurunan tingkat kesehatan Bank; 3. larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring; 4. pembekuan dan pencabutan persetujuan untuk kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk Bank secara keseluruhan; 5. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank Indonesia; dan/atau 6. pencantuman . . . - 27 - 6. pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan. Pasal 35 Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Pasal 36 (1) Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar uang sebagai berikut: a. Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan; b. Bank yang menyampaikan koreksi laporan atas dasar temuan Bank Indonesia setelah melampau batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per item kesalahan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); c. Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Dalam . . . - 28 - (2) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, maka sanksi kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diberlakukan. Pasal 37 Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 36 Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar 1% dari nilai transaksi yang dilakukan dan paling banyak sebesar Rp27.000.000.000,00 (dua puluh tujuh miliar). Pasal 38 Selain disebabkan oleh pelanggaran terhadap Peraturan Bank Indonesia ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Bank Indonesia dapat mencabut persetujuan prinsip dan/atau pernyataan efektif yang telah diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 29 ayat (4), apabila menurut penilaian Bank Indonesia: a. penerapan prinsip manajemen risiko untuk Kegiatan Structured Product yang dilakukan Bank tidak memadai; dan/atau b. risiko yang timbul dari Kegiatan Structured Product yang dilakukan Bank dapat membahayakan kelangsungan usaha Bank. Pasal 39 . . . - 29 - Pasal 39 Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37, dilakukan dengan cara mendebet rekening giro Bank di Bank Indonesia. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 40 (1) Bank yang telah melakukan penerbitan Structured Product sebelum diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini wajib mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28. (2) Structured Product yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku dapat diadministrasikan oleh Bank sampai dengan Structured Product tersebut jatuh waktu. BAB XIV KETENTUAN LAIN Pasal 41 Selain mengacu kepada ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, pengaturan mengenai transaksi Structured Product yang didalamnya mengandung unsur transaksi atau potensi transaksi valuta asing terhadap rupiah mengacu pula pada ketentuan Bank Indonesia mengenai Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. Pasal 42 . . . - 30 - Pasal 42 (1) Permohonan persetujuan prinsip, permohonan pernyataan efektif, dan penyampaian laporan Structured Product sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 29 ayat (3) disampaikan kepada: a. Direktorat Pengawasan Bank Indonesia, Menara Radius Prawiro, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta, 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada huruf a. (2) Selain disampaikan kepada Direktorat Pengawasan Bank atau Kantor Bank Indonesia setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan pernyataan efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dan laporan Structured Product sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ditembuskan kepada Direktorat Penelitian dan Pengaturan Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta, 10350. BAB XVI PENUTUP Pasal 43 Ketentuan lebih lanjut Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 44 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar . . . - 31 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 Juli 2009 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, MIRANDA S. GOELTOM Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 1 Juli 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 104 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/ 26 /PBI/2009 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM MELAKSANAKAN KEGIATAN STRUCTURED PRODUCT BAGI BANK UMUM UMUM Semakin terintegrasinya sistem keuangan global yang diiringi dengan pesatnya inovasi instrumen keuangan telah memfasilitasi semakin bertumbuhnya berbagai bentuk maupun struktur instrumen keuangan yang memiliki kompleksitas yang beragam mulai dari yang sederhana sampai dengan yang memiliki kompleksitas tinggi. Diantara instrumen keuangan yang mengalami perkembangan yang cukup pesat adalah instrumen keuangan yang bersifat terstruktur atau lebih dikenal dengan Structured Product. Structured Product merupakan produk keuangan non-konvensional yang distruktur sedemikian rupa berdasarkan kebutuhan dan objektif dari nasabah atau golongan nasabah tertentu. Dengan demikian, dalam penstrukturannya diperlukan keahlian dari pihak-pihak dari berbagai bidang, baik dari aspek keuangan maupun bidang lainnya seperti bidang hukum dan perpajakan. Kompleksitas yang timbul dari penstrukturan Structured Product akan berakibat pada semakin kompleks pula risiko yang dihadapi Bank, sehingga mengharuskan . . . - 2 - mengharuskan pula dilakukan penyesuaian yang memadai terkait dengan penerapan prinsip kehati-hatian (prudential principles) dan manajemen risiko, terutama yang terkait dengan pengelolaan dan pengendalian risko yang mungkin timbul dari Structured Product tersebut bagi Bank. Dari sisi masyarakat, kompleksitas yang timbul dari kegiatan Structured Product harus diimbangi pula dengan peningkatan kualitas transparansi. Dengan demikian, masyarakat dapat melakukan penilaian secara objektif terkait dengan kesesuaian antara risiko yang mungkin timbul dan manfaat serta kesesuaian dari produk yang distruktur dengan toleransi risiko (risk apetite) maupun kebutuhan masyarakat. Peningkatan kualitas transparansi tersebut bertujuan agar kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan, terutama sistem perbankan, tetap terjaga. Sebagai lembaga intermediasi, bank memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas transparansi dan menjaga kepercayaan masyarakat. Penguatan penerapan prinsip kehati-hatian (prudential principles) dan manajemen risiko yang diiringi dengan kepercayaan masyarakat diharapkan dapat menjaga integritas sistem perbankan secara khusus dan sistem keuangan secara menyeluruh. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 . . . - 3 - Pasal 2 Huruf a Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat ini bertujuan untuk menilai kesiapan Bank dalam melakukan Kegiatan Structured Product secara menyeluruh dan bukan persetujuan terhadap penerbitan setiap jenis Structured Product. Oleh karena itu, permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat ini diajukan 1 (satu) kali sebelum Bank melakukan Kegiatan Structured Product. Huruf b Pernyataan efektif yang diberikan oleh Bank Indonesia bersifat administratif yang didasarkan pada data, informasi, dan dokumen yang disampaikan oleh Bank sehingga bukan merupakan jaminan dalam bentuk apapun atas kesesuaian, manfaat, risiko dan kerugian yang mungkin timbul diantara para pihak yang melakukan transaksi. Pada dasarnya pihak yang perlu untuk memastikan kesesuaian, manfaat, dan risiko yang mungkin timbul dari Structured Product adalah pihak-pihak yang melakukan transaksi, yaitu Bank dan Nasabah. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 . . . - 4 - Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan rencana bisnis Bank adalah dokumen tertulis yang menggambarkan rencana kegiatan usaha Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Rencana Bisnis Bank Umum. Ayat(2) Huruf a Yang dimaksud dengan pengelompokan terdiri dari: 1. Penghimpunan dana, dalam hal Structured Product diterbitkan dalam kaitannya dengan kegiatan penghimpunan dana; 2. Penyediaan dana, dalam hal Structured Product diterbitkan sebagai bagian dari fasilitas penyediaan dana yang diberikan Bank kepada Nasabah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan perhitungan nilai nosional adalah nilai nosional awal yang ditetapkan sampai dengan jatuh tempo. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) nilai nosional yang ditetapkan, maka nilai nasional yang digunakan sebagai dasar pengukuran untuk penentuan jumlah agunan adalah nilai nosional terbesar. Agunan . . . - 5 - Agunan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat ini bukan merupakan substitusi atas penilaian risiko yang dilakukan oleh Bank terhadap Nasabah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan bank dalam pengaturan ini adalah Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan bank yang berkedudukan di luar negeri. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan bank atau lembaga pembangunan multilateral adalah badan yang didirikan oleh sekelompok negara yang menyediakan fasilitas pendanaan maupun fungsi advising untuk tujuan pembangunan, seperti World Bank, African Development Bank, Asian Development Bank, European Bank For Reconstruction and Development, Inter-American Development Bank, International Finance Corporation, Islamic Development Bank, Council of Europe Social Development Fund (Council of Europe Resettlement Fund), Corporación Andina de Fomento (CAF), Caribbean Development Bank (CDB), Central American . . . - 6 - American Bank for Economic Integration (CABEI), East African Development Bank (EADB), West African Development Bank (BOAD), Black Sea Trade and Development Bank (BSTDB). Pasal 7 Berkenaan dengan larangan dimaksud, Structured Product yang diterbitkan oleh Bank dan tidak disertai dengan proteksi penuh atas pokok dalam mata uang asal pada saat jatuh tempo tidak diperkenankan untuk dicatat dalam pos “giro”, “tabungan”, dan “simpanan berjangka” dalam pelaporan Bank. Pasal 8 Ayat (1) Prinsip-prinsip penerapan manajemen risiko berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Ayat 2 Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a Persetujuan rencana Bank terkait Kegiatan Structured Product dianggap telah dilakukan apabila dalam rencana bisnis Bank yang telah ditandatangani Komisaris mencakup rencana Bank terkait Kegiatan Structured Product. Huruf b . . . - 7 - Huruf b Evaluasi atas pelaksanaan rencana Bank terkait Kegiatan Structured Product dapat dituangkan dalam risalah rapat Dewan Komisaris atau laporan pengawasan rencana bisnis sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlaku tentang Rencana Bisnis Bank. Pasal 10 Huruf a Rencana Bank dimaksud dituangkan dalam Rencana Bisnis Bank. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Tingkat risiko adalah tinggi, sedang, dan rendah, yang penetapannya diserahkan pada masing-masing Bank. Huruf b Profil risiko Nasabah meliputi risk apetite Nasabah yang terdiri dari risk averse, risk neutral, dan risk taker, yang penetapannya diserahkan pada masing-masing Bank. Huruf c . . . - 8 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Termasuk dalam kebijakan sumber daya manusia adalah persyaratan dan kualifikasi sumber daya manusia untuk Kegiatan Structured Product. Huruf e Dalam menetapkan kebijakan struktur insentif Bank wajib memastikan bahwa struktur insentif yang disusun dapat menciptakan keselarasan (alignment) antara kepentingan pegawai, kepentingan nasabah, dan kepentingan Bank. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank harus menghindari penetapan kebijakan struktur insentif yang semata-mata didasarkan oleh volume penjualan tanpa diiringi oleh mekansime kontrol lainnya. Huruf f Prosedur pelaksanaan Kegiatan Structured Product memberikan kerangka formal dalam pelaksanaan Kegiatan Structured Product yang mencakup penetapan proses pelaksanaan kegiatan, penetapan wewenang dan tanggung jawab, dan keterkaitan antar unit kerja, mulai dari tahap pengembangan sampai dengan komersialisasi. Huruf g Cukup Jelas. Huruf h Cukup Jelas. Pasal 12 . . . - 9 - Pasal 12 Huruf a Yang dimaksud dengan tujuan Nasabah antara lain mencakup: 1. Apakah Nasabah memiliki tujuan untuk mendapatkan tambahan pendapatan (yield enhancement) dalam melakukan transaksi Structured Product; 2. Apakah Nasabah memiliki tujuan untuk tetap menjaga keutuhan pokok dalam melakukan transaksi Structured Product; 3. Apakah Nasabah melakukan transaksi Structured Product untuk tujuan jangka pendek, jangka menengah, atau jangka panjang; dan 4. Apakah Nasabah bertujuan untuk memiliki alat investasi likuid dalam melakukan investasi. Huruf b Angka 1 Penilaian terhadap karakteristik usaha mencakup penilaian terhadap jenis kegiatan usaha, industri usaha, pasar beserta pangsa pasar yang dimiliki, dan siklus usaha. Angka 2 Yang dimaksud dengan karakteristik dari sumber dana (source of funds) mencakup kesinambungan (sustainability) dan jangka waktu sumber dana. Angka 3 Termasuk dalam pengertian aset/kekayaan adalah kas, surat berharga, efek, dan aktiva tetap yang dimiliki. Angka 4 . . . - 10 - Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 13 Cukup Jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Huruf a Penetapan batasan wewenang dan tanggung jawab satuan kerja terkait dengan kegiatan Structured Product dituangkan dalam Pedoman Kebijakan dan Prosedur. Huruf b Cukup Jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . . - 11 - Ayat (3) Untuk mengetahui tingkat pemahaman nasabah atas karakteristik, fitur, dan risiko Structured Product dapat dilakukan melalui: 1. wawancara dan hasilnya dituangkan dalam bentuk tertulis; dan/atau 2. kuesioner yang formatnya dapat ditentukan oleh masing-masing Bank, yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan penilaian profil risiko Nasabah (customer risk profile assessment) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Yang dimaksud dengan perusahaan efek adalah Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Pasar Modal. Angka 3 Yang dimaksud dengan perusahaan pembiayaan adalah Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Lembaga Pembiayaan. Angka 4 Yang dimaksud dengan pedagang kontrak berjangka adalah Pedagang Kontrak Berjangka sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Huruf b . . . - 12 - Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan modal adalah ekuitas sebagaimana dimaksud dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. Angka 2 Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan bank atau lembaga pembangunan multilateral adalah badan yang didirikan oleh sekelompok negara yang menyediakan fasilitas pendanaan maupun fungsi advising untuk tujuan pembangunan, seperti World Bank, African Development Bank, Asian Development Bank, European Bank For Reconstruction and Development, Inter-American Development Bank, International Finance Corporation, Islamic Development Bank, Council of Europe Social Development Fund (Council of Europe Resettlement Fund), Corporación Andina de Fomento (CAF), Caribbean Development Bank (CDB), Central American Bank for Economic Integration (CABEI), East African Development Bank (EADB), West African Development Bank (BOAD), Black Sea Trade and Development Bank (BSTDB) Ayat (4) . . . - 13 - Ayat (4) Untuk mengetahui tingkat pemahaman nasabah atas karakteristik, fitur, dan risiko Structured Product dapat dilakukan melalui: 1. wawancara dan hasilnya dituangkan dalam bentuk tertulis; dan/atau 2. kuesioner yang formatnya dapat ditentukan oleh masing- masing bank, yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan penilaian profil risiko Nasabah (customer risk profile assessment) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. Huruf a Angka 1 Yang dimaksud dengan dana pensiun adalah Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Dana Pensiun. Angka 2 Yang dimaksud dengan perusahaan perasuransian adalah Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Usaha Perasuransian. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan modal adalah ekuitas sebagaimana dimaksud dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. Angka 2 Cukup jelas. Huruf c . . . - 14 - Huruf c Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Transparansi informasi bertujuan agar Nasabah dapat memperoleh informasi yang memadai mengenai produk sebelum mengambil keputusan. Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 18 Huruf a Cukup jelas. Huruf b 1. Untuk Structured Product yang merupakan kombinasi instrumen keuangan non derivatif dan derivatif, pengungkapan informasi mengenai karakteristik dan fitur Structured Product meliputi: a. b. Jenis instrumen non derivatif; Jenis derivatif; dan c. Variabel . . . - 15 - c. Variabel seperti nilai tukar atau suku bunga, yang dijadikan dasar (underlying variable) untuk Structured Product. 2. Untuk Structured Product yang merupakan kombinasi dari derivatif dan derivatif, pengungkapan informasi mengenai karakteristik dan fitur Structured Product meliputi: a. Jenis-jenis derivatif; dan b. Variabel seperti nilai tukar atau suku bunga, yang dijadikan dasar (underlying variable) untuk Structured Product. Huruf c Dalam memberikan informasi mengenai ilustrasi perhitungan bunga atau pendapatan atau margin keuntungan yang dapat diperoleh, Bank paling kurang mengungkapkan: 1. metode perhitungan bunga atau pendapatan atau margin keuntungan; 2. 3. asumsi-asumsi yang digunakan; dan ilustrasi perhitungan bunga atau pendapatan atau margin keuntungan Structured Product dalam beberapa skenario. Huruf d Dalam memberikan informasi mengenai ilustrasi perhitungan risiko dan kerugian yang mungkin ditanggung, Bank paling kurang mengungkapkan: 1. risiko yang mungkin dihadapi; 2. metode perhitungan kerugian yang mungkin terjadi; 3. komponen leverage; 4. asumsi-asumsi yang digunakan; dan 5. ilustrasi . . . - 16 - 5. ilustrasi perhitungan kerugian dalam beberapa skenario yang mencakup skenario kerugian terbesar yang mungkin terjadi (worst case scenario). Huruf e Biaya yang melekat dari Structured Product antara lain biaya administrasi, premi, provisi, komisi, dan/atau penalti. Dalam memberikan informasi mengenai biaya yang melekat, Bank harus mengungkapkan metode penentuan perhitungan biaya dimaksud. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Frekuensi laporan tertulis secara berkala yang disampaikan Bank disesuaikan dengan jenis dan kompleksitas Structured Product yang ditawarkan. Pasal 21 . . . - 17 - Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan media pemasaran antara lain berupa iklan, brosur, leaflet, atau media pemasaran elektronis. Yang dimaksud dengan pemasaran adalah bentuk komunikasi yang bertujuan untuk menyampaikan informasi kepada publik yang tidak selalu diikuti dengan kegiatan penawaran. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Pelaksanaan pengaturan dalam ayat ini merupakan bagian dari pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) . . . - 18 - Ayat (4) Huruf a Kondisi dimana potensi kerugian dapat melebihi nilai pokok yang ditanamkan umumnya terjadi apabila Structured Product tersebut mengandung unsur leverage. Huruf b Cukup jelas. Ayat (5) Termasuk dalam pengertian bertindak sebagai agen penjual mencakup: 1. Mewakili Bank untuk menindaklanjuti permintaan Nasabah untuk Structured Product; dan/atau 2. Menjadi referral agent. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b . . . - 19 - Huruf b Tujuan pemberian pelatihan/training mengenai Structured Product adalah agar pegawai memiliki pemahanan yang memadai dan mampu menjelaskan kepada Nasabah dengan baik mengenai karakteristik, fitur, dan risiko atas Structured Product yang ditawarkan. Dengan demikian, Bank bertanggung jawab untuk memastikan pelaksanaan, frekuensi, dan materi yang diberikan dalam pelatihan/training dapat mencapai tujuan pelatihan/training tersebut diatas, antara lain dengan mempertimbangkan kompleksitas produk yang ditawarkan dan kompetensi pegawai. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan prospektus atau term sheet adalah dokumen resmi yang memberikan seluruh informasi material yang diperlukan Nasabah untuk menilai dan mengambil keputusan terkait dengan Structured Product yang ditawarkan. Huruf b Product highlight sheet adalah dokumen yang bertujuan membantu Nasabah untuk memahami informasi utama (key information) mengenai Structured Product yang tercantum dalam prospektus atau term sheet. Berkenaan dengan hal tersebut . . . - 20 - tersebut, product highlight sheet disajikan dalam bentuk yang jelas, singkat, dan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh Nasabah. Oleh karena itu, product highlight sheet dapat disusun dalam bentuk ”tanya-jawab” dan paling kurang dapat menjawab pertanyaan tentang Structured Product sebagai berikut: 1. Produk apa yang akan dibeli/diinvestasikan oleh Nasabah; 2. Apa manfaat dari produk yang akan dibeli/diinvestasikan oleh Nasabah ; 3. Dengan siapa Nasabah akan membeli atau berinvenstasi; 4. Apa perbedaan produk yang akan dibeli atau diinvestasikan oleh Nasabah dengan giro, simpanan, dan deposito konvensional; 5. Risiko utama apa saja yang berpengaruh terhadap produk; 6. Keuntungan atau kerugian apa yang diperoleh atau dibebankan kepada Nasabah, dalam berbagai skenario termasuk kerugian terburuk (worst case); 7. Apakah produk dimaksud sesuai untuk: a. Nasabah yang tidak ingin mengalami kerugian pokok; b. Nasabah yang mungkin memerlukan likuiditas dalam jangka pendek; c. Nasabah yang tidak memiliki pengetahuan atau pengalaman dalam melakukan transaksi derivatif. 8. Berapa biaya yang harus dibayar Nasabah dalam membeli produk; 9. Seberapa sering penilaian terhadap produk dilakukan dan dinformasikan kepada Nasabah; 10. Bagaimana . . . - 21 - 10. Bagaimana Nasabah dapat keluar atau menghentikan transaksi dan risiko dan/atau biaya apa yang harus diketahui oleh Nasabah terkait dengan penghentian transaksi tersebut; 11. Dengan siapa di Bank Nasabah harus bertanya untuk memperoleh informasi, bertanya, dan/atau mengadukan permasalahan/komplain/perselisihan; dan 12. Apakah produk termasuk dalam cakupan penjaminan LPS. Product highlight sheet disajikan dengan font paling kurang 10 (sepuluh) serta tidak melebihi 4 (empat) halaman. Ayat (3) Yang dimaksud dengan bank pada ayat ini adalah Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan bank yang berkedudukan di luar negeri. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dokumentasi yang dilakukan oleh Bank antara lain dalam bentuk rekaman suara. Pasal 25 Ayat (1) Pemberian waktu bertujuan agar Nasabah dapat melakukan penilaian terhadap kesesuaian Structured Product yang ditawarkan Bank dengan kebutuhan Nasabah. Ayat (2) Pemberian waktu diberikan untuk penawaran atas setiap jenis produk. Ayat (3) . . . - 22 - Ayat (3) Huruf a Jangka waktu 3 (tiga) hari kerja dihitung sejak tanggal diterimanya dokumen penawaran oleh Nasabah yang dibuktikan dengan tanda terima. Huruf b Jangka waktu 2 (dua) kerja hari dihitung sejak tanggal diterimanya dokumen penawaran oleh Nasabah yang dibuktikan dengan tanda terima. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan bank pada ayat ini adalah Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan bank yang berkedudukan di luar negeri. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan pihak yang mempunyai kewenangan secara hukum antara lain bagi individu adalah pihak yang cakap secara hukum, bagi badan hukum adalah pejabat yang mempunyai kewenangan . . . - 23 - kewenangan sesuai dengan Anggaran Dasar atau ketentuan internal badan hukum yang bersangkutan. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan pihak yang mempunyai kewenangan secara hukum antara lain bagi individu adalah pihak yang cakap secara hukum, bagi badan hukum adalah pejabat yang mempunyai kewenangan sesuai dengan Anggaran Dasar atau ketentuan internal badan hukum yang bersangkutan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 . . . - 24 - Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup Jelas. Pasal 35 Cukup Jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 . . . - 25 - Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup Jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup Jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5030 - 26 - DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/26/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM MELAKSANAKAN KEGIATAN STRUCTURED PRODUCT BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 1 Juli 2009 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2009 </effective_date> <issued_date> 1 Juli 2009 </issued_date> <related_reg> '6/UU/2009', '23/PERPPU/1999', '5/8/PBI/2003', '7/6/PBI/2005', '11/25/PBI/2009', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR :6/3/PBI/2004 TENTANG PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah ditunjuk oleh Pemerintah sebagai agen untuk melaksanakan lelang Surat Utang Negara di pasar perdana dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 66/KMK.01/2003 tanggal 10 Februari 2003; b. bahwa ketentuan pelaksanaan lelang Surat Utang Negara di pasar perdana telah ditetapkan oleh Pemerintah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 83/KMK.01/2003 tanggal 4 Maret 2003 tentang Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana; c. bahwa untuk menunjang efisiensi dan efektivitas fungsi Bank Indonesia sebagai penatausaha Surat Utang Negara, sebagai agen pelaksanaan lelang Surat Utang Negara di pasar perdana, dan agen untuk pelaksanaan pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di pasar sekunder, Bank Indonesia telah menerapkan Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS); d. bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan Penerbitan, Penjualan dan Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat … -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); 4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4236); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA. BAB I … -3- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha perbankan konvensional. 2. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara. 3. Surat Perbendaharaan Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. 4. Obligasi Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. 5. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara untuk pertama kali. 6. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah dijual di Pasar Perdana. 7. Peserta Lelang adalah Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Valuta Asing, dan Perusahaan Efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk dapat ikut serta dalam lelang Surat Utang Negara. 8. Diskonto adalah selisih antara harga pasar dengan nilai nominal. 9. Yield … -4- 9. Yield to Maturity atau Yield adalah tingkat imbal hasil (keuntungan) yang diharapkan oleh investor dalam persentase per tahun. 10. Penawaran Pembelian Kompetitif (competitive bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan tingkat diskonto atau tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar. 11. Penawaran Pembelian Non-kompetitif (non-competitive bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa tingkat diskonto atau tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar. 12. Lelang Surat Utang Negara adalah penjualan Surat Utang Negara dengan cara Peserta Lelang mengajukan Penawaran Pembelian Kompetitif dan atau Penawaran Pembelian Non-kompetitif dalam suatu periode waktu penawaran yang telah ditentukan dan diumumkan sebelumnya. 13. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi penatausahaan surat berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan Bank, Sub- Registry dan pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia. 14. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian, yang disetujui Bank Indonesia untuk melakukan fungsi penatausahaan surat berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan nasabah. 15. Delivery Versus Payment yang untuk selanjutnya disebut DVP adalah setelmen transaksi Surat Utang Negara dengan cara setelmen surat berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System dilakukan bersamaan dengan setelmen dana di Bank Indonesia melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement. 16. Free of Payment yang untuk selanjutnya disebut FoP adalah setelmen transaksi Surat Utang Negara dengan cara setelmen surat berharga dilakukan melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System, sedangkan setelmen dana dilakukan … -5- dilakukan tidak secara bersamaan dengan setelmen surat berharga atau tanpa setelmen dana. BAB II FUNGSI BANK INDONESIA DALAM PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA Pasal 2 Dalam rangka membantu Pemerintah untuk mengelola Surat Utang Negara, Bank Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut : a. memberikan masukan dalam rangka menetapkan ketentuan dan persyaratan penerbitan Surat Utang Negara; b. bertindak sebagai agen lelang dalam penjualan Surat Utang Negara di Pasar Perdana yang antara lain mengusulkan kriteria dan persyaratan Peserta Lelang, melakukan seleksi calon Peserta Lelang, mengumumkan Peserta Lelang yang ditunjuk Menteri Keuangan Republik Indonesia, mengumumkan rencana Lelang Surat Utang Negara, melaksanakan Lelang Surat Utang Negara, dan mengumumkan keputusan hasil Lelang Surat Utang Negara; c. dapat bertindak sebagai agen dalam pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder untuk kepentingan dan atas permintaan Pemerintah; d. menatausahakan Surat Utang Negara yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen, serta agen pembayar bunga (kupon) dan pokok Surat Utang Negara. BAB III … -6- BAB III KARAKTERISTIK SURAT UTANG NEGARA Pasal 3 Surat Utang Negara yang ditatausahakan oleh Bank Indonesia mempunyai karakteristik sebagai berikut: a. Surat Perbendaharaan Negara: 1) diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat (scripless); 2) diterbitkan dalam bentuk yang diperdagangkan atau dalam bentuk yang tidak diperdagangkan di Pasar Sekunder; 3) diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dan pembayaran bunga secara Diskonto; b. Obligasi Negara: 1) diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat (scripless); 2) diterbitkan dalam bentuk yang diperdagangkan atau dalam bentuk yang tidak diperdagangkan di Pasar Sekunder; 3) diterbitkan dengan jangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon mengambang (variable rate), kupon tetap (fixed rate), dan atau pembayaran bunga secara Diskonto. Pasal 4 Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan ketentuan dan persyaratan Surat Utang Negara. BAB IV … -7- BAB IV LELANG SURAT UTANG NEGARA DI PASAR PERDANA Pasal 5 (1) Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan kriteria dan persyaratan Peserta Lelang. (2) Bank Indonesia melakukan seleksi calon Peserta Lelang berdasarkan kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Menteri Keuangan Republik Indonesia menunjuk Peserta Lelang berdasarkan hasil seleksi calon Peserta Lelang yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (4) Bank Indonesia dapat mengusulkan kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia agar status Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Valuta Asing, dan Pedagang Efek sebagai Peserta Lelang untuk dicabut. (5) Bank Indonesia mengumumkan Peserta Lelang yang ditunjuk atau dicabut status kepesertaan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4). Pasal 6 (1) Orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi dapat membeli Surat Utang Negara di Pasar Perdana. (2) Pembelian Surat Utang Negara di Pasar Perdana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan mengajukan penawaran pembelian kepada Bank Indonesia melalui Peserta Lelang yang terdiri dari Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing, dan Perusahaan Efek. (3) Dalam Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana, Bank dan Perusahaan Efek dapat mengajukan penawaran pembelian untuk dan atas nama diri sendiri dan pihak … -8- pihak lain sedangkan Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing hanya dapat mengajukan penawaran pembelian untuk dan atas nama pihak lain. Pasal 7 (1) Penawaran pembelian dalam Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif atau dengan cara kombinasi Penawaran Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non- kompetitif. (2) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Surat Utang Negara untuk dan atas nama diri sendiri maka penawaran pembelian hanya dapat dilaku kan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif. (3) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Surat Utang Negara untuk dan atas nama pihak lain maka penawaran pembelian dapat diajukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif dan atau Penawaran Pembelian Non- kompetitif. (4) Menteri Keuangan Republik Indonesia menentukan alokasi Penawaran Pembelian Non-kompetitif sebelum pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana. Pasal 8 (1) Bank Indonesia melakukan Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana sesuai kebutuhan Pemerintah dan atas permintaan Menteri Keuangan Republik Indonesia. (2) Bank Indonesia mengumumkan rencana Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana berdasarkan pemberitahuan Lelang Surat Utang Negara oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. Pasal … -9- Pasal 9 (1) Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan hasil dan pemenang Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana. (2) Penentuan pemenang Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan sistem penentuan hasil Lelang Surat Utang Negara dengan metode harga beragam (multiple price) atau dengan metode harga seragam (uniform price). (3) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana kepada Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Surat Utang Negara pada hari pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara. (4) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana secara keseluruhan kepada publik pada hari pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara. Pasal 10 (1) Menteri Keuangan Republik Indonesia berhak menolak seluruh atau sebagian dari penawaran pembelian Surat Utang Negara. (2) Bank Indonesia mengumumkan penolakan seluruh atau sebagian penawaran pembelian Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). BAB V … -10- BAB V PEMBELIAN DAN PENJUALAN SURAT UTANG NEGARA DI PASAR SEKUNDER Pasal 11 (1) Menteri Keuangan Republik Indonesia dapat menunjuk Bank Indonesia sebagai agen untuk melaksanakan pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder. (2) Dalam hal Bank Indonesia ditunjuk sebagai agen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder berdasarkan permintaan Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB VI PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA Pasal 12 (1) Bank Indonesia melakukan penatausahaan Surat Utang Negara secara elektronis dengan menggunakan sarana Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang berlaku. (2) Penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen transaksi baik di Pasar Perdana maupun di Pasar Sekunder, pembayaran bunga (kupon) dan pokok Surat Utang Negara yang jatuh waktu. BAB VII … -11- BAB VII PENCATATAN KEPEMILIKAN SURAT UTANG NEGARA Pasal 13 (1) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara dilakukan tanpa warkat (scripless) dan secara book entry. (2) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara dilakukan secara two tier system yang terdiri dari: a. Central Registry yang melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan Surat Berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan Bank, Sub- Registry dan pihak lain yang disetujui Bank Indonesia; dan b. Sub-Registry yang melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan Surat Berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan nasabah. (3) Catatan kepemilikan Surat Utang Negara pada Central Registry dan Sub-Registry merupakan bukti kepemilikan yang sah. BAB VIII SETELMEN TRANSAKSI SURAT UTANG NEGARA Pasal 14 (1) Setelmen transaksi Surat Utang Negara di Pasar Perdana dilakukan sebagai berikut: a) Surat Perbendaharaan Negara pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah hari pelaksanaan lelang Surat Perbendaharaan Negara (T+1); b) Obligasi Negara selambat-lambatnya pada 5 (lima) hari kerja berikutnya setelah pengumuman hasil pemenang lelang Obligasi Negara (T+5). (2) Setelmen … -12- (2) Setelmen transaksi Surat Utang Negara baik di Pasar Perdana maupun di Pasar Sekunder dilakukan atas dasar prinsip DVP atau FoP. (3) Setelmen transaksi Surat Utang Negara secara DVP dilakukan atas dasar sistem setelmen gross to gross atau kombinasi setelmen gross to gross dan setelmen gross to net. Pasal 15 Dalam rangka setelmen Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan di Pasar Sekunder, Bank Indonesia berwenang untuk : a. mendebet rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia yang melakukan pembelian baik untuk dan atas nama diri sendiri maupun untuk dan atas nama pihak lain; atau b. mendebet rekening surat berharga pemilik rekening di Central Registry yang melakukan penjualan Surat Utang Negara baik untuk dan atas nama diri sendiri maupun untuk dan atas nama pihak lain; c. mendebet rekening Surat Utang Negara milik Pemerintah atau rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia, dalam rangka setelmen transaksi Surat Utang Negara. BAB IX PEMBAYARAN BUNGA (KUPON) DAN PELUNASAN POKOK SURAT UTANG NEGARA JATUH WAKTU Pasal 16 (1) Bank Indonesia melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pelunasan pokok Surat Utang Negara sebesar nilai nominal pada saat jatuh waktu atas beban Pemerintah. (2) Atas … -13- (2) Atas permintaan Pemerintah, Bank Indonesia melakukan pelunasan pokok Surat Utang Negara sebelum tanggal jatuh waktu atas beban Pemerintah. (3) Pembayaran pokok dan bunga (kupon) Surat Utang Negara dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan posisi kepemilikan Surat Utang Negara yang tercatat di Central Registry. BAB X BIAYA ADMINISTRASI Pasal 17 Bank Indonesia dapat mengenakan biaya administrasi atas pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara kepada Peserta Lelang dan biaya penatausahaan Surat Utang Negara kepada pemilik rekening Surat Utang Negara di Central Registry. BAB XI PELAPORAN Pasal 18 Bank Indonesia melaporkan kegiatan penatausahaan Surat Utang Negara secara berkala kepada Pemerintah. BAB XII SANKSI Pasal 19 (1) Dalam hal Peserta Lelang melakukan Penawaran Pembelian Non-kompetitif untuk dan atas nama diri sendiri sehingga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Peserta Lelang dikenakan sanksi tidak boleh mengikuti Lelang Surat Utang Negara sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut. (2) Dalam … -14- (2) Dalam hal Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Surat Utang Negara tidak melunasi kewajiban sampai dengan batas akhir waktu setelmen akibat Bank yang melakukan setelmen dana tidak memiliki saldo yang mencukupi pada rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia maka seluruh hasil Lelang Surat Utang Negara yang setelmennya dilakukan melalui Bank tersebut dimaksud adalah batal. (3) Terhadap setiap transaksi batal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta Lelang dikenakan sanksi tidak boleh mengikuti Lelang Surat Utang Negara sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 20 Apabila pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Peserta Lelang Surat Utang Negara sedang menjalani sanksi tidak boleh mengikuti Lelang Surat Utang Negara sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/4/PBI/2003 tanggal 21 Maret 2003 tentang Penerbitan, Penjualan dan Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara maka sanksi tersebut tetap berlaku. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Pelaksanaan Penatausahaan Surat Utang Negara, pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara, setelmen transaksi Surat Utang Negara dan pembayaran bunga serta pelunasan pokok Surat Utang Negara jatuh waktu diatur lebih lanjut dalam ketentuan Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang berlaku. Pasal … -15- Pasal 22 Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 23 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/4/PBI/2003 tanggal 21 Maret 2003 tentang Penerbitan, Penjualan dan Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara dinyatakan tidak berlaku. Pasal 24 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 16 Februari 2004 a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA ANWAR NASUTION DEPUTI GUBERNUR SENIOR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 16 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/3/PBI/2004 TENTANG PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA UMUM Dalam rangka membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran dan mengelola portofolio utang negara, Pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara di dalam negeri. Sehubungan dengan penerbitan Surat Utang Negara tersebut di atas, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, Pemerintah menunjuk Bank Indonesia sebagai agen lelang yang dapat menyelenggarakan kegiatan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Perdana (Pasal 13), melakukan pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder atas nama Pemerintah dalam rangka pengelolaan portofolio utang negara (Pasal 14), dan melakukan penatausahaan Surat Utang Negara yang mencakup pencatatan penerbitan dan kepemilikan, kliring dan setelmen baik di Pasar Primer maupun di Pasar Sekunder, serta agen pembayar bunga (kupon) dan pokok Surat Utang Negara (Pasal 12). Dalam rangka efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang terkait dengan penjualan Surat Utang Negara di pasar perdana, pembelian dan penjulan Surat Utang Negara di pasar sekunder dan Penatausahaan Surat Utang Negara, dan penatausahaan … -2- penatausahaan Surat Utang Negara, Bank Indonesia menerapkan Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System sebagaimana diatur dalam PBI nomor 6/xx/PBI/2004 tanggal xx Februari 2004 tentang Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Huruf a Masukan ini dimaksudkan agar tercapai keselarasan antara kebijakan fiskal termasuk manajemen utang, dan kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas Huruf c Pelaksanaan pembelian dan penjualan di Pasar Sekunder mengikuti mekanisme yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. Huruf d Cukup jelas Pasal 3 Huruf a Cukup jelas Huruf b Butir 1) Cukup jelas Butir … -3- Butir 2) Cukup jelas Butir 3) Obligasi Negara yang diterbitkan tanpa kupon dan diperdagangkan berdasarkan sistem Diskonto disebut Zero coupon bond. Pasal 4 Ketentuan dan persyaratan Surat Utang Negara antara lain mencakup tanggal penerbitan, unit terkecil yang diterbitkan, jumlah nominal penerbitan, tanggal pembayaran kupon dan tanggal jatuh tempo Surat Utang Negara. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Bank Indonesia mengajukan usul dimaksud antara lain berdasarkan hal- hal sebagai berikut; Peserta Lelang sudah tidak memenuhi kriteria dan persyaratan yang ditetapkan Menteri Keuangan Republik Indonesia, tidak aktif mengikuti kegiatan Lelang Surat Utang Negara, dan lainnya. Ayat (5) Pengumuman ditujukan kepada Peserta Lelang dan kepada publik. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat … -4- Ayat (2) Yang dimaksud dengan Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing adalah perusahaan yang memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan jasa perantara bagi kepentingan nasabah di bidang pasar uang dan di bidang pasar modal khusus untuk Surat Utang Negara. Yang dimaksud dengan Perusahaan Efek adalah Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Kebutuhan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dituangkan dalam kalender penerbitan (calendar of issuance) yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. Yang … -5- Yang dimaksud dengan kalender penerbitan (calendar of issuance) adalah rencana penerbitan Surat Utang Negara oleh Pemerintah pada periode tertentu. Ayat (2) Pengumuman rencana Lelang Surat Utang Negara dilakukan melalui sarana Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System, Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dan atau sarana lainnya. Pengumuman rencana Lelang Surat Utang Negara memuat sekurang- kurangnya waktu pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara, jumlah indikatif yang ditawarkan, jangka waktu, tanggal penerbitan, tanggal setelmen, tanggal jatuh tempo, mata uang, sistem penentuan pemenang Lelang Surat Utang Negara, dan waktu pengumuman hasil Lelang Surat Utang Negara, serta alokasi Penawaran Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non-kompetitif. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan harga beragam (multiple price) adalah harga yang dibayarkan oleh masing-masing pemenang Lelang Surat Utang Negara sesuai dengan harga penawaran yang diajukannya. Yang dimaksud dengan harga seragam (uniform price) adalah harga yang dibayarkan oleh seluruh pemenang Lelang Surat Utang Negara dengan harga seragam. Sistem penentuan hasil pemenang Lelang Surat Utang Negara dapat dilakukan dengan sistem Stop-out Rate dan Cut-off Rate. Yang … -6- Yang dimaksud dengan sistem Stop-out Rate adalah penjualan Surat Utang Negara berdasarkan target jumlah Surat Utang Negara yang akan dijual Pemerintah. Yang dimaksud dengan sistem Cut-off Rate adalah penjualan Surat Utang Negara berdasarkan target tingkat suku bunga (tingkat Diskonto atau Yield). Ayat (3) Pengumuman hasil Lelang Surat Utang Negara kepada Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Surat Utang Negara dilakukan melalui sarana Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System dan atau sarana lainnya dan sekurang-kurangnya mencakup nama pemenang, nilai nominal yang dimenangkan dan tingkat Diskonto atau Yield yang diperoleh. Ayat (4) Pengumuman hasil Lelang Surat Utang Negara kepada publik dilakukan melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dan atau sarana lain yang sekurang-kurangnya mencakup jumlah Lelang Surat Utang Negara secara keseluruhan, rata-rata tertimbang tingkat Diskonto atau Yield hasil Lelang Surat Utang Negara, dan tingkat Diskonto atau Yield terendah dan tertinggi hasil Lelang Surat Utang Negara. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pengumuman penolakan seluruh atau sebagian penawaran pembelian Surat Utang Negara kepada Peserta Lelang dilakukan melalui sarana Bank Indonesia … -7- Indonesia-Scripless Securities Settlement System, sedangkan pengumuman kepada publik dilakukan melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dan atau sarana lainnya. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System adalah sarana Transaksi Dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan Penatausahaan Surat Berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara Peserta Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System, Penyelenggara Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System dan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement. Yang dimaksud dengan Transaksi Dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang dilakukan Bank Indonesia dalam rangka kegiatan Operasi Pasar Terbuka, pemberian fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank dan transkasi Surat Utang Negara untuk dan atas nama Pemerintah. Yang dimaksud dengan Peserta Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System adalah Departemen Keuangan dan pihak-pihak yang melakukan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan atau setelmen Surat Berharga melalui sarana Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System. Yang … -8- Yang dimaksud dengan Penyelenggara adalah pihak pengelola Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang menyelenggarakan kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan penatausahaannya termasuk Penatausahaan Surat Berharga. Ayat (2) Yang dimaksud dengan setelmen transaksi Surat Utang Negara adalah setelmen yang terdiri dari setelmen surat berharga dan atau setelmen dana. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan book entry adalah pencatatan kepemilikan dan perpindahan kepemilikan tanpa warkat (scripless) dalam suatu jurnal elektronis. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Setelmen transaksi Surat Berharga secara FoP di pasar perdana dan di pasar sekunder hanya dilakukan untuk perpindahan kepemilikan Surat Utang Negara dalam rangka hibah, warisan, pelunasan kewajiban dari dan kepada Bank Indonesia atau Pemerintah, dan atau tujuan lainnya. Ayat … -9- Ayat (3) Yang dimaksud dengan setelmen gross to gross adalah setelmen Surat Utang Negara dimana setelmen surat berharga dan setelmen dana dilakukan berdasarkan transaksi per transaksi (trade by trade). Yang dimaksud dengan setelmen gross to net adalah setelmen Surat Utang Negara dimana setelmen surat berharga dilakukan secara transaksi per transaksi (trade by trade) sedangkan setelmen dana secara netting sistem. Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Bank Indonesia hanya melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pokok Surat Utang Negara sepanjang tersedianya dana yang cukup pada rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Pelaporan tersebut antara lain mencakup posisi Surat Utang Negara yang diterbitkan, posisi kepemilikan Surat Utang Negara, Diskonto yang dibayarkan, dan data transaksi perdagangan Surat Utang Negara. Pasal … -10- Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia memuat antara lain : a. tata cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana; b. kriteria dan persyaratan Peserta Lelang; c. persyaratan dan tata cara penunjukan Sub-Registry. Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4364 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 6/3/PBI/2004 </reg_id> <reg_title> PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA </reg_title> <set_date> 16 Februari 2004 </set_date> <effective_date> 16 Februari 2004 </effective_date> <replaced_reg> '5/4/PBI/2003' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/2/PBI/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/7/PBI/2017 TENTANG PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan pengendalian moneter yang dilakukan salah satunya melalui pengaturan lalu lintas pembawaan uang kertas asing ke dalam dan ke luar daerah pabean Indonesia; b. bahwa untuk mendukung efektivitas penerapan ketentuan pembawaan uang kertas asing tersebut, diperlukan penyesuaian pengaturan salah satunya terkait sanksi atas pelanggaran ketentuan pembawaan uang kertas asing ke dalam dan ke luar daerah pabean Indonesia; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/7/PBI/2017 tentang Pembawaan Uang Kertas Asing ke Dalam dan ke Luar Daerah Pabean Indonesia; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/7/PBI/2017 TENTANG PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA. - 3 - Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/7/PBI/2017 tentang Pembawaan Uang Kertas Asing ke Dalam dan ke Luar Daerah Pabean Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6050) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Uang Kertas Asing yang selanjutnya disingkat UKA adalah uang kertas dalam valuta asing yang resmi diterbitkan oleh suatu negara di luar Indonesia dan diakui sebagai alat pembayaran yang sah di negara yang bersangkutan. 2. Pembawaan UKA adalah kegiatan memasukkan dan/atau mengeluarkan UKA ke dalam dan/atau ke luar daerah pabean yang dilakukan dengan cara membawa sendiri atau menggunakan jasa pihak lain, untuk kepentingan sendiri atau pihak lain baik melalui kargo dan/atau barang bawaan penumpang. 3. Izin Pembawaan UKA adalah izin yang diberikan Bank Indonesia untuk melakukan Pembawaan UKA. 4. Badan Berizin adalah korporasi yang memperoleh Izin Pembawaan UKA. 5. Persetujuan Pembawaan UKA adalah persetujuan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Badan Berizin untuk Pembawaan UKA. 6. Daerah Pabean adalah daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan. 7. Bank adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang- - 4 - Undang yang mengatur mengenai perbankan serta bank syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 8. Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank yang selanjutnya disebut Penyelenggara KUPVA Bukan Bank adalah penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank. 9. Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah yang selanjutnya disingkat PJPUR adalah penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah. 10. PJPUR Terdaftar adalah PJPUR yang telah melakukan pendaftaran kepada Bank Indonesia untuk melakukan Pembawaan UKA. 11. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi. 2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Setiap Orang dilarang melakukan Pembawaan UKA dengan jumlah yang nilainya paling sedikit setara dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Badan Berizin. (3) Pihak yang dapat menjadi Badan Berizin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. Bank; dan b. Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. - 5 - (4) Badan Berizin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan Pembawaan UKA untuk kepentingan sendiri dan/atau untuk kepentingan pihak lain. 3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Badan Berizin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) setiap akan melakukan Pembawaan UKA dengan jumlah yang nilainya paling sedikit setara dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), wajib memperoleh Persetujuan Pembawaan UKA. (2) Persetujuan Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA; dan b. persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA. (3) Badan Berizin dilarang melakukan Pembawaan UKA melebihi persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. 4. Di antara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 7A dan Pasal 7B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7A (1) Untuk mendapatkan Persetujuan Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Badan Berizin mengajukan permohonan Persetujuan Pembawaan UKA kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan Persetujuan Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a dilengkapi dengan proyeksi kebutuhan UKA per mata uang dan detail rencana Pembawaan UKA untuk periode Pembawaan UKA yang bersangkutan. - 6 - (3) Permohonan Persetujuan Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a diajukan kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan sebelum Pembawaan UKA. (4) Bank Indonesia dapat meminta dokumen pendukung terkait dengan permohonan Persetujuan Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 7B (1) Dalam hal terdapat kebutuhan penambahan kuota dalam periode Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, Badan Berizin dapat mengajukan permintaan penambahan kuota sebanyak 1 (satu) kali dalam periode Pembawaan UKA. (2) Permintaan penambahan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Badan Berizin paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum Pembawaan UKA. 5. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 Bank Indonesia dapat menolak permohonan Persetujuan Pembawaan UKA dari Badan Berizin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 7B ayat (1) berdasarkan pertimbangan: a. peruntukan Pembawaan UKA; b. aspek historis Pembawaan UKA; c. kondisi makroekonomi; dan/atau d. pertimbangan lainnya. - 7 - 6. Di antara BAB V dan BAB VI disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB VA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VA PELAPORAN DAN PENGAWASAN Pasal 14A (1) Badan Berizin wajib menyampaikan laporan mengenai realisasi Pembawaan UKA untuk setiap periode Pembawaan UKA. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak akhir periode Pembawaan UKA. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 14B (1) Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan terhadap Badan Berizin dalam Pembawaan UKA. (2) Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu: a. pengawasan secara tidak langsung; dan b. pengawasan secara langsung. (3) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap Badan Berizin sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia dapat meminta laporan, keterangan, data, dan/atau informasi kepada Badan Berizin, otoritas terkait, dan/atau pihak terkait lainnya mengenai Pembawaan UKA. (4) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. secara langsung - 8 - 7. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Penetapan konversi UKA ke dalam mata uang rupiah yang terkait dengan ambang batas Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) menggunakan nilai kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (2) Dalam hal mata uang asing yang digunakan dalam Pembawaan UKA tidak terdapat dalam nilai kurs yang ditetapkan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan konversi mata uang asing tersebut dilakukan ke dalam dolar Amerika Serikat terlebih dahulu dengan menggunakan kurs jual pasar sebelum menggunakan nilai kurs yang ditetapkan Menteri Keuangan. 8. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 Setiap Orang yang melakukan pelanggaran atas ketentuan Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen) dari seluruh jumlah UKA yang dibawa dengan jumlah paling banyak setara dengan Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 9. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Badan Berizin yang melakukan Pembawaan UKA dengan jumlah yang nilainya paling sedikit setara dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan tidak memiliki Persetujuan Pembawaan UKA - 9 - sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen) dari seluruh jumlah UKA yang dibawa dengan jumlah paling banyak setara dengan Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (2) Badan Berizin yang melakukan pelanggaran ketentuan Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen) dari kelebihan jumlah UKA yang dibawa dengan jumlah paling banyak setara dengan Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (3) Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Badan Berizin juga dikenakan sanksi administratif oleh Bank Indonesia berupa: a. teguran tertulis; b. penghentian sementara Pembawaan UKA; dan/atau c. pencabutan Izin Pembawaan UKA. 10. Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 20A dan Pasal 20B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20A (1) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20 dilaksanakan sebagai berikut: a. diambil langsung dari UKA yang dibawa; b. dibayarkan dalam mata uang rupiah; dan/atau c. dibayarkan dalam mata uang asing lainnya yang dapat ditukarkan di Indonesia. (2) Dalam hal sanksi administratif berupa denda dibayarkan dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau mata uang asing lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) - 10 - huruf c maka kurs konversi yang digunakan pada saat penetapan sanksi yaitu kurs jual pasar yang berlaku saat itu. (3) Dalam hal sanksi administratif berupa denda diambil langsung dari UKA yang dibawa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau dibayarkan dalam mata uang asing lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c maka kurs konversi yang digunakan pada saat penyetoran ke kas negara yaitu kurs jual pasar yang berlaku pada saat itu. Pasal 20B (1) Pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20 dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. (2) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20 disetor ke kas negara melalui akun penerimaan pabean lainnya. 11. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 Badan Berizin yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), dan/atau Pasal 14A dikenakan sanksi administratif oleh Bank Indonesia berupa: a. teguran tertulis; b. penghentian sementara Pembawaan UKA; dan/atau c. pencabutan Izin Pembawaan UKA. - 11 - 12. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 22 diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. 13. Di antara Pasal 25 dan Pasal 26 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 25A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25A Kewajiban untuk memperoleh Izin Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini, tidak menghapuskan kewajiban pelaporan atas pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar Daerah Pabean Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. 14. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7, Pasal 7A, dan Pasal 14A mulai berlaku pada tanggal 4 Juni 2018. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 20B, Pasal 22, dan Pasal 23 mulai berlaku pada tanggal 3 September 2018. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 12 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Maret 2018 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD AGUS D.W.MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Maret 2018 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 25 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/2/PBI/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/7/PBI/2017 TENTANG PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA I. UMUM Guna mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana beberapa kali telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan pengendalian moneter. Untuk mendukung efektivitas pengendalian moneter, perlu diatur mekanisme Pembawaan UKA dengan nilai paling sedikit setara dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sehingga Bank Indonesia dapat memonitor secara baik jumlah pasokan dan kebutuhan UKA di domestik sekaligus memitigasi Pembawaan UKA yang tidak memiliki peruntukan transaksi yang wajar. Untuk mendukung efektivitas ketentuan Pembawaan UKA maka Bank Indonesia perlu melakukan penyesuaian pengaturan salah satunya terkait sanksi atas pelanggaran ketentuan Pembawaan UKA dari yang semula berupa penegahan sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan menjadi sanksi administratif berupa denda. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2 Ayat (1) UKA termasuk UKA yang berbahan dasar plastik. Hasil cetak uang kertas asing yang dilakukan oleh perusahaan percetakan uang di Indonesia tidak dianggap sebagai UKA mengingat hasil cetak uang kertas asing tersebut belum diakui sebagai alat pembayaran yang sah oleh negara yang bersangkutan. Dengan demikian, perusahaan yang diberikan kewenangan untuk melakukan pencetakan uang atas dasar permintaan otoritas negara lain dapat membawa hasil cetak uang kertas asing sebagaimana ketentuan yang berlaku. Pembawaan UKA dengan jumlah yang nilainya paling sedikit setara dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) memperhitungkan seluruh UKA yang dibawa. Contoh: Seseorang melakukan Pembawaan UKA sebagai berikut: a. AUD50.000,00 (lima puluh ribu dolar Australia); b. USD30.000,00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat); dan c. EUR20.000,00 (dua puluh ribu euro). Kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat Pembawaan UKA yaitu: 1 AUD = Rp10.800,00 1 USD = Rp13.500,00 1 EUR = Rp17.000,00 - 3 - Maka nilai UKA yang dibawa yaitu sebesar: (AUD50.000,00 x Rp10.800,00) + (USD30.000,00 x Rp13.500,00) + (EUR20.000,00 x Rp17.000,00) = Rp1.285.000.000,00. Dengan demikian, nilai UKA yang dibawa yaitu sebesar Rp1.285.000.000,00 (satu miliar dua ratus delapan puluh lima juta rupiah), telah melewati ambang batas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “periode Pembawaan UKA” adalah periode Pembawaan UKA secara kuartalan yaitu periode Januari sampai dengan Maret, April sampai dengan Juni, Juli sampai dengan September, dan Oktober sampai dengan Desember. Huruf b Yang dimaksud dengan “persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA” adalah persetujuan yang diberikan untuk setiap Pembawaan UKA dengan mengacu pada kuota yang diberikan oleh Bank Indonesia. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “Pembawaan UKA melebihi persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA” adalah jumlah UKA yang dibawa lebih besar daripada jumlah UKA yang disetujui oleh Bank Indonesia untuk masing- masing mata uang pada setiap Pembawaan UKA. - 4 - Angka 4 Pasal 7A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “periode Pembawaan UKA” adalah periode Pembawaan UKA secara kuartalan, yaitu periode Januari sampai dengan Maret, April sampai dengan Juni, Juli sampai dengan September, dan Oktober sampai dengan Desember. Ayat (3) Contoh: Apabila Badan Berizin akan melakukan Pembawaan UKA pada tanggal 15 Februari 2018 untuk periode Januari sampai dengan Maret tahun 2018 maka Badan Berizin tersebut mengajukan permohonan Persetujuan Pembawaan UKA untuk memperoleh kuota Pembawaan UKA, paling lambat tanggal 15 Januari 2018. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7B Cukup jelas. Angka 5 Pasal 8 Huruf a Penolakan Persetujuan Pembawaan UKA oleh Bank Indonesia berdasarkan pertimbangan peruntukan Pembawaan UKA misalnya Badan Berizin yang mengajukan permohonan Persetujuan Pembawaan UKA melakukan Pembawaan UKA untuk kepentingan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank tidak berizin dan/atau penyelenggara transfer dana tidak berizin. Huruf b Cukup jelas. - 5 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Angka 6 Pasal 14A Ayat (1) Yang dimaksud dengan “periode Pembawaan UKA” adalah periode Pembawaan UKA secara kuartalan yaitu periode Januari sampai dengan Maret, April sampai dengan Juni, Juli sampai dengan September, dan Oktober sampai dengan Desember. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14B Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pengawasan secara tidak langsung dilakukan antara lain melalui monitoring, analisis, dan evaluasi terhadap dokumen, data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau penjelasan yang disampaikan oleh Badan Berizin atau sumber informasi lainnya. Huruf b Pengawasan secara langsung dilakukan melalui pemeriksaan secara berkala dan/atau sewaktu- waktu kepada Badan Berizin maupun pihak yang bekerja sama dengan Badan Berizin. Termasuk dalam pengawasan langsung yaitu pemeriksaan dokumen, sarana fisik, dan aplikasi yang digunakan oleh Badan Berizin. - 6 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 7 Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kurs jual pasar” antara lain kurs perbankan, kurs Penyelenggara KUPVA Bukan Bank, kurs pada Bloomberg, atau kurs pada Reuters yang digunakan untuk menjual UKA. Angka 8 Pasal 19 Cukup jelas. Angka 9 Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Besarnya denda dihitung dari kelebihan UKA untuk setiap mata uang. Contoh: Suatu Badan Berizin melakukan Pembawaan UKA sebesar AUD50.000,00 (lima puluh ribu dolar Australia) dan USD120.000,00 (seratus dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Namun demikian, Badan Berizin tersebut hanya memiliki persetujuan untuk setiap kali Pembawaan UKA sebesar AUD40.000,00 (empat puluh ribu dolar Australia) dan USD100.000,00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). - 7 - Dengan demikian, perhitungan sanksi denda yang dikenakan kepada Badan Berizin tersebut yaitu sebagai berikut: a. untuk mata uang AUD, yaitu sebesar 10% x (AUD50.000,00 – AUD40.000,00) = AUD1.000,00 (seribu dolar Australia); dan b. untuk mata uang USD, yaitu sebesar 10% x (USD120.000,00 – USD100.000,00) = USD2.000,00 (dua ribu dolar Amerika Serikat). Ayat (3) Cukup jelas. Angka 10 Pasal 20A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kurs jual pasar” antara lain kurs perbankan, kurs Penyelenggara KUPVA Bukan Bank, kurs pada Bloomberg, atau kurs pada Reuters yang digunakan untuk menjual UKA. Contoh: a. suatu pihak dikenakan sanksi administratif berupa denda dalam mata uang dolar Australia (AUD) sebesar AUD5.000,00 (lima ribu dolar Australia), namun yang bersangkutan memilih pembayaran denda dengan mata uang dolar Amerika Serikat (USD). Kurs yang digunakan untuk mengkonversi AUD ke dalam USD menggunakan kurs jual pasar (misalnya kurs Reuters pada saat itu AUD1,00 = USD0,8000). Dengan demikian, denda yang dibayarkan sebesar AUD5.000,00 x USD0,8000 = USD4.000,00; dan b. suatu pihak dikenakan sanksi administratif berupa denda dalam mata uang AUD sebesar AUD5.000,00 (lima ribu dolar Australia), namun yang bersangkutan memilih pembayaran denda dengan - 8 - mata uang rupiah. Kurs yang digunakan untuk mengkonversi AUD ke dalam rupiah menggunakan kurs jual pasar (misalnya kurs Reuters pada saat itu AUD1,00 = Rp10.800,00). Dengan demikian, denda yang dibayarkan sebesar AUD5.000,00 x Rp10.800,00 = Rp54.000.000,00. Ayat (3) Contoh: Seorang petugas bea cukai akan menyetorkan denda sebesar USD4.000,00 (empat ribu dolar Amerika Serikat) ke kas negara. Kurs konversi yang digunakan yaitu kurs jual pasar yang berlaku pada saat penyetoran (misalnya kurs Reuters pada saat itu USD1,00 = Rp13.500,00). Dengan demikian, denda yang disetorkan ke kas negara sebesar USD4.000,00 x Rp13.500,00 = Rp54.000.000,00. Pasal 20B Cukup jelas. Angka 11 Pasal 22 Cukup jelas. Angka 12 Pasal 24 Cukup jelas. Angka 13 Pasal 25A Cukup jelas. Angka 14 Pasal 26 Cukup jelas. - 9 - Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6185
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 20/2/PBI/2018 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/7/PBI/2017 TENTANG PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA </reg_title> <set_date> 1 Maret 2018 </set_date> <effective_date> 5 Maret 2018 </effective_date> <issued_date> 5 Maret 2018 </issued_date> <changed_reg> '19/7/PBI/2017' </changed_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '17/UU/2006', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011', '24/UU/1999', '10/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 8 Pasal 19', 'Pasal I Angka 9 Pasal 20', 'Pasal I Angka 10 Pasal 20A', 'Pasal I Angka 10 Pasal 20B', 'Pasal I Angka 11 Pasal 22' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/15/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dinamika kondisi ekonomi dan keuangan global membutuhkan upaya untuk peningkatan stabilitas nilai tukar dan penguatan daya tahan pasar keuangan domestik; b. bahwa peningkatan stabilitas nilai tukar dan penguatan daya tahan pasar keuangan domestik dapat dicapai melalui pengembangan pasar valuta asing domestik yang sehat dan seimbang; c. bahwa dalam rangka mewujudkan pasar valuta asing domestik yang sehat dan seimbang diperlukan upaya untuk mendorong peningkatan likuiditas transaksi dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu melakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik; Mengingat : a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia… - 2 - Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); b. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5581) yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Bank Indonesia: a. Nomor 17/6/PBI/2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5701); b. Nomor … - 3 - b. Nomor 17/13/PBI/2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5736), diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Pihak Domestik atas dasar suatu kontrak. (2) Dalam melakukan kegiatan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, Bank wajib: a. memiliki pedoman internal tertulis sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur tentang transaksi derivatif dan penerapan manajemen risiko Bank; b. memenuhi ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai kategori Bank yang dapat melakukan kegiatan transaksi valuta asing; c. menerapkan manajemen risiko secara efektif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko Bank; d. melakukan self assessment mengenai kesiapan manajemen risiko Bank, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai transaksi derivatif dan tingkat kesehatan Bank Umum; e. melakukan mark-to-market untuk transaksi derivatif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai transaksi derivatif dan penerapan manajemen risiko bank; f. memberikan edukasi tentang Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah kepada Nasabah untuk pelaksanaan kegiatan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah, dan g. memenuhi… - 4 - g. memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah. 2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank dengan Nasabah di atas jumlah tertentu (threshold) wajib memiliki Underlying Transaksi. (2) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh kegiatan: a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri; dan/atau b. investasi berupa direct investment, portfolio investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri. (3) Underlying Transaksi kegiatan perdagangan barang dan jasa dan/atau investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi juga perkiraan pendapatan dan biaya (income and expense estimation). (4) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk: a. kegiatan penempatan dana pada Bank antara lain berupa tabungan, giro, deposito, dan Negotiable Certificate of Deposit (NCD); b. kegiatan pengiriman uang oleh perusahaan transfer dana; dan c. fasilitas pemberian kredit yang masih belum ditarik, antara lain berupa standby loan dan undisbursed loan. (5) Khusus untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward, Underlying Transaksi juga meliputi kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri antara lain berupa tabungan, giro, deposito, dan Negotiable Certificate of Deposit (NCD). 3. Ketentuan… - 5 - 3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Derivatif adalah USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah. (2) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi forward adalah USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Nasabah. (3) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi option adalah USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Nasabah. (4) Pembelian dan penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilarang melebihi nilai nominal Underlying Transaksi. (5) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). (6) Jangka waktu Transaksi Derivatif dilarang melebihi jangka waktu Underlying Transaksi. 4. Ketentuan… - 6 - 4. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk transaksi valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), dan Pasal 5 ayat (3) tidak berlaku untuk penyelesaian Transaksi Derivatif awal yang dilakukan melalui: a. perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal; b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau c. pengakhiran transaksi (unwind). 5. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 (1) Penyelesaian Transaksi Spot antara Bank dengan Nasabah dan antar Bank wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (2) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Nasabah dan antar Bank dapat dilakukan secara netting atau dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (3) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Nasabah dan antar Bank yang dapat dilakukan secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind). (4) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi forward dengan nominal transaksi di bawah jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (5) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi forward dengan menggunakan Underlying… - 7 - Underlying Transaksi berupa kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. 6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 (1) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Nasabah secara netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) untuk transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat dilakukan sepanjang didukung dengan Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif awal. (2) Penyelesaian transaksi option antara Bank dengan Nasabah secara netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) untuk transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dapat dilakukan sepanjang didukung dengan Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif awal. (3) Dalam hal pada saat penyelesaian Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Nasabah tidak dapat menyampaikan dokumen Underlying Transaksi maka penyelesaian Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. 7. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Jenis dokumen Underlying Transaksi ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang diwajibkan menggunakan Rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat menjadi dokumen Underlying Transaksi. (3) Ketentuan… - 8 - (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jenis dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 8. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 (1) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), Bank wajib memastikan Nasabah untuk menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan baik yang bersifat final maupun berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa: 1. fotokopi dokumen identitas Nasabah dan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan 2. pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari Nasabah atau pernyataan tertulis yang authenticated dari Nasabah yang memuat informasi mengenai: a) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a dan penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia; dan b) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan. (2) Dalam hal Nasabah melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank melalui transaksi forward atau transaksi option di atas… - 9 - di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari Nasabah atau pernyataan tertulis yang authenticated dari Nasabah yang memuat informasi mengenai: 1. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a; 2. penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia; dan 3. sumber dana, jumlah penjualan, dan waktu penerimaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan. (3) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup atau pernyataan tertulis yang authenticated dari Nasabah yang menyatakan bahwa pembelian valuta asing terhadap Rupiah tidak lebih dari jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) dalam sistem perbankan di Indonesia. (4) Dalam hal Nasabah melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank melalui transaksi forward atau transaksi option paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud… - 10 - dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), tidak ada kewajiban bagi Nasabah untuk menyampaikan dokumen. (5) Dalam hal Nasabah melakukan penyelesaian transaksi secara netting untuk Transaksi Derivatif pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Dalam hal Nasabah melakukan penyelesaian transaksi secara netting untuk transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi option paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 9. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (4), Pasal 5 ayat (6), Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (4), Pasal 8 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1), Pasal 12 ayat (2), Pasal 12 ayat (5), Pasal 12 ayat (6), Pasal 13 ayat (4), Pasal 13 ayat (5), Pasal 13 ayat (6), Pasal 13 ayat (7), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), dan/atau Pasal 18 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran, dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah). (2) Perhitungan nilai nominal transaksi yang dilanggar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. selisih antara total nilai nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan threshold kewajiban pemenuhan Underlying Transaksi; atau b. total… - 11 - b. total nilai nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang tidak didukung dengan Underlying Transaksi dalam hal nilai nominal transaksi di bawah threshold tetapi dilakukan penyelesaian transaksi secara netting. (3) Perhitungan nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 18 diatur sebagai berikut: a. pelanggaran terhadap larangan pemberian kredit atau pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dihitung dari nilai persetujuan kredit atau pembiayaan yang digunakan untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah; dan b. pelanggaran terhadap larangan pemberian cerukan dan/atau fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan cerukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, dihitung dari nilai cerukan dan/atau fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan cerukan yang diberikan Bank kepada Nasabah. (4) Penghitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada tanggal terjadinya pelanggaran. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar … - 12 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Oktober 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 223 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/15/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK I. UMUM Perkembangan pasar keuangan domestik, termasuk pasar valuta asing, cenderung mengalami tekanan sejalan dengan perkembangan pasar keuangan global yang pada gilirannya berdampak terhadap instabilitas nilai tukar. Selain itu, tingginya kebutuhan pelaku ekonomi terhadap valuta asing untuk mendukung kegiatan ekonomi juga turut menjadi penyebab tekanan terhadap nilai tukar. Dalam kaitan ini, diperlukan respons kebijakan untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan perekonomian nasional. Permasalahan lain yang dihadapi adalah keterbatasan penawaran valuta asing oleh pelaku ekonomi sehingga diperlukan langkah-langkah untuk mendorong peningkatan penawaran valuta asing di pasar domestik. Penyempurnaan terhadap ketentuan terkait dengan transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan pihak domestik merupakan salah satu upaya meningkatkan penawaran valuta asing sehingga dapat memenuhi tingginya kebutuhan terhadap valuta asing dalam rangka kegiatan ekonomi. Dengan adanya kebijakan tersebut, perlu dilakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik. II. PASAL … - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 2 Ayat (1) Pihak Domestik meliputi Nasabah dan Bank. Yang dimaksud dengan “kontrak” adalah konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi yang antara lain berupa dealing conversation, SWIFT, atau konfirmasi tertulis lainnya. Ayat (2) Huruf a Pedoman internal tertulis berisi antara lain pencatatan akuntansi, sumber daya manusia, sistem, dan penerapan manajemen risiko yang disetujui oleh manajemen Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan. Huruf b Ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai kategori Bank yang dapat melakukan kegiatan transaksi valuta asing antara lain mengatur bahwa Bank yang dapat melakukan transaksi valuta asing, baik Transaksi Spot maupun transaksi derivatif plain vanilla (forward, swap, option, dan CCS) paling kurang adalah Bank BUKU 2. Huruf c Ketentuan otoritas yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko Bank antara lain mengatur bahwa Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif yang paling kurang mencakup: 1. pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi; 2. kecukupan … - 3 - 2. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit; 3. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan 4. sistem pengendalian intern yang menyeluruh. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Edukasi dilakukan dalam rangka memberikan pemahaman kepada Nasabah mengenai manfaat dan risiko Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah. Huruf g Cukup jelas Angka 2 Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri antara lain berupa kegiatan usaha pedagang valuta asing. Huruf b Yang dimaksud dengan “direct investment” adalah investasi langsung Nasabah ke luar negeri. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b… - 4 - Huruf b Dalam hal perusahaan transfer dana menerima perintah nasabahnya untuk melakukan pembelian valuta asing untuk memenuhi kebutuhan transfer nasabahnya, perintah nasabah dimaksud tidak dapat menjadi Underlying Transaksi. Huruf c Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 5 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 6 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemindahan dana pokok secara penuh” adalah penyerahan dana secara riil untuk masing-masing transaksi jual dan/atau transaksi beli valuta asing terhadap Rupiah sebesar nilai penuh nominal transaksi atau ekuivalennya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 6… - 5 - Angka 6 Pasal 10 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 11 Cukup jelas. Angka 8 Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Dalam hal Nasabah merupakan badan usaha selain Bank, yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang” adalah pejabat yang mewakili badan usaha berdasarkan anggaran dasarnya atau pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan surat kuasa. Dalam hal Nasabah merupakan perorangan, yang dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” adalah dirinya sendiri atau pihak yang diberi kuasa. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya. Huruf b… - 6 - Huruf b Dalam hal Nasabah merupakan badan usaha selain Bank, yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang” adalah pejabat yang mewakili badan usaha berdasarkan anggaran dasarnya atau pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan surat kuasa. Dalam hal Nasabah merupakan perorangan, yang dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” adalah dirinya sendiri atau pihak yang diberi kuasa. Ayat (3) Yang dimaksud dengan ”pernyataan tertulis yang authenticated” adalah pernyataan tertulis yang telah diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara sistem. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 9 Pasal 20 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5743
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/15/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK </reg_title> <set_date> 2 Oktober 2015 </set_date> <effective_date> 7 Oktober 2015 </effective_date> <issued_date> 7 Oktober 2015 </issued_date> <changed_reg> '16/16/PBI/2014' </changed_reg> <extension_of> '17/6/PBI/2015', '17/13/PBI/2015' </extension_of> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 9 Pasal 20' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/ 4 /PBI/2011 TENTANG PENCABUTAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/22/PBI/2008 TENTANG PEMENUHAN KEBUTUHAN VALUTA ASING KORPORASI DOMESTIK MELALUI BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menghadapi gejolak ekonomi yang berpengaruh terhadap ketersediaan valuta asing di pasar domestik, Bank Indonesia telah mengeluarkan kebijakan pemenuhan kebutuhan valuta asing korporasi domestik melalui bank; b. bahwa perkembangan ekonomi dan kondisi pasar valuta asing domestik yang semakin baik telah meningkatkan kemampuan korporasi domestik untuk memenuhi kebutuhan valuta asing melalui mekanisme yang berlaku umum di pasar domestik; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk melakukan pencabutan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/22/PBI/2008 tentang Pemenuhan Kebutuhan Valuta Asing Korporasi Domestik Melalui Bank; Mengingat … - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); Memutuskan … - 3 - M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENCABUTAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/22/PBI/2008 TENTANG PEMENUHAN KEBUTUHAN VALUTA ASING KORPORASI DOMESTIK MELALUI BANK. Pasal 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/22/PBI/2008 tentang Pemenuhan Kebutuhan Valuta Asing Korporasi Domestik Melalui Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4906) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 2 … - 4 - Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 Januari 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 21 Januari 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 10 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 13/4/PBI/2011 </reg_id> <reg_title> PENCABUTAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/22/PBI/2008 TENTANG PEMENUHAN KEBUTUHAN VALUTA ASING KORPORASI DOMESTIK MELALUI BANK </reg_title> <set_date> 21 Januari 2011 </set_date> <effective_date> 21 Januari 2011 </effective_date> <issued_date> 21 Januari 2011 </issued_date> <replaced_reg> '10/22/PBI/2008' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/26/PBI/2012 TENTANG KEGIATAN USAHA DAN JARINGAN KANTOR BERDASARKAN MODAL INTI BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menghadapi dinamika regional dan global, serta untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia secara optimal dan berkesinambungan, perlu peningkatan ketahanan, daya saing, dan efisiensi industri perbankan nasional; b. bahwa dalam rangka peningkatan ketahanan, daya saing, dan efisiensi perbankan nasional, perlu dilakukan penataan cakupan kegiatan usaha dan pembukaan jaringan kantor yang disesuaikan dengan kapasitas permodalan bank; c. bahwa untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia secara berkesinambungan, perbankan Indonesia juga perlu meningkatkan fungsi intermediasi secara optimal khususnya kepada usaha produktif; d. bahwa ... - 2 - d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN ... - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEGIATAN USAHA DAN JARINGAN KANTOR BERDASARKAN MODAL INTI BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank Umum Syariah serta Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Modal Inti: a. bagi Bank yang berbadan hukum Indonesia adalah modal inti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum; atau b. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah dana usaha yang telah dialokasikan sebagai Capital Equivalency Maintained Asset (CEMA) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum. 3. Kegiatan... - 4 - 3. Kegiatan Usaha adalah kegiatan usaha Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan kegiatan usaha Bank Umum Syariah serta Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 4. Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha yang selanjutnya disebut BUKU adalah pengelompokan Bank berdasarkan Kegiatan Usaha yang disesuaikan dengan Modal Inti yang dimiliki. 5. Jaringan Kantor Bank adalah: a. kantor Bank di dalam negeri yang meliputi Kantor Cabang, Kantor Wilayah yang melakukan kegiatan operasional, Kantor Cabang Pembantu, Kantor Fungsional yang melakukan kegiatan operasional, dan/atau Kantor Kas; dan b. kantor Bank di luar negeri yang meliputi Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan/atau jenis kantor lainnya di luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Bank Umum, Bank Umum Syariah, atau Unit Usaha Syariah. 6. Pembukaan Jaringan Kantor adalah pembukaan kantor Bank termasuk pembukaan kantor yang berasal dari pemindahan alamat atau perubahan status kantor Bank. 7. Rencana Bisnis Bank yang selanjutnya disingkat RBB adalah rencana bisnis bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rencana bisnis bank. Pasal 2 ... - 5 - Pasal 2 Bank hanya dapat melakukan Kegiatan Usaha dan memiliki Jaringan Kantor sesuai dengan Modal Inti yang dimiliki. Pasal 3 (1) Berdasarkan Modal Inti yang dimiliki, Bank dikelompokkan menjadi 4 (empat) BUKU, yaitu: a. BUKU 1 adalah Bank dengan Modal Inti sampai dengan kurang dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun Rupiah); b. BUKU 2 adalah Bank dengan Modal Inti paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun Rupiah) sampai dengan kurang dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun Rupiah); c. BUKU 3 adalah Bank dengan Modal Inti paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun Rupiah) sampai dengan kurang dari Rp30.000.000.000.000,00 (tiga puluh triliun Rupiah); dan d. BUKU 4 adalah Bank dengan Modal Inti paling sedikit sebesar Rp30.000.000.000.000,00 (tiga puluh triliun Rupiah). (2) Pengelompokan BUKU untuk Unit Usaha Syariah didasarkan pada Modal Inti Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya. BAB II ... - 6 - BAB II KEGIATAN USAHA BANK Bagian Kesatu Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Pasal 4 Kegiatan Usaha yang dilakukan Bank Umum Konvensional dikelompokkan sebagai berikut: a. penghimpunan dana; b. penyaluran dana; c. pembiayaan perdagangan (trade finance); d. kegiatan treasury; e. kegiatan dalam valuta asing; f. kegiatan keagenan dan kerjasama; g. kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking; h. kegiatan penyertaan modal; i. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan kredit; j. jasa lainnya; dan k. kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 5 Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional yang dapat dilakukan pada masing-masing BUKU ditetapkan sebagai berikut: a. BUKU 1 hanya dapat melakukan: 1. Kegiatan Usaha dalam Rupiah yang meliputi: a) kegiatan ... - 7 - a) kegiatan penghimpunan dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar; b) kegiatan penyaluran dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar; c) kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance); d) kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan kerjasama; e) kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan terbatas; f) kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan kredit; dan jasa lainnya; g) 2. kegiatan sebagai Pedagang Valuta Asing (PVA). 3. kegiatan lainnya yang digolongkan sebagai produk atau aktivitas dasar dalam Rupiah yang lazim dilakukan oleh Bank dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. b. BUKU 2 dapat melakukan: 1. Kegiatan Usaha dalam Rupiah dan valuta asing: a) kegiatan penghimpunan dana sebagaimana dilakukan dalam BUKU 1; b) kegiatan penyaluran dana sebagaimana dilakukan dalam BUKU 1 dengan cakupan yang lebih luas; c) kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance); d) kegiatan treasury secara terbatas; e) jasa lainnya; 2. Kegiatan ... - 8 - 2. Kegiatan Usaha sebagaimana pada BUKU 1 dengan cakupan yang lebih luas untuk: a) keagenan dan kerjasama; b) kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking; 3. kegiatan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia; 4. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan kredit; 5. kegiatan lain yang lazim sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. BUKU 3 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 baik dalam Rupiah maupun dalam valuta asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia dan/atau di luar negeri terbatas pada wilayah regional Asia. d. BUKU 4 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 baik dalam Rupiah maupun dalam valuta asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia dan/atau seluruh wilayah di luar negeri dengan jumlah lebih besar dari BUKU 3. Bagian Kedua Kegiatan Usaha Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Pasal 6 Kegiatan Usaha yang dilakukan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dikelompokkan sebagai berikut: a. penghimpunan dana; b. penyaluran dana; c. pembiayaan perdagangan (trade finance); d. kegiatan treasury; e. kegiatan dalam valuta asing; f. kegiatan ... - 9 - f. kegiatan keagenan dan kerjasama; g. kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking; h. kegiatan penyertaan modal; i. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan pembiayaan; j. jasa lainnya; dan k. kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan. Pasal 7 Kegiatan usaha Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang dapat dilakukan pada masing-masing BUKU ditetapkan sebagai berikut: a. BUKU 1 hanya dapat melakukan: 1. Kegiatan Usaha dalam Rupiah yang meliputi: a) kegiatan penghimpunan dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar; b) kegiatan penyaluran dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar; c) kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance); d) kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan kerjasama; e) kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan terbatas; f) kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan pembiayaan; jasa lainnya; g) 2. kegiatan ... - 10 - 2. kegiatan sebagai Pedagang Valuta Asing (PVA). 3. kegiatan lainnya yang digolongkan sebagai produk atau aktivitas dasar dalam Rupiah yang lazim dilakukan oleh Bank yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah. b. BUKU 2 dapat melakukan: 1. Kegiatan Usaha dalam Rupiah dan valuta asing: a) kegiatan penghimpunan dana sebagaimana dilakukan dalam BUKU 1; b) kegiatan penyaluran dana sebagaimana dilakukan dalam BUKU 1 dengan cakupan yang lebih luas; c) kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance); d) kegiatan treasury secara terbatas; e) jasa lainnya; 2. Kegiatan Usaha sebagaimana pada BUKU 1 dengan cakupan yang lebih luas untuk: a) keagenan dan kerjasama; b) kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking; 3. kegiatan penyertaan modal pada lembaga keuangan syariah di Indonesia; 4. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan pembiayaan; 5. kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. BUKU ... - 11 - c. BUKU 3 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 baik dalam Rupiah maupun dalam valuta asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan syariah di Indonesia dan/atau di luar negeri terbatas pada wilayah regional Asia. d. BUKU 4 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 baik dalam Rupiah maupun dalam valuta asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan syariah di Indonesia dan/atau seluruh wilayah di luar negeri dengan jumlah lebih besar dari BUKU 3. Pasal 8 (1) Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan oleh Unit Usaha Syariah mengacu pada BUKU Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya. (2) Kegiatan Usaha tertentu pada BUKU Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Unit Usaha Syariah setelah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kegiatan Usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Ketiga Penyertaan Modal Pasal 9 Penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf h dan Pasal 6 huruf h ditetapkan sebesar: a. BUKU ... - 12 - a. BUKU 2 paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen) dari modal Bank; b. BUKU 3 paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari modal Bank; dan c. BUKU 4 paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen) dari modal Bank. Pasal 10 Bagi Bank Umum Konvensional yang melakukan penyertaan modal kepada Bank Umum Syariah paling rendah 5% (lima persen) dari modal Bank Umum Konvensional, batasan penyertaan modal pada BUKU 2 dan BUKU 3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, menjadi sebagai berikut: a. BUKU 2 menjadi paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) dari modal Bank Umum Konvensional; b. BUKU 3 menjadi paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen) dari modal Bank Umum Konvensional. Pasal 11 Penambahan penyertaan modal pada perusahaan anak yang berasal dari laba yang diperoleh dari perusahaan anak yang sama, dikecualikan dari batas penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10. Bagian ... - 13 - Bagian Keempat Kewajiban Penyaluran Kredit atau Pembiayaan kepada Usaha Produktif Pasal 12 Bank pada masing-masing BUKU wajib menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada usaha produktif dengan ketentuan sebagai berikut: a. paling rendah 55% (lima puluh lima persen) dari total kredit atau pembiayaan, bagi BUKU 1; b. paling rendah 60% (enam puluh persen) dari total kredit atau pembiayaan, bagi BUKU 2; c. paling rendah 65% (enam puluh lima persen) dari total kredit atau pembiayaan, bagi BUKU 3; dan d. paling rendah 70% (tujuh puluh persen) dari total kredit atau pembiayaan, bagi BUKU 4. Pasal 13 (1) Kewajiban penyaluran kredit atau pembiayaan kepada usaha produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 tidak berlaku bagi Bank yang memfokuskan pada kegiatan penyaluran kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah untuk kepentingan rakyat dengan jumlah penyaluran kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah paling rendah sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari total kredit atau pembiayaan Bank. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi kewajiban Bank untuk menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam persentase tertentu sebagaimana ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemberian kredit atau pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. (3) Dalam ... - 14 - (3) Dalam hal penyaluran kredit atau pembiayaan bagi Bank yang memfokuskan pada penyaluran kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen), Bank wajib menyampaikan rencana tindak (action plan) untuk pemenuhan kembali penyaluran kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah sesuai jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Kelima Lain-Lain Pasal 14 Bank yang akan melakukan Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 6 yang bukan merupakan cakupan produk atau aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas yang tinggi, wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Pasal 15 Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan Kegiatan Usaha masing- masing BUKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 7 serta Kegiatan Usaha yang memerlukan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 16 (1) Dalam hal Bank mengalami penurunan Modal Inti sehingga terjadi perubahan BUKU selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, Bank wajib menyampaikan rencana tindak (action plan) dalam rangka pemenuhan persyaratan Modal Inti sesuai BUKU. (2) Rencana ... - 15 - (2) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama pada bulan keempat sejak terjadinya penurunan BUKU. (3) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia dan penyelesaian rencana tindak (action plan) dimaksud paling lama 1 (satu) tahun sejak persetujuan Bank Indonesia. BAB III JARINGAN KANTOR Pasal 17 (1) Bank yang akan melakukan Pembukaan Jaringan Kantor dalam bentuk: a. kantor cabang; atau b. kantor perwakilan dan kantor lainnya di luar negeri, wajib memperoleh izin Bank Indonesia. (2) Pembukaan Jaringan Kantor Bank selain jenis kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan dan memperoleh penegasan dari Bank Indonesia. Pasal 18 Pembukaan Jaringan Kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan oleh BUKU 3 dan BUKU 4 dengan ketentuan sebagai berikut: a. BUKU 3 dapat melakukan Pembukaan Jaringan Kantor di luar negeri terbatas pada wilayah regional Asia; dan b. BUKU 4 dapat melakukan Pembukaan Jaringan Kantor pada seluruh wilayah di luar negeri. Pasal 19 ... - 16 - Pasal 19 Bank yang akan melakukan Pembukaan Jaringan Kantor wajib memenuhi persyaratan: a. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 1 (satu), 2 (dua), atau 3 (tiga) selama 1 (satu) tahun terakhir; dan b. ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor (Theoretical Capital). Pasal 20 (1) Dalam hal Bank telah memenuhi persyaratan tingkat kesehatan namun tidak memenuhi persyaratan ketersediaan alokasi Modal Inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b, Bank dapat melakukan Pembukaan Jaringan Kantor apabila melakukan: a. penyaluran kredit atau pembiayaan kepada: 1. UMKM paling rendah 20% (dua puluh persen) dari total portofolio kredit atau pembiayaan; atau 2. UMK paling rendah 10% (sepuluh persen) dari total portofolio kredit atau pembiayaan; dan b. pemupukan modal. (2) Bagi Bank yang telah memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dapat memperoleh insentif tambahan jumlah Pembukaan Jaringan Kantor apabila menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada: a. UMKM paling rendah 20% (dua puluh persen) dari total portofolio kredit atau pembiayaan; dan/atau b. UMK paling rendah 10% (sepuluh persen) dari total portofolio kredit atau pembiayaan. Pasal 21 ... - 17 - Pasal 21 (1) Bank Indonesia mempertimbangkan pencapaian tingkat efisiensi Bank dalam menyetujui jumlah Jaringan Kantor yang direncanakan dibuka oleh Bank sesuai RBB. (2) Pencapaian tingkat efisiensi Bank antara lain diukur melalui rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan rasio Net Interest Margin (NIM) atau rasio Net Operating Margin (NOM). Pasal 22 Dalam rangka memperoleh izin atau penegasan untuk Pembukaan Jaringan Kantor, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Bank juga wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Bank Umum, Bank Umum Syariah, atau Unit Usaha Syariah. Pasal 23 (1) Dalam mempertimbangkan ketersediaan alokasi Modal Inti untuk Pembukaan Jaringan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b, Bank Indonesia menetapkan: a. pembagian zona dengan mempertimbangkan tingkat kejenuhan Bank dan pemerataan pembangunan; b. koefisien masing-masing zona; dan c. biaya investasi Pembukaan Jaringan Kantor Bank untuk masing-masing BUKU. (2) Zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas Zona 1 yang menunjukkan zona paling jenuh sampai dengan Zona 6 yang menunjukkan zona paling tidak jenuh. (3) Koefisien ... - 18 - (3) Koefisien pada masing-masing zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b didasarkan pada tingkat kejenuhan zona, dengan koefisien tertinggi berada pada zona paling jenuh. Pasal 24 Perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti untuk Pembukaan Jaringan Kantor, diperoleh dari hasil perkalian antara koefisien zona untuk lokasi Jaringan Kantor Bank dengan biaya investasi Jaringan Kantor Bank sesuai BUKU. Pasal 25 Persyaratan ketersediaan alokasi Modal Inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b tidak berlaku untuk: a. pembukaan Kantor Fungsional yang melakukan kegiatan operasional khusus penyaluran kredit kepada UMK; b. Pembukaan Jaringan Kantor bagi Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusatnya. Pasal 26 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan alokasi Modal Inti dalam rangka Pembukaan Jaringan Kantor diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 27 (1) Dalam rangka perimbangan penyebaran Jaringan Kantor, Bank yang membuka Jaringan Kantor di Zona 1 atau Zona 2 dalam jumlah tertentu wajib diikuti dengan pembukaan Jaringan Kantor di Zona ... - 19 - di Zona 5 atau Zona 6 dalam jumlah tertentu. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi BUKU 3 dan BUKU 4 dan dalam pelaksanaannya wajib memenuhi ketersediaan alokasi Modal Inti untuk Pembukaan Jaringan Kantor. (3) Kewajiban Pembukaan Jaringan Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak berlaku bagi Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan melakukan Pembukaan Jaringan Kantor di Zona 1 atau Zona 2 yang merupakan wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusatnya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perimbangan penyebaran Jaringan Kantor Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IV KETENTUAN LAIN Pasal 28 Bank Indonesia berdasarkan pertimbangan tertentu dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas Kegiatan Usaha tertentu dalam jangka waktu tertentu. Pasal 29 Bank Indonesia dapat memberikan persetujuan atau penolakan kepada Bank untuk melakukan Pembukaan Jaringan Kantor Bank di wilayah tertentu berdasarkan pertimbangan tertentu. BAB V ... - 20 - BAB V SANKSI Pasal 30 Bank yang tidak mentaati ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 12, Pasal 14, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan/atau Pasal 38 dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan peringkat Tingkat Kesehatan Bank; c. d. pembekuan kegiatan usaha tertentu. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 31 (1) Bank yang melakukan Kegiatan Usaha yang tidak sesuai dengan kegiatan BUKU Bank tersebut, wajib: a. menyesuaikan Kegiatan Usaha mengikuti BUKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 7, atau Pasal 9; atau b. meningkatkan Modal Inti. (2) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat akhir bulan Juni 2016. Pasal 32 Kewajiban Bank untuk menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada usaha produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 atau memfokuskan pada kegiatan penyaluran kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dipenuhi paling lambat akhir bulan Juni 2016. Pasal 33 ... larangan pembukaan jaringan kantor baru; dan/atau - 21 - Pasal 33 Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 bagi Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dipenuhi paling lambat akhir bulan Juni 2018. Pasal 34 (1) Dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33, Bank wajib menyampaikan rencana tindak (action plan) kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan Maret 2013. (2) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia. (3) Rencana tindak (action plan) yang telah mendapat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan akan dilaksanakan pada tahun 2013, wajib dicantumkan dalam revisi RBB dan disampaikan paling lambat akhir bulan Juni 2013. Pasal 35 (1) Rencana Kegiatan Usaha yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, ditindaklanjuti dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai produk dan aktivitas, yang berlaku sebelum Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dalam hal Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan kegiatan BUKU Bank tersebut, Bank wajib melakukan penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31. Pasal 36 ... - 22 - Pasal 36 Permohonan rencana Pembukaan Jaringan Kantor yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, ditindaklanjuti dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai jaringan kantor untuk Bank Umum, Bank Umum Syariah, atau Unit Usaha Syariah, yang berlaku sebelum Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 37 Bank BUKU 3 yang memiliki kantor cabang, kantor perwakilan dan jenis kantor lainnya di luar wilayah regional Asia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dapat tetap mengoperasikan Jaringan Kantor di lokasi tersebut. Pasal 38 (1) Bank wajib menyesuaikan rencana Pembukaan Jaringan Kantor Bank tahun 2013, dengan memperhitungkan ketersediaan alokasi Modal Inti. (2) Penyesuaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam revisi RBB dan disampaikan paling lambat akhir bulan Juni 2013. Pasal 39 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b tidak berlaku untuk rencana Pembukaan Jaringan Kantor yang telah tercantum dalam RBB tahun 2013 dan telah dapat direalisasikan sebelum revisi RBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2). Pasal 40 ... - 23 - Pasal 40 Modal Inti bagi kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri sebelum berlakunya kewajiban pemenuhan CEMA, dihitung dari: a. dana usaha yang harus dialokasikan untuk pemenuhan kewajiban CEMA minimum, bagi yang belum memiliki CEMA; atau b. nilai yang terbesar antara dana usaha yang harus dialokasikan untuk pemenuhan kewajiban CEMA minimum dengan CEMA yang sudah dibentuk. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 41 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/10/PBI/2003 tanggal 11 Juni 2003 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Penyertaan Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4296), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. b. Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 huruf b Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/64/KEP/DIR tanggal 7 September 1995 tentang Persyaratan Bank Umum Bukan Bank Devisa Menjadi Bank Umum Devisa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/64/KEP/DIR tanggal 7 September 1995 tentang Persyaratan Bank Umum Bukan Bank Devisa Menjadi Bank Umum Devisa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, pada saat berlakunya peraturan pelaksanaan ... - 24 - pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini yang mengatur mengenai kegiatan valuta asing bagi Bank. Pasal 42 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2013. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 27 Desember 2012 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 27 Desember 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 286 DPNP/DPbS - 25 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/26/PBI/2012 TENTANG KEGIATAN USAHA DAN JARINGAN KANTOR BERDASARKAN MODAL INTI BANK I. UMUM Arah perkembangan ekonomi global yang mengakibatkan semakin menyatunya ekonomi nasional dengan ekonomi regional dan internasional merupakan peluang sekaligus tantangan yang harus dimanfaatkan dan diantisipasi agar dapat memberikan dampak positif bagi kemajuan perekonomian nasional. Seiring dengan rencana integrasi sektor keuangan ASEAN pada tahun 2020 yang memungkinkan bank-bank dengan kualifikasi tertentu (Qualified ASEAN Banks – QAB) bebas beroperasi di kawasan ASEAN, maka perbankan nasional perlu meningkatkan ketahanan, daya saing dan efisiensi. Selain itu, perkembangan ekonomi global tersebut akan berdampak pada semakin kompleksnya kegiatan usaha dan kebutuhan pembukaan jaringan kantor bank. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan penguatan modal bank untuk mengantisipasi risiko yang ditimbulkan oleh kompleksitas kegiatan usaha dan agar pembukaan jaringan kantor tidak menggunakan dana yang dihimpun dari masyarakat. Untuk ... - 26 - Untuk meningkatkan ketahanan dan daya saing, dalam melakukan kegiatan usaha dan pembukaan jaringan kantor, bank perlu mengedepankan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi. Penguatan dan daya saing perbankan, perlu diikuti dengan peningkatan peran bank sebagai lembaga intermediasi khususnya untuk usaha produktif termasuk untuk pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), sehingga industri perbankan nasional berperan aktif bagi kemajuan perekonomian nasional. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Minimum Modal Inti Bank mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai modal inti minimum Bank Umum. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d ... - 27 - Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Penghimpunan dana antara lain giro, tabungan, deposito, sertifikat deposito, pinjaman yang diterima, penerbitan surat utang termasuk surat utang ekuitas, dan/atau sekuritisasi aset. Huruf b Penyaluran dana antara lain kredit, anjak piutang, pembelian surat berharga, penempatan pada Bank Indonesia, dan/atau penempatan pada Bank lain. Huruf c Pembiayaan perdagangan meliputi pembiayaan melalui penerbitan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN), dan Letter of Credit (L/C), serta jasa dan layanan pembiayaan perdagangan lainnya. Huruf d Kegiatan treasury antara lain transaksi spot, transaksi derivatif plain vanilla, dan/atau transaksi derivatif kompleks seperti structured product dan credit derivative. Huruf e ... - 28 - Huruf e Kegiatan dalam valuta asing antara lain kegiatan dalam valuta asing untuk kegiatan penghimpunan dana, penyaluran dana, pembiayaan perdagangan, dan/atau kegiatan treasury. Huruf f Kegiatan keagenan dan kerjasama antara lain agen penjual reksadana, agen penjual Surat Berharga Negara (SBN), agen penjual Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), kustodian, wali amanat, penitipan dengan pengelolaan (trust), dan/atau kerjasama pemasaran dengan perusahaan asuransi (bancassurance) antara lain dalam bentuk model bisnis referensi, distribusi, dan integrasi. Huruf g Kegiatan usaha terkait sistem pembayaran dan electronic banking yang dilakukan Bank antara lain: a. pemindahan dana baik untuk kepentingan Bank sendiri maupun kepentingan nasabah, termasuk pemindahan dana melalui media elektronik; b. penyelenggara kliring; c. penyelenggara settlement; d. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu antara lain kartu Automatic Teller Machine (ATM), kartu debit, dan kartu kredit; e. penyelenggara uang elektronik; f. aktivitas perbankan lain melalui media elektronik. Huruf h … - 29 - Huruf h Yang dimaksud dengan “penyertaan modal” adalah penyertaan modal pada lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyertaan modal. Huruf i Yang dimaksud dengan “penyertaan modal sementara” adalah penyertaan modal sementara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas aset. Huruf j Jasa lainnya antara lain penerbitan bank garansi, jasa penyediaan tempat untuk penyimpanan barang dan surat berharga (safe deposit box). Huruf k Yang dimaksud dengan “kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh Bank” adalah kegiatan lain yang dilakukan oleh Bank sesuai dengan fungsi Bank. Pasal 5 Huruf a Angka 1 Huruf a) Kegiatan penghimpunan dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar antara lain penghimpunan dana ... - 30 - dana dalam bentuk giro, tabungan, deposito, sertifikat deposito, pinjaman yang diterima, dan penerbitan surat utang termasuk surat utang ekuitas. Huruf b) Kegiatan penyaluran dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar antara lain penyaluran kredit, pembelian surat berharga yang diterbitkan pemerintah, penempatan pada Bank Indonesia dan penempatan pada Bank lain. Huruf c) Termasuk dalam kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance) dalam Rupiah adalah pembiayaan melalui penerbitan SKBDN. Huruf d) Kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan kerjasama antara lain bancassurance dengan model bisnis referensi. Huruf e) Kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan terbatas, antara lain: a. pemindahan dana baik untuk kepentingan Bank sendiri maupun kepentingan nasabah, termasuk pemindahan dana melalui media elektronik yang terbatas; b. penyelenggara kliring; c. penyelenggara … - 31 - c. penyelenggara settlement; d. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu, selain kartu kredit; e. penyelenggara uang elektronik; f. Huruf f) Cukup jelas. Huruf g) Jasa lainnya antara lain penerbitan bank garansi, penyimpanan barang dan surat berharga (safe deposit box). Angka 2 Yang dimaksud dengan “Pedagang Valuta Asing” adalah Pedagang Valuta Asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pedagang valuta asing. Angka 3 Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) ... aktivitas perbankan lain melalui media elektronik selain internet banking. - 32 - Huruf b) Kegiatan penyaluran dana yang lebih luas antara lain kredit sindikasi dengan Bank sebagai arranger. Huruf c) Termasuk dalam kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance) dalam Rupiah dan valuta asing antara lain pembiayaan melalui penerbitan L/C dan SKBDN. Huruf d) Kegiatan treasury terbatas mencakup transaksi spot dan transaksi derivatif plain vanilla. Huruf e) Jasa lainnya antara lain penerbitan bank garansi, penyimpanan barang dan surat berharga (safe deposit box). Angka 2 Huruf a) Kegiatan keagenan dan kerjasama yang lebih luas mencakup antara lain agen penjual reksadana, agen penjualan SBN, agen penjualan SBSN dan bancassurance dengan model bisnis distribusi. Huruf b) Kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan yang lebih luas antara lain penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu berupa ... - 33 - berupa kartu kredit dan aktivitas perbankan lain berupa internet banking. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Kegiatan penghimpunan dana antara lain: a. simpanan berupa giro dan tabungan; b. investasi berupa deposito dan tabungan; c. penerbitan surat investasi; atau d. sekuritisasi aset, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Huruf b ... - 34 - Huruf b Kegiatan penyaluran dana antara lain: a. pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil, sewa-menyewa aset, jual beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa jasa; b. pengambilalihan utang; c. pembelian surat berharga syariah; d. penempatan pada Bank Indonesia dan penempatan pada bank syariah lain, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Huruf c Kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance) meliputi: a. pembiayaan melalui penerbitan SKBDN; b. penerbitan Letter of Credit (L/C); dan/atau c. jasa dan layanan pembiayaan perdagangan lainnya, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Huruf d Kegiatan treasury meliputi antara lain transaksi spot atau transaksi lain, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Huruf e Kegiatan dalam valuta asing antara lain: a. kegiatan penghimpunan dana; b. penyaluran... - 35 - b. penyaluran dana; c. pembiayaan perdagangan (trade finance); dan/atau d. kegiatan treasury, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Huruf f Kegiatan keagenan dan kerjasama meliputi antara lain: a. agen penjual reksadana syariah; b. agen penjual SBSN; c. kerjasama pemasaran dengan perusahaan asuransi syariah (bancassurance) dengan model bisnis referensi, distribusi, dan integrasi; d. kustodian; e. wali amanat; dan/atau f. penitipan dengan pengelolaan (trust), berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Huruf g Kegiatan usaha terkait sistem pembayaran dan electronic banking yang dilakukan Bank antara lain: a. pemindahan dana baik untuk kepentingan Bank sendiri maupun kepentingan nasabah, termasuk pemindahan dana melalui media elektronik; b. penyelenggara... - 36 - b. penyelenggara kliring; c. penyelenggara settlement; d. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu antara lain kartu ATM, kartu debit, dan sharia card; e. penyelenggara uang elektronik; f. aktivitas perbankan lain melalui media elektronik, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Huruf h Yang dimaksud dengan “penyertaan modal” adalah penyertaan modal pada lembaga keuangan syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyertaan modal. Huruf i Yang dimaksud dengan “penyertaan modal sementara” adalah penyertaan modal sementara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas aktiva. Huruf j Jasa lainnya antara lain: a. penerbitan bank garansi; b. jasa penyediaan tempat untuk penyimpanan barang dan surat berharga (safe deposit box), berdasarkan ... - 37 - berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Huruf k Kegiatan di bidang sosial antara lain pembentukan lembaga baitul maal yang berfungsi menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat, serta menghimpun dana dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 7 Huruf a Angka 1 Huruf a) Kegiatan penghimpunan dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar antara lain penghimpunan giro, tabungan, deposito, sertifikat deposito, dan penerbitan surat investasi, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Huruf b) Kegiatan penyaluran dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil, sewa-menyewa aset, jual beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa jasa, pengambilalihan utang, pembelian surat berharga syariah yang diterbitkan pemerintah, dan penempatan pada Bank Indonesia serta penempatan pada bank syariah ... - 38 - syariah lain, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Huruf c) Termasuk dalam kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance) dalam Rupiah adalah pembiayaan melalui penerbitan SKBDN berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Huruf d) Kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan kerjasama antara lain agen penjualan SBSN dan bancassurance dengan model bisnis referensi, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Huruf e) Kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan terbatas antara lain: a. pemindahan dana baik untuk kepentingan Bank sendiri maupun kepentingan nasabah, termasuk pemindahan dana melalui media elektronik yang terbatas; b. penyelenggara kliring; c. penyelenggara settlement; d. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu, selain sharia card; e. penyelenggara ... - 39 - e. penyelenggara uang elektronik; f. aktivitas perbankan lain melalui media elektronik selain internet banking, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Huruf f) Cukup jelas. Huruf g) Jasa lainnya berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah antara lain penerbitan bank garansi, penyediaan tempat bagi penyimpanan barang dan surat berharga (safe deposit box). Angka 2 Yang dimaksud dengan “Pedagang Valuta Asing” adalah Pedagang Valuta Asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai pedagang valuta asing. Angka 3 Cukup jelas. Huruf b ... - 40 - Huruf b Angka 1 Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Kegiatan penyaluran dana yang lebih luas berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah antara lain pembiayaan sindikasi dengan Bank sebagai arranger. Huruf c) Termasuk dalam kegiatan pembiayaan perdagangan dalam Rupiah dan valuta asing adalah pembiayaan melalui penerbitan L/C dan SKBDN, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Huruf d) Kegiatan treasury secara terbatas mencakup transaksi spot, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Huruf e) Jasa lainnya berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah antara lain penerbitan ... - 41 - penerbitan bank garansi, penyimpanan barang dan surat berharga (safe deposit box). Angka 2 Huruf a) Kegiatan keagenan dan kerjasama yang lebih luas mencakup antara lain agen penjual reksadana syariah dan bancassurance dengan model bisnis distribusi dan integrasi, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Huruf b) Kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan yang lebih luas antara lain penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu berupa sharia card dan aktivitas perbankan lain berupa internet banking. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 ... - 42 - Angka 5 Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Yang dimaksud dengan “modal” adalah modal sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum. Pasal 10 Yang dimaksud dengan “modal” adalah modal sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum. Pasal 11 Yang dimaksud dengan “perusahaan anak” adalah perusahaan anak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transparansi dan publikasi laporan bank umum. Pasal 12 ... - 43 - Pasal 12 Kewajiban penyaluran kredit atau pembiayaan kepada usaha produktif dilakukan dalam upaya optimalisasi fungsi intermediasi Bank. Yang dimaksud dengan “kredit” adalah kredit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas aset. Yang dimaksud dengan “pembiayaan” adalah adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas aktiva. Yang termasuk sebagai “kredit atau pembiayaan kepada usaha produktif” adalah kredit atau pembiayaan untuk tujuan investasi dan/atau modal kerja baik kepada debitur atau nasabah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) maupun non UMKM. Kewajiban menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada usaha produktif bagi Unit Usaha Syariah dihitung berdasarkan penyaluran kredit atau pembiayaan Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya. Pengertian UMKM mengacu pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah” adalah kredit pemilikan rumah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan ... - 44 - laporan bulanan bank umum atau laporan bulanan bank umum syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Contoh Kegiatan Usaha yang memerlukan persetujuan antara lain penerbitan surat utang ekuitas, penerbitan structured product dan credit derivative, kegiatan sistem pembayaran, serta agen penjual reksadana. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Izin diberikan berdasarkan penilaian atas pemenuhan persyaratan Pembukaan Jaringan Kantor. Ayat (2) … - 45 - Ayat (2) Penegasan diberikan berdasarkan penilaian atas pemenuhan persyaratan Pembukaan Jaringan Kantor. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a Yang dimaksud dengan “tingkat kesehatan” adalah tingkat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum atau penilaian tingkat kesehatan bank umum berdasarkan prinsip syariah. Persyaratan pemenuhan tingkat kesehatan bagi Unit Usaha Syariah didasarkan pada penilaian tingkat kesehatan Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya. Penilaian tingkat kesehatan yang digunakan adalah penilaian tingkat kesehatan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Pasal 20 … - 46 - Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Pengertian UMKM dan UMK mengacu pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Huruf b Pemupukan modal adalah penambahan modal yang berasal dari alokasi laba dan/atau tambahan setoran modal. Ayat (2) Pengertian UMKM dan UMK mengacu pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Bank Umum, Bank Umum Syariah, atau Unit Usaha Syariah antara lain persyaratan administratif yang meliputi … - 47 - meliputi kelengkapan dokumen, jangka waktu pengajuan permohonan, dan jangkauan koordinasi dengan kantor induk. Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Pengukuran tingkat kejenuhan Bank dan pemerataan pembangunan dalam masing-masing zona dilakukan antara lain menggunakan parameter pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah, kinerja penyaluran dan penghimpunan dana yang dikaitkan dengan jumlah populasi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 ... - 48 - Pasal 25 Huruf a Yang dimaksud dengan “Kantor Fungsional yang melakukan kegiatan operasional” adalah Kantor Fungsional sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Bank Umum. Huruf b Yang dimaksud “Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah” adalah Bank yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, dan/atau Pemerintah Kota. Pengaturan ini dimaksudkan untuk mendukung peran Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam pengembangan pembangunan ekonomi daerah. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud “Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah” adalah ... - 49 - adalah Bank yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan/atau Pemerintah Kota. Pengaturan ini dimaksudkan untuk mendukung peran Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam pengembangan pembangunan daerah. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 28 Pertimbangan tertentu antara lain adalah untuk mendukung stabilitas sistem keuangan dan/atau mendorong perkembangan perekonomian nasional. Pasal 29 Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” adalah persaingan yang sehat, upaya pemerataan pembangunan, dan perluasan akses keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan produktif (financial inclusion). Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 ... - 50 - Pasal 31 Ayat (1) Huruf a Penyesuaian Kegiatan Usaha dilakukan dengan menghentikan atau mengurangi Kegiatan Usaha yang tidak diperkenankan. Huruf b Peningkatan Modal Inti dilakukan untuk memenuhi persyaratan Modal Inti sesuai BUKU Kegiatan Usaha yang dilakukan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Yang dimaksud “Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah” adalah Bank yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan/atau Pemerintah Kota. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) ... - 51 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Revisi RBB dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan rencana tindak (action plan). Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Penyesuaian Pembukaan Jaringan Kantor dilakukan dengan mengevaluasi rencana yang sudah dituangkan dalam RBB sesuai dengan ketersediaan alokasi Modal Inti. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 39 ... - 52 - Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Kewajiban pemenuhan CEMA mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5384
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 14/26/PBI/2012 </reg_id> <reg_title> KEGIATAN USAHA DAN JARINGAN KANTOR BERDASARKAN MODAL INTI BANK </reg_title> <set_date> 27 Desember 2012 </set_date> <effective_date> 2 Januari 2013 </effective_date> <issued_date> 27 Desember 2012 </issued_date> <replaced_reg> '5/10/PBI/2003 | Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1)', '28/64/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995 | Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 huruf b' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/26 /PBI/2016 TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH LOGAM PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar; c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank - 2 - Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran Uang Rupiah Logam Pecahan 1.000 (Seribu) Tahun Emisi 2016; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH LOGAM PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2016. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. - 3 - Pasal 2 Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan uang Rupiah logam yang memiliki ciri tertentu. Pasal 3 Harga uang Rupiah logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah). Pasal 4 Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi: a. ciri umum; dan b. ciri khusus. Pasal 5 Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a yaitu: a. pada bagian depan terdapat: 1. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; 2. frasa “REPUBLIK INDONESIA”; dan 3. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Mr. I Gusti Ketut Pudja beserta tulisan “Mr. I GUSTI KETUT PUDJA”; dan b. pada bagian belakang terdapat: 1. sebutan pecahan dalam angka “1000”; 2. tulisan tahun emisi yaitu “2016”; 3. tulisan “BANK INDONESIA”; dan 4. tulisan “RUPIAH”. Pasal 6 Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b yang berupa desain, bahan, dan teknik cetak sebagai berikut: a. warna, dominan putih keperakan; b. bahan, terbuat dari nickel plated steel; - 4 - c. berat, 4,50 (empat koma lima puluh) gram dengan toleransi ± (lebih kurang) 0,18 (nol koma delapan belas) gram; d. diameter, 24,10 (dua puluh empat koma sepuluh) milimeter dengan toleransi ± (lebih kurang) 0,10 (nol koma sepuluh) milimeter; e. tebal sisi, 1,45 (satu koma empat puluh lima) milimeter dengan toleransi ± (lebih kurang) 0,10 (nol koma sepuluh) milimeter; dan f. pada bagian belakang terdapat relief titik-titik yang membentuk lingkaran. Pasal 7 Uang Rupiah logam pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 1993 dan tahun emisi 2010 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Pasal 8 Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 5 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 209
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/26/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH LOGAM PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title> <set_date> 25 Oktober 2016 </set_date> <effective_date> 27 Oktober 2016 </effective_date> <issued_date> 27 Oktober 2016 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 4/ 9 /PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung tujuan Bank Indonesia guna mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter terutama melalui Operasi Pasar Terbuka; b. bahwa dalam perkembangan ekonomi, keuangan dan moneter, Operasi Pasar Terbuka perlu ditingkatkan; c. rangka menghadapi dan mengantisipasi efektivitas bahwa untuk maksud tersebut dipandang perlu untuk menyempurnakan pengaturan tentang Operasi Pasar Terbuka dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan …. -2- Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Operasi …. -3- 2. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan pihak lain dalam rangka pengendalian moneter. 3. Kontraksi Moneter adalah pengurangan likuiditas perbankan melalui kegiatan OPT. 4. Ekspansi Moneter adalah penambahan likuiditas perbankan melalui kegiatan OPT. 5. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan pengakuan utang berjangka waktu pendek. oleh Bank Indonesia sebagai 6. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku. BAB II TUJUAN OPT Pasal 2 (1) OPT bertujuan mencapai target operasional kebijakan moneter dalam rangka mendukung pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter Bank Indonesia. (2) Target .… -4- (2) Target operasional kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa target kuantitas uang primer atau komponennya, atau target suku bunga pasar jangka pendek. Pasal 3 Pencapaian target operasional kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dilakukan dengan cara mempengaruhi likuiditas perbankan melalui Kontraksi Moneter atau Ekspansi Moneter. BAB III JENIS KEGIATAN OPT Pasal 4 OPT dilakukan melalui kegiatan: a. penerbitan SBI; b. jual beli surat berharga dalam Rupiah yang meliputi SBI, Surat Utang Negara dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan; c. penyediaan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia dalam Rupiah (FASBI); d. jual beli valuta asing terhadap Rupiah. Pasal 5 .… -5- Pasal 5 Penerbitan SBI dan jual beli SBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dan huruf b diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. Pasal 6 Jual beli Surat Utang Negara dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dapat dilakukan melalui berbagai jenis transaksi yang meliputi namun tidak terbatas pada: a. pembelian secara lepas (Outright buying); b. penjualan secara lepas (Outright selling); c. penjualan secara bersyarat (Repurchase Agreement/Repo); d. pembelian secara bersyarat (Reverse Repo). Pasal 7 Penyediaan FASBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Jangka waktu FASBI maksimum 7 (tujuh) hari dihitung dari tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu. b. Tingkat diskonto FASBI ditetapkan oleh Bank Indonesia. c. Nilai Diskonto dan Nilai Tunai transaksi dihitung berdasarkan rumus diskonto murni (true discount) sebagai berikut: Nilai …. -6- Nilai Nominal x 360 Nilai Tunai = ---------------------------------------------------------------- 360 + {(Tingkat Diskonto) x (Jangka Waktu)} Nilai Diskonto = Nilai Nominal – Nilai Tunai d. Pengajuan FASBI bersifat final dan tidak dapat dibatalkan. e. FASBI tidak dapat diperdagangkan, tidak dapat diagunkan, dan tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu. f. Bank Indonesia dapat menyediakan FASBI setiap saat apabila dianggap perlu. BAB IV PESERTA OPT Pasal 8 (1) Peserta OPT terdiri dari Bank, lembaga perantara dan pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Peserta OPT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan menjadi peserta langsung dan peserta tidak langsung. BAB V.… -7- BAB V PELAKSANAAN OPT Pasal 9 (1) OPT dilaksanakan secara berkala. (2) Dalam hal diperlukan, OPT dapat dilakukan sewaktu-waktu. Pasal 10 Pelaksanaan OPT dilakukan melalui mekanisme lelang dan atau non lelang. Pasal 11 (1) Peserta langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 mengajukan penawaran secara langsung kepada Bank Indonesia. (2) Peserta tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 mengajukan penawaran melalui peserta langsung kepada Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Peserta OPT bertanggung jawab atas kebenaran penawaran yang diajukan. (2) Peserta OPT yang telah mengajukan penawaran dilarang membatalkan penawarannya. (3) Peserta .… -8- (3) Peserta OPT wajib memenuhi tata cara pengajuan penawaran dan persyaratan dalam transaksi OPT yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Dalam hal Peserta OPT tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), penawaran yang telah diajukan dinyatakan batal. Pasal 13 (1) Dalam mengikuti kegiatan OPT, lembaga perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilarang mengajukan penawaran untuk kepentingan diri sendiri. (2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat menetapkan lembaga perantara yang memenuhi persyaratan untuk mengajukan penawaran untuk kepentingan diri sendiri. Pasal 14 (1) Bank yang mengikuti kegiatan OPT secara langsung (untuk kepentingan sendiri atau kepentingan pihak lain non bank) maupun tidak langsung wajib menyediakan dana dan atau surat berharga yang cukup di Bank Indonesia untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dan atau surat berharga pada waktu penyelesaian transaksi. (2) Pihak lain yang mengikuti kegiatan OPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib menyediakan dana dan atau surat berharga yang cukup di Bank yang ditunjuknya untuk penyelesaian pembayaran dan atau surat berharga pada waktu penyelesaian transaksi. (3) Dalam …. -9- (3) Dalam hal pada waktu penyelesaian transaksi, Bank atau pihak lain tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat transaksi OPT yang bersangkutan dinyatakan batal. (1) dan ayat (2), BAB VI SANKSI Pasal 15 (1) Dalam hal penawaran yang diajukan Peserta OPT dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), Peserta OPT yang bersangkutan dikenakan sanksi berupa teguran tertulis untuk setiap pembatalan. (2) Dalam hal Peserta OPT dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk ketiga kalinya dalam jangka waktu 6 bulan, maka Peserta OPT yang bersangkutan dikenakan sanksi pemberhentian sementara untuk mengikuti kegiatan OPT selama 5 (lima) hari kerja. Pasal 16 (1) Atas batalnya transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3), Bank atau pihak lain yang bersangkutan dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban .… -10- b. kewajiban membayar sebesar 1 0/00 (satu per seribu) dari nilai nominal transaksi yang dinyatakan batal atau Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah); sebanyak-banyaknya (2) Atas batalnya transaksi yang ketiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank atau pihak lain juga dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OPT selama 5 (lima) hari kerja. BAB VII PENUTUP Pasal 17 Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 18 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 21/53/KEP/DIR tanggal 27 Oktober 1988 tentang Perdagangan Surat Berharga Pasar Uang, b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/84/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Tata Cara Penggunaan Diskonto I, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 19 …. -11- Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 25 Nopember 2002. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 Nopember 2002 GUBERNUR BANK INDONESIA, Ttd SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 126 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 4/ 9 /PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA I. UMUM Dalam rangka mendukung tujuan Bank Indonesia, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia melaksanakan Operasi Pasar Terbuka sebagai salah satu cara pengendalian moneter sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Pasal 10 ayat (1) huruf b.1). Salah satu ukuran keberhasilan pencapaian tujuan dimaksud adalah laju inflasi tahunan yang terkendali yang ditetapkan sebagai sasaran akhir dari pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter. Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, Bank Indonesia dapat menerapkan kerangka kebijakan moneter melalui pengendalian jumlah uang beredar (target kuantitas) atau suku bunga (target suku bunga). Dalam hal kebijakan moneter difokuskan pada pengendalian jumlah uang beredar, Bank Indonesia menetapkan uang primer atau komponennya sebagai target operasional, dan jumlah uang beredar baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas sebagai target antara. Dalam hal kebijakan moneter difokuskan pada pengendalian suku bunga, Bank Indonesia .… -2- Indonesia menetapkan suku bunga pasar jangka pendek sebagai target operasional. Untuk mencapai target operasional tersebut baik dalam kerangka kebijakan moneter berdasarkan target kuantitas atau target suku bunga, Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter melalui Operasi Pasar Terbuka yang bersifat kontraksi atau ekspansi. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Komponen uang primer terdiri dari: a. uang kartal yang ada di Bank dan masyarakat; b. saldo giro Bank dalam Rupiah di Bank Indonesia. Pasal 3 .… -3- Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai. Huruf c Yang dimaksud dengan FASBI adalah fasilitas yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank untuk menempatkan dananya di Bank Indonesia. Huruf d Yang termasuk dalam transaksi jual beli valuta asing terhadap Rupiah antara lain adalah transaksi spot dan swap. Pasal 5 …. -4- Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Yang dimaksud dengan: a. Pembelian secara lepas (Outright buying) adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Bank Indonesia tanpa kewajiban untuk menjual kembali. b. Penjualan secara lepas (Outright selling) adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Bank Indonesia tanpa kewajiban untuk membeli kembali. c. Penjualan secara bersyarat (Repurchase Agreement/Repo) adalah transaksi penjualan bersyarat surat berharga oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. d. Pembelian secara bersyarat bersyarat surat berharga oleh Bank kepada Bank Indonesia (Reverse Repo) adalah transaksi pembelian dengan kewajiban penjualan kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 .… -5- Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan lembaga perantara antara lain pialang pasar uang, pialang pasar modal dan Primary Dealer. Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain badan hukum non bank, badan lainnya dan perorangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan peserta langsung adalah peserta yang mengikuti kegiatan OPT secara langsung dengan Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan peserta tidak langsung adalah peserta yang mengikuti kegiatan OPT melalui peserta langsung. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 .… -6- Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 .… -7- Pasal 17 Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain: a. persyaratan dan penetapan peserta OPT; b. persyaratan dan tata cara pengajuan penawaran serta penatausahaan surat berharga dalam rangka OPT; c. persyaratan dan penetapan lembaga perantara yang dapat mengajukan penawaran untuk kepentingan diri sendiri; d. pelaksanaan dan penyelesaian penyediaan FASBI; e. tata cara pengenaan sanksi. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4243 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 4/9/PBI/2002 </reg_id> <reg_title> OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title> <set_date> 18 Nopember 2002 </set_date> <effective_date> 25 Nopember 2002 </effective_date> <replaced_reg> '23/84/KEP/DIR|SKDIR-BI/1991', '21/53/KEP/DIR|SKDIR-BI/1988' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
-1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/ 22 /PBI/2011 TENTANG KEWAJIBAN PELAPORAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa penarikan devisa utang luar negeri sangat diperlukan untuk mendukung tersedianya pasokan valuta asing yang berkesinambungan di pasar domestik dan upaya menjaga kestabilan nilai rupiah; b. bahwa agar penarikan devisa utang luar negeri dapat berjalan secara optimal, maka telah ditetapkan kebijakan mengenai penarikan devisa utang luar negeri; c. bahwa untuk mendukung pelaksanaan kebijakan mengenai penarikan devisa utang luar negeri, perlu dilakukan pemantauan atas penarikan devisa utang luar negeri melalui perbankan Indonesia; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Kewajiban Pelaporan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri. Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia… -2- Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN PELAPORAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan : 1. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh surat penunjukan dari Bank Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia. 2. Penduduk… -3- 2. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia paling kurang 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut ULN adalah utang Penduduk kepada bukan Penduduk, dalam valuta asing. 4. Debitur Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut Debitur ULN adalah perorangan, badan hukum bukan bank dan badan lainnya yang memiliki ULN. 5. Devisa Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut DULN adalah devisa yang diperoleh Debitur ULN dari penarikan ULN. 6. Pelapor DULN adalah Debitur ULN. 7. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia. BAB II PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI Pasal 2 Setiap DULN wajib ditarik oleh Debitur ULN melalui Bank Devisa sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penarikan devisa utang luar negeri. BAB III LAPORAN PENARIKAN DULN Pasal 3 (1) Penarikan DULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib dilaporkan oleh Pelapor DULN kepada Bank Indonesia secara benar dan lengkap, serta tepat waktu. (2) Laporan… -4- (2) Laporan penarikan DULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan laporan data realisasi penarikan ULN sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan utang luar negeri. BAB IV JANGKA WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN PENARIKAN DULN Pasal 4 (1) Laporan penarikan DULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib disampaikan kepada Bank Indonesia setiap bulan, dengan waktu penyampaian dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 pada bulan berikutnya. (2) Laporan penarikan DULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dokumen pendukung yang dapat membuktikan bahwa penarikan DULN telah dilakukan melalui Bank Devisa. (3) Apabila tanggal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka laporan penarikan DULN disampaikan pada hari kerja berikutnya. BAB V PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN PENARIKAN DULN Pasal 5 (1) Penyampaian laporan penarikan DULN kepada Bank Indonesia dilakukan melalui media online, media offline atau menggunakan hardcopy. (2) Penyampaian dokumen pendukung bukti penarikan DULN kepada Bank Indonesia menggunakan kurir atau melalui pos, faksimili, email atau media lainnya. Pasal 6… -5- Pasal 6 Laporan penarikan DULN yang memuat data/informasi individual yang disampaikan kepada Bank Indonesia bersifat rahasia. BAB VI PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN PENARIKAN DULN Pasal 7 (1) Bank Indonesia meneliti kebenaran atas laporan penarikan DULN yang disampaikan oleh Pelapor DULN. (2) Dalam hal terdapat keraguan atas kebenaran penarikan DULN yang disampaikan oleh Pelapor DULN, Bank Indonesia dapat meminta penjelasan kepada Pelapor DULN. (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pelapor DULN kepada Bank Indonesia paling lama 6 (enam) bulan sejak berakhirnya jangka waktu kewajiban penyampaian laporan. (4) Dalam hal Pelapor DULN tidak menyampaikan penjelasan sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka Pelapor DULN dianggap tidak melakukan penarikan DULN melalui Bank Devisa. BAB VII KETERLAMBATAN PENYAMPAIAN LAPORAN PENARIKAN DULN Pasal 8 (1) Dalam hal Pelapor DULN menyampaikan laporan penarikan DULN dan dokumen pendukung penarikan DULN melampaui batas akhir penyampaian laporan… -6- laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), maka Pelapor DULN dianggap terlambat menyampaikan laporan penarikan DULN dan dokumen pendukung penarikan DULN. (2) Dalam hal Pelapor DULN tidak menyampaikan laporan penarikan DULN dan dokumen pendukung penarikan DULN sampai dengan 6 (enam) bulan terhitung sejak batas akhir penyampaian laporan penarikan DULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), maka Pelapor DULN dianggap tidak menyampaikan laporan penarikan DULN dan dokumen pendukung penarikan DULN. (3) Dalam hal Pelapor DULN tidak dapat membuktikan penarikan DULN telah dilakukan melalui Bank Devisa sampai dengan 6 (enam) bulan terhitung sejak batas akhir penyampaian laporan penarikan DULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), maka Pelapor DULN dianggap tidak melakukan penarikan DULN melalui Bank Devisa. BAB VIII PENJELASAN TERTULIS TERKAIT PENARIKAN DULN Pasal 9 (1) Dalam hal terdapat akumulasi nilai DULN yang ditarik oleh Debitur ULN lebih kecil dari komitmen, maka Pelapor DULN harus menyampaikan penjelasan tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Penjelasan tertulis sebagai dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama sebelum berakhirnya jangka waktu ULN. (3) Dalam hal Pelapor DULN tidak menyampaikan penjelasan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka Pelapor DULN dianggap tidak melakukan penarikan selisih antara komitmen dan akumulasi penarikan DULN melalui Bank Devisa. BAB IX… -7- BAB IX SANKSI Pasal 10 (1) Pelapor DULN yang terlambat menyampaikan laporan penarikan DULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan utang luar negeri. (2) Pelapor DULN yang tidak menyampaikan laporan penarikan DULN kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan utang luar negeri. Pasal 11 (1) Pelapor DULN yang terlambat menyampaikan dokumen pendukung penarikan DULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan untuk setiap pelapor DULN, dengan denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (2) Pelapor DULN yang tidak menyampaikan dokumen pendukung penarikan DULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Pasal 12 (1) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11 disetorkan ke rekening Kas Negara yang berada di Bank Indonesia. (2) Pelaksanaan… -8- (2) Pelaksanaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pelapor DULN setelah menerima surat pemberitahuan secara tertulis dari Bank Indonesia dengan tembusan kepada Kantor Kas Negara. (3) Pelapor DULN harus menyampaikan fotokopi bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda kepada Bank Indonesia dan Kantor Kas Negara. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 13 (1) Kewajiban pelaporan penarikan DULN melalui Bank Devisa yang berasal dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, dikecualikan dari kewajiban pelaporan penarikan DULN. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi penarikan DULN yang berasal dari penambahan plafon ULN karena adanya perubahan perjanjian (amendment), yang ditandatangani setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11 mulai diberlakukan untuk laporan penarikan DULN bulan Juni 2012 yang disampaikan pada bulan Juli 2012. Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2012. Agar… -9- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 September 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 30 September 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 95 DInt -10- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/ 22 /PBI/2011 TENTANG KEWAJIBAN PELAPORAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI I. UMUM Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009, salah satu tugas Bank Indonesia adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Dalam rangka implementasi kebijakan moneter tersebut, Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter melalui berbagai cara yang dianggap efektif. Untuk merumuskan kebijakan moneter tersebut, perlu didukung dengan ketersediaan data yang lengkap, akurat dan tepat waktu. Salah satu permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah volatilitas nilai tukar yang terjadi akibat ketidakstabilan pasokan valuta asing di pasar domestik. Kepemilikan asing yang dominan dalam investasi portfolio berpotensi meningkatkan kerentanan perekonomian Indonesia terhadap risiko pembalikan modal seketika (sudden capital reversal). Sebagai langkah antisipasi dan upaya meminimalisir risiko tersebut, diperlukan kontinuitas pasokan dana valuta asing yang relatif stabil. Dana valuta asing yang berasal dari penarikan devisa utang luar negeri diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif untuk memasok sumber dana yang relatif stabil, dibandingkan dana yang berasal dari investasi portfolio pihak asing. Mempertimbangkan… -11- Mempertimbangkan hal tersebut, Bank Indonesia memandang perlu mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan penarikan devisa utang luar negeri dilakukan melalui Bank Devisa. Untuk memastikan bahwa kebijakan penarikan devisa utang luar negeri tersebut berjalan efektif, maka Debitur ULN diwajibkan melaporkan penarikan devisa utang luar negeri kepada Bank Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dokumen pendukung antara lain berupa SWIFT message. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penyampaian laporan penarikan DULN melalui media on line (web technology) dan offline adalah media penyampaian… -12- penyampaian laporan sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan ULN. Ayat (2) Penyampaian dokumen pendukung bukti penarikan DULN agar disampaikan ke alamat: a. Bagian Penatausahaan dan Publikasi Pinjaman Luar Negeri Direktorat Internasional - Bank Indonesia Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt.5 Jalan MH. Thamrin No.2 JAKARTA PUSAT b. E-mail : [email protected] Penyampaian dokumen pendukung bukti penarikan DULN dapat disampaikan melalui faksimili, email dan melalui kurir atau jasa ekspedisi. Dalam hal pengiriman dilakukan oleh kurir atau jasa ekspedisi, batas penerimaan di Bank Indonesia paling lama pukul 16.15 WIB. Sedangkan untuk pengiriman dokumen melalui pos, tanggal penerimaan dokumen di Bank Indonesia adalah menggunakan tanggal stempel pos. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … -13- Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penjelasan” adalah pemberian keterangan secara tertulis dengan dilengkapi bukti pembukuan, catatan, dan dokumen lain yang diperlukan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Perusahaan A melakukan realisasi penarikan Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 15 Oktober 2012. Batas waktu penyampaian laporan penarikan DULN tersebut seharusnya pada tanggal 10 November 2012, namun karena tanggal 10 dan 11 November 2012 jatuh pada hari libur, maka batas waktu penyampaian laporan penarikan DULN menjadi tanggal 12 November 2012. Perusahaan A baru menyampaikan laporan penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 14 November 2012. Dengan demikian, maka perusahaan A terlambat selama 2 (dua) hari. Ayat (2) Perusahaan B melakukan realisasi penarikan Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 15 Juni 2012. Batas waktu penyampaian laporan penarikan DULN tersebut adalah tanggal 10 Juli 2012. Perusahaan B baru menyampaikan laporan penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 5 Februari 2013. Dengan demikian, maka Perusahaan B terlambat lebih dari 6 (enam) bulan sehingga dianggap tidak menyampaikan laporan. Ayat (3) … -14- Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud “laporan penarikan DULN” adalah laporan realisasi penarikan ULN. Contoh 1: Perusahaan C melakukan realisasi penarikan Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 15 Oktober 2012. Batas waktu penyampaian laporan penarikan DULN tersebut seharusnya pada tanggal 10 November 2012, namun karena tanggal 10 dan 11 November 2012 jatuh pada hari libur, maka batas waktu penyampaian laporan penarikan DULN menjadi tanggal 12 November 2012. Perusahaan C baru menyampaikan laporan penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 19 November 2012. Dengan demikian, maka perusahaan C terlambat selama 3 (tiga) hari (tanggal 15 dan 16 November 2012 tidak dihitung karena hari libur nasional sementara tanggal 17 dan 18 November 2012 bukan merupakan hari kerja). Atas keterlambatan tersebut, Perusahaan C dikenakan sanksi denda sebesar 3 (tiga) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah). Contoh 2: Perusahaan D melakukan realisasi penarikan Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 15 Juni 2012. Batas waktu penyampaian laporan … -15- laporan penarikan DULN tersebut adalah tanggal 10 Juli 2012. Perusahaan D baru menyampaikan laporan penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 26 Desember 2012. Dengan demikian, maka perusahaan D terlambat selama 112 (seratus dua belas) hari. Atas keterlambatan tersebut, Perusahaan D seharusnya dikenakan sanksi denda sebesar 112 (seratus dua belas) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp11.200.000,00 (sebelas juta dua ratus ribu rupiah). Namun berhubung denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per pelapor, maka perusahaan D hanya dikenakan denda maksimal sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Contoh 1: Perusahaan F melakukan realisasi penarikan Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 15 Oktober 2012. Batas waktu penyampaian dokumen pendukung penarikan DULN tersebut seharusnya pada tanggal 10 November 2012, namun karena tanggal 10 dan 11 November 2012 jatuh pada hari libur, maka batas waktu penyampaian dokumen pendukung penarikan DULN menjadi tanggal 12 November 2012. Perusahaan F baru menyampaikan dokumen pendukung penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 19 November 2012. Dengan demikian, maka perusahaan F terlambat selama 3 (tiga) hari (tanggal 15 dan 16 November 2012 tidak dihitung karena hari libur nasional, sementara tanggal 17 dan 18 November 2012 bukan merupakan hari kerja). Atas keterlambatan tersebut, Perusahaan F dikenakan sanksi denda sebesar … -16- sebesar 3 (tiga) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah). Contoh 2: Perusahaan G melakukan realisasi penarikan Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 15 Juni 2012. Batas waktu penyampaian dokumen pendukung penarikan DULN tersebut adalah tanggal 10 Juli 2012. Perusahaan G baru menyampaikan dokumen pendukung penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 26 Desember 2012. Dengan demikian, maka perusahaan G terlambat selama 112 (seratus dua belas) hari. Atas keterlambatan tersebut, Perusahaan G seharusnya dikenakan sanksi denda sebesar 112 (seratus dua belas) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp11.200.000,00 (sebelas juta dua ratus ribu rupiah). Namun berhubung denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per pelapor, maka perusahaan G hanya dikenakan denda maksimal sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Ayat (2) Contoh: Perusahaan H melakukan realisasi penarikan Perjanjian Kredit (Loan Agreement) pada tanggal 15 Juni 2012. Batas waktu penyampaian dokumen pendukung penarikan DULN tersebut adalah tanggal 10 Juli 2012. Perusahaan H baru menyampaikan dokumen pendukung penarikan DULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 5 Februari 2013. Dengan demikian, maka Perusahaan H terlambat lebih dari 6 (enam) bulan sehingga dianggap tidak menyampaikan dokumen pendukung. Dengan demikian, maka perusahaan H dikenakan denda maksimal sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Pasal 12… -17- Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Perusahaan I memperoleh ULN dalam bentuk Loan Agreement sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta US Dollar) yang ditandatangani pada tanggal 26 Agustus 2010 dengan jatuh tempo 26 Agustus 2015. Pada tanggal 25 September 2012, perjanjian tersebut diubah dengan menaikkan plafon ULN tersebut menjadi sebesar USD150.000.000,00 (seratus lima puluh juta US Dollar). Penarikan DULN atas penambahan plafon ULN tersebut sebesar USD50.000.000,00 (lima puluh juta US Dollar) wajib dilakukan melalui Bank Devisa dan dilaporkan ke Bank Indonesia. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5243
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 13/22/PBI/2011 </reg_id> <reg_title> KEWAJIBAN PELAPORAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI </reg_title> <set_date> 30 September 2011 </set_date> <effective_date> 2 Januari 2012 </effective_date> <issued_date> 30 September 2011 </issued_date> <related_reg> '24/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/ 4 /PBI/2002 TENTANG PENCABUTAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/201/KEP/DIR TANGGAL 29 JANUARI 1999 SEBAGAIMANA TERTUANG DALAM SURAT KEPUTUSAN BERSAMA ANTARA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN GUBERNUR BANK INDONESIA NOMOR KEP-046/KM.17/1999 DAN NOMOR 31/201/KEP/DIR TENTANG PROGRAM PENJAMINAN EKSPOR DALAM RANGKA PENGGERAKAN SEKTOR RIIL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menggerakkan ekspor, memberdayakan eksportir dalam melancarkan kegiatan usahanya serta meningkatkan tingkat kepercayaan kepada perbankan nasional, pemerintah dan Bank Indonesia memberikan fasilitas penjaminan terhadap Letter of Credit impor dan Kredit Modal Kerja dalam rangka ekspor melalui Program Penjaminan Ekspor Dalam Rangka Penggerakan Sektor Riil; b. bahwa fasilitas penjaminan dimaksud diberikan dengan mempertimbangkan kondisi perbankan saat itu yang tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi; c. bahwa … -2- c. bahwa dalam perkembangannya dan seiring dengan semakin membaiknya perekonomian nasional, perbankan nasional mulai dapat menjalankan kembali fungsi intermediasinya tanpa program penjaminan pemerintah; d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah dan Bank Indonesia memandang perlu untuk menghentikan program penjaminan ekspor sesuai dengan kewenangan masing-masing; e. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk melakukan pencabutan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/201/KEP/DIR tanggal 29 Januari 1999 sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia Nomor KEP- 046/KM.17/1999 dan Nomor 31/201/KEP/DIR tentang Program Penjaminan Ekspor Dalam Rangka Penggerakan Sektor Riil; Mengingat : Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); Memperhatikan … -3- Memperhatikan : Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor KEP-113/KM.6/2002 tanggal 20 Mei 2002 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KEP- 046/KM.17/1999 tanggal 29 Januari 1999 tentang Program Penjaminan Ekspor Dalam Rangka Penggerakan Sektor Riil; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PENCABUTAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/201/KEP/DIR TANGGAL 29 JANUARI 1999 SEBAGAIMANA TERTUANG DALAM SURAT KEPUTUSAN BERSAMA ANTARA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN GUBERNUR BANK INDONESIA NOMOR KEP-046/KM.17/1999 DAN NOMOR 31/201/KEP/DIR TENTANG PROGRAM PENJAMINAN EKSPOR DALAM RANGKA PENGGERAKAN SEKTOR RIIL. Pasal 1 (1) Mencabut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/201/KEP/DIR tanggal 29 Januari 1999 yang merupakan bagian dari Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia Nomor KEP-046/KM.17/1999 dan Nomor 31/201/KEP/DIR tentang Program Penjaminan Ekspor dalam rangka … - 4 - rangka Penggerakan Sektor Riil, kecuali untuk Letter of Credit (L/C) impor dan Kredit Modal Kerja yang dijamin dalam Program Penjaminan Ekspor sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia Nomor KEP- 046/KM.17/1999 dan Nomor 31/201/KEP/DIR yang masih berjalan dan belum jatuh tempo dan yang sudah jatuh tempo namun belum diselesaikan pembayarannya. (2) Khusus untuk Letter of Credit (L/C) impor dan Kredit Modal Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/201/KEP/DIR tanggal 29 Januari 1999 dinyatakan tidak berlaku sejak berakhirnya proses penyelesaian pembayaran Letter of Credit (L/C) impor dan Kredit Modal Kerja dimaksud. (3) Sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Letter of Credit (L/C) impor dan Kredit Modal Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diperbolehkan untuk diperpanjang. Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku surut sejak tanggal 20 Mei 2002. Ditetapkan … - 5 - Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 6 Juni 2002 GUBERNUR BANK INDONESIA, SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 68 DLN.
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 4/4/PBI/2002 </reg_id> <reg_title> PENCABUTAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/201/KEP/DIR TANGGAL 29 JANUARI 1999 SEBAGAIMANA TERTUANG DALAM SURAT KEPUTUSAN BERSAMA ANTARA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN GUBERNUR BANK INDONESIA NOMOR KEP-046/KM.17/1999 DAN NOMOR 31/201/KEP/DIR TENTANG PROGRAM PENJAMINAN EKSPOR DALAM RANGKA PENGGERAKAN SEKTOR RIIL </reg_title> <set_date> 6 Juni 2002 </set_date> <effective_date> 20 Mei 2002 </effective_date> <replaced_reg> '31/201/KEP/DIR|KEPBER-BI-MENKEU/1999|1', 'KEP-046/KM.17/1999|KEPBER-BI-MENKEU/1999|1' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/20/PBI/2000 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank menghadapi risiko pendanaan jangka pendek yang disebabkan terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar; b. bahwa untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut, Bank Indonesia sebagai lender of the last resort dapat memberikan kredit kepada bank umum yang dijamin dengan agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan; c. bahwa untuk lebih memperlancar penyediaan fasilitas pendanaan jangka pendek bagi bank umum, maka ketentuan mengenai hal tersebut perlu disempurnakan; d. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, dipand ang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai fasilitas pendanaan jangka pendek bagi bank umum dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN … -2- MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha perbankan konvensional; 2. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek yang selanjutnya disebut FPJP adalah fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada Bank yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek; 3. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) yang diperkirakan dapat mengakibatkan terjadinya saldo giro negatif; 4. Saldo Giro Negatif adalah saldo rekening giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia yang menunjukkan angka negatif pada saat Bank Indonesia menutup sistem akunting; 5. Sertifikat Bank Indonesia yang untuk selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga atas unjuk dalam Rupiah yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek dan diperdagangkan dengan sistem diskonto; 6. Obligasi Pemerintah adalah Surat Utang Negara Republik Indonesia dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan dapat diperdagangkan; 7. Pasar … -3- 7. Pasar Uang Antar Bank yang untuk selanjutnya disebut PUAB adalah kegiatan pinjam meminjam dana antara satu Bank dengan Bank lainnya. Pasal 2 (1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek dapat memperoleh FPJP dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) FPJP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dipergunakan untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek. (3) FPJP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan maksimum sebesar perkiraan Saldo Giro Negatif Bank yang dihitung oleh Bank (self assessment). BAB II PERSYARATAN FPJP Pasal 3 (1) Permohonan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib diajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan dilampiri perjanjian kredit dan perjanjian gadai. (2) Permohonan FPJP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dijamin dengan agunan milik Bank berupa: a. SBI yang mempunyai sisa jangka waktu sekurang- kurangnya 3 (tiga) hari dan selama-lamanya 30 (tiga puluh) hari pada saat FPJP jatuh waktu; b. Obligasi Pemerintah yang mempunyai sisa jangka waktu sekurang-kurangnya 15 (lima belas) hari pada saat FPJP jatuh waktu; dan atau c. surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. (3) Persyaratan… -4- (3) Persyaratan sisa jangka waktu agunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan huruf b dapat diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia. (4) Penetapan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c ditetapkan kemudian dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 4 (1) Nilai agunan yang wajib diserahkan kepada Bank Indonesia ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar jumlah FPJP. (2) Dalam hal agunan berupa SBI, nilai agunan ditetapkan sebesar 100% (seratus perseratus) dari nilai jual SBI pada tanggal permohonan FPJP. (3) Dalam hal agunan berupa Obligasi Pemerintah, nilai agunan ditetapkan sebesar 115% (seratus lima belas perseratus) dari nilai pasar Obligasi Pemerintah pada tanggal permohonan FPJP. (4) Perhitungan nilai jual SBI dan nilai pasar Obligasi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (5) Perubahan persentase nilai agunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 5 (1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang diserahkan kepada Bank Indonesia harus bebas dari segala bentuk perikatan, sengketa, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain dan atau Bank Indonesia. (2) Bank yang telah memperoleh FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilarang untuk memperjualbelikan dan atau menjaminkan kembali surat berharga yang masih dalam status sebagai agunan FPJP. (3) Bank … -5- (3) Bank wajib mengganti agunan FPJP apabila tidak memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan ayat (2). (4) Apabila Bank tidak mengganti agunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) maka berdasarkan peraturan ini, Bank Indonesia dibebaskan dari segala bentuk tanggung jawab yang timbul dan yang mungkin timbul kepada pihak-pihak lain yang terkait dengan agunan. Pasal 6 (1) Jangka waktu setiap FPJP adalah 1 (satu) hari kerja (overnight). (2) Bank dapat menggunakan FPJP sebanyak-banyaknya 90 (sembilan puluh) hari berturut-turut. Pasal 7 Bank yang mengajukan FPJP wajib memenuhi persyaratan: a. ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum yang berlaku; dan b. tingkat kesehatan Bank dalam waktu 3 (tiga) bulan terakhir berturut-turut sekurang-kurangnya cukup sehat sebagaimana tercantum dalam administrasi Bank Indonesia. Pasal 8 (1) Bank Indonesia mengenakan biaya bunga kepada Bank atas penggunaan FPJP. (2) Biaya bunga FPJP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebesar nilai tertinggi dari: a. rata-rata tertimbang suku bunga PUAB keseluruhan jangka waktu overnight pada 1 (satu) hari kerja sebelum permohonan FPJP ditambah marjin tertentu; atau b. rata … -6- b. rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI jangka waktu 1 (satu) bulan pada lelang terakhir ditambah marjin tertentu. (3) Marjin tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan sebesar 200 (dua ratus) basis points. (4) Marjin tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat disesuaikan sewaktu-waktu dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB III PELUNASAN DAN EKSEKUSI AGUNAN Pasal 9 (1) Pada saat FPJP jatuh waktu, Bank Indonesia mendebet rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. (2) Dalam hal pada saat FPJP jatuh waktu, saldo giro Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk pelunasan FPJP maka: a. Bank dapat mengajukan permohonan FPJP yang baru dengan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 8; atau b. Apabila Bank tidak mengajukan permohonan FPJP baru maka Bank Indonesia mengeksekusi agunan FPJP dengan cara menjual sesuai dengan harga pasar. (3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, Bank Indonesia dapat mengeksekusi agunan FPJP dengan cara menjual sesuai dengan harga pasar apabila dana pada saldo giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk pelunasan dan Bank yang bersangkutan telah menggunakan FPJP selama 90 (sembilan puluh) hari berturut-turut. (4) Selama dalam proses eksekusi agunan, Bank tetap dikenakan biaya bunga sampai dengan eksekusi agunan selesai dilaksanakan. (5) Apabila … -7- (5) Apabila hasil eksekusi agunan lebih kecil dari nilai FPJP dan kewajiban bunga yang harus dilunasi oleh Bank maka Bank wajib menyetor untuk memenuhi kekurangannya. (6) Apabila hasil eksekusi agunan lebih besar dari nilai FPJP dan kewajiban bunga yang harus dilunasi oleh Bank maka Bank Indonesia mengembalikan kelebihan tersebut kepada Bank. BAB IV PENGAWASAN Pasal 10 Dalam rangka pengawasan atas penggunaan FPJP oleh Bank, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank yang bersangkutan. BAB V SANKSI Pasal 11 Penggunaan FPJP yang tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) dikenakan sanksi berupa: a. tidak dapat memperoleh FPJP selama batas waktu tertentu; dan b. sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB VI … -8- BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 12 Ketentuan lebih lanjut mengenai FPJP diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Pasal 13 Persyaratan Bank yang mengajukan FPJP sebagaimana diatur dalam Pasal 7 mulai berlaku sejak 1 Januari 2002. Pasal 14 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/1/PBI/1999 tanggal 18 Mei 1999 tentang Fasilitas Pendanaan Dalam Rangka Mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 15 … -9- Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 12 September 2000 a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA ANWAR NASUTION DEPUTI GUBERNUR SENIOR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 153 DPM, DPNP -10- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 2/20/PBI/2000 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM I. UMUM Bank dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya menghadapi risiko likuiditas berupa kesulitan pendanaan jangka pendek yang apabila tidak segera diatasi dapat menimbulkan masalah yang lebih besar dan bersifat struktural. Kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami Bank disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara arus dana masuk dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch). Kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut dapat mengakibatkan terjadinya saldo giro Bank pada Bank Indonesia menjadi negatif. Untuk menutup kesulitan pendanaan yang bersifat jangka pendek, pada dasarnya Bank pertama-tama harus mengupayakan dana di pasar uang, dengan menggunakan berbagai instrumen pasar uang yang tersedia. Dalam hal Bank gagal memperoleh dana di pasar uang, maka Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai lender of the last resort dapat membantu Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut. Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia dapat memberikan kredit kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Sejalan dengan hal tersebut, Bank -11- Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek kepada Bank, dengan maksud agar kelangsungan kegiatan usaha Bank dan kelancaran sistem pembayaran dapat terpelihara. Pemberian kredit oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud di atas berupa penyediaan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) yang dijamin dengan agunan berupa Sertifikat Bank Indonesia, Obligasi Pemerintah dan/atau surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Pada dasarnya FPJP hanya diberikan kepada Bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek dan tidak mengalami kesulitan struktural, sehingga ditetapkan persyaratan pemenuhan kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) dan tingkat kesehatan Bank. Namun demikian, sejalan dengan program restrukturisasi perbankan yang diperkirakan akan tuntas pada akhir tahun 2001, maka persyaratan pemenuhan KPMM dan tingkat kesehatan Bank tersebut akan diberlakukan mulai 1 Januari 2002. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. -12- Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal agunan FPJP berupa Obligasi Pemerintah dalam rangka program rekapitalisasi perbankan maka Obligasi Pemerintah tersebut harus merupakan Obligasi Pemerintah yang berada dalam portofolio perdagangan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 1/10/PBI/1999 tanggal 3 Desember 1999, Peraturan Bank Indonesia 2/2/PBI/2000 tanggal 21 Januari 2000 dan Peraturan Bank Indonesia No. 2/10/PBI/2000 tanggal 29 Maret 2000. Huruf c Yang dimaksud dengan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan antara lain meliputi surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah atau badan hukum lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. -13- Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa FPJP semata- mata hanya digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang bersifat sementara dan tidak untuk mengatasi kesulitan pendanaan yang bersifat struktural seperti kesulitan yang menyangkut permodalan. -14- Pasal 8 Ayat (1) Pengenaan biaya bunga FPJP dilakukan dengan rumus sebagai berikut: (Jumlah FPJP) x (suku bunga FPJP) x (jangka waktu) 360 Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan PUAB keseluruhan adalah transaksi PUAB pada sesi pagi dan sesi sore yang tercatat dalam Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU). Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. -15- Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 10 Pemeriksaan terhadap Bank yang menerima Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dapat dilakukan pada periode diterimanya atau setelah jatuh waktu FPJP. Pasal 11 Penyimpangan penggunaan FPJP adalah penggunaan FPJP yang tidak sesuai dengan tujuan FPJP untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek (mismatch). Jangka waktu sanksi Bank tidak dapat memperoleh FPJP akan ditetapkan sesuai dengan berat ringannya pelanggaran. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Pemberlakuan persyaratan penarikan FPJP mulai 1 Januari 2002 dengan mempertimbangkan bahwa pada saat itu program restrukturisasi perbankan diperkirakan akan selesai dilakukan. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. -16- TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3999 DPM, DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/20/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 12 September 2000 </set_date> <effective_date> 12 September 2000 </effective_date> <replaced_reg> '1/1/PBI/1999' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/2 /PBI/2000 TENTANG PENATAUSAHAAN DAN PERDAGANGAN OBLIGASI PEMERINTAH GUBERNUR BANK INDONESIA Menimbang: a. bahwa untuk menutup kekurangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara dalam rangka pembiayaan pembangunan nasional termasuk pembiayaan penyertaan modal negara pada Bank Umum dalam rangka pelaksanaan Program Restrukturisasi dan Penyehatan Perbankan Nasional, Pemerintah dapat menerbitkan Obligasi; b. bahwa Obligasi Pemerintah dapat mempengaruhi penetapan kebijakan moneter dan dapat merupakan sarana untuk melaksanakan kebijakan moneter; c. bahwa dalam rangka penerbitan Obligasi, Pemerintah telah memberi kewenangan dan tanggung jawab kepada Bank Indonesia untuk melakukan penatausahaan pengembangan pasar Obligasi Pemerintah; dan d. bahwa ….. - 2 - d. bahwa guna melaksanakan kewenangan tersebut secara tertib, efisien dan efektif maka dipandang perlu untuk mengatur penatausahaan dan perdagangan Obligasi Pemerintah dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998 tentang Program Rekapitalisasi Bank Umum (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3799); 5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999 tentang Portfolio Obligasi Pemerintah bagi Bank Umum Peserta Program ….. - 3 - Program Rekapitalisasi (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 211, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3917); Memperhatikan : Persetujuan Bersama antara Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 28 Mei 1999 mengenai Penatausahaan Penerbitan Surat Utang Negara Republik Indonesia. MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENATAUSAHAAN DAN PERDAGANGAN OBLIGASI PEMERINTAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. 2. Obligasi Pemerintah adalah Surat Utang Negara Republik Indonesia dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; Unit Obligasi, yang selanjutnya disebut Obligasi, adalah pecahan dari Obligasi Pemerintah; 3. Pasar ….. - 4 - 3. 4. Pasar Perdana Obligasi adalah kegiatan penjualan Obligasi pada saat penerbitan; Pasar Sekunder Obligasi adalah kegiatan perdagangan Obligasi setelah pasar perdana; 5. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998; 6. Central Registry adalah lembaga yang melakukan pencatatan kepemilikan Obligasi baik untuk kepentingan Bank, Sub-Registry, Market Maker maupun pihak-pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia; 7. Sub-Registry adalah lembaga yang melakukan pencatatan kepemilikan Obligasi untuk kepentingan nasabahnya; 8. Market Maker adalah lembaga yang bertindak sebagai penggerak pasar dalam rangka memelihara pasar sekunder yang kompetitif dan likuid; 9. Bank Indonesia-Sistem Kliring, Registrasi dan Informasi Obligasi Pemerintah, yang untuk selanjutnya disebut BI-SKRIP, adalah sistem pencatatan yang meliputi Central Registry dan Sub-Registry untuk keperluan kliring dan setelmen Obligasi; 10. Book Entry Registry yang untuk selanjutnya disebut BER adalah sistem pencatatan Obligasi tanpa warkat dalam suatu jurnal elektronis; 11. Repurchase Agreement atau disingkat Repo adalah transaksi penjualan atau pembelian penjualan kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati; 12. Outright adalah transaksi pembelian atau penjualan Obligasi secara tunai tanpa kewajiban untuk menjual atau membeli kembali; 13. Pasar ….. Obligasi bersyarat dengan kewajiban pembelian atau - 5 - 13. Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek sebagaimana diatur Undang-Undang tentang Pasar Modal yang berlaku; 14. Pusat Informasi Pasar Uang yang untuk selanjutnya disebut PIPU adalah sistem otomasi yang menyediakan informasi pasar uang yang diatur oleh Bank Indonesia. BAB II FUNGSI BANK INDONESIA DALAM PENERBITAN DAN PENATAUSAHAAN OBLIGASI Pasal 2 (1) Bank Indonesia dapat membantu Pemerintah dalam menerbitkan Obligasi. (2) Penatausahaan Obligasi baik di pasar perdana maupun pasar sekunder dilakukan oleh Bank Indonesia. (3) Bank Indonesia dapat mendorong pengembangan pasar Obligasi sesuai ketentuan di bidang pasar modal. Pasal 3 Dalam membantu penerbitan Obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Bank Indonesia dapat melakukan hal-hal sebagai berikut : a. Memberikan ….. - 6 - a. Memberikan masukan kepada Pemerintah terutama dalam menetapkan ketentuan dan persyaratan penerbitan Obligasi; b. Menjual Obligasi di pasar perdana melalui lelang dan membukukan hasil penjualan untuk untung rekening Pemerintah pada Bank Indonesia; c. Menunjuk peserta lelang. Pasal 4 Dalam penatausahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Bank Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Mengoperasikan sistem BI–SKRIP; b. Menunjuk Sub-Registry; c. Melaksanakan kliring dan setelmen Obligasi bagi Bank, Sub-Registry, Market Maker dan pihak-pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia; d. Memberikan kepastian kepemilikan bagi pemegang Obligasi; e. Melaksanakan pembayaran kupon dan pokok Obligasi pada saat jatuh waktu; f. Membeli kembali Obligasi untuk kepentingan Pemerintah dalam rangka pelunasan atas beban rekening Pemerintah. Pasal 5 Dalam hal pengembangan pasar Obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Bank Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Mengembangkan tata cara perdagangan Obligasi; b. Melakukan kerjasama dengan otoritas pasar modal; c. Menyediakan ….. - 7 - c. Menyediakan informasi mengenai keadaan pasar termasuk fluktuasi harga, volume dan frekuensi transaksi Obligasi; d. Menunjuk Market Maker. BAB III PENCATATAN KEPEMILIKAN, KLIRING DAN SETELMEN OBLIGASI Pasal 6 (1) Obligasi diterbitkan tanpa warkat. (2) Setiap Obligasi memiliki nilai nominal sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Pasal 7 (1) Seluruh kepemilikan Obligasi dicatat dalam BI–SKRIP. (2) BI-SKRIP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. Sistem Central Registry; b. Sistem Sub-Registry; c. Sistem dan prosedur kliring dan setelmen; d. Ketentuan operasional. (3) Catatan kepemilikan Obligasi dalam BI-SKRIP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bukti kepemilikan. Pasal 8 ….. - 8 - Pasal 8 (1) Sistem Central Registry dioperasikan oleh Bank Indonesia dengan menggunakan BER. (2) Transaksi Obligasi yang dapat diselesaikan dan dipindahkan hak kepemilikannya melalui Central Registry adalah transaksi Obligasi yang dilakukan oleh dan atau melalui pihak-pihak yang memiliki rekening Obligasi pada Central Registry. (3) Pencatatan dalam sistem BER mencakup : a. Kepemilikan Obligasi yang tercatat secara sah pada peserta BER; b. Seluruh kepemilikan Obligasi yang tercatat pada Sub-Registry. Pasal 9 (1) Dalam mendukung kelancaran tugas Central Registry, Bank Indonesia menunjuk Bank maupun bukan Bank sebagai Sub-Registry. (2) Central Registry dan Sub-Registry melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan Obligasi. (3) Sub-Registry berfungsi untuk melakukan pencatatan kepemilikan dan setelmen untuk rekening Obligasi nasabahnya serta melakukan pembayaran kupon dan pokok Obligasi kepada pemilik Obligasi yang menjadi nasabahnya. (4) Transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki rekening Obligasi di Central Registry diselesaikan melalui Sub-Registry. (5) Sub-Registry tidak diperbolehkan untuk memelihara rekening Obligasi untuk diri sendiri, direksi, dewan komisaris dan pemegang saham. (6) Catatan ….. - 9 - (6) Catatan kepemilikan Obligasi di dalam Sub-Registry sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan bukti kepemilikan. (7) Atas fungsi yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Sub- Registry dapat mengenakan fee kepada pemilik Obligasi yang menjadi nasabahnya. Pasal 10 (1) Penyelesaian transaksi Obligasi dilakukan atas dasar prinsip Delivery Versus Payment (DVP) . (2) Penyelesaian transaksi Obligasi juga dapat dilakukan atas dasar Free Transfer. Pasal 11 (1) Obligasi dapat dijadikan agunan oleh pemilik Obligasi. (2) Bank dan Market Maker yang akan mengagunkan Obligasi wajib melaporkan kepada Central Registry. (3) Pemilik Obligasi yang tercatat pada Sub-Registry dan mengagunkan Obligasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan kepada Sub-Registry. (4) Sub-Registry wajib melaporkan kepada Central Registry atas Obligasi yang diagunkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). (5) Kelalaian dalam memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dikenakan sanksi. (6). Obligasi ….. - 10 - (6) Obligasi yang diagunkan tidak dapat diperdagangkan selama jangka waktu pengagunan. (7) Central Registry menerbitkan Surat Keterangan Surat Berharga yang Diagunkan (SKSD) kepada Bank dan Market Maker atas Obligasi yang akan diagunkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (8) Sub-Registry menerbitkan SKSD kepada nasabahnya atas Obligasi yang diagunkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). Pasal 12 (1) Central-Registry menerbitkan Konfirmasi Pencatatan Surat Berharga (KPS) sebagai bukti pencatatan kepemilikan Obligasi kepada Bank Indonesia, Bank, Sub-Registry, Market Maker dan pihak-pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (2) Sub-Registry menerbitkan KPS kepada setiap nasabah sebagai bukti pencatatan kepemilikan Obligasi. (3) KPS yang diterbitkan Central Registry dan Sub-Registry tidak dapat diperdagangkan dan dijadikan agunan. (4) Dalam hal terjadi perselisihan karena perbedaan pencatatan antara Sub- Registry dengan nasabahnya, Bank Indonesia berhak menginstruksikan Sub- Registry untuk mengoreksi pencatatan kepemilikan dimaksud. Pasal 13 ….. - 11 - Pasal 13 (1) Pembayaran kupon Obligasi dilakukan oleh Central Registry atau Sub- Registry berdasarkan posisi kepemilikan Obligasi yang tercatat pada BI- SKRIP. (2) Pembayaran kupon Obligasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan (terms and conditions) dari masing-masing seri Obligasi yang diterbitkan. Pasal 14 (1) Pokok Obligasi yang jatuh waktu dilunasi sebesar nilai nominal. (2) Pelunasan pokok Obligasi dan kupon yang terakhir dilakukan pada saat tanggal jatuh waktu. (3) Pembayaran pokok Obligasi dan kupon terakhir dilakukan oleh Central Registry atau Sub-Registry berdasarkan posisi kepemilikan Obligasi yang tercatat pada BI-SKRIP. (4) Pembayaran pokok Obligasi dan kupon terakhir sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan dari masing-masing seri Obligasi yang diterbitkan. Pasal 15 (1) Kliring dan setelmen transaksi Obligasi yang diselenggarakan melalui BI- SKRIP dapat dilakukan atas dasar sistem netting. 2. Sistem ….. - 12 - (2) Sistem netting sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan secara novasi dan substitusi. (3) Perubahan sistem setelmen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 16 (1) Pihak-pihak bukan Bank yang melakukan transaksi Obligasi wajib menunjuk Bank untuk melakukan penyelesaian transaksi pembayaran. (2) Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memiliki saldo giro pada Bank Indonesia dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kewajiban penyelesaian transaksi pembayaran. BAB IV TATA CARA PERDAGANGAN OBLIGASI PEMERINTAH Pasal 17 (1) Perdagangan Obligasi dapat dilakukan dengan cara over the counter dan atau di bursa. (2) Perdagangan Obligasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tunduk pada ketentuan mengenai Pasar Modal. Pasal ….. - 13 - Pasal 18 (1) Bank Indonesia menunjuk Bank maupun bukan Bank yang akan bertindak sebagai Market Maker. (2) Market Maker wajib setiap saat memberikan kuotasi harga jual dan harga beli atas Obligasi tertentu dengan kewajiban untuk membeli atau menjual Obligasi dimaksud. (3) Bank Indonesia dapat menetapkan rentang (spread) harga jual dan harga beli dalam kuotasi harga dan jumlah minimum yang ditawarkan oleh Market Maker dalam batasan kuotasi dimaksud (4) Market Maker diperkenankan untuk melakukan “short selling” dalam batasan tertentu. (5) Short selling sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat ditutup (squaring) selambat-lambatnya pada akhir hari penyelesaian transaksi. (6) Petunjuk pelaksanaan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB V PENGAWASAN DAN PELAPORAN Pasal 19 Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Sub-Registry dan Market Maker atas kegiatan yang terkait dengan Obligasi. Pasal ….. - 14 - Pasal 20 (1) Sub-Registry dan Market Maker wajib menyampaikan laporan kegiatan usaha setiap bulan pada minggu pertama bulan berikutnya. (2) Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat meminta laporan dan informasi dari Sub-Registry dan Market Maker sesuai kebutuhan. (3) Sub-Registry atas nama nasabahnya, Market Maker, dan Bank wajib segera melaporkan informasi mengenai kegiatan perdagangan Obligasi kepada Central Registry sekurang-kurangnya mencakup harga, nominal transaksi, identitas pembeli dan penjual serta tanggal penyelesaian transaksi yang disepakati melalui PIPU. Pasal 21 (1) Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi kepada Sub-Registry dan Market Maker atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku. (2) Sanksi dimaksud dapat berupa penghentian sementara atau pencabutan atas penunjukan sebagai Sub-Registry dan atau Market Maker. Pasal 22 Petunjuk pelaksanaan dan pengaturan lebih rinci dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal….. - 15 - Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 Januari 2000 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 4 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/2/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> PENATAUSAHAAN DAN PERDAGANGAN OBLIGASI PEMERINTAH </reg_title> <set_date> 21 Januari 2000 </set_date> <effective_date> 21 Januari 2000 </effective_date> <related_reg> '1/10/PBI/1999', '23/UU/1999', '84/PP/1998', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V Pasal 21' </penalty_list>