input
stringlengths 912
558k
| output
stringlengths 234
2.18k
|
---|---|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 11/ 7 /PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/29/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN
UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2004
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah
ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat
sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender);
b. bahwa untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada
desain uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh
ribu) sebagai legal tender di Negara Kesatuan Republik
Indonesia, diperlukan penyempurnaan desain uang
rupiah antara lain mengenai penandatanganan pada
uang, penempatan letak tahun pengeluaran atau tahun
emisi, dan tahun pencetakan uang;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu
untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang
Kertas Rupiah Pecahan 20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun
Emisi 2004;
Mengingat . . .
-2-
Mengingat
: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004
tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4762);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 6/29/PBI/2004 TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG
KERTAS . . .
-3-
KERTAS RUPIAH PECAHAN 20.000 (DUA PULUH
RIBU) TAHUN EMISI 2004.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/29/PBI/2004
tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 20.000 (Dua
Puluh Ribu) Tahun Emisi 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 163) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 adalah:
1. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
hijau;
2. Gambar
a. bagian muka
1) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional, dan dibawahnya
dicantumkan tulisan “OTO ISKANDAR DI NATA”;
2) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan
pada sebelah kanan dengan arah vertikal, terdapat angka nominal
“20000”;
3) pada sebelah kiri gambar utama atau tepat di bawah angka nominal
“20000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia
secara utuh;
4) pada . . .
-4-
4) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan tepat di bawah tulisan
tersebut terdapat tulisan “DUA PULUH RIBU RUPIAH”;
5) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila;
6) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam
bidang segi lima yang dicetak dengan tinta khusus (optical variable
ink) yang akan berubah warna dari warna magenta menjadi warna
hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu;
7) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun
pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan tahun
pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan
Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan
tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan
“DEPUTI GUBERNUR”;
8) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen tertentu;
9) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” yang hanya dapat
dibaca dengan bantuan kaca pembesar yang terdapat pada:
a) sebelah kanan gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di
Nata yang berbentuk garis vertikal dari atas ke bawah;
b) sebelah kanan atas di sekitar gambar Lambang Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila dan pada
sebelah kanan bawah tanda tangan Gubernur Bank Indonesia
dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia berbentuk
lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda yaitu dari besar
ke kecil.
b. bagian belakang
1) gambar utama berupa gambar Pemetik Teh;
2) pada . . .
-5-
2) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
3) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN
YANG SAH DENGAN NILAI DUA PULUH RIBU RUPIAH”;
4) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah
kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “20000”;
5) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar kehijauan di bawah sinar
ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK
INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan
memendar kekuningan di bawah sinar ultra violet;
6) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya
akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
7) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “20000”
terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP” dan
angka tahun pengeluaran atau tahun emisi “2004”;
8) pada sebelah kiri bawah tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata
berupa gambar sehelai daun teh yang akan memendar kehijauan
di bawah sinar ultra violet;
9) di bagian kiri atas gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata
berupa angka nominal “20000” yang akan memendar kuning
kehijauan di bawah sinar ultra violet;
10) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” yang hanya dapat
dibaca dengan bantuan kaca pembesar yang terdapat:
a) pada sebelah kiri atas dan bawah, berbentuk lengkungan
dengan ukuran teks yang berbeda yaitu dari besar ke kecil;
b) di . . .
-6-
b) di tepi bagian atas dan bawah pada sisi sebelah kiri dan kanan
uang yang berbentuk diagonal.
3. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
a. terbuat dari serat kapas;
b. ukuran panjang 147 mm dan lebar 65 mm;
c. warna hijau muda;
d. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
e. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata;
f. benang pengaman berbentuk anyaman.
2. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 5 A,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5 A
Uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih
tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan . . .
-7-
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Maret 2009.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Maret 2009.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 44
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/7/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/29/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2004 </reg_title>
<set_date> 3 Maret 2009 </set_date>
<effective_date> 3 Maret 2009 </effective_date>
<issued_date> 3 Maret 2009 </issued_date>
<changed_reg> '6/29/PBI/2004' </changed_reg>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/14/PBI/2004', '23/UU/1999', '9/10/PBI/2007', '6/UU/2009' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/ 9 /PBI/2010
TENTANG
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM MELAKSANAKAN
AKTIVITAS KEAGENAN PRODUK KEUANGAN LUAR NEGERI OLEH
BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa pesatnya inovasi produk keuangan telah
menghasilkan berbagai instrumen investasi yang memiliki
kompleksitas tinggi dalam rangka memenuhi kebutuhan
investasi nasabah;
b. bahwa meningkatnya keterkaitan pasar keuangan global
yang ditunjang dengan membaiknya teknologi informasi
telah meningkatkan akses nasabah terhadap produk
keuangan luar negeri;
c. bahwa dengan meningkatnya keterlibatan bank dalam
aktivitas yang berkaitan dengan produk keuangan luar
negeri, maka disadari bahwa aktivitas tersebut selain
memberikan manfaat juga berpotensi menimbulkan
berbagai risiko bagi bank dan nasabah;
d. bahwa . . .
- 2 -
d. bahwa krisis pasar keuangan global yang terjadi saat ini
yang dipicu pelemahan pasar keuangan Amerika Serikat
secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada
sistem keuangan Indonesia;
e. bahwa dengan meningkatnya tekanan risiko pasar
keuangan, bank perlu menerapkan manajemen risiko
terutama terkait dengan mekanisme pengelolaan dan
pengendalian risiko;
f.
bahwa semakin meningkatnya kompleksitas produk
keuangan luar negeri harus diiringi dengan peningkatan
kualitas transparansi informasi kepada masyarakat dalam
rangka menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem
keuangan;
g. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf f
dipandang perlu untuk mengatur ketentuan tentang prinsip
kehati-hatian dalam melaksanakan aktivitas keagenan
produk keuangan luar negeri oleh bank umum dalam
Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang . . .
- 3 -
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal
19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi
Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 56; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4292) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 103; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5029);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tanggal
20 Januari 2005 tentang Transparansi Informasi Produk
Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 16,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4475).
MEMUTUSKAN: . . .
- 4 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM MELAKSANAKAN
AKTIVITAS KEAGENAN PRODUK KEUANGAN LUAR
NEGERI OLEH BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank
asing yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
2. Produk Keuangan Luar Negeri adalah instrumen investasi yang diterbitkan
penerbit asing di luar negeri yang mencakup Instrumen Investasi Asing
Efek dan Instrumen Investasi Asing Selain Efek.
3.
Instrumen Investasi Asing Efek adalah Efek yang diterbitkan oleh
orang-perseorangan atau badan hukum asing sesuai ketentuan yang
ditetapkan oleh otoritas yang berwenang di bidang pasar modal di
Indonesia.
4.
Instrumen Investasi Asing Selain Efek adalah produk keuangan luar negeri
selain efek yang diterbitkan oleh bank di luar negeri yang merupakan
Structured Products.
5. Efek adalah surat berharga yaitu surat pengakuan utang, surat berharga
komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, Unit Penyertaan kontrak
investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek.
6. Structured . . .
- 5 -
6. Structured Product adalah produk Bank sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai prinsip kehati-hatian dalam
melaksanakan kegiatan Structured Product bagi bank umum.
7. Aktivitas Keagenan adalah seluruh aktivitas yang dilakukan bank secara
langsung maupun tidak langsung meliputi:
a. Menindaklanjuti permintaan nasabah Bank di dalam negeri atas
Produk Keuangan Luar Negeri;
b. Menawarkan Produk Keuangan Luar Negeri kepada nasabah/calon
nasabah yang dilakukan baik melalui penawaran secara tatap muka
maupun melalui cara penawaran lainnya, termasuk pemberian
informasi mengenai pasar keuangan dan produk keuangan luar negeri
yang dapat mempengaruhi keputusan nasabah untuk membeli produk
keuangan luar negeri;
c. Menjadi Referral Agent yaitu menawarkan produk keuangan luar
negeri yang merupakan produk dari kantor Bank atau kantor pusat
Bank di luar negeri, termasuk memberikan informasi mengenai
ketersediaan produk keuangan luar negeri tertentu di Kantor Bank
dan/atau Kantor Pusat Bank di luar negeri.
8. Nasabah adalah:
a. perseorangan atau badan yang menggunakan atau menerima fasilitas
Bank baik dalam bentuk produk dan/atau jasa;
b. perseorangan atau badan yang akan menggunakan atau diberikan
fasilitas oleh Bank baik dalam bentuk produk dan/atau jasa.
9. Dewan Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah
komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang
Perseroan Terbatas;
b. bagi
. . .
- 6 -
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perkoperasian;
d. bagi Kantor Cabang Bank Asing adalah pejabat yang ditunjuk Kantor
Pusat Bank Asing untuk melakukan fungsi pengawasan.
10. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan
Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan
Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perkoperasian;
d. bagi Kantor Cabang Bank Asing adalah pimpinan Kantor Cabang
Bank Asing.
BAB II
RUANG LINGKUP AKTIVITAS KEAGENAN
PRODUK KEUANGAN LUAR NEGERI
Pasal 2
Persyaratan Bank
(1) Bank hanya dapat melakukan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar
Negeri setelah memperoleh persetujuan prinsip dari Bank Indonesia.
(2) Untuk . . .
- 7 -
(2) Untuk menjadi agen Instrumen Investasi Asing Efek, selain memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank harus memenuhi
persyaratan sebagai agen Instrumen Investasi Asing Efek sesuai ketentuan
yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang di bidang pasar modal di
Indonesia.
(3) Bank dilarang bertindak sebagai sub agen dalam melakukan Aktivitas
Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri.
Pasal 3
Kriteria Produk Keuangan Luar Negeri
(1) Produk Keuangan Luar Negeri yang dapat diageni oleh Bank di Indonesia
paling kurang wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
b.
telah dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia.
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Produk
Keuangan Luar Negeri berupa Instrumen Investasi Asing Selain Efek yang
dapat diageni penjualannya oleh Bank harus berupa Structured Product dan
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diterbitkan oleh bank di luar negeri yang memiliki kantor cabang di
Indonesia;
b. dikaitkan dengan variabel dasar berupa nilai tukar dan/atau suku
bunga; dan
c. bukan merupakan kombinasi berbagai instrumen dengan transaksi
derivatif valuta asing terhadap rupiah dalam rangka yield enhancement
yang bersifat spekulatif.
(3) Selain . . .
telah terdaftar dan/atau memenuhi ketentuan dari otoritas berwenang
di negara asal penerbit; dan
- 8 -
(3) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Produk
Keuangan Luar Negeri berupa Instrumen Investasi Asing Efek yang dapat
diageni penjualannya melalui Bank di Indonesia, wajib telah terdaftar dan
memperoleh ijin otoritas yang berwenang di bidang pasar modal di
Indonesia.
(4) Produk Keuangan Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
termasuk dalam program penjaminan Pemerintah karena bukan merupakan
simpanan pada Bank.
Pasal 4
Kriteria Penerbit Produk Keuangan Luar Negeri
Penerbit Produk Keuangan Luar Negeri yang dapat dijadikan mitra kerjasama
dengan Bank dalam Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri wajib
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.
b. merupakan badan yang menjadi objek pengawasan dari otoritas berwenang
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Pasal 5
Klasifikasi Nasabah
(1) Dalam melakukan aktivitas keagenan produk keuangan luar negeri, Bank
wajib menetapkan klasifikasi Nasabah yang terdiri dari:
a. Nasabah non-retail; dan
b. Nasabah retail.
(2) Nasabah . . .
terdaftar dan memiliki ijin usaha dari otoritas berwenang di negara asal
tempat penerbit berkedudukan; dan
- 9 -
(2) Nasabah digolongkan sebagai Nasabah non-retail sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a apabila Nasabah tersebut memiliki
pemahaman terhadap karakteristik, fitur dan risiko dari Produk Keuangan
Luar Negeri, dan terdiri dari:
a. Perusahaan yang bergerak di bidang keuangan yang terdiri dari:
1. Bank;
2. perusahaan efek;
3. perusahaan pembiayaan;
4. pedagang kontrak berjangka;
5. dana pensiun; atau
6. perusahaan perasuransian.
b. Perusahaan selain perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf a
yang pada awal investasi pada setiap Produk Keuangan Luar Negeri
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Memiliki modal paling kurang lebih besar dari
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau
ekuivalennya dalam valuta asing; dan
2. Telah melakukan kegiatan usaha paling kurang 36 (tiga puluh
enam) bulan berturut-turut.
c. Nasabah Perorangan yang pada saat awal investasi pada setiap Produk
Keuangan Luar Negeri memiliki portofolio aset berupa kas, giro,
tabungan, dan/atau deposito, paling kurang Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing.
(3) Nasabah digolongkan sebagai Nasabah retail sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b apabila Nasabah tersebut tidak memenuhi kriteria
sebagai Nasabah non-retail sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Bank . . .
- 10 -
(4) Bank wajib melakukan pengkinian terhadap klasifikasi Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila
terdapat hal-hal yang dapat mengakibatkan perubahan klasifikasi yang telah
ditetapkan terhadap Nasabah dimaksud.
Pasal 6
Kriteria Nasabah
(1) Bank dilarang untuk menawarkan Produk Keuangan Luar Negeri kepada
Nasabah retail.
(2) Bank hanya dapat menawarkan Produk Keuangan Luar Negeri kepada
Nasabah non-retail sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal, Perbankan, Perasuransian, dan
Dana Pensiun yang berlaku.
(3) Bank hanya dapat menawarkan Produk Keuangan Luar Negeri berupa
Instrumen Investasi Asing Efek kepada Nasabah non-retail sesuai ketentuan
yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang di bidang pasar modal di
Indonesia.
BAB III
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO
Pasal 7
(1) Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif dalam melakukan
Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri.
(2) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
kurang mencakup:
a. pengawasan . . .
- 11 -
a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;
b. kecukupan kebijakan dan prosedur;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian risiko yang timbul dari aktivitas terkait Produk
Keuangan Luar Negeri; dan
d.
sistem pengendalian intern atas Aktivitas Keagenan Produk Keuangan
Luar Negeri.
Bagian Pertama
PENGAWASAN AKTIF DEWAN KOMISARIS DAN DIREKSI
Pasal 8
Pengawasan Aktif Dewan Komisaris
Pengawasan aktif Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2) huruf a paling kurang mencakup:
a. Persetujuan Dewan Komisaris atas rencana Bank untuk Aktivitas Keagenan
Produk Keuangan Luar Negeri; dan
b. Evaluasi pelaksanaan rencana Bank terkait Aktivitas Keagenan Produk
Keuangan Luar Negeri.
Pasal 9
Pengawasan Aktif Direksi
Pengawasan aktif Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a
paling kurang mencakup:
a. menetapkan rencana Bank untuk Aktivitas Keagenan Produk Keuangan
Luar Negeri;
b. menetapkan . . .
- 12 -
b. menetapkan kebijakan dan prosedur Bank untuk Aktivitas Keagenan
Produk Keuangan Luar Negeri; dan
c. memantau dan mengevaluasi Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar
Negeri.
Bagian Kedua
KECUKUPAN KEBIJAKAN, SISTEM DAN PROSEDUR
Pasal 10
(1) Bank dalam rangka pemenuhan kecukupan kebijakan dan prosedur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b harus memiliki dan
menerapkan kebijakan, sistem, dan prosedur manajemen risiko dalam
Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri.
(2) Kebijakan, sistem, dan prosedur manajemen risiko dalam Aktivitas
Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling kurang meliputi:
a. kebijakan mengenai persyaratan dan kesesuaian profil Produk
Keuangan Luar Negeri yang akan diageni dengan profil risiko
Nasabah;
b. kebijakan penilaian profil risiko nasabah;
c. prosedur pelaksanaan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar
Negeri yang paling kurang mencakup:
1. pelaksanaan kerja sama Aktivitas Keagenan Produk Keuangan
Luar Negeri antara Bank dengan Penerbit Produk Keuangan
Luar Negeri;
2. pelaksanaan . . .
- 13 -
2. pelaksanaan penawaran Produk Keuangan Luar Negeri yang
diageni kepada nasabah termasuk syarat-syarat pengisian
formulir tentang profil risiko Nasabah sebelum pembelian
Produk Keuangan Luar Negeri; dan
3.
eksekusi transaksi Produk Keuangan Luar Negeri yang diageni
dengan Nasabah termasuk sistem pencatatan pada Bank.
d. kebijakan Sumber Daya Manusia yang mengatur penugasan pegawai
tetap Bank untuk menangani Aktivitas Keagenan Produk Keuangan
Luar Negeri;
e. kebijakan mengenai pengelolaan dokumen keagenan termasuk
perjanjian kerjasama secara tertulis antara Bank dengan pihak-pihak
yang terkait dengan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar
Negeri, termasuk dengan penerbit dan/atau kustodian di luar negeri;
f.
prosedur penyelesaian sengketa terkait dengan Aktivitas Keagenan
Produk Keuangan Luar Negeri; dan
g. prosedur untuk melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan,
pengendalian risiko dan informasi untuk Aktivitas Keagenan Produk
Keuangan Luar Negeri.
(3) Perjanjian kerjasama tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e
paling kurang mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. kejelasan hak dan kewajiban masing-masing pihak termasuk waktu
pelaksanaan hak dan kewajiban dan kondisi yang harus dipenuhi
sebelum pelaksanaan hak dan kewajiban;
b. penetapan secara jelas jangka waktu perjanjian kerjasama;
c. penetapan . . .
- 14 -
c. penetapan klausula yang memuat kondisi batalnya perjanjian
kerjasama termasuk klausula yang memungkinkan Bank
menghentikan kerjasama sebelum berakhirnya jangka waktu
perjanjian; dan
d. kejelasan penyelesaian hak dan kewajiban masing-masing pihak
apabila perjanjian kerjasama berakhir dan apabila terjadi pembatalan
perjanjian kerjasama.
Bagian Ketiga
IDENTIFIKASI, PENGUKURAN, PEMANTAUAN, DAN
PENGENDALIAN RISIKO
Pasal 11
Bank dalam rangka pemenuhan Pasal 7 ayat (2) huruf c harus memastikan
bahwa:
a. Bank atau lembaga keuangan yang menjadi pihak-pihak yang terkait
dengan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri telah terdaftar
dan memperoleh ijin dari otoritas berwenang di negara tempat kedudukan
pihak tersebut;
b. Negara tempat kedudukan pihak-pihak yang terkait dengan Aktivitas
Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri memiliki ketentuan mengenai
perlindungan Nasabah yang paling kurang sama dengan ketentuan yang
berlaku di Indonesia;
c. Semua unit kerja terkait Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri
telah memahami dan mempertimbangkan risiko Produk keuangan Luar
Negeri dalam menjalankan Aktivitas Keagenan;
d. Dokumen penawaran Produk Keuangan Luar Negeri yang disampaikan
kepada Nasabah merupakan dokumen tersendiri untuk setiap produk; dan
e. Produk . . .
- 15 -
e. Produk Keuangan Luar Negeri berupa Instrumen Investasi Asing Efek yang
diageni, telah terdaftar dan telah memperoleh ijin dari otoritas yang
berwenang di bidang pasar modal di Indonesia.
Bagian Keempat
SISTEM PENGENDALIAN INTERN
Pasal 12
(1) Bank dalam rangka pemenuhan Pasal 7 ayat (2) huruf d harus melakukan
evaluasi dan audit terhadap Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar
Negeri paling kurang 1 (satu) tahun sekali.
(2) Hasil evaluasi dan audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 5 (lima) hari kerja
setelah laporan hasil audit selesai disusun.
Pasal 13
Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap efektifitas dan
kesesuaian penerapan manajemen risiko Aktivitas Keagenan Produk Keuangan
Luar Negeri.
BAB IV
PERLINDUNGAN NASABAH
Pasal 14
(1) Bank wajib melakukan analisis mengenai Produk Keuangan Luar Negeri
yang akan ditawarkan, antara lain mengenai status, kinerja, dan reputasi
penerbit serta karakteristik dan risiko Produk Keuangan Luar Negeri yang
ditawarkan bagi Bank dan Nasabah.
(2) Dalam . . .
- 16 -
(2) Dalam rangka penawaran, Bank wajib memberikan informasi secara
transparan kepada Nasabah mengenai Produk Keuangan Luar Negeri yang
ditawarkan termasuk penegasan bahwa Produk Keuangan Luar Negeri
tersebut bukan produk Bank yang menjadi agen penjual dan tidak
digolongkan sebagai simpanan pada Bank sehingga tidak termasuk dalam
program penjaminan.
(3)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling kurang mencakup:
a. penerbit, nama, jenis, spesifikasi, karakteristik, dan fitur produk;
b.
fungsi dan kesesuaian produk terhadap kebutuhan nasabah;
c. perhitungan pendapatan atau imbal hasil (return) dari produk;
d.
risiko produk yang ditawarkan termasuk kemungkinan kerugian nilai
investasi Nasabah akibat fluktuasi nilai investasi sesuai kondisi pasar
(market risk), kualitas aset yang mendasari (credit risk), dan risiko
operasional terutama settlement risk;
e. perhitungan perkiraan kerugian terburuk yang mungkin dapat terjadi;
f.
syarat dan kondisi produk yang meliputi biaya-biaya, jangka waktu,
cooling off period, prosedur setelmen, penghentian sebelum jatuh
waktu (early termination); dan
g. mekanisme penyelesaian sengketa.
(4) Dalam rangka menjalankan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar
Negeri, Bank wajib menatausahakan dokumen penawaran Produk
Keuangan Luar Negeri secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
(5) Bank harus memastikan bahwa perjanjian (kontrak) antara Bank dengan
Nasabah memiliki kekuatan hukum, memuat informasi mengenai Produk
Keuangan Luar Negeri yang akan dibeli Nasabah serta memuat informasi
mengenai sarana yang dapat digunakan oleh Nasabah untuk mengetahui
kinerja investasi Produk Keuangan Luar Negeri.
(6) Bank . . .
- 17 -
(6) Bank wajib menyampaikan informasi kinerja investasi kepada Nasabah
yang disampaikan secara transparan yang mencakup nilai investasi,
perubahan nilai investasi, dan alasan perubahan nilai investasi secara
berkala.
BAB V
PRINSIP KEHATIAN-HATIAN
Pasal 15
(1) Bank dilarang melakukan tindakan baik secara langsung maupun tidak
langsung yang dapat mengakibatkan Nasabah menganggap:
a. Produk Keuangan Luar Negeri merupakan produk Bank tersebut;
b. Bank memberikan jaminan atas pencairan Produk Keuangan Luar
Negeri;
c. Bank memberikan kepastian atas besarnya imbal hasil atas Produk
Keuangan Luar Negeri;
d. Bank memberikan jaminan atas pemenuhan kontrak transaksi Produk
Keuangan Luar Negeri berupa Instrumen Investasi Asing Selain Efek
yaitu Structured Product yang mencakup kombinasi transaksi
derivatif dengan transaksi derivatif, untuk kepentingan Nasabah atau
penerbit Produk Keuangan Luar Negeri; dan/atau
e. Bank memberikan komitmen untuk sewaktu-waktu bersedia membeli
(stand by buyer) Produk Keuangan Luar Negeri.
(2) Bank Indonesia dapat menghentikan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan
Luar Negeri tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia aktivitas
keagenan tersebut menjadi tidak sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia
ini dan/atau memiliki peningkatan potensi risiko yang dapat membahayakan
Bank.
(3) Dalam . . .
- 18 -
(3) Dalam melakukan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri,
Bank wajib menerapkan prinsip mengenal nasabah (know your customer
principles) sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk meminimalkan
risiko Bank menjadi sarana dan/atau sasaran tindak pidana pencucian uang.
BAB VI
PERSYARATAN DAN PERSETUJUAN
Pasal 16
Persyaratan
(1) Bank yang dapat mengajukan permohonan persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Bank merupakan Bank Devisa;
b. Bank mencantumkan rencana Aktivitas Keagenan Produk Keuangan
Luar Negeri dalam Rencana Bisnis Bank; dan
c. Bank memiliki sistem operasi dan prosedur yang didukung oleh
teknologi informasi yang memadai untuk dapat menjalankan
manajemen risiko atas Aktivitas Keagenan Produk Keuangan
Luar Negeri.
(2) Rencana Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) sekurang kurangnya meliputi:
a.
jenis Produk Keuangan Luar Negeri yang akan diageni;
b. penjelasan mengenai kelompok Nasabah yang menjadi target Produk
Keuangan Luar Negeri yang akan diageni; dan
c.
estimasi volume Produk Keuangan Luar Negeri yang akan diageni.
Pasal 17 . . .
- 19 -
Pasal 17
Persetujuan
(1) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 harus
disampaikan kepada Bank Indonesia dalam waktu paling kurang 60 (enam
puluh) hari sebelum melaksanakan aktivitas keagenan.
(2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
secara tertulis dan paling kurang memuat:
a.
tanggal rencana pelaksanaan kegiatan keagenan;
b. dokumen kebijakan, standar dan prosedur pelaksanaan Aktivitas
Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10;
c.
struktur organisasi dan pembagian kewenangan serta tanggung jawab
unit/pejabat yang menangani Aktivitas Keagenan Produk Keuangan
Luar Negeri;
d. dokumen hasil identifikasi dan analisis Bank terhadap risiko yang
melekat pada Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri
termasuk risiko hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
e. hasil uji coba metode pengukuran dan pemantauan risiko yang
melekat;
f. Sistem Informasi Akuntansi; dan
g. hasil analisis aspek-aspek hukum.
(3) Dalam hal Bank akan melakukan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan
Luar Negeri berupa Instrumen Investasi Asing Efek, maka selain dokumen
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Bank wajib menyampaikan
dokumen . . .
- 20 -
dokumen dari otoritas berwenang di bidang pasar modal di Indonesia yang
menyatakan bahwa Bank dapat bertindak sebagai agen Instrumen Investasi
Asing Efek.
(4) Dalam rangka pemberian persetujuan permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta dokumen selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(5) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 60 (enam puluh) hari
sejak dokumen diterima lengkap.
BAB VII
PELAPORAN
Pasal 18
(1) Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia setiap Produk Keuangan
Luar Negeri yang akan diageni berupa:
a. Produk Keuangan Luar Negeri yang pertama kali ditawarkan oleh
Bank kepada Nasabah; dan
b. Produk Keuangan Luar Negeri baru.
paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum kegiatan penawaran dimulai.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup
informasi bahwa:
a. Produk Keuangan Luar Negeri telah terdaftar dan/atau memenuhi
ketentuan dari otoritas berwenang di negara asal penerbit; dan
b. Penerbit Produk Keuangan Luar Negeri merupakan lembaga keuangan
di luar negeri yang memiliki ijin dari otoritas berwenang di negara
asal penerbit.
(3) Pelaporan . . .
- 21 -
(3) Pelaporan Produk Keuangan Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a disampaikan setelah Bank memperoleh persetujuan prinsip
untuk melakukan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(4) Bank wajib menyampaikan laporan realisasi aktivitas keagenan Produk
Keuangan Luar Negeri paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kegiatan
penawaran produk untuk pertama kali dilakukan.
(5) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
bagi Instrumen Investasi Asing Selain Efek berupa transaksi derivatif yang
merupakan transaki hedging murni.
Pasal 19
(1) Bank yang telah melakukan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar
Negeri wajib menyampaikan laporan rutin Aktivitas Keagenan Produk
Keuangan Luar Negeri paling lambat tanggal 15 setiap bulan untuk posisi
akhir bulan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran 1.
(2) Apabila tanggal 15 jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur nasional,
laporan rutin disampaikan pada hari kerja berikutnya.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank
Indonesia melalui sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU)
secara online.
(4) Sebelum . . .
- 22 -
(4) Sebelum sistem pelaporan melalui LKPBU secara online sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) terselenggara, Bank wajib menyampaikan laporan
Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri setiap bulan dalam
bentuk hardcopy paling lambat tanggal 15 setiap bulan untuk posisi akhir
bulan.
Pasal 20
(1) Permohonan persetujuan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar
Negeri, Laporan Realisasi Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar
Negeri, dan Laporan Produk Keuangan Luar Negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) disampaikan kepada:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2
Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
(2) Laporan dalam bentuk hardcopy sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (4) disampaikan kepada:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2
Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
dengan tembusan kepada Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat
Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2
Jakarta 10110.
BAB VIII
. . .
- 23 -
BAB VIII
SANKSI
Pasal 21
(1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), pasal 4, Pasal 5 ayat (1)
dan ayat (4), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 14, Pasal 15 ayat (1) dan ayat (3),
Pasal 18 ayat (1) dan ayat (4), dan Pasal 19 ayat (4) dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 tahun 1998 berupa:
a.
teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan Bank;
c.
larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
d. pembekuan dan pencabutan persetujuan untuk kegiatan usaha tertentu,
baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk Bank secara
keseluruhan;
e. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang
Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap
dengan persetujuan Bank Indonesia; dan/atau
f.
pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham
dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c
dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah.
(3) Selain . . .
- 24 -
(3) Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
dan/atau Pasal 6 ayat (3) akan dilaporkan kepada otoritas pasar modal
Indonesia.
(4) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) dikenakan sanksi sebagaimana diatur pada ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku tentang pelaporan melalui Laporan Kantor
Pusat Bank Umum.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 22
(1) Bank yang telah melakukan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar
Negeri sebelum ketentuan ini berlaku wajib mengajukan permohonan ijin
untuk melakukan aktivitas keagenan dan melaporkan Produk Keuangan
Luar Negeri yang telah diageni kepada Bank Indonesia sesuai prosedur
yang berlaku dalam ketentuan ini paling lambat 3 (tiga) bulan sejak
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak mengajukan
permohonan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud pada pasal 21 ayat (1).
(3) Bank yang telah melakukan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar
Negeri namun belum sepenuhnya menerapkan manajemen risiko
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 wajib menyampaikan laporan langkah-
langkah penyelesaian permasalahan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
(4) Bank . . .
- 25 -
(4) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib menyelesaikan
permasalahan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak batas akhir
penyampaian laporan.
(5) Bank yang telah melakukan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar
Negeri sebelum ketentuan ini berlaku wajib menyampaikan laporan Produk
Keuangan Luar Negeri yang telah dipasarkan dalam rangka menyesuaikan
dengan ketentuan pada Peraturan Bank Indonesia ini paling lambat 3 (tiga)
bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
(6) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang tidak menyampaikan
laporan Produk Keuangan Luar Negeri dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1).
(7) Bank yang telah mengageni instrumen Investasi Asing Efek yang telah
dipasarkan namun belum mendapat ijin dari otoritas terkait di dalam negeri
wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang di
bidang pasar modal di Indonesia.
(8) Bank yang pada saat Peraturan Bank Indonesia ini dikeluarkan masih
menata usahakan Produk Keuangan Luar Negeri Nasabah yang tidak sesuai
dengan ketentuan pada Peraturan Bank Indonesia ini, dapat melakukan
penatausahaan Produk Keuangan Luar Negeri sampai jatuh tempo. Dalam
hal produk tersebut tidak mempunyai jatuh tempo, Bank dapat melakukan
early termination atas dasar kesepakatan dengan Nasabah.
Pasal 23
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar . . .
- 26 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Juni 2010
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Juni 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 82
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/ 9 /PBI/2010
TENTANG
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM MELAKSANAKAN
AKTIVITAS KEAGENAN PRODUK KEUANGAN LUAR NEGERI OLEH
BANK UMUM
UMUM
Dalam rangka meningkatkan kegiatan usaha Bank dan mempertahankan
nasabah Bank, bank dituntut untuk meningkatkan operasional pelayanan Bank
kepada nasabahnya. Bank dituntut untuk mengubah strategi bisnis perbankan
sehingga lebih banyak memanfaatkan kemajuan Teknologi Informasi.
Pembelian produk keuangan luar negeri yang dilakukan oleh nasabah
merupakan hal yang dipandang perlu dilayani oleh bank untuk meningkatkan
daya saing Bank dan perolehan pendapatan dari fee based transactions.
Penerapan Teknologi Informasi telah meningkatkan kemampuan bank dalam
kegiatan operasional serta pengelolaan data Bank yang bersifat mendunia seperti
melakukan penawaran, setelmen, dan pemberian informasi atas produk keuangan
luar negeri kepada nasabah secara lebih akurat dan cepat.
Di samping berbagai manfaat dan keunggulan yang diperoleh dari
aktivitas keagenan produk keuangan luar negeri, terdapat pula risiko yang dapat
merugikan Bank serta nasabah seperti risiko hukum, risiko reputasi, dan risiko
penyelesaian transaksi.
Untuk . . .
- 2 -
Untuk mengatasi risiko yang dihadapi Bank dan dalam rangka
memberikan perlindungan kepada nasabah maka Bank wajib menerapkan prinsip
kehati-hatian dalam pelaksanaan kegiatan operasional yang terkait penjualan
produk keuangan luar negeri kepada nasabah termasuk penerapan manajemen
risiko.
Dalam hubungan dengan aktivitas terkait Produk Keuangan Luar Negeri,
Bank juga wajib memperhatikan ketentuan dan peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan Peraturan Bank Indonesia ini, antara lain Undang-Undang
No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
tentang Transaksi Derivatif, Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah,
Transparansi Informasi Produk Perbankan dan Penggunaan Data Pribadi
Nasabah, Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Terorisme
Bagi Bank Umum, Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta
Asing, dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat ini bertujuan
untuk menilai kesiapan Bank dalam melakukan Aktivitas Keagenan
Produk . . .
- 3 -
Produk Keuangan Luar Negeri secara menyeluruh dan bukan
persetujuan terhadap setiap jenis produk yang diageni. Dengan
demikian, persetujuan prinsip bukan merupakan jaminan dalam
bentuk apapun atas kesesuaian, manfaat, risiko, dan kerugian yang
mungkin timbul di antara para pihak yang melakukan transaksi. Pada
dasarnya pihak yang perlu untuk memastikan kesesuaian manfaat,
risiko, dan kerugian yang mungkin timbul dari Aktivitas Keagenan
Produk Keuangan Luar Negeri adalah pihak yang melakukan
transaksi, yaitu Bank, Nasabah, dan mitra kerjasama yang terkait
aktivitas keagenan Produk Keuangan Luar Negeri. Berkenaan dengan
hal tersebut di atas, permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat ini diajukan 1 (satu) kali sebelum Bank melakukan
Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5 . . .
- 4 -
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk mengetahui tingkat pemahaman nasabah atas karakteristik, fitur
dan risiko Produk Keuangan Luar Negeri dapat dilakukan melalui:
1. wawancara yang hasilnya dituangkan dalam bentuk tertulis;
dan/atau
2. questioner yang formatnya dapat ditentukan oleh masing-masing
Bank.
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan perusahaan efek adalah Perusahaan
Efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Pasar Modal.
Angka 3
Yang dimaksud dengan perusahaan pembiayaan adalah
Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Lembaga Pembiayaan.
Angka 4
Yang dimaksud dengan pedagang kontrak berjangka
adalah Pedagang Kontrak Berjangka sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perdagangan
Berjangka Komoditi.
Angka 5 . . .
- 5 -
Angka 5
Yang dimaksud dengan dana pensiun adalah Dana Pensiun
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Dana Pensiun.
Angka 6
Yang dimaksud dengan perusahaan perasuransian adalah
Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Usaha Perasuransian.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan modal adalah ekuitas sebagaimana
dimaksud dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
yang berlaku di Indonesia.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7 . . .
- 6 -
Pasal 7
Ayat (1)
Prinsip-prinsip penerapan manajemen risiko berpedoman pada
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Huruf a
Persetujuan rencana Bank terkait Aktivitas Keagenan Produk
Keuangan Luar Negeri dianggap telah dilakukan apabila di dalam
Rencana Bisnis Bank (RBB) yang telah ditanda tangani oleh
Komisaris mencakup rencana Bank terkait Aktivitas Keagenan Produk
Keuangan Luar Negeri.
Huruf b
Evaluasi atas pelaksanaan rencana Bank terkait Aktivitas Keagenan
Produk Keuangan Luar Negeri dapat dituangkan dalam risalah rapat
Dewan Komisaris atau Laporan Pengawasan Rencana Bisnis
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlaku
tentang Rencana Bisnis Bank.
Pasal 9 . . .
- 7 -
Pasal 9
Huruf a
Rencana Bank dimaksud dituangkan dalam Rencana Bisnis Bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Formulir tentang profil risiko nasabah paling kurang memuat
informasi mengenai:
a.
Jangka waktu investasi;
b. Tujuan investasi;
c. Tingkat risiko yang sanggup ditanggung oleh Nasabah;
d. Keadaan keuangan nasabah terkait dengan jumlah investasi
yang dilakukan pada Produk Keuangan Luar Negeri; dan
e. Pengalaman investasi Nasabah.
Huruf c . . .
- 8 -
Huruf c
Prosedur pelaksanaan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan
Luar Negeri bertujuan memberikan kerangka formal dalam
pelaksanaan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri
yang mencakup penetapan proses pelaksanaan kegiatan,
penetapan wewenang dan tanggung jawab dan keterkaitan antara
unit kerja mulai dari tahap perencanaan sampai dengan
komersialisasi.
huruf d
Di dalam kebijakan Sumber Daya Manusia mencakup secara
jelas kriteria kompetensi yang harus dimiliki pegawai yang dapat
ditugaskan untuk menawarkan Produk Keuangan Luar Negeri,
yaitu paling kurang mencakup:
a. Memiliki pemahaman memadai mengenai Produk
Keuangan Luar Negeri dan risiko terkait serta mampu
menjelaskan sifat dan karakteristik dari Produk Keuangan
Luar Negeri yang dijual kepada Nasabah; dan
b. Memperoleh pelatihan yang memadai dan
berkesinambungan sehingga memiliki pengetahuan
mengenai fitur dan karakteristik Produk Keuangan Luar
Negeri yang ditawarkan kepada Nasabah.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g . . .
- 9 -
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a sampai dengan Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f . . .
- 10 -
Huruf f
Yang dimaksud dengan cooling off period adalah masa jeda
antara waktu pengajuan penawaran oleh Bank dengan waktu
nasabah mengambil keputusan untuk melakukan investasi.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Penyampaian informasi kinerja investasi secara berkala disesuaikan
dengan karakteristik Produk Keuangan Luar Negeri dan dilakukan
secara konsisten.
Contoh:
Untuk Instrumen Investasi Asing Efek kinerja investasi dinyatakan
sebagai Nilai Aktiva Bersih yang paling kurang disajikan secara
bulanan.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 11 -
Huruf b
Hal-hal yang dimuat di dalam Rencana Bisnis Bank mencakup
paling tidak mengenai pengembangan produk dan aktivitas baru.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Permohonan persetujuan yang diajukan kurang dari 60 (enam puluh)
hari sebelum rencana tanggal pelaksanaan aktivitas keagenan, ditolak
oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 12 -
Huruf b
Yang termasuk Produk Keuangan Luar Negeri baru yaitu Produk
Keuangan Luar Negeri yang berbeda fitur dan/atau underlying
assets dan/atau penerbit yang menyebabkan berubahnya tingkat
risiko Produk Keuangan Luar Negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22 . . .
- 13 -
Pasal 22
Ayat (1)
Bank melaporkan seluruh Produk Keuangan Luar Negeri yang telah
diageni sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5139
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/9/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM MELAKSANAKAN AKTIVITAS KEAGENAN PRODUK KEUANGAN LUAR NEGERI OLEH BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 29 Juni 2010 </set_date>
<effective_date> 29 Juni 2010 </effective_date>
<issued_date> 29 Juni 2010 </issued_date>
<related_reg> '7/6/PBI/2005', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '5/8/PBI/2003', '11/25/PBI/2009', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/ 2 /PBI/2017
TENTANG
TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO
DI PASAR UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah;
b. bahwa untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, yang perlu
didukung oleh pasar keuangan yang likuid dan efisien;
c. bahwa untuk mencapai pasar keuangan yang likuid dan
efisien dibutuhkan pengembangan instrumen pasar uang
yang dapat ditransaksikan oleh pelaku pasar uang;
d. bahwa tersedianya instrumen pasar uang juga
memberikan fleksibilitas pengelolaan likuiditas pelaku
pasar uang dan mendorong pembiayaan ekonomi
nasional;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan
- 2 -
Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito di Pasar Uang;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016
tentang Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5909);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI
SERTIFIKAT DEPOSITO DI PASAR UANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai perbankan,
- 3 -
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri.
2. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
mengenai pasar modal.
3. Kustodian adalah kustodian sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang yang mengatur mengenai pasar
modal.
4. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah
perusahaan pialang sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
perusahaan pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing.
5. Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk
deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat
dipindahtangankan.
6. Transaksi Sertifikat Deposito adalah pemindahtanganan
secara jual-beli putus (outright) Sertifikat Deposito yang
dilakukan melalui Pasar Uang dengan kesepakatan harga,
mekanisme penyelesaian, dan penatausahaan tertentu.
7. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang selanjutnya
disingkat LPP adalah pihak yang menyelenggarakan
kegiatan kustodian sentral bagi Bank Kustodian,
Perusahaan Efek, dan pihak lain untuk kepentingan
pencatatan dan penatausahaan Sertifikat Deposito dalam
bentuk tanpa warkat.
8. Bukan Penduduk adalah orang, badan hukum, atau
badan lainnya yang tidak berdomisili di Indonesia atau
berdomisili di Indonesia kurang dari 1 (satu) tahun dan
kegiatan utamanya tidak di Indonesia.
9. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang
bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam-
meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai
dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang Rupiah dan valuta
asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan moneter,
pencapaian stabilitas sistem keuangan, dan kelancaran
sistem pembayaran.
- 4 -
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
Sertifikat Deposito yang diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini adalah Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di
Pasar Uang.
BAB III
KRITERIA SERTIFIKAT DEPOSITO YANG DITRANSAKSIKAN
DI PASAR UANG
Pasal 3
(1) Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang
wajib memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. diterbitkan dalam bentuk tanpa warkat (scripless);
b. bunga dibayarkan secara diskonto;
c. diterbitkan dalam denominasi rupiah dan/atau
valuta asing;
d. diterbitkan dengan besaran nominal paling sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau
ekuivalennya dalam valuta asing, dan selanjutnya
dengan kelipatan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing;
e. memiliki tenor paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan, yaitu 1 (satu)
bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, 9 (sembilan)
bulan, 12 (dua belas) bulan, 24 (dua puluh empat)
bulan, atau 36 (tiga puluh enam) bulan; dan
f. didaftarkan dan ditatausahakan di Bank Indonesia
atau LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria Sertifikat
Deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 5 -
BAB IV
PELAKU DALAM TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO
Pasal 4
(1) Pelaku dalam Transaksi Sertifikat Deposito meliputi:
a. penerbit Sertifikat Deposito; dan
b. pihak yang melakukan Transaksi Sertifikat Deposito.
(2) Penerbit Sertifikat Deposito sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a adalah Bank.
(3) Pihak yang melakukan Transaksi Sertifikat Deposito
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu:
a. Bank;
b. Perusahaan Efek; dan
c. nasabah.
(4) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
meliputi:
a. Bank;
b. Perusahaan Efek;
c. korporasi;
d. orang perseorangan; dan
e. Bukan Penduduk.
(5) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus
melakukan Transaksi Sertifikat Deposito melalui
perantara pelaksanaan transaksi.
BAB V
PERIZINAN
Pasal 5
(1) Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito yang
ditransaksikan di Pasar Uang wajib memperoleh izin dari
Bank Indonesia.
(2)
Izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diperlukan untuk Bank yang pertama kali menerbitkan
Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang.
(3)
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam
hal Bank memenuhi kriteria tertentu.
- 6 -
(4) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a.
telah memperoleh persetujuan untuk menerbitkan
Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat
(scripless) dari otoritas yang berwenang; dan
b. memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan
Bank Indonesia.
(5) Dalam hal Bank Indonesia menunjuk LPP, Bank harus
menyampaikan salinan surat izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada LPP sebagai bagian dari dokumen
pendukung pendaftaran instrumen Sertifikat Deposito
dalam penatausahaan LPP.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perizinan diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 6
(1) Bank yang telah memperoleh izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) wajib menyampaikan informasi
penerbitan kepada Bank Indonesia setiap kali Bank
menerbitkan Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di
Pasar Uang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
informasi penerbitan diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
Pasal 7
(1) Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang yang bertindak
sebagai perantara pelaksanaan Transaksi Sertifikat
Deposito wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia.
(2) Kustodian yang menatausahakan Sertifikat Deposito yang
ditransaksikan di pasar uang wajib memperoleh izin dari
Bank Indonesia.
(3) Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
Bank dan Perusahaan Efek.
- 7 -
(4)
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diberikan dalam hal Perusahaan Efek, Perusahaan
Pialang, dan Bank memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memperoleh izin kegiatan usaha perantara
pelaksanaan transaksi dan/atau Kustodian dari
otoritas yang berwenang; dan
b. memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan
Bank Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perizinan diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VI
TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO
Pasal 8
(1) Transaksi Sertifikat Deposito dilakukan secara langsung
atau melalui perantara pelaksanaan transaksi.
(2) Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling lama 5
(lima) hari kerja setelah transaksi (t+5).
(3) Penghitungan harga Transaksi Sertifikat Deposito
menggunakan konvensi penghitungan hari (day-count
convention) yaitu Actual/360.
(4) Penghitungan harga dalam Transaksi Sertifikat Deposito
dapat mengacu pada suku bunga acuan yang berlaku
secara umum di Pasar Uang.
Pasal 9
(1) Bank dan Perusahaan Efek dilarang menjual Sertifikat
Deposito yang berdenominasi rupiah dan/atau valuta
asing kepada Bukan Penduduk di pasar sekunder.
(2) Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang dilarang
memberikan jasa perantara penjualan Sertifikat Deposito
yang berdenominasi rupiah dan/atau valuta asing dari
nasabah penduduk kepada Bukan Penduduk di pasar
sekunder.
- 8 -
Pasal 10
Sertifikat Deposito dapat menjadi underlying untuk transaksi
repo (repurchase agreement) yang dilakukan di Pasar Uang.
BAB VII
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN, MANAJEMEN RISIKO,
DAN PENGAWASAN
Pasal 11
Bank, Perusahaan Efek, dan Perusahaan Pialang yang
melakukan kegiatan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini wajib menerapkan prinsip kehati-hatian
dan manajemen risiko sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang.
Pasal 12
Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Sertifikat
Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar
uang.
Pasal 13
Dalam hal berdasarkan evaluasi dan penilaian Bank Indonesia
terdapat permasalahan yang mengganggu kemampuan Bank,
Perusahaan Efek, dan Perusahaan Pialang dalam melakukan
kegiatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
ini, Bank Indonesia dapat membatalkan izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 7.
BAB VIII
PELAPORAN
Pasal 14
(1) Bank dan Perusahaan Efek yang melakukan Transaksi
Sertifikat Deposito untuk kepentingan sendiri dan/atau
yang memberikan jasa perantara pelaksanaan Transaksi
- 9 -
Sertifikat Deposito nasabah wajib menyampaikan laporan
transaksi secara periodik kepada Bank Indonesia.
(2) Perusahaan Pialang yang memberikan jasa perantara
pelaksanaan Transaksi Sertifikat Deposito nasabah wajib
menyampaikan laporan transaksi nasabahnya secara
periodik kepada Bank Indonesia.
(3) LPP yang ditunjuk Bank Indonesia wajib menyampaikan
laporan atas penatausahaan Sertifikat Deposito secara
periodik kepada Bank Indonesia.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) dilakukan melalui sistem pelaporan Bank
Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaporan
kepada Bank Indonesia diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
BAB IX
SANKSI
Pasal 15
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) dan/atau Pasal 5 ayat (1) dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol
satu persen) dari nilai nominal penerbitan, paling sedikit
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
per penerbitan.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) dan/atau Pasal 7 ayat (2) dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(3) Perusahaan Efek atau Perusahaan Pialang yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
dan/atau Pasal 7 ayat (2), dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(4) Bank atau Perusahaan Efek yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol
- 10 -
satu persen) dari nilai nominal transaksi yang tidak
memenuhi persyaratan dimaksud, paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per
transaksi.
(5) Perusahaan Efek atau Perusahaan Pialang yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol
koma nol satu persen) dari nilai nominal transaksi yang
tidak memenuhi persyaratan dimaksud, paling sedikit
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
per transaksi.
(6) Bank, Perusahaan Efek, dan/atau Perusahaan Pialang
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
(7) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan harian bank umum.
(8) Perusahaan Efek yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan Perusahaan Pialang
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal
14 ayat (2) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan oleh
perusahaan efek dan perusahaan pialang.
Pasal 16
(1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 5
ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (2), Pasal 9 ayat (1),
dan/atau Pasal 11, sebanyak 3 (tiga) kali selama 6 (enam)
bulan dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan
di Pasar Uang, berupa penerbitan Sertifikat Deposito yang
ditransaksikan di Pasar Uang, kegiatan sebagai Kustodian,
dan/atau Transaksi Sertifikat Deposito untuk
- 11 -
kepentingan sendiri dan/atau nasabah, selama 1 (satu)
bulan.
(2) Perusahaan Efek yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1),
Pasal 7 ayat (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), dan/atau
Pasal 11, sebanyak 3 (tiga) kali selama 6 (enam) bulan
dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan di
Pasar Uang, yaitu kegiatan sebagai Kustodian dan/atau
Transaksi Sertifikat Deposito untuk kepentingan sendiri
dan/atau nasabah, selama 1 (satu) bulan.
(3) Perusahaan Pialang yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) Pasal 9 ayat (2), dan/atau Pasal 11, sebanyak 3
(tiga) kali selama 6 (enam) bulan dikenakan sanksi
penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang, yaitu
pemberian jasa perantara pelaksanaan Transaksi
Sertifikat Deposito, selama 1 (satu) bulan.
(4) Bank, Perusahaan Efek, dan/atau Perusahaan Pialang
yang telah mendapatkan sanksi penghentian sementara
kegiatan di Pasar Uang sebanyak 3 (tiga) kali dikenakan
sanksi pencabutan izin yang telah diberikan.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 17
Sertifikat Deposito yang telah diterbitkan sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini tetap dapat ditransaksikan di
Pasar Uang sampai dengan jatuh waktu.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Pasal 1 dan Pasal 2 Surat Keputusan Direktur Bank
Indonesia Nomor 21/48/KEP/DIR tanggal 27 Oktober
- 12 -
1988 tentang Penerbitan Sertifikat Deposito oleh Bank dan
Lembaga Keuangan Bukan Bank; dan
b. angka 1, angka 2, dan angka 3 Surat Edaran Bank
Indonesia No. 21/27/UPG tanggal 27 Oktober 1988
perihal Penerbitan Sertifikat Deposito oleh Bank dan
Lembaga Keuangan Bukan Bank,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 19
Kewajiban pelaporan yang disampaikan oleh:
a. Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1);
b. Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (2); atau
c. LPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3),
mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2018.
Pasal 20
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli
2017.
- 13 -
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Maret 2017
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Maret 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 50
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/2/PBI/2017
TENTANG
TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO
DI PASAR UANG
I. UMUM
Pasar uang yang dalam, likuid dan efisien mempunyai fungsi strategis
dalam mendukung transmisi kebijakan moneter, makroprudensial,
stabilitas sistem keuangan, kelancaran sistem pembayaran dan
pengelolaan uang Rupiah. Dalam rangka pengembangan Pasar Uang
tersebut diperlukan pengembangan instrumen Pasar Uang yang dapat
ditransaksikan oleh pelaku Pasar Uang, yaitu salah satunya Sertifikat
Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang.
Dari sisi makroekonomi, pasar Sertifikat Deposito yang likuid akan
mendukung transmisi kebijakan moneter melalui penciptaan term structure
suku bunga Pasar Uang yang lebih panjang. Dari sisi mikroekonomi, pasar
Sertifikat Deposito yang likuid akan mendukung perbaikan struktur
pendanaan perbankan melalui jangka waktu pendanaan yang lebih
panjang dan potensi penambahan dana pihak ketiga.
Di samping itu, pengembangan instrumen Pasar Uang yang dapat
ditransaksikan oleh pelaku Pasar Uang juga diharapkan dapat mendorong
efisiensi pendanaan dan menjadi salah satu sumber pembiayaan ekonomi
nasional.
Berdasarkan Pasal 18 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)
Nomor 10/POJK.03/2015 tentang Penerbitan Sertifikat Deposito oleh
Bank, telah diatur bahwa pemindahtanganan Sertifikat Deposito dalam
- 2 -
bentuk tanpa warkat yang dilakukan melalui Pasar Uang, tunduk pada
ketentuan yang diatur oleh otoritas yang berwenang, yaitu dalam hal ini
Bank Indonesia sebagai otoritas Pasar Uang. Kewenangan Bank Indonesia
ini ditegaskan pula dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia
mengenai pasar uang.
Di samping itu, sesuai dengan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal diatur bahwa pihak yang
melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek, perantara
pedagang efek, dan/atau manajer investasi untuk Sertifikat Deposito tidak
diwajibkan untuk memperoleh izin sebagai Perusahaan Efek. Dengan
demikian, perlu pengaturan dan perizinan terhadap pihak tersebut
sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai perantara pelaksanaan
transaksi dan penatausahaan Sertifikat Deposito yang diperdagangkan di
Pasar Uang.
Selanjutnya, untuk menciptakan pasar Sertifikat Deposito yang
mendukung pembentukan Pasar Uang yang likuid, dalam, dan efisien perlu
diatur Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang. Selain itu, pengaturan
ini dimaksudkan untuk memitigasi potensi risiko sistemik dalam sistem
keuangan, melalui penguatan aspek governance, kejelasan mekanisme
transaksi, dan kewenangan pengawasan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
- 3 -
Huruf d
Penetapan besaran nominal
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
(issue size) paling sedikit
rupiah) atau
ekuivalennya dalam valuta asing, dan selanjutnya dengan
kelipatan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau
ekuivalennya dalam valuta asing, dilakukan dalam rangka
mendorong penggunaan instrumen Sertifikat Deposito
sebagai wholesale funding dan meningkatkan potensinya
untuk ditransaksikan di pasar sekunder.
Huruf e
Penetapan tenor standar yaitu 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan,
6 (enam) bulan, 9 (sembilan) bulan, 12 (dua belas) bulan, 24
(dua puluh empat) bulan, atau 36 (tiga puluh enam) bulan
dilakukan dalam rangka mendorong likuiditas transaksi di
pasar sekunder dan terciptanya benchmark rate untuk
instrumen Sertifikat Deposito.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “LPP” antara lain PT. Kustodian
Sentral Efek Indonesia (KSEI).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah pelaku yang
menggunakan perantara pelaksanaan transaksi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 4 -
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “perantara pelaksanaan transaksi”
meliputi Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang yang diberikan
izin sebagai perantara pelaksanaan Transaksi Sertifikat Deposito.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Bank yang pertama kali menerbitkan
Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang” adalah
Bank yang pertama kali menerbitkan Sertifikat Deposito yang
ditransaksikan di Pasar Uang setelah berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemenuhan persyaratan administratif antara lain surat
pernyataan yang ditandatangani pengurus Bank terkait
pemenuhan kriteria Sertifikat Deposito yang ditransaksikan
di Pasar Uang, penerapan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko, dan pertimbangan risiko sistemik.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Informasi penerbitan yang disampaikan kepada Bank Indonesia
antara lain berupa security name/seri penerbitan, nominal
penerbitan, diskonto, jangka waktu, tanggal penerbitan, dan
tanggal jatuh tempo.
- 5 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemenuhan persyaratan administratif antara lain surat
pernyataan yang ditandatangani pengurus terkait penerapan
prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Transaksi Sertifikat Deposito dilakukan
secara langsung” adalah transaksi yang dilakukan oleh Bank atau
Perusahaan Efek tanpa melalui perantara pelaksanaan Transaksi
Sertifikat Deposito.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Suku bunga acuan yang berlaku secara umum di Pasar Uang
antara lain Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) untuk mata
uang Rupiah atau suku bunga acuan lainnya seperti London
Interbank Offered Rate (LIBOR) untuk mata uang valuta asing.
- 6 -
Pasal 9
Ayat (1)
Larangan penjualan Sertifikat Deposito kepada Bukan Penduduk
ditetapkan untuk memelihara stabilitas sistem keuangan dari
risiko peningkatan eksposur pinjaman Bank kepada Bukan
Penduduk secara tiba-tiba yang diakibatkan oleh transaksi di
pasar sekunder.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan hukum
atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili
di Indonesia paling singkat 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan
dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri.
Larangan pemberian jasa perantara penjualan Sertifikat Deposito
dari nasabah penduduk kepada Bukan Penduduk ditetapkan
untuk memelihara stabilitas sistem keuangan dari risiko
peningkatan eksposur pinjaman Bank kepada Bukan Penduduk
secara tiba-tiba yang diakibatkan oleh transaksi di pasar
sekunder.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Penerapan prinsip kehati-hatian paling sedikit mencakup:
a. etika bertransaksi dan market code of conduct atau pedoman lain
yang sejenis;
b.
transparansi dan keterbukaan informasi;
c. perlindungan konsumen; dan
d. mekanisme penyelesaian sengketa (dispute resolution).
Penerapan manajemen risiko mengacu pada ketentuan manajemen
risiko yang diatur otoritas yang berwenang.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksudkan dengan “sistem pelaporan Bank Indonesia”
adalah sistem pelaporan yang dilakukan secara online maupun
offline.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Penghitungan pelanggaran sebanyak 3 (tiga) kali didasarkan pada
jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh Bank, baik pelanggaran
terhadap pasal yang sama maupun pasal yang berbeda.
Ayat (2)
Penghitungan pelanggaran sebanyak 3 (tiga) kali didasarkan pada
jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahaan Efek, baik
pelanggaran terhadap pasal yang sama maupun pasal yang
berbeda.
Ayat (3)
Penghitungan pelanggaran sebanyak 3 (tiga) kali didasarkan pada
jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahaan Pialang,
baik pelanggaran terhadap pasal yang sama maupun pasal yang
berbeda.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6034
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 19/2/PBI/2017 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO DI PASAR UANG </reg_title>
<set_date> 16 Maret 2017 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 20 Maret 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '21/48/KEP/DIR|SKDIR-BI/1988 | Pasal 1 dan Pasal 2', '21/27/UPG|SE-BI/1988 | angka 1, angka 2, dan angka 3' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '18/11/PBI/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 17 /PBI/2012
TENTANG
KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN
PENGELOLAAN (TRUST)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dengan adanya kebijakan penerimaan devisa
hasil ekspor dan utang luar negeri melalui
perbankan di dalam negeri maka pasokan devisa
dapat menjadi
(sustainable);
lebih berkesinambungan
b. bahwa untuk mengoptimalkan pemanfaatan
pasokan devisa diperlukan kegiatan usaha bank
yang mendukung pengelolaan devisa;
c. bahwa pengelolaan devisa dapat dilakukan melalui
kegiatan usaha bank berupa penitipan dengan
pengelolaan (trust) yang dapat mendukung
peningkatan daya saing perbankan di dalam negeri,
pendalaman pasar keuangan (financial deepening),
dan terwujudnya pasar keuangan yang aktif dan
sehat;
d. bahwa …
- 2 -
d. bahwa kegiatan usaha bank berupa penitipan
dengan pengelolaan (trust) dapat mendukung upaya
Bank Indonesia untuk menjaga kestabilan nilai
rupiah;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank
Indonesia tentang Kegiatan Usaha Bank berupa
Penitipan dengan Pengelolaan (Trust);
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara …
- 3 -
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEGIATAN
USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN
PENGELOLAAN (TRUST).
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan
Bank Umum Syariah (BUS) sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
2. Kegiatan …
- 4 -
2. Kegiatan Usaha Bank berupa Penitipan dengan Pengelolaan, yang
selanjutnya disebut Trust adalah kegiatan penitipan dengan
pengelolaan atas harta milik settlor berdasarkan perjanjian tertulis
antara Bank sebagai trustee dengan settlor untuk kepentingan
beneficiary.
3. Penerima dan Pengelola Harta Trust, yang selanjutnya disebut
Trustee adalah Bank yang melakukan kegiatan Trust sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
4. Penitip Harta Trust, yang selanjutnya disebut Settlor adalah pihak
yang memiliki dan menitipkan hartanya untuk dikelola oleh
Trustee.
5. Penerima Manfaat, yang selanjutnya disebut Beneficiary adalah
pihak yang menerima manfaat dari kegiatan Trust.
Pasal 2
Bank dalam melakukan kegiatan Trust wajib berpedoman pada
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 3
Bank yang melakukan kegiatan Trust wajib tunduk pada ketentuan dan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penerapan
anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
Pasal 4
Bank yang melakukan kegiatan Trust wajib memenuhi prinsip-prinsip
sebagai berikut:
a. kegiatan …
- 5 -
a. kegiatan Trust dilakukan oleh unit kerja yang terpisah dari unit
kegiatan Bank lainnya;
b. harta yang dititipkan Settlor untuk dikelola oleh Trustee terbatas
pada aset finansial;
c. harta yang dititipkan Settlor untuk dikelola oleh Trustee dicatat
dan dilaporkan terpisah dari harta Bank;
d. dalam hal Bank yang melakukan kegiatan Trust dilikuidasi, semua
harta Trust tidak dimasukkan dalam harta pailit (boedel pailit) dan
dikembalikan kepada Settlor atau dialihkan kepada trustee
pengganti yang ditunjuk Settlor;
e. kegiatan Trust dituangkan dalam perjanjian tertulis antara Trustee
dan Settlor;
f. Trustee menjaga kerahasiaan data dan keterangan terkait kegiatan
Trust sebagaimana diatur dalam perjanjian Trust, kecuali untuk
kepentingan pelaporan kepada Bank Indonesia;
g. Bank yang melakukan kegiatan Trust tunduk pada ketentuan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB II
KEGIATAN TRUST
Pasal 5
(1) Dalam kegiatan Trust sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Trustee dapat bertindak sebagai:
a. agen pembayar (paying agent);
b. agen investasi dana secara konvensional dan/atau
berdasarkan prinsip syariah; dan/atau
c. agen …
- 6 -
c. agen peminjaman (borrowing agent) dan/atau agen
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,
untuk dan atas nama Settlor sesuai perjanjian Trust.
(2) Kegiatan Trust sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan berdasarkan instruksi tertulis dari Settlor sebagaimana
termuat dalam perjanjian Trust.
Pasal 6
Kegiatan Trustee sebagai agen pembayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf a, antara lain mencakup:
a. membuka dan menutup rekening untuk dan atas nama Settlor;
b. menerima dan menyimpan dana ke dalam rekening Settlor;
c. melakukan pembayaran dari rekening Settlor kepada Beneficiary
dan/atau pihak lain;
d. mencatat, mendokumentasikan, dan mengadministrasikan
dokumen terkait dengan rekening Settlor.
Pasal 7
(1) Kegiatan Trustee sebagai agen investasi dana secara konvensional
dan/atau berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dilaksanakan berdasarkan instruksi
yang jelas dan rinci dari Settlor, yang disesuaikan dengan jenis
kegiatan atau instrumen yang digunakan.
(2) Dalam hal Settlor menginstruksikan Trustee untuk melakukan
kegiatan investasi dana selain kegiatan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka investasi
dana tersebut harus dilakukan oleh manajer investasi.
(3) Dalam …
- 7 -
(3) Dalam hal investasi dana dilakukan oleh manajer investasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Trustee bertindak sebagai:
a. agen pembayar; atau
b. agen pembayar dan agen yang menghubungkan manajer
investasi dengan Settlor.
(4) Trustee tidak bertanggung jawab atas kerugian dari investasi dana
sepanjang investasi dana tersebut telah sesuai instruksi Settlor
dalam perjanjian Trust.
Pasal 8
Kegiatan Trustee sebagai agen peminjaman (borrowing agent) dan/atau
agen pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c antara lain mencakup:
a. memperoleh pinjaman atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah, yang dibuktikan dengan perjanjian kredit atau perjanjian
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah;
b. melakukan transaksi lindung nilai (hedging) atau tahawwuth
berdasarkan prinsip syariah;
c. mencadangkan dana untuk membayar pinjaman atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah berdasarkan mekanisme yang
ditetapkan Settlor; dan/atau
d. kegiatan lainnya yang terkait dengan peminjaman atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Pasal …
- 8 -
Pasal 9
Dalam kegiatan Trust, Trustee dilarang:
a. memanfaatkan harta Trust untuk kepentingan sendiri; dan/atau
b. melakukan kegiatan diluar yang telah diatur dalam perjanjian
Trust, baik atas inisiatif sendiri maupun berdasarkan perintah
tertulis dari Settlor.
Pasal 10
Dalam melaksanakan kegiatan Trust, Trustee memperoleh fee atau
ujroh sesuai dengan perjanjian Trust.
BAB III
PENCATATAN KEGIATAN TRUST
Pasal 11
(1) Trustee wajib membuat pencatatan kegiatan Trust yang terpisah
dari pembukuan Bank, termasuk rincian masing-masing kegiatan
Trust.
(2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang
meliputi pencatatan mengenai transaksi dan posisi harta Trust.
(3) Tata cara pencatatan kegiatan Trust mengacu pada Pernyataan
Standar Akuntasi Keuangan yang berlaku.
Pasal 12
(1) Trustee wajib menggunakan rekening pada bank di dalam negeri
untuk seluruh kegiatan Trust.
(2) Trustee …
- 9 -
(2) Trustee wajib melakukan pencatatan mutasi rekening secara
terpisah untuk masing-masing Settlor dan Beneficiary.
Pasal 13
(1) Kegiatan Trust wajib diaudit oleh auditor internal dan auditor
eksternal paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Bank wajib memastikan bahwa kegiatan Trust merupakan bagian
dari objek audit umum terhadap Bank.
BAB IV
PIHAK DALAM KEGIATAN TRUST
Pasal 14
Para pihak yang terlibat dalam kegiatan Trust adalah:
a. Bank sebagai Trustee;
b. Settlor; dan
c. Beneficiary.
Pasal 15
(1) Untuk dapat melakukan kegiatan Trust, Bank harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. berbadan hukum Indonesia;
b. merupakan bank devisa dengan modal inti paling sedikit
sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah);
c.
rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum paling rendah
sebesar 13% (tiga belas persen) selama 18 (delapan belas)
bulan terakhir berturut-turut;
d. memiliki …
- 10 -
d. memiliki Tingkat Kesehatan Bank sebagai berikut:
1. paling rendah Peringkat Komposit 2 pada periode penilaian
dalam 12 (dua belas) bulan terakhir secara berturut-turut;
dan
2. paling rendah Peringkat Komposit 3 pada periode penilaian
dalam 6 (enam) bulan sebelum periode sebagaimana
dimaksud pada angka 1;
e. mencantumkan rencana kegiatan Trust dalam Rencana Bisnis
Bank; dan
f. memiliki kapasitas untuk melakukan kegiatan Trust
berdasarkan hasil penilaian Bank Indonesia.
(2) Selama melakukan kegiatan Trust, Bank wajib memenuhi
persyaratan:
a. modal inti paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima
triliun rupiah);
b. rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum paling rendah
sebesar 13% (tiga belas persen); dan
c. Tingkat Kesehatan Bank paling rendah Peringkat Komposit 2.
Pasal 16
(1) Selain Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dapat
melakukan kegiatan Trust dengan persyaratan sebagai berikut:
a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (1) huruf c sampai dengan huruf f;
b. memiliki Capital Equivalency Maintained Assets (CEMA)
minimum dengan perhitungan sesuai ketentuan yang berlaku
dan paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima
triliun rupiah); dan
c. memenuhi …
- 11 -
c. memenuhi persyaratan berbadan hukum Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a paling
lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Bank Indonesia ini
berlaku.
(2) Selama melakukan kegiatan Trust, kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri wajib memenuhi persyaratan:
a. Capital Equivalency Maintained Assets (CEMA) minimum
dengan perhitungan sesuai ketentuan yang berlaku dan paling
sedikit sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah);
b. rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum paling rendah
sebesar 13% (tiga belas peresen); dan
c . Tingkat Kesehatan Bank paling rendah Peringkat Komposit 2.
Pasal 17
(1) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (2) atau Pasal 16 ayat (2) tidak terpenuhi, maka Bank atau
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri:
a. dilarang membuat perjanjian Trust baru;
b. wajib menyelesaikan pemenuhan persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) atau Pasal 16 ayat (2) paling
lama 6 (enam) bulan sejak pelanggaran persyaratan terjadi;
dan
c. wajib mengembalikan harta Trust kepada Settlor atau
mengalihkan harta Trust kepada Trustee pengganti yang
ditunjuk oleh Settlor sesuai dengan perjanjian Trust, apabila
Trustee tidak dapat memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada huruf b.
(2) Dalam …
- 12 -
(2) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) huruf c tidak terpenuhi, maka kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri wajib menghentikan kegiatan
Trust dan mengembalikan harta Trust kepada Settlor atau
mengalihkan harta Trust kepada trustee pengganti yang ditunjuk
oleh Settlor sesuai dengan perjanjian Trust.
Pasal 18
Penilaian yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1) huruf f paling kurang mencakup:
a. manajemen risiko Bank yang memadai khususnya untuk sistem
operasi dan prosedur yang didukung oleh teknologi informasi yang
memadai untuk seluruh kegiatan Trust yang diperkenankan;
b. Bank tidak sedang dikenakan tindakan pengawasan Bank; dan
c. kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan pada saat Bank
menyampaikan permohonan untuk melakukan kegiatan Trust.
Pasal 19
(1) Bank wajib memiliki kebijakan terkait sumber daya manusia yang
mengelola unit kerja Trustee.
(2) Dalam menetapkan kebijakan sumber daya manusia pada unit
kerja Trustee, Bank tetap berpedoman pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian bagi
Bank yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada pihak lain.
(3) Kebijakan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) antara lain berupa penentuan persyaratan dan kualifikasi
sumber daya manusia untuk kegiatan Trust.
(4) Komposisi …
- 13 -
(4) Komposisi jumlah sumber daya manusia unit kerja Trustee paling
sedikit 50% (lima puluh persen) merupakan pegawai Bank dan
berkewarganegaraan Indonesia.
(5) Mayoritas pimpinan unit kerja Trustee dan pejabat satu tingkat di
bawah pimpinan unit kerja Trustee merupakan pegawai Bank dan
berkewarganegaraan Indonesia.
(6) Kualifikasi jabatan pimpinan unit kerja Trustee dan pejabat satu
tingkat di bawah pimpinan unit kerja Trustee paling kurang
meliputi kompetensi di bidang keuangan dan memiliki integritas.
Pasal 20
(1) Settlor wajib memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. nasabah korporasi; dan
b. bukan merupakan pihak terafiliasi dengan Bank.
(2) Settlor dapat bertindak sebagai Beneficiary.
BAB V
PERJANJIAN TRUST
Pasal 21
(1) Penunjukan Bank sebagai Trustee dan penunjukan Beneficiary
harus disampaikan secara tertulis oleh Settlor kepada Bank.
(2) Bank yang ditunjuk sebagai Trustee sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus membuat pernyataan tertulis atas kesanggupannya
sebagai Trustee.
(3) Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta
kesepakatan lainnya antara Bank dengan Settlor dan Beneficiary
wajib dituangkan dalam perjanjian Trust secara tertulis.
Pasal …
- 14 -
Pasal 22
(1) Perjanjian Trust wajib disusun dalam Bahasa Indonesia.
(2) Perjanjian Trust sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dialihbahasakan ke dalam bahasa lain sesuai dengan kepentingan
para pihak.
(3) Dalam hal perjanjian Trust dialihbahasakan ke dalam bahasa lain,
perjanjian Trust dimaksud harus memuat informasi yang sama
dengan perjanjian Trust yang disusun dalam Bahasa Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran antara perjanjian Trust
yang dialihbahasakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dengan perjanjian Trust sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
maka perjanjian yang berlaku adalah perjanjian Trust yang
disusun dalam Bahasa Indonesia.
Pasal 23
Perjanjian Trust paling kurang mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. penunjukan Bank sebagai Trustee;
b. penunjukan Beneficiary;
c. hak dan kewajiban para pihak, yaitu Trustee, Settlor, dan
Beneficiary;
d. kewajiban Trustee untuk menjaga kerahasiaan data dan transaksi
Settlor dan Beneficiary, kecuali untuk kepentingan pelaporan
kepada Bank Indonesia;
e. harta Trust tidak termasuk dalam harta pailit dan wajib
dikembalikan kepada Settlor;
f. pencatatan harta Trust dilakukan secara terpisah dari harta Bank;
g. pembebasan …
- 15 -
g. pembebasan Trustee dari tanggung jawab (indemnification) terhadap
kerugian, kecuali karena kelalaian (negligence) dan pelanggaran
(willful misconduct) yang dilakukan Trustee;
h. mekanisme penghentian perjanjian Trust;
i. penunjukan trustee pengganti antara lain dalam hal Bank sebagai
Trustee dicabut izin usahanya sebagai Bank baik atas inisiatif Bank
Indonesia maupun atas permintaan Bank (self liquidation) atau
dicabut persetujuan prinsipnya untuk melakukan kegiatan Trust;
j. penyelesaian sengketa;
k. pilihan hukum (choice of law);
l. yurisdiksi pengadilan apabila penyelesaian sengketa ditempuh
melalui jalur hukum;
m. klausul yang menyatakan bahwa kegiatan yang diperjanjikan
dalam perjanjian Trust adalah kegiatan Trust sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini;
n. klausul bahwa perubahan terhadap isi perjanjian hanya dapat
dilakukan secara tertulis dan disepakati oleh para pihak;
o. tidak bertujuan untuk pencucian uang dan/atau terorisme
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan dan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai anti pencucian
uang dan pencegahan pendanaan terorisme;
p. tidak bertentangan dengan ketentuan dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku lainnya.
BAB …
- 16 -
BAB VI
PERSETUJUAN PRINSIP DAN SURAT PENEGASAN
Pasal 24
Untuk dapat melakukan kegiatan Trust, Bank wajib memperoleh:
a. persetujuan prinsip; dan
b. surat penegasan,
dari Bank Indonesia.
Bagian Kesatu
Persetujuan Prinsip
Pasal 25
Bank dapat memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 huruf a setelah Bank memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan/atau Pasal 16.
Pasal 26
(1) Untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 huruf a, Bank harus mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Bank Indonesia yang dilampiri dokumen
berupa:
a.
informasi umum terkait kegiatan Trust meliputi antara lain
rencana waktu pelaksanaan dan target pasar;
b. analisis manfaat dan biaya bagi Bank;
c. standar prosedur pelaksanaan, organisasi, dan kewenangan
untuk melaksanakan kegiatan Trust;
d. rencana …
- 17 -
d.
rencana kebijakan dan prosedur terkait dengan penerapan
program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme;
e.
identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian
terhadap risiko yang melekat pada kegiatan Trust;
f. hasil analisis aspek hukum dan aspek kepatuhan atas
kegiatan Trust;
g. sistem informasi akuntansi dan sistem teknologi informasi.
(2) Persetujuan atau penolakan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh Bank
Indonesia kepada Bank paling lama 60 (enam puluh) hari kerja
setelah dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima
secara lengkap oleh Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Surat Penegasan
Pasal 27
Bank dapat memperoleh surat penegasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 huruf b setelah Bank memperoleh persetujuan prinsip.
Pasal 28
(1) Untuk memperoleh surat penegasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 huruf b, Bank wajib mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan dilampiri dokumen
berupa:
a. struktur organisasi, pembagian kewenangan serta tanggung
jawab pejabat yang menangani kegiatan Trust termasuk daftar
penanggung jawab dan tenaga ahli di bidang Trust;
b. daftar …
- 18 -
b. daftar pegawai dan pembagian kerja serta komposisi pegawai
lokal dan tenaga kerja asing, baik pada level manajemen
maupun operasional;
c. penilaian tingkat risiko kegiatan Trust dan profil risiko calon
Settlor.
(2) Surat penegasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis oleh Bank Indonesia kepada Bank
paling lama 60 (enam puluh) hari kerja setelah dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap oleh
Bank Indonesia.
Pasal 29
(1) Surat penegasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2)
diberikan hanya pada satu kantor Bank.
(2) Dalam hal Bank akan melakukan kegiatan Trust di kantor Bank
lainnya, Bank wajib memperoleh surat penegasan dari Bank
Indonesia.
(3) Tata cara pengajuan permohonan surat penegasan untuk kegiatan
Trust di kantor Bank lainnya berlaku ketentuan dan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
Pasal 30
(1) Dalam hal Bank atau kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri melakukan kegiatan Trust melakukan
merger atau konsolidasi maka Bank hasil merger atau konsolidasi
wajib memenuhi persyaratan sebagai Trustee sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 atau Pasal 16.
(2) Dalam …
- 19 -
(2) Dalam hal Bank atau kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri hasil merger atau konsolidasi tidak
dapat memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 atau Pasal 16 maka Bank sebagai Trustee:
a. dilarang membuat perjanjian Trust baru;
b. wajib menyelesaikan pemenuhan persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) atau Pasal 16 ayat (2) paling
lama 6 (enam) bulan sejak hasil merger atau konsolidasi
dinyatakan efektif; dan
c. wajib mengembalikan harta Trust kepada Settlor atau
mengalihkan harta Trust kepada trustee pengganti yang
ditunjuk oleh Settlor sesuai dengan perjanjian Trust, apabila
Trustee tidak dapat memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada huruf b.
BAB VII
MANAJEMEN RISIKO
Pasal 31
(1) Dalam melakukan kegiatan Trust, Bank wajib menerapkan
manajemen risiko dengan berpedoman pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko
bagi bank umum.
(2) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling kurang mencakup:
a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi serta Dewan
Pengawas Syariah;
b. kecukupan kebijakan dan prosedur;
c. kecukupan …
- 20 -
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko;
dan
d. sistem pengendalian intern.
Bagian Kesatu
Pengawasan Aktif Dewan Komisaris dan Direksi
serta Dewan Pengawas Syariah
Pasal 32
Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling kurang mencakup:
a. persetujuan Dewan Komisaris atas Rencana Bisnis Bank untuk
melakukan kegiatan Trust; dan
b. evaluasi pelaksanaan Rencana Bisnis Bank terkait kegiatan Trust.
Pasal 33
Pengawasan aktif Dewan Pengawas Syariah paling kurang terdiri atas:
a. memastikan kegiatan Trust sesuai dengan prinsip syariah; dan
b. memastikan prosedur Bank untuk kegiatan Trust sesuai dengan
prinsip syariah.
Pasal 34
Pengawasan aktif Direksi paling kurang terdiri atas:
a. menetapkan Rencana Bisnis Bank untuk kegiatan Trust;
b. menetapkan kebijakan dan prosedur Bank untuk kegiatan Trust;
dan
c. memantau dan mengevaluasi kegiatan Trust.
Bagian …
- 21 -
Bagian Kedua
Kecukupan Kebijakan dan Prosedur
Pasal 35
(1) Bank wajib memiliki dan mengimplementasikan kebijakan dan
prosedur yang komprehensif dan efektif untuk kegiatan Trust.
(2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling kurang mencakup:
a. kebijakan penilaian tingkat risiko kegiatan Trust;
b. kebijakan sumber daya manusia untuk kegiatan Trust,
c. prosedur pelaksanaan kegiatan Trust yang mencakup antara
lain:
1. penunjukan Bank sebagai Trustee;
2. penilaian profil risiko Settlor yang paling kurang meliputi
tujuan dan profil keuangan Settlor;
3. pernyataan kesanggupan Bank sebagai Trustee;
4. penyusunan perjanjian Trust;
5. pelaksanaan kegiatan Trust yang berpedoman pada
perjanjian Trust.
d. prosedur penyelesaian sengketa; dan
e. prosedur untuk melakukan identifikasi, pengukuran,
pemantauan, pengendalian risiko, dan sistem informasi untuk
kegiatan Trust.
Bagian …
- 22 -
Bagian Ketiga
Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, Pengendalian, dan
Sistem Informasi Manajemen Risiko
Pasal 36
(1) Bank wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian atas risiko untuk kegiatan Trust.
(2) Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
didukung oleh sistem informasi manajemen yang tepat waktu,
informatif, dan akurat.
Bagian Keempat
Sistem Pengendalian Intern
Pasal 37
(1) Bank wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif.
(2) Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang efektif antara lain
dibuktikan dengan:
a. adanya batasan wewenang dan tanggung jawab unit kerja untuk
kegiatan Trust.
b. dilakukannya pemeriksaan oleh satuan kerja audit intern.
BAB VIII
TRANSPARANSI INFORMASI
Pasal 38
(1) Bank wajib menerapkan transparansi informasi dalam melakukan
kegiatan Trust dengan
berpedoman
pada ketentuan Bank
Indonesia …
- 23 -
Indonesia yang mengatur mengenai transparansi informasi produk
yang disesuaikan dengan karakteristik kegiatan Trust.
(2) Dalam menerapkan transparansi
informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Bank wajib antara lain mengungkapkan
informasi yang lengkap, benar, dan tidak menyesatkan.
Pasal 39
Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) antara lain
meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. jenis-jenis transaksi yang dapat dilakukan oleh Bank sebagai
Trustee;
b. tanggung jawab Bank terhadap risiko dan kerugian; dan/atau
c. fee atau ujroh dari kegiatan Trust.
Pasal 40
Bank yang melakukan kegiatan Trust wajib memberikan laporan
tertulis secara berkala kepada Settlor mengenai kinerja Trustee dalam
pengelolaan harta Trust.
BAB IX
LAPORAN
Pasal 41
(1) Bank yang melakukan kegiatan Trust wajib menyampaikan
laporan kegiatan Trust kepada Bank Indonesia secara berkala.
(2) Bank …
- 24 -
(2) Bank bertanggung jawab atas kelengkapan, kebenaran, serta
ketepatan waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pelaporan
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 42
(1) Laporan kegiatan Trust sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal
15 (lima belas) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan
laporan.
(2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila Bank
menyampaikan laporan setelah batas akhir waktu penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir
bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila Bank
belum menyampaikan laporan sampai dengan berakhirnya batas
waktu keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 43
Bank Indonesia berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap
kegiatan Trust yang dilakukan Bank.
BAB …
- 25 -
BAB X
SANKSI
Pasal 44
(1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 17, Pasal 19,
Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30, Pasal 42
ayat (2), Pasal 42 ayat (3), dikenakan sanksi sesuai Pasal 52
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, antara lain berupa:
a.
teguran tertulis;
b. penurunan Tingkat Kesehatan Bank;
c.
larangan kegiatan Trust; dan/atau
d. pencabutan persetujuan untuk melakukan kegiatan Trust.
(2) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b atau Pasal 30 ayat (2) huruf b
dikenakan sanksi pencabutan persetujuan prinsip untuk
melakukan kegiatan Trust.
Pasal 45
(1) Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Bank yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebagai berikut:
a. Bank …
- 26 -
a. Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
kerja keterlambatan;
b. Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
(2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan cara mendebet rekening giro Bank
di Bank Indonesia.
BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 46
Bank yang dicabut izin usahanya atas permintaan Bank (self
liquidation) atau yang dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia, Bank
atau Tim Likuidasi wajib:
a. mengembalikan harta Trust kepada Settlor; atau
b. mengalihkan harta Trust kepada trustee pengganti,
sesuai dengan perjanjian Trust.
Pasal 47
(1) Permohonan persetujuan prinsip dan permohonan surat
penegasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 28
disampaikan kepada Bank Indonesia melalui:
a. Departemen …
- 27 -
a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau Departemen
Perbankan Syariah, Menara Radius Prawiro, Jl. M. H. Thamrin
Nomor 2, Jakarta, 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang
berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada
huruf a.
(2) Tembusan surat permohonan persetujuan prinsip dan
permohonan surat penegasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), disampaikan pula kepada Departemen Penelitian dan
Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia, Jl. M. H. Thamrin No. 2,
Jakarta, 10350.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 48
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 49
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar ...
- 28 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 November 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 November 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 260
DPNP
- 29 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/17 /PBI/2012
TENTANG
KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN
PENGELOLAAN (TRUST)
I. UMUM
Dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi nasional,
Bank Indonesia mengemban tugas untuk mencapai dan memelihara
stabilitas nilai tukar rupiah. Untuk itu, Bank Indonesia perlu
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan nilai
tukar rupiah, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan
antara permintaan dan penawaran valuta asing di pasar keuangan
dalam negeri.
Keseimbangan permintaan dan penawaran valuta asing di pasar
dalam negeri ditentukan antara lain oleh pasokan valuta asing yang
berasal dari pelaku ekonomi baik dari sektor riil maupun sektor
keuangan. Sumber pasokan valuta asing di pasar keuangan dalam
negeri selama ini sebagian berasal dari sektor keuangan terutama
berupa investasi portofolio asing yang berisiko mengalami pembalikan
mendadak (sudden capital reversal). Sementara itu pasokan devisa dari
hasil kegiatan ekspor yang merupakan dana yang berkesinambungan
(sustainable) belum dimanfaatkan secara optimal.
Sejalan dengan kebijakan pengelolaan pasokan devisa dan
kebijakan untuk meningkatkan peran, serta daya saing perbankan
dalam negeri, maka
diperlukan kebijakan yang dapat mendorong
pelaku …
- 30 -
pelaku ekonomi dalam mengelola devisa yang dimilikinya
dengan menggunakan jasa dan keahlian perbankan di dalam negeri.
Kebijakan tersebut juga ditujukan untuk mendorong pendalaman
pasar keuangan (financial deepening) domestik.
Mempertimbangkan tujuan dan manfaat dari pengelolaan devisa
melalui perbankan di dalam negeri, keterkaitannya dengan upaya
menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan sasaran kebijakan
makroprudensial, serta untuk memberikan kepastian hukum atas
kegiatan Trust dan untuk mengakomodir kegiatan pengelolaan devisa,
maka Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Kegiatan Usaha Bank dalam Bentuk Penitipan dengan Pengelolaan
(Trust) yang tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang berlaku
selama ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1999 tentang lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
Secara umum Peraturan Bank Indonesia ini memuat materi
pokok antara lain prinsip-pinsip yang harus dilakukan oleh Bank
dalam melakukan kegiatan Trust, kewajiban Bank untuk tunduk pada
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penerapan
anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme, minimum
klausul yang harus dimuat dalam perjanjian Trust, persetujuan prinsip
dan surat penegasan, manajemen risiko, transparansi infomasi,
pelaporan dan sanksi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal …
- 31 -
Pasal 3
Yang dimaksud dengan “tunduk pada ketentuan dan peraturan
perundang-undangan” antara lain Trustee harus melakukan:
a. Customer Due Dilligence;
b. Enhanced Due Dilligence; dan/atau
c. pelaporan transaksi keuangan mencurigakan,
untuk memastikan harta Trust tidak berasal dari kejahatan
dan/atau tidak bertujuan untuk pencucian uang dan pendanaan
terorisme.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “aset finansial” adalah aset berupa
dana, tagihan dan/atau surat berharga.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Ketentuan ini menegaskan bahwa dalam kegiatan Trust,
mengikuti bankruptcy remote.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal …
- 32 -
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “agen pembayar (paying agent)” adalah
kegiatan menerima dan melakukan pemindahan uang
dan/atau dana, serta mencatat arus kas masuk dan keluar
untuk dan atas nama Settlor.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “agen investasi dana dan/atau
investasi dana berdasarkan prinsip syariah” adalah kegiatan
menempatkan, mengkonversi, melakukan lindung nilai
(hedging) dan mengadministrasikan penempatan dana untuk
dan atas nama Settlor.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “agen peminjaman (borrowing agent)
dan/atau agen pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”
adalah kegiatan perantara dalam rangka mendapatkan
sumber-sumber pendanaan antara lain dalam bentuk
pinjaman/pembiayaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal …
- 33 -
Pasal 7
Ayat (1)
Instruksi yang jelas dan rinci antara lain memuat:
a. jenis mata uang;
b. jenis/ instrumen penempatan;
c. jangka waktu;
d. jumlah nominal;
e. counterparty;
f. counterparty limit;
g. penjamin; dan/atau
h. peringkat instrumen investasi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan yang
berlaku” antara lain Undang-Undang tentang Perbankan dan
Undang-Undang tentang Pasar Modal.
Yang dimaksud dengan “manajer investasi” adalah pihak yang
kegiatan usahanya mengelola portofolio efek untuk para
nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk
sekelompok nasabah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Pasar Modal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal …
- 34 -
Pasal 8
Untuk Bank Umum Syariah yang melakukan kegiatan Trust,
hanya dapat bertindak sebagai agen pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Untuk Bank Umum Syariah yang melakukan kegiatan Trust, fee
atau ujroh disesuaikan dengan akad yang digunakan.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Penggunaan rekening pada bank dalam negeri antara lain
untuk menerima seluruh pendapatan, membayarkan seluruh
kewajiban Settlor, pemindahan dana dari rekening Settlor
kepada Beneficiary.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal …
- 35 -
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “auditor eksternal” adalah Kantor
Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tindakan pengawasan” adalah Cease
and Desist Order (CDO) yang disebabkan oleh fraud .
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal …
- 36 -
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “pegawai Bank” adalah pegawai tetap
Bank.
Ayat (6)
Integritas antara lain memiliki akhlak dan moral yang baik,
yang ditunjukkan dengan sikap memenuhi ketentuan yang
berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti
melakukan tindak pidana asal yang disebutkan dalam
Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pihak terafiliasi” adalah pihak
terafiliasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perbankan dan Undang-Undang tentang
Perbankan Syariah.
Ayat …
- 37 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Huruf a
Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini
bertujuan untuk menilai kesiapan Bank dalam melakukan
kegiatan Trust.
Huruf b
Surat penegasan yang diberikan oleh Bank Indonesia bersifat
administratif yang didasarkan pada analisis terhadap data,
informasi, dan dokumen yang disampaikan oleh Bank untuk
menilai kesiapan operasional dalam melakukan kegiatan
Trust.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal …
- 38 -
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penyampaian daftar pegawai disertai dengan dokumen
antara lain:
1. daftar riwayat hidup;
2. fotokopi KTP;
3. fotokopi bukti kewarganegaraan bagi WNA; dan
4. fotokopi izin kerja tenaga asing (IKTA) bagi WNA.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal …
- 39 -
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Huruf a
Persetujuan Dewan Komisaris dapat tercermin dalam Rencana
Bisnis Bank yang telah ditandatangani Komisaris.
Huruf b
Evaluasi atas pelaksanaan Rencana Bisnis Bank terkait
kegiatan Trust antara lain dituangkan dalam risalah rapat
Dewan Komisaris atau laporan pengawasan Rencana Bisnis
Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai Rencana Bisnis Bank.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal …
- 40 -
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Penetapan batasan wewenang dan tanggung jawab unit
kerja terkait dengan kegiatan Trust dituangkan dalam
kebijakan dan prosedur.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Transparansi informasi bertujuan agar Settlor dan/atau
Beneficiary memperoleh informasi yang memadai mengenai
kegiatan Trust.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Frekuensi laporan tertulis secara berkala yang disampaikan Bank
diatur dalam perjanjian Trust.
Pasal …
- 41 -
Pasal 41
Laporan berkala antara lain memuat data dan keterangan
mengenai transaksi dan posisi harta Trust.
Pasal 42
Ayat (1)
Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari libur maka
laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 43
Pemeriksaan dilakukan dalam rangka melaksanakan kewenangan
Bank Indonesia di bidang makroprudensial.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal …
- 42 -
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5368
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/17/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN PENGELOLAAN (TRUST) </reg_title>
<set_date> 23 November 2012 </set_date>
<effective_date> 23 November 2012 </effective_date>
<issued_date> 23 November 2012 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 12/17/PBI/2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/36/PBI/2008
TENTANG OPERASI MONETER SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan
pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah, Bank
Indonesia perlu menyempurnakan ketentuan mengenai
Operasi Moneter Syariah khususnya mengenai pengenaan
sanksi terhadap transaksi operasi moneter syariah yang
dinyatakan batal;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu melakukan perubahan terhadap
Peraturan Bank Indonesia tentang Operasi Moneter Syariah;
Mengingat...
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4852);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/36/PBI/2008 TENTANG OPERASI MONETER
SYARIAH.
Pasal I...
- 3 -
Pasal I
Ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf b Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4944) diubah sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Dalam hal transaksi OMS dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2), Peserta OMS yang bersangkutan dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai
nominal transaksi Operasi Moneter Syariah yang batal, paling sedikit
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam
hal Peserta OMS melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal sebanyak
tiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, Peserta OMS dikenakan sanksi
berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima)
hari kerja berturut-turut.
Pasal II...
- 4 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Agustus 2010
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Agustus 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 107XXXX
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/17/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/36/PBI/2008 TENTANG OPERASI MONETER SYARIAH </reg_title>
<set_date> 30 Agustus 2010 </set_date>
<effective_date> 30 Agustus 2010 </effective_date>
<issued_date> 30 Agustus 2010 </issued_date>
<changed_reg> '10/36/PBI/2008' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '19/UU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Pasal 18' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 23 /PBI/2012
TENTANG
TRANSFER DANA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa untuk menjaga keamanan dan kelancaran
sistem pembayaran serta memberikan kepastian
pengaturan hak dan kewajiban para pihak dalam
kegiatan transfer dana, telah diterbitkan Undang-
Undang yang mengatur mengenai transfer dana;
b. bahwa beberapa pengaturan mengenai kegiatan
transfer dana yang dimuat dalam Undang-Undang
memerlukan tindak lanjut berupa pengaturan yang
lebih rinci;
c.
bahwa pengaturan yang lebih rinci mengenai
kegiatan transfer dana sebagaimana dimaksud pada
huruf b diamanatkan untuk diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Transfer Dana;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik ...
-2-
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang–Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164);
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5204);
MEMUTUSKAN ...
-3-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSFER
DANA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Definisi
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Transfer Dana adalah rangkaian kegiatan yang dimulai dengan
perintah dari Pengirim Asal yang bertujuan memindahkan
sejumlah Dana kepada Penerima yang disebutkan dalam Perintah
Transfer Dana sampai dengan diterimanya Dana oleh Penerima.
2. Penyelenggara Transfer Dana, yang selanjutnya disebut
Penyelenggara, adalah Bank dan badan usaha berbadan hukum
Indonesia bukan Bank yang menyelenggarakan kegiatan Transfer
Dana.
3. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
yang mengatur mengenai perbankan.
4. Dana adalah:
a. uang tunai yang diserahkan oleh Pengirim kepada
Penyelenggara Penerima;
b. uang yang tersimpan dalam Rekening Pengirim pada
Penyelenggara Penerima;
c. uang yang tersimpan dalam Rekening Penyelenggara
Penerima pada Penyelenggara Penerima lain;
d. uang ...
-4-
d. uang yang tersimpan dalam Rekening Penerima pada
Penyelenggara Penerima Akhir;
e. uang yang tersimpan dalam Rekening Penyelenggara
Penerima yang dialokasikan untuk kepentingan Penerima
yang tidak mempunyai Rekening pada Penyelenggara
tersebut; dan/atau
f. fasilitas cerukan (overdraft) atau fasilitas kredit yang
diberikan Penyelenggara kepada Pengirim.
5. Perintah Transfer Dana adalah perintah tidak bersyarat dari
Pengirim kepada Penyelenggara Penerima untuk membayarkan
sejumlah Dana tertentu kepada Penerima.
6. Pengirim (Sender) adalah Pengirim Asal, Penyelenggara Pengirim
Asal, dan semua Penyelenggara Penerus yang menerbitkan
Perintah Transfer Dana.
7. Pengirim Asal (Originator) adalah pihak yang pertama kali
mengeluarkan Perintah Transfer Dana.
8. Penyelenggara Pengirim adalah Penyelenggara Pengirim Asal
dan/atau Penyelenggara Penerus yang mengirimkan Perintah
Transfer Dana.
9. Penyelenggara Pengirim Asal adalah Penyelenggara yang menerima
Perintah Transfer Dana dari Pengirim Asal untuk membayarkan
atau memerintahkan kepada Penyelenggara lain untuk membayar
sejumlah Dana tertentu kepada Penerima.
10. Penyelenggara Penerima adalah Penyelenggara Pengirim Asal,
Penyelenggara Penerus, dan/atau Penyelenggara Penerima Akhir
yang menerima Perintah Transfer Dana, termasuk bank sentral
dan Penyelenggara lain yang menyelenggarakan kegiatan
penyelesaian pembayaran antar-Penyelenggara.
11. Penyelenggara ...
-5-
11. Penyelenggara Penerus adalah Penyelenggara Penerima selain
Penyelenggara Pengirim Asal dan Penyelenggara Penerima Akhir.
12. Penyelenggara Penerima Akhir adalah Penyelenggara yang
melakukan pembayaran atau menyampaikan Dana hasil transfer
kepada Penerima.
13. Penerima (Beneficiary) adalah pihak yang disebut dalam Perintah
Transfer Dana untuk menerima Dana hasil transfer.
14. Autentikasi (Authentication) adalah prosedur yang dilakukan oleh
Penyelenggara Penerima untuk memastikan bahwa penerbitan
suatu Perintah Transfer Dana, perubahan, atau pembatalannya
benar-benar dilakukan oleh pihak yang dalam Perintah Transfer
Dana dimaksudkan sebagai Pengirim yang berhak.
15. Pengaksepan (Acceptance) adalah kegiatan Penyelenggara
Penerima yang menunjukkan persetujuan untuk melaksanakan
atau memenuhi isi Perintah Transfer Dana yang diterima.
16. Tanggal Pelaksanaan (Execution Date) adalah tanggal tertentu
Penyelenggara Penerima wajib melaksanakan Perintah Transfer
Dana dari Pengirim Asal.
17. Tanggal Pembayaran (Payment Date) adalah tanggal saat
Penyelenggara Penerima Akhir wajib menyediakan Dana yang
dapat digunakan untuk kepentingan Penerima.
18. Rekening adalah rekening giro, rekening tabungan, rekening lain,
atau bentuk pencatatan lain, baik yang dimiliki oleh perseorangan,
institusi, maupun bersama, yang dapat didebit dan/atau dikredit
dalam rangka pelaksanaan Transfer Dana, termasuk Rekening
antarkantor Penyelenggara yang sama.
19. Sistem Transfer Dana adalah sistem terpadu untuk memproses
perintah Transfer Dana dengan menggunakan sarana elektronik
atau sarana lain sesuai dengan peraturan.
20. Perintah ...
-6-
20. Perintah Transfer Debit adalah perintah tidak bersyarat dari
Pengirim Transfer Debit kepada Penyelenggara Pengirim Transfer
Debit untuk menagih sejumlah Dana tertentu kepada
Penyelenggara Pembayar Transfer Debit agar dibayarkan kepada
Penerima Akhir Transfer Debit.
21. Pengirim Transfer Debit adalah Pengirim Asal Transfer Debit,
Penyelenggara Pengirim Asal Transfer Debit, dan semua
Penyelenggara Penerus Transfer Debit yang menerbitkan Perintah
Transfer Debit.
22. Pengirim Asal Transfer Debit atau Penerima Akhir Transfer Debit
adalah pihak yang pertama kali menyerahkan Perintah Transfer
Debit kepada Penyelenggara Pengirim Asal Transfer Debit yang
sekaligus merupakan pihak yang berhak menerima Dana.
23. Pembayar Transfer Debit adalah pihak yang mempunyai kewajiban
untuk membayar sejumlah Dana tertentu kepada Penerima Akhir
Transfer Debit melalui Penyelenggara Pembayar Transfer Debit.
24. Penyelenggara Pengirim Asal Transfer Debit atau Penyelenggara
Penerima Akhir Transfer Debit adalah Penyelenggara yang
menerima Perintah Transfer Debit dari Penerima Akhir Transfer
Debit atau pihak yang menerbitkan Perintah Transfer Debit untuk
kepentingannya sendiri, kemudian memerintahkan Penyelenggara
Pembayar Transfer Debit untuk membayarkan sejumlah Dana
tertentu kepada Penyelenggara Penerima Akhir Transfer Debit
untuk dibayarkan kepada Penerima Akhir Transfer Debit.
25. Penyelenggara Pengirim Transfer Debit adalah Penyelenggara
Penerima Akhir Transfer Debit dan/atau Penyelenggara Penerus
Transfer Debit yang mengirimkan Perintah Transfer Debit.
26. Penyelenggara Penerima Transfer Debit adalah Penyelenggara
Penerima Akhir Transfer Debit, Penyelenggara Penerus Transfer
Debit ...
-7-
Debit, dan/atau Penyelenggara Pembayar Transfer Debit yang
menerima Perintah Transfer Debit, termasuk bank sentral dan
Penyelenggara lain yang menyelenggarakan kegiatan penyelesaian
akhir (settlement) pembayaran antar-Penyelenggara.
27. Penyelenggara Penerus Transfer Debit adalah Penyelenggara
Penerima Transfer Debit selain Penyelenggara Pembayar Transfer
Debit yang meneruskan Perintah Transfer Debit.
28. Penyelenggara Pembayar Transfer Debit adalah Penyelenggara
yang melakukan pembayaran atau menyampaikan Dana hasil
transfer kepada Penerima Akhir Transfer Debit.
29. Hari Kerja adalah hari Penyelenggara Penerima membuka kantor
untuk melaksanakan kegiatan Transfer Dana.
30. Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement, yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS, adalah sistem transfer dana
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai sistem Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement.
31. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut
SKNBI, adalah sistem kliring sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia.
32. Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, yang selanjutnya
disebut APMK, adalah alat pembayaran sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat
pembayaran dengan menggunakan kartu.
33. Uang Elektronik (Electronic Money) adalah alat pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai uang elektronik (electronic money).
Bagian ...
-8-
Bagian Kedua
Ruang Lingkup Penyelenggara
Pasal 2
Termasuk dalam pengertian Penyelenggara menurut Peraturan Bank
Indonesia ini, Bank dan badan usaha berbadan hukum Indonesia
bukan Bank yang memperoleh persetujuan atau izin dari Bank
Indonesia sebagai:
a. peserta Sistem BI-RTGS;
b. peserta SKNBI; dan
c. penyelenggara APMK yang menyediakan jasa Transfer Dana.
BAB II
PERIZINAN PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA
Bagian Kesatu
Perizinan
Pasal 3
(1) Badan usaha bukan Bank yang akan melakukan kegiatan
penyelenggaraan Transfer Dana wajib terlebih dahulu memperoleh
izin dari Bank Indonesia.
(2) Untuk memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), badan usaha bukan Bank wajib:
a. berbadan hukum Indonesia; dan
b. mengajukan permohonan izin secara tertulis kepada Bank
Indonesia dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(3) Persyaratan yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia
antara lain persyaratan yang terkait dengan keamanan sistem,
permodalan, integritas pengurus, pengelolaan risiko, dan/atau
kesiapan sarana dan prasarana.
Pasal ...
-9-
Pasal 4
Tempat Penguangan Tunai yang bekerjasama dengan Penyelenggara
tidak perlu memperoleh izin dari Bank Indonesia.
Pasal 5
Dalam memberikan izin kepada badan usaha bukan Bank sebagai
Penyelenggara, Bank Indonesia berwenang meminta informasi
mengenai badan usaha bukan Bank kepada otoritas yang berwenang.
Pasal 6
(1)
Izin sebagai Penyelenggara yang telah diperoleh dari Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tidak
dapat dialihkan kepada badan usaha lain.
(2) Dalam hal Penyelenggara merencanakan untuk melakukan
penggabungan, peleburan, atau pemisahan, Penyelenggara wajib
menyampaikan rencana dimaksud melalui laporan secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
(3) Berdasarkan laporan Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Bank Indonesia menetapkan status perizinan
Penyelenggara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan dan/atau penetapan
status perizinan Transfer Dana dalam hal terjadi penggabungan,
peleburan, atau pemisahan diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 7
Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan pembatasan
perizinan sebagai Penyelenggara.
Bagian ...
-10-
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Transfer Dana Dari dan Ke Luar Negeri
Pasal 8
(1) Kegiatan kerjasama penyelenggaraan Transfer Dana dari dan ke
luar negeri oleh Penyelenggara hanya dapat dilakukan dengan
pihak yang telah memperoleh persetujuan dari otoritas negara
setempat.
(2) Kegiatan kerjasama penyelenggaraan Transfer Dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan berdasarkan perjanjian
tertulis.
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
paling kurang memuat:
a. penerapan asas resiprositas antar para pihak;
b. hak dan kewajiban para pihak;
c. mekanisme penetapan kurs, biaya, dan penyelesaian akhir;
dan
d. mekanisme penyelesaian permasalahan yang mungkin timbul
dalam kegiatan penyelenggaraan Transfer Dana.
(4) Bank Indonesia berwenang menetapkan batas maksimal nilai
nominal Transfer Dana dari dan ke luar negeri yang dapat
dilakukan melalui Penyelenggara yang berupa Badan usaha bukan
Bank.
(5) Penyelenggaraan kegiatan Transfer Dana dari dan ke luar negeri
wajib memperhatikan peraturan perundang-undangan terkait.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan
Transfer Dana dari dan ke luar negeri diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
BAB ...
-11-
BAB III
PELAKSANAAN TRANSFER DANA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
(1) Pelaksanaan Perintah Transfer Dana oleh Penyelenggara Pengirim
Asal, Penyelenggara Penerus, Penyelenggara Penerima Akhir
dilakukan sesuai ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai Transfer Dana dan peraturan
perundang-undangan terkait.
(2) Penyelenggara Pengirim yang telah melakukan Pengaksepan
Perintah Transfer Dana bertanggung jawab kepada pemberi
Perintah Transfer Dana atas terlaksananya Perintah Transfer Dana
sampai dengan Pengaksepan oleh Penyelenggara Penerima Akhir.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Perintah Transfer Dana Dalam Keadaan Memaksa
Pasal 10
(1) Penyelenggara Pengirim yang telah melakukan Pengaksepan
Perintah Transfer Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(2) tetap bertanggungjawab untuk melaksanakan Perintah
Transfer Dana walaupun terjadi keadaan sebagai berikut:
a. bencana alam, keadaan bahaya, huru-hara, konflik
bersenjata, dan/atau keadaan darurat lain yang ditetapkan
oleh pemerintah yang terjadi di daerah atau lokasi
Penyelenggara Pengirim yang sedang melaksanakan Perintah
Transfer Dana;
b. kerusakan pada sistem infrastruktur elektronik atau
nonelektronik yang berpengaruh langsung terhadap
pelaksanaan ...
-12-
pelaksanaan Perintah Transfer Dana yang tidak dapat
dikontrol oleh Penyelenggara Pengirim;
c. kegagalan sistem kliring atau Sistem Transfer Dana;
d. hal-hal lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Tanggung jawab untuk melaksanakan Perintah Transfer Dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. menyampaikan pemberitahuan segera kepada Pengirim
sebelumnya mengenai keadaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang terjadi pada Penyelenggara Pengirim; dan
b. melaksanakan Perintah Transfer Dana paling lambat:
1) 5 (lima) Hari Kerja setelah berakhirnya keadaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a;
2) 1 (satu) Hari Kerja setelah berakhirnya keadaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf
c;
3) sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
untuk keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d.
(3) Penyelenggara Pengirim yang terlambat melakukan tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membayar jasa, bunga,
atau kompensasi kepada Pengirim Asal.
Bagian Ketiga
Kekeliruan Pelaksanaan Transfer Dana
Pasal 11
(1) Kekeliruan dalam pelaksanaan Transfer Dana antara lain dapat
berupa:
a. kekeliruan menyampaikan jumlah Dana yang tidak sesuai
dengan Perintah Transfer Dana; atau
b. kekeliruan ...
-13-
b. kekeliruan melakukan Pengaksepan sehingga Dana tidak
diterima oleh Penerima yang berhak.
(2) Dalam hal Penyelenggara melakukan kekeliruan dalam
pelaksanaan Transfer Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Penyelenggara wajib melakukan perbaikan paling lambat 1 (satu)
Hari Kerja setelah diketahui terjadinya kekeliruan tersebut.
(3) Perbaikan atas kekeliruan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan melaksanakan Transfer Dana sesuai dengan isi
Perintah Transfer Dana, antara lain dengan cara:
a. melakukan pembatalan atau perubahan Perintah Transfer
Dana; dan/atau
b. menerbitkan Perintah Transfer Dana baru kepada Penerima
yang berhak, tanpa menunggu pengembalian Dana dari
Penerima yang tidak berhak.
Bagian Keempat
Tata Cara Pengembalian Dana
Paragraf 1
Pengembalian Dana Dalam Keadaan Memaksa
Pasal 12
(1) Dalam hal Perintah Transfer Dana tidak terlaksana karena terjadi
keadaan memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 serta
Pengirim meminta pembatalan Perintah Transfer Dana dan
pengembalian Dana transfer, maka Penyelenggara Pengirim wajib
melakukan pengembalian Dana dengan cara:
a. mengkredit Rekening Pengirim; atau
b. menyampaikan pemberitahuan tertulis melalui surat atau
sarana lainnya untuk pengambilan Dana secara tunai dalam
hal ...
-14-
hal Pengirim tidak memiliki Rekening di Penyelenggara
Pengirim.
(2) Pengembalian Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan oleh Penyelenggara Pengirim paling lambat 1 (satu) Hari
Kerja setelah diterimanya permintaan pembatalan dan
pengembalian Dana dari Pengirim.
(3) Pengembalian Dana dilakukan oleh Penyelenggara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melalui Penyelenggara Pengirim
sebelumnya atau kepada Pengirim yang meminta pembatalan dan
pengembalian.
(4) Penyelenggara yang terlambat melakukan pengembalian Dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar jasa, bunga,
atau kompensasi kepada pihak yang berhak sebagaimana
dimaksud dalam Bab V.
Paragraf 2
Pengembalian Dana oleh Penyelenggara yang Dibekukan Kegiatan
Usaha, Dicabut Izin Usaha, atau Dinyatakan Pailit
Pasal 13
(1) Dalam hal Penyelenggara Pengirim dibekukan kegiatan usaha atau
dicabut izin usaha atau dinyatakan pailit, Perintah Transfer Dana
wajib diselesaikan apabila Perintah Transfer Dana tersebut:
a.
telah dilaksanakan oleh Penyelenggara Pengirim mulai pukul
00.00 sampai dengan saat dilakukan penutupan sistem
operasional Penyelenggara Pengirim yang dibekukan kegiatan
usaha atau dicabut izin usaha;
b.
telah dilaksanakan oleh Penyelenggara Pengirim mulai pukul
00.00 sampai dengan saat diucapkan putusan pernyataan
pailit Penyelenggara Pengirim; atau
c. telah ...
-15-
c.
telah diterima oleh penyelenggara Sistem Transfer Dana
tertentu.
(2) Penyelesaian Perintah Transfer Dana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Penyelenggara Pengirim dengan
meneruskan pelaksanaan Perintah Transfer Dana sampai dengan
diterimanya Dana oleh Penerima.
Pasal 14
(1) Dalam hal Penyelenggara dibekukan kegiatan usaha, dicabut izin
usaha, atau dinyatakan pailit, Dana yang sedang dalam proses
Transfer Dana wajib dikembalikan kepada:
a. Pengirim Asal, jika yang dibekukan kegiatan usaha, dicabut
izin usaha, atau dinyatakan pailit merupakan Penyelenggara
Pengirim Asal dan Perintah Transfer Dana belum
dilaksanakan; atau
b. Pengirim Asal, Penyelenggara Pengirim Asal, atau
Penyelenggara Penerus sebelumnya, jika yang dibekukan
kegiatan usaha, dicabut izin usaha, atau dinyatakan pailit
merupakan Penyelenggara Penerus dan Perintah Transfer
Dana belum dilaksanakan.
(2) Perintah Transfer Dana dianggap belum dilaksanakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi seluruh
kondisi sebagai berikut:
a. Penyelenggara sudah melakukan Pengaksepan atas Perintah
Transfer Dana tersebut namun belum melakukan langkah
untuk melaksanakan Perintah Transfer Dana tersebut; dan
b. Dana masih berada di Penyelenggara.
Paragraf ...
-16-
Paragraf 3
Pengembalian Dana Berdasarkan Penetapan atau Putusan Pengadilan
Pasal 15
Mekanisme pengembalian Dana berdasarkan penetapan atau putusan
pengadilan dilakukan sesuai dengan penetapan atau putusan
pengadilan tersebut.
BAB IV
TRANSFER DANA YANG DITUJUKAN
UNTUK DITERIMA SECARA TUNAI
Pasal 16
(1) Dalam hal Penyelenggara Penerima Akhir melakukan Pengaksepan
dengan cara mengirimkan pemberitahuan kepada Penerima bahwa
Penerima mempunyai hak untuk mengambil tunai Dana hasil
transfer, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. pemberitahuan wajib dilakukan dengan segera pada tanggal
yang sama dengan tanggal diterimanya Perintah Transfer
Dana dari Penyelenggara Pengirim sebelumnya; dan
b. pemberitahuan disampaikan melalui surat atau sarana lain.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pengiriman
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerima
tidak mengambil Dana hasil transfer, Penyelenggara Penerima
Akhir mengirimkan pemberitahuan kedua kepada Penerima.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pengiriman
pemberitahuan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Penerima tidak mengambil Dana hasil transfer, Penyelenggara
Penerima Akhir mengirimkan pemberitahuan ketiga kepada
Penerima.
(4) Apabila ...
-17-
(4) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pengiriman
pemberitahuan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
Penerima tidak mengambil Dana hasil transfer, Penyelenggara
Penerima Akhir mengembalikan Dana kepada Penyelenggara
Pengirim Asal untuk diserahkan kembali kepada Pengirim Asal.
(5) Pengembalian Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
dilakukan oleh Penyelenggara Penerima Akhir melalui
Penyelenggara Pengirim sebelumnya.
Pasal 17
(1) Dalam hal pengembalian Dana kepada Pengirim Asal dilakukan
secara tunai, Penyelenggara Pengirim Asal yang menerima
pengembalian Dana sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (4)
wajib mengirimkan pemberitahuan kepada Pengirim Asal untuk
mengambil Dana hasil transfer dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pemberitahuan wajib dilakukan dengan segera pada tanggal
yang sama dengan tanggal diterimanya pengembalian Dana;
dan
b. pemberitahuan disampaikan melalui surat atau sarana lain.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pengiriman
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengirim
Asal tidak mengambil Dana yang dikembalikan, Penyelenggara
Pengirim Asal mengirimkan pemberitahuan kedua kepada
Pengirim Asal.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pengiriman
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pengirim
Asal tidak mengambil Dana yang dikembalikan, Penyelenggara
Pengirim Asal mengirimkan pemberitahuan ketiga kepada
Pengirim Asal.
(4) Apabila ...
-18-
(4) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pengiriman
pemberitahuan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
Pengirim Asal tidak mengambil Dana yang dikembalikan,
Penyelenggara Pengirim Asal menyerahkan Dana yang tidak
diambil oleh Pengirim Asal tersebut kepada Balai Harta
Peninggalan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Penyerahan Dana yang tidak diambil oleh Pengirim Asal kepada
Balai Harta Peninggalan dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).
Pasal 18
(1) Penyerahan Dana oleh Penyelenggara Pengirim Asal kepada Balai
Harta Peninggalan sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (4)
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Dana diserahkan kepada kantor Balai Harta Peninggalan yang
terdekat atau yang mewilayahi kantor Penyelenggara Pengirim
Asal;
b. Dana diserahkan secara tunai atau melalui transfer untuk
untung rekening Balai Harta Peninggalan; dan
c. Dana yang diserahkan dicatat dalam berita acara penyerahan
dan dilampiri dengan dokumen yang paling kurang meliputi:
1.
2.
fotokopi identitas Pengirim Asal;
fotokopi identitas pejabat Penyelenggara Pengirim Asal
yang menyerahkan Dana kepada Balai Harta
Peninggalan; dan
3. bukti transfer jika penyerahan dana dilakukan melalui
Transfer Dana.
(2) Penyerahan ...
-19-
(2) Penyerahan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam melakukan penyerahan Dana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Penyelenggara Pengirim Asal dapat mengenakan biaya
transfer yang dibebankan pada Dana yang akan diserahkan
kepada Balai Harta Peninggalan.
BAB V
JASA, BUNGA, ATAU KOMPENSASI
Pasal 19
(1) Pembayaran jasa, bunga, atau kompensasi dilakukan oleh
Penyelenggara dengan cara:
a. mengkredit rekening pihak yang berhak; atau
b. menyampaikan pemberitahuan tertulis melalui surat atau
sarana lain dalam hal pihak yang berhak tidak memiliki
rekening di Penyelenggara.
(2) Tata cara perhitungan dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
BAB VI
BIAYA TRANSFER DANA
Pasal 20
(1) Setiap Penyelenggara Penerima berhak mengenakan biaya Transfer
Dana dengan memperhatikan aspek kewajaran.
(2) Pengenaan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh Penyelenggara Penerima dengan cara melakukan
pendebetan rekening, permintaan pembayaran secara tunai
kepada ...
-20-
kepada Pengirim Asal atau Penyelenggara sebelumnya, atau
dibebankan pada nilai Dana yang ditransfer.
(3) Penyelenggara Pengirim Asal wajib menginformasikan besarnya
biaya Transfer Dana kepada Pengirim Asal.
(4) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan paling kurang dengan menempatkan pengumuman di
setiap kantor Penyelenggara Pengirim mengenai besarnya biaya
yang dikenakan untuk setiap layanan Transfer Dana yang
disediakan Penyelenggara Pengirim.
BAB VII
PEMANTAUAN
Pasal 21
(1) Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap Penyelenggara.
(2) Dalam rangka pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Bank Indonesia melakukan kegiatan pengamatan, penilaian, dan
upaya mendorong perubahan.
(3) Pemantauan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan pemantauan langsung dan/atau pemantauan
tidak langsung.
(4) Pemantauan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan oleh Bank Indonesia melalui pemeriksaan berkala
dan/atau setiap waktu apabila diperlukan.
(5) Pemantauan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan melalui penelitian terhadap laporan, keterangan, dan
penjelasan penyelenggaraan Transfer Dana.
(6) Dalam rangka pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Penyelenggara wajib:
a. menyampaikan ...
-21-
a. menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia secara
tertulis dan/atau online mengenai kegiatan penyelenggaraan
Transfer Dana;
b. memberikan keterangan dan/atau data yang terkait dengan
kegiatan penyelenggaraan Transfer Dana sesuai dengan
permintaan Bank Indonesia; dan
c. memberikan kesempatan kepada Bank Indonesia melakukan
pemeriksaan untuk memperoleh informasi yang terkait
dengan penyelenggaraan Transfer Dana.
(7) Bank Indonesia dapat meminta kepada pihak-pihak yang
bekerjasama dengan Penyelenggara untuk menyampaikan laporan
atau keterangan mengenai informasi tertentu.
(8) Berdasarkan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Bank Indonesia dapat melakukan pembinaan dan/atau
mengenakan sanksi administratif.
Pasal 22
Dalam upaya mendorong perubahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (2), Bank Indonesia dapat melakukan antara lain
imbauan moral, pertemuan konsultatif, penegakan sanksi, permintaan
peninjauan susunan kepengurusan, kerjasama dengan institusi lain,
dan penyusunan pedoman atau panduan bagi industri.
Pasal 23
(1) Bank Indonesia dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama
Bank Indonesia dalam melaksanakan pemantauan.
(2) Pihak lain yang melaksanakan pemantauan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus merahasiakan keterangan dan data
yang diperoleh dalam pemantauan.
Pasal ...
-22-
Pasal 24
Dalam melakukan kegiatan pemantauan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21, Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas
pengawas terkait.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 25
(1) Pihak yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 3
ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 8 ayat (2), Pasal 8 ayat (3), Pasal 8
ayat (5), Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal
12 ayat (2), Pasal 12 ayat (4), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1),
Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 20 ayat (3), dan/atau
Pasal 21 ayat (6) dikenakan sanksi administratif berupa:
a.
teguran;
b. denda;
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan
Transfer Dana; dan/atau
d. pencabutan izin penyelenggaraan kegiatan Transfer Dana.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 26
Selain dalam rangka penerapan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25, Bank Indonesia dapat menghentikan sementara sebagian
atau seluruh kegiatan Transfer Dana, atau mencabut izin yang telah
diberikan kepada badan usaha bukan Bank, antara lain dalam hal:
a. terdapat ...
-23-
a.
terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
yang memerintahkan badan usaha bukan Bank yang melakukan
kegiatan sebagai penyelenggara Transfer Dana untuk
menghentikan kegiatannya;
b.
terdapat rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang
kepada Bank Indonesia antara lain mengenai memburuknya
kondisi keuangan dan/atau lemahnya manajemen risiko badan
usaha bukan Bank;
c.
terdapat permintaan tertulis atau rekomendasi dari otoritas
pengawas yang berwenang kepada Bank Indonesia untuk
menghentikan sementara kegiatan Transfer Dana;
d. otoritas pengawas yang berwenang telah mencabut izin usaha
dan/atau menghentikan kegiatan usaha badan usaha bukan Bank
yang melakukan kegiatan Transfer Dana; atau
e. adanya permohonan pembatalan yang diajukan sendiri oleh badan
usaha bukan Bank yang telah memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
BAB IX
LAIN-LAIN
Pasal 27
Badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank yang telah
memperoleh izin sebagai Penyelenggara Kegiatan Usaha Pengiriman
Uang dari Bank Indonesia diakui sebagai Penyelenggara setelah
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
BAB ...
-24-
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 28
Pihak yang telah menyelenggarakan kegiatan sebagai Money Transfer
Operator sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/28/PBI/2006 tentang Kegiatan Usaha Pengiriman Uang harus
telah mengajukan dan memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai
Penyelenggara paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan kegiatan Transfer
Dana diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 30
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/28/PBI/2006 tentang Kegiatan Usaha Pengiriman
Uang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 31
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar ...
-25-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Desember 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Desember 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 283
DASP
PENJELASAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 23 /PBI/2012
TENTANG
TRANSFER DANA
I. UMUM
Dengan telah berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2011 mengenai penyelenggaraan Transfer Dana selama hampir
dua tahun yaitu sejak tanggal 23 Maret 2011, kegiatan Transfer
Dana atau pengiriman uang terus berkembang di masyarakat.
Kegiatan ini sangat beragam, dimulai dari layanan non bank,
kemudian berkembang dengan layanan kedatangan pengguna jasa
ke kantor bank, sampai akhirnya dilakukan sendiri kegiatan
transfernya tanpa harus datang ke kantor Bank atau non Bank,
seperti lewat ATM, internet banking atau melalui layanan mobile
banking. Peruntukan transfer dananya juga terus berkembang dan
dimanfaatkan untuk semua kepentingan yang diinginkan oleh
pengguna jasa, seperti untuk pembayaran uang sekolah, tagihan
listrik, tagihan telepon, pembayaran transaksi bisnis dan bahkan
untuk kepentingan sosial.
Sejalan dengan perkembangan Transfer Dana tersebut,
kegiatan Transfer Dana yang aman dan lancar juga semakin
dibutuhkan oleh masyarakat. Di dalam pelaksanaannya, ternyata
tidak semua kegiatan Transfer Dana dapat berjalan sebagaimana
yang diinginkan oleh pengguna jasa. Keterlambatan sehari atau
lebih dalam pelaksanaan pengirimannya dan Dana diterima oleh
pihak yang tidak berhak, adalah beberapa contoh praktek yang
berpotensi ...
-2-
berpotensi menimbulkan kerugian bagi para pihak, baik bagi
pihak pengirim maupun pihak penerima Transfer Dana, apalagi
jika kegiatan Transfer Dana dimaksudkan untuk memenuhi suatu
kewajiban pembayaran yang bersifat segera. Sebagai upaya untuk
memberikan perlindungan kepada para pengirim Dana maka
dikeluarkan Peraturan Bank Indonesia tentang Transfer Dana
sebagai peraturan yang lebih rinci dari Undang-Undang Transfer
Dana.
Beberapa hal lain yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Bank Indonesia ini adalah mengenai Penyelenggara. Persyaratan
untuk memperoleh izin sebagai Penyelenggara ditetapkan antara
lain terkait dengan keamanan sistem, permodalan, integritas
pengurus, pengelolaan risiko, dan/atau kesiapan sarana
prasarana.
Penyelenggara juga dapat bekerjasama dengan pihak selain
Penyelenggara yang dikategorikan sebagai Tempat Penguangan
Tunai. Dalam hal ini, Tempat Penguangan Tunai tidak perlu
memperoleh izin dari Bank Indonesia dengan pertimbangan
Tempat Penguangan Tunai tidak melakukan kegiatan
pengaksepan dan hanya melakukan kegiatan penguangan dana
hasil transfer yang telah dialokasikan dalam Rekening untuk
kepentingan Penerima.
Selain itu, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-
Undang Transfer Dana, dalam ketentuan ini juga diatur lebih rinci
mengenai pelaksanaan perintah Transfer Dana seperti
pelaksanaan Perintah Transfer Dana dalam keadaan memaksa,
kekeliruan pelaksanaan Transfer Dana, tata cara pengembalian
Dana dan pengembalian Dana yang ditujukan untuk diterima
secara tunai.
II. PASAL ...
-3-
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “peserta Sistem BI-RTGS” adalah
peserta sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Sistem BI-RTGS.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “peserta SKNBI” adalah peserta
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai SKNBI.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penyelenggara APMK yang
menyediakan jasa Transfer Dana” adalah pihak yang telah
memperoleh izin sebagai prinsipal, penerbit, acquirer,
penyelenggara kliring dan/atau penyelenggara penyelesaian
akhir sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank
Indonesia, yang dalam penyelenggaraan kegiatannya
melakukan kegiatan penyelenggaraan Transfer Dana.
Pasal 3
Ayat (1)
Kewajiban memperoleh izin penyelenggaraan Transfer Dana
tidak berlaku bagi Bank karena kegiatan Transfer Dana
sudah menjadi bagian kegiatan usaha Bank sebagaimana
diatur ...
-4-
diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai
perbankan.
Ayat (2)
Contoh badan usaha yang berbadan hukum Indonesia
antara lain Perseroan Terbatas dan Koperasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Tempat Penguangan Tunai bukan merupakan Penyelenggara,
mengingat Tempat Penguangan Tunai tidak melakukan Pengaksepan.
Tempat Penguangan Tunai merupakan pihak yang bekerjasama dengan
Penyelenggara dalam melakukan kegiatan penguangan Dana hasil
transfer yang telah dialokasikan dalam Rekening untuk kepentingan
Penerima.
Penyelenggara yang bekerjasama dengan pengelola sistem Transfer
Dana tidak termasuk dalam pengertian Tempat Penguangan Tunai.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh 1 (satu) Badan Usaha bukan Bank atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan Badan Usaha bukan Bank lain
yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari
Badan ...
-5-
Badan Usaha bukan Bank yang menggabungkan diri
beralih karena hukum kepada Badan Usaha bukan Bank
yang menerima penggabungan dan selanjutnya status
Badan Usaha bukan Bank yang menggabungkan diri
berakhir karena hukum.
Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 2
(dua) Badan Usaha bukan Bank atau lebih untuk
meleburkan diri dengan cara mendirikan Badan Usaha
bukan Bank baru yang karena hukum memperoleh aktiva
dan pasiva dari Badan Usaha bukan Bank yang
meleburkan diri dan status Badan Usaha bukan Bank yang
meleburkan diri berakhir karena hukum.
Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
Badan Usaha bukan Bank untuk memisahkan usaha yang
mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Badan Usaha
bukan Bank beralih karena hukum kepada 2 (dua) atau
lebih Badan Usaha bukan Bank atau sebagian aktiva dan
pasiva Badan Usaha bukan Bank beralih karena hukum
kepada 1 (satu) atau lebih Badan Usaha bukan Bank.
Ayat (3)
Dalam menetapkan status perizinan Penyelenggara, Bank
Indonesia antara lain dapat mewajibkan Penyelenggara
untuk menyelesaikan seluruh hak dan kewajiban
Penyelenggara terkait kegiatan penyelenggaraan Transfer
Dana dan/atau mengajukan izin baru sebagai
Penyelenggara apabila diperlukan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal ...
-6-
Pasal 7
Pembatasan Penyelenggara didasarkan pada pertimbangan
antara lain efisiensi industri, menjaga kepentingan publik,
menjaga pertumbuhan industri dan/atau persaingan usaha yang
sehat. Pembatasan tersebut dapat dilakukan dalam batas waktu
tertentu dan/atau wilayah tertentu.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “otoritas negara setempat” adalah
otoritas yang berwenang memberikan persetujuan kegiatan
penyelenggaraan Transfer Dana di negara tersebut. Bentuk
persetujuan untuk menyelenggarakan kegiatan Transfer
Dana disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di
negara setempat yang antara lain dapat berupa izin atau
registrasi.
Ayat (2)
Kerjasama antar Penyelenggara wajib dilakukan secara
tertulis dalam rangka mempertegas hubungan hukum
antar Penyelenggara dalam menjalankan kegiatan Transfer
Dana.
Ayat (3)
Huruf a
Penerapan asas resiprositas dimaksudkan untuk
menjaga adanya perlakuan yang sama antara
Penyelenggara dalam negeri dengan Penyelenggara
luar negeri, misalnya adanya pengaturan mengenai
kesamaan hak dalam melakukan kerjasama dengan
Penyelenggara ...
-7-
Penyelenggara atau pihak ketiga lainnya, dan
penggunaan fitur yang sama oleh masing-masing
pihak.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Permasalahan yang mungkin timbul dalam kegiatan
penyelenggaraan Transfer Dana antara lain berupa
kekeliruan pelaksanaan transfer kepada Penerima
yang tidak berhak, keterlambatan dalam pelaksanaan
Transfer Dana, kekeliruan pencantuman nominal
Transfer Dana, dan mekanisme pengembalian Dana.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan
terkait” antara lain peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan
terkait” antara lain ketentuan yang mengatur mengenai
pencegahan ...
-8-
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang.
Ayat (2)
Tanggung jawab Penyelenggara Pengirim atas
terlaksananya Perintah Transfer Dana dilakukan sesuai
dengan ketentuan dalam undang-undang yang mengatur
mengenai kegiatan Transfer Dana dan peraturan
pelaksanaannya. Tanggung jawab Penyelenggara Pengirim
antara lain mencakup penyediaan dan penyampaian
informasi kepada Pengirim sebelumnya mengenai status
pelaksanaan Perintah Transfer Dana.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”keadaan bahaya” adalah
keadaan bahaya yang diumumkan secara resmi oleh
pemerintah.
Yang dimaksud dengan ”huru-hara” termasuk
pertikaian antarkelompok masyarakat yang
mengakibatkan terhentinya kegiatan operasional
Penyelenggara.
Yang dimaksud dengan ”Penyelenggara Pengirim yang
sedang melaksanakan Perintah Transfer Dana”
adalah kantor Penyelenggara yang menerbitkan
Perintah Transfer Dana. Dalam hal Penyelenggara
tersebut memiliki sistem komputerisasi yang
mengintegrasikan seluruh sistem akuntansi
dan/atau Sistem Transfer Dana Penyelenggara
tersebut ...
-9-
tersebut, pengertian Penyelenggara Pengirim yang
sedang melaksanakan Perintah Transfer Dana
termasuk kantor Penyelenggara tempat pusat kendali
komputer dioperasikan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”kerusakan pada sistem
infrastruktur elektronik atau nonelektronik yang
berpengaruh langsung terhadap pelaksanaan
Perintah Transfer Dana yang tidak dapat dikontrol
oleh Penyelenggara Pengirim” antara lain kerusakan
yang disebabkan oleh kebakaran dan sambaran petir.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”kegagalan sistem kliring
atau Sistem Transfer Dana” adalah kegagalan yang
mengakibatkan sistem kliring atau Sistem Transfer
Dana secara keseluruhan tidak dapat dijalankan
atau dioperasikan dengan baik, termasuk seluruh
sistem pendukung dan sistem cadangan atau sistem
pengganti.
Kegagalan sistem yang hanya terjadi di Penyelenggara
Pengirim tidak tergolong pengertian kegagalan sistem
kliring atau Sistem Transfer Dana.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “hal lain yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia” antara lain keputusan Bank
Indonesia mengenai penghentian sementara
Penyelenggara Pengirim dari kegiatan kliring atau
kegiatan Sistem Transfer Dana lain.
Ayat ...
-10-
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemberitahuan secara
segera” adalah pemberitahuan dilakukan pada
kesempatan pertama
memungkinkan bagi Penyelenggara untuk
menyampaikan pemberitahuan.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Kekeliruan dalam menyampaikan jumlah Dana dapat
terjadi antara lain karena jumlah Dana yang
disampaikan lebih kecil atau lebih besar dari jumlah
Dana yang tercantum dalam Perintah Transfer Dana.
Huruf b
Kekeliruan melakukan Pengaksepan dapat terjadi
jika Perintah Transfer Dana yang ditujukan untuk
diteruskan kepada Penerima A yang merupakan
Penerima yang berhak, namun dilakukan
Pengaksepan dan dilaksanakan oleh Penyelenggara
untuk kepentingan nasabah B.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat ...
setelah keadaan
-11-
Ayat (3)
Perbaikan atas kekeliruan diberitahukan oleh
Penyelenggara yang melakukan perbaikan atas kekeliruan
kepada pihak yang menerbitkan dan/atau menerima
Perintah Transfer Dana.
Huruf a
Perubahan antara lain dilakukan dengan melakukan
koreksi sesuai isi Perintah Transfer Dana yang
diterima dari Pengirim. Dalam hal Penyelenggara
melakukan pembatalan pelaksanaan Perintah
Transfer Dana, maka pembatalan tersebut dilakukan
sesuai dengan ketentuan mengenai pembatalan yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan
mengenai transfer dana.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Pengembalian Dana dapat dilakukan sepanjang Dana
masih ada di Penyelenggara Pengirim.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Sarana lain yang dapat digunakan Penyelenggara
Penerima Akhir antara lain adalah faksimili, surat
elektronik (email), atau telepon yang kemudian
dituangkan dalam catatan resmi Penyelenggara yang
bersangkutan ...
-12-
bersangkutan baik dalam bentuk transkrip atau
media elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam meneruskan pelaksanaan Perintah Transfer Dana,
Penyelenggara Pengirim antara lain harus menyampaikan
atau menyediakan Dana yang cukup untuk pelaksanaan
Perintah Transfer Dana sesuai dengan ketentuan yang
mengatur mengenai pelaksanaan Transfer Dana tersebut.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Perintah Transfer Dana belum
dilaksanakan” antara lain adalah Dana masih berada di
Sistem Transfer Dana pada Penyelenggara Pengirim dan
belum berpindah kepada Penyelenggara Penerima.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf ...
-13-
Huruf b
Dalam hal Penyelenggara bekerjasama dengan TPT,
Dana dianggap masih berada di Penyelenggara jika
Penyelenggara belum mengalokasikan Dana hasil
transfer pada rekening Penerima.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Sarana lain yang dapat digunakan Penyelenggara
Penerima Akhir antara lain adalah faksimili, surat
elektronik (email), atau telepon yang kemudian
dituangkan dalam catatan resmi Penyelenggara yang
bersangkutan baik dalam bentuk transkrip atau
media elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal ...
-14-
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Sarana lain yang dapat digunakan Penyelenggara
Penerima Akhir antara lain adalah faksimili, surat
elektronik (email), atau telepon yang kemudian
dituangkan dalam catatan resmi Penyelenggara yang
bersangkutan baik dalam bentuk transkrip atau
media elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kantor Balai Harta
Peninggalan yang mewilayahi” adalah kantor Balai
Harta Peninggalan yang lingkup kerjanya mencakup
lokasi kantor Penyelenggara Pengirim Asal.
Yang dimaksud dengan “kantor Penyelenggara
Pengirim Asal” adalah kantor Penyelenggara Pengirim
Asal ...
-15-
Asal yang melakukan Transfer Dana atau kantor
pusat Penyelenggara Pengirim Asal.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Berita acara penyerahan paling kurang memuat:
1.
2.
3.
informasi sebagaimana tercantum dalam
Perintah Transfer Dana;
informasi tanggal penyerahan Dana ke Balai
Harta Peninggalan; dan
informasi pegawai atau pejabat Penyelenggara
Pengirim Asal dan pegawai atau pejabat Balai
Harta Peninggalan yang melakukan proses
penyerahan dan penerimaan Dana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Biaya yang dapat dibebankan oleh Penyelenggara Pengirim
Asal adalah biaya yang telah dibayarkan Penyelenggara
Pengirim Asal untuk mentransfer Dana ke rekening Balai
Harta Peninggalan.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Sarana lain yang dapat digunakan Penyelenggara
Penerima Akhir antara lain adalah faksimili, surat
elektronik ...
-16-
elektronik (email), atau telepon yang kemudian
dituangkan dalam catatan resmi Penyelenggara yang
bersangkutan baik dalam bentuk transkrip atau
media elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud Penyelenggara Penerima termasuk
Penyelenggara Pengirim Asal, Penyelenggara Penerus dan
Penyelenggara Penerima Akhir.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengamatan (monitoring) merupakan kegiatan yang
bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai
penyelenggaraan kegiatan Transfer Dana.
Penilaian (assessment) merupakan kegiatan yang bertujuan
untuk memahami dan menilai penyelenggaraan kegiatan
Transfer Dana.
Kegiatan ...
-17-
Kegiatan upaya mendorong perubahan (inducing change)
merupakan upaya untuk mendorong perubahan industri
dalam penyelenggaraan Transfer Dana.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pemantauan langsung” adalah
kegiatan pemantauan yang dilakukan dalam bentuk
pemeriksaan dengan melakukan kunjungan pada
Penyelenggara.
Yang dimaksud dengan “pemantauan tidak langsung”
adalah kegiatan yang dilakukan dalam bentuk pemantauan
dini melalui penelitian, analisis dan evaluasi atas informasi
yang diperoleh Bank Indonesia dari laporan Penyelenggara
atau dari sumber lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Laporan yang disampaikan oleh Penyelenggara
berupa laporan berkala dan laporan insidentil.
Laporan berkala antara lain berupa laporan bulanan
penyelenggaraan kegiatan Transfer Dana, sedangkan
laporan insidentil antara lain berupa laporan
kejadian luar biasa dalam penyelenggaraan Transfer
Dana atau laporan pergantian pengurus.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf ...
-18-
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (7)
Pihak-pihak yang bekerjasama dengan Penyelenggara
adalah pihak yang mempunyai kaitan penting dalam
penyelenggaraan Transfer Dana namun dalam melakukan
kegiatan usahanya tidak diperlukan izin dari Bank
Indonesia.
Permintaan laporan atau keterangan kepada pihak-pihak
yang bekerjasama dimaksudkan untuk melengkapi
kegiatan pengamatan (monitoring) dan penilaian
(assessment) terhadap Penyelenggara.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat 1
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak yang
menurut Bank Indonesia memiliki kemampuan untuk
melaksanakan kegiatan pemantauan dan/atau penilaian
seperti akuntan publik atau konsultan teknologi informasi.
Pelaksanaan kegiatan pemantauan dan/atau penilaian oleh
pihak lain dapat dilakukan sendiri atau bersama-sama
dengan Bank Indonesia.
Ayat 2
Cukup jelas.
Pasal ...
-19-
Pasal 24
Yang dimaksud dengan “otoritas pengawas terkait” antara lain
lembaga pengawas jasa keuangan dan kementerian yang
membidangi kegiatan perposan, telekomunikasi, dan informatika.
Pelaksanaan koordinasi dilakukan Bank Indonesia antara lain
dalam hal tukar menukar informasi, korespondensi dan/atau
pertemuan antara Bank Indonesia dengan otoritas pengawas
terkait.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ketentuan yang akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran
Bank Indonesia antara lain mengenai:
a.
b.
tata cara penghitungan dan pengenaan jasa, bunga, atau
kompensasi;
c. batas ...
tata cara dan persyaratan untuk memperoleh izin sebagai
Penyelenggara;
-20-
c.
batas maksimal nilai nominal Transfer Dana dari dan ke
luar negeri yang dapat dilakukan melalui Penyelenggara
yang berupa Badan usaha bukan Bank.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5381
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAH
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/23/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> TRANSFER DANA </reg_title>
<set_date> 26 Desember 2012 </set_date>
<effective_date> 26 Desember 2012 </effective_date>
<issued_date> 26 Desember 2012 </issued_date>
<replaced_reg> '8/28/PBI/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '8/UU/2010', '3/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
Nomor: 7/25/PBI/2005
TENTANG
SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO BAGI PENGURUS DAN PEJABAT
BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa kondisi eksternal dan internal perbankan
mengalami perkembangan pesat yang
diikuti dengan
semakin kompleksnya kegiatan usaha perbankan sehingga
risiko yang dihadapi semakin besar;
b. bahwa semakin kompleksnya risiko tersebut akan
meningkatkan kebutuhan praktek tata kelola usaha yang
baik (good corporate governance) dan fungsi manajemen
risiko yang meliputi identifikasi, pengukuran, pemantauan
dan pengendalian risiko bank;
c. bahwa pengurus dan pejabat bank
harus memiliki
kompetensi dan keahlian dalam rangka mendukung
manajemen risiko bagi kegiatan usaha bank;
d. bahwa peningkatan kompetensi pengurus dan pejabat bank
merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas
manajemen risiko perbankan sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API);
e. bahwa …
- 2 -
e. bahwa untuk mendukung pengelolaan risiko bagi kegiatan
usaha bank diperlukan syarat minimum dan standarisasi
kompetensi serta keahlian bagi pengurus dan pejabat di
industri perbankan sesuai dengan kompleksitas usahanya;
f. bahwa untuk mencapai syarat minimum dan standarisasi
kompetensi serta keahlian bagi pengurus dan pejabat bank
diperlukan adanya sertifikasi manajemen risiko;
g. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Sertifikasi
Manajemen Risiko bagi Pengurus dan Pejabat Bank
Umum;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA
TENTANG
SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO BAGI
PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank
asing.
2. Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
3. Direksi …
- 4 -
3.
Direksi:
a. bagi Bank
berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank
berbentuk
hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang bank asing adalah pimpinan kantor cabang.
4. Pengurus adalah Komisaris dan Direksi Bank.
5. Pejabat Bank adalah pegawai Bank yang menduduki jabatan di bawah
Direksi sesuai dengan ukuran dan kompleksitas usaha, termasuk pegawai
Bank yang mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan atau operasional
Bank.
6. Manajer Risiko Bank adalah Direksi dan Pejabat Bank yang membawahi
pengelolaan dan atau pengambilan keputusan risiko sesuai kewenangannya
pada Core Risk Taking Unit, Supporting Risk Taking Unit, Satuan Kerja
Manajemen Risiko (Risk Management Unit), Satuan Kerja Audit Intern, dan
Satuan Kerja Kepatuhan.
7. Core Risk Taking Unit adalah satuan kerja operasional utama yang
mengambil dan melaksanakan keputusan atas risiko yang antara lain
meliputi namun tidak terbatas pada kegiatan perkreditan, treasury, sistem
informasi, dan akunting termasuk kantor operasional.
8. Supporting …
- 5 -
8.
Supporting Risk Taking Unit adalah satuan kerja operasional pendukung
yang antara lain meliputi namun tidak terbatas pada kegiatan yang berkaitan
dengan hukum, logistik, dan sumber daya manusia.
9. Satuan Kerja Manajemen Risiko (Risk Management Unit) adalah Satuan
Kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang
Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
10. Satuan Kerja Kepatuhan adalah satuan kerja yang melakukan kegiatan
untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku.
11. Satuan Kerja Audit Intern (SKAI) adalah satuan kerja yang melaksanakan
fungsi audit intern.
12. Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang
digunakan
untuk
mengidentifikasi, mengukur, memantau,
mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha Bank.
13. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga yang melakukan Sertifikasi
Manajemen Risiko.
14. Sertifikasi Manajemen Risiko adalah proses pengujian kompetensi di
bidang Manajemen Risiko Bank.
15. Sertifikat Manajemen Risiko adalah tanda bukti kelulusan mengikuti
Sertifikasi Manajemen Risiko.
16. Program Penyegaran adalah program pelatihan lanjutan di bidang
Manajemen Risiko yang diakui oleh Lembaga Sertifikasi Profesi, berupa
kursus, seminar, lokakarya atau bentuk lain yang dapat dipersamakan
dengan itu.
17. Penyelenggara Pendidikan adalah organisasi atau institusi yang telah diakui
oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang bertujuan untuk memberikan
pelatihan bagi peserta ujian Sertifikasi Manajemen Risiko.
Pasal 2 …
dan
- 6 -
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif.
(2) Dalam menerapkan
Manajemen Risiko
secara efektif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank wajib mengisi jabatan Komisaris dan
Manajer Risiko Bank dengan sumber daya manusia yang memiliki
kompetensi dan keahlian di bidang Manajemen Risiko.
(3) Komisaris dan Manajer Risiko Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib memiliki Sertifikat Manajemen Risiko.
Manajemen Risiko
(4) Sertifikat
diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi.
Pasal 3
Kewajiban memiliki Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3) bagi Pengurus dan Pejabat Eksekutif Bank merupakan salah satu
aspek penilaian faktor kompetensi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (fit and proper test).
Pasal 4
(1) Bank wajib menyusun rencana dan melaksanakan program pengembangan
sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kompetensi dan keahlian
di bidang Manajemen Risiko.
(2) Program pengembangan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dituangkan dalam rencana bisnis Bank, dimulai sejak tahun 2006
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Rencana
Bisnis Bank Umum.
BAB II …
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
- 7 -
BAB II
TINGKATAN SERTIFIKAT MANAJEMEN RISIKO
Pasal 5
Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan
dalam 5 (lima) tingkat berdasarkan jenjang jabatan dan struktur organisasi Bank,
sebagai berikut:
a. tingkat 1;
b. tingkat 2;
c. tingkat 3;
d. tingkat 4;
e. tingkat 5.
Pasal 6
Komisaris dan Manajer Risiko Bank wajib mengikuti ujian pada setiap tingkatan
Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 secara
berjenjang dari tingkat 1 sampai dengan tingkat sertifikasi yang dipersyaratkan.
Pasal 7
Untuk dapat mengikuti ujian Sertifikasi Manajemen Risiko pada setiap tingkatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap peserta wajib memenuhi
persyaratan masa kerja minimum sebagai berikut:
a. 0 (nol) tahun untuk tingkat 1;
b. 3 (tiga) tahun untuk tingkat 2;
c. 5 (lima) tahun untuk tingkat 3;
d. 7 (tujuh) …
- 8 -
d. 7 (tujuh) tahun untuk tingkat 4;
e. 8 (delapan) tahun untuk tingkat 5.
Pasal 8
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a wajib dimiliki oleh:
a. setiap Komisaris;
b. setiap Pejabat Bank
dari Bank
yang memiliki
aset di bawah
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah), sampai dengan jenjang jabatan
dan struktur organisasi 2 (dua) tingkat di bawah Direksi pada Core Risk
Taking Unit, Supporting Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko,
Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan;
c. setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset Rp1.000.000.000.000,00
(satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh
triliun rupiah), sampai dengan jenjang jabatan dan struktur organisasi 3 (tiga)
tingkat di bawah Direksi pada Core Risk Taking Unit, Supporting Risk
Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern,
dan Satuan Kerja Kepatuhan;
d. setiap Pejabat Bank
dari Bank
yang
memiliki
aset di atas
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), sampai dengan jenjang
jabatan dan struktur organisasi 4 (empat) tingkat di bawah Direksi pada Core
Risk Taking Unit, Supporting Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen
Risiko, Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan.
Pasal 9 …
- 9 -
Pasal 9
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b wajib dimiliki oleh:
a. setiap komisaris independen;
b. setiap Direktur dari Bank
yang
memiliki aset di bawah
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) yang membawahi Supporting
Risk Taking Unit;
c. setiap Pejabat Bank
dari Bank
yang memiliki
aset di bawah
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah), sampai dengan jenjang jabatan
dan struktur organisasi 1 (satu) tingkat di bawah Direksi pada Core Risk
Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern,
dan Satuan Kerja Kepatuhan;
d. setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset Rp1.000.000.000.000,00
(satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun
rupiah), sampai dengan jenjang jabatan dan struktur organisasi 1 (satu)
tingkat di bawah Direksi pada Supporting Risk Taking Unit;
e. setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset Rp1.000.000.000.000,00
(satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh
triliun rupiah), sampai dengan jenjang jabatan dan struktur organisasi 2 (dua)
tingkat di bawah Direksi pada Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja
Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan;
f. setiap Pejabat Bank
dari Bank
yang
memiliki
aset di atas
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), sampai dengan jenjang
jabatan dan struktur organisasi 2 (dua) tingkat di bawah Direksi pada
Supporting Risk Taking Unit;
g. setiap …
- 10 -
g. setiap Pejabat Bank
dari Bank
yang
memiliki
aset di atas
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), sampai dengan jenjang
jabatan dan struktur organisasi 3 (tiga) tingkat di bawah Direksi pada Core
Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit
Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan.
Pasal 10
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf c wajib dimiliki oleh:
a. setiap Direktur Utama dan Direktur dari Bank yang memiliki aset di bawah
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah)
yang membawahi Core Risk
Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern,
dan Satuan Kerja Kepatuhan;
b. setiap Direktur dari Bank yang memiliki aset Rp1.000.000.000.000,00 (satu
triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun
rupiah) yang membawahi Supporting Risk Taking Unit;
c. setiap Pejabat Bank dari Bank yang memiliki aset Rp1.000.000.000.000,
(satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun
rupiah), sampai dengan jenjang jabatan dan struktur organisasi 1 (satu)
tingkat di bawah Direksi pada Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja
Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan;
d. setiap Pejabat Bank
dari Bank
yang
memiliki
aset di atas
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), sampai dengan jenjang
jabatan dan struktur organisasi 1 (satu) tingkat di bawah Direksi pada
Supporting Risk Taking Unit;
e. setiap …
- 11 -
e. setiap Pejabat Bank
dari Bank
yang
memiliki
aset di atas
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), sampai dengan jenjang
jabatan dan struktur organisasi 2 (dua) tingkat di bawah Direksi pada Core
Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit
Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan.
Pasal 11
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 4 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf d wajib dimiliki oleh:
a. setiap Direktur Utama dan Direktur dari Bank yang memiliki
aset
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) yang membawahi Core
Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit
Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan;
b. setiap Direktur dari Bank
yang
memiliki
aset di atas
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) yang membawahi
Supporting Risk Taking Unit;
c. setiap Pejabat Bank
dari Bank
yang
memiliki
aset di atas
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), sampai dengan jenjang
jabatan dan struktur organisasi 1 (satu) tingkat di bawah Direksi pada Core
Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan Kerja Audit
Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan.
Pasal 12 …
- 12 -
Pasal 12
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf e wajib dimiliki oleh setiap Direktur Utama dan Direktur dari Bank yang
memiliki aset di atas Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) yang
membawahi Core Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko, Satuan
Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja Kepatuhan.
BAB III
PROGRAM PENYEGARAN
Pasal 13
Bank wajib mengikutsertakan setiap Komisaris dan Manajer Risiko Bank yang
dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,
dan Pasal 12 dalam Program Penyegaran secara berkala.
Pasal 14
(1) Komisaris dan Manajer Risiko Bank yang telah memiliki Sertifikat
Manajemen Risiko wajib mengikuti Program Penyegaran paling kurang:
a. 1 (satu) kali dalam 4 (empat) tahun untuk tingkat 1;
b. 1 (satu) kali dalam 4 (empat) tahun untuk tingkat 2;
c. 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun untuk tingkat 3;
d. 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun untuk tingkat 4;
e. 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun untuk tingkat 5;
(2) Jangka waktu Program Penyegaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terhitung sejak Sertifikat Manajemen Risiko terakhir diterbitkan.
(3) Program …
- 13 -
(3) Program Penyegaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh Penyelenggara Pendidikan yang telah diakui oleh Lembaga Sertifikasi
Profesi.
Pasal 15
(1) Apabila pemilik Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 14 maka Sertifikat Manajemen Risiko
tingkat terakhir yang dimilikinya dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2) Tingkatan Sertifikat Manajemen Risiko dari pemilik Sertifikat Manajemen
Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diakui adalah satu tingkat
di bawah Sertifikat Manajemen Risiko yang telah dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 16
Pemilik Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (1), hanya dapat menduduki jabatan yang dipersyaratkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 sesuai
tingkatan Sertifikat Manajemen Risiko yang diakui sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 Ayat (2).
BAB IV
PENYELENGGARA SERTIFIKASI
Pasal 17
(1) Sertifikasi Manajemen Risiko hanya dapat diselenggarakan oleh Lembaga
Sertifikasi Profesi yang telah memperoleh izin dari Badan Nasional
Sertifikasi Profesi (BNSP).
(2) Dalam …
- 14 -
(2) Dalam rangka memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia memberikan rekomendasi kepada Badan Nasional Sertifikasi
Profesi (BNSP).
Pasal 18
Pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
dilakukan apabila Lembaga Sertifikasi Profesi telah memenuhi persyaratan paling
kurang:
a. didirikan oleh organisasi profesi manajemen risiko sektor keuangan yang
dikelola oleh pengurus yang mayoritas memiliki pengalaman paling kurang
10 (sepuluh) tahun di bidang perbankan dan memiliki kompetensi di bidang
Manajemen Risiko;
b. memiliki visi, misi, dan strategi yang menunjang peningkatan kompetensi
dan keahlian di bidang Manajemen Risiko;
c. mampu bertindak secara independen dalam melaksanakan tugasnya;
d. memiliki pengalaman yang memadai dalam menyelenggarakan program
Sertifikasi Manajemen Risiko;
e. memiliki perangkat organisasi paling kurang sebagai berikut:
1) Dewan Kode Etik;
2) Dewan Sertifikasi;
3) Pengurus Harian.
Pasal 19
(1) Lembaga Sertifikasi Profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
wajib meminta persetujuan Bank Indonesia dalam hal:
a. menetapkan …
- 15 -
a. menetapkan kurikulum dan materi Sertifikasi Manajemen Risiko;
b. menetapkan standar akreditasi bagi Penyelenggara Pendidikan dan
Program Penyegaran;
c. menetapkan standar pengakuan (recognition) Sertifikat Manajemen
Risiko yang diterbitkan oleh lembaga selain Lembaga Sertifikasi
Profesi;
d. mengatur persyaratan Sertifikasi Manajemen Risiko;
e. melakukan penyusunan atau perubahan kode etik profesi.
(2) Lembaga Sertifikasi Profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
memiliki tugas dan wewenang:
a. menyelenggarakan Sertifikasi Manajemen Risiko yang mengacu pada
international best practices;
b. menerbitkan Sertifikat Manajemen Risiko;
c. mencabut Sertifikat Manajemen Risiko apabila pemilik Sertifikat
Manajemen Risiko terbukti bersalah melakukan pelanggaran tindak
pidana di bidang perbankan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berdasarkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau pelanggaran kode etik
profesi;
d. melaporkan kegiatan-kegiatan yang
terkait dengan Sertifikasi
Manajemen Risiko secara berkala kepada Bank Indonesia.
Pasal 20 …
- 16 -
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, tugas dan tanggung jawab Dewan
Kode Etik, Dewan Sertifikasi dan Pengurus Harian ditetapkan oleh Lembaga
Sertifikasi Profesi.
BAB V
PENGAKUAN TERHADAP SERTIFIKAT MANAJEMEN RISIKO LAIN
Pasal 21
(1) Sertifikat Manajemen Risiko yang diterbitkan oleh lembaga internasional
atau lembaga lain di luar negeri dapat dipertimbangkan untuk diakui setara
dengan Sertifikat Manajemen Risiko oleh Lembaga Sertifikasi Profesi.
(2) Pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. lembaga penerbit sertifikat tersebut telah diakui dan diterima secara
internasional;
b. penerbitan sertifikat tersebut dikeluarkan dalam jangka waktu 4 (empat)
tahun terakhir.
BAB VI
LAIN-LAIN
Pasal 22
Bank Indonesia berwenang untuk:
a. tidak mengakui Sertifikat Manajemen Risiko yang dimiliki oleh Pengurus
dan Pejabat Bank apabila ditemukan permasalahan kompetensi dan integritas
berdasarkan hasil pengawasan dan pemeriksaan Bank Indonesia;
b. meminta …
- 17 -
b. meminta laporan dan informasi pelaksanaan program kerja Lembaga
Sertifikasi Profesi dalam hal diperlukan.
Pasal 23
Bank wajib mengganti Komisaris dan Manajer Risiko Bank yang tidak memiliki
Sertifikat
Manajemen Risiko
sesuai dengan persyaratan jenjang
jabatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12
paling lambat dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari.
BAB VII
SANKSI
Pasal 24
(1) Bagi Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 berupa penurunan aspek manajemen dalam penilaian tingkat
kesehatan.
(2) Bagi Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
berupa penurunan tingkat kesehatan dan kewajiban membayar.
(3) Sanksi …
- 18 -
(3) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari untuk setiap Komisaris
atau Manajer Risiko Bank dan paling tinggi sebesar Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
BAB VIII
PERALIHAN
Pasal 25
Kewajiban pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
dan ayat (3) wajib dipenuhi paling lambat 5 (lima) tahun sejak berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 26
(1) Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif yang telah dimiliki oleh
Komisaris dan Direksi Bank sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia
ini dinyatakan tetap berlaku selama jangka waktu 5 (lima) tahun sejak
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diakui sebagai Sertifikat Manajemen Risiko yang sesuai
dengan tingkatan sertifikat yang
dipersyaratkan serta ukuran
dan
kompleksitas usaha Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
(3) Setelah berakhirnya jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Direksi dan Komisaris Bank wajib memiliki Sertifikat
Manajemen Risiko sesuai dengan ukuran dan kompleksitas usaha Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan
Pasal 12.
BAB IX …
- 19 -
BAB IX
PENUTUP
Pasal 27
Ketentuan pelaksanaan lebih lanjut mengenai Sertifikasi Manajemen Risiko bagi
Pengurus dan Pejabat Bank Umum diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 28
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Agustus 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 72
DPNP/DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
Nomor: 7/25/PBI/2005
TENTANG
SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO BAGI PENGURUS DAN PEJABAT
BANK UMUM
UMUM
Pertumbuhan industri perbankan yang sangat pesat disertai dengan
semakin kompleksnya kegiatan usaha bank akan mengakibatkan peningkatan
eksposur risiko bank. Agar bank tetap dapat melakukan kegiatan usaha secara
berkesinambungan dan mengikuti pertumbuhan industri perbankan maka perlu
penerapan prinsip-prinsip tata kelola usaha yang baik
(good corporate
governance) dan manajemen risiko secara efektif. Hal tersebut juga sejalan
dengan rencana penerapan Basel II Accord di waktu yang akan datang yang
mensyaratkan manajemen risiko yang memadai bagi kegiatan usaha bank.
Salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan dan efektivitas
manajemen risiko pada industri perbankan adalah keahlian dan kompetensi
sumber daya manusia di bidang manajemen risiko bank, baik yang menjalankan
fungsi kegiatan operasional (risk taking), fungsi manajemen risiko maupun
fungsi pengendalian intern. Dalam rangka meningkatkan kompetensi dan
keahlian manajemen risiko yang lebih memadai, maka pengurus dan pejabat
bank perlu meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan antara lain
melalui standarisasi pengujian berupa sertifikasi manajemen risiko.
Sertifikasi …
- 2 -
Sertifikasi manajemen risiko merupakan standar kompetensi dan keahlian
minimal yang harus dipenuhi oleh pengurus dan pejabat di industri perbankan
untuk memastikan bahwa kegiatan usaha bank dilaksanakan oleh sumber daya
manusia yang memiliki kompetensi dan keahlian di bidangnya. Mengingat
kompleksitas dalam kegiatan usaha bank, maka ditetapkan tingkatan sertifikasi
yang dipersyaratkan bagi pengurus dan pejabat pada masing-masing kelompok
jabatan dan kelompok bank.
Sehubungan dengan hal tersebut maka Bank Indonesia menganggap perlu
untuk mewajibkan sertifikasi manajemen risiko bagi pengurus dan pejabat bank
dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 17
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) …
- 3 -
Ayat (3)
Mengingat kantor cabang bank asing tidak memiliki organ Komisaris
maka kewajiban memiliki Sertifikat Manajemen
Komisaris tidak berlaku bagi kantor cabang bank asing.
Risiko
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 3
Pejabat Eksekutif Bank adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung
kepada Direksi atau mempunyai pengaruh
terhadap kebijakan dan
operasional perusahaan atau Bank, antara lain pemimpin kantor cabang
dan kepala Satuan Kerja Audit Intern.
Pasal 4
Ayat (1)
Termasuk dalam program pengembangan sumber daya manusia
adalah program pendidikan dan pelatihan kepada calon Manajer
Risiko Bank.
Ayat (2)
Uraian tentang program pengembangan sumber daya manusia
berpedoman kepada ketentuan Bank Indonesia
Bisnis Bank Umum.
tentang Rencana
bagi
Pasal 5 …
- 4 -
Pasal 5
Termasuk dalam pengertian 1 (satu) jenjang jabatan dan struktur
organisasi adalah pimpinan dan wakil pimpinan satuan unit kerja,
misalnya wakil kepala divisi berada dalam satu jenjang jabatan dengan
kepala divisinya atau wakil pemimpin cabang berada dalam satu jenjang
dengan pemimpin cabangnya.
Mengingat adanya keragaman jenjang jabatan dan struktur organisasi dari
berbagai Bank maka Bank Indonesia dapat menetapkan pegawai-pegawai
tertentu sebagai Pejabat Bank sesuai dengan batasan kewenangan yang
bersangkutan.
Huruf a
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 1 mencakup pemahaman dasar
mengenai Manajemen Risiko perbankan.
Huruf b
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 2 mencakup kemampuan
minimal untuk mengidentifikasi dan mengukur risiko Bank.
Huruf c
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 3 mencakup kemampuan
minimal untuk mengidentifikasi, mengukur, dan memantau serta
mengendalikan risiko Bank, terutama untuk eksposur risiko yang
cukup kompleks.
Huruf d
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 4 mencakup kemampuan
minimal untuk mengidentifikasi, mengukur, dan memantau serta
mengendalikan risiko Bank, terutama untuk eksposur risiko yang
kompleks.
Huruf e …
- 5 -
Huruf e
Sertifikat Manajemen Risiko tingkat 5 mencakup kemampuan
minimal untuk mengidentifikasi, mengukur, dan memantau serta
mengendalikan risiko Bank, terutama untuk eksposur risiko yang
lebih kompleks.
Pasal 6
Sebagai contoh, untuk menduduki jabatan kepala divisi kredit dari Bank
yang memiliki aset di atas Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun
rupiah) yang mensyaratkan pemilikan Sertifikat Manajemen Risiko tingkat
4, maka yang bersangkutan harus memiliki Sertifikat Manajemen Risiko
tingkat 1 sampai dengan tingkat 3 sebagai prasyarat untuk mengikuti ujian
tingkat 4.
Pasal 7
Penetapan masa kerja minimum yang dipersyaratkan terhitung sejak yang
bersangkutan tercatat sebagai pegawai atau pejabat pada lembaga yang
bergerak di bidang keuangan atau berada dalam sistem keuangan.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9 …
- 6 -
Pasal 9
Huruf a
Yang dimaksud dengan komisaris independen adalah salah seorang
Komisaris yang diwajibkan berasal dari pihak yang independen
terhadap pemilik Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia tentang Bank Umum.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12 …
- 7 -
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Program Penyegaran bertujuan agar Komisaris dan Manajer Risiko Bank
mengikuti perkembangan terbaru dan melakukan pengkinian aspek teknis
dan manajerial serta pengawasan di bidang Manajemen Risiko.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penurunan tingkat Sertifikat Manajemen Risiko yang dimiliki tidak
menghilangkan kewajiban yang
bersangkutan untuk mengikuti
Program Penyegaran pada tingkat Sertifikat Manajemen Risiko yang
diakui.
Pasal 16 …
- 8 -
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Huruf a
Kompetensi di bidang Manajemen Risiko dibuktikan antara lain
dengan kepemilikan Sertifikat Manajemen Risiko, pengalaman
sebagai pembicara seminar Manajemen Risiko atau penelitian di
bidang Manajemen Risiko.
Huruf b
Visi, misi, dan strategi Lembaga Sertifikasi Profesi dituangkan
dalam rencana kerja jangka pendek dan jangka panjang Lembaga
Sertifikasi Profesi.
Huruf c
Pengertian independen adalah mampu untuk menolak pengaruh dan
intervensi dari pihak manapun juga.
Huruf d
Lembaga Sertifikasi Profesi paling kurang pernah menyelenggarakan
program Sertifikasi Manajemen Risiko berskala nasional.
Huruf e …
- 9 -
Huruf e
Cukup jelas
Angka 1)
Dewan Kode Etik merupakan organ Lembaga Sertifikasi
Profesi yang memiliki
pencabutan Sertifikat
tugas antara lain memutuskan
Manajemen Risiko serta menjaga
kredibilitas dan integritas Sertifikasi Manajemen Risiko.
Angka 2)
Dewan Sertifikasi merupakan
organ Lembaga Sertifikasi
Profesi yang memiliki tugas menetapkan kebijakan Sertifikasi
Manajemen Risiko.
Angka 3)
Pengurus Harian merupakan organ Lembaga Sertifikasi Profesi
yang memiliki tugas di bidang
operasional Lembaga Sertifikasi
teknis, administrasi dan
Profesi
serta mewakili
Lembaga Sertifikasi Profesi di dalam maupun di luar
pengadilan.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan Sertifikasi Manajemen Risiko yang
mengacu pada international best practices adalah sertifikasi
yang …
- 10 -
yang telah mendapat pengakuan secara internasional, misalnya
sertifikat Financial Risk Manager (FRM) dan Professional Risk
Manager (PRM).
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Laporan kegiatan-kegiatan yang terkait antara lain berupa
laporan mengenai jumlah peserta yang telah mengikuti
Sertifikasi Manajemen Risiko dan Program Penyegaran, serta
pencabutan Sertifikat Manajemen Risiko.
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Lembaga penerbit sertifikat yang telah diakui dan diterima
secara internasional antara lain GARP dan Professional Risk
Managers’ International Association (PRMIA).
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 22 …
- 11 -
Pasal 22
Huruf a
Termasuk dalam hasil pengawasan dan pemeriksaan antara lain hasil
penilaian kemampuan dan kepatutan (fit & proper test).
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 23
Perhitungan jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari berlaku sejak yang
bersangkutan tidak memiliki Sertifikat Manajemen Risiko sesuai dengan
persyaratan jenjang jabatan.
Untuk pertama kali perhitungan 90 (sembilan puluh) hari dihitung sejak
berlakunya kewajiban memiliki Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengenaan sanksi pada ayat ini dimulai sejak berakhirnya jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 25 …
- 12 -
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif adalah sertifikat
yang telah diperoleh dari program Sertifikasi Manajemen Risiko bagi
Komisaris dan Direksi yang diakui oleh Bank Indonesia.
Dengan adanya pengakuan ini maka kewajiban untuk mengikuti
tingkatan Sertifikasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dikecualikan bagi Komisaris dan Direksi yang telah
memiliki Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4522
DPNP/DPbS
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/25/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO BAGI PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 3 Agustus 2005 </set_date>
<effective_date> 3 Agustus 2005 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
- 1 -
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6 /32/PBI/2004
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS
PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2004
DALAM BENTUK UANG KERTAS BELUM DIPOTONG
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa uang kertas berfungsi sebagai alat pembayaran, dan
sekaligus merupakan sarana bagi perkembangan numismatika
di Indonesia;
b. bahwa dalam rangka mendorong perkembangan numismatika
(koleksi uang) di Indonesia, dipandang perlu untuk
mengeluarkan uang kertas yang memiliki keunikan;
c. bahwa dalam upaya tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan
dan mengedarkan uang rupiah khusus pecahan 20.000 (dua
puluh ribu) tahun emisi 2004 dalam bentuk uang kertas
belum dipotong;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang
pengeluaran dan
pengedaran uang rupiah khusus pecahan 20.000 (dua puluh
ribu) tahun emisi 2004 dalam bentuk uang kertas belum
dipotong;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor…
- 2 -
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22
Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH
KHUSUS PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN
EMISI 2004 DALAM BENTUK UANG KERTAS BELUM
DIPOTONG.
Pasal 1
(1) Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah khusus pecahan
20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 dalam bentuk uang kertas belum
dipotong.
(2) Setiap lembaran uang kertas belum dipotong terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet)
atau 4 (empat) lembar (bilyet) uang kertas yang masih merupakan satu kesatuan.
Pasal 2
Uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan
diedarkan paling banyak :
a. 5.000 (lima ribu) lembaran yang terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet); dan
b. 5.000…
- 3 -
b. 5.000 (lima ribu) lembaran yang terdiri dari 4 (empat) lembar (bilyet).
Pasal 3
(1) Setiap lembar (bilyet) uang dalam uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (2) mempunyai nilai nominal sebesar Rp20.000,00 (dua
puluh ribu rupiah).
(2) Setiap lembaran uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (2) terdiri dari :
a. 2 (dua) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp40.000,00
(empat puluh ribu rupiah); atau
b. 4 (empat) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp80.000,00
(delapan puluh ribu rupiah).
Pasal 4
(1) Jenis lembaran uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
terdiri dari :
a. lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi
panjang dan berukuran 147 mm x 130 mm;
b. lembaran yang memuat 4 (empat ) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi
panjang dan berukuran 294 mm x 130 mm.
(2) Setiap lembaran uang rupiah khusus dilengkapi dengan sertifikat keaslian
dari Bank Indonesia.
(3) Bahan dan ciri setiap lembar uang yang terdapat pada uang rupiah khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah:
a. warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
hijau;
b. gambar…..
- 4 -
b. gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional, dan di bawahnya
dicantumkan tulisan “OTO ISKANDAR DI NATA”;
b) di sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan di
sebelah kanan dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “20000”;
c) di sebelah kiri gambar utama atau tepat di bawah angka nominal
“20000” terdapat gambar saling
isi (rectoverso) yang
apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia
secara utuh;
d) di sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat
tulisan “BANK INDONESIA” dan tepat di bawah tulisan tersebut
terdapat tulisan “DUA PULUH RIBU RUPIAH”;
e) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara
Garuda Pancasila;
f) di sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang
segi lima yang dicetak dengan tinta khusus (optical variable ink) yang
akan berubah warna dari warna magenta menjadi warna hijau apabila
dilihat dari sudut pandang tertentu;
g) di sebelah kanan gambar utama terdapat angka tahun emisi “2004”,
tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank
Indonesia (Burhanuddin Abdullah) beserta tulisan “GUBERNUR”,
dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia (R.Maulana
Ibrahim) beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”;
h) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung
membentuk ornamen tertentu;
yang
i) mikroteks…
- 5 -
i) mikroteks dengan tulisan “Bank Indonesia” yang hanya dapat dibaca
dengan bantuan kaca pembesar yang terdapat di :
1) sebelah kanan gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata
yang berbentuk garis vertikal dari atas ke bawah;
2) sebelah kanan atas di sekitar gambar burung garuda dan di sebelah
kanan bawah tanda tangan Dewan Gubernur berbentuk lengkungan
dengan ukuran teks yang berbeda yaitu dari besar ke kecil.
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Pemetik Teh;
b) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
c) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA
ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN
YANG SAH DENGAN NILAI DUA PULUH RIBU RUPIAH”;
d) di sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan di sebelah kiri atas
dengan arah vertikal terdapat angka nominal “20000”;
e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak
di sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam
yang akan memendar kehijauan di bawah sinar ultra violet dan di
sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK INDONESIA” dicetak
dengan tinta berwarna merah yang akan memendar kekuningan di
bawah sinar ultra violet;
f) di sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi
(rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat
logo Bank Indonesia secara utuh;
g) di sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “20000”
terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP. 2004”;
h) di sebelah…
- 6 -
h) di sebelah kiri bawah tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata
berupa gambar sehelai daun teh yang memendar kehijauan di bawah
sinar ultra violet;
i) di sebelah kiri atas gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata
berupa angka nominal “20000” yang akan memendar kuning kehijauan
di bawah sinar ultra violet;
j) mikroteks dengan tulisan “Bank Indonesia” yang hanya dapat dibaca
dengan bantuan kaca pembesar yang terdapat di :
1) sebelah kiri atas dan bawah, berbentuk lengkungan dengan ukuran
teks yang berbeda yaitu dari besar ke kecil;
2) tepi bagian atas dan bawah pada sisi sebelah kiri dan kanan uang
yang berbentuk diagonal.
c. bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut :
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 147 mm dan lebar 65 mm;
3. warna hijau muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata;
6. benang pengaman berbentuk anyaman.
Pasal 5
Harga uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2)
adalah sebagai berikut:
a. lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet) mempunyai harga sebesar
Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) per lembaran;
b. lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet) mempunyai harga sebesar
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) per lembaran.
Pasal 6…
- 7 -
Pasal 6
(1) Pengedaran uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 kepada
masyarakat dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh
Bank Indonesia.
(2) Pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara
penjualan secara langsung dengan harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(3) Dalam keadaan tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan penjualan secara
lelang dengan harga penawaran tertinggi dari harga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5.
(4) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain meliputi :
a. penjualan perdana (diawal periode pengeluaran);
b. apabila terjadi kelebihan permintaan;
c. kondisi tertentu yang memungkinkan penjualan secara lelang untuk tujuan
penggalangan dana guna sumbangan sosial.
(5) Pelaksanaan penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank
Indonesia.
Pasal 7
Uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dijamin oleh Bank
Indonesia sebesar nilai nominal.
Pasal 8
(1) Uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah alat
pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Dalam hal uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
digunakan sebagai alat pembayaran maka nilai setiap lembar (bilyet) bernilai
sebesar nilai nominal.
Pasal 9…
- 8 -
Pasal 9
(1) Uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yang dalam
kondisi rusak dapat dimintakan penggantian kepada Bank Indonesia.
(2) Penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk
uang rupiah bukan uang rupiah khusus.
(3) Besarnya penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung atas
dasar ukuran dari masing-masing lembar (bilyet) dengan mengacu kepada
ketentuan yang berlaku.
Pasal 10
Uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan
diedarkan mulai tanggal 29 Desember 2004.
Pasal 11
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Desember 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 168
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/32/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2004 DALAM BENTUK UANG KERTAS BELUM DIPOTONG </reg_title>
<set_date> 28 Desember 2004 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2004 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '6/14/PBI/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/8/PBI/2016
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK
INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah;
b. bahwa untuk mendukung kestabilan nilai Rupiah
dibutuhkan pendalaman pasar valuta asing domestik
yang salah satunya dilakukan melalui pengembangan
transaksi swap dalam rangka lindung nilai kepada Bank
Indonesia;
c. bahwa kestabilan nilai Rupiah perlu didukung dengan
upaya memperkuat cadangan devisa;
d. bahwa semakin beragamnya sumber pembiayaan untuk
kegiatan ekonomi nasional perlu diiringi dengan
perluasan jenis valuta asing yang dapat digunakan dalam
transaksi swap lindung nilai kepada Bank Indonesia;
pertimbangan
e. bahwa
berdasarkan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 15/17/PBI/2013 tentang Transaksi
Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia;
-2-
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG
NILAI KEPADA BANK INDONESIA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/17/PBI/2013 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai
Kepada Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 237, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5480) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/19/PBI/2014
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/17/PBI/2013 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai
Kepada Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 215, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5583) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
-3-
Pasal 2
(1) Bank dapat melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia.
(2) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
dilakukan dalam valuta asing terhadap Rupiah.
(3) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. dilakukan berdasarkan Underlying Transaksi
yang dimiliki oleh Bank atau nasabah;
b. jangka waktu Underlying Transaksi sama
dengan atau lebih panjang daripada jangka
waktu Kontrak Lindung Nilai Bank kepada
Bank Indonesia; dan
c. nilai nominal Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar
nilai nominal Underlying Transaksi.
(4) Dalam hal Underlying Transaksi dimiliki oleh Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, ruang
lingkup Underlying Transaksi meliputi:
a. Pinjaman Luar Negeri Bank dalam bentuk
perjanjian kredit dan/atau penerbitan surat
utang; dan/atau
b. dana usaha yang dinyatakan (declared dana
usaha).
(5) Dalam hal Underlying Transaksi dimiliki oleh nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, ruang
lingkup Underlying Transaksi meliputi transaksi
swap jual antara Bank dengan nasabah yang terkait
Lindung Nilai atas:
a. Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk perjanjian
kredit dan/atau penerbitan surat utang;
b. Investasi Langsung;
c. devisa hasil ekspor;
d. investasi pada infrastruktur pembangunan
sarana umum dan/atau produksi;
e. investasi pada surat berharga yang diterbitkan
-4-
f.
oleh Pemerintah Republik Indonesia; dan/atau
investasi pada kegiatan ekonomi lainnya.
2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
Nilai nominal minimum pengajuan Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dan kelipatannya
diumumkan oleh Bank Indonesia melalui sarana
informasi yang ditentukan oleh Bank Indonesia, dengan
nilai nominal pengajuan paling banyak sebesar nilai
Underlying Transaksi.
3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
(1) Dalam hal suatu Underlying Transaksi hanya memiliki
1 (satu) jenis valuta asing, Bank dilarang
menggunakan Underlying Transaksi yang sama
untuk lebih dari:
a. 1 (satu) Kontrak Lindung Nilai; dan
b. 1 (satu) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia.
(2) Dalam hal suatu Underlying Transaksi memiliki lebih
dari 1 (satu) jenis valuta asing, Bank dapat
menggunakan Underlying Transaksi yang sama
untuk lebih dari:
a. 1 (satu) Kontrak Lindung Nilai; dan
b. 1 (satu) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia,
yang dinyatakan dalam masing-masing valuta asing.
(3) Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk lebih
dari 1 (satu) Kontrak Lindung Nilai dan 1 (satu)
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia dengan jenis valuta asing yang sama.
-5-
4. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 9
(1) Jika Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia dilakukan dalam Dolar Amerika Serikat
terhadap Rupiah, kurs spot yang digunakan adalah
kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR).
(2) Jika Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia dilakukan dalam valuta asing selain Dolar
Amerika Serikat terhadap Rupiah, kurs spot yang
digunakan adalah kurs tengah transaksi Bank
Indonesia valuta asing terhadap Rupiah.
5. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13
(1) Bank bertanggung jawab atas setelmen Transaksi
Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
(2) Bank wajib menyerahkan dana valuta asing pada first
leg dari Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia pada tanggal valuta.
(3) Bank wajib menyediakan dana Rupiah pada tanggal
valuta di rekening giro Bank pada Bank Indonesia
pada second leg dari Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia.
6. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 6 ayat (5),
Pasal 6 ayat (6), Pasal 7 ayat (1), dan/atau Pasal 7
ayat (3) dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,1% (nol koma
satu persen) dari nilai Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia dalam denominasi
-6-
Rupiah dengan menggunakan:
1. kurs JISDOR untuk Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
dalam Dolar Amerika Serikat terhadap
Rupiah; dan/atau
2. kurs tengah transaksi Bank Indonesia
untuk Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia dalam valuta asing
selain Dolar Amerika Serikat terhadap
Rupiah,
pada tanggal transaksi.
(2) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b paling banyak sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia.
(3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf c dan/atau Pasal 12
ayat (1) dikenakan sanksi berupa teguran tertulis.
(4) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dan/atau Pasal 13
ayat (3) dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:
1. rata-rata suku bunga efektif Fed Fund yang
berlaku selama periode keterlambatan
ditambah 200 (dua ratus) basis point
dikalikan nominal transaksi dikalikan hari
keterlambatan dibagi dengan 360 (tiga
ratus enam puluh) untuk penyelesaian
kewajiban pembayaran dalam valuta Dolar
Amerika Serikat;
2. rata-rata suku bunga kebijakan Bank
Indonesia (BI rate) yang berlaku selama
periode keterlambatan ditambah 200 (dua
ratus) basis point dikalikan nominal
transaksi dikalikan hari keterlambatan
-7-
dibagi dengan 360 (tiga ratus enam puluh)
untuk penyelesaian kewajiban pembayaran
dalam Rupiah;
3. rata-rata suku bunga yang dikeluarkan
oleh bank sentral atau otoritas moneter di
negara valuta yang bersangkutan (official
rate) yang berlaku selama periode
keterlambatan ditambah 200 (dua ratus)
basis point dikalikan nominal transaksi
dikalikan hari keterlambatan dibagi
dengan 360 (tiga ratus enam puluh) untuk
penyelesaian kewajiban pembayaran dalam
valuta asing selain Dolar Amerika Serikat.
(5) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan melalui pendebetan rekening giro Rupiah
Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia.
(6) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b angka
1 atau angka 2 dilakukan melalui pendebetan
rekening giro valuta asing atau rekening giro Rupiah
Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia.
(7) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b angka
3 dilakukan melalui pendebetan rekening giro
Rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank
Indonesia dengan konversi nilai ke Rupiah
menggunakan kurs tengah Bank Indonesia.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
-8-
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Mei 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Mei 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 94
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/8/ PBI/ 2016
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI
KEPADA BANK INDONESIA
I. UMUM
Sistem keuangan internasional yang semakin kompetitif dan
terintegrasi telah memudahkan pergerakan arus modal yang berpengaruh
terhadap kondisi likuiditas dan pergerakan nilai tukar Rupiah. Sebagai
bagian dari pengelolaan likuiditas dan upaya untuk meminimalkan risiko
nilai tukar perlu dilakukan pendalaman pasar valuta asing domestik
antara lain melalui pengembangan aktivitas Transaksi Swap dalam
rangka Lindung Nilai.
Dalam kondisi masih terbatasnya instrumen swap di pasar keuangan
dengan jangka waktu menengah panjang, Bank Indonesia menyediakan
instrumen swap Lindung Nilai bagi pelaku pasar domestik. Untuk
mengantisipasi semakin beragamnya sumber pembiayaan ekonomi
nasional dan mendukung penguatan cadangan devisa, Bank Indonesia
melakukan pengembangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia dengan memperluas cakupan jenis valuta asing yang dapat
ditransaksikan. Langkah kebijakan Bank Indonesia tersebut diharapkan
dapat membantu pengelolaan likuiditas dan pemeliharaan stabilitas nilai
tukar Rupiah.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Istilah dana usaha yang dinyatakan (declared
dana usaha) merupakan istilah yang digunakan
dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan
modal minimum bank umum yang diterbitkan
oleh otoritas yang berwenang dan/atau ketentuan
Bank Indonesia mengenai Pinjaman Luar Negeri
Bank.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 7
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 9
Cukup jelas.
- 3 -
Angka 5
Pasal 13
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “rata-rata suku
bunga efektif Fed Fund” adalah rata-rata
suku bunga efektif Fed Fund pada 1 (satu)
hari kerja sebelum tanggal terjadinya
pelanggaran.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5881
- 5 -
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/8/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 16 Mei 2016 </set_date>
<effective_date> 17 Mei 2016 </effective_date>
<issued_date> 17 Mei 2016 </issued_date>
<changed_reg> '15/17/PBI/2013' </changed_reg>
<extension_of> '16/19/PBI/2014' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 6 Pasal 15' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/9/PBI/2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
7/25/PBI/2005 TENTANG SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO BAGI
PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa peningkatan keahlian dan kompetensi pengurus bank
melalui sertifikasi manajemen risiko memerlukan waktu,
sementara peningkatan kemampuan bank dalam mengelola
risiko perlu segera dilakukan;
b. bahwa pelaksanaan sertifikasi manajemen risiko program
eksekutif dapat memfasilitasi peningkatan pengetahuan dan
keterampilan pengurus bank di bidang manajemen risiko
sebagai jembatan untuk memenuhi kebutuhan mendesak
peningkatan kompetensi dan keahlian pengurus bank di
bidang manajemen risiko;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan b, diperlukan penyesuaian terhadap
ketentuan mengenai Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi
Pengurus dan Pejabat Bank Umum dalam suatu Peraturan
Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor ...
- 2 -
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/25/PBI/2005 TENTANG SERTIFIKASI
MANAJEMEN RISIKO BAGI PENGURUS DAN PEJABAT
BANK UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/25/PBI/2005
tentang Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 72, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4522) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 ditambah 2 (dua) angka baru yaitu angka 15A dan 15B
sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1 ...
- 3 -
Pasal 1
1.
Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
termasuk kantor cabang bank asing.
2.
Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah
komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
3.
Direksi:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah
direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus
dalam Pasal 29 Undang-Undang
c. bagi Bank
sebagaimana dimaksud
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
d. bagi ...
- 4 -
d. bagi kantor cabang bank asing adalah pimpinan kantor
cabang.
4.
5.
Pengurus adalah Komisaris dan Direksi Bank.
Pejabat Bank adalah pegawai Bank yang menduduki jabatan di
bawah Direksi sesuai dengan ukuran dan kompleksitas usaha,
termasuk pegawai Bank yang mempunyai pengaruh terhadap
kebijakan dan atau operasional Bank.
6.
Manajer Risiko Bank adalah Direksi dan Pejabat Bank yang
membawahi pengelolaan dan atau pengambilan keputusan risiko
sesuai kewenangannya pada Core Risk Taking Unit, Supporting
Risk Taking Unit, Satuan Kerja Manajemen Risiko (Risk
Management Unit), Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja
Kepatuhan.
7.
Core Risk Taking Unit adalah satuan kerja operasional utama yang
mengambil dan melaksanakan keputusan atas risiko yang antara
lain meliputi namun tidak terbatas pada kegiatan perkreditan,
treasury, sistem informasi, dan akunting termasuk kantor
operasional.
8.
Supporting Risk Taking Unit adalah satuan kerja operasional
pendukung yang antara lain meliputi namun tidak terbatas pada
kegiatan yang berkaitan dengan hukum, logistik, dan sumber daya
manusia.
9.
Satuan Kerja Manajemen Risiko (Risk Management Unit) adalah
Satuan Kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank
Umum.
10. Satuan ...
- 5 -
10. Satuan Kerja Kepatuhan adalah satuan kerja yang melakukan
kegiatan untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap ketentuan
yang berlaku.
11. Satuan Kerja Audit Intern (SKAI) adalah satuan kerja yang
melaksanakan fungsi audit intern.
12. Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi
yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau,
dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha Bank.
13. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga yang melakukan
Sertifikasi Manajemen Risiko.
14.
15.
Sertifikasi Manajemen Risiko adalah proses pengujian kompetensi
di bidang Manajemen Risiko Bank.
Sertifikat Manajemen Risiko adalah tanda bukti kelulusan
mengikuti Sertifikasi Manajemen Risiko.
15A. Sertifikasi Manajemen Risiko Program Eksekutif adalah program
pembekalan pengetahuan dan keterampilan di bidang manajemen
risiko bagi Pengurus Bank.
15B. Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif adalah tanda bukti
keikutsertaan Pengurus Bank pada Sertifikasi Manajemen Risiko
Program Eksekutif.
16.
Program Penyegaran adalah program pelatihan lanjutan di bidang
Manajemen Risiko yang diakui oleh Lembaga Sertifikasi Profesi,
berupa kursus, seminar, lokakarya atau bentuk lain yang dapat
dipersamakan dengan itu.
17. Penyelenggara ...
- 6 -
17. Penyelenggara Pendidikan adalah organisasi atau institusi yang
telah diakui oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang bertujuan
untuk memberikan pelatihan bagi peserta ujian Sertifikasi
Manajemen Risiko.
2. Pasal 15 dihapus.
3. Pasal 16 dihapus.
4. Diantara Pasal 23 dan Pasal 24 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal
23A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23A
(1) Lembaga Sertifikasi Profesi dapat menerbitkan Sertifikat Manajemen
Risiko Program Eksekutif.
(2) Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan kepada Pengurus Bank yang telah mengikuti
Sertifikasi Manajemen Risiko Program Eksekutif yang diselenggarakan
Lembaga Sertifikasi Profesi.
(3) Pengurus Bank yang memiliki Sertifikat Manajemen Risiko Program
Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memiliki Sertifikat
Manajemen Risiko sesuai dengan tingkatan sertifikat yang dipersyaratkan
serta ukuran dan kompleksitas usaha Bank sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, paling lambat tanggal 3
Agustus 2010.
(4) Kewajiban memiliki Sertifikat Manajemen Risiko bagi Pengurus Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan untuk tingkatan
sertifikat yang dipersyaratkan sesuai ukuran dan kompleksitas Bank
tanpa harus dilakukan secara berjenjang.
(5) Pengurus ...
- 7 -
(5) Pengurus Bank yang memiliki Sertifikat Manajemen Risiko Program
Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mengikuti Program
Penyegaran yang diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi 1
(satu) kali dalam 2 (dua) tahun.
5. Diantara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 3 (tiga) pasal baru menjadi Pasal
24A, Pasal 24B, dan Pasal 24C yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24A
(1) Dalam hal pemilik Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, pasal 11, dan Pasal 12 tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 maka Sertifikat
Manajemen Risiko tingkat terakhir yang dimilikinya dinyatakan tidak
berlaku lagi.
(2) Tingkatan Sertifikat Manajemen Risiko dari pemilik Sertifikat
Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diakui
adalah satu tingkat dibawah Sertifikat Manajemen Risiko yang telah
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 24B
Pemilik Sertifikat Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24A ayat (1) hanya dapat menduduki jabatan yang dipersyaratkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal
12 sesuai tingkatan Sertifikat Manajemen Risiko yang diakui sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24A ayat (2).
Pasal 24C ...
- 8 -
Pasal 24C
Dalam hal pemilik Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23A ayat (2) dan Pasal 26 ayat (1) tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 23A ayat (5) dan Pasal
26 ayat (4), maka Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif yang
dimilikinya dinyatakan tidak berlaku lagi.
6. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
(1) Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif yang telah dimiliki oleh
Pengurus Bank dan diakui oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
tanggal 3 Agustus 2010.
(2) Sertifikat Manajemen Risiko Program Eksekutif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diakui sebagai Sertifikat Manajemen Risiko yang sesuai
dengan tingkatan sertifikat yang dipersyaratkan serta ukuran dan
kompleksitas usaha Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
(3) Pengurus Bank yang memiliki Sertifikat Manajemen Risiko Program
Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki Sertifikat
Manajemen Risiko sesuai tingkatan sertifikat yang dipersyaratkan serta
ukuran dan kompleksitas usaha Bank sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, paling lambat tanggal
3 Agustus 2010.
(4) Pengurus ...
- 9 -
(4) Pengurus Bank yang memiliki Sertifikat Manajemen Risiko Program
Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti
Program Penyegaran yang diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi
Profesi 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun.
(5) Jangka waktu pelaksanaan Program Penyegaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dihitung sejak tanggal berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Mei 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 44
DPNP/DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/ 9 /PBI/2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
7/25/PBI/2005 TENTANG SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO BAGI
PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM
UMUM
Peningkatan kemampuan perbankan nasional untuk mengelola risiko perlu
segera dilakukan agar industri perbankan dapat beroperasi dengan lebih sehat dan
efisien. Untuk mewujudkan hal tersebut, Bank Indonesia telah mewajibkan
pengurus dan pejabat bank umum mengikuti sertifikasi manajemen risiko sebagai
sarana peningkatan keahlian dan kompetensi pengurus dan pejabat bank di
bidang manajemen risiko.
Namun demikian disadari bahwa sertifikasi manajemen risiko yang
dilakukan secara berjenjang memerlukan waktu sehingga kebutuhan
meningkatkan kemampuan operasional bank umum dalam pengelolaan risiko
tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Oleh karena itu, pemenuhan
peningkatan kompetensi dan keahlian di bidang manajemen risiko perlu
dijembatani dengan penyelenggaraan sertifikasi manajemen risiko program
eksekutif bagi pengurus bank umum yang bersifat pembekalan pengetahuan dan
keterampilan secara komprehensif di bidang manajemen risiko.
Penyelenggaraan sertifikasi manajemen risiko program eksekutif
tersebut diatas tidak dimaksudkan untuk menggantikan program sertifikasi
manajemen risiko yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/25/PBI/2005 …
- 2 -
7/25/PBI/2005 tanggal 3 Agustus 2005 tentang Sertifikasi Manajemen Risiko
Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum. Oleh karena itu, pemilik sertifikat
manajemen risiko program eksekutif diharuskan melakukan konversi
sertifikatnya menjadi sertifikat manajemen risiko sebelum tanggal 3 Agustus
2010 dan mengikuti program penyegaran sesuai dengan yang dipersyaratkan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 23A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sertifikasi Manajemen Risiko Program Eksekutif ditujukan
bagi Pengurus Bank yang belum memiliki Sertifikat
Manajemen Risiko sesuai tingkatan yang dipersyaratkan
serta ukuran dan kompleksitas usaha Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan
Pasal 12.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
- 3 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Jangka waktu kewajiban mengikuti Program Penyegaran
bagi pemilik Sertifikat Manajemen Risiko Program
Eksekutif dihitung sejak tanggal diterbitkannya Sertifikat
Manajemen Risiko Program Eksekutif.
Angka 5
Pasal 24A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penurunan tingkat Sertifikat Manajemen Risiko yang
dimiliki tidak menghilangkan kewajiban yang bersangkutan
untuk mengikuti Program Penyegaran pada tingkat Sertifikat
Manajemen Risiko yang diakui.
Pasal 24B
Cukup jelas.
Pasal 24C
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 4 -
Ayat (2)
Dengan adanya pengakuan ini maka kewajiban untuk
mengikuti tingkatan Sertifikasi Manajemen Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dikecualikan bagi
Pengurus Bank yang telah memiliki Sertifikat Manajemen
Risiko Program Eksekutif.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4622
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/9/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/25/PBI/2005 TENTANG SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO BAGI PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 29 Mei 2006 </set_date>
<effective_date> 29 Mei 2006 </effective_date>
<changed_reg> '7/25/PBI/2005' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 11/ 9 /PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/28/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN
UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU)
TAHUN EMISI 2004
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah
ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat
sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender);
b. bahwa untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada
desain uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus
ribu) sebagai legal tender di Negara Kesatuan Republik
Indonesia, diperlukan penyempurnaan desain uang
rupiah antara lain mengenai penandatanganan pada
uang, penempatan letak tahun pengeluaran atau tahun
emisi, dan tahun pencetakan uang;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu
untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang
Kertas Rupiah Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun
Emisi 2004;
Mengingat . . .
-2-
Mengingat
: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004
tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4762);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 6/28/PBI/2004 TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG
KERTAS . . .
-3-
KERTAS RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS
RIBU) TAHUN EMISI 2004.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/28/PBI/2004
tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 100.000
(Seratus Ribu) Tahun Emisi 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 162) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 adalah:
1. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
merah;
2. Gambar
a. bagian muka
1) gambar utama berupa gambar Proklamator dan dibawahnya
dicantumkan tulisan “DR. IR. SOEKARNO” dan “DR. H.
MOHAMMAD HATTA”;
2) di antara gambar Proklamator terdapat tulisan “Teks Proklamasi
Republik Indonesia” dengan latar belakang Bendera Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
3) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar Gedung
Proklamasi;
4) pada . . .
-4-
4) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan
tersebut terdapat tulisan “SERATUS RIBU RUPIAH”;
5) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan
pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka
nominal “100000”;
6) di atas bagian kiri gambar Gedung Proklamasi terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya
akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
7) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila;
8) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam
bidang segi lima yang dicetak dengan tinta khusus (optical
variable ink) yang akan berubah warna dari warna kuning
keemasan menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang
tertentu;
9) pada sebelah kanan gambar utama terdapat angka tahun
pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan
tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda
tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”,
dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan
“DEPUTI GUBERNUR”;
10) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen tertentu;
11) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” atau “BI” dan
hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat:
a) di . . .
-5-
a) di tepi kiri atas, di tepi kiri tengah dan di tepi kiri bawah yang
membentuk pola dasar uang dengan warna teks yang berbeda;
b) pada bagian tengah, di bawah teks proklamasi berbentuk
lengkungan;
c) pada sebelah kanan gambar Proklamator DR. H. Mohammad
Hatta yang membentuk gambar bunga teratai;
d) pada sebelah kanan atas di sekitar gambar Lambang Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila dan
pada sebelah kanan bawah di bawah tanda tangan Gubernur
Bank Indonesia dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank
Indonesia berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang
berbeda yaitu dari besar ke kecil;
e) di tepi kanan atas, di tepi kanan tengah dan di tepi kanan
bawah yang membentuk pola dasar uang dengan warna teks
yang berbeda.
b. bagian belakang
1) gambar utama berupa gambar Gedung Majelis Permusyawaratan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
2) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA";
3) pada sebelah atas gambar utama terdapat gambar Peta Kepulauan
Indonesia yang akan memendar kekuningan di bawah sinar ultra
violet;
4) pada sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN
YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS RIBU RUPIAH”;
5) pada . . .
-6-
5) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada
sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal
“100000”;
6) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar kehijauan di bawah sinar
ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK
INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan
memendar kekuningan di bawah sinar ultra violet;
7) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya
akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
8) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal
“100000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI
IMP” dan angka tahun pengeluaran atau tahun emisi “2004”;
9) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar
Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia yang akan memendar kemerahan
di bawah sinar ultra violet;
10) pada sebelah kiri atas gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat
mata berupa angka nominal “100000” yang akan memendar
kuning kehijauan di bawah sinar ultra violet;
11) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” atau “BI” dan
hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat:
a) di tepi kiri tengah yang berbentuk lengkungan;
b) pada sebelah kiri atas dan bawah masing-masing berada
di belakang angka nominal dan di bawah gambar Gedung
Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat . . .
-7-
Rakyat Republik Indonesia berbentuk lengkungan dengan
ukuran teks yang berbeda yaitu dari besar ke kecil;
c) pada bagian kanan atas gambar atap Gedung Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia yang membentuk pola dasar uang;
d) di tepi kanan tengah yang berbentuk lengkungan.
3. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
a. terbuat dari serat kapas;
b. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65 mm;
c. warna merah muda;
d. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
e. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan
electrotype berupa ornamen;
f. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan mikro “BI
100000” yang utuh atau terpotong sebagian;
g. jenis pigmen tertentu berbentuk dua garis tanpa celah akan berubah
warna dari merah tembaga menjadi hijau dan warna biru berubah
menjadi kuning keemasan apabila dilihat dari sudut pandang tertentu.
2. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 5 A,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5 A
Uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih
tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Pasal II . . .
-8-
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Maret 2009.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Maret 2009.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 46
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/9/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/28/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2004 </reg_title>
<set_date> 3 Maret 2009 </set_date>
<effective_date> 3 Maret 2009 </effective_date>
<issued_date> 3 Maret 2009 </issued_date>
<changed_reg> '6/28/PBI/2004' </changed_reg>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/14/PBI/2004', '23/UU/1999', '9/10/PBI/2007', '6/UU/2009' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/ 3 /PBI/2010
TENTANG
PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN
PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME
PADA PEDAGANG VALUTA ASING BUKAN BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa peningkatan risiko yang dihadapi pedagang valuta
asing bukan bank perlu diimbangi dengan peningkatan
kualitas penerapan program anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme;
b.
bahwa penerapan program anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme perlu mengacu pada
prinsip-prinsip umum yang berlaku secara internasional;
c. bahwa ketentuan tentang Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah (Know Your Customer Principles) yang selama
ini berlaku, perlu disempurnakan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c di atas, dipandang
perlu untuk mengatur ketentuan tentang penerapan
program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme pada pedagang valuta asing bukan bank dalam
suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 30; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4191) sebagaimana
telah …
- 3 -
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 108; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4324);
5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 45 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor
4284);
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN
PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME PADA
PEDAGANG VALUTA ASING BUKAN BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Pedagang Valuta Asing Bukan Bank, selanjutnya disebut PVA Bukan Bank
adalah PVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pedagang valuta asing.
2. Pencucian …
- 4 -
2. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang.
3. Pendanaan Terorisme adalah penggunaan harta kekayaan secara langsung
atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme.
4. Nasabah adalah pihak yang bertransaksi dengan dan/atau menggunakan jasa
PVA Bukan Bank.
5. Customer Due Diligence, yang selanjutnya disebut sebagai CDD adalah
kegiatan berupa identifikasi, pencocokan, dan pengkinian informasi yang
dilakukan PVA Bukan Bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut
sesuai dengan profil Nasabah.
6. Enhanced Due Diligence, yang selanjutnya disebut sebagai EDD adalah
tindakan CDD lebih mendalam yang dilakukan PVA Bukan Bank pada saat
melakukan transaksi dengan dan/atau memberikan jasa kepada Nasabah
yang tergolong berisiko tinggi termasuk politically exposed persons,
terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme.
7. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan
mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang.
8. Transaksi Keuangan Tunai adalah transaksi keuangan yang dilakukan
secara tunai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai tindak pidana pencucian uang.
9. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, yang selanjutnya disebut
sebagai PPATK adalah PPATK sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang.
10. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme yang untuk
selanjutnya disebut sebagai APU dan PPT adalah upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
11. Beneficial …
- 5 -
11. Beneficial Owner adalah setiap orang yang memiliki dana, yang
mengendalikan transaksi nasabah, yang memberikan kuasa atas terjadinya
suatu transaksi dan/atau yang melakukan pengendalian melalui badan
hukum atau perjanjian.
12. Politically Exposed Persons, yang selanjutnya disebut sebagai PEP adalah
orang yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki kewenangan publik
diantaranya adalah Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggara
negara, dan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yang
memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik, baik
yang berkewarganegaraan Indonesia maupun berkewarganegaraan asing.
13. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perseroan terbatas.
14. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas.
BAB II
PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN
PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME
Pasal 2
(1) PVA Bukan Bank wajib menerapkan program APU dan PPT.
(2) Dalam penerapan program APU dan PPT, PVA Bukan Bank wajib
berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
(3) Penerapan program APU dan PPT pada PVA Bukan Bank merupakan
tanggung jawab dari Dewan Komisaris dan Direksi.
Pasal …
- 6 -
Pasal 3
Penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
paling kurang mencakup:
a. tanggung jawab Direksi dan pengawasan aktif Dewan Komisaris;
b. kebijakan dan prosedur;
c. pengendalian intern; dan
d. sumber daya manusia.
BAB III
TANGGUNG JAWAB DIREKSI DAN
PENGAWASAN AKTIF DEWAN KOMISARIS
Pasal 4
Tanggung jawab Direksi PVA Bukan Bank dalam penerapan program APU dan
PPT paling kurang mencakup:
a. menetapkan kebijakan dan prosedur tertulis penerapan program APU dan
PPT berdasarkan persetujuan Dewan Komisaris;
b. memastikan penerapan program APU dan PPT dilaksanakan sesuai dengan
kebijakan dan prosedur tertulis yang telah ditetapkan;
c. melakukan penyesuaian kebijakan dan prosedur tertulis mengenai program
APU dan PPT sejalan dengan perubahan ketentuan yang berlaku terkait
dengan penerapan program APU dan PPT;
d. melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Transaksi Keuangan
Tunai kepada PPATK;
e. memastikan bahwa seluruh pegawai telah memperoleh pengetahuan
dan/atau pelatihan mengenai penerapan program APU dan PPT; dan
f. melakukan pengkinian profil nasabah dan profil transaksi nasabah.
Pasal …
- 7 -
Pasal 5
Pengawasan aktif Dewan Komisaris PVA Bukan Bank dalam penerapan program
APU dan PPT paling kurang mencakup:
a. memberikan persetujuan atas kebijakan penerapan program APU dan PPT;
dan
b. mengawasi pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan
program APU dan PPT.
BAB IV
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
Pasal 6
(1) Dalam menerapkan program APU dan PPT, PVA Bukan Bank wajib
memiliki kebijakan dan prosedur tertulis yang paling kurang mencakup:
a. pelaksanaan CDD;
b. Beneficial Owner;
c. pelaksanaan EDD;
d. penolakan transaksi;
e. pengkinian informasi dan dokumen;
f. penatausahaan dokumen; dan
g. pelaporan kepada PPATK.
(2) PVA Bukan Bank wajib menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian …
- 8 -
Bagian Pertama
Pelaksanaan CDD
Pasal 7
PVA Bukan Bank wajib melakukan CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) pada saat:
a. melakukan transaksi dengan dan/atau memberikan jasa kepada Nasabah
dan/atau Beneficial Owner; atau
b. meragukan kebenaran informasi yang disampaikan oleh Nasabah dan/atau
Beneficial Owner;
Pasal 8
(1) Dalam hal PVA Bukan Bank melakukan transaksi dengan dan/atau
memberikan jasa kepada Nasabah, PVA Bukan Bank wajib meminta dan
mencocokkan informasi Nasabah terhadap dokumen pendukung yang
memuat informasi Nasabah dimaksud.
(2) PVA Bukan Bank wajib memperoleh informasi bahwa Nasabah bertindak
untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama Beneficial Owner .
(3) Bagi Nasabah yang melakukan transaksi dengan dan/atau menggunakan
jasa dengan nilai kurang dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau
ekuivalen dalam mata uang asing, informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), paling kurang mencakup:
a. bagi Nasabah perorangan:
1. identitas Nasabah yang memuat:
a) nama lengkap termasuk alias apabila ada;
b) nomor dokumen identitas yang dibuktikan dengan
menunjukkan dokumen dimaksud; dan
c) alamat …
- 9 -
c) alamat tempat tinggal yang tercantum pada kartu identitas;
2. informasi mengenai Beneficial Owner, apabila Nasabah mewakili
Beneficial Owner; dan
3. nilai dan tanggal transaksi;
b. bagi Nasabah selain perorangan:
1. nama badan usaha;
2. nomor izin usaha dari instansi yang berwenang;
3. alamat kedudukan badan usaha;
4.
5. nilai dan tanggal transaksi.
(4) Bagi Nasabah yang melakukan transaksi dan/atau menggunakan jasa
dengan nilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau
ekuivalen dalam mata uang asing, yang dilakukan dalam 1 (satu) kali
maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja, informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling kurang mencakup:
a. bagi Nasabah perorangan:
1. identitas Nasabah yang memuat:
a) nama lengkap termasuk alias apabila ada;
b) nomor dokumen identitas yang dibuktikan dengan
menunjukkan dokumen dimaksud;
c) alamat tempat tinggal yang tercantum pada kartu identitas;
d) alamat tempat tinggal terkini termasuk nomor telepon apabila
ada;
e) tempat dan tanggal lahir;
f) kewarganegaraan;
g) pekerjaan;
h) jenis kelamin; dan
i) NPWP …
informasi mengenai Beneficial Owner, apabila Nasabah mewakili
Beneficial Owner; dan
- 10 -
i) NPWP apabila ada;
2. informasi mengenai Beneficial Owner, apabila Nasabah mewakili
Beneficial Owner;
3. nilai dan tanggal transaksi;
4. maksud dan tujuan transaksi dan/atau penggunaan jasa; dan
5. informasi lain yang memungkinkan PVA Bukan Bank untuk dapat
mengetahui profil Nasabah;
b. bagi Nasabah selain perorangan:
1. nama badan usaha;
2. nomor izin usaha dari instansi yang berwenang;
3. NPWP badan usaha;
4. alamat kedudukan badan usaha;
5.
6.
jenis atau bidang usaha;
informasi mengenai Beneficial Owner, apabila Nasabah mewakili
Beneficial Owner;
7. nilai dan tanggal transaksi;
8. maksud dan tujuan transaksi dan/atau hubungan usaha; dan
9.
informasi lain yang memungkinkan PVA Bukan Bank untuk dapat
mengetahui profil Nasabah.
Bagian Kedua
Beneficial Owner
Pasal 9
Dalam hal PVA Bukan Bank melakukan transaksi dengan dan/atau memberikan
jasa kepada Nasabah yang mewakili Beneficial Owner, PVA Bukan Bank wajib
melakukan …
- 11 -
melakukan CDD terhadap Beneficial Owner yang sama ketatnya dengan
prosedur CDD bagi Nasabah yang mewakili Beneficial Owner.
Pasal 10
(1)
Informasi mengenai Beneficial Owner sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (3) huruf a angka 2 dan huruf b angka 4, paling kurang mencakup :
a. bagi Beneficial Owner perorangan:
1.
identitas Beneficial Owner yang memuat:
a) nama lengkap termasuk alias apabila ada;
b) nomor dokumen identitas yang dibuktikan dengan
menunjukkan dokumen dimaksud; dan
c) alamat tempat tinggal yang tercantum pada kartu identitas;
2. hubungan hukum antara Nasabah dengan Beneficial Owner yang
ditunjukkan dengan surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa
atau bentuk lainnya;
b. bagi Beneficial Owner selain perorangan:
1. nama badan usaha;
2. nomor izin usaha dari instansi yang berwenang;
3. alamat kedudukan badan usaha; dan
4. hubungan hukum antara Nasabah dengan Beneficial Owner yang
ditunjukkan dengan surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa
atau bentuk lainnya.
(2)
Informasi mengenai Beneficial Owner sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (4) huruf a angka 2 dan huruf b angka 6 paling kurang mencakup :
a. bagi Beneficial Owner perorangan:
1.
identitas Beneficial Owner yang memuat:
a) nama lengkap termasuk alias apabila ada;
b) nomor …
- 12 -
b) nomor dokumen identitas yang dibuktikan dengan
menunjukkan dokumen dimaksud;
c) alamat tempat tinggal yang tercantum pada kartu identitas;
d) alamat tempat tinggal terkini termasuk nomor telepon apabila
ada;
e) tempat dan tanggal lahir;
f) kewarganegaraan;
g) pekerjaan;
h) jenis kelamin; dan
i) NPWP apabila ada;
2. maksud dan tujuan transaksi dan/atau penggunaan jasa ; dan
3. hubungan hukum antara Nasabah dengan Beneficial Owner yang
ditunjukkan dengan surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa
atau bentuk lainnya;
b. bagi Beneficial Owner selain perorangan:
1. nama badan usaha;
2. nomor izin usaha dari instansi yang berwenang;
3. NPWP badan usaha;
4. alamat kedudukan badan usaha;
5.
jenis atau bidang usaha;
6. maksud dan tujuan transaksi dan/atau penggunaan jasa; dan
7. hubungan hukum antara Nasabah dengan Beneficial Owner yang
ditunjukkan dengan surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa
atau bentuk lainnya.
Bagian …
- 13 -
Bagian Ketiga
Pelaksanaan EDD
Pasal 11
PVA Bukan Bank wajib melakukan EDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) pada saat:
a. melakukan transaksi dengan dan/atau memberikan jasa kepada Nasabah
dan/atau Beneficial Owner yang tergolong berisiko tinggi termasuk PEP;
atau
b. terdapat transaksi yang tidak wajar yang diduga terkait dengan pencucian
uang dan/atau pendanaan terorisme.
Pasal 12
(1) PVA Bukan Bank wajib meneliti bahwa Nasabah dan/atau Beneficial
Owner memenuhi kriteria sebagai Nasabah dan/atau Beneficial Owner yang
tergolong berisiko tinggi termasuk PEP.
(2) Dalam hal Nasabah dan/atau Beneficial Owner tergolong berisiko tinggi
termasuk PEP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PVA Bukan Bank
wajib melakukan EDD yang mencakup paling kurang:
a.
b. sumber dana;
c. maksud dan tujuan transaksi;
d. kewajaran profil transaksi; dan
e.
informasi mengenai Nasabah dan/atau Beneficial Owner sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 10;
informasi lainnya mengenai hubungan usaha dengan pihak-pihak yang
terkait Nasabah atau Beneficial Owner.
(3) Dalam …
- 14 -
(3) Dalam hal PVA Bukan Bank melakukan transaksi dengan Nasabah yang
tergolong PEP, Direksi bertanggung jawab langsung atas penerapan
program APU dan PPT dengan Nasabah tersebut.
Bagian Keempat
Penolakan Transaksi
Pasal 13
PVA Bukan Bank wajib menolak untuk melakukan transaksi dengan dan/atau
memberikan jasa kepada Nasabah, dalam hal Nasabah:
a.
tidak memenuhi permintaan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8, Pasal 10 dan Pasal 12; dan/atau
b. diketahui menggunakan identitas dan/atau memberikan informasi yang tidak
benar.
Bagian Kelima
Pengkinian Informasi dan Dokumen
Pasal 14
(1) PVA Bukan Bank melakukan pengkinian informasi dan dokumen nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 10 dan Pasal 12 serta
menatausahakannya.
(2) Pengkinian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
dengan cara pemantauan terhadap informasi dan dokumen Nasabah.
Bagian …
- 15 -
Bagian Keenam
Penatausahaan Dokumen
Pasal 15
PVA Bukan Bank wajib menatausahakan:
a. dokumen yang terkait dengan informasi Nasabah dan Beneficial Owner
dengan jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak berakhirnya
transaksi dengan dan/atau pemberian jasa kepada Nasabah;
b. dokumen Nasabah dan Beneficial Owner yang terkait dengan transaksi
keuangan dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai dokumen perusahaan.
Bagian Ketujuh
Pelaporan Kepada PPATK
Pasal 16
(1) PVA Bukan Bank wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan, laporan Transaksi Keuangan Tunai dan laporan lain kepada
PPATK sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai tindak pidana pencucian uang
(2) Kewajiban PVA Bukan Bank untuk melaporkan Transaksi Keuangan
Mencurigakan juga berlaku untuk transaksi yang diduga terkait dengan
kegiatan terorisme dan/atau pendanaan terorisme.
(3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan berpedoman pada ketentuan yang dikeluarkan oleh PPATK.
BAB …
- 16 -
BAB V
PENGENDALIAN INTERN
Pasal 17
Direksi wajib menerapkan fungsi pengendalian intern terkait dengan penerapan
program APU dan PPT.
BAB VI
SUMBER DAYA MANUSIA
Pasal 18
PVA Bukan Bank wajib memberikan pengetahuan dan/atau memberikan
pelatihan secara berkesinambungan mengenai penerapan program APU dan PPT
bagi seluruh pegawai.
BAB VII
PENGAWASAN OLEH BANK INDONESIA
Pasal 19
(1) PVA Bukan Bank wajib menyampaikan kebijakan dan prosedur penerapan
program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 kepada Bank
Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak dikeluarkannya
izin usaha sebagai PVA Bukan Bank.
(2) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap penerapan program APU
dan PPT pada PVA Bukan Bank.
BAB …
- 17 -
BAB VIII
SANKSI
Pasal 20
(1) Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan khusus dalam hal PVA
Bukan Bank tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13,
Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 ayat (1), dan/atau Pasal 21.
(2) Bank Indonesia mengenakan sanksi pencabutan izin usaha dalam hal PVA
Bukan Bank tidak menindaklanjuti sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi
peringatan khusus.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
PVA Bukan Bank yang telah memiliki Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah wajib menyesuaikan menjadi Kebijakan dan Prosedur
Penerapan Program APU dan PPT dan menyampaikan kepada Bank Indonesia
paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank
Indonesia ini.
BAB …
- 18 -
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme pada PVA Bukan Bank diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 23
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Pasal 40, Pasal 41 dan
Pasal 42 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/11/PBI/2007 tentang Pedagang
Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2007 nomor 118,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4764), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 24
Ketentuan mengenai pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
mulai berlaku terhitung 12 (dua belas) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia ini
ditetapkan.
Pasal 25
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar …
- 19 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2010
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di
Pada tanggal
: Jakarta
: 1 Maret 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 46
DPM
- 20 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/ 3 /PBI/2010
TENTANG
PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN
PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME
PADA PEDAGANG VALUTA ASING BUKAN BANK
I. UMUM
Dengan semakin maraknya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan
teroris yang memanfaatkan lembaga keuangan, diperlukan kerjasama dan
perhatian dari berbagai pihak dalam pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana dimaksud. Metode dan cara yang digunakan dalam tindak pidana
pencucian uang semakin beragam seiring dengan perkembangan produk,
aktivitas dan teknologi informasi penyedia jasa keuangan. Hal tersebut membuka
peluang bagi para pelaku kejahatan untuk menyalahgunakan sarana dan produk
penyedia jasa keuangan dalam membantu tindak kejahatannya.
Pedagang Valuta Asing Bukan Bank sebagai salah satu penyedia jasa
keuangan selain bank tidak luput dari penyalahgunaan pelaku tindak pidana
pencucian uang. Dalam hal ini diperlukan peranan dan kerjasama seluruh pelaku
usaha dalam industri pedagang valuta asing bukan bank dalam membantu
penegakan hukum dalam menjalankan program anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme.
Dalam menerapkan program anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme, seperti halnya perbankan, industri pedagang valuta asing
bukan bank juga mengacu pada standar internasional sebagaimana
direkomendasikan oleh Financial Action Task Force on Money Laundering
(FATF) …
- 21 -
(FATF), yang dikenal dengan Rekomendasi 40 + 9 FATF. Rekomendasi tersebut
juga menjadi acuan yang digunakan oleh masyarakat internasional dalam
melakukan penilaian terhadap kepatuhan suatu negara terhadap pelaksanaan
program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
Ketentuan Bank Indonesia tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
(Know Your Customer Principles) yang selama ini diterapkan, dinilai perlu
disesuaikan dengan mengacu pada standar internasional yang lebih komprehensif
dalam mendukung upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme. Penyesuaian pengaturan tersebut antara lain
meliputi:
a. penggunaan istilah Customer Due Diligence dalam identifikasi, pencocokan,
dan pemantauan nasabah;
b. penggunaan istilah Enhanced Due Diligence dalam identifikasi, pencocokan,
dan pemantauan nasabah yang berisiko tinggi;
c. permintaan informasi dan dokumen pendukung bagi Beneficial Owner;
d. pengaturan mengenai pencegahan pendanaan teroris.
Dengan penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme yang dilakukan pedagang valuta asing bukan bank secara
efektif, diharapkan pedagang valuta asing bukan bank dapat beroperasi secara
sehat sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan stabilitas sistem keuangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup …
- 22 -
Cukup jelas
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Penerapan program APU dan PPT dilaksanakan baik di kantor pusat
maupun kantor cabang PVA Bukan Bank sesuai dengan kebijakan dan
prosedur tertulis yang telah ditetapkan.
Dalam rangka penerapan program APU dan PPT, Direksi dapat
menunjuk pegawai PVA Bukan Bank untuk menangani penerapan
program APU dan PPT.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat …
- 23 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Termasuk izin usaha adalah izin lainnya yang
dipersamakan dengan izin usaha yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Angka 1
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Cukup jelas.
Huruf …
- 24 -
Huruf d)
Informasi ini diperlukan bagi Nasabah perorangan
yang memiliki alamat tempat tinggal yang berbeda
dengan alamat yang tercatat pada kartu identitas.
Huruf e)
Cukup jelas.
Huruf f)
Cukup jelas.
Huruf g)
Informasi pekerjaan mencakup nama perusahaan/
institusi.
Huruf h)
Cukup jelas.
Huruf i)
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Termasuk …
- 25 -
Termasuk izin usaha adalah izin lainnya yang
dipersamakan dengan izin usaha yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Termasuk …
- 26 -
Termasuk izin usaha adalah izin lainnya yang
dipersamakan dengan izin usaha yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Cukup jelas.
Huruf d)
Informasi ini diperlukan bagi Nasabah perorangan
yang memiliki alamat tempat tinggal yang berbeda
dengan alamat yang tercatat pada kartu identitas.
Huruf e)
Cukup jelas.
Huruf f)
Cukup jelas.
Huruf g)
Informasi pekerjaan mencakup nama perusahaan/
institusi .
Huruf …
- 27 -
Huruf h)
Cukup jelas.
Huruf i)
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Termasuk izin usaha adalah izin lainnya yang
dipersamakan dengan izin usaha yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Pasal 11
Huruf a
Penetapan …
- 28 -
Penetapan penggolongan berisiko tinggi dilakukan dengan
berpedoman pada ketentuan PPATK yang mengatur mengenai
pedoman identifikasi produk, nasabah, usaha dan negara berisiko
tinggi bagi penyedia jasa keuangan dan pedoman mengenai
identifikasi transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan
terorisme bagi penyedia jasa keuangan.
Pihak-pihak yang dianggap sebagai Nasabah yang berisiko tinggi
sesuai dengan pedoman PPATK, terdiri dari:
1. Orang yang populer secara politis (Politically Exposed
Persons/”PEP”). Contoh dari PEP adalah:
a. Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan;
b. Wakil Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan;
c. Pejabat setingkat Menteri;
d. Eksekutif Senior perusahaan Negara;
e. Direktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
f. Eksekutif dan ketua partai politik;
g. Pejabat senior di bidang militer dan/atau kepolisian;
h. Pejabat Senior di lingkungan Mahkamah Agung dan
Kejaksaan Agung;
i. Pejabat yang diangkat berdasarkan Keputusan Presiden;
j. Anggota keluarga (pasangan, orang tua, saudara, anak,
menantu, cucu) dari kategori-kategori di atas; dan
k. Siapapun orang yang tidak termasuk di atas namun karena
posisinya yang tinggi di masyarakat, pengaruhnya yang
signifikan, status selebriti dan/atau kombinasi dari posisinya
dapat menempatkan penyedia jasa keuangan dalam posisi
berisiko harus masuk dalam kategori berisiko tinggi.
2. Petugas instansi pemerintah yang terkait dengan pelayanan publik.
3. Orang …
- 29 -
3. Orang-orang yang tinggal dan/atau mempunyai dana yang berasal
dari negara-negara yang diidentifikasi oleh sumber-sumber
terpercaya memiliki standar anti pencucian uang yang tidak
mencukupi atau mewakili tindak pidana tingkat tinggi dan
korupsi.
4. Orang-orang yang terlibat dalam jenis-jenis kegiatan atau sektor
usaha yang rentan terhadap pencucian uang, seperti petugas
penyedia jasa keuangan.
5. Pihak-pihak yang disebutkan dalam daftar Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB) atau daftar lainnya yang dikeluarkan oleh
organisasi internasional sebagai teroris, organisasi teroris ataupun
organisasi yang melakukan pendanaan atau melakukan
penghimpunan dana untuk kegiatan terorisme.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “transaksi yang tidak wajar” adalah transaksi
yang memenuhi salah satu kriteria dari transaksi keuangan yang
mencurigakan namun masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
untuk memastikan apakah transaksi tersebut tergolong sebagai
transaksi keuangan yang mencurigakan yang wajib dilaporkan kepada
PPATK.
Pasal 12
Ayat (1)
Nasabah dan Beneficial Owner yang memenuhi kriteria berisiko
tinggi atau PEP dibuat dalam daftar tersendiri .
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf …
- 30 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Kewajaran profil transaksi dapat diketahui jika transaksi yang
dilakukan menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan
pola transaksi dari Nasabah cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan pihak-pihak yang terkait antara lain
perusahaan yang dimiliki atau dikelola oleh PEP, keluarga PEP
dan/atau pihak-pihak yang secara umum diketahui publik
mempunyai hubungan dekat dengan PEP.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Huruf a
Dokumen dapat ditatausahakan dalam bentuk asli, salinan, electronic
form, microfilm, atau dokumen yang berdasarkan undang-undang
yang berlaku dapat digunakan sebagai alat bukti.
Huruf b
Dokumen yang ditatausahakan paling kurang mencakup identitas
Nasabah baik perorangan maupun selain perorangan dan informasi
transaksi.
Informasi …
- 31 -
Informasi transaksi sebagaimana dimaksud di atas, antara lain
meliputi jenis dan jumlah mata uang yang digunakan, tanggal perintah
transaksi, sumber dana, maksud dan tujuan transaksi
Pasal 16
Ayat (1)
Sebagaimana diatur dalam ketentuan yang dikeluarkan oleh PPATK,
Transaksi Keuangan Mencurigakan (suspicious transactions) pada
prinsipnya memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
1. Transaksi yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau
kebiasaan pola transaksi dari Nasabah yang bersangkutan;
2. Transaksi yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan yang wajib dilakukan PVA Bukan Bank;
3. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan harta kekayaan yang diduga dari hasil tindak
pidana.
Apabila suatu transaksi keuangan telah memenuhi satu atau lebih dari
unsur-unsur dimaksud, PVA Bukan Bank wajib menetapkannya
sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan dan melaporkannya
kepada PPATK. Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
disampaikan kepada PPATK dengan menggunakan formulir dan
dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan PPATK.
Sebagaimana diatur dalam ketentuan yang dikeluarkan oleh PPATK,
Transaksi Keuangan Tunai yang wajib dilaporkan oleh PVA Bukan
Bank kepada PPATK adalah transaksi yang memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. merupakan penerimaan atau pembayaran dengan menggunakan
uang tunai (uang kertas dan/atau uang logam);
b. dalam …
- 32 -
b. dalam jumlah kumulatif Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
Rupiah) atau lebih dalam mata uang asing yang nilainya setara;
dan
c. dilakukan dalam satu kali atau beberapa kali transaksi dalam 1
(satu) hari kerja pada 1 (satu) atau beberapa kantor dari satu PVA
Bukan Bank.
Pelaporan Transaksi Keuangan Tunai disampaikan kepada PPATK
dengan menggunakan formulir dan dalam jangka waktu sesuai dengan
ketentuan PPATK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Fungsi pengendalian intern dalam penerapan program APU dan PPT
mencakup pengecekan terlaksananya seluruh kebijakan dan prosedur APU
dan PPT antara lain:
1. pengecekan atas kelengkapan informasi Nasabah dan dokumen
transaksi;
2. penyampaian laporan Transaksi Keuangan Tunai dan Transaksi
Keuangan Mencurigakan kepada PPATK.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal …
- 33 -
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5118
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/3/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME PADA PEDAGANG VALUTA ASING BUKAN BANK </reg_title>
<set_date> 1 Maret 2010 </set_date>
<effective_date> 1 Maret 2010 </effective_date>
<issued_date> 1 Maret 2010 </issued_date>
<replaced_reg> '9/11/PBI/2007 | Pasal 40, Pasal 41 dan Pasal 42' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '1/PERPPU/2002', '23/UU/1999', '15/UU/2003', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '15/UU/2002', '25/UU/2003', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/10/PBI/2013
TENTANG
JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN
TAHUN 2011 DAN TAHUN 2012
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa salah satu tugas Bank Indonesia adalah
melakukan pemusnahan terhadap uang Rupiah
yang ditarik dari peredaran;
b. bahwa sesuai dengan amanat Pasal 18 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang, jumlah dan nilai nominal uang Rupiah yang
ditarik dari peredaran yang dimusnahkan oleh
Bank Indonesia ditempatkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah yang
Dimusnahkan Tahun 2011 dan Tahun 2012;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843),
sebagaimana . . .
-2-
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG JUMLAH
DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG
DIMUSNAHKAN TAHUN 2011 DAN TAHUN 2012.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang Rupiah adalah Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
2. Uang Rupiah Tidak Layak Edar adalah Uang Rupiah yang terdiri atas
Uang Rupiah lusuh, Uang Rupiah cacat, dan Uang Rupiah rusak.
3. Pemusnahan . . .
-3-
3. Pemusnahan adalah suatu rangkaian kegiatan meracik, melebur,
atau cara lain memusnahkan Uang Rupiah sehingga tidak
menyerupai Uang Rupiah.
BAB II
PEMUSNAHAN UANG RUPIAH
Pasal 2
(1) Bank Indonesia melaksanakan Pemusnahan terhadap:
a. Uang Rupiah Tidak Layak Edar;
b. Uang Rupiah yang masih layak edar yang dengan pertimbangan
tertentu tidak lagi mempunyai manfaat ekonomis dan/atau
kurang diminati oleh masyarakat; dan/atau
c. Uang Rupiah yang sudah tidak berlaku yaitu Uang Rupiah yang
dicabut dan ditarik dari peredaran.
(2) Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam suatu berita acara yang paling kurang memuat
jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan.
Pasal 3
Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Uang Rupiah kertas diracik dengan menggunakan mesin yang
memiliki fungsi untuk meracik Uang Rupiah kertas atau dengan cara
lain sehingga tidak menyerupai Uang Rupiah kertas;
b. Uang Rupiah logam dilebur atau dengan cara lain sehingga tidak
menyerupai Uang Rupiah logam.
BAB III . . .
-4-
BAB III
PENEMPATAN JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH
YANG DIMUSNAHKAN DALAM LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 4
(1) Jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia secara
periodik setiap 1 (satu) tahun sekali.
(2)
Informasi jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan
oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
jenis pecahan, jumlah bilyet atau keping, dan nilai nominal.
(3)
Informasi jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk periode:
a. sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang
Mata Uang yaitu tanggal 28 Juni 2011 sampai dengan 31
Desember 2011 tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bank Indonesia ini;
dan
b. tanggal 1 Januari 2012 sampai dengan 31 Desember 2012
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 5
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
-5-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 November 2013
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 1 November 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 169
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 15/10/PBI/2013 </reg_id>
<reg_title> JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2011 DAN TAHUN 2012 </reg_title>
<set_date> 1 November 2013 </set_date>
<effective_date> 1 November 2013 </effective_date>
<issued_date> 01 November 2013 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/
9
/PBI/2012
TENTANG
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST)
BANK PERKREDITAN RAKYAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem
perbankan yang sehat, melindungi kepentingan
stakeholders dan meningkatkan kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku, diperlukan pelaksanaan good corporate
governance pada industri perbankan;
b. bahwa untuk mewujudkan good corporate
governance tersebut, Bank Perkreditan Rakyat
perlu dimiliki dan dikelola oleh pihak–pihak yang
senantiasa memenuhi persyaratan kemampuan
dan kepatutan;
c. bahwa sejalan dengan industri Bank Perkreditan
Rakyat yang terus berkembang diperlukan
penyempurnaan…
- 2 -
penyempurnaan mekanisme uji kemampuan dan
kepatutan terhadap calon pemilik, calon anggota
Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi
maupun dalam melakukan penilaian kembali atas
kemampuan dan kepatutan pemilik, anggota
Dewan Komisaris, anggota Direksi dan pejabat
eksekutif Bank Perkreditan Rakyat, serta
pengaturan mekanisme uji kemampuan dan
kepatutan terhadap pihak-pihak yang sudah tidak
menjadi pemilik, anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi dan pejabat eksekutif Bank
Perkreditan Rakyat;
d. bahwa agar industri Bank Perkreditan Rakyat
dimiliki dan dikelola oleh pihak-pihak yang
senantiasa memenuhi kemampuan dan kepatutan
yang tinggi, diperlukan pengenaan sanksi yang
lebih tegas terhadap pemilik, anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi dan pejabat eksekutif
yang tidak memenuhi persyaratan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d di atas, perlu untuk mengatur kembali
Peraturan Bank Indonesia tentang Uji
Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test)
Bank Perkreditan Rakyat;
Mengingat…
- 3 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
MEMUTUSKAN…
- 4 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG UJI
KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER
TEST) BANK PERKREDITAN RAKYAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah
Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional.
2. Bank Umum adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing.
3. Bank adalah Bank Umum atau BPR sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional…
- 5 -
konvensional maupun Bank Umum Syariah atau Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
4. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disebut dengan PSP
adalah badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok
usaha yang:
a. memiliki saham perusahaan atau BPR sebesar 25% (dua puluh
lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan
dan mempunyai hak suara; atau
b. memiliki saham perusahaan atau BPR sebesar kurang dari
25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang
dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang
bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian
perusahaan atau BPR, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
5. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk
mempengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan,
termasuk BPR, dengan cara apapun, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
6. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut dengan
RUPS:
a. bagi BPR berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah
RUPS sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi…
- 6 -
b. bagi BPR berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah
Rapat Pemegang Saham/Saham Prioritet dan Rapat Umum
Pemegang Saham (Prioritet dan Biasa) sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah Rapat
Anggota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perkoperasian.
7. Dewan Komisaris:
a. bagi BPR berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah
komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perkoperasian.
8. Direksi:
a. bagi BPR berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah
direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah
direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perusahaan Daerah;
c. bagi…
- 7 -
c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perkoperasian.
9. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung
kepada anggota Direksi atau mempunyai pengaruh terhadap
kebijakan dan operasional BPR, antara lain Pemimpin Kantor
Cabang, Kepala Divisi, Kepala Bagian, Manajer dan/atau Pejabat
lainnya yang setara.
10. Daftar Tidak Lulus yang untuk selanjutnya disebut DTL adalah
daftar yang ditatausahakan oleh Bank Indonesia yang memuat
pihak–pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam uji
kemampuan dan kepatutan.
11. Tindak Pidana Tertentu adalah tindak pidana asal yang disebut
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Pemberantasan
dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pasal 2
Untuk menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota
Direksi, maka calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan/atau
calon anggota Direksi selain wajib memenuhi persyaratan integritas,
kompetensi, dan kelayakan atau reputasi keuangan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini, juga wajib memenuhi persyaratan
mengenai kepemilikan dan kepengurusan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia.
Pasal 3…
- 8 -
Pasal 3
(1) Pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap BPR wajib
tunduk pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap BPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan,
badan hukum atau kelompok usaha yang melakukan Pengendalian
terhadap BPR secara langsung maupun tidak langsung.
(3) Pengendalian terhadap BPR dapat dilakukan dengan cara-cara,
antara lain sebagai berikut:
a. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh
lima persen) atau lebih saham BPR;
b. secara langsung menjalankan pengelolaan dan/atau
mempengaruhi kebijakan BPR;
c. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham
yang apabila digunakan akan menyebabkan pihak tersebut
memiliki dan/atau mengendalikan secara sendiri atau
bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham
BPR;
d. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk
mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan BPR (acting in
concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak
lain, sehingga secara bersama-sama memiliki dan/atau
mengendalikan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham
BPR, …
- 9 -
BPR, baik langsung maupun tidak langsung dengan atau tanpa
perjanjian tertulis;
e. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk
mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan BPR (acting in
concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak
lain, sehingga secara bersama-sama mempunyai hak opsi atau
hak lainnya untuk memiliki saham, yang apabila hak tersebut
dilaksanakan menyebabkan pihak-pihak tersebut memiliki
dan/atau mengendalikan secara bersama-sama 25% (dua
puluh lima persen) atau lebih saham BPR;
f. mengendalikan satu atau lebih perusahaan lain yang secara
keseluruhan memiliki dan/atau mengendalikan secara
bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham
BPR;
g. mempunyai kewenangan untuk menyetujui dan/atau
memberhentikan anggota Dewan Komisaris dan anggota
Direksi BPR;
h. secara tidak langsung mempengaruhi atau menjalankan
pengelolaan dan/atau kebijakan BPR;
i. melakukan Pengendalian terhadap perusahaan induk; dan/atau
j. melakukan Pengendalian terhadap pihak yang melakukan
Pengendalian sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai
dengan huruf i.
Pasal 4
Pasal 4 …
- 10 -
Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan terhadap:
a. calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota
Direksi;
b. PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan Pejabat
Eksekutif; dan
c. Pihak-pihak yang sudah tidak menjadi atau sudah tidak menjabat
sebagai pihak sebagaimana dimaksud pada huruf b, namun yang
bersangkutan diindikasikan terlibat atau bertanggung jawab
terhadap perbuatan atau tindakan yang sedang dalam proses uji
kemampuan dan kepatutan pada BPR.
Pasal 5
Pihak-pihak yang sedang menjalani proses hukum dan/atau sedang
menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu Bank, tidak
dapat diajukan untuk menjadi calon PSP, calon anggota Dewan
Komisaris atau calon anggota Direksi.
BAB II
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP CALON PSP
Pasal 6
(1) Untuk menjadi PSP BPR, calon PSP wajib memperoleh persetujuan
dari Bank Indonesia.
(2) Calon …
- 11 -
(2) Calon PSP yang belum mendapat persetujuan Bank Indonesia
namun telah memiliki saham BPR, dilarang melakukan tindakan
sebagai PSP.
Pasal 7
(1) Dalam hal calon PSP BPR berbentuk badan hukum, uji
kemampuan dan kepatutan terhadap badan hukum tersebut
dilakukan dengan menilai:
a. badan hukum yang bersangkutan, anggota dewan komisaris
dan anggota direksi badan hukum yang bersangkutan; dan
b. pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia
merupakan pemilik dan pengendali terakhir dari badan hukum
tersebut (ultimate shareholders).
(2) Bank Indonesia berwenang melakukan uji kemampuan dan
kepatutan terhadap pihak-pihak selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang dianggap melakukan Pengendalian.
Bagian Kesatu
Faktor Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 8
Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon
PSP memenuhi persyaratan:
a.
integritas; dan
b. kelayakan …
- 12 -
b. kelayakan keuangan.
Pasal 9
Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a
meliputi:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain ditunjukkan
dengan sikap mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak
pernah dihukum karena terbukti melakukan Tindak Pidana
Tertentu dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum
dicalonkan;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
c. memiliki komitmen terhadap pengembangan operasional BPR yang
sehat;
d. tidak termasuk dalam DTL; dan
e. memiliki komitmen untuk tidak melakukan dan/atau mengulangi
perbuatan dan/atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 dan/atau Pasal 39, bagi calon PSP yang pernah memiliki
predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan dan
telah menjalani sanksi.
Pasal 10 …
- 13 -
Pasal 10
Persyaratan kelayakan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf b antara lain dibuktikan dengan:
a. memiliki kemampuan keuangan yang dapat mendukung
pengembangan bisnis BPR;
b. tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet;
c. tidak menjadi pengendali, anggota dewan komisaris, atau anggota
direksi, dari badan hukum yang mempunyai kredit dan/atau
pembiayaan macet;
d. tidak memiliki hutang jatuh tempo dan bermasalah baik dalam
industri perbankan maupun di luar industri perbankan;
e. tidak menjadi pengendali, anggota dewan komisaris, atau anggota
direksi, dari badan hukum yang mempunyai hutang jatuh tempo
dan bermasalah baik dalam industri perbankan maupun diluar
industri perbankan;
f. tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pemegang
saham, anggota dewan komisaris atau anggota direksi yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan
pailit berdasarkan ketetapan pengadilan dalam waktu 5 (lima)
tahun terakhir sebelum dicalonkan; dan
g. memiliki komitmen kesediaan untuk melakukan upaya-upaya yang
diperlukan apabila BPR menghadapi kesulitan permodalan maupun
likuiditas.
Bagian Kedua …
- 14 -
Bagian Kedua
Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 11
(1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon PSP diajukan
oleh Direksi BPR kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen
persyaratan administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen persyaratan
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 12
Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Bank Indonesia
melakukan uji kemampuan dan kepatutan, yang meliputi:
a. penelitian administratif; dan
b. wawancara.
Pasal 13
(1) Dalam hal calon PSP BPR berbentuk badan hukum, penelitian
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a
dilakukan terhadap:
a. badan hukum yang bersangkutan;
b. anggota …
- 15 -
b. anggota dewan komisaris dan anggota direksi dari badan
hukum yang bersangkutan; dan
c. pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia
merupakan pemilik dan pengendali terakhir dari badan hukum
yang bersangkutan (ultimate shareholders).
(2) Bank Indonesia dapat melakukan penelitian administratif terhadap
pihak selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dianggap
melakukan Pengendalian.
Pasal 14
(1) Dalam hal calon PSP BPR berbentuk badan hukum, wawancara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b dilakukan
terhadap:
a. anggota dewan komisaris dan anggota direksi dari badan
hukum yang bersangkutan; dan
b. pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia
merupakan pemilik dan pengendali terakhir dari badan hukum
yang bersangkutan tersebut (ultimate shareholders).
(2) Bank Indonesia dapat melakukan wawancara terhadap pihak selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dianggap melakukan
Pengendalian.
Pasal 15 …
- 16 -
Pasal 15
Hasil uji kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 13 dan Pasal 14 merupakan satu
kesatuan dan merupakan hasil uji kemampuan dan kepatutan terhadap
badan hukum.
Pasal 16
Dalam hal calon PSP BPR adalah Pemerintah, maka pelaksanaan
wawancara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b hanya
dilakukan apabila dianggap perlu.
Pasal 17
(1) Bank Indonesia berwenang untuk menghentikan uji kemampuan
dan kepatutan calon PSP, apabila pada saat penilaian dilakukan
calon tersebut sedang menjalani proses hukum dan/atau sedang
menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu Bank.
(2) Penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan
kepada BPR dan pihak yang diuji.
(3) Calon PSP yang dihentikan uji kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diajukan kembali
kepada Bank Indonesia untuk menjadi calon PSP, apabila yang
bersangkutan telah selesai menjalani proses hukum dan/atau
proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Ketiga …
- 17 -
Bagian Ketiga
Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 18
Berdasarkan penelitian administratif dan hasil wawancara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji
kemampuan dan kepatutan menjadi 2 (dua) predikat yaitu:
a. Lulus; atau
b. Tidak Lulus.
Pasal 19
(1) Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen yang
dipersyaratkan diterima secara lengkap.
(2) Dalam hal permohonan persetujuan calon PSP BPR diajukan pada
saat permohonan persetujuan pendirian BPR, Bank Indonesia
memberikan penetapan hasil uji kemampuan dan kepatutan dalam
jangka waktu sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai
pemberian izin pendirian BPR.
(3) Bank Indonesia memberitahukan hasil uji kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis
kepada:
a. BPR, dalam bentuk persetujuan atau penolakan; dan
b. pihak…
- 18 -
b.
pihak yang diuji melalui BPR, dalam bentuk penetapan
hasil uji kemampuan dan kepatutan.
(4) Selain kepada BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank
Indonesia dapat memberitahukan hasil uji kemampuan dan
kepatutan kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Pasal 20
(1) BPR wajib menindaklanjuti persetujuan Bank Indonesia terhadap
calon PSP sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (3) huruf a
dengan menyelenggarakan RUPS mengenai perubahan kepemilikan
paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal surat
persetujuan Bank Indonesia.
(2) Dalam hal jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berakhir dan BPR belum menyelenggarakan
RUPS maka persetujuan Bank Indonesia dan penetapan hasil uji
kemampuan dan kepatutan menjadi tidak berlaku.
Bagian Keempat …
- 19 -
Bagian Keempat
Konsekuensi Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 21
(1) Calon PSP yang ditetapkan predikat Tidak Lulus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 huruf b namun telah memiliki saham
BPR:
a. dilarang melakukan tindakan sebagai PSP;
b.
tidak dapat menjalankan hak selaku pemegang saham dan
saham tersebut tidak diperhitungkan dalam kuorum RUPS;
c. hak menerima pembayaran dividen ditunda sampai dengan
yang bersangkutan mengalihkan kepemilikan sahamnya; dan
d. wajib mengalihkan seluruh kepemilikan sahamnya pada BPR
yang bersangkutan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
(2) BPR wajib mencantumkan penjelasan mengenai calon PSP yang
ditetapkan predikat Tidak Lulus namun telah memiliki saham BPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam daftar pemegang
saham.
Pasal 22
Bank Indonesia dapat menetapkan jangka waktu kewajiban pengalihan
kepemilikan selain sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 ayat (1) huruf
d apabila menurut penilaian Bank Indonesia langkah-langkah dimaksud
perlu ...
- 20 -
perlu disesuaikan dengan program penyehatan BPR sebagaimana diatur
dalam ketentuan yang berlaku.
Pasal 23
BPR wajib melaporkan pengalihan kepemilikan saham sebagaimana
dimaksud Pasal 21 ayat (1) huruf d kepada Bank Indonesia dalam
jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah RUPS
mengesahkan pengalihan kepemilikan saham.
Pasal 24
(1) Pengalihan seluruh kepemilikan saham BPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d dilarang dilakukan
kepada pihak yang memiliki hubungan keluarga sampai dengan
derajat kedua dan/atau kelompok usahanya.
(2) Dalam hal kepemilikan saham BPR dialihkan kepada pihak yang
memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua
dan/atau kelompok usaha dari PSP yang ditetapkan predikat Tidak
Lulus maka:
a. pengalihan tersebut tidak diakui sebagai pengalihan
kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
huruf d;
b. BPR dilarang melakukan pencatatan atas pihak yang
menerima pengalihan tersebut dalam daftar pemegang saham
BPR; dan
c. pihak …
- 21 -
c. pihak yang menerima pengalihan tidak memperoleh hak-
haknya sebagai pemegang saham.
Pasal 25
(1) Dalam hal calon PSP yang diberikan predikat Tidak Lulus tidak
mengalihkan seluruh kepemilikan sahamnya sesuai dengan jangka
waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1) huruf d dan Pasal 22 maka:
a. Pihak yang bersangkutan ditetapkan predikat Tidak Lulus
dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun;
b. Pihak yang bersangkutan wajib menyerahkan:
1) surat kuasa menjual kepada pihak yang tidak memiliki
hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua
dan/atau kelompok usahanya; dan
2) hasil penilaian harga saham yang dilakukan oleh penilai
independen.
c. Penyerahan surat kuasa menjual dan hasil penilaian harga
saham sebagaimana dimaksud pada huruf a dilakukan dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak berakhirnya batas waktu
pengalihan kepemilikan saham dengan persetujuan Bank
Indonesia.
(2) Dengan ditetapkannya predikat Tidak Lulus bagi calon PSP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a maka berlaku
konsekuensi ...
- 22 -
konsekuensi Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (2).
BAB III
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP CALON ANGGOTA
DEWAN KOMISARIS DAN CALON ANGGOTA DIREKSI
Pasal 26
(1) Untuk menjadi anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi,
calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi wajib
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
(2) Calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi BPR
yang belum mendapat persetujuan Bank Indonesia dilarang
menjalankan tugas dan fungsi sebagai anggota Dewan Komisaris
atau anggota Direksi walaupun telah mendapat persetujuan dan
diangkat oleh RUPS.
Bagian Kesatu
Faktor Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 27
Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon
anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi memenuhi
persyaratan:
a. integritas;
b. kompetensi…
- 23 -
b. kompetensi; dan
c. reputasi keuangan.
Pasal 28
Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a
bagi calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi meliputi:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain ditunjukkan
dengan sikap mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak
pernah dihukum karena terbukti melakukan Tindak Pidana
Tertentu dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum
dicalonkan;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
c. memiliki komitmen terhadap pengembangan operasional BPR yang
sehat;
d. tidak tercantum dalam DTL; dan
e. memiliki komitmen untuk tidak akan melakukan dan/atau
mengulangi perbuatan dan/atau tindakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 dan/atau Pasal 39, bagi calon anggota Dewan
Komisaris atau calon anggota Direksi yang pernah memiliki
predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan dan
telah menjalani sanksi.
Pasal 29 …
- 24 -
Pasal 29
Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b
yakni:
a. bagi calon anggota Dewan Komisaris:
1) pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan
dengan jabatannya; dan/atau
2) pengalaman di bidang perbankan dan/atau keuangan.
b. bagi calon anggota Direksi:
1) pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan
dengan jabatannya;
2) pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan/atau
keuangan; dan
3) kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam
rangka pengembangan BPR yang sehat.
Pasal 30
Persyaratan reputasi keuangan bagi calon anggota Dewan Komisaris
atau calon anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
huruf c meliputi:
a.
tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet;
b.
tidak menjadi pengendali, anggota dewan komisaris, atau anggota
direksi, dari badan hukum yang mempunyai kredit dan/atau
pembiayaan macet; dan
c. tidak ...
- 25 -
c.
tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi
direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu perseroan dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun
terakhir sebelum dicalonkan.
Bagian Kedua
Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 31
(1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon anggota Dewan
Komisaris dan/atau anggota Direksi diajukan oleh Direksi BPR
kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen persyaratan
administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen persyaratan
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
(3) Dalam hal anggota Direksi BPR yang berwenang untuk
mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dapat menjalankan fungsinya atau mempunyai benturan
kepentingan dengan BPR, permohonan diajukan oleh:
a. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan
kepentingan dengan BPR;
b. anggota Dewan Komisaris apabila seluruh anggota Direksi
tidak dapat menjalankan fungsinya atau mempunyai benturan
kepentingan dengan BPR; atau
c. pihak …
- 26 -
c. pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS apabila seluruh anggota
Dewan Komisaris atau anggota Direksi tidak dapat
menjalankan fungsinya atau mempunyai benturan
kepentingan dengan BPR.
(4) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi
yang diajukan dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling banyak berjumlah 2 (dua) orang untuk setiap
lowongan jabatan, dan penetapan calon yang diajukan telah
dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 32
(1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), Bank
Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan, yang
meliputi:
a. penelitian administratif; dan
b. wawancara
(2) Dalam kondisi tertentu, terhadap calon anggota Dewan Komisaris
atau calon anggota Direksi dapat tidak dilakukan wawancara.
Pasal 33
(1) Bank Indonesia berwenang untuk menghentikan uji kemampuan
dan kepatutan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon
anggota …
- 27 -
anggota Direksi BPR, apabila pada saat penilaian dilakukan calon
tersebut sedang menjalani proses hukum dan/atau sedang
menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu Bank.
(2) Penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan
kepada BPR dan pihak yang diuji.
(3) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi
BPR yang dihentikan uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat diajukan kembali kepada Bank
Indonesia untuk menjadi calon anggota Dewan Komisaris dan/atau
calon anggota Direksi BPR, apabila yang bersangkutan telah selesai
menjalani proses hukum dan/atau proses uji kemampuan dan
kepatutan pada suatu Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Ketiga
Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 34
Berdasarkan penelitian administratif dan wawancara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji
kemampuan dan kepatutan menjadi 2 (dua) predikat, yaitu:
a. Lulus; atau
b. Tidak Lulus.
Pasal 35 …
- 28 -
Pasal 35
(1) Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen yang
dipersyaratkan diterima secara lengkap.
(2) Dalam hal permohonan persetujuan calon anggota Dewan
Komisaris atau calon anggota Direksi BPR diajukan pada saat
permohonan pendirian BPR, Bank Indonesia memberikan
penetapan hasil uji kemampuan dan kepatutan dalam jangka
waktu sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai
pemberian izin pendirian BPR.
(3) Bank Indonesia memberitahukan hasil uji kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis
kepada:
a. BPR dan PSP, dalam bentuk persetujuan atau penolakan; dan
b. pihak yang diuji melalui BPR, dalam bentuk penetapan hasil
uji kemampuan dan kepatutan.
Pasal 36
(1) BPR wajib menindaklanjuti persetujuan Bank Indonesia terhadap
calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi
sebagaimana dimaksud pada Pasal 35 ayat (3) huruf a dengan
menyelenggarakan RUPS mengenai pengangkatan anggota Dewan
Komisaris …
- 29 -
Komisaris atau anggota Direksi paling lambat 90 (sembilan puluh)
hari sejak tanggal surat persetujuan Bank Indonesia.
(2) Dalam hal jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berakhir dan BPR belum menyelenggarakan
RUPS maka persetujuan Bank Indonesia dan penetapan hasil uji
kemampuan dan kepatutan menjadi tidak berlaku.
Bagian Keempat
Konsekuensi Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 37
(1) Calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi yang
memperoleh predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam
pasal 34 huruf b namun telah mendapat persetujuan dan diangkat
oleh RUPS, dilarang melakukan tindakan sebagai anggota Dewan
Komisaris atau anggota Direksi pada BPR dimaksud.
(2) Dalam hal calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota
Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan tindakan
sebagai anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi maka
terhadap yang bersangkutan ditetapkan predikat Tidak Lulus
dengan jangka waktu larangan 20 (dua puluh) tahun.
(3) Dengan ditetapkannya predikat Tidak Lulus bagi calon anggota
Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) maka berlaku konsekuensi Tidak Lulus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2).
(4) PSP ...
- 30 -
(4) PSP wajib memastikan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau
calon anggota Direksi yang Tidak Lulus untuk tidak melakukan
tindakan sebagai anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi.
(5) PSP yang dengan sengaja membiarkan calon anggota Dewan
Komisaris dan/atau calon anggota Direksi yang Tidak Lulus
melakukan tindakan sebagai anggota Dewan Komisaris atau
anggota Direksi, ditetapkan predikat Tidak Lulus dengan jangka
waktu larangan menjadi PSP selama 20 (dua puluh) tahun.
(6) Dengan ditetapkannya predikat Tidak Lulus bagi PSP sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) maka berlaku konsekuensi Tidak Lulus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2).
BAB IV
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP PSP, ANGGOTA
DEWAN KOMISARIS, ANGGOTA DIREKSI DAN PEJABAT EKSEKUTIF
Bagian Kesatu
Cakupan Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 38
Uji kemampuan dan kepatutan terhadap PSP dilakukan dalam hal
terdapat indikasi permasalahan integritas dan/atau kelayakan
keuangan yang meliputi:
a. tindakan ...
- 31 -
a.
tindakan-tindakan secara langsung maupun tidak langsung
berupa:
1) mempengaruhi dan/atau menyuruh anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi, Pejabat Eksekutif dan/atau pegawai BPR
untuk menyembunyikan dan/atau mengaburkan pelanggaran
ketentuan atau kondisi keuangan dan/atau transaksi yang
sebenarnya;
2) mempengaruhi dan/atau menyuruh anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi, Pejabat Eksekutif dan/atau pegawai BPR
untuk memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada
pemegang saham, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi,
pegawai, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau
mengurangi keuntungan BPR; dan/atau
3) mempengaruhi dan/atau menyuruh anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi, Pejabat Eksekutif dan/atau pegawai BPR
untuk melakukan perbuatan yang melanggar prinsip kehati-
hatian di bidang perbankan dan/atau asas-asas perbankan
yang sehat;
b.
c.
d.
terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu yang telah diputus oleh
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
terbukti menyebabkan BPR mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya;
terbukti tidak melaksanakan perintah Bank Indonesia untuk
melakukan dan/atau tidak melakukan tindakan tertentu;
e. terbukti …
- 32 -
e.
f.
terbukti memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet;
terbukti dinyatakan pailit dan/atau menjadi pemegang saham,
anggota dewan komisaris atau anggota direksi yang dinyatakan
bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit;
g.
h.
tidak mampu melakukan upaya-upaya yang diperlukan apabila
BPR menghadapi kesulitan permodalan maupun likuiditas; atau
terbukti menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi
komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia.
Pasal 39
Uji kemampuan dan kepatutan terhadap anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif dilakukan dalam hal terdapat
indikasi permasalahan integritas, kompetensi dan/atau reputasi
keuangan yang meliputi:
a.
tindakan-tindakan secara langsung maupun tidak langsung
berupa:
1) menyembunyikan dan/atau mengaburkan pelanggaran
ketentuan atau kondisi keuangan dan/atau transaksi yang
sebenarnya;
2) memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemegang
saham, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, pegawai,
dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi
keuntungan BPR; dan/atau
3) melanggar …
- 33 -
3) melanggar prinsip kehati-hatian di bidang perbankan dan
asas-asas perbankan yang sehat;
b.
c.
d.
e.
f.
terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu yang telah diputus oleh
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
terbukti menyebabkan BPR mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya;
terbukti tidak melaksanakan perintah Bank Indonesia untuk
melakukan dan/atau tidak melakukan tindakan tertentu;
terbukti memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet;
terbukti dinyatakan pailit dan/atau menjadi anggota dewan
komisaris atau anggota direksi yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit;
g.
h.
tidak mampu melakukan pengelolaan strategis dalam rangka
pengembangan BPR yang sehat; atau
terbukti menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi
komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 40
(1) Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan
berdasarkan bukti, data dan informasi yang diperoleh dari hasil
pengawasan maupun informasi lainnya.
(2) Uji …
- 34 -
(2) Uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. klarifikasi bukti, data dan informasi kepada pihak yang diuji;
b. penetapan dan penyampaian hasil sementara uji kemampuan
dan kepatutan kepada pihak-pihak yang diuji;
c.
tanggapan dari pihak-pihak yang diuji terhadap hasil
sementara uji kemampuan dan kepatutan; dan
d. penetapan dan pemberitahuan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan kepada pihak yang diuji.
(3) Pihak-pihak yang diuji diberikan kesempatan menyampaikan
tanggapan atas permintaan klarifikasi bukti, data dan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, paling lama 10
(sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal permintaan klarifikasi
dari Bank Indonesia.
(4) Dalam hal pihak-pihak yang diuji tidak menyampaikan klarifikasi,
bukti, data dan informasi dalam jangka waktu yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka Bank Indonesia akan
melakukan langkah–langkah penilaian selanjutnya.
(5) Pihak yang diuji diberikan kesempatan menyampaikan tanggapan
atas hasil penilaian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal surat Bank Indonesia.
(6) Dalam hal pihak yang diuji tidak menyampaikan tanggapan
terhadap hasil sementara dalam jangka waktu yang ditetapkan
sebagaimana …
- 35 -
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), maka Bank Indonesia
menetapkan hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan
menjadi hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan.
Pasal 41
Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan
secara langsung tanpa mengikuti seluruh langkah-langkah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), apabila pihak yang diuji:
a. diputus bersalah dalam Tindak Pidana Tertentu berdasarkan
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
b.
terbukti dinyatakan pailit dan/atau sebagai pemegang saham,
anggota dewan komisaris atau anggota direksi yang dinyatakan
bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit.
Pasal 42
(1) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap PSP dilakukan untuk
keseluruhan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap
BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) yang terkait
dengan PSP yang diuji.
(2) Penetapan hasil uji kemampuan dan kepatutan terhadap PSP dan
pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap BPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui langkah-
langkah uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (2).
(3) Hasil …
- 36 -
(3) Hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan satu kesatuan dan berlaku bagi PSP dan
pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap BPR, kecuali
dapat dibuktikan sebaliknya.
Bagian Ketiga
Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 43
(1) Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan menjadi 2 (dua) predikat, yaitu:
a. Lulus; atau
b. Tidak Lulus
(2) Penetapan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan tingkat keterlibatan
pihak yang diuji.
(3) Hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berlaku sejak tanggal penetapan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf d.
Pasal 44
Bank Indonesia memberitahukan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan secara tertulis kepada:
a. BPR dan PSP; dan
b. pihak…
- 37 -
b. pihak yang diuji melalui BPR, dalam bentuk penetapan hasil uji
kemampuan dan kepatutan.
Bagian Keempat
Konsekuensi Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 45
(1) Pihak-pihak yang ditetapkan predikat Lulus dinyatakan memenuhi
persyaratan untuk tetap menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif.
(2) Pihak-pihak yang ditetapkan predikat Tidak Lulus dilarang
menjadi:
a. PSP atau memiliki saham pada industri perbankan; dan
b. anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat
Eksekutif pada industri perbankan.
(3) Pengenaan sanksi larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
juga berlaku bagi pihak–pihak yang pada saat penilaian ditetapkan
Tidak Lulus, yang bersangkutan telah menjadi PSP, anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi, dan/atau Pejabat Eksekutif pada Bank
lain.
(4) Terhadap pihak–pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
berlaku konsekuensi Tidak Lulus sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Pasal 46 …
- 38 -
Pasal 46
(1) Pengenaan jangka waktu larangan terhadap pihak-pihak yang
ditetapkan predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (2) ditetapkan:
a. selama jangka waktu 3 (tiga) tahun:
1) bagi PSP apabila terbukti melakukan tindakan–tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a angka 3),
huruf d, huruf e, huruf g, atau huruf h.
2) bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan/atau
Pejabat Eksekutif apabila terbukti melakukan tindakan–
tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf a
angka 3), huruf d, huruf e, huruf g, atau huruf h.
b. selama jangka waktu 5 (lima) tahun:
1) bagi PSP apabila:
a)
terbukti melakukan tindakan–tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 huruf a angka 1) atau
angka 2); atau
b)
terbukti melakukan tindakan–tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 huruf a angka 3), huruf d,
huruf e, huruf g atau huruf h, dan perbuatan
dimaksud:
i. dilakukan secara berulang;
ii. dilakukan secara kumulatif; atau
iii. terbukti…
- 39 -
iii. terbukti menguntungkan diri sendiri maupun pihak
lain.
2) bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan/atau
Pejabat Eksekutif apabila:
a)
terbukti melakukan tindakan–tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 huruf a angka 1) atau
angka 2); atau
b)
terbukti melakukan tindakan–tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 huruf a angka 3), huruf d,
huruf e, huruf g atau huruf h, dan perbuatan
dimaksud:
i. dilakukan secara berulang;
ii. dilakukan secara kumulatif; atau
iii. terbukti menguntungkan diri sendiri maupun
pihak lain.
c. selama jangka waktu 20 (dua puluh) tahun:
1) bagi PSP apabila terbukti melakukan tindakan–tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf b, huruf c
atau huruf f.
2) bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan/atau
Pejabat Eksekutif apabila terbukti melakukan tindakan–
tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf b,
huruf c atau huruf f.
(2) Jangka …
- 40 -
(2) Jangka waktu larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terhitung sejak tanggal penetapan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf d.
Pasal 47
(1) Pihak-pihak yang dilarang menjadi PSP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a:
a. dilarang melakukan tindakan sebagai PSP;
b. tidak dapat menjalankan hak selaku pemegang saham dan
saham tersebut tidak diperhitungkan dalam kuorum RUPS;
c. hak menerima pembayaran dividen ditunda sampai dengan
yang bersangkutan mengalihkan kepemilikan sahamnya; dan
d. wajib mengalihkan seluruh kepemilikan sahamnya pada:
1) BPR yang bersangkutan dan/atau BPR lainnya dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun;
2) bank umum konvensional dan/atau bank syariah sesuai
ketentuan Bank Indonesia mengenai uji kemampuan dan
kepatutan bank umum konvensional dan bank syariah.
(2) BPR wajib mencantumkan penjelasan mengenai pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam daftar pemegang
saham.
Pasal 48 …
- 41 -
Pasal 48
Bank Indonesia dapat menetapkan jangka waktu kewajiban pengalihan
kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf d
angka 1) secara tersendiri apabila menurut penilaian Bank Indonesia
langkah-langkah dimaksud perlu disesuaikan dengan program
penyehatan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai tindak lanjut penanganan terhadap BPR
dalam status pengawasan khusus.
Pasal 49
BPR wajib melaporkan pengalihan kepemilikan saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf d angka 1) kepada Bank
Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah
RUPS mengesahkan pengalihan kepemilikan saham.
Pasal 50
(1) Pengalihan seluruh kepemilikan saham BPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf d angka 1) dilarang
dilakukan kepada pihak yang memiliki hubungan keluarga sampai
dengan derajat kedua dan/atau kelompok usahanya.
(2) Dalam ...
- 42 -
(2) Dalam hal pengalihan kepemilikan saham BPR dilakukan kepada
pihak yang memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat
kedua dan/atau kelompok usaha dari PSP yang ditetapkan predikat
Tidak Lulus, maka:
a. Pengalihan tersebut tidak diakui sebagai pengalihan
kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1)
huruf d angka 1);
b. BPR dilarang melakukan pencatatan atas pihak-pihak yang
menerima pengalihan tersebut dalam daftar pemegang saham
BPR; dan
c. Pihak-pihak yang menerima pengalihan tidak memperoleh hak-
haknya sebagai pemegang saham.
Pasal 51
Dalam hal pihak-pihak yang dilarang menjadi PSP atau memiliki saham
pada industri perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat
(2) huruf a tidak mengalihkan seluruh kepemilikan sahamnya sesuai
dengan jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 ayat (1) huruf d angka 1) dan Pasal 48 maka:
a. Pihak …
- 43 -
a. Pihak yang bersangkutan ditetapkan predikat Tidak Lulus dengan
jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun;
b. Pihak yang bersangkutan wajib menyerahkan:
1) surat kuasa menjual kepada pihak yang tidak memiliki
hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua dan/atau
kelompok usahanya; dan
2) hasil penilaian harga saham yang dilakukan oleh penilai
independen.
c. Penyerahan surat kuasa menjual dan hasil penilaian harga saham
sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan dalam jangka
waktu 1 (satu) bulan sejak berakhirnya batas waktu pengalihan
kepemilikan saham dengan persetujuan Bank Indonesia.
Pasal 52
(1) Pihak-pihak yang dilarang menjadi anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b:
a. dilarang untuk melakukan tindakan sebagai anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi, Pejabat Eksekutif; dan
b. wajib berhenti sebagai anggota Dewan Komisaris atau anggota
Direksi, atau Pejabat Eksekutif.
(2) BPR …
- 44 -
(2) BPR wajib:
a. menyelenggarakan RUPS untuk memberhentikan anggota
Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi Tidak Lulus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling lambat 90
(sembilan puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan dari Bank
Indonesia; dan/atau
b. memberhentikan Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia.
(3) BPR wajib melaporkan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak penyelenggaraan RUPS pemberhentian
anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi, dan/atau
sejak pemberhentian Pejabat Eksekutif.
(4) Dalam hal pihak-pihak yang dilarang menjadi anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melakukan tindakan sebagai Komisaris,
Direksi, atau Pejabat Eksekutif maka terhadap yang bersangkutan
ditetapkan predikat Tidak Lulus dengan jangka waktu larangan
selama 20 (dua puluh) tahun.
(5) PSP yang dengan sengaja membiarkan anggota Dewan Komisaris
dan/atau anggota Direksi yang Tidak Lulus untuk melakukan
tindakan sebagai anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi,
ditetapkan predikat Tidak Lulus dengan jangka waktu larangan
selama 20 (dua puluh) tahun.
(6) Anggota ...
- 45 -
(6) Anggota Direksi yang dengan sengaja membiarkan Pejabat
Eksekutif yang Tidak Lulus untuk melakukan tindakan sebagai
Pejabat Eksekutif, ditetapkan predikat Tidak Lulus dengan jangka
waktu larangan selama 3 (tiga) tahun.
(7) Dengan diberikannya predikat Tidak Lulus bagi PSP atau anggota
Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) maka
berlaku konsekuensi Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (2).
Pasal 53
Dalam hal seluruh anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi
ditetapkan Tidak Lulus dan menurut penilaian Bank Indonesia
kekosongan jabatan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi
tersebut dapat mengganggu kegiatan operasional BPR, maka Bank
Indonesia dapat menunjuk pengganti sementara sampai RUPS
mengangkat pengganti yang tetap sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Bagian Kelima
Permohonan Kembali untuk menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris
dan/atau anggota Direksi BPR
Pasal 54
(1) Pihak-pihak yang dikenakan larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Bank
Indonesia ...
- 46 -
Indonesia untuk menjadi calon PSP, calon anggota Dewan
Komisaris dan/atau calon anggota Direksi apabila jangka waktu
pengenaan sanksi larangan telah terlampaui.
(2) PSP yang berbentuk badan hukum yang dikenakan larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dapat diajukan
kembali kepada Bank Indonesia untuk menjadi calon PSP sebelum
berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi larangan sepanjang
badan hukum yang bersangkutan telah mengganti pihak-pihak
yang melakukan Pengendalian terhadap badan hukum dimaksud
yang dalam uji kemampuan dan kepatutan memperoleh predikat
Tidak Lulus.
(3) Penilaian atas permohonan untuk kembali menjadi calon PSP dan
calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi BPR
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB II dan BAB III Peraturan
Bank Indonesia ini.
BAB V
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP PIHAK YANG SUDAH
TIDAK MENJADI PSP, ANGGOTA DEWAN KOMISARIS, ANGGOTA
DIREKSI DAN PEJABAT EKSEKUTIF
Bagian Kesatu
Cakupan Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 55 ...
- 47 -
Pasal 55
Uji kemampuan dan kepatutan terhadap pihak yang sudah tidak
menjadi PSP dilakukan dalam hal yang bersangkutan diindikasikan
terlibat atau bertanggungjawab atas permasalahan integritas dan/atau
kelayakan keuangan meliputi hal-hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38.
Pasal 56
Uji kemampuan dan kepatutan terhadap pihak yang sudah tidak
menjadi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat
Eksekutif dilakukan dalam hal yang bersangkutan diindikasikan terlibat
atau bertanggungjawab atas permasalahan integritas, kompetensi
dan/atau reputasi keuangan meliputi hal-hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39.
Bagian Kedua
Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 57
(1) Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan
berdasarkan bukti, data dan informasi yang diperoleh dari hasil
pengawasan maupun informasi lainnya.
(2) Uji ...
- 48 -
(2) Uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan langkah-langkah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (2).
Pasal 58
Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan
secara langsung tanpa mengikuti seluruh langkah-langkah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), apabila pihak yang diuji:
a. diputus bersalah dalam Tindak Pidana Tertentu berdasarkan
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
b.
terbukti dinyatakan pailit dan/atau sebagai pemegang saham,
anggota dewan komisaris atau anggota direksi yang dinyatakan
bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit.
Bagian Ketiga
Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 59
(1) Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan menjadi 2 (dua) predikat, yaitu:
a. Lulus; atau
b. Tidak Lulus
(2) Penetapan ...
- 49 -
(2) Penetapan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan tingkat keterlibatan
pihak yang diuji.
(3) Hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berlaku sejak tanggal penetapan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf d.
Pasal 60
Bank Indonesia memberitahukan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan secara tertulis kepada:
a. pihak yang diuji, dalam bentuk penetapan hasil uji kemampuan
dan kepatutan; dan
b. BPR, apabila diperlukan.
Bagian Keempat
Konsekuensi Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 61
(1) Pihak-pihak yang ditetapkan predikat Tidak Lulus dilarang
menjadi:
a. PSP atau memiliki saham pada industri perbankan; dan
b. anggota …
- 50 -
b. anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat
Eksekutif pada industri perbankan.
(2) Pengenaan sanksi larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
juga berlaku bagi pihak–pihak yang pada saat penilaian ditetapkan
Tidak Lulus, yang bersangkutan menjadi PSP, anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi, dan/atau Pejabat Eksekutif pada Bank
lain.
(3) Terhadap pihak–pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berlaku konsekuensi Tidak Lulus sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Pasal 62
(1) Pengenaan jangka waktu larangan terhadap pihak-pihak yang
ditetapkan predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (1) huruf b ditetapkan mengacu pada Pasal 46.
(2) Jangka waktu larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terhitung sejak tanggal surat penetapan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf d.
BAB VI …
- 51 -
BAB VI
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP BPR DALAM
PENYELAMATAN/PENANGANAN OLEH LEMBAGA PENJAMIN
SIMPANAN (LPS)
Bagian Kesatu
Uji Kemampuan dan Kepatutan Terhadap Calon PSP, Calon Anggota
Dewan Komisaris dan Calon Anggota Direksi
Pasal 63
(1) Dalam rangka penanganan atau penyelamatan BPR, terhadap LPS
tidak dilakukan uji kemampuan dan kepatutan selaku calon PSP.
(2) Dalam hal LPS akan menjual seluruh saham BPR maka calon PSP
harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Bab II Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 64
(1) Untuk memenuhi 1 (satu) anggota Dewan Komisaris dan/atau 1
(satu) anggota Direksi pertama kali sejak BPR dalam
penyelamatan/penanganan oleh LPS, LPS mengajukan permohonan
persetujuan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon
anggota Direksi dengan disertai dokumen identitas calon yang
bersangkutan.
(2) Berdasarkan permohonan persetujuan calon anggota Dewan
Komisaris dan/atau calon anggota Direksi sebagaimana dimaksud
pada …
- 52 -
pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan penelitian administratif
berupa persyaratan tidak tercantum dalam daftar kredit dan/atau
pembiayaan macet dan DTL.
(3) Dalam hal berdasarkan penelitian administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) calon anggota Dewan Komisaris dan/atau
calon anggota Direksi tidak tercantum dalam daftar kredit
dan/atau pembiayaan macet dan DTL, Bank Indonesia memberikan
persetujuan sementara sampai dengan Bank Indonesia menetapkan
hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan.
(4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) pihak yang dinilai tercantum dalam daftar
kredit dan/atau pembiayaan macet dan DTL, maka Bank Indonesia
tidak memberikan persetujuan sementara dan:
a. pihak yang dinilai dilarang melakukan tindakan sebagai
anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi; dan
b. LPS menyampaikan kembali calon anggota Dewan Komisaris
atau calon anggota Direksi yang baru.
(5) Bank Indonesia memberitahukan hasil penelitian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepada LPS berupa:
a. persetujuan sementara, dalam hal calon anggota Dewan
Komisaris dan/atau calon anggota Direksi yang diajukan
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (3);
b. penolakan …
- 53 -
b. penolakan, dalam hal calon anggota Dewan Komisaris dan/atau
calon anggota Direksi yang diajukan memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
Pasal 65
Pengajuan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi
lainnya selain untuk memenuhi 1 (satu) anggota Dewan Komisaris
dan/atau 1 (satu) anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 64
ayat (1) mengacu ketentuan pada Bab III Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 66
(1) BPR wajib menyampaikan dokumen persyaratan administratif
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dari anggota Dewan
Komisaris dan/atau anggota Direksi yang telah memperoleh
persetujuan sementara dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan
sejak tanggal persetujuan sementara.
(2) Terhadap anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan uji kemampuan
dan kepatutan berupa penelitian administratif dan wawancara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1).
(3) Berdasarkan penelitian administratif dan wawancara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji
kemampuan dan kepatutan menjadi 2 (dua) predikat:
a. Lulus; atau
b. Tidak …
- 54 -
b. Tidak Lulus
(4) Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah seluruh
dokumen persyaratan administratif dari BPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) telah diterima secara lengkap.
Pasal 67
(1) Dalam hal BPR tidak menyampaikan secara lengkap dokumen
persyaratan administratif dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) maka persetujuan sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dinyatakan tidak
berlaku terhitung sejak terlampauinya jangka waktu dimaksud.
(2) Apabila persetujuan sementara dinyatakan tidak berlaku
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka:
a.
Pihak yang diuji dilarang melakukan tindakan sebagai
anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi; dan
b.
LPS dapat mengajukan kembali calon anggota Dewan
Komisaris dan/atau calon anggota Direksi sesuai dengan
ketentuan pada Bab III Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 68
Bank Indonesia memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (4) secara tertulis kepada:
a. BPR ...
- 55 -
a. BPR dan LPS dalam bentuk persetujuan atau penolakan; dan
b. Pihak yang diuji melalui BPR dalam bentuk penetapan hasil uji
kemampuan dan kepatutan.
Pasal 69
(1) Tindaklanjut dari hasil akhir uji sebagaimana diatur dalam Pasal
66 ayat (3), berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 36,
Pasal 37 ayat (1), dan Pasal 37 ayat (2).
(2) Dalam hal hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan pihak yang
diuji ditetapkan Tidak Lulus, maka hasil persetujuan sementara
yang telah diterbitkan menjadi batal terhitung sejak tanggal
penetapan Tidak Lulus.
(3) LPS dapat mengajukan kembali calon anggota Dewan Komisaris
dan/atau calon anggota Direksi sesuai dengan ketentuan pada Bab
III Peraturan Bank Indonesia ini.
Bagian Kedua
Uji Kemampuan dan Kepatutan Terhadap Anggota Dewan Komisaris,
Anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif
Pasal 70
Tata cara uji kemampuan dan kepatutan terhadap anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif, berlaku ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Bab IV Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB VII
...
- 56 -
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 71
(1) Hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan bersifat rahasia dan
ditatausahakan serta digunakan oleh Bank Indonesia dalam rangka
pelaksanaan tugas Bank Indonesia.
(2) Dalam hal BPR, pihak-pihak yang diuji dan pihak-pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 35, Pasal 44, Pasal
60, Pasal 64 dan Pasal 68 memberitahukan hasil uji kemampuan
dan kepatutan kepada pihak lain, maka segala akibat hukum yang
timbul sepenuhnya menjadi tanggung jawab yang bersangkutan.
Pasal 72
(1) BPR wajib melaporkan rencana perubahan struktur kelompok
usaha yang terkait dengan BPR termasuk badan hukum pemilik
BPR sampai dengan ultimate shareholders kepada Bank Indonesia
paling lambat 1 (satu) bulan sebelum terjadinya perubahan.
(2) Dalam hal perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menurut penilaian Bank Indonesia
menyebabkan perubahan pengendali BPR atau apabila menurut
penilaian Bank Indonesia terdapat pengendali BPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, maka BPR wajib mengajukan calon PSP
kepada Bank Indonesia untuk dilakukan uji kemampuan dan
kepatutan …
- 57 -
kepatutan sebagaimana diatur dalam Bab II Peraturan Bank
Indonesia ini.
(3) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap pengendali BPR yang
disebabkan karena adanya perubahan struktur kelompok usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan satu kesatuan
dan merupakan hasil uji kemampuan dan kepatutan terhadap
kelompok usaha.
Pasal 73
Bank Indonesia berwenang menolak perubahan pengendali BPR, apabila
berdasarkan penilaian Bank Indonesia perubahan tersebut dapat
menyebabkan atau diindikasikan dapat menghambat pelaksanaan
pengawasan BPR.
Pasal 74
Peraturan Bank Indonesia ini tidak diberlakukan bagi BPR eks Badan
Kredit Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929
Nomor 357 dan Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9.
BAB VIII …
- 58 -
BAB VIII
SANKSI
Pasal 75
(1) BPR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (2), Pasal 24 ayat (2) huruf b, Pasal 47 ayat (2), Pasal
50 ayat (2) huruf b, atau Pasal 52 ayat (2) dikenakan sanksi
administratif sesuai dengan Pasal 52 ayat (2) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
a.
teguran tertulis; dan/atau
b. pemberhentian sebagai anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi BPR dan selanjutnya Bank Indonesia
menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai RUPS
mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank
Indonesia.
(2) BPR yang melanggar kewajiban menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 49, Pasal 52 ayat (3)
atau Pasal 72 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan untuk setiap laporan
dengan jumlah paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
(3) Pemegang saham yang dengan sengaja tidak menaati ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), Pasal 25 ayat (1)
huruf c, Pasal 37 ayat (5), Pasal 47 ayat (1) huruf a, Pasal 51 huruf
c, atau…
- 59 -
c, atau Pasal 52 ayat (5), dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 50
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998.
(4) Anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi yang dengan
sengaja tidak menaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (2) atau Pasal 52 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai
Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 76
Terhadap pihak yang ditetapkan Lulus Bersyarat berdasarkan Peraturan
Bank Indonesia No. 6/23/PBI/2004 tanggal 9 Agustus 2004 tentang
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) BPR:
a. dinyatakan Lulus setelah yang bersangkutan memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Peraturan
Bank Indonesia No. 6/23/PBI/2004 tanggal 9 Agustus 2004
tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test)
BPR; atau
b. dinyatakan Tidak Lulus dengan jangka waktu larangan selama 2
(dua) tahun apabila yang bersangkutan tidak memenuhi
persyaratan …
- 60 -
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Peraturan
Bank Indonesia No. 6/23/PBI/2004 tanggal 9 Agustus 2004
tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test)
BPR, dengan konsekuensi mengacu pada Peraturan Bank Indonesia
ini.
Pasal 77
Terhadap uji kemampuan dan kepatutan bagi calon PSP atau PSP, calon
anggota Dewan Komisaris atau anggota Dewan Komisaris, calon anggota
Direksi atau anggota Direksi, dan/atau Pejabat Eksekutif yang sedang
dilakukan pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka:
a. proses penilaian, hasil penilaian, dan pengenaan jangka waktu
larangan mengacu kepada PBI No. 6/23/PBI/2004 tanggal 9
Agustus 2004 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit
and Proper Test) BPR dengan konsekuensi mengacu kepada
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
b. dalam hal hasil sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah Lulus
Bersyarat berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.
6/23/PBI/2004 tanggal 9 Agustus 2004 tentang Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) BPR, yang
bersangkutan dapat dinyatakan Lulus atau Tidak Lulus
sebagaimana diatur dalam Pasal 76.
Pasal 78 …
…
- 61 -
Pasal 78
Pihak-pihak yang berasal dari BPR dan telah dinyatakan sebagai pihak-
pihak yang Tidak Lulus berdasarkan PBI No. 6/23/PBI/2004 tanggal 9
Agustus 2004 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and
Proper Test) BPR, tetap dilarang menjadi Pemegang Saham, anggota
Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi sampai dengan jangka
waktu pelarangan berakhir.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 79
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji kemampuan dan
kepatutan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 80
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/23/PBI/2004 tanggal 9 Agustus 2004 tentang
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) BPR dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 81
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 28 Desember
2012.
Agar …
…
- 62 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Juli 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Juli 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 150
DKBU
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 9 /PBI/2012
TENTANG
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST)
BANK PERKREDITAN RAKYAT
UMUM
Upaya menciptakan sistem perbankan yang sehat, selain
ditempuh dengan cara perbaikan kondisi keuangan perbankan, juga
ditempuh dengan cara pemantapan sistem perbankan yang
mengarahkan perbankan kepada praktek-praktek good corporate
governance serta pemenuhan prinsip kehati-hatian.
BPR sebagai
lembaga intermediasi setiap saat harus
mempertahankan dan menjaga kepercayaan, oleh karena itu BPR perlu
dimiliki dan dikelola oleh pihak-pihak yang memenuhi persyaratan
kemampuan dan kepatutan.
Perkembangan industri BPR yang dinamis membutuhkan pemilik
yang selain memiliki integritas juga memiliki komitmen dan kemampuan
yang...
- 2 -
yang tinggi dalam mendukung pengembangan operasional BPR yang
sehat. Selain itu dalam pengelolaan BPR diperlukan sumber daya
manusia yang memiliki integritas yang tinggi, memiliki kompetensi dan
reputasi keuangan yang baik.
Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan proses uji
kemampuan dan kepatutan terhadap calon pemilik, calon anggota
Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi BPR melalui penelitian
administratif yang lebih efektif dan proses wawancara yang lebih efisien,
dengan tetap memperhatikan pemenuhan persyaratan yang ditetapkan.
Selanjutnya sebagai pelaksanaan tugas pengawasan BPR oleh
Bank Indonesia secara berkesinambungan, terhadap pihak-pihak yang
telah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia, dilakukan penilaian
atas kemampuan dan kepatutan pemilik, anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi dan pejabat eksekutif BPR termasuk pihak-pihak yang
sudah tidak menjadi pemilik, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi
dan pejabat eksekutif BPR. Dalam rangka melindungi industri BPR dari
pihak-pihak yang diindikasikan tidak memenuhi persyaratan
kemampuan dan kepatutan, penilaian dilakukan melalui proses yang
lebih singkat dan transparan tanpa mengabaikan azas keadilan bagi
pihak yang diuji.
Mengingat tujuan uji kemampuan dan kepatutan adalah agar
industri perbankan senantiasa dimiliki dan dikelola oleh pihak-pihak
yang memenuhi persyaratan maka sudah menjadi keharusan untuk
tidak memberikan ruang bagi pihak yang melakukan tindakan yang
diindikasikan tidak memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan.
Berdasarkan...
- 3 -
Berdasarkan hal–hal tersebut di atas, ketentuan mengenai
penilaian kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper Test) BPR perlu
diatur kembali dalam suatu ketentuan tentang Uji Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and Proper Test) BPR.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan “ketentuan mengenai kepemilikan dan
kepengurusan” antara lain adalah ketentuan mengenai Bank
Perkreditan Rakyat.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “memiliki secara bersama-sama
25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham BPR”
adalah:
a. saham...
- 4 -
a. saham BPR yang dimiliki oleh satu atau beberapa
pemegang saham yang hak suaranya dapat
digunakan atau dikendalikan oleh pemegang
saham lainnya;
b. saham BPR yang dimiliki oleh perusahaan yang
dikendalikan oleh pengendali BPR;
c. saham BPR yang dimiliki oleh pihak terafiliasi dari
pengendali BPR;
d. saham BPR yang dimiliki oleh anak perusahaan
dari perusahaan yang dikendalikan oleh
pengendali BPR;
e. saham BPR yang dimiliki oleh pihak lain yang
pemindahtanganannya memerlukan persetujuan
dari pengendali BPR; dan/atau
f. saham BPR lainnya selain saham sebagaimana
dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e
yang dikendalikan oleh pengendali BPR.
Yang dimaksud dengan ”pihak terafiliasi dari
pengendali BPR” sebagaimana dimaksud pada huruf c
adalah:
a. anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau
yang setara atau kuasanya, pejabat, atau
karyawan perusahaan pengendali BPR;
b. pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya,
pejabat atau karyawan perusahaan pengendali
BPR...
- 5 -
BPR, khusus bagi perusahaan yang berbadan
hukum Koperasi;
c. pihak yang memberikan jasa kepada perusahaan
pengendali BPR, antara lain akuntan publik,
penilai, konsultan hukum dan konsultan lain yang
terbukti dikendalikan oleh pengendali BPR;
d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga
dengan pengendali BPR baik karena perkawinan
maupun karena keturunan sampai dengan derajat
kedua baik secara horizontal maupun vertikal,
termasuk besan; dan/atau
e. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia
turut serta mempengaruhi pengelolaan perusahaan
pengendali BPR, antara lain pemegang saham dan
keluarganya, keluarga komisaris, keluarga
pengawas, keluarga direksi, dan keluarga
pengurus.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e...
- 6 -
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Termasuk dalam pengertian calon PSP antara lain adalah
pemegang saham yang akan menjadi PSP karena terjadinya
pengalihan saham BPR, penambahan modal dan/atau
pengajuan diri secara sukarela untuk menjadi PSP.
Huruf b ...
- 7 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Pejabat Eksekutif” adalah Pejabat
Eksekutif yang telah diangkat atau belum diangkat oleh
BPR tetapi telah menjalankan fungsi sebagai Pejabat
Eksekutif.
Huruf c
Pihak-pihak yang dimaksud pada huruf ini adalah pihak-
pihak yang sudah tidak menjadi atau sudah tidak menjabat
sebagai PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan
Pejabat Eksekutif di BPR termasuk yang sudah keluar dari
industri perbankan.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “proses hukum” adalah proses penyidikan
atau peradilan dalam perkara Tindak Pidana Tertentu dan perkara
di bidang kepailitan yang diproses dalam Peradilan Niaga.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud “memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia” adalah calon PSP yang telah memperoleh
predikat Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan.
Ayat (2)
Kepemilikan saham calon PSP dapat diperoleh melalui
hibah, waris dan jual beli.
Yang ...
- 8 -
Yang dimaksud dengan “tindakan sebagai PSP” antara lain
adalah hadir dan/atau memberikan suara dalam RUPS
dalam kapasitas sebagai PSP.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal badan hukum pemegang saham BPR
dimiliki dan dikendalikan oleh badan hukum lain
secara berjenjang dalam suatu kelompok usaha maka
pemegang saham pengendali terakhir (ultimate
shareholders) adalah perorangan atau badan hukum
yang secara langsung ataupun tidak langsung
memiliki saham BPR dan merupakan pengendali
terakhir keseluruhan struktur kelompok usaha yang
mengendalikan BPR.
Badan hukum terakhir dalam keseluruhan struktur
kelompok usaha ditetapkan sebagai ultimate
shareholders apabila badan hukum tersebut tidak
memiliki PSP.
Ayat (2) ...
- 9 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pihak-pihak lain yang dianggap
melakukan Pengendalian” adalah badan hukum yang masih
dalam kelompok usaha PSP (ultimate shareholders) yang
dianggap melakukan pengendalian terhadap BPR.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Penilaian integritas pihak yang diuji didasarkan pada catatan
administrasi Bank Indonesia, dan sumber informasi lainnya.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah
terhitung sejak tanggal surat permohonan BPR kepada
Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk dalam komitmen terhadap pengembangan
operasional BPR yang sehat adalah komitmen
pengembangan ekonomi regional.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e ...
- 10 -
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Dalam hal calon PSP BPR berbentuk badan hukum,
penilaian terhadap kriteria pada huruf ini dilakukan antara
lain berdasarkan analisa kemampuan keuangan badan
hukum pada saat ini dan proyeksinya untuk jangka waktu
paling kurang 3 (tiga) tahun yang disusun oleh konsultan
independen.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kredit dan/atau pembiayaan
macet” adalah:
1) kredit dan/atau pembiayaan macet yang tercantum
dalam Sistem Informasi Debitur; dan/atau
2) kredit dan/atau pembiayaan macet yang belum
dilaporkan oleh bank dalam Sistem Informasi Debitur,
namun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
Bank Indonesia, kredit dan/atau pembiayaan tersebut
telah memenuhi kriteria yang tergolong macet sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d ...
- 11 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan “hutang jatuh tempo dan
bermasalah” adalah hutang yang telah jatuh tempo dan
tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan
restrukturisasi.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah
terhitung sejak tanggal surat permohonan BPR kepada
Bank Indonesia.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Penelitian administratif meliputi antara lain: penelitian
dokumen persyaratan administratif sebagaimana diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia, catatan administrasi
Bank Indonesia, penelitian kemampuan dan kelayakan
keuangan ...
- 12 -
keuangan, struktur kepemilikan calon PSP, serta informasi
lainnya yang diperoleh Bank Indonesia.
Huruf b
Wawancara dilakukan terhadap calon PSP yang telah
memenuhi persyaratan dalam penelitian administratif
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Wawancara dilakukan terhadap minimal 1 (satu)
anggota dewan komisaris dan 1 (satu) anggota
direksi dari badan hukum.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16 ...
- 13 -
Pasal 16
Yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Pemerintah Daerah.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sedang “menjalani proses hukum”
adalah apabila calon PSP telah menyandang status
tersangka atau tergugat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “telah selesai menjalani proses
hukum” adalah apabila yang bersangkutan telah
mendapatkan, antara lain:
1. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3); atau
2. Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan tidak bersalah.
Yang dimaksud dengan “telah selesai menjalani uji
kemampuan dan kepatutan pada suatu Bank” adalah
apabila yang bersangkutan telah mendapatkan hasil akhir
uji kemampuan dan kepatutan dengan predikat Lulus.
Pasal 18 ...
- 14 -
Pasal 18
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Lulus” adalah calon PSP yang
dinyatakan memenuhi persyaratan untuk menjadi PSP
pada BPR dimaksud.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Tidak Lulus” adalah calon PSP
yang dinyatakan tidak memenuhi persyaratan menjadi PSP
pada BPR dimaksud.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
“Persetujuan” diberikan dalam hal calon yang
diajukan memperoleh predikat Lulus dalam uji
kemampuan dan kepatutan, dan “penolakan”
diberikan dalam hal calon yang diajukan memperoleh
predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan
kepatutan.
Huruf b ...
- 15 -
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pihak-pihak lain yang berkepentingan pada ayat ini antara
lain PSP.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “telah memiliki saham BPR”
termasuk kepemilikan saham yang diperoleh melalui hibah,
waris atau jual beli.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “menjalankan hak selaku
pemegang saham” antara lain hadir dan/atau
memberikan suara dalam RUPS.
Huruf c
Pengaturan mengenai penundaan pembayaran dividen
mengacu pada ketentuan yang berlaku.
Huruf d ...
- 16 -
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penjelasan mengenai calon PSP
yang ditetapkan predikat Tidak Lulus namun telah memiliki
saham” adalah informasi mengenai:
a. predikat yang bersangkutan;
b. yang bersangkutan tidak dapat menjalankan hak
selaku pemegang saham dan saham tersebut tidak
diperhitungkan dalam kuorum RUPS; dan
c. penundaan hak menerima pembayaran dividen sampai
dengan yang bersangkutan mengalihkan kepemilikan
sahamnya.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga sampai dengan
derajat kedua” adalah hubungan baik vertikal maupun horizontal,
termasuk mertua, menantu, dan ipar, meliputi:
1. Orang tua kandung/tiri/angkat;
2. Saudara ...
- 17 -
2. Saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya;
3. Anak kandung/tiri/angkat;
4. Kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
5. Cucu kandung/tiri/angkat;
6. Saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami
atau istrinya;
7. Suami/istri;
8. Mertua;
9. Besan;
10. Suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat;
11. Kakek/nenek dari suami/istri;
12. Suami/istri dari cucu kandung/tiri/angkat;
13. Saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri beserta suami
atau istrinya.
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Penetapan sanksi Tidak Lulus pada huruf ini
dilakukan secara langsung tanpa mengikuti langkah-
langkah penilaian kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2).
Huruf b ...
- 18 -
Huruf b
Surat kuasa menjual paling kurang memuat klausula
memberikan kuasa kepada penerima kuasa untuk
menjual atau mengalihkan saham kepada pihak lain.
Bank Indonesia dapat meminta PSP mengganti
penerima surat kuasa menjual yang ditunjuk PSP,
jika dalam pelaksanaannya Bank Indonesia menilai
penerima kuasa:
- tidak menunjukan upaya riil atau perkembangan
dalam melakukan penjualan atau pengalihan
saham; atau
- tidak mampu melaksanakan penjualan atau
pengalihan saham sesuai dengan jangka waktu
yang telah direncanakan.
Yang dimaksud dengan penilai independen adalah
penilai yang:
- melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode
etik profesi dan ketentuan yang ditetapkan oleh
institusi yang berwenang,
- menggunakan metode penilaian berdasarkan
standar profesi penilaian yang diterbitkan oleh
institusi yang berwenang, dan
- memiliki izin usaha dari institusi yang
berwenang.
Huruf c ...
- 19 -
Huruf c
Persetujuan Bank Indonesia mencakup pemenuhan
persyaratan pihak penerima surat kuasa menjual dan
penilai independen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “belum mendapat persetujuan Bank
Indonesia” adalah anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi BPR yang belum memperoleh predikat
Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Penilaian integritas pihak yang diuji didasarkan pada catatan
administrasi Bank Indonesia, dan sumber informasi lainnya.
Huruf a ...
- 20 -
Huruf a
Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah
terhitung sejak tanggal surat permohonan BPR kepada
Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 29
Huruf a
Angka 1)
Yang dimaksud dengan “pengetahuan di bidang
perbankan” antara lain meliputi pengetahuan tentang
peraturan dan operasional BPR.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan “pengalaman di bidang
perbankan dan/atau keuangan” antara lain
pemasaran, akuntansi, audit, pendanaan,
perkreditan ...
- 21 -
perkreditan, hukum atau pengalaman di bidang
pengawasan operasional perbankan.
Huruf b
Angka 1)
Yang dimaksud dengan “pengetahuan di bidang
perbankan” antara lain meliputi pengetahuan tentang
peraturan dan operasional BPR.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan “pengalaman dan keahlian di
bidang perbankan dan/atau keuangan” antara lain
adalah pengalaman dan keahlian di bidang
operasional, pemasaran, pembukuan, pendanaan,
perkreditan atau hukum yang berkaitan dengan
bidang perbankan.
Angka 3)
Yang dimaksud dengan “kemampuan untuk
melakukan pengelolaan strategis” antara lain
kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan
perekonomian, kemampuan menggali potensi daerah
dan perbankan, menginterpretasikan visi, misi BPR
dan analisa situasi industri perbankan.
Pasal 30 ...
- 22 -
Pasal 30
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kredit dan/atau pembiayaan
macet” adalah:
1) kredit dan/atau pembiayaan macet yang tercantum
dalam Sistem Informasi Debitur; dan/atau
2) kredit dan/atau pembiayaan macet yang belum
dilaporkan oleh bank dalam Sistem Informasi Debitur,
namun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
Bank Indonesia, kredit dan/atau pembiayaan tersebut
telah memenuhi kriteria yang tergolong macet sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah
terhitung sejak tanggal surat permohonan BPR kepada
Bank Indonesia.
Pasal 31
Ayat (1)
Dalam hal seluruh atau mayoritas saham BPR dimiliki oleh
Pemerintah Daerah atau LPS maka permohonan
persetujuan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon
anggota ...
- 23 -
anggota Direksi BPR dapat diajukan oleh Pemerintah
Daerah atau LPS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “ketentuan perundang-undangan
yang berlaku” antara lain peraturan perundang-undangan
tentang Perseroan Terbatas dan Ketenagakerjaan.
Pasal 32
Ayat (1)
Huruf a
Penelitian administratif meliputi antara lain penelitian
dokumen persyaratan administratif sebagaimana
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia, catatan
administrasi Bank Indonesia dan penelitian reputasi
keuangan calon anggota Dewan Komisaris atau calon
anggota Direksi BPR serta informasi lainnya yang
diperoleh Bank Indonesia.
Huruf b
Wawancara dilakukan terhadap calon anggota Dewan
Komisaris atau calon anggota Direksi BPR yang telah
memenuhi
...
- 24 -
memenuhi persyaratan dalam penelitian administratif
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Ayat (2)
Yang dimaksud “dalam kondisi tertentu” adalah apabila
informasi yang diperoleh mengenai calon anggota Dewan
Komisaris atau calon anggota Direksi sebagai dasar
penetapan hasil uji kemampuan dan kepatutan dinilai
sudah memadai sehingga tidak diperlukan klarifikasi atau
penjelasan lebih lanjut dalam proses wawancara.
Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sedang menjalani proses hukum”
adalah apabila calon anggota Dewan Komisaris atau calon
anggota Direksi telah menyandang status tersangka atau
tergugat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “telah selesai menjalani proses
hukum” adalah apabila yang bersangkutan telah
mendapatkan, antara lain:
1. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3); atau
2. Putusan ...
- 25 -
2. Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan tidak bersalah.
Yang dimaksud dengan “telah selesai menjalani uji
kemampuan dan kepatutan pada suatu Bank” adalah
apabila yang bersangkutan telah mendapatkan hasil akhir
uji kemampuan dan kepatutan dengan predikat Lulus.
Pasal 34
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Lulus” adalah calon anggota Dewan
Komisaris atau calon anggota Direksi yang dinyatakan
memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota Dewan
Komisaris atau anggota Direksi BPR dimaksud.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Tidak Lulus” adalah calon anggota
Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi dinyatakan
tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota Dewan
Komisaris atau anggota Direksi BPR dimaksud.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
...
- 26 -
Ayat (3)
Huruf a
“Persetujuan” diberikan dalam hal calon yang
diajukan memperoleh predikat Lulus dalam uji
kemampuan dan kepatutan, dan “penolakan”
diberikan dalam hal calon yang diajukan memperoleh
predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan
kepatutan.
Pemberitahuan kepada PSP dimaksudkan agar PSP
segera memastikan calon anggota Dewan Komisaris
atau calon anggota Direksi yang Tidak Lulus tidak
melakukan tindakan atau fungsi selaku anggota
Dewan Komisaris atau anggota Direksi
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
...
- 27 -
Ayat (2)
Penetapan sanksi Tidak Lulus pada ayat ini dilakukan
secara langsung tanpa mengikuti langkah-langkah penilaian
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (2).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penetapan sanksi Tidak Lulus pada ayat ini dilakukan
secara langsung tanpa mengikuti langkah-langkah penilaian
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (2).
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 38
Huruf a
Angka 1)
Yang dimaksud dengan “pegawai” adalah setiap orang
yang tercatat dalam administrasi kepegawaian BPR,
pegawai ...
- 28 -
pegawai honorer dan/atau pegawai outsourcing (alih
daya) yang bekerja pada BPR bersangkutan.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan “merugikan atau mengurangi
keuntungan BPR” adalah merugikan atau mengurangi
keuntungan dalam bentuk keuangan.
Angka 3)
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “menyebabkan BPR mengalami
kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya”
antara lain:
1) memanfaatkan BPR untuk membiayai kepentingan
sendiri atau kelompok usahanya; dan/atau
2) melanggar ketentuan dan/atau komitmen kepada Bank
Indonesia,
yang menyebabkan BPR ditempatkan dalam pengawasan
khusus, diambilalih LPS dan/atau dicabut ijin usahanya.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e ...
- 29 -
Huruf e
Yang dimaksud dengan “kredit dan/atau pembiayaan
macet” adalah:
1) kredit dan/atau pembiayaan macet yang tercantum
dalam Sistem Informasi Debitur; dan/atau
2) kredit dan/atau pembiayaan macet yang belum
dilaporkan oleh bank dalam Sistem Informasi Debitur,
namun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
Bank Indonesia, kredit dan/atau pembiayaan tersebut
telah memenuhi kriteria yang tergolong macet sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kualitas aktiva.
Dalam pengertian memiliki kredit dan/atau pembiayaan
macet adalah apabila anggota PSP:
a. mempunyai kredit dan/atau pembiayaan macet;
dan/atau
b. merupakan pengendali, anggota dewan komisaris, atau
anggota direksi dari badan hukum yang mempunyai
kredit dan/atau pembiayaan macet.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h ...
- 30 -
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 39
Huruf a
Termasuk perbuatan tidak langsung pada huruf ini adalah
perbuatan/tindakan yang tidak dilakukan oleh anggota
Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif
namun menjadi tugas dan/atau tanggung jawabnya.
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan “merugikan atau mengurangi
keuntungan BPR” adalah merugikan atau mengurangi
keuntungan dalam bentuk keuangan.
Angka 3)
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “menyebabkan BPR mengalami
kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya”,
antara lain adalah:
1) memanfaatkan ...
- 31 -
1) memanfaatkan BPR untuk membiayai kepentingan
sendiri atau kelompok usahanya; dan/atau
2) melanggar ketentuan dan/atau komitmen kepada Bank
Indonesia,
yang menyebabkan BPR ditempatkan dalam pengawasan
khusus, diambilalih Lembaga Penjamin Simpanan,
dibekukan kegiatan usahanya dan/atau dicabut izin
usahanya.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “kredit dan/atau pembiayaan
macet” adalah:
1) kredit dan/atau pembiayaan macet yang tercantum
dalam Sistem Informasi Debitur; dan/atau
2) kredit dan/atau pembiayaan macet yang belum
dilaporkan oleh bank dalam Sistem Informasi Debitur,
namun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
Bank Indonesia, kredit dan/atau pembiayaan tersebut
telah memenuhi kriteria yang tergolong macet sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kualitas aktiva.
Dalam ...
- 32 -
Dalam pengertian memiliki kredit dan/atau pembiayaan
macet adalah apabila anggota Dewan Komisaris atau
anggota Direksi:
a. mempunyai kredit dan/atau pembiayaan macet;
dan/atau
b. merupakan pengendali, anggota dewan komisaris, atau
anggota direksi dari badan hukum yang mempunyai
kredit dan/atau pembiayaan macet.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “kemampuan untuk melakukan
pengelolaan strategis” antara lain kemampuan untuk
mengantisipasi perkembangan perekonomian, kemampuan
menggali potensi daerah dan perbankan,
menginterpretasikan visi, misi BPR dan analisa situasi
industri perbankan.
Penilaian didasarkan pada tugas dan tanggung jawab dari
setiap anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi, sesuai
uraian tugas yang ada pada BPR yang bersangkutan.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 40 ...
- 33 -
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pelaksanaan klarifikasi dengan pihak yang diuji
dilakukan dapat melalui tatap muka yang dilengkapi
dengan berita acara dan/atau melalui surat.
Huruf b
Hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan yang
disampaikan kepada pihak–pihak yang diuji dengan
memuat predikat hasil sementara uji kemampuan dan
kepatutan beserta dasar pertimbangan.
Huruf c
Penyampaian tanggapan dari pihak-pihak yang diuji
dilakukan secara tertulis disertai dengan bukti-bukti
pendukung yang relevan.
Huruf d
Hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan
disampaikan secara tertulis, dengan memuat predikat
hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan beserta
dasar pertimbangan.
Ayat (3) ...
- 34 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud satu kesatuan dan berlaku bagi PSP dan
pihak-pihak yang melakukan Pengendalian adalah apabila
PSP diberikan predikat Tidak Lulus, maka keseluruhan
pihak-pihak yang melakukan Pengendalian yang terkait
dengan PSP juga diberikan predikat Tidak Lulus.
Ketentuan ...
- 35 -
Ketentuan ini dimaksudkan agar masing-masing anggota
PSP dapat bertindak independen terhadap anggota yang lain
dalam kelompok PSP.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tingkat keterlibatan pihak yang diuji didasarkan atas
peranan pihak yang bersangkutan terhadap tindakan
pelanggaran yang dilakukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Huruf a
Pemberitahuan kepada BPR terkait tindaklanjut yang harus
dilakukan, antara lain kewajiban penyelenggaraan RUPS
untuk memberhentikan anggota Dewan Komisaris atau
anggota Direksi yang diberikan predikat Tidak Lulus.
Dalam hal pihak yang diuji adalah anggota Dewan
Komisaris atau anggota Direksi, pemberitahuan
disampaikan kepada PSP agar PSP segera memastikan
anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi yang Tidak
Lulus ...
- 36 -
Lulus tidak melakukan tindakan atau fungsi selaku anggota
Dewan Komisaris atau anggota Direksi.
Dalam hal pihak yang diuji adalah PSP, pemberitahuan
disampaikan kepada PSP lain.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku pada ayat
ini adalah ketentuan yang mengatur mengenai konsekuensi
terhadap pihak-pihak yang ditetapkan predikat Tidak Lulus
dan yang bersangkutan telah menjadi PSP atau memiliki
saham pada industri perbankan, anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi dan/atau Pejabat Eksekutif pada Bank lain
sesuai ketentuan Uji Kemampuan dan Kepatutan yang
berlaku bagi BPR, Bank Umum dan/atau bank syariah.
Pasal 46 ...
- 37 -
Pasal 46
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1)
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf ii
Yang dimaksud dengan kumulatif
pada huruf ini adalah gabungan
paling kurang dari 2 (dua)
perbuatan Pasal 38 huruf a angka
3), huruf d, huruf e, huruf g
dan/atau huruf h.
Huruf iii
Cukup jelas.
Angka 2)
...
- 38 -
Angka 2)
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Huruf i)
Cukup jelas.
Huruf ii)
Yang dimaksud dengan kumulatif
pada huruf ini adalah gabungan
paling kurang dari 2 (dua)
perbuatan Pasal 39 huruf a angka
3), huruf d, huruf e, huruf g
dan/atau huruf h.
Huruf iii)
Cukup jelas.
Huruf c)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47 ...
- 39 -
Pasal 47
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “menjalankan hak selaku
pemegang saham” antara lain hak untuk hadir
dan/atau memberikan suara dalam RUPS.
Huruf c
Pengaturan mengenai penundaan pembayaran dividen
mengacu pada ketentuan yang berlaku.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penjelasan pihak-pihak yang
dilarang menjadi PSP” adalah informasi mengenai:
a. predikat yang bersangkutan;
b. yang ...
- 40 -
b. yang bersangkutan tidak dapat menjalankan hak
selaku pemegang saham dan saham tersebut tidak
diperhitungkan dalam kuorum RUPS; dan
c. penundaan hak menerima pembayaran dividen sampai
dengan yang bersangkutan mengalihkan kepemilikan
sahamnya.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Huruf a
Penetapan sanksi Tidak Lulus pada huruf ini dilakukan
secara langsung tanpa mengikuti langkah-langkah penilaian
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (2).
Huruf b
Surat kuasa menjual paling kurang memuat klausula
memberikan kuasa kepada penerima kuasa untuk menjual
atau mengalihkan saham kepada pihak lain.
Bank ...
- 41 -
Bank Indonesia dapat meminta PSP mengganti penerima
surat kuasa menjual yang ditunjuk PSP, jika dalam
pelaksanaannya Bank Indonesia menilai penerima kuasa:
- tidak menunjukan upaya riil atau perkembangan dalam
melakukan penjualan atau pengalihan saham; atau
- tidak mampu melaksanakan penjualan atau pengalihan
saham sesuai dengan jangka waktu yang telah
direncanakan.
Yang dimaksud dengan penilai independen adalah penilai
yang:
- melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik
profesi dan ketentuan yang ditetapkan oleh institusi yang
berwenang,
- menggunakan metode penilaian berdasarkan standar
profesi penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang
berwenang, dan
- memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang.
Huruf c
Persetujuan Bank Indonesia mencakup pemenuhan
persyaratan pihak penerima surat kuasa menjual dan
penilai independen.
Pasal 52 ...
- 42 -
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penetapan sanksi Tidak Lulus pada ayat ini dilakukan
secara langsung tanpa mengikuti langkah-langkah penilaian
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (2).
Ayat (5)
Penetapan sanksi Tidak Lulus pada ayat ini dilakukan
secara langsung tanpa mengikuti langkah-langkah penilaian
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (2).
Ayat (6)
Penetapan sanksi Tidak Lulus pada ayat ini dilakukan
secara langsung tanpa mengikuti langkah-langkah penilaian
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (2).
Ayat (7)
...
- 43 -
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penggantian pihak-pihak yang melakukan Pengendalian
terhadap badan hukum dimaksud harus dibuktikan dengan
dokumen yang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58 ...
- 44 -
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemberitahuan kepada BPR dilakukan apabila hasil akhir
uji kemampuan dan kepatutan tersebut memerlukan tindak
lanjut, yaitu antara lain pengalihan saham oleh pihak-pihak
yang sudah tidak menjadi PSP yang diberikan predikat
Tidak Lulus.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku pada ayat
ini adalah ketentuan yang mengatur mengenai konsekuensi
terhadap ...
- 45 -
terhadap pihak-pihak yang ditetapkan predikat Tidak Lulus
dan yang bersangkutan telah menjadi PSP atau memiliki
saham pada industri perbankan, anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi dan/atau Pejabat Eksekutif pada Bank lain
sesuai ketentuan Uji Kemampuan dan Kepatutan yang
berlaku bagi BPR, Bank Umum dan/atau bank syariah.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemenuhan 1 (satu) anggota Dewan
Komisaris dan/atau 1 (satu) anggota Direksi pertama kali
sejak BPR dalam penyelamatan/penanganan oleh LPS
adalah proses pemenuhan 1 (satu) anggota Dewan
Komisaris dan/atau 1 (satu) anggota Direksi pada saat BPR
mengalami kekosongan anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi.
Dokumen identitas terdiri dari pasfoto, Kartu Tanda
Penduduk dan riwayat hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
...
- 46 -
Ayat (3)
Dengan diberikannya persetujuan sementara maka pihak
yang diuji berwenang menjalankan tugas dan fungsinya
sebagai anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota
Direksi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan melakukan tindakan sebagai
anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi pada
ayat ini adalah bertindak mewakili BPR dalam
membuat
...
- 47 -
membuat keputusan yang secara hukum mengikat
BPR dan/atau mengambil keputusan yang penting
yang mempengaruhi kondisi keuangan BPR.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bank Indonesia tidak bertanggung jawab terhadap
penyalahgunaan data yang telah diberikan kepada anggota
Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi dan pihak-
pihak lain yang berkepentingan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19, Pasal 35, Pasal 44, Pasal 60, Pasal 64, dan
Pasal 67.
Pasal 72 ...
- 48 -
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal pihak pengendali berbentuk badan hukum maka
pihak yang diuji adalah badan hukum dan pengurus badan
hukum tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 73
Yang dimaksud dengan “menghambat pelaksanaan pengawasan
BPR” antara lain apabila Bank Indonesia mengalami atau melihat
potensi adanya kesulitan untuk mengakses data dan informasi
termasuk informasi sumber keuangan pengendali BPR.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan
kewajiban membayar, tidak menghilangkan kewajiban BPR
untuk menyampaikan laporan.
Huruf a ...
- 49 -
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 76
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan konsekuensi pada huruf ini adalah
tindaklanjut yang harus dilakukan sebagaimana dimaksud
Bagian Keempat Bab IV sebagai konsekuensi pihak yang
diberikan predikat Tidak Lulus.
Pasal 77 ...
- 50 -
Pasal 77
Huruf a
Yang dimaksud dengan konsekuensi pada huruf ini adalah
tindaklanjut yang harus dilakukan sebagaimana dimaksud
Bagian Keempat Bab IV sebagai konsekuensi bagi pihak
yang diberikan predikat Tidak Lulus.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5331
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/9/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 26 Juli 2012 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2012 </effective_date>
<issued_date> 26 Juli 2012 </issued_date>
<replaced_reg> '6/23/PBI/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV Pasal 45 Ayat 3', 'BAB VIII', 'BAB V Pasal 61 Ayat 2' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/6/PBI/2014
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/21/PBI/2009 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN
UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 2.000 (DUA RIBU)
TAHUN EMISI 2009
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang Rupiah
ditujukan untuk menyediakan uang tunai di
masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah (legal
tender) di Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. bahwa terhadap uang kertas Rupiah pecahan 2.000
(dua ribu) tahun emisi 2009 perlu dilakukan perubahan
penandatangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan
perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/21/PBI/2009 tentang Pengeluaran dan
Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 2.000 (Dua
Ribu) Tahun Emisi 2009;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun . . .
-2-
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 11/21/PBI/2009
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS
RUPIAH PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2009.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/21/PBI/2009 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas
Rupiah Pecahan 2.000 (Dua Ribu) Tahun Emisi 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 98) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/25/PBI/2010 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 158) diubah sebagai
berikut:
1. Ketentuan Pasal 4A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
Ciri uang Rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Desember tahun
2010 sampai dengan bulan Desember tahun 2013 adalah:
a. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna
dominan abu-abu;
b. Gambar . . .
TENTANG
-3-
b. Gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran
Antasari dan di bawahnya dicantumkan tulisan
“PANGERAN ANTASARI”;
b) pada sebelah kiri gambar utama dan di tepi kiri dan kanan
bagian tengah terdapat gambar ornamen daerah
Kalimantan, serta pada bagian tepi kanan atas dan bawah
terdapat garis melengkung berwarna kuning yang akan
memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet;
c) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah
horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di
bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “DUA RIBU
RUPIAH”;
d) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah
horizontal dan pada sebelah kanan tanda air dengan arah
vertikal, terdapat angka nominal “2000”;
e) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal
“2000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank
Indonesia secara utuh;
f) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah gambar saling isi
(rectoverso) terdapat kode tuna netra (blind code) yang
berbentuk sebuah kotak persegi panjang berwarna cokelat
yang terasa kasar apabila diraba;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan ”BI” dalam bingkai
persegi panjang berbentuk ornamen daerah Kalimantan
yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu;
h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu
Garuda Pancasila;
i) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka
tahun pencetakan “2010” (angka 2010 akan berubah sesuai
dengan . . .
-4-
dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN
GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia
beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi
Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI
GUBERNUR”;
j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-
garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis
melengkung yang membentuk ornamen daerah Kalimantan;
k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan
bantuan kaca pembesar terdapat:
1) pada sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka
nominal “2000” berupa tulisan ”BANKINDONESIA”;
2) pada sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa
tulisan ”BANKINDONESIA” membentuk ornamen daerah
Kalimantan;
3) di tepi ornamen daerah Kalimantan berupa tulisan
”DUARIBURUPIAH” dalam bentuk melingkar;
4) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan
”BANKINDONESIA” yang tersusun horizontal;
l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca
tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di
bawah tanda air berupa tulisan ”BANKINDONESIA” yang
berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda;
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Tarian Adat Dayak,
Kalimantan dan pada sebelah kanannya dicantumkan
tulisan “TARIAN ADAT DAYAK”;
b) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan
“BANK INDONESIA”;
c) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN
YANG SAH DENGAN NILAI DUA RIBU RUPIAH”;
d) pada . . .
-5-
d) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan
pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka
nominal “2000”;
e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam)
angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak
dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di
bawah sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di
bawah tulisan “BANKINDONESIA” dicetak dengan tinta
berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah
sinar ultra violet;
f) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat
gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke
arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
g) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal
“2000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI
IMP” dan angka tahun pengeluaran “2009”;
h) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan
bantuan kaca pembesar terdapat:
1) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan
“BANKINDONESIA” yang tersusun horizontal;
2) di tepi kanan gambar utama berupa tulisan
“BANKINDONESIA” yang membentuk garis vertikal;
3) pada sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi
angka nominal “2000” berupa tulisan
”BANKINDONESIA”;
i) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca
tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di
bawah tanda air berupa tulisan ”BANKINDONESIA” yang
berbentuk garis melengkung dengan ukuran teks yang
berbeda;
c. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 141 mm dan lebar 65 mm;
3. warna . . .
-6-
3. warna abu-abu;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran
Antasari;
6. benang pengaman tertanam dan memuat tulisan “BI 2000”
berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong sebagian.
2. Di antara Pasal 4A dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal
4B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4B
Ciri uang Rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Januari tahun
2014 adalah:
a. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna
dominan abu-abu;
b. Gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran
Antasari dan di bawahnya dicantumkan tulisan
“PANGERAN ANTASARI”;
b) pada sebelah kiri gambar utama dan di tepi kiri dan kanan
bagian tengah terdapat gambar ornamen daerah
Kalimantan, serta pada bagian tepi kanan atas dan bawah
terdapat garis melengkung berwarna kuning yang akan
memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet;
c) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah
horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di
bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “DUA RIBU
RUPIAH”;
d) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah
horizontal dan pada sebelah kanan tanda air dengan arah
vertikal, terdapat angka nominal “2000”;
e) pada . . .
-7-
e) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal
“2000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank
Indonesia secara utuh;
f) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah gambar saling isi
(rectoverso) terdapat kode tuna netra (blind code) yang
berbentuk sebuah kotak persegi panjang berwarna cokelat
yang terasa kasar apabila diraba;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan ”BI” dalam bingkai
persegi panjang berbentuk ornamen daerah Kalimantan
yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu;
h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu
Garuda Pancasila;
i) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka
tahun pencetakan “2014” (angka 2014 akan berubah sesuai
dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN
GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia
beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI
GUBERNUR SENIOR”;
j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-
garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis
melengkung yang membentuk ornamen daerah Kalimantan;
k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan
bantuan kaca pembesar terdapat:
1) pada sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka
nominal “2000” berupa tulisan ”BANKINDONESIA”;
2) pada sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa
tulisan ”BANKINDONESIA” membentuk ornamen daerah
Kalimantan;
3) di tepi ornamen daerah Kalimantan berupa tulisan
”DUARIBURUPIAH” dalam bentuk melingkar;
4) di tepi . . .
-8-
4) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan
”BANKINDONESIA” yang tersusun horizontal;
l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca
tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di
bawah tanda air berupa tulisan ”BANKINDONESIA” yang
berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda;
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Tarian Adat Dayak,
Kalimantan dan pada sebelah kanannya dicantumkan
tulisan “TARIAN ADAT DAYAK”;
b) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan
“BANK INDONESIA”;
c) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN
YANG SAH DENGAN NILAI DUA RIBU RUPIAH”;
d) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan
pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka
nominal “2000”;
e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam)
angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak
dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di
bawah sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di
bawah tulisan “BANKINDONESIA” dicetak dengan tinta
berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah
sinar ultra violet;
f) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat
gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke
arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
g) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal
“2000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI
IMP” dan angka tahun pengeluaran “2009”;
h) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan
bantuan kaca pembesar terdapat:
1) di tepi . . .
-9-
1) di tepi kiri dan kanan bagian tengah berupa tulisan
“BANKINDONESIA” yang tersusun horizontal;
2) di tepi kanan gambar utama berupa tulisan
“BANKINDONESIA” yang membentuk garis vertikal;
3) pada sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi
angka nominal “2000” berupa tulisan
”BANKINDONESIA”;
i) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca
tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di
bawah tanda air berupa tulisan ”BANKINDONESIA” yang
berbentuk garis melengkung dengan ukuran teks yang
berbeda;
c. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 141 mm dan lebar 65 mm;
3. warna abu-abu;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran
Antasari;
6. benang pengaman tertanam dan memuat tulisan “BI 2000”
berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong sebagian.
Pasal II
1. Uang Rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih
tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
2. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
-10-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Maret 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Maret 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 55
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/6/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/21/PBI/2009 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2009 </reg_title>
<set_date> 18 Maret 2014 </set_date>
<effective_date> 18 Maret 2014 </effective_date>
<issued_date> 18 Maret 2014 </issued_date>
<changed_reg> '11/21/PBI/2009' </changed_reg>
<extension_of> '12/25/PBI/2010' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/10/PBI/2018
TENTANG
TRANSAKSI DOMESTIC NON-DELIVERABLE FORWARD
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah;
b. bahwa dalam mencapai kestabilan nilai rupiah
diperlukan pasar valuta asing domestik yang likuid dan
efisien untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional;
c. bahwa untuk meningkatkan likuiditas dan efisiensi di
pasar valuta asing domestik serta untuk memitigasi risiko
nilai tukar rupiah, diperlukan pengayaan instrumen
lindung nilai di pasar valuta asing domestik, dengan tetap
memerhatikan prinsip kehati-hatian;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI
DOMESTIC NON-DELIVERABLE FORWARD.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward yang
selanjutnya disebut Transaksi DNDF adalah transaksi
derivatif valuta asing terhadap rupiah yang standar (plain
vanilla) berupa transaksi forward dengan mekanisme
fixing yang dilakukan di pasar domestik.
2. Transaksi Forward adalah transaksi jual atau beli valuta
asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan
dalam waktu lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal
transaksi.
3. Mekanisme Fixing adalah mekanisme penyelesaian
transaksi tanpa pergerakan dana pokok dengan cara
- 3 -
menghitung selisih antara kurs Transaksi Forward dan
kurs acuan pada tanggal tertentu yang telah ditetapkan di
dalam kontrak (fixing date).
4. Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah adalah transaksi
valuta asing terhadap rupiah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah, yang
terdiri atas transaksi spot dan transaksi derivatif valuta
asing terhadap rupiah.
5. Transaksi Spot adalah transaksi spot sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap
rupiah.
6. Transaksi Derivatif Valuta Asing terhadap Rupiah adalah
transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap
rupiah.
7. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
serta bank umum syariah dan unit usaha syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
namun tidak termasuk kantor bank umum dan bank
umum syariah berbadan hukum Indonesia yang
beroperasi di luar negeri.
8. Nasabah adalah nasabah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
transaksi valuta asing terhadap rupiah.
9. Pihak Asing adalah pihak asing sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah.
- 4 -
10. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari
pembelian atau penjualan valuta asing terhadap rupiah.
11. Transfer Rupiah adalah pemindahan sejumlah dana
rupiah yang ditujukan kepada penerima dana untuk
kepentingan Bank ataupun nasabah Bank, baik melalui
setoran tunai maupun pemindahbukuan antarrekening
pada Bank yang sama atau Bank yang berbeda, yang
menyebabkan bertambahnya saldo rekening rupiah
penerima dana.
BAB II
TRANSAKSI DNDF
Pasal 2
(1) Bank dapat melakukan Transaksi DNDF untuk:
a. kepentingan sendiri; dan/atau
b. kepentingan Nasabah dan/atau kepentingan Pihak
Asing.
(2) Transaksi DNDF sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan atas dasar suatu kontrak.
(3) Transaksi DNDF untuk kepentingan sendiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi transaksi antara:
a. Bank dengan Nasabah;
b. Bank dengan Pihak Asing; dan
c. Bank dengan Bank.
(4) Transaksi DNDF sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dan ayat (3) huruf a dan huruf b hanya dapat
dilakukan untuk lindung nilai atas risiko nilai tukar
rupiah.
(5) Dalam melakukan Transaksi DNDF, Bank:
a. wajib memenuhi ketentuan otoritas perbankan yang
mengatur mengenai kategori bank yang dapat
melakukan kegiatan transaksi valuta asing;
b. wajib menerapkan manajemen risiko sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang
mengatur mengenai penerapan manajemen risiko
bank;
- 5 -
c. wajib memberikan edukasi kepada Nasabah dan
Pihak Asing tentang pelaksanaan kegiatan Transaksi
DNDF;
d. wajib menerapkan prinsip perlindungan konsumen
sesuai dengan ketentuan otoritas yang berwenang;
e. memerhatikan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai kewajiban penggunaan rupiah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
f. memerhatikan ketentuan otoritas negara lain yang
mengatur mengenai kebijakan internasionalisasi
mata uang negara tersebut.
Pasal 3
(1) Transaksi DNDF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf b dan Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b
wajib memiliki Underlying Transaksi.
(2) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi seluruh kegiatan:
a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar
negeri;
b. investasi berupa direct investment, portfolio
investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di
dalam dan di luar negeri; dan/atau
c. pemberian kredit atau pembiayaan Bank dalam
valuta asing untuk kegiatan perdagangan dan
investasi, khusus untuk transaksi antara Bank
dengan Nasabah.
(3) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak termasuk:
a. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia;
b. penempatan dana;
c.
fasilitas pemberian kredit atau pembiayaan Bank
yang belum ditarik;
d. dokumen penjualan valuta asing terhadap rupiah;
e. kegiatan pengiriman uang oleh perusahaan transfer
dana;
f.
kredit antarnasabah (intercompany loan); dan
- 6 -
g. kegiatan usaha perdagangan valuta asing.
Pasal 4
Transaksi DNDF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
wajib dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dilakukan berdasarkan Underlying Transaksi untuk
Transaksi DNDF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1);
b. nominal Transaksi DNDF tidak melebihi nominal
Underlying Transaksi; dan
c. jangka waktu Transaksi DNDF tidak melebihi jangka
waktu Underlying Transaksi.
Pasal 5
Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan dalam
valuta asing dan/atau dalam rupiah kepada Nasabah dan/atau
Pihak Asing untuk kepentingan Transaksi DNDF.
Pasal 6
(1) Penyelesaian Transaksi DNDF dilakukan dengan
Mekanisme Fixing.
(2) Mekanisme Fixing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan menggunakan kurs acuan berupa kurs
Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) untuk mata
uang dolar Amerika Serikat terhadap rupiah pada tanggal
tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date).
(3) Dalam hal Transaksi DNDF menggunakan mata uang
selain dolar Amerika Serikat terhadap rupiah maka kurs
acuan sebagaimana pada ayat (2) menggunakan kurs
tengah transaksi Bank Indonesia.
(4) Penyelesaian Transaksi DNDF dilakukan dalam mata uang
rupiah.
(5) Transaksi DNDF tidak dapat dilakukan perpanjangan
transaksi (roll over) dan percepatan penyelesaian transaksi
(early termination).
- 7 -
Pasal 7
(1) Bank dapat melakukan Transaksi DNDF dengan bank di
luar negeri untuk cover hedging Bank.
(2) Cover hedging sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didukung dengan Underlying Transaksi berupa Transaksi
DNDF antara Bank dengan Nasabah dan/atau Pihak Asing
untuk tujuan lindung nilai.
Pasal 8
(1) Bank dilarang melakukan transaksi non-deliverable
forward valuta asing terhadap rupiah di luar negeri.
(2) Bank dilarang melakukan Transaksi DNDF menggunakan
mata uang negara tertentu yang memiliki kerja sama
antarbank sentral dengan Bank Indonesia terkait
penyelesaian transaksi perdagangan bilateral dengan
menggunakan mata uang lokal.
BAB III
TRANSFER RUPIAH KEPADA PIHAK ASING
Pasal 9
(1) Bank dilarang melakukan Transfer Rupiah ke luar negeri,
termasuk dana rupiah yang berasal dari penyelesaian
Transaksi DNDF.
(2) Dana rupiah yang berasal dari penyelesaian Transaksi
DNDF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
ditransfer ke luar negeri dalam bentuk valuta asing dengan
terlebih dahulu melakukan Transaksi Spot atau Transaksi
Forward.
(3) Transaksi Spot atau Transaksi Forward sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan
dokumen Underlying Transaksi berupa kontrak Transaksi
DNDF dan bukti transfer hasil penyelesaian Transaksi
DNDF.
- 8 -
Pasal 10
Bank dapat melakukan Transfer Rupiah untuk penyelesaian
Transaksi DNDF ke rekening Bank yang dimiliki Pihak Asing.
BAB IV
JENIS DOKUMEN UNDERLYING TRANSAKSI DAN
PENYAMPAIAN DOKUMEN
Pasal 11
(1) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1) dibuktikan dengan dokumen Underlying
Transaksi yang bersifat final dan dokumen pendukung.
(2) Jenis dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final
dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap
rupiah.
(3) Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang
diwajibkan menggunakan rupiah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kewajiban penggunaan rupiah di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat menjadi
dokumen Underlying Transaksi untuk Transaksi DNDF.
(4) Dokumen Underlying Transaksi DNDF yang sama tidak
boleh digunakan pada lebih dari 1 (satu) Bank dalam
seluruh sistem perbankan Indonesia pada waktu yang
bersamaan.
(5) Dokumen Underlying Transaksi yang sama dapat
digunakan beberapa kali untuk Transaksi DNDF dan/atau
Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah lainnya
sepanjang dokumen Underlying Transaksi belum jatuh
tempo dan tidak melebihi nominal Underlying Transaksi.
- 9 -
Pasal 12
(1) Dalam melakukan Transaksi DNDF, Bank wajib
memastikan Nasabah dan/atau Pihak Asing untuk
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi yang
bersifat final dan dokumen pendukung.
(2) Bank wajib memastikan kebenaran dan kewajaran
dokumen Underlying Transaksi yang disampaikan oleh
Nasabah dan/atau Pihak Asing.
(3) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final dan
dokumen pendukung wajib diterima oleh Bank paling
lambat 5 (lima) hari kerja setelah tanggal Transaksi DNDF.
(4) Dalam hal Transaksi DNDF sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) memiliki jatuh tempo kurang dari 5 (lima) hari
kerja setelah tanggal transaksi maka dokumen Underlying
Transaksi yang bersifat final dan dokumen pendukung
wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal jatuh
tempo.
(5) Tata cara penyampaian dokumen Underlying Transaksi
yang bersifat final dan dokumen pendukung mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
transaksi valuta asing terhadap rupiah.
Pasal 13
(1) Bank wajib menatausahakan dokumen Underlying
Transaksi dan dokumen pendukung yang disampaikan
oleh Nasabah dan/atau Pihak Asing.
(2) Jangka waktu untuk penatausahaan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai dokumen perusahaan.
- 10 -
BAB V
PELAPORAN TRANSAKSI
Pasal 14
(1) Bank wajib menyampaikan laporan Transaksi DNDF
melalui sistem pelaporan Bank Indonesia yaitu laporan
harian bank umum (LHBU).
(2) Mekanisme pelaporan Transaksi DNDF mengacu kepada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
LHBU.
BAB VI
PENGAWASAN
Pasal 15
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
Transaksi DNDF yang dilakukan oleh Bank.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat
berkoordinasi dengan otoritas lain yang berwenang.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(4) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan
atas nama Bank Indonesia melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b.
Pasal 16
(1) Dalam pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15, Bank wajib menyediakan dan
menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan
yang diperlukan oleh Bank Indonesia.
(2) Bank wajib bertanggung jawab atas kebenaran data,
informasi, dan/atau keterangan yang disampaikan kepada
Bank Indonesia.
- 11 -
BAB VII
SANKSI
Pasal 17
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (5) huruf a dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas
perbankan yang mengatur mengenai kategori bank yang
dapat melakukan kegiatan transaksi valuta asing.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (5) huruf b dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas
perbankan yang mengatur mengenai penerapan
manajemen risiko bank.
(3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (5) huruf d dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas yang
berwenang yang mengatur mengenai prinsip perlindungan
konsumen.
(4) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai LHBU.
Pasal 18
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (5) huruf c, Pasal 8 ayat (2), Pasal 12
ayat (2), Pasal 12 ayat (3), Pasal 12 ayat (4), Pasal 13 ayat
(1), Pasal 16 ayat (1), dan/atau Pasal 16 ayat (2) dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8 ayat (1),
Pasal 9 ayat (1), dan/atau Pasal 12 ayat (1) dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis dan sanksi
kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari total
nominal Transaksi DNDF untuk setiap pelanggaran,
dengan jumlah sanksi paling sedikit Rp10.000.000,00
- 12 -
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Perhitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menggunakan kurs JISDOR pada
tanggal terjadinya pelanggaran.
Pasal 19
(1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan cara mendebit rekening giro rupiah
Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi mengenai
pengenaan sanksi teguran tertulis dan/atau sanksi
kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1) dan ayat (2) kepada otoritas perbankan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 13 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 September 2018
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 September 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 170
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/10/PBI/2018
TENTANG
TRANSAKSI DOMESTIC NON-DELIVERABLE FORWARD
I. UMUM
Dalam melaksanakan tugas Bank Indonesia untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah, diperlukan upaya mempercepat
tercapainya pasar keuangan yang likuid dan efisien, yang dapat
mendukung kegiatan ekonomi nasional. Untuk mencapai pasar keuangan
yang likuid dan efisien diperlukan adanya upaya pengembangan pasar
valuta asing domestik yang dilakukan melalui pengayaan variasi
instrumen sehingga menjadi alternatif bagi pelaku pasar dalam melakukan
lindung nilai di pasar valuta asing domestik. Untuk meningkatkan variasi
instrumen lindung nilai bagi para pelaku pasar tersebut, perbankan
domestik dapat melakukan transaksi DNDF di pasar valuta asing domestik
untuk memberikan kemudahan kepada pelaku pasar berupa Nasabah dan
Pihak Asing dalam melakukan lindung nilai atas risiko nilai tukar rupiah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
-2-
Huruf b
Transaksi DNDF untuk kepentingan Nasabah dan/atau
kepentingan Pihak Asing dilakukan dalam hal Bank
bertransaksi atas nama Nasabah dan/atau Pihak Asing.
Contoh:
Nasabah A meminta kepada Bank B untuk mewakili Nasabah
A tersebut untuk melakukan Transaksi DNDF. Dalam hal ini
Bank B hanya merupakan perantara atas transaksi yang
dilakukan oleh Nasabah A.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kontrak” adalah:
a. konfirmasi tertulis berupa kontrak transaksi valuta asing
atau derivatif yang lazim digunakan oleh pelaku pasar
dan/atau diterbitkan oleh asosiasi terkait; dan/atau
b. konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi
yang antara lain berupa dealing conversation atau Society of
Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh 1:
Pada tanggal 20 Oktober 2018, Nasabah memiliki kewajiban
impor sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat)
yang akan jatuh tempo dalam 1 (satu) bulan yaitu pada tanggal
20 November 2018. Atas kewajiban tersebut, Nasabah melakukan
lindung nilai melalui Transaksi DNDF dengan nominal paling
banyak USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat)
dengan tenor paling lama 1 (satu) bulan.
Contoh 2:
Pihak Asing memiliki saham di Indonesia sebesar ekuivalen
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Atas aset
berupa saham tersebut, Pihak Asing melakukan lindung nilai
melalui Transaksi DNDF dengan nominal paling banyak ekuivalen
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) sepanjang
Pihak Asing memiliki saham dimaksud.
-3-
Contoh 3:
Nasabah Y yang melakukan investasi pada surat berharga dalam
USD dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat) dapat melakukan Transaksi DNDF jual paling
banyak USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) untuk
lindung nilai atas risiko nilai tukar rupiah.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai
penerapan manajemen risiko bank antara lain mengatur
bahwa Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara
efektif yang paling sedikit berupa:
1. pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi;
2. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit;
3. kecukupan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan dan pengendalian risiko, serta sistem
informasi manajemen risiko; dan
4. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Huruf c
Edukasi dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada
Nasabah dan Pihak Asing mengenai manfaat dan risiko
Transaksi DNDF di pasar domestik.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
-4-
Huruf b
Yang dimaksud dengan “investasi lainnya” antara lain
investasi dan/atau transaksi yang dilakukan untuk
pelaksanaan kebijakan pemerintah terkait perpajakan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kredit atau pembiayaan” adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga atau
imbalan, termasuk:
1. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening
giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir
hari;
2. pengambilalihan tagihan dalam kegiatan anjak piutang;
atau
3. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
Ayat (3)
Huruf a
Surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia antara
lain Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Berharga Bank
Indonesia dalam valuta asing.
Huruf b
Penempatan dana antara lain berupa tabungan, giro,
deposito, dan sertifikat deposito (negotiable certificate of
deposit).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kredit atau pembiayaan” adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga atau
-5-
imbalan, termasuk:
1. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening
giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir
hari;
2. pengambilalihan tagihan dalam kegiatan anjak piutang;
atau
3. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
Fasilitas pemberian kredit atau pembiayaan yang belum
ditarik antara lain berupa standby loan dan undisbursed
loan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Kredit antarnasabah (intercompany loan) antara lain berupa
pemberian kredit dalam satu grup perusahaan atau
antarperusahaan yang terafiliasi.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal nominal Underlying Transaksi lebih besar dari nominal
Transaksi DNDF maka Underlying Transaksi tersebut dapat
digunakan sebagai Underlying Transaksi untuk Transaksi DNDF
yang berbeda dan/atau Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah
lainnya, sepanjang tidak melebihi nominal Underlying Transaksi
pada saat Transaksi DNDF dan/atau Transaksi Valuta Asing
terhadap Rupiah lainnya dilakukan.
Huruf c
Cukup jelas.
-6-
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “kredit atau pembiayaan” adalah penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga atau
imbalan, termasuk:
1. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro
nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
2. pengambilalihan tagihan dalam kegiatan anjak piutang; atau
3. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kurs tengah transaksi Bank Indonesia”
adalah rata-rata antara kurs beli dan kurs jual sebagaimana
tercantum pada laman Bank Indonesia.
Contoh:
Investor N memiliki investasi di Australia dalam mata uang dolar
Australia (AUD) sebesar AUD1,000,000.00 (satu juta dolar
Australia). Atas investasi tersebut, investor N bermaksud untuk
melakukan lindung nilai dengan melakukan transaksi DNDF jual
AUD terhadap IDR sebesar AUD1,000,000.00 (satu juta dolar
Australia) selama 1 (satu) bulan dengan kurs AUD/IDR
Rp10.800,00 (sepuluh ribu delapan ratus rupiah). Pada tanggal
fixing, kurs beli dan kurs jual transaksi Bank Indonesia masing-
masing sebesar Rp10.700,00 (sepuluh ribu tujuh ratus rupiah)
dan Rp10.800,00 (sepuluh ribu delapan ratus rupiah), sehingga
kurs tengah transaksi Bank Indonesia adalah Rp10.750,00
(sepuluh ribu tujuh ratus lima puluh rupiah). Atas transaksi
DNDF, investor N menerima selisih kurs sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang berasal dari
perhitungan (Rp10.800,00-Rp10.750,00) x AUD1,000,000.00.
-7-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “cover hedging” adalah hedging atas
Transaksi DNDF yang dilakukan oleh Bank kepada bank di luar
negeri atas Transaksi DNDF yang dilakukan antara Bank dengan
Nasabah dan/atau Pihak Asing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Mata uang negara tertentu yang memiliki kerja sama antarbank
sentral dengan Bank Indonesia terkait penyelesaian transaksi
perdagangan bilateral menggunakan mata uang lokal untuk saat
ini yaitu mata uang ringgit Malaysia dan mata uang baht
Thailand.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Pihak Asing melakukan Transaksi DNDF sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan kurs
yang ditetapkan Rp14.000,00 (empat belas ribu rupiah). Pada
tanggal fixing, kurs acuan JISDOR sebesar Rp14.100,00 (empat
belas ribu seratus rupiah). Dengan demikian, Pihak Asing
menerima selisih kurs sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
-8-
rupiah). Dana rupiah yang berasal dari penyelesaian Transaksi
DNDF tersebut dapat ditransfer ke luar negeri dalam bentuk
valuta asing dengan melakukan Transaksi Spot atau Transaksi
Forward dengan menggunakan dokumen Underlying Transaksi
berupa kontrak Transaksi DNDF dan bukti transfer hasil
penyelesaian Transaksi DNDF.
Pasal 10
Contoh 1:
Pihak Asing melakukan Transaksi DNDF beli
sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan kurs yang
ditetapkan Rp14.000,00 (empat belas ribu rupiah). Pada tanggal fixing,
kurs acuan JISDOR sebesar Rp14.100,00 (empat belas ribu seratus
rupiah). Dengan demikian, Pihak Asing menerima selisih kurs sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Bank dapat melakukan
Transfer Rupiah ke rekening Bank yang dimiliki Pihak Asing atas dasar
penyelesaian Transaksi DNDF tersebut.
Contoh 2:
Pihak Asing melakukan Transaksi DNDF beli
sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan kurs yang
ditetapkan Rp14.000,00 (empat belas ribu rupiah). Pada tanggal fixing,
kurs acuan JISDOR sebesar Rp13.800,00 (tiga belas ribu delapan
ratus rupiah). Dengan demikian, Pihak Asing membayar selisih kurs
sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan harus
membayar kepada Bank. Pihak Asing melakukan penjualan USD
terhadap rupiah dengan melakukan Transaksi Spot ekuivalen sebesar
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Bank dapat melakukan
Transfer Rupiah ke rekening Bank yang dimiliki Pihak Asing atas dasar
penyelesaian Transaksi DNDF tersebut.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
-9-
Ayat (4)
Contoh:
Importir NS merupakan importir otomotif yang mempunyai
dokumen Underlying Transaksi berupa invoice pembelian spare
part otomotif senilai USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika
Serikat), yang akan dibayarkan oleh importir NS pada tanggal 20
Desember 2019. Pada tanggal 27 September 2019, importir NS
melakukan Transaksi DNDF beli kepada Bank A sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) yang jatuh
tempo pada tanggal 27 Oktober 2019. Kemudian pada tanggal 5
Oktober 2019, importir NS melakukan Transaksi DNDF sebesar
USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat) kepada Bank
B. Transaksi ini tidak boleh dilakukan karena transaksi
dilakukan dengan Bank yang berbeda dan pada waktu yang
bersamaan.
Ayat (5)
Dalam hal nominal Underlying Transaksi lebih besar dari nominal
Transaksi DNDF maka Underlying Transaksi tersebut dapat
digunakan sebagai Underlying Transaksi untuk Transaksi DNDF
yang berbeda dan/atau Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah
lainnya, sepanjang tidak melebihi nominal Underlying Transaksi
pada saat Transaksi DNDF dan/atau Transaksi Valuta Asing
terhadap Rupiah lainnya dilakukan.
Contoh Transaksi DNDF yang diikuti Transaksi Spot kemudian
diikuti lagi dengan Transaksi DNDF:
Pada tanggal 1 September 2019, importir N mempunyai dokumen
Underlying Transaksi berupa invoice dengan nominal sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) yang akan
jatuh tempo pada tanggal 2 November 2019. Pada tanggal 1
September 2019, importir N melakukan transaksi DNDF dengan
Bank B dengan nominal USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar
Amerika Serikat) dengan tanggal jatuh tempo 1 Oktober 2019.
Pada tanggal 2 Oktober 2019, importir N menggunakan dokumen
Underlying Transaksi yang sama untuk melakukan Transaksi
Spot sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika
Serikat). Kemudian pada tanggal 10 Oktober 2019 dengan
menggunakan kembali dokumen Underlying Transaksi yang
-10-
sama, importir N dapat melakukan Transaksi DNDF paling
banyak USD800,000.00 (delapan ratus ribu dolar Amerika
Serikat), dengan tanggal jatuh tempo paling lambat tanggal 2
November 2019.
Contoh Transaksi DNDF yang diikuti Transaksi Spot:
Pada tanggal 1 September 2019, importir NS memiliki invoice
dalam USD dengan nominal sebesar USD5,000,000.00 (lima juta
dolar Amerika Serikat) yang akan jatuh tempo pada tanggal 1
Oktober 2019. Pada tanggal 1 September 2019, importir NS
melakukan Transaksi DNDF sebesar USD5,000,000.00 (lima juta
dolar Amerika Serikat) dengan tanggal jatuh tempo 1 Oktober
2019. Sejak Transaksi DNDF tersebut jatuh tempo, importir NS
dapat melakukan Transaksi Spot beli sebesar USD5,000,000.00
(lima juta dolar Amerika Serikat) dengan menggunakan dokumen
Underlying Transaksi yang sama, sepanjang invoice masih
berlaku.
Contoh Transaksi DNDF yang diikuti Transaksi Forward dan
transaksi option:
Pada tanggal 1 Agustus 2019, importir B mempunyai dokumen
Underlying Transaksi berupa invoice dengan nominal sebesar
USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) yang akan
jatuh tempo pada tanggal 1 November 2019. Pada tanggal 1
September 2019, importir B melakukan Transaksi DNDF sebesar
USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) dengan
tanggal jatuh tempo 1 Oktober 2019. Setelah Transaksi DNDF
jatuh tempo, pada tanggal 2 Oktober 2019 importir B dapat
melakukan Transaksi Forward beli sebesar USD3,000,000.00
(tiga juta dolar Amerika Serikat) dan Transaksi beli call option
sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat)
dengan tanggal jatuh tempo paling lambat 1 November 2019.
Contoh Transaksi DNDF yang diikuti Transaksi DNDF:
Pada tanggal 1 September 2019, importir D mempunyai dokumen
Underlying Transaksi berupa invoice dengan nominal sebesar
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) yang akan
jatuh tempo pada tanggal 2 November 2019. Pada tanggal 1
September 2019, importir D melakukan Transaksi DNDF beli
dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
-11-
Amerika Serikat) dengan tanggal jatuh tempo 1 Oktober 2019.
Pada tanggal 15 September 2019, importir D dapat kembali
melakukan Transaksi DNDF paling banyak USD1,000,000.00
(satu juta dolar Amerika Serikat) dengan jangka waktu jatuh
tempo paling lambat tanggal 2 November 2019. Transaksi DNDF
yang kedua tersebut hanya dapat dilakukan pada Bank yang
sama karena Transaksi DNDF dilakukan pada waktu yang
bersamaan.
Contoh Transaksi Spot yang diikuti dengan Transaksi DNDF:
Nasabah PT. A merupakan importir otomotif yang mempunyai
dokumen Underlying Transaksi berupa invoice pembelian spare
part otomotif senilai USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika
Serikat), yang akan dibayarkan oleh PT A pada tanggal 20
Desember 2019. Pada tanggal 27 September 2019, PT. A
melakukan Transaksi Spot kepada Bank B sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat), kemudian
pada tanggal 5 Oktober 2019, PT. A dapat melakukan Transaksi
DNDF paling banyak USD4,000,000.00 (empat juta dolar Amerika
Serikat) kepada Bank B dengan jatuh tempo tanggal 18 Desember
2019. Transaksi ini dapat dilakukan karena Transaksi Spot dan
Transaksi DNDF dilakukan dengan menggunakan dokumen
Underlying Transaksi yang belum jatuh tempo, tidak melebihi
nominal Underlying Transaksi, dan dilakukan pada Bank yang
sama.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kriteria kebenaran paling sedikit berupa:
a. dokumen tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
b. dokumen dikeluarkan oleh perusahaan atau instansi yang
dapat dipastikan keberadaannya.
Kriteria kewajaran paling sedikit berupa:
a. dokumen telah sesuai dengan market practice;
-12-
b. transaksi yang dilakukan sesuai dengan dokumen
Underlying Transaksi; dan
c. transaksi yang dilakukan Nasabah dan/atau Pihak Asing
sesuai dengan data historis yang dimiliki oleh Bank
dan/atau sesuai dengan kebutuhan Nasabah dan/atau
Pihak Asing.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
-13-
Pasal 20
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6252
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 20/10/PBI/2018 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI DOMESTIC NON-DELIVERABLE FORWARD </reg_title>
<set_date> 21 September 2018 </set_date>
<effective_date> 27 September 2018 </effective_date>
<issued_date> 27 September 2018 </issued_date>
<related_reg> '24/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 11/ 30 /PBI/2009
TENTANG
FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung kelancaran sistem pembayaran di
Indonesia, Bank Indonesia telah mengimplementasikan
Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-
RTGS) dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
(SKNBI);
b. bahwa untuk menghindari terjadinya kemacetan pembayaran
(gridlock) dalam Sistem BI-RTGS, yang dapat
membahayakan stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia
perlu menyediakan fasilitas likuiditas intrahari kepada Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagai peserta
Sistem BI-RTGS;
c. bahwa untuk mengantisipasi kemungkinan kegagalan Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam memenuhi
kewajibannya sebagai peserta dalam SKNBI, Bank Indonesia
juga memandang perlu untuk menyediakan fasilitas
likuiditas intrahari khusus untuk penyelesaian akhir kliring
debet…
- 2 -
debet kepada Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
selain untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b;
d. bahwa dengan diterbitkannya Surat Berharga Syariah Negara
dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah maka Bank Indonesia
memperluas surat berharga yang dapat digunakan untuk
memperoleh fasilitas likuiditas intrahari berdasarkan prinsip
syariah;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d dipandang perlu
untuk mengatur kembali ketentuan mengenai Fasilitas
Likuiditas Intrahari Berdasarkan Prinsip Syariah dalam
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4852);
3. Undang…
- 3 -
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/18/PBI/2005 tentang
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 65, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4516);
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/2/PBI/2008 tentang
Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4809);
6. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/6/PBI/2008 tentang
Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4820);
7. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 tentang
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4835);
MEMUTUSKAN…
- 4 -
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS
LIKUIDITAS INTRAHARI BERDASARKAN PRINSIP
SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
2. Bank Umum Syariah adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Unit Usaha Syariah adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
4. Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement yang selanjutnya
disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement.
5. Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya
disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk
penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System.
6. Sistem…
- 5 -
6. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SKNBI
adalah suatu sistem kliring yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.
7. Kliring Debet adalah kegiatan dalam SKNBI untuk transfer debet
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.
8. Fasilitas Likuiditas Intrahari Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya
disebut FLIS adalah fasilitas pendanaan yang disediakan Bank Indonesia
kepada Bank dalam kedudukan sebagai peserta Sistem BI-RTGS dan
SKNBI, yang dilakukan dengan cara repurchase agreement (repo) surat
berharga yang harus diselesaikan pada hari yang sama dengan hari
penggunaan.
9. FLIS dalam rangka RTGS yang selanjutnya disebut FLIS-RTGS adalah FLIS
untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank yang terjadi selama jam
operasional Sistem BI-RTGS.
10. FLIS dalam rangka Kliring yang selanjutnya disebut FLIS-Kliring adalah
FLIS untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank yang terjadi pada saat
penyelesaian akhir atas hasil Kliring Debet.
11. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disebut SBIS adalah
surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam
mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
12. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disebut SBSN adalah surat
berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti
atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN dalam mata uang rupiah.
BAB II…
- 6 -
BAB II
PERSYARATAN DAN TATA CARA PERMOHONAN
Pasal 2
Bank dapat menggunakan FLIS baik dalam bentuk FLIS-RTGS maupun FLIS-
Kliring jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. memiliki surat berharga yang dapat direpokan kepada Bank Indonesia berupa
SBIS, SBSN dan/atau surat berharga syariah lainnya yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia;
b. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS; dan
c. berstatus aktif sebagai peserta BI-RTGS dan/atau tidak sedang dikenakan
sanksi penghentian sebagai peserta SKNBI.
Pasal 3
(1) Surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, harus bebas
dari sitaan, tidak sedang digadaikan, atau dipertanggungkan secara apapun
juga baik kepada orang atau pihak lain maupun kepada Bank Indonesia, serta
tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa.
(2) Surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, tidak dapat
diperjualbelikan dan/atau dijaminkan kembali oleh Bank.
Pasal 4
(1) Bank yang memerlukan FLIS harus mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan
dokumen-dokumen sebagai berikut :
a. perjanjian penggunaan FLIS;
b. fotokopi…
- 7 -
b. fotokopi anggaran dasar Bank atau kuasa (power of attorney) dari kantor
pusat Bank bagi cabang Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar
negeri yang telah dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Bank; dan
c. dokumen pendukung lainnya.
Pasal 5
Bank dapat memperoleh FLIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah
mendapat persetujuan dari Bank Indonesia dan menandatangani Perjanjian
Penggunaan FLIS.
Pasal 6
(1) Bank Indonesia berwenang untuk menolak permohonan FLIS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 yang tidak sesuai dengan ketentuan, persyaratan dan
tatacara yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Bank Indonesia berwenang untuk menghentikan penggunaan FLIS dalam hal
Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dan Pasal 3.
BAB III
PENGGUNAAN
Pasal 7
(1) Perhitungan nilai SBIS, SBSN dan/atau surat berharga syariah lainnya yang
dapat direpokan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(2) Nilai FLIS yang dapat digunakan Bank paling banyak sebesar nilai surat
berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8…
- 8 -
Pasal 8
(1) Pelaksanaan repo atas surat berharga dalam rangka penggunaan FLIS-RTGS
dan/atau FLIS-Kliring dilakukan melalui sarana BI-SSSS dengan cara
sebagai berikut :
a. Untuk FLIS-RTGS, Bank harus memindahkan surat berharga ke rekening
FLIS-RTGS pada sarana BI-SSSS selama jam operasional Sistem BI-
RTGS pada saat Bank menilai adanya kebutuhan FLIS untuk kelancaran
transaksi di Sistem BI-RTGS (self assessment); dan
b. Untuk FLIS-Kliring, Bank harus memindahkan surat berharga ke rekening
FLIS-Kliring pada sarana BI-SSSS dalam rangka penyediaan pendanaan
awal (prefund) sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.
(2) Surat berharga yang telah direpokan dalam rangka FLIS-Kliring
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan untuk FLIS-
RTGS.
Pasal 9
(1) Penggunaan FLIS-RTGS dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening
giro rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melakukan
transaksi keluar (outgoing transaction).
(2) Penggunaan FLIS-Kliring dilakukan secara otomatis pada saat saldo
rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk
memenuhi kewajiban Bank atas penyelesaian akhir Kliring Debet.
(3) Penggunaan FLIS-RTGS dan FLIS-Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dilakukan masing-masing berdasarkan kecukupan nilai surat
berharga untuk FLIS-RTGS dan FLIS-Kliring.
(4) Dalam…
- 9 -
(4) Dalam hal nilai surat berharga untuk FLIS-Kliring tidak cukup untuk
menutup kewajiban penyelesaian akhir Kliring Debet sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) maka nilai surat berharga untuk FLIS-RTGS yang tersedia
secara otomatis digunakan untuk menutup kewajiban penyelesaian akhir
Kliring Debet.
Pasal 10
Bank Indonesia dapat membatasi jenis-jenis transaksi yang diperkenankan untuk
menggunakan FLIS.
Pasal 11
Bank Indonesia dapat mengenakan biaya atas penggunaan FLIS dan/atau
mengenakan biaya lainnya yang terkait dengan penggunaan FLIS kepada Bank.
BAB IV
PENYELESAIAN
Pasal 12
(1) Penyelesaian FLIS dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS setiap
terdapat transaksi masuk (incoming transaction) yang mengkredit rekening
giro rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia sampai dengan batas
waktu penyelesaian FLIS.
(2) Bank harus menyelesaikan FLIS sampai batas waktu penyelesaian FLIS yang
ditetapkan Bank Indonesia.
(3) Dalam hal Bank tidak menyelesaikan nilai FLIS sampai dengan batas waktu
penyelesaian FLIS yang ditetapkan maka terhadap nilai FLIS yang tidak
dapat diselesaikan tersebut diberlakukan sebagai transaksi repo dengan Bank
Indonesia dengan jangka waktu 1 (satu) hari.
Pasal 13…
- 10 -
Pasal 13
(1) Bank dapat memindahkan kembali surat berharga yang dipergunakan untuk
memperoleh FLIS dari rekening FLIS ke rekening surat berharga Bank
dalam hal :
a. FLIS telah diselesaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; dan
b. surat berharga yang telah dipergunakan untuk FLIS-RTGS tidak sedang
digunakan untuk FLIS-Kliring.
(2) Pemindahan kembali surat berharga yang dipergunakan untuk memperoleh
FLIS-Kliring dari rekening FLIS-Kliring ke rekening surat berharga Bank
tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia.
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal l4
Dalam hal terjadi kegagalan Sistem BI-RTGS dan/atau BI-SSSS yang
mengakibatkan Bank tidak dapat menyelesaikan FLIS maka penyelesaian FLIS
dilakukan secara otomatis jika terdapat transaksi masuk (incoming transaction)
oleh Sistem BI-RTGS segera setelah sistem BI-RTGS dan atau BI-SSSS
berfungsi kembali.
Pasal 15
Bank yang pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini telah
menandatangani Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLIS harus mengganti
dengan Perjanjian Penggunaan FLIS sebagaimana diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
BAB VI…
- 11 -
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 17
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/24/PBI/2005 tanggal 3 Agustus 2005 tentang Fasilitas Likuiditas
Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 18
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar…
- 12 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Juli 2009
Pjs.GUBERNUR BANK INDONESIA,
MIRANDA S.GOELTOM
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Juli 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 108
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 11/ 30 /PBI/2009
TENTANG
FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
UMUM
Dalam kegiatan usaha, Bank dapat mengalami kesulitan pendanaan jangka
pendek yang disebabkan ketidaksesuaian antara arus dana yang masuk dan arus
dana yang keluar (mismatch). Dengan berlakunya penyelesaian transaksi melalui
Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dimana
transaksi pembayaran diselesaikan satu per satu secara seketika (real time), Bank
dapat mengalami kesulitan pendanaan dalam waktu yang sangat pendek.
Kesulitan pendanaan dimaksud disebabkan oleh ketidaksesuaian waktu dan/atau
nilai antara transaksi yang dikirim (outgoing transaction) dan transaksi yang
diterima (incoming transaction). Apabila kesulitan yang dialami oleh Bank atau
beberapa Bank tersebut tidak segera diatasi, dikhawatirkan dapat menyebabkan
kemacetan pembayaran (gridlock) yang dapat mengganggu kelancaran sistem
pembayaran yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakstabilan sistem
keuangan secara keseluruhan.
Untuk mengatasi timbulnya kemacetan pembayaran di atas maka Bank
Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan untuk jangka waktu yang sangat
pendek selama waktu operasional Sistem BI-RTGS dalam bentuk Fasilitas
Likuiditas Intrahari berdasarkan Prinsip Syariah (FLIS) yang wajib diselesaikan
oleh Bank pada akhir hari yang sama.
Selain…
- 2 -
Selain untuk mengatasi gridlock dalam Sistem BI-RTGS, penyediaan
FLIS juga diperlukan untuk mengatasi timbulnya kewajiban penyelesaian akhir
Kliring Debet yang ditanggung oleh Bank Indonesia sebagai penyelenggara
sistem kliring. Berkenaan dengan hal tersebut maka Bank Indonesia memandang
perlu untuk menerapkan suatu kebijakan yang mewajibkan peserta dalam Kliring
Debet untuk menyediakan pendanaan awal (prefund) dalam bentuk dana (cash)
dan atau surat berharga (collateral) pada setiap awal hari sebelum Kliring Debet
dimulai. Untuk melakukan pendanaan awal dalam bentuk surat berharga tersebut
maka mekanisme penyediaan, penggunaan dan penyelesaiannya akan diberikan
dalam bentuk FLIS khusus kliring sebagaimana FLIS untuk transaksi Sistem BI-
RTGS.
Pemberian FLIS ini sejalan dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia
untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Surat berharga yang dapat direpokan adalah yang dimiliki oleh
Bank pengguna FLIS dan tercatat dalam sarana BI-SSSS.
Surat berharga syariah lainnya yang dapat direpokan ditetapkan
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Huruf b…
- 3 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan berstatus aktif adalah sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Indonesia
- Scripless Securities Settlement System
Huruf c
Yang dimaksud dengan berstatus aktif adalah sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Indonesia
- Real Time Gross Settlement.
Kriteria pengenaan sanksi penghentian sebagai peserta SKNBI
tunduk pada Peraturan Bank Indonesia tentang Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Dalam hal UUS, yang dimaksud dengan anggaran dasar
adalah anggaran dasar bank umum konvensional dari UUS
yang bersangkutan.
Dalam hal Bank berbadan hukum perusahaan daerah, Bank
melampirkan peraturan daerah sebagai dasar pendirian bank.
Huruf c…
- 4 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan dokumen pendukung lainnya antara
lain adalah fotokopi identitas diri yang masih berlaku berupa
Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penggunaan FLIS-RTGS dilakukan secara
otomatis adalah FLIS-RTGS langsung diberikan kepada Bank pada
saat terdapat ketidakcukupan saldo rekening giro rupiah Bank di
Bank Indonesia untuk melakukan transaksi keluar (outgoing
transaction).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)…
- 5 -
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Besarnya biaya atas penggunaan FLIS dan biaya lainnya yang terkait
penggunaan FLIS ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 12
Ayat (1)
Dalam hal Bank masih menggunakan sebagian atau seluruh FLIS
yang disetujui Bank Indonesia maka Sistem BI-RTGS secara
otomatis menggunakan dana yang berasal dari transaksi masuk
(incoming transaction) untuk terlebih dahulu menyelesaikan FLIS.
Proses penggunaan dan penyelesaian FLIS berlangsung terus
sampai dengan batas akhir waktu penyelesaian FLIS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14…
- 6 -
Pasal 14
Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-RTGS adalah kegagalan
RTGS Central Computer (RCC) sehingga seluruh Bank Peserta BI-RTGS
dan/atau Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari terminal
RTGS (RT) ke RCC.
Gangguan pada salah satu atau beberapa RT dan/atau gangguan pada
jaringan RTGS yang mengakibatkan satu atau beberapa Bank Peserta BI-
RTGS tidak dapat mengirimkan transaksi ke RCC, tidak dianggap sebagai
kegagalan Sistem BI-RTGS.
Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-SSSS adalah kegagalan SSSS
Central Computer (SCC) pada sarana BI-SSSS sehingga seluruh Bank
dan/atau Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari SSSS
System Terminal (ST) ke SCC.
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Pokok-pokok ketentuan yang akan diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia meliputi antara lain :
1. Tata cara penyampaian permohonan FLIS, termasuk dokumen
pendukungnya;
2. Batas akhir waktu penggunaan dan penyelesaian FLIS;
3. Tata cara pemindahan surat berharga ke rekening FLIS-RTGS dan FLIS-
Kliring dan sebaliknya;
4. Mekanisme transaksi repo dengan Bank Indonesia dalam rangka FLIS;
dan
5. Tata…
- 7 -
5. Tata cara perhitungan dan pengenaan biaya atas penggunaan FLIS
dan/atau biaya lainnya terkait penggunaan FLIS;
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5034
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/30/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 7 Juli 2009 </set_date>
<effective_date> 7 Juli 2009 </effective_date>
<issued_date> 7 Juli 2009 </issued_date>
<replaced_reg> '7/24/PBI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '10/6/PBI/2008', '2/PERPPU/2008', '10/2/PBI/2008', '7/18/PBI/2005', '10/11/PBI/2008', '19/UU/2008' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/1/PBI/2001
TENTANG
PROYEK KREDIT MIKRO
GUBERNUR BANK INDONESIA
Menimbang
:
a. bahwa sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 23
Tahun 1999, pinjaman penerusan yang dananya berasal
dari luar negeri termasuk Proyek Kredit Mikro harus
dialihkan berdasarkan
kesepakatan dengan para pihak
yang terkait;
b. bahwa Asian Development Bank dan Pemerintah belum
mencapai kesepakatan mengenai waktu pengalihan
pengelolaan Proyek Kredit Mikro dari Bank Indonesia,
namun telah sepakat bahwa Bank Indonesia tetap
mengelola Proyek Kredit Mikro sampai akhir bulan Juni
2001;
c. bahwa berdasarkan Memorandum of Understanding
antara Asian Development Bank dan Pemerintah
Republik Indonesia tanggal 21 Desember 1998, terdapat
perubahan antara lain perluasan wilayah pelaksanaan
proyek dan perubahan suku bunga acuan;
d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
mengatur ketentuan tentang Proyek Kredit Mikro dalam
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat …..
-2-
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) Sebagaimana Telah
Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PROYEK KREDIT MIKRO.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Proyek Kredit Mikro, yang selanjutnya disebut PKM adalah proyek
pengembangan usaha mikro di perdesaan melalui penguatan Bank Perkreditan
Rakyat, Lembaga Dana dan Kredit Perdesaan dan
Lembaga
Pengembangan Swadaya Masyarakat serta penyaluran kredit kepada nasabah
pengusaha mikro, baik perorangan maupun yang tergabung dalam kelompok;
2. Usaha …..
-3-
2. Usaha Mikro adalah usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin atau mendekati
miskin yang mempunyai ciri-ciri:
a. Dimiliki oleh keluarga;
b. Mempergunakan teknologi sederhana;
c. Memanfaatkan sumber daya lokal; serta
d. Lapangan usahanya mudah dimasuki dan ditinggalkan.
3. Kelompok Pengusaha Mikro yang selanjutnya disebut KPM adalah
sekelompok pengusaha yang masing-masing atau secara bersama memiliki
usaha mikro dan beranggotakan minimal 8 (delapan) orang dan maksimal 10
(sepuluh) orang.
4. Unit Pelaksana Proyek, yang selanjutnya disebut UPP adalah Tim Penelitian
dan Pengembangan – Biro Kredit, Bank Indonesia;
5. Kantor Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut KBI adalah Kantor Bank
Indonesia yang melaksanakan PKM;
6. Bank Pembangunan Daerah, yang selanjutnya disebut BPD adalah Bank
Pembangunan Daerah peserta PKM;
7. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR adalah Bank
Perkreditan Rakyat peserta PKM, tidak termasuk Bank Perkreditan Rakyat
Syariah;
8. Bank Umum adalah bank umum tempat BPR membuka rekening giro atau
tabungan dalam rangka Proyek Kredit Mikro;
9. Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat yang selanjutnya disebut
LPSM adalah organisasi / lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 8
tahun 1990 tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat yang
memenuhi persyaratan sebagai peserta PKM;
10. Lembaga …..
-4-
10. Lembaga Dana dan Kredit Perdesaan yang selanjutnya disebut LDKP adalah
lembaga yang didirikan dan dimiliki oleh Pemerintah Daerah Propinsi dan /
atau Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota yang bergerak di bidang pelayanan
keuangan kepada masyarakat, yang telah menjadi peserta PKM sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini;
11. Suku bunga acuan adalah suku bunga yang merupakan dasar bagi penentuan
suku bunga kredit kepada peserta PKM yang dihitung atas dasar suku bunga
rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir dari Sertifikat Bank Indonesia
berjangka waktu 3 (tiga) bulan atau berdasarkan kesepakatan antara Bank
Indonesia,
Pemerintah c.q. Departemen Keuangan dan Asian Development
Bank (ADB);
BAB II
TUJUAN DAN KEGIATAN
Pasal 2
Tujuan PKM adalah :
1. Meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja di perdesaan termasuk
meningkatkan peranan wanita dalam aktivitas pembangunan serta
menanggulangi kemiskinan;
2. Mengembangkan usaha mikro di perdesaan melalui penguatan BPR dan
LPSM serta penyaluran kredit ke nasabah pengusaha mikro, baik secara
perorangan maupun yang tergabung di dalam kelompok.
Pasal 3
Kegiatan PKM mencakup :
1. Penyaluran kredit melalui BPR kepada pengusaha mikro baik secara individu
maupun kelompok guna mengembangkan usahanya;
2. Penguatan …..
-5-
2. Penguatan BPR melalui penyediaan kredit dan pelatihan untuk memperluas
jasa pelayanan keuangan yang layak untuk pengembangan dan kesinambungan
usaha mikro;
3. Penguatan LPSM melalui penyediaan kredit dan pelatihan agar dapat
meningkatkan kemampuannya dalam mengorganisasikan kelompok rakyat
miskin dan mendekati miskin, menyediakan pelatihan keterampilan yang
sesuai, serta kegiatan lainnya yang dapat membantu meningkatkan
pendapatan.
BAB III
PELAKSANAAN PKM
Pasal 4
(1) Untuk mencapai tujuan PKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 maka
pelaksanaannya diatur sebagai berikut :
a. di kantor pusat dilaksanakan oleh UPP dengan tugas utama melaksanakan
PKM, membantu serta mengkoordinasikan kegiatan peserta dan pihak-
pihak yang terkait;
b. di daerah pelaksanaan PKM dilaksanakan oleh KBI setempat.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1.a), UPP
bekerja berdasarkan arahan dari Tim Pengarah dan Tim Teknis sebagaimana
dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
28/19/KEP/DIR tanggal 23 Mei 1995 tentang Pembentukan Tim Pengarah
Proyek Kredit Mikro dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
28/75/KEP/DIR tanggal 21 September 1995 tentang Pembentukan Tim
Teknis Proyek Kredit Mikro.
Pasal …..
-6-
Pasal 5
Daerah pelaksanaan PKM meliputi propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Daerah Istimewa Aceh, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bali, Riau, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Bengkulu dan Lampung.
Pasal 6
(1) Jangka waktu pelaksanaan kegiatan PKM adalah tanggal 21 Juli 1995 sampai
dengan tanggal 30 Juni 2001.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditinjau kembali
berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan
ADB.
BAB IV
SUMBER DANA DAN JENIS BANTUAN
Pasal 7
Sumber dana PKM berasal dari :
1. ADB dan Pemerintah Norwegia, dan Bank Indonesia (BI) sampai dengan
tanggal 16 November 1999.
2. ADB dan Pemerintah Norwegia sejak tanggal 17 November 1999.
Pasal 8
(1) Jenis bantuan yang diberikan kepada peserta PKM, rakyat miskin dan
mendekati miskin terdiri terdiri dari bantuan teknis dan bantuan keuangan.
(2) Bantuan …..
-7-
(2) Bantuan teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa pembinaan dan
pelatihan kepada peserta PKM serta rakyat miskin dan mendekati miskin.
(3) Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa :
a. Pinjaman kepada BPD yang diteruskan ke LPSM untuk pembelian
komputer dan sepeda motor;
b. Pinjaman kepada BPR untuk pembelian komputer dan sepeda motor yang
akan digunakan oleh BPR yang bersangkutan, dan pinjaman untuk
dipinjamkan ke nasabah mikro.
BAB V
FUNGSI, TANGGUNGJAWAB DAN PERSYARATAN PESERTA
Pasal 9
(1) Peserta PKM adalah BPD, BPR, dan LPSM;
(2) BPD wajib menyalurkan kredit yang diterima dari BI kepada LPSM sebesar
seluruh plafon yang ditetapkan oleh BI, dalam jangka waktu paling lambat 15
(lima belas) hari kerja sejak tanggal pelimpahan kredit dari Bank Indonesia
kepada BPD yang bersangkutan.
(3) BPD bertanggung jawab atas pengembalian kredit yang diterima dalam
rangka PKM.
(4) BPR bertanggung jawab atas pengembalian kredit yang diterima dalam
rangka PKM.
Pasal 10
(1) LPSM melakukan pembentukan, pembinaan dan pengembangan KPM yang
jumlah anggotanya terdiri dari 2/3 (dua per tiga) rakyat miskin dan 1/3
(sepertiga) …..
-8-
(sepertiga) mendekati miskin, dan minimal 50% (lima puluh per seratus) dari
seluruh kelompok terdiri dari wanita.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), LPSM
akan menerima imbalan dari BI, yang jumlah dan cara pemberiannya akan
diatur dalam perjanjian kerjasama antara BI dengan LPSM.
Pasal 11
BPR yang dapat diikutsertakan sebagai peserta PKM yaitu BPR yang memenuhi
persyaratan :
1. Tingkat kesehatan minimum cukup sehat selama 3 (tiga) bulan terakhir;
2. Tingkat kecukupan modal (CAR) minimum 8% (delapan per seratus);
3. Tingkat pengembalian kredit minimum 80% (delapan puluh per seratus) yang
dinyatakan dengan Kualitas Aktiva Produktif (KAP) sekurang-kurangnya
cukup sehat;
4. Dipimpin oleh manajemen yang bertanggungjawab dan berpengalaman yang
ditunjukkan dengan hasil penilaian manajemen sekurang-kurangnya cukup
sehat;
5. Porsi debitur dengan plafon Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) ke bawah
minimum 5% (lima per seratus) dari jumlah seluruh debitur;
6. Rasio antara jumlah seluruh dana masyarakat yang dihimpun dengan jumlah
seluruh kredit minimum 10% (sepuluh per seratus); dan
7. Mempunyai misi untuk ikut mengembangkan usaha mikro.
Pasal 12
LPSM yang dapat diikutsertakan sebagai peserta PKM adalah LPSM yang
memenuhi persyaratan :
1. Telah …..
-9-
1. Telah terdaftar minimum 2 (dua) tahun pada instansi yang berwenang;
2. Memiliki pengalaman minimum 2 (dua) tahun di daerah pelaksanaan PKM
dalam hal :
a. kegiatan mobilisasi simpanan kelompok; dan
b. melaksanakan penyaluran kredit mikro kepada kelompok binaannya.
3. Memiliki fasilitas kantor dan kapasitas staf, administrasi, dan keuangan yang
memadai; dan
4. Menunjukkan kemampuan dan keinginan untuk membantu pembentukan,
pembinaan maupun pengembangan usaha mikro.
Pasal 13
(1) Setelah 2 (dua) tahun, BPR wajib dinilai kembali keikutsertaannya dalam
PKM dengan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
kecuali angka 5 dan angka 6;
(2) Dalam hal BPR tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), maka BPR tidak dapat lagi memperoleh bantuan teknis dan tambahan
bantuan keuangan dalam rangka PKM sampai dengan BPR dapat memenuhi
seluruh persyaratan keikutsertaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Setelah 2 (dua) tahun, LPSM wajib dinilai kembali keikutsertaannya dalam
PKM berdasarkan pencapaian rencana kerja yang telah disepakati antara BI
dengan LPSM yang bersangkutan dalam rangka pelaksanaan Perjanjian
Kerjasama.
(4) Dalam hal LPSM tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3), maka LPSM tidak dapat lagi memperoleh bantuan teknis dan
tambahan bantuan keuangan dalam rangka PKM sampai dengan LPSM dapat
memenuhi seluruh persyaratan keikutsertaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3).
Pasal …..
-10-
Pasal 14
(1) BPR dapat bekerjasama langsung dengan LPSM untuk melakukan
pemantauan penggunaan kredit dan pembinaan terhadap kelompok nasabah
pengusaha mikro.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) LPSM
diberi imbalan oleh BPR, yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak.
BAB VI
KETENTUAN DAN PERSYARATAN KREDIT
Pasal 15
Plafon kredit untuk masing-masing peserta PKM ditetapkan oleh BI dengan
mempertimbangkan kemampuan lembaga peserta dalam menyalurkan kredit dan
ketersediaan dana PKM.
Pasal 16
(1) Suku bunga kredit dari BI kepada BPD adalah sebesar suku bunga acuan per
tahun.
(2) Suku bunga kredit dari BPD kepada LPSM adalah sebesar 2% (dua per
seratus) di atas suku bunga acuan per tahun.
(3) Suku bunga kredit dari BI kepada BPR adalah 2% (dua per seratus) di atas
suku bunga acuan per tahun.
(4) Suku bunga kredit dari BPR kepada nasabah pengusaha mikro adalah suku
bunga pasar yang berlaku di daerahnya masing-masing.
(5) Besarnya …..
-11-
(5) Besarnya suku bunga acuan akan diberitahukan oleh BI setiap 6 (enam)
bulan, yaitu setiap tanggal 15 Januari yang berlaku dari tanggal 1 Januari
sampai dengan tanggal 30 Juni dan setiap tanggal 15 Juli yang berlaku dari
tanggal 1 Juli sampai dengan tanggal 31 Desember.
Pasal 17
(1) Jangka waktu kredit kepada BPD adalah 5 (lima) tahun sejak akad kredit
untuk kredit yang diteruskan kepada LPSM guna pembelian komputer dan
sepeda motor;
(2) Jangka waktu kredit kepada BPR adalah 5 (lima) tahun sejak akad kredit, baik
untuk pembelian komputer dan sepeda motor yang digunakan oleh BPR yang
bersangkutan maupun untuk pinjaman yang diteruskan kepada nasabah
pengusaha mikro.
(3) Jangka waktu kredit dari BPR kepada nasabah pengusaha mikro paling lama
18 (delapan belas) bulan sejak akad kredit.
Pasal 18
BPR harus menjaga agar kredit yang diberikan kepada nasabah pengusaha mikro
tidak digunakan untuk usaha yang merusak lingkungan hidup.
Pasal 19
(1) Realisasi penyaluran kredit dari BPR kepada nasabah pengusaha mikro setiap
bulannya minimum 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah pinjaman untuk
nasabah pengusaha mikro yang telah ditarik dari BI, dan harus direalisasikan
seluruhnya selambat-lambatnya 10 (sepuluh) bulan terhitung sejak tanggal
pelimpahan dari BI kepada BPR.
(2) Realisasi …..
-12-
(2) Realisasi pembelian komputer dan sepeda motor oleh BPR dilakukan
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah tanggal pelimpahan dari BI kepada
BPR.
(3) Realisasi pembelian komputer dan sepeda motor oleh LPSM dilakukan
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah tanggal pelimpahan dari BI kepada
BPD.
Pasal 20
Jumlah kredit yang diberikan kepada nasabah pengusaha mikro ditetapkan sebagai
berikut :
1. Untuk kredit yang pertama kali, diberikan maksimal sampai dengan
Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) per nasabah sesuai kebutuhan usaha.
selanjutnya dapat dipertimbangkan secara
2. Untuk kredit
bertahap maksimal
sampai dengan Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) per nasabah sesuai kelancaran
pembayaran kredit dan kebutuhan usaha.
Pasal 21
Kredit
yang
disalurkan BPR
dipersyaratkan adanya agunan tambahan.
Pasal 22
(1) Pembayaran angsuran pokok dan bunga atas kredit yang diterima BPD peserta
PKM, dilakukan oleh BI dengan mendebet rekening giro kantor BPD pada BI
setempat pada akhir triwulan tertentu
yaitu
setiap tanggal 31 Maret,
tanggal 30 Juni, tanggal 30 September, dan tanggal 31 Desember, selambat-
lambatnya pada minggu pertama bulan berikutnya.
(2) Pembayaran …..
kepada
nasabah
pengusaha
mikro dapat
-13-
(2) Pembayaran angsuran pokok dan bunga atas kredit yang diterima BPR,
dilakukan oleh BI dengan mendebet rekening giro dan atau rekening tabungan
BPR yang bersangkutan pada bank umum pada akhir triwulan tertentu yaitu
setiap tanggal 31 Maret, tanggal 30 Juni, tanggal 30 September, dan tanggal
31 Desember, selambat-lambatnya pada minggu pertama bulan berikutnya.
(3) Dalam hal pelimpahan kredit dari BI dilakukan kurang dari 30 (tiga puluh)
hari sebelum akhir triwulan yang bersangkutan, maka pembayaran angsuran
pokok dan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada
triwulan berikutnya.
BAB VII
SANKSI
Pasal 23
(1) Dalam hal pada tanggal jatuh tempo pembayaran angsuran pokok dan bunga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 saldo rekening BPD atau BPR tidak
mencukupi, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Untuk BPD akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar rata-rata
suku bunga deposito rupiah berjangka 3 (tiga) bulan selama 1 (satu) bulan
terakhir
berlaku di bank yang bersangkutan, terhitung 1 (satu)
hari setelah batas akhir pembayaran angsuran pokok dan bunga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai tanggal pembayaran
tersebut;
yang
b. Untuk BPR akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar rata-rata
suku bunga deposito rupiah berjangka 3 (tiga) bulan selama 1 (satu) bulan
terakhir yang berlaku di Bank Umum, terhitung 1 (satu) hari setelah batas
akhir pembayaran angsuran pokok dan bunga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 sampai tanggal pembayaran tersebut.
(2) Dalam …..
-14-
(2) Dalam hal selama 3 (tiga) kali berturut-turut BPD atau BPR tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, maka keikutsertaan
BPD atau BPR tidak dapat diteruskan.
(3) Dalam hal keikutsertaan BPD atau BPR tidak dapat diteruskan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka paling lambat 1 (satu) bulan sejak dinyatakan
berhenti bank yang bersangkutan wajib untuk mengembalikan pokok kredit
dan bunga yang terhutang.
(4) Dalam hal terjadi keterlambatan penyaluran kredit oleh BPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), maka kepada BPD akan dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar rata-rata suku bunga deposito rupiah berjangka
3 (tiga) bulan selama 1 (satu) bulan terakhir yang berlaku di BPD, yang
dihitung dari jumlah dana yang tertahan, terhitung 1 (satu) hari setelah batas
akhir penyaluran kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) sampai
tanggal penyaluran kredit tersebut.
(5) Dalam hal penyaluran kredit oleh BPR dalam setiap bulan tidak mencapai
10% (sepuluh per seratus) dari kategori pinjaman yang harus diteruskan
kepada nasabah mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), maka
kepada BPR akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar rata-rata
suku bunga deposito rupiah berjangka 3 (tiga) bulan selama 1 (satu) bulan
terakhir yang berlaku di Bank Umum, yang dihitung dari jumlah kekurangan
penyaluran per bulan tersebut:
a. untuk bulan pertama terhitung sejak tanggal pelimpahan sampai dengan
tanggal akhir bulan;
b. untuk bulan kedua dan seterusnya terhitung sejak awal bulan sampai
dengan akhir bulan yang bersangkutan.
(6) Dalam …..
-15-
(6) Dalam hal BPR tidak dapat menyalurkan seluruh kredit sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 19 ayat (1), maka kepada BPR diwajibkan
mengembalikan sisa pinjaman yang belum disalurkan paling lambat pada hari
kerja berikutnya.
(7) Dalam hal BPR tidak mengembalikan sisa pinjaman yang belum disalurkan
dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam ayat (6), BPR dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar rata-rata suku bunga deposito rupiah berjangka
3 (tiga) bulan selama 1 (satu) bulan terakhir yang berlaku di Bank Umum,
yang dihitung dari jumlah sisa pinjaman yang belum disalurkan, terhitung 1
(satu) hari setelah batas akhir penyaluran kredit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) sampai tanggal pengembalian sisa pinjaman tersebut.
(8) Dalam hal terjadi keterlambatan realisasi pembelian komputer dan sepeda
motor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), BPR dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar rata-rata suku bunga deposito rupiah berjangka
3 (tiga) bulan selama 1 (satu) bulan terakhir yang berlaku di Bank Umum,
yang dihitung dari jumlah dana yang tertahan, terhitung 1 (satu) hari setelah
batas akhir realisasi pembelian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(2) sampai tanggal realisasi pembelian tersebut.
(9) Pengenaan sanksi kewajiban membayar dan sanksi kewajiban pengembalian
kredit yang tidak disalurkan sebagaimana diatur dalam Pasal ini, dilakukan
dengan cara melakukan pendebetan rekening giro dan atau rekening tabungan
BPR yang bersangkutan pada Bank Umum atau rekening giro BPD pada BI
setempat.
BAB …..
-16-
BAB VIII
PELAPORAN
Pasal 24
Peserta PKM wajib menyampaikan laporan ke BI sesuai dengan format yang
ditentukan.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25
Dengan berlakunya ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31 / 24 / KEP / DIR tanggal 5 Mei
1998 tentang Proyek Kredit Mikro dan ketentuan-ketentuan lain tentang Proyek
Kredit Mikro yang bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 26
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini :
1. LDKP yang telah menjadi peserta PKM sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini :
a. wajib menyelesaikan kewajiban kredit sesuai dengan jangka waktu yang
diatur dengan perjanjian kredit yang telah ditandatangani antara Bank
Indonesia dengan BPD dan menyampaikan laporan kepada BPD; dan
b. tidak mendapat tambahan pinjaman.
2. Persyaratan untuk kredit yang masih berjalan kepada BPD untuk pembelian
komputer dan kendaraan bermotor roda empat tidak berubah sesuai dengan
persyaratan …..
-17-
persyaratan yang diatur dalam perjanjian kredit yang telah ditandatangani
antara Bank Indonesia dengan BPD.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 28
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Januari 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 2
BKr/TPP
-18-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/1/PBI/2001
TENTANG
PROYEK KREDIT MIKRO
UMUM
Pada tanggal 10 Januari 1995 Pemerintah Republik Indonesia telah
menandatangani Loan Agreement dengan Asian Development Bank untuk
membiayai Proyek Kredit Mikro dalam rangka mengembangkan usaha mikro, dan
Bank Indonesia ditetapkan sebagai pelaksana dan penanggungjawab proyek
tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, pinjaman penerusan yang dananya berasal dari luar negeri dan bantuan
teknis dalam rangka penyaluran kredit program harus dialihkan kepada Badan
Usaha Milik Negara setelah ada kesepakatan para pihak yang terkait.
Asian Development Bank dan Pemerintah Republik Indonesia belum
mencapai kesepakatan mengenai waktu pengalihan pengelolaan Proyek Kredit
Mikro dari Bank Indonesia, namun telah sepakat bahwa Bank Indonesia tetap
mengelola Proyek Kredit Mikro sampai dengan akhir Juni 2001.
Berdasarkan Memorandum of Understanding antara Asian Development
Bank dan Pemerintah Republik Indonesia tanggal 21 Desember 1998 telah
disepakati
untuk mengubah beberapa ketentuan pelaksanaan proyek antara lain
wilayah proyek, rumusan suku bunga acuan dan penghapusan kewajiban nasabah
untuk menabung.
Sehubungan …..
-19-
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka dirasakan perlu untuk
menyempurnakan ketentuan tentang Proyek Kredit Mikro.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan 11
Cukup jelas
Pasal 2
Angka 1 dan 2
Cukup jelas
Pasal 3
Angka 1 dan 2
Cukup jelas
Angka 3
Kriteria miskin dan mendekati miskin tergantung pada kondisi
setempat sehingga
peserta proyek.
Pasal 4
Ayat (1) dan (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal …..
untuk penilaiannya diserahkan kepada lembaga
-20-
Pasal 6
Ayat (1)
Pada awalnya pelaksanaan kegiatan PKM secara efektif berlangsung
sejak tanggal 21 Juli 1995 sampai dengan tanggal 30 Juni 2000,
selanjutnya sesuai kesepakatan ADB kegiatan dimaksud
sampai tanggal 30 Juni 2001.
dilanjutkan
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 7
Pada awal proyek, sumber dana PKM berasal dari KLBI, ADB dan hibah
Kerajaan Norwegia. Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tanggal 17 Mei 1999, 6 (enam ) bulan sejak tanggal berlakunya undang-
undang tersebut Bank Indonesia tidak dapat memberikan KLBI sehingga
pembiayaan PKM dengan KLBI dibatasi sampai dengan tanggal 16
November 1999.
Untuk selanjutnya sejak tanggal 17 November 1999, sumber dana PKM
hanya berasal dari sisa porsi pinjaman ADB dan sisa hibah dari Kerajaan
Norwegia yang belum dipakai.
Pasal 8
Ayat (1) sampai dengan (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1) sampai dengan (4)
Cukup jelas
Pasal …..
-21-
Pasal 10
Ayat (1) dan (2)
Cukup jelas
Pasal 11
Angka 1 sampai dengan 6
Cukup jelas
Angka 7
BPR memiliki misi mengembangkan usaha mikro dapat diketahui
antara lain dari porsi debitur dengan plafon Rp 1.000.000,- (satu juta
rupiah) ke bawah minimum 5% (lima per seratus) dari jumlah
seluruh debitur. Semakin tinggi porsi tersebut semakin kuat misi
untuk mengembangkan usaha mikro.
Pasal 12
Angka 1
Yang dimaksud dengan instansi yang berwenang adalah Notaris dan
atau lembaga pemerintah seperti Departemen Koperasi dan
Pengembangan Usaha Kecil, Departemen Dalam Negeri, dan lain-
lain.
Angka 2 sampai dengan 4
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1) sampai dengan (4)
Cukup jelas
Pasal …..
-22-
Pasal 14
Ayat (1) dan (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1) sampai dengan (5)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1) sampai dengan (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1) sampai dengan (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Angka 1 dan 2
Cukup jelas
Pasal …..
-23-
Pasal 21
Dalam hal dianggap perlu maka BPR dapat meminta agunan tambahan
Pasal 22
Ayat (1) sampai dengan (3)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1) sampai dengan (9)
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Angka 1 dan 2
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4071
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 3/1/PBI/2001 </reg_id>
<reg_title> PROYEK KREDIT MIKRO </reg_title>
<set_date> 4 Januari 2001 </set_date>
<effective_date> 4 Januari 2001 </effective_date>
<replaced_reg> '31/24/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/16/PBI/2018 20/ /PBI/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/3/PBI/2017
TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK
BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menerbitkan surat berharga
berupa Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu
instrumen operasi moneter;
b. bahwa dengan penerbitan Sukuk Bank Indonesia tersebut,
Bank Indonesia perlu menambahkan cakupan agunan
berkualitas tinggi dalam pemberian pinjaman likuiditas
jangka pendek berupa Sukuk Bank Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/3/PBI/2017 tentang Pinjaman
Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
- 2 -
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5872);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/3/PBI/2017 tentang
Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum
Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2017 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6044);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/3/PBI/2017
TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI
BANK UMUM KONVENSIONAL.
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/3/PBI/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek
bagi Bank Umum Konvensional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6044) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah dan ditambahkan 1 (satu) angka
baru, yakni angka 16 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai Bank Indonesia.
2. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
3. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disebut
Bank adalah bank umum yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan, tidak termasuk kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah, tidak termasuk unit usaha
syariah dari kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
- 4 -
5. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat
GWM adalah giro wajib minimum dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib
minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank
umum konvensional, bank umum syariah, dan unit
usaha syariah.
6. Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek adalah keadaan
yang dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya
arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan
dengan arus dana keluar dalam rupiah yang dapat
membuat Bank tidak dapat memenuhi kewajiban
GWM.
7. Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek yang selanjutnya
disingkat PLJP adalah pinjaman dari Bank Indonesia
kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas
Jangka Pendek yang dialami oleh Bank.
8.
Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SBI adalah Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai operasi moneter.
9.
Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia
Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi
moneter.
10. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah Sertifikat Deposito Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi
moneter.
- 5 -
11. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan
utang dalam mata uang rupiah yang dijamin
pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara
Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai surat utang negara.
12. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN, atau yang dapat disebut Sukuk
Negara adalah surat berharga negara yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai
bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN,
dalam mata uang rupiah, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
surat berharga syariah negara.
13. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat
SBN adalah SUN dan SBSN.
14. Aset Kredit adalah aset Bank berupa kredit
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan, tidak termasuk
kredit dalam valuta asing.
15. Aset Pembiayaan adalah aset Bank berupa
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah,
tidak termasuk pembiayaan dalam valuta asing.
16. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut
SukBI adalah Sukuk Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai operasi moneter.
- 6 -
2. Ketentuan Pasal 3 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) diubah
serta penjelasan Pasal 3 ayat (4) huruf a, huruf c, huruf d,
huruf e, dan huruf g diubah sehingga Pasal 3 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Agunan berkualitas tinggi sebagai jaminan PLJP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf
c berupa:
a. surat berharga;
b. surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang
dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank;
c. Aset Kredit; dan/atau
d. Aset Pembiayaan yang dicatat dalam
pembukuan UUS dari Bank.
(2) Jenis surat berharga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a berupa:
a. SBI;
b. SDBI;
c. SukBI;
d. SBN; dan/atau
e. surat berharga yang diterbitkan oleh badan
hukum lain yang memenuhi persyaratan:
1. memiliki peringkat paling rendah peringkat
investasi;
2. aktif diperdagangkan; dan
3. memiliki sisa jangka waktu yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(3) Jenis surat berharga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b berupa:
a. SBIS;
b. SukBI;
c. SBSN; dan/atau
d. sukuk korporasi yang diterbitkan oleh badan
hukum lain yang memenuhi persyaratan:
1. memiliki peringkat paling rendah peringkat
investasi;
- 7 -
2. aktif diperdagangkan; dan
3. memiliki sisa jangka waktu yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(4) Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a.
kolektibilitas tergolong lancar selama 12 (dua
belas) bulan terakhir berturut-turut;
b. bukan merupakan kredit dan/atau pembiayaan
konsumsi kecuali kredit pemilikan rumah
dan/atau pembiayaan pemilikan rumah;
c. dijamin dengan agunan tanah dan bangunan
dan/atau tanah dengan nilai paling rendah
110% (seratus sepuluh persen) dari plafon kredit
dan/atau plafon pembiayaan;
d. bukan merupakan kredit dan/atau pembiayaan
kepada pihak terkait Bank;
e.
f.
tidak pernah direstrukturisasi dalam waktu 3
(tiga) tahun terakhir;
sisa jangka waktu jatuh waktu kredit dan/atau
pembiayaan paling singkat 9 (sembilan) bulan
sejak tanggal penandatanganan perjanjian
pemberian PLJP;
g. baki debet kredit atau saldo pokok pembiayaan
tidak melebihi batas maksimum pemberian
kredit atau penyaluran dana pada saat diberikan
dan tidak melebihi plafon kredit atau
pembiayaan;
h. memiliki perjanjian kredit dan/atau akad
pembiayaan serta pengikatan agunan yang
mempunyai kekuatan hukum;
i.
telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan
atau audit oleh kantor akuntan publik terhadap
Bank paling lama 1 (satu) tahun terakhir;
j. dalam perjanjian kredit dan/atau akad
pembiayaan antara Bank dan debitur atau
- 8 -
nasabah tercantum klausul bahwa kredit
dan/atau pembiayaan dapat dialihkan kepada
pihak lain; dan
k. telah tercantum dalam laporan daftar Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan terkini yang
disampaikan secara berkala kepada Bank
Indonesia.
(5) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf e dan ayat (3) huruf d hanya dapat digunakan
sebagai agunan PLJP dalam hal:
a. Bank tidak memiliki surat berharga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf d serta ayat (3) huruf a
sampai dengan huruf c; atau
b. Bank memiliki surat berharga sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan
huruf d serta ayat (3) huruf a sampai dengan
huruf c, namun tidak mencukupi untuk menjadi
agunan PLJP.
(6) Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) hanya dapat digunakan
sebagai agunan PLJP apabila pada saat permohonan
PLJP Bank tidak memiliki surat berharga yang
memenuhi persyaratan agunan PLJP atau surat
berharga yang memenuhi persyaratan agunan PLJP
yang dimiliki oleh Bank tidak mencukupi untuk
menjadi agunan PLJP.
(7) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat
meminta agunan lain setelah agunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencukupi.
(8) Agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilengkapi dengan dokumen yang terkait
dengan agunan PLJP.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria agunan,
mekanisme pengagunan, jenis akad pembiayaan yang
dapat diagunkan, dan dokumen agunan diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 9 -
3. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) diubah sehingga Pasal 4
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Nilai surat berharga, Aset Kredit, dan Aset
Pembiayaan sebagai agunan PLJP ditetapkan sebagai
berikut:
a.
nilai agunan berupa SBI ditetapkan sebesar
100% (seratus persen) dari plafon PLJP yang
dihitung berdasarkan nilai jual SBI;
b.
nilai agunan berupa SBIS ditetapkan sebesar
100% (seratus persen) dari plafon PLJP yang
dihitung berdasarkan nilai nominal SBIS;
c.
nilai agunan berupa SDBI ditetapkan sebesar
100% (seratus persen) dari plafon PLJP yang
dihitung berdasarkan nilai jual SDBI;
d.
nilai agunan berupa SukBI ditetapkan sebesar
100% (seratus persen) dari plafon PLJP yang
dihitung berdasarkan nilai jual SukBI;
e.
nilai agunan berupa SBN ditetapkan sebagai
berikut:
1.
nilai agunan berupa SUN ditetapkan paling
rendah sebesar 105% (seratus lima persen)
dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan
nilai pasar SUN; dan
2.
nilai agunan berupa SBSN ditetapkan
paling rendah sebesar 106,5% (seratus
enam koma lima persen) dari plafon PLJP
yang dihitung berdasarkan nilai pasar
SBSN;
f.
nilai agunan berupa surat berharga yang
diterbitkan oleh badan hukum lain ditetapkan
paling rendah sebesar 120% (seratus dua puluh
persen) dari plafon PLJP yang dihitung
berdasarkan nilai pasar surat berharga yang
diterbitkan oleh badan hukum lain tersebut; dan
- 10 -
g.
nilai agunan berupa Aset Kredit atau Aset
Pembiayaan ditetapkan paling rendah sebesar
200% (dua ratus persen) dari plafon PLJP yang
dihitung berdasarkan baki debet Aset Kredit
atau saldo pokok Aset Pembiayaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai nilai agunan dan
tata cara perhitungan nilai agunan diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
4. Ketentuan Pasal 5 ayat (3) diubah sehingga Pasal 5
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Agunan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
harus berada dalam kondisi bebas dari segala
perikatan, sengketa, sitaan, dan tidak sedang
dijaminkan kepada pihak lain atau Bank Indonesia,
yang dinyatakan dalam surat pernyataan kepada
Bank Indonesia.
(2) Bank tidak dapat memperjualbelikan dan/atau
menjaminkan kembali agunan PLJP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 yang masih dalam status
sebagai agunan PLJP.
(3) Bank harus mengganti agunan PLJP, apabila:
a. agunan PLJP tidak memenuhi kondisi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau
ayat (2);
b. surat berharga yang diterbitkan oleh badan
hukum lain tidak lagi memenuhi persyaratan
peringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) huruf e angka 1 dan ayat (3) huruf d
angka 1;
c. terdapat pelunasan kredit dan/atau pembiayaan
yang menjadi agunan PLJP oleh debitur atau
nasabah Bank; dan/atau
d. Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang
diagunkan tidak lagi memenuhi persyaratan
- 11 -
kolektibilitas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (4) huruf a,
sehingga nilai agunan PLJP mengalami penurunan
dan secara keseluruhan tidak lagi memenuhi plafon
PLJP.
(4) Penggantian agunan PLJP diprioritaskan dengan
agunan berupa surat berharga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3).
(5) Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dapat digunakan
sebagai pengganti agunan PLJP apabila Bank tidak
memiliki surat berharga yang memenuhi persyaratan
agunan PLJP atau surat berharga yang memenuhi
persyaratan agunan PLJP yang dimiliki oleh Bank
tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJP.
(6) Selama Bank Indonesia memproses penggantian
agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
pada periode pemberian PLJP, Bank tetap dapat
mengajukan pencairan PLJP sepanjang terdapat
plafon atau sisa plafon dan agunan PLJP yang
mencukupi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penggantian agunan PLJP diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 12 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2018
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 251
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/16/PBI/201820/ /PBI/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/3/PBI/2017
TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK
BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL
I. UMUM
Untuk memperkuat kerangka operasi moneter, Bank Indonesia
menerbitkan SukBI sebagai salah satu instrumen operasi moneter. Sebagai
instrumen operasi moneter, SukBI memenuhi kriteria sebagai salah satu
jenis surat berharga berkualitas tinggi yang dapat digunakan sebagai
agunan untuk PLJP.
Sehubungan dengan penerbitan SukBI tersebut, Bank Indonesia perlu
menyesuaikan cakupan agunan berkualitas tinggi sebagai jaminan dalam
pemberian PLJP yang berupa surat berharga yaitu dengan menambahkan
SukBI sebagai agunan PLJP. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/3/PBI/2017 tentang Pinjaman
Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
- 2 -
Angka 2
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
SBN yang dapat digunakan sebagai agunan PLJP
yaitu SBN yang dapat diperdagangkan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "surat berharga yang
diterbitkan oleh badan hukum lain" adalah obligasi
korporasi dan sukuk korporasi yang diterbitkan
oleh badan hukum Indonesia selain Bank yang
mengajukan permohonan PLJP.
Angka 1
Peringkat investasi atau investment grade
mengacu pada hasil penilaian lembaga
pemeringkat yang diakui oleh OJK.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
SBSN yang dapat digunakan sebagai agunan PLJP
yaitu SBSN yang dapat diperdagangkan.
- 3 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan "sukuk korporasi yang
diterbitkan oleh badan hukum lain" adalah sukuk
korporasi yang diterbitkan oleh badan hukum
Indonesia.
Angka 1
Peringkat investasi atau investment grade
mengacu pada hasil penilaian lembaga
pemeringkat yang diakui oleh OJK.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kolektibilitas tergolong
lancar”
adalah
sebagaimana
dimaksud
kualitas tergolong lancar
dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai penilaian kualitas aset bank umum atau
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank
umum syariah dan unit usaha syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Nilai agunan yang digunakan yaitu nilai pasar
berdasarkan hasil penilai independen paling lama
2 (dua) tahun terakhir sebelum tanggal
permohonan PLJP.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "pihak terkait" adalah
pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai batas maksimum pemberian
- 4 -
kredit bank umum atau batas maksimum
penyaluran dana yang berlaku bagi bank umum
syariah dan unit usaha syariah.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “restrukturisasi” adalah
restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank
umum atau ketentuan yang mengatur mengenai
penilaian kualitas aset bank umum syariah dan
unit usaha syariah.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Batas maksimum pemberian kredit atau
penyaluran dana mengacu pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai batas maksimum pemberian kredit.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan ”kantor akuntan publik”
adalah kantor akuntan publik yang telah
tercantum dalam daftar kantor akuntan publik
yang diakui oleh OJK.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “agunan lain” antara lain:
a. saham Bank yang menerima PLJP milik pemegang
saham pengendali;
- 5 -
b. personal guarantee dan/atau corporate guarantee
dari pemegang saham pengendali; dan/atau
c. aset tetap milik Bank yang menerima PLJP.
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan "dokumen yang terkait dengan
agunan PLJP" antara lain perjanjian kredit dan/atau
akad pembiayaan antara Bank dengan debitur atau
nasabah, bukti pengikatan agunan, bukti kepemilikan
atas aset yang menjadi agunan kredit dan/atau
pembiayaan Bank, dan dokumen pendukung lainnya.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "surat berharga yang
diterbitkan oleh badan hukum lain" adalah obligasi
korporasi dan sukuk korporasi yang diterbitkan
oleh badan hukum Indonesia selain Bank yang
mengajukan permohonan PLJP.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 6 -
Angka 4
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6281
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 20/16/PBI/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/3/PBI/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title>
<set_date> 21 Desember 2018 </set_date>
<effective_date> 21 Desember 2018 </effective_date>
<issued_date> 21 Desember 2018 </issued_date>
<changed_reg> '19/3/PBI/2017' </changed_reg>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '19/3/PBI/2017', '23/UU/1999', '6/UU/2009', '9/UU/2016' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/5/PBI/2006
TENTANG
MEDIASI PERBANKAN
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank tidak
selalu dapat memuaskan nasabah dan berpotensi
menimbulkan sengketa di bidang perbankan antara nasabah
dengan bank;
b. bahwa penyelesaian sengketa di bidang perbankan yang
berlarut-larut dapat merugikan nasabah dan meningkatkan
risiko reputasi bagi bank;
c. bahwa penyelesaian sengketa di bidang perbankan antara
nasabah dengan bank dapat dilakukan secara sederhana,
murah, dan cepat melalui cara mediasi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan butir a, b, dan c,
dipandang perlu untuk mengatur mediasi perbankan dalam
suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang ...
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3821);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872);
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang
Penyelesaian
Pengaduan Nasabah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 17, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4476);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG MEDIASI
PERBANKAN.
BAB I ...
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
termasuk kantor cabang bank asing.
2. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank, termasuk pihak yang
tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa Bank untuk melakukan
transaksi keuangan (walk-in customer).
3. Perwakilan Nasabah adalah perseorangan, lembaga dan atau badan hukum
yang bertindak untuk dan atas nama Nasabah dengan berdasarkan surat kuasa
khusus dari Nasabah.
4. Sengketa adalah permasalahan yang diajukan oleh Nasabah atau Perwakilan
Nasabah kepada penyelenggara mediasi perbankan, setelah melalui proses
penyelesaian pengaduan oleh Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
5. Mediasi adalah proses penyelesaian Sengketa yang melibatkan mediator
untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian
dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh
permasalahan yang disengketakan.
6. Mediator adalah pihak yang tidak memihak dalam membantu pelaksanaan
Mediasi.
7. Kesepakatan ...
- 4 -
7. Kesepakatan adalah persetujuan bersama antara Nasabah atau Perwakilan
Nasabah dengan Bank terhadap suatu upaya penyelesaian Sengketa.
8. Akta Kesepakatan adalah dokumen tertulis yang memuat Kesepakatan yang
bersifat final dan mengikat bagi Nasabah dan Bank.
BAB II
PENYELENGGARAAN MEDIASI PERBANKAN
Pasal 2
Sengketa antara Nasabah dengan Bank yang disebabkan tidak dipenuhinya
tuntutan finansial Nasabah oleh Bank dalam penyelesaian pengaduan Nasabah
dapat diupayakan penyelesaiannya melalui Mediasi perbankan.
Pasal 3
(1) Mediasi di bidang perbankan dilakukan oleh lembaga Mediasi perbankan
independen yang dibentuk asosiasi perbankan.
(2) Pembentukan lembaga Mediasi perbankan independen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember
2007.
(3) Dalam pelaksanaan tugasnya, lembaga Mediasi perbankan independen
melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia.
(4) Sepanjang lembaga Mediasi perbankan independen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) belum dibentuk, fungsi Mediasi perbankan dilaksanakan oleh
Bank Indonesia.
Pasal 4 ...
- 5 -
Pasal 4
Fungsi Mediasi perbankan yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada Pasal 3 ayat (4) terbatas pada upaya membantu Nasabah dan
Bank untuk mengkaji ulang Sengketa secara mendasar dalam rangka memperoleh
Kesepakatan.
Pasal 5
(1) Dalam rangka melaksanakan fungsi Mediasi perbankan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Bank Indonesia menunjuk Mediator.
(2) Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat paling
kurang sebagai berikut:
a. memiliki pengetahuan di bidang perbankan, keuangan, dan atau hukum;
b. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas
penyelesaian sengketa; dan
c. tidak memiliki hubungan sedarah atau semenda sampai dengan derajat
kedua dengan Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank.
Pasal 6
(1) Mediasi perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan untuk
setiap Sengketa yang memiliki nilai tuntutan finansial paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Nasabah tidak dapat mengajukan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh
kerugian immateriil.
BAB III ...
- 6 -
BAB III
PROSES BERACARA PADA MEDIASI PERBANKAN
Pasal 7
(1) Pengajuan penyelesaian Sengketa dalam rangka Mediasi perbankan kepada
Bank Indonesia dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah.
(2) Dalam hal Nasabah atau Perwakilan Nasabah mengajukan penyelesaian
Sengketa kepada Bank Indonesia, Bank wajib memenuhi panggilan Bank
Indonesia.
Pasal 8
Pengajuan penyelesaian Sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung yang memadai;
2. pernah diajukan upaya penyelesaiannya oleh Nasabah kepada Bank;
3. Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus
oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat Kesepakatan yang
difasilitasi oleh lembaga Mediasi lainnya;
4. Sengketa yang diajukan merupakan Sengketa keperdataan;
5. Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam Mediasi perbankan
yang difasilitasi oleh Bank Indonesia; dan
6. pengajuan penyelesaian Sengketa tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja
sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Bank
kepada Nasabah.
Pasal 9 ...
- 7 -
Pasal 9
(1) Proses Mediasi dilaksanakan setelah Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan
Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate) yang
memuat:
a. Kesepakatan untuk memilih Mediasi sebagai alternatif penyelesaian
Sengketa; dan
b. persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan Mediasi yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(2) Bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang
ditandatangani oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank.
Pasal 10
(1) Nasabah dan Bank dapat memberikan kuasa kepada pihak lain dalam proses
Mediasi.
(2) Pemberian kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
surat kuasa khusus yang paling sedikit mencantumkan kewenangan penerima
kuasa untuk mengambil keputusan.
Pasal 11
(1) Pelaksanaan proses Mediasi sampai dengan ditandatanganinya Akta
Kesepakatan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank menandatangani
perjanjian Mediasi (agreement to mediate) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1).
telah
(2) Jangka ...
- 8 -
(2) Jangka waktu proses Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang
sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya
berdasarkan Kesepakatan Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank.
Pasal 12
Kesepakatan antara Nasabah atau Perwakilan Nasabah dengan Bank yang
dihasilkan dari proses Mediasi dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang
ditandatangani oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank.
Pasal 13
Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian Sengketa perbankan antara
Nasabah dengan Bank yang telah disepakati dan dituangkan dalam Akta
Kesepakatan.
BAB IV
LAIN LAIN
Pasal 14
Bank wajib mempublikasikan adanya sarana alternatif penyelesaian Sengketa di
bidang perbankan dengan cara Mediasi kepada Nasabah.
Pasal 15
Pengajuan penyelesaian Sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
disampaikan kepada Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan, Bank
Indonesia, Menara Radius Prawiro lantai 19, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta
10110.
BAB V ...
- 9 -
BAB V
SANKSI
Pasal 16
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2), Pasal 9 ayat (2), Pasal 13, dan Pasal 14 dikenakan sanksi administratif
sesuai Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
berupa teguran tertulis.
(2) Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperhitungkan
dalam komponen penilaian tingkat kesehatan Bank.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 17
Sengketa yang timbul dari hasil penyelesaian pengaduan Nasabah yang telah
dilakukan oleh Bank berdasarkan Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dapat
diajukan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya tanggal 30 Juni 2006.
BAB VII
PENUTUP
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Mediasi perbankan akan diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 19 ...
- 10 -
Pasal 19
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2006.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Januari 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR
DPNP/DPbS/DPBPR
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/5/PBI/2006
TENTANG
MEDIASI PERBANKAN
UMUM
Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah tidak selalu dapat memuaskan nasabah.
Ketidakpuasan tersebut dapat diakibatkan oleh tuntutan nasabah yang tidak
dipenuhi bank baik seluruhnya maupun sebagian. Pada gilirannya, ketidakpuasan
tersebut berpotensi menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank, yang
apabila berlarut-larut dan tidak segera ditangani dapat mempengaruhi reputasi
bank, mengurangi kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan dan
merugikan hak-hak nasabah.
Upaya penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank dapat dilakukan
melalui negosiasi, konsiliasi, mediasi, arbitrase, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, maupun melalui jalur peradilan. Namun demikian, upaya
penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau jalur peradilan tidak mudah
dilakukan bagi nasabah kecil dan usaha mikro dan kecil mengingat hal tersebut
memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, penyelesaian
sengketa nasabah dengan bank bagi nasabah kecil dan usaha mikro dan kecil
perlu diupayakan secara sederhana, murah, dan cepat melalui penyelenggaraan
mediasi perbankan agar hak-hak mereka sebagai nasabah dapat terjaga dan
terpenuhi dengan baik.
Dengan …
- 2 -
Dengan mempertimbangkan pentingnya penyelenggaraan mediasi
perbankan untuk menyelesaikan sengketa nasabah dengan bank maka asosiasi
perbankan perlu segera membentuk lembaga mediasi perbankan yang
independen. Namun demikian, mengingat pembentukan lembaga mediasi
perbankan independen tersebut tidak dapat dilaksanakan dalam waktu singkat
sementara kebutuhan mediasi perbankan sudah mendesak maka pada tahap awal
fungsi mediasi perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Pelaksanaan fungsi
mediasi perbankan oleh Bank Indonesia ini dilakukan dengan mempertemukan
nasabah dan bank untuk mengkaji kembali pokok permasalahan yang menjadi
sengketa guna mencapai
kesepakatan tanpa
adanya
rekomendasi maupun
keputusan dari Bank Indonesia. Dengan demikian fungsi mediasi perbankan
yang dilaksanakan Bank Indonesia hanya terbatas pada penyediaan tempat,
membantu nasabah dan bank untuk mengemukakan pokok permasalahan yang
menjadi sengketa, penyediaan nara sumber, dan mengupayakan tercapainya
kesepakatan penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank.
Selanjutnya mengingat independensi dan kredibilitas penyelenggaraan
mediasi perbankan merupakan faktor utama yang harus ditegakkan maka proses
beracara dalam mediasi perbankan ditetapkan dan dilaksanakan sesuai dengan
international best practices dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
agar penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan tidak merugikan nasabah
dan bank.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 …
- 3 -
Pasal 2
Yang dimaksud dengan tuntutan finansial adalah potensi kerugian finansial
Nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Bank sebagaimana
dimaksud pada Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelesaian Pengaduan
Nasabah.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bank Indonesia hanya melaksanakan kegiatan Mediasi perbankan
dan tidak membentuk lembaga khusus untuk keperluan tersebut.
Pasal 4
Yang dimaksud dengan “membantu Nasabah dan Bank” adalah Bank
Indonesia memfasilitasi penyelesaian Sengketa dengan cara memanggil,
mempertemukan, mendengar, dan memotivasi nasabah dan bank untuk
mencapai kesepakatan tanpa memberikan rekomendasi atau keputusan.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6 …
- 4 -
Pasal 6
Ayat (1)
Cakupan nilai tuntutan finansial meliputi nilai kerugian materiil dan
atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan Nasabah dalam rangka
penyelesaian Sengketa.
Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian “kerugian immateriil” antara lain adalah
kerugian karena pencemaran nama baik dan perbuatan tidak
menyenangkan.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Angka 1
Yang dimaksud dengan dokumen pendukung antara lain bukti
transaksi keuangan yang dilakukan Nasabah.
Angka 2
Upaya pengajuan penyelesaian kepada Bank dibuktikan dengan bukti
penerimaan pengaduan dan atau surat hasil penyelesaian pengaduan
yang dikeluarkan Bank.
Angka 3 …
- 5 -
Angka 3
Yang dimaksud dengan “Sengketa yang diajukan tidak sedang
dalam proses oleh lembaga arbitrase, lembaga peradilan, atau
lembaga mediasi lainnya” adalah Sengketa tersebut belum pernah
diajukan oleh Nasabah dan atau Bank kepada lembaga-lembaga
tersebut atau upaya penyelesaian Sengketa pada lembaga-lembaga
dimaksud sudah dihentikan.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Sengketa yang sudah pernah diupayakan penyelesaiannya melalui
Mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia tidak dapat
diproses ulang.
Angka 6
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 6 -
Ayat (2)
Pencantuman kewenangan penerima kuasa untuk mengambil
keputusan dimaksudkan agar proses Mediasi dapat berjalan efektif.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perpanjangan jangka waktu antara lain dimaksudkan untuk
mengantisipasi penyesuaian waktu untuk menghadirkan nara sumber
tertentu yang memiliki keahlian dan kompetensi sesuai masalah yang
disengketakan.
Pasal 12
Akta Kesepakatan dapat memuat Kesepakatan penuh atau Kesepakatan
sebagian atas hal yang dipersengketakan, atau pun pernyataan tidak
dicapainya Kesepakatan dalam proses Mediasi.
Pasal 13
Kewajiban bagi Bank untuk melaksanakan hasil penyelesaian Sengketa ini
dimaksudkan antara lain dalam rangka mengantisipasi risiko reputasi Bank.
Pasal 14
Publikasi dapat dilakukan melalui brosur, leaflet, pengumuman, dan atau
media lainnya dan sekurang-kurangnya mencakup prosedur yang harus
ditempuh Nasabah untuk dapat mengajukan penyelesaian Sengketa kepada
Bank Indonesia.
Pasal 15 …
- 7 -
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perhitungan dalam komponen penilaian tingkat kesehatan Bank
dilakukan pada penilaian aspek manajemen.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/5/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> MEDIASI PERBANKAN </reg_title>
<set_date> 30 Januari 2006 </set_date>
<effective_date> 1 Juni 2006 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '8/UU/1999', '3/UU/2004', '30/UU/1999', '7/7/PBI/2005', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 13/ 18 /PBI/2011
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/28/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN
UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU)
TAHUN EMISI 2004
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah
ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat
sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. bahwa untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada
desain uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus
ribu) sebagai legal tender di Negara Kesatuan Republik
Indonesia, diperlukan perubahan unsur pengaman pada
desain uang rupiah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk
melakukan perubahan kedua atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/28/PBI/2004 tentang Pengeluaran
dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 100.000
(Seratus Ribu) Tahun Emisi 2004;
Mengingat ...
-2-
Mengingat
: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843),
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5223);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004
tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4762);
MEMUTUSKAN ...
-3-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 6/28/PBI/2004 TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG
KERTAS RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS
RIBU) TAHUN EMISI 2004.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/28/PBI/2004
tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 100.000
(Seratus Ribu) Tahun Emisi 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 162) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/9/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 46) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Januari tahun 2009
sampai dengan bulan Juni tahun 2011 adalah:
a. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
merah;
b. Gambar
1. bagian muka
a) gambar ...
-4-
a) gambar utama berupa gambar Proklamator Dr. Ir. Soekarno dan
Dr. H. Mohammad Hatta dan di bawahnya dicantumkan tulisan
“DR. IR. SOEKARNO” dan “DR. H. MOHAMMAD HATTA”;
b) di antara gambar Proklamator terdapat teks Proklamasi dengan
latar belakang Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan
pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat
angka nominal “100000”;
d) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar Gedung
Proklamasi;
e) di atas bagian kiri gambar Gedung Proklamasi terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah
cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
f) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan
tersebut terdapat tulisan “SERATUS RIBU RUPIAH”;
g) pada sebelah kiri gambar utama dan di atas tulisan “BANK
INDONESIA” terdapat kode tuna netra (blind code) berupa
2 (dua) buah lingkaran yang terasa kasar apabila diraba;
h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan “BI” dalam bingkai persegi
panjang berbentuk ornamen yang dapat dilihat dari sudut
pandang tertentu;
i) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda
Pancasila;
j) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di
dalam bidang segi lima yang dicetak dengan tinta khusus
(optically ...
-5-
(optically variable ink) yang akan berubah warna dari warna
kuning keemasan menjadi hijau apabila dilihat dari sudut
pandang tertentu;
k) pada sebelah kanan gambar utama terdapat angka tahun
pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan
tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda
tangan Gubernur Bank Indonesia, beserta tulisan
“GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank
Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”;
l) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen tertentu;
m) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” atau “BI” dan
hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat:
1) di tepi kiri atas, tepi kiri tengah dan di tepi kiri bawah yang
membentuk pola dasar dengan warna teks yang berbeda;
2) pada bagian tengah, di bawah teks Proklamasi berbentuk
lengkungan;
3) pada sebelah kanan gambar Proklamator DR. H. Mohammad
Hatta yang membentuk gambar bunga teratai;
4) di tepi kanan atas, tepi kanan tengah dan tepi kanan bawah
yang membentuk pola dasar uang dengan warna teks yang
berbeda;
n) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan ”BANKINDONESIA” yang berbentuk
lengkungan dengan warna dan ukuran teks yang berbeda;
2. bagian ...
-6-
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Gedung Majelis Permusyawaratan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
b) pada sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS
RIBU RUPIAH”;
c) pada sebelah atas gambar utama terdapat gambar Peta Kepulauan
Indonesia yang akan memendar kekuningan di bawah sinar ultra
violet;
d) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa
gambar Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang akan memendar
kemerahan di bawah sinar ultra violet;
e) pada sebelah kiri atas gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat
mata berupa angka nominal “100000” yang akan memendar
kuning kehijauan di bawah sinar ultra violet;
f) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar kehijauan di bawah sinar
ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan
“BANKINDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah
yang akan memendar kekuningan di bawah sinar ultra violet;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
h) pada ...
-7-
h) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah
cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
i) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada
sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal
“100000”;
j) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal
“100000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI
IMP” dan angka tahun pengeluaran “2004”;
k) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” atau “BI” dan
hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat:
1) di tepi kiri tengah yang berbentuk lengkungan;
2) pada bagian kanan atas gambar atap Gedung Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia yang membentuk pola dasar uang;
3) di tepi kanan tengah yang berbentuk lengkungan;
l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan ”BANKINDONESIA” yang berbentuk
lengkungan dengan warna dan ukuran teks yang berbeda;
c. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65 mm;
3. warna merah muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan
electrotype berupa ornamen;
6. benang ...
-8-
6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan mikro
“BI 100000” yang utuh atau terpotong sebagian;
7. jenis pigmen tertentu berbentuk dua garis tanpa celah akan berubah
warna dari merah tembaga menjadi hijau dan warna biru berubah
menjadi kuning keemasan apabila dilihat dari sudut pandang tertentu.
2. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
Ciri uang rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Juli 2011 adalah:
a. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
merah;
b. Gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Proklamator Dr. Ir. Soekarno dan
Dr. H. Mohammad Hatta dan dibawahnya dicantumkan tulisan
“DR. IR. SOEKARNO” dan “DR. H. MOHAMMAD HATTA”;
b) di antara gambar Proklamator terdapat teks Proklamasi dengan
latar belakang Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c) di atas teks Proklamasi terdapat rainbow printing dalam bidang
berbentuk segi empat yang akan berubah warna apabila dilihat
dari sudut pandang berbeda;
d) pada ...
-9-
d) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan
di sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka
nominal “100000”;
e) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar Gedung
Proklamasi;
f) di atas bagian kiri gambar Gedung Proklamasi terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah
cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
g) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan
tersebut terdapat tulisan “SERATUS RIBU RUPIAH”;
h) pada sebelah kiri gambar utama, di atas tulisan “BANK
INDONESIA” terdapat kode tuna netra (blind code) berupa
2 (dua) buah lingkaran berwarna hitam yang terasa kasar apabila
diraba;
i) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan “BI” dalam bingkai persegi
panjang berbentuk ornamen yang dapat dilihat dari sudut
pandang tertentu;
j) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda
Pancasila;
k) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
l) pada ...
-10-
l) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di
dalam bidang segi lima yang dicetak dengan tinta khusus
(optically variable ink) yang akan berubah warna dari warna
kuning keemasan menjadi hijau apabila dilihat dari sudut
pandang tertentu;
m) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun
pencetakan “2011” (angka 2011 akan berubah sesuai dengan
tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda
tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”,
dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “DEPUTI GUBERNUR”;
n) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen tertentu;
o) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” atau “BI” dan
hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat:
1) di tepi kiri atas, tepi kiri tengah dan di tepi kiri bawah yang
membentuk pola dasar dengan warna teks yang berbeda;
2) pada bagian tengah, di bawah teks Proklamasi berbentuk
lengkungan;
3) pada sebelah kanan gambar Proklamator DR. H. Mohammad
Hatta yang membentuk gambar bunga teratai;
4) di tepi kanan atas, tepi kanan tengah dan tepi kanan bawah
yang membentuk pola dasar uang dengan warna teks yang
berbeda;
p) miniteks ...
-11-
p) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan ”BANKINDONESIA” yang berbentuk
lengkungan dengan warna dan ukuran teks yang berbeda;
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Gedung Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia;
b) pada sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS
RIBU RUPIAH”;
c) pada sebelah atas gambar utama terdapat gambar Peta Kepulauan
Indonesia yang akan memendar kekuningan di bawah sinar ultra
violet;
d) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa
gambar Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia yang akan memendar kemerahan di bawah sinar ultra
violet;
e) pada sebelah kiri atas gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat
mata berupa angka nominal “100000” yang akan memendar
kuning kehijauan di bawah sinar ultra violet;
f) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
g) nomor ...
-12-
g) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar kehijauan di bawah sinar
ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan
“BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah
yang akan memendar kekuningan di bawah sinar ultra violet;
h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
i) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah
cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
j) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada
sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal
“100000”;
k) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal
“100000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI
IMP” dan angka tahun pengeluaran “2004”;
l) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” atau “BI” dan
hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat:
1) di tepi kiri tengah yang berbentuk lengkungan;
2) pada bagian kanan atas gambar atap Gedung Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang
membentuk pola dasar uang;
3) di tepi kanan tengah yang berbentuk lengkungan;
m) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah
tanda ...
-13-
tanda air berupa tulisan ”BANKINDONESIA” yang berbentuk
lengkungan dengan warna dan ukuran teks yang berbeda;
c. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65 mm;
3. warna merah muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan
electrotype berupa ornamen;
6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan mikro
“BI 100000” yang utuh atau terpotong sebagian.
3. Pasal 5A dihapus.
Pasal II
Uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku
sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Pasal III
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan ...
-14-
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Agustus 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Agustus 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 77
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/18/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/28/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2004 </reg_title>
<set_date> 1 Agustus 2011 </set_date>
<effective_date> 1 Agustus 2011 </effective_date>
<issued_date> 1 Agustus 2011 </issued_date>
<changed_reg> '6/28/PBI/2004' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '6/14/PBI/2004', '2/PERPPU/2008', '9/10/PBI/2007', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 9/11/PBI/2007
TENTANG
PEDAGANG VALUTA ASING
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam upaya turut memelihara dan mendukung
pencapaian stabilisasi nilai rupiah, pedagang valuta asing
sebagai lembaga penunjang sektor keuangan memiliki
peranan yang cukup strategis, khususnya dalam
perkembangan pasar valuta asing domestik;
b. bahwa dalam upaya menciptakan iklim usaha yang lebih
sehat dan bertanggung jawab serta kegiatan usaha yang
berkesinambungan, pedagang valuta asing bukan bank dan
pedagang valuta asing bank perlu melaksanakan kegiatan
usaha dengan berlandaskan prinsip kehati-hatian, termasuk
penerapan prinsip mengenal nasabah serta kepatuhan
terhadap ketentuan yang berlaku;
c. bahwa dalam upaya turut menanggulangi tindak pidana
pencucian uang, pedagang valuta asing bukan bank dan
pedagang valuta asing bank mempunyai peranan yang
strategis dalam membantu instansi yang berwenang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu mengatur
kembali ketentuan tentang pedagang valuta asing;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 30; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4191) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
108; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4324);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEDAGANG
VALUTA ASING.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang Kertas Asing (banknotes), yang selanjutnya disebut UKA, adalah uang
kertas dalam valuta asing yang resmi diterbitkan oleh suatu negara di
luar Indonesia yang diakui sebagai alat pembayaran yang sah negara yang
bersangkutan (legal tender).
2. Traveller’s Cheque, yang selanjutnya disebut TC, adalah cek perjalanan
dalam valuta asing yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran.
3. Perseroan Terbatas adalah badan hukum sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Pedagang Valuta Asing (money changer), yang selanjutnya disebut PVA,
adalah perusahaan yang melakukan jual beli UKA dan pembelian TC.
5. PVA Bukan Bank adalah perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas
bukan bank yang maksud dan tujuan perseroan adalah melakukan kegiatan
usaha jual beli UKA dan pembelian TC yang telah memenuhi ketentuan dan
persyaratan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
6. PVA Bank adalah bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah,
Bank …
- 4 -
Bank Perkreditan Rakyat, dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah, yang
melakukan kegiatan usaha jual beli UKA dan pembelian TC yang telah
memenuhi ketentuan dan persyaratan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
7. Bank umum bukan bank devisa adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
yang belum memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan
usaha perbankan dalam valuta asing.
8. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional.
9. Bank Perkreditan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS, adalah
Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
10. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) adalah prinsip
yang diterapkan untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan
transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan;
11. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa PVA;
12. Laporan Kegiatan Usaha yang selanjutnya disebut LKU adalah laporan
transaksi pembelian dan penjualan UKA serta pembelian dan pencairan TC.
BAB II …
- 5 -
BAB II
JENIS DAN BIDANG USAHA
Pasal 2
PVA terdiri dari:
a. PVA Bukan Bank;
b. PVA Bank.
Pasal 3
(1) Kegiatan usaha yang dilakukan oleh PVA adalah jual beli UKA dan
pembelian TC.
(2) PVA dilarang melakukan kegiatan usaha lain di luar kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 4
Kurs jual beli UKA dan kurs beli TC ditetapkan oleh PVA sesuai dengan
mekanisme pasar.
BAB III
PEDAGANG VALUTA ASING BUKAN BANK
Bagian Pertama
Perizinan PVA Bukan Bank
Pasal 5
PVA Bukan Bank melakukan kegiatan usaha setelah mendapat izin dari Bank
Indonesia.
Pasal 6 …
- 6 -
Pasal 6
Persyaratan izin usaha bagi PVA Bukan Bank adalah sebagai berikut:
a. perusahaan merupakan badan hukum Perseroan Terbatas yang maksud dan
tujuan perseroan adalah melakukan kegiatan jual beli UKA dan pembelian
TC dan telah mendapat pengesahan sebagai badan hukum Perseroan Terbatas
dari instansi berwenang;
b. pemegang saham perusahaan adalah perorangan warga negara Indonesia
dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemilik dan pengurusnya
terdiri dari warga negara Indonesia;
c. modal disetor PVA Bukan Bank adalah sebagai berikut:
1. paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah);
2. khusus di DKI Jakarta, Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung,
serta Kotamadya Batam paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta Rupiah);
d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama perusahaan yang
bersangkutan; dan
e. memiliki tempat usaha dengan alamat yang jelas, sumber daya manusia dan
sarana penunjang kegiatan yang memadai.
Pasal 7
Persyaratan pengurus PVA Bukan Bank adalah sebagai berikut:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. tidak tercatat sebagai penarik cek dan/atau bilyet giro kosong, dan tidak
memiliki kredit macet yang tercatat pada Bank Indonesia; dan
c. tidak pernah terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan
berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam
2 (dua) tahun terakhir.
Pasal 8 ...
- 7 -
Pasal 8
Persyaratan pemegang saham PVA Bukan Bank adalah sebagai berikut:
a. perorangan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang
seluruh pemilik dan pengurusnya terdiri dari warga negara Indonesia;
b. tidak tercatat sebagai penarik cek dan/atau bilyet giro kosong, dan tidak
memiliki kredit macet yang tercatat pada Bank Indonesia;
c. tidak pernah terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan
berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam
2 (dua) tahun terakhir; dan
d. pemegang saham yang berbentuk badan hukum selain memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c juga wajib
menyampaikan fotokopi akta perusahaan dan izin di bidang usahanya.
Pasal 9
Penyampaian permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 diatur sebagai berikut:
a. bagi pemohon yang berada di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia
disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Pengelolaan Moneter,
Jalan M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350; atau
b. bagi pemohon yang berada di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia
disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat yang mewilayahi lokasi
tempat usaha perusahaan pemohon PVA Bukan Bank dimaksud.
Pasal 10 …
- 8 -
Pasal 10
(1) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan lokasi tempat usaha perusahaan
pemohon izin usaha PVA Bukan Bank untuk mengetahui keberadaan dan
kelayakan lokasi tempat usaha.
(2) Pemeriksaan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, dan
Pasal 8.
(3) Hasil pemeriksaan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan
secara tertulis kepada pemohon paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
tanggal pemeriksaan lokasi.
Pasal 11
(1) Pengurus dan Pemegang saham perusahaan pemohon izin usaha PVA Bukan
Bank harus menghadiri penyuluhan mengenai ketentuan yang terkait dengan
PVA yang diadakan oleh Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Pengurus dan Pemegang saham perusahaan pemohon izin usaha
PVA Bukan Bank tidak menghadiri penyuluhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) maka Bank Indonesia tidak menyetujui permohonan izin usaha PVA
Bukan Bank.
Pasal 12
(1) Perusahaan pemohon izin usaha PVA Bukan Bank harus menyampaikan
pernyataan kesiapan untuk memulai kegiatan usaha sebagai PVA paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak penyuluhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11.
(2) Dalam …
- 9 -
(2) Dalam hal perusahaan pemohon izin usaha PVA Bukan Bank telah
menyampaikan pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia menerbitkan izin usaha sebagai PVA paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya pernyataan kesiapan untuk
memulai kegiatan usaha sebagai PVA oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal perusahaan pemohon izin usaha PVA Bukan Bank tidak
menyampaikan pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
pemohon dinyatakan membatalkan permohonan izin usaha sebagai PVA
Bukan Bank.
Pasal 13
PVA Bukan Bank wajib memasang sertifikat izin usaha sebagai PVA Bukan
Bank yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 14
Pengurus dan/atau pemegang saham PVA Bukan Bank dilarang melakukan
kegiatan jual beli UKA dan pembelian TC untuk kepentingan pribadi dengan
menggunakan PVA Bukan Bank sebagai sarana.
Bagian Kedua
Pembukaan Kantor Cabang PVA Bukan Bank
Pasal 15
(1) PVA Bukan Bank melakukan pembukaan kantor cabang setelah mendapat
persetujuan dari Bank Indonesia.
(2) Penyampaian …
- 10 -
(2) Penyampaian permohonan untuk memperoleh persetujuan pembukaan kantor
cabang PVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
sebagai berikut:
a. bagi pemohon yang berada di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat
Pengelolaan Moneter, Jalan M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350; atau
b. bagi pemohon yang berada di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat yang
mewilayahi PVA Bukan Bank dimaksud.
Pasal 16
Bagi PVA Bukan Bank yang akan membuka kantor cabang di DKI Jakarta,
Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung, serta Kotamadya Batam harus
mempunyai modal disetor paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta Rupiah).
Pasal 17
Persyaratan pembukaan kantor cabang bagi PVA Bukan Bank adalah sebagai
berikut:
a. telah beroperasi paling kurang 1 (satu) tahun sejak tanggal dikeluarkannya
izin usaha sebagai PVA Bukan Bank;
b. memiliki lokasi tempat usaha kantor cabang dengan alamat yang jelas;
c. dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terakhir tidak pernah dikenakan sanksi
Pemanggilan Pengurus dan/atau Pemegang Saham sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 18 ...
- 11 -
Pasal 18
(1) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan lokasi tempat usaha kantor cabang
PVA Bukan Bank untuk mengetahui keberadaan dan kelayakan lokasi tempat
usaha.
(2) Pemeriksaan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
(3) Hasil pemeriksaan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan
secara tertulis kepada PVA Bukan Bank paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sejak tanggal pemeriksaan lokasi.
Pasal 19
(1) PVA Bukan Bank harus menyampaikan pernyataan kesiapan kantor cabang
untuk memulai kegiatan usaha sebagai PVA paling lambat 14 (empat belas)
hari kerja sejak lokasi tempat usaha dinyatakan telah memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3).
(2) Dalam hal PVA Bukan Bank telah menyampaikan pernyataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mengeluarkan persetujuan
pembukaan kantor cabang paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak
tanggal diterimanya pernyataan kesiapan kantor cabang untuk memulai
kegiatan usaha sebagai PVA oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal PVA Bukan Bank tidak menyampaikan pernyataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), maka PVA Bukan Bank yang bersangkutan
dinyatakan membatalkan permohonan pembukaan kantor cabang.
Bagian …
- 12 -
Bagian Ketiga
Pemindahan Alamat Kantor PVA Bukan Bank
Pasal 20
(1) Pemindahan alamat kantor PVA Bukan Bank wajib terlebih dahulu
memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
(2) Penyampaian permohonan untuk memperoleh persetujuan pemindahan
alamat kantor PVA Bukan Bank ditujukan kepada Bank Indonesia dengan
alamat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2).
Pasal 21
Bagi PVA Bukan Bank yang akan memindahkan alamat kantor pusat dan/atau
kantor cabang ke DKI Jakarta, Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung,
serta Kotamadya Batam harus mempunyai modal disetor paling sedikit
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta Rupiah).
Pasal 22
(1) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan lokasi baru alamat kantor PVA
Bukan Bank untuk mengetahui keberadaan dan kelayakan lokasi tempat
usaha.
(2) Hasil pemeriksaan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan
secara tertulis kepada PVA Bukan Bank paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sejak tanggal pemeriksaan lokasi.
Pasal 23 …
- 13 -
Pasal 23
(1) PVA Bukan Bank harus menyampaikan pernyataan kesiapan memulai
kegiatan usaha sebagai PVA di alamat yang baru paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja sejak lokasi tempat usaha dinyatakan telah memenuhi
persyaratan.
(2) Dalam hal PVA Bukan Bank telah menyampaikan pernyataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mengeluarkan persetujuan
pemindahan alamat kantor paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak
tanggal diterimanya pernyataan kesiapan memulai kegiatan usaha sebagai
PVA di alamat yang baru oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal PVA Bukan Bank tidak menyampaikan pernyataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), maka PVA Bukan Bank yang bersangkutan
dinyatakan membatalkan permohonan pindah alamat kantor.
Bagian Keempat
Perubahan Pengurus dan/atau Pemegang Saham PVA Bukan Bank
Pasal 24
(1) Perubahan pengurus dan/atau pemegang saham PVA Bukan Bank wajib
terlebih dahulu memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
(2) Penyampaian permohonan untuk memperoleh persetujuan perubahan
pengurus dan/atau pemegang saham PVA Bukan Bank ditujukan kepada
Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (2).
Pasal 25 …
- 14 -
Pasal 25
Calon pengurus dan/atau pemegang saham PVA Bukan Bank yang diusulkan
sebagai pengganti wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan/atau Pasal 8;
dan
b. menghadiri penyuluhan mengenai ketentuan yang terkait dengan PVA yang
diadakan oleh Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1).
Bagian Kelima
Perubahan Nama, Modal Dasar dan/atau Modal Disetor PVA Bukan Bank
Pasal 26
(1) Perubahan nama Perseroan Terbatas PVA Bukan Bank wajib dilaporkan
kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak
perubahan tersebut memperoleh pengesahan dari instansi yang berwenang.
(2) Penyampaian perubahan nama Perseroan Terbatas PVA Bukan Bank
ditujukan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2).
Pasal 27
(1) Perubahan Modal Dasar dan/atau Modal Disetor PVA Bukan Bank wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kalender sejak perubahan tersebut memperoleh pengesahan dari instansi yang
berwenang.
(2) Penyampaian …
- 15 -
(2) Penyampaian perubahan Modal Dasar dan/atau Modal Disetor PVA Bukan
Bank ditujukan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2).
Bagian Keenam
Penghentian Sementara atau Permanen Kegiatan Usaha PVA Bukan Bank
Pasal 28
(1) PVA Bukan Bank wajib melapor kepada Bank Indonesia dalam hal terjadi
penghentian kegiatan usaha kantor pusat atau kantor cabang baik yang
bersifat sementara maupun permanen.
(2) Penyampaian penghentian kegiatan usaha kantor pusat atau kantor cabang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditujukan kepada Bank Indonesia
dengan alamat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2).
(3) Penghentian kegiatan usaha yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang
paling lama 6 (enam) bulan.
(4) PVA Bukan Bank yang melakukan penghentian kegiatan usaha yang bersifat
sementara wajib melakukan pembukaan kembali kegiatan usaha kantor pusat
dan/atau kantor cabang dan melaporkan pembukaan tersebut kepada Bank
Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak dibukanya
kembali kegiatan usaha.
(5) PVA Bukan Bank yang melakukan penghentian kegiatan usaha yang bersifat
permanen terlebih dahulu menyampaikan rencana penghentian tersebut
kepada Bank Indonesia, dilampiri dengan dokumen:
a. alasan penghentian;
b. pernyataan …
- 16 -
b. pernyataan dari PVA Bukan Bank bahwa seluruh hak dan kewajiban
yang terkait dengan kegiatan PVA Bukan Bank yang dilaksanakan
sebelum tanggal penghentian telah diselesaikan dan sepenuhnya menjadi
tanggung jawab PVA Bukan Bank.
(6) Dalam hal PVA Bukan Bank melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor
pusat yang bersifat permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), izin
usaha PVA Bukan Bank dinyatakan tidak berlaku.
(7) Dalam hal PVA Bukan Bank melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor
cabang yang bersifat permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
persetujuan pembukaan kantor cabang PVA Bukan Bank dinyatakan tidak
berlaku.
BAB IV
PEDAGANG VALUTA ASING BANK
Bagian Pertama
Perizinan PVA Bank
Pasal 29
PVA Bank melakukan kegiatan usaha sebagai PVA setelah mendapat persetujuan
dari Bank Indonesia.
Pasal 30
(1) Bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah, BPR, dan BPRS yang
akan melakukan kegiatan usaha sebagai PVA sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki …
- 17 -
a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
b. rencana melakukan kegiatan usaha sebagai PVA tercantum dalam
Rencana Bisnis Bank bagi bank umum bukan bank devisa dan Rencana
Kerja dan Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja bagi BPR dan BPRS;
dan
c. menyertakan rencana kesiapan operasional.
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) khusus
untuk BPR dan BPRS wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki tingkat kesehatan selama 12 (duabelas) bulan terakhir
tergolong sehat; dan
b. memenuhi persyaratan modal disetor dan kepengurusan sesuai ketentuan
yang berlaku.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2)
berdasarkan data Bank Indonesia.
Pasal 31
Penyampaian permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
dilakukan oleh kantor pusat bank yang bersangkutan yang diatur sebagai berikut:
a. bagi bank umum bukan bank devisa yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Perizinan dan
Informasi Perbankan Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350;
b. bagi bank umum bukan bank devisa yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional dan juga melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah yang
berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan
kepada …
- 18 -
kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan Jl.
M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350;
c. bagi bank umum bukan bank devisa yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah dan BPRS yang berkantor pusat di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq.
Direktorat Perbankan Syariah, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350;
d. bagi BPR yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia
disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Pengawasan Bank
Perkreditan Rakyat Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank
Perkreditan Rakyat; atau
e. bagi bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah, BPR, dan BPRS
yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia
disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat yang mewilayahi PVA
dimaksud.
Pasal 32
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah
dokumen permohonan diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia.
(2) Pelaksanaan kegiatan PVA Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
persetujuan dari Bank Indonesia dikeluarkan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) PVA
Bank tidak melaksanakan kegiatan PVA, persetujuan yang telah diberikan
dinyatakan tidak berlaku.
(4) Pelaksanaan …
- 19 -
(4) Pelaksanaan kegiatan PVA wajib dilaporkan oleh kantor pusat bank kepada
Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal
pelaksanaan kegiatan PVA.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Kegiatan PVA Pada Kantor-Kantor Bank
Pasal 33
(1) PVA Bank dapat melakukan kegiatan PVA pada kantor-kantornya yang lain
sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. rencana kantor bank yang akan melakukan kegiatan usaha sebagai PVA
telah tercantum dalam Rencana Bisnis Bank bagi bank umum bukan
bank devisa dan Rencana Kerja dan Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja
bagi BPR dan BPRS; dan
b. melaporkan rencana tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender
sebelum pelaksanaan kegiatan PVA disertai dengan rencana kesiapan
operasional.
(2) PVA Bank wajib melaporkan pelaksanaan kegiatan PVA di kantor bank
kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal
pelaksanaan kegiatan PVA.
Bagian Ketiga
Penghentian Kegiatan Usaha Sebagai PVA Bank
Pasal 34
(1) PVA Bank dapat menghentikan kegiatan usaha sebagai PVA dengan terlebih
dahulu menyampaikan rencana penghentian tersebut kepada Bank Indonesia
paling …
- 20 -
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sebelum tanggal penghentian
kegiatan usaha sebagai PVA, dilampiri dengan dokumen:
a. alasan penghentian;
b. pernyataan dari PVA Bank bahwa seluruh hak dan kewajiban yang
terkait dengan kegiatan PVA Bank yang dilaksanakan sebelum tanggal
penghentian telah diselesaikan dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab
PVA Bank.
(2) Persetujuan penghentian kegiatan usaha sebagai PVA disampaikan oleh
Bank Indonesia kepada PVA Bank paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kalender setelah surat permohonan penghentian kegiatan usaha sebagai PVA
diterima lengkap oleh Bank Indonesia.
(3) Pelaksanaan penghentian kegiatan PVA Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaporkan oleh Kantor Pusat Bank kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
setelah tanggal pelaksanaan penghentian kegiatan PVA.
Pasal 35
(1) PVA Bank dapat menghentikan kegiatan usaha sebagai PVA pada satu atau
lebih kantor bank.
(2) Pelaksanaan penghentian kegiatan PVA di kantor bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Kantor Pusat Bank kepada
Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal
pelaksanaan penghentian kegiatan PVA di kantor bank dengan disertai alasan
penghentian.
Pasal 36 …
- 21 -
Pasal 36
Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4), Pasal 33
ayat (2), Pasal 34 ayat (3), Pasal 35 ayat (2) dilakukan oleh kantor pusat bank
yang bersangkutan yang diatur sebagai berikut:
a. bagi bank umum bukan bank devisa yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Pengawasan
Bank terkait Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350;
b. bagi bank umum bukan bank devisa yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional dan juga melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah yang
berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan
kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Pengawasan Bank terkait Jl. M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10350;
c. bagi bank umum bukan bank devisa yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah dan BPRS yang berkantor pusat di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq.
Direktorat Perbankan Syariah, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350;
d. bagi BPR yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Pengawasan
Bank Perkreditan Rakyat Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350; atau
e. bagi bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah, BPR, dan BPRS
yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia
disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat yang mewilayahi PVA
dimaksud.
Bagian …
- 22 -
Bagian Keempat
Saldo Harian Pos Aktiva Dalam Valuta Asing
Pasal 37
PVA Bank diperbolehkan memiliki saldo harian pos aktiva dalam valuta asing
paling tinggi sebesar 20% (dua puluh per seratus) dari modal disetor.
Bagian Kelima
Status PVA Bagi Bank Yang Dibekukan atau Dicabut Izin Usaha
Pasal 38
Persetujuan PVA Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dinyatakan tidak
berlaku dalam hal seluruh kegiatan usaha Bank yang bersangkutan dibekukan
atau izin usaha Bank dicabut oleh otoritas yang berwenang.
Pasal 39
(1) BPR dan BPRS yang ditetapkan dalam pengawasan khusus, belum
memenuhi ketentuan modal disetor, atau kepengurusan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku tidak dapat melakukan kegiatan usaha sebagai PVA.
(2) Kegiatan usaha sebagai PVA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan kembali setelah BPR dan BPRS yang bersangkutan dikeluarkan
dari status pengawasan khusus, memenuhi ketentuan modal disetor dan
kepengurusan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
BAB V …
- 23 -
BAB V
PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI PVA
Pasal 40
(1) PVA wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer
Principles) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), PVA wajib paling kurang menetapkan:
a. kebijakan penerimaan Nasabah;
b. kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi Nasabah;
c. kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap transaksi Nasabah; dan
d. kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Pasal 41
(1) Pengurus dan Pemegang Saham PVA Bukan Bank bertanggung jawab atas
penerapan dan pengawasan pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
(2) Pengurus PVA Bukan Bank bertanggung jawab atas pemberian pengetahuan
dan/atau pelatihan bagi karyawan mengenai penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah.
Pasal 42
PVA Bukan Bank wajib menyampaikan fotokopi kebijakan dan prosedur
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah kepada Bank Indonesia paling lambat 30
hari kalender sejak dikeluarkannya izin usaha sebagai PVA Bukan Bank.
BAB VI …
…
- 24 -
BAB VI
PENGAWASAN DAN PELAPORAN
Pasal 43
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap PVA.
(2) Pengawasan dan pembinaan terhadap PVA Bank dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
(3) Dalam hal melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap PVA Bukan
Bank, Bank Indonesia dapat menyampaikan Surat Pembinaan yang wajib
ditindaklanjuti oleh PVA Bukan Bank.
Pasal 44
(1) Dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan terhadap PVA Bukan Bank,
Bank Indonesia dapat bermitra atau menunjuk Asosiasi PVA dan/atau pihak
lain.
(2) Asosiasi PVA dan/atau pihak lain yang bermitra atau ditunjuk oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. menjaga kerahasiaan data yang diperolehnya dari hasil pengawasan dan
pembinaan yang dilakukan dan tunduk kepada peraturan perundang-
undangan yang berlaku mengenai rahasia jabatan; dan
b. menyampaikan laporan hasil pengawasan dan pembinaan kepada Bank
Indonesia.
Pasal 45
(1) PVA wajib menyampaikan laporan berkala kepada Bank Indonesia dengan
lengkap, benar, dan akurat.
(2) Laporan …
- 25 -
(2) Laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. bagi PVA Bank berupa LKU; atau
b. bagi PVA Bukan Bank berupa LKU dan laporan keuangan.
(3) Bagi PVA Bukan Bank selain menyampaikan laporan berkala sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) juga wajib menyampaikan laporan khusus apabila
diperlukan.
(4) PVA harus menyimpan warkat transaksi jual-beli UKA dan pembelian TC
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 46
Batas waktu penyampaian laporan berkala diatur sebagai berikut:
a. PVA wajib menyampaikan LKU setiap triwulan paling lambat pada akhir
bulan berikutnya.
b. PVA Bukan Bank wajib menyampaikan Laporan Keuangan paling lambat
pada akhir bulan Maret tahun berikutnya.
Pasal 47
(1) PVA Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan berkala, apabila
laporan berkala disampaikan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud
pada Pasal 46 sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya
batas waktu tersebut.
(2) PVA Bukan Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan berkala,
apabila laporan berkala tidak disampaikan dalam batas waktu sebagaimana
dimaksud pada Pasal 46.
(3) PVA Bank …
- 26 -
(3) PVA Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan berkala, apabila Bank
Indonesia belum menerima laporan berkala sampai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal PVA Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan berkala, hal
tersebut tidak meniadakan kewajiban PVA Bank untuk menyampaikan
laporan berkala kepada Bank Indonesia.
(5) Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian laporan berkala sebagaimana
dimaksud pada Pasal 46 huruf a dan huruf b jatuh pada hari Sabtu, Minggu,
atau hari libur maka laporan berkala disampaikan pada hari kerja berikutnya.
Pasal 48
Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 diatur sebagai
berikut:
a. bagi PVA yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia
disampaikan kepada Bank Indonesia, Direktorat Pengelolaan Moneter cq.
Bagian Pengaturan dan Pengawasan PVA, dan Administrasi, Jl. M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10350; atau
b. bagi PVA yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat yang
mewilayahi PVA dimaksud.
Pasal 49
(1) Selain laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dan ayat (3),
PVA wajib menyampaikan:
a. laporan kegiatan Lalu Lintas Devisa; dan
b. laporan …
- 27 -
b. laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, dan transaksi keuangan
yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif tertentu.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
SANKSI
Bagian Pertama
PVA Bukan Bank
Pasal 50
(1) Dalam hal PVA Bukan Bank melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang
diatur dalam Peraturan ini, Bank Indonesia mengenakan sanksi sebagai
berikut:
a. peringatan pertama;
b. peringatan kedua;
c. pemanggilan pengurus dan/atau pemegang saham;
d. pencabutan izin usaha.
(2) Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan pertama dalam hal PVA
Bukan Bank melakukan pelanggaran sebagai berikut:
a. terlambat menyampaikan laporan berkala hingga batas waktu yang
ditetapkan; dan/atau
b. tidak menyampaikan laporan khusus hingga batas waktu yang
ditetapkan.
(3) Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan kedua dalam hal PVA Bukan
Bank melakukan pelanggaran sebagai berikut:
a. tidak mengindahkan dan/atau tidak menindaklanjuti sanksi peringatan
pertama atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
lambat …
- 28 -
lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi peringatan
pertama; dan/atau
b. melakukan pelanggaran yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
untuk kedua kali dalam waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal
dikeluarkannya sanksi peringatan pertama.
(4) Bank Indonesia mengenakan sanksi pemanggilan pengurus dan/atau
pemegang saham dalam hal PVA Bukan Bank melakukan pelanggaran
sebagai berikut:
a. melakukan kegiatan usaha di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1);
b. pengurus dan/atau pemegang saham terbukti melakukan tindak pidana di
bidang keuangan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap;
c. tidak memasang sertifikat izin usaha sebagai PVA yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia;
d. pengurus dan/atau pemegang saham PVA Bukan Bank melakukan
kegiatan jual beli UKA dan pembelian TC untuk kepentingan pribadi
dengan menggunakan PVA Bukan Bank sebagai sarana;
e. melakukan pembukaan kantor cabang sebelum mendapat persetujuan
dari Bank Indonesia;
f. melakukan pemindahan alamat kantor sebelum mendapat persetujuan
dari Bank Indonesia;
g. melakukan perubahan pengurus dan/atau pemegang saham sebelum
mendapat persetujuan dari Bank Indonesia;
h. tidak melaporkan perubahan nama Perseroan Terbatas hingga batas
waktu yang ditetapkan;
i. tidak melaporkan perubahan modal dasar dan/atau modal disetor hingga
batas waktu yang ditetapkan;
j. tidak …
- 29 -
j. tidak melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor pusat atau kantor
cabang yang bersifat sementara;
k. tidak melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor pusat atau kantor
cabang yang bersifat permanen;
l. tidak melaporkan mulai beroperasi kegiatan usaha kantor pusat atau
kantor cabang setelah tutup sementara;
m. tidak menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 dan Pasal 41;
n. tidak menyampaikan fotokopi kebijakan dan prosedur penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah hingga batas waktu yang ditetapkan;
o. tidak menindaklanjuti surat pembinaan berdasarkan hasil pemeriksaan
hingga batas waktu yang ditetapkan;
p. menyampaikan laporan berkala serta laporan khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 secara tidak benar dan akurat;
q. tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
ayat (1);
r. tidak mengindahkan dan/atau tidak menindaklanjuti sanksi peringatan
kedua paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi
peringatan kedua; dan/atau
s. melakukan pelanggaran yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
untuk ketiga kali dalam waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal sanksi
peringatan pertama;
(5) Bank Indonesia mengenakan sanksi pencabutan izin usaha dalam hal PVA
Bukan Bank tidak mengindahkan dan/atau tidak menindaklanjuti sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 6 (enam) bulan sejak
tanggal dikeluarkannya sanksi pemanggilan pengurus dan/atau pemegang
saham.
Bagian …
- 30 -
Bagian Kedua
PVA Bank
Pasal 51
(1) PVA Bank yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. teguran tertulis;
b. penilaian manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan; dan/atau
c. persetujuan kegiatan PVA yang telah diberikan dinyatakan tidak
berlaku.
(2) PVA Bank yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29, dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. teguran tertulis;
b. penilaian manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan; dan/atau
c. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham Bank dalam daftar
pihak-pihak yang mendapatkan predikat Tidak Lulus dalam penilaian
kemampuan dan kepatutan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan.
(3) PVA Bank yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (4), Pasal 33 ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3) dikenakan sanksi
sebagai berikut:
a. bagi bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah:
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah)
untuk setiap keterlambatan.
b. bagi BPR dan BPRS
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban …
- 31 -
2) kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah)
untuk setiap keterlambatan.
(4) PVA Bank yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37, dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. bagi bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah:
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah)
untuk setiap kelebihan 1% dari modal disetor.
b. bagi BPR dan BPRS
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah)
untuk setiap kelebihan 1% dari modal disetor.
(5) PVA Bank yang terlambat menyampaikan laporan berkala sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. bagi bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah:
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah)
untuk setiap laporan.
b. bagi BPR dan BPRS:
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah)
untuk setiap laporan.
(6) PVA Bank yang tidak menyampaikan laporan berkala sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3), dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. bagi bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah:
1) teguran …
- 32 -
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban membayar sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus
ribu Rupiah) untuk setiap laporan.
b. bagi BPR dan BPRS:
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu Rupiah) untuk setiap laporan.
(7) PVA Bank yang menyampaikan laporan secara tidak benar dan tidak akurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), dikenakan sanksi sebagai
berikut:
a. bagi bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah:
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah)
untuk setiap laporan.
b. bagi BPR dan BPRS:
1) teguran tertulis; dan
2) kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah)
untuk setiap laporan.
Pasal 52
PVA yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 dan Pasal 49 dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
BAB VIII …
- 33 -
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
(1) Izin usaha PVA Bukan Bank yang telah diberikan oleh Bank Indonesia
sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, dinyatakan tetap berlaku.
(2) PVA Bukan Bank yang mendapatkan izin usaha dari Bank Indonesia
sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan belum menyampaikan
fotokopi kebijakan dan prosedur penerapan Prinsip Mengenal Nasabah wajib
menyampaikannya kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) bulan sejak
diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Dalam hal PVA Bukan Bank tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), Bank Indonesia mengenakan sanksi pemanggilan
pengurus dan/atau pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (4) huruf n.
(4) PVA Bukan Bank yang mendapatkan izin usaha dari Bank Indonesia
sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini harus memasang sertifikat
izin usaha sebagai PVA yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia paling lambat
1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini.
(5) PVA Bukan Bank di DKI Jakarta, Kotamadya Denpasar dan Kabupaten
Badung, serta Kotamadya Batam dan PVA Bukan Bank yang telah memiliki
kantor cabang di DKI Jakarta, Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung,
serta Kotamadya Batam, yang mendapatkan izin usaha dan/atau persetujuan
pembukaan kantor cabang dari Bank Indonesia sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini wajib memenuhi modal disetor paling sedikit
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta Rupiah) dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini.
(6) Izin …
- 34 -
(6) Izin usaha PVA Bukan Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dalam hal
tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (5).
(7) Permohonan izin usaha PVA Bukan Bank yang sudah diterima oleh Bank
Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini akan diproses
sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No.6/1/PBI/2004 tanggal 6 Januari
2004 tentang Pedagang Valuta Asing.
Pasal 54
(1) Kantor cabang bank umum devisa yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah, yang telah mendapatkan
persetujuan Bank Indonesia sebagai PVA Bank sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini, dilaporkan oleh kantor pusat bank dimaksud
kepada Bank Indonesia sebagai kantor cabang yang melakukan kegiatan
usaha perbankan dalam valuta asing.
(2) Kantor pusat dan kantor cabang bank umum bukan devisa yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional, dan/atau berdasarkan
prinsip syariah yang telah memperoleh izin sebagai PVA Bank sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini harus melakukan pendaftaran ulang
untuk memperoleh persetujuan sebagai PVA berdasarkan Peraturan Bank
Indonesia ini
Pasal 55
(1) Pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2)
disampaikan dengan permohonan tertulis disertai dengan fotokopi izin usaha
sebagai PVA yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, paling lambat 6 (enam)
bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Izin …
- 35 -
(2) Izin usaha PVA Bank yang dikeluarkan kepada kantor pusat dan kantor
cabang bank umum bukan devisa yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional, dan/atau berdasarkan prinsip syariah dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku dalam hal tidak melakukan pendaftaran ulang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 56
Penyampaian permohonan pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
55 ayat (2) diatur sebagai berikut:
a. bagi kantor pusat dan kantor cabang bank umum bukan devisa yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berkantor pusat di
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank
Indonesia cq. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan Jl. M.H. Thamrin
No. 2 Jakarta 10350;
b. bagi kantor pusat dan kantor cabang bank umum bukan devisa yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang berkantor
pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia disampaikan kepada
Bank Indonesia cq. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350;
c. bagi kantor pusat dan kantor cabang bank umum bukan devisa yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan
prinsip syariah, berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat yang
mewilayahi PVA dimaksud.
BAB IX …
- 36 -
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 57
Ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 58
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/1/PBI/2004 tanggal 6 Januari 2004 tentang Pedagang Valuta
Asing dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 59
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 September 2007
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 118
DPM/DPNP/DPBS/DPBPR
- 37 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 9/11/PBI/2007
TENTANG
PEDAGANG VALUTA ASING
UMUM
Dalam rangka kesinambungan pengaturan terhadap pedagang valuta
asing yang meliputi kegiatan pemberian izin usaha, pengawasan dan pembinaan
yang dilakukan oleh Bank Indonesia sejak tahun 1967 berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1965 tentang Tata Tjara Penggunaan, Pembebanan
dan Pemindahan Hak Atas Devisa Jang Tidak Diharuskan Untuk Diserahkan
Kepada Dana Devisa (Devisa Pelengkap), dan upaya melindungi kepentingan
publik agar tidak terjadi distorsi (market failure) dalam kegiatan perekonomian
nasional khususnya transaksi jual beli uang kertas asing, Bank Indonesia
mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pedagang Valuta Asing.
Dalam perkembangan pasar keuangan domestik, sebagai lembaga
penunjang sektor keuangan, pedagang valuta asing yang terdiri dari bank (yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip
syariah) serta bukan bank, memiliki peranan yang cukup strategis dalam
mempengaruhi perkembangan kegiatan transaksi jual-beli uang kertas asing dan
pembelian traveller’s cheque.
Sehubungan dengan hal itu, dalam rangka memberikan rasa aman dan
kepastian hukum kepada masyarakat dalam melakukan transaksi, salah satu
persyaratan pokok menjadi pedagang valuta asing adalah berbadan hukum
perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Hal ini mengingat badan hukum
perseroan …
- 38 -
perseroan terbatas memiliki sifat/karakteristik lebih tegas dan jelas dari
sisi pengaturan akuntabilitas dan transparansi kepada publik dibandingkan
bentuk badan hukum lain.
Selanjutnya, dalam upaya mencegah industri pedagang valuta asing
digunakan sebagai sarana atau sasaran kejahatan, baik yang dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung oleh pelaku kejahatan, serta dengan
memperhatikan rekomendasi The Financial Action Task Force on Money
Laundering (FATF), maka pedagang valuta asing perlu menerapkan Prinsip
Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles).
Sementara itu, untuk lebih meningkatkan efesiensi dan efektifitas
kegiatan yang berkaitan dengan pedagang valuta asing sejalan dengan semakin
pesatnya perkembangan kelembagaan dan kegiatan transaksi, maka perlu
dilakukan desentralisasi kewenangan dalam perizinan, pengawasan dan
pembinaan terhadap pedagang valuta asing yang berkedudukan di luar wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia ke Kantor Bank Indonesia setempat.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kegiatan usaha lain yang dilarang dilakukan PVA antara lain:
a. memelihara …
- 39 -
a. memelihara hubungan korespondensi dengan bank-bank di luar
negeri guna mengeluarkan langsung perintah pembayaran yang
diuangkan di luar negeri;
b. mentransfer/menagih sendiri ke luar negeri;
c. bertindak sebagai agen penjualan TC; dan/atau
d. melakukan kegiatan margin trading, spot, forward, swap dan
transaksi derivatif lainnya.
Yang dimaksud margin trading adalah transaksi jual beli mata
uang (valuta) tanpa diikuti pergerakan dana, melainkan hanya
marjin selisih kurs.
Yang dimaksud spot adalah transaksi jual/beli tunai antara dua
mata uang (valuta) dengan penyerahan dana dilakukan dua hari
kerja setelah tanggal transaksi.
Yang dimaksud forward adalah transaksi jual/beli berjangka antara
dua mata uang (valuta) dengan penyerahan dana dilakukan lebih
dari dua hari kerja setelah tanggal transaksi.
Yang dimaksud swap adalah transaksi pertukaran antara dua mata
uang (valuta) melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan
penjualan atau pembelian secara berjangka (forward) yang
dilakukan secara bersamaan.
Yang dimaksud transaksi derivatif adalah transaksi yang didasari
oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya
merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti
suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks, baik yang
diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau
instrumen.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5 …
- 40 -
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Pengaturan modal disetor khusus di DKI Jakarta, Kotamadya
Denpasar dan Kabupaten Badung, serta Kotamadya Batam
mempertimbangkan antara lain untuk meningkatkan
profesionalisme dan daya saing PVA Bukan Bank di daerah
tersebut.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Penilaian dilakukan antara lain berdasarkan informasi yang diperoleh
Bank Indonesia dan/atau informasi yang diketahui oleh umum
Pasal 8 …
- 41 -
Pasal 8
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Penilaian dilakukan antara lain berdasarkan informasi yang diperoleh
Bank Indonesia dan/atau informasi yang diketahui oleh umum
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Yang dimaksud PVA Bukan Bank dalam Pasal ini adalah PVA Bukan Bank
yang dimiliki oleh pemegang saham dan dikelola oleh pengurus yang
bersangkutan.
Yang dimaksud dengan kepentingan pribadi adalah kegiatan jual beli UKA
dan pembelian TC yang tidak dicatat dalam pembukuan PVA Bukan Bank
yang bersangkutan.
Pasal 15 …
- 42 -
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ketentuan pada ayat ini berlaku bagi PVA Bukan Bank yang berada di luar
DKI Jakarta, Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung, serta
Kotamadya Batam.
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Pengesahan dimaksud sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Ayat (2) …
- 43 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Pengesahan dimaksud sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Penghentian kegiatan usaha kantor pusat secara otomatis
menghentikan kegiatan usaha semua kantor cabangnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Perpanjangan penghentian kegiatan usaha yang bersifat sementara
hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30 …
- 44 -
Pasal 30
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud rencana kesiapan operasional adalah:
a. menyebutkan kantor bank yang akan melakukan kegiatan
usaha sebagai PVA
b. memiliki tempat usaha di kantor bank yang diajukan
c. sumber daya manusia yang memadai
d. sarana penunjang kegiatan yang memadai termasuk kebijakan,
sistem dan prosedur secara tertulis
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36 …
- 45 -
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Yang dimaksud dengan pos aktiva dalam valuta asing adalah pos dalam
laporan bulanan BPR dan BPRS sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia meliputi kegiatan
pengawasan langsung/pemeriksaan dan pengawasan tidak langsung,
antara lain pemantauan terhadap pelaksanaan ketentuan yang
berlaku
disampaikan.
Pembinaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia antara lain
pelatihan penyusunan laporan dan penyuluhan mengenai Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) …
dan penelitian terhadap kebenaran laporan yang
- 46 -
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Yang dimaksud dengan lengkap untuk LKU adalah apabila laporan meliputi
jenis transaksi UKA dan TC dalam masing-masing bulan pada setiap
periode laporan.
Yang dimaksud dengan lengkap untuk laporan keuangan adalah apabila
laporan telah mencakup Neraca, Laporan Laba/Rugi, dan Laporan
Perubahan Ekuitas.
Yang dimaksud dengan laporan khusus adalah laporan yang bersifat
insidentil yang diminta Bank Indonesia dalam hal diperlukan.
Pasal 46
Huruf a
LKU triwulan I (Januari, Februari, dan Maret) disampaikan paling
lambat akhir bulan April tahun berjalan.
LKU triwulan II (April, Mei, dan Juni) disampaikan paling lambat
akhir bulan Juli tahun berjalan.
LKU triwulan III (Juli, Agustus, dan September) disampaikan paling
lambat akhir bulan Oktober tahun berjalan.
LKU triwulan IV (Oktober, November, dan Desember) disampaikan
paling lambat akhir bulan Januari tahun berikutnya.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 47
Apabila LKU Triwulan I disampaikan oleh PVA Bukan Bank:
- antara …
- 47 -
- antara tanggal 1 s.d. 30 April, maka PVA Bukan Bank dinyatakan telah
menyampaikan laporan berkala secara tepat waktu
- setelah tanggal 30 April, maka PVA Bukan Bank dinyatakan terlambat
menyampaikan laporan berkala
Apabila LKU Triwulan I disampaikan oleh PVA Bank:
- antara tanggal 1 s.d. 30 April, maka PVA Bank dinyatakan telah
menyampaikan laporan berkala secara tepat waktu
- setelah tanggal 1 s.d. 31 Mei, maka PVA Bank dinyatakan terlambat
menyampaikan laporan berkala
- setelah tanggal 31 Mei, maka PVA Bank dinyatakan tidak
menyampaikan laporan berkala
Yang termasuk hari libur adalah hari libur nasional dan hari libur setempat
yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I.
Yang dimaksud dengan hari kerja berikutnya adalah hari kerja yang jatuh
setelah hari Sabtu, Minggu, atau hari libur.
Contoh: LKU triwulan I 2006 yang wajib disampaikan paling lambat
tanggal 30 April 2006 jatuh pada hari Minggu, maka batas akhir
penyampaian LKU triwulan I 2006 adalah pada hari Senin tanggal 1 Mei
2006.
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah
transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta
kebiasaan …
- 48 -
kebiasaan pola transaksi dari nasabah atau pengguna jasa
bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah atau
pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib
dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Setiap kelebihan dibawah 1% dibulatkan ke atas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup …
- 49 -
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Dalam hal PVA Bukan Bank di DKI Jakarta, Kotamadya Denpasar
dan Kabupaten Badung, serta Kotamadya Batam yang telah
mendapatkan izin usaha dari Bank Indonesia sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini akan melakukan pembukaan kantor
cabang di DKI Jakarta, Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung,
serta Kotamadya Batam tetap diberlakukan ketentuan Pasal 16 yaitu
harus memenuhi modal disetor paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta Rupiah).
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57 …
- 50 -
Pasal 57
Hal-hal yang diatur antara lain meliputi tatacara perizinan, pendaftaran
ulang izin usaha, penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, pengawasan,
pelaporan, dan pengenaan sanksi.
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4764
DPM/DPNP/DPBS/DPBPR
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 9/11/PBI/2007 </reg_id>
<reg_title> PEDAGANG VALUTA ASING </reg_title>
<set_date> 5 September 2007 </set_date>
<effective_date> 5 September 2007 </effective_date>
<replaced_reg> '6/1/PBI/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '24/UU/1999', '15/UU/2002', '25/UU/2003' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/6/PBI/2005
TENTANG
TRANSPARANSI INFORMASI PRODUK BANK DAN
PENGGUNAAN DATA PRIBADI NASABAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa transparansi informasi mengenai
produk bank
merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan good
governance pada industri perbankan dan memberdayakan
nasabah;
b. bahwa transparansi informasi mengenai produk bank
sangat diperlukan untuk memberikan kejelasan pada
nasabah mengenai manfaat dan risiko yang melekat pada
produk bank;
c. bahwa transparansi terhadap penggunaan data pribadi
yang disampaikan nasabah kepada bank diperlukan untuk
meningkatkan perlindungan terhadap hak-hak
nasabah dalam berhubungan dengan bank;
pribadi
d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk mengatur
transparansi informasi produk bank dan penggunaan data
pribadi nasabah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia .....
- 2 -
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790);
2. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3821);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
TRANSPARANSI INFORMASI PRODUK BANK DAN
PENGGUNAAN DATA PRIBADI NASABAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal
1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud …..
- 3 -
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
termasuk kantor cabang bank asing.
2. Kantor Bank adalah kantor pusat, kantor cabang, dan kantor di bawah kantor
cabang.
3. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank, termasuk pihak yang
tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa Bank untuk melakukan
transaksi keuangan (walk-in customer).
4. Produk Bank adalah produk dan atau jasa perbankan termasuk produk dan
atau jasa lembaga keuangan bukan Bank yang dipasarkan oleh Bank sebagai
agen pemasaran.
5. Pihak Lain adalah pihak-pihak di luar Bank, termasuk namun tidak terbatas
pada pihak-pihak yang berada dalam satu kelompok usaha dengan Bank.
6. Data Pribadi Nasabah adalah identitas yang lazim disediakan oleh Nasabah
kepada Bank dalam rangka melakukan transaksi keuangan dengan Bank.
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan transparansi informasi mengenai Produk Bank dan
penggunaan Data Pribadi Nasabah.
(2) Dalam menerapkan transparansi informasi mengenai Produk Bank dan
penggunaan Data Pribadi Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank wajib menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis yang
meliputi:
a. transparansi informasi mengenai Produk Bank; dan
b. transparansi penggunaan Data Pribadi Nasabah;
(3) Kebijakan .....
- 4 -
(3) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
diberlakukan di seluruh Kantor Bank.
Pasal 3
Direksi Bank bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan dan prosedur
transparansi informasi mengenai Produk Bank dan penggunaan Data Pribadi
Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
BAB II
TRANSPARANSI INFORMASI
PRODUK BANK
Pasal 4
(1) Bank wajib menyediakan informasi tertulis dalam bahasa Indonesia secara
lengkap dan jelas mengenai karakteristik setiap Produk Bank.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada
Nasabah secara tertulis dan atau lisan.
(3) Dalam memberikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), Bank dilarang memberikan informasi yang menyesatkan (mislead) dan
atau tidak etis (misconduct).
Pasal 5
(1) Informasi mengenai karakteristik Produk Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 sekurang-kurangnya meliputi:
a. Nama Produk Bank;
b. Jenis Produk Bank;
c. Manfaat dan risiko yang melekat pada Produk Bank;
d. Persyaratan …..
- 5 -
d. Persyaratan dan tata cara penggunaan Produk Bank;
e. Biaya-biaya yang melekat pada Produk Bank;
f. Perhitungan bunga atau bagi hasil dan margin keuntungan;
g. Jangka waktu berlakunya Produk Bank; dan
h. Penerbit (issuer/originator) Produk Bank;
(2) Dalam hal Produk Bank terkait dengan penghimpunan dana, Bank wajib
memberikan informasi mengenai program penjaminan terhadap Produk
Bank tersebut.
Pasal 6
(1) Bank
penambahan, dan atau
wajib memberitahukan kepada Nasabah setiap perubahan,
pengurangan pada karakteristik Produk Bank
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan
kepada setiap Nasabah yang sedang memanfaatkan Produk Bank paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum berlakunya perubahan, penambahan dan
atau pengurangan pada karakteristik Produk Bank tersebut.
Pasal 7
Bank
dilarang mencantumkan informasi dan atau keterangan mengenai
karakteristik Produk Bank yang letak dan atau bentuknya sulit terlihat dan atau
tidak dapat dibaca secara jelas dan atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
Pasal 8
(1) Bank wajib menyediakan layanan informasi karakteristik Produk Bank yang
dapat diperoleh secara mudah oleh masyarakat.
(2) Penyediaan …..
- 6 -
(2) Penyediaan layanan informasi mengenai Produk
Bank
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7.
BAB III
TRANSPARANSI PENGGUNAAN
DATA PRIBADI NASABAH
Pasal 9
(1) Bank wajib meminta persetujuan tertulis dari Nasabah dalam hal Bank akan
memberikan dan atau menyebarluaskan Data Pribadi Nasabah kepada Pihak
Lain untuk tujuan komersial, kecuali ditetapkan lain oleh peraturan
perundang-undangan lain yang berlaku.
(2) Dalam permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
wajib terlebih dahulu menjelaskan tujuan dan konsekuensi dari pemberian
dan atau penyebarluasan Data Pribadi Nasabah kepada Pihak Lain.
Pasal 10
(1) Permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat
dilakukan oleh Bank sebelum atau setelah Nasabah melakukan transaksi
yang berkaitan dengan Produk Bank.
(2) Persetujuan Nasabah terhadap permintaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dengan penandatanganan oleh Nasabah pada formulir
khusus yang dibuat untuk keperluan tersebut.
Pasal 11 …..
- 7 -
Pasal 11
Dalam hal Bank akan menggunakan data pribadi seseorang dan atau sekelompok
orang yang diperoleh dari Pihak Lain untuk tujuan komersial, Bank wajib
memiliki jaminan tertulis dari Pihak Lain yang berisi persetujuan tertulis dari
seseorang dan atau sekelompok orang tersebut untuk menyebarluaskan data
pribadinya.
BAB IV
SANKSI
Pasal 12
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan
Pasal 11 dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa teguran tertulis.
(2) Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperhitungkan
dengan komponen penilaian tingkat kesehatan Bank.
BAB V
PENUTUP
Pasal 13
Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini tidak berlaku bagi Badan Kredit
Desa yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan
Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9.
Pasal 14 …..
- 8 -
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 15
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Januari 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 16
DPNP/DPbS/DPBPR
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/6/PBI/2005
TENTANG
TRANSPARANSI INFORMASI PRODUK BANK DAN
PENGGUNAAN DATA PRIBADI NASABAH
UMUM
Pemilihan produk bank oleh nasabah seringkali lebih didasarkan pada aspek
informasi mengenai manfaat yang akan diperoleh dari produk bank tersebut. Hal
ini pada satu sisi terjadi karena pada umumnya informasi mengenai produk bank
yang disediakan bank belum menjelaskan secara berimbang manfaat, risiko
maupun biaya-biaya yang melekat pada suatu produk bank. Oleh karena itu,
tidak jarang timbul perselisihan antara bank dengan nasabah yang disebabkan
karena adanya kesenjangan informasi mengenai karakteristik produk bank yang
ditawarkan bank kepada nasabah. Akibatnya, hak-hak
nasabah untuk
mendapatkan informasi yang lengkap, akurat, terkini, dan utuh menjadi tidak
terpenuhi. Pada sisi yang lain, kurangnya informasi yang memadai mengenai
produk bank memungkinkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan kegiatan
usaha perbankan yang dapat merugikan nasabah sehingga diperlukan adanya
transparansi informasi mengenai produk bank untuk meningkatkan good
governance di sektor perbankan.
Selain aspek transparansi informasi mengenai produk bank yang masih
kurang memadai, nasabah dihadapkan pula pada masalah pemberian data pribadi
oleh bank kepada pihak lain di luar bank tersebut untuk tujuan komersial tanpa
izin .....
- 2 -
izin nasabah. Oleh karena itu, transparansi penggunaan data pribadi nasabah
perlu dilakukan agar hak-hak nasabah tetap terlindungi.
Dengan memperhatikan hal-hal diatas, maka transparansi informasi
mengenai produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah menjadi suatu
kebutuhan yang tidak dapat dihindari untuk menjaga kredibilitas lembaga
perbankan sekaligus melindungi hak-hak nasabah sebagai konsumen pengguna
jasa perbankan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
ayat (1)
Cukup jelas
ayat (2)
Cukup jelas
ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
ayat (1)
Informasi tertulis antara lain dalam bentuk leaflet, brosur, atau
bentuk …..
- 3 -
bentuk tertulis lainnya.
ayat (2)
Informasi secara lisan kepada Nasabah dapat dilakukan dengan
menjelaskan ringkasan karakteristik Produk Bank, dengan tetap
memperhatikan kelengkapan informasi yang disampaikan.
ayat (3)
Bank memberikan informasi yang akurat dan sebenar-benarnya
mengenai Produk Bank yang akan dimanfaatkan Nasabah dengan
memenuhi etika penyampaian informasi yang berlaku umum.
Pemberian informasi dianggap menyesatkan (mislead) apabila Bank
memberikan informasi yang tidak sesuai dengan fakta, misalnya
menyebutkan produk reksadana sebagai deposito.
Pemberian informasi dianggap tidak etis (misconduct) antara lain
apabila memberikan penilaian negatif terhadap Produk Bank lain.
Pasal 5
ayat (1)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Jenis Produk Bank mengacu kepada kegiatan usaha Bank
sebagaimana tercantum dalam ketentuan perundang-undangan
yang
berlaku seperti giro, tabungan, deposito, dan
kredit/pembiayaan.
huruf c
Bank menjelaskan secara terinci setiap manfaat yang dapat
diperoleh Nasabah dari suatu Produk Bank dan potensi risiko
yang …..
- 4 -
yang dihadapi oleh Nasabah dalam masa penggunaan Produk
Bank.
huruf d
Persyaratan dan tata cara penggunaan Produk Bank mencakup
antara lain dokumen yang
prosedur transaksi yang berkaitan dengan Produk Bank.
huruf e
Biaya-biaya yang melekat pada Produk Bank antara lain biaya
administrasi, provisi, atau penalti.
huruf f
Bagi
Bank
yang
menjalankan kegiatan
usaha
secara
konvensional, informasi yang disampaikan mencakup metode
perhitungan bunga untuk Produk Bank baik untuk Produk
Bank yang terkait dengan penghimpunan maupun penyaluran
dana.
Bagi Bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah, informasi yang disampaikan mencakup
metode perhitungan bagi
hasil untuk Produk Bank yang
berupa penghimpunan dana, dan metode perhitungan margin
keuntungan serta perhitungan bagi hasil untuk Produk Bank
yang berupa penyaluran dana.
huruf g
Informasi mengenai jangka waktu mencakup perpanjangan
dan penghentian jangka waktu dan atau manfaat Produk Bank
sebelum jatuh tempo.
huruf h .....
diperlukan, mekanisme dan
- 5 -
huruf h
Informasi mengenai penerbit Produk Bank
antara lain
mencakup keterangan mengenai siapa penerbitnya (Bank atau
lembaga keuangan bukan bank), hubungan hukum antara
penerbit dengan Bank dan Nasabah, serta hak dan kewajiban
masing-masing pihak.
ayat (2)
Informasi mengenai program penjaminan antara lain mengenai
kejelasan apakah Produk Bank tersebut termasuk dalam program
penjaminan.
Pasal 6
ayat (1)
Cukup jelas
ayat (2)
Untuk Produk Bank
tertentu yang frekuensi
perubahan
karakteristiknya relatif tinggi, seperti perubahan suku bunga
tabungan, pemberitahuan dapat dilakukan melalui pengumuman di
Kantor Bank dan atau media lain yang mudah diakses oleh Nasabah.
Pasal 7
Penempatan tulisan, bentuk huruf, dan warna tulisan dalam penjelasan
karakteristik Produk Bank disajikan secara proporsional dan wajar sehingga
mudah dibaca.
Kalimat yang digunakan dalam menjelaskan Produk Bank disajikan secara
singkat dan jelas sehingga mudah dimengerti.
Pasal 8 …..
- 6 -
Pasal 8
ayat (1)
Layanan informasi dapat berupa publikasi tertulis di setiap Kantor
Bank dan atau dalam bentuk informasi secara elektronis yang
disediakan melalui hotline service / call center atau website.
ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
ayat (1)
Yang dimaksud dengan tujuan komersial adalah pengunaan Data
Pribadi Nasabah oleh Pihak Lain untuk memperoleh keuntungan.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku misalnya di bidang
informasi debitur.
ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
ayat (1)
Cukup jelas
ayat (2)
Klausula permintaan persetujuan bersifat opt-in, yaitu Bank dilarang
melakukan
hal-hal
yang menjadi tujuan pencantuman klausula
tersebut, sebelum Nasabah memberikan persetujuan.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12 …..
- 7 -
Pasal 12
ayat (1)
Cukup jelas
ayat (2)
Perhitungan dalam komponen penilaian tingkat kesehatan Bank
dilakukan pada aspek manajemen.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4475
- 8 -
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/6/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> TRANSPARANSI INFORMASI PRODUK BANK DAN PENGGUNAAN DATA PRIBADI NASABAH </reg_title>
<set_date> 20 Januari 2005 </set_date>
<effective_date> 6 (enam) bulan sejak tanggal 20 Januari 2005 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '8/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/ 22 /PBI/2003
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG LOGAM RUPIAH
PECAHAN 500 (LIMA RATUS) DAN PECAHAN 200 (DUA RATUS)
TAHUN EMISI 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap uang
pecahan kecil, berdasarkan hasil penataan kembali secara menyeluruh
komposisi pecahan, dipandang perlu untuk mengeluarkan dan
mengedarkan uang logam rupiah pecahan 500 (lima ratus) dan 200 (dua
ratus) tahun emisi 2003;
b. bahwa nilai intrinsik khususnya untuk uang pecahan kecil cenderung
semakin mendekati nilai nominalnya;
c. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang logam rupiah pecahan 500
(lima ratus) dan 200 (dua ratus) tahun emisi 2003 perlu ditetapkan dalam
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/17/PBI/2000 tanggal 20 Juli 2000
tentang Pengeluaran dan Pengedaran serta Pencabutan dan Penarikan
Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3983);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN DAN
PENGEDARAN UANG LOGAM RUPIAH PECAHAN 500 (LIMA RATUS)
DAN PECAHAN 200 (DUA RATUS) TAHUN EMISI 2003.
Pasal 1….
- 2 -
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang logam pecahan Rp500 dan pecahan
Rp200 tahun emisi 2003 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik
Indonesia.
Pasal 2
Macam uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis uang logam yang
terbuat dari Aluminium.
Pasal 3
Harga uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai nominal Rp500
(lima ratus rupiah) dan Rp200 (dua ratus rupiah).
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 500 (lima ratus) dan 200 (dua ratus) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 adalah :
A. Pecahan Rp500 (lima ratus rupiah)
1. Bahan
2. Berat
3. Diameter
4. Tebal
5. Warna
6. Bagian muka
: 27,00 mm
: 2,5 mm
: Putih Aluminium
: - Gambar Lambang Negara “ Garuda Pancasila “
- Tanda Tahun “2003” yang merupakan tahun pengeluaran
- Tulisan “ BANK INDONESIA”
- Bingkai tepi polos berbentuk lingkaran
: Aluminium
: 3,10 gram
7. Bagian….
- 3 -
7. Bagian sisi uang : 5 segmen bergerigi dan setiap segmen terdiri dari 10 gerigi.
8. Bagian belakang : - Tulisan “BUNGA MELATI”
- Gambar “ Bunga Melati (Jasminum Sambac) “
- Angka nominal “ 500 “
- Tulisan “RUPIAH”
B. Pecahan Rp200 (dua ratus rupiah)
1. Bahan
2. Berat
3. Diameter
4. Tebal
5. Warna
6. Bagian muka
: 25,00 mm
: 2,3 mm
: Putih Aluminium
: - Gambar Lambang Negara “ Garuda Pancasila “
- Tanda Tahun “2003” yang merupakan tahun pengeluaran
- Tulisan “ BANK INDONESIA “
- Bingkai tepi polos berbentuk lingkaran
7. Bagian sisi uang : Rata/polos tanpa tulisan maupun gerigi
8. Bagian belakang : - Tulisan “ JALAK BALI ”
- Gambar “ Burung Jalak Bali (Leucopsar Rothschildi) “
- Angka nominal “ 200 “
- Tulisan “RUPIAH”
Pasal 5
Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan mulai tanggal
3 Nopember 2003.
: Aluminium
: 2,38 gram
Pasal 6…..
- 4 -
Pasal 6
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Oktober 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd.
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 113
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/22/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG LOGAM RUPIAH PECAHAN 500 (LIMA RATUS) DAN PECAHAN 200 (DUA RATUS) TAHUN EMISI 2003 </reg_title>
<set_date> 21 Oktober 2003 </set_date>
<effective_date> 21 Oktober 2003 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/17/PBI/2000' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/4/PBI/2006
TENTANG
PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE
BAGI BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dengan semakin kompleksnya risiko yang dihadapi
bank, maka semakin meningkat pula kebutuhan praktek
good corporate governance oleh perbankan;
b.
bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja Bank,
melindungi kepentingan stakeholders dan meningkatkan
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta nilai-nilai etika yang berlaku umum pada
industri perbankan, diperlukan pelaksanaan good corporate
governance;
c. bahwa peningkatan kualitas pelaksanaan good corporate
governance merupakan salah satu upaya untuk memperkuat
kondisi internal perbankan nasional sesuai dengan Arsitektur
Perbankan Indonesia (API);
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b dan huruf c dipandang perlu untuk
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan
Good Corporate Governance bagi Bank Umum;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE
BAGI BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank …
- 3 -
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank
asing.
2. Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
3. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang bank asing adalah pimpinan kantor cabang bank
asing.
4. Komisaris …
- 4 -
4. Komisaris Independen adalah anggota dewan Komisaris yang tidak
memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau
hubungan keluarga dengan anggota dewan Komisaris lainnya, Direksi
dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan lain yang dapat
mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen.
5. Pihak Independen adalah pihak di luar Bank yang tidak memiliki hubungan
keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga
dengan dewan Komisaris, Direksi dan/atau pemegang saham pengendali
atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk
bertindak independen.
6. Good Corporate Governance adalah suatu tata kelola Bank yang
menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas
(accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi
(independency), dan kewajaran (fairness).
7.
Stakeholders adalah seluruh pihak yang memiliki kepentingan secara
langsung atau tidak langsung terhadap kegiatan usaha Bank.
8. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada
Direksi atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional
perusahaan atau Bank, antara lain pemimpin kantor cabang dan kepala
Satuan Kerja Audit Intern.
Pasal 2
(1) Bank wajib melaksanakan prinsip-prinsip Good Corporate Governance
dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang
organisasi.
(2) Pelaksanaan …
- 5 -
(2) Pelaksanaan prinsip-prinsip Good Corporate Governance sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling kurang harus diwujudkan dalam:
a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi;
b. kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja
yang menjalankan fungsi pengendalian intern bank;
c. penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal;
d. penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern;
e. penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar;
f. rencana strategis Bank;
g. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank.
Pasal 3
Bank Indonesia melakukan penilaian terhadap pelaksanaan Good Corporate
Governance Bank.
BAB II
DEWAN KOMISARIS
Bagian Pertama
Jumlah, Komposisi, Kriteria dan Independensi Dewan Komisaris
Pasal 4
(1) Jumlah anggota dewan Komisaris paling kurang 3 (tiga) orang dan paling
banyak sama dengan jumlah anggota Direksi.
(2) Paling kurang 1 (satu) orang anggota dewan Komisaris wajib berdomisili di
Indonesia.
(3) Dewan …
- 6 -
(3) Dewan Komisaris
Utama.
dipimpin oleh Presiden Komisaris atau Komisaris
Pasal 5
(1) Dewan Komisaris terdiri dari Komisaris dan Komisaris Independen.
(2) Paling kurang 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah anggota dewan
Komisaris adalah Komisaris Independen.
Pasal 6
(1) Setiap usulan penggantian dan/atau
pengangkatan anggota dewan
Komisaris kepada Rapat Umum Pemegang Saham harus memperhatikan
rekomendasi Komite Remunerasi dan Nominasi.
(2) Anggota dewan Komisaris harus memenuhi persyaratan telah lulus
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
(Fit and Proper Test).
Pasal 7
(1) Anggota dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai anggota
dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada 1 (satu)
lembaga/perusahaan bukan lembaga keuangan.
(2) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
apabila anggota dewan Komisaris:
a. menjalankan tugas fungsional dari pemilik Bank yang berbentuk badan
hukum; atau
b. merangkap …
- 7 -
b. merangkap jabatan pada organisasi atau lembaga nirlaba, sepanjang
yang bersangkutan tidak mengabaikan pelaksanaan tugas dan tanggung
jawab sebagai anggota dewan Komisaris Bank.
(3) Mayoritas anggota dewan Komisaris dilarang saling memiliki hubungan
keluarga sampai dengan derajat kedua dengan sesama anggota dewan
Komisaris dan/atau anggota Direksi.
Bagian Kedua
Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris
Pasal 8
Dewan Komisaris wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara
independen.
Pasal 9
(1) Dewan Komisaris wajib memastikan terselenggaranya
pelaksanaan Good
Corporate Governance dalam setiap kegiatan usaha Bank pada seluruh
tingkatan atau jenjang organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Dewan Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab Direksi, serta memberikan nasihat kepada
Direksi.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Komisaris wajib mengarahkan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan
kebijakan strategis Bank.
(4) Dalam …
- 8 -
(4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dewan Komisaris dilarang terlibat dalam pengambilan keputusan kegiatan
operasional Bank, kecuali:
a. penyediaan dana kepada pihak terkait sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit
Bank Umum; dan
b. hal-hal lain yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar Bank atau
peraturan perundangan yang berlaku.
(5) Pengambilan keputusan oleh dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) tidak meniadakan tanggung jawab Direksi atas pelaksanaan
kepengurusan Bank.
Pasal 10
Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa Direksi telah menindaklanjuti
temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja audit intern Bank, auditor
eksternal, hasil pengawasan Bank Indonesia dan/atau hasil pengawasan otoritas
lain.
Pasal 11
Dewan Komisaris wajib memberitahukan kepada Bank Indonesia paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak ditemukannya:
a.
b.
pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang keuangan dan
perbankan; dan
keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat membahayakan kelangsungan
usaha Bank.
Pasal 12 …
- 9 -
Pasal 12
(1) Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung
jawabnya, Dewan Komisaris wajib membentuk paling kurang:
a. Komite Audit;
b. Komite Pemantau Risiko;
c. Komite Remunerasi dan Nominasi.
(2) Dewan Komisaris dapat membentuk Komite Remunerasi dan Komite
Nominasi secara terpisah.
(3) Pengangkatan anggota komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Direksi berdasarkan keputusan rapat dewan Komisaris.
(4) Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa komite yang telah dibentuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjalankan tugasnya
secara efektif.
(5) Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyusun
pedoman dan tata tertib kerja komite.
Pasal 13
(1) Dewan Komisaris wajib memiliki pedoman dan tata
bersifat mengikat bagi setiap anggota dewan Komisaris.
tertib kerja yang
(2) Pedoman dan tata tertib kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
kurang wajib mencantumkan:
a. pengaturan etika kerja;
b. waktu kerja; dan
c. pengaturan rapat.
Pasal 14 …
- 10 -
Pasal 14
Dewan Komisaris wajib menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya secara optimal.
Bagian Ketiga
Rapat Dewan Komisaris
Pasal 15
(1) Rapat dewan Komisaris wajib diselenggarakan secara berkala paling
kurang 4 (empat) kali dalam setahun.
(2) Rapat dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib
dihadiri oleh seluruh anggota dewan Komisaris secara fisik paling kurang 2
(dua) kali dalam setahun.
Pasal 16
(1) Pengambilan keputusan rapat dewan Komisaris dilakukan berdasarkan
musyawarah mufakat.
(2) Dalam hal tidak terjadi musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
(3) Segala keputusan dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) bersifat mengikat bagi seluruh anggota dewan Komisaris.
(4) Hasil rapat dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan secara baik.
(5) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi dalam rapat dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan secara
jelas dalam risalah rapat beserta alasan perbedaan pendapat tersebut.
Bagian …
- 11 -
Bagian Keempat
Aspek Transparansi Dewan Komisaris
Pasal 17
Anggota dewan Komisaris wajib mengungkapkan:
a. kepemilikan sahamnya, baik pada bank yang bersangkutan maupun pada
bank dan perusahaan lain, yang berkedudukan di dalam dan di luar negeri;
b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan anggota dewan
Komisaris lain, anggota Direksi dan/atau pemegang saham Bank,
dalam laporan pelaksanaan Good Corporate Governance sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 18
(1) Anggota dewan Komisaris dilarang memanfaatkan Bank untuk
kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan
atau mengurangi keuntungan Bank.
(2) Anggota dewan Komisaris dilarang mengambil dan/atau menerima
keuntungan pribadi dari Bank selain remunerasi dan fasilitas lainnya yang
ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham.
(3) Anggota dewan Komisaris wajib mengungkapkan remunerasi dan fasilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada laporan pelaksanaan Good
Corporate Governance sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
BAB III …
- 12 -
BAB III
DIREKSI
Bagian Pertama
Jumlah, Komposisi, Kriteria dan Independensi Direksi
Pasal 19
(1) Jumlah anggota Direksi paling kurang 3 (tiga) orang.
(2) Seluruh anggota Direksi wajib berdomisili di Indonesia.
(3) Direksi dipimpin oleh Presiden Direktur atau Direktur Utama.
Pasal 20
Presiden Direktur atau Direktur Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (3) wajib berasal dari pihak yang independen terhadap pemegang saham
pengendali.
Pasal 21
(1) Setiap usulan penggantian dan/atau pengangkatan anggota Direksi oleh
dewan Komisaris kepada Rapat Umum Pemegang Saham, harus
memperhatikan rekomendasi Komite Remunerasi dan Nominasi .
(2) Mayoritas anggota Direksi paling kurang memiliki pengalaman 5 (lima)
tahun di bidang operasional sebagai Pejabat Eksekutif bank.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi bank
umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
(4) Setiap anggota Direksi harus memenuhi persyaratan telah lulus Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and
Proper Test).
Pasal 22 …
- 13 -
Pasal 22
(1) Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan sebagai anggota dewan
Komisaris, Direksi atau Pejabat Eksekutif pada bank, perusahaan dan/atau
lembaga lain.
(2) Anggota Direksi baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dilarang
memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal
disetor pada Bank dan/atau pada suatu perusahaan lain.
Pasal 23
Mayoritas anggota Direksi dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai
dengan derajat kedua dengan sesama anggota Direksi dan/atau dengan anggota
dewan Komisaris.
Pasal 24
Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum kepada pihak lain yang
mengakibatkan pengalihan tugas dan fungsi Direksi.
Bagian Kedua
Tugas dan Tanggung Jawab Direksi
Pasal 25
(1) Direksi bertanggungjawab penuh atas pelaksanaan kepengurusan Bank.
(2) Direksi wajib mengelola Bank sesuai dengan kewenangan dan tanggung
jawabnya sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 26 …
- 14 -
Pasal 26
Direksi wajib melaksanakan prinsip-prinsip Good Corporate Governance dalam
setiap kegiatan usaha Bank pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 27
Direksi wajib menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja
audit intern Bank, auditor eksternal, hasil pengawasan Bank Indonesia dan/atau
hasil pengawasan otoritas lain.
Pasal 28
Dalam rangka melaksanakan prinsip-prinsip Good Corporate Governance
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Direksi paling kurang wajib membentuk:
a. Satuan Kerja Audit Intern;
b. Satuan Kerja Manajemen Risiko dan Komite Manajemen Risiko; dan
c. Satuan Kerja Kepatuhan.
Pasal 29
Direksi wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada
pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham.
Pasal 30
Direksi wajib mengungkapkan kepada pegawai kebijakan Bank yang bersifat
strategis di bidang kepegawaian.
Pasal 31 …
- 15 -
Pasal 31
Direksi dilarang menggunakan penasihat perorangan dan/atau jasa profesional
sebagai konsultan kecuali memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
b.
proyek bersifat khusus;
didasari oleh kontrak yang jelas, yang sekurang kurangnya mencakup
lingkup kerja, tanggung jawab dan jangka waktu pekerjaan serta biaya;
c.
konsultan adalah Pihak Independen dan memiliki kualifikasi untuk
mengerjakan proyek yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada
huruf a.
Pasal 32
Direksi wajib menyediakan data dan informasi yang akurat, relevan dan tepat
waktu kepada dewan Komisaris.
Pasal 33
(1) Direksi wajib memiliki
pedoman dan tata tertib kerja yang bersifat
mengikat bagi setiap anggota Direksi.
(2) Pedoman dan tata tertib kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
kurang wajib mencantumkan:
a. pengaturan etika kerja;
b. waktu kerja; dan
c. pengaturan rapat.
Pasal 34 …
- 16 -
Pasal 34
Segala keputusan Direksi yang diambil sesuai dengan pedoman dan tata tertib
kerja mengikat dan menjadi tanggung jawab seluruh anggota Direksi.
Bagian Ketiga
Rapat Direksi
Pasal 35
(1) Setiap kebijakan dan keputusan strategis wajib diputuskan melalui rapat
Direksi dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal
9 ayat (4).
(2) Pengambilan keputusan rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat.
(3) Dalam hal tidak terjadi musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
(4) Hasil rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan
dalam risalah rapat dan didokumentasikan secara baik.
(5) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi dalam rapat Direksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dicantumkan secara jelas
dalam risalah rapat beserta alasan perbedaan pendapat tersebut.
Bagian Keempat
Aspek Transparansi Direksi
Pasal 36
Anggota Direksi wajib mengungkapkan:
a. kepemilikan sahamnya, baik pada Bank yang bersangkutan maupun pada
bank dan perusahaan lain, yang berkedudukan di dalam dan di luar negeri;
b. hubungan …
- 17 -
b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan anggota dewan
Komisaris, anggota Direksi lain dan/atau pemegang saham Bank,
dalam laporan pelaksanaan Good Corporate Governance sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 37
(1) Anggota Direksi dilarang memanfaatkan Bank untuk kepentingan pribadi,
keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi
keuntungan Bank.
(2) Anggota Direksi dilarang mengambil
dan/atau menerima keuntungan
pribadi dari Bank, selain remunerasi dan fasilitas lainnya yang ditetapkan
berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham.
(3) Anggota Direksi wajib mengungkapkan remunerasi dan fasilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada laporan pelaksanaan Good
Corporate Governance sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
BAB IV
KOMITE-KOMITE
Bagian Pertama
Struktur dan Keanggotaan Komite
Pasal 38
(1) Anggota Komite Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
huruf a paling kurang terdiri dari:
a. seorang Komisaris Independen;
b. seorang …
- 18 -
b. seorang dari Pihak Independen yang memiliki keahlian di bidang
keuangan atau akuntansi; dan
c. seorang dari Pihak Independen yang memiliki keahlian di bidang
hukum atau perbankan.
(2) Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Komisaris
Independen.
(3) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite Audit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Komisaris Independen dan Pihak Independen yang menjadi anggota
Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang 51%
(lima puluh satu perseratus) dari jumlah anggota Komite Audit.
(5) Anggota Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib
memiliki integritas, akhlak, dan moral yang baik.
Pasal 39
(1) Anggota Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud dalam pasal 12
ayat (1) huruf b paling kurang terdiri dari:
a. seorang Komisaris Independen;
b. seorang Pihak Independen yang memiliki keahlian di bidang
keuangan; dan
c. seorang Pihak Independen yang memiliki keahlian di bidang
manajemen risiko.
(2) Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai
oleh Komisaris Independen.
(3) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite Pemantau Risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Komisaris …
- 19 -
(4) Komisaris Independen dan Pihak Independen yang menjadi anggota
Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
kurang 51% (lima puluh satu perseratus) dari jumlah anggota Komite
Pemantau Risiko.
(5) Anggota Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memiliki integritas, akhlak, dan moral yang baik.
Pasal 40
(1) Anggota Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1) huruf c paling kurang terdiri dari:
a. seorang Komisaris Independen;
b. seorang Komisaris; dan
c. seorang Pejabat Eksekutif.
(2) Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diketuai oleh Komisaris Independen.
(3) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite Remunerasi
Nominasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
dan
(4) Dalam hal anggota Komite Remunerasi dan Nominasi ditetapkan lebih dari
3 (tiga) orang maka
berjumlah 2 (dua) orang.
Pasal 41
Dalam hal Bank membentuk Komite Remunerasi dan Nominasi secara terpisah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) maka keanggotaan masing-
masing komite tersebut adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 40.
Bagian …
anggota Komisaris Independen paling kurang
- 20 -
Bagian Kedua
Jabatan Rangkap Ketua Komite
Pasal 42
Ketua komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 hanya dapat merangkap
jabatan sebagai ketua komite paling banyak pada 1 (satu) komite lainnya.
Bagian Ketiga
Tugas dan Tanggung Jawab Komite
Pasal 43
(1) Komite Audit melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan
pelaksanaan audit serta pemantauan atas tindak lanjut hasil audit dalam
rangka menilai kecukupan pengendalian intern termasuk kecukupan proses
pelaporan keuangan.
(2) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Komite Audit paling kurang melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap:
a. pelaksanaan tugas Satuan Kerja Audit Intern;
b. kesesuaian pelaksanaan audit oleh Kantor Akuntan Publik dengan
standar audit yang berlaku;
c. kesesuaian laporan keuangan dengan standar akuntansi yang berlaku;
d. pelaksanaan tindak lanjut oleh Direksi atas hasil temuan Satuan Kerja
Audit Intern, akuntan publik, dan hasil pengawasan Bank Indonesia,
guna memberikan rekomendasi kepada dewan Komisaris.
(3) Komite Audit wajib memberikan rekomendasi mengenai penunjukan
Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik kepada dewan Komisaris
untuk disampaikan kepada Rapat Umum Pemegang Saham.
Pasal 44 …
- 21 -
Pasal 44
Komite Pemantau Risiko paling kurang melakukan:
a. evaluasi tentang kesesuaian antara kebijakan manajemen risiko dengan
pelaksanaan kebijakan tersebut;
b. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tugas Komite Manajemen Risiko dan
Satuan Kerja Manajemen Risiko,
guna memberikan rekomendasi kepada dewan Komisaris.
Pasal 45
Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1) huruf c mempunyai tugas dan tanggung jawab paling kurang:
a. terkait dengan kebijakan remunerasi:
1) melakukan evaluasi terhadap kebijakan remunerasi ; dan
2) memberikan rekomendasi kepada dewan Komisaris mengenai:
a) kebijakan remunerasi bagi dewan Komisaris dan Direksi untuk
disampaikan kepada Rapat Umum Pemegang Saham;
b) kebijakan remunerasi bagi Pejabat Eksekutif dan pegawai secara
keseluruhan untuk disampaikan kepada Direksi;
b. terkait dengan kebijakan nominasi:
1) menyusun dan memberikan rekomendasi mengenai sistem serta
prosedur pemilihan dan/atau penggantian anggota dewan Komisaris
dan Direksi kepada dewan Komisaris untuk disampaikan kepada Rapat
Umum Pemegang Saham;
2) memberikan rekomendasi mengenai calon anggota dewan Komisaris
dan/atau Direksi kepada dewan Komisaris untuk disampaikan kepada
Rapat Umum Pemegang Saham;
3) memberikan …
- 22 -
3) memberikan rekomendasi mengenai Pihak Independen yang akan
menjadi anggota Komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat
(1) huruf b dan huruf c, Pasal 39 ayat (1) huruf b dan huruf c kepada
dewan Komisaris.
Pasal 46
Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(1) huruf c wajib memastikan bahwa kebijakan remunerasi paling kurang sesuai
dengan:
a.
b.
c.
d.
kinerja keuangan dan pemenuhan cadangan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
prestasi kerja individual;
kewajaran dengan peer group; dan
pertimbangan sasaran dan strategi jangka panjang Bank.
Bagian Kelima
Rapat Komite
Pasal 47
(1) Rapat Komite diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan Bank.
(2) Rapat Komite Audit dan Komite Pemantau Risiko
hanya dapat
dilaksanakan apabila dihadiri oleh paling kurang 51% (lima puluh satu
perseratus) dari jumlah anggota termasuk seorang Komisaris Independen
dan Pihak Independen.
(3) Rapat …
- 23 -
(3) Rapat Komite Remunerasi dan Nominasi hanya dapat dilaksanakan apabila
dihadiri oleh paling kurang 51% (lima puluh satu perseratus) dari jumlah
anggota termasuk seorang Komisaris Independen dan Pejabat Eksekutif.
Pasal 48
(1) Keputusan rapat komite dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat.
(2) Dalam hal tidak terjadi musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
(3) Hasil rapat komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan
dalam risalah rapat dan didokumentasikan secara baik.
(4) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi dalam rapat komite
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dicantumkan secara jelas
dalam risalah rapat beserta alasan perbedaan pendapat tersebut.
BAB V
FUNGSI KEPATUHAN, AUDIT INTERN DAN AUDIT EKSTERN
Bagian Pertama
Fungsi Kepatuhan Bank
Pasal 49
Bank wajib memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.
Pasal 50 …
- 24 -
Pasal 50
(1) Dalam rangka memastikan kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49, Bank wajib menunjuk seorang Direktur Kepatuhan dengan berpedoman
pada persyaratan dan tata cara sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director)
dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum.
(2) Dalam rangka membantu pelaksanaan fungsi Direktur Kepatuhan secara
efektif, Bank membentuk satuan kerja kepatuhan (compliance unit) yang
independen terhadap satuan kerja operasional.
(3) Satuan kerja kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
menyusun dan mengkinikan pedoman kerja, sistem dan prosedur.
Bagian Kedua
Fungsi Audit Intern
Pasal 51
(1) Bank wajib menerapkan fungsi audit intern secara efektif dengan
berpedoman pada persyaratan dan tata cara sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank
(Compliance Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit
Intern Bank Umum.
(2) Dalam rangka pelaksanaan fungsi audit intern secara efektif, Bank
membentuk Satuan Kerja Audit Intern yang independen terhadap satuan
kerja operasional.
(3) Satuan Kerja Audit Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib menyusun dan mengkinikan pedoman kerja, sistem dan prosedur,
sebagaimana …
Indonesia tentang Penugasan Direktur Kepatuhan
- 25 -
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Penugasan
Direktur Kepatuhan (Compliance Director) dan Penerapan Standar
Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum.
Bagian Ketiga
Fungsi Audit Ekstern
Pasal 52
(1) Bank wajib menunjuk Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang
terdaftar di Bank Indonesia dalam pelaksanaan audit laporan keuangan
Bank.
(2) Penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan
Rapat Umum Pemegang Saham berdasarkan calon yang diajukan oleh
dewan Komisaris sesuai rekomendasi Komite Audit.
(3) Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penunjukan Akuntan
Publik dan Kantor Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang
Transparansi Kondisi Keuangan Bank.
BAB VI
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO
Pasal 53
Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif, yang
disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta
kemampuan …
- 26 -
kemampuan Bank dengan berpedoman pada persyaratan dan tata cara
sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
BAB VII
PENYEDIAAN DANA KEPADA PIHAK TERKAIT
DAN PENYEDIAAN DANA BESAR
Pasal 54
Dalam rangka menghindari kegagalan usaha Bank sebagai akibat konsentrasi
penyediaan dana dan meningkatkan independensi pengurus Bank terhadap
potensi intervensi dari pihak terkait, Bank wajib menerapkan prinsip kehati-
hatian dalam
penyediaan dana antara lain dengan menerapkan
penyebaran/diversifikasi portofolio penyediaan dana yang diberikan.
Pasal 55
Pelaksanaan penyediaan dana kepada pihak terkait dan/atau penyediaan dana
besar (large exposures) wajib berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia
tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum.
BAB VIII
RENCANA STRATEGIS BANK
Pasal 56
(1) Bank wajib menyusun rencana strategis dalam bentuk rencana korporasi
(corporate plan) dan rencana bisnis (business plan).
(2) Penyampaian …
- 27 -
(2) Penyampaian rencana korporasi (corporate plan) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan perubahannya kepada Bank Indonesia berpedoman pada
ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Umum.
(3) Penyusunan dan penyampaian rencana bisnis (business plan) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia
tentang Rencana Bisnis Bank Umum.
BAB IX
ASPEK TRANSPARANSI KONDISI BANK
Pasal 57
(1) Bank wajib melaksanakan transparansi
keuangan kepada Stakeholders.
kondisi keuangan dan non-
(2) Dalam rangka pelaksanaan transparansi kondisi keuangan dan non-
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib menyusun dan
menyajikan laporan dengan tata cara, jenis dan cakupan sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Transparansi Kondisi Keuangan
Bank.
Pasal 58
Bank wajib melaksanakan transparansi informasi mengenai produk dan
penggunaan data nasabah Bank dengan berpedoman pada persyaratan dan tata
cara sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Transparansi
Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
BAB X …
- 28 -
BAB X
PELAPORAN INTERNAL DAN BENTURAN KEPENTINGAN
Bagian Pertama
Pelaporan Internal
Pasal 59
Dalam rangka meningkatkan kualitas proses pengambilan keputusan oleh Direksi
dan kualitas proses pengawasan oleh dewan Komisaris, Bank wajib memastikan
ketersediaan dan kecukupan pelaporan internal yang didukung oleh sistem
informasi manajemen yang memadai.
Bagian Kedua
Penanganan Benturan Kepentingan
Pasal 60
Dalam hal terjadi benturan kepentingan, anggota dewan Komisaris, anggota
Direksi dan Pejabat Eksekutif dilarang mengambil tindakan yang dapat
merugikan Bank atau mengurangi keuntungan Bank dan wajib mengungkapkan
benturan kepentingan dimaksud dalam setiap keputusan.
BAB XI
LAPORAN DAN PENILAIAN PELAKSANAAN
GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Bagian Pertama
Laporan Pelaksanaan Good Corporate Governance
Pasal 61
(1) Bank wajib menyusun laporan pelaksanaan Good Corporate Governance
pada setiap akhir tahun buku.
(2) Laporan …
- 29 -
(2) Laporan pelaksanaan Good Corporate Governance sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), paling kurang meliputi:
a. cakupan Good Corporate Governance sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) dan hasil penilaian (self assesment) atas pelaksanaan
Good Corporate Governance Bank;
b. kepemilikan
saham anggota dewan Komisaris serta
hubungan
keuangan dan hubungan keluarga anggota dewan Komisaris dengan
anggota dewan Komisaris lain, anggota Direksi dan/atau pemegang
saham Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
c. kepemilikan saham anggota Direksi serta hubungan keuangan dan
hubungan keluarga anggota Direksi dengan anggota dewan Komisaris,
anggota Direksi lain dan/atau pemegang saham Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36;
d. paket/kebijakan remunerasi dan fasilitas lain bagi dewan Komisaris
serta Direksi;
e. shares option yang dimiliki Komisaris, Direksi, dan Pejabat Eksekutif;
f.
rasio gaji tertinggi dan gaji terendah;
g. frekuensi rapat dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15;
h. jumlah penyimpangan
penyelesaian oleh Bank;
i.
j.
(internal fraud) yang terjadi dan upaya
jumlah permasalahan hukum dan upaya penyelesaian oleh Bank;
transaksi yang mengandung benturan kepentingan;
k. buy back shares dan/atau buy back obligasi Bank; dan
l. pemberian dana untuk kegiatan sosial dan kegiatan politik, baik
nominal maupun penerima dana.
(3) Pengungkapan …
- 30 -
(3) Pengungkapan paket/kebijakan remunerasi fasilitas lain bagi dewan
Komisaris dan Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d paling
kurang mencakup jumlah anggota dewan Komisaris,
jumlah anggota
Direksi, dan jumlah keseluruhan gaji, tunjangan (benefits), kompensasi
berbasis saham, bentuk remunerasi lainnya, dan fasilitas yang ditetapkan
berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham.
Pasal 62
(1)
Bank wajib menyampaikan laporan
Governance sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
pelaksanaan Good Corporate
kepada pemegang
saham dan kepada:
a. Bank Indonesia;
b. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI);
c. Lembaga pemeringkat di Indonesia;
d. Asosiasi-asosiasi Bank di Indonesia;
e. Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI);
f. 2 (dua) lembaga penelitian di bidang ekonomi dan keuangan;
g. 2 (dua) majalah ekonomi dan keuangan,
paling lambat 5 (lima) bulan setelah tahun buku berakhir.
(2) Bagi Bank yang telah memiliki homepage wajib menginformasikan laporan
pelaksanaan Good Corporate Governance sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) pada homepage Bank paling lambat 5 (lima) bulan setelah tahun
buku berakhir.
(3) Laporan pelaksanaan Good Corporate Governance sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan pertama kali untuk posisi laporan akhir
Desember 2007.
(4) Bank …
- 31 -
(4) Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan pelaksanaan Good
Corporate Governance apabila Bank menyampaikan laporan dimaksud
kepada Bank Indonesia melampaui batas akhir waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi belum melampaui 1 (satu)
bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan.
(5) Bank dianggap tidak menyampaikan laporan Good Corporate Governance
apabila Bank belum menyampaikan laporan dimaksud dalam batas waktu
keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Pasal 63
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan laporan pelaksanaan Good
Corporate Governance sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 64
Penyampaian laporan pelaksanaan Good Corporate Governance kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a dialamatkan
kepada:
a.
Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. MH Thamrin No. 2, Jakarta 10110,
bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia;
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
Bagian …
- 32 -
Bagian Kedua
Penilaian Pelaksanaan Good Corporate Governance
(Self Assessment)
Pasal 65
(1) Bank wajib melakukan penilaian (self assessment) atas pelaksanaan Good
Corporate Governance Bank yang mencakup hal-hal sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 ayat (2) paling kurang 1 (satu) kali dalam setahun.
(2) Hasil penilaian (self assessment) pelaksanaan Good Corporate Governance
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari laporan pelaksanaan Good Corporate Governance.
(3) Tata cara penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 66
(1) Dalam rangka melakukan penilaian terhadap pelaksanaan Good Corporate
Governance sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Bank Indonesia dapat
melakukan penilaian atau evaluasi terhadap hasil penilaian (self
assessment) pelaksanaan Good Corporate
dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1).
Governance sebagaimana
(2) Berdasarkan hasil penilaian atau evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan action plan
yang memuat langkah-langkah perbaikan yang wajib dilaksanakan oleh
Bank dengan target waktu tertentu.
(3) Dalam …
- 33 -
(3) Dalam hal diperlukan Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk
melakukan penyesuaian action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan/atau melakukan pemeriksaan khusus terhadap hasil perbaikan
pelaksanaan Good Corporate Governance yang telah dilakukan oleh Bank.
BAB XII
PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE
PADA KANTOR CABANG BANK ASING
Pasal 67
(1) Kantor cabang bank asing wajib memenuhi ketentuan tentang pelaksanaan
Good Corporate Governance sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
(2) Pelaksana fungsi dewan Komisaris dan pembentukan komite disesuaikan
dengan struktur organisasi yang berlaku pada bank yang bersangkutan.
(3) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi seluruh
fungsi yang diperlukan dalam pelaksanaan Good Corporate Governance
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 68
Bank Indonesia berwenang meminta penyesuaian struktur organisasi kantor
cabang bank asing untuk memastikan terlaksananya Good Corporate
Governance sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB XIII …
- 34 -
BAB XIII
SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Pelaksanaan Good Corporate Governance
Pasal 69
Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal
14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23,
Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31,
Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40,
Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48,
Pasal 49, Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 52 ayat (2), Pasal 59, Pasal 60,
Pasal 65, Pasal 67 dikenakan sanksi administratif antara lain berupa:
a.
teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan peringkat faktor
manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan;
larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
pembekuan kegiatan usaha tertentu;
c.
d.
e.
pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat
pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat
Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan
Bank Indonesia; dan
f.
pencantuman anggota pengurus, pegawai, pemegang saham Bank dalam
daftar tidak lulus melalui mekanisme uji kepatutan dan kelayakan (fit and
proper test).
Pasal 70 …
- 35 -
Pasal 70
Bank yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 49, Pasal 50 ayat (1), Pasal 51 dan
Pasal 52 ayat (1), ayat (3) serta ayat (4) dikenakan sanksi sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Penugasan Direktur Kepatuhan
(Compliance Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern
Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia tentang Transparansi Kondisi
Keuangan Bank.
Pasal 71
Bank yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 53 dikenakan sanksi sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko
bagi Bank Umum.
Pasal 72
Bank yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 54 dan Pasal 55 dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum
Pemberian Kredit Bank Umum.
Pasal 73
Bank yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 56 dikenakan sanksi sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Umum dan Peraturan Bank
Indonesia tentang Rencana Bisnis Bank Umum.
Pasal 74 …
- 36 -
Pasal 74
Bank yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 57 dan Pasal 58 dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transparansi
Kondisi Keuangan Bank dan Peraturan Bank Indonesia tentang Transparansi
Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
Bagian Kedua
Sanksi Pelaporan
Pasal 75
(1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 ayat (4) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan.
(2) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 ayat (5) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan teguran tertulis oleh Bank
Indonesia.
(3) Bank yang menyampaikan laporan yang dinilai tidak benar dan atau tidak
lengkap secara signifikan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 dan Pasal 63
dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar
Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan sanksi
administratif antara lain berupa:
a. penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan peringkat faktor
manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan
b. larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. pemberhentian …
- 37 -
d. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang
Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap
dengan persetujuan Bank Indonesia; dan atau
e. pencantuman anggota pengurus, pegawai, pemegang saham Bank
dalam daftar tidak lulus melalui mekanisme uji kepatutan dan
kelayakan (fit and proper test).
(4) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilakukan setelah Bank diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank
Indonesia dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja untuk setiap teguran
dan Bank tidak memperbaiki laporan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari
kerja setelah surat teguran terakhir.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 76
(1) Bank yang telah go public dan atau memiliki aset
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan
Pasal 12 paling lambat akhir bulan Juni 2007.
(2) Bank yang
belum go public dan memiliki aset lebih kecil dari
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) wajib memenuhi:
a. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 12
ayat (1) huruf a dan huruf b paling lambat pada akhir bulan Juni 2007;
dan
b. ketentuan …
- 38 -
b. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c
paling lambat pada akhir bulan Juni 2008.
Pasal 77
Bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) paling
lambat pada akhir bulan Juni 2007.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 78
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a.
Pasal 21 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Nomor 32/37/KEP/DIR tanggal
12 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembukaan Kantor
Cabang, Kantor Cabang Pembantu, dan Kantor Perwakilan dari Bank yang
Berkedudukan di Luar Negeri;
b.
c.
d.
Pasal 19, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Peraturan Bank Indonesia Nomor
2/27/PBI/2000 tanggal 15 Desember 2000 tentang Bank Umum;
Pasal 6 huruf c Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19
Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum,
Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), ayat (3), ayat (5)
dan ayat (6) Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tanggal
14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah.
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 79 …
- 39 -
Pasal 79
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Januari 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 6
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/4/PBI/2006
TENTANG
PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE
BAGI BANK UMUM
UMUM
Perkembangan industri perbankan yang sangat pesat umumnya disertai
dengan semakin kompleksnya kegiatan usaha bank yang mengakibatkan
peningkatan eksposur risiko bank. Good corporate governance pada industri
perbankan menjadi lebih penting untuk saat ini dan masa-masa yang akan datang,
mengingat risiko dan tantangan yang dihadapi oleh industri perbankan akan
semakin meningkat.
Dalam rangka meningkatkan kinerja bank, melindungi kepentingan
stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan serta nilai-nilai etika (code of conduct) yang berlaku secara umum
pada industri perbankan, bank wajib melaksanakan kegiatan usahanya dengan
berpedoman pada prinsip-prinsip Good Corporate Governance.
Pelaksanaan Good Corporate Governance pada industri perbankan
harus senantiasa berlandaskan pada lima prinsip dasar. Pertama, tranparansi
(transparency), yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi
yang material dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan
proses
Pengambilan …
- 2 -
pengambilan keputusan. Kedua, akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan
fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organ bank sehingga
pengelolaannya berjalan secara efektif. Ketiga, pertanggungjawaban
(responsibility) yaitu kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat.
Keempat, independensi (independency) yaitu pengelolaan bank secara
profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun. Kelima, kewajaran
(fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholder
yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam rangka menerapkan kelima prinsip dasar tersebut di atas, bank
wajib berpedoman pada berbagai ketentuan dan persyaratan minimum serta
pedoman yang terkait dengan pelaksanaan good corporate governance.
Dalam upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pelaksanaan good
corporate governance, bank diwajibkan secara berkala melakukan self
assessment terhadap kecukupan pelaksanaan good corporate governance dan
menyusun laporan pelaksanaannya, sehingga apabila masih terdapat kekurangan-
kekurangan maka dapat segera dilakukan tindakan-tindakan korektif yang
diperlukan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 8
Cukup jelas.
Pasal 2 …
- 3 -
Pasal 2
Ayat (1)
Pelaksanaan prinsip-prinsip Good Corporate Governance dalam
setiap kegiatan usahanya termasuk pada saat penyusunan visi, misi,
rencana strategis, pelaksanaan kebijakan, dan langkah-langkah
pengawasan internal pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
Ayat (2)
Huruf a
Pelaksanaan tugas dan tanggungjawab dewan Komisaris dan
Direksi mengacu pada anggaran dasar Bank dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur pelaksanaan tugas dan tanggungjawab
tersebut.
Huruf b
Pembentukan komite antara lain dimaksudkan untuk membantu
kelancaran tugas pengawasan oleh Komisaris sedangkan tugas
pengendalian oleh Direksi didukung oleh pembentukan satuan
kerja yang melakukan fungsi pengendalian seperti satuan kerja
audit intern, satuan kerja kepatuhan, dan satuan
manajemen risiko Bank.
kerja
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e …
- 4 -
Huruf e
Yang dimaksud dengan pihak terkait adalah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Batas
Maksimum Pemberian Kredit bagi Bank Umum.
Huruf f
Rencana strategis Bank meliputi rencana korporasi (corporate
plan) maupun rencana bisnis (business plan).
Huruf g
Transparansi meliputi aspek pengungkapan (disclosure)
informasi Bank yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif
kepada Stakeholders.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5 …
- 5 -
Pasal 5
Ayat (1)
Keberadaan Komisaris Independen dimaksudkan untuk mendorong
terciptanya iklim dan lingkungan kerja yang lebih obyektif dan
menempatkan kewajaran (fairness) dan kesetaraan di antara berbagai
kepentingan termasuk kepentingan pemegang saham minoritas dan
Stakeholders lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini anggota dewan Komisaris
tidak dapat merangkap jabatan pada bank umum, bank perkreditan
rakyat, dan lembaga keuangan lainnya baik di dalam maupun di luar
negeri.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan menjalankan tugas fungsional adalah apabila
fungsi yang bersangkutan di badan hukum pemilik Bank hanya
sebatas melakukan pengawasan.
Ayat (3) …
- 6 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua
adalah hubungan baik vertikal maupun horizontal, termasuk mertua,
menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga meliputi:
1. orang tua kandung/tiri/angkat;
2. saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya;
3. anak kandung/tiri/angkat;
4. kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
5. cucu kandung/tiri/angkat;
6. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau istrinya;
7. suami/istri;
8. mertua;
9. besan;
10. suami/istri dari anak kandung/tiri/ angkat;
11. kakek atau nenek dari suami atau istri;
12. suami/istri dari cucu kandung/ tiri/angkat;
13. saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami atau
istrinya.
Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh
perseratus) dari seluruh jumlah anggota Direksi.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan independen dalam Pasal ini adalah pelaksanaan
tugas secara obyektif dan bebas dari tekanan dan kepentingan pihak
manapun.
Pasal 9 …
- 7 -
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan kegiatan operasional adalah kegiatan kredit,
treasury, penghimpunan dana dan kegiatan operasional lainnya.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penetapan dalam Anggaran Dasar mengenai hal-hal lain yang
pengambilan keputusannya memerlukan keterlibatan dewan
Komisaris diarahkan kepada hal-hal yang strategis dan
mempengaruhi kelangsungan usaha Bank.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan otoritas lain adalah termasuk namun tidak terbatas
pada:
a.
b.
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam); dan/atau
otoritas pengawasan terhadap parent bank.
Pasal 11 …
- 8 -
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c …
- 9 -
Huruf c
Pengaturan rapat antara lain mengatur tentang agenda rapat,
persyaratan quorum, pengambilan keputusan, hak anggota
dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam pengambilan
keputusan dan risalah rapat.
Pasal 14
Indikator penyediaan waktu yang cukup dicerminkan antara lain oleh
kehadiran yang bersangkutan sesuai waktu kerja yang telah ditetapkan
dalam tata tertib dan tingkat kehadiran yang bersangkutan dalam rapat.
Pasal 15
Ayat (1)
Bentuk rapat disesuaikan dengan kebutuhan Bank antara lain dengan
cara penggunaan teknologi telekonferensi.
Ayat (2)
Diupayakan agar seluruh anggota dewan Komisaris dapat hadir
secara fisik pada rapat dalam rangka evaluasi/penetapan kebijakan
strategis dan evaluasi realisasi rencana bisnis Bank.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 10 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tidak termasuk dalam pengertian keuntungan pribadi antara lain
dalam hal anggota dewan Komisaris sebagai nasabah Bank menerima
penghasilan bunga/imbalan secara wajar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 11 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Yang dimaksud dengan pemegang saham pengendali adalah Pemegang
Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
Penilaian independensi didasarkan pada keterkaitan yang bersangkutan
pada kepengurusan, kepemilikan dan/atau hubungan keuangan,
hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali.
Pasal 21
Ayat (1)
Tidak termasuk penggantian sementara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang tentang Perseroan Terbatas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh
perseratus) dari seluruh jumlah anggota Direksi.
Pengertian bank pada ayat ini tidak termasuk bank perkreditan rakyat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22 …
serta
- 12 -
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bank pada ayat ini adalah bank umum dan
bank perkreditan rakyat, baik di dalam maupun di luar negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua
adalah hubungan baik vertikal maupun horizontal, termasuk mertua,
menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga meliputi:
1. orang tua kandung/tiri/angkat;
2. saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya;
3. anak kandung/tiri/angkat;
4. kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
5. cucu kandung/tiri/angkat;
6. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau istrinya;
7. suami/istri;
8. mertua;
9. besan;
10. suami/istri dari anak kandung/tiri/ angkat;
11. kakek atau nenek dari suami atau istri;
12. suami/istri dari cucu kandung/ tiri/angkat;
13. saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami atau
istrinya.
Yang …
- 13 -
Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh
perseratus) dari seluruh jumlah anggota Direksi.
Pasal 24
Yang dimaksud dengan pihak lain adalah satu orang karyawan atau lebih
atau orang lain.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Yang dimaksud dengan otoritas lain adalah termasuk namun tidak terbatas
pada:
a. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) ; dan/atau
b. otoritas pengawasan terhadap parent bank.
Pasal 28 …
- 14 -
Pasal 28
Huruf a
Yang dimaksud dengan Satuan Kerja Audit Intern adalah Satuan
Kerja Audit Intern sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance
Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern
Bank Umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan Satuan Kerja Manajemen Risiko dan Komite
Manajemen Risiko adalah Satuan Kerja Manajemen Risiko dan
Komite Manajemen Risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank
Umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan Satuan Kerja Kepatuhan adalah satuan kerja
yang bertugas membantu pelaksanaan fungsi direktur kepatuhan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Direktur
Kepatuhan (Compliance Director) dan Penerapan Standar
Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31 …
- 15 -
Pasal 31
Huruf a
Termasuk dalam kategori proyek yang bersifat khusus antara lain
adalah proyek teknologi informasi atau pengembangan kehumasan
(public relations) yang memiliki kriteria seperti adanya target waktu
tertentu.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 32
Data dan informasi dimaksud diperlukan dalam kaitan tugas dan tanggung
jawab dewan Komisaris untuk melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dan pengendalian terhadap
pelaksanaan kebijakan Bank.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c …
- 16 -
Huruf c
Pengaturan rapat antara lain mengatur tentang agenda rapat,
persyaratan quorum, pengambilan keputusan, hak anggota
dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam pengambilan
keputusan dan risalah rapat.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kebijakan dan keputusan strategis adalah
keputusan Bank yang dapat mempengaruhi keuangan Bank secara
signifikan dan/atau memiliki dampak yang berkesinambungan
terhadap anggaran, sumber daya manusia, struktur organisasi,
dan/atau pihak ketiga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 36 …
- 17 -
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tidak termasuk dalam pengertian keuntungan pribadi antara lain
dalam hal anggota Direksi sebagai nasabah Bank menerima
penghasilan bunga/imbalan secara wajar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) …
- 18 -
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan memiliki integritas yang baik antara lain
tidak termasuk dalam Daftar Tidak Lulus Bank Indonesia dan daftar
kredit macet, yang didukung dengan surat pernyataan pribadi.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan memiliki integritas yang baik antara lain
tidak termasuk dalam Daftar Tidak Lulus Bank Indonesia dan daftar
kredit macet, yang didukung dengan surat pernyataan pribadi.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
- 19 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan Komite Manajemen Risiko dan Satuan Kerja
Manajemen Risiko adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank
Umum.
Pasal 45 …
- 20 -
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Huruf a
Yang dimaksud dengan cadangan adalah cadangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas.
Huruf b
Remunerasi yang dikaitkan dengan prestasi kerja individual
dimaksudkan agar tercapai kesetaraan antara hasil kerja individual
dengan imbalan yang diterima oleh individu yang bersangkutan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan peer group adalah kesetaraan jabatan pada
intern Bank dan pada beberapa bank sejenis, antara lain dari sisi aset
dan karakteristik.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48 …
- 21 -
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 22 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Pelaksanaan audit laporan keuangan Bank antara lain dimaksudkan
untuk meningkatkan kualitas pelaporan dan akurasi penyajian kondisi
keuangan Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56 …
- 23 -
Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan rencana korporasi (corporate plan) adalah
rencana strategis dalam jangka panjang dalam rangka mencapai
tujuan Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
tentang Bank Umum.
Yang dimaksud dengan rencana bisnis (business plan) adalah rencana
kegiatan usaha Bank jangka pendek (satu tahun) dan jangka
menengah (tiga tahun), termasuk strategi untuk merealisasikan
rencana tersebut, rencana untuk memperbaiki kinerja usaha, dan
rencana pemenuhan ketentuan kehati-hatian sesuai dengan target dan
waktu yang ditetapkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kondisi non-keuangan meliputi antara lain
kepengurusan, kepemilikan, perkembangan usaha Bank dan
kelompok usaha Bank, strategi dan kebijakan manajemen, dan
laporan manajemen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 58 …
- 24 -
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Yang dimaksud dengan benturan kepentingan antara lain adalah perbedaan
antara kepentingan ekonomis Bank dengan kepentingan ekonomis pribadi
pemilik, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Pejabat Eksekutif,
dan/atau pihak terkait dengan Bank.
Ketentuan dalam Pasal ini pada dasarnya dimaksudkan agar anggota dewan
Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif menghindarkan diri dari
pengambilan suatu keputusan dalam situasi dan kondisi ada benturan
kepentingan. Namun demikian apabila keputusan tetap harus diambil maka
pihak-pihak dimaksud wajib mengutamakan kepentingan ekonomis Bank
dan menghindarkan Bank dari
kerugian yang mungkin timbul
atau
kemungkinan berkurangnya keuntungan Bank serta wajib mengungkapkan
kondisi benturan kepentingan tersebut dalam setiap keputusan.
Dalam kaitan ini, pemberian perlakuan istimewa kepada pihak-pihak
tertentu di luar prosedur dan ketentuan yang berlaku termasuk dalam
kategori benturan kepentingan yang menimbulkan kerugian Bank atau
mengurangi keuntungan Bank, antara lain pemberian suku bunga yang
tidak sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku.
Pasal 61 …
- 25 -
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pengungkapan paket/kebijakan remunerasi
ini menjadi
tolok
ukur Stakeholders dalam menilai kesesuaian remunerasi dengan
hasil kinerja Bank yang dikelola Komisaris dan Direksi Bank.
Yang dimaksud dengan fasilitas lain adalah fasilitas yang
diterima tidak dalam bentuk keuangan, antara lain fasilitas
perumahan, fasilitas transportasi dan fasilitas asuransi
kesehatan.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h …
- 26 -
Huruf h
Penyimpangan (internal fraud) dalam ketentuan ini dibatasi
pada penyimpangan yang berkaitan dengan operasional Bank
dan mempengaruhi kondisi keuangan Bank secara signifikan.
Huruf i
Permasalahan
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Penyampaian laporan pelaksanaan Good Corporate Governance
kepada pemegang saham diutamakan untuk pemegang
saham
pengendali sedangkan untuk pemegang saham lain didasarkan atas
pertimbangan tingkat efisiensi dan tingkat kepentingan dari setiap
Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
hukum
dalam
ketentuan ini meliputi
permasalahan hukum perdata dan pidana.
- 27 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 28 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Pemberlakuan ketentuan yang sama antara kantor cabang bank asing
dengan Bank yang berkantor pusat di Indonesia karena prinsip dan
cakupan pelaksanaan Good Corporate Governance bersifat universal
bagi setiap jenis bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71 …
- 29 -
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hari adalah hari kerja.
Ayat (2)
Bank yang telah dikenakan sanksi kewajiban membayar pada ayat ini
tidak dikenakan sanksi keterlambatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 76 …
- 30 -
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4600
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/4/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 30 Januari 2006 </set_date>
<effective_date> 30 Januari 2006 </effective_date>
<replaced_reg> '6/24/PBI/2004 | Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), ayat (3), ayat (5) dan ayat (6)', '2/27/PBI/2000 | Pasal 19, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24', '32/37/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999 | Pasal 21 ayat (1)', '5/8/PBI/2003 | Pasal 6 huruf c' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/ 9 /PBI/2004
TENTANG
TINDAK LANJUT PENGAWASAN
DAN PENETAPAN STATUS BANK
.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang
sehat, diperlukan langkah-langkah tindak lanjut
pengawasan terhadap bank yang dinilai memiliki potensi
kesulitan dalam kegiatan usahanya, bank yang
mempunyai total aktiva cukup besar, bank yang dinilai
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya, serta bank yang dinilai tidak dapat mengatasi
permasalahannya;
b. bahwa dengan berakhirnya tugas dan dibubarkannya
Badan Penyehatan Perbankan Nasional, maka diperlukan
perubahan mekanisme langkah-langkah tindak lanjut
pengawasan dan penetapan status bank;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut perlu diatur
kembali ketentuan tentang Tindak Lanjut Pengawasan
dan Penetapan Status Bank dalam Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4357);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3831);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun
1998 Tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran
Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 29) sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 24);
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2004 Tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran
Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
Memperhatikan …
- 3 -
Memperhatikan:
Nota Kesepakatan antara Menteri Keuangan dan Gubernur
Bank Indonesia tanggal 17 Maret 2004 mengenai ketentuan
dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan
keuangan bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas
pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TINDAK
LANJUT PENGAWASAN DAN PENETAPAN STATUS
BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing;
2. Komite Koordinasi adalah komite pengambilan keputusan dalam penanganan
Bank bermasalah dan berdampak sistemik, yang terdiri dari Menteri
Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia.
BAB II …
- 4 -
BAB II
BANK DALAM PENGAWASAN INTENSIF
(INTENSIVE SUPERVISION)
Pasal 2
(1) Dalam hal Bank Indonesia menilai kondisi suatu Bank memiliki potensi
kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya, maka Bank
tersebut ditempatkan dalam pengawasan intensif Bank Indonesia.
(2) Bank yang dinilai memiliki potensi kesulitan yang dapat membahayakan
kelangsungan usahanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Bank
yang memenuhi 1 (satu) atau lebih kriteria sebagai berikut:
a. memiliki predikat kurang sehat atau tidak sehat dalam penilaian tingkat
kesehatan Bank;
b. memiliki permasalahan aktual dan atau potensial berdasarkan penilaian
terhadap keseluruhan risiko (composite risk);
c. terdapat pelampauan dan atau pelanggaran Batas Maksimum Pemberian
Kredit dan menurut penilaian Bank Indonesia langkah-langkah
penyelesaian yang diusulkan Bank dinilai tidak dapat diterima atau tidak
mungkin dicapai;
d. terdapat pelanggaran Posisi Devisa Neto dan menurut penilaian Bank
Indonesia langkah-langkah penyelesaian yang diusulkan Bank dinilai
tidak dapat diterima atau tidak mungkin dicapai;
e. memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah sama dengan atau
lebih besar dari rasio yang ditetapkan untuk Giro Wajib Minimum Bank,
namun Bank dinilai mengalami permasalahan likuiditas yang mendasar;
f. dinilai memiliki permasalahan profitabilitas yang mendasar;
g. memiliki kredit bermasalah (non-performing loan) secara neto lebih dari
5% (lima perseratus) dari total kredit.
(3) Dalam …
- 5 -
(3) Dalam rangka pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Bank Indonesia dapat melakukan tindakan-tindakan antara lain:
a. meminta Bank untuk melaporkan hal-hal tertentu kepada Bank
Indonesia;
b. melakukan peningkatan frekuensi pengkinian dan penilaian rencana
kerja (business plan) dengan penyesuaian terhadap sasaran yang akan
dicapai;
c. meminta Bank untuk menyusun rencana tindakan (action plan) sesuai
dengan permasalahan yang dihadapi;
d. menempatkan pengawas dan atau pemeriksa Bank Indonesia pada Bank
(on-site supervisory presence), apabila diperlukan.
(4) Dalam hal Bank yang ditempatkan dalam pengawasan intensif memerlukan
langkah-langkah perbaikan tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan
tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).
Pasal 3
(1) Bank Indonesia dapat menempatkan Bank yang memiliki total aktiva cukup
besar dibandingkan dengan seluruh total aktiva perbankan dalam
pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(2) Dalam rangka pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Bank Indonesia dapat melakukan tindakan-tindakan antara lain
menempatkan pengawas dan atau pemeriksa Bank Indonesia pada Bank
(on-site supervisory presence) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(3) huruf d.
Pasal 4 …
- 6 -
Pasal 4
Bank Indonesia akan memberitahukan kepada Bank yang ditempatkan dalam
pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3, beserta
dengan alasan penempatan dan langkah-langkah yang perlu segera dilakukan
Bank.
BAB III
BANK DALAM PENGAWASAN KHUSUS
(SPECIAL SURVEILLANCE)
Pasal 5
(1) Dalam hal Bank Indonesia menilai suatu Bank mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya maka Bank tersebut ditempatkan
dalam pengawasan khusus Bank Indonesia.
(2) Bank yang dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Bank yang
memenuhi 1 (satu) atau lebih kriteria sebagai berikut:
a. rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% (delapan
perseratus);
b. rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah kurang dari rasio yang
ditetapkan untuk Giro Wajib Minimum Bank, dengan perkembangan
yang memburuk dalam waktu singkat atau berdasarkan penilaian Bank
Indonesia mengalami permasalah likuiditas yang mendasar.
(3) Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Bank Indonesia:
a. memerintahkan Bank dan atau pemegang saham Bank untuk
mengajukan rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan)
secara …
- 7 -
secara tertulis kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 15 (lima
belas) hari sejak diterimanya surat pemberitahuan dari Bank Indonesia
yang menyatakan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang
dari 8% (delapan perseratus);
b. memerintahkan Bank untuk memenuhi kewajiban melaksanakan
tindakan perbaikan (mandatory supervisory actions) segera setelah
diterimanya surat pemberitahuan dari Bank Indonesia yang menyatakan
rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sama dengan atau kurang
dari 6% (enam perseratus);
c. dapat memerintahkan Bank dan atau pemegang saham Bank untuk
melakukan tindakan antara lain:
1) mengganti dewan komisaris dan atau direksi Bank;
2) menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah yang tergolong macet dan memperhitungkan kerugian
Bank dengan modal Bank;
3) melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
4) menjual Bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih
seluruh kewajiban Bank;
5) menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank
kepada pihak lain;
6) menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban Bank
kepada bank atau pihak lain; dan atau
7) membekukan kegiatan usaha tertentu Bank.
(4) Bagi Bank yang memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
lebih dari 6% (enam perseratus) dan kurang dari 8% (delapan perseratus),
selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a,
Bank wajib:
a. melaksanakan …
- 8 -
a. melaksanakan tindakan perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h;
b. menyampaikan laporan skedul likuiditas untuk jangka waktu 3 (tiga)
bulan mendatang, yang terinci secara harian atau berdasarkan frekuensi
dan periode pelaporan yang ditetapkan Bank Indonesia;
c. menyampaikan laporan bulanan mengenai realisasi pelaksanaan
tindakan sebagaimana diatur dalam huruf a dan realisasi pelaksanaan
rencana perbaikan modal (capital restoration plan) sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) huruf a.
(5) Apabila diperlukan terhadap Bank yang memiliki rasio Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum lebih dari 6% (enam perseratus) dan kurang
dari 8% (delapan perseratus), Bank Indonesia dapat menempatkan
pengawas dan atau pemeriksa (on-site supervisory presence) Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
Pasal 6
(1) Rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a wajib
menggambarkan kemampuan Bank untuk mencapai dan memelihara rasio
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sebesar 8% (delapan perseratus)
atau lebih, dalam jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8.
(2) Dalam rangka mengevaluasi rencana perbaikan permodalan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia akan menilai rencana dimaksud
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak
dokumen diterima secara lengkap dan memberitahukan secara tertulis
kepada Bank mengenai persetujuan atau penolakannya.
(3). Dalam …
- 9 -
(3) Dalam hal rencana perbaikan permodalan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) ditolak Bank Indonesia, Bank wajib mengajukan revisi rencana
perbaikan permodalan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari sejak tanggal pemberitahuan penolakan.
(4) Dalam rangka mengevaluasi revisi rencana perbaikan permodalan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Bank Indonesia akan menilai
rencana dimaksud dalam jangka waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh)
hari sejak dokumen diterima secara lengkap dan memberitahukan secara
tertulis kepada Bank mengenai persetujuan atau penolakannya.
(5) Bank yang memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang
dari 8% (delapan perseratus) dan tidak mengajukan rencana perbaikan
permodalan sampai dengan jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a, wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(6) Bank yang tidak mengajukan revisi rencana perbaikan permodalan dan
Bank yang ditolak revisi rencana perbaikan permodalannya oleh Bank
Indonesia, wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7.
(7) Bank yang secara material tidak dapat melaksanakan rencana perbaikan
permodalan yang telah diajukan kepada Bank Indonesia wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(8) Bank yang telah mengajukan rencana perbaikan permodalan dapat
melaksanakan perubahan rencana setelah mendapat persetujuan terlebih
dahulu dari Bank Indonesia.
Pasal 7 …
- 10 -
Pasal 7
(1) Bank dalam pengawasan khusus yang memiliki rasio Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum sama dengan atau kurang dari 6% (enam
perseratus), wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (3) huruf a dan melakukan tindakan perbaikan yang diperintahkan
Bank Indonesia (mandatory supervisory actions) segera setelah memperoleh
pemberitahuan dari Bank Indonesia, yang meliputi namun tidak terbatas
pada:
a. Bank dilarang melakukan pembayaran distribusi modal;
b. Bank dilarang melakukan transaksi dengan pihak terkait dan atau pihak-
pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia, kecuali telah memperoleh
persetujuan Bank Indonesia;
c. Bank dikenakan pembatasan pertumbuhan aset, pembatasan melakukan
penyertaan, dan atau pembatasan pemberian kredit baru, kecuali telah
memperoleh persetujuan Bank Indonesia;
d. Bank dikenakan pembatasan untuk melaksanakan rencana ekspansi
usaha atau kegiatan baru yang sebelumnya tidak dilakukan Bank,
kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia;
e. Bank dikenakan pembatasan untuk membayar gaji, kompensasi, atau
bentuk lain yang dipersamakan dengan itu kepada Pengurus Bank, atau
kompensasi kepada pihak terkait yang terjadi 1 (satu) tahun sebelum
kondisi Bank memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
dibawah 8% (delapan perseratus), kecuali telah memperoleh persetujuan
Bank Indonesia;
f. Bank dilarang melakukan pembayaran terhadap pinjaman subordinasi;
g. Bank wajib melaporkan setiap perubahan kepemilikan saham dalam
jumlah kurang dari 10% (sepuluh perseratus);
h. Bank …
- 11 -
h. Bank dilarang melakukan perubahan kepemilikan dari:
1) pemegang saham yang memiliki saham sebesar sama dengan atau
lebih dari 10% (sepuluh perseratus); dan atau
2) Pemegang Saham Pengendali, termasuk pihak-pihak yang
melakukan Pengendalian terhadap Bank dalam struktur kelompok
usaha Bank,
tanpa persetujuan Bank Indonesia.
i. Bank dilarang untuk menjual atau menurunkan jumlah aset atau
meningkatkan komitmen dan kontinjensi tanpa persetujuan dari Bank
Indonesia, kecuali untuk Sertifikat Bank Indonesia, Giro pada Bank
Indonesia, Tagihan antar Bank, dan Surat Utang Negara;
j. Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia:
1) informasi dan dokumen sebagai berikut:
a) susunan direksi dan komisaris selama 3 (tiga) tahun terakhir;
b) struktur permodalan dan susunan pemegang saham selama 3
(tiga) tahun terakhir;
c) informasi mengenai data nasabah penyimpan dana;
d) daftar rincian tagihan dan kewajiban kepada pihak terkait Bank;
e) informasi lainnya yang diperlukan Bank Indonesia;
2) laporan keuangan terakhir dari perusahaan yang memperoleh
penyertaan Bank selain penyertaan modal sementara dalam rangka
restrukturisasi kredit;
3) struktur kelompok usaha terakhir yang terkait dengan Bank
termasuk badan hukum pemilik Bank sampai dengan ultimate
shareholders,
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak
pemberitahuan …
- 12 -
pemberitahuan Bank Indonesia kepada Bank mengenai kewajiban
melaksanakan tindakan perbaikan yang diperintahkan Bank Indonesia
(mandatory supervisory actions).
(2) Bank Indonesia akan memantau kondisi Bank yang wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melalui penempatan
pengawas dan atau pemeriksa Bank Indonesia pada Bank (on-site
supervisory presence).
(3) Bank Indonesia akan memberitahukan kepada otoritas pengawas yang
berwenang terhadap perusahaan induk dan atau perusahaan anak Bank
mengenai tindakan yang dilakukan Bank Indonesia terhadap Bank.
(4) Bank Indonesia memberitahukan kepada Pemerintah mengenai tindakan
yang dilakukan Bank Indonesia terhadap Bank.
Pasal 8
(1) Bank dan atau pemegang saham dari Bank yang ditetapkan dalam
pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib
melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) untuk
pencapaian rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan atau Giro
Wajib Minimum sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam jangka
waktu:
a. selambat-lambatnya 6 (enam) bulan untuk Bank yang telah terdaftar di
pasar modal;
b. selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan untuk Bank yang tidak terdaftar di
pasar modal atau kantor cabang bank asing,
sejak tanggal dikeluarkannya perintah tertulis dari Bank Indonesia.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 9 …
- 13 -
Pasal 9
(1) Bank Indonesia dapat mengumumkan Bank yang:
a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sama dengan
atau kurang dari 6% (enam perseratus);
b. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum di antara 6%
(enam perseratus) dan 8% (delapan perseratus) dan tidak mengajukan
rencana perbaikan permodalan;
c. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum di antara 6%
(enam perseratus) dan 8% (delapan perseratus) dan tidak melaksanakan
rencana perbaikan permodalan;
d. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum di antara 6%
(enam perseratus) dan 8% (delapan perseratus) dan Bank Indonesia tidak
menyetujui revisi rencana perbaikan permodalan;
e. diberikan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2).
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk
pengumuman tindakan perbaikan yang wajib dilakukan Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 7.
(3) Bank Indonesia dapat mengumumkan pula:
a. Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d yang telah melaksanakan tindakan-tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 7; dan atau
b. Bank yang telah melewati perpanjangan jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf e,
yang memenuhi kriteria memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum sebesar 8% (delapan perseratus) atau lebih, dan atau memiliki
rasio …
- 14 -
rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah sebesar rasio yang ditetapkan
untuk Giro Wajib Minimum Bank atau lebih.
BAB IV
BANK BERDAMPAK SISTEMIK
Pasal 10
Bank yang ditempatkan dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) dan ditengarai berdampak sistemik dilaporkan oleh Bank
Indonesia kepada Komite Koordinasi.
Pasal 11
Bank Indonesia melaporkan dan meminta Komite Koordinasi untuk membahas
permasalahan Bank dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10, apabila:
a. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 belum terlampaui dan
kondisi Bank menurun dengan cepat; atau
b. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 terlampaui, rasio
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% (delapan perseratus)
dan kondisi Bank tidak mengalami perbaikan.
Pasal 12
(1) Dalam hal Komite Koordinasi menetapkan Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 sebagai Bank berdampak sistemik, Bank dan atau pemegang
saham Bank wajib melakukan langkah-langkah yang ditetapkan oleh
Komite Koordinasi untuk menangani permasalahan Bank dalam jangka
waktu yang ditetapkan oleh Komite Koordinasi.
(2) Dalam …
- 15 -
(2) Dalam hal jangka waktu yang ditetapkan Komite Koordinasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berbeda dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, maka jangka waktu yang berlaku adalah jangka
waktu yang ditetapkan Komite Koordinasi.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terlampaui dan
Bank tidak mengalami perbaikan, Bank Indonesia meminta Komite
Koordinasi untuk membahas permasalahan Bank serta langkah-langkah
yang akan diambil untuk Bank tersebut.
BAB V
PENETAPAN BANK DALAM RANGKA PENCABUTAN IZIN USAHA
Pasal 13
(1) Bank Indonesia menetapkan Bank selain Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12, untuk dicabut izin usahanya apabila memenuhi persyaratan:
a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 belum terlampaui,
dan kondisi Bank menurun sehingga:
1) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang
dari 2% (dua perseratus) dan dinilai tidak dapat ditingkatkan
menjadi 8% (delapan perseratus); atau
2) memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah kurang dari 0%
(nol perseratus) dan tidak dapat diselesaikan sesuai peraturan yang
berlaku; atau
b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 terlampaui, rasio
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% (delapan
perseratus) dan kondisi Bank tidak mengalami perbaikan.
(2) Bank …
- 16 -
(2) Bank Indonesia menetapkan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
untuk dicabut izin usahanya apabila Komite Koordinasi merekomendasikan
pencabutan izin usaha.
Pasal 14
Bank Indonesia melakukan langkah-langkah dalam rangka pencabutan izin usaha
bagi Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan memerintahkan Bank
untuk melakukan tindakan penyelesaian, sebagaimana diatur dalam ketentuan
yang berlaku mengenai pencabutan izin usaha, pembubaran badan hukum dan
likuidasi Bank, serta jaminan pemerintah terhadap kewajiban pembayaran bank
umum.
BAB VI
LAIN-LAIN
Pasal 15
Penyampaian laporan dan informasi yang wajib dilakukan oleh Bank
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini disampaikan kepada
Bank Indonesia dengan alamat:
a. Direktorat Pengawasan Bank yang terkait, JL.M.H. Thamrin No.2 Jakarta
10110, bagi Bank yang berkantor pusat diwilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
BAB VII …
- 17 -
BAB VII
SANKSI
Pasal 16
Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, antara
lain berupa pemberhentian pengurus bank dan atau larangan turut serta dalam
kegiatan kliring bagi bank yang tidak melaksanakan kewajiban sesuai perintah
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), serta Pasal 5 ayat
(3) dan ayat (4).
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 17
Bank yang sedang dalam pengawasan khusus pada saat mulai berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini, ditetapkan sebagai bank yang akan dicabut izin
usahanya sepanjang memenuhi persyaratan:
a. jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia belum terlampaui,
dan kondisi Bank menurun sehingga:
1) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 2%
(dua perseratus) dan dinilai tidak dapat ditingkatkan menjadi 8%
(delapan perseratus); atau
2) memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah kurang dari 0% (nol
perseratus) dan tidak dapat diselesaikan sesuai peraturan yang berlaku;
atau
b. jangka …
- 18 -
b. jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia terlampaui, rasio
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% (delapan perseratus)
dan kondisi Bank tidak mengalami perbaikan.
BAB IX
PENUTUP
Pasal 18
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor 3/25/PBI/2001 tanggal 26 Desember 2001 tentang Penetapan Status Bank
dan Penyerahan Bank Kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional, dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 19
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 26 Maret 2004
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd.
ANWAR NASUTION
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 33
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/ 9 /PBI/2004
TENTANG
TINDAK LANJUT PENGAWASAN
DAN PENETAPAN STATUS BANK
UMUM
Walaupun program restrukturisasi perbankan telah selesai dilaksanakan,
yang antara lain ditandai oleh berakhirnya tugas dan dibubarkannya Badan
Penyehatan Perbankan Nasional, masih terdapat Bank yang dinilai mengalami
kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya dan atau sistem
perbankan.
Sehubungan dengan itu dalam rangka menciptakan dan mempertahankan
sistem perbankan yang sehat, terhadap Bank dimaksud perlu dilakukan langkah-
langkah tertentu seperti pengawasan intensif, pengawasan khusus, dan langkah-
langkah lain bagi Bank yang ditetapkan sebagai Bank yang berdampak sistemik.
Bagi Bank yang masih mempunyai prospek untuk menjadi sehat perlu dilakukan
langkah-langkah perbaikan dan penyehatan sedangkan bagi Bank yang tidak
mungkin lagi dapat disehatkan perlu dilakukan langkah-langkah penyelesaian.
Oleh karena itu perlu ditetapkan persyaratan dan kriteria yang jelas serta
transparan mengenai tingkat kesulitan Bank dalam kegiatan usahanya, serta
langkah-langkah kooordinasi dan mekanisme yang diperlukan antara Bank
Indonesia dan Pemerintah sebagai pihak-pihak yang turut berkepentingan dalam
menciptakan system keuangan yang kuat dan sehat. Langkah-langkah koordinasi
tersebut …
- 2 -
tersebut antara lain dituangkan dalam Nota Kesepakatan antara Menteri
Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengawasan intensif yaitu suatu peningkatan
proses pengawasan terhadap Bank dengan tujuan untuk mencegah Bank
ditempatkan dalam pengawasan khusus (special surveillance)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Upaya pencegahan tersebut memerlukan berbagai langkah perbaikan
secara tepat waktu untuk segera memulihkan kondisi kesehatan Bank.
Analisis terhadap potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usaha Bank didasarkan pada kondisi keuangan Bank untuk jangka waktu
3 (tiga) bulan sampai dengan 12 (dua belas) bulan ke depan.
Ayat (2)
Huruf a
Ketentuan mengenai tingkat kesehatan Bank didasarkan pada
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang penilaian tingkat
kesehatan bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan penilaian terhadap nilai keseluruhan risiko
(composite risk) adalah penilaian yang didasarkan penilaian profil
risiko …
- 3 -
risiko secara triwulanan (quarterly risk profile assessment) dengan
hasil penilaian memiliki risiko tinggi (high) atau sedang (moderate)
dengan arah risiko yang meningkat.
Huruf c.
Ketentuan mengenai pelampauan atau pelanggaran Batas Maksimum
Pemberian Kredit didasarkan pada ketentuan Bank Indonesia tentang
Batas Maksimum Pemberian Kredit yang berlaku. Penetapan Bank
dengan status dalam pengawasan intensif tidak menghilangkan
sanksi atas pelanggaran dan atau pelampauan Batas Maksimum
Pemberian Kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku.
Huruf d
Ketentuan mengenai Posisi Devisa Neto didasarkan pada ketentuan
Bank Indonesia tentang Posisi Devisa Neto yang berlaku. Penetapan
Bank dengan status dalam pengawasan intensif tidak menghilangkan
sanksi atas pelanggaran Posisi Devisa Neto sebagaimana diatur
dalam ketentuan yang berlaku.
Huruf e
Yang dimaksud dengan permasalahan likuiditas mendasar antara lain
adalah terjadinya penurunan pemberian komitmen (line) dari bank
lain, perubahan posisi bank di pasar uang dari posisi yang memberi
pinjaman (net-lender) menjadi posisi yang menerima pinjaman (net-
borrower), peminjaman di pasar uang dengan tingkat suku bunga
yang lebih tinggi dari nilai wajar (pasar), ketergantungan pada
agunan untuk memperoleh dana, peningkatan ketergantungan dari
pasar uang antar bank dan strategi penyaluran kredit yang
berlebihan.
Ketentuan …
- 4 -
Ketentuan mengenai rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah
didasarkan pada ketentuan Bank Indonesia tentang Giro Wajib
Minimum Bank yang berlaku.
Huruf f
Permasalahan profitabilitas yang mendasar dapat timbul dari kondisi
efisiensi Bank dalam pencapaian titik impas (break-even),
peningkatan biaya risiko yang dapat mempengaruhi kondisi
solvabilitas Bank, pendapatan yang didasarkan pada pengakuan
kembali Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) atau
sebagaian besar pendapatan didasarkan atas pendapatan non-
operasional.
Huruf g
Yang dimaksud dengan kredit bermasalah (non-performing loan)
adalah kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet
berdasarkan ketentuan Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva
Produktif yang berlaku.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Penempatan pengawas atau pemeriksa Bank Indonesia antara lain
untuk memantau tindakan Bank dalam menyelesaikan permasalahan
yang …
- 5 -
yang dihadapi khususnya terhadap tindakan yang dilakukan untuk
mengantisipasi risiko yang sangat cepat berubah seperti likuiditas
dan penurunan kualitas aktiva produktif.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang berlaku.
Huruf b
Ketentuan mengenai rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah
didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Giro Wajib
Minimum Bank yang berlaku.
Termasuk dalam pengertian perkembangan yang memburuk dalam
waktu singkat atau permasalahan liquiditas mendasar antara lain
adalah …
- 6 -
adalah upaya Bank untuk memperoleh pinjaman dana dengan suku
bunga jauh diatas suku bunga wajar (pasar), tingginya tingkat
ketergantungan Bank terhadap dana pasar uang berjangka waktu
pendek untuk menutup kekurangan GiroWajib Minimum, terjadinya
penurunan pemberian komitmen (line) dari bank lain, perubahan
posisi Bank di pasar uang dari posisi yang memberi pinjaman
(net-lender) menjadi posisi yang menerima pinjaman
(net-borrower), ketergantungan pada agunan untuk memperoleh
dana, dan strategi penyediaan dana yang berlebihan.
Ayat (3)
Pelaksanaan perintah Bank Indonesia dalam ayat ini didasarkan atas
penelitian yang mendalam terhadap kondisi Bank antara lain melalui
pemeriksaan khusus.
Penelitian mendalam dan perintah yang dilakukan Bank Indonesia
termasuk melakukan pemantauan secara langsung atas kegiatan
operasional Bank tidak menghilangkan tanggung jawab pemegang
saham maupun pengurus terhadap operasional bank serta kewajiban-
kewajiban Bank, baik sebelum maupun setelah dilakukan perintah atau
penelitian mendalam. Pelaksanaan perintah Bank Indonesia dalam ayat
ini didasarkan atas ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 dan
Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998.
Pengenaan sanksi administratif sesuai ketentuan dalam Pasal 52 Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 disebabkan
pelanggaran …
- 7 -
pelanggaran ketentuan kehati-hatian oleh Bank dan atau pelanggaran
komitmen sesuai kewajiban Bank kepada Bank Indonesia.
Huruf a
Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang berlaku.
Huruf b
Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang berlaku.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (4)
Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang berlaku.
Ayat (5)
Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang berlaku.
Pasal 6
Ayat (1)
Cakupan rencana perbaikan permodalan Bank dalam ayat ini lebih
diutamakan yang berasal dari akumulasi modal dibandingkan dengan
hasil divestasi penyertaan atau hasil merger dengan Bank lain.
Rencana …
- 8 -
Rencana perbaikan permodalan Bank juga harus menjelaskan cara Bank
untuk mencapai laba, menurunkan jumlah aktiva, melakukan tindakan
divestasi, atau melakukan tindakan lainnya dalam rangka memenuhi
rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum.
Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang berlaku.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Bank tetap melaksanakan rencana perbaikan permodalan yang belum
diubah sampai dengan pengajuan perubahan rencana perbaikan
permodalan disetujui Bank Indonesia.
Pasal 7 …
- 9 -
Pasal 7
Ayat (1)
Pelaksanaan ketentuan dalam ayat ini juga dikaitkan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7).
Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang berlaku
Huruf a
Yang dimaksud dengan distribusi modal antara lain pembelian
kembali saham Bank, pembayaran dividen,dan atau pembayaran
bonus kepada pengurus Bank (management fee).
Huruf b
Pengurus Bank wajib menyediakan informasi yang lengkap
mengenai daftar pihak terkait dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari
sejak pemberitahuan dari Bank Indonesia.
Bank Indonesia juga dapat membatasi pelaksanaan transaksi dengan
perorangan dan atau badan hukum yang digolongkan bukan pihak
terkait.
Yang dimaksud dengan pihak terkait adalah pihak terkait
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit.
Huruf c sampai dengan huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Angka 1)
Termasuk dalam pengertian memiliki adalah:
a. pemegang …
- 10 -
a. pemegang saham yang secara bersama-sama dengan
pemegang saham terkait lainnya memiliki;
b. pemegang saham yang bertindak atas nama pemegang
saham Bank lain (acting in concert) memiliki; atau
c. pemegang saham yang memiliki hak opsi atau hak lain
untuk memiliki saham yang apabila digunakan akan
menyebabkan pemegang saham tersebut memiliki,
sebesar sama atau lebih dari 10% (sepuluh perseratus) saham
Bank.
Angka 2)
Kententuan mengenai Pemegang Saham Pengendali dan
Pengendalian didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test)
yang berlaku.
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Laporan struktur kelompok usaha dalam ayat ini memuat seluruh
perorangan atau badan hukum yang memiliki 10% (sepuluh
perseratus) atau lebih saham badan hukum dimaksud, serta
menyebutkan pihak yang menjadi ultimate shareholders.
Ayat (2) …
- 11 -
Ayat (2)
Penempatan pengawas dan atau pemeriksa dalam ayat ini lebih
difokuskan pada usaha perbaikan kondisi Bank atau langkah-langkah
antisipatif yang diperlukan apabila kondisi Bank tidak membaik dalam
batas waktu yang ditentukan dengan tujuan utama untuk mengurangi
biaya yang mungkin timbul bagi Pemerintah dan atau Bank Indonesia.
Ayat (3)
Pemberitahuan oleh Bank Indonesia kepada otoritas pengawas yang
berwenang terhadap perusahaan induk dan atau perusahaan anak Bank
dimaksudkan agar otoritas pengawasan yang berwenang terhadap
perusahaan induk dan atau perusahaan anak Bank mendapatkan
informasi mengenai tindakan Bank Indonesia dan dapat melakukan
langkah-langkah antisipasi yang diperlukan.
Dalam hal Bank merupakan kantor cabang bank asing maka yang
dimaksud dengan perusahaan induk adalah kantor pusat dari kantor
cabang bank asing tersebut.
Ayat (4)
Pemberitahuan oleh Bank Indonesia kepada Pemerintah dilakukan agar
Pemerintah mendapatkan informasi mengenai tindakan Bank Indonesia
dan dapat melakukan langkah-langkah antisipasi yang diperlukan dalam
rangka pelaksanaan penjaminan terhadap kewajiban pembayaran bank
umum.
Yang dimaksud Pemerintah dalam ayat ini adalah Menteri Keuangan
Republik Indonesia.
Pasal 8 …
- 12 -
Pasal 8
Ayat (1)
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat ini tidak termasuk
jangka waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan dalam
proses hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Proses hukum yang diperlukan tersebut antara lain penyesuaian terhadap
perubahan anggaran dasar, pengalihan hak kepemilikan dan proses
perizinan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Mengingat perpanjangan jangka waktu dapat menimbulkan dampak bagi
peningkatan biaya likuidasi maka perpanjangan tersebut hanya dapat
dilakukan apabila terdapat alasan yang cukup bahwa realisasi perbaikan
kondisi Bank dapat dilakukan dalam jangka waktu perpanjangan paling
lama 3 (tiga) bulan sejak akhir jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Pasal 9
Ayat (1)
Pengumuman ini merupakan transparansi dari kebijakan Bank Indonesia
sebagai bagian dari akuntabilitas publik terhadap pelaksanaan tugas
mengatur dan mengawasi Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang …
- 13 -
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Nomor
23 Tahun 1999 .
Pengumuman dilaksanakan antara lain dengan mempertimbangkan hal-
hal sebagai berikut:
a. skala dan dimensi permasalahan yang dihadapi Bank;
b. perkembangan kinerja Bank;
c. pelaksanaan komitmen dan realisasi terhadap langkah-langkah yang
ditetapkan bagi Bank dan atau pemegang saham;
d. jangka waktu akan berakhir dan Bank dinilai tidak dapat
menyelesaikan permasalahannya;
e. persetujuan Komite Koordinasi untuk Bank-bank yang ditetapkan
sebagai Bank sistemik.
Pengumunan dilakukan pada home page Bank Indonesia dengan alamat
http://www.bi.go.id
Huruf a sampai dengan huruf d
Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang berlaku.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengumunan dilakukan pada home page Bank Indonesia dengan alamat
http://www.bi.go.id
Ketentuan …
- 14 -
Ketentuan mengenai rasio Giro Wajib Minimum didasarkan atas
ketentuan Bank Indonesia tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum
yang berlaku.
Pasal 10
Dampak sistemik adalah skala dan dimensi yang ditimbulkan Bank tersebut
yang dapat menyebabkan kegagalan sejumlah bank lain sehingga
menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem perbankan dan
berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan.
Pasal 11
Huruf a dan huruf b
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Tindakan dan jangka waktu yang ditetapkan bagi bank didasarkan pada
skala dan dimensi persoalan serta dampak dari permasalahan yang
dihadapi Bank.
Langkah-langkah penanganan yang dapat ditetapkan Komite Koordinasi
antara lain adalah pemberian Fasilitas Pembiayaan Darurat.
Kecuali ditetapkan lain, langkah-langkah penanganan yang ditetapkan
Komite Koordinasi tidak menghilangkan kewajiban Bank untuk
melaksanakan tindakan-tindakan yang ditetapkan bagi Bank dalam
pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan
ayat (4), serta Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 15 -
Ayat (3)
Diantara langkah-langkah yang dapat diambil adalah rekomendasi untuk
pencabutan izin usaha Bank.
Pasal 13
Ayat (1)
Bank selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 antara lain adalah Bank
yang oleh Komite Koordinasi ditetapkan sebagai bukan Bank berdampak
sistemik.
Huruf a
Angka 1) dan angka 2)
Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang berlaku.
Ketentuan mengenai rasio Giro Wajib Minimum didasarkan atas
ketentuan Bank Indonesia tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum
yang berlaku.
Huruf b
Yang dimaksud dengan kondisi Bank tidak mengalami perbaikan adalah
Bank tetap mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya sesuai dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2).
Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14 …
- 16 -
Pasal 14
Termasuk dalam langkah-langkah yang dilakukan Bank Indonesia dalam
rangka pencabutan izin usaha adalah melakukan koordinasi dengan
Pemerintah dalam pelaksanaan penjaminan terhadap kewajiban pembayaran
Bank Umum.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan bank pada Pasal ini adalah bank yang ikut serta
maupun yang tidak ikut serta dalam Program Penjaminan Pemerintah.
Pasal 17
Yang dimaksud dengan jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Bank
Indonesia adalah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/25/PBI/2001 tanggal 26 Desember 2001
tentang Penetapan Status Bank dan Penyerahan Bank Kepada Badan
Penyehatan Perbankan Nasional.
Huruf a
Angka 1) dan angka 2)
Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang berlaku.
Ketentuan mengenai rasio Giro Wajib Minimum didasarkan atas
ketentuan Bank Indonesia tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum
yang berlaku.
Huruf b …
- 17 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan kondisi Bank tidak mengalami perbaikan adalah
Bank tetap mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya sesuai dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/25/PBI/2001 tanggal 26
Desember 2001 tentang Penetapan Status Bank dan Penyerahan Bank
Kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang berlaku.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4378
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/9/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> TINDAK LANJUT PENGAWASAN DAN PENETAPAN STATUS BANK </reg_title>
<set_date> 26 Maret 2004 </set_date>
<effective_date> 26 Maret 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '3/25/PBI/2001' </replaced_reg>
<related_reg> '25/PP/1999', '23/UU/1999', '17/KEPPRES/2004', '3/UU/2004', '26/KEPPRES/1998', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '15/KEPPRES/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/5/PBI/2017
TENTANG
SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan tujuan Bank Indonesia
untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah,
Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter, makroprudensial, sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah, yang perlu didukung antara lain
oleh pasar keuangan yang efektif, efisien, dan sehat;
b. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi
yang berkesinambungan dibutuhkan pula pasar keuangan
yang efektif, efisien, dan sehat;
c. bahwa dalam rangka menciptakan pasar keuangan,
khususnya pasar uang dan pasar valuta asing beserta
derivatifnya yang efektif, efisien, dan sehat diperlukan
upaya untuk melakukan pengembangan pasar keuangan;
d. bahwa pasar keuangan yang berkembang harus diimbangi
dengan upaya penguatan kredibilitas pasar keuangan
melalui peningkatan kompetensi dan integritas pelaku
pasar dengan menerapkan kewajiban sertifikasi tresuri
dan kode etik pasar;
-2-
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Sertifikasi Tresuri dan
Penerapan Kode Etik Pasar;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SERTIFIKASI
TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang
bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam-
meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai
dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang rupiah dan valuta
asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan moneter,
-3-
pencapaian stabilitas sistem keuangan, dan kelancaran
sistem pembayaran.
2. Pasar Valuta Asing adalah bagian dari sistem keuangan
yang berkaitan dengan kegiatan penjualan dan pembelian
valuta asing terhadap rupiah atau valuta asing terhadap
valuta asing lainnya.
3. Pelaku Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang
selanjutnya disebut Pelaku Pasar adalah pihak yang
bertransaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing
beserta derivatifnya.
4. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, dan
bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri, dan unit usaha syariah.
5. Perusahaan Pialang adalah perusahaan pialang
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai perusahaan pialang pasar uang
rupiah dan valuta asing.
6. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai pasar modal.
7. Aktivitas Tresuri adalah kegiatan transaksi keuangan
secara langsung yaitu terkait penjualan produk dan/atau
pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar
Valuta Asing beserta derivatifnya.
8. Tresuri adalah unit kerja pada struktur organisasi Pelaku
Pasar yang melaksanakan Aktivitas Tresuri, baik di kantor
pusat maupun kantor cabang.
9. Direksi adalah:
a. direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas
bagi Pelaku Pasar yang berbentuk hukum perseroan
terbatas; dan
-4-
b. pimpinan kantor cabang bagi Pelaku Pasar yang
berbentuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri,
yang membawahkan Tresuri.
10. Pegawai adalah pejabat dan staf Pelaku Pasar yang
melakukan Aktivitas Tresuri di Tresuri.
11. Kode Etik Pasar adalah norma moral profesional tentang
perbuatan yang harus dilakukan dan yang harus dihindari
yang menjadi pedoman berperilaku di Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing beserta derivatifnya.
12. Sertifikat Tresuri adalah sertifikat yang menunjukkan
kompetensi di bidang Tresuri.
13. Sertifikasi Tresuri adalah proses pemberian Sertifikat
Tresuri yang dilakukan secara sistematis dan objektif
melalui uji kompetensi yang mengacu pada standar
kompetensi kerja nasional
Indonesia, standar
internasional, dan/atau standar khusus.
14. Sertifikat Kompetensi Profesi Tresuri adalah sertifikat yang
menunjukkan kompetensi di bidang Tresuri terkait
pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja di pasar
keuangan, ketentuan yang berlaku di Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing beserta derivatifnya, dan Kode Etik
Pasar.
15. Sertifikat Kompetensi Peraturan dan Kode Etik Pasar
adalah sertifikat yang menunjukkan kompetensi terkait
ketentuan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing beserta
derivatifnya dan Kode Etik Pasar.
16. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga pelaksana
kegiatan sertifikasi profesi yang memperoleh lisensi dari
institusi yang berwenang untuk melakukan kegiatan
Sertifikasi Tresuri.
17. Skema Sertifikasi adalah paket kompetensi dan
persyaratan lain yang berkaitan dengan kategori jabatan
atau keterampilan tertentu dari seseorang.
18. Pemeliharaan Kompetensi adalah proses pengkinian
pengetahuan dan kompetensi pemilik Sertifikat Tresuri.
-5-
Pasal 2
Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan
Sertifikasi Tresuri dan penerapan Kode Etik Pasar dalam
rangka meningkatkan:
a. standar kompetensi Pelaku Pasar;
b. standar pelaksanaan Sertifikasi Tresuri oleh Lembaga
Sertifikasi Profesi;
c.
integritas Pelaku Pasar, Direksi, dan Pegawai; dan
d. penerapan prinsip kehati-hatian.
Pasal 3
Pengaturan Sertifikasi Tresuri dan penerapan Kode Etik Pasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlaku bagi Pelaku
Pasar yang berbentuk:
a. Bank;
b. Perusahaan Pialang;
c. Perusahaan Efek beserta perusahaan induknya; dan
d.
lembaga lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
BAB II
KODE ETIK PASAR
Pasal 4
(1) Direksi dan Pegawai Pelaku Pasar harus menerapkan Kode
Etik Pasar dalam melaksanakan Aktivitas Tresuri.
(2) Kode Etik Pasar yang menjadi pedoman Direksi dan
Pegawai Pelaku Pasar yang berdasarkan prinsip
konvensional mengacu pada kode etik yang diterbitkan
oleh asosiasi profesi dan/atau asosiasi/komite industri
jasa keuangan.
(3) Kode Etik Pasar yang menjadi pedoman Direksi dan
Pegawai Pelaku Pasar yang berdasarkan prinsip syariah
mengacu pada kode etik yang diterbitkan oleh asosiasi
profesi dan/atau asosiasi/komite industri jasa keuangan
syariah.
-6-
Pasal 5
Pelaku Pasar wajib memiliki prosedur internal untuk
memastikan Direksi dan Pegawai memahami dan menerapkan
Kode Etik Pasar.
Pasal 6
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Kode Etik Pasar
dalam prosedur internal diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
BAB III
KEANGGOTAAN ASOSIASI
Pasal 7
Pelaku Pasar berbentuk Bank dan Perusahaan Pialang harus
memastikan Direksi dan Pegawai menjadi anggota asosiasi
profesi Tresuri.
BAB IV
SERTIFIKAT TRESURI
Pasal 8
Sertifikat Tresuri diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi
yang diakui oleh Bank Indonesia.
Pasal 9
Sertifikat Tresuri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 terdiri
atas 2 (dua) klasifikasi, yaitu:
a. Sertifikat Kompetensi Profesi Tresuri yang ditetapkan
dalam 3 (tiga) tingkatan yaitu tingkat dasar, tingkat
menengah, dan tingkat lanjut; dan
b. Sertifikat Kompetensi Peraturan dan Kode Etik Pasar.
Pasal 10
(1) Sertifikat Tresuri berlaku untuk jangka waktu tertentu
dan dapat diperpanjang.
-7-
(2) Perpanjangan Sertifikat Tresuri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan syarat pemilik Sertifikat
Tresuri telah mengikuti Pemeliharaan Kompetensi
sebelum jangka waktu Sertifikat Tresuri berakhir.
Pasal 11
(1) Pelaku Pasar wajib memastikan Direksi dan Pegawai
memiliki Sertifikat Tresuri sesuai dengan klasifikasi dan
tingkatan Sertifikat Tresuri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9.
(2) Klasifikasi dan tingkatan Sertifikat Tresuri bagi Direksi
dan Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
berdasarkan:
a. bentuk Pelaku Pasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3; dan
b.
jenjang jabatan.
(3) Sertifikat Tresuri bagi Direksi dan pejabat Pelaku Pasar
sesuai dengan klasifikasi dan tingkatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib dipenuhi paling lambat
6 (enam) bulan terhitung sejak efektif menduduki jabatan.
(4) Sertifikat Tresuri bagi staf Pelaku Pasar sesuai dengan
klasifikasi dan tingkatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib dipenuhi sebelum melaksanakan transaksi
di Tresuri.
Pasal 12
(1) Sertifikat profesi yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi
di luar negeri dapat diakui oleh Lembaga Sertifikasi Profesi
dengan menerbitkan Sertifikat Kompetensi Profesi Tresuri.
(2) Sertifikat Kompetensi Profesi Tresuri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Lembaga
Sertifikasi Profesi dengan persyaratan:
a. sertifikat profesi yang diterbitkan oleh lembaga
sertifikasi di luar negeri masih berlaku;
b. sertifikat profesi yang diterbitkan oleh lembaga
sertifikasi di luar negeri mendapatkan rekomendasi
dari asosiasi profesi Tresuri; dan
-8-
c. pemilik sertifikat profesi yang diterbitkan oleh
lembaga sertifikasi di luar negeri lulus uji kompetensi
peraturan dan Kode Etik Pasar yang diselenggarakan
oleh Lembaga Sertifikasi Profesi.
(3) Lembaga Sertifikasi Profesi menetapkan tingkatan dari
Sertifikat Kompetensi Profesi Tresuri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 13
Bank Indonesia berwenang meminta Lembaga Sertifikasi
Profesi untuk menunda penerbitan, membekukan, atau
mencabut Sertifikat Tresuri berdasarkan hasil pengawasan
Bank Indonesia dan/atau otoritas terkait lainnya.
Pasal 14
Sertifikat Tresuri yang diterbitkan oleh suatu Lembaga
Sertifikasi Profesi yang diakui oleh Bank Indonesia harus
diakui oleh Lembaga Sertifikasi Profesi lain yang diakui oleh
Bank Indonesia.
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sertifikat Tresuri diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB V
PEMELIHARAAN KOMPETENSI
Pasal 16
(1) Pemeliharaan Kompetensi dilakukan untuk meningkatkan
dan memelihara kompetensi Direksi dan Pegawai.
(2) Direksi dan Pegawai mengikuti Pemeliharaan Kompetensi
secara berkala.
Pasal 17
(1) Pemeliharaan Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) diselenggarakan oleh:
a.
lembaga pendidikan formal dan nonformal;
-9-
b. asosiasi profesi Tresuri;
c. asosiasi industri jasa keuangan;
d.
e. Lembaga Sertifikasi Profesi; dan
f.
learning center atau pihak internal Pelaku Pasar;
lembaga pelatihan lain di bidang Tresuri.
(2) Penyelenggaraan Pemeliharaan Kompetensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mendapat pengakuan dari
Lembaga Sertifikasi Profesi.
Pasal 18
Lembaga Sertifikasi Profesi wajib menatausahakan data
pemilik Sertifikat Tresuri yang mengikuti Pemeliharaan
Kompetensi.
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemeliharaan Kompetensi
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VI
LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI
Pasal 20
(1) Lembaga Sertifikasi Profesi merupakan lembaga sertifikasi
yang diakui oleh Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia menerbitkan daftar Lembaga Sertifikasi
Profesi yang diakui oleh Bank Indonesia.
Pasal 21
(1) Bank Indonesia berwenang mengeluarkan Lembaga
Sertifikasi Profesi dari daftar Lembaga Sertifikasi Profesi
yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (2).
(2) Bank Indonesia mengeluarkan Lembaga Sertifikasi Profesi
dari daftar Lembaga Sertifikasi Profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dengan mempertimbangkan:
a. pelanggaran atas ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini dan peraturan pelaksanaannya;
-10-
b.
c.
rekomendasi dari otoritas terkait; dan/atau
rekomendasi asosiasi profesi Tresuri.
Pasal 22
Lembaga Sertifikasi Profesi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) memiliki kriteria paling sedikit sebagai berikut:
a. didirikan oleh asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri
jasa keuangan;
b. memperoleh lisensi sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi di
bidang Tresuri dari otoritas yang berwenang;
c. direkomendasikan oleh asosiasi profesi dan/atau asosiasi
industri jasa keuangan;
d. dikelola oleh pengurus yang berpengalaman di industri
jasa keuangan;
e. memiliki perangkat organisasi; dan
f. memiliki Skema Sertifikasi.
Pasal 23
Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui oleh Bank Indonesia
memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. menyelenggarakan Sertifikasi Tresuri sesuai standar
kompetensi kerja nasional, standar internasional,
dan/atau standar khusus sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan terkait;
b. menyusun materi uji kompetensi sesuai dengan
perkembangan pengetahuan dan praktik di bidang
Tresuri, kebutuhan industri, dan praktik internasional
terbaik;
c. menerbitkan Sertifikat Kompetensi Profesi Tresuri dan
Sertifikat Kompetensi Peraturan dan Kode Etik Pasar;
d. menatausahakan kepemilikan Sertifikat Tresuri dan
Pemeliharaan Kompetensi;
e. menetapkan perpanjangan Sertifikat Tresuri; dan
f. mengakui dan menetapkan tingkatan sertifikat profesi
yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi di luar negeri.
-11-
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Sertifikasi Profesi
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VII
PELAPORAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pelaporan
Pasal 25
Pelaku Pasar wajib menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia yang terdiri atas:
a.
laporan daftar Direksi dan Pegawai serta kepemilikan
Sertifikat Tresuri;
b.
laporan tindak lanjut terhadap Direksi dan Pegawai yang
belum memenuhi ketentuan kewajiban Sertifikasi Tresuri;
dan
c.
laporan daftar Direksi dan Pegawai yang diberhentikan
karena melakukan pelanggaran Kode Etik Pasar.
Pasal 26
Lembaga Sertifikasi Profesi wajib menyampaikan laporan
kepada Bank Indonesia yang terdiri atas:
a.
laporan daftar pemilik Sertifikat Tresuri beserta tingkatan
Sertifikat Tresuri;
b.
laporan daftar pemilik Sertifikat Tresuri yang:
1. ditunda penerbitannya;
2. dibekukan; dan/atau
3. dicabut,
beserta alasannya;
c.
d.
laporan rencana dan hasil perubahan Skema Sertifikasi
yang dijadikan acuan pelaksanaan Sertifikasi Tresuri; dan
informasi lain terkait Sertifikasi Tresuri.
-12-
Pasal 27
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan kepada
Bank Indonesia diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 28
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Pelaku
Pasar dan Lembaga Sertifikasi Profesi terkait penerapan
Kode Etik Pasar dan pelaksanaan Sertifikasi Tresuri.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. pengawasan tidak langsung; dan
b. pemeriksaan.
(3) Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta tambahan
informasi yang diperlukan kepada Pelaku Pasar dan
Lembaga Sertifikasi Profesi.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 29
(1) Pelaku Pasar yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat
(3), dan/atau Pasal 11 ayat (4) dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis dengan tembusan
kepada otoritas terkait.
(2) Pelaku Pasar yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap jenis
laporan.
-13-
Pasal 30
Lembaga Sertifikasi Profesi yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan/atau Pasal 26
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis
dan/atau dikeluarkan dari daftar Lembaga Sertifikasi Profesi
yang diakui oleh Bank Indonesia.
Pasal 31
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (2) dan/atau Pasal 30 tidak menghilangkan kewajiban
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
dan Pasal 26.
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33
Sertifikat Tresuri yang diterbitkan sebelum Peraturan Bank
Indonesia ini berlaku, dianggap sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia ini dengan syarat sebagai berikut:
a. diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui
oleh Bank Indonesia setelah berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini;
b. dalam hal Sertifikat Tresuri belum jatuh tempo, berlaku
sesuai dengan jangka waktu Sertifikat Tresuri tersebut;
dan
c. dalam hal Sertifikat Tresuri sudah jatuh tempo,
diperpanjang dengan mengikuti Pemeliharaan Kompetensi
dan berlaku untuk jangka waktu tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
-14-
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Ketentuan mengenai prosedur internal Kode Etik Pasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan ketentuan mengenai
keanggotaan asosiasi profesi Tresuri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7, mulai berlaku 6 (enam) bulan terhitung sejak
Peraturan Bank Indonesia ini diundangkan.
Pasal 35
Ketentuan mengenai kepemilikan Sertifikat Tresuri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diatur sebagai berikut:
a. bagi Direksi dan Pegawai Pelaku Pasar berdasarkan
prinsip konvensional yang bertanggung jawab dan/atau
melaksanakan Aktivitas Tresuri berupa pelaksanaan
transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing beserta
derivatifnya, dipenuhi paling lambat 2 (dua) tahun sejak
Peraturan Bank Indonesia ini diundangkan;
b. bagi Direksi dan Pegawai Pelaku Pasar berdasarkan
prinsip konvensional yang bertanggung jawab dan/atau
melaksanakan Aktivitas Tresuri berupa penjualan produk
di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing beserta derivatifnya,
dipenuhi paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan
Bank Indonesia ini diundangkan; dan
c. bagi Direksi dan Pegawai Pelaku Pasar yang berdasarkan
prinsip syariah yang bertanggung jawab dan/atau
melaksanakan Aktivitas Tresuri, dipenuhi paling lambat
3 (tiga) tahun sejak Peraturan Bank Indonesia ini
diundangkan.
Pasal 36
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-15-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 April 2017
GUBERNUR BANK INDONESIA
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 April 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 85
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/5/PBI/2017
TENTANG
SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR
I. UMUM
Tujuan Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Undang-
Undang tentang Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, makroprudensial,
serta sistem pembayaran dan pengelolaan rupiah. Dalam rangka
meningkatkan efektivitas kebijakan moneter, makroprudensial, sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang dilakukan oleh Bank
Indonesia, diperlukan pendalaman pasar keuangan guna mencapai pasar
keuangan domestik yang efektif, efisien, dan sehat.
Pasar keuangan yang efektif, efisien, dan sehat tidak hanya akan
mendukung efektivitas kebijakan moneter, makroprudensial, serta sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, melainkan juga dapat
mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pasar
keuangan yang efektif, efisien, dan sehat tersebut dapat dicapai melalui
pengembangan pasar keuangan dan peningkatan kredibilitas pasar
keuangan domestik.
Pengembangan pasar keuangan, khususnya Pasar Uang dan Pasar
Valuta Asing beserta derivatifnya membutuhkan adanya penguatan
pengaturan dan pengembangan instrumen keuangan. Penguatan
pengaturan dilakukan dengan menyempurnakan ketentuan yang ada dan
menyusun ketentuan baru yang dapat mendorong Pasar Uang dan Pasar
-2-
Valuta Asing beserta derivatifnya ke arah yang lebih baik dan sehat. Bank
Indonesia juga secara berkesinambungan melakukan pengembangan
produk atau instrumen keuangan sehingga tersedia alternatif yang
memudahkan masyarakat memilih instrumen keuangan sesuai
preferensinya.
Pengembangan instrumen keuangan yang dilakukan tetap perlu
memperhatikan prinsip kehati-hatian dan pengelolaan risiko yang baik
demi menjaga stabilitas di pasar keuangan domestik. Salah satu penerapan
prinsip kehati-hatian dan pengelolaan risiko sebagai upaya peningkatan
kredibilitas pasar keuangan domestik adalah melalui peningkatan
integritas dan kompetensi Pelaku Pasar. Oleh karena itu, dalam rangka
peningkatan integritas dan kompetensi Pelaku Pasar, Bank Indonesia perlu
menata dan mengatur mengenai integritas dan standar kompetensi pelaku
pasar keuangan khususnya Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing beserta
derivatifnya. Pengaturan tentang integritas dan standar kompetensi
tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk kewajiban Sertifikasi Tresuri dan
penerapan Kode Etik Pasar bagi Pelaku Pasar.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Pelaku Pasar memastikan bahwa Direksi dan Pegawai memahami dan
menerapkan Kode Etik Pasar antara lain dengan melakukan pelatihan,
pengakuan telah memahami dan mengerti (attestation), dan audit
-3-
internal secara periodik yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
internal Pelaku Pasar.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Keanggotaan Direksi dan Pegawai dalam asosiasi profesi Tresuri
dipastikan antara lain melalui prosedur internal.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal pemilik Sertifikat Tresuri tidak mengikuti
Pemeliharaan Kompetensi sampai dengan jangka waktu Sertifikat
Tresuri berakhir maka Sertifikat Tresuri dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 11
Ayat (1)
Pihak yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa Direksi
dan Pegawai memiliki Sertifikat Tresuri adalah unit kerja atau
pejabat yang ditunjuk oleh Pelaku Pasar.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “jenjang jabatan” adalah jenjang
Direksi, pejabat, atau staf.
-4-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “staf Pelaku Pasar” adalah Pegawai
tingkat pertama pada jenjang jabatan di Tresuri dan tidak
membawahi Pegawai lainnya.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Lembaga Sertifikasi Profesi” adalah
Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Penundaan penerbitan, pembekuan, atau pencabutan Sertifikat
Tresuri dilakukan antara lain dalam hal terdapat permasalahan
integritas Direksi dan Pegawai seperti pelanggaran Kode Etik Pasar,
atau permasalahan pelaksanaan Sertifikasi Tresuri oleh Lembaga
Sertifikasi Profesi.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Pemeliharaan Kompetensi dilakukan melalui kegiatan antara lain
dalam bentuk ujian tertulis atau lisan, in-house training, seminar,
workshop, lokakarya, dan/atau e-learning.
Ayat (2)
Cukup jelas.
-5-
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengakuan dari Lembaga Sertifikasi Profesi atas penyelenggaraan
Pemeliharaan Kompetensi dengan mempertimbangkan antara
lain penyelenggara, bentuk kegiatan, materi, dan jangka waktu
penyelenggaraan.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengakuan Bank Indonesia terhadap Lembaga Sertifikasi Profesi
diberikan dengan memasukkan Lembaga Sertifikasi Profesi
tersebut dalam daftar Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui oleh
Bank Indonesia.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penyusunan materi uji kompetensi oleh Lembaga Sertifikasi
Profesi dapat melibatkan asosiasi profesi Tresuri.
-6-
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
-7-
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6046
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 19/5/PBI/2017 </reg_id>
<reg_title> SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR </reg_title>
<set_date> 12 April 2017 </set_date>
<effective_date> 13 April 2017 </effective_date>
<issued_date> 13 April 2017 </issued_date>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '13/UU/2003', '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/11/PBI/2017
TENTANG
PENYELESAIAN TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL MENGGUNAKAN
MATA UANG LOKAL (LOCAL CURRENCY SETTLEMENT) MELALUI BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah;
b. bahwa dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah diperlukan upaya untuk memitigasi risiko
terjadinya fluktuasi
rupiah dengan mendorong
penggunaan mata uang lokal untuk penyelesaian
transaksi perdagangan bilateral dengan negara lain;
c. bahwa salah satu upaya untuk mendorong penggunaan
mata uang lokal dilakukan melalui kerja sama Bank
Indonesia dengan bank sentral atau otoritas moneter
negara lain;
d. bahwa kerja sama Bank Indonesia dengan bank sentral
atau otoritas moneter negara lain dilakukan melalui
penunjukan bank yang dapat melakukan kegiatan dan
transaksi keuangan tertentu untuk penyelesaian
transaksi perdagangan bilateral;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
-2-
Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral
Menggunakan Mata Uang Lokal (Local Currency
Settlement) Melalui Bank;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN
TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL MENGGUNAKAN
MATA UANG LOKAL (LOCAL CURRENCY SETTLEMENT)
MELALUI BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
serta bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
-3-
syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
2. Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral
Menggunakan Mata Uang Lokal (Local Currency
Settlement) yang selanjutnya disingkat LCS adalah
penyelesaian transaksi perdagangan bilateral yang
dilakukan oleh pelaku usaha di Indonesia dan di negara
mitra dengan menggunakan mata uang masing-masing
negara.
3. Bank yang Ditunjuk untuk Melaksanakan Transaksi
Mata Uang (Appointed Cross Currency Dealer Bank) yang
selanjutnya disebut Bank ACCD adalah bank yang
ditunjuk Bank Indonesia bersama bank sentral atau
otoritas moneter di negara mitra guna melakukan
kegiatan dan transaksi keuangan tertentu untuk
kepentingan pelaksanaan LCS.
4. Bank ACCD Indonesia adalah Bank ACCD di Indonesia.
5. Bank ACCD Negara Mitra adalah Bank ACCD di negara
mitra.
6. Rekening Special Purpose Non-Resident Account Rupiah
yang selanjutnya disebut SNA Rupiah adalah rekening
khusus milik Bank ACCD Negara Mitra dalam mata uang
rupiah yang dibuka pada Bank ACCD Indonesia untuk
kepentingan pelaksanaan LCS.
7. Rekening Sub-Special Purpose Non-Resident Account
Rupiah yang selanjutnya disebut Sub-SNA Rupiah adalah
rekening khusus milik importir/eksportir di negara mitra
dalam mata uang rupiah yang dibuka pada Bank ACCD
Negara Mitra untuk kepentingan pelaksanaan LCS.
8. Rekening Special Purpose Non-Resident Account Mata
Uang Negara Mitra yang selanjutnya disebut SNA Mitra
adalah rekening khusus milik Bank ACCD Indonesia
dalam mata uang negara mitra yang dibuka pada Bank
ACCD Negara Mitra untuk kepentingan pelaksanaan LCS.
9. Rekening Sub-Special Purpose Non-Resident Account Mata
Uang Negara Mitra yang selanjutnya disebut Sub-SNA
Mitra adalah rekening khusus milik importir/eksportir
-4-
Indonesia dalam mata uang negara mitra yang dibuka
pada Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan
pelaksanaan LCS.
10. Underlying Transaksi adalah
seluruh kegiatan
perdagangan barang dan jasa antara Indonesia dengan
negara mitra,
termasuk kegiatan
perdagangan untuk kepentingan pelaksanaan LCS.
11. Pembiayaan Perdagangan adalah pembiayaan yang
diberikan Bank ACCD kepada importir/eksportir di
masing-masing negara untuk kepentingan pelaksanaan
perdagangan bilateral.
12. Eksportir adalah eksportir sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perdagangan.
13. Importir adalah importir sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perdagangan.
14. Hari adalah hari kerja.
BAB II
BANK ACCD
Pasal 2
(1) Bank Indonesia bersama bank sentral atau otoritas
moneter negara mitra menunjuk bank sebagai Bank
ACCD.
(2) Penunjukan bank sebagai Bank ACCD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
mempertimbangkan kriteria:
a. kondisi kesehatan bank;
b. kemampuan bank dalam memfasilitasi perdagangan;
c. kemampuan bank dalam menjalin hubungan bisnis
dengan perbankan di negara mitra;
d. akses jaringan kantor bank di negara asal (home
country); dan/atau
e. kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
bersama bank sentral atau otoritas moneter negara
mitra.
pembiayaan
-5-
(3) Bank Indonesia bersama bank sentral atau otoritas
moneter negara mitra melakukan evaluasi dengan
mempertimbangkan perkembangan bisnis Bank ACCD
untuk kepentingan pelaksanaan LCS dan kepatuhan
Bank ACCD terkait ketentuan yang mengatur LCS.
(4) Bank Indonesia bersama bank sentral atau otoritas
moneter negara mitra dapat mengakhiri penunjukan
bank sebagai Bank ACCD.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan pengakhiran
penunjukan bank sebagai Bank ACCD sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
BAB III
TRANSAKSI KEUANGAN BANK ACCD
Bagian Kesatu
Kegiatan dan Transaksi Keuangan untuk Kepentingan
Pelaksanaan LCS
Pasal 3
(1) Bank ACCD Indonesia melakukan kegiatan dan transaksi
keuangan tertentu untuk kepentingan pelaksanaan LCS.
(2) Kegiatan dan transaksi keuangan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pembukaan SNA Rupiah dan SNA Mitra;
b. pembukaan Sub-SNA Mitra;
c.
d. Pembiayaan Perdagangan;
e. pengelolaan saldo SNA dan saldo Sub-SNA; dan
f.
transfer dana.
(3) Untuk melakukan transaksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c, Bank ACCD Indonesia wajib
transaksi rupiah atau valuta asing terhadap mata
uang negara mitra;
-6-
menerbitkan kuotasi harga rupiah terhadap mata uang
negara mitra.
Bagian Kedua
Pembukaan SNA Rupiah dan SNA Mitra
Pasal 4
(1) Bank ACCD Indonesia menerima pembukaan SNA
Rupiah oleh Bank ACCD Negara Mitra.
(2) Bank ACCD Indonesia melakukan pembukaan SNA Mitra
pada Bank ACCD Negara Mitra.
(3) Bank ACCD Indonesia memberikan bunga pada SNA
Rupiah milik Bank ACCD Negara Mitra.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan SNA Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pembukaan
SNA Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 5
(1) Saldo SNA Rupiah pada Bank ACCD Indonesia dibatasi
sampai dengan jumlah nominal tertentu pada akhir Hari.
(2) Bank ACCD Indonesia wajib memastikan agar saldo SNA
Rupiah pada Bank ACCD Indonesia tidak melebihi
jumlah nominal tertentu pada akhir Hari sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Saldo SNA Rupiah pada Bank ACCD Indonesia dapat
melebihi jumlah nominal tertentu pada akhir Hari
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sepanjang Bank
ACCD Indonesia menerima dokumen dari Bank ACCD
Negara Mitra yang membuktikan kelebihan saldo tersebut
akan digunakan untuk membayar kewajiban
perdagangan bilateral atau investasi pada Hari
berikutnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah nominal tertentu
SNA Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
-7-
Pasal 6
(1) Saldo SNA Mitra pada Bank ACCD Negara Mitra dibatasi
sampai dengan jumlah nominal tertentu pada akhir Hari.
(2) Bank ACCD Indonesia wajib memelihara saldo SNA Mitra
pada Bank ACCD Negara Mitra agar tidak melebihi
jumlah nominal tertentu pada akhir Hari sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Saldo SNA Mitra pada Bank ACCD Negara Mitra dapat
melebihi jumlah nominal tertentu pada akhir Hari
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan persyaratan
tertentu.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah nominal tertentu
SNA Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 7
(1) SNA Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) tidak diperhitungkan sebagai pinjaman luar negeri
jangka pendek bank sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pinjaman luar negeri bank.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian terhadap
pinjaman luar negeri jangka pendek bank diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Ketiga
Pembukaan Rekening Sub-SNA Mitra
Pasal 8
(1) Bank ACCD Indonesia menerima pembukaan Sub-SNA
Mitra untuk Importir/Eksportir Indonesia untuk
kepentingan pelaksanaan LCS.
(2) Bank ACCD Indonesia memberikan bunga untuk Sub-
SNA Mitra.
-8-
(3) Penambahan dan pengurangan saldo Sub-SNA Mitra
harus memenuhi kriteria tertentu.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan Sub-SNA
Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta
penambahan dan pengurangan saldo Sub-SNA Mitra
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Keempat
Transaksi Rupiah atau Valuta Asing Terhadap
Mata Uang Negara Mitra
Pasal 9
(1) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah
atau valuta asing terhadap mata uang negara mitra
dengan Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD
Negara Mitra, tanpa Underlying Transaksi.
(2) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap mata uang
negara mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
kepentingan pelaksanaan squaring position, dapat
dilakukan baik secara gross (gross basis) maupun secara
neto (net basis), tanpa Underlying Transaksi.
(3) Bank ACCD Indonesia dapat melaksanakan transaksi
mata uang negara mitra atau valuta asing terhadap
rupiah dengan Bank ACCD Negara Mitra untuk
keperluan pengelolaan likuiditas rupiah Bank ACCD
Negara Mitra.
(4) Transaksi mata uang negara mitra atau valuta asing
terhadap rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan tanpa Underlying Transaksi.
(5) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap mata uang
negara mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a.
b.
transaksi spot;
transaksi forward;
c. transaksi swap; dan/atau
d. transaksi lain.
-9-
(6) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Bank
Indonesia dengan bank sentral atau otoritas moneter
negara mitra.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi rupiah atau
valuta asing terhadap mata uang negara mitra
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
transaksi mata uang negara mitra atau valuta asing
terhadap rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
dan penetapan transaksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Pasal 10
(1) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah
atau valuta asing terhadap mata uang negara mitra
dengan Importir/Eksportir Indonesia.
(2) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah
atau valuta asing terhadap mata uang negara mitra
dengan non-Bank ACCD Indonesia yang bertindak untuk
kepentingan Importir/Eksportir.
(3) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah
atau valuta asing terhadap mata uang negara mitra
dengan non-Bank ACCD Negara Mitra untuk kepentingan
pelaksanaan squaring position, dan wajib dilakukan
secara gross (gross basis).
(4) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) meliputi:
a.
b.
transaksi spot;
transaksi forward,
c. transaksi swap; dan/atau
d. transaksi lain.
(5) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Bank
Indonesia dengan bank sentral atau otoritas moneter
negara mitra.
-10-
(6) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) wajib didukung Underlying Transaksi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 11
(1) Nominal transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (4) dilarang melebihi nominal Underlying
Transaksi.
(2) Jangka waktu transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (4) dilarang melebihi jangka waktu
Underlying Transaksi.
Pasal 12
(1) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap
mata uang negara mitra antara Bank ACCD Indonesia
dengan Importir/Eksportir Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan antara Bank
ACCD Indonesia dengan non-Bank ACCD Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) melalui
transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4)
dapat dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara
penuh atau secara netting.
(2) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap
mata uang negara mitra secara netting sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk:
a. perpanjangan transaksi (rollover);
b. percepatan penyelesaian transaksi (early
termination); dan
c. pengakhiran transaksi (unwind/ cancel up).
(3) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan
penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib disertai dengan dokumen
pendukung.
-11-
(4) Perpanjangan
transaksi (rollover), percepatan
penyelesaian transaksi (early termination) dan
pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan dengan Bank
ACCD yang sama dimana transaksi awal dilakukan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi
rupiah atau valuta asing terhadap mata uang negara
mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 13
(1) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap
mata uang negara mitra antara Bank ACCD Indonesia
dengan Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD
Negara Mitra melalui transaksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (5), dapat dilakukan dengan
pemindahan dana pokok secara penuh atau secara
netting.
(2) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap
mata uang negara mitra yang dilakukan secara netting
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku
untuk:
a. perpanjangan transaksi (rollover);
b. percepatan penyelesaian transaksi (early
termination); dan
c. pengakhiran transaksi (unwind/cancel up).
(3) Perpanjangan
transaksi (rollover), percepatan
penyelesaian transaksi (early termination) dan
pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan tanpa Underlying
Transaksi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi
rupiah atau valuta asing terhadap mata uang negara
mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
-12-
Bagian Kelima
Pembiayaan Perdagangan
Pasal 14
(1) Bank ACCD Indonesia dapat memberikan Pembiayaan
Perdagangan dalam mata uang negara mitra kepada
nasabah Importir/Eksportir Indonesia.
(2) Penyediaan dana dalam mata uang negara mitra untuk
Pembiayaan Perdagangan oleh Bank ACCD Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a.
transaksi rupiah atau valuta asing terhadap mata
uang negara mitra melalui transaksi spot, forward,
dan swap; dan/atau
b. pinjaman langsung (direct borrowing),
dengan Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD
Negara Mitra.
(3) Jumlah nominal penyediaan dana dalam mata uang
negara mitra untuk Pembiayaan Perdagangan oleh Bank
ACCD Indonesia yang bersumber dari pinjaman langsung
(direct borrowing) sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dilarang melebihi nominal Underlying Transaksi.
(4) Jangka waktu pinjaman langsung (direct borrowing)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dari Bank
ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD Negara Mitra
dilarang melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun dan
dilarang melebihi jangka waktu Underlying Transaksi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
Pembiayaan
Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 15
Pinjaman langsung (direct borrowing) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (2) huruf b yang berasal dari Bank ACCD
Negara Mitra tidak diperhitungkan sebagai pinjaman luar
negeri jangka pendek Bank sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pinjaman
luar negeri bank.
-13-
Pasal 16
(1) Untuk kepentingan pemberian Pembiayaan Perdagangan
dalam rupiah oleh Bank ACCD Negara Mitra kepada
importir/eksportir negara mitra, Bank ACCD Indonesia
dapat:
a. menerima transaksi mata uang negara mitra atau
valuta asing terhadap rupiah melalui transaksi spot,
forward, dan swap; dan/atau
b. melakukan penempatan rupiah kepada Bank ACCD
Negara Mitra.
(2) Jumlah nominal atas penempatan dalam rupiah Bank
ACCD Indonesia kepada Bank ACCD negara mitra
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilarang
melebihi nominal Underlying Transaksi.
(3) Jangka waktu penempatan dalam rupiah oleh Bank
ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilarang melebihi 1 (satu) tahun dan dilarang
melebihi jangka waktu Underlying Transaksi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Pembiayaan
Perdagangan dalam rupiah oleh Bank ACCD Negara Mitra
kepada importir/eksportir negara mitra sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
Bagian Keenam
Pengelolaan SNA dan Sub-SNA
Pasal 17
(1) Untuk kepentingan pemenuhan saldo SNA Mitra, Bank
ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi spot,
forward, dan swap rupiah atau valuta asing terhadap
mata uang negara mitra dengan Bank ACCD Indonesia
dan/atau Bank ACCD Negara Mitra.
(2) Untuk kepentingan pemenuhan saldo SNA Rupiah, Bank
ACCD Indonesia dapat menerima transaksi spot, forward,
dan swap mata uang negara mitra atau valuta asing
terhadap rupiah dari Bank ACCD Negara Mitra.
-14-
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan saldo SNA
Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan saldo
SNA Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 18
(1) Dalam pengelolaan saldo SNA Mitra, Bank ACCD
Indonesia dapat melakukan:
a.
b.
investasi pada aset keuangan dalam mata uang
negara mitra di negara mitra;
transaksi swap mata uang negara mitra terhadap
rupiah dan/atau valuta asing dengan Bank ACCD
Indonesia dan/atau Bank ACCD Negara Mitra;
dan/atau
c. konversi ke berbagai mata uang.
(2) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilarang dalam bentuk penempatan pada bank berupa
deposito dan tabungan.
(3) Dalam hal Bank ACCD Indonesia melakukan investasi
pada aset keuangan dalam mata uang negara mitra,
pokok dan hasil dari investasi tersebut dapat dikreditkan
kembali ke SNA Mitra.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan saldo SNA
Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 19
(1) Eksportir Indonesia dapat menginvestasikan saldo Sub-
SNA Mitra pada aset keuangan dalam mata uang negara
mitra di negara mitra.
(2) Dalam hal Eksportir Indonesia melakukan investasi pada
aset keuangan dalam mata uang negara mitra, pokok dan
hasil dari investasi tersebut tidak dapat dikreditkan
kembali ke Sub-SNA Mitra.
(3) Importir Indonesia tidak dapat menginvestasikan saldo
Sub-SNA Mitra.
-15-
(4) Bank ACCD Indonesia dilarang melaksanakan perintah
investasi atas saldo Sub-SNA Mitra milik Importir
Indonesia.
(5) Bank ACCD Indonesia wajib memastikan pelaksanaan
transaksi investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didukung oleh dokumen pendukung.
(6) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
dalam bentuk penempatan pada bank berupa deposito
dan tabungan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai investasi atas saldo
Sub-SNA Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Ketujuh
Posisi Transaksi Swap
Pasal 20
(1) Posisi gross dari transaksi swap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (5) huruf c, Pasal 10 ayat (4) huruf c,
Pasal 14 ayat (2) huruf a, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal
17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2), dan Pasal 18 ayat (1) huruf
b, dilarang melebihi jumlah tertentu pada akhir Hari.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi swap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kedelapan
Larangan Penarikan dan Penyetoran Sub-SNA Mitra
Secara Tunai
Pasal 21
(1) Importir/Eksportir Indonesia tidak dapat melakukan
penyetoran dan penarikan secara tunai dalam mata uang
negara mitra pada Sub-SNA Mitra.
(2) Bank ACCD Indonesia dilarang melaksanakan perintah
penarikan dan penyetoran secara tunai pada Sub-SNA
Mitra.
-16-
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyetoran dan
penarikan secara tunai pada Sub-SNA Mitra sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kesembilan
Transfer Dana
Pasal 22
(1) Transfer mata uang negara mitra dapat dilakukan
sebagai berikut:
a. antara Bank ACCD Indonesia dengan Bank ACCD
Indonesia dan/atau Bank ACCD Negara Mitra yang
berasal dari:
1. transaksi rupiah atau valuta asing terhadap
mata uang negara mitra sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (5); dan
2. pinjaman langsung (direct borrowing) untuk
kepentingan
Pembiayaan Perdagangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2)
huruf b;
b. antara SNA Mitra milik Bank ACCD Indonesia
dengan rekening non-SNA Mitra milik Bank ACCD
Indonesia atau antara SNA Mitra milik Bank ACCD
Indonesia dengan rekening mata uang negara mitra
milik non-Bank ACCD Indonesia, untuk kepentingan
penyelesaian Underlying Transaksi;
c. antara SNA Mitra milik Bank ACCD Indonesia
dengan rekening milik Bank ACCD Negara Mitra dan
non-Bank ACCD Negara Mitra, untuk kepentingan
penyelesaian Underlying Transaksi;
d. antara SNA Mitra milik Bank ACCD Indonesia
dengan rekening milik importir/eksportir negara
mitra untuk kepentingan penyelesaian Underlying
Transaksi; dan
-17-
e. antara SNA Mitra milik Bank ACCD Indonesia
dengan rekening milik bank di negara mitra atau
perusahaan di negara mitra, untuk penyelesaian
investasi pada aset keuangan di negara mitra
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
huruf a.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai transfer mata uang
negara mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 23
Transfer rupiah dapat dilakukan sebagai berikut:
a. antara Bank ACCD Negara Mitra dengan Bank ACCD
Negara Mitra dan/atau Bank ACCD Indonesia yang
berasal dari:
1. transaksi mata uang negara mitra atau valuta asing
terhadap rupiah melalui transaksi spot, forward,
swap, dan/atau lainnya sesuai dengan kesepakatan
Bank Indonesia dengan bank sentral atau otoritas
negara mitra; dan
2. pinjaman langsung (direct borrowing) untuk
kepentingan Pembiayaan Perdagangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf b;
b. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Negara Mitra
dengan rekening non-SNA Rupiah milik Bank ACCD
Negara Mitra dan antara SNA Rupiah milik Bank ACCD
Negara Mitra dengan non-SNA Rupiah milik non-Bank
ACCD Negara Mitra untuk kepentingan penyelesaian
Underlying Transaksi;
c. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Negara Mitra
dengan rekening milik Bank ACCD Indonesia dan non-
Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan penyelesaian
Underlying Transaksi;
d. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Negara Mitra
dengan rekening milik Importir/Eksportir Indonesia
untuk kepentingan penyelesaian Underlying Transaksi;
dan
-18-
e. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Negara Mitra
dengan rekening non-SNA Rupiah milik non-Bank ACCD
Indonesia atau perusahaan Indonesia untuk penyelesaian
investasi di Indonesia.
Pasal 24
Penyelesaian transaksi secara tunai untuk rupiah dan mata
uang negara mitra hanya dapat dilakukan di masing-masing
negara.
Pasal 25
(1) Saldo pada rekening Sub-SNA Mitra
Importir/Eksportir
Indonesia
tidak
milik
dapat
dipindahbukukan atau ditransfer ke rekening Sub-SNA
Mitra lainnya pada Bank ACCD Indonesia.
(2) Bank ACCD Indonesia dilarang melaksanakan perintah
pemindahbukuan atau transfer pada Sub-SNA Mitra.
Bagian Kesepuluh
Kuotasi Harga
Pasal 26
(1) Bank ACCD Indonesia wajib menampilkan kuotasi harga
antara mata uang negara mitra terhadap rupiah pada
sarana penyedia informasi yang ditetapkan Bank
Indonesia.
(2) Dalam melakukan transaksi mata uang negara mitra
terhadap rupiah, Bank ACCD Indonesia wajib
menggunakan kuotasi harga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Penetapan kuotasi harga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus merefleksikan harga wajar yang terjadi di
pasar valuta asing.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sarana
penyedia informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
-19-
Bagian Kesebelas
Posisi Terbuka Transaksi Mata Uang Negara Mitra
Terhadap Rupiah dan/atau Valuta Asing
Pasal 27
(1) Bank ACCD Indonesia dapat memiliki posisi terbuka
transaksi mata uang negara mitra pada setiap akhir Hari
untuk kepentingan LCS.
(2) Posisi terbuka transaksi mata uang negara mitra
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melebihi
jumlah tertentu pada setiap akhir Hari.
(3) Posisi terbuka transaksi mata uang negara mitra
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan selisih
bersih antara pembelian dan penjualan mata uang
negara mitra terhadap rupiah dan/atau valuta asing
secara outright yang semuanya dinyatakan dalam mata
uang negara mitra.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai posisi terbuka transaksi
mata uang negara mitra sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
BAB IV
DOKUMEN UNDERLYING TRANSAKSI
Bagian Kesatu
Jenis Dokumen Underlying
Pasal 28
(1) Kewajiban Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (6) dibuktikan dengan dokumen
Underlying Transaksi.
(2) Dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berupa:
a. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final
(firm commitment); atau
-20-
b. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat
perkiraan (anticipatory basis).
(3) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan
(anticipatory basis) sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b menggunakan perkiraan secara gross (gross
basis) atau secara neto (net basis).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Bagian Kedua
Dokumen Underlying untuk Transaksi Antara Bank ACCD
Indonesia dengan Importir/Eksportir Indonesia dan
Non-Bank ACCD Indonesia
Pasal 29
(1) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap mata uang
negara mitra yang dilakukan antara Bank ACCD
Indonesia dengan non-Bank ACCD Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) melalui
transaksi spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (4) huruf a, wajib didukung oleh dokumen
Underlying Transaksi yang bersifat final
commitment).
(2) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap mata uang
negara mitra yang dilakukan antara Bank ACCD
Indonesia dengan non-Bank ACCD Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) melalui
transaksi forward dan/atau swap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (4) huruf b dan huruf c, wajib
didukung dengan dokumen Underlying Transaksi yang
bersifat final (firm commitment)
dan/atau dengan
dokumen underlying transaksi yang bersifat perkiraan
(anticipatory basis).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian dokumen
Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(firm
-21-
(1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Pasal 30
(1) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap mata uang
negara mitra yang dilakukan antara Bank ACCD
Indonesia dengan Importir/Eksportir di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) melalui
transaksi spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (4) huruf a, wajib didukung dengan dokumen
Underlying Transaksi yang bersifat final
commitment).
(2) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap mata uang
negara mitra yang dilakukan antara Bank ACCD
Indonesia dengan
Importir/Eksportir
(firm
Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) melalui
transaksi forward dan/atau swap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (4) huruf b dan huruf c, wajib
didukung dengan dokumen Underlying Transaksi yang
bersifat final (firm commitment) dan/atau dengan
dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan
(anticipatory basis).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian dokumen
Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Pasal 31
(1) Dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 dan Pasal 30 disampaikan oleh non-Bank
ACCD Indonesia dan/atau Importir/Eksportir kepada
Bank ACCD Indonesia dalam batas waktu tertentu.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
-22-
Bagian Ketiga
Dokumen Pendukung Untuk Penyelesaian Transaksi Secara
Netting
Pasal 32
(1) Perpanjangan transaksi (rollover) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a dan percepatan
penyelesaian transaksi (early termination) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b wajib disertai
dengan dokumen pendukung yang menunjukkan adanya
perubahan jangka waktu penyelesaian transaksi.
(2) Pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf c wajib disertai
dengan dokumen pendukung yang menunjukan bahwa
importir/eksportir
di negara mitra atau
Importir/Eksportir Indonesia telah membatalkan ekspor
dan/atau impor atau telah terjadi perubahan nominal
Underlying Transaksi.
(3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) wajib disampaikan oleh
Importir/Eksportir, dan non-Bank ACCD Indonesia
kepada Bank ACCD Indonesia dalam batas waktu
tertentu.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta
batas waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Keempat
Dokumen Underlying Untuk Pembiayaan Perdagangan
Pasal 33
(1) Pembiayaan Perdagangan yang diberikan oleh Bank
ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) wajib didukung dengan dokumen Underlying
Transaksi yang bersifat final (firm commitment).
-23-
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kelima
Dokumen Underlying Untuk Transfer Rupiah
Pasal 34
(1) Transfer Rupiah oleh Bank ACCD Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 wajib didukung dengan
dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm
commitment).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB V
TRANSAKSI KEUANGAN BANK ACCD NEGARA MITRA
Pasal 35
(1) Untuk kepentingan pelaksanaan LCS, Bank ACCD
Negara Mitra dapat melakukan:
a. pembukaan Sub-SNA Rupiah bagi importir/eksportir
negara mitra;
b. transaksi mata uang negara mitra atau valuta asing
terhadap rupiah dengan Bank ACCD Indonesia
dan/atau Bank ACCD Negara Mitra termasuk untuk
keperluan pengelolaan likuiditas rupiah, berupa
transaksi spot, forward, swap, dan/atau lainnya
sesuai dengan kesepakatan Bank Indonesia dengan
bank sentral atau otoritas negara mitra, tanpa
Underlying Transaksi;
c.
transaksi mata uang negara mitra atau valuta asing
terhadap rupiah dengan:
1. non-Bank ACCD Negara Mitra yang bertindak
untuk kepentingan importir/eksportir negara
mitra; dan
-24-
2.
importir/eksportir negara mitra,
sepanjang didukung dengan Underlying Transaksi;
d. Pembiayaan Perdagangan dalam rupiah kepada
importir/eksportir negara mitra sepanjang didukung
Underlying Transaksi; dan
e. pengelolaan saldo SNA Rupiah melalui:
1. investasi pada aset keuangan dalam rupiah
namun tidak termasuk penempatan pada bank
dalam bentuk deposito dan tabungan;
2. transaksi swap mata uang negara mitra
terhadap rupiah dengan Bank ACCD Indonesia
dan/atau Bank ACCD Negara Mitra sampai
dengan jumlah tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur
yang mengatur mengenai
penyelesaian
transaksi perdagangan bilateral menggunakan
mata uang lokal (local currency settlement)
melalui bank; dan
3. konversi ke berbagai mata uang.
(2) Sub-SNA Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a tidak dapat:
a. dipindahbukukan atau ditransfer kepada rekening
Sub-SNA Rupiah lainnya pada Bank ACCD Negara
Mitra; dan/atau
b. disetor dan/atau ditarik secara tunai oleh
importir/eksportir negara mitra.
BAB VI
STANDARD OPERATING PROCEDURE
Pasal 36
Bank ACCD Indonesia wajib memiliki pedoman berupa
standard operating procedure untuk kepentingan pelaksanaan
LCS.
-25-
BAB VII
PELAPORAN
Pasal 37
(1) Bank ACCD Indonesia
wajib menyusun dan
menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan
kegiatan dan transaksi keuangan untuk kepentingan
pelaksanaan LCS kepada Bank Indonesia secara benar,
lengkap, dan tepat waktu.
(2) Bank ACCD Indonesia wajib menyampaikan laporan
dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) secara bulanan paling lambat tanggal 14 (empat
belas) pada bulan berikutnya.
(3) Dalam hal tanggal 14 (empat belas) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari Sabtu, hari
Minggu, atau hari libur nasional yang ditetapkan oleh
Pemerintah maka laporan dan/atau koreksi laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada
Hari berikutnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
laporan dan/atau koreksi laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
Pasal 38
(1) Dalam hal Bank ACCD Indonesia mengalami gangguan
teknis dalam menyampaikan laporan dan/atau koreksi
laporan pada tanggal berakhirnya penyampaian laporan
dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (2) maka laporan dan/atau koreksi laporan
disampaikan pada Hari berikutnya setelah gangguan
teknis dapat diatasi.
(2) Bank ACCD Indonesia yang mengalami keadaan
memaksa (force majeure) sehingga mengakibatkan tidak
tersedianya data selama satu periode laporan,
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan
-26-
dan/atau koreksi laporan untuk periode laporan tersebut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1).
(3) Bank ACCD Indonesia yang mengalami keadaan
memaksa (force majeure) sehingga mengakibatkan
terhambatnya penyampaian laporan dan/atau koreksi
laporan, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan
laporan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (2).
(4) Dalam hal Bank ACCD Indonesia mengalami gangguan
teknis dan/atau keadaan memaksa (force majeure)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3), Bank ACCD
Indonesia harus menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Bank Indonesia disertai dengan bukti
pendukung.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai keadaan memaksa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VIII
PENGAWASAN
Pasal 39
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
kegiatan dan transaksi keuangan Bank ACCD Indonesia
untuk kepentingan pelaksanaan LCS.
(2) Bank sentral atau otoritas moneter negara mitra
melakukan pengawasan terhadap transaksi keuangan
bank ACCD Negara Mitra.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengawasan tidak langsung (off site); dan/atau
b. pemeriksaan (on site).
(4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi
dengan otoritas lain yang berwenang.
-27-
(5) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat
menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan
(on site) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b.
(6) Pihak lain yang ditugaskan untuk melakukan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib
menjaga kerahasiaan data, informasi, dan keterangan
yang diperoleh dari hasil pemeriksaan.
Pasal 40
(1) Untuk kepentingan pengawasan, Bank ACCD Indonesia
wajib menyediakan dan menyampaikan data, informasi,
dan/atau keterangan yang diperlukan oleh Bank
Indonesia.
(2) Bank ACCD Indonesia wajib bertanggung jawab atas
kebenaran data, informasi, dan/atau keterangan yang
disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
BAB IX
SANKSI
Pasal 41
(1) Bank ACCD Indonesia yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), Pasal 5
ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 10 ayat (3), Pasal 10 ayat
(6), Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (3),
Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4), Pasal 16 ayat (2),
Pasal 16 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (4),
Pasal 19 ayat (5), Pasal 19 ayat (6), Pasal 20 ayat (1),
Pasal 21 ayat (2), Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1),
Pasal 26 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 29 ayat (1),
Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (1), Pasal 30 ayat (2),
Pasal 32 ayat (1), Pasal 32 ayat (2), Pasal 32 ayat (3),
Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 36, Pasal 39
ayat (6), Pasal 40 ayat (1), dan/atau Pasal 40 ayat (2)
dikenakan sanksi administrasi berupa teguran tertulis.
-28-
(2) Bank ACCD Indonesia yang melanggar ketentuan
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (1) dan/atau Pasal 37 ayat (2) dikenakan
sanksi administrasi berupa teguran tertulis.
(3) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak menghilangkan kewajiban bagi Bank ACCD
Indonesia untuk menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1).
(4) Selain dikenakan sanksi berupa teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank
Indonesia dapat menyampaikan informasi terkait
pengenaan sanksi kepada otoritas yang berwenang.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
(1) Sanksi terkait pelaporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (2) mulai diberlakukan bagi Bank ACCD
Indonesia setelah 3 (tiga) kali masa pelaporan.
(2) Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
2 Januari 2018.
-29-
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Oktober 2017
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Oktober 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 213
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/11/PBI/2017
TENTANG
PENYELESAIAN TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL MENGGUNAKAN
MATA UANG LOKAL (LOCAL CURRENCY SETTLEMENT) MELALUI BANK
I. UMUM
Stabilitas nilai tukar rupiah merupakan salah satu syarat utama
untuk tercapainya stabilitas sistem keuangan. Untuk mencapai stabilitas
nilai tukar rupiah, Bank Indonesia melakukan berbagai kebijakan di
bidang moneter dan pasar keuangan, antara lain melalui pelaksanaan
penerapan prinsip kehati-hatian bagi korporasi non-bank yang memiliki
utang luar negeri, serta penerapan kewajiban Underlying Transaksi untuk
transaksi valas terhadap rupiah di atas threshold tertentu.
Di sisi lain, kerjasama internasional juga terus ditingkatkan sebagai
upaya untuk mendorong perdagangan bilateral dan pengembangan pasar
keuangan baik di kawasan regional maupun internasional, yang
didukung dengan penyelesaian transaksi menggunakan mata uang lokal
di masing-masing negara. Selain meningkatkan efisiensi perdagangan
internasional, upaya ini juga dimaksudkan untuk mengurangi
penggunaan mata uang dolar Amerika Serikat. Atas dasar hal tersebut,
Bank Indonesia melakukan kerja sama dengan bank sentral atau otoritas
moneter negara lain untuk mendorong penggunaan mata uang lokal (local
currency settlement) melalui penunjukan bank sebagai appointed cross
currency dealer untuk penyelesaian transaksi perdagangan bilateral.
-2-
II. PASAL PER PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Penunjukan Bank ACCD dilakukan berdasarkan kerja sama
antara Bank Indonesia dengan bank sentral atau otoritas
moneter negara mitra.
Yang dimaksud dengan “Bank ACCD” adalah Bank ACCD
Indonesia dan Bank ACCD Negara Mitra.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kemampuan bank dalam memfasilitasi perdagangan antara
lain kemampuan di bidang teknologi informasi dan sumber
daya manusia.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pengakhiran penunjukan bank sebagai Bank ACCD dilakukan
berdasarkan antara lain hasil evaluasi dan/atau pertimbangan
lainnya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
-3-
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembukaan SNA Mitra dilakukan mengacu pada ketentuan yang
berlaku di negara mitra.
Ayat (3)
Besarnya suku bunga yang diberikan pada SNA Rupiah
merupakan kebijakan masing-masing Bank ACCD Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Untuk kepentingan pembukaan Sub-SNA Mitra, Importir
dan/atau Eksportir Indonesia harus menunjukkan bukti bahwa
yang bersangkutan melakukan kegiatan ekspor dan/atau impor.
Pembukaan Sub-SNA Mitra hanya bersifat pembukuan (book-
keeping arrangement).
Ayat (2)
Besarnya suku bunga yang diberikan pada Sub-SNA Mitra
merupakan kebijakan masing-masing Bank ACCD Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
-4-
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “squaring position” adalah transaksi
yang dilakukan Bank ACCD Indonesia untuk menihilkan posisi
terbuka yang timbul dari transaksi sebelumnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Transaksi spot termasuk today dan tomorrow.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “non-Bank ACCD Indonesia” adalah
Bank di Indonesia yang bukan merupakan Bank ACCD.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “squaring position” adalah transaksi
yang dilakukan Bank ACCD Indonesia untuk menihilkan posisi
terbuka yang timbul dari transaksi sebelumnya.
-5-
Ayat (4)
Huruf a
Transaksi spot termasuk today dan tomorrow.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Underlying Transaksi didukung dengan dokumen Underlying
Transaksi .
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “non-Bank ACCD Indonesia” adalah
Bank di Indonesia yang bukan merupakan Bank ACCD.
Yang dimaksud dengan “netting” adalah penyelesaian transaksi
yang dilakukan tanpa pemindahan dana pokok, sehingga yang
bergerak hanya sejumlah dana yang merupakan hasil
perhitungan nominal transaksi (notional) dengan selisih kurs.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “netting” adalah penyelesaian transaksi
yang dilakukan tanpa pemindahan dana pokok, sehingga yang
bergerak hanya sejumlah dana yang merupakan hasil
perhitungan nominal transaksi (notional) dengan selisih kurs.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” adalah dokumen
di luar Underlying Transaksi yang membuktikan terjadinya
perpanjangan transaksi (rollover), percepatan penyelesaian
-6-
transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi
(unwind/cancel up).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “netting” adalah penyelesaian transaksi
yang dilakukan tanpa pemindahan dana pokok, sehingga yang
bergerak hanya sejumlah dana yang merupakan hasil
perhitungan nominal transaksi (notional) dengan selisih kurs.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “netting” adalah penyelesaian transaksi
yang dilakukan tanpa pemindahan dana pokok, sehingga yang
bergerak hanya sejumlah dana yang merupakan hasil
perhitungan nominal transaksi (notional) dengan selisih kurs.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembiayaan Perdagangan dapat dilakukan dengan
menggunakan dana dalam mata uang negara mitra yang telah
dimiliki oleh Bank ACCD Indonesia.
Huruf a
Transaksi spot termasuk valuta today dan tomorrow
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pinjaman langsung (direct
borrowing)” adalah pinjaman Bank ACCD Indonesia
dari Bank ACCD Indonesia atau Bank ACCD Negara
Mitra dalam bentuk interbank call money.
-7-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Transaksi spot termasuk valuta today dan tomorrow
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penempatan rupiah” adalah
penanaman dana rupiah dari Bank ACCD Indonesia
kepada Bank ACCD Negara Mitra dalam bentuk interbank
call money.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Transaksi spot termasuk valuta today dan tomorrow.
Ayat (2)
Transaksi spot termasuk valuta today dan tomorrow.
Ayat (3)
Cukup jelas.
-8-
Pasal 18
Ayat (1)
Nominal investasi, transaksi swap, dan konversi ke berbagai
mata uang bukan merupakan bagian dari saldo SNA Mitra
karena sudah keluar dari SNA Mitra.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” adalah dokumen
di luar Underlying Transaksi yang membuktikan bahwa
eksportir telah melakukan investasi pada aset keuangan dalam
mata uang negara mitra di negara mitra.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “posisi gross” adalah posisi yang
dihasilkan dari pembelian dan penjualan mata uang negara
mitra melalui transaksi swap yang dihitung secara gross.
-9-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Pengertian transfer termasuk pemindahbukuan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “non-Bank ACCD Indonesia”
adalah bank di Indonesia yang bukan merupakan
bank ACCD.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “non-Bank ACCD Negara
Mitra” adalah bank di Negara Mitra yang bukan
merupakan bank ACCD.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Pengertian transfer termasuk pemindahbukuan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “non-Bank ACCD Negara Mitra”
adalah bank di Negara Mitra yang bukan merupakan bank
ACCD.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “non-Bank ACCD Indonesia” adalah
bank di Indonesia yang bukan merupakan bank ACCD.
-10-
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “non-Bank ACCD Indonesia” adalah
bank di Indonesia yang bukan merupakan bank ACCD.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dokumen Underlying Transaksi
yang bersifat final (firm commitment)” adalah dokumen yang
menunjukkan bukti perdagangan barang dan jasa antara
Importir/Eksportir Indonesia dengan Importir/Eksportir
negara mitra dengan jumlah nominal yang tidak berubah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dokumen Underlying Transaksi
yang bersifat perkiraan (anticipatory basis)” adalah
dokumen yang menunjukkan perkiraan besarnya
kebutuhan ekspor dan impor antara Indonesia dan negara
mitra.
Ayat (3)
Cukup jelas.
-11-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Transaksi spot termasuk today dan tomorrow.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “non-Bank ACCD Indonesia” adalah
bank di Indonesia yang bukan merupakan bank ACCD.
Penyampaian dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final
(firm commitment) dan/atau dokumen Underlying Transaksi yang
bersifat perkiraan (anticipatory basis) dilakukan sesuai dengan
kesepakatan Bank Indonesia bersama bank sentral atau otoritas
moneter negara mitra.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Transaksi spot termasuk valuta today dan tomorrow.
Ayat (2)
Penyampaian dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final
(firm commitment) dan/atau dokumen Underlying Transaksi yang
bersifat perkiraan (anticipatory basis) dilakukan sesuai dengan
kesepakatan Bank Indonesia bersama bank sentral atau otoritas
moneter negara mitra.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “non-Bank ACCD Indonesia” adalah
bank di Indonesia yang bukan merupakan bank ACCD.
Ayat (2)
Cukup jelas.
-12-
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “non-Bank ACCD Indonesia” adalah
bank di Indonesia yang bukan merupakan bank ACCD.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Transaksi spot termasuk valuta today dan tomorrow.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “non-Bank ACCD Negara Mitra”
adalah bank di Negara Mitra yang bukan merupakan bank
ACCD.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
-13-
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “laporan secara benar” adalah laporan
yang memuat data sesuai dengan fakta sebenarnya.
Yang dimaksud dengan “laporan secara lengkap” adalah laporan
yang memenuhi rincian cakupan laporan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “laporan secara tepat waktu” adalah
laporan yang disampaikan sesuai dengan batas waktu yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Contoh jangka waktu penyampaian laporan dan/atau koreksi
laporan:
Laporan dan/atau koreksi laporan untuk kepentingan LCS
bulan November 2017 wajib disampaikan paling lambat Kamis,
14 Desember 2017.
Ayat (3)
Contoh penyampaian laporan dan/atau koreksi laporan dalam
hal tanggal 14 (empat belas) jatuh pada hari Sabtu, Minggu,
atau hari libur nasional:
Laporan untuk kepentingan pelaksanaan LCS bulan September
2017 wajib disampaikan paling lambat Senin tanggal 16 Oktober
2017 karena tanggal 14 Oktober 2017 jatuh pada hari Sabtu.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”gangguan teknis di Bank ACCD
Indonesia” adalah gangguan yang menyebabkan Bank ACCD
Indonesia tidak dapat menyampaikan laporan dan/atau koreksi
laporan kepada Bank Indonesia antara lain karena gangguan
pada sistem di intern Bank ACCD Indonesia, gangguan jaringan
telekomunikasi.
-14-
Contoh laporan dalam hal Bank ACCD Indonesia mengalami
gangguan teknis:
Laporan mengenai LCS untuk bulan Oktober 2017 wajib
disampaikan paling lambat Selasa, 14 November 2017. Namun,
terjadi gangguan teknis di Bank ACCD pada Selasa, 14
November 2017 dan baru dapat diatasi pada Rabu, 15 November
2017. Oleh karena itu, Bank ACCD menyampaikan laporan
bulan Oktober 2017 pada Kamis, 16 November 2017 dengan
menyertakan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)”
adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan Bank ACCD
Indonesia tidak dapat menyusun dan menyampaikan laporan
dan/atau koreksi laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan
massa, terorisme, bom, perang, sabotase, serta bencana alam
seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa
atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
-15-
Pasal 42
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6127
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 19/11/PBI/2017 </reg_id>
<reg_title> PENYELESAIAN TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL MENGGUNAKAN MATA UANG LOKAL (LOCAL CURRENCY SETTLEMENT) MELALUI BANK </reg_title>
<set_date> 2 Oktober 2017 </set_date>
<effective_date> 2 Januari 2018 </effective_date>
<issued_date> 6 Oktober 2017 </issued_date>
<related_reg> '24/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/6/PBI/2018
TENTANG
UANG ELEKTRONIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kebutuhan masyarakat untuk menggunakan uang
elektronik di Indonesia terus mengalami peningkatan
seiring dengan meningkatnya penyediaan sarana
transaksi nontunai melalui pemanfaatan inovasi
teknologi informasi
sehingga
penyelenggaraan uang elektronik
berkembang;
model bisnis
juga semakin
b. bahwa penyelenggaraan uang elektronik sebagai salah
satu instrumen pembayaran nontunai di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dilakukan
dalam mata uang rupiah, memberikan manfaat bagi
perekonomian Indonesia, dan dilakukan dengan tetap
mengedepankan penerapan prinsip kehati-hatian,
manajemen risiko, serta persaingan usaha yang sehat;
- 2 -
c. bahwa untuk memastikan penyelenggaraan uang
elektronik yang aman, efisien, lancar, dan andal,
diperlukan pengaturan dan mekanisme pengawasan yang
lebih terstruktur, terintegrasi, dan menyeluruh melalui
penguatan aspek kelembagaan, standar keamanan,
pemrosesan secara domestik, dan perlindungan
konsumen uang elektronik termasuk kehati-hatian dalam
pengelolaan dana float;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Uang Elektronik;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4843) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5952);
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer
Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
- 3 -
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5204);
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG UANG
ELEKTRONIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri, dan bank umum syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
2. Lembaga Selain Bank adalah badan usaha bukan bank
yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia.
3. Uang Elektronik adalah instrumen pembayaran yang
memenuhi unsur sebagai berikut:
a.
diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor
terlebih dahulu kepada penerbit;
b. nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu
media server atau chip; dan
c.
nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit
bukan merupakan simpanan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan.
4.
Nilai Uang Elektronik adalah nilai uang yang disimpan
secara elektronik dalam suatu media server atau chip
- 4 -
yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi
pembayaran dan/atau transfer dana.
5. Penerbit adalah pihak yang menerbitkan Uang
Elektronik.
6. Acquirer adalah pihak yang:
a. melakukan kerja sama dengan penyedia barang
dan/atau jasa sehingga penyedia barang dan/atau
jasa mampu memproses transaksi Uang Elektronik
yang diterbitkan oleh pihak selain acquirer yang
bersangkutan; dan
b. bertanggung jawab atas penyelesaian pembayaran
kepada penyedia barang dan/atau jasa.
7. Prinsipal adalah pihak yang bertanggung jawab atas:
a. penerusan data transaksi Uang Elektronik melalui
jaringan;
b. pelaksanaan perhitungan hak dan kewajiban;
c. penyelesaian pembayaran; dan
d. penetapan mekanisme dan prosedur bisnis,
antar anggotanya yang berperan sebagai Penerbit
dan/atau Acquirer dalam transaksi Uang Elektronik.
8. Penyelenggara Switching
adalah
pihak yang
menyelenggarakan kegiatan penyediaan infrastruktur
yang berfungsi sebagai pusat dan/atau penghubung
penerusan data transaksi pembayaran dengan
menggunakan Uang Elektronik.
9. Penyelenggara Kliring adalah pihak yang melakukan
perhitungan hak dan kewajiban keuangan masing-
masing Penerbit dan/atau Acquirer setelah pelaksanaan
transaksi Uang Elektronik.
10. Penyelenggara Penyelesaian Akhir adalah pihak yang
melakukan dan bertanggung
jawab terhadap
penyelesaian akhir atas hak dan kewajiban keuangan
masing-masing Penerbit dan/atau Acquirer berdasarkan
hasil perhitungan dari Penyelenggara Kliring.
11. Penyelenggara Uang Elektronik yang selanjutnya disebut
Penyelenggara adalah Penerbit, Acquirer, Prinsipal,
Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, dan
- 5 -
Penyelenggara Penyelesaian Akhir dalam kegiatan Uang
Elektronik.
12. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah
penyelenggara jasa sistem pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran.
13. Penyelenggara Penunjang adalah penyelenggara
penunjang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia
yang mengatur mengenai
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
14. Pengguna adalah pihak yang menggunakan Uang
Elektronik.
15. Penyedia Barang dan/atau Jasa adalah pihak yang
menjual barang dan/atau jasa yang menerima
pembayaran dari Pengguna.
16. Pengisian Ulang (Top Up) adalah penambahan Nilai Uang
Elektronik pada Uang Elektronik.
17. Dana Float adalah seluruh Nilai Uang Elektronik yang
berada pada Penerbit atas hasil penerbitan Uang
Elektronik dan/atau Pengisian Ulang (Top Up) yang
masih merupakan kewajiban Penerbit kepada Pengguna
dan Penyedia Barang dan/atau Jasa.
18. Layanan Keuangan Digital yang selanjutnya disingkat
LKD adalah kegiatan layanan jasa sistem pembayaran
dan keuangan yang dilakukan oleh Penerbit melalui kerja
sama dengan pihak ketiga serta menggunakan sarana
dan perangkat teknologi berbasis mobile maupun
berbasis web untuk keuangan inklusif.
19. Penyelenggara LKD adalah Penerbit yang telah
memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk
menyelenggarakan LKD.
20. Agen LKD adalah pihak ketiga yang bekerja sama dengan
Penerbit dan bertindak untuk dan atas nama Penerbit
dalam memberikan LKD.
- 6 -
BAB II
PRINSIP DAN RUANG LINGKUP
PENYELENGGARAAN UANG ELEKTRONIK
Pasal 2
Penyelenggaraan Uang Elektronik dilakukan dengan memenuhi
prinsip:
a. tidak menimbulkan risiko sistemik;
b. operasional dilakukan berdasarkan kondisi keuangan
yang sehat;
c. penguatan perlindungan konsumen;
d. usaha yang bermanfaat bagi perekonomian Indonesia; dan
e. pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Pasal 3
(1) Berdasarkan lingkup penyelenggaraannya, Uang
Elektronik dibedakan menjadi:
a. closed loop, yaitu Uang Elektronik yang hanya dapat
digunakan sebagai instrumen pembayaran kepada
Penyedia Barang dan/atau Jasa yang merupakan
Penerbit Uang Elektronik tersebut; dan
b. open loop, yaitu Uang Elektronik yang dapat
digunakan sebagai instrumen pembayaran kepada
Penyedia Barang dan/atau Jasa yang bukan
merupakan Penerbit Uang Elektronik tersebut.
(2) Uang Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dibedakan berdasarkan:
a. media penyimpan Nilai Uang Elektronik berupa:
1. server based, yaitu Uang Elektronik dengan
media penyimpan berupa server; dan
2. chip based, yaitu Uang Elektronik dengan media
penyimpan berupa chip; dan
b. pencatatan data identitas Pengguna berupa:
1. unregistered, yaitu Uang Elektronik yang data
identitas Penggunanya tidak terdaftar dan tidak
tercatat pada Penerbit; dan
- 7 -
2. registered, yaitu Uang Elektronik yang data
identitas Penggunanya terdaftar dan tercatat
pada Penerbit.
BAB III
PERIZINAN DAN PERSETUJUAN PENYELENGGARAAN UANG
ELEKTRONIK
Bagian Kesatu
Kewajiban dan Pengelompokan Izin
Pasal 4
(1) Setiap pihak yang bertindak sebagai Penyelenggara wajib
terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan bagi pihak yang bertindak sebagai
Penyelenggara berupa Penerbit Uang Elektronik closed
loop dengan jumlah Dana Float kurang dari
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(3) Pihak yang mengajukan permohonan izin untuk menjadi
Penyelenggara harus memenuhi persyaratan:
a. umum; dan
b. aspek kelayakan.
Pasal 5
(1) Permohonan izin sebagai Penyelenggara diajukan
berdasarkan pengelompokan Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran.
(2) Pengelompokan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut:
a. kelompok penyelenggara front end, terdiri atas izin
sebagai penerbit, acquirer, penyelenggara payment
gateway, penyelenggara dompet elektronik, dan
penyelenggara transfer dana; dan
- 8 -
b. kelompok penyelenggara back end, terdiri atas izin
sebagai
prinsipal,
penyelenggara
penyelesaian akhir.
(3) Setiap pihak hanya dapat menjadi Penyelenggara dalam 1
(satu) kelompok Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Bagian Kedua
Persyaratan Umum
Pasal 6
(1) Pihak yang mengajukan permohonan izin sebagai
Penyelenggara, harus berupa:
a. Bank; atau
b. Lembaga Selain Bank.
(2) Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b harus berbentuk perseroan terbatas.
Pasal 7
Mayoritas anggota direksi Lembaga Selain Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b harus berdomisili di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Paragraf 1
Penerbit
Pasal 8
Lembaga Selain Bank yang mengajukan permohonan izin
sebagai Penerbit harus memenuhi persyaratan modal disetor
minimum dan komposisi kepemilikan saham.
Pasal 9
(1) Modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
paling sedikit sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar
rupiah).
kliring,
penyelenggara
dan
switching,
penyelenggara
- 9 -
(2) Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin sebagai
Penerbit wajib tetap memelihara pemenuhan modal
disetor minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan menyesuaikan pemenuhan modal disetor berdasarkan
posisi Dana Float sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50.
Pasal 10
(1) Komposisi kepemilikan saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 yaitu paling sedikit 51% (lima puluh satu
persen) sahamnya dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia; dan/atau
b. badan hukum Indonesia.
(2) Dalam hal terdapat kepemilikan asing pada Lembaga
Selain Bank maka perhitungan porsi kepemilikan asing
tersebut meliputi kepemilikan secara langsung maupun
kepemilikan secara tidak langsung sesuai dengan
penilaian Bank Indonesia.
(3) Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia berwenang
menetapkan besarnya persentase kepemilikan saham
asing pada Lembaga Selain Bank berdasarkan
pertimbangan tertentu.
(4) Perhitungan komposisi kepemilikan saham bagi Lembaga
Selain Bank yang merupakan perseroan terbuka, hanya
dilakukan terhadap kepemilikan saham dengan
persentase kepemilikan sebesar 5% (lima persen) atau
lebih.
(5) Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin sebagai
Penerbit wajib tetap memelihara pemenuhan komposisi
kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- 10 -
Paragraf 2
Acquirer, Prinsipal, Penyelenggara Switching, Penyelenggara
Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir
Pasal 11
(1) Pihak yang mengajukan permohonan izin sebagai
Prinsipal, Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring,
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir harus
memenuhi persyaratan persentase kepemilikan saham
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran.
(2) Pengajuan izin sebagai Acquirer, Prinsipal, Penyelenggara
Switching, Penyelenggara
Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir harus memperhatikan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
gerbang pembayaran nasional.
Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan umum untuk
memperoleh izin sebagai Penyelenggara diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Ketiga
Persyaratan Aspek Kelayakan
Pasal 13
(1) Persyaratan aspek kelayakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b meliputi aspek:
a. kelembagaan dan hukum;
b. kelayakan bisnis dan kesiapan operasional; dan
c. tata kelola, risiko, dan pengendalian.
(2) Persyaratan aspek kelembagaan dan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit berupa:
a.
legalitas dan profil perusahaan; dan
b. kesiapan perangkat hukum untuk penyelenggaraan
Uang Elektronik.
- 11 -
(3) Persyaratan aspek kelayakan bisnis dan kesiapan
operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
paling sedikit berupa:
a.
analisis kelayakan bisnis;
b. kesiapan operasional, sistem, dan teknologi informasi
yang akan digunakan;
kinerja keuangan; dan
c.
d. kesiapan struktur organisasi dan sumber daya
manusia.
(4) Persyaratan aspek tata kelola, risiko, dan pengendalian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling
sedikit berupa:
a. bagi Penerbit:
1. kebijakan dan prosedur penerapan manajemen
risiko;
2. kebijakan dan prosedur penerapan anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme;
3. kebijakan dan prosedur penerapan perlindungan
konsumen; dan
4. kebijakan dan prosedur penerapan keamanan
sistem informasi; dan
b. bagi Acquirer, Prinsipal, Penyelenggara Switching,
Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara
Penyelesaian Akhir:
1. kebijakan dan prosedur penerapan manajemen
risiko; dan
2. kebijakan dan prosedur penerapan keamanan
sistem informasi.
Pasal 14
(1) Selain pemenuhan persyaratan aspek kelayakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Bank atau
Lembaga Selain Bank yang mengajukan permohonan izin
sebagai Penyelenggara harus menyampaikan pernyataan
dan jaminan (representation and warranties) secara
tertulis kepada Bank Indonesia.
- 12 -
(2) Pernyataan dan jaminan (representation and warranties)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat:
a. Bank atau Lembaga Selain Bank telah didirikan
secara patut dan sah berdasarkan hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
b. Bank atau Lembaga Selain Bank tidak dalam kondisi
wanprestasi (default), tidak dalam pengenaan sanksi
oleh otoritas terkait, dan/atau tidak terlibat dalam
perkara pidana atau perdata, yang dapat
berpengaruh secara material terhadap kelangsungan
usaha Bank atau Lembaga Selain Bank;
c.
tidak terdapat permohonan kepailitan atau
penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap
Bank atau Lembaga Selain Bank di pengadilan niaga
yang berwenang di Indonesia; dan
d. Bank atau Lembaga Selain Bank menjamin untuk:
1. memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan, baik atas kegiatan yang dilakukan
sendiri atau bersama-sama dengan pihak
terafiliasi;
2. menjaga kesehatan kondisi keuangan yang
diindikasikan dengan kondisi likuiditas,
profitabilitas, dan solvabilitas yang baik;
3. menyelenggarakan kegiatan Uang Elektronik
dengan model bisnis yang memberikan manfaat
bagi perekonomian Indonesia;
4. tidak memindahkan lokasi kantor pusat di
Indonesia ke negara lain serta memastikan
kantor pusat tersebut memiliki kewenangan
penuh untuk mengambil keputusan atas
penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik di
Indonesia; dan
5. memastikan terpeliharanya pemenuhan isi
surat pernyataan dan jaminan sepanjang
penyelenggaraan Uang Elektronik.
- 13 -
(3) Surat pernyataan dan jaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan dan ditandatangani oleh direksi
yang berwenang mewakili Bank atau Lembaga Selain
Bank serta harus disertai dengan pernyataan dari
konsultan hukum yang independen dan profesional
berdasarkan hasil uji tuntas dari segi hukum (legal due
diligence).
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan aspek kelayakan
untuk memperoleh izin sebagai Penyelenggara diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Keempat
Persetujuan
Pasal 16
Penyelenggara yang telah memperoleh izin dan akan
melakukan:
a. pengembangan produk dan/atau aktivitas Uang
Elektronik; dan/atau
b. kerja sama dengan pihak lain,
wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia.
Pasal 17
(1) Persetujuan untuk pengembangan produk dan aktivitas
Uang Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
huruf a meliputi pengembangan fitur, jenis, layanan,
dan/atau fasilitas dari Uang Elektronik yang telah
berjalan.
(2) Persetujuan untuk melakukan kerja sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 huruf b meliputi:
a. kerja sama dengan Penyelenggara dan/atau
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lain;
- 14 -
b. kerja sama dengan Penyelenggara Penunjang;
dan/atau
c. kerja sama dengan pihak lainnya.
(3) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dan huruf c hanya dapat dilakukan dengan Penyelenggara
dan/atau Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang
telah memperoleh izin.
Pasal 18
(1) Pemberian persetujuan kepada Penyelenggara untuk
pengembangan produk dan/atau aktivitas Uang
Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
mempertimbangkan pemenuhan persyaratan yang
meliputi aspek:
a. kesiapan operasional;
b. keamanan dan keandalan sistem;
c. penerapan manajemen risiko; dan
d. perlindungan konsumen.
(2) Selain pemenuhan aspek sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank Indonesia juga mempertimbangkan hasil
pengawasan terhadap kinerja Penyelenggara.
Pasal 19
(1) Pemberian persetujuan kepada Penyelenggara untuk
kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(2) mempertimbangkan pemenuhan persyaratan yang
meliputi aspek:
a.
legalitas dan profil pihak yang akan diajak bekerja
sama;
b. kompetensi pihak yang akan diajak bekerja sama;
c. kinerja pihak yang akan diajak bekerja sama;
d. keamanan dan keandalan sistem serta infrastruktur;
dan
e. hukum.
(2) Selain pemenuhan aspek sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank Indonesia juga mempertimbangkan hasil
pengawasan terhadap kinerja Penyelenggara.
- 15 -
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai persetujuan dalam
penyelenggaraan Uang Elektronik diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kelima
Tata Cara Pengajuan dan Pemrosesan Permohonan
Izin dan Persetujuan
Paragraf 1
Tata Cara Pengajuan Permohonan
Izin dan Persetujuan
Pasal 21
(1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang mengajukan
permohonan:
a.
izin sebagai Penyelenggara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1); atau
b. persetujuan untuk pengembangan produk dan
aktivitas Uang Elektronik dan kerja sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16,
harus menyampaikan permohonan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai dengan dokumen pendukung pemenuhan aspek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 18, dan
Pasal 19.
(3) Selain dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), permohonan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a juga disertai dengan surat pernyataan
dan jaminan (representations and warranties)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
- 16 -
Paragraf 2
Tata Cara Pemrosesan Permohonan
Izin dan Persetujuan
Pasal 22
(1) Pemrosesan permohonan izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dilakukan Bank
Indonesia melalui:
a. penelitian administratif;
b. analisis kelayakan bisnis; dan
c. pemeriksaan terhadap Bank atau Lembaga Selain
Bank.
(2) Pemrosesan permohonan persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b, dilakukan
Bank Indonesia melalui:
a. penelitian administratif;
b. analisis terhadap kinerja Penyelenggara; dan
c. pemeriksaan terhadap Penyelenggara, dalam hal
diperlukan.
(3) Berdasarkan hasil pemrosesan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) atau ayat (2), Bank Indonesia menetapkan
keputusan untuk:
a. menyetujui; atau
b. menolak,
permohonan izin atau persetujuan yang diajukan.
Pasal 23
(1) Izin sebagai Penyelenggara yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia berlaku selama 5 (lima) tahun.
(2) Masa berlaku izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diperpanjang berdasarkan permohonan dari
Penyelenggara.
(3) Permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diajukan oleh Penyelenggara secara tertulis
kepada Bank Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan
sebelum masa berlaku izin berakhir.
- 17 -
(4) Berdasarkan permohonan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia:
a. menyetujui; atau
b. menolak,
permohonan perpanjangan masa berlaku izin yang
diajukan.
(5) Dalam hal Penyelenggara tidak mengajukan permohonan
perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka
izin yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku lagi
sejak saat berakhirnya jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(6) Penyelenggara yang izinnya berakhir karena ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b atau ayat
(5) wajib menyelesaikan kewajibannya kepada Pengguna
dan Penyedia Barang dan/atau Jasa.
Pasal 24
(1) Bank Indonesia dapat memberikan kemudahan kepada
Penyelenggara atas pemrosesan permohonan persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) untuk
penggunaan dan perluasan penggunaan Uang Elektronik
dalam program yang terkait dengan kebijakan nasional.
(2) Pemberian kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dilakukan Bank Indonesia dengan tetap
memperhatikan faktor risiko penyelenggaraan Uang
Elektronik.
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan dan
pemrosesan permohonan izin dan persetujuan diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 18 -
Bagian Keenam
Kebenaran Dokumen, Data, dan/atau Informasi
Pasal 26
(1) Bank atau Lembaga Selain Bank wajib menjamin
keabsahan dan kebenaran setiap dokumen, data,
dan/atau informasi yang disampaikan kepada Bank
Indonesia dalam proses perizinan atau persetujuan.
(2) Dalam hal setelah izin atau persetujuan diberikan namun
Bank atau Lembaga Selain Bank belum
menyelenggarakan kegiatannya dalam jangka waktu yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia atau ditemukan bukti
bahwa dokumen, data, dan/atau informasi yang
disampaikan tidak sah dan/atau tidak benar maka Bank
Indonesia berwenang untuk membatalkan izin atau
persetujuan yang telah diberikan.
Bagian Ketujuh
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 27
(1) Dalam pemrosesan permohonan izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Bank Indonesia
berwenang melakukan penilaian kemampuan dan
kepatutan terhadap:
a. pemegang saham pengendali;
b. anggota direksi; dan
c. anggota dewan komisaris,
dari Lembaga Selain Bank yang mengajukan permohonan
izin sebagai Penyelenggara.
(2) Pemegang saham pengendali sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a yaitu pihak yang memiliki:
a. saham sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau
lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan oleh
Penyelenggara dan mempunyai hak suara; atau
b. saham kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari
jumlah saham yang dikeluarkan oleh Penyelenggara
- 19 -
dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan
bahwa yang bersangkutan telah melakukan
pengendalian terhadap Penyelenggara, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Pasal 28
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 untuk pemegang saham
pengendali ditujukan untuk memastikan pemenuhan
persyaratan:
a.
integritas;
b. reputasi keuangan; dan
c. kelayakan keuangan.
(2) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 untuk anggota direksi
dan/atau anggota dewan komisaris ditujukan untuk
memastikan pemenuhan persyaratan:
a.
integritas;
b. reputasi keuangan; dan
c. kompetensi.
(3) Tata cara penilaian kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dilakukan
melalui penilaian administratif.
Pasal 29
Penilaian kemampuan dan kepatutan dapat pula dilakukan
Bank Indonesia dalam hal terdapat:
a. rencana perubahan pemegang saham pengendali,
anggota direksi, dan/atau anggota dewan komisaris
Penyelenggara; atau
b.
hasil pengawasan yang mengindikasikan adanya
pelanggaran dan/atau fraud yang berdampak signifikan
bagi penyelenggaraan Uang Elektronik yang dilakukan
oleh pemegang saham pengendali, anggota direksi,
dan/atau anggota dewan komisaris Penyelenggara.
- 20 -
Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kedelapan
Pemegang Saham Pengendali Penyelenggara
Pasal 31
(1) Setiap pihak dilarang:
a. menjadi pemegang saham pengendali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) pada lebih dari 1
(satu) Lembaga Selain Bank yang masing-masing
memiliki
izin
Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran yang sama; dan/atau
b. menjadi pemegang saham pengendali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) pada lebih dari 1
(satu) Lembaga Selain Bank dalam kelompok
Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) yang
berbeda.
(2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
perorangan dan badan hukum bukan Bank.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak berlaku bagi pihak yang menjadi pemegang
saham pengendali pada lebih dari 1 (satu) Penyelenggara
yang menyelenggarakan kegiatan dengan prinsip yang
berbeda.
Bagian Kesembilan
Evaluasi Izin
Pasal 32
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan evaluasi terhadap
izin yang telah diberikan kepada Penyelenggara.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
atas dasar:
a. hasil pengawasan Bank Indonesia;
- 21 -
b. aksi korporasi yang dilakukan oleh Penyelenggara;
dan/atau
c. permohonan perpanjangan izin.
(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
menjadi dasar bagi Bank Indonesia untuk:
a. mempersingkat masa berlaku izin atau mencabut
izin; atau
b. memberikan perpanjangan masa berlaku izin
apabila evaluasi dilakukan atas dasar permohonan
perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c.
Bagian Kesepuluh
Kebijakan Perizinan, Persetujuan, dan Penyelenggaraan
Pasal 33
(1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan
perizinan, persetujuan, dan/atau penyelenggaraan Uang
Elektronik.
(2) Penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didasarkan pada pertimbangan:
a. menjaga efisiensi nasional;
b. mendukung kebijakan nasional;
c. menjaga kepentingan publik;
d. menjaga pertumbuhan industri; dan/atau
e. menjaga persaingan usaha yang sehat.
- 22 -
BAB IV
PENYELENGGARAAN UANG ELEKTRONIK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 34
(1) Dalam penyelenggaraan Uang Elektronik, Penyelenggara
wajib:
a. menerapkan manajemen risiko secara efektif dan
konsisten;
b. menerapkan standar keamanan sistem informasi;
c. memenuhi kewajiban pemrosesan transaksi Uang
Elektronik secara domestik; dan
d. melakukan interkoneksi dan interoperabilitas.
(2) Selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), khusus untuk Penyelenggara berupa Penerbit
wajib:
a. menerapkan prinsip anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme; dan
b. menerapkan prinsip perlindungan konsumen.
Bagian Kedua
Penerapan Manajemen Risiko
Pasal 35
(1) Penerapan manajemen risiko secara efektif dan konsisten
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a
mencakup:
a. pengawasan aktif manajemen;
b. kecukupan kebijakan dan prosedur serta struktur
organisasi;
c. kecukupan fungsi manajemen risiko dan sumber
daya manusia; dan
d. pengendalian intern.
- 23 -
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan manajemen
risiko diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Bagian Ketiga
Standar Keamanan Sistem Informasi
Pasal 36
(1) Penerapan standar keamanan sistem informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b
paling sedikit berupa:
a. pemenuhan sertifikasi dan/atau standar keamanan
dan keandalan sistem yang berlaku umum atau
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia atau
otoritas/lembaga terkait;
b. pemeliharaan dan peningkatan keamanan teknologi;
c.
self assessment atas sistem informasi yang
digunakan paling sedikit 1 (satu) tahun sekali; dan
d. pelaksanaan audit sistem informasi oleh security
auditor independen secara berkala paling sedikit 3
(tiga) tahun sekali atau setiap terdapat perubahan
yang signifikan.
(2) Cakupan audit sistem informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d paling sedikit berupa:
a. keamanan operasional;
b. keamanan jaringan, aplikasi, dan sistem;
c. keamanan dan integritas data atau informasi;
d. keamanan fisik dan lingkungan, termasuk kontrol
terhadap akses sistem dan data;
e. manajemen perubahan sistem;
f. manajemen implementasi sistem; dan
g. prosedur tertulis terkait keamanan teknologi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan standar
keamanan sistem informasi diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
- 24 -
Pasal 37
(1) Selain menerapkan standar keamanan sistem informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b,
Penyelenggara berupa Penerbit wajib meningkatkan
standar keamanan transaksi Uang Elektronik untuk
Uang Elektronik yang memiliki batas Nilai Uang
Elektronik di atas Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(2) Peningkatan standar keamanan transaksi Uang
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterapkan melalui penggunaan otentikasi paling sedikit
2 (dua) faktor (two factor authentication).
Bagian Keempat
Pemrosesan Transaksi Uang Elektronik di Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia
Pasal 38
Setiap Penyelenggara wajib melakukan pemrosesan secara
domestik atas transaksi pembayaran yang menggunakan
Uang Elektronik yang diterbitkan dan ditransaksikan di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 39
(1) Uang Elektronik yang diterbitkan di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik
Indonesia hanya dapat
ditransaksikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan menggunakan kanal pembayaran yang
terhubung dengan gerbang pembayaran nasional.
(2) Setiap pihak yang menyelenggarakan transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan
kerja sama dengan Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran berizin yaitu Bank yang termasuk dalam
kategori bank umum berdasarkan kegiatan usaha
(BUKU) 4 dan terhubung dengan gerbang pembayaran
nasional.
- 25 -
Pasal 40
Pelaksanaan kewajiban pemrosesan transaksi pembayaran
secara domestik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan
penggunaan kanal pembayaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 ayat (1), dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai gerbang pembayaran
nasional.
Bagian Kelima
Interkoneksi dan Interoperabilitas
Pasal 41
(1) Penyelenggara wajib melakukan interkoneksi dan
interoperabilitas sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai gerbang pembayaran
nasional.
(2) Dalam pelaksanaan kewajiban interkoneksi dan
interoperabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia berwenang:
a. menetapkan standar sistem dan infrastruktur dalam
penyelenggaraan Uang Elektronik;
b. mengatur besaran biaya penyelenggaraan Uang
Elektronik; dan
c. menetapkan mekanisme penerapan interkoneksi dan
interoperabilitas lainnya.
(3) Setiap pihak yang menyediakan kanal pembayaran untuk
penggunaan Uang Elektronik harus:
a. mengikuti standar yang ditetapkan Bank Indonesia;
dan/atau
b. melalui interface gerbang pembayaran nasional.
- 26 -
Bagian Keenam
Penerapan Prinsip Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme
Pasal 42
Penerbit wajib menerapkan prinsip anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (2) huruf a dengan mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme.
Bagian Ketujuh
Penerapan Prinsip Perlindungan Konsumen
Pasal 43
(1) Penerbit wajib menerapkan prinsip perlindungan
konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(2) huruf b dengan mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai
perlindungan konsumen.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Penerbit wajib:
a. membatasi permintaan dan penggunaan data
dan/atau informasi Pengguna, sebatas yang
diperlukan dalam penyelenggaraan Uang Elektronik;
b. menyediakan sarana dan/atau infrastruktur
Pengisian Ulang (Top Up) secara luas untuk
keperluan Pengguna; dan
c. memiliki mekanisme penggantian kerugian finansial
kepada Pengguna sepanjang kerugian tersebut tidak
disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian Pengguna.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan perlindungan
konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 27 -
Bagian Kedelapan
Pemenuhan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 44
Selain tunduk pada Peraturan Bank Indonesia ini,
Penyelenggara juga wajib memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai:
a. kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi
pembayaran yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b. transfer dana;
c. transaksi perdagangan melalui sistem elektronik;
d. penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik;
e. persaingan usaha yang sehat; dan/atau
f. peraturan perundang-undangan lainnya.
Bagian Kesembilan
Penyelenggaraan Uang Elektronik
Pasal 45
(1) Batas Nilai Uang Elektronik yang dapat disimpan pada
Uang Elektronik ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk Uang Elektronik unregistered paling banyak
Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah); dan
b. untuk Uang Elektronik registered paling banyak
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Batas nilai transaksi Uang Elektronik dalam 1 (satu)
bulan paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta
rupiah).
(3) Batas nilai transaksi Uang Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diperhitungkan dari transaksi
yang bersifat incoming.
(4) Batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak berlaku bagi akun pencatatan Nilai Uang
Elektronik dari Penyedia Barang dan/atau Jasa.
- 28 -
Pasal 46
(1) Fitur Uang Elektronik yang dapat disediakan oleh
Penerbit berupa:
a. Pengisian Ulang (Top Up);
b. pembayaran transaksi pembelanjaan; dan/atau
c. pembayaran tagihan.
(2) Selain fitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Penerbit dapat menyediakan fitur berupa:
a.
transfer dana dan tarik tunai, untuk Uang
Elektronik open loop dan yang registered; dan/atau
b. fitur lain berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.
Pasal 47
Fitur transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
ayat (2) huruf a hanya dapat disediakan oleh Penerbit setelah
memperoleh izin sebagai penyelenggara transfer dana
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai transfer dana.
Pasal 48
(1) Penerbit wajib melakukan pencatatan Dana Float pada
pos kewajiban segera atau rupa-rupa pasiva.
(2) Penerbit wajib menempatkan Dana Float dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari Dana
Float pada:
1. kas, bagi Penerbit yang merupakan Bank yang
termasuk dalam kategori bank umum
berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) 4; atau
2.
giro di Bank yang termasuk dalam kategori
bank umum berdasarkan kegiatan usaha
(BUKU) 4, bagi:
a) Penerbit yang merupakan Bank yang tidak
termasuk dalam kategori bank umum
berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) 4; dan
b) Penerbit yang merupakan Lembaga Selain
Bank; dan
- 29 -
b. paling banyak 70% (tujuh puluh persen) dari Dana
Float pada:
1. surat berharga atau instrumen keuangan yang
diterbitkan oleh Pemerintah atau Bank
Indonesia; atau
2. rekening di Bank Indonesia.
(3) Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), persentase penempatan Dana
Float wajib disesuaikan dengan jumlah rata-rata bulanan
kebutuhan likuiditas untuk memenuhi kewajiban kepada
Pengguna dan Penyedia Barang dan/atau Jasa dalam 12
(dua belas) bulan terakhir.
Pasal 49
(1) Dana Float hanya dapat digunakan untuk memenuhi
kewajiban Penerbit kepada Pengguna dan Penyedia
Barang dan/atau Jasa, dan dilarang digunakan untuk
kepentingan lain.
(2) Untuk memenuhi kewajiban kepada Pengguna dan
Penyedia Barang dan/atau Jasa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Penerbit wajib:
a. memiliki sistem dan mekanisme pencatatan Dana
Float;
b. memiliki sistem dan mekanisme monitoring
ketersediaan Dana Float;
c. memastikan pemenuhan kewajiban secara tepat
waktu;
d. mencatat Dana Float secara terpisah dari pencatatan
kewajiban lain yang dimiliki oleh Penerbit; dan
e. menempatkan Dana Float pada rekening yang
terpisah dari rekening operasional Penerbit.
- 30 -
Pasal 50
(1) Penerbit berupa Lembaga Selain Bank wajib
meningkatkan modal disetor sesuai dengan peningkatan
Dana Float dengan ketentuan sebagai berikut:
a. apabila rata-rata nilai Dana Float yang dikelola telah
mencapai lebih dari Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar
rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah) maka Penerbit wajib meningkatkan
modal disetor menjadi
Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah);
b. apabila rata-rata nilai Dana Float yang dikelola telah
mencapai lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah) sampai dengan Rp9.000.000.000,00
(sembilan milyar rupiah) maka Penerbit wajib
meningkatkan modal disetor menjadi paling sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah); dan
c. apabila rata-rata nilai Dana Float yang dikelola telah
mencapai lebih dari Rp9.000.000.000,00 (sembilan
milyar rupiah) maka Penerbit wajib meningkatkan
modal disetor menjadi
paling sedikit
paling sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah)
ditambah 3% (tiga persen) dari nilai Dana Float.
(2) Rata-rata nilai Dana Float sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dihitung berdasarkan data rata-rata Dana Float
selama 12 (dua belas) bulan pada tahun sebelumnya
yaitu sejak bulan Januari sampai dengan bulan
Desember.
(3) Bagi Penerbit yang pertama kali beroperasi setelah bulan
Januari maka rata-rata nilai Dana Float sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kalinya dihitung
berdasarkan data rata-rata Dana Float tahun sebelumnya
yaitu sejak bulan pertama Penerbit beroperasi sampai
dengan bulan Desember.
(4) Peningkatan modal disetor karena penambahan Dana
Float sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan
hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
- 31 -
atau ayat (3) wajib dipenuhi oleh Penerbit paling lambat
akhir bulan Juni tahun berjalan.
Pasal 51
(1) Uang Elektronik yang diterbitkan di Indonesia wajib
menggunakan satuan uang rupiah.
(2) Transaksi yang menggunakan Uang Elektronik dan
dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia wajib menggunakan rupiah.
Pasal 52
(1) Dalam penyelenggaraan Uang Elektronik, Penerbit dapat
mengenakan biaya yang meliputi:
a. biaya pembelian media Uang Elektronik untuk
penggunaan pertama kali atau penggantian media
Uang Elektronik yang rusak atau hilang;
b. biaya Pengisian Ulang (Top Up);
c. biaya tarik tunai yang dilakukan melalui pihak lain
atau kanal pihak lain (off us); dan
d. biaya transaksi transfer dana antar-Pengguna pada
Uang Elektronik dari Penerbit yang berbeda.
(2) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan
mengenai biaya yang dapat dikenakan oleh Penerbit
berdasarkan pertimbangan tertentu.
Pasal 53
(1) Dalam melaksanakan kegiatannya, Prinsipal wajib:
a. menetapkan prosedur dan persyaratan yang obyektif
dan transparan kepada seluruh Penerbit dan/atau
Acquirer yang menjadi anggota Prinsipal yang
bersangkutan;
b. memastikan keamanan dan keandalan sistem
dan/atau jaringan yang digunakan oleh seluruh
Penerbit dan/atau Acquirer yang menjadi anggota
Prinsipal yang bersangkutan; dan
- 32 -
c. menyusun perjanjian kerja sama secara tertulis
dengan Penerbit dan/atau Acquirer yang menjadi
anggota Prinsipal yang bersangkutan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
wajib dilakukan juga oleh Prinsipal terhadap pihak lain
yang bekerja sama dengan Penerbit dan/atau Acquirer.
Pasal 54
(1) Dalam melaksanakan kegiatannya, Penerbit dan/atau
Acquirer wajib:
a. mengadministrasikan seluruh dokumen yang terkait
dengan Penyedia Barang dan/atau Jasa;
b. melakukan edukasi dan pembinaan terhadap
Penyedia Barang dan/atau Jasa; dan
c. menghentikan kerja sama dengan Penyedia Barang
dan/atau Jasa yang melakukan tindakan yang
merugikan.
(2) Penerbit dan/atau Acquirer dapat melakukan tukar-
menukar informasi atau data dengan Penerbit dan/atau
Acquirer lainnya tentang Penyedia Barang dan/atau Jasa
yang melakukan tindakan yang merugikan dan dapat
mengusulkan pencantuman nama Penyedia Barang
dan/atau Jasa tersebut dalam suatu daftar hitam
Penyedia Barang dan/atau Jasa (merchant black list).
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Uang
Elektronik diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kesepuluh
Penyelenggaraan LKD
Pasal 56
(1) Penerbit yang akan menjadi Penyelenggara LKD wajib
terlebih dahulu memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
(2) Penyelenggaraan LKD dilakukan oleh Penyelenggara LKD
melalui kerja sama dengan Agen LKD.
- 33 -
Pasal 57
Agen LKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2)
dapat berupa:
a. badan usaha berbadan hukum Indonesia; dan/atau
b. individu.
Pasal 58
(1) Penyelenggaraan LKD melalui Agen LKD individu hanya
dapat dilakukan oleh Penyelenggara LKD berupa Bank.
(2) Penyelenggara LKD berupa Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. berbadan hukum Indonesia;
b. merupakan:
1. Bank yang termasuk dalam kategori bank
umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) 3
atau bank umum berdasarkan kegiatan usaha
(BUKU) 4; atau
2. Bank pembangunan daerah yang termasuk
dalam kategori bank umum berdasarkan
kegiatan usaha (BUKU) 1 atau bank umum
berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) 2 yang
memiliki sistem teknologi informasi yang
memadai serta profil mandat penyaluran
program bantuan sosial; dan
c. memenuhi persyaratan operasional yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan LKD
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kesebelas
Larangan
Pasal 59
Setiap pihak dilarang menyelenggarakan kegiatan sebagai
Penyelenggara di Indonesia tanpa izin dari Bank Indonesia.
- 34 -
Pasal 60
Penyelenggara berupa Lembaga Selain Bank dilarang
melakukan aksi korporasi yang mengakibatkan berubahnya
pemegang saham pengendali Penyelenggara selama 5 (lima)
tahun sejak izin pertama kali diberikan kecuali dalam kondisi
tertentu dan memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
Pasal 61
(1) Penerbit dilarang menerbitkan Uang Elektronik dengan
Nilai Uang Elektronik yang lebih besar atau lebih kecil
daripada nilai uang yang disetorkan kepada Penerbit.
(2) Nilai uang yang disetorkan ke dalam Uang Elektronik
harus dapat digunakan atau ditransaksikan seluruhnya
sampai bersaldo nihil.
(3) Penerbit dilarang:
a. menetapkan minimum Nilai Uang Elektronik
sebagai:
1. persyaratan penggunaan Uang Elektronik;
dan/atau
2. persyaratan pengakhiran penggunaan Uang
Elektronik (redeem);
b. menahan atau memblokir Nilai Uang Elektronik
secara sepihak;
c. mengenakan biaya pengakhiran penggunaan
(redemption) Uang Elektronik; dan/atau
d. menghapus, mengubah, atau menghilangkan Nilai
Uang Elektronik ketika masa berlaku media Uang
Elektronik tersebut berakhir.
Pasal 62
Penyelenggara dilarang menerima, menggunakan,
mengkaitkan, dan/atau melakukan pemrosesan transaksi
pembayaran Uang Elektronik dengan menggunakan virtual
currency.
- 35 -
Pasal 63
(1) Penyedia Barang dan/atau Jasa dilarang mengenakan
biaya tambahan (surcharge) kepada Pengguna atas
pembayaran transaksi pembelanjaan.
(2) Penerbit dan Acquirer wajib memastikan kepatuhan
Penyedia Barang dan/atau Jasa atas larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB V
PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PEMISAHAN, DAN
PENGAMBILALIHAN
Pasal 64
(1) Penyelenggara wajib menyampaikan informasi secara
tertulis mengenai rencana penggabungan, peleburan,
atau pemisahan kepada Bank Indonesia.
(2) Dalam hal badan hukum hasil penggabungan, peleburan,
atau pemisahan belum mempunyai izin sebagai
Penyelenggara maka badan hukum tersebut wajib
terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia
apabila akan melakukan kegiatan sebagai Penyelenggara.
Pasal 65
(1) Dalam hal akan dilakukan pengambilalihan terhadap
Penyelenggara berupa Bank maka Penyelenggara wajib
menyampaikan informasi secara tertulis mengenai
rencana pengambilalihan kepada Bank Indonesia.
(2) Dalam hal akan dilakukan pengambilalihan terhadap
Penyelenggara berupa Lembaga Selain Bank maka
Penyelenggara wajib menyampaikan permohonan
persetujuan secara tertulis kepada Bank Indonesia.
rencana pengambilalihan sebagaimana
(3) Informasi
dimaksud pada ayat (1) atau permohonan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit
memuat:
a. latar belakang pengambilalihan;
b. pihak yang akan melakukan pengambilalihan;
- 36 -
c. target waktu pelaksanaan pengambilalihan;
d. susunan pengurus, pemegang saham, dan
komposisi
kepemilikan saham setelah
pengambilalihan; dan
e. rencana bisnis penyelenggaraan Uang Elektronik
setelah pengambilalihan.
(4) Bank Indonesia berwenang untuk menyetujui atau
menolak permohonan persetujuan pengambilalihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
informasi rencana pengambilalihan dan permohonan
persetujuan pengambilalihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
BAB VI
LAPORAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Laporan
Pasal 66
(1) Penyelenggara wajib menyampaikan laporan
penyelenggaraan Uang Elektronik kepada Bank
Indonesia.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. laporan berkala; dan
b. laporan insidental.
(3) Laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a berupa:
a. laporan harian;
b. laporan bulanan;
c. laporan triwulanan;
d. laporan tahunan; dan/atau
- 37 -
e. laporan hasil audit sistem informasi dari auditor
independen yang dilakukan secara berkala paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun.
(4) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b terdiri atas:
a. laporan gangguan dalam penyelenggaraan Uang
Elektronik dan tindak lanjut yang telah dilakukan;
b. laporan perubahan modal dan/atau susunan
pemegang saham serta perubahan susunan
pengurus Penyelenggara;
c. laporan terjadinya
force majeure
penyelenggaraan Uang Elektronik;
d. laporan perubahan data dan informasi pada
dokumen yang disampaikan pada saat mengajukan
permohonan izin kepada Bank Indonesia;
e. laporan hasil audit sistem informasi dari auditor
independen yang dilakukan dalam hal terdapat
perubahan yang signifikan; dan
f.
laporan lainnya yang diperlukan oleh Bank
Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
laporan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 67
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
Penyelenggara yang meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan
b. pengawasan langsung.
(2) Dalam pelaksanaan pengawasan tidak langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
Penyelenggara wajib menyampaikan:
a. laporan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan
Bank Indonesia; dan
atas
- 38 -
b. dokumen, data, informasi, keterangan, dan/atau
penjelasan sesuai dengan permintaan Bank
Indonesia.
(3) Dalam pelaksanaan pengawasan langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, Bank Indonesia
melakukan pemeriksaan (on-site visit) terhadap
Penyelenggara baik secara berkala maupun setiap waktu
apabila diperlukan.
Pasal 68
(1) Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf b
dan ayat (3) secara terintegrasi terhadap Penyelenggara
dan perusahaan induk, perusahaan anak, pihak yang
bekerja sama dengan Penyelenggara, dan/atau pihak
terafiliasi lainnya.
(2) Pengawasan terintegrasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan terhadap eksposur risiko dan
pemenuhan aspek kelembagaan dan hukum, aspek
kelayakan bisnis, serta aspek tata kelola, risiko, dan
pengendalian.
Pasal 69
Penyelenggara dan pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
67 dan Pasal 68 wajib memberikan:
a. keterangan dan data yang diminta;
b. kesempatan untuk melihat semua pembukuan,
dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan
kegiatan usahanya; dan
c. hal lain yang diperlukan.
Pasal 70
Bank Indonesia berwenang melakukan pemeriksaan dan/atau
meminta laporan, dokumen, data, informasi, keterangan,
dan/atau penjelasan terhadap Penerbit Uang Elektronik
closed loop sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).
- 39 -
Pasal 71
Penyelenggara wajib bertanggung jawab mengenai keabsahan,
kebenaran, kelengkapan, dan ketepatan waktu penyampaian
atas setiap laporan, dokumen, data, dan/atau informasi yang
disampaikan kepada Bank Indonesia.
Pasal 72
(1) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan
atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3).
(2) Pihak lain yang melaksanakan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan keterangan
dan data yang diperoleh dalam pemeriksaan.
Pasal 73
Dalam hal hasil pengawasan Bank Indonesia menunjukkan
bahwa Penyelenggara tidak dapat menyelenggarakan kegiatan
Uang Elektronik secara memadai, Bank Indonesia dapat:
a. meminta Penyelenggara untuk:
1. melakukan atau tidak melakukan sesuatu;
2. membatasi penyelenggaraan Uang Elektronik;
dan/atau
3. menghentikan sementara sebagian atau seluruh
kegiatan
dan/atau
b. mencabut izin atau persetujuan yang telah diberikan
kepada Penyelenggara.
BAB VII
SANKSI
Pasal 74
(1) Penyelenggara yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 ayat (5), Pasal
16, Pasal 26 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 34, Pasal 37
ayat (1), Pasal 38, Pasal 39 ayat (2), Pasal 41 ayat (1),
Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50
penyelenggaraan Uang Elektronik;
- 40 -
ayat (1), Pasal 50 ayat (4), Pasal 51, Pasal 53, Pasal 54
ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61
ayat (1), Pasal 61 ayat (3), Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64,
Pasal 65 ayat (1), Pasal 65 ayat (2), Pasal 66 ayat (1),
Pasal 67 ayat (2), Pasal 69, Pasal 71, Pasal 72 ayat (2),
Pasal 79, Pasal 82, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 89, dan
Pasal 90 dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran;
b. denda;
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh
kegiatan Uang Elektronik dan/atau jasa sistem
pembayaran lainnya; dan/atau
d. pencabutan izin sebagai Penyelenggara dan/atau
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 75
Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
74, Bank Indonesia
mempertimbangkan:
a. tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran; dan
b. akibat yang ditimbulkan terhadap:
1. aspek kelancaran dan keamanan sistem
pembayaran;
2. aspek perlindungan konsumen;
3. aspek anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme; dan/atau
4. aspek lainnya.
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 76
Ketentuan mengenai pemegang saham pengendali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 juga berlaku bagi
- 41 -
pemegang saham pengendali pada Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran selain Penyelenggara.
Pasal 77
(1) Penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik oleh bank
umum syariah, unit usaha syariah, atau Lembaga Selain
Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah tunduk pada Peraturan Bank Indonesia
ini, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
(2) Bagi Penerbit berupa bank umum syariah, unit usaha
syariah, atau Lembaga Selain Bank yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penempatan Dana Float
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf a
angka 2, dilakukan pada rekening giro unit usaha syariah
dari bank umum yang termasuk dalam kategori bank
umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) 4 atau pada
bank umum syariah yang memiliki hubungan kepemilikan
dengan bank umum yang termasuk dalam kategori bank
umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) 4.
Pasal 78
Penerbit Uang Elektronik closed loop sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) harus memperhatikan ketentuan
mengenai penyelenggaraan Uang Elektronik paling sedikit
berupa penerapan manajemen risiko dan perlindungan
konsumen.
Pasal 79
Kerja sama yang dilakukan oleh Penyelenggara dengan pihak
lain untuk penyediaan layanan umum dilarang dilakukan
secara eksklusif.
Pasal 80
Penyedia Barang dan/atau Jasa di Indonesia hanya dapat
bekerja sama dengan Penyelenggara yang telah memperoleh
izin dari Bank Indonesia.
- 42 -
Pasal 81
Selain penerapan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
74, Bank Indonesia dapat menghentikan sementara sebagian
atau seluruh kegiatan penyelenggaraan Uang Elektronik
dan/atau membatalkan atau mencabut izin atau persetujuan
yang telah diberikan kepada Penyelenggara dalam hal:
a. terdapat permintaan tertulis atau rekomendasi dari pihak
yang berwajib atau otoritas pengawas yang berwenang
kepada Bank Indonesia untuk menghentikan sementara
kegiatan Penyelenggara;
b. terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap yang memerintahkan Penyelenggara untuk
menghentikan kegiatannya; dan/atau
c. terdapat permohonan pembatalan dan/atau pencabutan
izin yang diajukan sendiri oleh Penyelenggara yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 82
Pihak yang telah menyelenggarakan kegiatan sebagai:
a. Penerbit Uang Elektronik open loop dengan pengelolaan
Dana Float kurang dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah); atau
b. Penerbit Uang Elektronik closed loop dengan pengelolaan
Dana Float telah mencapai Rp1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah) atau lebih,
sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, wajib
mengajukan izin kepada Bank Indonesia paling lambat 6
(enam) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku.
Pasal 83
Pihak yang telah memperoleh lebih dari 1 (satu) izin pada saat
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku dan berada pada
kelompok
Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) yang berbeda,
- 43 -
harus melakukan penyesuaian berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 apabila pihak tersebut
mengajukan permohonan izin baru sebagai Penyelenggara
kepada Bank Indonesia.
Pasal 84
Bank atau Lembaga Selain Bank yang sedang dalam proses
perizinan sebagai Penyelenggara pada saat Peraturan Bank
Indonesia ini mulai berlaku, harus menyesuaikan dengan
seluruh persyaratan perizinan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 85
Penerbit berupa Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh
izin sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, wajib
memenuhi ketentuan modal disetor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) paling lambat 6 (enam) bulan setelah
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku.
Pasal 86
Penyelenggara yang telah memperoleh izin sebelum Peraturan
Bank Indonesia ini berlaku, wajib menyampaikan surat
pernyataan dan jaminan (representation and warranties)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 paling lambat 6
(enam) bulan setelah Peraturan Bank Indonesia ini mulai
berlaku.
Pasal 87
Izin sebagai Penyelenggara yang telah diberikan sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, tetap berlaku untuk
jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 88
(1) Pemenuhan kewajiban peningkatan modal disetor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) oleh
Penerbit yang telah memperoleh izin sebelum Peraturan
- 44 -
Bank Indonesia ini berlaku, untuk pertama kali dihitung
berdasarkan rata-rata nilai Dana Float sejak Peraturan
Bank Indonesia ini mulai berlaku sampai dengan bulan
Desember 2018.
(2) Peningkatan modal disetor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan paling lambat akhir bulan Juni tahun
2019.
Pasal 89
Ketentuan mengenai komposisi
kepemilikan saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) wajib
dipenuhi oleh Penerbit yang telah memperoleh izin sebelum
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, apabila setelah
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini Penerbit melakukan
perubahan kepemilikan yang menyebabkan terjadinya
perubahan kepemilikan asing.
Pasal 90
Ketentuan mengenai pemegang saham pengendali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 wajib dipenuhi oleh pihak yang
sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku telah menjadi
pemegang saham pengendali pada:
a. Penyelenggara yang telah memperoleh izin dari Bank
Indonesia; atau
b. pihak yang sedang dalam proses perizinan dan kemudian
memperoleh izin sebagai Penyelenggara dari Bank
Indonesia,
apabila setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, akan
melakukan perubahan kepemilikan saham Penyelenggara.
- 45 -
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 91
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009
tentang Uang Elektronik (Electronic Money) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 65,
Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor
5001);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik
(Electronic Money) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 69, Tambahan Lembaga Negara
Republik Indonesia Nomor 5524); dan
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/17/PBI/2016
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik
(Electronic Money) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 179, Tambahan Lembaga Negara
Republik Indonesia Nomor 5925),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 92
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 46 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Mei 2018
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Mei 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 70
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/6/PBI/2018
TENTANG
UANG ELEKTRONIK
I. UMUM
Sejak pertama kali diatur secara khusus oleh Bank Indonesia pada
tahun 2009, penyelenggaraan dan penggunaan Uang Elektronik di
Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan. Uang
Elektronik menjadi salah satu instrumen nontunai yang secara stabil
terus mengalami peningkatan baik dari sisi volume maupun nominal
transaksi per tahunnya. Penggunaan untuk transaksi pembayaran
bernilai kecil, cepat, dan masif merupakan karakteristik Uang Elektronik
yang menjadikannya sebagai pilihan instrumen pembayaran nontunai
yang diminati masyarakat.
Selain digunakan untuk transaksi pembayaran yang sesuai dengan
karakteristiknya, seperti transaksi pembayaran di bidang transportasi dan
transaksi pembelanjaan, penggunaan Uang Elektronik pun diperluas
untuk mendukung keuangan inklusif melalui LKD, penyaluran dana
untuk program pemerintah, dan pembayaran transaksi e-commerce yang
dewasa ini semakin berkembang. Perkembangan penggunaan Uang
Elektronik yang semakin bervariasi tersebut harus terus diiringi dan
didukung dengan kebijakan dan pengaturan oleh Bank Indonesia serta
penyediaan infrastruktur Uang Elektronik oleh pelaku industri.
- 2 -
Pengembangan penyelenggaraan Uang Elektronik perlu didukung
dengan penguatan pengaturan terhadap penyelenggaraan Uang Elektronik
seperti penguatan terhadap aspek kelembagaan Penyelenggara melalui
kewajiban modal minimum Penerbit dan rencana bisnis yang lebih
komprehensif, dan kewajiban penyediaan infrastruktur yang saat ini
masih terpusat pada kota besar di Indonesia guna mendukung terciptanya
pemerataan infrastruktur untuk meningkatkan penggunaan Uang
Elektronik.
Melalui penguatan aspek kelembagaan Penyelenggara tersebut, dapat
diseleksi Penyelenggara yang kredibel sehingga industri Uang Elektronik
akan semakin berkembang dengan baik dan kuat serta tercipta
persaingan usaha yang sehat.
Dalam perkembangannya, Bank Indonesia juga memperhatikan
perkembangan penyelenggaraan Uang Elektronik yang digunakan secara
terbatas (closed loop) saat nominal dan volume transaksi Uang Elektronik
tersebut semakin tinggi dengan jumlah Pengguna yang terus bertambah.
Meskipun penggunaannya terbatas, penyelenggaraan Uang Elektronik
tersebut tetap memiliki risiko baik di sisi Penyelenggara maupun
Pengguna antara lain terkait pengelolaan Dana Float oleh Penerbit dan
keamanan sistem informasi terhadap Uang Elektronik yang
diselenggarakan. Mempertimbangkan hal tersebut, Bank Indonesia
memandang perlu adanya pengaturan mengenai penyelenggaraan Uang
Elektronik closed loop guna memastikan diterapkannya manajemen risiko,
prinsip kehati-hatian, dan perlindungan konsumen dalam
penyelenggaraan Uang Elektronik closed loop.
Perkembangan teknologi informasi juga menjadi salah satu
pertimbangan dalam melakukan penguatan pengaturan dengan tetap
memberikan ruang inovasi dan pemanfaatan teknologi informasi dalam
penyelenggaraan Uang Elektronik. Hal ini diakomodir antara lain melalui
pengaturan fitur keamanan transaksi yang disesuaikan dengan batas
paling banyak Nilai Uang Elektronik.
Penyelenggaraan Uang Elektronik juga perlu diselaraskan dengan
beberapa ketentuan Bank Indonesia yang telah diterbitkan antara lain
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran dan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai gerbang pembayaran nasional serta ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini untuk memastikan tidak
- 3 -
terjadi tumpang tindih pengaturan khususnya terkait perizinan,
kewajiban yang harus dipenuhi, dan penyampaian laporan oleh
Penyelenggara.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan pengaturan
kembali terhadap Uang Elektronik dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Termasuk Uang Elektronik open loop yaitu Uang Elektronik
yang digunakan pada Penyedia Barang dan/atau Jasa yang
merupakan entitas yang berbeda dengan Penerbit namun
memiliki hubungan kepemilikan dan/atau hubungan
pengelolaan usaha dengan Penerbit, misalnya group holding,
waralaba (franchise), dan jaringan ritel online.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal terdapat pihak yang menyelenggarakan lebih dari 1
(satu) jenis atau produk Uang Elektronik closed loop maka
jumlah Dana Float diperhitungkan dari seluruh Uang Elektronik
closed loop yang diselenggarakan oleh pihak tersebut.
- 4 -
Contoh 1:
PT A menyelenggarakan 2 (dua) produk Uang Elektronik closed
loop yaitu:
a. Uang Elektronik closed loop X yang hanya digunakan di
lokasi B; dan
b. Uang Elektronik closed loop Y yang hanya digunakan di
lokasi C.
Dengan demikian, jumlah Dana Float diperhitungkan dari
penyelenggaraan Uang Elektronik closed loop X dan Uang
Elektronik closed loop Y.
Contoh 2:
PT W menyelenggarakan 2 (dua) produk Uang Elektronik closed
loop yaitu:
a. Uang Elektronik closed loop A yang menggunakan media
penyimpan chip based; dan
b. Uang Elektronik closed loop B yang menggunakan media
penyimpan server based,
Dengan demikian, jumlah Dana Float diperhitungkan dari
penyelenggaraan Uang Elektronik closed loop A dan Uang
Elektronik closed loop B.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengelompokan izin dilakukan dengan memperhatikan
karakteristik bisnis dari Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran.
Hal ini dilakukan guna memastikan pihak yang memiliki lebih
dari 1 (satu)
izin fokus pada jenis kegiatan jasa sistem
pembayaran yang memiliki karakteristik bisnis sama sehingga
meminimalkan potensi timbulnya konflik kepentingan (conflict of
interest).
Huruf a
Penyelenggara front end merupakan Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran yang menyediakan jasa sistem
- 5 -
pembayaran kepada pengguna dan/atau penyedia
barang dan/atau jasa (customer facing).
Huruf b
Penyelenggara back end merupakan Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran yang menyediakan infrastruktur
pemrosesan transaksi pembayaran kepada
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lainnya (non-
customer facing).
Ayat (3)
Contoh:
Pihak yang telah memperoleh izin sebagai Penerbit dapat
memperoleh izin sebagai Acquirer karena kedua izin tersebut
berada dalam kelompok yang sama (kelompok penyelenggara front
end). Sebaliknya, pihak yang telah memperoleh izin sebagai
Penerbit tidak dapat memperoleh izin sebagai Prinsipal karena
kedua izin tersebut berada dalam kelompok yang berbeda.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “modal disetor” adalah modal disetor
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai perseroan terbatas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “modal disetor” adalah modal disetor
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai perseroan terbatas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kepemilikan asing” adalah kepemilikan
saham oleh warga negara asing atau badan hukum asing.
Penilaian Bank Indonesia atas kepemilikan saham tidak langsung
dapat dilakukan sampai dengan pemegang saham akhir (ultimate
shareholder/beneficial owner) dengan mempertimbangkan antara
lain manfaat bagi perekonomian Indonesia, rencana operasional
penyelenggaraan, dan kondisi keuangan pihak yang akan
mengajukan permohonan izin sebagai Penerbit.
Ayat (3)
Pertimbangan tertentu antara lain rekam jejak Lembaga Selain
Bank dan/atau pemegang saham, teknologi yang digunakan
dalam penyelenggaraan Uang Elektronik, dan cakupan lingkup
penggunaan Uang Elektronik.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Legalitas dan profil perusahaan antara lain dibuktikan
dengan dokumen profil perusahaan, anggaran dasar
perusahaan berikut seluruh perubahannya, izin kegiatan
usaha yang telah dimiliki, tanda daftar perusahaan, dan izin
- 7 -
atau persetujuan dari otoritas terkait, apabila ada, termasuk
informasi mengenai profil masing-masing anggota direksi
dan anggota dewan komisaris berupa nama, alamat, riwayat
hidup, pengalaman, dan kualifikasi beserta buktinya.
Huruf b
Kesiapan perangkat hukum untuk penyelenggaraan Uang
Elektronik antara lain dibuktikan dengan konsep perjanjian
tertulis atau pokok perjanjian tertulis antara pihak yang
akan mengajukan permohonan sebagai Penyelenggara
dengan pihak lain.
Ayat (3)
Huruf a
Analisis kelayakan bisnis antara lain berupa hasil analisis
bisnis yang paling sedikit memuat informasi mengenai model
dan rencana bisnis, target pasar, jenis dan layanan Uang
Elektronik yang akan diselenggarakan, dan struktur harga
dan biaya yang akan diterapkan serta rencana
pengembangan usaha ke depan.
Huruf b
Kesiapan operasional, sistem, dan teknologi informasi yang
akan digunakan antara lain berupa dokumen rencana
peralatan dan sarana usaha serta lokasi atau ruangan yang
akan digunakan untuk kegiatan operasional, peralatan
teknis terkait sistem baik hardware maupun software serta
jaringan yang akan digunakan, dan hasil uji coba (user
acceptance test) atas Uang Elektronik yang akan
diselenggarakan.
Huruf c
Kinerja keuangan antara lain dibuktikan dengan laporan
keuangan tahunan atau neraca keuangan.
Huruf d
Kesiapan struktur organisasi dan sumber daya manusia
antara lain berupa rencana struktur organisasi dan kesiapan
sumber daya manusia.
- 8 -
Ayat (4)
Huruf a
Angka 1
Konsep penerapan manajemen risiko antara lain
berupa bukti kesiapan penerapan manajemen risiko
yang paling sedikit berupa risiko operasional, risiko
hukum, risiko setelmen, risiko likuiditas, risiko market
conduct, dan risiko reputasi.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Konsep penerapan manajemen risiko antara lain
berupa bukti kesiapan penerapan manajemen risiko
yang paling sedikit berupa risiko operasional, risiko
hukum, risiko setelmen, risiko likuiditas, risiko market
conduct, dan risiko reputasi.
Angka 2
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
- 9 -
Huruf d
Angka 1
Termasuk pihak terafiliasi antara lain pihak lain yang
memiliki hubungan keuangan atau hubungan
kepemilikan dengan Penyelenggara.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “konsultan hukum yang independen dan
profesional” adalah pihak yang secara khusus menyediakan jasa
konsultasi hukum dan merupakan entitas yang terpisah dari
Penyelenggara.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Termasuk dalam pengembangan produk dan aktivitas Uang
Elektronik antara lain:
a. pengembangan jenis produk Uang Elektronik;
b. pengembangan mekanisme autentikasi Uang Elektronik dan
otorisasi transaksi Uang Elektronik;
c. penambahan fitur pada Uang Elektronik;
d. pengembangan infrastruktur dan standar keamanan;
e. penyediaan layanan Pengisian Ulang (Top Up) kepada
Pengguna melalui Penyedia Barang dan/atau Jasa; dan/atau
- 10 -
f. pengembangan fitur, jenis, layanan, dan/atau fasilitas
produk Uang Elektronik lainnya yang berkaitan dengan
inovasi layanan dan teknologi yang berpengaruh terhadap
eksposur risiko secara signifikan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kerja sama dengan pihak lainnya antara lain kerja sama
dengan pihak yang menerbitkan Uang Elektronik di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “izin” adalah:
a.
izin dari Bank Indonesia untuk Penyelenggara dan/atau
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang
menyelenggarakan kegiatan dan berkedudukan hukum di
Indonesia; atau
b.
izin dari otoritas negara setempat untuk penyelenggara
dan/atau penyelenggara jasa sistem pembayaran asing.
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Aspek kesiapan operasional antara lain dibuktikan dengan:
1. rekomendasi atau persetujuan dari otoritas terkait atas
rencana pengembangan produk dan/atau aktivitas
Uang Elektronik yang akan dilakukan; dan
2. informasi umum mengenai pengembangan produk
dan/atau aktivitas Uang Elektronik antara lain berisi
penjelasan mengenai pengembangan yang akan
diselenggarakan, potensi pasar, rencana kerja sama,
rencana wilayah penyelenggaraan, struktur biaya
layanan, dan target pendapatan yang akan dicapai.
Rekomendasi atau persetujuan dari otoritas terkait
diberlakukan dalam hal terdapat otoritas terkait yang
- 11 -
berwenang untuk mengawasi dan memberikan rekomendasi
atau persetujuan.
Huruf b
Aspek keamanan dan keandalan sistem antara lain
dibuktikan dengan laporan hasil audit sistem informasi dari
auditor independen internal atau eksternal, prosedur
pengendalian pengamanan (security control), dan hasil
asesmen atas pengembangan produk dan/atau aktivitas
Uang Elektronik yang akan diselenggarakan.
Huruf c
Aspek penerapan manajemen risiko antara lain dibuktikan
dengan hasil asesmen terhadap manajemen risiko yang telah
diselenggarakan serta rencana penyesuaian kebijakan dan
prosedur manajemen risiko atas pengembangan produk
dan/atau aktivitas Uang Elektronik yang akan
diselenggarakan.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kinerja Penyelenggara antara lain dibuktikan dengan:
a. kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan dan/atau kebijakan Bank Indonesia di bidang
sistem pembayaran atau yang berkaitan dengan sistem
pembayaran. Khusus untuk Bank antara lain berkaitan juga
dengan kepesertaan dalam Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement, Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia,
dan/atau Bank Indonesia-Scripless Security Settlement
System;
b. penerapan manajemen risiko antara lain risiko operasional
dan risiko setelmen;
c. penerapan perlindungan konsumen antara lain penanganan
dan penyelesaian pengaduan Pengguna;
d. kinerja finansial; dan/atau
e.
tata kelola yang baik dalam penyelenggaraan kegiatan Uang
Elektronik.
- 12 -
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Aspek legalitas dan profil pihak yang akan diajak bekerja
sama antara lain dibuktikan dengan dokumen profil
perusahaan, anggaran dasar perusahaan berikut seluruh
perubahannya, izin kegiatan usaha yang telah dimiliki,
tanda daftar perusahaan, dan izin atau persetujuan dari
otoritas terkait apabila ada.
Huruf b
Aspek kompetensi pihak yang akan diajak bekerja sama
antara lain dibuktikan dengan kecukupan sumber daya
manusia, rekam jejak pengurus dan pengalaman dalam
menyelenggarakan kegiatan Uang Elektronik, kegiatan jasa
sistem pembayaran, dan/atau kegiatan jasa penunjang.
Huruf c
Aspek kinerja meliputi kinerja finansial dan kinerja
operasional yang antara lain dibuktikan dengan laporan
keuangan pihak yang akan diajak bekerja sama, rekam
jejak Penyelenggara, Penyelenggara
Pembayaran, dan/atau Penyelenggara Penunjang, dan/atau
hasil uji coba sistem.
Huruf d
Aspek keamanan dan keandalan sistem serta infrastruktur
antara lain dibuktikan dengan pemenuhan standar terkait
keamanan sistem dan infrastruktur yang digunakan sesuai
dengan standar nasional, internasional, atau yang berlaku
umum di industri serta keamanan dan kerahasiaan data.
Huruf e
Aspek hukum dibuktikan antara lain dengan kejelasan
ruang lingkup kerja sama dan hak serta kewajiban masing-
masing pihak, rencana pelaksanaan, dan jangka waktu
kerja sama.
Ayat (2)
Kinerja Penyelenggara antara lain dibuktikan dengan:
a. kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan dan/atau kebijakan Bank Indonesia di bidang
Jasa Sistem
- 13 -
sistem pembayaran atau yang berkaitan dengan sistem
pembayaran. Khusus untuk Bank antara lain berkaitan juga
dengan kepesertaan dalam Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement, Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia,
dan/atau Bank Indonesia-Scripless Security Settlement
System;
b. penerapan manajemen risiko antara lain risiko operasional
dan risiko setelmen;
c. penerapan perlindungan konsumen antara lain penanganan
dan penyelesaian pengaduan Pengguna;
d. kinerja finansial; dan/atau
e.
tata kelola yang baik dalam penyelenggaraan kegiatan Uang
Elektronik.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dokumen pendukung mencakup dokumen pemenuhan aspek
kelayakan sebagai Penyelenggara.
Ayat (3)
Surat pernyataan dan jaminan (representations and warranties)
disertai dengan pernyataan dari konsultan hukum yang
independen dan profesional berdasarkan hasil uji tuntas dari segi
hukum (legal due diligence).
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Penetapan masa berlaku izin dilakukan mengingat dinamika
industri Uang Elektronik ke depan masih tinggi dan kondisi
ekosistem Uang Elektronik masih akan berkembang sejalan
- 14 -
dengan perkembangan ekonomi digital. Selain itu penetapan
masa berlaku izin juga dimaksudkan untuk memastikan
kepatuhan dan menilai kinerja Penyelenggara serta keselarasan
penyelenggaraan Uang Elektronik dengan prinsip
penyelenggaraan Uang Elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kebijakan nasional” adalah program
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, pemerintah pusat,
dan/atau pemerintah daerah dengan tetap memperhatikan
kesesuaiannya dengan arah kebijakan Bank Indonesia, misalnya
penyaluran bantuan sosial dan subsidi pemerintah, layanan
nontunai (elektronifikasi), dan keuangan inklusif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Penilaian kemampuan dan kepatutan merupakan proses untuk
menilai pemenuhan persyaratan kemampuan dan kepatutan
- 15 -
sebagai bagian dari pemberian izin terhadap Lembaga Selain
Bank yang mengajukan permohonan izin sebagai Penyelenggara.
Ayat (2)
Dalam hal pemegang saham pengendali berbentuk badan hukum,
penentuan pemegang saham pengendali dapat dilakukan sampai
dengan pemilik dan pengendali terakhir badan hukum tersebut
(ultimate shareholder).
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengendalian antara lain dibuktikan dengan memiliki
kewenangan dan kemampuan untuk:
1. menyetujui,
mengangkat,
dan/atau
memberhentikan anggota dewan komisaris
dan/atau direksi;
2. memiliki kemampuan untuk menentukan
kebijakan strategis Penyelenggara; dan/atau
3. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki
saham yang apabila digunakan akan menyebabkan
pihak tersebut memiliki dan/atau mengendalikan
saham Penyelenggara.
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Persyaratan integritas meliputi:
1. cakap melakukan perbuatan hukum;
2. memiliki akhlak dan moral yang baik, paling sedikit
ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan,
termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti
melakukan tindak pidana;
3. memiliki komitmen untuk mematuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan dan mendukung
kebijakan Bank Indonesia; dan
4. memiliki komitmen terhadap pengembangan
Penyelenggara yang sehat.
- 16 -
Huruf b
Persyaratan reputasi keuangan paling sedikit dibuktikan
dengan:
1. tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet; dan
2.
tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah
menjadi pemegang saham, anggota direksi, atau
anggota dewan komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit dalam
waktu 5 (lima) tahun terakhir.
Huruf c
Persyaratan kelayakan keuangan paling sedikit dibuktikan
dengan:
1. memiliki reputasi keuangan;
2. memiliki kemampuan keuangan yang dapat
mendukung perkembangan bisnis Penyelenggara; dan
3. memiliki komitmen untuk melakukan upaya yang
diperlukan apabila Penyelenggara menghadapi kesulitan
keuangan.
Ayat (2)
Huruf a
Persyaratan integritas meliputi:
1. cakap melakukan perbuatan hukum;
2. memiliki akhlak dan moral yang baik, paling sedikit
ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan,
termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti
melakukan tindak pidana;
3. memiliki komitmen untuk mematuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan dan mendukung
kebijakan Bank Indonesia; dan
4. memiliki komitmen terhadap pengembangan
Penyelenggara yang sehat.
Huruf b
Persyaratan reputasi keuangan paling sedikit dibuktikan
dengan:
1. tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet; dan
2.
tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah
menjadi pemegang saham, anggota direksi, atau
- 17 -
anggota dewan komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit dalam
waktu 5 (lima) tahun terakhir.
Huruf c
Persyaratan kompetensi paling sedikit meliputi pengetahuan
dan/atau pengalaman yang mendukung penyelenggaraan
Uang Elektronik.
Ayat (3)
Penelitian administratif merupakan tahap untuk menilai
pemenuhan persyaratan integritas, reputasi keuangan,
kompetensi,
dan kelayakan keuangan berdasarkan
penilaian atas presentasi atau pemaparan, analisis dokumen,
maupun hasil klarifikasi kepada pemegang saham pengendali,
anggota direksi, atau anggota dewan komisaris calon
Penyelenggara.
Pasal 29
Huruf a
Termasuk perubahan pemegang saham pengendali, anggota
direksi, dan/atau anggota dewan komisaris Penyelenggara
antara lain penambahan dan/atau penggantian terhadap
pemegang saham pengendali, anggota direksi, dan/atau anggota
dewan komisaris Penyelenggara.
Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan Bank Indonesia
terhadap calon pemegang saham pengendali, calon anggota
direksi, dan/atau calon anggota dewan komisaris Penyelenggara.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
- 18 -
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Contoh:
Setiap pihak tidak dapat menjadi pemegang saham
pengendali pada 2 (dua) entitas yang masing-masing
memiliki izin sebagai Penerbit Uang Elektronik.
Setiap pihak dapat menjadi pemegang saham pengendali
pada 1 (satu) entitas yang telah memperoleh izin sebagai
Penerbit Uang Elektronik dan 1 (satu) entitas lainnya yang
telah memperoleh izin sebagai Acquirer Uang Elektronik.
Setiap pihak dapat menjadi pemegang saham pengendali
pada 1 (satu) entitas yang telah memperoleh izin sebagai
Penerbit Uang Elektronik dan 1 (satu) entitas lainnya yang
telah memperoleh izin sebagai penerbit kartu kredit.
Huruf b
Contoh:
Setiap pihak tidak dapat menjadi pemegang saham
pengendali pada 1 (satu) entitas yang telah memperoleh izin
sebagai Penerbit dan 1 (satu) entitas lainnya yang telah
memperoleh izin sebagai Prinsipal.
Ayat (2)
Badan hukum bukan Bank tidak termasuk badan hukum bukan
Bank yang dimiliki oleh pemerintah.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kegiatan dengan prinsip yang berbeda”
adalah penyelenggaraan kegiatan secara konvensional dan
penyelenggaraan kegiatan berdasarkan prinsip syariah.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 19 -
Ayat (2)
Huruf a
Termasuk dalam hasil pengawasan Bank Indonesia yaitu
pengawasan terhadap kinerja dan perkembangan
penyelenggaraan Uang Elektronik yang paling sedikit berupa:
1. optimalisasi dan perkembangan kegiatan Uang
Elektronik; dan
2. kecukupan penerapan perlindungan konsumen.
Huruf b
Termasuk dalam aksi korporasi yaitu penggabungan,
peleburan, pemisahan, dan/atau pengambilalihan.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Termasuk kebijakan perizinan,
persetujuan, dan/atau
penyelenggaraan Uang Elektronik antara lain berupa
pembatasan perizinan dan pemberian izin atau persetujuan
kegiatan Uang Elektronik dengan memenuhi kondisi
penyelenggaraan tertentu, serta penyesuaian penyelenggaraan
kegiatan Uang Elektronik, termasuk pengelolaan Dana Float.
Pemberian izin atau persetujuan kegiatan Uang Elektronik
dengan memenuhi kondisi penyelenggaraan tertentu antara lain
Bank Indonesia memberikan izin dengan mensyaratkan
Penyelenggara untuk memperluas akses dan/atau infrastruktur
Uang Elektronik pada daerah, wilayah, dan/atau sektor tertentu
yang diprioritaskan bagi pengembangan Uang Elektronik.
Ayat (2)
Huruf a
Pertimbangan menjaga efisiensi nasional dimaksudkan agar
tercipta efisiensi di tingkat industri Uang Elektronik yang
pada gilirannya akan menurunkan biaya penggunaan Uang
Elektronik oleh masyarakat.
- 20 -
Huruf b
Pertimbangan mendukung kebijakan nasional dimaksudkan
agar pertumbuhan industri Uang Elektronik tidak menjadi
penghambat bagi kebijakan nasional yang ditetapkan oleh
pemerintah, Bank Indonesia, dan/atau otoritas terkait.
Huruf c
Pertimbangan menjaga kepentingan publik dimaksudkan
agar industri Uang Elektronik senantiasa memenuhi
kebutuhan masyarakat secara luas dengan akses dan
kualitas yang sama, serta biaya yang terjangkau.
Huruf d
Pertimbangan menjaga pertumbuhan industri dimaksudkan
agar industri dapat tumbuh secara optimal melalui
peningkatan nilai dan volume transaksi pembayaran
nontunai yang ada di masyarakat.
Huruf e
Pertimbangan menjaga persaingan usaha yang sehat
dimaksudkan agar penyelenggaraan Uang Elektronik dapat
dilakukan secara jujur, tidak melawan hukum, atau tidak
menghambat persaingan usaha.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Penerapan manajemen risiko dilakukan dengan memperhatikan
karakteristik dan kompleksitas profil risiko penyelenggaraan
Uang Elektronik.
Huruf a
Pengawasan aktif manajemen antara lain berupa
penetapan akuntabilitas, kebijakan, dan proses
pengendalian untuk mengelola risiko yang mungkin
timbul dari penyelenggaraan Uang Elektronik.
- 21 -
Huruf b
Kecukupan kebijakan dan prosedur serta struktur
organisasi antara lain tersedianya struktur organisasi
yang jelas dan pemisahan tugas atau kewenangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pengendalian intern atas penyelenggaraan Uang
Elektronik antara lain mencakup prosedur dan langkah
pengamanan yang dilakukan dalam penyediaan
layanan bagi Pengguna, audit trail atas transaksi
pembayaran yang diproses, dan prosedur yang
memadai untuk menjamin integritas data dan
informasi, serta langkah untuk melindungi
kerahasiaan data dan informasi Pengguna.
Penerapan manajemen risiko antara lain dilakukan untuk risiko
keuangan.
Penerapan manajemen risiko untuk risiko keuangan bagi
Penerbit antara lain:
a. pembatasan Nilai Uang Elektronik; dan
b. pengelolaan Dana Float.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Pemenuhan sertifikasi dan/atau standar keamanan dan
keandalan sistem memenuhi prinsip:
1. kerahasiaan data (confidentiality);
2. integritas sistem dan data (integrity);
3. otentikasi sistem dan data (authentication);
4. pencegahan terjadinya penyangkalan transaksi yang
telah dilakukan (non-repudiation); dan
5. ketersediaan sistem (availability).
- 22 -
Huruf b
Pemeliharaan dan peningkatan keamanan teknologi antara
lain dilakukan dengan melakukan peningkatan atau
penggantian infrastruktur atau sistem teknologi yang
digunakan dalam hal terjadi penurunan kualitas seperti
sistem dan/atau teknologinya terbukti telah dapat ditembus
oleh fraudster atau rentan terhadap serangan siber.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Security auditor independen dapat berupa security auditor
internal maupun security auditor eksternal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Kanal pembayaran merupakan sarana yang disediakan oleh
Penyelenggara Penunjang dan/atau Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran di Indonesia yang dapat digunakan Pengguna untuk
mengakses Uang Elektronik dalam proses otorisasi transaksi
pembayaran, antara lain melalui penggunaan teknologi baru
seperti quick response (QR) code.
Ayat (2)
Bank yang termasuk dalam kategori bank umum berdasarkan
kegiatan usaha (BUKU) 4 yang melakukan kerja sama
merupakan Bank yang telah memperoleh izin sebagai Acquirer
dalam kegiatan jasa sistem pembayaran atau Bank yang telah
memperoleh persetujuan untuk bekerja sama dengan
- 23 -
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lainnya dalam
penyelenggaraan merchant acquiring services.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Besaran biaya yang diatur antara lain merchant discount rate
(MDR) dan terminal usage fee (TUF).
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 24 -
Ayat (3)
Termasuk transaksi yang bersifat incoming antara lain setoran
awal, transfer dana masuk, dan/atau Pengisian Ulang (Top Up).
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “akun pencatatan Nilai Uang Elektronik”
adalah akun pencatatan yang hanya digunakan oleh Penyedia
Barang dan/atau Jasa untuk menerima pembayaran atas
transaksi barang dan/atau jasa yang disediakan oleh Penyedia
Barang dan/atau Jasa dan tidak dapat digunakan untuk
transaksi yang bersifat outgoing.
Termasuk transaksi yang bersifat outgoing antara lain
pembayaran transaksi pembelanjaan, pembayaran tagihan,
transfer dana, dan/atau tarik tunai.
Pasal 46
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pembayaran transaksi pembelanjaan merupakan fitur dalam
Uang Elektronik yang dapat digunakan oleh Pengguna untuk
melakukan pembayaran atas transaksi pembelian barang
dan/atau jasa dari Penyedia Barang dan/atau Jasa.
Huruf c
Pembayaran tagihan merupakan fitur dalam Uang Elektronik
yang dapat digunakan Pengguna untuk melakukan
pembayaran atas tagihan yang bersifat rutin atau berkala
seperti tagihan listrik, tagihan air, tagihan telepon dan/atau
tagihan lainnya.
Ayat (2)
Huruf a
Fitur transfer dana pada Uang Elektronik terbatas pada
transfer dana yang bersifat outgoing, antara lain:
1.
transfer dari Uang Elektronik Pengguna ke Uang
Elektronik Pengguna lain (person to person); dan
2.
transfer dari Uang Elektronik Pengguna ke rekening
(person to account).
- 25 -
Yang dimaksud dengan “tarik tunai” adalah penarikan tunai
atas Nilai Uang Elektronik yang dapat dilakukan setiap saat
oleh Pengguna terhadap sebagian atau seluruh Nilai Uang
Elektronik.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 47
Pengajuan permohonan izin sebagai penyelenggara transfer dana
dapat diajukan secara bersamaan dengan pengajuan permohonan izin
sebagai Penyelenggara.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Dana Float yang ditempatkan merupakan Dana Float yang
digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada Pengguna
dan Penyedia Barang dan/atau Jasa dalam jangka pendek.
Angka 1
Penempatan pada kas yaitu penempatan pada kas
(cash on hand) Penerbit sendiri.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf b
Surat berharga atau instrumen keuangan yang diterbitkan
oleh pemerintah atau Bank Indonesia antara lain surat
berharga negara (SBN) seri benchmark atau instrumen
moneter Bank Indonesia, yang diterbitkan di dalam negeri
dengan denominasi rupiah.
Ayat (3)
Contoh 1:
Rata-rata bulanan kebutuhan likuiditas Penerbit A yang berupa
Lembaga Selain Bank untuk memenuhi kewajiban kepada
Pengguna dan Penyedia Barang dan/atau Jasa selama 12 (dua
belas) bulan terakhir yaitu sebesar 25% (dua puluh lima persen)
- 26 -
dari nilai Dana Float. Dengan demikian, Penerbit A wajib
menempatkan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari Dana
Float pada giro di Bank yang termasuk dalam kategori bank
umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) 4.
Contoh 2:
Rata-rata bulanan kebutuhan likuiditas Penerbit B yang berupa
Lembaga Selain Bank untuk memenuhi kewajiban kepada
Pengguna dan Penyedia Barang dan/atau Jasa selama 12 (dua
belas) bulan terakhir yaitu sebesar 45% (empat puluh lima
persen) dari total nilai Dana Float. Dengan demikian, Penerbit B
wajib menyesuaikan persentase penempatan Dana Float pada giro
di Bank yang termasuk dalam kategori Bank Umum berdasarkan
Kegiatan Usaha (BUKU) 4 menjadi paling sedikit sebesar 45%
(empat puluh lima persen) dari Dana Float.
Pasal 49
Ayat (1)
Contoh penggunaan Dana Float yang dilarang digunakan untuk
kepentingan lain yaitu penggunaan Dana Float sebagai jaminan
kepada pihak ketiga atau untuk kepentingan operasional
Penerbit.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Dana Float yang ditempatkan pada rekening yang terpisah
dari rekening operasional Penerbit merupakan Dana Float
yang digunakan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek
kepada Pengguna dan Penyedia Barang dan/atau Jasa.
- 27 -
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pertama kali beroperasi” adalah pertama
kali beroperasi setelah memperoleh izin dari Bank Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penggunaan rupiah dalam transaksi Uang Elektronik yang
dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia antara
lain dapat ditunjukkan dengan adanya bukti transaksi dalam
rupiah, seperti yang tercantum dalam sales draft atau bukti
transaksi lainnya.
Pasal 52
Ayat (1)
Huruf a
Biaya pembelian atau penggantian media Uang Elektronik
yaitu pembelian atau penggantian media Uang Elektronik
dengan media penyimpan berupa chip (Uang Elektronik chip
based).
Huruf b
Biaya yang dapat dikenakan meliputi biaya Pengisian Ulang
(Top Up) yang dilakukan melalui kanal pembayaran Penerbit
yang sama (on us) atau yang dilakukan melalui pihak lain
yang bekerja sama dengan Penerbit dan/atau menggunakan
kanal pembayaran pihak lain (off us).
- 28 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh kebijakan mengenai biaya antara lain penetapan jenis dan
besaran biaya yang dapat dikenakan oleh Penerbit.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “mengadministrasikan seluruh
dokumen yang terkait dengan Penyedia Barang dan/atau
Jasa” antara lain menyeleksi dan mencatat identitas
Penyedia Barang dan/atau Jasa.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk dalam pengertian “tindakan yang merugikan”
yaitu tindakan Penyedia Barang dan/atau Jasa yang
merugikan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, dan/atau Pengguna,
antara lain Penyedia Barang dan/atau Jasa diketahui telah
melakukan kerja sama dengan pelaku kejahatan (fraudster),
mengenakan biaya tambahan (surcharge) atas pembayaran
transaksi pembelanjaan kepada Pengguna, dan/atau
penyalahgunaan data dan/atau informasi Pengguna.
Ayat (2)
Kegiatan tukar-menukar informasi antar Penerbit dan/atau
Acquirer tentang Penyedia Barang dan/atau Jasa dapat
ditindaklanjuti dengan mengusulkan nama Penyedia Barang
dan/atau Jasa dalam suatu daftar hitam (merchant black list).
Daftar hitam Penyedia Barang dan/atau Jasa dapat dikelola
antara lain oleh Penerbit dan/atau Acquirer atau asosiasi Penerbit
dan/atau Acquirer.
- 29 -
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Contoh kondisi tertentu yaitu Penyelenggara mengalami permasalahan
keuangan antara lain berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia
menunjukkan bahwa Penyelenggara membutuhkan penguatan
permodalan.
Pasal 61
Ayat (1)
Larangan bagi Penerbit untuk menerbitkan Uang Elektronik
dengan Nilai Uang Elektronik yang lebih besar daripada nilai
uang yang disetorkan oleh Pengguna dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya penerbitan Uang Elektronik dengan
pemotongan harga Uang Elektronik yang berpotensi terhadap
penciptaan uang yang tidak terkendali.
Sebagai contoh bentuk potongan harga Uang Elektronik:
Suatu Uang Elektronik dengan Nilai Uang Elektronik sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) dijual oleh Penerbit melalui
penyetoran uang/dana dari Pengguna kepada Penerbit sebesar
Rp90.000,00 (sembilan puluh ribu rupiah). Di samping itu,
larangan penerbitan Uang Elektronik dengan Nilai Uang
Elektronik yang lebih kecil daripada nilai uang yang disetorkan
- 30 -
oleh Pengguna dimaksudkan untuk melindungi kepentingan
Pengguna.
Contoh:
Nilai Uang Elektronik sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah)
dijual oleh Penerbit melalui penyetoran uang/dana dari Pengguna
kepada Penerbit sebesar Rp110.000,00 (seratus sepuluh ribu
rupiah).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Angka 1
Larangan bagi Penerbit untuk menetapkan minimum
Nilai Uang Elektronik sebagai persyaratan penggunaan
Uang Elektronik, misalnya untuk dapat menggunakan
Uang Elektronik, Penerbit mewajibkan Pengguna untuk
menyetorkan uang pertama kali atau melakukan
Pengisian Ulang (Top Up), sebesar nilai tertentu dan
dalam hal Nilai Uang Elektronik tidak mencapai nilai
tertentu yang ditetapkan Penerbit, Pengguna tidak
dapat menggunakan Uang Elektronik tersebut.
Angka 2
Larangan bagi Penerbit untuk menetapkan minimum
Nilai Uang Elektronik sebagai persyaratan pengakhiran
penggunaan Uang Elektronik (redeem), misalnya
Penerbit mewajibkan Pengguna untuk menyisakan
saldo tertentu dari Nilai Uang Elektronik jika akan
melakukan pengakhiran penggunaan Uang Elektronik.
Huruf b
Menahan atau memblokir Nilai Uang Elektronik, misalnya
suatu Uang Elektronik tidak dapat dipergunakan pada saat
saldonya telah mencapai nilai tertentu yang ditetapkan oleh
Penerbit sebagai batas minimal penggunaan Uang
Elektronik.
- 31 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Ketentuan ini berlaku dalam hal media Uang Elektronik
mempunyai masa berlaku (expiry date). Mengingat dalam
penggantian media penyimpan tersebut terdapat
kemungkinan masih tersimpan Nilai Uang Elektronik dari
Pengguna maka penggantiannya tidak boleh menghapus
atau menghilangkan Nilai Uang Elektronik yang masih
tersisa dan merupakan kewajiban Penerbit atau masih
merupakan milik Pengguna.
Pasal 62
Yang dimaksud dengan “virtual currency” adalah uang digital yang
diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter yang diperoleh dengan
cara mining, pembelian, atau transfer pemberian (reward) antara lain
Bitcoin, BlackCoin, Dash, Dogecoin, Litecoin, Namecoin, Nxt, Peercoin,
Primecoin, Ripple, dan Ven.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengambilalihan” adalah perbuatan
hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang
perseorangan untuk mengambilalih saham Bank atau Lembaga
Selain Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas
Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 32 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cakupan laporan harian antara lain volume transaksi,
nominal transaksi, dan posisi harian jumlah Dana Float.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk laporan tahunan antara lain laporan self
assessment atas sistem informasi yang digunakan
Penyelenggara.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Pengawasan terintegrasi bertujuan untuk:
a. mengidentifikasi dan memitigasi eksposur risiko yang timbul baik
secara langsung dan tidak langsung dari kegiatan perusahaan
induk, perusahaan anak, pihak yang bekerja sama dengan
- 33 -
Penyelenggara, dan/atau pihak terafiliasi lainnya terhadap
kelangsungan penyelenggaraan Uang Elektronik; dan
b. memastikan tetap terpenuhinya aspek kelembagaan dan hukum,
aspek kelayakan bisnis, dan aspek tata kelola, risiko, dan
pengendalian oleh Penyelenggara.
Pengawasan terintegrasi antara Penyelenggara dengan pihak yang
bekerja sama dengan Penyelenggara dan/atau pihak terafiliasi lainnya
diutamakan terhadap pihak yang melakukan kegiatan terkait dengan
bidang sistem pembayaran.
Termasuk pihak terafiliasi lainnya antara lain pihak yang memiliki
hubungan keuangan dengan Penyelenggara.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
- 34 -
Pasal 77
Ayat (1)
Penerapan prinsip syariah antara lain dilakukan pada
pengelolaan Dana Float oleh Penerbit.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan kepemilikan” adalah
apabila Bank yang termasuk dalam kategori bank umum
berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) 4 merupakan pemegang
saham pengendali pada bank umum syariah tersebut.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Yang dimaksud dengan “penyediaan layanan umum” adalah
penyediaan layanan yang diperuntukkan kepada masyarakat seperti
transportasi, listrik, kesehatan, dan pendidikan.
Suatu kerja sama bersifat eksklusif apabila kerja sama tersebut
memenuhi unsur antara lain hanya dilakukan antara penyedia
layanan umum dengan 1 (satu) atau beberapa Penyelenggara sehingga
menghambat masuknya Penyelenggara lain, dan aktivitas pembayaran
layanan umum oleh masyarakat tergantung pada produk Uang
Elektronik tertentu.
Pasal 80
Kerja sama dengan Penyelenggara yaitu kerja sama untuk memproses
transaksi Uang Elektronik dan menyelesaikan pembayaran kepada
Penyedia Barang dan/atau Jasa.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
- 35 -
Pasal 83
Penyesuaian dilakukan antara lain dengan mengajukan pencabutan
salah satu izin yang telah diperoleh guna memastikan bahwa izin yang
dipertahankan dan izin baru yang diajukan berada dalam kelompok
yang sama.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Yang dimaksud dengan “perubahan kepemilikan saham
Penyelenggara” adalah perubahan kepemilikan saham yang dilakukan
oleh pemegang saham pengendali.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6203
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 20/6/PBI/2018 </reg_id>
<reg_title> UANG ELEKTRONIK </reg_title>
<set_date> 3 Mei 2018 </set_date>
<effective_date> 4 Mei 2018 </effective_date>
<issued_date> 4 Mei 2018 </issued_date>
<replaced_reg> '18/17/PBI/2016', '11/12/PBI/2009', '16/8/PBI/2014' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '7/UU/2011', '11/UU/2008', '19/UU/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 6/22/PBI/2004
TENTANG
BANK PERKREDITAN RAKYAT
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional
dan mendukung perkembangan usaha yang bersifat
dinamis, diperlukan perbankan nasional yang tangguh
dan efisien;
b. bahwa sebagai bagian dari perbankan nasional, industri
Bank Perkreditan Rakyat perlu diperkuat agar mampu
berkembang
dan meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat khususnya pengusaha mikro dan pengusaha
kecil;
c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk
mengatur kembali ketentuan kelembagaan
Perkreditan Rakyat dalam Peraturan Bank Indonesia;
Bank
Mengingat…
- 2 -
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BANK
PERKREDITAN RAKYAT.
BAB I…
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional.
2. Bank Perkreditan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS, adalah
Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
3. Bank Umum adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998,
yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan
prinsip syariah;
4. Kantor Cabang adalah kantor BPR yang secara langsung bertanggungjawab
kepada kantor pusat BPR yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha
yang jelas dimana Kantor Cabang tersebut melakukan usahanya.
5. Kantor …
- 4 -
5. Kantor Kas adalah kantor BPR yang melakukan pelayanan kas dalam
rangka membantu kantor induknya, dengan alamat tempat usaha yang jelas
dimana Kantor Kas tersebut melakukan usahanya.
6. Kegiatan Kas di Luar Kantor adalah kegiatan pelayanan kas kepada
masyarakat, antara lain:
a. Kas Mobil atau Kas Terapung yaitu kegiatan kas dengan menggunakan
alat transportasi darat atau air;
b. Payment Point yaitu kegiatan pelayanan pembayaran melalui
kerjasama antara BPR dan pihak lain;
c. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yaitu kegiatan kas yang dilakukan
secara elektronis untuk memudahkan nasabah, antara lain dalam
rangka menarik
atau menyetor secara tunai, atau melakukan
pembayaran melalui pemindahbukuan, dan memperoleh informasi
mengenai saldo atau mutasi rekening nasabah.
7. Direksi:
a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor
1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
8. Komisaris …
- 5 -
8. Komisaris:
a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor
1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
9. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap
kebijakan dan operasional BPR atau perusahaan, dan/atau bertanggung
jawab langsung kepada Direksi, antara lain pemimpin Kantor Cabang.
10. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum, perorangan dan/atau
kelompok usaha yang:
a. memiliki saham perusahaan atau BPR sebesar 25% (dua puluh lima
perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan
mempunyai hak suara; atau
b. memiliki saham perusahaan atau BPR kurang dari 25% (dua puluh lima
perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak
suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian BPR, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Pasal 2 …
- 6 -
Pasal 2
Bentuk hukum suatu BPR dapat berupa :
a.
b.
Perseroan Terbatas;
Koperasi; atau
c. Perusahaan Daerah.
BAB II
PENDIRIAN BPR
Pasal 3
(1) BPR hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin
Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(2) BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia;
b. badan hukum Indonesia yang
Indonesia;
c. Pemerintah Daerah; atau
d. dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan
huruf c.
seluruh pemiliknya warga negara
Pasal 4 …
- 7 -
Pasal 4
(1) Modal disetor untuk mendirikan BPR ditetapkan paling sedikit sebesar:
a. Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) bagi BPR yang didirikan di
wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya;
b. Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) bagi BPR yang didirikan di
ibukota provinsi di pulau Jawa dan Bali dan di wilayah Kabupaten atau
Kotamadya Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi;
c. Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi BPR yang didirikan di
ibukota provinsi di luar pulau Jawa dan Bali dan di wilayah pulau Jawa
dan Bali di luar wilayah sebagaimana disebut dalam huruf a dan huruf
b;
d. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) bagi BPR yang didirikan di
wilayah lain di luar wilayah sebagaimana disebut dalam huruf a, huruf
b dan huruf c.
(2) Modal disetor bagi BPR yang berbentuk hukum Koperasi adalah simpanan
pokok, simpanan wajib, dan hibah sebagaimana diatur dalam undang-
undang tentang perkoperasian.
(3) Paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor BPR wajib
digunakan untuk modal kerja.
BAB III …
- 8 -
BAB III
PERIZINAN BPR
Bagian Pertama
Umum
Pasal 5
Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan dalam
dua tahap:
a.
persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian
BPR;
b.
izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha BPR
setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.
Bagian Kedua
Persetujuan Prinsip
Pasal 6
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf a diajukan paling sedikit oleh seorang calon pemilik
kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan dilampiri:
a. rancangan akta pendirian badan hukum, termasuk rancangan anggaran
dasar yang paling sedikit memuat:
1. nama dan tempat kedudukan;
2. Kegiatan …
- 9 -
2. kegiatan usaha sebagai BPR;
3. permodalan;
4. kepemilikan; dan
5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan anggota Direksi dan
dewan Komisaris;
b. data kepemilikan berupa:
1. daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing-
masing kepemilikan saham bagi BPR yang berbentuk hukum
Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah;
2. daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan
simpanan wajib, serta daftar hibah bagi BPR yang berbentuk hukum
Koperasi;
c. daftar calon anggota Direksi dan dewan Komisaris, disertai dengan:
1.
pasfoto terakhir ukuran 4x6 cm;
2.
fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku;
3. riwayat hidup;
4. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan
tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya
dan/atau tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak
pidana kejahatan dan/atau tidak sedang dalam masa pengenaan
sanksi untuk dilarang menjadi pengurus BPR, BPRS dan/atau Bank
Umum sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai penilaian
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR;
5. surat …
- 10 -
5. surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah
menjadi pemegang saham, anggota direksi atau komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan
pailit berdasarkan ketetapan pengadilan dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan;
6.
fotokopi ijazah D-3 atau Sarjana Muda atau transkrip nilai telah
menyelesaikan 110 SKS dalam pendidikan S-1 yang dilegalisasi
oleh lembaga yang berwenang, bagi calon anggota Direksi;
7.
surat keterangan atau bukti tertulis dari bank tempat bekerja
sebelumnya mengenai pengalaman operasional di bidang
perbankan bagi calon anggota Direksi yang telah berpengalaman;
8. surat pernyataan dari calon anggota Direksi bahwa yang
bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1);
9.
surat pernyataan dari calon anggota Direksi mengenai kesediaan
untuk tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2);
10. sertifikat kelulusan dari lembaga sertifikasi bagi calon anggota
Direksi;
11. surat keterangan atau bukti tertulis mengenai pendidikan di bidang
perbankan yang pernah diikuti bagi calon anggota Direksi dan
dewan Komisaris yang belum berpengalaman, dari instansi yang
berwenang dan/atau lembaga pendidikan;
12. surat …
- 11 -
12. surat keterangan atau bukti tertulis mengenai pengalaman di bidang
perbankan bagi calon anggota dewan Komisaris yang
berpengalaman, dari bank tempat bekerja sebelumnya;
telah
13. surat pernyataan dari calon anggota dewan Komisaris mengenai
kesediaan untuk tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4);
14. surat pernyataan dari calon anggota dewan Komisaris mengenai
kesediaan untuk mempresentasikan hasil pengawasan terhadap
BPR kepada Bank Indonesia; dan
15. surat pernyataan dari calon anggota Direksi bahwa yang
bersangkutan bersedia menjadi anggota Direksi paling singkat
selama 3 (tiga) tahun sejak BPR beroperasi dan tidak akan
mengundurkan diri, kecuali mendapat persetujuan terlebih dahulu
dari Bank Indonesia;
d. rencana struktur organisasi dan jumlah personalia;
e. analisis atas potensi dan kelayakan pendirian BPR, yang meliputi
penilaian terhadap:
1. aspek demografi dan ekonomi wilayah;
2. jumlah dan pertumbuhan lembaga perbankan, termasuk lembaga
keuangan mikro;
3. rencana kegiatan usaha yang mencakup sumber dana dan
penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan
dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud;
4. proyeksi …
- 12 -
4. proyeksi keuangan secara bulanan untuk tahun pertama dan
secara tahunan untuk dua tahun berikutnya, sejak BPR melakukan
kegiatan operasional; dan
f.
5. perencanaan sumber daya manusia;
rencana sistem dan prosedur kerja;
g. bukti setoran modal paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dari
modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dalam
bentuk fotokopi bilyet deposito pada Bank Umum di Indonesia, atas
nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia q.q. salah seorang calon
pemilik
untuk
pendirian BPR yang bersangkutan” dengan
mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan
setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank
Indonesia; dan
h. surat pernyataan dari calon pemegang saham bagi BPR yang berbentuk
hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah atau dari calon
anggota bagi BPR yang berbentuk hukum Koperasi, bahwa setoran
modal sebagaimana dimaksud dalam huruf g:
1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk
apapun dari bank dan/atau pihak lain, dan
2. tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang.
(2) Daftar calon pemegang saham atau calon anggota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b:
a. dalam …
- 13 -
a. dalam hal perorangan wajib dilampiri dengan:
1. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1
sampai dengan angka 5; dan
2. surat pernyataan dari calon Pemegang Saham Pengendali yang
menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan dan
likuiditas yang dihadapi BPR dalam menjalankan kegiatan
usahanya;
b. dalam hal badan hukum wajib dilampiri dengan:
1. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar berikut
perubahan-perubahan yang
telah mendapat pengesahan dari
instansi yang berwenang;
2. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1
sampai dengan angka 5, dari seluruh anggota Direksi dan dewan
Komisaris badan hukum yang bersangkutan;
3. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing
kepemilikan saham bagi badan hukum Perseroan Terbatas atau
Perusahaan Daerah, atau susunan pengurus dan rekapitulasi
simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar hibah bagi badan
hukum Koperasi;
4. laporan keuangan posisi akhir bulan sebelum tanggal pengajuan
permohonan persetujuan prinsip;
5. laporan …
- 14 -
5. laporan keuangan badan hukum yang diaudit oleh Akuntan Publik
dengan posisi paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal
pengajuan permohonan persetujuan prinsip, bagi badan hukum
yang melakukan penyertaan sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) atau lebih, kecuali bagi Pemerintah Daerah;
6. surat pernyataan dari pengurus badan hukum yang menyatakan
kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas
yang dihadapi BPR dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam
hal badan hukum tersebut merupakan calon Pemegang Saham
Pengendali BPR;
7. surat pernyataan dari Pemegang Saham Pengendali dari calon
Pemegang Saham Pengendali yang menyatakan kesediaan untuk
mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi BPR
dalam menjalankan kegiatan usahanya;
8. seluruh struktur kelompok usaha yang terkait dengan BPR dan
badan hukum pengendali BPR sampai dengan pemilik terakhir
(ultimate shareholder), kecuali bagi Pemerintah Daerah; dan
9. surat pernyataan dari pengurus badan hukum yang menyatakan
bahwa yang bersangkutan telah menyampaikan informasi secara
benar dan lengkap mengenai struktur kelompok usaha BPR sampai
dengan pemilik
terakhir, dalam hal badan hukum tersebut
merupakan calon Pemegang Saham Pengendali BPR.
Pasal 7 …
- 15 -
Pasal 7
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip diberikan
paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak permohonan diterima secara
lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan
persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. penilaian kemampuan dan kepatutan melalui penelitian administratif dan
wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota
Direksi dan dewan Komisaris, sesuai dengan ketentuan mengenai
penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR; dan
c. penilaian terhadap analisis atas potensi dan kelayakan pendirian BPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak-pihak yang
mengajukan permohonan pendirian BPR wajib melakukan presentasi
kepada Bank Indonesia mengenai analisis atas potensi dan kelayakan
pendirian BPR.
Pasal 8
(1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) berlaku
untuk jangka waktu 360 (tiga ratus enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
persetujuan prinsip diberikan, dan tidak dapat diperpanjang.
(2) Pihak …
- 16 -
(2) Pihak yang mendapat persetujuan prinsip dilarang melakukan kegiatan
usaha sebelum mendapat izin usaha.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) calon
pemilik BPR belum mengajukan permohonan izin usaha kepada Bank
Indonesia maka persetujuan prinsip yang telah diberikan dinyatakan tidak
berlaku.
Bagian Ketiga
Izin Usaha
Pasal 9
Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 huruf b diajukan oleh BPR kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib
dilampiri dengan:
a. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar badan hukum
yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang;
b. data kepemilikan berupa:
1. daftar pemegang
saham berikut rincian besarnya masing-masing
kepemilikan saham bagi BPR yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas
atau Perusahaan Daerah; atau
2. daftar anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan
wajib serta daftar hibah bagi BPR yang berbentuk hukum Koperasi,
yang masing-masing disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2), dalam hal terjadi perubahan;
c. daftar …
- 17 -
c. daftar susunan calon anggota Direksi dan dewan Komisaris disertai dengan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dalam hal
terjadi perubahan;
d. susunan organisasi serta sistem dan prosedur kerja, termasuk susunan
personalia;
e. bukti pelunasan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1), dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada Bank Umum di Indonesia
atas nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia q.q. salah seorang pemilik
untuk pendirian BPR yang
bersangkutan” dengan mencantumkan
keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat
persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia.
f.
surat pernyataan dari pemegang saham bagi BPR yang berbentuk hukum
Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah atau dari anggota bagi BPR
yang berbentuk hukum Koperasi, bahwa setoran modal sebagaimana
dimaksud dalam huruf e:
1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk
apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan
2. tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang; dan
g. bukti kesiapan operasional antara lain berupa:
1. daftar aktiva tetap dan inventaris;
2. bukti penguasaan gedung berupa bukti kepemilikan atau perjanjian
sewa-menyewa gedung kantor yang didukung oleh bukti kepemilikan
dari pihak yang menyewakan;
3. foto …
- 18 -
3. foto gedung kantor dan tata letak ruangan;
4. contoh formulir/ warkat yang akan digunakan untuk operasional BPR;
5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Pasal 10
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha diberikan paling
lambat 60 (enam puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan
persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. penilaian kemampuan dan kepatutan yang meliputi penelitian
administratif dan wawancara terhadap calon Pemegang
Saham
Pengendali, calon anggota Direksi dan dewan Komisaris sesuai dengan
ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper
test) BPR, dalam hal terdapat penggantian atas calon yang diajukan
sebelumnya.
Pasal 11
(1) BPR yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia wajib melakukan
kegiatan usaha paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
izin usaha diberikan.
(2) Kegiatan …
- 19 -
(2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan
kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal
dimulainya kegiatan usaha, dengan melampirkan Tanda Daftar Perusahaan.
(3) Dalam hal BPR belum melakukan kegiatan usaha dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), izin usaha yang telah diberikan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 12
BPR yang telah mendapat izin usaha dari Dewan Gubernur Bank Indonesia wajib
mencantumkan kata “Bank Perkreditan Rakyat” atau disingkat “BPR” di depan
nama BPR, sesuai dengan anggaran dasar BPR.
BAB IV
KEPEMILIKAN DAN PERUBAHAN MODAL BPR
Pasal 13
(1) Kepemilikan BPR oleh badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) huruf b paling tinggi sebesar modal sendiri bersih badan hukum
yang bersangkutan dan tidak melebihi jumlah yang diperkenankan bagi
badan hukum tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
(2) Modal …
- 20 -
(2) Modal sendiri bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan dan laba dikurangi
penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum Perseroan Terbatas atau
Perusahaan Daerah;
b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, modal
penyertaan, dana cadangan dan sisa hasil usaha dikurangi penyertaan
dan kerugian, bagi badan hukum Koperasi;
c. penjumlahan sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat, wakaf, dan
hibah yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar dan/atau peraturan
perundangan yang berlaku, bagi badan hukum yayasan.
Pasal 14
Sumber dana yang digunakan untuk kepemilikan BPR dilarang:
a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari
bank dan/atau pihak lain, kecuali berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD); dan
b. berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang.
Pasal 15
(1) Yang dapat menjadi pemilik BPR adalah pihak-pihak yang :
a. tidak
termasuk
dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi
pemegang saham dan/atau pengurus Bank Umum, BPR dan/atau BPRS
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b. menurut …
- 21 -
b. menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki
integritas, antara lain:
1. memiliki akhlak dan moral yang baik;
2. bersedia mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
3. bersedia mengembangkan operasional BPR yang sehat.
(2) Bagi Pemegang Saham Pengendali, selain wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga wajib memenuhi persyaratan
kelayakan keuangan
sesuai
dengan ketentuan mengenai
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR.
Pasal 16
(1) Perubahan kepemilikan karena pengalihan saham yang mengakibatkan
perubahan dan/atau mengakibatkan terjadinya Pemegang Saham Pengendali
BPR, wajib mendapat persetujuan Bank Indonesia terlebih dahulu dan
tunduk kepada tata cara penggantian dan/atau penambahan pemilik BPR
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Permohonan persetujuan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan dilampiri
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan huruf c
angka 1 sampai dengan angka 5.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan kepemilikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak dokumen diterima secara lengkap.
(4) BPR …
penilaian
- 22 -
(4) BPR wajib menyelenggarakan rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota untuk mengesahkan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal
persetujuan Bank Indonesia.
(5) Dalam hal rapat umum pemegang saham atau rapat anggota sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tidak dapat diselenggarakan dalam waktu yang
ditentukan, persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dinyatakan tidak berlaku.
(6) Pelaksanaan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari
setelah perubahan, dengan dilampiri:
a. bukti penyetoran;
b. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota;
c. perubahan anggaran dasar yang telah dinotariilkan;
d. bukti pelaporan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam
huruf c kepada instansi yang berwenang;
e. surat pernyataan dari pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf h; dan
f. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b.
Pasal 17
(1) Rencana penggantian dan/atau penambahan pemilik
yang
tidak
mengakibatkan perubahan Pemegang Saham Pengendali BPR, wajib
terlebih …
- 23 -
terlebih dahulu dilaporkan kepada Bank Indonesia, dengan dilampiri
dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b dan huruf c
angka 1 sampai dengan angka 5.
(2) Persetujuan atas rencana penggantian dan/atau penambahan pemilik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak dokumen diterima secara lengkap.
(3) BPR wajib menyelenggarakan rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota untuk mengesahkan penggantian dan/atau penambahan pemilik
yang telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal
persetujuan Bank Indonesia.
(4) Dalam hal rapat umum pemegang saham atau rapat anggota sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak dapat diselenggarakan dalam waktu yang
ditentukan, persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dinyatakan tidak berlaku.
(5) Penggantian dan/atau penambahan pemilik sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10
(sepuluh) hari sejak pelaksanaan penggantian dan/atau penambahan, dengan
dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6).
Pasal 18
(1) Perubahan komposisi kepemilikan BPR yang tidak mengakibatkan
penggantian dan/atau penambahan Pemegang Saham Pengendali wajib
dilaporkan …
- 24 -
dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak
perubahan dilakukan.
(2) Perubahan komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang diakibatkan adanya penambahan modal disetor dilaporkan kepada
Bank Indonesia dengan dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (6).
(3) Perubahan komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang tidak mengakibatkan perubahan modal disetor dilaporkan kepada
Bank Indonesia dengan dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (6) huruf b, huruf c, huruf d dan huruf f.
Pasal 19
(1) Jumlah modal disetor BPR setelah perubahan kepemilikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17 dan Pasal 18 wajib mengacu kepada
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).
(2) Dalam rangka menjaga kecukupan modal kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3), BPR wajib menjaga agar jumlah aktiva tetap dan
inventaris paling banyak 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor.
Pasal 20
(1) Perubahan modal dasar wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling
lambat 10 (sepuluh) hari sejak BPR menerima surat persetujuan perubahan
anggaran dasar dari instansi yang berwenang, dilampiri dengan:
a. risalah …
- 25 -
a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; dan
b. perubahan anggaran dasar yang disetujui oleh instansi yang berwenang.
(2) BPR wajib mengadministrasikan dengan tertib :
a. daftar pemegang saham dan perubahannya, bagi BPR yang berbentuk
hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah;
b. buku daftar anggota dan perubahannya, bagi BPR yang berbentuk
hukum Koperasi.
BAB V
ANGGOTA DIREKSI, DEWAN KOMISARIS
DAN PEJABAT EKSEKUTIF
Pasal 21
(1) Anggota Direksi dan dewan Komisaris wajib memenuhi persyaratan:
a. kompetensi;
b. integritas; dan
c. reputasi keuangan
(2) Pemenuhan persyaratan bagi
anggota Direksi dan dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR.
Pasal 22 …
- 26 -
Pasal 22
(1) Anggota Direksi paling sedikit berjumlah 2 (dua) orang.
(2) Anggota Direksi berpendidikan formal paling rendah setingkat D-3 atau
Sarjana Muda atau telah menyelesaikan minimal 110 SKS dalam
pendidikan S-1.
(3) Paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari anggota Direksi wajib
memiliki pengalaman sebagai pejabat di bidang operasional perbankan
paling singkat selama 2 (dua) tahun.
Pasal 23
Anggota Direksi wajib memiliki sertifikat kelulusan dari lembaga sertifikasi.
Pasal 24
(1) Anggota Direksi dilarang mempunyai hubungan keluarga dengan:
a. anggota Direksi lainnya dalam hubungan sebagai orangtua, anak,
mertua, menantu, suami, istri, saudara kandung atau ipar; dan/atau
b. anggota dewan Komisaris dalam hubungan sebagai orangtua, anak,
mertua, menantu, suami, istri atau saudara kandung.
(2) Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi atau
Pejabat Eksekutif pada lembaga perbankan, perusahaan atau lembaga lain.
(3) Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum yang mengakibatkan
pengalihan tugas dan wewenang tanpa batas.
Pasal 25 …
- 27 -
Pasal 25
(1) Anggota dewan Komisaris paling sedikit berjumlah 2 (dua) orang.
(2) Paling sedikit 50 % (lima puluh perseratus) anggota dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki pengetahuan dan/atau
pengalaman di bidang perbankan.
(3) Anggota dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai
komisaris paling banyak pada 2 (dua) BPR atau BPRS lain atau pada 1
(satu) Bank Umum.
(4) Anggota dewan Komisaris dilarang merangkap jabatan sebagai anggota
Direksi pada BPR, BPRS dan/atau Bank Umum.
(5) Paling sedikit 1 (satu) orang anggota dewan Komisaris yang memiliki
pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang perbankan wajib berdomisili
dekat dengan tempat kedudukan BPR.
(6) Dalam hal diperlukan oleh Bank Indonesia, anggota dewan Komisaris wajib
mempresentasikan hasil pengawasan terhadap BPR.
Pasal 26
Dalam hal terjadi benturan kepentingan, anggota Direksi, dewan Komisaris dan
Pejabat Eksekutif dilarang mengambil keputusan.
Pasal 27 …
- 28 -
Pasal 27
(1) Dalam hal terjadi penggantian dan/atau perpanjangan masa jabatan anggota
Direksi dan/atau dewan Komisaris, calon anggota Direksi dan/atau dewan
Komisaris wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum
diangkat dan menduduki jabatannya.
(2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disampaikan oleh anggota Direksi kepada Bank Indonesia
sebelum
rapat umum pemegang
mengesahkan penggantian dan/atau perpanjangan masa jabatan dimaksud,
disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf c angka 1 sampai dengan angka 14.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan penggantian dan/atau
perpanjangan masa jabatan anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris
diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima
secara lengkap.
(4) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia melakukan penilaian sesuai dengan
ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper
test) BPR.
Pasal 28
(1) BPR wajib menyelenggarakan rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota untuk mengangkat anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris
paling …
saham atau rapat anggota yang
- 29 -
paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal persetujuan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1)
(2) Pengangkatan anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris wajib dilaporkan
kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak pengangkatan
disertai dengan risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota.
(3) Risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib disertai dengan perubahan anggaran dasar
yang telah dinotariilkan, bukti pelaporan perubahan anggaran dasar kepada
instansi yang berwenang dan susunan pengurus BPR terakhir.
(4) Dalam hal rapat umum pemegang saham atau rapat anggota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak terselenggara dalam waktu yang ditentukan,
persetujuan Bank Indonesia terhadap calon anggota Direksi dan/atau dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 29
(1) Pengangkatan atau penggantian Pejabat Eksekutif wajib dilaporkan kepada
Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pengangkatan
dengan dilampiri:
a. surat pengangkatan, dan khusus bagi Pemimpin Cabang disertai dengan
surat kuasa dari anggota Direksi BPR;
b. pasfoto terakhir ukuran 4x6 cm;
c. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku;
d. riwayat …
- 30 -
d. riwayat hidup; dan
e. contoh tandatangan dan paraf.
(2) Apabila berdasarkan penilaian dan penelitian Bank Indonesia, Pejabat
Eksekutif termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi
pemegang
Eksekutif BPR, BPRS
saham, Pemegang Saham Pengendali, pengurus, Pejabat
dan/atau Bank Umum maka BPR wajib
memberhentikan yang bersangkutan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia.
(3) Pemberhentian Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari
sejak tanggal pemberhentian.
BAB VI
PEMBUKAAN KANTOR BPR
Bagian Pertama
Pembukaan Kantor Cabang
Pasal 30
(1) BPR hanya dapat membuka Kantor Cabang di wilayah provinsi yang sama
dengan kantor pusatnya.
(2) Pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
(3) Wilayah …
- 31 -
(3) Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan Kabupaten atau
Kotamadya Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Karawang ditetapkan
sebagai satu wilayah provinsi untuk keperluan pembukaan Kantor Cabang.
(4) Sebagai konsekuensi dari penetapan wilayah sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) maka:
a. BPR di Provinsi Jawa Barat di luar Kabupaten atau Kotamadya Bogor,
Depok, Bekasi dan Karawang tidak dapat membuka Kantor Cabang di
Kabupaten atau Kotamadya Bogor, Depok, Bekasi dan Karawang;
b. BPR di Provinsi Banten di luar Kabupaten atau Kotamadya Tangerang
tidak dapat membuka Kantor Cabang di Kabupaten atau Kotamadya
Tangerang.
Pasal 31
(1) BPR yang akan membuka Kantor Cabang wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. rencana pembukaan Kantor Cabang telah dicantumkan dalam rencana
kerja tahunan BPR;
b. telah memenuhi modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1);
c. selama 12 (dua belas) bulan terakhir memiliki
tergolong sehat; dan
tingkat kesehatan
d. selama 3 (tiga) bulan terakhir memiliki rasio kewajiban penyediaan
modal minimum (CAR) minimal 15 % (lima belas perseratus).
(2) BPR …
- 32 -
(2) BPR hanya dapat membuka 1 (satu) Kantor Cabang dalam kurun waktu 1
(satu) tahun sejak memperoleh izin pembukaan Kantor Cabang.
(3) BPR dari wilayah persyaratan modal disetor lebih rendah dapat membuka
Kantor Cabang di wilayah dengan persyaratan modal disetor lebih tinggi
sepanjang BPR memenuhi persyaratan modal disetor di wilayah dimana
Kantor Cabang akan didirikan.
(4) BPR dari wilayah persyaratan modal disetor lebih tinggi yang membuka
Kantor Cabang di wilayah dengan persyaratan modal disetor sama atau
lebih rendah:
a. wajib mempertahankan modal disetor yang telah ada apabila jumlahnya
telah memenuhi persyaratan modal disetor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1); atau
b. wajib memenuhi persyaratan modal disetor apabila belum memenuhi
persyaratan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1).
Pasal 32
Izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2)
diberikan dalam dua tahap:
a. persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang, yaitu persetujuan untuk
melakukan persiapan pembukaan Kantor Cabang;
b.
izin operasional Kantor Cabang, yaitu izin membuka Kantor Cabang setelah
persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.
Pasal 33 …
- 33 -
Pasal 33
Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf a diajukan oleh BPR kepada Bank
Indonesia dengan dilampiri analisis atas potensi dan kelayakan pembukaan
Kantor Cabang, dengan merujuk kepada Pasal 6 ayat (1) huruf e.
Pasal 34
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip
pembukaan Kantor Cabang diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. penilaian terhadap analisis atas potensi dan kelayakan pembukaan
Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
Pasal 35
(1) Persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 huruf a berlaku selama 120 (seratus dua puluh) hari
terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang.
(2) Dalam ….
- 34 -
(2) Dalam hal BPR belum mengajukan permohonan izin operasional Kantor
Cabang kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang yang
diberikan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 36
(1) Permohonan untuk memperoleh izin operasional Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf b diajukan oleh BPR dengan
dilampiri bukti kesiapan operasional dalam rangka pembukaan Kantor
Cabang.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin operasional Kantor
Cabang diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan
diterima secara lengkap.
(3) Dalam rangka memberikan
persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan penelitian atas kesiapan
operasional BPR dalam rangka pembukaan Kantor Cabang.
Pasal 37
(1) BPR yang memperoleh izin operasional Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 huruf b wajib melakukan kegiatan usaha pada
Kantor Cabang dimaksud paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
izin diberikan.
(2) Pelaksanaan ….
- 35 -
(2) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari
sejak tanggal pembukaan.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) BPR
belum melakukan kegiatan usaha pada Kantor Cabang, izin operasional
Kantor Cabang yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku.
Bagian Kedua
Pembukaan Kantor Kas
Pasal 38
(1) Pembukaan Kantor Kas hanya dapat dilakukan dalam satu wilayah
Kabupaten atau Kotamadya dengan kantor BPR yang menjadi kantor
induknya.
(2) BPR yang akan membuka Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. rencana pembukaan Kantor Kas telah dicantumkan dalam rencana kerja
tahunan BPR; dan
b. tingkat kesehatan selama 12 (dua belas) bulan terakhir paling rendah
tergolong cukup sehat.
Pasal 39
(1) BPR wajib mengajukan rencana pembukaan Kantor Kas kepada Bank
Indonesia.
(2) Bank ….
- 36 -
(2) Bank Indonesia memberikan penegasan terhadap rencana pembukaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak menerima pengajuan rencana pembukaan Kantor Kas.
(3) Pembukaan Kantor Kas wajib dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal penegasan dari Bank Indonesia.
(4) Dalam hal BPR tidak melaksanakan pembukaan Kantor Kas dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penegasan pembukaan Kantor
Kas yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku.
(5) Pelaksanaan pembukaan Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh puluh)
hari sejak tanggal pembukaan.
Bagian Ketiga
Kegiatan Kas di Luar Kantor
Pasal 40
(1) Kegiatan Kas di Luar Kantor hanya dapat dilakukan dalam wilayah
kabupaten atau kotamadya yang sama dengan kantor induknya.
(2) Rencana Kegiatan Kas di Luar Kantor wajib dicantumkan dalam rencana
kerja tahunan BPR.
(3) Kegiatan Kas di Luar Kantor wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia
paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pelaksanaan kegiatan.
Pasal 41 ….
- 37 -
Pasal 41
Laporan keuangan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di Luar Kantor wajib
digabungkan dengan laporan keuangan kantor induk pada hari yang sama.
BAB VII
PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR
Pasal 42
(1) Pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang wajib memperoleh
persetujuan Bank Indonesia.
(2) Permohonan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1):
a. ke wilayah lain dengan persyaratan modal disetor lebih tinggi, wajib
memenuhi persyaratan modal disetor di wilayah yang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
dituju
b. ke wilayah lain dengan persyaratan modal disetor sama atau lebih
rendah, wajib mempertahankan modal disetor apabila jumlahnya telah
memenuhi persyaratan modal disetor di wilayah yang dituju atau wajib
memenuhi persyaratan modal disetor di wilayah yang dituju apabila
jumlahnya belum memenuhi persyaratan modal disetor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Pasal 43
Pemberian izin pemindahan alamat kantor dilakukan dalam dua tahap :
a. persetujuan ….
- 38 -
a. persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor, yaitu persetujuan untuk
melakukan persiapan pemindahan alamat kantor;
b. izin efektif pemindahan alamat kantor, yaitu izin pindah alamat kantor
setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.
Pasal 44
(1) Persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 huruf a hanya diberlakukan bagi pemindahan alamat kantor
ke luar wilayah kabupaten, kotamadya atau provinsi.
(2) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip pemindahan alamat
kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Bank
Indonesia dengan dilampiri:
a. alasan pemindahan alamat kantor dan rencana penyelesaian atau
pengalihan tagihan dan kewajiban; dan
b. analisis atas potensi dan kelayakan pemindahan alamat kantor, dengan
merujuk kepada Pasal 6 ayat (1) huruf e.
Pasal 45
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip
pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2)
diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima
secara lengkap.
(2) Dalam ….
- 39 -
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf a; dan
b. penilaian terhadap analisis atas potensi dan kelayakan pemindahan
alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf b.
Pasal 46
(1) Persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 huruf a berlaku untuk jangka waktu 180 (seratus delapan
puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan Bank Indonesia.
(2) BPR dilarang melakukan pemindahan alamat kantor sebelum mendapat izin
efektif pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
huruf b.
(3) Dalam hal BPR belum mengajukan permohonan izin efektif pemindahan
alamat kantor dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor yang
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 47
Permohonan untuk mendapatkan izin efektif pemindahan alamat kantor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf b diajukan kepada Bank Indonesia
dengan dilampiri:
a. bukti ….
telah diberikan
- 40 -
a. bukti pengumuman kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 ayat (1) dan bukti kesiapan kantor termasuk sarananya, bagi BPR yang
akan melakukan pemindahan alamat kantor keluar wilayah kabupaten,
kotamadya atau provinsi;
b. bukti pengumuman kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 ayat (1), alasan pemindahan alamat kantor, rencana penyelesaian atau
pengalihan tagihan dan kewajiban serta bukti kesiapan kantor termasuk
sarananya, bagi BPR yang akan melakukan pemindahan alamat kantor
dalam satu kabupaten atau kotamadya.
Pasal 48
(1) BPR wajib mengumumkan kepada masyarakat di tempat kedudukan BPR
dalam surat kabar harian setempat atau di papan pengumuman kantor
Kecamatan setempat mengenai rencana pemindahan alamat kantor, paling
lambat 10 (sepuluh) hari sebelum mengajukan permohonan izin efektif
pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 kepada
Bank Indonesia.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
izin efektif pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47, Bank Indonesia melakukan penelitian atas kebenaran dan kelengkapan
dokumen.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin efektif pemindahan alamat
kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat:
a. 30 (tiga puluh) ….
- 41 -
a. 30 (tiga puluh) hari bagi BPR yang akan melakukan pemindahan alamat
kantor dalam 1 (satu) kabupaten atau kotamadya; atau
b. 60 (enam puluh) hari bagi BPR yang akan melakukan pemindahan
alamat kantor keluar wilayah kabupaten, kotamadya atau provinsi,
sejak permohonan diterima secara lengkap.
(4) Pemindahan alamat kantor dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal izin efektif pemindahan alamat kantor dari Bank Indonesia.
(5) Dalam hal BPR tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), izin efektif pemindahan
alamat kantor yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku.
(6) Pemindahan alamat kantor wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling
lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pelaksanaan pemindahan alamat
kantor.
Pasal 49
(1) Pemindahan alamat Kantor Kas wajib dilaporkan terlebih dahulu kepada
Bank Indonesia dengan menjelaskan alasan pemindahan dan kesiapan
Kantor Kas.
(2) Pemindahan alamat Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan setelah BPR memperoleh surat penegasan dari Bank
Indonesia.
(3) Penegasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat 15
(lima belas) hari sejak Bank Indonesia menerima laporan pemindahan
alamat Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pemindahan….
- 42 -
(4) Pemindahan alamat Kantor Kas dilaporkan kepada Bank Indonesia paling
lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pemindahan.
Pasal 50
Pemindahan Kegiatan Kas di Luar Kantor wajib dilaporkan kepada Bank
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pemindahan.
BAB VIII
NAMA DAN BENTUK BADAN HUKUM
Bagian Pertama
Nama dan Perubahan Nama
Pasal 51
(1) Nama dan perubahan nama wajib dilakukan dengan memenuhi ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Permohonan perubahan nama diajukan kepada instansi yang berwenang
dengan tembusan kepada Bank Indonesia.
(3) BPR yang telah memperoleh persetujuan perubahan nama dari instansi yang
berwenang
wajib mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia
mengenai penetapan penggunaan izin usaha yang dimiliki BPR dengan
nama yang baru.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak persetujuan perubahan nama dan disertai dengan:
a. alasan ….
- 43 -
a. alasan perubahan nama; dan
b. akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi
berwenang.
(5) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), Bank
Indonesia memberikan persetujuan tentang perubahan nama BPR paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap.
(6) Pelaksanaan perubahan nama BPR wajib diumumkan kepada masyarakat
dalam surat kabar harian setempat atau di papan pengumuman kantor
Kecamatan setempat, paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal
pemberian persetujuan dari Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Perubahan Bentuk Badan Hukum BPR
Pasal 52
(1) Perubahan bentuk badan hukum BPR dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan Bank Indonesia.
(2) Pemberian persetujuan perubahan bentuk badan hukum BPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam dua tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
perubahan bentuk badan hukum BPR;
b. persetujuan ….
- 44 -
b. persetujuan pengalihan izin usaha, yaitu persetujuan yang diberikan
untuk mengalihkan izin usaha dari badan hukum lama kepada badan
hukum baru.
Pasal 53
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip perubahan bentuk
badan hukum BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a
diajukan kepada Bank Indonesia sebelum dilakukan rapat umum pemegang
saham atau rapat anggota untuk memutuskan perubahan bentuk badan
hukum BPR, dan wajib dilampiri dengan:
a. alasan perubahan bentuk badan hukum BPR;
b. rancangan akta pendirian badan hukum baru termasuk anggaran dasar;
c. rencana pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama
kepada badan hukum baru;
d. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c angka 1
sampai dengan angka 14; dan
e. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap.
(3) Dalam rangka memberikan
persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. penilaian ….
- 45 -
b. penilaian terhadap calon pemegang saham, anggota Direksi dan/atau
dewan Komisaris sesuai ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan (fit and proper test) BPR, dalam hal terjadi penggantian atau
perubahan.
(4) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama
180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal persetujuan.
(5) Dalam hal BPR tidak mengajukan permohonan pengalihan izin usaha dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), persetujuan prinsip
yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 54
(1) Permohonan untuk mengalihkan izin usaha BPR dari badan hukum lama
kepada badan hukum baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2)
huruf b, diajukan kepada Bank Indonesia dan wajib dilampiri dengan :
a. akta pendirian badan hukum baru termasuk anggaran dasar yang telah
disahkan oleh instansi berwenang;
b. daftar calon anggota dewan Komisaris dan Direksi disertai dengan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c
angka 1 sampai dengan angka 14, dalam hal terjadi penggantian;
c. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b,
dalam hal terjadi perubahan;
d. akta berita acara pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan
hukum lama kepada badan hukum baru; dan
e. risalah ….
- 46 -
e. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota badan hukum
lama yang menyetujui perubahan bentuk hukum dan pembubaran badan
hukum lama.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan pengalihan izin usaha dari
badan hukum lama kepada badan hukum baru diberikan paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap.
(3) Dalam rangka memberikan
persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia melakukan :
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. penilaian terhadap calon anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris
dan/atau pemilik sesuai ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan (fit and proper test) BPR, dalam hal terjadi penggantian atau
perubahan.
Pasal 55
(1) Pembubaran badan hukum lama hanya dapat dilakukan setelah:
a. Bank Indonesia memberikan persetujuan pengalihan izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b; dan
b. pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada
badan hukum baru dilaksanakan sesuai dengan akta berita acara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf d.
(2) Pelaksanaan perubahan bentuk badan hukum BPR wajib diumumkan
kepada masyarakat di tempat kedudukan BPR dalam surat kabar harian
setempat atau di papan pengumuman kantor Kecamatan setempat, paling
lambat ….
- 47 -
lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal pemberian persetujuan dari Bank
Indonesia.
BAB IX
PENUTUPAN KANTOR
Pasal 56
(1) Penutupan Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Bank
Indonesia.
(2) Permohonan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diajukan kepada Bank Indonesia disertai dengan alasan penutupan dan
penyelesaian seluruh kewajiban kepada nasabah serta pihak-pihak lain.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan penutupan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat 15 (lima
belas) hari setelah:
a. permohonan diterima secara lengkap; dan
b. berdasarkan hasil pemeriksaan, seluruh kewajiban telah diselesaikan.
(4) Penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diumumkan kepada masyarakat di tempat kedudukan kantor BPR dalam
surat kabar harian setempat atau di papan pengumuman kantor Kecamatan
setempat, paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal persetujuan dari
Bank Indonesia.
(5) Pelaksanaan penutupan Kantor Cabang yang telah mendapat persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilaporkan kepada Bank
Indonesia ….
- 48 -
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal penutupan, disertai
dengan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Pasal 57
(1) Rencana penutupan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di Luar Kantor wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia disertai dengan alasan penutupan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan.
(2) BPR wajib mengumumkan rencana penutupan Kantor Kas dan Kegiatan
Kas di Luar Kantor kepada masyarakat dalam surat kabar harian setempat
atau di papan pengumuman kantor Kecamatan setempat, paling lambat 10
(sepuluh) hari sebelum pelaksanaan penutupan.
(3) Pelaksanaan penutupan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di Luar Kantor BPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal penutupan disertai
dengan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 58
(1) Penutupan sementara kantor pusat dan Kantor Cabang di luar hari libur
resmi wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
(2) Permohonan penutupan kantor sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diajukan dengan menyebutkan alasan penutupan, jangka waktu
penutupan dan tanggal akan dibukanya kembali kantor dimaksud.
(3) Persetujuan….
- 49 -
(3) Persetujuan atau penolakan izin penutupan kantor sementara diberikan
paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak permohonan diterima.
(4) BPR wajib mengumumkan rencana penutupan kantor sementara kepada
masyarakat dalam surat kabar harian setempat atau di papan pengumuman
kantor Kecamatan setempat, paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum
tanggal penutupan sejak memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
(5) Penutupan kantor sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sebanyak-banyaknya 5 (lima) hari kerja dalam kurun waktu 1 (satu) tahun
takwim.
(6) BPR wajib melaporkan pembukaan kembali kantor paling lambat 10
(sepuluh) hari sejak tanggal pembukaan.
BAB X
PERUBAHAN KEGIATAN USAHA
Pasal 59
(1) BPR dapat mengubah kegiatan usahanya menjadi BPRS dengan izin
Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai pemberian izin perubahan kegiatan usaha dari BPR
menjadi BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk kepada
Peraturan Bank Indonesia tentang BPR Berdasarkan Prinsip Syariah.
BAB XI ….
- 50 -
BAB XI
LEMBAGA SERTIFIKASI
Pasal 60
(1) Lembaga sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c
angka 10 merupakan lembaga yang mengatur dan menetapkan sistem
sertifikasi bagi anggota dan calon anggota Direksi, dan yang memenuhi
persyaratan minimum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Persyaratan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut:
a. mempunyai visi dan misi, terutama untuk pengembangan sumber daya
manusia BPR dengan tujuan akhir untuk tercapainya industri BPR yang
sehat, kuat dan efisien;
b. mempunyai organ terdiri dari dewan sertifikasi, komite kurikulum
nasional, dan manajemen;
c. memiliki kompetensi dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan
pengembangan sumber daya manusia BPR; dan
d. tidak berorientasi pada keuntungan.
(3) Lembaga sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
menjalankan kegiatannya setelah memperoleh izin dari instansi yang
berwenang, berdasarkan rekomendasi Bank Indonesia.
(4) Bank Indonesia tidak memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dalam hal keberadaan lembaga sertifikasi telah dianggap
cukup.
(5) Ketentuan ….
- 51 -
(5) Ketentuan pelaksanaan tentang lembaga sertifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XII
SANKSI
Pasal 61
(1) BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 12, Pasal 13,
Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 19, Pasal 20 ayat (2),
Pasal 24 ayat (3), Pasal 25 ayat (6), Pasal 26, Pasal 27 ayat (1), Pasal 38
ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 41, Pasal 42 ayat (1),
Pasal 46 ayat (2), Pasal 48 ayat (1), Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 51
ayat (3), ayat (4) dan ayat (6), Pasal 52 ayat (1), Pasal 55, Pasal 56 ayat (1)
dan ayat (4), Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 58 ayat (1) dan ayat (4),
Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 66 ayat (2) dikenakan sanksi
administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
a. teguran tertulis; dan/atau
b. penurunan tingkat kesehatan.
(2) BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2), Pasal 16 ayat (6),
Pasal 17 ayat (5), Pasal 18 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 28 ayat (2),
Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 37 ayat (2), Pasal 39 ayat (5), Pasal 40
ayat (2), Pasal 48 ayat (6), Pasal 49 ayat (4), Pasal 50, Pasal 56 ayat (5),
Pasal 57 ayat (3), dan Pasal 58 ayat (6) dikenakan sanksi administratif
sesuai….
- 52 -
sesuai dengan Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998, berupa:
a. teguran tertulis dan denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah)
untuk setiap keterlambatan laporan;
b. teguran tertulis dan denda sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu rupiah) dalam hal BPR tidak menyampaikan laporan.
(3) BPR dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b apabila BPR belum menyampaikan laporan dimaksud
setelah 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan.
(4) BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 65 ayat (4) dan ayat (5)
dikenakan sanksi pembatasan kegiatan usaha, berupa larangan untuk:
a. membuka Kantor Cabang dan Kantor Kas;
b. memindahkan alamat kantor; dan/atau
c. melakukan kegiatan usaha sebagai pedagang valuta asing.
(5) BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1) dikenakan sanksi
administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998, termasuk:
a. wajib memindahkan tempat kedudukan ke wilayah lain sepanjang
memenuhi persyaratan modal disetor di wilayah yang dituju; dan/atau
b. dilarang membuka Kantor Kas dan melakukan kegiatan usaha sebagai
pedagang valuta asing.
(6) Setiap….
- 53 -
(6) Setiap pihak yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 8 ayat
(2), dan Pasal 30 ayat (2) dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan
Pasal 46 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
(7) Anggota Direksi atau dewan Komisaris yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25 ayat
(2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 29 ayat (2), dan Pasal 65 ayat (3), ayat (6)
dan ayat (7) dilarang menjadi pengurus BPR.
(8) Anggota Direksi yang melanggar ketentuan dalam Pasal 63 ayat (5) dan
Pasal 64 ayat (2) dilarang menjadi pengurus BPR.
Pasal 62
(1) Anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris yang dilarang menjadi pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (7) dan ayat (8) wajib
mengundurkan diri paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal
surat pemberitahuan dari Bank Indonesia.
(2) Pihak-pihak yang dilarang menjadi anggota Direksi dan/atau dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan tugas
operasional BPR dan/atau kegiatan lain yang mempunyai pengaruh
signifikan terhadap kebijakan dan kondisi keuangan BPR.
(3) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersedia
mengundurkan diri maka:
a. BPR ….
- 54 -
a. BPR wajib menyelenggarakan rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota dalam waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak
berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
memberhentikan yang bersangkutan;
b. Bank Indonesia tidak mengakui segala hubungan hukum antara Bank
Indonesia dengan BPR yang
bersangkutan; dan
diwakili oleh pihak-pihak
yang
c. segala tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut merupakan
tanggung jawab pribadi yang bersangkutan.
(4) Dalam hal rapat umum pemegang saham atau rapat anggota sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a tidak dapat diselenggarakan, Bank Indonesia
dapat menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum
pemegang saham atau rapat anggota mengangkat pengganti tetap dengan
persetujuan Bank Indonesia.
(5) Pemegang saham yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a, dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 50 Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB XIII….
- 55 -
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 63
(1) Persetujuan prinsip untuk pendirian BPR yang telah diberikan oleh Bank
Indonesia namun belum memperoleh izin usaha sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini, dinyatakan tetap berlaku.
(2) Permohonan persetujuan prinsip untuk
pendirian BPR, permohonan
pembukaan kantor, pemindahan alamat kantor, perubahan nama dan bentuk
badan hukum serta penutupan kantor yang telah diajukan kepada Bank
Indonesia dan belum mendapat persetujuan atau penolakan, akan
diselesaikan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Permohonan perubahan kegiatan usaha dari BPR menjadi BPRS yang telah
diajukan kepada Bank Indonesia dan belum mendapat persetujuan atau
penolakan, akan diselesaikan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia tentang
BPR Berdasarkan Prinsip Syariah.
(4) Calon anggota Direksi bagi BPR yang telah memperoleh persetujuan
prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan calon anggota Direksi bagi
BPR dalam proses izin usaha wajib memiliki sertifikat kelulusan.
(5) Sertifikat kelulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dipenuhi
paling lambat sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 ayat (2).
Pasal 64…
- 56 -
Pasal 64
(1) Pemenuhan kewajiban bagi calon anggota Direksi untuk memiliki sertifikat
kelulusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c angka 10,
diatur sebagai berikut:
a. setelah tanggal 31 Desember 2006 bagi paling sedikit 1 (satu) orang
calon anggota Direksi;
b. setelah tanggal 31 Desember 2008 bagi seluruh calon anggota Direksi.
(2) Pemenuhan kewajiban bagi anggota Direksi untuk memiliki sertifikat
kelulusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 diatur sebagai berikut:
a. paling sedikit 1 (satu) orang anggota Direksi wajib memiliki sertifikat
kelulusan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2006;
b. anggota Direksi lainnya wajib memiliki
lambat pada tanggal 31 Desember 2008.
Pasal 65
(1) BPR yang belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 wajib memenuhi ketentuan dimaksud paling lambat 6 (enam) bulan
sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) BPR yang belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 dan Pasal 19 wajib memenuhi ketentuan dimaksud paling lambat 1 (satu)
tahun sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
sertifikat kelulusan paling
(3) Anggota….
- 57 -
(3) Anggota dewan Komisaris yang belum memenuhi ketentuan dalam Pasal 25
ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) wajib memenuhi ketentuan dimaksud
paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
(4) BPR yang belum memiliki jumlah anggota Direksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (1) wajib memenuhi ketentuan dimaksud paling lambat
pada tanggal 31 Desember 2006.
(5) BPR yang belum memiliki jumlah anggota dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) wajib memenuhi ketentuan dimaksud
paling lambat pada tanggal 31 Desember 2008.
(6) Anggota Direksi yang belum memenuhi ketentuan pendidikan formal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) wajib memenuhi ketentuan
dimaksud paling lambat pada tanggal 31 Desember 2008.
(7) Anggota Direksi dan dewan Komisaris yang belum memenuhi ketentuan
hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) wajib
memenuhi ketentuan dimaksud paling lambat 1 (satu) tahun sejak
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 66
(1) BPR yang belum memenuhi persyaratan modal disetor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib memenuhi ketentuan dimaksud
paling lambat pada tanggal 31 Desember 2010 dengan pelaksanaan sebagai
berikut:
a. paling sedikit 40% (empat puluh perseratus) dari modal disetor pada
tanggal 31 Desember 2006;
b. paling ….
- 58 -
b. paling sedikit 70% (tujuh puluh perseratus) dari modal disetor pada
tanggal 31 Desember 2008;
c. 100% (seratus perseratus) dari modal disetor pada tanggal 31 Desember
2010.
(2) BPR wajib menyampaikan rencana pemenuhan modal disetor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2004.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 67
Peraturan Bank Indonesia ini tidak diberlakukan bagi BPR eks Badan Kredit
Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan
Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9.
Pasal 68
Ketentuan pelaksanaan tentang BPR diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 69
(1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia No. 32/35/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank
Perkreditan Rakyat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Ketentuan ….
- 59 -
(2) Ketentuan pelaksanaan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.
32/35/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat
sepanjang
tidak
bertentangan dengan
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dicabut, diganti atau diperbaharui.
Pasal 70
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 9 Agustus 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd.
BURHANUDDIN ABDULLAH
Peraturan Bank Indonesia ini
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 80
DPBPR
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 6/22/PBI/2004
TENTANG
BANK PERKREDITAN RAKYAT
UMUM
Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan mendukung
perkembangan usaha yang bersifat dinamis, diperlukan perbankan nasional yang
tangguh, termasuk industri BPR yang sehat dan efisien agar mampu melayani
masyarakat, terutama pengusaha mikro dan pengusaha kecil.
Sejalan dengan visi perbankan nasional untuk mencapai suatu sistem
perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem
keuangan maka kelembagaan industri BPR perlu diperkuat, antara lain pada
aspek kepemilikan, kemampuan permodalan, kepengurusan serta perluasan
jaringan kantor dalam rangka meningkatkan pelayanan dan daya saing BPR.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 …
- 2-
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4 …
- 3-
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Ketentuan ini dimaksudkan agar anggota Direksi
tidak melakukan kegiatan yang dapat menganggu
pelaksanaan tugas dan tanggung
jawab sebagai
Direksi.
Angka 10
Sertifikat kelulusan merupakan standar kompetensi
dan keahlian sebagai anggota Direksi.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12 …
- 4-
Angka 12
Cukup jelas.
Angka 13
Cukup jelas.
Angka 14
Ketentuan ini dimaksudkan agar anggota dewan
Komisaris secara sungguh-sungguh melaksanakan
fungsinya dalam mengawasi BPR.
Angka 15
Cukup jelas.
Huruf d
Antara lain meliputi bagan organisasi, garis tanggung jawab
horizontal dan vertikal, serta jabatan paling rendah sampai
dengan tingkatan Pejabat Eksekutif.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Contoh penulisan keterangan atas setoran modal pada bilyet
deposito adalah “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq. Sdr.
‘A’ untuk pendirian PT BPR ‘XYZ’ ”.
Huruf h …
- 5-
Huruf h
Dalam hal calon pemegang saham BPR berbentuk badan
hukum, surat pernyataan pribadi dibuat dan disampaikan
oleh pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili
badan hukum yang bersangkutan.
Dalam hal calon pemegang saham BPR adalah Pemerintah
Daerah, surat pernyataan dapat digantikan
keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Peraturan Daerah
yang mengatur permodalan BPR.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali
maka surat pernyataan disampaikan oleh calon pemegang
saham yang mewakili calon pemegang saham lain dengan
jumlah kepemilikan saham paling sedikit mencapai 51%
(lima puluh satu perseratus).
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4 …
oleh surat
- 6-
Angka 4
BPR yang dimiliki
Pemerintah Daerah dapat
menyampaikan APBD tahun berjalan yang memuat
anggaran pendirian BPR dimaksud dan telah
disahkan oleh DPRD setempat.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Dalam
hal tidak
terdapat badan hukum yang
merupakan calon Pemegang Saham Pengendali maka
surat pernyataan disampaikan oleh para pengurus
yang mewakili badan hukum tersebut dengan jumlah
kepemilikan saham paling sedikit mencapai 51%
(lima puluh satu perseratus).
Surat pernyataan
dari pengurus
badan hukum
Pemerintah Daerah dibuat oleh Gubernur atau Bupati
atau Walikota atau yang diberi kuasa.
Angka 7
Surat pernyataan disampaikan oleh pihak-pihak yang
berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan
baik secara langsung maupun tidak langsung atas
seluruh kelompok usaha.
Angka 8 …
- 7-
Angka 8
Yang dimaksud dengan kelompok usaha adalah:
a. perorangan dan badan hukum;
b. beberapa orang; atau
c. beberapa badan hukum,
yang
memiliki
Angka 9
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan dalam rangka meneliti kebenaran dokumen.
Huruf b
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali berbentuk
badan hukum maka wawancara dilakukan terhadap anggota
pengurus badan hukum atau pejabat yang
wewenang mewakili badan hukum yang bersangkutan.
diberikan
Dalam …
keterkaitan
kepemilikan atau hubungan keuangan.
kepengurusan,
- 8-
Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali
maka wawancara dilakukan terhadap para calon pemegang
saham yang secara keseluruhan memiliki saham paling
sedikit mencapai 51% (lima puluh satu perseratus).
Dalam hal BPR merupakan bagian dari kepemilikan suatu
kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang
Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang
menurut penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik
secara langsung maupun tidak
kelompok usaha.
langsung
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c …
atas seluruh
- 9-
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Contoh penulisan keterangan atas setoran modal pada bilyet
deposito adalah “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq. Sdr. ‘A’
untuk pendirian PT BPR ‘XYZ’ ”.
Huruf f
Dalam hal pemegang saham adalah Pemerintah Daerah, surat
pernyataan dapat digantikan oleh surat keputusan Kepala Daerah
sesuai dengan Peraturan Daerah yang mengatur permodalan BPR.
Huruf g
Yang dimaksud dengan aktiva tetap dan inventaris adalah aktiva
berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan
dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam kegiatan operasi dan
tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal.
Daftar aktiva tetap dan inventaris disertai dengan harga perolehan.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11 …
- 10-
Pasal 11
Ayat (1)
Pelaksanaan kegiatan usaha ditunjukkan, antara lain, oleh telah
beroperasinya kantor BPR dalam menghimpun atau menyalurkan
dana.
Izin usaha dari Bank Indonesia diberikan dalam bentuk keputusan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Kata “Bank Perkreditan Rakyat” atau “BPR” dicantumkan secara jelas,
antara lain pada papan nama, kop surat, sarana publikasi yang digunakan,
buku tabungan, bilyet deposito dan warkat pembukuan.
Contoh: PT Bank Perkreditan Rakyat XYZ, atau PT BPR XYZ
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16 …
- 11-
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka memberikan persetujuan Bank Indonesia melakukan
penelitian administratif untuk memastikan bahwa pihak-pihak yang
menjadi pengganti atau pemilik baru tidak termasuk dalam daftar
kredit macet dan tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk
dilarang menjadi pengurus BPR, BPRS dan/atau Bank Umum
sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR.
penilaian
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18 …
- 12-
Pasal 18
Ayat (1)
Perubahan komposisi kepemilikan dalam ayat ini adalah perubahan
jumlah kepemilikan saham diantara para pemegang saham lama
tanpa penggantian maupun penambahan pemegang saham baru.
Ayat (2)
Penyampaian risalah rapat umum pemegang saham dilampiri bukti
pelaporan kepada instansi yang berwenang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Nilai aktiva tetap dan inventaris yang diperhitungkan adalah
sebesar nilai buku.
Pasal 20
Ayat (1)
Dalam hal BPR menerima surat persetujuan perubahan anggaran
dasar dari instansi yang berwenang melalui Notaris maka laporan
perubahan modal dasar dilampiri tanda terima surat dari Notaris.
Ayat (2) …
- 13-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan bidang operasional perbankan adalah
bidang pendanaan dan/atau perkreditan.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 14-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud berdomisili dekat adalah jarak tempuh dapat
dicapai melalui perjalanan darat dan/atau air maksimum selama 2
(dua) jam, dalam kondisi normal.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 26
Yang dimaksud dengan benturan kepentingan adalah terjadinya benturan
kepentingan ekonomis antara BPR dengan kepentingan ekonomis pribadi
pemilik, anggota Direksi, dewan Komisaris, Pejabat Eksekutif, dan/atau
pihak terkait lainnya.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30 …
- 15-
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Tingkat kesehatan dan rasio kewajiban penyediaan modal
minimum (CAR) adalah berdasarkan administrasi Bank Indonesia,
dengan merujuk pada laporan terakhir yang telah diterima Bank
Indonesia.
Pembukaan Kantor Cabang yang disebabkan oleh merger atau
konsolidasi dilakukan dengan mengacu pada ketentuan yang
berlaku mengenai merger, konsolidasi dan akuisisi BPR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34….
- 16-
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Pemberlakuan persetujuan prinsip dimaksudkan agar BPR memiliki
waktu untuk mempersiapkan sarana dan prasarana yang diperlukan
untuk melakukan kegiatan operasional Kantor Cabang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan
dalam rangka meneliti kesiapan operasional Kantor Cabang.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38….
- 17-
Pasal 38
Ayat (1)
Dalam hal ini, kantor induk dapat berupa kantor pusat atau Kantor
Cabang.
Ayat (2)
Pemenuhan persyaratan tingkat kesehatan didasarkan
administrasi Bank Indonesia.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Tidak termasuk dalam pengertian Kegiatan Kas di Luar Kantor
adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak
bersifat permanen dan tidak melakukan kegiatan kas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43….
pada
- 18-
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Pemindahan alamat kantor BPR dalam satu wilayah kabupaten atau
kotamadya tidak membutuhkan persetujuan prinsip.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Bukti kesiapan kantor antara lain termasuk surat perizinan dari instansi
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan
setempat.
Ayat (3) ….
- 19-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ketentuan dalam pasal ini khususnya diberlakukan bagi pemindahan
Kegiatan Kas di Luar Kantor berupa ATM dan Payment Point.
Pasal 51
Ayat (1)
Ketentuan perundang-undangan yang berlaku antara lain termasuk
ketentuan dalam Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia ini.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) ….
- 20-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Persetujuan Bank Indonesia diberikan dalam bentuk keputusan.
Pasal 52
Ayat (1)
Peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain Undang-
Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Undang-
Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Undang-
Undang No.5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ….
- 21-
Ayat (2)
Pengumuman perubahan bentuk badan hukum BPR dilakukan pula
di Kantor Cabang, apabila ada.
Persetujuan Bank Indonesia diberikan dalam bentuk keputusan.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pengumuman dilakukan di kantor pusat dan Kantor Cabang yang
akan ditutup.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59….
- 22-
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Dalam rangka mendukung pemenuhan persyaratan modal disetor,
Bank Indonesia mendorong BPR untuk melakukan merger,
konsolidasi atau akuisisi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 67….
- 23-
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
NOMOR..4409.....
REPUBLIK INDONESIA
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/22/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 9 Agustus 2004 </set_date>
<effective_date> 9 Agustus 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '32/35/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/26/PBI/2004
TENTANG
SUKU BUNGA DAN NISBAH ATAS PEMBIAYAAN
DENGAN PRINSIP BAGI HASIL KREDIT PROGRAM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa perkembangan kondisi ekonomi dan perbankan
dewasa ini telah menunjukkan kemajuan yang signifikan
dibandingkan dengan kondisi pada masa krisis ekonomi,
moneter dan perbankan pada tahun 1997;
b. bahwa suku bunga dan nisbah atas pembiayaan dengan
prinsip bagi hasil Kredit Program yang berlaku pada saat
ini masih didasarkan pada ketentuan yang diterbitkan
dalam upaya menekan dampak krisis dimaksud;
c. bahwa dengan membaiknya kondisi ekonomi, moneter
dan perbankan, dan untuk meningkatkan efisiensi
penyaluran kredit atau pembiayaan oleh bank dipandang
perlu untuk melakukan penyesuaian suku bunga dan
nisbah atas pembiayaan dengan prinsip bagi hasil kredit
program dengan menetapkannya dalam Peraturan Bank
Indonesia tentang Suku Bunga Dan Nisbah Atas
Pembiayaan Dengan Prinsip Bagi Hasil Kredit Program;
Mengingat …
-2-
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4357);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/20/PBI/2003 tanggal
17 September 2003 tentang Pengalihan Pengelolaan
Kredit Likuiditas Bank Indonesia dalam rangka Kredit
Program (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4322);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA
TENTANG SUKU
BUNGA DAN NISBAH ATAS PEMBIAYAAN DENGAN
PRINSIP BAGI HASIL KREDIT PROGRAM.
Pasal 1 …
- 3 -
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Kredit Program adalah kredit atau pembiayaan yang disalurkan bank pelaksana
dengan dukungan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dalam rangka
mendukung program Pemerintah.
2. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang
melaksanakan Kredit Program.
3. BUMN Koordinator adalah Badan Usaha Milik Negara yang ditunjuk sebagai
penerima pengalihan pengelolaan KLBI dalam
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
rangka Kredit Program,
Menteri Keuangan Nomor
487/KMK.017/1999 tanggal 13 Oktober 1999, yang terdiri dari PT. Bank Rakyat
Indonesia (Persero), PT. Bank Tabungan Negara (Persero) dan PT. Permodalan
Nasional Madani (Persero).
Pasal 2
Suku bunga dan nisbah atas pembiayaan dengan prinsip bagi hasil Kredit Program
adalah suku bunga dan nisbah atas pembiayaan dengan prinsip bagi hasil untuk
skim Kredit Program sebagaimana diatur dalam :
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/45/KEP/DIR tanggal 10 Juni
1998 tentang Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya, selanjutnya
disebut KKPA, termasuk Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya
dengan Pola Bagi Hasil, selanjutnya disebut KKPA Bagi Hasil ;
b. Surat …
- 4 -
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/91/KEP/DIR tanggal
9 September 1998 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 29/67/KEP/DIR tanggal 26 Juli 1996 tentang Kredit Pembiayaan Tenaga
Kerja Indonesia dengan Pola Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya,
selanjutnya disebut KKPA-TKI;
c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/92/KEP/DIR tanggal
9 September 1998
tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi
Bank
Indonesia Nomor 29/69/KEP/DIR tanggal 26 Juli 1996 tentang Kredit kepada
Koperasi Primer untuk Anggotanya dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat
Transmigrasi dalam rangka Pembukaan Pemukiman Transmigrasi Baru di
Kawasan Timur Indonesia, selanjutnya disebut KKPA-PIR Trans;
d. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/165A/KEP/DIR tanggal
11 Desember 1998 tentang Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya
dalam rangka Pembiayaan Usaha Nelayan, selanjutnya disebut KKPA-Nelayan;
e. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/165B/KEP/DIR tanggal
11 Desember 1998 tentang Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya
dalam rangka Pembiayaan Usaha Peternakan Unggas, selanjutnya disebut
KKPA-Unggas;
f. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/185/KEP/DIR tanggal
5 Januari 1999 tentang Kredit kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro
melalui Bank Umum (KPKM-Bank Umum) beserta perubahannya sebagaimana
dimaksud dalam Surat Bank Indonesia kepada PT. Permodalan Nasional Madani
Nomor 2/162/BKr tanggal 4 Juli 2000 perihal Tanggapan Atas Usulan Perubahan
Ketentuan Kredit Program, selanjutnya disebut KPKM-Bank Umum;
g. Surat …
- 5 -
g. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/39/KEP/DIR tanggal 5 Juni
1998 tentang Kredit Modal Kerja Bank Indonesia dalam rangka Pengembangan
Bank Perkreditan Rakyat, selanjutnya disebut KMK-BPR; dan
h. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/64/KEP/DIR tanggal 13 Juli
1998 tentang
Pembiayaan Modal Kerja Bank Indonesia dalam rangka
Pengembangan Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah, selanjutnya disebut PMK-
BPRS; dan
i. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/12/PBI/2004 tanggal 19 April 2004 tentang
Kredit Investasi Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat
yang Dikaitkan dengan Program Transmigrasi (PIR-Trans) Pra Konversi,
selanjutnya disebut PIR-Trans Pra Konversi.
Pasal 3
(1) Suku bunga kredit dan suku bunga KLBI untuk Kredit Program sebagaimana
dimaksud pada Pasal 2 huruf a, b, c, d, e, f, g, dan i ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk skim KKPA, KKPA-PIR Trans, KKPA-Nelayan, dan KKPA-
Unggas:
1. suku bunga kredit dari Bank kepada debitur, ditetapkan sebesar 14%
(empat belas persen) setahun;
2. suku bunga KLBI dari Bank Indonesia atau BUMN Koordinator kepada
Bank, ditetapkan sebesar 7% (tujuh persen) setahun;
b. untuk skim KKPA-TKI:
1. suku bunga kredit dari Bank kepada Perusahaan Jasa Tenaga Kerja
Indonesia (PJTKI), ditetapkan sebesar 14% (empat belas persen)
setahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
a) dalam …
- 6 -
a) dalam hal Bank mewajibkan pertanggungan kredit kepada lembaga
penjaminan kredit, maka suku bunga kredit kepada PJTKI ditetapkan
sebesar 12% (dua belas persen) efektif setahun, dan PJTKI
diwajibkan membayar premi asuransi pertanggungan kredi;
b) dalam hal Bank tidak mewajibkan pertanggungan kredit, maka suku
bunga kredit kepada PJTKI adalah 14% (empat belas persen) efektif
setahun, dengan ketentuan bahwa jumlah 2% (dua persen) akan
dikembalikan kepada PJTKI sebagai imbalan pada waktu kredit
berakhir, dan apabila ada tunggakan kredit, maka imbalan tersebut
akan diperhitungkan terlebih dahulu dengan tunggakan-tunggakan
kredit yang bersangkutan;
2. suku bunga KLBI dari Bank Indonesia atau BUMN Koordinator kepada
Bank ditetapkan sebesar 7% (tujuh persen) setahun;
c. untuk skim KPKM-Bank Umum :
1. suku bunga kredit dari Bank kepada debitur ditetapkan sebesar 14%
(empat belas persen) setahun;
2. suku bunga KLBI dari Bank Indonesia atau BUMN Koordinator kepada
Bank ditetapkan sebesar 7% (tujuh persen) setahun;
d. untuk skim KMK-BPR:
1. suku bunga kredit dari Bank kepada debitur ditetapkan sebesar 28%
(dua puluh delapan persen) setahun;
2. suku bunga KLBI dari Bank Indonesia atau BUMN Koordinator kepada
Bank ditetapkan sebesar 13% (tiga belas persen) setahun;
e. Untuk ….
- 7 -
e. untuk skim kredit PIR-Trans Pra Konversi:
1. suku bunga kredit dari Bank kepada debitur ditetapkan sebesar 14%
(empat belas persen) setahun;
2. suku bunga KLBI dari Bank Indonesia atau BUMN Koordinator kepada
Bank ditetapkan sebesar 6,5% (enam koma lima persen) setahun.
(2) Nisbah atas pembiayaan dengan prinsip bagi
hasil untuk Kredit Program
sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 huruf a dan h ditetapkan sebagai berikut :
a. untuk skim KKPA Bagi Hasil:
1. nisbah atas pembiayaan dengan prinsip bagi hasil dari Bank kepada
debitur ditetapkan dengan marjin maksimum sebesar 14% (empat belas
persen) setahun;
2. nisbah atas pembiayaan dengan prinsip bagi hasil dari Bank Indonesia
atau BUMN Koordinator kepada Bank ditetapkan setara dengan suku
bunga sebesar 7% (tujuh persen) setahun;
3. dalam hal terjadi kekurangan atau kelebihan pendapatan Bank dari
debitur, pendapatan Bank Indonesia atau BUMN Koordinator tidak
berubah;
b. untuk skim PMK-BPRS:
1. nisbah atas pembiayaan dengan prinsip bagi hasil dari Bank kepada
debitur ditetapkan dengan marjin maksimum sebesar 28% (dua puluh
delapan persen) setahun;
2. nisbah atas pembiayaan dengan prinsip bagi hasil dari Bank Indonesia
atau BUMN Koordinator kepada Bank ditetapkan setara dengan suku
bunga sebesar 13% (tiga belas persen) setahun;
3. dalam …
- 8 -
3. dalam hal terjadi kekurangan atau kelebihan pendapatan Bank dari
debitur, pendapatan Bank Indonesia atau BUMN Koordinator tidak
berubah.
Pasal 4
Suku bunga dan nisbah atas pembiayaan dengan prinsip bagi hasil Kredit Program
sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 berlaku untuk Kredit Program yang telah
disetujui oleh Bank Indonesia dan atau yang disetujui oleh BUMN Koordinator
dalam rangka relending KLBI sejak pengalihan pengelolaan KLBI, yang didasarkan
pada Surat Keputusan Direksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 2.
Pasal 5
Penghitungan suku bunga dan nisbah atas pembiayaan dengan prinsip bagi hasil
Kredit Program berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini dilakukan mulai tanggal
1 Januari 2005.
Pasal 6
(1) BUMN Koordinator wajib menyesuaikan suku bunga KLBI dan atau nisbah
atas pembiayaan dengan prinsip bagi hasil Kredit Program kepada Bank sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) BUMN …
- 9 -
(2) BUMN Koordinator wajib menyesuaikan dokumen kredit dan atau dokumen
pembiayaan dengan prinsip bagi hasil yang berkaitan dengan perubahan suku
bunga dan atau nisbah atas pembiayaan dengan prinsip bagi hasil Kredit
Program, yang terdiri dari tembusan addendum Surat Penegasan Kredit serta
tembusan tambahan Akte F, paling lambat tanggal 31 Desember 2004.
(3) BUMN Koordinator wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia, dokumen
kredit dan atau dokumen pembiayaan dengan prinsip bagi hasil yang telah
disesuaikan sebagaimana dimaksud
Desember 2004.
Pasal 7
(1) Bank wajib menyetujui addendum Surat Penegasan Kredit dan tambahan Akte
F yang telah disesuaikan oleh BUMN Koordinator sebagaimana dimaksud pada
pasal 6 ayat (2).
(2) Bank wajib menyesuaikan suku bunga kredit dan atau nisbah atas pembiayaan
dengan prinsip bagi hasil Kredit Program kepada debitur sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Bank wajib menyesuaikan dokumen kredit dan atau dokumen pembiayaan
dengan prinsip bagi hasil yang berkaitan dengan penyesuaian suku bunga dan
atau nisbah atas pembiayaan dengan prinsip bagi hasil Kredit Program
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
pada ayat (2), paling lambat tanggal 31
Pasal 8 …
- 10 -
Pasal 8
(1) Pelanggaran terhadap Pasal 6 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) jangka waktu 1 (satu)
bulan
dikalikan
jumlah KLBI
dengan
suku
bunga
atau
nisbah
atas
pembiayaan dengan prinsip bagi hasil yang tidak sesuai dengan ketentuan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini, sejak tanggal 1 Januari 2005 sampai
dengan tanggal dilakukan perubahan suku bunga dan atau nisbah atas
pembiayaan dengan prinsip bagi hasil sebagaimana tercantum dalam dokumen
kredit dan atau dokumen pembiayaan dengan prinsip bagi hasil.
(2) Pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebagai berikut :
a. sebesar suku bunga SBI jangka waktu 1 (satu) bulan dikalikan jumlah KLBI
dengan suku bunga yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan
Bank Indonesia ini, sejak tanggal 1 Januari 2005 sampai dengan tanggal
dilakukan perubahan suku bunga sebagaimana tercantum dalam dokumen
kredit, atau
b. sebesar nisbah bagi hasil setara dengan suku bunga SBI jangka waktu 1
(satu) bulan, dikalikan jumlah KLBI dengan nisbah atas pembiayaan
dengan prinsip bagi hasil yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia ini, sejak tanggal 1 Januari 2005 sampai dengan
tanggal dilakukan perubahan nisbah atas pembiayaan dengan prinsip bagi
hasil sebagaimana tercantum dalam dokumen pembiayaan dengan prinsip
bagi hasil.
Pasal 9 …
- 11 -
Pasal 9
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka ketentuan suku bunga dan
nisbah atas pembiayaan dengan prinsip bagi hasil Kredit Program sebagaimana
diatur dalam :
a. Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 31/45/KEP/DIR tanggal 10 Juni 1998 tentang Kredit kepada Koperasi
Primer untuk Anggotanya;
b. Pasal 12 ayat (1), (2), (3) dan (4), serta Pasal 20 ayat (1) Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia Nomor 29/67/KEP/DIR tanggal 26 Juli 1996 tentang Kredit
Pembiayaan Tenaga Kerja Indonesia dengan Pola Kredit kepada Koperasi Primer
untuk Anggotanya sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia Nomor 31/91/KEP/DIR tanggal 9 September 1998;
c. Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 29/69/KEP/DIR tanggal 26 Juli 1996 tentang Kredit kepada Koperasi
Primer untuk Anggotanya dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat Transmigran
dalam rangka Pembukaan Pemukiman Transmigrasi Baru di Kawasan Timur
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 31/92/KEP/DIR tanggal 9 September 1998;
d. Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 31/165A/KEP/DIR tanggal 11 Desember 1998 tentang Kredit kepada
Koperasi Primer untuk Anggotanya dalam rangka Pembiayaan Usaha Nelayan;
e. Pasal 11 …
- 12 -
e. Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 31/165B/KEP/DIR tanggal 11 Desember 1998 tentang Kredit kepada
Koperasi Primer untuk Anggotanya dalam rangka Pembiayaan Usaha Peternakan
Unggas;
f. Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 31/185/KEP/DIR tanggal 5 Januari 1999 tentang
diatur
dalam Surat Bank Indonesia kepada
Kredit kepada
Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro melalui Bank Umum (KPKM-Bank
Umum), dan ketentuan yang
PT. Permodalan Nasional Madani Nomor 2/162/BKr tanggal 4 Juli 2000 perihal
Tanggapan Atas Usulan Perubahan Ketentuan Kredit Program;
g. Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 9 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/39/KEP/DIR tanggal 5 Juni 1998 tentang Kredit Modal Kerja Bank Indonesia
dalam rangka Pengembangan Bank Perkreditan Rakyat (KMK-BPR);
h. Pasal 6 ayat (1), (3) dan (4) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/64/KEP/DIR tanggal 13 Juli 1998 tentang Pembiayaan Modal Kerja Bank
Indonesia dalam rangka Pengembangan Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah
(PMK-BPRS); dan
i. Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/12/PBI/2004 tanggal 19 April 2004
tentang Kredit Investasi Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti
Rakyat yang Dikaitkan dengan Program Transmigrasi (PIR-Trans) Pra Konversi;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 10 …
-13-
Pasal 10
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Oktober 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 158
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6 /26/PBI/2004
TENTANG
SUKU BUNGA DAN NISBAH ATAS PEMBIAYAAN
DENGAN PRINSIP BAGI HASIL KREDIT PROGRAM
I. UMUM
Berbagai indikator ekonomi dan perbankan dewasa ini menunjukkan
kemajuan yang signifikan dibandingkan dengan kondisi pada masa krisis
ekonomi, moneter dan perbankan tahun 1997, yang antara lain ditandai dengan
penurunan suku bunga kredit komersial Bank. Sementara itu, suku bunga dan
nisbah atas pembiayaan dengan prinsip bagi hasil Kredit Program yang berlaku
pada saat ini masih didasarkan pada ketentuan yang diterbitkan dalam upaya
menekan dampak krisis ekonomi, moneter dan perbankan dimaksud.
Mengingat kondisi ekonomi dan perbankan yang semakin membaik serta
untuk lebih meningkatkan efisiensi penyaluran kredit dan pembiayaan oleh
Bank, maka dipandang perlu untuk melakukan penyesuaian suku bunga dan
nisbah atas pembiayaan dengan prinsip bagi hasil Kredit Program, serta
menetapkannya dalam suatu Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini untuk mengatur KLBI
yang masih berjalan dan telah disetujui oleh Bank Indonesia sebelum
berlakunya ketentuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia …
- 2 -
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun
2004 dan dana relending KLBI yang masih berjalan dan disetujui oleh BUMN
Koordinator setelah pengalihan pengelolaan KLBI.
Tidak terdapat penyediaan fasilitas KLBI baru dari Bank Indonesia atas
dasar Peraturan Bank Indonesia ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Suku
Ayat (2)
Nisbah dimaksud tidak dikenakan pada nisbah selanjutnya.
Pasal 4
Cukup jelas
bunga dimaksud tidak
berbunga.
dikenakan secara bunga
Pasal 5 …
- 3 -
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dokumen kredit dan atau dokumen pembiayaan yang wajib
disesuaikan oleh BUMN Koordinator meliputi dokumen
untuk Kredit Program sebagai berikut :
a. Kredit Program yang telah disetujui oleh Bank Indonesia
sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004; dan
b. Kredit Program yang disetujui oleh BUMN Koordinator
dalam
rangka relending KLBI
pengelolaan KLBI.
Ayat (3)
Dokumen kredit dan atau pembiayaan yang disampaikan
kepada Bank Indonesia adalah dokumen kredit dan atau
pembiayaan untuk Kredit Program yang telah disetujui oleh
Bank Indonesia sebelum berlakunya Undang-undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004.
Dokumen-dokumen dimaksud harus sudah ditandatangani
oleh BUMN Koordinator dan masing-masing Bank.
Pasal 7 …
sejak pengalihan
- 4 -
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dokumen kredit dan atau dokumen pembiayaan yang wajib
disesuaikan oleh Bank meliputi dokumen untuk Kredit
Program sebagai berikut :
a. Kredit Program yang telah disetujui oleh Bank Indonesia
sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004; dan
b. Kredit Program yang disetujui oleh BUMN Koordinator
dalam
rangka relending KLBI
pengelolaan KLBI.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan suku bunga SBI jangka waktu 1
(satu) bulan adalah suku bunga SBI jangka waktu 1 (satu)
bulan yang diperoleh dari hasil lelang terakhir sebelum
tanggal 1 Januari 2005.
sejak pengalihan
Ayat (2) …
- 5 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan suku bunga SBI jangka waktu 1
(satu) bulan adalah suku bunga SBI jangka waktu 1 (satu)
bulan yang diperoleh dari hasil lelang terakhir sebelum
tanggal 1 Januari 2005.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4458
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/26/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> SUKU BUNGA DAN NISBAH ATAS PEMBIAYAAN DENGAN PRINSIP BAGI HASIL KREDIT PROGRAM </reg_title>
<set_date> 25 Oktober 2004 </set_date>
<effective_date> 25 Oktober 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '31/45/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998 | Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1)', '29/67/KEP/DIR|SKDIR-BI/1996', '31/91/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998 | Pasal 12 ayat (1), (2), (3) dan (4), serta Pasal 20 ayat (1)', '29/69/KEP/DIR|SKDIR-BI/1996', '31/92/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998 | Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (1)', '31/165A/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998 | Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1)', '31/165B/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998 | Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1)', '31/185/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999 | Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1)', '2/162/BKr|SE-BI/2000', '31/39/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998 | Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 9', '31/64/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998 | Pasal 6 ayat (1), (3) dan (4)', '6/12/PBI/2004 | Pasal 5' </replaced_reg>
<related_reg> '5/20/PBI/2003', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 8' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 30 / PBI/ 2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 26 / PBI/ 2008
TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa untuk menjaga dan mempertahankan stabilitas sistem perbankan
dan kelangsungan perekonomian nasional di tengah krisis keuangan
global maka dipandang perlu untuk memberikan perluasan akses bagi
bank yang mengalami kesulitan keuangan;
b. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk sementara
melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia tentang
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum;
Mengingat: 1. Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008….
2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4901);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/26/PBI/2008
TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI
BANK UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/26/PBI/2008 tentang
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4912) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek dapat memperoleh
FPJP dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
(2) Bank yang dapat mengajukan permohonan FPJP wajib memiliki rasio kewajiban
penyediaan modal minimum (capital adequacy ratio) positif.
(3) Plafon FPJP diberikan berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sampai
dengan Bank memenuhi GWM sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4) Pencairan FPJP dilakukan sebesar kebutuhan Bank untuk memenuhi kewajiban
GWM.
2. Ketentuan dalam Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4….
Pasal 4
(1) Agunan yang berkualitas tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 berupa :
a. Surat berharga;
b. Aset Kredit;
(2) Jenis surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a:
a. Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia atau
Bank Indonesia yang meliputi SUN, SBSN, SBI, dan SBI Syariah;
dan/atau
b. Surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lainnya yang pada saat
permohonan FPJP memiliki peringkat paling kurang peringkat investasi
(investment grade), aktif diperdagangkan, dan sisa jangka waktu surat
berharga paling kurang 90 (Sembilan puluh) hari.
(3) Aset kredit yang dapat dijadikan agunan FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b wajib memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Kolektibilitas Lancar selama minimal 3 (tiga) bulan terakhir;
b. Bukan merupakan kredit konsumsi kecuali kredit pemilikan rumah (KPR);
c. Bukan merupakan kredit kepada pihak terkait Bank;
d. Aset kredit memiliki agunan;
e. Baki debet (outstanding) kredit tidak melebihi plafon kredit dan batas
maksimum pemberian kredit pada saat diberikan; dan
f. Memiliki perjanjian kredit dan pengikatan agunan yang mempunyai
kekuatan hukum.
(4) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b hanya dapat
digunakan sebagai agunan FPJP dalam hal:
a. Bank tidak memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a; atau
b. Bank memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP.
(5) Aset….
(5) Aset kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat digunakan
sebagai agunan FPJP dalam hal Bank tidak memiliki surat berharga atau surat
berharga yang dimiliki oleh Bank tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP.
3. Diantara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17 A
Bank Indonesia menetapkan Bank penerima FPJP dalam status pengawasan khusus.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 14 November 2008.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 14 November 2008.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 175
DPNP/DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 30 / PBI/ 2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/26/PBI/2008
TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM
I. UMUM
Dampak dari krisis keuangan global yang berlangsung saat ini berimbas pada
berbagai negara termasuk Indonesia. Hal tersebut secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi stabilitas sistem keuangan Indonesia termasuk sistem
perbankan.
Salah satu pengaruh dari krisis keuangan global tersebut adalah munculnya
keraguan masyarakat terhadap kehandalan dan keamanan sistem perbankan yang dapat
ditandai antara lain dengan meningkatnya kepanikan masyarakat dalam menyikapi
krisis. Sementara itu, kepercayaan masyarakat merupakan salah satu prasyarat utama
yang diperlukan untuk menciptakan sistem perbankan yang stabil.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diatas diperlukan langkah-langkah
tertentu dalam mengantisipasi terjadinya guncangan terhadap kinerja dan fungsi
intermediasi perbankan dan upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan. Bahwa pada saat ini perubahan kondisi perekonomian yang semakin
memburuk dikhawatirkan dapat mengganggu kondisi keuangan perbankan.
Mengantisipasi hal-hal tersebut diperlukan perluasan akses bagi bank yang mengalami
kesulitan keuangan untuk memperoleh Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dari Bank
Indonesia sebagai lender of the last resort.
II. PASAL….
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rasio kewajiban penyediaan modal minimum yang digunakan adalah
berdasarkan perhitungan Bank Indonesia.
Ayat (3)
Perkiraan Bank atas jumlah kebutuhan likuiditas didasarkan pada proyeksi
arus kas paling lama 14 (empat belas) hari kalender ke depan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan kewajiban GWM adalah berdasarkan perhitungan
Bank Indonesia.
Angka 2
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan Surat Berharga yang diterbitkan oleh badan
hukum lainnya adalah obligasi korporasi baik yang konvensional
maupun yang syariah.
Peringkat tersebut berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat
yang diakui Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank….
Bank Indonesia mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang
diakui Bank Indonesia.
Ayat (3)
Huruf a
Kolektibilitas lancar adalah kualitas lancar sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan pihak terkait adalah pihak terkait
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) Bank
Umum.
Huruf d
Adanya agunan di sini dimaksudkan untuk memberi tambahan
keyakinan mengenai kualitas Kredit yang dijadikan agunan FPJP.
Huruf e
Batas maksimum pemberian kredit mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Batas Maksimum Pemberian
Kredit (BMPK) Bank Umum.
Huruf f
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 17A
Cukup jelas.
Pasal II….
Pasal II
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008
NOMOR 4923
DPNP/DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/30/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 26 / PBI/ 2008 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 14 November 2008 </set_date>
<effective_date> 14 November 2008 </effective_date>
<issued_date> 14 November 2014 </issued_date>
<changed_reg> '10/26/PBI/2008' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/11/PBI/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 13/20/PBI/2011
TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN
DEVISA UTANG LUAR NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa pemantauan pelaksanaan ketentuan
penerimaan Devisa Hasil Ekspor (DHE) melalui
Bank Devisa perlu ditingkatkan efektivitasnya;
b. bahwa dalam rangka mengurangi beban
administratif Eksportir penerima DHE dan Bank
Devisa sebagai pihak yang menerima keterangan
dan data penerimaan DHE dari Eksportir maka
perlu dilakukan penyesuaian ketentuan mengenai
batas waktu penerimaan DHE dan batasan selisih
kurang antara DHE dengan Nilai Pemberitahuan
Ekspor Barang (PEB);
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu
dilakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 13/20/PBI/2011 tentang
Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan
Devisa Utang Luar Negeri;
Mengingat: …
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3612)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4661);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang
Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN: …
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
13/20/PBI/2011 TENTANG PENERIMAAN DEVISA
HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR
NEGERI.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/20/PBI/2011 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan
Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5241) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) DHE yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
harus sesuai dengan Nilai PEB.
(2) Dalam hal DHE lebih kecil dari Nilai PEB dengan selisih
kurang paling banyak ekuivalen Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) maka DHE yang diterima dianggap sesuai dengan
Nilai PEB dan Eksportir tidak perlu menyampaikan penjelasan
tertulis dan dokumen pendukung.
(3) Dalam hal DHE lebih kecil dari Nilai PEB selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yang disebabkan oleh:
a. selisih kurs, biaya administrasi, dan/atau biaya lainnya
terkait perdagangan internasional sehingga terdapat selisih
kurang antara DHE dan Nilai PEB lebih dari
Rp.10.000.000,00 …
- 4 -
Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
10% (sepuluh per seratus) dari nilai PEB; dan/atau
b. maklon, jasa perbaikan, operational leasing atau financial
leasing, perbedaan penilaian harga barang pada saat
perjanjian ekspor dengan harga pada saat barang diterima,
perbedaan komposisi barang, perbedaan kualitas barang,
dan/atau perbedaan kuantitas barang;
maka DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai PEB
apabila Eksportir menyampaikan penjelasan tertulis disertai
dokumen pendukung yang memadai.
(4) Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada
Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia paling
lama tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE diterima oleh
Eksportir melalui Bank Devisa.
(5) Dalam hal Eksportir tidak menyampaikan penjelasan tertulis
disertai dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) maka DHE yang diterima Eksportir dianggap
tidak sesuai dengan PEB dan Eksportir dianggap tidak
melakukan penerimaan seluruh DHE melalui Bank Devisa.
2. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
(1) Penerimaan DHE yang diperjanjikan tidak melalui Bank Devisa
dan/atau dikaitkan dengan pembayaran kewajiban Eksportir
yang sudah ditandatangani sebelum berlakunya PBI ini, tidak
wajib diterima melalui Bank Devisa sampai dengan tanggal 31
Desember 2012.
(2) Penerimaan DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilaporkan Eksportir kepada Bank Indonesia dilengkapi dengan
penjelasan …
- 5 -
penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung paling lama 14
(empat belas) Hari setelah Tanggal PEB.
(3) Khusus bagi penerimaan DHE yang berasal dari PEB yang
dikeluarkan tahun 2012, kewajiban penerimaan DHE melalui
Bank Devisa paling lambat adalah akhir bulan pada bulan ke-6
(enam) setelah Tanggal PEB.
(4) Penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting tagihan
Eksportir dengan kewajiban Eksportir hanya dapat dilakukan
sampai dengan tanggal 31 Desember 2012 dan dilengkapi
dengan dokumen pendukung.
(5) Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang
ditandatangani sebelum tanggal 2 Januari 2012 tidak wajib
dilakukan melalui Bank Devisa, kecuali untuk penarikan DULN
yang berasal dari penambahan plafon ULN karena adanya
perubahan/amendemen perjanjian yang ditandatangani setelah
tanggal 2 Januari 2012.
3. Diantara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni
Pasal 19A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19A
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan DHE diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar …
- 6 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Agustus 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Agustus 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 169
DSM
- 7 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/11/PBI/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 13/20/PBI/2011
TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN
DEVISA UTANG LUAR NEGERI
I. UMUM
Dalam rangka mengurangi beban administratif bagi Eksportir
yang menerima DHE dan Bank Devisa sebagai pihak yang
menerima keterangan dan data penerimaan DHE dari Eksportir,
maka perlu dilakukan penyempurnaan atas ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/20/PBI/2011 tentang
Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar
Negeri. Penyempurnaan ketentuan dimaksud antara lain terkait
kewajiban Eksportir untuk menyampaikan penjelasan tertulis dan
dokumen pendukung dalam hal terdapat selisih kurang antara nilai
DHE dan nilai PEB serta batas waktu kewajiban penerimaan DHE
yang berasal dari PEB yang dikeluarkan pada tahun 2012.
Perubahan ketentuan ini diharapkan dapat mempermudah
pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini oleh Eksportir dan
Bank.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 6 …
- 8 -
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penjelasan atas perbedaan antara DHE dan
Nilai PEB dan jenis dokumen pendukung
mengacu kepada Surat Edaran Bank Indonesia.
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila
dapat membuktikan terjadinya selisih kurang
antara DHE dan nilai PEB.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “maklon” adalah
pemberian jasa dalam rangka proses
penyelesaian suatu barang tertentu yang
proses pengerjaannya dilakukan oleh
pihak pemberi jasa (disubkontrakkan),
dan pengguna jasa menetapkan
spesifikasi, serta menyediakan bahan
baku dan/atau barang setengah jadi
dan/atau bahan penolong/pembantu
yang akan diproses sebagian atau
seluruhnya, dengan kepemilikan atas
barang jadi berada pada pengguna jasa.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5) …
- 9 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 18
Ayat (1)
Contoh penerimaan DHE yang diperjanjikan
tidak melalui Bank Devisa dan/atau dikaitkan
dengan pembayaran kewajiban Eksportir:
Eksportir PT. D memperoleh pinjaman jangka
panjang dari sindikasi sejumlah Bank di luar
negeri senilai USD500,000,000.00 (lima ratus
juta US Dollar) pada bulan Februari 2010
dengan klausul sebagai berikut:
a) Pembayaran pokok dan bunga sebesar
USD26,250,000.00 juta (dua puluh enam
juta dua ratus lima puluh ribu US Dollar)
dilakukan setiap 6 (enam) bulan sejak
penarikan utang;
b) Hasil Ekspor setiap bulan wajib
ditempatkan pada suatu rekening di Bank
KLM di Hongkong;
c) Bank KLM wajib menahan sebesar
USD4,375,000.00 (empat juta tiga ratus
tujuh puluh lima ribu US Dollar) dari
penerimaan Ekspor setiap bulan;
d) Bank KLM mendebet rekening tersebut
setiap 6 bulan untuk untung rekening
kreditur.
Mekanisme penerimaan DHE dikaitkan
dengan pembayaran kewajiban Eksportir
sebagaimana …
- 10 -
sebagaimana contoh perjanjian di atas hanya
diperbolehkan sampai dengan tanggal 31
Desember 2012.
Sejak tanggal 1 Januari 2013, Eksportir wajib
menerima seluruh DHE melalui Bank Devisa.
Angsuran pokok dan bunga pinjaman yang
semula ditahan di Bank KLM sebesar
USD4,375,000.00 (empat juta tiga ratus tujuh
puluh lima ribu US Dollar) dari penerimaan
Ekspor setiap bulan, dibayar setelah seluruh
DHE diterima melalui Bank Devisa.
Ayat (2)
Dokumen pendukung meliputi antara lain
fotokopi kontrak perjanjian terkait dengan
penerimaan DHE tidak melalui Bank Devisa
atau yang terkait dengan pembayaran
kewajiban Eksportir.
Penyampaian penjelasan tertulis dan dokumen
pendukung ditujukan kepada:
Bank Indonesia
Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter
Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt. 16
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta Pusat 10350
Ayat (3)
Contoh 1:
Untuk Ekspor dengan tanggal PEB 2 Januari
2012, penerimaan DHE melalui Bank Devisa
paling lambat tanggal 31 Juli 2012.
Contoh 2: …
- 11 -
Contoh 2:
Untuk Ekspor dengan tanggal PEB 31
Desember 2012, penerimaan DHE melalui
Bank Devisa paling lambat tanggal 30 Juni
2013.
Ayat (4)
Contoh penerimaan DHE yang berasal dari
hasil netting tagihan dengan kewajiban
Eksportir:
Pada bulan Maret 2012, PT. E mengakui utang
atas transaksi impor sebesar USD1,000,000.00
(satu juta US Dollar) dan piutang atas
transaksi Ekspor sebesar USD1,250,000.00
(satu juta dua ratus lima puluh ribu US Dollar)
kepada perusahaan M di Malaysia. Utang
piutang tersebut jatuh tempo bulan Mei 2012
dan kedua pihak menyepakati pembayaran
dengan mekanisme netting dimana hanya
selisih dari utang piutang tersebut yang akan
dibayarkan.
Dalam contoh kasus di atas, PT. E akan
menerima USD250,000.00 (dua ratus lima
puluh ribu US Dollar) dari perusahaan M.
Selama tahun 2012, transaksi netting masih
diperbolehkan dan nilai DHE yang wajib
diterima melalui Bank Devisa adalah sebesar
USD250,000.00 (dua ratus lima puluh ribu US
Dollar). Sejak tanggal 1 Januari 2013, netting
tidak diperkenankan.
Dokumen …
- 12 -
Dokumen pendukung antara lain berupa
fotokopi purchase order, sales contract,
dan/atau dokumen terkait utang piutang yang
diselesaikan secara netting antara Eksportir
dengan pihak lain.
Ayat (5)
PT. F memperoleh ULN dalam bentuk loan
agreement dari kreditur PQR sebesar
USD100,000,000.00 (seratus juta US Dollar)
yang ditandatangani pada tanggal 26 Agustus
2010 dengan jatuh tempo 26 Agustus 2015.
Pada tanggal 25 September 2012, perjanjian
tersebut diubah dengan menaikkan plafon ULN
tersebut menjadi sebesar USD150,000,000.00
(seratus lima puluh juta US Dollar).
Dalam contoh kasus di atas, penarikan DULN
atas penambahan plafon ULN tersebut sebesar
USD50,000,000.00 (lima puluh juta US Dollar)
wajib dilakukan melalui Bank Devisa.
Angka 3
Pasal 19A
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5338
DSM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/11/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/20/PBI/2011 TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI </reg_title>
<set_date> 28 Agustus 2012 </set_date>
<effective_date> 28 Agustus 2012 </effective_date>
<issued_date> 28 Agustus 2012 </issued_date>
<changed_reg> '13/20/PBI/2011' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '17/UU/2006', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '10/UU/1995' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/33/PBI/2016
TENTANG
PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS
PECAHAN 1.000 (SERIBU)
TAHUN EMISI 2016
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,
baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus
dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara
Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah
dalam kegiatan perekonomian nasional guna
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia;
b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka
melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu
mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal
yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan
dalam kondisi yang layak edar;
c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank
- 2 -
Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan
keandalannya;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 1.000 (Seribu)
Tahun Emisi 2016;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN
EMISI 2016.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 1.000
(seribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- 3 -
Pasal 2
Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu.
Pasal 3
Harga uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp1.000,00 (seribu
rupiah).
Pasal 4
Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi:
a. ciri umum; dan
b. ciri khusus.
Pasal 5
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a, pada bagian depan terdapat:
a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”;
c. sebutan pecahan dalam angka “1000” dan tulisan
“SERIBU RUPIAH”;
d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri
Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan
“MENTERI KEUANGAN”;
e. tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”;
f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Tjut Meutia
beserta tulisan “TJUT MEUTIA”;
g. gambar ornamen batik; dan
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan hijau;
- 4 -
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f;
c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan
“BI” dan angka “1” yang dapat dilihat dari sudut
pandang tertentu;
e. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan
(tactile);
f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” yang tertulis
utuh dan/atau sebagian;
g. mikroteks yang memuat tulisan “BI1”, tulisan
“BI1000”, dan angka “1”, yang dapat dilihat dengan
bantuan kaca pembesar; dan
h. hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat
dengan sinar ultraviolet berupa:
1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah
satunya berisi tulisan “BI”;
2. angka nominal “1000”;
3. ornamen batik; dan
4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 6
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a, pada bagian belakang terdapat:
a. angka nominal “1000”;
b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi
3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka;
c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERIBU
RUPIAH”;
d. tulisan tahun cetak “TC 2016”;
- 5 -
e. gambar utama yaitu tari tifa beserta tulisan “TARI
TIFA”, pemandangan alam Banda Neira beserta
tulisan “Banda Neira”, dan bunga anggrek larat;
f. tulisan “BANK INDONESIA”;
g. gambar ornamen batik;
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
i.
tulisan “PERURI”.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan hijau;
b. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
c. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka
“1000”;
d. mikroteks yang memuat tulisan “BI1000” dan angka
“1000”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca
pembesar; dan
e.
hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat
dengan sinar ultraviolet berupa:
1. gambar bunga anggrek larat;
2. gambar sebagian pemandangan alam Banda
Neira; dan
3. nomor seri dengan bentuk asimetris yang
meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka.
(3) Angka dalam tulisan tahun cetak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d akan berubah sesuai dengan tahun
cetak.
Pasal 7
Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri
khusus sebagai berikut:
a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi:
1. terbuat dari serat kapas;
2. berwarna krem;
- 6 -
3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet;
4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar
Pahlawan Nasional Tjut Meutia; dan
5. terdapat benang pengaman yang memuat tulisan
“BANK INDONESIA” secara berulang, yang akan
memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet;
dan
b. ukuran yaitu panjang 141 (seratus empat puluh satu)
milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter.
Pasal 8
Uang Rupiah kertas pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2000
dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang
sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang
belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Pasal 9
Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai
berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016.
Pasal 10
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 7 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 217
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/33/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title>
<set_date> 26 Oktober 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Oktober 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Oktober 2016 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/1/PBI/2018
TENTANG
JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN
TAHUN 2017
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa salah satu tugas Bank Indonesia dalam
pengelolaan uang rupiah yaitu melakukan pemusnahan
terhadap uang rupiah yang ditarik dari peredaran;
b. bahwa jumlah dan nilai nominal uang rupiah yang
dimusnahkan oleh Bank Indonesia ditempatkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia secara periodik
setiap 1 (satu) tahun sekali;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Jumlah dan Nilai Nominal Uang
Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2017;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
- 2 -
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5223);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 tentang
Pengelolaan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 138, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5323);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG JUMLAH DAN NILAI
NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2017.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang Rupiah adalah rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai mata uang.
2. Uang Rupiah Tidak Layak Edar adalah Uang Rupiah yang
terdiri atas Uang Rupiah lusuh, Uang Rupiah cacat, dan
Uang Rupiah rusak.
BAB II
PEMUSNAHAN UANG RUPIAH
Pasal 2
Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia meliputi:
a. Uang Rupiah Tidak Layak Edar;
b. Uang Rupiah yang masih layak edar yang dengan
- 3 -
pertimbangan tertentu tidak lagi mempunyai manfaat
ekonomis dan/atau kurang diminati oleh masyarakat;
dan/atau
c. Uang Rupiah yang sudah tidak berlaku.
Pasal 3
Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Uang Rupiah kertas diracik dengan menggunakan mesin
yang memiliki fungsi untuk meracik Uang Rupiah kertas
sehingga tidak lagi menyerupai Uang Rupiah kertas; dan
b. Uang Rupiah logam dilebur sehingga tidak lagi
menyerupai Uang Rupiah logam.
Pasal 4
(1) Jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang
dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ditempatkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
(2) Data jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang
dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis pecahan, jumlah
bilyet atau keping, dan nilai nominal.
(3) Data jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang
dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
periode tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan
31 Desember 2017 tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 5
Uang Rupiah yang dimusnahkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 tertuang dalam suatu berita acara.
- 4 -
BAB III
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 6
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Januari 2018
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Januari 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 7
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 20/1/PBI/2018 </reg_id>
<reg_title> JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2017 </reg_title>
<set_date> 26 Januari 2018 </set_date>
<effective_date> 30 Januari 2018 </effective_date>
<issued_date> 30 Januari 2018 </issued_date>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011', '14/7/PBI/2012' </related_reg>
|
-1-
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/17/PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
2/22/PBI/2000 TENTANG KEWAJIBAN PELAPORAN
UTANG LUAR NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa kualitas data dan informasi yang dihasilkan dari
kegiatan pelaporan utang luar negeri oleh Bank, Badan
Usaha
Bukan
Bank dan perorangan perlu
lebih
ditingkatkan dalam rangka penyusunan statistik utang luar
negeri dan statistik neraca pembayaran;
b. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kesiapan Bank,
Badan
memenuhi ketentuan kewajiban
Usaha Bukan Bank dan perorangan dalam
pelaporan utang
luar
negeri, Bank Indonesia memandang perlu untuk menunda
pemberlakuan pengenaan sanksi administratif
kewajiban pelaporan utang luar negeri;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b,
menyempurnakan
mengatur tentang kewajiban pelaporan utang luar negeri;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia …
dipandang perlu untuk
Peraturan Bank Indonesia yang
atas
-2-
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
Menjadi
tentang
Bank Indonesia
Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan:
PERATURAN
BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 2/22/PBI/2000 TENTANG
PELAPORAN UTANG LUAR NEGERI.
Pasal I
Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/22/PBI/2000 tanggal 2
Oktober 2000 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 172, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4007) diubah yaitu:
Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 9 A yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9A
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Peraturan Bank Indonesia ini
dan peraturan pelaksanaannya yang mengatur mengenai sanksi
tidak
diberlakukan …
KEWAJIBAN
-3-
diberlakukan sejak tanggal 1 April 2005 sampai dengan tanggal 31 Desember
2010.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku surut sejak tanggal 1 April 2005.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Mei 2009
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Mei 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 71
DInt
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/17/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/22/PBI/2000 TENTANG KEWAJIBAN PELAPORAN UTANG LUAR NEGERI </reg_title>
<set_date> 5 Mei 2009 </set_date>
<effective_date> 01 April 2005 </effective_date>
<issued_date> 5 Mei 2009 </issued_date>
<changed_reg> '2/22/PBI/2000' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 13/10/PBI/2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
12/19/PBI/2010 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA
BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa arus masuk modal asing meningkat tinggi sehingga
mengakibatkan peningkatan kondisi likuiditas valuta asing
perbankan secara signifikan;
b. bahwa arus masuk modal asing sebagaimana dimaksud
pada huruf a lebih bersifat jangka pendek dan berdampak
pada kondisi ekses likuiditas valuta asing yang dapat
menyebabkan instabilitas nilai tukar dan gangguan pada
stabilitas ekonomi makro;
c. bahwa untuk mengurangi risiko instabilitas nilai tukar yang
berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi makro,
diperlukan penguatan manajemen likuiditas valuta asing
oleh bank dan pengelolaan arus modal asing oleh Bank
Indonesia;
d. bahwa untuk penguatan manajemen likuiditas valuta asing
oleh bank dan pengelolaan arus modal asing oleh Bank
Indonesia . . .
- 2 -
Indonesia, perlu kebijakan peningkatan giro wajib
minimum dalam valuta asing;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu untuk
mengubah ketentuan mengenai giro wajib minimum bank
umum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing
dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN . . .
- 3 -
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
12/19/PBI/2010 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK
UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN
VALUTA ASING.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah
dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5158), diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (3) ditetapkan sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam
valuta asing.
(2) Ketentuan pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. sejak tanggal 1 Maret 2011 sampai dengan tanggal 31 Mei 2011,
GWM dalam valuta asing ditetapkan sebesar 5% (lima persen)
dari DPK dalam valuta asing.
b. sejak tanggal 1 Juni 2011, GWM dalam valuta asing ditetapkan
sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam valuta asing.
2. Penjelasan . . .
- 4 -
2. Penjelasan Pasal 18 ayat (2) diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan, dan ketentuan Pasal 18 ayat (3) diubah sehingga Pasal 18
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen) dari rata-rata
suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR dalam
rupiah pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM
dalam rupiah, untuk setiap hari kerja pelanggaran.
(2) Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar 0,04% (nol koma nol empat persen) per
hari kerja, yang dihitung dari selisih antara saldo harian Rekening
Giro Valas Bank pada Bank Indonesia yang wajib dipenuhi dengan
saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang dicatat pada sistem
akunting Bank Indonesia.
(3) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibayarkan dalam valuta rupiah dengan menggunakan kurs tengah
Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran.
(4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Bank
yang mendapatkan insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM
dalam rupiah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
tentang Insentif dalam rangka Konsolidasi Perbankan, sepanjang
kekurangan GWM Primer dalam rupiah tidak lebih dari 1% (satu
persen) dari DPK dalam rupiah.
Pasal II
. . .
- 5 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 9 Februari 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 9 Februari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 21
DPNP/DKM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/10/PBI/2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
12/19/PBI/2010 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA
BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
I. UMUM
Seiring dengan meningkatnya arus modal masuk, kondisi likuiditas valuta
asing perbankan mengalami peningkatan menjadi lebih tinggi dibandingkan pada
saat periode terjadinya gejolak ekonomi global tahun 2008. Hal ini tercermin
pada posisi aset Bank dalam valuta asing yang jauh melebihi posisi di tahun
2008. Selain itu, aktivitas transaksi di pasar valuta asing juga meningkat menuju
level sebelum periode gejolak ekonomi global tahun 2008.
Arus modal masuk tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan
permintaannya yang relatif stabil sehingga menyebabkan nilai tukar rupiah
cenderung terapresiasi. Kondisi ini dapat mengurangi daya saing ekspor non
migas Indonesia. Terlebih lagi, arus modal masuk yang besar tersebut lebih
bersifat jangka pendek di instrumen pasar keuangan Indonesia. Hal ini sejalan
dengan membaiknya kinerja ekonomi makro Indonesia dan tingginya imbal hasil
instrumen keuangan dibandingkan dengan negara emerging market lainnya. Arus
modal jangka pendek tersebut bersifat fluktuatif dan berpotensi menimbulkan
arus modal keluar dalam jumlah besar di kemudian hari apabila investor asing
mengubah . . .
- 2 -
mengubah minatnya dan menarik kembali investasinya di instrumen keuangan
domestik. Kondisi ini dapat menyebabkan gejolak nilai tukar rupiah.
Oleh karena itu, peningkatan likuiditas valuta asing harus disertai dengan
penguatan manajemen likuiditas valuta asing oleh Bank untuk memenuhi
kebutuhan penarikan Dana Pihak Ketiga dalam valuta asing dan untuk
mengantisipasi permintaan valuta asing lainnya yang tinggi khususnya dalam
periode krisis. Selain itu, Bank Indonesia juga perlu memperkuat pengelolaan
arus modal asing mengingat karakteristik modal asing terutama dalam bentuk
investasi portofolio yang cenderung fluktuatif. Hal ini sejalan dengan upaya
Bank Indonesia dalam meminimalkan volatilitas nilai tukar rupiah.
Pada saat krisis finansial global tahun 2008 Bank Indonesia menurunkan
kewajiban GWM dalam valuta asing untuk mengurangi keketatan likuiditas
valuta asing. Kebijakan tersebut menjadikan GWM dalam valuta asing di
Indonesia dipandang terlalu rendah bahkan terendah dalam sejarah maupun
dibandingkan dengan negara kawasan serta negara dalam peringkat investasi
yang sama (peer group-nya). Kewajiban GWM dalam valuta asing yang rendah
ini tidak dapat menjadi sumber pasokan ketika terjadi gejolak nilai tukar yang
tajam khususnya di masa krisis. Oleh karena itu, Bank Indonesia perlu
meningkatkan kewajiban GWM dalam valuta asing untuk mendukung upaya
pengelolaan arus modal asing oleh Bank Indonesia dan penguatan manajemen
likuiditas valuta asing oleh Bank.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, dengan mempertimbangkan kondisi
perekonomian, kondisi likuiditas perbankan dewasa ini, dan arah kebijakan Bank
Indonesia, dipandang perlu untuk mengubah ketentuan mengenai giro wajib
minimum.
II. PASAL . . .
- 3 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 4
Ayat (1)
Contoh perhitungan GWM dalam valuta asing:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing
dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
bulan Juni sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta US
dollar).
GWM dalam valuta asing harian untuk masa laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Juni adalah
sebesar :
8% x USD100.000.000,00 = USD8.000.000,00 (delapan juta
US dollar).
Ayat (2)
Huruf a
Contoh perhitungan:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta
asing dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan
tanggal 23 bulan Februari sebesar USD100.000.000,00
(seratus juta US dollar).
GWM dalam valuta asing harian untuk masa laporan sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 Maret adalah sebesar :
5% x USD100.000.000,00 = USD5.000.000,00 (lima juta
US dollar).
Huruf b . . .
- 4 -
Huruf b
Contoh perhitungan:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta
asing dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan
tanggal 23 bulan Mei sebesar USD100.000.000,00 (seratus
juta US dollar).
GWM dalam valuta asing harian untuk masa laporan sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 Juni adalah sebesar :
8% x USD100.000.000,00 = USD8.000.000,00 (delapan
juta US dollar).
Angka 2
Pasal 18
Ayat (1)
Contoh perhitungan sanksi:
Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam
masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
bulan November sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima
puluh lima triliun rupiah), LDR Bank posisi akhir masa laporan
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar 105%
(seratus lima persen) dan KPMM Bank posisi akhir bulan Juni
sebesar 12% (dua belas persen).
GWM dalam rupiah harian Bank A yang wajib dipenuhi untuk
masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir
bulan November adalah sebesar:
a. GWM . . .
- 5 -
a. GWM Primer dalam rupiah sebesar 8% (delapan persen)
dari DPK dalam rupiah, yaitu sebesar
Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus miliar
rupiah);
b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma
lima persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar
Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh
lima miliar rupiah); dan
c. GWM LDR dalam rupiah sebesar 1% (satu persen) dari
DPK dalam rupiah, yaitu sebesar Rp550.000.000.000,00
(lima ratus lima puluh miliar rupiah), sesuai contoh
perhitungan penjelasan Pasal 11 huruf c.
GWM Primer dalam rupiah dan GWM LDR dalam rupiah
sebesar 9% (sembilan persen) dari DPK dalam rupiah yaitu
sebesar Rp4.950.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus
lima puluh miliar rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk saldo
Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
Sedangkan GWM Sekunder sebesar 2,5% dari DPK dalam
rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga
ratus tujuh puluh lima miliar rupiah) wajib dipenuhi dalam
bentuk SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve.
Contoh 1:
Pada tanggal 24 November, saldo Rekening Giro Rupiah Bank
A pada Bank Indonesia adalah sebesar Rp4.500.000.000.000,00
(empat triliun lima ratus miliar rupiah) dan Bank A memiliki
SBI, SUN, dan SBSN sebesar Rp1.500.000.000.000,00 (satu
triliun lima ratus miliar rupiah) sehingga terdapat kekurangan
pemenuhan . . .
- 6 -
pemenuhan GWM Primer dan GWM LDR sebesar
Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah).
Kekurangan GWM Primer dan GWM LDR tidak dapat
dipenuhi dari kelebihan GWM Sekunder.
Suku Bunga JIBOR dalam rupiah pada tanggal 24 November
adalah sebesar 6% (enam persen).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran
GWM dalam rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 November
adalah sebagai berikut:
Kekurangan GWM dalam rupiah x 125% x suku bunga JIBOR
dalam rupiah x hari kerja
360
yaitu
Rp450.000.000.000,00 x 125% x 6% x 1
360
Selain itu pada tanggal 24 November Bank A tidak
memperoleh jasa giro karena tidak dapat memenuhi seluruh
kewajiban GWM dalam rupiah (kekurangan saldo Rekening
Giro Rupiah untuk pemenuhan GWM Primer dan GWM LDR).
Contoh 2:
Pada tanggal 24 November, saldo Rekening Giro Rupiah Bank
A pada Bank Indonesia adalah sebesar Rp5.100.000.000.000,00
(lima triliun seratus miliar rupiah) dan Bank A memiliki SBI,
SUN, dan SBSN sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun
rupiah) sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM
Sekunder dalam rupiah sebesar Rp375.000.000.000,00 (tiga
ratus tujuh puluh lima miliar rupiah).
Bank A . . .
- 7 -
Bank A memiliki
Excess Reserve
sebesar
Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah) yang
dapat digunakan untuk pemenuhan kekurangan GWM
Sekunder dalam rupiah, sehingga Bank masih kekurangan
untuk pemenuhan GWM Sekunder sebesar :
Rp375.000.000.000,00 – Rp150.000.000.000,00 =
Rp225.000.000.000,00
Suku Bunga JIBOR dalam rupiah pada tanggal 24 November
adalah sebesar 6% (enam persen).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran
GWM dalam rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 November
adalah sebagai berikut:
Kekurangan GWM dalam rupiah x 125% x suku bunga JIBOR
dalam rupiah x hari kerja
360
yaitu
Rp225.000.000.000,00 x 125% x 6% x 1
360
Selain itu pada tanggal 24 November Bank A tidak
memperoleh jasa giro karena tidak dapat memenuhi seluruh
kewajiban GWM dalam rupiah (kekurangan SBI, SUN, SBSN
dan/atau Excess Reserve untuk memenuhi kewajiban GWM
Sekunder).
Contoh 3:
Pada tanggal 24 November, saldo Rekening Giro Rupiah Bank
A pada Bank Indonesia adalah sebesar Rp4.500.000.000.000,00
(empat triliun lima ratus miliar rupiah) dan Bank A memiliki
SBI . . .
- 8 -
SBI, SUN, dan SBSN sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu
triliun rupiah) sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM
dalam rupiah sebesar Rp825.000.000.000,00 (delapan ratus
dua puluh lima miliar rupiah) yaitu terdiri dari kekurangan
pemenuhan GWM Primer dalam rupiah dan GWM LDR dalam
rupiah sebesar Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh
miliar rupiah) dan kekurangan pemenuhan GWM Sekunder
dalam rupiah sebesar Rp375.000.000.000,00 (tiga ratus tujuh
puluh lima miliar rupiah).
Suku Bunga JIBOR dalam rupiah pada tanggal 24 November
adalah sebesar 6% (enam persen).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran
GWM dalam rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 November
adalah sebagai berikut:
Kekurangan GWM dalam rupiah x 125% x suku bunga JIBOR
dalam rupiah x hari kerja
360
yaitu
Rp825.000.000.000,00 x 125% x 6% x 1
360
Selain itu pada tanggal 24 November Bank A tidak
memperoleh jasa giro karena tidak dapat memenuhi kewajiban
GWM dalam rupiah (kekurangan saldo Rekening Giro Rupiah
untuk pemenuhan kewajiban GWM Primer dan GWM LDR
serta kekurangan SBI, SUN, SBSN dan/atau Excess Reserve
untuk memenuhi kewajiban GWM Sekunder).
Ayat (2) . . .
- 9 -
Ayat (2)
Contoh perhitungan:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing
dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
bulan Juni sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta US
dollar).
GWM dalam valuta asing harian untuk masa laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Juni adalah
sebesar:
8% x USD100.000.000,00 = USD8.000.000,00 (delapan juta
US dollar).
Saldo Rekening Giro Valuta asing Bank A pada Bank
Indonesia pada tanggal 24 Juni adalah sebesar
USD7.900.000,00 (tujuh juta sembilan ratus ribu US dollar)
sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM sebesar
USD100.000,00 (seratus ribu US dollar).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran
GWM dalam valuta asing untuk Bank A pada tanggal 24 Juni
adalah sebagai berikut:
0,04% x (USD8.000.000,00 – USD7.900.000,00) = USD40,00
(empat puluh US dollar).
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kurs tengah adalah kurs jual ditambah
dengan kurs beli dibagi dua.
Dengan sanksi kewajiban membayar sebesar USD40,00 (empat
puluh US dollar) sebagaimana contoh perhitungan pada
penjelasan . . .
- 10 -
penjelasan ayat (2) dan asumsi kurs tengah Bank Indonesia
pada hari terjadinya pelanggaran adalah Rp9.000,00/USD
(sembilan ribu rupiah per US dollar), maka sanksi kewajiban
membayar yang harus dibayarkan adalah sebesar:
40 x Rp9.000,00 = Rp360.000,00 (tiga ratus enam puluh ribu
rupiah).
Ayat (4)
Kelonggaran pemenuhan GWM dalam rupiah bagi Bank yang
mendapatkan insentif dalam rangka konsolidasi
perbankan diperuntukkan bagi pemenuhan GWM Primer
dalam rupiah yang sesuai ketentuan saat ini menjadi paling
kurang sebesar 7% (tujuh persen) dari DPK dalam rupiah.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
5200
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/10/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/19/PBI/2010 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING </reg_title>
<set_date> 9 Februari 2011 </set_date>
<effective_date> 9 Februari 2011 </effective_date>
<issued_date> 9 Februari 2011 </issued_date>
<changed_reg> '12/19/PBI/2010' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 2 Pasal 18' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 6/14/PBI/2004
TENTANG
PENGELUARAN, PENGEDARAN, PENCABUTAN DAN PENARIKAN,
SERTA PEMUSNAHAN UANG RUPIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur
dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;
b. bahwa dalam melaksanakan tugas mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia berwenang
untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta
mencabut, menarik dan memusnahkan uang rupiah dari
peredaran;
c. bahwa dalam melaksanakan kewenangan tersebut telah
diatur ketentuan mengenai pengeluaran, pengedaran,
pencabutan dan penarikan, serta pemusnahan uang rupiah;
d. bahwa ketentuan mengenai pengeluaran, pengedaran,
pencabutan dan penarikan, serta pemusnahan uang rupiah
yang ada saat ini perlu disempurnakan;
e. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikeluarkan
ketentuan mengenai pengeluaran, pengedaran, pencabutan
dan penarikan, serta pemusnahan uang rupiah dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4357);
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENGELUARAN, PENGEDARAN, PENCABUTAN DAN
PENARIKAN, SERTA PEMUSNAHAN UANG RUPIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Uang adalah uang rupiah.
2. Uang Kertas adalah Uang dalam bentuk lembaran yang terbuat dari bahan
kertas atau bahan lainnya.
3. Uang …
- 3 -
3. Uang Logam adalah Uang dalam bentuk koin yang terbuat dari aluminium,
aluminium bronze, kupronikel atau bahan lainnya.
4. Uang Tidak Layak Edar adalah Uang lusuh, Uang cacat, Uang rusak, dan
Uang yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran.
5. Uang Lusuh adalah Uang yang ukuran fisiknya tidak berubah dari ukuran
aslinya tetapi kondisi Uang telah berubah yang disebabkan antara lain
karena jamur, minyak, bahan kimia, coretan-coretan.
6. Uang Cacat adalah Uang hasil cetak yang spesifikasi teknisnya tidak sesuai
dengan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia.
7. Uang Rusak adalah Uang yang ukuran atau fisiknya telah berubah dari
ukuran aslinya yang antara lain karena terbakar, berlubang, hilang sebagian,
atau Uang yang ukuran fisiknya tidak berubah dari ukuran aslinya antara lain
karena robek, atau Uang yang mengerut.
8. Ciri Uang adalah tanda-tanda tertentu pada setiap Uang yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia, dengan tujuan untuk mengamankan Uang tersebut dari
upaya pemalsuan. Tanda-tanda tersebut dapat berupa warna, gambar,
ukuran, berat dan tanda-tanda lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
9. Bahan Uang adalah kertas uang, logam uang atau bahan lainnya termasuk
tanda pengaman uang yang spesifikasinya telah ditetapkan oleh Bank
Indonesia dan digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan dan atau
pengaman Uang.
10. Uang Khusus adalah Uang yang dikeluarkan secara khusus dalam rangka
memperingati peristiwa atau tujuan tertentu dan memiliki nilai nominal yang
berbeda dengan nilai jualnya.
11. Uang Palsu adalah benda yang bentuknya menyerupai Uang dan tidak
memiliki tanda keaslian Uang sebagaimana ditetapkan oleh Bank Indonesia.
BAB II …
- 4 -
BAB II
PENGELUARAN UANG
Pasal 2
(1) Bank Indonesia menetapkan macam Uang, harga Uang, Ciri Uang yang akan
dikeluarkan, serta Bahan Uang yang digunakan.
(2) Dalam menetapkan Ciri Uang dan Bahan Uang, Bank Indonesia berwenang
menetapkan desain Uang, spesifikasi Uang dan spesifikasi Bahan Uang.
Pasal 3
(1) Macam Uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia terdiri dari Uang Kertas
dan Uang Logam.
(2) Uang Kertas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat Ciri Uang
sekurang-kurangnya :
a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b. kata “Bank Indonesia”;
c. pecahan dalam angka dan huruf sebagai nilai nominalnya;
d. tahun emisi;
e. nomor seri;
f. kata “Dewan Gubernur”, tanda tangan dan sebutan Gubernur dan
seorang anggota Dewan Gubernur; dan
g. kalimat “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Bank Indonesia
mengeluarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai”.
(3) Uang …
- 5 -
(3) Uang Logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat Ciri Uang
sekurang-kurangnya :
a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b. kata “Bank Indonesia”;
c. pecahan dalam angka sebagai nilai nominalnya; dan
d. tahun emisi.
Pasal 4
(1) Bank Indonesia melaksanakan pengadaan Bahan Uang dan jasa lainnya,
termasuk menetapkan penyedia Bahan Uang dan jasa lainnya, sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia menetapkan perusahaan percetakan uang sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia menetapkan pemasok uang sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 5
Bank Indonesia menetapkan tanggal mulai berlakunya Uang yang dikeluarkan
sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia.
Pasal 6 …
- 6 -
Pasal 6
Bank Indonesia mengeluarkan Uang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 5 dengan Peraturan Bank Indonesia.
BAB III
PENGEDARAN UANG
Pasal 7
(1) Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang
mengedarkan Uang kepada masyarakat.
(2) Pelaksanaan pengedaran Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang disetujui oleh Bank
Indonesia.
Pasal 8
(1) Bank Indonesia memberikan layanan kas yang terdiri dari layanan bayaran,
layanan setoran dan layanan penukaran.
(2) Layanan …
- 7 -
(2) Layanan bayaran dan layanan setoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada pihak yang memiliki rekening di Bank Indonesia dan pihak
lain yang disetujui oleh Bank Indonesia.
(3) Pihak yang memperoleh layanan setoran sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), melakukan penyortiran atas Uang yang akan disetorkan kepada Bank
Indonesia.
Pasal 9
(1) Layanan penukaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diberikan
kepada masyarakat untuk menukarkan :
a. Uang yang masih layak edar dengan Uang yang masih layak edar dalam
pecahan yang sama atau pecahan lainnya; atau
b. Uang Tidak Layak Edar dengan Uang yang masih layak edar dalam
pecahan yang sama atau pecahan lainnya.
(2) Pelaksanaan layanan penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diberikan oleh pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia tidak memberikan penggantian atas Uang yang hilang atau
musnah karena sebab apapun.
(4) Bank Indonesia dan atau pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia
memberikan penggantian atas Uang Lusuh atau Uang Cacat sebesar nilai
nominal.
(5) Penggantian Uang Lusuh atau Uang Cacat sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) diberikan sepanjang Bank Indonesia dan atau pihak lain yang disetujui
oleh Bank Indonesia dapat mengenali tanda keaslian Uang.
(6) Bank Indonesia dan atau pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia
memberikan penggantian atas Uang Rusak.
7) besarnya …
- 8 -
(7) Besarnya penggantian atas Uang Rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
diatur sebagai berikut :
a. Uang Kertas atau Uang Logam apabila :
1) fisik Uang lebih besar dari setengah ukuran aslinya dan Ciri Uang
dapat dikenali keasliannya diberikan penggantian sebesar nilai
nominal;
2) fisik Uang sama dengan atau kurang dari setengah ukuran aslinya
tidak diberikan penggantian.
b. Uang Kertas yang terbuat dari bahan plastik (polimer) apabila :
1) fisik Uang mengerut dan masih utuh serta Ciri Uang dapat dikenali
keasliannya diberikan penggantian sebesar nilai nominal;
2) fisik Uang mengerut dan tidak utuh serta ciri Uang dapat dikenali
keasliannya besarnya penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) huruf a.
(8) Penggantian sebesar nilai nominal terhadap Uang Kertas sebagaimana
dimaksud pada ayat (7), diberikan apabila :
a. Uang Rusak masih merupakan satu kesatuan dan terdapat salah satu
nomor serinya secara lengkap; atau
b. Uang Rusak tidak merupakan satu kesatuan tetapi masih terdapat kedua
nomor serinya secara lengkap dan sama.
(9) Uang Lusuh atau Uang Cacat dalam kondisi rusak, diberikan penggantian
yang besarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dengan memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (8).
BAB IV …
- 9 -
BAB IV
PENCABUTAN DAN PENARIKAN UANG
Pasal 10
(1) Bank Indonesia menetapkan Uang tidak sebagai alat pembayaran yang sah di
wilayah negara Republik Indonesia dengan cara mencabut dan menarik
Uang dari peredaran.
(2) Uang yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan penggantian.
(3) Besarnya penggantian Uang yang dicabut dan ditarik dari peredaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sebagai berikut :
a. Uang Lusuh atau Uang Cacat diberikan penggantian sebesar nilai
nominal;
b. Uang Rusak diberikan penggantian yang besarnya mengacu dalam Pasal
9 ayat (7) dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (8).
(4) Penarikan Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang masih dalam
peredaran, dilakukan dengan cara menukarkan kepada Bank Indonesia atau
pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(5) Penukaran Uang yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun
sejak tanggal pencabutan.
(6) Pencabutan…
- 10 -
(6) Pencabutan dan penarikan Uang dari peredaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
BAB V
PEMUSNAHAN UANG
Pasal 11
Bank Indonesia melakukan pemusnahan terhadap :
a. Uang Tidak Layak Edar; dan
b. Uang yang masih layak edar yang dengan pertimbangan tertentu tidak lagi
mempunyai manfaat ekonomis dan atau kurang diminati oleh masyarakat.
BAB VI
UANG YANG DIRAGUKAN KEASLIANNYA
Pasal 12
Masyarakat dapat meminta klarifikasi kepada Bank Indonesia terhadap Uang yang
diragukan keasliannya.
Pasal 13
(1) Bank Indonesia memberikan penggantian terhadap Uang yang telah
dinyatakan asli.
(2) Besarnya …
- 11 -
(2) Besarnya penggantian terhadap Uang yang telah dinyatakan asli
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu dalam Pasal 9 ayat (4) dan
ayat (7) serta memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (8).
(3) Uang yang dinyatakan palsu tidak diberikan penggantian oleh Bank
Indonesia.
(4) Uang yang dinyatakan palsu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diproses
sesuai ketentuan yang berlaku.
BAB VII
PELAPORAN DAN KERJASAMA PENANGGULANGAN UANG PALSU
Pasal 14
Bank umum wajib menyampaikan laporan mengenai penemuan Uang Palsu
kepada Bank Indonesia.
Pasal 15
(1) Bank Indonesia memberikan informasi dan pengetahuan mengenai tanda
keaslian Uang kepada masyarakat.
(2) Dalam memberikan informasi dan pengetahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank Indonesia dapat bekerjasama dengan pihak lain.
Pasal 16…
- 12 -
Pasal 16
Bank Indonesia melakukan kerjasama dengan instansi yang berwenang dalam
rangka penanggulangan Uang Palsu.
BAB VIII
UANG KHUSUS
Pasal 17
(1) Bank Indonesia mengeluarkan Uang Khusus.
(2) Uang Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikeluarkan oleh
Bank Indonesia atas permohonan pihak lain.
(3) Bank Indonesia mengenakan royalti terhadap Uang Khusus yang
dikeluarkan atas permohonan pihak lain.
(4) Macam Uang Khusus yang dikeluarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari Uang Kertas dan Uang Logam.
(5) Uang Kertas yang dikeluarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
berbentuk lembaran Uang yang belum dipotong.
(6) Uang Khusus yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia merupakan alat
pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia.
(7) Macam Uang Khusus, harga Uang Khusus dan ciri Uang Khusus yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
(8) Uang…
- 13 -
(8) Uang Khusus dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam jumlah terbatas dan
dilengkapi dengan sertifikat.
(9) Uang Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijamin oleh Bank
Indonesia sebesar nilai nominal.
(10) Pengedaran Uang Khusus dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain
yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
BAB IX
SPESIMEN UANG
Pasal 18
(1) Bank Indonesia mengeluarkan dan menyampaikan spesimen Uang Kertas
kepada bank umum, bank sentral negara lain dan pihak lain yang disetujui
oleh Bank Indonesia untuk setiap Uang Kertas emisi baru.
(2) Spesimen Uang Kertas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan
merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia.
BAB X
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 19
Pelanggaran …
- 14 -
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 20
Peraturan Pelaksanaan dari :
a.
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.13/52/Kep/Dir/UPU tanggal 1
Desember 1980 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pelaksanaan
Pengedaran Uang; dan
b. Peraturan Bank Indonesia No.2/17/PBI/2000 tanggal 20 Juli 2000 tentang
Pengeluaran dan Pengedaran serta Pencabutan dan Penarikan Uang Rupiah,
dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diperbaharui dan tidak bertentangan
dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur lebih lanjut
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 22
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka :
a. Surat …
- 15 -
a.
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.13/52/Kep/Dir/UPU tanggal 1
Desember 1980 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pelaksanaan
Pengedaran Uang;
b. Peraturan Bank Indonesia No.1/12/PBI/1999 tanggal 29 Desember 1999
tentang Uang Rupiah Khusus (Commemorative);
Peraturan Bank Indonesia No.2/17/PBI/2000 tanggal 20 Juli 2000 tentang
Pengeluaran dan Pengedaran serta Pencabutan dan Penarikan Uang Rupiah,
dinyatakan tidak berlaku.
c.
Pasal 23
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Agustus 2004.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 22 Juni 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 52
DPU
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 6/14/PBI/2004
TENTANG
PENGELUARAN, PENGEDARAN, PENCABUTAN DAN PENARIKAN,
SERTA PEMUSNAHAN UANG RUPIAH
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan harga Uang adalah nilai nominal atau
pecahan Uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4 …
- 2 -
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penyedia Bahan Uang dan jasa lainnya
adalah perusahaan atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia untuk menyediakan Bahan Uang dan atau jasa lainnya.
Yang dimaksud dengan jasa lainnya antara lain adalah jasa asuransi,
pengangkutan, pelaksana impor (handling import).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan perusahaan percetakan uang adalah
Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum
Peruri) atau perusahaan lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
untuk melakukan pencetakan Uang.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pemasok uang adalah perusahaan atau pihak
lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk menyediakan Bahan
Uang dan melakukan pencetakan Uang, serta jasa lainnya dalam
rangka pengadaan Uang.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Peraturan Bank Indonesia ini memuat antara lain macam Uang, harga
Uang, Ciri Uang dan tanggal mulai berlakunya Uang.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan mengedarkan Uang antara lain adalah
melakukan kegiatan layanan kas dan pengiriman Uang.
Ayat (2) …
- 3 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan layanan bayaran adalah kegiatan
pembayaran Uang yang masih layak edar oleh Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan layanan setoran adalah kegiatan penerimaan
Uang oleh Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan layanan penukaran adalah kegiatan
penerimaan Uang oleh Bank Indonesia dari masyarakat dengan
memberikan penggantian berupa Uang yang masih layak edar dalam
pecahan yang sama atau pecahan lainnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pihak lain adalah pihak yang tidak memiliki
rekening di Bank Indonesia, tetapi mempunyai hubungan hukum
dengan Bank Indonesia.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan penyortiran adalah kegiatan memilih dan
memilah Uang antara lain menurut kelayakan edar, pecahan dan
tahun emisi. Dalam kegiatan ini termasuk pula melakukan
penyusunan gambar utama bagian muka (depan) dan belakang Uang
yang searah.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas …
- 4 -
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Huruf a dan b
Dalam penetapan penggantian, Bank Indonesia berwenang
menilai besarnya keutuhan fisik uang.
Ayat (8)
Huruf a
Yang dimaksud dengan satu kesatuan adalah kondisi fisik
Uang Kertas yang diserahkan oleh masyarakat tidak terdiri
dari
2 (dua) bagian atau lebih.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
- 5 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang termasuk dalam pengertian pihak lain antara lain adalah
perusahaan yang melayani penukaran uang.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan tidak lagi mempunyai manfaat ekonomis
antara lain adalah nilai intrinsik lebih besar dari nilai nominal.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas …
- 6 -
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain adalah Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Interpol.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan lembaran Uang yang belum dipotong adalah
lembaran Uang yang sekurang-kurangnya terdiri dari 2 (dua) lembar
Uang Kertas dan masih merupakan satu kesatuan.
Ayat (6)
Cukup jelas …
- 7 -
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Ayat (10)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan spesimen Uang adalah contoh Uang Kertas
yang pada salah satu sisinya tercantum kata “Spesimen”.
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain adalah Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23 …
- 8 -
Pasal 23
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4388
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/14/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN, PENGEDARAN, PENCABUTAN DAN PENARIKAN, SERTA PEMUSNAHAN UANG RUPIAH </reg_title>
<set_date> 22 Juni 2004 </set_date>
<effective_date> 2 Agustus 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '13/52/KEP/DIR/UPU|SKDIR-BI/1980', '1/12/PBI/1999', '2/17/PBI/2000' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/ 6 /PBI/2017
TENTANG
PERUBAHAN KELIMA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas transmisi
kebijakan moneter, dibutuhkan langkah penguatan
kerangka operasional kebijakan moneter dan penguatan
manajemen likuiditas bank melalui perubahan
perhitungan pemenuhan giro wajib minimum;
b. bahwa perubahan perhitungan tersebut bertujuan untuk
memberikan fleksibilitas, meningkatkan efisiensi
pengelolaan likuiditas bank, dan mengurangi volatilitas
suku bunga;
c. bahwa untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
pengaturan pemenuhan sebagian giro wajib minimum
primer secara rata-rata;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Perubahan Kelima atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank
- 2 -
Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum
Konvensional;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KELIMA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK
UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK
UMUM KONVENSIONAL.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum
dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum
Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 235, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5478) yang telah beberapa kali diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia:
a. Nomor 17/11/PBI/2015 tentang Perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah
dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 152, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5712);
- 3 -
b. Nomor 17/21/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah
dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 286, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5769);
c. Nomor 18/3/PBI/2016 tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah
dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5856);
d. Nomor 18/14/PBI/2016 tentang Perubahan Keempat
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah
dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 174, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5921),
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri, yang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional.
- 4 -
2. Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta
Asing adalah Bank yang memperoleh persetujuan
dari otoritas yang berwenang untuk melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing.
3. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
4. Dana Pihak Ketiga Bank yang selanjutnya disingkat
DPK adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan
bukan penduduk dalam rupiah dan valuta asing.
5. Rekening Giro adalah rekening giro sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia.
6. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya
disebut Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Giro
dalam mata uang rupiah.
7. Rekening Giro dalam Valuta Asing yang selanjutnya
disebut Rekening Giro Valas adalah Rekening Giro
dalam valuta asing.
8. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat
GWM adalah jumlah dana minimum yang wajib
dipelihara oleh Bank yang besarnya ditetapkan oleh
Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari
DPK.
9. GWM Primer adalah simpanan minimum dalam
rupiah yang wajib dipelihara oleh Bank dalam
bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia
yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia
sebesar persentase tertentu dari DPK.
10. GWM Sekunder adalah cadangan minimum dalam
rupiah yang wajib dipelihara oleh Bank dalam
bentuk Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito
Bank Indonesia, dan/atau Surat Berharga Negara,
yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia
sebesar persentase tertentu dari DPK.
- 5 -
11. Loan to Funding Ratio yang selanjutnya disingkat
LFR adalah rasio kredit yang diberikan kepada pihak
ketiga dalam rupiah dan valuta asing, tidak
termasuk kredit kepada bank lain, terhadap:
a. dana pihak ketiga mencakup giro, tabungan,
dan deposito dalam rupiah dan valuta asing,
tidak termasuk dana antarbank; dan
b. surat berharga dalam rupiah dan valuta asing
yang memenuhi persyaratan tertentu yang
diterbitkan oleh Bank untuk memperoleh
sumber pendanaan.
12. LFR Target adalah kisaran LFR yang dibatasi oleh
batas bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia dalam rangka perhitungan GWM
LFR.
13. GWM LFR adalah simpanan minimum dalam rupiah
yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo
Rekening Giro pada Bank Indonesia sebesar
persentase tertentu dari DPK yang dihitung
berdasarkan selisih antara LFR yang dimiliki oleh
Bank dengan LFR Target.
14. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya
disebut JIBOR adalah Jakarta Interbank Offered
Rate sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga
penawaran antarbank.
15. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SBI adalah Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai operasi moneter.
16. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah Sertifikat Deposito Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi
moneter.
17. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat
SBN adalah surat berharga yang terdiri atas Surat
- 6 -
Utang Negara dalam mata uang rupiah dan Surat
Berharga Syariah Negara dalam mata uang rupiah
yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia.
18. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang
selanjutnya disebut KPMM adalah rasio antara
modal terhadap aset tertimbang menurut risiko
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal
minimum bank umum.
19. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia dalam rangka perhitungan GWM
LFR.
20. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter
pengali yang digunakan dalam perhitungan GWM
LFR bagi Bank yang memiliki LFR kurang dari batas
bawah LFR Target.
21. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali
yang digunakan dalam perhitungan GWM LFR bagi
Bank yang memiliki LFR lebih dari batas atas LFR
Target.
22. Total Kredit adalah seluruh kredit yang diberikan
oleh Bank kepada Bank dan bukan Bank dalam
rupiah dan valuta asing.
23. Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang
selanjutnya disebut Kredit UMKM adalah kredit
usaha mikro, kecil, dan menengah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pemberian kredit atau
pembiayaan oleh bank umum dalam rangka
pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah.
24. Rasio Kredit UMKM adalah perbandingan antara
jumlah Kredit UMKM terhadap Total Kredit.
- 7 -
25. Rasio Nonperforming Loan Total Kredit yang
selanjutnya disebut Rasio NPL Total Kredit adalah
rasio antara jumlah Total Kredit dengan kualitas
kurang lancar, diragukan, dan macet terhadap Total
Kredit.
26. Rasio Nonperforming Loan Kredit UMKM yang
selanjutnya disebut Rasio NPL Kredit UMKM adalah
rasio antara jumlah Kredit UMKM dengan kualitas
kurang lancar, diragukan, dan macet terhadap total
Kredit UMKM.
27. Laporan Berkala Bank Umum adalah laporan
berkala bank umum sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan berkala bank umum.
28. Laporan Bulanan Bank Umum adalah laporan
bulanan bank umum sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan bulanan bank umum.
2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 3
(1) Kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
ditetapkan sebagai berikut:
a. GWM Primer sebesar rata-rata 6,5% (enam
koma lima persen) dari DPK dalam rupiah
selama masa laporan tertentu yang dipenuhi:
1. secara harian sebesar 5% (lima persen);
dan
2. secara rata-rata untuk masa laporan
tertentu sebesar 1,5% (satu koma lima
persen);
b. GWM Sekunder secara harian sebesar 4%
(empat persen) dari DPK dalam rupiah; dan
- 8 -
c. GWM LFR secara harian sebesar hasil
perhitungan antara Parameter Disinsentif
Bawah atau Parameter Disinsentif Atas dengan
selisih antara LFR Bank dan LFR Target dengan
memperhatikan selisih antara KPMM Bank dan
KPMM Insentif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara
pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
(1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran
atas kewajiban pemenuhan GWM Primer yang
wajib dipenuhi secara harian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 1
kepada Bank yang melakukan merger atau
konsolidasi.
(2) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM
Primer yang wajib dipenuhi secara harian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
sebesar 1% (satu persen) untuk jangka waktu 1
(satu) tahun terhitung sejak merger atau
konsolidasi berlaku efektif.
(3) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM
dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku terhadap kewajiban pemenuhan
GWM Sekunder sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf b dan GWM LFR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf c.
- 9 -
(4) Pemberian kelonggaran GWM Primer yang wajib
dipenuhi secara harian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan atas permintaan Bank
kepada Bank Indonesia.
(5) Permintaan Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) harus disertai dengan persetujuan dari
OJK mengenai pemberian insentif merger atau
konsolidasi berupa kelonggaran atas kewajiban
pemenuhan GWM Primer.
4. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 8
(1) Pemenuhan GWM oleh Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dan Pasal 5 dilakukan pada hari kerja
termasuk dalam hal Bank Indonesia beroperasi
secara terbatas.
(2) Dalam hal wilayah tertentu ditetapkan libur secara
fakultatif, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal kantor Bank Indonesia di wilayah
tersebut tutup maka Bank yang berkantor
pusat di wilayah tersebut tidak diwajibkan
memenuhi GWM apabila Bank tersebut tidak
melakukan kegiatan operasional terkait saldo
giro Bank; dan
b. dalam hal kantor Bank Indonesia di wilayah
tersebut tetap beroperasi maka:
1. Bank tetap diwajibkan memenuhi GWM
apabila Bank yang berkantor pusat di
wilayah tersebut tetap beroperasi; dan
2. Bank tidak diwajibkan memenuhi GWM
apabila Bank yang berkantor pusat di
wilayah tersebut tutup dan Bank telah
menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Bank Indonesia yang
menegaskan bahwa Bank tidak melakukan
- 10 -
kegiatan operasional terkait saldo giro
Bank.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyampaian pemberitahuan tertulis kepada Bank
Indonesia diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
5. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 8A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8A
(1) Pemenuhan GWM Primer sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dikecualikan bagi
bank yang menerima pinjaman likuiditas jangka
pendek.
(2) Bank yang menerima pinjaman likuiditas jangka
pendek wajib memenuhi GWM Primer secara harian
sebesar 6,5% (enam koma lima persen) dari DPK
dalam rupiah.
(3) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), bank yang menerima pinjaman
likuiditas jangka pendek tetap wajib memenuhi
GWM Sekunder, GWM LFR, dan GWM dalam valuta
asing.
(4) Pemenuhan GWM Primer sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan sejak tanggal aktivasi
pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek
sampai dengan satu hari sebelum tanggal pelunasan
pinjaman likuiditas jangka pendek.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan
kewajiban GWM oleh bank yang menerima pinjaman
likuiditas jangka pendek diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
- 11 -
6. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 9
(1) Pemenuhan GWM Primer sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 1 dan GWM
LFR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf c dihitung dengan membandingkan posisi
saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia
setiap akhir hari dalam 2 (dua) masa laporan
terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah
dalam 2 (dua) masa laporan pada 4 (empat) masa
laporan sebelumnya.
(2) Pemenuhan GWM Primer sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 2 dihitung
dengan membandingkan rata-rata posisi saldo
Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia pada
akhir hari pada setiap akhir 2 (dua) masa laporan
terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah
dalam 2 (dua) masa laporan pada 4 (empat) masa
laporan sebelumnya.
(3) Pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, dihitung dengan
membandingkan posisi saldo Rekening Giro Valas
Bank di Bank Indonesia setiap akhir hari dalam 1
(satu) masa laporan terhadap rata-rata harian
jumlah DPK dalam valuta asing dalam 1 (satu) masa
laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemenuhan GWM Primer sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) serta GWM LFR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 12 -
7. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 10
(1) Pemenuhan GWM Sekunder sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dihitung dengan
membandingkan jumlah SBI, SDBI, dan/atau SBN
setiap akhir hari dalam 2 (dua) masa laporan
terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah
dalam 2 (dua) masa laporan pada 4 (empat) masa
laporan sebelumnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemenuhan GWM Sekunder sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
8. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 12
Pemenuhan GWM LFR dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dilakukan
sebagai berikut:
a. dalam hal LFR Bank berada dalam kisaran LFR
Target maka GWM LFR adalah sebesar 0% (nol
persen) dari DPK dalam rupiah;
b. dalam hal LFR Bank lebih kecil dari batas bawah
LFR Target maka GWM LFR merupakan hasil
perkalian antara Parameter Disinsentif Bawah,
selisih antara batas bawah LFR Target dan LFR
Bank, dan DPK dalam rupiah;
c. dalam hal LFR Bank lebih besar dari batas atas LFR
Target dan KPMM Bank lebih kecil dari KPMM
Insentif maka GWM LFR merupakan hasil perkalian
antara Parameter Disinsentif Atas, selisih antara
LFR Bank dan batas atas LFR Target, dan DPK
dalam rupiah; dan
- 13 -
d. dalam hal LFR Bank lebih besar dari batas atas LFR
Target dan KPMM Bank sama atau lebih besar dari
KPMM Insentif maka GWM LFR adalah sebesar 0%
(nol persen) dari DPK dalam rupiah.
9. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
(1) DPK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 8A, Pasal
12, dan Pasal 17 ayat (2) serta DPK dalam valuta
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
diperoleh dari laporan DPK rupiah dan valuta asing
pada Laporan Berkala Bank Umum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan yang mengatur
mengenai laporan berkala bank umum.
(2) Kredit, DPK, dan surat berharga yang diterbitkan
untuk perhitungan LFR Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dan Pasal
12 diperoleh dari:
a. neraca mingguan pada Laporan Berkala Bank
Umum yang disampaikan Bank sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan yang mengatur
mengenai laporan berkala bank umum, untuk
data kredit dan DPK; dan
b.
laporan surat berharga yang diterbitkan, yang
disampaikan Bank kepada Bank Indonesia
secara berkala, untuk data surat berharga.
(3) KPMM Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf c dan Pasal 11 adalah KPMM
triwulanan.
(4) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil
perhitungan KPMM yang diterima Bank Indonesia
dari OJK dengan hasil perhitungan KPMM yang
dilakukan oleh Bank maka yang berlaku adalah
KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK.
- 14 -
(5) Kredit UMKM untuk perhitungan Rasio Kredit
UMKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) huruf a diperoleh dari:
a. daftar rincian kredit yang diberikan dalam
Laporan Bulanan Bank Umum posisi 2 (dua)
masa laporan sebelumnya sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan yang mengatur
mengenai laporan bulanan bank umum; dan
b.
laporan realisasi pemberian kredit atau
pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola
executing sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pemberian kredit atau pembiayaan
oleh bank umum dalam rangka pengembangan
usaha mikro, kecil, dan menengah.
(6) Total Kredit untuk perhitungan Rasio Kredit UMKM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
huruf a diperoleh dari daftar rincian kredit yang
diberikan dalam Laporan Bulanan Bank Umum
posisi 2 (dua) masa laporan sebelumnya
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai laporan bulanan bank umum.
(7) Non-performing loan Total Kredit untuk perhitungan
Rasio NPL Total Kredit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b diperoleh dari daftar
rincian kredit yang diberikan dalam Laporan
Bulanan Bank Umum posisi 2 (dua) masa laporan
sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan yang mengatur mengenai laporan
bulanan bank umum.
(8) Non-performing
loan Kredit UMKM untuk
perhitungan Rasio NPL Kredit UMKM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c diperoleh
dari:
a. daftar rincian kredit yang diberikan dalam
Laporan Bulanan Bank Umum posisi 2 (dua)
masa laporan sebelumnya sebagaimana
- 15 -
dimaksud dalam ketentuan yang mengatur
mengenai laporan bulanan bank umum; dan
b.
laporan realisasi pemberian kredit atau
pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola
executing sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pemberian kredit atau pembiayaan
oleh bank umum dalam rangka pengembangan
usaha mikro, kecil, dan menengah.
10. Penjelasan Pasal 16A diubah menjadi sebagaimana
tercantum dalam Penjelasan.
11. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
(1) Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari
kerja terhadap bagian tertentu dari pemenuhan
kewajiban GWM Primer dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a.
(2) Bagian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen)
dari DPK dalam rupiah.
(3) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dengan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua
koma lima persen) per tahun.
(4) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan untuk setiap hari kerja bagi Bank yang
memenuhi rasio GWM Primer lebih dari atau sama
dengan 6,5% (enam koma lima persen) dan
memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(5) Bank Indonesia dapat mengubah kebijakan
pemberian jasa giro dan/atau persentase jasa giro
dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian
dan arah kebijakan Bank Indonesia.
- 16 -
(6) Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak berlaku
terhadap bank yang menerima pinjaman likuiditas
jangka pendek sejak tanggal aktivasi pemberian
pinjaman likuiditas jangka pendek sampai dengan
satu hari sebelum tanggal pelunasan pinjaman
likuiditas jangka pendek.
12. Penjelasan Pasal 17A diubah menjadi sebagaimana
tercantum dalam Penjelasan.
13. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
(1) Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 dilaksanakan dengan mengkredit Rekening
Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia.
(2) Pengkreditan Rekening Giro Rupiah Bank dalam
rangka pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
a.
jasa giro periode tanggal 1 sampai dengan
tanggal 15 dikreditkan paling lambat 2 (dua)
hari kerja setelah tanggal 15 bulan yang sama;
dan
b.
jasa giro periode tanggal 16 sampai dengan
tanggal akhir bulan dikreditkan paling lambat 2
(dua) hari kerja setelah tanggal akhir bulan.
(3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi
kekurangan atau kelebihan dalam pengkreditan
yang terkait dengan pemberian jasa giro
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia dapat mengkredit atau mendebit Rekening
Giro Rupiah Bank yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai sistem Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement.
- 17 -
14. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 5, Pasal 8A
dan Pasal 11 dikenakan sanksi berupa:
a.
teguran tertulis; dan
b. sanksi kewajiban membayar dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan
GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 1, Pasal 3
ayat (1) huruf b, Pasal 3 ayat (1) huruf c,
dan/atau Pasal 11 dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 125% (seratus dua puluh
lima persen) dari suku bunga jangka waktu 1
(satu) hari overnight dari JIBOR dalam rupiah
pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap
kekurangan GWM dalam rupiah, untuk setiap
hari kerja pelanggaran;
2. Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan
GWM Primer sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 2 dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar 125%
(seratus dua puluh lima persen) dari suku
bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari
rata-rata JIBOR dalam rupiah selama 2 (dua)
masa laporan, terhadap rata-rata kekurangan
GWM Primer yang wajib dipenuhi secara rata-
rata selama masa laporan tertentu untuk setiap
hari kerja selama 2 (dua) masa laporan;
3. Bank yang menerima pinjaman likuiditas
jangka pendek yang melanggar kewajiban
pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8A dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar 125% (seratus
- 18 -
dua puluh lima persen) dari suku bunga jangka
waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR dalam
rupiah pada hari terjadinya pelanggaran,
terhadap kekurangan GWM dalam rupiah,
untuk setiap hari kerja pelanggaran;
4. Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan
GWM dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar 0,04% (nol koma
nol empat persen) per hari kerja, yang dihitung
dari selisih antara saldo harian Rekening Giro
Valas Bank pada Bank Indonesia yang wajib
dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro
Valas Bank yang dicatat pada sistem akunting
Bank Indonesia; dan
5. sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam angka 4 dibayarkan dalam
rupiah dengan menggunakan kurs tengah dari
kurs transaksi Bank Indonesia pada hari
terjadinya pelanggaran.
15. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
(1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 huruf b angka 1 sampai dengan angka 4
dilaksanakan dengan mendebit Rekening Giro
Rupiah Bank pada Bank Indonesia.
(2) Pendebitan Rekening Giro Rupiah Bank dalam
rangka pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari
kerja berikutnya setelah tanggal terjadinya
pelanggaran GWM.
(3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi
kekurangan atau kelebihan dalam pendebitan yang
terkait dengan pengenaan sanksi sebagaimana
- 19 -
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat
mendebit atau mengkredit Rekening Giro Bank yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
untuk Rekening Giro Rupiah Bank dan sistem
akunting Bank Indonesia untuk Rekening Giro Valas
Bank.
(4) Apabila pada saat pendebitan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), saldo Rekening Giro Rupiah
Bank tidak mencukupi maka seluruh sanksi
kewajiban membayar tersebut diperhitungkan
sebagai kewajiban yang masih harus diselesaikan
oleh Bank kepada Bank Indonesia.
(5) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak
mencukupi untuk pendebitan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) maka atas kekurangan
tersebut juga dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 huruf b angka 1.
Pasal II
1. Ketentuan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 huruf b angka 2 mulai berlaku pada
tanggal 1 Agustus 2017.
2. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
1 Juli 2017.
- 20 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 April 2017
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 April 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 87
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/6 /PBI/2017
TENTANG
PERUBAHAN KELIMA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL
I. UMUM
Bank Indonesia telah melakukan langkah penguatan kerangka
operasional kebijakan moneter melalui implementasi suku bunga
kebijakan Bank Indonesia 7-day reverse repo rate guna meningkatkan
efektivitas transmisi kebijakan moneter.
Dalam rangka mengoptimalkan penguatan kerangka operasional
tersebut, Bank Indonesia berupaya untuk
kebijakan moneter
meningkatkan efisiensi pengelolaan likuiditas Bank melalui perubahan
perhitungan pemenuhan GWM.
Perubahan perhitungan pemenuhan GWM bertujuan untuk
memberikan fleksibilitas pengelolaan likuiditas perbankan, mengurangi
volatilitas suku bunga di pasar uang, dan mendorong pendalaman pasar
keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan kebijakan
pemenuhan sebagian GWM Primer secara rata-rata dan penyesuaian
periode pemenuhan GWM.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Perhitungan pemenuhan GWM Primer secara
harian dilakukan berdasarkan posisi saldo
Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia
pada akhir hari.
Perhitungan pemenuhan GWM Primer secara rata-
rata dilakukan berdasarkan rata-rata posisi saldo
Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia
pada akhir hari pada setiap akhir 2 (dua) masa
laporan.
Pemenuhan GWM Primer secara rata-rata hanya
dapat dipenuhi setelah Bank memenuhi GWM
Primer secara harian.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dengan pemberian kelonggaran atas kewajiban
pemenuhan GWM Primer yang wajib dipenuhi secara
- 3 -
harian sebesar 1% (satu persen) tersebut maka GWM
Primer yang wajib dipenuhi secara harian oleh Bank
yang semula sebesar 5% (lima persen) berubah menjadi
sebesar 4% (empat persen).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kegiatan operasional terkait
saldo giro Bank” adalah kegiatan Bank dan kantor
cabang Bank antara lain penerimaan atau pengiriman
dana dari atau kepada peserta Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement lain, setoran atau tarikan tunai
Bank kepada Bank Indonesia, dan pendebitan Rekening
Giro Bank oleh Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 8A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bank yang menerima pinjaman
likuiditas jangka pendek” adalah bank yang menerima
pinjaman likuiditas jangka pendek sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pinjaman likuiditas jangka pendek.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 4 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 9
Ayat (1)
Perhitungan pemenuhan persentase GWM Primer yang
dipenuhi secara harian dan GWM LFR adalah sebagai
berikut:
Jumlah harian saldo Rekening Giro Rupiah
Bank yang tercatat di Bank Indonesia
setiap akhir hari dalam 2 (dua) masa
laporan
X 100%
Rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah
Bank dalam 2 (dua) masa laporan pada 4
(empat) masa laporan sebelumnya
Perhitungan pemenuhan GWM Primer yang dipenuhi
secara harian dan GWM LFR didasarkan pada DPK
dalam rupiah Bank sebagai berikut:
a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 dan masa laporan sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah
sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari
rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah dalam
masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7 dan masa laporan sejak tanggal 8 sampai
dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan
b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16
sampai dengan tanggal 23 dan masa laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan
dari rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah
dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai
- 5 -
dengan tanggal 23 dan masa laporan sejak tanggal
24 sampai dengan tanggal akhir bulan
sebelumnya.
Ayat (2)
Perhitungan pemenuhan persentase GWM Primer
secara rata-rata dalam masa laporan tertentu adalah
sebagai berikut:
Jumlah rata-rata saldo Rekening Giro Rupiah
Bank yang tercatat di Bank Indonesia pada
akhir hari pada setiap akhir 2 (dua) masa
laporan
X 100%
Rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah
Bank dalam 2 (dua) masa laporan pada 4
(empat) masa laporan sebelumnya
Perhitungan pemenuhan GWM Primer secara rata-rata
dalam masa laporan tertentu didasarkan pada DPK
dalam rupiah Bank sebagai berikut:
a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 dan masa laporan sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah
sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari
rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah dalam
masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7 dan masa laporan sejak tanggal 8 sampai
dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan
b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16
sampai dengan tanggal 23 dan masa laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan
dari rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah
dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai
dengan tanggal 23 dan masa laporan sejak tanggal
24 sampai dengan tanggal akhir bulan
sebelumnya.
- 6 -
Ayat (3)
Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam valuta
asing adalah sebagai berikut:
Jumlah harian saldo Rekening Giro Valas
Bank yang tercatat di Bank Indonesia setiap
akhir hari dalam 1 (satu) masa laporan
X 100%
Rata-rata harian jumlah DPK dalam valuta
asing Bank dalam 1 (satu) masa laporan
pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya
Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing
didasarkan pada DPK dalam valuta asing Bank sebagai
berikut:
a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 adalah sebesar
persentase GWM dalam valuta asing yang
ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK
dalam valuta asing dalam masa laporan sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan
sebelumnya;
b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar
persentase GWM dalam valuta asing yang
ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK
dalam valuta asing dalam masa laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
sebelumnya;
c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16
sampai dengan tanggal 23 adalah sebesar
persentase GWM dalam valuta asing yang
ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK
dalam valuta asing dalam masa laporan sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang
sama; dan
d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar
persentase GWM dalam valuta asing yang
ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK
- 7 -
dalam valuta asing dalam masa laporan sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang
sama.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 10
Ayat (1)
SBN terdiri atas Surat Utang Negara dan Surat
Berharga Syariah Negara.
Yang dimaksud dengan “Surat Utang Negara” adalah
Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai Surat Utang
Negara, yang terdiri atas Obligasi Negara dan Surat
Perbendaharaan Negara.
Yang dimaksud dengan “Surat Berharga Syariah
Negara” adalah Surat Berharga Syariah Negara atau
Sukuk Negara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai Surat Berharga Syariah Negara yang terdiri
atas Surat Berharga Syariah Negara Jangka Panjang
dan Surat Berharga Syariah Negara Jangka Pendek.
Perhitungan pemenuhan persentase GWM Sekunder
adalah sebagai berikut:
SBI + SDBI + SBN setiap akhir hari dalam
2 (dua) masa laporan
X 100%
Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam
rupiah dalam 2 (dua) masa laporan pada 4
(empat) masa laporan sebelumnya
Perhitungan pemenuhan GWM Sekunder didasarkan
pada DPK Bank dalam rupiah sebagai berikut:
a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar
persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata
harian jumlah DPK dalam rupiah dalam masa
- 8 -
laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7
dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
bulan sebelumnya; dan
b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16
sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar
persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata
harian jumlah DPK dalam rupiah dalam masa
laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23
dan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir
bulan sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 12
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kredit, DPK, dan surat berharga yang diterbitkan untuk
perhitungan LFR Bank yang digunakan sebagai dasar
perhitungan GWM LFR didasarkan pada:
a. neraca mingguan pada Laporan Berkala Bank
Umum untuk data kredit dan DPK posisi akhir
tanggal laporan pada 4 (empat) masa laporan
sebelumnya, yaitu:
1. LFR Bank yang digunakan sebagai dasar
perhitungan GWM LFR harian untuk tanggal
1 sampai dengan tanggal 15 didasarkan pada
data DPK dan kredit pada akhir masa laporan
sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
bulan sebelumnya; dan
- 9 -
2. LFR Bank yang digunakan sebagai dasar
perhitungan GWM LFR harian untuk tanggal
16 sampai dengan akhir bulan didasarkan
pada data DPK dan kredit pada akhir masa
laporan sejak tanggal 24 sampai dengan akhir
bulan sebelumnya; dan
b.
laporan surat berharga yang diterbitkan untuk
data surat berharga posisi 2 (dua) masa laporan
sebelumnya.
Ayat (3)
KPMM triwulanan yang digunakan sebagai dasar
perhitungan GWM LFR merupakan hasil olahan sistem
aplikasi yang diterima oleh Bank Indonesia dari OJK
dalam rangka pengawasan terhadap Bank yang
bersangkutan, untuk posisi akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember, yaitu:
a. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan
untuk perhitungan GWM LFR harian untuk bulan
Juni, Juli, dan Agustus;
b. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan
untuk perhitungan GWM LFR harian untuk bulan
September, Oktober, dan November;
c. KPMM pada posisi akhir bulan September
digunakan untuk perhitungan GWM LFR harian
untuk bulan Desember, Januari, dan Februari;
dan
d. KPMM pada posisi akhir bulan Desember
digunakan untuk perhitungan GWM LFR harian
untuk bulan Maret, April, dan Mei.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
- 10 -
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 16A
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah
tanggal pelaksanaan peralihan operasional dari
Bank yang menggabungkan diri kepada Bank yang
menerima penggabungan atau dari Bank yang
meleburkan diri kepada Bank yang didirikan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 17
Ayat (1)
Perhitungan jasa giro harian dalam 2 (dua) masa
laporan dilakukan dengan mengalikan persentase jasa
giro terhadap bagian tertentu dari rata-rata harian
jumlah DPK dalam 2 (dua) masa laporan pada 4 (empat)
masa laporan sebelumnya.
- 11 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen)
merupakan tingkat bunga efektif tahunan (effective
annual rate) yang ditentukan berdasarkan periode
compounding harian selama 360 (tiga ratus enam
puluh) hari.
Metode perhitungan persentase jasa giro harian dengan
menggunakan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma
lima persen) sebagai berikut:
Persentase jasa giro harian
= {1 + tingkat bunga efektif tahunan}(1/360) -1
= {1 + 2,5%}(1/360) - 1
= 0,00686%
Hasil perhitungan persentase jasa giro harian
dibulatkan menjadi 5 (lima) angka di belakang koma.
Ayat (4)
Dalam hal Bank tidak memenuhi rasio GWM Primer
lebih dari atau sama dengan 6,5% (enam koma lima
persen) dan memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam
rupiah, Bank tidak diberikan jasa giro untuk hari kerja
tersebut.
Bank yang mendapat insentif kelonggaran pemenuhan
kewajiban GWM dalam rupiah dianggap telah
memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah
apabila Bank telah memenuhi kewajiban GWM Primer
dalam rupiah paling sedikit 5,5% (lima koma lima
persen) dari DPK dalam rupiah yang terdiri atas 4%
(empat persen) GWM Primer yang wajib dipenuhi secara
harian dan 1,5% (satu koma lima persen) GWM Primer
yang wajib dipenuhi secara rata-rata untuk masa
laporan tertentu, serta memenuhi kewajiban GWM
Sekunder dan GWM LFR dalam rupiah sesuai
ketentuan yang berlaku.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 12 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 17A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengurangan jasa giro dilakukan dengan
memperhatikan target pencapaian Rasio Kredit
UMKM sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank
umum dalam rangka pengembangan usaha mikro,
kecil, dan menengah, dengan perhitungan sebagai
berikut:
1. Mulai tanggal 1 Februari 2016 sampai dengan
tanggal 31 Januari 2017
Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang
dari 5% (lima persen), jasa giro dikurangi
sebesar 0,5% (nol koma lima persen)
ditambah hasil perkalian antara 0,1 (nol koma
satu) dengan selisih target pencapaian 5%
(lima persen) dengan realisasi Rasio Kredit
UMKM Bank.
Formula perhitungan sebagai berikut:
Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (5% - Rasio
Kredit UMKM Bank)}].
- 13 -
2. Mulai tanggal 1 Februari 2017 sampai dengan
tanggal 31 Januari 2018
Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang
dari 10% (sepuluh persen), jasa giro dikurangi
sebesar 0,5% (nol koma lima persen)
ditambah hasil perkalian antara 0,1 (nol koma
satu) dengan selisih target pencapaian 10%
(sepuluh persen) dengan realisasi Rasio Kredit
UMKM Bank.
Formula perhitungan sebagai berikut:
Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (10% - Rasio
Kredit UMKM Bank)}].
3. Mulai tanggal 1 Februari 2018 sampai dengan
tanggal 31 Januari 2019
Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang
dari 15% (lima belas persen),
jasa giro
dikurangi sebesar 0,5% (nol koma lima
persen) ditambah hasil perkalian antara 0,1
(nol koma satu) dengan selisih target
pencapaian 15% (lima belas persen) dengan
realisasi Rasio Kredit UMKM Bank.
Formula perhitungan sebagai berikut:
Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (15% - Rasio
Kredit UMKM Bank)}].
4. Sejak tanggal 1 Februari 2019
Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang
dari 20% (dua puluh persen), jasa giro
dikurangi sebesar 0,5% (nol koma lima
persen) ditambah hasil perkalian antara 0,1
(nol koma satu) dengan selisih target
pencapaian 20% (dua puluh persen) dengan
realisasi Rasio Kredit UMKM Bank.
Formula perhitungan sebagai berikut:
Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (20% - Rasio
Kredit UMKM Bank)}].
- 14 -
Angka 13
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 20
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6047
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 19/6/PBI/2017 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KELIMA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title>
<set_date> 17 April 2017 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 18 April 2017 </issued_date>
<changed_reg> '15/15/PBI/2013' </changed_reg>
<extension_of> '17/11/PBI/2015', '17/21/PBI/2015', '18/3/PBI/2016', '18/14/PBI/2016' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 14 Pasal 20', 'Pasal I Angka 15 Pasal 22' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/41/PBI/2016
TENTANG
BILYET GIRO
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa salah satu alat pembayaran nontunai berbasis
warkat yang masih diperlukan masyarakat Indonesia
untuk melakukan transaksi pembayaran dalam kegiatan
perekonomian nasional adalah bilyet giro;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan kepercayaan
masyarakat dalam penggunaan bilyet giro, aspek
keamanan dan perlindungan dalam penggunaan bilyet
giro perlu semakin ditingkatkan;
c. bahwa dalam rangka meningkatkan aspek keamanan dan
perlindungan bagi pengguna bilyet giro dan sebagai upaya
mitigasi risiko penyalahgunaan bilyet giro, perlu
dipertegas kewajiban para pihak terkait melalui penguatan
pengaturan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Bilyet Giro;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
- 2 -
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer
Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5204);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BILYET GIRO.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Definisi
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai perbankan
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha
syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
2. Rekening Giro adalah rekening giro Rupiah yang dananya
dapat ditarik setiap saat dengan menggunakan cek
dan/atau Bilyet Giro, sarana perintah pembayaran
lainnya, atau dengan pemindahbukuan.
- 3 -
3. Bilyet Giro adalah surat perintah dari Penarik kepada
Bank Tertarik untuk melakukan pemindahbukuan
sejumlah dana kepada rekening Penerima.
4. Penarik adalah pemilik Rekening Giro yang menerbitkan
Bilyet Giro.
5. Penerima adalah pemilik rekening yang disebutkan
namanya dalam Bilyet Giro untuk menerima sejumlah
dana.
6. Bank Tertarik adalah Bank yang diperintahkan oleh
Penarik untuk melakukan pemindahbukuan sejumlah
dana dengan menggunakan Bilyet Giro.
7. Bank Penerima adalah Bank yang menatausahakan
rekening Penerima.
8. Tenggang Waktu Pengunjukan adalah jangka waktu
berlakunya Bilyet Giro.
9. Tenggang Waktu Efektif adalah jangka waktu yang
disediakan oleh Penarik kepada Penerima untuk meminta
pelaksanaan perintah dalam Bilyet Giro kepada Bank
Tertarik.
10. Tanggal Penarikan adalah tanggal yang tercantum pada
Bilyet Giro dan merupakan tanggal diterbitkannya Bilyet
Giro.
11. Tanggal Efektif adalah tanggal yang tercantum pada Bilyet
Giro dan merupakan tanggal mulai berlakunya perintah
pemindahbukuan.
Bagian Kedua
Prinsip Umum
Pasal 2
Dalam penggunaan Bilyet Giro berlaku prinsip umum sebagai
berikut:
a. sebagai sarana perintah pemindahbukuan;
b.
tidak dapat dipindahtangankan;
c. diterbitkan dalam mata uang Rupiah; dan
d. ditulis dalam Bahasa Indonesia.
- 4 -
BAB II
SYARAT FORMAL BILYET GIRO
Pasal 3
(1) Bilyet Giro harus memenuhi syarat formal sebagai
berikut:
a. nama “Bilyet Giro” dan nomor Bilyet Giro;
b. nama Bank Tertarik;
c. perintah yang jelas dan tanpa syarat untuk
memindahbukukan sejumlah dana atas beban
Rekening Giro Penarik;
d. nama dan nomor rekening Penerima;
e. nama Bank Penerima;
f.
g. Tanggal Penarikan;
h. Tanggal Efektif;
i. nama jelas Penarik; dan
j.
tanda tangan Penarik.
(2) Tanggal Efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf h harus berada dalam Tenggang Waktu
Pengunjukan.
(3) Pemenuhan syarat formal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dilakukan oleh Bank
Tertarik.
(4) Pemenuhan syarat formal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d sampai dengan huruf j dilakukan oleh
Penarik.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan
syarat formal diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 4
Bilyet Giro yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tidak berlaku sebagai Bilyet
Giro.
jumlah dana yang dipindahbukukan baik dalam
angka maupun dalam huruf secara lengkap;
- 5 -
BAB III
KEWAJIBAN PARA PIHAK
DALAM PENGGUNAAN BILYET GIRO
Pasal 5
Pihak dalam penggunaan Bilyet Giro meliputi:
a. Bank Tertarik;
b. Penarik;
c. Penerima; dan
d. Bank Penerima.
Bagian Kesatu
Bank Tertarik
Pasal 6
(1) Dalam penggunaan Bilyet Giro, Bank Tertarik wajib:
a. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) pada saat pencetakan Bilyet Giro;
b. menatausahakan Rekening Giro Penarik;
c. menatausahakan Bilyet Giro yang diberikan kepada
Penarik;
d. melakukan verifikasi Bilyet Giro yang ditarik oleh
Penarik;
e. melaksanakan perintah pemindahbukuan sejumlah
dana sesuai dengan perintah dalam Bilyet Giro;
f. menindaklanjuti pemblokiran pembayaran Bilyet Giro
berdasarkan surat permohonan dari Penarik
dan/atau pihak yang berwenang;
g. melakukan penolakan Bilyet Giro dengan alasan
penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12;
dan
h. menatausahakan penggunaan Bilyet Giro.
(2) Bank Tertarik bertanggung jawab atas kerugian yang
timbul akibat tidak dipenuhinya syarat formal Bilyet Giro
secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3).
- 6 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Bank Tertarik
dalam penggunaan Bilyet Giro diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Penarik
Pasal 7
(1) Dalam penggunaan Bilyet Giro, Penarik:
a. harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (4) secara lengkap pada saat
penerbitan Bilyet Giro;
b. wajib menyediakan dana yang cukup selama
Tenggang Waktu Efektif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2); dan
c. harus menginformasikan kepada Bank Tertarik
mengenai Bilyet Giro yang diblokir pembayarannya.
(2) Penarik bertanggung jawab atas kerugian yang timbul
akibat tidak dipenuhinya syarat formal Bilyet Giro secara
lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban dan
keharusan Penarik dalam penggunaan Bilyet Giro diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Penerima
Pasal 8
(1) Dalam penggunaan Bilyet Giro, Penerima harus:
a. memastikan pemenuhan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sampai dengan ayat
(4) terhadap Bilyet Giro yang diterima dari Penarik;
b. menolak Bilyet Giro yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sampai
dengan ayat (4); dan
c. meminta Penarik untuk melakukan pemblokiran atas
Bilyet Giro yang diterima, dalam hal diperlukan.
- 7 -
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal yang harus
dilakukan oleh Penerima dalam penggunaan Bilyet Giro
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Bank Penerima
Pasal 9
(1) Dalam penggunaan Bilyet Giro, Bank Penerima wajib:
a. memastikan pemenuhan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sampai dengan ayat
(4) terhadap Bilyet Giro yang diterima dari Penerima;
b. melakukan verifikasi terhadap Bilyet Giro yang
diterima dari Penerima;
c. meneruskan Bilyet Giro yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b
yang diterima dari Penerima kepada Bank Tertarik;
d. melakukan penolakan Bilyet Giro yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b dengan alasan penolakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12;
e. memindahbukukan sejumlah dana yang diterima dari
Bank Tertarik ke rekening Penerima; dan
f. menyampaikan informasi kepada Penerima dalam hal
Bilyet Giro ditolak oleh Bank Tertarik disertai dengan
alasan penolakan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Bank
Penerima diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
- 8 -
BAB IV
TENGGANG WAKTU PENGUNJUKAN DAN
TENGGANG WAKTU EFEKTIF BILYET GIRO
Pasal 10
(1) Tenggang Waktu Pengunjukan Bilyet Giro yaitu 70 (tujuh
puluh) hari terhitung sejak Tanggal Penarikan.
(2) Tenggang Waktu Efektif terhitung sejak Tanggal Efektif
sampai dengan berakhirnya Tenggang Waktu
Pengunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Setelah berakhirnya Tenggang Waktu Pengunjukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. Bilyet Giro menjadi tidak berlaku; dan
b. kewajiban Penarik untuk menyediakan dana atas
penarikan Bilyet Giro menjadi hapus.
BAB V
KOREKSI BILYET GIRO
Pasal 11
(1) Dalam hal terdapat kesalahan penulisan dalam Bilyet
Giro, Penarik harus melakukan koreksi.
(2) Setiap koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
ditandatangani oleh Penarik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan penetapan
batas maksimal koreksi penulisan diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
BAB VI
PENOLAKAN BILYET GIRO
Pasal 12
(1) Alasan penolakan Bilyet Giro terdiri atas:
a. tidak memenuhi syarat formal Bilyet Giro;
b. pencantuman Tanggal Efektif tidak dalam Tenggang
Waktu Pengunjukan;
c.
terdapat koreksi yang tidak sesuai dengan ketentuan;
- 9 -
d. diunjukkan tidak dalam Tenggang Waktu Efektif;
e. syarat formal Bilyet Giro diduga diisi oleh pihak lain
selain Penarik;
f. Bilyet Giro diblokir pembayarannya;
g. tanda tangan tidak sesuai dengan spesimen yang
ditatausahakan oleh Bank Tertarik;
h. Bilyet Giro diduga palsu atau dimanipulasi;
i. Rekening Giro Penarik telah ditutup; dan/atau
j.
tidak tersedia dana yang cukup pada Rekening Giro
Penarik.
(2) Penolakan Bilyet Giro sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf h
dilakukan tanpa memperhatikan ketersediaan dana
dalam Rekening Giro Penarik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai alasan penolakan Bilyet
Giro diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 13
(1) Bank Tertarik yang melakukan penolakan dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf h
wajib menahan dan menunda pembayaran Bilyet Giro
yang diduga terdapat indikasi pemalsuan.
(2) Penahanan dan penundaan pembayaran Bilyet Giro wajib
ditindaklanjuti dengan verifikasi paling lama sampai
dengan 1 (satu) hari kerja berikutnya.
(3) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) menunjukkan bahwa indikasi pemalsuan tidak
terbukti, Bilyet Giro diproses sesuai dengan ketentuan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penahanan dan
penundaan pembayaran Bilyet Giro diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
- 10 -
BAB VII
PEMBATALAN DAN
PEMBLOKIRAN PEMBAYARAN BILYET GIRO
Pasal 14
(1) Penarik tidak dapat membatalkan Bilyet Giro selama
Tenggang Waktu Pengunjukan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1).
(2) Penarik dapat mengajukan permohonan pemblokiran
pembayaran Bilyet Giro dengan alasan tertentu selama
Tenggang Waktu Pengunjukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemblokiran
pembayaran Bilyet Giro diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
BAB VIII
WARKAT BILYET GIRO
Pasal 15
(1) Bilyet Giro wajib memenuhi spesifikasi warkat Bilyet Giro
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana
dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai spesifikasi warkat Bilyet
Giro diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IX
PELAPORAN
Pasal 16
(1) Bank Tertarik wajib menyampaikan laporan mengenai
penggunaan Bilyet Giro kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
laporan berkala dan laporan insidental.
- 11 -
(3) Tata cara pelaporan penggunaan Bilyet Giro mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
daftar hitam nasional penarik cek dan/atau bilyet giro
kosong.
BAB X
PENGAWASAN KEPATUHAN
Pasal 17
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan kepatuhan Bank
terhadap Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Pengawasan kepatuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
(3) Tata cara pengawasan kepatuhan Bank mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
daftar hitam nasional penarik cek dan/atau bilyet giro
kosong.
BAB XI
SANKSI
Pasal 18
(1) Bank Tertarik yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 13
ayat (1), dan/atau Pasal 13 ayat (2) dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Penarik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dikenakan
sanksi administratif sebagai Penarik Bilyet Giro kosong
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai daftar hitam nasional penarik
cek dan/atau bilyet giro kosong.
(3) Bank Penerima yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
- 12 -
(4) Bank Tertarik yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dikenakan
sanksi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai daftar hitam nasional
penarik cek dan/atau bilyet giro kosong.
BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 19
(1) Dalam hal terdapat perbedaan penulisan jumlah dana
dalam Bilyet Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf f antara yang tertulis dalam angka dan
dalam huruf, Bank Tertarik dapat:
a. menolak Bilyet Giro; atau
b. melaksanakan perintah pemindahbukuan.
(2) Pelaksanaan perintah pemindahbukuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan
ketentuan:
a. jumlah dana yang berlaku adalah jumlah dalam
huruf; dan
b. jika jumlah dana yang dicantumkan dalam huruf
dan/atau angka ditulis berulang-ulang dan terdapat
perbedaan, yang berlaku adalah jumlah yang terkecil.
Pasal 20
Perintah pemindahbukuan dalam Bilyet Giro tetap berlaku
apabila Penarik meninggal dunia atau menjadi tidak cakap
menurut hukum.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Bilyet Giro yang telah diterbitkan tetap diakui sebagai
Bilyet Giro dan tunduk pada ketentuan dalam Surat
- 13 -
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
28/32/KEP/DIR tanggal 4 Juli 1995 tentang Bilyet Giro
dan ketentuan pelaksanaannya; dan
b. warkat Bilyet Giro yang telah dicetak sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan
transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia,
masih dapat digunakan sampai dengan tanggal 31
Desember 2017.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/32/KEP/DIR
tanggal 4 Juli 1995 tentang Bilyet Giro, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 23
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
1 April 2017.
- 14 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 November 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 248
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/41/PBI/2016
TENTANG
BILYET GIRO
I. UMUM
Berdasarkan Undang-Undang tentang Bank Indonesia, Bank
Indonesia diberikan kewenangan dalam menetapkan alat pembayaran
dalam rangka mendukung salah satu tugas Bank Indonesia yaitu mengatur
dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Pada saat ini, Bilyet Giro telah
digunakan oleh masyarakat sebagai salah satu sarana transfer debit yang
berbasis warkat, selain cek. Dalam praktiknya, penggunaan Bilyet Giro di
masyarakat lebih dominan dibandingkan dengan cek. Hal ini disebabkan
Bilyet Giro memiliki kelebihan, terutama dengan adanya Tanggal Efektif
yang memberikan kemudahan bagi Penarik dalam mengelola likuiditas.
Selain itu, pembayaran Bilyet Giro hanya dapat dilakukan melalui
pemindahbukuan sehingga memberikan keamanan bagi Penerima maupun
Penarik Bilyet Giro.
Sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, penggunaan Bilyet
Giro diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
28/32/KEP/DIR tanggal 4 Juli 1995. Dalam perkembangannya, penguatan
pengaturan tentang Bilyet Giro perlu dilakukan antara lain karena risiko
penyalahgunaan Bilyet Giro semakin meningkat. Penguatan pengaturan
tersebut dilakukan dengan cara meningkatkan keamanan Bilyet Giro
melalui penerapan standar minimum keamanan dan penegasan kewajiban
para pihak dalam penggunaan Bilyet Giro.
- 2 -
Pokok pengaturan Bilyet Giro dalam Peraturan Bank Indonesia ini
sebagai berikut:
a. penegasan Bilyet Giro sebagai alat pembayaran nontunai berbasis
warkat melalui pemindahbukuan dan bukan sebagai surat berharga,
sehingga tidak dapat dicairkan secara tunai dan dipindahtangankan;
b. menyempurnakan pengaturan syarat formal antara lain dengan
menambahkan Tanggal Efektif sebagai syarat formal dan kewajiban
pengisian syarat formal secara lengkap oleh Penarik pada saat
penerbitan;
c. memperpendek masa berlaku Bilyet Giro hanya selama Tenggang
Waktu Pengunjukan yaitu 70 (tujuh puluh) hari sejak Tanggal
Penarikan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi
Penerima maupun Penarik dalam pengelolaan likuiditasnya;
d. mewajibkan Bank Tertarik untuk menahan warkat dan menunda
pembayaran paling lama 1 (satu) hari kerja berikutnya terhadap Bilyet
Giro yang ditolak dengan alasan diduga palsu atau dimanipulasi; dan
e. mengatur kewajiban pelaporan penggunaan Bilyet Giro oleh Bank
Tertarik.
Pengaturan tersebut dimaksudkan agar penggunaan Bilyet Giro baik
oleh masyarakat maupun perbankan akan menjadi lebih tertib, aman, dan
efisien, serta mendukung kelancaran sistem pembayaran yang
berkontribusi terhadap perekonomian, stabilitas moneter, dan stabilitas
sistem keuangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Prinsip Bilyet Giro sebagai sarana perintah pemindahbukuan
untuk menegaskan bahwa pembayaran Bilyet Giro tidak dapat
dilakukan secara tunai.
Huruf b
Prinsip Bilyet Giro tidak dapat dipindahtangankan untuk
menegaskan bahwa Bilyet Giro bukan surat berharga dan hanya
- 3 -
dapat dibayarkan kepada Penerima yang namanya tercantum
dalam Bilyet Giro.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam hal diperlukan, penulisan Bilyet Giro dalam Bahasa
Indonesia dapat ditambahkan padanan katanya dalam Bahasa
Inggris.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “tanda tangan” adalah tanda tangan
basah Penarik sesuai dengan spesimen yang ditatausahakan
oleh Bank Tertarik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 4 -
Ayat (4)
Khusus untuk pencantuman nama jelas Penarik dapat dilakukan
oleh Bank Tertarik pada saat penerbitan buku Bilyet Giro.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pada saat pencetakan Bilyet Giro”
adalah sebelum Bilyet Giro diserahkan kepada Penarik.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “menatausahakan Bilyet Giro”
antara lain melakukan pencatatan setiap Bilyet Giro yang
diterbitkan dan didistribusikan kepada Penarik.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “melakukan verifikasi Bilyet Giro”
antara lain melakukan pengecekan kelengkapan pemenuhan
syarat formal dan pengecekan kesesuaian antara tanda
tangan yang tercantum dalam Bilyet Giro dengan spesimen
tanda tangan yang ditatausahakan di Bank Tertarik.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Pemblokiran Bilyet Giro dilakukan antara lain apabila Bilyet
Giro yang telah diterima oleh Penerima hilang, dicuri, atau
rusak.
Huruf g
Cukup jelas.
- 5 -
Huruf h
Yang dimaksud dengan “menatausahakan penggunaan
Bilyet Giro” antara lain melakukan pencatatan setiap Bilyet
Giro yang diterbitkan, didistribusikan kepada Penarik,
ditarik oleh Penarik, dan ditolak oleh Bank Tertarik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “lengkap” adalah semua syarat
formal harus terisi tanpa ada yang dikosongkan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “menyediakan dana yang cukup”
adalah penyediaan dana oleh Penarik di Rekening Giro dalam
rangka menjamin terlaksananya pembayaran Bilyet Giro
yang diterbitkan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Bilyet Giro yang diblokir
pembayarannya” adalah Bilyet Giro yang tidak dapat
dibayarkan antara lain karena hilang, dicuri, atau rusak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “memastikan pemenuhan
ketentuan” adalah Penerima memeriksa, meneliti, dan
memastikan bahwa semua syarat formal telah dicantumkan
secara lengkap tanpa ada yang dikosongkan.
- 6 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “dalam hal diperlukan” adalah
antara lain apabila Bilyet Giro yang telah diterima oleh
Penerima hilang, dicuri, atau rusak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “melakukan verifikasi” antara lain
melakukan pengecekan atas kelengkapan pemenuhan syarat
formal Bilyet Giro.
Huruf c
Memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b
dimaksudkan bahwa seluruh ketentuan Bilyet Giro telah
dipenuhi pada saat dilakukan verifikasi, antara lain
kewajiban pencantuman Tanggal Efektif dalam Tenggang
Waktu Pengunjukan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “koreksi” adalah perubahan dan
pembetulan informasi yang tercantum dalam Bilyet Giro.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “indikasi pemalsuan” adalah warkat
Bilyet Giro diduga palsu atau isi Bilyet Giro diduga dimanipulasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tidak dapat membatalkan Bilyet Giro
selama Tenggang Waktu Pengunjukan” adalah perintah yang
tercantum dalam Bilyet Giro tetap berlaku dan harus
dilaksanakan oleh Bank Tertarik meskipun dalam Tenggang
Waktu Pengunjukan terdapat permintaan dari Penarik untuk
tidak melaksanakan isi perintah Bilyet Giro tersebut.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “alasan tertentu” antara lain karena Bilyet
Giro hilang, dicuri, atau rusak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 15
Ayat (1)
Bilyet Giro yang wajib memenuhi spesifikasi warkat Bilyet Giro
mencakup Bilyet Giro yang digunakan dalam kliring maupun
Bilyet Giro yang tidak digunakan dalam kliring.
Yang dimaksud dengan “spesifikasi warkat Bilyet Giro” adalah
spesifikasi teknis dan fitur keamanan yang digunakan dalam
warkat Bilyet Giro.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pengawasan langsung” adalah
pengawasan yang dilakukan dengan cara melakukan
pemeriksaan di lokasi kantor Bank.
Yang dimaksud dengan “pengawasan tidak langsung” adalah
pengawasan yang dilakukan dengan cara meneliti laporan yang
disampaikan oleh Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas
- 9 -
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5951
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/41/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> BILYET GIRO </reg_title>
<set_date> 21 November 2016 </set_date>
<effective_date> 1 April 2017 </effective_date>
<issued_date> 22 November 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '28/32/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/ 21 /PBI/2003
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/10/PBI/2001
TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH
(KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES)
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa
dalam rangka penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah secara lebih efektif, diperlukan penyempurnaan
terhadap ketentuan yang berlaku untuk menyesuaikan
dengan Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang dan standar internasional yang berlaku;
b. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas dipandang perlu
untuk melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank
Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 3/23/PBI/2001;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843);
3. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4191) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 108, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4324);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 3/10/PBI/2001 TENTANG
PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW
YOUR CUSTOMER PRINCIPLES).
Pasal I …
- 3 -
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Customer Principles) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 3/23/PBI/2001 sebagai berikut:
1. Ketentuan dalam Pasal 1 ditambah dengan 3 (tiga) ketentuan baru, masing-
masing menjadi angka 5, angka 6 dan angka 7, sehingga keseluruhan Pasal 1
berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
2. Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan Bank untuk
mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah
termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.
3. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank.
4. Usaha Kecil adalah usaha yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
5. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah :
a. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau
kebiasaan pola transaksi dari Nasabah yang bersangkutan;
b. transaksi keuangan oleh Nasabah yang patut diduga dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan
yang wajib dilakukan oleh Bank sesuai dengan ketentuan dalam
Undang …
- 4 -
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2003; atau
c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak
pidana.
6. Hasil Tindak Pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003.
7. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya
disebut PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka
mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 25 Tahun 2003.”
2. Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 7
(1) Bank wajib menolak untuk membuka rekening dan atau menolak
melaksanakan transaksi dengan calon Nasabah yang :
a. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
Pasal 5 dan Pasal 6;
b. diketahui menggunakan identitas dan atau memberikan informasi
yang tidak benar;
c. berbentuk shell banks atau dengan Bank yang mengizinkan
rekeningnya digunakan oleh shell banks.
(2) Bank …
- 5 -
(2) Bank dapat menolak untuk melaksanakan transaksi dan atau mengakhiri
hubungan usaha dengan pihak-pihak yang telah menjadi Nasabah
(existing customers) dalam hal:
a. kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terpenuhi;
b. penggunaan rekening tidak sesuai dengan tujuan pembukaan
rekening.”
3. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 9
(1) Bank wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi,
menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif
mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah Bank.
(2) Bank wajib melakukan pemantauan atas transaksi yang dilakukan oleh
Nasabah Bank, termasuk mengidentifikasi terjadinya Transaksi Keuangan
Mencurigakan.”
4. Ketentuan Pasal 12 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 12
Bank wajib menunjuk petugas khusus yang bertanggung jawab untuk
menangani Nasabah yang dianggap mempunyai risiko tinggi, termasuk
penyelenggara negara, dan atau transaksi-transaksi yang dapat dikategorikan
sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan.”
5. Ketentuan …
- 6 -
5. Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 14
(1) Bank wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
kepada PPATK paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Bank
mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5.
(2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan
yang berlaku.”
6. Pasal 17 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 17
Bank wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah terhadap Nasabah yang
tidak memiliki rekening di Bank dalam hal nilai transaksi yang dilakukan
melebihi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau nilai yang setara dengan
itu.”
7. Pasal 18 diubah dan ditambah dengan 1 (satu) ketentuan baru menjadi
ayat (1a), sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 18
(1) Bank yang terlambat menyampaikan pedoman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 huruf b dan huruf c serta laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa kewajiban membayar
sebesar …
- 7 -
sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan dan
setinggi-tingginya Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(1a) Bank yang tidak menyampaikan pedoman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 huruf b dan huruf c serta laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa teguran tertulis dan
kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6, Pasal 7 ayat (1),
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 huruf a, huruf d,
huruf e, huruf f dan huruf g, dan Pasal 16 dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b, huruf c, huruf e,
huruf f, dan atau huruf g Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998.”
8. Menambah ketentuan baru sesudah Pasal 19 menjadi Pasal 19A yang berbunyi
sebagai berikut:
“Pasal 19A
(1) Bank wajib menyesuaikan kebijakan dan prosedur penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah yang telah ada dengan ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini selambat-lambatnya 1 (satu ) bulan sejak mulai berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Perubahan …
- 8 -
(2) Perubahan kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib disampaikan kepada Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c.”
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 18 Oktober 2003.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Oktober 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd.
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 111
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/21/PBI/2003
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
3/10/PBI/2001 TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH
(KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES)
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Pasal 7
Ayat (1)
Shell banks adalah bank yang tidak mempunyai
kehadiran secara fisik (physical presence) di negara
tempat bank tersebut didirikan dan memperoleh izin,
dan tidak berafiliasi dengan kelompok usaha jasa
keuangan yang menjadi subyek pengawasan
terkonsolidasi yang efektif.
Yang …
- 2 -
Yang dimaksud dengan kehadiran secara fisik
(physical presence) adalah adanya pengelolaan,
pengurus dan kantor bank di wilayah hukum bank
tersebut didirikan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 9
Ayat (1)
Sistem informasi yang dimiliki harus dapat
memungkinkan Bank untuk menelusuri setiap
transaksi (individual transaction) apabila diperlukan,
baik untuk keperluan intern dan atau Bank Indonesia,
maupun dalam kaitannya dengan kasus peradilan.
Hal-hal yang termasuk dalam penelusuran transaksi
antara lain adalah penelusuran atas identitas Nasabah,
instrumen transaksi, tanggal transaksi, serta jumlah
dan denominasi transaksi.
Termasuk dalam karakteristik Nasabah antara lain
adalah karakteristik transaksi dan sifat transaksi
Nasabah yang bersangkutan serta sifat hubungan
Nasabah dengan Bank secara menyeluruh.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 4 …
- 3 -
Angka 4
Pasal 12
Yang dimaksud dengan penyelenggara negara adalah
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme, yaitu pejabat negara yang
menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan
pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan
dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku serta
pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggara negara
antara lain:
a. perusahaan yang dimiliki dan atau dikelola
penyelenggara negara;
b. keluarga penyelenggara negara yang terdiri dari saudara
kandung, anak, orang tua, istri atau suami, mertua dan
menantu; dan
c. pihak-pihak yang secara umum dan diketahui publik
mempunyai hubungan yang dekat dengan penyelenggara
negara.
Pengertian penyelenggara negara dalam Pasal ini termasuk
juga penyelenggara negara asing yang setingkat.
Angka 5
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 4 -
.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku
adalah Undang-undang tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang dan ketentuan PPATK.
Angka 6
Pasal 17
Cukup Jelas
Angka 7
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (1a)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 8
Pasal 19A
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4325
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/21/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/10/PBI/2001 TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES) </reg_title>
<set_date> 17 Oktober 2003 </set_date>
<effective_date> 18 Oktober 2003 </effective_date>
<changed_reg> '3/10/PBI/2001' </changed_reg>
<extension_of> '3/23/PBI/2001' </extension_of>
<related_reg> '25/UU/2003', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '15/UU/2002' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 7 Pasal 18' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR
14/
TENTANG
PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa pelaporan kegiatan lalu lintas devisa sangat
diperlukan untuk mendukung penerapan sistem
devisa bebas dan perumusan kebijakan, baik di
bidang moneter, perbankan, maupun sistem
pembayaran;
b. bahwa keterangan dan data yang lengkap, benar,
dan tepat waktu, yang diperoleh dari hasil pelaporan
kegiatan lalu lintas devisa sangat diperlukan untuk
penyusunan statistik, terutama statistik Neraca
Pembayaran Indonesia, statistik Posisi Investasi
Internasional Indonesia, dan statistik Utang Luar
Negeri Indonesia;
c. bahwa untuk mengurangi dampak negatif yang
mungkin timbul, kegiatan lalu lintas devisa perlu
dikelola dengan menerapkan prinsip kehati-hatian,
memperhatikan kepentingan perekonomian nasional,
dan menjaga kepercayaan pasar keuangan
internasional, serta perlu dipantau oleh Bank
Indonesia;
21 /PBI/2012
d. bahwa …
- 2 -
d. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pemantauan kegiatan lalu lintas devisa,
perlu dilakukan integrasi sistem pelaporan kegiatan
lalu lintas devisa dengan sistem pelaporan utang luar
negeri;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d, maka perlu untuk mengatur kembali
ketentuan mengenai pelaporan kegiatan lalu lintas
devisa dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3844);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disingkat LLD adalah
perpindahan aset dan kewajiban finansial antara penduduk dan
bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban
finansial luar negeri antar penduduk sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa
dan Sistem Nilai Tukar.
2. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang
berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-
kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik
Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa
dan Sistem Nilai Tukar.
3. Aset Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disingkat AFLN adalah
aktiva Penduduk pada bukan Penduduk baik dalam valuta asing
maupun rupiah, antara lain dalam bentuk kas valuta asing,
simpanan, piutang dagang/usaha, surat berharga, dan penyertaan
modal.
4. Kewajiban Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disingkat KFLN
adalah pasiva Penduduk pada bukan Penduduk baik dalam valuta
asing …
- 4 -
asing maupun rupiah, antara lain dalam bentuk utang luar negeri
dan ekuitas dari bukan Penduduk.
5. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah utang
Penduduk kepada bukan Penduduk dalam valuta asing dan/atau
rupiah, termasuk di dalamnya pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah.
6. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
keuangan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
7. Pelapor adalah Penduduk yang melakukan kegiatan LLD, baik
untuk kepentingan Pelapor yang bersangkutan maupun pihak lain.
8. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1) Laporan LLD meliputi keterangan dan data mengenai:
a. transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya
antara Penduduk dengan bukan Penduduk;
b. posisi dan perubahan AFLN dan/atau KFLN; dan/atau
c. rencana dan/atau realisasi ULN.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh
kegiatan LLD yang dilakukan baik untuk kepentingan Pelapor
sendiri maupun untuk kepentingan nasabahnya/pihak lain.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi
dengan keterangan dan data pendukung mengenai kegiatan LLD,
Pelapor dan/atau nasabah/pihak lain tersebut.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan/rincian keterangan dan
data Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB III …
- 5 -
BAB III
KEWAJIBAN PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 3
(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan LLD kepada Bank Indonesia
secara lengkap, benar, dan tepat waktu.
(2) Selain wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pelapor yang memiliki posisi ULN wajib
menyampaikan informasi keuangan Pelapor kepada Bank
Indonesia.
(3) Penyampaian Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan informasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan secara online.
Pasal 4
(1) Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi:
a. berdasarkan jenis usaha:
1. lembaga keuangan:
a) Bank;
b) lembaga keuangan bukan Bank;
2. bukan lembaga keuangan.
b. berdasarkan kepemilikan usaha:
1. badan usaha milik negara;
2. badan usaha milik daerah;
3. badan usaha milik swasta;
4. badan lainnya;
5. perseorangan.
(2) Pelapor berupa Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
angka 1 huruf a) hanya wajib melaporkan realisasi ULN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c.
(3) Ketentuan …
- 6 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelapor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan cakupan laporan yang harus disampaikan
kepada Bank Indonesia diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 5
(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) secara bulanan paling lambat tanggal 15
bulan berikutnya.
(2) Khusus untuk Laporan LLD yang berupa rencana ULN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c
disampaikan sebagai berikut:
a. Rencana ULN disampaikan setiap awal tahun, paling lambat
tanggal 15 Maret.
b. Perubahan rencana ULN disampaikan paling lambat tanggal 1
Juli.
(3)
Informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
disampaikan setiap 6 (enam) bulan paling lambat tanggal 15 Juni
dan tanggal 15 Desember.
(4) Dalam hal terdapat kesalahan Laporan LLD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau kesalahan informasi keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelapor harus
menyampaikan koreksi atas kesalahan pelaporan LLD dan/atau
informasi keuangan paling lambat tanggal 20 pada bulan
penyampaian laporan yang bersangkutan.
(5) Dalam hal hari terakhir penyampaian laporan dan/atau koreksi
laporan jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka penyampaian
laporan dan/atau koreksi laporan dapat disampaikan pada hari
kerja berikutnya.
(6) Dalam …
- 7 -
(6) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian laporan dan/atau
koreksi laporan terjadi gangguan teknis yang menyebabkan
Pelapor tidak dapat menyampaikan laporan dan/atau koreksi
laporan secara online, maka laporan dan/atau koreksi laporan
disampaikan secara offline pada hari kerja berikutnya.
(7) Dalam hal pada hari kerja berikutnya gangguan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah dapat diatasi, maka
laporan dan/atau koreksi laporan disampaikan secara online.
(8) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan laporan LLD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan/atau
informasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila
laporan LLD dan informasi keuangan disampaikan melampaui
batas waktu yang ditentukan sampai dengan akhir bulan yang
bersangkutan.
(9) Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan/atau
informasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila
laporan LLD dan/atau informasi keuangan tidak disampaikan
sampai dengan akhir bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (8).
(10) Dalam hal Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (9), hal tersebut tidak
meniadakan kewajiban Pelapor untuk menyampaikan laporan
kepada Bank Indonesia.
Pasal 6
(1) Dalam hal kegiatan LLD yang dilakukan oleh Pelapor adalah
untuk kepentingan nasabah/pihak lain, Pelapor dapat meminta
keterangan dan data kepada nasabah/pihak lain tersebut
mengenai kegiatan LLD yang dilakukannya.
(2) Nasabah …
- 8 -
(2) Nasabah/pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan LLD yang
diminta oleh Pelapor.
Pasal 7
Laporan LLD yang memuat data/informasi individual Pelapor yang
disampaikan kepada Bank Indonesia bersifat rahasia, kecuali secara
tegas dinyatakan lain dalam undang-undang.
BAB IV
PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN
Pasal 8
(1) Dalam hal diperlukan penelitian atas kebenaran Laporan LLD
yang disampaikan Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta informasi, bukti
pembukuan, catatan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan
Laporan LLD.
(2) Pelapor harus memberikan bukti pembukuan, catatan, dokumen,
dan penjelasan yang diperlukan dalam rangka penelitian
kebenaran laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
jangka waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal Pelapor tidak memberikan informasi, bukti pembukuan,
catatan, dan dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
maka Laporan LLD yang disampaikan Pelapor kepada Bank
Indonesia dinyatakan tidak benar.
BAB V …
- 9 -
BAB V
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 9
Pelapor yang menyampaikan Laporan LLD selain rencana ULN secara
tidak lengkap dan/atau tidak benar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), yang tidak ditindaklanjuti dengan penyampaian
koreksi dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap baris (record) yang
tidak lengkap dan/atau tidak benar dengan denda paling banyak
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Pasal 10
Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan LLD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (8) selain rencana ULN, dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah) untuk setiap Hari keterlambatan dengan denda paling banyak
sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 11
Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan LLD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (9) selain rencana ULN, dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).
Pasal 12
Pelapor yang terlambat atau tidak menyampaikan rencana ULN,
perubahan rencana ULN, dan/atau informasi keuangan, dikenakan
sanksi administratif berupa surat peringatan dan/atau pemberitahuan
kepada otoritas/instansi berwenang.
Pasal 13 …
- 10 -
Pasal 13
(1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal
11 tidak berlaku bagi Pelapor baru.
(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10
dan Pasal 11 mulai diberlakukan bagi Pelapor baru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) setelah 3 (tiga) kali masa pelaporan sejak
penyampaian laporan yang pertama.
Pasal 14
(1) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 disetorkan ke
Bank Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran sanksi
denda ke Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VI
LAIN-LAIN
Pasal 15
(1) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sehingga
menyebabkan keterangan dan data sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan informasi keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) tidak tersedia, dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sehingga
menyebabkan terhambatnya penyampaian keterangan dan data
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan informasi keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), dikecualikan dari
kewajiban menyampaikan laporan dalam batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(3) Pelapor …
- 11 -
(3) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), harus segera menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan
disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa yang dialami.
(4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam
hal Pelapor memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia untuk
tidak menyampaikan laporan.
(5) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
menyampaikan laporan setelah Pelapor kembali melakukan
kegiatan operasional secara normal.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
Kewajiban menyampaikan laporan sebagaimana diatur dalam:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/1/PBI/2010 tanggal 28
Januari 2010 tentang Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan
Bank; dan
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/24/PBI/2010 tanggal 29
Desember 2010 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri,
tetap berlaku sampai dengan pelaporan data bulan Juni 2013 yang
disampaikan bulan Juli 2013.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 18 …
- 12 -
Pasal 18
(1) Untuk Laporan LLD berupa realisasi ULN, sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 mulai berlaku
sejak pelaporan data bulan Januari 2014 yang disampaikan bulan
Februari 2014.
(2) Untuk Laporan LLD berupa rencana ULN, sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 mulai berlaku sejak pelaporan rencana
ULN tahun 2014 yang disampaikan paling lambat bulan Maret
2014.
(3) Untuk informasi keuangan, sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 mulai berlaku sejak pelaporan data posisi bulan
Desember 2013 yang disampaikan paling lambat bulan Juni 2014.
Pasal 19
(1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011 tentang
Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 62,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5222) dan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/4/PBI/2012 tanggal 7 Juni
2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/15/PBI/2011 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa
Lembaga Bukan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5320), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
sejak tanggal 1 Januari 2013.
(2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/1/PBI/2010 tanggal 28
Januari 2010 tentang Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan
Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5102)
dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/24/PBI/2010 tanggal 29
Desember …
- 13 -
Desember 2010 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 156,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5181),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Agustus
2013.
Pasal 20
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2013.
Agar …
- 14 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Desember 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Desember 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 273
DSM-DInt
- 15 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 21 /PBI/2012
TENTANG
PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA
I. UMUM
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24
tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar,
Pemerintah tetap menganut sistem devisa bebas, dimana setiap
Penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa.
Penerapan sistem devisa bebas tersebut perlu didukung dengan
pemantauan kegiatan LLD yang efektif agar tidak menimbulkan
dampak negatif bagi perekonomian nasional.
Dalam rangka pemantauan kegiatan LLD, Bank Indonesia telah
mengimplementasikan Sistem Pelaporan Kegiatan LLD Bank,
Lembaga Keuangan Bukan Bank, dan Perusahaan Bukan Lembaga
Keuangan, yang mencakup semua transaksi yang menimbulkan
perpindahan aset dan atau kewajiban finansial antara Penduduk
dan bukan Penduduk, perpindahan Aset dan atau Kewajiban
Finansial Luar Negeri antar Penduduk, serta posisi Aset dan
Kewajiban Finansial Luar Negeri. Selain itu, Bank Indonesia juga
mengimplementasikan Sistem Pelaporan Utang Luar Negeri.
Keterangan dan data yang diperoleh melalui kedua sistem
pelaporan tersebut digunakan untuk penyusunan statistik,
terutama statistik Neraca Pembayaran, Posisi
Internasional, statistik Utang Luar Negeri Indonesia, dan Indikator
Keuangan Perusahaan Bukan Bank. Namun, keterangan dan data
yang diperoleh masih memiliki kelemahan sehingga belum dapat
digunakan …
Investasi
- 16 -
digunakan secara optimal untuk penyusunan statistik dimaksud.
Disamping itu, terdapat duplikasi data yang dilaporkan sehingga
menimbulkan inefesiensi pengelolaan laporan, baik dari sisi Bank
Indonesia maupun Pelapor.
Sehubungan dengan pentingnya statistik tersebut untuk
mendukung perumusan dan peningkatan efektifitas kebijakan
khususnya di bidang moneter, dan di sisi lain perlunya efisiensi
dalam pengelolaan laporan, maka ketentuan pelaporan kegiatan
LLD dan ULN perlu disempurnakan dan diintegrasikan. Dengan
penyempurnaan dan pengitegrasian sistem pelaporan tersebut,
maka setiap Penduduk diharapkan berperan aktif untuk
menyampaikan laporan mengenai kegiatan LLD kepada Bank
Indonesia secara lengkap, akurat, dan tepat waktu.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “transaksi” meliputi seluruh
transaksi yang penyelesaiannya dilakukan melalui
bank domestik, bank luar negeri, rekening antar
kantor (inter company account), dan/atau melalui
sarana lainnya, baik disertai aliran dana maupun
tanpa aliran dana.
Yang dimaksud dengan “transaksi lainnya” antara
lain penerimaan bunga dan dividen oleh Pelapor dari
bukan Penduduk.
Huruf b …
- 17 -
Huruf b
Posisi dan perubahan AFLN dan/atau KFLN
mencakup posisi dan perubahan untuk setiap jenis
AFLN dan/atau KFLN baik yang sudah efektif
maupun belum efektif menjadi tagihan atau
kewajiban di neraca (on/off balance sheet), yang
terdiri atas:
1. posisi AFLN, antara lain posisi simpanan, piutang
dagang/usaha, surat berharga, penyertaan
modal, dan perubahan atas masing-masing AFLN
tersebut;
2. posisi KFLN, antara lain posisi utang
dagang/usaha, surat utang, pinjaman, dan
ekuitas, dan perubahan atas masing-masing
KFLN tersebut;
3. posisi komitmen dan kontinjensi AFLN dan/atau
KFLN yang berkaitan dengan tagihan/kewajiban
kepada bukan Penduduk; dan
4. posisi kustodian surat berharga yang dimiliki
nasabah.
Huruf c
Keterangan dan data mengenai rencana ULN meliputi
rencana perolehan ULN selama 1 (satu) tahun dan
perubahannya, analisis manajemen risiko Pelapor,
dan penilaian peringkat Pelapor.
Jenis-jenis ULN yang wajib dilaporkan meliputi ULN
berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement), ULN
berdasarkan surat utang (debt securities), ULN
berdasarkan utang dagang (trade credit), dan/atau
ULN berdasarkan utang lainnya (other loans).
Ayat (2) …
- 18 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Keterangan dan data pendukung mencakup antara lain
profil/keterangan mengenai Pelapor dan profil ULN.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Laporan LLD yang lengkap memuat keterangan dan data
kegiatan LLD yang telah memenuhi rincian cakupan
laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Laporan LLD yang benar memuat keterangan dan data
kegiatan LLD sesuai dengan fakta sebenarnya/dokumen
pendukungnya.
Penyampaian Laporan LLD yang tepat waktu adalah
apabila penyampaian laporan sesuai dengan batas waktu
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Pelapor yang memiliki posisi ULN”
tidak termasuk Pelapor perseorangan.
Yang dimaksud dengan “informasi keuangan” adalah data
kinerja keuangan yang meliputi data aset, kewajiban,
pendapatan, dan laba bersih perusahaan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “secara online” adalah dengan
menggunakan media internet pada website pelaporan LLD
di Bank Indonesia.
Laporan …
- 19 -
Laporan LLD secara online dapat disampaikan pada hari
Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Dalam pengertian lembaga keuangan
bukan Bank tidak termasuk pedagang
valuta asing.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Badan usaha milik negara yaitu badan usaha
sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai
badan usaha milik negara yang berlaku.
Angka 2
Badan usaha milik daerah yaitu badan usaha
sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai
perusahaan dan lembaga keuangan daerah
yang berlaku.
Angka 3
Badan usaha milik swasta yaitu badan usaha
yang tidak termasuk dalam pengertian badan
usaha …
- 20 -
usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah yang berkedudukan di Indonesia, baik
yang berbentuk badan hukum Indonesia
maupun asing dan yang tidak berbentuk badan
hukum.
Angka 4
Badan lainnya yang bukan merupakan badan
usaha baik berbentuk badan hukum maupun
tidak berbentuk badan hukum, antara lain
yayasan, lembaga swadaya masyarakat (LSM),
dan lembaga pendidikan yang didirikan oleh
pemerintah atau masyarakat.
Angka 5
Perseorangan adalah orang yang bertindak atas
namanya sendiri.
Ayat (2)
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini, Pelapor berupa
Bank hanya wajib melaporkan realisasi ULN. Untuk
kewajiban penyampaian Laporan LLD lainnya, Bank
tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pemantauan kegiatan LLD Bank dan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai utang luar negeri
Bank.
Ayat (3)
Pengaturan lebih lanjut mengenai Pelapor dan cakupan
laporan yang harus disampaikan dilakukan antara lain
berdasarkan jenis usaha, kepemilikan, dan total aset atau
omset.
Pasal 5 …
- 21 -
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah
gangguan yang terjadi di Bank Indonesia yang meliputi
antara lain gangguan jaringan dan/atau komunikasi.
Yang dimaksud dengan “secara offline” adalah dengan
menggunakan media antara lain email attachment, compact
disk (CD), flash disk, dan/atau media perekaman data
elektronik lainnya, yang disampaikan pada jam kerja Bank
Indonesia setempat.
Ayat
Ayat
Ayat
Ayat
(7)
Cukup jelas.
(8)
Cukup jelas.
(9)
Cukup jelas.
(10)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7 …
- 22 -
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “undang-undang” adalah undang-undang
yang mewajibkan pengungkapan keterangan dan data yang
bersifat rahasia.
Pasal 8
Ayat (1)
Termasuk sebagai dokumen lain yang berkaitan dengan
Laporan LLD antara lain laporan keuangan dan daftar
mutasi rekening koran (bank statement).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Laporan LLD dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak benar
setelah melalui proses klarifikasi atau penelitian kebenaran
laporan oleh Bank Indonesia.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pelapor baru” adalah Pelapor yang
baru pertama kali menyampaikan laporan LLD sejak mulai
diberlakukannya ketentuan ini.
Ayat (2) …
- 23 -
Ayat (2)
Contoh:
Pelapor yang menyampaikan laporan pertama kali pada
bulan Juni 2014 untuk data bulan Mei 2014, baru dapat
dikenakan sanksi untuk pelaporan data bulan September
2014 yang disampaikan bulan Oktober 2014.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” adalah
keadaan yang berada di luar kendali Pelapor dan secara
nyata menyebabkan Pelapor tidak dapat menyusun dan
menyampaikan laporan dan/atau koreksi Laporan LLD,
antara lain kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom,
perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi
dan banjir yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat
dari instansi terkait di daerah setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17 …
- 24 -
Pasal 17
Hal-hal yang akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia
antara lain:
1. cakupan keterangan dan data yang harus dilaporkan,
termasuk keterangan dan data yang harus dilengkapi
dokumen pendukung;
2. batasan kriteria Pelapor (threshold Pelapor);
3. prosedur dan tata cara penyampaian laporan; dan
4. prosedur dan tata cara pengenaan sanksi.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5377
DSM - DInt
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/21/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA </reg_title>
<set_date> 21 Desember 2012 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2013 </effective_date>
<issued_date> 21 Desember 2012 </issued_date>
<replaced_reg> '13/15/PBI/2011', '14/4/PBI/2012', '12/1/PBI/2010', '12/24/PBI/2010' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
1
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/6/PBI/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/18/PBI/2015
TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT
BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan
sistem pembayaran yang lebih efisien, aman, dan lancar
diperlukan penyempurnaan ketentuan mengenai pihak
yang dapat menerima transfer dana melalui Sistem Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu melakukan perubahan
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015
tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan
Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
- 2 -
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat
Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4236);
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4852);
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer
Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5204);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/18/PBI/2015
TENTANG
PENYELENGGARAAN
TRANSAKSI,
PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN
DANA SEKETIKA.
Pasal I
Penjelasan Pasal 42 huruf b dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi,
Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5762) diubah sehingga penjelasan Pasal 42 berbunyi
sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2
Mei 2016. ……………..
- 3 -
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 April 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Mei 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 77
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/6/PBI/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/18/PBI/2015
TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT
BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA
I. UMUM
Dalam rangka mendukung upaya Pemerintah dalam mencegah
terjadinya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, perlu
dilakukan pembatasan terhadap nasabah yang dapat menerima transfer
dana melalui Sistem BI-RTGS. Berkenaan dengan hal tersebut maka
transfer dana melalui Sistem BI-RTGS untuk kepentingan nasabah hanya
dapat ditujukan kepada nasabah yang mempunyai rekening di Peserta
penerima.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 42
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah:
1. nasabah pengirim yang memiliki rekening di Peserta
pengirim dan yang tidak memiliki rekening di Peserta
Pengirim; dan
- 2 -
2. nasabah penerima yang memiliki rekening di Peserta
penerima.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5877
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/6/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/18/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA </reg_title>
<set_date> 28 April 2016 </set_date>
<effective_date> 2 Mei 2016 </effective_date>
<issued_date> 2 Mei 2016 </issued_date>
<changed_reg> '17/18/PBI/2015' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '19/UU/2008', '24/UU/2002' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/20/PBI/2004
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa untuk memelihara integritas dan stabilitas sistem
keuangan dan perekonomian nasional, diperlukan
stabilitas nilai tukar;
b. bahwa untuk mencapai stabilitas nilai tukar perlu
dilakukan pengaturan dalam pengelolaan risiko transaksi
valuta asing yang dilakukan oleh perbankan;
c. bahwa salah satu faktor penting dalam pengelolaan risiko
transaksi valuta asing perbankan adalah besaran posisi
devisa neto yang diperkenankan dimiliki oleh perbankan,
baik ditinjau dari komposisi valuta asing pada neraca dan
rekening administratif, maupun dari sisi saat perhitungan
posisi devisa neto yaitu pada akhir hari kerja maupun
pada tengah hari kerja;
d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank
Umum;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/12/PBI/2003 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
dengan Memperhitungkan Risiko Pasar (Market Risk)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 83, Tambahan
Nomor 4306);
Lembaran
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang
Posisi Devisa Neto Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4307);
Negara
MEMUTUSKAN …
- 3 -
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK
UMUM.
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan angka 2 diubah serta ditambah dengan 1
(satu) ketentuan baru yaitu angka 4, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut:
“Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang telah memperoleh
surat penunjukan dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha
perbankan dalam valuta asing, termasuk kantor cabang bank asing.
2. Modal adalah modal inti dan modal pelengkap sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum Bank Umum pada posisi akhir bulan sebelum bulan
laporan.
3. Kurs Penutupan adalah kurs tengah (middle rate) berdasarkan Reuters
pada pukul 16.00 WIB setiap hari yang dapat dilihat di Pusat Informasi
Pasar Uang.
4. Kurs …
- 4 -
4. Kurs Tengah Hari adalah kurs tengah (middle rate) berdasarkan Reuters
pada pukul 12.00 WIB setiap hari.”
2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 2
(1) Bank wajib memelihara Posisi Devisa Neto dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Secara keseluruhan setinggi-tingginya 20% (dua puluh perseratus)
dari Modal; dan
b. Untuk neraca setinggi-tingginya 20% (dua puluh perseratus) dari
Modal,
pada tengah hari kerja dan akhir hari kerja.
(2) Posisi Devisa Neto secara keseluruhan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a adalah angka yang merupakan penjumlahan dari nilai
absolut untuk jumlah dari:
a. selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta
asing; ditambah dengan
b. selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang merupakan
komitmen maupun kontinjensi dalam rekening administratif untuk
setiap valuta asing,
yang semuanya dinyatakan dalam rupiah.
(3) Posisi Devisa Neto untuk neraca sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b adalah angka yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut
dari selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta
asing yang semuanya dinyatakan dalam rupiah.
(4) Aktiva …
- 5 -
(4) Aktiva valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan
ayat (3) terdiri dari kas, emas, giro (termasuk giro pada Bank
Indonesia), deposit on call, deposito berjangka, sertifikat deposito,
margin deposit, surat berharga, kredit yang diberikan, nilai bersih wesel
ekspor yang telah diambilalih, rekening antar kantor aktiva dan tagihan
lainnya, dalam valuta asing baik kepada penduduk maupun bukan
penduduk.
(5) Pasiva valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan
ayat (3) terdiri dari giro, deposit on call, deposito berjangka, sertifikat
deposito, margin deposit, pinjaman yang diterima, jaminan impor,
rekening antar kantor pasiva, pendapatan komprehensif lainnya dari
surat-surat berharga valuta asing selain saham dan kewajiban lainnya
dalam valuta asing baik terhadap penduduk maupun bukan penduduk.
(6) Rekening administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b
adalah rekening dalam valuta asing yang dapat menimbulkan tagihan
dan atau kewajiban di masa mendatang yang merupakan komitmen dan
kontinjensi yang mencakup bank garansi maupun L/C yang dipastikan
menjadi kewajiban Bank setelah dikurangi margin deposit, spot, serta
transaksi derivatif antara lain transaksi forward, option dan future,
maupun produk-produk lain yang sejenis baik terhadap penduduk
maupun bukan penduduk.”
3. Ketentuan …
- 6 -
3. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) diubah sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi
sebagai berikut:
“Pasal 3
(1) Bagi Bank yang telah memenuhi kriteria untuk wajib memenuhi
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dengan memperhitungkan
Risiko Pasar sesuai ketentuan yang berlaku, wajib memelihara Posisi
Devisa Neto sebagai berikut:
a. Secara keseluruhan setinggi-tingginya 30% (tiga puluh perseratus)
dari Modal; dan
b. Untuk neraca setinggi-tingginya 30% (tiga puluh perseratus) dari
Modal,
pada tengah hari kerja dan akhir hari kerja.
(2) Sepanjang ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
dengan memperhitungkan Risiko Pasar belum berlaku efektif maka
bagi Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap wajib memenuhi
perhitungan Posisi Devisa Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1).
(3) Bank wajib memelihara Posisi Devisa Neto sepanjang hari berdasarkan
prinsip kehati-hatian.”
4. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 3 dan Pasal 4 menjadi Pasal 3A
yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 3A
Pemeliharaan Posisi Devisa Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 dihitung secara gabungan yaitu:
a. Bagi Bank yang berbadan hukum Indonesia mencakup seluruh kantor
cabang di dalam negeri maupun di luar negeri.
b. Bagi …
- 7 -
b. Bagi kantor cabang bank asing mencakup seluruh kantor-kantornya di
Indonesia.”
5. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 7
(1) Bank wajib menyampaikan laporan Posisi Devisa Neto akhir hari kerja
secara berkala dan benar kepada Bank Indonesia.
(2) Tata cara mengenai penyusunan dan penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum.
(3) Bank wajib menyesuaikan Penyusunan Laporan Berkala Bank Umum
untuk Laporan Posisi Devisa Neto sesuai dengan Peraturan Bank
Indonesia ini.”
6. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 7 dan Pasal 8 menjadi Pasal 7A
yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 7A
(1) Bank wajib menatausahakan laporan Posisi Devisa Neto tengah hari
kerja dengan periode dan jangka waktu sesuai laporan Posisi Devisa
Neto akhir hari kerja.
(2) Bank Indonesia dapat meminta laporan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) apabila diperlukan.”
7. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 8
(1) Bank wajib menyusun laporan Posisi Devisa Neto akhir hari kerja
dengan menggunakan Kurs Penutupan.
(2) Bank …
- 8 -
(2) Bank wajib menyusun laporan Posisi Devisa Neto tengah hari kerja
dengan menggunakan Kurs Tengah Hari.
(3) Dalam hal Kurs Penutupan dan Kurs Tengah Hari sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) untuk valuta asing tertentu tidak
tersedia, Bank dapat menggunakan crossing rate pada waktu yang sama
dengan Kurs Penutupan dan Kurs Tengah Hari.”
8. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 9 dan Pasal 10 menjadi Pasal 9A
yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 9A
Bagi Bank yang pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini memiliki
Posisi Devisa Neto untuk neraca melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b wajib menurunkannya sehingga selambat-
lambatnya pada tanggal 1 September 2004 Posisi Devisa Neto neraca telah
sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.”
9. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 10
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 6 ayat (4), Pasal 7A ayat (1) dan Pasal 9A
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. mempengaruhi penilaian tingkat kesehatan Bank;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. pencantuman …
- 9 -
d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham dalam
daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemilik dan pengurus Bank;
e. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham
atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap dengan
persetujuan Bank Indonesia.”
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Agustus 2004.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 15 Juli 2004
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA
ANWAR NASUTION
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 65
DPNP/DPD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/20/PBI/2004
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM
UMUM
Dalam rangka stabilitas perekonomian nasional dan untuk memelihara
integritas dan stabilitas sistem keuangan perlu adanya stabilitas nilai tukar.
Stabilitas nilai tukar antara lain dapat dicapai melalui pengaturan besaran posisi
devisa neto perbankan.
Sehubungan dengan itu, dalam peraturan ini dilakukan beberapa
perubahan terhadap ketentuan yang berlaku yaitu dari sisi komposisi valuta asing
yang dimiliki oleh Bank dan juga dari sisi saat perhitungan posisi devisa neto
yang dimiliki Bank.
Dari sisi komposisi valuta asing, posisi devisa neto yang dimiliki bank
tidak hanya berdasarkan posisi keseluruhan (neraca dan rekening administratif)
namun juga untuk posisi neraca itu sendiri. Dari sisi saat perhitungan, posisi
devisa neto yang dimiliki bank tidak hanya dihitung pada akhir hari kerja dengan
menggunakan kurs penutupan, namun juga pada tengah hari kerja dengan
menggunakan kurs tengah hari.
PASAL …
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tengah hari kerja adalah pada
pukul 12.00 waktu setempat sesuai tempat
kedudukan kantor pusat Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Nilai aktiva yang diperhitungkan adalah sebesar nilai
buku yaitu nilai setelah diperhitungkan dengan
penyisihan penghapusan yang dibentuk dalam valuta
yang sama.
Termasuk dalam pengertian tagihan lainnya antara
lain adalah penyertaan dalam valuta asing, aktiva
tetap kantor cabang di luar negeri (setelah dikurangi
depresiasi), pendapatan bunga yang masih harus
diterima (accrued interest), tagihan akseptasi,
transaksi reverse repo dan tagihan derivatif.
Rekening …
- 3 -
Rekening antar kantor aktiva bagi kantor cabang
bank asing adalah seluruh rekening antar kantor
aktiva dengan kantor di luar negeri, termasuk yang
diperhitungkan dalam komponen modal (Dana
Usaha).
Ayat (5)
Termasuk dalam pengertian kewajiban lainnya antara
lain adalah biaya yang masih harus dibayar (accrued
expense), kewajiban akseptasi, transaksi repo dan
kewajiban derivatif.
Rekening antar kantor pasiva bagi kantor cabang
bank asing adalah seluruh rekening antar kantor
pasiva dari kantor - kantor di luar negeri, termasuk
yang diperhitungkan dalam komponen modal (Dana
Usaha).
Ayat (6)
Nilai rekening administratif yang diperhitungkan
adalah sebesar nilai buku, yaitu nilai setelah
diperhitungkan dengan penyisihan penghapusan
yang dibentuk dalam valuta yang sama.
Angka 3
Pasal 3
Ayat (1)
Ketentuan yang berlaku saat ini adalah PBI No.
5/12/PBI/2003 tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum Bank Umum dengan memperhitungkan
Risiko Pasar (Market Risk).
Ayat (2)…
- 4 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 3A
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 7
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 7A
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 8
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 9A
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 10
Huruf a
Termasuk dalam sanksi berupa teguran tertulis
adalah pencabutan persetujuan pengecualian posisi
struktural sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Huruf b …
- 5 -
Huruf b sampai dengan huruf e
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4399
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/20/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 15 Juli 2004 </set_date>
<effective_date> 2 Agustus 2004 </effective_date>
<changed_reg> '5/13/PBI/2003' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '5/12/PBI/2003', '7/UU/1992', '5/13/PBI/2003', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 9 Pasal 10' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/ 32 /PBI/2008
TENTANG
KOMITE PERBANKAN SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. Bahwa keberadaan Prinsip Syariah yang dituangkan ke
dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia, merupakan salah
satu aspek yang mendasari berjalannya sistem perbankan
syariah;
b. Bahwa dalam rangka mengimplementasikan fatwa
Majelis Ulama Indonesia ke dalam Peraturan Bank
Indonesia, diperlukan masukan dari komite yang bertugas
melakukan penafsiran dan pemaknaan fatwa di bidang
perbankan syariah;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b tersebut, perlu diatur ketentuan
mengenai Komite Perbankan Syariah dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik ...
- 2 -
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KOMITE
PERBANKAN SYARIAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan :
1. Komite Perbankan Syariah, yang selanjutnya disebut
Komite adalah forum yang beranggotakan para ahli di
bidang syariah muamalah dan/atau ahli ekonomi, ahli
keuangan, dan ahli perbankan, yang bertugas membantu
Bank Indonesia dalam mengimplementasikan fatwa
Majelis Ulama Indonesia menjadi ketentuan yang akan
dituangkan ke dalam Peraturan Bank Indonesia.
2. Majelis Ulama Indonesia, yang selanjutnya disebut MUI
adalah wadah atau majelis yang menghimpun para
ulama, tokoh masyarakat (zuama) dan cendekiawan
muslim ...
- 3 -
muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-
langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-
cita bersama, yang salah satu peran utamanya adalah
sebagai pemberi fatwa (Mufti).
BAB II
PEMBENTUKAN, TUJUAN DAN
TUGAS KOMITE
Pasal 2
Dalam rangka menyusun Peraturan Bank Indonesia di bidang
perbankan syariah, Bank Indonesia membentuk Komite.
Pasal 3
Tujuan pembentukan Komite adalah untuk membantu Bank
Indonesia dalam mengimplementasikan fatwa MUI dan
mengembangkan perbankan syariah.
Pasal 4
Bank Indonesia menetapkan tugas, tata cara pembentukan dan
keanggotaan Komite serta hal-hal lain terkait yang dipandang
perlu untuk memperlancar pelaksanaan tugas Komite.
Pasal 5
(1) Tugas Komite adalah membantu Bank Indonesia dalam:
a. menafsirkan fatwa MUI yang terkait dengan
perbankan syariah.
b. memberikan ...
- 4 -
b. memberikan masukan dalam rangka implementasi
fatwa ke dalam Peraturan Bank Indonesia.
c. melakukan pengembangan industri perbankan
syariah.
(2) Hasil pelaksanaan tugas Komite disampaikan kepada
Bank Indonesia dalam bentuk rekomendasi Komite.
Pasal 6
Komite bertanggung jawab kepada Bank Indonesia.
Pasal 7
Anggaran dan biaya-biaya sehubungan pelaksanaan tugas
Komite menjadi beban anggaran Bank Indonesia.
BAB III
KEANGGOTAAN KOMITE
Pasal 8
Anggota Komite terdiri dari unsur Bank Indonesia,
Departemen Agama dan unsur masyarakat lainnya dengan
komposisi berimbang dan berjumlah paling banyak 11
(sebelas) orang.
Pasal 9
(1) Bank Indonesia menetapkan jumlah dan komposisi serta
hal-hal lain terkait dengan keanggotaan Komite
(2) Susunan keanggotaan Komite terdiri dari :
a. anggota ...
- 5 -
a. anggota, yaitu paling banyak 11 (sebelas) orang; dan
b. ketua, yaitu salah satu dari anggota sebagaimana
dimaksud huruf a.
(3) Ketua Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b berasal dari Bank Indonesia, yaitu pemimpin satuan
kerja yang melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
(4) Tata tertib dan mekanisme kerja Komite disusun dan
ditetapkan oleh Komite dengan persetujuan Bank
Indonesia.
Pasal 10
Anggota Komite harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. integritas
1. memiliki akhlak dan moral yang baik.
2. memiliki komitmen untuk mengembangkan perbankan
syariah.
3. memiliki visi dan misi untuk mengembangkan
perbankan syariah.
4. memiliki waktu yang cukup bagi pelaksanaan tugas
sebagai anggota Komite.
b. kompetensi
1. memiliki pemahaman yang baik di bidang syariah
mu’amalah dan/atau di bidang ekonomi, keuangan,
dan perbankan.
2. memiliki pemahaman yang baik atas peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11 ...
- 6 -
Pasal 11
Anggota Komite yang mewakili Bank Indonesia adalah:
a. Direktur Direktorat Perbankan Syariah; dan
b. Direktur Direktorat Pengelolaan Moneter.
Pasal 12
Bank Indonesia menetapkan anggota Komite yang mewakili
Departemen Agama berdasarkan penunjukan dari Departemen
Agama sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10.
Pasal 13
(1) Bank Indonesia melakukan koordinasi dengan berbagai
pihak untuk memperoleh masukan dan pertimbangan
dalam rangka menetapkan unsur masyarakat yang akan
menjadi anggota Komite.
(2) Bank Indonesia menetapkan anggota Komite yang
mewakili unsur masyarakat baik yang berasal dari
institusi atau kelembagaan maupun individu.
(3) Bank Indonesia menetapkan anggota Komite yang
mewakili institusi atau kelembagaan berdasarkan
penunjukan institusi atau kelembagaan dimaksud sesuai
dengan persyaratan dan jumlah yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10.
(4) Bank Indonesia dapat menetapkan individu tertentu yang
mewakili unsur masyarakat berdasarkan masukan dan
pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
dengan ...
- 7 -
dengan persyaratan dan jumlah yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10.
Pasal 14
Anggota Komite ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Bank Indonesia.
Pasal 15
Masa jabatan anggota Komite di luar unsur Bank Indonesia
adalah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan, dan
dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan.
Pasal 16
Anggota Komite diberikan honorarium yang besarnya
mengacu pada ketentuan internal Bank Indonesia yang
berlaku.
Pasal 17
(1) Keanggotaan Komite dapat diberhentikan dalam hal
antara lain :
a. atas permintaan sendiri;
b. tidak memenuhi tata tertib Komite;
c. dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. berhalangan tetap.
(2) Pemberhentian keanggotaan Komite sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia
atas dasar usulan Komite.
(3) Bank ...
- 8 -
(3) Bank Indonesia dapat melakukan penggantian anggota
Komite yang telah diberhentikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dengan unsur/perwakilan yang sama.
BAB IV
PELAKSANAAN TUGAS KOMITE
Pasal 18
(1) Dalam pelaksanaan tugasnya, Komite dibantu oleh
Sekretariat Komite.
(2) Sekretariat Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh Direktorat Perbankan Syariah.
(3) Tugas Sekretariat Komite, antara lain :
a. melaksanakan fungsi administrasi dan korespondensi
Komite;
b. melakukan koordinasi dalam rangka pelaksanaan
rapat Komite;
c. melakukan penyusunan notulen rapat Komite;
d. mendokumentasikan hasil-hasil rapat Komite;
e. memberikan informasi secara berkelanjutan kepada
anggota Komite;
f. menyusun rencana anggaran Komite dan
menyelesaikan proses pemberian honorarium anggota
Komite; dan
g. menyusun laporan kegiatan Komite, termasuk laporan
pertanggung jawaban keuangan Komite.
(4) Hal-hal ...
- 9 -
(4) Hal-hal lain terkait kesekretariatan akan diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 19
Rapat Komite diselenggarakan atas dasar:
a. usulan Bank Indonesia; atau
b. usulan Komite
Pasal 20
(1) Rapat Komite dinyatakan sah apabila memenuhi kuorum
yaitu dihadiri oleh lebih dari 50% keanggotaan Komite.
(2) Pengambilan keputusan rapat Komite dilakukan atas dasar
musyawarah untuk mencapai mufakat.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
Untuk pertama kalinya keanggotaan Komite berasal dari
anggota Komite Ahli Pengembangan Perbankan Syariah,
ditambah dengan perwakilan Bank Indonesia.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Dengan berlakunya ketentuan ini, maka Keputusan Gubernur
Bank Indonesia Nomor 10/26/KEP.GBI/2008 tanggal 9 April
2008 ...
- 10 -
2008 tentang Komite Ahli Pengembangan Perbankan Syariah
Bank Indonesia dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Pasal 23
Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini
akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 24
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 November 2008.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 20 November 2008.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 179
DPbS
- 11 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 32 /PBI/2008
TENTANG
KOMITE PERBANKAN SYARIAH
I. UMUM
Dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, maka terdapat berbagai hal yang diamanatkan
kepada Bank Indonesia untuk dapat ditindak lanjuti selaku otoritas
pembinaan dan pengawasan perbankan syariah di Indonesia.
Salah satu amanat bagi Bank Indonesia adalah pembentukan Komite
Perbankan Syariah (KPS) dalam rangka mengimplementasikan fatwa
Majelis Ulama Indonesia yang akan dituangkan dalam Peraturan Bank
Indonesia. Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang memuat Prinsip Syariah
merupakan salah satu aspek mendasar atas keberadaan, kelangsungan dan
pengembangan industri perbankan syariah di Indonesia.
Dalam rangka implementasi dan harmonisasi fatwa agar dapat
dituangkan dengan baik ke dalam Peraturan Bank Indonesia, maka tahapan
penafsiran dan pemaknaan fatwa merupakan satu tahapan yang penting
dalam proses penyusunan ketentuan berupa Peraturan Bank Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup ...
-2-
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “rekomendasi Komite” adalah
pertimbangan dan/atau masukan secara tertulis yang mewakili
suara Komite berdasarkan rapat Komite.
Pasal 6
Komite bertanggung jawab kepada Bank Indonesia cq. Deputi
Gubernur Bidang yang membidangi satuan kerja yang melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9 ...
-3-
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Tata tertib dan mekanisme kerja Komite mengatur hal-hal antara
lain frekuensi rapat, kehadiran, dan tata cara pengambilan
keputusan.
Persetujuan Bank Indonesia adalah persetujuan dari Deputi
Gubernur Bidang yang membidangi satuan kerja yang
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Bank Syariah
dan Unit Usaha Syariah.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Keanggotaan Komite dari unsur Bank Indonesia bersifat ex officio.
Pasal 12
Usulan penunjukan pegawai yang mewakili Departemen Agama pada
Komite dilakukan dengan mengikuti ketentuan kepegawaian
Departemen Agama.
Pasal 13 ...
-4-
Pasal 13
Yang dimaksud dengan “berbagai pihak” antara lain Dewan Syariah
Nasional – MUI, perguruan tinggi, dan Organisasi Masyarakat.
Usulan penunjukan anggota Komite dari unsur masyarakat yang
mewakili institusi atau kelembagaan, dilakukan dengan mengikuti
ketentuan internal institusi atau kelembagaan dimaksud.
Pasal 14
Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia mengenai penetapan
Anggota Komite dikeluarkan atas dasar keputusan Rapat Dewan
Gubernur Bank Indonesia.
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” adalah antara lain
meninggal dunia, sakit berkepanjangan, cacat fisik dan/ atau
cacat mental, yang tidak memungkinkan yang bersangkutan
untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik.
Ayat (2)
Dalam ...
-5-
Dalam rangka pemberhentian keanggotaan Komite yang
mewakili suatu institusi tertentu, maka Bank Indonesia
melakukan koordinasi terlebih dahulu kepada institusi atau
lembaga yang bersangkutan sebelum dilakukan pemberhentian.
Usulan pemberhentian keanggotaan Komite ditujukan kepada
Gubernur Bank Indonesia melalui satuan kerja yang melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah.
Ayat (3)
Masa jabatan dari anggota Komite baru yang menggantikan
anggota Komite lama adalah sampai dengan berakhirnya masa
jabatan anggota Komite yang digantikan.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Yang dimaksud dengan “Komite Ahli Pengembangan Perbankan
Syariah” adalah suatu komite sebagaimana dimaksud dalam
Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor 10/26/KEP.GBI/2008
tanggal 9 April 2008 tentang Komite Ahli Pengembangan Perbankan
Syariah Bank Indonesia.
Pasal 22 ...
-6-
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4927
-7-
DPbS
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/32/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> KOMITE PERBANKAN SYARIAH </reg_title>
<set_date> 20 November 2008 </set_date>
<effective_date> 20 November 2008 </effective_date>
<issued_date> 20 November 2008 </issued_date>
<replaced_reg> '10/26/KEP.GBI/2008|KEPGUB-BI/2008' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '3/UU/2004', '23/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 4/7/PBI/2002
TENTANG
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA PEMBELIAN KREDIT
OLEH BANK DARI BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a.
bahwa kegiatan utama perbankan adalah melalui penghimpunan
dana dan penyaluran dana yang salah satunya dilaksanakan
melalui pemberian kredit;
b. bahwa pemberian kredit oleh perbankan dapat dilakukan
melalui pemberian langsung kepada debitur maupun melalui
pembelian kredit yang telah dimiliki oleh pihak lain, antara lain
Badan Penyehatan Perbankan Nasional ;
c. bahwa pemberian kredit perbankan wajib dilaksanakan sesuai
dengan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang perbankan yang berlaku;
d. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas perlu diatur ketentuan
tentang prinsip kehati-hatian dalam rangka pembelian kredit
oleh bank dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional dalam
suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat :…
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3843);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PRINSIP
KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA PEMBELIAN KREDIT
OLEH BANK DARI BADAN PENYEHATAN PERBANKAN
NASIONAL.
BAB I…
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk Kantor Cabang Bank
Asing;
2. Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang untuk selanjutnya disebut
dengan BPPN adalah badan khusus yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan
Nasional sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2001;
3. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk:
a. pembelian Surat Berharga nasabah yang dilengkapi dengan Note
Purchase Agreement (NPA);
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka anjak piutang;
4. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas
Kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban
dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal
dan pasar uang, antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga
Pasar…
- 4 -
Pasar Uang (SBPU), Surat Berharga Komersil
Sertifikat Reksadana, dan Medium Term Note;
Pasal 2
Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam
pembelian Kredit dari BPPN.
Pasal 3
Pembelian Kredit oleh Bank dari BPPN wajib dilakukan dengan nilai wajar.
Pasal 4
Pembelian Kredit oleh Bank dari BPPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dapat dilakukan melalui:
a. Pembelian langsung;
b. Pembelian melalui perusahaan perantara.
BAB II
PERLAKUAN AKUNTANSI
Pasal 5
(1) Bank wajib mengakui Kredit yang dibeli dari BPPN sebagai Kredit pada
neraca Bank sebesar pokok Kredit atau baki debet.
(2) Selisih…
(Commercial Papers),
- 5 -
(2) Selisih antara pokok Kredit atau baki debet sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dengan nilai pembelian Kredit dibukukan sebagai berikut:
a. Apabila Bank membuat perjanjian Kredit baru dengan debitur maka
selisih dibukukan sebagai pendapatan ditangguhkan.
b. Apabila Bank tidak membuat perjanjian Kredit baru dengan debitur
maka selisih dibukukan sebagai Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif (PPAP).
c. Pendapatan ditangguhkan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
PPAP sebagaimana dimaksud dalam huruf b disajikan sebagai pos
pengurang (offseting account) dari Kredit yang bersangkutan.
Pasal 6
(1) Pengakuan pendapatan atas Kredit yang dibeli dari BPPN dilakukan
berdasarkan penerimaan kas (cash basis).
(2) Pengakuan pendapatan berdasarkan penerimaan kas (cash basis) dilakukan
untuk Kredit dengan kualitas lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar,
diragukan dan macet.
Pasal 7
Pembayaran dari debitur diakui sebagai berikut:
a. Apabila Bank membuat perjanjian Kredit baru dengan debitur, pembayaran
dari debitur diakui sebagai pengurang pokok Kredit dan atau pendapatan
bunga sesuai dengan perjanjian Kredit baru.
b. Apabila…
- 6 -
b. Apabila Bank tidak membuat perjanjian Kredit baru dengan debitur:
1) seluruh pembayaran dari debitur diakui sebagai pengurang pokok
Kredit; dan
2) kelebihan penerimaan dari pokok Kredit diakui sebagai pendapatan
bunga.
BAB III
PRINSIP KEHATI-HATIAN
Pasal 8
(1) Bank dilarang melakukan koreksi PPAP dan atau pendapatan ditangguhkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) untuk tujuan pengakuan
pendapatan.
(2) Koreksi PPAP dan atau pendapatan ditangguhkan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan Bank apabila debitur telah melunasi
seluruh nilai pembelian Kredit.
(3) PPAP dan atau pendapatan ditangguhkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) dapat digunakan untuk menutup kerugian yang timbul dari
restrukturisasi kredit.
Pasal 9
(1) Bank wajib memperoleh kembali seluruh nilai pembelian Kredit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun.
(2) Apabila…
- 7 -
(2) Apabila setelah jangka waktu 5 (lima) tahun masih terdapat sisa Kredit yang
belum ditagih, maka sisa Kredit tersebut wajib dihapus buku.
Pasal 10
(1) Kredit yang dibeli dari BPPN digolongkan dalam kualitas lancar dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun sejak saat pembelian.
(2) Penilaian kualitas Kredit setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) didasarkan pada analisa arus kas dan kemampuan membayar
debitur.
(3) Bank wajib mengadministrasikan secara khusus Kredit yang dibeli dari
BPPN.
Pasal 11
(1) Bank wajib membentuk PPAP terhadap Kredit yang dibeli dari BPPN sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
(2) Pembentukan PPAP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
terhadap nilai buku Kredit (net book value).
Pasal 12
(1) Setiap Kredit yang dibeli dari BPPN tetap tunduk kepada ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit.
(2) Perhitungan…
- 8 -
(2) Perhitungan Batas Maksimum Pemberian Kredit atas setiap
Kredit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas nilai buku Kredit (net
book value).
Pasal 13
(1) Bank hanya dapat membeli Kredit dari BPPN maksimum sebesar 50% (lima
puluh perseratus) dari modal inti.
(2) Perhitungan 50% (lima puluh perseratus) dari modal inti didasarkan atas
nilai pembelian Kredit.
Pasal 14
Transaksi pembelian Kredit oleh Bank dari BPPN tetap tunduk pada ketentuan
kehati-hatian lain yang berlaku kecuali diatur
Indonesia ini.
BAB IV
PEMBELIAN KREDIT MELALUI PERUSAHAAN PERANTARA
Pasal 15
Dalam hal Bank membeli Kredit melalui perusahaan perantara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, Bank wajib:
a. mengikuti perlakuan akuntansi dan prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur
dalam Bab I, Bab II dan Bab III;
b. melakukan…
lain dalam Peraturan Bank
- 9 -
b. melakukan konsolidasi laporan keuangan terhadap perusahaan perantara,
termasuk namun tidak terbatas pada laporan intern Bank, laporan bulanan
Bank Umum, Laporan Publikasi Triwulanan dan Laporan Tahunan;
c. mengelola risiko secara konsolidasi, termasuk namun tidak terbatas pada
pemenuhan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank, rasio Kredit
bermasalah, dan rasio posisi devisa neto, secara konsolidasi.
Pasal 16
(1) Bank Indonesia dapat mengecualikan pelaksanaan ketentuan konsolidasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b dan Pasal 15 huruf c, apabila
Bank dapat membuktikan kepada Bank Indonesia bahwa Bank tidak
melakukan pengendalian terhadap perusahaan perantara atau hubungan
Bank dan perusahaan perantara bersifat sementara.
(2) Dalam
hal Bank Indonesia mengecualikan pelaksanaan
ketentuan
konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Surat Berharga yang
diperoleh Bank dari perusahaan perantara dalam transaksi pembelian Kredit
dari BPPN wajib memperoleh peringkat investasi (investment grade) dari
perusahaan pemeringkat terkemuka.
Pasal 17
Dalam hal Bank melaksanakan pembelian Kredit dari BPPN melalui perusahaan
perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Bank wajib :
a. memperoleh…
- 10 -
a. memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia;
b. menyampaikan surat pernyataan tidak berkeberatan dari perusahaan perantara
untuk dilakukan pengawasan oleh Bank Indonesia;
c. memastikan segala perikatan yang terkait dengan proses transaksi tersebut
telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 18
Dalam rangka proses persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf
a, Bank wajib menyampaikan dan menjelaskan secara transparan kepada Bank
Indonesia dokumen mengenai:
a. kondisi keuangan perusahaan perantara;
b. mekanisme transaksi;
c. hubungan kepemilikan dan keuangan antara Bank dengan perusahaan
perantara;
d. hasil analisis terhadap nilai wajar pembelian Kredit;
e. perkiraan nilai pengembalian yang diharapkan dari pembelian Kredit; dan
f. dokumen lain yang diperlukan oleh Bank Indonesia berdasarkan
pembahasan antara Bank dengan Bank Indonesia.
hasil
Pasal 19…
- 11 -
Pasal 19
Permohonan persetujuan dan penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 dan Pasal 18, disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia
dengan alamat:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10110,
bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kantor pusat Bank Indonesia.
Pasal 20
(1) Permohonan persetujuan dan penyampaian surat pernyataan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18, diperlakukan sebagai komitmen
Bank dan perusahaan perantara kepada Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia dapat membatalkan persetujuan yang diberikan apabila
dikemudian hari ditemukan adanya informasi yang tidak sesuai dengan
keadaan sesungguhnya.
(3) Dalam hal Bank Indonesia membatalkan persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), Bank wajib membentuk PPAP terhadap seluruh
nilai pembelian Kredit yang dilakukan melalui perusahaan perantara.
Pasal 21 …
- 12 -
Pasal 21
Hubungan keuangan antara Bank dengan perusahaan perantara tetap tunduk
pada ketentuan tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit yang berlaku.
BAB V
PEMBERIAN PENYEDIAAN DANA BARU
Pasal 22
(1) Bank dapat memberikan tambahan penyediaan dana bagi debitur yang
memiliki Kredit yang dibeli dari BPPN.
(2) Kualitas tambahan penyediaan dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
akan dinilai sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia tentang Kualitas
Aktiva Produktif yang berlaku.
Pasal 23
Bank dan atau perusahaan anak Bank dilarang memberikan penyediaan dana
kepada debitur dan atau kelompok perusahaan debitur yang bertujuan untuk
melunasi Kredit yang dibeli Bank dari BPPN.
BAB VI…
- 13 -
BAB VI
TRANSPARANSI
Pasal 24
(1) Bank wajib mengungkapkan hal-hal sebagai berikut:
a. Jumlah total pokok Kredit atau baki debet dari Kredit yang dibeli dari
BPPN, nilai pembelian Kredit, jumlah PPAP atau
pendapatan
ditangguhkan yang timbul dari transaksi pembelian Kredit dan jumlah
PPAP yang dibentuk sesuai kualitas Kredit;
b. Ikhtisar perubahan saldo Kredit yang dibeli dari BPPN, yang sekurang-
kurangnya meliputi:
1) Saldo awal;
2) Perubahan nilai karena selisih penjabaran Kredit dalam mata uang
asing (foreign currency translation);
3) Tambahan pembelian Kredit dari BPPN dalam periode berjalan;
4) Penerimaan Kredit dalam periode berjalan;
5) Jumlah Kredit yang dihapus buku dalam periode berjalan;
6) Saldo akhir.
c. Ikhtisar perubahan PPAP yang berasal dari selisih antara pokok Kredit
atau baki debet dengan nilai pembelian Kredit, yang sekurang-
kurangnya meliputi:
1) Saldo awal;
2) Perubahan …
- 14 -
2) Perubahan nilai karena selisih penjabaran dalam mata uang asing
(foreign currency translation);
3) Tambahan PPAP yang berasal dari transaksi pembelian Kredit dalam
periode berjalan;
4) PPAP yang digunakan untuk hapus buku;
5) Koreksi PPAP karena penerimaan diatas nilai pembelian;
6) Saldo akhir.
d. Ikhtisar perubahan pendapatan ditangguhkan yang berasal dari selisih
antara pokok Kredit atau baki debet dengan nilai pembelian Kredit,
yang meliputi:
1) Saldo awal;
2) Perubahan nilai karena selisih penjabaran dalam mata uang asing
(foreign currency translation);
3) Tambahan pendapatan ditangguhkan yang berasal dari transaksi
pembelian Kredit dalam periode berjalan;
4) Pendapatan ditangguhkan yang digunakan untuk hapus buku;
5) Koreksi pendapatan ditangguhkan karena penerimaan diatas nilai
pembelian;
6) Saldo akhir.
e. Pendapatan bunga (interest income) dan pendapatan lain (other
income);
g. Tambahan …
- 15 -
f. Bagian dari Kredit yang memiliki perjanjian Kredit baru;
g. Tambahan penyediaan dana kepada debitur yang memiliki Kredit yang
dibeli dari BPPN.
h. Apabila pembelian Kredit dilakukan melalui perusahaan perantara,
maka selain pengungkapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
sampai
dengan huruf g, juga wajib diungkapkan nama perusahaan
perantara, mekanisme transaksi, hubungan kepemilikan, hubungan
keuangan, dan penjelasan mengenai pengendalian/konsolidasi.
(2) Pengungkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf e
wajib disajikan sebagai keterangan tersendiri dalam Laporan Keuangan
Publikasi Triwulanan pada surat kabar sesuai ketentuan yang berlaku.
(3) Pengungkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disajikan sebagai
keterangan tersendiri dalam Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan pada
homepage Bank sesuai ketentuan yang berlaku.
(4) Pengungkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disajikan dalam
Catatan atas Laporan Keuangan pada Laporan Tahunan.
BAB VII
SANKSI
Pasal 25
Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 3, Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15
huruf a, Pasal 16 ayat (2), Pasal 17, Pasal 23 dan Pasal 27 dapat dikenakan
ayat (2) …
- 16 -
sanksi pembentukan PPAP sebesar kemungkinan kerugian Bank dari
nilai
transaksi, dan atau sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain berupa:
a. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham dalam
daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemilik dan pengurus Bank;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu, antara lain tidak diperkenankan untuk
ekspansi penyediaan dana;
c. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat
pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat
Anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank
Indonesia.
Pasal 26
(1) Bank yang melanggar ketentuan Pasal 12 dan Pasal 21 dapat dikenakan
sanksi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang
Batas Maksimum Pemberian Kredit yang berlaku.
(2) Bank yang melanggar ketentuan Pasal 15 huruf b dapat dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Laporan
Bulanan Bank Umum dan Transparansi Kondisi Keuangan Bank yang
berlaku.
(3) Bank yang melanggar ketentuan Pasal 15 huruf c dapat dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia terkait yang
berlaku.
(4) Bank …
- 17 -
(4)
Bank yang melanggar ketentuan Pasal 24 dapat dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam
Transparansi Kondisi Keuangan Bank yang berlaku.
BAB VIII
PERALIHAN
Pasal 27
Bagi Bank yang telah melakukan pembelian Kredit dari BPPN dalam tahun 2002
sebelum dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini wajib menyesuaikan
dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB IX
PENUTUP
Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan
Bank Indonesia ini akan ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
ketentuan Bank Indonesia tentang
Pasal 29 …
- 18 -
Pasal 29
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 27 September 2002
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA
ttd
ANWAR NASUTION
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 97
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 4/7/PBI/2002
TENTANG
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA PEMBELIAN KREDIT
OLEH BANK DARI BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL
UMUM
Sebagai bagian dari restrukturisasi perbankan nasional dan pemulihan
ekonomi khususnya untuk meringankan beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara maka Badan Penyehatan Perbankan Nasional melakukan
program penjualan aset kredit.
Sebagaimana diketahui bahwa aset kredit yang dimiliki
oleh Badan
Penyehatan Perbankan Nasional terdiri dari kredit yang belum direstrukturisasi
maupun yang telah direstrukturisasi.
Salah satu pihak yang akan membeli kredit dari Badan Penyehatan
Perbankan Nasional adalah perbankan. Sehubungan dengan itu perlu diatur
prinsip kehati-hatian yang perlu dilaksanakan oleh perbankan nasional dalam
pelaksanaan transaksi tersebut, sehingga tidak menimbulkan risiko yang dapat
membahayakan perbankan nasional.
PASAL…
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 4
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan nilai wajar (fair value) adalah jumlah yang dapat
diperoleh dari pertukaran instrumen keuangan dalam transaksi antar pihak-
pihak yang bebas (arm’s length basis transaction), bukan karena paksaan
atau likuidasi, dan dilakukan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan
yang berlaku.
Pasal 4
Huruf a
Yang dimaksud dengan pembelian langsung adalah Bank yang secara
langsung membeli Kredit yang ditawarkan oleh BPPN. Termasuk dalam
pengertian pembelian langsung adalah pembelian melalui konsorsium,
yaitu konsorsium yang terdiri dari Bank dan partner konsorsium secara
bersama-sama membeli Kredit yang ditawarkan oleh BPPN.
Huruf b
Perusahaan perantara antara lain dapat berbentuk clearing house, asset
management company, special purpose vehicle dan bentuk lain yang
sejenis. Berdasarkan karakteristik transaksi pembelian
Kredit yang
dilakukan…
- 3 -
dilakukan melalui perusahaan perantara maka Bank dinilai melakukan
pengendalian atas perusahaan perantara.
Dengan
adanya
pengendalian tersebut maka sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan
yang berlaku dan prinsip kehati-hatian harus dilakukan penilaian dan
pengawasan secara konsolidasi.
Yang dimaksud dengan pengendalian adalah pengendalian sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Transparansi Kondisi
Keuangan Bank yang berlaku.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pokok Kredit atau baki debet adalah nilai yang
tercantum dalam perjanjian Kredit atau hak tagih terhadap debitur yang
bersangkutan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan nilai pembelian Kredit adalah nilai beli Kredit
dari BPPN.
Huruf a
Apabila Bank membuat perjanjian Kredit baru dengan debitur maka
nilai Kredit yang tercantum dalam perjanjian merupakan nilai yang
diperkirakan akan tertagih, sehingga selisih antara nilai Kredit dalam
perjanjian dengan nilai pembelian diakui
ditangguhkan.
sebagai
pendapatan
unsur
Huruf b…
- 4 -
Huruf b
Apabila Bank tidak membuat perjanjian Kredit baru, selisih antara
pokok Kredit atau baki debet dengan nilai pembelian merupakan
jumlah yang diperkirakan akan menjadi kerugian, sehingga selisih
tersebut diakui sebagai PPAP.
Huruf c
Pos pengurang (offseting account) disajikan di sisi aktiva sebagai
pengurang Kredit yang bersangkutan.
Pasal 6
Ayat (1)
Pendapatan antara lain mencakup penerimaan bunga dan penerimaan
lain yang diperjanjikan Bank dengan debitur.
Pengakuan pendapatan berdasarkan penerimaan kas dilakukan selama
jangka waktu Kredit.
Ayat (2)
Pengakuan berdasarkan penerimaan kas berlaku untuk Kredit yang
belum direstrukturisasi maupun Kredit yang telah direstrukturisasi.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8…
- 5 -
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Koreksi PPAP dan atau pendapatan ditangguhkan dilakukan sebesar
selisih antara pembayaran yang diterima dari debitur dengan nilai
pembelian Kredit.
Ayat (3)
Pelaksanaan restrukturisasi Kredit dilakukan sesuai ketentuan Bank
Indonesia tentang Restrukturisasi Kredit yang berlaku.
Pasal 9
Ayat (1)
Perhitungan jangka waktu 5 (lima) tahun dalam ayat ini dihitung sejak
Kredit dicatat dalam neraca Bank.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan sisa Kredit adalah seluruh pokok Kredit atau
baki debet yang belum dilunasi oleh debitur.
Pasal 10
Ayat (1)
Penggolongan Kredit dalam kualitas lancar berlaku untuk Kredit yang
belum direstrukturisasi maupun Kredit yang telah direstrukturisasi.
Jangka …
- 6 -
Jangka waktu satu tahun dihitung sejak Kredit dicatat dalam neraca
bank.
Ayat (2)
Penilaian berdasarkan analisa arus kas dan kemampuan membayar
debitur berlaku untuk Kredit yang belum direstrukturisasi maupun
Kredit yang telah direstrukturisasi.
Analisa arus kas dan kemampuan membayar debitur didasarkan atas
ketentuan Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif yang
berlaku.
Untuk Kredit yang tidak dibuat perjanjian baru dengan debitur, analisa
arus kas dan kemampuan membayar debitur didasarkan atas nilai buku
Kredit.
Yang dimaksud dengan nilai buku Kredit adalah pokok Kredit atau baki
debet setelah dikurangi dengan PPAP atau pendapatan ditangguhkan
yang berasal dari transaksi pembelian Kredit.
Ayat (3)
Administrasi khusus mencakup seluruh pencatatan yang terkait dengan
Kredit yang dibeli dari BPPN, baik secara langsung maupun melalui
perusahaan perantara.
Termasuk dalam pencatatan antara lain adalah pokok Kredit, nilai
pembelian Kredit, saldo dan mutasi PPAP dan Pendapatan
ditangguhkan yang berasal dari pembelian Kredit, analisa arus kas dan
kemampuan membayar debitur, rencana jadwal pembayaran (expected
repayment schedule), dan evaluasi berkala terhadap kualitas Kredit.
Pasal 11 …
- 7 -
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan nilai buku Kredit adalah pokok Kredit atau baki
debet setelah dikurangi dengan PPAP atau pendapatan ditangguhkan
yang berasal dari transaksi pembelian Kredit.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Perhitungan modal inti dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia
tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14…
- 8 -
Pasal 14
Yang dimaksud dengan ketentuan kehati-hatian lain yang berlaku antara lain
namun tidak terbatas pada ketentuan yang mengatur tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum dan Posisi Devisa Neto.
Pasal 15
Huruf a
Dalam hal Bank menerima Surat Berharga dari perusahaan perantara
sebagai pengganti dari Kredit yang dibeli maka terhadap Surat Berharga
dimaksud wajib mengikuti perlakuan akuntansi dan prinsip kehati-
hatian sebagaimana diatur dalam Bab I, Bab II dan Bab III.
Huruf b
Dalam pelaporan pada laporan bulanan bank umum, perusahaan
perantara dapat diperlakukan sebagai kantor cabang Bank atau digabung
dengan laporan kantor pusat Bank.
Huruf c
Yang dimaksud dengan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum secara
konsolidasi adalah perhitungan modal minimum Bank dilakukan
terhadap laporan keuangan konsolidasi antara Bank dengan perusahaan
perantara.
Yang dimaksud dengan rasio Kredit bermasalah adalah rasio Kredit
bermasalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku.
Pasal 16…
- 9 -
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengendalian adalah pengendalian sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Transparansi Kondisi
Keuangan Bank yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21 …
- 10 -
Pasal 21
Kewajiban konsolidasi laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 tidak menghilangkan pengenaan ketentuan Batas Maksimum
Pemberian Kredit antara Bank dengan perusahaan perantara.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengungkapan dalam surat kabar disertai penjelasan bahwa informasi
lainnya secara rinci dapat dilihat melalui alamat homepage Bank .
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 25 …
- 11 -
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ketentuan Bank Indonesia terkait dalam ayat ini
termasuk namun tidak terbatas pada ketentuan Bank Indonesia tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank, dan Posisi Devisa Neto.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4228
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 4/7/PBI/2002 </reg_id>
<reg_title> PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA PEMBELIAN KREDIT OLEH BANK DARI BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL </reg_title>
<set_date> 27 September 2002 </set_date>
<effective_date> 27 September 2002 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/5/PBI/2014
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/29/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN
UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2004
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang Rupiah
ditujukan untuk menyediakan uang tunai di
masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah
(legal tender) di Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. bahwa untuk lebih memudahkan masyarakat dalam
mengenali
diperlukan penyesuaian ciri uang Rupiah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
melakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank
Indonesia
Nomor 6/29/PBI/2004
tentang
Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah
Pecahan 20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi
2004;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843),
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan . . .
tanda pengaman uang Rupiah
-2-
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 6/29/PBI/2004 TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS
RUPIAH PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN
EMISI 2004.
Pasal I
Ketentuan Pasal 4A dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/29/PBI/2004 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah
Pecahan 20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 163) yang telah beberapa kali
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia:
a. Nomor 11/7/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 44);
b. Nomor 13/16/PBI/2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 75);
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A . . .
-3-
Pasal 4A
Ciri uang Rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Juli tahun
2011 adalah:
a. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna
dominan hijau;
b. Gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar
Di Nata, dan di bawahnya dicantumkan tulisan “OTO
ISKANDAR DI NATA”;
b) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal
dan pada sebelah kanan dengan arah vertikal, terdapat angka
nominal “20000”;
c) pada sebelah kiri gambar utama atau tepat di bawah angka
nominal “20000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang
apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank
Indonesia secara utuh;
d) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan tepat di bawah tulisan
tersebut terdapat tulisan “DUA PULUH RIBU RUPIAH”;
e) pada sebelah kiri gambar utama dan di atas tulisan “BANK
INDONESIA” terdapat kode tuna netra (blind code) berupa
2 (dua) buah persegi panjang berwarna hijau yang terasa kasar
apabila diraba;
f) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan “BI” dalam bingkai persegi
panjang berbentuk ornamen daerah Jawa Barat yang dapat
dilihat dari sudut pandang tertentu;
g) pada . . .
-4-
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda
Pancasila;
h) pada sebelah kanan gambar utama terdapat rainbow printing
dalam bidang berbentuk segi empat yang akan berubah warna
apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;
i) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna hijau dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
j) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di
dalam bidang segi lima yang dicetak dengan tinta khusus
(optically variable ink) yang akan berubah warna dari warna
magenta menjadi warna hijau apabila dilihat dari sudut
pandang tertentu;
k) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka
tahun pencetakan “2011” (angka 2011 akan berubah sesuai
dengan tahun pencetakan uang),
tulisan “DEWAN
GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur
Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”;
l) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-
garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung
yang membentuk ornamen tertentu;
m) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA20000” yang hanya
dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar yang terdapat
pada sebelah kanan gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar
Di Nata yang berbentuk garis vertikal dari atas ke bawah;
n) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca
tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah
tanda air berupa tulisan “BANKINDONESIA” yang berbentuk
lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda;
2. bagian . . .
-5-
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Pemetik Teh dan di bawahnya
dicantumkan tulisan “PEMETIK TEH”;
b) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN
UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN
NILAI DUA PULUH RIBU RUPIAH”;
c) pada sebelah kiri atas gambar utama, terdapat cetakan tidak
kasat mata berupa angka nominal “20000” dalam kotak persegi
panjang yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet;
d) pada sebelah kiri bawah tanda air, terdapat cetakan tidak kasat
mata berupa gambar sehelai daun teh yang akan memendar
hijau di bawah sinar ultra violet;
e) pada sebelah kiri gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna hijau dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
f) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan
tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah
sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan
“BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang
akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
h) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah
cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
i) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada
sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal
“20000”;
j) pada . . .
-6-
j) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal
“20000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP.”
dan angka tahun pengeluaran “2004”;
k) mikroteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” yang hanya dapat
dibaca dengan bantuan kaca pembesar yang terdapat pada tepi
bagian atas dan bawah pada sisi sebelah kiri dan kanan uang
yang berbentuk diagonal;
l) miniteks dengan tulisan “BANKINDONESIA” yang dapat dibaca
tanpa bantuan kaca pembesar yang terdapat pada sebelah kiri
atas dan bawah, berbentuk lengkungan dengan ukuran teks
yang berbeda;
c. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 147 mm dan lebar 65 mm;
3. warna hijau muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata
dan electrotype berupa logo Bank Indonesia dan ornamen daerah
Jawa Barat;
6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan
“BI 20000” berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong
sebagian.
Pasal II
1. Uang Rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini,
masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari
peredaran.
2. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
-7-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Maret 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Maret 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 54
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/5/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/29/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2004 </reg_title>
<set_date> 18 Maret 2014 </set_date>
<effective_date> 18 Maret 2014 </effective_date>
<issued_date> 18 Maret 2014 </issued_date>
<changed_reg> '6/29/PBI/2004' </changed_reg>
<extension_of> '11/7/PBI/2009', '13/16/PBI/2011' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/7/PBI/2019
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/10/PBI/2018
TENTANG TRANSAKSI DOMESTIC NON-DELIVERABLE FORWARD
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah, diperlukan pasar valuta asing domestik yang
likuid dan efisien untuk mendukung kegiatan ekonomi
nasional;
b. bahwa untuk meningkatkan likuiditas dan efisiensi di
pasar valuta asing domestik, Bank Indonesia perlu
memberikan fleksibilitas transaksi domestic non-
deliverable forward sebagai bagian dari instrumen lindung
nilai di pasar valuta asing domestik;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/10/PBI/2018
tentang Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/10/PBI/2018
tentang Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor
170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6252);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/10/PBI/2018
TENTANG TRANSAKSI DOMESTIC NON-DELIVERABLE
FORWARD.
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/10/PBI/2018 tentang Transaksi Domestic Non-Deliverable
Forward (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6252) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 3 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (4)
serta Penjelasan ayat (3) huruf c Pasal 3 diubah sehingga
Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Transaksi DNDF sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) huruf b dan Pasal 2 ayat (3) huruf a dan
huruf b wajib memiliki Underlying Transaksi.
(2) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi seluruh kegiatan:
a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di
luar negeri;
b. investasi berupa direct investment, portfolio
investment, pinjaman, modal, dan investasi
lainnya di dalam dan di luar negeri; dan/atau
c. pemberian kredit atau pembiayaan Bank dalam
valuta asing untuk kegiatan perdagangan dan
investasi, khusus untuk transaksi antara Bank
dengan Nasabah.
(3) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak termasuk:
a. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia;
b. penempatan dana;
c.
fasilitas pemberian kredit atau pembiayaan Bank
yang belum ditarik;
d. dokumen penjualan valuta asing terhadap
rupiah;
e. kegiatan pengiriman uang oleh perusahaan
transfer dana;
- 4 -
f.
kredit antarnasabah (intercompany loan); dan
g. kegiatan usaha perdagangan valuta asing.
(4) Kewajiban kepemilikan
Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan
untuk penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui
Transaksi DNDF oleh Nasabah atau Pihak Asing
dengan nilai nominal paling banyak USD5,000,000.00
(lima juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya
per transaksi untuk setiap Nasabah atau setiap Pihak
Asing.
2. Ketentuan Pasal 6 ditambah 2 (dua) ayat, yakni ayat (6) dan
ayat (7) sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Penyelesaian Transaksi DNDF dilakukan dengan
Mekanisme Fixing.
(2) Mekanisme Fixing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan menggunakan kurs acuan
berupa kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate
(JISDOR) untuk mata uang dolar Amerika Serikat
terhadap rupiah pada tanggal tertentu yang
ditetapkan dalam kontrak (fixing date).
(3) Dalam hal Transaksi DNDF menggunakan mata uang
selain dolar Amerika Serikat terhadap rupiah maka
kurs acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menggunakan kurs tengah transaksi Bank Indonesia.
(4) Penyelesaian Transaksi DNDF dilakukan dalam mata
uang rupiah.
(5) Transaksi DNDF tidak dapat dilakukan perpanjangan
transaksi (roll over) dan percepatan penyelesaian
transaksi (early termination).
(6) Transaksi DNDF dapat dilakukan pengakhiran
transaksi (unwind).
(7) Pengakhiran transaksi (unwind) sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) dapat dilakukan tanpa
Underlying Transaksi.
- 5 -
3. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11
(1) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) untuk pembelian valuta asing
terhadap rupiah melalui Transaksi DNDF dibuktikan
dengan dokumen Underlying Transaksi yang bersifat
final dan dokumen pendukung.
(2) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) untuk penjualan valuta asing terhadap
rupiah melalui Transaksi DNDF dibuktikan dengan:
a. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final
dan dokumen pendukung; atau
b. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat
perkiraan dan dokumen pendukung.
(3) Jenis dokumen Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank
dengan pihak domestik dan pihak asing.
(4) Dalam hal Nasabah atau Pihak Asing menggunakan
dokumen Underlying Transaksi yang bersifat
perkiraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b berupa proyeksi arus kas, Bank harus menilai
kewajaran melalui:
a. dokumen tambahan;
b. data historis paling singkat 1 (satu) tahun
sebelumnya; dan
c. rekam jejak Nasabah atau Pihak Asing.
(5) Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi
yang diwajibkan menggunakan rupiah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai kewajiban penggunaan rupiah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak
dapat menjadi dokumen Underlying Transaksi untuk
Transaksi DNDF.
- 6 -
(6) Dokumen Underlying Transaksi DNDF yang sama
tidak dapat digunakan pada lebih dari 1 (satu) Bank
dalam seluruh sistem perbankan Indonesia pada
waktu yang bersamaan.
(7) Dokumen Underlying Transaksi yang sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat
digunakan beberapa kali untuk Transaksi DNDF
dan/atau Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah
lainnya sepanjang dokumen Underlying Transaksi
belum jatuh tempo dan tidak melebihi nominal
Underlying Transaksi.
4. Ketentuan ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 12
serta Penjelasan ayat (2) Pasal 12 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Bank wajib memastikan Nasabah dan/atau Pihak
Asing untuk menyampaikan:
a. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat
final dan dokumen pendukung; dan/atau
b. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat
perkiraan dan dokumen pendukung.
(2) Bank wajib memastikan kebenaran dan kewajaran
dokumen Underlying Transaksi yang disampaikan
oleh Nasabah dan/atau Pihak Asing.
(3) Dokumen Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib diterima oleh Bank
paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah tanggal
Transaksi DNDF.
(4) Dalam hal Transaksi DNDF sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) memiliki jatuh tempo kurang dari 5
(lima) hari kerja setelah tanggal transaksi maka
dokumen Underlying Transaksi
dimaksud pada ayat (1) wajib diterima oleh Bank
paling lambat pada tanggal jatuh tempo.
sebagaimana
- 7 -
(5) Tata cara penyampaian dokumen Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap
rupiah antara bank dengan pihak domestik dan pihak
asing.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 8 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Mei 2019
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Mei 2019
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 101
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/7/PBI/2019
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/10/PBI/2018
TENTANG TRANSAKSI DOMESTIC NON-DELIVERABLE FORWARD
I. UMUM
Dalam melaksanakan tugas Bank Indonesia untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia telah menerbitkan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/10/PBI/2018 tentang Transaksi
Domestic Non-Deliverable Forward. Transaksi DNDF ini merupakan bagian
dari upaya pengayaan instrumen lindung nilai yang dapat digunakan oleh
para pelaku pasar yang memiliki risiko nilai tukar.
Sebagai salah satu upaya untuk mempercepat tercapainya pasar
keuangan yang likuid dan efisien, Bank Indonesia memberikan fleksibilitas
melalui penyesuaian Underlying Transaksi untuk penjualan valuta asing
terhadap rupiah melalui Transaksi DNDF yang dilakukan oleh Nasabah
atau Pihak Asing. Dengan adanya penyempurnaan aturan ini diharapkan
dapat memberikan kemudahan bagi pelaku pasar untuk melakukan
lindung nilai atas risiko nilai tukar melalui penjualan valuta asing terhadap
rupiah melalui Transaksi DNDF.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
-2-
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “investasi lainnya” antara lain
investasi dan/atau transaksi yang dilakukan untuk
pelaksanaan kebijakan Pemerintah terkait perpajakan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kredit atau pembiayaan” adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga
atau imbalan, termasuk:
1. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada
rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar
lunas pada akhir hari;
2. pengambilalihan tagihan dalam kegiatan anjak
piutang; atau
3. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak
lain.
Ayat (3)
Huruf a
Surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
antara lain Sertifikat Bank Indonesia dan Surat
Berharga Bank Indonesia dalam valuta asing.
Huruf b
Penempatan dana antara lain berupa tabungan, giro,
deposito, dan sertifikat deposito (negotiable certificate of
deposit).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kredit atau pembiayaan” adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
-3-
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga
atau imbalan, termasuk:
1. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada
rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar
lunas pada akhir hari;
2. pengambilalihan tagihan dalam kegiatan anjak
piutang; atau
3. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak
lain.
Fasilitas pemberian kredit atau pembiayaan yang belum
ditarik antara lain berupa kredit atau pembiayaan siaga
(standby loan) dan kredit atau pembiayaan yang belum
dicairkan (undisbursed loan).
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Kredit antarnasabah (intercompany loan) antara lain
berupa pemberian kredit dalam satu grup perusahaan
atau antarperusahaan yang terafiliasi.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
Investor AN melakukan investasi di Indonesia namun belum
memutuskan aset rupiah yang akan dibeli.
Investor AN memutuskan untuk melakukan penjualan valuta
asing terhadap rupiah melalui Transaksi DNDF sebesar
USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) kepada
Bank A.
Transaksi ini dapat dilakukan tanpa didukung Underlying
Transaksi karena masih dalam batasan penjualan Transaksi
DNDF sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika
Serikat).
-4-
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kurs tengah transaksi Bank
Indonesia” adalah rata-rata antara kurs beli dan kurs jual
sebagaimana tercantum pada laman Bank Indonesia.
Contoh:
Investor N memiliki investasi di Australia dalam mata uang
dolar Australia (AUD) sebesar AUD1,000,000.00 (satu juta
dolar Australia). Atas investasi tersebut, Investor N
bermaksud untuk melakukan lindung nilai dengan
melakukan penjualan AUD terhadap rupiah melalui
Transaksi DNDF sebesar AUD1,000,000.00 (satu juta dolar
Australia) selama 1 (satu) bulan dengan kurs AUD/IDR
Rp10.800,00 (sepuluh ribu delapan ratus rupiah). Pada
tanggal fixing, kurs beli dan kurs jual transaksi Bank
Indonesia masing-masing sebesar Rp10.700,00 (sepuluh ribu
tujuh ratus rupiah) dan Rp10.800,00 (sepuluh ribu delapan
ratus rupiah) sehingga kurs tengah transaksi Bank Indonesia
yaitu Rp10.750,00 (sepuluh ribu tujuh ratus lima puluh
rupiah). Atas Transaksi DNDF, Investor N mengalami
keuntungan selisih kurs sebesar Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) yang berasal dari perhitungan
(Rp10.800,00-Rp10.750,00) x AUD1,000,000.00.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “unwind” adalah proses
membalikkan transaksi dengan melakukan transaksi yang
berlawanan.
-5-
Dalam melakukan unwind, Bank mempertimbangkan rekam
jejak Nasabah dan/atau Pihak Asing untuk memastikan
kewajaran transaksi unwind tersebut.
Penilaian kewajaran melalui rekam jejak merupakan kegiatan
berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan untuk
memastikan transaksi sesuai dengan profil, karakteristik,
dan/atau pola transaksi Nasabah dan/atau Pihak Asing.
Ayat (7)
Contoh:
Pada tanggal 2 Januari 2020, Nasabah YL melakukan
penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi
DNDF sebesar USD4,000,000.00 (empat juta dolar Amerika
Serikat) tanpa Underlying Transaksi kepada Bank I dengan
jatuh tempo tanggal 2 Maret 2020 (tenor 2 bulan). Nasabah
YL tidak lagi menginginkan posisi DNDF tersebut.
Berdasarkan penilaian Bank atas rekam jejak Nasabah,
Nasabah YL dapat melakukan unwind atas transaksi DNDF
tersebut pada tanggal 2 Februari 2020 dengan cara
melakukan transaksi lawannya, yaitu pembelian valuta asing
terhadap rupiah melalui Transaksi DNDF sebesar
USD4,000,000.00 (empat juta dolar Amerika Serikat) dengan
jatuh tempo pada tanggal 2 Maret 2020. Pembelian valuta
asing terhadap rupiah melalui Transaksi DNDF tersebut
dapat dilakukan tanpa Underlying Transaksi.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Dokumen tambahan untuk dokumen Underlying
Transaksi yang bersifat perkiraan antara lain berupa
-6-
invoice, perjanjian kerja, kontrak kerja sama, nota
kesepahaman, atau dokumen lain yang sejenis.
Dalam hal dokumen tambahan berupa invoice,
penyampaiannya dilakukan setelah invoice diterbitkan.
Huruf b
Contoh:
Perusahaan AP melakukan penjualan dolar Amerika
Serikat terhadap rupiah melalui Transaksi DNDF
sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika
Serikat) kepada Bank O pada tanggal 2 Agustus 2019
dengan menyampaikan dokumen Underlying Transaksi
berupa proyeksi arus kas. Bank O harus memastikan
kewajaran transaksi yang dilakukan oleh perusahaan AP
tersebut dengan melihat data historis selama 1 (satu)
tahun sebelumnya untuk menilai kesesuaian transaksi
tersebut dengan total
penjualan
Huruf c
Penilaian kewajaran melalui rekam jejak merupakan
kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan
untuk memastikan transaksi sesuai dengan profil,
karakteristik, dan/atau pola transaksi Nasabah
dan/atau Pihak Asing.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Contoh:
Importir NS merupakan importir otomotif yang mempunyai
dokumen Underlying Transaksi berupa invoice pembelian
spare part otomotif senilai USD5,000,000.00 (lima juta dolar
Amerika Serikat), yang akan dibayarkan oleh Importir NS
pada tanggal 20 Desember 2019. Pada tanggal 27 September
2019, Importir NS melakukan pembelian dolar Amerika
Serikat terhadap rupiah melalui Transaksi DNDF kepada
Bank A sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika
Serikat) yang jatuh tempo pada tanggal 27 Oktober 2019.
Kemudian pada tanggal 5 Oktober 2019, Importir NS
sebesar
USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat).
-7-
melakukan pembelian dolar Amerika Serikat terhadap rupiah
melalui Transaksi DNDF sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta
dolar Amerika Serikat) kepada Bank B dengan menggunakan
dokumen Underlying Transaksi yang sama. Transaksi ini
tidak boleh dilakukan karena transaksi dilakukan dengan
Bank yang berbeda dan pada waktu yang bersamaan.
Ayat (7)
Dalam hal nominal Underlying Transaksi lebih besar dari
nominal Transaksi DNDF maka Underlying Transaksi
tersebut dapat digunakan sebagai Underlying Transaksi
untuk Transaksi DNDF yang berbeda dan/atau Transaksi
Valuta Asing terhadap Rupiah lainnya, sepanjang tidak
melebihi nominal Underlying Transaksi pada saat Transaksi
DNDF dan/atau Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah
lainnya dilakukan.
Contoh Transaksi DNDF yang diikuti Transaksi Spot
kemudian diikuti lagi dengan Transaksi DNDF:
Pada tanggal 1 September 2019, Importir N mempunyai
dokumen Underlying Transaksi berupa invoice dengan
nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika
Serikat) yang akan jatuh tempo pada tanggal 2 November
2019. Pada tanggal 1 September 2019, Importir N melakukan
pembelian dolar Amerika Serikat terhadap rupiah melalui
Transaksi DNDF dengan Bank B dengan nominal
USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan
tanggal jatuh tempo 1 Oktober 2019.
Pada tanggal 2 Oktober 2019, Importir N menggunakan
dokumen Underlying Transaksi yang sama untuk melakukan
Transaksi Spot sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar
Amerika Serikat). Kemudian pada tanggal 10 Oktober 2019
dengan menggunakan kembali dokumen Underlying
Transaksi yang sama, Importir N dapat melakukan pembelian
dolar Amerika Serikat terhadap rupiah melalui Transaksi
DNDF paling banyak USD800,000.00 (delapan ratus ribu
dolar Amerika Serikat), dengan tanggal jatuh tempo paling
lambat tanggal 2 November 2019.
-8-
Contoh Transaksi DNDF yang diikuti Transaksi Spot:
Pada tanggal 1 September 2019, Importir NS memiliki invoice
dalam dolar Amerika Serikat dengan nominal sebesar
USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) yang akan
jatuh tempo pada tanggal 1 Oktober 2019. Pada tanggal 1
September 2019, Importir NS melakukan pembelian dolar
Amerika Serikat terhadap rupiah melalui Transaksi DNDF
sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat)
dengan tanggal jatuh tempo 1 Oktober 2019. Setelah
Transaksi DNDF tersebut jatuh tempo, Importir NS dapat
melakukan Transaksi Spot beli sebesar USD5,000,000.00
(lima juta dolar Amerika Serikat) dengan menggunakan
dokumen Underlying Transaksi yang sama, sepanjang invoice
masih berlaku.
Contoh Transaksi DNDF yang diikuti Transaksi Forward dan
transaksi option:
Pada tanggal 1 Agustus 2019, Importir B mempunyai
dokumen Underlying Transaksi berupa invoice dengan
nominal sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika
Serikat) yang akan jatuh tempo pada tanggal 1 November
2019. Pada tanggal 1 September 2019, Importir B melakukan
pembelian dolar Amerika Serikat terhadap rupiah melalui
Transaksi DNDF sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar
Amerika Serikat) dengan tanggal jatuh tempo 1 Oktober 2019.
Setelah Transaksi DNDF tersebut jatuh tempo, Importir B
melakukan Transaksi Forward beli sebesar USD3,000,000.00
(tiga juta dolar Amerika Serikat) dan transaksi call option beli
sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat)
dengan tanggal jatuh tempo 1 November 2019.
Contoh Transaksi DNDF yang diikuti Transaksi DNDF:
Pada tanggal 1 September 2019, Importir D mempunyai
dokumen Underlying Transaksi berupa invoice dengan
nominal sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika
Serikat) yang jatuh tempo pada tanggal 2 November 2019.
Pada tanggal 1 September 2019, Importir D melakukan
pembelian dolar Amerika Serikat terhadap rupiah melalui
Transaksi DNDF sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
-9-
Amerika Serikat) dengan tanggal jatuh tempo 1 Oktober 2019.
Pada tanggal 15 September 2019, Importir D dapat kembali
melakukan pembelian dolar Amerika Serikat terhadap rupiah
melalui Transaksi DNDF paling banyak sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan
jangka waktu jatuh tempo paling lambat tanggal 2 November
2019. Transaksi DNDF yang kedua tersebut hanya dapat
dilakukan pada Bank yang sama karena Transaksi DNDF
dilakukan pada waktu yang bersamaan.
Contoh Transaksi Spot yang diikuti dengan Transaksi DNDF:
Nasabah PT A merupakan importir otomotif yang mempunyai
dokumen Underlying Transaksi berupa invoice pembelian
spare part otomotif senilai USD5,000,000.00 (lima juta dolar
Amerika Serikat), yang akan dibayarkan oleh PT A pada
tanggal 20 Desember 2019. Pada tanggal 27 September 2019,
PT A melakukan Transaksi Spot kepada Bank B sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat),
kemudian pada tanggal 5 Oktober 2019, PT A dapat
melakukan pembelian dolar Amerika Serikat terhadap rupiah
melalui Transaksi DNDF paling banyak sebesar
USD4,000,000.00 (empat juta dolar Amerika Serikat) kepada
Bank B dengan jatuh tempo tanggal 18 Desember 2019.
Transaksi ini dapat dilakukan karena Transaksi Spot dan
Transaksi DNDF dilakukan dengan menggunakan dokumen
Underlying Transaksi yang belum jatuh tempo, tidak melebihi
nominal Underlying Transaksi, dan dilakukan pada Bank
yang sama.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kebenaran” antara lain berupa:
a. dokumen tidak bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
-10-
b. dokumen dikeluarkan oleh perusahaan atau instansi
yang dapat dipastikan keberadaannya.
Yang dimaksud dengan “kewajaran” antara lain berupa:
a. dokumen telah sesuai dengan market practice;
b. transaksi yang dilakukan sesuai dengan dokumen
Underlying Transaksi; dan
c. transaksi yang dilakukan Nasabah dan/atau Pihak
Asing sesuai dengan data historis yang dimiliki oleh
Bank dan/atau sesuai dengan kebutuhan Nasabah
dan/atau Pihak Asing.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6353
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 21/7/PBI/2019 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/10/PBI/2018 TENTANG TRANSAKSI DOMESTIC NON-DELIVERABLE FORWARD </reg_title>
<set_date> 15 Mei 2019 </set_date>
<effective_date> 16 Mei 2019 </effective_date>
<issued_date> 16 Mei 2019 </issued_date>
<changed_reg> '20/10/PBI/2018' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '20/10/PBI/2018' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 18 /PBI/2012
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem
perbankan yang sehat dan mampu berkembang
serta bersaing secara nasional maupun
internasional, struktur, persyaratan, dan
perhitungan kecukupan modal Bank perlu
disesuaikan dengan standar internasional yang
berlaku;
b. bahwa sejalan dengan standar internasional yang
berlaku, perhitungan kecukupan modal perlu
disesuaikan sehingga tidak hanya mampu menyerap
potensi kerugian yang timbul dari risiko kredit,
risiko pasar dan risiko operasional, namun juga dari
risiko lain yang material seperti risiko konsentrasi
kredit, risiko suku bunga dalam banking book, dan
risiko likuiditas;
c. bahwa . . .
- 2 -
c. bahwa sejalan dengan perkembangan kompleksitas
usaha dan risiko Bank serta penerapan pengawasan
berbasis risiko, maka Bank harus melakukan
penilaian atas profil risiko yang dimiliki dan tingkat
kecukupan modal untuk mengantisipasi potensi
kerugian atas eksposur risiko tersebut serta tetap
memenuhi kewajiban penyediaan modal minimum
yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;
d. bahwa sejalan dengan dinamika perekonomian dan
sistem keuangan global serta dalam rangka
memelihara stabilitas sistem keuangan nasional,
diperlukan alokasi sejumlah dana usaha kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
untuk ditempatkan ke dalam aset keuangan
tertentu;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d, perlu mengatur kembali Peraturan Bank
Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum Bank Umum;
Mengingat
. . .
- 3 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN
PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
BAB I
. . .
- 4 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional.
2. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah
direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah
direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di
bawah pemimpin kantor cabang.
3. Dewan Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah
dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi
. . .
- 5 -
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri
adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi
pengawasan.
4. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang
dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung
maupun tidak langsung, baik di dalam maupun di luar negeri,
yang melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri
dari:
a. Perusahaan Subsidiari (Subsidiary Company) yaitu Perusahaan
Anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh
persen);
b. Perusahaan Partisipasi
(Participation Company) adalah
Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank sebesar 50% (lima
puluh persen) atau kurang, namun Bank memiliki Pengendalian
terhadap perusahaan;
c. Perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua
puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) yang
memenuhi persyaratan yaitu:
1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada
Perusahaan Anak adalah masing-masing sama besar; dan
2) masing-masing pemilik melakukan Pengendalian secara
bersama terhadap Perusahaan Anak;
d. Entitas . . .
- 6 -
d. Entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan
yang berlaku wajib dikonsolidasikan,
namun tidak termasuk perusahaan asuransi dan perusahaan yang
dimiliki dalam rangka restrukturisasi kredit.
5. Pengendalian adalah pengendalian sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi dan publikasi
laporan Bank.
6. Capital Equivalency Maintained Assets yang selanjutnya disingkat
CEMA adalah alokasi dana usaha kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri yang wajib ditempatkan pada aset
keuangan dalam jumlah dan persyaratan tertentu.
7. Internal Capital Adequacy Assessment Process yang selanjutnya
disingkat ICAAP adalah proses yang dilakukan Bank untuk
menetapkan kecukupan modal sesuai dengan profil risiko Bank,
dan penetapan strategi untuk memelihara tingkat permodalan.
8. Supervisory Review and Evaluation Process yang selanjutnya
disingkat SREP adalah proses kaji ulang yang dilakukan oleh Bank
Indonesia atas hasil ICAAP Bank.
9. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau
pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank.
10. Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening
administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan
secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan
harga option.
11. Risiko Operasional adalah risiko akibat ketidakcukupan dan/atau
tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan
sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional Bank.
12. Trading . . .
- 7 -
12. Trading Book adalah seluruh posisi instrumen keuangan dalam
neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif
yang dimiliki Bank untuk:
a. tujuan diperdagangkan dan dapat dipindahtangankan dengan
bebas atau dapat dilindung nilai secara keseluruhan, baik dari
transaksi untuk kepentingan sendiri (proprietary positions), atas
permintaan nasabah maupun kegiatan perantaraan (brokering),
dan dalam rangka pembentukan pasar (market making), yang
meliputi:
1) posisi yang dimiliki untuk dijual kembali dalam jangka
pendek;
2) posisi yang dimiliki untuk tujuan memperoleh keuntungan
jangka pendek secara aktual dan/atau potensi dari
pergerakan harga (price movement); atau
3) posisi yang dimiliki untuk tujuan mempertahankan
keuntungan arbitrase (locking in arbitrage profits);
b. tujuan lindung nilai atas posisi lainnya dalam Trading Book.
13. Banking Book adalah semua posisi lainnya yang tidak termasuk
dalam Trading Book.
Pasal 2
(1) Bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko.
(2) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung dengan menggunakan rasio Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM).
(3) Penyediaan . . .
- 8 -
(3) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan paling rendah sebagai berikut:
a. 8% (delapan persen) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko
(ATMR) untuk Bank dengan profil risiko peringkat 1 (satu);
b. 9% (sembilan persen) sampai dengan kurang dari 10% (sepuluh
persen) dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 2
(dua);
c. 10% (sepuluh persen) sampai dengan kurang dari 11% (sebelas
persen) dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 3
(tiga);
d. 11% (sebelas persen) sampai dengan 14% (empat belas persen)
dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 4 (empat)
atau peringkat 5 (lima).
(4) Bank Indonesia berwenang menetapkan modal minimum lebih
besar dari modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
dalam hal Bank Indonesia menilai Bank menghadapi potensi
kerugian yang membutuhkan modal lebih besar.
Pasal 3
Dalam hal Bank memiliki dan/atau melakukan Pengendalian terhadap
Perusahaan Anak, kewajiban penyediaan modal minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 berlaku bagi Bank baik secara individual
maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
Pasal 4
Bank dilarang melakukan distribusi laba apabila distribusi laba
dimaksud mengakibatkan kondisi permodalan Bank tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
BAB II
. . .
- 9 -
BAB II
MODAL
Bagian Pertama
Umum
Pasal 5
(1) Modal bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia terdiri atas:
a. modal inti (tier 1);
b. modal pelengkap (tier 2); dan
c. modal pelengkap tambahan (tier 3),
setelah memperhitungkan faktor-faktor yang menjadi pengurang
modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 21.
(2) Dalam perhitungan modal secara konsolidasi, komponen modal
Perusahaan Anak yang dapat diperhitungkan sebagai modal inti,
modal pelengkap, dan modal pelengkap tambahan harus
memenuhi persyaratan yang berlaku untuk masing-masing
komponen modal sebagaimana diterapkan bagi Bank secara
individual.
Pasal 6
(1) Modal bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri terdiri atas:
a. dana usaha;
b. laba ditahan dan laba tahun lalu setelah dikeluarkan pengaruh
faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2);
c. laba tahun berjalan sebesar 50% (lima puluh persen) setelah
dikeluarkan pengaruh faktor-faktor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2);
d. cadangan umum modal;
e. cadangan . . .
- 10 -
e. cadangan tujuan modal;
f. revaluasi aset tetap dengan cakupan dan perhitungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c; dan
g. cadangan umum penyisihan penghapusan aset (PPA) atas aset
produktif dengan perhitungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) huruf d,
setelah memperhitungkan faktor-faktor yang menjadi pengurang
modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b,
Pasal 14, dan Pasal 21.
(2) Perhitungan dana usaha sebagai komponen modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan sebagai berikut:
a. Dalam hal posisi dana usaha yang sebenarnya (actual dana
usaha) lebih besar dari dana usaha yang dinyatakan (declared
dana usaha), maka yang diperhitungkan adalah dana usaha
yang dinyatakan.
b. Dalam hal posisi dana usaha yang sebenarnya lebih kecil dari
dana usaha yang dinyatakan, maka yang diperhitungkan
adalah dana usaha yang sebenarnya.
c. Dalam hal posisi dana usaha yang sebenarnya negatif, maka
jumlah tersebut merupakan faktor pengurang komponen modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kedua
Modal Inti
Pasal 7
(1) Bank wajib menyediakan modal inti sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf a paling kurang 5% (lima persen) dari ATMR
baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan
Perusahaan Anak.
(2) Modal
. . .
- 11 -
(2) Modal inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. modal disetor;
b. cadangan tambahan modal (disclosed reserve); dan
c. modal inovatif (innovative capital instrument).
Pasal 8
Modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. bersifat permanen;
c. tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi sebelum likuidasi
maupun pada saat likuidasi;
d. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan dan tidak dapat
diakumulasikan antar periode; dan
e. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak.
Pasal 9
Saham preferen non kumulatif yang diterbitkan untuk tujuan khusus
dan memiliki fitur opsi beli (call option), dapat diakui sebagai komponen
modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a
apabila:
a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf
a, huruf c, huruf d, dan huruf e; dan
b. opsi beli tersebut dapat dieksekusi dengan memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1. hanya atas inisiatif Bank;
2. setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan atau tujuan
penerbitan batal dilaksanakan;
3.
telah . . .
- 12 -
3. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan
4. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Pasal 10
Pembelian kembali saham (treasury stock) yang telah diakui sebagai
komponen modal disetor hanya dapat dilakukan dengan memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan;
b. untuk tujuan tertentu;
c. wajib mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan
e. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Pasal 11
(1) Cadangan tambahan modal (disclosed reserve) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b terdiri dari:
a. faktor penambah, yaitu:
1. agio;
2. modal sumbangan;
3. cadangan umum modal;
4. cadangan tujuan modal;
5.
6.
laba tahun-tahun lalu;
laba tahun berjalan sebesar 50% (lima puluh persen);
7. selisih lebih penjabaran laporan keuangan;
8. dana . . .
- 13 -
8. dana setoran modal, yang memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a) telah disetor penuh untuk tujuan penambahan modal,
namun belum didukung dengan kelengkapan
persyaratan untuk dapat digolongkan sebagai modal
disetor seperti pelaksanaan Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) maupun pengesahan anggaran dasar
oleh instansi yang berwenang;
b) ditempatkan pada rekening khusus (escrow account)
yang tidak diberikan imbal hasil;
c) tidak boleh ditarik kembali oleh pemegang saham/calon
pemegang saham dan tersedia untuk menyerap
kerugian; dan
d) penggunaan dana harus dengan persetujuan Bank
Indonesia.
9. Waran yang diterbitkan sebagai insentif kepada pemegang
saham Bank sebesar 50% (lima puluh persen), dengan
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) instrumen yang mendasari adalah saham biasa;
b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk selain saham;
dan
c) nilai yang diperhitungkan adalah nilai wajar dari waran
pada tanggal penerbitannya.
10. Opsi
. . .
- 14 -
10. Opsi saham (stock option) yang diterbitkan melalui program
kompensasi pegawai/manajemen berbasis saham
(employee/ management stock option) sebesar 50% (lima
puluh persen), dengan memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a) instrumen yang mendasari adalah saham biasa;
b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk selain saham;
dan
c) nilai yang diperhitungkan adalah nilai wajar dari stock
option pada tanggal pemberian kompensasi.
b. faktor pengurang, yaitu:
1. disagio;
2. rugi tahun-tahun lalu;
3. rugi tahun berjalan;
4. selisih kurang penjabaran laporan keuangan;
5. pendapatan komprehensif lainnya yang negatif, yang
mencakup kerugian yang belum terealisasi yang timbul
dari penurunan nilai wajar penyertaan yang
diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual;
6. selisih kurang antara PPA atas aset produktif dan
cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan atas
aset produktif;
7. selisih kurang antara jumlah penyesuaian terhadap hasil
valuasi dari instrumen keuangan dalam Trading Book dan
jumlah penyesuaian berdasarkan standar akuntansi
keuangan yang berlaku; dan
8. PPA non produktif.
(2) Dalam . . .
- 15 -
(2) Dalam perhitungan laba rugi tahun-tahun lalu dan/atau tahun
berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 5 dan
angka 6 harus dikeluarkan dari pengaruh faktor-faktor sebagai
berikut:
a. perhitungan pajak tangguhan (deferred tax);
b. selisih nilai revaluasi aset tetap;
c. peningkatan nilai wajar aset tetap;
d. peningkatan atau penurunan nilai wajar atas kewajiban
keuangan; dan/atau
e. keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi
(gain on sale).
Pasal 12
(1) Modal inovatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf
c yang dapat diperhitungkan sebagai komponen modal inti paling
tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dari modal inti sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a.
(2) Modal inovatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. tidak memiliki jangka waktu dan tidak ada persyaratan yang
mewajibkan pelunasan oleh Bank di masa mendatang;
c. tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi sebelum
likuidasi maupun pada saat likuidasi dan bersifat subordinasi,
yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi
penerbitan/perjanjian;
d. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan dan tidak dapat
diakumulasikan antar periode;
e.
tidak . . .
- 16 -
e. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan
Anak;
f. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 10 (sepuluh) tahun
setelah instrumen modal diterbitkan;
2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi
hanya dapat dieksekusi atas persetujuan Bank Indonesia;
dan
3. dalam hal instrumen modal inovatif mengandung fitur step-
up, maka fitur step-up harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a) fitur step-up dibatasi, ditetapkan, dan dinyatakan secara
jelas dalam perjanjian penerbitan instrumen;
b) hanya dapat direalisasi satu kali selama periode
instrumen, yaitu setelah jangka waktu paling cepat 10
(sepuluh) tahun setelah diterbitkan; dan
c) besarnya fitur step-up relevan dan sejalan dengan
kondisi pasar serta tidak lebih besar dari salah satu
batasan berikut:
1) 100 (seratus) basis points; atau
2) 50% (lima puluh persen) dari marjin (credit spread)
awal; dan
g. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk
diperhitungkan sebagai komponen modal.
(3) Eksekusi
. . .
- 17 -
(3) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf f angka 1 dan angka 2 hanya dapat dilakukan oleh Bank
sepanjang:
a. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia;
b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3;
dan
c. digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai:
1. kualitas sama atau lebih baik; dan
2.
jumlah yang sama atau jumlah yang berbeda sepanjang
tidak melebihi 10% (sepuluh persen) dari modal inti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a.
Pasal 13
(1) Dalam perhitungan rasio KPMM secara konsolidasi, kepentingan
minoritas (minority interest) diperhitungkan sebagai modal inti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a kecuali
terdapat bagian dari kepentingan minoritas yang tidak sesuai
dengan persyaratan komponen modal inti.
(2) Kepentingan minoritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diperhitungkan dalam modal inti secara konsolidasi apabila
kepemilikan Bank pada Perusahaan Anak 50% (lima puluh persen)
atau kurang dan memenuhi kondisi sebagai berikut:
a. tidak terdapat keterkaitan/afiliasi antara pemegang saham lain
(minority interest) dengan Bank; atau
b.
tidak . . .
- 18 -
b. tidak terdapat surat pernyataan atau keputusan RUPS
Perusahaan Anak yang menyatakan kesediaan dari pemegang
saham lain (minority interest) untuk mendukung modal
kelompok usaha Bank.
Pasal 14
Modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a
diperhitungkan dengan faktor pengurang berupa:
a. Goodwill;
b. Aset tidak berwujud lainnya; dan/atau
c. Faktor pengurang modal inti lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21.
Bagian Ketiga
Modal Pelengkap
Pasal 15
(1) Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf b hanya dapat diperhitungkan paling tinggi sebesar 100%
(seratus persen) dari modal inti sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf a.
(2) Modal pelengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Modal pelengkap level atas (upper tier 2); dan
b. Modal pelengkap level bawah (lower tier 2).
Pasal 16 . . .
- 19 -
Pasal 16
(1) Modal pelengkap level atas (upper tier 2) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a yang berupa instrumen modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. tidak memiliki jangka waktu dan tidak ada persyaratan yang
mewajibkan pelunasan oleh Bank di masa mendatang;
c. tersedia untuk menyerap kerugian dalam hal jumlah kerugian
Bank melebihi laba yang ditahan dan cadangan-cadangan yang
termasuk modal inti meskipun Bank belum dilikuidasi dan
bersifat subordinasi, yang secara jelas dinyatakan dalam
dokumentasi penerbitan/perjanjian;
d. pembayaran pokok dan/atau imbal hasil ditangguhkan dan
diakumulasikan antar periode (cummulative) apabila
pembayaran dimaksud dapat menyebabkan rasio KPMM secara
individual atau rasio KPMM secara konsolidasi tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3;
e. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan
Anak;
f. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. hanya dapat dieksekusi paling kurang 10 (sepuluh) tahun
setelah instrumen modal diterbitkan;
2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi
hanya dapat dieksekusi atas persetujuan Bank Indonesia;
dan
3. dalam . . .
- 20 -
3. dalam hal instrumen modal mengandung fitur step-up,
maka fitur step-up wajib memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a) fitur step-up dibatasi, ditetapkan, dan dinyatakan secara
jelas dalam perjanjian penerbitan instrumen;
b) hanya dapat direalisasi satu kali selama periode
instrumen, yaitu setelah jangka waktu paling kurang 10
(sepuluh) tahun sejak diterbitkan; dan
c) besarnya fitur step-up relevan dan sejalan dengan
kondisi pasar serta tidak lebih besar dari salah satu
batasan berikut:
1) 100 (seratus) basis points; atau
2) 50% (lima puluh persen) dari marjin (credit spread)
awal; dan
g. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk
diperhitungkan sebagai komponen modal kecuali pelimpahan
dari modal inovatif yang melebihi batasan modal inovatif.
(2) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf f angka 1 dan angka 2 hanya dapat dilakukan oleh Bank
sepanjang:
a. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan
b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3;
atau
c. digantikan . . .
- 21 -
c. digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai:
1. kualitas sama atau lebih baik; dan
2. dalam jumlah yang sama atau jumlah yang berbeda
sepanjang tidak melebihi batasan modal pelengkap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1).
Pasal 17
(1) Modal pelengkap level atas (upper tier 2) meliputi:
a. instrumen modal dalam bentuk saham atau instrumen modal
lainnya yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16;
b. bagian dari modal inovatif yang tidak dapat diperhitungkan
dalam modal inti;
c. revaluasi aset tetap, yang mencakup:
1. selisih nilai revaluasi aset tetap yang sebelumnya telah
diklasifikasikan ke saldo laba, sebesar 45% (empat puluh
lima persen); dan
2. peningkatan nilai wajar atas aset tetap yang belum
direalisasi yang sebelumnya telah diklasifikasikan ke saldo
laba, sebesar 45% (empat puluh lima persen);
d. cadangan umum PPA atas aset produktif yang wajib dibentuk
dengan jumlah paling tinggi sebesar 1,25% (satu koma dua
puluh lima persen) dari ATMR untuk Risiko Kredit; dan
e. pendapatan komprehensif lainnya paling tinggi sebesar 45%
(empat puluh lima persen), yaitu berupa keuntungan yang
belum terealisasi yang timbul dari peningkatan nilai wajar
penyertaan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia
untuk dijual.
(2) Selisih . . .
- 22 -
(2) Selisih lebih cadangan umum yang wajib dibentuk dari batasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat
diperhitungkan sebagai faktor pengurang perhitungan ATMR
untuk Risiko Kredit.
Pasal 18
(1) Modal pelengkap level bawah (lower tier 2) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b hanya dapat diperhitungkan paling
tinggi sebesar 50% (lima puluh persen) dari modal inti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a.
(2) Modal pelengkap level bawah (lower tier 2) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. memiliki jangka waktu perjanjian paling kurang 5 (lima) tahun
dan hanya dapat dilunasi setelah memperoleh persetujuan
Bank Indonesia;
c. tersedia untuk menyerap kerugian pada saat likuidasi dan
bersifat subordinasi, yang secara jelas dinyatakan dalam
dokumentasi penerbitan/perjanjian;
d. pembayaran pokok dan/atau imbal hasil ditangguhkan dan
diakumulasikan antar periode (cummulative), termasuk
pembayaran pada saat jatuh tempo, apabila pembayaran
dimaksud dapat menyebabkan rasio KPMM secara individual
atau rasio KPMM secara konsolidasi tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3;
e. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan
Anak;
f. apabila . . .
- 23 -
f. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus
memenuhi persyaratan berikut:
1. hanya dapat dieksekusi paling kurang 5 (lima) tahun
setelah instrumen modal diterbitkan;
2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi
hanya dapat dieksekusi atas persetujuan Bank Indonesia;
dan
3. dalam hal instrumen modal mengandung fitur step-up,
maka fitur step-up harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a) fitur step-up dibatasi, ditetapkan, dan dinyatakan secara
jelas dalam perjanjian penerbitan instrumen;
b) hanya dapat direalisasi satu kali selama periode
instrumen, yaitu setelah jangka waktu paling kurang 5
(lima) tahun sejak diterbitkan; dan
c) besarnya fitur step-up relevan dan sejalan dengan
kondisi pasar serta tidak lebih besar dari salah satu
batasan berikut:
1) 100 (seratus) basis points; atau
2) 50% (lima puluh persen) dari marjin (credit spread)
awal; dan
g. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk
diperhitungkan sebagai komponen modal.
(3) Eksekusi opsi beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f
angka 1 dan angka 2 hanya dapat dilakukan oleh Bank sepanjang:
a. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan
b.
tidak . . .
- 24 -
b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3;
atau
c. digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai:
1. kualitas sama atau lebih baik; dan
2. dalam jumlah yang sama atau jumlah yang berbeda
sepanjang tidak melebihi batasan modal pelengkap level
bawah (lower tier 2) sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai modal pelengkap level
bawah (lower tier 2) adalah jumlah modal pelengkap level bawah
(lower tier 2) dikurangi amortisasi yang dihitung dengan
menggunakan metode garis lurus.
(5) Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan untuk
sisa jangka waktu instrumen 5 (lima) tahun terakhir.
(6) Dalam hal terdapat opsi, maka jangka waktu sampai Bank dapat
mengeksekusi opsi tersebut merupakan sisa jangka waktu dari
instrumen tersebut.
Pasal 19
Penempatan dana pada pinjaman subordinasi atau obligasi subordinasi
atau yang memenuhi kriteria modal pelengkap pada Bank lain
diperhitungkan sebagai faktor pengurang atas pinjaman subordinasi
atau obligasi subordinasi yang menjadi komponen modal pelengkap
Bank penerima/penerbit.
Pasal 20 . . .
- 25 -
Pasal 20
Bagian dari modal pelengkap yang telah dibentuk cadangan pelunasan
(sinking fund) tidak diperhitungkan sebagai komponen modal
pelengkap, apabila Bank:
a. telah menetapkan untuk menyisihkan dan mengelola dana
cadangan pelunasan (sinking fund) tersebut secara khusus; dan
b. telah mempublikasikan pembentukan cadangan pelunasan (sinking
fund) tersebut, termasuk dalam Rapat Umum Pemegang Obligasi
(RUPO).
Pasal 21
(1) Faktor-faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1) mencakup:
a. penyertaan Bank, yang meliputi:
1. seluruh penyertaan Bank kepada Perusahaan Anak kecuali
penyertaan modal sementara dalam rangka restrukturisasi
kredit;
2. seluruh penyertaan kepada perusahaan atau badan hukum
dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen)
sampai dengan 50% (lima puluh persen) namun Bank tidak
memiliki Pengendalian;
3. seluruh penyertaan kepada perusahaan asuransi;
b. kekurangan modal (shortfall) dari pemenuhan tingkat rasio
solvabilitas minimum (Risk Based Capital/RBC minimum) pada
perusahaan asuransi yang dimiliki dan dikendalikan oleh Bank;
dan
c. eksposur sekuritisasi.
(2) Pengurangan . . .
- 26 -
(2) Pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
huruf b diperhitungkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari
modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a
dan 50% (lima puluh persen) dari modal pelengkap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b.
(3) Seluruh faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dan huruf b tidak diperhitungkan lagi dalam ATMR
untuk Risiko Kredit.
Bagian Keempat
Modal Pelengkap Tambahan
Pasal 22
(1) Modal pelengkap tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) huruf c dapat digunakan sepanjang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. hanya digunakan untuk memperhitungkan Risiko Pasar;
b. tidak melebihi 250% (dua ratus lima puluh persen) dari bagian
modal inti yang dialokasikan untuk memperhitungkan Risiko
Pasar; dan
c. jumlah modal pelengkap dan modal pelengkap tambahan paling
tinggi sebesar 100% (seratus persen) dari modal inti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a.
(2) Modal pelengkap tambahan (tier 3) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. memiliki jangka waktu perjanjian paling kurang 2 (dua) tahun
dan hanya dapat dilunasi setelah memperoleh persetujuan
Bank Indonesia;
c.
tersedia . . .
- 27 -
c. tersedia untuk menyerap kerugian pada saat likuidasi dan
bersifat subordinasi, yang secara jelas dinyatakan dalam
dokumentasi penerbitan/perjanjian;
d. pembayaran pokok dan/atau imbal hasil ditangguhkan dan
diakumulasikan antar periode (cummulative) apabila
pembayaran dimaksud dapat menyebabkan rasio KPMM secara
individual atau rasio KPMM secara konsolidasi tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3;
e. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan
Anak;
f. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus
memenuhi persyaratan berikut:
1. hanya dapat dieksekusi paling kurang 2 (dua) tahun
setelah instrumen modal diterbitkan;
2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi
hanya dapat dieksekusi atas persetujuan Bank Indonesia;
dan
3. dalam hal instrumen modal mengandung fitur step-up,
maka fitur step-up harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a) fitur step-up dibatasi, ditetapkan, dan dinyatakan secara
jelas dalam perjanjian penerbitan instrumen;
b) hanya dapat direalisasi satu kali selama periode
instrumen, yaitu setelah jangka waktu paling kurang 2
(dua) tahun sejak diterbitkan; dan
c) besarnya . . .
- 28 -
c) besarnya fitur step-up relevan dan sejalan dengan
kondisi pasar serta tidak lebih besar dari salah satu
batasan berikut:
1) 100 (seratus) basis points; atau
2) 50% (lima puluh persen) dari marjin (credit spread)
awal; dan
g. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk
diperhitungkan sebagai komponen modal kecuali komponen
modal pelengkap tambahan (tier 3) sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) huruf b dan huruf c.
(3) Eksekusi opsi beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f
angka 1 dan angka 2 hanya dapat dilakukan oleh Bank sepanjang:
a. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan
b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
(4) Modal pelengkap tambahan (tier 3) meliputi:
a. Pinjaman subordinasi atau obligasi subordinasi jangka pendek;
b. Modal pelengkap yang tidak dialokasikan untuk menutup
beban modal untuk Risiko Kredit dan/atau beban modal untuk
Risiko Operasional namun memenuhi syarat sebagai modal
pelengkap (unused but eligible tier 2); dan
c. bagian dari modal pelengkap level bawah (lower tier 2) yang
melebihi batasan modal pelengkap level bawah.
Pasal 23 . . .
- 29 -
Pasal 23
Dalam perhitungan rasio KPMM secara konsolidasi, untuk komponen
modal inovatif, modal pelengkap level atas (upper tier 2), modal
pelengkap level bawah (lower tier 2), dan modal pelengkap tambahan
(tier 3), Bank wajib menyampaikan data pendukung yang menunjukkan
bahwa komponen modal Perusahaan Anak yang diperhitungkan telah
memenuhi seluruh persyaratan sebagai komponen modal.
Bagian Kelima
Capital Equivalency Maintained Assets (CEMA)
Pasal 24
(1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib
memenuhi CEMA minimum.
(2) CEMA minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dipenuhi dari dana usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf a.
(3) Dana usaha yang dimiliki oleh kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri harus memenuhi modal minimum
sesuai profil risiko dan CEMA minimum.
(4) CEMA minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
setiap bulan.
(5) CEMA minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
sebesar 8% (delapan persen) dari total kewajiban bank pada setiap
bulan dan paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu
triliun rupiah).
(6) CEMA . . .
- 30 -
(6) CEMA minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib
dipenuhi dan ditempatkan paling lambat tanggal 6 bulan
berikutnya.
Pasal 25
(1) Bank wajib menetapkan aset keuangan yang digunakan untuk
memenuhi CEMA minimum.
(2) Aset keuangan yang telah ditetapkan untuk memenuhi CEMA
minimum tidak dapat dipertukarkan sampai dengan periode
pemenuhan CEMA berikutnya.
(3) Aset keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
memenuhi syarat dan dapat diperhitungkan sebagai CEMA adalah:
a. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia dan dimaksudkan untuk dimiliki sampai dengan
jatuh tempo;
b. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank lain yang berbadan
hukum Indonesia dan memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.
tidak bersifat ekuitas;
2. memiliki peringkat investasi; dan
3.
dan/atau
c. surat berharga yang diterbitkan oleh korporasi berbadan
hukum Indonesia dan memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.
tidak bersifat ekuitas;
2. memiliki peringkat surat berharga paling kurang A+ atau
yang setara;
tidak dimaksudkan untuk tujuan trading;
3.
tidak . . .
- 31 -
3.
tidak dimaksudkan untuk tujuan trading; dan
4. porsi surat berharga korporasi paling banyak sebesar 20%
(dua puluh persen) dari total CEMA minimum.
(4) Aset keuangan yang digunakan sebagai CEMA harus bebas dari
klaim pihak manapun.
(5) Perhitungan aset keuangan yang digunakan untuk memenuhi
CEMA dilakukan sebagai berikut:
a. untuk aset keuangan yang telah dimiliki oleh Bank dihitung
berdasarkan nilai tercatat aset keuangan pada posisi akhir
bulan laporan;
b. untuk aset keuangan yang dibeli setelah posisi akhir bulan
laporan dihitung berdasarkan nilai tercatat aset keuangan pada
posisi pembelian aset keuangan.
BAB III
ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO
Bagian Pertama
Umum
Pasal 26
Aset tertimbang menurut risiko (ATMR) yang digunakan dalam
perhitungan modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (3) terdiri dari:
a. ATMR untuk Risiko Kredit;
b. ATMR untuk Risiko Operasional; dan
c. ATMR untuk Risiko Pasar.
Pasal 27 . . .
- 32 -
Pasal 27
(1) Setiap Bank wajib memperhitungkan ATMR untuk Risiko Kredit
dan ATMR untuk Risiko Operasional.
(2) ATMR untuk Risiko Pasar hanya wajib diperhitungkan oleh Bank
yang memenuhi kriteria tertentu.
Pasal 28
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2)
adalah:
a. Bank yang secara individual memenuhi salah satu kriteria sebagai
berikut:
1. Bank dengan total aset sebesar Rp10.000.000.000.000,00
(sepuluh triliun rupiah) atau lebih;
2. Bank devisa dengan posisi instrumen keuangan berupa surat
berharga dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book
sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau
lebih;
3. Bank bukan Bank devisa dengan posisi instrumen keuangan
berupa surat berharga dan/atau transaksi derivatif suku bunga
dalam Trading Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar rupiah) atau lebih;
dan/atau;
b. Bank yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi
salah satu kriteria sebagai berikut:
1. Bank . . .
- 33 -
1. Bank devisa yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak
memiliki posisi instrumen keuangan berupa surat berharga
termasuk instrumen keuangan yang terekspos risiko ekuitas
dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book dan/atau
instrumen keuangan yang terekspos risiko komoditas dalam
Trading Book dan Banking Book sebesar Rp20.000.000.000,00
(dua puluh miliar rupiah) atau lebih;
2. Bank bukan Bank devisa yang secara konsolidasi dengan
Perusahaan Anak memiliki posisi instrumen keuangan berupa
surat berharga termasuk instrumen keuangan yang terekspos
risiko ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book
dan/atau instrumen keuangan yang terekspos risiko komoditas
dalam Trading Book dan Banking Book sebesar
Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau lebih.
c. Bank yang memiliki jaringan kantor dan/atau Perusahaan Anak di
negara lain maupun kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri.
Pasal 29
Aset keuangan yang pada saat pengakuan awal ditetapkan sebagai aset
keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi dan
kredit yang diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan
dikecualikan dari cakupan Trading Book.
Pasal 30
Surat berharga dalam Trading Book hanya mencakup surat berharga
yang diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan.
Pasal 31 . . .
- 34 -
Pasal 31
Bank yang setelah merger, konsolidasi, atau mengakuisisi memenuhi
kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, paling kurang pada 3
(tiga) periode pelaporan bulanan dalam 6 (enam) bulan pertama setelah
merger, konsolidasi, atau akuisisi dinyatakan efektif wajib
memperhitungkan Risiko Pasar dalam perhitungan rasio KPMM sejak
bulan ke 7 (tujuh) setelah merger, konsolidasi, atau akuisisi dinyatakan
efektif.
Pasal 32
Bank yang telah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 dan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 wajib tetap
memperhitungkan Risiko Pasar dalam kewajiban penyediaan modal
minimum walaupun Bank selanjutnya tidak lagi memenuhi kriteria
dimaksud.
Bagian Kedua
Risiko Kredit
Pasal 33
(1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit, Bank
menggunakan:
a. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau
b. Pendekatan berdasarkan Internal Rating (Internal Rating based
Approach).
(2) Bank yang menggunakan pendekatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b wajib memperoleh persetujuan terlebih
dahulu dari Bank Indonesia.
(3) Ketentuan . . .
- 35 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan masing-masing
pendekatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Risiko Operasional
Pasal 34
(1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional, Bank
menggunakan:
a. Pendekatan Indikator Dasar (Basic Indicator Approach);
b. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau
c. Pendekatan yang lebih kompleks (Advanced Measurement
Approach).
(2) Bank yang mengggunakan pendekatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan huruf c wajib memperoleh persetujuan
terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan masing-masing
pendekatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Risiko Pasar
Pasal 35
(1) Risiko Pasar yang wajib diperhitungkan oleh Bank secara
individual dan secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak
adalah:
a. risiko suku bunga; dan/atau
b. risiko nilai tukar.
(2) Bank . . .
- 36 -
(2) Bank secara konsolidasi wajib memperhitungkan risiko ekuitas
dan/atau risiko komoditas selain Risiko Pasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki Perusahaan Anak yang terekspos risiko ekuitas
dan/atau risiko komoditas; dan
b. secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b,
Pasal 36
(1) Bank wajib melakukan valuasi secara harian terhadap posisi
Trading Book secara akurat.
(2) Dalam melakukan valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur valuasi, termasuk
memiliki sistem informasi manajemen dan pengendalian proses
valuasi yang memadai dan terintegrasi dengan sistem manajemen
risiko.
(3) Kebijakan dan prosedur valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) wajib berlandaskan pada prinsip kehati-hatian.
Pasal 37
(1) Proses valuasi wajib dilakukan berdasarkan nilai wajar.
(2) Terhadap instrumen keuangan yang diperdagangkan secara aktif,
proses valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan menggunakan harga transaksi yang terjadi (close out
prices) atau kuotasi harga pasar dari sumber yang independen.
(3) Valuasi terhadap instrumen keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) menggunakan:
a. bid . . .
- 37 -
a. bid price untuk aset yang dimiliki atau kewajiban yang akan
diterbitkan; dan/atau
b. ask price untuk aset yang akan diperoleh atau kewajiban yang
dimiliki.
(4) Dalam hal harga pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
tersedia, Bank dapat menetapkan nilai wajar dengan
menggunakan suatu model/teknik penilaian berlandaskan prinsip
kehati-hatian.
Pasal 38
(1) Bank wajib melakukan verifikasi terhadap proses dan hasil
valuasi.
(2) Proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan
oleh pihak yang tidak ikut dalam pelaksanaan valuasi.
(3) Bank wajib menyesuaikan hasil valuasi berdasarkan verifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 39
Bank wajib segera melakukan penyesuaian terhadap hasil valuasi yang
belum mencerminkan nilai wajar dalam hal:
a. terjadi perubahan kondisi ekonomi yang signifikan;
b. harga instrumen keuangan yang dijadikan acuan adalah harga yang
terjadi dari transaksi yang dipaksakan, likuidasi yang dipaksakan,
atau penjualan akibat kesulitan keuangan;
c. instrumen keuangan sudah mendekati jatuh tempo; dan/atau
d. harga yang dijadikan acuan tidak wajar karena kondisi lainnya.
Pasal 40 . . .
- 38 -
Pasal 40
(1) Selain penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Bank
wajib melakukan penyesuaian terhadap valuasi atas posisi yang
kurang likuid dengan mempertimbangkan faktor-faktor tertentu.
(2) Dalam hal dilakukan penyesuaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank wajib memperhitungkan dampak penyesuaian
sebagai faktor pengurang modal inti dalam perhitungan rasio
KPMM.
Pasal 41
(1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Pasar, Bank
menggunakan:
a. Metode Standar (Standard Method); dan/atau
b. Model Internal (Internal Model).
(2) Bank yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28, wajib terlebih dahulu menggunakan Metode Standar
dalam memperhitungkan Risiko Pasar.
(3) Bank yang menggunakan pendekatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b wajib memperoleh persetujuan terlebih
dahulu dari Bank Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan masing-masing
metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IV . . .
- 39 -
BAB IV
Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP) dan
Supervisory Review and Evaluation Process (SREP)
Bagian Pertama
Cakupan Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP)
Pasal 42
(1) Dalam memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dan Pasal 3, Bank wajib memiliki ICAAP yang disesuaikan dengan
ukuran, karakteristik, dan kompleksitas usaha Bank.
(2) ICAAP paling kurang mencakup:
a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;
b. penilaian kecukupan modal;
c. pemantauan dan pelaporan; dan
d. pengendalian internal.
(3) Bank wajib mendokumentasikan ICAAP.
Bagian Kedua
Supervisory Review and Evaluation Process (SREP)
Pasal 43
(1) Bank Indonesia melakukan SREP.
(2) Berdasarkan hasil SREP, Bank Indonesia dapat meminta Bank
untuk memperbaiki ICAAP.
Pasal 44
(1) Apabila terdapat perbedaan hasil perhitungan modal sesuai profil
risiko antara hasil self assessment Bank dengan hasil SREP, maka
perhitungan modal yang berlaku adalah hasil SREP .
(2) Apabila . . .
- 40 -
(2) Apabila Bank Indonesia menilai modal yang dimiliki Bank tidak
memenuhi modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3, maka Bank Indonesia
meminta Bank untuk:
a. menyediakan tambahan modal agar memenuhi modal minimum
sesuai profil risiko;
b. memperbaiki kualitas proses manajemen risiko; dan/atau
c. menurunkan eksposur risiko.
Pasal 45
Dalam hal Bank Indonesia menilai terdapat kecenderungan penurunan
modal Bank yang berpotensi menyebabkan modal Bank berada di
bawah kewajiban penyediaan modal minimum, Bank Indonesia dapat
meminta Bank untuk melakukan antara lain:
a. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
b. pembatasan pembukaan jaringan kantor; dan/atau
c. pembatasan distribusi modal.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 46
(1) Bank yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 wajib menyampaikan laporan perhitungan KPMM dengan
memperhitungkan Risiko Pasar.
(2) Penyusunan dan penyampaian laporan perhitungan KPMM dengan
memperhitungkan Risiko Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib mengacu kepada ketentuan tentang Laporan Berkala
Bank Umum.
(3) Laporan . . .
- 41 -
(3) Laporan yang terkait dengan Model Internal secara triwulanan
untuk pertama kali disusun pada akhir triwulan setelah Model
Internal digunakan untuk perhitungan rasio KPMM.
Pasal 47
(1) Bank wajib menyampaikan laporan penilaian kecukupan modal
minimum sesuai profil risiko kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
bersamaan dengan penyampaian hasil self assessment Tingkat
Kesehatan Bank.
Pasal 48
(1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib
menyampaikan laporan pemenuhan CEMA minimum.
(2) Laporan pemenuhan CEMA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling kurang memuat informasi mengenai:
a. rata-rata total kewajiban Bank secara mingguan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 24 ayat (5);
b. jumlah alokasi dana usaha dalam bentuk CEMA;
c. jenis aset dan pemenuhan kriteria aset keuangan CEMA;
d. nilai tercatat masing-masing aset keuangan CEMA; dan
e. maturity date aset keuangan CEMA.
Pasal 49
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) disusun
setiap bulan dan wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling
lambat tanggal 8 pada bulan berikutnya.
(2) Dalam . . .
- 42 -
(2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari Sabtu, Minggu, dan/atau
hari libur, maka laporan pemenuhan CEMA minimum
disampaikan pada hari kerja berikutnya.
Pasal 50
(1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 48 ayat (1) apabila
laporan diterima oleh Bank Indonesia setelah batas waktu
penyampaian laporan sampai dengan paling lama 5 (lima) hari
setelah batas waktu penyampaian laporan.
(2) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 48 ayat (1) apabila
laporan belum diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan batas
waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tetap wajib menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 48 ayat
(1).
Pasal 51
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 48
ayat (1) disampaikan kepada:
a. Departemen Pengawasan Bank, Jalan MH Thamrin No.2, Jakarta
10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor
Pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia.
BAB VI
. . .
- 43 -
BAB VI
SANKSI
Pasal 52
Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7 ayat (1), Pasal 10, Pasal 12 ayat (1) dan ayat
(3), Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 18 ayat (1) dan ayat (3),
Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27,
Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37,
Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 47, Pasal 48,
dan Pasal 49 dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. larangan transfer laba bagi kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. larangan pembukaan jaringan kantor;
e. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau
f. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham Bank dalam
daftar orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus
Bank.
Pasal 53
Bank yang melanggar ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan
yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum.
Pasal 54
(1) Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Bank yang
dinyatakan:
a.
terlambat
. . .
- 44 -
a. terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja
keterlambatan;
b. tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena
dinyatakan tidak menyampaikan laporan, maka sanksi kewajiban
membayar karena terlambat menyampaikan laporan tidak
diberlakukan.
Pasal 55
Selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52, Bank yang tidak dapat memenuhi ketentuan modal minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 diwajibkan
melakukan langkah – langkah atau tindakan pengawasan sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai tindak lanjut
pengawasan dan penetapan status Bank.
Pasal 56
Bank yang melakukan perdagangan atas aset keuangan dalam
kelompok tersedia untuk dijual, yang dilakukan dengan pola
menyerupai perdagangan atas aset keuangan dalam kelompok
diperdagangkan:
a. dalam jumlah yang signifikan; dan/atau
b. dalam frekuensi yang tinggi,
dikenakan . . .
- 45 -
dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk mengelompokkan
pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok tersedia untuk
dijual, selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat
pembinaan oleh Bank Indonesia.
Pasal 57
Dalam hal Bank melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 untuk kedua kalinya, maka Bank dikenakan sanksi berupa
tidak diperkenankan untuk mengelompokkan pembelian aset keuangan
berikutnya dalam kelompok tersedia untuk dijual selama 1 (satu)
tahun terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 58
Dalam hal Bank melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 lebih dari dua kali, maka Bank dikenakan sanksi berupa tidak
diperkenankan untuk mengelompokkan pembelian aset keuangan
berikutnya dalam kelompok tersedia untuk dijual selama 2 (dua) tahun
terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Bank
Indonesia.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 59
(1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib
memenuhi CEMA minimum sebesar 8% (delapan persen) dari
total kewajiban bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
paling lambat pada posisi bulan Juni 2013.
(2) Apabila . . .
- 46 -
(2) Apabila CEMA minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
lebih kecil dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah)
maka kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
wajib memenuhi CEMA minimum sebesar
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5) paling lambat pada posisi
bulan Desember 2017.
Pasal 60
(1) Perhitungan modal mínimum sesuai profil risiko sebagaimana
dimaksud pada Pasal 2 dan Pasal 3 untuk pertama kali
menggunakan peringkat profil risiko posisi bulan Desember
2012.
(2) Kewajiban pemenuhan modal mínimum sesuai profil risiko
ditetapkan sebagai berikut:
a. Pemenuhan modal mínimum posisi bulan Maret sampai
dengan bulan Agustus didasarkan pada peringkat profil risiko
posisi bulan Desember tahun sebelumnya;
b. Pemenuhan modal mínimum posisi bulan September sampai
dengan bulan Februari tahun berikutnya didasarkan pada
peringkat profil risiko posisi bulan Juni;
c. Dalam hal terjadi perubahan peringkat profil risiko diantara
periode penilaian profil risiko, maka pemenuhan modal
mínimum didasarkan pada peringkat profil risiko terakhir.
Pasal 61 . . .
- 47 -
Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 62
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, maka:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/13/PBI/2007 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan
Memperhitungkan Risiko Pasar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4773);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/15/PBI/2008 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 135, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4895),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 63
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar . . .
- 48 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 November 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 28 November 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 261
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 18 /PBI/2012
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
I. UMUM
Dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan
mampu berkembang serta bersaing secara nasional maupun
internasional, maka struktur, persyaratan dan perhitungan kecukupan
modal bank perlu disesuaikan dengan standar internasional yang
berlaku. Standar Internasional yang menjadi acuan adalah
“International Convergence of Capital Measurement and Capital
Standard: A Revised Framework” yang lebih dikenal dengan Basel II.
Dokumen Basel II mensyaratkan Bank untuk mengembangkan
Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP) yaitu proses
untuk menetapkan kecukupan modal yang sesuai dengan profil risiko
Bank sebagai bagian dari peningkatan efektivitas praktek manajemen
risiko di Bank.
Selanjutnya Bank Indonesia melakukan Supervisory Review and
Evaluation Process (SREP) terhadap kecukupan ICAAP yang dilakukan
Bank untuk memastikan tingkat permodalan Bank memadai dan
sesuai dengan profil risikonya.
Perkembangan . . .
- 50 -
Perkembangan kompleksitas usaha, teknologi, dan produk serta
jasa Bank, menyebabkan meningkatnya profil risiko Bank. Risiko
dimaksud tidak hanya berupa risiko kredit, risiko pasar dan risiko
operasional namun juga risiko lainnya yang meliputi risiko konsentrasi
kredit, risiko pasar pada banking book, risiko likuiditas, risiko strategi,
risiko hukum, risiko kepatuhan dan risiko reputasi, serta dampak
penerapan stress testing. Untuk menyerap risiko tersebut Bank perlu
menyediakan modal yang memadai.
Dalam melaksanakan SREP terhadap ICAAP Bank, Bank
Indonesia melakukan kaji ulang atas hasil penilaian kecukupan modal
bank sesuai dengan profil risiko. Selanjutnya Bank Indonesia dapat
meminta Bank memperbaiki ICAAP termasuk melakukan langkah-
langkah perbaikan lainnya.
Sementara itu, dinamika perekonomian serta perkembangan
sektor keuangan global yang terjadi akhir-akhir ini mendorong Bank
Indonesia sebagai otoritas negara setempat (host supervisor) melakukan
upaya untuk memperkuat permodalan kantor cabang dari Bank yang
berkedudukan diluar negeri dalam rangka memelihara stabilitas sistem
keuangan, khususnya stabilitas perbankan nasional. Salah satu
langkah yang ditempuh adalah melalui alokasi dana usaha kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri ke dalam aset
keuangan likuid tertentu di Indonesia.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka perlu mengatur
kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum Bank Umum.
II. PASAL . . .
- 51 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Profil risiko adalah profil risiko Bank sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan
bank umum.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “rasio KPMM” adalah perbandingan
antara modal Bank dengan Aset Tertimbang Menurut Risiko
(ATMR).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Yang dimaksud dengan “distribusi laba” adalah antara lain
pembayaran dividen dan pembayaran bonus kepada pengurus
(management fee).
Pasal 5 . . .
- 52 -
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana usaha” adalah dana bersih
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
yang berasal dari penempatan kantor pusatnya setelah
dikurangi penempatan kantor cabang bank yang
berkedudukan di luar negeri pada kantor-kantor bank yang
bersangkutan di luar negeri, yang harus selalu tercatat setiap
waktu di Indonesia selama kantor cabang bank tersebut
beroperasi di Indonesia dan telah dinyatakan (declared dana
usaha).
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”laba ditahan” adalah saldo laba
bersih setelah dikurangi pajak yang oleh kantor pusatnya
diputuskan untuk ditahan di kantor cabangnya di Indonesia.
Yang dimaksud dengan ”laba tahun lalu” adalah seluruh laba
bersih tahun-tahun yang lalu setelah dikurangi pajak, dan
belum ditetapkan penggunaannya oleh kantor pusat.
Dalam hal Bank mempunyai saldo rugi tahun-tahun lalu,
maka seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang
modal.
Huruf c . . .
- 53 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”laba tahun berjalan” adalah laba yang
diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah dikurangi
taksiran pajak.
Dalam hal pada tahun buku berjalan Bank mengalami
kerugian, maka seluruh kerugian tersebut menjadi faktor
pengurang modal.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “cadangan umum modal” adalah
cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan
atau dari laba tahun lalu setelah dikurangi pajak, dan
mendapat persetujuan kantor pusatnya sebagai cadangan
umum modal.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “cadangan tujuan modal” adalah
cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan
atau dari laba tahun lalu setelah dikurangi pajak yang
disisihkan untuk tujuan tertentu dan telah mendapat
persetujuan kantor pusatnya.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penetapan jumlah dana usaha yang dinyatakan mengacu kepada
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai pinjaman luar
negeri.
Pasal 7 . . .
- 54 -
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Perlakuan sebagai komponen modal disetor mengacu kepada
ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan standar
akuntansi keuangan yang berlaku mengenai akuntansi
ekuitas.
Yang termasuk modal disetor antara lain:
1. saham biasa;
2. saham preferen (yang memberikan hak kepada
pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari
pemegang saham klasifikasi lain) non kumulatif (perpetual
non cummulative preference share); dan
3. saham preferen non kumulatif yang diterbitkan untuk
tujuan khusus dengan fitur call option.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “modal inovatif” adalah instrumen
utang yang memiliki karakteristik modal (instrumen hybrid).
Modal inovatif meliputi :
1. Instrumen utang yang memiliki karakteristik modal,
bersifat subordinasi, tidak memiliki jangka waktu, dan
pembayaran imbal hasil tidak dapat diakumulasikan
(perpetual non cummulative subordinated debt); dan
2. Instrumen . . .
- 55 -
2. Instrumen hybrid lainnya yang tidak memiliki jangka waktu
dan pembayaran imbal hasil tidak dapat diakumulasikan
(perpetual dan non cummulative).
Pasal 8
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank
atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang
diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau
Perusahaan Anak, misalnya premi/fee dalam rangka penjaminan
dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak.
Pasal 9
Termasuk sebagai tujuan khusus yaitu untuk tujuan merger,
akuisisi, atau konsolidasi.
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 56 -
Huruf b
Tujuan tertentu untuk melakukan pembelian kembali saham
yang telah diakui sebagai komponen modal disetor yaitu sebagai
persediaan saham dalam rangka program employee/management
stock option atau menghindari upaya take over.
Huruf c
Sesuai Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas dinyatakan bahwa jumlah nilai nominal seluruh saham
yang dibeli kembali oleh perseroan tidak melebihi 10% (sepuluh
persen) dari modal yang ditempatkan. Saham yang dibeli kembali
hanya boleh dikuasai perseroan paling lama 3 (tiga) tahun.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Yang dimaksud dengan “agio” adalah selisih lebih setoran
modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan
saham karena harga pasar saham lebih tinggi dari nilai
nominal.
Angka 2 . . .
- 57 -
Angka 2
Yang dimaksud dengan “modal sumbangan” adalah modal
yang diperoleh kembali dari sumbangan saham Bank
tersebut termasuk selisih antara nilai yang tercatat dengan
harga jual apabila saham tersebut dijual.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “cadangan umum modal” adalah
cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan
atau dari laba tahun lalu setelah dikurangi pajak, dan
mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham
(RUPS) atau rapat anggota sebagai cadangan umum modal.
Angka 4
Yang dimaksud dengan “cadangan tujuan modal” adalah
cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan
atau dari laba tahun lalu setelah dikurangi pajak yang
disisihkan untuk tujuan tertentu dan telah mendapat
persetujuan RUPS atau rapat anggota.
Angka 5
Laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak
mencakup:
a. laba tahun lalu, yaitu seluruh laba bersih tahun-tahun
yang lalu setelah dikurangi pajak, dan belum ditetapkan
penggunaannya oleh RUPS atau rapat anggota; dan
b. laba ditahan (retained earnings) yaitu saldo laba bersih
setelah dikurangi pajak yang oleh RUPS atau rapat
anggota diputuskan untuk tidak dibagikan.
Angka 6 . . .
- 58 -
Angka 6
Yang dimaksud dengan ”laba tahun berjalan” adalah laba
yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah
dikurangi taksiran pajak.
Angka 7
Yang dimaksud dengan “selisih lebih penjabaran laporan
keuangan” adalah selisih kurs yang timbul dari penjabaran
laporan keuangan kantor cabang Bank dan/atau
Perusahaan Anak di luar negeri sebagaimana diatur dalam
standar akuntansi keuangan yang berlaku mengenai
penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing.
Angka 8
Apabila berdasarkan penelitian Bank Indonesia, calon
pemegang saham Bank atau dana setoran modal diketahui
tidak memenuhi syarat sebagai pemegang saham atau
sebagai modal maka dana tersebut tidak dapat diakui
sebagai komponen modal.
Angka 9
Mengacu pada definisi yang umum berlaku di pasar modal,
yang dimaksud dengan “waran” adalah efek yang
diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi hak
kepada pemegang efek untuk memesan saham dari
perusahaan tersebut pada harga dan jangka waktu
tertentu.
Angka 10
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 59 -
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “disagio” adalah selisih kurang
setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat
penerbitan saham karena harga pasar saham lebih rendah
dari nilai nominal.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “rugi tahun-tahun lalu” adalah
seluruh rugi yang dibukukan Bank pada tahun-tahun yang
lalu.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “rugi tahun berjalan” adalah rugi
yang dibukukan Bank dalam tahun buku berjalan.
Angka 4
Yang dimaksud dengan “selisih kurang penjabaran laporan
keuangan” adalah selisih kurs yang timbul dari penjabaran
laporan keuangan kantor cabang Bank dan atau
Perusahaan Anak di luar negeri sebagaimana diatur dalam
standar akuntansi keuangan yang berlaku mengenai
penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing.
Angka 5
Pendapatan komprehensif lainnya yang negatif merupakan
pos dalam ekuitas yang bertujuan untuk menampung
penurunan nilai wajar atas penyertaan dalam kelompok
tersedia untuk dijual.
Yang . . .
- 60 -
Yang dimaksud dengan “penyertaan yang diklasifikasikan
dalam kelompok tersedia untuk dijual” adalah penyertaan
saham yang memenuhi kriteria penggunaan metode biaya
dan memiliki nilai wajar.
Angka 6
Yang dimaksud dengan “selisih kurang antara PPA atas
aset produktif dan cadangan kerugian penurunan nilai atas
aset produktif” adalah selisih kurang antara total PPA
(cadangan umum dan cadangan khusus atas seluruh aset
produktif) yang wajib dibentuk sesuai ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku dengan total cadangan kerugian
penurunan nilai (impairment) atas seluruh aset produktif
(secara individu dan secara kolektif) sesuai standar
akuntansi keuangan yang berlaku. Definisi aset produktif
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai
penilaian kualitas aset bank umum.
Angka 7
Selisih kurang ini timbul karena jumlah penyesuaian
terhadap hasil valuasi (mark to market) dari instrumen
keuangan dalam Trading Book yang mempertimbangkan
faktor-faktor tertentu antara lain karena posisi yang
kurang likuid melebihi jumlah penyesuaian yang
dipersyaratkan sesuai standar akuntansi keuangan yang
berlaku mengenai pengukuran instrumen keuangan,
khususnya instrumen keuangan yang diukur berdasarkan
nilai wajar.
Sesuai . . .
- 61 -
Sesuai Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI)
yang berlaku, penyesuaian terhadap hasil valuasi
instrumen keuangan akan langsung mengurangi atau
menambah nilai tercatat instrumen keuangan.
Angka 8
PPA non produktif adalah cadangan yang wajib dibentuk
untuk aset non produktif sesuai ketentuan Bank Indonesia
mengenai penilaian kualitas aset Bank Umum.
Ayat (2)
Huruf a
Pajak tangguhan (deferred tax) merupakan transaksi yang
timbul sebagai akibat penerapan PSAK mengenai akuntansi
pajak penghasilan.
Dalam perhitungan modal minimum secara individual
pengaruh pajak tangguhan yang dikeluarkan sebesar selisih
bersih aset pajak tangguhan dikurangi kewajiban pajak
tangguhan.
Dalam hal kewajiban pajak tangguhan melampaui aset pajak
tangguhan, maka pengaruh perhitungan pajak tangguhan
yang akan dikeluarkan dari laba/rugi tahun lalu atau tahun
berjalan adalah sebesar nol.
Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi, aset pajak
tangguhan satu perusahaan tidak boleh saling hapus dengan
kewajiban pajak tangguhan perusahaan lain dalam kelompok
usaha bank.
Oleh . . .
- 62 -
Oleh karena itu, pengaruh pajak tangguhan dalam
perhitungan secara konsolidasi harus dihitung dan
dikeluarkan secara terpisah untuk masing-masing entitas.
Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan dari
perhitungan laba atau rugi, maka aset pajak tangguhan tidak
diperhitungkan dalam perhitungan ATMR.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”selisih nilai revaluasi aset tetap”
adalah selisih nilai revaluasi aset tetap yang diklasifikasikan
ke saldo laba dalam hal Bank melakukan revaluasi aset tetap
sebelum PSAK 16 diberlakukan dan selanjutnya
menggunakan metode biaya dalam pengukuran aset tetap.
Termasuk dalam komponen ini adalah selisih lebih revaluasi
aset tetap yang tersisa dalam pelaksanaan kuasi reorganisasi.
Huruf c
Perlakuan ini diperuntukkan bagi Bank yang menggunakan
model revaluasi aset tetap sebagaimana diatur dalam PSAK 16
tentang Aset Tetap.
Perhitungan nilai wajar aset tetap mengacu pada standar
akuntansi keuangan yang berlaku mengenai aset tetap.
Huruf d
Hal ini terjadi apabila Bank menetapkan untuk mengukur
kewajiban keuangan pada nilai wajar melalui laba rugi (fair
value option) sesuai standar akuntansi keuangan yang
berlaku.
Huruf e . . .
- 63 -
Huruf e
Yang dimaksud dengan “keuntungan atas penjualan aset
dalam transaksi sekuritisasi (gain on sale)” adalah
keuntungan yang diperoleh Bank sebagai kreditur asal
(originator) atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi
(gain on sale) yang bersumber dari kapitalisasi pendapatan
masa mendatang (expected future margin) atau kapitalisasi
pendapatan dari penyediaan jasa (servicing income).
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh
Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan
yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank
atau Perusahaan Anak, misalnya premi/fee dalam rangka
penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak.
Huruf f . . .
- 64 -
Huruf f
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan fitur step-up adalah fitur yang
menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga apabila opsi beli
tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan.
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Yang dimaksud dengan “marjin (credit spread)” adalah
selisih antara tingkat imbal hasil/bunga instrumen
dimaksud dengan tingkat bunga instrumen yang tidak
berisiko (risk free).
Ilustrasi penetapan batas step-up berdasarkan
perjanjian step-up adalah sebagai berikut:
1. Step-up atas suku bunga tetap (fixed interest rates)
Contoh:
a. step-up yang dapat direalisasi setelah 10 tahun
penerbitan tidak melebihi 100 bp (100 bp = 1%)
Suku bunga sebelumnya (tahun 1 – 10) = 7%
fixed interest rate
Suku . . .
- 65 -
Suku bunga baru (sejak tahun 11) = 7% + 1%
= 8% fixed interest rate
b. step-up yang dapat direalisasi setelah 10 tahun
penerbitan tidak melebih 50% (lima puluh
persen) dari marjin (credit spread) awal
Suku bunga sebelumnya (tahun 1 – 10 ) = 7%
fixed interest rate
Misalnya pada saat penerbitan, tingkat bunga
instrumen yang tidak berisiko (risk free)= 6%,
maka 50% (lima puluh persen) dari marjin
(credit spread) awal adalah 50% x (7% - 6%) =
0.5%
Suku bunga baru (sejak tahun 11) = 7% +
0.5% = 7.5% fixed interest rate
2. Step-up atas suku bunga mengambang (floating
interest rates)
Terdapat 2 contoh:
a. Jika reference rate tidak berubah
1) step-up yang dapat direalisasi setelah
10 tahun penerbitan tidak melebih 100 bp
Suku bunga sebelumnya (tahun 1 – 10) =
10-year Government Bond + spread 1,5%
(spread pada saat penerbitan instrumen)
Suku bunga baru (sejak tahun 11) =
10-year Government Bond + spread 2,5%
(spread awal 1,5% + 1%).
2) step-up . . .
- 66 -
2) step-up yang dapat direalisasi setelah
10 tahun penerbitan tidak melebih 50% (lima
puluh persen) dari marjin (credit spread) awal
Suku bunga sebelumnya (tahun 1 – 10) =
10-year Government Bond + spread 1,5%
(spread pada saat penerbitan instrumen) =
7%
Misalnya dengan tingkat bunga instrumen
yang tidak berisiko (risk free)= 6%, maka
50% (lima puluh persen) dari marjin (credit
spread) awal adalah 50% x (7% - 6%) =
0.5%
Suku bunga baru (sejak tahun 11) =
10-year Government Bond + spread 2%
(spread awal 1,5% + 0.5%)
b. Jika reference rate berubah
1) step-up yang dapat direalisasi setelah
10 tahun penerbitan tidak melebihi 100 bp
Peningkatan suku bunga tidak boleh melebihi
1% dari spread awal (pada saat penerbitan
instrumen) dengan menggunakan reference
rates baru dibandingkan dengan reference
rate pada saat penerbitan instrumen.
Misalnya,
Government Bond berubah menjadi LIBOR
reference rate dari 10-year
Suku . . .
- 67 -
Suku bunga sebelumnya (tahun 1 – 10)
Asumsi pada saat penerbitan instrumen
suku bunga adalah 7% (10-year
Government Bond 5% plus spread 2%).
Sementara pada saat yang sama, LIBOR
5,5%. Dengan demikian, spread LIBOR
pada saat suku bunga 7% adalah 1.5%
(7% - 5.5%).
Suku bunga baru (sejak tahun 11) =
LIBOR + spread 2.5% (spread awal 1,5% +
1%)
2) step-up yang dapat direalisasi setelah
10 tahun penerbitan tidak melebihi 50% (lima
puluh persen) dari marjin (credit spread) awal.
Peningkatan suku bunga tidak boleh melebihi
50% (lima puluh persen) marjin (credit
spread) awal dari spread awal (pada saat
penerbitan instrumen) dengan reference rate
baru dibandingkan dengan reference rate
pada saat penerbitan instrumen.
Misalnya,
reference rate dari 10-year
Government Bond berubah menjadi LIBOR
Suku bunga sebelumnya (tahun 1 – 10)
Asumsi pada saat penerbitan instrumen
suku bunga adalah 7% (10-year
Government Bond 5% plus spread 2%).
Sementara . . .
- 68 -
Sementara pada saat yang sama, LIBOR
5,5%. Dengan demikian, spread LIBOR
pada saat suku bunga 7% adalah 1.5%
(7% - 5.5%).
Misalnya dengan tingkat bunga instrumen
yang tidak berisiko (risk free)= 6%, maka
50% (lima puluh persen) dari marjin (credit
spread) awal adalah 50% x (7% - 6%) =
0.5%.
Suku bunga baru (sejak tahun 11) =
LIBOR + spread 2% (spread awal 1,5% +
0.5%)
3. Step-up dengan perubahan dari suku bunga tetap
menjadi suku bunga mengambang
a. step-up yang dapat direalisasi setelah 10 tahun
penerbitan tidak melebihi 100 bp
Peningkatan suku bunga tidak boleh melebihi
1% dari spread awal (pada saat penerbitan
instrumen) dengan floating interest rates yang
digunakan setelah tahun ke 10 dibandingkan
dengan suku bunga pada saat penerbitan
instrumen.
Misalnya, perubahan dari fixed rate menjadi
floating rate (LIBOR+Spread)
Suku bunga sebelumnya (tahun 1 – 10) = 7%
fixed rate
Asumsi . . .
- 69 -
Asumsi LIBOR 5,5% pada saat penerbitan
instrumen. Dengan demikian, pada suku
bunga 7% maka spread atas LIBOR adalah
1,5 %.
Suku bunga baru (sejak tahun 11) = LIBOR +
spread 2,5% ( spread awal 1,5% + 1 %).
b. step-up yang dapat direalisasi setelah 10 tahun
penerbitan tidak melebihi 50% (lima puluh
persen) dari marjin (credit spread) awal.
Peningkatan suku bunga tidak boleh melebihi
50% (lima puluh persen) marjin (credit spread)
awal (pada saat penerbitan instrumen) dengan
floating interest rates yang digunakan setelah
tahun ke 10 dibandingkan dengan suku bunga
pada saat penerbitan instrumen.
Misalnya, perubahan dari fixed rate menjadi
floating rate (LIBOR+Spread)
Suku bunga sebelumnya (tahun 1 – 10) = 7%
fixed rate
Asumsi LIBOR 5,5% pada saat penerbitan
instrumen. Dengan demikian, pada suku
bunga 7% maka spread atas LIBOR adalah
1,5%.
Misalnya dengan tingkat bunga instrumen
yang tidak berisiko (risk free)= 6%, maka 50%
(lima puluh persen) dari marjin (credit spread)
awal adalah 50% x (7% - 6%) = 0.5%
Suku . . .
- 70 -
Suku bunga baru (sejak tahun 11) = LIBOR +
spread 2 % (spread awal 1,5% + 0.5 %).
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan kualitas sama atau lebih baik
adalah instrumen modal yang paling kurang memenuhi
persyaratan sebagai komponen modal inovatif.
Angka 2
Modal inti adalah modal inti pada saat penggantian.
Batasan 10% (sepuluh persen) dari modal inti
diperhitungkan dengan memperhatikan seluruh instrumen
modal inovatif yang tersedia.
Contoh ”jumlah yang berbeda” adalah sebagai berikut:
Misalnya modal
inovatif yang dieksekusi adalah
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), namun pada saat
penggantian, modal inti Bank mengalami perubahan
sehingga batasan modal inovatif misalnya menjadi paling
tinggi sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh lima
juta rupiah).
Dengan . . .
- 71 -
Dengan kondisi ini, maka Bank dapat menggantikan modal
inovatif sebesar Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah).
Pasal 13
Persyaratan komponen modal inti mengacu pada persyaratan
mengenai modal disetor dan cadangan tambahan modal (laba
ditahan dan laba tahun berjalan).
Pasal 14
Huruf a
Sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku, goodwill
merupakan selisih lebih antara biaya perolehan dan bagian
perusahaan pengakuisisi atas nilai wajar aset dan kewajiban
yang dapat diidentifikasi pada tanggal transaksi pertukaran.
Goodwill diperhitungkan sebagai faktor pengurang baik dalam
perhitungan modal minimum Bank secara individual maupun
perhitungan modal minimum Bank secara konsolidasi.
Huruf b
Termasuk sebagai aset tidak berwujud lainnya antara lain copy
right, hak paten, dan hak milik intelektual (intellectual property
right) lainnya, tidak termasuk computer software.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16 . . .
- 72 -
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh
Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan
yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank
atau Perusahaan Anak, misalnya premi/fee dalam rangka
penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak.
Huruf f
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan fitur step-up adalah fitur yang
menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga apabila opsi beli
tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan.
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
. . .
- 73 -
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Yang dimaksud dengan “marjin (credit spread)” adalah
selisih antara tingkat imbal hasil/bunga instrumen
dimaksud dengan tingkat bunga instrumen yang tidak
berisiko (risk free).
Penetapan besar step-up mengacu pada ilustrasi yang
dikemukakan pada penjelasan Pasal 12 ayat 2 huruf f
angka 3 huruf c).
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan kualitas sama atau lebih baik
adalah instrumen modal yang paling kurang memenuhi
persyaratan sebagai komponen modal pelengkap level atas
(upper tier 2).
Angka 2 . . .
- 74 -
Angka 2
Batasan modal pelengkap diperhitungkan dengan
memperhatikan seluruh instrumen modal pelengkap yang
tersedia baik modal pelengkap level atas (upper tier 2)
maupun modal pelengkap level bawah (lower tier 2).
Contoh ”jumlah yang berbeda” adalah sebagai berikut:
Misalnya modal pelengkap yang dieksekusi adalah
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), namun pada
saat penggantian, modal inti Bank mengalami perubahan
sehingga batasan modal pelengkap misalnya menjadi paling
tinggi sebesar Rp.400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
Dengan kondisi ini, maka Bank dapat menggantikan modal
pelengkap sebesar Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Contoh “instrumen modal dalam bentuk saham atau
instrumen modal lainnya yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16” adalah:
1. Saham preferen (yang memberikan hak kepada
pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari
pemegang saham klasifikasi lain) secara kumulatif
(perpetual cummulative preference share);
2. instrumen . . .
- 75 -
2.
instrumen utang yang memiliki karakteristik modal,
bersifat subordinasi, tidak memilki jangka waktu, bersifat
kumulatif dan memenuhi seluruh persyaratan untuk
dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap
level atas (perpetual cummulative subordinated debt); dan
3.
Instrumen utang yang memiliki karakteristik seperti
modal yang secara otomatis tanpa persyaratan dapat
dikonversi menjadi saham dan setelah memperoleh
persetujuan Bank Indonesia (mandatory convertible bond).
Kondisi dan nilai konversi harus ditetapkan pada saat
penerbitan yang besarnya sejalan dengan kondisi pasar.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bagian dari modal inovatif yang tidak
dapat diperhitungkan dalam modal inti” adalah selisih lebih
instrumen modal yang memenuhi persyaratan sebagai
komponen modal inovatif dari batasan 10% (sepuluh persen)
dari modal inti.
Huruf c
Angka 1
Selisih nilai revaluasi aset tetap pada angka ini sebelumnya
telah dikeluarkan dari perhitungan laba/rugi tahun lalu
yang merupakan komponen modal inti.
Perlakuan ini diperuntukkan bagi Bank yang melakukan
revaluasi aset tetap sebelum PSAK 16 (Revisi) tentang Aset
Tetap berlaku efektif dan selanjutnya menggunakan metode
biaya dalam pengukuran aset tetap.
Selisih nilai revaluasi aset tetap adalah setelah
diperhitungkan pajak.
Angka 2 . . .
- 76 -
Angka 2
Peningkatan nilai wajar atas aset tetap pada angka ini
sebelumnya telah dikeluarkan dari perhitungan laba/rugi
tahun lalu dan/atau laba/rugi tahun berjalan yang
merupakan komponen modal inti.
Perlakuan ini diperuntukkan bagi Bank yang menggunakan
model revaluasi aset tetap sebagaimana diatur dalam PSAK
16 tentang Aset Tetap.
Huruf d
Pembentukan cadangan umum PPA atas aset produktif yang
wajib dibentuk mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
mengenai penilaian kualitas aset bank umum.
Contoh:
Cadangan umum PPA atas aset produktif yang wajib dibentuk
sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) dan ATMR
Bank untuk Risiko Kredit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Cadangan umum yang dapat diperhitungkan sebagai
komponen modal pelengkap level atas paling tinggi 1,25% x
Rp. 1.000.000.000,00 = Rp12.500.000,00 (dua belas juta lima
ratus ribu rupiah).
Dalam hal ini terdapat kelebihan cadangan umum sebesar
Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) yang tidak
dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap
level atas (upper tier 2).
Huruf e . . .
- 77 -
Huruf e
Yang dimaksud penyertaan yang diklasifikasikan dalam
kelompok tersedia untuk dijual adalah penyertaan saham
yang memenuhi kriteria metode biaya dan memiliki nilai
wajar.
Ayat (2)
Kelebihan cadangan umum PPA atas aset produktif sesuai contoh
pada penjelasan ayat (1) huruf d yaitu sebesar Rp2.500.000,00
(dua juta lima ratus ribu rupiah) menjadi faktor pengurang
perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang termasuk komponen modal pelengkap level bawah (lower
tier 2) antara lain:
a. saham preferen yang dapat ditarik kembali setelah jangka
waktu tertentu (redeemable preference shares); dan/atau
b. pinjaman subordinasi atau obligasi subordinasi.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e . . .
- 78 -
Huruf e
Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh
Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan
yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank
atau Perusahaan Anak, misalnya premi/fee dalam rangka
penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak.
Huruf f
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “fitur step-up” adalah fitur yang
menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga apabila opsi beli
tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan.
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Yang dimaksud dengan “marjin” (credit spread) adalah
selisih antara tingkat imbal hasil/bunga instrumen
dimaksud dengan tingkat bunga instrumen yang tidak
berisiko (risk free).
Perhitungan penetapan batas step-up mengacu pada
ilustrasi dalam penjelasan Pasal 12 ayat (2) huruf f
angka 3 huruf c).
Huruf g . . .
- 79 -
Huruf g
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan kualitas sama atau lebih baik
adalah instrumen modal yang paling kurang memenuhi
persyaratan sebagai komponen modal pelengkap level
bawah (lower tier 2).
Angka 2
Batasan modal pelengkap level bawah (lower tier 2)
diperhitungkan dengan memperhatikan seluruh instrumen
modal pelengkap level bawah (lower tier 2) yang tersedia.
Contoh ”jumlah yang berbeda” adalah sebagai berikut:
Misalnya modal pelengkap yang dieksekusi adalah
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), namun pada
saat penggantian, modal inti Bank mengalami perubahan
sehingga batasan modal pelengkap level bawah (lower tier
2) misalnya menjadi paling tinggi sebesar
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Dengan kondisi ini, maka Bank dapat menggantikan modal
pelengkap level bawah (lower tier 2) hanya sebesar
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Ayat (4)
. . .
- 80 -
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan amortisasi menggunakan metode garis
lurus adalah amortisasi secara pro rata.
Ayat (5)
Amortisasi dihitung berdasarkan nilai instrumen modal yang
telah memperhitungkan pengurangan dari cadangan pelunasan
(sinking fund).
Ayat (6)
Ilustrasi pelaksanaan amortisasi:
Contoh 1:
Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka
waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli pada akhir
tahun kelima.
Dalam kondisi ini, Bank wajib mulai menghitung amortisasi sejak
tahun pertama.
Apabila pada akhir tahun kelima, Bank tidak mengeksekusi opsi
beli tersebut maka mulai awal tahun keenam obligasi subordinasi
tersebut dapat diperhitungkan kembali sebagai komponen modal
dengan memperhatikan batasan yang dipersyaratkan termasuk
kewajiban untuk memperhitungkan amortisasi.
Contoh 2:
Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka
waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli setelah akhir
tahun kelima.
Dalam . . .
- 81 -
Dalam kondisi ini maka sisa jangka waktu instrumen tersebut
pada awal penerbitan adalah 5 (lima) tahun. Amortisasi wajib
mulai diperhitungkan oleh Bank sejak tahun pertama.
Setelah akhir tahun kelima sampai dengan jatuh tempo, Bank
tidak dapat memperhitungkan kembali obligasi subordinasi
tersebut sebagai modal pelengkap level bawah (lower tier 2)
meskipun Bank belum mengeksekusi opsi beli tersebut.
Pasal 19
Nilai pinjaman subordinasi atau obligasi subordinasi dari Bank
penerbit yang dikurangi adalah setelah memperhitungkan cadangan
pelunasan (sinking fund).
Contoh:
Bank A menerbitkan instrumen yang termasuk sebagai komponen
modal pelengkap level bawah (lower tier 2) berupa obligasi
subordinasi sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Bank A juga membeli instrumen modal pelengkap (baik yang
termasuk modal pelengkap level atas maupun modal pelengkap level
bawah) yang diterbitkan Bank B sebesar Rp20.000.000.000,00
(dua puluh miliar rupiah).
Dalam kondisi ini, maka obligasi subordinasi yang dapat
diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap level bawah
(lower tier 2) oleh Bank A hanya sebesar Rp100.000.000.000,00 –
Rp20.000.000.000,00 = Rp80.000.000.000,00, yang selanjutnya
disesuaikan dengan batasan modal pelengkap level bawah (lower tier
2) yang diperkenankan.
Pasal 20 . . .
- 82 -
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Nilai penyertaan yang diperhitungkan adalah nilai buku yang
tercatat di neraca.
Huruf b
Kekurangan modal (shortfall) diperhitungkan sebagai faktor
pengurang hanya dalam perhitungan rasio KPMM secara
konsolidasi.
Kekurangan modal (shortfall) perusahaan yang melakukan
kegiatan usaha asuransi dari Risk Based Capital (RBC)
minimum diperhitungkan apabila perusahaan dimaksud tidak
dapat memenuhi RBC minimum sampai dengan jangka waktu
yang ditetapkan oleh otoritas pengawas yang berwenang.
Perusahaan asuransi yang dikendalikan Bank mengacu pada
definisi Pengendalian sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan ini.
Huruf c
Perlakuan terhadap eksposur sekuritisasi sebagai pengurang
modal mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai
sekuritisasi aset.
Yang dimaksud dengan “eksposur sekuritisasi” adalah kredit
pendukung (credit enhancement), fasilitas likuiditas (liquidity
support), dan efek beragun aset (asset backed securities).
Ayat (2)
. . .
- 83 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dengan pengaturan ini maka modal inti yang harus
dialokasikan untuk Risiko Pasar paling kurang sebesar 28,5%
(dua puluh delapan koma lima persen) dari beban modal
untuk Risiko Pasar.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e . . .
- 84 -
Huruf e
Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh
Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan
yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank
atau Perusahaan Anak, misalnya premi/fee dalam rangka
penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak.
Huruf f
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan fitur step-up adalah fitur yang
menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga apabila opsi beli
tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “marjin” (credit spread) adalah
selisih antara tingkat imbal hasil/bunga instrumen
dimaksud dengan tingkat bunga instrumen yang tidak
berisiko (risk free).
Perhitungan penetapan batas step-up mengacu pada
ilustrasi dalam penjelasan Pasal 12 ayat (2) huruf f
angka 3 huruf c).
Huruf g . . .
- 85 -
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemanfaatan modal pelengkap (tier 2) sebagai komponen
modal pelengkap tambahan (tier 3) tetap memperhatikan
batasan jumlah modal pelengkap (tier 2) dan modal pelengkap
tambahan (tier 3).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “bagian dari modal pelengkap level
bawah (lower tier 2) yang melebihi batasan modal pelengkap
level bawah (lower tier 2)” adalah selisih lebih instrumen modal
yang memenuhi persyaratan sebagai komponen modal
pelengkap level bawah (lower tier 2) dari batasan 50% (lima
puluh persen) dari modal inti.
Pasal 23
Dokumen pendukung merupakan kelengkapan untuk menunjukkan
bahwa persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan ini telah
terpenuhi.
Pasal 24 . . .
- 86 -
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “total kewajiban bank” adalah total
kewajiban dikurangi dengan seluruh kewajiban antar kantor
(kantor pusat dan kantor cabang lainnya di luar negeri).
Total kewajiban Bank yang dijadikan dasar penetapan CEMA
minimum dihitung berdasarkan rata-rata kewajiban Bank secara
mingguan dalam bulan yang bersangkutan.
Contoh Perhitungan:
Total kewajiban posisi akhir minggu I, minggu II, minggu III, dan
minggu IV masing-masing sebesar Rp.10 triliun, Rp.15 triliun,
Rp.10 triliun, dan Rp.20 triliun. Oleh karena itu, rata-rata total
kewajiban = ((Rp.10 triliun + Rp.15 triliun + Rp.10 triliun +
Rp.20 triliun) : 4 ) = Rp.13,75 triliun.
Perhitungan CEMA berdasarkan rata-rata total kewajiban adalah
sebesar 8% x Rp.13,75 triliun = Rp.1,1 triliun.
Dengan demikian, minimum CEMA yang wajib dipelihara adalah
yang terbesar antara Rp.1 triliun dengan Rp.1,1 triliun, yaitu
Rp.1,1 triliun.
Ayat (6)
. . .
- 87 -
Ayat (6)
Contoh:
CEMA minimum untuk posisi bulan Maret 20xx sebesar
Rp.1,1 triliun wajib ditempatkan pada instrumen keuangan yang
memenuhi persyaratan paling lambat pada tanggal 6 April 20xx.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “surat berharga” yang diterbitkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia adalah:
1. Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang berlaku; dan
2. Surat Berharga Syariah Negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang berlaku.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “tidak bersifat ekuitas” adalah
surat berharga yang tidak diperhitungkan sebagai
komponen modal oleh Bank penerbit.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “peringkat investasi” adalah
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui
Bank Indonesia.
Angka 3 . . .
- 88 -
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan bebas dari klaim antara lain bebas dari
gugatan, tuntutan, pengakuan, dan penguasaan, serta tidak
sedang dijaminkan kepada pihak lain atau disita oleh pihak yang
berwenang.
Contoh:
Aset keuangan yang digunakan untuk memenuhi CEMA
minimum tidak dapat dilakukan repurchase agreement (repo)
kepada pihak lain.
Bebas dari klaim dibuktikan antara lain dengan surat pernyataan
dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “nilai tercatat aset keuangan” adalah nilai
aset keuangan di neraca setelah dikurangi dengan cadangan
kerugian penurunan nilai.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27 . . .
- 89 -
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Perlakuan pengakuan dan pengukuran mengacu pada Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 55 (Revisi 2006)
mengenai Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Contoh 1:
Sebelum melakukan merger atau konsolidasi, Bank A dan Bank B
tidak memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar.
Selama 6 (enam) bulan setelah merger atau konsolidasi dinyatakan
efektif, pada bulan pertama, ketiga, dan keempat, Bank hasil merger
atau konsolidasi
tersebut memenuhi kriteria untuk
memperhitungkan Risiko Pasar.
Dengan demikian, Bank hasil merger atau konsolidasi tersebut wajib
memperhitungkan Risiko Pasar sejak bulan ketujuh.
Contoh 2: . . .
- 90 -
Contoh 2:
Bank A tidak memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko
Pasar. Selanjutnya, Bank A mengakuisisi perusahaan keuangan X
sehingga Bank A melakukan konsolidasi terhadap perusahaan X.
Selama 6 (enam) bulan setelah melakukan akuisisi perusahaan X
dinyatakan efektif, pada bulan kedua, keempat, dan keenam, Bank
secara konsolidasi dengan perusahaan X tersebut memenuhi kriteria
untuk memperhitungkan Risiko Pasar.
Dengan demikian, Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan
Anak “X” tersebut wajib memperhitungkan Risiko Pasar sejak bulan
ketujuh.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”risiko suku bunga” adalah risiko
kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan dari
posisi Trading Book yang disebabkan oleh perubahan suku
bunga.
Huruf b . . .
- 91 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”risiko nilai tukar” adalah risiko
kerugian akibat perubahan nilai posisi Trading Book dan
Banking Book yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar
valuta asing termasuk perubahan harga emas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”risiko ekuitas” adalah risiko kerugian
akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading
Book yang disebabkan oleh perubahan harga saham.
Yang dimaksud dengan ”risiko komoditas” adalah risiko kerugian
akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading
Book dan Banking Book yang disebabkan oleh perubahan harga
komoditas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kebijakan dan prosedur tersebut meliputi antara lain penetapan
tanggung jawab yang jelas dari berbagai pihak yang terlibat
dalam penetapan valuasi, sumber informasi pasar, dan proses
kaji ulang terhadap kelayakan valuasi, frekuensi valuasi (secara
harian), penetapan waktu untuk valuasi akhir hari (closing price),
prosedur pelaksanaan dan penyampaian hasil verifikasi baik
secara berkala maupun insidentil, serta prosedur penyesuaian
valuasi.
Sistem . . .
- 92 -
Sistem informasi manajemen dan pengendalian proses valuasi
paling kurang mencakup pendokumentasian kebijakan dan
prosedur valuasi yang telah ditetapkan serta alur pelaporan
(reporting lines) yang jelas bagi satuan kerja yang bertanggung
jawab terhadap proses valuasi dan verifikasi.
Ayat (3)
Kebijakan dan prosedur valuasi yang berlandaskan pada prinsip
kehati-hatian antara lain melakukan valuasi dengan
memperhatikan penerapan aspek-aspek manajemen risiko dan
prosedur valuasi yang wajar.
Pasal 37
Ayat (1)
Sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku, yang
dimaksud dengan ”nilai wajar” adalah nilai dimana suatu aset
dapat dipertukarkan atau suatu kewajiban diselesaikan antara
pihak yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan
transaksi secara wajar (arms’s length transaction).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”instrumen keuangan yang
diperdagangkan secara aktif” adalah apabila harga instrumen
keuangan tersedia sewaktu-waktu dan dapat diperoleh secara
rutin di bursa, pedagang efek (dealer), perantara efek (broker),
atau agen lainnya, serta harga tersebut merupakan harga yang
terjadi dari transaksi aktual yang dilakukan secara wajar (arm’s
length basis).
Harga . . .
- 93 -
Harga transaksi yang terjadi atau kuotasi harga pasar dari
sumber yang independen antara lain meliputi harga di bursa
(exchange prices), harga pada layar dealer (screen prices), atau
kuotasi yang paling konservatif yang diberikan oleh paling
kurang 2 (dua) broker dan/atau market maker yang memiliki
reputasi baik, yang minimal salah satunya adalah pihak
independen.
Penggunaan sumber yang independen dilakukan secara
konsisten kecuali apabila harga yang diperoleh tidak
mencerminkan nilai wajar.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”bid price” adalah harga beli yang
dikuotasikan oleh sumber yang independen.
Huruf b
Yang dimaksud ”ask price (offer price)” adalah harga jual yang
dikuotasikan oleh sumber yang independen.
Ayat (4)
Termasuk model/teknik penilaian antara lain:
a. penggunaan harga yang timbul dari transaksi yang terjadi
dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir;
b. penggunaan harga pasar dari instrumen lain yang memiliki
karakteristik (paling kurang jangka waktu, tingkat
bunga/kupon, peringkat, dan golongan penerbit) yang serupa;
c. analisis arus kas yang didiskonto (discounted cash flow);
d. model
. . .
- 94 -
d. model penetapan harga opsi (option pricing models); atau
e. model/teknik penilaian yang secara umum telah digunakan
oleh pelaku pasar dalam menetapkan harga instrumen.
Penerapan prinsip kehati-hatian dalam penggunaan
model/teknik penilaian antara lain memperhatikan pemisahan
tugas dan kompetensi pihak-pihak yang terlibat dalam
pengembangan dan penggunaan model, dan memastikan
dilakukan kaji ulang akurasi model/teknik penilaian oleh fungsi
yang independen, serta prosedur dan dokumentasi
pengembangan dan perubahan model/teknik penilaian.
Pasal 38
Ayat (1)
Verifikasi dilakukan untuk memastikan keakuratan penyusunan
laporan laba rugi.
Verifikasi terhadap proses dan hasil valuasi paling kurang
dilakukan terhadap kewajaran harga pasar maupun informasi
yang digunakan sebagai input dalam model/teknik penilaian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyesuaian dilaksanakan terhadap nilai instrumen keuangan
dalam neraca secara langsung yang selanjutnya mempengaruhi
laporan laba rugi.
Pasal 39 . . .
- 95 -
Pasal 39
Penyesuaian hasil valuasi dilakukan berdasarkan pemantauan
harian maupun hasil verifikasi oleh pihak yang tidak ikut dalam
pelaksanaan valuasi.
Sebagai contoh, valuasi yang belum mencerminkan nilai wajar dapat
terjadi pada valuasi dengan menggunakan model/teknik penilaian.
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”perubahan kondisi ekonomi yang
signifikan” antara lain perubahan kurva imbal hasil (yield curve)
secara signifikan diluar ekspektasi pasar.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Faktor sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo
diperhitungkan mengingat semakin mendekati jatuh tempo, nilai
instrumen keuangan semakin mendekati nilai nominal.
Huruf d
Termasuk kondisi lainnya antara lain:
a. kemungkinan kerugian potensial yang timbul karena pihak
lawan tidak dapat memenuhi kewajibannya (unearned credit
spreads).
b. kemungkinan perhitungan biaya atau penalti yang timbul
karena pelunasan lebih awal sebelum jatuh tempo (early
termination).
c. terjadinya mismatch arus kas yang menyebabkan harga dapat
dipengaruhi oleh perhitungan biaya untuk meminjam dan
menginvestasikan dana (investing and funding costs).
d. terjadi
. . .
- 96 -
d. terjadi kondisi tertentu yang mengakibatkan ketidakpastian
dalam model valuasi misalnya ketidakmampuan menangkap
perubahan dalam kondisi tidak normal.
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “faktor-faktor tertentu” antara lain rata-
rata dan volatilitas volume perdagangan, rata-rata volatilitas dari
rentang kuotasi penawaran dan permintaan (bid/ask spreads),
dan ketersediaan kuotasi pasar.
Ayat (2)
Penyesuaian tidak akan mengurangi nilai instrumen keuangan
dalam neraca dan tidak mempengaruhi laporan laba rugi.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Bank yang baru memenuhi kriteria untuk memperhitungkan
Risiko Pasar, maka perhitungan Risiko Pasar wajib dimulai
dengan menggunakan Metode Standar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 42 . . .
- 97 -
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi meliputi
antara lain memahami sifat dan tingkat risiko yang dihadapi
Bank, menilai kecukupan kualitas manajemen risiko, dan
mengaitkan tingkat risiko dengan kecukupan modal yang
dimiliki Bank.
Huruf b
Penilaian kecukupan modal meliputi antara lain proses yang
mengaitkan tingkat risiko dengan tingkat kecukupan modal
Bank dengan mempertimbangkan strategi dan rencana bisnis
Bank.
Huruf c
Pemantauan dan pelaporan meliputi antara lain sistem
pemantauan dan pelaporan eksposur risiko serta dampak
perubahan profil risiko terhadap kebutuhan modal Bank.
Huruf d
Pengendalian internal meliputi antara lain kecukupan
pengendalian internal dan kaji ulang.
Kaji ulang dilakukan oleh pihak internal Bank yang memiliki
kompetensi memadai dan independen terhadap proses
penetapan kecukupan modal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 43 . . .
- 98 -
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pembatasan distribusi modal” antara
lain berupa pembatasan atau penundaan pembayaran bonus
dan/atau deviden.
Pasal 46
Ayat (1)
Laporan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar antara
lain mencakup laporan posisi yang diperhitungkan dalam Risiko
Pasar, laporan perhitungan rasio KPMM, laporan perhitungan
value at risk dan beban modal, laporan back testing, serta laporan
stress testing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
. . .
- 99 -
Ayat (3)
Contoh:
Apabila Bank A telah memperoleh persetujuan untuk
menggunakan Model Internal untuk memperhitungkan Risiko
Pasar pada bulan November 2012, maka laporan yang terkait
dengan Model Internal wajib disusun untuk pertama kalinya
pada akhir bulan Desember 2012.
Pasal 47
Ayat (1)
Profil risiko didasarkan pada hasil self assessment Bank.
Ayat (2)
Penyampaian hasil self assessment Tingkat Kesehatan Bank
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian
tingkat kesehatan bank umum.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d . . .
- 100 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan nilai tercatat adalah nilai aset
keuangan di neraca setelah dikurangi dengan cadangan
kerugian penurunan nilai.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56 . . .
- 101 -
Pasal 56
Yang dimaksud dengan ”jumlah yang signifikan” adalah signifikan
terhadap total aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Peringkat profil risiko yang digunakan adalah peringkat profil risiko
berdasarkan penilaian Bank Indonesia.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5369
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/18/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 28 November 2012 </set_date>
<effective_date> 28 November 2012 </effective_date>
<issued_date> 28 November 2012 </issued_date>
<replaced_reg> '9/13/PBI/2007', '10/15/PBI/2008' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7 / 36 / PBI / 2005
TENTANG
TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa Bank Indonesia mempunyai tugas menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga
kelancaran
sistem
pembayaran, serta mengatur dan
mengawasi bank untuk mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah;
b. bahwa kegiatan investasi di Indonesia berdampak pada
kegiatan pasar valuta asing
domestik
mempengaruhi gejolak nilai tukar rupiah;
c. bahwa fluktuasi nilai tukar Rupiah juga dapat menyebabkan
ketidakpastian dalam kegiatan investasi, sehingga lindung
nilai merupakan kebutuhan bagi kegiatan investasi;
d. bahwa dalam rangka mendukung stabilitas nilai tukar rupiah
dan sebagai langkah kehati-hatian dalam menjamin integritas
dan stabilitas sistem keuangan Indonesia diperlukan langkah-
langkah untuk mengurangi
Rupiah;
yang dapat
tekanan terhadap nilai tukar
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, dipandang
perlu untuk mengatur kembali transaksi swap antara bank
dengan ...
-2-
dengan Bank Indonesia dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang - Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3844);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI
SWAP LINDUNG NILAI .
BAB I ...
-3-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah
dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang
bank asing di Indonesia, namun tidak termasuk kantor bank berbadan
hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri.
2. Transaksi Swap adalah transaksi pertukaran dua valuta melalui pembelian/
penjualan tunai (spot) dengan penjualan/pembelian kembali secara
berjangka yang dilakukan secara simultan dengan bank yang sama dan pada
tingkat premi atau diskon dan kurs yang dibuat dan disepakati pada tanggal
transaksi dilakukan.
3. Transaksi Swap Beli Bank adalah transaksi pertukaran dua valuta melalui
penjualan tunai (spot) dengan pembelian kembali secara berjangka yang
dilakukan secara simultan dengan Bank Indonesia dan pada tingkat premi
atau diskon dan kurs pada tanggal transaksi dilakukan.
4. Lindung Nilai adalah cara atau teknik untuk mengurangi risiko yang timbul
maupun yang diperkirakan akan timbul akibat adanya fluktuasi harga di
pasar keuangan.
5. Transaksi Swap Lindung Nilai adalah transaksi swap beli Bank dalam
valuta asing terhadap rupiah, dalam rangka lindung nilai yang dilakukan
antara Bank dengan Bank Indonesia.
6. Underlying ...
-4-
6. Underlying Transaksi Swap Lindung Nilai yang selanjutnya disebut
Underlying Transaksi adalah transaksi swap yang dilakukan antara Bank
dengan nasabahnya yang
selanjutnya akan
Indonesia melalui Transaksi Swap Lindung Nilai.
7. Pinjaman Luar Negeri adalah kewajiban penduduk kepada bukan penduduk
dalam valuta asing yang berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement).
8. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili
atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun,
termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri.
BAB II
TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI
Pasal 2
(1) Bank dapat melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai dengan Bank
Indonesia.
(2) Transaksi Swap Lindung Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilakukan berdasarkan Underlying Transaksi .
(3) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. mempunyai sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) bulan; dan
b. didasarkan atas investasi nasabah Bank pada sektor riil di Indonesia
dengan jangka waktu paling singkat 3 (tiga) bulan yang sumber dananya
sebagian atau seluruhnya berasal dari Pinjaman Luar Negeri dalam
bentuk tunai (cash).
(4) Nilai ...
ditransaksikan ke Bank
-5-
(4) Nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
wajib paling banyak sama dengan nilai nominal Pinjaman Luar Negeri.
(5) Nilai nominal Transaksi Swap Lindung Nilai sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib paling banyak sebesar nilai nominal Underlying Transaksi.
Pasal 3
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus termasuk dalam
klasifikasi Bank devisa dengan Peringkat Komposit paling rendah 3 (tiga).
Pasal 4
(1) Jangka waktu Transaksi Swap Lindung Nilai paling singkat 3 (tiga) bulan
dan paling lama 6 (enam) bulan.
(2) Dalam hal sisa jangka waktu Underlying Transaksi kurang dari 6 (enam)
bulan maka jangka waktu Transaksi Swap Lindung Nilai ditetapkan wajib
paling lama sama dengan sisa jangka waktu Underlying Transaksi.
(3) Sisa jangka waktu Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) wajib paling lama sama dengan sisa jangka waktu Pinjaman Luar
Negeri.
Pasal 5
Transaksi Swap Lindung Nilai ditetapkan paling sedikit sebesar ekivalen US
Dollar 500.000,00 (lima ratus ribu US Dollar) dan paling banyak sebesar nilai
Underlying Transaksi.
Pasal 6 ...
-6-
Pasal 6
(1) Transaksi Swap Lindung Nilai dapat diperbaharui dengan menggunakan
Underlying Transaksi yang sama.
(2) Pembaharuan Transaksi Swap Lindung Nilai sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Transaksi Swap Lindung Nilai yang sebelumnya telah jatuh tempo;
b. Underlying Transaksi masih memiliki sisa jangka waktu paling sedikit
3 (tiga) bulan;
(3) Transaksi Swap Lindung Nilai yang diperbaharui sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diperlakukan sebagai Transaksi Swap Lindung Nilai baru.
Pasal 7
Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi lebih dari satu kali sebagai
dasar untuk melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai sebelum Transaksi Swap
Lindung Nilai yang pertama jatuh tempo.
Pasal 8
(1) Bank Indonesia mengumumkan tingkat premi atau diskon dari Transaksi
Swap Lindung Nilai.
(2) Tingkat premi atau diskon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan premi yang berlaku di pasar.
(3) Tingkat premi atau diskon dari Underlying Transaksi ditetapkan wajib
paling besar 12,5 (dua belas koma lima) basis point di atas premi atau
diskon Transaksi Swap Lindung Nilai.
Pasal 9 ...
-7-
Pasal 9
(1) Transaksi Swap Lindung Nilai dilakukan dalam valuta US Dollar terhadap
Rupiah.
(2) Dalam hal dianggap perlu, Bank Indonesia dapat melakukan Transaksi
Swap Lindung Nilai dalam valuta asing lainnya terhadap Rupiah.
(3) Kurs valuta asing terhadap rupiah yang digunakan dalam Transaksi Swap
Lindung Nilai adalah kurs beli Kurs Transaksi Bank Indonesia pada tanggal
transaksi.
BAB III
PELAKSANAAN TRANSAKSI
Pasal 10
(1) Transaksi Swap Lindung Nilai dilakukan setiap hari kerja mulai pukul
11.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB.
(2) Dalam hal kondisi moneter tidak memungkinkan maka Transaksi Swap
Lindung Nilai ditiadakan.
Pasal 11
Mekanisme Transaksi Swap Lindung Nilai diatur sebagai berikut:
a. Bank Indonesia mengumumkan tingkat premi atau diskon Swap Lindung
Nilai paling lambat pukul 11.00 WIB pada hari pelaksanaan Transaksi
Swap Lindung Nilai, melalui sarana informasi antara lain Reuters dan atau
Bloomberg.
b. Bank ...
-8-
b. Bank dapat melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai dengan Bank
Indonesia melalui sarana komunikasi Reuters Monitoring Dealing System
(RMDS) mulai pukul 11.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB.
c. Pada setiap transaksi swap sebagaimana butir b di atas, Bank wajib
mencantumkan pada deal conversation mengenai:
1. Nomor referensi Underlying Transaksi;
2. Pernyataan Bank bahwa seluruh persyaratan Transaksi Swap Lindung
Nilai telah dipenuhi;
3. Konfirmasi dari Bank (deal done).
BAB IV
DOKUMEN TRANSAKSI
Pasal 12
(1) Bank wajib bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen asli Transaksi
Swap Lindung Nilai dan dokumen asli Underlying Transaksi
(2) Dokumen Transaksi Swap Lindung Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa kontrak swap antara Bank dengan nasabah
(3) Dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari:
a. dokumen Perjanjian Kredit (Loan Agreement);
b. surat pernyataan tertulis dari nasabah bahwa dana Rupiah yang diterima
dari Transaksi Swap Lindung Nilai digunakan untuk tujuan investasi;
c. surat ...
-9-
c. surat pernyataan tertulis dari nasabah bahwa investasi yang mendasari
Underlying Transaksi tidak digunakan sebagai dasar dari Underlying
Transaksi lainnya pada Bank yang sama atau Bank lain dalam periode
Transaksi Swap Lindung Nilai.
(4) Bank wajib memelihara dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pada kantor Bank tempat Transaksi Swap Lindung Nilai dilakukan sampai
dengan Transaksi Swap Lindung Nilai jatuh tempo.
(5) Bank wajib memelihara dokumen asli Transaksi Swap Lindung Nilai dan
asli dokumen Underlying Transaksi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
BAB V
PENYELESAIAN TRANSAKSI
Pasal 13
(1) Bank bertanggung jawab atas penyelesaian kewajiban Transaksi Swap
Lindung Nilai.
(2) Bank wajib menyerahkan dana valuta asing pada first leg dari Transaksi
Swap Lindung Nilai pada tanggal valuta.
(3) Bank wajib menyediakan dana Rupiah dalam rekening Giro Bank di Bank
Indonesia pada second leg dari Transaksi Swap Lindung Nilai pada tanggal
valuta.
BAB VI …
-10-
BAB VI
SANKSI
Pasal 14
(1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 2 ayat (3), Pasal 2 ayat (4), Pasal 2
ayat (5), Pasal 4 ayat (2), Pasal 4 ayat (3), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8
ayat (3), Pasal 12 ayat (1), Pasal 12 ayat (4) atau Pasal 12 ayat (5)
dikenakan sanksi :
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 2,5% (dua koma lima per seratus) dari
nilai Transaksi Swap Lindung Nilai dalam denominasi Rupiah dengan
menggunakan kurs jual Kurs Transaksi Bank Indonesia pada tanggal
pembebanan sanksi.
(2) Dalam hal Bank tidak memenuhi kewajiban penyelesaian transaksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) dikenakan
sanksi:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar :
1. rata-rata suku bunga Fed Fund yang berlaku selama periode
keterlambatan ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan
nominal transaksi dikalikan hari keterlambatan dibagi dengan 360
(tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran
dalam valuta US Dollar;
2. rata-rata ...
-11-
2. rata-rata suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas
moneter di negara valuta yang bersangkutan (official rate) yang
berlaku selama periode keterlambatan ditambah 200 (dua ratus) basis
point dikalikan nominal transaksi dikalikan hari keterlambatan
dibagi dengan 360 (tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian
kewajiban pembayaran dalam valuta asing non US Dollar;
3. suku bunga Bank Indonesia (BI rate) yang berlaku ditambah 200
(dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan hari
keterlambatan dibagi dengan 360 (tiga ratus enam puluh) untuk
penyelesaian kewajiban pembayaran dalam Rupiah.
(3) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dilakukan melalui pendebetan rekening giro Rupiah Bank yang
bersangkutan pada Bank Indonesia.
(4) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b dilakukan melalui pendebetan rekening giro valuta asing atau
Rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia.
(5) Kurs yang digunakan dalam sanksi kewajiban membayar dalam valuta
asing non US Dollar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah
kurs indikasi Reuters pukul 08.00 WIB pada tanggal pendebetan.
BAB VII …
-12-
BAB VII
PENUTUP
Pasal 15
Dengan berlakunya PBI ini maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No.28/38/KEP/DIR tanggal 14 Juli 1995 tentang Transaksi Swap Bank
Indonesia dengan Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 16
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 3 Oktober 2005.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal 30 September 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 91
DPD
-13-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/ 36 /PBI/2005
TENTANG
TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI
UMUM
Sistem keuangan internasional yang semakin kompetitif dan terintegrasi
telah membentuk suatu perekonomian global yang memudahkan pergerakan
arus modal, baik dalam bentuk portofolio maupun investasi langsung. Pada
lazimnya, investasi langsung dilakukan dalam jangka panjang sehingga rentan
terhadap risiko pergerakan nilai tukar. Sebagai upaya untuk meminimalkan
risiko tersebut, investor melakukan kegiatan lindung
nilai terhadap
investasinya, antara lain dilakukan dengan menggunakan instrumen swap.
Dalam perkembangannya, terdapat permasalahan bahwa perbankan
domestik mengakomodasi kebutuhan lindung nilai nasabah dalam jangka
waktu yang cenderung pendek, karena faktor risiko. Dengan relatif terbatasnya
instrumen swap di pasar dengan jangka waktu yang panjang, nasabah
cenderung tidak melakukan lindung nilai atas investasinya. Dengan demikian,
transaksi dilakukan melalui spot dan berpengaruh pada fluktuasi nilai tukar
Rupiah di pasar.
Sebagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut di atas sekaligus
mengembangkan pasar lindung nilai berjangka menengah dan panjang, Bank
Indonesia menyediakan sarana bagi bank-bank untuk meneruskan transaksi
lindung nilai investor yang merupakan nasabah Bank dengan Bank Indonesia.
Hal ...
-14-
Hal tersebut merupakan upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah yang
selanjutnya diharapkan akan meningkatkan kegiatan investasi dan ekspor di
Indonesia .
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Investasi di Indonesia dimaksud adalah untuk tujuan pembangunan
infrastruktur yang
akan memproduksi barang
ekspor dan/atau
pembangunan/perluasan sarana umum, yang berjangka waktu paling
singkat 3 (tiga) bulan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 3 …
-15-
Pasal 3
Peringkat komposit mengacu kepada
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Misalnya jangka waktu Underlying Transaksi 4 (empat) bulan maka
jangka waktu Transaksi Swap Lindung Nilai paling lama 4 (empat)
bulan.
Ayat (3)
Misalnya sisa jangka waktu Pinjaman Luar Negeri 4 (empat) bulan maka
jangka waktu Underlying Transaksi paling lama 4 (empat) bulan
sehingga jangka waktu Transaksi Swap Lindung Nilai paling lama 4
(empat) bulan.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Peraturan Bank Indonesia
yang
mengatur tentang sistem penilaian tingkat kesehatan Bank yang berlaku.
-16-
Ayat (3) ...
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) ...
-17-
Ayat (2)
Bank Indonesia akan mengumumkan ketiadaan Transaksi Swap Lindung
Nilai 3 (tiga) hari sebelumnya antara lain melalui sarana Reuters dan
atau Bloomberg.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Khusus untuk dokumen Underlying Transaksi berupa Perjanjian Kredit
(Loan Agreement), Bank hanya memelihara salinan Perjanjian Kredit
(Loan Agreement) dimaksud.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) ...
-18-
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan first leg adalah bagian dari Transaksi Swap
Lindung Nilai yang merupakan transaksi tunai dimana Bank melakukan
penyerahan dana valuta asing dan menerima rupiah.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan second leg adalah bagian dari Transaksi Swap
Lindung Nilai yang merupakan transaksi berjangka dimana Bank
melakukan penyerahan rupiah dan menerima valuta asing.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4537
DPD
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/36/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI </reg_title>
<set_date> 30 September 2005 </set_date>
<effective_date> 3 Oktober 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '28/38/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/19/PBI/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
5/20/PBI/2003 TENTANG PENGALIHAN PENGELOLAAN KREDIT
LIKUIDITAS BANK INDONESIA DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa pengelolaan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia dalam rangka Kredit Program dilakukan
oleh Badan Usaha Milik Negara yang ditunjuk
oleh Pemerintah berdasarkan perjanjian antara
Bank Indonesia dengan Badan Usaha Milik
Negara;
b. bahwa saat ini telah terjadi perubahan jumlah
Badan Usaha Milik Negara yang melaksanakan
pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia;
c. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan
efektivitas pengelolaan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia oleh Badan Usaha Milik Negara dan
penyaluran oleh Bank Pelaksana, perlu
memperjelas pengaturan fungsi pengawasan
pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia;
d. bahwa ...
- 2 -
d. bahwa Sertifikat Bank Indonesia 1 (satu) bulan
yang selama ini suku bunganya digunakan
sebagai acuan perhitungan sanksi kewajiban
membayar atas pelanggaran dalam pengelolaan
dan penyaluran Kredit Likuiditas Bank Indonesia
telah dinonaktifkan, sehingga diperlukan
perubahan suku bunga acuan sebagai dasar
perhitungan sanksi;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d perlu melakukan perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia tentang Pengalihan
Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia
dalam rangka Kredit Program;
Mengingat:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Menjadi ...
- 3 -
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 5/20/PBI/2003 TENTANG
PENGALIHAN PENGELOLAAN KREDIT LIKUIDITAS
BANK INDONESIA DALAM RANGKA KREDIT
PROGRAM.
Pasal
I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/20/PBI/2003 tentang Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia Dalam Rangka Kredit Program (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4322), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diubah dan
ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (5) sehingga Pasal 2 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 2 ...
- 4 -
Pasal 2
(1) Pengelolaan KLBI dalam rangka Kredit Program dialihkan kepada
BUMN yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(2) BUMN yang ditunjuk dan melaksanakan pengelolaan KLBI adalah
sebagai berikut:
a. PT. Bank Tabungan Negara (Persero);
b. PT. Permodalan Nasional Madani (Persero).
(3) KLBI yang dialihkan pengelolaannya kepada BUMN sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) masing-masing terdiri atas:
a. PT. Bank Tabungan Negara (Persero);
1. Kredit Pemilikan Rumah Sederhana (KPRS); dan
2. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS).
b. PT. Permodalan Nasional Madani (Persero);
1. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA);
2. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya-Bagi Hasil
(KKPA-Bagi Hasil);
3. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya dalam
rangka pembiayaan Usaha Nelayan (KKPA-Nelayan);
4. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya dalam
rangka Pembiayaan Usaha Peternakan (KKPA-Unggas);
5. Kredit Pembiayaan Tenaga Kerja Indonesia dengan pola
Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA
TKI);
6. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya dengan
Pola Perusahaan Inti Rakyat Transmigrasi dalam rangka
Pembukaan ...
a. Kr
- 5 -
Pembukaan Pemukiman Transmigrasi Baru di Kawasan
Timur Indonesia (KKPA-Pir Trans);
7. Kredit/Pembiayaan Modal Kerja dalam rangka
pengembangan Bank Perkreditan Rakyat/Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (KMK-BPR/PMK-BPRS);
8. Kredit kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro
melalui Bank Umum (KPKM-Bank Umum);
9. Kredit/Pembiayaan kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha
Mikro melalui Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (KPKM-
BPR/PPKM-BPRS);
10. Kredit Usaha Angkutan Umum Bus Perkotaan (KUAUBP);
11. Kredit Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN);
12. Kredit Investasi Pengembangan Perkebunan dengan Pola
Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang Dikaitkan dengan
Program Transmigrasi (PIR-Trans).
(4) Pelaksanaan pengalihan pengelolaan KLBI kepada BUMN
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) masing-masing dilakukan
dengan Perjanjian Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia.
(5) Dalam hal terdapat perkembangan kondisi dan situasi yang
mengakibatkan Perjanjian Pengalihan Pengelolaan Kredit
Likuiditas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
perlu diubah, Perjanjian Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas
Bank Indonesia dapat diubah sesuai kesepakatan antara Bank
Indonesia dengan BUMN.
2. Ketentuan ...
(3
l. Kre
- 6 -
2. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf l dan ayat (2) huruf g diubah serta
ayat (3) dan ayat (4) dihapus sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
(1) Wewenang dan tanggungjawab BUMN ditetapkan sebagai berikut :
a. menerima permohonan pencairan kelonggaran tarik dari Bank
Pelaksana;
b. menganalisis persyaratan teknis dan finansial terhadap
permohonan kelonggaran tarik yang diajukan oleh Bank
Pelaksana dan bertanggungjawab atas hasil analisis
dimaksud;
c. membuat rekomendasi untuk Bank Indonesia atas
permohonan pencairan kelonggaran tarik yang diajukan oleh
Bank Pelaksana;
d. menerbitkan SPK dan Akte F untuk dan atas nama Bank
Indonesia;
e. memberitahukan keputusan atas permohonan pencairan
kelonggaran tarik kepada Bank Pelaksana;
f. mengadministrasikan kelonggaran tarik KLBI yang
dikelolanya;
g. melaksanakan pengawasan dan pemantauan atas penyaluran
KLBI di masing-masing Bank Pelaksana, sehingga penyaluran
KLBI dimaksud mencapai sasaran yang telah ditentukan;
h. melakukan ...
- 7 -
h. melakukan koordinasi dengan Bank Pelaksana, sehingga
penyaluran KLBI dimaksud mencapai sasaran akhir secara
efektif dan efisien;
i. mengelola hasil angsuran pokok KLBI yang diterima dari
masing-masing Bank Pelaksana untuk disalurkan kembali
melalui Bank Pelaksana sampai dengan jatuh tempo KLBI;
j. mengupayakan agar Bank Pelaksana dapat memenuhi
kewajibannya kepada Bank Indonesia sesuai jangka waktu
yang telah ditetapkan, termasuk penagihan terhadap KLBI
yang belum dilunasi pada saat jatuh tempo;
k. mengembalikan dana angsuran KLBI yang dikelola pada saat
jatuh tempo KLBI;
l. menyampaikan laporan perkembangan penerimaan angsuran,
penyesuaian baki debet, penyaluran kembali dan pelunasan
KLBI;
m. melakukan pengamanan kredit dan melakukan konsultasi
mengenai hal tersebut kepada Bank Indonesia; dan
n. mengadministrasikan dana KLBI yang telah dialihkan dari
Bank Indonesia kepada Bank Pelaksana dan penyaluran KLBI
yang dilaksanakan oleh masing-masing Bank Pelaksana.
(2) Wewenang dan tanggungjawab Bank Indonesia ditetapkan sebagai
berikut :
a. memberikan keputusan atas permohonan pencairan
kelonggaran tarik yang diajukan oleh Bank Pelaksana melalui
BUMN, dengan memperhatikan ketersediaan kelonggaran tarik
(2) W
dan ...
- 8 -
dan kesesuaian dengan SPK proyek yang bersangkutan serta
ketentuan yang berlaku;
b. memberitahukan keputusan atas permohonan pencairan
kelonggaran tarik yang diajukan oleh Bank Pelaksana;
c. mengadministrasikan KLBI;
d. menghitung dan membebankan bunga KLBI yang menjadi hak
Bank Indonesia;
e. mendebet rekening Bank Pelaksana pada saat jatuh tempo
angsuran KLBI dan memindahbukukan angsuran KLBI
dimaksud untuk untung rekening BUMN;
f. menarik kembali KLBI yang jatuh tempo, KLBI yang dilunasi
dan KLBI yang tidak sesuai dengan ketentuan, baik dari Bank
Pelaksana maupun BUMN;
g. melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap
pelaksanaan pengelolaan KLBI oleh BUMN dan penyaluran
KLBI oleh Bank Pelaksana;
h. mengenakan sanksi kepada Bank Pelaksana dan BUMN dalam
hal terjadi pelanggaran atas ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur kredit program dan pelaksanaan pengalihan; dan
i. menyediakan kelonggaran tarik KLBI sesuai SPK dari Bank
Indonesia kepada Bank Pelaksana.
(3) Dihapus.
(4) Dihapus.
3. Penjelasan Pasal 6 ayat (4) diubah sebagaimana dalam penjelasan.
4. Di antara ...
- 9 -
4. Di antara Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni
ayat (2a), sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) BUMN wajib mengembalikan KLBI kepada Bank Indonesia pada
saat jatuh tempo.
(2) Pada saat KLBI jatuh tempo, BUMN wajib menyediakan dana
pada rekening giro yang ada di Bank Indonesia sebesar
kumulatif angsuran KLBI yang terutang.
(2a) Dalam hal KLBI jatuh tempo pada hari libur, kewajiban
menyediakan dana pada rekening giro yang ada di Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada
hari kerja sebelumnya.
(3) Untuk skim dengan pola channeling, dalam hal pada saat jatuh
tempo masih terdapat KLBI yang tertunggak, Bank Indonesia
tetap mempunyai hak tagih atas KLBI dimaksud sampai lunas.
5. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal
10A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10A
(1) BUMN wajib menyampaikan laporan penerimaan angsuran,
penyesuaian baki debet, penyaluran kembali dan pelunasan
KLBI secara bulanan kepada Bank Indonesia paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya.
(2) Dalam...
- 10 -
(2) Dalam hal tanggal 15 jatuh pada hari libur, penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada
hari kerja sebelumnya.
6. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dihapus, ayat (4), ayat (6), dan ayat (7)
diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (8) sehingga Pasal 11
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Dihapus.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 6 ayat (2) dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) setiap keterlambatan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 6 ayat (3) dikenakan
sanksi berupa tidak dilimpahkannya angsuran KLBI yang
diterima dari Bank Pelaksana kepada BUMN sebesar jumlah
KLBI yang tidak disalurkan sesuai rencana penyaluran.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (4) dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. penarikan kembali angsuran KLBI yang disalurkan oleh
BUMN di luar tujuan kredit atau pembiayaan; dan
b. kewajiban membayar sebesar suku bunga Jakarta Inter
Bank Offered Rate (JIBOR) overnight ditambah 200 bps
dikalikan jumlah angsuran KLBI yang disalurkan di luar
tujuan...
Pasa
- 11 -
tujuan kredit atau pembiayaan, dan dihitung selama
pelanggaran.
(5) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), BUMN
dikenakan sanksi berupa tidak dilimpahkannya angsuran KLBI
dari Bank Pelaksana yang seharusnya dapat dikelola oleh
BUMN, sebesar KLBI yang disalurkan tidak sesuai dengan
ketentuan tersebut.
(6) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2),
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar suku bunga
JIBOR overnight ditambah 200 bps dikalikan jumlah KLBI yang
terutang, dihitung selama pelanggaran.
(7) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 10 ayat (3),
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar suku bunga
JIBOR overnight ditambah 200 bps dikalikan angsuran KLBI
yang dilunasi lebih cepat, dan dihitung selama pelanggaran.
(8) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 10A ayat (1)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) setiap keterlambatan.
BUM
Pasal II...
- 12 -
Pasal II
Pelanggaran atas ketentuan Pasal 6 ayat (4), Pasal 8 ayat (2) dan Pasal
10 ayat (3) yang terjadi sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia
ini dikenakan sanksi kewajiban membayar dengan menggunakan
perhitungan suku bunga SBI jangka waktu 1 (satu) bulan hasil lelang
terakhir sebelum pelanggaran terjadi.
Pasal III
1. Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
2. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Agar ...
- 13 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 November 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 November 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 262
DKBU
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/19/PBI/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/20/PBI/2003 TENTANG PENGALIHAN PENGELOLAAN
KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA DALAM RANGKA
KREDIT PROGRAM
I. UMUM
Pengalihan pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI)
telah dilaksanakan sejak tanggal 15 November 1999. Pada
perkembangan selanjutnya, terdapat perubahan BUMN yang menerima
dan melaksanakan pengelolaan KLBI.
Untuk lebih meningkatkan efektivitas pengalihan pengelolaan dan
penyaluran KLBI, diperlukan kejelasan fungsi pengawasan dan
pemeriksaan, yaitu pengawasan dan pemeriksaan terhadap pengelolaan
KLBI oleh BUMN dan penyaluran KLBI oleh Bank Pelaksana.
Pengawasan dan pemeriksaan dimaksud dilakukan kepada:
a. BUMN, yaitu terhadap KLBI yang dialihkan pengelolaannya dari
Bank Indonesia kepada BUMN, termasuk dana KLBI yang
disalurkan kembali oleh BUMN kepada Bank Pelaksana (relending).
b. Bank ...
- 2 -
b. Bank Pelaksana, yaitu terhadap penyaluran KLBI yang telah
diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank Pelaksana dan saat ini
masih berjalan (masih memiliki baki debet KLBI yang tercatat dalam
rekening pinjaman Bank Pelaksana di Bank Indonesia).
Pengawasan dan pemeriksaan tersebut di atas dapat dilakukan
terhadap BUMN, Bank Pelaksana maupun debitur penerima kredit.
Dalam rangka pelaksanaan pengawasan terhadap pengelolaan
dan penyaluran KLBI, dimungkinkan pengenaan sanksi kewajiban
membayar. Selama ini sanksi kewajiban membayar untuk pelanggaran
penyaluran angsuran KLBI diluar tujuan pembiayaan, BUMN tidak
menyediakan dana pada rekening giro pada saat KLBI jatuh tempo dan
tidak dilaporkannya pelunasan dini menggunakan Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) 1 (satu) bulan sebagai suku bunga acuan. Sesuai
dengan arah kebijakan moneter, Bank Indonesia menonaktifkan SBI 1
bulan dalam rangka memperpanjang profil jatuh waktu SBI untuk
menyerap ekses likuiditas perbankan. Sehubungan dengan itu,
diperlukan penyesuaian suku bunga acuan yang baru sebagai dasar
perhitungan sanksi kewajiban membayar, yaitu suku bunga Jakarta
Inter Bank Offered Rate (JIBOR) overnight ditambah 200 bps.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Ayat (1)...
- 3 -
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penunjukan BUMN yang menerima pengalihan
pengelolaan KLBI ditetapkan Pemerintah dengan
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 48/KMK.017/1999 tanggal 13 Oktober 1999
tentang Penunjukan Badan Usaha MIlik Negara
Sebagai Koordinator Penyaluran Kredit Program.
Dalam perkembangannya, dari beberapa BUMN yang
ditunjuk terdapat BUMN yang tidak melaksanakan
pengelolaan KLBI.
Ayat (3)
KLBI dengan skim Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit
kepada Koperasi (KKop) dan Kredit kepada Koperasi
Primer untuk Anggotanya-Tebu Rakyat (KKPA-TR)
tetap dikelola oleh Bank Indonesia.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3 ...
- 4 -
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Yang dimaksud dengan “Kredit Investasi
Pengembangan Perkebunan dengan Pola
Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang
Dikaitkan dengan Program Transmigrasi
(PIR-Trans)” meliputi Kredit Investasi
PIR Trans ...
- 5 -
PIR Trans Pra Konversi dan Kredit Investasi
Kecil Pasca Konversi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g ...
- 6 -
Huruf g
Pengawasan dan pemeriksaan kepada Bank
Pelaksana dilakukan terhadap KLBI yang telah
diberikan oleh Bank Indonesia dan masih
berjalan.
Pengawasan dan pemeriksaan kepada BUMN
dilakukan terhadap pengelolaan KLBI termasuk
dana relending.
Pengawasan dan pemeriksaan dapat dilakukan
terhadap BUMN, Bank Pelaksana maupun
debitur penerima kredit.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dihapus.
Ayat (4)
Dihapus
Angka 3
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)...
- 7 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyaluran kembali KLBI oleh BUMN harus untuk
tujuan kredit atau pembiayaan sesuai dengan
ketentuan masing-masing skim KLBI yang dialihkan
kepada masing-masing BUMN.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 8
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 10A
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 11
Ayat (1)
Dihapus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) ...
- 8 -
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud “suku bunga JIBOR overnight”
adalah suku bunga JIBOR overnight pada
tanggal terjadinya penyimpangan penyaluran
angsuran KLBI selain untuk kredit atau
pembiayaan KLBI. Yang dimaksud dengan
“selama pelanggaran” adalah sejak tanggal
angsuran KLBI yang disalurkan di luar tujuan
kredit atau pembiayaan sampai dengan KLBI
tersebut ditarik oleh Bank Indonesia atau
pelanggaran dimaksud dihentikan oleh BUMN.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “suku bunga JIBOR overnight”
adalah suku bunga JIBOR overnight pada tanggal
KLBI jatuh tempo. Dalam hal jatuh tempo KLBI terjadi
pada hari libur, maka yang digunakan sebagai acuan
perhitungan adalah suku bunga JIBOR overnight hari
kerja terakhir sebelumnya, dihitung sejak tanggal
KLBI tersebut jatuh tempo sampai dengan tersedianya
dana dimaksud pada rekening giro BUMN di Bank
Indonesia. Yang dimaksud dengan “selama
pelanggaran ...
Ay
- 9 -
pelanggaran” adalah sejak tanggal KLBI tersebut jatuh
tempo sampai dengan tersedianya dana dimaksud
pada rekening giro BUMN di Bank Indonesia.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “suku bunga JIBOR overnight”
adalah suku bunga JIBOR overnight pada tanggal
terjadinya pelunasan dini. Dalam hal pelunasan dini
KLBI terjadi pada hari libur, maka yang digunakan
sebagai acuan perhitungan adalah suku bunga JIBOR
overnight hari kerja terakhir sebelumnya. Yang
dimaksud dengan “selama pelanggaran” adalah sejak
tanggal pelunasan lebih cepat sampai dengan laporan
disampaikan.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal II
Yang dimaksud dengan suku bunga SBI jangka waktu 1 (satu)
bulan hasil lelang terakhir adalah:
1. Suku bunga SBI jangka waktu 1 (satu) bulan hasil lelang terakhir
untuk pelanggaran yang terjadi sebelum dan pada tanggal 9 Juni
2010.
2. Suku bunga SBI jangka waktu 1 (satu) bulan hasil lelang tanggal
9 Juni 2010 untuk pelanggaran yang terjadi setelah tanggal 9
Juni 2010.
Pasal III...
- 10 -
Pasal III
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5370…
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/19/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/20/PBI/2003 TENTANG PENGALIHAN PENGELOLAAN KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM </reg_title>
<set_date> 30 November 2012 </set_date>
<effective_date> 30 November 2012 </effective_date>
<issued_date> 30 November 2012 </issued_date>
<changed_reg> '5/20/PBI/2003' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 6 Pasal 11', 'Pasal II' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/7/PBI/2004
TENTANG
SERTIFIKAT WADIAH BANK INDONESIA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah mengalami perkembangan yang
cukup signifikan;
b. bahwa perkembangan tersebut berdampak terhadap
kemampuan Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam
menghimpun dan mengelola dana masyarakat;
c. bahwa dalam rangka menunjang kegiatan pengelolaan dana
oleh Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah serta pelaksanaan
pengendalian moneter oleh Bank Indonesia perlu disediakan
fasilitas penitipan dana jangka pendek berdasarkan prinsip
wadiah bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah yang bukti
penitipannya berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut maka dipandang perlu
untuk menyempurnakan ketentuan mengenai Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998
(Lembaran …
- 2 -
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SERTIFIKAT
WADIAH BANK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1. Bank Syariah adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam pasal I angka 3
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998, yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk kantor cabang dan atau
kantor cabang pembantu dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
2. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja di kantor
pusat bank umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah,
atau …
- 3 -
atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar
negeri yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah;
3. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut SWBI adalah bukti
penitipan dana wadiah;
4. Penitipan Dana Wadiah adalah penitipan dana berjangka pendek dengan
menggunakan prinsip wadiah yang disediakan oleh Bank Indonesia bagi Bank
Syariah atau UUS;
5. Wadiah adalah perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dengan pihak
penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut.
Pasal 2
(1) Bank Indonesia dapat menerima Penitipan Dana Wadiah dari Bank Syariah
atau UUS.
(2) Penitipan Dana Wadiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia.
Pasal 3
(1) Jumlah dana yang dititipkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
sekurang-kurangnya Rp500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah);
(2) Jumlah penitipan dana di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah)
hanya dapat dilakukan dalam kelipatan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
Rupiah).
Pasal 4 …
- 4 -
Pasal 4
(1) Penitipan Dana Wadiah dapat berjangka waktu 7 (tujuh) hari, 14 (empat belas)
hari, dan 28 (dua puluh delapan) hari.
(2) Bank Indonesia akan mengumumkan jangka waktu Penitipan Dana Wadiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada hari Penitipan Dana Wadiah.
Pasal 5
(1) Penitipan Dana Wadiah tidak dapat diambil kembali oleh Bank syariah atau
UUS sebelum berakhirnya jangka waktu Penitipan Dana Wadiah.
(2) Dalam hal diperlukan Bank Indonesia dapat mengakhiri Penitipan Dana
Wadiah sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 ayat (1).
BAB II
KARAKTERISTIK
Pasal 6
(1) SWBI diterbitkan dan ditatausahakan tanpa warkat (scripless).
(2) SWBI tidak dapat diperjualbelikan (non negotiable).
BAB III
PENYELESAIAN PENITIPAN DANA WADIAH
Pasal 7
(1) Penyelesaian Penitipan Dana Wadiah dilakukan pada tanggal yang sama dengan
tanggal permohonan.
(2) Bank …
- 5 -
(2) Bank Syariah atau UUS wajib menyediakan dana yang cukup di rekening giro
Rupiah Bank Syariah atau UUS di Bank Indonesia pada waktu penyelesaian
Penitipan Dana Wadiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Penyelesaian Penitipan Dana Wadiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan cara mendebet rekening giro Rupiah Bank Syariah atau UUS
di Bank Indonesia sebesar nominal Penitipan Dana Wadiah.
(4) Dalam hal saldo rekening giro Rupiah Bank Syariah atau UUS tidak mencukupi
untuk penyelesaian Penitipan Dana Wadiah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) maka permohonan Penitipan Dana Wadiah dibatalkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 8
(1) Penyelesaian Penitipan Dana Wadiah pada tanggal jatuh waktu dilakukan
dengan cara mengkredit rekening giro Rupiah Bank Syariah atau UUS di Bank
Indonesia sebesar nominal Penitipan Dana Wadiah.
(2) Dalam hal tanggal jatuh waktu Penitipan Dana Wadiah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah hari libur maka penyelesaian Penitipan Dana Wadiah
dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.
BAB IV
PEMBERIAN BONUS
Pasal 9
Bank Indonesia dapat memberikan bonus atas Penitipan Dana Wadiah sebagaimana
dimaksud pada Pasal 2 ayat (1).
BAB V …
- 6 -
BAB V
SANKSI
Pasal 10
(1) Untuk setiap pembatalan transaksi Penitipan Dana Wadiah sebagaimana
dimaksud pada Pasal 7 ayat (4), Bank Syariah atau UUS dikenakan sanksi
berupa:
a. surat peringatan; dan
b. kewajiban membayar sebesar 1 0/00 (satu perseribu) dari Penitipan Dana
Wadiah yang dibatalkan atau sebanyak-banyaknya Rp1.000.000.000,00
(satu miliar Rupiah).
(2) Dalam hal Bank Syariah atau UUS mendapat sanksi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
pembatalan pertama maka Bank Syariah atau UUS dimaksud tidak
diperbolehkan mengajukan permohonan Penitipan Dana Wadiah selama 7
(tujuh) hari sejak tanggal dikeluarkannya surat peringatan ketiga.
BAB VI
PENUTUP
Pasal 11
SWBI yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Bank Indonesia ini diberlakukan,
tetap tunduk pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/9/PBI/2000
tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia sampai dengan
SWBI tersebut jatuh waktu.
Pasal 12
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 13 …
- 7 -
Pasal 13
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, Peraturan Bank Indonesia
No.2/9/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 14
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Februari 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 20
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 6/7/PBI/2004
TENTANG
SERTIFIKAT WADIAH BANK INDONESIA
I. UMUM
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah di
Indonesia semakin berkembang sehingga berdampak terhadap peningkatan
mobilisasi dana masyarakat.
Dengan perkembangan tersebut maka pengendalian moneter oleh Bank
Indonesia melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT) yang selama ini melalui bank-
bank konvensional dapat diperluas melalui bank-bank yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah.
Dalam rangka pelaksanaan OPT dimaksud, maka perlu diciptakan suatu piranti
dalam bentuk penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah yang
menjadi sarana penitipan dana jangka pendek bagi Bank Syariah atau UUS yang
mengalami kelebihan likuiditas yang bukti penitipannya disebut Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
Piranti SWBI dimaksud telah sesuai dengan prinsip syariah sebagaimana
dituangkan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No:36/DSN-MUI/X/2002
tanggal 23 Oktober 2002 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
II. PASAL …
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hari adalah hari kalender.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5 …
- 3 -
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan dalam hal diperlukan adalah dalam rangka
eksekusi agunan sehubungan dengan pemberian fasilitas
pembiayaan jangka pendek atau fasilitas lainnya bagi Bank
Syariah atau UUS.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas .
Pasal 8 …
- 4 -
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Pemberian bonus atas Penitipan Dana Wadiah dimaksud merupakan
kewenangan Bank Indonesia.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan hari adalah hari kalender.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14 …
- 5 -
Pasal 14
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4368
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/7/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> SERTIFIKAT WADIAH BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 16 Februari 2004 </set_date>
<effective_date> 16 Februari 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '2/9/PBI/2000' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/UU/2004', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 8/30/PBI/2006
TENTANG
PENCABUTAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA
NO. 31/46/KEP/DIR TANGGAL 10 JUNI 1998 TENTANG KREDIT KEPADA
KOPERASI PRIMER UNTUK ANGGOTANYA DALAM RANGKA
PEMBIAYAAN TEBU RAKYAT SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH
DENGAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA
NO. 31/307/KEP/DIR TANGGAL 31 MARET 1999 BESERTA PERATURAN
PELAKSANAANNYA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan pasal 74 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004,
Bank Indonesia tidak diperkenankan lagi memberikan
Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dalam rangka
kredit program termasuk Kredit kepada Koperasi Primer
untuk Anggotanya dalam Rangka Pembiayaan Tebu
Rakyat (KKPA-TR);
b. bahwa baki debet Kredit Likuiditas KKPA-TR dan
tagihan Bank Indonesia kepada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) Koordinator dalam rangka pengeloaaan
KLBI skim KKPA-TR telah nihil;
c. bahwa ...
-2-
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan b di atas, Bank Indonesia perlu
mencabut ketentuan mengenai KKPA-TR sebagaimana
diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No. 31/46/KEP/DIR tanggal 10 Juni 1998 tentang Kredit
Kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya Dalam
Rangka Pembiayaan Tebu Rakyat sebagaimana telah
diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No. 31/307/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1999 beserta
peraturan pelaksanaannya;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENCABUTAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI
BANK INDONESIA NOMOR 31/46/KEP/DIR TANGGAL
10 JUNI 1998 TENTANG KREDIT KEPADA KOPERASI
PRIMER ...
-3-
PRIMER UNTUK ANGGOTANYA DALAM RANGKA
PEMBIAYAAN TEBU RAKYAT SEBAGAIMANA
TELAH DIUBAH DENGAN SURAT KEPUTUSAN
DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/307/KEP/DIR
TANGGAL 31 MARET 1999 BESERTA PERATURAN
PELAKSANAANNYA.
Pasal 1
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/46/KEP/DIR tanggal 10 Juni
1998 tentang Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya dalam rangka
Pembiayaan Tebu Rakyat sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 31/307/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1999 beserta
peraturan pelaksanaannya yaitu Surat Edaran Bank Indonesia No. 31/6/UK
tanggal 10 Juni 1998 perihal Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya
dalam rangka Pembiayaan Tebu Rakyat dan Surat Edaran Bank Indonesia
No. 31/22/UK tanggal 31 Maret 1999 perihal Perubahan Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia No. 31/46/KEP/DIR tanggal 10 Juni 1998 tentang Kredit kepada
Koperasi Primer untuk Anggotanya dalam rangka Pembiayaan Tebu Rakyat
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 2 ...
-4-
Pasal 2
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 125
BKr
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/30/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> PENCABUTAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NO. 31/46/KEP/DIR TANGGAL 10 JUNI 1998 TENTANG KREDIT KEPADA KOPERASI PRIMER UNTUK ANGGOTANYA DALAM RANGKA PEMBIAYAAN TEBU RAKYAT SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NO. 31/307/KEP/DIR TANGGAL 31 MARET 1999 BESERTA PERATURAN PELAKSANAANNYA </reg_title>
<set_date> 29 Desember 2006 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 2006 </effective_date>
<replaced_reg> '31/46/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '31/22/UK|SE-BI/1999', '31/307/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999', '31/6/UK|SE-BI/1998' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 13 / 21 /PBI/2011
TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa pemantauan kegiatan lalu lintas devisa sangat
dibutuhkan untuk mendukung perumusan dan pelaksanaan
kebijakan, baik di bidang moneter, perbankan, maupun
sistem pembayaran;
b. bahwa pemantauan kegiatan lalu lintas devisa diperlukan
pula untuk mendukung pelaksanaan kebijakan penerimaan
devisa hasil ekspor;
c. bahwa keterangan dan data yang benar dan tepat waktu,
yang diperoleh dari pemantauan kegiatan lalu lintas devisa
sangat diperlukan dalam rangka penyusunan statistik yang
meliputi statistik Neraca Pembayaran Indonesia, Posisi
Investasi Internasional Indonesia, dan statistik lainnya;
d. bahwa laporan kegiatan lalu lintas devisa bank perlu diatur
secara terpisah dari laporan kegiatan lalu lintas devisa
lembaga keuangan non bank mengingat karakteristik usaha
bank yang spesifik;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu untuk
mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia mengenai
pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank;
Mengingat…
- 2 -
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3844);
M E M U T U S K A N :
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMANTAUAN
KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing
di Indonesia, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Lalu…
- 3 -
2. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disebut LLD adalah perpindahan aset
dan kewajiban finansial antara penduduk dan bukan penduduk, termasuk
perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk.
3. Kegiatan Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disebut Kegiatan LLD adalah
kegiatan yang menimbulkan perpindahan aset dan kewajiban finansial antara
penduduk dan bukan penduduk, termasuk perpindahan aset dan kewajiban
finansial luar negeri antar penduduk.
4. Aset Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disebut AFLN adalah aktiva
Penduduk terhadap bukan Penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah,
antara lain dalam bentuk kas dalam valuta asing, simpanan pada bukan
penduduk, dan kepemilikan surat berharga yang diterbitkan oleh bukan
penduduk.
5. Kewajiban Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disebut KFLN adalah
pasiva Penduduk terhadap bukan Penduduk baik dalam valuta asing maupun
rupiah, antara lain dalam bentuk simpanan milik bukan penduduk,
kepemilikan bukan penduduk pada surat berharga yang diterbitkan
penduduk, pinjaman dari bukan penduduk, dan ekuitas dari bukan penduduk.
6. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili
atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun,
termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank.
8. Laporan Kegiatan LLD yang selanjutnya disebut Laporan LLD adalah
laporan atas kegiatan yang menimbulkan perpindahan aset dan kewajiban
finansial antara penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan aset
dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk.
9. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean
sebagaimana diatur dalam ketentuan kepabeanan.
10. Periode…
- 4 -
10. Periode Laporan yang selanjutnya disebut PL adalah periode data dari
tanggal 1 sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan.
11. Masa Penyampaian Laporan yang selanjutnya disebut MPL adalah periode
penyampaian Laporan LLD dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 setelah
berakhirnya PL.
BAB II
KEWAJIBAN PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 2
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan LLD kepada Bank Indonesia dengan
benar dan tepat waktu.
(2) Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Laporan
Transaksi dan Laporan Posisi.
(3) Laporan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup transaksi
bank dan/atau nasabah yang mempengaruhi AFLN/KFLN Bank.
(4) Laporan Posisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup posisi dan
mutasi dari setiap rekening AFLN/KFLN Bank.
Pasal 3
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
setiap bulan secara online selama MPL.
(2) Dalam hal Laporan LLD yang telah disampaikan oleh Bank kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak benar, Bank
menyampaikan koreksi atas ketidakbenaran Laporan LLD secara online,
paling lama tanggal 20 setelah berakhirnya PL.
(3) Penyampaian koreksi Laporan LLD yang melampaui tanggal 20 setelah
berakhirnya PL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara
offline.
(4) Dalam…
- 5 -
(4) Dalam hal terdapat gangguan teknis yang menyebabkan Bank tidak dapat
menyampaikan Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD secara online
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), maka Laporan LLD
dan/atau koreksi Laporan LLD dapat disampaikan secara offline.
(5) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terjadi
pada hari terakhir penyampaian Laporan LLD, maka Laporan LLD
disampaikan secara offline pada hari kerja berikutnya.
(6) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terjadi
pada hari terakhir penyampaian koreksi Laporan LLD, maka koreksi
Laporan LLD disampaikan secara offline pada hari kerja berikutnya.
(7) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD apabila Laporan
LLD disampaikan melampaui MPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan akhir bulan.
(8) Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD apabila Laporan
LLD tidak disampaikan sampai dengan akhir bulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (7).
(9) Dalam hal Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD
sebagaimana dimaksud pada ayat (8), hal tersebut tidak meniadakan
kewajiban Bank untuk menyampaikan Laporan LLD kepada Bank
Indonesia.
Pasal 4
(1) Dalam rangka penyampaian Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Bank wajib meminta keterangan, data, dan/atau dokumen
pendukung kepada Nasabah yang melakukan Kegiatan LLD melalui Bank.
(2) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan
keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung kepada Bank sesuai dengan
permintaan Bank.
(3) Keterangan, data, dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) akan…
- 6 -
(1) akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 5
(1) Dalam hal terdapat transaksi terkait Ekspor Nasabah pada Laporan Transaksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Bank wajib menyampaikan
rincian transaksi Ekspor dan dokumen terkait transaksi Ekspor Nasabah kepada
Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam peraturan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penerimaan devisa hasil ekspor.
(2) Dalam hal Bank tidak menyampaikan dokumen terkait transaksi Ekspor
Nasabah, maka Laporan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dianggap tidak benar.
(3) Bank harus meneruskan dokumen terkait transaksi Ekspor yang diterima dari
Nasabah kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penerimaan devisa hasil ekspor.
Pasal 6
(1) Bank harus memiliki sistem dan prosedur perolehan data/informasi dan
penyusunan Laporan LLD yang dituangkan dalam suatu pedoman tertulis,
sehingga Bank dapat menyampaikan Laporan LLD dengan benar dan tepat
waktu.
(2) Bank harus menunjuk petugas dan/atau penanggung jawab untuk
menyusun, memverifikasi, dan menyampaikan Laporan LLD kepada Bank
Indonesia.
BAB III…
- 7 -
BAB III
PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN
Pasal 7
(1) Bank Indonesia meneliti kebenaran atas Laporan LLD yang disampaikan
oleh Bank.
(2) Dalam hal terdapat keraguan atas kebenaran Laporan LLD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta penjelasan.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya permintaan
penjelasan dari Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Bank tidak menyampaikan penjelasan sampai dengan 1 (satu)
bulan sejak tanggal diterimanya permintaan penjelasan dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka Laporan LLD yang disampaikan
oleh Bank dianggap tidak benar.
BAB IV
SANKSI
Pasal 8
(1) Bank yang terlambat menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (7) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan.
(2) Bank yang tidak menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (8) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Bank yang menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) secara tidak benar dikenakan sanksi administratif berupa
denda mulai sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) untuk setiap
rincian baris (field) yang tidak benar dengan denda paling banyak sebesar
Rp50.000.000,00…
- 8 -
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 9
(1) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada
Pasal 8 disetorkan ke rekening Kas Negara yang berada di Bank Indonesia.
(2) Pembebanan sanksi denda dilakukan dengan cara mendebet rekening giro
bank di Bank Indonesia setelah adanya surat penetapan sanksi denda dari
Bank Indonesia.
BAB V
LAIN-LAIN
Pasal 10
(1) Bank yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) selama 1 (satu)
MPL atau lebih, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Bank yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) selama kurang
dari 1 (satu) MPL, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan
LLD sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan
ayat (2).
(3) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
menyampaikan Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD dalam batas
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, setelah Bank Pelapor kembali
melakukan kegiatan operasional secara normal.
(4) Bank yang mengalami keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) atau ayat (2), harus menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Bank
Indonesia, dengan disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa (force
majeure) yang dialami.
BAB VI…
- 9 -
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 11
Untuk data PL bulan Oktober 2011 yang disampaikan pada bulan November
2011 sampai dengan data PL bulan Mei 2012 yang disampaikan pada bulan Juni
2012, MPL paling lama tanggal 20 setelah berakhirnya PL dan batas waktu
penyampaian koreksi Laporan LLD paling lama tanggal 25 setelah berakhirnya
PL.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Pengaturan lebih lanjut dari ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini akan
ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 13
Ketentuan mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3)
sehubungan dengan penyampaian rincian transaksi terkait Ekspor Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, mulai berlaku untuk data PL bulan Januari
2012 yang disampaikan bulan Februari 2012.
Pasal 14
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka PBI Nomor 1/9/PBI
tahun 1999 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga
Keuangan Non Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali pasal-pasal
yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa lembaga
keuangan non bank sampai dengan data PL bulan Desember 2011 yang
disampaikan bulan Januari 2012.
Pasal 15…
- 10 -
Pasal 15
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 September 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 September 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2011 NOMOR 94
- 11 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK NDONESIA
NOMOR : 13 / 21 /PBI/2011
TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK
I. UMUM
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-undang No. 24 tahun 1999
tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Indonesia menganut sistem
devisa bebas, dimana setiap Penduduk dapat dengan bebas memiliki dan
menggunakan devisa. Namun demikian, penerapan sistem devisa bebas tersebut
perlu didukung dengan pemantauan Kegiatan LLD yang efektif agar tidak
menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian nasional. Keterangan dan data
yang diperoleh melalui sistem pemantauan tersebut diperlukan untuk perumusan
dan pelaksanaan kebijakan baik di bidang moneter, perbankan, maupun sistem
pembayaran. Di samping itu, keterangan dan data tersebut juga diperlukan untuk
penyusunan statistik, yang meliputi statistik Neraca Pembayaran Indonesia,
Posisi Investasi Internasional Indonesia, dan statistik lainnya.
Dalam rangka pemantauan kegiatan LLD, Bank Indonesia telah
mengimplementasikan sistem pelaporan Kegiatan LLD Bank dan Lembaga
Keuangan Non Bank (LKNB) yang selama ini diatur dalam satu ketentuan.
Mengingat terdapat perbedaan karakteristik kegiatan usaha antara Bank dengan
LKNB, maka perlu dilakukan pemisahan ketentuan pelaporan LLD Bank dan
LLD LKNB. Di samping itu, ketentuan LLD Bank dimaksud perlu
disempurnakan untuk mendukung pelaksanaan ketentuan mengenai Penerimaan
Devisa Hasil Ekspor (DHE).
II.PASAL…
- 12 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “laporan yang benar” adalah laporan
yang memuat keterangan dan data Kegiatan LLD sesuai dengan
fakta sebenarnya atau dokumen pendukungnya, serta telah
memenuhi rincian cakupan laporan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, antara lain status dan kategori pelaku transaksi, tujuan
transaksi, nilai posisi rekening AFLN/KFLN Bank, dan
keterangan dan data lainnya yang terkait dengan Laporan LLD.
Yang dimaksud dengan “menyampaikan laporan tepat waktu”
adalah menyampaikan laporan dalam MPL yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Transaksi Bank dan/atau Nasabah yang mempengaruhi
AFLN/KFLN Bank meliputi kegiatan sebagai berikut:
a. Penerimaan dari dan pembayaran ke luar negeri baik dalam
rupiah maupun valuta asing;
b. Penerimaan dari dan pembayaran kepada bukan penduduk di
dalam negeri baik dalam rupiah maupun valuta asing;
dan/atau;
c. Penerimaan dan pembayaran di dalam negeri antar penduduk
dalam valuta asing.
Ayat (4)…
- 13 -
Ayat (4)
Posisi dan mutasi dari setiap rekening AFLN/KFLN Bank
dipengaruhi oleh transaksi yang dilakukan baik oleh Bank maupun
Nasabah.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “secara online” adalah menyampaikan
Laporan LLD kepada Bank Indonesia melalui jaringan khusus
ekstranet BI.
Laporan LLD secara online dapat disampaikan pada hari Sabtu,
Minggu, hari libur dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Koreksi Laporan LLD secara online dapat disampaikan pada hari
Sabtu, Minggu, hari libur dan cuti bersama yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
Ayat (3)
Yang dimaksud “secara offline” adalah menyampaikan Laporan
LLD kepada Bank Indonesia dengan menggunakan media antara
lain compact disk, flash disk, dan/atau media perekaman data
elektronik lainnya.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan
yang terjadi di Bank Indonesia dan/atau Bank yang meliputi
antara lain gangguan jaringan dan/atau komunikasi.
Ayat (5)
Dalam hal gangguan teknis terjadi di Bank, maka Bank harus
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank
Indonesia…
- 14 -
Indonesia disertai bukti-bukti pendukung terjadinya gangguan
teknis.
Ayat (6)
Dalam hal gangguan teknis terjadi di Bank, maka Bank harus
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank
Indonesia disertai bukti-bukti pendukung terjadinya gangguan
teknis.
Ayat (7)
Laporan LLD dianggap telah disampaikan oleh Bank kepada
Bank Indonesia apabila laporan telah memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keterangan dan data dimaksud antara lain meliputi nilai dan
jenis transaksi, tujuan atau maksud transaksi, pelaku transaksi
dan negara tujuan atau asal pelaku transaksi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Rincian transaksi terkait Ekspor meliputi keterangan dan data
antara lain:
a. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
b. Nomor…
- 15 -
b. Nomor pendaftaran Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB);
c. Tanggal pendaftaran PEB; dan
d. Nilai rincian Ekspor.
Dokumen terkait transaksi Ekspor Nasabah meliputi penjelasan
tertulis disertai dengan dokumen pendukung yang disampaikan
Nasabah, antara lain dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang
(PEB), faktur penjualan, dan perjanjian terkait transaksi Ekspor.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal (6)
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “penjelasan” adalah keterangan secara
tertulis dengan dilengkapi bukti pembukuan, catatan, dan
dokumen lain yang diperlukan.
Pasal 8…
- 16 -
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kalender.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)”
adalah keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan Bank
tidak dapat menyampaikan keterangan dan data mengenai
Kegiatan Lalu Lintas Devisa yang disebabkan karena kebakaran,
kerusuhan masa, pemogokan pekerja, terorisme, bom, perang,
sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir,
yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait
di daerah setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11…
- 17 -
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Hal-hal yang akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain:
a. Batasan besarnya Kegiatan Lalu Lintas Devisa termasuk transaksi
terkait Ekspor Nasabah yang wajib dilaporkan secara rinci;
b. Prosedur dan tata cara penyampaian Laporan LLD, termasuk
dokumen pendukungnya;
c. Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5242
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/21/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK </reg_title>
<set_date> 30 September 2011 </set_date>
<effective_date> 30 September 2011 </effective_date>
<issued_date> 30 September 2011 </issued_date>
<replaced_reg> '1/9/PBI/1999' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 5/8/PBI/2003
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan
mengalami perkembangan pesat yang akan diikuti oleh
semakin kompleksnya risiko bagi kegiatan usaha perbankan
tersebut;
b. bahwa semakin kompleksnya risiko
tersebut
akan
meningkatkan kebutuhan praktek tata kelola yang sehat
(good governance) dan fungsi identifikasi, pengukuran,
pemantauan dan pengendalian risiko bank;
c. bahwa peningkatan fungsi identifikasi, pengukuran,
pemantauan dan pengendalian risiko dimaksudkan agar
aktivitas usaha yang dilakukan oleh bank tidak menimbulkan
kerugian yang melebihi kemampuan bank atau yang dapat
mengganggu kelangsungan usaha bank;
d. bahwa pengelolaan setiap aktivitas fungsional bank harus
sedapat mungkin terintegrasi ke dalam suatu sistem dan
proses pengelolaan risiko yang akurat dan komprehensif;
e. bahwa …
- 2 -
e. bahwa dalam
rangka menciptakan
prakondisi
dan
infrastruktur pengelolaan risiko maka bank wajib mengambil
langkah-langkah persiapan pelaksanaan
risikonya;
pengelolaan
f. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum;
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN
MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM.
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing;
2. Risiko adalah potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat
menimbulkan kerugian Bank;
3. Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan
untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang
timbul dari kegiatan usaha Bank;
4. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah;
c.
bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang bank asing adalah pimpinan kantor cabang bank asing,
termasuk tim pengelola sementara yang mengambil alih sementara tugas dan
kewenangan Direksi;
5. Komisaris …
- 4 -
5. Komisaris:
a.
bagi Bank berbentuk hukum
Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum
Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian,
termasuk tim pengawas sementara yang mengambil alih sementara tugas dan
kewenangan Komisaris.
BAB II
RUANG LINGKUP MANAJEMEN RISIKO
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif.
(2) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-
kurangnya mencakup:
a. pengawasan aktif dewan Komisaris dan Direksi;
b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian
Risiko serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Pasal 3 …
- 5 -
Pasal 3
Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib
disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta
kemampuan Bank.
Pasal 4
(1) Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mencakup:
a. Risiko Kredit;
b. Risiko Pasar;
c. Risiko Likuiditas;
d. Risiko Operasional;
e. Risiko Hukum;
f.
Risiko Reputasi;
g. Risiko Strategik;
h. Risiko Kepatuhan.
(2) Bank yang memiliki ukuran dan kompleksitas usaha yang tinggi wajib
menerapkan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
untuk seluruh jenis risiko sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Bank yang tidak memiliki ukuran dan kompleksitas usaha yang tinggi wajib
menerapkan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
sekurang-kurangnya untuk 4 (empat) jenis Risiko sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d.
(4) Dalam hal Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) memiliki pengalaman
kerugian karena Risiko sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e, huruf f,
huruf g …
- 6 -
huruf g, dan atau huruf h yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya,
Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) terhadap Risiko dimaksud.
BAB III
PENGAWASAN AKTIF DEWAN KOMISARIS DAN DIREKSI
Bagian Pertama
Umum
Pasal 5
Bank wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang jelas pada setiap
jenjang jabatan yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2.
Bagian Kedua
Kewenangan dan Tanggungjawab Dewan Komisaris
Pasal 6
Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 bagi dewan
Komisaris sekurang-kurangnya:
a. menyetujui dan mengevaluasi kebijakan Manajemen Risiko;
b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas
Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
pelaksanaan
kebijakan
c. mengevaluasi dan memutuskan permohonan Direksi yang berkaitan dengan
transaksi yang memerlukan persetujuan dewan Komisaris.
Bagian …
- 7 -
Bagian Ketiga
Kewenangan dan Tanggung Jawab Direksi
Pasal 7
(1) Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 bagi
Direksi sekurang-kurangnya:
a. menyusun kebijakan dan strategi Manajemen Risiko secara tertulis dan
komprehensif;
b. bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko dan
eksposur Risiko yang diambil oleh Bank secara keseluruhan;
c. mengevaluasi dan memutuskan transaksi yang memerlukan persetujuan
Direksi;
d. mengembangkan budaya Manajemen Risiko pada
organisasi;
seluruh
jenjang
e. memastikan peningkatan kompetensi sumberdaya manusia yang terkait
dengan Manajemen Risiko;
f. memastikan bahwa fungsi Manajemen Risiko telah beroperasi
independen;
g. melaksanakan kaji ulang secara berkala untuk memastikan:
1. keakuratan metodologi penilaian Risiko;
2. kecukupan implementasi sistem informasi manajemen; dan
3. ketepatan kebijakan, prosedur dan penetapan limit Risiko.
(2) Dalam rangka melaksanakan wewenang dan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Direksi harus memiliki pemahaman yang memadai
mengenai Risiko yang melekat pada seluruh aktivitas fungsional Bank dan
mampu mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan profil Risiko Bank.
BAB IV …
secara
- 8 -
BAB IV
KEBIJAKAN, PROSEDUR DAN PENETAPAN LIMIT
Bagian Pertama
Kebijakan Manajemen Risiko
Pasal 8
Kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf
b sekurang-kurangnya memuat:
a. penetapan Risiko yang terkait dengan produk dan transaksi perbankan;
b. penetapan penggunaan metode pengukuran dan sistem informasi Manajemen
Risiko;
c. penentuan limit dan penetapan toleransi Risiko;
d. penetapan penilaian peringkat Risiko;
e. penyusunan rencana darurat (contingency plan) dalam kondisi terburuk (worst
case scenario);
f. penetapan sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko.
Bagian Kedua
Prosedur dan Penetapan Limit Risiko
Pasal 9
(1) Prosedur dan penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) huruf b wajib disesuaikan dengan tingkat Risiko yang akan diambil (risk
appetite) terhadap Risiko Bank.
(2) Prosedur dan penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat:
a. akuntabilitas …
- 9 -
a. akuntabilitas dan jenjang delegasi wewenang yang jelas;
b. pelaksanaan kaji ulang terhadap prosedur dan penetapan limit secara
berkala;
c. dokumentasi prosedur dan penetapan limit secara memadai.
(3) Penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib mencakup:
a. limit secara keseluruhan;
b. limit per jenis Risiko; dan
c. limit per aktivitas fungsional tertentu yang memiliki eksposur Risiko.
BAB V
PROSES IDENTIFIKASI, PENGUKURAN, PEMANTAUAN, PENGENDALIAN
DAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN RISIKO
Bagian Pertama
Umum
Pasal 10
(1) Bank wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan
pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c
terhadap seluruh faktor-faktor Risiko (risk factors) yang bersifat material.
(2) Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian
Risiko sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didukung oleh:
a. sistem informasi manajemen yang tepat waktu; dan
b. laporan yang akurat dan informatif mengenai kondisi keuangan Bank,
kinerja aktivitas fungsional dan eksposur Risiko Bank.
Bagian …
- 10 -
Bagian Kedua
Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan dan Pengendalian Risiko
Pasal 11
(1) Pelaksanaan proses identifikasi Risiko sekurang-kurangnya dilakukan dengan
melakukan analisis terhadap:
a. karakteristik Risiko yang melekat pada Bank; dan
b. Risiko dari produk dan kegiatan usaha Bank,
(2) Dalam rangka melaksanakan pengukuran Risiko, Bank wajib sekurang-
kurangnya melakukan:
a. evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data dan
prosedur yang digunakan untuk mengukur Risiko;
b. penyempurnaan terhadap sistem
pengukuran
Risiko
apabila
perubahan kegiatan usaha Bank, produk, transaksi dan faktor Risiko, yang
bersifat material.
(3) Dalam rangka melaksanakan pemantauan Risiko, Bank wajib
sekurang-
kurangnya melakukan:
a. evaluasi terhadap eksposur Risiko;
b. penyempurnaan proses pelaporan apabila terdapat perubahan kegiatan
usaha Bank, produk, transaksi, faktor Risiko, teknologi informasi dan
sistem informasi Manajemen Risiko yang bersifat material.
(4) Pelaksanaan proses pengendalian Risiko wajib digunakan
Bank
untuk
mengelola Risiko tertentu yang dapat membahayakan kelangsungan usaha
Bank.
terdapat
(5) Dalam …
- 11 -
(5) Dalam melaksanakan fungsi pengendalian Risiko suku bunga, Risiko nilai
tukar, dan Risiko likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf ayat (1)
huruf b dan huruf c, Bank sekurang-kurangnya menerapkan assets and
liabilities management (ALMA).
Bagian Ketiga
Sistem Informasi Manajemen Risiko
Pasal 12
(1) Sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) huruf c, sekurang-kurangnya mencakup laporan atau informasi mengenai:
a. eksposur Risiko;
b. kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur serta penetapan limit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9;
c. realisasi pelaksanaan Manajemen Risiko dibandingkan dengan target yang
ditetapkan.
(2) Laporan atau informasi yang dihasilkan dari sistem informasi Manajemen
Risiko sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan secara rutin
kepada Direksi.
BAB VI …
- 12 -
BAB VI
SISTEM PENGENDALIAN INTERN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 13
Bank wajib melaksanakan sistem pengendalian intern secara efektif terhadap
pelaksanaan kegiatan usaha dan operasional pada seluruh jenjang organisasi Bank.
Pasal 14
(1) Pelaksanaan sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
sekurang-kurangnya mampu secara tepat waktu mendeteksi kelemahan dan
penyimpangan yang terjadi.
(2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib
memastikan:
a. kepatuhan terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku serta
kebijakan atau ketentuan intern Bank;
b. tersedianya informasi keuangan dan manajemen yang lengkap, akurat, tepat
guna, dan tepat waktu;
c. efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional; dan
d. efektivitas budaya Risiko (risk culture) pada organisasi Bank secara
menyeluruh.
Bagian …
- 13 -
Bagian Kedua
Sistem Pengendalian Intern dalam Penerapan Manajemen Risiko
Pasal 15
(1) Sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d sekurang-kurangnya mencakup:
a. kesesuaian sistem pengendalian intern dengan jenis dan tingkat Risiko yang
melekat pada kegiatan usaha Bank;
b. penetapan wewenang dan tanggung jawab untuk pemantauan kepatuhan
kebijakan, prosedur dan limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan
Pasal 9;
c. penetapan jalur pelaporan dan pemisahan fungsi yang jelas dari satuan kerja
operasional kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian;
d. struktur organisasi yang menggambarkan secara jelas kegiatan usaha Bank;
e. pelaporan keuangan dan kegiatan operasional yang akurat dan tepat waktu;
f. kecukupan prosedur untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap ketentuan
dan perundang-undangan yang berlaku;
g. kaji ulang yang efektif, independen dan obyektif terhadap
penilaian kegiatan operasional Bank;
prosedur
h. pengujian dan kaji ulang yang memadai terhadap sistem informasi
manajemen;
i. dokumentasi secara lengkap dan memadai terhadap prosedur operasional,
cakupan dan temuan audit, serta tanggapan pengurus Bank berdasarkan
hasil audit;
j. verifikasi dan kaji ulang secara berkala dan berkesinambungan terhadap
penanganan kelemahan-kelemahan Bank yang
bersifat material
tindakan …
dan
- 14 -
tindakan pengurus Bank untuk memperbaiki penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi.
(2) Penilaian terhadap sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen
Risiko sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh satuan kerja
audit intern (SKAI).
BAB VII
ORGANISASI DAN FUNGSI MANAJEMEN RISIKO
Bagian Pertama
Umum
Pasal 16
Dalam rangka pelaksanaan proses dan sistem Manajemen Risiko yang efektif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib membentuk:
a. komite Manajemen Risiko; dan
b. satuan kerja Manajemen Risiko.
Bagian Kedua
Komite Manajemen Risiko
Pasal 17
(1) Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a
sekurang-kurangnya terdiri dari:
a. mayoritas Direksi; dan
b. pejabat eksekutif terkait.
(2) Wewenang …
- 15 -
(2) Wewenang dan tanggung jawab komite Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah memberikan rekomendasi kepada Direktur
Utama, yang sekurang-kurangnya meliputi:
a. penyusunan kebijakan, strategi dan pedoman penerapan Manajemen Risiko;
b. perbaikan atau penyempurnaan pelaksanaan Manajemen Risiko berdasarkan
hasil evaluasi pelaksanaan dimaksud;
c. penetapan (justification) hal-hal yang terkait dengan keputusan bisnis yang
menyimpang dari prosedur normal (irregularities).
Bagian Ketiga
Satuan Kerja Manajemen Risiko
Pasal 18
(1) Struktur organisasi satuan kerja Manajemen Risiko Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 huruf b disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas
usaha Bank serta Risiko yang melekat pada Bank.
(2) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
independen terhadap satuan kerja operasional (risk-taking unit) dan terhadap
satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian intern.
(3)
Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
bertanggung jawab langsung kepada Direktur Utama atau kepada Direktur
yang ditugaskan secara khusus.
(4) Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja Manajemen Risiko meliputi:
a. pemantauan pelaksanaan strategi Manajemen Risiko yang telah disetujui
oleh Direksi;
b. pemantauan …
- 16 -
b. pemantauan posisi Risiko secara keseluruhan (composite), per jenis Risiko
dan per jenis aktivitas fungsional serta melakukan stress testing;
c. kaji ulang secara berkala terhadap proses Manajemen Risiko;
d. pengkajian usulan aktivitas dan atau produk baru;
e. evaluasi terhadap akurasi model dan validitas data yang digunakan untuk
mengukur Risiko, bagi Bank yang menggunakan model untuk keperluan
intern (internal model);
f. memberikan rekomendasi kepada satuan kerja operasional (risk taking
unit) dan atau kepada komite Manajemen Risiko, sesuai kewenangan yang
dimiliki;
g. menyusun dan menyampaikan laporan profil/komposisi Risiko kepada
direktur utama atau direktur yang ditugaskan secara khusus dan komite
Manajemen Risiko secara berkala.
Bagian Keempat
Hubungan Satuan Kerja Operasional dengan Satuan Kerja Manajemen Risiko
Pasal 19
Satuan kerja operasional (risk taking unit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (2) wajib menginformasikan eksposur Risiko yang melekat pada satuan kerja
yang bersangkutan kepada satuan kerja Manajemen Risiko secara berkala.
BAB VIII …
- 17 -
BAB VIII
PENGELOLAAN RISIKO PRODUK DAN AKTIVITAS BARU
Pasal 20
(1) Dalam rangka pengelolaan Risiko yang melekat pada produk dan aktivitas
baru, Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur secara tertulis.
(2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-
kurangnya meliputi:
a. sistem dan prosedur (standard operating procedures) dan kewenangan
dalam pengelolaan produk dan aktivitas baru;
b. identifikasi seluruh Risiko yang terkait dengan produk dan aktivitas baru;
c. masa uji coba metode pengukuran dan pemantauan Risiko terhadap produk
dan aktivitas baru;
d. sistem informasi akuntansi untuk produk dan aktivitas baru;
e. analisa aspek hukum untuk produk dan aktivitas baru.
Pasal 21
Bank wajib mengungkapkan Risiko yang melekat pada produk dan aktivitas baru
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf b kepada nasabah.
BAB IX …
- 18 -
BAB IX
PELAPORAN
Bagian Pertama
Rencana Kegiatan (Action Plan) Penerapan Manajemen Risiko
Pasal 22
(1) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat
dilaksanakan dengan atau tanpa tahapan.
(2) Dalam rangka penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Bank wajib menyampaikan
laporan action plan kepada Bank
Indonesia.
(3) Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk melakukan penyesuaian terhadap
laporan action plan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila action plan
dinilai belum sepenuhnya memenuhi persyaratan minimum yang diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan pelaksanaan terkait lainnya.
(4) Action plan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan selambat-
lambatnya 3 (tiga) bulan setelah Peraturan Bank Indonesia ini diberlakukan.
(5) Jangka waktu penyelesaian action plan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan selambat-lambatnya 9 (sembilan) bulan sejak laporan action plan
diterima oleh Bank Indonesia.
Pasal 23
(1) Bank wajib menyampaikan laporan realisasi action plan penerapan Manajemen
Risiko kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan …
- 19 -
(2) Laporan realisasi action plan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1)
disampaikan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah tahapan realisasi
action plan.
Bagian Kedua
Laporan Profil Risiko serta Laporan Produk dan Aktivitas Baru
Pasal 24
(1) Bank wajib menyampaikan laporan profil Risiko kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan profil Risiko yang disampaikan oleh satuan kerja Manajemen Risiko
kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib memuat
substansi yang sama dengan laporan profil Risiko yang disampaikan oleh
satuan kerja Manajemen Risiko kepada Direktur Utama dan Komite
Manajemen Risiko.
(3) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan
secara triwulanan untuk posisi bulan Maret, Juni, September dan Desember.
(4) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah akhir bulan laporan.
(5) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan
pertama kali untuk posisi laporan Maret 2005.
Pasal 25
(1) Bank wajib menyampaikan laporan produk dan aktivitas baru kepada Bank
Indonesia.
(2) Laporan …
- 20 -
(2) Laporan produk dan aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
disampaikan pada setiap penerbitan produk dan aktivitas baru dan selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak produk dan aktivitas baru dimaksud efektif
dilaksanakan.
(3) Laporan produk dan aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disampaikan pertama kali untuk produk dan aktivitas baru yang diterbitkan
setelah Bank menyelesaikan action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22.
Bagian Ketiga
Laporan Lain
Pasal 26
(1) Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia selain laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dalam hal
terdapat kondisi yang
berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan
Bank.
(2) Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 diluar jangka waktu yang ditetapkan.
Bagian Keempat
Batas Waktu Penyampaian Laporan
Pasal 27
Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 apabila laporan disampaikan melampaui
batas waktu penyampaian.
Bagian …
- 21 -
Bagian Kelima
Format Laporan dan Alamat Penyampaian
Pasal 28
Format dan petunjuk penyusunan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25 ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 29
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25 dan
Pasal 26 wajib disampaikan kepada Bank Indonesia, dengan alamat:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta 10110,
bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
BAB X
LAIN-LAIN
Bagian Pertama
Penilaian Penerapan Manajemen Risiko
Pasal 30
Bank Indonesia dapat melakukan penilaian terhadap penerapan Manajemen Risiko
pada Bank.
Pasal 31 …
- 22 -
Pasal 31
Bank wajib menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan penerapan
Manajemen Risiko kepada Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Aspek Pengungkapan Kinerja dan Kebijakan Manajemen Risiko
Pasal 32
(1) Pengungkapan Manajemen Risiko dalam laporan tahunan Bank sebagaimana
diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia mengenai Transparansi Kondisi
Keuangan Bank wajib disesuaikan dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Pengungkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya
mencakup kinerja Manajemen Risiko dan arah kebijakan Manajemen Risiko.
(3) Penyesuaian pengungkapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) untuk pertama kali dilakukan untuk laporan tahunan posisi akhir
Desember 2004.
BAB IX
S A N K S I
Pasal 33
(1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan per
laporan.
(2) Bank …
- 23 -
(2) Bank yang belum menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 setelah 1 (satu) bulan sejak batas akhir
waktu penyampaian laporan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per laporan serta diberikan teguran
tertulis oleh Bank Indonesia.
(3) Bank yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 setelah 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu
penyampaian laporan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per laporan.
(4) Bank yang menyampaikan laporan yang dinilai tidak lengkap secara signifikan
atau tidak dilampiri dengan dokumen dan informasi yang material sesuai
dengan format sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia dan
ketentuan pelaksanaan terkait lainnya dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) setelah Bank diberikan 2
(dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu 7 (tujuh)
hari kerja untuk setiap teguran dan Bank tidak memperbaiki laporan dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah surat teguran terakhir.
Pasal 34
Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan
Bank Indonesia ini dan ketentuan pelaksanaan terkait lainnya dapat dikenakan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998, antara lain berupa:
a. teguran …
- 24 -
a. teguran tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
(1)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Manajemen Risiko dan
pengendalian intern bagi Bank diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Bank wajib menyesuaikan
pedoman operasional yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko.
Pasal 36
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2004.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal
19 Mei 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 56
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/8/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 19 Mei 2003 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2004 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/ 20 /PBI/2010
TENTANG
PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG
DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME
BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT
DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa semakin berkembangnya industri Bank Perkreditan
Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah disertai
dengan perkembangan produk serta pelayanan terutama
yang berbasis teknologi informasi maka risiko pemanfaatan
Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah dalam pencucian uang dan pendanaan teroris
semakin tinggi.
b. bahwa ketentuan tentang Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah (Know Your Customer Principles) bagi Bank
Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
yang berlaku selama ini perlu untuk disempurnakan dengan
mengacu pada prinsip-prinsip umum yang berlaku secara
internasional …
- 2 -
internasional dalam mendukung upaya pencegahan tindak
pidana pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme.
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk menetapkan
pengaturan tentang penerapan program anti pencucian uang
dan pencegahan pendanaan terorisme bagi Bank
Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
dalam suatu Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas …
- 3 -
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4191) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Nomor 108
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4324);
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284);
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN …
- 4 -
MEMUTUSKAN
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN
PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN
PENDANAAN TERORISME BAGI BANK PERKREDITAN
RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
2. Bank Umum adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
3. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah BPR
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998.
4. Bank …
- 5 -
4. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS adalah
BPRS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
5. Direksi :
a. bagi BPR dan BPRS berbentuk hukum Perseroan Terbatas, adalah
Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah, adalah Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah.
c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi, adalah Pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
6. Komisaris :
a. bagi BPR dan BPRS berbentuk hukum Perseroan Terbatas, adalah
Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah, adalah Pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah.
c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi, adalah Pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
7. Pencucian …
- 6 -
7. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang.
8. Pendanaan Terorisme adalah penggunaan harta kekayaan secara langsung
atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang.
9. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme yang
selanjutnya disebut sebagai APU dan PPT adalah upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
10. Transaksi Keuangan Mencurigakan (Suspicious Transaction) adalah
transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang.
11. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa BPR/BPRS dan memiliki
rekening pada BPR/BPRS tersebut.
12. Walk in Customer yang selanjutnya disebut sebagai WIC adalah pengguna
jasa BPR/BPRS yang tidak memiliki rekening pada BPR/BPRS tersebut,
tidak termasuk pihak yang mendapatkan perintah atau penugasan dari
Nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah tersebut.
13. Beneficial Owner adalah setiap orang yang memiliki dana, yang
mengendalikan transaksi nasabah atau WIC, yang memberikan kuasa atas
terjadinya suatu transaksi dan/atau yang melakukan pengendalian melalui
badan hukum atau perjanjian.
14. Politically Exposed Person yang selanjutnya disebut sebagai PEP adalah
orang yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki kewenangan publik
diantaranya adalah Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam
peraturan …
- 7 -
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Penyelenggara
Negara, dan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yang
memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik.
15. Customer Due Dilligence yang selanjutnya disebut sebagai CDD adalah
kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan
BPR dan BPRS untuk memastikan bahwa transaksi dilakukan sesuai
dengan profil pengguna jasa bank.
16. Enhanced Due Dilligence yang selanjutnya disebut sebagai EDD adalah
CDD dan kegiatan lain yang dilakukan oleh BPR dan BPRS untuk
mendalami profil calon Nasabah, Nasabah atau Beneficial Owner yang
tergolong berisiko tinggi termasuk PEP terhadap kemungkinan pencucian
uang dan pendanaan terorisme.
17. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut
sebagai PPATK adalah PPATK sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang.
18. Rekomendasi Financial Action Task Force yang selanjutnya disebut
sebagai Rekomendasi FATF adalah rekomendasi standar pencegahan dan
pemberantasan pencucian uang dan pendanaan terorisme yang dikeluarkan
oleh FATF.
19. Lembaga Negara/Pemerintah adalah lembaga yang memiliki kewenangan
di bidang eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
20. BPR/BPRS Pengirim adalah BPR/BPRS yang mengirimkan perintah
pemindahan dana.
21. BPR/BPRS Penerima adalah BPR/BPRS yang menerima perintah
pemindahan dana.
Pasal 2 …
- 8 -
Pasal 2
(1) BPR dan BPRS wajib menerapkan program APU dan PPT.
(2) Dalam penerapan program APU dan PPT, BPR dan BPRS
wajib berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 3
(1) Program APU dan PPT pada BPR dan BPRS merupakan bagian dari
pengelolaan risiko BPR dan BPRS secara keseluruhan.
(2) Penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat
(1) paling kurang mencakup:
a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris;
b. kebijakan dan prosedur;
c. pengendalian intern; dan
d. Sumber Daya Manusia (SDM) dan pelatihan.
BAB II
PENGAWASAN AKTIF DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS SERTA
MEKANISME PERTANGGUNGJAWABAN
Pasal 4
Pengawasan aktif Direksi BPR dan BPRS paling kurang mencakup hal-hal
sebagai berikut:
a. memastikan BPR dan BPRS memiliki kebijakan dan prosedur program
APU dan PPT;
b. mengusulkan …
- 9 -
b. mengusulkan kebijakan dan prosedur tertulis program APU dan PPT
kepada Dewan Komisaris;
c. memastikan penerapan program APU dan PPT dilaksanakan sesuai dengan
kebijakan dan prosedur tertulis yang telah ditetapkan;
d. membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pegawai yang
bertanggungjawab terhadap program APU dan PPT di Kantor Pusat;
e. memastikan bahwa unit kerja/pegawai yang melaksanakan kebijakan dan
prosedur program APU dan PPT terpisah dari unit kerja/pegawai yang
mengawasi penerapannya;
f.
pengawasan atas kepatuhan unit kerja/pegawai dalam menerapkan program
APU dan PPT;
g. memastikan bahwa kantor cabang BPR dan BPRS memiliki pegawai yang
bertanggungjawab terhadap program APU dan PPT;
h. memastikan bahwa kebijakan dan prosedur tertulis mengenai program APU
dan PPT sejalan dengan perubahan dan pengembangan produk, jasa, dan
teknologi BPR dan BPRS serta sesuai dengan perkembangan modus
pencucian uang atau pendanaan terorisme; dan
i. memastikan bahwa seluruh pegawai, khususnya pegawai terkait dan
pegawai baru, telah mendapatkan pengetahuan yang berkaitan dengan
program APU dan PPT secara berkala.
Pasal 5
Pengawasan aktif yang dilakukan oleh Dewan Komisaris BPR dan BPRS paling
kurang mencakup hal-hal sebagai berikut:
a.persetujuan …
- 10 -
a. persetujuan atas kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT;
dan
b. pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan
program APU dan PPT.
Pasal 6
(1) BPR dan BPRS wajib membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk
pegawai BPR dan BPRS yang bertanggungjawab atas penerapan program
APU dan PPT.
(2) Unit kerja khusus atau pegawai BPR dan BPRS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bertanggungjawab kepada Direktur.
(3) BPR dan BPRS memastikan bahwa pegawai di unit kerja khusus atau
pegawai yang bertanggungjawab atas penerapan program APU dan PPT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memiliki kemampuan yang memadai
dan memiliki kewenangan untuk mengakses seluruh data Nasabah dan
informasi lainnya yang terkait.
(4) Dalam hal BPR dan BPRS tidak dapat membentuk unit kerja khusus atau
menunjuk pegawai yang bertanggungjawab atas penerapan program APU
dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka fungsi dimaksud
dilaksanakan oleh salah satu anggota Direksi.
Pasal 7
Unit kerja khusus atau pegawai BPR dan BPRS yang bertanggungjawab terhadap
program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) wajib:
a. memantau …
- 11 -
a. memantau adanya sistem yang mendukung program APU dan PPT;
b. memantau pengkinian profil Nasabah dan profil transaksi Nasabah;
c. melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan
program APU dan PPT dengan unit kerja/pegawai terkait yang
berhubungan dengan Nasabah;
d. memastikan bahwa kebijakan dan prosedur telah sesuai dengan
perkembangan program APU dan PPT yang terkini, risiko produk BPR dan
BPRS, kegiatan dan kompleksitas usaha BPR dan BPRS, dan volume
transaksi BPR dan BPRS;
e. menerima laporan transaksi keuangan yang berpotensi mencurigakan dari
unit kerja atau pegawai terkait yang berhubungan dengan Nasabah dan
melakukan analisis atas laporan tersebut;
f. menyusun laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan laporan lainnya
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
Tindak Pidana Pencucian Uang untuk disampaikan kepada PPATK
berdasarkan persetujuan Direktur;
g. memantau bahwa:
1)
terdapat mekanisme komunikasi yang baik dari setiap unit kerja atau
pegawai terkait kepada unit kerja khusus atau pegawai yang
bertanggungjawab terhadap penerapan program APU dan PPT dengan
menjaga kerahasiaan informasi;
2) unit kerja atau pegawai terkait mempersiapkan laporan mengenai
dugaan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebelum
menyampaikannya kepada unit kerja khusus atau pegawai yang
ditunjuk …
- 12 -
ditunjuk yang bertanggungjawab terhadap penerapan program APU
dan PPT;
3)
area yang berisiko tinggi, terkait dengan APU dan PPT dengan
mengacu pada ketentuan yang berlaku dan sumber informasi yang
memadai.
BAB III
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
Pasal 8
(1) Dalam menerapkan program APU dan PPT, BPR dan BPRS wajib memiliki
kebijakan dan prosedur tertulis yang paling kurang mencakup hal-hal
sebagai berikut:
a. pelaksanaan CDD, yang terdiri dari:
1) permintaan informasi dan dokumen;
2) verifikasi dokumen; dan
3) pengkinian dan pemantauan.
b. penatausahaan dokumen;
c. pemindahan dana;
d. penutupan hubungan dan penolakan transaksi;
e. ketentuan mengenai Beneficial Owner;
f.
g. pelaksanaan CDD yang lebih sederhana; dan
h. pelaksanaan CDD oleh pihak ketiga.
(2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. dituangkan …
ketentuan mengenai area berisiko tinggi dan PEP;
- 13 -
a. dituangkan ke dalam Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT;
b. mendapat persetujuan dari Dewan Komisaris; dan
c. diterapkan secara konsisten dan berkesinambungan.
(3) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
mempertimbangkan faktor teknologi informasi yang berpotensi
disalahgunakan oleh pelaku pencucian uang atau pendanaan terorisme.
Pasal 9
(1) BPR dan BPRS wajib melakukan CDD pada saat:
a. melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah;
b. melakukan hubungan usaha dengan WIC;
(2) BPR dan BPRS juga wajib melakukan CDD dalam hal:
a.
b.
terdapat keraguan atas kebenaran informasi yang diberikan oleh
Nasabah, penerima kuasa, dan/atau Beneficial Owner; atau
terdapat transaksi keuangan yang tidak wajar yang diduga terkait
dengan pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme.
(3) Terhadap Nasabah yang telah ada sebelum peraturan ini berlaku, BPR dan
BPRS wajib melakukan CDD sesuai dengan pendekatan berdasarkan
materialitas dan risiko dalam hal:
a.
terdapat transaksi dalam jumlah yang signifikan;
b. terdapat perubahan standar dokumentasi yang mendasar;
c.
terdapat perubahan pola transaksi yang signifikan;
d. BPR dan BPRS mengetahui adanya kekurangan informasi dan/atau
dokumen yang diperlukan; dan/atau
e. menggunakan…
- 14 -
e. menggunakan rekening anonim atau rekening yang diindikasikan
menggunakan nama fiktif.
Pasal 10
(1) Dalam melakukan penerimaan Nasabah, BPR dan BPRS wajib
menggunakan pendekatan berdasarkan risiko dengan mengelompokkan
Nasabah berdasarkan tingkat risiko terjadinya pencucian uang atau
pendanaan terorisme.
(2) Pengelompokan Nasabah berdasarkan tingkat risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling kurang dilakukan dengan melakukan analisis terhadap:
a.
b.
identitas Nasabah;
lokasi usaha Nasabah;
c. profil Nasabah;
d. nilai transaksi;
e. kegiatan usaha Nasabah;
f.
g.
struktur kepemilikan bagi Nasabah perusahaan; dan
informasi lainnya yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
risiko Nasabah.
(3) Ketentuan mengenai pengkategorian tingkat risiko pencucian uang atau
pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 11 …
- 15 -
Pasal 11
(1) BPR dan BPRS wajib :
a. meminta informasi calon Nasabah dan WIC sebelum melakukan
hubungan usaha, termasuk identitas calon Nasabah yang dibuktikan
dengan keberadaan dokumen pendukung;
b. meneliti kebenaran dokumen pendukung identitas calon Nasabah; dan
c. melakukan pertemuan langsung/tatap muka dengan calon Nasabah pada
awal melakukan hubungan usaha dalam rangka meyakini kebenaran
identitas calon Nasabah.
(2) Dalam hal pertemuan langsung/tatap muka dengan calon Nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak dapat dilakukan pada
awal hubungan usaha, maka pertemuan dapat dilakukan di kemudian hari
sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. calon Nasabah tergolong berisiko rendah; atau
b. dokumen pendukung yang memuat identitas telah dilegalisir oleh pihak
yang berwenang.
(3) BPR dan BPRS dilarang untuk membuka atau memelihara rekening anonim
atau rekening yang menggunakan nama fiktif.
(4) BPR dan BPRS memberikan perhatian khusus terhadap transaksi atau
hubungan usaha dengan Nasabah yang kegiatan usahanya terkait dengan
negara yang belum memadai dalam melaksanakan rekomendasi FATF.
Bagian…
- 16 -
Bagian Kesatu
CUSTOMER DUE DILIGENCE (CDD)
Paragraf 1
PERMINTAAN INFORMASI DAN DOKUMEN
Pasal 12
BPR dan BPRS wajib mengidentifikasi dan mengklasifikasikan calon Nasabah,
Nasabah dan Beneficial Owner ke dalam kelompok perorangan, perusahaan atau
lainnya.
Pasal 13
(1)
Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) bagi calon
Nasabah perorangan paling kurang mencakup :
a.
identitas calon Nasabah yang memuat :
1) Nama lengkap termasuk alias apabila ada;
2) Nomor dokumen identitas yang dibuktikan dengan menunjukkan
dokumen dimaksud;
3) Alamat tempat tinggal yang tercantum pada kartu identitas;
4) Alamat tempat tinggal terkini termasuk nomor telepon apabila ada;
5) Tempat dan tanggal lahir;
6) Kewarganegaraan;
7) Pekerjaan;
8) Jenis kelamin;
9) Status perkawinan.
b. identitas Beneficial Owner, apabila calon Nasabah mewakili Beneficial
c. sumber…
Owner;
- 17 -
Owner;
c. sumber dana;
d. rata-rata penghasilan; dan
e. maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan dilakukan
calon Nasabah dengan BPR/BPRS.
(2)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib didukung
dengan dokumen identitas calon Nasabah dan spesimen tanda tangan.
Pasal 14
(1)
Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) bagi calon
Nasabah perusahaan selain Bank paling kurang mencakup:
a. nama perusahaan;
b. nomor izin usaha dari instansi berwenang;
c. alamat kedudukan perusahaan;
d.
tempat dan tanggal pendirian perusahaan;
e. bentuk badan hukum perusahaan;
f.
identitas Beneficial Owner, apabila calon Nasabah mewakili
Beneficial Owner;
g. sumber dana; dan
h. maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan
dilakukan calon Nasabah dengan BPR/BPRS.
(2) Informasi …
- 18 -
(2)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai e wajib
didukung dengan dokumen identitas perusahaan berupa izin usaha dari
instansi berwenang.
(3) Untuk Nasabah perusahaan yang tergolong usaha mikro dan usaha kecil,
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditambah dengan:
a.
spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk
mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan
dalam melakukan hubungan usaha dengan BPR/BPRS;
b. kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi Nasabah yang
diwajibkan untuk memiliki NPWP sesuai dengan ketentuan yang
berlaku; dan
c. Surat Izin Tempat Usaha (SITU) atau dokumen lain yang
dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang.
(4) Untuk Nasabah perusahaan yang tidak tergolong usaha mikro dan usaha
kecil selain disertai dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3), ditambah dengan:
a.
b.
c.
laporan keuangan atau deskripsi kegiatan usaha perusahaan;
struktur manajemen perusahaan;
struktur kepemilikan perusahaan; dan
d. dokumen identitas anggota Direksi yang berwenang mewakili
perusahaan untuk melakukan hubungan usaha dengan BPR/BPRS.
Pasal 15 …
- 19 -
Pasal 15
(1)
Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) bagi calon
Nasabah perusahaan berupa Bank paling kurang mencakup:
a.
nama Bank;
b. nomor izin usaha dari Bank Indonesia;
c.
d.
e.
alamat kedudukan Bank;
tempat dan tanggal pendirian Bank; dan
bentuk badan hukum Bank;
(2)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai e wajib
didukung dengan dokumen identitas Bank berupa:
a.
b.
izin usaha dari Bank Indonesia; dan
spesimen tanda tangan dan surat kuasa kepada pihak-pihak yang
ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama Bank
dalam melakukan hubungan usaha dengan BPR/BPRS.
Pasal 16
(1) Untuk calon Nasabah berupa yayasan dan perkumpulan, BPR dan BPRS
wajib meminta informasi paling kurang sebagai berikut:
a. nama yayasan/perkumpulan;
b. nomor izin pendirian dari instansi berwenang;
c.
d.
alamat kedudukan yayasan/perkumpulan;
tempat dan tanggal pendirian yayasan/perkumpulan;
e. bentuk badan hukum;
f.
identitas Beneficial Owner, apabila calon Nasabah mewakili
Beneficial Owner;
g. sumber …
- 20 -
g.
sumber dana; dan
h. maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan
dilakukan calon Nasabah dengan BPR/BPRS.
(2) Untuk calon Nasabah berupa yayasan, informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib didukung dengan dokumen yang memuat informasi
paling kurang berupa:
a.
izin bidang kegiatan/tujuan yayasan;
b. deskripsi kegiatan yayasan;
c.
d.
struktur pengurus yayasan; dan
identitas anggota pengurus yang berwenang mewakili yayasan untuk
melakukan hubungan usaha dengan BPR/BPRS.
(3) Untuk calon Nasabah berupa perkumpulan, informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib didukung dengan dokumen yang memuat
informasi paling kurang berupa:
a. bukti pendaftaran pada instansi yang berwenang;
b. nama penyelenggara; dan
c.
identitas pihak yang berwenang mewakili perkumpulan dalam
melakukan hubungan usaha dengan BPR/BPRS.
Pasal 17
(1) Terhadap calon Nasabah berupa Lembaga Negara/Pemerintah, BPR dan
BPRS wajib meminta informasi mengenai nama dan alamat kedudukan
Lembaga Negara/Pemerintah.
(2)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung dengan
dokumen berupa:
a. surat …
- 21 -
a.
b.
surat penunjukan bagi pihak-pihak yang berwenang mewakili
Lembaga Negara/Pemerintah dalam melakukan hubungan usaha
dengan BPR/BPRS; dan
spesimen tanda tangan.
Pasal 18
(1)
Informasi yang wajib diminta oleh BPR dan BPRS kepada WIC sebelum
melakukan transaksi :
a. Untuk transaksi kurang dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
adalah informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf
a angka 1) sampai angka 3) bagi WIC perorangan, dan Pasal 14 ayat
(1) huruf a dan huruf c bagi WIC perusahaan.
b. Untuk transaksi sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau
lebih, baik yang dilakukan dalam 1 (satu) kali maupun beberapa kali
transaksi dalam 1 (satu) hari kerja adalah seluruh informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) bagi WIC perorangan
dan Pasal 14 ayat (1) bagi WIC perusahaan.
(2)
Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b wajib didukung
dengan dokumen berupa:
a. Bagi WIC perorangan adalah dokumen identitas.
b. Bagi WIC perusahaan adalah:
1) Izin usaha dari instansi berwenang;
2) Surat kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai
wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam
melakukan hubungan usaha dengan BPR/BPRS; dan
3) Kartu…
- 22 -
3) Kartu NPWP bagi Nasabah yang diwajibkan untuk memiliki
NPWP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Paragraf 2
VERIFIKASI DOKUMEN
Pasal 19
(1) BPR dan BPRS wajib melakukan verifikasi terhadap dokumen pendukung
yang memuat informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1),
Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (1)
serta memastikan bahwa data tersebut adalah data yang benar dan terkini.
(2) BPR dan BPRS dapat melakukan wawancara dengan calon Nasabah untuk
meneliti dan meyakini kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Dalam hal terdapat keraguan, BPR dan BPRS wajib meminta kepada calon
Nasabah untuk memberikan dokumen identitas lainnya atau dokumen
pendukung yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, untuk
memastikan kebenaran identitas calon Nasabah.
(4) BPR dan BPRS wajib menyelesaikan proses verifikasi identitas terhadap:
a.
b. WIC dan Beneficial Owner sebelum melakukan transaksi.
(5) Dalam kondisi tertentu BPR/BPRS dapat melakukan hubungan usaha
sebelum proses verifikasi selesai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf
a selesai.
calon Nasabah dan Beneficial Owner sebelum melakukan hubungan
usaha dengan calon Nasabah.
(6) Proses …
- 23 -
(6) Proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib diselesaikan
paling lambat:
a. untuk Nasabah perorangan, 14 (empat belas) hari kerja setelah
dilakukannya hubungan usaha.
b. untuk Nasabah perusahaan, 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah
dilakukannya hubungan usaha.
Paragraf 3
PENGKINIAN DAN PEMANTAUAN
Pasal 20
(1) BPR dan BPRS wajib melakukan pengkinian data terhadap informasi dan
dokumen Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal
15, Pasal 16 dan Pasal 17 serta menatausahakannya.
(2) Pengkinian data terhadap informasi dan dokumen Nasabah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) termasuk didalamnya adalah pengkinian data
terhadap nasabah yang telah melakukan hubungan usaha sebelum PBI ini
diterbitkan.
Pasal 21
BPR dan BPRS wajib :
a. memelihara Daftar Teroris berdasarkan data yang diterima dari Bank
Indonesia setiap 6 (enam) bulan berdasarkan data yang dipublikasikan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB);
b. memastikan …
- 24 -
b. memastikan secara berkala nama-nama Nasabah BPR dan BPRS yang
memiliki kesamaan atau kemiripan dengan nama yang tercantum dalam
Daftar Teroris;
c. memastikan kesesuaian identitas Nasabah tersebut dengan informasi lain
yang terkait dalam hal terdapat kemiripan nama Nasabah dengan nama
yang tercantum dalam Daftar Teroris; dan
d. melaporkan Nasabah tersebut dalam laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan dalam hal terdapat kesamaan nama Nasabah dan kesamaan
informasi lainnya dengan nama yang tercantum dalam Daftar Teroris.
Pasal 22
(1) BPR dan BPRS wajib melakukan :
a. pemantauan secara berkesinambungan untuk mengidentifikasi
kesesuaian antara transaksi Nasabah dengan profil Nasabah dan
menatausahakan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
b.
analisis terhadap seluruh transaksi yang tidak sesuai dengan profil
Nasabah.
(2) BPR dan BPRS dapat meminta informasi tentang latar belakang dan tujuan
transaksi terhadap transaksi yang tidak sesuai dengan profil Nasabah,
dengan memperhatikan ketentuan anti tipping-off sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencucian
Uang.
Pasal 23 …
- 25 -
Pasal 23
(1) BPR dan BPRS wajib memiliki sistem pencatatan yang dapat
mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara
efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah.
(2) BPR dan BPRS wajib memelihara profil Nasabah paling kurang meliputi
informasi mengenai:
a. pekerjaan atau bidang usaha;
b.
c.
d.
e.
jumlah penghasilan;
rekening lain yang dimiliki, apabila ada;
aktivitas transaksi normal; dan
tujuan pembukaan rekening.
Bagian Kedua
PENATAUSAHAAN DOKUMEN
Pasal 24
(1) BPR dan BPRS wajib menatausahakan:
a. dokumen yang terkait dengan data Nasabah atau WIC dengan jangka
waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak:
1) berakhirnya hubungan usaha atau transaksi dengan Nasabah atau
WIC; atau
2) ditemukannya ketidaksesuaian transaksi dengan tujuan ekonomis
dan/atau tujuan usaha.
b. dokumen Nasabah atau WIC yang terkait dengan transaksi keuangan
dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai Dokumen Perusahaan.
(2) Dokumen ...
- 26 -
(2) Dokumen yang terkait sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) paling
kurang mencakup:
a.
b.
identitas Nasabah atau WIC; dan
informasi transaksi yang antara lain meliputi jenis mata uang dan
jumlah uang yang digunakan, tanggal perintah transaksi, asal dan
tujuan transaksi, serta nomor rekening yang terkait dengan transaksi.
(3) BPR dan BPRS wajib memberikan informasi dan/atau dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia dan/atau
otoritas lain yang berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
PEMINDAHAN DANA
Pasal 25
Dalam melakukan kegiatan pemindahan dana untuk kepentingan Nasabah atau
WIC melalui rekening BPR/BPRS yang ada di Bank Umum dan/atau Unit Usaha
Syariah :
a. BPR dan BPRS Pengirim wajib:
1) memperoleh informasi dan melakukan identifikasi serta verifikasi
terhadap Nasabah pengirim atau WIC pengirim, paling kurang
meliputi:
a) nomor rekening dan identitas Nasabah pengirim atau identitas
WIC pengirim; dan
b)
tanggal transaksi dan nominal.
2) mendokumentasikan …
- 27 -
2) mendokumentasikan seluruh transaksi pemindahan dana.
b. BPR dan BPRS Penerima wajib memastikan kelengkapan informasi
Nasabah pengirim dan WIC pengirim sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Pasal 26
Dalam hal informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 tidak dipenuhi, BPR
dan BPRS dengan menggunakan pendekatan berdasarkan risiko dapat:
a. menolak untuk melaksanakan pemindahan dana;
b. membatalkan transaksi pemindahan dana; dan/atau
c. mengakhiri hubungan usaha dengan Nasabah.
Pasal 27
Dalam hal terdapat pemindahan dana yang memenuhi kriteria mencurigakan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Tindak
Pidana Pencucian Uang, BPR dan BPRS wajib melaporkan pemindahan dana
tersebut sebagai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK.
Bagian Keempat
PENUTUPAN HUBUNGAN USAHA ATAU PENOLAKAN TRANSAKSI
Pasal 28
(1) BPR dan BPRS wajib menolak melakukan hubungan usaha dengan calon
Nasabah dan/atau melaksanakan transaksi dengan WIC, dalam hal calon
Nasabah atau WIC:
a.tidak …
- 28 -
a.
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17; atau
b. diketahui menggunakan identitas dan/atau memberikan informasi
yang tidak benar.
(2) BPR dan BPRS dapat menolak transaksi, membatalkan transaksi, dan/atau
menutup hubungan usaha dengan Nasabah dalam hal :
a. kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi;
b. BPR dan BPRS ragu terhadap kebenaran informasi Nasabah; atau
c. penggunaan rekening tidak sesuai dengan profil Nasabah.
(3) BPR dan BPRS wajib :
a. mendokumentasikan data calon Nasabah, WIC, atau Nasabah yang
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
b. melaporkan calon Nasabah, WIC, atau Nasabah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan kepada PPATK apabila transaksinya tidak
wajar atau mencurigakan.
Bagian Kelima
BENEFICIAL OWNER
Pasal 29
(1) BPR dan BPRS wajib memastikan apakah calon Nasabah atau WIC
mewakili Beneficial Owner untuk membuka hubungan usaha atau
melakukan transaksi.
(2) Dalam hal calon Nasabah atau WIC mewakili Beneficial Owner untuk
membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi, BPR dan BPRS wajib
melakukan …
- 29 -
melakukan prosedur CDD terhadap Beneficial Owner sebagaimana
dilakukan terhadap calon Nasabah atau WIC.
Pasal 30
(1) BPR dan BPRS wajib memperoleh bukti atas identitas dan/atau informasi
lainnya mengenai Beneficial Owner, antara lain berupa:
a. bagi Beneficial Owner perorangan:
1) dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(2);
2) hubungan hukum antara calon Nasabah atau WIC dengan
Beneficial Owner yang ditunjukkan dengan surat penugasan,
surat perjanjian, surat kuasa atau bentuk lainnya; dan
3) pernyataan dari calon Nasabah atau WIC mengenai kebenaran
identitas maupun sumber dana dari Beneficial Owner.
b. bagi Beneficial Owner perusahaan, yayasan atau perkumpulan:
1) dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), ayat
(3) dan ayat (4), pasal 16 ayat (2) dan ayat (3);
2)
informasi dan dokumen identitas pemilik atau pengendali akhir
perusahaan, yayasan, atau perkumpulan; dan
3) pernyataan dari calon Nasabah atau WIC mengenai kebenaran
identitas maupun sumber dana dari Beneficial Owner.
(2) Dalam hal calon Nasabah merupakan Bank lain yang mewakili Beneficial
Owner, maka dokumen mengenai Beneficial Owner berupa pernyataan
tertulis …
- 30 -
tertulis dari Bank dimaksud bahwa identitas Beneficial Owner telah
dilakukan verifikasi oleh Bank lain di dalam negeri tersebut.
(3) Dalam hal BPR dan BPRS meragukan atau tidak dapat meyakini identitas
Beneficial Owner, BPR dan BPRS wajib menolak untuk melakukan
hubungan usaha atau transaksi dengan calon Nasabah atau WIC.
Pasal 31
Kewajiban penyampaian dokumen dan/atau informasi identitas pemilik atau
pengendali akhir Beneficial Owner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(1) huruf b angka 2) tidak berlaku bagi Beneficial Owner berupa:
(1) Lembaga Negara/Pemerintah; atau
(2) perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek.
Bagian Keenam
POLITICALLY EXPOSED PERSON DAN AREA BERISIKO TINGGI
Pasal 32
(1) BPR dan BPRS wajib meneliti adanya calon Nasabah, Nasabah dan
Beneficial Owner yang memenuhi kriteria berisiko tinggi atau PEP.
(2) Dalam hal calon Nasabah diketahui tergolong PEP maka BPR dan BPRS
wajib melakukan EDD pada awal melakukan hubungan usaha dengan BPR
dan BPRS.
(3) Nasabah dan Beneficial Owner yang memenuhi kriteria berisiko tinggi atau
PEP dibuat dalam daftar tersendiri.
(4) Kewajiban …
- 31 -
(4) Kewajiban BPR dan BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diberlakukan pula terhadap Nasabah atau WIC yang menerima kiriman
uang dari dan/atau melakukan transaksi lainnya dengan pihak yang berasal
dari negara berisiko tinggi melalui rekening BPR/BPRS yang ada di Bank
Umum dan/atau Unit Usaha Syariah dalam negeri.
(5) Dalam hal BPR dan BPRS akan melakukan hubungan usaha dengan calon
Nasabah yang tergolong PEP, Direksi BPR/BPRS atau Pejabat Eksekutif
bertanggung jawab atas pelaksanaan hubungan usaha dengan calon
Nasabah tersebut.
(6) Direksi atau Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
berwenang untuk :
a. memberikan persetujuan atau penolakan terhadap calon Nasabah yang
tergolong berisiko tinggi atau PEP; dan
b. membuat keputusan untuk meneruskan atau menghentikan hubungan
usaha dengan Nasabah atau Beneficial Owner yang tergolong PEP.
Pasal 33
BPR dan BPRS wajib melakukan EDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
dengan cara melakukan CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf a serta melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Bagi calon Nasabah:
1) meminta informasi tambahan yang diperlukan untuk memastikan
kebenaran profil calon Nasabah; dan/atau
2) meminta dokumen pendukung tambahan untuk meyakini kebenaran
informasi mengenai identitas dan sumber dana.
b. Bagi …
- 32 -
b. Bagi Nasabah atau Beneficial Owner:
1) melakukan kegiatan seperti yang dilakukan terhadap calon Nasabah
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
2) melakukan analisa secara berkala paling kurang terhadap informasi
mengenai sumber dana, tujuan transaksi, dan hubungan usaha dengan
pihak-pihak yang terkait; dan
3) memantau lebih ketat pola transaksi nasabah untuk kepentingan
pengkinian profil Nasabah atau Beneficial Owner.
Bagian Ketujuh
CDD YANG LEBIH SEDERHANA
Pasal 34
(1) BPR dan BPRS dapat menerapkan prosedur CDD yang lebih sederhana
dari prosedur CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal
15, dan Pasal 16 terhadap calon Nasabah yang tingkat risiko terjadinya
pencucian uang atau pendanaan terorisme tergolong rendah dan memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a. tujuan pembukaan rekening untuk pembayaran gaji karyawan;
b. rekening berupa tabungan wajib terkait dengan pemberian
kredit/pembiayaan dari BPR/BPRS yang sama;
c. calon Nasabah berupa perusahaan publik yang tunduk pada peraturan
tentang kewajiban untuk mengungkapkan kinerjanya; atau
d. nilai transaksi awal pembukaan rekening dibawah Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah).
(2) Dalam …
- 33 -
(2) Dalam hal terhadap nilai transaksi awal rekening sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d ditemukan indikasi transaksi keuangan yang tidak
wajar yang diduga terkait dengan pencucian uang dan/atau pendanaan
terorisme, Bank wajib melakukan CDD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9.
(3) BPR dan BPRS wajib membuat dan menyimpan daftar Nasabah yang
mendapat perlakuan CDD yang lebih sederhana.
(4) Bagi calon Nasabah perorangan yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), BPR dan BPRS wajib meminta informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a angka 1) sampai
angka 5) dengan disertai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada
Pasal 13 ayat (2).
(5) Bagi calon Nasabah perusahaan yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), BPR dan BPRS wajib meminta:
a.
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a dan
huruf c; dan
b. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a
untuk perusahaan yang tergolong usaha mikro dan usaha kecil, dan
Pasal 14 ayat (4) huruf d untuk perusahaan yang tidak tergolong usaha
mikro dan usaha kecil.
(6) Prosedur CDD yang lebih sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku apabila terdapat dugaan terjadi transaksi Pencucian Uang
dan/atau Pendanaan Terorisme dan berlaku ketentuan CDD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9.
Bagian…
- 34 -
Bagian Kedelapan
PELAKSANAAN CDD OLEH PIHAK KETIGA
Pasal 35
(1) BPR dan BPRS dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh
pihak ketiga terhadap calon Nasabahnya yang telah menjadi nasabah pada
pihak ketiga tersebut.
(2) Hasil CDD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan oleh
BPR/BPRS apabila pihak ketiga :
a. memiliki prosedur CDD sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
b. memiliki kerja sama dengan BPR/BPRS dalam bentuk kesepakatan
tertulis;
c.
tunduk pada pengawasan dari otoritas berwenang sesuai dengan
ketentuan yang berlaku; dan
d. bersedia memenuhi permintaan informasi dan salinan dokumen
pendukung apabila sewaktu-waktu dibutuhkan oleh BPR/BPRS dalam
rangka pelaksanaan program APU dan PPT.
(3) BPR dan BPRS wajib memastikan kecukupan identifikasi dan verifikasi
atas hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) BPR dan BPRS yang menggunakan hasil CDD dari pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab untuk
melaksanakan penatausahaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24.
BAB IV …
- 35 -
BAB IV
PENGENDALIAN INTERN
Pasal 36
(1) BPR dan BPRS wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif.
(2) Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang efektif antara lain dibuktikan
dengan:
a.
adanya batasan wewenang dan tanggung jawab yang jelas untuk unit
kerja atau pegawai yang terkait dengan penerapan program APU dan
PPT;
b.
adanya pemisahan fungsi antara pelaksana penerapan program APU
dan PPT dengan pegawai yang ditunjuk untuk mengawasi efektivitas
penerapan program tersebut; dan
c. dilakukannya pemantauan terhadap efektivitas pelaksanaan program
APU dan PPT oleh satuan kerja audit intern/pegawai yang ditunjuk
untuk melakukan fungsi pengawasan sebagaimana disebutkan pada
huruf b.
BAB V
SUMBER DAYA MANUSIA DAN PELATIHAN
Pasal 37
BPR dan BPRS wajib melakukan prosedur penyaringan (screening) dalam
rangka penerimaan pegawai baru, untuk mencegah digunakannya BPR dan
BPRS sebagai media atau tujuan pencucian uang atau pendanaan terorisme yang
melibatkan pihak intern BPR/BPRS.
Pasal 38…
- 36 -
Pasal 38
(1) BPR dan BPRS wajib menyelenggarakan pelatihan mengenai program APU
dan PPT.
(2) Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan
cara antara lain:
a. menyelenggarakan in house training;
b. mengikutsertakan pegawai dalam pelatihan yang diselenggarakan oleh
pihak lain;
c. menyelenggarakan forum tukar-menukar informasi (knowledge
sharing); dan/atau
d. melakukan pembelajaran dengan menggunakan sarana elektronik (e-
learning).
BAB VI
PELAPORAN
Pasal 39
(1) Dalam rangka menerapkan program APU dan PPT, BPR dan BPRS wajib
menyampaikan:
a. Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak
diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini;
b. Setiap perubahan Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak perubahan tersebut kepada Bank Indonesia.
c. Dalam …
- 37 -
c. Dalam hal batas akhir laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a
dan b jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka batas akhir laporan
adalah hari kerja berikutnya.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan perubahan
sebagaimana ayat (1) huruf b disampaikan kepada:
a. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM (DKBU), Bank Indonesia, Jl.
M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi BPR yang berkantor pusat di
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia;
b. Direktorat Perbankan Syariah (DPbS), Bank Indonesia, Jl. M.H.
Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi BPRS yang berkantor pusat di
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia;
c. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi BPR/BPRS yang berkantor
pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
Pasal 40
(1) BPR dan BPRS wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan, laporan transaksi keuangan tunai, dan laporan lain kepada
PPATK sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang.
(2) Kewajiban BPR dan BPRS untuk melaporkan Transaksi Keuangan
Mencurigakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga berlaku untuk
transaksi yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme atau pendanaan
terorisme.
(3) BPR dan BPRS wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada PPATK paling
lambat …
- 38 -
lambat 3 (tiga) hari kerja setelah BPR dan BPRS mengetahui adanya unsur
Transaksi Keuangan Mencurigakan.
(4) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan berpedoman pada ketentuan yang dikeluarkan oleh PPATK.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 41
BPR dan BPRS harus melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencegah
penyalahgunaan teknologi dalam pengembangan modus pencucian uang atau
skema pendanaan terorisme.
Pasal 42
BPR dan BPRS wajib bekerja sama dengan penegak hukum dan otoritas yang
berwenang dalam rangka memberantas pencucian uang dan/atau pendanaan
terorisme.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 43
(1) BPR dan BPRS yang terlambat menyampaikan Pedoman Program APU dan
PPT dan/atau perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh
ribu rupiah) per hari keterlambatan per laporan dan paling banyak sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) BPR …
- 39 -
(2) BPR dan BPRS yang terlambat menyampaikan Laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh
ribu rupiah) per hari keterlambatan per laporan dan paling banyak sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(3) BPR dan BPRS yang belum menyampaikan Pedoman Program APU dan
PPT dan/atau perubahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
waktu lebih 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian dikenakan
sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
(4) BPR dan BPRS yang belum menyampaikan Laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu lebih 1
(satu) bulan sejak ditemukan pada saat pemeriksaaan dikenakan sanksi
berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp3.000.000,00
(tiga juta rupiah).
(5) BPR dan BPRS yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12,
Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 ayat (1),
ayat (4), ayat (6), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23, Pasal 24,
Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28 ayat (1), ayat (3), Pasal 29, Pasal 30, Pasal
32, Pasal 33, Pasal 34 ayat (3), Pasal 35 ayat (3), Pasal 36, Pasal 37, Pasal
38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 42 dan/atau Pasal 44 Peraturan Bank Indonesia
ini dan ketentuan pelaksanaan terkait lainnya dapat dikenakan sanksi
administratif …
- 40 -
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Pasal 58 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, antara lain berupa:
a.
teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan Bank;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. pemberhentian pengurus Bank; dan/atau
e. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, dan/atau pemegang
saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus
dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan
administrasi Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 44
BPR dan BPRS yang telah memiliki kebijakan dan prosedur yang mengacu pada
PBI No.5/23/PBI/2003 tanggal 23 Oktober 2003 wajib menyesuaikan dan
menyempurnakan menjadi Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT paling
lambat 12 (dua belas) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB X …
- 41 -
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini tidak berlaku bagi Badan Kredit
Desa yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan
Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme bagi BPR dan BPRS diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 47
(1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/23/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah (Know Your Customer Principles) bagi Bank Perkreditan Rakyat
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4528) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
(2) Seluruh ketentuan Bank Indonesia yang mengacu kepada ketentuan
mengenai Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer
Principles) selanjutnya mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia ini,
kecuali diatur tersendiri.
Pasal 48 …
- 42 -
Pasal 48
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Oktober 2010
GUBERNUR BANK INDONESIA
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Oktober 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 116
DKBU/DPbS
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/20/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title>
<set_date> 4 Oktober 2010 </set_date>
<effective_date> 1 Desember 2010 </effective_date>
<issued_date> 4 Oktober 2010 </issued_date>
<replaced_reg> '5/23/PBI/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '1/PERPPU/2002', '23/UU/1999', '15/UU/2003', '2/PERPPU/2008', '15/UU/2002', '25/UU/2003', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
- 1 -
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 15 /PBI/2012
TENTANG
PENILAIAN KUALITAS ASET
BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. Bahwa sejalan dengan perkembangan terkini standar
akuntansi keuangan, perbankan dituntut untuk
menyajikan laporan keuangan yang akurat,
komprehensif, dan mencerminkan kinerja bank
secara utuh serta sesuai dengan standar akuntansi
internasional;
b. bahwa dalam melaksanakan kegiatan usahanya,
bank perlu mengelola risiko kredit antara lain
dengan menjaga kualitas aset dan tetap melakukan
penghitungan penyisihan penghapusan aset;
c. bahwa diperlukan harmonisasi ketentuan mengenai
penilaian kualitas aset sehubungan dengan adanya
perubahan kondisi keuangan global dan beberapa
ketentuan terkait;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
perlu…
- 2 -
perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia
tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENILAIAN KUALITAS ASET BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
termasuk kantor cabang bank asing, yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional.
2. Aset adalah aset produktif dan aset non produktif.
3. Aset Produktif adalah penyediaan dana Bank untuk memperoleh
penghasilan, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan
dana antar bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga
yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase
agreement), tagihan derivatif, penyertaan, transaksi rekening
administratif serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat
dipersamakan dengan itu.
4. Aset Non Produktif adalah aset Bank selain Aset Produktif yang
memiliki potensi kerugian, antara lain dalam bentuk agunan yang
diambil alih, properti terbengkalai (abandoned property), rekening
antar kantor, dan suspense account.
5. Kredit…
- 4 -
5. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk:
a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro
nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;
dan
c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
6. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi,
sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain,
atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim
diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang.
7. Penempatan adalah penanaman dana Bank pada bank lain dalam
bentuk giro, interbank callmoney, deposito berjangka, sertifikat
deposito, kredit, dan penanaman dana lainnya yang sejenis.
8. Tagihan Akseptasi adalah tagihan yang timbul sebagai akibat
akseptasi yang dilakukan terhadap wesel berjangka.
9. Tagihan Derivatif adalah tagihan karena potensi keuntungan dari
suatu perjanjian/kontrak transaksi derivatif (selisih positif antara
nilai kontrak dengan nilai wajar transaksi derivatif pada tanggal
laporan), termasuk potensi keuntungan karena mark to market dari
transaksi spot yang masih berjalan.
10. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk
saham pada bank dan perusahaan di bidang keuangan lainnya
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, seperti
perusahaan sewa guna usaha, modal ventura,
perusahaan…
- 5 -
perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan
penyimpanan, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang
konversi wajib (mandatory convertible bonds) dengan opsi saham
(equity options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank
memiliki atau akan memiliki saham pada bank dan/atau
perusahaan yang bergerak di bidang keuangan lainnya.
11. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal oleh Bank
pada perusahaan debitur untuk mengatasi kegagalan Kredit (debt
to equity swap), termasuk penanaman dalam bentuk surat utang
konversi wajib (mandatory convertible bonds) dengan opsi saham
(equity options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank
memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan debitur.
12. Transaksi Rekening Administratif adalah kewajiban komitmen dan
kontinjensi yang antara lain meliputi penerbitan jaminan, letter of
credit, standby letter of credit, fasilitas Kredit yang belum ditarik,
dan/atau kewajiban komitmen dan kontinjensi lain.
13. Sertifikat Bank Indonesia yang untuk selanjutnya disebut SBI
adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan
oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu
pendek.
14. Surat Utang Negara yang untuk selanjutnya disebut SUN adalah
surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata
uang Rupiah maupun valuta asing yang diterbitkan dan dijamin
pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia,
sesuai dengan masa berlakunya.
15. Agunan yang Diambil Alih yang untuk selanjutnya disebut AYDA,
adalah aset yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan
maupun
diluar
pelelangan berdasarkan penyerahan secara
sukarela…
- 6 -
sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk
menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal debitur tidak
memenuhi kewajibannya kepada Bank.
16. Properti Terbengkalai (abandoned property) adalah aset tetap
dalam bentuk properti yang dimiliki Bank tetapi tidak digunakan
untuk kegiatan usaha Bank yang lazim.
17. Rekening Antar Kantor adalah tagihan yang timbul dari transaksi
antar kantor yang belum diselesaikan dalam jangka waktu
tertentu.
18. Suspense Account adalah akun yang tujuan pencatatannya tidak
teridentifikasi atau tidak didukung dengan dokumentasi
pencatatan yang memadai sehingga tidak dapat direklasifikasi
dalam akun yang seharusnya.
19. Penyisihan Penghapusan Aset yang untuk selanjutnya disebut PPA
adalah cadangan yang harus dihitung sebesar persentase tertentu
berdasarkan kualitas aset.
20. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai yang untuk selanjutnya
disebut CKPN, adalah penyisihan yang dibentuk apabila nilai
tercatat aset keuangan setelah penurunan nilai kurang dari nilai
tercatat awal.
21. Pihak Terkait adalah pihak terkait sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai Batas Maksimum Pemberian
Kredit.
22. Kelompok Peminjam adalah kelompok peminjam sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Batas
Maksimum Pemberian Kredit.
23. Kewajiban…
- 7 -
23. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang untuk selanjutnya
disebut KPMM, adalah Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
24. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang bank asing adalah pimpinan kantor cabang
bank asing.
25. Dewan Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang bank asing adalah pejabat yang ditunjuk
kantor pusat bank asing untuk melakukan fungsi pengawasan.
26. Restrukturisasi…
- 8 -
26. Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan
Bank dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang
mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya, yang
dilakukan antara lain melalui:
a. penurunan suku bunga Kredit;
b. perpanjangan jangka waktu Kredit;
c. pengurangan tunggakan bunga Kredit;
d. pengurangan tunggakan pokok Kredit;
e. penambahan fasilitas Kredit; dan/atau
f. konversi Kredit menjadi Penyertaan Modal Sementara.
BAB II
KUALITAS ASET
Pasal 2
(1) Penyediaan dana oleh Bank wajib dilaksanakan berdasarkan
prinsip kehati-hatian.
(2) Dalam rangka pelaksanaan prinsip kehati-hatian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Direksi wajib menilai, memantau, dan
mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar kualitas Aset
senantiasa baik.
Pasal 3
Penilaian kualitas dilakukan terhadap Aset Produktif dan Aset Non
Produktif.
Pasal 4…
- 9 -
Pasal 4
(1) Bank wajib melakukan penilaian dan penetapan kualitas Aset
sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Dalam hal terjadi perbedaan penilaian kualitas Aset antara Bank
dan Bank Indonesia, kualitas Aset yang diberlakukan adalah
kualitas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Bank wajib menyesuaikan kualitas Aset sesuai dengan penilaian
kualitas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dalam laporan-laporan yang disampaikan
kepada Bank Indonesia dan/atau laporan publikasi sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku, paling
lambat pada periode laporan berikutnya setelah pemberitahuan
dari Bank Indonesia.
BAB III
ASET PRODUKTIF
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1) Bank wajib menetapkan kualitas yang sama terhadap Aset
Produktif yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) debitur.
(2) Penetapan kualitas yang sama terhadap Aset Produktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap Aset
Produktif yang digunakan untuk membiayai proyek yang sama.
(3) Dalam hal terdapat perbedaan penetapan kualitas terhadap Aset
Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2),
kualitas masing-masing Aset Produktif mengikuti kualitas Aset
Produktif yang paling rendah.
(4) Ketentuan…
- 10 -
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
dikecualikan dalam hal Aset Produktif ditetapkan berdasarkan
faktor penilaian yang berbeda.
Pasal 6
(1) Penetapan kualitas yang sama terhadap Aset Produktif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2)
berlaku pula terhadap Aset Produktif yang diberikan oleh lebih
dari 1 (satu) Bank yang digunakan untuk membiayai 1 (satu)
debitur atau 1 (satu) proyek yang sama.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk:
a. Aset Produktif yang diberikan oleh setiap Bank dengan jumlah
lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) kepada
1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek yang sama;
b. Aset Produktif yang diberikan oleh setiap Bank dengan jumlah
lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai
dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) kepada 1
(satu) debitur yang merupakan 50 (lima puluh) debitur terbesar
Bank tersebut; dan/atau
c. Aset Produktif yang diberikan berdasarkan perjanjian
pembiayaan bersama kepada 1 (satu) debitur atau 1 (satu)
proyek yang sama.
(3) Dalam hal terdapat perbedaan penetapan kualitas terhadap Aset
Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
kualitas yang ditetapkan oleh setiap Bank terhadap Aset Produktif
tersebut mengikuti kualitas aset yang paling rendah.
(4) Tidak…
- 11 -
(4) Tidak termasuk dalam pengertian kualitas Aset Produktif yang
paling rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila
penilaian kualitas tersebut merupakan:
a. kualitas Aset Produktif yang telah dihapus tagih; dan/atau
b. kualitas Aset Produktif yang ditetapkan dengan menggunakan
faktor penilaian tambahan berupa risiko negara (country risk)
Republik Indonesia.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
dikecualikan dalam hal Aset Produktif ditetapkan berdasarkan
faktor penilaian yang berbeda.
Pasal 7
(1) Bank dapat tidak menetapkan kualitas yang sama untuk Aset
Produktif yang diberikan kepada 1 (satu) debitur yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 6 ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) sepanjang debitur memenuhi persyaratan
paling kurang sebagai berikut:
a. debitur memiliki beberapa proyek yang berbeda; dan
b. terdapat pemisahan yang tegas antara arus kas (cash flow) dari
masing-masing proyek.
(2) Bank yang tidak menetapkan kualitas yang sama untuk Aset
Produktif yang diberikan kepada 1 (satu) debitur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. menginformasikan kepada Bank Indonesia daftar yang memuat
nama debitur beserta rincian masing-masing debitur yang
meliputi proyek yang dibiayai, plafon dan baki debet Aset
Produktif, kualitas yang ditetapkan oleh Bank, kualitas yang
ditetapkan…
- 12 -
ditetapkan oleh Bank lain, dan alasan penetapan kualitas yang
berbeda; dan
b. mendokumentasikan hal-hal yang terkait dengan penetapan
kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia, diketahui
bahwa penilaian yang dilakukan Bank tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penilaian
yang digunakan adalah penilaian sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 8
(1) Bank wajib menyesuaikan penilaian kualitas Aset Produktif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 paling kurang setiap 3 (tiga)
bulan yaitu untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan
Desember.
(2) Bank wajib menyampaikan informasi dan penjelasan secara
tertulis kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat perbedaan
penetapan kualitas Aset Produktif yang disebabkan oleh faktor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) huruf b.
(3)
Informasi dan penjelasan secara tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2) disampaikan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setelah
posisi kewajiban penyesuaian penilaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(4)
Informasi dan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat:
a. Departemen Pengawasan Bank terkait, Jl. MH. Thamrin No. 2,
Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah
kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor…
- 13 -
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri setempat, bagi
Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat
Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Bank wajib memiliki ketentuan intern yang mengatur kriteria dan
persyaratan debitur yang wajib menyampaikan laporan keuangan
yang telah diaudit Akuntan Publik kepada Bank, termasuk aturan
mengenai batas waktu penyampaian laporan tersebut.
(2) Kewajiban debitur untuk menyampaikan laporan keuangan yang
telah diaudit Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dicantumkan dalam perjanjian antara Bank dan debitur.
(3) Ketentuan intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Kualitas Aset Produktif dari debitur yang tidak menyampaikan
laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diturunkan satu tingkat dan dinilai paling tinggi Kurang Lancar.
Bagian Kedua
Kredit
Pasal 10
Kualitas Kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian sebagai
berikut:
a. prospek usaha;
b. kinerja (performance) debitur; dan
c. kemampuan membayar.
pasal 11…
- 14 -
Pasal 11
(1) Penilaian terhadap prospek usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-
komponen sebagai berikut:
a. potensi pertumbuhan usaha;
b. kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan;
c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;
d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan
e. upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara
lingkungan hidup.
(2) Penilaian terhadap kinerja debitur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 huruf b meliputi penilaian terhadap komponen-komponen
sebagai berikut:
a. perolehan laba;
b. struktur permodalan;
c. arus kas; dan
d. sensitivitas terhadap risiko pasar.
(3) Penilaian terhadap kemampuan membayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-
komponen sebagai berikut:
a. ketepatan pembayaran pokok dan bunga;
b. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan debitur;
c. kelengkapan dokumentasi Kredit;
d. kepatuhan terhadap perjanjian Kredit;
e. kesesuaian penggunaan dana; dan
f. kewajaran sumber pembayaran kewajiban.
Pasal 12…
- 15 -
Pasal 12
(1) Penetapan kualitas Kredit dilakukan dengan melakukan analisis
terhadap faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
dengan mempertimbangkan komponen-komponen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11.
(2) Penetapan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. signifikansi dan materialitas dari setiap faktor penilaian dan
komponen; serta
b. relevansi dari faktor penilaian dan komponen terhadap debitur
yang bersangkutan.
(3) Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), kualitas Kredit ditetapkan menjadi:
a. Lancar;
b. Dalam Perhatian Khusus;
c. Kurang Lancar;
d. Diragukan; atau
e. Macet.
Bagian Ketiga
Surat Berharga
Pasal 13
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
Aset Produktif dalam bentuk Surat Berharga.
(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui
oleh Dewan Komisaris.
(3) Prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui
paling rendah oleh Direksi.
(4) Dewan…
- 16 -
(4) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif
terhadap pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan
manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 14
(1) Kualitas Surat Berharga yang diakui berdasarkan nilai pasar
ditetapkan memiliki kualitas Lancar sepanjang memenuhi
persyaratan:
a. aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
b. terdapat informasi nilai pasar secara transparan;
c. kupon atau kewajiban lain yang sejenis dibayar dalam jumlah
dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan
d. belum jatuh tempo.
(2) Kualitas Surat Berharga yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau huruf b
atau yang diakui berdasarkan harga perolehan ditetapkan sebagai
berikut:
a. Lancar, apabila:
1) memiliki peringkat investasi atau lebih tinggi;
2) kupon atau kewajiban lain yang sejenis dibayar dalam
jumlah dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan
3) belum jatuh tempo.
b. Kurang…
- 17 -
b. Kurang Lancar, apabila:
1) memiliki peringkat investasi atau lebih tinggi;
2) terdapat penundaan pembayaran kupon atau kewajiban lain
yang sejenis; dan
3) belum jatuh tempo,
atau
1) memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat dibawah
peringkat investasi;
2) tidak terdapat penundaan pembayaran kupon atau
kewajiban lain yang sejenis; dan
3) belum jatuh tempo.
c. Macet, apabila Surat Berharga tidak memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b.
Pasal 15
(1) Peringkat Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2) didasarkan pada peringkat yang diterbitkan oleh lembaga
pemeringkat dalam satu tahun terakhir, sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku.
(2) Dalam hal peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat
dalam satu tahun terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak tersedia maka Surat Berharga dianggap tidak memiliki
peringkat.
Pasal 16
Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN), dan/atau
penanaman dana lain pada Bank Indonesia dan Pemerintah ditetapkan
memiliki kualitas Lancar.
Pasal 17…
- 18 -
Pasal 17
Bank dilarang memiliki Aset Produktif dalam bentuk saham dan/atau
Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu
yang mendasari (underlying reference asset) yang berbentuk saham.
Pasal 18
Bank dapat memiliki Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin
dengan aset tertentu yang mendasari apabila:
a. aset yang mendasari dapat diyakini keberadaannya;
b. Bank memiliki hak atas aset yang mendasari atau hak atas nilai dari
aset yang mendasari;
c. Bank memiliki informasi yang jelas, tepat, dan akurat mengenai
rincian aset yang mendasari, yang mencakup penerbit dan nilai dari
masing-masing aset dasar, termasuk setiap perubahannya; dan
d. Bank menatausahakan rincian komposisi dan penerbit aset yang
mendasari serta menyesuaikan penatausahaan dalam hal terjadi
perubahan komposisi aset.
Pasal 19
(1) Kualitas Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan
aset tertentu yang mendasari sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk Surat Berharga yang pembayaran kewajibannya terkait
langsung dengan aset yang mendasari (pass through) dan tidak
dapat dibeli kembali (non redemption) oleh penerbit, penetapan
kualitas didasarkan pada:
1) kualitas Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14; atau
2) kualitas…
- 19 -
2) kualitas aset yang mendasari Surat Berharga apabila Surat
Berharga tidak memiliki peringkat.
b. untuk Surat Berharga yang tidak memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud pada huruf a, penetapan kualitas
didasarkan pada kualitas Surat Berharga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14.
(2) Kualitas aset yang mendasari Surat Berharga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a.2) ditetapkan berdasarkan kualitas
setiap jenis aset yang mendasari sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Untuk Surat Berharga dalam bentuk sertifikat reksadana,
penetapan kualitas didasarkan pada:
a. kualitas sertifikat reksadana sesuai dengan penilaian kualitas
Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; atau
b. kualitas aset yang mendasari sertifikat reksadana dan kualitas
penerbit sertifikat reksadana, apabila sertifikat reksadana tidak
memiliki peringkat.
Pasal 20
(1) Kualitas Surat Berharga yang diterbitkan atau diendos oleh bank
diatur sebagai berikut:
a. untuk Surat Berharga yang memiliki peringkat dan/atau aktif
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, ditetapkan
berdasarkan kualitas yang terendah antara:
1) hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Surat
Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; atau
2) hasil…
- 20 -
2) hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Penempatan
pada bank penerbit atau bank pemberi endosemen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1).
b. untuk Surat Berharga yang berdasarkan karakteristiknya tidak
diperdagangkan di bursa efek dan/atau tidak memiliki
peringkat, kualitasnya ditetapkan sebagai berikut:
1) yang diterbitkan atau diendos oleh Bank di Indonesia,
berdasarkan ketentuan kualitas Penempatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1);
2) yang diterbitkan atau diendos oleh bank di luar Indonesia:
a) yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun,
berdasarkan ketentuan kualitas Penempatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1);
b) yang berjangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun,
berdasarkan ketentuan kualitas Surat Berharga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).
(2) Kualitas Surat Berharga yang diterbitkan oleh pihak bukan bank
di Indonesia yang berdasarkan karakteristiknya tidak
diperdagangkan di bursa efek dan tidak memiliki peringkat
ditetapkan berdasarkan ketentuan kualitas Kredit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10.
(3) Kualitas Surat Berharga yang diterbitkan oleh pihak bukan bank
di luar Indonesia yang berdasarkan karakteristiknya tidak
diperdagangkan di bursa efek ditetapkan berdasarkan ketentuan
kualitas Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2).
(4) Dalam…
- 21 -
(4) Dalam hal Surat Berharga yang diterbitkan oleh bank lain
berbentuk Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan
aset tertentu yang mendasari maka Bank tetap harus memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Pasal 21
Kualitas wesel yang diambil alih tidak diaksep oleh bank lain
ditetapkan berdasarkan ketentuan kualitas Kredit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10.
Bagian Keempat
Penempatan
Pasal 22
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
Aset Produktif dalam bentuk Penempatan.
(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui
oleh Dewan Komisaris.
(3) Prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui
paling rendah oleh Direksi.
(4) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif
terhadap pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan
manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko.
Pasal 23…
- 22 -
Pasal 23
(1) Kualitas Penempatan ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM
paling kurang sama dengan rasio KPMM sesuai ketentuan
yang berlaku; dan
2) tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau
bunga.
b. Kurang Lancar, apabila:
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM
paling kurang sama dengan rasio KPMM sesuai ketentuan
yang berlaku; dan
2) terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga
sampai dengan 5 (lima) hari kerja.
c. Macet, apabila:
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM
kurang dari rasio KPMM sesuai ketentuan yang berlaku;
2) bank yang menerima Penempatan telah ditetapkan dan
diumumkan sebagai bank dengan status dalam
pengawasan khusus (special surveillance) yang dibekukan
kegiatan usaha tertentu;
3) bank yang menerima Penempatan ditetapkan sebagai bank
yang dicabut izin usahanya; dan/atau
4) terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga
lebih dari 5 (lima) hari kerja.
(2) Kualitas Penempatan kepada Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
dalam rangka penyaluran Kredit melalui Linkage Program dengan
pola executing ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar…
- 23 -
a. Lancar, apabila:
1) BPR yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM
paling kurang sama dengan rasio KPMM sesuai ketentuan
yang berlaku; dan
2) tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau
bunga.
b. Kurang Lancar, apabila:
1) BPR yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM
paling kurang sama dengan rasio KPMM sesuai ketentuan
yang berlaku; dan
2) terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga
sampai dengan 30 (tiga puluh) hari.
c. Macet, apabila:
1) BPR yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM
kurang dari rasio KPMM sesuai ketentuan yang berlaku;
2) BPR yang menerima penempatan telah ditetapkan dan
diumumkan sebagai bank dengan status dalam
pengawasan khusus (special surveillance) atau BPR telah
dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha.
3) BPR yang menerima Penempatan ditetapkan sebagai bank
yang dicabut izin usahanya; dan/atau
4) terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga
lebih dari 30 (tiga puluh) hari.
Bagian…
- 24 -
Bagian Kelima
Tagihan Akseptasi, tagihan atas surat Berharga yang dibeli dengan
janji dijual kembali dan Tagihan Derivatif
Pasal 24
Kualitas Tagihan Akseptasi ditetapkan berdasarkan:
a. ketentuan kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1) apabila pihak yang wajib melunasi tagihan
adalah bank lain; atau
b. ketentuan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah debitur.
Pasal 25
(1) Kualitas Tagihan atas Surat Berharga yang dibeli dengan janji
dijual kembali (reverse repurchase agreement) ditetapkan
berdasarkan:
a. ketentuan kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1) apabila pihak yang menjual Surat Berharga
adalah bank lain; atau
b. ketentuan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 apabila pihak yang menjual Surat Berharga adalah bukan
bank.
(2) Tagihan atas Surat Berharga yang dibeli dengan janji dijual
kembali dengan aset yang mendasari berupa SBI, SUN, dan/atau
Penempatan lain pada Bank Indonesia dan Pemerintah ditetapkan
memiliki kualitas Lancar.
Pasal 26…
- 25 -
Pasal 26
Kualitas Tagihan Derivatif ditetapkan berdasarkan:
a. ketentuan penetapan kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1) apabila pihak lawan transaksi
(counterparty) adalah bank lain; atau
b. ketentuan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
apabila pihak lawan transaksi (counterparty) adalah bukan bank.
Bagian Keenam
Penyertaan Modal
Pasal 27
(1) Penilaian Penyertaan Modal dilakukan berdasarkan:
a. metode biaya (cost method);
b. metode ekuitas (equity method) ; atau
c. nilai wajar.
dengan mengacu kepada standar akuntansi keuangan yang
berlaku.
(2) Kualitas Penyertaan Modal yang dinilai berdasarkan metode biaya
(cost method) ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila investee memperoleh laba dan tidak mengalami
kerugian kumulatif berdasarkan laporan keuangan tahun buku
terakhir yang telah diaudit;
b. Kurang Lancar, apabila investee mengalami kerugian kumulatif
sampai dengan 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal
investee berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir
yang telah diaudit;
c. Diragukan, apabila investee mengalami kerugian kumulatif lebih
dari 25% (dua puluh lima perseratus) sampai dengan 50% (lima
puluh…
- 26 -
puluh perseratus) dari modal investee berdasarkan laporan
keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit;
d. Macet, apabila investee mengalami kerugian kumulatif lebih
dari 50% (lima puluh perseratus) dari modal
berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah
diaudit.
(3) Kualitas Penyertaan Modal yang dinilai berdasarkan metode
ekuitas (equity method) atau yang dinilai berdasarkan nilai wajar
ditetapkan Lancar.
Bagian Ketujuh
Penyertaan Modal Sementara
Pasal 28
(1) Kualitas Penyertaan Modal Sementara ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila jangka waktu Penyertaan Modal Sementara
belum melampaui 1 (satu) tahun;
b. Kurang Lancar, apabila jangka waktu Penyertaan Modal
Sementara telah melampaui 1 (satu) tahun namun belum
melampaui 4 (empat) tahun;
c. Diragukan, apabila jangka waktu Penyertaan Modal Sementara
telah melampaui 4 (empat) tahun namun belum melampaui 5
(lima) tahun;
d. Macet, apabila:
1)
2)
jangka waktu Penyertaan Modal Sementara telah
melampaui 5 (lima) tahun; atau
investee telah memiliki laba kumulatif namun Penyertaan
Modal Sementara belum ditarik kembali.
(2) Bank…
investee
- 27 -
(2) Bank Indonesia dapat menurunkan kualitas Penyertaan Modal
Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila :
a. penjualan Penyertaan Modal Sementara diperkirakan akan
dilakukan dengan harga yang lebih rendah dari nilai buku;
dan/atau
b. penjualan Penyertaan Modal Sementara dalam jangka waktu 5
(lima) tahun diperkirakan sulit untuk dilakukan.
Bagian Kedelapan
Transaksi Rekening Administratif
Pasal 29
(1) Kualitas Transaksi Rekening Administratif ditetapkan berdasarkan:
a. ketentuan penetapan kualitas Penempatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) apabila pihak lawan
(counterparty) Transaksi Rekening Administratif adalah bank;
atau
b. ketentuan penetapan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 apabila pihak lawan (counterparty) Transaksi
Rekening Administratif adalah debitur.
(2) Penilaian terhadap Transaksi Rekening Administratif dilakukan
terhadap seluruh fasilitas yang disediakan, baik yang berasal dari
perjanjian yang bersifat committed maupun uncommitted.
Bagian Kesembilan
Aset Produktif yang Dijamin dengan Agunan Tunai
Pasal 30
(1) Bagian dari Aset Produktif yang dijamin dengan agunan tunai
ditetapkan memiliki kualitas Lancar.
(2) Agunan…
- 28 -
(2) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah agunan
berupa:
a. giro, deposito, tabungan, setoran jaminan, dan/atau emas;
b. SBI, SUN, dan/atau penempatan dana lain pada Bank
Indonesia dan Pemerintah;
c. jaminan Pemerintah Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan/atau
d. standby letter of credit dari prime bank, yang diterbitkan sesuai
dengan Uniform Customs and Practice for Documentary Credits
(UCP) atau International Standby Practices (ISP) yang berlaku.
(3) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
huruf b wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. agunan diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa pencairan
dari pemilik agunan untuk keuntungan Bank penerima agunan,
termasuk pencairan sebagian untuk membayar tunggakan
angsuran pokok atau bunga;
b. jangka waktu pemblokiran sebagaimana dimaksud pada huruf
a paling kurang sama dengan jangka waktu Aset Produktif;
c. memiliki pengikatan hukum yang kuat sebagai agunan, bebas
dari segala bentuk perikatan lain, bebas dari sengketa, tidak
sedang dijaminkan kepada pihak lain, termasuk tujuan
penjaminan yang jelas; dan
d. untuk agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a wajib disimpan pada Bank penyedia dana.
(4) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan
huruf d wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan
(irrevocable);
b. harus…
- 29 -
b. harus dapat dicairkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
sejak diajukannya klaim, termasuk pencairan sebagian untuk
membayar tunggakan angsuran pokok atau bunga;
c. mempunyai jangka waktu paling kurang sama dengan jangka
waktu Aset Produktif; dan
d. tidak dijamin kembali (counter guarantee) oleh Bank penyedia
dana atau bank yang bukan prime bank.
(5) Prime bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki peringkat investasi atas penilaian terhadap prospek
usaha jangka panjang (long term outlook) bank yang diberikan
oleh lembaga pemeringkat paling kurang:
1) AA- berdasarkan penilaian Standard & Poors;
2) Aa3 berdasarkan penilaian Moody’s;
3) AA- berdasarkan penilaian Fitch; atau
4) Peringkat setara dengan angka 1), angka 2), dan/atau angka
3) berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat terkemuka
lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan
b. memiliki total aset yang termasuk dalam 200 besar dunia
berdasarkan informasi yang tercantum dalam banker’s
almanac.
Pasal 31
(1) Bank wajib melakukan atau mengajukan klaim pencairan agunan
tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 selambat-lambatnya
7 (tujuh) hari kerja setelah debitur wanprestasi (event of default).
(2) Debitur…
- 30 -
(2) Debitur dinyatakan wanprestasi apabila:
a. terjadi tunggakan pokok dan/atau bunga dan/atau tagihan
lainnya selama 90 (sembilan puluh) hari walaupun Aset
Produktif belum jatuh tempo;
b. tidak diterimanya pembayaran pokok dan/atau bunga
dan/atau tagihan lainnya pada saat Aset Produktif jatuh tempo;
atau
c. tidak dipenuhinya persyaratan lainnya selain pembayaran
pokok dan/atau bunga yang dapat mengakibatkan terjadinya
wanprestasi.
Bagian Kesepuluh
Kredit dan Penyediaan Dana dalam Jumlah Kecil serta Kredit dan
Penyediaan Dana di Daerah Tertentu
Pasal 32
(1) Penetapan kualitas dapat hanya didasarkan atas ketepatan
pembayaran pokok dan/atau bunga, untuk:
a. Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap
Bank kepada 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek dengan
jumlah kurang dari atau sama dengan Rp1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah);
b. Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap
Bank kepada debitur Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
dengan jumlah:
1) Lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai
dengan Rp20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah) bagi
Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) memiliki…
- 31 -
a) memiliki predikat penilaian kecukupan Kualitas
Penerapan Manajemen Risiko (KPMR) untuk risiko kredit
“sangat memadai” (strong);
b) memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan
ketentuan yang berlaku; dan
c) memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank
paling kurang 3 (PK-3).
2) Lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai
dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) bagi
Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) memiliki predikat penilaian kecukupan KPMR untuk
risiko kredit “memadai” (satisfactory);
b) memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan
ketentuan yang berlaku; dan
c) memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank
paling kurang 3 (PK-3);
c. Kredit dan penyediaan dana lain kepada debitur dengan lokasi
kegiatan usaha berada di daerah tertentu dengan jumlah
kurang dari atau sama dengan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah).
(2) Predikat penilaian KPMR untuk risiko kredit, rasio KPMM, dan
peringkat komposit tingkat kesehatan Bank yang digunakan dalam
penilaian kualitas Kredit dan penyediaan dana lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b didasarkan pada
penilaian Bank Indonesia yang dapat diketahui Bank pada saat
prudential meeting.
(3)
…
Penggunaan
- 32 -
(3) Penggunaan predikat penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) adalah sebagai berikut:
a. predikat penilaian posisi bulan Desember tahun sebelumnya
digunakan untuk penilaian kualitas Kredit dan penyediaan
dana lainnya periode bulan Februari sampai dengan Juli; dan
b. predikat penilaian posisi bulan Juni digunakan untuk penilaian
kualitas Kredit dan penyediaan dana lainnya periode bulan
Agustus sampai dengan Januari.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak
diberlakukan untuk Kredit dan penyediaan dana lainnya yang
diberikan kepada 1 (satu) debitur Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah dengan jumlah lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah) yang merupakan:
a. Kredit yang direstrukturisasi; dan/atau
b. Penyediaan dana kepada 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank.
(5) Penetapan kualitas kredit yang direstrukturisasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf a tetap dilakukan berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 58.
(6) Dalam hal terdapat penyimpangan yang signifikan dalam prinsip
perkreditan yang sehat, Bank Indonesia menetapkan penilaian
kualitas Aset Produktif yang diberikan oleh Bank kepada debitur
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b berdasarkan faktor penilaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10.
BAB IV…
- 33 -
BAB IV
ASET NON PRODUKTIF
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 33
Aset Non Produktif yang wajib dinilai kualitasnya meliputi AYDA,
Properti Terbengkalai, Rekening Antar Kantor, dan Suspense Account.
Bagian Kedua
AYDA
Pasal 34
(1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA yang
dimiliki.
(2) Bank wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian AYDA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 35
(1) Bank wajib melakukan penilaian kembali terhadap AYDA untuk
menetapkan net realizable value dari AYDA.
(2) Maksimum net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah sebesar nilai Aset Produktif yang diselesaikan dengan
AYDA.
(3) Penilaian kembali terhadap AYDA sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan pada saat pengambilalihan agunan.
(4) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilakukan oleh penilai independen, untuk AYDA dengan
nilai Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau lebih.
(5) Penetapan…
- 34 -
(5) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan oleh penilai intern Bank, untuk nilai AYDA
kurang dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(6) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah apabila terdapat
beberapa nilai dari penilai independen sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) atau penilai intern sebagaimana dimaksud pada ayat
(5).
(7) Penilai independen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah
kantor jasa penilai publik yang:
a. tidak merupakan Pihak Terkait dengan Bank;
b. tidak merupakan Kelompok Peminjam dengan debitur Bank;
c. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi
dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh institusi yang
berwenang;
d. menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi
penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang;
e. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk
beroperasi sebagai kantor jasa penilai publik; dan
f. tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang
berwenang.
(8) Tunggakan bunga atas Kredit yang diselesaikan dengan AYDA
tidak dapat diakui sebagai pendapatan sampai dengan adanya
realisasi.
Pasal 36
(1) AYDA yang telah dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34, ditetapkan memiliki kualitas sebagai
berikut:
a.
Lancar …
- 35 -
a. Lancar, apabila AYDA dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun;
b. Kurang Lancar, apabila AYDA dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun
sampai dengan 3 (tiga) tahun;
c. Diragukan, apabila AYDA dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun
sampai dengan 5 (lima) tahun;
d. Macet, apabila AYDA dimiliki lebih dari 5 (lima) tahun.
(2) AYDA yang tidak dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34, ditetapkan memiliki kualitas satu
tingkat dibawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Ketiga
Properti Terbengkalai
Pasal 37
(1) Bank wajib melakukan identifikasi dan penetapan terhadap
Properti Terbengkalai yang dimiliki.
(2) Penetapan Properti Terbengkalai sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib disetujui oleh Direksi dan didokumentasikan.
(3) Bagian properti yang tidak digunakan Bank dari suatu properti
yang digunakan untuk kegiatan usaha Bank secara mayoritas,
tidak digolongkan sebagai Properti Terbengkalai.
(4) Dalam hal Bank tidak menggunakan bagian dari suatu properti
secara mayoritas, maka bagian properti yang tidak digunakan
untuk kegiatan usaha Bank digolongkan sebagai Properti
Terbengkalai secara proporsional.
Pasal 38
(1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap Properti
Terbengkalai yang dimiliki.
(2) Bank…
- 36 -
(2) Bank wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian Properti
Terbengkalai sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 39
(1) Properti Terbengkalai yang telah dilakukan upaya penyelesaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, ditetapkan memiliki
kualitas sebagai berikut:
a. Lancar, apabila Properti Terbengkalai dimiliki sampai dengan 1
(satu) tahun;
b. Kurang Lancar, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari
1 (satu) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun;
c. Diragukan, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 3
(tiga) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun;
d. Macet, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 5 (lima)
tahun.
(2) Properti Terbengkalai yang tidak dilakukan upaya penyelesaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, ditetapkan memiliki
kualitas satu tingkat dibawah ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Bagian Keempat
Rekening Antar Kantor dan Suspense Account
Pasal 40
(1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian Rekening Antar Kantor
dan Suspense Account.
(2) Kualitas Rekening Antar Kantor dan Suspense Account ditetapkan
sebagai berikut:
a. Lancar…
- 37 -
a. Lancar, apabila Rekening Antar Kantor dan Suspense Account
tercatat dalam pembukuan Bank sampai dengan 180 (seratus
delapan puluh) hari;
b. Macet, apabila Rekening Antar Kantor dan Suspense Account
tercatat dalam pembukuan Bank lebih dari 180 (seratus
delapan puluh) hari.
BAB V
PENYISIHAN PENGHAPUSAN ASET DAN
CADANGAN KERUGIAN PENURUNAN NILAI
Bagian Kesatu
Penyisihan Penghapusan Aset (PPA)
Paragraf 1
Umum
Pasal 41
(1) Bank wajib menghitung PPA terhadap Aset Produktif dan Aset Non
Produktif.
(2) PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. cadangan umum untuk Aset Produktif; dan
b. cadangan khusus untuk Aset Produktif dan Aset Non Produktif.
(3) Perhitungan PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
kurang dilakukan sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 42
(1) Cadangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2)
huruf a ditetapkan paling kurang sebesar 1% (satu perseratus) dari
Aset Produktif yang memiliki kualitas Lancar.
(2) Cadangan …
- 38 -
(2) Cadangan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan untuk Aset Produktif dalam bentuk:
a. fasilitas kredit yang belum ditarik yang merupakan bagian dari
Transaksi Rekening Administratif;
b. SBI, SUN, dan/atau penempatan dana lain pada Bank
Indonesia dan Pemerintah, dan/atau
c. bagian Aset Produktif yang dijamin dengan agunan tunai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
(3) Cadangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2)
huruf b ditetapkan paling kurang sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari Aset dengan kualitas Dalam Perhatian
Khusus setelah dikurangi nilai agunan;
b. 15% (lima belas perseratus) dari Aset dengan kualitas Kurang
Lancar setelah dikurangi nilai agunan;
c. 50% (lima puluh perseratus) dari Aset dengan kualitas
Diragukan setelah dikurangi nilai agunan;
d. 100% (seratus perseratus) dari Aset dengan kualitas Macet
setelah dikurangi nilai agunan.
(4) Penggunaan nilai agunan sebagai pengurang dalam perhitungan
PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dilakukan untuk
Aset Produktif.
Paragraf 2
Agunan sebagai Pengurang PPA
Pasal 43
Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam
perhitungan PPA ditetapkan sebagai berikut:
a. Surat…
- 39 -
a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek
di Indonesia atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara
gadai;
b. tanah, gedung, dan rumah tinggal yang diikat dengan hak
tanggungan;
c. mesin yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang diikat
dengan hak tanggungan;
d. pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua
puluh) meter kubik yang diikat dengan hipotek;
e. kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia;
dan/atau
f. resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas resi gudang.
Pasal 44
(1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 wajib:
a. dilengkapi dengan dokumen hukum yang sah;
b. diikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sehingga memberikan hak preferensi bagi Bank; dan
c. dilindungi asuransi dengan banker’s clause yang memiliki
jangka waktu paling kurang sama dengan jangka waktu
pengikatan agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
(2) Perusahaan asuransi yang memberikan perlindungan asuransi
terhadap agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
wajib memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memenuhi ketentuan permodalan sesuai yang ditetapkan
institusi yang berwenang; dan
b. bukan merupakan Pihak Terkait dengan Bank atau Kelompok
Peminjam dengan debitur Bank,
kecuali
direasuransikan
kepada…
- 40 -
kepada perusahaan asuransi yang bukan merupakan Pihak
Terkait dengan Bank atau Kelompok Peminjam dengan debitur
Bank.
Pasal 45
(1) Agunan yang akan digunakan sebagai faktor pengurang PPA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, paling kurang harus
dinilai oleh:
a. penilai independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (7) untuk Aset Produktif yang berasal dari debitur atau
Kelompok Peminjam dengan jumlah lebih dari
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah); atau
b. penilai intern Bank untuk Aset Produktif yang berasal dari
debitur atau Kelompok Peminjam dengan jumlah sampai
dengan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Penilaian terhadap agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilakukan sejak awal pemberian Aset Produktif.
Pasal 46
(1) Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam
perhitungan PPA ditetapkan sebagai berikut:
a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa
efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi, paling tinggi
sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari nilai yang tercatat di
bursa efek pada akhir bulan;
b. Tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk tempat
tinggal, paling tinggi sebesar:
1) 70%…
- 41 -
1) 70% (tujuh puluh perseratus) dari penilaian apabila:
a) penilaian oleh penilai independen dilakukan dalam 18
(delapan belas) bulan terakhir; atau
b) penilaian oleh penilai intern dilakukan dalam 12 (dua
belas) bulan terakhir.
2) 50% (lima puluh perseratus) dari penilaian apabila:
a) penilaian yang dilakukan oleh penilai independen telah
melampaui 18 (delapan belas) bulan namun belum
melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir; atau
b) penilaian yang dilakukan oleh penilai intern telah
melampaui 12 (dua belas) bulan namun belum
melampaui 18 (delapan belas) bulan terakhir.
3) 30% (tiga puluh perseratus) dari penilaian apabila:
a) penilaian yang dilakukan oleh penilai independen telah
melampaui 24 (dua puluh empat) bulan namun belum
melampaui 30 (tiga puluh) bulan terakhir; atau
b) penilaian yang dilakukan oleh penilai intern telah
melampaui 18 (delapan belas) bulan namun belum
melampaui
24 (dua puluh empat) bulan terakhir.
4) 0% (nol perseratus) dari penilaian apabila:
a) penilaian yang dilakukan oleh penilai independen telah
melampaui 30 (tiga puluh) bulan terakhir; atau
b) penilaian yang dilakukan oleh penilai intern telah
melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir.
c. Tanah dan/atau bangunan bukan untuk tempat tinggal, mesin
yang dianggap sebagai satu kesatuan dengan tanah, pesawat
udara, kapal laut, resi gudang, dan persediaan paling tinggi
sebesar:
1) 70% …
- 42 -
1) 70% (tujuh puluh perseratus) dari penilaian apabila
penilaian dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan terakhir;
2) 50% (lima puluh perseratus) dari penilaian apabila
penilaian yang dilakukan telah melampaui 12 (dua belas)
bulan namun belum melampaui 18 (delapan belas) bulan
terakhir;
3) 30% (tiga puluh perseratus) dari penilaian apabila
penilaian yang dilakukan telah melampaui 18 (delapan
belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh
empat) bulan terakhir; atau
4) 0% (nol perseratus) dari penilaian apabila penilaian yang
dilakukan telah melampaui 24 (dua puluh empat) bulan
terakhir.
(2) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah dalam hal terdapat
beberapa penilaian terhadap suatu agunan untuk posisi yang
sama baik yang dilakukan oleh penilai independen maupun penilai
intern.
(3) Bank Indonesia dapat menetapkan nilai agunan yang dapat
diperhitungkan sebagai pengurang PPA lebih rendah dari
penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas,
berdasarkan pertimbangan pengawasan.
Pasal 47
Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam
perhitungan PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dilarang
melebihi nilai pengikatan agunan.
Pasal 48…
- 43 -
Pasal 48
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan perhitungan kembali atas
nilai agunan yang telah dikurangkan dalam PPA apabila Bank
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
43, Pasal 44, Pasal 46 dan/atau Pasal 47.
(2) Bank wajib menyesuaikan perhitungan PPA sesuai dengan
perhitungan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam laporan perhitungan rasio KPMM
yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan/atau laporan
publikasi yang diatur dalam ketentuan yang berlaku paling
lambat pada periode laporan berikutnya setelah pemberitahuan
dari Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)
Pasal 49
Bank wajib membentuk CKPN sesuai standar akuntansi keuangan
yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pengaruh Perhitungan PPA Terhadap Rasio KPMM
Pasal 50
(1) Dalam menghitung rasio KPMM, Bank wajib memperhitungkan
PPA atas Aset Produktif sebagaimana dimaksud pada Pasal 41 ayat
(2) dan CKPN yang dibentuk.
(2) Dalam hal hasil perhitungan PPA atas Aset Produktif lebih besar
dari CKPN yang dibentuk, Bank wajib memperhitungkan selisih
perhitungan PPA dengan CKPN menjadi pengurang modal dalam
perhitungan rasio KPMM.
(3) Dalam…
- 44 -
(3) Dalam hal hasil perhitungan PPA terhadap Aset Produktif sama
dengan atau lebih kecil dari CKPN yang dibentuk, Bank tidak perlu
memperhitungkan PPA dalam perhitungan rasio KPMM.
Pasal 51
Bank wajib memperhitungkan seluruh hasil perhitungan PPA atas Aset
Non Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf b
sebagai pengurang dalam perhitungan rasio KPMM.
BAB VI
RESTRUKTURISASI KREDIT
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 52
Bank hanya dapat melakukan Restrukturisasi Kredit terhadap debitur
yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga
Kredit; dan
b. debitur masih memiliki prospek usaha yang baik dan dinilai mampu
memenuhi kewajiban setelah Kredit direstrukturisasi.
Pasal 53
Bank dilarang melakukan Restrukturisasi Kredit dengan tujuan hanya
untuk:
a. memperbaiki kualitas Kredit; atau
b. menghindari peningkatan pembentukan PPA,
tanpa memperhatikan kriteria debitur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52.
Bagian…
- 45 -
Bagian Kedua
Perlakuan Akuntansi Restrukturisasi Kredit
Pasal 54
Bank wajib menerapkan perlakuan akuntansi Restrukturisasi Kredit
sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Kebijakan dan Prosedur Restrukturisasi Kredit
Pasal 55
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
Restrukturisasi Kredit.
(2) Kebijakan Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib disetujui oleh Dewan Komisaris.
(3) Prosedur Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib disetujui paling rendah oleh Direksi.
(4) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif
terhadap pelaksanaan kebijakan Restrukturisasi Kredit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan
manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 56
(1) Keputusan Restrukturisasi Kredit harus dilakukan oleh pihak yang
lebih tinggi dari pihak yang memutuskan pemberian Kredit.
(2) Dalam hal keputusan pemberian Kredit dilakukan oleh pihak yang
memiliki kewenangan tertinggi sesuai anggaran dasar Bank maka
keputusan…
- 46 -
keputusan Restrukturisasi Kredit dilakukan oleh pihak yang
setingkat dengan pihak yang memutuskan pemberian Kredit.
(3) Untuk menjaga obyektivitas, Restrukturisasi Kredit wajib
dilakukan oleh pejabat atau pegawai yang tidak terlibat dalam
pemberian Kredit yang direstrukturisasi.
(4) Dalam pelaksanaan Restrukturisasi Kredit, pembentukan satuan
kerja khusus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing Bank
dengan tetap mengikuti ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 57
(1) Kredit yang akan direstrukturisasi wajib dianalisis berdasarkan
prospek usaha debitur dan kemampuan membayar sesuai proyeksi
arus kas.
(2) Kredit kepada Pihak Terkait yang akan direstrukturisasi wajib
dianalisis oleh konsultan keuangan independen yang memiliki izin
usaha dan reputasi yang baik.
(3) Setiap tahapan dalam pelaksanaan Restrukturisasi Kredit dan
hasil analisis yang dilakukan Bank dan konsultan keuangan
independen terhadap Kredit yang direstrukturisasi wajib
didokumentasikan secara lengkap dan jelas.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) berlaku juga untuk Restrukturisasi ulang atas Kredit.
Bagian…
- 47 -
Bagian Keempat
Penetapan Kualitas Kredit yang Direstrukturisasi
Pasal 58
(1) Kualitas Kredit setelah restrukturisasi ditetapkan sebagai berikut:
a. paling tinggi sama dengan kualitas Kredit sebelum dilakukan
Restrukturisasi Kredit, sepanjang debitur belum memenuhi
kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga secara
berturut turut selama 3 (tiga) kali periode sesuai waktu yang
diperjanjikan;
b. dapat meningkat paling tinggi 1 (satu) tingkat dari kualitas
Kredit sebelum dilakukan Restrukturisasi, setelah debitur
memenuhi kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau
bunga secara berturut turut selama 3 (tiga) kali periode
sebagaimana dimaksud huruf a; dan
c. berdasarkan faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10:
1) setelah penetapan kualitas kredit sebagaimana dimaksud
pada huruf b; atau
2) dalam hal debitur tidak memenuhi syarat-syarat dan/atau
kewajiban pembayaran dalam perjanjian Restrukturisasi
Kredit, baik selama maupun setelah 3 (tiga) kali periode
kewajiban pembayaran sesuai waktu yang diperjanjikan.
(2) Penetapan kualitas Kredit yang direstrukturisasi sampai dengan
jumlah Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dilakukan sebagai
berikut:
a. paling …
- 48 -
a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Kredit yang sebelum
dilakukan restrukturisasi kredit tergolong Diragukan dan Macet
dan tetap sama untuk Kredit yang tergolong Kurang Lancar dan
Dalam Perhatian Khusus, sampai dengan 3 (tiga) kali periode
kewajiban pembayaran;
b. selanjutnya ditetapkan berdasarkan faktor penilaian atas
ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga.
(3) Kualitas Kredit yang direstrukturisasi dapat ditetapkan
berdasarkan faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10, dalam hal pelaksanaan Restrukturisasi Kredit tidak didukung
dengan analisis dan dokumentasi yang memadai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57.
(4) Dalam hal periode pemenuhan kewajiban angsuran pokok
dan/atau bunga kurang dari 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan
paling cepat dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak dilakukan
Restrukturisasi Kredit.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat
(4) berlaku juga untuk restrukturisasi ulang atas Kredit.
(6) Kualitas tambahan Kredit sebagai bagian dari paket
Restrukturisasi Kredit ditetapkan sama dengan kualitas Kredit
yang direstrukturisasi.
(7) Kualitas Kredit yang direstrukturisasi sebelum ketentuan ini
berlaku tidak perlu disesuaikan dengan Pasal 58 ayat (1) huruf a
dan b.
(8) Selanjutnya penetapan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) dilakukan berdasarkan faktor penilaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10, paling lambat 3 (tiga) bulan sejak PBI
ini berlaku.
Pasal 59…
- 49 -
Pasal 59
Penetapan kualitas Kredit yang direstrukturisasi dengan pemberian
tenggang waktu pembayaran (grace period) pokok dan bunga
ditetapkan sebagai berikut:
a. selama grace period, kualitas mengikuti kualitas Kredit sebelum
dilakukan restrukturisasi; dan
b. setelah grace period berakhir, kualitas Kredit mengikuti penetapan
kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
Pasal 60
(1) Penetapan kualitas Aset Produktif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 berlaku pula bagi Kredit yang
direstrukturisasi.
(2) Dalam hal Kredit yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berjumlah lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
milyar rupiah), penetapan kualitas Kreditnya tidak dipengaruhi
oleh kualitas Kredit yang diberikan oleh Bank lain kepada debitur
atau proyek yang sama dengan jumlah kurang dari atau sama
dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
Bagian Kelima
PPA dan Pengakuan Pendapatan dari Kredit yang Direstrukturisasi
Pasal 61
Bank wajib menghitung PPA terhadap Kredit yang telah
direstrukturisasi sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42.
Bagian…
- 50 -
Bagian Keenam
Restrukturisasi Kredit melalui Penyertaan Modal Sementara
Pasal 62
(1) Bank dapat melakukan Restrukturisasi Kredit dalam bentuk
Penyertaan Modal Sementara.
(2) Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan untuk Kredit yang memiliki kualitas
Kurang Lancar, Diragukan, atau Macet.
Pasal 63
(1) Penyertaan Modal Sementara wajib ditarik kembali apabila:
a. telah melampaui jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; atau
b. perusahaan debitur tempat penyertaan telah memperoleh laba
kumulatif.
(2) Penyertaan Modal Sementara wajib dihapusbukukan dari neraca
Bank apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun.
Bagian Ketujuh
Laporan Restrukturisasi Kredit
Pasal 64
Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia seluruh
Restrukturisasi Kredit yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai Laporan Berkala Bank
Umum.
Bagian…
- 51 -
Bagian Kedelapan
Koreksi Dalam Rangka Restrukturisasi Kredit
Pasal 65
Bank Indonesia berwenang melakukan koreksi terhadap penetapan
kualitas Kredit dan perhitungan PPA, apabila:
a. menurut penilaian Bank Indonesia, Restrukturisasi Kredit
dilakukan dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53;
b. Restrukturisasi Kredit tidak didukung dengan dokumen yang
lengkap dan analisis yang memadai mengenai kemampuan
membayar dan prospek usaha debitur;
c. debitur tidak melaksanakan perjanjian Restrukturisasi Kredit
(cidera janji/wanprestasi);
d. Restrukturisasi Kredit dilakukan secara berulang dengan tujuan
hanya untuk memperbaiki kualitas Kredit tanpa memperhatikan
prospek usaha debitur; dan/atau
e. Restrukturisasi Kredit tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB VII
HAPUS BUKU DAN HAPUS TAGIH
Pasal 66
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
hapus buku dan hapus tagih.
(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui
oleh Dewan Komisaris.
(3) Prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui
paling rendah oleh Direksi.
(4) Dewan…
- 52 -
(4) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif
terhadap pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan
manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 67
(1) Hapus buku dan/atau hapus tagih hanya dapat dilakukan
terhadap penyediaan dana yang telah didukung perhitungan CKPN
sebesar 100% dan kualitasnya telah ditetapkan Macet.
(2) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian penyediaan
dana (partial write off).
(3) Hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian atau seluruh
penyediaan dana.
(4) Hapus tagih terhadap sebagian penyediaan dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan dalam rangka
Restrukturisasi Kredit atau dalam rangka penyelesaian Kredit.
Pasal 68
(1) Hapus buku dan/atau hapus tagih sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 67 hanya dapat dilakukan setelah Bank melakukan berbagai
upaya untuk memperoleh kembali Aset Produktif yang diberikan.
(2) Bank wajib mendokumentasikan upaya yang dilakukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta dasar pertimbangan
pelaksanaan hapus buku dan/atau hapus tagih.
(3) Bank…
- 53 -
(3) Bank wajib mengadministrasikan data dan informasi mengenai
Aset Produktif yang telah dihapus buku dan/atau dihapus tagih.
BAB VIII
RENCANA TINDAK
Pasal 69
(1) Bank wajib menyusun rencana tindak (action plan) untuk
mengatasi permasalahan yang dihadapi, apabila diperkirakan
mengalami penurunan rasio KPMM:
a. secara signifikan; atau
b. mendekati atau kurang dari rasio KPMM sesuai ketentuan yang
berlaku,
karena pemberlakuan Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Selain penyusunan rencana tindak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank wajib menyusun rencana tindak apabila terdapat
perintah dari Bank Indonesia.
(3) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini kepada Bank Indonesia dengan
alamat:
a. Departemen Pengawasan Bank terkait, Jl.M.H. Thamrin Nomor
2 Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah
kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri setempat, bagi
Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat
Bank Indonesia.
BAB IX…
- 54 -
BAB IX
SANKSI
Pasal 70
1.
Bank yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 17, Pasal
18, Pasal 22, Pasal 30 ayat (3), Pasal 31, Pasal 34, Pasal 35, Pasal
37, Pasal 38, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 47,
Pasal 48 ayat (2),Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53,
Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal
60, Pasal 61, Pasal 62 ayat (2), Pasal 63, Pasal 64, Pasal 66, Pasal
67, Pasal 68 dan/atau Pasal 69 dapat dikenakan sanksi
administratif antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau
c. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham Bank
dalam daftar pihak-pihak yang mendapatkan predikat Tidak
Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test).
2. Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang
melanggar ketentuan Pasal 17 dan Pasal 18 wajib menghitung PPA
sebesar 100% (seratus perseratus) terhadap Aset dimaksud.
BAB X…
- 55 -
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 71
Standby letter of credit yang diterbitkan oleh prime bank dan telah
memenuhi persyaratan sebagai agunan tunai sebelum Peraturan Bank
Indonesia ini berlaku, dinyatakan tetap memenuhi persyaratan sampai
dengan jatuh tempo.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 72
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kualitas aset Bank Umum
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 73
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, semua
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank
Umum(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4471),
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 11/2/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4977), masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 74…
- 56 -
Pasal 74
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 12, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4471) tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum.
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/2/PBI/2006 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4598) tentang Perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari
2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/6/PBI/2007 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4716) tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tanggal 20
Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.
d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/2/PBI/2009(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 28, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4977) tentang Perubahan Ketiga
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tanggal 20
Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 75
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar…
- 57 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Oktober 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Oktober 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 202
DPNP
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 15 /PBI/2012
TENTANG
PENILAIAN KUALITAS ASET
BANK UMUM
I. UMUM
Sebagaimana diketahui bersama, perbankan sebagai lembaga
keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi dituntut untuk
menyajikan laporan keuangan yang akurat, komprehensif, dan
mencerminkan kinerja Bank secara utuh. Salah satu syarat dalam
rangka penyajian laporan keuangan yang akurat dan komprehensif,
laporan keuangan dimaksud harus disajikan sesuai dengan standar
akuntansi keuangan yang berlaku.
Dalam rangka memelihara kelangsungan usahanya, Bank perlu
tetap mengelola eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai
antara lain dengan menjaga kualitas aset dan tetap melakukan
penghitungan penyisihan penghapusan aset.
Selanjutnya tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi perekonomian
global dapat mempengaruhi kondisi dan kinerja perbankan nasional.
Sehubungan dengan itu diperlukan langkah-langkah antisipasi untuk
menjaga dan melindungi kondisi perbankan.
Selain itu, ketentuan yang mengatur mengenai kualitas aset telah
mengalami beberapa kali penyesuaian dan juga berkaitan dengan
ketentuan…
- 2 -
ketentuan-ketentuan Bank Indonesia lainnya sehingga perlu dilakukan
harmonisasi agar implementasi atas ketentuan-ketentuan dimaksud
dapat dilaksanakan dengan baik.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Langkah-langkah yang diperlukan agar kualitas Aset
senantiasa baik antara lain dilakukan dengan cara
menerapkan manajemen risiko kredit secara efektif, termasuk
melalui penyusunan kebijakan dan pedoman sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)…
- 3 -
Ayat (3)
Termasuk dalam pengertian pemberitahuan adalah
pemberitahuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia kepada
Bank dalam pertemuan akhir (exit meeting) pemeriksaan
Bank.
Pasal 5
Ayat (1)
Debitur dalam ayat ini merupakan perseorangan atau badan
usaha yang merupakan entitas tersendiri yang menghasilkan
arus kas sebagai sumber pembayaran kembali Aset
Produktif.
Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian proyek yang sama antara lain
apabila:
a. terdapat keterkaitan rantai bisnis secara signifikan dalam
proses produksi yang dilakukan oleh beberapa debitur.
Keterkaitan dianggap signifikan antara lain apabila proses
produksi di suatu entitas tergantung kepada proses
produksi entitas lain, misalnya adanya ketergantungan
bahan baku dalam proses produksi.
b. kelangsungan arus kas suatu entitas akan terganggu
secara signifikan sehingga mengalami kesulitan untuk
memenuhi kewajibannya apabila arus kas entitas lain
mengalami gangguan.
Ayat (3)…
- 4 -
Ayat (3)
Contoh 1:
Bank B memberikan fasilitas Kredit investasi dan Kredit
modal kerja kepada debitur A. Hasil penilaian yang dilakukan
Bank B untuk masing-masing fasilitas tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Dalam Perhatian Khusus, untuk Kredit investasi; dan
b. Kurang Lancar, untuk Kredit modal kerja.
Mengingat Kredit digunakan untuk membiayai 1 (satu)
debitur, maka kualitas Aset Produktif yang ditetapkan Bank B
untuk Kredit yang diberikan kepada debitur A mengikuti
kualitas Aset Produktif yang paling rendah, yaitu Kurang
Lancar.
Contoh 2:
Bank B memberikan fasilitas Kredit kepada debitur A dan
debitur C yang digunakan untuk membiayai proyek yang
sama, yaitu proyek D. Sumber utama pengembalian Kredit,
baik oleh debitur A maupun debitur C berasal dari arus kas
yang akan diperoleh dari proyek D. Hasil penilaian yang
dilakukan Bank B untuk Kredit yang diberikan kepada debitur
A dan debitur C adalah sebagai berikut:
a. Dalam Perhatian Khusus, untuk debitur A; dan
b. Kurang Lancar, untuk debitur C.
Mengingat Kredit digunakan untuk membiayai proyek yang
sama, maka kualitas Aset Produktif yang ditetapkan Bank
B untuk Kredit yang diberikan kepada debitur A dan debitur
C mengikuti kualitas Aset Produktif yang paling rendah, yaitu
Kurang Lancar.
Ayat (4)…
- 5 -
Ayat (4)
Contoh:
Kualitas Kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian
berupa prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan
kemampuan membayar.
Sedangkan kualitas Surat Berharga yang diakui berdasarkan
harga perolehan ditetapkan berdasarkan faktor penilaian
berupa peringkat, ketepatan pembayaran kupon atau
kewajiban lainnya yang
sejenis, dan saat jatuh tempo.
Oleh karena terdapat perbedaan faktor penilaian untuk
penetapan Aset Kredit dan Surat Berharga, maka kualitas
Kredit dan Surat Berharga dapat ditetapkan secara berbeda
meskipun untuk debitur atau proyek yang sama.
Pasal 6
Ayat (1)
Contoh 1:
Bank B dan Bank C memberikan fasilitas Kredit kepada
debitur A. Karena fasilitas diberikan kepada debitur yang
sama maka kualitas yang ditetapkan untuk fasilitas Kredit
tersebut, baik oleh Bank B maupun Bank C, wajib sama.
Contoh 2:
Bank B dan Bank C masing-masing memberikan fasilitas
Kredit kepada debitur D dan debitur E yang digunakan untuk
membiayai proyek yang sama, yaitu proyek A.
Karena…
- 6 -
Karena fasilitas diberikan kepada proyek yang sama maka
kualitas yang ditetapkan untuk fasilitas Kredit tersebut, baik
kepada debitur D oleh Bank B maupun kepada debitur E oleh
Bank C, wajib sama.
Ayat (2)
Huruf a
Batas jumlah (limit) sebagaimana dimaksud dalam
pengaturan ini diperhitungkan terhadap seluruh
fasilitas yang diberikan (plafon) kepada setiap debitur
atau setiap proyek, baik untuk debitur individual
maupun Kelompok Peminjam dalam hal Aset Produktif
digunakan untuk membiayai proyek yang sama.
Aset Produktif yang diberikan oleh setiap Bank dengan
jumlah lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah) kepada 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek
yang sama, tidak dipengaruhi oleh kualitas Aset
Produktif yang diberikan oleh Bank lain kepada debitur
atau proyek yang sama dengan jumlah kurang dari atau
sama dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah).
Huruf b
Yang dimaksud dengan 50 (lima puluh) debitur terbesar
adalah 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank secara
individual. Batas jumlah (limit) sebagaimana dimaksud
dalam pengaturan ini diperhitungkan terhadap seluruh
fasilitas yang diberikan (plafon) kepada setiap debitur.
Aset…
- 7 -
Aset Produktif yang diberikan oleh Bank dengan jumlah
lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah) kepada 1 (satu) debitur yang merupakan 50
(lima puluh) debitur terbesar Bank tersebut, tidak
dipengaruhi oleh kualitas Aset Produktif yang diberikan
oleh Bank lain kepada debitur atau proyek yang sama
dengan jumlah kurang dari atau sama dengan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
Huruf c
Termasuk dalam pengertian Aset Produktif yang
diberikan berdasarkan perjanjian pembiayaan bersama
adalah struktur pembiayaan seperti sindikasi. Dalam
menetapkan kualitas yang sama terhadap Aset Produktif
yang diberikan berdasarkan perjanjian pembiayaan
bersama tidak terdapat batasan jumlah minimum.
Dengan demikian, Aset Produktif yang diberikan kepada
1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek yang sama
berdasarkan perjanjian pembiayaan bersama wajib
ditetapkan kualitas yang sama meskipun Aset Produktif
yang diberikan oleh setiap Bank kurang dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
Ayat (3)
Contoh:
Bank B dan Bank C memberikan fasilitas Kredit kepada
debitur A, dengan hasil penilaian pada masing-masing Bank
adalah sebagai berikut:
a. Dalam…
- 8 -
a. Dalam Perhatian Khusus, pada Bank B; dan
b. Kurang Lancar, pada Bank C.
Mengingat Kredit digunakan untuk membiayai 1 (satu)
debitur, maka kualitas Aset Produktif yang ditetapkan untuk
Kredit kepada debitur A mengikuti kualitas Kredit yang paling
rendah, yaitu Kurang Lancar.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Hasil penilaian kualitas Aset Produktif yang lebih
rendah yang semata-mata disebabkan oleh penggunaan
faktor penilaian tambahan berupa risiko negara
Republik Indonesia, tidak mempengaruhi hasil penilaian
kualitas Aset Produktif yang diberikan kepada debitur
atau proyek yang sama di Bank lain yang ditetapkan
dengan faktor penilaian sebagaimana telah ditetapkan
dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlaku
mengenai Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Namun,
dalam hal kualitas Aset Produktif yang ditetapkan
dengan faktor penilaian tambahan berupa risiko negara
(country risk) Republik Indonesia memberikan hasil
penilaian yang lebih baik dibandingkan penilaian Aset
Produktif yang dinilai dengan faktor penilaian dalam
Peraturan Bank Indonesia yang berlaku tentang
Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, maka kualitas
Aset…
- 9 -
Aset Produktif tetap mengikuti kualitas yang paling
rendah, yaitu kualitas yang ditetapkan berdasarkan
faktor penilaian dalam Peraturan Bank Indonesia
tersebut.
Ayat (5)
Contoh:
Kualitas Kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian
berupa prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan
kemampuan membayar.
Sedangkan kualitas Surat Berharga yang diakui berdasarkan
harga perolehan ditetapkan berdasarkan faktor penilaian
berupa peringkat, ketepatan pembayaran kupon atau
kewajiban lainnya yang sejenis, dan saat jatuh tempo.
Oleh karena terdapat perbedaan faktor penilaian untuk
penetapan kualitas Kredit dan Surat Berharga maka kualitas
Kredit dan Surat Berharga dapat ditetapkan secara berbeda
meskipun untuk debitur atau proyek yang sama.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Termasuk dalam pengertian pemisahan yang tegas
antara arus kas dari masing-masing proyek adalah tidak
terdapat keterkaitan yang signifikan dalam arus kas
antar proyek. Keterkaitan arus kas dianggap signifikan
antara…
- 10 -
antara lain apabila kelangsungan arus kas suatu proyek
akan terganggu secara signifikan apabila arus kas
proyek lain mengalami gangguan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dokumentasi antara lain mencakup dokumen
pendukung yang menjelaskan kondisi debitur sehingga
tidak perlu melakukan penetapan kualitas yang sama
dengan Bank lain. Dokumen pendukung tersebut
merupakan data atau informasi yang mendukung
penilaian dari aspek prospek usaha, kinerja, maupun
kemampuan membayar debitur serta pertimbangan Bank
dalam melakukan penilaian, yang dapat berupa namun
tidak terbatas pada dokumen mengenai sumber
dana/cash flow.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Penyesuaian penilaian kualitas Aset Produktif untuk posisi
akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember
dilakukan dengan mengacu pada penilaian kualitas bulan
sebelumnya. Dalam melakukan penyesuaian penilaian
kualitas Aset Produktif, Bank yang mengikuti penetapan
kualitas yang lebih rendah di bank lain (Bank follower) perlu
menatausahakan…
- 11 -
menatausahakan secara khusus perubahan kualitas Aset
Produktif yang disebabkan oleh mekanisme sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6. Selanjutnya Bank follower secara
aktif melakukan monitoring setiap bulan terhadap kualitas
Aset Produktif yang ditatausahakan secara khusus tersebut
untuk melihat perkembangan kualitas Aset Produktif debitur
atau proyek dimaksud di Bank lain (Bank initiator).
Bank yang tidak perlu melakukan penyesuaian kualitas
debitur (Bank initiator) dengan kualitas debitur yang sama di
Bank lain karena kualitas debitur tersebut sama atau lebih
buruk dengan kualitas di Bank lain dan kemudian kondisi
debitur dimaksud membaik pada bulan berikutnya, maka
Bank dimaksud harus segera memperbaiki kualitas debitur
tersebut tanpa perlu menunggu penilaian kualitas debitur di
Bank lain posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan
Desember.
Untuk posisi akhir bulan selain akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember, Bank follower dapat melakukan
perubahan kualitas kredit yang telah disesuaikan karena
penerapan Uniform Classification System (UCS) mengikuti
perbaikan kualitas aset yang telah dilakukan penyesuaian
oleh Bank initiator, sepanjang kualitas tersebut memang
sesuai dengan kualitas aset di Bank follower.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur,
informasi dan penjelasan tertulis tersebut disampaikan paling
lambat pada hari kerja sebelumnya.
Informasi…
- 12 -
Informasi dan penjelasan serta laporan hanya wajib
disampaikan apabila terdapat penilaian kualitas Aset
Produktif yang tidak disamakan dengan penilaian di Bank
lain.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Kewajiban audit laporan keuangan dimaksudkan agar
laporan keuangan debitur akurat dan dapat dipercaya,
mengingat kondisi keuangan debitur merupakan salah satu
kriteria dalam penetapan kualitas Aset Produktif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku antara lain adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1998 tentang Informasi Keuangan Tahunan
Perusahaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 64 Tahun 1999.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11…
- 13 -
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan debitur dalam huruf ini adalah
debitur yang wajib melakukan upaya pengelolaan
lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14…
- 14 -
Pasal 14
Ayat (1)
Surat Berharga dalam portofolio diperdagangkan (trading) dan
tersedia untuk dijual (available for sale) diakui berdasarkan
nilai pasar sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku.
Huruf a
Kriteria aktif diperdagangkan di bursa efek adalah
terdapat volume transaksi yang signifikan dan wajar
(arms length transaction) di bursa efek di Indonesia
dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir.
Huruf b
Informasi nilai pasar secara transparan harus dapat
diperoleh dari media publikasi yang lazim untuk
transaksi bursa efek.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Surat Berharga yang diakui berdasarkan harga perolehan
adalah Surat Berharga dalam portofolio dimiliki hingga jatuh
tempo (held to maturity).
Penggunaan peringkat mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Lembaga Pemeringkat
dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia.
Pasal 15…
- 15 -
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Termasuk dalam Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Utang
Negara adalah yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah.
Pasal 17
Kepemilikan Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin
dengan aset tertentu yang mendasari (underlying reference asset)
yang berbentuk saham hanya dapat dilakukan untuk tujuan
Penyertaan Modal atau Penyertaan Modal Sementara dan
dilakukan dengan izin Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 18
Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset
tertentu yang mendasari antara lain adalah sertifikat reksadana,
credit linked note, dan efek beragun aset.
Huruf a
Keberadaan aset dapat diyakini apabila aset dimaksud antara
lain disimpan di bank kustodian, Kustodian Sentral Efek
Indonesia (KSEI), atau Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d…
- 16 -
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Pembayaran kewajiban Surat Berharga dikatakan
terkait langsung dengan aset yang mendasari (pass
through) apabila pembayaran pokok dan bunga Surat
Berharga semata-mata bersumber dari pembayaran
pokok dan bunga dari aset yang mendasari.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kualitas aset yang mendasari ditetapkan berdasarkan jenis
aset dan kualitas dari aset tersebut. Misalnya, aset dalam
bentuk Kredit kepada debitur dinilai berdasarkan ketentuan
kualitas Kredit kepada debitur, aset dalam bentuk Surat
Berharga dinilai berdasarkan kualitas Surat Berharga dan
aset dalam bentuk deposito pada bank lain dinilai
berdasarkan kualitas Penempatan.
Dalam hal aset yang mendasari memiliki kualitas yang
berbeda-beda maka kualitas Surat Berharga ditetapkan
berdasarkan kualitas dari masing-masing aset yang
mendasari dan dihitung secara proporsional.
Ayat (3)…
- 17 -
Ayat (3)
Huruf a
Penetapan kualitas sertifikat reksadana berdasarkan
ketentuan penilaian kualitas Surat Berharga dilakukan
terhadap sertifikat reksadana sebagai satu produk dan
bukan terhadap setiap jenis aset yang mendasari
sertifikat reksadana dimaksud.
Huruf b
Kualitas sertifikat reksadana ditetapkan berdasarkan
kualitas setiap jenis aset yang mendasari dan kualitas
penerbit sertifikat reksadana sesuai dengan ketentuan
kualitas Kredit, dengan penekanan antara lain
terhadap:
a. kinerja, likuiditas, dan reputasi penerbit; dan
b. diversifikasi portofolio yang dimiliki penerbit.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Surat Berharga yang berdasarkan karakteristiknya tidak
diperdagangkan di bursa efek dan tidak memiliki
peringkat antara lain adalah wesel ekspor yang diambil
alih.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)…
- 18 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Termasuk dalam wesel yang diambil alih antara lain, adalah wesel
ekspor dan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN).
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Rasio KPMM sesuai ketentuan yang
berlaku adalah rasio KPMM yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia untuk bank di dalam negeri atau otoritas yang
berwenang untuk bank di luar negeri.
Rasio KPMM didasarkan pada laporan keuangan publikasi
terakhir sesuai dengan periode yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia untuk bank di dalam negeri atau otoritas yang
berwenang untuk bank di luar negeri. Apabila laporan
keuangan publikasi terakhir atau data KPMM pada laporan
keuangan publikasi terakhir tidak tersedia, bank dianggap
memiliki KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Linkage Program adalah kerja sama
antara Bank Umum dan BPR dalam menyalurkan kredit
kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
Linkage…
- 19 -
Linkage Program dengan pola executing adalah pinjaman yang
diberikan dari Bank Umum kepada BPR dalam rangka
pembiayaan untuk diteruspinjamkan kepada nasabah Usaha
Mikro dan Usaha Kecil.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Surat Berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali
(reverse repurchase agreement) adalah pembelian Surat
Berharga dari pihak lain yang dilengkapi dengan perjanjian
untuk menjual kembali kepada pihak lain tersebut pada
akhir periode dengan harga atau imbalan yang telah
disepakati sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “investee” adalah perusahaan tempat
Bank melakukan Penyertaan Modal.
Ayat (3)…
- 20 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Perhitungan jangka waktu Penyertaan Modal Sementara
dihitung sejak Bank melakukan Penyertaan Modal
Sementara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “fasilitas yang bersifat uncommitted”
adalah pemberian fasilitas yang dalam perjanjiannya
memuat klausula bahwa Bank dapat membatalkan atau
tidak memenuhi fasilitas karena kondisi atau alasan
tertentu.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal agunan tunai berupa emas maka nilai
agunan ditetapkan berdasarkan nilai pasar (market
value).
Huruf b…
- 21 -
Huruf b
Dalam hal agunan tunai berupa SUN maka nilai
agunan ditetapkan berdasarkan nilai pasar SUN atau
dalam hal tidak ada nilai pasar ditetapkan berdasarkan
nilai wajar (fair value).
Huruf c
Yang dimaksud dengan Pemerintah Indonesia dalam
huruf ini adalah Pemerintah Pusat.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemblokiran dan pengikatan untuk SBI dan SUN serta
penempatan dana lain pada Bank Indonesia dan Pemerintah
saat ini diadministrasikan oleh Bank Indonesia.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan tanpa syarat (unconditional) adalah
apabila:
a. manfaat yang diperoleh Bank penyedia dana dari jaminan
tidak berkurang secara substansial walaupun terjadi
kerugian yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendali
Bank; dan
b. tidak memuat persyaratan prosedural, seperti:
1. mempersyaratkan waktu pengajuan pemberitahuan
wanprestasi (notification of default);
2. mempersyaratkan kewajiban pembuktian good faith
oleh Bank penyedia dana; dan/atau
3. mempersyaratkan…
- 22 -
3. mempersyaratkan pencairan jaminan dengan cara
dilakukannya saling hapus (set-off) terlebih dahulu
dengan kewajiban Bank penyedia dana kepada pihak
penjamin.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Batas jumlah (limit) sebagaimana dimaksud dalam
pengaturan ini diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas
yang diberikan (plafon) kepada setiap debitur atau proyek,
baik untuk debitur individual maupun Kelompok Peminjam
dalam hal Kredit dan penyediaan dana lainnya digunakan
untuk membiayai proyek yang sama.
Huruf a
Yang dimaksud dengan penyediaan dana lainnya
adalah penerbitan jaminan dan/atau pembukaan letter
of credit.
Termasuk sebagai Kredit dan penyediaan dana lainnya
adalah semua jenis Kredit atau penyediaan dana
lainnya yang diberikan kepada semua golongan
debitur.
Huruf b…
- 23 -
Huruf b
Pengertian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah mengacu
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang saat
ini diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah.
Angka 1)
Huruf a)
Kecukupan KPMR meliputi:
a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan
Direksi;
b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan
penetapan limit manajemen risiko;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian risiko, serta
sistem informasi manajemen risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang
menyeluruh,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku mengenai Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
Secara umum, predikat penilaian kecukupan
KPMR untuk risiko kredit yang sangat
memadai
(strong) dicerminkan melalui
penerapan seluruh komponen KPMR tersebut
di atas terhadap seluruh risiko kredit yang
efektif untuk memelihara kondisi internal Bank
yang…
- 24 -
yang sehat. Meskipun terdapat kelemahan
minor, namun kelemahan tersebut tidak
signifikan sehingga dapat diabaikan.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Peringkat komposit adalah peringkat komposit
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku mengenai Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank Umum.
Angka 2)
Huruf a)
Kecukupan KPMR meliputi:
a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan
Direksi;
b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan
penetapan limit manajemen risiko;
proses
pemantauan,
pengendalian risiko, serta sistem informasi
manajemen risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang
menyeluruh,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku mengenai Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Secara
umum, predikat penilaian kecukupan KPMR
c. kecukupan
pengukuran,
identifikasi,
dan
untuk…
- 25 -
untuk risiko kredit “memadai” (satisfactory)
dicerminkan melalui penerapan seluruh
komponen KPMR tersebut di atas terhadap
seluruh risiko kredit yang cukup efektif
untuk memelihara kondisi internal Bank yang
sehat. Meskipun terdapat beberapa kelemahan
minor, namun kelemahan tersebut dapat
diselesaikan pada aktivitas bisnis normal.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Peringkat komposit adalah peringkat komposit
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku mengenai Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank Umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan daerah tertentu adalah daerah
yang menurut penilaian Bank Indonesia memerlukan
penanganan khusus untuk mendorong pembangunan
ekonomi di daerah yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia. Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain
adalah penerbitan jaminan atau pembukaan letter of
credit. Batas pemberian fasilitas Kredit dan penyediaan
dana lain diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas
yang diterima oleh setiap debitur baik untuk debitur
individual maupun kelompok peminjam yang diterima
dari satu Bank.
Ayat (2)…
- 26 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal terjadi penyesuaian penilaian posisi Desember
atau Juni oleh Bank Indonesia, maka yang dipergunakan
adalah posisi penilaian terkini yang telah disesuaikan.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan 50 (lima puluh) debitur terbesar
adalah 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank secara
individual.
Aset Produktif yang diberikan oleh Bank dengan jumlah
lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah) kepada 1 (satu) debitur yang merupakan 50
(lima puluh) debitur terbesar Bank tidak dipengaruhi
oleh kualitas Aset Produktif yang diberikan oleh Bank
lain kepada debitur atau proyek yang sama dengan
jumlah kurang dari atau sama dengan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 33…
- 27 -
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank melakukan kegiatan
usaha sesuai fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur
dana masyarakat.
Upaya penyelesaian antara lain dapat dilakukan dengan
secara aktif memasarkan dan menjual AYDA.
Ayat (2)
Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan
informasi mengenai upaya pemasaran dan penjualan AYDA.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan net realizable value adalah nilai
wajar agunan dikurangi estimasi biaya pelepasan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)…
- 28 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Yang termasuk dalam Properti Terbengkalai antara lain
tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk
kegiatan usaha Bank seperti gedung dan/atau tanah yang
disewakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) dan ayat (4)
Yang dimaksud dengan “digunakan untuk kegiatan usaha
Bank secara mayoritas” adalah Bank menggunakan porsi
terbesar yaitu lebih dari 50% (lima puluh perseratus).
Pengukuran bagian yang digunakan untuk kegiatan usaha
Bank dilakukan secara terpisah untuk masing-masing
properti.
Contoh…
- 29 -
Contoh:
Properti A digunakan untuk kegiatan usaha Bank sebesar
65%.
Properti B digunakan untuk kegiatan usaha Bank sebesar
40%.
Properti C seluruhnya tidak digunakan untuk kegiatan
usaha Bank.
Dalam hal ini, properti A seluruhnya tidak digolongkan
sebagai Properti Terbengkalai, properti B digolongkan
sebagai Properti Terbengkalai sebesar 60% dan properti C
seluruhnya digolongkan sebagai Properti Terbengkalai.
Pasal 38
Ayat (1)
Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank melakukan kegiatan
usaha sesuai fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur
dana masyarakat.
Upaya penyelesaian antara lain dapat dilakukan dengan
secara aktif memasarkan dan menjual Properti Terbengkalai.
Ayat (2)
Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan
informasi mengenai upaya pemasaran dan penjualan
Properti Terbengkalai.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40…
- 30 -
Pasal 40
Ayat (1)
Upaya penyelesaian diperlukan agar seluruh transaksi Bank
diakui dan dicatat berdasarkan karakteristik dari transaksi
tersebut dan mengurangi kemungkinan terjadinya rekayasa
transaksi yang dapat mengakibatkan kerugian bagi Bank.
Ayat (2)
Rekening Antar Kantor yang dinilai adalah akun Rekening
Antar Kantor di sisi aktiva tanpa dilakukan set off dengan
Rekening Antar Kantor di sisi pasiva, mengingat pihak lawan
transaksi belum dapat dipastikan sebagai pihak atau kantor
yang sama.
Pasal 41
Ayat (1)
Bank diwajibkan menghitung PPA baik untuk Aset Produktif
maupun Aset Non Produktif dalam rangka memenuhi prinsip
kehati-hatian. Sesuai dengan standar akuntansi keuangan
yang berlaku, hasil perhitungan PPA tidak dicatat dalam
laporan keuangan Bank.
Perhitungan PPA terhadap Aset Non Produktif dimaksudkan
pula untuk mendorong Bank melakukan upaya
penyelesaian, dan untuk antisipasi terhadap potensi
kerugian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)…
- 31 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Huruf a
Kriteria aktif diperdagangkan di bursa efek adalah terdapat
volume transaksi yang signifikan dan wajar (arms length
transaction) di bursa efek di Indonesia dalam 10 (sepuluh)
hari kerja terakhir.
Peringkat investasi didasarkan pada peringkat yang
diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam satu tahun
terakhir. Apabila peringkat yang diterbitkan oleh lembaga
pemeringkat dalam satu tahun terakhir tidak tersedia maka
Surat Berharga dianggap tidak memiliki peringkat.
Huruf b
Pengikatan agunan secara hak tanggungan harus
sesuai dengan ketentuan dan prosedur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk namun tidak
terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki
hak preferensi terhadap agunan dimaksud.
Huruf c
Pengikatan agunan secara hak tanggungan harus sesuai
dengan ketentuan dan prosedur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk namun tidak
terbatas…
- 32 -
terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga Bank
memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud.
Pemasangan hak tanggungan atas tanah beserta mesin
yang berada diatasnya harus dicantumkan dengan jelas
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Huruf d
Pengikatan agunan secara hipotek harus sesuai dengan
ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas
pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak
preferensi terhadap agunan dimaksud.
Huruf e
Pengikatan agunan secara fidusia harus sesuai dengan
ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas
pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak
preferensi terhadap agunan dimaksud.
Huruf f
Yang dimaksud dengan resi gudang adalah resi gudang
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9
tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 tahun
2006 tentang Sistem Resi Gudang (Undang-Undang Sistem
Resi Gudang).
Hak…
- 33 -
Hak jaminan atas resi gudang adalah hak jaminan yang
dibebankan pada resi gudang untuk pelunasan utang, yang
memberikan kedudukan untuk diutamakan bagi penerima
hak jaminan terhadap kreditor yang lain, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Sistem Resi Gudang.
Pasal 44
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pengikatan yang memberikan
hak preferensi adalah pengikatan yang dilakukan dengan
gadai, hipotek, hak tanggungan, dan fidusia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan banker’s clause adalah klausula
yang memberikan hak kepada Bank untuk menerima
uang pertanggungan dalam hal terjadi pembayaran
klaim.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Batasan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diberikan
kepada debitur atau Kelompok Peminjam.
Penilaian…
- 34 -
Penilaian agunan oleh penilai intern Bank mengacu kepada
standar penilaian yang digunakan oleh penilai independen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Huruf a
Peringkat investasi adalah peringkat investasi
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku mengenai Lembaga Pemeringkat dan
Peringkat yang Diakui Bank Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan penilaian adalah pernyataan
tertulis dari penilai independen atau penilai intern Bank
mengenai taksiran dan pendapat atas nilai ekonomis dari
agunan berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta
obyektif dan relevan menurut metode dan prinsip-prinsip
yang berlaku umum yang ditetapkan oleh asosiasi dan
atau institusi yang berwenang.
Huruf c
Termasuk tanah dan/atau bangunan bukan untuk
tempat tinggal antara lain rumah toko (ruko), tanah
perkebunan, dan tanah pertambangan.
Yang…
- 35 -
Yang dimaksud dengan penilaian adalah pernyataan
tertulis dari penilai independen atau penilai intern Bank
mengenai taksiran dan pendapat atas nilai ekonomis dari
agunan berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta
obyektif dan relevan menurut metode dan prinsip-
prinsip yang berlaku umum yang ditetapkan oleh
asosiasi dan atau institusi yang berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hal-hal yang dapat dijadikan pertimbangan antara lain
berdasarkan data historis nilai realisasi agunan, yang pada
umumnya jauh lebih rendah dari nilai agunan yang telah
diperhitungkan sebagai pengurang PPA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dan/atau terdapat gap yang besar
antara hasil penilaian dengan perhitungan present value dari
agunan.
Pasal 47
Diperhitungkannya agunan sebagai pengurang PPA yang wajib
dihitung oleh Bank terkait dengan fungsi agunan sebagai alat
mitigasi risiko kredit. Sehubungan dengan itu, agunan yang dapat
diperhitungkan sebagai pengurang PPA adalah agunan yang dapat
direalisasi oleh Bank pada saat terjadi wanprestasi atas
penyediaan dana yang diberikan.
Contoh…
- 36 -
Contoh:
Penilaian agunan dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan terakhir
dengan hasil penilaian agunan sebesar Rp100.000.000.000,00
(seratus milyar rupiah). Agunan yang dapat diperhitungkan
sebagai pengurang dalam perhitungan PPA: 70% (tujuh puluh
perseratus) x Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah) =
Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh milyar rupiah).
Apabila nilai pengikatan terhadap agunan dimaksud adalah
Rp60.000.000.000,00 (enam puluh milyar rupiah), maka agunan
yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam perhitungan
PPA adalah Rp60.000.000.000,00 (enam puluh milyar rupiah).
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk dalam pemberitahuan adalah pemberitahuan yang
dilakukan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam
pertemuan akhir (exit meeting) dalam rangka pemeriksaan
Bank.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)…
- 37 -
Ayat (2)
Contoh:
Hasil perhitungan PPA atas Aset Produktif adalah sebesar
Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah) dan Bank
telah membentuk CKPN sebesar Rp80.000.000.000,00
(delapan puluh milyar rupiah), maka selisih hasil
perhitungan PPA dengan CKPN sebesar Rp20.000.000.000,00
(dua puluh milyar rupiah) menjadi pengurang modal dalam
perhitungan rasio KPMM.
Ayat (3)
Contoh:
1. Hasil perhitungan PPA atas Aset Produktif sebesar
Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah) dan Bank
telah membentuk CKPN sebesar perhitungan PPA yaitu
Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah), maka hasil
perhitungan PPA tidak mempengaruhi perhitungan rasio
KPMM .
2. Hasil perhitungan PPA atas Aset Produktif sebesar
Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah) dan Bank
telah membentuk CKPN sebesar Rp150.000.000.000,00
(seratus lima puluh milyar rupiah), maka selisih hasil
perhitungan PPA dengan CKPN yang dibentuk tidak
mempengaruhi perhitungan rasio KPMM.
Pasal 51…
- 38 -
Pasal 51
Contoh :
Hasil perhitungan PPA atas Aset Non Produktif adalah sebesar
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah), maka Bank wajib
memperhitungkan seluruh hasil perhitungan PPA dimaksud atas
Aset Non Produktif. Apabila terdapat kerugian penurunan nilai
yang telah dibentuk bank di neraca atas Aset Non Produktif sesuai
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, maka perhitungan
PPA atas Aset Non Produktif dilakukan terhadap nilai Aset Non
Produktif setelah dikurangi kerugian penurunan nilai.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Perlakuan akuntansi untuk Restrukturisasi Kredit antara lain
diterapkan untuk:
a. pengakuan kerugian yang timbul; dan
b. pengakuan pendapatan bunga dan penerimaan lain.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56…
- 39 -
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku antara lain adalah ketentuan tentang Kewajiban
Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan
Bank bagi Bank Umum.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Contoh:
Bank X melakukan restrukturisasi Kredit kepada debitur A
yang kualitasnya Diragukan. Setelah direstrukturisasi
penetapan kualitas Kredit debitur A adalah sebagai berikut:
a. Sebelum debitur dapat memenuhi kewajiban pembayaran
angsuran pokok dan/atau bunga selama 3 (tiga) kali
berturut turut sesuai waktu yang diperjanjikan,
penetapan kualitas kredit paling tinggi Diragukan.
b. setelah…
- 40 -
b. Setelah debitur dapat memenuhi kewajiban pembayaran
angsuran pokok dan/atau bunga selama 3 (tiga) kali
berturut-turut sesuai waktu yang diperjanjikan,
ditetapkan kualitas Kredit 1 (satu) tingkat lebih tinggi
menjadi Kurang Lancar.
c. Selanjutnya penetapan kualitas Kredit dilakukan
berdasarkan faktor penilaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60…
- 41 -
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Laba kumulatif adalah laba perusahaan setelah
diperhitungkan dengan kerugian tahun-tahun
sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66 …
- 42 -
Pasal 66
Ayat (1)
Hapus buku adalah tindakan administratif Bank antara lain
untuk menghapus buku Kredit macet dari neraca sebesar
kewajiban debitur tanpa menghapus hak tagih Bank kepada
debitur.
Hapus tagih adalah tindakan Bank menghapus semua
kewajiban debitur yang tidak dapat diselesaikan.
Kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih antara
lain memuat kriteria, persyaratan, limit, kewenangan, dan
tanggung jawab serta tata cara hapus buku dan hapus tagih.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pelaksanaan hapus buku dilakukan terhadap seluruh
penyediaan dana yang diberikan dan diikat dalam satu
perjanjian.
Ayat (3)…
- 43 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Hapus tagih dalam rangka Restrukturisasi Kredit dan
penyelesaian Kredit dimaksudkan untuk kepentingan
transparansi kepada debitur.
Pasal 68
Ayat (1)
Upaya yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk
penagihan kepada debitur, Restrukturisasi Kredit, meminta
pembayaran dari pihak yang memberikan garansi atas Aset
Produktif dimaksud, dan penyelesaian Kredit melalui
pengambilalihan agunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72 …
- 44 -
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5354
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/15/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> PENILAIAN KUALITAS ASET BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 24 Oktober 2012 </set_date>
<effective_date> 24 Oktober 2012 </effective_date>
<issued_date> 24 Oktober 2012 </issued_date>
<replaced_reg> '9/6/PBI/2007', '8/2/PBI/2006', '11/2/PBI/2009', '7/2/PBI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/20/PBI/2016
TENTANG
KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai dan memelihara
kestabilan nilai Rupiah serta menjaga kelangsungan
ekonomi nasional, dibutuhkan dukungan pasar
keuangan termasuk pasar valuta asing domestik yang
sehat;
b. bahwa untuk mewujudkan pasar valuta asing domestik
yang sehat, perlu dilakukan penyelarasan pengaturan
transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara
penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing
bukan bank dengan pihak lain dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta
asing terhadap Rupiah antara bank dengan pihak
domestik dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara
Bank dengan pihak asing;
c. bahwa untuk mencegah kegiatan usaha penukaran
valuta asing bukan bank dimanfaatkan untuk pencucian
uang, pendanaan terorisme, atau kejahatan lainnya dan
untuk meningkatkan profesionalisme penyelenggara
kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank
- 2 -
dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat,
diperlukan peningkatan tata kelola penyelenggaraan
kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank;
d. bahwa untuk mendukung perkembangan kegiatan usaha
penukaran valuta asing bukan bank menjadi lebih sehat
dan efisien, diperlukan penyempurnaan pengaturan
mengenai kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan
bank;
e. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Kegiatan
Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5164);
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
- 3 -
64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5223);
5. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 50, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5406);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEGIATAN USAHA
PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang Kertas Asing yang selanjutnya disingkat UKA atau
dapat disebut Banknotes adalah uang kertas dalam
valuta asing yang resmi diterbitkan oleh suatu negara di
luar Indonesia yang diakui sebagai alat pembayaran yang
sah negara yang bersangkutan (legal tender).
2. Cek Pelawat atau dapat disebut Traveller’s Cheque
adalah cek perjalanan dalam valuta asing yang dapat
digunakan sebagai alat pembayaran.
3.
Perseroan Terbatas adalah badan hukum sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
mengenai perseroan terbatas.
4.
Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing yang
selanjutnya disingkat KUPVA adalah kegiatan jual dan
beli UKA, serta pembelian Cek Pelawat.
5.
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank atau dapat disebut
Money Changer adalah badan usaha bukan bank
berbadan hukum Perseroan Terbatas yang melakukan
KUPVA.
- 4 -
6. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
7.
Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai perseroan
terbatas.
8. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
mengenai perseroan terbatas.
9. Pemegang Saham adalah badan hukum dan/atau orang
perseorangan yang memiliki saham Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank.
10. Underlying Transaksi atau dapat disebut Underlying
Transaction adalah kegiatan yang mendasari pembelian
UKA oleh Nasabah.
BAB II
PENYELENGGARA KEGIATAN USAHA
PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK
Pasal 2
(1) Kegiatan usaha yang dilakukan oleh Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank meliputi:
a.
b. pembelian Cek Pelawat.
(2) Selain kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dapat pula
melakukan kegiatan usaha lain yang memiliki
keterkaitan dengan penyelenggaraan KUPVA sepanjang
telah diatur dalam ketentuan Bank Indonesia.
(3) Mekanisme jual dan beli UKA sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a diatur sebagai berikut:
a. penyerahan UKA wajib dilakukan secara fisik;
b. penyerahan Rupiah dilakukan secara fisik atau
melalui transfer intrabank atau antarbank;
c.
pembelian UKA oleh Nasabah dari Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank di atas jumlah tertentu
kegiatan penukaran yang dilakukan dengan
mekanisme jual dan beli UKA; dan
- 5 -
(threshold) per bulan per Nasabah wajib memiliki
Underlying Transaksi; dan
d. dalam hal pembelian UKA dilakukan oleh
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank, kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam huruf c tidak
berlaku.
(4) Jumlah tertentu (threshold) per bulan per Nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara
bank dengan pihak domestik dan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta
asing terhadap Rupiah antara bank dengan pihak asing
terkait pembelian valuta asing terhadap Rupiah.
(5) Dalam hal penyerahan Rupiah, baik dalam rangka jual
maupun beli UKA, dilakukan melalui transfer intrabank
atau antarbank sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b maka transfer harus ditujukan kepada atau
berasal dari rekening Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank.
(6) Dalam melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank harus menerapkan ketentuan yang
mengatur mengenai anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme serta mengenai
kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
(7) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib melakukan
pencatatan transaksi sesuai dengan standar akuntansi
yang berlaku.
(8) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib menyimpan
dokumen dan warkat yang berhubungan dengan
pencatatan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
- 6 -
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha yang
dilakukan oleh Penyelenggara KUPVA Bukan Bank diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 3
(1) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3) huruf c meliputi seluruh kegiatan:
a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar
negeri; dan/atau
b.
investasi di dalam dan di luar negeri.
(2) Underlying Transaksi kegiatan perdagangan barang dan
jasa dan/atau investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi juga perkiraan kebutuhan UKA.
(3) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3) huruf c tidak termasuk pembelian UKA
dalam rangka:
a. penempatan dana pada bank;
b.
pengiriman uang melalui penyelenggara transfer
dana; dan
c. pembayaran tagihan dalam valuta asing dari
transaksi yang diwajibkan menggunakan Rupiah.
Pasal 4
(1) Pembelian UKA oleh Nasabah dari Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(3) huruf c dilarang melebihi nilai nominal Underlying
Transaksi.
(2) Nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c dapat dilakukan
pembulatan ke atas dalam nominal kelipatan tertentu.
(3) Nominal kelipatan tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap
Rupiah antara bank dengan pihak domestik dan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara bank
dengan pihak asing.
- 7 -
Pasal 5
(1) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian UKA di atas
jumlah tertentu (threshold) atau ekuivalennya per bulan
per Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(3) huruf c, Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib
memastikan Nasabah telah menyampaikan dokumen
sebagai berikut:
a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat
dipertanggungjawabkan yaitu:
1. dokumen yang bersifat final antara lain
berupa fotokopi dokumen yang bersifat
tagihan atau yang menimbulkan kewajiban
pembayaran dan fotokopi kontrak atau
perjanjian; dan/atau
2. dokumen yang bersifat perkiraan antara lain
berupa dokumen perkiraan kebutuhan biaya.
b. dokumen pendukung pembelian UKA berupa:
1.
fotokopi dokumen identitas Nasabah;
2.
3.
fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Nasabah;
pernyataan tertulis bermeterai cukup yang
ditandatangani oleh Nasabah atau pihak yang
berwenang mewakili Nasabah yang memuat
informasi mengenai:
a)
keaslian dan kebenaran dokumen
Underlying Transaksi, dan penggunaan
dokumen Underlying Transaksi untuk
pembelian UKA paling banyak sebesar
nominal Underlying Transaksi di industri
KUPVA nasional; dan
b)
4.
jumlah, tujuan, dan tanggal penggunaan
UKA; dan
surat kuasa dalam hal Nasabah diwakili oleh
pihak lain.
(2) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian UKA sampai
dengan jumlah tertentu (threshold) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c, Penyelenggara
- 8 -
KUPVA Bukan Bank wajib memastikan Nasabah
menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis dari
Nasabah yang menyatakan bahwa pembelian UKA belum
melebihi jumlah tertentu (threshold) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c.
(3) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib memastikan
Nasabah telah menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi dan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pada tanggal pembelian UKA.
KUPVA Bukan Bank wajib
(4) Penyelenggara
menatausahakan dokumen Underlying Transaksi dan
dokumen pendukung pembelian UKA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(5) Dalam hal Nasabah melakukan transaksi secara reguler
dari waktu ke waktu dan dokumen Underlying Transaksi
Nasabah telah bersifat final, Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank dapat menggunakan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang telah
ditatausahakan oleh Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
Pasal 6
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dilarang:
a. bertindak sebagai agen penjual Cek Pelawat;
b. melakukan kegiatan margin trading, spot, forward, swap,
dan transaksi derivatif lainnya baik untuk kepentingan
Nasabah maupun kepentingan Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank;
c. melakukan transaksi jual dan beli UKA serta pembelian
Cek Pelawat dengan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
yang tidak memiliki izin dari Bank Indonesia;
d. melakukan kegiatan penyelenggaraan transfer dana; dan
e. melakukan kegiatan usaha lainnya di luar kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan
ayat (2).
- 9 -
Pasal 7
(1) Selain larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dilarang:
a.
menjadi pemilik penyelenggara KUPVA tidak
berizin;
b. melakukan kerja sama dengan penyelenggara
KUPVA tidak berizin; dan
c. melakukan kegiatan usaha melalui penyelenggara
KUPVA tidak berizin.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
untuk Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Pemegang
Saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
Pasal 8
Selain larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2), Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Pemegang Saham
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dilarang:
a. melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) untuk kepentingan
pribadi dengan menggunakan Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank sebagai sarana; dan/atau
b. melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) untuk kepentingan
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dengan atas nama
pribadi.
Pasal 9
(1) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib menetapkan:
a.
b.
kurs jual dan beli UKA; dan
kurs beli Cek Pelawat,
sesuai dengan mekanisme pasar.
(2) Dalam rangka menetapkan kurs sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib
paling sedikit:
a.
memiliki kebijakan dan prosedur tertulis penetapan
kurs;
- 10 -
b. menggunakan dasar penetapan kurs yang dapat
dipertanggungjawabkan dan diterapkan secara
konsisten; dan
c. membuat catatan dan/atau kertas kerja dalam
penetapan kurs yang mencakup antara lain faktor
atau fakta yang menjadi pertimbangan dan
perhitungan.
(3) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
penetapan kurs oleh Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
Pasal 10
(1) Dalam melakukan kegiatan, Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank wajib memastikan penerapan prinsip
perlindungan konsumen.
(2) Penerapan prinsip perlindungan konsumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), paling sedikit berupa:
a. penyampaian informasi kurs kepada Nasabah
secara transparan;
b.
perlindungan data dan/atau informasi Nasabah;
dan
c. penanganan dan penyelesaian pengaduan Nasabah
yang efektif.
(3) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dilarang mengenakan
biaya kepada Nasabah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan prinsip
perlindungan konsumen diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
BAB III
PERIZINAN PENYELENGGARA KEGIATAN USAHA
PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK
Pasal 11
(1) Badan usaha bukan bank yang akan melakukan
kegiatan usaha sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
- 11 -
(2) Direksi, Dewan Komisaris, dan pemegang saham dari
badan usaha bukan bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan
dari Bank Indonesia.
(3) Untuk memperoleh izin dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan usaha
bukan bank harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. berbadan hukum Perseroan Terbatas yang seluruh
sahamnya dimiliki oleh:
1. warga negara Indonesia; dan/atau
2. badan usaha yang seluruh sahamnya dimiliki
oleh warga negara Indonesia;
b. mencantumkan dalam anggaran dasar perseroan
bahwa maksud dan tujuan perseroan adalah
melakukan kegiatan jual beli UKA dan pembelian
Cek Pelawat;
c. memenuhi jumlah modal disetor yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia; dan
d. modal disetor tidak berasal dari dan/atau untuk
tujuan pencucian uang (money laundering).
(4) Permohonan izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
secara tertulis oleh Direksi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara permohonan izin sebagai Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 12
(1)
Izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) diberikan
oleh Bank Indonesia melalui tahapan sebagai berikut:
a.
b.
penelitian pemenuhan persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3);
penelitian pemenuhan persyaratan sebagai anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan pemegang
- 12 -
saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan
Pasal 21;
c.
pemeriksaan lokasi tempat usaha
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank; dan
calon
d. penyuluhan ketentuan kepada anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, dan pemegang saham
calon Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
(2) Dalam rangka melakukan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c,
Bank Indonesia dapat melakukan konfirmasi atau
wawancara kepada calon Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemberian
izin dan tata cara konfirmasi atau wawancara diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 13
(1) Calon Penyelenggara KUPVA Bukan Bank harus
memenuhi tahapan penelitian, pemeriksaan lokasi, dan
penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(1).
(2) Dalam hal calon Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
tidak memenuhi tahapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia maka calon Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank
dinyatakan
permohonannya.
Pasal 14
(1)
Izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia berlaku selama 5 (lima)
tahun terhitung sejak tanggal pemberian izin dan dapat
diperpanjang berdasarkan permohonan Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan
sebelum masa berlaku izin berakhir.
telah
membatalkan
- 13 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan
perpanjangan izin dan tata cara perpanjangan izin
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 15
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi terhadap izin yang
telah diterbitkan kepada Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
atas dasar:
a.
hasil pengawasan Bank Indonesia selama masa
berlakunya izin; dan/atau
b. permohonan perpanjangan izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14.
(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
digunakan sebagai
dasar pertimbangan untuk
menetapkan kebijakan terkait izin yang telah diberikan
berupa:
a. memperpanjang masa berlaku izin;
b. mempersingkat masa berlaku izin;
c. membatasi penyelenggaraan KUPVA; dan/atau
d. mencabut izin.
Pasal 16
(1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan
pembatasan perizinan
berdasarkan pertimbangan
antara lain menjaga efisiensi nasional, menjaga
kepentingan publik, menjaga pertumbuhan industri,
dan/atau menjaga persaingan usaha yang sehat.
(2) Kebijakan pembatasan perizinan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk:
a.
penolakan permohonan izin sebagai Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank;
b. penolakan permohonan izin sebagai Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank pada wilayah tertentu;
- 14 -
c.
penolakan permohonan pembukaan jaringan
kantor; dan/atau
d. pembatasan kegiatan usaha.
Pasal 17
Izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang telah
diperoleh dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) dilarang dialihkan kepada pihak lain atau
digunakan oleh pihak lain.
Pasal 18
(1) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib melaksanakan
kegiatannya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal pemberian izin.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja setelah tanggal dimulainya
pelaksanaan kegiatan usaha.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank belum
melaksanakan kegiatan usaha maka izin yang telah
diberikan oleh Bank Indonesia menjadi batal dan
dinyatakan tidak berlaku.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin
dan penyampaian laporan diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
- 15 -
BAB IV
PENYELENGGARAAN KEGIATAN USAHA PENUKARAN
VALUTA ASING BUKAN BANK
Bagian Kesatu
Direksi, Dewan Komisaris, dan Pemegang Saham
Pasal 19
(1) Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b.
memiliki pendidikan formal paling rendah setingkat
diploma tiga;
c.
memiliki pengetahuan di bidang penyelenggaraan
KUPVA yang memadai dan relevan dengan
jabatannya;
d.
e.
f.
tidak tercatat dalam daftar hitam nasional penarik
cek dan/atau bilyet giro kosong;
tidak memiliki kredit bermasalah sesuai data dalam
sistem informasi debitur;
memenuhi kewajiban perpajakan yang dibuktikan
dengan surat keterangan fiskal yang diterbitkan
oleh otoritas perpajakan pada periode 1 (satu)
tahun terakhir;
g.
tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana tertentu dalam 2 (dua) tahun
terakhir;
h.
tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota
Direksi, atau anggota Dewan Komisaris dari suatu
Perseroan Terbatas yang dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan izin oleh Bank
Indonesia dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
sebelum tanggal pengajuan permohonan;
i.
tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah
menjadi pemegang saham, anggota Direksi, atau
anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah
- 16 -
karena menyebabkan suatu badan usaha
dinyatakan pailit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
sebelum tanggal pengajuan permohonan;
j.
memiliki komitmen untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan ketentuan yang mengatur mengenai
kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan
bank dan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
k. menyampaikan data, informasi, keterangan, atau
pernyataan kepada Bank Indonesia sesuai dengan
kondisi sebenarnya dan bertanggung jawab atas
data, informasi, keterangan, atau pernyataan yang
disampaikan tersebut.
(2) Dalam rangka memastikan pemenuhan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
dapat melakukan konfirmasi atau wawancara kepada
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan
persyaratan dan tata cara konfirmasi atau wawancara
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 20
(1) Anggota Direksi Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
harus mengikuti pelatihan dan/atau sertifikasi yang
mendukung penyelenggaraan KUPVA.
(2) Pelatihan dan/atau sertifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan setelah anggota Direksi
mendapat persetujuan dari Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelatihan dan/atau
sertifikasi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 21
(1) Pemegang Saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- 17 -
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia;
b.
c.
tidak tercatat dalam daftar hitam nasional penarik
cek dan/atau bilyet giro kosong;
tidak memiliki kredit bermasalah sesuai data dalam
sistem informasi debitur;
d. memenuhi kewajiban perpajakan yang dibuktikan
dengan surat keterangan fiskal yang diterbitkan
oleh otoritas perpajakan pada periode 1 (satu)
tahun terakhir;
e.
tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana tertentu dalam 2 (dua) tahun
terakhir;
f.
tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota
Direksi, atau anggota Dewan Komisaris dari suatu
Perseroan Terbatas yang dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan izin oleh Bank
Indonesia dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
sebelum tanggal pengajuan permohonan;
g.
tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah
menjadi pemegang saham, anggota Direksi, atau
anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah
karena menyebabkan suatu badan usaha
dinyatakan pailit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
sebelum tanggal pengajuan permohonan; dan
h. menyampaikan data, informasi, keterangan, atau
pernyataan kepada Bank Indonesia sesuai dengan
kondisi sebenarnya dan bertanggung jawab atas
data, informasi, keterangan, atau pernyataan yang
disampaikan tersebut.
(2) Dalam hal Pemegang Saham merupakan badan hukum,
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan oleh Direksi dari badan hukum tersebut.
(3) Dalam rangka memastikan pemenuhan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
dapat melakukan konfirmasi atau wawancara kepada
Pemegang Saham.
- 18 -
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan
persyaratan dan tata cara konfirmasi atau wawancara
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 22
(1) Dalam hal Penyelenggara KUPVA Bukan Bank akan
melakukan perubahan terhadap Direksi, Dewan
Komisaris, dan/atau Pemegang Saham maka calon
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Pemegang Saham
wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank
Indonesia.
(2) Calon Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Pemegang
Saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 21
serta mengikuti penyuluhan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d.
(3) Pengangkatan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau
perubahan Pemegang Saham Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank yang telah memperoleh persetujuan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia disertai dengan
dokumen pendukung.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan
persetujuan dan tata cara pelaporan diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 23
(1) Pemegang Saham wajib melakukan penggantian anggota
Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris yang diputus
bersalah karena terbukti melakukan tindak pidana
tertentu berdasarkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap.
(2) Pemegang Saham wajib mengalihkan sahamnya kepada
pihak lain, dalam hal Pemegang Saham diputus bersalah
karena terbukti melakukan tindak pidana tertentu
- 19 -
berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap.
(3) Penggantian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris dan pengalihan saham wajib dilakukan paling
lambat 3 (tiga) bulan setelah putusan pengadilan atas
perkara tindak pidana tertentu yang telah berkekuatan
hukum tetap.
Bagian Kedua
Pencantuman Logo, Sertifikat, dan Nama Dagang
Pasal 24
(1) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib memasang:
a.
b.
c.
logo Penyelenggara KUPVA berizin yang dikeluarkan
oleh Bank Indonesia;
sertifikat izin usaha yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia; dan
tulisan “Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran
Valuta Asing Berizin” (“Authorized Money Changer”),
dan nama Perseroan Terbatas Penyelenggara
KUPVA, di tempat yang mudah terlihat pada lokasi
usaha.
(2) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib menggunakan
tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dalam setiap bentuk dokumen, korespondensi, maupun
bentuk lainnya.
(3) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dapat menggunakan
nama dagang dengan ketentuan sebagai berikut:
a. hanya memiliki 1 (satu) nama dagang; dan
b. nama dagang mencerminkan nama Perseroan
Terbatas dari Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
- 20 -
Bagian Ketiga
Rekening Bank Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
Pasal 25
(1) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib memiliki
rekening pada bank atas nama Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank.
(2) Rekening bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat digunakan untuk kegiatan usaha maupun
kegiatan operasional sebagai Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank.
(3) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dilarang
menggunakan rekening bank selain atas nama
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
Bagian Keempat
Pembukaan Kantor Cabang dan Gerai (Counter)
Pasal 26
(1) Pembukaan kantor cabang Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan
Bank Indonesia.
(2) Pembukaan kantor cabang Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan permodalan, kelayakan lokasi,
dan kesiapan pembukaan kantor cabang.
(3) Dalam rangka pemberian persetujuan pembukaan
kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia juga mempertimbangkan pemenuhan
kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara permohonan untuk memperoleh persetujuan serta
prosedur pemberian persetujuan diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
- 21 -
Pasal 27
(1) Pembukaan gerai (counter) di luar kantor Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank wajib terlebih dahulu dilaporkan
kepada Bank Indonesia untuk memperoleh penegasan.
(2) Pembukaan gerai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk jangka waktu dan tujuan tertentu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan dan
jangka waktu serta tujuan pembukaan gerai oleh
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Bagian Kelima
Pemindahan Alamat Kantor
Pasal 28
(1) Pemindahan alamat kantor Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan
Bank Indonesia.
(2) Pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memenuhi persyaratan kelayakan lokasi
dan kesiapan pemindahan alamat kantor.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan
persetujuan dan persyaratan kelayakan lokasi serta
kesiapan pemindahan alamat kantor diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Bagian Keenam
Perubahan Nama dan Modal
Pasal 29
(1) Perubahan nama dan modal Perseroan Terbatas
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib dilaporkan
kepada Bank Indonesia setelah perubahan tersebut
memperoleh persetujuan dari otoritas yang berwenang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan
perubahan nama dan modal Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
- 22 -
Bagian Ketujuh
Penghentian Kegiatan Usaha Kantor Pusat dan/atau
Penutupan Kantor Cabang
Pasal 30
(1) Penghentian kegiatan usaha kantor pusat dan/atau
penutupan kantor cabang Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank dapat dilakukan atas:
a.
perintah Bank Indonesia; atau
b. permintaan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank,
berdasarkan alasan tertentu.
(2) Penghentian kegiatan usaha kantor pusat dan/atau
penutupan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b wajib terlebih dahulu memperoleh
persetujuan Bank Indonesia.
(3) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
menyampaikan permohonan yang disertai dengan alasan
penghentian kegiatan usaha kantor pusat dan/atau
penutupan kantor cabang dan dilengkapi paling sedikit
dengan:
a.
fotokopi risalah Rapat Umum Pemegang Saham
mengenai penghentian kegiatan usaha kantor pusat
dan/atau keputusan Direksi mengenai penutupan
kantor cabang;
b. pernyataan dari Pemegang Saham bahwa
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank telah
menyelesaikan seluruh kewajiban dan akan
bertanggung jawab terhadap setiap tuntutan yang
mungkin timbul di kemudian hari;
c.
d.
logo Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia; dan
sertifikat izin usaha Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank dan persetujuan pembukaan kantor cabang
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
(4) Penghentian kegiatan usaha kantor pusat dan/atau
penutupan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada
- 23 -
ayat (1) dilakukan Bank Indonesia dengan mencabut dan
menyatakan tidak berlaku izin usaha Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank atau persetujuan pembukaan
kantor cabang Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
BAB V
PELAPORAN PENYELENGGARA KUPVA BUKAN BANK
Pasal 31
(1) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib menyampaikan
laporan kepada Bank Indonesia yang meliputi:
a.
b.
laporan berkala; dan
laporan insidental.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(3) Laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a disampaikan secara online melalui sistem
aplikasi pelaporan Bank Indonesia.
(4) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b disampaikan kepada Bank Indonesia secara
tertulis dan ditandatangani oleh Direksi.
(5) Dalam hal terdapat gangguan terhadap sistem aplikasi
pelaporan atau terdapat alasan tertentu yang
menyebabkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tidak dapat disampaikan secara online, Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank wajib menyampaikan laporan
kepada Bank Indonesia secara tertulis dan
ditandatangani oleh Direksi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu dan tata
cara penyampaian laporan diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 32
Bank Indonesia berwenang meminta laporan keuangan yang
telah diaudit oleh akuntan publik kepada Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank.
- 24 -
BAB VI
PENGAWASAN PENYELENGGARA KUPVA BUKAN BANK
Pasal 33
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
(2) Pengawasan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. pengawasan langsung; dan
b. pengawasan tidak langsung.
(3) Dalam melakukan pengawasan terhadap Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bank Indonesia berwenang memberikan surat
pembinaan dan mengenakan sanksi.
(4) Penyelenggara
KUPVA
Bukan Bank
wajib
menindaklanjuti surat pembinaan dan mematuhi sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 34
(1) Dalam melaksanakan pengawasan langsung terhadap
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf a, Bank
Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas
nama Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan
terhadap Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
(2) Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia untuk
melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib:
a. menjaga kerahasiaan data dan informasi yang
diperoleh dari hasil pemeriksaan; dan
b. menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada
Bank Indonesia.
- 25 -
BAB VII
PERMINTAAN INFORMASI
Pasal 35
Dalam rangka memastikan pemenuhan ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Indonesia berwenang
meminta informasi kepada otoritas atau instansi yang terkait.
BAB VIII
LAYANAN JUAL BELI UKA OLEH PIHAK SELAIN
PENYELENGGARA KUPVA BUKAN BANK
Pasal 36
(1) Pada wilayah tertentu, Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank dapat bekerja sama dengan pihak selain
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank untuk melakukan
kegiatan layanan pembelian UKA dengan persetujuan
Bank Indonesia.
(2) Pihak selain Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menjalankan
kegiatan usaha sebagai hotel atau badan usaha yang
menyelenggarakan kegiatan sejenis dengan hotel.
(3) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Penyelenggara KUPVA Bukan Bank harus
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank
Indonesia yang memuat tujuan dan alasan rencana kerja
sama, serta paling sedikit dilengkapi dengan data dan
informasi mengenai:
a.
b.
c.
profil pihak yang akan menjadi mitra kerja sama;
kondisi geografis wilayah kerja sama;
d.
keberadaan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank di
sekitar wilayah kerja sama; dan
hal lain yang dianggap perlu.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kerja sama
antara Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dengan pihak
selain Penyelenggara KUPVA Bukan Bank diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
- 26 -
Pasal 37
(1) Pihak selain Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang
melakukan jual beli UKA di kawasan perbatasan
Indonesia wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan
dari Bank Indonesia.
(2) Pihak selain Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk
badan usaha.
(3) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pihak selain Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank harus mengajukan permohonan persetujuan
secara tertulis kepada Bank Indonesia yang memuat
tujuan dan alasan permohonan serta paling sedikit
dilengkapi dengan data dan informasi mengenai:
a.
b.
profil pemohon;
kondisi geografis kawasan perbatasan yang akan
menjadi lokasi usaha pemohon;
c.
d.
e.
keberadaan Bank dan/atau Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank di sekitar lokasi usaha pemohon;
kesiapan operasional, termasuk sumber daya
manusia untuk melakukan jual beli UKA; dan
hal lain yang dianggap perlu.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan jual beli
UKA di kawasan perbatasan Indonesia oleh pihak selain
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 38
(1) Pihak yang telah melakukan kegiatan usaha penukaran
valuta asing tanpa izin Bank Indonesia, wajib
memperoleh izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pihak yang telah melakukan kegiatan usaha
- 27 -
penukaran valuta asing tanpa izin Bank Indonesia wajib
mengajukan permohonan paling lama 6 (enam) bulan
sejak Peraturan Bank Indonesia ini diundangkan.
(3) Dalam hal setelah berlalunya jangka waktu 6 (enam)
bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank
Indonesia mengetahui adanya pihak yang tidak
memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia dapat:
a.
menyampaikan teguran tertulis; dan/atau
b. merekomendasikan kepada otoritas yang
berwenang untuk:
1. menghentikan kegiatan usaha; dan/atau
2. mencabut izin usaha yang diberikan oleh
otoritas yang berwenang dimaksud.
BAB X
SANKSI
Pasal 39
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a, Pasal 2 ayat (3) huruf c,
Pasal 2 ayat (7), Pasal 2 ayat (8), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5
ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4),
Pasal 6, Pasal 9 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 ayat
(1), Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (2),
Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 22
ayat (1), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23, Pasal 24 ayat (1),
Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 25 ayat (3),
Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1),
Pasal 29 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 31 ayat (1),
Pasal 31 ayat (5), Pasal 33 ayat (4), Pasal 34 ayat (2),
dan/atau Pasal 37 ayat (1) dikenakan sanksi
administratif berupa:
a.
teguran tertulis;
b. kewajiban membayar;
c.
d.
penghentian kegiatan usaha; dan/atau
pencabutan izin.
- 28 -
(2) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b atas pelanggaran ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c,
Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (2),
dan Pasal 5 ayat (3) ditetapkan sebesar 1% (satu persen)
dari nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap
pelanggaran, dengan jumlah sanksi paling sedikit
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(3) Nilai nominal transaksi yang dilanggar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan selisih
antara total pembelian UKA dengan jumlah tertentu
(threshold) kewajiban pemenuhan Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c.
(4)
Nilai Rupiah sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dihitung menggunakan kurs
Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada tanggal
terjadinya pelanggaran.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 40
(1) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1), dikenakan sanksi berupa pencabutan izin.
(2) Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Pemegang Saham
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
dan Pasal 8, dikenakan sanksi berupa larangan untuk
menjadi Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Pemegang
Saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
- 29 -
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 41
Izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang telah
diberikan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini,
tetap berlaku dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun
terhitung sejak tanggal Peraturan Bank Indonesia ini
diundangkan.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/15/PBI/2014
tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan
Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 206, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5577), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
b. Semua ketentuan Bank Indonesia yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia
Nomor 16/15/PBI/2014 tentang Kegiatan Usaha
Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 206, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5577),
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 43
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13,
Pasal 19, dan Pasal 21 dalam Peraturan Bank Indonesia ini
mulai berlaku 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal
Peraturan Bank Indonesia ini diundangkan.
- 30 -
Pasal 44
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 194
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/20/PBI/2016
TENTANG
KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK
I. UMUM
Dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah serta
menjaga kelangsungan ekonomi nasional, dibutuhkan dukungan pasar
keuangan yang sehat, khususnya pasar valuta asing domestik. Untuk
mewujudkan tujuan tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan
mengenai transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara bank dengan
pihak domestik dan kebijakan mengenai mengenai transaksi valuta asing
terhadap Rupiah antara bank dengan pihak asing khususnya kewajiban
memiliki Underlying Transaksi untuk pembelian valuta asing terhadap
Rupiah oleh nasabah kepada bank dengan nilai di atas USD25,000.00 (dua
puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per
nasabah.
Peraturan Bank Indonesia mengenai transaksi valuta asing terhadap
Rupiah dimaksud mengatur transaksi antara bank dengan Penyelenggara
KUPVA sebagai nasabah bank. Namun demikian, dalam Peraturan Bank
Indonesia tersebut belum terdapat aturan yang secara khusus mengatur
mengenai transaksi antara Nasabah dengan Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank dan kewajiban Nasabah menyampaikan Underlying Transaksi kepada
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. Oleh karena itu, ketentuan KUPVA
Bukan Bank yang berlaku perlu diselaraskan dengan ketentuan mengenai
transaksi valuta asing terhadap Rupiah bagi bank, khususnya terkait
kewajiban Nasabah yang melakukan transaksi untuk memiliki Underlying
Transaksi.
- 2 -
Di samping itu, dalam rangka meningkatkan tata kelola yang baik
sehingga industri KUPVA dapat berkembang secara sehat dan mendukung
kelangsungan ekonomi nasional, perlu dilakukan penyempurnaan
pengaturan mengenai:
a. cakupan kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank;
b. persyaratan perizinan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank;
c. kewenangan Bank Indonesia dalam melakukan pembatasan
pemberian izin dan evaluasi perizinan Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank;
d. kewenangan Bank Indonesia dalam mengawasi penetapan kurs jual
dan beli UKA oleh Penyelenggara KUPVA Bukan Bank;
e. persyaratan calon pengurus dan pemegang saham Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank;
f. penerapan perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan KUPVA
Bukan Bank;
g. pihak lain yang dapat melakukan pembelian UKA atau jual dan beli
UKA di kawasan perbatasan; dan
h. kewajiban Penyelenggara KUPVA Bukan Bank untuk memiliki rekening
bank atas nama Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan
Bank.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
- 3 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Jumlah tertentu (threshold) dalam pembelian UKA oleh
Nasabah dari Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang wajib
memiliki Underlying Transaksi pada saat ini adalah di atas
USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat)
atau ekuivalennya sebagaimana pengaturan pembelian valuta
asing oleh Nasabah kepada bank melalui transaksi spot.
Dalam hal terdapat perubahan jumlah tertentu (threshold)
dalam ketentuan Bank Indonesia dimaksud maka jumlah
tertentu (threshold) dalam Peraturan Bank Indonesia ini
mengacu pada jumlah tertentu (threshold) sebagaimana diatur
dalam perubahan ketentuan Bank Indonesia dimaksud.
Perhitungan per bulan didasarkan pada bulan kalender yaitu
sejak tanggal permulaan bulan kalender sampai dengan
tanggal berakhirnya bulan kalender.
Perhitungan nominal transaksi didasarkan pada tanggal
transaksi dan akumulasi seluruh transaksi dalam 1 (satu)
bulan kalender yang dilakukan oleh masing-masing Nasabah
secara individual.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “ketentuan yang mengatur mengenai anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme” antara lain
Peraturan Bank Indonesia mengenai penerapan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme pada
pedagang valuta asing bukan bank dan peraturan perundang-
undangan lainnya mengenai penerapan anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme.
- 4 -
Ayat (7)
Standar akuntansi yang digunakan bagi KUPVA Bukan Bank
adalah standar akuntansi yang berlaku bagi badan hukum
Perseroan Terbatas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perdagangan barang di dalam dan di
luar negeri” antara lain perdagangan barang fisik berupa
barang konsumsi, barang modal, dan barang setengah jadi.
Yang dimaksud dengan “perdagangan jasa di dalam dan di
luar negeri” antara lain pelayanan jasa rumah sakit,
pendidikan, dan perjalanan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “investasi di dalam dan di luar negeri”
antara lain investasi untuk pembelian surat berharga dan
investasi properti di luar negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “penempatan dana pada bank” antara lain
tabungan, giro, deposito, dan Negotiable Certificate of Deposit
(NCD).
Dalam hal perusahaan penyelenggara transfer dana melakukan
pembelian valuta asing untuk memenuhi kebutuhan transfer
nasabahnya, perintah nasabah dimaksud tidak dapat dijadikan
sebagai Underlying Transaksi.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 5 -
Ayat (2)
Nominal kelipatan tertentu pembelian UKA pada saat ini adalah
dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat)
atau ekuivalennya sebagaimana pengaturan mengenai kelipatan
nominal Underlying Transaksi dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara bank
dengan pihak domestik dan ketentuan Bank Indonesia mengenai
transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara bank dengan pihak
asing.
Dalam hal terdapat perubahan nominal kelipatan tertentu
pembelian UKA dalam ketentuan Bank Indonesia dimaksud maka
kelipatan tertentu pembelian UKA dalam Peraturan Bank Indonesia
ini mengacu pada nominal kelipatan tertentu sebagaimana diatur
dalam perubahan ketentuan Bank Indonesia dimaksud.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Dokumen yang bersifat tagihan atau yang menimbulkan
kewajiban pembayaran antara lain berupa invoice atau
commercial invoice, debit note, sales contract, list of
invoices, billing notice atau billing/payment schedule, atau
faktur pajak.
Kontrak atau perjanjian antara lain berupa kontrak jasa
konsultan, surat perjanjian kerja, surat perjanjian kredit,
perjanjian royalti, cash management agreement,
perjanjian jual beli, atau perjanjian sewa menyewa.
Angka 2
Dokumen perkiraan kebutuhan biaya antara lain berupa
perkiraan biaya sekolah dan biaya hidup di luar negeri,
perkiraan biaya berobat dan akomodasi, perkiraan biaya
perjalanan dan akomodasi, proyeksi cash flow,
pemberitahuan impor barang, pemberitahuan ekspor
- 6 -
barang, purchase order confirmation, dokumen pembelian,
proforma invoice, atau sales/import projection.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang mewakili
Nasabah” adalah pejabat yang mewakili badan usaha
berdasarkan anggaran dasar atau pejabat yang ditunjuk.
Angka 4
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “margin trading” adalah transaksi jual beli
mata uang (valuta) tanpa diikuti pergerakan dana, melainkan
hanya marjin selisih kurs.
Yang dimaksud dengan “spot” adalah transaksi jual beli tunai
antara 2 (dua) mata uang (valuta) dengan penyerahan dana
dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
Yang dimaksud dengan “forward” adalah transaksi jual beli
berjangka antara 2 (dua) mata uang (valuta) dengan penyerahan
dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal
transaksi.
- 7 -
Yang dimaksud dengan “swap” adalah transaksi pertukaran antara
2 (dua) mata uang (valuta) melalui pembelian atau penjualan tunai
(spot) dengan penjualan atau pembelian secara berjangka (forward)
yang dilakukan secara bersamaan.
Yang dimaksud “transaksi derivatif” adalah transaksi yang didasari
oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya
merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti
suku bunga, nilai tukar, komoditas, ekuitas, dan indeks, baik yang
diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau
instrumen.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Kegiatan usaha lainnya antara lain berupa kegiatan transaksi jual
dan beli emas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Larangan untuk melakukan kegiatan usaha meliputi kegiatan usaha
yang dilakukan oleh Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Pemegang
Saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “menetapkan kurs jual dan beli UKA, dan
kurs beli Cek Pelawat sesuai dengan mekanisme pasar” adalah
penetapan harga secara wajar yang ditunjukkan antara lain
dengan:
a. penetapan berdasarkan transaksi dengan kondisi yang umum
terjadi dan dilakukan oleh para pihak yang bebas bukan karena
paksaan;
- 8 -
b. penetapan sesuai dengan kondisi pasar pada tanggal atau
waktu transaksi dilakukan; dan/atau
c. penetapan menggunakan informasi harga yang terjadi di pasar
dari sumber yang handal dan dapat dipercaya misalnya dari
Bank Indonesia, Bloomberg, atau Reuters, serta dapat diakses
dengan mudah misalnya melalui media massa atau fasilitas
internet yang tersedia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Prinsip perlindungan konsumen meliputi keadilan dan keandalan,
transparansi, perlindungan data dan/atau informasi konsumen,
serta penanganan dan penyelesaian pengaduan yang efektif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “biaya” adalah biaya yang dikenakan
kepada Nasabah di luar kurs yang ditetapkan oleh Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
- 9 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pemeriksaan lokasi tempat usaha
calon Penyelenggara KUPVA Bukan Bank” antara lain melihat
kesiapan sarana dan prasarana, serta mekanisme dan
prosedur dalam melakukan kegiatan usaha.
Huruf d
Penyuluhan ketentuan bertujuan untuk:
1. menginformasikan ketentuan mengenai penyelenggaraan
kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank dan
perundang-undangan terkait lainnya yang berlaku; dan
2. meningkatkan pemahaman calon pelaku usaha dalam
menerapkan ketentuan dan menjalankan kegiatan
usaha.
Ayat (2)
Konfirmasi atau wawancara dilakukan untuk memastikan
pemenuhan persyaratan badan usaha, pemenuhan persyaratan
bagi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau
pemegang saham, dan pemeriksaan lokasi tempat usaha.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Evaluasi dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain sebagai
berikut:
a. optimalisasi dan perkembangan kegiatan usaha;
b. kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku; dan/atau
c. penerapan prinsip perlindungan konsumen.
- 10 -
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pembatasan penyelenggaraan KUPVA antara lain berupa
pembatasan terhadap jenis kegiatan usaha, pembatasan
terhadap wilayah penyelenggaraan, dan pembatasan terhadap
jaringan kantor.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “menjaga efisiensi nasional” adalah
penyelenggaraan KUPVA tersedia secara efisien dari segi biaya
transaksi dan nilai kurs yang wajar, serta tidak menjadi
penghambat bagi kebijakan nasional.
Yang dimaksud dengan “menjaga kepentingan publik" adalah
memastikan keberadaan industri KUPVA memenuhi kebutuhan
masyarakat secara luas dengan kemudahan akses dan/atau
layanan yang berkualitas.
Yang dimaksud dengan “menjaga pertumbuhan industri" adalah
keberadaan industri KUPVA tumbuh secara wajar.
Yang dimaksud dengan “menjaga persaingan usaha yang sehat”
adalah penyelenggaraan KUPVA dilakukan secara jujur, tidak
melawan hukum, dan/atau tercipta persaingan usaha yang sehat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “kredit bermasalah” adalah kredit
yang memiliki kualitas kurang lancar, diragukan, atau macet.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “tindak pidana tertentu” adalah tindak
pidana pencucian uang, tindak pidana pendanaan terorisme,
dan tindak pidana asal sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, yaitu korupsi, penyuapan, narkotika,
psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan
migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang
perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang,
perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian,
penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian,
prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di
bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan,
atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara
4 (empat) tahun atau lebih.
Jika anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank tidak pernah menjalani
persidangan perkara pidana tertentu, anggota Direksi atau
anggota Dewan Komisaris Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
harus menyampaikan surat pernyataan.
Jika anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank pernah menjalani
- 12 -
persidangan perkara pidana tertentu, maka persyaratan “tidak
pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana
tertentu” harus berdasarkan pada putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Jika anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank tidak pernah menjalani
persidangan perkara pailit, anggota Direksi atau anggota
Dewan Komisaris Penyelenggara KUPVA Bukan Bank harus
menyampaikan surat pernyataan.
Jika anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank pernah menjalani
persidangan perkara pailit, maka persyaratan “tidak pernah
dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pemegang saham,
anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris yang
dinyatakan bersalah karena menyebabkan suatu badan usaha
dinyatakan pailit” harus berdasarkan pada putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Pelatihan dan/atau sertifikasi dapat diselenggarakan oleh Bank
Indonesia, asosiasi, dan/atau pihak penyelenggara pelatihan
dan/atau sertifikasi.
Pelatihan dan/atau sertifikasi yang mendukung penyelenggaraan
KUPVA Bukan Bank antara lain mengenai manajemen umum,
- 13 -
manajemen risiko, dan penerapan anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kredit bermasalah” adalah kredit
yang memiliki kualitas kurang lancar, diragukan, atau macet.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “tindak pidana tertentu” adalah tindak
pidana pencucian uang, tindak pidana pendanaan terorisme,
dan tindak pidana asal sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, yaitu korupsi, penyuapan, narkotika,
psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan
migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang
perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang,
perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian,
penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian,
prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di
bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan,
atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara
4 (empat) tahun atau lebih.
Jika Pemegang Saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
tidak pernah menjalani persidangan perkara pidana tertentu,
Pemegang Saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank harus
menyampaikan surat pernyataan.
- 14 -
Jika Pemegang Saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
pernah menjalani persidangan perkara pidana tertentu, maka
persyaratan “tidak pernah dihukum karena terbukti
melakukan tindak pidana tertentu” harus berdasarkan pada
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Huruf f
Dalam hal pemegang saham berupa badan hukum maka
persyaratan tidak pernah dikenakan sanksi administratif
berupa pencabutan izin oleh Bank Indonesia hanya berlaku
dalam kedudukannya sebagai pemegang saham.
Huruf g
Dalam hal pemegang saham berupa badan hukum maka
persyaratan tidak dinyatakan pailit hanya berlaku dalam
kedudukannya sebagai pemegang saham.
Jika Pemegang Saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
tidak pernah menjalani persidangan perkara pailit, Pemegang
Saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank harus
menyampaikan surat pernyataan.
Jika Pemegang Saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
pernah menjalani persidangan perkara pailit maka
persyaratan “tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah
menjadi pemegang saham, anggota Direksi, atau anggota
Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah karena
menyebabkan suatu badan usaha dinyatakan pailit” harus
berdasarkan pada putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
- 15 -
Pasal 23
Yang dimaksud dengan “tindak pidana tertentu” adalah tindak pidana
pencucian uang, tindak pidana pendanaan terorisme, dan tindak pidana
asal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu korupsi,
penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja,
penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di
bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang,
perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian,
penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di
bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup,
di bidang kelautan dan perikanan, atau tindak pidana lain yang
diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Pemindahan alamat kantor Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
meliputi pemindahan alamat kantor pusat dan/atau kantor
cabang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 16 -
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Penutupan kantor cabang tidak mempengaruhi kegiatan kantor
pusat Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. Penutupan kantor pusat
secara otomatis akan menghentikan juga seluruh kegiatan kantor
cabang Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Laporan berkala antara lain berupa Laporan bulanan
penyelenggaraan KUPVA Bukan Bank.
Huruf b
Laporan insidental antara lain berupa laporan perubahan
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham,
laporan pemindahan alamat kantor, dan laporan lainnya yang
sewaktu-waktu diminta Bank Indonesia misalnya laporan
kurs valuta asing dan laporan transaksi keuangan tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
- 17 -
Pasal 32
Yang dimaksud dengan “laporan keuangan yang telah diaudit oleh
akuntan publik” adalah laporan yang diaudit sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang dilakukan oleh akuntan yang memiliki izin
usaha untuk melakukan kegiatan pemberian jasa audit yang
dikeluarkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pengawasan langsung antara lain dilakukan melalui
pemeriksaan secara umum dan/atau khusus terhadap
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
Huruf b
Pengawasan tidak langsung antara lain dilakukan melalui
kegiatan analisis terhadap laporan, keterangan, dan
penjelasan yang disampaikan oleh Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank dan/atau sumber atau pihak lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Pihak lain antara lain berupa kantor akuntan publik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “wilayah tertentu” antara lain adalah:
- 18 -
a. wilayah yang secara geografis dinilai sulit untuk dilakukan
pembukaan kantor Penyelenggara KUPVA Bukan Bank;
b. wilayah yang tidak terdapat atau terbatas bank dan/atau
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank; atau
c. wilayah yang memiliki akses transportasi dan telekomunikasi
terbatas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud “Pihak selain Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
yang melakukan jual beli UKA di kawasan perbatasan Indonesia”
adalah badan usaha yang menjalankan kegiatan usaha di kawasan
perbatasan Indonesia.
Persetujuan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada pihak
selain Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang melakukan jual beli
UKA di kawasan perbatasan Indonesia dilakukan dalam rangka
mendukung penggunaan Rupiah dalam transaksi perdagangan di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama ditujukan
bagi kawasan perbatasan Indonesia yang belum tersedia bank
dan/atau Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dan terdapat
kegiatan ekonomi yang membutuhkan layanan jual beli UKA.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
- 19 -
Pasal 39
Ayat (1)
Pengenaan sanksi kewajiban membayar dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
a. pendebetan rekening Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang
ada di Bank Indonesia, dalam hal Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank memiliki rekening di Bank Indonesia; atau
b. pembayaran ke rekening Bank Indonesia yang ditunjuk, dalam
hal Penyelenggara KUPVA Bukan Bank tidak memiliki
rekening di Bank Indonesia.
Ayat (2)
Contoh:
Pada tanggal 5 September 2016 Nasabah melakukan pembelian
UKA sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika
Serikat). Atas pembelian UKA tersebut, Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank tidak meminta Nasabah untuk memberikan dokumen
Underlying Transaksi, sehingga terdapat pelanggaran yang melebihi
jumlah tertentu (threshold) sebesar USD35,000.00 (tiga puluh lima
ribu dolar Amerika Serikat). Atas pelanggaran tersebut,
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dikenakan sanksi berupa
teguran tertulis dan kewajiban membayar yang dihitung dari nilai
nominal USD35,000.00 x 1%, yaitu sebesar USD350.00 (tiga ratus
lima puluh dolar Amerika Serikat). Apabila kurs Jakarta Interbank
Spot Dollar Rate (JISDOR) pada tanggal 5 September 2016 adalah
Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) maka ekuivalen perhitungan
sanksi adalah Rp3.500.000,00 (tiga juta lima ratus ribu rupiah)
namun minimal sanksi yang harus dibayar adalah sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate
(JISDOR) pada tanggal terjadinya pelanggaran” adalah kurs
Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) terkini yang tersedia
pada saat transaksi.
- 20 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5932
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/20/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK </reg_title>
<set_date> 3 Oktober 2016 </set_date>
<effective_date> 7 Oktober 2016 </effective_date>
<issued_date> 7 Oktober 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '16/15/PBI/2014' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011', '24/UU/1999', '9/UU/2013', '8/UU/2010' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/ 22 /PBI/2000
TENTANG
KEWAJIBAN PELAPORAN UTANG LUAR NEGERI
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan keberhasilan pengendalian
moneter diperlukan informasi mengenai kewajiban finansial Bank,
Badan Usaha Bukan Bank dan perorangan terhadap bukan
penduduk, khususnya utang luar negeri;
b. bahwa utang luar negeri merupakan salah satu komponen penting
dalam penyusunan statistik neraca pembayaran, pengelolaan
cadangan devisa, dan perumusan kebijakan moneter;
c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk menyusun
Peraturan Bank Indonesia tentang Kewajiban Pelaporan Utang
Luar Negeri.
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3844);
MEMUTUSKAN…
-2-
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN
PELAPORAN UTANG LUAR NEGERI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998;
2. Badan Usaha Bukan Bank adalah Badan Usaha Milik Negara, Daerah, dan Swasta
yang tidak melakukan kegiatan usaha sebagai Bank;
3. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha milik negara yang
didirikan sesuai dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1969 tentang
Bentuk-bentuk Usaha Negara menjadi Undang-undang dan badan usaha lainnya
yang didirikan dengan Undang-undang tersendiri yang terdapat unsur kepemilikan
negara;
4. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) adalah badan usaha yang dimiliki oleh
Pemerintah Daerah;
5. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) adalah badan usaha yang tidak termasuk
dalam pengertian BUMN dan BUMD;
6. Utang Luar Negeri atau selanjutnya disebut ULN adalah utang penduduk kepada
bukan…
-3-
bukan penduduk, dalam valuta asing dan atau rupiah, berdasarkan perjanjian
kredit (loan agreement) atau perjanjian lainnya, kecuali giro, tabungan, dan
deposito;
7. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili atau
berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk
perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri;
BAB II
KEWAJIBAN PENYAMPAIAN LAPORAN
Pasal 2
Bank, Badan Usaha Bukan Bank dan perorangan yang mempunyai ULN wajib
menyampaikan laporan setiap ULN kepada Bank Indonesia secara lengkap, benar, dan
tepat waktu secara berkala sesuai jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 3
Laporan ULN yang memuat data/informasi individual yang disampaikan kepada Bank
Indonesia bersifat rahasia.
Pasal 4
ULN yang berasal dari peneruspinjaman utang Pemerintah (Two Step Loan) tidak
perlu dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Pasal 5…
-4-
Pasal 5
(1) Laporan ULN yang wajib disampaikan oleh Bank, Badan Usaha Bukan Bank dan perorangan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 terdiri dari data pokok ULN dan atau perubahannya serta
data realisasi ULN.
(2) Jumlah dan jangka waktu ULN yang wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 6
(1) Dalam hal jumlah ULN yang dilaporkan diragukan kebenarannya, Bank Indonesia
dapat meneliti laporan tersebut, termasuk meminta bukti pembukuan, catatan dan
dokumen yang berkaitan dengan kewajiban pelaporan.
(2) Bank, Badan Usaha Bukan Bank dan perorangan wajib memberikan bantuan yang
diperlukan Bank Indonesia dalam rangka meneliti kebenaran atas laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB III
S A N K S I
Pasal 7
(1) Bank, Badan Usaha Bukan Bank dan perorangan yang terlambat menyampaikan
laporan ULN sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat 1 untuk setiap ULN yang
diterima, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp. 100.000,00
(seratus ribu rupiah) untuk setiap 1 (satu) hari keterlambatan.
(2) Bank, Badan Usaha Bukan Bank dan perorangan yang terlambat menyampaikan
laporan data realisasi ULN melampaui 6 (enam) bulan terhitung sejak batas akhir
penyampaian…
-5-
penyampaian laporan, dikenakan sanksi administratif berupa denda 1 0/00 (satu
per mil) dari setiap ULN yang diterima ditambah dengan denda keterlambatan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1.
(3) Bank, Badan Usaha Bukan Bank dan perorangan yang menerima ULN tetapi tidak
menyampaikan laporan data pokok ULN untuk setiap ULN kepada Bank
Indonesia, dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebesar 1 0/00 (satu per mil) dari jumlah ULN yang diterima ditambah dengan
denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Bank, Badan Usaha Bukan Bank dan perorangan yang menyampaikan laporan
ULN tidak lengkap dan atau tidak benar dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 8
Pengaturan lebih lanjut dari ketentuan Peraturan Bank Indonesia ini akan ditetapkan
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 9
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini:
1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 29/192/KEP/DIR tanggal 26
Maret 1997 tentang Pedoman Penerimaan Pinjaman Komersial Luar Negeri Bank
pasal 6…
-6-
pasal 6 ayat (2) khusus mengenai formulir laporan, pasal 8 ayat (2), (3), (4), serta
pasal 11.
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 29/193/KEP/DIR tanggal 26
Maret 1997 tentang Laporan Pinjaman Komersial Luar Negeri oleh Badan Usaha
Bukan Bank.
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/5/KEP/DIR tanggal 8 April
1998 tentang Kewajiban Melaporkan Pinjaman Komersial Luar Negeri oleh
Perusahaan Swasta.
4. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 29/55/ULN tanggal 26 Maret 1997 Perihal
Pedoman Penerimaan PKLN Bank, khusus angka IV. Pelanggaran mengenai tata
cara pembayaran sanksi atas pelanggaran pelaporan PKLN.
5. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/1/ULN tanggal 17 April 1998 tentang
Penyempurnaan Format Laporan Penerimaan Pinjaman Komersial Luar Negeri
(PKLN) yang diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
29/192/KEP/DIR tanggal 26 Maret 1997 tentang Pedoman Penerimaan Pinjaman
Komersial Luar Negeri Bank.
6. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 5/9-Kep.Dir tanggal 23 Juni
1972 perihal Tata Cara Pelaporan Penerimaan Kredit Luar Negeri dalam Rangka
PMA.
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 10
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan…
-7-
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 2 Oktober 2000
a. n. GUBERNUR BANK INDONESIA
ANWAR NASUTION
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 172
DLN
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/ 22 /PBI/2000
TENTANG
KEWAJIBAN PELAPORAN UTANG LUAR NEGERI
UMUM
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999
Tentang Bank Indonesia, salah satu tugas Bank Indonesia adalah menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter. Dalam rangka implementasi kebijakan moneter
tersebut, Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter melalui berbagai
cara yang dianggap efektif.
Sementara itu, Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar, menyatakan bahwa devisa merupakan salah satu
sumber pembiayaan yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi nasional akan
tetapi keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa selama ini belum
terpenuhi secara lengkap. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sistem pemantauan lalu
lintas devisa yang efektif. Sistem pemantauan lalu lintas devisa yang efektif tersebut
akan mendukung penerapan sistem devisa bebas agar tidak menimbulkan dampak
negatif bagi perekonomian nasional.
Pemantauan utang luar negeri merupakan bagian dari upaya Bank Indonesia
dalam rangka mengefektifkan kebijakan moneter melalui pemantauan lalu lintas
devisa secara efektif. Pemantauan Lalu Lintas Devisa meliputi pemantauan semua
transaksi yang menimbulkan terjadinya perpindahan aset dan kewajiban finansial
antara penduduk dan bukan penduduk, termasuk dalam hal ini pinjaman luar
negeri. Pelaksanaan pemantauan pinjaman luar negeri dilakukan dengan mewajibkan
Kepada….
kepada Bank, Badan Usaha Bukan Bank dan perorangan untuk menyampaikan
laporan ULN kepada Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 7
Cukup jelas
Pasal 2
Yang dimaksud dengan pelaporan ULN secara benar adalah apabila
data/informasi ULN yang disampaikan sesuai dengan loan agreement, dokumen
yang dipersamakan dengan itu dan realisasi loan agreement berdasarkan fakta-
fakta yang terjadi.
Yang dimaksud dengan laporan ULN tidak lengkap apabila laporan yang telah
disampaikan oleh Bank, Badan Usaha Bukan Bank dan perorangan tidak
memenuhi cakupan laporan sebagaimana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan data/informasi individual adalah data/informasi ULN
yang diterima oleh Bank Indonesia dari masing-masing pelapor yang memuat
antara lain nama, alamat pemberi pinjaman maupun peminjam, jumlah pinjaman
serta data pokok lainnya yang diperlukan.
Pasal 4…
Pasal 4
Two-step loan Pemerintah tidak dilaporkan karena secara administratif telah
ditatausahakan oleh Bank Indonesia sebagai pinjaman Pemerintah. Hal ini
adalah untuk menghindari pencatatan ganda (double counting) atas pinjaman
dimaksud.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan:
a. Data pokok ULN adalah data penerima ULN yang memuat antara lain
informasi mengenai identitas peminjam, dan data ULN yang memuat antara
lain informasi mengenai jenis pinjaman, jumlah pinjaman, serta persyaratan
pinjaman.
b. Data realisasi ULN yang memuat antara lain, penarikan, pembayaran serta
tunggakan pinjaman.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Bank, Badan Usaha Bukan Bank dan perorangan dianggap terlambat
menyampaikan…
menyampaikan laporan apabila laporan ULN Bank, Badan Usaha Bukan Bank
dan perorangan diterima oleh Bank Indonesia melewati masa penyampaian
laporan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan hari adalah hari kerja Bank Indonesia
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Bank Indonesia dapat menyatakan bahwa Bank, Badan Usaha Bukan Bank dan
perorangan tidak menyampaikan laporan data pokok ULN dan atau
perubahannya setelah menerima informasi dari pihak ketiga.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Hal-hal yang akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia, antara lain :
a.
Isi, bentuk, format, dan tata cara pengisian laporan ULN.
b. Prosedur dan tata cara penyampaian laporan.
c. Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif
Pasal 9
Angka 1 sampai dengan angka 3
Cukup jelas
Angka 4…
Angka 4
Yang dimaksud tata cara pembayaran sanksi atas pelanggaran pelaporan PKLN
adalah penyetoran ke rekening 304.000470 “Penerimaan atas Sanksi Kewajiban
Membayar karena Melanggar Ketentuan PKLN”.
Angka 5 dan angka 6
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4007
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/22/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PELAPORAN UTANG LUAR NEGERI </reg_title>
<set_date> 2 Oktober 2000 </set_date>
<effective_date> 2 Oktober 2000 </effective_date>
<replaced_reg> '29/193/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997', '29/192/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997 | Pasal 6 ayat (2) khusus mengenai formulir laporan, Pasal 8 ayat (2), (3), (4), serta Pasal 11', '31/5/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '29/55/ULN|SE-BI/1997 | angka IV', '31/1/ULN|SE-BI/1998', '5/9-Kep.Dir|SKDIR-BI/1972' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/ 21 /PBI/2010
TENTANG
RENCANA BISNIS BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka mengarahkan kegiatan operasional
bank sesuai visi dan misinya, bank perlu menetapkan
sasaran strategis dan seperangkat nilai perusahaan
(corporate values) yang dijabarkan lebih lanjut dalam
rencana bisnis;
b. bahwa rencana bisnis perlu disusun secara matang dan
realistis berdasarkan prinsip kehati-hatian dan penerapan
manajemen risiko, dengan cakupan yang komprehensif;
c. bahwa penyusunan rencana bisnis sebagai sarana bank
dalam mengendalikan risiko strategik harus memperhatikan
faktor eksternal dan faktor internal;
d. bahwa rencana bisnis bank yang realistis diperlukan juga
bagi otoritas moneter sebagai pertimbangan dalam
menetapkan kebijakan dan melakukan pengawasan macro
prudential;
e. bahwa . . .
- 2 -
e. bahwa rencana bisnis merupakan salah satu acuan bagi
pengawas bank dalam menyusun rencana pengawasan
berdasarkan risiko yang optimal dan efektif;
f.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e,
dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan
rencana bisnis bank dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang . . .
- 3 -
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG RENCANA
BISNIS BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang
bank asing, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah Unit Usaha
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Rencana Bisnis adalah dokumen tertulis yang menggambarkan rencana
kegiatan usaha Bank jangka pendek (satu tahun) dan jangka menengah
(tiga tahun), termasuk rencana untuk meningkatkan kinerja usaha, serta
strategi untuk merealisasikan rencana tersebut sesuai dengan target dan
waktu yang ditetapkan, dengan tetap memperhatikan pemenuhan ketentuan
kehati-hatian dan penerapan manajemen risiko.
4. Laporan . . .
- 4 -
4. Laporan Realisasi Rencana Bisnis adalah laporan dari Direksi Bank
mengenai realisasi Rencana Bisnis sampai dengan periode tertentu.
5. Laporan Pengawasan Rencana Bisnis adalah laporan dari Dewan Komisaris
Bank mengenai hasil pengawasan yang bersangkutan terhadap pelaksanaan
Rencana Bisnis sampai dengan periode tertentu.
6. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian,
termasuk pimpinan kantor cabang bank asing.
7. Dewan Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah
dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian,
termasuk pejabat yang ditunjuk kantor pusat bank asing untuk melakukan
fungsi pengawasan pelaksanaan Rencana Bisnis.
Pasal 2 . . .
- 5 -
Pasal 2
(1) Bank wajib menyusun Rencana Bisnis secara realistis setiap tahun.
(2) Dalam menyusun Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank memperhatikan:
a.
b. prinsip kehati-hatian;
c. penerapan manajemen risiko; dan
d.
azas perbankan yang sehat.
(3) Bagi Bank Umum yang memiliki UUS, Rencana Bisnis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib pula memuat Rencana Bisnis khusus untuk
UUS yang merupakan satu kesatuan dengan Rencana Bisnis Bank Umum.
(4) Rencana Bisnis wajib disusun oleh Direksi dan disetujui oleh Dewan
Komisaris.
Pasal 3
(1) Direksi wajib melaksanakan Rencana Bisnis secara efektif.
(2) Direksi wajib mengkomunikasikan Rencana Bisnis kepada:
a. pemegang saham Bank;
b. seluruh jenjang organisasi yang ada pada Bank.
Pasal 4
Dewan Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
Rencana Bisnis.
faktor eksternal dan internal yang dapat mempengaruhi kelangsungan
usaha Bank;
BAB II
. . .
- 6 -
BAB II
CAKUPAN RENCANA BISNIS
Pasal 5
Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling kurang meliputi:
a.
ringkasan eksekutif;
b. kebijakan dan strategi manajemen;
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
penerapan manajemen risiko dan kinerja Bank saat ini;
proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang digunakan;
proyeksi rasio-rasio dan pos-pos tertentu lainnya;
rencana pendanaan;
rencana penanaman dana;
rencana permodalan;
rencana pengembangan organisasi dan sumber daya manusia (SDM);
rencana penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru;
rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor;
informasi lainnya.
Pasal 6
Ringkasan eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a paling kurang
meliputi:
a. visi dan misi Bank;
b.
c.
d.
e.
arah kebijakan Bank;
langkah-langkah strategis yang akan ditempuh Bank;
indikator keuangan utama;
target jangka pendek dan jangka menengah.
Pasal 7 . . .
- 7 -
Pasal 7
Kebijakan dan strategi manajemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b
paling kurang meliputi:
a.
analisis posisi Bank dalam menghadapi persaingan usaha;
b. kebijakan manajemen (policy statements);
c. kebijakan manajemen risiko dan kepatuhan;
d.
e.
strategi pengembangan bisnis;
strategi pengembangan sumber daya manusia dan kebijakan remunerasi
(remuneration policies).
Pasal 8
Penerapan manajemen risiko dan kinerja Bank saat ini sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf c paling kurang meliputi:
a. penerapan manajemen risiko, termasuk penilaian profil risiko untuk seluruh
risiko;
b. penerapan tata kelola yang baik;
c. kinerja keuangan, terutama dari aspek permodalan (capital) dan rentabilitas
(earning);
d.
realisasi pemberian kredit kepada usaha mikro, kecil, dan menengah;
e. penerapan kepatuhan terhadap prinsip syariah, khusus bagi Bank Umum
Syariah dan UUS.
Pasal 9
Proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang digunakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf d paling kurang meliputi:
a. neraca . . .
- 8 -
a. neraca;
b. Komitmen dan kontinjensi;
c.
d.
laba rugi;
asumsi makro dan mikro yang digunakan.
Pasal 10
Proyeksi rasio-rasio dan pos-pos tertentu lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf e paling kurang meliputi:
a. proyeksi rasio keuangan pokok;
b. proyeksi pos-pos tertentu lainnya;
Pasal 11
Rencana pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f paling kurang
meliputi:
a.
b.
c.
rencana penghimpunan dana pihak ketiga;
rencana penerbitan surat berharga;
rencana pendanaan lainnya.
Pasal 12
Rencana penanaman dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g
paling kurang meliputi:
a.
b.
c.
d.
rencana penyediaan dana kepada pihak terkait;
rencana pemberian kredit/pembiayaan kepada debitur inti;
rencana pemberian kredit/pembiayaan berdasarkan kegiatan usaha tertentu;
rencana pemberian kredit/pembiayaan berdasarkan:
1) lapangan . . .
- 9 -
1)
2)
lapangan usaha;
jenis penggunaan;
3) propinsi;
4)
e.
jenis akad, khusus untuk Bank Umum Syariah dan UUS.
rencana pemberian kredit/pembiayaan kepada usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM) berdasarkan:
1)
2)
lapangan usaha;
jenis penggunaan; dan
3) propinsi.
f.
g.
rencana penanaman dana dalam bentuk surat berharga;
rencana penanaman dana dalam bentuk penyertaan modal, termasuk
rencana melakukan pemisahan (spin off) UUS dari Bank Umum yang
memiliki UUS;
h.
rencana penanaman dana lainnya.
Pasal 13
Rencana permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf h paling
kurang mencakup:
a. proyeksi pemenuhan kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM);
b.
rencana perubahan modal.
Pasal 14
Rencana pengembangan organisasi dan sumber daya manusia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf i paling kurang meliputi:
a.
b.
rencana pengembangan organisasi;
rencana pengembangan sistem informasi manajemen;
c. rencana . . .
- 10 -
c.
d.
rencana pengembangan sumber daya manusia;
rencana pemanfaatan tenaga kerja asing dan outsourcing.
Pasal 15
Rencana penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf j paling kurang meliputi:
a. rencana penerbitan produk baru;
b. rencana pelaksanaan aktivitas baru.
Pasal 16
Rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf k paling kurang meliputi:
a. bagi Bank Umum, rencana pembukaan kantor wilayah, kantor cabang, kantor
fungsional, kantor cabang pembantu, kantor kas, kegiatan pelayanan kas, dan
kantor di luar negeri, termasuk rencana pengembangan dan perubahan
jaringan kantor bagi UUS.
b. bagi Bank Umum Syariah, rencana pembukaan kantor cabang, kantor cabang
pembantu, kantor kas, kegiatan pelayanan kas, dan kantor di luar negeri.
Pasal 17
Informasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf l paling kurang
meliputi informasi yang perlu disampaikan karena mempengaruhi kegiatan usaha
Bank, yang tidak disebutkan dalam cakupan Rencana Bisnis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf a sampai dengan huruf k di atas.
BAB III
. . .
- 11 -
BAB III
PENYAMPAIAN, PERUBAHAN, DAN PELAPORAN RENCANA BISNIS
Pasal 18
(1) Bank wajib menyampaikan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan November
sebelum tahun Rencana Bisnis dimulai.
(2) Khusus untuk Rencana Bisnis tahun 2011, Bank wajib menyampaikan
Rencana Bisnis kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan
Desember 2010.
(3) Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk melakukan penyesuaian apabila
Rencana Bisnis yang disampaikan dinilai belum sepenuhnya memenuhi
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(4) Bank wajib menyampaikan penyesuaian terhadap Rencana Bisnis
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Bank Indonesia paling lambat
15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal surat dari Bank Indonesia.
Pasal 19
(1) Bank hanya dapat melakukan perubahan terhadap Rencana Bisnis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, apabila:
a.
b.
terdapat faktor yang secara signifikan mempengaruhi kinerja Bank,
berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.
(2) Perubahan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali, paling lambat pada akhir bulan Juni
tahun berjalan.
(3) Perubahan . . .
terdapat faktor eksternal dan internal yang secara signifikan
mempengaruhi operasional Bank; dan/atau
- 12 -
(3) Perubahan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
harus disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum
pelaksanaan perubahan Rencana Bisnis.
(4) Bank Indonesia berwenang meminta Bank untuk melakukan penyesuaian
terhadap perubahan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 20
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis secara
triwulanan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada
Bank Indonesia dengan batas waktu sebagai berikut:
a. paling lambat 1 (satu) bulan setelah triwulan yang bersangkutan
berakhir; atau
b. paling lambat 45 (empat puluh lima) hari kalender setelah triwulan
yang bersangkutan berakhir, bagi Bank yang sistem antar kantornya
belum on line dan memiliki lebih dari 100 (seratus) kantor cabang.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penjelasan mengenai pencapaian Rencana Bisnis;
b. penjelasan mengenai deviasi atas realisasi Rencana Bisnis;
c.
d.
e.
tindak lanjut atas pencapaian Rencana Bisnis;
rasio keuangan dan pos-pos tertentu;
informasi lainnya.
Pasal 21
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis secara
semesteran.
(2) Laporan . . .
- 13 -
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada
Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan setelah semester dimaksud
berakhir.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang meliputi
penilaian Dewan Komisaris mengenai:
a. pelaksanaan Rencana Bisnis baik secara kuantitatif maupun kualitatif;
b.
faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Bank;
c. upaya memperbaiki kinerja Bank.
Pasal 22
(1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Rencana Bisnis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) apabila Bank menyampaikan Rencana
Bisnis setelah batas akhir waktu penyampaian sampai dengan paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja.
(2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan penyesuaian Rencana Bisnis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) apabila Bank
menyampaikan penyesuaian Rencana Bisnis setelah batas akhir waktu
penyampaian sampai dengan paling lama 15 (lima belas) hari kerja.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan Rencana Bisnis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) atau penyesuaian Rencana Bisnis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) apabila sampai dengan
berakhirnya batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) atau ayat (2), Bank belum menyampaikan Rencana Bisnis atau
penyesuaiannya.
(4) Bank . . .
- 14 -
(4) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan Rencana Bisnis atau
penyesuaiannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap wajib
menyampaikan Rencana Bisnis atau penyesuaiannya kepada Bank
Indonesia.
Pasal 23
(1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Realisasi Rencana
Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) apabila Bank
menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis setelah batas akhir waktu
penyampaian sampai dengan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
(2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Pengawasan Rencana
Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) apabila Bank
menyampaikan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis setelah batas akhir
waktu penyampaian sampai dengan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) atau Laporan Pengawasan
Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), apabila
sampai dengan berakhirnya batas waktu Bank dinyatakan terlambat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), Bank belum
menyampaikan laporan tersebut.
(4) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Realisasi Rencana
Bisnis atau Laporan Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tetap wajib menyampaikan laporan tersebut kepada Bank
Indonesia.
Pasal 24 . . .
- 15 -
Pasal 24
Dalam hal batas akhir penyampaian Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1), penyampaian Laporan Realisasi Rencana Bisnis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), dan penyampaian Laporan
Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2)
jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur, maka Rencana Bisnis,
Laporan Realisasi Rencana Bisnis, dan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis
dapat disampaikan pada hari kerja berikutnya.
Pasal 25
Rencana Bisnis dan penyesuaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1) dan ayat (4), Laporan Realisasi Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1), dan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan
alamat:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. MH. Thamrin No. 2, Jakarta 10350,
bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia;
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
BAB IV
LAIN-LAIN
Pasal 26
Bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib
menerapkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini
sesuai dengan karakteristik usaha Bank dimaksud dan prinsip syariah.
BAB V . . .
- 16 -
BAB V
SANKSI
Pasal 27
(1) Bank yang terlambat menyampaikan:
a. Rencana Bisnis atau penyesuaiannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (1) atau ayat (2);
b. Laporan Realisasi Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (1); atau
c. Laporan Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (2),
masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan.
(2) Bank yang tidak menyampaikan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (3) atau laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (3) masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Khusus untuk Bank yang menyampaikan Rencana Bisnis tahun 2011
melewati batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2):
a.
tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) apabila disampaikan sampai dengan akhir Januari 2011;
atau
b. dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) apabila disampaikan setelah akhir
Januari 2011.
(4) Bank . . .
- 17 -
(4) Bank yang menyampaikan penyesuaian Rencana Bisnis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), namun:
a. dinilai tidak lengkap secara signifikan; dan/atau
b.
tidak dilampiri dokumen dan infomasi yang material,
sesuai dengan cakupan yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini
dan/atau ketentuan pelaksanaan terkait lainnya dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(5) Bank dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah:
a. Bank diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia
dengan tenggang waktu paling kurang 7 (tujuh) hari kerja untuk setiap
surat teguran; dan
b. Bank tidak memperbaiki penyesuaian Rencana Bisnis dalam jangka
waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah surat teguran terakhir.
Pasal 28
Bank yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (4),
dan/atau Pasal 23 ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa:
a.
teguran tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
c. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau
d. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham Bank dalam daftar
pihak-pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam penilaian
kemampuan dan kepatutan.
BAB VI
. . .
- 18 -
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini akan ditetapkan dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 30
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Peraturan Bank Indonesia No.6/25/PBI/2004 tanggal 22 Oktober 2004
tentang Rencana Bisnis Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,
kecuali ketentuan:
1) Pasal 21, Pasal 22, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 yang terkait
dengan kewajiban penyampaian Laporan Realisasi Rencana Bisnis
dan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis;
2) Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 29 ayat (1) yang terkait
dengan sanksi terhadap Laporan Realisasi Rencana Bisnis dan
Laporan Pengawasan Rencana Bisnis;
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa pelaporan
realisasi Rencana Bisnis dan pelaporan pengawasan Rencana Bisnis
tahun 2010.
b. Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.6/25/PBI/2004
tentang Rencana Bisnis Bank Umum dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan peraturan Bank Indonesia ini dan belum dicabut
dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur tentang Rencana Bisnis
Bank Umum.
Pasal 31 . . .
- 19 -
Pasal 31
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Oktober 2010
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Oktober 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 120
DPNP/DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/ 21/PBI/2010
TENTANG
RENCANA BISNIS BANK
I. UMUM
Bahwa dalam upaya memelihara ketahanan sistem perbankan yang sehat,
bank perlu melakukan langkah-langkah dalam meningkatkan tata kelola yang
baik (good corporate governance). Sebagai salah satu langkah dalam
menerapkan prinsip tata kelola yang baik, bank perlu menyusun dan menetapkan
sasaran strategis dan seperangkat nilai-nilai perusahaan (corporate values).
Selanjutnya sasaran strategis dan nilai-nilai perusahaan dimaksud dijabarkan
lebih lanjut dalam rencana bisnis, sebagai landasan dan acuan untuk
melaksanakan kegiatan operasional sesuai visi dan misi bank.
Dalam rangka mencapai tujuan sesuai visi dan misi, maka penyusunan
rencana bisnis bank perlu dilakukan secara matang dan realistis dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian dan penerapan manajemen risiko.
Selain itu, perencanaan harus dilakukan bank secara komprehensif sehingga
lebih mencerminkan kompleksitas usaha dan dapat menampung arah
pengembangan usaha bank. Rencana bisnis yang komprehensif juga dapat
meningkatkan fleksibilitas operasional bank dalam menghadapi persaingan usaha
yang semakin tinggi.
Dalam . . .
- 2 -
Dalam penyusunan rencana bisnis, bank juga harus mempertimbangkan
faktor eksternal dan faktor internal yang secara langsung atau tidak langsung
dapat mempengaruhi kelangsungan usaha bank sehingga dapat menghasilkan
rencana yang realistis. Rencana bisnis yang realistis merupakan salah satu upaya
dalam menerapkan manajemen risiko secara efektif, khususnya risiko strategik.
Arah pengembangan usaha bank yang dituangkan dalam rencana bisnis
merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan bagi otoritas moneter
dalam menetapkan kebijakan macro prudential untuk memelihara stabilitas
sistem keuangan. Oleh karena itu penyusunan rencana bisnis secara realistis perlu
diarahkan dan diawasi sehingga dapat mendukung pelaksanaan kebijakan makro
secara tepat.
Di satu sisi, rencana bisnis merupakan referensi yang sangat penting bagi
pengawas bank dalam melakukan penyusunan Individual Supervisory Plan,
sebagai bagian dari pelaksanaan siklus pengawasan bank berdasarkan risiko (risk
based supervision). Di sisi lain penyusunan rencana bisnis lebih awal juga akan
membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan operasional bank sejak awal tahun.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, agar rencana bisnis dapat
digunakan sebagai salah satu sarana untuk mencapai visi dan misi bank,
mendukung kebijakan macro prudential, dan strategi pengawasan terhadap
individual bank, maka perlu diatur kembali ketentuan mengenai rencana
bisnis bank.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 . . .
- 3 -
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan faktor eksternal antara lain adalah kondisi
perekonomian, perkembangan sosial dan politik, dan teknologi.
Yang dimaksud dengan faktor internal antara lain adalah kondisi
keuangan, manajemen, dan kemampuan infrastruktur lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Rencana Bisnis dilaksanakan secara efektif apabila antara realisasi dan
Rencana Bisnis terdapat:
a. deviasi tidak material; atau
b. deviasi material, namun Bank telah melakukan upaya maksimal
untuk memenuhinya disertai dengan penjelasan yang memadai
dan dapat diterima (reasonable).
Ayat (2)
Huruf a
Komunikasi dengan pemegang saham dapat dilakukan antara
lain melalui Rapat Umum Pemegang Saham.
Huruf b . . .
- 4 -
Huruf b
Komunikasi Rencana Bisnis kepada seluruh jenjang organisasi
yang ada pada Bank dilakukan dengan tujuan agar kebijakan dan
pelaksanaan oleh setiap pihak yang terlibat dalam
operasionalisasi Rencana Bisnis sejalan dengan visi dan misi
Bank.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Arah kebijakan Bank memuat informasi mengenai arah dan kebijakan
pengembangan usaha yang akan dilakukan Bank dalam jangka pendek
1 (satu) tahun ke depan maupun jangka menengah selama 3 (tiga)
tahun ke depan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d . . .
- 5 -
Huruf d
Indikator keuangan utama antara lain memuat kinerja Bank posisi
akhir bulan September pada tahun penyusunan Rencana Bisnis dan
proyeksi dari permodalan, rentabilitas, penilaian risiko, khususnya
risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas, serta dana pihak ketiga
dan rasio keuangan lainnya.
Huruf e
Yang dimaksud dengan target jangka pendek adalah target kegiatan
usaha Bank selama 1 (satu) tahun ke depan.
Yang dimaksud dengan target jangka menengah adalah target kegiatan
usaha Bank selama 3 (tiga) tahun ke depan.
Pasal 7
Huruf a
Analisis dilakukan baik secara industri maupun terhadap kelompok
usaha. Dalam hal ini perlu juga dijelaskan permasalahan dan
hambatan yang dihadapi bank.
Huruf b
Uraian mengenai kebijakan manajemen meliputi informasi umum
kebijakan Bank yang ditetapkan oleh manajemen dalam
pengembangan usaha Bank di waktu yang akan datang.
Huruf c
Uraian mengenai kebijakan manajemen risiko dan kepatuhan meliputi
informasi mengenai langkah-langkah dalam menerapkan manajemen
risiko yang disusun berdasarkan evaluasi atas profil risiko Bank dan
upaya-upaya perbaikan yang akan ditempuh serta penjelasan
mengenai kebijakan dalam melaksanakan fungsi kepatuhan.
Huruf d . . .
- 6 -
Huruf d
Uraian mengenai strategi pengembangan bisnis antara lain memuat
informasi langkah-langkah strategis untuk mencapai tujuan usaha
Bank yang telah ditetapkan, termasuk penjelasan mengenai strategi
pengembangan organisasi dan teknologi sistem informasi, dan strategi
untuk mengantisipasi perubahan kondisi eksternal.
Huruf e
Uraian mengenai kebijakan remunerasi sekurang-kurangnya meliputi
informasi mengenai kebijakan umum yang mengatur mengenai
pemberian gaji, bonus (benefits), dan fasilitas lain yang bersifat
keuangan kepada Dewan Komisaris dan Direksi Bank, termasuk
kepada pegawai serta kepada Dewan Pengawas Syariah (DPS) bagi
Bank Umum Syariah dan UUS.
Yang dimaksud dengan Dewan Pengawas Syariah adalah Dewan
Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku mengenai Bank Umum Syariah dan UUS.
Pasal 8
Huruf a
Uraian mengenai penerapan manajemen risiko meliputi evaluasi dan
hasil penerapan manajemen risiko untuk periode awal tahun sampai
dengan posisi terakhir pada saat penyusunan Rencana Bisnis Bank.
Uraian mengenai penilaian profil risiko meliputi informasi penilaian
Bank mengenai tingkat dan trend seluruh eksposur risiko.
Tata cara penyusunan profil risiko berpedoman kepada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan manajemen
risiko bagi Bank.
Huruf b . . .
- 7 -
Huruf b
Penilaian mengenai penerapan tata kelola yang baik berpedoman
kepada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pelaksanaan good corporate governance bagi Bank.
Huruf c
Uraian mengenai kinerja keuangan Bank termasuk hasil pelaksanaan
action plan (apabila ada) dalam rangka memperbaiki kinerja Bank
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan Bank.
Uraian mengenai kinerja keuangan dari aspek permodalan dan
rentabilitas meliputi informasi mengenai kondisi permodalan dan
rentabilitas, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Huruf d
Uraian mengenai realisasi pemberian kredit ini mencerminkan
peranan Bank dalam mendukung perkembangan usaha mikro, kecil,
dan menengah.
Pengelompokan usaha mikro, kecil, dan menengah mengacu kepada
kriteria usaha berdasarkan Undang-undang yang berlaku mengenai
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 8 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Asumsi yang dicantumkan adalah asumsi yang digunakan Bank untuk
menyusun Rencana Bisnis.
Yang dimaksud dengan asumsi makro antara lain adalah pertumbuhan
ekonomi, nilai tukar, dan tingkat inflasi. Sedangkan yang dimaksud
dengan asumsi mikro antara lain adalah tingkat persaingan antar bank
dan pertumbuhan kredit industri perbankan.
Sebagai salah satu referensi dalam menyusun Rencana Bisnis, Bank
dapat melihat indikator makro yang tersedia pada publikasi Bank
Indonesia.
Pasal 10
Huruf a
Proyeksi rasio keuangan pokok meliputi rasio-rasio yang paling
kurang dapat memberikan informasi untuk penilaian kondisi
permodalan, rentabilitas, risiko kredit, risiko pasar, dan risiko
likuiditas.
Huruf b
Proyeksi ini meliputi proyeksi beberapa rasio terkait kredit kepada
debitur UMKM, rasio dana pendidikan, dan rasio aktiva tetap yang
tidak digunakan dalam operasional Bank terhadap modal.
Pasal 11 . . .
- 9 -
Pasal 11
Huruf a
Rencana penghimpunan dana pihak ketiga meliputi rencana
penghimpunan giro, tabungan, deposito, dan bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu serta informasi mengenai deposan inti
dan/atau core deposit.
Huruf b
Rencana penerbitan surat berharga meliputi rencana penerbitan surat
berharga seperti convertible bonds, medium term notes, obligasi, dan
sukuk.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Pihak terkait adalah pihak terkait sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian
kredit atau batas maksimum penyaluran dana.
Huruf b
Debitur inti merupakan debitur individual atau debitur grup
(one obligor concept) yang merupakan debitur inti di luar pihak
terkait.
Huruf c
Kegiatan usaha tertentu merupakan kegiatan usaha yang menjadi
fokus sebagian besar pemberian kredit/pembiayaan Bank.
Huruf d . . .
- 10 -
Huruf d
Pembagian kredit berdasarkan lapangan usaha, jenis penggunaan,
propinsi, dan jenis akad mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pedoman penyusunan laporan bulanan Bank.
Huruf e
Pembagian kredit berdasarkan lapangan usaha, jenis penggunaan, dan
propinsi mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pedoman penyusunan laporan bulanan Bank.
Huruf f
Penyaluran dana dalam bentuk surat berharga digolongkan sesuai
dengan tujuan pembeliannya yaitu:
•
•
•
•
diukur pada nilai wajar melalui laporan laba/rugi;
tersedia untuk dijual;
dimiliki hingga jatuh tempo; atau
pinjaman yang diberikan dan piutang.
Huruf g
Dalam menyusun rencana ini, Bank harus memperhatikan persyaratan
dan tata cara penyertaan modal sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan pemisahan (spin off) adalah pemisahan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
mengenai UUS.
Huruf h
Mencakup rencana penanaman dana bank dalam bentuk aset produktif
yang belum termasuk dalam cakupan huruf a sampai dengan huruf g.
Pasal 13 . . .
- 11 -
Pasal 13
Huruf a
Proyeksi pemenuhan KPMM meliputi proyeksi perhitungan rasio
kewajiban penyediaan modal minimum dengan mengacu kepada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum Bank.
Huruf b
Termasuk dalam rencana perubahan modal adalah rencana
penambahan modal dari pemegang saham lama (existing share
holders), rencana initial public offering (IPO), right issue, penerbitan
surat berharga yang bersifat ekuitas, dan rencana penambahan modal
lainnya, termasuk perubahan dana bersih bagi UUS.
Pasal 14
Huruf a
Termasuk dalam rencana pengembangan organisasi adalah rencana
pembentukan/perubahan satuan kerja dan/atau komite, yang
disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas usaha Bank.
Huruf b
Termasuk dalam rencana pengembangan sistem informasi manajemen
adalah rencana pengembangan teknologi informasi yang mendukung
sistem informasi untuk manajemen.
Huruf c
Termasuk dalam rencana pengembangan sumber daya manusia adalah
rencana kebutuhan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia,
termasuk rencana biaya/anggaran pendidikan dan pelatihan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Huruf d . . .
- 12 -
Huruf d
Termasuk dalam rencana pemanfaatan tenaga kerja asing adalah
rencana pemanfaatan tenaga kerja asing sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Rencana penggunaan tenaga outsourcing adalah rencana penggunaan
tenaga kerja di luar tenaga kerja tetap, yang meliputi jumlah maupun
bidang kerja penugasan.
Pasal 15
Huruf a
Rencana penerbitan produk baru yang perlu dimuat dalam Rencana
Bisnis Bank mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penerapan manajemen risiko bagi Bank beserta ketentuan
pelaksanaannya atau ketentuan yang mengatur mengenai produk dan
aktivitas baru bagi Bank Umum Syariah dan UUS.
Huruf b
Rencana pelaksanaan aktivitas baru yang perlu dimuat dalam Rencana
Bisnis Bank mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penerapan manajemen risiko bagi Bank beserta ketentuan
pelaksanaannya atau ketentuan yang mengatur mengenai produk dan
aktivitas baru bagi Bank Umum Syariah dan UUS.
Pasal 16
Pengertian kantor wilayah, kantor cabang, kantor fungsional, kantor cabang
pembantu, kantor kas, kegiatan pelayanan kas, dan kantor di luar negeri
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Bank
Umum, Bank Umum Syariah, atau UUS.
Pasal 17 . . .
- 13 -
Pasal 17
Informasi lainnya meliputi hal-hal yang perlu diketahui atau dipantau oleh
Bank Indonesia, antara lain langkah-langkah penyelesaian kredit yang
bermasalah, termasuk agunan yang diambil alih (AYDA), aktiva tetap yang
tidak digunakan dalam operasional Bank, pengembangan pelayanan Bank
dan/atau linkage program.
Pengembangan pelayanan Bank mencakup antara lain informasi tentang
rencana pengembangan sarana atau media informasi kepada nasabah,
rencana pengembangan sarana elektronik untuk kebutuhan nasabah, dan
rencana upaya perlindungan nasabah.
Pasal 18
Ayat (1)
Rencana Bisnis disampaikan dalam bentuk hard copy dan soft copy.
Ayat (2)
Rencana Bisnis tahun 2011 merupakan Rencana Bisnis yang pertama
kali disusun dan disampaikan oleh Bank sesuai dengan Peraturan
Bank Indonesia ini.
Ayat (3)
Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk
melakukan presentasi atau penjelasan yang menyeluruh mengenai
Rencana Bisnis yang disampaikan bank.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19 . . .
- 14 -
Pasal 19
Ayat (1)
Apabila diperlukan Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk
melakukan presentasi atau penjelasan yang menyeluruh mengenai
perubahan Rencana Bisnis.
Bagi Bank Umum yang memiliki UUS perubahan Rencana Bisnis
dilakukan baik untuk kepentingan Bank secara keseluruhan maupun
untuk kepentingan UUS.
Perubahan Rencana Bisnis yang disampaikan oleh Bank disertai
dengan alasan perubahan secara tertulis.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Faktor yang secara signifikan mempengaruhi kinerja Bank antara
lain permasalahan solvabilitas, likuiditas, dan/atau permasalahan
eksternal makroekonomi yang secara signifikan berdampak pada
kinerja Bank.
Ayat (2)
Pembatasan frekuensi perubahan dan batas waktu pada ayat ini
dimaksudkan agar Bank dapat membuat perencanaan yang lebih
realistis dalam menyusun Rencana Bisnis.
Bagi Bank Umum yang memiliki UUS, pembatasan frekuensi
perubahan Rencana Bisnis dan batas waktu pelaksanaan perubahan
berlaku untuk Bank secara konsolidasi, termasuk dengan UUS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
. . .
- 15 -
Ayat (4)
Apabila diperlukan Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk
melakukan presentasi atau penjelasan yang menyeluruh mengenai
Rencana Bisnis yang telah disesuaikan.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan triwulanan adalah posisi akhir bulan Maret,
Juni, September, dan Desember.
Laporan disampaikan dalam bentuk perbandingan antara Rencana
Bisnis dan realisasi Rencana Bisnis.
Bagi Bank Umum yang memiliki UUS, Laporan Realisasi Rencana
Bisnis, memuat pula laporan realisasi khusus untuk UUS yang
merupakan satu kesatuan dengan Laporan Realisasi Rencana Bisnis
Bank Umum tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Uraian penjelasan pada huruf ini meliputi fokus, dan prioritas
pencapaian Rencana Bisnis.
Huruf b
Uraian penjelasan pada huruf ini meliputi penjelasan mengenai
besarnya deviasi dan kendala yang dihadapi.
Huruf c . . .
- 16 -
Huruf c
Uraian tindak lanjut pada huruf ini meliputi upaya untuk
memperbaiki pencapaian realisasi Rencana Bisnis.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Informasi lainnya berisi penjelasan mengenai realisasi hal-hal
selain yang dijelaskan pada huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d, antara lain meliputi laporan realisasi perubahan jaringan
kantor dan laporan realisasi linkage program.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan semesteran adalah posisi akhir bulan Juni dan
Desember.
Bagi Bank Umum yang memiliki UUS, Laporan Pengawasan Rencana
Bisnis memuat pula laporan pengawasan khusus untuk UUS yang
merupakan satu kesatuan dengan Laporan Pengawasan Rencana
Bisnis Bank Umum tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 17 -
Huruf b
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Bank antara lain
meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi profil risiko,
permodalan, rentabilitas, dan tata kelola yang baik.
Huruf c
Upaya memperbaiki kinerja Bank merupakan perbaikan terhadap
faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada huruf b.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bank wajib untuk tetap menyampaikan Rencana Bisnis, mengingat
bagi Bank Rencana Bisnis digunakan sebagai dasar untuk memberikan
arah kebijakan untuk melakukan kegiatan usaha dalam rangka
mencapai visi dan misi. Sementara bagi Bank Indonesia, Rencana
Bisnis Bank digunakan sebagai referensi dalam perencanaan dan
implementasi strategi pengawasan Bank.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
. . .
- 18 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bank diwajibkan untuk tetap menyampaikan laporan, mengingat bagi
Bank Indonesia laporan tersebut merupakan salah satu sarana
pengawasan Bank, khususnya untuk memantau efektivitas dan
konsistensi pelaksanaan Rencana Bisnis Bank.
Pasal 24
Yang dimaksud dengan hari libur adalah hari libur nasional dan atau hari
libur lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
. . .
- 19 -
Ayat (2)
Bank yang telah dikenakan sanksi kewajiban membayar dalam ayat
ini tidak dikenakan sanksi keterlambatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
5161
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/21/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> RENCANA BISNIS BANK </reg_title>
<set_date> 19 Oktober 2010 </set_date>
<effective_date> 19 Oktober 2010 </effective_date>
<issued_date> 19 Oktober 2010 </issued_date>
<replaced_reg> '6/25/PBI/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/4/PBI/20042003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002
TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan kegiatan
operasi pasar terbuka, Bank Indonesia telah menerapkan sistem
Bank Indonesia - Scriptless Securities Settlement System;
b. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas dipandang perlu untuk
melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor
4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6 / 2 /PBI/ 20042003 tentang
Bank Indonesia Bank Indonesia - Scriptless Securities Settlement
System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20042003
Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4363 );
MEMUTUSKAN …
-2-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002
TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 12
(1) Peserta OPT bertanggung jawab atas kebenaran penawaran yang diajukan.
(2) Peserta OPT yang telah mengajukan penawaran dilarang membatalkan
penawarannya.
(3) Peserta OPT wajib memenuhi tata cara pengajuan penawaran dan persyaratan
dalam transaksi OPT yang ditetapkan Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Peserta OPT tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3), penawaran yang telah diajukan akan ditolak dan atau tidak
akan diproses oleh sistem yang digunakan Bank Indonesia dalam pengajuan
transaksi OPT.”
2. Pasal 15 dihapus.
Pasal …
-3-
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Februari 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 17
DPM
PENJELASAN
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 56/4/PBI/20042003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002
TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Sistem yang digunakan Bank Indonesia dalam
pengajuan transaksi dalam rangka OPT antara lain
sarana Bank Indonesia – Scripless Securities
Settlement System.
Angka …
2
Angka 2
Cukup jelas
PASAL II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4365
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/4/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title>
<set_date> 16 Februari 2004 </set_date>
<effective_date> 16 Februari 2004 </effective_date>
<changed_reg> '4/9/PBI/2002' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '6/2/PBI/2004', '3/UU/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/ 17 / PBI/2000
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN SERTA PENCABUTAN DAN
PENARIKAN UANG RUPIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang
berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah
serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dimaksud dari
peredaran;
b. bahwa Bank Indonesia dapat mencabut dan menarik uang rupiah
dari peredaran dengan memberikan penggantian dengan nilai yang
sama;
c. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas perlu
ditetapkan ketentuan-ketentuan pokok pelaksanaan pengeluaran
dan pengedaran serta pencabutan dan penarikan uang Rupiah
dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK
INDONESIA TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN SERTA
PENCABUTAN DAN PENARIKAN UANG RUPIAH.
BAB I....................
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pengertian
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Uang adalah uang rupiah yang dikeluarkan dan diedarkan oleh Bank Indonesia
sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia.
2. Bahan uang adalah kertas uang, logam uang dan bahan lainnya yang spesifikasinya
telah ditetapkan oleh Bank Indonesia dan digunakan sebagai bahan baku untuk
pembuatan uang.
3. Pemasok adalah perusahaan atau pihak tertentu yang memasok bahan uang dengan
spesifikasi teknis yang telah disetujui oleh Bank Indonesia.
4. Macam uang adalah jenis uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia terdiri dari
uang kertas dan uang logam. Uang kertas adalah uang dalam bentuk lembaran yang
terbuat dari bahan kertas atau lainnya. Uang logam adalah uang dalam bentuk koin
yang terbuat dari alumunium, alumunium bronze, kupronikel dan bahan lainnya.
5. Harga uang adalah nilai nominal atau pecahan uang yang tercantum pada setiap
lembar atau keping uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
6. Ciri uang adalah tanda-tanda tertentu pada setiap uang yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, dengan tujuan untuk mengamankan uang tersebut dari upaya pemalsuan.
Tanda-tanda tersebut dapat berupa warna, gambar, ukuran, berat dan tanda-tanda
lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
7. Uang tidak layak edar adalah uang lusuh, uang cacat, uang rusak sebagian atau
seluruhnya karena terbakar, robek atau sebab-sebab lainnya.
8. Uang .................
- 3 -
8. Uang cacat adalah hasil cetak uang yang spesifikasinya tidak sesuai dengan
spesifikasi yang telah disetujui oleh Bank Indonesia.
BAB II
PENGELUARAN UANG
Pasal 2
(1) Bank Indonesia berwenang untuk mengeluarkan uang.
(2) Bank Indonesia menetapkan macam uang, harga uang, ciri uang yang akan
dikeluarkan, bahan uang yang digunakan termasuk spesifikasi bahan uang dan
disain uang.
Pasal 3
(1) Dalam rangka pengadaan bahan uang, Bank Indonesia menetapkan perusahaan
pemasok bahan uang sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Dengan mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi biaya, Bank Indonesia
menetapkan perusahaan percetakan uang.
(3) Dalam hal-hal tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pencetakan uang pada
perusahaan percetakan uang di luar negeri.
Pasal 4
(1) Bank Indonesia menetapkan tanggal berlakunya setiap uang yang dikeluarkan
sebagai alat pembayaran yang sah.
(2) Prosedur .................
- 4 -
(2) Prosedur pengeluaran dan pengedaran uang baru diatur dalam surat edaran Bank
Indonesia.
(3) Pengeluaran uang dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia, diumumkan kepada
masyarakat tentang macam uang, harga uang dan ciri-ciri uang dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia dan melalui media massa.
BAB III
PENGEDARAN UANG
Pasal 5
(1) Uang yang dikeluarkan Bank Indonesia sebagai alat pembayaran yang sah
diedarkan kepada masyarakat.
(2) Prosedur pengedaran uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Bank
Indonesia.
(3) Pelaksanaan pengedaran uang dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak ketiga
yang ditunjuk Bank Indonesia.
Pasal 6
(1) Bank Indonesia melayani penukaran uang lusuh, rusak dan cacat.
(2) Penggantian untuk uang lusuh atau cacat sebesar nilai nominal, sedangkan untuk
uang rusak berdasarkan sisa fisik uang yang masih ada.
(3) Bank Indonesia melakukan pemusnahan terhadap uang yang tidak layak edar.
BAB IV ....................
- 5 -
BAB IV
PENCABUTAN DAN PENARIKAN UANG DARI PEREDARAN
Pasal 7
(1) Bank Indonesia menetapkan uang tertentu tidak lagi sebagai alat pembayaran yang
sah dengan cara mencabut dan menarik uang dimaksud dari peredaran.
(2) Uang yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak diedarkan lagi.
(3) Uang yang dicabut dan ditarik dari peredaran yang berada di kas Bank Indonesia
harus segera dimusnahkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4) Uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditukar sebesar nilai
nominalnya kepada Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk Bank Indonesia
dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal pencabutan.
(5) Pencabutan dan penarikan uang dari peredaran dimuat dalam Peraturan Bank
Indonesia, diumumkan kepada masyarakat dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia dan melalui media massa.
(6) Prosedur penarikan dan pencabutan dari peredaran diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
BAB V
MASA PERALIHAN
Pasal 8
Ketentuan-ketentuan yang telah diterbitkan sehubungan dengan pengeluaran,
pengedaran uang emisi baru serta pencabutan dan penarikan uang dari peredaran
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank
Indonesia ini.
BAB VI ..................
- 6 -
BAB VI
PENUTUP
Pasal 9
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Juli 2000
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA
ANWAR NASUTION
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 116
DPU
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/ / PBI/2000
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN SERTA PENCABUTAN DAN
PENARIKAN UANG RUPIAH
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka (1)
Angka (2)
Angka (3)
Angka (4)
Angka (5)
Angka (6)
Angka (7)
Angka (8)
Pasal 2
Ayat (1)
Ayat (2)
Pasal 3
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Spesifikasi teknis bahan uang ditetapkan dalam bentuk
penjelasan pada pada Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengeluaran dan Pengedaran Uang Emisi Baru
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 3.........
- 2 -
Pasal 3
Ayat (3)
Pada dasarnya pencetakan uang dilakukan pada
perusahaan percetakan uang dalam negeri.
Yang dimaksud dengan hal-hal tertentu adalah apabila
perusahaan dalam negeri tidak mampu mencetak uang
sesuai spesifikasi, bahan dan atau jumlah yang
ditetapkan, maka pencetakan uang dapat dilakukan pada
perusahaan luar negeri.
Pasal 4
Pasal 5
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (1)
Ayat (2)
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Ayat (3)
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Pasal 9
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Prosedur pengeluaran dan pengedaran uang rupiah baru
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3983
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/17/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN SERTA PENCABUTAN DAN PENARIKAN UANG RUPIAH </reg_title>
<set_date> 20 Juli 2000 </set_date>
<effective_date> 20 Juli 2000 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/ 43 /PBI/2005
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KHUSUS
PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005
DALAM BENTUK UANG KERTAS BELUM DIPOTONG
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa uang kertas berfungsi sebagai alat pembayaran, dan
sekaligus merupakan sarana bagi perkembangan
numismatika di Indonesia;
b. bahwa dalam
rangka mendorong perkembangan
numismatika (koleksi uang) di Indonesia, dipandang perlu
untuk mengeluarkan uang kertas yang memiliki keunikan;
c. bahwa dalam upaya tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan
dan mengedarkan uang khusus pecahan 50.000 (lima puluh
ribu) tahun emisi 2005 dalam bentuk uang kertas belum
dipotong;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang pengeluaran dan
pengedaran uang khusus pecahan 50.000 (lima puluh ribu)
tahun emisi 2005 dalam bentuk uang kertas belum dipotong;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia …
-2-
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4357);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal
22 Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan
dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4388);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KHUSUS
PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI
2005 DALAM BENTUK UANG KERTAS BELUM
DIPOTONG
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Uang adalah uang rupiah.
2. Uang Khusus adalah Uang yang dikeluarkan secara khusus dalam rangka
memperingati peristiwa atau tujuan tertentu dan memiliki nilai nominal yang
berbeda dengan nilai jualnya.
3. Uang …
-3-
3. Uang Kertas Belum Dipotong adalah uang bersambung atau lembaran Uang
yang terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet) atau 4 (empat) lembar (bilyet) atau 45
(empat puluh lima) lembar (bilyet) dan masih merupakan satu kesatuan.
Pasal 2
(1) Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan Uang Khusus pecahan
50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 dalam bentuk Uang Kertas Belum
Dipotong.
(2) Setiap lembaran Uang Khusus terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet) atau 4
(empat) lembar (bilyet) atau 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet) uang
kertas yang masih merupakan satu kesatuan.
Pasal 3
Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikeluarkan dan diedarkan
paling banyak:
a. 1.100 (seribu seratus) lembaran yang terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet);
b. 700 (tujuh ratus) lembaran yang terdiri dari 4 (empat) lembar (bilyet); dan
c. 20 (dua puluh) lembaran yang terdiri dari 45 (empat puluh lima) lembar
(bilyet).
Pasal 4
(1) Setiap lembar (bilyet) Uang dalam Uang Khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) mempunyai nilai nominal sebesar Rp50.000 (lima
puluh ribu rupiah).
(2) Setiap …
-4-
(2) Setiap lembaran Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat
(2) yang terdiri dari :
a. 2 (dua) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp100.000
(seratus ribu rupiah); atau
b. 4 (empat) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp200.000
(dua ratus ribu rupiah); atau
c. 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar
Rp2.250.000 (dua juta dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 5
(1) Jenis lembaran Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 terdiri
dari:
a. lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi
panjang dan berukuran 149 mm x 130 mm;
b. lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi
panjang dan berukuran 298 mm x 130 mm;
c. lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet) dalam
bentuk persegi panjang dan berukuran 745 mm x 585 mm.
(2) Setiap lembaran Uang Khusus dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari
Bank Indonesia.
(3) Bahan dan ciri setiap lembar uang yang terdapat pada Uang Khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
biru;
b. gambar
1. bagian muka
a) gambar …
-5-
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah
Rai dan di bawahnya dicantumkan tulisan “I GUSTI NGURAH
RAI”;
b) di sebelah kiri gambar utama dengan arah vertikal terdapat gambar
ornamen daerah Bali berwarna biru yang akan memendar hijau di
bawah sinar ultra violet;
c) di sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan
tersebut terdapat tulisan “LIMA PULUH RIBU RUPIAH”;
d) di sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan di
sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka
nominal “50000”;
e) di sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal “50000”
terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan
ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
f) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi
(latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi panjang berbentuk
ornamen daerah Bali yang dapat dilihat dari sudut pandang
tertentu;
g) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang
Negara Garuda Pancasila;
h) di sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam
bidang segi empat yang dicetak dengan tinta khusus (optically
variable ink) yang akan berubah warna dari magenta menjadi hijau
apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;
i) di sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun emisi
“2005”, tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur
Bank Indonesia (Burhanuddin Abdullah) beserta tulisan
“GUBERNUR” …
-6-
“GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank
Indonesia (Maman H. Somantri) beserta tulisan “DEPUTI
GUBERNUR”;
j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen daerah Bali;
k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca
pembesar terdapat di:
1) sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal
“50000” berupa tulisan BI;
2) sebelah kiri gambar utama berupa tulisan BI sebagai latar
belakang ornamen daerah Bali;
3) tepi kiri ornamen daerah Bali berupa tulisan BI dan tepi kanan
ornamen daerah Bali berupa angka 50000 yang keduanya
membentuk garis vertikal;
4) sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berbentuk kotak-
kotak dengan kombinasi tulisan BI dan BI50000 yang tersusun
horizontal dan BANKINDONESIA dan BI50000 yang tersusun
diagonal;
5) sebelah kanan gambar utama berupa tulisan BI
membentuk warna dasar dan gambar relief daerah Bali;
yang
6) tepi kiri atas dan bawah serta tepi kanan atas dan bawah berupa
logo BI yang membentuk pola dasar uang;
l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan BANKINDONESIA50000 yang berbentuk
lengkungan dengan warna dan ukuran teks yang berbeda.
2. bagian …
-7-
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Danau Beratan, Bedugul, Bali;
b) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
c) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN
YANG SAH DENGAN NILAI LIMA PULUH RIBU RUPIAH”;
d) di sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan di sebelah kiri
atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “50000”;
e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak di sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra
violet dan di sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK
INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan
memendar oranye di bawah sinar ultra violet;
f) di sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling
isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan
terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
g) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar
siluet penari Bali yang akan memendar hijau kekuningan di bawah
sinar ultra violet;
h) di bagian kiri bawah gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat
mata berupa angka nominal “50000” dalam kotak persegi panjang
yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet;
i) di tepi kiri dan kanan bagian tengah uang, terdapat gambar
ornamen daerah Bali yang akan memendar hijau di bawah sinar
ultra violet;
j) mikroteks …
-8-
j) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca
pembesar terdapat di:
1) tepi kiri atas dan bawah serta tepi kanan atas dan bawah
berbentuk kotak-kotak berupa tulisan BI yang
tersusun
horizontal serta tulisan BI50000 dan BANKINDONESIA yang
tersusun diagonal;
2) tepi kiri gambar utama berupa tulisan BANKINDONESIA
yang membentuk garis vertikal;
3) bagian kiri atas gambar utama berupa tulisan BI yang
membentuk ornamen daerah Bali;
4) sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka
nominal “50000” berupa tulisan BI;
k) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa angka 50000 yang berbentuk garis melengkung dengan
ukuran teks yang berbeda.
c. bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 149 mm dan lebar 65 mm;
3. warna biru muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan
electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Bali;
6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan “BI
50000” berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong sebagian serta
akan berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat dari
sudut pandang berbeda.
Pasal …
-9-
Pasal 6
Harga Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) adalah
sebagai berikut:
a. lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet) mempunyai harga sebesar
Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per lembaran;
b. lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet) mempunyai harga sebesar
Rp400.000,00 (empat ratus ribu rupiah) per lembaran;
c. lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet) mempunyai
harga sebesar Rp3.500.000,00 (tiga juta lima ratus ribu rupiah) per lembaran.
Pasal 7
(1) Pengedaran Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada
masyarakat dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara penjualan secara
langsung atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(2) Pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan cara penjualan secara langsung, dilakukan dengan harga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(3) Dalam keadaan tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan penjualan secara
lelang dengan harga penawaran tertinggi dari harga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6.
(4) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain meliputi:
a. penjualan perdana (diawal periode pengeluaran);
b. apabila terjadi kelebihan permintaan;
c. kondisi tertentu untuk tujuan penggalangan dana guna sumbangan sosial.
(5) Pelaksanaan …
-10-
(5) Pelaksanaan penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank
Indonesia.
Pasal
8
Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dijamin oleh Bank Indonesia
sebesar nilai nominal.
Pasal 9
(1) Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah alat pembayaran
yang sah di wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Dalam hal Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 digunakan
sebagai alat pembayaran maka nilai setiap lembar (bilyet) bernilai sebesar
nilai nominal.
Pasal 10
(1) Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dalam kondisi
rusak dapat dimintakan penggantian kepada Bank Indonesia.
(2) Penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk
uang bukan Uang Khusus.
(3) Besarnya penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung atas
dasar ukuran dari masing-masing lembar (bilyet) dengan mengacu kepada
ketentuan yang berlaku.
Pasal …
-11-
Pasal 11
Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikeluarkan dan diedarkan
mulai tanggal 20 Oktober 2005.
Pasal 12
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal
Oktober 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 103
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/43/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KHUSUS PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 DALAM BENTUK UANG KERTAS BELUM DIPOTONG </reg_title>
<set_date> Oktober 2005 </set_date>
<effective_date> Oktober 2005 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '6/14/PBI/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 13/ 20 /PBI/2011
TENTANG
PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR
DAN
PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa pembangunan ekonomi nasional untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur membutuhkan sumber dana yang
memadai dan berkesinambungan;
b. bahwa sumber dana dimaksud dapat berasal dari devisa hasil
ekspor dan devisa utang luar negeri;
c. bahwa devisa hasil ekspor dan devisa utang luar negeri dapat
memberikan kontribusi yang optimal secara nasional dalam hal
penempatannya dilakukan melalui perbankan Indonesia;
d. bahwa devisa hasil ekspor dan devisa utang luar negeri juga
bermanfaat untuk mendukung terciptanya pasar keuangan yang
lebih sehat dan upaya menjaga kestabilan nilai rupiah;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan dalam huruf a, huruf b, huruf
c dan huruf d, perlu untuk menetapkan Peraturan Bank
Indonesia tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan
Penarikan Devisa Utang Luar Negeri melalui Bank Devisa;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4661);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa Dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERIMAAN
DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG
LUAR NEGERI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia,
dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh surat penunjukan dari Bank
Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing,
termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia, namun tidak termasuk kantor
cabang luar negeri dari Bank yang berkantor pusat di Indonesia.
3. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili atau
berencana berdomisili di Indonesia paling kurang 1 (satu) tahun, termasuk
perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sebagaimana
diatur dalam ketentuan kepabeanan.
5. Eksportir adalah perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang melakukan kegiatan mengeluarkan barang dari
daerah pabean.
6. Pemberitahuan …
- 4 -
6. Pemberitahuan Ekspor Barang yang selanjutnya disebut PEB adalah dokumen
pabean yang digunakan untuk pemberitahuan pelaksanaan ekspor barang yang
dapat berupa tulisan di atas formulir atau media elektronik sebagaimana diatur
dalam ketentuan kepabeanan.
7. Devisa Hasil Ekspor yang selanjutnya disebut DHE adalah devisa yang diterima
Eksportir dari hasil kegiatan Ekspor.
8. Tanggal PEB adalah tanggal pendaftaran PEB.
9. Nilai PEB adalah nilai Ekspor free on board (FOB) yang tercantum pada PEB.
10. Hari adalah hari kalender.
11. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia.
12. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut ULN adalah utang Penduduk kepada
bukan Penduduk dalam valuta asing.
13. Debitur Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut Debitur ULN adalah
perorangan, badan hukum bukan bank, dan badan lainnya, yang memiliki ULN.
14. Devisa Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut DULN adalah devisa yang
diperoleh Debitur ULN dari penarikan Utang Luar Negeri.
BAB II
KEWAJIBAN PENERIMAAN DHE MELALUI BANK DEVISA
Pasal 2
Seluruh DHE wajib diterima oleh Eksportir melalui Bank Devisa.
Pasal 3
(1) Penerimaan DHE melalui Bank Devisa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
wajib dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) Hari setelah Tanggal PEB.
(2) Penerimaan DHE melalui Bank Devisa sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
yang dilakukan dengan cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, pembayaran
kemudian …
- 5 -
kemudian, collection, yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 90
(sembilan puluh) Hari setelah Tanggal PEB, wajib dilakukan paling lama 14
(empat belas) Hari setelah tanggal jatuh tempo pembayaran yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Eksportir harus menyampaikan informasi yang tercantum pada PEB terkait DHE
yang diterima, kepada Bank Devisa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2)
Informasi yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang
meliputi Tanggal PEB, sandi kantor pelayanan Bea Cukai, nomor pendaftaran
PEB, dan NPWP Eksportir.
(3)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Devisa
paling lama 3 (tiga) Hari Kerja setelah DHE diterima oleh Eksportir melalui
Bank Devisa.
(4) Bank Devisa meneruskan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada
Bank Indonesia.
Pasal 5
(1) Eksportir yang akan menerima DHE dengan cara pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), harus menyampaikan penjelasan tertulis
disertai dengan dokumen pendukung kepada Bank Devisa untuk diteruskan
kepada Bank Indonesia.
(2) Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan paling lama 14 (empat belas) Hari setelah Tanggal
PEB.
(3) Dalam hal Eksportir tidak menyampaikan penjelasan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) …
- 6 -
ayat (2), Eksportir dianggap akan melakukan penerimaan DHE sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Pasal 6
(1) DHE yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus sesuai dengan
Nilai PEB.
(2) Eksportir yang menerima DHE lebih kecil dari Nilai PEB, harus menyampaikan
penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung kepada Bank Devisa
untuk diteruskan kepada Bank Indonesia.
(3) Dalam hal selisih kurang antara DHE dan Nilai PEB sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) karena maklon, jasa perbaikan, dan/atau operational leasing atau
financial leasing, maka DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai PEB
sehingga Eksportir harus tetap menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan
dokumen pendukung.
(4) Dalam hal selisih kurang antara DHE dan Nilai PEB karena biaya administrasi
sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari Nilai PEB atau paling banyak ekuivalen
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), maka DHE yang diterima dianggap
sesuai dengan Nilai PEB sehingga Eksportir tidak perlu menyampaikan
penjelasan tertulis dan dokumen pendukung.
(5) Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank
Indonesia paling lama tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE diterima oleh
Eksportir melalui Bank Devisa.
(6) Dalam hal Eksportir tidak menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), maka DHE yang diterima Eksportir
dianggap …
- 7 -
dianggap tidak sesuai dengan PEB dan Eksportir dianggap tidak melakukan
penerimaan seluruh DHE melalui Bank Devisa.
Pasal 7
(1) Eksportir yang tidak menerima DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 atau
menerima DHE lebih kecil dari Nilai PEB melalui Bank Devisa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 karena importir wanprestasi, pailit, atau mengalami
keadaan memaksa (force majeure), harus menyampaikan penjelasan tertulis
disertai dengan dokumen pendukung kepada Bank Devisa untuk diteruskan
kepada Bank Indonesia.
(2) Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan paling lama 90 (sembilan puluh) Hari setelah Tanggal
PEB.
(3) Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk DHE dengan cara pembayaran usance L/C, konsinyasi,
pembayaran kemudian, dan/atau collection yang jatuh temponya melebihi atau
sama dengan 90 (sembilan puluh) Hari setelah Tanggal PEB, disampaikan paling
lama 14 (empat belas) Hari setelah tanggal jatuh tempo pembayaran.
(4) Dalam hal Eksportir tidak menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), maka DHE yang diterima
Eksportir dianggap tidak sesuai dengan PEB dan Eksportir dianggap tidak
melakukan penerimaan seluruh DHE melalui Bank Devisa.
BAB III …
- 8 -
BAB III
KEWAJIBAN PENARIKAN DULN MELALUI BANK DEVISA
Pasal 8
(1) Setiap DULN wajib ditarik oleh Debitur ULN melalui Bank Devisa.
(2) Kewajiban penarikan DULN oleh Debitur ULN sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku bagi DULN yang berbentuk dana tunai yang berasal dari:
a. ULN berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement) dalam bentuk non
revolving yang tidak digunakan untuk refinancing;
selisih fasilitas refinancing dengan jumlah ULN lama; dan
b.
c. ULN berdasarkan surat utang (debt securities) dalam bentuk Bonds,
Medium Term Notes (MTN), Floating Rate Notes (FRN), Promissory Notes
(PN), dan Commercial Paper (CP).
(3) Penarikan DULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada
Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Nilai akumulasi penarikan DULN harus sama dengan nilai komitmen.
(2) Dalam hal nilai akumulasi penarikan DULN melalui Bank Devisa oleh Debitur
ULN lebih kecil dari komitmen, Debitur ULN harus menyampaikan penjelasan
tertulis kepada Bank Indonesia.
BAB IV
PEMANTAUAN DHE DAN DULN
Pasal 10
(1) Bank Indonesia melakukan penelitian dokumen atas kepatuhan Eksportir
terhadap pemenuhan kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2.
(2) Dalam …
- 9 -
(2) Dalam melakukan penelitian kepatuhan Eksportir sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta bukti tertulis, catatan, dan dokumen
pendukung, dengan atau tanpa melibatkan instansi terkait.
Pasal 11
(1) Bank Indonesia melakukan penelitian atas kepatuhan Debitur ULN terhadap
pemenuhan kewajiban penarikan DULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1).
(2) Dalam melakukan penelitian kepatuhan Debitur ULN sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta bukti, catatan, dan/atau dokumen
pendukung, dengan atau tanpa melibatkan instansi terkait.
BAB V
PENGENAAN SANKSI
Pasal 12
(1) Eksportir yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau Pasal 3 dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar 0,5% (lima per seribu) dari nilai nominal DHE yang belum
diterima melalui Bank Devisa dengan nominal paling sedikit Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
(2) Pengenaan sanksi denda dilakukan dalam mata uang rupiah dengan
menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal pengenaan sanksi denda.
(3) Dalam hal Eksportir tidak membayar sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan/atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, dikenakan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor sesuai dengan
peraturan …
- 10 -
peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 13
Debitur ULN yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) pada setiap penarikan DULN.
Pasal 14
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 tidak
menggugurkan kewajiban penerimaan DHE dan penarikan DULN melalui Bank
Devisa.
Pasal 15
(1) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dan Pasal 13 disetorkan ke rekening Kas Negara yang berada di Bank
Indonesia.
(2) Pelaksanaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Eksportir dan/atau Debitur ULN setelah menerima surat pemberitahuan secara
tertulis dari Bank Indonesia dengan tembusan kepada Kantor Kas Negara.
Pasal 16
(1) Pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (3), dilakukan setelah Bank Indonesia menerima bukti
pembayaran sanksi administratif dan/atau bukti penerimaan DHE melalui Bank
Devisa.
(2) Bukti …
- 11 -
(2) Bukti pembayaran sanksi administratif dan/atau bukti penerimaan DHE melalui
Bank Devisa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan Eksportir ke
Bank Indonesia.
(3) Bukti pembayaran sanksi administratif dan/atau bukti penerimaan DHE melalui
Bank Devisa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diakui setelah Bank
Indonesia melakukan verifikasi.
BAB VI
PENYAMPAIAN INFORMASI DAN LAPORAN
Pasal 17
(1) Prosedur penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta
penjelasan tertulis dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 10 dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan lalu lintas devisa.
(2) Prosedur penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, serta
penjelasan tertulis dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 dan Pasal 11 dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kewajiban pelaporan penarikan DULN.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 18
(1) Penerimaan DHE yang diperjanjikan tidak melalui Bank Devisa dan/atau
dikaitkan dengan pembayaran kewajiban Eksportir yang sudah ditandatangani
sebelum berlakunya PBI ini, tidak wajib diterima melalui Bank Devisa sampai
dengan 12 (dua belas) bulan setelah berlakunya PBI ini.
(2) Penerimaan …
- 12 -
(2) Penerimaan DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan
Eksportir kepada Bank Indonesia dilengkapi dengan penjelasan tertulis disertai
dokumen pendukung paling lama 14 (empat belas) Hari setelah Tanggal PEB.
(3) Khusus bagi penerimaan DHE yang berasal dari PEB yang dikeluarkan tahun
2012, kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa berlaku 6 (enam) bulan
setelah Tanggal PEB.
(4) Penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting tagihan Eksportir dengan
kewajiban Eksportir hanya dapat dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember
2012 dan dilengkapi dengan dokumen pendukung.
(5) Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tidak wajib dilakukan melalui Bank
Devisa, kecuali untuk penarikan DULN yang berasal dari penambahan plafon
ULN karena adanya perubahan perjanjian (amendment) yang ditandatangani
setelah berlakunya PBI ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Ketentuan yang mengatur mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan
Pasal 13 mulai berlaku pada tanggal 2 Juli 2012.
Pasal 20 …
- 13 -
Pasal 20
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2012.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 September 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 September 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 93
DPM/DSM/DInt
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 13/ 20 /PBI/2011
TENTANG
PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR
DAN
PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI
I. UMUM
Pasokan valuta asing di pasar domestik saat ini sebagian besar berasal dari
dana asing dalam bentuk investasi portofolio yang rentan terhadap risiko pembalikan
(sudden capital reversal). Sementara itu pembangunan ekonomi nasional
membutuhkan sumber dana yang memadai dan berkesinambungan.
Salah satu sumber pasokan devisa yang stabil (sustainable) berasal dari DHE
dan DULN yang juga penting untuk mendukung stabilitas nilai rupiah dan
makroekonomi secara keseluruhan.
Dalam pelaksanaannya tidak seluruh DHE dan DULN ditempatkan pada
perbankan Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang dapat memastikan
penerimaan DHE dan penarikan DULN dilakukan melalui perbankan Indonesia.
Pengaturan ini tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang berlaku
selama ini, dimana setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan
devisa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang
Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
Dalam rangka mendukung kebijakan penerimaan devisa hasil ekspor, Bank
Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Badan Pusat Statistik telah membuat Nota
Kesepahaman …
-2-
Kesepahaman Nomor
Ekspor dan Impor.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Dokumen pendukung meliputi antara lain fotokopi dokumen PEB,
usance L/C, surat keterangan tentang penangguhan pembayaran dari
importir.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
PER-2277/MK/2011
13/1/BI/DSM/NK
13/KS/10-VIII/2011
tentang Pertukaran Data terkait Kegiatan
Pasal 6 …
-3-
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penjelasan atas perbedaan antara DHE dan Nilai PEB dan jenis dokumen
pendukung mengacu kepada ketentuan yang mengatur mengenai
pelaporan lalu lintas devisa.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “maklon” adalah pemberian jasa dalam rangka
proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya
dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), dan pengguna jasa
menetapkan spesifikasi, serta menyediakan bahan baku dan/atau barang
setengah jadi dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses
sebagian atau seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi berada
pada pengguna jasa.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)” adalah
keadaan yang menyebabkan Eksportir menerima DHE kurang dari nilai
PEB atau tidak menerima DHE yang disebabkan karena kebakaran,
kerusuhan …
-4-
kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, sabotase, pemogokan buruh,
kegagalan sistem yang digunakan dalam bertransaksi serta bencana alam
seperti gempa bumi, banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat
dari instansi terkait di daerah setempat.
Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” adalah dokumen yang
bisa membuktikan kondisi importir wanprestasi, pailit, atau keadaan
memaksa (force majeure).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”Perjanjian kredit (loan agreement) dalam
bentuk non revolving” adalah perjanjian pinjaman yang tidak
memperbolehkan akumulasi realisasi penarikan ULN melebihi
komitmen.
Huruf b
Contoh 1:
PT. A memperoleh ULN sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta
US Dollar) dari kreditur XYZ di Singapura untuk refinancing ULN
sebelumnya …
-5-
sebelumnya dengan jumlah outstanding yang sama yaitu sebesar
USD20,000,000.00 (dua puluh juta US Dollar) yang diterima dari
kreditur Bank ABC di Singapura. Pertimbangan PT. A melakukan
refinancing tersebut karena adanya tawaran suku bunga yang lebih
rendah dan term & condition yang lebih longgar. Berhubung
refinancing tersebut tidak ada kelebihan aliran dana valuta asing
maka tidak dikenakan kewajiban menarik DULN melalui Bank
Devisa.
Contoh 2:
PT. B memperoleh ULN sebesar USD30,000,000.00 (tiga puluh juta
US Dollar) dari kreditur Bank DEF di Singapura. ULN tersebut
dipergunakan untuk refinancing outstanding ULN sebelumnya yang
tercatat sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta US Dollar) yang
diterima dari kreditur Bank GHI di Singapura dan selisihnya
USD10,000,000.00 (sepuluh juta US Dollar) dipergunakan untuk
tambahan modal kerja. Penarikan DULN sebesar USD10,000,000.00
(sepuluh juta US Dollar) wajib dilakukan melalui Bank Devisa.
Huruf c
Surat utang (debt securities) adalah surat pengakuan utang yang
dapat diperdagangkan di pasar uang atau pasar modal di dalam
maupun di luar negeri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
-6-
Ayat (2)
Nilai akumulasi penarikan DULN dihitung sampai dengan penarikan
terakhir DULN.
Contoh:
PT. C memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dari kreditur KLM
di Singapura sebesar USD100,000,000.00 (seratus juta US Dollar).
Diperjanjikan bahwa penarikan dilakukan sebanyak 10 (sepuluh) kali
selama masa berlakunya loan agreement. Sampai dengan penarikan yang
terakhir atau ke 10 ternyata jumlah yang ditarik tercatat sebesar
USD80,000,000.00 (delapan puluh juta US Dollar). Dengan demikian
terdapat selisih sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta US Dollar)
antara nilai total akumulasi penarikan dengan nilai komitmen yang
diberikan oleh kreditur. Atas perbedaan antara nilai total akumulasi
penarikan dengan nilai komitmen tersebut maka debitur harus
menyampaikan penjelasan secara tertulis kepada Bank Indonesia.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”nilai nominal DHE yang belum diterima” adalah
Nilai PEB dikurangi dengan nilai DHE yang telah diterima melalui Bank
Devisa.
Contoh …
-7-
Contoh:
Nilai Ekspor yang tercantum pada dokumen PEB sebesar USD500,000.00
(lima ratus ribu US Dollar). DHE yang diterima melalui Bank Devisa
sebesar USD100,000.00 (seratus ribu US Dollar). Sisanya sebesar
USD400,000.00 (empat ratus ribu US Dollar) diterima melalui Bank di
luar negeri dan tidak ditarik di Bank Devisa sampai dengan batas waktu
yang ditentukan, yaitu 90 (sembilan puluh) Hari setelah Tanggal PEB.
Berdasarkan kondisi di atas, Eksportir dikenai denda sebesar 0,5% X
USD400,000.00.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”kurs tengah Bank Indonesia” adalah kurs
transaksi Bank Indonesia yang dihitung dengan cara kurs jual transaksi
ditambah kurs beli transaksi, dibagi 2 (dua).
Yang dimaksud dengan “tanggal pengenaan sanksi” adalah tanggal
diterbitkannya surat pemberitahuan secara tertulis dari Bank Indonesia.
Ayat (3)
Pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor dilakukan oleh
otoritas yang berwenang di bidang kepabeanan atas dasar permintaan
Bank Indonesia.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15 …
-8-
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor dilakukan oleh
otoritas yang berwenang di bidang kepabeanan atas dasar permintaan
Bank Indonesia.
Ayat (2)
Bukti pembayaran sanksi administratif/penerimaan DHE antara lain
berupa fotokopi bukti transfer/pembayaran sanksi ke rekening Kas
Negara, fotokopi SWIFT message yang disahkan oleh Bank Devisa
penerima.
Penyampaian bukti pembayaran sanksi administratif/penerimaan DHE
ditujukan kepada:
Bank Indonesia
Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter
Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt. 16
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta Pusat
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18 …
-9-
Pasal 18
Ayat (1)
Contoh penerimaan DHE yang diperjanjikan tidak melalui Bank Devisa
dan/atau dikaitkan dengan pembayaran kewajiban Eksportir:
Eksportir PT. D memperoleh pinjaman jangka panjang dari sindikasi
sejumlah Bank di luar negeri senilai USD500,000,000.00 (lima ratus juta
US Dollar) pada bulan Februari 2010 dengan klausul sebagai berikut:
a) Pembayaran pokok dan bunga sebesar USD26,250,000.00 juta (dua
puluh enam juta dua ratus lima puluh ribu US Dollar) dilakukan
setiap 6 (enam) bulan sejak penarikan utang;
b) Hasil Ekspor setiap bulan wajib ditempatkan pada suatu rekening di
Bank KLM di Hongkong;
c) Bank KLM wajib menahan sebesar USD4,375,000.00 (empat juta
tiga ratus tujuh puluh lima ribu US Dollar) dari penerimaan Ekspor
setiap bulan;
d) Bank KLM mendebet rekening tersebut setiap 6 bulan untuk untung
rekening kreditur.
Mekanisme penerimaan DHE dikaitkan dengan pembayaran kewajiban
Eksportir sebagaimana contoh perjanjian di atas hanya diperbolehkan
sampai dengan akhir bulan Desember 2012.
Sejak bulan Januari 2013, Eksportir wajib menerima seluruh DHE melalui
Bank Devisa. Angsuran pokok dan bunga pinjaman yang semula ditahan
di Bank KLM sebesar USD4,375,000.00 (empat juta tiga ratus tujuh
puluh lima ribu US Dollar) dari penerimaan Ekspor setiap bulan, dibayar
setelah seluruh DHE diterima melalui Bank Devisa.
Ayat (2) …
-10-
Ayat (2)
Dokumen pendukung meliputi antara lain fotokopi kontrak perjanjian
terkait dengan penerimaan DHE tidak melalui Bank Devisa atau yang
terkait dengan pembayaran kewajiban Eksportir.
Penyampaian penjelasan tertulis dan dokumen pendukung ditujukan
kepada:
Bank Indonesia
Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter
Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt. 16
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta Pusat
Ayat (3)
Contoh 1:
Untuk Ekspor dengan tanggal PEB 2 Januari 2012, penerimaan DHE
melalui Bank Devisa paling lama tanggal 2 Juli 2012.
Contoh 2:
Untuk Ekspor dengan tanggal PEB 31 Desember 2012, penerimaan DHE
melalui Bank Devisa paling lama tanggal 1 Juli 2013.
Ayat (4)
Contoh penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting tagihan dengan
kewajiban Eksportir:
Pada bulan Maret 2012, PT. E mengakui utang atas transaksi impor
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta US Dollar) dan piutang atas transaksi
Ekspor sebesar USD1,250,000.00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu US
Dollar) kepada perusahaan M di Malaysia. Utang piutang tersebut jatuh
tempo bulan Mei 2012 dan kedua pihak menyepakati pembayaran dengan
mekanisme …
-11-
mekanisme netting dimana hanya selisih dari utang piutang tersebut yang
akan dibayarkan.
Dalam contoh kasus di atas, PT. E akan menerima USD250,000.00 (dua
ratus lima puluh ribu US Dollar) dari perusahaan M. Selama tahun 2012,
transaksi netting masih diperbolehkan dan nilai DHE yang wajib diterima
melalui Bank Devisa adalah sebesar USD250,000.00 (dua ratus lima
puluh ribu US Dollar). Sejak tanggal 1 Januari 2013, netting tidak
diperkenankan.
Dokumen pendukung antara lain berupa fotokopi purchase order, sales
contract, dan/atau dokumen terkait utang piutang yang diselesaikan secara
netting antara Eksportir dengan pihak lain.
Ayat (5)
PT. F memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dari kreditur PQR
sebesar USD100,000,000.00 (seratus juta US Dollar) yang ditandatangani
pada tanggal 26 Agustus 2010 dengan jatuh tempo 26 Agustus 2015. Pada
tanggal 25 September 2012, perjanjian tersebut diubah dengan menaikkan
plafon ULN tersebut menjadi sebesar USD150,000,000.00 (seratus lima
puluh juta US Dollar).
Dalam contoh kasus di atas, penarikan DULN atas penambahan plafon
ULN tersebut sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta US Dollar)
wajib dilakukan melalui Bank Devisa.
Pasal 19 …
-12-
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5241
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/20/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI </reg_title>
<set_date> 30 September 2011 </set_date>
<effective_date> 2 Januari 2012 </effective_date>
<issued_date> 30 September 2011 </issued_date>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '17/UU/2006', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '10/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/11/PBI/2014
TENTANG
PENGATURAN DAN PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sebagai bank sentral, Bank Indonesia turut
berperan mendorong terpeliharanya stabilitas
sistem keuangan melalui pengaturan dan
pengawasan makroprudensial;
b. bahwa pengaturan dan pengawasan
makroprudensial diperlukan untuk mencegah dan
mengurangi risiko sistemik, mendorong fungsi
intermediasi yang seimbang dan berkualitas, serta
meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses
keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ...
- 2 -
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang
Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3844);
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Transfer Dana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENGATURAN
DAN
MAKROPRUDENSIAL.
PENGAWASAN
BAB ...
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
2. Stabilitas Sistem Keuangan adalah suatu kondisi yang
memungkinkan sistem keuangan nasional berfungsi secara efektif
dan efisien serta mampu bertahan terhadap kerentanan internal
dan eksternal sehingga alokasi sumber pendanaan atau
pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas
perekonomian nasional.
3. Sistem Keuangan adalah suatu sistem yang terdiri atas lembaga
keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, serta
perusahaan non keuangan dan rumah tangga, yang saling
berinteraksi dalam pendanaan dan/atau penyediaan pembiayaan
perekonomian.
4. Risiko Sistemik adalah potensi instabilitas sebagai akibat
terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau
seluruh Sistem Keuangan karena interaksi dari faktor ukuran
(size), kompleksitas usaha (complexity), dan keterkaitan antar
institusi dan/atau pasar keuangan (interconnectedness), serta
kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi
keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality).
5. Systemically Important Bank adalah suatu Bank yang karena
ukuran aset, modal, kewajiban, dan luas jaringan, atau
kompleksitas transaksi atas jasa perbankan, serta keterkaitan
dengan ...
- 4 -
dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya
sebagian atau keseluruhan Bank lain atau sektor jasa keuangan,
baik secara operasional maupun finansial, apabila Bank tersebut
mengalami gangguan atau gagal.
Pasal 2
Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan
makroprudensial dalam rangka:
a. mencegah dan mengurangi Risiko Sistemik;
b. mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas;
dan
c. meningkatkan efisiensi Sistem Keuangan dan akses keuangan.
BAB II
PENGATURAN MAKROPRUDENSIAL
Pasal 3
Pengaturan makroprudensial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dilakukan dengan menggunakan instrumen pengaturan antara lain
untuk:
a. memperkuat ketahanan permodalan dan mencegah leverage yang
berlebihan;
b. mengelola fungsi intermediasi dan mengendalikan risiko kredit,
risiko likuiditas, risiko nilai tukar, dan risiko suku bunga, serta
risiko lainnya yang berpotensi menjadi Risiko Sistemik;
c. membatasi konsentrasi eksposur (exposure concentration);
d. memperkuat ketahanan infrastruktur keuangan; dan/atau
e. meningkatkan efisiensi Sistem Keuangan dan akses keuangan.
Pasal ...
- 5 -
Pasal 4
Bank wajib mematuhi ketentuan Bank Indonesia di bidang
makroprudensial.
BAB III
PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL
Pasal 5
Bank Indonesia melakukan pengawasan makroprudensial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 melalui:
a.
surveilans Sistem Keuangan; dan
b. pemeriksaan terhadap Bank dan terhadap lembaga lainnya yang
memiliki keterkaitan dengan Bank jika diperlukan.
Pasal 6
(1) Bank Indonesia melakukan surveilans Sistem Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dalam rangka
melakukan penilaian terhadap Risiko Sistemik.
(2) Surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
pemantauan perkembangan kondisi Sistem Keuangan, identifikasi
dan analisis risiko Sistem Keuangan, serta penilaian risiko Sistem
Keuangan.
Pasal 7
(1) Dalam rangka pelaksanaan surveilans Sistem Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank wajib menyediakan
dan menyampaikan data dan informasi yang diperlukan oleh Bank
Indonesia.
(2) Bank wajib bertanggung jawab atas kebenaran data dan informasi
yang disampaikan kepada Bank Indonesia.
(3) Data ...
- 6 -
(3) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan melalui sistem pelaporan Bank, pertemuan langsung,
dan/atau sarana komunikasi lain yang ditetapkan Bank
Indonesia.
Pasal 8
(1) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf b terhadap Systemically Important Bank
dan/atau Bank lainnya untuk meyakini Risiko Sistemik yang
bersumber dari kegiatan usaha Bank.
(2) Untuk meyakini Risiko Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), cakupan pemeriksaan oleh Bank Indonesia dapat meliputi
pemeriksaan terhadap implementasi kebijakan dan ketentuan
yang ditetapkan Bank Indonesia dan/atau kewajaran data yang
disampaikan Bank kepada Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Dalam melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap
perusahaan induk, perusahaan afiliasi, dan perusahaan anak dari
Bank.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
antara lain jika perusahaan induk, perusahaan afiliasi, dan
perusahaan anak dinilai memberikan eksposur risiko yang
signifikan terhadap Bank atau berdampak sistemik.
Pasal 10
(1) Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib memberikan kepada
pemeriksa:
a. dokumen ...
- 7 -
a. dokumen dan/atau data yang diminta;
b. keterangan dan penjelasan yang berkaitan dengan kegiatan
yang diperiksa, baik lisan maupun tertulis;
akses terhadap sistem informasi Bank; dan/atau
d. hal lain yang diperlukan dalam pemeriksaan.
c.
(2) Bank dan pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
menghambat proses pemeriksaan.
Pasal 11
(1) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9.
(2) Pihak yang ditugaskan melakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga kerahasiaan data dan
informasi yang diperoleh dari hasil pemeriksaan.
BAB IV
TINDAK LANJUT PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL
Pasal 12
(1) Bank wajib melaksanakan tindak lanjut atas hasil pengawasan
makroprudensial yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia menyampaikan rekomendasi hasil pengawasan
makroprudensial kepada otoritas lain yang juga berwenang
terhadap Stabilitas Sistem Keuangan, dalam hal terdapat hasil
pengawasan makroprudensial yang terkait dengan kewenangan
otoritas lain.
BAB ...
- 8 -
BAB V
SANKSI
Pasal 13
(1) Bank yang melanggar ketentuan dalam Pasal 7, Pasal 10,
dan/atau Pasal 12 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(2) Bank yang dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 10,
dan/atau Pasal 12 ayat (1).
(3) Dalam hal setelah dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank tetap tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank dapat dikenakan
sanksi administratif berupa:
a. pembatasan dan/atau larangan keikutsertaan dalam operasi
moneter;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK);
c. perubahan status kepesertaan dalam Sistem Bank Indonesia
Real Time Gross Settlement (RTGS) dari status aktif (active)
menjadi ditangguhkan (suspended); dan/atau
d. penghentian sementara dalam Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia.
Pasal 14
Pihak yang ditugaskan oleh Bank Indonesia untuk melakukan
pemeriksaan yang melanggar Pasal 11 ayat (2) dikenakan sanksi
administratif berupa:
a.
b.
teguran tertulis;
rekomendasi untuk dikeluarkan dari daftar profesi yang
memberikan jasa di sektor keuangan yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang; dan/atau
c. rekomendasi ...
- 9 -
c.
rekomendasi pencabutan izin usaha kepada instansi yang
berwenang.
Pasal 15
Bank Indonesia menyampaikan informasi kepada otoritas terkait
mengenai pengenaan sanksi terhadap Bank dan/atau pihak lain.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 141
DKMP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/11/PBI/2014
TENTANG
PENGATURAN DAN PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL
I. UMUM
Krisis keuangan global telah memberikan pelajaran berharga
tentang pentingnya menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.
Kompleksitas dan keterkaitan dalam Sistem Keuangan
mengakibatkan krisis yang bersumber dari dalam sektor keuangan
tidak hanya berdampak negatif di sektor keuangan, tetapi juga
meluas sehingga mempengaruhi kinerja makroekonomi dan
menimbulkan biaya pemulihan ekonomi yang tinggi.
Untuk mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan dan
tingginya biaya penanganan krisis, serta sebagai upaya untuk
mendorong Stabilitas Sistem Keuangan, Bank Indonesia perlu
menetapkan kerangka kebijakan makroprudensial yang mampu
mencegah dan memitigasi terjadinya Risiko Sistemik dalam Sistem
Keuangan melalui pengaturan dan pengawasan makroprudensial.
Pengaturan dan pengawasan makroprudensial dimaksudkan
agar fungsi dan kegiatan operasional Bank dan/atau lembaga
keuangan dapat mendukung kegiatan ekonomi makro secara
berkelanjutan, stabil secara industri dan/atau sistem, serta seimbang
secara sektor ekonomi dan/atau kelompok masyarakat. Pengaturan
makroprudensial diperlukan pula untuk mempengaruhi perilaku
para pelaku atau institusi keuangan sehingga mampu memitigasi
risiko dan menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Sementara, melalui
pengawasan makroprudensial Bank Indonesia dapat melakukan
surveilans ...
- 2 -
surveilans terhadap kerentanan dan volatilitas dalam Sistem
Keuangan sehingga mampu mendeteksi potensi tekanan yang
berdampak pada Sistem Keuangan. Sehubungan kegiatan pengaturan
dan pengawasan makroprudensial tersebut, Bank Indonesia tidak
menetapkan tingkat kesehatan Bank secara individual.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas dapat
diindikasikan dari terciptanya penyaluran kredit yang
optimal dalam pembiayaan perekonomian yang
memperhatikan siklus perekonomian dan keterkaitan
antar agen perekonomian, sehingga mampu mendorong
pertumbuhan perekonomian yang berkesinambungan.
Huruf c
Peningkatan efisiensi Sistem Keuangan dan akses
keuangan dilakukan melalui peningkatan transparansi,
perluasan jangkauan perbankan pada semua lapisan
masyarakat (financial inclusion), dan peningkatan
persaingan yang sehat, sehingga dapat menurunkan biaya
intermediasi dan mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Pasal ...
- 3 -
Pasal 3
Huruf a
Instrumen pengaturan untuk memperkuat ketahanan
permodalan dan mencegah leverage yang berlebihan,
antara lain pengaturan tambahan permodalan (capital
surcharge) bagi Systemically Important Banks,
countercyclical capital buffer, dan rasio leverage
makroprudensial (macroprudential leverage ratio).
Huruf b
Instrumen pengaturan untuk mengelola fungsi
intermediasi dan mengendalikan risiko kredit, antara lain
pengaturan rasio kredit terhadap nilai agunan (loan to
value ratio), rasio utang terhadap pendapatan (debt to
income ratio), giro wajib minimum makroprudensial, dan
rasio pertumbuhan kredit.
Instrumen pengaturan untuk mengendalikan risiko
likuiditas dalam mengatasi maturity mismatch yang
berlebihan dan tidak likuidnya pasar, antara lain
pengaturan dari aspek makroprudensial terhadap rasio
kecukupan likuiditas (liquidity coverage ratio) dan terhadap
rasio pendanaan stabil (net stable funding ratio).
Instrumen pengaturan untuk mengendalikan risiko nilai
tukar dalam mengatasi currency mismatch yang berlebihan,
antara lain pengaturan dari aspek makroprudensial
terhadap posisi devisa neto, utang luar negeri, dan
kewajiban lindung nilai (hedging).
Instrumen pengaturan untuk mengendalikan risiko suku
bunga (fixed versus variable rate mismatch) yang
berlebihan, antara lain melalui pengaturan dari aspek
makroprudensial terhadap kewajiban lindung nilai
(hedging).
Instrumen ...
- 4 -
Instrumen pengaturan untuk mengendalikan risiko lainnya
yang berpotensi menjadi Risiko Sistemik.
Huruf c
Instrumen pengaturan untuk membatasi konsentrasi
eksposur (exposure concentration), antara lain pengaturan
batasan pemberian kredit kepada sektor tertentu.
Huruf d
Instrumen pengaturan untuk memperkuat ketahanan
infrastruktur keuangan antara lain pengaturan
persyaratan transparansi (disclosure) informasi terkait
infrastruktur keuangan.
Huruf e
Instrumen pengaturan untuk meningkatkan efisiensi
Sistem Keuangan dan akses keuangan antara lain
pengaturan terhadap persyaratan transparansi (disclosure)
suku bunga dasar kredit, rasio kredit Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah (UMKM), dan pengaturan Layanan
Keuangan Digital (LKD).
Instrumen makroprudensial sebagaimana tersebut di atas
mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku
mengenai masing-masing instrumen dimaksud.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Dalam melakukan penilaian terhadap Risiko Sistemik, Bank
Indonesia memperhatikan pula potensi Risiko Sistemik yang
bersumber ...
- 5 -
bersumber dari individual lembaga keuangan yang berdampak
sistemik dan/atau memiliki potensi berdampak sistemik.
Pasal 7
Ayat (1)
Data dan informasi yang diperlukan oleh Bank Indonesia
dalam rangka surveilans Sistem Keuangan antara lain
mencakup data dan informasi mengenai laporan keuangan,
perkreditan, leverage, likuiditas, aktivitas treasury, dan
hasil stress test, yang antara lain digunakan untuk
memantau dan menganalisa intermediasi keuangan,
tingkat leverage, maturity dan currency mismatch, serta
konsentrasi eksposur (exposure concentration).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyampaian data dan informasi melalui sistem pelaporan
Bank mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai kewajiban penyampaian data dan
informasi oleh Bank.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Bank lainnya” antara lain adalah
Bank yang memiliki common exposure yang berpotensi
memberikan dampak sistemik.
Common exposure merupakan terkonsentrasinya portofolio
beberapa Bank pada aset dan/atau kewajiban yang sama
sehingga menimbulkan potensi risiko yang sama, antara
lain terkonsentrasinya kredit beberapa Bank pada sektor
usaha yang sama, atau ketergantungan beberapa Bank
pada sumber dana yang sama.
Ayat ...
- 6 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”perusahaan induk, perusahaan
afiliasi, dan perusahaan anak dari Bank” mengacu pada
ketentuan yang mengatur mengenai transparansi kondisi
keuangan bank.
Ayat (2)
Perusahan induk, perusahaan afiliasi, dan perusahaan
anak dari Bank dianggap memberikan eksposur risiko yang
signifikan terhadap Bank jika terganggunya kegiatan
usaha atau adanya permasalahan dari perusahaan induk,
perusahaan afiliasi, dan perusahaan anak dapat
meningkatkan eksposur risiko Bank yang antara lain
tercermin dari dampaknya terhadap permodalan dan/atau
likuiditas Bank.
Pasal 10
Ayat (1)
Dokumen dan/atau data yang diminta oleh pemeriksa
termasuk kebijakan, peraturan, dan/atau Standard
Operating Procedure (SOP), dalam bentuk hardcopy,
softcopy, atau bentuk lainnya.
Akses terhadap sistem informasi Bank antara lain
mencakup pemeriksaan terhadap aplikasi, sistem
pelaporan, dan jaringan yang terkait cakupan
pemeriksaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal ...
- 7 -
Pasal 11
Ayat (1)
Pemeriksaan oleh pihak lain dilakukan untuk dan atas
nama Bank Indonesia.
Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia antara
lain Akuntan Publik dan Penilai Publik.
Dalam menugaskan pihak lain untuk melakukan
pemeriksaan, Bank Indonesia mengeluarkan surat
perintah kerja dan menetapkan term of reference.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Otoritas lain yang juga berwenang terhadap Stabilitas
Sistem Keuangan antara lain adalah Otoritas Jasa
Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Sanksi yang terkait dengan pembatasan dan/atau
larangan keikutsertaan dalam operasi moneter antara
lain ...
- 8 -
lain mencakup penghentian sementara dari kegiatan
Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing Facilities
(SF).
Huruf b
Contoh penghentian sementara sebagian atau
seluruh kegiatan APMK antara lain pembatasan
ekspansi penerbitan kartu kredit kepada nasabah
baru.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Penyampaian informasi kepada otoritas terkait dapat berupa
tembusan surat pengenaan sanksi kepada Bank dan/atau pihak
lain.
Pasal 16
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5546
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/11/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> PENGATURAN DAN PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL </reg_title>
<set_date> 1 Juli 2014 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2014 </effective_date>
<issued_date> 1 Juli 2014 </issued_date>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '21/UU/2011', '23/UU/1999', '3/UU/2011', '24/UU/1999', '6/UU/2009' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/ 9 /PBI/2014
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
7/14/PBI/2005 TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN
PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa kondisi ekonomi global yang semakin terintegrasi
membutuhkan upaya untuk peningkatan ketahanan
perekonomian domestik antara lain melalui pendalaman
pasar valuta asing domestik;
b. bahwa pendalaman pasar valuta asing domestik diarahkan
untuk mendukung kegiatan ekonomi di Indonesia dengan
tetap memperhatikan stabilitas nilai tukar rupiah;
c. bahwa dalam rangka pendalaman pasar valuta asing
domestik perlu diberikan fleksibilitas bagi pelaku pasar
dalam melakukan lindung nilai atas kegiatan ekonomi di
Indonesia khususnya lindung nilai atas penghasilan
investasi di Indonesia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu melakukan
perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan
Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa
kali ...
- 2 -
kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
7/14/PBI/2005 TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI
RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH
BANK.
Pasal I
Ketentuan Pasal 12 dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005
tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh
Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4504) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/10/PBI/2012 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5335) diubah sebagai berikut:
Pasal ...
- 3 -
Pasal 12
(1) Pembatasan Transaksi Derivatif valuta asing terhadap rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) tidak berlaku dalam hal
Transaksi Derivatif dilakukan untuk keperluan lindung nilai (hedging)
dalam rangka kegiatan sebagai berikut:
a.
investasi di Indonesia yang berjangka waktu paling singkat 1 (satu)
minggu, yang dihitung sejak tanggal setelmen pembelian investasi
sampai dengan tanggal setelmen penjualan investasi;
b. ekspor barang dari Indonesia dan impor barang ke Indonesia;
dan/atau
c. perdagangan dalam negeri yang menggunakan Surat Kredit
Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai surat kredit
berdokumen dalam negeri.
(2) Investasi di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi Penyertaan Langsung, pemberian Kredit, dan pembelian Surat
Berharga, namun tidak termasuk Sertifikat Bank Indonesia.
(3) Hedging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas suatu kegiatan
investasi di Indonesia hanya dapat dilakukan apabila memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. terdapat realisasi investasi;
b.
nilai hedging untuk investasi paling banyak sebesar nilai realisasi
investasi yang tercantum dalam dokumen pendukung;
c.
nilai investasi yang dapat dilakukan hedging tidak termasuk future
income yang belum dapat dipastikan jumlah dan waktu penerimaan
dari investasi dimaksud;
d. jangka waktu hedging paling singkat 1 (satu) minggu yang dihitung
berdasarkan tanggal dimulainya transaksi hedging sampai dengan
tanggal valuta hedging, dan paling lama sama dengan jangka waktu
investasi; dan
e. transaksi hedging dilengkapi dengan dokumen hedging dan dokumen
investasi yang bersangkutan.
(4) Dalam ...
- 4 -
(4) Dalam hal future income sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
berupa dividen, terhadap dividen dimaksud dapat dilakukan hedging
sebelum adanya kepastian jumlah dan waktu penerimaan.
(5) Dalam hal terdapat penghasilan dari investasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang jumlah dan waktu penerimaannya dapat dipastikan,
dapat dilakukan hedging dengan ketentuan sebagai berikut:
a. hedging hanya dapat dilakukan melalui transaksi outright forward
jual valuta asing terhadap rupiah Bank dengan Pihak Asing;
b. penghasilan dari investasi meliputi penghasilan yang telah diterima
maupun yang akan diterima;
c. transaksi outright forward jual valuta asing terhadap rupiah Bank
dengan Pihak Asing atas penghasilan dari investasi yang telah
diterima oleh Pihak Asing hanya dapat dilakukan sebanyak 1 (satu)
kali transaksi dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) minggu;
d. transaksi outright forward jual valuta asing terhadap rupiah Bank
dengan Pihak Asing atas penghasilan dari investasi yang akan
diterima oleh Pihak Asing hanya dapat dilakukan dengan jangka
waktu paling singkat 1 (satu) minggu dan paling lama sesuai dengan
jangka waktu penerimaan penghasilan;
e.
nilai transaksi outright forward jual valuta asing terhadap rupiah
Bank dengan Pihak Asing atas penghasilan dari investasi
sebagaimana dimaksud pada huruf b paling banyak sebesar nilai
penghasilan dari investasi yang tercantum dalam dokumen
pendukung; dan
f.
transaksi outright forward jual valuta asing terhadap rupiah Bank
dengan Pihak Asing sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib
dilengkapi dengan dokumen pendukung.
(6) Dalam hal hedging dilakukan atas future income berupa dividen yang
belum dapat dipastikan jumlah dan waktu penerimaannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), hedging diatur dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. hedging hanya dapat dilakukan melalui transaksi outright forward
jual valuta asing terhadap rupiah Bank dengan Pihak Asing;
b. nilai ...
- 5 -
b.
nilai hedging sebagaimana dimaksud pada huruf a paling banyak
sebesar nilai estimasi dividen yang akan diterima Pihak Asing
berdasarkan dokumen pendukung;
c. memiliki jangka waktu paling singkat 1 (satu) minggu dan paling
lama sampai dengan jangka waktu penerimaan dividen;
d. Bank dilarang menerima pembatalan transaksi hedging atas dividen
yang akan diterima oleh Pihak Asing;
e. dalam hal selama periode hedging terdapat keputusan manajemen
perusahaan yang dapat memberikan kepastian mengenai jumlah dan
waktu pembayaran dividen yang akan diterima Pihak Asing, Bank
wajib melakukan penyesuaian atas jumlah hedging Pihak Asing
menjadi paling banyak sesuai dengan jumlah dividen yang sudah
pasti akan diterima oleh Pihak Asing dan jangka waktu hedging
menjadi sesuai dengan tanggal pembayaran dividen;
f.
transaksi outright forward jual valuta asing terhadap rupiah Bank
dengan Pihak Asing sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib
dilengkapi dengan dokumen pendukung; dan
g. Bank wajib memastikan bahwa Pihak Asing tidak melakukan
penjualan saham yang dividennya digunakan sebagai underlying
transaksi hedging sampai dengan batas waktu saham masih
memiliki hak atas dividen yang dijadikan underlying.
(7) Penyesuaian hedging sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf e dapat
dilakukan dengan penyelesaian secara netting.
(8) Hedging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kegiatan ekspor atau
impor perdagangan internasional dan/atau perdagangan dalam negeri
diatur sebagai berikut:
a.
jangka waktu hedging paling lama sesuai dengan jangka waktu
kebutuhan pembayaran importir dan/atau penerimaan pembayaran
eksportir;
b.
jatuh waktu hedging paling lama sama dengan jatuh waktu
pembayaran importir dan/atau penerimaan pembayaran eksportir;
c. nilai ...
- 6 -
c.
nilai hedging paling banyak sebesar nilai ekspor atau impor
perdagangan internasional dan/atau perdagangan dalam negeri
yang tercantum dalam dokumen pendukung; dan
d. dilengkapi dengan dokumen hedging dan dokumen ekspor atau
impor perdagangan internasional dan/atau perdagangan dalam
negeri yang bersangkutan.
(9) Hedging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula dilakukan oleh
Bank dengan Pihak Asing dalam rangka cover hedging Bank.
(10) Persyaratan hedging dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) minggu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk transaksi
outright forward beli valuta asing terhadap rupiah Bank dengan Pihak
Asing dalam rangka setelmen kegiatan investasi.
(11) Transaksi outright forward beli valuta asing terhadap rupiah Bank dengan
Pihak Asing dalam rangka setelmen kegiatan investasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (10) diatur sebagai berikut:
a.
jangka waktu transaksi outright forward beli valuta asing terhadap
rupiah Bank dengan Pihak Asing sama dengan jangka waktu
setelmen kegiatan investasi;
b.
tanggal dimulainya transaksi outright forward beli valuta asing
terhadap rupiah Bank dengan Pihak Asing maupun berakhirnya
transaksi outright forward beli dimaksud sama dengan tanggal
dimulainya dan berakhirnya setelmen kegiatan investasi; dan
c. dilengkapi dengan dokumen pendukung setelmen kegiatan investasi
yang bersangkutan.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan ...
- 7 -
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 8 April 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 8 April 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 70
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/ 9 /PBI/2014
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
7/14/PBI/2005 TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN
PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK
I. UMUM
Dinamika perekonomian global saat ini memiliki pengaruh terhadap
perkembangan pasar valuta asing domestik. Dalam rangka merespon
sekaligus mengantisipasi berbagai pengaruh terhadap perkembangan
pasar valuta asing domestik tersebut, Bank Indonesia perlu melakukan
pengelolaan likuiditas di pasar valuta asing domestik dalam rangka
mengurangi volatilitas nilai tukar dengan memberikan fleksibilitas bagi
pelaku pasar dalam melakukan lindung nilai (hedging) atas kegiatan
ekonomi di Indonesia khususnya hedging atas penghasilan investasi di
Indonesia.
Sejalan dengan hal tersebut, perlu dilakukan perubahan kedua atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan
Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 50, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4504). Kebijakan ini diharapkan dapat
meningkatkan pendalaman pasar valuta asing domestik yang pada
akhirnya memberikan kontribusi positif bagi perekonomian Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ekspor ...
2
Ekspor barang dari Indonesia dan impor barang ke
Indonesia menggunakan
cara pembayaran
berdasarkan Letter of Credit (L/C) dan non L/C.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “realisasi investasi” adalah
terjadinya aliran dana dari Pihak Asing untuk
penyelesaian kegiatan investasi, termasuk investasi
yang dalam proses penyelesaian.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “future income” antara lain
capital gain, dividen, kupon, dan bunga.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penghasilan dari investasi yang telah diterima
maupun yang akan diterima antara lain dividen,
kupon, dan bunga.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup ...
3
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Penyesuaian hedging dapat dilakukan melalui
transaksi forward, swap, dan/atau pengakhiran lebih
awal (early termination).
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “batas waktu saham masih
memiliki hak atas dividen” pada bursa adalah cum
date, yaitu akhir periode perdagangan saham di
bursa dengan hak dividen.
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Contoh:
Eksportir akan menerima pembayaran dalam waktu 2 (dua)
bulan ke depan. Dalam hal ini, eksportir dapat melakukan
hedging dengan jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan
atau eksportir melakukan hedging dengan jangka waktu
kurang dari 2 (dua) bulan, namun dengan tanggal jatuh
waktu ...
4
waktu yang sama dengan tanggal jatuh waktu penerimaan
pembayaran.
Ayat (9)
Yang dimaksud dengan “cover hedging” adalah apabila
Bank melakukan hedging kepada Pihak Asing berupa bank
di luar negeri atas hedging yang telah dilakukan nasabah
Bank kepada Bank yang bersangkutan dengan underlying
yang dimiliki oleh nasabah Bank dimaksud.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Yang dimaksud dengan “transaksi outright forward beli
valuta asing terhadap rupiah Bank dengan Pihak Asing”
adalah transaksi forward yang bukan berasal dari
transaksi swap atau transaksi derivatif lainnya.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5525
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/9/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/14/PBI/2005 TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK </reg_title>
<set_date> 8 April 2014 </set_date>
<effective_date> 8 April 2014 </effective_date>
<issued_date> 8 April 2014 </issued_date>
<changed_reg> '7/14/PBI/2005' </changed_reg>
<extension_of> '14/10/PBI/2012' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/27/PBI/2016
TENTANG
PENGELUARAN UANG RUPIAH LOGAM
PECAHAN 500 (LIMA RATUS)
TAHUN EMISI 2016
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,
baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus
dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara
Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah
dalam kegiatan perekonomian nasional guna
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia;
b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka
melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu
mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal
yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan
dalam kondisi yang layak edar;
c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank
- 2 -
Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan
keandalannya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengeluaran Uang Rupiah Logam Pecahan 500 (Lima
Ratus) Tahun Emisi 2016;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
UANG RUPIAH LOGAM PECAHAN 500 (LIMA RATUS) TAHUN
EMISI 2016.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 500
(lima ratus) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang
sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- 3 -
Pasal 2
Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
merupakan uang Rupiah logam yang memiliki ciri tertentu.
Pasal 3
Harga uang Rupiah logam sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp500,00 (lima ratus
rupiah).
Pasal 4
Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi:
a. ciri umum; dan
b. ciri khusus.
Pasal 5
Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a
yaitu:
a. pada bagian depan terdapat:
1. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
2. frasa “REPUBLIK INDONESIA”; dan
3. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Letjen TNI
T.B. Simatupang beserta tulisan “LETJEN TNI T.B.
SIMATUPANG”; dan
b. pada bagian belakang terdapat:
1. sebutan pecahan dalam angka “500”;
2. tulisan tahun emisi yaitu “2016”;
3. tulisan “BANK INDONESIA”; dan
4. tulisan “RUPIAH”.
Pasal 6
Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b
yang berupa desain, bahan, dan teknik cetak sebagai berikut:
a. warna, dominan putih aluminium;
b. bahan, terbuat dari aluminium;
- 4 -
c. berat, 3,10 (tiga koma sepuluh) gram dengan toleransi ±
(lebih kurang) 0,05 (nol koma nol lima) gram;
d. diameter, 27,20 (dua puluh tujuh koma dua puluh)
milimeter dengan toleransi ± (lebih kurang) 0,05 (nol
koma nol lima) milimeter;
e.
tebal sisi, 2,35 (dua koma tiga puluh lima) milimeter
dengan toleransi ± (lebih kurang) 0,10 (nol koma sepuluh)
milimeter; dan
f.
pada bagian sisi terdapat beberapa cetakan bergerigi.
Pasal 7
Uang Rupiah logam pecahan 500 (lima ratus) tahun emisi
1991, tahun emisi 1997, dan tahun emisi 2003 dinyatakan
masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum
dicabut dan ditarik dari peredaran.
Pasal 8
Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai
berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016.
Pasal 9
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 5 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 210
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/27/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH LOGAM PECAHAN 500 (LIMA RATUS) TAHUN EMISI 2016 </reg_title>
<set_date> 25 Oktober 2016 </set_date>
<effective_date> 27 Oktober 2016 </effective_date>
<issued_date> 27 Oktober 2016 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/2/PBI/2019
TENTANG
PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pelaporan kegiatan lalu lintas devisa sangat
diperlukan untuk mendukung penerapan sistem devisa
bebas dan perumusan kebijakan, baik di bidang moneter,
stabilitas sistem keuangan, maupun sistem pembayaran
dan pengelolaan uang rupiah;
b. bahwa data dan keterangan yang lengkap, benar, dan
tepat waktu, yang diperoleh dari hasil pelaporan kegiatan
lalu lintas devisa sangat diperlukan untuk penyusunan
statistik, terutama statistik neraca pembayaran Indonesia,
statistik posisi investasi internasional Indonesia, dan
statistik utang luar negeri Indonesia;
c. bahwa mekanisme pelaporan kegiatan lalu lintas devisa
perlu disempurnakan guna meningkatkan kualitas data
dan keterangan yang disampaikan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaporan Kegiatan
Lalu Lintas Devisa;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PELAPORAN
KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disingkat LLD adalah
lalu lintas devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan
sistem nilai tukar.
2. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu
lintas devisa dan sistem nilai tukar.
3. Aset Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disingkat
AFLN adalah aktiva Penduduk pada bukan Penduduk baik
dalam valuta asing maupun rupiah, dalam bentuk kas
- 3 -
valuta asing, simpanan, surat berharga, dan aset luar
negeri lainnya.
4. Kewajiban Finansial Luar Negeri yang selanjutnya
disingkat KFLN adalah pasiva Penduduk pada bukan
Penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah, dalam
bentuk utang luar negeri, ekuitas dari bukan Penduduk,
dan kewajiban luar negeri lainnya.
5. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah
utang Penduduk kepada bukan Penduduk dalam valuta
asing dan/atau rupiah, termasuk di dalamnya
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
6. Transaksi Partisipasi Risiko yang selanjutnya disingkat
TPR adalah transaksi pengalihan risiko atas individual
kredit dan/atau fasilitas lainnya berdasarkan perjanjian
induk transaksi partisipasi risiko (master risk participation
agreement).
7. Pelapor adalah Penduduk yang melakukan kegiatan LLD,
baik untuk kepentingan Pelapor yang bersangkutan
maupun pihak lain.
8. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk
hari kerja operasional terbatas.
BAB II
RUANG LINGKUP PELAPORAN LLD
Pasal 2
(1) Laporan LLD meliputi data dan keterangan mengenai:
a. transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi
lainnya antara Penduduk dengan bukan Penduduk;
b. data pokok ULN dan/atau TPR;
c. rencana penarikan dan/atau pembayaran ULN
dan/atau TPR;
d.
e.
realisasi penarikan dan/atau pembayaran ULN
dan/atau TPR;
posisi dan perubahan AFLN, KFLN, dan/atau TPR;
dan/atau
f. rencana ULN baru dan/atau perubahannya.
- 4 -
(2) Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi seluruh kegiatan LLD yang dilakukan baik untuk
kepentingan Pelapor yang bersangkutan maupun pihak
lain.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup laporan
LLD diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB III
PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 3
(1) Pelapor wajib menyampaikan laporan LLD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) kepada Bank Indonesia
secara lengkap, benar, dan tepat waktu.
(2) Penyampaian laporan LLD yang meliputi data dan
keterangan mengenai data pokok ULN dan/atau TPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b
harus dilengkapi dengan dokumen pendukung.
(3) Selain laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pelapor harus menyampaikan profil dan/atau keterangan
mengenai Pelapor dan setiap perubahannya.
(4) Penyampaian laporan LLD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara online.
Pasal 4
(1) Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi:
a. lembaga keuangan berupa:
1. bank; dan
2. lembaga keuangan bukan bank;
b. badan usaha bukan lembaga keuangan;
c. badan lainnya; dan
d. perseorangan.
(2) Pelapor berupa bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a angka 1 hanya wajib melaporkan:
a. data pokok ULN dan/atau TPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b beserta
- 5 -
dokumen pendukungnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2);
b. rencana penarikan dan/atau pembayaran ULN
dan/atau TPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf c;
c.
realisasi penarikan dan/atau pembayaran ULN
dan/atau TPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf d; dan
d.
posisi dan perubahan KFLN dan/atau TPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf
e.
Pasal 5
(1) Pelapor wajib menyampaikan laporan LLD yang meliputi
data dan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e secara bulanan
paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
(2) Laporan LLD yang meliputi data dan keterangan mengenai
rencana ULN baru dan/atau perubahannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f selama tahun
berjalan disampaikan sebagai berikut:
a.
rencana ULN baru disampaikan setiap awal tahun,
paling lambat tanggal 15 Maret; dan
b. perubahan rencana ULN baru disampaikan paling
lambat tanggal 15 Juni.
Pasal 6
(1) Dalam hal terdapat kesalahan laporan LLD yang telah
disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
Pelapor harus menyampaikan koreksi paling lambat
tanggal 20 pada bulan penyampaian laporan yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal hari terakhir penyampaian laporan LLD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan/atau koreksi
atas laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti
bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia maka
- 6 -
penyampaian laporan dan/atau koreksi laporan dimaksud
dapat disampaikan pada Hari berikutnya.
(3) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian laporan LLD
dan/atau koreksi atas laporan LLD terjadi gangguan
teknis yang menyebabkan Pelapor tidak dapat
menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan
dimaksud secara online maka laporan dan/atau koreksi
laporan dimaksud disampaikan secara offline pada Hari
berikutnya.
Pasal 7
(1) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan laporan LLD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) apabila
laporan LLD disampaikan melampaui batas waktu yang
ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai
dengan akhir bulan yang bersangkutan.
(2) Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan laporan LLD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) apabila
laporan LLD tidak disampaikan sampai dengan batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8
Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) tetap wajib
menyampaikan laporan LLD tersebut.
Pasal 9
(1) Dalam hal kegiatan LLD dilakukan oleh Pelapor untuk
kepentingan pihak lain, Pelapor dapat meminta data dan
keterangan kepada pihak lain tersebut mengenai kegiatan
LLD yang dilakukan.
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memberikan data dan keterangan mengenai kegiatan LLD
yang diminta oleh Pelapor.
- 7 -
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan laporan, tata cara
penyampaian laporan, dan koreksi laporan diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 11
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
kegiatan LLD yang dilakukan oleh Pelapor.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dengan cara:
a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau
dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan
pihak instansi terkait; dan/atau
b. kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(4) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf a dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Bank
Indonesia.
(5) Dalam hal Pelapor tidak memberikan penjelasan, bukti,
catatan, dan/atau dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) maka bagi Pelapor:
a. yang telah menyampaikan laporan, laporan LLD yang
disampaikan dinyatakan tidak benar; dan
b. yang belum menyampaikan laporan LLD, dinyatakan
tidak menyampaikan laporan.
(6) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain
untuk melakukan penelitian kebenaran laporan.
- 8 -
Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB V
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 13
Pelapor yang:
a. menyampaikan laporan LLD yang meliputi data dan
keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
huruf a sampai dengan huruf e secara tidak benar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), yang tidak
ditindaklanjuti dengan penyampaian koreksi;
b. terlambat menyampaikan laporan LLD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1); dan/atau
c.
tidak menyampaikan laporan LLD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (5) huruf b,
dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Pasal 14
(1) Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 untuk laporan
LLD yang meliputi data dan keterangan mengenai:
a. transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi
lainnya antara Penduduk dengan bukan Penduduk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf
a;
b. data pokok ULN dan/atau TPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b;
c. rencana penarikan dan/atau pembayaran ULN
dan/atau TPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf c;
d.
realisasi penarikan dan/atau pembayaran ULN
dan/atau TPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf d; atau
- 9 -
e.
posisi dan perubahan AFLN, KFLN, dan/atau TPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf
e,
mulai diberlakukan bagi Pelapor baru setelah 3 (tiga) kali
masa pelaporan sejak penyampaian laporan yang pertama.
(2) Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 untuk laporan
LLD yang meliputi data dan keterangan mengenai:
a. transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi
lainnya antara Penduduk dengan bukan Penduduk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf
a;
b. data pokok ULN dan/atau TPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b;
c. rencana penarikan dan/atau pembayaran ULN
dan/atau TPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf c;
d.
realisasi penarikan dan/atau pembayaran ULN
dan/atau TPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf d; atau
e.
posisi dan perubahan AFLN, KFLN dan/atau TPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf
e,
mulai diberlakukan bagi Pelapor yang belum
menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia sejak 3
(tiga) bulan setelah diketahui melakukan kegiatan LLD.
(3) Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b dan huruf
c untuk laporan LLD yang meliputi data dan keterangan
mengenai rencana ULN baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f mulai diberlakukan bagi
Pelapor baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah
1 (satu) kali masa pelaporan sejak penyampaian laporan
yang pertama.
(4) Pelapor yang sedang dalam proses pailit atau yang sudah
tidak beroperasi dapat mengajukan permohonan kepada
Bank Indonesia untuk tidak dikenai sanksi administratif
- 10 -
berupa teguran tertulis dengan menyampaikan bukti
pendukung.
(5) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 tidak
dikenai kepada Pelapor yang terlambat atau tidak
menyampaikan laporan yang disebabkan adanya
gangguan teknis di Bank Indonesia.
Pasal 15
Bank Indonesia memberitahukan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 secara tertulis kepada
otoritas atau instansi yang berwenang, kreditur, dan/atau
perusahaan induk.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VI
KEADAAN MEMAKSA
Pasal 17
(1) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sehingga
menyebabkan data dan keterangan dalam penyusunan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak
tersedia dikecualikan dari kewajiban menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sehingga
menyebabkan terhambatnya penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikecualikan dari
kewajiban menyampaikan laporan dalam batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(3) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) harus segera
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada
Bank Indonesia dengan disertai penjelasan mengenai
keadaan memaksa yang dialami.
- 11 -
(4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku dalam hal Pelapor memperoleh persetujuan dari
Bank Indonesia untuk tidak menyampaikan laporan.
(5) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
wajib menyampaikan laporan setelah Pelapor kembali
melakukan kegiatan operasional secara normal.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 18
Dalam hal Pelapor sedang dalam proses pailit atau sudah tidak
beroperasi, Pelapor tetap wajib menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 kepada Bank Indonesia.
Pasal 19
Laporan LLD yang memuat data dan keterangan individual
Pelapor yang disampaikan kepada Bank Indonesia bersifat
rahasia, kecuali secara tegas dinyatakan lain dalam Undang-
Undang.
Pasal 20
Dalam hal terdapat permasalahan yang timbul dalam
pelaporan LLD yang berdampak strategis, Bank Indonesia
dapat mengambil kebijakan tertentu dengan tetap
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/22/PBI/2014 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas
- 12 -
Devisa dan Pelaporan Kegiatan Penerapan Prinsip Kehati-
hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi
Nonbank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 397, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5564), dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 22
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku,
ketentuan yang mengatur mengenai pelaporan kegiatan lalu
lintas devisa sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 16/22/PBI/2014 tentang Pelaporan Kegiatan
Lalu Lintas Devisa dan Pelaporan Kegiatan Penerapan Prinsip
Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi
Nonbank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 397, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5564), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 23
(1) Kewajiban penyampaian laporan LLD yang meliputi data
dan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e mulai berlaku
sejak periode data bulan Maret 2019 yang disampaikan
pada bulan April 2019.
(2) Batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) dan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 huruf b dan huruf c untuk laporan LLD berupa
rencana ULN baru mulai berlaku untuk pelaporan data
LLD berupa rencana ULN baru tahun 2019 yang
disampaikan paling lambat tanggal 15 Maret 2019.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 untuk
laporan LLD yang meliputi data dan keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf e mulai berlaku sejak periode data
bulan Maret 2019 yang disampaikan pada bulan April
2019.
- 13 -
Pasal 24
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1
Maret 2019.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Januari 2019
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Januari 2019
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 3
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/2/PBI/2019
TENTANG
PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA
I. UMUM
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24
tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Bank
Indonesia memiliki kewenangan untuk meminta data dan keterangan
mengenai kegiatan LLD yang dilakukan oleh Penduduk melalui suatu
sistem pemantauan LLD yang efektif. Data dan keterangan yang diperoleh
melalui sistem pemantauan tersebut diperlukan untuk perumusan dan
pelaksanaan kebijakan baik di bidang moneter, perbankan khususnya
aspek makroprudensial, maupun sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah. Di samping itu, data dan keterangan tersebut juga diperlukan
untuk penyusunan statistik, antara lain berupa statistik neraca
pembayaran Indonesia, posisi investasi internasional Indonesia, dan
statistik utang luar negeri Indonesia.
Guna meningkatkan kualitas data dan keterangan yang disampaikan
pelapor, mekanisme pelaporan saat ini perlu lebih disempurnakan.
Diharapkan penyempurnaan ini juga akan lebih memudahkan Penduduk
dalam menyampaikan laporan secara lengkap, benar, dan tepat waktu.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
- 2 -
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “transaksi” adalah seluruh transaksi
yang penyelesaiannya dilakukan melalui bank domestik,
bank luar negeri, rekening antar kantor (inter company
account), dan/atau melalui sarana lainnya, baik disertai
aliran dana maupun tanpa aliran dana.
Jenis transaksi lainnya antara lain penerimaan bunga
dividen oleh Pelapor dari bukan Penduduk serta transaksi
piutang usaha dari bukan Penduduk.
Huruf b
Data pokok ULN dan/atau TPR merupakan data dan
keterangan mengenai profil ULN dan/atau TPR yang
disampaikan dalam hal terdapat ULN dan/atau TPR baru,
dan/atau perubahannya yang didasarkan pada:
1. dokumen perjanjian kredit (loan agreement); dan/atau
2. dokumen pendukung lain ULN dan/atau TPR.
Data pokok ULN dan/atau TPR memuat informasi antara
lain hubungan dengan kreditur.
Huruf c
Data dan keterangan mengenai rencana penarikan dan/atau
pembayaran ULN dan/atau TPR, antara lain berupa:
1. informasi mengenai tanggal rencana penarikan ULN
dan/atau TPR; dan
2.
Huruf d
Data dan keterangan mengenai realisasi penarikan
dan/atau pembayaran ULN dan/atau TPR, antara lain
berupa:
1. informasi mengenai tanggal realisasi penarikan ULN
dan/atau TPR;
2. dan nilai realisasi pembayaran ULN dan/atau TPR.
Huruf e
Posisi dan perubahan AFLN, KFLN, dan/atau TPR mencakup
posisi dan perubahan untuk setiap jenis AFLN, KFLN,
dan/atau TPR baik yang sudah efektif maupun belum efektif
nilai rencana pembayaran ULN dan/atau TPR.
- 3 -
menjadi tagihan atau kewajiban di neraca (on/off balance
sheet), yang terdiri atas:
1.
posisi AFLN, antara lain posisi simpanan, piutang
dagang/usaha, surat berharga, penyertaan modal, dan
perubahan atas masing-masing AFLN tersebut;
2.
posisi KFLN, antara lain posisi utang dagang/usaha,
surat utang, pinjaman, ekuitas, dan perubahan atas
masing-masing KFLN tersebut;
3.
4.
posisi TPR, antara lain posisi TPR dan akumulasi
tunggakan;
posisi komitmen dan kontinjensi AFLN dan/atau KFLN
yang berkaitan dengan tagihan/kewajiban kepada
bukan Penduduk; dan
5. posisi kustodian surat berharga yang dimiliki nasabah.
Huruf f
Data dan keterangan mengenai rencana ULN baru meliputi
rencana perolehan ULN selama 1 (satu) tahun dan/atau 1
(satu) semester ke depan, antara lain berupa jenis ULN,
waktu masuk pasar, nilai nominal ULN, dan hubungan
dengan kreditur.
Ayat (2)
Termasuk dalam cakupan pihak lain dalam hal ini nasabah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Laporan LLD yang lengkap memuat data dan keterangan kegiatan
LLD yang telah memenuhi rincian cakupan laporan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Laporan LLD yang benar memuat data dan keterangan kegiatan
LLD sesuai dengan fakta sebenarnya.
Laporan LLD tepat waktu apabila laporan disampaikan sesuai
dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
- 4 -
Ayat (2)
Dokumen pendukung berupa dokumen perjanjian kredit (loan
agreement) dan/atau dokumen pendukung lain dari ULN
dan/atau TPR.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “secara online” adalah Pelapor
menyampaikan laporan LLD kepada Bank Indonesia dengan
menggunakan media internet pada website pelaporan di Bank
Indonesia.
Laporan LLD secara online dapat disampaikan pada hari Sabtu,
hari Minggu, hari libur, dan cuti bersama yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Berdasarkan kepemilikannya, lembaga keuangan dapat
berupa badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, atau badan usaha milik swasta.
Badan usaha milik negara yaitu badan usaha sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai badan usaha milik negera.
Badan usaha milik daerah yaitu badan usaha sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai badan usaha milik daerah.
Badan usaha milik swasta yaitu badan usaha yang tidak
termasuk dalam pengertian badan usaha milik negara dan
badan usaha milik daerah yang berkedudukan di Indonesia,
baik yang berbentuk badan hukum Indonesia maupun asing
dan yang tidak berbentuk badan hukum.
Huruf b
Badan usaha bukan lembaga keuangan meliputi badan
usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum.
- 5 -
Badan usaha yang berbentuk badan hukum meliputi badan
hukum Indonesia maupun asing.
Berdasarkan kepemilikannya, badan usaha bukan lembaga
keuangan dapat berupa badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, atau badan usaha milik swasta.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”badan lainnya” adalah badan selain
badan usaha.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “perseorangan” adalah orang yang
bertindak atas namanya sendiri.
Ayat (2)
Peraturan Bank Indonesia ini ini mewajibkan bank untuk
menyampaikan laporan LLD. Kewajiban pelaporan lainnya
mengenai kegiatan lalu lintas devisa dan utang luar negeri bank
disampaikan oleh bank sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa
bank dan nasabah serta ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai utang luar negeri bank.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Laporan LLD berupa rencana ULN baru untuk tahun 2019
disampaikan paling lambat tanggal 15 Maret 2019.
Dalam hal terdapat perubahan terhadap rencana ULN baru
untuk semester II tahun 2019 yang telah disampaikan
sebelumnya pada tanggal 15 Maret 2019, antara lain disebabkan
oleh tambahan rencana ULN baru, perubahan rencana ULN baru
dimaksud disampaikan paling lambat tanggal 17 Juni 2019
karena tanggal 15 Juni 2019 jatuh pada hari Sabtu.
- 6 -
Pasal 6
Ayat (1)
Contoh:
Dalam hal terdapat kesalahan pada laporan LLD berupa rencana
ULN baru untuk tahun 2019 yang telah disampaikan pada
tanggal 15 Maret 2019, Pelapor harus menyampaikan koreksi
atas laporan dimaksud paling lambat tanggal 20 Maret 2019.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang
terjadi di Bank Indonesia antara lain gangguan jaringan
dan/atau komunikasi.
Yang dimaksud dengan “secara offline” adalah menyampaikan
laporan LLD kepada Bank Indonesia dengan menggunakan media
elektronik antara lain compact disk (CD), flash disk, atau e-mail,
yang disampaikan pada jam kerja Bank Indonesia setempat.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Termasuk dalam cakupan pihak lain dalam hal ini nasabah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 7 -
Ayat (2)
Huruf a
Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui penelitian
atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor.
Huruf b
Pemeriksaan dilakukan untuk meneliti kebenaran laporan
yang disampaikan Pelapor dan/atau untuk mengkonfirmasi
atas kebenaran informasi yang diterima oleh Bank Indonesia
berdasarkan hasil pengawasan tidak langsung, termasuk
informasi mengenai Pelapor yang belum menyampaikan
laporan LLD.
Ayat (3)
Huruf a
Termasuk sebagai dokumen pendukung yang berkaitan
dengan laporan LLD antara lain laporan keuangan dan
daftar mutasi rekening koran (bank statement).
Yang dimaksud dengan “instansi terkait” adalah lembaga,
kementerian, atau otoritas yang memiliki kewenangan
mengatur Pelapor, antara lain Otoritas Jasa Keuangan bagi
bank dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara bagi
korporasi berupa badan usaha milik negara.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 13
Huruf a
Laporan LLD dinyatakan tidak benar setelah melalui proses
klarifikasi atau penelitian kebenaran laporan oleh Bank
Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 14
Penyampaian sanksi administratif berupa teguran tertulis dapat
dilakukan melalui surat, surat elektronik (e-mail), atau media lainnya.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pelapor baru” adalah:
a. Pelapor yang baru pertama kali menyampaikan laporan
LLD sejak mulai diberlakukannya ketentuan ini;
b. Pelapor yang kembali melakukan kegiatan LLD setelah
sebelumnya menginformasikan sudah tidak melakukan
kegiatan LLD dengan jangka waktu paling singkat 1
(satu) tahun; atau
c. Pelapor yang baru pertama kali menyampaikan laporan
LLD setelah diketahui melakukan kegiatan LLD
berdasarkan hasil pemeriksaan Bank Indonesia.
Contoh:
Perusahaan A menyampaikan laporan LLD terkait transaksi
perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya antara
Penduduk dengan bukan Penduduk pertama kali pada
bulan Juni 2019 untuk data bulan Mei 2019. Dalam hal
Pelapor terlambat menyampaikan laporan LLD, Bank
Indonesia baru dapat mengenakan sanksi untuk pelaporan
data bulan September 2019 yang disampaikan bulan
Oktober 2019.
Ayat (2)
Contoh:
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia, perusahaan B melakukan kegiatan LLD berupa
- 9 -
penarikan pinjaman ULN yang diketahui pada bulan Juni
2019 dan belum menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia. Perusahaan B wajib menyampaikan laporan LLD
paling lambat pada bulan September 2019. Laporan yang
disampaikan Pelapor mencakup data LLD sejak
diketahuinya kegiatan LLD oleh Bank Indonesia, yaitu sejak
bulan Juni sampai dengan Agustus 2019. Dalam hal
perusahaan B tidak menyampaikan laporan LLD sampai
dengan bulan September 2019 maka perusahaan B
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Ayat (3)
Contoh:
Pelapor yang menyampaikan laporan LLD berupa rencana
ULN baru pertama kali pada bulan Maret 2019 untuk data
tahun 2019, baru dapat dikenakan sanksi pada saat
penyampaian laporan LLD berupa rencana ULN baru untuk
data tahun 2020 yang disampaikan paling lambat tanggal 16
Maret 2020 karena tanggal 15 Maret 2020 jatuh pada hari
Minggu.
Ayat (4)
Bukti pendukung antara lain berupa fotokopi surat
permohonan pengajuan pailit ke pengadilan atau surat
pencabutan izin dari kementerian terkait.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 15
Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat, surat
elektronik (e-mail), atau media lainnya.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” adalah keadaan
yang berada di luar kendali Pelapor serta secara nyata
- 10 -
menyebabkan Pelapor tidak dapat menyusun dan menyampaikan
laporan LLD yang disebabkan antara lain kebakaran, kerusuhan
massa, pemogokan pekerja, terorisme, perang, sabotase,
serangan virus komputer melalui jaringan (cyber attack), serta
bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, sesuai dengan
dokumen pendukung dan/atau dibenarkan oleh pejabat dari
instansi terkait di daerah setempat, termasuk Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat,
surat elektronik (e-mail), atau media lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Yang dimaksud dengan “Undang-Undang” adalah Undang-Undang
yang mewajibkan pengungkapan data dan keterangan yang bersifat
rahasia.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 24
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6298
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 21/2/PBI/2019 </reg_id>
<reg_title> PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA </reg_title>
<set_date> 7 Januari 2019 </set_date>
<effective_date> 1 Maret 2019 </effective_date>
<issued_date> 9 Januari 2019 </issued_date>
<replaced_reg> '16/22/PBI/2014' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 3/22/PBI/2001
TENTANG
TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka menciptakan disiplin pasar (market
discipline) perlu diupayakan peningkatan mengenai
transparansi kondisi keuangan dan kinerja bank untuk
memudahkan penilaian diantara sesama peserta pasar
melalui publikasi laporan kepada masyarakat luas;
b. bahwa transparansi kondisi keuangan dan kinerja bank perlu
tetap memperhatikan faktor kompetisi antar bank;
c. bahwa laporan keuangan bank dan perusahaan lainnya wajib
disusun sesuai Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
yang berlaku;
d. bahwa untuk meningkatkan integritas laporan keuangan
bank, maka laporan keuangan tahunan bank perlu diperiksa
(diaudit) oleh Akuntan Publik;
e. bahwa …
- 2 -
e. bahwa sebagai bagian dari langkah awal untuk menuju
pengawasan bank secara konsolidasi (consolidated
supervision) perlu didukung dengan adanya laporan tentang
kondisi keuangan dari perusahaan induk, perusahaan induk
di bidang keuangan, perusahaan anak, perusahaan afiliasi
dan pihak terkait dengan bank;
f. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk
menyempurnakan ketentuan tentang Laporan Tahunan,
Laporan Keuangan Tahunan, Laporan Keuangan Publikasi
Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Pedoman
Akuntansi Perbankan Indonesia dalam Peraturan Bank
Indonesia tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank;
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
Memperhatikan: Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 31
(Revisi 2000) tentang Akuntansi Perbankan tanggal 31 Maret
2000;
MEMUTUSKAN: …
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing;
2. Pengendalian adalah:
a. Bank mempunyai hak suara yang lebih dari 50% (limapuluh perseratus)
berdasarkan suatu perjanjian dengan investor lainnya;
b. Bank mempunyai hak untuk mengatur dan menentukan kebijakan finansial
dan operasional perusahaan berdasarkan anggaran dasar atau perjanjian;
c. Bank memiliki kewenangan untuk menunjuk atau memberhentikan mayoritas
pengurus perusahaan;
d. Bank mampu menguasai suara mayoritas dalam rapat pengurus;
e. Bank memiliki atau mengendalikan sekurang-kurangnya 10% (sepuluh
perseratus) saham dan merupakan pemegang saham terbesar dibandingkan
dengan kepemilikan pihak lain dalam perusahaan;
f. Bank …
- 4 -
f. Bank dan pihak terkait dengan Bank memiliki jumlah saham lebih dari 50%
(lima puluh seratus) dari modal perusahaan;
g. Aktivitas utama perusahaan tempat Penyertaan adalah untuk memberikan
manfaat bagi Bank; dan atau
h. Bank memiliki saham dan merupakan kreditur terbesar dari perusahaan
tempat penyertaan;
3. Perusahaan Induk (parent company/holding company) adalah badan hukum
yang dibentuk untuk mengkonsolidasikan suatu kelompok usaha dan memiliki
saham Bank baik secara langsung maupun tidak langsung dengan kepemilikan
lebih dari 50% (lima puluh perseratus) atau melakukan Pengendalian terhadap
Bank;
4. Perusahaan Induk di Bidang Keuangan (financial holding company) adalah
badan hukum yang dibentuk oleh Perusahaan Induk untuk mengkonsolidasikan
seluruh aktivitas perusahaan induk atau kelompok usaha yang bergerak di
bidang keuangan atau yang melakukan Pengendalian terhadap seluruh aktivitas
perusahaan induk atau kelompok usaha yang bergerak di bidang keuangan;
5. Perusahaan Anak adalah badan hukum yang dimiliki atau dikendalikan oleh
Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang terdiri dari:
a. Perusahaan Subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan Anak dengan
kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh perseratus);
b. Perusahaan Partisipasi (participation company) adalah Perusahaan Anak
dengan kepemilikan Bank 50% (lima puluh perseratus) atau kurang, namun
Bank memiliki Pengendalian terhadap perusahaan;
6. Perusahaan Afiliasi adalah perusahaan anak dari Perusahaan Induk Bank atau
dari Perusahaan Induk di Bidang Keuangan;
7. Pihak …
- 5 -
7. Pihak Terkait adalah pihak-pihak yang terkait dengan Bank sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian
Kredit;
8. Pihak-pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa adalah pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang
berlaku tentang Pengungkapan Transaksi dengan Pihak-pihak yang Mempunyai
Hubungan Istimewa;
9. Akuntan Publik adalah akuntan yang memiliki izin usaha untuk melakukan
kegiatan pemberian jasa audit yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan;
10. Laporan Tahunan adalah laporan lengkap mengenai kinerja suatu Bank dalam
kurun waktu 1 (satu) tahun;
11. Laporan Keuangan Tahunan adalah laporan keuangan akhir tahun Bank yang
disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku;
12. Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan adalah laporan keuangan yang disusun
berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dan dipublikasikan setiap
triwulan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia;
13. Laporan Keuangan Publikasi Bulanan adalah laporan keuangan yang disusun
berdasarkan Laporan Bulanan Bank Umum yang disampaikan Bank kepada
Bank Indonesia dan dipublikasikan setiap bulan, sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia;
14. Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia adalah pedoman yang berisi
penjelasan lebih lanjut mengenai penerapan Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) yang relevan bagi industri perbankan;
15. Tahun Buku adalah tahun takwim atau tahun yang dimulai dari bulan Januari
sampai dengan bulan Desember;
16. Surat …
- 6 -
16. Surat Komentar (Management Letter) adalah komentar tertulis dari Akuntan
Publik kepada manajemen bank mengenai hasil kaji ulang terhadap struktur
pengendalian intern, pelaksanaan Standar Akuntansi Keuangan atau masalah
lain yang ditemui dalam pelaksanaan audit, beserta dengan saran-saran
perbaikannya.
Pasal 2
Dalam rangka peningkatan transparansi kondisi keuangan, Bank wajib menyusun
dan menyajikan laporan keuangan dengan bentuk dan cakupan sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang terdiri dari:
a. Laporan Tahunan;
b. Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan;
c. Laporan Keuangan Publikasi Bulanan; dan
d. Laporan Keuangan Konsolidasi.
BAB II
LAPORAN TAHUNAN
Pasal 3
(1) Bank wajib membuat Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf a, yang sekurang-kurangnya mencakup:
a. informasi umum yang meliputi antara lain:
1) kepengurusan;
2) Kepemilikan …
- 7 -
2) kepemilikan;
3) perkembangan usaha Bank dan kelompok usaha Bank;
4) strategi dan kebijakan manajemen;
5) laporan manajemen;
b. Laporan Keuangan Tahunan yang terdiri dari:
1) Neraca;
2) Laporan Laba Rugi;
3) Laporan Perubahan Ekuitas;
4) Laporan Arus Kas;
5) catatan atas laporan keuangan, termasuk informasi tentang Komitmen
dan Kontinjensi;
c. opini dari Akuntan Publik;
d. seluruh aspek transparansi dan informasi yang diwajibkan untuk Laporan
Keuangan Publikasi Triwulanan;
e. seluruh aspek pengungkapan (disclosure) sebagaimana diwajibkan dalam
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan dan Pedoman Akuntansi
Perbankan Indonesia yang berlaku;
f. jenis risiko dan potensi kerugian (risk exposure) yang dihadapi Bank serta
praktek manajemen risiko yang diterapkan Bank;
g. informasi lain.
(2) Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b
wajib diaudit oleh Akuntan Publik.
(3) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dibuat untuk 1
(satu) Tahun Buku dan disajikan sekurang-kurangnya dengan perbandingan 1
(satu) tahun buku sebelumnya.
Pasal 4 …
- 8 -
Pasal 4
(1) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib disampaikan
kepada pemegang saham dan sekurang-kurangnya kepada:
a. Bank Indonesia;
b. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI);
c. Lembaga Pemeringkat di Indonesia;
d. Asosiasi bank-bank di Indonesia;
e. Institut Bankir Indonesia (IBI);
f. 2 (dua) Lembaga Penelitian di bidang ekonomi dan keuangan;
g. 2 (dua) Majalah ekonomi dan keuangan,
selambat-lambatnya 5 (lima) bulan setelah Tahun Buku berakhir.
(2) Dalam surat pengantar penyampaian Laporan Tahunan ke Bank Indonesia,
Bank melaporkan juga mengenai penyampaian Laporan Tahunan kepada pihak-
pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Bagi Bank yang telah memiliki home page wajib menginformasikan Laporan
Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pada home page Bank
selambat-lambatnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
Pasal 5
(1) Bank dianggap terlambat menyampaikan Laporan Tahunan apabila Bank
menyampaikan Laporan Tahunan kepada Bank Indonesia melampaui batas
akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) tetapi …
- 9 -
(1) tetapi belum melampaui 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian
laporan.
(2) Bank dianggap tidak menyampaikan Laporan Tahunan apabila Bank belum
menyampaikan Laporan Tahunan dalam batas waktu keterlambatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau Laporan Keuangan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b tidak diaudit oleh
Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia.
Pasal 6
Perubahan cakupan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
akan ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB III
LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI TRIWULANAN
Pasal 7
(1) Bank wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi secara triwulanan.
(2) Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib disajikan dalam mata uang Rupiah dan sekurang-kurangnya
mencakup:
a. laporan keuangan yang terdiri dari:
1) Neraca;
2) Laporan Laba Rugi;
3) Laporan …
- 10 -
3) Laporan Perubahan Ekuitas;
b. Komitmen dan Kontinjensi;
c. jumlah penyediaan dana kepada pihak terkait;
d. Kualitas Aktiva Produktif, kredit properti dan kredit yang direstrukturisasi;
e. Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang telah dibentuk
dibandingkan dengan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang
wajib dibentuk;
f. persentase pelanggaran dan pelampauan Batas Maksimum Pemberian
Kredit;
g. perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum;
h. transaksi Spot dan transaksi Derivatif;
i. rasio Posisi Devisa Neto;
j. beberapa rasio keuangan Bank;
k. Aktiva Bank yang dijaminkan;
l. Kredit Usaha Kecil; dan
m.
pengurus.
(3) Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib disajikan sekurang-kurangnya dalam bentuk perbandingan dengan
laporan pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Pasal 8
(1) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) wajib dilakukan sekurang-kurangnya 4 (empat) kali
dalam …
informasi lain yang meliputi komposisi pemegang saham dan susunan
- 11 -
dalam 1 (satu) tahun berupa laporan keuangan interim posisi akhir bulan Maret,
Juni, dan September serta laporan keuangan akhir tahun posisi akhir bulan
Desember.
(2) Apabila dipandang perlu oleh Bank Indonesia, Bank wajib:
a. mengumumkan laporan keuangan publikasi selain periode sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1); dan atau
b. mengumumkan informasi lain yang akan ditentukan oleh Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 wajib ditandatangani oleh sekurang-kurangnya (2) orang anggota
Direksi Bank.
(2) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan untuk posisi akhir
bulan Desember sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 wajib mencantumkan
nama Akuntan Publik yang bertanggung jawab dalam audit (partner in charge)
dan nama Kantor Akuntan Publik yang melakukan audit Laporan Keuangan
Tahunan serta opini yang diberikan.
Pasal 10
(1) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) wajib dilakukan sekurang-kurangnya dalam 1 (satu)
surat kabar berbahasa Indonesia yang mempunyai peredaran luas di tempat
kedudukan …
- 12 -
kedudukan kantor pusat Bank atau di tempat kedudukan Kantor Cabang Bank
Asing.
(2) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan selambat-lambatnya pada:
a. 2 (dua) bulan setelah berakhirnya bulan laporan untuk laporan keuangan
interim posisi akhir bulan Maret, Juni dan September;
b. 4 (empat) bulan setelah berakhirnya tahun laporan untuk laporan keuangan
akhir tahun posisi akhir bulan Desember.
(3) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia:
a. fotokopi atau guntingan surat kabar yang memuat Laporan Keuangan
Publikasi Triwulanan; dan
b. disket yang berisi Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan,
selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pengumuman di surat
kabar.
Pasal 11
(1) Bank dianggap terlambat mengumumkan atau menyampaikan Laporan
Keuangan Publikasi Triwulanan apabila Bank mengumumkan atau
menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan kepada Bank
Indonesia melampaui batas akhir waktu pengumuman atau penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 tetapi tidak melampaui 1 (satu)
bulan sejak batas akhir waktu pengumuman atau penyampaian laporan.
(2) Bank dianggap tidak mengumumkan atau menyampaikan Laporan Keuangan
Publikasi Triwulanan apabila Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan belum
diumumkan …
- 13 -
diumumkan atau disampaikan dalam batas waktu keterlambatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 12
Bank Indonesia akan mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan yang
disampaikan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) pada home page
Bank Indonesia.
Pasal 13
(1) Penyusunan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan berpedoman pada
Pedoman Penyusunan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan yang diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(2) Perubahan cakupan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) akan ditetapkan dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
BAB IV
LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI BULANAN
Pasal 14
(1) Bank wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi Bulanan pada home
page Bank Indonesia.
(2) Pengumuman …
- 14 -
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh Bank
melalui Bank Indonesia berdasarkan data Laporan Bulanan Bank Umum (LBU)
yang disampaikan kepada Bank Indonesia yang telah direklasifikasi oleh Bank
Indonesia berdasarkan standar laporan sebagaimana diatur dalam Pernyataan
Standard Akuntansi Keuangan dan Peraturan Bank Indonesia yang berlaku.
(3) Laporan Keuangan Publikasi Bulanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat:
a. Laporan keuangan yang terdiri dari:
1) Neraca; dan
2) Laporan Laba Rugi;
b. Komitmen dan Kontinjensi;
c. rincian Kualitas Aktiva Produktif;
d. Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang telah dibentuk
dibandingkan dengan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang
wajib dibentuk; dan
e. Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum;
(4) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Bulanan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari setelah
bulan laporan.
(5) Sebelum dilakukan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Bank
Indonesia akan menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi Bulanan ke Bank
untuk dilakukan penelitian mengenai akurasi laporan.
(6) Dalam …
- 15 -
(6) Dalam hal tidak terdapat keberatan dari Bank dalam batas waktu yang
ditentukan, maka Bank Indonesia akan mengumumkan laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4).
(7) Dalam hal terdapat keberatan dari Bank dalam batas waktu yang ditentukan,
maka Bank wajib menyampaikan koreksi Laporan Bulanan Bank Umum
kepada Bank Indonesia dalam batas waktu yang ditentukan.
(8) Berdasarkan koreksi Laporan Bulanan Bank Umum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (7), Bank Indonesia mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi
Bulanan.
(9) Dalam hal Bank melakukan koreksi terhadap Laporan Bulanan Bank Umum
setelah pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan ayat (8), maka
Bank Indonesia akan mengumumkan ulang Laporan Keuangan Publikasi
Bulanan untuk bulan laporan yang dilakukan koreksi.
Pasal 15
Perubahan prosedur dan cakupan Laporan Keuangan Publikasi Bulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 akan ditetapkan dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
BAB V …
- 16 -
BAB V
HUBUNGAN ANTARA BANK, AKUNTAN PUBLIK,
DAN BANK INDONESIA
Pasal 16
(1) Dalam memberikan penugasan audit terhadap Laporan Keuangan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Bank wajib menunjuk Akuntan
Publik dan Kantor Akuntan Publik yang telah terdaftar di Bank Indonesia.
(2) Penunjukan Akuntan Publik dan atau Kantor Akuntan Publik yang sama oleh
Bank paling lama dilakukan untuk periode audit 5 (lima) Tahun Buku berturut-
turut.
Pasal 17
(1) Laporan Keuangan Tahunan Kantor Cabang Bank Asing atau Bank yang
sebagian sahamnya dimiliki oleh pihak asing dapat diaudit secara konsolidasi
oleh Kantor Akuntan Publik yang sama dengan Kantor Akuntan Publik yang
mengaudit kantor pusat Bank atau Perusahaan Induk Bank.
(2) Kantor Cabang Bank Asing atau Bank yang sebagian sahamnya dimiliki oleh
pihak asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mengajukan
permohonan kepada Bank Indonesia untuk dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2).
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib disertai alasan yang
jelas.
Pasal 18 …
- 17 -
Pasal 18
(1) Penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik dalam rangka audit
Laporan Keuangan Tahunan Bank wajib didasarkan pada perjanjian kerja.
(2) Perjanjian kerja antara Bank dan Kantor Akuntan Publik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya mencakup:
a. nama Kantor Akuntan Publik;
b. Akuntan Publik yang bertanggung jawab terhadap audit (partner in
charge);
c. kewajiban Akuntan Publik untuk melaksanakan audit sesuai Standar
Profesional Akuntan Publik;
d. ruang lingkup audit;
e. jangka waktu penyelesaian audit;
f. pernyataan dari Bank mengenai izin kepada Kantor Akuntan Publik dan
kewajiban Kantor Akuntan Publik untuk menyampaikan pula secara
langsung kepada Bank Indonesia:
1) laporan hasil audit ;
2) Surat Komentar (Management Letter);
3) informasi lainnya yang dibutuhkan oleh Bank Indonesia dari Akuntan
Publik yang dilakukan setiap saat apabila diperlukan;
4) informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b;
g. Kewajiban …
- 18 -
g. Kewajiban Akuntan Publik untuk memberitahukan kepada Bank Indonesia
sebelum pelaksanaan audit.
(3) Laporan hasil audit dan Surat Komentar (Management Letter) sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf f angka 1) dan angka 2) wajib disampaikan
kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 4 (empat) bulan setelah Tahun
Buku.
(4) Ruang lingkup audit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d sekurang-
kurangnya mencakup:
a. penggolongan Kualitas Aktiva Produktif dan kecukupan Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif yang dibentuk Bank, yang didasarkan atas
penilaian sekurang-sekurangnya mencakup 70% (tujuh puluh perseratus)
dari setiap jenis aktiva produktif Bank dengan sekurang-kurangnya
mencakup 25 (dua puluh lima) debitur terbesar atau berdasarkan hasil
komunikasi antara Bank Indonesia dengan Akuntan Publik;
b. penilaian terhadap rupa-rupa aktiva termasuk namun tidak terbatas pada
agunan yang diambil alih oleh Bank;
c. hal-hal lain yang diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan dan Pedoman
Akuntansi Perbankan Indonesia yang berlaku, termasuk catatan atas
Laporan Keuangan;
d. pendapat terhadap kewajaran atas transaksi dengan Pihak-pihak yang
Mempunyai Hubungan Istimewa maupun transaksi yang dilakukan dengan
perlakuan khusus;
e. jumlah dan kualitas penyediaan dana kepada Pihak Terkait;
f. rincian …
- 19 -
f. rincian pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit yang meliputi
nama debitur, kualitas penyediaan dana, persentase dan jumlah pelanggaran
Batas Maksimum Pemberian Kredit;
g. rincian pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit yang meliputi
persentase dan jumlah pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit;
h. perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum;
i.
hal-hal lain yang ditentukan berdasarkan hasil komunikasi Bank Indonesia
dengan Kantor Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20;
j. transaksi Spot dan transaksi Derivatif;
k. rasio Posisi Devisa Neto; dan
l. keandalan sistem pelaporan Bank kepada Bank Indonesia dan pengujian
terhadap keandalan laporan-laporan yang disampaikan oleh Bank kepada
Bank Indonesia.
(5) Perubahan cakupan perjanjian kerja dan ruang lingkup audit sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (4) akan ditetapkan dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 19
Akuntan Publik yang melakukan audit terhadap Laporan Keuangan Tahunan Bank
wajib:
a. melakukan audit sesuai dengan standar profesional akuntan publik, serta
perjanjian kerja dan ruang lingkup audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18;
b. memberitahukan …
- 20 -
b. memberitahukan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak ditemukannya:
1) pelanggaran peraturan perundangan-undangan di bidang keuangan dan
perbankan; dan
2) keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat membahayakan kelangsungan
usaha Bank;
c. menyampaikan laporan hasil audit dan Management Letter sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf f angka 1) dan angka 2) kepada Bank
Indonesia; dan
d. memenuhi ketentuan rahasia Bank sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Pasal 20
(1) Dalam rangka persiapan dan pelaksanaan audit Akuntan Publik dapat meminta
informasi kepada Bank Indonesia mengenai kondisi Bank yang akan diaudit.
(2) Bank Indonesia dapat meminta informasi kepada Akuntan Publik meskipun
perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) telah berakhir.
Pasal 21
(1) Kantor Akuntan Publik dan Akuntan Publik (partner in charge) yang
melakukan audit Bank wajib terdaftar di Bank Indonesia.
(2) Kantor …
- 21 -
(2) Kantor Akuntan Publik dan Akuntan Publik yang akan mendaftar ke Bank
Indonesia wajib memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 22
Bank Indonesia mengumumkan Kantor Akuntan Publik dan Akuntan Publik yang
terdaftar di Bank Indonesia pada home page Bank Indonesia.
Pasal 23
Bagi Bank yang berdasarkan ketentuan yang berlaku wajib dilakukan audit laporan
keuangan tahunan oleh instansi pemerintah, dikecualikan dari ketentuan Pasal 16
dan Pasal 22.
BAB VI
LAPORAN KEUANGAN KONSOLIDASI
Pasal 24
(1) Bank yang merupakan bagian dari suatu kelompok usaha dan atau Bank yang
memiliki Perusahaan Anak, wajib menyusun laporan keuangan konsolidasi
berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku serta
menyampaikan laporan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
ini.
(2) Bank …
- 22 -
(2) Bank Indonesia dapat menetapkan tambahan cakupan perusahaan yang laporan
keuangannya wajib dikonsolidasikan dengan laporan keuangan Bank.
(3) Penyertaan Bank yang mengakibatkan timbulnya Pengendalian namun hanya
bersifat sementara dapat dikecualikan dari penyusunan laporan keuangan
konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Bagian Pertama
Laporan keuangan konsolidasi yang disajikan pada Laporan Tahunan
Pasal 25
(1) Dalam hal Bank merupakan bagian dari suatu kelompok usaha dan atau Bank
yang memiliki Perusahaan Anak, penyajian Laporan Tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) selain Laporan Keuangan Tahunan Bank
secara individual, Bank wajib menyajikan:
a. laporan keuangan konsolidasi Bank yang merupakan hasil konsolidasi dari
laporan keuangan Bank dan Perusahaan Anak;
b. laporan keuangan Perusahaan Induk di Bidang Keuangan yang merupakan
hasil konsolidasi dari seluruh perusahaan di dalam kelompok bidang
keuangan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku;
c. laporan keuangan Perusahaan Induk yang merupakan hasil konsolidasi dari
seluruh perusahaan di dalam kelompok usaha sesuai dengan standar
akuntansi yang berlaku,
yang telah diaudit oleh Akuntan Publik.
(2) Laporan …
- 23 -
(2) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat pula
informasi mengenai:
a. struktur kelompok usaha Bank;
b. transaksi antara Bank dengan Pihak-pihak yang Mempunyai Hubungan
Istimewa;
c. transaksi dengan Pihak-pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa yang
dilakukan oleh setiap perusahaan di dalam kelompok usaha Bank yang
bergerak di bidang keuangan;
d. pemberian penyediaan dana, komitmen maupun fasilitas lain yang dapat
dipersamakan dengan itu dari setiap perusahaan yang berada dalam satu
kelompok usaha dengan Bank kepada debitur yang telah memperoleh
penyediaan dana dari Bank.
Bagian Kedua
Laporan keuangan konsolidasi yang disajikan pada
Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
Pasal 26
(1) Dalam hal Bank memiliki Perusahaan Anak, Laporan Keuangan Publikasi
Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 untuk posisi akhir bulan
Maret dan September, selain menyajikan laporan keuangan Bank secara
individual, Bank wajib menyajikan laporan keuangan konsolidasi Bank yang
merupakan hasil konsolidasi dari laporan keuangan Bank dan Perusahaan Anak.
(2) Dalam …
- 24 -
(2) Dalam hal Bank merupakan bagian dari kelompok usaha, Laporan Keuangan
Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 untuk posisi akhir
bulan Juni dan Desember, selain menyajikan laporan keuangan Bank secara
individual, Bank wajib menyajikan:
a. laporan keuangan konsolidasi Bank yang merupakan hasil konsolidasi dari
laporan keuangan Bank dan Perusahaan Anak; dan
b. laporan keuangan Perusahaan Induk di Bidang Keuangan; atau
c. laporan keuangan Perusahaan Induk apabila tidak terdapat Laporan
keuangan Perusahaan Induk di Bidang Keuangan.
(3) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk posisi akhir
bulan Desember wajib diaudit oleh Akuntan Publik.
Bagian Ketiga
Laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia
Pasal 27
(1) Dalam hal Bank merupakan bagian dari kelompok usaha dan atau Bank
memiliki Perusahaan Anak, Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia
laporan tahunan (annual report) dari:
a. Perusahaan Induk;
b. Perusahaan Induk di Bidang Keuangan; dan
c. Perusahaan Anak.
(2) Laporan …
- 25 -
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan sesuai
dengan jadwal dan batas waktu penyampaian Laporan Tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5.
Pasal 28
(1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan mengenai:
a. transaksi antara Bank dengan Pihak-pihak yang Mempunyai Hubungan
Istimewa;
b. pemberian penyediaan dana, komitmen maupun fasilitas lain yang dapat
dipersamakan dengan itu dari setiap perusahaan yang berada dalam satu
kelompok usaha dengan Bank kepada debitur yang telah memperoleh
penyediaan dana dari Bank.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan sesuai
dengan jadwal dan batas waktu penyampaian Laporan Keuangan Publikasi
Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11.
Pasal 29
Perubahan cakupan Laporan Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24,
Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 akan ditetapkan dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
BAB VII …
- 26 -
BAB VII
PEDOMAN AKUNTANSI PERBANKAN INDONESIA
Pasal 30
(1) Bank wajib melakukan pencatatan atas kegiatan usahanya berdasarkan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang relevan bagi Bank dan Pedoman
Akuntansi Perbankan Indonesia.
(2) Perubahan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia akan ditetapkan dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VIII
LAIN-LAIN
Pasal 31
Laporan Tahunan, Laporan Keuangan Tahunan, Laporan Keuangan Publikasi
Triwulanan dan Laporan Keuangan Publikasi Bulanan yang diwajibkan kepada
Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini sepenuhnya menjadi
tanggung jawab pengurus Bank.
Pasal 32
Kantor Cabang Bank Asing wajib menyusun laporan keuangan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan menggabungkan laporan keuangan
kantor cabang bank asing dan seluruh laporan keuangan dari setiap kantor di
Indonesia.
Pasal 33 …
- 27 -
Pasal 33
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b dan huruf c, ayat
(2) huruf c dan huruf d, Pasal 26 ayat (2) huruf b dan huruf c, Pasal 27 ayat (1)
huruf a dan huruf b, dan Pasal 28 ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi Bank di
Indonesia yang sahamnya sebagian besar dimiliki dan/atau dikendalikan oleh bank
di luar negeri, sepanjang otoritas pengawasan bank di luar negeri telah menerapkan
pengawasan bank secara konsolidasi (consolidated supervision).
Pasal 34
Bagi Bank yang merupakan perusahaan publik, selain berlaku peraturan Bank
Indonesia ini, juga berlaku ketentuan di bidang Pasar Modal.
BAB IX
S A N K S I
Bagian Pertama
Sanksi Laporan Tahunan
Pasal 35
(1) Bank yang terlambat menyampaikan Laporan Tahunan kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
keterlambatan.
(2) Bank …
- 28 -
(2) Bank yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan kepada pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban
membayar serendah-rendahnya sebesar Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan setinggi-tingginya sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Bank Indonesia memberitahukan kepada masyarakat mengenai Bank yang tidak
menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melalui
home page Bank Indonesia.
Pasal 36
Bank yang telah memiliki home page namun tidak mengumumkan Laporan
Tahunan pada home page Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
sampai dengan setinggi-tingginya sebesar Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah).
Pasal 37
(1) Dalam hal isi Laporan Tahunan secara material tidak sesuai dengan keadaan
sebenarnya dan atau tidak disajikan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini dan atau Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku,
maka:
a. setelah …
- 29 -
a. setelah diberi peringatan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia
dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap teguran, Bank tidak
memperbaiki dan atau mengumumkan kembali laporan dimaksud,
dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar serendah-rendahnya sebesar
Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan setinggi-tingginya sebesar
Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan
b. dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain
berupa:
1) penurunan nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan;
2) pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham
dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemilik dan pengurus
Bank;
3) pembekuan kegiatan usaha tertentu, antara lain tidak diperkenankan
untuk ekspansi penyediaan dana;
4) pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya Bank Indonesia
menunjuk dan mengangkat pengganti sementara;
5) larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring.
(2) Bank Indonesia akan mengumumkan nama Bank yang dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, dan informasi yang
menyebabkan Bank dikenakan sanksi berdasarkan data yang tersedia di Bank
Indonesia melalui home page Bank Indonesia.
(3) Apabila …
- 30 -
(3) Apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, Laporan Tahunan Bank secara
material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan atau tidak disajikan sesuai
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan atau Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku, selain dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terhadap Dewan Komisaris, Direksi,
pegawai Bank maupun Pihak Terafiliasi lainnya dapat dikenakan sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Bagian Kedua
Sanksi Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
Pasal 38
(1) Bank yang terlambat mengumumkan atau terlambat menyampaikan Laporan
Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah) per hari keterlambatan untuk setiap laporan.
(2) Bank yang tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), dikenakan sanksi:
a. kewajiban membayar serendah-rendahnya sebesar Rp.100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan setinggi-tingginya sebesar Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah); dan
b. pengumuman …
- 31 -
b. pengumuman nama Bank dan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
berdasarkan data yang tersedia di Bank Indonesia pada home page Bank
Indonesia dan 1 (satu) surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas.
(3) Bank yang mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan namun
tidak menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (2),
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp 30.000.000,00 (tiga puluh
juta rupiah).
(4) Apabila menurut penilaian Bank Indonesia, Laporan Keuangan Publikasi
Triwulanan secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan atau
tidak disajikan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan atau
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, atau Surat Komentar
(Management Letter) dari Akuntan Publik menyatakan adanya kelemahan
mendasar dari sistem pelaporan data Bank ke Bank Indonesia, maka:
a. setelah diberi peringatan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia
dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap teguran, Bank tidak
memperbaiki dan/atau mengumumkan kembali laporan dimaksud,
dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar serendah-rendahnya sebesar
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan setinggi-tingginya sebesar Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); dan
b. dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain
berupa:
1) penurunan nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan;
2) pencantuman …
- 32 -
2) pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham
dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemilik dan pengurus
Bank;
3) pembekuan kegiatan usaha tertentu, antara lain tidak diperkenankan
untuk ekspansi penyediaan dana;
4) pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara;
5) larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring.
(5) Bank Indonesia akan mengumumkan nama Bank yang dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf a, dan informasi yang
sesungguhnya mengenai kondisi Bank berdasarkan data yang tersedia di Bank
Indonesia melalui home page Bank Indonesia dan 1 (satu) surat kabar harian
yang mempunyai peredaran luas.
(6) Apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, Laporan Keuangan Publikasi
Triwulanan secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan atau
tidak disajikan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan atau
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, selain dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan ayat (5), terhadap
Dewan Komisaris, Direksi, pegawai Bank maupun Pihak Terafiliasi lainnya
dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) dan
Pasal 50 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Bagian …
- 33 -
Bagian Ketiga
Sanksi bagi Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik
Pasal 39
(1) Akuntan Publik atau Kantor Akuntan Publik yang secara material melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa:
a. penghapusan nama Akuntan Publik dari Daftar Akuntan Publik di Bank
Indonesia;
b. penghapusan Kantor Akuntan Publik dari daftar Kantor Akuntan Publik di
Bank Indonesia, apabila pelanggaran dilakukan oleh 2 (dua) orang Akuntan
Publik yang bertanggung jawab (partner in charge) dalam audit Bank dari
Kantor Akuntan Publik yang sama, kecuali untuk instansi pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23; dan
c. penyampaian usul kepada instansi yang berwenang untuk mencabut atau
membatalkan izin usaha sebagai pemberi jasa bagi Bank sesuai dengan
ketentuan atau kode etik yang berlaku.
(2) Akuntan Publik yang tidak memenuhi ketentuan rahasia Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 huruf d, selain dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), juga dapat dikenakan sanksi pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998.
Bagian …
- 34 -
Bagian Keempat
Sanksi laporan keuangan konsolidasi
Pasal 40
(1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan untuk setiap
laporan.
(2) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (2) dan Pasal 28 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. kewajiban membayar setinggi-tingginya sebesar Rp.100.000.000,00
(seratus juta rupiah);
b. pengumuman nama Bank atau perusahaan yang tidak menyampaikan
laporan.
Bagian Kelima
Sanksi Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia
Pasal 41
Pelanggaran terhadap pelaksanaan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan dan
Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
dan atau rekayasa transaksi yang tidak wajar, sehingga menyebabkan terpenuhinya
kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor …
- 35 -
Nomor 10 Tahun 1998, dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 42
(1) Kantor Akuntan Publik yang telah terdaftar di Bank Indonesia sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini wajib melakukan pendaftaran ulang
dengan menyampaikan data dan informasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
selambat-lambatnya 31 Maret 2002.
(2) Kantor Akuntan Publik dan Akuntan Publik yang telah menandatangani
perjanjian kerja sebelum diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, wajib
menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(2) huruf a sampai dengan huruf f.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini akan ditetapkan dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 44 …
- 36 -
Pasal 44
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 25/112/KEP/DIR tanggal 30
Desember 1992 tentang Pelaksanaan Standar Khusus Akuntansi Perbankan
Indonesia;
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/40/KEP/DIR tanggal 9 Juni
1998 tentang Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi
Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 31/176/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998;
c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/41/KEP/DIR tanggal 9 Juni
1998 tentang Laporan Tahunan Bank Umum,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 45
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Desember 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR
DPNP
- 37 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 3/22/PBI/2001
TENTANG
TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK
UMUM
Salah satu pilar penting dalam pencapaian Good Corporate Governance di
perbankan Indonesia adalah aspek transparansi kondisi keuangan Bank kepada
publik. Dengan adanya transparansi, diharapkan dapat lebih meningkatkan
kepercayaan publik terhadap lembaga perbankan nasional.
Di sisi lain peningkatan transparansi dari kondisi keuangan Bank akan
mengurangi kesenjangan informasi (asymmetric information) sehingga para pelaku
pasar dapat memberikan penilaian yang wajar dan dapat mendorong terciptanya
disiplin pasar (market discipline).
Sehubungan dengan kewajaran dari informasi yang akan dipergunakan oleh
publik pada umumnya dan peserta pasar pada khususnya maka diperlukan adanya
suatu standar akuntansi yang digunakan oleh perbankan serta perlunya dilakukan
audit terhadap informasi keuangan yang disajikan Bank. Dalam kaitan itu maka
dalam Peraturan Bank Indonesia ini juga mencakup aturan mengenai Pedoman
Akuntansi Perbankan Indonesia serta Hubungan Bank, Akuntan Publik dan Bank
Indonesia.
Untuk …
- 38 -
Untuk meningkatkan kualitas audit terhadap laporan keuangan Bank,
kompetensi dari akuntan publik perlu ditingkatkan. Sehubungan degan itu dimasa
yang akan datang peningkatan kompetensi akuntan publik akan dilakukan melalui
sertifikasi oleh Bank Indonesia.
Ketentuan mengenai laporan keuangan konsolidasi Bank, Perusahaan Induk
di Bidang Keuangan dan Perusahaan Induk Bank juga dilakukan sebagai bagian
dari pemantauan Bank Indonesia terhadap kondisi Bank secara konsolidasi dan
merupakan salah satu langkah awal menuju pelaksanaan pengawasan Bank secara
konsolidasi (consolidated supervision).
Bagi Bank yang memiliki Perusahaan Anak dan Bank yang tergabung dalam
suatu kelompok usaha, peningkatan transparansi kondisi keuangan Bank juga
mencakup kondisi keuangan dari kelompok usaha Bank secara konsolidasi. Hal ini
mengingat adanya suatu keterkaitan risiko dari kelompok usaha yang dapat
berpengaruh terhadap kondisi keuangan Bank dan sejalan dengan amanat Pasal 28
ayat 2 Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Dalam rangka penentuan Pengendalian dari suatu Bank terhadap
perusahaan tempat penyertaan, Bank Indonesia akan
mempertimbangkan pendapat dari Akuntan Publik.
Pengertian …
- 39 -
Pengertian Pengendalian juga digunakan untuk menentukan hubungan
antara setiap perusahaan dalam kelompok usaha.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Dalam hal Bank merupakan bagian dari suatu kelompok usaha, adalah
lazim bahwa perusahaan induk memiliki beberapa sub-grup. Salah
satu sub-grup tersebut merupakan Perusahaan Induk untuk seluruh
aktifitas kelompok usaha di bidang keuangan (financial holding
company).
Yang dimaksud dengan aktifitas di bidang keuangan antara lain
perbankan, asuransi, sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan
efek dan lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan.
Khusus untuk laporan keuangan konsolidasi yang didalamnya terdapat
perusahaan asuransi, di dalam catatan atas laporan keuangan
dijelaskan mengenai pengaruh perusahaan asuransi terhadap laporan
keuangan konsolidasi atau laporan keuangan perusahaan asuransi
dimaksud disajikan berdasarkan pelaporan informasi keuangan
menurut segmen.
Dalam hal kelompok usaha Bank tidak membuat secara khusus
Perusahaan Induk di Bidang Keuangan, maka laporan keuangan
Perusahaan Induk di Bidang Keuangan digantikan dengan laporan
keuangan Perusahaan Induk.
Angka 5 …
- 40 -
Angka 5
Kepemilikan Bank pada Perusahaan Anak dilakukan melalui
penyediaan dana berupa penyertaan.
Yang dimaksud dengan Perusahaan Anak dalam angka ini adalah
perusahaan yang bergerak di bidang keuangan.
Angka 6
Pengertian perusahaan anak mengacu kepada definisi perusahaan anak
sebagaimana dimaksud dalam angka 5.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Termasuk dalam pengertian Akuntan Publik adalah Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Cukup jelas.
Angka 13
Ketentuan tentang Laporan Bulanan Bank Umum mengacu kepada
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Bulanan
Bank Umum.
Angka 14 …
- 41 -
Angka 14
Cukup jelas.
Angka 15
Cukup jelas
Angka 16
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a sampai dengan Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Jenis-jenis risiko antara lain risiko kredit, risiko pasar, risiko
operasional dan risiko likuiditas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Penyampaian Laporan Tahunan kepada pemegang saham terutama
untuk pemegang saham pengendali, sedangkan untuk pemegang
saham …
- 42 -
saham lainya didasarkan atas pertimbangan tingkat efisiensi dan
tingkat kepentingan dari setiap Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pencantuman di dalam home page Bank sekurang-kurangnya dengan
perbandingan 1 (satu) tahun buku sebelumnya.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 43 -
Ayat (2)
Pertimbangan Bank Indonesia untuk meminta Bank mengumumkan
laporan keuangan publikasi selain periode sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) atau informasi lain yang ditentukan Bank Indonesia
antara lain pertimbangan transparansi publik dalam rangka tindakan
penyehatan Bank, transparansi mengenai produk/jasa tertentu yang
diberikan Bank, proses merger, konsolidasi dan akuisisi Bank.
Pasal 9
Ayat (1)
Penandatanganan oleh Direksi Bank dilakukan dengan mencantumkan
namanya secara jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Pengumuman pada surat kabar yang mempunyai peredaran luas
dimaksudkan agar informasi dalam laporan keuangan dapat diketahui
oleh masyarakat luas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 44 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk lebih mempermudah dan
mempercepat akses masyarakat dalam memperoleh informasi mengenai
kondisi keuangan Bank.
Alamat home page Bank Indonesia adalah http://www.bi.go.id
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Alamat home page Bank Indonesia adalah http://www.bi.go.id.
Ayat (2)
Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Bulanan oleh Bank
melalui Bank Indonesia didasarkan pada Laporan Bulanan Bank
Umum (LBU) dengan maksud agar terdapat kesesuaian informasi
yang diterima oleh Bank Indonesia dan publik serta untuk
menghindari duplikasi pelaporan oleh Bank mengingat Bank telah
menyampaikan laporan dimaksud kepada Bank Indonesia.
Tujuan reklasifikasi Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) oleh Bank
Indonesia berdasarkan standar laporan sebagaimana diatur dalam
Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan dan Peraturan Bank
Indonesia …
- 45 -
Indonesia yang berlaku adalah untuk memfasilitasi peserta pasar
(market participant) dalam menilai laporan keuangan dan laporan
lainnya dari Bank.
Laporan Bulanan Bank Umum merupakan laporan keuangan
gabungan antara Kantor Pusat Bank dengan seluruh Kantor Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Batas waktu ini tidak berlaku dalam hal terdapat permasalahan sistem
dan program komputerisasi.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Termasuk dalam pengertian tidak terdapat berkeberatan antara lain
adalah Bank tidak menyampaikan koreksi sampai dengan batas waktu
yang ditentukan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16 …
- 46 -
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengaturan ini dimaksudkan agar terdapat penilaian dari pihak yang
berbeda dalam rangka meningkatkan independensi profesi Akuntan
Publik.
Perhitungan jangka waktu 5 (lima) tahun dimulai sejak berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini atau sejak Tahun Buku 2001.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan audit secara konsolidasi oleh Kantor Akuntan
Publik adalah audit terhadap kantor pusat dari Kantor Cabang Bank
Asing atau audit terhadap perusahaan induk dari bank yang sebagian
sahamnya dimiliki pihak asing yang dilaksanakan oleh Kantor
Akuntan Publik yang sama, yang ditunjuk oleh kantor pusat atau
perusahaan induk.
Pengaturan dalam ayat ini berpedoman juga pada ketentuan yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Alasan untuk dapat diberikan pengecualian dalam ayat ini antara lain
adanya ketentuan di negara asal maupun kebijakan internal yang
menjamin …
- 47 -
menjamin adanya independensi yang cukup dari Akuntan Publik yang
melakukan audit laporan keuangan.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bagi beberapa Bank yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku wajib
diaudit oleh instansi pemerintah seperti Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan, istilah perjanjian kerja disesuaikan dengan
ketentuan yang berlaku.
Huruf a sampai dengan huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Jangka waktu penyelesaian audit disesuaikan dengan
batas akhir penyampaian Laporan Keuangan Tahunan
ke Bank Indonesia.
Huruf f
Angka 1) dan Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Yang dimaksud dengan informasi lainnya yang
dibutuhkan oleh Bank Indonesia meliputi
informasi yang diberikan secara tertulis maupun
melalui pertemuan dengan Akuntan Publik.
Angka 4) …
- 48 -
Angka 4)
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c dan huruf d
Pihak-pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa adalah
pihak-pihak sebagaimana diatur dalam Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku.
Huruf e sampai dengan huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Penetapan hal-hal lain pada huruf ini akan disusun oleh Bank
Indonesia bersama-sama dengan Kantor Akuntan Publik dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ruang lingkup
audit.
Huruf j dan huruf k
Cukup jelas.
Huruf l …
- 49 -
Huruf l
Pengujian terhadap keandalan laporan termasuk penilaian
Akuntan Publik mengenai laporan yang disampaikan ke Bank
Indonesia telah disusun dan sesuai dengan data yang ada di
Bank.
Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf ini termasuk
namun tidak terbatas pada Laporan Bulanan Bank Umum,
Laporan Batas Maksimum Pemberian Kredit, Laporan Posisi
Devisa Neto.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat membahayakan
kelangsungan usaha Bank termasuk namun tidak terbatas pada:
1. kekurangan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum;
2. kekurangan pembentukan Penyisihan Penghapusan
Aktiva Produtif yang material;
3. pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit;
4. kekurangan Giro Wajib Minimum;
5. Kecurangan …
- 50 -
5. kecurangan (fraud) yang bernilai material.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia antara lain mengenai bukti kompetensi dan pengalaman.
Pasal 22
Alamat home page Bank Indonesia adalah http://www.bi.go.id.
Pasal 23
Yang dimaksud dengan instansi pemerintah antara lain adalah Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Pasal 24
Ayat (1)
Laporan keuangan konsolidasi wajib disusun baik untuk Laporan
Keuangan Tahunan maupun Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan.
Ayat (2) …
- 51 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan bersifat sementara antara lain Pengendalian
yang akan dilepaskan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12
bulan sejak posisi laporan keuangan pada tahun perolehan
Pengendalian atau penyertaan modal sementara dalam rangka
restrukturisasi kredit.
Pasal 25
Ayat (1)
Dalam hal audit terhadap perusahaan lain di luar Bank dilakukan oleh
Akuntan Publik lain maka hal tersebut perlu dinyatakan secara jelas.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Laporan keuangan konsolidasi Perusahaan Induk di
bidang keuangan terdiri dari Neraca dan Laporan Laba
Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas dan Daftar Komitmen
dan Kontinjensi.
Dalam hal kelompok usaha tidak memiliki Perusahaan
Induk di Bidang Keuangan maka cukup disajikan
laporan keuangan Perusahaan Induk sebagaimana
dimaksud dalam huruf c.
Huruf c …
- 52 -
Huruf c
Laporan keuangan konsolidasi Perusahaan Induk terdiri
dari Neraca dan Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan
Ekuitas dan Daftar Komitmen dan Kontinjensi.
Ayat (2)
Huruf a
Struktur kelompok usaha Bank disajikan mulai dari Perusahaan
Anak, Perusahaan Afiliasi sampai dengan pemilik terakhir dari
Perusahaan Induk (ultimate shareholder) serta struktur
keterkaitan kepengurusan dan pemegang saham yang bertindak
atas nama pemegang saham lain (shareholder acting in
concert).
Pemegang saham yang bertindak atas nama pemegang saham
lain adalah pemegang saham perorangan atau perusahaan yang
memiliki tujuan bersama untuk mengendalikan Bank yang
didasarkan atau tidak didasarkan atas suatu perjanjian.
Huruf b dan Huruf c
Jenis transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa antara lain meliputi:
1. kepemilikan silang (cross shareholdings);
2. transaksi dimana suatu kelompok usaha bertindak untuk
kepentingan kelompok usaha yang lain;
3. pengelolaan likuiditas jangka pendek yang dipusatkan dalam
kelompok usaha;
4. penyediaan …
- 53 -
4. penyediaan dana yang diberikan atau diterima oleh
perusahaan lain dalam satu kelompok usaha;
5. eksposur kepada pemegang saham mayoritas antara lain
dalam bentuk pinjaman, komitmen dan kontinjensi;
6. pembelian atau penjualan aset dengan perusahaan lain dalam
suatu kelompok usaha, termasuk yang dilakukan dengan
repurchase agreement.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b dan huruf c
Laporan keuangan Perusahaan Induk atau laporan keuangan
Perusahaan Induk di Bidang Keuangan terdiri dari Neraca dan
Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas dan Daftar
Komitmen dan Kontinjensi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 27 …
- 54 -
Pasal 27
Ayat (1)
Dalam hal kelompok usaha tidak memiliki Perusahaan Induk di
Bidang Keuangan maka cukup disampaikan laporan keuangan
Perusahaan Induk.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ketentuan dalam huruf ini hanya berlaku bagi Bank yang
merupakan bagian dari kelompok usaha.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31 …
- 55 -
Pasal 31
Tanggung jawab pengurus Bank termasuk Laporan Keuangan Publikasi
Triwulanan dan Laporan Keuangan Publikasi Bulanan yang disajikan pada
home page Bank Indonesia berdasarkan data dan informasi yang
disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia.
Pasal 32
Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini maka bagi Kantor Cabang Bank Asing
tidak diwajibkan untuk melaporkan dan menyajikan laporan keuangan kantor
pusat Bank, Perusahaan Induk dan Perusahaan Induk di Bidang Keuangan
dari bank asing tersebut.
Pasal 33
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini maka kewajiban untuk penyampaian
laporan keuangan Perusahaan Induk dan Perusahaan Induk di Bidang
Keuangan dari Bank yang sebagian besar dimiliki dan atau dikendalikan oleh
Bank di luar negeri dikecualikan dari ketentuan ini.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Alamat home page Bank Indonesia adalah http://www.bi.go.id.
Pasal 36 …
- 56 -
Pasal 36
Penerapan sanksi tidak diberlakukan dalam hal terjadi kerusakan sistem
teknologi informasi Bank yang disertai dengan bukti dan dokumen
pendukung yang disampaikan kepada Bank Indonesia.
Pasal 37
Ayat (1)
Dalam hal materi kesalahan yang sama telah dikenakan sanksi dalam
Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan maka Bank tidak dikenakan
sanksi dalam ayat ini.
Ayat (2)
Alamat home page Bank Indonesia adalah http://www.bi.go.id.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk tujuan kelangsungan
informasi yang diterima oleh masyarakat dalam rangka peningkatan
transparansi perbankan Indonesia.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Alamat home page Bank Indonesia adalah
http://www.bi.go.id
Ayat (3) …
- 57 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan berdasarkan
ayat ini dilakukan dengan membandingkan antara Laporan Keuangan
Publikasi Triwulanan yang disusun oleh Bank dengan Laporan
Keuangan Publikasi Triwulanan yang disusun oleh Bank Indonesia
berdasarkan data yang tersedia di Bank Indonesia.
Alamat home page Bank Indonsia adalah http://www.bi.go.id.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Perhitungan pelanggaran ketentuan oleh 2 (dua) orang Akuntan
Publik yang bertanggung jawab (partner in charge) dapat
dilakukan pada periode yang sama maupun pada periode yang
berbeda.
Huruf c
Instansi yang berwenang dalam ayat ini adalah Departemen
Keuangan dan Ikatan Akuntan Indonesia.
Ayat (2) …
- 58 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengumuman nama Bank atau perusahaan dapat dilakukan
melalui home page Bank Indonesia.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Kantor Akuntan Publik yang telah terdaftar di Bank Indonesia pada
saat diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini tetap dapat
melakukan audit untuk Tahun Buku 2001.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45 …
- 59 -
Pasal 45
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 3/22/PBI/2001 </reg_id>
<reg_title> TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK </reg_title>
<set_date> 13 Desember 2001 </set_date>
<effective_date> 13 Desember 2001 </effective_date>
<replaced_reg> '31/176/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '25/112/KEP/DIR|SKDIR-BI/1992', '31/41/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '31/40/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
BANK INDONESIA
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 5/ 12 /PBI/2003
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR (MARKET R/SK)
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam perhitungan permodalan bank perlu
mempertimbangkan risiko kredit maupun risiko pasar,
b. bahwa dalam rangka memperhitungkan risiko pasar
dalam permodalan bank, perlu dilakukan langkah-
langkah persiapan agar pada waktunya dapat memenuhi
kewajiban permodalan dengan memperhitungkan risiko
pasar;
c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu mengatur
tentang kewajiban penyediaan modal minimum bank
umum dengan memperhitungkan risiko pasar (market
risk) dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran
01-100PE LA4B-20-2-20000
BANK INDONESIA
Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun. 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843)
Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/21/PBI/2001 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4158);
MEMUTUSKAN
Menetapkan PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN
PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR (MARKET
RISK).
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing.
BANK INDONESIA
2. Risiko Pasar (narket risk) adalah risiko kerugian pada posisi neraca dan
rekening administratif serta transaksi derivatif akibat perubahan secara
keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga option.
3. Risiko Suku Bunga (interest rate risk) adalah risiko kerugian akibat
perubahan harga dari posisi Bank dalam Trading Book yang disebabkan oleh
perubahan suku bunga.
4. Risiko Nilai Tukar (oreign exchange risk) adalah risiko kerugian akibat
perubahan nilai tukar mata uang termasuk perubahan harga emas dari posisi
Bank dalam Trading Book dan Banking Book.
5. Trading Book adalah seluruh posisi perdagangan Bank (proprietary position)
pada instrumen keuangan dalam neraca dan rekening administratif serta
transaksi derivatif yang
a. dimaksudkan untuk dimiliki dan dijual kembali dalam jangka pendek;
b. dimiliki untuk tujuan memperoleh keuntungan jangka pendek dari
perbedaan secara aktual dan atau potensial atas nilai jual dan nilai beli
atau dari harga lain atau dari perbedaan suku bunga;
c. timbul dari kegiatan perantaraan (orokering) dan kegiatan pembentukan
pasar (narket making); atau
d. diambil untuk kegiatan lindung nilai (hedging) komponen Trading Book
lain.
6. Banking Book adalah Semua elemen/posisi lainnya yang tidak termasuk
dalam Trading Book.
Pasal 2
(1) Bank yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib
memenuhi kewajiban penyediaan modal minimum sebesar 8% (delapan
perseratus) dengan memperhitungkan faktor Risiko Pasar.
B- 10 PRCADI-30 7.2-2000.40
BANK INDONESIA3
(2) Risiko Pasar yang diperhitungkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini
adalah
a. Risiko Suku Bunga (interest rate risio, yang mencakup risiko spesifik
(specific risk) dan risiko umum (general market risk); dan
b. Risiko Nilai Tukar (foreign exchange risk).
Pasal 3
(I) Bank yang wajib memperhitungkan Risiko Pasar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (I) adalah Bank yang telah memenuhi salah satu kriteria
sebagai berikut:
a. Bank dengan total aktiva sebesar Rp.10.000.000.000.000,00 (sepuluh
triliun rupiah) atau lebih;
b. Bank devisa dengan posisi surat berharga dan atau posisi transaksi
derivatif dalam Trading Book sebesar Rp.20.000.000.000,00 (dua puluh
milyar rupiah) atau lebih;
c. Bank bukan Bank devisa dengan posisi surat berharga dan atau posisi
transaksi derivatif suku bunga dalam Trading Book sebesar
Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah) atau lebih.
(2) Kewajiban untuk memperhitungkan faktor Risiko Pasar dalam perhitungan
kewajiban penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) berlaku untuk Bank yang memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) setelah ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini
dan atau dalam 3 (tiga) bulan berturat-turut selama 12 (dua belas) bulan
terakhir sebelum ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Kewajiban ..0009-
01: 10078 (4181-207-2-200000
BANK INDONESIA
9
(3) Kewajiban untuk memperhitungkan faktor Risiko Pasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku pula untuk Bank yang memiliki
jaringan kantor di beberapa negara lain maupun kantor cabang dari Bank
yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri (internationally active
Pasal 4
Bank yang telah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib
tetap memperhitungkan Risiko Pasar dalam kewajiban penyediaan modal
minimum walaupun Bank tidak lagi memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3.
BAB II
ASPEK PERMODALAN
Pasal 5
(I) Bank dapat memperhitungkan Modal Pelengkap Tambahan (tier 3) untuk
tujuan perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum.
(2) Modal Pelengkap Tambahan (tier 3) dalam perhitungan kewajiban
penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat digunakan untuk memperhitungkan Risiko Pasar.
(3) Pos yang dapat diperhitungkan sebagai Modal Pelengkap Tambaban (tier 5)
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Pinjaman Subordinasi Jangka
Pendek yang memenuhi kriteria sebagai berikut
a. tidak dijamin oleh Bank yang bersangkutan dan telah disetor penuh;
b. memilikijangka waktu perjanjian sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun;
c. tidak dapat dibayar sebelum jadwal waktu yang ditetapkan dalam
perjanjian ... 27082
BANK INDONESIA
perjanjian kredit kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia;
d. terdapat klausula yang mengikat (lock-in clause) yang menyatakan
bahwa tidak dapat dilakukan pembayaran pokok atau bunga, termasuk
pembayaran pada saat jatuh tempo, apabila pembayaran dimaksud dapat
menyebabkan kewajiban penyediaan modal minimum Bank tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku;
e. terdapat perjanjan pinjaman yang jelas termasuk jadwal pelunasannya;
dan
f. memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
(4) Modal Pelengkap Tambahan (tier 3) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
untuk memperhitungkan Risiko Pasar hanya dapat digunakan dengan
memenuhi kriteria
a. tidak melebihi 250% (dua ratus lima puluh perseratus) dari bagian Modal
Inti yang dialokasikan untuk memperhitungkan Risiko Pasar;
b. jumlah Modal Pelengkap (rier 2) dan Modal Pelengkap Tambahan (tier
3) setinggi-tingginya sebesar 100% (seratus perseratus) dari Modal Inti.
(5) Modal Pelengkap (tier 2) yang tidak digunakan dapat ditambahkan untuk
Modal Pelengkap Tambahan (tier 3) dengan memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(6) Pinjaman Subordinasi sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku dan
melebihi 50% (lima puluh perseratus) Modal Inti, dapat digunakan sebagai
komponen Modal Pelengkap Tambahan (tier 3) dengan tetap memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
01. 10 981D .20-.2-3000400
BANK INDONESIA
BAB III
ASPEK RISIKO PASAR
Kebjakan dan Pedoman Trading Book
Pasal 6
(I) Bank wajib menyusun dan menerapkan kebijakan dan pedoman Trading
Book sebagai bagian dari kebjakan dan pedoman manajemen risiko Bank.
(2) Kebjakan dan pedoman Trading Book sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib diterapkan secara konsisten.
Pasal 7
Sertifikat Bank Indonesia yang dimiliki Bank tidak diperhitungkan dalam Risiko
Pasar.
Pasal 8
(1) Surat berharga yang dimiliki Bank dalam portofolio tersedia untuk dijual
(available for sale) termasuk dalam Trading Book
(2) Obligasi syariah hanya dapat dimiliki oleh Bank untuk tujuan investasi
schingga tidak termasuk dalam Trading Book
(3) Bank dapat memindahkan obligasi syariah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) ke dalam Trading Book untuk tujuan kebutuhan likuiditas.
Pasal 9
(1) Dalam perhitungan Risiko Pasar, seluruh posisi dalam Trading Book wajib
dilakukan proses mark to marker setiap hari.
(2) Dalam ..ang
BANK INDONESIA
(2) Dalam hal nilai pasar tidak tersedia untuk melakukan proses mark to market
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka penilaian posisi Bank dilakukan
dengan menggunakan
a. metode present value dalam jangka waktu sampai dengan 30 (tiga
pulub) hari;
b. metode present value dan faktor deflator dalam jangka waktu setelah 30
(tiga puluh) hari sampai dengan 1 (satu) tahun.
(3) Dalam hal setelah jangka waktu I1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf b nilai pasar tetap tidak tersedia maka menyimpang dari
ketentuan Pasal 6 ayat (2) Bank wajib memindahkan posisi Trading Book ke
Banking Book.
(4) Dalam hal tidak tersedia nilai pasar dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) namun Bank akan menggunakan
instrumen keuangan surat berharga sebagai agunan dalam rangka
memperoleh Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) maka instrumen
keuangan tersebut tetap dibukukan dalam Trading Book.
(5) Penilaian posisi Bank untuk jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) dilakukan dengan menggunakan metode sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf b.
Perhitungan Risiko Pasar
Pasal 10
Perhitungan Risiko Pasar dalam kewajiban penyediaan modal minimum
dilakukan dengan menggunakan Metode Standar (Standard Method).
Pasal 1179099
BANK INDONESIA
Pasal 11
(1) Perhitungan Risiko Suku Bunga dengan Metode Standar (Standard Method)
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib dilakukan terhadap risiko
spesifik (specific risk) dan risiko umum (general market risk) pada Trading
Book.
(2) Metode perhitungan risiko umum dapat dilakukan dengan metode jatuh
tempo (naturity method) atau metode jangka waktu (duration method).
persyaratan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia
(4) Pembebanan modal terhadap Risiko Suku Bunga dilakukan dengan
menggunakan pembobotan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 12
(1) Dalam rangka perhitungan Risiko Suku Bunga oleh Bank, Bank Indonesia
menetapkan Lembaga Pemeringkat (rating agency) yang diakui.
(2) Penetapan lembaga pemeringkat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 13
(1) Perhitungan Risiko Nilai Tukar dengan Metode Standar (Standard Method)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib dilakukan terhadap seluruh
posisi pada Banking Book dan Trading Book
(2) Pembebanan modal dalam rangka perhitungan Risiko Nilai Tukar dilakukan
sebesar 8%6 (delapan perseratus) dari Posisi Devisa Neto yang dimiliki.
BAB IV ag
81-100P81IA4B1-201:2-2000A
BAB IV
PERHITUNGAN KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM
Pasal 14
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka perhitungan
kewajiban penyediaan modal minimum yang wajib dipenuhi oleh Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 mencakup
a. seluruh kewajiban penyediaan modal minimum untuk aktiva tertimbang
menurut risiko berdasarkan faktor risiko kredit sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan yang berlaku tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Bank Umum, namun tidak termasuk posisi pada Trading Book yang telah
diperhitungkan risiko spesifik (specifie risk) untuk Risiko Suku Bunga; dan
b. seluruh kewajiban penyediaan modal minimum yang dibutuhkan untuk faktor
Risiko Pasar sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 15
(1) Bank wajib melaporkan posisi yang diperhitungkan dalam Risiko Pasar
secara on-line dan mengacu kepada ketentuan tentang Laporan Berkala
Bank Umum.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (D) dilakukan dalam periode
penyampaian III Laporan Berkala Bank Umum.
3) Selama belum dimungkinkan pelaporan secara on-line maka pelaporan wajib
disampaikan secara off-line oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan
alamat
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta
10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat
Bank Indonesia; atau
b. Kantor .. ange-
BANK INDONESIA 7
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia,
dengan tembusan kepada Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, Jl.
MH. Thamrin No.2 Jakarta 10110.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
(1) Kewajiban Bank untuk memenuhi penyediaan modal minimum sebesar 8%
(delapan perseratus) dengan memperhitungkan Risiko Pasar untuk posisi
akhir bulan diberlakukan 18 (delapan belas) bulan sejak ditetapkannya
Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Kewajiban Bank untuk melaporkan posisi yang diperhitungkan dalam Risiko
Pasar dan perhitungan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
diberlakukan sejak pelaporan posisi bulan Desember 2003.
(3) Sebelum diberlakukannya kewajiban untuk memenuhi penyediaan modal
minimum sebesar 89 (delapan perseratus) dengan memperhitungkan Risiko
Pasar, Bank tetap wajib memenuhi penyediaan modal minimum sesuai
ketentuan yang berlaku.
BAB VII
SANKSI
Pasal 17
Bank yang tidak memenuhi kewajiban penyediaan modal minimum sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dikenakan sanksi administratif
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum.
Pasal 18 . ange
01- 10PAI CAB1- 207-2-2000-0
BANK INDONESIA
- 12 -
Pasal 18
Bank yang melanggar ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku tentang
Laporan Berkala Bank Umum.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dalam Surat
Bdaran Bank Indonesia.
Pasal 20
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Juli 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA a092-
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 85
DPNP
BANK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 5/ 12/PBI/2003
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR (MARKET RISK)
I.UMUM
Salah satu aspek yang paling mendasar dalam pelaksanaan prinsip kehati-
hatian adalah kecukupan permodalan bank. Hal ini menjadi fokus utama dari
seluruh otoritas pengawas dan pengatur bank di seluruh dunia. Modal yang dimiliki
oleh suatu bank pada dasarnya harus cukup untuk menutupi seluruh risiko usaha
yang dihadapi bank. Risiko-risiko utama yang menjadi perhatian adalah risiko
kredit, risiko pasar dan risiko operasional.
Sehubungan dengan itu Basle Committee on Banking Supervision dari Bank for
Internasional Setilements yang menjadi acuan dalam hal ini telah menetapkan
dalam Capital Accord 1988 mengenai metode perhitungan modal yang
memperhitungkan faktor risiko kredit. Selanjutnya pada tahun 1996, Basle
Commitee on Banking Supervision telah melakukan amandemen terhadap Capital
Accord dimaksud dengan memasukkan unsur risiko pasar.
Penerapan perhitungan modal di Indonesia pada saat ini telah mengakomodasi
Capital Accord 1988 yang memperhitungkan risiko kredit dalam kecukupan
permodalan Baok, Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Bank Indomesia ini, maka
perhitungan kecukupan permodalan Bank juga memperhitungkan faktor Risiko
BI. 700P8 MAD.-10-2-2000-0
Pasar. Mengingat kompleksitas metodologi perhitungan Risiko Pasar membutuhkan
kesiapan sektor perbankan maka penerapan perhitungan Risiko Pasar (narket risk)
dalam permodalan dilakukan secara bertahap, yaitu dimulai dengan penerapan
Metode Standar (Standard Method), sedangkan penggunaan Model Intemal
(Intemnal Mode) dapat dilakukan Bank untuk keperluan manajemen risiko secara
internal ataupun untuk mengantisipasi kebjakan perbankan di masa yang akan
datang.
Agar pada waktu yang telah ditetapkan Bank dapat memenuhi kewajiban
permodalannya dengan memperhitungkan Risiko Pasar, perbankan perlu
melaksanakan langkah persiapan dalam mengelola dan menghitung Risiko Pasar
tersebut. Untuk itu dalam masa transisi, Bank banya diwajibkan menghitung dan
melaporkan Risiko Pasar kepada Bank Indonesia. Selanjutnya kewajiban
memperhitungkan aspek Risiko Pasar dalam permodalan Bank dimulai setelah
berakhimya masa transisi sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka l sampai dengan angka 6
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (I)
Dengan ketentuan ini maka perhitungan rasio kewajiban penyediaan modal
minimum dilakukan dengan membandingkan modal dengan aktiva
tertimbang menurut risiko baik untuk risiko kredit maupun Risiko Pasar.
Ayat (2) .91492
81-10 PBICMB.307-2-2000
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan risiko spesifik (specific risk) adalah risiko perubahan
harga instrumen keuangan akibat faktor-faktor yang berkaitan dengan
penerbit instrumen keuangan dimaksud.
Yang dimaksud dengan risiko umum (general market riste) adalah risiko
perubahan harga instrumen keuangan akibat perubahan harga-harga secara
umum di pasar.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b dan huruf c
Yang dimaksud dengan posisi surat berharga dalam Trading Book adalah
surat berharga yang dicatat dalam portofolio perdagangan dan portofolio
tersedia untuk dijual pada Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5.aanga.
B1. 10098 048-10-2-200040
BANK INDONESIA
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Dengan pengaturan ini maka sekurang-kurangnya 28,5% (dua puluh
delapan setengah perseratus) dari Risiko Pasar diperhitungkan dari
Modal Inti yang tidak digunakan untuk menutup risiko kredit dari
perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko sesuai ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum.
Huruf b
Modal Inti dan Modal Pelengkap adalah modal yang memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum.
Ayat (5)
Modal Pelengkap yang dapat ditambahkan adalah Modal Pelengkap yang
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku
tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum.
8. 10090 04B.10-2-2000.4
BANK INDONESIA
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dengan penerapan seeara konsisten maka Bank tidak diperkenankan untuk
memindahkan posisi Trading Book ke Banking Book.
Pasal 7
Sertifikat Bank Indonesia tidak diperhitungkan dalam Risiko Pasar mengingat
saat ini pasar sekunder perdagangan Sertifikat Bank Indonesia belum
berkembang.
Pasal 8
Ayat (1)
Termasuk surat berharga dalam ayat ini antara lain surat berharga yang dijual
oleh Bank dengan syarat dibeli kembali (Repurchase Agreement),
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9..27192-
31- 10090 [A4B-20r:2-2000-00
BANK INDONESIA
Pasal 9
Ayat (1)
Proses mark to market dilakukan dengan menggunakan nilai pasar sebagai
berikut
a. nilai pasar (narket value) instrumen keuangan yang diperdagangkan di
pasar sekunder, misalnya BES, NASDAQ, Dow Jones, Nikkei, Han Seng
dan Bloomberg,
b. apabila nilai pasar sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak tersedia
maka digunakan nilai pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam huruf
a yang terbentuk dari transaksi yang terjadi paling lama dalam 10
(sepuluh) hari kerja terakhir
c. apabila nilai pasar sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b tidak
tersedia maka digunakan rata-rata quotation dari minimal 2 (dua) market
maker atau broker.
Ayat (2)
Termasuk pengertian tidak tersedia nilai pasar antara lain nilai pasar yang
terbentuk dari transaksi yang tidak signifikan dibandingkan dengan posisi
yang dimiliki oleh Bank.
Faktor deflator dilakukan dengan melihat faktorfaktor seperti fungsi dari
daily tumover surat berharga di pasar dan volume dari posisi Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) ... 2092
BI-100 PBI(AB1-207-2-2000-AJ
BANK INDONESIA
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 10
Pada prinsipnya sesuai dengan rekomendasi Basel Committee on Banking
Supervision perhitungan Risiko Pasar dapat juga dilakukan dengan Intemal
Model. Namun demikian, Bank Indonesia menilai bahwa untuk saat ini
penerapan Metode Standar (Standard Method) adalah lebih sesuai dalam
perhitungan Risiko Pasar oleh Bank.
Penggunaan Internal Model dalam perhitungan Risiko Pasar hanya untuk
keperluan manajemen risiko (risk management) secara intern dan untuk
mengantisipasi perkembangan kebijakan perbankan di masa yang akan datang.
Pasal 11
Ayat (I)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukupjelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)..27192-
81.100P81(A48-20-:2-2000A
BANK INDONESIA *.
-8 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (I)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Posisi Devisa Neto adalah Posisi Devisa Neto
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang beriaku tentang
Posisi Devisa Neto Bank Umum.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dengan ketentuan ini maka laporan posisi bulam Desember 2003 wajib
disampaikan dalam periode penyampaian III yaitu tanggal 16 sampai dengan
21 bulan Januari 2004.
Ayat (3)
Penyampaian secara of)-line dilakukan dengan disket dan hardcopy.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . 386-
81-10 P81481-207-2.20000
BANK INDONESIA
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4306 3rg2-
81-1009810481-207.2-200.40
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/12/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR (MARKET RISK) </reg_title>
<set_date> 17 Juli 2003 </set_date>
<effective_date> 17 Juli 2003 </effective_date>
<related_reg> '3/21/PBI/2001', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/10/PBI/2019
TENTANG
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa uang rupiah merupakan simbol kedaulatan negara
dan alat pembayaran yang sah di Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang pengelolaannya perlu dilakukan
dengan baik untuk mendukung terpeliharanya stabilitas
moneter, stabilitas sistem keuangan, dan kelancaran
sistem pembayaran;
b. bahwa pengelolaan uang rupiah yang meliputi
perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran,
pencabutan dan penarikan, serta pemusnahan, dilakukan
untuk menyediakan uang rupiah yang layak edar,
denominasi sesuai, tepat waktu sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, serta aman dari upaya pemalsuan, dengan
memperhatikan efisiensi dan kepentingan nasional;
c. bahwa dalam kegiatan pengelolaan uang rupiah yang
dilakukan Bank Indonesia dengan pengolahan uang rupiah
oleh bank dan penyediaan jasa pengolahan uang rupiah
oleh penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah, perlu
dilakukan pengaturan secara lengkap dan komprehensif
dalam 1 (satu) peraturan perundang-undangan;
- 2 -
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Pengelolaan Uang
Rupiah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011
tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELOLAAN
UANG RUPIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang Rupiah adalah rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai mata uang.
2. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
seluruh wilayah teritorial Indonesia, termasuk kapal dan
pesawat terbang yang berbendera Republik Indonesia,
- 3 -
Kedutaan Republik Indonesia, dan kantor perwakilan
Republik Indonesia lainnya di luar negeri.
3. Ciri Uang Rupiah adalah tanda tertentu pada setiap rupiah
yang ditetapkan dengan tujuan untuk menunjukkan
identitas, membedakan harga atau nilai nominal, dan
mengamankan rupiah tersebut dari upaya pemalsuan.
4. Kertas Uang adalah bahan baku yang digunakan untuk
membuat rupiah kertas yang mengandung unsur
pengaman dan yang tahan lama.
5. Logam Uang adalah bahan baku yang digunakan untuk
membuat rupiah logam yang mengandung unsur
pengaman dan yang tahan lama.
6. Uang Rupiah Kertas adalah Uang Rupiah dalam bentuk
lembaran yang terbuat dari Kertas Uang.
7. Uang Rupiah Logam adalah Uang Rupiah dalam bentuk
koin yang terbuat dari Logam Uang.
8. Uang Rupiah Tidak Layak Edar yang selanjutnya disebut
UTLE adalah Uang Rupiah yang terdiri atas Uang Rupiah
lusuh, Uang Rupiah cacat, dan Uang Rupiah rusak.
9. Uang Rupiah Khusus adalah Uang Rupiah yang
dikeluarkan secara khusus untuk tujuan tertentu atau
untuk memperingati suatu peristiwa yang berskala
nasional atau internasional.
10. Uang Rupiah Tiruan adalah suatu benda yang bahan,
ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai
rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, atau
diedarkan, tidak digunakan sebagai alat pembayaran
dengan merendahkan kehormatan rupiah sebagai simbol
negara.
11. Uang Rupiah Palsu adalah suatu benda yang bahan,
ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai
rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan,
diedarkan, atau digunakan sebagai alat pembayaran secara
melawan hukum.
12. Pengelolaan Uang Rupiah adalah suatu kegiatan yang
mencakup perencanaan, pencetakan, pengeluaran,
pengedaran, pencabutan dan penarikan, serta
- 4 -
pemusnahan rupiah yang dilakukan secara efektif, efisien,
transparan, dan akuntabel.
13. Perencanaan adalah suatu rangkaian kegiatan menetapkan
besarnya jumlah dan jenis pecahan yang akan dicetak
berdasarkan perkiraan kebutuhan rupiah dalam periode
tertentu.
14. Pencetakan adalah suatu rangkaian kegiatan mencetak
rupiah.
15. Pengeluaran adalah suatu rangkaian kegiatan menerbitkan
rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
16. Pengedaran adalah suatu rangkaian kegiatan mengedarkan
atau mendistribusikan rupiah di Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
17. Pencabutan dan Penarikan adalah rangkaian kegiatan yang
menetapkan rupiah tidak berlaku lagi sebagai alat
pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
18. Pemusnahan adalah suatu rangkaian kegiatan meracik,
melebur, atau cara lain memusnahkan rupiah sehingga
tidak menyerupai rupiah.
19. Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah yang
selanjutnya disingkat PJPUR adalah pihak yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk melakukan
kegiatan jasa pengolahan Uang Rupiah.
20. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
- 5 -
BAB II
MACAM DAN HARGA UANG RUPIAH
Pasal 2
(1) Macam Uang Rupiah terdiri atas Uang Rupiah Kertas dan
Uang Rupiah Logam.
(2) Uang Rupiah Kertas dan Uang Rupiah Logam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berupa Uang Rupiah Khusus.
(3) Bank Indonesia menetapkan macam Uang Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk setiap pecahan
Uang Rupiah yang dikeluarkan.
Pasal 3
(1) Harga Uang Rupiah merupakan nilai nominal yang
tercantum pada setiap pecahan Uang Rupiah.
(2) Bank Indonesia menetapkan pecahan Uang Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB III
CIRI, DESAIN, DAN BAHAN BAKU UANG RUPIAH
Pasal 4
(1) Bank Indonesia menetapkan Ciri Uang Rupiah.
(2) Ciri Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas ciri umum dan ciri khusus.
(3) Ciri umum Uang Rupiah Kertas sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b. frasa “Negara Kesatuan Republik Indonesia”;
c. sebutan pecahan dalam angka dan huruf sebagai nilai
nominalnya;
d. tanda tangan Pemerintah dan Bank Indonesia;
e. nomor seri pecahan;
f.
teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI...”; dan
- 6 -
g. tahun emisi dan tahun cetak.
(4) Ciri umum Uang Rupiah Logam sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b. frasa “Republik Indonesia”;
c. sebutan pecahan dalam angka sebagai nilai
nominalnya; dan
d. tahun emisi.
(5) Selain ciri umum Uang Rupiah Kertas sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ciri umum Uang Rupiah Logam
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) juga memuat frasa
“Bank Indonesia”.
(6) Ciri khusus Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) memiliki fungsi sebagai pengaman yang terdapat
pada desain, bahan, dan teknik cetak.
(7) Ciri khusus Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) bersifat terbuka, semi tertutup, dan tertutup.
Pasal 5
Ciri Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
tidak memuat gambar orang yang masih hidup.
Pasal 6
Gambar pahlawan nasional dan/atau Presiden dicantumkan
sebagai gambar utama pada bagian depan Uang Rupiah.
Pasal 7
(1) Bank Indonesia menetapkan desain Uang Rupiah yang
terdiri atas ciri, tanda tertentu, ukuran, dan unsur
pengaman.
(2) Tanda tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup warna, gambar, besar, bahan baku Uang
Rupiah, dan tanda lainnya.
(3) Unsur pengaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk di dalamnya ciri atau tanda yang dapat
dipergunakan oleh tunanetra.
- 7 -
Pasal 8
(1) Bank Indonesia menetapkan bahan baku Uang Rupiah
yang terdiri atas Kertas Uang atau Logam Uang.
(2) Kertas Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
terbuat dari bahan kertas atau bahan lainnya.
(3) Logam Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
terbuat dari aluminium, aluminium bronze, kupronikel,
baja, atau bahan logam lainnya.
(4) Bahan baku Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengutamakan produk dalam negeri dengan
menjaga mutu, keamanan, dan harga yang bersaing.
BAB IV
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
Pasal 9
Bank Indonesia melakukan Pengelolaan Uang Rupiah yang
meliputi tahapan:
a. Perencanaan;
b. Pencetakan;
c. Pengeluaran;
d. Pengedaran;
e. Pencabutan dan Penarikan; dan
f. Pemusnahan.
BAB V
PERENCANAAN
Pasal 10
(1) Bank Indonesia melakukan Perencanaan jumlah dan jenis
pecahan Uang Rupiah yang akan dicetak.
(2) Perencanaan jumlah Uang Rupiah yang akan dicetak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan
asumsi tingkat inflasi, asumsi
pertumbuhan ekonomi, perkembangan teknologi,
kebijakan perubahan harga rupiah, kebutuhan masyarakat
- 8 -
terhadap jenis pecahan Uang Rupiah tertentu, tingkat
pemalsuan, dan faktor lain yang memengaruhi.
(3) Perencanaan jenis pecahan Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) termasuk perencanaan desain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
Pasal 11
(1) Perencanaan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) termasuk Perencanaan Uang Rupiah
Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(2) Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) mempunyai kriteria sebagai berikut:
a. dikeluarkan secara khusus untuk tujuan tertentu
atau memperingati peristiwa yang berskala nasional
maupun internasional;
b. memiliki desain yang berbeda dengan desain Uang
Rupiah yang sudah beredar;
c. dapat memiliki nilai jual yang berbeda dengan nilai
nominalnya; dan
d. berlaku sebagai alat pembayaran yang sah.
(3) Peristiwa yang berskala nasional maupun internasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
Pasal 12
Bank Indonesia menyediakan jumlah Uang Rupiah yang akan
diedarkan.
BAB VI
PENCETAKAN
Pasal 13
Bank Indonesia melakukan Pencetakan Uang Rupiah
berdasarkan Perencanaan jumlah dan jenis pecahan Uang
Rupiah yang akan dicetak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10.
- 9 -
Pasal 14
(1) Bank Indonesia melakukan Pencetakan Uang Rupiah di
dalam negeri dengan menunjuk badan usaha milik negara
sebagai pelaksana Pencetakan Uang Rupiah.
(2) Pencetakan Uang Rupiah melalui badan usaha milik negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
dengan cara:
a. Pencetakan Uang Rupiah termasuk penyediaan bahan
baku Uang Rupiah; atau
b. Pencetakan Uang Rupiah dengan bahan baku Uang
Rupiah yang disediakan oleh Bank Indonesia.
(3) Penunjukan badan usaha milik negara sebagai pelaksana
Pencetakan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai pengadaan di Bank Indonesia.
Pasal 15
Badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (1) harus menjaga mutu, keamanan, dan harga yang
bersaing dalam melaksanakan Pencetakan Uang Rupiah untuk
Bank Indonesia.
Pasal 16
(1) Dalam hal badan usaha milik negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) menyatakan tidak
sanggup melaksanakan Pencetakan Uang Rupiah maka
badan usaha milik negara tersebut dapat menunjuk
lembaga lain untuk bekerja sama dalam pelaksanaan
Pencetakan Uang Rupiah dengan persetujuan Bank
Indonesia.
(2) Penunjukan lembaga lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh badan usaha milik negara melalui
proses yang transparan dan akuntabel serta
menguntungkan negara.
- 10 -
Pasal 17
(1) Badan usaha milik negara bertanggung jawab atas kualitas
dan ketepatan jadwal pengiriman hasil Pencetakan Uang
Rupiah oleh lembaga lain yang telah ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1).
(2) Lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(1) harus menjaga mutu, keamanan, dan memenuhi
persyaratan Pencetakan Uang Rupiah yang ditetapkan
Bank Indonesia dalam melaksanakan Pencetakan Uang
Rupiah untuk Bank Indonesia.
BAB VII
PENGELUARAN
Bagian Kesatu
Pengeluaran Uang Rupiah
Pasal 18
(1) Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang
berwenang melakukan Pengeluaran Uang Rupiah.
(2) Bank Indonesia menetapkan tanggal, bulan, dan tahun
mulai berlakunya Uang Rupiah yang dikeluarkan sebagai
alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
(3) Bank Indonesia mengeluarkan Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan Peraturan Bank Indonesia
yang ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia dan diumumkan melalui media massa.
(4) Uang Rupiah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari bea
meterai.
- 11 -
Bagian Kedua
Pengeluaran Uang Rupiah Khusus
Pasal 19
Pengeluaran Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 termasuk Pengeluaran Uang Rupiah Khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
BAB VIII
PENGEDARAN
Bagian Kesatu
Pengedaran Uang Rupiah
Pasal 20
(1) Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang
berwenang melakukan Pengedaran Uang Rupiah.
(2) Kegiatan Pengedaran Uang Rupiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui:
a.
distribusi Uang Rupiah; dan
b. kegiatan layanan kas.
(3) Dalam melakukan distribusi Uang Rupiah dan kegiatan
layanan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank
Indonesia melakukan kegiatan pengelolaan khazanah Uang
Rupiah.
(4) Pengedaran Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia sesuai dengan
kebutuhan jumlah uang beredar.
- 12 -
Bagian Kedua
Distribusi Uang Rupiah
Pasal 21
Distribusi Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (2) huruf a meliputi distribusi Uang Rupiah:
a. antarkantor Bank Indonesia;
b. ke lokasi penyimpanan Uang Rupiah yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia; dan/atau
c. ke lokasi pihak lain yang melakukan kerja sama
dengan Bank Indonesia dalam layanan kas.
Bagian Ketiga
Kegiatan Layanan Kas
Pasal 22
Kegiatan layanan kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (2) huruf b terdiri atas:
a. penukaran Uang Rupiah;
b. penyetoran dan penarikan Uang Rupiah;
c. pengolahan Uang Rupiah; dan
d. penentuan keaslian Uang Rupiah.
Paragraf 1
Penukaran Uang Rupiah
Pasal 23
(1) Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank
Indonesia memberikan layanan penukaran Uang Rupiah
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
(2) Layanan penukaran Uang Rupiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan untuk:
a. penukaran Uang Rupiah dalam pecahan yang sama
atau pecahan yang lain; dan/atau
b. penggantian UTLE.
- 13 -
(3) Bank Indonesia memberikan layanan penukaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
a.
b.
di kantor Bank Indonesia; dan
di luar kantor Bank Indonesia melalui kas keliling.
Pasal 24
(1) Penggantian atas UTLE yang berbentuk Uang Rupiah cacat
dan Uang Rupiah lusuh diberikan oleh Bank Indonesia
apabila tanda keaslian Uang Rupiah tersebut masih dapat
diketahui atau dikenali.
(2) Penggantian UTLE sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dengan nilai yang sama dengan nilai nominalnya.
(3) Penggantian atas UTLE yang berbentuk Uang Rupiah rusak
diberikan dengan tata cara:
a. Uang Rupiah Kertas:
1. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas lebih besar
dari 2/3 (dua pertiga) ukuran aslinya dan Ciri
Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya,
diberikan penggantian sebesar nilai nominal
dengan persyaratan:
a) Uang Rupiah Kertas rusak masih
merupakan satu kesatuan dengan atau
tanpa nomor seri yang lengkap; atau
b) Uang Rupiah Kertas rusak tidak merupakan
satu kesatuan dan kedua nomor seri pada
Uang Rupiah Kertas rusak tersebut lengkap
dan sama; atau
2. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas sama dengan
atau kurang dari 2/3 (dua pertiga) ukuran
aslinya, tidak diberikan penggantian; dan
b. Uang Rupiah Logam:
1. dalam hal fisik Uang Rupiah Logam lebih besar
dari 1/2 (satu perdua) ukuran aslinya dan Ciri
Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya,
diberikan penggantian sebesar nilai nominal;
atau
- 14 -
2. dalam hal fisik Uang Rupiah Logam sama dengan
atau kurang dari 1/2 (satu perdua) ukuran
aslinya, tidak diberikan penggantian.
(4) UTLE dalam bentuk Uang Rupiah rusak sebagian karena
terbakar diberikan penggantian dengan nilai yang sama
nominalnya, sepanjang menurut penelitian Bank Indonesia
masih dapat dikenali keasliannya.
(5) Bank Indonesia tidak memberikan penggantian atas UTLE
dalam bentuk Uang Rupiah rusak apabila menurut Bank
Indonesia kerusakan Uang Rupiah tersebut diduga
dilakukan secara sengaja atau dilakukan secara sengaja.
Pasal 25
Bank Indonesia tidak memberikan penggantian atas Uang
Rupiah yang hilang atau musnah karena sebab apapun.
Pasal 26
Bank yang beroperasi di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia wajib menyediakan layanan penukaran Uang Rupiah
kepada masyarakat sesuai ketentuan penukaran Uang Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24.
Pasal 27
(1) Masyarakat dapat memperoleh Uang Rupiah Khusus
dengan mekanisme:
a. penukaran, untuk Uang Rupiah Khusus yang
mempunyai nilai yang sama dengan nilai nominal;
atau
b. pembelian, untuk Uang Rupiah Khusus yang
mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dari nilai
nominal.
(2) Bank Indonesia dapat menunjuk Bank dan/atau pihak lain
untuk melakukan penukaran dan/atau penjualan Uang
Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- 15 -
Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai penukaran Uang Rupiah diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Paragraf 2
Penyetoran dan Penarikan Uang Rupiah
Pasal 29
(1) Penyetoran dan penarikan Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 huruf b dilakukan oleh Bank.
(2) Penyetoran dan penarikan Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Bank wajib memastikan Uang Rupiah dalam kegiatan
penyetoran kepada Bank Indonesia tidak terdapat Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya.
(4) Dalam hal Bank menyerahkan kegiatan penyetoran dan
penarikan Uang Rupiah kepada pihak lain, Bank hanya
dapat menyerahkan pelaksanaan kegiatan penyetoran dan
penarikan Uang Rupiah tersebut kepada PJPUR.
(5) Dalam hal Bank bekerja sama dengan PJPUR sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Bank wajib melakukan
pemantauan kinerja PJPUR dan memastikan penerapan
manajemen risiko oleh PJPUR.
Pasal 30
(1) Bank harus terlebih dahulu melakukan transaksi Uang
Rupiah antar-Bank sebelum dapat melakukan penyetoran
dan/atau penarikan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29.
(2) Dalam kondisi tertentu, Bank Indonesia dapat menetapkan
Bank tidak harus melakukan transaksi Uang Rupiah antar-
Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Mekanisme transaksi Uang Rupiah antar-Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam
kesepakatan tertulis antar-Bank.
- 16 -
Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyetoran dan penarikan
Uang Rupiah diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Paragraf 3
Pengolahan Uang Rupiah
Pasal 32
(1) Pengolahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 huruf c dilakukan oleh Bank Indonesia dan Bank.
(2) Pengolahan Uang Rupiah oleh Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia.
(3) Bank yang melaksanakan penyetoran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) wajib terlebih dahulu
melakukan pengolahan Uang Rupiah.
(4) Dalam hal Bank menyerahkan kegiatan pengolahan Uang
Rupiah kepada pihak lain, Bank hanya dapat menyerahkan
pelaksanaan kegiatan pengolahan Uang Rupiah tersebut
kepada PJPUR.
(5) Dalam hal Bank bekerja sama dengan PJPUR sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Bank wajib melakukan
pemantauan kinerja PJPUR dan memastikan penerapan
manajemen risiko oleh PJPUR.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengolahan Uang Rupiah
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Paragraf 4
Penentuan Keaslian Uang Rupiah
Pasal 33
(1) Bank Indonesia berwenang untuk menentukan keaslian
Uang Rupiah.
(2) Berdasarkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Bank Indonesia menyatakan Uang Rupiah yang
tidak memenuhi Ciri Uang Rupiah sebagai Uang Rupiah
tidak asli.
- 17 -
Pasal 34
(1) Bank Indonesia memberikan informasi, pengetahuan, dan
sosialisasi mengenai tanda keaslian Uang Rupiah dan Uang
Rupiah emisi baru kepada masyarakat.
(2) Informasi, pengetahuan, dan sosialisasi Uang Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk
spesimen Uang Rupiah, visualisasi melalui teknologi
informasi, dan/atau bentuk lainnya.
(3) Dalam pelaksanaan pemberian informasi, pengetahuan,
dan sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia dapat bekerja sama dengan pihak lain.
Pasal 35
(1) Masyarakat dapat meminta klarifikasi kepada Bank
Indonesia tentang Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil klarifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Uang Rupiah tersebut dinyatakan
asli, Bank Indonesia memberikan penggantian sebesar nilai
nominal.
(3) Dalam hal Uang Rupiah yang dinyatakan asli sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dalam kondisi rusak sebagian,
Bank Indonesia memberikan penggantian sebesar nilai
nominal sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24.
(4) Dalam hal berdasarkan hasil klarifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Uang Rupiah tersebut dinyatakan
tidak asli, Bank Indonesia tidak memberikan penggantian
dan Uang Rupiah tidak asli tersebut diproses sesuai
ketentuan yang berlaku.
Pasal 36
(1) Bank harus menerima Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya yang berasal dari:
a. PJPUR yang bekerja sama dengan Bank;
b. perseorangan dan badan hukum; dan/atau
- 18 -
c. kegiatan pengolahan Uang Rupiah yang dilakukan
oleh Bank.
(2) Bank harus menahan Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Bank harus meneruskan Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
dimintakan klarifikasi kepada Bank Indonesia.
Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan keaslian Uang
Rupiah diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Keempat
Pengelolaan Khazanah Uang Rupiah
Pasal 38
(1) Dalam melakukan distribusi Uang Rupiah dan kegiatan
layanan kas, Bank Indonesia melakukan kegiatan
penyimpanan Uang Rupiah pada khazanah Uang Rupiah.
(2) Penyimpanan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan pada khazanah Uang Rupiah milik Bank
Indonesia.
(3) Dalam kondisi tertentu, Bank Indonesia dapat menyimpan
Uang Rupiah di khazanah milik pihak lain yang bekerja
sama dengan Bank Indonesia.
Pasal 39
(1) Selain digunakan untuk menyimpan Uang Rupiah,
khazanah Uang Rupiah milik Bank Indonesia dapat
menerima titipan dari pihak tertentu yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia menetapkan jenis titipan, kriteria titipan,
jangka waktu penitipan, dan persyaratan penitipan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penitipan di khazanah
Uang Rupiah diatur dengan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
- 19 -
Bagian Kelima
Kas Titipan
Pasal 40
(1) Dalam melaksanakan kegiatan layanan kas Bank Indonesia
dapat bekerja sama dengan Bank dalam bentuk kas titipan.
(2) Kegiatan layanan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa penukaran Uang Rupiah, penyetoran dan
penarikan Uang Rupiah, serta pengolahan Uang Rupiah.
(3) Bank Indonesia memberikan bantuan finansial kepada
Bank yang bekerja sama dengan Bank Indonesia dalam
bentuk kas titipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Bank yang bekerja sama dengan Bank Indonesia dalam
bentuk kas titipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melakukan pengelolaan kas titipan untuk dan atas nama
Bank Indonesia.
Bagian Keenam
PJPUR
Pasal 41
Jenis kegiatan jasa pengolahan Uang Rupiah terdiri atas:
a.
distribusi Uang Rupiah;
b. penyimpanan Uang Rupiah di khazanah;
c. pemrosesan Uang Rupiah; dan/atau
d. pengisian, pengambilan, dan/atau pemantauan
kecukupan Uang Rupiah pada automated teller
machine (ATM), cash deposit machine (CDM), cash
recycling machine (CRM), dan/atau mesin transaksi
Uang Rupiah tunai lain yang disetujui Bank Indonesia.
(2) PJPUR hanya dapat melakukan kegiatan jasa pengolahan
Uang Rupiah sesuai dengan kategori yang dimiliki oleh
PJPUR.
(3) PJPUR dengan kategori satu dapat melakukan kegiatan
jasa pengolahan Uang Rupiah yaitu:
a.
distribusi Uang Rupiah; dan
b. penyimpanan Uang Rupiah di khazanah.
- 20 -
(4) PJPUR dengan kategori dua dapat melakukan kegiatan jasa
pengolahan Uang Rupiah yaitu:
a.
distribusi Uang Rupiah;
b. penyimpanan Uang Rupiah di khazanah;
c. pemrosesan Uang Rupiah; dan
d. pengisian, pengambilan, dan/atau pemantauan
kecukupan Uang Rupiah pada automated teller
machine (ATM), cash deposit machine (CDM), cash
recycling machine (CRM), dan/atau mesin transaksi
Uang Rupiah tunai lain yang disetujui Bank Indonesia.
(5) Selain kegiatan jasa pengolahan Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), PJPUR dapat:
a. melakukan kerja sama untuk kegiatan pembawaan
uang kertas asing sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pembawaan uang kertas asing ke dalam dan ke luar
daerah pabean Indonesia, untuk PJPUR kategori satu
dan PJPUR kategori dua; dan
b. melakukan penyediaan dan pemeliharaan automated
teller machine (ATM), cash deposit machine (CDM), cash
recycling machine (CRM), dan/atau mesin transaksi
Uang Rupiah tunai lain yang disetujui Bank Indonesia,
untuk PJPUR kategori dua.
Pasal 42
(1) Selain bekerja sama untuk melakukan penyetoran dan
penarikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4)
serta pengolahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (4), Bank dapat bekerja sama dengan
PJPUR dalam melaksanakan distribusi Uang Rupiah,
penyimpanan Uang Rupiah di khazanah, dan pengisian,
pengambilan, serta pemantauan kecukupan Uang Rupiah
pada automated teller machine (ATM), cash deposit machine
(CDM), cash recycling machine (CRM), dan/atau mesin
transaksi Uang Rupiah tunai lain yang disetujui Bank
Indonesia.
- 21 -
(2) Bank hanya dapat melakukan kerja sama dengan PJPUR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis
kegiatan jasa pengolahan Uang Rupiah yang dimiliki oleh
PJPUR.
Pasal 43
(1) Setiap pihak yang akan melakukan kegiatan jasa
pengolahan Uang Rupiah wajib memperoleh izin sebagai
PJPUR dari Bank Indonesia.
(2) Pihak yang mengajukan permohonan izin untuk menjadi
PJPUR harus memenuhi persyaratan:
a. aspek umum; dan
b. aspek kelayakan.
(3) Aspek umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
berupa:
a. badan hukum Indonesia berbentuk perseroan
terbatas;
b. modal minimum;
c. komposisi kepemilikan saham;
d.
e.
domisili dan rangkap jabatan, untuk direksi dan
komisaris; dan
izin operasional sebagai badan usaha jasa
pengamanan dengan jenis usaha terbatas pada kawal
angkut uang dan barang berharga dari Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang masih berlaku.
(4) Aspek kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b berupa:
a. sarana dan prasarana yang memenuhi standar yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. kondisi dan/atau kinerja keuangan yang sehat;
c. rencana keberlangsungan bisnis;
d. sumber daya manusia dengan kompetensi yang
memadai; dan
e. standar operasional prosedur untuk setiap jenis
kegiatan jasa pengolahan Uang Rupiah.
- 22 -
Pasal 44
(1) Modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
ayat (3) huruf b diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah), bagi PJPUR kategori satu; dan
b. paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah),
bagi PJPUR kategori dua.
(2) Pemenuhan modal minimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilarang berasal dari pinjaman.
Pasal 45
(1) Komposisi kepemilikan saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 ayat (3) huruf c yaitu paling sedikit sebesar
51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia; dan/atau
b. badan hukum Indonesia.
(2) PJPUR yang telah memperoleh izin wajib tetap memelihara
pemenuhan komposisi kepemilikan saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 46
(1) Anggota direksi PJPUR wajib berdomisili di Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Anggota direksi PJPUR dilarang merangkap jabatan sebagai
direksi dan/atau dewan komisaris pada PJPUR lain.
(3) Anggota direksi harus memiliki:
a. pengalaman dan/atau pengetahuan yang memadai dan
relevan dengan jabatannya; dan
b. pengetahuan di bidang jasa pengolahan Uang Rupiah.
Pasal 47
(1) Mayoritas anggota dewan komisaris PJPUR wajib
berdomisili di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(2) Anggota dewan komisaris PJPUR dilarang merangkap
jabatan sebagai direksi dan/atau dewan komisaris pada
PJPUR lain.
- 23 -
(3) Anggota dewan komisaris harus memiliki pengetahuan
dan/atau pengalaman di bidang pengolahan Uang Rupiah.
Pasal 48
(1) Dalam pemberian izin PJPUR, Bank Indonesia berwenang
melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
anggota direksi dan anggota dewan komisaris.
(2) Penilaian kemampuan dan kepatutan ditujukan untuk
memastikan pemenuhan persyaratan:
a.
b.
integritas;
reputasi keuangan; dan
c. kompetensi.
(3) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) juga dilakukan dalam hal terdapat
perubahan anggota direksi dan/atau anggota dewan
komisaris PJPUR.
Pasal 49
(1) Izin sebagai PJPUR yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
berlaku selama 5 (lima) tahun.
(2) Masa berlaku izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diperpanjang berdasarkan permohonan dari PJPUR.
Pasal 50
(1) Pembukaan kantor cabang PJPUR wajib memperoleh
persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
(2) Dalam pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), PJPUR harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a.
b. memenuhi persyaratan penambahan modal;
c. memiliki izin perluasan kegiatan usaha dari Kepolisian
Negara Republik Indonesia;
d. menggunakan sarana dan prasarana yang memenuhi
standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
rencana pembukaan kantor cabang wajib
dicantumkan dalam rencana bisnis PJPUR;
- 24 -
e. memiliki sumber daya manusia dengan kompetensi
yang memadai;
f.
memiliki rencana keberlangsungan bisnis untuk
kegiatan operasional setempat; dan
g. standar operasional prosedur untuk setiap jenis
kegiatan jasa pengolahan Uang Rupiah.
(3) PJPUR kategori satu dapat membuka kantor cabang
dengan kegiatan jasa pengolahan Uang Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dan
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (5)
huruf a.
(4) PJPUR kategori dua dapat membuka kantor cabang dengan
kegiatan jasa pengolahan Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (4) dan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (5) huruf a dan
huruf b.
(5) Pemenuhan persyaratan penambahan modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan untuk setiap
pembukaan kantor cabang yaitu:
a. penambahan modal
paling
sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk setiap
pembukaan kantor cabang yang melaksanakan
kegiatan pengolahan Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3); dan
b. penambahan modal
paling
sedikit
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah) untuk setiap pembukaan kantor cabang yang
melaksanakan kegiatan pengolahan Uang Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
- 25 -
Pasal 51
(1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan
perizinan PJPUR dan/atau persetujuan pembukaan kantor
cabang.
(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan
pada pertimbangan:
a. menjaga efisiensi nasional;
b. menjaga kepentingan publik;
c. menjaga pertumbuhan industri;
d. menjaga persaingan usaha yang sehat; dan/atau
e. mendukung kebijakan nasional.
Pasal 52
(1) Dalam menyelenggarakan kegiatan pengolahan Uang
Rupiah, PJPUR wajib:
a. memelihara kecukupan modal sesuai dengan kategori
jenis kegiatan pengolahan Uang Rupiah dan jumlah
kantor cabang yang dimiliki;
b. menggunakan sarana dan prasarana yang telah
memenuhi standar yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia;
c. memiliki dan menerapkan manajemen risiko secara
efektif;
d. memenuhi standar kualitas Uang Rupiah yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia;
e. melakukan kegiatan jasa pengolahan Uang Rupiah
dengan menggunakan sarana dan prasarana sesuai
dengan kapasitas yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia;
f.
memiliki asuransi yang melindungi seluruh jenis
kegiatan yang dilaksanakan oleh PJPUR;
g. menyusun rencana bisnis PJPUR setiap tahun dan
menyampaikan rencana bisnis tersebut kepada Bank
Indonesia;
h. meningkatkan kompetensi sumber daya manusia di
bidang pengolahan Uang Rupiah;
- 26 -
i. menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia sesuai
dengan jenis dan jangka waktu yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia;
j. mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia dalam
hal akan melakukan perubahan anggota dewan
komisaris dan/atau anggota direksi; dan
k. membuat perjanjian penyelenggaraan jasa pengolahan
Uang Rupiah dengan Bank atau pihak lain yang
bekerja sama dengan PJPUR.
(2) PJPUR yang melakukan jenis kegiatan pemrosesan Uang
Rupiah wajib memastikan Uang Rupiah hasil pemrosesan
yang didistribusikan tidak terdapat Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya.
Pasal 53
(1) PJPUR dilarang:
a. melakukan aksi korporasi yang mengakibatkan
berubahnya kepemilikan saham mayoritas, paling
lama 5 (lima) tahun sejak izin pertama kali diberikan;
dan
b. mengalihkan pelaksanaan atas jenis kegiatan jasa
pengolahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 ayat (1) dan mengalihkan kegiatan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (5)
kepada pihak lain.
(2) Perubahan kepemilikan saham mayoritas sebelum
berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dapat dilakukan dalam kondisi tertentu dan
memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
Pasal 54
Bank Indonesia berwenang menetapkan kapasitas untuk
kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (1) huruf e berdasarkan sarana dan
prasarana yang digunakan oleh PJPUR.
- 27 -
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai PJPUR diatur dengan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB IX
PENCABUTAN DAN PENARIKAN
Pasal 56
(1) Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang
berwenang melakukan Pencabutan dan Penarikan Uang
Rupiah.
(2) Bank Indonesia menetapkan Uang Rupiah tidak lagi
sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan cara mencabut dan
menarik Uang Rupiah dari peredaran.
(3) Pencabutan dan Penarikan Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia
dengan Peraturan Bank Indonesia yang ditempatkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia dan diumumkan
melalui media massa.
(4) Bank Indonesia memberikan penggantian atas Uang
Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar nilai nominal
yang sama.
(5) Hak untuk memperoleh penggantian atas Uang Rupiah
yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku setelah 10 (sepuluh)
tahun sejak tanggal pencabutan.
(6) Lokasi penggantian atas Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dilakukan di Bank Indonesia dan
Bank.
(7) Tata cara penggantian atas Uang Rupiah yang dicabut dan
ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
yang dalam kondisi lusuh, cacat, atau rusak yaitu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
- 28 -
BAB X
PEMUSNAHAN
Pasal 57
(1) Bank Indonesia melaksanakan Pemusnahan Uang Rupiah
terhadap:
a. UTLE;
b. Uang Rupiah yang masih layak edar yang dengan
pertimbangan tertentu tidak lagi mempunyai manfaat
ekonomis dan/atau kurang diminati oleh masyarakat;
dan/atau
c. Uang Rupiah yang sudah tidak berlaku.
(2) Jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan
oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
secara periodik setiap 1 (satu) tahun sekali.
BAB XI
LAPORAN, PENGAWASAN, DAN PEMANTAUAN
Bagian Kesatu
Laporan
Pasal 58
(1) Bank dan PJPUR wajib menyampaikan laporan berkala dan
laporan insidental kepada Bank Indonesia secara benar dan
lengkap.
(2) Laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur sebagai berikut:
a. bagi Bank berupa laporan harian, laporan bulanan,
dan laporan dengan periode lainnya yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia; dan
b. bagi PJPUR berupa laporan bulanan,
laporan
tahunan, dan laporan dengan periode lainnya yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Bank dan PJPUR wajib melakukan koreksi dalam hal
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah
- 29 -
disampaikan kepada Bank Indonesia tidak benar dan tidak
lengkap.
(4) Bank dan PJPUR wajib menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan koreksi laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai bentuk dan
tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 59
Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap:
a. Bank dalam melakukan pengolahan Uang Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) serta dalam
melakukan pemantauan kinerja PJPUR dan memastikan
penerapan manajemen risiko oleh PJPUR yang bekerja
sama dengan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (5) dan Pasal 32 ayat (5); dan
b. PJPUR.
Pasal 60
(1) Pengawasan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 meliputi pengawasan tidak langsung dan
pengawasan langsung.
(2) Pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui penelitian terhadap laporan
berkala dan laporan insidental yang disampaikan oleh
Bank dan/atau PJPUR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58.
(3) Pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui pemeriksaan terhadap Bank dan/atau
PJPUR untuk memastikan kebenaran laporan yang
disampaikan dan memastikan pemenuhan kewajiban oleh
Bank dan/atau PJPUR.
- 30 -
(4) Dalam melakukan pemeriksaan terhadap PJPUR, Bank
Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap pihak
yang bekerja sama dengan PJPUR.
(5) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan
atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Bank dan/atau PJPUR wajib memberikan keterangan,
penjelasan, rekaman, dan/atau dokumen yang
dibutuhkan dalam pemeriksaan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau pihak lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal 61
(1) Dalam hal berdasarkan pengawasan Bank Indonesia,
Bank:
a.
tidak melakukan pemantauan kinerja PJPUR dan
tidak memastikan penerapan manajemen risiko oleh
PJPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (5)
dan Pasal 32 ayat (5); dan/atau
b.
tidak melakukan pengolahan Uang Rupiah sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat
(2),
Bank wajib menyampaikan rencana tindak yang memuat
komitmen untuk melakukan pemantauan kinerja PJPUR
dan penerapan manajemen risiko oleh PJPUR dan/atau
perbaikan untuk melakukan pengolahan sesuai ketentuan
Bank Indonesia.
(2) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu)
bulan sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank
Indonesia kepada Bank.
(3) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia.
(4) Bank wajib melaksanakan rencana tindak yang telah
disetujui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
- 31 -
Pasal 62
(1) Dalam hal berdasarkan pengawasan Bank Indonesia,
PJPUR tidak:
a. memenuhi komposisi kepemilikan saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45;
b. memelihara kecukupan modal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a;
c. menggunakan sarana dan prasarana sesuai dengan
standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf
b;
d. memiliki dan menerapkan manajemen risiko secara
efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1)
huruf c;
e. memenuhi standar kualitas Uang Rupiah yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf d;
f. melakukan kegiatan jasa pengolahan Uang Rupiah
sesuai dengan kapasitas yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat
(1) huruf e; dan
g. meningkatkan kompetensi sumber daya manusia di
bidang pengolahan Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf h,
PJPUR wajib menyampaikan rencana tindak yang memuat
komitmen penyesuaian dan/atau perbaikan atas hal-hal
sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf
g.
(2) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu)
bulan sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank
Indonesia kepada PJPUR.
(3) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia.
(4) PJPUR wajib melaksanakan komitmen dalam rencana
tindak yang telah disetujui oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
- 32 -
Pasal 63
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Ketiga
Pemantauan
Pasal 64
Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap Bank
pengelola kas titipan.
BAB XII
KOORDINASI DAN KERJA SAMA
Pasal 65
(1) Pengelolaan Uang Rupiah yang meliputi Perencanaan,
Pencetakan, dan Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, huruf b, dan huruf f
dilakukan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan
Pemerintah.
(2) Pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dituangkan dalam nota kesepahaman antara Bank
Indonesia dan Pemerintah.
Pasal 66
Dalam mendukung penanggulangan Uang Rupiah Palsu, Bank
Indonesia melakukan kerja sama dengan badan yang
mengoordinasikan pemberantasan Uang Rupiah Palsu
dan/atau instansi yang berwenang.
BAB XIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 67
(1) Bank yang tidak melakukan penyetoran dan penarikan
Uang Rupiah kepada Bank Indonesia sesuai dengan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
- 33 -
dikenai sanksi administratif berupa penolakan terhadap
kegiatan penyetoran dan penarikan Uang Rupiah.
(2) Bank yang tidak melakukan pengolahan Uang Rupiah yang
akan disetorkan kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. kewajiban menjalani uji petik untuk setiap penyetoran
Uang Rupiah selama jangka waktu tertentu apabila
Bank telah memperoleh 3 (tiga) kali teguran tertulis
untuk jenis pelanggaran yang sama; dan/atau
c. penolakan terhadap kegiatan penyetoran Uang
Rupiah, dalam hal berdasarkan uji petik sebagaimana
dimaksud pada huruf b kegiatan pengolahan Uang
Rupiah tidak memenuhi ketentuan Bank Indonesia.
Pasal 68
(1) Dalam hal berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan
oleh Bank Indonesia terdapat Bank yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal
29 ayat (5), Pasal 32 ayat (2), dan/atau ayat (5), Bank
dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 ayat (6) dan/atau Bank yang melanggar
komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (4)
dikenai sanksi administratif berupa penolakan terhadap
kegiatan penyetoran Uang Rupiah untuk jangka waktu
tertentu.
Pasal 69
Apabila dalam kegiatan penyetoran Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) ditemukan adanya Uang
Rupiah tidak asli, baik yang dilakukan oleh Bank maupun
melalui PJPUR atas nama Bank, Bank dikenai sanksi
administratif berupa kewajiban membayar sebesar 10 (sepuluh)
kali dari total nilai nominal temuan Uang Rupiah tidak asli.
- 34 -
Pasal 70
(1) PJPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa
penghentian sementara kegiatan kantor cabang.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal pengenaan sanksi administratif berupa
penghentian sementara kegiatan kantor
cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PJPUR belum
menghentikan kegiatan kantor cabang, PJPUR dikenai
sanksi administratif berupa pencabutan izin PJPUR.
Pasal 71
Dalam hal berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan oleh
Bank Indonesia terdapat PJPUR yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c, huruf f,
huruf g, huruf j, huruf k, Pasal 52 ayat (2), dan/atau Pasal 53
ayat (1), PJPUR dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan
jasa pengolahan Uang Rupiah; dan/atau
c. pencabutan izin PJPUR.
Pasal 72
PJPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 ayat (6) dan/atau PJPUR yang melanggar
komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (4),
dikenai sanksi administratif berupa:
a. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan
jasa pengolahan Uang Rupiah; dan/atau
b. pencabutan izin PJPUR.
Pasal 73
(1) Bank dan PJPUR yang terlambat menyampaikan laporan
berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2)
dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa
kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh
- 35 -
ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan dan paling
banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per laporan.
(2) Bank dan PJPUR yang tidak menyampaikan laporan
berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2)
dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 ayat (3) sampai dengan berakhirnya batas waktu
penyampaian laporan berkala dan koreksi laporan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia dikenai sanksi
administratif berupa kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per laporan per periode.
Pasal 74
Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi kepada otoritas
terkait mengenai pengenaan sanksi administratif terhadap
PJPUR.
Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB XIV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 76
(1) Dalam pelaksanaan kegiatan Pengedaran Uang Rupiah,
Bank Indonesia berwenang:
a. meminta Bank untuk melakukan dan/atau tidak
melakukan suatu kegiatan tertentu
pengedaran Uang Rupiah;
terkait
b. meminta PJPUR untuk melakukan dan/atau tidak
melakukan suatu perbuatan terkait aspek
kelembagaan PJPUR;
c. menghentikan sementara sebagian atau seluruh
kegiatan PJPUR; dan/atau
d. mencabut izin PJPUR.
- 36 -
(2) Pelaksanaan kewenangan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:
a. hasil pengawasan Bank Indonesia;
b. permintaan tertulis atau rekomendasi tertulis dari
pihak yang berwajib atau otoritas pengawas yang
berwenang kepada Bank Indonesia;
c. pencabutan izin dan/atau penghentian kegiatan
badan usaha jasa pengamanan milik PJPUR oleh
otoritas pengawas yang berwenang;
d. putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap yang memerintahkan penghentian kegiatan
badan usaha jasa pengamanan dan/atau PJPUR;
dan/atau
e. permohonan pembatalan dan/atau pencabutan izin
yang diajukan atas inisiatif PJPUR.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 77
Uang Rupiah Khusus yang dikeluarkan sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini tetap dinyatakan sebagai Uang
Rupiah Khusus.
Pasal 78
(1) Jangka waktu penukaran Uang Rupiah yang dicabut dan
ditarik dari peredaran sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini mengikuti jangka waktu penukaran sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia.
(2) Lokasi penukaran Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik
dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di kantor Bank Indonesia.
Pasal 79
Izin sebagai PJPUR yang telah diberikan sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini tetap berlaku untuk jangka waktu
- 37 -
paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini.
Pasal 80
(1) PJPUR yang telah memperoleh izin sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini dan belum memenuhi
ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 ayat (1) wajib melakukan penyesuaian permodalan
sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia
ini.
(2) Penyesuaian permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilakukan paling lambat 2 (dua) tahun sejak
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 81
Ketentuan mengenai komposisi kepemilikan saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) wajib dipenuhi
oleh PJPUR yang telah memperoleh izin sebelum Peraturan
Bank Indonesia ini berlaku, apabila setelah berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini PJPUR melakukan perubahan
kepemilikan yang menyebabkan terjadinya perubahan
kepemilikan asing.
Pasal 82
(1) PJPUR yang pada saat berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini memiliki anggota direksi dan mayoritas
anggota dewan komisaris yang tidak berdomisili di Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melakukan
penyesuaian domisili sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 ayat (1) dan Pasal 47 ayat (1).
(2) Anggota direksi dan anggota dewan komisaris PJPUR yang
pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini
melakukan rangkap jabatan pada PJPUR lain wajib
melakukan penyesuaian jabatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 47 ayat (2).
(3) Penyesuaian domisili dan rangkap jabatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan paling
- 38 -
lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 83
PJPUR yang telah mengajukan permohonan persetujuan
pembukaan kantor cabang sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini harus menyesuaikan dengan seluruh persyaratan
pembukaan kantor cabang sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini.
Pasal 84
Pengenaan sanksi kewajiban membayar terhadap temuan Uang
Rupiah tidak asli dalam kegiatan penyetoran Uang Rupiah yang
dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini
mengacu pada ketentuan mengenai pengenaan sanksi
kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Bank Indonesia Nomor 18/15/PBI/2016 tentang Penyelenggara
Jasa Pengolahan Uang Rupiah.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 85
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 tanggal
27 Juni 2012 tentang Pengelolaan Uang Rupiah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 138,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5323);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/13/PBI/2012 tanggal
16 Oktober 2012 tentang Penitipan Sementara Surat yang
Berharga dan Barang Berharga pada Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
191, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5350); dan
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/15/PBI/2016 tanggal
29 Agustus 2016 tentang Penyelenggara Jasa Pengolahan
- 39 -
Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5923),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 86
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 tanggal
27 Juni 2012 tentang Pengelolaan Uang Rupiah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 138,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5323);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/13/PBI/2012 tanggal
16 Oktober 2012 tentang Penitipan Sementara Surat yang
Berharga dan Barang Berharga pada Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
191, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5350); dan
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/15/PBI/2016 tanggal
29 Agustus 2016 tentang Penyelenggara Jasa Pengolahan
Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5923),
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 87
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 40 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Agustus 2019
GUBERNUR BANK INDONESIA,
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Agustus 2019
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 154
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/10/PBI/2019
TENTANG
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
I. UMUM
Sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank
Indonesia diberikan tugas dan kewenangan Pengelolaan Uang Rupiah mulai
dari tahapan Perencanaan, Pencetakan, Pengeluaran, Pengedaran,
Pencabutan dan Penarikan, sampai dengan Pemusnahan. Bahwa
Pengelolaan Uang Rupiah sebagaimana diamanatkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, perlu dilakukan dengan baik
dalam mendukung terpeliharanya stabilitas moneter, stabilitas sistem
keuangan, dan kelancaran sistem pembayaran.
Pengelolaan Uang Rupiah yang dilakukan oleh Bank Indonesia
ditujukan untuk menjamin tersedianya Uang Rupiah yang layak edar,
denominasi sesuai, tepat waktu sesuai kebutuhan masyarakat, serta aman
dari upaya pemalsuan dengan tetap mengedepankan efisiensi dan
kepentingan nasional.
Pelaksanaan Pengedaran Uang Rupiah yang dilakukan oleh Bank
Indonesia kepada masyarakat tidak dapat dipisahkan dari peran serta Bank
dalam melakukan kegiatan pengolahan Uang Rupiah dan PJPUR dalam
menyediakan jasa pengolahan Uang Rupiah, sehingga penyediaan jasa
pengolahan Uang Rupiah oleh PJPUR perlu ditata guna mewujudkan
industri jasa pengolahan Uang Rupiah yang kuat, sehat, dan memiliki tata
kelola yang baik mencakup antara lain aspek kelembagaan dan kepemilikan
PJPUR.
- 2 -
Sehubungan dengan keterkaitan yang erat dalam kegiatan
Pengelolaan Uang Rupiah yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan
pengolahan Uang Rupiah oleh Bank dan penyediaan jasa pengolahan Uang
Rupiah oleh PJPUR maka perlu dilakukan pengaturan terhadap Pengelolaan
Uang Rupiah secara lengkap dan komprehensif dalam satu peraturan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “bersifat terbuka (overt)” adalah unsur
pengaman yang dapat dideteksi tanpa bantuan alat.
Yang dimaksud dengan “bersifat semi tertutup (semicovert)”
adalah unsur pengaman yang dapat dideteksi dengan
menggunakan alat yang sederhana seperti kaca pembesar dan
lampu ultraviolet (UV).
- 3 -
Yang dimaksud dengan “bersifat tertutup (covert/forensic)” adalah
unsur pengaman yang hanya dapat dideteksi dengan
menggunakan peralatan laboratorium.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “pahlawan nasional” adalah pahlawan
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Yang dimaksud dengan “bagian depan Uang Rupiah” adalah sisi desain
Uang Rupiah yang terdapat gambar lambang Negara “Garuda
Pancasila”.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bahan lainnya” antara lain polimer, serat
sintetis, atau campuran antara kertas dengan serat sintetis.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Mutu bahan baku Uang Rupiah sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tidak sanggup melaksanakan
Pencetakan Uang Rupiah” adalah ketidaksanggupan yang
disebabkan oleh keadaan kahar (force majeure) baik yang
diakibatkan oleh bencana alam, bencana nonalam, dan bencana
sosial yang menyebabkan akan tidak terpenuhinya kewajiban
Pencetakan Uang Rupiah sehingga dapat mengganggu persediaan
Uang Rupiah.
Contoh bencana alam antara lain gempa bumi, gunung meletus,
dan banjir.
Contoh bencana nonalam antara lain gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
Contoh bencana sosial antara lain konflik sosial dan teror.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 19
Uang Rupiah Khusus dapat berbentuk Uang Rupiah Kertas
bersambung.
Uang Rupiah Kertas bersambung yaitu lembaran Uang Rupiah Kertas
yang terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet), 4 (empat) lembar (bilyet), atau
lebih dan masih merupakan satu kesatuan.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “sesuai dengan kebutuhan jumlah uang
beredar” adalah sesuai dengan kebutuhan masyarakat baik
untuk jumlah nominal dan jenis pecahan Uang Rupiah.
Pasal 21
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pihak lain yang melakukan kerja sama dengan Bank Indonesia
dalam layanan kas antara lain pengelola kas titipan.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penukaran Uang Rupiah” adalah
kegiatan penerimaan Uang Rupiah oleh Bank Indonesia dari
masyarakat dengan memberikan penggantian berupa Uang
- 6 -
Rupiah yang masih layak edar dalam pecahan yang sama atau
pecahan lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Uang Rupiah cacat” adalah Uang Rupiah
hasil cetak yang spesifikasi teknisnya tidak sesuai dengan yang
telah ditetapkan Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “Uang Rupiah lusuh” adalah Uang Rupiah
yang ukuran dan bentuk fisiknya tidak berubah dari ukuran dan
bentuk aslinya, tetapi kondisi fisiknya telah berubah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Uang Rupiah rusak” adalah:
a. Uang Rupiah yang ukuran atau fisiknya telah berubah dari
ukuran atau fisik aslinya yang antara lain karena terbakar,
berlubang, atau hilang sebagian; atau
b. Uang Rupiah yang ukuran atau fisiknya berbeda dengan
ukuran atau fisik aslinya, antara lain karena robek atau
mengerut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Kerusakan Uang Rupiah diduga dilakukan secara sengaja apabila
tanda-tanda kerusakan fisik Uang Rupiah meyakinkan Bank
Indonesia adanya dugaan unsur kesengajaan, misalnya terdapat
bekas potongan dengan alat tajam atau alat lainnya, benang
pengaman hilang seluruhnya atau sebagian karena dirusak,
dan/atau jumlah Uang Rupiah yang ditukarkan relatif banyak
dengan pola kerusakan yang sama.
Kerusakan Uang Rupiah dilakukan secara sengaja apabila
berdasarkan pembuktian melalui laboratorium dan/atau
- 7 -
putusan pengadilan disimpulkan atau diputuskan bahwa Uang
Rupiah dirusak secara sengaja.
Pasal 25
Yang dimaksud dengan “Uang Rupiah yang hilang atau musnah”
adalah Uang Rupiah yang karena suatu sebab, fisik, dan/atau tanda
keasliannya telah hilang atau musnah.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Mekanisme pembelian oleh masyarakat dapat dilakukan melalui
pembelian langsung atau lelang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyetoran dan penarikan” adalah
kegiatan Bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank untuk
melakukan penyetoran Uang Rupiah ke Bank Indonesia dan
penarikan Uang Rupiah dari Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” antara lain apabila
berdasarkan pemantauan Bank Indonesia terdapat kelebihan
atau kekurangan Uang Rupiah layak edar di daerah tertentu,
keadaan kahar (force majeure), dan/atau menjelang dan setelah
hari besar keagamaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengolahan Uang Rupiah” adalah
kegiatan yang mencakup kegiatan sortasi dan/atau hitung Uang
Rupiah termasuk penyimpanan Uang Rupiah di khazanah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 9 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Uang Rupiah tidak asli” adalah benda
yang menyerupai Uang Rupiah tetapi tidak memenuhi ciri-ciri
keaslian Uang Rupiah.
Uang Rupiah tidak asli dapat berupa Uang Rupiah Palsu atau Uang
Rupiah Tiruan.
Pasal 34
Ayat (1)
Uang Rupiah emisi baru disampaikan kepada Bank, bank sentral
negara lain, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau
pihak lain yang dipandang perlu oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “masyarakat” meliputi Bank, PJPUR,
perseorangan, badan hukum, dan lembaga yang melakukan
fungsi penyelidikan dan penyidikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 10 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya” termasuk Uang Rupiah rusak yang tidak merupakan
satu kesatuan dan memiliki nomor seri berbeda.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Huruf a
Distribusi Uang Rupiah meliputi kegiatan pengantaran
dan/atau pengambilan Uang Rupiah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pemrosesan Uang Rupiah meliputi kegiatan penghitungan,
penyortiran, dan pengemasan Uang Rupiah.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Contoh sarana dan prasarana antara lain kendaraan, mesin
sortasi uang, mesin penghitung uang, mesin pembungkus
uang, dan gedung yang layak serta memenuhi standar
keamanan.
Huruf b
Kondisi dan/atau kinerja keuangan dilihat dari laporan
keuangan (audited).
Untuk pihak yang berdiri kurang dari 1 (satu) tahun, kondisi,
dan/atau kinerja keuangan dilihat dari laporan keuangan
(unaudited) yang disertai pernyataan tertulis dari direksi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “modal minimum” adalah modal disetor
dan laba ditahan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 12 -
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Memiliki pengetahuan di bidang jasa pengolahan Uang Rupiah
dapat dibuktikan antara lain dengan sertifikat pengolahan Uang
Rupiah atau bukti kepesertaan di bidang pengolahan Uang
Rupiah dalam hal belum terdapat sertifikasi pengolahan Uang
Rupiah.
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “mayoritas” adalah 50% + 1 dari jumlah
anggota dewan komisaris.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Memiliki pengetahuan di bidang pengolahan Uang Rupiah dapat
dibuktikan antara lain dengan sertifikat pengolahan Uang Rupiah
atau bukti kepesertaan di bidang pengolahan Uang Rupiah dalam
hal belum terdapat sertifikasi pengolahan Uang Rupiah.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Persyaratan integritas meliputi:
1. cakap melakukan perbuatan hukum;
2. memiliki akhlak dan moral yang baik, paling sedikit
ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan,
- 13 -
termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti
melakukan tindak pidana;
3. memiliki komitmen untuk mematuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan dan mendukung
kebijakan Bank Indonesia; dan
4. memiliki komitmen terhadap pengembangan PJPUR
yang sehat.
Huruf b
Persyaratan reputasi keuangan paling sedikit dibuktikan
dengan:
1. tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet;
2.
3.
tidak tercantum dalam daftar hitam nasional penarik cek
dan/atau bilyet giro kosong; dan
tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi
pemegang saham, anggota direksi, atau anggota dewan
komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu
perseroan dinyatakan pailit dalam waktu 5 (lima) tahun
terakhir.
Huruf c
Persyaratan kompetensi paling sedikit meliputi pengetahuan
dan/atau pengalaman yang mendukung penyelenggaraan
PJPUR.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Kantor cabang adalah kantor PJPUR yang secara langsung
bertanggung jawab kepada kantor pusat PJPUR dengan alamat
dan kategori jasa kegiatan pengolahan Uang Rupiah yang jelas.
Ayat (2)
Contoh sarana antara lain kendaraan, mesin sortasi uang, mesin
penghitung uang, dan mesin pembungkus uang.
- 14 -
Contoh prasarana antara lain gedung yang layak dan memenuhi
standar keamanan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Termasuk kebijakan perizinan PJPUR dan/atau persetujuan
pembukaan kantor cabang antara lain berupa pembatasan
perizinan atau persetujuan pembukaan kantor cabang dengan
memenuhi kondisi tertentu.
Pemberian persetujuan pembukaan kantor cabang dengan
memenuhi kondisi tertentu antara lain Bank Indonesia
memberikan persetujuan dengan mensyaratkan PJPUR untuk
membuka kantor cabang pada daerah dan wilayah tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penerapan manajemen risiko oleh PJPUR meliputi:
a. pengawasan aktif oleh direksi dan dewan komisaris;
b. kecukupan kebijakan dan prosedur;
c. kecukupan proses identifikasi dan mitigasi risiko; dan
d. pengendalian intern.
Huruf d
Cukup jelas.
- 15 -
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Peningkatan kompetensi dapat dilakukan antara lain dengan
mengikutsertakan sumber daya manusia pada pelatihan di
bidang pengolahan Uang Rupiah.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Uang Rupiah hasil pemrosesan yang didistribusikan antara lain
Uang Rupiah yang disetorkan ke Bank Indonesia atau digunakan
untuk pengisian automated teller machine (ATM), cash deposit
machine (CDM), cash recycling machine (CRM), dan/atau mesin
transaksi Uang Rupiah tunai lainnya.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
- 16 -
Pasal 57
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Uang Rupiah yang sudah tidak
berlaku” adalah Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari
peredaran.
Ayat (2)
Jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh
Bank Indonesia meliputi jenis pecahan, jumlah bilyet atau keping,
dan nilai nominal.
Data jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan
yang ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
untuk periode 1 (satu) tahun, yaitu data dari 1 Januari sampai
dengan 31 Desember pada tahun yang sama.
Pasal 58
Ayat (1)
Laporan yang disampaikan oleh Bank antara lain laporan terkait
pelaksanaan penyetoran dan penarikan yang meliputi posisi
likuiditas, transaksi uang kartal antar-Bank, dan proyeksi arus
kas (cash flow).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
- 17 -
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “rekaman” adalah rekaman kamera
pengawas (closed circuit television).
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Pemantauan terhadap Bank pengelola kas titipan dilakukan antara
lain untuk memastikan tata kelola yang baik oleh Bank pengelola kas
titipan.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
- 18 -
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Contoh Uang Rupiah Khusus yang dikeluarkan sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini, yaitu:
a. Uang Rupiah Kertas bersambung (uncut banknotes) pecahan
50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2016; dan
b. Uang Rupiah Logam pecahan 150.000 (seratus lima puluh ribu)
dan pecahan 10.000 (sepuluh ribu) seri “For the Children of the
World” tahun emisi 1999.
- 19 -
Pasal 78
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia” antara lain:
a. Surat Keputusan Direksi BI No.20/54/KEP/DIR tanggal 4
Maret 1988 tentang Pencabutan Kembali serta Penarikan
dari Peredaran Uang Kertas Seri Sudirman Pecahan
Rp500,00 dan Rp100,00, Emisi 1975 Pecahan Rp5.000,00
dan Rp1.000,00, serta Emisi 1977 Pecahan Rp500,00 dan
Rp100,00.;
b. Surat Keputusan Direksi BI No.24/105/KEP/DIR tanggal 31
Maret 1992 tentang Pencabutan Kembali serta Penarikan
dari Peredaran Uang Kertas Pecahan Rp10.000,00 Emisi
1979, Pecahan Rp5.000,00 Tanda Tahun 1980, Pecahan
Rp1.000,00 Emisi 1980, dan Pecahan Rp500,00 Tanda
Tahun 1982;
c. Surat Keputusan Direksi BI No.24/105/KEP/DIR tanggal 31
Agustus 1995 tentang Pencabutan Kembali serta Penarikan
dari Peredaran Uang Kertas Pecahan Rp100 Tanda Tahun
1984, Rp500 Tanda Tahun 1988, Rp1.000 Tanda Tahun
1987, Rp5.000 Tanda Tahun 1986, dan Rp 10.000 Tanda
Tahun 1985; dan
d. Surat Keputusan Direksi BI No.29/87/KEP/DIR tanggal 11
September 1996 tentang Pencabutan Kembali serta
Penarikan dari Peredaran Uang Kertas Seri Dwikora Pecahan
Rp0,05; Rp0,10; Rp0,25; Rp0,50 serta Uang Logam Pecahan
Rp2 Emisi 1970; Rp10 Emisi 1971; Rp10 Emisi Tabanas
1974 dan Pecahan Rp10 Emisi 1979.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kantor Bank Indonesia” adalah Kantor
Pusat Bank Indonesia dan kantor perwakilan dalam negeri Bank
Indonesia.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
- 20 -
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6378
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 21/10/PBI/2019 </reg_id>
<reg_title> PENGELOLAAN UANG RUPIAH </reg_title>
<set_date> 30 Agustus 2019 </set_date>
<effective_date> 30 Agustus 2019 </effective_date>
<issued_date> 30 Agustus 2019 </issued_date>
<replaced_reg> '14/13/PBI/2012', '14/7/PBI/2012', '18/15/PBI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/5/PBI/2004
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/10/PBI/2002
TENTANG SERTIFIKAT BANK INDONESIA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan transaksi
perdagangan Sertifikat Bank Indonesia, Bank Indonesia telah
menerapkan sistem Bank Indonesia - Scripless Securities
Settlement System;
b. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas dipandang perlu untuk
melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor
4/10/PBI/2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5 /
Indonesia Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement
System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
, Tambahan Lembaran Negara Nomor
);
System …
/PBI/ 2003 tentang Bank
-2-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/10/PBI/2002
TENTANG SERTIFIKAT BANK INDONESIA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/10/PBI/2002 diubah
sebagai berikut:
1. Ayat (2) Pasal 7 dihapus, sehingga Pasal 7 seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 7
(1) Bank yang melakukan transaksi SBI di pasar perdana baik untuk kepentingan
sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain non Bank, wajib memiliki saldo
giro Rupiah pada Bank Indonesia dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi
kewajiban penyelesaian transaksi SBI dengan Bank Indonesia pada waktu
penyelesaian transaksi.
(2) Dihapus.”
2. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 10 seluruhnya berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 10
“Pasal 10 …
-3-
(1) Bank Indonesia menatausahakan SBI dalam suatu sistem penatausahaan secara
elektronis melalui Sistem Book Entry Registry dalam sarana Bank Indonesia –
Scripless Securities Settlement System.
(2) Sistem penatausahaan yang dikelola oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) mencakup sistem pencatatan kepemilikan dan penyelesaian
transaksi SBI.
(3) Sistem pencatatan kepemilikan SBI sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilakukan tanpa warkat (scripless).
(4) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk mendukung penatausahaan SBI
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(5) Dalam hal pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI
sebagaimana dimaksud ayat (4) tidak dapat memenuhi persyaratan yang
ditetapkan Bank Indonesia atau menghentikan kegiatan usahanya, Bank
Indonesia berwenang mencabut penunjukan yang telah ditetapkan.”
3. Ayat (3) dan ayat (4) Pasal 12 dihapus, sehingga Pasal 12 seluruhnya berbunyi
sebagai berikut :
“Pasal 12
(1) Dalam hal pada waktu penyelesaian transaksi, Bank atau pihak lain tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, transaksi SBI
bersangkutan dinyatakan batal.
(2) Atas batalnya transaksi SBI dengan Bank Indonesia, Bank atau pihak lain yang
bersangkutan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Peraturan
Bank Indonesia Nomor 4/9/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka.
(3) Dihapus.
(3) Dihapus …
-4-
(4) Dihapus.”
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Februari 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 18
DPM
PENJELASAN
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/5/PBI/20042003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/10/PBI/2002
TENTANG SERTIFIKAT BANK INDONESIA
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Transaksi SBI dengan Bank Indonesia meliputi
penerbitan SBI di pasar perdana dan transaksi SBI
Repo Bank dengan Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Ayat …
-2-
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4366
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/5/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/10/PBI/2002 TENTANG SERTIFIKAT BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 16 Februari 2004 </set_date>
<effective_date> 16 Februari 2004 </effective_date>
<changed_reg> '4/10/PBI/2002' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '5/ /PBI/2003', '3/UU/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/ 9
/PBI/2000
TENTANG
SERTIFIKAT WADIAH BANK INDONESIA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa dengan berkembangnya bank yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan dalam
rangka pelaksanaan pengendalian moneter, maka perlu
diciptakan piranti moneter yang sesuai dengan prinsip
syariah dalam bentuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia;
b. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk
menetapkan ketentuan mengenai Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia dalam suatu Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang …
- 2 -
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843).
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
SERTIFIKAT WADIAH BANK INDONESIA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998;
2. Unit Usaha Syariah, yang untuk selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di
kantor pusat bank konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor
cabang syariah;
3. Wadiah …
- 3 -
3. Wadiah adalah perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dengan pihak
penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut;
4. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, yang untuk selanjutnya disebut SWBI,
adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana
berjangka pendek dengan prinsip Wadiah;
5. Pusat Informasi Pasar Uang, yang untuk selanjutnya disebut PIPU, adalah
sistem otomasi yang menyediakan informasi pasar uang yang diatur oleh Bank
Indonesia.
BAB II
KARAKTERISTIK, JUMLAH DAN
JANGKA WAKTU PENITIPAN DANA
Pasal 2
(1) Bank Indonesia dapat menerima penitipan dana dari Bank atau UUS dengan
menggunakan prinsip Wadiah.
(2) Sebagai bukti penitipan dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank
Indonesia menerbitkan SWBI.
(3) Bank Indonesia dapat memberikan bonus atas penitipan dana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) yang diperhitungkan pada saat jatuh waktu.
Pasal 3 …
- 4 -
Pasal 3
(1) Jumlah dana yang dapat dititipkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) sekurang-kurangnya Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Penitipan dana di atas Rp 500.000.000,00 ( lima ratus juta rupiah) hanya dapat
dilakukan dalam kelipatan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 4
Jangka waktu penitipan dana ditetapkan 1 (satu) minggu, 2 (dua) minggu, dan 1
(satu) bulan yang dinyatakan dalam hari.
Pasal 5
Perubahan jangka waktu penitipan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB III
TATA CARA PERMOHONAN DAN
PENYELESAIAN TRANSAKSI PENITIPAN DANA
Pasal 6
Kegiatan penitipan dana dilakukan oleh Kantor Pusat Bank Indonesia dari pukul
08.00 WIB sampai dengan pukul 14.00 WIB.
Pasal 7 …
- 5 -
Pasal 7
(1) Bank atau UUS mengajukan permohonan penitipan dana melalui Reuters
Monitoring Dealing System (RMDS)/faksimili/telepon yang ditegaskan
dengan faksimili, atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
kepada:
a. Direktorat Pengelolaan Moneter c.q. Bagian Operasi Pasar Uang, Bank
Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110, bagi Bank dan UUS yang
berkantor pusat di wilayah Jabotabek;
b. Direktorat Pengelolaan Moneter c.q. Bagian Operasi Pasar Uang, Bank
Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110, melalui Kantor Bank
Indonesia setempat bagi Bank dan UUS yang berkantor pusat di luar
wilayah Jabotabek.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib ditegaskan secara
tertulis dengan Surat Penegasan Transaksi Penitipan dana (SPTP) sebagaimana
contoh dalam lampiran 1, dan disampaikan selambat-lambatnya pukul 15.00
WIB.
Pasal 8
(1) Dalam hal Bank Indonesia menyetujui permohonan penitipan dana
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1), Bank Indonesia akan
memberitahukan kepada Bank atau UUS yang permohonannya disetujui
melalui RMDS, telepon yang ditegaskan dengan faksimili atau sarana lain
selambat-lambatnya pukul 15.00 WIB.
(2) Bank…
- 6 -
(2) Bank Indonesia akan mengumumkan secara luas jumlah keseluruhan penitipan
dana menurut jangka waktu pelaksanaan transaksi melalui PIPU, Reuters atau
Telerate selambat-lambatnya pukul 16.00 WIB.
Pasal 9
(1) Penyelesaian transaksi penitipan dana dilakukan pada hari kerja yang sama.
(2) Penyelesaian transaksi penitipan dana bagi Bank atau UUS yang
permohonannya disetujui oleh Bank Indonesia dilakukan dengan mendebet
rekening giro Bank atau UUS pada Bank Indonesia sebesar nilai titipan.
BAB IV
TATA CARA PENYELESAIAN
JATUH WAKTU PENITIPAN DANA
Pasal 10
(1) Pada saat jatuh waktu penitipan dana, Bank Indonesia akan mengkredit
rekening giro Bank atau UUS pada Bank Indonesia sebesar nilai titipan dana.
(2) Dalam hal Bank Indonesia memberikan bonus kepada Bank atau UUS pada
saat jatuh waktu penitipan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(3), maka Bank Indonesia akan mengkredit rekening giro bank sebesar nilai
bonus yang besarnya diatur dalam ayat (3) dan ayat (4).
(3) Dalam …
- 7 -
(3) Dalam hal Bank Indonesia akan memberikan bonus kepada Bank atau UUS
yang menitipkan dana, maka besarnya bonus akan dihitung dengan
menggunakan acuan tingkat indikasi imbalan Pasar Uang Antarbank
berdasarkan prinsip Syariah (PUAS) yang merupakan rata-rata tertimbang
tingkat indikasi imbalan Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (Sertifikat
IMA) yang terjadi di PUAS, pada tanggal penitipan dana.
(4) Dalam hal data mengenai tingkat indikasi imbalan PUAS sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) tidak tersedia pada hari penitipan dana, maka
besarnya bonus akan dihitung dengan menggunakan acuan tingkat indikasi
imbalan PUAS terakhir yang terjadi atau rata-rata tingkat imbalan deposito
investasi Mudharabah sebelum didistribusikan pada bulan sebelumnya dari
seluruh Bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan
UUS.
Pasal 11
Pelaksanaan pendebetan rekening giro Bank atau UUS pada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan pengkreditan rekening giro
Bank atau UUS pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(2), diatur sebagai berikut:
a) bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Jabotabek dilakukan oleh Kantor
Pusat Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110;
b) bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jabotabek dilakukan oleh
Kantor Bank Indonesia setempat.
BAB V …
- 8 -
BAB V
SANKSI
Pasal 12
(1) Dalam hal saldo rekening giro Bank atau UUS tidak mencukupi untuk
menyelesaikan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), maka
transaksi penitipan dana dibatalkan.
(2) Atas pembatalan transaksi penitipan dana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), Bank atau UUS dikenakan sanksi administratif berupa surat peringatan.
(3) Dalam hal terjadi pembatalan transaksi penitipan dana karena saldo rekening
giro Bank atau UUS pada Bank Indonesia tidak mencukupi untuk penyelesaian
transaksi penitipan dana lebih dari 2 (dua) kali dalam kurun waktu 6 (enam)
bulan, maka atas pembatalan yang ketiga dan seterusnya terhadap Bank atau
UUS dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dan dikenakan
pula sanksi kewajiban membayar sebesar 1 o/oo (satu permil) dari kekurangan
penitipan dana.
Pasal 13
(1) Bagi Bank atau UUS yang mengambil titipan dana sebelum jatuh waktu tidak
diberikan bonus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3).
(2) Tanpa mengurangi ketentuan dalam ayat (1), terhadap Bank atau UUS yang
mengambil titipan dana sebelum jangka waktu penitipan berakhir, dikenakan
biaya administrasi:
a. sebesar …
- 9 -
a. sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk jumlah titipan dana
sampai dengan Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
b. sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk jumlah titipan dana di
atas Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) sampai dengan
Rp 500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah);
c. sebesar Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk jumlah titipan di
atas Rp 500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
BAB VI …
- 10 -
BAB VI
PENUTUP
Pasal 14
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 2000.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Februari 2000
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 24
DPM
- 11 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/ 9 /PBI/2000
TENTANG
SERTIFIKAT WADIAH BANK INDONESIA
I. UMUM
Dengan diberlakukannya ketentuan mengenai perbankan syariah yang termuat
dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, dewasa ini telah berdiri beberapa
bank syariah di Indonesia. Diharapkan agar perbankan yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah tersebut dapat meningkatkan mobilisasi dana dan
potensi ekonomi masyarakat secara optimal.
Selama ini kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam
rangka pengendalian uang beredar ditempuh dengan operasi pasar terbuka, yaitu
menambah atau mengurangi jumlah uang beredar di masyarakat melalui bank-bank
konvensional. Dengan berkembangnya bank syariah maka pengendalian moneter
dapat diperluas melalui bank-bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah.
Agar operasi pasar terbuka berdasarkan prinsip syariah dapat dilaksanakan,
maka perlu diciptakan suatu piranti yang sesuai dengan prinsip syariah dalam
bentuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) yang dapat pula menjadi sarana
penitipan dana jangka pendek oleh Bank yang mengalami kelebihan likuiditas.
II. PASAL …
- 12 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Butir 1 sampai dengan 5
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5 …
- 13 -
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10 …
- 14 -
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
PUAS adalah kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah antar
peserta pasar berdasarkan prinsip Mudharabah.
Sertifikat IMA adalah sertifikat yang digunakan sebagai sarana
untuk mendapatkan dana dengan prinsip Mudharabah.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat 2 …
- 15 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3937
DPM
- 16 -
Lampiran 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/ 9 /PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000
Lampiran 1
SURAT PENEGASAN TRANSAKSI PENITIPAN DANA (SPTP)
…..………….,…………………..
No. :
Lamp :
Kepada
Bank Indonesia
Jl. M.H. Thamrin No. 2
1.1 JAKARTA 10110
1.1.1 Up. Bagian Operasi Pasar Uang, Direktorat Pengelolaan Moneter
Perihal
: Penegasan Transaksi Penitipan Dana SWBI
Dengan ini kami menegaskan transaksi SWBI sebagai berikut:
- 17 -
Nominal (juta Rp)
Jangka Waktu
Jatuh Waktu
Jumlah : Rp
Demikian penegasan kami.
PT. Bank ………………..
Materai,
Tanda tangan
Keterangan:
Surat penegasan ini disampaikan pada hari yang sama dengan tanggal transaksi.
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/9/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> SERTIFIKAT WADIAH BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 23 Februari 2000 </set_date>
<effective_date> 1 Maret 2000 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 13/23/PBI/2011
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH
DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa kegiatan usaha perbankan syariah tidak terlepas
dari risiko yang dapat mengganggu kelangsungan bank;
b. bahwa karakteristik produk dan jasa perbankan syariah
memerlukan fungsi
identifikasi, pengukuran,
pemantauan dan pengendalian risiko yang sesuai
dengan kegiatan usaha perbankan syariah;
c. bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank syariah
dalam memitigasi risiko harus mempertimbangkan
kesesuaian dengan Prinsip Syariah;
d. bahwa pengelolaan setiap aktivitas fungsional bank
harus terintegrasi ke dalam suatu sistem dan proses
pengelolaan risiko yang akurat dan komprehensif;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu untuk menetapkan Peraturan Bank Indonesia
tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah;
Mengingat ...
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
2.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN
MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN
UNIT USAHA SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut dengan BUS adalah
Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor …
- 3 -
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut dengan UUS adalah Unit
Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
4. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disebut dengan BUK
adalah Bank Umum Konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
yang memiliki Unit Usaha Syariah.
5. Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa
(events) tertentu.
6. Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang
digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan
mengendalikan Risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha Bank.
7. Risiko Kredit adalah Risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain
dalam memenuhi kewajiban kepada Bank sesuai dengan perjanjian
yang disepakati.
8. Risiko Pasar adalah Risiko pada posisi neraca dan rekening
administratif akibat perubahan harga pasar, antara lain Risiko berupa
perubahan nilai dari aset yang dapat diperdagangkan atau disewakan.
9. Risiko Likuiditas adalah Risiko akibat ketidakmampuan Bank untuk
memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus
kas dan/atau aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan,
tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan Bank.
10. Risiko Operasional adalah Risiko kerugian yang diakibatkan oleh
proses internal yang kurang memadai, kegagalan proses internal,
kesalahan manusia, kegagalan system, dan/atau adanya kejadian-
kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank.
11. Risiko Hukum adalah Risiko akibat tuntutan hukum dan/atau
kelemahan aspek yuridis.
12. Risiko …
- 4 -
12. Risiko Reputasi adalah Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan
stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadap Bank.
13. Risiko Stratejik adalah Risiko akibat ketidaktepatan dalam
pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta
kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
14. Risiko Kepatuhan adalah Risiko akibat Bank tidak mematuhi dan/atau
tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan
yang berlaku, serta Prinsip Syariah.
15. Risiko Imbal Hasil (Rate of Return Risk) adalah Risiko akibat perubahan
tingkat imbal hasil yang dibayarkan Bank kepada nasabah, karena
terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima Bank dari
penyaluran dana, yang dapat mempengaruhi perilaku nasabah dana
pihak ketiga Bank.
16. Risiko Investasi (Equity Investment Risk) adalah Risiko akibat Bank ikut
menanggung kerugian usaha nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan
bagi hasil berbasis profit and loss sharing.
17. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perseroan Terbatas.
18. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas.
19. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki
dan/atau dikendalikan oleh BUS secara langsung maupun tidak
langsung, baik di dalam maupun di luar negeri yang melakukan
kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri dari:
a. Perusahaan Subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan
Anak dengan kepemilikan BUS lebih dari 50% (lima puluh persen);
b. Perusahaan Partisipasi (participation company) adalah Perusahaan
Anak dengan kepemilikan BUS 50% (lima puluh persen) atau
kurang, namun BUS memiliki Pengendalian terhadap perusahaan;
c. Perusahaan …
- 5 -
c. Perusahaan dengan kepemilikan BUS lebih dari 20% (dua puluh
persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) yang memenuhi
persyaratan yaitu:
i. kepemilikan BUS dan para pihak lainnya pada Perusahaan
Anak adalah masing-masing sama besar; dan
ii. masing-masing pemilik melakukan Pengendalian secara
bersama terhadap Perusahaan Anak;
d. Entitas lain yang berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan yang
berlaku wajib dikonsolidasikan.
BAB II
RUANG LINGKUP MANAJEMEN RISIKO
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif.
(2) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk BUS dilakukan secara individual maupun konsolidasi dengan
Perusahaan Anak.
(3) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk UUS dilakukan terhadap seluruh kegiatan usaha UUS, yang
merupakan satu kesatuan dengan penerapan Manajemen Risiko pada
BUK.
Pasal 3
Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) paling kurang mencakup:
a. pengawasan aktif Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan Pengawas
Syariah;
b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Manajemen
Risiko;
c. kecukupan …
- 6 -
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian Risiko serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Pasal 4
Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib
disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran, dan kompleksitas
usaha serta kemampuan Bank.
Pasal 5
(1) Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 mencakup:
a. Risiko Kredit;
b. Risiko Pasar;
c. Risiko Likuiditas;
d. Risiko Operasional;
e. Risiko Hukum;
f. Risiko Reputasi;
g. Risiko Stratejik;
h. Risiko Kepatuhan;
i. Risiko Imbal Hasil (Rate of Return Risk);
j. Risiko Investasi (Equity Investment Risk).
(2) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko untuk jenis Risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h.
(3) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank harus
menerapkan Manajemen Risiko untuk jenis Risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf i dan huruf j.
(4) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
belum diperhitungkan dalam penilaian Risiko Bank.
BAB III …
- 7 -
BAB III
PENGAWASAN AKTIF DEWAN KOMISARIS, DIREKSI, DAN
DEWAN PENGAWAS SYARIAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
Bank wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang jelas pada
setiap jenjang jabatan yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Bagian Kedua
Wewenang dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris
Pasal 7
Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 bagi
Dewan Komisaris paling kurang mencakup:
a. menyetujui dan mengevaluasi kebijakan Manajemen Risiko;
b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan kebijakan
Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Bagian Ketiga
Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi
Pasal 8
(1) Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
bagi Direksi paling kurang mencakup:
a. menyusun kebijakan dan strategi Manajemen Risiko secara tertulis
dan komprehensif;
b. bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko
dan eksposur Risiko yang diambil oleh Bank secara keseluruhan;
c. mengevaluasi dan memutuskan transaksi yang memerlukan
persetujuan Direksi;
d. mengembangkan …
- 8 -
d. mengembangkan budaya Manajemen Risiko pada seluruh jenjang
organisasi;
e. memastikan peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang
terkait dengan Manajemen Risiko;
f. memastikan bahwa fungsi Manajemen Risiko telah beroperasi
secara independen;
g. melaksanakan kaji ulang secara berkala untuk memastikan:
1. keakuratan metodologi penilaian Risiko;
2. kecukupan implementasi sistem informasi Manajemen Risiko;
dan
3. ketepatan kebijakan, prosedur dan penetapan limit Risiko.
(2) Dalam rangka melaksanakan wewenang dan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi harus memiliki
pemahaman yang memadai mengenai Risiko yang melekat pada
seluruh aktivitas fungsional Bank dan mampu mengambil tindakan
yang diperlukan sesuai dengan profil Risiko Bank.
(3) Wewenang dan tanggung jawab Direksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk UUS dilakukan oleh Direktur UUS.
Bagian Keempat
Wewenang dan Tanggung Jawab Dewan Pengawas Syariah
Pasal 9
Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 bagi
Dewan Pengawas Syariah paling kurang mencakup:
a. melakukan evaluasi (review) atas kebijakan Manajemen Risiko yang
terkait dengan pemenuhan Prinsip Syariah; dan
b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan kebijakan
Manajemen Risiko yang terkait dengan pemenuhan Prinsip Syariah
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
BAB IV …
- 9 -
BAB IV
KEBIJAKAN, PROSEDUR DAN PENETAPAN LIMIT
Bagian Kesatu
Kebijakan Manajemen Risiko
Pasal 10
Kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf b paling kurang memuat:
a. penetapan Risiko yang terkait dengan produk dan transaksi perbankan;
b. penetapan penggunaan metode pengukuran dan sistem informasi
Manajemen Risiko;
c. penentuan limit dan penetapan toleransi Risiko;
d. penetapan penilaian peringkat Risiko;
e. penyusunan rencana darurat (contingency plan) dalam kondisi
terburuk;
f. penetapan sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen
Risiko.
Bagian Kedua
Prosedur dan Penetapan Limit Risiko
Pasal 11
(1) Prosedur dan penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf b wajib disesuaikan dengan tingkat Risiko yang
akan diambil (risk appetite) terhadap Risiko Bank.
(2) Prosedur dan penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling kurang memuat:
a. akuntabilitas dan jenjang delegasi wewenang yang jelas;
b. pelaksanaan kaji ulang terhadap prosedur dan penetapan limit
secara berkala;
c. dokumentasi prosedur dan penetapan limit secara memadai.
(3) Penetapan …
- 10 -
(3) Penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
mencakup:
a. limit secara keseluruhan;
b. limit per jenis Risiko; dan
c. limit per aktivitas fungsional tertentu yang memiliki eksposur
Risiko.
BAB V
PROSES IDENTIFIKASI, PENGUKURAN, PEMANTAUAN, PENGENDALIAN,
DAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN RISIKO
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 12
(1) Bank wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan,
dan pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf c terhadap seluruh faktor-faktor Risiko (risk factors) yang bersifat
material.
(2) Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
didukung oleh:
a. sistem informasi Manajemen Risiko yang tepat waktu; dan
b. laporan yang akurat dan informatif mengenai kondisi keuangan
Bank, kinerja aktivitas fungsional dan eksposur Risiko Bank.
Bagian Kedua
Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan Pengendalian Risiko
Pasal 13
(1) Pelaksanaan proses identifikasi Risiko dilakukan dengan melakukan
analisis paling kurang terhadap:
a. karakteristik …
- 11 -
a. karakteristik Risiko yang melekat pada Bank; dan
b. Risiko dari produk dan kegiatan usaha Bank.
(2) Dalam rangka melaksanakan pengukuran Risiko, Bank wajib
melakukan paling kurang:
a. evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data
dan prosedur yang digunakan untuk mengukur Risiko;
b. penyempurnaan terhadap sistem pengukuran Risiko apabila
terdapat perubahan kegiatan usaha Bank, produk, transaksi dan
faktor Risiko, yang bersifat material yang dapat mempengaruhi
kondisi keuangan Bank.
(3) Dalam rangka melaksanakan pemantauan Risiko, Bank wajib
melakukan paling kurang:
a. evaluasi terhadap eksposur Risiko;
b. penyempurnaan proses pelaporan apabila terdapat perubahan
kegiatan usaha Bank, produk, transaksi, faktor Risiko, teknologi
informasi dan sistem informasi Manajemen Risiko yang bersifat
material.
(4) Bank wajib melakukan langkah-langkah pengendalian atas Risiko yang
dapat membahayakan kelangsungan usaha Bank.
(5) Penetapan langkah-langkah pengendalian Risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) harus sesuai dengan Prinsip Syariah.
Bagian Ketiga
Sistem Informasi Manajemen Risiko
Pasal 14
(1) Sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf c, paling kurang mencakup laporan atau
informasi mengenai:
a. eksposur Risiko;
b. kepatuhan …
- 12 -
b. kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur serta penetapan limit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11;
c.
(2)
realisasi pelaksanaan Manajemen Risiko dibandingkan dengan
target yang ditetapkan.
Laporan atau informasi yang dihasilkan dari sistem informasi
Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan secara rutin kepada Direksi.
(3)
Sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk UUS dapat menggunakan teknologi sistem informasi yang
digunakan dalam sistem informasi Manajemen Risiko BUK.
BAB VI
SISTEM PENGENDALIAN INTERN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 15
(1) Bank wajib melaksanakan sistem pengendalian intern secara efektif
terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dan operasional pada seluruh
jenjang organisasi Bank.
(2) Pelaksanaan sistem pengendalian intern untuk UUS dapat digabung
dengan sistem pengendalian intern dari BUK.
Pasal 16
(1) Pelaksanaan sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 paling kurang mampu mendeteksi kelemahan dan
penyimpangan yang terjadi secara tepat waktu.
(2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memastikan:
a. kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku
serta kebijakan atau ketentuan intern Bank;
b. tersedianya …
- 13 -
b. tersedianya informasi keuangan dan manajemen yang lengkap,
akurat, tepat guna, dan tepat waktu;
c. efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional; dan
d. efektivitas budaya Risiko (risk culture) pada organisasi Bank secara
menyeluruh.
Bagian Kedua
Sistem Pengendalian Intern dalam Penerapan Manajemen Risiko
Pasal 17
(1) Sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d paling kurang
mencakup:
a. kesesuaian sistem pengendalian intern dengan jenis dan tingkat
Risiko yang melekat pada kegiatan usaha Bank;
b. penetapan wewenang dan tanggung jawab untuk pemantauan
kepatuhan terhadap kebijakan, prosedur dan limit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11;
c. penetapan jalur pelaporan dan pemisahan fungsi yang jelas dari
satuan kerja operasional terhadap satuan kerja yang
melaksanakan fungsi pengendalian;
d. struktur organisasi yang menggambarkan secara jelas kegiatan
usaha Bank;
e. pelaporan keuangan dan kegiatan operasional yang akurat dan
tepat waktu;
f. kecukupan prosedur untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
g. kaji ulang yang efektif, independen, dan obyektif terhadap prosedur
penilaian kegiatan operasional Bank;
h. pengujian …
- 14 -
h. pengujian dan kaji ulang yang memadai terhadap sistem informasi
Manajemen Risiko;
i. dokumentasi secara lengkap dan memadai terhadap prosedur
operasional, cakupan dan temuan audit, serta tanggapan pengurus
Bank berdasarkan hasil audit;
j. verifikasi dan kaji ulang secara berkala dan berkesinambungan
terhadap penanganan kelemahan-kelemahan Bank yang bersifat
material dan tindakan pengurus Bank untuk memperbaiki
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
(2) Penilaian terhadap sistem pengendalian intern dalam penerapan
Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan oleh satuan kerja audit intern (SKAI).
BAB VII
ORGANISASI DAN FUNGSI MANAJEMEN RISIKO
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 18
(1) Dalam rangka pelaksanaan proses dan sistem Manajemen Risiko yang
efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib membentuk:
a. komite Manajemen Risiko; dan
b.
satuan kerja Manajemen Risiko.
(2) Komite Manajemen Risiko dan satuan kerja Manajemen Risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk UUS dapat dibentuk secara
tersendiri atau digabungkan dengan BUK sesuai dengan ukuran dan
kompleksitas usaha UUS serta Risiko yang melekat pada UUS.
Bagian …
- 15 -
Bagian Kedua
Komite Manajemen Risiko
Pasal 19
(1) Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(1) huruf a untuk BUS, paling kurang terdiri dari:
a. mayoritas anggota Direksi; dan
b. pejabat eksekutif terkait.
(2) Dalam hal komite Manajemen Risiko untuk UUS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dibentuk secara tersendiri, maka
keanggotaan komite Manajemen Risiko UUS paling kurang terdiri dari:
a. Direktur UUS;
b. Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan BUK; dan
c. pejabat eksekutif terkait.
(3) Dalam hal komite Manajemen Risiko untuk UUS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) digabung dengan komite Manajemen
Risiko BUK maka dalam pembahasan yang terkait dengan Manajemen
Risiko UUS, Direktur UUS wajib diikutsertakan sebagai salah satu
anggota komite Manajemen Risiko BUK.
(4) Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang dan bertanggung jawab untuk memberikan rekomendasi
kepada Direktur Utama, yang paling kurang meliputi:
a. penyusunan kebijakan, strategi, dan pedoman penerapan
Manajemen Risiko;
b. perbaikan atau penyempurnaan pelaksanaan Manajemen Risiko
berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan dimaksud;
c. penetapan (justification) hal-hal yang terkait dengan keputusan
bisnis yang tidak sesuai dengan prosedur normal (irregularities).
Bagian …
- 16 -
Bagian Ketiga
Satuan Kerja Manajemen Risiko
Pasal 20
(1) Struktur organisasi satuan kerja Manajemen Risiko Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b disesuaikan dengan ukuran
dan kompleksitas usaha Bank serta Risiko yang melekat pada Bank.
(2) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus independen terhadap satuan kerja operasional (risk-taking unit)
dan terhadap satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian
intern.
(3) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bertanggung jawab langsung kepada Direktur Utama atau kepada
Direktur yang ditugaskan secara khusus.
(4) Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja Manajemen Risiko
meliputi:
a. pemantauan pelaksanaan strategi Manajemen Risiko yang telah
disetujui oleh Direksi;
b. pemantauan posisi Risiko secara keseluruhan (composite), per jenis
Risiko dan/atau per jenis aktivitas fungsional serta melakukan
stress testing;
c. kaji ulang secara berkala terhadap proses Manajemen Risiko;
d. pengkajian usulan aktivitas dan/atau produk baru;
e. evaluasi terhadap akurasi model dan validitas data yang
digunakan untuk mengukur Risiko, bagi Bank yang menggunakan
model untuk keperluan intern (internal model);
f. memberikan rekomendasi kepada satuan kerja operasional (risk-
taking unit) dan/atau kepada komite Manajemen Risiko; dan
g. menyusun …
- 17 -
g. menyusun dan menyampaikan laporan profil/komposisi Risiko
secara berkala kepada:
1. direktur utama atau direktur yang ditugaskan secara khusus;
dan
2. komite Manajemen Risiko.
Bagian Keempat
Hubungan Satuan Kerja Operasional dengan Satuan Kerja
Manajemen Risiko
Pasal 21
Satuan kerja operasional (risk-taking unit) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (2) wajib menginformasikan eksposur Risiko yang melekat
pada satuan kerja yang bersangkutan kepada satuan kerja Manajemen
Risiko secara berkala.
BAB VIII
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Laporan Profil Risiko
Pasal 22
(1) Bank wajib menyampaikan laporan profil Risiko kepada Bank
Indonesia.
(2) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memuat substansi yang sama dengan laporan profil Risiko yang
disampaikan oleh satuan kerja Manajemen Risiko kepada Direktur
Utama atau kepada Direktur yang ditugaskan secara khusus, dan
komite Manajemen Risiko.
(3) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
secara triwulanan untuk posisi bulan Maret, Juni, September, dan
Desember …
- 18 -
Desember.
(4) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Bank
menyampaikan laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) di luar jangka waktu yang ditetapkan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai format dan petunjuk penyusunan
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 23
(1) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
disampaikan paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah akhir bulan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3).
(2) Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan apabila laporan
disampaikan melampaui batas waktu penyampaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) namun tidak melebihi 1 (satu) bulan sejak
batas akhir waktu penyampaian laporan.
(3) Bank dianggap tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (1) apabila Bank belum atau tidak menyampaikan
laporan melebihi 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kedua
Laporan Lain
Pasal 24
(1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan lain selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dalam hal terdapat kondisi
yang berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap
kondisi keuangan Bank.
(2) Bank …
- 19 -
(2) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan lain yang
terkait dengan penerapan Manajemen Risiko secara berkala atau
sewaktu-waktu apabila diperlukan.
(3) Format, tata cara pelaporan, dan pengenaan sanksi atas laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tunduk pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan bank kepada Bank
Indonesia.
Bagian Ketiga
Alamat Penyampaian
Pasal 25
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 24 disampaikan
kepada Bank Indonesia dengan alamat:
a. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin Nomor 2, Jakarta
10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia.
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
BAB IX
LAIN-LAIN
Bagian Kesatu
Penilaian Penerapan Manajemen Risiko
Pasal 26
Bank Indonesia dapat melakukan penilaian terhadap penerapan Manajemen
Risiko pada Bank.
Pasal 27
Bank wajib menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan
penerapan Manajemen Risiko kepada Bank Indonesia.
Bagian …
- 20 -
Bagian Kedua
Aspek Pengungkapan Kinerja dan Kebijakan Manajemen Risiko
Pasal 28
(1) Pengungkapan Manajemen Risiko dalam laporan tahunan Bank
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang
Transparansi Kondisi Keuangan Bank wajib disesuaikan dengan
Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang
mencakup kinerja Manajemen Risiko dan arah kebijakan Manajemen
Risiko.
(3) Pengungkapan Manajemen Risiko dalam laporan tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk UUS digabungkan dalam laporan
tahunan BUK.
BAB X
SANKSI
Pasal 29
(1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan per laporan.
(2) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000
(lima puluh juta rupiah) per laporan.
(3) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 dan telah dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap wajib menyampaikan
laporan kepada Bank Indonesia.
(4) Bank yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 namun dinilai tidak lengkap secara signifikan atau tidak dilampiri
dengan dokumen dan informasi yang material sesuai dengan format
yang …
- 21 -
yang ditentukan, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) setelah Bank diberikan 2
(dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu 7
(tujuh) hari kerja untuk setiap teguran dan Bank tidak memperbaiki
laporan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah surat teguran
terakhir.
Pasal 30
Bank yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 4, Pasal
5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (3), Pasal 12, Pasal 13
ayat (2), Pasal 13 ayat (3), Pasal 13 ayat (4), Pasal 14 ayat (2), Pasal 15,
Pasal 16 ayat (2), Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 32
ayat (2) dikenakan sanksi administratif antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau
c. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, dan/atau pemegang
saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus
dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan
administrasi Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 31
(1) Kewajiban penyampaian laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 untuk UUS mulai berlaku sejak laporan posisi bulan
Juni 2012.
(2) Penyesuaian pengungkapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) untuk UUS dilakukan pertama kali pada
laporan tahunan posisi akhir Desember 2012.
BAB XII …
- 22 -
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Manajemen Risiko bagi
Bank diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Bank wajib
menyesuaikan pedoman operasional yang terkait dengan penerapan
Manajemen Risiko.
Pasal 33
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum; dan
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
dinyatakan tidak berlaku bagi BUS dan UUS.
Pasal 34
Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/25/PBI/2009 dinyatakan tetap berlaku bagi BUS dan UUS sepanjang
tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 35 …
- 23 -
Pasal 35
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 2 November 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 2 November 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 103
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 13/23/PBI/2011
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH
DAN UNIT USAHA SYARIAH
UMUM
Kegiatan usaha Bank senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko yang
berkaitan erat dengan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan.
Perkembangan lingkungan eksternal dan internal perbankan syariah yang
semakin pesat mengakibatkan risiko kegiatan usaha perbankan syariah
semakin kompleks. Bank dituntut untuk mampu beradaptasi dengan
lingkungan melalui penerapan manajemen risiko yang sesuai dengan
Prinsip Syariah. Prinsip-prinsip manajemen risiko yang diterapkan pada
perbankan syariah di Indonesia diarahkan sejalan dengan aturan baku yang
dikeluarkan oleh Islamic Financial Services Board (IFSB).
Penerapan manajemen risiko pada perbankan syariah disesuaikan
dengan ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan Bank. Bank
Indonesia menetapkan aturan manajemen risiko ini sebagai standar
minimal yang harus dipenuhi oleh BUS dan UUS sehingga perbankan
syariah dapat mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan
yang dihadapi namun tetap dilakukan secara sehat, istiqomah, dan sesuai
dengan Prinsip Syariah.
PASAL …
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Termasuk dalam cakupan penerapan Manajemen Risiko adalah
penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme yang sebelumnya dikenal dengan prinsip
mengenal nasabah (Know Your Customer/KYC).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Peran Komisaris bagi kantor cabang bank asing dilakukan
oleh pihak-pihak yang berwenang sesuai dengan struktur
organisasi Bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 4 …
- 3 -
Pasal 4
Kompleksitas usaha antara lain keragaman dalam jenis
transaksi/produk/jasa dan jaringan usaha.
Kemampuan Bank antara lain kemampuan keuangan, infrastruktur
pendukung, dan kemampuan sumber daya manusia.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk dalam kelompok Risiko Kredit adalah Risiko
konsentrasi pembiayaan.
Risiko konsentrasi pembiayaan merupakan Risiko yang timbul
akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada 1 (satu)
pihak atau sekelompok pihak, industri, sektor, dan/atau area
geografis tertentu yang berpotensi menimbulkan kerugian
cukup besar yang dapat mengancam kelangsungan usaha
Bank.
Huruf b
Risiko Pasar meliputi antara lain, Risiko nilai tukar, Risiko
komoditas, dan Risiko ekuitas.
Risiko nilai tukar adalah risiko akibat perubahan nilai posisi
trading book dan banking book yang disebabkan oleh
perubahan nilai tukar valuta asing atau perubahan harga
emas.
Risiko komoditas adalah Risiko akibat perubahan harga
instrumen keuangan dari posisi trading book dan banking book
yang disebabkan oleh perubahan harga komoditas.
Risiko ekuitas adalah Risiko akibat perubahan harga
instrumen keuangan dari posisi trading book yang disebabkan
oleh …
- 4 -
oleh perubahan harga saham.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Risiko ini timbul antara lain karena ketiadaan peraturan
perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan
perikatan, seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak
atau pengikatan agunan yang tidak sempurna.
Huruf f
Risiko ini timbul antara lain karena adanya pemberitaan
media dan/atau rumor mengenai bank yang bersifat negatif,
serta adanya strategi komunikasi bank yang kurang efektif.
Huruf g
Risiko ini timbul antara lain karena bank menetapkan strategi
yang kurang sejalan dengan visi dan misi bank, melakukan
analisis lingkungan stratejik yang tidak komprehensif,
dan/atau terdapat ketidaksesuaian rencana stratejik (strategic
plan) antar level stratejik. Selain itu Risiko Stratejik juga
timbul karena kegagalan dalam mengantisipasi perubahan
lingkungan bisnis mencakup kegagalan dalam mengantisipasi
perubahan teknologi, perubahan kondisi ekonomi makro,
dinamika kompetisi di pasar, dan perubahan kebijakan
otoritas terkait.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Risiko ini timbul antara lain karena adanya perubahan
perilaku …
- 5 -
perilaku nasabah dana pihak ketiga Bank yang disebabkan
oleh perubahan ekspektasi tingkat imbal hasil yang diterima
dari Bank. Perubahan ekspektasi bisa disebabkan oleh faktor
internal seperti menurunnya nilai asset Bank dan/atau faktor
eksternal seperti naiknya return/imbal hasil yang ditawarkan
bank lain. Perubahan ekspektasi tingkat imbal hasil tersebut
dapat memicu perpindahan dana dari Bank kepada bank lain.
Huruf j
Risiko ini timbul apabila Bank memberikan pembiayaan
berbasis bagi hasil kepada nasabah dimana Bank ikut
menanggung Risiko atas kerugian usaha nasabah yang
dibiayai (profit and loss sharing). Dalam hal ini, perhitungan
bagi hasil tidak hanya didasarkan atas jumlah pendapatan
atau penjualan yang diperoleh nasabah namun dihitung dari
keuntungan usaha yang dihasilkan nasabah. Apabila usaha
nasabah mengalami kebangkrutan, maka jumlah pokok
pembiayaan yang diberikan Bank kepada nasabah tidak akan
diperoleh kembali.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7 …
- 6 -
Pasal 7
Huruf a
Evaluasi kebijakan Manajemen Risiko dilakukan oleh Dewan
Komisaris paling kurang 1 (satu) kali dalam setahun atau frekuensi
yang lebih tinggi dalam hal terdapat perubahan faktor-faktor yang
mempengaruhi kegiatan usaha Bank secara signifikan.
Huruf b
Evaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan kebijakan
Manajemen Risiko dilakukan oleh Dewan Komisaris paling kurang
secara triwulanan.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk dalam kebijakan dan strategi Manajemen Risiko
adalah penetapan dan persetujuan limit Risiko baik Risiko
secara keseluruhan (composite), per jenis Risiko, maupun per
aktivitas fungsional.
Kebijakan dan strategi Manajemen Risiko disusun paling
kurang 1 (satu) kali dalam setahun atau lebih dalam hal
terdapat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi
kegiatan usaha BUS secara signifikan.
Huruf b
Termasuk tanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan
Manajemen Risiko adalah:
1. mengevaluasi dan memberikan arahan berdasarkan
laporan yang disampaikan oleh satuan kerja Manajemen
Risiko;
2. penyampaian laporan pertanggungjawaban kepada Dewan
Komisaris …
- 7 -
Komisaris secara triwulanan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pengembangan budaya Manajemen Risiko antara lain meliputi
komunikasi yang memadai kepada seluruh jenjang organisasi
tentang pentingnya Manajemen Risiko yang efektif.
Huruf e
Peningkatan kompetensi sumber daya manusia antara lain
melalui program pendidikan dan pelatihan secara
berkesinambungan mengenai penerapan Manajemen Risiko.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “independen” antara lain adanya
pemisahan fungsi antara satuan kerja Manajemen Risiko yang
melakukan identifikasi, pengukuran dan pemantauan Risiko
dengan satuan kerja yang melakukan dan menyelesaikan
transaksi.
Huruf g
Kaji ulang secara berkala antara lain dimaksudkan untuk
mengantisipasi apabila terjadi perubahan faktor eksternal dan
faktor internal.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “memiliki pemahaman yang memadai”
adalah termasuk pemahaman terhadap Prinsip Syariah yang
terkait dengan produk, jasa, dan kegiatan operasional Bank
lainnya.
Ayat (3)
Dalam melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya, Direktur
UUS dapat berkoordinasi dengan Direktur lain pada BUK.
Pasal 9 …
- 8 -
Pasal 9
Huruf a
Evaluasi atas kebijakan Manajemen Risiko yang terkait dengan
pemenuhan Prinsip Syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas
Syariah paling kurang 1 (satu) kali dalam setahun.
Huruf b
Evaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan kebijakan
Manajemen Risiko yang terkait dengan pemenuhan Prinsip Syariah
dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah paling kurang secara
triwulanan.
Pasal 10
Kebijakan Manajemen Risiko ditetapkan antara lain dengan cara
menyusun strategi Manajemen Risiko untuk memastikan bahwa:
1. Bank tetap mempertahankan eksposur Risiko sesuai dengan
kebijakan dan prosedur intern Bank dan peraturan perundang-
undangan serta ketentuan lain yang berlaku; dan
2. Bank dikelola oleh sumber daya manusia yang memiliki
pengetahuan, pengalaman, dan keahlian di bidang Manajemen
Risiko sesuai dengan kompleksitas usaha Bank.
Penyusunan strategi Manajemen Risiko dilakukan dengan
mempertimbangkan kondisi keuangan Bank, organisasi Bank, dan
Risiko yang timbul sebagai akibat perubahan faktor eksternal dan
faktor internal.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c …
- 9 -
Huruf c
Toleransi Risiko merupakan potensi kerugian yang dapat diserap
oleh permodalan Bank.
Huruf d
Penetapan penilaian peringkat Risiko merupakan dasar bagi Bank
untuk mengkategorikan peringkat Risiko Bank.
Peringkat Risiko bagi Bank dikategorikan menjadi 5 (lima)
peringkat, yaitu 1 (Low), 2 (Low to Moderate), 3 (Moderate), 4
(Moderate to High), dan 5 (High).
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) memperhatikan
pengalaman yang dimiliki Bank dalam mengelola Risiko.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “secara berkala” adalah paling kurang
1 (satu) kali dalam setahun atau lebih, sesuai dengan jenis
Risiko, kebutuhan, dan perkembangan Bank.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “dokumentasi yang memadai” adalah
dokumentasi yang tertulis, lengkap, dan memudahkan untuk
dilakukan jejak audit (audit trail) untuk keperluan
pengendalian …
- 10 -
pengendalian intern Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “faktor-faktor Risiko” adalah berbagai
parameter yang mempengaruhi eksposur Risiko.
Yang dimaksud dengan “faktor-faktor Risiko yang bersifat material”
adalah faktor-faktor Risiko baik kuantitatif maupun kualitatif yang
berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi keuangan Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Proses identifikasi Risiko antara lain didasarkan pada pengalaman
kerugian Bank yang pernah terjadi.
Ayat (2)
Untuk mengukur Risiko, Bank dapat menggunakan pendekatan
kualitatif maupun kuantitatif yang disesuaikan dengan tujuan
usaha, kompleksitas usaha, dan kemampuan Bank.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “secara berkala” adalah paling kurang
secara triwulanan atau lebih sesuai dengan perkembangan
usaha Bank dan kondisi eksternal yang mempengaruhi
kondisi Bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 11 -
Ayat (3)
Huruf a
Evaluasi terhadap eksposur Risiko dilakukan dengan cara
pemantauan dan pelaporan Risiko yang bersifat material atau
yang berdampak kepada kondisi permodalan Bank, yang
antara lain didasarkan atas penilaian potensi Risiko dengan
menggunakan historical trend.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Langkah-langkah pengendalian dapat dilakukan dengan metode
mitigasi Risiko antara lain lindung nilai dan penambahan modal
untuk menyerap potensi kerugian.
Selain itu dalam melaksanakan fungsi pengendalian Risiko nilai
tukar dan Risiko Likuiditas, Bank paling kurang menerapkan
Assets and Liabilities Management (ALMA).
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Laporan atau informasi eksposur Risiko mencakup eksposur
kuantitatif dan kualitatif, secara keseluruhan (composite)
maupun rincian per jenis Risiko dan per jenis aktivitas
fungsional.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c …
- 12 -
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan atau informasi yang disampaikan kepada Direksi dapat
ditingkatkan frekuensinya sesuai dengan kebutuhan BUS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Informasi keuangan dan manajemen yang lengkap, akurat,
tepat guna, dan tepat waktu diperlukan dalam rangka
pengambilan keputusan yang tepat dan dapat
dipertanggungjawabkan, serta dikomunikasikan kepada pihak
yang berkepentingan.
Huruf c
Efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional antara
lain diperlukan untuk melindungi aset dan sumber daya Bank
lainnya dari Risiko terkait.
Huruf d
Efektivitas budaya Risiko dimaksudkan untuk
mengidentifikasi …
- 13 -
mengidentifikasi kelemahan dan penyimpangan secara lebih
dini dan menilai kembali kewajaran kebijakan dan prosedur
yang ada pada Bank secara berkesinambungan.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Komite Manajemen Risiko harus bersifat non struktural.
Huruf b
Satuan kerja Manajemen Risiko tersebut merupakan bagian
dari struktur organisasi Bank (bersifat struktural).
Ayat (2)
Pengaturan ini dimaksudkan agar UUS dapat menentukan
struktur organisasi yang tepat dan sesuai dengan kondisi BUK,
termasuk kemampuan keuangan dan sumber daya manusia.
Pasal 19
Ayat (1)
Keanggotaan Komite Manajemen Risiko dapat berupa keanggotaan
tetap dan tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan Bank.
Huruf a
Salah satu anggota Direksi yang harus menjadi anggota
komite Manajemen Risiko adalah Direktur yang
membawahkan fungsi kepatuhan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pejabat eksekutif terkait” adalah
pejabat …
- 14 -
pejabat Bank satu tingkat di bawah Direksi yang memimpin
satuan kerja operasional dan satuan kerja Manajemen Risiko.
Keanggotaan pejabat eksekutif dalam komite Manajemen
Risiko disesuaikan dengan permasalahan dan kebutuhan
Bank.
Ayat (2)
Keanggotaan Komite Manajemen Risiko dapat berupa keanggotaan
tetap dan tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan UUS.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pejabat eksekutif terkait” adalah
pejabat UUS dan BUK satu tingkat di bawah Direksi yang
memimpin satuan kerja operasional dan satuan kerja
Manajemen Risiko.
Keanggotaan pejabat eksekutif dalam komite Manajemen
Risiko disesuaikan dengan permasalahan dan kebutuhan
UUS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk dalam keputusan bisnis yang tidak sesuai dengan
prosedur …
- 15 -
prosedur normal antara lain pelampauan ekspansi usaha yang
signifikan dibandingkan rencana bisnis Bank dan
pengambilan posisi/eksposur Risiko yang tidak sesuai dengan
limit yang telah ditetapkan.
Pasal 20
Ayat (1)
Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank dapat menentukan
struktur organisasi yang tepat dan sesuai dengan kondisi Bank,
termasuk kemampuan keuangan dan sumber daya manusia.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “independen” antara lain tercermin dari
adanya:
1. pemisahan fungsi/tugas antara satuan kerja Manajemen
Risiko dengan satuan kerja operasional (risk-taking unit) dan
satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian intern;
2. proses pengambilan keputusan yang tidak memihak atau
menguntungkan satuan kerja operasional tertentu atau
mengabaikan satuan kerja operasional lainnya.
Yang dimaksud dengan “satuan kerja operasional (risk-taking unit)”
antara lain satuan kerja pembiayaan, treasuri, dan pendanaan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Direktur yang ditugaskan secara khusus”
adalah Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan atau
Direktur Manajemen Risiko.
Istilah Direktur Utama dapat dipersamakan dengan Presiden
Direktur.
Ayat (4)
Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja Manajemen Risiko
disesuaikan …
- 16 -
disesuaikan dengan tujuan usaha, kompleksitas usaha, dan
kemampuan Bank.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Stress testing dilakukan guna mengetahui dampak dari
implementasi kebijakan dan strategi Manajemen Risiko
terhadap kinerja dan pendapatan masing-masing satuan kerja
operasional atau aktivitas fungsional Bank.
Huruf c
Kaji ulang antara lain dilakukan berdasarkan temuan audit
intern dan/atau perkembangan praktek-praktek Manajemen
Risiko yang berlaku secara internasional.
Huruf d
Termasuk dalam pengkajian adalah penilaian kemampuan
Bank untuk melakukan aktivitas dan/atau produk baru dan
kajian usulan perubahan sistem dan prosedur serta
pemenuhan terhadap Prinsip Syariah.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Rekomendasi antara lain memuat rekomendasi yang terkait
dengan besaran atau maksimum eksposur Risiko yang wajib
dipelihara oleh Bank.
Huruf g
Profil Risiko merupakan gambaran secara menyeluruh atas
besarnya potensi Risiko yang melekat pada seluruh portofolio
atau eksposur Bank.
Frekuensi penyampaian laporan harus ditingkatkan apabila
kondisi …
- 17 -
kondisi pasar berubah dengan cepat. Untuk eksposur Risiko
yang berubah relatif lama, seperti Risiko Kredit maka
penyampaian laporan disampaikan paling kurang 1 (satu) kali
dalam sebulan.
Pasal 21
Frekuensi penyampaian informasi eksposur Risiko disesuaikan dengan
karakteristik jenis Risiko.
Pasal 22
Ayat (1)
Laporan profil Risiko memuat antara lain informasi tentang tingkat
dan trend seluruh eksposur Risiko.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Laporan profil Risiko disajikan secara komparatif dengan posisi
triwulan sebelumnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Contoh:
Untuk laporan profil Risiko posisi bulan September 2011, Bank
wajib menyampaikan laporan dimaksud kepada Bank Indonesia
paling lambat pada tanggal 21 Oktober 2011.
Ayat (2) …
- 18 -
Ayat (2)
Contoh:
Apabila Bank menyampaikan laporan profil Risiko posisi bulan
September 2011 pada tanggal 22 Oktober 2011 sampai dengan
tanggal 21 November 2011, maka Bank dianggap terlambat
menyampaikan laporan.
Ayat (3)
Contoh:
Apabila Bank menyampaikan laporan profil Risiko posisi bulan
September 2011 setelah tanggal 21 November 2011, maka Bank
dianggap tidak menyampaikan laporan dimaksud.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan terkait penerapan Manajemen Risiko meliputi antara lain
Laporan Proyeksi Arus Kas dan Laporan Profil Maturitas dalam
rangka Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pelaporan bank antara lain ketentuan Bank Indonesia
mengenai Laporan Berkala Bank Umum dan Laporan Kantor Pusat
Bank Umum.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26 …
- 19 -
Pasal 26
Penilaian terhadap Manajemen Risiko Bank termasuk penilaian Risiko
yang melekat (inherent risk) dan kecukupan sistem pengendalian Risiko
(risk control system).
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kinerja Manajemen Risiko merupakan hasil penerapan Manajemen
Risiko untuk periode awal tahun (Januari) sampai dengan akhir
tahun (Desember) termasuk profil Risiko, sedangkan arah
kebijakan Manajemen Risiko merupakan arah dan strategi
Manajemen Risiko periode satu tahun kedepan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kerja.
Ayat (2)
Bank yang telah dikenakan sanksi kewajiban membayar dalam
ayat ini tidak dikenakan sanksi keterlambatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
- 20 -
Ayat (4)
Bank yang telah dikenakan sanksi kewajiban membayar dalam
ayat ini tidak dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5247
DPbS
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/23/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 2 November 2011 </set_date>
<effective_date> 2 November 2011 </effective_date>
<issued_date> 2 November 2011 </issued_date>
<replaced_reg> '11/25/PBI/2009', '5/8/PBI/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/13/PBI/2019
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/8/PBI/2018
TENTANG RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI,
RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN
UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam mendorong momentum pertumbuhan
ekonomi di tengah risiko kredit atau pembiayaan yang
terjaga maka diperlukan kebijakan makroprudensial yang
bersifat akomodatif melalui relaksasi kebijakan
khususnya terkait rasio loan to value untuk kredit
properti, rasio financing to value untuk pembiayaan
properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan
kendaraan bermotor;
b. bahwa sejalan dengan kebijakan makroprudensial yang
bersifat akomodatif dan upaya mendorong ekonomi
berwawasan lingkungan (green economy) diperlukan
dukungan bank sentral melalui kebijakan rasio loan to
value, rasio financing to value, dan uang muka untuk
kredit atau pembiayaan bagi properti berwawasan
lingkungan dan kendaraan bermotor berwawasan
lingkungan;
- 2 -
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to
Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value
untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit
atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/11/PBI/2014
tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5546);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang
Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing
to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka
untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor
118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6230);
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/8/PBI/2018
TENTANG RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI,
RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI,
DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN
KENDARAAN BERMOTOR.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit
Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti,
dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan
Bermotor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6230) diubah sebagai berikut:
1. Di antara angka 10 dan angka 11 disisipkan 1 (satu)
angka, yakni angka 10A serta di antara angka 24 dan
angka 25 disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 24A
sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya
disingkat BUK adalah bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
- 4 -
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
4. Bank adalah BUK, BUS, dan UUS.
5. Kredit adalah kredit sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan.
6. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
7. Properti adalah rumah tapak, rumah susun, dan
rumah toko atau rumah kantor.
8. Rumah Tapak adalah bangunan yang berfungsi
sebagai tempat tinggal yang merupakan kesatuan
antara tanah dan bangunan dengan bukti
kepemilikan berupa surat keterangan, sertifikat, atau
akta yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat
yang berwenang.
9. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat
yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi
dalam bagian yang distrukturkan secara fungsional
baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan
merupakan satuan yang masing-masing dapat
dimiliki dan digunakan secara terpisah, yang berupa
griya tawang, kondominium, apartemen, flat, dan
bangunan lainnya.
10. Rumah Toko atau Rumah Kantor adalah tanah
berikut bangunan yang izin pendiriannya sebagai
rumah tinggal sekaligus untuk tujuan komersial yang
berupa pertokoan, perkantoran, gudang, dan
bangunan lainnya.
10A. Properti Berwawasan Lingkungan adalah Properti
yang memenuhi kriteria bangunan hijau sesuai
dengan standar atau sertifikasi yang diakui secara
nasional dan/atau internasional.
- 5 -
11. Kredit Properti Rumah Tapak yang selanjutnya
disebut KP Rumah Tapak adalah Kredit yang
diberikan BUK untuk pemilikan Rumah Tapak,
termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Tapak.
12. Kredit Properti Rumah Susun yang selanjutnya
disebut KP Rusun adalah Kredit yang diberikan BUK
untuk pemilikan Rumah Susun, termasuk Kredit
konsumsi beragun Rumah Susun.
13. Kredit Properti Rumah Toko atau Kredit Properti
Rumah Kantor yang selanjutnya disebut KP Ruko
atau KP Rukan adalah Kredit yang diberikan BUK
untuk pemilikan Rumah Toko atau Rumah Kantor,
termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Toko atau
Rumah Kantor.
14. Kredit Properti yang selanjutnya disingkat KP adalah
Kredit konsumsi berupa KP Rumah Tapak, KP Rusun,
dan KP Ruko atau KP Rukan.
15. Pembiayaan Properti Rumah Tapak yang selanjutnya
disebut PP Rumah Tapak adalah Pembiayaan yang
diberikan BUS atau UUS untuk pemilikan Rumah
Tapak, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun
Rumah Tapak.
16. Pembiayaan Properti Rumah Susun yang selanjutnya
disebut PP Rusun adalah Pembiayaan yang diberikan
BUS atau UUS untuk pemilikan Rumah Susun,
termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah
Susun.
17. Pembiayaan Properti Rumah Toko atau Pembiayaan
Properti Rumah Kantor yang selanjutnya disebut PP
Ruko atau PP Rukan adalah Pembiayaan yang
diberikan BUS atau UUS untuk pemilikan Rumah
Toko atau Rumah Kantor, termasuk Pembiayaan
konsumsi beragun Rumah Toko atau Rumah Kantor.
18. Pembiayaan Properti yang selanjutnya disingkat PP
adalah Pembiayaan konsumsi berupa PP Rumah
Tapak, PP Rusun, dan PP Ruko atau PP Rukan.
- 6 -
19. Akad Murabahah adalah akad Pembiayaan suatu
barang dengan menegaskan harga belinya kepada
pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga
yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.
20. Akad Istishna’ adalah akad Pembiayaan barang
dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu
yang disepakati antara pemesan atau pembeli
(mustashni’) dan penjual atau pembuat (shani’).
21. Akad Musyarakah Mutanaqisah yang selanjutnya
disebut Akad MMQ adalah akad Pembiayaan
musyarakah yang kepemilikan aset atau modal salah
satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian
secara bertahap oleh pihak lainnya.
22. Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik yang selanjutnya
disebut Akad IMBT adalah akad penyediaan dana
untuk memindahkan hak guna atau manfaat dari
suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa
dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.
23. Rasio Loan to Value yang selanjutnya disebut Rasio
LTV adalah angka rasio antara nilai Kredit yang dapat
diberikan oleh BUK terhadap nilai agunan berupa
Properti pada saat pemberian Kredit berdasarkan
hasil penilaian terkini.
24. Rasio Financing to Value yang selanjutnya disebut
Rasio FTV adalah angka rasio antara nilai
Pembiayaan yang dapat diberikan oleh BUS atau UUS
terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat
pemberian Pembiayaan berdasarkan hasil penilaian
terkini.
24A. Kendaraan Bermotor Berwawasan Lingkungan
adalah kendaraan bermotor listrik berbasis baterai
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai
percepatan program kendaraan bermotor listrik
berbasis baterai (battery electric vehicle) untuk
transportasi jalan.
- 7 -
25. Kredit Kendaraan Bermotor yang selanjutnya
disingkat KKB adalah Kredit yang diberikan BUK
untuk pembelian kendaraan bermotor.
26. Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang selanjutnya
disingkat PKB adalah Pembiayaan yang diberikan
BUS atau UUS untuk pembelian kendaraan bermotor.
27. Uang Muka adalah pembayaran di muka sebesar
persentase tertentu dari nilai pembelian Properti atau
harga kendaraan bermotor yang sumber dananya
berasal dari debitur atau nasabah.
2. Ketentuan ayat (1) Pasal 4 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Tata cara penilaian agunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b
ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon
sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah), nilai agunan didasarkan pada
taksiran yang dilakukan oleh penilai intern Bank
atau penilai independen; dan
b. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon
di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah), nilai agunan didasarkan pada taksiran
yang dilakukan oleh penilai independen.
(2) Dalam hal terdapat perubahan batasan plafon yang
menjadi
dasar
penetapan penilai
agunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perubahan
tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan penilai
agunan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
- 8 -
3. Ketentuan ayat (1) Pasal 6 tetap, dan penjelasan ayat (1)
huruf a angka 2 Pasal 6 diubah sebagaimana tercantum
dalam penjelasan pasal demi pasal.
4. Ketentuan ayat (1) Pasal 7 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Bank yang memberikan KP atau PP untuk fasilitas
kedua dan seterusnya wajib memenuhi ketentuan
Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagai
berikut:
a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
berdasarkan Akad Murabahah dan Akad
Istishna’ untuk fasilitas kedua dan seterusnya
ditetapkan sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak
dengan luas bangunan lebih dari 70m2
(tujuh puluh meter persegi), paling tinggi
85% (delapan puluh lima persen);
2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak
dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua
puluh satu meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling
tinggi 90% (sembilan puluh persen);
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh
meter persegi), paling tinggi 85% (delapan
puluh lima persen);
4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu
meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi), paling tinggi 90%
(sembilan puluh persen);
- 9 -
5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh
satu meter persegi), paling tinggi 90%
(sembilan puluh persen); dan
6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau
PP Rukan, paling tinggi 90% (sembilan
puluh persen); dan
b. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan
Akad IMBT untuk fasilitas kedua dan
seterusnya, ditetapkan sebagai berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan
lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi),
paling tinggi 90% (sembilan puluh persen);
2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan
lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh
meter persegi), paling tinggi 95% (sembilan
puluh lima persen);
3. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari
70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling
tinggi 90% (sembilan puluh persen);
4. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari
21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi),
paling tinggi 90% (sembilan puluh persen);
5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai
dengan 21m2 (dua puluh satu meter
persegi), paling tinggi 90% (sembilan puluh
persen); dan
6. PP Ruko atau PP Rukan, paling tinggi 90%
(sembilan puluh persen).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rasio LTV untuk KP
dan Rasio FTV untuk PP untuk fasilitas kedua dan
seterusnya diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
- 10 -
5. Ketentuan ayat (1) huruf a Pasal 8 diubah, ayat (2) Pasal 8
tetap dan penjelasan ayat (2) Pasal 8 diubah sebagaimana
tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal, serta
ketentuan ayat (3) Pasal 8 tetap dan penjelasan ayat (3)
Pasal 8 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan
pasal demi pasal sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 8
(1) Ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP dan Rasio
FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dan Pasal 7 berlaku bagi Bank yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a.
rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan
bermasalah secara bruto kurang dari 5% (lima
persen); dan
b. rasio KP bermasalah atau rasio PP bermasalah
secara bruto kurang dari 5% (lima persen).
(2) Penghitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio
Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan rasio KP bermasalah atau
rasio PP bermasalah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b didasarkan pada laporan bulanan
bank umum atau laporan stabilitas moneter dan
sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan
unit usaha syariah periode 2 (dua) bulan sebelumnya.
(3) Dalam hal terdapat kebutuhan data yang belum
dapat dipenuhi dari laporan bulanan bank umum
atau laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan
bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Bank
Indonesia dapat meminta Bank untuk
menyampaikan laporan lain.
(4) Bank wajib menyampaikan laporan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan rasio
Kredit bermasalah, rasio Pembiayaan bermasalah,
- 11 -
rasio KP bermasalah, rasio PP bermasalah, dan
laporan lain diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
6. Ketentuan ayat (1) Pasal 9 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) maka
Bank wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP
dan Rasio FTV untuk PP sebagai berikut:
a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
berdasarkan Akad Murabahah dan Akad
Istishna’ untuk fasilitas pertama ditetapkan
sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak
dengan luas bangunan lebih dari 70m2
(tujuh puluh meter persegi), paling tinggi
85% (delapan puluh lima persen);
2. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh
meter persegi), paling tinggi 85% (delapan
puluh lima persen); dan
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu
meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi), paling tinggi 95%
(sembilan puluh lima persen);
b. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
berdasarkan Akad Murabahah dan Akad
Istishna’ untuk fasilitas kedua ditetapkan
sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak
dengan luas bangunan lebih dari 70m2
(tujuh puluh meter persegi), paling tinggi
75% (tujuh puluh lima persen);
- 12 -
2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak
dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua
puluh satu meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling
tinggi 85% (delapan puluh lima persen);
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh
meter persegi), paling tinggi 75% (tujuh
puluh lima persen);
4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu
meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi), paling tinggi 85%
(delapan puluh lima persen);
5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh
satu meter persegi), paling tinggi 85%
(delapan puluh lima persen); dan
6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau
PP Rukan, paling tinggi 85% (delapan puluh
lima persen);
c. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
berdasarkan Akad Murabahah dan Akad
Istishna’ untuk fasilitas ketiga dan seterusnya
ditetapkan sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak
dengan luas bangunan lebih dari 70m2
(tujuh puluh meter persegi), paling tinggi
65% (enam puluh lima persen);
2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak
dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua
puluh satu meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling
tinggi 75% (tujuh puluh lima persen);
- 13 -
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh
meter persegi), paling tinggi 65% (enam
puluh lima persen);
4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu
meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi), paling tinggi 75%
(tujuh puluh lima persen);
5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh
satu meter persegi), paling tinggi 75% (tujuh
puluh lima persen); dan
6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau
PP Rukan, paling tinggi 75% (tujuh puluh
lima persen);
d. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan
Akad IMBT untuk fasilitas pertama ditetapkan
sebagai berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan
lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi),
paling tinggi 90% (sembilan puluh persen);
2. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari
70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling
tinggi 90% (sembilan puluh persen); dan
3. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari
21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi),
paling tinggi 95% (sembilan puluh lima
persen);
e. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan
Akad IMBT untuk fasilitas kedua ditetapkan
sebagai berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan
lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi),
paling tinggi 80% (delapan puluh persen);
- 14 -
2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan
lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh
meter persegi), paling tinggi 85% (delapan
puluh lima persen);
3. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari
70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling
tinggi 80% (delapan puluh persen);
4. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari
21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi),
paling tinggi 85% (delapan puluh lima
persen);
5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai
dengan 21m2 (dua puluh satu meter
persegi), paling tinggi 85% (delapan puluh
lima persen); dan
6. PP Ruko atau PP Rukan, paling tinggi 85%
(delapan puluh lima persen); dan
f.
Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan
Akad IMBT untuk fasilitas ketiga dan seterusnya
ditetapkan sebagai berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan
lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi),
paling tinggi 70% (tujuh puluh persen);
2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan
lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh
meter persegi), paling tinggi 75% (tujuh
puluh lima persen);
3. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari
70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling
tinggi 70% (tujuh puluh persen);
4. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari
21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi),
paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen);
- 15 -
5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai
dengan 21m2 (dua puluh satu meter
persegi), paling tinggi 75% (tujuh puluh lima
persen); dan
6. PP Ruko atau PP Rukan, paling tinggi 75%
(tujuh puluh lima persen).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rasio LTV untuk KP
dan Rasio FTV untuk PP bagi Bank yang tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
7. Ketentuan ayat (1) huruf a Pasal 10 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
(1) Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan memberikan:
a. KP Rumah Tapak atau PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu
meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh
meter persegi), untuk fasilitas pertama;
b. KP Rumah Tapak atau PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh
satu meter persegi), untuk fasilitas pertama dan
seterusnya;
c. KP Rusun atau PP Rusun dengan luas bangunan
sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter
persegi), untuk fasilitas pertama; dan
d. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP
Rukan, untuk fasilitas pertama,
harus memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan
Rasio FTV untuk PP yang ditetapkan sesuai dengan
kebijakan Bank.
- 16 -
(2) Penetapan kebijakan Bank mengenai ketentuan Rasio
LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan prinsip
kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau
Pembiayaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rasio LTV untuk KP
dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
8. Di antara Bagian Kedua dan Bagian Ketiga disisipkan 1
(satu) bagian, yakni Bagian Kedua A sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Bagian Kedua A
Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP untuk
Pemilikan Properti Berwawasan Lingkungan
Pasal 11A
(1) Bagi Bank yang memberikan KP atau PP untuk
pemilikan Properti Berwawasan Lingkungan berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. Bank wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV
untuk KP dan Rasio FTV untuk PP paling tinggi
ditambah 5% (lima persen) atas Rasio LTV untuk
KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a serta
huruf b angka 1 dan angka 3 sampai dengan
angka 6; dan
b. Bank harus memenuhi ketentuan Rasio LTV
untuk KP dan Rasio FTV untuk PP yang
ditetapkan sesuai dengan kebijakan Bank
untuk:
1.
fasilitas pertama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a;
- 17 -
2.
fasilitas kedua dan seterusnya bagi KP atau
PP Rumah Tapak dengan luas bangunan
sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter
persegi) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf b; dan
3.
fasilitas kedua dan seterusnya bagi PP
Rumah Tapak dengan Akad MMQ dan Akad
IMBT dengan luas bangunan lebih dari
21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) huruf b angka 2,
dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian
dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan.
(2) Ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP dan Rasio
FTV untuk PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku bagi Bank yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rasio LTV untuk KP
dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Pasal 11B
(1) Dalam hal Bank yang memberikan KP atau PP untuk
pemilikan Properti Berwawasan Lingkungan tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) maka berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. Bank wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV
untuk KP dan Rasio FTV untuk PP paling tinggi
ditambah 5% (lima persen) atas Rasio LTV untuk
KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka
1 dan angka 2, huruf b, huruf c, huruf d angka
1 dan angka 2, huruf e, dan huruf f; dan
- 18 -
b. Bank harus memenuhi ketentuan Rasio LTV
untuk KP dan Rasio FTV untuk PP yang
ditetapkan sesuai dengan kebijakan Bank
untuk:
1.
fasilitas pertama bagi KP Rumah Tapak
atau PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu
meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi)
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a;
2.
fasilitas pertama dan seterusnya bagi KP
Rumah Tapak atau PP Rumah Tapak
dengan luas bangunan sampai dengan
21m2 (dua puluh satu meter persegi)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1) huruf b;
3.
fasilitas pertama bagi KP Rusun atau PP
Rusun dengan luas bangunan sampai
dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1) huruf c;
4.
fasilitas pertama bagi KP Rusun atau PP
Rusun berdasarkan Akad Murabahah dan
Akad Istishna’ dengan luas bangunan lebih
dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 3;
5.
fasilitas pertama bagi PP Rusun
berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT
dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua
puluh satu meter persegi) sampai dengan
70m2
(tujuh puluh meter persegi)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf d angka 3; dan
sebagaimana
- 19 -
6.
fasilitas pertama bagi KP Ruko atau KP
Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1) huruf d,
dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian
dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rasio LTV untuk KP
dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Pasal 11C
(1) Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia terkait pemberian KP atau PP untuk
pemilikan Properti Berwawasan Lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A dan Pasal
11B.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Pasal 11D
(1) Properti Berwawasan Lingkungan harus memenuhi
kriteria bangunan hijau.
(2) Pemenuhan kriteria bangunan hijau sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. bagi kawasan yang telah tersertifikasi sebagai
kawasan hijau dari lembaga penyelenggara
sertifikasi kawasan hijau yang diakui maka
seluruh unit Properti di kawasan tersebut
dianggap telah memenuhi kriteria bangunan
hijau;
b. bagi kawasan yang belum tersertifikasi sebagai
kawasan hijau maka pemenuhan kriteria
bangunan hijau
dilakukan
berdasarkan
- 20 -
penilaian atau sertifikasi dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. untuk Properti dengan luas bangunan
kurang dari 2.500m2 (dua ribu lima ratus
meter persegi) maka dilakukan:
a) penilaian oleh
Bank, dengan
menggunakan perkakas aplikasi
(application tools) yang disediakan oleh
lembaga penyelenggara sertifikasi
bangunan hijau yang diakui; dan/atau
b)
sertifikasi oleh lembaga penyelenggara
sertifikasi bangunan hijau yang diakui;
dan
2. untuk Properti dengan luas bangunan lebih
dari atau sama dengan 2.500m2 (dua ribu
lima ratus meter persegi) maka harus
dilakukan
sertifikasi
oleh
lembaga
penyelenggara sertifikasi bangunan hijau
yang diakui; dan
c. bagi Properti yang merupakan bangunan baru
dalam suatu kawasan yang dibangun oleh satu
atau gabungan pengembang maka:
1. pemenuhan kriteria bangunan hijau harus
dilakukan melalui sertifikasi oleh lembaga
penyelenggara sertifikasi bangunan hijau
yang diakui; dan
2. pengajuan sertifikasi dilakukan oleh
pengembang.
(3) Hasil penilaian atau sertifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus menjadi persyaratan
Bank dalam memberikan persetujuan pemberian KP
atau PP untuk pemilikan Properti Berwawasan
Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A
dan Pasal 11B.
- 21 -
9. Ketentuan ayat (1) huruf a angka 1 Pasal 15 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Bank yang memberikan KP atau PP untuk pemilikan
Properti yang belum tersedia secara utuh wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memenuhi persyaratan:
1. rasio Kredit bermasalah, rasio Pembiayaan
bermasalah, rasio KP bermasalah, dan rasio
PP bermasalah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1);
2. memiliki perjanjian kerja sama antara Bank
dengan pengembang yang paling sedikit
memuat kesanggupan pengembang untuk
menyelesaikan Properti sesuai dengan yang
diperjanjikan dengan debitur atau nasabah;
dan
3. memiliki jaminan yang diberikan oleh
pengembang atau pihak lain kepada Bank:
a) yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan kewajiban pengembang
dalam hal Properti tidak dapat
diselesaikan dan/atau tidak dapat
diserahterimakan sesuai dengan
perjanjian; dan
b)
nilai jaminan paling sedikit sebesar
selisih antara komitmen KP atau PP
dengan pencairan KP atau PP yang
telah dilakukan oleh Bank; dan
b. tidak melanggar jumlah fasilitas KP atau PP
untuk pemilikan Properti yang belum tersedia
secara utuh yang ditetapkan.
(2) Jumlah fasilitas KP atau PP untuk pemilikan Properti
yang belum tersedia secara utuh sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan paling
- 22 -
banyak 5 (lima) fasilitas KP atau PP untuk pemilikan
Properti yang belum tersedia secara utuh.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
berlaku bagi Bank yang memberikan KP atau PP
untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara
utuh dengan mengambil alih (take over) KP atau PP
dari Bank lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian KP atau
PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia
secara utuh diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
10. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
Bank yang memberikan KKB atau PKB wajib memenuhi
ketentuan Uang Muka sebagai berikut:
a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua,
paling sedikit 15% (lima belas persen); dan
b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau
lebih yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan
produktif, paling sedikit 15% (lima belas persen).
11. Ketentuan ayat (1) huruf b Pasal 21 diubah, ayat (2) Pasal
21 tetap, dan penjelasan ayat (2) Pasal 21 diubah
sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi
pasal, serta ayat (3) Pasal 21 tetap dan penjelasan ayat (3)
Pasal 21 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan
pasal demi pasal sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 21
(1) Ketentuan mengenai Uang Muka sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 berlaku bagi Bank yang
- 23 -
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan
bermasalah secara bruto kurang dari 5% (lima
persen); dan
b. rasio KKB bermasalah atau rasio PKB
bermasalah secara neto kurang dari 5% (lima
persen).
(2) Penghitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio
Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan rasio KKB bermasalah atau
rasio PKB bermasalah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b didasarkan pada laporan bulanan
bank umum atau laporan stabilitas moneter dan
sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan
unit usaha syariah periode 2 (dua) bulan sebelumnya.
(3) Dalam hal terdapat kebutuhan data yang belum
dapat dipenuhi dari laporan bulanan bank umum
atau laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan
bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Bank
Indonesia dapat meminta Bank untuk
menyampaikan laporan lain.
(4) Bank wajib menyampaikan laporan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
12. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) maka
Bank wajib memenuhi ketentuan Uang Muka sebagai
berikut:
a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua
paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan
- 24 -
b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau
lebih yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan
produktif paling sedikit 25% (dua puluh lima persen).
13. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 23
(1) Bank yang memberikan KKB atau PKB untuk
pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih
yang diperuntukkan bagi kegiatan produktif, wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memberikan KKB atau PKB dengan Uang Muka
paling sedikit 10% (sepuluh persen);
b. memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. merupakan kendaraan yang memiliki izin
untuk angkutan orang atau barang yang
dikeluarkan oleh pihak berwenang; atau
2. diajukan oleh perorangan atau badan
hukum yang memiliki izin usaha tertentu
yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan
digunakan untuk mendukung kegiatan
operasional dari usaha yang dimilikinya.
(2) Ketentuan mengenai Uang Muka sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a berlaku bagi Bank
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1).
(3) Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) maka
Bank yang memberikan KKB atau PKB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib memenuhi
ketentuan Uang Muka paling sedikit 15% (lima belas
persen).
- 25 -
14. Di antara Pasal 23 dan Pasal 24 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 23A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23A
(1) Bank yang memberikan KKB atau PKB untuk
pembelian Kendaraan Bermotor Berwawasan
Lingkungan wajib memenuhi ketentuan Uang Muka
sebagai berikut:
a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua,
paling sedikit 10% (sepuluh persen);
b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga
atau lebih yang tidak diperuntukkan bagi
kegiatan produktif, paling sedikit 10% (sepuluh
persen); dan
c. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga
atau lebih yang diperuntukkan bagi kegiatan
produktif, paling sedikit 5% (lima persen).
(2) Ketentuan Uang Muka untuk KKB atau PKB
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi
Bank yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1).
(3) Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) maka
Bank wajib memenuhi ketentuan Uang Muka sebagai
berikut:
a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua,
paling sedikit 15% (lima belas persen);
b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga
atau lebih yang tidak diperuntukkan bagi
kegiatan produktif, paling sedikit 20% (dua
puluh persen); dan
c. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga
atau lebih yang diperuntukkan bagi kegiatan
produktif, paling sedikit 10% (sepuluh persen).
- 26 -
(4) Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia terkait pemberian KKB atau PKB untuk
pembelian Kendaraan Bermotor Berwawasan
Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (3).
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian KKB atau
PKB untuk pembelian Kendaraan Bermotor
Berwawasan Lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (3) serta tata cara
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
15. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 28 diubah sehingga
Pasal 28 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 ayat (1),
Pasal 3 ayat (2), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (4), Pasal
9 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 11A ayat (1) huruf
a, Pasal 11B ayat (1) huruf a, Pasal 11C ayat (1), Pasal
12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal
15 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (3), Pasal
17 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (4), Pasal 22, Pasal
23 ayat (1), Pasal 23 ayat (3), Pasal 23A ayat (1), Pasal
23A ayat (3), Pasal 23A ayat (4), dan/atau Pasal 25
ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
- 27 -
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1),
Pasal 11A ayat (1) huruf a, Pasal 11B ayat (1) huruf a,
Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (3),
Pasal 23A ayat (1), dan/atau Pasal 23A ayat (3), selain
dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan
sanksi administratif berupa kewajiban membayar
sebesar 1% (satu persen) dari selisih antara plafon
Kredit yang diberikan dengan plafon Kredit yang
seharusnya atau plafon Pembiayaan yang diberikan
dengan plafon Pembiayaan yang seharusnya.
(3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 25 ayat
(1) selain dikenai sanksi administratif berupa teguran
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
dikenai sanksi administratif berupa kewajiban
membayar sebesar 1% (satu persen) dari plafon KP
atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia
secara utuh atau dari plafon Kredit atau Pembiayaan
untuk Uang Muka.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2
Desember 2019.
- 28 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2019
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2019
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 227
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/13/PBI/2019
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/8/PBI/2018
TENTANG RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO
FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN
UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
I. UMUM
Untuk mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan yang
seimbang dan berkualitas dalam mendukung pertumbuhan ekonomi
nasional, Bank Indonesia melakukan pelonggaran kebijakan
makroprudensial melalui penyempurnaan pengaturan mengenai Rasio LTV
untuk KP, Rasio FTV untuk PP, dan Uang Muka untuk KKB atau PKB.
Pelonggaran kebijakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan
kondisi perekonomian nasional yang tercermin dari siklus keuangan serta
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian termasuk dampak
perilaku prosiklikalitas.
Selain itu, seiring dengan upaya perwujudan pembangunan
berkelanjutan melalui ekonomi berwawasan lingkungan (green economy),
Bank Indonesia juga berkomitmen untuk mendukung penerapan ekonomi
berwawasan lingkungan (green economy) yang merupakan konsep yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa
mengabaikan risiko lingkungan. Untuk mendukung ekonomi berwawasan
lingkungan (green economy) tersebut maka salah satu upaya yang
dilakukan Bank Indonesia yaitu dengan berperan serta dalam mendorong
terciptanya pembiayaan berwawasan lingkungan (green financing). Untuk
- 2 -
itu, sejalan dengan kebijakan makroprudensial yang masih bersifat
akomodatif, Bank Indonesia menetapkan kebijakan pemberian insentif
berupa rasio yang lebih longgar terhadap Rasio LTV untuk KP dan Rasio
FTV untuk PP khusus untuk Properti Berwawasan Lingkungan, serta Uang
Muka yang lebih ringan untuk KKB atau PKB khusus untuk Kendaraan
Bermotor Berwawasan Lingkungan.
Sehubungan dengan kebijakan tersebut di atas, Bank Indonesia perlu
menyesuaikan pengaturan mengenai Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk
PP, dan Uang Muka untuk KKB atau PKB. Oleh karena itu, perlu dilakukan
perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang
Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk
Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan
Kendaraan Bermotor.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 4
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
KP atau PP untuk fasilitas pertama diberikan bagi
Rumah Tapak, Rumah Susun, dan Rumah Toko
atau Rumah Kantor dengan luas bangunan:
1. di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
2. lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh
meter persegi); dan
- 3 -
3. sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter
persegi).
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah
prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai permodalan bank, kualitas aset,
dan kebijakan perkreditan atau pembiayaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 7
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Rasio Kredit bermasalah secara bruto diperoleh
dari jumlah Kredit bermasalah dibandingkan
dengan total Kredit kepada pihak ketiga bukan
bank.
Yang dimaksud dengan “jumlah Kredit
bermasalah” adalah jumlah dari Kredit dengan
kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet
kepada pihak ketiga bukan bank.
Rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto
diperoleh dari jumlah Pembiayaan bermasalah
dibandingkan dengan total Pembiayaan kepada
pihak ketiga bukan bank.
Yang dimaksud dengan “jumlah Pembiayaan
bermasalah” adalah jumlah dari Pembiayaan
- 4 -
dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan
macet kepada pihak ketiga bukan bank.
Huruf b
Rasio KP bermasalah secara bruto diperoleh dari
jumlah KP bermasalah dibandingkan dengan total
KP.
Yang dimaksud dengan “jumlah KP bermasalah”
adalah jumlah dari KP dengan kualitas kurang
lancar, diragukan, dan macet.
Rasio PP bermasalah secara bruto diperoleh dari
jumlah PP bermasalah dibandingkan dengan total
PP.
Jumlah PP bermasalah merupakan jumlah dari PP
dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan
macet.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “laporan bulanan bank umum”
adalah laporan bulanan bank umum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai laporan bulanan bank umum.
Yang dimaksud dengan “laporan stabilitas moneter dan
sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit
usaha syariah” adalah laporan stabilitas moneter dan
sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit
usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan
stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank
umum syariah dan unit usaha syariah.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “laporan lain” antara lain
berupa laporan PP untuk BUS dan UUS.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 5 -
Angka 6
Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah
prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai permodalan bank, kualitas aset,
dan kebijakan perkreditan atau pembiayaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 11A
Cukup jelas.
Pasal 11B
Cukup jelas.
Pasal 11C
Cukup jelas.
Pasal 11D
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “lembaga penyelenggara
sertifikasi kawasan hijau yang diakui” adalah
lembaga yang mendapat lisensi untuk melakukan
- 6 -
sertifikasi sesuai dengan standar kawasan hijau
atau bangunan hijau yang diakui.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan
“lembaga
penyelenggara sertifikasi bangunan hijau yang
diakui” adalah lembaga yang mendapat lisensi
untuk melakukan sertifikasi sesuai standar
kawasan hijau atau bangunan hijau yang
diakui.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hasil penilaian atau sertifikasi antara lain dapat berupa
sertifikat, surat keterangan, dan/atau dokumen terkait
lainnya.
Angka 9
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “belum tersedia secara utuh”
adalah belum siap diserahterimakan.
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Jaminan yang diberikan oleh
pengembang kepada Bank meliputi aset
tetap, aset bergerak, bank guarantee,
standby letter of credit, dan/atau dana
yang dititipkan dan/atau disimpan dalam
escrow account di Bank pemberi Kredit
atau Pembiayaan.
- 7 -
Jaminan yang diberikan oleh pihak lain
meliputi corporate guarantee, stand by
letter of credit, bank guarantee, dan/atau
dana yang dititipkan dan/atau disimpan
dalam escrow account di Bank pemberi
Kredit atau Pembiayaan.
Yang dimaksud dengan “dana yang
dititipkan dan/atau yang disimpan dalam
escrow account di Bank pemberi Kredit
atau Pembiayaan” adalah dana yang
ditahan atas nama pengembang yang
digunakan untuk menyelesaikan
pembangunan Properti.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam menghitung jumlah fasilitas KP atau PP yang
diberikan untuk pemilikan Properti yang belum tersedia
secara utuh, Bank memperhitungkan fasilitas KP atau
PP yang diberikan untuk pemilikan Properti yang belum
tersedia secara utuh yang telah diberikan oleh Bank
yang sama maupun Bank lainnya.
Dalam hal debitur atau nasabah telah memperoleh
fasilitas KP atau PP yang diberikan untuk pemilikan
Properti yang belum tersedia secara utuh sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Bank
memperhitungkan fasilitas tersebut sebagai fasilitas KP
atau PP yang diberikan untuk pemilikan Properti yang
belum tersedia secara utuh.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 20
Cukup jelas.
- 8 -
Angka 11
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Rasio Kredit bermasalah secara bruto diperoleh
dari jumlah Kredit bermasalah dibandingkan
dengan total Kredit kepada pihak ketiga bukan
bank.
Yang dimaksud dengan “jumlah Kredit
bermasalah” adalah jumlah dari Kredit dengan
kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet
kepada pihak ketiga bukan bank.
Rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto
diperoleh dari jumlah Pembiayaan bermasalah
dibandingkan dengan total Pembiayaan kepada
pihak ketiga bukan bank.
Yang dimaksud dengan “jumlah Pembiayaan
bermasalah” adalah jumlah dari Pembiayaan
dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan
macet kepada pihak ketiga bukan bank.
Huruf b
Rasio KKB bermasalah secara neto diperoleh dari
jumlah KKB bermasalah setelah dikurangi
cadangan kerugian penurunan nilai KKB
bermasalah dibandingkan dengan total KKB
setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan
nilai KKB bermasalah.
Yang dimaksud dengan “jumlah KKB bermasalah”
adalah jumlah dari KKB dengan kualitas kurang
lancar, diragukan, dan macet.
Rasio PKB bermasalah secara neto diperoleh dari
jumlah PKB bermasalah setelah dikurangi
cadangan kerugian penurunan nilai PKB
bermasalah dibandingkan dengan total PKB
setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan
nilai PKB bermasalah.
- 9 -
Yang dimaksud dengan “jumlah PKB bermasalah”
adalah jumlah dari PKB dengan kualitas kurang
lancar, diragukan, dan macet.
Yang dimaksud dengan “cadangan kerugian
penurunan nilai” adalah cadangan kerugian
penurunan nilai sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perudang-undangan yang
mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “laporan bulanan bank umum”
adalah laporan bulanan bank umum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai laporan bulanan bank umum.
Yang dimaksud dengan “laporan stabilitas moneter dan
sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit
usaha syariah” adalah laporan stabilitas moneter dan
sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit
usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan
stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank
umum syariah dan unit usaha syariah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 23
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 23A
Cukup jelas.
- 10 -
Angka 15
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengenaan sanksi dihitung sebesar 1% (satu persen)
dari plafon Kredit atau Pembiayaan untuk Uang Muka
atau plafon untuk KP atau PP dari setiap debitur atau
nasabah.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6423
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 21/13/PBI/2019 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/8/PBI/2018 TENTANG RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR </reg_title>
<set_date> 25 November 2019 </set_date>
<effective_date> 2 Desember 2019 </effective_date>
<issued_date> 26 November 2019 </issued_date>
<changed_reg> '20/8/PBI/2018' </changed_reg>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '23/UU/1999', '16/11/PBI/2014', '6/UU/2009', '20/8/PBI/2018' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 15 Pasal 28' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/6/PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING
TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa kondisi ekonomi dan keuangan global yang
semakin terintegrasi membutuhkan upaya untuk
peningkatan ketahanan perekonomian dan
keuangan domestik antara lain melalui terciptanya
pasar valuta asing yang efisien dan berdaya tahan
tinggi terhadap gejolak;
b. bahwa dalam rangka terciptanya pasar valuta asing
yang efisien dan berdaya tahan tinggi terhadap
gejolak, perlu dilakukan percepatan pendalaman
pasar valuta asing domestik;
c. bahwa percepatan pendalaman pasar valuta asing
dilakukan melalui upaya peningkatan likuiditas dan
variasi instrumen derivatif valuta asing terhadap
Rupiah dengan tetap memperhatikan dampaknya
terhadap stabilitas nilai tukar dan sistem keuangan
sehingga menciptakan kondisi pasar yang kondusif
bagi pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi
lindung nilai;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014
tentang
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara
Bank Dengan Pihak Domestik;
Mengingat…
- 2 -
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3844).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA
ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN
PIHAK DOMESTIK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara
Bank Dengan Pihak Domestik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5581) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan…
- 3 -
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan Bank
Umum Syariah serta Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan
di luar negeri namun tidak termasuk kantor Bank Umum dan
Bank Umum Syariah berbadan hukum Indonesia yang
beroperasi di luar negeri.
2. Nasabah adalah:
a. perorangan yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; atau
b. badan usaha selain Bank yang berbadan hukum Indonesia,
berdomisili di Indonesia, dan memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP).
3. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi jual
beli valuta asing terhadap Rupiah dalam bentuk:
a. Transaksi Spot, termasuk transaksi yang dilakukan dengan
valuta today dan/atau valuta tomorrow;
b. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang
standar (plain vanilla), dalam bentuk forward, swap, option,
dan cross currency swap (CCS).
4. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari pembelian
atau penjualan valuta asing terhadap Rupiah.
5. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli antara valuta
asing terhadap Rupiah dengan penyerahan dananya dilakukan 2
(dua) hari kerja setelah tanggal transaksi, termasuk transaksi
dengan penyerahan valuta pada hari yang sama (today) atau
dengan penyerahan 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi
(tomorrow).
6. Transaksi…
- 4 -
6. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah
transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian
pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai tukar
valuta asing dan Rupiah, atau gabungan turunan dari nilai tukar
valuta asing dan Rupiah dan suku bunga (valuta asing dan
Rupiah), sepanjang bukan merupakan structured product valuta
asing terhadap Rupiah.
2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan pihak
domestik atas dasar suatu kontrak.
(2) Dalam melakukan kegiatan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah, Bank wajib:
a. memiliki pedoman internal tertulis sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur tentang
transaksi derivatif dan penerapan manajemen risiko Bank;
b. memenuhi ketentuan otoritas perbankan yang mengatur
mengenai kategori Bank yang dapat melakukan kegiatan
transaksi valuta asing;
c. menerapkan manajemen risiko secara efektif sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang
mengatur mengenai penerapan manajemen risiko Bank;
d. melakukan self assessment mengenai kesiapan manajemen
risiko Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
otoritas perbankan yang mengatur mengenai transaksi
derivatif dan tingkat kesehatan Bank Umum;
e. melakukan mark-to-market untuk Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai
transaksi derivatif dan penerapan manajemen risiko Bank;
dan
f. memberikan…
- 5 -
f. memberikan edukasi tentang Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah kepada Nasabah untuk pelaksanaan
kegiatan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah.
(3) Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
dengan Nasabah, Bank wajib menggunakan kuotasi harga (kurs)
valuta asing terhadap Rupiah yang ditetapkan oleh Bank.
3. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 3
(1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank
dengan Nasabah di atas jumlah tertentu (threshold) wajib
memiliki Underlying Transaksi.
(2) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi seluruh kegiatan:
a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri;
dan/atau
b.
investasi berupa direct investment, portfolio investment,
pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar
negeri.
(3) Underlying Transaksi perdagangan barang dan jasa dan/atau
investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi juga
perkiraan pendapatan dan biaya (income and expense estimation).
(4) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
termasuk:
a. penempatan dana pada Bank antara lain berupa tabungan,
giro, deposito, dan Negotiable Certificate of Deposit (NCD);
dan
b. kegiatan pengiriman uang oleh perusahaan transfer dana.
4. Ketentuan…
- 6 -
4. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan dalam valuta
asing dan/atau dalam Rupiah kepada Nasabah untuk
kepentingan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah.
(2) Pemberian kredit atau pembiayaan Bank dalam valuta asing
dan/atau dalam Rupiah untuk kegiatan perdagangan dan
investasi, dapat menjadi Underlying Transaksi dari Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam rangka lindung
nilai.
5. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (5),
Pasal 8 ayat (1), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1), Pasal 12 ayat (2),
Pasal 12 ayat (5), Pasal 12 ayat (6), Pasal 13 ayat (4), Pasal 13
ayat (5), Pasal 13 ayat (6), Pasal 13 ayat (7), Pasal 16, Pasal 17
ayat (1), dan Pasal 18 dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar 1%
(satu persen) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk
setiap pelanggaran, dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah) dan paling banyak
sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah).
(2) Perhitungan nilai nominal transaksi yang dilanggar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. selisih antara total nilai nominal Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah dengan threshold kewajiban pemenuhan
Underlying Transaksi; atau
b.
total nilai nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
yang tidak didukung dengan Underlying Transaksi dalam hal
nilai…
- 7 -
nilai nominal transaksi di bawah threshold tetapi dilakukan
penyelesaian transaksi secara netting.
(3) Perhitungan nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk Pasal
17 ayat (1) dan Pasal 18 diatur sebagai berikut:
a. pelanggaran terhadap larangan pemberian kredit atau
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1),
dihitung dari nilai persetujuan kredit atau pembiayaan yang
digunakan untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah; dan
b. pelanggaran terhadap larangan pemberian cerukan
dan/atau fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan
cerukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, dihitung
dari nilai cerukan dan/atau fasilitas lain yang dapat
dipersamakan dengan cerukan yang diberikan Bank kepada
Nasabah.
(4) Penghitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menggunakan kurs Jakarta Interbank
Spot Dollar Rate (JISDOR) pada tanggal terjadinya pelanggaran.
6. Diantara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 1 (satu) Pasal, yaitu Pasal
22A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22A
Semua istilah Transaksi Derivatif yang tercantum dalam Peraturan
Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Domestik dan
peraturan pelaksanaannya harus dibaca sebagai Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar…
- 8 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Mei 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Juni 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 116
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/6/PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING
TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK
I. UMUM
Sebagai bank sentral yang diamanatkan undang-undang untuk
mengemban tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah,
Bank Indonesia merumuskan berbagai kebijakan yang ditujukan bagi
pencapaian tujuan tersebut termasuk upaya untuk mempercepat
pendalaman pasar valuta asing domestik. Pendalaman pasar valuta
asing domestik merupakan suatu langkah yang perlu dilakukan
melalui peningkatan fleksibilitas bagi pelaku ekonomi dalam
melakukan transaksi valuta asing untuk mendukung kegiatan
ekonomi dan keuangan nasional dengan tetap memperhatikan
dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan. Sehubungan dengan
itu, Bank Indonesia perlu melakukan penyempurnaan terhadap
ketentuan terkait dengan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
Antara Bank dengan Pihak Domestik, melalui pengaturan yang
komprehensif untuk mendorong terciptanya pasar valuta asing yang
efisien dan berdaya tahan tinggi terhadap gejolak.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Ayat…
- 2 -
Pihak Domestik meliputi Nasabah dan Bank.
Yang dimaksud dengan “kontrak” adalah
konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya
transaksi yang antara lain berupa dealing
conversation, SWIFT, atau konfirmasi tertulis
lainnya.
Ayat (2)
Huruf a
Pedoman internal tertulis berisi antara lain
pencatatan akuntansi, sumber daya manusia,
sistem, dan penerapan manajemen risiko yang
disetujui oleh manajemen Bank sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan otoritas
perbankan.
Huruf b
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini
diterbitkan, terdapat pengaturan otoritas
perbankan bahwa Bank yang dapat
melakukan transaksi valuta asing, baik
Transaksi Spot maupun transaksi derivatif
plain vanilla (forward, swap, option, dan CCS)
paling kurang adalah Bank BUKU 2.
Huruf c
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini
diterbitkan, terdapat pengaturan otoritas
perbankan bahwa Bank wajib menerapkan
manajemen risiko secara efektif yang paling
kurang mencakup:
(a) pengawasan aktif dewan komisaris dan
direksi;
(b) kecukupan kebijakan, prosedur, dan
penetapan limit;
(c) kecukupan…
- 3 -
(c) kecukupan
pengukuran,
proses
pemantauan
identifikasi,
dan
pengendalian risiko serta sistem informasi
manajemen risiko; dan
(d) sistem pengendalian intern yang
menyeluruh.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Edukasi dilakukan dalam rangka memberikan
pemahaman kepada Nasabah mengenai
manfaat dan risiko Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Perdagangan barang dan jasa di dalam dan di
luar negeri antara lain berupa kegiatan usaha
pedagang valuta asing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “direct investment”
adalah investasi langsung Nasabah ke luar
negeri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf…
- 4 -
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal perusahaan transfer dana
menerima perintah nasabahnya untuk
melakukan pembelian valuta asing untuk
memenuhi kebutuhan transfer nasabahnya,
perintah nasabah dimaksud tidak dapat
menjadi Underlying Transaksi.
Angka 4
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kredit atau pembiayaan”
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga atau imbalan, termasuk pengambilalihan
tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang dan
pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak
lain
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 20
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 22A
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5701
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/6/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK </reg_title>
<set_date> 29 Mei 2015 </set_date>
<effective_date> 1 Juni 2015 </effective_date>
<issued_date> 1 Juni 2015 </issued_date>
<changed_reg> '16/16/PBI/2014' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 5 Pasal 20' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 9/16/PBI/2007
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/15/PBI/2005 TENTANG
JUMLAH MODAL INTI MINIMUM BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa kegiatan usaha (operasional) bank harus diimbangi
atau disesuaikan dengan kemampuan permodalan yang
dimiliki sehingga operasional bank dapat berjalan sesuai
dengan besar modal dan karakteristiknya;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, dipandang perlu adanya kebijakan bagi bank
yang tidak mampu memenuhi ketentuan modal inti
minimum yang ditetapkan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b dipandang perlu untuk
menyempurnakan ketentuan mengenai jumlah modal inti
minimum Bank Umum dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia No. 7/15/PBI/2005 tanggal 1 Juli
2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4507);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
7/15/PBI/2005 TENTANG JUMLAH MODAL INTI MINIMUM
BANK UMUM.
Pasal I …
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/15/PBI/2005
tanggal 1 Juli 2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4507) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah dan ditambahkan 4 angka yakni angka 3, angka
4, angka 5 dan angka 6 sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan
prinsip syariah, tidak termasuk kantor cabang bank asing.
2. Modal Inti adalah modal disetor dan cadangan tambahan modal
(disclosed reserves) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
Umum.
3. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disingkat BPR adalah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah.
4. Merger …
- 4 -
4. Merger adalah penggabungan dari 2 (dua) bank atau lebih, dengan cara
tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan
bank-bank lainnya tanpa melikuidasi lebih dahulu.
5. Konsolidasi adalah penggabungan dari 2 (dua) bank atau lebih, dengan
cara mendirikan bank baru dan membubarkan bank-bank tersebut tanpa
melikuidasi lebih dahulu.
6. Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu bank yang
mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap bank.
2. Diantara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2A
Pemenuhan kewajiban Modal Inti minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dapat dilakukan melalui penambahan modal disetor, pertumbuhan
laba, Merger, Konsolidasi atau Akuisisi.
3. Diantara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 3 disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (2a)
dan ayat (2b), dan ketentuan pada ayat (3) serta ayat (4) diubah, sehingga
Pasal 3 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 3
(1) Bagi Bank yang pada saat mulai berlakunya ketentuan ini belum
memenuhi jumlah Modal Inti minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Direksi Bank wajib menyusun rencana pemenuhan Modal Inti
minimum dengan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham.
(2). Rencana …
- 5 -
(2) Rencana pemenuhan jumlah Modal Inti minimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam bentuk action plans
pemenuhan Modal Inti minimum dan disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lambat:
a. 6 (enam) bulan untuk Bank yang belum go public; dan
b. 8 (delapan) bulan untuk Bank yang go public
setelah berlakunya ketentuan ini.
(2a) Bagi Bank yang memiliki Modal Inti minimum Rp80.000.000.000,00
(delapan puluh miliar rupiah) namun belum mencapai
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) pada tanggal 31
Desember 2007, Direksi Bank wajib menyusun rencana pemenuhan
Modal Inti minimum dengan persetujuan Rapat Umum Pemegang
Saham.
(2b) Rencana pemenuhan jumlah Modal Inti minimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (2a) wajib dituangkan dalam bentuk action plans
pemenuhan Modal Inti minimum dan disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lambat tanggal 1 Juli 2008.
(3) Rencana pemenuhan jumlah Modal Inti minimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2a) wajib dicantumkan dalam
rencana bisnis Bank.
(4) Action plans sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2b)
disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta
10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor
pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
4. Ketentuan …
- 6 -
4. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
Bank yang tidak memenuhi jumlah Modal Inti minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), wajib membatasi kegiatan usahanya
sebagai berikut:
a. tidak melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum devisa;
b. membatasi penyediaan dana per debitur dan atau per kelompok
peminjam dengan plafon atau baki debet paling tinggi Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah), tidak termasuk Sertifikat Bank Indonesia,
penyediaan dana kepada Pemerintah dan Bank;
c. membatasi jumlah maksimum dana pihak ketiga yang dapat dihimpun
Bank sebesar 10 (sepuluh) kali Modal Inti; dan
d. menutup seluruh jaringan kantor Bank yang berada di luar wilayah
provinsi kantor pusat Bank.
5. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 5
Pemenuhan kewajiban melakukan pembatasan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 wajib dilakukan paling lambat tanggal 31
Desember 2008.
6. Diantara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 5A dan
Pasal 5B sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 5A …
- 7 -
Pasal 5A
(1) Bank Indonesia akan mengubah izin usaha Bank Umum menjadi izin
usaha BPR bagi :
a. Bank yang tidak dapat memenuhi jumlah Modal Inti minimum
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) pada tanggal 31
Desember 2010;
b. Bank yang melakukan kewajiban pembatasan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Bank tersebut sampai
dengan tanggal 31 Desember 2010 tidak melakukan :
1) pemenuhan modal disetor paling kurang sebesar
Rp.3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah), bagi Bank yang
melakukan kegiatan usaha secara konvensional;
2) pemenuhan modal disetor paling kurang sebesar
Rp.1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah), bagi Bank yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; atau
3) Merger atau Konsolidasi dengan Bank yang telah memenuhi
ketentuan Modal Inti minimum dan Bank hasil Merger atau
Konsolidasi dimaksud memenuhi ketentuan Modal Inti
minimum Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Tata cara perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Bank
Indonesia mengenai perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin
usaha BPR.
Pasal 5B…
- 8 -
Pasal 5B
Bank yang telah memenuhi jumlah Modal Inti minimum sebesar
Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dapat melakukan Merger atau Konsolidasi dengan
Bank lain atau diakuisisi oleh pihak lain paling lambat pada tanggal 31
Desember 2010 dalam rangka memenuhi jumlah Modal Inti minimum
sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
7. Ketentuan Pasal 6 ditambah 1 (satu) ayat baru, yakni ayat (3) sehingga
berbunyi sebagai berikut :
Pasal 6
(1) Bank yang tidak menyampaikan action plans sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari sampai dengan Bank
memenuhi ketentuan ini, dengan maksimum Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
(2) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 antara lain berupa:
a. kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)
per hari sampai dengan Bank memenuhi ketentuan ini;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan atau
c. larangan turut serta dalam kegiatan kliring.
(3). Pemegang…
- 9 -
(3) Pemegang saham pengendali, Komisaris, dan Direksi Bank yang tidak
kooperatif dalam upaya-upaya pemenuhan Modal Inti minimum dapat
dikenakan sanksi berupa teguran tertulis serta mempengaruhi penilaian
integritas dalam penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper
test).
8. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 7
Bank yang dikenakan kewajiban pembatasan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, dapat melakukan kegiatan usaha tanpa pembatasan
dalam hal:
a. memenuhi modal disetor paling kurang sebesar Rp3.000.000.000.000,00
(tiga triliun rupiah) bagi Bank yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional;
b. memenuhi modal disetor paling kurang sebesar Rp.
1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) bagi Bank yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; atau
c. melakukan Merger atau Konsolidasi dengan Bank Umum yang telah
memenuhi ketentuan Modal Inti minimum.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan…
- 10 -
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Desember 2007
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA,
MIRANDA S. GOELTOM
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 145
DPNP/DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 9/16/PBI/2007
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/15/PBI/2005 TENTANG
JUMLAH MODAL INTI MINIMUM BANK UMUM
UMUM
Dalam rangka penguatan struktur perbankan Indonesia melalui upaya
penguatan permodalan bank, Bank Indonesia telah menetapkan persyaratan
jumlah modal inti minimum bagi Bank Umum. Kebijakan Bank Indonesia
menetapkan bahwa Bank Umum yang tidak dapat memenuhi modal inti
minimum yang dipersyaratkan wajib untuk melakukan pembatasan kegiatan
usaha.
Sementara itu, di waktu yang akan datang Bank Umum akan dihadapkan
pada berbagai tantangan antara lain penerapan Good Corporate Governance dan
Basel Accord II yang memerlukan adanya dukungan modal yang cukup. Untuk
itu, bagi Bank Umum yang tidak dapat memenuhi modal inti minimum yang
dipersyaratkan seyogyanya dapat menyesuaikan kegiatan usahanya sesuai dengan
kemampuan permodalan dan karakteristik usahanya.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Bank Indonesia menganggap
perlu untuk menyempurnakan kebijakan bagi Bank yang tidak mampu memenuhi
persyaratan modal inti minimum.
PASAL …
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2A
Pertumbuhan laba yang dimasukkan dalam komponen modal inti
adalah:
a. Laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak; dan
b. Laba tahun berjalan setelah diperhitungkan taksiran pajak
sebesar 50% (lima puluh perseratus).
Bank dikatakan telah melakukan Merger atau Konsolidasi apabila
izin Merger atau Konsolidasi telah berlaku, yaitu sejak:
a. Tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar atau Akta
pendirian termasuk Anggaran Dasar oleh instansi yang
berwenang; atau
b. Tanggal pendaftaran Akta Merger dan perubahan Anggaran
Dasar dalam Daftar Perusahaan apabila perubahan Anggaran
Dasar tidak memerlukan persetujuan instansi berwenang.
Akuisisi Bank mulai berlaku sejak tanggal penandatanganan Akta
Akuisisi.
Angka 3 …
- 3 -
Angka 3
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2a)
Kewajiban penyusunan rencana pemenuhan Modal Inti
minimum dan penyampaiannya dalam bentuk action plans
kepada Bank Indonesia, dilakukan oleh seluruh Bank yang
pada tanggal 31 Desember 2007 telah memenuhi modal inti
minimum Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar
rupiah) namun belum mencapai Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah), termasuk oleh bank yang pada saat
berlakunya PBI Nomor 7/15/PBI/2005 telah menyampaikan
rencana pemenuhan Modal
Inti minimum
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Rencana bisnis adalah rencana bisnis sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur tentang
Rencana Bisnis Bank Umum.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 4 …
- 4 -
Angka 4
Pasal 4
Huruf a
Bank Indonesia akan mencabut izin sebagai Bank Umum
devisa bagi bank yang telah memperoleh izin sebagai Bank
Umum devisa tetapi tidak memenuhi persyaratan jumlah
Modal Inti Minimum sesuai dengan Peraturan Bank
Indonesia ini.
Bank tersebut di atas tidak dapat mengajukan permohonan
izin menjadi Bank Umum devisa walaupun jumlah
modalnya telah memenuhi persyaratan untuk menjadi Bank
Umum devisa.
Huruf b
Ketentuan dalam huruf ini tidak mengurangi kewajiban
Bank untuk memenuhi ketentuan kehati-hatian dalam
penyediaan dana seperti ketentuan mengenai Batas
Maksimum Pemberian Kredit.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “dana pihak ketiga” adalah dana
pihak ketiga sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “jaringan kantor” adalah Kantor
Cabang, Kantor Cabang Pembantu, Kantor Kas dan
Kegiatan Kas di luar kantor Bank.
Angka 5 …
- 5 -
Angka 5
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 5A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5B
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pemegang saham pengendali,
Komisaris, dan Direksi Bank pada ayat (3) adalah pemegang
saham pengendali, Komisaris, dan Direksi Bank yang
memiliki modal inti di bawah Rp80.000.000.000,00
(delapan puluh miliar rupiah) sampai dengan tanggal 31
Desember 2007 atau di bawah Rp100.000.000.000,00
(seratus …
- 6 -
(seratus miliar rupiah) sampai dengan tanggal 31 Desember
2010 .
Dapat dikatakan tidak kooperatif dalam upaya-upaya
pemenuhan Modal Inti minimum apabila antara lain :
a. Tidak sungguh-sungguh mengupayakan pelaksanaan
setoran modal, Merger, Konsolidasi atau Akuisisi dalam
upaya pemenuhan jumlah Modal Inti minimum
sebagaimana dipersyaratkan; atau
b. Tidak melakukan upaya pembatasan kegiatan usaha
sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini; atau
c. Tidak menindaklanjuti perintah Bank Indonesia yang
harus dilakukan dalam rangka perubahan izin dan
kegiatan usaha dari Bank Umum menjadi BPR.
Angka 8
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4786
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 9/16/PBI/2007 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/15/PBI/2005 TENTANG JUMLAH MODAL INTI MINIMUM BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 3 Desember 2007 </set_date>
<effective_date> 3 Desember 2007 </effective_date>
<changed_reg> '7/15/PBI/2005' </changed_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/15/PBI/2005' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 7 Pasal 6 Ayat 2', 'Pasal I Angka 7 Pasal 6 Ayat 3', 'Pasal I Angka 7 Pasal 6 Ayat 1' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/24/PBI/2015
TENTANG
REKENING GIRO DI BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas
Bank Indonesia di bidang moneter, sistem pembayaran,
makroprudensial, dan pelaksanaan fungsi sebagai
pemegang kas Pemerintah, serta pelaksanaan tugas dan
fungsi Bank Indonesia lainnya, Bank Indonesia
melakukan penatausahaan rekening giro di Bank
Indonesia;
b. bahwa untuk efektifitas pelaksanaan tugas Bank
Indonesia dan guna mendukung kerjasama antara
kelembagaan, serta memperjelas hubungan hukum
antara Bank Indonesia dengan pemilik rekening giro di
Bank Indonesia, ketentuan penatausahaan rekening giro
di Bank Indonesia perlu disesuaikan dengan perubahan
tugas dan fungsi Bank Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu mengatur
kembali Peraturan Bank Indonesia mengenai rekening
giro di Bank Indonesia;
- 2 -
Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Bank
Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG REKENING GIRO
DI BANK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
termasuk kantor cabang dari bank di luar negeri dan
bank umum syariah termasuk unit usaha syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah.
2. Rekening Giro adalah rekening pihak ekstern di Bank
Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan
transaksi dari simpanan yang penyetoran dan
penarikannya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan
dan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut
Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Giro dalam mata
uang Rupiah.
- 3 -
4. Rekening Giro dalam Valuta Asing yang selanjutnya
disebut Rekening Giro Valas adalah Rekening Giro dalam
valuta asing.
5. Rekening Giro Khusus adalah Rekening Giro yang
persyaratan dan tata cara pembukaan, penyetoran,
penarikan, penutupan dan/atau peruntukannya
ditetapkan secara khusus oleh Bank Indonesia.
6. Rekening Koran adalah laporan yang memuat posisi dan
mutasi atas transaksi yang terjadi pada Rekening Giro.
7. Pemilik Rekening Giro adalah pihak yang mempunyai
Rekening Giro.
8. Cek Bank Indonesia yang selanjutnya disebut Cek BI
adalah cek yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
9. Bilyet Giro Bank Indonesia yang selanjutnya disebut BG
BI adalah bilyet giro sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai bilyet giro.
10. Penyetoran ke Rekening Giro adalah kegiatan
penambahan dana atau pengkreditan pada Rekening
Giro.
11. Penarikan Rekening Giro adalah kegiatan pengurangan
dana atau pendebitan pada Rekening Giro.
12. Penatausahaan Rekening Giro adalah kegiatan yang
mencakup pencatatan kepemilikan, penyelesaian
transaksi melalui pendebitan dan pengkreditan, dan
pelaporan hasil penyelesaian transaksi Rekening Giro.
BAB II
KEPEMILIKAN REKENING GIRO
Pasal 2
(1) Pihak yang dapat memiliki Rekening Giro adalah sebagai
berikut:
a. Pihak yang menurut peraturan perundang-
undangan diwajibkan untuk memiliki rekening di
Bank Indonesia yaitu:
- 4 -
1. Bank;
2. Kementerian Keuangan; dan
3. Lembaga atau pihak lain.
b. Pihak yang menurut Bank Indonesia perlu memiliki
Rekening Giro yaitu:
1.
instansi Pemerintah di luar Kementerian
Keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf a
angka 2.;
2.
lembaga keuangan internasional;
3. bank sentral negara lain; dan
4. pihak lain.
(2) Penetapan pihak yang menurut Bank Indonesia perlu
memiliki Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b antara lain didasarkan pada
pertimbangan sebagai berikut:
a. memiliki keterkaitan dengan tugas Bank Indonesia
dalam bidang moneter, makroprudensial, dan sistem
pembayaran;
b. memiliki hubungan kerjasama internasional dengan
Bank Indonesia secara bilateral atau multilateral;
dan/atau
c. memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan tugas
dan fungsi Bank Indonesia.
(3) Pihak yang menurut Bank Indonesia perlu memiliki
Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dapat memiliki Rekening Giro setelah
memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
Pasal 3
(1) Bank wajib memiliki Rekening Giro Rupiah.
(2) Bank yang melakukan kegiatan dalam valuta asing
selain wajib memiliki Rekening Giro Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) juga wajib memiliki Rekening
Giro Valas.
(3) Selain memiliki Rekening Giro sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), Bank dapat memiliki
Rekening Giro dan/atau Rekening Giro Khusus
- 5 -
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau ketentuan Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Bank melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah maka Rekening Giro Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dipisahkan
dengan Rekening Giro Rupiah yang digunakan untuk
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah.
Pasal 4
Kementerian Keuangan dapat memiliki lebih dari 1 (satu)
Rekening Giro dan/atau Rekening Giro Khusus.
Pasal 5
(1) Pihak selain Bank dan Kementerian Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat
memiliki lebih dari 1 (satu) Rekening Giro dan/atau
Rekening Giro Khusus.
(2) Kepemilikan Rekening Giro dan/atau Rekening Giro
Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendapatkan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari
Bank Indonesia.
Pasal 6
Rekening Giro hanya dapat dimiliki oleh 1 (satu) pihak.
Pasal 7
Rekening Giro tidak dapat dijaminkan oleh Pemilik Rekening
Giro kepada pihak manapun.
- 6 -
BAB III
HUBUNGAN HUKUM
Pasal 8
(1) Hubungan hukum antara Bank Indonesia dengan pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 didasarkan pada
Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Dalam hal hubungan hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memerlukan tambahan persyaratan atau
ketentuan khusus maka tambahan persyaratan atau
ketentuan khusus dimaksud ditetapkan dalam surat
Bank Indonesia, kesepakatan bersama, dan/atau
perjanjian.
BAB IV
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMILIK
REKENING GIRO
Pasal 9
Pemilik Rekening Giro wajib:
a. menjaga kelancaran dan keamanan penggunaan sarana
elektronik yang disediakan oleh Bank Indonesia; dan
b. memberikan keterangan dan data kepada Bank
Indonesia apabila diperlukan.
Pasal 10
Pemilik Rekening Giro bertanggung jawab atas:
a. penatausahaan seluruh sarana penyetoran dan
penarikan yang diterima dari Bank Indonesia;
b. kerugian yang terjadi akibat penyalahgunaan sarana
penyetoran dan penarikan yang diterima dari Bank
Indonesia; dan
c. kebenaran setiap instruksi pendebitan rekening dan
seluruh informasi yang disampaikan kepada Bank
Indonesia.
- 7 -
BAB V
FASILITAS REKENING GIRO
Pasal 11
Dalam Penatausahaan Rekening Giro, Bank Indonesia
menyediakan fasilitas berupa:
a.
b.
c.
d.
layanan penyetoran, penarikan, dan administrasi terkait
dengan Penatausahaan Rekening Giro;
sarana warkat pembukuan untuk penyetoran dan
penarikan Rekening Giro;
sarana elektronik bagi Pemilik Rekening Giro tertentu;
dan
layanan data dan/atau informasi hasil penyelesaian
transaksi Rekening Giro.
Pasal 12
Bank Indonesia dapat memberikan jasa giro atas Rekening
Giro yang ditatausahakan di Bank Indonesia.
BAB VI
SARANA PENYETORAN DAN PENARIKAN
Pasal 13
(1) Penyetoran Rekening Giro dilakukan dengan
menggunakan:
a. warkat penyetoran tunai;
b. BG BI;
c. sarana penyetoran elektronik yang disediakan oleh
Bank Indonesia; dan
d. sarana penyetoran lain.
(2) Penarikan Rekening Giro dilakukan dengan
menggunakan:
a. Cek BI;
b. BG BI;
c. sarana penarikan elektronik yang disediakan oleh
Bank Indonesia; dan
d. sarana penarikan lain.
- 8 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana penyetoran dan
penarikan Rekening Giro diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 14
Cek BI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf
a hanya dapat digunakan untuk keperluan penarikan tunai
atas beban Rekening Giro Rupiah.
Pasal 15
BG BI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b
dan ayat (2) huruf b digunakan hanya untuk pemindahan
dana dalam Rupiah antar Rekening Giro dan dari Rekening
Giro ke rekening lain yang ditatausahakan di Bank Indonesia.
Pasal 16
Sarana penyetoran elektronik yang disediakan oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf c dan sarana penarikan elektronik yang disediakan oleh
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(2) huruf c digunakan untuk pemindahan dana antar
Rekening Giro atau dari Rekening Giro ke rekening lain yang
ditatausahakan di Bank Indonesia.
Pasal 17
(1) Sarana penyetoran lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf d adalah sarana yang digunakan
oleh Pemilik Rekening Giro di luar Cek BI, BG BI, dan
sarana penyetoran elektronik yang disediakan oleh Bank
Indonesia.
(2) Sarana penarikan lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) huruf d terdiri atas:
a. sarana penarikan yang distandarisasi dan
diterbitkan oleh Bank Indonesia; dan
b. sarana penarikan yang distandarisasi dan
diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro.
- 9 -
(3) Sarana penarikan lain sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf a dan b hanya dapat digunakan apabila
sarana penarikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c tidak dapat
digunakan untuk transaksi penarikan tertentu.
(4) Sarana penarikan lain sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf b harus memenuhi persyaratan dan
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
BAB VII
PEMBUKAAN REKENING GIRO
Pasal 18
Pihak yang dapat membuka Rekening Giro adalah pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 19
(1) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
mengajukan permohonan pembukaan Rekening Giro
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. mengajukan permohonan tertulis; dan
b. memenuhi persyaratan administrasi.
(2) Bank Indonesia dapat menyetujui atau menolak
permohonan pembukaan Rekening Giro.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara pembukaan Rekening Giro diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
BAB VIII
PENYETORAN KE REKENING GIRO
Pasal 20
Penyetoran ke Rekening Giro dapat dilakukan oleh:
a. Pemilik Rekening Giro yang bersangkutan;
b. Pemilik Rekening Giro lain; atau
c. bukan Pemilik Rekening Giro.
- 10 -
Pasal 21
(1) Penyetoran ke Rekening Giro sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 dilakukan dengan cara tunai atau
nontunai.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran ke
Rekening Giro diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
BAB IX
PENARIKAN REKENING GIRO
Pasal 22
(1) Penarikan Rekening Giro dapat dilakukan oleh:
a. Pemilik Rekening Giro atau pihak yang diberi kuasa
oleh Pemilik Rekening Giro; atau
b. Bank Indonesia.
(2) Pemberian kuasa dari Pemilik Rekening Giro
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat
dilakukan dengan pemberian kuasa khusus tanpa hak
substitusi atau dengan pemberian kuasa khusus dengan
1 (satu) kali hak substitusi.
(3) Penarikan Rekening Giro oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan
terbatas untuk:
a. pembebanan biaya atas layanan jasa yang
disediakan oleh Bank Indonesia;
b. pembebanan pengenaan sanksi kewajiban
membayar kepada Bank Indonesia atas pelanggaran
kepatuhan terhadap ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai moneter, sistem pembayaran,
dan stabilitas sistem keuangan atau
makroprudensial;
c. pelaksanaan setelmen dana atas transaksi
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai setelmen dana;
dan
- 11 -
d. pembebanan pengenaan sanksi kewajiban
membayar kepada:
1.
otoritas yang berwenang untuk mengatur,
mengawasi, dan mengenakan sanksi terhadap
perbankan yang melanggar ketentuan kehati-
hatian perbankan dan pelanggaran ketentuan
perbankan lainnya.; dan/atau
2.
lembaga lain yang memiliki keterkaitan
langsung dengan tugas Bank Indonesia.
Pasal 23
(1) Penarikan Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 dilakukan dengan cara tunai atau nontunai.
(2) Penarikan Rekening Giro dapat dilakukan dengan jumlah
paling banyak sebesar jumlah saldo efektif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan
Rekening Giro diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
BAB X
PERUBAHAN TERKAIT REKENING GIRO
Pasal 24
(1) Perubahan Rekening Giro hanya dapat dilakukan apabila
terdapat perubahan:
a. nomor rekening; atau
b. nama rekening.
(2) Perubahan nomor rekening sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a hanya dapat dilakukan oleh Bank
Indonesia.
(3) Perubahan nama rekening sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan oleh Pemilik
Rekening Giro dengan terlebih dahulu mengajukan
permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perubahan
Rekening Giro diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
- 12 -
Pasal 25
(1) Dalam hal terdapat perubahan data:
a. direksi, komisaris, dan pemegang saham;
b. pihak yang berwenang mewakili untuk dan atas
nama Pemilik Rekening Giro sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a; dan/atau
c. alamat pemilik rekening,
Pemilik Rekening Giro menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis kepada Bank Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perubahan
data diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XI
PEMBATASAN KEGIATAN TERKAIT REKENING GIRO
Pasal 26
(1) Bank Indonesia dapat melakukan pembatasan sebagian
atau seluruh kegiatan terkait Rekening Giro
berdasarkan pertimbangan antara lain:
a. Pemilik Rekening Giro tidak memenuhi ketentuan
yang ditetapkan Bank Indonesia; dan/atau
b. permintaan tertulis dan/atau keputusan dari
lembaga yang berwenang melakukan pengawasan
terhadap kegiatan usaha Pemilik Rekening Giro.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan sebagian
atau seluruh kegiatan Pemilik Rekening Giro diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XII
PENUTUPAN REKENING GIRO
Pasal 27
(1) Bank Indonesia dapat menutup Rekening Giro atas:
a. permohonan tertulis Pemilik Rekening Giro;
b. permintaan tertulis dan/atau keputusan dari
lembaga yang berwenang melakukan pengawasan
- 13 -
terhadap kegiatan usaha Pemilik Rekening Giro;
atau
c. pertimbangan Bank Indonesia.
(2) Penutupan Rekening Giro atas pertimbangan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dilakukan dengan alasan sebagai berikut :
a. apabila pada satu kantor Bank Indonesia Pemilik
Rekening Giro memiliki lebih dari 1 (satu) Rekening
Giro dan mutasi yang dilakukan dapat ditampung
pada salah satu rekening yang ada;
b. Rekening Giro tidak aktif selama 2 (dua) tahun;
dan/atau
c. Pemilik Rekening Giro dianggap tidak perlu lagi
memiliki Rekening Giro.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penutupan
Rekening Giro diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 28
(1) Dalam hal Rekening Giro tidak aktif selama 2 (dua) tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf b
maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. saldo Rekening Giro tetap merupakan hak pemilik
Rekening Giro sampai dengan batas waktu
daluwarsa sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan
b. Rekening Giro tidak aktif selama 2 (dua) tahun
mulai dikenakan biaya administrasi pada awal
tahun ketiga.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penatausahaan, pengenaan biaya administrasi, dan
penutupan Rekening Giro tidak aktif diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia
Pasal 29
Penutupan Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 dapat disetujui apabila Pemilik Rekening Giro telah
- 14 -
menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada Bank Indonesia
sebelum pelaksanaan penutupan Rekening Giro.
Pasal 30
Dalam hal Rekening Giro telah ditutup maka Cek BI dan/atau
BG BI yang masih beredar tidak dapat diperhitungkan lagi
atas beban Rekening Giro dimaksud.
BAB XIII
LAPORAN
Pasal 31
Bank Indonesia menyediakan Rekening Koran bagi Pemilik
Rekening Giro.
Pasal 32
(1) Pada setiap akhir tahun kalender, Bank Indonesia
menyampaikan Rekening Koran posisi akhir tahun
kepada Pemilik Rekening Giro.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, bentuk, dan tata
cara penyediaan Rekening Koran serta penyampaian
Rekening Koran akhir tahun diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 33
(1) Dalam hal terdapat perbedaan antara data pada
Rekening Koran dengan data pada Pemilik Rekening
Giro maka Pemilik Rekening Giro dapat melaporkan
perbedaan tersebut kepada Bank Indonesia paling lama
14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal Rekening Koran
tersebut.
(2) Dalam hal Pemilik Rekening Giro tidak melaporkan
perbedaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
maka data yang terdapat dalam Rekening Koran
dianggap sebagai data yang benar.
- 15 -
BAB XIV
BIAYA
Pasal 34
(1) Bank Indonesia menetapkan jenis dan besarnya biaya
yang dikenakan kepada Pemilik Rekening Giro dalam
Penatausahaan Rekening Giro.
(2) Bank Indonesia dapat mengecualikan pengenaan jenis
dan besarnya biaya sebagaimana dimaksud ayat (1)
untuk pihak tertentu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis biaya, besarnya
biaya, dan tata cara pembebanan biaya diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XV
KEADAAN TIDAK NORMAL DAN/ATAU KEADAAN
DARURAT
Pasal 35
(1) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal dalam
Penatausahaan Rekening Giro dan/atau keadaan
darurat di lokasi Bank Indonesia, Bank Indonesia
memberitahukan keadaan tersebut kepada Pemilik
Rekening Giro berikut langkah-langkah penanganan
untuk mengatasi keadaan tidak normal dan/atau
keadaan darurat.
(2) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal dan/atau
keadaan darurat di lokasi Pemilik Rekening Giro yang
mengakibatkan Pemilik Rekening Giro tidak dapat
melakukan penyetoran dan/atau penarikan Rekening
Giro, Pemilik Rekening Giro menyampaikan informasi
dan/atau meminta persetujuan untuk melakukan
langkah-langkah penyelesaian transaksi penyetoran
dan/atau penarikan kepada Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur penanganan
keadaan tidak normal dan keadaan darurat diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
- 16 -
BAB XVI
LAIN-LAIN
Pasal 36
(1) Rekening Giro tidak aktif yang telah ada dan masih
bersaldo pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia
ini tetap diperlakukan sebagai Rekening Giro tidak aktif
sampai dengan berakhirnya masa daluwarsa pengajuan
tuntutan hukum atas Rekening Giro tidak aktif yang
bersangkutan dan dikecualikan dari pengenaan biaya
administrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat
(1) huruf b.
(2) Dalam hal saldo Rekening Giro tidak aktif telah melewati
masa daluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
saldo Rekening Giro tidak aktif yang bersangkutan dapat
dimasukkan ke dalam rekening penerimaan Bank
Indonesia.
BAB XVII
SANKSI
Pasal 37
(1) Pemilik Rekening Giro yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a dapat
dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penarikan dana dengan menggunakan sarana elektronik.
(2) Pemilik Rekening Giro yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b dapat
dikenakan sanksi berupa:
a.
teguran tertulis;
b. kewajiban membayar; dan/atau
c. pembatasan sebagian atau seluruh kegiatan Pemilik
Rekening Giro.
(3) Ketentuan mengenai besarnya sanksi kewajiban
membayar dan pengenaan sanksi diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia.
- 17 -
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai hubungan rekening giro antara Bank
Indonesia dengan pihak ekstern dinyatakan masih tetap
berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 39
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000
tanggal 17 November 2000 tentang Hubungan Rekening
Giro antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern;
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/11/PBI/2001
tanggal 20 Juni 2001 tentang Perubahan atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000;
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/16/PBI/2004
tanggal 1 Juli 2004 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000
tentang Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia
Dengan Pihak Ekstern;
d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/48/PBI/2005
tanggal 16 November 2005 tentang Perubahan Ketiga
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000
tentang Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia
Dengan Pihak Ekstern;
e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/32/PBI/2009
tanggal 30 September 2009 tentang Perubahan Keempat
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000
tentang Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia
Dengan Pihak Ekstern; dan
f.
ketentuan terkait dengan rekening giro yang
bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
- 18 -
Pasal 40
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY EG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 416
ARA REPUBLIK INDO
- 19 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/24/PBI/2015
TENTANG
REKENING GIRO DI BANK INDONESIA
I. UMUM
Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur
mengenai kewenangan Bank Indonesia yang berlaku saat ini, Bank
Indonesia mempunyai tugas di bidang moneter, sistem pembayaran, dan
makroprudensial.
Dalam melaksanakan kewenangan di bidang moneter, Bank
diwajibkan memiliki Rekening Giro. Dalam pelaksanaan tugas di bidang
sistem pembayaran, penyelesaian akhir atau setelmen atas transaksi juga
dilakukan melalui Rekening Giro. Sedangkan di bidang makroprudensial
Bank Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan kepada Bank yang
pelaksanaannya wajib menggunakan atau melalui Rekening Giro yang
ditatausahakan di Bank Indonesia.
Dalam hubungan dengan Pemerintah, Bank Indonesia melaksanakan
fungsi sebagai pemegang kas Pemerintah. Dalam melaksanakan fungsi
sebagai pemegang kas Pemerintah, Bank Indonesia menatausahakan
Rekening Pemerintah.
Pengalihan kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan dari
Bank Indonesia kepada otoritas pengawas perbankan mempengaruhi
pengaturan Rekening Giro. Di samping itu, adanya berbagai kerjasama
antara Bank Indonesia dengan lembaga keuangan internasional atau bank
sentral negara lain juga mengakibatkan perlunya kebijakan penyesuaian
terhadap ketentuan yang mengatur mengenai rekening giro di Bank
Indonesia.
- 2 -
Dari segi sifatnya, pembukaan Rekening Giro dapat dibagi ke dalam 2
(dua) kelompok, yaitu pembukaan Rekening Giro yang bersifat wajib dan
yang bersifat sukarela sesuai kebutuhan. Pembukaan Rekening Giro
bersifat wajib apabila kewajiban pihak untuk membuka Rekening Giro
telah diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.
Pembukaan Rekening Giro bersifat sukarela sesuai kebutuhan yaitu
apabila peraturan perundang-undangan tidak mengatur kewajiban
tersebut secara khusus, namun Bank Indonesia dan pihak yang membuka
Rekening Giro memandang perlu dilakukan pembukaan Rekening Giro
oleh pihak tersebut di Bank Indonesia.
Beralihnya kewenangan mengatur dan mengawasi perbankan dari
Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan tidak berarti bahwa Bank
Indonesia tidak lagi mempunyai keterkaitan dalam menjalankan tugas
dan kewenangan. Antara bidang tugas Bank Indonesia sebagai otoritas
yang berwenang menangani tugas pengaturan dan pengawasan bidang
moneter, sistem pembayaran, dan makroprudensial dan bidang tugas
Otoritas Jasa Keuangan sebagai otoritas yang berwenang menangani
tugas pengaturan dan pengawasan mikroprudensial mempunyai
keterkaitan langsung. Keterkaitan langsung tersebut diakibatkan oleh
adanya kesamaan objek dan perangkat pengawasan, sebagaimana Bank
Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sama-sama memiliki kepentingan
agar Bank mematuhi ketentuan makroprudensial dan mikroprudensial.
Dalam hubungan tersebut di atas, pengenaan sanksi atas
pelanggaran prinsip kehati-hatian Bank yang merupakan lingkup dari
ketentuan mikroprudensial tetap menjadi perhatian Bank Indonesia.
Penerapan sanksi dimaksud tetap perlu menjadi perhatian Bank
Indonesia karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap pelaksanaan
tugas Bank Indonesia baik secara operasional maupun terkait tugas
pengawasan bidang makroprudensial.
Untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap ketentuan sanksi atas
pelanggaran prinsip kehati-hatian Bank yang merupakan lingkup dari
ketentuan mikroprudensial, termasuk keterlambatan pembayaran iuran
atau pungutan yang dikenakan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bank
Indonesia atas permintaan Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
pendebitan Rekening Giro Bank.
Sebagai otoritas yang diberikan kewenangan dalam bidang
pengaturan dan pengawasan di bidang moneter, sistem pembayaran,
- 3 -
makroprudensial, dan sebagai kasir Pemerintah yang menatausahakan
Rekening Giro Pemerintah, Bank Indonesia dapat meminta keterangan
dan data yang diperlukan kepada Pemilik Rekening Giro tanpa terkecuali.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, dipandang perlu
untuk mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tersebut dengan
menerbitkan Peraturan Bank Indonesia mengenai rekening giro di Bank
Indonesia yang baru.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Peraturan perundang-undangan meliputi Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Bank Indonesia.
Huruf b
Angka 1
Instansi Pemerintah di luar Kementerian Keuangan
termasuk Lembaga Pemerintah Non Kementerian
(LPNK) dan Lembaga Negara.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “lembaga keuangan
internasional” adalah lembaga yang tujuan
pembentukannya untuk meningkatkan kerjasama
internasional di bidang ekonomi dan/atau keuangan
yang di dalamnya Pemerintah Republik Indonesia atau
Bank Indonesia menjadi anggota atau lembaga
keuangan tersebut memberi bantuan keuangan kepada
Pemerintah Republik Indonesia atau Bank Indonesia
dan lembaga tersebut mensyaratkan pembukaan
rekening pada Bank Indonesia.
Angka 3
Cukup jelas.
- 4 -
Angka 4
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh Rekening Giro Khusus antara lain berupa:
a. Escrow account yaitu rekening yang dibuka untuk tujuan
tertentu guna menampung dana berdasarkan persyaratan
tertentu sesuai dengan perjanjian tertulis.
b. Rekening Giro Khusus lainnya yaitu Rekening Giro yang
persyaratan dan tata cara pembukaan, penyetoran,
penarikan, dan penutupannya diatur secara khusus dalam
surat atau perjanjian tertulis.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 4
Contoh Rekening Giro khusus antara lain berupa:
a. Escrow account;
b. Rekening Khusus yaitu Rekening Giro yang digunakan khusus
untuk menatausahakan pinjaman dan hibah luar negeri
Pemerintah; dan
c. Rekening Giro khusus lainnya.
Pasal 5
Ayat (1)
Contoh Rekening Giro Khusus antara lain berupa escrow account
dan Rekening Giro Khusus lainnya.
- 5 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tambahan persyaratan yang dituangkan dalam surat Bank
Indonesia misalnya persyaratan terkait pembatasan penarikan
escrow account.
Tambahan persyaratan yang dituangkan dalam kesepakatan
bersama antara lain untuk rekening Kementerian, Lembaga
Pemerintah Non Kementerian (LPNK), dan Lembaga Negara,
misalnya persyaratan terkait pemberian remunerasi pada saldo
Rekening Giro.
Tambahan persyaratan yang dituangkan dalam perjanjian
adalah persyaratan tentang hal-hal lain yang perlu diperjanjikan
lebih lanjut namun tidak diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini dan tidak dapat dituangkan dalam surat Bank
Indonesia maupun kesepakatan bersama (memorandum of
understanding).
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas.
- 6 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “warkat pembukuan” adalah sarana
penyetoran dan penarikan Rekening Giro yang bersifat
paperbased.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Pemilik Rekening Giro tertentu” adalah
Pemilik Rekening Giro yang disetujui oleh Bank Indonesia untuk
menggunakan sarana elektronik.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 12
Pemberian jasa giro dilakukan dengan pertimbangan antara lain:
a. adanya amanat Undang-Undang yang mengatur mengenai
pemberian jasa giro atas dana yang disimpan pada Bank
Indonesia; dan/atau
b. adanya ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pemberian jasa giro, seperti ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai giro wajib minimum dalam Rupiah dan
valuta asing bank umum.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Contoh warkat penyetoran tunai antara lain formulir
setoran tunai yang disediakan oleh Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Sarana penyetoran elektronik yang disediakan oleh Bank
Indonesia antara lain Sistem Bank Indonesia Real Time
Gross Settlement (BI-RTGS) dan Bank Indonesia Government
electronic Banking (BIG-eB).
Huruf d
Contoh sarana penyetoran lain adalah Society for
Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT).
- 7 -
Ayat (2)
Huruf a.
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Sarana penarikan elektronik yang disediakan oleh Bank
Indonesia antara lain Sistem Bank Indonesia Real Time
Gross Settlement (BI-RTGS) dan Bank Indonesia Government
electronic Banking (BIG-eB).
Huruf d
Contoh sarana penarikan lain adalah Society for Worldwide
Interbank Financial Telecommunication (SWIFT).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Pemindahan dana antar Rekening Giro atau dari Rekening Giro ke
rekening lain yang ditatausahakan di Bank Indonesia melalui sarana
penyetoran elektronik dan sarana penarikan elektronik dilakukan
untuk kepentingan Pemilik Rekening Giro atau kepentingan penerima
dana yang disebutkan dalam perintah pemindahan dana.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh sarana penarikan lain yang distandarisasi dan
diterbitkan oleh Bank Indonesia antara lain Warkat
Pembebanan Rekening (WPR).
- 8 -
Huruf b
Contoh sarana penarikan lain yang distandarisasi dan
diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro antara lain sarana
penarikan yang diterbitkan oleh kementerian keuangan
berupa Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) dan Surat
Perintah Debet (SPD).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penolakan permohonan pembukaan Rekening Giro didasarkan
pada hal sebagai berikut:
a. persyaratan administrasi tidak dipenuhi; atau
b. Pemilik Rekening Giro telah mempunyai Rekening Giro di
Bank Indonesia dan transaksi yang akan dilakukan dapat
ditampung dalam rekening yang telah ada.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “bukan Pemilik Rekening Giro” adalah
pihak yang tidak memiliki Rekening Giro namun berkepentingan
untuk melakukan penyetoran ke Rekening Giro.
- 9 -
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pemberian kuasa khusus dengan 1
(satu) kali hak substitusi” adalah penerima kuasa dapat
memberikan kuasa lagi kepada 1 (satu) atau beberapa orang
penerima kuasa namun penerima kuasa tidak dapat
memberikan kuasa lagi kepada pihak lain.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “biaya atas layanan jasa yang
disediakan oleh Bank Indonesia” antara lain biaya dalam
penatausahaan Rekening Giro, biaya perolehan buku Cek
atau BG BI, biaya transaksi melalui Sistem BI-RTGS, dan
biaya SKNBI.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sanksi kewajiban membayar
kepada Bank Indonesia” antara lain sanksi pelanggaran
atas ketentuan yang mengatur mengenai Giro Wajib
Minimum, sanksi pelanggaran ketentuan penyelenggaraan
transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia,
dan sanksi atas keterlambatan penyampaian laporan Devisa
Hasil Ekspor.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pelaksanaan setelmen dana atas
transaksi” adalah proses penyelesaian akhir transaksi
keuangan melalui pendebetan dan pengkreditan rekening di
Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia antara lain:
1.
setelmen dana atas transaksi moneter dengan Bank
Indonesia;
2.
setelmen dana atas transaksi pembebanan kewajiban
membayar selisih kurang atas setoran kas;
- 10 -
3.
4.
setelmen dana atas hasil perhitungan transfer dana
dan kliring berjadwal; dan/atau
setelmen dana atas transaksi Surat Berharga Negara
(SBN), pembayaran kewajiban Pemerintah kepada
Pemilik Rekening Giro berupa bunga atau imbalan dan
pokok atau nilai nominal SBN yang dilakukan oleh
Bank Indonesia sebagai agen penatausaha SBN.
Huruf d
1. Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang”
adalah otoritas yang diamanatkan oleh Undang-
Undang untuk mengatur, mengawasi, dan
mengenakan sanksi terhadap perbankan yang
melanggar ketentuan kehati-hatian perbankan dan
pelanggaran ketentuan perbankan lainnya.
Contoh ketentuan kehati-hatian perbankan antara lain
mencakup ketentuan yang mengatur mengenai
permodalan dan mengenai Posisi Devisa Neto (PDN).
Contoh ketentuan perbankan lainnya antara lain
mencakup ketentuan yang mengatur mengenai sanksi
kewajiban membayar bagi perbankan atas
keterlambatan pembayaran iuran atau pungutan.
Pelaksanaan penarikan Rekening Giro oleh Bank
Indonesia didahului dengan adanya kesepakatan.
2. Cukup Jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “saldo efektif” adalah saldo yang tersedia
dalam Rekening Giro untuk ditarik dan digunakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kegiatan terkait Rekening Giro” adalah
kegiatan yang berkaitan dengan Penarikan dan/atau Penyetoran
dana Rekening Giro.
Pembatasan sebagian kegiatan terkait Rekening Giro dapat
dilakukan antara lain dengan pembatasan sementara kegiatan
penarikan dana sampai diperoleh keputusan yang jelas atau
perubahan status dalam sistem BI-RTGS dari aktif menjadi
ditangguhkan.
Pembatasan seluruh kegiatan terkait Rekening Giro dapat
dilakukan dengan pembatasan seluruh kegiatan penarikan dan
penyetoran Rekening Giro antara lain karena perubahan status
dalam sistem BI-RTGS dari aktif menjadi dibekukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Rekening Giro tidak aktif” adalah
Rekening Giro yang tidak mengalami mutasi.
Huruf c
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
- 12 -
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Yang dimaksud dengan “Cek BI dan/atau BG BI yang masih beredar”
adalah Cek BI dan atau BG BI yang ditarik sebelum maupun sesudah
Rekening Giro ditutup.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengecualian pengenaan biaya dilakukan dengan pertimbangan
adanya amanat Undang-Undang dan/atau Kesepakatan
Bersama.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 35
Yang dimaksud dengan “keadaan tidak normal” adalah situasi atau
kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan
pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi,
aplikasi, maupun sarana pendukung yang mempengaruhi kelancaran
Penatausahaan Rekening Giro.
Yang dimaksud dengan “keadaan darurat” adalah suatu keadaan
yang terjadi di luar kekuasaan Bank Indonesia dan/atau Pemilik
Rekening Giro yang menyebabkan Penatausahaan Rekening Giro
tidak dapat diselenggarakan yang diakibatkan oleh tetapi tidak
- 13 -
terbatas pada kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, serta bencana
alam seperti gempa bumi dan banjir yang dinyatakan oleh pihak
penguasa atau pejabat yang berwenang setempat, termasuk Bank
Indonesia.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5832
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/24/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> REKENING GIRO DI BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 30 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 30 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 30 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> '2/24/PBI/2000', '7/48/PBI/2005', '11/32/PBI/2009', '3/11/PBI/2001', '6/16/PBI/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XVII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/ 27 /PBI/2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/1/PBI/2009 TENTANG BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa pengelolaan kelembagaan bank merupakan
salah satu faktor penting dalam mewujudkan
terciptanya industri perbankan yang sehat, kuat
dan dipercaya masyarakat;
b. bahwa setiap pemenuhan sumber daya manusia,
pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat
dan/atau penutupan kantor bank perlu
menerapkan tata kelola yang baik (good corporate
governance) termasuk pula penerapan manajemen
risiko;
c. bahwa dalam rangka peningkatan efektivitas dan
efisiensi, laporan yang terkait dengan pejabat
eksekutif dan laporan pelaksanaan pembukaan,
perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau
penutupan kantor bank sebagaimana dimaksud
pada huruf b, disampaikan secara online melalui
mekanisme laporan kantor pusat bank umum;
d. bahwa …
- 2 -
d. bahwa sehubungan dengan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan
huruf c, maka perlu dilakukan perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/1/PBI/2009
tentang Bank Umum;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1996 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
11/1/PBI/2009 TENTANG BANK UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 27, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4976) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 ditambahkan 1 (satu) angka, yakni angka 13
sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional.
2. Kantor Wilayah yang selanjutnya disebut Kanwil adalah
kantor Bank yang membantu kantor pusatnya melakukan
fungsi administrasi dan koordinasi terhadap beberapa kantor
cabang di suatu wilayah tertentu.
3. Kantor Cabang yang selanjutnya disebut dengan KC adalah
kantor Bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada
kantor pusat Bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat
usaha yang jelas dimana KC tersebut melakukan usahanya.
4. Kantor …
- 4 -
4. Kantor Cabang Pembantu yang selanjutnya disebut dengan
KCP adalah kantor di bawah KC yang kegiatan usahanya
membantu KC induknya, dengan alamat tempat usaha yang
jelas dimana KCP tersebut melakukan usahanya.
5. Kantor Kas yang selanjutnya disebut dengan KK adalah
kantor Bank yang melakukan kegiatan pelayanan kas dengan
alamat tempat usaha yang jelas dimana KK tersebut
melakukan usahanya, termasuk memberikan pelayanan
kepada nasabah baru.
6. Kantor Fungsional yang selanjutnya disebut dengan KF
adalah kantor Bank yang melakukan kegiatan operasional
atau non operasional secara terbatas dalam 1 (satu) kegiatan
fungsional.
7. Kegiatan Pelayanan Kas yang selanjutnya disebut dengan KPK
adalah kegiatan kas dalam rangka melayani pihak yang telah
menjadi nasabah Bank, meliputi antara lain:
a. Kas Keliling yaitu kegiatan pelayanan kas secara
berpindah-pindah dengan menggunakan alat
transportasi atau pada lokasi tertentu secara tidak
permanen, antara lain kas mobil, kas terapung atau
konter bank non permanen;
b. Payment Point yaitu kegiatan dalam bentuk pelayanan
pembayaran atau penerimaan pembayaran melalui
kerjasama antara Bank dengan pihak lain pada suatu
lokasi tertentu, seperti untuk pembayaran tagihan
telepon, tagihan listrik, gaji pegawai dan/atau
penerimaan setoran dari pihak ketiga;
c. Perangkat Perbankan Elektronis yang selanjutnya
disebut dengan PPE yaitu kegiatan pelayanan kas atau
non …
- 5 -
non kas yang dilakukan dengan menggunakan sarana
mesin elektronis yang berlokasi baik di dalam maupun di
luar kantor Bank, yang dapat melakukan pelayanan
antara lain penarikan atau penyetoran secara tunai,
pembayaran melalui pemindahbukuan, transfer antar
bank dan/atau memperoleh informasi mengenai
saldo/mutasi rekening nasabah, baik menggunakan
jaringan dan/atau mesin milik Bank sendiri maupun
melalui kerja sama Bank dengan pihak lain, antara lain
Anjungan Tunai Mandiri (ATM) termasuk dalam hal ini
adalah Automatic Deposit Machine (ADM), dan Electronic
Data Capture (EDC).
8. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas
adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah
adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perkoperasian.
9. Dewan Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas
adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi …
- 6 -
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Perkoperasian.
10. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab
langsung kepada Direksi atau mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap kebijakan dan/atau operasional Bank,
antara lain Kepala Divisi, Kepala Kantor Wilayah, Kepala
Kantor Cabang, Kepala Kantor Fungsional yang
kedudukannya paling kurang setara dengan Kepala Kantor
Cabang, Kepala Satuan Kerja Manajemen Risiko, Kepala
Satuan Kerja Kepatuhan, dan Kepala Satuan Kerja Audit
Intern dan/atau pejabat lainnya yang setara.
11. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disebut
dengan PSP adalah badan hukum, orang perseorangan
dan/atau kelompok usaha yang:
a. memiliki saham perusahaan atau Bank sebesar 25%
(dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham
yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau
b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari 25%
(dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang
dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang
bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan
pengendalian perusahaan atau Bank, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
12. Kelompok Usaha adalah:
a. perorangan dan badan hukum;
b. beberapa orang; atau
c. beberapa badan hukum,
yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan,
dan …
- 7 -
dan/atau hubungan keuangan.
13. Tindak Pidana Tertentu adalah tindak pidana asal yang
disebut dalam undang-undang yang mengatur mengenai
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang.
2. Diantara BAB I dan BAB II disisipkan 1 (satu) BAB, yakni BAB IA
sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB IA
Manajemen Risiko
Pasal 3A
(1) Bank wajib menerapkan manajemen risiko terkait dengan
Direksi, Dewan Komisaris dan Pejabat Eksekutif, serta
pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau
penutupan kantor Bank, yang paling kurang mencakup:
a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;
b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan
dan pengendalian risiko serta sistem informasi
manajemen risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
(2) Pelaksanaan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi bagian dari penilaian tingkat kesehatan Bank
khususnya faktor profil risiko (risk profile).
3. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf c diubah, sehingga Pasal 7
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7 …
- 8 -
Pasal 7
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a
diajukan paling kurang oleh salah satu calon pemilik kepada
Gubernur Bank Indonesia, disertai dengan:
a.
rancangan akta pendirian badan hukum, termasuk
rancangan Anggaran Dasar yang paling kurang memuat:
1. nama dan tempat kedudukan;
2. kegiatan usaha sebagai Bank;
3. permodalan;
4. kepemilikan;
5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan
anggota Dewan Komisaris serta anggota Direksi; dan
6. persyaratan bahwa pengangkatan anggota Dewan
Komisaris dan anggota Direksi harus memperoleh
persetujuan Bank Indonesia terlebih dahulu;
b. data kepemilikan berupa:
1. daftar calon pemegang saham berikut rincian
besarnya masing-masing kepemilikan saham bagi
Bank yang berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas/Perusahaan Daerah;
2. daftar calon anggota berikut rincian jumlah
simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar
hibah bagi Bank yang berbentuk badan hukum
Koperasi;
c. daftar calon anggota Dewan Komisaris dan anggota
Direksi disertai dengan:
1. pas foto terakhir ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua)
lembar;
2. fotokopi…
- 9 -
2.
fotokopi tanda pengenal dapat berupa Kartu Tanda
Penduduk (KTP), paspor dan/atau KITAS (apabila
menetap di Indonesia);
3. daftar riwayat hidup;
surat keterangan/bukti tertulis dari bank tempat
bekerja sebelumnya mengenai pengalaman di
bidang perbankan, bagi calon yang telah
berpengalaman;
4. surat pernyataan bermeterai cukup yang
menyatakan bahwa yang bersangkutan:
a) bersedia mematuhi ketentuan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku khususnya
di bidang perbankan;
b)
tidak pernah dihukum karena terbukti
melakukan Tindak Pidana Tertentu yang telah
diputus oleh pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde)
dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir
sebelum tanggal pengajuan permohonan;
c)
tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi
untuk dilarang menjadi anggota Dewan
Komisaris Bank (bagi calon anggota Dewan
Komisaris) atau anggota Direksi Bank (bagi
calon anggota Direksi);
d)
e)
tidak memiliki kredit macet;
tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak
pernah menjadi komisaris atau direksi yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu
perseroan dinyatakan pailit berdasarkan
ketetapan …
- 10 -
ketetapan pengadilan dalam waktu 5 (lima)
tahun terakhir sebelum tanggal pengajuan
permohonan;
f) merupakan pihak yang independen terhadap
pemilik Bank atau PSP (khusus bagi Komisaris
Independen);
g) baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
tidak memiliki saham melebihi 25% (dua puluh
lima persen) dari modal disetor pada suatu
perusahaan lain (bagi calon anggota Direksi
Bank);
h) merupakan pihak yang independen terhadap
PSP bank (khusus bagi calon Direktur Utama
Bank); dan
i)
tidak sedang menjalani proses hukum
dan/atau proses uji kemampuan dan
kepatutan pada suatu bank.
5. bukti telah memiliki sertifikat manajemen risiko
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai sertifikasi manajemen risiko
bagi pengurus dan pejabat bank umum.
d.
e.
rencana susunan dan struktur organisasi, serta
personalia;
rencana bisnis (business plan) untuk 3 (tiga) tahun
pertama yang paling kurang memuat:
1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan
potensi ekonomi;
2.
rencana kegiatan usaha yang mencakup
penghimpunan dan penyaluran dana serta langkah-
langkah …
- 11 -
langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam
mewujudkan rencana dimaksud; dan
3. proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus
kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang
dimulai sejak Bank melakukan kegiatan
operasional;
f.
rencana strategis jangka menengah dan panjang
(corporate plan);
g. pedoman manajemen risiko, rencana sistem
pengendalian intern, rencana sistem teknologi informasi
yang digunakan, dan pedoman mengenai pelaksanaan
Good Corporate Governance;
h. sistem dan prosedur kerja;
i. bukti setoran modal paling kurang 30% (tiga puluh
persen) dari modal disetor minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, dalam bentuk fotokopi bilyet
deposito pada Bank di Indonesia dan atas nama “Dewan
Gubernur Bank Indonesia qq. salah satu calon pemilik
untuk pendirian Bank yang bersangkutan”, dengan
mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya
dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis
dari Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
j.
surat pernyataan dari calon pemegang saham bagi Bank
yang berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas/Perusahaan Daerah atau dari calon anggota
bagi Bank yang berbentuk badan hukum Koperasi,
bahwa setoran modal sebagaimana dimaksud dalam
huruf i:
1.
tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas
pembiayaan …
- 12 -
pembiayaan dalam bentuk apapun dari Bank
dan/atau pihak lain di Indonesia; dan/atau
2.
tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang
(money laundering).
(2) Daftar calon pemegang saham atau daftar calon anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b:
a. dalam hal perorangan wajib disertai dengan:
1. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c angka 1 sampai dengan angka 5;
2. dokumen dan/atau surat pernyataan lainnya yang
diperlukan oleh Bank Indonesia;
b. dalam hal badan hukum wajib disertai dengan:
1. akta pendirian badan hukum, yang memuat
Anggaran Dasar berikut perubahan-perubahan yang
telah mendapat pengesahan dari instansi berwenang
termasuk bagi badan hukum asing sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di negara asal badan
hukum tersebut;
2. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c angka 1 sampai dengan angka 5;
3.
rekomendasi dari instansi berwenang di negara asal
bagi badan hukum asing;
4. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya
masing-masing kepemilikan saham bagi badan
hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah,
atau daftar anggota berikut rincian jumlah
simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar
hibah bagi badan hukum Koperasi;
5.
laporan keuangan badan hukum yang telah diaudit
oleh …
- 13 -
oleh akuntan publik dengan posisi paling lama 6
(enam) bulan sebelum tanggal pengajuan
permohonan persetujuan prinsip;
6. seluruh struktur kelompok usaha yang terkait
dengan Bank dan badan hukum pemilik Bank
sampai dengan pemilik terakhir; dan
7. dokumen dan/atau surat pernyataan lainnya yang
diperlukan oleh Bank Indonesia;
c. dalam hal pemerintah, baik pusat atau daerah, wajib
disertai dengan:
1.
fotokopi dokumen yang menyatakan keputusan
pembentukan Pemerintah Daerah bagi Pemerintah
Daerah;
2. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c angka 1 sampai dengan angka 5 dari
pejabat yang berwenang mewakili pemerintah;
3. Anggaran Pendapatan dan Belanja; dan
4. dokumen dan/atau surat pernyataan lainnya yang
diperlukan oleh Bank Indonesia.
4. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b
diberikan paling lama 60 (enam puluh) hari kerja setelah
dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia melakukan:
a. penelitian …
- 14 -
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
dan
b. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) dalam
hal terdapat penggantian atas calon PSP, anggota Dewan
Komisaris dan/atau anggota Direksi yang diajukan
sebelumnya.
5. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf a dan huruf c diubah, sehingga
Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Pihak-pihak yang dapat menjadi pemilik Bank wajib
memenuhi syarat:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain
ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang
berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena
terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu dalam
waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
c. memiliki komitmen terhadap pengembangan operasional
Bank yang sehat; dan
d.
tidak termasuk dalam Daftar Tidak Lulus.
(2) Dalam hal pemilik Bank berbentuk badan hukum maka
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
bagi pemilik maupun pengurus dari badan hukum tersebut.
6. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (3) diubah, sehingga Pasal 18
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18 …
- 15 -
Pasal 18
(1) Pihak-pihak yang dapat menjadi PSP Bank wajib memenuhi
persyaratan:
a.
Integritas, yang paling kurang mencakup:
1. memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain
ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan
yang berlaku, termasuk tidak pernah dihukum
karena terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu
dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum
dicalonkan;
2. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3. memiliki komitmen terhadap pengembangan
operasional Bank yang sehat;
4.
tidak termasuk dalam daftar tidak lulus uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test); dan
5. memiliki komitmen untuk tidak melakukan
dan/atau mengulangi perbuatan dan/atau tindakan
tertentu, bagi calon PSP yang pernah memiliki
predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan
kepatutan dan telah menjalani masa sanksi.
b. Kelayakan keuangan, yang paling kurang mencakup :
1. memiliki kemampuan keuangan yang dapat
mendukung perkembangan bisnis Bank;
tidak memiliki kredit macet;
2.
3.
4.
tidak memiliki hutang jatuh tempo dan bermasalah;
tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah
menjadi pemegang saham, anggota Dewan
Komisaris atau anggota Direksi yang dinyatakan
bersalah …
- 16 -
bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan
pailit berdasarkan ketetapan pengadilan dalam
waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan;
dan
5. memiliki komitmen kesediaan untuk melakukan
upaya-upaya yang diperlukan apabila Bank
menghadapi kesulitan permodalan maupun
likuiditas.
(2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2) huruf a angka 2, Pasal 7 ayat (2) huruf b
angka 7, atau Pasal 7 ayat (2) huruf c angka 4.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penilaian pemenuhan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai uji kemampuan
dan kepatutan (fit and proper test).
7. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27
(1) Anggota Dewan Komisaris dan Direksi wajib memenuhi
persyaratan:
a.
Integritas, yang paling kurang mencakup:
1. memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain
ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan
yang berlaku, termasuk tidak pernah dihukum
karena terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu
dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum
dicalonkan;
2. memiliki …
- 17 -
2. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3. memiliki komitmen terhadap pengembangan
operasional Bank yang sehat;
4.
tidak termasuk dalam daftar tidak lulus uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test); dan
5. memiliki komitmen untuk tidak melakukan
dan/atau mengulangi perbuatan dan/atau tindakan
tertentu, bagi calon Dewan Komisaris atau calon
anggota Direksi yang pernah memiliki predikat tidak
lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan dan
telah menjalani sanksi.
b. Kompetensi, yang paling kurang mencakup:
1. Bagi calon anggota Dewan Komisaris:
a) pengetahuan di bidang perbankan yang
memadai dan relevan dengan jabatannya;
dan/atau
b) pengalaman di bidang perbankan dan/atau
bidang keuangan.
2. Bagi calon anggota Direksi:
a) pengetahuan di bidang perbankan yang
memadai dan relevan dengan jabatannya;
b) pengalaman dan keahlian di bidang perbankan
dan/atau bidang keuangan; dan
c) kemampuan untuk melakukan pengelolaan
strategis dalam rangka pengembangan Bank
yang sehat.
c. Reputasi keuangan, yang paling kurang mencakup:
1. tidak …
- 18 -
1.
2.
tidak memiliki kredit macet; dan
tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota
Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan
dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan
dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum
dicalonkan.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test).
8. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
(1) Bank wajib memiliki direktur yang membawahkan fungsi
kepatuhan.
(2) Ketentuan mengenai direktur yang membawahkan fungsi
kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan fungsi
kepatuhan bank umum.
9. Ketentuan Pasal 30 ayat (1), ayat (4), dan ayat (7) diubah serta
ayat (8) dihapus, sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
(1) Anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi wajib
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum
menjalankan tugas dan fungsi dalam jabatannya.
(2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Gubernur
Bank …
- 19 -
Bank Indonesia, dan wajib disertai dengan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c, huruf h,
huruf i, huruf j, dan huruf k.
(3) Selain memenuhi ketentuan Bank Indonesia, calon anggota
Dewan Komisaris atau anggota Direksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Bank
Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan (fit and
proper test).
(5) Persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota
Dewan Komisaris atau anggota Direksi diberikan paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja sejak seluruh persyaratan
terpenuhi.
(6) Persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan.
(7) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi
oleh Rapat Umum Pemegang Saham dinyatakan belum efektif
sebelum mendapat persetujuan dari Bank Indonesia.
(8) Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat
Anggota membatalkan pengangkatan calon anggota Dewan
Komisaris atau calon anggota Direksi yang telah disetujui
oleh Bank Indonesia maka Bank wajib melaporkan
pembatalan tersebut kepada Bank Indonesia, paling lama
10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pembatalan
pengangkatan, disertai dengan notulen Rapat Umum
Pemegang Saham atau notulen Rapat Anggota.
(9) Pengangkatan …
- 20 -
(9) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pengangkatan
efektif, disertai dengan notulen Rapat Umum Pemegang
Saham atau notulen Rapat Anggota.
10. Diantara Pasal 31 dan Pasal 32 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni
Pasal 31A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31A
Bank wajib melakukan penelitian terhadap calon Pejabat Eksekutif
sebelum melakukan pengangkatan atau penggantian Pejabat
Eksekutif.
11. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
(1) Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat
Eksekutif wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia
melalui mekanisme pelaporan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan kantor pusat
bank umum.
(2) Bank Indonesia berwenang memerintahkan Bank untuk
membatalkan pengangkatan Pejabat Eksekutif apabila
berdasarkan penelitian dan penilaian Bank Indonesia Pejabat
Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
rekam jejak negatif.
(3) Bank wajib membatalkan pengangkatan Pejabat Eksekutif
yang memiliki rekam jejak negatif sebagaimana dimaksud
pada …
- 21 -
pada ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah
tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia.
(4) Rekam jejak negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi sebagai berikut:
a.
termasuk dalam daftar tidak lulus uji kemampuan dan
kepatutan (fit and proper test);
b. memiliki kredit macet; dan/atau
c.
tercatat pada data dan informasi negatif yang dimiliki
oleh Bank Indonesia yang berasal dari hasil pengawasan
Bank Indonesia atau sumber lainnya.
(5) Bank wajib menatausahakan dokumen pengangkatan,
pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif sebagai
berikut:
a. Surat keputusan Direksi Bank atau pejabat yang
berwenang mengenai pengangkatan, pemberhentian,
atau penggantian Pejabat Eksekutif, berita acara serah
terima jabatan sebagai Pejabat Eksekutif, dan/atau
dokumen lain yang dapat dipersamakan dengan itu;
b. dokumen yang menyatakan identitas Pejabat Eksekutif
yang baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf c angka 1, angka 2, angka 3 dan Pasal 10 huruf c
angka 1; dan
c. dokumen dalam rangka penelitian calon Pegawai
Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A.
12. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
(1) Bank dapat melakukan penunjukan sementara Pejabat
Eksekutif dalam hal :
a. adanya …
- 22 -
a. adanya kekosongan jabatan Pejabat Eksekutif ; atau
b. Pejabat Eksekutif yang ada tidak dapat menjalankan
tugas selama lebih dari 3 (tiga) bulan.
(2) Bank wajib melaporkan penunjukan sementara Pejabat
Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank
Indonesia melalui mekanisme pelaporan sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan kantor
pusat bank umum.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 A dan
Pasal 32 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) berlaku juga
untuk penunjukan sementara Pejabat Eksekutif.
(4) Bank wajib menatausahakan dokumen penunjukan
sementara Pejabat Eksekutif sebagai berikut:
a. surat penunjukan dari Direksi atau pejabat yang
berwenang, berita acara serah terima jabatan, dan/atau
dokumen lain yang dapat dipersamakan dengan itu;
b.
identitas Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c angka 1, angka 2, angka 3
dan Pasal 10 huruf c angka 1; dan
c. dokumen dalam rangka penelitian calon Pegawai
Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A
(5) Bank wajib mengangkat Pejabat Eksekutif yang definitif
paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal penunjukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
13. Diantara Pasal 33 dan Pasal 34 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni
Pasal 33A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33A …
- 23 -
Pasal 33A
Bank Indonesia berwenang sewaktu-waktu meminta dokumen
pengangkatan, pemberhentian, dan/atau penggantian Pejabat
Eksekutif sebagaimana dimaksud pada Pasal 32 ayat (5) dan Pasal
33 ayat (4).
14. Diantara BAB IV dan BAB V disisipkan 1 (satu) Bab, yakni
Bab IVA sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB IVA
RENCANA PEMBUKAAN, PERUBAHAN STATUS, PEMINDAHAN
ALAMAT DAN/ATAU PENUTUPAN KANTOR BANK
Pasal 34A
(1) Bank wajib mencantumkan rencana pembukaan, perubahan
status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor
Bank setahun ke depan dalam Rencana Bisnis Bank.
(2) Rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat
dan/atau penutupan kantor Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib disertai dengan kajian yang paling kurang
memuat:
a. kesesuaian dengan strategi bisnis dan dampak terhadap
proyeksi keuangan;
b. mekanisme pengawasan dan penilaian kinerja kantor
bank;
c. analisis secara menyeluruh (bank wide) mencakup
antara lain kondisi ekonomi, analisis risiko, dan analisis
keuangan; dan
d. rencana persiapan operasional antara lain sumber daya
manusia, teknologi informasi, dan sarana penunjang
lainnya.
Pasal 34B …
- 24 -
Pasal 34B
Bank Indonesia berwenang memerintahkan Bank untuk menunda
rencana pembukaan, perubahan status dan/atau pemindahan
alamat Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34A ayat (1)
apabila menurut penilaian Bank Indonesia antara lain terdapat
penurunan tingkat kesehatan, kondisi keuangan Bank, dan/atau
peningkatan profil risiko Bank.
Pasal 34C
(1) Bank wajib menatausahakan dokumen pendukung:
a. pembukaan kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (2), Pasal 38 ayat (1), Pasal 40 ayat (5) dan
ayat (6), Pasal 41 ayat (2), Pasal 42 ayat (6), Pasal 43 ayat
(3);
b. perubahan status kantor Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 ayat (3);
c. pemindahan alamat kantor Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 ayat (4), Pasal 50 ayat (3), Pasal 52 ayat
(1), Pasal 52 ayat (3), Pasal 52 ayat (4), Pasal 53 ayat (1);
dan/atau
d. Penutupan kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 66 ayat (3),
Pasal 67 ayat (2), Pasal 68 ayat (4), Pasal 70 ayat (6).
(2) Bank Indonesia berwenang sewaktu-waktu untuk meminta
dokumen pendukung pembukaan, perubahan status,
pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
15. Ketentuan …
- 25 -
15. Ketentuan Bab V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB V
PEMBUKAAN KANTOR BANK
Bagian Kesatu
Pembukaan Kantor Bank di Dalam Negeri
Paragraf 1
Pembukaan Kantor Cabang
Pasal 35
(1) Pembukaan KC wajib memperoleh izin Pimpinan Bank
Indonesia.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
selain mengajukan rencana pembukaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34A, Bank juga wajib mengajukan
permohonan pembukaan KC kepada Bank Indonesia, disertai
dengan:
a.
rencana persiapan operasional dalam rangka pembukaan
KC;
b. hasil studi kelayakan yang paling kurang memuat
potensi ekonomi, peluang pasar, tingkat persaingan yang
sehat antar Bank, dan tingkat kejenuhan jumlah Bank;
dan
c.
rencana bisnis KC paling kurang selama 12 (dua belas)
bulan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan
oleh Direksi atau pejabat selain Direksi Bank sepanjang telah
diatur dalam ketentuan internal Bank mengenai
pendelegasian wewenang Bank.
(4) Dalam …
- 26 -
(4) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank
Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan
oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b;
c. analisis atas kemampuan Bank, termasuk tingkat
kesehatan, kecukupan permodalan dan profil risiko;
d. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34A ayat (2).
(5) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lama 20 (dua puluh)
hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara
lengkap.
Pasal 36
(1) Pelaksanaan pembukaan KC sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak tanggal izin dari Bank Indonesia diterbitkan.
(2) Pelaksanaan pembukaan KC sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia
melalui mekanisme pelaporan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan kantor pusat
bank umum.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Bank tidak melaksanakan pembukaan KC, izin yang
telah diterbitkan menjadi tidak berlaku.
Paragraf 2 …
- 27 -
Paragraf 2
Pembukaan Kantor Cabang Pembantu
Pasal 37
(1) Pembukaan KCP hanya dapat dilakukan apabila rencana
pembukaan telah dilaporkan dan mendapat penegasan Bank
Indonesia.
(2) Pembukaan KCP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan dalam satu wilayah kerja kantor Bank
Indonesia dengan KC induknya, kecuali dengan persetujuan
Bank Indonesia.
(3) Laporan keuangan KCP wajib digabungkan dengan laporan
keuangan kantor induknya pada hari yang sama.
Pasal 38
(1) Bank wajib menyampaikan rencana pembukaan KCP kepada
Bank Indonesia paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sebelum pelaksanaan pembukaan kantor, disertai dengan:
a. daftar pemenuhan persyaratan (compliance check list)
atas kesiapan operasional yang telah dipastikan oleh
satuan kerja kepatuhan; dan
b. hasil studi kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan
jumlah Bank.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan mempertimbangkan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis hasil studi kelayakan yang memuat tingkat
kejenuhan jumlah bank;
c. analisis …
- 28 -
c. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud pada Pasal
34A ayat (2).
(3) Penegasan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diberikan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(4) Pelaksanaan pembukaan KCP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia.
(5) Pelaksanaan pembukaan KCP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia
melalui mekanisme pelaporan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan kantor pusat
bank umum.
Paragraf 3
Pembukaan Kantor Kas atau Kegiatan Pelayanan Kas
Pasal 39
(1) Pembukaan KK atau KPK hanya dapat dilakukan dalam satu
wilayah kerja kantor Bank Indonesia dengan KC induknya,
kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia.
(2) Laporan keuangan KK atau KPK wajib digabungkan dengan
laporan keuangan kantor induknya pada hari yang sama,
kecuali untuk kegiatan PPE.
(3) Tidak termasuk sebagai pembukaan KPK adalah kegiatan
pameran yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak
bersifat permanen dan hanya menerima setoran awal/titipan
kas sesuai persyaratan setoran minimal pembukaan rekening.
(4) Pelaksanaan pembukaan KK atau KPK wajib dilaporkan Bank
kepada Bank Indonesia melalui mekanisme pelaporan
sebagaimana …
- 29 -
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai laporan kantor pusat bank umum.
Paragraf 4
Pembukaan Kantor Fungsional
Pasal 40
(1) Pembukaan KF hanya dapat dilakukan apabila rencana
pembukaan telah dilaporkan dan mendapat penegasan Bank
Indonesia.
(2) Jenis KF terdiri dari:
a. KF yang melakukan kegiatan operasional; atau
b. KF yang tidak melakukan kegiatan operasional.
(3) KF sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib
menggabungkan laporan keuangannya dengan laporan
keuangan:
a. KC Bank yang berada dalam 1 (satu) wilayah kerja
kantor Bank Indonesia;
b. KC Bank terdekat atau Kantor Pusat Bank, apabila
dalam wilayah kerja kantor Bank Indonesia dimana KF
tersebut berada tidak terdapat KC Bank, dengan
persetujuan Bank Indonesia.
(4) Laporan keuangan KF sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b wajib digabungkan dengan laporan keuangan kantor
pusat Bank.
(5) Bank wajib menyampaikan rencana pembukaan KF kepada
Bank Indonesia paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sebelum pelaksanaan pembukaan kantor, disertai dengan
daftar pemenuhan persyaratan (compliance check list) atas
kesiapan …
- 30 -
kesiapan operasional yang telah dipastikan oleh satuan kerja
kepatuhan.
(6) Penyampaian rencana pembukaan KF yang bersifat
operasional untuk pemberian kredit disertai dengan diskripsi
rencana bank untuk mengutamakan pemberian kredit pada
sektor produktif.
(7) Pelaksanaan pembukaan KF wajib dilakukan paling lambat
30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal penegasan dari Bank
Indonesia.
(8) Penegasan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) diberikan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(9) Pelaksanaan pembukaan KF wajib dilaporkan oleh Bank
kepada Bank Indonesia melalui mekanisme pelaporan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai laporan kantor pusat bank umum.
Paragraf 5
Pembukaan Kantor Wilayah
Pasal 41
(1) Pembukaan Kanwil hanya dapat dilakukan apabila rencana
pembukaan telah dilaporkan dan mendapat penegasan Bank
Indonesia.
(2) Bank wajib melaporkan rencana pembukaan Kanwil kepada
Bank Indonesia paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sebelum pelaksanaan pembukaan kantor, paling kurang
disertai dengan dokumen yang memuat:
a. cakupan …
- 31 -
a. cakupan wilayah kerja dan struktur organisasi; dan
b.
tugas dan kewenangan Kanwil.
(3) Kanwil yang melakukan kegiatan operasional sebagaimana
KC dengan kewenangan yang lebih luas selain wajib
memenuhi ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2), juga berlaku
prosedur pembukaan KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 dan Pasal 36.
(4) Pelaksanaan pembukaan Kanwil wajib dilaporkan oleh Bank
kepada Bank Indonesia melalui mekanisme pelaporan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai laporan kantor pusat bank umum.
Bagian Kedua
Pembukaan Kantor di Luar Negeri
Pasal 42
(1) Pembukaan KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor
lainnya baik yang bersifat operasional maupun yang non
operasional di luar negeri wajib memperoleh izin Pimpinan
Bank Indonesia.
(2) Kegiatan yang dapat dilakukan oleh KC sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup
penghimpunan dana dan sistem pembayaran.
(3) Kegiatan yang dapat dilakukan oleh kantor perwakilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya mencakup
kegiatan pemasaran.
(4)
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan
dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak izin dari
Pimpinan Bank Indonesia diterbitkan, dan dapat
diperpanjang …
- 32 -
diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan.
(5) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat diberikan apabila:
a.
b.
telah menjadi Bank devisa paling kurang 24 (dua puluh
empat) bulan;
telah mencantumkan rencana pembukaan KC, kantor
perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri
dalam Rencana Bisnis Bank;
c. memenuhi persyaratan tingkat kesehatan, kecukupan
modal dan profil risiko; dan
d. mempunyai alamat atau tempat kedudukan kantor
operasional yang jelas.
(6) Permohonan izin membuka KC dan jenis-jenis kantor lainnya
yang bersifat operasional sebagaimana dimaksud ayat (1)
diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia dan wajib disertai
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)
huruf a, huruf b dan huruf c.
(7) Permohonan izin membuka kantor perwakilan dan jenis-jenis
kantor lainnya yang bersifat tidak operasional sebagaimana
dimaksud ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia
dan wajib disertai dokumen alasan pembukaan kantor.
(8) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan pembukaan KC, kantor perwakilan, dan jenis-
jenis kantor lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
dan
b. analisis …
- 33 -
b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank
termasuk tingkat kesehatan dan hasil studi kelayakan.
(9) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) diberikan paling lambat
20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan
diterima secara lengkap.
Pasal 43
(1) Pembukaan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 wajib memperoleh izin dari otoritas di negara
setempat.
(2) Pelaksanaan pembukaan kantor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia
melalui mekanisme pelaporan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan kantor pusat
bank umum.
(3) Bank wajib menyampaikan salinan/fotokopi izin pembukaan
kantor dari otoritas di negara setempat paling lama 10
(sepuluh) hari kerja setelah tanggal pembukaan kantor dari
otoritas negara setempat.
Bagian ketiga
Pencantuman Nama dan Jenis Kantor Bank
Pasal 44
Bank wajib mencantumkan secara jelas nama dan jenis kantor
Bank pada masing-masing kantor.
16. Ketentuan …
- 34 -
16. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47
(1) Penurunan status kantor Bank dari KC menjadi KCP, KK atau
KPK wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari Bank
Indonesia.
(2) Penurunan status kantor Bank dari KCP menjadi KK atau
KPK wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan dan mendapat
penegasan dari Bank Indonesia.
(3) Permohonan persetujuan penurunan status kantor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pelaporan
penurunan status kantor sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia, disertai
dengan:
a.
langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka
penyelesaian seluruh kewajiban kantor Bank kepada
nasabah dan pihak lainnya; dan
b. surat pernyataan dari Direksi Bank yang menyatakan
bahwa apabila terdapat tuntutan di kemudian hari
menjadi tanggung jawab Bank.
(4) Persetujuan atas permohonan atau penegasan atas pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan dalam jangka
waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap.
(5) Pelaksanaan perubahan status kantor yang telah mendapat
persetujuan atau penegasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) wajib dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja setelah tanggal persetujuan atau penegasan perubahan
status.
(6) Pelaksanaan …
- 35 -
(6) Pelaksanaan perubahan status kantor wajib dilaporkan oleh
Bank kepada Bank Indonesia melalui mekanisme pelaporan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai laporan kantor pusat bank umum.
17. Ketentuan BAB VII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB VII
PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR
Pasal 49
(1) Pemindahan alamat Kantor Pusat dan/atau KC wajib
memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sebelum pemindahan alamat
dilaksanakan.
(3) Permohonan izin pemindahan alamat kantor pusat dan/atau
KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disertai dengan:
a. daftar pemenuhan persyaratan (compliance check list)
atas kesiapan operasional yang telah dipastikan oleh
satuan kerja kepatuhan;
b.
rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan
kewajiban Bank; dan
c. hasil studi kelayakan di tempat kedudukan baru yang
paling kurang memuat potensi ekonomi, peluang pasar,
tingkat persaingan yang sehat antar Bank, dan tingkat
kejenuhan jumlah Bank.
(4) Pemindahan alamat KC yang dilakukan:
a. dalam satu wilayah kerja kantor Bank Indonesia, namun
berada di lokasi yang berdekatan wajib memenuhi
persyaratan …
- 36 -
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a;
b. dalam satu wilayah kerja kantor Bank Indonesia yang
sama, namun berada di lokasi yang tidak berdekatan
wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a dan huruf b;
c. di luar wilayah kerja kantor Bank Indonesia tempat KC
awal berkedudukan, wajib memenuhi ketentuan
penutupan KC dan pembukaan KC sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65, Pasal 66 dan Pasal 67, serta
Pasal 35 dan Pasal 36.
(5) Dalam hal pemindahan alamat kantor pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ke lokasi yang baru diikuti dengan
pembukaan KC di lokasi lama kantor pusat, maka
pembukaan KC dimaksud berlaku ketentuan pembukaan KC
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36.
Pasal 50
(1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin pemindahan alamat kantor pusat dan/atau
KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1), Bank
Indonesia melakukan:
a. penelitian atas daftar pemenuhan persyaratan
(compliance check list) atas kesiapan operasional yang
telah dipastikan oleh satuan kerja kepatuhan;
b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan
yang sehat antar Bank, tingkat kejenuhan jumlah Bank,
dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional; dan
c. analisis …
- 37 -
c. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud pada Pasal
34A ayat (2).
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin
pemindahan alamat kantor pusat atau KC diberikan Bank
Indonesia paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah
dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(3) Pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib diumumkan oleh Bank dalam:
a. surat kabar yang mempunyai peredaran nasional, bagi
pemindahan alamat kantor pusat; atau
b. surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat
kedudukan Kantor Cabang, bagi pemindahan alamat
Kantor Cabang,
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pemberian
izin dari Pimpinan Bank Indonesia.
(4) Pemindahan alamat kantor pusat dan/atau KC yang telah
mendapat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
tanggal pemberian izin dari Pimpinan Bank Indonesia.
(5) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) Bank tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor
pusat dan/atau KC, izin yang telah diterbitkan menjadi tidak
berlaku.
(6) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor pusat dan/atau KC
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia melalui
mekanisme pelaporan sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai laporan kantor pusat bank umum.
Pasal 51 …
- 38 -
Pasal 51
(1) Rencana pemindahan alamat:
a. Kanwil, KCP dan KF di dalam negeri; atau
b. KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di
luar negeri,
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan
pemindahan alamat kantor.
(2) Laporan rencana pemindahan alamat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a wajib disertai dengan:
a. daftar pemenuhan persyaratan (compliance check list)
atas kesiapan operasional yang telah dipastikan oleh
satuan kerja kepatuhan;
b.
rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan
kewajiban Bank; dan
c. hasil studi kelayakan di tempat kedudukan baru yang
paling kurang memuat tingkat kejenuhan jumlah Bank.
Pasal 52
(1) Pemindahan alamat Kanwil sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) huruf a wajib memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf a.
(2) Pemindahan alamat Kanwil yang melakukan kegiatan
operasional sebagaimana KC wajib memenuhi persyaratan
pemindahan alamat KC sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49 dan Pasal 50.
(3) Pemindahan alamat KCP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) huruf a, yang dilakukan:
a. dalam satu kota/kabupaten yang sama dan di lokasi
yang …
- 39 -
yang berdekatan wajib memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf a;
b. dalam satu kota/kabupaten yang sama dan di lokasi
yang tidak berdekatan wajib memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf a
dan huruf b;
c. di luar kota/kabupaten sebelumnya wajib memenuhi
ketentuan penutupan KCP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 68 dan pembukaan KCP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38.
(4) Pemindahan alamat KF wajib memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. untuk KF yang melakukan kegiatan operasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf a:
1) wajib memenuhi persyaratan sebagaimana diatur
pada ayat (3) huruf a dan huruf b; atau
2) wajib memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68 dan Pasal 40 dalam hal
pemindahan KF di luar kotamadya/kabupaten
sebelumnya.
b. untuk KF yang tidak melakukan kegiatan operasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf b,
persyaratan yang wajib disampaikan berupa dokumen
sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (2) huruf a.
Pasal 53
(1) Pelaksanaan pemindahan alamat KCP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (3) atau KF yang melakukan kegiatan
operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4)
huruf …
- 40 -
huruf a wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang
mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan kantor
induknya paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
penegasan dari Bank Indonesia.
(2) Bank wajib melaksanakan pemindahan alamat KCP atau KF
paling cepat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
pengumuman rencana pemindahan alamat dalam surat kabar
dan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
penegasan Bank Indonesia.
(3) Pelaksanaan pemindahan alamat KK atau KPK wajib
diumumkan oleh Bank di lokasi lama paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan
alamat KK atau KPK.
(4) Pelaksanaan pemindahan alamat Kanwil, KCP, KF, KK atau
KPK wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia
melalui mekanisme pelaporan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan kantor pusat
bank umum.
(5) Pelaksanaan pemindahan alamat KC, kantor perwakilan, dan
jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b wajib dilaporkan
oleh Bank kepada Bank Indonesia melalui mekanisme
pelaporan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai laporan kantor pusat bank umum.
(6) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia salinan/
fotokopi izin otoritas negara setempat bagi pelaksanaan
pemindahan alamat KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis
kantor lainnya di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) huruf b paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
setelah …
- 41 -
setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat.
18. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 60
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip
perubahan bentuk badan hukum Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf a diajukan oleh Bank
kepada Bank Indonesia wajib disertai dengan:
a. notulen Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat
Anggota yang menyetujui perubahan bentuk hukum dan
pembubaran badan hukum lama;
b. alasan perubahan bentuk badan hukum;
c.
d.
rancangan akta pendirian badan hukum baru termasuk
Anggaran Dasar;
rencana pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari
badan hukum lama kepada badan hukum baru;
e. daftar anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi
disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada
Pasal 7 ayat (1) huruf c dan Pasal 10 huruf c angka 1
dan angka 3, dalam hal terjadi perubahan anggota
Dewan Komisaris dan anggota Direksi; dan
f. data kepemilikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7
ayat (1) huruf b disertai dengan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), dalam hal terjadi
perubahan.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank
Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. uji …
- 42 -
b. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test)
terhadap calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris
dan/atau calon anggota Direksi, dalam hal terjadi
perubahan PSP, anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan
prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan
diterima secara lengkap.
(4) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
berlaku paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
persetujuan.
(5) Dalam hal Bank tidak mengajukan permohonan pengalihan
izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2)
huruf b dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), persetujuan prinsip yang telah diberikan menjadi
tidak berlaku.
19. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 61
(1) Permohonan untuk mengalihkan izin usaha Bank dari badan
hukum lama kepada badan hukum baru sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, diajukan oleh
Bank kepada Bank Indonesia, disertai dengan:
a. akta pendirian badan hukum baru termasuk Anggaran
Dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang;
b. daftar anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi
disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf c dan Pasal 10 huruf c angka 1
dan …
- 43 -
dan angka 3, dalam hal terjadi perubahan anggota
Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi;
c. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) huruf b disertai dengan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), dalam hal terjadi
perubahan kepemilikan; dan
d.
rancangan berita acara pengalihan seluruh hak dan
kewajiban dari badan hukum lama kepada badan
hukum baru.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan pengalihan izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
dan
b. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test)
terhadap calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris
dan/atau calon anggota Direksi dalam hal terjadi
perubahan PSP, anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan pengalihan izin
usaha dari badan hukum lama kepada badan hukum baru
diberikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(4) Pembubaran badan hukum lama hanya dapat dilakukan
setelah:
a. Bank Indonesia memberikan persetujuan pengalihan izin
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan
b. pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan
hukum …
- 44 -
hukum lama kepada badan hukum baru dilaksanakan
sesuai dengan rancangan berita acara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d.
(5) Pelaksanaan perubahan bentuk badan hukum Bank wajib
diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai
peredaran nasional paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
setelah tanggal persetujuan pengalihan izin usaha dari Bank
Indonesia.
20. Ketentuan Bab X diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB X
PENUTUPAN KANTOR BANK
Pasal 65
Penutupan KC di dalam negeri wajib memperoleh izin Pimpinan
Bank Indonesia.
Pasal 66
(1) Pemberian izin penutupan KC sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65 dilakukan dalam dua tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan
persiapan penutupan KC; dan
b. persetujuan penutupan, yaitu persetujuan untuk
melakukan penutupan KC.
(2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh
Bank kepada Bank Indonesia dan wajib disertai dengan
penjelasan mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh
dalam …
- 45 -
dalam rangka penyelesaian seluruh kewajiban KC kepada
nasabah dan pihak lainnya.
(3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan penutupan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh
Bank kepada Bank Indonesia paling lama 6 (enam) bulan
setelah Bank memperoleh persetujuan prinsip, dan wajib
disertai dengan:
a. dokumen yang membuktikan bahwa seluruh kewajiban
Bank kepada nasabah dan pihak lain baik dari sisi
aktiva maupun pasiva telah diselesaikan; dan
b. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-
langkah penyelesaian seluruh kewajiban KC kepada
nasabah dan pihak lainnya telah diselesaikan dan
apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi
tanggung jawab Bank.
(4) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan kepada Bank
terkait dengan penyelesaian seluruh kewajiban KC yang akan
ditutup.
(5) Persetujuan atau penolakan permohonan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau permohonan
persetujuan penutupan KC sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diberikan paling lama 15 (lima belas) hari kerja
setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap
termasuk apabila dilakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).
Pasal 67
(1) Pelaksanaan penutupan KC yang telah mendapat persetujuan
penutupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (5)
wajib …
- 46 -
wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
tanggal persetujuan Bank Indonesia.
(2) Pelaksanaan penutupan KC sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang
mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan kantor
Bank paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal
persetujuan penutupan dari Pimpinan Bank Indonesia.
(3) Pelaksanaan penutupan KC yang telah mendapat persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh
Bank kepada Bank Indonesia melalui mekanisme pelaporan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai laporan kantor pusat bank umum.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 66 ayat (3) Bank tidak mengajukan permohonan
persetujuan penutupan KC, maka persetujuan prinsip yang
telah diberikan menjadi tidak berlaku.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Bank tidak melaksanakan penutupan KC, maka
persetujuan penutupan yang telah diberikan menjadi tidak
berlaku.
Pasal 68
(1) Rencana penutupan KCP atau KF wajib dilaporkan oleh Bank
kepada Bank Indonesia paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sebelum pelaksanaan penutupan kantor dimaksud, disertai
dengan penjelasan mengenai langkah-langkah yang akan
ditempuh dalam rangka penyelesaian kewajiban KCP atau KF
kepada nasabah dan pihak lainnya.
(2) Pelaksanaan penutupan KCP atau KF wajib dilakukan paling
lama …
- 47 -
lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal surat
penegasan dari Bank Indonesia.
(3) Pelaksanaan penutupan KCP atau KF wajib dilaporkan oleh
Bank kepada Bank Indonesia melalui mekanisme pelaporan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai laporan kantor pusat bank umum.
(4) Bank wajib menyampaikan dokumen penutupan KCP atau KF
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal
penutupan, yaitu:
a. dokumen yang membuktikan bahwa seluruh kewajiban
Bank kepada nasabah dan pihak lain baik dari sisi
aktiva maupun pasiva telah diselesaikan; dan
b. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-
langkah penyelesaian seluruh kewajiban KCP atau KF
kepada nasabah dan pihak lainnya telah diselesaikan
dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi
tanggung jawab Bank.
Pasal 68A
Pelaksanaan penutupan KK atau KPK wajib dilaporkan oleh Bank
kepada Bank Indonesia melalui mekanisme pelaporan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
laporan kantor pusat bank umum.
Pasal 69
(1) Rencana penutupan Kanwil wajib dilaporkan oleh Bank
kepada Bank Indonesia paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sebelum tanggal penutupan.
(2) Pelaksanaan penutupan Kanwil wajib dilaporkan oleh Bank
kepada …
- 48 -
kepada Bank Indonesia melalui mekanisme pelaporan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai laporan kantor pusat bank umum.
(3) Penutupan Kanwil yang melakukan kegiatan operasional
sebagaimana KC dilakukan dengan mengikuti prosedur
penutupan KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, Pasal
66, dan Pasal 67.
Pasal 70
(1) Penutupan KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor
lainnya yang bersifat operasional maupun non operasional di
luar negeri wajib memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia.
(2) Permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia,
disertai dengan penjelasan mengenai:
a.
langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka
penyelesaian seluruh kewajiban kantor Bank kepada
nasabah dan/atau pihak lainnya; dan
b.
langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka
memperoleh izin penutupan dari otoritas di negara
setempat.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lama
20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan
diterima secara lengkap.
(4) Penutupan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memperoleh izin dari otoritas di negara
setempat.
(5) Pelaksanaan penutupan kantor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) …
- 49 -
ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia
melalui mekanisme pelaporan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan kantor pusat
bank umum.
(6) Dalam rangka penutupan KC dan jenis-jenis kantor lainnya
yang bersifat operasional, Bank wajib menyampaikan
dokumen kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh)
hari kerja setelah tanggal pelaksanaan penutupan sebagai
berikut:
a. dokumen yang membuktikan bahwa seluruh kewajiban
Bank kepada nasabah dan pihak lain baik dari sisi
aktiva maupun pasiva telah diselesaikan;
b. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-
langkah penyelesaian seluruh kewajiban kantor kepada
nasabah dan pihak lainnya telah diselesaikan dan
apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi
tanggung jawab Bank; dan
c. salinan/fotokopi izin penutupan dari otoritas di negara
setempat.
21. Diantara Bab XI dan Bab XII disisipkan 1 (satu) bab, yakni
Bab XIA sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB XIA
PELAPORAN
Pasal 78A
Tata cara penyampaian laporan mengenai pengangkatan,
pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif serta
pembukaan, pemindahan alamat, perubahan status, dan/atau
penutupan …
- 50 -
penutupan kantor Bank, dan sanksi terhadap pelaporan, mengacu
kepada ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan kantor pusat
bank umum.
Pasal 78B
(1) Bank wajib menyampaikan laporan untuk posisi tanggal 31
Desember 2011 yang memuat:
a. seluruh Pejabat Eksekutif yang masih menjabat; dan
b. semua jenis kantor Bank berupa KC, KCP, Kanwil, KF,
KK dan KPK,
paling lambat tanggal 6 Februari 2012.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
format yang ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia.
22. Ketentuan Bab XII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Bab XII
SANKSI
Pasal 79
(1) Bank yang melanggar Pasal 6, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15,
Pasal 16, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22 ayat (4), Pasal 24 ayat
(3), Pasal 25, Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28
ayat (1), Pasal 29, Pasal 30 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 31A,
Pasal 32 ayat (5), Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 34,
Pasal 34A, Pasal 34C ayat (1), Pasal 35 ayat (1), Pasal 37 ayat
(1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 38 ayat (1) dan ayat (4), Pasal
39 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 40 ayat (1), ayat (3), ayat (4),
ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 41 ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 42 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 43 ayat
(1) …
- 51 -
(1), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (5), Pasal 48, Pasal 49 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
Pasal 50 ayat (3), Pasal 51 ayat (1), Pasal 53 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), Pasal 54 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 55
ayat (3), Pasal 56 ayat (2), Pasal 57 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3), Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 60 ayat (1), Pasal
61 ayat (5), Pasal 63 ayat (1), Pasal 64, Pasal 65, Pasal 68
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 69 ayat (1), Pasal 70 ayat (1) dan
ayat (4), Pasal 78A ayat (1), Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83,
Pasal 87, Pasal 87A dan Pasal 87B dikenakan sanksi
administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
(2) Bank yang melanggar Pasal 3A dikenakan sanksi penilaian
tingkat kesehatan Bank khususnya faktor profile risiko (risk
profile) yang metode perhitungannya mengacu kepada
Peraturan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat
kesehatan bank umum.
(3) Bank yang melanggar kewajiban pelaporan kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2),
Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 24 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 30 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 31, Pasal 32
ayat (3), Pasal 43 ayat (3), Pasal 53 ayat (6), Pasal 55 ayat (4),
Pasal 56 ayat (1), Pasal 57 ayat (5), Pasal 58 ayat (2), Pasal 61
ayat (5), Pasal 62, Pasal 63 ayat (2), Pasal 67 ayat (2), Pasal 68
ayat (4), Pasal 70 ayat (6), Pasal 84, Pasal 85, dan Pasal 86
dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun …
- 52 -
Tahun 1998, berupa:
a.
teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja
keterlambatan penyampaian laporan dan/atau
pemuatan pengumuman untuk setiap laporan dan/atau
pengumuman;
b.
teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) apabila Bank
tidak menyampaikan laporan dan/atau tidak
melaksanakan pengumuman.
(4) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau
tidak melaksanakan pengumuman sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) huruf b apabila Bank belum menyampaikan
laporan atau Bank tidak menyampaikan laporan secara
lengkap, dan/atau belum melaksanakan pengumuman
setelah 30 (tiga puluh) hari kerja sejak batas akhir
penyampaian laporan dan/atau pelaksanaan pengumuman.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
tidak berlaku untuk laporan terkait pengangkatan,
pemberhentian atau penggantian Pejabat Eksekutif serta
laporan pelaksanaan pembukaan, perubahan status,
pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor Bank.
(6) Pengenaan sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar
karena dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau
pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak menghapus kewajiban bank untuk
menyampaikan laporan dan/atau pelaksanaan pengumuman.
(7) Dalam hal penyampaian laporan dan/atau pelaksanaan
pengumuman …
- 53 -
pengumuman dilakukan secara gabungan maka apabila Bank
dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
sanksi dimaksud dihitung per jumlah laporan dan/atau
pengumuman sebagaimana
laporan/pengumuman gabungan.
tercantum dalam
23. Di antara Pasal 87 dan Pasal 88 disisipkan 2 (dua) Pasal, yakni
Pasal 87A dan Pasal 87B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 87A
(1) Penyampaian laporan pengangkatan, pemberhentian atau
penggantian Pejabat Eksekutif serta laporan pelaksanaan
pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau
penutupan kantor Bank melalui laporan kantor pusat bank
umum efektif berlaku pada tanggal 2 Januari 2012.
(2) Selama belum dimungkinkan pelaporan melalui laporan
kantor pusat bank umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bank wajib menyampaikan laporan secara offline setiap
bulan, paling lambat pada tanggal 5 bulan berikutnya.
(3) Penyampaian laporan pengangkatan, pemberhentian atau
penggantian Pejabat Eksekutif serta laporan pelaksanaan
pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau
penutupan kantor Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
untuk pertama kali disampaikan bersamaan dengan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78B ayat (1).
Pasal 87B
Kewajiban untuk menyampaikan kajian yang merupakan lampiran
Rencana Bisnis Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34A
disampaikan pertama kali paling lama tanggal 30 Maret 2012.
Pasal II …
- 54 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Desember 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Desember 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
AMIR SYAMSUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 147
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/ 27 /PBI/2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/1/PBI/2009 TENTANG BANK UMUM
UMUM
Salah satu faktor penting dalam mewujudkan terciptanya
industri perbankan yang sehat, kuat dan dipercaya masyarakat adalah
terciptanya pengelolaan kelembagaan bank secara profesional baik
dalam memenuhi kebutuhan sumber daya manusia maupun dalam
perencanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat atau
penutupan kantor Bank sehingga mampu mendukung pertumbuhan
usaha secara sehat.
Untuk mencapai maksud tersebut maka bank perlu menerapkan
prinsip tata kelola yang baik (good corporate governance) guna
memitigasi berbagai risiko yang mungkin terjadi serta memastikan
pemenuhan terhadap ketentuan yang berlaku.
Disamping itu, dalam upaya untuk senantiasa meningkatkan
efektivitas dan efisiensi, maka dipandang perlu untuk memanfaatkan
perkembangan teknologi informasi sehingga laporan pengangkatan,
penggantian atau pemberhentian Pejabat Eksekutif dan laporan
pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat,
dan/atau penutupan kantor Bank disampaikan secara online melalui
mekanisme laporan kantor pusat bank umum.
PASAL …
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup Jelas.
Angka 2
Pasal 3A
Ayat (1)
Penerapan manajemen risiko terkait dengan Direksi,
Dewan Komisaris dan Pejabat Eksekutif, serta
pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat
dan/atau penutupan kantor Bank merupakan
bagian dari penerapan manajemen risiko Bank
secara keseluruhan.
Penerapan manajemen risiko mengacu kepada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penerapan manajemen risiko bagi bank umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 7
Ayat (1)
Salah satu calon pemilik ini bertindak mewakili
pemilik lainnya. Dalam pelaksanaannya,
permohonan …
- 3 -
permohonan dapat diajukan oleh PSP atau
pemegang saham mayoritas.
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Salah satu hal yang harus dimuat dalam
Anggaran Dasar menyangkut kepemilikan
antara lain bahwa pemegang saham
Bank harus memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Huruf b
Data kepemilikan harus memuat secara jelas
struktur kepemilikan saham sampai dengan
pemilik terakhir (ultimate shareholders) dan
beneficial owners (apabila ada).
Huruf c
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2 …
- 4 -
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Termasuk dokumen yang dilampirkan
dalam daftar Riwayat Hidup ini adalah
surat keterangan atau bukti tertulis dari
perusahaan tempat bekerja sebelumnya
mengenai pengalaman operasional di
bidang perbankan bagi calon anggota
Direksi atau bagi calon anggota Dewan
Komisaris yang mempunyai pengalaman,
apabila ada.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Huruf d
Susunan dan struktur organisasi serta
personalia antara lain meliputi organization
chart, garis tanggung jawab horisontal dan
vertikal, serta jabatan dan nama-nama
personalia paling kurang sampai dengan
tingkatan Pejabat Eksekutif.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f…
- 5 -
Huruf f
Corporate plan antara lain meliputi rencana-
rencana strategis Bank dalam jangka
menengah (tiga tahunan) dan jangka panjang
(lima tahunan) dalam rangka pencapaian
tujuan Bank.
Huruf g
Penyusunan pedoman dan rencana
sebagaimana dimaksud pada huruf ini
mengacu kepada masing-masing ketentuan
yang mengatur.
Huruf h
Termasuk dalam sistem dan prosedur kerja
adalah buku pedoman (manual) yang lengkap
dan komprehensif yang akan digunakan untuk
kegiatan operasional Bank.
Huruf i
Dalam hal pendirian Bank dilakukan oleh
Pemerintah maka ketentuan mengenai bukti
setoran modal dan tata cara penyetoran modal
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Huruf j
Dalam hal calon pemegang saham Bank
berbentuk badan hukum, maka surat
pernyataan pribadi dibuat dan disampaikan
oleh pengurus yang mempunyai wewenang
untuk mewakili badan hukum yang
bersangkutan …
- 6 -
bersangkutan.
Angka 1
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara
lain meliputi lembaga keuangan non-bank,
lembaga pembiayaan atau perusahaan.
Tidak termasuk dalam pengertian pihak
lain adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, atau lembaga lain yang diberikan
tugas oleh pemerintah untuk
menyelamatkan Bank.
Angka 2
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Dokumen dan/atau surat pernyataan yang
dimaksud pada angka ini antara lain
adalah surat pernyataan dari calon PSP
yang menyatakan niat baik dan
kesediaannya untuk melakukan upaya-
upaya yang diperlukan apabila Bank
menghadapi kesulitan permodalan
maupun likuiditas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2 …
- 7 -
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Kewajiban menyampaikan data mengenai
struktur kelompok usaha dikecualikan
dalam hal pemilik Bank adalah
Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah.
Apabila terdapat pemilik lain maka
kewajiban menyampaikan struktur
kelompok usaha diberlakukan bagi pemilik
lain tersebut.
Angka 7
Dokumen dan/atau surat pernyataan yang
dimaksud pada angka ini antara lain
adalah surat pernyataan dari calon PSP
yang menyatakan niat baik dan
kesediaannya untuk melakukan upaya-
upaya yang diperlukan apabila Bank
menghadapi kesulitan permodalan
maupun likuiditas.
Surat pernyataan calon PSP berbentuk
badan …
- 8 -
badan hukum dibuat dan disampaikan
oleh pengurus yang mempunyai wewenang
untuk mewakili badan hukum yang
bersangkutan.
Dalam hal Bank merupakan bagian dari
kepemilikan suatu kelompok usaha maka
surat pernyataan disampaikan juga oleh
pemegang saham pengendali terakhir
atau pihak-pihak yang berdasarkan
penilaian Bank Indonesia mengendalikan
baik secara langsung maupun tidak
langsung atas seluruh kelompok usaha.
Pemegang Saham Pengendali Terakhir
(ultimate shareholders) yang selanjutnya
disebut dengan PSPT adalah perorangan
atau badan hukum yang secara langsung
maupun tidak langsung memiliki saham
Bank dan merupakan pengendali terakhir
dari Bank dan/atau keseluruhan struktur
kelompok usaha yang mengendalikan
Bank.
Huruf c
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “Anggaran
Pendapatan …
- 9 -
Pendapatan dan Belanja” adalah Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
dalam hal Pemerintah Pusat atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) dalam hal Pemerintah Daerah.
Angka 4
Dokumen dan/atau surat pernyataan yang
dimaksud pada angka ini antara lain
adalah surat pernyataan dari calon PSP
yang menyatakan niat baik dan
kesediaannya untuk melakukan upaya-
upaya yang diperlukan apabila Bank
menghadapi kesulitan permodalan
maupun likuiditas.
Angka 4
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian
atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia
dapat melakukan pemeriksaan.
Huruf b
Pelaksanaan uji kemampuan dan kepatutan (fit
and proper test) dilakukan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Angka 5 …
- 10 -
Angka 5
Pasal 17
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak-pihak” adalah
perorangan dan/atau badan hukum.
Bagi PSP yang merupakan badan hukum,
pengertian PSP adalah sampai dengan PSP terakhir
dari badan hukum yang bersangkutan. Dalam hal
badan hukum pemegang saham Bank dimiliki dan
dikendalikan oleh badan hukum secara berjenjang
dalam suatu kelompok usaha maka PSP terakhir
adalah perorangan atau badan hukum yang secara
langsung maupun tidak langsung memiliki saham
Bank dan merupakan pengendali terakhir dari
keseluruhan struktur kelompok usaha yang
mengendalikan Bank.
Pemegang Saham Pengendali Terakhir (ultimate
shareholders) yang selanjutnya disebut dengan PSPT
adalah perorangan atau badan hukum yang secara
langsung maupun tidak langsung memiliki saham
Bank dan merupakan pengendali terakhir dari Bank
dan/atau keseluruhan struktur kelompok usaha
yang mengendalikan Bank.
Dalam …
- 11 -
Dalam hal badan hukum terakhir dari keseluruhan
struktur kelompok usaha yang mengendalikan Bank
tidak memiliki pengendali maka badan hukum
tersebut merupakan PSPT. Pihak-pihak yang dapat
mewakili PSPT yang berbentuk badan hukum
tersebut adalah pihak-pihak yang sesuai Anggaran
Dasar berwenang mewakili badan hukum
dimaksud.
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Yang dimaksud dengan
“perbuatan
dan/atau tindakan tertentu” serta “sanksi”
adalah sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper
test).
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat 3 …
- 12 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Yang dimaksud dengan “perbuatan
dan/atau tindakan tertentu” serta “sanksi”
adalah sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper
test).
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 13 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 28
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 30
Ayat (1)
Persyaratan dan tata cara persetujuan Bank
Indonesia terhadap calon anggota Dewan Komisaris
dan Direksi mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai uji kemampuan
dan kepatutan (fit and proper test).
Khusus bagi anggota Direksi Bank yang
membawahkan fungsi kepatuhan, tata cara
persetujuan anggota Direksi dimaksud juga
berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pelaksanaan fungsi kepatuhan
bank umum.
Yang dimaksud dengan “tugas dan fungsi dalam
jabatannya” adalah bertindak mewakili Bank dalam
membuat keputusan yang secara hukum mengikat
Bank dan/atau mengambil keputusan penting yang
mempengaruhi kondisi keuangan Bank.
Ayat (2) …
- 14 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ketentuan perundang-
undangan yang berlaku” antara lain adalah:
a. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas;
b. Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah;
dan
c. Ketentuan perundang-undangan lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dengan adanya ketentuan ini maka pengangkatan
calon anggota Dewan Komisaris atau anggota
Direksi wajib dilakukan paling lambat 6 bulan
setelah diperolehnya persetujuan Bank Indonesia
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “belum efektif” adalah tidak
dapat mewakili Bank untuk membuat keputusan
yang secara hukum mengikat Bank dan/atau
mengambil keputusan penting yang mempengaruhi
kondisi keuangan Bank.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Angka 10 …
- 15 -
Angka 10
Pasal 31 A
Penelitan terhadap Pejabat Eksekutif dilakukan baik
terhadap Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 maupun Pejabat Eksekutif sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
Penelitian antara lain meminta informasi, referensi dari
tempat kerja sebelumnya dan informasi mengenai kredit
macet.
Angka 11
Pasal 32
Ayat (1)
Termasuk dalam pengertian pemberhentian adalah
pemberhentian Pejabat Eksekutif atas perintah
Bank Indonesia karena yang bersangkutan memiliki
rekam jejak negatif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Pengertian “daftar tidak lulus” mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia mengenai uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper
test).
Huruf b …
- 16 -
Huruf b
Pengertian “memiliki kredit macet” mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia mengenai uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper
test).
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 33
Ayat (1)
Ketentuan Bank Indonesia mengenai uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test)
berlaku juga terhadap Pejabat Eksekutif sementara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 33 A
Cukup jelas.
Angka 14 …
- 17 -
Angka 14
Pasal 34A
Ayat (1)
Kantor Bank antara lain berupa kantor pusat,
Kanwil, KC, KCP, KF, KK, dan KPK.
Pencantuman rencana penutupan kantor Bank
dalam Rencana Bisnis Bank tidak termasuk
penutupan kantor Bank yang dilakukan karena
pengenaan sanksi dari Bank Indonesia.
Ayat (2)
Kajian ini merupakan pendukung rencana
pengembangan dan/atau perubahan jaringan
kantor sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai rencana bisnis bank.
Format kajian diatur lebih lanjut dalam ketentuan
Bank Indonesia.
Pasal 34B
Cukup jelas.
Pasal 34C
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …
- 18 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Rencana bisnis dimaksud paling kurang
memuat rencana penghimpunan dan
penyaluran dana, strategi pencapaiannya dan
proyeksi keuangan KC.
Ayat (3)
Dalam hal pertanggungjawaban KC kepada kantor
pusat dilakukan melalui kantor lainnya yang lebih
tinggi misalnya melalui Kanwil, maka
pertanggungjawaban KC dan mekanisme
pendelegasian wewenang harus diatur dengan jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Apabila diperlukan Bank Indonesia dapat
melakukan pemeriksaan untuk meneliti
kesiapan pembukaan kantor dan kebenaran
dokumen yang disampaikan.
Pemeriksaan Bank Indonesia berkaitan dengan
persiapan operasional dapat mencakup antara
lain lokasi KC, bukti kepemilikan/sewa gedung,
kesiapan ruangan termasuk ruang khasanah,
daftar aktiva tetap inventaris, struktur
organisasi kantor cabang dan sumber daya
manusia,
informasi mengenai
jaringan
telekomunikasi dan warkat yang akan
digunakan.
Huruf b …
- 19 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kantor Bank Indonesia”
adalah kantor pusat dan/atau Kantor Bank
Indonesia di daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Daftar pemenuhan persyaratan (compliance check
list) merupakan media yang membuktikan bahwa
satuan kerja kepatuhan telah memastikan kesiapan
operasional pembukaan KCP.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 20 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
KK atau KPK berfungsi secara terbatas sebagai
sarana pembayaran dan penyetoran dalam hal
pelayanan penyediaan dana (misalnya pencairan
kredit kepada nasabah) dan/atau penghimpunan
dana dari nasabah. Dengan demikian, KK atau KPK
tidak berwenang untuk melakukan analisis dan
membuat keputusan dalam proses penyediaan dana
(pemberian kredit) kepada nasabah.
Yang dimaksud dengan “kantor Bank Indonesia”
adalah kantor pusat dan/atau Kantor Bank
Indonesia di daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 21 -
Ayat (2)
Huruf a
Contoh kegiatan operasional yang dilakukan
oleh Kantor Fungsional antara lain loan center
atau card center.
Huruf b
Contoh kegiatan non operasional yang
dilakukan oleh Kantor Fungsional antara lain
kantor perwakilan pemasaran atau IT center.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kantor Bank Indonesia”
adalah kantor pusat dan/atau Kantor Bank
Indonesia di daerah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Daftar pemenuhan persyaratan (compliance check
list) merupakan media yang membuktikan bahwa
satuan kerja kepatuhan telah memastikan kesiapan
operasional pembukaan KF.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 41 …
- 22 -
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Mengingat pada dasarnya Kanwil
melakukan fungsi administratif dan
koordinatif, maka apabila Kanwil juga
diberi kewenangan untuk memberikan
persetujuan atas penyediaan dana yang
dilakukan oleh KC yang berada di bawah
koordinasinya, kewenangan dimaksud
wajib dicantumkan dalam dokumen yang
memuat tugas dan kewenangan Kanwil.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)…
- 23 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Alasan pembukaan kantor merupakan bagian dari
kajian yang disampaikan dalam Rencana Bisnis
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34A ayat
(2).
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Pencantuman nama dan jenis kantor Bank dapat
dilakukan antara lain melalui papan nama dan/atau
pada dinding atau kaca depan kantor Bank agar mudah
terlihat oleh nasabah.
Contoh:
1. PT Bank XXX
Kantor Cabang YYY
2. PT Bank XXX
Kantor Cabang Pembantu YYY
Angka 16 …
- 24 -
Angka 16
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dengan disetujuinya permohonan penurunan status
KC menjadi KCP, KK atau KPK maka izin KC
dicabut.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 49
Ayat (1)
Dalam hal Bank akan memindahkan alamat kantor
pusat ke lokasi baru dan lokasi yang lama akan
digunakan sebagai KC maka pemindahan alamat
kantor pusat memenuhi ketentuan dalam ayat ini
sedangkan untuk KC di lokasi yang lama memenuhi
ketentuan pembukaan KC sebagaimana dimaksud
pada Pasal 35 dan Pasal 36.
Ayat (2) …
- 25 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Daftar pemenuhan persyaratan (compliance check
list) merupakan media yang membuktikan bahwa
satuan kerja kepatuhan telah memastikan kesiapan
segala sesuatu terkait dengan pemindahan alamat
kantor pusat dan/atau KC.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “kantor Bank Indonesia”
adalah kantor pusat dan/atau Kantor Bank
Indonesia di daerah.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “lokasi yang
berdekatan” adalah lokasi dalam jarak sekitar
radius 5 km.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
KC demikian dapat terjadi karena pendirian KC
baru atau kelanjutan kegiatan operasional dari
kantor pusat.
Pasal 50
Ayat (1)
Huruf a
Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat
melakukan …
- 26 -
melakukan pemeriksaan untuk meneliti
persiapan pemindahan alamat kantor dan
kebenaran dokumen yang disampaikan.
Daftar pemenuhan persyaratan (compliance
check list) merupakan media yang
membuktikan bahwa satuan kerja kepatuhan
telah memastikan kesiapan segala sesuatu
terkait dengan pemindahan alamat kantor
pusat dan/atau KC.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 27 -
Ayat (2)
Huruf a
Daftar pemenuhan persyaratan (compliance
check list) merupakan media yang
membuktikan bahwa satuan kerja kepatuhan
telah memastikan kesiapan segala sesuatu
terkait dengan pemindahan alamat Kanwil,
KCP dan KF di dalam negeri.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “lokasi yang
berdekatan” adalah lokasi dengan jarak paling
jauh 5 km dari lokasi awal.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 53 …
- 28 -
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengumuman pelaksanaan pemindahan alamat KPK
dapat ditempelkan di tempat yang mudah dilihat
oleh nasabah Bank seperti di kaca depan kantor
atau di mesin ATM.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian
atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia
dapat melakukan pemeriksaan.
Huruf b
Tata cara penilaian terhadap calon PSP, calon
anggota …
- 29 -
anggota Dewan Komisaris dan calon anggota
Direksi tunduk pada ketentuan Bank Indonesia
mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit
and proper test).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian
atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia
melakukan pemeriksaan terhadap Bank.
Huruf b
Tata cara penilaian terhadap calon PSP, calon
anggota dewan Komisaris dan calon Direksi
tunduk kepada ketentuan Bank Indonesia
mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit
and proper test).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
- 30 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak
lainnya dapat dilakukan antara lain melalui
pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor
lainnya dari Bank tersebut atau pihak lain dengan
persetujuan nasabah atau pihak lain.
Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah
adalah berupa neraca KC yang menunjukkan
seluruh kewajiban KC kepada nasabah dan pihak
lain telah diselesaikan.
Huruf a
Bukti penyelesaian seluruh kewajiban Bank
kepada nasabah dan pihak lain baik dari sisi
aktiva maupun pasiva dapat berbentuk:
1. Penitipan dana yang dapat ditarik
sewaktu …
- 31 -
sewaktu-waktu oleh nasabah;
2. Pengalihan kredit kepada pihak lain
termasuk kantor pusat atau Kantor
Cabang lainnya;
3. Neraca Kantor Cabang; dan/atau
4. Dokumen lain yang mendukung.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak
lainnya dapat dilakukan antara lain melalui
pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank
atau pihak lain.
Huruf a …
- 32 -
Huruf a
Bukti penyelesaian seluruh kewajiban Bank
kepada pihak lain baik dari sisi aktiva maupun
pasiva dapat berbentuk:
1. Penitipan dana yang dapat ditarik
sewaktu-waktu oleh nasabah;
2. Kredit telah dialihkan kepada pihak lain
termasuk kantor pusat atau Kantor
Cabang lainnya;
3. Neraca Kantor Cabang; dan/atau
4. Dokumen lain yang mendukung.
Huruf b
Cukup Jelas.
Pasal 68A
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pengajuan permohonan izin kepada otoritas di
negera setempat dilakukan setelah adanya izin dari
Bank Indonesia.
Ayat (5) …
- 33 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak
lainnya dapat dilakukan antara lain melalui
pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank
atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau
pihak lain.
Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah
adalah berupa neraca Kantor Cabang dan jenis-jenis
kantor lainnya yang bersifat operasional yang
menunjukkan seluruh kewajiban Kantor Cabang
dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat
operasional kepada nasabah dan pihak lain telah
selesai.
Huruf a
Bukti penyelesaian seluruh aset dan kewajiban
Bank kepada pihak lain baik dari sisi aktiva
maupun pasiva dapat berbentuk:
Penitipan dana yang dapat ditarik
sewaktu-waktu oleh nasabah;
1. Pengalihan kredit kepada pihak lain
termasuk kantor pusat atau Kantor
Cabang lainnya;
2. Neraca Kantor Cabang; dan/atau
3. Dokumen lain yang mendukung.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c …
- 34 -
Huruf c
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 78A
Cukup jelas.
Pasal 78B
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Laporan dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia
apabila telah disampaikan secara lengkap dengan
memuat data, informasi dan/atau dokumen yang
dipersyaratkan sesuai jenis laporannya.
Tanggal penerimaan laporan oleh Bank Indonesia
adalah tanggal:
a. Stempel pos (time stamp), apabila laporan
dikirimkan melalui P.T. Pos Indonesia atau jasa
pengiriman lainnya; atau
b. Penerimaan laporan di kantor Bank Indonesia,
apabila laporan disampaikan secara langsung
kepada Bank Indonesia.
Huruf a …
- 35 -
Huruf a
Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung
sebagai berikut:
Jumlah kewajiban membayar = jumlah hari
keterlambatan x Rp1.000.000,00 x jumlah
laporan/ pengumuman.
Huruf b
Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung
sebagai berikut:
Jumlah kewajiban membayar
=
Rp30.000.000,00 x jumlah laporan/
pengumuman.
Bank yang dikenakan sanksi
tidak
menyampaikan laporan, tidak dikenakan
sanksi keterlambatan penyampaian laporan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Ketentuan mengenai pelaporan pengangkatan,
pemberhentian atau penggantian Pejabat Eksekutif
serta pelaporan pembukaan, perubahan status,
pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor
Bank telah diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku mengenai laporan kantor pusat bank
umum sehingga ketentuan pada ayat (3) dan ayat (4)
tidak berlaku.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7) …
- 36 -
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 87A
Cukup jelas.
Pasal 87B
Selanjutnya kajian disampaikan bersamaan dengan
penyampaian rencana bisnis bank sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai rencana
bisnis bank.
Pasal II
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5267
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/27/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/1/PBI/2009 TENTANG BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 28 Desember 2011 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2011 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2011 </issued_date>
<changed_reg> '11/1/PBI/2009' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 22 Bab XII Pasal 79' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
Nomor : 7/29/PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
6/15/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA
BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa kondisi perekonomian nasional yang stabil perlu
tetap dijaga antara lain melalui stabilitas moneter;
b.
bahwa stabilitas moneter dapat dicapai melalui
pengendalian uang beredar yang antara lain dilakukan
melalui
pengaturan
likuiditas perbankan
penetapan giro wajib minimum;
c. bahwa pengaturan mengenai giro wajib minimum yang
berlaku
perlu disesuaikan dengan kondisi
likuiditas
perbankan dari waktu ke waktu dan kemampuan bank
melakukan fungsi intermediasi;
d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
menyempurnakan ketentuan mengenai giro wajib minimum
pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing dalam
suatu Peraturan Bank Indonesia;
termasuk
Mengingat: …
- 2 -
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/15/PBI/2004 tentang
Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia
Dalam Rupiah Dan Valuta Asing (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4390);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan:
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/15/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM
BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH
DAN VALUTA ASING.
Pasal I …
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/15/PBI/2004
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah
Dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 55,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4390) diubah sebagai
berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 ditambah 1 (satu) angka baru yakni angka 12, yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
12. Loan to Deposit Ratio, untuk selanjutnya disebut LDR, adalah rasio
kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dalam rupiah dan valuta
asing, tidak termasuk kredit kepada Bank lain, terhadap dana pihak
ketiga yang mencakup giro, tabungan, dan deposito dalam rupiah dan
valuta asing, tidak termasuk antar Bank.
2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
ditetapkan sebesar 5% (lima perseratus) dari DPK dalam rupiah.
(2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah yang ditetapkan
berdasarkan besarnya:
a. DPK; dan
b. LDR.
(3) Kewajiban …
- 4 -
(3) Kewajiban memelihara tambahan GWM dalam rupiah berdasarkan
besarnya DPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan
sebagai berikut:
a. Bank
yang memiliki
DPK dalam rupiah sampai dengan
Rpl.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) dikenakan tambahan
GWM dalam rupiah sebesar 0% (nol perseratus) dari DPK dalam
rupiah;
b. Bank
yang memiliki
Rpl.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai
DPK dalam rupiah lebih dari
dengan
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) wajib
memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 1% (satu
perseratus) dari DPK dalam rupiah;
c. Bank
yang memiliki
DPK dalam rupiah lebih dari
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) sampai dengan
Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah) wajib
memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 2% (dua
perseratus) dari DPK dalam rupiah;
d. Bank
yang memiliki
DPK dalam rupiah lebih dari
Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah) wajib
memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 3% (tiga
perseratus) dari DPK dalam rupiah.
(4) Kewajiban memelihara tambahan GWM dalam rupiah berdasarkan
besarnya LDR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan
sebagai berikut:
a. Bank …
- 5 -
a. Bank
yang memiliki LDR lebih dari 90% (sembilan puluh
perseratus) dikenakan tambahan GWM sebesar 0% (nol perseratus)
dari DPK dalam rupiah;
b. Bank yang memiliki LDR lebih dari 75% (tujuh puluh lima
perseratus) sampai dengan 90% (sembilan puluh perseratus) wajib
memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 1% (satu
perseratus) dari DPK dalam rupiah;
c. Bank yang memiliki LDR lebih dari 60% (enam puluh perseratus)
sampai dengan 75% (tujuh puluh lima perseratus) wajib memelihara
tambahan GWM dalam rupiah sebesar 2% (dua perseratus) dari DPK
dalam rupiah;
d. Bank yang memiliki LDR lebih dari 50% (lima puluh perseratus)
sampai dengan 60% (enam puluh perseratus) wajib memelihara
tambahan GWM dalam rupiah sebesar 3% (tiga perseratus) dari DPK
dalam rupiah;
e. Bank yang memiliki LDR sebesar 40% (empat puluh perseratus)
sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) wajib memelihara
tambahan GWM dalam rupiah sebesar 4% (empat perseratus) dari
DPK dalam rupiah;
f. Bank yang memiliki LDR kurang dari 40% (empat puluh perseratus)
wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 5% (lima
perseratus) dari DPK dalam rupiah.
3. Ketentuan …
- 6 -
3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
Persentase GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 dapat
disesuaikan dari waktu ke waktu dengan mempertimbangkan kondisi
perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia.
4. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Bank wajib memelihara GWM secara harian.
(2) Kewajiban pemeliharaan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan pemenuhan persentase GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dan Pasal 4 dihitung dengan membandingkan jumlah saldo Rekening
Giro Bank pada Bank Indonesia setiap hari dalam satu masa laporan
terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam satu masa laporan pada dua
masa laporan sebelumnya
(3) Informasi mengenai DPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a diperoleh dari data DPK yang
disampaikan Bank kepada Bank Indonesia, sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia tentang Laporan Berkala Bank Umum.
(4) Informasi mengenai LDR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
huruf b diperoleh dari pos-pos neraca mingguan yang disampaikan Bank
kepada Bank Indonesia, sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia tentang
Laporan Berkala Bank Umum.
(5) Informasi …
- 7 -
(5) Informasi mengenai saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh dari sistem akunting
Bank Indonesia.
(6) Perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku
untuk GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing.
5. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari kerja terhadap bagian
saldo Rekening Giro Rupiah Bank
yang
pemenuhan kewajiban memelihara tambahan GWM dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) dengan
tingkat bunga sebesar 5,5% (lima setengah perseratus) pertahun.
6. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tidak berlaku
bagi:
a. bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank untuk pemenuhan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1);
b. bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang melebihi kewajiban
memelihara tambahan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3) dan Pasal 3 ayat (4);
diperuntukkan untuk
c. bagian …
- 8 -
c. bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang merupakan kewajiban
memelihara tambahan GWM dalam rupiah yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 3
ayat (4).
7. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
Bank dinyatakan melanggar GWM apabila saldo harian Rekening Giro Bank
pada Bank Indonesia kurang dari saldo harian Rekening Giro Bank yang
wajib dipelihara untuk pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dan Pasal 4.
8. Penjelasan Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Dalam hal terjadi pelanggaran GWM dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 dan Rekening Giro Rupiah Bank dimaksud
bersaldo positif, maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar 125% (seratus dua puluh lima perseratus) dari rata-rata suku
bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR pada hari
terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam rupiah, untuk
setiap hari pelanggaran.
(2) Dalam hal terjadi pelanggaran GWM dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 dan Rekening Giro Rupiah Bank dimaksud
bersaldo negatif, maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar:
a. 125% …
- 9 -
a. 125% (seratus dua puluh lima perseratus) dari rata-rata suku bunga
jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR pada hari terjadinya
pelanggaran, terhadap GWM dalam rupiah yang wajib dipelihara;
ditambah dengan
b. 150% (seratus lima puluh perseratus) dari Suku Bunga PUAB untuk
jangka waktu 1 (satu) hari, yang tercatat di PIPU, terhadap saldo
negatif,
untuk setiap hari pelanggaran.
9. Penjelasan Pasal 15 ayat (2) diubah sehingga Pasal 15 ayat (2) berbunyi
sebagai berikut:
(2) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibayarkan dalam valuta rupiah dengan menggunakan kurs transaksi
Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran.
10. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15,
Bank yang tidak memenuhi kewajiban pemeliharaan GWM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan atau Pasal 4, dapat dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Pasal II …
- 10 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 8 September 2005.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 6 September 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 80
DPNP/DPM/DKM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
Nomor : 7/29/PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
6/15/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA
BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
UMUM
Terciptanya stabilitas moneter, antara lain melalui pengendalian tingkat
inflasi dan nilai tukar, merupakan hal yang sangat diperlukan dalam rangka
mewujudkan kondisi perekonomian yang stabil.
Salah satu piranti moneter yang dapat digunakan Bank Indonesia untuk
menciptakan stabilitas moneter adalah dengan mengendalikan likuiditas
perbankan melalui penerapan giro wajib minimum.
Penerapan kebijakan giro wajib minimum dapat disesuaikan dari waktu ke
waktu sejalan dengan kondisi likuiditas perbankan, kemampuan bank melakukan
fungsi intermediasi, dan arah kebijakan Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2 …
- 2 -
Angka 2
Pasal 3
Ayat (1)
GWM dalam rupiah sebesar 5% (lima perseratus)
wajib dipenuhi oleh seluruh Bank
tanpa
memperhatikan jumlah DPK dalam rupiah yang
dimiliki dan besarnya LDR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Sebagai contoh:
Bank memiliki DPK dalam rupiah
sebesar
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) maka
Bank wajib memelihara GWM dalam rupiah
sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun
rupiah); ditambah dengan
b. 0% (nol perseratus) dari
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun
rupiah).
Huruf b
Sebagai contoh:
Bank memiliki DPK dalam rupiah sebesar
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah)
maka …
- 3 -
maka Bank wajib memelihara GWM dalam
rupiah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun
rupiah); ditambah dengan
b. 1% (satu perseratus) dari
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun
rupiah).
Huruf c
Sebagai contoh:
Bank memiliki DPK dalam rupiah sebesar
Rp25.000.000.000.000,00 (dua puluh lima
triliun rupiah) maka Bank wajib memelihara
GWM dalam rupiah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari
Rp25.000.000.000.000,00 (dua puluh lima
triliun rupiah); ditambah dengan
b. 2% (dua perseratus) dari
Rp25.000.000.000.000,00 (dua puluh lima
triliun rupiah).
Huruf d
Sebagai contoh:
Bank memiliki DPK dalam rupiah sebesar
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima
triliun rupiah) maka Bank wajib memelihara
GWM dalam rupiah sebesar:
a. 5% …
- 4 -
a. 5% (lima perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah); ditambah dengan
b. 3% (tiga perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah).
Ayat (4)
Huruf a
Sebagai contoh:
Bank memiliki DPK dalam rupiah sebesar
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima
triliun rupiah) dengan LDR sebesar 95%
(sembilan puluh lima perseratus) maka Bank
wajib memelihara GWM dalam rupiah
sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah); ditambah dengan
b. 3% (tiga perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah), yang merupakan
kewajiban memelihara tambahan GWM
berdasarkan DPK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d; ditambah
dengan
c. 0% …
- 5 -
c. 0% (nol perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah), yang merupakan
kewajiban memelihara tambahan GWM
berdasarkan LDR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a.
Huruf b
Sebagai contoh:
Bank memiliki DPK dalam rupiah sebesar
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima
triliun rupiah) dengan LDR sebesar 90%
(sembilan puluh perseratus) maka Bank wajib
memelihara GWM dalam rupiah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah); ditambah dengan
b. 3% (tiga perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah) yang merupakan
kewajiban memelihara tambahan GWM
berdasarkan DPK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d; ditambah
dengan
c. 1% …
- 6 -
c. 1% (satu perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah) yang merupakan
kewajiban memelihara tambahan GWM
berdasarkan LDR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b.
Huruf c
Sebagai contoh:
Bank memiliki DPK dalam rupiah sebesar
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima
triliun rupiah) dengan LDR sebesar 65%
(enam puluh lima perseratus) maka Bank
wajib memelihara GWM dalam rupiah
sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah); ditambah dengan
b. 3% (tiga perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah) yang merupakan
kewajiban memelihara tambahan GWM
berdasarkan DPK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d; ditambah
dengan
c. 2% …
- 7 -
c. 2% (dua perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah) yang merupakan
kewajiban memelihara tambahan GWM
berdasarkan LDR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (4) huruf c.
Huruf d
Sebagai contoh:
Bank memiliki DPK dalam rupiah sebesar
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima
triliun rupiah) dengan LDR sebesar 52% (lima
puluh dua perseratus) maka Bank
wajib
memelihara GWM dalam rupiah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah); ditambah dengan
b. 3% (tiga perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah) yang merupakan
kewajiban memelihara tambahan GWM
berdasarkan DPK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d; ditambah
dengan
c. 3% …
- 8 -
c. 3% (tiga perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah) yang merupakan
kewajiban memelihara tambahan GWM
berdasarkan LDR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (4) huruf d.
Huruf e
Sebagai contoh:
Bank memiliki DPK dalam rupiah sebesar
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima
triliun rupiah) dengan LDR sebesar 40%
(empat puluh perseratus) maka Bank wajib
memelihara GWM dalam rupiah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah); ditambah dengan
b. 3% (tiga perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah) yang merupakan
kewajiban memelihara tambahan GWM
berdasarkan DPK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d; ditambah
dengan
c. 4% …
- 9 -
c. 4% (empat perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah) yang merupakan
kewajiban memelihara tambahan GWM
berdasarkan LDR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (4) huruf e.
Huruf f
Sebagai contoh:
Bank memiliki DPK dalam rupiah sebesar
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima
triliun rupiah) dengan LDR sebesar 35% (tiga
puluh lima perseratus) maka Bank wajib
memelihara GWM dalam rupiah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah); ditambah dengan
b. 3% (tiga perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah) yang merupakan
kewajiban memelihara tambahan GWM
berdasarkan DPK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d; ditambah
dengan
c. 5% …
- 10 -
c. 5% (lima perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah) yang merupakan
kewajiban memelihara tambahan GWM
berdasarkan LDR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (4) huruf f.
Angka 3
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Formula perhitungan persentase GWM adalah
sebagai berikut:
Jumlah harian saldo Rekening Giro Bank yang
tercatat di Bank Indonesia setiap hari dalam 1
(satu) masa laporan.
x 100%
Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1
(satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan
sebelumnya.
Persentase GWM Bank dalam rupiah atau valuta
asing sebagaimana dimaksud diatas didasarkan pada
DPK Bank sebagai berikut:
a. GWM …
- 11 -
a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1
sampai dengan 7 adalah sebesar persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata DPK dalam masa
laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal
23 bulan sebelumnya;
b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 adalah persentase
GWM yang ditetapkan dari rata-rata DPK dalam
masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
akhir bulan sebelumnya;
c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16
sampai dengan tanggal 23 adalah sebesar
persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata
DPK dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai
dengan tanggal 7 bulan yang sama;
d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar
persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata
DPK dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai
dengan tanggal 15 bulan yang sama.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
LDR yang digunakan sebagai dasar perhitungan
tambahan GWM dalam rupiah didasarkan pada
pos-pos neraca mingguan Laporan Berkala Bank
Umum …
- 12 -
Umum posisi akhir tanggal laporan pada 2 (dua)
masa laporan sebelumnya.
Dengan demikian, perhitungan tambahan GWM
dalam rupiah berdasarkan besarnya LDR ditetapkan
sebagai berikut:
a. Tambahan GWM harian dalam rupiah untuk
masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7 didasarkan pada perhitungan besarnya
LDR pada akhir masa laporan minggu ketiga
bulan sebelumnya;
b. Tambahan GWM harian dalam rupiah untuk
masa laporan tanggal 8 sampai dengan tanggal
15 didasarkan pada perhitungan besarnya LDR
pada akhir masa laporan minggu keempat bulan
sebelumnya;
c. Tambahan GWM harian dalam rupiah untuk
masa laporan tanggal 16 sampai dengan tanggal
23 didasarkan pada perhitungan besarnya LDR
pada akhir masa laporan minggu pertama bulan
yang sama;
d. Tambahan GWM harian dalam rupiah untuk
masa laporan tanggal 24 sampai dengan tanggal
akhir bulan didasarkan pada perhitungan
besarnya LDR pada akhir masa laporan minggu
kedua bulan yang sama.
Ayat (5) …
- 13 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 11
Ayat (1)
Tingkat bunga sebesar 5,5% (lima setengah
perseratus) merupakan tingkat bunga efektif
tahunan (effective annual rate) yang
ditentukan berdasarkan periode compounding
harian selama 360 (tiga ratus enam puluh)
hari, yaitu 0,0149% perhari.
Contoh perhitungan:
Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam
rupiah dalam masa laporan sejak tanggal
8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari
sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun
rupiah) dan perhitungan besarnya LDR pada
akhir masa laporan minggu kedua adalah 73%
(tujuh puluh tiga perseratus).
GWM harian untuk masa laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
Januari adalah sebesar:
a. 5% …
- 14 -
a. 5% (lima perseratus) dari
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun
rupiah) yaitu sebesar
Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima
puluh miliar rupiah), sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1);
ditambah dengan
b. 1% (satu perseratus) dari
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun
rupiah) yaitu sebesar
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah), yang merupakan kewajiban
memelihara tambahan GWM berdasarkan
DPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (3) huruf b; ditambah dengan
c. 2% (dua perseratus) dari
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun
rupiah) yaitu sebesar
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah), yang merupakan kewajiban
memelihara tambahan GWM berdasarkan
LDR sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (4) huruf c.
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada
Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah
sebesar …
- 15 -
sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat ratus
miliar rupiah) atau 8% (delapan perseratus)
dari DPK dalam rupiah.
Bagi Bank A, jasa giro pada tanggal 24 Januari
hanya diberikan terhadap
bagian
saldo
Rekening Giro Rupiah Bank yang ditempatkan
untuk
pemenuhan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 3
ayat (4), yaitu sebesar Rp150.000.000.000,00
(seratus lima puluh miliar rupiah) dengan cara
perhitungan sebagai berikut:
0,0149% x Rp150.000.000.000,00 (seratus
lima puluh miliar rupiah).
Sementara itu, terhadap bagian saldo
Rekening Giro Rupiah Bank yang ditempatkan
untuk
pemenuhan GWM 5% sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yaitu sebesar
Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh
miliar rupiah) tidak diberikan jasa giro.
Angka 6
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam
rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8
sampai …
- 16 -
sampai dengan tanggal 15 bulan Januari
sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah), dengan perhitungan
besarnya LDR pada akhir masa laporan
minggu kedua adalah 82% (delapan puluh dua
perseratus).
GWM harian yang wajib dipelihara untuk
masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah) yaitu sebesar
Rp2.750.000.000.000,00 (dua triliun
tujuh ratus lima puluh miliar rupiah),
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1); ditambah dengan
b. 3% (tiga perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah) yaitu sebesar
Rp1.650.000.000.000,00 (satu triliun
enam ratus lima puluh juta rupiah), yang
merupakan kewajiban memelihara
tambahan GWM berdasarkan DPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3) huruf d ; ditambah dengan
c. 1% …
- 17 -
c. 1% (satu perseratus) dari
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah) yaitu sebesar
Rp550.000.000.000,00 (lima ratus lima
puluh miliar rupiah), yang merupakan
kewajiban memelihara tambahan GWM
berdasarkan LDR
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b.
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada
Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah
sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima
rupiah).
Bagi Bank A, jasa giro pada tanggal 24 Januari
hanya diberikan terhadap
Rekening
bagian
Giro Rupiah yang
untuk
saldo
ditempatkan
pemenuhan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 3
ayat (4), yaitu sebesar
Rp2.200.000.000.000,00 (dua triliun dua ratus
miliar rupiah) dengan cara perhitungan sebagai
berikut:
0,0149% x Rp2.200.000.000.000,00
Sementara itu, terhadap bagian saldo
Rekening
Giro Rupiah yang
ditempatkan
untuk pemenuhan GWM 5% sebagaimana
triliun
dimaksud …
- 18 -
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yaitu sebesar
Rp2.750.000.000.000,00 (dua triliun tujuh
ratus lima puluh miliar rupiah) dan kelebihan
saldo Rekening Giro Rupiah dari yang
diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) yaitu sebesar
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah) tidak diberikan jasa giro.
Huruf c
Contoh perhitungan:
Bank B memiliki rata-rata harian DPK dalam
rupiah dalam masa laporan sejak tanggal
8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari
sebesar Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh
triliun rupiah) dengan perhitungan besarnya
LDR pada akhir masa laporan minggu kedua
adalah 50% (lima puluh perseratus).
GWM harian yang wajib dipelihara untuk
masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari
Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh
triliun rupiah) yaitu sebesar
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun
rupiah), sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1); ditambah dengan
b. 2% …
- 19 -
b. 2% (dua perseratus) dari
Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh
triliun rupiah) yaitu sebesar
Rp400.000.000.000,00 (empat ratus
miliar rupiah),
yang
merupakan
kewajiban memelihara tambahan GWM
berdasarkan DPK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c; ditambah
dengan
c. 4% (empat perseratus) dari
Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh
triliun rupiah) yaitu sebesar
Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus
miliar rupiah),
yang
merupakan
kewajiban memelihara tambahan GWM
berdasarkan LDR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (4) huruf e.
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada
Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah
sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun
rupiah) atau 10% dari DPK dalam rupiah,
sehingga terdapat kekurangan sebesar
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar
rupiah). Untuk seluruh saldo Rekening Giro
Rupiah Bank, baik bagian yang diperuntukkan
untuk …
- 20 -
untuk
pemenuhan GWM 5% sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yaitu sebesar
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah)
maupun bagian kewajiban tambahan
pemeliharaan GWM yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (4) yaitu sebesar
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah),
tidak diberikan jasa giro.
Angka 7
Pasal 13
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hari adalah hari kerja.
Contoh 1 perhitungan sanksi:
Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam
rupiah dalam masa laporan sejak tanggal
8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari
sebesar Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh
triliun rupiah) dengan perhitungan besarnya
LDR pada akhir masa laporan minggu kedua
adalah 37% (tiga puluh tujuh perseratus).
GWM …
- 21 -
GWM harian untuk masa laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
Januari adalah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari
Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh
triliun rupiah) yaitu sebesar
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun
rupiah), sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1); ditambah dengan
b. 2% (dua perseratus) dari
Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh
triliun rupiah) yaitu sebesar
Rp400.000.000.000,00 (empat ratus
miliar rupiah),
yang
merupakan
kewajiban memelihara tambahan GWM
berdasarkan DPK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c; ditambah
dengan
c. 5% (lima perseratus) dari
Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh
triliun rupiah) yaitu sebesar
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun
rupiah), yang merupakan kewajiban
memelihara tambahan GWM berdasarkan
LDR sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (4) huruf f.
Saldo …
- 22 -
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada
Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah
sebesar Rp2.100.000.000.000,00 (dua triliun
seratus miliar rupiah) atau 10,5% dari
DPK dalam
rupiah, sehingga terdapat
kekurangan pemenuhan GWM sebesar
Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar
rupiah).
Suku Bunga JIBOR pada tanggal 24 Januari
adalah sebesar 8% (delapan perseratus).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas
pelanggaran GWM rupiah untuk Bank A pada
tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut:
Kekurangan GWM x 125%
x suku bunga JIBOR x hari kerja
360 x 100
yaitu
Rp300.000.000.000,00 x 1,25 x 8 x 1
360 x 100
Contoh 2 perhitungan sanksi:
Bank B memiliki rata-rata harian DPK dalam
rupiah dalam masa laporan sejak tanggal
8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari
sebesar Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus
miliar rupiah) dengan perhitungan besarnya
LDR pada akhir masa laporan minggu kedua
adalah 91% (sembilan puluh satu perseratus).
GWM …
- 23 -
GWM harian untuk masa laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
Januari adalah sebesar 5% (lima perseratus)
dari Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus
miliar rupiah) yaitu sebesar 40.000.000.000,00
(empat puluh miliar rupiah), sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank B pada
Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah
sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh
miliar rupiah) atau 2,5% dari DPK Bank,
sehingga terdapat kekurangan pemenuhan
GWM sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua
puluh miliar rupiah).
Suku Bunga JIBOR pada tanggal 24 Januari
adalah sebesar 8% (delapan perseratus).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas
pelanggaran GWM rupiah untuk Bank B pada
tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut:
Kekurangan GWM x 125%
x suku bunga JIBOR x hari kerja
360 x 100
yaitu
Rp20.000.000.000,00 x 1,25 x 8 x 1
360 x 100
Ayat (2) …
- 24 -
Ayat (2)
Contoh perhitungan sanksi:
Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam
rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai
dengan tanggal 15 bulan
Januari sebesar
Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun rupiah)
dengan perhitungan besarnya LDR pada akhir masa
laporan minggu kedua adalah 110% (seratus sepuluh
perseratus).
GWM harian yang wajib dipelihara untuk masa
laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir
bulan Januari adalah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari
Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun
rupiah) yaitu sebesar Rp1.000.000.000.000,00
(satu triliun rupiah), sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1); ditambah dengan
b. 2% (dua perseratus) dari
Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun
rupiah) yaitu sebesar Rp400.000.000.000,00
(empat ratus miliar rupiah), yang merupakan
kewajiban memelihara tambahan GWM
berdasarkan DPK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) huruf c; ditambah dengan
c. 0% …
- 25 -
c. 0% (nol perseratus) dari
Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun
rupiah) yaitu sebesar Rp0,00 (nol rupiah), yang
merupakan kewajiban memelihara
tambahan
GWM berdasarkan LDR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a.
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank
Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar
-Rp200.000.000.000,00 (minus dua ratus miliar
rupiah), sehingga terdapat kekurangan pemenuhan
GWM yang
wajib dipelihara sebesar
Rp1.400.000.000.000,00 (satu triliun empat ratus
miliar rupiah) dan saldo negatif sebesar
Rp200.000.000.000,00 (minus dua ratus miliar
rupiah).
Suku Bunga JIBOR pada tanggal 24 Januari adalah
sebesar 8% (delapan perseratus).
Suku bunga PUAB pada tanggal 24 Januari adalah
sebesar 9% (sembilan perseratus).
Perhitungan
sanksi kewajiban membayar
atas
pelanggaran GWM rupiah untuk Bank A pada
tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut:
GWM rupiah yang wajib dipelihara x 125%
x suku bunga JIBOR x hari kerja
360 x 100
yaitu …
- 26 -
yaitu
Rp1.400.000.000.000,00 x 1,25 x8x 1
360 x 100
ditambah
dengan perkalian jumlah saldo negatif
Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia dengan
150% (seratus lima puluh perseratus) dikali Suku
Bunga PUAB untuk jangka waktu 1 (satu) hari,
dengan rumus sebagai berikut:
|saldo negatif| x 150% x Suku Bunga PUAB
1 hari yang tercatat pada PIPU x hari
360 x 100
yaitu
200.000.000.000,00 x 1,5 x 9 x 1
360 x 100
Angka 9
Pasal 15
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal II …
- 27 -
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4529
DPNP/DPM/DKM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/29/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/15/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING </reg_title>
<set_date> 6 September 2005 </set_date>
<effective_date> 8 September 2005 </effective_date>
<changed_reg> '6/15/PBI/2004' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '6/15/PBI/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 8 Pasal 14', 'Pasal I Angka 9 Pasal 15 ayat (2)' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
Nomor : 7/ 49 /PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
6/15/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA
BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa untuk tetap menjaga kondisi likuiditas perbankan dan
mendorong bank dalam pelaksanaan fungsi intermediasi,
pemberian jasa giro yang berlaku perlu disesuaikan;
dengan itu
b. bahwa sehubungan
dipandang perlu
untuk
menyempurnakan ketentuan mengenai giro wajib minimum
pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing dalam
suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor
10
Tahun
1998
(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang …
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/15/PBI/2004 tentang
Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia
Dalam Rupiah Dan Valuta Asing (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4390);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/29/PBI/2005 tentang
Perubahan
atas Peraturan
Bank
Indonesia Nomor
6/15/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum
Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta Asing
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
80, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4529);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan:
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 6/15/PBI/2004 TENTANG GIRO
WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING.
Pasal I …
- 3 -
Pasal I
Ketentuan Pasal 11 dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/15/PBI/2004
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah
Dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 55,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4390) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/29/PBI/2005 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4529) diubah sehingga secara keseluruhan berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari kerja terhadap bagian
saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang diperuntukkan untuk pemenuhan
kewajiban memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) dengan tingkat bunga sebesar
6,5% (enam setengah perseratus) pertahun.
(2) Kebijakan pemberian jasa giro dan atau persentase jasa giro sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dari waktu ke waktu dengan
mempertimbangkan
kondisi perekonomian dan arah kebijakan
Indonesia.
(3) Untuk selanjutnya penentuan besarnya persentase jasa giro dilakukan
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Bank
Pasal II …
- 4 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Desember 2005.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 November 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 134
DPNP/DPM/DKM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
Nomor : 7/ 49 /PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
6/15/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA
BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
UMUM
Sebagai salah satu instrumen moneter, penetapan kebijakan giro wajib
minimum, termasuk pemberian jasa giro dan atau persentase jasa giro, dapat
disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi likuiditas perbankan,
kemampuan bank melakukan fungsi intermediasi, dan arah kebijakan Bank
Indonesia.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, dengan mempertimbangkan kondisi
perekonomian dan kondisi likuiditas perbankan dewasa ini, dipandang perlu
untuk meningkatkan renumerasi
atas tambahan giro wajib minimum dalam
rupiah yang wajib dipelihara di Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 11
Ayat (1) …
- 2 -
Ayat (1)
Persentase jasa giro merupakan tingkat bunga efektif
tahunan (effective annual rate) yang ditentukan berdasarkan
periode compounding harian selama 360 (tiga ratus enam
puluh) hari.
Contoh perhitungan:
Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam
masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
bulan Januari sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun
rupiah) dan perhitungan besarnya LDR pada akhir masa
laporan minggu kedua adalah 73% (tujuh puluh tiga
perseratus).
GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai
dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima
triliun rupiah) yaitu sebesar Rp250.000.000.000,00 (dua
ratus lima puluh miliar rupiah), sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1); ditambah dengan
b. 1% (satu perseratus) dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima
triliun rupiah) yaitu sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah), yang merupakan kewajiban
memelihara tambahan GWM berdasarkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b;
ditambah dengan
DPK
c. 2% …
- 3 -
c. 2% (dua perseratus) dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima
triliun rupiah) yaitu sebesar Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah), yang merupakan kewajiban
memelihara tambahan GWM berdasarkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf c.
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia
pada tanggal 24
Januari adalah
Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah) atau 8%
(delapan perseratus) dari DPK dalam rupiah.
Bagi Bank A, jasa giro pada tanggal 24 Januari hanya
diberikan
Bank yang ditempatkan
sebesar
LDR
terhadap bagian saldo Rekening Giro Rupiah
untuk pemenuhan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 3
ayat (4), yaitu sebesar Rp150.000.000.000,00 (seratus lima
puluh miliar rupiah).
Sementara itu, terhadap bagian saldo Rekening Giro Rupiah
Bank yang ditempatkan untuk pemenuhan GWM 5% (lima
perseratus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
yaitu sebesar Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh
miliar rupiah) tidak diberikan jasa giro.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal II …
- 4 -
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4572
DPNP/DPM/DKM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/49/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/15/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING </reg_title>
<set_date> 29 November 2005 </set_date>
<effective_date> 1 Desember 2005 </effective_date>
<changed_reg> '6/15/PBI/2004' </changed_reg>
<extension_of> '7/29/PBI/2005' </extension_of>
<related_reg> '7/29/PBI/2005', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '6/15/PBI/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 3/21/PBI/2001
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat
dan mampu bersaing secara nasional dan internasional, maka
diperlukan penyesuaian struktur permodalan bank sesuai
standar internasional yang berlaku;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diperlukan penyesuaian
terhadap ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN …
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN
PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM.
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan Bank adalah Bank
Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing.
Pasal 2
(1) Bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% (delapan perseratus) dari
aktiva tertimbang menurut risiko terhitung sejak akhir bulan Desember 2001.
(2) Bank yang tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), akan ditempatkan dalam pengawasan khusus sebagaimana diatur dalam
ketentuan yang berlaku.
Pasal 3
(1) Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, bagi Bank yang berkantor pusat di
Indonesia terdiri dari:
a. modal inti; dan
b. modal …
- 3 -
b. modal pelengkap.
(2) Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diperhitungkan setinggi-tingginya sebesar 100% (seratus perseratus) dari modal
inti.
(3) Modal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperhitungkan dengan faktor
pengurang yang berupa seluruh penyertaan yang dilakukan Bank.
(4) Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, bagi kantor cabang bank asing
merupakan dana bersih kantor pusat dan kantor lainnya di luar negeri (Net Head
Office Fund).
Pasal 4
(1) Modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a terdiri dari:
a. modal disetor, dan
b. cadangan tambahan modal (disclosed reserve) .
(2) Modal inti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperhitungkan dengan
faktor pengurang berupa pos goodwill.
(3) Cadangan tambahan modal (disclosed reserve) sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b terdiri dari:
a. Faktor Penambah, yaitu:
1. Agio;
2. Modal Sumbangan;
3. Cadangan Umum Modal;
4. Cadangan Tujuan Modal;
5. Laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak;
6. Laba …
- 4 -
6. Laba tahun berjalan setelah diperhitungkan taksiran pajak sebesar
50% (lima puluh perseratus);
7.
Selisih lebih penjabaran laporan keuangan kantor cabang luar negeri;
8. Dana setoran modal;
b. Faktor Pengurang, yaitu:
1.
Disagio;
2. Rugi tahun-tahun lalu;
3. Rugi tahun berjalan;
4.
Selisih kurang penjabaran laporan keuangan kantor cabang luar
negeri;
5. Penurunan nilai penyertaan pada portofolio yang tersedia untuk dijual.
(4) Dalam perhitungan laba atau rugi untuk pos-pos sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) harus dikeluarkan pengaruh perhitungan pajak tangguhan (deferred
tax).
(5) Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b terdiri
dari:
a. Cadangan revaluasi aktiva tetap;
b. Cadangan umum dari penyisihan penghapusan aktiva produktif setinggi-
tingginya 1,25% (seratus dua puluh lima per sepuluhribu) dari aktiva
tertimbang menurut risiko;
c. Modal Pinjaman (hybrid/quasi capital);
d. Pinjaman Subordinasi setinggi-tingginya sebesar 50% (lima puluh
perseratus) dari modal inti;
e.
Peningkatan nilai penyertaan pada portofolio yang tersedia untuk dijual
setinggi-tingginya sebesar 45% (empat puluh lima perseratus).
Pasal 5 …
- 5 -
Pasal 5
Bank dilarang melakukan distribusi modal atau laba jika distribusi dimaksud
mengakibatkan kondisi permodalan Bank tidak mencapai rasio sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Pasal 6
Aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri dari:
a. aktiva neraca yang diberikan bobot sesuai kadar risiko kredit yang melekat pada
setiap pos aktiva;
b. beberapa pos dalam daftar kewajiban komitmen dan kontinjensi (off-balance
sheet account) yang diberikan bobot dan sesuai dengan kadar risiko kredit yang
melekat pada setiap pos setelah terlebih dahulu diperhitungkan dengan bobot
faktor konversi.
Pasal 7
(1) Perhitungan pos-pos baru didalam aktiva neraca yang timbul sebagai akibat
perubahan standar akuntansi keuangan yang berlaku, untuk tujuan perhitungan
aktiva tertimbang menurut risiko ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk pos surat berharga (efek) yang dibeli dengan janji dijual kembali,
perhitungan bobot risiko dilakukan berdasarkan bobot risiko dari surat
berharga yang diagunkan atau berdasarkan bobot risiko dari pihak lawan
transaksi (counterparty);
b. untuk …
- 6 -
b. untuk pos tagihan akseptasi, perhitungan bobot risiko dilakukan berdasarkan
bobot risiko dari pihak lawan transaksi (counterparty);
c. untuk pos tagihan derivatif, perhitungan bobot risiko dilakukan berdasarkan
bobot risiko dari pihak lawan transaksi (counterparty).
(2) Perhitungan nilai aktiva untuk pos tagihan derivatif dilakukan setelah
memperhitungkan netting agreement dengan pos kewajiban derivatif yang
memiliki kekuatan hukum yang mengikat kedua belah pihak.
Pasal 8
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikenakan
sanksi administratif dalam rangka perhitungan tingkat kesehatan Bank.
Pasal 9
(1) Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
(2) Sepanjang Surat Edaran Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
belum dikeluarkan maka ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
26/1/BPPP tanggal 29 Mei 1993 perihal Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum bagi Bank Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
2/12/DPNP tanggal 12 Juli 2000 perihal Penilaian Aktiva Produktif dalam
Perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko, tetap berlaku dengan
penyesuaian terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 10 …
- 7 -
Pasal 10
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tingkat
Kesehatan Bank Umum;
b. Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal I huruf C Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia Nomor 30/277/KEP/DIR tanggal 19 Maret 1998 tentang
Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR
tanggal 30 April 1997 tentang Tingkat Kesehatan Bank Umum,
disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini;
c. Ketentuan sebagaimana diatur dalam:
1. Pasal 3 huruf c, Pasal 8 dan Pasal 9 Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 28/64/KEP/DIR tanggal 7 September 1995 tentang
Persyaratan Bank Umum Bukan Bank Devisa Menjadi Bank Umum
Devisa;
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/20/KEP/DIR tanggal
29 Mei 1993 tentang Kewajiban Penyedian Modal Minimum Bank, khusus
yang berkaitan dengan pengaturan Bank Umum;
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/146/KEP/DIR tanggal
12 November 1998 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 26/20/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 11 …
- 8 -
Pasal 11
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Desember 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR
DPNP
- 9 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 3/21/PBI/2001
TENTANG
KEWAJIBAN
PENYEDIAAN MODAL
MINIMUM BANK UMUM
UMUM
Sebagaimana diketahui krisis perbankan yang terjadi di
Indonesia telah menyebabkan terjadinya penurunan permodalan
Bank yang cukup besar. Untuk mengatasi hal itu Pemerintah dan
Bank Indonesia telah melakukan berbagai langkah restrukturisasi
dan rekapitalisasi perbankan dengan salah satu tujuan adalah
mengembalikan kondisi permodalan bank sesuai dengan standar
internasional sebagaimana keadaan sebelum terjadinya krisis
perbankan.
Sejalan dengan target program rekapitalisasi perbankan sebagaimana
terdapat dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan
Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia Nomor
53/KMK.017/1999 dan Nomor 31/12/KEP/GBI tanggal 8 Februari
1999 yang menegaskan pencapaian rasio kewajiban pemenuhan
modal minimum sebesar 8% (delapan perseratus) pada akhir tahun
- 10 -
2001, maka Bank Indonesia sebagai otoritas yang berwenang
mengatur dan mengawasi bank dengan mempertimbangkan
perkembangan pelaksanaan program rekapitalisasi perbankan
menetapkan perubahan rasio kewajiban penyediaan modal
minimum menjadi 8% (delapan perseratus) dengan Peraturan Bank
Indonesia ini.
Selain …
Selain dari hal tersebut diatas, perubahan rasio kewajiban
modal minimum juga mempertimbangkan perubahan yang terjadi
dalam standar internasional seperti penyempurnaan metode yang
distandarisasi dalam perhitungan risiko kredit (standardized
approach) dan perubahan standar akuntansi keuangan yang
berlaku.
Mengingat perkembangan program restrukturisasi dan
risiko terbesar dalam perbankan nasional adalah risiko kredit maka
pada saat ini rasio penyediaan kewajiban modal minimum bank
umum hanya memperhitungkan faktor risiko kredit (credit risk).
Namun demikian pada waktunya Bank Indonesia juga akan
memperhitungkan faktor risiko lainnya seperti risiko pasar (market
risk) dan risiko operasional (operasional risk) pada perhitungan
rasio kewajiban penyediaan modal minimum.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ayat (3) …
Penyertaan Bank merupakan faktor pengurang dalam perhitungan
modal yang berarti bahwa seluruh kegiatan penyertaan Bank harus
seluruhnya didukung dengan modal Bank. Hal ini dilakukan
mengingat perhitungan modal Bank belum dilakukan secara
konsolidasi.
Dengan diperhitungkannya Penyertaan pada Modal Bank maka nilai
Penyertaan tidak diperhitungkan lagi dalam aktiva tertimbang
menurut risiko yaitu dengan diberi bobot risiko sebesar 0% (nol
perseratus).
Dalam pengertian Penyertaan Bank, tidak termasuk penyertaan modal
sementara yang berasal dari restrukturisasi kredit.
Ayat (4)
Salah satu komponen Net Head Office Fund adalah Dana Usaha (Net
Inter Office Fund) sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
- 12 -
Indonesia yang berlaku tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembukaan
Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, dan Kantor Perwakilan
dari Bank Asing.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Didalam komponen modal disetor tidak termasuk pengakuan
modal yang dipesan (subscribed capital stock) yang berasal
dari piutang pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 21
tentang Akuntansi Ekuitas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Angka 1 sampai dengan Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5 dan Angka 6
Yang dimasukkan dalam komponen laba tahun-tahun
lalu dan laba tahun berjalan adalah nilai setelah
diperhitungkan taksiran pajak, kecuali apabila
diperkenankan untuk melakukan kompensasi kerugian
sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
tentang …
- 13 -
Kekurangan pembentukan penyisihan penghapusan
aktiva produktif oleh Bank merupakan komponen biaya
yang dibebankan pada laba tahun berjalan.
Angka 7
Selisih lebih penjabaran laporan keuangan kantor
cabang dapat terjadi karena perbedaan mata uang yang
dipergunakan dalam laporan keuangan.
Angka 8
Yang dimaksud dengan dana setoran modal adalah dana
yang telah disetor penuh untuk tujuan penambahan
modal namun belum didukung dengan kelengkapan
persyaratan untuk dapat digolongkan sebagai modal
disetor seperti pelaksanaan rapat umum pemegang
saham maupun pengesahan anggaran dasar dari instansi
yang berwenang. Untuk dapat diperhitungkan sebagai
dana setoran modal maka dana tersebut harus
ditempatkan pada rekening khusus (escrow account)
dan tidak boleh ditarik kembali oleh Pemegang Saham.
Penggunaan dana dalam escrow account tersebut harus
dengan persetujuan Bank Indonesia.
Dalam hal dana setoran modal berasal dari calon
pemilik Bank maka jika berdasarkan penelitian Bank
Indonesia, calon pemilik Bank atau dana tersebut tidak
memenuhi syarat sebagai pemegang saham atau modal,
maka dana tersebut tidak dapat dianggap sebagai
modal …
- 14 -
komponen modal, dan dapat ditarik kembali oleh calon
pemilik.
Huruf b
Angka 1 sampai dengan Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Selisih kurang penjabaran laporan keuangan kantor
cabang dapat terjadi karena perbedaan mata uang yang
dipergunakan dalam laporan keuangan.
Angka 5
Angka 5 …
Sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang
berlaku, pencatatan dalam pos ini dilakukan berdasarkan
nilai pasar (mark to market).
Dengan demikian pos ini merupakan selisih kurang antara harga pasar dengan nilai
perolehan atas Penyertaan Bank pada perusahaan yang sahamnya tercatat di
Pasar Modal.
Ayat (4)
Pajak tangguhan (deferred tax) merupakan transaksi yang timbul
sebagai akibat penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK) Nomor 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan.
Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan dari perhitungan
laba atau rugi maka aktiva pajak tangguhan tidak diperhitungkan
dalam perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko yaitu dengan
diberi bobot risiko sebesar 0% (nol perseratus).
- 15 -
Ayat (5)
Huruf a
Cadangan revaluasi aktiva tetap tidak dapat dikapitalisasi ke
dalam modal disetor dan atau dibagikan sebagai saham bonus
dan atau dividen.
Huruf b dan Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Huruf d …
Pinjaman subordinasi yang direstrukturisasi diperhitungkan
sebesar nilai wajar setelah restrukturisasi. Dampak
restrukturisasi tersebut diakui sesuai dengan standar
akuntansi keuangan yang berlaku.
Huruf e
Sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku,
pencatatan dalam pos ini dilakukan berdasarkan nilai pasar
(mark to market).
Dengan demikian pos ini merupakan selisih lebih antara
harga pasar dengan nilai perolehan atas Penyertaan Bank
pada perusahaan yang sahamnya tercatat di Pasar Modal.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan distribusi modal atau laba antara lain pembayaran
dividen, pembelian kembali saham Bank (treasury stock) dan pembayaran
bonus kepada pengurus (management fee).
- 16 -
Apabila dalam periode kepengurusan yang bersangkutan Bank menunjukkan
kinerja yang membaik namun kondisi permodalan tidak memungkinkan
untuk membayar bonus kepada pengurus (management fee), maka
pembayaran bonus dapat ditunda sampai dengan kondisi permodalan Bank
memungkinkan untuk dilakukan pembayaran bonus (management fee).
Pasal 6
Yang dimaksud dengan bobot faktor konversi adalah bobot yang diberikan
terhadap kewajiban komitmen dan kontinjensi sehingga dapat dipersamakan
dengan aktiva neraca.
Pasal 7
Pasal 7 …
Ayat (1)
Perubahan pos-pos neraca tersebut berasal dari perubahan standar
akuntansi keuangan yang berlaku mengenai pencatatan pos-pos yang
sebelumnya dicatat pada daftar kewajiban komitmen dan kontinjensi
menjadi dicatat pada neraca.
Huruf a
Perhitungan bobot risiko sebagaimana diatur dalam Pasal
ini berlaku pula bagi tagihan lainnya yang dijamin dengan
surat berharga yang diikat dan diblokir secara sempurna
sehingga tidak terdapat risiko dalam pencairan agunan
apabila pihak lawan wan prestasi.
Huruf b dan Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
- 17 -
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Pasal 10 …
Huruf a
Dengan ketentuan ini maka perhitungan faktor permodalan Bank dalam perhitungan
tingkat kesehatan disesuaikan menjadi 8% (delapan perseratus) sejak
perhitungan tingkat kesehatan untuk posisi bulan Desember 2001.
Huruf b
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
- 18 -
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 3/21/PBI/2001 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 13 Desember 2001 </set_date>
<effective_date> 13 Desember 2001 </effective_date>
<replaced_reg> '31/146/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '28/64/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995 | Pasal 3 huruf c, Pasal 8 dan Pasal 9', '26/20/KEP/DIR|SKDIR-BI/1993' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 8' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 6/ 17 /PBI/2004
TENTANG
BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :a. bahwa dalam
menghadapi
perkembangan
seluruh lapisan masyarakat
perekonomian
nasional, diperlukan sistem perbankan nasional yang tangguh dan
dapat melayani
termasuk kepada
pengusaha menengah, kecil dan mikro baik di pedesaan maupun
perkotaan;
b. bahwa perkembangan perbankan syariah di Indonesia telah
tumbuh dengan pesat sebagai salah satu infrastruktur sistem
perbankan nasional;
c. bahwa untuk meningkatkan peran dan pelayanan jasa perbankan
syariah kepada usaha menengah, kecil dan mikro secara optimal,
diperlukan
pemberdayaan
Bank Perkreditan Rakyat yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
d. bahwa untuk lebih mendorong perkembangan Bank Perkreditan
Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, diperlukan
pengaturan kegiatan
komprehensif, jelas dan memberikan kepastian hukum;
lembaga yang
e. bahwa …
- 2 -
e. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk mengatur
kembali ketentuan
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah
dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun
1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7 , Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4357);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BANK
PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP
SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank …
tentang Bank Perkreditan Rakyat yang
- 3 -
1. Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS adalah
Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
2. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional;
3. Kantor Cabang adalah kantor BPRS yang secara langsung bertanggungjawab
kepada kantor pusat BPRS yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha
yang jelas dimana Kantor Cabang tersebut melakukan kegiatan usahanya;
4. Kantor Kas adalah kantor di bawah Kantor Cabang, yang kegiatan usahanya
melakukan pelayanan kas dalam rangka membantu Kantor Cabang induknya.
5. Kegiatan Kas di luar Kantor BPRS adalah kegiatan pelayanan kas terhadap
pihak yang telah menjadi nasabah BPRS, antara lain:
a. Kas Mobil atau Kas Terapung yaitu kegiatan kas dengan menggunakan
alat transportasi darat atau air;
b. Payment Point yaitu kegiatan pelayanan pembayaran melalui kerjasama
antara BPRS dengan pihak lain yang merupakan nasabah BPRS;
c. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yaitu kegiatan kas yang dilakukan secara
elektronis untuk memudahkan nasabah, antara lain dalam rangka menarik
atau menyetor secara tunai, atau melakukan pembayaran melalui
pemindahbukuan, dan memperoleh informasi mengenai
rekening nasabah;
saldo/mutasi
6. Kegiatan …
- 4 -
6. Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
perbankan yang dilakukan
Syariah
adalah
kegiatan
usaha
berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998;
7. Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama
Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa
tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank syariah;
8. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang melakukan pengawasan
terhadap prinsip syariah dalam kegiatan usaha BPRS;
9. Direksi:
a. Bagi BPRS berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPRS
berbentuk hukum Perusahaan Daerah
adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi BPRS berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
10. Komisaris:
a. bagi BPRS berbentuk hukum Perseroan Terbatas
adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPRS berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi …
- 5 -
c. bagi BPRS berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
11. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggungjawab langsung kepada
direksi bank atau perusahaan, atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan
dan operasional bank atau perusahaan, antara lain pemimpin Kantor Cabang
BPRS.
12. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum dan atau perorangan dan
atau kelompok usaha yang:
a. memiliki saham BPRS sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih
dari jumlah saham yang dikeluarkan BPRS dan mempunyai hak suara;
atau
b. memiliki saham BPRS kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari
jumlah saham yang dikeluarkan BPRS dan mempunyai hak suara namun
dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian BPRS baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Pasal 2
Bentuk hukum suatu BPRS dapat berupa:
a. Perseroan Terbatas;
b. Koperasi; atau
c. Perusahaan Daerah.
BAB II …
- 6 -
BAB II
PERIZINAN
Bagian Pertama
Pendirian BPRS
Pasal 3
(1) BPRS hanya dapat didirikan dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam dua
tahap:
a. persetujuan
prinsip, yaitu persetujuan
pendirian BPRS;
b. izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha
BPRS setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai
dilakukan.
Pasal 4
Modal disetor untuk mendirikan BPRS ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar:
a. Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah) untuk BPRS yang didirikan di
wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota Tangerang,
Bogor, Depok, dan Bekasi;
b. Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) untuk BPRS yang didirikan di
wilayah ibukota propinsi di luar wilayah tersebut pada huruf a di atas ;
c. Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk BPRS yang didirikan di luar
wilayah tersebut pada huruf a dan huruf b di atas.
Pasal 5
BPRS hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia;
b. badan …
untuk melakukan persiapan
- 7 -
b. badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia;
c. Pemerintah daerah; atau
d. dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c.
Bagian Kedua
Persetujuan Prinsip
Pasal 6
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a diajukan sekurang-kurangnya oleh salah satu
calon pemilik kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib dilampiri
dengan:
a. rancangan akta pendirian badan hukum, termasuk rancangan anggaran
dasar yang sekurang-kurangnya memuat:
1. nama dan tempat kedudukan;
2. kegiatan usaha sebagai BPRS;
3. permodalan;
4. kepemilikan;
5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan dewan Komisaris dan
Direksi;
6. tugas, wewenang dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah.
b. data kepemilikan berupa:
1. daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing
kepemilikan saham bagi BPRS yang berbentuk hukum Perseroan
Terbatas/ Perusahaan Daerah;
2. daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan
simpanan wajib, serta daftar hibah bagi BPRS yang berbentuk hukum
Koperasi;
c. daftar …
- 8 -
c. daftar calon anggota Direksi, dewan Komisaris dan Dewan Pengawas
Syariah disertai dengan:
1. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
2. riwayat hidup;
3. surat pernyataan pribadi yang menyatakan
tidak pernah melakukan
tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya dan
atau tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana
kejahatan dan tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk
dilarang menjadi pengurus bank dan atau Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana diatur dalam ketentuan Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and Proper Test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
4. surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan
tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah menjadi pemegang
saham, anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan
suatu perseroaan
dinyatakan
pailit berdasarkan
ketetapan pengadilan dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum tanggal
pengajuan permohonan;
5. surat keterangan atau bukti tertulis dari
bank
tempat bekerja
sebelumnya mengenai pengalaman operasional di bidang perbankan
bagi calon anggota Direksi yang telah berpengalaman;
6. surat
keterangan dari lembaga pendidikan mengenai pendidikan
perbankan syariah yang pernah diikuti bagi calon Direksi yang belum
berpengalaman di bidang perbankan syariah;
7. surat pernyataan tidak merangkap jabatan sebagai Dewan Pengawas
Syariah lebih dari 2 (dua) lembaga perbankan dan 2 (dua) lembaga
keuangan
Syariah;
syariah bukan bank, bagi
anggota Dewan Pengawas
8. surat …
- 9 -
8. surat keterangan atau bukti tertulis lainnya dari bank tempat bekerja
sebelumnya mengenai pengalaman di bidang perbankan bagi calon
anggota dewan Komisaris yang telah berpengalaman;
9. surat
keterangan dari lembaga pendidikan mengenai pendidikan
perbankan yang pernah diikuti bagi calon anggota dewan Komisaris
yang belum berpengalaman;
10.surat pernyataan dari anggota dewan Komisaris dan Direksi bahwa
yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan:
(a) anggota Direksi
lainnya dalam hubungan
termasuk mertua, anak
termasuk ipar dan suami/istri;
(b) dewan Komisaris dalam hubungan sebagai orangtua, anak dan
suami/istri;
d. rencana susunan dan struktur organisasi, serta personalia;
e. rencana kerja 3 (tiga) tahun pertama yang sekurang-kurangnya memuat:
1. rencana kegiatan
usaha yang
mencakup
penghimpunan
sebagai
orangtua
termasuk menantu, saudara kandung
dan
penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan
dalam mewujudkan rencana dimaksud;
2. rencana kebutuhan pegawai;
3. proyeksi arus kas bulanan selama 36 (tiga puluh enam) bulan yang
dimulai
sejak BPRS melakukan kegiatan
f.
studi kelayakan
proyeksi neraca dan perhitungan laba rugi;
pendirian BPRS yang
operasionalnya
serta
antara lain memuat hasil
penelaahan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi di wilayah
Kabupaten/Kota tempat kedudukan dan wilayah operasional BPRS;
g. bukti setoran modal sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari
modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dalam bentuk
fotokopi …
- 10 -
fotokopi bilyet deposito mudharabah atas nama “Dewan Gubernur Bank
Indonesia q.q. salah seorang calon pemilik untuk pendirian BPRS yang
bersangkutan”, pada bank umum berdasarkan prinsip syariah di Indonesia
yang wajib legalisir
oleh
bank
penerbit,
dengan mencantumkan
keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat
persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
h. surat pernyataan dari calon pemegang saham bagi BPRS yang berbentuk
hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah atau dari calon anggota
bagi BPRS yang berbentuk hukum Koperasi, bahwa setoran modal
sebagaimana dimaksud dalam huruf g:
1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk
apapun dari bank dan atau pihak lain;
2. tidak berasal dari sumber yang diharamkan menurut prinsip syariah;
3. tidak berasal dari dan
untuk
laundering).
(2) Daftar calon pemegang saham atau calon anggota sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b:
a. dalam hal perorangan wajib dilampiri dengan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c angka 1, angka 2, angka 3 dan angka 4;
b. dalam hal badan hukum wajib dilampiri dengan:
1. akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar berikut
perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari instansi
yang berwenang;
2. dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf c angka 1,
angka 2, angka 3 dan angka 4 dari seluruh anggota dewan Komisaris
dan Direksi badan hukum yang bersangkutan;
tujuan pencucian uang (money
3. daftar …
- 11 -
3. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing
kepemilikan saham bagi badan hukum Perseroan Terbatas/ Perusahaan
Daerah, atau daftar anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok
dan simpanan wajib, serta daftar hibah bagi badan hukum Koperasi;
4. laporan keuangan posisi akhir bulan sebelum tanggal pengajuan
permohonan persetujuan prinsip;
5. laporan keuangan badan hukum yang diaudit oleh Akuntan Publik
dengan posisi paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal pengajuan
permohonan persetujuan prinsip, bagi badan hukum yang melakukan
penyertaan sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau
lebih;
6. dalam hal kepemilikan BPRS oleh Pemerintah Daerah,
laporan
keuangan yang disampaikan berupa APBD tahun berjalan yang
disahkan oleh DPRD;
7. seluruh struktur kelompok usaha yang terkait dengan BPRS dan badan
hukum pemilik BPRS sampai dengan pemilik dan pengendali terakhir
badan hukum (ultimate share holder);
8. i. kewajiban menyampaikan data mengenai struktur kelompok usaha
sebagaimana dimaksud dalam angka 7, dikecualikan dalam hal
pemilik BPRS adalah Pemerintah Daerah;
ii. apabila terdapat pemilik selain
Pemerintah Daerah, maka
9. surat
kewajiban menyampaikan struktur kelompok usaha diberlakukan
bagi pemilik lain tersebut;
pernyataan
dari
calon
pemegang
saham bahwa yang
bersangkutan telah menyampaikan informasi secara benar dan lengkap
mengenai struktur kelompok usaha BPRS sampai dengan pemilik
terakhir;
10. surat …
- 12 -
10. surat pernyataan dari
calon Pemegang Saham Pengendali yang
menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan maupun
likuiditas yang dihadapi BPRS dalam melakukan kegiatan usahanya.
Pasal 7
(1) Persetujuan
atau penolakan
atas permohonan
persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (2) huruf a diberikan selambat-
lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima
secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan
persetujuan atau penolakan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat dan
tingkat kejenuhan antar bank yang melaksanakan prinsip syariah dan
BPRS;
c. wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota
dewan Komisaris, calon anggota Direksi dan Dewan Pengawas Syariah.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pihak-pihak yang
mengajukan permohonan pendirian Bank wajib melakukan presentasi kepada
Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana pendirian Bank.
Pasal 8
(1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) berlaku
untuk jangka waktu 360 (tiga ratus enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
persetujuan prinsip dikeluarkan dan tidak dapat diperpanjang.
(2) Pihak yang mendapat persetujuan prinsip dilarang melakukan kegiatan usaha
sebelum mendapat izin usaha.
(3) Apabila …
- 13 -
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) calon
pemilik BPRS belum mengajukan permohonan izin usaha kepada Dewan
Gubernur Bank Indonesia, maka persetujuan prinsip yang telah diberikan
dinyatakan tidak berlaku.
Bagian Ketiga
Izin Usaha
Pasal 9
Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2)
huruf b diajukan oleh Direksi BPRS kepada Dewan Gubernur Bank
Indonesia dan wajib dilampiri dengan:
a. akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar badan hukum yang telah
disahkan oleh instansi yang berwenang;
b. data kepemilikan berupa :
1. daftar pemegang
saham berikut rincian besarnya masing-masing
kepemilikan saham bagi BPRS yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas
atau Perusahaan Daerah;
2. daftar anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib
serta daftar hibah bagi BPRS yang berbentuk hukum Koperasi,
yang masing-masing disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2), dalam hal terjadi perubahan;
c. daftar susunan anggota Direksi, dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas
Syariah disertai dengan:
1. pas foto terakhir ukuran 4 x 6 cm;
2. contoh tanda tangan dan paraf;
3. dokumen …
- 14 -
3. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dalam hal
terjadi perubahan;
d. susunan organisasi, termasuk susunan personalia dalam hal terjadi perubahan,
serta sistem dan prosedur kerja;
e. bukti pelunasan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dalam
bentuk fotokopi bilyet deposito mudharabah atas nama “Dewan Gubernur
Bank Indonesia q.q. salah seorang calon pemilik BPRS yang bersangkutan”,
pada bank umum berdasarkan prinsip syariah di Indonesia yang wajib
dilegalisir oleh bank penerbit, dengan mencantumkan keterangan bahwa
pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari
Dewan Gubernur Bank Indonesia;
f. bukti kesiapan operasional antara lain berupa:
1. daftar aktiva tetap dan inventaris;
2. bukti penguasaan berupa bukti kepemilikan atau perjanjian sewa-menyewa
gedung kantor;
3. foto gedung kantor dan tata letak ruangan;
4. contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional BPRS;
5. sistem pembukuan yang digunakan untuk operasional BPRS;
6. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP);
dan
7. sarana dan prasarana bagi pengawasan syariah.
g. surat pernyataan dari pemegang saham bagi BPRS yang berbentuk hukum
Perseroan Terbatas/ Perusahaan Daerah atau dari anggota bagi BPRS yang
berbentuk hukum Koperasi, bahwa pelunasan modal
disetor
sebagaimana
dimaksud dalam huruf e:
1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun
dari bank dan atau pihak lain;
2. tidak …
- 15 -
2. tidak berasal dari sumber yang diharamkan menurut prinsip syariah;
3. tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering).
h. surat pernyataan tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan:
1. sebagai anggota dewan Komisaris pada 3 (tiga) bank lain; atau
2. sebagai anggota dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif yang
memerlukan tanggung jawab penuh sebanyak-banyaknya pada 2 (dua)
lembaga/perusahaan lain bukan bank,
bagi anggota dewan Komisaris;
i. surat pernyataan tidak merangkap jabatan sebagai anggota dewan Komisaris,
Direksi atau Pejabat Eksekutif pada lembaga perbankan, perusahaan atau
lembaga lain, bagi anggota Direksi;
j. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan bersedia
menjadi anggota Direksi BPRS selama sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
sejak BPRS yang didirikan beroperasi dan tidak akan mengundurkan diri,
kecuali mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia; dan
k. surat pernyataan dari anggota dewan Komisaris dan Direksi bahwa yang
bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan:
(a)
anggota Direksi
lainnya dalam hubungan sebagai orangtua termasuk
mertua, anak termasuk menantu, saudara kandung termasuk ipar dan
suami/istri;
(b) dewan Komisaris dalam hubungan sebagai orangtua, anak dan suami/istri;
l.
Surat penetapan Dewan Syariah Nasional, bagi anggota Dewan Pengawas
Syariah
Pasal 10 …
- 16 -
Pasal 10
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin
usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b diberikan selambat-lambatnya 60
(enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan
persetujuan atau penolakan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. wawancara terhadap pemilik, anggota dewan Komisaris, Direksi dan
Dewan Pengawas Syariah dalam hal terdapat penggantian calon yang
diajukan sebelumnya.
Pasal 11
(1) BPRS yang telah mendapat izin usaha dari Dewan Gubernur Bank Indonesia
wajib melakukan kegiatan usaha selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari
terhitung sejak tanggal izin usaha dikeluarkan.
(2) Laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib disampaikan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal dimulainya kegiatan operasional.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) BPRS
belum melakukan kegiatan usaha, maka izin usaha yang telah diberikan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 12
BPRS yang telah mendapat izin usaha dari Dewan Gubernur Bank Indonesia wajib
mencantumkan secara jelas kata-kata “Bank Perkreditan Rakyat Syariah” atau
“BPR Syariah” atau “BPRS” pada penulisan namanya.
BAB III …
- 17 -
BAB III
KEPEMILIKAN DAN PERUBAHAN MODAL BPRS
Pasal 13
(1) Kepemilikan BPRS oleh badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 setinggi-tingginya sebesar modal sendiri bersih badan hukum
yang bersangkutan.
(2) Ketentuan kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dipenuhi
pada saat badan hukum yang bersangkutan melakukan penyetoran modal
untuk pendirian BPRS atau pada saat badan hukum yang bersangkutan
melakukan penambahan modal disetor BPRS.
Pasal 14
Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan BPRS dilarang:
a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank
dan atau pihak lain;
b. berasal dari sumber yang diharamkan menurut prinsip syariah;
c. berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering).
Pasal 15
(1) Yang dapat menjadi pemilik BPRS adalah pihak-pihak yang:
a. tidak
termasuk
dalam daftar
orang-orang yang
dilarang menjadi
pemegang saham dan atau pengurus bank dan atau BPR sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki integritas
yang baik.
(2) Pemilik BPRS yang memiliki integritas yang baik sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b, antara lain adalah pihak-pihak yang:
a. memiliki …
- 18 -
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. bersedia mengembangkan BPRS yang sehat.
(3) Bagi Pemegang Saham Pengendali selain wajib memenuhi
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga wajib menyampaikan surat
pernyataan bersedia untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas
yang dihadapi BPRS dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Pasal 16
Perubahan kepemilikan yang mengakibatkan perubahan dan atau terjadinya
Pemegang Saham Pengendali BPRS wajib mendapat persetujuan Bank Indonesia
terlebih dahulu dan tunduk kepada tata cara penggantian dan atau penambahan
pemilik BPRS yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku mengenai
merger, konsolidasi, dan akuisisi.
Pasal 17
(1) Penggantian dan atau penambahan pemilik yang tidak mengakibatkan
terjadinya Pemegang
Saham Pengendali BPRS wajib terlebih dahulu
dilaporkan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sebelumnya, dengan dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud pada pasal 6
ayat (1) huruf b, huruf c angka 1, 2 dan 3.
(2) Pelaksanaan
penggantian dan atau penambahan
pemilik BPRS dapat
dilaksanakan setelah mendapat penegasan dari Bank Indonesia.
(3) Penegasan atas laporan penggantian dan atau penambahan pemilik diberikan
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen diterima secara
lengkap.
(4) Laporan …
- 19 -
(4) Laporan
pelaksanaan
penggantian dan atau penambahan
pemilik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan ke Bank Indonesia
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah pelaksanaan penggantian dan
atau penambahan.
Pasal 18
(1) Perubahan
komposisi kepemilikan BPRS yang
tidak mengakibatkan
terjadinya Pemegang Saham Pengendali BPRS wajib dilaporkan oleh BPRS
kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari
perubahan dilakukan.
setelah
(2) Perubahan komposisi kepemilikan tanpa penambahan modal disetor wajib
dilaporkan ke Bank Indonesia dengan dilampiri:
a. notulen rapat umum pemegang saham apabila dalam Anggaran Dasar
ditetapkan harus RUPS, rapat anggota atau peraturan daerah/surat
keputusan gubernur/surat keputusan walikota/ surat keputusan bupati;
b. bukti pengalihan kepemilikan saham;
c. surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g; dan
d. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b.
(3) Perubahan komposisi kepemilikan dengan penambahan modal disetor wajib
dilaporkan ke Bank Indonesia dengan dilampiri:
a. bukti penyetoran;
b. notulen rapat umum pemegang saham, rapat anggota atau peraturan
daerah/surat
keputusan gubernur/surat
keputusan bupati;
c. surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g; dan
d. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b.
keputusan walikota/ surat
Pasal 19 …
- 20 -
Pasal 19
Perubahan modal dasar BPRS wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Bank
Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal diterimanya
persetujuan perubahan anggaran dasar dari
instansi yang berwenang dilampiri
dengan:
a. notulen rapat umum pemegang saham atau rapat anggota atau peraturan
daerah/surat keputusan gubernur/surat keputusan walikota/ surat keputusan
bupati; dan
b.
akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui
berwenang.
oleh instansi yang
BAB IV
DIREKSI, DEWAN KOMISARIS, PEJABAT EKSEKUTIF, DAN DEWAN
PENGAWAS SYARIAH
Pasal 20
Kepengurusan BPRS terdiri dari Direksi dan dewan Komisaris.
Pasal 21
(1) Anggota Direksi dan dewan Komisaris wajib memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. integritas
b. kompetensi; dan
c. reputasi keuangan
(2) Anggota Direksi dan dewan Komisaris yang memenuhi persyaratan integritas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, antara lain adalah pihak-pihak
yang:
a. memiliki …
- 21 -
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional bank
yang sehat;
d. tidak termasuk dalam daftar tidak lulus sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Anggota Direksi
dan dewan Komisaris yang memenuhi
persyaratan
kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, antara lain adalah
pihak-pihak yang:
a. bagi calon Direksi:
i. memiliki pengetahuan di bidang
relevan dengan jabatannya;
ii. memiliki pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan atau
bidang keuangan; dan
iii. memiliki kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam
rangka pengembangan BPRS yang sehat;
b. bagi calon Komisaris:
i. memiliki pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan
dengan jabatannya; dan atau
ii. memiliki pengalaman di bidang perbankan.
(4) Anggota Direksi dan dewan Komisaris yang memenuhi persyaratan reputasi
keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, antara lain adalah
pihak-pihak yang:
a. tidak termasuk dalam daftar kredit macet;
perbankan yang memadai dan
b. tidak …
- 22 -
b. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi Direksi atau Komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit,
dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan.
Pasal 22
(1) Jumlah anggota Direksi BPRS sekurang-kurangnya 2 (dua) orang.
(2) Sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari anggota Direksi
termasuk
Direktur Utama wajib
berpengalaman
operasional
sekurang-
kurangnya:
a. 1 (satu) tahun sebagai pejabat dibidang pendanaan dan/atau pembiayaan
di perbankan syariah; atau
b. 4 (empat) tahun sebagai pegawai di bidang pendanaan dan pembiayaan di
perbankan syariah; atau
c. 2 (dua) tahun sebagai pejabat dibidang pendanaan dan/atau perkreditan di
perbankan konvensional dan memiliki pengetahuan dibidang perbankan
syariah.
(3) Anggota Direksi
sekurang-kurangnya berpendidikan
setingkat Diploma III atau Sarjana Muda.
(4) Bagi anggota Direksi
lain yang belum berpengalaman perbankan syariah
wajib mengikuti pelatihan perbankan syariah.
(5) Direktur Utama BPRS wajib berasal dari pihak yang independen terhadap
Pemegang Saham Pengendali.
Pasal 23
(1) Anggota Direksi dilarang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan
derajat pertama termasuk dengan sesama anggota Direksi atau anggota
dewan Komisaris.
(2) Anggota …
formal minimal
- 23 -
(2) Anggota Direksi BPRS dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi,
Komisaris atau Pejabat Eksekutif pada lembaga perbankan, perusahaan atau
lembaga lain.
(3) Anggota Direksi BPRS dilarang
memberikan
kuasa
mengakibatkan pengalihan tugas dan wewenang tanpa batas.
(4) Seluruh Anggota Direksi BPRS harus berdomisili dekat dengan tempat
kedudukan Kantor Pusat BPRS.
Pasal 24
(1) Jumlah anggota dewan Komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) orang dan
sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang.
1 (satu)
(2) Sekurang-kurangnya
orang
anggota Dewan Komisaris wajib
berdomisili dekat di tempat kedudukan BPRS.
(3) Anggota dewan Komisaris wajib memiliki pengetahuan dan atau pengalaman
di bidang perbankan atau di bidang keuangan lainnya.
(4) Anggota dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai:
i. anggota dewan Komisaris, sebanyak-banyaknya pada 3 (tiga) bank lain;
atau
ii
anggota dewan Komisaris, Direksi
atau
Pejabat Eksekutif
yang
memerlukan tanggung jawab penuh sebanyak-banyaknya pada 2 (dua)
lembaga/ perusahaan lain bukan bank.
Pasal 25
Pengangkatan atau penggantian Pejabat Eksekutif BPRS wajib dilaporkan oleh
Direksi BPRS kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari
setelah tanggal pengangkatan efektif dan dilampiri dengan:
umum yang
a. surat …
- 24 -
a. surat pengangkatan dan khusus bagi Pemimpin Cabang disertai dengan surat
kuasa dari Direksi BPRS;
b. 1 (satu) lembar pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4x6 cm;
c. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP);
d. riwayat hidup; dan
e. contoh tandatangan dan paraf.
Pasal 26
Dalam hal
terjadi benturan kepentingan, anggota dewan Komisaris, anggota
Direksi, dan Pejabat Eksekutif BPRS dilarang mengambil tindakan yang dapat
merugikan BPRS dan wajib mengungkapkan benturan kepentingan dimaksud
dalam setiap keputusan.
Pasal 27
BPRS wajib membentuk dan memiliki Dewan Pengawas Syariah yang
berkedudukan di kantor pusat BPRS.
Pasal 28
(1) Anggota Dewan Pengawas Syariah wajib memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. integritas;
b. kompetensi; dan
c. reputasi keuangan.
(2) Anggota Dewan Pengawas Syariah yang memenuhi persyaratan integritas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, antara lain adalah pihak-pihak
yang:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. memiliki …
- 25 -
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional bank
yang sehat;
d. tidak termasuk dalam daftar tidak lulus sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Anggota Dewan Pengawas Syariah yang memenuhi persyaratan kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, antara lain adalah pihak-pihak
yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dibidang syariah mu’amalah
dan pengetahuan dibidang perbankan dan/atau keuangan secara umum.
(4) Anggota Dewan Pengawas Syariah yang memenuhi persyaratan reputasi
keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, antara lain adalah
pihak-pihak yang:
a. tidak termasuk dalam daftar kredit/pembiayaan macet;
b. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi Direksi atau Komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit,
dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan.
Pasal 29
(1) Tugas, wewenang dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah antara lain
meliputi:
a. memastikan
dan mengawasi
kesesuaian kegiatan operasional BPRS
terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN;
b. menyampaikan laporan hasil pengawasan syariah sekurang-kurangnya
setiap 6 (enam) bulan kepada Direksi, Komisaris, DSN dan Bank Indonesia;
c. menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk yang
dikeluarkan BPRS;
d. memberikan …
- 26 -
d. memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional
BPRS secara keseluruhan dalam laporan publikasi BPRS;
e. mengkaji produk dan jasa baru yang akan dikeluarkan oleh BPRS untuk
dimintakan fatwa kepada DSN.
f. Bila perlu dapat meminta dokumen dan penjelasan langsung dari satuan
kerja BPRS serta ikut dalam pembahasan
pembahasan komite pembiayaan
intern
termasuk
dalam
(2) Tata cara pelaporan hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 30
(1) Jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah sekurang-kurangnya 1 (satu)
orang dan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang.
(2) Anggota Dewan Pengawas Syariah BPRS hanya dapat merangkap jabatan
sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah sebanyak-banyaknya pada 2
(dua) lembaga perbankan dan 2 (dua) lembaga
keuangan syariah bukan
bank.
(3) Satu anggota Dewan Pengawas Syariah BPRS dapat merangkap jabatan
sebagai anggota DSN
(4) Anggota Dewan Pengawas Syariah digolongkan sebagai pihak terafiliasi
BPRS.
Pasal 31 …
- 27 -
Pasal 31
(1) BPRS wajib mengajukan calon Direksi dan anggota dewan Komisaris, untuk
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum diangkat oleh RUPS
atau Rapat Anggota.
(2) BPRS wajib mengajukan calon anggota Dewan Pengawas Syariah untuk
memperoleh persetujuan Bank Indonesia dan penetapan Dewan Syariah
Nasional sebelum diangkat dan menduduki jabatannya.
(3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib disampaikan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia, dan
wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf
c, huruf h, huruf i, huruf j dan huruf k.
(4) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) wajib disampaikan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia, dan
wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf
c.
(5) Permohonan untuk memperoleh penetapan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) wajib disampaikan oleh Direksi BPRS kepada Dewan Syariah
Nasional dengan tembusan kepada Bank Indonesia.
Pasal 32
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan pengangkatan anggota Direksi,
dewan Komisaris dan atau Dewan Pengawas Syariah, diberikan selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara
lengkap.
(2) Dalam …
- 28 -
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) Bank Indonesia
melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen ; dan
b. wawancara terhadap calon anggota Direksi, dewan Komisaris, dan Dewan
Pengawas Syariah.
Pasal 33
(1) Dalam hal Rapat Umum Pemegang
Saham, Rapat Anggota,
telah
mengangkat anggota Direksi dan atau dewan Komisaris sebelum persetujuan
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dan Bank
Indonesia
tidak menyetujui pihak-pihak dimaksud maka BPRS wajib
mengajukan kembali calon anggota Direksi dan atau dewan Komisaris baru
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3).
(2) Pengangkatan anggota Direksi dan atau dewan Komisaris wajib dilaporkan
oleh BPRS kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari
setelah tanggal pengangkatan efektif, disertai dengan notulen rapat umum
pemegang saham atau notulen rapat anggota.
(3) Pengangkatan anggota Dewan Pengawas Syariah wajib dilaporkan oleh
BPRS kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah
tanggal pengangkatan efektif.
BAB V
KEGIATAN USAHA
Pasal 34
(1) BPRS …
- 29 -
(1) BPRS wajib melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan
berdasarkan prinsip kehati-hatian.
(2) Usaha BPRS adalah:
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk antara lain:
1. tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah;
2. deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah; dan atau
3. bentuk lain yang menggunakan prinsip wadiah atau mudharabah;
b. menyalurkan dana dalam bentuk antara lain:
1. transaksi jual beli berdasarkan prinsip:
a) murabahah;
b) istishna; dan atau
c) salam;
2. transaksi sewa menyewa dengan prinsip ijarah
3. pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip:
a) mudharabah; dan atau
b) musyarakah;
4. pembiayaan berdasarkan prinsip qardh.
c. melakukan kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan Undang-undang
Perbankan dan prinsip syariah.
Pasal 35
(1) Produk dan jasa baru yang akan dikeluarkan oleh BPRS wajib memperoleh
persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
(2) Aktiva Tetap dan Inventaris BPRS setinggi-tingginya 25% (dua puluh lima
perseratus) dari modal disetor BPRS.
Pasal 36
(1) BPRS …
- 30 -
(1) BPRS dilarang mengubah kegiatan usahanya menjadi BPR konvensional.
(2) BPRS dilarang melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
BAB VI
PEMBUKAAN KANTOR BPRS
Bagian Pertama
Pembukaan Kantor Cabang
Pasal 37
(1) Pembukaan Kantor Cabang BPRS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank
Indonesia.
(2) BPRS dapat membuka Kantor Cabang dalam 1 (satu) wilayah propinsi yang
sama dengan kantor pusatnya.
(3) BPRS yang kantor pusatnya berada di wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi
dapat membuka kantor cabang dalam wilayah tersebut.
(4) Rencana pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPRS.
(5) Pembukaan Kantor Cabang wajib memenuhi
selama 6 (enam) bulan terakhir tergolong sehat.
(6) Dalam pembukaan Kantor Cabang, BPRS wajib menambah modal disetor
sekurang-kurangnya sebesar 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah yang
ditetapkan dalam Pasal 4 untuk setiap kantor.
Pasal 38
persyaratan tingkat kesehatan
Permohonan …
- 31 -
Permohonan untuk mendapatkan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) diajukan oleh Direksi BPRS kepada Bank
Indonesia dan wajib dilampiri dengan:
a. neraca dan rincian kualitas aktiva produktif 2 (dua) bulan terakhir sebelum
tanggal surat permohonan;
b. rencana persiapan operasional dalam rangka pembukaan Kantor Cabang;
c. hasil studi kelayakan yang sekurang-kurangnya memuat potensi ekonomi,
peluang pasar, tingkat kejenuhan dan persaingan yang sehat antar bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan BPRS, serta
proyeksi arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan;
d. rencana kerja Kantor Cabang yang bersangkutan sekurang-kurangnya selama
12 (dua belas) bulan;
e. bukti pelunasan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6)
berupa fotokopi bilyet deposito sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf e.
Pasal 39
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan
persetujuan atau penolakan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan :
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan BPRS termasuk tingkat
kesehatan, tingkat kejenuhan dan tingkat persaingan yang sehat antar
bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan
BPRS.
(1) Pelaksanaan …
- 32 -
Pasal 40
(1) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang dilakukan dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal dikeluarkan
izin Bank Indonesia.
(2) Laporan pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib disampaikan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) BPRS
tidak melaksanakan pembukaan Kantor Cabang, maka izin pembukaan
Kantor Cabang yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku.
Bagian Kedua
Pembukaan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di Luar Kantor
Pasal 41
(1) Rencana pembukaan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di Luar Kantor wajib
dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPRS.
(2) Pembukaan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di Luar Kantor hanya dapat
dilakukan dalam:
a. satu wilayah Kabupaten/ Kota yang sama dengan kantor BPRS yang
menjadi induknya; dan atau
b. satu wilayah Kabupaten/Kota yang berbatasan langsung dengan kantor
BPRS yang menjadi induknya
dalam satu wilayah propinsi.
(3) BPRS yang akan membuka Kantor Kas wajib memenuhi persyaratan tingkat
kesehatan selama 6 (enam) bulan terakhir sekurang-kurangnya tergolong
cukup sehat untuk pembukaan Kantor Kas.
(4) Pembukaan …
- 33 -
(4) Pembukaan Kantor Kas hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan surat
penegasan dari Bank Indonesia.
(5) Surat penegasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen diterima secara lengkap.
Pasal 42
(1) Pelaksanaan pembukaan Kantor Kas dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari setelah tanggal penegasan Bank Indonesia.
(2) Laporan pelaksanaan pembukaan Kantor Kas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib disampaikan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) BPRS
tidak melaksanakan pembukaan Kantor Kas, maka penegasan pembukaan
Kantor Kas yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 43
Laporan keuangan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di Luar Kantor wajib
digabungkan dengan laporan keuangan kantor BPRS yang menjadi induknya pada
hari yang sama.
Pasal 44
(1) BPRS wajib menyampaikan laporan
Kantor kepada Bank Indonesia.
pembukaan Kegiatan Kas di Luar
(2) Laporan pembukaan Kegiatan Kas di Luar Kantor BPRS wajib disampaikan
ke Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh ) hari setelah tanggal
pelaksanaan.
BAB VII …
- 34 -
BAB VII
PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR
Pasal 45
(1) Pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang BPRS hanya dapat
dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
(2) Pemindahan alamat kantor BPRS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1):
a. ke wilayah Kabupaten/Kota yang sama wajib mempertahankan modal
sekurang-kurangnya sebesar modal disetor yang telah ada;
b. ke wilayah Kabupaten/Kota yang berbeda wajib:
1. memenuhi persyaratan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 atau Pasal 37 ayat (6); atau
2. mempertahankan modal disetor apabila modal disetor BPRS telah
melebihi dari persyaratan permodalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 atau Pasal 37 ayat (6).
Pasal 46
(1) Permohonan pemindahan alamat kantor BPRS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (1) diajukan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia
sebelum pemindahan alamat dilaksanakan.
(2) Permohonan pemindahan alamat kantor dalam Kabupaten/Kota yang berbeda
wajib disertai dengan:
a. alasan pemindahan alamat dan bukti kesiapan kantor BPRS termasuk
sarananya;
b. rencana …
- 35 -
b. rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban BPRS;
c. hasil studi kelayakan mengenai tempat kedudukan baru yang sekurang-
kurangnya memuat potensi ekonomi, peluang pasar, tingkat kejenuhan
dan tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah dan BPRS.
(3) Permohonan pemindahan alamat kantor dalam satu kabupaten/kota yang
sama wajib disertai dengan alasan pemindahan alamat dan bukti kesiapan
kantor BPRS termasuk sarananya.
Pasal 47
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (1) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan
persetujuan atau penolakan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan BPRS, tingkat kejenuhan
dan
tingkat persaingan yang
sehat antar bank
antar bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah dan BPRS.
Pasal 48
(1) Pemindahan
alamat kantor wajib diumumkan kepada nasabah
dan
masyarakat di tempat kedudukan BPRS sebelumnya, selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari setelah tanggal izin pemindahan alamat dari Bank Indonesia.
(2) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor dilakukan selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari sejak tanggal dikeluarkan izin pemindahan alamat dari Bank
Indonesia.
(3) Laporan …
- 36 -
(3) Laporan pelaksanaan pemindahan alamat kantor wajib disampaikan kepada
Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari
pelaksanaan pemindahan alamat.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) BPRS
tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor, maka
alamat kantor yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku.
izin pemindahan
setelah tanggal
BAB VIII
NAMA DAN BENTUK BADAN HUKUM
Bagian Pertama
Nama dan Perubahan Nama BPRS
Pasal 49
(1) Nama dan Perubahan nama BPRS wajib dilakukan dengan memenuhi
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Bagi BPRS yang telah memperoleh persetujuan perubahan nama dari instansi
yang berwenang wajib mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia
mengenai penetapan penggunaan izin usaha yang dimiliki untuk BPRS
dengan nama yang baru.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh BPRS
kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
perubahan nama dan wajib disertai dengan akta perubahan anggaran dasar
yang telah disetujui oleh instansi berwenang bagi BPRS yang berbentuk
hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah atau perubahan anggaran
dasar yang telah disahkan oleh rapat anggota bagi BPRS yang berbentuk
hukum koperasi.
(4) Berdasarkan
- 37 -
(4) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Bank
Indonesia menerbitkan Keputusan tentang perubahan nama BPRS dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima
secara lengkap.
(5) Pelaksanaan perubahan nama BPRS wajib diumumkan dalam surat kabar
harian setempat atau dipapan pengumuman kantor Kecamatan setempat
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penerbitan Keputusan
Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Perubahan Bentuk Badan Hukum BPRS
Pasal 50
(1) Perubahan bentuk badan hukum BPRS hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan Bank Indonesia.
(2) Pemberian persetujuan perubahan bentuk badan hukum BPRS sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam dua tahap:
a. persetujuan prinsip yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
perubahan bentuk badan hukum BPRS;
b. persetujuan pengalihan izin usaha yaitu persetujuan yang diberikan untuk
mengalihkan izin usaha dari badan hukum lama kepada badan hukum
baru.
Pasal 51
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip perubahan bentuk badan
hukum BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a
diajukan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia sebelum dilakukan rapat
umum …
- 38 -
umum pemegang saham atau rapat anggota untuk memutuskan perubahan
bentuk badan hukum BPRS dan wajib dilampiri dengan:
a. alasan perubahan bentuk badan hukum BPRS;
b. rancangan akta pendirian badan hukum baru termasuk anggaran dasar;
c. rencana pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama
kepada badan hukum baru;
d. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dalam hal
terjadi perubahan anggota dewan Komisaris dan atau Direksi; dan
e. daftar kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
dan ayat (2) dalam hal terjadi perubahan.
(2) Dalam rangka memberikan
persetujuan atau penolakan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. wawancara terhadap calon pemegang saham, dewan Komisaris dan atau
Direksi dalam hal terjadi perubahan.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 52
(1) Permohonan untuk mengalihkan izin usaha BPRS dari badan hukum lama
kepada badan hukum baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2)
huruf b, diajukan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia dan wajib
dilampiri dengan :
a. akta pendirian badan hukum baru termasuk anggaran dasar yang telah
disahkan oleh instansi berwenang;
b. daftar …
- 39 -
b. daftar
anggota dewan
Komisaris dan
Direksi
dengan
dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dalam hal terjadi
perubahan;
c. daftar kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
dan ayat (2) dalam hal terjadi perubahan.
d. akta berita acara pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum
lama kepada badan hukum baru;
e. notulen rapat umum pemegang saham atau rapat anggota badan hukum
lama yang menyetujui perubahan bentuk hukum dan pembubaran badan
hukum lama.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan pengalihan izin
usaha, Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. wawancara terhadap pemegang saham, anggota dewan Komisaris dan
atau Direksi dalam hal terdapat perubahan.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan pengalihan izin usaha dari
badan hukum lama kepada badan hukum baru diberikan selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 53
(1) Pembubaran badan hukum lama hanya dapat dilakukan setelah:
a. Bank Indonesia memberikan
persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3);
b. pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada
badan hukum baru
dilaksanakan
sesuai
dengan
akta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf d.
(2) Pelaksanaan …
berita
acara
pengalihan
izin
usaha
- 40 -
(2) Pelaksanaan perubahan bentuk badan hukum BPRS wajib diumumkan
kepada nasabah dan masyarakat ditempat kedudukan BPRS dan Kantor
Cabang BPRS selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari
penerbitan Keputusan Bank Indonesia.
setelah
tanggal
BAB IX
PERUBAHAN KEGIATAN USAHA
Pasal 54
(1) Perubahan kegiatan usaha BPR yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional menjadi BPR yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah hanya dapat dilakukan dengan izin Dewan Gubernur Bank
Indonesia.
(2) Perubahan kegiatan usaha BPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan apabila telah dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPR.
(3) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dalam dua
tahap:
a. persetujuan prinsip yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
perubahan kegiatan usaha;
b. izin perubahan kegiatan usaha yaitu izin yang diberikan untuk melakukan
kegiatan usaha BPRS setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a selesai dilakukan.
Pasal 55
Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (3) huruf a, diajukan oleh Direksi BPR kepada Dewan
Gubernur Bank Indonesia disertai alasan perubahan dan wajib dilampiri dengan:
a. rancangan …
- 41 -
a. rancangan perubahan anggaran dasar yang secara tegas mencantumkan bahwa
BPR melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip syariah serta
penempatan dan tugas-tugas Dewan Pengawas Syariah;
b. rencana susunan dan struktur organisasi, serta personalia;
c. rencana penyelesaian seluruh hak dan kewajiban BPR terhadap nasabah yang
tidak bersedia menjadi nasabah BPRS;
d. rencana kerja tahun pertama yang sekurang-kurangnya memuat :
1. rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan penyaluran dana
serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan
rencana dimaksud;
2. rencana kebutuhan pegawai;
3. proyeksi arus kas bulanan selama 36 (tiga puluh enam) bulan yang dimulai
sejak BPRS melakukan kegiatan operasionalnya serta proyeksi neraca dan
perhitungan laba rugi;
e. studi kelayakan pendirian BPRS yang antara lain memuat hasil penelaahan
mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi di wilayah Kabupaten/Kota
tempat kedudukan dan wilayah operasional BPRS;
f. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dalam
hal terjadi penggantian dan atau penambahan pemilik, disertai dengan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2);
g. daftar anggota Direksi dan dewan Komisaris, dan atau calon anggota Direksi
dan
dewan Komisaris dalam hal
terjadi
penggantian, yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, 22, 23, dan 24, disertai
dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf
h, huruf i, huruf j dan huruf k;
(h) daftar …
- 42 -
h. daftar Dewan Pengawas Syariah yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 dan 30, disertai dengan dokumen Pasal 9 ayat (1)
huruf c.
Pasal 56
(1)
Persetujuan
atau penolakan
atas permohonan
persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 diberikan selambat-lambatnya 60
(enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap;
(2) Dalam rangka memberikan
persetujuan atau penolakan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. Analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat dan
tingkat kejenuhan
antar
bank
yang
berdasarkan prinsip syariah dan BPRS;
c. wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota
Direksi, calon anggota dewan Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah.
Pasal 57
(1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) berlaku
untuk jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal
persetujuan prinsip dikeluarkan dan tidak dapat diperpanjang.
(2) BPR yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 ayat (1) dilarang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah sebelum mendapat izin perubahan kegiatan usaha.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) BPR
belum mengajukan permohonan izin usaha, maka persetujuan prinsip yang
telah diberikan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 58 …
melaksanakan
kegiatan
usaha
- 43 -
Pasal 58
Permohonan untuk mendapatkan izin perubahan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) huruf b, diajukan oleh Direksi BPR kepada
Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib dilampiri dengan:
a. akta perubahan anggaran dasar yang secara tegas mencantumkan bahwa BPR
melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah serta penempatan dan
tugas-tugas Dewan Pengawas Syariah, yang telah disahkan oleh instansi yang
berwenang;
b. bukti kesiapan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f;
c. susunan dan struktur organisasi, serta personalia, dalam hal terjadi perubahan;
d. laporan realisasi dan rencana tindaklanjut penyelesaian seluruh hak dan
kewajiban terhadap nasabah BPR;
e. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b,
disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dalam
hal terjadi perubahan;
f. daftar susunan Direksi dan dewan Komisaris, dan atau calon anggota Direksi
dan dewan Komisaris, yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, 22, 23, dan 24, disertai dengan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, dalam hal terjadi perubahan;
g. daftar susunan Dewan Pengawas Syariah yang memenuhi
persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan 30, disertai dengan dokumen Pasal
9 ayat (1) huruf c, dalam hal terjadi perubahan;
h. surat pernyataan dari pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf g;
i. surat pernyataan dari Direksi dan dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 huruf h, huruf i, dan huruf k.
Pasal 59 …
- 44 -
Pasal 59
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 diberikan selambat-lambatnya 60
(enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan
persetujuan atau penolakan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. wawancara terhadap pemilik, anggota Direksi dan dewan Komisaris serta
Dewan Pengawas Syariah, dalam hal terjadi penggantian.
(3) Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal izin perubahan
kegiatan usaha BPR belum melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, maka izin perubahan kegiatan usaha dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 60
(1) BPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan perubahan kegiatan usaha
kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
dimulainya kegiatan operasional berdasarkan prinsip syariah.
telah mendapatkan
(2) BPR yang
izin
perubahan
kegiatan
usaha wajib
menyelesaikan seluruh hak dan kewajiban kepada kreditur dan debitur dari
kegiatan konvensional selambat-lambatnya 360 (tiga ratus enam puluh) hari
sejak tanggal izin perubahan kegiatan usaha diberikan.
(3) BPR yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dilarang melakukan
kegiatan usaha perbankan secara konvensional, kecuali dalam rangka
penyelesaian transaksi-transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 61
BPR …
- 45 -
BPR yang telah memperoleh izin perubahan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah wajib mencantumkan kata “Syariah” setelah kata “Bank Perkreditan
Rakyat” pada penulisan namanya.
BAB X
PENUTUPAN KANTOR
Pasal 62
(1) Penutupan Kantor Cabang BPRS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank
Indonesia.
(2) Permohonan penutupan kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diajukan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia sebelum pelaksanaan
penutupan kantor BPRS dimaksud, disertai dengan alasan penutupan dan
penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak-pihak lain.
(3) Persetujuan atau penolakan izin permohonan penutupan kantor sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah :
a. dokumen permohonan diterima secara lengkap; dan
b. berdasarkan hasil pemeriksaan, seluruh kewajiban telah diselesaikan.
(4) Penutupan kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diumumkan
kepada nasabah dan masyarakat di kecamatan dan di kantor
tempat
kedudukan BPRS selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal izin
penutupan dari Bank Indonesia.
(5) Laporan …
- 46 -
(5) Laporan pelaksanaan penutupan kantor yang telah mendapat persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan.
Pasal 63
(1) Rencana penutupan Kantor Kas wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia
disertai dengan alasan penutupan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sebelum pelaksanaannya.
(2) Laporan pelaksanaan penutupan Kantor Kas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari setelah tanggal penutupan.
Pasal 64
(1) Penutupan kantor
sementara oleh BPRS di luar hari
memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
(2) Permohonan penutupan kantor sementara diajukan oleh Direksi BPRS kepada
Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 hari sebelum pelaksanaan.
(3) Persetujuan atau penolakan izin penutupan kantor sementara diberikan
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah surat permohonan diterima
secara lengkap.
(4) BPRS wajib mengumumkan rencana penutupan kepada masyarakat selambat-
lambatnya 14 hari sebelum pelaksanaan penutupan, setelah memperoleh izin
dari Bank Indonesia.
(5) Penutupan kantor sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebanyak-
banyaknya 5 (lima) hari kerja dalam kurun waktu 1 (satu) tahun takwim.
libur resmi wajib
BAB XI …
- 47 -
BAB XI
LAIN-LAIN
Pasal 65
BPRS wajib mengadministrasikan dengan tertib:
a. daftar pemegang saham dan perubahannya bagi BPRS yang berbentuk hukum
Perseroan Terbatas/ Perusahaan Daerah;
b. buku daftar anggota dan perubahannya bagi BPRS yang berbentuk hukum
Koperasi.
BAB XII
S A N K S I
Pasal 66
(1) BPRS yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23,
Pasal 24, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 ayat (1), Pasal 30, Pasal 31
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36 ayat (2),
Pasal 41 ayat (4), Pasal 43, Pasal 45, Pasal 49 ayat (2), Pasal 50 ayat (1),
Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 57 ayat (2), Pasal 60 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 61, Pasal 62 ayat (1), Pasal 64 ayat (1), Pasal 65, dapat
dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
(2) BPRS yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2), Pasal 17 ayat
(1) dan ayat (4), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal 25, Pasal 33 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 40 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 42 ayat (2), Pasal 44, Pasal 48
ayat (1) dan ayat (3), Pasal 49 ayat (3) dan ayat (5), Pasal 53 ayat (2), Pasal
60 ayat (1), Pasal 62 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 63 ayat (2), Pasal 64 ayat (4)
dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-undang Nomor
7 Tahun …
- 48 -
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
a. teguran tertulis dan denda sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah)
untuk setiap keterlambatan laporan;
b. teguran tertulis dan denda sebesar Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu rupiah) apabila BPRS tidak menyampaikan laporan.
(3) BPRS dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf b apabila BPRS belum menyampaikan laporan
dimaksud setelah 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan.
(4) Setiap pihak yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 8
ayat (2), serta Pasal 37 ayat (1), dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal
46 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 67
(1) Persetujuan prinsip yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia tentang
pendirian BPRS sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini,
dinyatakan tetap berlaku.
(2) Permohonan pendirian, pembukaan kantor, pemindahan alamat kantor,
perubahan nama dan bentuk badan hukum, perubahan kegiatan usaha dan
penutupan kantor yang telah diajukan kepada Bank Indonesia dan belum
mendapat
persetujuan
atau
Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Persyaratan …
penolakan,
akan diselesaikan
berdasarkan
- 49 -
(3) Persyaratan anggota Direksi
sekurang-kurangnya berpendidikan
formal
setingkat Diploma III atau Sarjana Muda sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 ayat (3), dikecualikan bagi anggota Direksi BPRS yang telah disetujui
Bank Indonesia dan diangkat sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia
ini.
Pasal 68
(1) BPRS yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 22
ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) serta Pasal 35 ayat (2) wajib menyesuaikan
dengan ketentuan tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
sejak tanggal berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Anggota Direksi dan dewan Komisaris BPRS yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5),Pasal 23 ayat (1)
dan Pasal 24 ayat (1) wajib menyesuaikan dengan ketentuan tersebut dalam
waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak tanggal berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini.
(3) Anggota Dewan Pengawas Syariah yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 wajib menyesuaikan dengan
ketentuan tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak
tanggal berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 69
(1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No.32/36/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang
Bank
Perkreditan
Rakyat Berdasarkan
dinyatakan tidak berlaku.
(2) Dengan …
Prinsip Syariah dicabut dan
- 50 -
(2) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka BAB X tentang
Perubahan Kegiatan Usaha dari Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No.32/35/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 70
Ketentuan pelaksanaan tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip
Syariah diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia
Pasal 71
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal
1 Juli 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd.
BURHANUDDIN ABDULLAH
- 51 -
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58
DPbS
- 52 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR:6/ 17 /PBI/2004
TENTANG
BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
I. PENJELASAN UMUM
Dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang
mengalami perubahan yang cepat, tantangan yang dinamis dan semakin kompleks
serta
dapat melayani
seluruh lapisan
masyarakat kecil, maka diperlukan
kebijakan perbankan yang komprehensif, transparan dan mengandung kepastian
hukum, diantaranya berkaitan dengan pengaturan kepemilikan dan permodalan,
kepengurusan, perluasan jaringan, serta perubahan kegiatan usaha BPR.
Perkembangan perbankan syariah telah mengalami pertumbuhan yang
sangat pesat baik dari sisi pertumbuhan aset maupun pertumbuhan kelembagaan
atau jaringan. Namun pertumbuhan yang pesat di perbankan syariah ini belum
memadai bila dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat
perbankan syariah. Dalam rangka memberikan pelayanan yang maksimal kepada
masyarakat khususnya masyarakat kecil, maka perlu didukung dengan jaringan
kantor
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah (BPRS).
Agar perkembangan jaringan kantor dapat berjalan maka perlu didukung
dengan ketentuan yang mempermudah pembukaan jaringan kantor tersebut, yang
akan pelayanan
yang cukup, dalam hal ini melalui Bank Perkreditan Rakyat yang
merupakan …
- 53 -
merupakan amanat dari Arsitektur Perbankan Indonesia dan blue print perbankan
syariah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Cukup jelas
Angka 12 …
- 54 -
Angka 12
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b …
- 55 -
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Susunan dan struktur organisasi serta personalia antara lain
meliputi organization chart, garis
dan vertikal,
horizontal
serta jabatan dan
tanggung jawab
nama-nama
personalia sekurang-kurangnya sampai dengan tingkatan
Pejabat Eksekutif.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Yang dimaksud dengan bank umum adalah bank umum
yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah dan atau kantor cabang syariah atau kantor dibawah
kantor cabang syariah dari bank umum konvensional.
Huruf h
Dalam hal calon pemegang saham BPRS berbentuk badan
hukum, maka surat pernyataan pribadi dibuat dan
disampaikan oleh pengurus yang mempunyai wewenang
untuk mewakili badan hukum yang bersangkutan.
Angka 1 …
- 56 -
Angka 1
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain meliputi
lembaga keuangan non bank, lembaga pembiayaan
atau perusahaan.
Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah.
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7 …
- 57 -
Angka 7
Yang dimaksud dengan kelompok usaha adalah:
a. perorangan dan badan hukum;
b. beberapa orang; atau
c. beberapa badan hukum,
yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan
atau hubungan keuangan.
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Surat pernyataan
Pemegang
Saham Pengendali
berbentuk badan hukum dibuat dan disampaikan oleh
pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili
badan hukum yang bersangkutan.
Dalam hal BPRS merupakan bagian dari kepemilikan
suatu kelompok
disampaikan
oleh
usaha maka surat pernyataan
pihak-pihak
yang
tidak langsung
atas seluruh
berdasarkan
penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik secara
langsung maupun
kelompok usaha.
Dalam hal Pemegang
Pemerintah
Daerah, maka
Saham Pengendali adalah
tidak diwajibkan
menyampaikan surat pernyataan dimaksud.
Pasal 7 …
- 58 -
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran
dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas
dan atau kompetensi.
Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak:
i. yang belum pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang
Saham Pengendali di lembaga perbankan; atau
ii. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan
yang masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai
integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali BPRS
berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara
dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau
yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili
badan hukum atau yayasan yang bersangkutan.
Dalam hal BPRS merupakan bagian dari kepemilikan suatu
kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang
Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang
berdasarkan …
- 59 -
berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik
secara langsung maupun
tidak langsung atas seluruh
kelompok usaha.
Dalam hal
calon Pemegang Saham Pengendali
adalah
Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan
wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali.
Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham
Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap calon
pemegang saham pendiri
tertentu berdasarkan penilaian
Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c …
- 60 -
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan bank umum adalah bank umum yang
melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan
atau kantor cabang syariah atau kantor dibawah kantor cabang
syariah dari bank umum konvensional.
Huruf f
Angka 1
Yang dimaksud dengan aktiva tetap dan inventaris adalah
aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai
atau dengan dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam
kegiatan operasi BPRS, tidak dimaksudkan untuk dijual
dalam rangka kegiatan normal BPRS.
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Yang …
- 61 -
Yang dimaksud sarana dan prasarana bagi pengawasan
syariah adalah alat-alat kantor berupa meja, kursi, ruangan
dan atau alat
fasilitas lainnya yang
pengawasan
tulis menulis, personil
diperlukan
syariah oleh Dewan
guna
Pengawas
Syariah.
Pengadaan sarana dan prasarana dimaksud disesuaikan
dengan kemampuan dan kebutuhan BPRS.
Huruf g
Angka 1
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain meliputi
lembaga keuangan non bank, lembaga pembiayaan atau
perusahaan.
Tidak
termasuk dalam pengertian
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah.
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Huruf h :
Angka 1
Yang dimaksud dengan bank lain adalah bank umum yang
melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah,
bank umum konvensional yang melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dan atau BPRS.
Angka 2
Cukup jelas
Huruf i …
pihak
lain
adalah
intern BPRS dan
kelancaran
- 62 -
Huruf i :
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar setiap anggota Direksi
tidak melakukan kegiatan yang dapat menganggu pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab sebagai Direksi BPRS.
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Huruf l
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan dalam rangka penelitian atas kebenaran
dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan.
Huruf b
Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas
dan atau kompetensi.
Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak :
i. yang belum pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang
Saham Pengendali di lembaga perbankan; atau
ii. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang
Saham Pengendali di lembaga
perbankan
yang masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai
integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan
Dalam …
- 63 -
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali BPRS
berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara
dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau
yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili
badan hukum atau yayasan yang bersangkutan.
Dalam hal BPRS merupakan bagian dari kepemilikan suatu
kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang
Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang
berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik
secara langsung maupun
tidak langsung atas seluruh
kelompok usaha.
Dalam hal
calon Pemegang Saham Pengendali
adalah
Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan
wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali.
Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham
Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap calon
pemegang saham pendiri
tertentu berdasarkan penilaian
Bank Indonesia.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12 …
- 64 -
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan modal sendiri bersih adalah modal sendiri
bersih sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
bagi badan hukum yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Huruf a
Ketentuan dalam huruf ini dikecualikan dalam hal pemilik BPRS
adalah Pemerintah Daerah.
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain meliputi
lembaga
keuangan non-bank, lembaga pembiayaan atau perusahaan.
Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
- 65 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 16
Perubahan kepemilikan mencakup penggantian, dan atau penambahan
pemegang
saham baru, dan
kepemilikan
atau perubahan komposisi
saham diantara para pemegang
penggantian maupun penambahan pemegang saham baru.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Perubahan komposisi kepemilikan dalam ayat ini adalah perubahan
jumlah kepemilikan saham diantara para pemegang saham lama
tanpa penggantian maupun penambahan pemegang saham baru.
Ayat (2) …
jumlah
saham lama tanpa
- 66 -
Ayat (2)
Penyampaian notulen rapat umum pemegang
saham wajib
dilampiri bukti pelaporan kepada instansi yang berwenang.
Notulen rapat umum pemegang saham bagi badan hukum PT, rapat
anggota bagi badan hukum Koperasi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
i.
yang dimaksud dengan
pengetahuan di bidang
ii. yang
perbankan adalah memiliki pengetahuan tentang
peraturan dan operasional BPRS
dengan
dimaksud
perbankan dan
pengalaman di
atau di
pengalaman
bidang
bidang operasional,
di
keuangan
bidang
adalah
pemasaran,
pembukuan …
- 67 -
pembukuan, pendanaan, perkreditan, pasar uang, dan
atau hukum yang berkaitan dengan bidang perbankan.
iii. yang dimaksud dengan kemampuan untuk melakukan
pengelolaan
strategis adalah kemampuan
dan
menjadi misi BPRS dan
perbankan.
Huruf b
i.
yang dimaksud dengan
perbankan, mengintepretasikan
analisa situasi
untuk
mengantisipasi perkembangan perekonomian regional,
keuangan
visi
industri
pengetahuan di bidang
ii.
perbankan adalah memiliki pengetahuan tentang
peraturan dan operasional BPRS
dengan
yang
dimaksud
pengalaman
di
bidang
perbankan adalah pengalaman di bidang operasional,
pemasaran, pembukuan, pendanaan, perkreditan, pasar
uang, dan atau hukum yang berkaitan dengan bidang
perbankan.
Ayat (4)
Huruf a
Dalam pengertian termasuk dalam daftar kredit macet
adalah
apabila calon dewan Komisaris
dan Direksi
mempunyai kredit macet dan atau merupakan pengurus dari
badan hukum yang mempunyai kredit macet
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 22 …
- 68 -
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud memiliki pengetahuan dibidang perbankan syariah
dibuktikan
dengan
syariah,
sertifikat pendidikan/pelatihan
termasuk dalam hal ini
perbankan
transkrip nilai mata kuliah
perbankan syariah, antara lain tentang produk, akad dan akuntansi
syariah.
Ayat (3)
Yang dimaksud setingkat Diploma III atau Sarjana Muda harus
dibuktikan dengan surat keterangan tertulis dari perguruan tinggi
yang bersangkutan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Penilaian independensi
didasarkan
pada keterkaitan yang
bersangkutan pada kepengurusan, kepemilikan dan atau hubungan
keuangan dengan seluruh kelompok usaha Pemegang Saham
Pengendali.
Pasal 23
Ayat (1)
Hubungan
keluarga
sampai
dengan
derajat
pertama
adalah
hubungan baik dalam garis lurus maupun garis samping, termasuk
mertua, menantu dan ipar,
keluarga meliputi sebagai berikut :
sehingga yang dimaksud dengan
1. orang …
- 69 -
1. orang tua kandung/tiri/angkat;
2. saudara kandung/tiri/angkat;
3. suami/istri;
4. anak kandung/tiri/angkat;
5. suami/istri dari anak kandung/tiri /angkat;
6. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/ istri;
7. mertua.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan agar setiap anggota Direksi
tidak
melakukan kegiatan yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab sebagai Direksi BPRS.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan berdomisili dekat adalah jarak tempuh
dapat dicapai melalui perjalanan darat dan atau air maksimum
selama 2 jam, dalam kondisi normal.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud
pengalaman di
bidang perbankan
adalah
pengalaman di bidang perbankan konvensional dan atau syariah.
Ayat (4) …
- 70 -
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan bank lain
yang
adalah bank umum yang
melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, bank
umum konvensional
melaksanakan
Berdasarkan Prinsip Syariah dan atau BPRS
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Yang dimaksud dengan benturan kepentingan adalah terjadinya benturan
kepentingan ekonomis
antara BPRS dengan
kepentingan ekonomis
pribadi pemilik, anggota dewan Komisaris, anggota Direksi, Pejabat
Eksekutif BPRS, dan atau pihak terkait lainnya.
Ketentuan dalam Pasal
Kegiatan
Usaha
ini pada dasarnya dimaksudkan agar anggota
dewan Komisaris, anggota Direksi, dan Pejabat Eksekutif BPRS untuk
tidak mengambil keputusan yang merugikan dan atau menimbulkan
potensi kerugian pada BPRS.
Termasuk dalam pengertian merugikan
BPRS adalah kegiatan yang
mengakibatkan berkurangnya keuntungan BPRS.
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
- 71 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan syariah mu’amalah adalah hubungan
sosial, termasuk kegiatan bisnis, yang sejalan atau didasarkan pada
prinsip syariah
Ayat (4)
Cukup jelas
Huruf a
Dalam
pengertian
termasuk dalam
daftar
kredit/pembiayaan macet adalah apabila calon Dewan
Pengawas Syariah mempunyai kredit macet dan atau
merupakan
pengurus dari
mempunyai kredit macet
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
badan
hukum yang
Huruf d …
- 72 -
Huruf d
Laporan publikasi yang dimaksud adalah sebagaimana yang
diatur dalam ketentuan yang berlaku.
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Dewan Pengawas Syariah menjadi pihak terafiliasi karena
memberikan jasa kepada BPRS.
Pasal 31
Ayat (1)
Persetujuan atau penolakan calon anggota Dewan Komisaris dan
calon Direksi dilakukan melalui
kepatutan (fit and proper test) sesuai ketentuan yang berlaku.
Selanjutnya pengangkatan dilakukan oleh RUPS atau Rapat
Anggota sesuai ketentuan yang berlaku.
penilaian kemampuan dan
Ayat (2) …
- 73 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas
dan atau kompetensi.
Wawancara dilakukan terhadap :
i. pihak-pihak yang pernah bekerja di lembaga perbankan ;
atau
ii. pihak-pihak yang pernah bekerja di lembaga perbankan
namun masih
mengenai
integritas
bersangkutan.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali BPRS
berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara
dilakukan …
diperlukan
dan
keterangan
lebih
atau kompetensi
lanjut
yang
- 74 -
dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau
yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili
badan hukum atau yayasan yang bersangkutan.
Dalam hal BPRS merupakan bagian dari kepemilikan suatu
kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang
Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang
berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik
secara langsung maupun
tidak langsung atas seluruh
kelompok usaha.
Dalam hal
calon Pemegang Saham Pengendali
adalah
Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan
wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali.
Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham
Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap calon
pemegang saham pendiri
tertentu berdasarkan penilaian
Bank Indonesia.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 34 …
- 75 -
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Bank Indonesia akan menilai produk dan jasa baru tersebut antara
lain dari sisi ketentuan kehati-hatian, kesesuaian aspek syariah dan
ketentuan perbankan yang berlaku.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Aktiva tetap dan Inventaris adalah aktiva
berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan
dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam kegiatan operasi
BPRS,
tidak dimaksudkan untuk dijual/disewakan dalam rangka
kegiatan usaha BPRS.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
- 76 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 41 …
- 77 -
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
- 78 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
- 79 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 51 …
- 80 -
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) …
- 81 -
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran
dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas
dan atau kompetensi.
Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak:
i. yang
belum pernah
bekerja dan
atau menjadi
Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan;
atau
ii. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan
yang masih diperlukan
mengenai
keterangan
integritas dan
bersangkutan.
Dalam …
lebih
atau kompetensi
lanjut
yang
- 82 -
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali BPRS
berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara
dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau
yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili
badan hukum atau yayasan yang bersangkutan.
Dalam hal BPRS merupakan bagian dari kepemilikan suatu
kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang
Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang
berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik
secara langsung maupun
tidak langsung atas seluruh
kelompok usaha.
Dalam hal
calon Pemegang Saham Pengendali
adalah
Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan
wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali.
Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham
Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap calon
pemegang saham pendiri
tertentu berdasarkan penilaian
Bank Indonesia.
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 58 …
- 83 -
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran
dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan.
Huruf b
Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas
dan atau kompetensi.
Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak:
a. yang belum pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang
Saham Pengendali di lembaga perbankan; atau
b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan
yang masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai
integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali BPRS
berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara
dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau
yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili
badan hukum atau yayasan yang bersangkutan.
Dalam hal BPRS merupakan bagian dari kepemilikan suatu
kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang
Saham…
- 84 -
Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang
berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik
secara langsung maupun
tidak langsung atas seluruh
kelompok usaha.
Dalam hal
calon Pemegang Saham Pengendali
adalah
Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan
wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali.
Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham
Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap calon
pemegang saham pendiri
tertentu berdasarkan penilaian
Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62 …
- 85 -
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5) …
- 86 -
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
- 87 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
TAMBAHAN
NOMOR 4392
DPbS
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/17/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 1 Juli 2004 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '32/35/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999 | BAB X', '32/36/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/3/PBI/2018
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH,
DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sebagai kelanjutan dari reformasi kerangka
operasional kebijakan moneter, dibutuhkan langkah
percepatan implementasi giro wajib minimum rata-rata,
untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan
moneter dalam menjaga stabilitas perekonomian;
b. bahwa peningkatan efektivitas transmisi kebijakan
moneter sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan
dengan cara meningkatkan fleksibilitas pengelolaan
likuiditas, mendorong fungsi intermediasi oleh perbankan,
dan mendukung upaya pendalaman pasar keuangan;
c. bahwa peningkatan efektivitas transmisi kebijakan
moneter sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan
melalui lembaga keuangan perbankan konvensional dan
syariah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Giro Wajib Minimum
dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum
- 2 -
Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha
Syariah;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG GIRO WAJIB
MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK
UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT
USAHA SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat
BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
- 3 -
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
4. BUK yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing
adalah BUK yang memperoleh persetujuan dari otoritas
yang berwenang untuk melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing.
5. BUS dan UUS yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam
Valuta Asing adalah BUS dan UUS yang memperoleh
persetujuan dari otoritas yang berwenang untuk
melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.
6. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas
Jasa Keuangan.
7. Dana Pihak Ketiga BUK yang selanjutnya disebut DPK
BUK adalah kewajiban BUK kepada penduduk dan bukan
penduduk dalam rupiah dan/atau valuta asing.
8. Dana Pihak Ketiga BUS dan UUS yang selanjutnya disebut
DPK BUS dan UUS adalah kewajiban BUS dan UUS
kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah
dan/atau valuta asing.
9. Rekening Giro adalah rekening giro sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia.
10. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut
Rekening Giro Rupiah adalah rekening giro dalam mata
uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di
Bank Indonesia.
11. Rekening Giro dalam Valuta Asing yang selanjutnya
disebut Rekening Giro Valas adalah rekening giro dalam
valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di
Bank Indonesia.
- 4 -
12. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM
adalah jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh
BUK atau BUS dan UUS yang besarnya ditetapkan oleh
Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK BUK
atau DPK BUS dan UUS.
13. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disebut
JIBOR adalah Jakarta Interbank Offered Rate sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai suku bunga penawaran antarbank.
14. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang
selanjutnya disebut PUAS adalah pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pasar uang antarbank berdasarkan prinsip
syariah.
15. Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank yang
selanjutnya disingkat SIMA adalah sertifikat investasi
mudharabah antarbank sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
sertifikat investasi mudharabah antarbank.
16. Tingkat Indikasi Imbalan SIMA adalah rata-rata
tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA dalam rupiah
yang terjadi di PUAS pada pasar perdana.
17. Laporan Berkala Bank Umum yang selanjutnya disingkat
LBBU adalah laporan berkala bank umum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai laporan berkala bank umum.
18. Laporan Berkala Bank Umum bagi BUS dan UUS yang
selanjutnya disebut LBBUS adalah laporan berkala bank
umum bagi BUS dan UUS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan berkala bank umum.
19. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disingkat
LHBU adalah laporan harian bank umum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai laporan harian bank umum.
- 5 -
BAB II
PEMENUHAN DAN PERHITUNGAN
GIRO WAJIB MINIMUM BUK
Bagian Kesatu
Pemenuhan Giro Wajib Minimum BUK
Pasal 2
(1) BUK wajib memenuhi GWM dalam rupiah.
(2) BUK yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing
selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), juga wajib memenuhi GWM dalam valuta
asing.
Pasal 3
(1) GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) ditetapkan sebesar rata-rata 6,5% (enam koma
lima persen) dari DPK BUK dalam rupiah selama periode
laporan tertentu, yang wajib dipenuhi sebagai berikut:
a. secara harian sebesar 4,5% (empat koma lima
persen); dan
b. secara rata-rata sebesar 2% (dua persen).
(2) GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) ditetapkan sebesar rata-rata 8% (delapan
persen) dari DPK BUK dalam valuta asing selama periode
laporan tertentu, yang wajib dipenuhi sebagai berikut:
a. secara harian sebesar 6% (enam persen); dan
b. secara rata-rata sebesar 2% (dua persen).
(3) Dalam hal terdapat perubahan besaran kewajiban
pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan GWM dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), perubahan tersebut ditetapkan
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 4
(1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas
kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib
- 6 -
dipenuhi secara harian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf a kepada BUK yang melakukan
penggabungan atau peleburan.
(2) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam
rupiah yang wajib dipenuhi secara harian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1% (satu
persen) untuk 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal
penggabungan atau peleburan berlaku efektif.
(3) Pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM
dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas
permintaan BUK kepada Bank Indonesia.
Pasal 5
(1) Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) dan GWM dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) bagi BUK
yang melakukan penggabungan atau peleburan dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal
efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan,
perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam
valuta asing tetap dilakukan secara terpisah untuk
masing-masing BUK;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan,
perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam
valuta asing hanya dilakukan terhadap BUK hasil
penggabungan atau peleburan; dan
c. dalam hal data BUK hasil penggabungan atau
peleburan sebagaimana dimaksud dalam huruf b
belum tersedia, perhitungan GWM dalam rupiah dan
GWM dalam valuta asing menggunakan hasil
penjumlahan data BUK yang melakukan
penggabungan atau peleburan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan
GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing bagi
- 7 -
BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 6
(1) Pemenuhan GWM dalam valuta asing untuk BUK yang
baru mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing berlaku sejak tersedianya data untuk dapat
melakukan perhitungan GWM dalam valuta asing.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan
GWM dalam valuta asing terhadap BUK yang baru
mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Pasal 7
(1) Ketentuan pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi BUK
yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek.
(2) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek
wajib memenuhi GWM dalam rupiah secara harian
sebesar 6,5% (enam koma lima persen) dari DPK BUK
dalam rupiah.
(3) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek
wajib memenuhi GWM dalam valuta asing secara harian
sebesar 8% (delapan persen) dari DPK BUK dalam valuta
asing.
(4) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) dilakukan sejak tanggal aktivasi pemberian
pinjaman likuiditas jangka pendek sampai dengan 1 (satu)
hari sebelum tanggal pelunasan pinjaman likuiditas
jangka pendek.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan kewajiban
GWM oleh BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka
pendek diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 8 -
Bagian Kedua
Perhitungan Giro Wajib Minimum BUK
Pasal 8
(1) Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dihitung dengan
membandingkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK
di Bank Indonesia pada setiap akhir hari dalam 2 (dua)
periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK
BUK dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya.
(2) Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dihitung dengan
membandingkan rata-rata posisi saldo Rekening Giro
Rupiah BUK di Bank Indonesia pada akhir hari pada
setiap akhir 2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata
harian jumlah DPK BUK dalam rupiah dalam 2 (dua)
periode laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya.
(3) Pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dihitung dengan
membandingkan posisi saldo Rekening Giro Valas BUK di
Bank Indonesia pada setiap akhir hari dalam 2 (dua)
periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK
BUK dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan
pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya.
(4) Pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dihitung dengan
membandingkan rata-rata posisi saldo Rekening Giro
Valas BUK di Bank Indonesia pada akhir hari pada setiap
akhir 2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata harian
jumlah DPK BUK dalam valuta asing dalam 2 (dua)
periode laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya.
(5) Dalam hal terdapat perubahan perhitungan terkait
kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah dan GWM
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
- 9 -
sampai dengan ayat (4), perubahan tersebut ditetapkan
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan
kewajiban pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 9
(1) DPK BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) dan DPK BUK dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) diperoleh
dari laporan DPK BUK dalam rupiah dan DPK BUK dalam
valuta asing pada LBBU.
(2) DPK BUK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a.
rata-rata harian total DPK BUK dalam rupiah pada
seluruh kantor BUK di Indonesia; dan
b. rata-rata harian total DPK BUK dalam valuta asing
pada seluruh kantor BUK di Indonesia.
(3) DPK BUK dalam rupiah meliputi kewajiban dalam rupiah
kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk
maupun bukan penduduk, yang terdiri atas:
a.
giro;
b. tabungan;
c. simpanan berjangka/deposito; dan
d. kewajiban lainnya.
(4) DPK BUK dalam valuta asing meliputi kewajiban dalam
valuta asing kepada pihak ketiga termasuk bank di
Indonesia, baik kepada penduduk maupun bukan
penduduk, yang terdiri atas:
a.
giro;
b. tabungan;
c. simpanan berjangka/deposito; dan
d. kewajiban lainnya.
- 10 -
Pasal 10
(1) Bank Indonesia dapat memberikan jasa giro setiap hari
terhadap bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban
GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1).
(2) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
dengan tingkat bunga sebesar 0% (nol persen) per tahun.
(3) Dalam hal terdapat perubahan besaran jasa giro
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), perubahan
tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian
jasa giro diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
BAB III
PEMENUHAN DAN PERHITUNGAN GIRO WAJIB MINIMUM
BUS DAN UUS
Bagian Kesatu
Pemenuhan Giro Wajib Minimum BUS dan UUS
Pasal 11
(1) BUS dan UUS wajib memenuhi GWM dalam rupiah.
(2) BUS dan UUS yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam
Valuta Asing selain wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
juga wajib
memenuhi GWM dalam valuta asing.
Pasal 12
(1) GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (1) ditetapkan sebesar rata-rata 5% (lima persen)
dari DPK BUS dan UUS dalam rupiah selama periode
laporan tertentu, yang wajib dipenuhi sebagai berikut:
a. secara harian sebesar 3% (tiga persen); dan
b. secara rata-rata sebesar 2% (dua persen).
- 11 -
(2) GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) ditetapkan secara harian sebesar 1%
(satu persen) dari DPK BUS dan UUS dalam valuta asing.
(3) Dalam hal terdapat perubahan besaran kewajiban
pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan GWM dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), perubahan tersebut ditetapkan
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 13
(1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas
kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib
dipenuhi secara harian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1) huruf a kepada BUS yang melakukan
penggabungan atau peleburan.
(2) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam
rupiah yang wajib dipenuhi secara harian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1% (satu
persen) untuk 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal
penggabungan atau peleburan berlaku efektif.
(3) Pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM
dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas
permintaan BUS kepada Bank Indonesia.
Pasal 14
(1) Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) dan GWM dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) bagi BUS
yang melakukan penggabungan atau peleburan dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal
efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan,
perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam
valuta asing tetap dilakukan secara terpisah untuk
masing-masing BUS;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
- 12 -
pelaksanaan penggabungan atau peleburan,
perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam
valuta asing hanya dilakukan terhadap BUS hasil
penggabungan atau peleburan; dan
c. dalam hal data BUS hasil penggabungan atau
peleburan sebagaimana dimaksud dalam huruf b
belum tersedia, perhitungan GWM dalam rupiah dan
GWM dalam valuta asing menggunakan hasil
penjumlahan data BUS yang melakukan
penggabungan atau peleburan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan
GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing bagi
BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 15
(1) Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) dan GWM dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) bagi BUS
hasil pemisahan UUS dari BUK dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal
efektif pemisahan UUS menjadi BUS, perhitungan
GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing
dilakukan terhadap UUS;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pemisahan UUS menjadi BUS, perhitungan GWM
dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing hanya
dilakukan terhadap BUS hasil pemisahan; dan
c. dalam hal data BUS hasil pemisahan UUS dari BUK
sebagaimana dimaksud dalam huruf b belum
tersedia, perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM
dalam valuta asing menggunakan data UUS.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan
GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing bagi
BUS hasil pemisahan UUS dari BUK diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 13 -
Pasal 16
(1) Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) dan GWM dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) bagi BUS
hasil perubahan kegiatan usaha BUK dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. sampai dengan 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal
efektif perubahan kegiatan usaha BUK menjadi BUS,
perhitungan GWM dalam rupiah dan GWM dalam
valuta asing dilakukan terhadap BUK;
b. sejak tanggal efektif perubahan kegiatan usaha BUK
menjadi BUS, perhitungan GWM dalam rupiah dan
GWM dalam valuta asing dilakukan terhadap BUS
hasil perubahan kegiatan usaha BUK; dan
c. dalam hal data BUS hasil perubahan kegiatan usaha
BUK menjadi BUS sebagaimana dimaksud dalam
huruf b belum tersedia, perhitungan GWM dalam
rupiah dan GWM dalam valuta asing menggunakan
data BUK.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan
GWM terhadap BUS hasil perubahan kegiatan usaha BUK
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 17
(1) Pemenuhan GWM dalam valuta asing untuk BUS dan
UUS yang baru mendapatkan izin melakukan kegiatan
usaha dalam valuta asing berlaku sejak tersedianya data
untuk dapat melakukan perhitungan GWM dalam valuta
asing.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan
GWM dalam valuta asing terhadap BUS dan UUS yang
baru mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
- 14 -
Pasal 18
(1) Ketentuan pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) tidak berlaku bagi BUS
yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek
syariah.
(2) BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek
syariah wajib memenuhi GWM dalam rupiah secara
harian sebesar 5% (lima persen) dari dana pihak ketiga
BUS dalam rupiah.
(3) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan sejak tanggal aktivasi pemberian pembiayaan
likuiditas jangka pendek syariah sampai dengan 1 (satu)
hari sebelum tanggal pelunasan pembiayaan likuiditas
jangka pendek syariah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan kewajiban
GWM oleh BUS yang menerima pembiayaan likuiditas
jangka pendek syariah diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
Bagian Kedua
Perhitungan Giro Wajib Minimum BUS dan UUS
Pasal 19
(1) Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a dihitung dengan
membandingkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS
dan UUS di Bank Indonesia pada setiap akhir hari dalam
2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah
DPK BUS dan UUS dalam rupiah dalam 2 (dua) periode
laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya.
(2) Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b dihitung dengan
membandingkan rata-rata posisi saldo Rekening Giro
Rupiah BUS dan UUS di Bank Indonesia pada akhir hari
pada setiap akhir 2 (dua) periode laporan terhadap rata-
rata harian jumlah DPK BUS dan UUS dalam rupiah
- 15 -
dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode
laporan sebelumnya.
(3) Pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dihitung dengan
membandingkan posisi saldo Rekening Giro Valas BUS
dan UUS di Bank Indonesia pada setiap akhir hari dalam
2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah
DPK BUS dan UUS dalam valuta asing dalam 2 (dua)
periode laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya.
(4) Dalam hal terdapat perubahan perhitungan terkait
kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah dan GWM
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), perubahan tersebut ditetapkan
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan
kewajiban pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 20
(1) DPK BUS dan UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) serta DPK BUS dan UUS dalam
valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(2) diperoleh dari laporan DPK BUS dan UUS dalam
rupiah dan DPK BUS dan UUS dalam valuta asing pada
LBBUS.
(2) DPK BUS dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a.
rata-rata harian total DPK BUS dan UUS dalam
rupiah pada seluruh kantor BUS dan UUS di
Indonesia; dan
b. rata-rata harian total DPK BUS dan UUS dalam
valuta asing pada seluruh kantor BUS dan UUS di
Indonesia.
(3) DPK BUS dan UUS dalam rupiah meliputi kewajiban
dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik
- 16 -
kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri
atas:
a. dana simpanan wadiah;
b. dana investasi tidak terikat; dan
c. kewajiban lainnya.
(4) DPK BUS dan UUS dalam valuta asing meliputi kewajiban
dalam valuta asing kepada pihak ketiga, termasuk bank di
Indonesia, baik kepada penduduk maupun bukan
penduduk, yang terdiri atas:
a. dana simpanan wadiah;
b. dana investasi tidak terikat; dan
c. kewajiban lainnya.
Pasal 21
Bank Indonesia tidak memberikan jasa giro atas pemenuhan
kewajiban GWM bagi BUS dan UUS.
BAB IV
REKENING GIRO BUK, BUS, DAN UUS DI BANK INDONESIA
Pasal 22
(1) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dan Pasal 11 dilakukan pada setiap akhir hari pada saat
Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional
Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement.
(2) Informasi mengenai saldo Rekening Giro Rupiah dan
Rekening Giro Valas BUK di Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dan saldo Rekening Giro Rupiah
dan Rekening Giro Valas BUS dan UUS di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 diperoleh dari:
a. sistem Bank Indonesia–Real Time Gross Settlement,
untuk Rekening Giro Rupiah BUK dan Rekening Giro
Rupiah BUS dan UUS; dan
b. sistem akunting Bank Indonesia, untuk Rekening
Giro Valas BUK serta Rekening Giro Valas BUS dan
UUS.
- 17 -
(3) Saldo Rekening Giro Rupiah BUK dan Rekening Giro
Rupiah BUS dan UUS pada setiap akhir hari digunakan
untuk pemenuhan kewajiban GWM rata-rata, setelah
memperhitungkan pemenuhan GWM harian dan giro atas
pemenuhan rasio intermediasi makroprudensial
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai rasio intermediasi
makroprudensial dan penyangga
makroprudensial.
BAB V
PENGAWASAN OLEH BANK INDONESIA
Pasal 23
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan
kepada BUK serta BUS dan UUS untuk memastikan
kepatuhan BUK serta BUS dan UUS terhadap
pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
dapat dilakukan dengan cara:
a. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan langsung;
atau
b. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan bersama
OJK.
likuiditas
- 18 -
BAB VI
SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi bagi BUK
Pasal 24
(1) BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan/atau Pasal 7
dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. sanksi kewajiban membayar sebagai berikut:
1. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan
GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar 125% (seratus dua
puluh lima persen) dari suku bunga jangka
waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR dalam
rupiah pada hari terjadinya pelanggaran,
terhadap kekurangan GWM dalam rupiah,
untuk setiap hari pelanggaran;
2. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan
GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar 125% (seratus dua
puluh lima persen) dari suku bunga jangka
waktu 1 (satu) hari overnight dari rata-rata
JIBOR dalam rupiah selama 2 (dua) periode
laporan, terhadap rata-rata kekurangan GWM
yang wajib dipenuhi secara rata-rata selama 2
(dua) periode laporan untuk setiap hari selama 2
(dua) periode laporan;
3. BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka
pendek yang melanggar kewajiban pemenuhan
GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar 125% (seratus dua
- 19 -
puluh lima persen) dari suku bunga jangka
waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR dalam
rupiah pada hari terjadinya pelanggaran,
terhadap kekurangan GWM dalam rupiah,
untuk setiap hari pelanggaran;
4. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan
GWM dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a,
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
0,04% (nol koma nol empat persen) untuk setiap
hari pelanggaran, yang dihitung dari selisih
antara saldo harian Rekening Giro Valas BUK
pada Bank Indonesia yang wajib dipenuhi
dengan saldo harian Rekening Giro Valas BUK
yang dicatat pada sistem akunting Bank
Indonesia;
5. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan
GWM dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b,
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
0,04% (nol koma nol empat persen) yang
dihitung dari selisih antara saldo rata-rata
Rekening Giro Valas BUK pada Bank Indonesia
yang wajib dipenuhi selama 2 (dua) periode
laporan dengan saldo rata-rata Rekening Giro
Valas BUK selama 2 (dua) periode laporan yang
dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia
untuk setiap hari selama 2 (dua) periode
laporan;
6. BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka
pendek yang melanggar kewajiban pemenuhan
GWM dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar 0,04% (nol
koma nol empat persen) untuk setiap hari
pelanggaran, yang dihitung dari selisih antara
saldo harian Rekening Giro Valas BUK pada
- 20 -
Bank Indonesia yang wajib dipenuhi dengan
saldo harian Rekening Giro Valas BUK yang
dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia;
7. sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada angka 4 dan angka 6
dibebankan dalam rupiah dengan menggunakan
kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia
pada hari terjadinya pelanggaran;
8. sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada angka 5 dibebankan dalam
rupiah dengan menggunakan rata-rata kurs
tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia
selama 2 (dua) periode laporan pada periode
terjadinya pelanggaran.
(2) Perubahan perhitungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (5) menjadi dasar perubahan perhitungan
pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b angka 2, angka 5, dan angka 8.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 25
(1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1)
huruf b angka 1 dikecualikan bagi BUK yang memperoleh
kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), sepanjang
kekurangan GWM tidak lebih dari 1% (satu persen) dari
DPK BUK dalam rupiah.
(2) Pelaksanaan sanksi terhadap pelanggaran pemenuhan
GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan
Pasal 3 ayat (2) yang dilakukan oleh BUK yang melakukan
penggabungan atau BUK yang melakukan peleburan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), dikenakan
kepada:
a. masing-masing BUK yang melakukan penggabungan
atau peleburan; atau
- 21 -
b. BUK hasil penggabungan atau peleburan,
sesuai dengan tanggal terjadinya dan/atau ditemukannya
pelanggaran pemenuhan GWM.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 26
(1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (1) huruf b angka 1 sampai dengan angka 6
dilaksanakan dengan mendebit Rekening Giro Rupiah
BUK di Bank Indonesia.
(2) Pendebitan Rekening Giro Rupiah BUK untuk pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
paling lambat 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah tanggal
terjadinya pelanggaran GWM dan/atau tanggal
ditemukannya pelanggaran GWM.
(3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan
atau kelebihan dalam pendebitan yang terkait dengan
pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia dapat langsung mendebit atau mengkredit
Rekening Giro Rupiah BUK yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai sistem Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement.
(4) Dalam hal pada saat pendebitan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), saldo Rekening Giro Rupiah BUK tidak
mencukupi, seluruh sanksi kewajiban membayar tersebut
diperhitungkan sebagai kewajiban yang masih harus
diselesaikan oleh BUK kepada Bank Indonesia.
(5) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah BUK tidak
mencukupi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), atas
kekurangan tersebut juga dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b angka 1.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendebitan
Rekening Giro Rupiah BUK untuk pengenaan sanksi
- 22 -
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(5) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kedua
Sanksi bagi BUS dan UUS
Pasal 27
(1) BUS dan UUS yang melanggar kewajiban pemenuhan
GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan/atau
Pasal 18 dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. sanksi kewajiban membayar sebagai berikut:
1. BUS dan UUS yang melanggar kewajiban
pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
125% (seratus dua puluh lima persen) dari
Tingkat Indikasi Imbalan SIMA pada hari
terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan
GWM dalam rupiah, untuk setiap hari
pelanggaran;
2. BUS dan UUS yang melanggar kewajiban
pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
125% (seratus dua puluh lima persen) dari rata-
rata Tingkat Indikasi Imbalan SIMA selama 2
(dua) periode laporan terhadap rata-rata
kekurangan GWM dalam rupiah yang wajib
dipenuhi secara rata-rata selama 2 (dua) periode
laporan untuk setiap hari selama 2 (dua) periode
laporan;
3. BUS yang menerima pembiayaan likuiditas
jangka pendek syariah yang melanggar
kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
- 23 -
125% (seratus dua puluh lima persen) dari
Tingkat Indikasi Imbalan SIMA pada hari
terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan
GWM dalam rupiah, untuk setiap hari
pelanggaran;
4. dalam hal data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA
sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2,
dan angka 3 tidak tersedia, pengenaan sanksi
dihitung berdasarkan rata-rata tingkat imbalan
deposito investasi mudharabah berjangka waktu
1 (satu) bulan sebelum didistribusikan, pada
bulan sebelumnya dari seluruh BUS dan UUS;
5. BUS dan UUS yang melanggar kewajiban
pemenuhan GWM dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2),
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
0,04% (nol koma nol empat persen) untuk setiap
hari pelanggaran, yang dihitung dari selisih
antara saldo harian Rekening Giro Valas BUS
dan UUS di Bank Indonesia yang wajib dipenuhi
dengan saldo harian Rekening Giro Valas BUS
dan UUS yang dicatat pada sistem akunting
Bank Indonesia; dan
6. sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada angka 5 dibebankan dalam
rupiah dengan menggunakan kurs tengah dari
kurs transaksi Bank Indonesia pada hari
terjadinya pelanggaran.
(2) Perubahan perhitungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (4) menjadi dasar perubahan perhitungan
pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b angka 2.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 24 -
Pasal 28
(1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b
angka 1 dikecualikan bagi BUS yang memperoleh
kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), sepanjang
kekurangan GWM dalam rupiah tidak lebih dari 1% (satu
persen) dari dana pihak ketiga BUS dalam rupiah.
(2) Pelaksanaan sanksi terhadap pelanggaran pemenuhan
GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan
Pasal 12 ayat (2) yang dilakukan oleh BUS yang
melakukan penggabungan atau BUS yang melakukan
peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1),
dikenakan kepada:
a. masing-masing BUS yang melakukan penggabungan
atau peleburan; atau
b. BUS hasil penggabungan atau peleburan,
sesuai dengan tanggal terjadinya dan/atau ditemukannya
pelanggaran GWM.
(3) Pelaksanaan sanksi terhadap pelanggaran pemenuhan
GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan
Pasal 12 ayat (2) terhadap UUS yang melakukan
pemisahan menjadi BUS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1), dikenakan kepada:
a. UUS yang melakukan pemisahan; atau
b. BUS hasil pemisahan,
sesuai dengan tanggal terjadinya dan/atau ditemukannya
pelanggaran GWM.
(4) Pelaksanaan sanksi terhadap pelanggaran pemenuhan
GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan
Pasal 12 ayat (2) terhadap BUK yang melakukan
perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1), dikenakan kepada:
a. BUK yang melakukan perubahan kegiatan usaha;
atau
b. BUS hasil perubahan kegiatan usaha BUK,
sesuai dengan tanggal terjadinya dan/atau ditemukannya
pelanggaran GWM.
- 25 -
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 29
(1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1) huruf b angka 1, angka 2, angka 3, dan angka 5
dilaksanakan dengan mendebit Rekening Giro Rupiah
BUS dan UUS di Bank Indonesia.
(2) Pendebitan Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS untuk
pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja berikutnya
setelah tanggal terjadinya pelanggaran GWM dan/atau
tanggal ditemukannya pelanggaran GWM.
(3) Dalam hal di kemudian hari diketahui kekurangan atau
kelebihan dalam pendebitan yang terkait dengan
pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia dapat langsung mendebit atau mengkredit
Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai sistem Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement.
(4) Dalam hal pada saat pendebitan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), saldo Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS
tidak mencukupi, seluruh sanksi kewajiban membayar
tersebut diperhitungkan sebagai kewajiban yang masih
harus diselesaikan oleh BUS dan UUS kepada Bank
Indonesia.
(5) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS
tidak mencukupi sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
atas kekurangan tersebut juga dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b
angka 1.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendebitan
Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS untuk pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
- 26 -
dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30
(1) Pelanggaran atas ketentuan mengenai kewajiban
pemenuhan GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta
asing oleh BUK sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro
Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta
Asing bagi Bank Umum Konvensional sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/6/PBI/2017 tentang Perubahan
Kelima atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank
Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum
Konvensional, yang terjadi sebelum berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini, dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank
Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum
Konvensional sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/6/PBI/2017 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro
Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta
Asing bagi Bank Umum Konvensional.
(2) Pelanggaran atas ketentuan mengenai kewajiban
pemenuhan GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta
asing oleh BUS dan UUS sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/16/PBI/2013
tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta
Asing bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah,
yang terjadi sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini, dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud
- 27 -
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/16/PBI/2013
tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta
Asing bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah
dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
235, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5478);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/11/PBI/2015
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank
Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum
Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 152, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5712);
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/21/PBI/2015
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum
Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank
Umum Konvensional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 286, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5769);
d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/3/PBI/2016 tentang
Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank
Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum
Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5856);
- 28 -
e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/14/PBI/2016
tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib
Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing
bagi Bank Umum Konvensional
(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 174, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5921); dan
f.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/6/PBI/2017 tentang
Perubahan Kelima atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank
Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum
Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2017 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6047),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali ketentuan yang
mengatur mengenai GWM dalam valuta asing dinyatakan
masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 30 September
2018.
Pasal 32
Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/16/PBI/2013 tentang
Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 236, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5479), dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku pada tanggal 1 Oktober 2018.
Pasal 33
(1) Ketentuan pemenuhan kewajiban GWM dalam valuta
asing bagi BUK secara harian dan rata-rata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) mulai berlaku pada
tanggal 1 Oktober 2018.
(2) Ketentuan pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah
secara harian dan rata-rata serta GWM dalam valuta asing
bagi BUS dan UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (1) dan ayat (2) mulai berlaku pada tanggal
1oOktober 2018.
- 29 -
Pasal 34
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16
Juli 2018.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Maret 2018
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 April 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 43
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/3/PBI/2018
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH,
DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Untuk mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah, Bank
Indonesia menerapkan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, serta
sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Berbagai kebijakan
tersebut dievaluasi secara berkelanjutan dari waktu ke waktu guna
merespon dinamika perekonomian global dan domestik. Pada tahun 2016,
Bank Indonesia telah mencanangkan langkah reformasi berupa penguatan
kerangka operasional kebijakan moneter guna meningkatkan efektivitas
transmisi kebijakan moneter dalam mendukung tercapainya stabilitas
perekonomian. Langkah reformasi tersebut terdiri atas penerapan suku
bunga kebijakan Bank Indonesia 7-day reverse repo rate, perubahan
pemenuhan GWM dalam rupiah dari setiap akhir hari menjadi rata-rata
sebagian selama periode laporan tertentu bagi BUK, dan penguatan inisiatif
pendalaman pasar keuangan.
Selaras dengan dinamika perekonomian dan perkembangan pasar
keuangan, langkah percepatan penguatan kerangka operasional kebijakan
moneter perlu dilakukan sebagai bagian dari reformasi berkelanjutan. Pada
saat ini, reformasi difokuskan pada penguatan peran dan kredibilitas GWM
sebagai instrumen moneter Bank Indonesia.
- 2 -
Penguatan tersebut berupa pemberlakuan kewajiban pemenuhan dan
perhitungan GWM secara rata-rata sebagian untuk GWM dalam valuta
asing bagi BUK dan untuk GWM dalam rupiah bagi BUS dan UUS. Selain
itu, Bank Indonesia juga menambah porsi GWM rata-rata bagi BUK.
Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan fleksibilitas bagi
pengelolaan likuiditas perbankan, mendorong fungsi intermediasi
perbankan, dan semakin mendorong upaya pendalaman pasar keuangan
guna mendukung pencapaian stabilitas makroekonomi dan stabilitas
moneter.
Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan penyempurnaan
pengaturan kebijakan di bidang moneter melalui penerbitan Peraturan
Bank Indonesia mengenai GWM bagi BUK, BUS, dan UUS.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian
dilakukan berdasarkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah
BUK di Bank Indonesia pada akhir hari.
Huruf b
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata
dilakukan berdasarkan rata-rata posisi saldo Rekening Giro
Rupiah BUK di Bank Indonesia pada akhir hari, pada setiap
akhir periode laporan tertentu.
Pemenuhan GWM secara rata-rata hanya dapat dilakukan
setelah BUK memenuhi GWM secara harian.
- 3 -
Ayat (2)
Huruf a
Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing secara
harian dilakukan berdasarkan posisi saldo Rekening Giro
Valas BUK di Bank Indonesia pada akhir hari.
Huruf b
Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing secara
rata-rata dilakukan berdasarkan rata-rata posisi saldo
Rekening Giro Valas BUK di Bank Indonesia pada akhir hari,
pada setiap akhir periode laporan tertentu.
Pemenuhan GWM secara rata-rata hanya dapat dilakukan
setelah BUK memenuhi GWM secara harian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam
rupiah yang wajib dipenuhi secara harian sebesar 1% (satu
persen) mengurangi kewajiban pemenuhan GWM harian oleh
BUK yang semula sebesar 4,5% (empat koma lima persen)
menjadi sebesar 3,5% (tiga koma lima persen).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUK hasil penggabungan atau
peleburan.
Huruf b
Cukup jelas.
- 4 -
Huruf c
Data BUK meliputi DPK BUK dalam rupiah dan saldo
Rekening Giro Rupiah serta DPK BUK dalam valuta asing dan
saldo Rekening Giro Valas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “BUK yang menerima pinjaman likuiditas
jangka pendek” adalah BUK yang menerima pinjaman likuiditas
jangka pendek sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pinjaman likuiditas jangka
pendek.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam rupiah yang
dipenuhi secara harian yaitu sebagai berikut:
Posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank
Indonesia pada setiap akhir hari dalam 2 (dua)
periode laporan
X 100%
Rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah
dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat)
periode laporan sebelumnya
- 5 -
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian
didasarkan pada DPK BUK dalam rupiah sebagai berikut:
a. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUK
dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat)
periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 1 sampai
dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 bulan sebelumnya; dan
b. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar
persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian
jumlah DPK BUK dalam rupiah dalam 2 (dua) periode
laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu
sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya.
Ayat (2)
Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam rupiah secara
rata-rata dalam periode laporan tertentu yaitu sebagai berikut:
Rata-rata posisi saldo Rekening Giro Rupiah
BUK di Bank Indonesia pada akhir hari pada
setiap akhir 2 (dua) periode laporan
Rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam
rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya
X 100 %
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata
dalam periode laporan tertentu didasarkan pada DPK BUK dalam
rupiah sebagai berikut:
a. GWM rata-rata untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUK
dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat)
periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 1 sampai
- 6 -
dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal
15 bulan sebelumnya; dan
b. GWM rata-rata untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar
persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian
jumlah DPK BUK dalam rupiah dalam 2 (dua) periode
laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu
sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal
24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya.
Ayat (3)
Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam valuta asing
yang dipenuhi secara harian yaitu sebagai berikut:
Posisi saldo Rekening Giro Valas BUK di Bank
Indonesia pada setiap akhir hari dalam 2
(dua) periode laporan
X 100%
Rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam
valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan
pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya
Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing secara harian
didasarkan pada DPK BUK dalam valuta asing sebagai berikut:
a. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUK
dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 bulan sebelumnya; dan
b. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar
persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian
jumlah DPK BUK dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode
laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu
- 7 -
sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal
24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya.
Ayat (4)
Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam valuta asing
secara rata-rata dalam periode laporan tertentu yaitu sebagai
berikut:
Rata-rata posisi saldo Rekening Giro Valas BUK
di Bank Indonesia pada akhir hari pada setiap
akhir 2 (dua) periode laporan
Rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam valuta
asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya
X 100 %
Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing secara rata-
rata dalam periode laporan tertentu didasarkan pada DPK BUK
dalam valuta asing sebagai berikut:
a. GWM rata-rata untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai
dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang
ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam
valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat)
periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 1 sampai
dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal
15 bulan sebelumnya; dan
b. GWM rata-rata untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase
GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUK
dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 16
sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai
dengan tanggal akhir bulan sebelumnya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah DPK dalam rupiah dan
jumlah DPK dalam valuta asing tidak termasuk DPK dalam rupiah
dan DPK dalam valuta asing yang dilaporkan oleh UUS.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “giro” adalah komponen giro yang
tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga
dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tabungan” adalah komponen
tabungan yang tercantum dalam penjelasan komponen dana
pihak ketiga dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan
berkala bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito”
adalah komponen simpanan berjangka yang tercantum
dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga
dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “giro” adalah komponen giro yang
tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga
- 9 -
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala
bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tabungan” adalah komponen
tabungan yang tercantum dalam penjelasan komponen dana
pihak ketiga dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan berkala bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito”
adalah komponen simpanan berjangka yang tercantum
dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam valuta
asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga termasuk bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala
bank umum.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian
dilakukan berdasarkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah
BUS dan UUS di Bank Indonesia pada akhir hari.
- 10 -
Huruf b
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata
dilakukan berdasarkan rata-rata posisi saldo Rekening Giro
Rupiah BUS dan UUS di Bank Indonesia pada akhir hari,
pada setiap akhir periode laporan tertentu.
Pemenuhan GWM secara rata-rata hanya dapat dipenuhi
setelah BUS dan UUS memenuhi GWM secara harian.
Ayat (2)
Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing secara harian
dilakukan berdasarkan posisi saldo Rekening Giro Valas BUS dan
UUS di Bank Indonesia pada akhir hari.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam
rupiah yang wajib dipenuhi secara harian sebesar 1% (satu
persen) mengurangi kewajiban pemenuhan GWM harian oleh BUS
yang semula sebesar 3% (tiga persen) menjadi sebesar 2% (dua
persen).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUS hasil penggabungan atau
peleburan.
Huruf b
Cukup jelas.
- 11 -
Huruf c
Data BUS meliputi dana pihak ketiga BUS dalam rupiah dan
saldo Rekening Giro Rupiah BUS serta dana pihak ketiga
BUS dalam valuta asing dan saldo Rekening Giro Valas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUS hasil pemisahan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUS hasil perubahan kegiatan
usaha BUK.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
- 12 -
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “BUS yang menerima pembiayaan
likuiditas jangka pendek syariah” adalah BUS yang menerima
pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dana pihak ketiga BUS” adalah
kewajiban BUS kepada penduduk dan bukan penduduk yang
diperoleh dari laporan dana pihak ketiga BUS pada LBBUS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam rupiah yang
dipenuhi secara harian yaitu sebagai berikut:
Posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS dan
UUS di Bank Indonesia pada setiap akhir
hari dalam 2 (dua) periode laporan
Rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS
dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan
pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya
X 100 %
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian
didasarkan pada DPK BUS dan UUS dalam rupiah sebagai
berikut:
a. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak tanggal
1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan
dari rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS dalam rupiah
dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya yaitu sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7
- 13 -
dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan
sebelumnya; dan
b. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak tanggal
16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai
dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUS dan
UUS dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 16
sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai
dengan tanggal akhir bulan sebelumnya.
Ayat (2)
Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam rupiah secara
rata-rata dalam periode laporan tertentu yaitu sebagai berikut:
Rata-rata posisi saldo Rekening Giro Rupiah
BUS dan UUS di Bank Indonesia pada akhir
hari pada setiap akhir 2 (dua) periode
laporan
Rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS
dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan
pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya
X 100 %
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah BUS dan UUS
secara rata-rata dalam periode laporan tertentu didasarkan pada
DPK BUS dan UUS dalam rupiah sebagai berikut:
a. GWM rata-rata untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUS dan
UUS dalam rupiah dalam 2 (dua) periode laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 bulan sebelumnya; dan
b. GWM rata-rata untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar
persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian
jumlah DPK BUS dan UUS dalam rupiah dalam 2 (dua)
- 14 -
periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya
yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya.
Ayat (3)
Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam valuta asing
yang dipenuhi secara harian yaitu sebagai berikut:
Posisi saldo Rekening Giro Valas BUS dan UUS
di Bank Indonesia pada setiap akhir hari
dalam 2 (dua) periode laporan
Rata-rata harian jumlah DPK BUS dan UUS
dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode
laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya
X 100 %
Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing secara harian
didasarkan pada DPK BUS dan UUS dalam valuta asing sebagai
berikut:
a. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK BUS dan
UUS dalam valuta asing dalam 2 (dua) periode laporan pada
4 (empat) periode laporan sebelumnya yaitu sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 bulan sebelumnya; dan
b. GWM harian untuk 2 (dua) periode laporan yaitu sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar
persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian
jumlah DPK BUS dan UUS dalam valuta asing dalam 2 (dua)
periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya
yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 15 -
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah
komponen dana simpanan wadiah yang tercantum dalam
penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat” adalah
komponen dana investasi tidak terikat yang tercantum dalam
penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga
dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah
komponen dana simpanan wadiah yang tercantum dalam
penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat” adalah
komponen dana investasi tidak terikat yang tercantum dalam
- 16 -
penjelasan komponen dana pihak ketiga dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga termasuk bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen dana pihak ketiga
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala
bank umum.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemeriksaan kepada BUK serta BUS dan UUS dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
mekanisme yang disepakati oleh Bank Indonesia dan OJK.
Dalam melakukan pemeriksaan, baik dilakukan langsung oleh
Bank Indonesia atau Bank Indonesia bersama OJK, Bank
Indonesia dapat menggunakan data antara lain data yang
diperoleh dari OJK.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
- 17 -
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Yang dimaksud dengan “kurs tengah dari kurs
transaksi Bank Indonesia” adalah kurs jual ditambah
dengan kurs beli dibagi dua.
Angka 8
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
- 18 -
Huruf b
Angka 1
Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan SIMA yang
digunakan yaitu rata-rata tertimbang tingkat indikasi
imbalan SIMA dalam rupiah yang terjadi di PUAS pada
pasar perdana yang diperoleh dari LHBU.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Data mengenai tingkat imbalan deposito investasi
mudharabah berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum
didistribusikan yang digunakan yaitu rata-rata tingkat
imbalan deposito mudharabah berjangka waktu 1 (satu)
bulan sebelum didistribusikan yang tercatat pada
LHBU.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Yang dimaksud dengan “kurs tengah dari kurs transaksi
Bank Indonesia” adalah kurs jual ditambah dengan
kurs beli dibagi dua.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dana pihak ketiga BUS” adalah
kewajiban BUS kepada penduduk dan bukan penduduk yang
diperoleh dari laporan dana pihak ketiga BUS pada LBBUS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 19 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6193
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 20/3/PBI/2018 </reg_id>
<reg_title> GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 29 Maret 2018 </set_date>
<effective_date> 16 Juli 2018 </effective_date>
<issued_date> 03 April 2018 </issued_date>
<replaced_reg> '18/3/PBI/2016', '15/15/PBI/2013', '18/14/PBI/2016', '17/11/PBI/2015', '17/21/PBI/2015', '19/6/PBI/2017', '15/16/PBI/2013' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/16/PBI/2003
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mendukung pelaksanaan Proyek
Kredit Mikro diperlukan kredit dengan tingkat suku bunga
yang wajar;
b. bahwa dengan memperhatikan perkembangan tingkat suku
bunga kredit perbankan diperlukan penyesuaian terhadap
tingkat suku bunga kredit untuk Proyek Kredit Mikro;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu
dilakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 1 angka 11
dan Pasal
16 Peraturan Bank Indonesia Nomor
3/1/PBI/2001 tentang Proyek Kredit Mikro (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4071);
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843);
2. Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang…..
2
undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/1/PBI/2001 tanggal 4
Januari 2001 tentang Proyek Kredit Mikro (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4071);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/8/PBI/2001 tanggal
25 April 2001 tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 3/1/PBI/2001 tentang Proyek Kredit Mikro
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4089);
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/16/PBI/2001 tanggal
3 Oktober 2001 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 3/1/PBI/2001 tentang Proyek
Kredit Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4142);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN KETIGA PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT
MIKRO.
Pasal…..
3
Pasal I
Mengubah ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/1/PBI/2001
tentang Proyek Kredit Mikro sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 1 Angka 11 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :
“Pasal 1
11. Suku bunga acuan adalah suku bunga yang merupakan dasar bagi
penentuan suku bunga kredit kepada peserta PKM yang dihitung atas dasar
suku bunga rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir yang terendah antara
suku bunga Sertifikat Bank Indonesia berjangka waktu 3 (tiga) bulan
dengan suku bunga deposito berjangka waktu 3 (tiga) bulan di Bank
Pemerintah.”
2. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 16
(1) Suku bunga kredit dari Bank Indonesia ke BPD adalah sebesar suku bunga
acuan ditambah angka penambah setinggi-tingginya 2% (dua per seratus)
per tahun;
(2) Suku bunga kredit dari BPD ke LDKP adalah sebesar suku bunga acuan
ditambah angka penambah setinggi-tingginya 6% (enam per seratus) per
tahun;
(3) Suku bunga kredit dari BPD ke LPSM adalah sebesar suku bunga acuan
ditambah angka penambah setinggi-tingginya 7% (tujuh perseratus) per
tahun;
(4) Suku bunga kredit dari Bank Indonesia ke BPR adalah sebesar suku bunga
acuan ditambah angka penambah setinggi-tingginya 4% (empat per seratus)
per tahun;
(5) Suku…..
4
(5) Suku bunga kredit dari BPR atau LDKP kepada nasabah pengusaha mikro
adalah suku bunga pasar yang berlaku di daerahnya masing-masing;
(6) Suku bunga acuan akan diberitahukan oleh Bank Indonesia setiap 6 (enam)
bulan, yaitu setiap
tanggal 15 Januari yang berlaku dari tanggal 1
Januari sampai dengan tanggal 30 Juni dan setiap tanggal 15 Juli yang
berlaku dari tanggal 1 Juli sampai dengan tanggal 31 Desember;
(7) Besarnya angka penambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (4) ditetapkan dan diberitahukan oleh Bank Indonesia;”
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 1 September 2003.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Agustus 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd.
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 100
BKr/TPP
5
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/16/PBI/2003
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO
UMUM
Dalam rangka mendukung pelaksanaan Proyek Kredit Mikro (PKM)
diperlukan kredit dengan tingkat suku bunga yang wajar. Dengan adanya
perkembangan tingkat suku bunga kredit perbankan dan tingkat suku bunga
Sertifikat Bank Indonesia yang cenderung turun dewasa ini, maka tingkat suku
bunga kredit dalam rangka PKM perlu disesuaikan. Penyesuaian tingkat suku
bunga kredit ini sejalan dengan Perjanjian Penerusan Pinjaman PKM antara
Pemerintah Republik Indonesia dengan Bank Indonesia No. SLA-805/DP3/1995
tanggal 27 April 1995 yang mengatur mengenai besarnya suku bunga acuan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 1
Angka (1)
Cukup Jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)…..
6
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Ayat (7)
Cukup Jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4318
BKr
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/16/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/1/PBI/2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO </reg_title>
<set_date> 28 Agustus 2003 </set_date>
<effective_date> 1 September 2003 </effective_date>
<changed_reg> '3/1/PBI/2001' </changed_reg>
<extension_of> '3/8/PBI/2001', '3/16/PBI/2001' </extension_of>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/8/PBI/2001', '3/1/PBI/2001', '10/UU/1998', '3/16/PBI/2001' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/4/PBI/2018
TENTANG
RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS
MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM
SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sebagai bank sentral, Bank Indonesia turut
berperan mendorong terpeliharanya stabilitas sistem
keuangan melalui pengaturan dan pengawasan
makroprudensial;
b. bahwa pengaturan dan pengawasan makroprudensial
bertujuan untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik
serta mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan
berkualitas;
c. bahwa untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik
dan gangguan terhadap fungsi intermediasi, perlu
dilakukan penguatan fungsi intermediasi dan pengendalian
risiko melalui perumusan instrumen makroprudensial
berbasis intermediasi dan likuiditas yang memperhatikan
siklus perekonomian;
d. bahwa perumusan instrumen makroprudensial berbasis
intermediasi
dan likuiditas
dan
dilakukan melalui
penyempurnaan pengaturan rasio intermediasi
makroprudensial
penyangga
likuiditas
- 2 -
makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank
umum syariah, dan unit usaha syariah;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Rasio Intermediasi
Makroprudensial
dan
Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank
Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG RASIO
INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA
LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM
KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA
SYARIAH.
Penyangga Likuiditas
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK
adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah
unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.
4. Bank adalah BUK, BUS, dan UUS.
5. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas
Jasa Keuangan.
6. Dana Pihak Ketiga yang selanjutnya disingkat DPK adalah
kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk
dalam rupiah dan/atau valuta asing.
7. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut
Rekening Giro Rupiah adalah rekening giro dalam mata
uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di
Bank Indonesia.
8. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
- 2 -
9. Rasio Intermediasi Makroprudensial yang selanjutnya
disingkat RIM adalah rasio hasil perbandingan antara:
a. kredit yang diberikan dalam rupiah dan valuta asing;
dan
b. surat berharga korporasi dalam rupiah dan valuta
asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang
dimiliki BUK,
terhadap:
a. DPK BUK dalam bentuk giro, tabungan, dan simpanan
berjangka/deposito dalam rupiah dan valuta asing,
tidak termasuk dana antarbank; dan
b. surat berharga dalam rupiah dan valuta asing yang
memenuhi persyaratan tertentu, yang diterbitkan oleh
BUK untuk memperoleh sumber pendanaan.
10. Rasio Intermediasi Makroprudensial Syariah yang
selanjutnya disebut RIM Syariah adalah rasio hasil
perbandingan antara:
a. Pembiayaan yang diberikan dalam rupiah dan valuta
asing; dan
b. surat berharga syariah korporasi dalam rupiah dan
valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu,
yang dimiliki BUS atau UUS,
terhadap:
a. DPK BUS atau DPK UUS dalam bentuk dana
simpanan wadiah dan dana investasi tidak terikat
dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana
antarbank; dan
b. surat berharga syariah dalam rupiah dan valuta asing
yang memenuhi persyaratan tertentu, yang
diterbitkan oleh BUS atau UUS untuk memperoleh
sumber pendanaan.
11. Giro atas Pemenuhan RIM yang selanjutnya disebut Giro
RIM adalah saldo giro dalam Rekening Giro Rupiah di Bank
Indonesia yang wajib dipelihara oleh BUK untuk
pemenuhan RIM.
12. Giro atas Pemenuhan RIM Syariah yang selanjutnya
disebut Giro RIM Syariah adalah saldo giro dalam Rekening
- 2 -
Giro Rupiah di Bank Indonesia yang wajib dipelihara oleh
BUS dan UUS untuk pemenuhan RIM Syariah.
13. Target RIM adalah kisaran RIM yang dibatasi oleh batas
bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
untuk perhitungan Giro RIM.
14. Target RIM Syariah adalah kisaran RIM Syariah yang
dibatasi oleh batas bawah dan batas atas yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia untuk perhitungan Giro RIM Syariah.
15. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang
selanjutnya disebut KPMM adalah rasio hasil perbandingan
antara modal terhadap aset tertimbang menurut risiko
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang
mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal
minimum bank umum konvensional dan bank umum
syariah.
16. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia untuk perhitungan RIM atau RIM Syariah.
17. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter pengali
yang digunakan dalam pemenuhan:
a. Giro RIM bagi BUK yang memiliki RIM kurang dari
batas bawah Target RIM; atau
b. Giro RIM Syariah bagi BUS dan UUS yang memiliki
RIM Syariah kurang dari batas bawah Target RIM
Syariah.
18. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali yang
digunakan dalam pemenuhan:
a. Giro RIM bagi BUK yang memiliki RIM lebih dari batas
atas Target RIM; atau
b. Giro RIM Syariah bagi BUS dan UUS yang memiliki
RIM Syariah lebih dari batas atas Target RIM Syariah.
19. Penyangga Likuiditas Makroprudensial yang selanjutnya
disingkat PLM adalah cadangan likuiditas minimum dalam
rupiah yang wajib dipelihara oleh BUK dalam bentuk surat
berharga yang memenuhi persyaratan tertentu, yang
besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar
persentase tertentu dari DPK BUK dalam rupiah.
- 2 -
20. Penyangga Likuiditas Makroprudensial Syariah yang
selanjutnya disebut PLM Syariah adalah cadangan
likuiditas minimum dalam rupiah yang wajib dipelihara
oleh BUS dalam bentuk surat berharga syariah yang
memenuhi persyaratan tertentu, yang besarnya ditetapkan
oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK
BUS dalam rupiah.
21. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disebut
JIBOR adalah Jakarta Interbank Offered Rate sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai suku bunga penawaran antarbank.
22. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI
adalah Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
operasi moneter.
23. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai operasi moneter syariah.
24. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah Sertifikat Deposito Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai operasi moneter.
25. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
adalah surat berharga yang terdiri atas surat utang negara
dalam mata uang rupiah dan surat berharga syariah negara
dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia.
26. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah
surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai surat utang negara,
dalam mata uang rupiah.
27. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat
SBSN adalah surat berharga syariah negara atau sukuk
negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara,
dalam mata uang rupiah.
- 2 -
28. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang
selanjutnya disebut PUAS adalah pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar
uang antarbank berdasarkan prinsip syariah.
29. Sertifikat Investasi Mudarabah Antarbank yang selanjutnya
disingkat SIMA adalah sertifikat investasi mudarabah
antarbank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai sertifikat investasi
mudarabah antarbank.
30. Tingkat Indikasi Imbalan SIMA adalah rata-rata tertimbang
tingkat indikasi imbalan SIMA dalam rupiah yang terjadi di
PUAS pada pasar perdana.
31. Laporan Berkala Bank Umum yang selanjutnya disingkat
LBBU adalah laporan berkala bank umum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan berkala bank umum.
32. Laporan Berkala Bank Umum bagi BUS dan UUS yang
selanjutnya disebut LBBUS adalah laporan berkala bank
umum bagi BUS dan UUS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan berkala bank umum.
33. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disingkat
LHBU adalah laporan harian bank umum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan harian bank umum.
Pasal 2
Bank Indonesia
menetapkan instrumen kebijakan
makroprudensial berupa:
a. RIM;
b. RIM Syariah;
c. PLM; dan
d. PLM Syariah.
- 2 -
BAB II
KEWAJIBAN PEMENUHAN GIRO RIM, GIRO RIM SYARIAH,
PLM, DAN PLM SYARIAH
Pasal 3
Untuk pelaksanaan kebijakan makroprudensial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Bank Indonesia mengatur kewajiban
pemenuhan:
a. Giro RIM;
b. Giro RIM Syariah;
c. PLM; dan
d. PLM Syariah.
Pasal 4
(1) BUK wajib memenuhi Giro RIM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf a dan PLM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf c.
(2) BUS wajib memenuhi Giro RIM Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dan PLM Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d.
(3) UUS wajib memenuhi Giro RIM Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf b.
(4) Ketentuan pemenuhan Giro RIM dan PLM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi BUK yang
menerima pinjaman likuiditas jangka pendek.
(5) Ketentuan pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku pula bagi
BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek
syariah.
Pasal 5
(1) Pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan PLM
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib
dilakukan pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan
sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
- 2 -
(2) Pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan PLM
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan posisi akhir hari.
Pasal 6
(1) Pemenuhan Giro RIM sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) dan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) menggunakan saldo
Rekening Giro Rupiah Bank setelah pemenuhan giro wajib
minimum dalam rupiah secara harian.
(2) Saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari sistem
Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
BAB III
PENGATURAN GIRO RIM DAN GIRO RIM SYARIAH
Pasal 7
(1) Kewajiban pemenuhan Giro RIM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) dan Giro RIM Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) diatur sebagai
berikut:
a. Giro RIM ditetapkan sebesar hasil perkalian antara
Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter
Disinsentif Atas, selisih antara RIM dan Target RIM,
serta DPK BUK dalam rupiah;
b. Giro RIM Syariah ditetapkan sebesar hasil perkalian
antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter
Disinsentif Atas, selisih antara RIM Syariah dan Target
RIM Syariah, serta DPK BUS dalam rupiah atau DPK
UUS dalam rupiah; dan
c. dalam hal RIM lebih besar dari batas atas Target RIM
atau RIM Syariah lebih besar dari batas atas Target
RIM Syariah, pemenuhan Giro RIM sebagaimana
dimaksud dalam huruf a atau Giro RIM Syariah
sebagaimana dimaksud dalam huruf b
- 2 -
memperhatikan KPMM BUK, KPMM BUS, atau KPMM
BUK yang menjadi induk UUS, dan KPMM Insentif.
(2) Kewajiban pemenuhan Giro RIM dan Giro RIM Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan
periode laporan sebagai berikut:
a. Giro RIM dipenuhi dengan membandingkan posisi
saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia
setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan
terhadap Giro RIM yang dihitung menggunakan rata-
rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama 2
(dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya; dan
b. Giro RIM Syariah dipenuhi dengan membandingkan
posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS atau saldo
Rekening Giro Rupiah UUS di Bank Indonesia setiap
akhir hari selama 2 (dua) periode laporan terhadap
Giro RIM Syariah yang dihitung menggunakan rata-
rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah atau DPK
UUS dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan
pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya.
(3) Dalam hal terdapat perubahan periode laporan untuk
pemenuhan Giro RIM dan/atau Giro RIM Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), perubahan tersebut
ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan pemenuhan
kewajiban Giro RIM atau Giro RIM Syariah diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 8
(1) Besaran dan parameter yang digunakan dalam pemenuhan
Giro RIM atau Giro RIM Syariah ditetapkan sebagai berikut:
a. batas bawah Target RIM atau Target RIM Syariah
sebesar 80% (delapan puluh persen);
b. batas atas Target RIM atau Target RIM Syariah sebesar
92% (sembilan puluh dua persen);
c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen);
- 2 -
d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma
satu); dan
e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua).
(2) Pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. dalam hal RIM berada dalam kisaran Target RIM maka
Giro RIM ditetapkan sebesar 0% (nol persen) dari DPK
BUK dalam rupiah;
b. dalam hal RIM Syariah berada dalam kisaran Target
RIM Syariah maka Giro RIM Syariah ditetapkan
sebesar 0% (nol persen) dari DPK BUS dalam rupiah
atau DPK UUS dalam rupiah;
c. dalam hal RIM lebih kecil dari batas bawah Target RIM
maka Giro RIM yaitu sebesar hasil perkalian antara
Parameter Disinsentif Bawah, selisih antara batas
bawah Target RIM dan RIM, serta DPK BUK dalam
rupiah;
d. dalam hal RIM Syariah lebih kecil dari batas bawah
Target RIM Syariah maka Giro RIM Syariah yaitu
sebesar hasil perkalian antara Parameter Disinsentif
Bawah, selisih antara batas bawah Target RIM Syariah
dan RIM Syariah, serta DPK BUS dalam rupiah atau
DPK UUS dalam rupiah;
e. dalam hal RIM lebih besar dari batas atas Target RIM
dan KPMM BUK lebih kecil dari KPMM Insentif maka
Giro RIM yaitu sebesar hasil perkalian antara
Parameter Disinsentif Atas, selisih antara RIM dan
batas atas Target RIM, serta DPK BUK dalam rupiah;
f. dalam hal RIM Syariah lebih besar dari batas atas
Target RIM Syariah dan KPMM BUS atau KPMM BUK
yang menjadi induk UUS lebih kecil dari KPMM
Insentif maka Giro RIM Syariah yaitu sebesar hasil
perkalian antara Parameter Disinsentif Atas, selisih
antara RIM Syariah dan batas atas Target RIM
Syariah, serta DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS
dalam rupiah;
g. dalam hal RIM lebih besar dari batas atas Target RIM
- 2 -
dan KPMM BUK sama atau lebih besar dari KPMM
Insentif maka Giro RIM ditetapkan sebesar 0% (nol
persen) dari DPK BUK dalam rupiah; dan
h. dalam hal RIM Syariah lebih besar dari batas atas
Target RIM Syariah dan KPMM BUS atau KPMM BUK
yang menjadi induk UUS sama atau lebih besar dari
KPMM Insentif maka Giro RIM Syariah ditetapkan
sebesar 0% (nol persen) dari DPK BUS dalam rupiah
atau DPK UUS dalam rupiah.
(3) Dalam hal terdapat perubahan besaran dan parameter RIM
dan/atau RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan besaran dan
parameter yang akan digunakan dalam pemenuhan Giro
RIM atau Giro RIM Syariah diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
Pasal 9
(1) Kriteria surat berharga korporasi yang dimiliki oleh Bank
dalam rupiah dan valuta asing yang digunakan sebagai
dasar perhitungan RIM atau RIM Syariah diatur sebagai
berikut:
a. surat berharga korporasi dalam bentuk:
1.
2. sukuk korporasi, bagi BUS dan UUS;
b. surat berharga korporasi diterbitkan oleh korporasi
bukan Bank dan oleh penduduk;
c. surat berharga korporasi ditawarkan kepada publik
melalui penawaran umum (public offering);
d. surat berharga korporasi memiliki peringkat yang
diterbitkan lembaga pemeringkat paling rendah setara
dengan peringkat investasi; dan
e. surat berharga korporasi ditatausahakan di lembaga
yang berwenang memberikan layanan jasa
penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek.
obligasi korporasi dan/atau sukuk korporasi,
bagi BUK; dan
- 2 -
(2) Dalam hal terdapat perubahan kriteria surat berharga
korporasi yang dimiliki oleh Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), perubahan tersebut ditetapkan dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kriteria surat
berharga korporasi yang dimiliki oleh Bank diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 10
(1) Kriteria surat berharga yang diterbitkan Bank dalam rupiah
dan valuta asing, yang digunakan sebagai dasar
perhitungan RIM atau RIM Syariah diatur sebagai berikut:
a. surat berharga dalam bentuk:
1. medium term notes (MTN), floating rate notes
(FRN), dan/atau obligasi selain
obligasi
subordinasi untuk surat berharga yang
diterbitkan BUK; dan
2. medium term notes (MTN) syariah dan/atau
sukuk selain sukuk subordinasi untuk surat
berharga syariah yang diterbitkan BUS atau UUS;
b. surat berharga dimiliki bukan Bank baik penduduk
dan bukan penduduk;
c. surat berharga ditawarkan kepada publik melalui
penawaran umum (public offering);
d. surat berharga memiliki peringkat yang diterbitkan
lembaga pemeringkat paling rendah setara dengan
peringkat investasi; dan
e. surat berharga ditatausahakan di lembaga yang
berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan
dan penyelesaian transaksi efek.
(2) Dalam hal terdapat perubahan kriteria surat berharga yang
diterbitkan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kriteria surat
berharga yang diterbitkan oleh Bank diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 2 -
Pasal 11
(1) Bank Indonesia menetapkan batas maksimum surat
berharga korporasi yang dimiliki oleh Bank dalam rupiah
dan valuta asing yang digunakan dalam perhitungan RIM
dan RIM Syariah.
(2) Batas maksimum surat berharga korporasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 100% (seratus
persen) dari surat berharga korporasi yang dimiliki Bank.
(3) Dalam hal terdapat perubahan batas maksimum surat
berharga korporasi yang dimiliki Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), perubahan tersebut ditetapkan
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan batas
maksimum surat berharga korporasi yang dimiliki oleh
Bank diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 12
(1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas
pemenuhan ketentuan Giro RIM atau Giro RIM Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 terhadap:
a. BUK yang sedang dikenakan pembatasan kegiatan
usaha oleh OJK terkait dengan penyaluran kredit dan
penghimpunan dana; dan
b. BUS atau UUS yang sedang dikenakan pembatasan
kegiatan usaha oleh OJK terkait dengan penyaluran
Pembiayaan dan penghimpunan dana.
(2) Pemberian kelonggaran atas pemenuhan ketentuan Giro
RIM atau Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan atas permintaan Bank kepada Bank
Indonesia.
(3) Pemberian kelonggaran atas pemenuhan ketentuan Giro
RIM atau Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mempertimbangkan rekomendasi dari OJK.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kelonggaran
atas pemenuhan ketentuan Giro RIM atau Giro RIM Syariah
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 2 -
Pasal 13
(1) Data DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan Giro RIM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a
diperoleh dari laporan mengenai dana pihak ketiga rupiah
dan valuta asing dalam LBBU.
(2) Data DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah
untuk pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b diperoleh dari
laporan mengenai dana pihak ketiga rupiah dan valuta
asing dalam LBBUS.
(3) Data kredit, DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing, dan
surat berharga untuk perhitungan RIM diperoleh dari:
a.
laporan mengenai neraca mingguan pada tanggal
akhir periode data laporan dalam LBBU yang
disampaikan BUK, untuk data kredit dan DPK BUK
dalam rupiah dan valuta asing; dan
b.
laporan surat berharga yang disampaikan BUK kepada
Bank Indonesia secara berkala, untuk data surat
berharga korporasi yang dimiliki BUK dan data surat
berharga yang diterbitkan BUK.
(4) Data Pembiayaan, DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing,
DPK UUS dalam rupiah dan valuta asing, dan surat
berharga syariah untuk perhitungan RIM Syariah diperoleh
dari:
a.
laporan mengenai neraca mingguan pada tanggal
akhir periode data laporan dalam LBBUS yang
disampaikan BUS dan UUS, untuk data Pembiayaan,
DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing, dan DPK
UUS dalam rupiah dan valuta asing; dan
b.
laporan surat berharga syariah yang disampaikan BUS
dan UUS kepada Bank Indonesia secara berkala,
untuk data surat berharga syariah korporasi yang
dimiliki BUS dan UUS, dan data surat berharga
syariah yang diterbitkan BUS dan UUS.
(5) KPMM BUK, KPMM BUS, atau KPMM BUK yang menjadi
induk UUS untuk pemenuhan Giro RIM dan Giro RIM
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu
- 2 -
KPMM triwulanan hasil olahan sistem aplikasi yang
diterima Bank Indonesia dari OJK.
(6) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan
KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan hasil
perhitungan KPMM yang dilakukan oleh BUK atau BUS
maka yang berlaku yaitu KPMM yang diterima Bank
Indonesia dari OJK.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber data untuk
pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 14
(1) DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan Giro RIM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a dan
Pasal 13 ayat (1) merupakan rata-rata harian total DPK
BUK dalam rupiah pada seluruh kantor BUK di Indonesia.
(2) DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah untuk
pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b dan Pasal 13 ayat (2)
merupakan rata-rata harian total DPK BUS dalam rupiah
atau DPK UUS dalam rupiah pada seluruh kantor BUS dan
UUS di Indonesia.
(3) DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan Giro RIM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban
dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik
kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri
atas:
a.
giro;
b. tabungan;
c. simpanan berjangka/deposito; dan
d. kewajiban lainnya.
- 2 -
(4) DPK BUS dalam rupiah dan DPK UUS dalam rupiah untuk
pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak
ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan
penduduk, yang terdiri atas:
a. dana simpanan wadiah;
b. dana investasi tidak terikat; dan
c. kewajiban lainnya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai DPK BUK dalam rupiah,
DPK BUS dalam rupiah, dan DPK UUS dalam rupiah untuk
pemenuhan Giro RIM dan Giro RIM Syariah diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 15
(1) Bank wajib menyampaikan laporan surat berharga kepada
Bank Indonesia secara berkala sebagai dasar perhitungan
RIM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dan
RIM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(4).
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
data surat berharga korporasi yang dimiliki Bank yang
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) dan data surat berharga yang diterbitkan Bank
yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1).
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetap
berlaku bagi Bank yang tidak memiliki surat berharga
korporasi atau memiliki surat berharga korporasi namun
tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1), dengan isi laporan surat berharga yang
dimiliki nihil.
(4) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetap
berlaku bagi Bank yang tidak menerbitkan surat berharga
atau menerbitkan surat berharga namun tidak memenuhi
kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1),
dengan isi laporan surat berharga yang diterbitkan nihil.
- 2 -
Pasal 16
(1) Laporan surat berharga Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 wajib disampaikan kepada Bank Indonesia
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya
bulan laporan.
(2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila
menyampaikan laporan setelah batas waktu penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sampai
dengan 5 (lima) hari kerja berikutnya.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila
belum menyampaikan laporan sampai dengan berakhirnya
batas waktu keterlambatan penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Bank dapat melakukan koreksi atas laporan yang telah
disampaikan kepada Bank Indonesia.
(5) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
disampaikan melalui surat elektronik kepada Bank
Indonesia.
(6) Dalam hal penyampaian laporan melalui surat elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat
dilakukan, Bank menyampaikan laporan dalam bentuk
salinan lunak (soft copy) dan salinan keras (hard copy)
kepada Bank Indonesia.
(7) Perubahan tata cara penyampaian laporan dan
penghentian kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) diinformasikan oleh Bank Indonesia kepada Bank.
(8) Tata cara penyampaian laporan atau koreksi laporan
melalui surat elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) dilakukan sampai dengan Bank Indonesia memperoleh
data surat berharga Bank dari laporan bulanan bank
umum, laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan,
atau sistem aplikasi laporan lainnya.
Pasal 17
Data surat berharga korporasi yang dimiliki Bank dan data surat
berharga yang diterbitkan Bank sebagaimana dimaksud dalam
- 2 -
Pasal 15 pertama kali dilaporkan kepada Bank Indonesia untuk
posisi bulan:
a. Mei 2018, untuk surat berharga korporasi yang dimiliki
BUK dan surat berharga yang diterbitkan BUK; dan
b. Agustus 2018, untuk surat berharga syariah korporasi
yang dimiliki BUS dan UUS, dan surat berharga syariah
yang diterbitkan BUS dan UUS.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan surat
berharga Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 19
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi kebijakan RIM dan
RIM Syariah secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali
dalam setiap 6 (enam) bulan.
(2) Hasil evaluasi kebijakan RIM dan RIM Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diinformasikan oleh Bank
Indonesia kepada Bank.
BAB IV
PENGATURAN PLM DAN PLM SYARIAH
Pasal 20
(1) Kewajiban pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) dan kewajiban pemenuhan PLM Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) diatur
sebagai berikut:
a. PLM ditetapkan sebesar 4% (empat persen) dari DPK
BUK dalam rupiah; dan
b. PLM Syariah ditetapkan sebesar 4% (empat persen)
dari DPK BUS dalam rupiah.
- 2 -
(2) Kewajiban pemenuhan PLM dan PLM Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. PLM dipenuhi dalam bentuk:
1. surat berharga dalam rupiah yang dimiliki oleh
BUK dan dapat digunakan dalam operasi
moneter; dan
2. surat berharga syariah dalam rupiah yang
dimiliki oleh UUS dan dapat digunakan dalam
operasi moneter syariah, bagi BUK yang memiliki
UUS; dan
b. PLM Syariah dipenuhi dalam bentuk surat berharga
syariah dalam rupiah yang dimiliki oleh BUS dan
dapat digunakan dalam operasi moneter syariah.
(3) Kewajiban pemenuhan PLM dan PLM Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menggunakan periode laporan
sebagai berikut:
a. PLM dihitung dengan membandingkan jumlah surat
berharga yang dimiliki oleh BUK sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a pada setiap akhir hari
selama 2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata
harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama 2 (dua)
periode laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya; dan
b. PLM Syariah dihitung dengan membandingkan jumlah
surat berharga syariah yang dimiliki oleh BUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b pada
setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan
terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam
rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat)
periode laporan sebelumnya.
(4) Dalam hal terdapat perubahan:
a. besaran persentase PLM dan PLM Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b.
jenis surat berharga untuk pemenuhan PLM dan PLM
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
dan/atau
- 2 -
c.
periode laporan untuk pemenuhan PLM dan PLM
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan besaran
persentase, jenis surat berharga, dan periode laporan
untuk pemenuhan PLM dan PLM Syariah diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 21
(1) Dalam kondisi tertentu, surat berharga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dapat digunakan dalam
transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam operasi pasar
terbuka.
(2) Bank Indonesia hanya memperhitungkan surat berharga
yang digunakan dalam transaksi repo sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terhadap transaksi repo yang
dilakukan setelah kewajiban pemenuhan PLM atau PLM
Syariah berlaku.
(3) Penggunaan surat berharga BUK atau BUS dalam transaksi
repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai
berikut:
a. bagi BUK, ditetapkan paling banyak sebesar 2% (dua
persen) dari DPK BUK dalam rupiah; dan
b. bagi BUS, ditetapkan paling banyak sebesar 2% (dua
persen) dari DPK BUS dalam rupiah.
(4) Dalam hal terdapat perubahan besaran persentase
penggunaan surat berharga BUK atau BUS yang dapat
digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), perubahan tersebut ditetapkan dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan surat
berharga BUK atau BUS yang dapat digunakan dalam
transaksi repo diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
- 2 -
Pasal 22
(1) Data DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan PLM dan
DPK BUS dalam rupiah untuk pemenuhan PLM Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan Pasal
21, diperoleh dari:
a. laporan mengenai dana pihak ketiga rupiah dan valuta
asing dalam LBBU, untuk pemenuhan PLM; dan
b. laporan mengenai dana pihak ketiga rupiah dan valuta
asing dalam LBBUS, untuk pemenuhan PLM Syariah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sumber data
untuk perhitungan dan pemenuhan PLM atau PLM Syariah
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 23
(1) DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan PLM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1),
merupakan rata-rata harian total DPK BUK dalam rupiah
pada seluruh kantor BUK di Indonesia.
(2) Bagi BUK yang memiliki UUS, DPK BUK dalam rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pula DPK
UUS dalam rupiah.
(3) DPK BUS dalam rupiah untuk pemenuhan PLM Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1),
merupakan rata-rata harian total DPK BUS dalam rupiah
pada seluruh kantor BUS di Indonesia.
(4) DPK BUK dalam rupiah untuk pemenuhan PLM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewajiban
dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik
kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri
atas:
a.
giro;
b. tabungan;
c. simpanan berjangka/deposito; dan
d. kewajiban lainnya.
(5) DPK UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan DPK BUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) meliputi kewajiban dalam rupiah kepada
- 2 -
pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun
bukan penduduk, yang terdiri atas:
a. dana simpanan wadiah;
b. dana investasi tidak terikat; dan
c.
kewajiban lainnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai DPK BUK dalam rupiah,
DPK BUS dalam rupiah, dan DPK UUS dalam rupiah untuk
pemenuhan PLM dan PLM Syariah diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 24
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi kebijakan PLM dan
PLM Syariah secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali
dalam setiap 6 (enam) bulan.
(2) Hasil evaluasi kebijakan PLM dan PLM Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diinformasikan oleh
Bank Indonesia kepada Bank.
BAB V
PEMENUHAN GIRO RIM, GIRO RIM SYARIAH, PLM, DAN PLM
SYARIAH UNTUK PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BUK
ATAU BUS, PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BUK MENJADI
BUS, DAN PEMISAHAN UUS MENJADI BUS
Pasal 25
(1) Pemenuhan Giro RIM dan PLM bagi BUK dan pemenuhan
Giro RIM Syariah dan PLM Syariah bagi BUS, yang
melakukan penggabungan atau peleburan diatur sebagai
berikut:
a. pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan
PLM Syariah tetap dilakukan secara terpisah sampai
dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan
penggabungan atau peleburan,
pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan
- 2 -
PLM Syariah hanya dihitung untuk BUK atau BUS
hasil penggabungan atau peleburan;
c. pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan
PLM Syariah untuk BUK atau BUS hasil
penggabungan atau peleburan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf b, dilakukan dengan
menggunakan data gabungan BUK atau BUS yang
melakukan penggabungan atau peleburan sampai
dengan data BUK atau BUS hasil penggabungan atau
peleburan tersedia;
d. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam huruf c,
diatur sebagai berikut:
1. bagi BUK:
a) untuk pemenuhan Giro RIM meliputi data
kredit, DPK BUK dalam rupiah dan valuta
asing, saldo surat berharga korporasi yang
dimiliki BUK, saldo surat berharga yang
diterbitkan BUK, KPMM, DPK BUK dalam
rupiah, dan saldo Rekening Giro Rupiah
BUK; dan
b) untuk pemenuhan PLM:
1) bagi BUK, meliputi data saldo rekening
SBI, SDBI, dan/atau SBN BUK, DPK
BUK dalam rupiah, dan saldo Rekening
Giro Rupiah BUK; dan
2) bagi BUK yang memiliki UUS, meliputi
data saldo rekening SBI, SBIS, SDBI,
dan/atau SBN, DPK BUK dalam rupiah,
DPK UUS dalam rupiah, saldo Rekening
Giro Rupiah BUK, dan saldo Rekening
Giro Rupiah UUS; dan
2. bagi BUS:
a) untuk pemenuhan Giro RIM Syariah
meliputi data Pembiayaan BUS, DPK BUS
dalam rupiah dan valuta asing, saldo surat
berharga syariah korporasi yang dimiliki
BUS, saldo surat berharga yang diterbitkan
- 2 -
BUS, KPMM, DPK BUS dalam rupiah, dan
saldo Rekening Giro Rupiah BUS; dan
b) untuk pemenuhan PLM Syariah meliputi
data saldo rekening SBIS dan/atau SBSN
BUS, DPK BUS dalam rupiah, dan saldo
Rekening Giro Rupiah BUS;
e. data KPMM dalam data gabungan sebagaimana
dimaksud dalam huruf d, diatur sebagai berikut:
1. bagi BUK, diperoleh dari BUK yang melakukan
penggabungan atau peleburan berdasarkan hasil
perhitungan yang dilakukan oleh BUK atas
penggabungan data yang digunakan dalam
perhitungan KPMM masing-masing BUK sebelum
tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau
peleburan; dan
2. bagi BUS, diperoleh dari BUS yang melakukan
penggabungan atau peleburan berdasarkan hasil
perhitungan yang dilakukan oleh BUS atas
penggabungan data yang digunakan dalam
perhitungan KPMM masing-masing BUS sebelum
tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau
peleburan; dan
f. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil
perhitungan KPMM yang diterima Bank Indonesia dari
OJK dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan
oleh BUK atau BUS sebagaimana dimaksud dalam
huruf e maka yang berlaku yaitu KPMM yang diterima
Bank Indonesia dari OJK.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan Giro
RIM dan PLM bagi BUK serta Giro RIM Syariah dan PLM
Syariah bagi BUS, yang melakukan penggabungan atau
peleburan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
- 2 -
Pasal 26
(1) Pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan PLM
Syariah bagi BUK yang melakukan perubahan kegiatan
usaha menjadi BUS diatur sebagai berikut:
a. BUK harus memenuhi Giro RIM dan PLM sampai
dengan 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan kegiatan usaha BUS;
b. BUS harus memenuhi Giro RIM Syariah dan PLM
Syariah sejak tanggal efektif pelaksanaan kegiatan
usaha BUS; dan
c. pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah
sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilakukan
dengan menggunakan data saat bank belum
melaksanakan kegiatan usaha sebagai BUS sampai
dengan data bank setelah melaksanakan kegiatan
usaha sebagai BUS tersedia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan Giro
RIM Syariah dan PLM Syariah bagi BUK yang melakukan
perubahan kegiatan usaha menjadi BUS diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 27
(1) Pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah terhadap
BUS hasil pemisahan UUS dari BUK, diatur sebagai
berikut:
a. UUS tetap memenuhi Giro RIM Syariah UUS sampai
dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan pemisahan UUS menjadi BUS;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan pemisahan UUS menjadi BUS,
pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk BUS
hasil pemisahan;
c. sejak 1 (satu) tahun setelah tanggal efektif
pelaksanaan pemisahan UUS menjadi BUS,
pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk BUS hasil
pemisahan;
- 2 -
d. pemenuhan Giro RIM Syariah untuk BUS hasil
pemisahan sebagaimana dimaksud dalam huruf b
dilakukan dengan menggunakan data UUS, termasuk
data KPMM BUK yang menjadi induk UUS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5),
sampai dengan data BUS hasil pemisahan tersedia;
e. data UUS sebagaimana dimaksud dalam huruf d
untuk pemenuhan Giro RIM Syariah meliputi data
Pembiayaan UUS, DPK UUS dalam rupiah dan valuta
asing, saldo surat berharga syariah korporasi yang
dimiliki UUS, saldo surat berharga yang diterbitkan
UUS, KPMM BUK yang menjadi induk UUS, DPK UUS
dalam rupiah, dan saldo Rekening Giro Rupiah UUS;
dan
f. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil
perhitungan KPMM yang diterima Bank Indonesia dari
OJK dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan
oleh BUK yang melakukan pemisahan UUS menjadi
BUS maka yang berlaku yaitu KPMM yang diterima
Bank Indonesia dari OJK.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan Giro
RIM Syariah dan PLM Syariah bagi BUS hasil pemisahan
UUS dari BUK diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
BAB VI
PENGAWASAN OLEH BANK INDONESIA
Pasal 28
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan kepada
Bank melalui:
a.
surveilans; dan/atau
b. pemeriksaan.
(2) Surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dapat dilakukan dengan cara pemantauan terhadap
implementasi RIM, RIM Syariah, PLM, dan PLM Syariah.
- 2 -
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan langsung
kepada Bank; atau
b. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan bersama
OJK kepada Bank.
BAB VII
SANKSI
Pasal 29
(1) Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM,
Giro RIM Syariah, PLM, dan PLM Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dikenakan sanksi berupa:
a.
teguran tertulis; dan
b. sanksi kewajiban membayar.
(2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur sebagai berikut:
a. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar hasil
perkalian antara kekurangan Giro RIM, 125% (seratus
dua puluh lima persen) dari suku bunga jangka waktu
1 (satu) hari overnight dari JIBOR dalam rupiah pada
hari terjadinya pelanggaran, dan 1/360 (satu per tiga
ratus enam puluh), untuk setiap hari pelanggaran;
b. BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan PLM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar hasil
perkalian antara kekurangan PLM, 125% (seratus dua
puluh lima persen) dari suku bunga jangka waktu 1
(satu) hari overnight dari JIBOR dalam rupiah pada
hari terjadinya pelanggaran, dan 1/360 (satu per tiga
ratus enam puluh), untuk setiap hari pelanggaran;
c. BUS yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar hasil
- 2 -
perkalian antara kekurangan Giro RIM Syariah, 125%
(seratus dua puluh lima persen) dari Tingkat Indikasi
Imbalan SIMA pada hari terjadinya pelanggaran, dan
1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk setiap
hari pelanggaran;
d. BUS yang melanggar kewajiban pemenuhan PLM
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar hasil
perkalian antara kekurangan PLM Syariah, 125%
(seratus dua puluh lima persen) dari Tingkat Indikasi
Imbalan SIMA pada hari terjadinya pelanggaran, dan
1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk setiap
hari pelanggaran;
e. UUS yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar hasil
perkalian antara kekurangan Giro RIM Syariah, 125%
(seratus dua puluh lima persen) dari Tingkat Indikasi
Imbalan SIMA pada hari terjadinya pelanggaran, dan
1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk setiap
hari pelanggaran; dan
f. dalam hal data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA
sebagaimana dimaksud dalam huruf c, huruf d, dan
huruf e tidak tersedia, pengenaan sanksi dihitung
berdasarkan rata-rata tingkat imbalan deposito
investasi mudarabah berjangka waktu 1 (satu) bulan
sebelum didistribusikan, pada bulan sebelumnya dari
seluruh BUS atau UUS.
Pasal 30
(1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dikenakan sanksi berupa
teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan.
(2) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dikenakan
- 2 -
sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar
sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Pasal 31
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(2) tidak menghilangkan kewajiban Bank untuk menyampaikan
laporan surat berharga korporasi yang dimiliki dan laporan
surat berharga yang diterbitkan oleh Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15.
Pasal 32
Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a,
huruf c, dan huruf e dikecualikan bagi Bank yang mendapatkan
kelonggaran atas pemenuhan ketentuan Giro RIM atau
ketentuan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12.
Pasal 33
(1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dilaksanakan dengan
mendebit Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia.
(2) Pendebitan Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling
lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal terjadinya
pelanggaran pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM,
dan/atau PLM Syariah.
(3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan
atau kelebihan dalam pendebitan Rekening Giro Rupiah
Bank di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bank Indonesia dapat mendebit atau mengkredit
Rekening Giro Bank tersebut sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
(4) Apabila pada saat pendebitan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank
Indonesia tidak mencukupi maka seluruh sanksi kewajiban
membayar tersebut diperhitungkan sebagai kewajiban yang
- 2 -
masih harus diselesaikan oleh Bank kepada Bank
Indonesia.
(5) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank
Indonesia tidak mencukupi untuk pendebitan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) maka atas kekurangan tersebut
juga dikenakan sanksi dengan perhitungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2).
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
Pelanggaran atas ketentuan mengenai kewajiban pemenuhan
giro wajib minimum sekunder, kewajiban pemenuhan giro wajib
minimum loan to funding ratio, dan/atau kewajiban
penyampaian laporan surat berharga sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan
Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/6/PBI/2017 tentang Perubahan Kelima
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang
Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta
Asing bagi Bank Umum Konvensional, yang terjadi sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum
dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/6/PBI/2017 tentang
Perubahan Kelima atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum
dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional.
- 2 -
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Ketentuan Pasal 19A, Pasal 20A, dan Pasal 20B sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum
dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 235,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5478)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/6/PBI/2017 tentang
Perubahan Kelima atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum
dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 87,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6047),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku mulai laporan posisi
bulan Mei 2018.
Pasal 36
(1) Kewajiban pemenuhan Giro RIM dan PLM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (4) mulai berlaku
pada tanggal 16 Juli 2018.
(2) Kewajiban pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (5) mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 2018.
Pasal 37
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 2 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Maret 2018
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 April 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 44
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/4/PBI/2018
TENTANG
RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA
LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Dalam mencapai tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia sebagai badan hukum
publik berwenang menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi sesuai
dengan tugas dan wewenangnya, khususnya di bidang moneter, bidang
sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta bidang
makroprudensial.
Krisis keuangan global telah memberikan pelajaran berharga tentang
pentingnya menjaga stabilitas sistem keuangan. Kompleksitas dan
keterkaitan dalam sistem keuangan mengakibatkan krisis yang bersumber
dari dalam sektor keuangan tidak hanya berdampak negatif di sektor
keuangan, tetapi juga meluas sehingga mempengaruhi kinerja
makroekonomi dan menimbulkan biaya pemulihan ekonomi yang tinggi.
Untuk mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan dan tingginya
biaya penanganan krisis, serta sebagai upaya untuk mendorong stabilitas
sistem keuangan, Bank Indonesia perlu menetapkan kerangka kebijakan
makroprudensial yang mampu mencegah dan memitigasi terjadinya risiko
sistemik dalam sistem keuangan melalui pengaturan dan pengawasan
makroprudensial.
Pengaturan dan pengawasan makroprudensial dimaksudkan agar
fungsi dan kegiatan operasional bank dan/atau lembaga keuangan dapat
- 2 -
mendukung kegiatan ekonomi makro secara berkelanjutan, stabil secara
industri dan/atau sistem, serta seimbang secara sektor ekonomi dan/atau
kelompok masyarakat. Pengaturan makroprudensial diperlukan pula
untuk memengaruhi perilaku para pelaku atau institusi keuangan sehingga
mampu memitigasi risiko dan menjaga stabilitas sistem keuangan.
Perilaku sektor keuangan khususnya perbankan cenderung procyclical
dengan naik turunnya perekonomian. Saat kondisi ekonomi sedang baik,
perbankan akan melakukan ekspansi dan meningkatkan perilaku ambil
risiko. Sedangkan ketika kondisi ekonomi menurun, perbankan cenderung
menahan ekspansi dengan menahan penyaluran kredit. Perilaku bank yang
cenderung procyclical dapat mengganggu fungsi intermediasi yang
seimbang dan berkualitas dalam sistem keuangan.
Untuk mendorong fungsi intermediasi perbankan yang seimbang dan
berkualitas diperlukan kebijakan makroprudensial melalui pengelolaan
fungsi intermediasi perbankan yang sesuai dengan kapasitas dan target
pertumbuhan perekonomian serta dengan tetap menjaga prinsip kehati-
hatian. Oleh karena itu, Bank Indonesia merumuskan instrumen
makroprudensial berbasis intermediasi yang bersifat countercyclical dan
dinamis terhadap perubahan siklus perekonomian. Instrumen
makroprudensial berbasis intermediasi dirumuskan guna mendukung
upaya stabilitas sistem keuangan dan tersinergi dengan upaya memperkuat
momentum pemulihan ekonomi domestik.
Sebagai bagian dalam upaya memperkuat momentum pemulihan
ekonomi domestik, Bank Indonesia mendorong perbankan menyalurkan
pembiayaan kepada sektor riil melalui penyesuaian rasio kredit terhadap
pendanaan (loan to funding ratio/LFR) bagi BUK menjadi RIM dengan
menambahkan kepemilikan surat berharga pada kredit. Perubahan rasio
tersebut akan mengubah simpanan minimum dalam rupiah yang wajib
dipelihara oleh BUK dalam bentuk Giro RIM di Bank Indonesia.
Fungsi intermediasi juga telah dijalankan secara konsisten oleh
perbankan syariah sebagai bagian dari perbankan dan sistem keuangan
dengan menyalurkan Pembiayaan kepada sektor riil. Dukungan kebijakan
untuk mendorong fungsi intermediasi perbankan syariah telah dilakukan
dengan penetapan rasio Pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (financing
to deposit ratio) menjadi indikator likuiditas untuk pemenuhan giro wajib
minimum sejak tahun 2004.
- 3 -
Dengan adanya instrumen makroprudensial yang berbasis
intermediasi, penetapan rasio Pembiayaan terhadap dana pihak ketiga
(financing to deposit ratio) merupakan bagian dari kebijakan
makroprudensial berupa RIM Syariah dengan memasukkan unsur surat
berharga syariah baik yang dimiliki oleh BUS atau UUS, maupun
diterbitkan oleh BUS atau UUS. RIM Syariah juga bersifat countercyclical
dan dinamis terhadap perubahan siklus perekonomian.
Keberadaan risiko likuiditas mampu mengakibatkan amplifikasi risiko
lain menjadi risiko sistemik. Sifat risiko likuiditas yang melekat dalam
sistem keuangan dan sifat amplifikasi risikonya yang cepat, memerlukan
perhatian khusus dari pihak otoritas. Selain itu, kondisi likuiditas
perbankan juga menunjukkan perilaku procyclicality terhadap kondisi
perekonomian. Rasio alat likuid Bank cenderung menurun saat kondisi
perekonomian sedang ekspansi dan berada pada posisi terendah sesaat
sebelum krisis. Oleh karena itu, diperlukan instrumen kebijakan berbasis
likuiditas yang berlaku untuk BUK dan BUS dan mampu mengatasi
permasalahan procyclicality likuiditas. Berdasarkan kebutuhan tersebut,
Bank Indonesia melakukan penyesuaian atas instrumen likuiditas dalam
bentuk cadangan minimum dalam rupiah yang dipenuhi oleh BUK dan BUS
dalam bentuk surat berharga, yang sebelumnya disebut giro wajib
minimum sekunder, menjadi instrumen PLM. Instrumen tersebut bersifat
countercyclical dan dapat disesuaikan dengan perubahan kondisi ekonomi
dan keuangan.
Selanjutnya, memperhatikan hal tersebut di atas, perlu disusun
ketentuan bagi Bank mengenai instrumen kebijakan makroprudensial
terkait intermediasi dan likuiditas dalam bentuk RIM dan PLM bagi BUK,
BUS, dan UUS.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “posisi akhir hari” adalah saat tutup
sistem pada sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “giro wajib minimum dalam rupiah secara
harian” adalah giro wajib minimum dalam rupiah secara harian
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta
asing bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan
unit usaha syariah.
Ayat (2)
Bagi Bank berupa BUK yang memiliki UUS, saldo Rekening Giro
Rupiah BUK tidak termasuk saldo Rekening Giro Rupiah UUS.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Kewajiban pemenuhan Giro RIM didasarkan pada DPK BUK
dalam rupiah dengan periode laporan sebagai berikut:
1. Giro RIM untuk periode laporan sejak tanggal 1 sampai
dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 menggunakan rata-rata
harian jumlah DPK BUK dalam rupiah dalam periode
laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan
- 5 -
periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal
15 bulan sebelumnya; dan
2. Giro RIM untuk periode laporan sejak tanggal 16 sampai
dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan menggunakan rata-
rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah dalam
periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal
23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
tanggal akhir bulan sebelumnya.
Huruf b
Kewajiban pemenuhan Giro RIM Syariah didasarkan pada
DPK BUS dalam rupiah atau DPK UUS dalam rupiah, dengan
periode laporan sebagai berikut:
1. Giro RIM Syariah untuk periode laporan sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rata-
rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah atau DPK
UUS dalam rupiah, dalam periode laporan sejak tanggal
1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya;
dan
2. Giro RIM Syariah untuk periode laporan sejak tanggal
16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam
rupiah atau DPK UUS dalam rupiah, dalam periode
laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan
periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal
akhir bulan sebelumnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Lembaga pemeringkat dan peringkat yang diterbitkan
merupakan lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui
oleh OJK sesuai dengan ketentuan OJK.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang
memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian
transaksi efek” adalah Kustodian Sentral Efek Indonesia atau
lembaga berwenang lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Lembaga pemeringkat dan peringkat yang diterbitkan
merupakan lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui
oleh OJK sesuai dengan ketentuan OJK.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang
memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian
- 7 -
transaksi efek” adalah Kustodian Sentral Efek Indonesia atau
lembaga berwenang lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Dalam menetapkan batas maksimum surat berharga korporasi
yang dimiliki oleh Bank, Bank Indonesia mempertimbangkan
antara lain jumlah kredit yang diberikan BUK atau Pembiayaan
yang diberikan oleh BUS atau UUS, dan ketersediaan surat
berharga korporasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Pemberian kelonggaran atas pemenuhan ketentuan Giro RIM
antara lain berupa perubahan Target RIM dari yang
ditetapkan.
Huruf b
Pemberian kelonggaran atas pemenuhan ketentuan Giro RIM
Syariah antara lain berupa perubahan Target RIM Syariah
dari yang ditetapkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Data kredit, DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing, dan surat
berharga untuk perhitungan RIM yang digunakan sebagai dasar
pemenuhan Giro RIM didasarkan pada:
a. laporan mengenai neraca mingguan pada tanggal akhir
periode data laporan dalam LBBU untuk data kredit dan DPK
BUK dalam rupiah dan valuta asing posisi akhir tanggal
laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya, yaitu:
1. RIM yang digunakan sebagai dasar pemenuhan Giro
RIM untuk tanggal 1 sampai dengan tanggal 15
didasarkan pada data kredit dan DPK BUK dalam
rupiah dan valuta asing pada akhir periode laporan
sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan
sebelumnya; dan
2. RIM yang digunakan sebagai dasar pemenuhan Giro
RIM untuk tanggal 16 sampai dengan akhir bulan
didasarkan pada data kredit dan DPK BUK dalam
rupiah dan valuta asing pada akhir periode laporan
sejak tanggal 24 sampai dengan akhir bulan
sebelumnya; dan
b. laporan surat berharga BUK yang disampaikan kepada Bank
Indonesia, untuk data:
1. surat berharga korporasi yang dimiliki BUK posisi 2
(dua) periode laporan sebelumnya; dan
2. surat berharga yang diterbitkan BUK posisi 2 (dua)
periode laporan sebelumnya.
Yang dimaksud dengan “laporan surat berharga” adalah
laporan surat berharga BUK yang disampaikan kepada Bank
Indonesia secara berkala sesuai dengan Peraturan Bank
Indonesia ini atau ditetapkan lain oleh Bank Indonesia.
- 9 -
Kredit untuk perhitungan RIM merupakan kredit yang diberikan
kepada pihak ketiga dalam rupiah dan valuta asing, tidak
termasuk kredit kepada bank lain.
Ayat (4)
Data Pembiayaan, DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing, DPK
UUS dalam rupiah dan valuta asing, dan surat berharga syariah
untuk perhitungan RIM Syariah yang digunakan sebagai dasar
pemenuhan Giro RIM Syariah didasarkan pada:
a. laporan mengenai neraca mingguan pada tanggal akhir
periode data laporan dalam LBBUS untuk data Pembiayaan,
DPK BUS dalam rupiah dan valuta asing, dan DPK UUS
dalam rupiah dan valuta asing posisi akhir tanggal laporan
pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya, yaitu:
1. RIM Syariah yang digunakan sebagai dasar pemenuhan
Giro RIM Syariah untuk tanggal 1 sampai dengan
tanggal 15 didasarkan pada data Pembiayaan dan DPK
BUS dalam rupiah dan valuta asing atau DPK UUS
dalam rupiah dan valuta asing pada akhir periode
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan
sebelumnya; dan
2. RIM Syariah yang digunakan sebagai dasar pemenuhan
Giro RIM Syariah untuk tanggal 16 sampai dengan akhir
bulan didasarkan pada data Pembiayaan dan DPK BUS
dalam rupiah dan valuta asing atau DPK UUS dalam
rupiah dan valuta asing pada akhir periode laporan
sejak tanggal 24 sampai dengan akhir bulan
sebelumnya; dan
b. laporan surat berharga syariah BUS dan UUS yang
disampaikan kepada Bank Indonesia, untuk data:
1. surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dan
UUS posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya; dan
2. surat berharga syariah yang diterbitkan BUS dan UUS
posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya.
Yang dimaksud dengan “laporan surat berharga syariah”
adalah laporan surat berharga BUS dan UUS yang
disampaikan kepada Bank Indonesia secara berkala sesuai
- 10 -
dengan Peraturan Bank Indonesia ini atau ditetapkan lain
oleh Bank Indonesia.
Pembiayaan untuk perhitungan RIM Syariah merupakan
Pembiayaan dalam rupiah dan valuta asing.
Ayat (5)
KPMM triwulanan menggunakan posisi akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember dengan rincian sebagai berikut:
a. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan untuk
pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah bulan Juni,
Juli, dan Agustus pada tahun yang sama;
b. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan untuk
pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah bulan
September, Oktober, dan November pada tahun yang sama;
c. KPMM pada posisi akhir bulan September digunakan untuk
pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah bulan Desember
pada tahun yang sama serta Januari dan Februari pada
tahun berikutnya; dan
d. KPMM pada posisi akhir bulan Desember digunakan untuk
pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah bulan Maret,
April, dan Mei pada tahun berikutnya.
KPMM bagi UUS akan menggunakan KPMM BUK yang menjadi
induk UUS.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah DPK BUK dalam rupiah
tidak termasuk DPK UUS dalam rupiah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “giro” adalah komponen giro yang
tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam
- 11 -
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tabungan” adalah komponen
tabungan yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK
BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala
bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito”
adalah komponen simpanan berjangka yang tercantum
dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah
dana simpanan wadiah yang tercantum dalam penjelasan
komponen DPK BUS dalam rupiah dan DPK UUS dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat” adalah
komponen dana investasi tidak terikat yang tercantum dalam
penjelasan komponen DPK BUS dalam rupiah dan DPK UUS
dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
- 12 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUS dalam
rupiah dan DPK UUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan berkala bank umum.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Koreksi laporan dapat dilakukan atas inisiatif Bank atau
permintaan dari Bank Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
- 13 -
Pasal 19
Ayat (1)
Evaluasi kebijakan RIM dan RIM Syariah dilakukan antara lain
terhadap sumber data untuk pemenuhan Giro RIM dan Giro RIM
Syariah, besaran dan parameter RIM dan RIM Syariah, kriteria
surat berharga, batas maksimum surat berharga korporasi yang
dimiliki Bank, dan/atau waktu pemberlakuan RIM dan RIM
Syariah.
Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia
yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi,
moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi
perekonomian global.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah DPK BUK dalam rupiah
termasuk DPK UUS dalam rupiah.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Surat berharga yang dapat digunakan dalam operasi
moneter antara lain SBI, SDBI, dan/atau SBN.
SBN terdiri atas SUN dan SBSN.
Angka 2
Surat berharga yang dapat digunakan dalam operasi
moneter syariah antara lain SBIS dan/atau SBSN.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Kewajiban pemenuhan PLM didasarkan pada DPK BUK
dalam rupiah dengan periode laporan sebagai berikut:
a. PLM untuk periode laporan sejak tanggal 1 sampai
dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 menggunakan rata-rata
- 14 -
harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama periode
laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan
periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal
15 bulan sebelumnya; dan
b. PLM untuk periode laporan sejak tanggal 16 sampai
dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan menggunakan rata-
rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama
periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal
23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
tanggal akhir bulan sebelumnya.
Huruf b
Kewajiban pemenuhan PLM Syariah didasarkan pada DPK
BUS dalam rupiah dengan periode laporan sebagai berikut:
a. PLM Syariah untuk periode laporan sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rata-
rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah selama
periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal
7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 bulan sebelumnya; dan
b. PLM Syariah untuk periode laporan sejak tanggal 16
sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam
rupiah selama periode laporan sejak tanggal 16 sampai
dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 15 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah surat berharga yang
digunakan dalam transaksi repo termasuk surat berharga
yang digunakan dalam transaksi repo oleh UUS dalam
operasi moneter syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “giro” adalah komponen giro yang
tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tabungan” adalah komponen
tabungan yang tercantum dalam penjelasan komponen DPK
BUK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
- 16 -
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala
bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “simpanan berjangka/deposito”
adalah komponen simpanan berjangka yang tercantum
dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUK dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana simpanan wadiah” adalah
dana simpanan wadiah yang tercantum dalam penjelasan
komponen DPK BUS dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan berkala bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dana investasi tidak terikat” adalah
komponen dana investasi tidak terikat yang tercantum dalam
penjelasan komponen DPK BUS dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kewajiban lainnya” adalah
kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank yang
tercantum dalam penjelasan komponen DPK BUS dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum.
Ayat (6)
Cukup jelas.
- 17 -
Pasal 24
Ayat (1)
Evaluasi kebijakan PLM dan PLM Syariah dilakukan antara lain
terhadap besaran persentase PLM dan PLM Syariah, jenis surat
berharga untuk pemenuhan PLM dan PLM Syariah, sumber data
untuk pemenuhan PLM dan PLM Syariah, besaran persentase
surat berharga yang dapat digunakan dalam transaksi repo
kepada Bank Indonesia, dan waktu pemberlakuan PLM dan PLM
Syariah.
Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia
yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi,
moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi
perekonomian global.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUK atau BUS hasil penggabungan
atau peleburan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 18 -
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUK melakukan perubahan
kegiatan usaha menjadi BUS.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal efektif” adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUS hasil pemisahan UUS dari
BUK.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia bertujuan antara
lain untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap pelaksanaan
Peraturan Bank Indonesia ini.
- 19 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam melakukan pemeriksaan kepada Bank, Bank Indonesia
menyampaikan surat pemberitahuan secara tertulis kepada OJK.
Dalam melakukan pemeriksaan baik dilakukan langsung oleh
Bank Indonesia atau Bank Indonesia bersama OJK, Bank
Indonesia dapat menggunakan data antara lain data yang
diperoleh dari OJK.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Data mengenai JIBOR dalam rupiah yaitu JIBOR dalam
rupiah yang tercatat pada LHBU.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan SIMA yang
digunakan yaitu rata-rata tertimbang tingkat indikasi
imbalan SIMA pada pasar perdana yang diperoleh dari LHBU.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Data mengenai tingkat imbalan deposito investasi
mudarabah berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum
didistribusikan yang digunakan yaitu rata-rata tingkat
imbalan deposito mudarabah berjangka waktu 1 (satu) bulan
sebelum didistribusikan yang tercatat pada LHBU.
Pasal 30
Cukup jelas.
- 20 -
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6194
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 20/4/PBI/2018 </reg_id>
<reg_title> RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 29 Maret 2018 </set_date>
<effective_date> 3 April 2018 </effective_date>
<issued_date> 03 April 2018 </issued_date>
<replaced_reg> '19/6/PBI/2017 | Pasal 19A, Pasal 20A, dan Pasal 20B', '15/15/PBI/2013' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/ 18 / PBI/2000
TENTANG
PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG KERTAS PECAHAN
RP10.000 TAHUN EMISI 1992, RP20.000 TAHUN EMISI 1992 DAN 1995,
RP50.000 TAHUN EMISI 1993 DAN 1995 SERTA
RP50.000 PLASTIK TAHUN EMISI 1993
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa uang kertas pecahan Rp10.000 tahun emisi 1992,
Rp20.000 tahun emisi 1992 dan 1995, Rp50.000 tahun emisi
1993 dan 1995 serta Rp50.000 plastik tahun emisi 1993 telah
beredar cukup lama;
b. bahwa pada tahun 1998 telah dikeluarkan dan diedarkan uang
kertas pecahan Rp10.000 dan Rp20.000 masing-masing tahun
emisi 1998, serta pada tahun 1999 telah dikeluarkan dan
diedarkan uang kertas pecahan Rp50.000 tahun emisi 1999;
c. bahwa berhubung dengan itu, untuk menghindari terlalu
banyaknya jenis uang kertas yang beredar dipandang perlu untuk
menetapkan pencabutan dan penarikan dari peredaran uang
kertas pecahan Rp10.000 tahun emisi 1992, Rp20.000 tahun
emisi 1992 dan 1995, Rp50.000 tahun emisi 1993 dan 1995
serta Rp50.000 plastik tahun emisi 1993 dalam suatu Peraturan
Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3843);
2. Peraturan ……….
- 2 -
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/ 17 /PBI/2000 tanggal 20
Juli 2000 Tentang Pengeluaran dan Pengedaran serta Pencabutan
dan Penarikan Uang Rupiah ;
Memperhatikan : 1. Pengumuman Direksi Bank Indonesia No.25/1/UPU tanggal 24
Juli 1992 tentang pengeluaran dan pengedaran uang kertas baru
pecahan Rp10.000 tahun emisi 1992;
2. Pengumuman Direksi Bank Indonesia No.24/3/UPU tanggal 7
Februari 1992 tentang pengeluaran dan pengedaran uang kertas
baru pecahan Rp20.000 dan Rp5.000 tahun emisi 1992;
3. Pengumuman Direksi Bank Indonesia No.25/5/UPU tanggal 16
Februari 1993 tentang pengeluaran dan pengedaran uang kertas
pecahan Rp50.000 tahun emisi 1993;
4. Pengumuman Direksi Bank Indonesia No.25/6/UPU tanggal 18
Februari 1993 tentang pengeluaran dan pengedaran uang kertas
khusus (plastik) pecahan Rp50.000 tahun emisi 1993;
5. Pengumuman Direksi Bank Indonesia No.28/2/UPU tanggal 7
Agustus 1995 tentang pengeluaran dan pengedaran uang kertas
pecahan Rp50.000 dan Rp20.000 tahun emisi 1995.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN
UANG KERTAS PECAHAN Rp10.000 TAHUN EMISI 1992,
RP20.000 TAHUN EMISI 1992 DAN 1995, RP50.000 TAHUN
EMISI 1993 DAN 1995 SERTA RP50.000 PLASTIK TAHUN
EMISI 1993
Pasal 1………….
- 3 -
Pasal 1
Mulai tanggal 21 Agustus 2000 uang kertas pecahan Rp10.000 tahun emisi 1992,
Rp20.000 tahun emisi 1992 dan 1995, Rp50.000 tahun emisi 1993 dan 1995 serta
Rp50.000 plastik tahun emisi 1993 dicabut dan ditarik dari peredaran serta dinyatakan
tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah.
Pasal 2
Para pemegang uang kertas pecahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 di atas dapat
menyerahkan uang kertas tersebut guna ditukarkan dengan uang kertas lainnya yang
masih berlaku pada Kantor Bank Indonesia dan Bank Umum.
Pasal 3
Jangka waktu penukaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 di atas ditetapkan sebagai
berikut :
(1)
(2)
Dari tanggal 21 Agustus 2000 sampai dengan 20 Agustus 2005 dilakukan di Kantor
Bank Indonesia dan Bank Umum
Dari tanggal 21 Agustus 2005 sampai dengan 20 Agustus 2010 hanya dilakukan di
Kantor Bank Indonesia.
Pasal 4
Hak untuk menuntut penukaran uang kertas pada Pasal 2 tidak berlaku lagi setelah 10
(sepuluh) tahun sejak tanggal pencabutan atau tanggal 20 Agustus 2010.
Pasal 5…………..
- 4 -
Pasal 5
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Juli 2000
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA
ANWAR NASUTION
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 117
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/18/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG KERTAS PECAHAN RP10.000 TAHUN EMISI 1992, RP20.000 TAHUN EMISI 1992 DAN 1995, RP50.000 TAHUN EMISI 1993 DAN 1995 SERTA RP50.000 PLASTIK TAHUN EMISI 1993 </reg_title>
<set_date> 20 Juli 2000 </set_date>
<effective_date> 20 Juli 2000 </effective_date>
<related_reg> '2/17/PBI/2000', '23/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5 / 5 / PBI / 2003
TENTANG
PERUSAHAAN PIALANG
PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pengembangan pasar uang Rupiah dan valuta asing
secara terpadu diperlukan untuk meningkatkan efektivitas
kebijaksanaan di bidang moneter, perbankan dan devisa,
serta efisiensi pelaksanaan transaksi pasar uang Rupiah dan
valuta asing;
b. bahwa dalam upaya turut memelihara dan mendukung
pencapaian stabilisasi nilai Rupiah, perusahaan pialang
pasar uang Rupiah dan valuta asing sebagai lembaga
penunjang sektor keuangan memiliki peranan yang cukup
strategis;
c. bahwa dengan semakin bertambahnya instrumen pasar uang
maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap peranan
pialang pasar uang dalam melaksanakan
kegiatan
jasa
perantara di dalam pasar uang Rupiah dan valuta asing
termasuk kegiatan jasa perantara untuk Surat Utang Negara;
d. bahwa …..
- 2 -
d. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut maka ketentuan
tentang perusahaan pialang pasar uang Rupiah dan valuta
asing perlu diatur kembali dalam Peraturan Bank Indonesia
tentang perusahaan pialang pasar uang Rupiah dan valuta
asing;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor
67, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3844);
4. Undang-undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara No. 4236);
MEMUTUSKAN …..
- 3 -
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN BANK
INDONESIA
PERUSAHAAN PIALANG PASAR
DAN VALUTA ASING.
BAB I
Dalam Peraturan Bank Indonesia
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
ini
UANG
TENTANG
RUPIAH
yang dimaksud dengan:
1. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing selanjutnya
disebut Perusahaan Pialang adalah perusahaan
yang didirikan khusus
untuk melakukan kegiatan jasa perantara bagi kepentingan nasabahnya di
bidang pasar uang Rupiah dan valuta asing dengan memperoleh imbalan
atas jasanya .
2. Bank adalah Bank Umum sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998.
telah
diubah
3. Pengguna jasa adalah pihak yang menggunakan jasa perusahaan pialang
pasar uang Rupiah dan valuta asing.
4. Surat Utang Negara (SUN) adalah surat berharga yang berupa surat
pengakuan utang sebagaimana dimaksud dalam
24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, yang terdiri atas Surat
Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara.
5. Surat Perbendaharaan Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka
waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga
secara diskonto.
6. Obligasi …..
Undang-undang Nomor
- 4 -
6. Obligasi Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu lebih
dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan / atau dengan pembayaran
bunga secara diskonto.
7. Direksi adalah organ perusahaan pialang yang bertanggung jawab penuh
atas pengurusan perusahaan untuk kepentingan dan
tujuan perusahaan
serta mewakili perusahaan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai
dengan ketentuan anggaran dasar.
8. Komisaris adalah organ perusahaan pialang yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan
kepada Direksi dalam menjalankan perusahaan pialang.
9. Hari adalah hari kalender kecuali ditetapkan sebagai hari kerja.
BAB II
BIDANG USAHA
Pasal 2
(1) Kegiatan usaha yang dilakukan oleh Perusahaan Pialang adalah melakukan
kegiatan jasa perantara bagi kepentingan nasabahnya di bidang pasar uang
Rupiah dan valuta asing.
(2) Dalam melakukan kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
perusahaan pialang dapat memperoleh imbalan.
(3) Pengguna jasa Perusahaan Pialang dalam pasar uang Rupiah dan valuta
asing adalah bank, kecuali dalam hal jasa perantara untuk Surat Utang
Negara, pengguna jasa dapat berupa bank dan non bank.
(4) Dalam hal diperlukan Bank Indonesia dapat menggunakan jasa Perusahaan
Pialang.
Pasal 3 …..
nasihat
- 5 -
Pasal 3
Perusahaan pialang hanya dapat memberikan jasa perantara untuk transaksi
yang lazim dilakukan di pasar uang Rupiah maupun di pasar valuta asing.
Pasal 4
Perusahaan Pialang dilarang :
a. melakukan transaksi di pasar uang Rupiah dan valuta asing atas namanya
sendiri dan atau dananya sendiri ;
b. melakukan transaksi di pasar uang Rupiah dan valuta asing atas nama
pemilik Perusahaan Pialang dan atau dana pemilik Perusahaan Pialang
yang bersangkutan ;
c. memberikan jasa perantara di pasar modal kecuali
transaksi Obligasi Negara;
sebagai jasa perantara
d. melakukan penyelesaian transaksi (setelmen) untuk pengguna jasa; dan
e. memberikan informasi nama pengguna jasa sebelum transaksi disepakati.
BAB III
PERIZINAN
Bagian Pertama
Pendirian Perusahaan Pialang
Pasal 5
(1) Perusahaan Pialang hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha
dengan izin Bank Indonesia.
(2) Pemberian izin
dua tahap:
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
a. persetujuan …..
- 6 -
a.
persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
pendirian Perusahaan Pialang; dan
b. izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha
Perusahaan Pialang setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a selesai dilakukan.
Pasal 6
Modal disetor untuk mendirikan Perusahaan Pialang ditetapkan sekurang-
kurangnya sebesar Rp 5.000.000.000 (lima milyar Rupiah).
Pasal 7
(1) Perusahaan pialang harus berbentuk hukum Perseroan Terbatas yang
didirikan khusus untuk melakukan kegiatan sebagai Perusahaan Pialang
pasar uang Rupiah dan valuta asing.
(2) Perusahaan Pialang hanya dapat didirikan oleh:
a. warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia; atau
b. warga negara Indonesia dan atau badan hokum Indonesia dengan warga
negara asing dan atau badan hukum asing secara kemitraan.
(3) Kepemilikan yang berasal dari warga negara asing dan atau badan hukum
asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b setinggi-tingginya
sebesar 99% (sembilan puluh sembilan perseratus) dari modal disetor
Perusahaan Pialang.
Bagian …..
- 7 -
Bagian Kedua
Persetujuan Prinsip dan Izin Usaha
Pasal 8
(1) Permohonan untuk mendapatkan
persetujuan
prinsip
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a diajukan sekurang-kurangnya
oleh salah satu calon pemilik kepada Bank Indonesia dan wajib disertai
dengan:
a. rancangan akta pendirian badan hukum, termasuk rancangan anggaran
dasar yang sekurang-kurangnya memuat:
1. nama dan tempat kedudukan;
2. kegiatan usaha sebagai Perusahaan Pialang;
3. permodalan;
4. kepemilikan;
5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan dewan Komisaris
serta Direksi;
b. data kepemilikan berupa daftar calon pemegang saham berikut rincian
besarnya masing-masing kepemilikan saham.
c. daftar calon anggota dewan Komisaris dan anggota Direksi, disertai
dengan:
1. pas foto terakhir ukuran 4 x 6 cm;
2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
paspor;
3. riwayat hidup;
4. surat …..
- 8 -
4. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan
tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan, dan usaha lainnya,
tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana
kejahatan;
d. rencana susunan dan struktur organisasi, serta personalia;
e. rencana kerja (business plan) untuk tahun pertama yang sekurang-
kurangnya memuat studi kelayakan mengenai peluang pasar dan
potensi ekonomi;
f. rencana strategis jangka menengah dan panjang (corporate plan);
g. sistem dan prosedur kerja;
h. bukti setoran modal sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)
dari modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
dalam bentuk fotokopi bilyet deposito dalam Rupiah yang disahkan
oleh Bank di Indonesia dimana deposito ditempatkan, atas nama salah
satu calon pemilik untuk pendirian Perusahaan Pialang yang
bersangkutan;
(2) Daftar calon pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b:
a. dalam hal perorangan wajib disertai dengan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c angka 1 sampai dengan angka 4;
b. dalam hal badan hukum wajib disertai dengan:
1. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar berikut
perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari
instansi berwenang termasuk
bagi
badan
hukum asing
sesuai
dengan …..
- 9 -
dengan ketentuan yang berlaku di negara asal badan hukum
tersebut;
2. dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c angka 1
sampai dengan angka 4 dari seluruh dewan Komisaris dan Direksi
badan hukum yang bersangkutan;
3. seluruh struktur kelompok usaha yang terkait dengan Perusahaan
Pialang dan badan hukum pemilik Perusahaan Pialang sampai
dengan pemilik terakhir.
Pasal 9
Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a diberikan selambat-lambatnya 60
(enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 10
(1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a
berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal
persetujuan prinsip dikeluarkan oleh Bank Indonesia .
(2) Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilarang melakukan kegiatan usaha pialang, sebelum
mendapat izin usaha.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pihak
yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) belum mengajukan permohonan izin usaha, maka persetujuan
prinsip yang dikeluarkan Bank Indonesia tersebut tidak berlaku lagi.
Pasal 11 ……
- 10 -
Pasal 11
Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf b diajukan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) kepada Bank Indonesia dan wajib disertai dengan:
a. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar yang telah
disahkan oleh instansi berwenang;
b. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) huruf b
yang masing-masing disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat 2, dalam hal terjadi perubahan;
c. daftar susunan dewan Komisaris dan Direksi, disertai dengan identitas dan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c, dalam hal
terjadi perubahan
d. bukti pelunasan modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada Bank di Indonesia dan
atas nama salah satu pemilik pialang perusahaan yang bersangkutan;
e. bukti kesiapan operasional sekurang-kurangnya berupa:
1. proyeksi laporan keuangan meliputi daftar aktiva tetap dan inventaris;
2. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa gedung kantor;
3. foto gedung kantor dan tata letak ruangan;
4. memiliki sarana kegiatan operasional yang memadai;
5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Tanda Daftar Perusahaan
(TDP).
Pasal 12 …..
- 11 -
Pasal 12
Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung atas kesiapan
operasional dari calon Perusahaan Pialang.
Pasal 13
Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b diberikan selambat-lambatnya 90 (sembilan
puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima oleh Bank Indonesia secara
lengkap.
Pasal 14
(1) Perusahaan pialang yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia
wajib melakukan kegiatan usaha selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari
terhitung sejak tanggal izin usaha dikeluarkan.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilaporkan oleh Direksi Perusahaan Pialang kepada Bank Indonesia
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan kegiatan
operasional.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Perusahaan Pialang belum melakukan kegiatan usaha, Bank Indonesia
membatalkan izin usaha yang telah dikeluarkan.
Pasal 15
Minimal separuh jumlah Direksi dan Komisaris
perusahaan
pialang harus
memiliki …..
- 12 -
memiliki pengetahuan dan atau pengalaman yang memadai di bidang pasar
uang Rupiah dan valuta asing yang disetujui oleh Bank Indonesia.
BAB IV
PENGAWASAN DAN PELAPORAN
Pasal 16
Bank Indonesia melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap
pialang.
Pasal 17
(1) Dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan
terhadap
perusahaan
pialang, Bank Indonesia dapat bekerjasama dengan pihak lain yang
ditunjuk.
(2) Pihak lain yang bekerjasama dengan Bank
Indonesia
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib :
a. menjaga kerahasiaan data yang diperolehnya dari hasil pengawasan dan
pembinaan yang dilakukan dan tunduk kepada ketentuan yang berlaku
mengenai rahasia jabatan; dan atau
b. menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia.
Pasal 18
(1) Perusahaan pialang wajib menyampaikan laporan berkala bulanan, laporan
tahunan dan laporan khusus secara benar dan akurat kepada Bank
Indonesia.
(2) Laporan
perusahaan
- 13 -
(2) Laporan bulanan, meliputi laporan kegiatan usaha yang disampaikan
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah berakhirnya bulan
laporan yang bersangkutan.
(3) Laporan tahunan meliputi laporan keuangan yang telah diaudit oleh kantor
akuntan publik yang disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya tahun laporan yang bersangkutan.
(4) Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian laporan jatuh pada hari libur
maka laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya.
Pasal 19
(1) Perusahaan pialang wajib mengajukan permohonan ijin kepada Bank
Indonesia apabila terjadi perubahan atas kepemilikan, susunan direksi dan
komisaris.
(2) Pemberian ijin dari Bank Indonesia sehubungan dengan ayat (1) diberikan
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah permohonan diterima.
BAB V
SANKSI
Pasal 20
(1) Dalam hal Perusahaan Pialang melakukan pelanggaran terhadap hal-hal
yang diatur dalam Peraturan
ini, Bank Indonesia mengenakan sanksi
sebagai berikut :
a. Peringatan pertama;
b. Peringatan kedua;
c. Pemanggilan pengurus dan atau pemegang saham;
d. Pencabutan izin usaha.
(2) Bank….
- 14 -
(2) Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan pertama dalam hal
Perusahaan Pialang melakukan pelanggaran sebagai berikut :
a. memberikan informasi nama pengguna jasa
disepakati; atau
sebelum
transaksi
b. melakukan penyelesaian transaksi (setelmen) untuk pengguna jasa; atau
c. kepemilikan Perusahaan Pialang oleh warga negara asing dan atau
badan hukum asing melebihi 99% (sembilan
seratus); atau
puluh sembilan
per
d. tidak melaporkan pelaksanaan kegiatan usaha kepada Bank Indonesia
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
kegiatan operasional; atau
e. tidak menyampaikan laporan berkala bulanan, laporan tahunan dan
laporan khusus secara benar dan akurat hingga batas waktu yang
ditetapkan.
(3) Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan kedua dalam hal Perusahaan
Pialang melakukan pelanggaran sebagai berikut :
a. Tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi peringatan
pertama atas pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak dikeluarkannya
peringatan pertama; atau
sanksi
b. Melakukan pelanggaran yang sama sebagaimana dimaksud ayat (2)
untuk kedua kali.
(4) Bank Indonesia mengenakan sanksi pemanggilan pengurus dan atau
pemegang saham dalam hal Perusahaan Pialang melakukan pelanggaran
sebagai berikut:
pelaksanaan
a. melakukan…..
- 15 -
a. melakukan kegiatan usaha pialang sebelum memperoleh izin usaha dari
Bank Indonesia; atau
b. tidak mengajukan permohonan ijin kepada Bank Indonesia apabila
terjadi perubahan atas kepemilikan, susunan direksi dan komisaris dan
atau tidak melaporkan kepada Bank Indonesia apabila terjadi pergantian
nama perusahaan; atau
c. melakukan transaksi di pasar uang Rupiah dan valuta asing
namanya sendiri dan atau dananya sendiri; atau
atas
d. melakukan transaksi di pasar uang Rupiah dan valuta asing atas nama
pemilik Perusahaan Pialang dan atau dana perusahaan pialang; atau
e. melakukan kegiatan usaha di luar kegiatan usaha yang ditetapkan yaitu
hanya terbatas melakukan kegiatan jasa perantara di pasar uang Rupiah
dan valuta asing kecuali sebagai jasa perantara transaksi Obligasi
Negara;
f. tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi peringatan
kedua selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya
sanksi peringatan kedua; atau
(5) Bank Indonesia mengenakan sanksi pencabutan izin usaha dalam hal
perusahaan pialang tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti
sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(enam) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi pemanggilan pengurus
dan atau pemegang saham.
(4) selambat-lambatnya 6
BAB VIII….
- 16 -
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
(1) Terhadap Perusahaan
Pialang
yang sudah
berdiri
dan
beroperasi
sebelum berlakunya PBI ini dianggap telah memenuhi persyaratan
pendirian Perusahaan Pialang sesuai dengan ketentuan dalam PBI ini.
(2) Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
melakukan pendaftaran ulang kepada Bank Indonesia yang ditujukan
kepada Direktorat Pengelolaan Devisa, Gedung B lantai 8, Jakarta
10010, Indonesia selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2003.
(3) Perusahaan Pialang yang sampai batas
dalam ayat (2) tidak melakukan pendaftaran ulang maka izin usahanya
dinyatakan tidak berlaku.
BAB IX
PENUTUP
Pasal 22
Ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
waktu sebagaimana dimaksud
Pasal 23 ……
- 17 -
Pasal 23
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka
(1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/83/KEP/DIR dan Surat
Edaran kepada semua Bank dan LKBB di Indonesia No. 23/24/UD tanggal
28 Februari 1991 tentang Pendirian Perusahaan Pialang Pasar Uang dan
Valuta Asing di Indonesia;
(2) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 25/1/KEP/DIR dan Surat
Edaran kepada Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
di Indonesia No. 25/1/UD tanggal 1 April 1992 tentang Perusahaan
Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing di Indonesia;
(3) Surat Edaran kepada Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta
Asing di Indonesia No. 25/2/UD tanggal 1 April 1992 perihal Pembinaan
dan Pengawasan Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
di Indonesia;
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 24
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 1 April 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 44
DPD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/ 5 /PBI/2003
TENTANG
PERUSAHAAN PIALANG
PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING
UMUM
Kegiatan pasar uang Rupiah dan valuta asing di Indonesia telah menunjukkan
perkembangan yang pesat sebagai dampak positif kebijakan deregulasi di bidang
moneter, perbankan dan devisa. Era globalisasi juga menambah tuntutan bagi
Bank untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas di dalam pelaksanaan transaksi
pasar uang Rupiah dan valuta asing. Peran perusahaan pialang (broker) di bidang
pasar uang Rupiah dan valuta asing dirasa semakin penting untuk mencapai hal
tersebut. Sebagai mediator dari transaksi antar Bank, pialang juga dituntut untuk
bekerja secara profesional dan berhati-hati sehingga kegiatan perbankan secara
keseluruhan berjalan dengan prinsip kehati-hatian (prudential).
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2 ……..
- 2 -
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) ………
- 3 -
Ayat (3)
Termasuk dalam
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Transaksi yang lazim dilakukan perusahaan pialang di pasar uang Rupiah
dan valuta asing termasuk namun tidak terbatas pada :
a. Transaksi pasar uang Rupiah
1) Pasar uang overnight
2) Deposit on call
3) Deposito berjangka
4) Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
5) Sertifikat deposito
6) Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI)
7) Surat Perbendaharaan Negara (SPN)
b. Transaksi pasar valuta asing
1)
transaksi antara Rupiah dan valuta asing
i. Spot
ii. Swap
iii. Forward
iv. Option
v. Futures
pengertian non-bank adalah perorangan dan
perusahaan-perusahaan bukan bank.
2) transaksi ……..
- 4 -
2)
transaksi antar valas
i. Overnight
ii. Deposit on call
iii. Deposito berjangka
iv. Certificate of Deposit
v. Floating Rate Note (FRN)
vi. Floating Rate Certificate of Deposit (FRCD)
vii. Banker’s Acceptance (BA)
viii. Treasury Bills (TB)
Pasal 4
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Pemilik Perusahaan Pialang adalah pemilik Perusahaan Pialang yang
tercantum di dalam akta pendirian Perusahaan Pialang yang
bersangkutan.
huruf c s/d huruf e
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6 ……….
- 5 -
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11 ……..
- 6 -
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18 ……..
- 7 -
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sanksi peringatan adalah teguran tertulis.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4) ……..
- 8 -
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
2003 NOMOR 4283
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/5/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING </reg_title>
<set_date> 1 April 2003 </set_date>
<effective_date> 1 April 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '25/1/KEP/DIR|SKDIR-BI/1992', '23/24/UD|SE-BI/1991', '23/83/KEP/DIR|SKDIR-BI/1991', '25/2/UD|SE-BI/1992', '25/1/UD|SE-BI/1992' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 4/ 10 /PBI/2002
TENTANG
SERTIFIKAT BANK INDONESIA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas menetapkan
dan
melaksanakan kebijakan moneter melalui operasi pasar terbuka,
Bank Indonesia menerbitkan surat berharga berupa Sertifikat
Bank Indonesia;
b. bahwa dalam rangka mendukung efektivitas dan efisiensi
pelaksanaan operasi pasar terbuka, Sertifikat Bank Indonesia
diterbitkan dan ditatausahakan oleh Bank Indonesia secara
elektronis;
c. bahwa untuk maksud tersebut
dipandang
perlu
menyempurnakan ketentuan mengenai Sertifikat Bank
Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat ….
-2-
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/ 9 /PBI/2002 tentang
Operasi Pasar Terbuka (Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 126 ; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4243);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SERTIFIKAT
BANK INDONESIA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
1. Bank ….
-3-
undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional.
2. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan transaksi
di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan pihak lain
dalam rangka pengendalian moneter.
3. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga
dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan
pengakuan utang berjangka waktu pendek.
oleh Bank Indonesia
Pasal 2
SBI diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu piranti OPT.
Pasal 3
(1) SBI memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. satuan unit sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
b. berjangka waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua
belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung dari tanggal
penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu;
sebagai
c. penerbitan ….
-4-
c. penerbitan dan perdagangan dilakukan dengan sistem diskonto;
d. diterbitkan tanpa warkat (scripless);
e. dapat dipindahtangankan (negotiable).
(2) Perhitungan diskonto dalam perdagangan SBI dengan Bank Indonesia dilakukan
atas dasar rumus diskonto murni (true discount) sebagai berikut:
Nilai Nominal x 360
Nilai Tunai = ---------------------------------------------------------
360 + {(Tingkat Diskonto) x (Jangka Waktu)}
Nilai Diskonto = Nilai Nominal - Nilai Tunai.
Pasal 4
SBI dapat dimiliki oleh Bank dan pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
Pasal 5
(1) SBI diterbitkan melalui mekanisme lelang dan atau non lelang.
(2) Transaksi SBI-Repurchase Agreement (SBI-Repo) dengan Bank Indonesia
dilakukan melalui mekanisme lelang dan atau non lelang.
Pasal 6 .…
-5-
Pasal 6
(1) SBI dapat dibeli di pasar perdana oleh Bank dan pihak lain yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(2) SBI dapat diperdagangkan di pasar sekunder secara penjualan bersyarat
(repurchase agreement/repo) atau pembelian/penjualan lepas (outright).
Pasal 7
(1) Bank yang melakukan transaksi SBI di pasar perdana baik untuk kepentingan
sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain non Bank wajib memiliki saldo
giro Rupiah pada Bank Indonesia dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi
kewajiban penyelesaian transaksi SBI dengan Bank Indonesia pada waktu
penyelesaian transaksi.
(2) Bank yang melakukan transaksi SBI di pasar sekunder baik untuk kepentingan
diri sendiri maupun pihak lain non Bank dengan penyelesaian
transaksi
dilakukan di Bank Indonesia, wajib memiliki dana dan atau SBI dalam jumlah
yang cukup di Bank Indonesia pada waktu penyelesaian transaksi.
Pasal 8
Dalam rangka penyelesaian pembayaran untuk transaksi SBI dengan Bank
Indonesia, Bank Indonesia berwenang untuk mendebet rekening giro Bank yang
berkewajiban menyelesaikan transaksi SBI.
Pasal 9 .…
-6-
Pasal 9
(1) SBI dapat dijadikan agunan.
(2) SBI yang masih dalam status agunan tidak dapat diperdagangkan.
Pasal 10
(1) Bank Indonesia menatausahakan SBI dalam suatu sistem penatausahaan secara
elektronis.
(2) Sistem penatausahaan yang dikelola oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) mencakup sistem pencatatan kepemilikan dan penyelesaian
transaksi SBI.
(3) Sistem pencatatan kepemilikan SBI sebagaimana dimaksud dalam ayat
dilakukan tanpa warkat (scripless).
(2)
(4) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk mendukung penatausahaan SBI
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 11
(1) Bank Indonesia melunasi SBI pada saat jatuh waktu sebesar nilai nominal.
(2) Bank Indonesia dapat melunasi SBI sebelum jatuh waktu dengan persetujuan
pemilik SBI.
Pasal 12 ….
-7-
Pasal 12
(1) Dalam hal pada waktu penyelesaian transaksi, Bank atau pihak lain tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, transaksi SBI
bersangkutan dinyatakan batal.
(2) Atas batalnya transaksi SBI dengan Bank Indonesia, Bank atau pihak lain yang
bersangkutan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Peraturan
Bank Indonesia Nomor 4/ 9 /PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka.
(3) Atas batalnya transaksi SBI di pasar sekunder, Bank atau pihak lain dikenakan
sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
(4) Atas batalnya transaksi SBI di pasar sekunder yang ketiga kali dalam kurun
waktu 6 (enam) bulan, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3), Bank atau pihak lain juga dikenakan sanksi penghentian sementara
untuk mengikuti kegiatan OPT selama 5 (lima) hari kerja.
Pasal 13
Bank Indonesia dapat mengenakan biaya atas penatausahaan SBI.
Pasal 14 ….
-8-
Pasal 14
Dalam hal terjadi gangguan sistem penatausahaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) di luar kendali Bank Indonesia atau keadaan
force majeure, Bank Indonesia:
a. memberlakukan mekanisme penatausahaan SBI dalam
(contingency plan);
keadaan
darurat
b. tidak bertanggung jawab atas tidak terlaksananya transaksi dan atau kerugian
yang mungkin timbul.
Pasal 15
SBI yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Bank Indonesia ini diberlakukan, tetap
tunduk pada ketentuan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/67/KEP/DIR tanggal 23 Juli 1998 perihal Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat
Bank Indonesia serta Intervensi Rupiah sampai dengan SBI tersebut jatuh waktu.
Pasal 16
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 17 .…
-9-
Pasal 17
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia Nomor 31/67/KEP/DIR tanggal 23 Juli 1998 perihal Penerbitan dan
Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia serta Intervensi Rupiah sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
September 2001 dinyatakan tidak berlaku.
3/13/PBI/2001
tanggal
Pasal 18
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 25 Nopember 2002
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Nopember 2002
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 127
DPM
3
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 4/ 10 /PBI/2002
TENTANG
SERTIFIKAT BANK INDONESIA
I. UMUM
Dalam
rangka pelaksanaan kebijakan moneter untuk mencapai
dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia melakukan pengendalian
moneter antara lain melalui kegiatan Operasi Pasar Terbuka sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Pasal 10 ayat (1) huruf b.1). Dalam melaksanakan kegiatan Operasi Pasar Terbuka,
Bank Indonesia berwenang menetapkan instrumen yang digunakan. Sehubungan
dengan wewenang tersebut, Bank Indonesia menerbitkan surat berharga dalam
bentuk surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah berjangka waktu pendek
dengan sistem diskonto yang disebut Sertifikat Bank Indonesia.
Sertifikat Bank Indonesia diterbitkan pertama kali berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 5 tahun 1984 dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 13
Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan dalam rangka mendukung efektivitas dan
efisiensi ….
-2-
efisiensi pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka, ketentuan mengenai penerbitan dan
penatausahaan Sertifikat Bank Indonesia perlu dilakukan penyempurnaan yang
meliputi penerbitan dan penatausahaan secara elektronis dengan menggunakan
sistem pencatatan kepemilikan tanpa disertai penerbitan warkat (scripless).
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Huruf c .…
-3-
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud SBI tanpa warkat (scripless) adalah SBI yang diterbitkan
tanpa adanya fisik SBI itu sendiri, dan bukti kepemilikan bagi pemegang
SBI hanya berupa pencatatan elektronis.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bank Indonesia melakukan transaksi SBI-Repo dengan Bank.
Pasal 6 .…
-4-
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penjualan bersyarat (repurchase agreement/repo)
adalah transaksi penjualan bersyarat SBI dengan kewajiban pembelian
kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
Yang dimaksud dengan pembelian secara lepas (outright buying) adalah
transaksi pembelian SBI tanpa kewajiban untuk menjual kembali.
Yang dimaksud dengan penjualan secara lepas (outright selling) adalah
transaksi penjualan SBI tanpa kewajiban untuk membeli kembali.
Pasal 7
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Kewajiban Bank memiliki SBI dalam jumlah yang cukup hanya untuk
penyelesaian transaksi bagi kepentingan Bank sendiri.
Pasal 8 .…
-5-
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat 1
Sistem penatausahaan secara elektronis menggunakan sistem Book Entry
Registry (BER).
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12 .…
-6-
Pasal 12
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Transaksi SBI dengan Bank Indonesia meliputi penerbitan SBI di pasar
perdana dan transaksi SBI Repo Bank dengan Bank Indonesia.
Ayat 3
Sanksi ini berlaku untuk transaksi di pasar sekunder selain transaksi dengan
Bank Indonesia.
Ayat 4
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan gangguan sistem penatausahaan adalah gangguan di luar
kendali Bank Indonesia termasuk force majeure dan gangguan teknis antara lain
tidak terbatas pada gangguan komunikasi, gangguan sistem komputer yang
menyebabkan tidak berfungsinya sistem penatausahaan SBI secara elektronis
Pasal 15 .…
-7-
.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara
lain :
a. persyaratan dan tata cara pengajuan penawaran, serta penatausahaan SBI;
b. tata cara pengenaan sanksi;
c.
d. mekanisme penatausahaan SBI dalam keadaan darurat (contingency plan).
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4244
DPM
persyaratan penunjukan dan pengawasan pihak lain untuk mendukung
penatausahaan SBI;
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 4/10/PBI/2002 </reg_id>
<reg_title> SERTIFIKAT BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 18 Nopember 2002 </set_date>
<effective_date> 25 Nopember 2002 </effective_date>
<replaced_reg> '31/67/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '3/13/PBI/2001' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '4/9/PBI/2002', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 12' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/15/PBI/2019
TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pemantauan kegiatan lalu lintas devisa sangat
dibutuhkan untuk mendukung perumusan dan
pelaksanaan kebijakan Bank Indonesia, baik di bidang
moneter, stabilitas sistem keuangan, maupun sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah;
b. bahwa data dan keterangan yang lengkap, benar, dan
tepat waktu, yang diperoleh dari pemantauan kegiatan
lalu lintas devisa sangat diperlukan guna penyusunan
statistik yang meliputi statistik neraca pembayaran
Indonesia, posisi investasi internasional Indonesia, dan
statistik lainnya;
c. bahwa pemantauan kegiatan lalu lintas devisa juga
diperlukan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan
devisa hasil ekspor dan devisa pembayaran impor guna
mendukung optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor
dan perolehan informasi permintaan devisa pembayaran
impor;
- 2 -
d. bahwa transaksi penggunaan devisa perlu dilengkapi
dengan keterangan dan bukti pendukung yang
komprehensif guna mendorong transparansi dan
meningkatkan ketersediaan informasi kegiatan lalu lintas
devisa, baik yang dilakukan oleh bank maupun nasabah;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Pemantauan Kegiatan
Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMANTAUAN
KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH.
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing
yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
perbankan dan bank umum syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan
syariah, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia
namun tidak termasuk kantor cabang luar negeri dari
bank yang berkantor pusat di Indonesia, yang memperoleh
persetujuan dari otoritas yang berwenang untuk
melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.
2. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disingkat LLD adalah
perpindahan aset dan kewajiban finansial antara
penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan
aset dan kewajiban finansial luar negeri antarpenduduk
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar.
3. Aset Finansial Luar Negeri Bank yang selanjutnya disebut
AFLN Bank adalah aktiva Bank terhadap bukan penduduk
baik dalam valuta asing maupun rupiah.
4. Kewajiban Finansial Luar Negeri Bank yang selanjutnya
disebut KFLN Bank adalah pasiva Bank terhadap bukan
penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah.
5. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan
lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di
Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk
perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar
negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar.
6. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank.
7. Laporan LLD adalah laporan atas seluruh kegiatan LLD
yang menimbulkan perubahan AFLN Bank dan/atau
KFLN Bank yang disebabkan oleh transaksi yang
- 4 -
dilakukan oleh Bank yang bersangkutan maupun
Nasabah.
8. Perintah Transfer Dana adalah perintah tidak bersyarat
dari pengirim kepada penyelenggara penerima untuk
membayarkan sejumlah dana tertentu kepada penerima
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
transfer dana.
9. Transfer Dana Keluar atau Outgoing Transfer adalah
transaksi LLD Nasabah berupa transfer dana keluar dalam
valuta asing.
10. Periode Laporan LLD yang selanjutnya disebut PL adalah
periode data dari tanggal 1 sampai dengan akhir bulan
yang bersangkutan.
11. Masa Penyampaian Laporan LLD yang selanjutnya disebut
MPL adalah periode penyampaian Laporan LLD dari
tanggal 1 sampai dengan batas waktu penyampaian
laporan setelah berakhirnya PL.
12. Masa Penyampaian Koreksi Laporan LLD yang selanjutnya
disebut MPKL adalah periode penyampaian koreksi
Laporan LLD dari tanggal 1 sampai dengan batas waktu
penyampaian koreksi Laporan LLD setelah berakhirnya
PL.
13. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah
pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai kepabeanan.
14. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam
daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang mengenai kepabeanan.
15. Devisa Hasil Ekspor yang selanjutnya disingkat DHE
adalah devisa dari hasil kegiatan Ekspor.
16. Devisa Hasil Ekspor dari Barang Ekspor Sumber Daya
Alam yang selanjutnya disebut DHE SDA adalah DHE yang
diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan,
dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup
pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah
mengenai devisa hasil ekspor yang diperoleh dari kegiatan
- 5 -
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber
daya alam.
17. Rekening Khusus DHE SDA yang selanjutnya disebut
Reksus DHE SDA adalah rekening milik Nasabah di Bank
dalam valuta rupiah atau valuta asing yang digunakan
khusus untuk penerimaan DHE SDA.
18. Devisa Pembayaran Impor yang selanjutnya disingkat DPI
adalah devisa yang digunakan untuk membayar Impor.
19. Message Financial Transaction Messaging System yang
selanjutnya disebut Message FTMS adalah kumpulan data
dalam format terstruktur yang dikirim atau diterima oleh
pengguna atau aplikasi.
20. Telegraphic Transfer yang selanjutnya disingkat TT adalah
jenis transfer dana melalui Bank dengan menggunakan
sarana elektronik berdasarkan perintah bayar dari pemilik
dana.
21. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk
hari kerja operasional terbatas.
22. Jam Kerja adalah jam kerja Bank Indonesia setempat
sesuai dengan kedudukan Bank.
BAB II
RUANG LINGKUP LAPORAN LLD
Pasal 2
Bank wajib menyampaikan Laporan LLD kepada Bank
Indonesia secara lengkap, benar, dan tepat waktu.
Pasal 3
(1) Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
meliputi:
a. laporan transaksi;
b. laporan posisi; dan
c. laporan pendukung.
(2) Laporan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi transaksi Bank dan/atau Nasabah yang
memengaruhi AFLN Bank dan/atau KFLN Bank.
- 6 -
(3) Laporan posisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b meliputi posisi dan mutasi dari setiap rekening AFLN
Bank dan/atau KFLN Bank.
(4) Laporan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c meliputi:
a. laporan rincian transaksi Ekspor;
b. laporan daftar penyampaian dokumen pendukung
DHE;
c. laporan Reksus DHE SDA;
d. laporan transaksi DHE dan DPI; dan
e. laporan lainnya.
(5) Dalam hal tidak terdapat:
a. kegiatan LLD, Bank harus menyampaikan Laporan
LLD nihil;
b. transaksi Bank dan/atau Nasabah yang
memengaruhi AFLN Bank dan/atau KFLN Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank harus
menyampaikan laporan transaksi nihil;
c.
posisi dan mutasi dari setiap rekening AFLN Bank
dan/atau KFLN Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) sebagai akibat dari transaksi yang dilakukan
oleh Bank dan/atau Nasabah, Bank harus
menyampaikan laporan posisi nihil;
d. informasi dalam laporan pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Bank harus menyampaikan
laporan pendukung nihil,
kepada Bank Indonesia.
(6) Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi data selama 1 (satu) PL.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan transaksi,
laporan posisi, dan laporan pendukung diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 4
(1) Transaksi Bank dan/atau Nasabah dengan nilai lebih
besar dari USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika
Serikat) atau yang nilainya setara dengan itu dilaporkan
- 7 -
secara individual per transaksi dan terperinci, kecuali
ditentukan secara khusus.
(2) Transaksi Bank dan/atau Nasabah dengan nilai sampai
dengan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika
Serikat) atau yang nilainya setara dengan itu dilaporkan
secara gabungan dan dikelompokkan menurut informasi
tertentu, kecuali ditentukan secara khusus.
(3) Dalam hal terdapat perubahan batasan nilai transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 5
Dalam hal terdapat transaksi terkait Ekspor dan/atau Impor
Nasabah, Bank wajib menyampaikan laporan pendukung
kepada Bank Indonesia berdasarkan informasi dari Nasabah,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai devisa hasil ekspor dan devisa pembayaran impor.
BAB III
PENYAMPAIAN LAPORAN LLD DAN KOREKSI LAPORAN LLD
Pasal 6
(1) Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
disampaikan kepada Bank Indonesia oleh kantor pusat
bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia dan oleh
kantor cabang yang bertindak sebagai koordinator bagi
bank yang berkedudukan di luar negeri.
(2) Bank wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 setiap bulan secara daring selama
MPL.
(3) Batas akhir MPL untuk penyampaian:
a. laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2);
- 8 -
b. laporan posisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3); dan
c. laporan pendukung meliputi:
1. laporan rincian transaksi Ekspor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a;
2. laporan daftar penyampaian dokumen
pendukung DHE sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (4) huruf b; dan
3. laporan Reksus DHE SDA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf c,
yaitu tanggal 15 bulan MPL pukul 23.59 WIB.
(4) Batas akhir MPL untuk penyampaian laporan pendukung
berupa laporan transaksi DHE dan DPI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf d yaitu tanggal 5
bulan MPL pukul 23.59 WIB.
(5) Dalam hal batas akhir MPL sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan/atau ayat (4) jatuh pada hari Sabtu, hari
Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia maka batas akhir MPL
tidak berubah, kecuali ditetapkan lain melalui
pemberitahuan resmi Bank Indonesia.
Pasal 7
(1) Dalam hal terdapat gangguan teknis di Bank dan/atau di
Bank Indonesia selama MPL yang menyebabkan Bank
tidak dapat menyampaikan Laporan LLD secara daring,
Laporan LLD dapat disampaikan secara luring.
(2) Dalam hal pada batas akhir MPL terjadi gangguan teknis
di Bank dan/atau di Bank Indonesia yang menyebabkan
Bank tidak dapat menyampaikan Laporan LLD secara
daring, penyampaian Laporan LLD diatur sebagai berikut:
a. untuk gangguan teknis yang telah dapat diatasi pada
hari berikutnya, Bank harus menyampaikan Laporan
LLD secara daring pada hari tersebut; dan
b. untuk gangguan teknis yang belum dapat diatasi
pada hari berikutnya, Bank harus menyampaikan
Laporan LLD secara luring pada Hari berikutnya.
- 9 -
(3) Penyampaian Laporan LLD secara luring sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dilakukan
dalam Jam Kerja.
(4) Dalam hal gangguan teknis terjadi di Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank harus
menyampaikan bukti pendukung terjadinya gangguan
teknis kepada Bank Indonesia.
Pasal 8
(1) Dalam hal Laporan LLD yang telah disampaikan oleh Bank
kepada Bank Indonesia tidak benar dan/atau tidak
lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank
harus menyampaikan koreksi atas Laporan LLD secara
daring selama MPKL.
(2) Batas akhir MPKL untuk penyampaian koreksi:
a. laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2);
b. laporan posisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3); dan
c. laporan pendukung berupa:
1. laporan rincian transaksi Ekspor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a;
2. laporan daftar penyampaian dokumen
pendukung DHE sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (4) huruf b; dan
3. laporan Reksus DHE SDA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf c,
yaitu tanggal 20 bulan MPL pukul 23.59 WIB.
(3) Batas akhir MPKL untuk penyampaian koreksi laporan
pendukung berupa laporan transaksi DHE dan DPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf d
yaitu tanggal 5 bulan MPL pukul 23.59 WIB.
(4) Dalam hal batas akhir MPKL sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan/atau ayat (3) jatuh pada hari Sabtu, hari
Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia maka batas akhir MPKL
tidak berubah, kecuali ditetapkan lain melalui
- 10 -
pemberitahuan resmi Bank Indonesia.
(5) Dalam hal pada batas akhir MPKL terjadi gangguan teknis
yang menyebabkan Bank tidak dapat menyampaikan
koreksi Laporan LLD secara daring, penyampaian koreksi
Laporan LLD diatur sebagai berikut:
a. untuk gangguan teknis yang terjadi di Bank, Bank
harus menyampaikan koreksi Laporan LLD secara
luring pada Hari berikutnya dengan memberikan
bukti pendukung terjadinya gangguan teknis; dan
b. untuk gangguan teknis yang terjadi di Bank
Indonesia yang belum dapat diatasi sampai dengan
berakhirnya Jam Kerja, Bank harus menyampaikan
koreksi Laporan LLD secara luring pada Hari
berikutnya.
(6) Penyampaian koreksi Laporan LLD secara luring
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dilakukan
dalam Jam Kerja.
Pasal 9
Bank harus menyampaikan Laporan LLD dan/atau koreksi
Laporan LLD yang melampaui MPKL secara luring dalam Jam
Kerja.
Pasal 10
(1) Bank dinyatakan telah menyampaikan Laporan LLD
apabila Laporan LLD telah diterima oleh Bank Indonesia
serta memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD
apabila Laporan LLD disampaikan setelah berakhirnya
MPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), ayat
(3), ayat (4), dan/atau ayat (5) sampai dengan akhir bulan
MPL dalam Jam Kerja.
(3) Dalam hal akhir bulan MPL sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur,
dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, Bank dinyatakan terlambat menyampaikan
- 11 -
Laporan LLD apabila Laporan LLD disampaikan setelah
berakhirnya MPL sampai dengan Hari berikutnya setelah
akhir bulan MPL dalam Jam Kerja.
(4) Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD
apabila Bank Indonesia belum menerima Laporan LLD
sampai dengan Jam Kerja berakhir pada batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).
(5) Dalam hal Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan
LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank tetap
wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 yang belum disampaikan kepada
Bank Indonesia.
(6) Penyampaian Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dilakukan secara luring dalam Jam Kerja.
Pasal 11
Kewajiban Bank untuk menyampaikan Laporan LLD berupa:
a. laporan rincian transaksi Ekspor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a; dan
b. laporan daftar penyampaian dokumen pendukung DHE
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b,
untuk penerimaan DHE SDA berlaku sampai dengan
penyampaian Laporan LLD untuk PL Januari 2021.
Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian Laporan LLD
dan koreksi Laporan LLD diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
BAB IV
PENGAKSEPAN PERINTAH
TRANSFER DANA KELUAR NASABAH
Pasal 13
(1) Dalam hal Nasabah melakukan transaksi LLD berupa
Transfer Dana Keluar dalam valuta asing dengan nilai
setara di atas USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika
- 12 -
Serikat), Nasabah harus menyampaikan dokumen
pendukung kepada Bank.
(2) Keharusan penyampaian dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a.
b. transaksi yang bertujuan untuk pemindahan
simpanan oleh Nasabah yang sama di dalam negeri.
(3) Dalam hal terdapat perubahan batasan nilai transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perubahan tersebut
ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 14
(1) Bank wajib memastikan kelengkapan dokumen
pendukung dari Nasabah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1), sebelum melakukan pengaksepan
Perintah Transfer Dana atas transaksi LLD.
(2) Bank hanya dapat melakukan pengaksepan Perintah
Transfer Dana atas transaksi LLD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sepanjang dilengkapi dengan dokumen
pendukung.
Pasal 15
Bank harus melaporkan kepada Bank Indonesia mengenai
penyampaian dokumen pendukung dari Nasabah untuk
transaksi LLD berupa Transfer Dana Keluar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) yang mengakibatkan
berkurangnya giro Bank di luar negeri.
Pasal 16
(1) Nasabah yang melakukan transaksi LLD berupa Transfer
Dana Keluar harus menyampaikan informasi tujuan
transaksi kepada Bank sesuai dengan sandi tujuan
transaksi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Bank harus mencantumkan informasi tujuan transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Message
FTMS untuk setiap transaksi.
transaksi yang dilakukan oleh Bank untuk
kepentingan Bank itu sendiri; dan
- 13 -
BAB V
PROSEDUR PEROLEHAN INFORMASI
DAN PENATAUSAHAAN DOKUMEN PENDUKUNG
Pasal 17
(1) Untuk penyampaian Laporan LLD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Bank harus meminta data, keterangan,
dan/atau dokumen pendukung kepada Nasabah yang
melakukan kegiatan LLD melalui Bank, baik untuk
kepentingan administrasi pelaporan Bank maupun untuk
memenuhi permintaan Bank Indonesia.
(2) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memberikan data, keterangan, dan/atau dokumen
pendukung kepada Bank dengan benar sesuai dengan
permintaan Bank.
(3) Bank harus melakukan verifikasi terhadap data dan
keterangan yang diperoleh dari Nasabah untuk
memastikan akurasi Laporan LLD.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai data, keterangan,
dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Pasal 18
(1) Bank harus memiliki sistem dan prosedur dalam
perolehan data dan keterangan, penatausahaan dokumen
pendukung, serta penyusunan Laporan LLD yang
dituangkan dalam suatu pedoman tertulis.
(2) Bank harus menunjuk petugas dan/atau penanggung
jawab untuk menyusun, memverifikasi, dan
menyampaikan Laporan LLD kepada Bank Indonesia.
- 14 -
BAB VI
PENGAWASAN
Pasal 19
(1) Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan atas
Laporan LLD yang disampaikan oleh Bank.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Bank Indonesia dapat:
a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau
dokumen lainnya yang terkait kepada Bank dan/atau
Nasabah; dan/atau
b. melakukan kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(4) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat menunjuk
pihak lain untuk melakukan penelitian kebenaran
Laporan LLD.
Pasal 20
(1) Bank dan/atau Nasabah harus memberikan penjelasan,
bukti, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait
guna pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (3) huruf a dalam jangka waktu yang ditentukan oleh
Bank Indonesia.
(2) Dalam hal:
a. laporan tidak diisi sesuai dengan informasi dari
Nasabah dan/atau dokumen pendukungnya;
dan/atau
b. Bank tidak dapat memberikan penjelasan, bukti,
catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait
dengan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (3) huruf a,
Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD
dengan benar.
- 15 -
(3) Dalam hal Nasabah tidak dapat memberikan penjelasan,
bukti, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf a,
data, keterangan, dan/atau dokumen pendukung yang
disampaikan Nasabah kepada Bank dinyatakan tidak
benar.
BAB VII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 21
(1) Bank yang terlambat menyampaikan Laporan LLD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) atau ayat
(3) dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari
keterlambatan.
(2) Bank yang tidak menyampaikan Laporan LLD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Bank yang tidak menyampaikan Laporan LLD dengan
benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikenai
sanksi administratif berupa denda paling sedikit
Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) untuk setiap
rincian baris (field) yang tidak benar, dengan denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(4) Bank yang melakukan pengaksepan Perintah Transfer
Dana untuk transaksi LLD berupa Transfer Dana Keluar
tanpa memastikan kelengkapan dokumen pendukung dari
Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiap Perintah
Transfer Dana.
(5) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak
menggugurkan kewajiban penyampaian Laporan LLD oleh
Bank.
- 16 -
Pasal 22
Nasabah yang tidak menyampaikan data, keterangan,
dan/atau dokumen pendukung dengan benar kepada Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dikenai sanksi
administratif berupa teguran tertulis dan/atau denda sebesar
0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari nilai transaksi
dengan nominal paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) untuk setiap Perintah Transfer Dana.
Pasal 23
(1) Bank yang telah dikenai sanksi administratif berupa
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
Nasabah yang telah dikenai sanksi administratif berupa
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dapat
mengajukan pembebasan sanksi administratif berupa
denda.
(2) Bank Indonesia dapat memberikan pembebasan sanksi
administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam hal:
a. Bank atau Nasabah menyampaikan surat
permohonan pembebasan pengenaan sanksi
administratif berupa denda; dan
b. berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Bank atau
Nasabah tidak melakukan pelanggaran.
(3) Permohonan untuk pembebasan sanksi administratif
berupa denda harus disampaikan dalam batas waktu yang
ditentukan oleh Bank Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 24
(1) Pembayaran sanksi administratif berupa denda bagi Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilakukan dengan
cara mendebit rekening giro Bank di Bank Indonesia
setelah adanya surat penetapan sanksi administratif
berupa denda.
- 17 -
(2) Pembayaran sanksi administratif berupa denda bagi
Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
dilakukan dengan cara disetorkan ke Bank Indonesia
setelah adanya surat penetapan sanksi administratif
berupa denda.
Pasal 25
Bank Indonesia dapat memberitahukan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 atau
Pasal 22 kepada instansi terkait.
BAB VIII
KEADAAN KAHAR
Pasal 26
(1) Bank yang mengalami keadaan kahar sehingga
menyebabkan data, keterangan, dan/atau dokumen
pendukung dalam penyusunan Laporan LLD tidak
tersedia, dikecualikan dari kewajiban penyampaian
Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Bank yang mengalami keadaan kahar sehingga
menyebabkan terhambatnya penyampaian Laporan LLD,
dikecualikan dari kewajiban penyampaian Laporan LLD
dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2).
(3) Bank yang mengalami keadaan kahar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), harus segera
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada
Bank Indonesia, dengan disertai penjelasan mengenai
keadaan kahar yang dialami.
(4) Pengecualian kewajiban penyampaian Laporan LLD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku
dalam hal Bank memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia untuk tidak menyampaikan Laporan LLD.
(5) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
menyampaikan Laporan LLD setelah Bank kembali
melakukan kegiatan operasional secara normal.
- 18 -
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
Pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Bank
wajib menyampaikan Laporan LLD berupa:
a. laporan rincian transaksi Ekspor; dan
b. laporan daftar dokumen terkait transaksi Ekspor,
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 18/10/PBI/2016 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu
Lintas Devisa Bank dan Nasabah, untuk penerimaan DHE non-
SDA sampai dengan penyampaian Laporan LLD PL Desember
2019 yang disampaikan bulan Januari 2020.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku,
Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/10/PBI/2016 tentang
Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 129,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5897),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 29
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2
Januari 2020.
- 19 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Desember 2019
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Desember 2019
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 236….
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK NDONESIA
NOMOR 21/15/PBI/2019
TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH
I. UMUM
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Bank
Indonesia memiliki kewenangan untuk meminta data dan keterangan
mengenai kegiatan LLD yang dilakukan oleh Penduduk melalui suatu
sistem pemantauan LLD yang efektif. Data dan keterangan yang diperoleh
melalui sistem pemantauan tersebut diperlukan untuk perumusan dan
pelaksanaan kebijakan baik di bidang moneter, stabilitas sistem keuangan,
maupun sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Di samping itu,
data dan keterangan tersebut juga diperlukan untuk penyusunan statistik,
yang meliputi statistik neraca pembayaran Indonesia, posisi investasi
internasional Indonesia, dan statistik lainnya. Pemanfaatan data dalam
sistem pemantauan ini juga digunakan untuk mendukung pelaksanaan
ketentuan Bank Indonesia mengenai devisa hasil ekspor dan devisa
pembayaran impor.
Saat ini penyampaian dokumen pendukung untuk kegiatan LLD
melalui Bank diberlakukan untuk transaksi terkait Ekspor dan Transfer
Dana Keluar dalam valuta asing. Guna mendorong transparansi dan
meningkatkan ketersediaan informasi kegiatan LLD maka perlu diatur
kembali mengenai penyampaian data dan keterangan antara lain terkait
informasi DPI.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan “lengkap” adalah memuat keterangan dan data
seluruh kegiatan LLD, serta telah memenuhi rincian cakupan laporan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “benar” adalah memuat keterangan dan data
kegiatan LLD sesuai dengan informasi dari Nasabah dan/atau
dokumen pendukungnya.
Yang dimaksud dengan “tepat waktu” adalah disampaikan dalam MPL
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, telah diterima oleh Bank
Indonesia, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Transaksi Bank dan/atau Nasabah yang memengaruhi AFLN
Bank dan/atau KFLN Bank, antara lain:
a. penerimaan dari luar negeri dan pembayaran ke luar negeri
baik dalam rupiah maupun valuta asing;
b. penerimaan dari bukan Penduduk dan pembayaran kepada
bukan Penduduk di dalam negeri baik dalam rupiah maupun
valuta asing; dan/atau
c.
penerimaan dan pembayaran di dalam negeri antar-
Penduduk dalam valuta asing.
Transaksi Nasabah termasuk pula transaksi yang dilakukan bank
sebagai Nasabah Bank lain.
Ayat (3)
Posisi dan mutasi dari setiap rekening AFLN Bank dan/atau KFLN
Bank dipengaruhi oleh transaksi yang dilakukan baik oleh Bank
maupun Nasabah.
- 3 -
Transaksi Nasabah termasuk pula transaksi yang dilakukan bank
sebagai Nasabah Bank lain.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “transaksi DHE dan DPI” adalah
transaksi DHE dan DPI sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai devisa hasil ekspor dan
devisa pembayaran impor.
Laporan terkait transaksi DHE dan DPI antara lain berupa
laporan transaksi non-TT.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Transaksi Nasabah termasuk pula transaksi yang dilakukan bank
sebagai Nasabah Bank lain.
Ayat (2)
Transaksi yang dilaporkan secara gabungan dikelompokkan
menurut jenis rekening dan jenis valuta.
Yang dimaksud dengan “jenis rekening” adalah jenis AFLN Bank
atau KFLN Bank yang dipengaruhi oleh transaksi Bank dan/atau
transaksi Nasabah.
Transaksi Nasabah termasuk pula transaksi yang dilakukan bank
sebagai Nasabah Bank lain.
- 4 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “secara daring” adalah melalui jaringan
khusus ekstranet Bank Indonesia.
Laporan LLD secara daring dapat disampaikan pada hari Sabtu,
hari Minggu, hari libur, atau cuti bersama yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
Ayat (3)
Huruf a
Contoh:
Untuk kegiatan LLD PL Januari 2020, batas akhir MPL yaitu
hari Sabtu tanggal 15 Februari 2020 pukul 23.59 WIB.
Huruf b
Contoh:
Untuk posisi LLD PL Februari 2020, batas akhir MPL yaitu
hari Minggu tanggal 15 Maret 2020 pukul 23.59 WIB.
Huruf c
Angka 1
Contoh:
PT B yang merupakan Nasabah Bank A menerima
pembayaran DHE tanggal 1 Mei 2020. Bank A wajib
menyampaikan laporan rincian transaksi Ekspor terkait
informasi atas penerimaan pembayaran untuk PL bulan
Mei 2020 tersebut paling lambat pada tanggal 15 Juni
2020 pukul 23.59 WIB.
Angka 2
Cukup jelas.
- 5 -
Angka 3
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
PT Y yang merupakan Nasabah Bank B melakukan pembayaran
Impor melalui transaksi non-TT pada tanggal 2 Oktober 2020.
Bank B wajib menyampaikan laporan DPI atas pembayaran Impor
untuk PL bulan Oktober 2020 tersebut paling lambat pada
tanggal 5 November 2020 pukul 23.59 WIB.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” antara lain gangguan
jaringan dan/atau komunikasi, namun tidak termasuk gangguan
pada sistem penyusunan Laporan LLD di Bank.
Yang dimaksud dengan “secara luring” adalah penyampaian
Laporan LLD kepada Bank Indonesia dengan menggunakan
media elektronik antara lain compact disk, flash disk, atau surat
elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Transaksi Nasabah termasuk pula transaksi yang dilakukan bank
sebagai Nasabah Bank lain.
Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” adalah dokumen
yang mendasari adanya kegiatan transaksi (underlying
transaction) Transfer Dana Keluar dalam valuta asing, misalnya
fotokopi pemberitahuan pabean impor, letter of credit, dan tagihan
(invoice).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sandi tujuan transaksi” adalah sandi
yang digunakan untuk mengidentifikasi setiap transaksi yang
memengaruhi AFLN Bank dan KFLN Bank.
Ayat (2)
Message FTMS antara lain message melalui sistem Society of
Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT).
- 7 -
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Data dan keterangan antara lain nilai dan jenis transaksi, tujuan
atau maksud transaksi, pelaku transaksi, dan negara tujuan atau
asal pelaku transaksi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dokumen lainnya yang terkait”
antara lain laporan keuangan dan daftar mutasi rekening
koran (bank statement).
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kalender.
- 8 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan kahar” adalah keadaan yang
berada di luar kendali Bank dan secara nyata dialami Bank yang
disebabkan antara lain oleh kebakaran, kerusuhan massa,
pemogokan pekerja, terorisme, bom, perang, sabotase, serta
bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan
oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah
setempat, termasuk Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 9 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6431….
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 21/15/PBI/2019 </reg_id>
<reg_title> PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH </reg_title>
<set_date> 9 Desember 2019 </set_date>
<effective_date> 2 Januari 2020 </effective_date>
<issued_date> 11 Desember 2019 </issued_date>
<replaced_reg> '18/10/PBI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 13/ 11 /PBI/2011
TENTANG
PENCABUTAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/2/PBI/2001 TENTANG
PEMBERIAN KREDIT USAHA KECIL DAN SURAT EDARAN BANK
INDONESIA NOMOR 3/9/BKR PERIHAL PETUNJUK PELAKSANAAN
PEMBERIAN KREDIT USAHA KECIL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah yang mengatur kriteria usaha mikro,
kecil dan menengah, Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1995 tentang Usaha Kecil telah dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku;
b. bahwa Peraturan Bank Indonesia Nomor
3/2/PBI/2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil
mengacu pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1995 tentang Usaha Kecil;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk
mencabut Peraturan Bank Indonesia Nomor
3/2/PBI/2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil
berikut peraturan pelaksanaannya.
Mengingat...
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4866);
MEMUTUSKAN...
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 3/2/PBI/2001 TENTANG
PEMBERIAN KREDIT USAHA KECIL DAN SURAT
EDARAN BANK INDONESIA NOMOR 3/9/BKR
PERIHAL PETUNJUK PELAKSANAAN
PEMBERIAN KREDIT USAHA KECIL.
Pasal 1
Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/2/PBI/2001 tentang Pemberian Kredit Usaha
Kecil dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/9/BKr tanggal 17 Mei 2001
perihal Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kredit Usaha Kecil, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 2
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar...
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Maret 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Maret 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 34
DKBU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/11/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/2/PBI/2001 TENTANG PEMBERIAN KREDIT USAHA KECIL DAN SURAT EDARAN BANK INDONESIA NOMOR 3/9/BKR PERIHAL PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT USAHA KECIL </reg_title>
<set_date> 3 Maret 2011 </set_date>
<effective_date> 3 Maret 2011 </effective_date>
<issued_date> 3 Maret 2011 </issued_date>
<replaced_reg> '3/2/PBI/2001', '3/9/BKr|SE-BI/2001' </replaced_reg>
<related_reg> '20/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/ 8 / PBI/ 2013
TENTANG
TRANSAKSI LINDUNG NILAI KEPADA BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah;
b. bahwa kestabilan nilai rupiah yang salah satunya
dipengaruhi oleh kestabilan nilai tukar rupiah
memerlukan dukungan pasar keuangan yang sehat
khususnya pasar valuta asing domestik untuk menjaga
kelangsungan kegiatan ekonomi nasional;
c. bahwa dalam mengantisipasi pergerakan nilai tukar
rupiah, pelaku ekonomi perlu melakukan transaksi
lindung nilai untuk memitigasi risiko ketidakpastian
pergerakan nilai tukar;
d. bahwa transaksi lindung nilai yang dilakukan oleh
pelaku ekonomi dapat mendukung pendalaman pasar
valuta asing domestik;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Transaksi Lindung Nilai kepada Bank;
Mengingat :
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah …
- 2 -
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa Dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI
LINDUNG NILAI KEPADA BANK.
BAB …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank Umum Syariah
serta Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Lindung Nilai adalah cara atau teknik untuk mengurangi risiko yang
timbul maupun yang diperkirakan akan timbul akibat adanya fluktuasi
harga di pasar keuangan.
3. Nasabah adalah:
a. perorangan yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; atau
b. badan usaha selain Bank yang berbadan hukum Indonesia,
berdomisili di Indonesia, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
4. Transaksi Lindung Nilai adalah transaksi yang dilakukan oleh Nasabah
kepada Bank dalam rangka memitigasi risiko atau melindungi nilai suatu
aset, kewajiban, pendapatan, dan/atau beban Nasabah terhadap risiko
fluktuasi nilai mata uang di masa yang akan datang.
5. Transaksi Lindung Nilai Beli adalah transaksi pembelian valuta asing
terhadap rupiah dalam rangka Lindung Nilai oleh Nasabah kepada Bank.
6. Transaksi Lindung Nilai Jual adalah transaksi penjualan valuta asing
terhadap rupiah dalam rangka Lindung Nilai oleh Nasabah kepada Bank.
BAB II
PENGATURAN TRANSAKSI
Pasal 2
(1) Nasabah dapat melakukan Transaksi Lindung Nilai kepada Bank.
(2) Transaksi Lindung Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Transaksi Lindung Nilai Beli; dan/atau
b. Transaksi …
- 4 -
b. Transaksi Lindung Nilai Jual.
(3) Transaksi Lindung Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
dalam bentuk transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah yang
standar (plain vanilla) antara lain dengan cara transaksi forward dan
transaksi swap.
Pasal 3
(1) Transaksi Lindung Nilai Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) huruf a wajib dilakukan berdasarkan underlying kegiatan ekonomi,
antara lain berupa pembayaran utang dalam valuta asing, kegiatan
ekspor impor, dan kegiatan investasi.
(2) Transaksi Lindung Nilai Beli wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai pembelian valuta asing
terhadap rupiah kepada Bank dan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah.
(3) Transaksi Lindung Nilai Jual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) huruf b wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah.
(4) Dalam melakukan Transaksi Lindung Nilai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Bank wajib menerapkan manajemen risiko sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan
manajemen risiko Bank.
(5) Dalam melaksanakan Transaksi Lindung Nilai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Bank wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai transaksi derivatif.
Pasal 4
(1) Transaksi Lindung Nilai Beli wajib didukung dokumen underlying
ekonomi yang dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Nilai nominal Transaksi Lindung Nilai Beli paling banyak sebesar nilai
nominal underlying kegiatan ekonomi yang tercantum di dalam dokumen
underlying.
(3) Jangka …
- 5 -
(3) Jangka waktu Transaksi Lindung Nilai Beli paling lama sama dengan
jangka waktu underlying kegiatan ekonomi yang tercantum dalam
dokumen underlying.
Pasal 5
(1) Penyelesaian Transaksi Lindung Nilai dilakukan sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap
rupiah.
(2) Penyelesaian Transaksi Lindung Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib diselesaikan dengan pemindahan dana pokok secara penuh.
(3) Kewajiban penyelesaian dengan cara pemindahan dana pokok secara
penuh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk:
a. transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam rangka Lindung Nilai
oleh Bank dan/atau Nasabah yang mengalami kejadian luar biasa
(force majeure) berdasarkan penilaian Bank dan didukung dengan
bukti dokumen yang memadai;
b. perpanjangan transaksi valuta asing terhadap rupiah untuk
keperluan Lindung Nilai atas:
1. kegiatan ekspor atau impor apabila jangka waktu transaksi valuta
asing terhadap rupiah tersebut paling singkat 1 (satu) bulan dan
dapat diperpanjang dengan frekuensi perpanjangan dan jangka
waktu yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi;
2. dana usaha, modal disetor, laba ditahan, dan pinjaman sub-
ordinasi Bank yang diperhitungkan dalam kewajiban pemenuhan
modal minimum Bank, apabila jangka waktu transaksi valuta
asing terhadap rupiah tersebut paling singkat 3 (tiga) bulan dan
dapat diperpanjang dengan frekuensi perpanjangan dan jangka
waktu yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi;
3. kegiatan penyertaan langsung di sektor riil dengan jangka waktu
paling singkat 1 (satu) tahun yang sumber dananya dalam valuta
asing, apabila jangka waktu transaksi valuta asing terhadap
rupiah tersebut paling singkat 3 (tiga) bulan dan dapat
diperpanjang …
- 6 -
diperpanjang dengan frekuensi perpanjangan dan jangka waktu
yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi;
4. pinjaman luar negeri dalam valuta asing dengan jangka waktu
paling singkat 1 (satu) tahun, apabila jangka waktu transaksi
valuta asing terhadap rupiah tersebut paling singkat 3 (tiga) bulan
dan dapat diperpanjang dengan frekuensi perpanjangan dan
jangka waktu yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi;
5. Surat Utang Negara, saham dan obligasi korporasi yang telah
dimiliki paling singkat 3 (tiga) bulan, apabila jangka waktu
transaksi valuta asing terhadap rupiah tersebut paling singkat 3
(tiga) bulan dan dapat diperpanjang dengan frekuensi
perpanjangan dan jangka waktu yang sesuai dengan kondisi yang
dihadapi;
(4) Penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
dilakukan secara netting.
(5) Perpanjangan transaksi valuta asing terhadap rupiah untuk keperluan
Lindung Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib didukung
dengan bukti dokumen yang memadai.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga
untuk pihak yang menggunakan jasa Bank sebagaimana dimaksud pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta
asing terhadap rupiah.
Pasal 6
(1) Perlakuan akuntansi terhadap Transaksi Lindung Nilai tunduk pada
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku.
(2) Nasabah dapat menerapkan akuntansi Lindung Nilai (hedge accounting)
sebagaimana diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku.
(3) Keuntungan atau kerugian yang timbul dari Transaksi Lindung Nilai yang
memenuhi kriteria akuntansi Lindung Nilai (hedge accounting)
sebagaimana diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku,
merupakan pendapatan atau biaya dalam rangka Lindung Nilai.
Pasal …
- 7 -
Pasal 7
Transaksi Lindung Nilai yang dilakukan Nasabah wajib dilaporkan Bank
kepada Bank Indonesia melalui Laporan Harian Bank Umum (LHBU) sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian
bank umum.
BAB III
SANKSI
Pasal 8
(1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2)
dikenakan sanksi sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada Bank dan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta
asing terhadap rupiah.
(2) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 5
dikenakan sanksi sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah.
(3) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 3 ayat (4) dikenakan
sanksi sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
manajemen risiko Bank.
(4) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 3 ayat (5) dikenakan
sanksi sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
transaksi derivatif.
(5) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 4 dikenakan sanksi
sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pembelian
valuta asing terhadap rupiah kepada Bank.
(6) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 7 dikenakan sanksi
sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan
harian bank umum.
BAB …
- 8 -
BAB IV
PENUTUP
Pasal 9
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, ketentuan Pasal 4
ayat (2) huruf b Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/37/PBI/2008 tentang
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/14/PBI/2009 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 10
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Oktober 2013
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada Tanggal 7 Oktober 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 162
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/ 8 / PBI/ 2013
TENTANG
TRANSAKSI LINDUNG NILAI KEPADA BANK
I. UMUM
Sebagai bank sentral yang diamanatkan undang-undang untuk
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya
dipengaruhi oleh stabilitas nilai tukar rupiah, Bank Indonesia
merumuskan berbagai kebijakan yang ditujukan bagi pencapaian tujuan
tersebut. Sementara itu, pendalaman pasar valuta asing domestik
merupakan suatu langkah yang perlu dilakukan dalam rangka
meningkatkan peran pasar valuta asing domestik dalam pencapaian
stabilitas nilai tukar rupiah dan menjaga kelangsungan kegiatan ekonomi
nasional.
Pergerakan nilai tukar rupiah antara lain dipengaruhi oleh faktor
keseimbangan permintaan dan penawaran valuta asing, faktor
perekonomian domestik maupun global. Dinamika pasar valuta asing
domestik dimaksud dapat menimbulkan risiko fluktuasi nilai tukar kepada
pelaku ekonomi. Sebagai upaya untuk meminimalkan risiko tersebut,
pelaku ekonomi perlu melakukan transaksi lindung nilai terhadap
kegiatan ekonominya dengan menggunakan instrumen derivatif antara lain
forward dan swap.
Dalam upaya meminimalkan risiko pergerakan nilai tukar dan dalam
rangka mengembangkan transaksi lindung nilai di pasar valuta asing
domestik, Bank Indonesia merasa perlu untuk melakukan pengaturan atas
transaksi lindung nilai nasabah kepada bank. Dengan cara tersebut,
diharapkan stabilitas nilai tukar rupiah dapat terjaga dan juga tercipta
pendalaman pasar valuta asing domestik.
II. PASAL …
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Transaksi derivatif yang termasuk plain vanilla adalah transaksi
yang mempunyai satu underlying asset serta diterbitkan dengan
fitur jatuh tempo, strike price, pembayaran (pay-off) yang
sederhana atau standar, serta termasuk kombinasi dana pokok
(notional amount) yang berimbang antara lain forward contract,
swap dan option.
Transaksi forward adalah transaksi jual/beli valuta asing
terhadap rupiah yang penyerahan dananya dilakukan lebih dari
2 (hari) kerja setelah tanggal transaksi.
Transaksi swap adalah transaksi pertukaran valuta asing
terhadap rupiah melalui pembelian/penjualan tunai (spot)
dengan penjualan/pembelian kembali secara berjangka yang
dilakukan secara simultan dengan counterparty yang sama dan
pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal
transaksi dilakukan.
Pasal 3
Ayat (1)
Kegiatan investasi antara lain berupa pemberian kredit,
penyertaan langsung, dan transaksi surat berharga.
Ayat …
- 3 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pemindahan dana pokok secara penuh”
untuk transaksi valuta asing terhadap rupiah adalah
penyerahan dana secara riil untuk masing-masing transaksi
jual dan/atau transaksi beli valuta asing terhadap rupiah
sebesar nilai penuh nominal transaksi atau ekuivalennya.
Ayat (3)
Huruf (a)
Yang dimaksud dengan “kejadian luar biasa (force
majeure)” adalah suatu keadaan di luar kendali Bank
dan/atau Nasabah yang menyebabkan Bank dan/atau
Nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai
dengan kontrak, antara lain gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, banjir, angin topan, tanah longsor,
kebakaran, kerusuhan massal, perang, aksi terorisme,
pemogokan …
- 4 -
pemogokan buruh, keterlambatan pengapalan/
pengiriman barang, dan/atau kegagalan sistem yang
digunakan dalam bertransaksi.
Yang dimaksud dengan ”penilaian Bank” antara lain
mencakup kewajaran atas akibat yang ditimbulkan dari
force majeure yang dialami terhadap transaksi valuta
asing terhadap rupiah.
Bukti dokumen yang memadai antara lain berupa
dokumen tertulis yang dikeluarkan oleh pemerintah,
media massa, atau media komunikasi lainnya.
Huruf (b)
Cukup jelas
Ayat (4)
Contoh netting untuk kondisi force majeure
Pada tanggal 21 Oktober 2013 Nasabah (PT A) melakukan
Transaksi Lindung Nilai Jual kepada Bank atas penerimaan
hasil ekspornya senilai USD1,000,000.00 (satu juta US Dollar)
berupa forward jual USD/IDR 1 bulan pada tanggal valuta 21
November 2013 dengan kurs 1 USD = Rp10.100,00. Pada
tanggal 11 November 2013 terjadi kondisi force majeure berupa
keterlambatan pengapalan sehingga PT A dipastikan tidak dapat
menerima dana hasil ekspor sesuai dengan tanggal yang telah
ditetapkan. Atas hal tersebut, pada tanggal 14 November 2013
PT A melakukan transaksi forward beli USD/IDR 1 minggu
untuk melakukan offset transaksi forward jual yang akan jatuh
tempo pada tanggal valuta 21 November 2013 dengan kurs 1
USD = Rp10.200,00 dengan Bank yang sama.
Penyelesaian transaksi tersebut dilakukan secara netting,
dimana PT A melakukan pembayaran net sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Perhitungan tersebut
berasal dari Rp100,00 x USD1,000,000.00.
Contoh …
- 5 -
Contoh netting untuk transaksi perpanjangan Lindung Nilai
Pada tanggal 14 November 2013 PT B melakukan impor barang
dari luar negeri sebesar USD 1,000,000.00 (satu juta US Dollar)
dengan jatuh tempo pembayaran 2 bulan, yaitu tanggal 14
Januari 2014. Atas transaksi tersebut pada tanggal 13
Desember 2013 PT B melakukan Transaksi Lindung Nilai Beli
dengan cara forward beli USD/IDR kepada Bank dengan jangka
waktu 1 bulan pada tanggal valuta 13 Januari 2014 dengan
kurs 1 USD = Rp11.000,00. Karena kondisi keuangan yang
tidak memungkinkan, pada saat jatuh tempo pembayaran PT B
tidak dapat melakukan pembayaran tagihan, sehingga jatuh
tempo pembayaran tersebut diperpanjang selama 1 bulan. Atas
dasar tersebut PT B melakukan perpanjangan transaksi forward
beli USD/IDR kepada Bank dengan jangka waktu 1 bulan.
Penyelesaian perpanjangan tersebut dapat dilakukan secara
netting.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5451
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 15/8/PBI/2013 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI LINDUNG NILAI KEPADA BANK </reg_title>
<set_date> 7 Oktober 2013 </set_date>
<effective_date> 7 Oktober 2013 </effective_date>
<issued_date> 7 Oktober 2013 </issued_date>
<replaced_reg> '11/14/PBI/2009 | Pasal 4 Ayat (2) Huruf b', '10/37/PBI/2008 | Pasal 4 Ayat (2) Huruf b' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/4/PBI/2019
TENTANG
JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN
TAHUN 2017 DAN TAHUN 2018
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa salah satu tugas Bank Indonesia dalam pengelolaan
uang rupiah yaitu melakukan pemusnahan terhadap uang
rupiah yang ditarik dari peredaran;
b. bahwa berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2011 tentang Mata Uang, jumlah dan nilai nominal
uang rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia perlu
ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Jumlah dan Nilai Nominal Uang
Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2017 dan Tahun 2018;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
- 2 -
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG JUMLAH DAN NILAI
NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2017
DAN TAHUN 2018.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang Rupiah adalah rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai mata uang.
2. Uang Rupiah Tidak Layak Edar adalah Uang Rupiah yang
terdiri atas Uang Rupiah lusuh, Uang Rupiah cacat, dan
Uang Rupiah rusak.
BAB II
PEMUSNAHAN UANG RUPIAH
Pasal 2
Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia meliputi:
a. Uang Rupiah Tidak Layak Edar; dan
b. Uang Rupiah yang sudah tidak berlaku.
- 3 -
Pasal 3
Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Uang Rupiah kertas diracik dengan menggunakan mesin
yang memiliki fungsi untuk meracik Uang Rupiah kertas
sehingga tidak lagi menyerupai Uang Rupiah kertas; dan
b. Uang Rupiah logam dilebur sehingga tidak lagi menyerupai
Uang Rupiah logam.
Pasal 4
(1) Jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan
oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(2) Data jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang
dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi jenis pecahan, jumlah bilyet atau
keping, dan nilai nominal.
(3) Data jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang
dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) untuk periode:
a. tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal
31 Desember 2017 tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Bank Indonesia ini; dan
b. tanggal 1 Januari 2018 sampai dengan tanggal
31 Desember 2018 tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Bank Indonesia ini.
BAB III
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 5
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku,
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/1/PBI/2018 tentang
Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah yang Dimusnahkan
- 4 -
Tahun 2017 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 7), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 6
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Januari 2019
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Januari 2019
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 21
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 21/4/PBI/2019 </reg_id>
<reg_title> JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2017 DAN TAHUN 2018 </reg_title>
<set_date> 28 Januari 2019 </set_date>
<effective_date> 29 Januari 2019 </effective_date>
<issued_date> 29 Januari 2019 </issued_date>
<replaced_reg> '20/1/PBI/2018' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 9/14/PBI/2007
TENTANG
SISTEM INFORMASI DEBITUR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa berdasarkan perundang-undangan yang berlaku,
Bank Indonesia berperan untuk mengatur dan
mengembangkan penyelenggaraan sistem informasi antar
bank maupun lembaga lain di bidang keuangan, khususnya
dalam rangka memperoleh dan menyediakan informasi
debitur;
b. bahwa dalam rangka memperlancar proses penyediaan dana
untuk mendorong pembangunan ekonomi dan penerapan
manajemen risiko kredit yang efektif serta tersedianya
informasi kualitas debitur yang dapat diandalkan, maka
diperlukan adanya sistem informasi debitur yang lengkap,
akurat, terkini, dan utuh;
c. bahwa untuk mendukung tersedianya informasi debitur
yang lengkap, akurat, terkini, dan utuh serta untuk
meningkatkan disiplin pasar, diperlukan penyempurnaan
terhadap penyelenggaraan sistem informasi debitur yang
dikelola …
- 2 -
dikelola oleh Pusat Informasi Kredit (Biro Informasi
Kredit/credit bureau);
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk
mengatur kembali ketentuan mengenai sistem informasi
debitur dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SISTEM
INFORMASI DEBITUR.
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Umum adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang
bank asing.
2. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah
Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
3. Lembaga Keuangan Non Bank adalah lembaga keuangan yang meliputi
asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan
pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan
dana masyarakat.
4. Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank adalah Perusahaan Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang
Perusahaan Pembiayaan, yang melakukan kegiatan usaha kartu kredit.
5. Koperasi Simpan Pinjam adalah Koperasi yang menjalankan usaha
simpan pinjam sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
6. Pelapor adalah Bank Umum, BPR, Lembaga Keuangan Non Bank,
Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank, dan Koperasi Simpan Pinjam,
yang meliputi kantor-kantor yang melakukan kegiatan operasional, antara
lain:
a. kantor …
- 4 -
a. kantor pusat;
b. kantor cabang;
c. unit syariah;
d. kantor cabang bank asing; dan
e. kantor cabang pembantu bank asing,
yang menyampaikan laporan debitur.
7. Debitur adalah perorangan, perusahaan atau badan yang memperoleh satu
atau lebih fasilitas penyediaan dana.
8. Laporan Debitur adalah informasi yang disajikan dan dilaporkan oleh
Pelapor kepada Bank Indonesia menurut tata cara dan bentuk laporan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
9. Sistem Informasi Debitur adalah sistem yang menyediakan informasi
Debitur yang merupakan hasil olahan dari Laporan Debitur yang diterima
oleh Bank Indonesia.
10. Penyediaan Dana adalah penanaman dana Pelapor baik dalam rupiah
maupun valuta asing, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan,
penyertaan modal, penyertaan modal sementara, tagihan lainnya, dan
transaksi rekening administratif, serta bentuk penyediaan dana lainnya yang
dapat dipersamakan dengan itu.
11. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara Pelapor dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga,
termasuk:
a.
cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah
yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
b. pengambilalihan …
- 5 -
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;
c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
12. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas
kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban
dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal
dan pasar uang.
13. Penempatan adalah penanaman dana Pelapor pada bank lain dalam bentuk
giro, interbank call money, deposito berjangka, sertifikat deposito, kredit,
dan penanaman dana lainnya yang sejenis.
14. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Pelapor dalam bentuk saham
pada bank dan/atau perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti
perusahaan sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi,
serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, termasuk penanaman
dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham
(equity options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Pelapor
memiliki atau akan memiliki saham pada bank dan/atau perusahaan yang
bergerak di bidang keuangan lainnya.
15. Penyertaan Modal Sementara adalah Penyertaan Modal oleh Pelapor dalam
perusahaan Debitur untuk mengatasi kegagalan kredit (debt to equity swap),
termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds)
dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu yang
berakibat Pelapor memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan
Debitur.
16. Tagihan Lainnya adalah tagihan Pelapor kepada pihak lain antara lain
berupa surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse
repo), tagihan akseptasi, dan tagihan derivatif.
17. Transaksi …
- 6 -
17. Transaksi Rekening Administratif adalah kewajiban komitmen dan
kontinjensi yang antara lain meliputi penerbitan jaminan, letter of credit
(LC), standby letter of credit (SBLC), dan/atau kewajiban komitmen dan
kontinjensi lain.
BAB II
TUJUAN
Pasal 2
Sistem Informasi Debitur diselenggarakan dalam rangka memperlancar proses
Penyediaan Dana, penerapan manajemen risiko, dan identifikasi kualitas Debitur
untuk pemenuhan ketentuan yang berlaku serta meningkatkan disiplin pasar.
BAB III
PELAPOR
Pasal 3
Pihak yang diwajibkan untuk menjadi Pelapor adalah:
a. Bank Umum;
b. BPR yang memiliki total aset sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) atau lebih selama 6 (enam) bulan berturut-turut; dan
c. Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank.
Pasal 4
(1) BPR yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf b dapat menjadi Pelapor dalam Sistem Informasi Debitur setelah
mendapat persetujuan Bank Indonesia dalam hal:
a. memiliki …
- 7 -
a. memiliki infrastruktur yang memadai; dan
b.
terdapat kesesuaian struktur data Debitur yang diperlukan dalam
Sistem Informasi Debitur.
(2) Tatacara dan persyaratan untuk menjadi Pelapor bagi BPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 5
(1) Lembaga Keuangan Non Bank dan Koperasi Simpan Pinjam dapat menjadi
Pelapor dalam Sistem Informasi Debitur dalam hal:
a. memiliki infrastruktur yang memadai; dan
b. terdapat kesesuaian struktur data Debitur yang diperlukan dalam Sistem
Informasi Debitur.
(2) Lembaga Keuangan Non Bank dan Koperasi Simpan Pinjam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi Pelapor dalam Sistem Informasi Debitur
setelah:
a. mendapat persetujuan Bank Indonesia; dan
b. menandatangani Perjanjian Keikutsertaan dalam Sistem Informasi
Debitur.
BAB IV
LAPORAN DEBITUR
Pasal 6
(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan Debitur kepada Bank Indonesia
secara lengkap, akurat, terkini, utuh, dan tepat waktu, setiap bulan untuk
posisi akhir bulan.
(2) Laporan …
- 8 -
(2) Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain
informasi mengenai:
a. Debitur;
b. pengurus dan pemilik;
c.
fasilitas Penyediaan Dana;
d. agunan;
e. penjamin;
f. keuangan Debitur.
(3) Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), wajib
disusun sesuai dengan pedoman penyusunan Laporan Debitur yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(4) Pelapor bertanggung jawab atas Laporan Debitur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
(5) Cakupan Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 7
(1)
Informasi mengenai keuangan Debitur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2) huruf f hanya disampaikan dalam hal Debitur merupakan
perusahaan atau badan yang menerima satu atau lebih fasilitas Penyediaan
Dana dari 1 (satu) Pelapor, dengan total sebesar Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) atau lebih.
(2)
Informasi mengenai keuangan Debitur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2) huruf f wajib merupakan informasi keuangan terkini.
Pasal 8 …
- 9 -
Pasal 8
Pelapor wajib menyampaikan Laporan Debitur untuk pertama kalinya paling
lambat 3 (tiga) bulan sejak diberikannya user-id dan password Web Sistem
Informasi Debitur.
Pasal 9
(1) Bank Indonesia dapat melakukan pengkinian data Debitur yang terdapat
dalam Sistem Informasi Debitur dalam hal:
a. Pelapor mengalami pencabutan izin usaha atau likuidasi; dan/atau
b. pengkinian data tidak dapat lagi dilakukan oleh Pelapor.
(2) Pengkinian data Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan pemberitahuan tertulis dari pihak yang melakukan pengelolaan
data Debitur.
BAB V
KOREKSI LAPORAN DEBITUR
Pasal 10
Pelapor wajib melakukan koreksi Laporan Debitur yang telah disampaikan
kepada Bank Indonesia dalam hal Laporan Debitur tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) atas temuan
Pelapor yang bersangkutan dan/atau atas temuan Bank Indonesia.
BAB VI …
- 10 -
BAB VI
PERIODE PENYAMPAIAN LAPORAN DEBITUR
DAN KOREKSI LAPORAN DEBITUR
Pasal 11
(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan Debitur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) paling lambat tanggal 12 (dua belas) setelah bulan
Laporan Debitur yang bersangkutan.
(2) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan Debitur pada tanggal
diterimanya Laporan Debitur oleh Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur apabila
menyampaikan Laporan Debitur melampaui batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) sampai dengan akhir bulan setelah bulan
Laporan Debitur yang bersangkutan.
(2) Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Debitur apabila belum
menyampaikan atau menyampaikan Laporan Debitur melampaui batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 13
Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian Laporan Debitur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 12 jatuh pada hari Sabtu, Minggu,
atau hari libur maka Laporan Debitur disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
Pasal 14 …
- 11 -
Pasal 14
(1) Pelapor wajib melakukan koreksi Laporan Debitur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10:
a.
atas dasar temuan Pelapor yang bersangkutan, paling lambat tanggal
12 (dua belas) setelah bulan Laporan Debitur yang bersangkutan;
b. atas dasar temuan Bank Indonesia, paling lambat tanggal 12
(dua belas) pada periode penyampaian Laporan Debitur berikutnya.
(2) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan koreksi Laporan Debitur pada
tanggal diterimanya koreksi Laporan Debitur oleh Bank Indonesia.
Pasal 15
Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur apabila
menyampaikan koreksi Laporan Debitur melampaui batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
Pasal 16
Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian koreksi Laporan Debitur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) jatuh pada hari Sabtu, Minggu
atau hari libur, maka koreksi Laporan Debitur disampaikan pada hari kerja
sebelumnya.
BAB VII
PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DEBITUR
DAN KOREKSI LAPORAN DEBITUR
Pasal 17
(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan
Debitur secara on-line.
(2) Pelapor …
- 12 -
(2) Pelapor yang mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan Laporan
Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur wajib menyampaikan secara
on-line melalui kantor pusat atau kantor cabang lainnya dari Pelapor yang
bersangkutan.
(3) Dalam hal penyampaian secara on-line melalui kantor pusat atau kantor
cabang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilakukan
sampai dengan batas akhir periode penyampaian Laporan Debitur dan/atau
koreksi Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
dan/atau Pasal 14 ayat (1), maka Pelapor dapat menyampaikan Laporan
Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara off-line.
(4) Penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara
off-line sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lambat
3 (tiga) hari kerja setelah batas akhir periode penyampaian Laporan Debitur
dan/atau koreksi Laporan Debitur dengan surat pemberitahuan tertulis
kepada Bank Indonesia dengan dilampiri dokumen pendukung dari instansi
yang terkait dengan kondisi gangguan dimaksud.
(5) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur dan/atau
koreksi Laporan Debitur secara off-line apabila menyampaikan Laporan
Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara off-line melampaui batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sehingga tidak
memungkinkan untuk menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi
Laporan Debitur secara on-line dan off-line sampai dengan batas akhir
periode penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi atas Laporan
Debitur, wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia untuk
memperoleh pengecualian penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi
Laporan Debitur.
Pasal 18 …
- 13 -
Pasal 18
Dalam hal terjadi kerusakan pada Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan
Debitur yang diterima karena adanya gangguan teknis atau gangguan lainnya
pada sistem dan/atau jaringan telekomunikasi, maka Bank Indonesia dapat
meminta Pelapor untuk menyampaikan ulang Laporan Debitur dan/atau koreksi
Laporan Debitur.
Pasal 19
(1) Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara on-line
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) wajib
disampaikan kepada Kantor Pusat Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Pelapor melakukan kegiatan operasional di luar wilayah
Indonesia, maka Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun dan disampaikan oleh
kantor pusat Pelapor.
(3) Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara off-line
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dan pemberitahuan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) dan (6), wajib disampaikan
kepada:
a. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan c.q. Pusat Informasi
Kredit Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Pelapor yang
berkedudukan di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Pelapor yang berkedudukan di
luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
BAB VIII …
- 14 -
BAB VIII
INFORMASI DEBITUR
Pasal 20
Pihak yang dapat meminta informasi Debitur adalah:
a. Pelapor;
b. Debitur; atau
c. pihak lain.
Pasal 21
(1) Pelapor yang telah memenuhi kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dapat meminta informasi Debitur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 kepada Bank Indonesia yang harus dilakukan secara
on-line.
(2) Permintaan informasi Debitur secara on-line sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dapat dilakukan melalui kantor lain dari Pelapor yang
bersangkutan.
Pasal 22
(1) Informasi Debitur yang diperoleh Pelapor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (1) hanya dapat digunakan untuk keperluan Pelapor dalam
rangka:
a. kelancaran proses Penyediaan Dana;
b. penerapan manajemen risiko; dan
c.
identifikasi kualitas Debitur dalam rangka pemenuhan ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku.
(2) Pelapor …
- 15 -
(2) Pelapor wajib memberikan informasi Debitur atas permintaan Debitur dari
Pelapor yang bersangkutan.
(3) Segala akibat hukum yang timbul sehubungan dengan penggunaan
informasi Debitur untuk keperluan Pelapor yang tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepenuhnya menjadi
tanggung jawab Pelapor yang bersangkutan.
Pasal 23
(1) Dalam hal Pelapor menolak memberikan Penyediaan Dana kepada Debitur
atau calon Debitur karena akibat langsung dari informasi Debitur, Pelapor
wajib memberikan penjelasan tertulis kepada Debitur atau calon Debitur
tersebut.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku apabila
terdapat permintaan tertulis dari Debitur atau calon Debitur yang
bersangkutan.
Pasal 24
(1) Debitur dapat meminta informasi Debitur hanya atas nama Debitur yang
bersangkutan kepada Bank Indonesia atau kepada Pelapor yang
memberikan Penyediaan Dana kepada Debitur tersebut.
(2) Permintaan informasi Debitur oleh Debitur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diajukan dengan permohonan tertulis yang disampaikan langsung
oleh Debitur yang bersangkutan atau pihak yang diberi kuasa, dengan
menunjukkan asli bukti identitas diri dan asli surat kuasa dari Debitur
kepada pihak yang diberi kuasa.
(3) Segala …
- 16 -
(3) Segala akibat hukum yang timbul sehubungan dengan penggunaan
informasi Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepenuhnya
menjadi tanggung jawab Debitur yang bersangkutan.
Pasal 25
(1) Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c dapat meminta
informasi Debitur kepada Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan
Undang-Undang.
(2) Permintaan informasi Debitur oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 huruf c dilakukan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. permohonan informasi Debitur disampaikan secara tertulis kepada
Bank Indonesia oleh pihak yang memiliki kewenangan, dengan
menyampaikan peruntukan penggunaan informasi Debitur dimaksud;
dan
b. pemohon menyatakan bahwa segala akibat yang timbul berkaitan
dengan penggunaan informasi Debitur sepenuhnya menjadi tanggung
jawab pemohon.
BAB IX
PELAKSANA DAN PENANGGUNGJAWAB
Pasal 26
(1) Pelapor wajib menunjuk petugas pelaksana dan/atau pejabat yang
bertanggung jawab dalam:
a. menyampaikan Laporan Debitur;
b. melakukan verifikasi Laporan Debitur; dan
c. mengajukan permintaan dan menerima informasi Debitur.
(2) Pelapor …
- 17 -
(2) Pelapor wajib membuat user-id petugas yang ditunjuk untuk menyampaikan
Laporan Debitur, mengajukan permintaan dan menerima informasi Debitur.
(3) Pelapor wajib menyampaikan daftar pihak-pihak yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan
sejak Bank Indonesia memberikan user-id dan password Web Sistem
Informasi Debitur.
(4) Dalam hal terjadi perubahan atas daftar pihak-pihak yang ditunjuk sebagai
petugas pelaksana dan/atau pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pelapor wajib menghapus user-id sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan menyampaikan perubahan daftar dimaksud
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah terjadinya perubahan.
(5) Daftar pihak-pihak yang ditunjuk sebagai petugas pelaksana dan/atau
pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (4) disampaikan kepada Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan
c.q. Pusat Informasi Kredit Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350.
BAB X
PENGAWASAN
Pasal 27
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban
Pelapor yang terkait dengan pelaksanaan Sistem Informasi Debitur.
(2) Pelapor wajib memberikan informasi yang dibutuhkan oleh Bank Indonesia
dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
BAB XI …
- 18 -
BAB XI
SANKSI
Pasal 28
(1) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dikenakan sanksi berupa
kewajiban membayar dan penundaan pemberian informasi Debitur sampai
dengan diterimanya Laporan Debitur dimaksud oleh Bank Indonesia.
(2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. bagi Bank Umum, sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
kerja keterlambatan untuk setiap kantor Pelapor;
b. bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank, Lembaga
Keuangan Non Bank, dan Koperasi Simpan Pinjam sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan untuk
setiap kantor Pelapor.
Pasal 29
(1) Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Debitur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dikenakan sanksi berupa
kewajiban membayar dan penundaan pemberian informasi Debitur sampai
dengan diterimanya Laporan Debitur dimaksud oleh Bank Indonesia.
(2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. bagi Bank Umum, sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
per Laporan Debitur untuk setiap kantor Pelapor;
b. bagi …
- 19 -
b. bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank, Lembaga
Keuangan Non Bank, dan Koperasi Simpan Pinjam sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per Laporan Debitur untuk setiap
kantor Pelapor.
Pasal 30
Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a dan Pasal 15 dikenakan
sanksi kewajiban membayar:
a. bagi Bank Umum, sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja
keterlambatan untuk setiap kantor Pelapor;
b. bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank, Lembaga Keuangan
Non Bank, dan Koperasi Simpan Pinjam, sebesar Rp25.000,00 (dua puluh
lima ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan untuk setiap kantor Pelapor.
Pasal 31
(1) Pelapor yang atas dasar temuan Bank Indonesia diketahui menyampaikan
Laporan Debitur tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban
membayar:
a. bagi Bank Umum, sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
rupiah) per Debitur dengan batas maksimal sebesar Rp.10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) untuk setiap kantor Pelapor;
b. bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank, Lembaga
Keuangan Non Bank, dan Koperasi Simpan Pinjam sebesar
Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) per Debitur dengan batas
maksimal …
- 20 -
maksimal sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap
kantor Pelapor.
(2) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur
atas dasar temuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) huruf b dan Pasal 15 dikenakan sanksi berupa:
a. kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b.
teguran tertulis; dan
c. penundaan pemberian informasi Debitur sampai dengan diterimanya
seluruh koreksi Laporan Debitur dimaksud oleh Bank Indonesia.
Pasal 32
(1) Pelapor yang menyampaikan Laporan Debitur atau koreksi Laporan Debitur
secara off-line yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban
membayar:
a. bagi Bank Umum, sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per
Laporan Debitur untuk setiap kantor Pelapor;
b. bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank, Lembaga
Keuangan Non Bank, dan Koperasi Simpan Pinjam sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per Laporan Debitur untuk setiap
kantor Pelapor.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal
Pelapor menyampaikan koreksi Laporan Debitur secara off-line atas dasar
temuan Bank Indonesia.
(3) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur secara
off-line melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (5) dikenakan sanksi kewajiban membayar:
a. bagi …
- 21 -
a. bagi Bank Umum, sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
kerja keterlambatan untuk setiap kantor Pelapor;
b. bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank, Lembaga
Keuangan Non Bank, dan Koperasi Simpan Pinjam sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan untuk
setiap kantor Pelapor.
(4) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur
secara off-line melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (5) dikenakan sanksi kewajiban membayar:
a. bagi Bank Umum, sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari
kerja keterlambatan untuk setiap kantor Pelapor;
b. bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank, Lembaga
Keuangan Non Bank, dan Koperasi Simpan Pinjam, sebesar
Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan
untuk setiap kantor Pelapor.
Pasal 33
Pelapor yang meminta dan menggunakan informasi Debitur tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk
setiap informasi Debitur.
Pasal 34
Pelapor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14
ayat (1) …
- 22 -
ayat (1), Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6), Pasal 19, Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 23, Pasal 26, dan Pasal 27
ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998.
Pasal 35
Bagi Pelapor baru, pelaksanaan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 mulai berlaku 9
(sembilan) bulan sejak batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 36
BPR yang telah memiliki total aset mencapai Rp 10.000.0000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terakhir sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini, wajib menjadi Pelapor apabila memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b.
Pasal 37
Bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank, Lembaga Keuangan Non
Bank, dan Koperasi Simpan Pinjam yang telah menjadi Pelapor sebelum
dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini pengenaan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33
mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Desember 2007.
BAB XIII …
- 23 -
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Semua istilah Kredit yang digunakan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, bagi
Pelapor yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah harus dibaca
sebagai Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 39
Ketentuan pelaksanaan tentang Sistem Informasi Debitur akan diatur lebih lanjut
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 40
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka ketentuan pelaksanaan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/8/PBI/2005 tanggal 24 Januari 2005 tentang
Sistem Informasi Debitur sepanjang tidak bertentangan dengan PBI ini tetap
berlaku sampai dengan dicabut.
Pasal 41
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/8/PBI/2005 tanggal 24 Januari 2005 tentang Sistem Informasi Debitur
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 42 …
- 24 -
Pasal 42
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 November 2007
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA
MIRANDA S. GOELTOM
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 143
DPIP/DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 9/14/PBI/2007
TENTANG
SISTEM INFORMASI DEBITUR
UMUM
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Bank
Indonesia berperan untuk mengatur dan mengembangkan penyelenggaraan
sistem informasi antar bank yang dapat diperluas dengan menyertakan lembaga
lain di bidang keuangan. Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia mengelola
suatu Pusat Informasi Kredit (Biro Informasi Kredit/credit bureau) yang
menghimpun, mengolah, mengelola, dan mendistribusikan informasi debitur
yang dihasilkan oleh sistem informasi debitur yang dari waktu ke waktu selalu
disempurnakan untuk disesuaikan dengan perkembangan perekonomian dan
teknologi.
Kelancaran proses penyediaan dana dan penerapan manajemen risiko
kredit yang efektif serta ketersediaan informasi kualitas debitur yang diandalkan
dapat dicapai apabila didukung oleh sistem informasi debitur yang lengkap,
akurat, terkini, dan utuh, terutama mengenai debitur yang sebelumnya telah
memperoleh penyediaan dana. Dalam proses penyediaan dana, sistem informasi
debitur dapat mendukung percepatan proses analisa dan pengambilan keputusan
pemberian penyediaan dana. Untuk kepentingan manajemen risiko, sistem
informasi debitur dibutuhkan untuk menentukan profil risiko kredit debitur.
Selain itu tersedianya informasi kualitas debitur, diperlukan juga untuk
melakukan sinkronisasi penilaian kualitas debitur di antara Pelapor.
Dalam …
- 2 -
Dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan
sistem informasi debitur yang menghasilkan informasi debitur yang lengkap,
akurat, terkini dan utuh, maka diperlukan pengaturan kembali ketentuan
mengenai sistem informasi debitur yang meliputi perubahan cakupan pelapor,
pengembangan sistem, pelaksanaan pengawasan, penyesuaian sanksi, serta
penyempurnaan tata cara pelaporan atau permintaan informasi debitur. Selain itu,
dalam rangka meningkatkan disiplin pasar diperlukan transparansi kondisi
debitur, pembelajaran kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga reputasi
perkreditan, dan perluasan cakupan penggunaan informasi debitur.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “infrastruktur” antara lain adalah perangkat
komputer dan jaringan telekomunikasi yang diperlukan dalam Sistem
Informasi Debitur.
Yang …
- 3 -
Yang dimaksud dengan “struktur data” antara lain adalah komponen
(field) data yang bersifat wajib (mandatory), tipe data, dan panjang
data.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “infrastruktur” antara lain adalah perangkat
komputer dan jaringan telekomunikasi yang diperlukan dalam Sistem
Informasi Debitur.
Yang dimaksud dengan “struktur data” antara lain adalah komponen
(field) data yang bersifat wajib (mandatory), tipe data, dan panjang
data.
Ayat (2)
Perjanjian Keikutsertaan dalam Sistem Informasi Debitur adalah
perikatan antara Pelapor dan Bank Indonesia mengenai keikutsertaan
Pelapor dalam Sistem Informasi Debitur.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Informasi mengenai Debitur antara lain berisi informasi mengenai
nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor Kartu Tanda
Penduduk …
- 4 -
Penduduk, nama gadis ibu kandung, dan keterkaitan Debitur
dengan Pelapor dari sisi kepengurusan, kepemilikan, dan
hubungan keuangan.
Huruf b
Informasi mengenai pengurus dan pemilik antara lain berisi
informasi mengenai nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak,
jabatan, dan pangsa kepemilikan.
Huruf c
Informasi mengenai fasilitas Penyediaan Dana antara lain berisi
informasi mengenai jenis Penyediaan Dana, jumlah fasilitas yang
diberikan, dan kolektibilitas, termasuk Penyediaan Dana yang
dihapusbuku, yang dihapustagih, dan yang diselesaikan dengan
cara pengambilalihan agunan atau penyelesaian melalui
pengadilan.
Huruf d
Informasi mengenai agunan antara lain berisi informasi mengenai
bukti kepemilikan, nilai agunan, lokasi agunan, dan jenis
pengikatan.
Huruf e
Informasi mengenai penjamin antara lain berisi informasi
mengenai nama, alamat, akta pendirian, dan bagian yang dijamin.
Huruf f
Informasi mengenai keuangan Debitur diperoleh dari laporan
keuangan Debitur antara lain berisi informasi mengenai pos-pos
neraca dan laba rugi.
Ayat (3) …
- 5 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “user-id dan password Web Sistem Informasi
Debitur” adalah identitas bagi Pelapor untuk masuk (log-in) ke dalam
aplikasi Web Sistem Informasi Debitur.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengkinian data tidak dapat lagi dilakukan oleh Pelapor antara
lain karena data telah dialihkan kepada pihak lain yang bukan
Pelapor seperti kepada Perusahaan Penyelesaian Aset (PPA)/
Badan Urusan Penyelesaian Piutang dan Lelang Negara
(BUPLN).
Ayat (2) …
- 6 -
Ayat (2)
Pihak yang melakukan pengelolaan data Debitur antara lain adalah:
a. Tim Likuidasi, bagi Pelapor yang mengalami pencabutan izin
usaha atau likuidasi;
b. Perusahaan Penyelesaian Aset (PPA) atau Badan Urusan
Penyelesaian Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), untuk data
yang telah dialihkan ke pihak lain.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Laporan Debitur bulan Februari 2008 wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lambat pada tanggal 12 Maret 2008.
Ayat (2)
Apabila Laporan Debitur disampaikan secara on-line, maka tanggal
diterimanya Laporan Debitur oleh Bank Indonesia adalah tanggal yang
tercantum pada tanda terima Laporan Debitur dari Sistem Informasi
Debitur.
Apabila Laporan Debitur disampaikan secara off-line, maka tanggal
diterimanya Laporan Debitur oleh Bank Indonesia adalah tanggal yang
tercantum pada bukti penerimaan Laporan Debitur dari Bank
Indonesia.
Pasal 12 …
- 7 -
Pasal 12
Ayat (1)
Contoh:
Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur bulan
Februari 2008, apabila Pelapor menyampaikan Laporan Debitur pada
tanggal 13 Maret 2008 sampai dengan tanggal 31 Maret 2008.
Ayat (2)
Contoh:
Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Debitur bulan
Februari 2008, apabila Pelapor belum menyampaikan atau
menyampaikan Laporan Debitur melampaui tanggal 31 Maret 2008.
Pasal 13
Yang termasuk hari libur adalah Hari Libur Nasional dan hari libur setempat
yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I.
Yang dimaksud dengan “hari kerja sebelumnya” adalah hari kerja yang
jatuh sebelum hari Sabtu, Minggu, atau hari libur.
Contoh:
Laporan Debitur bulan Maret 2008 yang wajib disampaikan paling
lambat tanggal 12 April 2008 jatuh pada hari Sabtu, maka batas akhir
penyampaian Laporan Debitur bulan Maret 2008 adalah pada hari Jumat
tanggal 11 April 2008.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Contoh: …
- 8 -
Contoh:
Koreksi Laporan Debitur bulan Februari 2008 wajib disampaikan
paling lambat pada tanggal 12 Maret 2008.
Huruf b
Contoh 1:
Apabila teguran Bank Indonesia disampaikan kepada Pelapor
pada tanggal 20 Februari 2008, maka koreksi Laporan Debitur
wajib dilakukan paling lambat tanggal 12 Maret 2008.
Contoh 2:
Apabila teguran Bank Indonesia disampaikan kepada Pelapor
pada tanggal 1 Februari 2008, maka koreksi Laporan Debitur
wajib dilakukan paling lambat tanggal 12 Maret 2008.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Contoh 1:
Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur bulan
Februari 2008, apabila koreksi Laporan Debitur disampaikan melampaui
tanggal 12 Maret 2008.
Contoh 2:
Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur
berdasarkan permintaan Bank Indonesia melalui surat teguran tanggal 20
Februari 2008, apabila koreksi Laporan Debitur disampaikan melampaui
tanggal 12 Maret 2008.
Contoh 3: …
- 9 -
Contoh 3:
Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur
berdasarkan permintaan Bank Indonesia melalui surat teguran tanggal
1 Februari 2008, apabila koreksi Laporan Debitur disampaikan melampaui
tanggal 12 Maret 2008.
Pasal 16
Yang termasuk hari libur adalah Hari Libur Nasional dan hari libur
setempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I.
Yang dimaksud dengan “hari kerja sebelumnya” adalah hari kerja yang
jatuh sebelum hari Sabtu, Minggu, atau hari libur.
Contoh:
Koreksi Laporan Debitur yang wajib disampaikan paling lambat tanggal
12 April 2008 jatuh pada hari Sabtu, maka batas akhir penyampaian koreksi
Laporan Debitur adalah pada hari Jumat tanggal 11 April 2008.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Penyampaian Laporan Debitur dan/atau
koreksi Laporan Debitur secara on-line” adalah penyampaian Laporan
Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur oleh Pelapor dengan cara
mengirim atau mentransfer rekaman data Laporan Debitur dan/atau
koreksi Laporan Debitur secara langsung melalui jaringan
telekomunikasi ekstranet Bank Indonesia atau melalui jaringan
telekomunikasi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2) …
- 10 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang
menyebabkan Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan Debitur
dan/atau koreksi Laporan Debitur secara on-line, antara lain gangguan
pada jaringan telekomunikasi dan pemadaman listrik.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “penyampaian Laporan Debitur dan/atau
koreksi Laporan Debitur secara off-line” adalah penyampaian Laporan
Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur oleh Pelapor yang
dilakukan dengan menyampaikan rekaman data Laporan Debitur
dan/atau koreksi Laporan Debitur kepada Bank Indonesia antara lain
dalam bentuk disket atau compact disc.
Ayat (4)
Dokumen pendukung dari instansi yang terkait dengan kondisi
gangguan teknis antara lain surat dari penyedia jaringan
telekomunikasi dalam hal Pelapor mengalami gangguan
telekomunikasi atau surat dari penyedia jaringan listrik dalam hal
Pelapor mengalami pemadaman listrik.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)” antara
lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, konflik bersenjata, sabotase,
serta bencana alam seperti banjir dan gempa bumi yang mengganggu
kegiatan operasional Pelapor.
Pasal 18 …
- 11 -
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Informasi Debitur meliputi antara lain identitas Debitur, pemilik dan
pengurus, fasilitas Penyediaan Dana yang diterima Debitur, agunan,
penjamin, dan kolektibilitas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberian informasi Debitur kepada Debitur yang bersangkutan
merupakan salah satu bentuk pelaksanaan transparansi Pelapor kepada
Debitur untuk mengetahui informasi mengenai Penyediaan Dana yang
diperoleh.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23 …
- 12 -
Pasal 23
Ayat (1)
Pemberian penjelasan tertulis kepada Debitur dapat dilakukan dengan
menggunakan media elektronik dan/atau non-elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan identitas diri adalah :
a. KTP/SIM/Paspor/KITAS/KIMS, untuk Debitur Perorangan; atau
b. Akta Pendirian Perusahaan atau Anggaran Dasar Perusahaan
yang terakhir, untuk Debitur Badan Usaha.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27 …
- 13 -
Pasal 27
Ayat (1)
Pengawasan dilakukan melalui:
a. pengecekan secara langsung terhadap Pelapor; dan/atau
b. pengecekan secara tidak langsung melalui penelitian, analisis, dan
evaluasi atas laporan-laporan yang disampaikan oleh Pelapor
kepada Bank Indonesia dan/atau data/informasi lain yang
diperoleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
Apabila 1 (satu) kantor cabang Bank Umum menyampaikan
Laporan Debitur bulan Februari 2008 pada hari Senin tanggal
17 Maret 2008, kantor cabang Bank Umum dinyatakan terlambat
menyampaikan Laporan Debitur selama 3 (tiga) hari kerja
yaitu hari Kamis, Jumat, dan Senin sehingga kantor cabang
Bank Umum dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
3 (tiga) x Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) = Rp3.000.000,00
(tiga juta rupiah).
Huruf b …
- 14 -
Huruf b
Contoh:
Apabila kantor pusat BPR menyampaikan Laporan Debitur bulan
Februari 2008 pada hari Senin tanggal 17 Maret 2008, kantor
pusat BPR dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur
selama 3 (tiga) hari kerja yaitu hari Kamis, Jumat, dan Senin,
sehingga kantor pusat BPR dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 3 (tiga) x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) =
Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah).
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Huruf a
Contoh:
Apabila 1 (satu) kantor cabang Bank Umum menyampaikan
koreksi Laporan Debitur bulan Februari 2008 pada hari Senin tanggal
17 Maret 2008, kantor cabang Bank Umum dinyatakan terlambat
menyampaikan koreksi Laporan Debitur selama 3 (tiga) hari kerja
yaitu hari Kamis, Jumat, dan Senin sehingga kantor cabang Bank
Umum dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 3 (tiga) x
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp300.000,00 (tiga ratus ribu
rupiah).
Huruf b …
- 15 -
Huruf b
Contoh:
Apabila kantor pusat BPR menyampaikan koreksi Laporan Debitur
bulan Februari 2008 pada hari Senin tanggal 17 Maret 2008, kantor
pusat BPR dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan
Debitur selama 3 (tiga) hari kerja yaitu hari Kamis, Jumat, dan Senin
sehingga kantor pusat BPR dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar 3 (tiga) x Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) =
Rp75.000,00 (tujuh puluh lima ribu rupiah).
Pasal 31
Ayat (1)
Temuan Bank Indonesia antara lain dapat berasal dari hasil
pengawasan Bank Indonesia, informasi dari Debitur, dan/atau
informasi dari Pelapor lain.
Huruf a
Contoh:
Bank Indonesia menegur 1 (satu) kantor cabang Bank Umum
untuk melakukan koreksi terhadap 10 (sepuluh) Debitur.
Atas teguran tersebut, kantor cabang Bank Umum dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar 10 x Rp250.000,00 (dua
ratus lima puluh ribu rupiah) = Rp2.500.000,00 (dua juta lima
ratus ribu rupiah).
Huruf b
Contoh:
Bank Indonesia menegur kantor pusat BPR untuk melakukan
koreksi terhadap 10 (sepuluh) Debitur.
Atas …
- 16 -
Atas teguran tersebut, kantor pusat BPR dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar 10 x Rp25.000,00 (dua puluh lima
ribu rupiah) = Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Ayat (2)
Contoh :
Bank Indonesia per tanggal 1 Februari 2008 menegur 1 (satu) kantor
cabang Bank Umum untuk melakukan koreksi terhadap 10 (sepuluh)
Debitur sehingga koreksi tersebut wajib disampaikan paling lambat
tanggal 12 Maret 2008.
Apabila kantor cabang Bank Umum melakukan koreksi pada tanggal
14 Maret 2008, maka kantor cabang Bank Umum tersebut dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar 10 x Rp250.000,00 (dua ratus
lima puluh ribu rupiah) = Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu
rupiah), sanksi administratif berupa teguran tertulis, dan sanksi
penundaan pemberian informasi Debitur.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Contoh :
Satu kantor cabang Bank Umum mengalami gangguan
teknis sampai dengan hari Rabu tanggal 12 Maret 2008 dan upaya
penyampaian …
- 17 -
penyampaian Laporan Debitur secara on-line melalui kantor pusat
atau kantor cabang lainnya tidak dapat dilakukan. Laporan
Debitur disampaikan secara off-line pada hari Selasa tanggal
18 Maret 2008 sehingga terlambat dari batas waktu yang
ditetapkan yaitu pada hari Senin tanggal 17 Maret 2008 (3 hari
kerja setelah tanggal 12 Maret 2008). Terhadap hal tersebut,
kantor cabang Bank Umum dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 1 (satu) x Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) =
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Huruf b
Contoh :
Satu kantor cabang BPR mengalami gangguan teknis sampai
dengan hari Rabu tanggal 12 Maret 2008 dan upaya penyampaian
Laporan Debitur secara on-line melalui kantor pusat atau kantor
cabang lainnya tidak dapat dilakukan. Laporan Debitur
disampaikan secara off-line pada hari Selasa tanggal 18 Maret
2008 sehingga terlambat dari batas waktu yang ditetapkan yaitu
pada hari Senin tanggal 17 Maret 2008 (3 hari kerja setelah
tanggal 12 Maret 2008). Terhadap hal tersebut, kantor cabang
BPR dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1 (satu) x
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah).
Ayat (4)
Huruf a
Contoh :
Satu kantor cabang Bank Umum mengalami gangguan
teknis sampai dengan hari Rabu tanggal 12 Maret 2008 dan upaya
penyampaian …
- 18 -
penyampaian koreksi Laporan Debitur secara on-line melalui
kantor pusat atau kantor cabang lainnya tidak dapat dilakukan.
Koreksi Laporan Debitur disampaikan secara off-line pada
hari Selasa tanggal 18 Maret 2008 sehingga terlambat dari
batas waktu yang ditetapkan yaitu pada hari Senin tanggal
17 Maret 2008 (3 hari kerja setelah tanggal 12 Maret 2008).
Terhadap hal tersebut, kantor cabang Bank Umum dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar 1 (satu) x Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) = Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Huruf b
Contoh :
Satu kantor cabang BPR mengalami gangguan teknis sampai
dengan hari Rabu tanggal 12 Maret 2008 dan upaya penyampaian
koreksi Laporan Debitur secara on-line melalui kantor pusat atau
kantor cabang lainnya tidak dapat dilakukan. Koreksi Laporan
Debitur disampaikan secara off-line pada hari Selasa tanggal
18 Maret 2008 sehingga terlambat dari batas waktu yang
ditetapkan yaitu pada hari Senin tanggal 17 Maret 2008 (3 hari
kerja setelah tanggal 12 Maret 2008). Terhadap hal tersebut,
kantor cabang BPR dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar 1 (satu) x Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) =
Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah).
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34 …
- 19 -
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Yang dimaksud dengan “Pelapor baru” adalah Pelapor yang baru memulai
kegiatan operasional atau baru menjadi Pelapor setelah dikeluarkannya
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Yang dimaksud dengan “Pembiayaan” adalah penyediaan dana atau
tagihan/piutang yang dapat dipersamakan dengan itu yang berupa:
a.
b.
transaksi investasi dalam akad Mudharabah dan/atau Musyarakah;
transaksi sewa dengan akad Ijarah atau sewa dengan opsi perpindahan
hak milik dalam akad Ijarah Muntahiyah bit Tamlik;
c.
d.
e.
transaksi jual beli dalam akad Murabahah, Salam, dan Istishsna’;
transaksi pinjam meminjam dalam akad Qardh; dan
transaksi multi jasa dengan menggunakan akad Ijarah atau Kafalah,
berdasarkan …
- 20 -
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Pelapor dengan nasabah
pembiayaan yang mewajibkan nasabah pembiayaan untuk melunasi
hutang/kewajibannya dan/atau menyelesaikan investasi mudharabah
dan/atau musyarakah dan hasil pengelolaannya sesuai dengan akad.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4784
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 9/14/PBI/2007 </reg_id>
<reg_title> SISTEM INFORMASI DEBITUR </reg_title>
<set_date> 30 November 2007 </set_date>
<effective_date> 30 November 2007 </effective_date>
<replaced_reg> '7/8/PBI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/14/PBI/2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/4/PBI/2006 TENTANG PELAKSANAAN
GOOD CORPORATE GOVERNANCE
BAGI BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa peningkatan kualitas pelaksanaan Good Corporate
Governance merupakan salah satu upaya untuk memperkuat
industri perbankan nasional sesuai dengan Arsitektur
Perbankan Indonesia;
b. bahwa dewan Komisaris dan Direksi memegang peranan
yang sangat penting dalam menciptakan Good Corporate
Governance;
c. bahwa check and balance dari pihak-pihak independen
dengan pihak
yang
terkait dengan pemegang
pengendali akan meningkatkan
Corporate Governance Bank;
terdapat
dinamika yang
saham
pelaksanaan Good
d. bahwa dalam pelaksanaan Good Corporate Governance
Bank
perlu direspon secara
proporsional dalam rangka mengoptimalkan penerapan
Good Corporate Governance Bank;
e. bahwa …
- 2 -
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d diperlukan
perubahan terhadap ketentuan mengenai Pelaksanaan Good
Corporate Governance Bagi Bank Umum;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
8/4/PBI/2006 TENTANG PELAKSANAAN GOOD
CORPORATE GOVERNANCE BAGI BANK UMUM.
Pasal I …
- 3 -
Pasal
I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/4/PBI/2006
tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4600) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 4 dan angka 5 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk
kantor cabang bank asing.
2. Komisaris :
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah Pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi
Bank
berbentuk
hukum Koperasi adalah Pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
3. Direksi: …
- 4 -
3. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank
berbentuk hukum Koperasi adalah Pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang bank asing adalah pimpinan kantor cabang
bank asing.
4. Komisaris Independen adalah anggota dewan Komisaris yang tidak
memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham
dan/atau hubungan keluarga dengan anggota dewan Komisaris lainnya,
Direksi dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan dengan
Bank, yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak
independen.
5. Pihak Independen adalah pihak diluar Bank yang tidak memiliki
hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau
hubungan keluarga dengan dewan Komisaris, Direksi dan/atau
pemegang saham pengendali atau hubungan dengan Bank, yang dapat
mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen.
6. Good Corporate Governance adalah suatu tata kelola Bank yang
menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas
(accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi
(independency), dan kewajaran (fairness).
7. Stakeholders …
- 5 -
7.
Stakeholders adalah seluruh pihak yang memiliki kepentingan secara
langsung atau tidak langsung terhadap kegiatan usaha Bank.
8. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung
kepada Direksi atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan
operasional perusahaan atau Bank, antara lain pemimpin kantor cabang
dan kepala Satuan Kerja Audit Intern.
2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 5
(1) Dewan Komisaris terdiri dari Komisaris dan Komisaris Independen.
(2) Paling kurang 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah anggota dewan
Komisaris adalah Komisaris Independen.
(3) Mantan anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif Bank atau pihak-pihak
yang mempunyai hubungan dengan Bank, yang dapat mempengaruhi
kemampuannya untuk bertindak independen tidak dapat menjadi
Komisaris Independen pada Bank
yang bersangkutan, sebelum
menjalani masa tunggu (cooling off) selama 1 (satu) tahun.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi
mantan Direksi atau Pejabat Eksekutif yang melakukan fungsi
pengawasan.
3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 6
(1) Setiap usulan pengangkatan dan/atau
Komisaris kepada Rapat
Umum
penggantian anggota dewan
Saham
Pemegang
memperhatikan rekomendasi Komite Remunerasi dan Nominasi.
(2) Dalam …
harus
- 6 -
(2)
Dalam hal anggota Komite Remunerasi dan Nominasi memiliki
benturan kepentingan (conflict of interest) dengan usulan
direkomendasikan, maka dalam usulan tersebut wajib diungkapkan.
yang
(3) Anggota dewan Komisaris harus memenuhi persyaratan telah lulus
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and Proper Test).
4. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 7
(1) Anggota dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai :
a. anggota dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada 1
(satu) lembaga/perusahaan bukan lembaga keuangan, atau
b. anggota dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif yang
melaksanakan fungsi pengawasan pada 1 (satu) perusahaan anak
bukan Bank yang dikendalikan oleh Bank.
(2) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
apabila :
a. anggota dewan Komisaris non Independen menjalankan tugas
fungsional dari pemegang saham Bank yang berbentuk badan
hukum pada kelompok usahanya; dan/atau
b. anggota dewan Komisaris menduduki jabatan pada organisasi
atau lembaga nirlaba,
sepanjang yang bersangkutan tidak mengabaikan pelaksanaan tugas
dan tanggung jawab sebagai anggota dewan Komisaris Bank.
(3) Mayoritas …
- 7 -
(3)
Mayoritas anggota dewan Komisaris dilarang saling memiliki
hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua dengan sesama
anggota dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi.
5. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 9
(1) Dewan Komisaris wajib memastikan terselenggaranya pelaksanaan
Good Corporate Governance dalam setiap kegiatan usaha Bank pada
seluruh tingkatan atau jenjang organisasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2.
(2) Dewan Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, serta memberikan
nasihat kepada Direksi.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Komisaris wajib mengarahkan, memantau, dan mengevaluasi
pelaksanaan kebijakan strategis Bank.
(4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dewan Komisaris dilarang terlibat dalam pengambilan keputusan
kegiatan operasional Bank, kecuali :
a. penyediaan dana kepada pihak terkait sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian
Kredit Bank Umum; dan
b. hal-hal lain yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar Bank atau
peraturan perundangan yang berlaku.
(5) Pengambilan …
- 8 -
(5) Pengambilan keputusan oleh dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), merupakan bagian dari tugas pengawasan oleh
Komisaris sehingga tidak meniadakan tanggung jawab Direksi atas
pelaksanaan kepengurusan Bank.
6. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 15
(1) Rapat dewan Komisaris wajib diselenggarakan secara berkala paling
kurang 4 (empat) kali dalam setahun.
(2) Rapat dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dihadiri oleh seluruh anggota dewan Komisaris secara fisik paling
kurang 2 (dua) kali dalam setahun.
(3) Dalam hal anggota dewan Komisaris tidak dapat menghadiri rapat
secara fisik, maka dapat menghadiri rapat melalui teknologi
telekonferensi.
7. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 17
Anggota dewan Komisaris wajib mengungkapkan :
a. kepemilikan saham yang mencapai 5% (lima perseratus) atau lebih,
baik pada Bank yang bersangkutan maupun pada bank dan perusahaan
lain, yang berkedudukan di dalam dan di luar negeri;
b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan anggota dewan
Komisaris lain, anggota Direksi dan/atau pemegang saham pengendali
Bank,
dalam …
- 9 -
dalam laporan pelaksanaan Good Corporate Governance sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
8. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 22
(1) Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan sebagai anggota dewan
Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada bank, perusahaan
dan/atau lembaga lain.
(2) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
apabila Direksi yang bertanggung jawab terhadap pengawasan atas
penyertaan pada perusahaan anak Bank, menjalankan tugas fungsional
menjadi anggota dewan Komisaris pada perusahaan anak bukan Bank
yang dikendalikan oleh Bank, sepanjang perangkapan jabatan tersebut
tidak mengakibatkan yang bersangkutan mengabaikan pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab sebagai anggota Direksi Bank.
(3) Anggota Direksi baik
secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
dilarang memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima perseratus)
dari modal disetor pada suatu perusahaan lain.
9. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 36
Anggota Direksi wajib mengungkapkan:
a. kepemilikan saham yang mencapai 5% (lima perseratus) atau lebih,
baik pada Bank yang bersangkutan maupun pada bank dan perusahaan
lain, yang berkedudukan di dalam dan di luar negeri;
b. hubungan …
- 10 -
b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan anggota dewan
Komisaris, anggota Direksi lainnya dan/atau pemegang
pengendali Bank,
dalam laporan pelaksanaan Good Corporate Governance sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
10. Diantara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 39A
sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 39A
(1) Mantan anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif Bank atau pihak-pihak
yang mempunyai hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi
kemampuannya untuk bertindak independen, tidak dapat menjadi
Pihak Independen sebagai anggota komite sebagaimana dimaksud
pada Pasal 38 ayat (1) huruf b dan huruf c; serta Pasal 39 ayat (1)
huruf b dan huruf c pada Bank yang bersangkutan sebelum menjalani
masa tunggu (cooling off) selama 6 (enam) bulan.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
mantan Direksi atau Pejabat Eksekutif yang melakukan fungsi
pengawasan.
11. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 40
(1) Anggota Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c paling kurang terdiri dari :
saham
a. seorang …
- 11 -
a. seorang Komisaris Independen;
b. seorang Komisaris; dan
c. seorang Pejabat Eksekutif yang membawahi sumber daya
manusia atau seorang perwakilan pegawai.
(2) Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diketuai oleh Komisaris Independen.
(3) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite Remunerasi dan
Nominasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal anggota Komite Remunerasi dan Nominasi ditetapkan lebih
dari 3 (tiga) orang maka anggota Komisaris Independen paling kurang
berjumlah 2 (dua) orang.
12. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 46
Komite Remunerasi dan Nominasi dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawab terkait dengan kebijakan remunerasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 butir a, paling kurang wajib memperhatikan :
a. kinerja keuangan dan pemenuhan cadangan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
prestasi kerja individual;
b.
c. kewajaran dengan peer group; dan
d.
pertimbangan sasaran dan strategi jangka panjang Bank.
13. Ketentuan …
- 12 -
13. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 47
(1) Rapat Komite diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan Bank.
(2) Rapat Komite Audit dan Komite Pemantau Risiko hanya dapat
dilaksanakan apabila dihadiri oleh paling kurang 51% (lima puluh satu
perseratus) dari jumlah anggota termasuk
Independen dan Pihak Independen.
seorang
Komisaris
(3) Rapat Komite Remunerasi dan Nominasi hanya dapat dilaksanakan
apabila dihadiri oleh paling kurang 51% (lima puluh satu perseratus)
dari jumlah anggota termasuk seorang Komisaris Independen dan
Pejabat Eksekutif yang membawahi sumber daya manusia atau
perwakilan pegawai.
14. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 69
Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4, Pasal
5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12,
Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal
20, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28,
Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, Pasal
37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43,
Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 ayat (2)
dan ayat (3), Pasal 52 ayat (2), Pasal 59, Pasal 60, Pasal 65, Pasal 67
dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa:
a.
teguran tertulis;
b. penurunan …
- 13 -
b. penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan peringkat
manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan;
larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
c.
d. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
e. pemberhentian pengurus Bank
dan selanjutnya menunjuk
dan
mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang
Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap
dengan persetujuan Bank Indonesia; dan
f.
pencantuman anggota pengurus, pegawai, pemegang saham Bank
dalam daftar tidak lulus melalui mekanisme penilaian kemampuan dan
kepatutan (fit and proper test).
15. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 70
Bank yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 49, Pasal 50 ayat (1), Pasal 51,
serta Pasal 52 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Penugasan Direktur Kepatuhan
(Compliance Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit
Intern Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia tentang Transparansi
Kondisi Keuangan Bank.
16. Diantara Pasal 74 dan 75 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 74A yang
berbunyi sebagai berikut :
Pasal 74A
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
17. Ketentuan …
faktor
- 14 -
17. Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 76
(1) Bank
yang
telah go public dan atau memiliki
aset
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5,
Pasal 7, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 20, serta
akhir bulan Juni 2007.
Pasal 33
paling lambat
(2) Bank yang belum go public dan memiliki aset lebih kecil dari
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam :
a. Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 12 ayat (1) huruf a dan huruf b,
Pasal 13, Pasal 20, serta Pasal 33 paling lambat pada akhir bulan
Juni 2007; dan
b. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c
paling lambat pada akhir bulan Juni 2008.
18. Diantara Pasal 76 dan 77 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 76A yang
berbunyi sebagai berikut :
Pasal 76A
Calon Komisaris Independen yang pada saat diberlakukannya ketentuan ini
sedang dalam proses penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper
test), tidak dikenakan ketentuan Pasal 5 ayat (3).
Pasal II …
- 15 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Oktober 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 71
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/14/PBI/2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/4/PBI/2006 TENTANG PELAKSANAAN
GOOD CORPORATE GOVERNANCE
BAGI BANK UMUM
UMUM
Peningkatan kualitas
pelaksanaan Good Corporate Governance perlu
dilaksanakan karena risiko dan tantangan yang dihadapi Bank baik dari intern
maupun ekstern semakin banyak dan kompleks. Secara internal, dewan
Komisaris dan Direksi diharapkan mampu bertindak sebagai panutan (role
model) dan motor penggerak agar Bank secara keseluruhan menerapkan prinsip-
prinsip Good Corporate Governance secara optimal.
Struktur dewan Komisaris dan Direksi terdiri dari pihak-pihak independen
serta pihak-pihak yang terafiliasi dengan pemegang saham pengendali Bank.
Keberadaan dua pihak tersebut, diharapkan dapat meningkatkan check and
balance dan pada akhirnya dapat mengoptimalkan pelaksanaan Good Corporate
Governance Bank.
Selaku Komisaris Independen dan Pihak Independen, anggota komite harus
dapat terlepas dari benturan kepentingan (conflict of interest). Untuk mencegah
adanya benturan kepentingan (conflict of interest) tersebut, maka bagi mantan
pengurus …
- 2 -
pengurus serta pihak-pihak lain yang mempunyai hubungan dengan Bank dinilai
perlu menjalani masa tunggu (cooling off) sebelum menjabat sebagai Komisaris
Independen atau Pihak Independen anggota komite.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan Good Corporate Governance Bank,
pemegang saham Bank dapat menunjuk wakil untuk duduk sebagai anggota
dewan Komisaris atau Direksi guna menjalankan tugas pengawasan terhadap
Bank dan kelompok usaha Bank yang tidak melakukan kegiatan usaha Bank.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 5
Ayat (1)
Keberadaan Komisaris Independen dimaksudkan untuk
mendorong terciptanya iklim dan lingkungan kerja yang
lebih obyektif dan menempatkan kewajaran (fairness) dan
kesetaraan
kepentingan pemegang saham minoritas dan Stakeholders
lainnya.
Ayat (2)
Sebagai contoh, apabila jumlah Komisaris 3 orang, maka
jumlah Komisaris Independen minimal 2 orang.
Ayat (3) …
di antara berbagai kepentingan termasuk
- 3 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan masa tunggu (cooling off) adalah
tenggang waktu antara berakhirnya secara efektif jabatan
yang bersangkutan sebagai anggota Direksi atau Pejabat
Eksekutif atau hubungan lain dengan Bank, dengan
pengangkatan yang bersangkutan secara efektif sebagai
Komisaris Independen.
Ayat (4)
Yang
dimaksud dengan “yang melakukan fungsi
pengawasan”, antara lain direktur kepatuhan, direktur
manajemen risiko, dan Pejabat Eksekutif yang membawahi
unit kerja pengawasan, antara lain Pejabat Eksekutif yang
membidangi audit intern, kepatuhan, dan manajemen risiko.
Angka 3
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Lembaga/perusahaan bukan lembaga keuangan
atau perusahaan anak bukan Bank termasuk yang
berkedudukan di dalam maupun di luar negeri.
Huruf b
Yang dimaksud dengan perusahaan anak bukan Bank
yang dikendalikan oleh Bank adalah perusahaan anak
dari …
- 4 -
dari Bank yang tidak melakukan kegiatan usaha Bank
dan laporan keuangannya wajib dikonsolidasikan
dengan laporan keuangan Bank.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pemegang saham Bank yang
berbentuk badan hukum adalah pemegang
saham
pengendali yang berbentuk badan hukum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang
penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper
test), termasuk pemerintah atau lembaga lain yang
menjadi pemegang saham pengendali Bank.
Termasuk
dalam pengertian menjalankan tugas
fungsional yaitu apabila fungsi yang bersangkutan pada
Bank
dan/atau kelompok
usaha
badan hukum
pemegang saham Bank termasuk perusahaan anak
Bank adalah untuk menjalankan fungsinya sebagai
wakil dari pemegang saham Bank, seperti anggota
dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat
Eksekutif.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan
derajat kedua adalah
horizontal, termasuk mertua, menantu, dan ipar, sehingga
yang dimaksud dengan keluarga meliputi :
1. Orang …
hubungan baik vertikal maupun
- 5 -
1. Orang tua kandung/tiri/angkat;
2. Saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau
istrinya;
3. Anak kandung/tiri/angkat;
4. Kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
5. Cucu kandung/tiri/angkat;
6. Saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta
suami atau istrinya;
7. Suami/istri;
8. Mertua;
9. Besan;
10. Suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat;
11. Kakek atau nenek dari suami atau istri;
12. Suami/istri dari cucu kandung/tiri/angkat;
13. Saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri
beserta suami atau istrinya.
Yang dimaksud dengan mayoritas anggota dewan Komisaris
adalah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh
jumlah anggota dewan Komisaris.
Angka 5
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
- 6 -
Ayat (4)
Yang
dimaksud dengan kegiatan operasional adalah
kegiatan kredit, treasury, penghimpunan dana, dan kegiatan
operasional lainnya.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penetapan dalam Anggaran Dasar mengenai hal-hal
lain yang pengambilan keputusannya memerlukan
keterlibatan dewan Komisaris, diarahkan kepada hal-
hal yang strategis dan mempengaruhi kelangsungan
usaha Bank.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 15
Ayat (1)
Bentuk rapat disesuaikan dengan kebutuhan Bank, antara
lain dengan cara penggunaan
teknologi telekonferensi.
Ayat (2)
Diupayakan agar seluruh anggota dewan Komisaris dapat
hadir secara fisik
pada rapat dalam rangka
evaluasi/penetapan kebijakan strategis dan evaluasi realisasi
rencana bisnis Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 7 …
- 7 -
Angka 7
Pasal 17
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bank pada ayat ini adalah bank
umum dan bank perkreditan rakyat, baik di dalam maupun
di luar negeri.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan perusahaan anak bukan Bank yang
dikendalikan oleh Bank adalah perusahaan anak Bank yang
tidak melakukan kegiatan usaha Bank
dan laporan
keuangannya wajib dikonsolidasikan dengan laporan
keuangan Bank.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan perusahaan lain, antara lain meliputi
perusahaan-perusahaan lain diluar Bank yang bersangkutan,
seperti lembaga keuangan bank dan non-bank, lembaga
pembiayaan, atau perusahaan.
Angka 9
Pasal 36
Cukup jelas.
Angka 10 …
- 8 -
Angka 10
Pasal 39A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan masa tunggu (cooling off) adalah
tenggang waktu antara berakhirnya secara efektif jabatan
yang bersangkutan sebagai anggota Direksi atau Pejabat
Eksekutif atau hubungan lain dengan Bank, dengan
pengangkatan yang bersangkutan secara efektif sebagai
Pihak Independen anggota komite.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan “yang melakukan fungsi
pengawasan”, antara lain direktur kepatuhan, direktur
manajemen risiko, dan Pejabat Eksekutif yang membawahi
unit kerja pengawasan, antara lain Pejabat Eksekutif yang
membidangi audit intern, kepatuhan, dan manajemen risiko.
Angka 11
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 46
Huruf a
Yang dimaksud dengan cadangan adalah cadangan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Perseroan Terbatas.
tentang
Huruf b …
- 9 -
Huruf b
Remunerasi yang dikaitkan dengan prestasi kerja individual
dimaksudkan agar tercapai kesetaraan, antara hasil kerja
individual dengan imbalan yang diterima oleh individu yang
bersangkutan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan peer group adalah kesetaraan
jabatan pada intern Bank dan pada beberapa bank sejenis,
antara lain dari sisi aset dan karakteristik.
Huruf d
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 47
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 69
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 70
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 74A
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 76
Cukup jelas.
Angka 18 …
- 10 -
Angka 18
Pasal 76A
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4640
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/14/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/4/PBI/2006 TENTANG PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 5 Oktober 2006 </set_date>
<effective_date> 5 Oktober 2006 </effective_date>
<changed_reg> '8/4/PBI/2006' </changed_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 14 Pasal 69', 'Pasal I Angka 15 Pasal 70' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/12/PBI/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan kebijakan moneter, Bank
Indonesia menerbitkan transaksi domestic non-deliverable
forward sebagai salah satu instrumen operasi moneter;
b. bahwa dengan diterbitkannya transaksi domestic non-
deliverable forward sebagai instrumen operasi moneter,
diperlukan pengaturan mengenai mekanisme pelaksanaan
transaksi domestic non-deliverable forward tersebut;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi
Moneter;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
-2-
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/5/PBI/2018
TENTANG OPERASI MONETER.
Pasal I
Beberapa ketentuan dan penjelasan Pasal dalam Peraturan
Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi
Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6198) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 12 huruf f tetap, penjelasan Pasal 12
huruf f diubah sehingga rumusannya sebagaimana
tercantum dalam penjelasan Pasal.
2. Pasal 69 dihapus.
3. Ketentuan Pasal 73 ayat (2) dan ayat (3) diubah dan
ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (4) sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 73
(1) Peserta OMK yang melakukan transaksi OPT di pasar
valuta asing selain penempatan berjangka (term
deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing dan
-3-
SBBI Valas yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4), wajib
membayar nilai transaksi yang bersangkutan pada
hari kerja berikutnya setelah tanggal penyelesaian
transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63
ayat (6) huruf b.
(2) Selain kewajiban membayar nilai transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peserta OMK
yang melakukan transaksi OPT Konvensional di pasar
valuta asing dalam bentuk spot, forward, dan/atau
swap, juga dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:
1. rata-rata suku bunga efektif Fed Fund yang
berlaku pada tanggal penyelesaian
transaksi ditambah margin sebesar 200
(dua ratus) basis point dikalikan nilai
transaksi dan dikalikan 1/360 (satu per tiga
ratus enam puluh), untuk penyelesaian
kewajiban pembayaran dalam valuta asing
dolar Amerika Serikat;
2. rata-rata suku bunga yang dikeluarkan oleh
bank sentral atau otoritas moneter di
negara valuta yang bersangkutan (official
rate) yang berlaku pada tanggal
penyelesaian transaksi ditambah margin
sebesar 200 (dua ratus) basis point
dikalikan nilai transaksi dan dikalikan
1/360 (satu per tiga ratus enam puluh),
untuk penyelesaian kewajiban pembayaran
dalam valuta asing nondolar Amerika
Serikat; atau
3. rata-rata suku bunga kebijakan Bank
Indonesia yang berlaku ditambah margin
sebesar 350 (tiga ratus lima puluh) basis
point dikalikan nilai transaksi dan dikalikan
1/360 (satu per tiga ratus enam puluh),
-4-
untuk penyelesaian kewajiban pembayaran
dalam rupiah.
(3) Selain kewajiban membayar nilai transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peserta Operasi
Moneter
yang melakukan transaksi OPT
Konvensional di pasar valuta asing dalam bentuk
domestic non-deliverable forward, juga dikenakan
sanksi sebagai berikut:
a. kewajiban membayar dalam rupiah yang
dihitung atas dasar rata-rata suku bunga
kebijakan Bank Indonesia yang berlaku
ditambah margin sebesar 350 (tiga ratus lima
puluh) basis point dikalikan kewajiban setelmen
dan dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam
puluh), paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) per transaksi; dan
b. penghentian sementara untuk mengikuti
kegiatan Operasi Moneter sampai dengan akhir
hari saat peserta Operasi Moneter memenuhi
kewajibannya.
(4) Penyelesaian kewajiban pembayaran nilai transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Bank Indonesia mendebit rekening giro valuta
asing peserta OMK di Bank Indonesia untuk
penyelesaian kewajiban pembayaran dalam
valuta asing dolar Amerika Serikat dan valuta
asing nondolar Amerika Serikat;
penyelesaian
b. perhitungan
kewajiban
pembayaran dalam valuta asing nondolar
Amerika Serikat sebagaimana dimaksud dalam
huruf a menggunakan kurs tengah Bank
Indonesia pada tanggal penyelesaian transaksi;
dan
c. Bank Indonesia mendebit rekening giro rupiah
peserta OMK di Bank Indonesia untuk
-5-
penyelesaian kewajiban pembayaran peserta
OMK dalam rupiah.
4. Di antara Pasal 75 dan Pasal 76 disisipkan 1 (satu) Pasal,
yakni Pasal 75A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 75A
(1) Dalam hal terjadi batal transaksi yang ketiga kali
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, selain dikenakan
sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, Pasal
72 dan/atau Pasal 74, peserta Operasi Moneter juga
dikenakan sanksi penghentian sementara untuk
mengikuti kegiatan Operasi Moneter selama 5 (lima)
Hari Kerja berturut-turut.
(2) Sanksi berupa penghentian sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk:
a. transaksi repo terkait penyediaan dana rupiah
(lending facility) peserta Standing Facilities
Konvensional yang berasal dari transaksi
fasilitas likuiditas intrahari; atau
b. transaksi repo terkait penyediaan dana rupiah
(financing facility) peserta Standing Facilities
Syariah yang berasal dari transaksi fasilitas
likuiditas intrahari syariah,
yang tidak lunas.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-6-
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 November 2018
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 November 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 199
./.
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/12/PBI/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/5/PBI/2018
TENTANG OPERASI MONETER
I. UMUM
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa
tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter antara lain melalui penerbitan transaksi
domestic non-deliverable forward sebagai salah satu instrumen moneter.
Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 12
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penerbitan SBI, SDBI,
dan/atau SBBI Valas” adalah penjualan SBI, SDBI,
dan/atau SBBI Valas oleh Bank Indonesia di pasar
perdana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “transaksi repurchase
agreement (repo)” adalah transaksi penjualan surat
berharga oleh peserta OPT Konvensional kepada Bank
Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh
peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan
jangka waktu yang disepakati.
Yang dimaksud dengan “transaksi reverse repo” adalah
transaksi pembelian surat berharga oleh peserta OPT
Konvensional dari Bank Indonesia dengan kewajiban
penjualan kembali oleh peserta OPT Konvensional
sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBI,
SDBI, SBN, dan surat berharga lain yang berkualitas
tinggi dan mudah dicairkan, yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “transaksi pembelian dan/atau
penjualan surat berharga secara outright” adalah
transaksi pembelian dan penjualan surat berharga
secara putus.
Surat berharga dapat berupa SBN dan surat berharga
lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term
deposit) di Bank Indonesia dalam rupiah” adalah
- 3 -
penempatan dana milik peserta OPT Konvensional
secara berjangka di Bank Indonesia dalam rupiah.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term
deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing” adalah
penempatan dana milik peserta OPT Konvensional
secara berjangka di Bank Indonesia dalam valuta asing.
Huruf f
Jual beli valuta asing terhadap rupiah dilakukan antara
lain dalam bentuk transaksi spot, transaksi forward,
transaksi swap, dan/atau transaksi domestic non-
deliverable forward.
Transaksi spot merupakan transaksi jual atau beli
antara valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan
dana dilakukan 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal
transaksi.
Termasuk dalam transaksi spot yaitu transaksi dengan
penyerahan valuta pada hari yang sama (today) atau
dengan penyerahan 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal
transaksi (tomorrow).
Transaksi forward merupakan transaksi jual atau beli
antara valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan
dana dilakukan lebih dari 2 (dua) Hari Kerja setelah
tanggal transaksi.
Transaksi swap merupakan transaksi pertukaran
valuta asing terhadap rupiah melalui pembelian atau
penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian
kembali secara berjangka (forward) yang dilakukan
secara simultan, dengan counterpart yang sama dan
pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada
tanggal transaksi dilakukan.
Transaksi swap dengan metode lelang yang dilakukan
antara BUK dan Bank Indonesia dapat dianggap sebagai
penerusan (pass on) posisi transaksi derivatif BUK
dengan pihak terkait BUK.
Transaksi domestic non-deliverable forward merupakan
transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah yang
- 4 -
standar (plain vanilla) berupa transaksi forward dengan
mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik.
Mekanisme fixing merupakan mekanisme penyelesaian
transaksi tanpa pergerakan dana pokok dengan cara
menghitung selisih antara kurs transaksi forward dan
kurs acuan pada tanggal tertentu yang telah ditetapkan
di dalam kontrak (fixing date).
Huruf g
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 69
Dihapus.
Angka 3
Pasal 73
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 75A
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6259
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 20/12/PBI/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER </reg_title>
<set_date> 2 November 2018 </set_date>
<effective_date> 6 November 2018 </effective_date>
<issued_date> 6 November 2018 </issued_date>
<changed_reg> '20/5/PBI/2018' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 3 Pasal 73', 'Pasal I Angka 4 Pasal 75A' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/
22 /PBI/2012
TENTANG
PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM DAN
BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO,
KECIL, DAN MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah memiliki
peran yang strategis dalam struktur perekonomian
nasional termasuk dalam rangka mendukung
pengendalian inflasi;
b. bahwa untuk memperkuat peran usaha mikro,
kecil, dan menengah dalam struktur perekonomian
nasional perlu pengembangan usaha mikro, kecil,
dan menengah melalui peningkatan akses kredit
atau pembiayaan dari perbankan kepada usaha
mikro, kecil, dan menengah;
c. bahwa untuk tercapainya peningkatan akses kredit
atau pembiayaan dari perbankan kepada usaha
mikro, kecil, dan menengah, perlu penguatan
pemberian…
-2-
pemberian bantuan teknis oleh Bank Indonesia
dalam rangka meningkatkan kapasitas dan
kemampuan perbankan dan pelaku usaha;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c
perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia
tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh
Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka
Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang…
-3-
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
4.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4866);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMBERIAN
KREDIT ATAU PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM DAN
BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN
USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH.
BAB I…
-4-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank Umum adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
termasuk kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri
dan Bank Campuran.
2. Bank Campuran adalah Bank yang didirikan dan dimiliki oleh bank
yang berkedudukan di luar negeri dan Bank di Indonesia yang telah
memperoleh izin usaha sebelum mulai berlakunya Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan dan pada saat mulai berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini komposisi pemegang saham masih
tetap bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank di
Indonesia.
3. Kredit adalah Kredit sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
4. Pembiayaan…
-5-
4. Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
5. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan
dan/atau badan usaha perorangan, yang memenuhi kriteria Usaha
Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yaitu:
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
6. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang
bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik
langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha
besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah, yaitu:
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha; atau
b. memiliki…
-6-
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
7. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri
sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha
yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun
tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah
kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah, yaitu:
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00
(dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
8. Kredit atau Pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang
selanjutnya disebut dengan Kredit atau Pembiayaan UMKM adalah
Kredit atau Pembiayaan yang diberikan kepada pelaku usaha yang
memenuhi kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
9. Bantuan Teknis adalah bantuan yang diberikan oleh Bank Indonesia
dalam rangka pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
BAB II…
-7-
BAB II
KEWAJIBAN BANK DAN CAKUPAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN
UMKM
Pasal 2
(1) Bank Umum wajib memberikan Kredit atau Pembiayaan UMKM.
(2) Jumlah Kredit atau Pembiayaan UMKM sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) yang
dihitung berdasarkan rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap
total Kredit atau Pembiayaan.
(3) Pencapaian rasio pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung pada setiap akhir
tahun.
(4) Pencapaian rasio pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara bertahap,
sebagai berikut:
a. Tahun 2013: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total
Kredit atau Pembiayaan sesuai kemampuan Bank Umum yang
dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank;
b. Tahun 2014: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total
Kredit atau Pembiayaan sesuai kemampuan Bank Umum yang
dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank;
c. Tahun 2015: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total
Kredit atau Pembiayaan paling rendah 5% (lima persen);
d. Tahun 2016: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total
Kredit atau Pembiayaan paling rendah 10% (sepuluh persen);
e. Tahun…
-8-
e. Tahun 2017: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total
Kredit atau Pembiayaan paling rendah 15% (lima belas persen);
dan
f. Tahun 2018 dan seterusnya: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM
terhadap total Kredit atau Pembiayaan paling rendah 20% (dua
puluh persen).
(5) Perhitungan besarnya persentase pemberian Kredit atau Pembiayaan
UMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara
gabungan untuk seluruh kantor Bank Umum.
Pasal 3
Pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM oleh Bank Umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dilakukan secara:
a. langsung kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dan/atau
b. tidak langsung melalui kerjasama pola executing, pola channeling,
dan/atau pembiayaan bersama (sindikasi).
Pasal 4
Pemenuhan kewajiban pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 bagi kantor cabang
bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank Campuran berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. Kredit atau Pembiayaan untuk produk ekspor non migas dapat
diperhitungkan sebagai Kredit atau Pembiayaan UMKM;
b. pemberian…
-9-
b. pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM dapat dilakukan secara
langsung dan/atau tidak langsung melalui kerjasama pola executing.
BAB III
TRANSPARANSI DAN RELAKSASI DALAM RANGKA PEMBERIAN
KREDIT ATAU PEMBIAYAAN UMKM
Pasal 5
Dalam memberikan Kredit atau Pembiayaan UMKM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Bank Umum wajib berpedoman pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai:
a. rencana bisnis bank;
b. laporan bulanan bank umum;
c. laporan keuangan publikasi triwulanan dan bulanan bank umum
serta laporan tertentu;
d. sistem informasi debitur;
e. transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi
nasabah.
Pasal 6
Bank Umum yang memberikan Kredit atau Pembiayaan UMKM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, memperoleh relaksasi
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai:
a. pedoman perhitungan aset tertimbang menurut risiko untuk risiko
Kredit atau Pembiayaan dengan menggunakan pendekatan standar,
yaitu…
-10-
yaitu berupa perhitungan bobot risiko tagihan kepada Usaha Mikro
dan Usaha Kecil;
b. penilaian kualitas aset Bank Umum, yaitu berupa penetapan kualitas
Kredit atau Pembiayaan Bank Umum kepada Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah;
c. batas maksimum pemberian Kredit atau Pembiayaan Bank Umum,
yaitu berupa pengecualian batas maksimum pemberian Kredit atau
Pembiayaan untuk pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM; dan
d. perlakuan khusus terhadap Kredit atau Pembiayaan bank bagi
daerah-daerah tertentu di Indonesia yang terkena bencana alam,
yaitu berupa penetapan kualitas penyediaan dana dan kredit serta
penyediaan dana dan pemberian kredit baru kepada debitur yang
terkena dampak bencana alam.
BAB IV
BANTUAN TEKNIS
Pasal 7
Bank Indonesia dapat memberikan Bantuan Teknis dalam rangka
mendukung pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Pasal 8
Bantuan Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat berupa:
a. penelitian;
b. pelatihan;
c. penyediaan informasi; dan/atau
d. fasilitasi.
Pasal 9…
-11-
Pasal 9
(1) Pihak-pihak yang dapat menerima Bantuan Teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 adalah:
a. Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, dan/atau Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah;
b. Lembaga Pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
c. Lembaga Penyedia Jasa (LPJ);
d. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
(2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerima
Bantuan Teknis dari Bank Indonesia sepanjang memenuhi kriteria
yang ditetapkan.
(3) Dalam rangka pelaksanaan pemberian Bantuan Teknis kepada
pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
dapat menunjuk pihak lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengajuan
permohonan Bantuan Teknis oleh penerima Bantuan Teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Bab V…
-12-
BAB V
KERJA SAMA
Pasal 10
(1) Dalam rangka mendukung pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah, Bank Indonesia dapat bekerjasama dengan pihak lain.
(2) Dalam melakukan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia dapat memberikan Bantuan Teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8.
(3) Kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam bentuk Nota Kesepahaman, Surat Keputusan,
dan/atau dokumen lainnya.
BAB VI
PUBLIKASI, PENGHARGAAN, DAN PEMBINAAN
Pasal 11
(1) Bank Indonesia mempublikasikan peringkat pencapaian rasio Kredit
atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau Pembiayaan oleh
Bank Umum dalam website Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia memberikan penghargaan kepada Bank Umum yang
memenuhi kriteria tertentu dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan
UMKM.
(3) Ketentuan…
-13-
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, tata cara penilaian, dan
pihak penilai dalam rangka pemberian penghargaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Dalam hal pencapaian realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan
UMKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf c, huruf
d, huruf e, dan huruf f tidak terpenuhi pada akhir tahun, Bank
Umum wajib menyelenggarakan pelatihan kepada pelaku Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah yang tidak sedang dan/atau belum
pernah mendapat Kredit atau Pembiayaan UMKM.
(2) Besar dana pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan persentase tertentu dari selisih antara rasio Kredit atau
Pembiayaan UMKM yang wajib dipenuhi dengan realisasi pencapaian
pada setiap akhir tahun, dengan jumlah paling besar
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
(3) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dan
dilaporkan paling lambat pada tanggal 30 September tahun
berikutnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persentase tertentu dari selisih
antara rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VII…
-14-
BAB VII
SANKSI
Pasal 13
(1) Bank Umum yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (4), dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(2) Bank Umum yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf b, dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa:
a. teguran tertulis; dan/atau
b. penurunan tingkat kesehatan bank berupa penurunan peringkat
faktor manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan.
(3) Bank Umum yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 12 ayat (2), dan/atau Pasal 12 ayat (3),
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 berupa penurunan tingkat kesehatan bank yaitu penurunan
peringkat faktor manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan (3) diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Bab VIII…
-15-
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) mulai berlaku
bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah pada tahun 2014.
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 16
(1) Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, maka Peraturan
Bank Indonesia Nomor 7/39/PBI/2005 tentang Pemberian Bantuan
Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4543),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/39/PBI/2005 tentang Pemberian Bantuan Teknis Dalam Rangka
Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 99, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4543), dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Peraturan…
-16-
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Desember 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Desember 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 274
DKBU
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/
22
/PBI/2012
TENTANG
PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM DAN
BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO,
KECIL, DAN MENENGAH
I.
UMUM
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah selama ini telah menunjukkan
peran strategis terutama dalam memperluas lapangan kerja,
meningkatkan pendapatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi di
Indonesia termasuk dalam mempertahankan dan memulihkan
perekonomian pada kondisi krisis. Lebih lanjut, Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah dengan kapasitas dan kemampuannya dalam memproduksi
barang dan/atau jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat telah mampu
memenuhi sebagian permintaan tersebut sehingga pada gilirannya akan
mendukung stabilisasi harga khususnya dari sisi penawaran.
Meskipun Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah telah menunjukkan
peranannya dalam perekonomian nasional, namun masih menghadapi
berbagai hambatan baik yang bersifat internal maupun eksternal seperti
aspek permodalan, sumber daya manusia, dan pemasaran. Dalam
rangka memenuhi aspek permodalan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah…
-2-
Menengah, peran serta dari perbankan nasional masih perlu terus
didorong untuk meningkatkan penyediaan Kredit atau Pembiayaan
UMKM sehingga dapat memberikan nilai tambah dalam menghasilkan
barang dan/atau jasa.
Guna mendukung tercapainya maksud di atas dilakukan
penguatan baik dari sisi penawaran maupun dari sisi permintaan.
Penguatan dari sisi penawaran dilakukan antara lain berupa penerbitan
ketentuan yang mengatur kewajiban bagi Bank Umum untuk
menyalurkan Kredit atau Pembiayaan UMKM dengan persentase
tertentu yang pemenuhannya dilakukan secara bertahap. Disamping
penguatan dari sisi penawaran, dipandang perlu untuk melakukan
penguatan dari sisi permintaan melalui penyediaan Bantuan Teknis
agar pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah meningkat kemampuan
usahanya sehingga diharapkan dapat memenuhi persyaratan bank
(bankable).
Bantuan Teknis yang dilakukan oleh Bank Indonesia juga
dilakukan kepada perbankan agar lebih mengetahui dan memahami
kegiatan usaha dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah termasuk risiko
yang mungkin timbul sehingga pada gilirannya perbankan akan
semakin tertarik untuk memberikan Kredit atau Pembiayaan UMKM.
Kondisi di atas juga didasarkan pada fakta masih relatif kecilnya rasio
Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap portofolio Kredit atau
Pembiayaan perbankan secara nasional terutama sejak diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah.
Untuk…
-3-
Untuk mendukung tercapainya maksud di atas dan mengawasi
aspek kepatuhan Bank Umum terhadap ketentuan, Bank Umum
diwajibkan untuk menyusun dan melaporkan rencana bisnis bank,
melaporkan realisasi penyaluran Kredit atau Pembiayaan UMKM dalam
laporan bulanan bank umum serta mempublikasikan pencapaiannya
dalam laporan publikasi yang telah ditetapkan. Lebih lanjut kepada
Bank Umum yang berhasil memberikan Kredit atau Pembiayaan UMKM
juga disediakan beberapa relaksasi persyaratan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang telah diterbitkan terlebih dahulu.
Pencantuman ketentuan-ketentuan tersebut di atas juga dimaksudkan
untuk memenuhi aspek keterbukaan dan mempermudah dalam
pencarian ketentuan yang terkait dengan pengaturan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memberikan “Kredit atau
Pembiayaan UMKM” adalah kredit atau pembiayaan yang
diberikan kepada pelaku usaha yang memenuhi kriteria
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Ayat (2)…
-4-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kemampuan
Bank Umum” adalah kemampuan Bank
Umum dalam merealisasikan rencana
bisnis bank terkait pemberian Kredit atau
Pembiayaan UMKM yang disesuaikan
dengan sumber daya Bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 3…
-5-
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tidak langsung” adalah
pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM oleh Bank
Umum melalui:
a. bank perkreditan rakyat;
b. bank pembiayaan rakyat syariah; dan/atau
c.
lembaga keuangan non bank lainnya sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pedoman penyusunan laporan
bulanan bank umum, yaitu Koperasi Simpan Pinjam,
Baitul Maal Wa Tamwil dan lembaga-lembaga lainnya
yang dapat dipersamakan dengan itu.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Bantuan Teknis diberikan oleh Bank Indonesia untuk mendukung
pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam rangka
meningkatkan…
-6-
meningkatkan kapasitas ekonomi daerah dan/atau pengendalian
inflasi.
Pasal 8
Huruf a
Penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia antara lain
berupa penelitian mengenai pola pembiayaan komoditas
yang dibiayai bank dan komoditas/produk/jasa usaha
unggulan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang
disampaikan kepada stakeholders.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penyediaan informasi antara lain dapat berupa pameran,
sosialisasi, workshop, pencantuman informasi dalam
website untuk mendiseminasikan hasil-hasil penelitian,
statistik dan informasi lainnya terkait pengembangan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Huruf d
Kegiatan fasilitasi antara lain klaster, inkubator bisnis atau
kegiatan serupa dalam rangka pengembangan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah, yang dapat didukung dengan
penyediaan sarana produksi
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b…
-7-
Huruf b
Lembaga Pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah adalah lembaga keuangan non bank
lainnya yang menyediakan pembiayaan kepada
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pedoman penyusunan laporan
bulanan bank umum, yaitu Koperasi Simpan
Pinjam, Baitul Maal Wa Tamwil, dan lembaga-
lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Huruf c
Lembaga Penyedia Jasa adalah lembaga yang
menyediakan jasa pendampingan dan/atau
pembinaan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah, termasuk Petugas Penyuluh Lapangan
(PPL) yang dikoordinasikan oleh kementerian
terkait.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pihak lain meliputi antara lain lembaga pendidikan,
konsultan/tenaga ahli atau lembaga lainnya.
Ayat (4)…
-8-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain
Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian,
Pemerintah Daerah, dan lembaga atau asosiasi lainnya.
Kegiatan kerjasama dilakukan dalam bentuk kemitraan
strategis antara lain melalui Forum Komunikasi/Koordinasi
(Focus Group Discussion), Training for Trainers, dan
penyediaan database bersama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kriteria tertentu” antara lain
rasio realisasi Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap
total Kredit atau Pembiayaan perbankan dan Non
Performing Loan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12…
-9-
Pasal 12
Ayat (1)
Bank Umum selain dapat menggunakan data yang
dimilikinya mengenai pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah yang tidak sedang dan/atau belum pernah
mendapat Kredit atau Pembiayaan UMKM, dapat juga
menggunakan antara lain data yang berasal dari Bank
Indonesia, Kementerian, dan Dinas terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Dengan ketentuan ini, maka rasio Pembiayaan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah terhadap total Pembiayaan sesuai
kemampuan Bank bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah hanya berlaku selama 1 (satu) tahun.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5378
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/22/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM DAN BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH </reg_title>
<set_date> 21 Desember 2012 </set_date>
<effective_date> 21 Desember 2012 </effective_date>
<issued_date> 21 Desember 2012 </issued_date>
<replaced_reg> '7/39/PBI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '21/UU/2008', '20/UU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/20/PBI/ 2003
TENTANG
PENGALIHAN PENGELOLAAN
KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA
DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa Kredit Likuiditas Bank Indonesia dalam rangka
Kredit Program telah dialihkan kepada dan dikelola
berdasarkan suatu perjanjian oleh Badan Usaha Milik
Negara yang ditunjuk oleh Pemerintah;
b. bahwa untuk meningkatkan pengawasan dan pengamanan
pelaksanaan serta mendukung tercapainya efektivitas
pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia oleh Badan
Usaha Milik Negara, dipandang perlu untuk dilakukan
penyesuaian ketentuan pengelolaan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia dimaksud;
c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk
mengatur penyesuaian ketentuan-ketentuan pengelolaan
Kredit Likuiditas Bank Indonesia oleh Badan Usaha Milik
Negara dalam suatu Peraturan Bank Indonesia ;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat : Undang - undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGALIHAN
PENGELOLAAN KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA
DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM.
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah Badan Usaha Milik Negara
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
487/KMK.017/1999 tanggal 13 Oktober 1999.
2. Bank Pelaksana adalah bank penerima fasilitas Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KLBI) dalam rangka Kredit Program.
3. Kredit Program adalah kredit atau pembiayaan yang disalurkan bank pelaksana
dalam rangka mendukung program Pemerintah.
4. KLBI adalah kredit atau pembiayaan yang disediakan oleh Bank Indonesia
dalam rangka membiayai Kredit Program.
5. Hak Tagih KLBI adalah tagihan Bank Indonesia kepada Bank Pelaksana yang
timbul sehubungan dengan pemberian fasilitas KLBI dari Bank Indonesia kepada
Bank Pelaksana, dan tagihan eks KLBI yang masih dikelola oleh BUMN.
6. Pengelolaan …
- 3 -
6. Pengelolaan KLBI, adalah pengelolaan baki debet tagihan KLBI dan
kelonggaran tarik KLBI, termasuk penyaluran kembali (relending) dana
angsuran KLBI yang dikelola oleh BUMN.
7. Surat Persetujuan Kredit (SPK) adalah surat persetujuan kredit dari Bank
Indonesia kepada Bank Pelaksana.
Pasal 2
(1)
Pengelolaan KLBI dalam rangka Kredit Program dialihkan kepada BUMN
yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(2) BUMN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang ditunjuk sebagai
penerima pengalihan pengelolaan KLBI, terdiri dari :
1. PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero);
2. PT. Bank Tabungan Negara (Persero);
3. PT. Permodalan Nasional Madani (Persero).
(3)
KLBI yang dialihkan pengelolaannya kepada BUMN sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) masing-masing terdiri dari :
1. PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero);
a. Kredit Usaha Tani (KUT);
b. Kredit kepada Koperasi (KKop);
c. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya - Tebu Rakyat
(KKPA-TR).
2. PT. Bank Tabungan Negara (Persero);
Kredit Pemilikan Rumah Sederhana (KPRS) dan Kredit Pemilikan
Rumah Sangat Sederhana (KPRSS).
3. PT. Permodalan …
- 4 -
3. PT. Permodalan Nasional Madani (Persero);
a. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA-Umum);
b. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya – Bagi Hasil
(KKPA- Bagi hasil );
c. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya dalam rangka
pembiyaaan Usaha Nelayan (KKPA- Nelayan);
d. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya dalam rangka
Pembiayaan Usaha Peternakan (KKPA- Unggas);
e. Kredit Pembiayaan Tenaga Kerja Indonesia dengan pola Kredit
Kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya – (KKPA- TKI);
f. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya dengan Pola
Perusahaan Inti Rakyat Transmigrasi dalam rangka Pembukaan
Pemukiman Transmigrasi Baru di Kawasan Timur Indonesia
(KKPA-PIR- Trans);
g. Kredit/Pembiayaan Modal Kerja dalam rangka pengembangan
Bank Perkreditan Rakyat / Bank Perkreditan Rakyat Syariah (KMK-
BPR/PMK-BPRS);
h. Kredit kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro melalui Bank
Umum (KPKM-Bank Umum);
i. Kredit/Pembiayaan kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro
melalui Bank Perkreditan Rakyat/ Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(KPKM-BPR/PPKM-BPRS);
j. Kredit Usaha Angkutan Umum Bus Perkotaan (KUAUBP);
k. Kredit Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN);
l. Kredit …
- 5 -
l. Kredit Investasi Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan
Inti Rakyat (PIR) yang dikaitkan dengan program Transmigrasi
(PIR-Trans).
(4)
Pelaksanaan pengalihan pengelolaan KLBI kepada BUMN sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) masing-masing dilakukan dengan
Perjanjian Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia.
Pasal 3
(1)
Bank Indonesia tetap memiliki hak tagih atas KLBI yang telah dialihkan
kepada BUMN sampai dengan KLBI dimaksud jatuh tempo dan dilunasi atau
dilunasi sebelum KLBI jatuh tempo.
(2)
Bank Indonesia tetap memiliki hak tagih atas angsuran KLBI yang telah
dikelola oleh BUMN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), termasuk dalam
hal bank pelaksana melunasi sebelum tanggal jatuh tempo KLBI
sebagaimana tercantum dalam SPK.
(3)
Bank Indonesia tetap menerima bunga tagihan KLBI yang dibayarkan oleh
Bank Pelaksana atas tagihan KLBI yang masih berjalan dan telah dialihkan
pengelolaannya.
Pasal 4
Ketentuan pemberian KLBI dalam rangka Kredit Program yang masih berjalan
untuk masing-masing skim tetap berlaku.
Pasal 5 …
- 6 -
Pasal 5
(1) Wewenang dan tanggung jawab BUMN ditetapkan sebagai berikut :
a. Menerima
Pelaksana;
b. Menganalisis persyaratan teknis dan finansial terhadap permohonan
kelonggaran tarik yang diajukan oleh Bank Pelaksana dan bertangung
jawab atas hasil analisis dimaksud;
c. Membuat rekomendasi untuk Bank Indonesia atas permohonan pencairan
kelonggaran tarik yang diajukan oleh Bank Pelaksana;
d. Menerbitkan SPK dan Akte F untuk dan atas nama Bank Indonesia;
e. Memberitahukan keputusan atas permohonan pencairan kelonggaran tarik
kepada Bank Pelaksana;
f. Mengadministrasikan kelonggaran tarik KLBI yang dikelolanya;
g. Melaksanakan pengawasan dan pemantauan atas penyaluran KLBI di
masing-masing Bank Pelaksana, sehingga penyaluran KLBI dimaksud
mencapai sasaran yang telah ditentukan;
h. Melakukan koordinasi dengan Bank Pelaksana, sehingga penyaluran
KLBI dimaksud mencapai sasaran akhir secara efektif dan efisien;
i. Mengelola hasil angsuran pokok KLBI yang diterima dari masing-masing
bank pelaksana untuk disalurkan kembali melalui Bank Pelaksana sampai
dengan jatuh tempo KLBI;
j. Mengupayakan agar Bank Pelaksana dapat memenuhi kewajibannya
kepada Bank Indonesia sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan,
termasuk penagihan terhadap KLBI yang belum dilunasi pada saat jatuh
tempo;
k. Mengembalikan …
permohonan pencairan kelonggaran tarik dari Bank
-7-
k. Mengembalikan dana angsuran KLBI yang dikelola pada saat jatuh tempo
KLBI;
l. Menyampaikan laporan perkembangan penyaluran dan pengembalian
KLBI secara periodik kepada Bank Indonesia;
m. Melakukan pengamanan kredit dan melakukan konsultasi mengenai hal
tersebut kepada Bank Indonesia; dan
n. Mengadministrasikan dana KLBI yang telah dialihkan dari Bank
Indonesia kepada Bank Pelaksana dan penyaluran KLBI yang
dilaksanakan oleh masing-masing Bank Pelaksana.
(2)
Wewenang dan tanggung jawab Bank Indonesia ditetapkan sebagai berikut :
a. Memberikan keputusan atas permohonan pencairan kelonggaran tarik
yang diajukan oleh Bank Pelaksana melalui BUMN, dengan
memperhatikan ketersediaan kelonggaran tarik dan kesesuaian dengan
SPK proyek yang bersangkutan serta ketentuan yang berlaku;
b. Memberitahukan keputusan atas permohonan pencairan kelonggaran tarik
yang diajukan oleh Bank Pelaksana;
c. Mengadministrasikan KLBI;
d. Menghitung dan membebankan bunga KLBI yang menjadi hak Bank
Indonesia;
e. Mendebet rekening Bank Pelaksana pada saat jatuh tempo angsuran KLBI
dan memindahbukukan angsuran KLBI dimaksud untuk untung rekening
BUMN;
f. Menarik kembali KLBI yang jatuh tempo, KLBI yang dilunasi dan KLBI
yang tidak sesuai dengan ketentuan, baik dari Bank Pelaksana maupun
BUMN;
g. Melakukan …
- 8 -
g. Melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap pelaksanaan
pengelolaan KLBI oleh Bank Pelaksana maupun BUMN;
h. Mengenakan sanksi kepada Bank Pelaksana dan BUMN dalam hal terjadi
pelanggaran atas ketentuan Bank Indonesia yang mengatur kredit program
dan pelaksanaan pengalihan; dan
i. Menyediakan kelonggaran tarik KLBI sesuai SPK dari Bank Indonesia
kepada Bank Pelaksana.
(3) Bank Indonesia dan BUMN dapat mengubah wewenang dan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan atau ayat (2) berdasarkan
kesepakatan antara Bank Indonesia dan BUMN, dengan memperhatikan
perkembangan kondisi dan situasi.
(4)
Perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan melalui suatu
perjanjian.
Pasal 6
(1) BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) diberi hak untuk
mengelola angsuran pokok yang diterima dari Bank Pelaksana, sampai KLBI
dimaksud jatuh tempo.
(2) BUMN wajib menyampaikan rencana penyaluran kembali angsuran pokok
KLBI yang dikelolanya kepada Bank Indonesia 1 (satu) bulan sebelum
dimulai tahun anggaran berikutnya, untuk mendapat persetujuan Bank
Indonesia.
(3)
BUMN wajib menyalurkan kembali angsuran pokok KLBI yang dikelola
oleh BUMN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sesuai dengan rencana
penyaluran yang disampaikan kepada Bank Indonesia.
(4) BUMN …
- 9 -
(4) BUMN dilarang menyalurkan kembali angsuran KLBI yang dikelolanya
selain untuk kredit atau pembiayaan.
(5)
Bank Indonesia tidak mengenakan bunga terhadap angsuran pokok yang
dikelola oleh BUMN.
Pasal 7
(1) BUMN wajib menyalurkan kembali (relending) angsuran pokok KLBI sesuai
dengan ketentuan pemberian KLBI untuk masing-masing skim.
(2) BUMN dapat mengatur tata cara penyediaan plafon, tata cara pelimpahan,
tata cara pelunasan, pengenaan sanksi dan pelaporan yang berkaitan dengan
penyaluran kembali KLBI (relending) oleh BUMN.
(3) BUMN wajib mendapat persetujuan Bank Indonesia dalam hal diperlukan
penyesuaian atas ketentuan selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2).
Pasal 8
(1) BUMN wajib mengembalikan KLBI kepada Bank Indonesia pada saat jatuh
tempo.
(2)
Pada saat KLBI jatuh tempo, BUMN wajib menyediakan dana pada rekening
giro yang ada di Bank Indonesia, sebesar kumulatif angsuran KLBI yang
terutang.
(3)
Untuk skim kredit dengan pola channeling, dalam hal pada saat jatuh tempo
masih terdapat KLBI yang tertunggak, Bank Indonesia tetap mempunyai
hak tagih atas KLBI dimaksud sampai lunas.
Pasal 9 …
- 10 -
Pasal 9
Bank pelaksana wajib mengembalikan angsuran KLBI kepada Bank Indonesia
pada saat jatuh tempo sebagaimana diperjanjikan dalam SPK.
Pasal 10
(1)
Dalam hal bank pelaksana melunasi KLBI lebih cepat dari tanggal jatuh
tempo sebagaimana yang ditetapkan dalam SPK, maka :
a. Bank Indonesia menarik sisa KLBI yang masih terutang di Bank
Pelaksana;
b. BUMN tetap dapat mengelola angsuran pokok yang telah diterima atas
KLBI yang dilunasi lebih cepat dari tanggal jatuh tempo tersebut.
(2) BUMN dapat mengelola angsuran pokok KLBI sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b sampai dengan tanggal jatuh tempo yang ditetapkan
dalam SPK.
(3)
Dalam hal terjadi pelunasan KLBI lebih cepat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Bank Pelaksana wajib melaporkan hal tersebut kepada Bank
Indonesia dengan tembusan kepada BUMN, selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari kalender terhitung sejak tanggal pelunasan lebih cepat oleh
debitur.
Pasal 11
(1)
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf l dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
setiap keterlambatan.
(2) Pelanggaran …
- 11 -
(2)
(3)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 6 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap keterlambatan.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 6 ayat (3) dikenakan sanksi berupa
tidak dilimpahkannya angsuran KLBI yang diterima dari Bank Pelaksana
kepada BUMN sebesar jumlah KLBI yang tidak disalurkan sesuai rencana
penyaluran.
(4)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 6 ayat (4) dikenakan sanksi penarikan
kembali angsuran KLBI yang disalurkan diluar tujuan kredit atau pembiayaan
serta sanksi kewajiban membayar sebesar suku bunga SBI jangka waktu 1
(satu) bulan hasil lelang terakhir dikalikan jumlah angsuran KLBI yang
disalurkan diluar kredit atau pembiayaan
(5)
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), BUMN dikenakan
sanksi berupa tidak dilimpahkannya angsuran KLBI dari Bank Pelaksana
yang seharusnya dapat dikelola oleh BUMN, sebesar KLBI yang disalurkan
tidak sesuai dengan ketentuan tersebut.
(6) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2), dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar suku bunga SBI jangka waktu 1 (satu) bulan
hasil lelang terakhir dikalikan jumlah KLBI yang terutang.
(7)
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 10 ayat (3), dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar suku bunga SBI jangka waktu 1 (satu) bulan
hasil lelang terakhir dikalikan angsuran KLBI yang dilunasi lebih cepat, sejak
tanggal pelunasan lebih cepat sampai dengan laporan disampaikan.
Pasal 12
(1) Bank pelaksana harus menyetorkan KLBI kepada BUMN selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berlakunya ketentuan ini.
(2) KLBI …
- 12 -
(2)
KLBI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah KLBI yang telah jatuh
tempo angsuran tetapi belum disetorkan kepada BUMN sampai dengan
berlakunya ketentuan ini
(3) Dalam hal sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Bank
Pelaksana belum menyetorkan angsuran dimaksud, Bank Indonesia akan
mendebet rekening Bank Pelaksana sebesar kewajiban yang belum
dibayarkan.
Pasal 13
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan Bank Indonesia
No. 2/3/PBI/2000 tanggal 1 Februari 2000 tentang Pengalihan Pengelolaan Kredit
Likuiditas Bank Indonesia dalam rangka Kredit Program (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3926) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 14
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan .
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 September 2003
GUBERNUR
BANK INDONESIA
Ttd.
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 105
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/20/PBI/2003
TENTANG
PENGALIHAN PENGELOLAAN
KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA
DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM
I. UMUM
Pengalihan pengelolaan KLBI kepada BUMN telah dilaksanakan sejak
tanggal 15 November 1999. Dalam perkembangan lebih lanjut, untuk meningkatkan
pengawasan dan pengamanan penyaluran KLBI dan untuk mendukung tercapainya
efektivitas pelaksanaan pengelolaan KLBI oleh BUMN, terdapat beberapa ketentuan
yang perlu dilakukan penyesuaian.
Sehubungan dengan hal itu, dipandang perlu untuk melakukan penyesuaian
dan penyempurnaan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengalihan Pengelolaan KLBI dalam rangka Kredit Program.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 7 cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat 2 …
- 2 -
Ayat (2)
Penunjukan BUMN yang menerima pengalihan pengelolaan KLBI
ditetapkan Pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 487/KMK.017/1999 tanggal 13 Oktober 1999
tentang Penunjukan Badan Usaha Milik Negara Sebagai Koordinator
Penyaluran Kredit Program.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Dengan tidak beralihnya hak tagih kepada BUMN, dalam hal KLBI
tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo maka Bank Indonesia tetap
mempunyai wewenang untuk melakukan penagihan.
Ayat (2)
Dalam hal debitur atau Bank Pelaksana melunasi KLBI sebelum jatuh
tempo sebagaimana tercantum dalam SPK, Bank Indonesia tidak
menarik angsuran KLBI yang telah dikelola oleh BUMN. Angsuran
KLBI yang telah dikelola oleh BUMN tersebut tetap merupakan hak
Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4 …
- 3 -
Pasal 4
Yang dimaksud dengan KLBI yang masih berjalan adalah KLBI yang sudah
disetujui oleh Bank Indonesia sebelum pengalihan pengelolaan kepada
BUMN yang terdiri dari :
- KLBI yang sudah ditarik seluruhnya ;
- KLBI yang belum ditarik seluruhnya.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
BUMN bertangung jawab atas hasil analisis teknis dan
finansial yang dilakukan terhadap permohonan pencairan
kelonggaran tarik.
Huruf c sampai dengan huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Termasuk dalam pengertian bank pelaksana adalah Bank Beku
Operasi (BBO) dan Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) atau
yang dapat dipersamakan dengan itu.
Huruf k dan huruf l
Cukup jelas
Huruf m …
- 4 -
Huruf m
Yang dimaksud dengan pengamanan kredit adalah pengamanan
yang dilakukan antara lain apabila terdapat indikasi terjadi
kemacetan kredit atau penyaluran KLBI yang tidak sesuai
dengan ketentuan.
Huruf n
Cukup jelas
Ayat 2
Huruf a sampai dengan huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Pengawasan dan pemeriksaan kepada Bank Pelaksana
dilakukan terhadap KLBI yang telah diberikan oleh Bank
Indonesia dan masih berjalan.
Pengawasan dan pemeriksaan kepada BUMN dilakukan
terhadap pengelolaan KLBI termasuk dana relending.
Pengawasan dan pemeriksaan dapat dilakukan terhadap
BUMN, Bank Pelaksana maupun debitur penerima kredit.
Dalam melaksanakan pemeriksaan ini Bank Indonesia dapat
menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan pemeriksaan
dimaksud.
Huruf h dan i
Cukup jelas
Ayat 3 …
- 5 -
Ayat (3)
Dalam hal BUMN tidak dapat melaksanakan satu atau lebih
wewenang dan tugas pengelolaan tersebut, maka Bank Indonesia dapat
melakukan penyesuaian terhadap wewenang dan tugas dimaksud
sebagaimana telah disepakati dalam addendum Perjanjian Pengalihan
Pengelolaan KLBI antara Bank Indonesia dengan masing-masing
BUMN.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan jatuh tempo KLBI adalah jatuh tempo KLBI
untuk masing-masing skim/proyek yang bersangkutan sesuai dengan
SPK yang ditandatangani oleh Bank Indonesia dengan Bank
Pelaksana.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5) …
- 6 -
Ayat (5)
Pengenaan bunga tidak dilakukan karena dengan pengenaan bunga
berarti terjadi pemberian kredit baru, sedangkan sesuai dengan
ketentuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, Bank Indonesia tidak diperkenankan lagi memberikan
KLBI dalam rangka kredit program.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
BUMN mengajukan permohonan penyesuaian ketentuan kepada Bank
Indonesia dan persetujuan/penolakan atas permohonan penyesuaian
ketentuan tersebut akan disampaikan secara tertulis oleh Bank
Indonesia.
Pasal 8
Ayat (1)
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, BUMN harus mengembalikan KLBI pada saat jatuh tempo.
Pengembalian KLBI kepada Bank Indonesia pada saat jatuh tempo
dilakukan dengan cara Bank Indonesia mendebet rekening giro
BUMN sebesar jumlah kumulatif angsuran KLBI yang terutang.
Ayat (2) …
- 7 -
Ayat (2)
Mengingat tidak seluruh BUMN berupa bank yang memiliki
kewajiban giro wajib minimum, maka kepada BUMN yang tidak
memiliki kewajiban giro wajib minimum diwajibkan untuk
menyediakan dana sebesar jumlah kumulatif angsuran KLBI yang
terutang pada saat KLBI jatuh tempo.
Ayat (3)
Untuk kredit yang disalurkan dengan pola channeling, yaitu Bank
Pelaksana tidak menanggung risiko kredit, pendebetan rekening Bank
Pelaksana dan atau BUMN dilakukan setelah ada pembayaran dari
debitur kepada Bank Pelaksana.
Pelaksanaan pendebetan dilakukan berdasarkan laporan yang
disampaikan oleh Bank Pelaksana setiap bulan.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pelunasan KLBI lebih cepat adalah KLBI
yang dilunasi sebelum tanggal jatuh tempo yang tercantum dalam
SPK, yang disebabkan adanya pelunasan dini, pembatalan proyek,
pengalihan proyek pada AMU/BPPN, dan hal-hal lain yang dapat
dipersamakan dengan itu.
Ayat (2) …
- 8 -
Ayat (2)
Angsuran pokok yang telah diterima/dikelola oleh BUMN adalah
angsuran KLBI yang telah diterima oleh BUMN sebagai pembayaran
angsuran pokok dari Bank Pelaksana sebelum terjadinya pelunasan
dipercepat.
Ayat (3)
Laporan yang disampaikan oleh bank pelaksana sekurang-kurangnya
berisi informasi mengenai skim kredit, nomor SPK, nama debitur,
jumlah yang dilunasi, dan tanggal pelunasan/pengalihan kredit
tersebut.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud hasil lelang terakhir adalah suku bunga SBI jangka
waktu 1 (satu) bulan yag diperoleh dari hasil lelang terakhir sebelum
penyimpangan penyaluran KLBI dimaksud.
Ayat (5) …
- 9 -
Ayat (5)
Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat berupa
penggunaan dana angsuran KLBI yang penyalurannya tidak sesuai
ketentuan antara lain ketentuan mengenai plafon kredit, suku bunga,
tujuan kredit.
Ayat (6)
Yang dimaksud hasil lelang terakhir adalah suku bunga SBI jangka
waktu 1 bulan yang diperoleh dari hasil lelang terakhir sebelum
kewajiban penyediaan dana di rekening giro BUMN tidak terpenuhi.
Ayat (7)
Yang dimaksud hasil lelang terakhir adalah suku bunga SBI jangka
waktu 1 bulan yang diperoleh dari hasil lelang terakhir sebelum
tanggal pelunasan lebih cepat.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14…
-10-
Pasal 14
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4322
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/20/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> PENGALIHAN PENGELOLAAN KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA DALAM RANGKA KREDIT PROGRAM </reg_title>
<set_date> 17 September 2003 </set_date>
<effective_date> 17 September 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '2/3/PBI/2000' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 11' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/15/PBI/2016
TENTANG
PENYELENGGARA JASA PENGOLAHAN UANG RUPIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong terpeliharanya stabilitas
sistem keuangan dan stabilitas moneter, Bank Indonesia
berwenang melakukan pengelolaan uang Rupiah yang
mampu memenuhi kebutuhan uang Rupiah di
masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis
pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi
yang layak edar, serta aman dari upaya pemalsuan, di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan memperhatikan aspek kepentingan nasional dan
perlindungan konsumen;
b.
bahwa dalam rangka melaksanakan kewenangan untuk
mengedarkan uang Rupiah, Bank Indonesia senantiasa
memperhatikan perkembangan kegiatan usaha dan
volume transaksi antara bank dan pihak lain dalam
kegiatan pengolahan uang Rupiah, serta kebutuhan jasa
dalam kegiatan pengolahan uang Rupiah, khususnya
yang dilakukan oleh Bank;
c.
bahwa untuk memastikan proses pelaksanaan dan kerja
sama dalam pengolahan uang Rupiah tetap dilakukan
sesuai dengan standar yang ditetapkan Bank Indonesia,
- 2 -
serta untuk mendorong atau memastikan berkembangnya
industri jasa pengolahan uang Rupiah secara sehat dan
bertanggungjawab, diperlukan pengaturan terhadap
kegiatan dan penyelenggaraan jasa pengolahan uang
Rupiah;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggara Jasa
Pengolahan Uang Rupiah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENYELENGGARA
JASA PENGOLAHAN UANG RUPIAH.
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang Rupiah adalah mata uang yang dikeluarkan oleh
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Mata Uang.
2. Pengolahan Uang Rupiah adalah setiap kegiatan usaha
yang menyangkut fisik Uang Rupiah yang dilakukan oleh
Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah.
3. Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah yang
selanjutnya disingkat PJPUR adalah BUJP yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk melakukan
kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah.
4. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan
Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
5. Badan Usaha Jasa Pengamanan yang selanjutnya
disingkat BUJP adalah badan usaha berbadan hukum
Indonesia bukan Bank yang telah memperoleh izin
sebagai penyelenggara jasa kawal angkut uang dan
barang berharga dari Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
6. Kantor Cabang adalah kantor PJPUR yang secara
langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat PJPUR
dengan alamat tempat kegiatan yang jelas.
- 4 -
BAB II
PENYELENGGARAAN JASA PENGOLAHAN UANG RUPIAH
Bagian Kesatu
Jenis Kegiatan Jasa Pengolahan Uang Rupiah
Pasal 2
(1) Jenis kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah terdiri atas:
a. distribusi Uang Rupiah;
b. pemrosesan Uang Rupiah;
c. penyimpanan Uang Rupiah di khazanah; dan/atau
d. pengisian, pengambilan, dan/atau pemantauan
kecukupan Uang Rupiah pada antara lain Automated
Teller Machine (ATM), Cash Deposit Machine (CDM),
dan/atau Cash Recycling Machine (CRM).
(2) Bank Indonesia menetapkan standar pelaksanaan
kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah antara lain sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia yang harus
dipenuhi oleh PJPUR.
Bagian Kedua
Perizinan Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah
Pasal 3
(1) Setiap BUJP yang akan menjadi PJPUR untuk melakukan
kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus memperoleh izin
dari Bank Indonesia.
(2) PJPUR yang akan membuka Kantor Cabang wajib
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
Pasal 4
(1) Izin sebagai PJPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) diajukan kepada Bank Indonesia berdasarkan
jenis kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah.
(2) Pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara sekaligus atau sebagian.
- 5 -
(3) Dalam memberikan izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), Bank Indonesia melakukan analisis
administratif dan pemeriksaan lokasi.
(4) Dalam memberikan persetujuan pembukaan Kantor
Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2),
Bank Indonesia melakukan analisis administratif,
penilaian hasil pengawasan terhadap PJPUR, dan
pemeriksaan lokasi.
Pasal 5
(1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan
pembatasan pemberian:
a. izin sebagai PJPUR; dan
b. persetujuan pembukaan Kantor Cabang.
(2) Kebijakan pembatasan pemberian izin dan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada
pertimbangan antara lain:
a. menjaga efisiensi nasional;
b. menjaga kepentingan publik;
c. menjaga pertumbuhan industri;
d. menjaga persaingan usaha yang sehat; dan
e. mendukung kebijakan nasional.
Pasal 6
Dalam rangka mengajukan izin sebagai PJPUR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), BUJP harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. berbadan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas;
b. menggunakan sarana, prasarana, dan/atau infrastruktur
yang memenuhi standar yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia sesuai dengan masing-masing jenis kegiatan
Pengolahan Uang Rupiah;
c. memiliki kondisi dan/atau kinerja keuangan yang sehat;
d. memiliki pengurus perusahaan dengan integritas dan
reputasi yang baik; dan
e. memiliki izin operasional sebagai BUJP dari Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang masih berlaku.
- 6 -
Pasal 7
Dalam rangka pembukaan Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), PJPUR harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki izin sebagai PJPUR;
b. menggunakan sarana, prasarana, dan/atau infrastruktur
yang memenuhi standar yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia sesuai dengan masing-masing jenis kegiatan
Pengolahan Uang Rupiah;
c. memiliki sumber daya manusia dengan integritas dan
reputasi yang baik; dan
d. memiliki izin perluasan kegiatan usaha dari Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Kegiatan Jasa Pengolahan Uang Rupiah
Pasal 8
(1) PJPUR wajib melaksanakan kegiatan jasa Pengolahan
Uang Rupiah paling lambat 90 (sembilan puluh) hari
kalender sejak tanggal pemberian izin.
(2) PJPUR wajib menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Bank Indonesia, apabila dalam jangka
waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), PJPUR tersebut telah atau belum dapat
melaksanakan kegiatannya.
(3) PJPUR dilarang mengalihkan pelaksanaan atas jenis
kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) kepada pihak lain.
Bagian Keempat
Perjanjian Penyelenggaraan Jasa Pengolahan Uang Rupiah
Pasal 9
(1) Perjanjian penyelenggaraan jasa Pengolahan Uang Rupiah
antara PJPUR dengan Bank atau pihak lain wajib
dilakukan secara tertulis.
- 7 -
(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
kurang meliputi:
a. ruang lingkup pekerjaan;
b. jangka waktu perjanjian;
c.
nilai pekerjaan dan cara pembayaran;
d. kesepakatan mengenai ukuran dan standar
pelaksanaan pekerjaan (service level agreement);
e. hak dan kewajiban para pihak;
f.
asuransi;
g. kepatuhan para pihak terhadap ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan
Pengolahan Uang Rupiah;
h. kerahasiaan;
i.
j.
kriteria atau kondisi pengakhiran perjanjian sebelum
berakhirnya jangka waktu perjanjian (early
termination);
sanksi; dan
k. penyelesaian perselisihan.
BAB III
PENGAWASAN PENYELENGGARA JASA PENGOLAHAN
UANG RUPIAH
Pasal 10
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap PJPUR.
(2) Pengawasan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi pengawasan tidak langsung dan
pengawasan langsung.
(3) Pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan melalui penelitian terhadap laporan
berkala, laporan insidental, keterangan, penjelasan,
rekaman, dan/atau dokumen terkait pelaksanaan
kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah dari PJPUR.
(4) Pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan melalui pemeriksaan terhadap PJPUR.
- 8 -
(5) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memperhatikan
aspek paling kurang:
a. standar pelayanan minimal dan perlindungan
konsumen;
b. sarana, prasarana, dan infrastruktur;
c. sumber daya manusia;
d. manajemen risiko dan tata kelola;
e. kegiatan Pengolahan Uang Rupiah; dan
f.
kapasitas usaha, volume usaha, dan pangsa pasar.
Pasal 11
Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas
nama Bank Indonesia melaksanakan pengawasan langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4).
Pasal 12
(1) PJPUR wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia
laporan berkala dan laporan insidental, termasuk segala
keterangan, penjelasan, rekaman, dan/atau dokumen
terkait pelaksanaan kegiatan jasa Pengolahan Uang
Rupiah apabila diminta, menurut bentuk dan tata cara
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) PJPUR atas permintaan Bank Indonesia wajib
memberikan kesempatan bagi pemeriksa dan memberi
bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh
kebenaran dari laporan dan segala keterangan,
penjelasan, rekaman, dan/atau dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang disampaikan oleh PJPUR.
(3) Dalam rangka memastikan kebenaran dan keakuratan
laporan dan/atau dokumen yang disampaikan oleh
PJPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank
Indonesia berwenang meminta laporan, keterangan,
penjelasan, rekaman, dan/atau dokumen kepada pihak
yang bekerja sama dengan PJPUR.
- 9 -
Pasal 13
Bank dan pihak lain yang menggunakan jasa PJPUR
melakukan pengawasan terhadap PJPUR dalam rangka
memastikan kepatuhan PJPUR terhadap standar yang telah
ditetapkan oleh Bank Indonesia
dan perjanjian
penyelenggaraan jasa Pengolahan Uang Rupiah.
Pasal 14
(1) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1), Bank Indonesia menyampaikan
surat pembinaan kepada PJPUR.
(2) PJPUR wajib menindaklanjuti surat pembinaan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 15
Dalam rangka penerapan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10, Bank Indonesia berwenang:
a. meminta PJPUR untuk melakukan dan/atau tidak
melakukan suatu kegiatan tertentu; dan
b. menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan
PJPUR.
BAB IV
KEWAJIBAN PENYELENGGARA JASA PENGOLAHAN UANG
RUPIAH DAN MANAJEMEN RISIKO
Bagian Kesatu
Kewajiban Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah
Pasal 16
(1) PJPUR wajib menggunakan sarana, prasarana, dan
infrastruktur yang memenuhi standar yang telah
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Dalam rangka memenuhi kebutuhan Uang Rupiah di
masyarakat dalam kondisi yang layak edar, PJPUR wajib
memenuhi standar kualitas Uang Rupiah yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
- 10 -
(3) Standar kualitas Uang Rupiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan oleh Bank Indonesia kepada
Bank dan PJPUR melalui pemberitahuan tertulis
dan/atau media informasi lainnya.
(4) PJPUR wajib memastikan tidak terdapat Uang Rupiah
yang diragukan keasliannya dalam melakukan kegiatan
pemrosesan Uang Rupiah yang menjadi tanggung jawab
PJPUR.
(5) Dalam hal PJPUR menemukan Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya dalam melakukan kegiatan
pemrosesan Uang Rupiah, PJPUR harus meminta
klarifikasi kepada Bank Indonesia atau menyerahkannya
kepada Bank.
Bagian Kedua
Manajemen Risiko
Pasal 17
(1) PJPUR harus memiliki dan menerapkan manajemen risiko
secara efektif.
(2) Manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling kurang meliputi:
a. pengawasan aktif oleh komisaris dan direksi;
b. kecukupan kebijakan dan prosedur;
c. kecukupan proses identifikasi dan mitigasi risiko;
dan
d. pengendalian intern.
BAB V
SANKSI
Pasal 18
PJPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8, Pasal 9 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 12
ayat (2), Pasal 14 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2),
dan/atau Pasal 16 ayat (4) dikenakan sanksi administratif
berupa:
- 11 -
a.
teguran tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan
usaha; dan/atau
c. pencabutan izin.
Pasal 19
(1) PJPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) dikenakan sanksi administratif
berupa penghentian sementara kegiatan Kantor Cabang.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender,
PJPUR belum menghentikan kegiatan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJPUR dikenakan
sanksi berupa pencabutan izin PJPUR.
Pasal 20
Dengan tidak mengurangi ketentuan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18, PJPUR yang tidak menyampaikan
laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1) sampai berakhirnya batas waktu penyampaian laporan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dikenakan sanksi
administratif berupa kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per laporan per periode.
Pasal 21
Dalam hal Bank Indonesia menemukan adanya Uang Rupiah
palsu dalam kegiatan pemrosesan Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), Bank Indonesia
mengenakan sanksi kewajiban membayar kepada PJPUR
sebanyak 5 (lima) kali dari total nilai nominal Uang Rupiah
yang dipalsukan.
Pasal 22
Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi dan/atau
rekomendasi kepada otoritas terkait untuk pengenaan sanksi
terhadap PJPUR dalam hal pengenaan sanksi merupakan
kewenangan otoritas lain.
- 12 -
BAB VI
LAIN-LAIN
Pasal 23
(1) Selain dalam rangka penerapan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, dan
Pasal 21, Bank Indonesia berwenang:
a. meminta PJPUR untuk melakukan dan/atau tidak
melakukan kegiatan tertentu;
b. menghentikan sementara sebagian atau seluruh
kegiatan PJPUR; dan/atau
c. mencabut izin PJPUR.
(2) Pelaksanaan kewenangan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kondisi:
a. terdapat permintaan pihak yang berwajib kepada
Bank Indonesia untuk menghentikan sementara
kegiatan PJPUR dalam rangka mendukung proses
hukum yang berlaku;
b. terdapat permintaan tertulis atau rekomendasi dari
otoritas pengawas yang berwenang untuk
menghentikan kegiatan PJPUR;
c.
otoritas pengawas yang berwenang telah mencabut
izin dan/atau menghentikan kegiatan BUJP milik
PJPUR;
d. terdapat putusan Pengadilan yang mencabut izin
BUJP dan/atau PJPUR; dan/atau
e. terdapat
permohonan pembatalan dan/atau
pencabutan izin yang diajukan atas inisiatif PJPUR.
Pasal 24
(1) Setiap pihak yang tidak memiliki izin sebagai PJPUR dari
Bank Indonesia dilarang melakukan kegiatan jasa
Pengolahan Uang Rupiah untuk dan atas nama Bank atau
pihak lain.
(2) Bank Indonesia memberikan rekomendasi kepada instansi
terkait untuk mengenakan sanksi kepada setiap pihak
yang melakukan kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah
- 13 -
tanpa memiliki izin sebagai PJPUR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 25
Bank yang menyerahkan sebagian atau seluruh pelaksanaan
Pengolahan Uang Rupiah kepada pihak lain, hanya dapat
menyerahkan pelaksanaan Pengolahan Uang Rupiah tersebut
kepada PJPUR.
Pasal 26
Bank yang menerima Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya dari PJPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (5), harus menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai pengelolaan Uang
Rupiah.
Pasal 27
(1) PJPUR yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan jasa
distribusi Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf a, dapat melakukan kegiatan
pembawaan uang kertas asing ke dalam atau ke luar
daerah pabean Indonesia.
(2) PJPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendaftarkan kegiatan pembawaan uang kertas asing ke
dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia kepada Bank
Indonesia.
(3) Kegiatan pembawaan uang kertas asing ke dalam atau ke
luar daerah pabean Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan berdasarkan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pembawaan uang
kertas asing ke dalam atau ke luar daerah pabean
Indonesia.
- 14 -
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 28
(1) BUJP yang telah memiliki kerja sama dengan Bank untuk
melakukan kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah
sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, harus
segera mengajukan permohonan izin sebagai PJPUR
kepada Bank Indonesia paling lama 9 (sembilan) bulan
setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) BUJP yang telah memiliki kerja sama dengan Bank untuk
melakukan kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah
sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini baik
yang belum maupun yang telah mengajukan permohonan
izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus:
a. menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1); dan
b. memenuhi persyaratan terkait standar kualitas Uang
Rupiah dalam Pengolahan Uang Rupiah, persyaratan
keamanan, efisiensi, dan mitigasi risiko serta
memperhatikan aspek perlindungan konsumen.
(3) Selama proses permohonan izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), BUJP diperbolehkan mewakili Bank untuk
melakukan kegiatan penyetoran dan/atau penarikan
Uang Rupiah di Bank Indonesia.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) menjadi pertimbangan Bank Indonesia dalam
pemberian izin kepada BUJP sebagai PJPUR.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
- 15 -
Pasal 30
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 31 Oktober 2016.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Agustus 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Agustus 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 177
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/15/PBI/2016
TENTANG
PENYELENGGARA JASA PENGOLAHAN UANG RUPIAH
I. UMUM
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang diatur bahwa Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga
yang berwenang melaksanakan pengelolaan Uang Rupiah yang meliputi
perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan
penarikan, serta pemusnahan Uang Rupiah.
Bank Indonesia dalam melaksanakan pengedaran Uang Rupiah
kepada masyarakat tidak dapat dipisahkan dari peran serta Bank dan
BUJP yang melakukan Pengolahan Uang Rupiah. BUJP yang melakukan
Pengolahan Uang Rupiah pada awalnya hanya bergerak pada usaha kawal
angkut uang. Seiring dengan perkembangan ekonomi dan tuntutan
efisiensi di perbankan, BUJP tersebut menjadi rekanan Bank dalam
memberikan jasa Pengolahan Uang Rupiah. Kegiatan Pengolahan Uang
Rupiah yang dilakukan oleh BUJP tersebut menjadi industri yang
berkembang pesat dan semakin memiliki andil dalam rangka pengedaran
Uang Rupiah.
Ruang lingkup jasa Pengolahan Uang Rupiah yang disediakan oleh
BUJP sebagai PJPUR meliputi distribusi Uang Rupiah, pemrosesan Uang
Rupiah, penyimpanan Uang Rupiah di khazanah, dan/atau pengisian,
pengambilan, dan/atau pemantauan kecukupan Uang Rupiah di
Automated Teller Machine (ATM), Cash Deposit Machine (CDM), dan/atau
Cash Recycling Machine (CRM).
- 2 -
Selama ini BUJP yang melakukan usaha kawal angkut uang telah
diwajibkan untuk memiliki izin operasional dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Namun demikian, kegiatan usaha BUJP yang
berkembang menjadi industri jasa Pengolahan Uang Rupiah, belum diikuti
dengan pengaturan dari otoritas mengenai standar sarana, prasarana dan
infrastruktur, sumber daya manusia, manajemen risiko, dan prinsip
governance yang baku. Kondisi penyelenggaraan jasa Pengolahan Uang
Rupiah yang demikian mengandung kelemahan yang pada akhirnya dapat
menimbulkan risiko baik bagi Bank Indonesia maupun masyarakat.
Risiko yang dapat terjadi dalam industri PJPUR adalah risiko reputasi,
risiko kebijakan, risiko hukum, dan risiko operasional.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu disusun peraturan
mengenai PJPUR yang bersifat komprehensif, yang meliputi perizinan dan
persyaratan perizinan, perjanjian penyelenggaraan jasa Pengolahan Uang
Rupiah, pengawasan, kewajiban, manajemen risiko, sanksi, dan
ketentuan lain-lain.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Distribusi Uang Rupiah meliputi kegiatan pengantaran
dan/atau pengambilan Uang Rupiah.
Huruf b
Pemrosesan Uang Rupiah meliputi kegiatan penghitungan,
penyortiran, dan pengemasan Uang Rupiah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemeriksaan lokasi dilakukan antara lain untuk memastikan
kesesuaian dokumen administrasi dan kesiapan sarana,
prasarana dan infrastruktur, sumber daya manusia, dan
pengamanan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh sarana dan prasarana antara lain kendaraan, mesin
sortasi uang, mesin penghitung uang, dan mesin pembungkus
uang.
Contoh infrastruktur antara lain gedung yang layak dan
memenuhi standar keamanan.
Huruf c
Kondisi dan/atau kinerja keuangan dilihat dari laporan
keuangan (audited). Untuk BUJP yang berdiri kurang dari 1
(satu) tahun, kondisi dan/atau kinerja keuangan dilihat dari
laporan keuangan (audited) yang disertai pernyataan tertulis dari
direksi BUJP.
Huruf d
Integritas dan reputasi yang baik dari pengurus perusahaan
dibuktikan dengan penyampaian surat pernyataan oleh
- 4 -
pengurus perusahaan dan surat keterangan kelakuan baik yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
Yang dimaksud pengurus perusahaan adalah direksi dan
komisaris.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh sarana dan prasarana antara lain kendaraan, mesin
sortasi uang, mesin penghitung uang, dan mesin pembungkus
uang.
Contoh infrastruktur antara lain gedung yang layak dan
memenuhi standar keamanan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “melaksanakan kegiatan jasa
Pengolahan Uang Rupiah” adalah:
1. pelaksanaan seluruh atau sebagian jenis kegiatan jasa
Pengolahan Uang Rupiah;
2. penyiapan sarana, prasarana, dan infrastruktur yang
terkait Pengolahan Uang Rupiah di lokasi PJPUR;
3. keikutsertaan PJPUR dalam proses pengadaan jasa
Pengolahan Uang Rupiah; dan/atau
4. kegiatan lainnya yang terkait dengan kegiatan jasa
Pengolahan Uang Rupiah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam rangka melakukan pemeriksaan terhadap PJPUR, Bank
Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap pihak yang
bekerja sama dengan PJPUR.
Dalam rangka koordinasi dan kerja sama dengan instansi lain,
Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung secara
bersama-sama.
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “konsumen” adalah konsumen
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai perlindungan konsumen jasa
sistem pembayaran.
Pengawasan Bank Indonesia terhadap PJPUR pada aspek
pelayanan dan perlindungan konsumen tidak
mengesampingkan pertanggungjawaban penyelenggara jasa
sistem pembayaran terhadap konsumen.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
- 6 -
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pengawasan aktif oleh komisaris dilakukan melalui proses
menyetujui dan mengevaluasi kebijakan dan
pertanggungjawaban direksi.
Pengawasan aktif oleh direksi dilakukan melalui proses
menyusun dan mengevaluasi kebijakan, memantau,
mengevaluasi dan bertanggung jawab terhadap manajemen
risiko, menyetujui rencana kegiatan jasa Pengolahan Uang
Rupiah dan prosedur penyelenggaraan jasa Pengolahan
Uang Rupiah.
- 7 -
Huruf b
Kebijakan dan prosedur penyelenggaraan jasa Pengolahan
Uang Rupiah paling kurang memuat jenis jasa yang
diberikan, mitigasi risiko, action plan, cakupan minimum
perjanjian, prosedur dan standar Pengolahan Uang Rupiah,
serta penetapan unit yang melaksanakan pekerjaan.
Huruf c
Pelaksanaan proses identifikasi dan mitigasi risiko harus
didukung dengan sistem informasi manajemen yang tepat
waktu dan dapat memberikan laporan yang akurat dan
informatif mengenai risiko yang terdapat dalam
penyelenggaraan jasa Pengolahan Uang Rupiah.
Huruf d
Pengendalian intern dilakukan secara independen melalui
antara lain pengawasan terhadap proses Pengolahan Uang
Rupiah dan pelaksanaan perjanjian penyelenggaraan jasa
Pengolahan Uang Rupiah.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Kegiatan pembawaan uang kertas asing meliputi kegiatan
pengiriman dan/atau pengambilan uang kertas asing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5923
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/15/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARA JASA PENGOLAHAN UANG RUPIAH </reg_title>
<set_date> 24 Agustus 2016 </set_date>
<effective_date> 31 Oktober 2016 </effective_date>
<issued_date> 29 Agustus 2016 </issued_date>
<related_reg> '7/UU/2011', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR:7/9/PBI/2005
TENTANG
LAPORAN BULANAN
BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyusunan laporan dan informasi
yang diperlukan untuk keperluan pemantauan keadaan bank,
diperlukan informasi keadaan keuangan dan kegiatan usaha
bank secara individual yang tepat waktu, akurat dan benar;
b. bahwa dalam rangka memperoleh informasi keadaan
keuangan dan kegiatan usaha bank secara individual yang
tepat waktu, akurat dan benar maka penyampaian laporan
perlu dilakukan secara on-line;
c. bahwa dengan semakin berkembangnya bank perkreditan
rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah, maka diperlukan pedoman penyusunan
laporan bulanan kepada Bank Indonesia, yang mencakup
keadaan keuangan dengan mengacu pada karateristik bank
perkreditan rakyat yang melaksanakan
berdasarkan prinsip syariah;
kegiatan usaha
d. bahwa dengan diberlakukannya Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan Nomor 59 tentang Akuntansi
Perbankan Syariah serta Pedoman Akuntansi Perbankan
Syariah …
- 2 -
Syariah Indonesia, maka laporan bulanan yang disampaikan
ke Bank Indonesia
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
perlu disesuaikan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d maka dipandang
perlu
untuk
mengatur kembali ketentuan
penyampaian laporan bulanan bagi Bank Perkreditan Rakyat
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843); sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
oleh bank perkreditan rakyat yang
tentang
MEMUTUSKAN: …
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN
BULANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS adalah
Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
2. Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah adalah kegiatan usaha
perbankan yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998.
3. BPRS Pelapor adalah kantor pusat BPRS.
4. Laporan Bulanan BPRS yang selanjutnya disebut Laporan Bulanan adalah
laporan keuangan yang disusun oleh BPRS untuk kepentingan Bank
Indonesia, yang disajikan menurut sistematika yang ditentukan oleh Bank
Indonesia dalam format dan definisi yang seragam serta dilaporkan
dengan menggunakan sandi-sandi dan angka.
5. Penyampaian Laporan Bulanan melalui Jaringan On-Line adalah
penyampaian laporan
oleh BPRS pelapor yang
dilakukan dengan
mengirim …
- 4 -
mengirim atau mentransfer rekaman data secara langsung kepada Kantor
Pusat Bank Indonesia melalui fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau
sarana teknologi lainnya.
6. Penyampaian Laporan Bulanan secara Off-Line adalah penyampaian
laporan oleh BPRS pelapor yang dilakukan dengan menyampaikan
rekaman data dalam bentuk disket atau cd-rom disertai hard copy kepada
Bank Indonesia.
Pasal 2
(1) BPRS Pelapor wajib menyusun dan menyampaikan Laporan Bulanan
kepada Bank Indonesia setiap bulan secara benar, lengkap, dan tepat
waktu.
(2) Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh
aspek keuangan yaitu :
a. Neraca;
b. Daftar Rincian Laba Rugi;
c. Rekening Administratif; dan
d. Daftar Rincian dari pos-pos dalam neraca dan pos-pos tertentu dari
rekening administratif serta rincian informasi penting lainnya.
(3) Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengikuti
Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan BPRS yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(4) BPRS Pelapor bertanggungjawab atas kebenaran dan kelengkapan isi
Laporan Bulanan serta ketepatan waktu penyampaian Laporan Bulanan
kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 3 …
- 5 -
Pasal 3
(1) Dalam hal BPRS dibubarkan karena merger atau konsolidasi dengan
BPRS lain sehingga tidak lagi menjadi BPRS Pelapor, BPRS tetap wajib
menyampaikan Laporan Bulanan untuk data akhir bulan laporan sebelum
merger atau konsolidasi.
(2) Dalam hal BPRS masih dalam proses akuisisi dan sudah tidak beroperasi
lagi, BPRS Pelapor tetap wajib menyampaikan Laporan Bulanan ke Bank
Indonesia.
(3) Kewajiban menyampaikan Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), dapat dikecualikan dengan izin tertulis dari Bank
Indonesia.
Pasal 4
BPRS Pelapor wajib memiliki sistem dan prosedur konversi yang dituangkan
dalam suatu pedoman tertulis.
Pasal 5
BPRS Pelapor wajib menunjuk petugas dan penanggung jawab untuk
menyusun dan menyampaikan Laporan Bulanan.
BAB II
PERIODE PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 6
(1) BPRS Pelapor wajib menyampaikan Laporan Bulanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) paling lambat tanggal 12 (dua belas) pada
bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
(2) BPRS …
- 6 -
(2) BPRS Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan Bulanan pada
tanggal diterimanya Laporan Bulanan oleh Bank Indonesia.
Pasal 7
BPRS Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Bulanan apabila
disampaikan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) sampai dengan tanggal 21 (dua puluh satu) pada bulan berikutnya
setelah berakhirnya bulan laporan.
Pasal 8
BPRS Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Bulanan, apabila Bank
Indonesia belum menerima Laporan Bulanan sampai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Pasal 9
(1) Dalam hal terdapat kekeliruan dan atau kesalahan atas Laporan Bulanan
yang telah disampaikan, BPRS Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas
Laporan Bulanan dimaksud.
(2) BPRS Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan
Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling lambat tanggal 12
(dua belas) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang
bersangkutan.
(3) BPRS Pelapor dinyatakan telah menyampaikan koreksi Laporan Bulanan
pada tanggal diterimanya koreksi Laporan Bulanan oleh Bank Indonesia.
Pasal 10
BPRS Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Bulanan
apabila menyampaikan koreksi Laporan Bulanan melampaui
batas waktu
sebagaimana …
- 7 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) sampai dengan tanggal 21 (dua
puluh satu) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan.
Pasal 11
BPRS Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan koreksi Laporan Bulanan
apabila belum menyampaikan koreksi Laporan Bulanan sampai dengan batas
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
Pasal 12
Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian Laporan Bulanan dan atau koreksi
Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal
9 ayat (2) dan Pasal 10 jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur, maka
koreksi Laporan Bulanan disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
Pasal 13
Dalam hal berdasarkan penelitian dan atau pemeriksaan Bank Indonesia atas
Laporan Bulanan yang telah disampaikan oleh BPRS Pelapor ditemukan
kesalahan, maka BPRS Pelapor wajib menggunakan hasil pemeriksaan
dimaksud untuk
penyusunan Laporan Bulanan posisi setelah hasil
pemeriksaan.
BAB III
PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 14
(1) BPRS Pelapor wajib menyampaikan Laporan Bulanan dan atau koreksi
Laporan Bulanan kepada Bank Indonesia secara on-line sampai dengan
tanggal …
- 8 -
tanggal 21 (dua puluh satu) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya
bulan laporan.
(2) Kewajiban penyampaian Laporan Bulanan dan atau koreksi Laporan
Bulanan secara on-line dikecualikan terhadap:
a. BPRS Pelapor yang berkedudukan di daerah yang belum tersedia
fasilitas komunikasi,
sehingga
menyampaikan Laporan Bulanan secara on-line;
b. BPRS Pelapor yang baru dibuka dengan batas waktu paling lama 2
(dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional; atau
c. BPRS Pelapor yang mengalami gangguan teknis.
(3) BPRS memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
setelah menyampaikan pemberitahuan tertulis terlebih dahulu kepada
Bank Indonesia.
(4) BPRS Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan Bulanan dan atau
koreksi Laporan Bulanan secara on-line sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), atau menyampaikan Laporan Bulanan dan koreksi Laporan Bulanan
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan atau
Pasal 10, wajib menyampaikan Laporan Bulanan dan atau koreksi
Laporan Bulanan secara off-line.
(5) Dalam hal terjadi kerusakan dan atau gangguan pada sistem database dan
atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia maka:
a. bagi BPRS Pelapor yang telah menyampaikan Laporan Bulanan dan
atau koreksi Laporan Bulanan, Bank Indonesia dapat meminta BPRS
Pelapor untuk menyampaikan ulang Laporan Bulanan dan atau koreksi
Laporan Bulanan.
b. bagi BPRS Pelapor yang belum menyampaikan Laporan Bulanan dan
atau koreksi Laporan Bulanan wajib menyampaikan laporan dimaksud
secara off line.
BAB IV …
tidak memungkinkan untuk
- 9 -
BAB IV
PEDOMAN PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pasal 15
BPRS wajib melakukan pencatatan atas kegiatan usahanya berdasarkan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan dan Pedoman Akuntansi Perbankan
Syariah Indonesia yang berlaku bagi Perbankan Syariah sebagai dasar
penyusunan Laporan Bulanan.
BAB V
SANKSI
Pasal 16
(1) BPRS Pelapor yang
terlambat menyampaikan Laporan Bulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja
keterlambatan.
(2) BPRS Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan Bulanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(3) BPRS Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan Bulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) untuk setiap
penyampaian koreksi Laporan Bulanan per hari kerja keterlambatan.
(4) Dalam hal berdasarkan penelitian dan atau pemeriksaan Bank Indonesia
atas Laporan Bulanan yang telah disampaikan oleh BPRS Pelapor
ditemukan …
- 10 -
ditemukan kesalahan, maka BPRS Pelapor dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per item kesalahan
dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(5) BPRS Pelapor yang menyampaikan Laporan Bulanan dan atau koreksi
Laporan Bulanan secara off-line pada periode penyampaian on-line tanpa
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2)
dan ayat (3), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00
(lima puluh ribu rupiah) untuk setiap penyampaian Laporan Bulanan atau
koreksi Laporan Bulanan.
(6) BPRS Pelapor yang mengirimkan Laporan Bulanan dan atau koreksi
Laporan Bulanan atas permintaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam pasal 14 ayat (5), tidak dikenakan sanksi.
(7) BPRS Pelapor yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), tetap diwajibkan untuk menyampaikan Laporan Bulanan
dimaksud.
Pasal 17
Pembebanan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16, dilakukan dengan cara transfer ke rekening Bank Indonesia.
Pasal 18
BPRS Pelapor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5, Pasal 13 dan Pasal 15 dikenakan sanksi
administratif dalam rangka pembinaan dan pengawasan Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998, berupa teguran tertulis.
Pasal 19 …
- 11 -
Pasal 19
Selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18,
pelanggaran terhadap rekayasa transaksi yang tidak
wajar, sehingga
menyebabkan terpenuhinya kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, berlaku ketentuan
sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Pasal 20
BPRS Pelapor yang telah dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16, dikenakan juga sanksi administratif dalam rangka
pembinaan dan pengawasan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa teguran tertulis.
BAB VI
KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE)
Pasal 21
(1) BPRS Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) selama
satu atau lebih periode penyampaian dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan Laporan Bulanan dan atau koreksi Laporan Bulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 9 ayat (1).
(2) BPRS …
- 12 -
(2) BPRS Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) kurang
dari satu periode penyampaian Laporan Bulanan dikecualikan dari
kewajiban menyampaikan Laporan Bulanan dan atau koreksi Laporan
Bulanan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
dan Pasal 9 ayat (2).
(3) BPRS Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure), wajib
menyampaikan permohonan untuk memperoleh
pengecualian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) secara tertulis kepada
Bank Indonesia, dengan disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa
yang dialami.
(4) BPRS Pelapor yang memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan (2) wajib menyampaikan Laporan Bulanan dan atau
koreksi Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dan atau Pasal 9 ayat (1) setelah kembali melakukan kegiatan operasional
secara normal.
Pasal 22
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dikecualikan
untuk penyampaian koreksi Laporan Bulanan sebagai akibat hasil audit
tahunan oleh akuntan publik.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, BPRS Pelapor tetap
diwajibkan untuk menyampaikan Laporan Bulanan data bulan Januari dan
Februari …
- 13 -
Februari 2005 sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 28/58/KEP/DIR tentang Pedoman Penyusunan Laporan
Bulanan Bank Perkreditan Rakyat, dan Surat Edaran Bank Indonesia No.
28/02/UPPB tentang Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Perkreditan
Rakyat masing-masing tanggal 29 Agustus 1995.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan Laporan Bulanan BPRS
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 25
(1) Peraturan Bank Indonesia ini mulai diberlakukan sejak pelaporan data
bulan Maret 2005 yang disampaikan pada bulan April 2005;
(2) Dengan diberlakukannya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/58/KEP/DIR
tentang Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat,
dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 28/02/UPPB tentang Pedoman
Penyusunan Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat masing-masing
tanggal 29 Agustus 1995, dinyatakan tidak berlaku bagi BPRS terhitung
sejak pelaporan data bulan Juni 2005.
(3) Ketentuan sanksi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini dinyatakan mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Juni
2005.
(4) Peraturan …
diatur
- 14 -
(4) Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Januari 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 19
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR:7/9/PBI/2005
TENTANG
LAPORAN BULANAN
BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH
UMUM
Dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998, ditetapkan bahwa Bank umum termasuk Bank Perkreditan Rakyat
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib
menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan perhitungan laba/rugi
tahunan serta penjelasannya , serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan
bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Laporan, keterangan, dan
penjelasan dimaksud diperlukan oleh Bank Indonesia dalam rangka
penyusunan laporan dan informasi serta statistik perbankan dalam rangka
pemantauan keadaaan bank.
Dengan pesatnya Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dan dengan diberlakukannya
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 59 tentang Perbankan Syariah
(PSAK No.59) dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI),
maka keberadaan pelaporan keuangan Bank Perkreditan Rakyat yang
melaksanakan …
- 2 -
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tidak bisa ditunda
lagi dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat melalui sistem
pengawasan yang efektif.
Kebutuhan akan laporan yang akuntabel dan sesuai dengan karakteristik
perbankan syariah semakin mendesak dengan diberlakukannya PSAK No.59
dan PAPSI. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Bank Indonesia menyusun
pedoman laporan bulanan Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sehingga dapat memberikan
informasi tentang keadaaan yang sebenarnya Bank Perkreditan Rakyat Syariah,
dalam memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang membutuhkan dan mendukung
sistem pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 6
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 3 …
- 3 -
Pasal 3
Ayat (1)
Sebagai contoh:
Apabila pada tanggal 1 Maret 2005 BPRS X dimerger dengan
BPRS Y, dimana badan hukum BPRS X dibubarkan, maka BPRS
X tetap wajib menyampaikan laporan untuk data laporan bulan
Februari 2005.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4
Prosedur konversi dipergunakan oleh BPRS
Pelapor untuk
menyesuaikan penyajian data dari format pembukuan intern BPRS
pelapor ke dalam format Laporan Bulanan sebagaimana diatur dalam
Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan BPRS.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan petugas adalah pegawai BPRS yang menyusun
dan melakukan verifikasi laporan.
Yang dimaksud dengan penanggung jawab yang ditunjuk adalah pejabat
atau pegawai BPRS yang bertanggung jawab, melakukan verifikasi
ulang dan menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia.
Petugas dan penanggung jawab yang ditunjuk adalah orang yang
berbeda
Pasal 6 …
- 4 -
Pasal 6
Ayat (1)
Sebagai contoh:
Laporan untuk data bulan Maret 2005 wajib disampaikan paling
lambat pada tanggal 12 April 2005.
Ayat (2)
Tanda bukti penerimaan laporan dapat berupa soft copy yang
dapat diambil secara on-line (down-load) apabila laporan
disampaikan secara on-line. Sedangkan untuk laporan yang
disampaikan secara off-line tanda bukti penerimaan berupa tanda
terima penyampaian laporan.
Pasal 7
Sebagai contoh :
Penyampaian laporan untuk data bulan Maret 2005 dinyatakan terlambat
apabila disampaikan mulai tanggal 13 April 2005 sampai dengan tanggal
21 April 2005.
Pasal 8
Sebagai contoh
Laporan untuk data bulan Maret 2005 dinyatakan tidak disampaikan
apabila Laporan Bulanan disampaikan setelah tanggal 21 April 2005.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kekeliruan dan atau kesalahan laporan
adalah ketidaksesuaian antara Laporan Bulanan yang
disampaikan dengan Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan.
Pengertian …
- 5 -
Pengertian koreksi dalam ayat ini adalah koreksi yang dilakukan
oleh BPRS atas inisiatif sendiri.
Ayat (2)
Sebagai contoh:
Koreksi Laporan Bulanan untuk data bulan Maret 2005 wajib
disampaikan paling lambat pada tanggal 12 April 2005.
Ayat (3)
Tanda bukti penerimaan laporan
berupa soft copy yang dapat
diambil secara on-line (down-load) untuk laporan disampaikan
secara on-line. Sedangkan untuk laporan yang disampaikan
secara off-line tanda bukti penerimaan berupa tanda terima
penyampaian laporan .
Pasal 10
Sebagai contoh:
Penyampaian koreksi Laporan Bulanan untuk data bulan Maret 2005
dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai tanggal 13 April 2005
sampai dengan tanggal 21 April 2005.
Pasal 11
Sebagai contoh:
Koreksi Laporan Bulanan untuk data bulan Maret 2005 dinyatakan tidak
disampaikan apabila Laporan Bulanan disampaikan setelah tanggal 21
April 2005.
Pasal 12
Yang termasuk hari libur adalah hari libur nasional dan hari libur
setempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I.
Yang …
- 6 -
Yang dimaksud dengan hari kerja sebelumnya adalah hari kerja yang
jatuh sebelum hari Sabtu, Minggu, atau hari libur.
Contoh :
Koreksi Laporan Bulanan untuk data bulan Februari 2005 yang wajib
disampaikan selambat-lambatnya tanggal 12 Maret 2005 jatuh pada hari
Sabtu dan tanggal 11 Maret 2005 merupakan hari libur nasional, maka
batas akhir penyampaian Laporan Bulanan data bulan Februari 2005
adalah pada hari kamis tanggal 10 Maret 2005.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan ganguan teknis adalah gangguan
yang menyebabkan BPRS
menyampaikan laporan secara on-line, antara
Pelapor tidak dapat
lain
gangguan pada jaringan telekomunikasi, kebakaran
gedung dan atau pemadaman listrik.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4) …
- 7 -
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Sebagai contoh :
Jatuh tempo pelaporan Laporan Bulanan BPRS untuk posisi
Februari 2005 jatuh pada tanggal 12 Maret 2005 (hari Sabtu).
BPRS A menyampaikan data laporan posisi bulan Maret 2005
pada hari Selasa tanggal 14 Maret 2005, maka BPRS A
dinyatakan terlambat menyampaikan laporan 1 hari kerja, yaitu
hari Senin, sehingga BPRS A dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 1 x Rp100.000,00 = Rp 100.000,00 (dua ratus
ribu rupiah)
Ayat (2)
Sebagai Contoh :
Batas waktu tidak menyampaikan laporan bulanan BPRS untuk
posisi Maret 2005 adalah setelah tanggal 21 April 2005 .
BPRS A menyampaikan Laporan Bulanan data bulan Maret 2005
pada hari Senin tanggal 22 April 2005, maka BPRS A dikenakan
sanksi kewajiban membayar
tidak menyampaikan Laporan
Bulanan sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Ayat (3) …
- 8 -
Ayat (3)
Sebagai contoh :
Batas waktu penyampaikan koreksi Laporan Bulanan BPRS
untuk posisi Maret 2005 adalah tanggal 21 April 2005 jatuh pada
hari Minggu. BPRS A menyampaikan koreksi Laporan Bulanan
data bulan Maret 2005 pada hari Selasa tanggal 23 April 2005.
BPRS A dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan
Bulanan 2 hari kerja, yaitu hari Senin dan Selasa, sehingga BPRS
A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 2 x Rp
10.000,00 = Rp 20.000,00 (dua puluh ribu rupiah).
Ayat (4)
Dalam hal terdapat kesalahan Laporan Bulanan berdasarkan hasil
pemeriksaan Bank Indonesia, sanksi hanya dikenakan atas
kesalahan untuk data bulan laporan pada posisi pemeriksaan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19 …
- 9 -
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah
keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan BPRS Pelapor
tidak dapat menyusun dan menyampaikan Laporan Bulanan dan
atau koreksi Laporan Bulanan, antara lain kebakaran, kerusuhan
massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi
dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari
instansi terkait di daerah setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24 …
- 10 -
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4478
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/9/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN BULANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH </reg_title>
<set_date> 25 Januari 2005 </set_date>
<effective_date> 25 Januari 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '28/58/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995', '28/02/UPPB|SE-BI/1995' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|